PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
PENGAWAL itu kemudian berpaling kepada orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang memang sedang memperhatikannya. Seolah-olah mereka memandanginya dengan heran. “He, apakah aku sedang berbicara dengan hantu?” berkata pengawal itu kepada dirinya sendiri.
Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Didekatinya seorang anak muda yang memandanginya tanpa berkedip. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “He, apakah kau melihat dua orang anak muda yang tadi duduk di sebelahku?”
Anak muda yang ditanya itu menjadi heran. Namun ia menjawab. “Ya, Bukankah mereka masih duduk itu”
Pengawal itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya memang masih berada ditempatnya.
“Kami sedang mengawasinya” berkata anak muda itu, “keduanya adalah anak-anak muda yang mencurigakan”
“Kenapa?” bertanya pengawal itu.
“Keduanya mengaku telah berada di banjar pada saat para perampok datang untuk mencuri pusaka-pusaka itu. Bahkan keduanya mengaku sebagai perujudan benda-benda berharga yang dipergunakan untuk upacara itu” jawab anak muda itu.
“He” pengawal itu termangu-mangu, “keduanya mengaku demikian? Dan apakah benar mereka itu kedua anak muda yang telah hadir saat itu?”
“Itulah yang harus mereka buktikan. Mereka ternyata telah menodai kesaktian benda-benda upacara yang dapat memberikan ujud seperti ujud kita” jawab anak muda itu.
Pengawal itu mengangguk-angguk. Tetapi menurut penglihatan matanya, keduanya memang anak-anak muda yang telah menolong para pengawal. Membangunkan para pengawal dari pengaruh sirep yang luar biasa. “Tetapi mana mungkin?” pengawal itu bertanya ke pada diri sendiri, “jika keduanya benar-benar ujud manusia wantah seperti aku dan orang-orang ini. apakah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa itu”
Dalam keragu-raguan itu. tiba-tiba halaman itu menjadi riuh. Beberapa orang telah menyibak. Seorang Senopati yang naik ketangga pendapa berkata, “Akuwu berkenan hadir di pendapa banjar ini”
Semua orang pun telah menepi. Mereka menyaksikan Akuwu naik ke pendapa diiringi oleh Senopati yang seorang lagi dengan para pengawal. Kemudian Ki Buyut yang baru saja diwisuda itu pun ikut naik pula ke pendapa dengan langkah tertegun-tegun.
Ketika Akuwu sudah duduk, maka ia pun kemudian bertanya kepada Senopati, “Bawa anak itu kemari”
Senopati itupun kemudian memerintahkan para pengawal yang mengawasi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar membawa kedua orang anak muda itu menghadap Akuwu di pendapa. Sambil berjalan dengan berjongkok keduanya naik ke pendopo bergeser setapak demi setapak mendekati Akuwu yang duduk menunggu.
Beberapa orang menjadi tegang. Para pengawal yang lain, yang pada hari pertama telah bertempur bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat mengenalinya. Keduanya adalah anak-anak muda yang telah mereka sebut sebagai penjelmaan dari benda-benda upacara yang keramat itu. Namun anak-anak muda itu kemudian menghadap Akuwu dalam ujud wadag sepenuhnya. Tidak lagi mempunyai pengaruh yang mendebarkan sebagaimana mereka lihat pada waktu itu
“Tetapi pada waktu itu, aku pun menganggap mereka sebagai orang-orang biasa” berkata salah seorang pengawal di dalam hatinya, “baru kemudian ketika mereka lenyap, tumbuh berbagai macam tanggapan di antara kami”
Para pengawal itu mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Tetapi mereka memang tidak mengetahui dari mana anak-anak muda itu datang. Apalagi pada keadaan yang sama di hari berikutnya. Tidak seorang pun yang mengetahui, selain ceritera dari para tawanan. Namun mereka telah meninggalkan bekas yang membuat dugaan para pengawal itu semakin kuat. Pada hari yang kedua dari serangan para perampok itu, para pengawal melihat tutup peti yang agak bergeser.
Dalam pada itu, dalam ketegangan yang mencengkam, terdengar Akuwu bertanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Siapakah nama kalian?”
“Hamba bernama Pinta tuanku dan saudara hamba ini bernama Soma” jawab Mahisa Murti.
“Pinta dan Soma” desis Akuwu, “tetapi apakah kau mengetahui sebabnya, kenapa kau telah dibawa ke banjar ini?”
Pinta dan Soma memandang Ki Buyut sejenak, seolah-olah hendak bertanya, apakah Ki Buyut sudah mengatakan kepada Akwu, kenapa mereka berdua berada di Banjar. Namun agaknya Ki Buyut justru menundukkan kepalanya.
“Aku bertanya kepadamu berdua” berkata Akuwu kemudian, “tidak kepada Ki Buyut. Seandainya Ki Buyut sudah mengatakan kepadaku, aku akan tetap bertanya kepada kalian, apakah kalian mengetahui alasannya, kenapa kalian dibawa kemari”
Mahisa Murti membungkuk hormat. Dengan menunduk ia pun kemudian berkata, “Tuanku, sebenarnyalah hamba berdua memang memohon untuk dibawa ke Banjar atau langsung menghadap Akuwu”
Akuwu mengangguk-angguk. Sementara Ki Buyut mengangkat sedikit wajahnya. Namun Ki Buyut itu pun kemudian telah menunduk lagi. “Jadi kalian sedirilah yang minta agar kalian dibawa ke Banjar ini?” bertanya Akuwu kemudian.
“Hamba tuanku” jawab Mahisa Murti.
“Apakah kepentinganmu, sehingga kau berdua mohon agar kau berdua dibawa ke Banjar ini?”
Mahisa Murti bergeser setapak. Kemudian katanya, “Tuanku, memang ada yang ingin hamba sampaikan kepada tuanku. Mungkin persoalannya pernah dikatakan oleh Ki Buyut kepada taunku”
“Sudah aku katakan. Aku ingin mendengar darimu. Bukan dari Ki Buyut” potong Akuwu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah tuanku. Perkenankanlah hamba menyampaikan niat hamba, sehingga hamba menyatakan keinginan hamba untuk menghadap tuanku” Mahisa Murti sejenak, lalu, “sebenarnyalah hamba telah mendengar satu dongeng yang mendebarkan hamba. Menurut ceritera yang hamba dengar, bahwa pusaka-pusaka yang dipergunakan sebagai pelengkap upacara itu dapat menjelma, berujud sebagai dua orang anak muda. Dongeng itu pun mengatakan bahwa dua orang anak muda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan para perampok. Tuanku, menurut dongeng itu, maka hamba mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan dua orang anak muda jelmaan dari benda-benda upacara yang keramat itu, adalah hamba berdua. Karena itu, maka hamba memerlukan datang menghadap untuk memberikan kesan yang sebenarnya dari persoalan kedua pusaka itu”
“Jadi bagaimana menurut pendapatmu? Apakah ceritera itu tidak benar?” bertanya Akuwu.
“Hamba tuanku. Ceritera itu memang tidak benar. Seperti yang sudah hamba katakan, yang dimaksud dalam ceritera itu adalah tidak memperdulikannya. Tetapi akhirnya hamba menganggap bahwa ceritera itu akan dapat menyesatkan Akuwu jika Akuwu mempercayainya. Namun sebenarnyalah kami menganggap bahwa Akuwu yang sudah mengenal benda-benda upacara itu sejak lama, tidak akan mempercayai dongeng itu”
Akuwu mengangguk-angguk. Namun kemudian bertanya, “Tetapi ingat anak muda, bahwa kedua ujud itu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Kedua anak muda itu pada malam berikutnya mampu melawan sekelompok penjahat yang jumlahnya berlipat ganda dari jumlah kedua orang anak muda itu”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Memang terasa agak segan untuk mengatakan, bahwa ia pun memiliki kemampuan seperti yang disebut-sebut pada dua orang anak muda dalam dongeng yang menarik itu.
Tetapi Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah sulit bagi hamba berdua untuk mengatakan yang demikian. Mungkin akan dapat menumbuhkan kesan, alangkah sombongnya kami berdua. Tetapi untuk melengkapi keterangan saudara hamba, maka biarlah hamba mengatakan bahwa kemampuan yang demikian itu memang ada pada hamba berdua, karena sebenarnyalah kedua anak muda yang disebut-sebut itu memang hamba berdua adanya”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang pengawal mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun tuanku, apakah hamba diperkenankan menyampaikan pendapat hamba”
Akuwu memandang pengawal itu sekilas. Kemudian sambil mengangguk Akuwu berkata, "Apakah yang akan kau katakan?”
“Tuanku” berkata pengawal itu, “sebenarnyalah menurut penglihatan hamba, kedua anak muda itu memang dua orang anak muda yang hadir di Banjar dan bertempur bersama hamba dan kawan-kawan hamba. Atas pertolongan keduanyalah maka hamba dapat mempertahankan benda-benda upacara yang keramat itu. Namun menilik keadaannya sekarang, hamba sangsi, apakah benar kedua orang anak muda itu benar-benar kedua orang anak muda yang menolong hamba itu seutuhnya”
“Apakah yang kau maksudkan?” bertanya Akuwu.
“Maksud hamba, mungkin yang menghadap Akuwu sekarang hanyalah wadagnya saja. Wadag yang dipergunakan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam benda-benda keramat itu. Menurut dugaan hamba, kekuatan yang tersimpan itu memang tidak akan dapat menjelma dalam ujud tubuh wantah seperti kita. Tetapi kekuatan itu agaknya telah meminjam tubuh anak-anak muda itu. Namun demikian, pada saat peristiwa itu terjadi, anak muda tersebut tidak kehilangan seluruh kepribadiannya. Sehingga karena itu, maka ia masih sempat mengingat apa yang telah terjadi di Banjar itu. Bahkan mereka telah menganggap bahwa mereka berdualah kekuatan yang sebenarnya untuk mengatasi kesulitan itu. Keduanya merasa seolah-olah merekalah yang telah memenangkan pertempuran melawan para penjabat itu” berkata pengawal itu lebih lanjutnya.
Akuwu mendengarkan pendapat pengawal itu sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Apakah kau sependapat dengan kata-kata pengawal itu? Bahwa sebenarnya bukan kau dalam keadaan yang utuhlah yang lelah melakukannya pada malam itu?”
“Ceritera ini sama berbahayanya dengan ceritera yang pertama seolah-olah benda-benda upacara yang keramat itu dapat menjadikan diri mereka berujud sebagaimana diri kita” jawab Mahisa Murti.
“Jadi kau berkeras mengatakan, bahwa kedua orang anak muda itu benar-benar kalian berdua?” bertanya Akuwu.
“Hamba Akuwu” jawab Mahisa Pukat, “hanya karena hamba ingin mendudukkan persoalannya pada keadaan yang sebenarnya”
Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara para Senopatinya berkata, “Anak-anak muda. Jika kau berkeras menganggap diri kalian seutuhnya yang telah bertindak malam itu, maka kau akan mengalami sedikit kesulitan, karena kau harus membuktikan bahwa kau memang mampu berbuat demikian”
“Kami telah melakukannya” jawab Mahisa Pukat, “di halaman rumah Ki Buyut, kami telah mengalami pendadaran. Kami harus berkelahi melawan seorang yang bertubuh raksasa, sehingga dengan kemenangan kami. Maka kami mendapat kesempatan untuk menghadap Akuwu sekarang ini”
Senopati itu tersenyum. Ternyata Akuwu pun tersenyum pula. Dengan suara datar Akuwu bertanya, “Jadi kau berdua telah berkelahi melawan anak padukuhan ini yang bertubuh raksasa?”
“Hamba tuanku jawab Mahisa Murti” maksud hamba, hamba sendiri, bukan berdua. Ki Buyut menjadi saksi”
Akuwu berpaling ke arah Senopatinya yang masih saja tersenyum. Katanya, “Agaknya pendapat pengawal itu perlu mendapat perhatian. Meskipun demikian segalanya masih perlu dibuktikan”
Senopati itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya nepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Anak muda, apakah kau dapat membayangkan, kekuatan apakah yang nampak pada kalian berdua pada waktu itu. Jika kau benar-benar anak muda itu, maka kau akan mengingatnya, apakah yang menjadi lawanmu. Berapa orang dan apakah kau dapat membayangkan kekuatan mereka masing-masing. Apakah dengan memperbandingkan kekuatan itu atas anak muda padukuhan ini meskipun bertubuh raksasa itu sudah kau anggap cukup?”
“Demikianlah yang dikatakan oleh anak muda itu” jawab Mahisa Murti.
“Anak muda” berkata Senopati itu lebih lanjut, “pada malam kedua, dua orang anak muda itu harus bertempur melawan sekitar dua puluh orang penjahat. Di antara mereka memiliki ilmu sirep yang dahsyat, yang dapat membuat para pengawal yang terlatih baik itu tertidur nyenyak. Nah. bayangkan, apakah kau mampu berbuat seperti itu? Atau kau justru tidak dapat menilai betapa besarnya kekuatan mereka itu”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Baiklah hamba berterus terang tuanku, meskipun hamba tidak berniat ingin menyombongkan diri. Sebenarnyalah hamba berdua pada waktu itu harus berjuang mengatasi ilmu sirep itu. Kemudian bertempur melawan sejumlah penjahat yang berniat mengambil benda-benda pusaka yang keramat itu. Hamba tidak tahu, bagaimana hamba harus membuktikannya. Namun beberapa saksi telah menyatakan, bahwa sebenarnyalah hamba berdua hadir pada saat-saat yang gawat itu”
Senopati itu masih saja tersenyum. Kemudian katanya kepada Akuwu, “Tidak ada cara lain untuk membuktikannya, tuanku”
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak muda. Aku nasehatkan agar kau tarik pengakuanmu itu sebelum aku memutuskan bahwa kau harus mengalami satu pendadaran untuk membuktikan kebenaran kata katamu”
Mahisa Murti berkisar sejengkal. Namun Mahisa Pukat langsung saja menjawab, “Apakah hal itu yang dimaksudkan oleh Senopati? Jika memang demikian, maka apa boleh buat. Hamba berdua akan melakukannya. Kecuali ada jalan lain yang dapat hamba tempuh”
Senopati itu mengerutkan keningnya Namun Akuwu berkata, “Agaknya kalian memang kehilangan kepribadianmu. Tetapi baiklah, aku akan menyaksikan pendadaran itu.
Mahisa Murti berpaling kearah Mahisa Pukat sekilas. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran kata-katanya adalah pendadaran itu. Karena itu. maka katanya, “Tuanku. Jika hamba berdua menerima cara ini, semata-mata karena hamba berdua ingin berbakti kepada Akuwu. Hamba tidak ingin pendapat Akuwu menjadi sesat atas benda benda berharga milik Akuwu sendiri”
“Terima kasih” jawab Akuwu, “jika benar seperti apa yang kau katakan itu, aku akan mengucapkan berulang kali terima kasih. Karena sebenarnyalah sejak aku memiliki benda itu pertama kali. sebagai warisan dari ayahanda Akuwu, aku memang belum pernah mengalami peristiwa seperti dongeng itu. Tetapi nampak dongeng itu demikian menariknya, sehingga aku menjadi ragu-ragu karenanya. Dengan demikian usahamu untuk menegaskannya, aku hargai sebaik-baiknya”
Wajah Mahisa Murti menegang sejenak, ia tidak melihat sikap yang keras pada Akuwu. Tetapi lebih condong pada sikap belas kasihan. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun mengetahui, bahwa Akuwu bukan seorang yang kasar. Tetapi ia lebih banyak berusaha untuk mengerti perasaan rakyatnya.
Sejenak kemudian, maka Senopati itu pun telah memerintahkan kepada para pengawal untuk membuat arena di halaman. Arena yang akan menjadi tempat pendadaran, apakah yang dikatakan oleh kedua anak muda itu benar.
Sejenak kemudian, maka Akuwu pun berkata, “Arena itu sudah siap. Marilah, kita akan membuktikan. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, dua puluh orang penjahat adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan”
“Tetapi karena tidak ada cara lain untuk membuktikan kebenaran kata-kata hamba, maka apa boleh buat. Hamba akan melakukannya” jawab Mahisa Murti.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun lelah turun ke halaman Sementara itu, Akuwu dan para Senopatinya pun telah turun pula diikuti oleh Ki Buyut.
Sejenak kemudian Akuwu pun berkata, “Aku akan mulai dengan para pengawal. Dua orang pengawal akan berkelahi melawan dua orang anak muda itu Tetapi aku masih memberi peringatan kepada para pengawal, agar mereka dapat menjaga diri. Kedua orang anak muda itu bukan orang-orang hukuman. Mereka berniat baik, tetapi mereka telah salah langkah. Karena itu, perlakuan kalian terhadap anak muda ini harus berbeda dengan perlakuan kalian terhadap para penjahat yang sebenarnya”
Demikianlah, dua orang pengawal telah turun ke arena. dua orang pengawal yang telah salah ikut bersama kedua anak muda itu bertempur. Dengan demikian mereka akan dapat mengenali tingkah laku dan tabiat keduanya dalam pertempuran.
“Kalian tidak akan membawa senjata” berkata Akuwu, “dan kalian akan berhenti jika kalian telah meyakini keadaan lawan dan diri sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Akuwu sejenak. Sementara Akuwu menjelaskan, “Jika kalian telah merasa kalah, maka kalian harus menyatakan diri dengan jujur”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ternyata Akuwu dan Ki Buyut itu mempunyai sifat yang mirip. Keduanya bukan orang yang senang melihat kekerasan, meskipun nampaknya Akuwu itu bukannya orang yang tak berilmu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berhadapan dengan dua orang pengawal. Masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang.
“Tuanku” bertanya Mahisa Pukat, “apakah hamba benar-benar harus menunjukkan kemampuan sebagaimana dilihat pada malam-malam yang dikuasai ooleh sirep itu?”
Akuwu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Pukat sejenak. Namun kemudian Akuwu itu mengangguk sambil tersenyum. “Lakukanlah anak muda” jawabnya, “keyakinanmu akan dirimu memberikan keyakinan pula kepadaku, bahwa kalian berkata dengan jujur. Seandainya yang kami lihat kemudian berbeda dengan yang kalian katakan, kalian sama sekali tidak bermaksud berhobong. Tetapi kalian benar- benar tidak mengerti apa yang kalian lakukan”
Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat baru melakukannya kemudian. “Hamba mengucapkan terima kasih atas tanggapan Akuwu terhadap, sikap hamba berdua. Hamba berdua mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ternyata hamba salah menilai diri hamba berdua”
Demikianlah, maka kedua orang pengawal itupun telah bersiap. Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti bertanya, “Apa yang akan kita lakukan kakang? Apakah kita akan segera mengakhiri perkelahian?”
“Apakah hal itu tidak akan menyinggung perasaan mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Tetapi jika di pendadaran ini kita tidak meyakinkan Akuwu. Maka pendadaran ini tentu akan diulang” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah” jawab Mahisa Murti, “kita akan membuktikannya sekaligus. Dengan demikian pekerjaan kita cepat selesai”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera bersiap siap. Mereka akan menghadapi dua orang pengawal yang terpilih. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah dapat mengetahui kemampuan kedua orang pengawal itu pada saat mereka bersama bertempur melawan para penjahat di banjar itu pula.
Beberapa saat lamanya, mereka yang berada di arena itu saling berputaran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah berpencar. Mereka tidak menghadapi kedua lawannya dengan berkelahi berpasangan. Tetapi mereka akan menghadapi lawan mereka seorang dengan seorang.
Dalam pada itu, anak-anak muda dan orang-orang yang berkerumun itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka akan melihat perkelahian yang seru. Orang-orang itu menganggap bahwa para pengawal itu tentu orang terpilih. Orang yang lain dari orang kebanyakan di dalam olah kanugaran. Sementara itu, mereka pun menganggap bahwa dua orang anak muda itu tentu dua orang yang memiliki kemampuan yang melampaui kebanyakan orang. Apalagi mereka yang telah melihat, bahwa orang bertubuh raksasa di padukuhan mereka sama sekali tidak berdaya melawan salah seorang dari kedua orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, masing-masing telah menghadapi seorang lawan. Mereka justru telah tertekad untuk sekaligus meyakinkan Akuwu, bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Sejenak mereka masih berputaran. Namun sejenak kemudian, seorang dari kedua pengawal itu telah meloncat menyerang Mahisa Murti. Namun keadaan Mahisa Pukat justru berbeda. Karena pengawal yang akan dihadapinya tidak segera menyerang, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian menyerang.
Namun ternyata akibatnya hampir sama. Kedua anak muda itu benar-benar telah mempergunakan kesempatan itu untuk memerlukan kemampuan mereka, sekedar untuk menghindari keadaan yang akan menjadi semakin berlarut- larut.
Demikianlah, maka ketika lawan Mahisa Murti menyerangnya, maka Mahisa Murti pun bergeser selangkah surut. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat maju. Bukan menghantam lawannya dengan tangan atau kakinya. Namun dengan cepat, ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawannya. Hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata telanjang, maka tiba-tiba saja tangan lawannya telah terpilin. Tidak ada kesempatan untuk berbuat sesuatu. Demikian cepatnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyerang lawannya, ternyata dapat dihindari pada langkah pertama. Tetapi serangan yang pertama, telah disusul oleh serangan yang kedua. Demikian cepat. Sehingga pengawal itu tidak sempat mengelak. Serangan Mahisa Pukat telah mengenai lambung lawannya. Dalam keadaan terhuyung-huyung, maka Mahisa Pukat sempat mendorongnya sehingga jatuh.
Pada saat pengawal itu siap untuk melenting berdiri, Mahisa Pukat telah berjongkok disampingnya. Tangannya terangkat dan siap menghantam dada orang itu dengan sisi telapak tangan yang terangkat itu.
“Jangan bergerak” berkata Mahisa Pukat, “persoalan kita akan cepat selesai”
Pengawal itu menggeram. Namun yang tidak diduganya, ternyata Akuwu justru tertawa. Katanya, “Jangan melawan lagi. Kekalahanmu sangat meyakinkan. Demikian pula kawanmu yang terpilin tangannya. Jika anak muda itu mau, maka tangan itu akan dapat patah. Tetapi ia menepati janji. Yang terjadi bukan perkelahian yang sebenarnya”
Para pengawal itu justru bagaikan membeku. Namun Mahisa Murti kemudian telah melepaskan tangan yang dipilinnya itu perlahan-lahan. Sementara itu, Mahisa Pukatpun telah bergeser pula dan kemudian bangkit berdiri beberapa langkah dari pengawal yang dikalahkannya itu.
Orang-orang yang menyaksikan kekalahan kedua pengawal itu hampir tidak percaya kepada penglihatannya. Seolah-olah mereka belum dapat melihat apa yang terjadi. Mereka menduga akan terjadi perkelahian yang sengit. Namun belum lagi mata mereka berkedip, segalanya telah selesai, Kedua pengawal itu telah dinyatakan kalah. Justru oleh Akuwu sendiri. Dalam pada itu, orang-orang itu pun menunggu dengan tegang. Apakah yang akan terjadi kemudian.
Sementara itu Akuwu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Kailan memang luar biasa anak muda. Aku hampir percaya bahwa yang telah kalian katakan itu benar. Kalian adalah anak-anak muda yang telah kalian katakan itu benar. Kalian adalah anak-anak muda yang hadir malam pertama dan di malam kedua telah mengalahkan seluruh kekuatan perampok itu. Yang kalian lakukan itu bukan satu kebetulan. Yang kalian lakukan itu memang mengagumkan, Kedua orang pengawal itu benar-benar dapat kalian kalahkan pada langkah langkah pertama”
“Ampun tuanku” berkata Mahisa Murti, “apa yang hamba berdua lakukan, semata-mata melaksanakan perintah tuanku”
“Ya, ya. Aku tahu. Kalian memang tidak bersalah” berkata Akuwu.
Sementara itu kedua pengawal yang tidak berdaya itupun telah bangkit. Wajah mereka menjadi pucat. Ketika Akuwu mendekati mereka, maka kepala mereka pun telah menunduk dalam-dalam.
“Kalian pun tidak bersalah” berkata Akuwu, “kalian tidak usah merasa berkecil hati mengalami kekalahan ini. Itu sudah wajar sekali. Kalian memang harus kalah dalam waktu yang singkat. Bukan karena kalian tidak melaksanakan tugas kalian dengan baik, atau bukan berarti bahwa kalian adalah pengawal-pengawal yang lemah. Tetapi lawan kalian lah yang memang terlalu kuat. Karena itu jangan sakit hati. Kalianpun tidak usah malu kepada orang-orang padukuhan ini. Sebenarnyalah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kedua orang anak muda itu mempunyai ilmu yang penunjul”
Kedua pengawal itu masih menunduk dalam-dalam. Sementara itu orang-orang yang berada di halaman banjar itupun menjadi berdebar-debar. Namun mereka mengerti apa yang dimaksudkan oleh Akuwu. Karena itu, maka merekapun mulai berpikir tentang kebenaran pengakuan kedua orang anak muda itu, bahwa keduanyalah yang oleh banyak orang disangka ujud dari pusaka-pusaka yang berada di Banjar itu.
Dalam pada itu, orang-orang di Banjar itu pun menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Akuwu kemudian. Meskipun nampaknya Akuwu tidak marah, tetapi kadang kadang yang terjadi adalah di luar dugaan mereka, saat orang-orang dan para pengawal yang sedang berada di Banjar itu menunggu. Apa yang akan dikatakan oleh Akuwu tentang kedua orang anak-anak muda itu. Namun seperti yang mereka duga, bahwa sesuatunya memang dapat terjadi. Karena itu, dengan berdebar-debar mereka menunggu Akuwu itu berkata sesuatu tentang persoalan yang sedang mereka hadapi.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu itu, “kalian memang telah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Kalian dalam waktu yang sangat singkat telah mengalahkan para pengawal. Tetapi anak-anak muda. Bukan, maksudku untuk memaksa kalian tunduk kepada keputusanku. Tetapi aku hanya ingin lebih meyakinkan, apakah aku telah mengambil satu keputusan yang benar”
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu sejenak, sementara Akuwu itu berkata, “Untuk itu, maka aku ingin memperingatkan, bahwa kalian telah mengalahkan para perampok itu dalam jumlah yang cukup banyak. Karena itu, maka aku ingin melihat kekuatan kalian yang sebenarnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Apalagi yang harus mereka lakukan? Apakah mereka harus bertempur melawan jumlah orang sebagaimana mereka kalahkan pada malam kedua dari perampokan yang telah terjadi di Banjar itu.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu “aku sendiri bukannya orang yang memiliki ilmu kanuragan. Aku bukan orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi meskipun demikian, aku ingin menjajagi langsung kemampuan kalian berdua”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Keduanya tentu akan mengalami kesulitan. Jika mereka benar-benar harus bertempur melawan Akuwu, maka keduanya tidak akan dapat mengambil satu sikap yang pasti. Apakah mereka harus mengalahkan Akuwu atau tidak.
Dalam ketegangan itu Akuwu pun berkata, “Anak-anak muda. Aku tidak bermaksud untuk menguji kemampuan kalian sampai tuntas. Aku tidak akan mampu melakukannya. Tetapi dalam satu dua langkah, aku akan dapat mengambil satu kesimpulan. Apakah yang kalian katakan itu benar-benar dapat aku percaya”
“Tetapi” Mahisa Murti tergegap, “apakah artinya kami berdua bagi Akuwu. Kami sama sekali tidak akan berani melakukannya”
“Kalian harus melakukannya” jawab Akuwu, “jika tidak, maka untuk seterusnya aku akan tetap ragu-ragu akan keputusanku yang akan aku jatuhkan saat ini tentang kalian berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan. Namun mereka memang tidak akan dapat ingkar. Karena itu. maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jika tuanku memang menghendakinya, apa boleh buat. Tetapi hamba berdua hanya sekedar ingin melakukan perintah”
Akuwu tersenyum. Katanya, “Unggah-ungguhmu utuh anak muda. Marilah, biarlah para pengawal dan orang-orang Kabuyutan ini melihat, bahwa kalian memang anak-anak muda seperti yang kalian katakan. Yang telah menyelamatkan Kabuyutan ini dan benda-benda keramat yang dibawa ke Kabuyutan ini untuk melengkapi upacara wisuda Ki Buyut yang baru itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak lagi. Namun dalam pada itu. ketika Akuwu sedang mempersiapkan diri, Mahisa Murti sempat berbisik, “Kita harus berhati-hati. Jangan menyakitinya dan jangan menunjukkan kemenangan”
“Apa yang kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Melayaninya saja. Sampai Akuwu Menjadi jemu” jawab Mahisa Murti.
“Jangan terlalu sombong. Jika Akuwu memiliki ilmu yang sangat tinggi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan terkapar di sini” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tersenyum.
Sejenak kemudian Akuwu ternyata sudah siap. Ia pun kemudian memasuki arena. Beberapa orang pengawal berdiri di sekeliiing arena dengan tegangnya. Bagaimanapun juga mereka merasa wajib untuk mengamati keadaan.
“Marilah anak-anak muda” berkata Akuwu, “jangan segan. Lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Sementara itu Akuwu pun melihat keraguan anak-anak muda itu, sehingga ia pun berkata, “Marilah. Aku mengajak kalian berdua. Tidak seorang demi seorang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan ragu melangkah memasuki arena pula sebagaimana dilakukan oleh Akuwu. Mereka berdiri pada jarak tiga langkah.
“Jangan ragu-ragu” berkata Akuwu, “sudah aku katakan. Jangan ragu-ragu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat merasa bebas menghadapi Akuwu. Namun sejenak kemudian Akuwu itu pun telah bergeser. Cepat sekali. Langkahnya tiba-tiba bagaikan melontarkannya di antara kedua anak muda itu. Dengan cepat pula ia berputar. Kakinya terayun deras menyambar Mahisa Murti.
Tetapi dengan gerak nalurilah dilambari dengan kemampuan ilmunya, Mahisa Murti sempat juga melenting selangkah surut, sehingga serangan Akuwu yang tiba-tiba itu tidak menyentuhnya. Namun dalam pada itu, ternyata sambil menarik kakinya, Akuwu pun sempat meloncat. Tangannya terjulur lurus menghantam dada Mahisa Pukat.
Sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun bergeser ke samping. Tangan Akuwu menyambar sejengkal di depan dada Mahisa Pukat. Hampir saja Mahisa Pukat memukul tangan itu dengan sisi telapak tangannya. Tetapi rasa-rasanya ada yang telah mencegahkan, sehingga Mahisa Pukat itu pun tidak berbuat apa-apa.
Karena serangan Akuwu itu tidak menyentuh kedua orang anak muda itu, maka Akuwu pun bergeser. Namun Mahisa Pukat lah yang berdiri di paling dekat. Karena itu, maka sekali lagi Akuwu telah melenting dengan tiba-tiba. Cepat sekali. Seolah-olah tidak dapat dilihat dengan tatapan mata sewajarnya. Sekali lagi tangan Akuwu terayun. Mendatar mengarah kening. Mahisa Pukat ternyata memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Dengan cepat, ia merendahkan dirinya, sehingga serangan Akuwu itu tidak mengenainya. Tetapi sekali lagi serangan Akuwu memburunya. Pada saat Mahisa Pukat merendah, Akuwu telah menarik tangannya dan menyerang dengan kakinya.
Mahisa Pukat terkejut. Tetapi ia masih sempat berpikir. Ia tidak ingin membenturkan kekuatannya. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh. Dengan cepat ia pun kemudian melenting berdiri, dan bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Mahisa Murti berdiri saja termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat membantu Mahisa Pukat dengan menyerang Akuwu. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu, sehingga karena itu, ia justru bagaikan penonton yang paling tegang. Mahisa Pukat yang sudah berhasil lolos dari serangan-serangan beruntun itu pun tidak dapat membalas menyerang Akuwu karena keseganannya. Karena itu, maka yang dilakukannya hanyalah sekedar menghindarnya saja.
Ternyata Akuwu tidak memburunya. Ia berpaling kepada Mahisa Murti yang berdiri semakin jauh. Sejenak ia memandang anak muda itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kalian tidak berusaha untuk menyerangku. Lakukanlah. Aku ingin melihat kalian dalam kemampuan ilmu yang sebenarnya”
Kedua anak muda itu masih tetap ragu-ragu. Namun Akuwu berkata seterusnya, “Jika kalian tetap ragu-ragu. Maka, aku akan memaksa kalian untuk melakukannya”
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab, maka Akuwu telah berkisar. Ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat dan mendekati Mahisa Murti. Mahisa Murti pun kemudian mempersiapkan diri. Ia sadar arti dari kata-kata Akuwu itu. Sementara Mahisa Pukat yang menjadi tegang itu pun bergeser pula mengikuti Akuwu.
Dalam pada itu para pengawal yang berada di sekitar arena itu pun menjadi tegang pula. Mereka melihat Akuwu kemudian mempersiapkan dirinya menghadap ke arah Mahisa Murti. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan Mahisa Pukat yang berdiri di belakangnya.
Mahisa Murti memang sudah bersiap. Ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk menyerang. Jika ia selalu tedesak oleh serangan-serangan Akuwu yang datang beruntun, maka pertahanan yang paling baik adalah menyerang dalam setiap kesempatan. Mahisa Murti tidak mendapat kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Sejenak kemudian Akuwu telah menyerangnya. Cepat dan keras, sehingga Mahisa Murti harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan gerak Akuwu.
Sebenarnyalah Akuwu telah menyerangnya beruntun tanpa ragu-ragu. Seolah-olah Akuwu benar-benar telah bertempur untuk menentukan menang atau kalah. Untuk beberapa saat Mahisa Murti memang terdesak surut. Bahkan hampir saja Mahisa Murti meloncat keluar arena. Namun akhirnya. Mahisa Murti telah mengambil satu sikap, ia tidak ingin menghindar agar tidak menimbulkan kesan lain pada Akuwu tentang pengakuannya. Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti telah memberanikan diri. untuk membalas serangan Akuwu dengan sebuah serangan rendah pada kakinya.
Akuwu terkejut mendapat serangan balasan. Tetapi ia masih sempat meloncat menghindari sambaran kaki Mahisa Murti pada betisnya. Namun demikian ia berjejak di atas tanah, maka Mahisa Murti sekali lagi menyerang Akuwu pada lututnya dari arah samping. Sekali lagi Akuwu terpaksa menghindar. Namun loncatannya yang panjang telah melemparkannya beberapa langkah mendekati Mahisa Pukat. Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap termangu- mangu. Tetapi ia sudah melihat Mahisa Murti telah mulai menyerang Akuwu meskipun dengan serangan-serangan rendah.
Sementara itu, maka agaknya Akuwu telah siap menyerang Mahisa Pukat. Dengan nada datar Akuwu berkata, “Aku akan melawan kalian berdua”
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Serangan Akuwu pun datang beruntun. Semakin lama semakin cepat. Mahisa Pukat pun mencoba untuk mengurangi tekanan Akuwu dengan menyerangnya pula pada setiap kesempatan. Tetapi serangan Akuwu itu semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga memaksa Mahisa Pukat untuk bekerja lebih keras untuk menyelamatkan tubuhnya dari sentuhan serangan Akuwu.
Nampaknya Akuwu berusaha untuk memancing kedua orang anak muda itu untuk bertempur bersama. Sekali ia menyerang Mahisa Murti, sekali Mahisa Pukat. Namun kemudian, Akuwu telah berhasil menempatkan diri pada satu sisi di arena, sehingga ia berhadapan langsung dengan kedua orang anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa bahwa sebenarnyalah Akuwu memiliki ilmu yang tinggi. Sebagai seorang Akuwu, maka ia tentu melandasi dirinya pada tataran tingkat yang memungkinkan mendukungnya pada jabatannya, sebagaimana Akuwu-akuwu yang pernah didengar namanya. Dengan demikian maka akhirnya kedua anak muda itu telah dipaksa untuk mempergunakan kemampuannya pula melawan Akuwu.
Karena itulah, maka pertempuran itu pun telah meningkat menjadi semakin seru. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap dibatasi oleh keseganannya untuk menyerang pada bagian-bagian yang berbahaya pada Akuwu. Namun mereka telah mulai menyerang pada bagian bawah tubuh Akuwu yang mampu bergerak dengan sangat cepat dan tangkas.
Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin membuktikan bahwa yang dikatakannya tentang diri mereka adalah benar. Bahwa mereka adalah dua orang yang dianggap ujud dari kekuatan gaib yang ada di dalam benda-benda keramat milik Akuwu yang dipergunakan untuk kelengkapan wisuda Ki Buyut yang baru itu.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun telah bergerak secepat Akuwu bergerak. Meskipun masih dengan sikap yang enggan, namun justru karena mereka telah bekerja bersama, maka semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa Akuwu mulai mengalami kesulitan.
Tetapi pada keadaan yang sulit, tiba-tiba saja Akuwu berkata Anak-anak muda. “Jika benar kalian adalah anak-anak muda yang telah mengalahkan para perampok itu, maka kalian tentu memiliki kebanggaan ilmu yang dapat kalian tunjukkan kepadaku. Aku akan memaksa kalian untuk berbuat sampai batas kemampuan kalian, agar aku yakin, bahwa kalian berdua saja dapat bertempur dan memenangkan pertempuran itu melawan perampok pada jumlah yang berlipat ganda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika mereka melihat. Akuwu benar-benar telah meningkatkan kemampuannya pada tata gerak yang sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Karena Akuwu nampaknya seolah-olah bersungguh-sungguh maka kedua orang anak muda itu tidak dapat berbuat lain, kecuali melindungi diri mereka dari serangan-serangan Akuwu yang keras.
Mahisa Pukat lah yang ternyata lebih dahulu bersikap dari Mahisa Murti. Namun akhirnya Mahisa Murti pun telah melakukannya pula. Karena keduanya masih tetap merasa segan untuk menyerang pada bagian-bagian yang dapat berbahaya bagi Akuwu. Maka yang dapat mereka lakukan adalah membenturkan kekuatan mereka melawan kekuatan Akuwu. Kedua orang anak muda, anak dan sekaligus murid Mahendra dilengkapi oleh Witantra dan unsur ilmu yang lain dari Mahisa Agni itu, maka keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang mendebarkan.
Itulah sebabnya, maka keduanya telah menempatkan kekuatan mereka tidak untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri terhadap serangan-serangan yang keras dari Akuwu yang ingin meyakinkan kemampuan kedua orang anak muda itu. Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan-benturan kekuatan di antara Akuwu dengan kedua orang anak muda yang memiliki dasar kemampuan yang tinggi itu.
Untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu masih berlansung justru semakin keras dan cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segan menyerang pada bagian-bagian yang gawat itu telah mempergunakan kekuatan mereka untuk memaksa Akuwu mengetahui tingkat kemampuan mereka. Benturan-benturan itu adalah cara menyerang yang lain yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat dan kemudian juga Mahisa Murti. Karena dalam benturan-benturan itu, akan terasa oleh Akuwu hentakan-hentakan di dalam dirinya.
Akuwu adalah seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ketika kemampuannya harus dibenturkan kepada kemampuan dua orang anak muda itu, maka terasa, bahwa kedua anak muda itu bersama-sama memiliki beberapa kelebihan dari Akuwu. Keduanya dalam pertempuran berpasangan, mampu menunjukkan kemampuan mereka yang mendebarkan. Bahkan benturan-benturan yang terjadi semakin lama menjadi semakin sering, telah menimbulkan kesan kepada Akuwu, bahwa kedua anak muda itu benar-benar anak muda yang perkasa.
Sehingga, akhirnya Akuwu tidak dapat ingkar lagi akan satu kenyataan, bahwa ia berada dalam kesulitan. Meskipun orang-orang yang menyaksikan bahwa para pengawal dan Senapatinya belum melihat, tetapi Akuwu sudah merasakan, kelebihan kedua anak muda itu sulit untuk dapat diatasinya jika permainan itu akan diteruskan.
Karena itu, maka sesuai dengan keinginan Akuwu sekedar untuk menjajagi kemampuan kedua orang anak muda itu, maka sejenak kemudian, Akuwu yang menjadi semakin sulit mengatasi kecepatan gerak kedua orang anak muda itu pun telah meloncat jauh surut sambil berkata, “Cukup anak-anak muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berusaha untuk mendekatinya telah tertegun. Sementara itu, mereka melihat Akuwu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum, “Aku sudah berhasil mengetahui tingkat kemampuan kalian”
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Bahkan para Senapati, para pengawal dan apalagi orang-orang padukuhan yang menyaksikannya, berdiri tegak dengan wajah-wajah yang tegang.
“Kalian memang luar biasa” desis Akuwu, “kalian telah menyatakan satu kenyataan kepadaku”
“Ampun Akuwu” berkata Mahisa Murti, “apa yang kami lakukan, adalah sekedar melayani keinginan Akuwu.”
“Ya, ya. Aku mengerti” berkata Akuwu, “dan kalian telah melakukan sebaik-baiknya. Kalian telah menunjukkan kepadaku bahwa kalian memang memiliki ilmu yang luar biasa. Kalian telah meyakinkan aku, bahwa apa yang kalian katakan itu benar semata-mata”
“Ampun Akuwu” berkata Mahisa Murti, “bukan maksud hamba berdua untuk menyombongkan diri. Tetapi semata-mata karena hamba berdua ingin menempatkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya”
Akuwu tersenyum. Kedua anak muda itu memang sangat menarik hatinya. Keduanya tangkas dan kuat. Bahkan melampaui dugaan Akuwu sendiri. Dengan penjajagan itu Akuwu mengerti bahwa anak-anak muda itu tentu memiliki ilmu yang sudah mapan, sehingga mereka mampu melakukan seperti apa yang mereka katakan.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu, “ternyata bahwa aku harus mempercayaimu. Apa yang dikira, ujud dari benda-benda keramat yang menjadi kelengkapan upacara itu, adalah kalian berdua”
“Hamba tuanku. Seperti sudah hamba katakan, maksud hamba adalah semata-mata untuk meluruskan pendapat yang keliru tentang pusaka-pusaka tuanku itu. Jika pendapat itu tidak dibetulkan, maka pada suatu saat. Akuwu akan menyesal, karena benda-benda itu akan dapat hilang dari gedung perbendaharaan istana Akuwu. Para pengawal akan terlalu percaya bahwa pusaka-pusaka itu akan dapat menyelamatkan diri sendiri, sehingga seakan-akan tidak memerlukan pengawalan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Kau benar anak muda” jawab Akuwu, “dan aku mengucapkan terima kasih. Kalian telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bukan saja bagiku, tetapi juga bagi seluruh pakuwon. Karena itu, maka sebenarnyalah aku ingin tahu, siapakah kalian berdua yang sebenarnya dan dari manakah kalian datang?”
"Sudah hamba katakan, hamba berdua adalah anak-anak yang kabur kanginan. Hamba berdua mengembara dari satu tempat ketempat yang lain. Dari lereng pegunungan ke lereng pegunungan. Dari lembah yang satu ke lembah yang lain” jawab Mahisa Murti.
“Kau sangka aku percaya?” Akuwu tersenyum, “tetapi baiklah. Agaknya kalian adalah pengengembara yang sebenarnya. Karena itu, maka aku tidak akan memaksa menyebut siapakah kalian sebenarnya. Namun demikian, sebaiknya aku mengajukan satu permintaan kepada kalian. Permintaan yang barangkali dapat kalian terima”
“Maksud Akuwu?” bertanya Mahisa Murti
“Aku sudah yakin akan kalian. Kalian bukan sekedar wadag yang dipergunakan oleh kekuatan pusaka-pusaka itu. Tetapi sebenarnyalah kalian memang dua orang anak muda yang memiliki tingkat ilmu yang luar biasa. Karena itu, agar kekuatan yang semula disangka terdapat pada pusaka- pusaka itu tetap berada bersamanya, maka aku. Berharap kalian berdua akan bersedia tinggal bersama aku di istana Pakuwon. Kalian akan aku anggap sebagai anak-anakku. Dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian ingini” berkata Akuwu kemudian, “dengan kehadiran kalian berdua, aku berharap bahwa kalian akan dapat menempa para Senapati dan pengawal, untuk menjadi Senapati dan pengawal yang memiliki kemampuan yang cukup”
“Ampun tuanku” jawab Mahisa Pukat, “bukankah di Pakuwon sudah ada tuanku. Apakah kekurangan tuanku dibanding dengan kami berdua yang tidak berarti apa-apa. Jika tuanku berkenan, maka tuanku akan dapat menjadikan para Senapati dan pengawal melampaui kemampuan kami.
Akuwu itu pun tertawa. Katanya “Jangan terlalu merendah anak muda. Menilik ujud dan pakaian kalian dibandingkan dengan kemampuan serta ilmu yang ada pada kalian berdua, maka aku sudah menduga bahwa kalian adalah orang yang rendah hati. Cara kalian membantu orang-orang padukuhan ini serta para pengawal, kemudian dengan diam-diam kalian pergi sebelum kami sempat mengucapkan terima kasih adalah pertanda bahwa kalian telah berbuat tanpa pamrih dengan sikap yang rendah hati. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat melihat apa yang sebenarnya tersimpan didalam diri kalian. Dalam keseganan, kalian telah menunjukkan kepadaku, betapa tinggi ilmumu. Apalagi jika kalian harus benar-benar bertempur menghadapi lawan”
“Tuanku terlalu memuji, sehingga hamba berdua merasa malu karenanya” jawab Mahisa Murti, “sebenarnyalah hamba tidak banyak berarti bagi Pakuwon ini. Karena itu, maka perkenankanlah hamba melanjutkan pengembaraan hamba tanpa tujuan, sebagaimana menurut langkah kaki hamba berdua”
“Aku masih ingin minta kesediaan kalian” jawab Akuwu, “bagaimanapun juga, kehadiran kalian akan sangat berarti bagi kami”
“Ampun tuanku” sembah Mahisa Pukat, “satu-satunya permohonan hamba berdua saat ini adalah perkenan tuanku bagi hamba berdua untuk melanjutkan perjalanan kami”
“Kalian jangan bergurau” jawab Akuwu “setidak-tidaknya kalian memerlukan bermalam malam ini. Besok kalian akan melanjutkan perjalanan. Tetapi sekali lagi, aku minta kalian tinggal di istana Pakuwon barang satu dua musim. Dengan demikian maka kalian akan dapat membuat benteng di Pakuwon kami menjadi teguh. Bukankah kau lihat, bahwa di padukuhan ini telah hadir sekelompok penjahat yang kuat. Pada kesempatan lain, mungkin akan tumbuh kekuatan lain yang melampaui kekuatan yang telah kau hancurkan dalam dua malam itu”
“Hamba yakin, bahwa hal itu tidak akan banyak berarti bagi Akuwu” jawab Mahisa Murti, “sebaiknya hamba mohon diri. Hamba sudah merasa berhasil karena tuanku telah meyakini, bahwa sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat menjelma menjadi ujud wadag pada benda-benda milik tuanku, juga kekuatan yang mampu mempergunakan wadag seseorang bagi ungkapannya. Jika hal ini hamba jelaskan, semata-mata karena niat baik hamba”
“Aku mengerti. Tetapi kenapa kalian tidak mau singgah barang satu dua saat di istanaku?” bertanya Akuwu.
“Bukan hamba tidak bersedia” jawab Mahisa Murti, “tetapi sebenarnyalah hamba ingin melanjutkan perjalanan hamba”
“Malam ini?” desak Akuwu.
“Hamba tuanku” jawab Mahisa Pukat.
Tidak ada yang dapat mencegah kedua orang anak-anak muda itu. Ki Buyut pun mencoba mempersilahkan keduanya untuk bermalam di banjar. Tetapi keduanya berkeberatan, karena keduanya ingin meneruskan pengembaraan mereka. Meskipun demikian, Akuwu masih berusaha menunda keberangkatan anak-anak muda itu beberapa saat. Akuwu memberikan beberapa petunjuk apabila pada suatu saat anak-anak muda itu ingin singgah di istananya.
“Jika pada suatu saat dalam pengembaraanmu kau lewat di depan istanaku, aku berharap. Bahwa kalian berdua mau singgah barang sejenak” berkata Akuwu.
“Terima kasih Akuwu” jawab Mahisa Murti, “memang tidak mustahil bahwa pada suatu saat, hamba berdua melewat istana Akuwu. Mungkin pada satu putaran pengembaraan aku memang akan melalui daerah ini lagi. Karena pada suatu saat aku tentu akan pergi ke Kota Raja yang tidak terlalu jauh dari tempat ini”
“Baiklah” berkata Akuwu, “jika kalian memang tidak ingin aku cegah lagi, apa boleh buat. Tetapi barangkali kalian berdua mempunyai satu permintaan yang barangkali dapat kami penuhi. Jika bukan aku, mungkin Ki Buyut atau orang-orang lain di Kabuyutan ini bagi bekal perjalananmu”
“Terima kasih Akuwu” jawab Mahisa Murti, “kami tidak memerlukan bekal apapun juga. Kami akan dapat hidup dalam pengembaraan kami karena kami yakin akan kebaikan hati sesama”
Ki Buyut pun menyahut, “Di antaranya adalah tawaran kami jika kalian memerlukan. Bukan karena kebaikan hati kami, tetapi semata-mata karena kami ingin mengucapkan terima kasih”
“Terima kasih Ki Buyut” jawab Mahisa Pukat, “kebaikan Akuwu dan Ki Buyut sudah cukup memberikan kesan tersendiri di dalam pengembaraan kami. Sebelum semua peristiwa ini terjadi, kami telah menerima kebaikan isi Kabuyutan ini. Kami bermalam di banjar ini dan mendapat makan dan minuman panas di tengah malam yang dingin sementara kami memang sangat lapar pada waktu itu”
“Baiklah anak-anak muda” berkata Akuwu, “kami hanya dapat berdoa, semoga perjalanan kalian selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Selamat dan tercapai segala cita-citamu, meskipun aku tidak tahu, apa yang sebenarnya kalian inginkan dengan pengembaraan kalian. Tetapi menilik sikapmu disini, aku yakin bahwa kalian bukan orang yang pantas di cemaskan bahwa kalian akan merugikan sesama. Tetapi sebaliknya, kalian telah mempergunakan ilmu kalian yang sulit di jajagi sampai tuntas itu, untuk kepentingan sesama”
“Akuwu masih saja selalu memuji” jawab Mahisa Murti, “yang hamba berdua lakukan, semata-mata karena hamba mempunyai kewajiban bagi sesama. Itu sajalah” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah. Hamba mohon diri Akuwu”
Akuwu dengan berat kemudian melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan banjar. Demikian pula Ki Buyut, para Senapati dan para pengawal. Terlebih-lebih para pengawal yang telah mendapat pertolongan langsung dari kedua anak muda itu. Beberapa orang telah melepas kedua orang anak muda itu sampai keregol. Dua orang pengawal akan mengantarkannya sampai ke regol, agar kedua orang anak muda itu tidak mendapat kesulitan karena para penjaga regol tidak mengenali mereka.
Untuk beberapa saat, Akuwu dan Ki Buyut yang berdiri di bawah cahaya obor di regol halaman banjar termangu-mangu. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang aneh bagi mereka. “Aku yakin, nama-nama itu bukannya nama mereka yang sebenarnya” berkata Akuwu tiba-tiba.
“Ya” desis Ki Buyut, “hambapun sudah menyangka, bahwa keduanya bukan pengembara kebanyakan. Tentu pengembaraan kedua anak muda itu akan menjadi laku pembajaan diri mereka masing-masing”
“Mudah-mudahan anak-anak yang baik itu akan tetap menjadi manusia yang baik. Banyak sekali pengalaman yang akan mereka dapatkan di perjalanan. Dengan kemampuan mereka, maka mereka akan banyak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dan pengalaman itu akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidup mereka” berkata Akuwu, “karena itu, semoga yang mereka temui di perjalanan mereka, justru mempertegas sikap dan pandangan hidup mereka sebagai kasatria yang berbudi”
“Hamba Akuwu” berkata Ki Buyut, “sayang sekali, keduanya tidak mau tinggal di Kabuyutan ini, atau di Pakuwon ini”
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Namun Akuwu itu pun kemudian berkata, “Aku akan beristirahat”
Akuwu pun kemudian pergi ke tempat yang sudah disediakan bersama seorang Senapatinya, sementara Senapati yang lain bersama beberapa orang pengawal dan para peronda tetap berada di banjar untuk mengamati benda-benda upacara. Apalagi setelah mereka mengetahui, bahwa benda-benda itu sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri mereka sebagaimana diduga sebelumnya, seolah-olah benda-benda itu dapat berubah dalam ujud dua orang anak muda yang perkasa.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di pintu gerbang padukuhan. Para peronda yang bertugas di pintu gerbang, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Karena itu, mereka tidak memberikan tanggapan apapun terhadap dua orang yang diantar oleh dua orang pengawal keluar pintu gerbang.
“Siapa mereka?” berkata seorang pemuda ketika kedua orang pengawal itu kembali memasuki pintu gerbang.
“Dua orang pengembara” jawab pengawal itu.
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Bukankah orang itu anak-anak muda yang ditangkap dan dibawa ke rumah Ki Buyut?”
“Mereka kemudian dibawa ke banjar. Untunglah, keduanya adalah anak-anak muda yang rendah hati. Sehingga mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang telah berusaha menangkap, kalian memperlakukannya sebagai orang-orang yang berniat jahat”
Para peronda di pintu gerbang padukuhan itu mengerutkan dahi mereka. Namun pengawal itu pun segera menceriterakan apa yang telah terjadi di banjar dengan kedua orang anak muda itu. Para peronda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Untunglah. Jika kedua anak muda itu mampu mengimbangi kemampuan Akuwu, bukankah berarti bahwa keduanya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi?”
“Ya. Keduanya telah dapat mengalahkan sekelompok penjahat yang besar di banjar itu” jawab salah seorang pengawal.
Anak-anak muda yang meronda itu menjadi kagum. Apalagi ternyata kedua orang anak muda itu benar-benar dapat mengekang diri sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam satu sikap yang sewenang-wenang meskipun hati mereka telah disakiti.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di gelapnya malam di luar padukuhan. Mereka berjalan di bulak yang panjang menuju ke padang perdu.
“Udara terasa dingin” desis Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang bergayutan di langit.
“Justru langit bersih” berkata Mahisa Pukat, “agaknya lebih hangat berada di banjar. Bahkan mungkin kita akan mendapat makanan dan minuman yang hangat”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Menarik. Tetapi kenapa kita pergi juga”
“Itulah sulitnya Kadang kadang harga diri itu dapat merugikan” jawab Mahisa Pukat sambil tertawa pula.
“Kalau kita mau mengorbankan harga diri, sekedar untuk mendapatkan nasi hangat, tentu saja kita akan dapat melakukannya” desis Mahisa Murti.
“Itulah sulitnya” jawab Mahisa Pukat. Lalu, “Tetapi itu adalah laku dari keprihatinan kita”
“Darimana kau tahu hal itu?” bertanya Mahisa Murti.
“He, bukankah ayah dan paman-paman selalu mengatakan demikian?” Mahisa Pukat ganti bertanya.
“Bagus. Artinya kau masih selalu ingat akan pesan ayah dan paman-paman” jawan Mahisa Murti.
“Jika tidak, maka barang-barang upacara itu agaknya memang dapat dijual dengan nilai yang tidak terhingga” sahut Mahisa Pukat.
Sekali lagi Mahisa Murti tertawa. Mahisa Pukat memandanginya sejenak. Namun ia pun telah ikut tertawa pula. Ketika keduanya kemudian berbelok ke padang perdu yang sepi dan jarang di datangi seseorang, maka mereka mulai merasakan kesepian yang mencengkam. Baru saja mereka melihat banjar padukuhan yang ramai dengan anak-anak muda dan para penghuni padukuhan yang lain dibawah nyala obor yang terang. Namun kemudian mereka telah terdampar ke dalam gelapnya padang perdu dan dinginnya udara malam.
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah duduk bersandar pepohonan perdu yang tumbuh dengan liar dipadang itu. Angin malam berhembus perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka yang mulai di bayangi oleh kantuk. Sebenarnyalah kedua anak muda itu menjadi letih. Mereka harus melayani beberapa orang dalam perkelahian. Yang terakhir mereka harus melawan Akuwu yang telah memaksa mereka untuk menitikkan keringat.
“Ternyata perut ini merasa lapar juga” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti yang sudah memejamkan matanya menyahut, “Malam malam begini, bagaimana kita mendapatkan makan. Besok pagi pagi kita berburu burung. Agaknya menyenangkan juga makan daging burung selagi perut merasa lapar."
“Aku akan membeli saja ketela pohon. Kita akan dapat membuat perapian. Ketela itu kita panggang di atas api, maka kita akan segera menjadi kenyang” guman Mahisa Pukat.
“Bagus” jawab Mahisa Murti, “kau membeli ketela pohon di pasar. Aku akan mencari burung”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi matanya mulai terpejam. Namun sementara itu Mahisa Murti tidak segera tertidur. Ia masih berusaha untuk tetap berjaga-jaga. Jika Mahisa Pukat sudah cukup lama tidur, maka tentu tidurnya tidak akan terlalu lelap. Barulah kemudian ia akan tidur menjelang pagi hari.
Ketika matahari mulai membayang. Mahisa Pukat lah yang bangkit lebih dahulu. Ia melihat langit menjadi merah, sementara Mahisa Murti masih tidur bersandar puhon. Nampaknya Mahisa Murti masih nyenyak bermimpi.
Mahisa Pukat tidak membangunkannya, tetapi ia pun mulai mencari kekayuan dan dahan-dahan kayu kering yang berpatahan. Perutnya memang sudah terasa lapar Karena itu. ia benar-benar akan pergi ke pasar yang sudah diketahuinya letaknya.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti terbangun. Ketika ia melihat Mahisa Pukat sudah mengumpulkan kekayuan dan dahan dahan kering, maka ia pun tersenyum. “Aku memang sudah lapar” berkata Mahisa Pukat, “Baiklah” jawab Mahisa Murti aku akan pergi ke sumber air itu sebentar. Kemudian aku akan segera berburu burung”
“Dengan apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku masih yakin akan kemampuan bidikku. Aku akan melempar burung-burung yang hinggap di dahan-dahan yang rendah itu dengan batu” jawab Mahisa Murti.
“Sulit” jawab Mahisa Pukat, “mungkin Kau akan dapat mengenai sasaran mati. Tetapi burung-burung itu akan segera terbang mendengar desir lontaran batumu. Yang tidak akan terbang adalah ketela pohon atau jagung”
“Aku sependapat” jawab Mahisa Murti tetapi kita harus berhemat”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Jika kita kehabisan uang, kita akan dapat bekerja apa saja kepada seseorang. Kita akan mendapatkan uang dengan cara yang baik."
Mahisa Murti pun kemudian tersenyum pula. Katanya, “Aku sependapat. Meskipun demikian, kau jangan terlalu banyak mempergunakan uang yang ada pada kita sekarang ini”
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Baiklah. Setelah hari ini, kita akan memasuki hutan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk mencari buah-buahan dan berburu. He, apakah kita memerlukan busur dan anak panah?” “Sebaiknya kita memang mempunyai alat berburu. Tetapi bukan busur dan anak panah. Kita memerlukan sumpit. Alat yang tidak terlalu menarik perhatian, karena sumpit tidak banyak dipergunakan selain hanya untuk berburu. Kitapun dapat mempergunakan alat yang lebih sederhana, yang barangkali pernah juga kita pelajari. Bandil”
“Ya Dengan bandil kita akan dapat berburu binatang di hutan-hutan. Kita hanya memerlukan tali ijuk yang lemas dan kuat. Aku akan membelinya” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak perlu. Kita akan dapat mencari daun nanas. Aku telah melihat beberapa batang nanas liar tumbuh di padang perdu ini. Kita akan membuat seratnya menjadi tampar kecil yang dapat kita pergunakan untuk membuat bandil. Tetapi baik juga jika kita mempunyai sumpit” jawab Mahisa Murti.
Tetapi mereka tidak tahu, dimanakah mereka akan mendapatkan sumpit. Meskipun mereka akan dapat membelinya, namun jarang mereka dapat menemukan seseorang yang menjual sumpit. Kecuali jika mereka bertemu dengan seorang pemburu yang mempergunakan sumpit dan bersedia menjual sumpitnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah pergi ke pasar untuk membeli ketela pohon atau jagung, sementara Mahisa Murti sempat mencari daun nanas yang tumbuh liar di tepi sebuah mata air kecil di tengah-tengah padang perdu. Dengan pisaunya Mahisa Murti memotong beberapa helai daun nanas dan kemudian mengurut seratnya. Serat itu akan dijemurnya dan kemudian dianyam menjadi tali yang kuat dan lemas. Lebih baik dari tampar ijuk untuk dipergunakan sebagai pelempar batu.
Pagi itu, mereka telah menyalakan api di tengah-tengah padang perdu. Mereka pun mengerti, bahwa asap api itu akan menarik perhatian. Tetapi, orang-orang yang melihat asap itu pun akan mengira bahwa ada seseorang pencari kayu yang Berada di padang perdu itu. Jika apinya tidak menjalar dan semakin besar, maka asap itu tentu tidak akan memaksa orang-orang yang melihatnya untuk mendatanginya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun dengan lahapnya telah makan jagung yang dipanggang di atas api. Beberapa saat mereka duduk di sebelah perapian, sehingga akhirnya mereka pun menjadi kenyang. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah menjemur serat daun nanas yang masih basah. Ternyata kedua anak muda itu, bersepakat, bahwa mereka pada hari itu juga akan meneruskan pengembaraan mereka yang terhenti.
Setelah mengemasi diri, maka kedua orang anak muda itu pun telah meninggalkan padang perdu itu. Mahisa Murti membawa serat nanasnya yang akan dibuatnya menjadi bandil. Sementara Keduanya masih juga berusaha untuk dapat menemukan seseorang yang mungkin akan dapat memberinya satu atau dua batang sumpit.
Kedua anak muda itu tertegun ketika mereka melintasi sebuah gerumbul bambu di padang perdu yang lain. Mereka melihat batang-batang bambu cendani yang beruas panjang. Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian Mahisa Pukat berkata, “Apakah kita dapat membuat sumpit sendiri dengan pering cendani ini?”
“Jenis pering cendani yang jarang dijumpai” berkata Mahisa Murti, “ruasnya panjang sekali. Agaknya bambu ini sengaja disediakan bagi kita untuk membuat sumpit”
“Atau bambu ini sengaja di tanam orang, setidak-tidaknya dimiliki oleh seseorang” berkata Mahisa Pukat, “lihat bekas-bekasnya. Beberapa batang bambu telah dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau. Bukan sekedar patah oleh angin atau binatang-binatang liar yang berlari-larian”
Mahisa Murti memang melihat beberapa batang bambu telah dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau atau semacam kapak kecil. Karena itu, maka katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi agaknya bambu ini tumbuh saja disini tanpa ada orang yang menanamnya. Tetapi sekelompok orang yang mengetahuinya kemudian telah mengambil beberapa batang untuk dibuat sumpit dan kepentingan-kepentingan lain yang sesuai dengan ruas-ruasnya yang panjang.
“Jika demikian, apa salahnya jika kita mengambil satu atau dua batang Kita dapat memilih yang sudah tua, lurus dan bernas paling-panjang” berkata Mahisa Pukat.
Keduanya pun kemudian mulai memilih batang bambu cendani yang kecil beruas panjang. Tetapi cendani yang mereka ketemukan itu agaknya bambu cendani yang khusus. Ruasnya terlalu panjang bagi bambu cendani yang biasa dijumpainya. Tetapi keduanya pun memang pernah melihat sumpit bambu cemani yang beruas panjang seperti jang mereka ketemukan itu.
Namun dalam pada itu. Selagi keduanya sibuk memotong bambu cendani itu dengan pisau-pisau mereka, tiba-tiba saja dua ekor kuda telah berpacu menembus batang-batang perdu. Nampaknya kedua pununggangnya terkejut juga melihat dua orang yang sedang sibuk memotong bambu cendani yang khusus itu. Karena itu, maka seorang di antara mereka telah berkata, “Kita dekati mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut pula. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain, kecuali berdiri tegak sambil menunggu kedua ekor kuda yang mendekat itu. “Apakah mereka yang memiliki pohon bambu cendani ini?” desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua orang penunggang kuda itu menjadi semakiin dekat. Beberapa langkah dari kedua orang anak muda itu, keduanya telah berhenti.
“He, siapakah kalian yang telah mengambil ruas-ruas pering cendani ini?” bertanya seorang di antara mereka, seorang yang bertubuh tinggi besar.
“Kami adalah dua orang bersaudara yang sedang mengembara” jawah Mahisa Murti.
“Kenapa kalian berani mengambil pering cendani itu?” bentak yang seorang lagi. Seorang yang juga bertubuh tinggi, tetapi agak kurus.
“Apakah kami tidak diperkenankan mengambil pering cendani ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Rumpun bambu itu milik kami” berkata orang yang bertubuh tinggi besar.
“Maaf Ki Sanak” sahut Mahisa Pukat, “kami tidak mengetahui bahwa bambu ini ada pemiliknya. Kami mengira bahwa bambu yang tumbuh di padang perdu ini adalah bambu liar. Bambu tanpa pemilik sehingga siapapun dapat mengambilnya”
“Gila. Kau kira kau berhak mengambil bambu itu” bentak orang yang kekurusan.
“Demikianlah Ki Sanak. Tetapi jika bambu ini memang ada pemiliknya, kami mohon maaf” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Bahkan jika Ki Sanak pemiliknya, maka perkenankanlah kami berdua mohon diijinkan untuk mendapatkan satu bambu saja masing- masing. Satu batang bambu itu mempunyai ruas yang cukup panjang sebanyak tiga atau empat ruas. Memang pering cendani yang luar biasa”
“Tutup mulutmu” bentak yang bertubuh tinggi besar, “bambu itu tidak boleh diambil oleh siapapun juga, kecuali kami berdua”
“Oh” Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam, “jika demikian, kami minta maaf. Kami akan menyerahkan bambu yang sudah terlanjur kami potong”
“Oh, demikian mudahnya” jawab orang yang bertubuh kecil, “kau kira kau dapat melakukan kesalahan tanpa mendapat hukuman. He, coba katakan, untuk apa kalian mencuri bambu cendani itu?”
“Kami ingin membuat sumpit. Kami memerlukan sumpit untuk berburu burung. Dalam pengembaraan kami, kami memang memerlukan binatang buruan. Namun agaknya bagi kami, beberapa ekor burung telah cukup untuk menyambung hidup kami”
“Persetan” geram orang yang bertubuh besar, “nampaknya kau memiliki kemampuan mempergunakan sumpit?”
“Tidak. Tetapi kami akan mencoba” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong. Kalian tentu pernah belajar mempergunakan sumpit. Jika tidak, kalian tidak akan mencobanya, karena mempergunakan sumpit memerlukan ketrampilan tersendiri” jawab orang bertubuh besar itu.
Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab, “Ki Sanak. Ayahku adalah seorang petani miskin yang sering juga harus mencukupi kehidupannya dengan berburu burung. Aku dan saudaraku ini memang pernah mengikutinya sekali dua kali. Dan kami pun pernah mencoba mempergunakan sumpit. Karena itu, dalam pengembaraan ini kamipun ingin mempergunakan sumpit sebagaimana ayahku pernah mempergunakan”
Kedua orang berkuda itu saling berpandangan. Namun yang seorang kemudian bergumam, “Kau percaya kepada omongannya?”
Kawannya menggeleng. Katanya, “Bagaimanapun juga, mereka telah mencoba mencuri. Keterangannya itu semata-mata untuk mencoba memperingan kesalahan. Tetapi aku tidak sependapat dengan ceriteranya”
“Ya” geram orang bertubuh besar itu, “aku memang ingin membawa keduanya. Mungkin keduanya dapat memberikan keterangan yang berguna bagi kita. Dengan demikian, maka kita tidak akan pernah mendapat kesulitan lagi dari tikus-tikus kerdil itu”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Anak-anak yang malang. Kami telah mengambil keputusan untuk menangkap kalian. Kami ingin membawa kalian ke rumah kami”
“Kami tidak berbuat kesalahan. Jika kami berani memotong bambu ini, semata-mata karena kami tidak tahu, bahwa bambu di padang perdu ini ada pemiliknya” jawab Mahisa Pukat, “menurut pengamatan kami, pepohonan yang tumbuh di padang ini adalah pepohonan liar. Pandan, nanas, ilalang, pepohonan perdu, dan satu dua pohon yang agak besar tetapi gersang seperti pohon waru itu. Karena itu, maka kami pun menyangka bahwa rumpun bambu ini-pun tumbuh liar dan tidak terpelihara”
“Kau dapat mengatakan alasan apa saja” jawab orang bertubuh tinggi kurus itu, “tetapi kami ingin membawa kalian. Kami sudah cukup lama merasa terganggu oleh orang-orang yang iri terhadap keberhasilan kami”
“Cukup” bentak orang bertubuh besar itu, “jangan menjawab lagi. Kalian harus ikut kami. Jika tidak, maka kalian akan kami ikat kedua tangan kalian dan kami seret di belakang kuda-kuda kami, sehingga kalian terpaksa sampai ke rumah kami pula”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun saling berpandangan. Bahkan dengan geram Mahisa Pukat bergumam, “Baru beberapa langkah kami meninggalkan Kabuyutan itu”
“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu, “Aku kira, kita masih berada di dalam Pakuwon yang sama.
“Ya” jawab Mahisa Pukat. Tetapi kata-katanya terpotong oleh suara orang bertubuh besar itu, “Apa yang kalian katakan? Jangan mengada-ada. Menyerahlah, agar kalian tidak mengalami perlakuan yang kasar”
“Jangan memaksa begitu Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “tingkah laku kalian memaksa kami untuk ingin mengetahui latar belakang dari sikap kalian”
Kedua orang itu benar-benar menjadi marah, sehingga mereka tidak dapat menahan diri lagi. Sejenak kemudian keduanya telah menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan langkah yang pasti keduanya mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih saja termangu-mangu.
“Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian. Menyerahlah” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“Jangan bersikap seperti kalian menghadapi seorang penjahat. Kami tidak berniat mencuri. Kami tidak tahu bahwa bambu liar itu ternyata ada yang memilikinya. Sementara itu kami pun sudah bersedia menyerahkan kembali apa yang telah kami ambil” jawab Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu” bentak yang berkuda besar, “sikap kalian miembuat kami sangat marah”
“Dan sikap kalian sangat menarik perhatian” jawab Mahisa Pukat. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “He, apakah kalian datang dari antara sekelompok penjahat? Atau sekelompok gerombolan yang mempunyai tujuan tertentu? Jika kalian adalah orang-orang padukuhan kebanyakan, kalian tidak akan bersikap seperti itu. Bahkan seandainya kalian adalah pengawal-pengawal sebuah Kabuyutan, kalian tentu akan dapat bertindak lebih baik”
“Cukup” orang bertubuh besar itu hampir berteriak, “aku memang ingin menyayat mulutmu”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mendekatinya, sementara kawannya yang lebih kecil meskipun tidak kalah tingginya, mendekati Mahisa Murti.
“Anak-anak yang malang” geram yang bertubuh kecil, “apaboleh buat. Nasibmu memang sangat buruk justru karena sikapmu yang kasar”
“Kau aneh Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “apakah sebenarnya sikap kami terlalu kasar? Apakah Ki Sanak sudah memperbandingkan dengan, sikap Ki Sanak sendiri?”
“Aku dapat berbuat apa saja di sini” jawab orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu, “tidak ada orang yang dapat mencegah tingkah laku kami. Apakah yang kami lakukan, adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Juga terhadap kalian”
“Kalian adalah orang-orang yang aneh. Terhadap pengembara seperti kami berdua, kalian bersikap seolah-olah kalian menghadapi sepasukan pencuri yang tangguh” berkata Mahisa Murti, “Tetapi justru karena kalian bersikap demikian, maka kami terpaksa mempertahankan diri kami”
“Anak setan” geram orang bertubuh besar, “kalian belum tahu siapa kami”
“Memang belum” sahut Mahisa Pukat, “kami memang belum tahu siapakah kalian yang sebenarnya? Apakah justru kalian yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut atau bahkan Akuwu”
Orang bertubuh besar itu tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil mengayunkan tangannya ke arah mulut Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah menduganya. Karena itu, ketika tangan orang itu terayun, maka ia pun bergeser surut sambil menarik tubuhnya. Dengan demikian tangan orang bertubuh tinggi besar itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Orang bertubuh besar itu menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia pun telah bersikap dan langsung menyerang Mahisa Pukat. Tangannya seolah-olah ingin menerkam wajah anak muda itu dengan jari-jarinya yang terkembang.
Sekali lagi Mahisa Pukat meloncat surut. Namun orang itu ternyata telah memburunya. Ia tidak sabar lagi untuk dapat benar-benar meremas mulut Mahisa Pukat. Tetapi ia sudah salah menilai anak muda itu. Mahisa Pukat tidak mudah untuk disentuhnya, sehingga serangan-serangannya yang beruntun sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menjadi heran. Justru karena itu ia tertegun diam. Dipandanginya Kawannya yang bertubuh besar itu. Namun yang tidak dapat segera menyakiti lawannya sebagaimana dikehendakinya.
Orang bertubuh tinggi itu terkejut ketika ia mendengar Mahisa Murti berkata, “Kawanmu terlalu garang Ki Sanak, sehingga ia kurang dapat mengendalikan dirinya”
“Diam” orang bertubuh tinggi itu menggeram. Namun kemudian ia pun telah menghadapi Mahisa Murti sambil berkata, “Nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi. Sebentar lagi kawanmu itu akan menjadi lumat. Tetapi kau akan mengalaminya lebih dahulu. Seandainya kau memiliki kecepatan gerak seperti kawanmu itu, namun aku pun memiliki ilmu yang lebih baik dari kawanku itu”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebenarnya persoalan kita tidak pantas untuk di selesaikan sampai dengan sikap yang paling keras dan korban yang paling besar. Apakah artinya pering cendani dibandingkan dengan nyawa seseorang”
“Kau memang dungu” bentak orang itu, “bukan nilai sebatang pering cendani. Tetapi bahwa kalian telah melanggar hak dan harga diri kami. Tidak seorang pun yang berani menyentuh segerumbul pering cendani yang khusus beruas sangat panjang itu selain kalian. Karena itu, maka hukuman yang paling berat akan kami berikan kepada kalian”
“Itu adalah sikap yang sangat cengeng. Apakah kalian tidak dapat bersikap lebih baik Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi setapak ia maju. Sesaat ia mempersiapkan diri. Katanya, “Aku tidak akan melepaskan anak-anak muda gila seperti kalian”
Mahisa Murti pun sadar, bahwa iapun harus bertempur seperti Mahisa Pukat. Orang bertubuh tinggi kekurusan itu nampaknya memang mempunyai kelebihan dari orang yang bertubuh raksasa yang telah menyerang Mahisa Pukat dengan kasar. Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia harus berhati-hati menghadapi orang bertubuh tinggi itu, karena menilik sikapnya, ia tentu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakannya.
Selangkah orang itu mendekat. Ketika Mahisa Murti bergeser, maka tiba-tiba saja orang itu pun melenting sambil menjulurkan tangannya menyerang. Mahisa Murti yang sudah bersiap sepenuhnya itu pun bergeser pula secepat datangnya serangan, sehingga serangan itutidak mengenainya sama sekali.
Tetapi seperti tatit, orang bertubuh tinggi itu meloncat dengan kaki terjulur menyamping. Dangan kecepatan dan derasnya serangan itu menyamhar Mahisa Murti. Tetapi serangan yang cepat itu tidak mangejutkan Mahisa Murti yang sudah bersiaga menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun juga. Karena itu, maka ia pun masih sempat mengelak ke samping sambil menarik tubuhnya.
Lawannya menggeram. Bahwa serangannya sama sekali tidak mengenai sasarannya, telah membuatnya semakin marah itu, demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera berputar bertumpu pada tumitnya. Sedangkan kaki yang lain menyambar Mahisa Murti pada lambungnya.
Mahisa Murti mulai berniat untuk menyerangnya kembali. Karena itu. Ketika ia bergeser surut, tangannya telah dengan cepat disertai dengan mengerahkan kekuatannya pada tangannya itu, menangkis kaki lawannya. Sambil merendah Mahisa Murti menempatkan tangannya berjajar rapat di muka dadanya, ditekuk pada sikunya. Sehingga ayunan kaki lawannya telah membentur kedua tangan Mahisa Murti yang telah dijadikannya sebagai perisai.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Mahisa Murti yang belum mengetahui sepenuhnya kekuatan lawannya, ternyata telah terkejut. Bukan karena ia terlempar surut, tetapi justru lawannyalah yang terlempar beberapa langkah dan kemudian jatuh berguling di tanah berpasir. Mahisa Murti yang masih berdiri tegak itu memandangi lawannya dengan termangu-mangu. Ternyata kekuatan lawannya tidak seimbang dengan tingkah lakunya yang seolah-olah sangat meyakinkan itu.
Tetapi orang itu dengan cepat melenting berdiri. Meskipun demikian, pada wajahnya nampak betapa ia berusaha menahan sakit pada kakinya yang seolah-olah telah membentur batu padas di lereng pegunungan.
“Gila” geramnya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia sempat berpaling kearah Mahisa Pukat, maka ia pun melihat, bagaimana Mahisa Pukat menguasai lawannya sepenuhnya.
“Kau sangka bahwa ilmu iblismu itu akan dapat menundukkan aku” geram orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Nampaknya orang itu justru menjadi semakin marah. Sebenarnyalah orang itu pun kemudian bergeser mendekatinya sambil berkata, “Kau telah salah langkah anak muda. Kau sangka bahwa dengan demikian, kau memiliki kekuatan jauh lebih besar dari kekuatanku” orang itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi ketahuilah, bahwa aku belum bersungguh-sungguh. Aku masih berusaha untuk mengalahkanmu tanpa merontokkan iga-igamu. Namun kau telah mulai dengan sikap yang kasar. Karena itu, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk”
Mahisa Murti tidak menjawab. Ia sudah bersiap menghadapi apapun juga. Apalagi ketika ia sudah berhasil menjajagi kekuatan lawannya, meskipun barangkali kekuatan itu masih belum sampai kepuncak kekuatannya. Tetapi yang dikerahkan oleh Mahisa Murti barulah kekuatan wadagnya sewajarnya. Ia pun masih belum menambah pada kekuatan cadangannya. Karena itu, seandainya orang itu masih akan meningkatkan kemampuannya, maka Mahisa Murti akan menghadapinya dengan tanggon.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah semakin mendesak lawannya. Orang bertubuh tinggi besar itu ternyata tidak mampu melawan kecepatan gerak dan kekuatan Mahisa Pukat. Meskipun Mahisa Pukat masih juga mempergunakan tenaga wajarnya. Benturan-benturan yang terjadi telah mendesak orang bertubuh tinggi besar itu sehingga ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang.
“Menyerahlah” berkata Mahisa Pukat, “aku dapat berbuat baik, tetapi aku dapat berhuat kasar”
“Gila” geram orang bertubuh tinggi besar itu, “jika demikian kau tentu salah seorang gerombolan Hantu Jurang Growong”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan” jawab Mahisa Pukat, “apa artinya Hantu Jurang Growong”
“Jangan berpura-pura anak muda” jawah orang bertubuh besar itu, “orang-orang dari Hantu Jurang Growong benar-benar bersikap seperti hantu. Mereka dapat berbuat baik, tetapi sebenarnyalah mereka berhati iblis. Dan kau pun dapat berbuat seperti itu. Apalagi menilik rencanamu mencuri pering cendani itu. Maka aku mengambil kesimpulan, bahwa kalian adalah orang-orang dari Hantu Jurang Growong”
“Kau membingungkan” sahut Mahisa Pukat, “yang kau maksudkan orang-orang dari Jurang Growong, atau Hantu dari Jurang Growong”
“Kau memang dungu” bentak orang itu, “yang disebut Hantu Jurang Growong adalah orang-orang yang menamakan dirinya demikian. Sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka memang memiliki ilmu seperti hantu” orang itu berhenti sejenak. Tetapi tiba-tiba katanya, “he, jangan berpura-pura. Kau salah seorang dari antara mereka”
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat lawannya mulai dibayangi oleh kecemasan. Sorot matanya membayangkan ketegangan di dalam jiwanya. “Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat aku bukan orang dari Jurang Growong. Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang orang apalagi hantu dari Jurang itu”
“Persetan” geram orang itu kau harus dibinasakan. Seluruh penghuni Jurang Growong memang harus dibinasakan”
“Jangan mengigau seperti orang kesurupan” bentak Mahisa Pukat.
Ternyata orang itu benar-benar terkejut, sehingga ia telah meloncat mundur. Ketegangan yang membayang disorot mata orang itu telah berubah menjadi ketakutan. Mahisa Pukat ingin memanfaatkan keadaan itu. Karena itu sekali lagi ia membentak, “Menyerahlah. Atau kau akan aku cincang di sini”
Ketakutan yang sangat telah semakin mencengkam orang bertubuh raksasa itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan orang bertubuh tinggi kekurusan itu masih saja bertempur. Tetapi pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Mahisa Murti telah menguasai lawannya pula. Sejenak kemudian lawannya telah terdesak, sehingga akhirnya orang bertubuh tinggi kekurusan itu tidak sempat melawan lagi.
Kedua orang itu akhirnya benar-benar harus mengakui keunggulan lawannya. Meskipun rasa-rasanya nyawa mereka belum terancam, tetapi mereka menyadari, bahwa mereka sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika pertempuran itu dilanjutkan, maka mereka hanya dapat menggugah kemarahan yang lebih besar saja dari kedua orang anak-anak muda itu.
Karena itu, maka akhirnya, pada batas tahan tertentu, orang bertubuh tinggi kekurusan itu meloncat jauh surut sambil berkata, “Tunggu Ki Sanak. Aku masih ingin berbicara”
“Menyerah atau aku akan membunuhmu dengan cara seperti yang kau katakan? Cara yang kau rencanakan akan kau perlakukan terhadap kami?” bentak Mahisa Murti, “jika kau menyerah, cepat menyerahlah. Jika tidak, aku akan mengikat tanganmu dan menyeretmu di belakang kaki kudamu sendiri”
“Jangan Ki Sanak. Jangan” minta orang itu.
“Jika demikian, menyerahlah” berkata Mahisa Murti pula.
Orang itu ragu-ragu. Agaknya ia masih juga berpikir tentang harga dirinya. Namun orang itu bergeser surut ketika Mahisa Murti sekali lagi membentak, “Menyerahlah. Cepat. Atau aku akan kehilangan kesabaranku”
“Baik. Baik” jawab orang yang kekurusan, “aku menyerah”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu terdengar suara Mahisa Pukat, “Nah, kau dengar. Kawanmu telah menyerah. Apakah kau akan tetap bertahan?”
Orang itu tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutannya. Karena itu, maka dengan terbata-bata ia pun berkata, “Aku, aku juga menyerah”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Jika kalian telah menyerah, maka berikan kedua tangan kalian. Kalian akan kami ikat pada kuda kalian masing-masing. Kemudian kami akan mencambuk kuda kalian ke arah padang perdu yang liar itu. Nah, kau akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas kalian”
“Jangan. Jangan lakukan itu” minta orang bertubuh raksasa itu.
“Kenapa? Bukankah kalian juga akan memperlakukan kami demikian jika kalian memenangkan perkelahian ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak” jawab orang yang kekurus-kurusan, “kami tidak akan benar-benar berbuat demikian. Kami hanya bermaksud menakut-nakuti kalian saja”
“Setelah kalian kami kalahkan, maka kau dapat berkata seperti itu” bantah Mahisa Murti.
“Tidak. Sebenarnya kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin menggertak saja, agar kalian menganggap kami orang-orang yang garang dan menakutkan” jawab orang bertubuh kekurusan itu, “sebenarnyalah kami hanya ingin membawa kalian ke padukuhan kami."
“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kalian kami anggap bersalah, karena kalian telah mencuri pering cendani itu” jawab orang bertubuh kekurusan
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Sementara itu Mahisa Pukat telah melangkah maju sambil bertanya, “Kenapa kalian sangat berkeberatan jika seseorang mengambil satu batang saja pering cendani vang kami sangka tumbuh liar itu?”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian orang bertubuh kekurusan itu berkata, “Marilah. Aku berharap kalian singgah barang sebentar di padukuhan kami."
“Dan kalian akan mengeroyok kami berdua beramai-ramai” jawab Mahisa Pukat.
“Tidak. Sama sekali tidak” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan.
“Aku tidak akan singgah. Aku akan mengikat kedua tangan kalian masing-masing di belakang kuda kalian” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Itu sudah menjadi keputusan kami”
“Jangan. Aku mohon” suara orang bertubuh raksasa itu menjawab gemetar.
“Karena itu, coba katakan. Kenapa kalian mempertahankan pering cendani itu sampai dengan mempertaruhkan nyawa kalian. Bukankah sebentar lagi kalian akan mati diseret kuda-kuda kalian sendiri hanya karena pering cendani itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sebenarnyalah aku mohon. Jangan bunuh kami” suara orang yang kekurusan itu pun menjadi gemetar.
Mahisa Murti akhirnya tidak sampai hati untuk menakut-nakuti orang itu lebih lama lagi. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku tidak akan membunuh kalian. Tetapi katakanlah, apa arti pering cendani beruas panjang ini bagi kalian”
Orang bertubuh tinggi kekurusan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya kami minta kalian untuk singgah. Kalian akan mendapat penjelasan lebih terperinci”
“Sementara itu kau menyiapkan orang-orangmu untuk menangkap aku beramai-ramai dengan tuduhan, seolah-olah aku termasuk hantu yang kau sebut dari Jurang Growong itu”
“Tidak. Aku berjanji” jawab orang bertubuh kekurusan, “Aku akan memperkenalkan kalian dengan tetangga-tetanggaku. Mereka akan dapat menceriterakan kepada kalian tentang pering cendani ini”
“Tidak perlu” jawab Mahisa Murti, “katakan menurut pengertianmu tentang pering cendani itu”
Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak diamatinya wajah kawannya yang tegang. Namun agaknya ia memang tidak mempunyai pilihan lain, sehingga karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi bukankah kalian bukan orang-orang dari gerombolan Hantu Jurang Growong?”
“Aku belum pernah mendengar nama itu. Seandainya kami orang-orang dari Jurang Growong, apakah kalian dapat menolak untuk tidak mengatakan sesuatu tentang pering cendani ini?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia menggeleng. Katanya, “Kami memang tidak akan dapat menolak. Tetapi aku kira mereka memang tidak akan bertanya seperti itu”
“Baiklah. Katakan apa yang kau ketahui tentang pering cendani itu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Aku memang harus mengatakannya, siapapun kalian” ia berhenti sejenak, lalu, “pada saat terakhir, kami telah mendapat seorang tamu di padukuhan kami yang telah memperkenalkan kami dengan pering cendani ini. Bambu ini sebelumnya memang tumbuh liar tanpa arti sama sekali. Tetapi sejak seorang tamu dari salah seorang penghuni padukuhan kami itu memberitahukan kemungkinan yang dapat kami lakukan dengan pering cendani ini, maka kami menganggap bahwa pering cendani itu merupakan tanaman yang sangat penting artinya”
“Apa yang dikatakan tamu itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tamu itu memperkenalkan satu jenis senjata yang sangat menarik. Sumpit seperti yang kau sebut-sebut” jawab orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Jadi kalian mengenal sumpit belum terlalu lama?”
“Baru saja. Kami telah membuat beberapa contoh dan kami sedang mempelajari, bagaimana kami mempergunakannya” jawab orang bertubuh kurus itu, “karena itu, maka bagi kami, pering cendani ini sangat penting artinya. Senjata yang diperkenalkan kepada kami itu ternyata mempunyai kemungkinan yang jauh lebih baik dari senjata-senjata seperti yang pernah kami miliki”
“Sungguh menarik” berkata Mahisa Pukat, “bagaimana mungkin kalian mempergunakannya sebagai senjata? Kami sudah mengenal sumpit sejak lama. Tetapi yang kami lakukan, semata-mata sekedar untuk berburu. Dengan sumpit kami memang dapat membunuh seekor burung. Bahkan mungkin sekedar melumpuhkannya”
“Kami dapat membunuh lawan kami dengan sumpit” berkata orang bertubuh tinggi kekurusan itu.
“Bagaimana mungkin. Apakah kau mempergunakan cara tertentu yang belum kami kenal?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak dapat mengatakannya, karena apa yang kami ketahui itu adalah satu-satunya cara” jawab orang itu.
“Katakan, bagaimana kau membunuh lawanmu dengan sumpit? Apa yang kalian lontarkan dengan sumpit itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apa yang kalian pergunakan?”
“Kami melontarkan biji-bijian, atau sebutir kecil lempung yang sudah mengeras” jawab Mahisa Pukat.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Kami melontarkan senjata yang berbahaya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Bukannya mereka tidak mengerti, tetapi-mereka memang ingin mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.
“Kami mempergunakan paser-paser kecil” jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah mereka sudah menduga. Orang-orang itu tentu mempergunakan paser-paser kecil yang ujungnya beracun. Mungkin duri pepohonan, tetapi mungkin pula duri ikan air. Duri itu telah direndam di dalam sejenis racun yang dapat membunuh seseorang yang terluka karenanya.
“Siapakah tamumu itu sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
“Salah seorang tetangga kami mempunyai seorang saudara yang pernah merantau dan kini menetap di Kota Raja. Ia datang untuk menengok tetanggaku itu. Ketika ia mengetahui kesulitan yang kami alami, maka ia pun berusaha membantu kami. Ia memperkenalkan kami dengan senjata pering cendani, karena kebetulan ia melihat sejenis bambu itu di pinggir padang perdu ini. Tetapi ruasnya tidak sepanjang pering cendani yang tumbuh disini” jawab orang yang tinggi kekurusan itu.
“Kami mengerti. Pering cendani bagi kalian adalah lambang satu harapan. Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga kalian memerlukan senjata yang lebih baik dari senjata yang sudah kalian miliki?” bertanya Mahisa Murti.
Kedua orang itu saling berpandangan Agaknya mereka merasa ragu-ragu untuk mengatakannya. Namun menilai sikap Kedua anak muda yang sungguh-sungguh dan tidak memancarkan niat yang buruk itu, orang bertubuh tinggi itupun berkata, “Sudah kami sebut. Hantu Jurang Growong."
“Siapakah yang kalian maksud sebenarnya? Gerombolan perampok? Atau gerombolan apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin. Kami tidak tahu pasti. Tetapi mereka memang sering melakukan kejahatan seperti itu” jawab orang bertubuh besar.
“Dan kalian ingin melawan mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Tingkah laku mereka sudah keterlaluan. Kami tidak dapat tinggal diam. Sementara itu, kami tidak akan dapat melawan mereka dengan senjata pendek. Kami tidak akan mampu mengimbangi ilmu pedang mereka. Juga kemampuan mereka mempergunakan tombak dan bahkan bindi” jawab orang yang Kekurusan, “karena itu kami mencari senjata yang berjarak lebih panjang”
“Kenapa kalian tidak mempergunakan panah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kami juga sudah mempertimbangkan” jawab orang itu, “tetapi nampaknya kami akan lebih berhasil dengan mempergunakan sumpit. Selebihnya, kami akan dapat membuat sumpit jauh lebih banyak dari pada jika kami membuat busur dan anak panah”
“Tetapi kau harus bermain-main dengan racun” sahut Mahisa Murti, “bukankah bukan pekerjaan yang mudah untuk menampung racun dan merendam duri pada racun itu. Jika duri itu tergores ditangan kalian sendiri, maka kalian-pun akan mengalami nasib yang buruk”
“Ada seorang dukun di padukuhan kami yang mempunyai pengetahuan tentang racun dan bisa. Ia dapat membantu kami” jawab orang bertubuh tinggi besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami lebih senang mempergunakan busur dan panah. Nampaknya lebih tanggon dari pada mempergunakan racun. Anak panah memang dapat melumpuhkan lawan. Tetapi tanpa racun mereka yang terkena anak panah masih lebih mudah diobati, meskipun lawan sekalipun”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian orang bertubuh tinggi besar itu bertanya, “Tetapi bukankah kita memang ingin membunuh? Dengan racun kita akan dapat membunuh mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka merasakan ketakutan yang mencengkam orang-orang itu terhadap yang disebutnya Hantu dari Jurang Growong. Ketakutan yang sangat itu telah membuat orang- orang itu menjadi garang, kasar dan bahkan hampir liar. Tetapi pada saat tertentu, mereka masih menampakkan sifat-sifat mereka yang sebenarnya.
“Mereka orang-orang padukuhan seperti yang lain” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hatinya. Justru karena itu, maka timbullah keinginan mereka untuk singgah. Mereka ingin melihat suasana di padukuhan itu dan tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk tentang cara membuat dan mempergunakan sumpit. Sementara itu, keduanya juga ingin mengetahui serba sedikit tentang orang-orang yang mereka sebut Hantu dari Jurang Growong itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “KI Sanak. Seandainya kami bersedia singgah, apakah kalian berdua menjamin bahwa tidak akan terjadi sesuatu atas diri kami?”
“Kami menjamin keselamatan kalian” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan itu.
“Bukan untuk keselamatan kami” sahut Mahisa Pukat, “tetapi sekedar mencegah agar kami berdua tidak membunuh terlalu banyak. Karena jika kalian ingin berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya terhadap kami berdua, maka kami akan melakukan satu usaha untuk mempertahankan diri. Akibatnva dapat kau bayangkan. Mungkin orang sepadukuhanmu akan mati oleh kami. Sumpit beracun kalian tidak akan berpengaruh terhadap kami yang mempunyai obat penawar bisa”
Kedua orang itu nampak menjadi berdebar-debar. Sementara itu Mahisa Murti telah menggamitnya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum karenanya.
“Ki Sanak” berkata orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu, “kami mengerti, betapa tinggi kemampuan kalian. Karena itu silahkan singgah, kami tidak akan mengganggu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun hampir bersamaan keduanya mengangguk kecil.
“Baiklah” berkata Mahisa Pukat, “kami akan singgah jika kalian percaya bahwa kami bukan orang-orang dari Jurang Growong” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “He, apakah kalian belum pernah melaporkannya kepada Akuwu yang memiliki kemampuan dan ilmu tidak ada bandingnya? Selain itu ia mempunyai pasukan pengawal yang kuat, yang tentu akan dapat menghancurkan Hantu Jurang Growong itu”
“Kami memang belum pernah melaporkannya” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan, “kehadiran Hantu Jurang Growong itu belum terlalu lama. Dan kami masih harus meyakinkan, agar kami dapat memberi keterangan yang jelas baru kemudian melaporkan kepada Akuwu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Bahkan keduanya pun mulai menimbang, apakah orang-orang yang berniat jahat di banjar Kabuyutan itu juga orang-orang dari Jurang Growong. Jika demikian, maka kekuatan di Jurang Growong itu tentu sudah jauh berkurang, setelah beberapa orang dapat ditangkap dan bahkan ada yang telah terbunuh.
“Tetapi mungkin pula bukan. Nampaknya mereka adalah pendatang baru yang mulai dengan kegiatan-kegiatan yang mengganggu orang-orang padukuhan,” berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya kepada diri sendiri, “Dimana letaknya Jurang Growong itu?”
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah sepakat untuk singgah barang sebentar di padukuhan kedua orang berkuda yang berusaha untuk memiliki pering cendani itu bagi mereka dan lingkungan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengambil meskipun hanya sebatang saja. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua anak muda itupun telah berkemas untuK mengikuti kedua orang berkuda itu.
“Pakailah kuda kami” berkata orang yang bertubuh tinggi besar, “Ya. Biarlah kami berjalan kaki” berkata yang kekurusan.
“Terima kasih” sahut Mahisa Murti, “biarlah kami berjalankah saja. Kami sudah terlalu biasa berjalan”
“Silahkan kalian berkuda” sambung Mahisa Pukat jika kalian ingin mendahului kami, pergilah. Kami akan menyusul”
“Apakah kalian sudah mengetahui dimanakah letak padukuhan kami?” bertanya orang yang bertubuh tinggi kekurusan.
“Bukan soal yang sulit bagi kami” jawab Mahisa Pukat, “kami dapat mengikuti jejak kuda kalian kemanapun kalian pergi”
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Mereka menjadi semakin kagum terhadap kedua orang anak muda itu Nampaknya keduanya memang meyakinkan sekali. Namun keduanya tidak ingin mendahului. Merekapun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Apakah padukuhan kalian jauh?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak terlalu jauh. Jika kita sudah keluar dari padang perdu ini, kita sudah sampai di daerah persawahan dari padukuhan kami” jawab orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengetahui, bahwa letak padukuhan mereka memang masih dalam lingkungan satu Pakuwon dengan Kabuyutan yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru.”
Demikianlah, kedua anak muda itu mengikuti dua orang yang menuntun kudanya melintasi padang perdu yang agak luas. Ternyata bahwa di padang perdu itu terdapat beberapa rumpun pering cendani. Tetapi ruasnya tidak sepanjang pering cendani yang telah menimbulkan persoalan diantara kedua anak muda itu dengan orang-orang yang merasa berhak. Pering cendani yang tumbuh di bagian lain dari padang perdu itu ruasnya memang cukup panjang untuk membuat sumpit, tetapi jauh lebih pendek dari pering cendani yang khusus itu.
Karena itu, maka pering cendani yang beruas panjang itu telah mendapat perhatian yang khusus dari orang-orang padukuhan yang sedang berusaha mempersenjatai diri mereka dengan senjata-senjata yang belum pernah mereka pergunakan sebelumnya. Beberapa saat empat orang itu berjalan di udara yang terik. Beberapa batang perdu sempat melindungi tubuh mereka dari sengatan matahari yang meskipun sudah condong, tetapi panasnya masih terasa membakar kulit.
Namun akhirnya mereka pun mencapai pinggir padang perdu itu. Di hadapan mereka kemudian terbentang tanah persawahan yang subur. Dengan parit yang membelah dan kemudian menusuk sampai ke segenap bagian tanah persawahan, maka tanaman pun menjadi hijau segar. Padi dapat ditanam di segala musim, karena tidak tergantung sekali kepada air yang turun dari langit. Parit yang mengalirkan air yang diangkat dari sungai yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi mengalir cukup deras.
“Kita sudah memasuki daerah Kabuyutan kami” berkata orang bertubuh tinggi dan agak kekurusan itu, “padukuhan yang nampak di seberang bulak panjang itu adalah salah satu dari padukuhan di Kabuyutan kami”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kau juga tinggal di padukuhan itu?”
“Tidak” jawab orang yang kekurusan, “aku tinggal di padukuhan di belakang padukuhan itu Aku tinggal di padukuhan induk”
“Dan kau?” bertanya Mahisa Pukat kepada orang yang bertubuh besar.
“Aku juga tinggal di padukuhan induk” jawab orang bertubuh besar itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi sikap kalian pada mulanya sama sekali tidak mencerminkan sikap orang-orang padukuhan. Aku justru mengira bahwa kalian adalah bagian dari berandal atau gerombolan penjahat yang lain”
“Kami minta maaf” sahut yang kekurusan, “kami berusaha untuk menutupi kekerdilan kami. Kami telah menjadi sasaran yang menyakitkan hati dari orang-orang yang menyebut diri mereka Hantu Jurang Growong”
“Dan kalian tidak dapat melawan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Terlalu sulit. Mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Padukuhan-padukuhan di seluruh kabuyutan kami telah menderita karenanya. Bahkan Kabuyutan-Kabuyutan yang lain pun mengalami nasib yang sama. Karena itu, kami telah berusaha mencari cara yang paling baik untuk mempertahankan padukuhan dan Kabuyutan kami” jawab orang yang kekurusan, “diantaranya dengan membuat senjata baru itu”
“Kenapa kalian mempertahankan pering cendani itu dengan segala macam pengorbanan Kenapa kalian tidak justru berusaha memberi tahukan kepada tetangga-tetangga Kabuyutan kalian untuk bersama-sama memanfaatkan pering cendani itu”
“Setelah kami merasa cukup. Sebelumnya kami akan mempertahankannya” jawab orang bertubuh besar. Lalu, “Ketakutan dan kegelisahan telah membuat kami menjadi orang-orang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Bahkan kemudian kami pun menjadi buas dan liar. Tetapi pada dasarnya, kami ingin mempertahankan diri kami dan segala macam milik kami”
"Tetapi kalian berdua berani memasuki padang perdu. Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang Jurang Growong?”
Orang bertubuh tinggi kekurusan itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jarang sekali orang-orang Jurang Growong itu muncul. Apalagi di siang hari. Tetapi sekali mereka datang, maka mereka tidak akan kembali tanpa membawa sesuatu yang berharga. Jika perlu mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa sasarannya”
“Kalian sudah mengenali tabiatnya” berkata Mahisa Murti, “tetapi kalian masih belum melaporkannya kepada Akuwu. Apakah justru bukan kalian yang telah bersalah? Jika kalian melaporkan hal ini, maka para pengawal akan segera bertindak. Dan korban pun tidak akan menjadi semakin banyak”
“Kami berusaha untuk mengenal mereka lebih banyak. Kamipun belum tahu pasti, dimanakah sarang mereka” jawab orang yang kekurusan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi heran. Dengan demikian maka Mahisa Murti pun bertanya, “Bukankah mereka orang-orang yang bersembunyi di Jurang Growong sehingga mereka disebut Hantu Jurang Growong”
“Mereka memang menyebut nama mereka demikian” jawab yang bertubuh besar, “tetapi kami belum tahu, dimana letak Jurang Growong Itu”
“He” kedua anak muda itu menjadi semakin heran. Dengan nada tinggi. Mahisa Pukat bertanya, “Jadi kalian tidak tahu, dimana letaknya jurang yang disebut Jurang Growong itu?”
Kedua orang itu menggeleng. Yang kekurusan menyahut, “Kami mengenal beberapa jurang di daerah ini. Tetapi jurang itu bukan tempat yang dapat dihuni orang. Jurang itu sekedar tebing sungai yang curam dan tinggi. Terdiri dari batu-batu padas yang membujur panjang. Namun jurang batu padas itu tidak mempunyai sebuah lekuk pun yang pantas untuk tempat tinggal, bahkan untuk berteduh dari hujan gerimis sekalipun. Apalagi sebuah goa atau semacamnya yang dapat dipergunakan oleh segerombolan orang-orang yang menyebut diri mereka Hantu Jurang Growong. Sementara Jurang di lembah sebelah pebukitan itupun tidak akan dapat dihuni oleh satu orang pun. Apalagi jurang di lembah itu terdiri dari tanah yang lebih lunak, sehingga setiap kali akan dapat terjadi bencana tanah longsor”
“Lembah yang mana? Dan apakah di lereng itu sama sekali tidak terdapat pepohonan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak sebatang pohon pun. Menurut sebuah dongeng, di lereng lembah di pebukitan itu terdapat sebuah hutan cendana. Hutan yang ditumbuhi kayu cendana. Namun karena setiap hari kayu itu ditebang orang, maka akhirnya hutan di lereng itu menjadi gundul. Tanahnya menjadi rawan dan setiap kali akan dapat longsor menimbun daerah di bawahnya” jawab orang, bertubuh kekurusan, “Kayu cendana adalah sejenis kayu yang mahal”
“Hutan itu tidak dilindungi? Maksudku, apakah Akuwu tidak melarang orang-orang yang menebangi kayu cendana di hutan itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Akuwu sudah melarangnya. Tetapi orang-orang itu telah mencurinya, sehingga kayu cendana itu kini telah habis. Yang tinggal hanyalah beberapa batang saja, yang diawasi oleh orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat atas perintah Akuwu. Bahkan Akuwu telah mengancam hukuman yang sangat berat bagi mereka yang mencuri kayu cendana. Tetapi agaknya sudah terlambat. Lereng itu sudah menjadi gundul” jawab orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“Apakah sekarang masih ada sisa-sisa pohon cendana itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Masih ada beberapa batang pohon” jawab orang itu, “dan Akuwu yang sekaranglah yang memerintahkan orang-orang padukuhan terdekat untuk mengawasinya. Agaknya ia bersikap lebih keras dari Akuwu sebelumnya. Tetapi yang dapat dilakukan tinggallah menyelamatkan sisa pohon cendana itu. Akuwu yang sekarang tidak dapat berbuat banyak mengatasi bukit yang lerengnya telah dibersihkan itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja Jika mereka ingin mempersoalkan lereng dan jurang yang gundul itu, maka mereka akan bertemu lagi dengan Akuwu yang memiliki beberapa macam benda upacara dihari wisuda itu.
Sementara itu, merekapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka. Tetapi padukuhan itu bukannya padukuhan induk. Mereka masih harus melintasi lagi bulak dibelakang padukuhan itu, sebelum mereka memasuki padukuhan induk.
Ketika mereka memasuki padukuhan itu, maka beberapa orang memperhatikan mereka dengan heran. Kedua orang yang mereka kenal itu telah menuntun kudanya bersama dua orang anak muda yang masih asing bagi mereka.
“Siapa mereka?” bertanya seseorang kepada tetangganya.
“Yang mana?” tetangganya ganti bertanya.
“Tentu yang dua orang anak muda itu” jawab yang lain. Lalu, “Yang dua orang aku tidak akan bertanya”
Tetangganya tidak sempat menjawab. Keempat orang itu lewat dihadapan kedua orang yang sedang berbincang itu. Orang yang menuntun kudanya itu mengangguk kecil sambil tersenyum. Tetapi mereka tidak berbicara kepada kedua orang di pinggir jalan itu.
Demikian kedua orang yang menuntun kuda itu menjauh, seorang di antara kedua orang itu berkata, “Apakah mereka membawa dua orang tawanan?”
“Mungkin. Mungkin Ki Jagabaya melihat langsung kedua orang anak muda itu melakukan kejahatan. Ki Jagabaya sekarang ini nampaknya telah berubah menjadi sangat keras. Bahkah kadang-kadang kasar” jawab yang lain.
“Ia telah didorong untuk berbuat demikian. Kesulitan demi kesulitan telah terjadi di padukuhan dan bahkan di Kabuyutan ini. Karena itu, diperlukan sikap yang keras” berkata yang lain pula.
Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka berpaling, dua orang yang menuntun kuda bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sudah hilang di balik tikungan.
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka bergumam, “Kasihan. Mereka masih sangat muda. Apakah mereka telah terdorong oleh kesesatan yang tidak teratasi oleh jiwanya, sehingga anak-anak semuda itu telah melakukan kejahatan”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Lalu kepada siapa masa depan ini akan kami percayakan, jika anak-anak muda sebaya kedua anak itu telah terdorong melakukan kejahatan”
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Sambil beranjak pergi ia berkata, “Aku akan ke sawah. Selama ini siang malam aku berdoa, jika anakku nanti menjadi dewasa, mudah-mudahan ia tidak terseret ke dalam arus yang menyedihkan”
“Ya. Sangat menyedihkan. Mereka memang harus dikasihani. Bukan dimusuhi. Jika Ki Jagabaya salah langkah, maka akibatnya akan sebaliknya” desis yang lain.
Keduanya kemudian berpisah. Masing-masing pergi ke sawah mereka sendiri yang terletak di arah yang berbeda. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melalui padukuhan yang pertama. Mereka kembali berjalan di bulak yang tidak begitu panjang. Padukuhan berikutnya adalah padukuhan induk dari sebuah Kabuyutan yang subur. Namun karena sesuatu, maka telah terjadi beberapa perubahan dalam tata kehidupannya. Ki Jagabaya dan beberapa orang pembantunya menjadi garang. Kejahatan telah mulai menjamah padukuhan-padukuhan di Kabuyutan itu.
Orang-orang padukuhan itu memang memerlukan perlindungan Mereka mengerti, bahwa Ki Jagabaya memang harus bersikap lain menghadapi suasana yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun yang kadang-kadang sikap itu justru menakutkan bagi penghuni Kabuyutan itu sendiri. Ternyata pada suatu kali Ki Jagabaya pernah berkata,
“Tentu ada pengkhianat di dalam lingkungan kita sendiri. Jika tidak maka para penjahat itu tidak akan segera mengetahui sasarannya. Apalagi Hantu Jurang Growong itu belum lama berada di sekitar daerah kita”
Pendapat Ki Jagabaya itu telah membuat hati setiap orang menjadi kecut. Jika mereka melakukan satu kesalahan yang tidak mereka sadari, maka mereka akan mungkin sekali menjadi sasaran kecurigaan Ki Jagabaya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikuti Ki Jagabaya memasuki padukuhan induk. Mereka langsung dibawa ke banjar Kabuyutan yang terletak di tengah-tengah padukuhan induk itu.
“Marilah Ki Sanak” Ki Jagabaya mempersilahkan kedua anak muda itu, “silahkan naik ke pendapa. Ini adalah banjar Kabuyutan kita”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Sejenak mereka melayangkan pandangan mereka ke sekeliling halaman Kabuyutan itu. Kemudian, dipandanginya gandok di sebelah kiri yang lengang. Namun di gandok yang sebelah kanan, beberapa orang sedang duduk dengan tegang. Sekali-sekali kedua anak muda itu mendengar suara orang yang sedang membentak-bentak. Kemudian terdengar pula keluhan dan tangis.
“Ada apa?” bertanya Mahisa Pukat hampir di luar sadarnya.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tidak ada apa-apa”
“Jangan bohongi aku” sahut Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya memandangi orang-orang yang berada di serambi gandok di sebelah kanan itu,. Ia pun mendengar bentakan-bentakan yang kasar dan keluhan yang tertahan-tahan di antara tangis.
“Katakan Ki Sanak” desis Mahisa Murti.
“Atau aku akan mengamuk disini?” sambung Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, kehadiran Ki Jagabaya, seorang pembantunya bersama kedua orang anak muda itu pun sangat menarik perhatian. Orang-orang yang berada di serambi gandok itu pun ternyata telah memandangi mereka, dengan penuh kecurigaan.
“Duduklah” Ki Jagabaya mempersilahkan, “aku akan memberikan keterangan setelah aku melihatnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk dipendapa. Namun keduanya nampak gelisah. Mereka melihat orang bertubuh tinggi kekurusan itu melangkah ke serambi gandok.
“Ki Jagabaya membawa tawanan lagi?” bertanya seorang bertubuh pendek.
“Siapa yang di dalam?” bertanya Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya itu tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian melangkah masuk. Dalam pada itu, di tengah-tengah ruangan yang tidak begitu luas di gandok sebelah kanan itu, seorang anak muda duduk di lantai dengan wajah yang biru lembab. Seorang yang bertubuh kecil berdiri di sebelahnya dengan garangnya.
“Ia tidak mengaku” geram orang yang berdiri itu.
“Apa katanya?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ia tidak pernah berhubungan dengan siapa pun di luar Kabuyutan ini” jawab orang bertubuh kecil itu.
Ki Jagabaya melangkah mendekati. Dengan wajah yang garang ia membentak, “Jangan menunggu sampai kepalamu hancur ya? Kau kemarin dilihat oleh seseorang, datang dari jurusan hutan ilalang di sebelah padang perdu itu. Kau tentu sudah berhubungan dengan para penjahat dari Jurang Growong itu”
“Tidak Ki Jagabaya. Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jurang Growong” tangis anak muda itu.
“Ingat” geram Ki Jagabaya, “wajahnya akan dapat berbentuk lain. Aku datang dengan dua orang saksi. Karena itu mengakulah”
Orang yang berada di gandok itu mengeluh. Tubuhnya terasa semakin sakit. Apalagi ketika ia melihat sekilas, tatapan mata Ki Jagabaya yang bagaikan membakar jantungnya.
“Cepat” bentak Ki Jagabaya.
“Aku berkata sebenarnya” tangis orang itu
“Baiklah” berkata Ki Jagabaya jika ia tidak mengaku, aku benar-benar akan memecahkan kepalanya”
“Jangan, jangan” anak muda itu berteriak.
“Diam” tiba-tiba saja tangan orang yang bertubuh kecil yang berdiri di sebelahnya telah memukul mulut anak muda itu dengan telapak tangannya.
Suara anak muda itu terhentak berhenti. Namun yang terdengar kemudian adalah keluhan keluhan vang tertahan-tahan. Sementara itu, tiba-tiba telah terjadi keributan di luar pintu. Ketika Ki Jagabaya meloncat dan berdiri di pintu, ia melihat tiga orang terbanting dilantai, sementara beberapa orang yang lain bergeser surut.
“Jadi kegilaan semacam inilah yang terjadi di Kabuyutan ini” geram Mahisa Pukat.
Wajah Ki Jagabaya menegang. Katanya, “Aku hanya sekedar menjalankan kewajiban. Aku ingin mendengar pengakuan anak ini sebelum aku memberitahukan kepada Ki Sanak berdua”
“Siapa yang kau maksud dua orang saksi? Kami berdua?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku hanya ingin pengakuannya”
“Pengakuan apa? Begitu caramu untuk mendapatkan pengakuan. Kau pukuli orang itu sampai tidak lagi berpengharapan, sehingga ia akan mengaku. Mengaku sebagaimana kau kehendaki. Bukan mengaku sebagaimana telah terjadi atas dirinya yang sebenarnya”
Wajah Mahisa Pukat menjadi semakin tegang. Lalu tiba-tiba ia membentak, “He, orang gila. Yang kau inginkan pengakuan atau kebenaran. Pengakuan yang keluar dari mulutnya karena kau peras dengan caramu yang kasar dan buas itu belum tentu kebenaran yang pernah terjadi”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang bertubuh kecil berkata, “Siapa orang itu Ki Jagabaya? Apakah orang itu justru orang Jurang Growong, sehingga sudah sewajarnya jika kita akan menangkapnya?”
“Kau akan menangkap aku?” Mahisa Pukat menjadi semakin marah, “Jika kau ingin mencobanya, marilah. Yang lain pergi untuk menyediakan kelengkapan untuk menyelenggarakan mayat sebanyak orang yang ingin menangkap aku”
Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Sementara Ki Jagabaya melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Tidak. Kami tidak ingin menangkap kalian. Tetapi kami mohon kalian duduk di pendapa. Biarlah kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya”
“Tugas yang gila ini” sahut Mahisa Pukat. Lalu, “Tidak. Aku tidak akan membiarkan kelaliman ini berlangsung”
Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun akhirnya ia berkata kepada orang yang bertubuh kecil, “Jaga orang itu baik-baik. Aku akan pergi kependapa”
“Dan jangan kau lakukan lagi kesewenang-wenangan itu” berkata Mahisa Pukat, “mungkin kalian adalah orang-orang yang mendapat tugas membantu Ki Jagabaya. Mungkin kalian merasa bahwa apa yang kalian lakukan itu adalah kewajiban. Tetapi kalian telah melanggar hubungan antara sesama. Kalian memperlakukan sesama kita dengan cara yang tidak wajar. Kalian seharusnya dapat membayangkkan, bagaimana jika perlakuan yang demikian itu berlaku atas diri kalian. Seandainya pada suatu saat, kalianlah yang ditangkap tanpa bersalah. Kalian kemudian dipaksa untuk mengaku dan menjawab segala macam pertanyaan dengan jawaban yang sudah disediakan”
“Siapa anak ini Ki Buyut” orang yang bertubuh kecil itu pun bertanya. Lalu, “Telingaku menjadi panas mendengar kata-katanya. Jika Ki Jagabaya memperkenankan, aku akan memperlakukan anak ini dengan caraku, agar ia dapat menghormati sikap kami di sini”
“Tidak perlu” jawab Ki Jagabaya.
“Ia telah menghina kami” orang bertubuh kecil itu menegaskan “sudah menjadi kewajiban kami untuk bertindak atas mereka”
“Kalian memang orang-orang gila” geram Mahisa Pukat, “kalian telah melakukan kewajiban kalian dengan salah. Kau sangka jika kalian dapat memaksa seseorang untuk mengatakan sebagaimana kau kehendaki, kau sudah melakukan kewajibanmu dengan baik? Apakah kau sangka dengan sewenang-wenang kalian akan dapat dianggap seorang pahlawan”
“Tetapi kami tidak dapat berbuat lain disini” berkata Ki Jagabaya, “daerah kami adalah daerah yang penuh dengan keadaan yang sangat gawat. Kami tentu tidak akan dapat berbuat lain kecuali kekerasan”
“Itu adalah satu sikap yang sangat dungu” potong Mahisa Pukat.
“Dengar” orang bertubuh kecil Itu menyela, “orang itu menyebut kami dungu”
“Kau yang paling dungu” Mahisa Pukat berteriak.
Namun ternyata orang bertubuh kecil itupun tidak lagi dapat mengendalikan kemarahannya. Tanpa minta ijin lebih dahulu dari Ki Jagabaya, maka ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Pukat. Namun yang terjadi adalah sangat mendebarkan jantung. Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian terlempar dan jatuh terbanting di lantai gandok membentur tiang. Sekali ia masih menggeliat. Namun kemudian orang itupun telah pingsan.
“Sudah aku katakan, siapa yang ingin mati, cobalah tangkap aku” berkata Mahisa Pukat.
Tidak seorang pun bergeser. Telah ada empat orang yang pingsan di serambi gandok itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah Mahisa Pukat. Orang-orang padukuhan itu memang memerlukan sedikit peringatan atas sikap mereka, meskipun Mahisa Murti mengerti, bahwa mereka telah disudutkan oleh satu keadaan yang tidak menguntungkan.
Dalam pada itu, Ki Jagabaya lah yang kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku minta maaf”
“Itu tidak cukup” jawab Mahisa Pukat, “tetapi kalian harus menyadari, bahwa sikap kalian tidak benar. Kalian telah bertindak sewenang-wenang apapun alasannya. Jika keadaan padukuhan ini dan barangkali seluruh Kabuyutan ini, menjadi gawat, bukan satu alasan untuk menyakiti orang tanpa sebab. Bukan alasan untuk memeras keterangan seseorang yang tidak mengetahui persoalannya. Dan bukan pula alasan untuk dengan kekerasan memaksa orang memberikan jawaban atas pertanyaan kita sebagaimana kita kehendaki tanpa melihat kebenaran itu sendiri”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti”
“Kalian harus bersikap lebih bijaksana, justru dalam keadaan seperti ini” berkata Mahisa Pukat
“Tetapi, dengan demikian apakah kami tidak akan menjadi semakin sulit menghadapi orang orang dari Jurang Growong itu” bertanya Ki Jagabaya.
“Kepada mereka kita akan bertindak tegas. Bukankah seorang tamu di padukuhanmu telah menunjukkan satu cara untuk melawan mereka?” bertanya Mahisa Pukat, “dengan tulup kalian akan dapat bertahan. Meskipun sebenarnya ada senjata lain yang tidak memerlukan racun. Busur dan panah, misalnya. Meskipun kalian pernah mencoba, tetapi ada baiknya kalian mencoba lagi”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti telah memasuki gandok itu dan melihat keadaan orang yang mengalami nasib yang malang.
“Lepaskan anak ini,“ berkata Mahisa Murti kepada Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat membentak, “Cepat. Atau kami harus mengambil sikap sebagaimana sikap kalian?”
Ki Jagabaya tidak dapat bersikap lain, kecuali memerintahkan orang-orangnya untuk melepaskan orang yang mengalami nasib buruk itu.
“Marilah Ki Sanak” ajak Mahisa Murti yang kemudian membimbing orang itu keluar, dan kemudian membawanya ke pendapa. Sementara itu Mahisa Pukat berkata, “Rawatlah kawan-kawanmu yang pingsan. Mereka belum benar-benar mati. Tetapi jika perlu, aku memang akan membunuh”
Tidak ada yang menjawab Ketika Mahisa Pukat pun menyusul Mahisa Murti ke pendapa, maka beberapa orang pun telah merawat kawan-kawan mereka yang pingsan.
“Anak itu luar biasa” desis seseorang, “seolah-olah yang dilakukan itu tidak dapat kita tangkap dengan indera kita”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun ia berbisik, “Jika ternyata mereka adalah di antara orang-orang yang disebut Hantu Jurang Growong itu, maka kita akan mengalami nasib yang sangat buruk”
“Aku kira mereka justru bukan dari antara mereka” berkata yang lain.
“Darimana kau tahu?” bertanya kawannya.
Orang itu memandang orang yang bertubuh tinggi besar, yang bersama dengan orang bertubuh tinggi kekurusan, yang ternyata adalah Ki Jagabaya. Orang bertubuh tinggi besar itu mengangguk sambil berkata, “Bukan. Mereka bukan orang-orang dari Jurang Growong. Mereka telah memaafkan kami di padang perdu meskipun kami sudah berbuat kasar”
“Mereka berpura-pura” desis seseorang.
“Tidak. Mereka benar-benar melepaskan kami berdua. Maksudku, aku dan Ki Jagabaya” jawab orang itu, “Ki Jagabaya lah yang minta kepada keduanya untuk singgah. Semula mereka sama sekali tidak ingin memasuki Kabuyutan ini. Mereka ingin melanjutkan perjalanan, karena keduanya adalah perantau”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun demikian ada juga di antara mereka yang masih tetap mencurigai kedua orang anak muda itu. Sementara itu, di pendapa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk berhadapan dengan orang yang sudah menjadi biru pengab karena sikap orang-orang Kabuyutan itu.
“Jadi kau tidak tahu benar tentang Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak Ki Sanak” jawab orang itu dengan suara gemetar karena menahan sakit yang menyengat di seluruh tubuh, “aku tidak tahu menahu”
“Baiklah. Aku percaya. Jika kau mengetahuinya, maka keadaan tubuhmu itu sama sekali tidak berarti dibanding dengan cacat jiwamu, karena kau sudah berkhianat. Tetapi jika kau benar-benar tidak tahu dan tidak berhubungan dengan Hantu Jurang Growong, besarkan hatimu. Kau akan dilepaskan” berkata Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang, “Tidak begitu caranya berbicara dengan seekor serigala anak-anak”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling. Dilihatnya seorang yang mempunyai ciri yang agak berbeda dengan orang-orang Kabuyutan itu. Orang itu mengenakan pakaian yang agak lebih baik. serta pengetrapannya yang lebih mapan.
Sejenak kemudian orang itu sudah berdiri di tangga pendapa. Katanya pula, “Kau tidak perlu merubah sikap yang telah diambil oleh para bebahu Kabuyutan ini. Aku juga tidak, karena kita orang lain disini. Apalagi menurut pendapatku, sikap keras dan tegas dari para bebahu disini sudah tepat sebagaimana seharusnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka segera mengetahui, tentu orang itulah yang dimaksud dengan seorang tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk tentang penggunaan sumpit sebagai senjata. Namun kedua anak muda itu tidak mengira bahwa sikap orang itu ternyata terlampau kasar menghadapi keadaan. Agaknya orang itu pulalah yang mendorong Ki Jagabaya dan para bebahu yang lain melakukan kekerasan yang berlebihan.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab, maka orang itupun berkata, “Anak anak muda. Serahkan orang itu kembali kepada Ki Jagabaya. Biarlah ia menyelesaikan tugasnya. Orang itu harus mengaku. Ia benar-benar salah satu dari sekian banyak orang yang diperalat oleh Hantu Jurang Growong”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “marilah kita berbicara tentang orang ini. Mungkin kita akan dapat menyebut beberapa bukti tetapi juga beberapa keberatan. Katakan, bagaimana mungkin Ki Sanak dapat memastikan bahwa orang ini telah berhubungan dengan yang disebut Hantu Jurang Growong itu”
“Ceriteranya cukup panjang, anak muda” jawab orang itu, “tetapi secara singkat dapat aku sebut, bahwa ia telah pergi ke tempat yang tidak diketahui. Ia datang dari arah yang mencurigakan. Ia datang dari hutan ilalang di sebelah padang perdu”
“Apakah dengan demikian sudah cukup alasan bagi kalian untuk menganggap bahwa orang ini bersalah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu Ki Sanak” jawab orang itu, “jika tidak berhubungan dengan Hantu Jurang Growong, ia tidak akan datang lewat hutan ilalang”
Mahisa Pukat mendekati orang itu. Kemudian katanya, “Katakan, apa alasanmu, bahwa kau telah melalui hutan ilalang?”
“Di sebelah hutan ilalang terdapat sebuah rawa yang tidak begitu besar. Aku mencari ikan di rawa itu” jawab orang itu.
“Apakah hal itu sudah kau katakan?” bertanya Mahisa Murti.
“Sudah Ki Sanak. Sebenarnya bukan aku sendirilah yang sering mencari ikan di rawa-rawa itu. Orang-orang padukuhanku yang lain telah melakukannya pula” berkata orang itu dengan gemetar.
“Kau bukan orang padukuhan ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bukan. Aku orang padukuhan sebelah. Tetapi juga termasuk Kabuyutan ini” jawab orang itu.
“Nah, Ki Sanak. Bukankah ia sudah mengatakan alasannya, bahwa orang ini mencari ikan di rawa-rawa di balik hutan ilalang itu” berkata Mahisa Pukat.
“Dan aku masih membawa sekepis ikan ketika aku ditangkap” orang itu menjelaskan.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku lebih percaya kepada orang ini. Aku tidak melihat kelicikan dan kecerdikan di sorot matanya. Ia orang sederhana dan jujur”
“Anak-anak” berkata orang asing itu kemudian, “kau terlalu berani mengambil keputusan. Tetapi aku berpendirian lain. Orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Hantu Jurang Growong”
“Kaulah yang terlalu berani mengambil keputusan” jawab Mahisa Pukat.
“Ternyata kau bukan saja terlalu berani mengambil keputusan,” geram orang itu, “tetapi kau juga terlalu lancang di hadapanku. Kau harus sadar, bahwa sikapmu itu akan dapat mencelakaimu”
“Nanti dulu Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebaiknya Ki Sanak duduk dengan baik, dan kita pun dapat berbicara dengan baik”
“Tidak ada gunanya anak-anak” jawab orang itu, “aku hanya minta, serahkan kembali orang itu kepada Ki Jagabaya. Persoalan di antara kita akan selesai. Kau boleh pergi kemanapun yang kau inginkan. Sudah tentu, kalian tidak boleh mencuri lagi pering cendani yang khusus itu. Jika kalian menginginkan untuk membuat tulup sekedar untuk menangkap burung, maka kau dapat mengambil pering cendani yang lain, yang ruasnya cukup panjang untuk keperluan itu”
“Maaf Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “persoalannya tidak akan berakhir sampai sekian. Aku tidak sekedar ingin pering cendani. He, siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa aku telah mengambil pering cendani?”
“Aku sudah mengetahuinya” jawab orang itu.
“Baiklah. Tetapi masalahnya bukan pering cendani. Bukan pula orang ini. Orang ini tentu hanya salah satu saja dari korban yang pernah mengalami nasib yang serupa. Menurut dugaanku, setiap orang yang kau curigai akan mengalami nasib seperti orang ini. Aku tidak tahu, apakah peristiwa semacam ini akan berakhir dengan kematian. Tetapi sebenarnyalah bahwa perbuatan kalian sama sekali tidak berarti”
“Kematian adalah peristiwa yang wajar di dalam keadaan yang gawat seperti ini. Jika orang yang berkhianat seperti orang itu tidak dibunuh, maka Kabuyutan ini akan menjadi semakin parah”
“Persetan” geram Mahisa Pukat, “jadi kalian telah pernah membunuh orang dalam persoalan seperti ini”
Yang sangat memanaskan hati Mahisa Pukat adalah justru orang itu tertawa. Katanya, “Orang-orang semacam itu pantas untuk berlatih kemampuan bidik dengan mempergunakan sumpit pering cendani yang beruas panjang itu”
“Gila” Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah menuruni tangga pendapa sambil menggeram, “Apakah Kabuyutan ini sudah kehilangan citra kemanusiaannya? He, apakah kalian tidak mempunyai paugeran yang dapat menjadi landasan untuk menjatuhkan hukuman?”
“Kenapa kau menjadi bingung seperti itu” orang itu masih tertawa.
“Kalian memang pantas untuk dilaporkan kepada Sang Akuwu. Sang Akuwu adalah orang yang bijaksana. Ia akan dapat mengambil keputusan yang paling pantas untuk menghukum kalian semuanya. Jika perlu, Kabuyutan ini akan dapat dimusnahkan” geram Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak yakin akan kata-katamu. Akuwu tidak akan menerima kalian menghadap. Kalian pantas untuk diusir dari halaman istana daripada didengar keterangannya”
Mahisa Murti pun kemudian telah mendekat pula. Katanya, “Aku kenal Akuwu dengan baik. Aku dan saudaraku pernah menerima undangannya untuk singgah di istana. Apa yang kami berdua katakan tentu akan dipercaya”
“Itu omong kosong yang sangat menggelikan” jawab orang itu, “tetapi sebaliknya. Akuwu akan menerima aku. Aku adalah orang penting di Pakuwon ini”
“Apakah aku harus mempercayaimu?” potong Mahisa Pukat, “ceriteramulah yang ngaya-wara. Seorang yang mempunyai kedudukan penting tidak akan berbuat seperti yang kau lakukan itu. Perbuatanmu adalah perbuatan orang yang tidak berperadaban”
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya, “Sekali lagi aku peringatkan. Jika kata-kataku kali ini tidak kalian dengar, maka aku akan mengambil sikap lain. Sikap yang barangkali paling sesuai untuk mengusir kalian dari tempat ini. Kemudian kami harus melanjutkan tugas kami memeriksa orang itu. Apakah orang itu akan mati karena ia berkeras untuk tidak mengakui keadaannya, atau ia kemudian akan mengaku, itu urusan kami. Apakah kami akan menempatkan orang itu menjadi sasaran latihan dan meningkatkan kemampuan bidik kami atau sasaran latihan yang lain. itupun urusan kami”
“Baiklah Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebaiknya aku dan saudaraku mempergunakan cara yang kau pilih”
“Apa maksudmu?” bertanya orang itu, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Aku akan melakukan apa yang ingin kami lakukan. Bahwa kami akan membebaskan orang itu adalah urusan Kami. Bahwa kami akan berbuat apa saja disini adalah urusan kami. Kau tidak akan dapat melarang. Jika kau menganggap bahwa kau akan mempergunakan kekerasan, maka kamipun akan mempergunakan kekerasan”
“Tegasnya, aku tantang kau berperang tanding” potong Mahisa Pukat, “Kau dapat memilih senjata yang kau kehendaki. Aku tidak berkeberatan jika kau memilih senjata sumpit beracun sekalipun”
Sorot mata orang itu bagaikan membara. Bibirnya nampak bergetar sedangkan giginya gemeretak menahan gejolak perasaannya. Kemudian terdengar ia menggeram, “Anak setan. Kau akan aku bunuh bersama-sama”
“Jangan bicara tentang membunuh, agar tidak menimbulkan rangsang padaku untuk membunuhmu pula” bentak Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi semakin marah. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kalian adalah orang-orang Jurang Growong yang ingin membebaskan kawan kalian. Tetapi kalian akan mati di banjar ini”
Tetapi jawaban Mahisa Pukat justru mengejutkan, “Aku mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah satu dari Hantu Jurang Growong itu. Kau dengan sengaja telah menimbulkan kegelisahan di padukuhan dan bahkan Kabuyutan ini. Kau telah menyesatkan orang-orang padukuhan ini untuk mempergunakan sumpit sebagai pangganti busur dan anak panah, karena bagi Hantu Jurang Growong anak panah jauh lebih berbahaya dari sumpit yang sulit mempergunakannya. Berlatih membidik dengan sumpit adalah jauh lebih sulit dari mempergunakan busur dan anak panah. Aku menguasai keduanya dan aku dapat memperbandingkannya”
Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga orang itu. Sementara orang-orang padukuhan itupun menjadi berdebar-debar. Kata-kata Mahisa Pukat itu ternyata menjadi perhatian mereka. Tetapi Mahisa Pukat tidak sempat berkata sepatah kata pun lagi. Orang itu dengan serta merta telah menyerangnya dengan garang. Kedua tangannya mengembang dan jari-jarinya terbuka. Seolah-olah orang itu hendak menerkamnya sebagaimana seekor harimau menerkam mangsanya.
Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiaga. Ia pun sempat meloncat menghindar. Namun dengan demikian, Mahisa Pukat menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan lawan yang tangguh, sehingga karena itu. maka ia pun tidak mau kehilangan waktu. Demikian ia bergeser, maka kakinya pun telah berputar bertumpu pada kakinya yang lain. Demikian derasnya langsung menyerang lambung dalam putaran mendatar.
Serangan Mahisa Pukat itu tidak diduga sama sekali oleh lawannya yang menganggapnya masih terlalu kanak-kanak. Karena itu, maka orang itu tidak bersiap untuk menghindarinya. Meskipun ia berusaha juga bergeser, tetapi serangan Mahisa Pukat datang lebih cepat, sehingga yang dapat dilakukannya adalah dengan serta merta menangkis sambaran kaki yang kuat itu.
Tetapi benturan kekuatan itu tidak seimbang. Justru karena orang itu menganggap Mahisa Pukat tidak akan mampu melakukan serangan seperti itu. Karena itu. maka tangan orang itu pun telah terdorong oleh kekuatan serangan Mahisa Pukat, sehingga orang itu terputar setengah lingkaran.
Mahisa Pukat telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan cepatnya ia melenting. Kakinya terjulur kesamping mendatar dengan lontaran badannya. Benar-benar serangan yang sangat kuat, dilambari oleh sebagian besar kemampuan Mahisa Pukat. Dengan dahsyatnya serangan itu menghantam punggung lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya setelah terputar oleh dorongan serangan Mahisa Pukat. Demikian derasnya, sehingga orang itu pun telah terdorong dan jatuh terjerembab.
Untunglah, bahwa ia pun memiliki kesigapan, sehingga wajahnya tidak terbanting mencium tanah. Beberapa kali orang itu berguling. Kemudian dengan sigapnya ia melenting berdiri. Mahisa Pukat meloncat maju. Namun ia harus berhati hati. Orang itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi pula. Sehingga tubuhnya seolah-olah menjadi liat. Sejenak kemudian keduanya telah berdiri berhadapan. Keduanya telah siap untuk menyerang dan diserang. Namun dengan demikian orang itu pun mengetahui, bahwa anak-anak itu memiliki kemampuan yang tidak diduga sebelumnya.
Meskipun demikian, orang itu masih juga sesumbar, katanya, “Marilah. Majulah berdua. Dengan demikian pekerjaanku akan cepat selesai. Kalian memang harus dibunuh untuk ketenangan padukuhan dan Kabuyutan ini”
“Kata-kataku tadi belum selesai” sahut Mahisa Pukat, “kau tentu orang dari gerombolan yang disebut Hantu Jurang Growong”
“Kau boleh mengigau apa saja. Tetapi kenyataan akan membuktikan. Marilah, jangan banyak bicara lagi. Majulah berdua” geram orang itu.
Mahisa Murti yang berdiri dipinggir arena menyahut, “Biarlah seorang di antara kami menunjukkan kepadamu, bahwa kau bukan orang yang pantas diagungkan di sini. Seorang di antara kami akan dapat mengalahkanmu”
Orang itu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak mau tergesa-gesa. Ia pun kemudian bergeser setapak. Dipersiapkannya ilmunya sebaik-baiknya. Anak-anak itu benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa mereka tidak mau bertempur berpasangan. Jika benar demikian, maka ia tidak lagi banyak mempunyai harapan.
“Kesombongannya akan menjebaknya dalam kesulitan” berkata orang itu di dalam hatinya, “aku akan dapat membunuhnya seorang demi seorang”
Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara kedua orang itupun telah berlangsung lagi dengan dahsyatnya. Ternyata orang itu telah benar-benar mengerahkan kemampuannya untuk segera membunuh Mahisa Pukat untuk selanjutnya membunuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya menjadi korban. Ia pun memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan orang itu, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru.
Keduanya pun kemudian sampai ke puncak kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan tatapan mata wadag. keduanya saling menyerang. Saling mendesak dan saling bertahan. Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu pun merasa bahwa ia tidak akan dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya iapun telah meloncat surut. Ketika Mahisa Pukat bergeser mendekat, orang itu telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang.
Mahisa Pukat tertegun. Ia tidak mempunyai senjata panjang. Yang ada padanya hanyalah sebilah pisau belati di-bawah kain panjangnya. Namun, ia tidak dapat melawan pedang itu dengan tangannya. Ia sudah menjajagi kemampuan lawannya. Jika ia memiliki ilmu pedang setinggi kemampuannya bertempur dengan tangannya, maka ia akan dengan cepat mengalami kesulitan. Karena itu. meskipun ia hanya mempunyai sebilah pisau belati saja, namun ia pun kemudian mencabut pisau belatinya dan siap menghadapi pedang panjang lawannya.
Terdengar orang itu tertawa. Katanya, “Kesombonganmu memang tidak dapat dimaafkan Dengan senjata mainan seperti itu. kau akan melawan ilmu pedangku”
“Aku tidak ingin menyombongkan diri Ki Sanak” Jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku tidak mempunyai senjata lain. Pisau inilah yang aku pergunakan untuk memotong pering cendani sehingga timbul persoalan sehingga aku datang kepadukuhan ini”
“Tetapi kau benar-benar akan mati anak muda. Selagi kau masih sempat, lihatlah betapa cerahnya langit di sisa hari ini” berkata orang itu di antara suara tertawanya.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun berpaling ketika Mahisa Murti berkata, “Pertempuran itu harus adil. Jika kau hanya membawa sebilah pisau belati pendek Mahisa Pukat, maka kau sepantasnya membawa dua”
Sebelum Mahisa Pukat menjawab, Mahisa Murti telah melemparkan pisau belatinya pula kepada saudara laki-lakinya. Dengan tangkas Mahisa Pukat menangkap pisau itu. Kemudian dengan sepasang pisau belati di kedua tangannya, maka ia pun lelah siap menghadapi lawannya yang bersenjata pedang panjang.
Orang yang berpedang panjang itupun termangu-mangu sejenak, ia melihat kedua tangan Mahisa Pukat menggenggam sepasang pisau belati dengan sangat meyakinkan, sehingga dengan maka ia pun menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan mempergunakannya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bersiap. Orang berpedang itu mulai menjulurkan pedangnya. Memutarnya kemudian dengan cepat menyerang mendatar.nMahisa Pukat sudah bersiap. Ia sadar, bahwa lawannya berusaha untuk menjajagi kemampuannya mempermainkan pisau-pisaunya. Karena itu. maka ia pun tidak terlalu banyak berbuat sesuatu. Namun ia justru bersiap-siap menghadapi serangan-serangan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah benar-benar terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya. Senjata mereka berputaran, menyambar, mematuk dengan dahsyatnya. Mahisa Pukat yang mempergunakan senjata yang lebih pendek, mempunyai kesempatan lebih kecil untuk menggapai lawannya dengan senjatanya. Namun ia mampu mempergunakan sepasang pisau belati untuk membentengi dirinya dengan rapat sekali. Seolah-olah sepasang pisau belati itu tidak akan mungkin dapat ditembus, meskipun hanya seujung duri sekalipun.
Orang berpedang itu mulai menyadari, bahwa anak muda itu bukan orang kebanyakan. Ternyata anak muda yang melawannya itu menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun yang di tangannya adalah senjata pendek, tetapi sepasang senjata pendek ilu benar-benar mampu melindungi dirinya dengan rapat sekali. Benturan-benturan pun telah berlangsung dengan dahsyatnya. sehingga bunga apinya berhamburan.
Dengan kemarahan yang bergejolak di dadanya. orang berpedang itu menyerang dengan kecepatan yang mendebarkan. Senjatanya yang lebih panjang nampaknya memberikan kemungkinan kepadanya lebih baik dari lawannya. Meskipun demikian, ayunan senjatanya selalu membentur senjata pendek anak muda yang melawannya itu.
Ketika ia menusuk lurus ke arah dada. Mahisa Pukat sempat bergeser sambil memukul pedang lawannya ke samping. Namun lawannya itu memutar pedangnya justru ancang-ancang untuk mengayunkannya langsung mengarah kekepalanya. Mahisa Pukat menyadari, betapa dahsyatnya kekuatan yang mendorong ayunan pedang itu. Karena itu, maka ia pun segera menyilangkan pisau belatinya di atas kepalanya. Benturan yang dahsyat telah terjadi. Namun sekali lagi orang berpedang itu merasa bahwa kekuatan anak muda itu tidak berada di bawah tataran kekuatannya.
Karena itu, maka ia pun menjadi gelisah. Anak muda itu memiliki kelebihan. Bahkan kecepatannya bergerak pun mulai mencemaskannya. Tetapi orang berpedang itu masih tetap berpengharapan ia masih berharap kelebihan pada senjatanya. Dengan pedang panjang itu ia akan dapat menjangkau kulit lawannya.
Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Mahisa Pukat berloncatan dengan cepatnya. Sementara sepasang pisau belatinya bergetar bagaikan sayap burung sikatan yang melindungi seluruh tubuhnya.
Mahisa Murti yang berdiri di luar arena menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak terlalu mencemaskan keadaan Mahisa Pukat. Ia melihat beberapa kelebihan saudara laki lakinya. Meskipun demikian putaran senjata lawannya yang lebih panjang itu membuatnya menahan nafas.
Orang-orang padukuhan itu memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka tidak tahu lagi, apa yang dapat mereka lakukan. Pertempuran itu sudah berada di luar jangkauan kemampuannya untuk mengikutinya. Mereka hanya melihat loncatan loncatan panjang, kemudian putaran senjata dan benturan-benturan yang mendebarkan. Namun mereka tidak dapat menilai, apa yang akan terjadi dengan kedua orang yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu.
Sementara itu, seseorang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ia adalah seorang di antara orang-orang padukuhan itu. Ia adalah orang yang mendapat seorang tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk kepada orang-orang padukuhan itu untuk membuat senjata dari pering cendani”
Namun beberapa lamanya ia telah dicengkam oleh kecemasam. Agaknya orang bersenjata pedang panjang itu semakin menjadi semakin sulit menghadapi seorang anak yang masih terlalu muda dengan senjata sepasang pisau belati di tangannya. “Anak itu berilmu iblis” berkata orang itu. Sejenak ia memperhatikan pertempuran itu. Namun kemudian, ia pun memperhatikan Mahisa Murti yang termangu-mangu.
“Anak yang satu itu sudah tidak bersenjata. Pisau belatinya telah diberikan kepada anak muda yang sedang bertempur itu” berkata orang itu di dalam hatinya, “seandainya anak itu juga memiliki kemampuan seperti anak yang sedang bertempur itu, maka ia akan mengalami kesulitan melawan pedang panjang.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Ia masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetangga-tetangganya sama sekali tidak mengetahui tentang dirinya sebagaimana sebenarnya. Ia tidak pernah dikenal sebagai seseorang yang berilmu. Hidupnya tidak lebih dari seorang petani biasa.
Namun demikian, pada saat yang penting, ia tidak dapat berdiam diri. Orang yang menjadi tamunya itu mulai terdesak Nampaknya anak muda yang bersenjata sepasang pisau belati itu benar-benar akan mengakhiri pertempuran sampai tuntas. Karena itu, setelah mempertimbangkan beberapa segi. akhirnya ia mengambil keputusan untuk bertindak cepat, justru pada saat tamunya itu masih mampu berbuat sesuatu. Bahkan kadang-kadang masih dapat mendesak lawannya yang masih muda itu.
Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati Mahisa Murti. Sebagaimana orang-orang padukuhan itu, pada saat yang mereka anggap berbahaya itu, sebagian dari mereka telah membawa senjata apa saja yang mereka miliki. Karena itu, maka orang yang mendekati Mahisa Murti itu sama sekali tidak menarik perhatian karena senjatanya.
Namun ketajaman penggraitan Mahisa Murti seolah-olah telah memperingatkannya, bahwa seseorang telah mendekatinya dengan maksud tertentu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan ia pun sempat bergeser tanpa dicurigai oleh orang itu, karena seolah-olah perhatian Mahisa Murti tertumpah kepada pertempuran di arena. Seolah-olah ia bergeser karena pertempuran itu memang sangat mendebarkan.
Tetapi Mahisa Murti telah mendekati seseorang yang membawa senjata pula. Senjata yang barangkali tidak akan dapat dipergunakan oleh pemiliknya. Karena senjata itu adalah sebatang canggah yang sudah karatan bertangkai kayu gelugu yang sudah kehitam-hitaman. Namun tangkai itu adalah kayu yang terlalu tua, sehingga menjadi keras dan liat seperti besi.
Sejenak Mahisa Murti masih menunggu. Mungkin ia keliru. Tetapi ia tetap waspada menghadapi setiap kemungkinan. Untuk beberapa saat masih belum terjadi sesuatu atas Mahisa Murti. Orang yang bergeser mendekatinya itu masih memperhatikan Mahisa Pukat yang bertempur dengan pisau belati rangkap. Namun demikian. Mahisa Murti pun masih tetap berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu. Mahisa Pukat dan lawannya masih saja bertempur dengan sengitnya. Sebenarnyalah Mahisa Pukat pun menjadi heran, bahwa di tempat itu ia telah berhadapan, dengan seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. “Untunglah, bahwa kami membawa bekal yang cukup” berkata Mahisa Pukat.
Karena di dalam diri Mahisa Pukat tersimpan kemampuan yang disadapnya bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari pamannya Witantra yang mempunyai sumber ilmu yang sama dengan ayahnya dan dari orang yang memiliki sumber ilmu yang berbeda. Mahisa Agni. Namun yang ternyata ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda itu telah luluh di dalam diri anak-anak muda itu. Karena itulah, maka ia pun telah membuat lawannya itu menjadi heran pula. Anak muda itu ternyata mampu mengimbanginya. Bahkan dalam beberapa hal, anak muda itu memiliki kelebihan sehingga ia bahkan dapat mendesaknya.
Sejenak pertempuran itu mencengkam semua orang yang ada dihalaman itu. Namun sejenak kemudian, arena itu telah dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah diduga oleh orang-orang padukuhan itu sendiri. Pada saat-saat perhatian mereka tercengkam oleh pertempuran yang dahsyat antara Mahisa Pukat dan lawannya yang bersenjata pedang panjang, tiba-tiba saja terdengar teriakan nyaring di pinggir arena.
Semua orang telah berpaling. Bahkan yang sedang bertempur itu pun telah terpengaruh pula, sehingga keduanya telah meloncat mengambil jarak. Pada saat itulah, seseorang telah meloncat sambil menyerang Mahisa Murti dengan sebilah pedang panjang.
Tetapi serangan itu tidak menggetarkan jantung Mahisa Murti. Ia telah bersiap sepenuhnya. Karena itu. maka ia pun dengan tangkasnya telah menghindari serangan itu. Bahkan dengan kecepatan yang mengherankan, ia telah menyambar canggah di tangan seseorang yang berdiri termangu mangu.
“Aku pinjam senjatamu” berkata Mahisa Murti, “mungkin kau tidak pernah mempergunakannya sebelumnya. Entah darimana kau dapat senjata semacam itu”
Orang yang memegang canggah itu hanya berdiri saja mematung. Ketika tangkai canggahnya lolos dari tangannya, iapun masih tetap berdiri kebingungan. Sementara itu. Mahisa Murti telah meloncat ke halaman. Ia siap menyongsong lawannya yang memburunya dengan pedang di tangan.
Namun orang itu mengumpat ketika ia melihat, di tangan Mahisa Murti telah tergenggam senjata yang akan dapat melawan pedang panjangnya. “Anak iblis” geram orang itu.
“Tunggulah Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “apakah alasan Ki Sanak menyerang aku”
“Aku tidak peduli” geram orang itu, “kawanmu telah membuat jantung kami bergelora. Orang yang melawannya itu adalah tamuku. Aku tidak akan dapat membiarkannya bertempur tanpa ujung dan pangkal”
“Anak muda itu adalah saudaraku” jawab Mahisa Murti, “tetapi aku tidak mengerti alasanmu. Kenapa kau sebut bahwa tamumu itu bertempur tanpa ujung dan pangkal?”
“Kau berdua adalah orang-orang yang telah merusak segala usaha kami sepadukuhan ini untuk mengusut Hantu Jurang Growong. Karena itu. Kalian memang harus dimusnahkan” jawab orang itu.
Mahisa Murti tidak bertanya lebih lanjut. Orang itu menyerangnya dengan dahsyatnya. Orang-orang padukuhan itu menjadi heran. Ternyata tetangga yang mereka anggap tidak lebih dari mereka sendiri itu, kemudian mampu bertempur dengan dahsyatnya Ternyata orang itu memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana tamunya yang telah menganjurkan orang-orang padukuhan itu mempergunakan sumpit untuk melawan Hantu Jurang Growong.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Jagabaya bukan orang yang terlalu bodoh. Jika untuk beberapa saat ia dapat dipermainkan oleh tamu yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu. kemudian ternyata bahwa ia mampu mengamati keadaan. Justru karena tetangganya yang disangka tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan itu kemudian menunjukkan kemampuannya, maka ia menjadi curiga.
“Selama ini ia telah menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya” berkata Ki Jagabaya didalam hatinya. Baru kemudian Ki Jagabaya sadar, bahwa tetangganya itu pernah meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama.
“Tentu selama itu ia berhasil menguasai ilmu yang dahsyat itu” berkata Ki Jagabaya didalam hatinya, “tetapi apakah artinya, bahwa ia telah menyamarkan dirinya seakan-akan ia tidak lebih dari tetangga-tetangganya?”
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyadari apa yang telah terjadi, ternyata telah menjadi semakin marah pula. Tetapi latihan-latihan yang tekun telah membuatnya sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak dapat bertempur semata-mata dengan perasaannya. Ia harus tetap mempergunakan nalarnya untuk melawan pedang panjang lawannya.
Demikianlah, dihalaman itu telah terjadi dua arena pertempuran. Mahisa Pukat dengan pisau belati rangkap melawan seorang yang berpedang panjang, sementara Mahisa Murti juga melawan pedang panjang dengan canggah bertangkai panjang.
Sejenak kemudian, ternyata bahwa Mahisa Murti memiliki kemampuan yang tangguh untuk mempermainkan senjatanya itu. Dengan canggah bertangkai kayu gelugu itu Mahisa Murti telah melawan senjata yang berputaran di tangan seorang yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Namun ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti pun mampu mengimbangi kemampuan orang itu...
Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Didekatinya seorang anak muda yang memandanginya tanpa berkedip. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “He, apakah kau melihat dua orang anak muda yang tadi duduk di sebelahku?”
Anak muda yang ditanya itu menjadi heran. Namun ia menjawab. “Ya, Bukankah mereka masih duduk itu”
Pengawal itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya memang masih berada ditempatnya.
“Kami sedang mengawasinya” berkata anak muda itu, “keduanya adalah anak-anak muda yang mencurigakan”
“Kenapa?” bertanya pengawal itu.
“Keduanya mengaku telah berada di banjar pada saat para perampok datang untuk mencuri pusaka-pusaka itu. Bahkan keduanya mengaku sebagai perujudan benda-benda berharga yang dipergunakan untuk upacara itu” jawab anak muda itu.
“He” pengawal itu termangu-mangu, “keduanya mengaku demikian? Dan apakah benar mereka itu kedua anak muda yang telah hadir saat itu?”
“Itulah yang harus mereka buktikan. Mereka ternyata telah menodai kesaktian benda-benda upacara yang dapat memberikan ujud seperti ujud kita” jawab anak muda itu.
Pengawal itu mengangguk-angguk. Tetapi menurut penglihatan matanya, keduanya memang anak-anak muda yang telah menolong para pengawal. Membangunkan para pengawal dari pengaruh sirep yang luar biasa. “Tetapi mana mungkin?” pengawal itu bertanya ke pada diri sendiri, “jika keduanya benar-benar ujud manusia wantah seperti aku dan orang-orang ini. apakah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa itu”
Dalam keragu-raguan itu. tiba-tiba halaman itu menjadi riuh. Beberapa orang telah menyibak. Seorang Senopati yang naik ketangga pendapa berkata, “Akuwu berkenan hadir di pendapa banjar ini”
Semua orang pun telah menepi. Mereka menyaksikan Akuwu naik ke pendapa diiringi oleh Senopati yang seorang lagi dengan para pengawal. Kemudian Ki Buyut yang baru saja diwisuda itu pun ikut naik pula ke pendapa dengan langkah tertegun-tegun.
Ketika Akuwu sudah duduk, maka ia pun kemudian bertanya kepada Senopati, “Bawa anak itu kemari”
Senopati itupun kemudian memerintahkan para pengawal yang mengawasi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar membawa kedua orang anak muda itu menghadap Akuwu di pendapa. Sambil berjalan dengan berjongkok keduanya naik ke pendopo bergeser setapak demi setapak mendekati Akuwu yang duduk menunggu.
Beberapa orang menjadi tegang. Para pengawal yang lain, yang pada hari pertama telah bertempur bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat mengenalinya. Keduanya adalah anak-anak muda yang telah mereka sebut sebagai penjelmaan dari benda-benda upacara yang keramat itu. Namun anak-anak muda itu kemudian menghadap Akuwu dalam ujud wadag sepenuhnya. Tidak lagi mempunyai pengaruh yang mendebarkan sebagaimana mereka lihat pada waktu itu
“Tetapi pada waktu itu, aku pun menganggap mereka sebagai orang-orang biasa” berkata salah seorang pengawal di dalam hatinya, “baru kemudian ketika mereka lenyap, tumbuh berbagai macam tanggapan di antara kami”
Para pengawal itu mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Tetapi mereka memang tidak mengetahui dari mana anak-anak muda itu datang. Apalagi pada keadaan yang sama di hari berikutnya. Tidak seorang pun yang mengetahui, selain ceritera dari para tawanan. Namun mereka telah meninggalkan bekas yang membuat dugaan para pengawal itu semakin kuat. Pada hari yang kedua dari serangan para perampok itu, para pengawal melihat tutup peti yang agak bergeser.
Dalam pada itu, dalam ketegangan yang mencengkam, terdengar Akuwu bertanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Siapakah nama kalian?”
“Hamba bernama Pinta tuanku dan saudara hamba ini bernama Soma” jawab Mahisa Murti.
“Pinta dan Soma” desis Akuwu, “tetapi apakah kau mengetahui sebabnya, kenapa kau telah dibawa ke banjar ini?”
Pinta dan Soma memandang Ki Buyut sejenak, seolah-olah hendak bertanya, apakah Ki Buyut sudah mengatakan kepada Akwu, kenapa mereka berdua berada di Banjar. Namun agaknya Ki Buyut justru menundukkan kepalanya.
“Aku bertanya kepadamu berdua” berkata Akuwu kemudian, “tidak kepada Ki Buyut. Seandainya Ki Buyut sudah mengatakan kepadaku, aku akan tetap bertanya kepada kalian, apakah kalian mengetahui alasannya, kenapa kalian dibawa kemari”
Mahisa Murti membungkuk hormat. Dengan menunduk ia pun kemudian berkata, “Tuanku, sebenarnyalah hamba berdua memang memohon untuk dibawa ke Banjar atau langsung menghadap Akuwu”
Akuwu mengangguk-angguk. Sementara Ki Buyut mengangkat sedikit wajahnya. Namun Ki Buyut itu pun kemudian telah menunduk lagi. “Jadi kalian sedirilah yang minta agar kalian dibawa ke Banjar ini?” bertanya Akuwu kemudian.
“Hamba tuanku” jawab Mahisa Murti.
“Apakah kepentinganmu, sehingga kau berdua mohon agar kau berdua dibawa ke Banjar ini?”
Mahisa Murti bergeser setapak. Kemudian katanya, “Tuanku, memang ada yang ingin hamba sampaikan kepada tuanku. Mungkin persoalannya pernah dikatakan oleh Ki Buyut kepada taunku”
“Sudah aku katakan. Aku ingin mendengar darimu. Bukan dari Ki Buyut” potong Akuwu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah tuanku. Perkenankanlah hamba menyampaikan niat hamba, sehingga hamba menyatakan keinginan hamba untuk menghadap tuanku” Mahisa Murti sejenak, lalu, “sebenarnyalah hamba telah mendengar satu dongeng yang mendebarkan hamba. Menurut ceritera yang hamba dengar, bahwa pusaka-pusaka yang dipergunakan sebagai pelengkap upacara itu dapat menjelma, berujud sebagai dua orang anak muda. Dongeng itu pun mengatakan bahwa dua orang anak muda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan para perampok. Tuanku, menurut dongeng itu, maka hamba mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan dua orang anak muda jelmaan dari benda-benda upacara yang keramat itu, adalah hamba berdua. Karena itu, maka hamba memerlukan datang menghadap untuk memberikan kesan yang sebenarnya dari persoalan kedua pusaka itu”
“Jadi bagaimana menurut pendapatmu? Apakah ceritera itu tidak benar?” bertanya Akuwu.
“Hamba tuanku. Ceritera itu memang tidak benar. Seperti yang sudah hamba katakan, yang dimaksud dalam ceritera itu adalah tidak memperdulikannya. Tetapi akhirnya hamba menganggap bahwa ceritera itu akan dapat menyesatkan Akuwu jika Akuwu mempercayainya. Namun sebenarnyalah kami menganggap bahwa Akuwu yang sudah mengenal benda-benda upacara itu sejak lama, tidak akan mempercayai dongeng itu”
Akuwu mengangguk-angguk. Namun kemudian bertanya, “Tetapi ingat anak muda, bahwa kedua ujud itu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Kedua anak muda itu pada malam berikutnya mampu melawan sekelompok penjahat yang jumlahnya berlipat ganda dari jumlah kedua orang anak muda itu”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Memang terasa agak segan untuk mengatakan, bahwa ia pun memiliki kemampuan seperti yang disebut-sebut pada dua orang anak muda dalam dongeng yang menarik itu.
Tetapi Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah sulit bagi hamba berdua untuk mengatakan yang demikian. Mungkin akan dapat menumbuhkan kesan, alangkah sombongnya kami berdua. Tetapi untuk melengkapi keterangan saudara hamba, maka biarlah hamba mengatakan bahwa kemampuan yang demikian itu memang ada pada hamba berdua, karena sebenarnyalah kedua anak muda yang disebut-sebut itu memang hamba berdua adanya”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang pengawal mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun tuanku, apakah hamba diperkenankan menyampaikan pendapat hamba”
Akuwu memandang pengawal itu sekilas. Kemudian sambil mengangguk Akuwu berkata, "Apakah yang akan kau katakan?”
“Tuanku” berkata pengawal itu, “sebenarnyalah menurut penglihatan hamba, kedua anak muda itu memang dua orang anak muda yang hadir di Banjar dan bertempur bersama hamba dan kawan-kawan hamba. Atas pertolongan keduanyalah maka hamba dapat mempertahankan benda-benda upacara yang keramat itu. Namun menilik keadaannya sekarang, hamba sangsi, apakah benar kedua orang anak muda itu benar-benar kedua orang anak muda yang menolong hamba itu seutuhnya”
“Apakah yang kau maksudkan?” bertanya Akuwu.
“Maksud hamba, mungkin yang menghadap Akuwu sekarang hanyalah wadagnya saja. Wadag yang dipergunakan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam benda-benda keramat itu. Menurut dugaan hamba, kekuatan yang tersimpan itu memang tidak akan dapat menjelma dalam ujud tubuh wantah seperti kita. Tetapi kekuatan itu agaknya telah meminjam tubuh anak-anak muda itu. Namun demikian, pada saat peristiwa itu terjadi, anak muda tersebut tidak kehilangan seluruh kepribadiannya. Sehingga karena itu, maka ia masih sempat mengingat apa yang telah terjadi di Banjar itu. Bahkan mereka telah menganggap bahwa mereka berdualah kekuatan yang sebenarnya untuk mengatasi kesulitan itu. Keduanya merasa seolah-olah merekalah yang telah memenangkan pertempuran melawan para penjabat itu” berkata pengawal itu lebih lanjutnya.
Akuwu mendengarkan pendapat pengawal itu sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Apakah kau sependapat dengan kata-kata pengawal itu? Bahwa sebenarnya bukan kau dalam keadaan yang utuhlah yang lelah melakukannya pada malam itu?”
“Ceritera ini sama berbahayanya dengan ceritera yang pertama seolah-olah benda-benda upacara yang keramat itu dapat menjadikan diri mereka berujud sebagaimana diri kita” jawab Mahisa Murti.
“Jadi kau berkeras mengatakan, bahwa kedua orang anak muda itu benar-benar kalian berdua?” bertanya Akuwu.
“Hamba Akuwu” jawab Mahisa Pukat, “hanya karena hamba ingin mendudukkan persoalannya pada keadaan yang sebenarnya”
Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara para Senopatinya berkata, “Anak-anak muda. Jika kau berkeras menganggap diri kalian seutuhnya yang telah bertindak malam itu, maka kau akan mengalami sedikit kesulitan, karena kau harus membuktikan bahwa kau memang mampu berbuat demikian”
“Kami telah melakukannya” jawab Mahisa Pukat, “di halaman rumah Ki Buyut, kami telah mengalami pendadaran. Kami harus berkelahi melawan seorang yang bertubuh raksasa, sehingga dengan kemenangan kami. Maka kami mendapat kesempatan untuk menghadap Akuwu sekarang ini”
Senopati itu tersenyum. Ternyata Akuwu pun tersenyum pula. Dengan suara datar Akuwu bertanya, “Jadi kau berdua telah berkelahi melawan anak padukuhan ini yang bertubuh raksasa?”
“Hamba tuanku jawab Mahisa Murti” maksud hamba, hamba sendiri, bukan berdua. Ki Buyut menjadi saksi”
Akuwu berpaling ke arah Senopatinya yang masih saja tersenyum. Katanya, “Agaknya pendapat pengawal itu perlu mendapat perhatian. Meskipun demikian segalanya masih perlu dibuktikan”
Senopati itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya nepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Anak muda, apakah kau dapat membayangkan, kekuatan apakah yang nampak pada kalian berdua pada waktu itu. Jika kau benar-benar anak muda itu, maka kau akan mengingatnya, apakah yang menjadi lawanmu. Berapa orang dan apakah kau dapat membayangkan kekuatan mereka masing-masing. Apakah dengan memperbandingkan kekuatan itu atas anak muda padukuhan ini meskipun bertubuh raksasa itu sudah kau anggap cukup?”
“Demikianlah yang dikatakan oleh anak muda itu” jawab Mahisa Murti.
“Anak muda” berkata Senopati itu lebih lanjut, “pada malam kedua, dua orang anak muda itu harus bertempur melawan sekitar dua puluh orang penjahat. Di antara mereka memiliki ilmu sirep yang dahsyat, yang dapat membuat para pengawal yang terlatih baik itu tertidur nyenyak. Nah. bayangkan, apakah kau mampu berbuat seperti itu? Atau kau justru tidak dapat menilai betapa besarnya kekuatan mereka itu”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Baiklah hamba berterus terang tuanku, meskipun hamba tidak berniat ingin menyombongkan diri. Sebenarnyalah hamba berdua pada waktu itu harus berjuang mengatasi ilmu sirep itu. Kemudian bertempur melawan sejumlah penjahat yang berniat mengambil benda-benda pusaka yang keramat itu. Hamba tidak tahu, bagaimana hamba harus membuktikannya. Namun beberapa saksi telah menyatakan, bahwa sebenarnyalah hamba berdua hadir pada saat-saat yang gawat itu”
Senopati itu masih saja tersenyum. Kemudian katanya kepada Akuwu, “Tidak ada cara lain untuk membuktikannya, tuanku”
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak muda. Aku nasehatkan agar kau tarik pengakuanmu itu sebelum aku memutuskan bahwa kau harus mengalami satu pendadaran untuk membuktikan kebenaran kata katamu”
Mahisa Murti berkisar sejengkal. Namun Mahisa Pukat langsung saja menjawab, “Apakah hal itu yang dimaksudkan oleh Senopati? Jika memang demikian, maka apa boleh buat. Hamba berdua akan melakukannya. Kecuali ada jalan lain yang dapat hamba tempuh”
Senopati itu mengerutkan keningnya Namun Akuwu berkata, “Agaknya kalian memang kehilangan kepribadianmu. Tetapi baiklah, aku akan menyaksikan pendadaran itu.
Mahisa Murti berpaling kearah Mahisa Pukat sekilas. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran kata-katanya adalah pendadaran itu. Karena itu. maka katanya, “Tuanku. Jika hamba berdua menerima cara ini, semata-mata karena hamba berdua ingin berbakti kepada Akuwu. Hamba tidak ingin pendapat Akuwu menjadi sesat atas benda benda berharga milik Akuwu sendiri”
“Terima kasih” jawab Akuwu, “jika benar seperti apa yang kau katakan itu, aku akan mengucapkan berulang kali terima kasih. Karena sebenarnyalah sejak aku memiliki benda itu pertama kali. sebagai warisan dari ayahanda Akuwu, aku memang belum pernah mengalami peristiwa seperti dongeng itu. Tetapi nampak dongeng itu demikian menariknya, sehingga aku menjadi ragu-ragu karenanya. Dengan demikian usahamu untuk menegaskannya, aku hargai sebaik-baiknya”
Wajah Mahisa Murti menegang sejenak, ia tidak melihat sikap yang keras pada Akuwu. Tetapi lebih condong pada sikap belas kasihan. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun mengetahui, bahwa Akuwu bukan seorang yang kasar. Tetapi ia lebih banyak berusaha untuk mengerti perasaan rakyatnya.
Sejenak kemudian, maka Senopati itu pun telah memerintahkan kepada para pengawal untuk membuat arena di halaman. Arena yang akan menjadi tempat pendadaran, apakah yang dikatakan oleh kedua anak muda itu benar.
Sejenak kemudian, maka Akuwu pun berkata, “Arena itu sudah siap. Marilah, kita akan membuktikan. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, dua puluh orang penjahat adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan”
“Tetapi karena tidak ada cara lain untuk membuktikan kebenaran kata-kata hamba, maka apa boleh buat. Hamba akan melakukannya” jawab Mahisa Murti.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun lelah turun ke halaman Sementara itu, Akuwu dan para Senopatinya pun telah turun pula diikuti oleh Ki Buyut.
Sejenak kemudian Akuwu pun berkata, “Aku akan mulai dengan para pengawal. Dua orang pengawal akan berkelahi melawan dua orang anak muda itu Tetapi aku masih memberi peringatan kepada para pengawal, agar mereka dapat menjaga diri. Kedua orang anak muda itu bukan orang-orang hukuman. Mereka berniat baik, tetapi mereka telah salah langkah. Karena itu, perlakuan kalian terhadap anak muda ini harus berbeda dengan perlakuan kalian terhadap para penjahat yang sebenarnya”
Demikianlah, dua orang pengawal telah turun ke arena. dua orang pengawal yang telah salah ikut bersama kedua anak muda itu bertempur. Dengan demikian mereka akan dapat mengenali tingkah laku dan tabiat keduanya dalam pertempuran.
“Kalian tidak akan membawa senjata” berkata Akuwu, “dan kalian akan berhenti jika kalian telah meyakini keadaan lawan dan diri sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Akuwu sejenak. Sementara Akuwu menjelaskan, “Jika kalian telah merasa kalah, maka kalian harus menyatakan diri dengan jujur”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ternyata Akuwu dan Ki Buyut itu mempunyai sifat yang mirip. Keduanya bukan orang yang senang melihat kekerasan, meskipun nampaknya Akuwu itu bukannya orang yang tak berilmu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berhadapan dengan dua orang pengawal. Masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang.
“Tuanku” bertanya Mahisa Pukat, “apakah hamba benar-benar harus menunjukkan kemampuan sebagaimana dilihat pada malam-malam yang dikuasai ooleh sirep itu?”
Akuwu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Pukat sejenak. Namun kemudian Akuwu itu mengangguk sambil tersenyum. “Lakukanlah anak muda” jawabnya, “keyakinanmu akan dirimu memberikan keyakinan pula kepadaku, bahwa kalian berkata dengan jujur. Seandainya yang kami lihat kemudian berbeda dengan yang kalian katakan, kalian sama sekali tidak bermaksud berhobong. Tetapi kalian benar- benar tidak mengerti apa yang kalian lakukan”
Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat baru melakukannya kemudian. “Hamba mengucapkan terima kasih atas tanggapan Akuwu terhadap, sikap hamba berdua. Hamba berdua mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ternyata hamba salah menilai diri hamba berdua”
Demikianlah, maka kedua orang pengawal itupun telah bersiap. Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti bertanya, “Apa yang akan kita lakukan kakang? Apakah kita akan segera mengakhiri perkelahian?”
“Apakah hal itu tidak akan menyinggung perasaan mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Tetapi jika di pendadaran ini kita tidak meyakinkan Akuwu. Maka pendadaran ini tentu akan diulang” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah” jawab Mahisa Murti, “kita akan membuktikannya sekaligus. Dengan demikian pekerjaan kita cepat selesai”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera bersiap siap. Mereka akan menghadapi dua orang pengawal yang terpilih. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah dapat mengetahui kemampuan kedua orang pengawal itu pada saat mereka bersama bertempur melawan para penjahat di banjar itu pula.
Beberapa saat lamanya, mereka yang berada di arena itu saling berputaran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah berpencar. Mereka tidak menghadapi kedua lawannya dengan berkelahi berpasangan. Tetapi mereka akan menghadapi lawan mereka seorang dengan seorang.
Dalam pada itu, anak-anak muda dan orang-orang yang berkerumun itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka akan melihat perkelahian yang seru. Orang-orang itu menganggap bahwa para pengawal itu tentu orang terpilih. Orang yang lain dari orang kebanyakan di dalam olah kanugaran. Sementara itu, mereka pun menganggap bahwa dua orang anak muda itu tentu dua orang yang memiliki kemampuan yang melampaui kebanyakan orang. Apalagi mereka yang telah melihat, bahwa orang bertubuh raksasa di padukuhan mereka sama sekali tidak berdaya melawan salah seorang dari kedua orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, masing-masing telah menghadapi seorang lawan. Mereka justru telah tertekad untuk sekaligus meyakinkan Akuwu, bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Sejenak mereka masih berputaran. Namun sejenak kemudian, seorang dari kedua pengawal itu telah meloncat menyerang Mahisa Murti. Namun keadaan Mahisa Pukat justru berbeda. Karena pengawal yang akan dihadapinya tidak segera menyerang, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian menyerang.
Namun ternyata akibatnya hampir sama. Kedua anak muda itu benar-benar telah mempergunakan kesempatan itu untuk memerlukan kemampuan mereka, sekedar untuk menghindari keadaan yang akan menjadi semakin berlarut- larut.
Demikianlah, maka ketika lawan Mahisa Murti menyerangnya, maka Mahisa Murti pun bergeser selangkah surut. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat maju. Bukan menghantam lawannya dengan tangan atau kakinya. Namun dengan cepat, ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawannya. Hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata telanjang, maka tiba-tiba saja tangan lawannya telah terpilin. Tidak ada kesempatan untuk berbuat sesuatu. Demikian cepatnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyerang lawannya, ternyata dapat dihindari pada langkah pertama. Tetapi serangan yang pertama, telah disusul oleh serangan yang kedua. Demikian cepat. Sehingga pengawal itu tidak sempat mengelak. Serangan Mahisa Pukat telah mengenai lambung lawannya. Dalam keadaan terhuyung-huyung, maka Mahisa Pukat sempat mendorongnya sehingga jatuh.
Pada saat pengawal itu siap untuk melenting berdiri, Mahisa Pukat telah berjongkok disampingnya. Tangannya terangkat dan siap menghantam dada orang itu dengan sisi telapak tangan yang terangkat itu.
“Jangan bergerak” berkata Mahisa Pukat, “persoalan kita akan cepat selesai”
Pengawal itu menggeram. Namun yang tidak diduganya, ternyata Akuwu justru tertawa. Katanya, “Jangan melawan lagi. Kekalahanmu sangat meyakinkan. Demikian pula kawanmu yang terpilin tangannya. Jika anak muda itu mau, maka tangan itu akan dapat patah. Tetapi ia menepati janji. Yang terjadi bukan perkelahian yang sebenarnya”
Para pengawal itu justru bagaikan membeku. Namun Mahisa Murti kemudian telah melepaskan tangan yang dipilinnya itu perlahan-lahan. Sementara itu, Mahisa Pukatpun telah bergeser pula dan kemudian bangkit berdiri beberapa langkah dari pengawal yang dikalahkannya itu.
Orang-orang yang menyaksikan kekalahan kedua pengawal itu hampir tidak percaya kepada penglihatannya. Seolah-olah mereka belum dapat melihat apa yang terjadi. Mereka menduga akan terjadi perkelahian yang sengit. Namun belum lagi mata mereka berkedip, segalanya telah selesai, Kedua pengawal itu telah dinyatakan kalah. Justru oleh Akuwu sendiri. Dalam pada itu, orang-orang itu pun menunggu dengan tegang. Apakah yang akan terjadi kemudian.
Sementara itu Akuwu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Kailan memang luar biasa anak muda. Aku hampir percaya bahwa yang telah kalian katakan itu benar. Kalian adalah anak-anak muda yang telah kalian katakan itu benar. Kalian adalah anak-anak muda yang hadir malam pertama dan di malam kedua telah mengalahkan seluruh kekuatan perampok itu. Yang kalian lakukan itu bukan satu kebetulan. Yang kalian lakukan itu memang mengagumkan, Kedua orang pengawal itu benar-benar dapat kalian kalahkan pada langkah langkah pertama”
“Ampun tuanku” berkata Mahisa Murti, “apa yang hamba berdua lakukan, semata-mata melaksanakan perintah tuanku”
“Ya, ya. Aku tahu. Kalian memang tidak bersalah” berkata Akuwu.
Sementara itu kedua pengawal yang tidak berdaya itupun telah bangkit. Wajah mereka menjadi pucat. Ketika Akuwu mendekati mereka, maka kepala mereka pun telah menunduk dalam-dalam.
“Kalian pun tidak bersalah” berkata Akuwu, “kalian tidak usah merasa berkecil hati mengalami kekalahan ini. Itu sudah wajar sekali. Kalian memang harus kalah dalam waktu yang singkat. Bukan karena kalian tidak melaksanakan tugas kalian dengan baik, atau bukan berarti bahwa kalian adalah pengawal-pengawal yang lemah. Tetapi lawan kalian lah yang memang terlalu kuat. Karena itu jangan sakit hati. Kalianpun tidak usah malu kepada orang-orang padukuhan ini. Sebenarnyalah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kedua orang anak muda itu mempunyai ilmu yang penunjul”
Kedua pengawal itu masih menunduk dalam-dalam. Sementara itu orang-orang yang berada di halaman banjar itupun menjadi berdebar-debar. Namun mereka mengerti apa yang dimaksudkan oleh Akuwu. Karena itu, maka merekapun mulai berpikir tentang kebenaran pengakuan kedua orang anak muda itu, bahwa keduanyalah yang oleh banyak orang disangka ujud dari pusaka-pusaka yang berada di Banjar itu.
Dalam pada itu, orang-orang di Banjar itu pun menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Akuwu kemudian. Meskipun nampaknya Akuwu tidak marah, tetapi kadang kadang yang terjadi adalah di luar dugaan mereka, saat orang-orang dan para pengawal yang sedang berada di Banjar itu menunggu. Apa yang akan dikatakan oleh Akuwu tentang kedua orang anak-anak muda itu. Namun seperti yang mereka duga, bahwa sesuatunya memang dapat terjadi. Karena itu, dengan berdebar-debar mereka menunggu Akuwu itu berkata sesuatu tentang persoalan yang sedang mereka hadapi.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu itu, “kalian memang telah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Kalian dalam waktu yang sangat singkat telah mengalahkan para pengawal. Tetapi anak-anak muda. Bukan, maksudku untuk memaksa kalian tunduk kepada keputusanku. Tetapi aku hanya ingin lebih meyakinkan, apakah aku telah mengambil satu keputusan yang benar”
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu sejenak, sementara Akuwu itu berkata, “Untuk itu, maka aku ingin memperingatkan, bahwa kalian telah mengalahkan para perampok itu dalam jumlah yang cukup banyak. Karena itu, maka aku ingin melihat kekuatan kalian yang sebenarnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Apalagi yang harus mereka lakukan? Apakah mereka harus bertempur melawan jumlah orang sebagaimana mereka kalahkan pada malam kedua dari perampokan yang telah terjadi di Banjar itu.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu “aku sendiri bukannya orang yang memiliki ilmu kanuragan. Aku bukan orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi meskipun demikian, aku ingin menjajagi langsung kemampuan kalian berdua”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Keduanya tentu akan mengalami kesulitan. Jika mereka benar-benar harus bertempur melawan Akuwu, maka keduanya tidak akan dapat mengambil satu sikap yang pasti. Apakah mereka harus mengalahkan Akuwu atau tidak.
Dalam ketegangan itu Akuwu pun berkata, “Anak-anak muda. Aku tidak bermaksud untuk menguji kemampuan kalian sampai tuntas. Aku tidak akan mampu melakukannya. Tetapi dalam satu dua langkah, aku akan dapat mengambil satu kesimpulan. Apakah yang kalian katakan itu benar-benar dapat aku percaya”
“Tetapi” Mahisa Murti tergegap, “apakah artinya kami berdua bagi Akuwu. Kami sama sekali tidak akan berani melakukannya”
“Kalian harus melakukannya” jawab Akuwu, “jika tidak, maka untuk seterusnya aku akan tetap ragu-ragu akan keputusanku yang akan aku jatuhkan saat ini tentang kalian berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan. Namun mereka memang tidak akan dapat ingkar. Karena itu. maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jika tuanku memang menghendakinya, apa boleh buat. Tetapi hamba berdua hanya sekedar ingin melakukan perintah”
Akuwu tersenyum. Katanya, “Unggah-ungguhmu utuh anak muda. Marilah, biarlah para pengawal dan orang-orang Kabuyutan ini melihat, bahwa kalian memang anak-anak muda seperti yang kalian katakan. Yang telah menyelamatkan Kabuyutan ini dan benda-benda keramat yang dibawa ke Kabuyutan ini untuk melengkapi upacara wisuda Ki Buyut yang baru itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak lagi. Namun dalam pada itu. ketika Akuwu sedang mempersiapkan diri, Mahisa Murti sempat berbisik, “Kita harus berhati-hati. Jangan menyakitinya dan jangan menunjukkan kemenangan”
“Apa yang kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Melayaninya saja. Sampai Akuwu Menjadi jemu” jawab Mahisa Murti.
“Jangan terlalu sombong. Jika Akuwu memiliki ilmu yang sangat tinggi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan terkapar di sini” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tersenyum.
Sejenak kemudian Akuwu ternyata sudah siap. Ia pun kemudian memasuki arena. Beberapa orang pengawal berdiri di sekeliiing arena dengan tegangnya. Bagaimanapun juga mereka merasa wajib untuk mengamati keadaan.
“Marilah anak-anak muda” berkata Akuwu, “jangan segan. Lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Sementara itu Akuwu pun melihat keraguan anak-anak muda itu, sehingga ia pun berkata, “Marilah. Aku mengajak kalian berdua. Tidak seorang demi seorang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan ragu melangkah memasuki arena pula sebagaimana dilakukan oleh Akuwu. Mereka berdiri pada jarak tiga langkah.
“Jangan ragu-ragu” berkata Akuwu, “sudah aku katakan. Jangan ragu-ragu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat merasa bebas menghadapi Akuwu. Namun sejenak kemudian Akuwu itu pun telah bergeser. Cepat sekali. Langkahnya tiba-tiba bagaikan melontarkannya di antara kedua anak muda itu. Dengan cepat pula ia berputar. Kakinya terayun deras menyambar Mahisa Murti.
Tetapi dengan gerak nalurilah dilambari dengan kemampuan ilmunya, Mahisa Murti sempat juga melenting selangkah surut, sehingga serangan Akuwu yang tiba-tiba itu tidak menyentuhnya. Namun dalam pada itu, ternyata sambil menarik kakinya, Akuwu pun sempat meloncat. Tangannya terjulur lurus menghantam dada Mahisa Pukat.
Sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun bergeser ke samping. Tangan Akuwu menyambar sejengkal di depan dada Mahisa Pukat. Hampir saja Mahisa Pukat memukul tangan itu dengan sisi telapak tangannya. Tetapi rasa-rasanya ada yang telah mencegahkan, sehingga Mahisa Pukat itu pun tidak berbuat apa-apa.
Karena serangan Akuwu itu tidak menyentuh kedua orang anak muda itu, maka Akuwu pun bergeser. Namun Mahisa Pukat lah yang berdiri di paling dekat. Karena itu, maka sekali lagi Akuwu telah melenting dengan tiba-tiba. Cepat sekali. Seolah-olah tidak dapat dilihat dengan tatapan mata sewajarnya. Sekali lagi tangan Akuwu terayun. Mendatar mengarah kening. Mahisa Pukat ternyata memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Dengan cepat, ia merendahkan dirinya, sehingga serangan Akuwu itu tidak mengenainya. Tetapi sekali lagi serangan Akuwu memburunya. Pada saat Mahisa Pukat merendah, Akuwu telah menarik tangannya dan menyerang dengan kakinya.
Mahisa Pukat terkejut. Tetapi ia masih sempat berpikir. Ia tidak ingin membenturkan kekuatannya. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh. Dengan cepat ia pun kemudian melenting berdiri, dan bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Mahisa Murti berdiri saja termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat membantu Mahisa Pukat dengan menyerang Akuwu. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu, sehingga karena itu, ia justru bagaikan penonton yang paling tegang. Mahisa Pukat yang sudah berhasil lolos dari serangan-serangan beruntun itu pun tidak dapat membalas menyerang Akuwu karena keseganannya. Karena itu, maka yang dilakukannya hanyalah sekedar menghindarnya saja.
Ternyata Akuwu tidak memburunya. Ia berpaling kepada Mahisa Murti yang berdiri semakin jauh. Sejenak ia memandang anak muda itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kalian tidak berusaha untuk menyerangku. Lakukanlah. Aku ingin melihat kalian dalam kemampuan ilmu yang sebenarnya”
Kedua anak muda itu masih tetap ragu-ragu. Namun Akuwu berkata seterusnya, “Jika kalian tetap ragu-ragu. Maka, aku akan memaksa kalian untuk melakukannya”
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab, maka Akuwu telah berkisar. Ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat dan mendekati Mahisa Murti. Mahisa Murti pun kemudian mempersiapkan diri. Ia sadar arti dari kata-kata Akuwu itu. Sementara Mahisa Pukat yang menjadi tegang itu pun bergeser pula mengikuti Akuwu.
Dalam pada itu para pengawal yang berada di sekitar arena itu pun menjadi tegang pula. Mereka melihat Akuwu kemudian mempersiapkan dirinya menghadap ke arah Mahisa Murti. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan Mahisa Pukat yang berdiri di belakangnya.
Mahisa Murti memang sudah bersiap. Ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk menyerang. Jika ia selalu tedesak oleh serangan-serangan Akuwu yang datang beruntun, maka pertahanan yang paling baik adalah menyerang dalam setiap kesempatan. Mahisa Murti tidak mendapat kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Sejenak kemudian Akuwu telah menyerangnya. Cepat dan keras, sehingga Mahisa Murti harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan gerak Akuwu.
Sebenarnyalah Akuwu telah menyerangnya beruntun tanpa ragu-ragu. Seolah-olah Akuwu benar-benar telah bertempur untuk menentukan menang atau kalah. Untuk beberapa saat Mahisa Murti memang terdesak surut. Bahkan hampir saja Mahisa Murti meloncat keluar arena. Namun akhirnya. Mahisa Murti telah mengambil satu sikap, ia tidak ingin menghindar agar tidak menimbulkan kesan lain pada Akuwu tentang pengakuannya. Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti telah memberanikan diri. untuk membalas serangan Akuwu dengan sebuah serangan rendah pada kakinya.
Akuwu terkejut mendapat serangan balasan. Tetapi ia masih sempat meloncat menghindari sambaran kaki Mahisa Murti pada betisnya. Namun demikian ia berjejak di atas tanah, maka Mahisa Murti sekali lagi menyerang Akuwu pada lututnya dari arah samping. Sekali lagi Akuwu terpaksa menghindar. Namun loncatannya yang panjang telah melemparkannya beberapa langkah mendekati Mahisa Pukat. Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap termangu- mangu. Tetapi ia sudah melihat Mahisa Murti telah mulai menyerang Akuwu meskipun dengan serangan-serangan rendah.
Sementara itu, maka agaknya Akuwu telah siap menyerang Mahisa Pukat. Dengan nada datar Akuwu berkata, “Aku akan melawan kalian berdua”
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Serangan Akuwu pun datang beruntun. Semakin lama semakin cepat. Mahisa Pukat pun mencoba untuk mengurangi tekanan Akuwu dengan menyerangnya pula pada setiap kesempatan. Tetapi serangan Akuwu itu semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga memaksa Mahisa Pukat untuk bekerja lebih keras untuk menyelamatkan tubuhnya dari sentuhan serangan Akuwu.
Nampaknya Akuwu berusaha untuk memancing kedua orang anak muda itu untuk bertempur bersama. Sekali ia menyerang Mahisa Murti, sekali Mahisa Pukat. Namun kemudian, Akuwu telah berhasil menempatkan diri pada satu sisi di arena, sehingga ia berhadapan langsung dengan kedua orang anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa bahwa sebenarnyalah Akuwu memiliki ilmu yang tinggi. Sebagai seorang Akuwu, maka ia tentu melandasi dirinya pada tataran tingkat yang memungkinkan mendukungnya pada jabatannya, sebagaimana Akuwu-akuwu yang pernah didengar namanya. Dengan demikian maka akhirnya kedua anak muda itu telah dipaksa untuk mempergunakan kemampuannya pula melawan Akuwu.
Karena itulah, maka pertempuran itu pun telah meningkat menjadi semakin seru. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap dibatasi oleh keseganannya untuk menyerang pada bagian-bagian yang berbahaya pada Akuwu. Namun mereka telah mulai menyerang pada bagian bawah tubuh Akuwu yang mampu bergerak dengan sangat cepat dan tangkas.
Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin membuktikan bahwa yang dikatakannya tentang diri mereka adalah benar. Bahwa mereka adalah dua orang yang dianggap ujud dari kekuatan gaib yang ada di dalam benda-benda keramat milik Akuwu yang dipergunakan untuk kelengkapan wisuda Ki Buyut yang baru itu.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun telah bergerak secepat Akuwu bergerak. Meskipun masih dengan sikap yang enggan, namun justru karena mereka telah bekerja bersama, maka semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa Akuwu mulai mengalami kesulitan.
Tetapi pada keadaan yang sulit, tiba-tiba saja Akuwu berkata Anak-anak muda. “Jika benar kalian adalah anak-anak muda yang telah mengalahkan para perampok itu, maka kalian tentu memiliki kebanggaan ilmu yang dapat kalian tunjukkan kepadaku. Aku akan memaksa kalian untuk berbuat sampai batas kemampuan kalian, agar aku yakin, bahwa kalian berdua saja dapat bertempur dan memenangkan pertempuran itu melawan perampok pada jumlah yang berlipat ganda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika mereka melihat. Akuwu benar-benar telah meningkatkan kemampuannya pada tata gerak yang sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Karena Akuwu nampaknya seolah-olah bersungguh-sungguh maka kedua orang anak muda itu tidak dapat berbuat lain, kecuali melindungi diri mereka dari serangan-serangan Akuwu yang keras.
Mahisa Pukat lah yang ternyata lebih dahulu bersikap dari Mahisa Murti. Namun akhirnya Mahisa Murti pun telah melakukannya pula. Karena keduanya masih tetap merasa segan untuk menyerang pada bagian-bagian yang dapat berbahaya bagi Akuwu. Maka yang dapat mereka lakukan adalah membenturkan kekuatan mereka melawan kekuatan Akuwu. Kedua orang anak muda, anak dan sekaligus murid Mahendra dilengkapi oleh Witantra dan unsur ilmu yang lain dari Mahisa Agni itu, maka keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang mendebarkan.
Itulah sebabnya, maka keduanya telah menempatkan kekuatan mereka tidak untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri terhadap serangan-serangan yang keras dari Akuwu yang ingin meyakinkan kemampuan kedua orang anak muda itu. Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan-benturan kekuatan di antara Akuwu dengan kedua orang anak muda yang memiliki dasar kemampuan yang tinggi itu.
Untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu masih berlansung justru semakin keras dan cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segan menyerang pada bagian-bagian yang gawat itu telah mempergunakan kekuatan mereka untuk memaksa Akuwu mengetahui tingkat kemampuan mereka. Benturan-benturan itu adalah cara menyerang yang lain yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat dan kemudian juga Mahisa Murti. Karena dalam benturan-benturan itu, akan terasa oleh Akuwu hentakan-hentakan di dalam dirinya.
Akuwu adalah seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ketika kemampuannya harus dibenturkan kepada kemampuan dua orang anak muda itu, maka terasa, bahwa kedua anak muda itu bersama-sama memiliki beberapa kelebihan dari Akuwu. Keduanya dalam pertempuran berpasangan, mampu menunjukkan kemampuan mereka yang mendebarkan. Bahkan benturan-benturan yang terjadi semakin lama menjadi semakin sering, telah menimbulkan kesan kepada Akuwu, bahwa kedua anak muda itu benar-benar anak muda yang perkasa.
Sehingga, akhirnya Akuwu tidak dapat ingkar lagi akan satu kenyataan, bahwa ia berada dalam kesulitan. Meskipun orang-orang yang menyaksikan bahwa para pengawal dan Senapatinya belum melihat, tetapi Akuwu sudah merasakan, kelebihan kedua anak muda itu sulit untuk dapat diatasinya jika permainan itu akan diteruskan.
Karena itu, maka sesuai dengan keinginan Akuwu sekedar untuk menjajagi kemampuan kedua orang anak muda itu, maka sejenak kemudian, Akuwu yang menjadi semakin sulit mengatasi kecepatan gerak kedua orang anak muda itu pun telah meloncat jauh surut sambil berkata, “Cukup anak-anak muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berusaha untuk mendekatinya telah tertegun. Sementara itu, mereka melihat Akuwu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum, “Aku sudah berhasil mengetahui tingkat kemampuan kalian”
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Bahkan para Senapati, para pengawal dan apalagi orang-orang padukuhan yang menyaksikannya, berdiri tegak dengan wajah-wajah yang tegang.
“Kalian memang luar biasa” desis Akuwu, “kalian telah menyatakan satu kenyataan kepadaku”
“Ampun Akuwu” berkata Mahisa Murti, “apa yang kami lakukan, adalah sekedar melayani keinginan Akuwu.”
“Ya, ya. Aku mengerti” berkata Akuwu, “dan kalian telah melakukan sebaik-baiknya. Kalian telah menunjukkan kepadaku bahwa kalian memang memiliki ilmu yang luar biasa. Kalian telah meyakinkan aku, bahwa apa yang kalian katakan itu benar semata-mata”
“Ampun Akuwu” berkata Mahisa Murti, “bukan maksud hamba berdua untuk menyombongkan diri. Tetapi semata-mata karena hamba berdua ingin menempatkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya”
Akuwu tersenyum. Kedua anak muda itu memang sangat menarik hatinya. Keduanya tangkas dan kuat. Bahkan melampaui dugaan Akuwu sendiri. Dengan penjajagan itu Akuwu mengerti bahwa anak-anak muda itu tentu memiliki ilmu yang sudah mapan, sehingga mereka mampu melakukan seperti apa yang mereka katakan.
“Anak-anak muda” berkata Akuwu, “ternyata bahwa aku harus mempercayaimu. Apa yang dikira, ujud dari benda-benda keramat yang menjadi kelengkapan upacara itu, adalah kalian berdua”
“Hamba tuanku. Seperti sudah hamba katakan, maksud hamba adalah semata-mata untuk meluruskan pendapat yang keliru tentang pusaka-pusaka tuanku itu. Jika pendapat itu tidak dibetulkan, maka pada suatu saat. Akuwu akan menyesal, karena benda-benda itu akan dapat hilang dari gedung perbendaharaan istana Akuwu. Para pengawal akan terlalu percaya bahwa pusaka-pusaka itu akan dapat menyelamatkan diri sendiri, sehingga seakan-akan tidak memerlukan pengawalan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Kau benar anak muda” jawab Akuwu, “dan aku mengucapkan terima kasih. Kalian telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bukan saja bagiku, tetapi juga bagi seluruh pakuwon. Karena itu, maka sebenarnyalah aku ingin tahu, siapakah kalian berdua yang sebenarnya dan dari manakah kalian datang?”
"Sudah hamba katakan, hamba berdua adalah anak-anak yang kabur kanginan. Hamba berdua mengembara dari satu tempat ketempat yang lain. Dari lereng pegunungan ke lereng pegunungan. Dari lembah yang satu ke lembah yang lain” jawab Mahisa Murti.
“Kau sangka aku percaya?” Akuwu tersenyum, “tetapi baiklah. Agaknya kalian adalah pengengembara yang sebenarnya. Karena itu, maka aku tidak akan memaksa menyebut siapakah kalian sebenarnya. Namun demikian, sebaiknya aku mengajukan satu permintaan kepada kalian. Permintaan yang barangkali dapat kalian terima”
“Maksud Akuwu?” bertanya Mahisa Murti
“Aku sudah yakin akan kalian. Kalian bukan sekedar wadag yang dipergunakan oleh kekuatan pusaka-pusaka itu. Tetapi sebenarnyalah kalian memang dua orang anak muda yang memiliki tingkat ilmu yang luar biasa. Karena itu, agar kekuatan yang semula disangka terdapat pada pusaka- pusaka itu tetap berada bersamanya, maka aku. Berharap kalian berdua akan bersedia tinggal bersama aku di istana Pakuwon. Kalian akan aku anggap sebagai anak-anakku. Dan kalian akan mendapatkan apa yang kalian ingini” berkata Akuwu kemudian, “dengan kehadiran kalian berdua, aku berharap bahwa kalian akan dapat menempa para Senapati dan pengawal, untuk menjadi Senapati dan pengawal yang memiliki kemampuan yang cukup”
“Ampun tuanku” jawab Mahisa Pukat, “bukankah di Pakuwon sudah ada tuanku. Apakah kekurangan tuanku dibanding dengan kami berdua yang tidak berarti apa-apa. Jika tuanku berkenan, maka tuanku akan dapat menjadikan para Senapati dan pengawal melampaui kemampuan kami.
Akuwu itu pun tertawa. Katanya “Jangan terlalu merendah anak muda. Menilik ujud dan pakaian kalian dibandingkan dengan kemampuan serta ilmu yang ada pada kalian berdua, maka aku sudah menduga bahwa kalian adalah orang yang rendah hati. Cara kalian membantu orang-orang padukuhan ini serta para pengawal, kemudian dengan diam-diam kalian pergi sebelum kami sempat mengucapkan terima kasih adalah pertanda bahwa kalian telah berbuat tanpa pamrih dengan sikap yang rendah hati. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat melihat apa yang sebenarnya tersimpan didalam diri kalian. Dalam keseganan, kalian telah menunjukkan kepadaku, betapa tinggi ilmumu. Apalagi jika kalian harus benar-benar bertempur menghadapi lawan”
“Tuanku terlalu memuji, sehingga hamba berdua merasa malu karenanya” jawab Mahisa Murti, “sebenarnyalah hamba tidak banyak berarti bagi Pakuwon ini. Karena itu, maka perkenankanlah hamba melanjutkan pengembaraan hamba tanpa tujuan, sebagaimana menurut langkah kaki hamba berdua”
“Aku masih ingin minta kesediaan kalian” jawab Akuwu, “bagaimanapun juga, kehadiran kalian akan sangat berarti bagi kami”
“Ampun tuanku” sembah Mahisa Pukat, “satu-satunya permohonan hamba berdua saat ini adalah perkenan tuanku bagi hamba berdua untuk melanjutkan perjalanan kami”
“Kalian jangan bergurau” jawab Akuwu “setidak-tidaknya kalian memerlukan bermalam malam ini. Besok kalian akan melanjutkan perjalanan. Tetapi sekali lagi, aku minta kalian tinggal di istana Pakuwon barang satu dua musim. Dengan demikian maka kalian akan dapat membuat benteng di Pakuwon kami menjadi teguh. Bukankah kau lihat, bahwa di padukuhan ini telah hadir sekelompok penjahat yang kuat. Pada kesempatan lain, mungkin akan tumbuh kekuatan lain yang melampaui kekuatan yang telah kau hancurkan dalam dua malam itu”
“Hamba yakin, bahwa hal itu tidak akan banyak berarti bagi Akuwu” jawab Mahisa Murti, “sebaiknya hamba mohon diri. Hamba sudah merasa berhasil karena tuanku telah meyakini, bahwa sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat menjelma menjadi ujud wadag pada benda-benda milik tuanku, juga kekuatan yang mampu mempergunakan wadag seseorang bagi ungkapannya. Jika hal ini hamba jelaskan, semata-mata karena niat baik hamba”
“Aku mengerti. Tetapi kenapa kalian tidak mau singgah barang satu dua saat di istanaku?” bertanya Akuwu.
“Bukan hamba tidak bersedia” jawab Mahisa Murti, “tetapi sebenarnyalah hamba ingin melanjutkan perjalanan hamba”
“Malam ini?” desak Akuwu.
“Hamba tuanku” jawab Mahisa Pukat.
Tidak ada yang dapat mencegah kedua orang anak-anak muda itu. Ki Buyut pun mencoba mempersilahkan keduanya untuk bermalam di banjar. Tetapi keduanya berkeberatan, karena keduanya ingin meneruskan pengembaraan mereka. Meskipun demikian, Akuwu masih berusaha menunda keberangkatan anak-anak muda itu beberapa saat. Akuwu memberikan beberapa petunjuk apabila pada suatu saat anak-anak muda itu ingin singgah di istananya.
“Jika pada suatu saat dalam pengembaraanmu kau lewat di depan istanaku, aku berharap. Bahwa kalian berdua mau singgah barang sejenak” berkata Akuwu.
“Terima kasih Akuwu” jawab Mahisa Murti, “memang tidak mustahil bahwa pada suatu saat, hamba berdua melewat istana Akuwu. Mungkin pada satu putaran pengembaraan aku memang akan melalui daerah ini lagi. Karena pada suatu saat aku tentu akan pergi ke Kota Raja yang tidak terlalu jauh dari tempat ini”
“Baiklah” berkata Akuwu, “jika kalian memang tidak ingin aku cegah lagi, apa boleh buat. Tetapi barangkali kalian berdua mempunyai satu permintaan yang barangkali dapat kami penuhi. Jika bukan aku, mungkin Ki Buyut atau orang-orang lain di Kabuyutan ini bagi bekal perjalananmu”
“Terima kasih Akuwu” jawab Mahisa Murti, “kami tidak memerlukan bekal apapun juga. Kami akan dapat hidup dalam pengembaraan kami karena kami yakin akan kebaikan hati sesama”
Ki Buyut pun menyahut, “Di antaranya adalah tawaran kami jika kalian memerlukan. Bukan karena kebaikan hati kami, tetapi semata-mata karena kami ingin mengucapkan terima kasih”
“Terima kasih Ki Buyut” jawab Mahisa Pukat, “kebaikan Akuwu dan Ki Buyut sudah cukup memberikan kesan tersendiri di dalam pengembaraan kami. Sebelum semua peristiwa ini terjadi, kami telah menerima kebaikan isi Kabuyutan ini. Kami bermalam di banjar ini dan mendapat makan dan minuman panas di tengah malam yang dingin sementara kami memang sangat lapar pada waktu itu”
“Baiklah anak-anak muda” berkata Akuwu, “kami hanya dapat berdoa, semoga perjalanan kalian selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Selamat dan tercapai segala cita-citamu, meskipun aku tidak tahu, apa yang sebenarnya kalian inginkan dengan pengembaraan kalian. Tetapi menilik sikapmu disini, aku yakin bahwa kalian bukan orang yang pantas di cemaskan bahwa kalian akan merugikan sesama. Tetapi sebaliknya, kalian telah mempergunakan ilmu kalian yang sulit di jajagi sampai tuntas itu, untuk kepentingan sesama”
“Akuwu masih saja selalu memuji” jawab Mahisa Murti, “yang hamba berdua lakukan, semata-mata karena hamba mempunyai kewajiban bagi sesama. Itu sajalah” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah. Hamba mohon diri Akuwu”
Akuwu dengan berat kemudian melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan banjar. Demikian pula Ki Buyut, para Senapati dan para pengawal. Terlebih-lebih para pengawal yang telah mendapat pertolongan langsung dari kedua anak muda itu. Beberapa orang telah melepas kedua orang anak muda itu sampai keregol. Dua orang pengawal akan mengantarkannya sampai ke regol, agar kedua orang anak muda itu tidak mendapat kesulitan karena para penjaga regol tidak mengenali mereka.
Untuk beberapa saat, Akuwu dan Ki Buyut yang berdiri di bawah cahaya obor di regol halaman banjar termangu-mangu. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang aneh bagi mereka. “Aku yakin, nama-nama itu bukannya nama mereka yang sebenarnya” berkata Akuwu tiba-tiba.
“Ya” desis Ki Buyut, “hambapun sudah menyangka, bahwa keduanya bukan pengembara kebanyakan. Tentu pengembaraan kedua anak muda itu akan menjadi laku pembajaan diri mereka masing-masing”
“Mudah-mudahan anak-anak yang baik itu akan tetap menjadi manusia yang baik. Banyak sekali pengalaman yang akan mereka dapatkan di perjalanan. Dengan kemampuan mereka, maka mereka akan banyak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dan pengalaman itu akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidup mereka” berkata Akuwu, “karena itu, semoga yang mereka temui di perjalanan mereka, justru mempertegas sikap dan pandangan hidup mereka sebagai kasatria yang berbudi”
“Hamba Akuwu” berkata Ki Buyut, “sayang sekali, keduanya tidak mau tinggal di Kabuyutan ini, atau di Pakuwon ini”
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Namun Akuwu itu pun kemudian berkata, “Aku akan beristirahat”
Akuwu pun kemudian pergi ke tempat yang sudah disediakan bersama seorang Senapatinya, sementara Senapati yang lain bersama beberapa orang pengawal dan para peronda tetap berada di banjar untuk mengamati benda-benda upacara. Apalagi setelah mereka mengetahui, bahwa benda-benda itu sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri mereka sebagaimana diduga sebelumnya, seolah-olah benda-benda itu dapat berubah dalam ujud dua orang anak muda yang perkasa.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di pintu gerbang padukuhan. Para peronda yang bertugas di pintu gerbang, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Karena itu, mereka tidak memberikan tanggapan apapun terhadap dua orang yang diantar oleh dua orang pengawal keluar pintu gerbang.
“Siapa mereka?” berkata seorang pemuda ketika kedua orang pengawal itu kembali memasuki pintu gerbang.
“Dua orang pengembara” jawab pengawal itu.
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Bukankah orang itu anak-anak muda yang ditangkap dan dibawa ke rumah Ki Buyut?”
“Mereka kemudian dibawa ke banjar. Untunglah, keduanya adalah anak-anak muda yang rendah hati. Sehingga mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang telah berusaha menangkap, kalian memperlakukannya sebagai orang-orang yang berniat jahat”
Para peronda di pintu gerbang padukuhan itu mengerutkan dahi mereka. Namun pengawal itu pun segera menceriterakan apa yang telah terjadi di banjar dengan kedua orang anak muda itu. Para peronda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Untunglah. Jika kedua anak muda itu mampu mengimbangi kemampuan Akuwu, bukankah berarti bahwa keduanya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi?”
“Ya. Keduanya telah dapat mengalahkan sekelompok penjahat yang besar di banjar itu” jawab salah seorang pengawal.
Anak-anak muda yang meronda itu menjadi kagum. Apalagi ternyata kedua orang anak muda itu benar-benar dapat mengekang diri sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam satu sikap yang sewenang-wenang meskipun hati mereka telah disakiti.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di gelapnya malam di luar padukuhan. Mereka berjalan di bulak yang panjang menuju ke padang perdu.
“Udara terasa dingin” desis Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang bergayutan di langit.
“Justru langit bersih” berkata Mahisa Pukat, “agaknya lebih hangat berada di banjar. Bahkan mungkin kita akan mendapat makanan dan minuman yang hangat”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Menarik. Tetapi kenapa kita pergi juga”
“Itulah sulitnya Kadang kadang harga diri itu dapat merugikan” jawab Mahisa Pukat sambil tertawa pula.
“Kalau kita mau mengorbankan harga diri, sekedar untuk mendapatkan nasi hangat, tentu saja kita akan dapat melakukannya” desis Mahisa Murti.
“Itulah sulitnya” jawab Mahisa Pukat. Lalu, “Tetapi itu adalah laku dari keprihatinan kita”
“Darimana kau tahu hal itu?” bertanya Mahisa Murti.
“He, bukankah ayah dan paman-paman selalu mengatakan demikian?” Mahisa Pukat ganti bertanya.
“Bagus. Artinya kau masih selalu ingat akan pesan ayah dan paman-paman” jawan Mahisa Murti.
“Jika tidak, maka barang-barang upacara itu agaknya memang dapat dijual dengan nilai yang tidak terhingga” sahut Mahisa Pukat.
Sekali lagi Mahisa Murti tertawa. Mahisa Pukat memandanginya sejenak. Namun ia pun telah ikut tertawa pula. Ketika keduanya kemudian berbelok ke padang perdu yang sepi dan jarang di datangi seseorang, maka mereka mulai merasakan kesepian yang mencengkam. Baru saja mereka melihat banjar padukuhan yang ramai dengan anak-anak muda dan para penghuni padukuhan yang lain dibawah nyala obor yang terang. Namun kemudian mereka telah terdampar ke dalam gelapnya padang perdu dan dinginnya udara malam.
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah duduk bersandar pepohonan perdu yang tumbuh dengan liar dipadang itu. Angin malam berhembus perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka yang mulai di bayangi oleh kantuk. Sebenarnyalah kedua anak muda itu menjadi letih. Mereka harus melayani beberapa orang dalam perkelahian. Yang terakhir mereka harus melawan Akuwu yang telah memaksa mereka untuk menitikkan keringat.
“Ternyata perut ini merasa lapar juga” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti yang sudah memejamkan matanya menyahut, “Malam malam begini, bagaimana kita mendapatkan makan. Besok pagi pagi kita berburu burung. Agaknya menyenangkan juga makan daging burung selagi perut merasa lapar."
“Aku akan membeli saja ketela pohon. Kita akan dapat membuat perapian. Ketela itu kita panggang di atas api, maka kita akan segera menjadi kenyang” guman Mahisa Pukat.
“Bagus” jawab Mahisa Murti, “kau membeli ketela pohon di pasar. Aku akan mencari burung”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi matanya mulai terpejam. Namun sementara itu Mahisa Murti tidak segera tertidur. Ia masih berusaha untuk tetap berjaga-jaga. Jika Mahisa Pukat sudah cukup lama tidur, maka tentu tidurnya tidak akan terlalu lelap. Barulah kemudian ia akan tidur menjelang pagi hari.
Ketika matahari mulai membayang. Mahisa Pukat lah yang bangkit lebih dahulu. Ia melihat langit menjadi merah, sementara Mahisa Murti masih tidur bersandar puhon. Nampaknya Mahisa Murti masih nyenyak bermimpi.
Mahisa Pukat tidak membangunkannya, tetapi ia pun mulai mencari kekayuan dan dahan-dahan kayu kering yang berpatahan. Perutnya memang sudah terasa lapar Karena itu. ia benar-benar akan pergi ke pasar yang sudah diketahuinya letaknya.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti terbangun. Ketika ia melihat Mahisa Pukat sudah mengumpulkan kekayuan dan dahan dahan kering, maka ia pun tersenyum. “Aku memang sudah lapar” berkata Mahisa Pukat, “Baiklah” jawab Mahisa Murti aku akan pergi ke sumber air itu sebentar. Kemudian aku akan segera berburu burung”
“Dengan apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku masih yakin akan kemampuan bidikku. Aku akan melempar burung-burung yang hinggap di dahan-dahan yang rendah itu dengan batu” jawab Mahisa Murti.
“Sulit” jawab Mahisa Pukat, “mungkin Kau akan dapat mengenai sasaran mati. Tetapi burung-burung itu akan segera terbang mendengar desir lontaran batumu. Yang tidak akan terbang adalah ketela pohon atau jagung”
“Aku sependapat” jawab Mahisa Murti tetapi kita harus berhemat”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Jika kita kehabisan uang, kita akan dapat bekerja apa saja kepada seseorang. Kita akan mendapatkan uang dengan cara yang baik."
Mahisa Murti pun kemudian tersenyum pula. Katanya, “Aku sependapat. Meskipun demikian, kau jangan terlalu banyak mempergunakan uang yang ada pada kita sekarang ini”
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Baiklah. Setelah hari ini, kita akan memasuki hutan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk mencari buah-buahan dan berburu. He, apakah kita memerlukan busur dan anak panah?” “Sebaiknya kita memang mempunyai alat berburu. Tetapi bukan busur dan anak panah. Kita memerlukan sumpit. Alat yang tidak terlalu menarik perhatian, karena sumpit tidak banyak dipergunakan selain hanya untuk berburu. Kitapun dapat mempergunakan alat yang lebih sederhana, yang barangkali pernah juga kita pelajari. Bandil”
“Ya Dengan bandil kita akan dapat berburu binatang di hutan-hutan. Kita hanya memerlukan tali ijuk yang lemas dan kuat. Aku akan membelinya” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak perlu. Kita akan dapat mencari daun nanas. Aku telah melihat beberapa batang nanas liar tumbuh di padang perdu ini. Kita akan membuat seratnya menjadi tampar kecil yang dapat kita pergunakan untuk membuat bandil. Tetapi baik juga jika kita mempunyai sumpit” jawab Mahisa Murti.
Tetapi mereka tidak tahu, dimanakah mereka akan mendapatkan sumpit. Meskipun mereka akan dapat membelinya, namun jarang mereka dapat menemukan seseorang yang menjual sumpit. Kecuali jika mereka bertemu dengan seorang pemburu yang mempergunakan sumpit dan bersedia menjual sumpitnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah pergi ke pasar untuk membeli ketela pohon atau jagung, sementara Mahisa Murti sempat mencari daun nanas yang tumbuh liar di tepi sebuah mata air kecil di tengah-tengah padang perdu. Dengan pisaunya Mahisa Murti memotong beberapa helai daun nanas dan kemudian mengurut seratnya. Serat itu akan dijemurnya dan kemudian dianyam menjadi tali yang kuat dan lemas. Lebih baik dari tampar ijuk untuk dipergunakan sebagai pelempar batu.
Pagi itu, mereka telah menyalakan api di tengah-tengah padang perdu. Mereka pun mengerti, bahwa asap api itu akan menarik perhatian. Tetapi, orang-orang yang melihat asap itu pun akan mengira bahwa ada seseorang pencari kayu yang Berada di padang perdu itu. Jika apinya tidak menjalar dan semakin besar, maka asap itu tentu tidak akan memaksa orang-orang yang melihatnya untuk mendatanginya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun dengan lahapnya telah makan jagung yang dipanggang di atas api. Beberapa saat mereka duduk di sebelah perapian, sehingga akhirnya mereka pun menjadi kenyang. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah menjemur serat daun nanas yang masih basah. Ternyata kedua anak muda itu, bersepakat, bahwa mereka pada hari itu juga akan meneruskan pengembaraan mereka yang terhenti.
Setelah mengemasi diri, maka kedua orang anak muda itu pun telah meninggalkan padang perdu itu. Mahisa Murti membawa serat nanasnya yang akan dibuatnya menjadi bandil. Sementara Keduanya masih juga berusaha untuk dapat menemukan seseorang yang mungkin akan dapat memberinya satu atau dua batang sumpit.
Kedua anak muda itu tertegun ketika mereka melintasi sebuah gerumbul bambu di padang perdu yang lain. Mereka melihat batang-batang bambu cendani yang beruas panjang. Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian Mahisa Pukat berkata, “Apakah kita dapat membuat sumpit sendiri dengan pering cendani ini?”
“Jenis pering cendani yang jarang dijumpai” berkata Mahisa Murti, “ruasnya panjang sekali. Agaknya bambu ini sengaja disediakan bagi kita untuk membuat sumpit”
“Atau bambu ini sengaja di tanam orang, setidak-tidaknya dimiliki oleh seseorang” berkata Mahisa Pukat, “lihat bekas-bekasnya. Beberapa batang bambu telah dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau. Bukan sekedar patah oleh angin atau binatang-binatang liar yang berlari-larian”
Mahisa Murti memang melihat beberapa batang bambu telah dipotong. Bekasnya adalah bekas pisau atau semacam kapak kecil. Karena itu, maka katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi agaknya bambu ini tumbuh saja disini tanpa ada orang yang menanamnya. Tetapi sekelompok orang yang mengetahuinya kemudian telah mengambil beberapa batang untuk dibuat sumpit dan kepentingan-kepentingan lain yang sesuai dengan ruas-ruasnya yang panjang.
“Jika demikian, apa salahnya jika kita mengambil satu atau dua batang Kita dapat memilih yang sudah tua, lurus dan bernas paling-panjang” berkata Mahisa Pukat.
Keduanya pun kemudian mulai memilih batang bambu cendani yang kecil beruas panjang. Tetapi cendani yang mereka ketemukan itu agaknya bambu cendani yang khusus. Ruasnya terlalu panjang bagi bambu cendani yang biasa dijumpainya. Tetapi keduanya pun memang pernah melihat sumpit bambu cemani yang beruas panjang seperti jang mereka ketemukan itu.
Namun dalam pada itu. Selagi keduanya sibuk memotong bambu cendani itu dengan pisau-pisau mereka, tiba-tiba saja dua ekor kuda telah berpacu menembus batang-batang perdu. Nampaknya kedua pununggangnya terkejut juga melihat dua orang yang sedang sibuk memotong bambu cendani yang khusus itu. Karena itu, maka seorang di antara mereka telah berkata, “Kita dekati mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut pula. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain, kecuali berdiri tegak sambil menunggu kedua ekor kuda yang mendekat itu. “Apakah mereka yang memiliki pohon bambu cendani ini?” desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua orang penunggang kuda itu menjadi semakiin dekat. Beberapa langkah dari kedua orang anak muda itu, keduanya telah berhenti.
“He, siapakah kalian yang telah mengambil ruas-ruas pering cendani ini?” bertanya seorang di antara mereka, seorang yang bertubuh tinggi besar.
“Kami adalah dua orang bersaudara yang sedang mengembara” jawah Mahisa Murti.
“Kenapa kalian berani mengambil pering cendani itu?” bentak yang seorang lagi. Seorang yang juga bertubuh tinggi, tetapi agak kurus.
“Apakah kami tidak diperkenankan mengambil pering cendani ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Rumpun bambu itu milik kami” berkata orang yang bertubuh tinggi besar.
“Maaf Ki Sanak” sahut Mahisa Pukat, “kami tidak mengetahui bahwa bambu ini ada pemiliknya. Kami mengira bahwa bambu yang tumbuh di padang perdu ini adalah bambu liar. Bambu tanpa pemilik sehingga siapapun dapat mengambilnya”
“Gila. Kau kira kau berhak mengambil bambu itu” bentak orang yang kekurusan.
“Demikianlah Ki Sanak. Tetapi jika bambu ini memang ada pemiliknya, kami mohon maaf” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Bahkan jika Ki Sanak pemiliknya, maka perkenankanlah kami berdua mohon diijinkan untuk mendapatkan satu bambu saja masing- masing. Satu batang bambu itu mempunyai ruas yang cukup panjang sebanyak tiga atau empat ruas. Memang pering cendani yang luar biasa”
“Tutup mulutmu” bentak yang bertubuh tinggi besar, “bambu itu tidak boleh diambil oleh siapapun juga, kecuali kami berdua”
“Oh” Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam, “jika demikian, kami minta maaf. Kami akan menyerahkan bambu yang sudah terlanjur kami potong”
“Oh, demikian mudahnya” jawab orang yang bertubuh kecil, “kau kira kau dapat melakukan kesalahan tanpa mendapat hukuman. He, coba katakan, untuk apa kalian mencuri bambu cendani itu?”
“Kami ingin membuat sumpit. Kami memerlukan sumpit untuk berburu burung. Dalam pengembaraan kami, kami memang memerlukan binatang buruan. Namun agaknya bagi kami, beberapa ekor burung telah cukup untuk menyambung hidup kami”
“Persetan” geram orang yang bertubuh besar, “nampaknya kau memiliki kemampuan mempergunakan sumpit?”
“Tidak. Tetapi kami akan mencoba” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong. Kalian tentu pernah belajar mempergunakan sumpit. Jika tidak, kalian tidak akan mencobanya, karena mempergunakan sumpit memerlukan ketrampilan tersendiri” jawab orang bertubuh besar itu.
Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab, “Ki Sanak. Ayahku adalah seorang petani miskin yang sering juga harus mencukupi kehidupannya dengan berburu burung. Aku dan saudaraku ini memang pernah mengikutinya sekali dua kali. Dan kami pun pernah mencoba mempergunakan sumpit. Karena itu, dalam pengembaraan ini kamipun ingin mempergunakan sumpit sebagaimana ayahku pernah mempergunakan”
Kedua orang berkuda itu saling berpandangan. Namun yang seorang kemudian bergumam, “Kau percaya kepada omongannya?”
Kawannya menggeleng. Katanya, “Bagaimanapun juga, mereka telah mencoba mencuri. Keterangannya itu semata-mata untuk mencoba memperingan kesalahan. Tetapi aku tidak sependapat dengan ceriteranya”
“Ya” geram orang bertubuh besar itu, “aku memang ingin membawa keduanya. Mungkin keduanya dapat memberikan keterangan yang berguna bagi kita. Dengan demikian, maka kita tidak akan pernah mendapat kesulitan lagi dari tikus-tikus kerdil itu”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Anak-anak yang malang. Kami telah mengambil keputusan untuk menangkap kalian. Kami ingin membawa kalian ke rumah kami”
“Kami tidak berbuat kesalahan. Jika kami berani memotong bambu ini, semata-mata karena kami tidak tahu, bahwa bambu di padang perdu ini ada pemiliknya” jawab Mahisa Pukat, “menurut pengamatan kami, pepohonan yang tumbuh di padang ini adalah pepohonan liar. Pandan, nanas, ilalang, pepohonan perdu, dan satu dua pohon yang agak besar tetapi gersang seperti pohon waru itu. Karena itu, maka kami pun menyangka bahwa rumpun bambu ini-pun tumbuh liar dan tidak terpelihara”
“Kau dapat mengatakan alasan apa saja” jawab orang bertubuh tinggi kurus itu, “tetapi kami ingin membawa kalian. Kami sudah cukup lama merasa terganggu oleh orang-orang yang iri terhadap keberhasilan kami”
“Cukup” bentak orang bertubuh besar itu, “jangan menjawab lagi. Kalian harus ikut kami. Jika tidak, maka kalian akan kami ikat kedua tangan kalian dan kami seret di belakang kuda-kuda kami, sehingga kalian terpaksa sampai ke rumah kami pula”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun saling berpandangan. Bahkan dengan geram Mahisa Pukat bergumam, “Baru beberapa langkah kami meninggalkan Kabuyutan itu”
“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu, “Aku kira, kita masih berada di dalam Pakuwon yang sama.
“Ya” jawab Mahisa Pukat. Tetapi kata-katanya terpotong oleh suara orang bertubuh besar itu, “Apa yang kalian katakan? Jangan mengada-ada. Menyerahlah, agar kalian tidak mengalami perlakuan yang kasar”
“Jangan memaksa begitu Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “tingkah laku kalian memaksa kami untuk ingin mengetahui latar belakang dari sikap kalian”
Kedua orang itu benar-benar menjadi marah, sehingga mereka tidak dapat menahan diri lagi. Sejenak kemudian keduanya telah menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan langkah yang pasti keduanya mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih saja termangu-mangu.
“Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian. Menyerahlah” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“Jangan bersikap seperti kalian menghadapi seorang penjahat. Kami tidak berniat mencuri. Kami tidak tahu bahwa bambu liar itu ternyata ada yang memilikinya. Sementara itu kami pun sudah bersedia menyerahkan kembali apa yang telah kami ambil” jawab Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu” bentak yang berkuda besar, “sikap kalian miembuat kami sangat marah”
“Dan sikap kalian sangat menarik perhatian” jawab Mahisa Pukat. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “He, apakah kalian datang dari antara sekelompok penjahat? Atau sekelompok gerombolan yang mempunyai tujuan tertentu? Jika kalian adalah orang-orang padukuhan kebanyakan, kalian tidak akan bersikap seperti itu. Bahkan seandainya kalian adalah pengawal-pengawal sebuah Kabuyutan, kalian tentu akan dapat bertindak lebih baik”
“Cukup” orang bertubuh besar itu hampir berteriak, “aku memang ingin menyayat mulutmu”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mendekatinya, sementara kawannya yang lebih kecil meskipun tidak kalah tingginya, mendekati Mahisa Murti.
“Anak-anak yang malang” geram yang bertubuh kecil, “apaboleh buat. Nasibmu memang sangat buruk justru karena sikapmu yang kasar”
“Kau aneh Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “apakah sebenarnya sikap kami terlalu kasar? Apakah Ki Sanak sudah memperbandingkan dengan, sikap Ki Sanak sendiri?”
“Aku dapat berbuat apa saja di sini” jawab orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu, “tidak ada orang yang dapat mencegah tingkah laku kami. Apakah yang kami lakukan, adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Juga terhadap kalian”
“Kalian adalah orang-orang yang aneh. Terhadap pengembara seperti kami berdua, kalian bersikap seolah-olah kalian menghadapi sepasukan pencuri yang tangguh” berkata Mahisa Murti, “Tetapi justru karena kalian bersikap demikian, maka kami terpaksa mempertahankan diri kami”
“Anak setan” geram orang bertubuh besar, “kalian belum tahu siapa kami”
“Memang belum” sahut Mahisa Pukat, “kami memang belum tahu siapakah kalian yang sebenarnya? Apakah justru kalian yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut atau bahkan Akuwu”
Orang bertubuh besar itu tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil mengayunkan tangannya ke arah mulut Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah menduganya. Karena itu, ketika tangan orang itu terayun, maka ia pun bergeser surut sambil menarik tubuhnya. Dengan demikian tangan orang bertubuh tinggi besar itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Orang bertubuh besar itu menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia pun telah bersikap dan langsung menyerang Mahisa Pukat. Tangannya seolah-olah ingin menerkam wajah anak muda itu dengan jari-jarinya yang terkembang.
Sekali lagi Mahisa Pukat meloncat surut. Namun orang itu ternyata telah memburunya. Ia tidak sabar lagi untuk dapat benar-benar meremas mulut Mahisa Pukat. Tetapi ia sudah salah menilai anak muda itu. Mahisa Pukat tidak mudah untuk disentuhnya, sehingga serangan-serangannya yang beruntun sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menjadi heran. Justru karena itu ia tertegun diam. Dipandanginya Kawannya yang bertubuh besar itu. Namun yang tidak dapat segera menyakiti lawannya sebagaimana dikehendakinya.
Orang bertubuh tinggi itu terkejut ketika ia mendengar Mahisa Murti berkata, “Kawanmu terlalu garang Ki Sanak, sehingga ia kurang dapat mengendalikan dirinya”
“Diam” orang bertubuh tinggi itu menggeram. Namun kemudian ia pun telah menghadapi Mahisa Murti sambil berkata, “Nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi. Sebentar lagi kawanmu itu akan menjadi lumat. Tetapi kau akan mengalaminya lebih dahulu. Seandainya kau memiliki kecepatan gerak seperti kawanmu itu, namun aku pun memiliki ilmu yang lebih baik dari kawanku itu”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebenarnya persoalan kita tidak pantas untuk di selesaikan sampai dengan sikap yang paling keras dan korban yang paling besar. Apakah artinya pering cendani dibandingkan dengan nyawa seseorang”
“Kau memang dungu” bentak orang itu, “bukan nilai sebatang pering cendani. Tetapi bahwa kalian telah melanggar hak dan harga diri kami. Tidak seorang pun yang berani menyentuh segerumbul pering cendani yang khusus beruas sangat panjang itu selain kalian. Karena itu, maka hukuman yang paling berat akan kami berikan kepada kalian”
“Itu adalah sikap yang sangat cengeng. Apakah kalian tidak dapat bersikap lebih baik Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi setapak ia maju. Sesaat ia mempersiapkan diri. Katanya, “Aku tidak akan melepaskan anak-anak muda gila seperti kalian”
Mahisa Murti pun sadar, bahwa iapun harus bertempur seperti Mahisa Pukat. Orang bertubuh tinggi kekurusan itu nampaknya memang mempunyai kelebihan dari orang yang bertubuh raksasa yang telah menyerang Mahisa Pukat dengan kasar. Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia harus berhati-hati menghadapi orang bertubuh tinggi itu, karena menilik sikapnya, ia tentu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakannya.
Selangkah orang itu mendekat. Ketika Mahisa Murti bergeser, maka tiba-tiba saja orang itu pun melenting sambil menjulurkan tangannya menyerang. Mahisa Murti yang sudah bersiap sepenuhnya itu pun bergeser pula secepat datangnya serangan, sehingga serangan itutidak mengenainya sama sekali.
Tetapi seperti tatit, orang bertubuh tinggi itu meloncat dengan kaki terjulur menyamping. Dangan kecepatan dan derasnya serangan itu menyamhar Mahisa Murti. Tetapi serangan yang cepat itu tidak mangejutkan Mahisa Murti yang sudah bersiaga menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun juga. Karena itu, maka ia pun masih sempat mengelak ke samping sambil menarik tubuhnya.
Lawannya menggeram. Bahwa serangannya sama sekali tidak mengenai sasarannya, telah membuatnya semakin marah itu, demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera berputar bertumpu pada tumitnya. Sedangkan kaki yang lain menyambar Mahisa Murti pada lambungnya.
Mahisa Murti mulai berniat untuk menyerangnya kembali. Karena itu. Ketika ia bergeser surut, tangannya telah dengan cepat disertai dengan mengerahkan kekuatannya pada tangannya itu, menangkis kaki lawannya. Sambil merendah Mahisa Murti menempatkan tangannya berjajar rapat di muka dadanya, ditekuk pada sikunya. Sehingga ayunan kaki lawannya telah membentur kedua tangan Mahisa Murti yang telah dijadikannya sebagai perisai.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Mahisa Murti yang belum mengetahui sepenuhnya kekuatan lawannya, ternyata telah terkejut. Bukan karena ia terlempar surut, tetapi justru lawannyalah yang terlempar beberapa langkah dan kemudian jatuh berguling di tanah berpasir. Mahisa Murti yang masih berdiri tegak itu memandangi lawannya dengan termangu-mangu. Ternyata kekuatan lawannya tidak seimbang dengan tingkah lakunya yang seolah-olah sangat meyakinkan itu.
Tetapi orang itu dengan cepat melenting berdiri. Meskipun demikian, pada wajahnya nampak betapa ia berusaha menahan sakit pada kakinya yang seolah-olah telah membentur batu padas di lereng pegunungan.
“Gila” geramnya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia sempat berpaling kearah Mahisa Pukat, maka ia pun melihat, bagaimana Mahisa Pukat menguasai lawannya sepenuhnya.
“Kau sangka bahwa ilmu iblismu itu akan dapat menundukkan aku” geram orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Nampaknya orang itu justru menjadi semakin marah. Sebenarnyalah orang itu pun kemudian bergeser mendekatinya sambil berkata, “Kau telah salah langkah anak muda. Kau sangka bahwa dengan demikian, kau memiliki kekuatan jauh lebih besar dari kekuatanku” orang itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi ketahuilah, bahwa aku belum bersungguh-sungguh. Aku masih berusaha untuk mengalahkanmu tanpa merontokkan iga-igamu. Namun kau telah mulai dengan sikap yang kasar. Karena itu, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk”
Mahisa Murti tidak menjawab. Ia sudah bersiap menghadapi apapun juga. Apalagi ketika ia sudah berhasil menjajagi kekuatan lawannya, meskipun barangkali kekuatan itu masih belum sampai kepuncak kekuatannya. Tetapi yang dikerahkan oleh Mahisa Murti barulah kekuatan wadagnya sewajarnya. Ia pun masih belum menambah pada kekuatan cadangannya. Karena itu, seandainya orang itu masih akan meningkatkan kemampuannya, maka Mahisa Murti akan menghadapinya dengan tanggon.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah semakin mendesak lawannya. Orang bertubuh tinggi besar itu ternyata tidak mampu melawan kecepatan gerak dan kekuatan Mahisa Pukat. Meskipun Mahisa Pukat masih juga mempergunakan tenaga wajarnya. Benturan-benturan yang terjadi telah mendesak orang bertubuh tinggi besar itu sehingga ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang.
“Menyerahlah” berkata Mahisa Pukat, “aku dapat berbuat baik, tetapi aku dapat berhuat kasar”
“Gila” geram orang bertubuh tinggi besar itu, “jika demikian kau tentu salah seorang gerombolan Hantu Jurang Growong”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan” jawab Mahisa Pukat, “apa artinya Hantu Jurang Growong”
“Jangan berpura-pura anak muda” jawah orang bertubuh besar itu, “orang-orang dari Hantu Jurang Growong benar-benar bersikap seperti hantu. Mereka dapat berbuat baik, tetapi sebenarnyalah mereka berhati iblis. Dan kau pun dapat berbuat seperti itu. Apalagi menilik rencanamu mencuri pering cendani itu. Maka aku mengambil kesimpulan, bahwa kalian adalah orang-orang dari Hantu Jurang Growong”
“Kau membingungkan” sahut Mahisa Pukat, “yang kau maksudkan orang-orang dari Jurang Growong, atau Hantu dari Jurang Growong”
“Kau memang dungu” bentak orang itu, “yang disebut Hantu Jurang Growong adalah orang-orang yang menamakan dirinya demikian. Sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka memang memiliki ilmu seperti hantu” orang itu berhenti sejenak. Tetapi tiba-tiba katanya, “he, jangan berpura-pura. Kau salah seorang dari antara mereka”
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat lawannya mulai dibayangi oleh kecemasan. Sorot matanya membayangkan ketegangan di dalam jiwanya. “Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat aku bukan orang dari Jurang Growong. Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang orang apalagi hantu dari Jurang itu”
“Persetan” geram orang itu kau harus dibinasakan. Seluruh penghuni Jurang Growong memang harus dibinasakan”
“Jangan mengigau seperti orang kesurupan” bentak Mahisa Pukat.
Ternyata orang itu benar-benar terkejut, sehingga ia telah meloncat mundur. Ketegangan yang membayang disorot mata orang itu telah berubah menjadi ketakutan. Mahisa Pukat ingin memanfaatkan keadaan itu. Karena itu sekali lagi ia membentak, “Menyerahlah. Atau kau akan aku cincang di sini”
Ketakutan yang sangat telah semakin mencengkam orang bertubuh raksasa itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan orang bertubuh tinggi kekurusan itu masih saja bertempur. Tetapi pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Mahisa Murti telah menguasai lawannya pula. Sejenak kemudian lawannya telah terdesak, sehingga akhirnya orang bertubuh tinggi kekurusan itu tidak sempat melawan lagi.
Kedua orang itu akhirnya benar-benar harus mengakui keunggulan lawannya. Meskipun rasa-rasanya nyawa mereka belum terancam, tetapi mereka menyadari, bahwa mereka sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika pertempuran itu dilanjutkan, maka mereka hanya dapat menggugah kemarahan yang lebih besar saja dari kedua orang anak-anak muda itu.
Karena itu, maka akhirnya, pada batas tahan tertentu, orang bertubuh tinggi kekurusan itu meloncat jauh surut sambil berkata, “Tunggu Ki Sanak. Aku masih ingin berbicara”
“Menyerah atau aku akan membunuhmu dengan cara seperti yang kau katakan? Cara yang kau rencanakan akan kau perlakukan terhadap kami?” bentak Mahisa Murti, “jika kau menyerah, cepat menyerahlah. Jika tidak, aku akan mengikat tanganmu dan menyeretmu di belakang kaki kudamu sendiri”
“Jangan Ki Sanak. Jangan” minta orang itu.
“Jika demikian, menyerahlah” berkata Mahisa Murti pula.
Orang itu ragu-ragu. Agaknya ia masih juga berpikir tentang harga dirinya. Namun orang itu bergeser surut ketika Mahisa Murti sekali lagi membentak, “Menyerahlah. Cepat. Atau aku akan kehilangan kesabaranku”
“Baik. Baik” jawab orang yang kekurusan, “aku menyerah”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu terdengar suara Mahisa Pukat, “Nah, kau dengar. Kawanmu telah menyerah. Apakah kau akan tetap bertahan?”
Orang itu tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutannya. Karena itu, maka dengan terbata-bata ia pun berkata, “Aku, aku juga menyerah”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Jika kalian telah menyerah, maka berikan kedua tangan kalian. Kalian akan kami ikat pada kuda kalian masing-masing. Kemudian kami akan mencambuk kuda kalian ke arah padang perdu yang liar itu. Nah, kau akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas kalian”
“Jangan. Jangan lakukan itu” minta orang bertubuh raksasa itu.
“Kenapa? Bukankah kalian juga akan memperlakukan kami demikian jika kalian memenangkan perkelahian ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak” jawab orang yang kekurus-kurusan, “kami tidak akan benar-benar berbuat demikian. Kami hanya bermaksud menakut-nakuti kalian saja”
“Setelah kalian kami kalahkan, maka kau dapat berkata seperti itu” bantah Mahisa Murti.
“Tidak. Sebenarnya kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin menggertak saja, agar kalian menganggap kami orang-orang yang garang dan menakutkan” jawab orang bertubuh kekurusan itu, “sebenarnyalah kami hanya ingin membawa kalian ke padukuhan kami."
“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kalian kami anggap bersalah, karena kalian telah mencuri pering cendani itu” jawab orang bertubuh kekurusan
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Sementara itu Mahisa Pukat telah melangkah maju sambil bertanya, “Kenapa kalian sangat berkeberatan jika seseorang mengambil satu batang saja pering cendani vang kami sangka tumbuh liar itu?”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian orang bertubuh kekurusan itu berkata, “Marilah. Aku berharap kalian singgah barang sebentar di padukuhan kami."
“Dan kalian akan mengeroyok kami berdua beramai-ramai” jawab Mahisa Pukat.
“Tidak. Sama sekali tidak” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan.
“Aku tidak akan singgah. Aku akan mengikat kedua tangan kalian masing-masing di belakang kuda kalian” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Itu sudah menjadi keputusan kami”
“Jangan. Aku mohon” suara orang bertubuh raksasa itu menjawab gemetar.
“Karena itu, coba katakan. Kenapa kalian mempertahankan pering cendani itu sampai dengan mempertaruhkan nyawa kalian. Bukankah sebentar lagi kalian akan mati diseret kuda-kuda kalian sendiri hanya karena pering cendani itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sebenarnyalah aku mohon. Jangan bunuh kami” suara orang yang kekurusan itu pun menjadi gemetar.
Mahisa Murti akhirnya tidak sampai hati untuk menakut-nakuti orang itu lebih lama lagi. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku tidak akan membunuh kalian. Tetapi katakanlah, apa arti pering cendani beruas panjang ini bagi kalian”
Orang bertubuh tinggi kekurusan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya kami minta kalian untuk singgah. Kalian akan mendapat penjelasan lebih terperinci”
“Sementara itu kau menyiapkan orang-orangmu untuk menangkap aku beramai-ramai dengan tuduhan, seolah-olah aku termasuk hantu yang kau sebut dari Jurang Growong itu”
“Tidak. Aku berjanji” jawab orang bertubuh kekurusan, “Aku akan memperkenalkan kalian dengan tetangga-tetanggaku. Mereka akan dapat menceriterakan kepada kalian tentang pering cendani ini”
“Tidak perlu” jawab Mahisa Murti, “katakan menurut pengertianmu tentang pering cendani itu”
Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak diamatinya wajah kawannya yang tegang. Namun agaknya ia memang tidak mempunyai pilihan lain, sehingga karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi bukankah kalian bukan orang-orang dari gerombolan Hantu Jurang Growong?”
“Aku belum pernah mendengar nama itu. Seandainya kami orang-orang dari Jurang Growong, apakah kalian dapat menolak untuk tidak mengatakan sesuatu tentang pering cendani ini?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia menggeleng. Katanya, “Kami memang tidak akan dapat menolak. Tetapi aku kira mereka memang tidak akan bertanya seperti itu”
“Baiklah. Katakan apa yang kau ketahui tentang pering cendani itu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Aku memang harus mengatakannya, siapapun kalian” ia berhenti sejenak, lalu, “pada saat terakhir, kami telah mendapat seorang tamu di padukuhan kami yang telah memperkenalkan kami dengan pering cendani ini. Bambu ini sebelumnya memang tumbuh liar tanpa arti sama sekali. Tetapi sejak seorang tamu dari salah seorang penghuni padukuhan kami itu memberitahukan kemungkinan yang dapat kami lakukan dengan pering cendani ini, maka kami menganggap bahwa pering cendani itu merupakan tanaman yang sangat penting artinya”
“Apa yang dikatakan tamu itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tamu itu memperkenalkan satu jenis senjata yang sangat menarik. Sumpit seperti yang kau sebut-sebut” jawab orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Jadi kalian mengenal sumpit belum terlalu lama?”
“Baru saja. Kami telah membuat beberapa contoh dan kami sedang mempelajari, bagaimana kami mempergunakannya” jawab orang bertubuh kurus itu, “karena itu, maka bagi kami, pering cendani ini sangat penting artinya. Senjata yang diperkenalkan kepada kami itu ternyata mempunyai kemungkinan yang jauh lebih baik dari senjata-senjata seperti yang pernah kami miliki”
“Sungguh menarik” berkata Mahisa Pukat, “bagaimana mungkin kalian mempergunakannya sebagai senjata? Kami sudah mengenal sumpit sejak lama. Tetapi yang kami lakukan, semata-mata sekedar untuk berburu. Dengan sumpit kami memang dapat membunuh seekor burung. Bahkan mungkin sekedar melumpuhkannya”
“Kami dapat membunuh lawan kami dengan sumpit” berkata orang bertubuh tinggi kekurusan itu.
“Bagaimana mungkin. Apakah kau mempergunakan cara tertentu yang belum kami kenal?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak dapat mengatakannya, karena apa yang kami ketahui itu adalah satu-satunya cara” jawab orang itu.
“Katakan, bagaimana kau membunuh lawanmu dengan sumpit? Apa yang kalian lontarkan dengan sumpit itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apa yang kalian pergunakan?”
“Kami melontarkan biji-bijian, atau sebutir kecil lempung yang sudah mengeras” jawab Mahisa Pukat.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Kami melontarkan senjata yang berbahaya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Bukannya mereka tidak mengerti, tetapi-mereka memang ingin mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.
“Kami mempergunakan paser-paser kecil” jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah mereka sudah menduga. Orang-orang itu tentu mempergunakan paser-paser kecil yang ujungnya beracun. Mungkin duri pepohonan, tetapi mungkin pula duri ikan air. Duri itu telah direndam di dalam sejenis racun yang dapat membunuh seseorang yang terluka karenanya.
“Siapakah tamumu itu sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
“Salah seorang tetangga kami mempunyai seorang saudara yang pernah merantau dan kini menetap di Kota Raja. Ia datang untuk menengok tetanggaku itu. Ketika ia mengetahui kesulitan yang kami alami, maka ia pun berusaha membantu kami. Ia memperkenalkan kami dengan senjata pering cendani, karena kebetulan ia melihat sejenis bambu itu di pinggir padang perdu ini. Tetapi ruasnya tidak sepanjang pering cendani yang tumbuh disini” jawab orang yang tinggi kekurusan itu.
“Kami mengerti. Pering cendani bagi kalian adalah lambang satu harapan. Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga kalian memerlukan senjata yang lebih baik dari senjata yang sudah kalian miliki?” bertanya Mahisa Murti.
Kedua orang itu saling berpandangan Agaknya mereka merasa ragu-ragu untuk mengatakannya. Namun menilai sikap Kedua anak muda yang sungguh-sungguh dan tidak memancarkan niat yang buruk itu, orang bertubuh tinggi itupun berkata, “Sudah kami sebut. Hantu Jurang Growong."
“Siapakah yang kalian maksud sebenarnya? Gerombolan perampok? Atau gerombolan apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin. Kami tidak tahu pasti. Tetapi mereka memang sering melakukan kejahatan seperti itu” jawab orang bertubuh besar.
“Dan kalian ingin melawan mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Tingkah laku mereka sudah keterlaluan. Kami tidak dapat tinggal diam. Sementara itu, kami tidak akan dapat melawan mereka dengan senjata pendek. Kami tidak akan mampu mengimbangi ilmu pedang mereka. Juga kemampuan mereka mempergunakan tombak dan bahkan bindi” jawab orang yang Kekurusan, “karena itu kami mencari senjata yang berjarak lebih panjang”
“Kenapa kalian tidak mempergunakan panah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kami juga sudah mempertimbangkan” jawab orang itu, “tetapi nampaknya kami akan lebih berhasil dengan mempergunakan sumpit. Selebihnya, kami akan dapat membuat sumpit jauh lebih banyak dari pada jika kami membuat busur dan anak panah”
“Tetapi kau harus bermain-main dengan racun” sahut Mahisa Murti, “bukankah bukan pekerjaan yang mudah untuk menampung racun dan merendam duri pada racun itu. Jika duri itu tergores ditangan kalian sendiri, maka kalian-pun akan mengalami nasib yang buruk”
“Ada seorang dukun di padukuhan kami yang mempunyai pengetahuan tentang racun dan bisa. Ia dapat membantu kami” jawab orang bertubuh tinggi besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami lebih senang mempergunakan busur dan panah. Nampaknya lebih tanggon dari pada mempergunakan racun. Anak panah memang dapat melumpuhkan lawan. Tetapi tanpa racun mereka yang terkena anak panah masih lebih mudah diobati, meskipun lawan sekalipun”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian orang bertubuh tinggi besar itu bertanya, “Tetapi bukankah kita memang ingin membunuh? Dengan racun kita akan dapat membunuh mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka merasakan ketakutan yang mencengkam orang-orang itu terhadap yang disebutnya Hantu dari Jurang Growong. Ketakutan yang sangat itu telah membuat orang- orang itu menjadi garang, kasar dan bahkan hampir liar. Tetapi pada saat tertentu, mereka masih menampakkan sifat-sifat mereka yang sebenarnya.
“Mereka orang-orang padukuhan seperti yang lain” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hatinya. Justru karena itu, maka timbullah keinginan mereka untuk singgah. Mereka ingin melihat suasana di padukuhan itu dan tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk tentang cara membuat dan mempergunakan sumpit. Sementara itu, keduanya juga ingin mengetahui serba sedikit tentang orang-orang yang mereka sebut Hantu dari Jurang Growong itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “KI Sanak. Seandainya kami bersedia singgah, apakah kalian berdua menjamin bahwa tidak akan terjadi sesuatu atas diri kami?”
“Kami menjamin keselamatan kalian” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan itu.
“Bukan untuk keselamatan kami” sahut Mahisa Pukat, “tetapi sekedar mencegah agar kami berdua tidak membunuh terlalu banyak. Karena jika kalian ingin berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya terhadap kami berdua, maka kami akan melakukan satu usaha untuk mempertahankan diri. Akibatnva dapat kau bayangkan. Mungkin orang sepadukuhanmu akan mati oleh kami. Sumpit beracun kalian tidak akan berpengaruh terhadap kami yang mempunyai obat penawar bisa”
Kedua orang itu nampak menjadi berdebar-debar. Sementara itu Mahisa Murti telah menggamitnya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum karenanya.
“Ki Sanak” berkata orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu, “kami mengerti, betapa tinggi kemampuan kalian. Karena itu silahkan singgah, kami tidak akan mengganggu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun hampir bersamaan keduanya mengangguk kecil.
“Baiklah” berkata Mahisa Pukat, “kami akan singgah jika kalian percaya bahwa kami bukan orang-orang dari Jurang Growong” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “He, apakah kalian belum pernah melaporkannya kepada Akuwu yang memiliki kemampuan dan ilmu tidak ada bandingnya? Selain itu ia mempunyai pasukan pengawal yang kuat, yang tentu akan dapat menghancurkan Hantu Jurang Growong itu”
“Kami memang belum pernah melaporkannya” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan, “kehadiran Hantu Jurang Growong itu belum terlalu lama. Dan kami masih harus meyakinkan, agar kami dapat memberi keterangan yang jelas baru kemudian melaporkan kepada Akuwu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Bahkan keduanya pun mulai menimbang, apakah orang-orang yang berniat jahat di banjar Kabuyutan itu juga orang-orang dari Jurang Growong. Jika demikian, maka kekuatan di Jurang Growong itu tentu sudah jauh berkurang, setelah beberapa orang dapat ditangkap dan bahkan ada yang telah terbunuh.
“Tetapi mungkin pula bukan. Nampaknya mereka adalah pendatang baru yang mulai dengan kegiatan-kegiatan yang mengganggu orang-orang padukuhan,” berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya kepada diri sendiri, “Dimana letaknya Jurang Growong itu?”
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah sepakat untuk singgah barang sebentar di padukuhan kedua orang berkuda yang berusaha untuk memiliki pering cendani itu bagi mereka dan lingkungan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengambil meskipun hanya sebatang saja. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua anak muda itupun telah berkemas untuK mengikuti kedua orang berkuda itu.
“Pakailah kuda kami” berkata orang yang bertubuh tinggi besar, “Ya. Biarlah kami berjalan kaki” berkata yang kekurusan.
“Terima kasih” sahut Mahisa Murti, “biarlah kami berjalankah saja. Kami sudah terlalu biasa berjalan”
“Silahkan kalian berkuda” sambung Mahisa Pukat jika kalian ingin mendahului kami, pergilah. Kami akan menyusul”
“Apakah kalian sudah mengetahui dimanakah letak padukuhan kami?” bertanya orang yang bertubuh tinggi kekurusan.
“Bukan soal yang sulit bagi kami” jawab Mahisa Pukat, “kami dapat mengikuti jejak kuda kalian kemanapun kalian pergi”
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Mereka menjadi semakin kagum terhadap kedua orang anak muda itu Nampaknya keduanya memang meyakinkan sekali. Namun keduanya tidak ingin mendahului. Merekapun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Apakah padukuhan kalian jauh?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak terlalu jauh. Jika kita sudah keluar dari padang perdu ini, kita sudah sampai di daerah persawahan dari padukuhan kami” jawab orang bertubuh kekurusan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengetahui, bahwa letak padukuhan mereka memang masih dalam lingkungan satu Pakuwon dengan Kabuyutan yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru.”
Demikianlah, kedua anak muda itu mengikuti dua orang yang menuntun kudanya melintasi padang perdu yang agak luas. Ternyata bahwa di padang perdu itu terdapat beberapa rumpun pering cendani. Tetapi ruasnya tidak sepanjang pering cendani yang telah menimbulkan persoalan diantara kedua anak muda itu dengan orang-orang yang merasa berhak. Pering cendani yang tumbuh di bagian lain dari padang perdu itu ruasnya memang cukup panjang untuk membuat sumpit, tetapi jauh lebih pendek dari pering cendani yang khusus itu.
Karena itu, maka pering cendani yang beruas panjang itu telah mendapat perhatian yang khusus dari orang-orang padukuhan yang sedang berusaha mempersenjatai diri mereka dengan senjata-senjata yang belum pernah mereka pergunakan sebelumnya. Beberapa saat empat orang itu berjalan di udara yang terik. Beberapa batang perdu sempat melindungi tubuh mereka dari sengatan matahari yang meskipun sudah condong, tetapi panasnya masih terasa membakar kulit.
Namun akhirnya mereka pun mencapai pinggir padang perdu itu. Di hadapan mereka kemudian terbentang tanah persawahan yang subur. Dengan parit yang membelah dan kemudian menusuk sampai ke segenap bagian tanah persawahan, maka tanaman pun menjadi hijau segar. Padi dapat ditanam di segala musim, karena tidak tergantung sekali kepada air yang turun dari langit. Parit yang mengalirkan air yang diangkat dari sungai yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi mengalir cukup deras.
“Kita sudah memasuki daerah Kabuyutan kami” berkata orang bertubuh tinggi dan agak kekurusan itu, “padukuhan yang nampak di seberang bulak panjang itu adalah salah satu dari padukuhan di Kabuyutan kami”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kau juga tinggal di padukuhan itu?”
“Tidak” jawab orang yang kekurusan, “aku tinggal di padukuhan di belakang padukuhan itu Aku tinggal di padukuhan induk”
“Dan kau?” bertanya Mahisa Pukat kepada orang yang bertubuh besar.
“Aku juga tinggal di padukuhan induk” jawab orang bertubuh besar itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi sikap kalian pada mulanya sama sekali tidak mencerminkan sikap orang-orang padukuhan. Aku justru mengira bahwa kalian adalah bagian dari berandal atau gerombolan penjahat yang lain”
“Kami minta maaf” sahut yang kekurusan, “kami berusaha untuk menutupi kekerdilan kami. Kami telah menjadi sasaran yang menyakitkan hati dari orang-orang yang menyebut diri mereka Hantu Jurang Growong”
“Dan kalian tidak dapat melawan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Terlalu sulit. Mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Padukuhan-padukuhan di seluruh kabuyutan kami telah menderita karenanya. Bahkan Kabuyutan-Kabuyutan yang lain pun mengalami nasib yang sama. Karena itu, kami telah berusaha mencari cara yang paling baik untuk mempertahankan padukuhan dan Kabuyutan kami” jawab orang yang kekurusan, “diantaranya dengan membuat senjata baru itu”
“Kenapa kalian mempertahankan pering cendani itu dengan segala macam pengorbanan Kenapa kalian tidak justru berusaha memberi tahukan kepada tetangga-tetangga Kabuyutan kalian untuk bersama-sama memanfaatkan pering cendani itu”
“Setelah kami merasa cukup. Sebelumnya kami akan mempertahankannya” jawab orang bertubuh besar. Lalu, “Ketakutan dan kegelisahan telah membuat kami menjadi orang-orang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Bahkan kemudian kami pun menjadi buas dan liar. Tetapi pada dasarnya, kami ingin mempertahankan diri kami dan segala macam milik kami”
"Tetapi kalian berdua berani memasuki padang perdu. Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang Jurang Growong?”
Orang bertubuh tinggi kekurusan itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jarang sekali orang-orang Jurang Growong itu muncul. Apalagi di siang hari. Tetapi sekali mereka datang, maka mereka tidak akan kembali tanpa membawa sesuatu yang berharga. Jika perlu mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa sasarannya”
“Kalian sudah mengenali tabiatnya” berkata Mahisa Murti, “tetapi kalian masih belum melaporkannya kepada Akuwu. Apakah justru bukan kalian yang telah bersalah? Jika kalian melaporkan hal ini, maka para pengawal akan segera bertindak. Dan korban pun tidak akan menjadi semakin banyak”
“Kami berusaha untuk mengenal mereka lebih banyak. Kamipun belum tahu pasti, dimanakah sarang mereka” jawab orang yang kekurusan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi heran. Dengan demikian maka Mahisa Murti pun bertanya, “Bukankah mereka orang-orang yang bersembunyi di Jurang Growong sehingga mereka disebut Hantu Jurang Growong”
“Mereka memang menyebut nama mereka demikian” jawab yang bertubuh besar, “tetapi kami belum tahu, dimana letak Jurang Growong Itu”
“He” kedua anak muda itu menjadi semakin heran. Dengan nada tinggi. Mahisa Pukat bertanya, “Jadi kalian tidak tahu, dimana letaknya jurang yang disebut Jurang Growong itu?”
Kedua orang itu menggeleng. Yang kekurusan menyahut, “Kami mengenal beberapa jurang di daerah ini. Tetapi jurang itu bukan tempat yang dapat dihuni orang. Jurang itu sekedar tebing sungai yang curam dan tinggi. Terdiri dari batu-batu padas yang membujur panjang. Namun jurang batu padas itu tidak mempunyai sebuah lekuk pun yang pantas untuk tempat tinggal, bahkan untuk berteduh dari hujan gerimis sekalipun. Apalagi sebuah goa atau semacamnya yang dapat dipergunakan oleh segerombolan orang-orang yang menyebut diri mereka Hantu Jurang Growong. Sementara Jurang di lembah sebelah pebukitan itupun tidak akan dapat dihuni oleh satu orang pun. Apalagi jurang di lembah itu terdiri dari tanah yang lebih lunak, sehingga setiap kali akan dapat terjadi bencana tanah longsor”
“Lembah yang mana? Dan apakah di lereng itu sama sekali tidak terdapat pepohonan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak sebatang pohon pun. Menurut sebuah dongeng, di lereng lembah di pebukitan itu terdapat sebuah hutan cendana. Hutan yang ditumbuhi kayu cendana. Namun karena setiap hari kayu itu ditebang orang, maka akhirnya hutan di lereng itu menjadi gundul. Tanahnya menjadi rawan dan setiap kali akan dapat longsor menimbun daerah di bawahnya” jawab orang, bertubuh kekurusan, “Kayu cendana adalah sejenis kayu yang mahal”
“Hutan itu tidak dilindungi? Maksudku, apakah Akuwu tidak melarang orang-orang yang menebangi kayu cendana di hutan itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Akuwu sudah melarangnya. Tetapi orang-orang itu telah mencurinya, sehingga kayu cendana itu kini telah habis. Yang tinggal hanyalah beberapa batang saja, yang diawasi oleh orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat atas perintah Akuwu. Bahkan Akuwu telah mengancam hukuman yang sangat berat bagi mereka yang mencuri kayu cendana. Tetapi agaknya sudah terlambat. Lereng itu sudah menjadi gundul” jawab orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“Apakah sekarang masih ada sisa-sisa pohon cendana itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Masih ada beberapa batang pohon” jawab orang itu, “dan Akuwu yang sekaranglah yang memerintahkan orang-orang padukuhan terdekat untuk mengawasinya. Agaknya ia bersikap lebih keras dari Akuwu sebelumnya. Tetapi yang dapat dilakukan tinggallah menyelamatkan sisa pohon cendana itu. Akuwu yang sekarang tidak dapat berbuat banyak mengatasi bukit yang lerengnya telah dibersihkan itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja Jika mereka ingin mempersoalkan lereng dan jurang yang gundul itu, maka mereka akan bertemu lagi dengan Akuwu yang memiliki beberapa macam benda upacara dihari wisuda itu.
Sementara itu, merekapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka. Tetapi padukuhan itu bukannya padukuhan induk. Mereka masih harus melintasi lagi bulak dibelakang padukuhan itu, sebelum mereka memasuki padukuhan induk.
Ketika mereka memasuki padukuhan itu, maka beberapa orang memperhatikan mereka dengan heran. Kedua orang yang mereka kenal itu telah menuntun kudanya bersama dua orang anak muda yang masih asing bagi mereka.
“Siapa mereka?” bertanya seseorang kepada tetangganya.
“Yang mana?” tetangganya ganti bertanya.
“Tentu yang dua orang anak muda itu” jawab yang lain. Lalu, “Yang dua orang aku tidak akan bertanya”
Tetangganya tidak sempat menjawab. Keempat orang itu lewat dihadapan kedua orang yang sedang berbincang itu. Orang yang menuntun kudanya itu mengangguk kecil sambil tersenyum. Tetapi mereka tidak berbicara kepada kedua orang di pinggir jalan itu.
Demikian kedua orang yang menuntun kuda itu menjauh, seorang di antara kedua orang itu berkata, “Apakah mereka membawa dua orang tawanan?”
“Mungkin. Mungkin Ki Jagabaya melihat langsung kedua orang anak muda itu melakukan kejahatan. Ki Jagabaya sekarang ini nampaknya telah berubah menjadi sangat keras. Bahkah kadang-kadang kasar” jawab yang lain.
“Ia telah didorong untuk berbuat demikian. Kesulitan demi kesulitan telah terjadi di padukuhan dan bahkan di Kabuyutan ini. Karena itu, diperlukan sikap yang keras” berkata yang lain pula.
Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka berpaling, dua orang yang menuntun kuda bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sudah hilang di balik tikungan.
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka bergumam, “Kasihan. Mereka masih sangat muda. Apakah mereka telah terdorong oleh kesesatan yang tidak teratasi oleh jiwanya, sehingga anak-anak semuda itu telah melakukan kejahatan”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Lalu kepada siapa masa depan ini akan kami percayakan, jika anak-anak muda sebaya kedua anak itu telah terdorong melakukan kejahatan”
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Sambil beranjak pergi ia berkata, “Aku akan ke sawah. Selama ini siang malam aku berdoa, jika anakku nanti menjadi dewasa, mudah-mudahan ia tidak terseret ke dalam arus yang menyedihkan”
“Ya. Sangat menyedihkan. Mereka memang harus dikasihani. Bukan dimusuhi. Jika Ki Jagabaya salah langkah, maka akibatnya akan sebaliknya” desis yang lain.
Keduanya kemudian berpisah. Masing-masing pergi ke sawah mereka sendiri yang terletak di arah yang berbeda. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melalui padukuhan yang pertama. Mereka kembali berjalan di bulak yang tidak begitu panjang. Padukuhan berikutnya adalah padukuhan induk dari sebuah Kabuyutan yang subur. Namun karena sesuatu, maka telah terjadi beberapa perubahan dalam tata kehidupannya. Ki Jagabaya dan beberapa orang pembantunya menjadi garang. Kejahatan telah mulai menjamah padukuhan-padukuhan di Kabuyutan itu.
Orang-orang padukuhan itu memang memerlukan perlindungan Mereka mengerti, bahwa Ki Jagabaya memang harus bersikap lain menghadapi suasana yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun yang kadang-kadang sikap itu justru menakutkan bagi penghuni Kabuyutan itu sendiri. Ternyata pada suatu kali Ki Jagabaya pernah berkata,
“Tentu ada pengkhianat di dalam lingkungan kita sendiri. Jika tidak maka para penjahat itu tidak akan segera mengetahui sasarannya. Apalagi Hantu Jurang Growong itu belum lama berada di sekitar daerah kita”
Pendapat Ki Jagabaya itu telah membuat hati setiap orang menjadi kecut. Jika mereka melakukan satu kesalahan yang tidak mereka sadari, maka mereka akan mungkin sekali menjadi sasaran kecurigaan Ki Jagabaya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikuti Ki Jagabaya memasuki padukuhan induk. Mereka langsung dibawa ke banjar Kabuyutan yang terletak di tengah-tengah padukuhan induk itu.
“Marilah Ki Sanak” Ki Jagabaya mempersilahkan kedua anak muda itu, “silahkan naik ke pendapa. Ini adalah banjar Kabuyutan kita”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Sejenak mereka melayangkan pandangan mereka ke sekeliling halaman Kabuyutan itu. Kemudian, dipandanginya gandok di sebelah kiri yang lengang. Namun di gandok yang sebelah kanan, beberapa orang sedang duduk dengan tegang. Sekali-sekali kedua anak muda itu mendengar suara orang yang sedang membentak-bentak. Kemudian terdengar pula keluhan dan tangis.
“Ada apa?” bertanya Mahisa Pukat hampir di luar sadarnya.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tidak ada apa-apa”
“Jangan bohongi aku” sahut Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya memandangi orang-orang yang berada di serambi gandok di sebelah kanan itu,. Ia pun mendengar bentakan-bentakan yang kasar dan keluhan yang tertahan-tahan di antara tangis.
“Katakan Ki Sanak” desis Mahisa Murti.
“Atau aku akan mengamuk disini?” sambung Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, kehadiran Ki Jagabaya, seorang pembantunya bersama kedua orang anak muda itu pun sangat menarik perhatian. Orang-orang yang berada di serambi gandok itu pun ternyata telah memandangi mereka, dengan penuh kecurigaan.
“Duduklah” Ki Jagabaya mempersilahkan, “aku akan memberikan keterangan setelah aku melihatnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk dipendapa. Namun keduanya nampak gelisah. Mereka melihat orang bertubuh tinggi kekurusan itu melangkah ke serambi gandok.
“Ki Jagabaya membawa tawanan lagi?” bertanya seorang bertubuh pendek.
“Siapa yang di dalam?” bertanya Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya itu tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian melangkah masuk. Dalam pada itu, di tengah-tengah ruangan yang tidak begitu luas di gandok sebelah kanan itu, seorang anak muda duduk di lantai dengan wajah yang biru lembab. Seorang yang bertubuh kecil berdiri di sebelahnya dengan garangnya.
“Ia tidak mengaku” geram orang yang berdiri itu.
“Apa katanya?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ia tidak pernah berhubungan dengan siapa pun di luar Kabuyutan ini” jawab orang bertubuh kecil itu.
Ki Jagabaya melangkah mendekati. Dengan wajah yang garang ia membentak, “Jangan menunggu sampai kepalamu hancur ya? Kau kemarin dilihat oleh seseorang, datang dari jurusan hutan ilalang di sebelah padang perdu itu. Kau tentu sudah berhubungan dengan para penjahat dari Jurang Growong itu”
“Tidak Ki Jagabaya. Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jurang Growong” tangis anak muda itu.
“Ingat” geram Ki Jagabaya, “wajahnya akan dapat berbentuk lain. Aku datang dengan dua orang saksi. Karena itu mengakulah”
Orang yang berada di gandok itu mengeluh. Tubuhnya terasa semakin sakit. Apalagi ketika ia melihat sekilas, tatapan mata Ki Jagabaya yang bagaikan membakar jantungnya.
“Cepat” bentak Ki Jagabaya.
“Aku berkata sebenarnya” tangis orang itu
“Baiklah” berkata Ki Jagabaya jika ia tidak mengaku, aku benar-benar akan memecahkan kepalanya”
“Jangan, jangan” anak muda itu berteriak.
“Diam” tiba-tiba saja tangan orang yang bertubuh kecil yang berdiri di sebelahnya telah memukul mulut anak muda itu dengan telapak tangannya.
Suara anak muda itu terhentak berhenti. Namun yang terdengar kemudian adalah keluhan keluhan vang tertahan-tahan. Sementara itu, tiba-tiba telah terjadi keributan di luar pintu. Ketika Ki Jagabaya meloncat dan berdiri di pintu, ia melihat tiga orang terbanting dilantai, sementara beberapa orang yang lain bergeser surut.
“Jadi kegilaan semacam inilah yang terjadi di Kabuyutan ini” geram Mahisa Pukat.
Wajah Ki Jagabaya menegang. Katanya, “Aku hanya sekedar menjalankan kewajiban. Aku ingin mendengar pengakuan anak ini sebelum aku memberitahukan kepada Ki Sanak berdua”
“Siapa yang kau maksud dua orang saksi? Kami berdua?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku hanya ingin pengakuannya”
“Pengakuan apa? Begitu caramu untuk mendapatkan pengakuan. Kau pukuli orang itu sampai tidak lagi berpengharapan, sehingga ia akan mengaku. Mengaku sebagaimana kau kehendaki. Bukan mengaku sebagaimana telah terjadi atas dirinya yang sebenarnya”
Wajah Mahisa Pukat menjadi semakin tegang. Lalu tiba-tiba ia membentak, “He, orang gila. Yang kau inginkan pengakuan atau kebenaran. Pengakuan yang keluar dari mulutnya karena kau peras dengan caramu yang kasar dan buas itu belum tentu kebenaran yang pernah terjadi”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang bertubuh kecil berkata, “Siapa orang itu Ki Jagabaya? Apakah orang itu justru orang Jurang Growong, sehingga sudah sewajarnya jika kita akan menangkapnya?”
“Kau akan menangkap aku?” Mahisa Pukat menjadi semakin marah, “Jika kau ingin mencobanya, marilah. Yang lain pergi untuk menyediakan kelengkapan untuk menyelenggarakan mayat sebanyak orang yang ingin menangkap aku”
Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Sementara Ki Jagabaya melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Tidak. Kami tidak ingin menangkap kalian. Tetapi kami mohon kalian duduk di pendapa. Biarlah kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya”
“Tugas yang gila ini” sahut Mahisa Pukat. Lalu, “Tidak. Aku tidak akan membiarkan kelaliman ini berlangsung”
Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun akhirnya ia berkata kepada orang yang bertubuh kecil, “Jaga orang itu baik-baik. Aku akan pergi kependapa”
“Dan jangan kau lakukan lagi kesewenang-wenangan itu” berkata Mahisa Pukat, “mungkin kalian adalah orang-orang yang mendapat tugas membantu Ki Jagabaya. Mungkin kalian merasa bahwa apa yang kalian lakukan itu adalah kewajiban. Tetapi kalian telah melanggar hubungan antara sesama. Kalian memperlakukan sesama kita dengan cara yang tidak wajar. Kalian seharusnya dapat membayangkkan, bagaimana jika perlakuan yang demikian itu berlaku atas diri kalian. Seandainya pada suatu saat, kalianlah yang ditangkap tanpa bersalah. Kalian kemudian dipaksa untuk mengaku dan menjawab segala macam pertanyaan dengan jawaban yang sudah disediakan”
“Siapa anak ini Ki Buyut” orang yang bertubuh kecil itu pun bertanya. Lalu, “Telingaku menjadi panas mendengar kata-katanya. Jika Ki Jagabaya memperkenankan, aku akan memperlakukan anak ini dengan caraku, agar ia dapat menghormati sikap kami di sini”
“Tidak perlu” jawab Ki Jagabaya.
“Ia telah menghina kami” orang bertubuh kecil itu menegaskan “sudah menjadi kewajiban kami untuk bertindak atas mereka”
“Kalian memang orang-orang gila” geram Mahisa Pukat, “kalian telah melakukan kewajiban kalian dengan salah. Kau sangka jika kalian dapat memaksa seseorang untuk mengatakan sebagaimana kau kehendaki, kau sudah melakukan kewajibanmu dengan baik? Apakah kau sangka dengan sewenang-wenang kalian akan dapat dianggap seorang pahlawan”
“Tetapi kami tidak dapat berbuat lain disini” berkata Ki Jagabaya, “daerah kami adalah daerah yang penuh dengan keadaan yang sangat gawat. Kami tentu tidak akan dapat berbuat lain kecuali kekerasan”
“Itu adalah satu sikap yang sangat dungu” potong Mahisa Pukat.
“Dengar” orang bertubuh kecil Itu menyela, “orang itu menyebut kami dungu”
“Kau yang paling dungu” Mahisa Pukat berteriak.
Namun ternyata orang bertubuh kecil itupun tidak lagi dapat mengendalikan kemarahannya. Tanpa minta ijin lebih dahulu dari Ki Jagabaya, maka ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Pukat. Namun yang terjadi adalah sangat mendebarkan jantung. Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian terlempar dan jatuh terbanting di lantai gandok membentur tiang. Sekali ia masih menggeliat. Namun kemudian orang itupun telah pingsan.
“Sudah aku katakan, siapa yang ingin mati, cobalah tangkap aku” berkata Mahisa Pukat.
Tidak seorang pun bergeser. Telah ada empat orang yang pingsan di serambi gandok itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah Mahisa Pukat. Orang-orang padukuhan itu memang memerlukan sedikit peringatan atas sikap mereka, meskipun Mahisa Murti mengerti, bahwa mereka telah disudutkan oleh satu keadaan yang tidak menguntungkan.
Dalam pada itu, Ki Jagabaya lah yang kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku minta maaf”
“Itu tidak cukup” jawab Mahisa Pukat, “tetapi kalian harus menyadari, bahwa sikap kalian tidak benar. Kalian telah bertindak sewenang-wenang apapun alasannya. Jika keadaan padukuhan ini dan barangkali seluruh Kabuyutan ini, menjadi gawat, bukan satu alasan untuk menyakiti orang tanpa sebab. Bukan alasan untuk memeras keterangan seseorang yang tidak mengetahui persoalannya. Dan bukan pula alasan untuk dengan kekerasan memaksa orang memberikan jawaban atas pertanyaan kita sebagaimana kita kehendaki tanpa melihat kebenaran itu sendiri”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti”
“Kalian harus bersikap lebih bijaksana, justru dalam keadaan seperti ini” berkata Mahisa Pukat
“Tetapi, dengan demikian apakah kami tidak akan menjadi semakin sulit menghadapi orang orang dari Jurang Growong itu” bertanya Ki Jagabaya.
“Kepada mereka kita akan bertindak tegas. Bukankah seorang tamu di padukuhanmu telah menunjukkan satu cara untuk melawan mereka?” bertanya Mahisa Pukat, “dengan tulup kalian akan dapat bertahan. Meskipun sebenarnya ada senjata lain yang tidak memerlukan racun. Busur dan panah, misalnya. Meskipun kalian pernah mencoba, tetapi ada baiknya kalian mencoba lagi”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti telah memasuki gandok itu dan melihat keadaan orang yang mengalami nasib yang malang.
“Lepaskan anak ini,“ berkata Mahisa Murti kepada Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat membentak, “Cepat. Atau kami harus mengambil sikap sebagaimana sikap kalian?”
Ki Jagabaya tidak dapat bersikap lain, kecuali memerintahkan orang-orangnya untuk melepaskan orang yang mengalami nasib buruk itu.
“Marilah Ki Sanak” ajak Mahisa Murti yang kemudian membimbing orang itu keluar, dan kemudian membawanya ke pendapa. Sementara itu Mahisa Pukat berkata, “Rawatlah kawan-kawanmu yang pingsan. Mereka belum benar-benar mati. Tetapi jika perlu, aku memang akan membunuh”
Tidak ada yang menjawab Ketika Mahisa Pukat pun menyusul Mahisa Murti ke pendapa, maka beberapa orang pun telah merawat kawan-kawan mereka yang pingsan.
“Anak itu luar biasa” desis seseorang, “seolah-olah yang dilakukan itu tidak dapat kita tangkap dengan indera kita”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun ia berbisik, “Jika ternyata mereka adalah di antara orang-orang yang disebut Hantu Jurang Growong itu, maka kita akan mengalami nasib yang sangat buruk”
“Aku kira mereka justru bukan dari antara mereka” berkata yang lain.
“Darimana kau tahu?” bertanya kawannya.
Orang itu memandang orang yang bertubuh tinggi besar, yang bersama dengan orang bertubuh tinggi kekurusan, yang ternyata adalah Ki Jagabaya. Orang bertubuh tinggi besar itu mengangguk sambil berkata, “Bukan. Mereka bukan orang-orang dari Jurang Growong. Mereka telah memaafkan kami di padang perdu meskipun kami sudah berbuat kasar”
“Mereka berpura-pura” desis seseorang.
“Tidak. Mereka benar-benar melepaskan kami berdua. Maksudku, aku dan Ki Jagabaya” jawab orang itu, “Ki Jagabaya lah yang minta kepada keduanya untuk singgah. Semula mereka sama sekali tidak ingin memasuki Kabuyutan ini. Mereka ingin melanjutkan perjalanan, karena keduanya adalah perantau”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun demikian ada juga di antara mereka yang masih tetap mencurigai kedua orang anak muda itu. Sementara itu, di pendapa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk berhadapan dengan orang yang sudah menjadi biru pengab karena sikap orang-orang Kabuyutan itu.
“Jadi kau tidak tahu benar tentang Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak Ki Sanak” jawab orang itu dengan suara gemetar karena menahan sakit yang menyengat di seluruh tubuh, “aku tidak tahu menahu”
“Baiklah. Aku percaya. Jika kau mengetahuinya, maka keadaan tubuhmu itu sama sekali tidak berarti dibanding dengan cacat jiwamu, karena kau sudah berkhianat. Tetapi jika kau benar-benar tidak tahu dan tidak berhubungan dengan Hantu Jurang Growong, besarkan hatimu. Kau akan dilepaskan” berkata Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang, “Tidak begitu caranya berbicara dengan seekor serigala anak-anak”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling. Dilihatnya seorang yang mempunyai ciri yang agak berbeda dengan orang-orang Kabuyutan itu. Orang itu mengenakan pakaian yang agak lebih baik. serta pengetrapannya yang lebih mapan.
Sejenak kemudian orang itu sudah berdiri di tangga pendapa. Katanya pula, “Kau tidak perlu merubah sikap yang telah diambil oleh para bebahu Kabuyutan ini. Aku juga tidak, karena kita orang lain disini. Apalagi menurut pendapatku, sikap keras dan tegas dari para bebahu disini sudah tepat sebagaimana seharusnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka segera mengetahui, tentu orang itulah yang dimaksud dengan seorang tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk tentang penggunaan sumpit sebagai senjata. Namun kedua anak muda itu tidak mengira bahwa sikap orang itu ternyata terlampau kasar menghadapi keadaan. Agaknya orang itu pulalah yang mendorong Ki Jagabaya dan para bebahu yang lain melakukan kekerasan yang berlebihan.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab, maka orang itupun berkata, “Anak anak muda. Serahkan orang itu kembali kepada Ki Jagabaya. Biarlah ia menyelesaikan tugasnya. Orang itu harus mengaku. Ia benar-benar salah satu dari sekian banyak orang yang diperalat oleh Hantu Jurang Growong”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “marilah kita berbicara tentang orang ini. Mungkin kita akan dapat menyebut beberapa bukti tetapi juga beberapa keberatan. Katakan, bagaimana mungkin Ki Sanak dapat memastikan bahwa orang ini telah berhubungan dengan yang disebut Hantu Jurang Growong itu”
“Ceriteranya cukup panjang, anak muda” jawab orang itu, “tetapi secara singkat dapat aku sebut, bahwa ia telah pergi ke tempat yang tidak diketahui. Ia datang dari arah yang mencurigakan. Ia datang dari hutan ilalang di sebelah padang perdu”
“Apakah dengan demikian sudah cukup alasan bagi kalian untuk menganggap bahwa orang ini bersalah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu Ki Sanak” jawab orang itu, “jika tidak berhubungan dengan Hantu Jurang Growong, ia tidak akan datang lewat hutan ilalang”
Mahisa Pukat mendekati orang itu. Kemudian katanya, “Katakan, apa alasanmu, bahwa kau telah melalui hutan ilalang?”
“Di sebelah hutan ilalang terdapat sebuah rawa yang tidak begitu besar. Aku mencari ikan di rawa itu” jawab orang itu.
“Apakah hal itu sudah kau katakan?” bertanya Mahisa Murti.
“Sudah Ki Sanak. Sebenarnya bukan aku sendirilah yang sering mencari ikan di rawa-rawa itu. Orang-orang padukuhanku yang lain telah melakukannya pula” berkata orang itu dengan gemetar.
“Kau bukan orang padukuhan ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bukan. Aku orang padukuhan sebelah. Tetapi juga termasuk Kabuyutan ini” jawab orang itu.
“Nah, Ki Sanak. Bukankah ia sudah mengatakan alasannya, bahwa orang ini mencari ikan di rawa-rawa di balik hutan ilalang itu” berkata Mahisa Pukat.
“Dan aku masih membawa sekepis ikan ketika aku ditangkap” orang itu menjelaskan.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku lebih percaya kepada orang ini. Aku tidak melihat kelicikan dan kecerdikan di sorot matanya. Ia orang sederhana dan jujur”
“Anak-anak” berkata orang asing itu kemudian, “kau terlalu berani mengambil keputusan. Tetapi aku berpendirian lain. Orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Hantu Jurang Growong”
“Kaulah yang terlalu berani mengambil keputusan” jawab Mahisa Pukat.
“Ternyata kau bukan saja terlalu berani mengambil keputusan,” geram orang itu, “tetapi kau juga terlalu lancang di hadapanku. Kau harus sadar, bahwa sikapmu itu akan dapat mencelakaimu”
“Nanti dulu Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebaiknya Ki Sanak duduk dengan baik, dan kita pun dapat berbicara dengan baik”
“Tidak ada gunanya anak-anak” jawab orang itu, “aku hanya minta, serahkan kembali orang itu kepada Ki Jagabaya. Persoalan di antara kita akan selesai. Kau boleh pergi kemanapun yang kau inginkan. Sudah tentu, kalian tidak boleh mencuri lagi pering cendani yang khusus itu. Jika kalian menginginkan untuk membuat tulup sekedar untuk menangkap burung, maka kau dapat mengambil pering cendani yang lain, yang ruasnya cukup panjang untuk keperluan itu”
“Maaf Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “persoalannya tidak akan berakhir sampai sekian. Aku tidak sekedar ingin pering cendani. He, siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa aku telah mengambil pering cendani?”
“Aku sudah mengetahuinya” jawab orang itu.
“Baiklah. Tetapi masalahnya bukan pering cendani. Bukan pula orang ini. Orang ini tentu hanya salah satu saja dari korban yang pernah mengalami nasib yang serupa. Menurut dugaanku, setiap orang yang kau curigai akan mengalami nasib seperti orang ini. Aku tidak tahu, apakah peristiwa semacam ini akan berakhir dengan kematian. Tetapi sebenarnyalah bahwa perbuatan kalian sama sekali tidak berarti”
“Kematian adalah peristiwa yang wajar di dalam keadaan yang gawat seperti ini. Jika orang yang berkhianat seperti orang itu tidak dibunuh, maka Kabuyutan ini akan menjadi semakin parah”
“Persetan” geram Mahisa Pukat, “jadi kalian telah pernah membunuh orang dalam persoalan seperti ini”
Yang sangat memanaskan hati Mahisa Pukat adalah justru orang itu tertawa. Katanya, “Orang-orang semacam itu pantas untuk berlatih kemampuan bidik dengan mempergunakan sumpit pering cendani yang beruas panjang itu”
“Gila” Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah menuruni tangga pendapa sambil menggeram, “Apakah Kabuyutan ini sudah kehilangan citra kemanusiaannya? He, apakah kalian tidak mempunyai paugeran yang dapat menjadi landasan untuk menjatuhkan hukuman?”
“Kenapa kau menjadi bingung seperti itu” orang itu masih tertawa.
“Kalian memang pantas untuk dilaporkan kepada Sang Akuwu. Sang Akuwu adalah orang yang bijaksana. Ia akan dapat mengambil keputusan yang paling pantas untuk menghukum kalian semuanya. Jika perlu, Kabuyutan ini akan dapat dimusnahkan” geram Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak yakin akan kata-katamu. Akuwu tidak akan menerima kalian menghadap. Kalian pantas untuk diusir dari halaman istana daripada didengar keterangannya”
Mahisa Murti pun kemudian telah mendekat pula. Katanya, “Aku kenal Akuwu dengan baik. Aku dan saudaraku pernah menerima undangannya untuk singgah di istana. Apa yang kami berdua katakan tentu akan dipercaya”
“Itu omong kosong yang sangat menggelikan” jawab orang itu, “tetapi sebaliknya. Akuwu akan menerima aku. Aku adalah orang penting di Pakuwon ini”
“Apakah aku harus mempercayaimu?” potong Mahisa Pukat, “ceriteramulah yang ngaya-wara. Seorang yang mempunyai kedudukan penting tidak akan berbuat seperti yang kau lakukan itu. Perbuatanmu adalah perbuatan orang yang tidak berperadaban”
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya, “Sekali lagi aku peringatkan. Jika kata-kataku kali ini tidak kalian dengar, maka aku akan mengambil sikap lain. Sikap yang barangkali paling sesuai untuk mengusir kalian dari tempat ini. Kemudian kami harus melanjutkan tugas kami memeriksa orang itu. Apakah orang itu akan mati karena ia berkeras untuk tidak mengakui keadaannya, atau ia kemudian akan mengaku, itu urusan kami. Apakah kami akan menempatkan orang itu menjadi sasaran latihan dan meningkatkan kemampuan bidik kami atau sasaran latihan yang lain. itupun urusan kami”
“Baiklah Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebaiknya aku dan saudaraku mempergunakan cara yang kau pilih”
“Apa maksudmu?” bertanya orang itu, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Aku akan melakukan apa yang ingin kami lakukan. Bahwa kami akan membebaskan orang itu adalah urusan Kami. Bahwa kami akan berbuat apa saja disini adalah urusan kami. Kau tidak akan dapat melarang. Jika kau menganggap bahwa kau akan mempergunakan kekerasan, maka kamipun akan mempergunakan kekerasan”
“Tegasnya, aku tantang kau berperang tanding” potong Mahisa Pukat, “Kau dapat memilih senjata yang kau kehendaki. Aku tidak berkeberatan jika kau memilih senjata sumpit beracun sekalipun”
Sorot mata orang itu bagaikan membara. Bibirnya nampak bergetar sedangkan giginya gemeretak menahan gejolak perasaannya. Kemudian terdengar ia menggeram, “Anak setan. Kau akan aku bunuh bersama-sama”
“Jangan bicara tentang membunuh, agar tidak menimbulkan rangsang padaku untuk membunuhmu pula” bentak Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi semakin marah. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kalian adalah orang-orang Jurang Growong yang ingin membebaskan kawan kalian. Tetapi kalian akan mati di banjar ini”
Tetapi jawaban Mahisa Pukat justru mengejutkan, “Aku mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah satu dari Hantu Jurang Growong itu. Kau dengan sengaja telah menimbulkan kegelisahan di padukuhan dan bahkan Kabuyutan ini. Kau telah menyesatkan orang-orang padukuhan ini untuk mempergunakan sumpit sebagai pangganti busur dan anak panah, karena bagi Hantu Jurang Growong anak panah jauh lebih berbahaya dari sumpit yang sulit mempergunakannya. Berlatih membidik dengan sumpit adalah jauh lebih sulit dari mempergunakan busur dan anak panah. Aku menguasai keduanya dan aku dapat memperbandingkannya”
Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga orang itu. Sementara orang-orang padukuhan itupun menjadi berdebar-debar. Kata-kata Mahisa Pukat itu ternyata menjadi perhatian mereka. Tetapi Mahisa Pukat tidak sempat berkata sepatah kata pun lagi. Orang itu dengan serta merta telah menyerangnya dengan garang. Kedua tangannya mengembang dan jari-jarinya terbuka. Seolah-olah orang itu hendak menerkamnya sebagaimana seekor harimau menerkam mangsanya.
Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiaga. Ia pun sempat meloncat menghindar. Namun dengan demikian, Mahisa Pukat menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan lawan yang tangguh, sehingga karena itu. maka ia pun tidak mau kehilangan waktu. Demikian ia bergeser, maka kakinya pun telah berputar bertumpu pada kakinya yang lain. Demikian derasnya langsung menyerang lambung dalam putaran mendatar.
Serangan Mahisa Pukat itu tidak diduga sama sekali oleh lawannya yang menganggapnya masih terlalu kanak-kanak. Karena itu, maka orang itu tidak bersiap untuk menghindarinya. Meskipun ia berusaha juga bergeser, tetapi serangan Mahisa Pukat datang lebih cepat, sehingga yang dapat dilakukannya adalah dengan serta merta menangkis sambaran kaki yang kuat itu.
Tetapi benturan kekuatan itu tidak seimbang. Justru karena orang itu menganggap Mahisa Pukat tidak akan mampu melakukan serangan seperti itu. Karena itu. maka tangan orang itu pun telah terdorong oleh kekuatan serangan Mahisa Pukat, sehingga orang itu terputar setengah lingkaran.
Mahisa Pukat telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan cepatnya ia melenting. Kakinya terjulur kesamping mendatar dengan lontaran badannya. Benar-benar serangan yang sangat kuat, dilambari oleh sebagian besar kemampuan Mahisa Pukat. Dengan dahsyatnya serangan itu menghantam punggung lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya setelah terputar oleh dorongan serangan Mahisa Pukat. Demikian derasnya, sehingga orang itu pun telah terdorong dan jatuh terjerembab.
Untunglah, bahwa ia pun memiliki kesigapan, sehingga wajahnya tidak terbanting mencium tanah. Beberapa kali orang itu berguling. Kemudian dengan sigapnya ia melenting berdiri. Mahisa Pukat meloncat maju. Namun ia harus berhati hati. Orang itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi pula. Sehingga tubuhnya seolah-olah menjadi liat. Sejenak kemudian keduanya telah berdiri berhadapan. Keduanya telah siap untuk menyerang dan diserang. Namun dengan demikian orang itu pun mengetahui, bahwa anak-anak itu memiliki kemampuan yang tidak diduga sebelumnya.
Meskipun demikian, orang itu masih juga sesumbar, katanya, “Marilah. Majulah berdua. Dengan demikian pekerjaanku akan cepat selesai. Kalian memang harus dibunuh untuk ketenangan padukuhan dan Kabuyutan ini”
“Kata-kataku tadi belum selesai” sahut Mahisa Pukat, “kau tentu orang dari gerombolan yang disebut Hantu Jurang Growong”
“Kau boleh mengigau apa saja. Tetapi kenyataan akan membuktikan. Marilah, jangan banyak bicara lagi. Majulah berdua” geram orang itu.
Mahisa Murti yang berdiri dipinggir arena menyahut, “Biarlah seorang di antara kami menunjukkan kepadamu, bahwa kau bukan orang yang pantas diagungkan di sini. Seorang di antara kami akan dapat mengalahkanmu”
Orang itu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak mau tergesa-gesa. Ia pun kemudian bergeser setapak. Dipersiapkannya ilmunya sebaik-baiknya. Anak-anak itu benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa mereka tidak mau bertempur berpasangan. Jika benar demikian, maka ia tidak lagi banyak mempunyai harapan.
“Kesombongannya akan menjebaknya dalam kesulitan” berkata orang itu di dalam hatinya, “aku akan dapat membunuhnya seorang demi seorang”
Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara kedua orang itupun telah berlangsung lagi dengan dahsyatnya. Ternyata orang itu telah benar-benar mengerahkan kemampuannya untuk segera membunuh Mahisa Pukat untuk selanjutnya membunuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya menjadi korban. Ia pun memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan orang itu, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru.
Keduanya pun kemudian sampai ke puncak kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan tatapan mata wadag. keduanya saling menyerang. Saling mendesak dan saling bertahan. Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu pun merasa bahwa ia tidak akan dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya iapun telah meloncat surut. Ketika Mahisa Pukat bergeser mendekat, orang itu telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang.
Mahisa Pukat tertegun. Ia tidak mempunyai senjata panjang. Yang ada padanya hanyalah sebilah pisau belati di-bawah kain panjangnya. Namun, ia tidak dapat melawan pedang itu dengan tangannya. Ia sudah menjajagi kemampuan lawannya. Jika ia memiliki ilmu pedang setinggi kemampuannya bertempur dengan tangannya, maka ia akan dengan cepat mengalami kesulitan. Karena itu. meskipun ia hanya mempunyai sebilah pisau belati saja, namun ia pun kemudian mencabut pisau belatinya dan siap menghadapi pedang panjang lawannya.
Terdengar orang itu tertawa. Katanya, “Kesombonganmu memang tidak dapat dimaafkan Dengan senjata mainan seperti itu. kau akan melawan ilmu pedangku”
“Aku tidak ingin menyombongkan diri Ki Sanak” Jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku tidak mempunyai senjata lain. Pisau inilah yang aku pergunakan untuk memotong pering cendani sehingga timbul persoalan sehingga aku datang kepadukuhan ini”
“Tetapi kau benar-benar akan mati anak muda. Selagi kau masih sempat, lihatlah betapa cerahnya langit di sisa hari ini” berkata orang itu di antara suara tertawanya.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun berpaling ketika Mahisa Murti berkata, “Pertempuran itu harus adil. Jika kau hanya membawa sebilah pisau belati pendek Mahisa Pukat, maka kau sepantasnya membawa dua”
Sebelum Mahisa Pukat menjawab, Mahisa Murti telah melemparkan pisau belatinya pula kepada saudara laki-lakinya. Dengan tangkas Mahisa Pukat menangkap pisau itu. Kemudian dengan sepasang pisau belati di kedua tangannya, maka ia pun lelah siap menghadapi lawannya yang bersenjata pedang panjang.
Orang yang berpedang panjang itupun termangu-mangu sejenak, ia melihat kedua tangan Mahisa Pukat menggenggam sepasang pisau belati dengan sangat meyakinkan, sehingga dengan maka ia pun menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan mempergunakannya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bersiap. Orang berpedang itu mulai menjulurkan pedangnya. Memutarnya kemudian dengan cepat menyerang mendatar.nMahisa Pukat sudah bersiap. Ia sadar, bahwa lawannya berusaha untuk menjajagi kemampuannya mempermainkan pisau-pisaunya. Karena itu. maka ia pun tidak terlalu banyak berbuat sesuatu. Namun ia justru bersiap-siap menghadapi serangan-serangan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah benar-benar terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya. Senjata mereka berputaran, menyambar, mematuk dengan dahsyatnya. Mahisa Pukat yang mempergunakan senjata yang lebih pendek, mempunyai kesempatan lebih kecil untuk menggapai lawannya dengan senjatanya. Namun ia mampu mempergunakan sepasang pisau belati untuk membentengi dirinya dengan rapat sekali. Seolah-olah sepasang pisau belati itu tidak akan mungkin dapat ditembus, meskipun hanya seujung duri sekalipun.
Orang berpedang itu mulai menyadari, bahwa anak muda itu bukan orang kebanyakan. Ternyata anak muda yang melawannya itu menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun yang di tangannya adalah senjata pendek, tetapi sepasang senjata pendek ilu benar-benar mampu melindungi dirinya dengan rapat sekali. Benturan-benturan pun telah berlangsung dengan dahsyatnya. sehingga bunga apinya berhamburan.
Dengan kemarahan yang bergejolak di dadanya. orang berpedang itu menyerang dengan kecepatan yang mendebarkan. Senjatanya yang lebih panjang nampaknya memberikan kemungkinan kepadanya lebih baik dari lawannya. Meskipun demikian, ayunan senjatanya selalu membentur senjata pendek anak muda yang melawannya itu.
Ketika ia menusuk lurus ke arah dada. Mahisa Pukat sempat bergeser sambil memukul pedang lawannya ke samping. Namun lawannya itu memutar pedangnya justru ancang-ancang untuk mengayunkannya langsung mengarah kekepalanya. Mahisa Pukat menyadari, betapa dahsyatnya kekuatan yang mendorong ayunan pedang itu. Karena itu, maka ia pun segera menyilangkan pisau belatinya di atas kepalanya. Benturan yang dahsyat telah terjadi. Namun sekali lagi orang berpedang itu merasa bahwa kekuatan anak muda itu tidak berada di bawah tataran kekuatannya.
Karena itu, maka ia pun menjadi gelisah. Anak muda itu memiliki kelebihan. Bahkan kecepatannya bergerak pun mulai mencemaskannya. Tetapi orang berpedang itu masih tetap berpengharapan ia masih berharap kelebihan pada senjatanya. Dengan pedang panjang itu ia akan dapat menjangkau kulit lawannya.
Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Mahisa Pukat berloncatan dengan cepatnya. Sementara sepasang pisau belatinya bergetar bagaikan sayap burung sikatan yang melindungi seluruh tubuhnya.
Mahisa Murti yang berdiri di luar arena menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak terlalu mencemaskan keadaan Mahisa Pukat. Ia melihat beberapa kelebihan saudara laki lakinya. Meskipun demikian putaran senjata lawannya yang lebih panjang itu membuatnya menahan nafas.
Orang-orang padukuhan itu memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka tidak tahu lagi, apa yang dapat mereka lakukan. Pertempuran itu sudah berada di luar jangkauan kemampuannya untuk mengikutinya. Mereka hanya melihat loncatan loncatan panjang, kemudian putaran senjata dan benturan-benturan yang mendebarkan. Namun mereka tidak dapat menilai, apa yang akan terjadi dengan kedua orang yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu.
Sementara itu, seseorang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ia adalah seorang di antara orang-orang padukuhan itu. Ia adalah orang yang mendapat seorang tamu yang telah memberikan beberapa petunjuk kepada orang-orang padukuhan itu untuk membuat senjata dari pering cendani”
Namun beberapa lamanya ia telah dicengkam oleh kecemasam. Agaknya orang bersenjata pedang panjang itu semakin menjadi semakin sulit menghadapi seorang anak yang masih terlalu muda dengan senjata sepasang pisau belati di tangannya. “Anak itu berilmu iblis” berkata orang itu. Sejenak ia memperhatikan pertempuran itu. Namun kemudian, ia pun memperhatikan Mahisa Murti yang termangu-mangu.
“Anak yang satu itu sudah tidak bersenjata. Pisau belatinya telah diberikan kepada anak muda yang sedang bertempur itu” berkata orang itu di dalam hatinya, “seandainya anak itu juga memiliki kemampuan seperti anak yang sedang bertempur itu, maka ia akan mengalami kesulitan melawan pedang panjang.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Ia masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetangga-tetangganya sama sekali tidak mengetahui tentang dirinya sebagaimana sebenarnya. Ia tidak pernah dikenal sebagai seseorang yang berilmu. Hidupnya tidak lebih dari seorang petani biasa.
Namun demikian, pada saat yang penting, ia tidak dapat berdiam diri. Orang yang menjadi tamunya itu mulai terdesak Nampaknya anak muda yang bersenjata sepasang pisau belati itu benar-benar akan mengakhiri pertempuran sampai tuntas. Karena itu, setelah mempertimbangkan beberapa segi. akhirnya ia mengambil keputusan untuk bertindak cepat, justru pada saat tamunya itu masih mampu berbuat sesuatu. Bahkan kadang-kadang masih dapat mendesak lawannya yang masih muda itu.
Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati Mahisa Murti. Sebagaimana orang-orang padukuhan itu, pada saat yang mereka anggap berbahaya itu, sebagian dari mereka telah membawa senjata apa saja yang mereka miliki. Karena itu, maka orang yang mendekati Mahisa Murti itu sama sekali tidak menarik perhatian karena senjatanya.
Namun ketajaman penggraitan Mahisa Murti seolah-olah telah memperingatkannya, bahwa seseorang telah mendekatinya dengan maksud tertentu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan ia pun sempat bergeser tanpa dicurigai oleh orang itu, karena seolah-olah perhatian Mahisa Murti tertumpah kepada pertempuran di arena. Seolah-olah ia bergeser karena pertempuran itu memang sangat mendebarkan.
Tetapi Mahisa Murti telah mendekati seseorang yang membawa senjata pula. Senjata yang barangkali tidak akan dapat dipergunakan oleh pemiliknya. Karena senjata itu adalah sebatang canggah yang sudah karatan bertangkai kayu gelugu yang sudah kehitam-hitaman. Namun tangkai itu adalah kayu yang terlalu tua, sehingga menjadi keras dan liat seperti besi.
Sejenak Mahisa Murti masih menunggu. Mungkin ia keliru. Tetapi ia tetap waspada menghadapi setiap kemungkinan. Untuk beberapa saat masih belum terjadi sesuatu atas Mahisa Murti. Orang yang bergeser mendekatinya itu masih memperhatikan Mahisa Pukat yang bertempur dengan pisau belati rangkap. Namun demikian. Mahisa Murti pun masih tetap berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu. Mahisa Pukat dan lawannya masih saja bertempur dengan sengitnya. Sebenarnyalah Mahisa Pukat pun menjadi heran, bahwa di tempat itu ia telah berhadapan, dengan seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. “Untunglah, bahwa kami membawa bekal yang cukup” berkata Mahisa Pukat.
Karena di dalam diri Mahisa Pukat tersimpan kemampuan yang disadapnya bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari pamannya Witantra yang mempunyai sumber ilmu yang sama dengan ayahnya dan dari orang yang memiliki sumber ilmu yang berbeda. Mahisa Agni. Namun yang ternyata ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda itu telah luluh di dalam diri anak-anak muda itu. Karena itulah, maka ia pun telah membuat lawannya itu menjadi heran pula. Anak muda itu ternyata mampu mengimbanginya. Bahkan dalam beberapa hal, anak muda itu memiliki kelebihan sehingga ia bahkan dapat mendesaknya.
Sejenak pertempuran itu mencengkam semua orang yang ada dihalaman itu. Namun sejenak kemudian, arena itu telah dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah diduga oleh orang-orang padukuhan itu sendiri. Pada saat-saat perhatian mereka tercengkam oleh pertempuran yang dahsyat antara Mahisa Pukat dan lawannya yang bersenjata pedang panjang, tiba-tiba saja terdengar teriakan nyaring di pinggir arena.
Semua orang telah berpaling. Bahkan yang sedang bertempur itu pun telah terpengaruh pula, sehingga keduanya telah meloncat mengambil jarak. Pada saat itulah, seseorang telah meloncat sambil menyerang Mahisa Murti dengan sebilah pedang panjang.
Tetapi serangan itu tidak menggetarkan jantung Mahisa Murti. Ia telah bersiap sepenuhnya. Karena itu. maka ia pun dengan tangkasnya telah menghindari serangan itu. Bahkan dengan kecepatan yang mengherankan, ia telah menyambar canggah di tangan seseorang yang berdiri termangu mangu.
“Aku pinjam senjatamu” berkata Mahisa Murti, “mungkin kau tidak pernah mempergunakannya sebelumnya. Entah darimana kau dapat senjata semacam itu”
Orang yang memegang canggah itu hanya berdiri saja mematung. Ketika tangkai canggahnya lolos dari tangannya, iapun masih tetap berdiri kebingungan. Sementara itu. Mahisa Murti telah meloncat ke halaman. Ia siap menyongsong lawannya yang memburunya dengan pedang di tangan.
Namun orang itu mengumpat ketika ia melihat, di tangan Mahisa Murti telah tergenggam senjata yang akan dapat melawan pedang panjangnya. “Anak iblis” geram orang itu.
“Tunggulah Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “apakah alasan Ki Sanak menyerang aku”
“Aku tidak peduli” geram orang itu, “kawanmu telah membuat jantung kami bergelora. Orang yang melawannya itu adalah tamuku. Aku tidak akan dapat membiarkannya bertempur tanpa ujung dan pangkal”
“Anak muda itu adalah saudaraku” jawab Mahisa Murti, “tetapi aku tidak mengerti alasanmu. Kenapa kau sebut bahwa tamumu itu bertempur tanpa ujung dan pangkal?”
“Kau berdua adalah orang-orang yang telah merusak segala usaha kami sepadukuhan ini untuk mengusut Hantu Jurang Growong. Karena itu. Kalian memang harus dimusnahkan” jawab orang itu.
Mahisa Murti tidak bertanya lebih lanjut. Orang itu menyerangnya dengan dahsyatnya. Orang-orang padukuhan itu menjadi heran. Ternyata tetangga yang mereka anggap tidak lebih dari mereka sendiri itu, kemudian mampu bertempur dengan dahsyatnya Ternyata orang itu memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana tamunya yang telah menganjurkan orang-orang padukuhan itu mempergunakan sumpit untuk melawan Hantu Jurang Growong.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Jagabaya bukan orang yang terlalu bodoh. Jika untuk beberapa saat ia dapat dipermainkan oleh tamu yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu. kemudian ternyata bahwa ia mampu mengamati keadaan. Justru karena tetangganya yang disangka tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan itu kemudian menunjukkan kemampuannya, maka ia menjadi curiga.
“Selama ini ia telah menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya” berkata Ki Jagabaya didalam hatinya. Baru kemudian Ki Jagabaya sadar, bahwa tetangganya itu pernah meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama.
“Tentu selama itu ia berhasil menguasai ilmu yang dahsyat itu” berkata Ki Jagabaya didalam hatinya, “tetapi apakah artinya, bahwa ia telah menyamarkan dirinya seakan-akan ia tidak lebih dari tetangga-tetangganya?”
Sementara itu, Mahisa Pukat yang menyadari apa yang telah terjadi, ternyata telah menjadi semakin marah pula. Tetapi latihan-latihan yang tekun telah membuatnya sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak dapat bertempur semata-mata dengan perasaannya. Ia harus tetap mempergunakan nalarnya untuk melawan pedang panjang lawannya.
Demikianlah, dihalaman itu telah terjadi dua arena pertempuran. Mahisa Pukat dengan pisau belati rangkap melawan seorang yang berpedang panjang, sementara Mahisa Murti juga melawan pedang panjang dengan canggah bertangkai panjang.
Sejenak kemudian, ternyata bahwa Mahisa Murti memiliki kemampuan yang tangguh untuk mempermainkan senjatanya itu. Dengan canggah bertangkai kayu gelugu itu Mahisa Murti telah melawan senjata yang berputaran di tangan seorang yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Namun ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti pun mampu mengimbangi kemampuan orang itu...