PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 04
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 04
Karya Singgih Hadi Mintardja
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pedang panjang ditangan orang yang menyamar diri antara tetangga-tetangganya, seolah-olah ia tidak lebih dari seorang petani kebanyakan itu, ternyata sangat berbahaya. Pedang itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun kemudian mematuk dengan cepat mengarah jantung lawannya.
Namun Mahisa Murti pun mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat. Canggahnya berputar pula seperti baling-baling. Dalam benturan senjata, Mahisa Murti berusaha untuk tak secara langsung membenturkan tangkai canggahnya. Ia masih menjajagi kemampuan kayu gelugu yang meskipun sudah cukup tua dan kering, namun sudah terlalu lama tidak disentuh tangan. Dengan tangkas, Mahisa Murti selalu mengelakkan serangan lawannya dan menangkisnya ke samping.
Namun akhirnya ia pun semakin percaya kepada kemampuan kayu gelugu, tangkai canggahnya yang berwarna ke hitam-hitaman itu. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin berani. Sekali-kali ia menangkis serangan lawannya dengan menyilangkan tangkai canggahnya.
Lawannya menjadi semakin marah menghadapinya. Semakin lama semakin nyata pada lawannya itu, bahwa kemampuan Mahisa Murti pun tidak akan dengan mudah dapat diatasinya. Karena itu, maka lawan Mahisa Murti itu telah berusaha dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menekan lawannya. Ilmu pedangnya yang dahsyat itu pun kemudian telah sampai ke puncaknya. Kecepatannya bergerak ternyata tidak lagi dapat dinilai oleh tetangga-tetangganya. Yang dilihat oleh tetangga-tetanganya itu adalah bayangan yang meloncat berputaran dan kilatan-kilatan cahaya yang memantul di daun pedang yang berputaran.
Namun setiap kali, cahaya yang memantul dan putaran pedang itu telah membentur putaran tangkai canggah yang kehitam-hitaman, yang seolah-olah telah berubah menjadi sebuah perisai yang besar melindungi tubuh Mahisa Murti.
Di arena yang lain, Mahisa Pukat menjadi semakin yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Karena itu ia justru menjadi semakin berhati-hati. Jika ia membuat satu langkah yang salah, mungkin keadaannya akan segera berubah. Sepasang pisau belatinya meskipun jauh lebih pendek dari pedang lawannya, namun mampu bergerak lebih cepat. Kadang-kadang justru berbahaya sekali, melampaui senjata panjang itu sendiri. Dengan sebilah pisau belati Mahisa Pukat menangkis pedang lawannya kesamping. Namun pada saat yang bersamaan ia meloncat maju sambil menyerang dengan pisau belatinya yang lain.
Namun ternyata bahwa lawannya yang semakin terdesak itu, tidak membiarkan pada suatu saat dirinya akan menjadi sasaran goresan pisau Mahisa Pukat. Bahkan gejolak kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi dari sekedar mempergunakan ilmu pedangnya.
Karena itu, ketika ia menjadi semakin terdesak, sebelum kulitnya terluka oleh senjata lawannya, maka ia pun bertekad untuk mempergunakan senjatanya yang paling berbahaya. Senjata yang jarang sekali dipergunakannya. Pada saat kesempatan, maka lawan Mahisa Pukat itu telah meloncat mundur mengambil jarak. Dengan cepat, ia telah mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya yang lebar.
Mahisa Pukat terkejut melihat sikap lawannya. Karena itu, maka iapun segera mengerti, apa yang akan dilakukan. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat itu justru meloncat surut. Ketika ia melihat tangan lawannya bergerak dan melontarkan sesuatu, maka Mahisa Pukat pun dengan hati yang berdebar-debar telah meloncat pula menghindarinya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat melepaskan tatapan matanya pada tangan lawannya. Sekali lagi ia melihat tangan lawannya mengambil sesuatu. Dan sekali lagi tangan itu terayun dengan derasnya. Sekali lagi Mahisa Pukat harus melenting menghindari sebuah paser kecil yang menyambarnya.
“Gila” geram Mahisa Pukat, “kau pergunakan senjata-senjata racun itu?”
“Kau akan mati” sahut orang itu, “tidak ada orang yang mampu mengobati ketajaman racun yang terlontar lantaran paser-paser kecilku”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi sekali lagi dan sekali lagi ia harus berloncatan, ia tidak mengabaikan kata-kata lawannya bahwa paser itu telah direndam pada racun yang sangat tajam, sehingga sentuhan ujungnya akan dapat mengakhiri pengembaraannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun melihat apa yang telah terjadi. Karena itu, maka hatinya pun menjadi terguncang pula. Senjata itu akan benar-benar berbahaya bagi keselamatan jiwa saudaranya. Karena itu, maka ia ingin memanfaatkan kelebihannya dari Mahisa Pukat. Ia memiliki senjata panjang yang justru melampaui panjang senjata lawannya. Karena itu, maka iapun telah berkata kepada diri sendiri, “Aku harus mampu mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya”
Karena itulah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah menghentakkan kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bertempur dengan batas imbangan pada kemampuan lawannya, karena ia melihat Mahisa Pukat yang mendesak lawannya. Tetapi dalam keadaan yang gawat itu, ia harus berbuat lebih banyak untuk mempercepat pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murti pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia yang sehari-hari dianggap sebagai seorang petani biasa seperti juga tetangga-tetanganya, ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Murti. Dengan kemampuan yang mengagumkan, ia pun telah memutar senjatanya. Canggah itu benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawannya. Apalagi ternyata bahwa tangkai canggah itu lebih panjang dari pedang panjang lawannya.
Karena itu, maka ketika Mahisa Murti benar-benar menghentakkan kemampuannya, maka ia pun mulai berhasil mendesak lawannya. Tetapi lawannya pun mempunyai perhitungan yang cerdik. Ia tidak melawan Mahisa Murti dengan benturan ilmu yang sehenarnya. Tetapi ia lebih banyak mengelak dan menghindar. Lawan Mahisa Murti itu mampu juga mengurai keadaan. Ia mengikat Mahisa Murti dalam pertempuran, sementara kawannya berusaha untuk membinasakan Mahisa Pukat dengan senjata-senjata racunnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan lawannya memperpanjang waktu. Ia dengan cepat dan tangkas, selalu memburunya. Canggahnya yang berputaran, sekali-kali mematuk dengan dahsyatnya. Meskipun canggah itu tidak lagi tajam berkilat-kilat karena karat yang kecoklat- coklatan, namun jika Mahisa Murti berhasil mematuk leher lawannya dengan canggah itu, maka ia akan dapat mengakhiri pertempuran itu.
Dengan pedang panjangnya, lawan Mahisa Murti itu masih mampu melindungi dirinya dan berusaha memperpanjang waktu dengan loncatan-loncatan panjang menghindari benturan ilmu yang langsung.
Sementara itu, Mahisa Pukat benar-benar dalam keadaan gawat. Setiap kali ia harus berloncatan menghindari serangan senjata senjata lembut dari lawannya, namun yang mengandung racun yang sangat tajam. Mahisa Pukat sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang dengan pisau-pisaunya yang pendek. Sehingga dengan demikian, maka ia lebih banyak menjadi sasaran serangan lawan dari sebuah perkelahian yang tanggon.
Untuk beberapa saat, Mahisa Pukat masih tetap dapat mengelakkan dirinya. Serangan-serangan paser lawannya, masih selalu dapat dihindarinya. Namun demikian, keringat Mahisa Pukat telah membasahi seluruh tubuhnya. Tenaganya pun menjadi semakin susut, karena ia harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap mendesak lawannya dengan canggahnya. Tetapi ia tidak dapat segera menggakhiri pertempuran itu. Dengan cerdik lawannya selalu menghindar, meloncat menjauhinya sambil melindungi dirinya dengan pedangnya.
Tetapi kemarahan Mahisa Murti kemudian bagaikan badai yang melanda hutan ilalang. Serangan senjata panjangnya yang terayun-ayun, berputar dan mematuk, membuat lawannya bukan saja dengan sengaja meloncat menjauhinya untuk memperpanjang waktu, namun akhirnya lawannya benar-benar tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menghindar dan menjauhi amukan kemarahan Mahisa Murti.
Dalam tekanan yang semakin berat, lawannya telah bergeser berputaran. Namun halaman yang luas itu serasa menjadi semakin sempit. Meskipun orang-orang padukuhan itu yang semula melingkari arena, kemudian berpencar semakin jauh, namun rasa-rasanya lawan Mahisa Murti itu tidak lagi mempunyai tempat untuk mengelakkan senjata lawannya.
Setiap saat, terasa angin putaran dan ayunan canggah Mahisa Murti menyambar kulit lawannya. Bahkan dalam serangan yang cepat mendatar, pedang lawannya terlambat menangkis serangannya, sehingga canggah yang karatan itu telah tergores pada kulit lawan Mahisa Murti itu. Terasa betapa pedihnya. Darah mulai mengalir dari luka. Sementara itu, Mahisa Murti masih saja menyerangnya beruntun tanpa memberinya kesempatan.
Tetapi luka itu tidak mematahkan perlawanannya. Lawan Mahisa Murti itu masih mampu berloncatan, mengelak dan menangkis. Sementara itu, ia mengharap kawannya akan segera menyelesaikan pertempurannya dengan melumpuhkan anak muda yang seorang lagi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap melawannya meskipun terasa kemampuan tenaganya menjadi susut. Yang dapat dilakukan kemudian benar-benar hanya sekedar mengelak sambil menunggu perkembangan pertempuran antara Mahisa Murti dan lawartnya yang semula hanya dikenal sebagai seorang petani biasa itu. Atau menunggu sampai paser-paser beracun itu habis sama sekali.
Tetapi agaknya jumlah paser-paser itu cukup banyak tersimpan di kantong ikat pinggang lawan Mahisa Pukat itu. Satu-satu paser itu di lontarkan. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu Mahisa Pukat harus memperhatikan tangan lawannya baik-baik.
Dalam keadaan yang semakin sulit, Mahisa Pukat tidak dapat menunggu. Meskipun ia menyadari, bahwa Mahisa Murti berhasil mendesak-lawannya. tetapi ia tidak tahu pasti, kapan Mahisa Murti berhasil menguasai lawannya sepenuhnya. Sementara itu senjata lawannya menyambarnya tanpa henti-hentinya. Karena itu, Mahisa Pukat pun akhirnya harus mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukannya, dalam pertempuran berjarak panjang itu.
Sementara itu, orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi, tetapi mereka melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Pukat. Namun justru karena lontaran-lontaran paser itu, maka orang-orang yang mengitari halaman itu pun telah menyibak untuk menghindari agar paser-paser itu tidak justru tersesat mengenai mereka.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman itu pun menjadi semakin menegangkan. Mahisa Pukat yang berloncatan menghindari serangan paser-paser lawannya akhirnya harus mengambil satu keputusan untuk melakukan sesuatu yang menentukan. Namun untuk beberapa saat Mahisa Pukat masih harus menghindari paser-paser kecil itu. Ia melihat lawannya menjadi semakin garang, sementara pedangnya telah berpindah di tangan kirinya.
“Aku harus bertindak sekarang” berkata Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkaan segenap kemampuannya. Meskipun terasa tenaganya sudah susut, tetapi ia harus bertindak cepat melampaui kecepatan tanggapan lawannya atas sikapnya itu.
Demikianlah ketika ia meloncat menghindari serangan lawannya, maka iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Demikian kakinya berjejak di atas tanah, maka ia pun telah mengayunkan tangannya dengan sisa kekuatan yang ada padanya.
Ternyata Mahisa Pukat telah menentukan satu pilihan. Ia telah melemparkan senjata ditangannya, meskipun ia sadar, bahwa jika ia gagal, maka hal itu akan sangat berbahaya baginya. Pedang panjang lawannya akan dengan mudah mematuknya justru karena ilmu pedang lawannya cukup baik. sementara tenaganya sudah mulai susut.
Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Namun ia masih berusaha mengelak. Paser yang sudah ditangannya tidak sempat dilontarkannya, karena ia harus meloncat menghindari sambaran pisau belati Mahisa Pukat. Ternyata orang itu berhasil. Pisau belati Mahisa Pukat meluncur setebal daun di samping kening lawannya.
Namun segalanya telah diperhitungkan oleh Mahisa Pukat. Dalam keadaan yang demikian, kedudukan lawannya tentu menjadi lemah. Ia masih dalam sikap mengelak, ketika pisau yang sebuah lagi telah meluncur menyusul pisau yang pertama. Demikian cepatnya, melampaui kecepatan anak panah yang terlontar dari busurnya.
Serangan itu sama sikali tidak terduga. Lawan Mahisa Pukat tidak mengira bahwa pisau yang sebuah lagi itu pun telah dilontarkannya. Karena dengan demikian Mahisa Pukat tidak bersenjata sama sekali. Tetapi dalam pada itu, perhitungan Mahisa Pukat itu tidak meleset. Orang itu tidak sempat lagi mengelakkan diri dari sambaran pisau yang kedua yang dilontarkan dengan sepenuh sisa kemampuan yang masih ada.
Ternyata pisau itu benar-benar berakibat gawat bagi lawannya. Pada saat terakhir, lawannya masih berusaha untuk beringsut dan bahkan berusaha mempergunakan pedangnya. Tetapi ia tidak berhasil. Pisau itu tidak terlepas dari sasarannya meskipun tidak satajam bidikannya, karena usaha lawannya untuk mengelak.
Tetapi pisau itupun kemudian menghunjam di dada orang bersenjata pedang dan paser itu, meskipun tidak tepat di arah jantungnya sebagaimana dibidik oleh Mahisa Pukat. Meskipun demikian, namun pisau itu telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Perasaan sakit dan pedih yang sangat telah menyengat dada lawan Mahisa Pukat itu. Ia masih mencoba untuk mengangkat tangannya melontarkan sisa pasernya. Tetapi urat-uratnya yang terpotong oleh pisau Mahisa Pukat di dadanya telah menghambat gerak tangan orang itu. Bahkan kemudian, terhuyung-huyung ia bergeser surut. Mahisa Pukat pun kemudian berdiri tegak memandanginya. Ia masih melihat pedang ditangan kiri orang itu berpindah ke tangan kanannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya.
Sejenak kemudian orang itu mulai terhuyung-huyung. Pisau itu menghunjam terlalu dalam di dadanya, oleh dorongan kekuatan Mahisa Pukat yang tersisa. Ketika orang itu mengumpat, maka kedua kakinya tidak lagi mampu bertahan. Sehingga akhirnya, orang itupun tidak mampu lagi bertahan. Ia telah kehilangan keseimbangan, sehingga akhirnya ia pun jatuh pada lututnya.
Dengan tangannya yang lemah ia berusaha untuk menarik pisau itu dari dadanya. Tetapi ia tidak lagi mempunyai kemampuan melakukannya. Bahkan kemudian kedua tangannya pun telah menyangga berat badannya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya ia pun jatuh terguling. Darahnya mengalir di sela-sela lukanya yang masih tersumbat oleh pisau belati Mahisa Pukat. Perlahan-lahan Mahisa Pukat melangkah mendekatinya. Ketika ia berdiri di sebelah orang yang terbujur di tanah. Orang itu sama sekali sudah tidak mampu bergerak lagi.
Dalam pada itu, lawan Mahisa Murti pun tidak dapat mengelakkan diri dari pengaruh keadaan itu Apalagi ia sudah mulai terluka. Agaknya ia memang tidak akan mampu mengimbangi kemampuan anak muda yang seorang itu lagi, setelah yang lain melumpuhkan orang yang selama ini disebut sebagai tamunya dan yang telah berbaik hati memberikan beberapa petunjuk untuk melawan Hantu Jurang Growong dengan mempergunakan supit yang terbuat dari pering cendana beruas sangat panjang yang tumbuh di hutan perdu.
Tetapi ia tidak mempunyai satu pilihan pun untuk menyelamatkan diri. Ia melihat beberapa orang bergeser menutup kepungan di seputar arena. Bahkan Ki Jagabaya pun nampaknya telah menentukan satu sikap kepadanya, ia tidak dapat lagi mengelabui tetangga kebanyakan. Sehingga akhirnya, ia pun tidak akan lebih lama lagi bersembunyi di baalik kebohongannya. Namun bagaimanapun juga, ia masih tetap bertempur melawan Mahisa Murti yang bersenjata canggah bertangkai panjang.
Sementara itu terdengar Mahisa Murti berkata, “Saudaraku telah mengakhiri pertempuran. Bagaimana dengan kau?”
Orang yang semula disangka tidak lebih dari petani biasa di antara tetangga-tetangganya itu mengumpat. Ia memang tidak mempunyai pilihan. Namun ia sama sekali tidak ingin menyerah. Dengan demikian, maka ia akan menjadi pengewan-ewan. Ia tahu, apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang padukuhan yang sudah terpengaruh oleh orang yang disebut tamu itu, sehingga apa yang mereka lakukan terhadap mereka yang sedang diperiksa, benar-benar telah kehilangan paugeran.
“Aku tidak mau diperlakukan seperti itu” berkata lawan Mahisa Murti itu di dalam hatinya. Namun demikian ia tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat banyak terhadap lawannya yang masih muda itu. Ujung canggah lawannya yang karatan itu telah menyayat kulitnya. Bahkan tidak hanya sekali, tetapi telah terjadi sentuhan berikutnya pula.
Sementara orang itu masih berusaha mempertahankan diri, maka iapun berusaha untuk melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan. Ketika ia melihat kelemahan pada lingkaran di halaman itu, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk melarikan diri. Dengan cerdik orang itu bergeser surut. Mahisa Murti yang mendesaknya sama sekali tidak mengetahui rencana orang itu dengan pasti. Ia merasa bahwa orang itu terdesak oleh serangan-serangannya yang semakin deras.
Namun, tiba-tiba justru pada saat yang paling baik menurut perhitungan lawan Mahisa Murti itu, orang itu menghentakkan kemampuannya. Dengan sisa tenaganya, orang itu justru berusaha menyusup di sela-sela putaran canggah Mahisa Murti.
Mahisa Murti terkejut. Ketika canggahnya terdorong menyamping, tiba-tiba saja ia melihat lawannya meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain, kecuali mengelak sambil bergeser mundur.
Ternyata saat itulah yang ditunggu oleh lawan Mahisa Murti. Ketika Mahisa Murti bergeser mundur, orang itu sama sekali tidak memburunya. Bahkan dengan serta merta, ia pun telah meloncat pula meninggalkan arena. Dengan pedang yang berputaran ia menerobos orang-orang yang berada di halaman itu. Dengan garangnya ia berteriak menggetarkan setiap jantung, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang berada di dalam lingkaran di seputar arena itupun menyibak.
Tidak seorang pun yang berani menahannya. Mereka telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh orang yang sehari-hari mereka sangka tidak lebih dari mereka sendiri. Tetapi yang ternyata telah menunjukkan kemampuan yang mengagumkan. Karena itu, maka orang itu tidak mengalami kesulitan untuk menembus kepungan yang semula menjadi semakin rapat. Namun yang ternyata tidak dapat menahan orang yang menembus dengan pedang berputaran itu.
Tetapi ternyata adalah di luar dugaan orang yang merasa dirinya telah berhasil mematahkan kepungan itu. Ketika orang itu benar-benar keluar dari kepungan, ternyata Ki Jagabaya dan pembantunya yang bertubuh raksasa itu telah siap menunggunya.
“Gila” geram orang itu.
Tetapi, Ki Jagabaya tidak bergeser. Ia justru mengacungkan pedangnya, sebagaimana dilakukan oleh pembantunya. Namun, ternyata kemampuan Ki Jagabaya tidak dapat mengimbangi kemampuan orang itu. Bahkan hampir tidak berarti sama sekali. Dengan sekali tebas, pedang pembantu Ki Jagabaya itu telah terpental. Kemudian ketika Ki Jagabaya menusuk lambung orang itu, maka orang itu sempat mengelak. Putaran pedangnya yang cepat, justru telah melukai pundak Ki Jagabaya sehingga Ki Jagabaya terdorong surut, sementara pedangnya terlepas dari tangannya.
Untunglah bahwa orang yang melukainya itu tergesa-gesa. Karena itu, orang itu pun tidak sempat menusukkan pedangnya langsung kedada Ki Jagabaya dan pembantunya. Sekejap kemudian, orang itu telah meloncat pula untuk menghindarkan diri dari kejaran Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti sengaja tidak mengejarnya. Karena pada saat-saat yang gawat itu, Mahisa Pukat telah dengan cepat mengambil sikap. Ia telah mengambil pedang lawannya yang tidak berdaya lagi. Waktu yang sesaat, yang telah dipergunakan oleh lawan Mahisa Murti melukai Ki Jagabaya dan pembantunya, telah dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Pukat.
Karena itu, orang yang melarikan diri itupun terkejut bukan buatan, ketika ia sadar, bahwa Mahisa Pukat dengan pedang di tangan, telah berdiri di tengah-tengah pintu regol. Namun orang itu ternyata tidak berhenti. Sambil mengacungkan pedangnya ia berlari seakan-akan ingin menembus pintu yang telah dijaga oleh Mahisa Pukat itu. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berlari-lari pula mengikuti orang itu.
Mahisa Pukat mengerti apa yang sedang dihadapinya. Orang itu tentu orang yang telah kehilangan nalarnya. Orang itu telah berbuat di luar perhitungan karena putus asa. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak akan menghadapinya sebagaimana ia menghadapi lawan yang tanggon. Karena itulah, maka orang-orang yang menyaksikannya terkejut ketika Mahisa Pukat pun kemudian telah meloncat menepi ketika orang itu menjadi semakin dekat sambil mengacu-acukan pedangnya, seolah-olah Mahisa Pukat pun menjadi ngeri seperti orang-orang lain yang menyibakkan kepungan.
Ternyata orang yang ingin melarikan diri itu tidak sempat berpikir lagi. Ia hanya melihat Mahisa Pukat meloncat menepi. Karena itu, maka ia merasa jalannya telah terbuka. Tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain, orang itu berlari sambil menyiapkan pedangnya, menangkis jika Mahisa Pukat menyerang pada saat ia melintas. Dengan demikian, maka yang diperhatikan oleh orang itu hanyalah tangan Mahisa Pukat yang menggenggam pedang.
Tetapi Mahisa Pukat justru telah menundukkan pedangnya. Ia sama sekali tidak akan mempergunakan senjata yang diambilnya setelah terlepas dari tangan pemiliknya itu. Namun dalam pada itu, yang tidak terduga sama sekali adalah bahwa Mahisa Pukat ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Ia ingin mendapat sumber untuk memberikan penjelasan dengan orang-orang yang disebut Hantu Jurang Growong. Apakah mereka memang ada, atau sekedar rekaan orang itu untuk membuat padukuhan dan Kabuyutan itu gelisah, sehingga orang itu dan kawannya yang dengan senjata teiah menimbulkan keresahan itu dapat mengambil keuntungan karenanya.
Karena itu, ketika orang itu berlari di depannya, Mahisa Pukat tidak menyerangnya dengan senjatanya, sementara orang yang herlari itu sudah siap melindungi dirinya dengan pedangnya. Tetapi diluar dugaan orang itu, Mahisa Pukat justru telah mengait kaki orang itu. Mahisa Pukat berharap bahwa orang itu akan terjatuh sehingga ia akan dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi jika ia menyerang dengan pedangnya, mungkin akibatnya akan lain.
Sebenarnyalah, ketika kaki orang itu terantuk kaki Mahisa Pukat, maka bagaikan dihentakkan oleh kekuatan larinya, orang itu telah terpelanting jatuh. Namun yang tidak diduga oleh Mahisa Pukat, bahwa pedang orang itu telah terlepas dari tangannya dan adalah sangat mengejutkan, bahwa tajam pedang itu ternyata menelentang ketika orang yang berlari itu jatuh menimpanya.
Yang terdengar adalah sebuah jerit yang panjang, orang itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi darah yang bagaikan memancar dari dadanya yang luka dengan goresan memanjang itu, telah membuatnya kehilangan kekuatan sama sekali. Demikian ia tegak berdiri, maka iapun telah terhuyung-huyung dan sesaat kemudian, iapun telah terjatuh lagi.
Mahisa Pukat sendiri terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira bahwa akibatnya akan sangat tidak terduga. Justru karena itu, maka ia pun telah memalingkan wajahnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Bukan main. Aku tidak sengaja berbuat seperti itu”
Mahisa Murti lah yang kemudian berlari-lari mendekatinya. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa. Demikian ia berjongkok di samping orang itu, maka orang itu telah menarik nafasnya yang terakhir. Mahisa Murti pun kemudian bangkit berdiri. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Pukat menundukkan kepalanya di sebelah regol halaman.
“Kau tidak berniat membunuhnya dengan cara itu” ia bergumam., “Bukan salahmu” berkata Mahisa Murti, “yang terjadi adalah diluar kemampuan kita untuk mencegahnya”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia pun telah melangkah menjauhi orang-orang yang kemudian berkerumun di sekitar dua sosok mayat yang terbaring di halaman banjar itu. Dalam pada itu. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu pun berpaling ketika Ki Jagabaya berkata,
“Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak duduk”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika terpandang olehnya orang yang hampir saja mati ketakutan karena mengalami tekanan badan dan dalam pemeriksaan yang tidak mapan itu, maka ia pun telah mendekatinya.
“Kau akan bebas” berkata Mahisa Murti.
Orang itu memandang wajah Mahisa Murti sejenak. Kemudian sambil mengusap air matanya yang meleleh di pipinya ia berdesis, “Terima kasih Ki Sanak. Aku tidak tahu, bagaimana aku akan membalas kebaikan budi Ki Sanak”
“Jangan memikirkannya” sahut Mahisa Pukat, “kami melakukannya karena kami merasa berkewajiban. Tidak ada yang dapat memberikan kepuasan lebih besar daripada keberhasilan kita melakukan kewajiban”
“Tetapi bagiku, Ki Sanak telah menyelamatkan jiwaku” berkata orang itu, “aku tidak akan tahan mengalami siksaan yang tidak berukuran itu”
“Aku minta maaf” berkata Ki Jagabaya dengan nada dalam, “semuanya terjadi di luar kesadaran. Kami beberapa orang behahu telah terbius oleh hasutan orang-orang yang tidak kita ketahui niatnya yang sebenarnya itu. Namun yang menurut perhitunganku, mereka pulalah yang menyebut dirinya Hantu Jurang Growong, karena sampai saat ini kejahatan yang terjadi juga dilakukan oleh satu atau dua orang saja yang mengenakan topeng yang menakutkan itu”
“Orang-orang itu sengaja menimbulkan keresahan Ki Jagabaya” berkata Mahisa Murti, “pengalaman ini hendaklah menjadi pelajaran yang berharga. Kau tidak boleh cepat terpengaruh oleh sesuatu yang belum pasti, karena kau justru orang yang seharusnya memegang payung perlindungan bagi rakyat padukuhan ini. Bukan sebaliknya”
“Ya. ya anak-anak muda” jawab Ki Jagabaya” aku mengerti”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun yang kemudian duduk di pendapa melihat kesibukan orang-orang padukuhan itu mengurusi kedua sosok mayat yang terbunuh dalam benturan kekerasan itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa orang-orang padukuhan itu tidak lagi membebankan kesalahan kepada mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ki Jagabaya. sebaiknya kau urusi lukamu itu”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku harap kalian berdua duduk sebentar. Mungkin lukaku memang memerlukan pengobatan”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Jagabaya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk bertiga saja dengan orang yang mengalami nasib malang itu, yang hampir saja menjadi korban yang tidak berarti apa-apa karena pengaruh sikap orang-orang yang membuat isi padukuhan itu menjadi gelisah.
Sementara itu, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Ki Sanak. Apakah kau tahu, berapa orang yang telah mengalami nasib seperti yang kau alami? Apakah pernah terjadi korban karena keadaan yang sama seperti kau alami?”
Orang itu termangu-mangu. Agaknya ada sesuatu yang menahannya untuk mengatakan apa yang sebenarnya pernah terjadi.
“Katakan” desis Mahisa Pukat, “kami tidak akan berbuat apa-apa Kami hanya ingin mengetahuinya. Nampaknya keadaan akan berubah”
Orang itu mengangguk-angguk Katanya kemudian dengan ragu-ragu, “Nampaknya memang ada Ki Sanak. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang telah melakukannya. Sepengetahuanku, Ki Jagabaya sebelumnya bukan orang yang demikian kasarnya. Tetapi pada saat terakhir, ia seperti orang kesurupan. Ia menjadi garang, kasar dan bahkan buas”
“Apakah kebuasannya itu pernah menelan korban?” desak Mahisa Pukat.
“Aku tidak dapat mengatakannya Ki Sanak. Tetapi kedua orang yang terbunuh itulah yang sebenarnya membuat padukuhan ini menjadi rusak. Nampaknya keduanya adalah orang-orang yang dengan penuh pengabdian berjuang bagi padukuhan ini. Seorang penduduk padukuhan ini telah mendapat seorang tamu yang dengan suka rela bekerja bagi kepentingan kami. Tetapi ternyata bahwa kami telah dikelabuinya” berkata orang itu.
“Tetapi apakah benar bahwa padukuhan ini sering didatangi oleh mereka yang disebut Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Itulah yang telah menyudutkan aku ke dalam keadaan yang sangat sulit. Adalah diluar kehendakku, bahwa pada suatu malam aku bertemu dengan kedua orang itu di tengah-tengah bulak. Aku menjadi curiga melihat cara mereka berpakaian. Namun aku tidak berprasangka buruk, sehingga aku telah menyapa mereka” orang itu pun kemudian berceritera.
“Kenapa kau berada di tengah bulak di malam hari?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berada di sawah” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara orang itu melanjutkan, “Agaknya kedua orang itu menganggap bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku telah melihat sesuatu yang dapat mengancam kedua orang itu”
“Apakah kau pernah berbuat sesuatu, menceriterakan apa kau lihat, atau semacam itu kepada orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak. Aku tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya bahwa aku kemudian ditangkap dan mengalami perlakuan yang sangat kasar itu. Baru kemudian aku dapat menghubungkan persoalan ini dengan apa yang pernah aku temui di bulak itu. Jelasnya setelah aku mendengar pendapat kalian tentang kedua orang itu” jawab orang yang malang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun menjadi yakin, bahwa yang mereka tiupkan ke telinga orang-orang padukuhan ini dengan sebutan Hantu Jurang Growong adalah semata-mata satu usaha untuk membuat padukuhan itu gelisah, kehilangan pegangan dan kemudian timbul tingkah laku dan perbuatan yang tidak wajar.
Dengan demikian mereka akan dapat mengambil keuntungan tanpa dicurigai, karena segala kesalahan akan ditimpakan kepada Hantu Jurang Growong yang sebenarnya tidak ada. Sementara kesan hadirnya Hantu Jurang Growong adalah tingkah laku kedua orang itu sendiri. Merampas dan merampok. Karena tidak seorangpun yang pernah melihat wajah-wajah Hantu Jurang Growong.
“Menurut keterangan, siapakah yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri atas tingkah laku Hantu Jurang Growong yang telah membuat padukuhan ini resah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak ada” jawab orang itu, “Hantu Jurang Growong selalu hadir dengan ujud yang menakutkan, meskipun mereka tidak membantah bahwa mereka adalah manusia biasa yang mempergunakan topeng atau sebangsanya yang memberikan kesan yang menakutkan. Karena itulah, maka aku menjadi semakin jelas tentang apa yang terjadi sebenarnya di padukuhan ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Orang yang mengalami nasib buruk itu ternyata memiliki kemampuan berpikir yang cukup cerdas. Namun pembicaraan mereka tidak berlanjut, karena Ki Jagabaya yang telah mengobati lukanya, telah hadir pula di pendapa itu.
Laporan tentang segara peristiwa yang terjadi itu, membuat Ki Buyut sangat berprihatin. Tetapi ia merasa bersyukur bahwa segalanya telah dapat diatasi justru karena kehadiran dua orang anak muda yang semula tidak mereka kenal. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah diminta oleh Ki Buyut untuk berada di rumahnya. Ki Buyut berharap banwa anak-anak muda itu akan dapat membantu pulihnya kewibawaan di Kabuyutannya. Berbeda dengan saat keduanya berada di padukuhan yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru, maka di Kabuyutan itu keduanya dikenal dengan nama Pratista dan Narpada.
“Rasa-rasanya aku tidak akan dapat menguasai keadaan” berkata Ki Buyut ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di Kabuyutan. Lalu, “Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu Kabuyutan ini seakan-akan telah dikuasai oleh pengaruh yang asing. Mereka tidak lagi mau mendengarkan kata-kataku. Bahkan akulah yang kemudian tersisih. Ki Jagabaya lah yang mengambil alih segala kekuasaannya akan memerintahkan aku untuk tetap tinggal di rumah”
“Ki Buyut tidak berbuat apa-apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak akan ada pengaruhnya” jawab Ki Buyut, “segalanya kemudian aku serahkan saja kepada Ki Jagabaya yang berhubungan dengan seorang tamu yang belum kita kenal sebelumnya. Tamu seorang di antara tetangga kami. Namun yang ternyata keduanya bukan orang yang pantas dipercaya”
“Demikianlah kenyataan yang kita hadapi, Ki Buyut” sahut Mahisa Pukat.
Sukurlah, bahwa semuanya sudah teratasi” berkata Ki Buyut. Lalu, “Meskipun demikian, agaknya Ki Jagabaya memang memerlukan perlindungan. Ia telah melukai hati sebagian dari penduduk Kabuyutan ini. Karena itu, maka ia minta kepada angger berdua untuk tinggal di sini beberapa lama. Selebihnya, aku yang sudah terpisah dari kekuasaanku untuk beberapa saat juga memerlukan pengaruh angger berdua untuk memulihkannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat bertanya, “Selama ini, apakah Ki Buyut sudah mencoba berbuat sesuatu jika Ki Buyut melihat keadaan yang timpang?”
“Tidak ada gunanya ngger” jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat memandang Ki Buyut sejenak. Namun kemudian katanya, “Seharusnya Ki Buyut tidak bersikap demikian. Sebelumnya Ki Buyut sudah merasa bahwa pengaruh Ki Jagabaya memang terlalu besar di Kabuyutan ini. Sehingga ketika Ki Jagabaya tergelincir. Ki Buyut tidak dapat mencegahnya”
“Apa yang dapat aku lakukan?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Buyut adalah orang yang bertanggung jawab atas Kabuyutan ini. Hitam putih Kabuyutan ini terletak di bahu Ki Buyut. Bukan Ki Jagabaya. Jika terjadi selisih pendapat antara Ki Buyut dan Ki Jagabaya, maka Ki Buyutlah yang harus mengambil keputusan” berkata Mahisa Pukat.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Ki Jagabaya mempunyai banyak pembantu yang mendukung setiap pendapatnya. Karena itu, maka pendapatnyalah yang setiap kali berlaku di Kabuyutan ini”
“Tentu karena Ki Buyut tidak pernah berbuat sesuatu untuk mengatasinya” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Maaf Ki Buyut. Tetapi baiklah aku katakan, bahwa Ki Buyut kurang bersikap tegas. Seandainya Ki Buyut bersikap tegas, maka aku kira pendukung Ki Buyut akan dapat ikut menentukan. Karena akhirnya segala akibat dari perbuatan para pemimpinnya, akan ditanggungkan pula oleh para penghuni Kabuyutan ini, sebagaimana kita lihat”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang kurang mempunyai keberanian untuk berbuat demikian. Semula aku memang terlalu percaya kepada Ki Jagabaya, sehingga segala sesuatunya telah dilakukannya. Tetapi aku tidak pernah menyangka bahwa pengaruh kedua orang itu telah mencengkamnya terlalu kuat sehingga ia tidak segera dapat menyadarinya”
“Apakah Ki Buyut pernah memberi peringatan kepada Ki Jagabaya, setidak-tidaknya membicarakan sikap itu?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada gunanya. Sudah aku katakan berulang kali, tidak ada gunanya”
“Tetapi Ki Buyut pernah mencobanya?” desak Mahisa Murti.
Ki Buyut memandang anak-anak muda itu berganti- ganti. Kemudian iapun menjawab, “Belum anak muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Merekapun segera menyadari, bahwa Ki Buyut itu adalah orang yang terlalu lemah bagi jabatannya. Tetapi karena kedudukan itu adalah kedudukan turun-temurun, maka Kabuyutan itu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun demikian, agaknya masih ada kemungkinan bagi masa depan. Ki Buyut telah melihat akibat yang pahit bagi padukuhannya karena sikapnya.
Meskipun mereka belum sempat berbincang, tetapi keduanya merasa bahwa mereka berkewajiban untuk membantu Ki Buyut menemukan satu sikap yang lebih baik. Karena itulah, maka ketika Ki Buyut minta agar keduanya untuk tinggal bersamanya dan tidak usah berada di banjar, keduanya tidak menolak. Sehingga dengan demikian untuk seterusnya mereka tidak bermalam di banjar, tetapi di rumah Ki Buyut yang berterima kasih sekali atas kehadiran keduanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia dapat membayangkan, apa yang telah terjadi. Ternyata dua orang itu telah berhasil membuat kesan yang mengerikan. Mereka dapat memberikan kesan, seolah-olah yang disebut Hantu Jurang Growong itu terdiri dari berpuluh-puluh orang yang melakukan kejahatan di mana-mana. Sementara itu ia pun dapat membuat orang-orang Kabuyutan itu menjadi saling mencurigai, membenci dan saling mendendam.
“Luar biasa” tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis yang sebenarnya hanyalah dua orang saja”
Tetapi Ki Jagabaya menyahut, “Mungkin memang demikian. Kami. penduduk Kabuyutan inilah yang dungu. Tetapi mungkin dua orang itu benar-benar mempunyai sekelompok orang yang mereka kendalikan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu Ki Jagabaya berkata, “Tetapi aku condong mengatakan bahwa mereka memang hanya berdua”
“Baiklah Ki Jagabaya” berkata Mahisa Murti, “bagaimanapun juga, sepeninggal kedua orang itu, kalian dapat menyusun perubahan tata kehidupan di padukuhan ini. Sementara itu, kalian harus berusaha melenyapkan perasaan takut, saling mencurigai dan saling mendendam. Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya jangan lagi melakukan tindakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan seseorang seperti yang pernah kau lakukan. Sementara orang yang telah mengalami kekerasan itu belum tentu pernah melakukan kejahatan sekecil ujung kuku sekalipun”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kau harus memperhatikan orang-orang yang menjadi cacat karena cara-cara yang sudah kau tempuh Ki Jagabaya”
“Ya. Ya. Ki Sanak. Aku benar-benar seperti terbius oleh kelicikan kedua orang itu. sehingga aku telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar” desis Ki Jagabaya.
“Jika kau melihat tingkah laku Ki Jagabava itu sebagai satu kesalahan yang besar, artinya bahwa Ki Jagabaya tidak akan melakukannya lagi” sahut Mahisa Pukat.
“Aku berjanji” desis Ki Jagabaya.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun akhirnya keduanya pun saling berpandangan. Sejenak kemudian Mahisa Murti berkata, “Kita dapat melanjutkan perjalanan”
“Jangan Ki Sanak” cegah Ki Jagabaya, “tinggallah untuk sementara di padukuhan ini. Aku memerlukan bantuan kalian untuk memulihkan ketenangan. Aku merasa dosaku sudah terlalu besar, sehingga aku tidak akan mempunyai kekuatan untuk bangkit lagi di padukuhan ini tanpa bantuan seseorang selama aku harus membuktikan bahwa aku benar-benar telah bertaubat”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ketika mereka kemudian saling berpandangan, maka Mahisa Murti pun bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apa pendapatmu?”
“Terserah kepadamu” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti keraguan saudaranya. Tetapi jika demikian, maka Mahisa Pukat memang mempunyai keinginan betapapun kecilnya untuk membantu Ki Jagabaya yang mengalami kesulitan.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, persoalan yang dihadapi padukuhan dan Kabuyutan itu berbeda dengan Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan. Penghuni Kabuyutan yang telah mereka tinggalkan masih mempunyai kepercayaan dan pegangan sepenuhnya atas wibawa Buyut mereka yang baru, sehingga Ki Buyut itu tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk membina dan mengembangkan tata kehidupan di Kabuyutannya.
Dengan demikian maka padukuhan dan Kabuyutan yang baru mereka tinggalkan itu tidak akan banyak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk memulihkan kepercayaan yang hilang sebagaimana terjadi di Kabuyutan itu.
Karena itu, atas dasar pertimbangan yang demikian, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah Ki Jagabaya, jika demikian maka aku tidak akan berkeberatan untuk tinggal barang, satu dua hari. Aku akan berusaha membantu menurut kemampuanku dan kemampuan saudaraku agar kewibawaan di Kabuyutan ini dapat pulih kembali”
“Terima kasih Ki Sanak” desis Ki Jagabaya kemudian., “Jika demikian, maka kalian berdua akan berada di banjar untuk waktu yang tidak ditentukan. Kami akan menunjuk seseorang untuk menyediakan segala kebutuhan kalian. Makan, minum dan barangkali pering cendani beruas panjang itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kami memang ingin memiliki satu dua ruas pering cendani yang beruas panjang sekali itu. Tetapi aku tetap tidak menganjurkan kalian mempergunakan senjata beracun. Aku lebih senang melihat kalian belajar mempergunakan anak panah dan busur yang dapat kalian buat dengan kayu berlian. Apakah di sini ada kayu berlian?”
“Di hutan ada beberapa pohon berlian yang kami ketahui” jawab Ki Jagabaya, “kamipun pernah membuat busur dengan kayu berlian itu. Tetapi jika kami berpaling kepada supit dan paser beracun, itu adalah karena kebodohan kami sebagaimana kebodohan kami yang lain dalam hubungan kami dengan kedua orang itu”
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri dipadukuhan ini meskipun aku tidak akan lama berada di sini”
Ternyata Ki Buyut merasa gembira atas kesediaan itu. Sehingga ia dapat menjadi agak tenang. Ki Jagabaya pun kemudian telah ikut pula duduk dengan mereka sementara orang-orang padukuhan itu masih saja sibuk di halaman. Namun sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengatakan sesuatu tentang tanggapan mereka atas peristiwa yang terjadi di padukuhan itu, Ki Jagabaya telah berkata,
“Selama ini, ternyata seisi padukuhan ini, bahkan Kabuyutan ini telah dapat dikelabui oleh dua orang itu. Bukan saja kami telah kehilangan banyak harta benda, bahkan kabuyutan ini telah dicengkam oleh keresahan yang mengerikan. Aku sendiri telah menjadi korban kelicikan mereka. Tetapi juga karena kedunguanku sendiri. Aku agaknya telah mereka bentuk menjadi seekor serigala yang paling bilas di Kabuyutan ini. justru karena aku adalah Jagabaya”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pengalaman yang sangat berguna Ki Jagabaya, betapapun pahitnya”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk Sekilas dipandanginya orang yang bernasib malang, yang hampir saja kehilangan harapan untuk dapat hidup dan kembali kepada keluarganya itu.
“Aku minta maaf” berkata Ki Jagabaya, “aku tidak saja bersalah. Tetapi aku sudah berdosa. Aku telah menyakiti orang yang sama sekali tidak bersalah. Bukan sekedar menyakiti, tetapi lebih biadab dari itu”
Mahisa Murti masih akan menyahut. Tetapi Mahisa Pukat telah bertanya lebih dahulu, “Ki Jagabaya. Apakah dalam persoalan yang serupa, Ki Jagabaya atau orang-orang Ki Jagabaya pernah membunuh? Memaksa seseorang untuk dengan menyiksanya sehingga orang itu mati?”
“Tidak, tidak anak muda” sahut Ki Jagabaya dengan serta merta, “Tetapi jangan bertanya tentang itu. Aku tidak berani melihat persoalan-persoalan yang telah terjadi itu”
“Belum Ki Sanak” sahut orang yang tersiksa, “menurut pendengaran kami, orang-orang Kabuyutan ini, mereka yang mengalami pemeriksaan seperti yang aku alami itu, pada umumnya memang tidak mati. Tetapi hampir semuanya menjadi cacat dan tidak berarti lagi”
“Bukan kehendakku” sahut Ki Jagabaya, “tetapi kedua orang yang telah mati itu yang melakukannya. Mereka membuat orang-orang yang dicurigai menjadi cacat sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa bagi kepentingan Hantu Jurang Growong."
“Bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Pukat pula
“Aku seperti orang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan Ki Sanak" berkata Ki Jagabaya, ”betapapun bodohnya aku. tetapi akhirnya aku dapat melihat apa yang sebenarnya kami orang-orang padukuhan ini hadapi pada saat-saat terakhir ini”
“Itulah yang aku tanyakan” desak Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bagiku sekarang, semuanya itu ternyata hanyalah permainan yang licik dan kasar."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata Ki Jagabaya itupun kemudian menyatakan pendapatnya tentang Hantu Jurang Growong seperti yang dikatakan oleh orang yang bernasib buruk itu. Dengan nada dalam, Ki Jagabaya itupun kemudian berkata, “Sekali lagi aku minta maaf, bahwa aku telah berbuat dosa terhadap beberapa orang saudara-saudaraku di Kabuyutan ini”
“Tetapi kedua orang itu telah menerima hukumannya” berkata orang yang bernasib buruk itu.
Ki Jagabaya mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang itu sejenak. Kemudian katanya, “kau memaafkan aku?”
“Tentu Ki Jagabaya” jawab orang itu, “kita semuanya telah menjadi korban kelicikan kedua orang itu. Ia berhasil membuat kami seluruh isi Kabuyutan ini menjadi bingung, gelisah dan kehilangan pegangan”
“Terima kasih” berkata Ki Jagabaya kemudian, “tetapi aku tidak tahu apa kata mereka yang sudah terlanjur menjadi cacat. Meskipun bukan tanganku langsung, tetapi yang terjadi atas mereka adalah sepengetahuanku. Aku tidak yakin bahwa mereka semuanya akan dapat memaafkan aku”
“Mereka semuanya?” potong Mahisa Pukat berapa orangkah yang sudah mengalami nasib yang sangat buruk itu.
“Tiga orang sudah menjadi cacat” jawab Ki Jagabaya, “tetapi kami sudah menyakiti lebih dari dua puluh orang. Kami memeriksa siapa saja yang ingin kami periksa dengan menyakiti mereka. Di antara mereka ada yang segera kami lepaskan dengan peringatan-peringatan, karena mereka kita sebut tidak terlibat langsung dengan Hantu Jurang Growong. Mereka hanya memberikan peluang terjadi kejahatan, karena mereka lalai meronda atau tugas-tugas padukuhan lain. Tetapi mereka yang kami anggap tersangka langsung dengan kegiatan Hantu Jurang Growong itu. kami tidak memberikan ampun lagi. Kami membuat mereka cacat meskipun sampai saat terakhir mereka tidak mengaku”
“Nampaknya memang demikian Ki Sanak sambung orang yang hampir saja menjadi korban itu, “aku menjadi sangat ngeri. Bukan saja oleh kesakitan yang hampir tidak tertanggungkan, tetapi juga karena ketakutanku bahwa akhirnya aku akan cacat, karena aku telah dituduh terlibat langsung dalam hubungan dengan Hantu Jurang Growong”
“Itulah kebodohanku” sahut Ki Jagabaya, “tetapi suasana padukuhan ini benar-benar dicengkam oleh kegelisahan dan keresahan yang tidak tertanggungkan. Perampokan, tidak saja di rumah-rumah, tetapi juga beberapa orang telah disamun di bulak-bulak panjang. Seolah-olah Hantu Jurang Growong itu terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kemampuan yang tidak terlawan”
Dirumah Ki Buyut, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat tempat dan pelayanan yang sangat baik. Namun justru karena itu keduanya merasa kurang mapan. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun pada satu kesempatan berkata kepada Ki Buyut.
“Ki Buyut, perlakukan kami sebagaimana dua orang pengembara yang mendapatkan tempat bermalam. Kesempatan untuk tidur di serambi gandok sekalipun telah sangat memenangkan bagi kami berdua. Sementara makanan yang diberikan kepada kami terasa terlampau berlebih-lebihan. Dengan demikian, kami justru merasa segan dan kurang mapan”
“Jangan kau hiraukan anak-anak muda” berkata Ki Buyut, “biarlah kami memperlakukan kalian herdua sesuai dengan sikap kami terhadap kalian berdua. Meskipun kalian menyebut diri pengembara, tetapi kalian akan dapat memberikan beberapa peruhahan yang akan sangat herarti hagi kami”
“Kami akan tetap berbuat sesuai dengan tingkat jangkauan kami bagi kepentingan Kabuyutan ini, Ki Buyut” jawab Mahisa Murti, “tetapi perlakuan Ki Buyut membuat kami justru menjadi segan dan kaku”
“Sekali lagi aku minta, jangan hiraukan” berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk mencegah sikap yang justru membuatnya tidak dapat bersikap wajar. Tetapi Ki Buyut ternyata kurang sependapat.
“Aku tidak peduli lagi” berkata Mahisa Pukat ketika keduanya berada di dalam biliknya aku akan berbuat apa saja sesuai dengan sifat kebiasaanku”
Mahisa Murti tersenyum. Namun katanya, “Kita terikat pada unggah-ungguh. Itulah sebabnya, maka rasa-rasanya kita justru terbelenggu disini”
Namun demikian, pada saat-saat tertentu, keduanya minta diri untuk pergi ke sungai atau kemanapun juga. Pada saat-saat yang demikian, maka keduanya dapat berbuat apa saja untuk mengendorkan kekuatan tatanan di rumah Ki Buyut.
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai tertarik kepada ceritera tentang hutan pohon cendana yang menjadi gundul. Dengan demikian, maka hekas pohon cendana itu rasa-rasanya dapat di atur sehingga tidak lagi berupa tanah terbuka yang akan dapat sedikit demi sedikit menjadi aus.
“Kita dapat melihat tanah gundul dilereng bukit sebelah” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Namun nampaknya Akuwu yang sekarang, sudah menaruh perhatian yang cukup”
“Pada sisa-sisa pepohonan yang ada. Tetapi nampaknya tidak ada rencana Akuwu untuk menanam pepohonan yang baru apapun jenisnya untuk menghijaukan lereng yang gundul itu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kita dapat memberitahukan hal itu kepada Ki Buyut. Jika kita langsung menanganinya, maka kita akan tertahan di tempat ini untuk waktu yang lama. Kita mungkin akan bertemu lagi dengan Akuwu, sehingga untuk beberapa saat kita akan menjadi penghuni Pakuwon ini”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Mahisa Murti, bahwa mereka berdua hanya dapat memberikan pesan-pesan saja kepada Ki Buyut, karena mereka tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan itu terlalu lama. Mereka hanya ingin membantu Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan itu memulihkan wibawanya, setelah Ki Jagahaya melakukan perbuatan yang telah menyakiti hati rakyatnya, sementara Ki Buyut yang lemah hati tidak berbuat apa-apa.
Justru karena keadaan yang sudah tersingkap itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui, kenapa orang-orang dan para bebahu di Kabuyutan itu tidak melaporkan persoalan Hantu Jurang Growong itu kepada Akuwu. Agaknya kedua orang itu pulalah yang telah mempengaruhi mereka untuk tidak melaporkannya kepada Akuwu, karena jika demikian, maka pasukan pengawal Akuwu akan mengatasi kekalutan itu, sehingga keduanya tidak akan berkesempatan lagi untuk melakukan tindakan- tindakan yang nggegirisi yang dapat menakut-nakuti dan membuat rakyat seisi Kabuyutan menjadi resah.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengikuti perkembangan keadaan Kabuyutan itu dengan saksama Ki Buyut yang telah melihat akibat pahit itu pun mulai berusaha untuk menyusun tertib pemerintahan di Kabuyutannya. Ia memanggil para bebahu untuk mengadakan pertemuan. Mereka diminta untuk menilai apa yang telah terjadi.
“Katakan dengan hati terbuka” berkata Ki Buyut "kita akan mengambil pengalaman ini sebagai satu pelajaran yang berguna”
Beberapa orang semula merasa ragu-ragu, karena mereka merasa cemas, bahwa perlakuan yang tidak wajar itu akan dapat terjadi pula atas mereka. Tetapi ternyata kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar memberikan arti. Para bebahu merasa mereka akan mendapat perlindungan jika ada perlakuan yang tidak adil atas mereka. Karena itulah, maka mereka pun kemudian dapat menyampaikan isi hati mereka dengan terbuka.
Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Para bebahu yang lain pun melihat, bahwa ia telah terseret. Meskipun ia berniat untuk membuat Kabuyutannya aman, tetapi ia telah mengambil langkah yang salah.
“Baiklah” berkata Ki Buyut kemudian, “kita sudah melihat langkah-langkah kita yang salah. Kita akan berusaha untuk memperbaikinya. Kita akan menjadi orang-orang baru yang akan memerintah daerah ini dengan sikap yang baru."
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabaya pun mengangguk-angguk pula. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Ki Buyut. Aku tidak akan ingkar, bahwa aku telah melakukan kesalahan. Tetapi aku mohon dinilai bahwa kesalahanku terletak tidak pada niat. Tetapi pada cara. sehingga menimbulkan kekalutan dan keresahan”
“Aku mengerti Ki Jagabaya” jawab Ki Buyut, “karena itu aku tidak mengambil satu tindakan terhadapmu dan terhadap kedudukanmu. Yang kami inginkan adalah perubahan sikap dan caramu. Tetapi niatmu untuk mengabdi kepada Kabuyutan ini tetap aku hargai”
“Terima kasih Ki Buyut” berkata Ki Jagabaya.
“Tetapi bagaimanapun juga, kau tetap kami anggap pernah melakukan kesalahan. Karena itu, maka kau harus minta maaf kepada rakyat Kabuyutan ini. Bukan sekedar sopan santun, tetapi dengan satu kesanggupan di dalam hati untuk menebus kesalahan yang pernah kau lakukan” berkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk hormat sambil menjawab, “Aku mengerti Ki Buyut”
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyaksikan perubahan sikap yang terjadi di Kabuyutan itu. Karena itu, maka keduanya merasa bahwa mereka tidak perlu lagi terlalu lama berada di Kabuyutan itu.
“Kita sudah dapat meninggalkan rumah ini” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kapan saja kita dapat minta diri. Nampaknya segala sesuatunya telah dapat diatasi. Ki Jagabaya cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya, dan Ki Buyut pun cukup bijaksana dengan tanpa menghukumnya secara langsung”
“Tidak ada keberanian Ki Buyut untuk melakukannya” jawab Mahisa Murti, “tetapi dalam hubungannya dengan persoalan yang dihadapinya kini, adalah kebetulan. Dengan kelemahannya ia nampak bijaksana”
“Ah” Mahisa Pukat berdesis. Namun ia pun kemudian tertawa kecil.
“Kita bermalam satu malam lagi” berkata Mahisa Murti, “besok kita minta diri. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang dapat menghambat kita. Kita akan melanjutkan pengembaraan. Sementara itu kita dapat berpesan kepada Ki Buyut untuk memperhatikan lereng yang gundul itu, sehingga tanahnya tidak akan menjadi semakin aus dimakan air hujan yang bukan saja turun dari langit, tetapi juga arus dari lereng yang lebih tinggi”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Malam nanti masih ada kesempatan untuk berbincang dengan Ki Buyut tentang banyak hal. Sekaligus mereka akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Namun dalam pada itu, ketika matahari condong ke Barat, Mahisa Murti yang keluar dari gandok dan duduk diserambi terkejut melihat seorang gadis yang melintasi halaman. Selama ia berada di rumah Ki Buyut itu, ia tidak pernah melihat gadis itu. Memang ada beberapa perempuan di rumah Ki Buyut itu. Selain Nyi Buyut, beberapa orang pembantunya terdiri dari perempuan dan mungkin juga diantara mereka terdapat gadis-gadis. Tetapi yang seorang ini belum pernah dilihatnya.
Sambil memperhatikan langkah gadis itu, terasa jantung Mahisa Murti berdegup semakin keras, sehingga akhirnya gadis itu melangkah naik kependapa dan hilang di pintu pringgitan.
“Tentu bukan sekedar pembantu Ki Buyut” berkata Manisa Murti dalam hatinya, “jika gadis itu sekedar pembantunya, maka ia tidak akan masuk lewat pintu itu”
Mahisa Murti terkejut, ketika ia mendengar Mahisa Pukat terbatuk-batuk kecil di belakangnya. Sambil berpaling ia berkata, “Kau mengejutkan aku”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Apa yang kau perhatikan sehingga kau tidak tahu aku hadir di sini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau tentu juga melihatnya”
“Apa?” desak Mahisa Pukat.
“Seorang gadis” jawab Mahisa Murti.
“Darimana kau tahu, bahwa ia seorang gadis. Siapa tahu bahwa perempuan itu adalah isteri Ki Buyut” jawab Mahisa Pukat.
“Jangan berpikiran gila” potong Mahisa Murti, “gadis itu terlalu muda bagi isteri Ki Buyut. Mungkin ia anaknya, atau bahkan cucunya”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan hiraukan perempuan itu”
“Aku hanya memperhatikannya. Bukankah aku tidak bersalah jika aku melihat kecantikan seseorang? Seperti aku juga tidak bersalah memperhatikan kecantikan sekuntum bunga ceplok piring. Bukankah begitu?” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Kemudian katanya, “Kau cerdik. Tetapi ingat pesan ayah. Kau harus belajar dari pengalaman Kakang Mahisa Bungalan. Seorang gadis telah mengikatnya sehingga pengembaraannya tidak lagi dapat berkisar lebih jauh dari putaran gadis itu saja”
“Tetapi dengan demikian, ia mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dalam pengembaraannya itu. He, kau katakan, bahwa kakang Mahisa Bungalan tidak berkisar jauh dari gadis itu?”
“Ya” jawab Mahisa Pukat.
“Kau keliru. Tetapi seandainya demikian, namun ia justru mendapat pengalaman yang terlalu banyak. Bukan saja Pengalaman lahir, tetapi juga pengalaman batin."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Murti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, jangan kau abaikan pesan ayah”
“Ah” desah Mahisa Murti, “aku tentu akan selalu mengingatnya. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa. Aku pun tidak tahu, apakah gadis itu termasuk keluarga Ki Buyut atau bukan”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah. Kita duduk di dalam saja”
“Udara terlalu panas. Aku akan duduk di sini” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian medangkah masuk ke dalam gandok, yang disediakan oleh Ki Buyut bagi tempat mereka berdua. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat duduk sendiri di dalam gandok itu sambil bersandar tiang. Diluar sadarnya, ia pun mulai menelusuri perjalanannya berdua dengan Mahisa Murti yang masih terhitung sangat pendek itu.
Namun dalam perjalanan yang pendek itu, mereka ternyata telah mengalami berbagai peristiwa yang dapat dijadikan bekal dalam hidupnya kelak. Namun kadang-kadang terasa ngeri juga jika ia memikirkan kemungkinan yang paling buruk dalam pengembaraannya itu. Meskipun ia mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, tetapi jika jiwanya terampas karenanya, maka pengalaman itu tidak akan berarti apa-apa baginya.
“Tetapi akau tidak boleh menjadi seorang pengecut” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu ia terkejut ketika ia mendengar suara Mahisa Murti bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Sambil mengangkat wajahnya ia bergeser. Dan didengarnya suara perempuan itu, “Silahkan minum Ki Sanak”
“Ya, ya. Terima kasih” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mangkuk ini harus aku letakkan didalam atau disini saja?” bertanya perempuan itu.
Dengan gagap Mahisa Murti menjawab, “Baiklah di dalam, ah, maksudku di sini saja”
“Mangkuk yang satu?” bertanya perempuan itu., “Biarlah di sini juga” jawab Mahisa Murti.
Suara itu pun terdiam. Yang didengar oleh telinga tajam Mahisa Pukat dalam langkah yang menjadi semakin jauh. Mahisa Pukat pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Dilihatnya dua buah mangkuk minuman panas dan beberapa potong gula kelapa.
“Segarnya” desis Mahisa Pukat, “air sere atau air jahe?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Kedua-duanya. Air jahe dengan sere. Terasa sedapnya kayu legi pula didalamnya”
“Kau sudah minum?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Jawabnya, “Belum”
“Darimana kau tahu, bahwa terasa sedapnya kayu legi di dalam minuman itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti masih tersenyum. Katanya kemudian, “Duduklah. Marilah kita minum”
“Kenapa tidak ditaruh di dalam saja?” bertanya Mahisa Pukat selanjutnya.
“Kita minum diserambi saja” jawab Mahisa Murti.
“Perempuan yang membawa minuman ini tidak mau masuk”
“Bohong” sahut Mahisa Pukat, “kau yang minta kepadanya untuk meletakkan minuman ini di sini”
“Kau dengar pembicaraan kami?” bertanya Mahisa Murti.
"Aku mendengar” jawab Mahisa Pukat” siapakah perempuan yang membawa minuman itu?”
“Kau tentu sudah mengintipnya” tebak Mahisa Murti.
“Tidak. Aku duduk saja diamben itu” Mahisa Pukat menjelaskan.
“Salah seorang pelayan Ki Buyut. Seorang perempuan tua yang tadi pagi juga membawa minuman kita” jawab Mahisa Murti.
“Jangan bohong. Suaranya lain. Tentu bukan perempuan tua itu” bantah Mahisa Pukat.
“Jadi siapa? Bukankah kau tidak melihatnya?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat yang duduk di sebelah Mahisa Murti itu tersenyum. Jawabnya, “Meskipun aku tidak melihatnya, tetapi aku dapat membedakan warna suara. Aku yakin, yang membawa minuman ini tentu perempuan yang kau sangka gadis yang tadi melintasi halaman, dan yang belum pernah kita lihat sebelumnya”
“Ah darimana kau tahu? Kau belum pernah mendengar suaranya. Kau tentu tidak akan dapat mengatakan bahwa kau mengenalinya lewat suaranya” sahut Mahisa Murti.
“Aku tidak mengenalinya lewat suara perempuan itu. Tetapi lewat suaramu” jawab Mahisa Pukat.
“Bagaimana mungkin lewat suaraku?” bertanya Mahisa Murti heran.
“Suaramu menjadi gagap dan seolah-olah kau menjadi bingung menjawab pertanyaan-pertanyaannya” tebak Mahisa Pukat.
“Ah desah Mahisa Murti, “kau hanya menduga-duga”
“Katakan, apakah dugaanku salah?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja sambil mengusap keringatnya di dahinya. Dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang kemudian meraih mangkuk berisi minuman hangat itu. Sambil meneguk isinya ia berdesis, “Merasa segar sekali. Apakah dengan gula kelapa?”
“Ya, dengan gula kelapa. He, bukankah benar dugaanku, bahwa minuman itu memakai kayu legi?” bertanya Mahesa Murti."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Minuman ini tidak diberi kayu legi”
“He?” dahi Mahisa Murti berkerut, “tetapi meskipun tidak diberi kayu legi tetapi minuman itu tetap segar bukan?”
“Ya. Segar sekali. Kenapa kau tidak minum?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun kemudian mengambil sepotong gula kelapa Kemudian mengangkat mangkok berisi minuman hangat itu dan menghirupnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Malam nanti kita akan minta diri. Bukankah besok kita akan melanjutkan perjalanan? Bagaimana jika kita minta beberapa ruas pering cendani yang beruas panjang itu? Dengan supit kita akan dapat berburu burung”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Kita akan mengambil beberapa ruas pering cendani itu Pukat. Besok kita akan pergi ke padang perdu itu. Tetapi dengan demikian kita tidak akan dapat meninggalkan Kabuyutan ini besok”
“Kenapa? Kita minta diri. Sambil meninggalkan Kabuyutan ini kita mengambil beberapa ruas pering cendani itu. Jika pada saat kita meninggalkan Kabuyutan ini, kita sudah menyatakan keinginan kita untuk mengambil pering cendani itu, maka aku kira kita tidak akan dapat dianggap bersalah, apalagi dituduh mencuri. Ki Jagabaya tidak akan lagi berbuat seperti itu” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Kita tidak akan berbuat demikian. Sebaiknya kita mengambil beberapa ruas pering cendani itu, dan kemudian membawanya ke Kabuyutan ini sehingga dengan demikian Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan ini tahu, seberapa banyak kita telah mengambilnya. Dengan demikian, hal itu akan baik pula akibatnya bagi kita. Jika ternyata ada kerusakan pada rumpun pering cendani itu, bukan kitalah yang telah merusaknya”
“Jika demikian” jawab Mahisa Pukat, “marilah. Kita sekarang pergi ke padang itu dan mengambilnya. Malam ini kita dapat menunjukkan kepada Ki Buyut beberapa ruas paring cendani yang akan kita bawa”
“Kenapa sekarang” sahut Mahisa Murti, “kenapa kau tiba-tiba menjadi begitu tergesa-gesa? Bukankah pengembaraan kita masih panjang. Apa artinya satu dua hari bagi kita seandainya kita masih tertahan di Kabuyutan ini. Sekaligus kita dapat melihat, apakah keadaan di Kabuyutan ini benar-benar sudah mantap”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan aku yang tiba-tiba saja menjadi tergesa-gesa. He, bukankah kita sudah sepakat untuk meninggalkan Kabuyutan ini esok pagi setelah malam nanti kita memberikan beberapa pesan kepada Ki Buyut tentang lereng yang gundul itu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata, “Sebaiknya kita pun pergi ke lereng bukit yang gundul itu. Kita tidak saja memberikan pesan, tetapi kita akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti bagi mereka”
“Kau keliru Murti” jawab Mahisa Pukat” kita hanya tahu arti keseluruhan dari tanah yang dihijaukan itu. Tetapi kita bukan orang-orang yang mengerti cara-cara yang paling baik untuk menanam jenis-jenis pepohonan di lereng itu. Mungkin Ki Buyut dan orang-orang Kabuyutan ini justru lebih banyak mengetahui”
“Yang aku katakan tidak pernah sesuai dengan pendapatmu. Tetapi baiklah aku berharap, kau tidak terlalu tergesa-gesa meninggalkan Kabuyutan ini. Masih ada beberapa persoalan yang dapat kita sumbangkan kepada penghuni Kabuyutan ini” berkata Mahisa Murti.
“Sebenarnya ada apa dengan kau?” bertanya Mahisa Pukat, “kaulah yang tiba-tiba saja merubah sikapnya”
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan, “agaknya telah terjadi satu gejolak di dalam dirimu, sehingga kau sudah berubah sikap. Tetapi jika perubahan sikap itu beralasan, aku tidak akan berkeberatan”
“Ya. Aku mempunyai alasan” jawab Mahisa Murti, “bukankah aku sudah mengatakan beberapa alasan?”
“Bukan alasan yang sebenarnya” jawab Mahisa Pukat. “Apa yang kau maksud dengan alasan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu kaulah yang tahu. Cobalah bertanya kepada dirimu sendiri. Alasan apakah yang sebenarnya telah menahan kau disini?” berkata Mahis Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga karena itu. Mahisa Pukat lah yang memberikan jawabnya, “He, bukankah karena kau telah melihat perempuan yang kau sebut gadis itu?”
“Ah” desah Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan terus terang. Dan aku akan mencoba mengekang diri agar aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Tetapi sekali lagi aku peringatkan pesan ayah kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati”
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Dipandanginya Mahisa Pukat sejenak. Namun ia pun kemudian mengalihkan tatapan matanya ke halaman, sementara langit pun menjadi semakin terasa dingin karena matahari yang merendah. Namun dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat meninggalkan rumah Ki Buyut esok pagi karena Mahisa Murti agaknya mempunyai pertimbangan lain.
Meskipun sebenarnya Mahisa Pukat tidak sesuai dengan sikap Mahisa Murti, tetapi ia tidak ingin mengecewakan saudaranya. Namun demikian, ia memang berniat untuk selalu memberi peringatan kepada Mahisa Murti agar tidak terjerat oleh satu keadaan seperti yang di cemaskan oleh ayahnya, justru karena Mahisa Bungalan pernah mengalaminya. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan berhasil menyelesaikan persoalannya dalam libatan hubungannya dengan Ken Padmi dengan baik. Jika ia gagal, maka persoalan itu akan dapat membawa nyawanya.
Demikianlah ketika lewat senja, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk-duduk di pendapa bersama Ki Buyut dan beberapa orang bebahu yang hadir, maka anak-anak muda itu sama sekali tidak menyinggung rencana mereka untuk minta diri. Yang mereka katakan hanyalah, bahwa mereka ingin mendapatkan beberapa batang pering cendani yang beruas panjang.
“Tentu kami tidak akan berkeberatan” berkata Ki Buyut” pering cendani itu tidak akan banyak artinya lagi bagi kami”
“Tetapi tidak ada jeleknya jika ketrampilan mempergunakan supit itu dikembangkan” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi kami tidak akan berkelahi lagi melawan Hantu Jurang Growong” jawab seorang bebahu.
“Sekarang tidak” jawab Mahisa Pukat, “mungkin lain kali ada pihak lain lagi yang ingin mengganggu Kabuyutan ini”
“Tetapi, bagaimana dengan anak panah dan busur?” bertanya seorang yang bertubuh, tinggi besar pembantu Ki Jagabaya.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Jika kalian berminat, kalian dapat menyiapkan justru pada saat-saat kalian mempunyai waktu untuk melatih diri”
Ki Jagabaya yang juga hadir, mengangguk-angguk. Katanya, “Pendapat yang baik sekali”
“Bukan saja berlatih mempergunakan busur dan anak panah. Tetapi memperdalam olah kanuragan pun akan sangat bermanfaat. Pada keadaan yang gawat, baru terasa bahwa ilmu kanuragan itu kita perlukan”
Orang-orang yang berada di pendapa itu mengangguk-angguk. Mereka memang memerlukan perlindungan. Pada saat-saat yang gawat sangat terasa, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi diri sendiri.
“Anak muda” berkata Ki Buyut tiba-tiba, “bagaimana jika kami minta kalian berdua untuk tinggal barang beberapa lamanya, sekedar untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan olah kanuragan?”
Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Murti telah mendahului, “Jika hanya untuk beberapa hari saja, kami tidak akan berkeberatan Ki Buyut. Tetapi, sudah barang tentu, bahwa pada saatnya kami akan meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan pengembaraan kami”
“Ya. Tentu hanya beberapa hari saja. Tetapi yang beberapa hari itu tentu akan sangat bermanfaat bagi kami” jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Jika ia bersikap lain, maka persoalannya tentu akan menjadi rumit. Karena itu. Mahisa Pukat hanya dapat memandangi Mahisa Murti dengan senyum yang masam.
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa lama. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mengetahui dengan pasti, kenapa Mahisa Murti masih lebih senang tinggal beberapa lama di padukuhan itu.
Dihari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai memberikan beberapa tuntunan olah kanuragan bagi anak-anak muda. Beberapa orang terpilih telah terbagi menjadi dua kelompok, yang masing-masing dibimbing oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyempatkan diri mengambil beberapa ruas pering cendani. Mereka telah membuat sumpit tidak untuk membunuh seseorang, tetapi mereka pergunakan untuk berburu burung yang banyak terdapat di pategalan dan di pinggir-pinggir hutan. Dalam pada itu, pada kesempatan yang lain, Mahisa Murti telah mengenal gadis yang baru kemudian hadir di rumah Ki Buyut. Ternyata gadis itu adalah anak Ki Buyut.
“Kenapa kau baru hadir beberapa hari yang lalu?” bertanya Mahisa Murti ketika keduanya sempat berbicara di serambi gandok, pada saat gadis itu mengantarkan minuman panas.
“Aku berada di rumah paman” jawab gadis itu, “sebenarnya aku sudah lama ingin pulang. Tetapi daerah ini justru tidak aman”
“Kau tidak kerasan di rumah pamanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Sebenarnya aku kerasan tinggal di rumah paman. Tetapi pada saat terakhir, aku mengalami beberapa gangguan, sehingga paman menganggap bahwa lebih baik aku kembali ke rumah ayah. Apalagi setelah Kabuyutan ini menjadi tenang”
“Gangguan apakah yang kau alami?” bertanya Mahisa Murti.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Bahkan sejenak kemudian ia berkata, “Sudahlah. Tidak ada apa-apa”
Mahisa Murti masih akan bertanya, tetapi gadis itu sudah lari. Sebenarnyalah gadis anak Ki Buyut itu sangat menarik perhatian Mahisa Murti. Dalam setiap kesempatan ia berusaha untuk dapat berbincang tentang apa saja dengan gadis itu. Apalagi nampaknya gadis itu pun telah memberikan banyak peluang pula kepada Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak jemu-jemunya memperingatkan Mahisa Murti, bahwa mereka baru mulai dengan suatu pengembaraan.
“Kita belum terlalu jauh dari Kota Raja” berkata Mahisa Pukat, “jika perjalanan kita terhenti di sini, maka jarak yang pernah kita tempuh dalam pengembaraan ini untuk mendapatkan pengalaman hidup tidak lebih jauh dari jarak anak-anak bermain sembunyi-sembunyian di terang bulan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun berkata, “Baiklah Mahisa Pukat. Aku mengerti. Aku akan berusaha menguasai perasaanku. Kita akan segera melanjutkan perjalanan. Seandainya aku tidak dapat melupakan tempat ini, maka biarlah kelak aku akan kembali lagi apabila aku masih mendapat kesempatan”
Mahisa Pukat memandang wajah saudaranya yang menjadi buram. Terbersit pula perasaan iba didalam hatinya. Karena itu. katanya, “Baiklah Mahisa Murti, aku berjanji, bahwa dalam perjalanan kita kembali kelak, kita akan berusaha untuk melalui Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Kita akan mengingat nama Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang”
“Dan kita akan selalu teringat kepada nama seorang gadis He. siapa namanya?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia merasa berat untuk meninggalkan rumah Ki Buyut itu. Tetapi iapun menyadari, bahwa ia tidak boleh tinggal terlalu lama di tempat itu. Karena Mahisa Murti tidak segera menjawab, maka Mahisa Pukat mendesaknya,
“Siapa nama yang sebenarnya gadis itu? Tentu Ireng itu bukan namanya. Bukankah itu hanya sebutannya saja karena gadis itu berkulit agak kehitaman. Dan nampaknya justru hitam-hitam manis itulah yang telah menarik perhatianmu”
“Sebut saja dengan Ireng. Aku tidak pernah bertanya siapakah namanya yang sebenarnya, karena setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab nama panggilannya itu pula” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Aku-pun sudah puas menyebutnya Ireng. Rara Ireng”
Dalam pada itu, pada saat-saat kedua anak muda itu siap meninggalkan Kabuyutan itu, maka mereka masih juga memberikan tuntunan olah kanuragan. Anak-anak muda di Kabuyutan itu ternyata dengan tekun mengikuti bimbingan itu. Mereka seolah-olah tidak mengenal letih. Kapan saja mereka justru meminta kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memberikan latihan-latihan, karena mereka pun sadar, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di Kabuyutan mereka.
Sebenarnyalah, maka pada suatu saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan niatnya untuk meninggalkan Kabuyutan itu. Mereka harus meneruskan pengembaraan mereka untuk waktu yang tidak ditentukan. Niat itu telah menumbuhkan kerisauan pada beberapa orang di Kabuyutan itu. Beberapa orang anak muda ingin menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar mereka lebih lama lagi tinggal bersama anak-anak muda di Kabuyutan Randumalang. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memutuskan, bahwa mereka harus segera melanjutkan perjalanan.
“Kau akan pergi besok?” bertanya gadis itu.
“Ya Ireng. Aku harus melanjutkan perjalanan kembaraku. Aku tidak dapat tinggal terlalu lama di satu tempat” jawab Mahisa Murti.
Gadis itu menunduk. Namun ia mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Tetapi apakah aku dapat mendengar namamu sebelum aku pergi?”
Gadis itu memandang wajah Mahisa Murti. Lalu katanya Bukankah kau sudah mengenal namaku?”
“Belum. Aku hanya mengenal sebutan atau panggilanmu sehari-hari. Tetapi namamu tentu bukan Rara Ireng” sahut Mahisa Murti. Lalu, “Sebelum aku pergi, maka aku ingin dapat selalu mengingat namamu”
Gadis itu menunduk. Namun kemudian katanya, “Namaku memang Ireng. Tetapi kadang-kadang paman memanggil aku Widati”
“Widati” desis Mahisa Murti, “aku lebih senang memanggilmu dengan Widati. Bukan Ireng”
“Tidak. Disini namaku Ireng. Panggil aku dengan Ireng. jawab gadis itu.
“Ya. Disini aku akan tetap memanggilmu Ireng. Tetapi aku akan lebih senang mengenang namamu Widati. Besok pada suatu saat, jika aku kembali lagi. aku akan mencari Widati” berkata Mahisa Murti.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan sejenak kemudian, maka gadis itupun telah berlari meninggalkan Mahisa Murti yang termangu-mangu di serambi gandok memandanginya sampai hilang di balik pendapa.
Mahisa Murti terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat menegurnya, “Sudahlah. Agar kau tidak menunda lagi perjalanan kita. Pada saatnya kita akan kembali”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkedip ia masih saja memandangi pintu yang sudah tertutup. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai perasaan aneh terhadap gadis itu”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Kau tentu dapat menyebut perasaan apa yang sebenarnya mencengkammu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menjawab Mahisa Pukat telah berkata, “Karena itu, maka biarlah kita segera meninggalkan tempat ini sebelum perasaan itu berakar dihatimu. Jika Yang Maha Agung memang mengijinkan, gadis itu akan menjadi jodohmu, maka pada suatu saat kau akan bertemu lagi dimana pun juga”
Mahisa Murti mengangguk-angguk Katanya, “Kau benar Mahisa Pukat. Kita memang harus segera meninggalkan tempat ini”
Ketika kemudian malam turun, untuk terakhir kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang dengan Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan. Pada kesempatan terakhir itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali lagi menyinggung lereng pegunungan yang menjadi gundul. Keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang penggunaan berbagai macam senjata jarak jauh. Keduanya menganjurkan agar orang-orang Kabuyutan itu lebih banyak mempelajari cara mempergunakan anak panah dan busur daripada mempergunakan sumpit. Mereka pun memberitahukan beberapa jenis senjata lontar yang lain. Bandil dan paser. Bahkan pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan para bebahu masih ingin menahan kedua anak muda itu barang satu dua pekan. Tetapi keduanya ternyata telah mengambil satu keputusan untuk meninggalkan Kabuyutan itu, betapapun berat hati mereka. Terlebih-lebih adalah Mahisa Murti.
Demikianlah, maka malam itu, para bebahu dan Ki Buyut sendiri telah mengucapkan beribu terima kasih kepada kedua orang anak muda itu. Ada keinginan mereka untuk memberikan sesuatu kepada keduanya sebagai tanda terima kasih orang-orang seluruh Kabuyutan.
Namun dengan hati-hati Mahisa Murti menjawab, “Terima kasih Ki Buyut. Bukan berarti aku menolak, tetapi aku masih ingin mengembara. Karena itu, maka hadiah yang akan aku terima, tentu tidak sewajarnya jika aku bawa berkeliaran tanpa tujuan”
“Kami mempunyai sepasang cincin dengan sebuah permata yang baik” berkata Ki Buyut mungkin kalian berdua pada suatu saat membutuhkannya. Tentu cincin itu tidak akan memberati beban kalian diperjalanan”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah kami menitipkan cincin itu disini”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian berdua akan kembali lagi ke Kabuyutan ini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukatlah yang menjawab, “Ya. Kami memang berniat demikian. Pada suatu saat yang tidak dapat kami sebutkan, karena kami sendiri belum dapat menentukan, kami berdua berusaha untuk dapat singgah di padukuhan ini. Pada saat itu kami akan mengambil barang-barang kami yang kami titipkan”
“Barang-barang apa saja yang kalian titipkan selain sepasang cincin yang akan kami serahkan?” Ki Jagabaya bertanya.
Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi Mahisa Murti cepat menyahut tidak ada. Memang tidak ada Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi akhirnya mereka tidak mempersoalkannya lagi. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih saja cemas, bahwa Mahisa Pukat pada suatu saat akan menyebut hubungannya dengan gadis yang bernama Widati itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak tergelincir dengan ucapan ucapannya, meskipun kadang-kadang Mahisa Murti menjadi tegang juga.
Kedua anak muda itu duduk di pendapa sampai jauh malam, justru karena malam itu adalah malam terakhir mereka berada di Kabuyutan itu. Tetapi akhirnya Ki Buyut pun telah mempersilahkan keduanya untuk beristirahat, karena esok harinya keduanya akan menempuh perjalanan yang tidak diketahui, betapa jauh dan betapa lamanya.
Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengemasi bekal mereka yang tidak terlalu banyak, selain sebungkus kecil pakaian yang tidak berarti. Tetapi sesaat kemudian, ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap terjaga, meskipun ia pun sudah berbaring dipembaringan. Setiap kali ia memejamkan matanya, justru ingatannya kepada gadis yang bernama Widati itu serasa menjadi semakin tajam. Namun bagaimanapun juga ia sudah bertekad bulat untuk meninggalkan padukuhan itu.
Sesaat menjelang dini hari, Mahisa Murti sempat terlena beberapa waktu. Namun justru Mahisa Pukat lah yang kemudian telah terbangun. Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak membangunkan Mahisa Murti karena ia pun seolah-olah dapat mengerti, bahwa hampir semalaman Mahisa Murti tidak tidur, ternyata bahwa nampaknya ia masih lelap menjelang dini hari. Karena bukan demikianlah kebiasaannya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat lah yang kemudian mendahului pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Tetapi Mahisa Murti tidak terlalu lama pulas dalam tidurnya. Ia tidak terbiasa bangun setelah terbit. Karena itu, maka ia pun kemudian terbangun juga sebelum langit menjadi terang. Namun pada pagi hari itu. keduanya benar-benar telah berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan berat hati, orang-orang Kabuyutan itu telah melepaskan kedua anak muda itu pergi. Apalagi mereka yang serba sedikit telah menerima terutama olah kanuragan. Mereka merasa bahwa yang mereka terima masih terlalu sedikit, sehingga mereka masih memerlukan jauh lebih banyak lagi.
Tetapi kedua anak muda itu tidak lagi dapat ditahan. Mereka benar-benar siap meninggalkan Kabuyutan itu. Ketika keduanya sudah berada di regol, maka seorang gadis berdiri di bawah sebatang pohon kemuning yang tumbuh di halaman. Dengan wajah yang suram gadis itu memperhatikan kedua anak muda yang sudah siap untuk berangkat. Namun adalah diluar kehendaknya, ketika Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah berpaling. Ketika dilihatnya gadis itu berdiri termangu-mangu, maka Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Ki Buyut mengerutkan keningnya ketika ia melihat sikap anak muda itu. Ketika ia berpaling ke arah pandangan Mahisa Murti, maka dilihatnya anak gadisnya berdiri dengan kepala tunduk. Meskipun tidak terucapkan, agaknya Ki Buyut bertanya di dalam hatinya, hubungan apakah yang sudah terjalin antara anak gadisnya dengan anak muda pengembara itu?
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat kemudian berkata, “Ki Buyut, sebagaimana sudah kami katakan, pada suatu saat kami akan kembali. Seandainya kami tidak akan mengambil kenangan yang akan diberikan oleh orang-orang di Kabuyutan ini, kami memang benar-benar akan singgah”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat Mahisa Pukat tersenyum sambil memandangi Mahisa Murti, maka Ki Buyut pun dapat memaklumi, perasaan apakah yang tersirat di hati anak muda itu. Karena itu, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Segala terserah kepada kehendak Yang Maha Agung.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata, “Demikianlah Ki Buyut. Tetapi bukankah kita wenang memohon kepada-Nya?”
“Ya. Kita memang wenang memohon” sahut Ki Buyut.
“Sudah tentu, dengan pengharapan, bahwa permohonan kita akan terkabul” sambung Mahisa Pukat.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Kita akan memohon”
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu pun telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut. Mahisa Murti sempat berpaling dan seleret pandang anak muda itu telah membentur mata Widati. Namun gadis itu kemudian menunduk dalam-dalam. Bahkan ia pun telah berlari masuk ke ruang dalam.
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berkata apapun juga tentang anaknya. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyusuri jalan padukuhan induk menjauhi rumah Ki Buyut. Beberapa orang anak muda telah mengikutinya sampai keregol padukuhan.
Sepeninggal kedua anak muda itu, maka Ki Buyut pun kemudian masuk keruang dalam, “Dilihatnya anak gadisnya duduk tepekur di pembaringannya, sementara pintu biliknya masih terbuka. Perlahan-lahan Ki Buyut mendekati anaknya, yang terkejut melihat kehadirannya.
“Ireng, apa yang sebenarnya kau pikirkan?” bertanya Ki Buyut.
Widati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya, “Tidak ada ayah”
“Jangan kau bohongi orang tua ini Ireng” berkata ayahnya kemudian, “meskipun tidak kau ucapkan, aku melihat sorot matamu ketika kau memperhatikan kedua anak muda itu telah membentur mata Widati anak muda yang meninggalkan Kabuyutan ini”
Widati menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih, “Tidak ada apa-apa ayah”
“Baiklah” berkata ayahnya, “Syukurlah jika tidak ada apa-apa di antara kalian. Namun demikian, baiklah ayah ingin mengatakan sesuatu serba sedikit”
Widati menjadi tegang. Sementara itu ayahnya berkata lebih lanjut, “Aku tidak menyesali hubunganmu dengan anak-anak muda. Aku kira hal itu wajar sekali. Tetapi ternyata bahwa kau tidak kerasan tinggal dirumah pamanmu, justru karena kau merasa diganggu oleh anak muda yang tidak kau sukai”
Widati tidak menyahut. “Tetapi bagaimanapun juga, ayah mempunyai satu sikap, bahwa hubunganmu dengan anak-anak muda itu, harus kau batasi pada hubungan persahabatan saja. Jika hubungan itu terasa menjadi semakin dalam, maka banyak hal yang harus di amati. Misalnya, keturunan. Watak dan tingkah laku, juga kemungkinan masa depan. Mungkin kita bertemu dengan seseorang yang langsung kita kagumi. Tetapi kita tidak tahu asal usulnya, kita tidak tahu sifat dan tabiatnya yang sebenarnya, karena kita baru mengenal dalam waktu singkat. Sebab seseorang dapat saja menyelubungi sifat-sifatnya yang sebenarnya untuk sesuatu maksud”
Wajah Widati menjadi tegang, la mengerti maksud ayahnya. Yang disebut-sebut itu tentu anak-anak muda yang baru saja meninggalkan Kabuyutan itu, karena sebenarnyalah Ki Buyut tidak tahu asal-usul anak-anak muda itu. Ki Buyut pun tidak tahu sifat dan watak yang sebenarnya.
Bahkan Ki Buyut itu berkata lebih lanjut, “Aku dapat memberikan contoh yang jelas Ireng. Sebelum anak-anak muda itu datang, maka seorang tamu di Kabuyutan ini merupakan orang yang kita kagumi. Sikapnya yang tegas penuh wibawa, kepandaiannya bermain senjata dan nasehat-nasehatnya yang semula terasa sangat berarti bagi kita disini. Tetapi ternyata sikap itu adalah sikap yang terselubung. Sikap yang semu seperti salah seorang tetangga kita sendiri, yang bersikap semu pula. Seolah-olah ia tidak lebih dari petani biasa seperti kebanyakan penghuni Kabuyutan ini. Tetapi apa yang sebenarnya kita hadapi”
Widati menundukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya dan ia pun tidak menganggap bahwa yang dikatakan oleh ayahnya itu keliru. Tetapi ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Menurut pendapatnya, salah seorang dari kedua anak muda itu adalah seorang anak muda yang mempunyai ciri yang terlalu baik. Ramah, sopan dan mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Menurut seorang kawannya, anak muda itu tentu tidak ada yang mengalahkan. Tetapi ia pun melihat tirai yang menyelubungi anak-anak muda itu. Mereka tentu tidak mengatakan tentang diri mereka yang sebenarnya. Karena itu, tentulah beralasan bahwa ayahnya mempunyai sikap tertentu.
Namun agaknya sulit bagi Widati untuk menghilangkan kenangannya terhadap anak muda yang seorang. Yang nampaknya lebih lembut dari yang lain. Seolah-olah segalanya mapan sebagaimana diidamkan pada seorang laki-laki muda. Tetapi Widati sama sekali tidak menjawab. Sementara itu ayahnya pun berkata selanjutnya,
“Seterusnya Widati, kau harus selalu berhati-hati menghadapi masa datang. Kecuali kau harus dapat menjaga dirimu, maka kau pun harus memperhitungkan apa yang kira-kira bakal terjadi atasmu”
Widati masih menunduk. Namun terasa degup jantungnya menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak-anak Kabuyutan itu pun seolah-olah mendapat kesempatan untuk melihat kedalam diri sendiri. Dua orang pengembara itu umurnya masih semuda dengan mereka. Tetapi keduanya sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Yang menggelitik hati anak-anak muda itu adalah pertanyaan salah seorang dari kedua anak muda itu, “Jika kami mampu melakukannya, kenapa kalian tidak? Apa bedanya?”
Anak-anak-muda itu memang berpikir untuk mencari jawabnya. Anak muda yang menyebut diri mereka pengembara itu memang mengatakan, mungkin kesempatanlah yang telah membuat tingkatan mereka demikian. Tetapi untuk seterusnya apakah anak-anak muda itu tidak dapat berbuat sesuatu untuk menciptakan satu kesempatan, meskipun tidak sama dan setingkat.
Karena itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak-anak muda yang mengantarkannya sampai ke gerbang padukuhan induk itupun berbicara diantara mereka, ”Kita harus mengembangkan apa yang telah diberikan oleh kedua anak-anak muda itu”
“Ya” sahut yang lain, “kita dapat berlatih terus. Kita sudah menerima pokok-pokok unsur yang diperlukan. Jika kita tidak terlalu bodoh, maka kita akan dapat mengembangkannya meskipun serba sedikit”
“Kita akan mengembangkannya” jawab yang lain lagi. Bahkan katanya kemudian, “Bukan saja olah kanuragan. tetapi pesan-pesannya yang lainpun perlu kita perhatikan. Kita memang prihatin terhadap hutan dilereng yang gundul itu. Kita memang cemas menghadapi tanah longsor. Menghadapi banjir seperti yang dikatakannya itu”
“Ya. Sementara itu kita pun cemas menghadapi kejahatan seperti yang pernah terjadi. berkata yang lain lagi.
Dengan demikian, maka kehadiran mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang hanya beberapa hari saja di Kabuyutan itu telah dapat menumbuhkan kesan yang mendalam, terutama di antara anak-anak muda. Mereka merasa tersentuh, bahwa pengembara yang asing bagi Kabuyutan mereka, telah berbuat terlalu banyak terhadap Kabuyutan itu melampaui apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda di padukuhan itu sendiri.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itu pun telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan lebih banyak bekerja bagi Kabuyutan mereka sendiri. Bekas yang ditinggalkan oleh kedua pengembara itu memang terasa oleh Ki Buyut, terutama dilingkungan anak anak mudanya. Bukan saja di bidang kewadagan dan ilmu kanuragan, tetapi ternyata kehadiran mereka telah menggetarkan gejolak jiwa anak-anak muda di padukuhan itu sendiri.
Meskipun demikian, ia tidak dapat bersikap seperti itu, tanpa pengamatan yang lebih mendalam, apabila anaknya telah memandang anak muda itu dari segi yang terlalu khusus, justru karena anak gadisnya itu sudah menjelang gadis dewasa.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjalan semakin jauh. Mahisa Murti sendiri sama sekali tidak pernah berpaling. Justru Mahisa Pukat lah yang sering berpaling kearah jalur jalan yang panjang yang telah dilewatinya. Rasa-rasanya jalan itu panjang sekali sehingga malaslah untuk menjalaninya kembali di satu saat mendatang. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menutup mata. Mahisa Murti agaknya benar-benar tertarik kepada seorang gadis yang bernama Widati, yang sehari-hari dipanggil Ireng itu.
Sementara itu Ireng sendiri sedang menelungkup di pembaringannya. Meskipun ia tidak menjawab sepatah kata pun ketika ayahnya memberinya nasehat, tetapi ketika ayahnya kemudian meninggalkannya, maka ia tidak dapat menahan lagi gejolak perasaannya. Betapapun juga ia berusaha, namun titik-titik air matanya telah mengembun di pelupuknya.
Anak muda yang meninggalkan halaman rumah itu tentu bukan orang-orang yang bertabiat buruk. Seorang di antaranya benar-benar telah memikat hatinya. Namun agaknya ayahnya kurang sependapat, karena beberapa hal seperti yang dikatakannya. Terutama bahwa ayahnya sama sekali tidak mengenal asal-usul anak muda itu.
“Tetapi apakah asal-usul itu mutlak harus ditelusuri?” bertanya Widati di dalam hatinya, “jika seseorang ternyata menunjukkan sikap, sifat dan watak yang baik serta bertanggung jawab, apakah artinya asal-usul itu Sebaliknya, meskipun menurut silsilahnya seseorang adalah orang yang terpandang, tetapi orang itu tidak bersikap dan bersifat terpuji apalagi tidak bertanggung jawab, apakah artinya nilai asal-usulnya itu?”
Namun demikian Widati tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Ia pun tidak berani pula mengatakannya kepada ibunya, karena menurut dugaannya, ibunya tentu sudah mendengarnya dari ayahnya, apa yang telah terjadi atas dirinya serta sikap ayahnya itu sendiri. Karena itu. ia berusaha untuk membawa beban perasaan nya itu seorang diri. betapapun beratnya
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki satu daerah yang mendebarkan. Mereka mulai melintasi lereng pegunungan yang menjadi gersang. Jaiur-jalur air hujan yang mengalir dengan membawa lapisan tanah nampak semakin lama agaknya menjadi semakin dalam, sementara pepohonan yang nampak menjadi semakin jarang.
Mahisa Pukat memperhatikan lereng pegunungan itu dengan hati yang berdebaran. Terbayang masa-masa mendatang yang panjang. Jika tanah di lereng ini terus- menerus di hanyutkan oleh air hujan, maka akibatnya akan sangat terasa. Bukan saja saat-saat air hujan itu mengalir tanpa kendali sehingga dapat menimbulkan bahaya yang dahsyat di kaki pegunungan itu, namun akhirnya pegunungan itu benar-benar akan terkelupas sehingga yang tersisa dalah seonggok batu-batu padas raksasa yang kering dan tandus.
“Belum terlambat” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau berkata sesuatu?”
Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku mengatakan bahwa usaha menyelamatkan lereng pegunungan ini masih belum terlambat. Mudah-mudahan Ki Buyut bersama-sama dengan Kabuyutan tetangganya di sekitar daerah ini akan berhasil mengatasi keadaan ini dengan satu kesadaran baru”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Agaknya angan-angannya masih saja meloncat kembali ke Kabuyutan yang baru saja ditinggalkannya. Mahisa Pukat pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Mereka pun kemudian melangkah dengan cepat di lereng pegunungan melintas ke lembah di sebelahnya.
Keduanya tidak menghiraukan matahari yang menjadi terik di puncak langit. Ketika mereka menyuruk di bawah hutan yang tidak terlalu lebat, maka panasnya sinar matahari tidak begitu terasa membakar kulit. Meskipun demikian, ketika mereka sampai di pinggir sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih, maka mereka pun memerlukan untuk berhenti barang sejenak.
Namun Mahisa Murti itu pun kemudian berkata, “Kita dapat beristirahat di sini. Di sini banyak burung yang dapat kita tangkap dengan sumpit. sehingga kita tidak akan kelaparan”
Mahisa Pukat memandang berkeliling. Memang terasa sejuknya udara. Namun ternyata Mahisa Pukat itu menjawab, “Apakah tidak lebih baik kita berjalan terus sampai saatnya matahari terbenam?”
“Jika kita tidak lagi menemukan tempat sesejuk ini” berkata Mahisa Murti.
“Tentu bukan tempat yang sejuk yang penting bagi kita” Jawab Mahisa Pukat, “jika demikian, maka kita tidak akan bergeser dari tempat ini”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita akan meneruskan perjalanan”
Demikianlah keduanya memang melanjutkan pengembaraan mereka. Mereka berjalan menyusuri lereng-lereng pegunungan, lembah lembah dan melintasi padang perdu. Tetapi sekali-sekali mereka pun berjalan melalui daerah berpenghuni yang padat tanpa menarik perhatian.
Demikianlah, mereka melakukan dari hari kehari. Padukuhan demi padukuhan mereka lalui, sehingga dengan demikian mereka menjadi semakin jauh dari sebuah Kabuyutan yang menyimpan seorang gadis yang bernama Widati. Seorang gadis yang belum lama kembali ke rumah orang tuanya setelah beberapa lamanya ia berada di rumah pamannya.
Tetapi berjalan terus meskipun dalam pengembaraan adalah menjemukan. Mereka tidak menemukan pengalaman baru yang dapat meningkatkan pengamatan mereka terhadap kehidupan, sehingga karena itu, maka mereka mulai berpikir lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah bersepakat untuk mencari tempat pemberhentian. Mungkin di tempat itu mereka akan mendapatkan pengalaman yang akan bermanfaat bagi hidup mereka kelak.
Ketika mereka mendekati sebuah padepokan yang besar, maka Mahisa Murtipun berkata, “Apakah kita akan memasukinya?”
“Ada juga baiknya” berkata Mahisa Pukat, “mungkin kita akan mendapat kesempatan barang sepekan untuk tinggal di padepokan ini. Beruntunglah kita jika selama kita tinggal di padepokan itu, kita akan mendapatkan sesuatu”
“Aku setuju” berkata Mahisa Murti, “nampaknya padukuhan ini sebuah padukuhan yang tenang. Di sekitarnya terdapat sawah yang hijau dan pategalan yang subur”
“Mudah-mudahan di padukuhan ini tidak ada seorang gadis yang dapat menyentuh dasar perasaan yang paling dalam” desis Mahisa Pukat.
“Ah” Mahisa Murti berdesah. Tetapi ia tidak berkata lebih lanjut.
Demikianlah keduanya pun kemudian memasuki jalur jalan menuju ke padukuhan itu. Padukuhan yang nampak hijau subur dan bahkan terasa ketenangan menyentuh hati kedua anak muda itu. Sejenak kemudian mereka telah memasuki lingkungan sebuah padepokan. Ketika mereka sampai di regol halaman yang luas. maka mereka pun menjadi termangu-mangu.
Sebelum mereka berbuat sesuatu, mereka melihat seorang cantrik yang tergesa-gesa mendekat. Sambil membungkuk hormat, cantrik itu pun Kemudian bertanya, “Ki Sanak, apakah kepentingan Ki Sanak mendekati regol padepokan kami yang sunyi ini”
Mahisa Murti pun mengangguk pula. Katanya, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang bersaudara yang sedang mengembara. Kami melihat betapa sejuk dan damainya lingkungan padepokan ini. sehingga rasa-rasanya kami ingin singgah barang sejenak”
“Oh, tentu kami tidak akan berkeberatan. Marilah Ki Sanak, aku akan menyampaikan kedatangan Ki Sanak kepada Empu Nawamula yang untuk sementara memimpin padepokan ini”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat, “Kenapa untuk sementara?”
“Ya. Hanya untuk sementara. Pemimpin padepokan kami yang sebenarnya sudah meninggal dunia hampir setahun yang lalu. Empu Nawamula adalah adik satu-satunya dari pemimpin padepokan kami yang telah meninggal itu. Karena tidak ada orang lain, maka Empu Nawamula untuk sementara diserahi pimpinan padepokan ini, sementara anak pemimpin padepokan kami yang telah meninggal itu sedang berguru kepada seorang pertapa yang tidak ada duanya di tempat yang jauh. Jika ia kembali kelak, maka ialah yang berhak untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu” jawab cantrik yang menemui mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan rendah hati Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak, apakah kiranya kami diperkenankan untuk singgah barang satu dua hari di padepokan ini.
“Tentu. Empu Nawamula adalah orang yang baik. Ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menerima kedatangan Ki Sanak berdua” jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah dibawa oleh cantrik itu memasuki padepokan. Sejak keduanya melangkah di halaman, terasa betapa tenangnya kehidupan di padepokan itu. Di antara beberapa buah rumah yang terdapat di padepokan itu terdapat pohon buah-buahan yang rimbun. Pohon jambu air yang berbuah lebat. Manggis dan Srikaya yang berbuah pula. Agak menyudut, nampak sebuah belumbang yang besar. Beberapa ekor angsa berenang di airnya yang kehijauan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Padepokan itu benar-benar merupakan sebuah padepokan yang asri.
“Ki Sanak” bertanya Mahisa Murti, “apakah Empu Nawamula tidak mempunyai sebuah padepokan tersendiri sebelum ia berada di padepokan ini?”
Cantrik itu menggeleng. Jawabnya, “Empu Nawamula bukan seorang pemimpin padepokan Ia tinggal di satu lingkungan yang kecil. Empu Nawamula tenggelam dalam pekerjaannya bersama tiga orang cantriknya”
“Pekerjaan apa yang dilakukannya? bertanya Mahisa Murti.
“Empu Nawamula adalah seorang ahli membuat keris. Ia memang benar-benar seorang empu” jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murtipun bertanya, “Apakah di sini Empu Nawamula juga masih membuat keris?”
“Ya” jawab cantrik itu, “tiga orang pembantunya berada di sini pula. Jika kau melihat asap di kebun belakang yang agak jauh itu, disanalah Empu Nawamula melakukan tugasnya. Meskipun Empu Nawamula bukan seorang Empu yang banyak menghasilkan. Tetapi satu dua keris yang dibuatnya merupakan pusaka yang sangat berharga”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu maka cantrik itu pun telah mempersilahkannya naik kependapa sambil berkata, “Silahkan. Aku akan menyampaikannya kepada Empu Nawamula”
Terima kasih” jawab Mahisa Murti” biarlah aku menunggu di sini saja. Aku bukan seorang tamu yang pantas. Kami berdua hanyalah pengembara yang ingin singgah barang satu dua hari”
Cantrik itu tidak memaksanya. Dibiarkannya saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk di tangga pendapa, karena mereka memang merasa bukan tamu-tamu yang harus mendapat penghormatan.
Sepeninggal cantrik itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk di tangga pendapa itu pun sempat mengamati halaman padepokan yang luas tetapi bersih. Sekali-sekali terdengar lenguh lembu di kandang di kebun belakang. Sementara itu terdengar pula suara lesung dengan iramanya yang rampak. Agaknya beberapa orang perempuan tengah menumbuk padi di dekat lumbung padepokan itu.
Namun dalam pada itu. tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis, “Mahisa Pukat, rasa-rasanya aku pernah mendengar nama Empu Nawamula. Dimana dan kapan, aku masih belum berhasil mengingatnya.”
“Ya. aku juga pernah mendengarnya. Mungkin pada saat-saat kita ikut ayah yang sering memperjual belikan batu-batu berharga dan kadang-kadang membawa pula wesi aji. Agaknya ayah memang pernah berhubungan dengan Empu Nawamula” jawab Mahisa Pukat.
“Ya” sahut Mahisa Murti dengan serta merta, “ayah memang pernah menemui seorang Empu untuk memesan sebilah keris. Bukan untuk ayah sendiri, tetapi untuk Seorang sahabatnya. Empu itu bernama Nawamula”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Jika Empu itu melihat kita di sini, maka ia akan segera mengenal kita pula. Tetapi apakah Empu itu bernama Nawamula?”
“Ya. Nawamula. Bukankah kau pernah mendengar nama itu? Tentu Empu Nawamula adalah Empu yang pernah membual keris untuk ayah. Meskipun keris itu kemudian disampaikan oleh ayah kepada sahabatnya yang memesannya. Aku sekarang ingat dengan gamblang. Akupun ingat pula wajah Empu yang sejuk itu”
“Tetapi bagaimana dengan kita? Jika Empu itu mengenali kita?” desis Mahisa Pukat.
Sebelum keduanya menemukan pemecahan, terdengar langkah seseorang mendekat. Ternyata cantrik yang semula mempersilahkannya itu datang pula kepada keduanya sambil berkata, “Ki Sanak. Empu mempersilahkan kalian datang ke sanggar. Empu sedang menyiapkan sebilah keris. Baru sesaat nanti. Empu dapat meninggalkan pekerjaannya”
Keduanya ragu-ragu. Namun cantrik itu berkata pula, “Marilah. Aku sudah menyampaikan segalanya kepada Empu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat membantah lagi. Keduanya pun kemudian mengikuti cantrik itu menuju ke bagian belakang padepokan. Ketika mereka mendekati sebuah perapian yang terbuka, muka cantrik isu berkata, “Itu adalah sanggar khusus Empu Nawamula. Bukan sanggar untuk olah kanuragan. Tetapi sanggar khusus untuk melakukan pekerjaannya, membuat keris."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun keduanya tidak menjawab.
“Silahkan duduk Ki Sanak,” cantrik itu mempersilahkan, “sebentar lagi. Empu Nawamula akan menemui kalian berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun dipersilahkan duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di serambi sebuah rumah kecil di hadapan sanggar Empu Nawamula. Ketika cantrik itu kemudian meninggalkan mereka, maka Mahisa Murti itupun kemudian berkata, “Benar. Empu itulah yang pernah kita kenal”
“Ya” Sahut Mahisa Pukat, “aku tidak lupa lagi”
“Apa boleh buat. Bukankah kita tidak berbuat apa-apa? Seandainya pada suatu saat Empu itu bertemu dengan ayah dan mengatakan kehadiran kita di padepokan ini, justru sekaligus memberikan kabar keselamatan kami kepada ayah” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun tidak berkeberatan atas pengenalan mereka terhadap orang yang untuk sementara memimpin padepokan yang sejuk itu. Beberapa saat mereka menunggu. Namun akhirnya Empu Nawamula itu meletakkan alat-alatnya. Kemudian menyeka keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Baru kemudian Empu itu berpaling ke arah kedua orang anak-anak muda yang duduk di serambi menunggunya.
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian iapun melangkah meninggalkan perapiannya mendekati kedua orang anak yang sedang menunggunya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun serentak berdiri. Sambil membungkuk hormat keduanya beringsut ke samping.
“Silahkan. Silahkan duduk anak-anak muda” Empu Nawamula mempersilahkan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun termangu-mangu. Namun ketika Empu Nawamula pun duduk pula di atas tikar itu, maka keduanya pun telah duduk kembali. Sejenak Empu Nawamula mengamati kedua orang anak muda itu. Kemudian katanya, “Aku sudah tua ngger. Tetapi, rasa rasanya aku pernah mengenal kalian berdua. Tetapi mungkin aku keliru karena aku sudah hampir menjadi pikun”
“Mungkin Empu benar” jawab Mahisa Murti, “kami berdua yang sedang mengembara tidak menduga, bahwa kami akan berjumpa dengan Empu di sini”
“Jadi pengenalanku benar? Tetapi sebut, siapa namamu berdua?” bertanya Empu itu.
“Aku Mahisa Murti Empu dan ini saudaraku Mahisa Pukat” Jawab Manisa Murti.
Empu itu mengerutkan keningnya, ia mencoba mengingat nama itu. Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian menjelaskan, “Kami adalah anak-anak laki-laki dari ayah Mahendra”
“Oh” Empu itu mengangguk-angguk, “jadi kalian anak Muhendra. Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan sudah seperti saudara sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Ternyata Empu itu memang mengenal ayah mereka, dan ia pun pernah melihat keduanya pula. Dalam pada itu. Empu itu pun berkata, “Aku ingat sekarang. Aku ingat kalian berdua memang pernah mengikuti ayah kalian pergi ke gubugku. Tetapi tidak di padepokan ini”
“Ya Empu” jawab Mahisa Murti, “karena itu. Kamipun tidak menyangka, bahwa kami menjumpai Empu di padepokan ini”
“Adalah kebetulan sekali” jawab Empu Nawamula, “tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?”
“Kami sedang mengembara Empu. Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami hanya ingin melengkapi pengalaman kami menginjak masa dewasa kami” jawab Mahisa Murti.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ketika seorang cantrik menyuguhkan minuman panas dan beberapa potong makanan, maka Empu itu pun telah mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mencicipinya. Sejenak kemudian pembicaraan mereka pun telah berkembang. Empu Nawamula telah menanyakan keselamatan seluruh keluarga Mahendra. Kemudian menanyakan beberapa hal tentang perjalanan kedua orang anak muda itu.
“Kalian telah membekali hidup kalian kelak dengan pengalaman yang akan sangat berarti” berkata Empu Nawamula, “ternyata Mahendra mempunyai wawasan yang luas atas masa depan anak-anaknya”
Kedua anak muda itu hanya menundukkan kepalanya. Sementara itu Empu Nawamula berkata, “Anakmas berdua. Sebaiknya kalian berdua tinggal di padepokan ini untuk satu dua pekan. Selama ini kalian telah menempuh jarak yang panjang. Sepekan dua pekan akan dapat kalian pergunakan untuk sekedar beristirahat. Sementara itu. kalian akan dapat menjadi kawan berbincang di sini di samping para cantrik”
Adalah kebetulan sekali bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memang ingin beristirahat barang satu dua hari setelah menempuh perjalanan yang panjang. Sementara itu Empu Nawamula telah menawarkan agar mereka berada di padepokan itu barang satu dua pekan. Karena itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menolak. Bahkan dengan terus-terang Mahisa Murti berkata,
“Empu. Sebenarnyalah kami berdua memang ingin menyatakan keinginan kami untuk dapat berada di padepokan ini. Seandainya yang memimpin padepokan ini bukan Empu, kami memang ingin mohon untuk tinggal barang satu dua hari. Tetapi adalah kebetulan sekali, bahwa Empu yang berada di padepokan ini”
“Ya. Meskipun hanya untuk sementara. Pada saatnya aku harus menyerahkan padepokan ini kepada yang berhak. Kemenakanku yang sekarang sedang berguru di tempat yang jauh”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan kesediaannya untuk tinggal di padepokan itu barang satu dua pekan. Dalam waktu singkat, keduanya telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. sehingga mereka pun segera dapat luluh dalam kehidupan para cantrik.
Namun dalam pada itu, pada saat-saat tertentu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk di pendapa padepokan itu untuk berbincang dengan Empu Nawamula pada saat-saat senggangnya. Terutama di ujung malam. Dengan lampu minyak, mereka berbicara tentang satu segi kehidupan meloncat kesegi kehidupan yang lain. Namun akhirnya Empu Nawamula itu pun sampai pula kepada persoalan padepokan itu sendiri.
“Apakah pada suatu saat Empu juga akan meninggalkan padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu ngger” jawab Empu Nawamula aku tidak akan tinggal di sini seterusnya. Jika kemenakanku itu kembali dari perguruannya maka padepokan ini akan aku serahkan kepadanya”
“Kapan kemenakan Empu itu akan kembali” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku kurang pasti ngger” jawab Empu Nawamula, “tetapi pada saat-saat tertentu ia sering mengunjungi padepokan ini Kadang-kadang sebulan sekali ia kembali dan tinggal di padepokan ini sekitar dua tiga hari. Kemudian ia kembali ke perguruannya. Namun sementara itu ia minta agar aku tetap tinggal di sini”
“Ia akan kembali dengan ilmu yang mumpuni” berkata Mahisa Pukat, “bukankah itu pun satu usaha untuk membekali hidupnya kelak?”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia bukan anakku sendiri. Jika ia anakku, maka aku akan berusaha untuk menasehatinya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Terasa pada nada kata-kata Empu Nawamula, seolah-olah ada penyesalan atas sikap kemenakannya itu.
“Angger berdua” berkata Empu itu selanjutnya, “aku sendiri tidak mempunyai anak. Ketika isteriku meninggal, rasa-rasanya hidup ini menjadi sepi. Aku tidak ingin kawin lagi dengan perempuan yang manapun juga. Namun akibatnya, aku benar-benar tidak mempunyai keturunan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mendengar serba sedikit tentang kemenakan Empu Nawamula. Tetapi mereka tidak berani menanyakannya. Karena itu. mereka hanya dapat menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Empu itu.
Tetapi Empu itu berkata tentang dirinya sendiri Terasa kesepian kadang-kadang mencengkam., “Tetapi aku memang sudah berniat demikian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sekilas. Mereka melihat, terbersit satu perasaan yang kurang mapan di hati Empu itu. Adalah diluar sadarnya, bahwa Mahisa Murti kemudian berkata, “Empu, kemanakan Empu itu akan dapat Empu anggap sebagai anak sendiri”
Empu Nawamula itu menggeleng. Katanya, “Ada bedanya ngger. Jika ia anakku sendiri, aku akan dapat memberinya arah”
“Apa tidak demikian dengan kemanakan Empu itu?”’ bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba saja.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan maksudku untuk mengeluh. Kau berdua adalah anak sahabatku yang menurut pengamatanku, kalian telah dapat berpikir dewasa. Karena itu. Aku kira kau akan dapat mengatakan sesuatu yang akan dapat mengurangi beban perasaanku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu sejenak Sementara itu Empu Nawamula itupun berkata selanjutnya, “Ada sesuatu yang kurang sesuai dengan perasaanku. Kemanakanku itu telah terjerumus ke dalam satu perguruan yang menurut pendapatku, kurang menguntungkan bagi masa depannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Perguruan yang bagaimanakah yang Empu maksud? Seandainya perguruan itu bukan perguruan yang baik, apakah ayahnya pada masa hidupnya tidak pernah mencegahnya?”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang selama ini memberati perasaanku. Saudara tuaku, ayah anak itu, sudah tidak dapat mencegahnya lagi. Setiap kali keduanya berselisih, sehingga akhirnya ayah anak itu tidak lagi mempunyai harapan bagi masa depannya yang terasa sangat gelap. Tingkah laku anak laki lakinya mempercepat surutnya kesehatannya. Namun agaknya segalanya memang sudah menjadi guratan takdir. Saudaraku itu meninggal hampir setahun yang lalu dengan beban yang berat di hatinya karena tingkah laku anaknya. Sebelum meninggal ia menitipkan padepokan ini beserta anaknya kepadaku. Tetapi apa yang dapat aku lakukan atas anak itu? Aku dapat mengatur padepokan ini sementara anak itu belum bersedia memimpinnya. Tetapi untuk mengatur anak itu sendiri, aku sama sekali tidak mampu. Jangankan aku, ayahnyapun tidak dapat berbuat apa-apa”
“Apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak itu. Empu?” bertanya Mahisa Pukat
“Ia berguru kepada seorang pertapa ditempat yang jauh. Pertapa yang menganut aliran yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan” berkata Empu Nawamula.
“Tetapi kenapa ia dapat menjadi murid seorang pertapa yang jauh itu?” bertanya Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Semuanya terjadi diluar pengamatan. Nampaknya seorang pertapa dari aliran yang tidak banyak disukai itu sedang mengembara. Ketika dijumpainya kemanakanku itu. Ia mulai tertarik. Dengan segala macam cara diluar pengetahuan saudaraku, pertapa itu telah memikat kemanakanku untuk menjadi muridnya, sehingga akhirnya hal itu terjadi tanpa dapat dicegah lagi”
“Tetapi apakah tanda-tanda bahwa pertapa itu menganut aliran yang kurang disukai?” bertanya Mahisa Murti
“Cara-cara pertapa itu memperoleh kekuatan” jawab Empu Nawamula, “pertapa itu menganut aliran seperti yang pernah terdapat di daerah Selatan. Satu aliran yang pernah juga diceriterakan oleh ayahmu. Mungkin kakakmulah yang pernah menemui satu aliran yang mempergunakan darah sebagai satu cara untuk menumbuhkan kekuatan di dalam dirinya”
“Darah?” bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
“Ya. Meskipun pada tahap pertama pertapa itu mempergunakan darah seekor binatang. Sebenarnyalah bahwa dengan minum darah kekuatan seseorang dapat tumbuh dengan cepat. Bahkan mungkin melampaui kekuatan orang kebanyakan. Apalagi dilambari dengan ilmu kanuragan. Namun minum darah bukan kelajiman yang pantas dianut. Apalagi dalam perkembangannya kemudian. Pada saatnya untuk mencapai puncak kemampuannya, ilmu yang demikian akan sampai pada satu pilihan, darah sesama”
Terasa tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun meremang. Mereka memang pernah mendengar dari Mahisa Bungalan tentang satu aliran yang membasahi diri mereka dan senjata-senjata mereka dengan darah manusia di saat bulan bulat dilangit, “Mengerikan” desis Mahisa Pukat.
“Itulah yang membuat ayah anak itu menjadi sangat prihatin. Tetapi ternyata anak itu sudah tidak dapat dicegah lagi. Ia lebih percaya kepada gurunya daripada kepada ayahnya sendiri. Usaha ayahnya untuk menitipkan anak itu kepadaku, sama sekali tiak berhasil. Menurut anak itu. kemampuanku sama sekali tidak berarti dibanding dengan pertapa yang menjadi gurunya itu. Bahkan menurut kemanakanku itu, gurunya telah sanggup untuk membuatnya menjadi manusia yang paling kuat didunia. Manusia yang memiliki ilmu tertinggi di antara sesamanya” berkata Empu Nawamula.
“Tetapi apakah memang demikian Empu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak tahu ngger. Tetapi aku yakin, bahwa pertapa itu tidak akan lebih dari manusia biasa yang mempunyai batas kemampuan” jawab Empu itu, “aku tidak yakin akan adanya kekuatan yang tidak terkalahkan di dunia ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Empu Nawamula melanjutkan, “Selebihnya pertapa itu telah menyediakan sebuah pusaka yang tidak ada duanya didunia”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Namun demikian, mereka mulai dapat membayangkan, apa yang sebenarnya tersimpan di belakang padepokan yang nampaknya tenang dan damai. Namun yang pada saatnya, padepokan itu akan menjadi sumber angin prahara yang sulit dikendalikan.
“Angger berdua” berkata Empu itu lebih lanjut, “tingkah laku anak itu benar-benar telah menyusahkan seluruh keluarganya. Bukan saja karena ia telah menyadap ilmu yang sesat. Tetapi tingkah lakunya kadang-kadang memang sangat menyakitkan hati. Untunglah, bahwa ia masih mempunyai rasa segan kepadaku. Betapa tinggi ilmunya, ia merasa bahwa ia masih belum dapat mengimbangi ilmuku. Karena itu, maka ia masih menghormatiku. Menilik sikap lahiriahnya. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan di dalam hatinya. Tetapi menilik sikapnya kepada ayahnya dan kadang-kadang melihat gelagat dan tatapan matanya, ia justru mendendamku. Karena itu, maka pada suatu saat ia akan datang mengusirku. Mungkin dengan kekuatannya sendiri, tetapi mungkin ia akan mendapat pertolongan gurunya”
“Dan Empu akan bertahan?” bertanya Mahisa Pukat
“Jika ia berkata kepadaku dengan cara yang wajar, aku akan pergi. Padepokan ini memang padepokannya. Tetapi jika ia datang dan dengan sikapnya yang gila mengusir aku seperti mengusir anjing liar, maka aku akan memilih mati di sini” jawab Empu Nawamula.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti bertanya, “Apakah ada tanda-tanda bahwa ia akan bersikap demikian?”
“Mungkin aku terlalu berprasangka ngger. Tetapi aku merasa bahwa ia akan datang dan mengusir aku seperti mengusir seekor anjing” jawab Empu Nawamula, “karena itu ngger. Aku telah berpuasa seratus hari sebelum aku mulai membuat keris yang sedang aku kerjakan itu. Aku membuat keris yang menurut niatku, akan menjadi keris yang mempunyai tuah yang berarti. Sedangkan ujudnya, memang mempunyai kelebihan dari keris-keris yang pernah aku buat sebelumnya. Keris ini jauh lebih besar dari keris kebanyakan”
Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi mereka dapat merasa, betapa ketegangan sebenarnya mencengkam padepokan itu. Namun agaknya Empu Nawamula berhasil menyembunyikan gejolak perasaannya, sehingga sama sekali tidak mempengaruhi para cantrik, sementara kemanakannya yang datang pada hari-hari tertentu itu pun tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan, karena ia masih mempunyai perasaan segan kepada pamannya.
Namun sebenarnyalah bahwa ketenangan itu adalah ketenangan yang semu. Sementara itu. tiba-tiba saja Empu Nawamula itu berkata, “Angger berdua, sebenarnya aku tidak perlu mengatakan semuanya itu kepadamu. Tetapi bahwa kalian adalah anak Mahendra. Tiba-tiba saja tumbuh kepercayaanku kepada kalian, sehingga dengan demikian, aku sudah mengurangi beban perasaanku. Selama ini seolah-olah tidak ada orang yang pantas aku ajak berbincang. Tiga orang pembantuku, memang orang-orang yang pantas diajak untuk berbicara. Tetapi mereka adalah bagian dari aku sendiri, sehingga meskipun aku telah mengatakan kepada mereka, namun rasa-rasanya beban itu masih saja harus aku pikul betapapun beratnya. Jika hal ini aku katakan kepada kalian, bukan maksudku, bahwa kalian harus ikut berprihatin karenanya. Anggaplah bahwa kalian cukup mengetahuinya saja, karena masalahnya tidak akan menyangkut kalian sama sekali”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti berkata, “Seandainya aku mempunyai kesempatan untuk membantu, maka aku dan saudaraku tentu akan membantu. Tetapi kami berdua adalah orang-orang yang tidak berarti”
Empu Nawamula tersenyum. Katanya, “Perbedaan yang sudah aku duga. Kalian tentu akan mengatakan demikian. Tetapi tidak dengan kemanakanku itu. Ia akan berkata bahwa ia adalah orang yang paling berarti”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat menyambung, “Kami hanya mengatakan yang sebenarnya”
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia berkata, “Sikap kalian telah menggelitik aku untuk mengukur kemampuan kalian. Benar-benar hanya untuk mengukur. Aku kenal Mahendra, karena itu aku mempunyai alasan untuk mengetahui ilmu kalian berdua”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sekejap mereka saling berpandangan. Sambil mengangguk hormat Mahisa Murti kemudian berkata, “Tentu tidak akan terjadi Empu. Kami berdua tidak akan berani melakukannya. Sebenarnyalah kami berdua adalah orang-orang yang tidak berilmu. Jika kami mengembara, bahwa kami ingin melihat dunia ini dengan sikap paling dasar”
Tetapi Empu Nawamula tertawa pendek. Katanya sikapmu menambah keyakinanku, bahwa Mahendra sudah membekali kalian cukup banyak Anak-anak muda. Bersiaplah. Kita akan pergi ke sanggar. Mumpung hari telah semakin malam, agar para cantrik tidak menjadi heran. Kalian tidak usah berpura-pura lagi kepadaku. Tetapi kepada para cantrik, kau dapat berbuat demikian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai kesempatan untuk membantah lagi. Mereka harus memenuhi permintaan Empu Nawamula. Bahkan akhirnya keduanya berkata di dalam hatinya, “Aku kira tidak akan ada ruginya. Justru akan dapat menambah pengalaman saja”
Demikianlah. Empu Nawamula telah membawa kedua orang anak muda itu ke dalam sanggar. Adalah di luar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa tiga orang pembantu Empu Nawamula itu telah hadir pula. Agaknya mereka melihat tiga orang itu pergi ke Sanggar. Dengan wajah bertanya-tanya kedua anak muda itu memandang Empu Nawamula. Karena keduanya tidak tahu, apakah ketiga orang itu termasuk cantrik seperti yang dimaksudkan oleh Empu Nawamula.
Agaknya Empu itu mengetahui isi hati kedua anak muda itu. Maka katanya, “Anak-anak. Ketiga orang itu adalah pembantu-pembantuku. Dalam olah kanuragan mereka adalah murid-muridku. Kalian tidak usah mencemaskannya. Mereka dapat dipercaya sepenuhnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mengangguk-angguk. Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak menghiraukan lagi ketiga orang yang juga telah berada dalam sangggar.
“Kita akan mencoba saling menjajagi” berkata Empu Nawamula, “menurut pengertianku, Mahendra adalah orang yang pilih tanding”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Empu itu pun berkata, “Bersiaplah. Kita akan segera mulai”
Ternyata bahwa Empu Nawamula sendirilah yang akan langsung menjajagi kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan ketiga muridnya.
“Siapakah yang pertama?” bertanya Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Baru sesaat kemudian Mahisa Murti berkata, “Baiklah, aku yang akan memenuhi perintah Empu yang terdahulu”
Empu itu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, maka keduanya pun mulai saling menjajagi. Namun Empu Nawamula telah berhasil memancing kemampuan Mahisa Murti meningkat dengan cepat.
Sebenarnyalah Empu Nawamula benar-benar ingin menjajagi kemampuan anak muda itu sampai tuntas. Karena itu, maka ia pun telah melakukannya dengan sungguh-sungguh, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. apakah Empu Nawamula hanya sekedar untuk memancingnya saja untuk sampai ke puncak ilmunya.
Namun agaknya Empu Nawamula tidak memaksa Mahisa Murti bertempur sampai ke aji pamungkasnya. Ketika Empu itu sudah mendapat gambaran tentang kemampuan anak muda itu. maka ia pun mulai mengendorkan serangan-serangannya, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Terima kasih” berkata Empu Nawamula, “aku tidak perlu melakukan hal yang sama atas angger Mahisa Pukat, karena agaknya ilmu kalian berimbang”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah jika ia harus bertempur pula, maka keadaannya tidak akan jauh berbeda dari yang sudah terjadi.
Dalam pada itu, maka Empu Nawamula berkata, “Aku memang sudah yakin, bahwa kalian memiliki ilmu yang luar biasa. Aku mengerti, bahwa di atas kemampuan yang nampak ini kalian tentu masih mempunyai ilmu pamungkas yang benar-benar dapat dipercaya. Dengan demikian, maka ternyata bahwa kemampuan kalian berada di atas kemampuan murid-muridku, dalam olah kanuragan”
Mahisa Murti mengusap keringatnya sambil berkata, “Sekedar sebagai bekal perjalanan Empu. Sebenarnyalah bahwa ilmu yang kami kuasai tidak berarti apa-apa”
“Kalian berdua sungguh sungguh mengagumkan ngger” berkata Empu Nawamula, “aku sudah kagum atas kemampuan ilmu kalian, selebihnya kalian adalah anak-anak muda yang rendah hati. Dalam usia kalian yang masih sangat muda. kalian sudah menguasai ilmu yang tinggi. Namun kalian sama sekali tidak menjadi sombong dan kehilangan pegangan sebagaimana anak-anak muda seumur kalian. Murid-muridku yang lebih tua dari kalian, masih harus berlatih untuk beberapa tahun lagi. apabila mereka ingin menyejajarkan diri dengan kalian”
“Ah. Empu terlalu memuji” desis Mahisa Murti.
“Tidak ngger. Aku tidak sekedar memuji. Tetapi bahwa kalian berdua memiliki bekal yang cukup, sebenarnyalah kalian akan dengan tenang berada di padepokan ini. karena apabila pada suatu saat kalian terbentur kepada satu keadaan yang tidak dikehendaki, maka kalian akan dapat mengatasinya” berkata Empu Nawamula.
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Empu, jika sekiranya kehadiran kami akan dapat menumbuhkan persoalan, tentu yang Empu maksud apabila kemanakan Empu itu kebetulan pulang, maka biarlah kami meninggalkan padepokan ini. Biarlah kami meneruskan pengembaraan kami sambil melihat-lihat lingkungan yang belum pernah kami kenal sebelumnya”
“Tidak ngger. Jangan pergi. Yang aku maksudkan, hanya apabila kalian dalam keadaan terpaksa. Tetapi tentu tidak harus terjadi demikian” jawab Empu Nawamula, “sudah aku katakan, bahwa kalian dapat menyembunyikan keadaan angger yang sesungguhnya terhadap para cantrik dan sudah tentu terhadap kemanakanku itu apabila kebetulan ia datang. Hanya dalam keadaan terpaksa, jika angger berdua harus melindungi jiwa kalian, maka aku tidak akan dapat menghalangi apabila angger terpaksa membela diri. Aku tidak akan menyalahkan angger berdua, meskipun kalian harus melawan kemanakanku sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi pandangan wajah mereka menunjukkan keraguan. Sehingga karena itu maka Empu Nawamula pun berkata, “Percayalah, bahwa aku berkata sebenarnya”
“Terima kasih Empu” jawab Mahisa Murti, “jika demikian, maka biarlah kami di padepokan ini barang dua pekan”
“Jangan kau batasi dengan dua pekan” jawab Empu Nawamula, “kau dapat berada di sini lebih lama lagi. Kau akan hidup sebagaimana para cantrik. Aku lihat kalian telah berusaha menyesuaikan diri. Kau akan mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana aku membuat keris. Terutama kerisku yang terakhir ini. Selebihnya, kalian akan menjadi kawan berlatih dari murid-muridku dan aku sendiri”
Pernyataan Empu Nawamula yang terakhir itulah yang lebih menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan demikian mereka akan mengenal satu cabang perguruan lain dari yang pernah mereka kenal. Apalagi karena mereka telah mendapat tuntunan, baik dari Mahisa Agni maupun dari ayah mereka Mahendra dan Witantra, bagaimana mereka harus memperbandingkan ilmu.
Mereka pun telah berhasil meluluhkan unsur-unsur yang ada didalam cabang ilmu Witantra dan ayah mereka Mahendra, sementara mereka menyadap ilmu dari Mahisa Agni. Bahkan sampai pada ilmu puncak yang berbeda pun dapat pula mereka kuasai dengan imbangan yang mapan dan seolah-olah tidak ada persoalan yang harus dipecahkan didalam penguasaannya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah tertarik untuk tinggal lebih lagi di padepokan ini.
Pada hari-hari berikutnya, mereka justru hampir melupakan kemanakan Empu Nawamula yang semula mereka anggap akan dapat menimbulkan persoalan jika ia datang. Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan diri mereka sebagaimana para cantrik sehingga seandainya kemanakan Empu Nawamula itu benar-benar datang, ia tidak akan menghiraukan kedua anak muda itu lagi, sebagaimana ia tidak menghiraukan para cantrik yang lain.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk berlatih dengan ketiga orang pembantu Empu Nawamula. Ternyata bahwa ketiga orang itu pun memiliki ilmu yang tinggi meskipun dengan rendah hati Empu Nawamula mengatakan, bahwa ilmu mereka jauh berada di bawah tataran ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi yang paling menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah kesempatan yang diberikan oleh Empu Nawamula kepada kedua orang anak muda itu untuk berlatih langsung bersamanya.
Dalam beberapa hal, terasa oleh kedua orang anak muda itu, bahwa sebenarnyalah Empu Nawamula berniat baik terhadap mereka. Ternyata bahwa Empu Nawamula bukan sekedar berlatih bersama, tetapi dalam beberapa hal Empu Nawamula telah memperkenalkan mereka dengan unsur-unsur baru yang dapat mengisi kekurangan mereka.
“Anak-anak” berkata Empu Nawamula pada saat mereka berada di sanggar kemudaan, “kalian telah memberikan gairah kepadaku untuk bekerja lebih keras. Namun lebih dari itu, kalian berdua memang sangat menarik perhatianku lebih dari murid-muridku sendiri. Mereka telah lewat usia dewasanya. Karena itu, maka rasa-rasanya peningkatan ilmu mereka tidak akan dapat bergerak secepat kalian yang sedang tumbuh. Karena itu, sebenarnyalah, aku ingin menitipkan sesuatu kepada kalian, agar apa yang sudah aku dapat selama ini tidak begitu saja dilupakan orang. Meskipun aku tahu, bahwa kemampuanku tidak akan melampaui ayahmu Mahendra yang perkasa itu, namun dengan meniupkan unsur-unsur yang ada di dalam jalur ilmuku, maka serba sedikit bagian-bagian yang dapat kau pergunakan itu akan tetap hidup bersama ilmu yang telah kau kuasai lebih dahulu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Apalagi ketika Empu Nawamula mengatakan, “Anak-anak muda, sebenarnya kemampuan daya serap murid-muridku tidak setajam kalian berdua. Karena itu, bagaimanapun aku berbuat bagi mereka, namun tingkat ilmu mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan kalian berdua”
“Tetapi mereka juga berilmu tinggi” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi mereka sudah terlalu sulit untuk maju dengan cepat” berkata Empu Nawamula, “meskipun aku tidak pernah berputus-asa. Aku tetap meningkatkan kemampuan mereka sesuai dengan kemampuanku sendiri. Namun yang aku cemaskan, bahwa sebelum aku selesai, maka kesempatanku telah patah, karena aku sadar, bahwa umur manusia itu tetap terbatas”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat kecemasan seorang guru yang kurang puas terhadap kerjanya sendiri atas murid- muridnya. Sehingga dengan demikian maka dengan tidak langsung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah diterima menjadi murid Empu Nawamula itu pula.
Meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu itu, bahwa ilmunya memang tidak melampaui Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni, namun ada beberapa hal yang dapat mengisi bagian-bagian dari ilmu yang sudah dikuasai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sehingga dengan demikian, maka kedua anak muda itu pun merasa sangat berterima kasih kepada Empu Nawamula yang merasa hidupnya sangat sepi di saat saat tertentu. Namun dalam pada itu, padepokan itu sendiri sama sekali tidak mengalami perubahan suasana. Tenang dan terasa sejuk.
Sementara itu. Empu Nawamula sendiri, merasa sangat berbahagia bertemu dengan anak-anak muda yang sangat menarik baginya. Sikapnya dan tingkah lakunya. Dengan menilik sikap dan tingkah laku, maka Empu Nawamula dapat membaca sifat dan watak anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, akhirnya Empu Nawamula telah menumpahkan segala macam ilmunya kepada kedua anak muda itu. Seperti yang diduganya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih cepat menangkap dan menyadap ilmunya daripada ketiga murid Empu itu sendiri. Meskipun demikian, seperti yang dikatakannya, Empu Nawamula tidak jemu-jemunya berusaha untuk meningkatkan ilmu ketiga orang muridnya yang telah sekaligus menjadi pembantunya. Tetapi yang dicapai oleh murid-muridnya itu tidak sejauh yang dapat dicapai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun ketiga orang murid Empu itu sama sekali tidak menjadi sakit hati ketika Empu Nawamula berterus terang kepada mereka. Dengan hati-hati Empu itu berkata, “Bukan maksudku mengkesampingkan kalian setelah kedua orang anak muda itu hadir di padepokan ini. Tetapi aku ingin segera mewariskan ilmuku sampai tuntas. Jika terjadi sesuatu dengan aku kemudian, maka aku tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Yang aku wariskan adalah utuh seperti yang aku miliki. Aku yakin bahwa dengan demikian maka ilmu yang aku turunkan nilainya tidak akan susut, justru akan semakin meningkat. Aku akan sangat bergembira jika kalian dapat menyelesaikan usaha kalian untuk menyadap ilmuku dengan baik. Tetapi seandainya sebelum kalian selesai, aku tidak lagi dapat menuntunmu karena sesuatu hal, maka aku berharap bahwa anak-anak muda ini akan dapat membantumu. Aku akan memberikan petunjuk kepadamu, dimana kalian harus mencarinya, karena ayahnya adalah sahabatku yang baik”
Ketiga orang murid Empu Nawamula itu mengangguk-angguk. Namun mereka merasa, bahwa mereka seolah-olah sudah sampai pada puncak kemampuan mereka untuk menyadap tingkat ilmu yang lebih tinggi, sehingga kemajuan merekapun serasa sangat lambat. Agak berbeda dengan anak-anak muda yang sudah berbekal ilmu itu. Mereka seolah-olah dapat menyerap dengan cepat dan kemudian menguasainya.
Namun dengan demikian ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat segera meninggalkan padepokan itu. Dua pekan telah lewat. Tiga pekan, empat pekan, bahkan dua bulan telah lampau. Keduanya tetap berada di padepokan itu untuk menerima tuntunan ilmu dari Empu Nawamula. Dengan ilmu itu kedua anak muda itu dapat melengkapi ilmunya sehingga keduanya seolah-olah telah menjadi semakin meningkat. Pengalaman mereka dalam kanuragan menjadi semakin banyak sehingga dengan demikian maka keduanya pun mampu mengembangkan dasar ilmu yang mereka terima dari Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra.
Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seolah-olah telah tenggelam di dalam kesibukan di padepokan itu. Namun demikian, kegiatan yang dilakukannya itu masih saja selalu tersembunyi dari pengamatan para cantrik kebanyakan. Hanya tiga orang pembantu Empu Nawamula itu lah yang tahu, siapa sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun kedua anak muda itu dalam kehidupan mereka sehari-hari berada di antara para cantrik, namun ternyata bahwa mereka berada dalam satu tataran yang jauh berbeda. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berbaur dengan mereka. Jika para cantrik itu menerima tuntunan kanuragan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut pula berlatih bersama mereka. Keduanya berusaha untuk dapat menunjukkan kemampuan yang sama dengan tataran para cantrik itu. Bagaimanapun juga, ketiga orang pembantu Empu Nawamula itu kadang-kadang merasa segan pula bahwa di antara para cantrik yang harus dibimbingnya itu terdapat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sebenarnya memiliki kemampuan melampaui mereka sendiri.
Dalam usaha mewariskan ilmunya, Empu Nawamula telah bekerja dengan keras di malam hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun rasa-rasanya telah dibebani satu kewajiban untuk menerima uluran ilmu yang sangat berarti bagi mereka. Karena itu, maka merekapun telah bekerja sangat keras untuk dapat menanggapi keinginan Empu Nawamula dan harapan bagi mereka berdua itu sendiri.
Namun bagaimanapun juga. Empu Nawamula akhirnya merasa puas dengan usahanya. Sebagian besar ilmunya telah berhasil diwariskan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Empu Nawamula sadar, bahwa dengan demikian ilmunya tidak akan dapat dipisah-pisahkan secara murni lagi pada kedua anak muda itu. Tetapi Empu Nawamula tidak menyesal. Apalagi setelah lebih dari dua bulan ia bergaul dengan kedua orang anak muda yang mempunyai sifat yang yang menarik baginya.
Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu, Empu Nawamula masih saja digelisahkan oleh sifat dan watak kemenakannya. Pada suatu saat ia akan datang ke padepokan itu. Biasanya anak itu tidak berjarak terlalu lama telah datang untuk menengok padepokan yang kelak akan dipimpinnya. Dengan berbagai pesan. Empu Nawamula mempersiapkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar kehadiran mereka tidak akan menimbulkan persoalan jika kemenakannya itu datang. Kedua anak muda itu akan menjadi seolah-olah cantrik kebanyakan di antara para cantrik yang lain.
Meskipun bagaimanapun juga, terasa juga perbedaan di antara para cantrik yang lain dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam hubungan mereka dengan Empu Nawamula. Namun hal ini diterima dengan wajar ketika Empu Nawamula memberitahukan kepada para cantrik, bahwa perlu diadakan bimbingan khusus bagi kedua anak muda yang datang kemudian itu oleh ketiga orang pembantu Empu Nawamula agar kemampuannya dalam olah kanuragan dapat segera menyusul dan kemudian meningkat bersama-sama dengan para cantrik yang lain.
Namun dalam pada itu, setelah untuk waktu yang lebih lama dari kebiasaannya, kemanakan Empu Nawamula itu tidak datang ke padepokan, maka pada suatu hari, tiba-tiba saja ia telah muncul di regol halaman bersama dengan dua orang saudara seperguruannya.
Kedatangannya disambut oleh para cantrik dengan penuh hormat. Namun bukan karena mereka merasa bersenang hati atas kehadiran anak muda itu, tetapi semata-mata karena para cantrik menjadi ketakutan oleh kehadirannya seperti setiap kali ia kembali.
“Hati-hatilah dengan anak muda itu” pesan seorang cantrik kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ”putera pemimpin padepokan ini yang telah meninggal setahun yang lalu, adalah seorang anak muda yang keras hati dan lebih dari itu, ia mempunyai kebiasaan yang kurang kami senangi”
“Kebiasaan apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Tangannya terlalu ringan. Ia sering memukul kawan-kawan kami yang membuat kesalahan yang barangkali tidak berarti apa-apa” jawab cantrik itu.
“Tetapi pada saatnya ia akan memimpin padepokan ini” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah yang kami takuti. Dibawah pimpinan Empu Nawamula padepokan ini terasa tenang dan sejuk” jawab cantrik itu, “tetapi pada suatu saat padepokan ini tentu akan menjadi neraka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menurut ceritera para cantrik dan Empu Nawamula sendiri, maka keduanya sudah dapat membayangkan, sifat dan tabiat anak muda kemanakan Empu Nawamula itu.
Dari hari pertama anak muda itu tidak berbuat apa-apa. Ia hanya berbincang saja dengan Empu Nawamula di pendapa. Sementara itu anak muda itu justru kelihatan ramah terhadap beberapa orang cantrik, bahwa mencoba bergurau pula dengan mereka.
“Nampaknya ia baik” berkata Mahisa Murti kepada seorang cantrik.
“Kadang-kadang ia memang suka bergurau” jawab cantrik itu, “tetapi ia tidak dapat ditebak. Jika kami berusaha untuk menanggapinya, kadang-kadang ia justru menjadi marah dan tiba-tiba memukul kami. Justru di kepala sehingga rasanya otak kami telah bergetar”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, lebih baik kami berdua tidak menampakkan diri saja”
“Itu lebih baik” jawab cantrik itu, “tetapi jika secara kebetulan hal itu terjadi?”
“Apa boleh buat. Mudah-mudahan kepalaku tidak menjadi sasaran” desis Mahisa Pukat.
Dalam kegelisahan itu, ternyata salah seorang pembantu Empu Nawamula itu dapat berceritera kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Agak lama anak itu tidak datang ke padepokan ini, agaknya ia sedang jatuh cinta”
“He” Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya berbareng, “jatuh cinta”
“Ya. Justru karena itu ia tidak mau meninggalkan gadis itu barang sehari” jawab pembantu Empu Nawamula itu.
“Tetapi akhirnya ia pun meninggalkan gadis itu” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Ternyata gadis itu telah pergi” jawab pembantu Empu Nawamula itu.
“Pergi? Kemana? Apakah gadis itu tidak mencintainya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Agaknya demikian” jawab murid Empu Nawamula itu, “semalam aku mendengar ia berbicara tentang gadis itu dengan guru. Katanya Gadis itu telah disembunyikan oleh pamannya”
“Disembunyikan?” ulang Mahisa Pukat.
“Ya. Selebihnya aku tidak jelas” jawab murid Empu Nawamula itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat bertanya lebih lanjut, karena murid Empu Nawamula itu tidak dapat mendengarkan pembicaraan itu selanjutnya.
“Lain kali dalam satu kesempatan, guru tentu akan menceriterakannya kepada kalian” berkata murid Empu Nawamula itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, mereka pun menjadi gelisah jika pada suatu saat anak muda itu melihat mereka dan tertarik justru karena anak muda itu belum pernah melihat mereka sebelumnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menyingkir dari kemenakan Empu Nawamula itu. Apalagi ketika kemudian dihari-hari berikutnya, keduanya melihat apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan oleb anak muda itu.
Sebenarnyalah bahwa ia seorang anak muda yang ringan tangan. Demikian mudahnya ia menjadi marah dan menampar para cantrik yang ketakutan. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh salah seorang murid dan sekaligus pembantu Empu Nawamula, maka pada satu kesempatan, Empu Nawamula telah berceritera kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang kemanakannya itu.
“Ia lebih senang menyebut dirinya Singatama daripada namanya sendiri” berkata Empu Nawamula.
“Siapa namanya sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti ”bukankah setiap kali Empu juga menyebut namanya Singatama?”
“Namanya yang sebenarnya bukan Singatama. Ayahnya menyebutnya dengan nama yang diberikan disaat lahirnya. Sembada”
“Nama yang bagus” desis Mahisa Pukat.
“Tetapi ia tidak senang dengan nama itu. Karena itu, ia sampai saat ini memakai nama pemberian gurunya, Singatama” jawab Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Empu Nawamula pun berceritera tentang kemanakannya itu, bahwa ia memang sedang jatuh cinta seperti yang dikatakan oleh salah seorang muridnya.
“Bukankah hal yang wajar jika seorang anak muda mencintai seorang gadis” berkata Mahisa Pukat.
“Memang wajar sekali ngger” jawab Empu Nawamula, “tetapi yang tidak wajar adalah, bahwa gadis itu tidak mencintainya”
“Oh” Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
“Ia mencoba minta nasehatku, apa yang sebaiknya dilakukannya” berkata Empu Nawamula.
“Lalu apa yang Empu katakan kepadanya?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku berusaha untuk menenangkannya. Aku menasehatinya, bahwa sebaiknya ia melupakan saja gadis itu. Bukankah masa depan Singatama itu masih panjang, sehingga pada suatu saat ia akan dapat bertemu dengan gadis yang lain, yang akan dapat menanggapi perasaannya” jawab Empu Nawamula. Kemudian katanya melanjutkan, “Tetapi anak itu salah paham. Ia menganggap bahwa aku tidak berusaha membantunya di saat ia dalam kesulitan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya sifat anak muda itu benar-benar sulit dikendalikan. Ia tidak pernah mendengarkan nasehat yang baik.
“Tetapi aku tahu persoalannya” berkata Empu Nawamula, “gurunya, pertapa itu sama sekali tidak berusaha mencegah tingkah lakunya yang kurang baik. Aku kira justru gurunya yang menganjurkannya, agar ia datang kepadaku dan minta bantuanku”
“Apa yang ia kehendaki Empu?” bertanya Mahisa Pukat. “Ia justru minta agar aku mencari gadis itu dan melamar kepada orang tuanya bagi kepentingannya, karena aku adalah satu-satunya orang tua baginya saat ini” jawab Empu itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Memang agaknya menjadi kewajiban Empu Nawamula. Tetapi sayang, bahwa persoalannya tidak berjalan dengan lancar. Gadis itu sudah terlanjur menyatakan sikapnya.
Dalam pada itu, maka Empu itu akhirnya berkata, “Memang terasa sangat sulit bagiku ngger. Jika aku menolak, maka aku akan mengalami satu peristiwa yang sangat pahit. Anak itu tentu akan memaksaku dengan caranya, sehingga aku harus mempertahankan diri. Jika demikian, apakah akan terjadi benturan kekuatan antara aku dan kemanakanku. Bukankah hal itu berarti satu peristiwa yang sangat memalukan. Seandainya aku kehilangan pengamatan diri atau sebaliknya sehinga salah satu di antara kami menjadi korban, maka hal itu akan merupakan satu malapetaka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Lalu, apa yang akan Empu lakukan?”
“Empu Nawamula menjadi ragu-ragu pula. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya aku memenuhi permintaan itu ngger”
“Empu akan memaksa gadis itu untuk menjadi isteri seseorang yang tidak dicintainya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bukan begitu” jawab Empu Nawamula, “aku hanya akan melamarnya. Jika orang tuanya tidak mengijinkan, atau gadis itu berkeberatan, maka aku akan menyampaikannya kepada Singatama, bahwa lamarannya ditolak”
“Bagaimana jika anak itu menjadi marah?” bertanya Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah gadis itu seharusnya mendapat perlindungan?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Meskipun tidak dikatakan, tetapi seolah-olah tergetar di dalam hati mereka, bahwa mereka berdua mempunyai kewajiban untuk kepentingan sesama. Mereka harus memenuhi darma seorang kesatria. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata,
“Baik Empu. Jika Empu memang ingin mencobanya, agaknya dapat dicoba. Tanpa menakut-nakuti dan tanpa memaksa. Tetapi jika gadis itu atau orang tuanya menolak, maka seperti yang Empu katakan, mereka memang sewajarnya mendapat perlindungan”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Lalu Katanya, “Kalian ternyata dapat menanggapi sikapku. Baiklah. Aku terpaksa mempergunakan cara ini. Aku tidak mempunyai cara lain yang lebih baik”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Tetapi rasa-rasanya mereka telah membulatkan tekad untuk melibatkan diri kedalam persoalan yang sebenarnya tidak menyangkut mereka berdua. Tetapi sepanjang mereka berkepentingan bagi sesama, maka rasa-rasanya mereka terpanggil untuk melakukannya.
Karena itu, maka keduanya pun berpendapat, bahwa cara yang akan ditempuh oleh Empu Nawamula itu adalah cara yang paling baik. Jika anak muda yang menyebut dirinya Singatama itu dapat menerima kenyataan, bahwa ia telah ditolak, alangkah baiknya. Tetapi seandainya ia berkeras. maka apa boleh buat.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian menunggu perkembangan keadaan. Sehingga pada suatu saat Empu Nawamula akan memberitahukan kepada mereka lebih lanjut. Sebenarnyalah, bahwa pada akhirnya, rencana Empu Nawamula itu pun harus dilaksanakan. Anak muda yang menyebut dirinya Singatama itu memang memaksa Empu Nawamula untuk pergi melamar gadis yang dikehendakinya itu.
“Paman akan bertanya kepada paman gadis itu. Aku tidak tahu, dimana gadis itu telah disembunyikan” berkata Singatama. Lalu, “Selama ini aku masih mencoba bersabar. Aku memang ingin menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Paman yang akan mewakili orang tuaku datang melamar gadis itu. Aku masih belum menempuh jalan yang paling singkat, mengambil gadis itu disetujui atau tidak disetujui”
“Baiklah ngger” jawab Empu Nawamula, “aku akan menemui pamannya. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada paman gadis itu”
“Paman sudah cukup berpengalaman” jawab Singatama, “terserah cara yang akan paman tempuh”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan pergi bersama dua orang cantrik padepokan ini, sementara tiga orang pembantuku masih harus menyelesaikan keris yang telah dipesan oleh seseorang sahabatku”
“Terserah dengan siapa saja paman akan pergi” jawab Singatama, “dan aku pun tidak peduli apakah pembantu paman itu akan membuat keris atau tidur selama paman pergi”
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Besok aku akan berangkat”
“Semakin cepat semakin baik paman. Aku sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi. Umurku sudah menjadi semakin tua sementara tidak ada perempuan lain yang dapat menarik perhatianku kecuali gadis yang telah disembunyikan oleh pamannya itu. Aku yakin bahwa gadis itu tidak akan menolak. Tetapi pamannyalah yang menjadi dengki. Agaknya pamannya ingin aku mengambil anak pamannya itu sendiri. Tetapi aku tidak menyukainya” berkata Singatama.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Jika benar demikian, gadis itu sebenarnya menerimanya, tetapi karena pamannya sajalah yang mempunyai pokal tersendiri, persoalannya akan berbeda. Dalam pada itu, maka malam itu Empu Nawamula telah mempersiapkan diri...
Namun Mahisa Murti pun mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat. Canggahnya berputar pula seperti baling-baling. Dalam benturan senjata, Mahisa Murti berusaha untuk tak secara langsung membenturkan tangkai canggahnya. Ia masih menjajagi kemampuan kayu gelugu yang meskipun sudah cukup tua dan kering, namun sudah terlalu lama tidak disentuh tangan. Dengan tangkas, Mahisa Murti selalu mengelakkan serangan lawannya dan menangkisnya ke samping.
Namun akhirnya ia pun semakin percaya kepada kemampuan kayu gelugu, tangkai canggahnya yang berwarna ke hitam-hitaman itu. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin berani. Sekali-kali ia menangkis serangan lawannya dengan menyilangkan tangkai canggahnya.
Lawannya menjadi semakin marah menghadapinya. Semakin lama semakin nyata pada lawannya itu, bahwa kemampuan Mahisa Murti pun tidak akan dengan mudah dapat diatasinya. Karena itu, maka lawan Mahisa Murti itu telah berusaha dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menekan lawannya. Ilmu pedangnya yang dahsyat itu pun kemudian telah sampai ke puncaknya. Kecepatannya bergerak ternyata tidak lagi dapat dinilai oleh tetangga-tetangganya. Yang dilihat oleh tetangga-tetanganya itu adalah bayangan yang meloncat berputaran dan kilatan-kilatan cahaya yang memantul di daun pedang yang berputaran.
Namun setiap kali, cahaya yang memantul dan putaran pedang itu telah membentur putaran tangkai canggah yang kehitam-hitaman, yang seolah-olah telah berubah menjadi sebuah perisai yang besar melindungi tubuh Mahisa Murti.
Di arena yang lain, Mahisa Pukat menjadi semakin yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Karena itu ia justru menjadi semakin berhati-hati. Jika ia membuat satu langkah yang salah, mungkin keadaannya akan segera berubah. Sepasang pisau belatinya meskipun jauh lebih pendek dari pedang lawannya, namun mampu bergerak lebih cepat. Kadang-kadang justru berbahaya sekali, melampaui senjata panjang itu sendiri. Dengan sebilah pisau belati Mahisa Pukat menangkis pedang lawannya kesamping. Namun pada saat yang bersamaan ia meloncat maju sambil menyerang dengan pisau belatinya yang lain.
Namun ternyata bahwa lawannya yang semakin terdesak itu, tidak membiarkan pada suatu saat dirinya akan menjadi sasaran goresan pisau Mahisa Pukat. Bahkan gejolak kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi dari sekedar mempergunakan ilmu pedangnya.
Karena itu, ketika ia menjadi semakin terdesak, sebelum kulitnya terluka oleh senjata lawannya, maka ia pun bertekad untuk mempergunakan senjatanya yang paling berbahaya. Senjata yang jarang sekali dipergunakannya. Pada saat kesempatan, maka lawan Mahisa Pukat itu telah meloncat mundur mengambil jarak. Dengan cepat, ia telah mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya yang lebar.
Mahisa Pukat terkejut melihat sikap lawannya. Karena itu, maka iapun segera mengerti, apa yang akan dilakukan. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat itu justru meloncat surut. Ketika ia melihat tangan lawannya bergerak dan melontarkan sesuatu, maka Mahisa Pukat pun dengan hati yang berdebar-debar telah meloncat pula menghindarinya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat melepaskan tatapan matanya pada tangan lawannya. Sekali lagi ia melihat tangan lawannya mengambil sesuatu. Dan sekali lagi tangan itu terayun dengan derasnya. Sekali lagi Mahisa Pukat harus melenting menghindari sebuah paser kecil yang menyambarnya.
“Gila” geram Mahisa Pukat, “kau pergunakan senjata-senjata racun itu?”
“Kau akan mati” sahut orang itu, “tidak ada orang yang mampu mengobati ketajaman racun yang terlontar lantaran paser-paser kecilku”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi sekali lagi dan sekali lagi ia harus berloncatan, ia tidak mengabaikan kata-kata lawannya bahwa paser itu telah direndam pada racun yang sangat tajam, sehingga sentuhan ujungnya akan dapat mengakhiri pengembaraannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun melihat apa yang telah terjadi. Karena itu, maka hatinya pun menjadi terguncang pula. Senjata itu akan benar-benar berbahaya bagi keselamatan jiwa saudaranya. Karena itu, maka ia ingin memanfaatkan kelebihannya dari Mahisa Pukat. Ia memiliki senjata panjang yang justru melampaui panjang senjata lawannya. Karena itu, maka iapun telah berkata kepada diri sendiri, “Aku harus mampu mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya”
Karena itulah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah menghentakkan kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bertempur dengan batas imbangan pada kemampuan lawannya, karena ia melihat Mahisa Pukat yang mendesak lawannya. Tetapi dalam keadaan yang gawat itu, ia harus berbuat lebih banyak untuk mempercepat pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murti pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia yang sehari-hari dianggap sebagai seorang petani biasa seperti juga tetangga-tetanganya, ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Murti. Dengan kemampuan yang mengagumkan, ia pun telah memutar senjatanya. Canggah itu benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawannya. Apalagi ternyata bahwa tangkai canggah itu lebih panjang dari pedang panjang lawannya.
Karena itu, maka ketika Mahisa Murti benar-benar menghentakkan kemampuannya, maka ia pun mulai berhasil mendesak lawannya. Tetapi lawannya pun mempunyai perhitungan yang cerdik. Ia tidak melawan Mahisa Murti dengan benturan ilmu yang sehenarnya. Tetapi ia lebih banyak mengelak dan menghindar. Lawan Mahisa Murti itu mampu juga mengurai keadaan. Ia mengikat Mahisa Murti dalam pertempuran, sementara kawannya berusaha untuk membinasakan Mahisa Pukat dengan senjata-senjata racunnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan lawannya memperpanjang waktu. Ia dengan cepat dan tangkas, selalu memburunya. Canggahnya yang berputaran, sekali-kali mematuk dengan dahsyatnya. Meskipun canggah itu tidak lagi tajam berkilat-kilat karena karat yang kecoklat- coklatan, namun jika Mahisa Murti berhasil mematuk leher lawannya dengan canggah itu, maka ia akan dapat mengakhiri pertempuran itu.
Dengan pedang panjangnya, lawan Mahisa Murti itu masih mampu melindungi dirinya dan berusaha memperpanjang waktu dengan loncatan-loncatan panjang menghindari benturan ilmu yang langsung.
Sementara itu, Mahisa Pukat benar-benar dalam keadaan gawat. Setiap kali ia harus berloncatan menghindari serangan senjata senjata lembut dari lawannya, namun yang mengandung racun yang sangat tajam. Mahisa Pukat sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang dengan pisau-pisaunya yang pendek. Sehingga dengan demikian, maka ia lebih banyak menjadi sasaran serangan lawan dari sebuah perkelahian yang tanggon.
Untuk beberapa saat, Mahisa Pukat masih tetap dapat mengelakkan dirinya. Serangan-serangan paser lawannya, masih selalu dapat dihindarinya. Namun demikian, keringat Mahisa Pukat telah membasahi seluruh tubuhnya. Tenaganya pun menjadi semakin susut, karena ia harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap mendesak lawannya dengan canggahnya. Tetapi ia tidak dapat segera menggakhiri pertempuran itu. Dengan cerdik lawannya selalu menghindar, meloncat menjauhinya sambil melindungi dirinya dengan pedangnya.
Tetapi kemarahan Mahisa Murti kemudian bagaikan badai yang melanda hutan ilalang. Serangan senjata panjangnya yang terayun-ayun, berputar dan mematuk, membuat lawannya bukan saja dengan sengaja meloncat menjauhinya untuk memperpanjang waktu, namun akhirnya lawannya benar-benar tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menghindar dan menjauhi amukan kemarahan Mahisa Murti.
Dalam tekanan yang semakin berat, lawannya telah bergeser berputaran. Namun halaman yang luas itu serasa menjadi semakin sempit. Meskipun orang-orang padukuhan itu yang semula melingkari arena, kemudian berpencar semakin jauh, namun rasa-rasanya lawan Mahisa Murti itu tidak lagi mempunyai tempat untuk mengelakkan senjata lawannya.
Setiap saat, terasa angin putaran dan ayunan canggah Mahisa Murti menyambar kulit lawannya. Bahkan dalam serangan yang cepat mendatar, pedang lawannya terlambat menangkis serangannya, sehingga canggah yang karatan itu telah tergores pada kulit lawan Mahisa Murti itu. Terasa betapa pedihnya. Darah mulai mengalir dari luka. Sementara itu, Mahisa Murti masih saja menyerangnya beruntun tanpa memberinya kesempatan.
Tetapi luka itu tidak mematahkan perlawanannya. Lawan Mahisa Murti itu masih mampu berloncatan, mengelak dan menangkis. Sementara itu, ia mengharap kawannya akan segera menyelesaikan pertempurannya dengan melumpuhkan anak muda yang seorang lagi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat masih tetap melawannya meskipun terasa kemampuan tenaganya menjadi susut. Yang dapat dilakukan kemudian benar-benar hanya sekedar mengelak sambil menunggu perkembangan pertempuran antara Mahisa Murti dan lawartnya yang semula hanya dikenal sebagai seorang petani biasa itu. Atau menunggu sampai paser-paser beracun itu habis sama sekali.
Tetapi agaknya jumlah paser-paser itu cukup banyak tersimpan di kantong ikat pinggang lawan Mahisa Pukat itu. Satu-satu paser itu di lontarkan. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu Mahisa Pukat harus memperhatikan tangan lawannya baik-baik.
Dalam keadaan yang semakin sulit, Mahisa Pukat tidak dapat menunggu. Meskipun ia menyadari, bahwa Mahisa Murti berhasil mendesak-lawannya. tetapi ia tidak tahu pasti, kapan Mahisa Murti berhasil menguasai lawannya sepenuhnya. Sementara itu senjata lawannya menyambarnya tanpa henti-hentinya. Karena itu, Mahisa Pukat pun akhirnya harus mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukannya, dalam pertempuran berjarak panjang itu.
Sementara itu, orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi, tetapi mereka melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Pukat. Namun justru karena lontaran-lontaran paser itu, maka orang-orang yang mengitari halaman itu pun telah menyibak untuk menghindari agar paser-paser itu tidak justru tersesat mengenai mereka.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman itu pun menjadi semakin menegangkan. Mahisa Pukat yang berloncatan menghindari serangan paser-paser lawannya akhirnya harus mengambil satu keputusan untuk melakukan sesuatu yang menentukan. Namun untuk beberapa saat Mahisa Pukat masih harus menghindari paser-paser kecil itu. Ia melihat lawannya menjadi semakin garang, sementara pedangnya telah berpindah di tangan kirinya.
“Aku harus bertindak sekarang” berkata Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkaan segenap kemampuannya. Meskipun terasa tenaganya sudah susut, tetapi ia harus bertindak cepat melampaui kecepatan tanggapan lawannya atas sikapnya itu.
Demikianlah ketika ia meloncat menghindari serangan lawannya, maka iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Demikian kakinya berjejak di atas tanah, maka ia pun telah mengayunkan tangannya dengan sisa kekuatan yang ada padanya.
Ternyata Mahisa Pukat telah menentukan satu pilihan. Ia telah melemparkan senjata ditangannya, meskipun ia sadar, bahwa jika ia gagal, maka hal itu akan sangat berbahaya baginya. Pedang panjang lawannya akan dengan mudah mematuknya justru karena ilmu pedang lawannya cukup baik. sementara tenaganya sudah mulai susut.
Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Namun ia masih berusaha mengelak. Paser yang sudah ditangannya tidak sempat dilontarkannya, karena ia harus meloncat menghindari sambaran pisau belati Mahisa Pukat. Ternyata orang itu berhasil. Pisau belati Mahisa Pukat meluncur setebal daun di samping kening lawannya.
Namun segalanya telah diperhitungkan oleh Mahisa Pukat. Dalam keadaan yang demikian, kedudukan lawannya tentu menjadi lemah. Ia masih dalam sikap mengelak, ketika pisau yang sebuah lagi telah meluncur menyusul pisau yang pertama. Demikian cepatnya, melampaui kecepatan anak panah yang terlontar dari busurnya.
Serangan itu sama sikali tidak terduga. Lawan Mahisa Pukat tidak mengira bahwa pisau yang sebuah lagi itu pun telah dilontarkannya. Karena dengan demikian Mahisa Pukat tidak bersenjata sama sekali. Tetapi dalam pada itu, perhitungan Mahisa Pukat itu tidak meleset. Orang itu tidak sempat lagi mengelakkan diri dari sambaran pisau yang kedua yang dilontarkan dengan sepenuh sisa kemampuan yang masih ada.
Ternyata pisau itu benar-benar berakibat gawat bagi lawannya. Pada saat terakhir, lawannya masih berusaha untuk beringsut dan bahkan berusaha mempergunakan pedangnya. Tetapi ia tidak berhasil. Pisau itu tidak terlepas dari sasarannya meskipun tidak satajam bidikannya, karena usaha lawannya untuk mengelak.
Tetapi pisau itupun kemudian menghunjam di dada orang bersenjata pedang dan paser itu, meskipun tidak tepat di arah jantungnya sebagaimana dibidik oleh Mahisa Pukat. Meskipun demikian, namun pisau itu telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Perasaan sakit dan pedih yang sangat telah menyengat dada lawan Mahisa Pukat itu. Ia masih mencoba untuk mengangkat tangannya melontarkan sisa pasernya. Tetapi urat-uratnya yang terpotong oleh pisau Mahisa Pukat di dadanya telah menghambat gerak tangan orang itu. Bahkan kemudian, terhuyung-huyung ia bergeser surut. Mahisa Pukat pun kemudian berdiri tegak memandanginya. Ia masih melihat pedang ditangan kiri orang itu berpindah ke tangan kanannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya.
Sejenak kemudian orang itu mulai terhuyung-huyung. Pisau itu menghunjam terlalu dalam di dadanya, oleh dorongan kekuatan Mahisa Pukat yang tersisa. Ketika orang itu mengumpat, maka kedua kakinya tidak lagi mampu bertahan. Sehingga akhirnya, orang itupun tidak mampu lagi bertahan. Ia telah kehilangan keseimbangan, sehingga akhirnya ia pun jatuh pada lututnya.
Dengan tangannya yang lemah ia berusaha untuk menarik pisau itu dari dadanya. Tetapi ia tidak lagi mempunyai kemampuan melakukannya. Bahkan kemudian kedua tangannya pun telah menyangga berat badannya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya ia pun jatuh terguling. Darahnya mengalir di sela-sela lukanya yang masih tersumbat oleh pisau belati Mahisa Pukat. Perlahan-lahan Mahisa Pukat melangkah mendekatinya. Ketika ia berdiri di sebelah orang yang terbujur di tanah. Orang itu sama sekali sudah tidak mampu bergerak lagi.
Dalam pada itu, lawan Mahisa Murti pun tidak dapat mengelakkan diri dari pengaruh keadaan itu Apalagi ia sudah mulai terluka. Agaknya ia memang tidak akan mampu mengimbangi kemampuan anak muda yang seorang itu lagi, setelah yang lain melumpuhkan orang yang selama ini disebut sebagai tamunya dan yang telah berbaik hati memberikan beberapa petunjuk untuk melawan Hantu Jurang Growong dengan mempergunakan supit yang terbuat dari pering cendana beruas sangat panjang yang tumbuh di hutan perdu.
Tetapi ia tidak mempunyai satu pilihan pun untuk menyelamatkan diri. Ia melihat beberapa orang bergeser menutup kepungan di seputar arena. Bahkan Ki Jagabaya pun nampaknya telah menentukan satu sikap kepadanya, ia tidak dapat lagi mengelabui tetangga kebanyakan. Sehingga akhirnya, ia pun tidak akan lebih lama lagi bersembunyi di baalik kebohongannya. Namun bagaimanapun juga, ia masih tetap bertempur melawan Mahisa Murti yang bersenjata canggah bertangkai panjang.
Sementara itu terdengar Mahisa Murti berkata, “Saudaraku telah mengakhiri pertempuran. Bagaimana dengan kau?”
Orang yang semula disangka tidak lebih dari petani biasa di antara tetangga-tetangganya itu mengumpat. Ia memang tidak mempunyai pilihan. Namun ia sama sekali tidak ingin menyerah. Dengan demikian, maka ia akan menjadi pengewan-ewan. Ia tahu, apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang padukuhan yang sudah terpengaruh oleh orang yang disebut tamu itu, sehingga apa yang mereka lakukan terhadap mereka yang sedang diperiksa, benar-benar telah kehilangan paugeran.
“Aku tidak mau diperlakukan seperti itu” berkata lawan Mahisa Murti itu di dalam hatinya. Namun demikian ia tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat banyak terhadap lawannya yang masih muda itu. Ujung canggah lawannya yang karatan itu telah menyayat kulitnya. Bahkan tidak hanya sekali, tetapi telah terjadi sentuhan berikutnya pula.
Sementara orang itu masih berusaha mempertahankan diri, maka iapun berusaha untuk melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan. Ketika ia melihat kelemahan pada lingkaran di halaman itu, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk melarikan diri. Dengan cerdik orang itu bergeser surut. Mahisa Murti yang mendesaknya sama sekali tidak mengetahui rencana orang itu dengan pasti. Ia merasa bahwa orang itu terdesak oleh serangan-serangannya yang semakin deras.
Namun, tiba-tiba justru pada saat yang paling baik menurut perhitungan lawan Mahisa Murti itu, orang itu menghentakkan kemampuannya. Dengan sisa tenaganya, orang itu justru berusaha menyusup di sela-sela putaran canggah Mahisa Murti.
Mahisa Murti terkejut. Ketika canggahnya terdorong menyamping, tiba-tiba saja ia melihat lawannya meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain, kecuali mengelak sambil bergeser mundur.
Ternyata saat itulah yang ditunggu oleh lawan Mahisa Murti. Ketika Mahisa Murti bergeser mundur, orang itu sama sekali tidak memburunya. Bahkan dengan serta merta, ia pun telah meloncat pula meninggalkan arena. Dengan pedang yang berputaran ia menerobos orang-orang yang berada di halaman itu. Dengan garangnya ia berteriak menggetarkan setiap jantung, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang berada di dalam lingkaran di seputar arena itupun menyibak.
Tidak seorang pun yang berani menahannya. Mereka telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh orang yang sehari-hari mereka sangka tidak lebih dari mereka sendiri. Tetapi yang ternyata telah menunjukkan kemampuan yang mengagumkan. Karena itu, maka orang itu tidak mengalami kesulitan untuk menembus kepungan yang semula menjadi semakin rapat. Namun yang ternyata tidak dapat menahan orang yang menembus dengan pedang berputaran itu.
Tetapi ternyata adalah di luar dugaan orang yang merasa dirinya telah berhasil mematahkan kepungan itu. Ketika orang itu benar-benar keluar dari kepungan, ternyata Ki Jagabaya dan pembantunya yang bertubuh raksasa itu telah siap menunggunya.
“Gila” geram orang itu.
Tetapi, Ki Jagabaya tidak bergeser. Ia justru mengacungkan pedangnya, sebagaimana dilakukan oleh pembantunya. Namun, ternyata kemampuan Ki Jagabaya tidak dapat mengimbangi kemampuan orang itu. Bahkan hampir tidak berarti sama sekali. Dengan sekali tebas, pedang pembantu Ki Jagabaya itu telah terpental. Kemudian ketika Ki Jagabaya menusuk lambung orang itu, maka orang itu sempat mengelak. Putaran pedangnya yang cepat, justru telah melukai pundak Ki Jagabaya sehingga Ki Jagabaya terdorong surut, sementara pedangnya terlepas dari tangannya.
Untunglah bahwa orang yang melukainya itu tergesa-gesa. Karena itu, orang itu pun tidak sempat menusukkan pedangnya langsung kedada Ki Jagabaya dan pembantunya. Sekejap kemudian, orang itu telah meloncat pula untuk menghindarkan diri dari kejaran Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti sengaja tidak mengejarnya. Karena pada saat-saat yang gawat itu, Mahisa Pukat telah dengan cepat mengambil sikap. Ia telah mengambil pedang lawannya yang tidak berdaya lagi. Waktu yang sesaat, yang telah dipergunakan oleh lawan Mahisa Murti melukai Ki Jagabaya dan pembantunya, telah dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Pukat.
Karena itu, orang yang melarikan diri itupun terkejut bukan buatan, ketika ia sadar, bahwa Mahisa Pukat dengan pedang di tangan, telah berdiri di tengah-tengah pintu regol. Namun orang itu ternyata tidak berhenti. Sambil mengacungkan pedangnya ia berlari seakan-akan ingin menembus pintu yang telah dijaga oleh Mahisa Pukat itu. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berlari-lari pula mengikuti orang itu.
Mahisa Pukat mengerti apa yang sedang dihadapinya. Orang itu tentu orang yang telah kehilangan nalarnya. Orang itu telah berbuat di luar perhitungan karena putus asa. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak akan menghadapinya sebagaimana ia menghadapi lawan yang tanggon. Karena itulah, maka orang-orang yang menyaksikannya terkejut ketika Mahisa Pukat pun kemudian telah meloncat menepi ketika orang itu menjadi semakin dekat sambil mengacu-acukan pedangnya, seolah-olah Mahisa Pukat pun menjadi ngeri seperti orang-orang lain yang menyibakkan kepungan.
Ternyata orang yang ingin melarikan diri itu tidak sempat berpikir lagi. Ia hanya melihat Mahisa Pukat meloncat menepi. Karena itu, maka ia merasa jalannya telah terbuka. Tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain, orang itu berlari sambil menyiapkan pedangnya, menangkis jika Mahisa Pukat menyerang pada saat ia melintas. Dengan demikian, maka yang diperhatikan oleh orang itu hanyalah tangan Mahisa Pukat yang menggenggam pedang.
Tetapi Mahisa Pukat justru telah menundukkan pedangnya. Ia sama sekali tidak akan mempergunakan senjata yang diambilnya setelah terlepas dari tangan pemiliknya itu. Namun dalam pada itu, yang tidak terduga sama sekali adalah bahwa Mahisa Pukat ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Ia ingin mendapat sumber untuk memberikan penjelasan dengan orang-orang yang disebut Hantu Jurang Growong. Apakah mereka memang ada, atau sekedar rekaan orang itu untuk membuat padukuhan dan Kabuyutan itu gelisah, sehingga orang itu dan kawannya yang dengan senjata teiah menimbulkan keresahan itu dapat mengambil keuntungan karenanya.
Karena itu, ketika orang itu berlari di depannya, Mahisa Pukat tidak menyerangnya dengan senjatanya, sementara orang yang herlari itu sudah siap melindungi dirinya dengan pedangnya. Tetapi diluar dugaan orang itu, Mahisa Pukat justru telah mengait kaki orang itu. Mahisa Pukat berharap bahwa orang itu akan terjatuh sehingga ia akan dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi jika ia menyerang dengan pedangnya, mungkin akibatnya akan lain.
Sebenarnyalah, ketika kaki orang itu terantuk kaki Mahisa Pukat, maka bagaikan dihentakkan oleh kekuatan larinya, orang itu telah terpelanting jatuh. Namun yang tidak diduga oleh Mahisa Pukat, bahwa pedang orang itu telah terlepas dari tangannya dan adalah sangat mengejutkan, bahwa tajam pedang itu ternyata menelentang ketika orang yang berlari itu jatuh menimpanya.
Yang terdengar adalah sebuah jerit yang panjang, orang itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi darah yang bagaikan memancar dari dadanya yang luka dengan goresan memanjang itu, telah membuatnya kehilangan kekuatan sama sekali. Demikian ia tegak berdiri, maka iapun telah terhuyung-huyung dan sesaat kemudian, iapun telah terjatuh lagi.
Mahisa Pukat sendiri terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira bahwa akibatnya akan sangat tidak terduga. Justru karena itu, maka ia pun telah memalingkan wajahnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Bukan main. Aku tidak sengaja berbuat seperti itu”
Mahisa Murti lah yang kemudian berlari-lari mendekatinya. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa. Demikian ia berjongkok di samping orang itu, maka orang itu telah menarik nafasnya yang terakhir. Mahisa Murti pun kemudian bangkit berdiri. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Pukat menundukkan kepalanya di sebelah regol halaman.
“Kau tidak berniat membunuhnya dengan cara itu” ia bergumam., “Bukan salahmu” berkata Mahisa Murti, “yang terjadi adalah diluar kemampuan kita untuk mencegahnya”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia pun telah melangkah menjauhi orang-orang yang kemudian berkerumun di sekitar dua sosok mayat yang terbaring di halaman banjar itu. Dalam pada itu. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu pun berpaling ketika Ki Jagabaya berkata,
“Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak duduk”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika terpandang olehnya orang yang hampir saja mati ketakutan karena mengalami tekanan badan dan dalam pemeriksaan yang tidak mapan itu, maka ia pun telah mendekatinya.
“Kau akan bebas” berkata Mahisa Murti.
Orang itu memandang wajah Mahisa Murti sejenak. Kemudian sambil mengusap air matanya yang meleleh di pipinya ia berdesis, “Terima kasih Ki Sanak. Aku tidak tahu, bagaimana aku akan membalas kebaikan budi Ki Sanak”
“Jangan memikirkannya” sahut Mahisa Pukat, “kami melakukannya karena kami merasa berkewajiban. Tidak ada yang dapat memberikan kepuasan lebih besar daripada keberhasilan kita melakukan kewajiban”
“Tetapi bagiku, Ki Sanak telah menyelamatkan jiwaku” berkata orang itu, “aku tidak akan tahan mengalami siksaan yang tidak berukuran itu”
“Aku minta maaf” berkata Ki Jagabaya dengan nada dalam, “semuanya terjadi di luar kesadaran. Kami beberapa orang behahu telah terbius oleh hasutan orang-orang yang tidak kita ketahui niatnya yang sebenarnya itu. Namun yang menurut perhitunganku, mereka pulalah yang menyebut dirinya Hantu Jurang Growong, karena sampai saat ini kejahatan yang terjadi juga dilakukan oleh satu atau dua orang saja yang mengenakan topeng yang menakutkan itu”
“Orang-orang itu sengaja menimbulkan keresahan Ki Jagabaya” berkata Mahisa Murti, “pengalaman ini hendaklah menjadi pelajaran yang berharga. Kau tidak boleh cepat terpengaruh oleh sesuatu yang belum pasti, karena kau justru orang yang seharusnya memegang payung perlindungan bagi rakyat padukuhan ini. Bukan sebaliknya”
“Ya. ya anak-anak muda” jawab Ki Jagabaya” aku mengerti”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun yang kemudian duduk di pendapa melihat kesibukan orang-orang padukuhan itu mengurusi kedua sosok mayat yang terbunuh dalam benturan kekerasan itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa orang-orang padukuhan itu tidak lagi membebankan kesalahan kepada mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ki Jagabaya. sebaiknya kau urusi lukamu itu”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku harap kalian berdua duduk sebentar. Mungkin lukaku memang memerlukan pengobatan”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Jagabaya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk bertiga saja dengan orang yang mengalami nasib malang itu, yang hampir saja menjadi korban yang tidak berarti apa-apa karena pengaruh sikap orang-orang yang membuat isi padukuhan itu menjadi gelisah.
Sementara itu, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Ki Sanak. Apakah kau tahu, berapa orang yang telah mengalami nasib seperti yang kau alami? Apakah pernah terjadi korban karena keadaan yang sama seperti kau alami?”
Orang itu termangu-mangu. Agaknya ada sesuatu yang menahannya untuk mengatakan apa yang sebenarnya pernah terjadi.
“Katakan” desis Mahisa Pukat, “kami tidak akan berbuat apa-apa Kami hanya ingin mengetahuinya. Nampaknya keadaan akan berubah”
Orang itu mengangguk-angguk Katanya kemudian dengan ragu-ragu, “Nampaknya memang ada Ki Sanak. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang telah melakukannya. Sepengetahuanku, Ki Jagabaya sebelumnya bukan orang yang demikian kasarnya. Tetapi pada saat terakhir, ia seperti orang kesurupan. Ia menjadi garang, kasar dan bahkan buas”
“Apakah kebuasannya itu pernah menelan korban?” desak Mahisa Pukat.
“Aku tidak dapat mengatakannya Ki Sanak. Tetapi kedua orang yang terbunuh itulah yang sebenarnya membuat padukuhan ini menjadi rusak. Nampaknya keduanya adalah orang-orang yang dengan penuh pengabdian berjuang bagi padukuhan ini. Seorang penduduk padukuhan ini telah mendapat seorang tamu yang dengan suka rela bekerja bagi kepentingan kami. Tetapi ternyata bahwa kami telah dikelabuinya” berkata orang itu.
“Tetapi apakah benar bahwa padukuhan ini sering didatangi oleh mereka yang disebut Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Itulah yang telah menyudutkan aku ke dalam keadaan yang sangat sulit. Adalah diluar kehendakku, bahwa pada suatu malam aku bertemu dengan kedua orang itu di tengah-tengah bulak. Aku menjadi curiga melihat cara mereka berpakaian. Namun aku tidak berprasangka buruk, sehingga aku telah menyapa mereka” orang itu pun kemudian berceritera.
“Kenapa kau berada di tengah bulak di malam hari?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berada di sawah” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara orang itu melanjutkan, “Agaknya kedua orang itu menganggap bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku telah melihat sesuatu yang dapat mengancam kedua orang itu”
“Apakah kau pernah berbuat sesuatu, menceriterakan apa kau lihat, atau semacam itu kepada orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak. Aku tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya bahwa aku kemudian ditangkap dan mengalami perlakuan yang sangat kasar itu. Baru kemudian aku dapat menghubungkan persoalan ini dengan apa yang pernah aku temui di bulak itu. Jelasnya setelah aku mendengar pendapat kalian tentang kedua orang itu” jawab orang yang malang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun menjadi yakin, bahwa yang mereka tiupkan ke telinga orang-orang padukuhan ini dengan sebutan Hantu Jurang Growong adalah semata-mata satu usaha untuk membuat padukuhan itu gelisah, kehilangan pegangan dan kemudian timbul tingkah laku dan perbuatan yang tidak wajar.
Dengan demikian mereka akan dapat mengambil keuntungan tanpa dicurigai, karena segala kesalahan akan ditimpakan kepada Hantu Jurang Growong yang sebenarnya tidak ada. Sementara kesan hadirnya Hantu Jurang Growong adalah tingkah laku kedua orang itu sendiri. Merampas dan merampok. Karena tidak seorangpun yang pernah melihat wajah-wajah Hantu Jurang Growong.
“Menurut keterangan, siapakah yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri atas tingkah laku Hantu Jurang Growong yang telah membuat padukuhan ini resah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak ada” jawab orang itu, “Hantu Jurang Growong selalu hadir dengan ujud yang menakutkan, meskipun mereka tidak membantah bahwa mereka adalah manusia biasa yang mempergunakan topeng atau sebangsanya yang memberikan kesan yang menakutkan. Karena itulah, maka aku menjadi semakin jelas tentang apa yang terjadi sebenarnya di padukuhan ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Orang yang mengalami nasib buruk itu ternyata memiliki kemampuan berpikir yang cukup cerdas. Namun pembicaraan mereka tidak berlanjut, karena Ki Jagabaya yang telah mengobati lukanya, telah hadir pula di pendapa itu.
Laporan tentang segara peristiwa yang terjadi itu, membuat Ki Buyut sangat berprihatin. Tetapi ia merasa bersyukur bahwa segalanya telah dapat diatasi justru karena kehadiran dua orang anak muda yang semula tidak mereka kenal. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah diminta oleh Ki Buyut untuk berada di rumahnya. Ki Buyut berharap banwa anak-anak muda itu akan dapat membantu pulihnya kewibawaan di Kabuyutannya. Berbeda dengan saat keduanya berada di padukuhan yang baru saja mewisuda Buyutnya yang baru, maka di Kabuyutan itu keduanya dikenal dengan nama Pratista dan Narpada.
“Rasa-rasanya aku tidak akan dapat menguasai keadaan” berkata Ki Buyut ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di Kabuyutan. Lalu, “Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu Kabuyutan ini seakan-akan telah dikuasai oleh pengaruh yang asing. Mereka tidak lagi mau mendengarkan kata-kataku. Bahkan akulah yang kemudian tersisih. Ki Jagabaya lah yang mengambil alih segala kekuasaannya akan memerintahkan aku untuk tetap tinggal di rumah”
“Ki Buyut tidak berbuat apa-apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak akan ada pengaruhnya” jawab Ki Buyut, “segalanya kemudian aku serahkan saja kepada Ki Jagabaya yang berhubungan dengan seorang tamu yang belum kita kenal sebelumnya. Tamu seorang di antara tetangga kami. Namun yang ternyata keduanya bukan orang yang pantas dipercaya”
“Demikianlah kenyataan yang kita hadapi, Ki Buyut” sahut Mahisa Pukat.
Sukurlah, bahwa semuanya sudah teratasi” berkata Ki Buyut. Lalu, “Meskipun demikian, agaknya Ki Jagabaya memang memerlukan perlindungan. Ia telah melukai hati sebagian dari penduduk Kabuyutan ini. Karena itu, maka ia minta kepada angger berdua untuk tinggal di sini beberapa lama. Selebihnya, aku yang sudah terpisah dari kekuasaanku untuk beberapa saat juga memerlukan pengaruh angger berdua untuk memulihkannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat bertanya, “Selama ini, apakah Ki Buyut sudah mencoba berbuat sesuatu jika Ki Buyut melihat keadaan yang timpang?”
“Tidak ada gunanya ngger” jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat memandang Ki Buyut sejenak. Namun kemudian katanya, “Seharusnya Ki Buyut tidak bersikap demikian. Sebelumnya Ki Buyut sudah merasa bahwa pengaruh Ki Jagabaya memang terlalu besar di Kabuyutan ini. Sehingga ketika Ki Jagabaya tergelincir. Ki Buyut tidak dapat mencegahnya”
“Apa yang dapat aku lakukan?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Buyut adalah orang yang bertanggung jawab atas Kabuyutan ini. Hitam putih Kabuyutan ini terletak di bahu Ki Buyut. Bukan Ki Jagabaya. Jika terjadi selisih pendapat antara Ki Buyut dan Ki Jagabaya, maka Ki Buyutlah yang harus mengambil keputusan” berkata Mahisa Pukat.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Ki Jagabaya mempunyai banyak pembantu yang mendukung setiap pendapatnya. Karena itu, maka pendapatnyalah yang setiap kali berlaku di Kabuyutan ini”
“Tentu karena Ki Buyut tidak pernah berbuat sesuatu untuk mengatasinya” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Maaf Ki Buyut. Tetapi baiklah aku katakan, bahwa Ki Buyut kurang bersikap tegas. Seandainya Ki Buyut bersikap tegas, maka aku kira pendukung Ki Buyut akan dapat ikut menentukan. Karena akhirnya segala akibat dari perbuatan para pemimpinnya, akan ditanggungkan pula oleh para penghuni Kabuyutan ini, sebagaimana kita lihat”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang kurang mempunyai keberanian untuk berbuat demikian. Semula aku memang terlalu percaya kepada Ki Jagabaya, sehingga segala sesuatunya telah dilakukannya. Tetapi aku tidak pernah menyangka bahwa pengaruh kedua orang itu telah mencengkamnya terlalu kuat sehingga ia tidak segera dapat menyadarinya”
“Apakah Ki Buyut pernah memberi peringatan kepada Ki Jagabaya, setidak-tidaknya membicarakan sikap itu?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada gunanya. Sudah aku katakan berulang kali, tidak ada gunanya”
“Tetapi Ki Buyut pernah mencobanya?” desak Mahisa Murti.
Ki Buyut memandang anak-anak muda itu berganti- ganti. Kemudian iapun menjawab, “Belum anak muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Merekapun segera menyadari, bahwa Ki Buyut itu adalah orang yang terlalu lemah bagi jabatannya. Tetapi karena kedudukan itu adalah kedudukan turun-temurun, maka Kabuyutan itu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun demikian, agaknya masih ada kemungkinan bagi masa depan. Ki Buyut telah melihat akibat yang pahit bagi padukuhannya karena sikapnya.
Meskipun mereka belum sempat berbincang, tetapi keduanya merasa bahwa mereka berkewajiban untuk membantu Ki Buyut menemukan satu sikap yang lebih baik. Karena itulah, maka ketika Ki Buyut minta agar keduanya untuk tinggal bersamanya dan tidak usah berada di banjar, keduanya tidak menolak. Sehingga dengan demikian untuk seterusnya mereka tidak bermalam di banjar, tetapi di rumah Ki Buyut yang berterima kasih sekali atas kehadiran keduanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia dapat membayangkan, apa yang telah terjadi. Ternyata dua orang itu telah berhasil membuat kesan yang mengerikan. Mereka dapat memberikan kesan, seolah-olah yang disebut Hantu Jurang Growong itu terdiri dari berpuluh-puluh orang yang melakukan kejahatan di mana-mana. Sementara itu ia pun dapat membuat orang-orang Kabuyutan itu menjadi saling mencurigai, membenci dan saling mendendam.
“Luar biasa” tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis yang sebenarnya hanyalah dua orang saja”
Tetapi Ki Jagabaya menyahut, “Mungkin memang demikian. Kami. penduduk Kabuyutan inilah yang dungu. Tetapi mungkin dua orang itu benar-benar mempunyai sekelompok orang yang mereka kendalikan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu Ki Jagabaya berkata, “Tetapi aku condong mengatakan bahwa mereka memang hanya berdua”
“Baiklah Ki Jagabaya” berkata Mahisa Murti, “bagaimanapun juga, sepeninggal kedua orang itu, kalian dapat menyusun perubahan tata kehidupan di padukuhan ini. Sementara itu, kalian harus berusaha melenyapkan perasaan takut, saling mencurigai dan saling mendendam. Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya jangan lagi melakukan tindakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan seseorang seperti yang pernah kau lakukan. Sementara orang yang telah mengalami kekerasan itu belum tentu pernah melakukan kejahatan sekecil ujung kuku sekalipun”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kau harus memperhatikan orang-orang yang menjadi cacat karena cara-cara yang sudah kau tempuh Ki Jagabaya”
“Ya. Ya. Ki Sanak. Aku benar-benar seperti terbius oleh kelicikan kedua orang itu. sehingga aku telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar” desis Ki Jagabaya.
“Jika kau melihat tingkah laku Ki Jagabava itu sebagai satu kesalahan yang besar, artinya bahwa Ki Jagabaya tidak akan melakukannya lagi” sahut Mahisa Pukat.
“Aku berjanji” desis Ki Jagabaya.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun akhirnya keduanya pun saling berpandangan. Sejenak kemudian Mahisa Murti berkata, “Kita dapat melanjutkan perjalanan”
“Jangan Ki Sanak” cegah Ki Jagabaya, “tinggallah untuk sementara di padukuhan ini. Aku memerlukan bantuan kalian untuk memulihkan ketenangan. Aku merasa dosaku sudah terlalu besar, sehingga aku tidak akan mempunyai kekuatan untuk bangkit lagi di padukuhan ini tanpa bantuan seseorang selama aku harus membuktikan bahwa aku benar-benar telah bertaubat”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ketika mereka kemudian saling berpandangan, maka Mahisa Murti pun bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apa pendapatmu?”
“Terserah kepadamu” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti keraguan saudaranya. Tetapi jika demikian, maka Mahisa Pukat memang mempunyai keinginan betapapun kecilnya untuk membantu Ki Jagabaya yang mengalami kesulitan.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, persoalan yang dihadapi padukuhan dan Kabuyutan itu berbeda dengan Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan. Penghuni Kabuyutan yang telah mereka tinggalkan masih mempunyai kepercayaan dan pegangan sepenuhnya atas wibawa Buyut mereka yang baru, sehingga Ki Buyut itu tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk membina dan mengembangkan tata kehidupan di Kabuyutannya.
Dengan demikian maka padukuhan dan Kabuyutan yang baru mereka tinggalkan itu tidak akan banyak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk memulihkan kepercayaan yang hilang sebagaimana terjadi di Kabuyutan itu.
Karena itu, atas dasar pertimbangan yang demikian, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah Ki Jagabaya, jika demikian maka aku tidak akan berkeberatan untuk tinggal barang, satu dua hari. Aku akan berusaha membantu menurut kemampuanku dan kemampuan saudaraku agar kewibawaan di Kabuyutan ini dapat pulih kembali”
“Terima kasih Ki Sanak” desis Ki Jagabaya kemudian., “Jika demikian, maka kalian berdua akan berada di banjar untuk waktu yang tidak ditentukan. Kami akan menunjuk seseorang untuk menyediakan segala kebutuhan kalian. Makan, minum dan barangkali pering cendani beruas panjang itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kami memang ingin memiliki satu dua ruas pering cendani yang beruas panjang sekali itu. Tetapi aku tetap tidak menganjurkan kalian mempergunakan senjata beracun. Aku lebih senang melihat kalian belajar mempergunakan anak panah dan busur yang dapat kalian buat dengan kayu berlian. Apakah di sini ada kayu berlian?”
“Di hutan ada beberapa pohon berlian yang kami ketahui” jawab Ki Jagabaya, “kamipun pernah membuat busur dengan kayu berlian itu. Tetapi jika kami berpaling kepada supit dan paser beracun, itu adalah karena kebodohan kami sebagaimana kebodohan kami yang lain dalam hubungan kami dengan kedua orang itu”
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri dipadukuhan ini meskipun aku tidak akan lama berada di sini”
Ternyata Ki Buyut merasa gembira atas kesediaan itu. Sehingga ia dapat menjadi agak tenang. Ki Jagabaya pun kemudian telah ikut pula duduk dengan mereka sementara orang-orang padukuhan itu masih saja sibuk di halaman. Namun sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengatakan sesuatu tentang tanggapan mereka atas peristiwa yang terjadi di padukuhan itu, Ki Jagabaya telah berkata,
“Selama ini, ternyata seisi padukuhan ini, bahkan Kabuyutan ini telah dapat dikelabui oleh dua orang itu. Bukan saja kami telah kehilangan banyak harta benda, bahkan kabuyutan ini telah dicengkam oleh keresahan yang mengerikan. Aku sendiri telah menjadi korban kelicikan mereka. Tetapi juga karena kedunguanku sendiri. Aku agaknya telah mereka bentuk menjadi seekor serigala yang paling bilas di Kabuyutan ini. justru karena aku adalah Jagabaya”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pengalaman yang sangat berguna Ki Jagabaya, betapapun pahitnya”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk Sekilas dipandanginya orang yang bernasib malang, yang hampir saja kehilangan harapan untuk dapat hidup dan kembali kepada keluarganya itu.
“Aku minta maaf” berkata Ki Jagabaya, “aku tidak saja bersalah. Tetapi aku sudah berdosa. Aku telah menyakiti orang yang sama sekali tidak bersalah. Bukan sekedar menyakiti, tetapi lebih biadab dari itu”
Mahisa Murti masih akan menyahut. Tetapi Mahisa Pukat telah bertanya lebih dahulu, “Ki Jagabaya. Apakah dalam persoalan yang serupa, Ki Jagabaya atau orang-orang Ki Jagabaya pernah membunuh? Memaksa seseorang untuk dengan menyiksanya sehingga orang itu mati?”
“Tidak, tidak anak muda” sahut Ki Jagabaya dengan serta merta, “Tetapi jangan bertanya tentang itu. Aku tidak berani melihat persoalan-persoalan yang telah terjadi itu”
“Belum Ki Sanak” sahut orang yang tersiksa, “menurut pendengaran kami, orang-orang Kabuyutan ini, mereka yang mengalami pemeriksaan seperti yang aku alami itu, pada umumnya memang tidak mati. Tetapi hampir semuanya menjadi cacat dan tidak berarti lagi”
“Bukan kehendakku” sahut Ki Jagabaya, “tetapi kedua orang yang telah mati itu yang melakukannya. Mereka membuat orang-orang yang dicurigai menjadi cacat sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa bagi kepentingan Hantu Jurang Growong."
“Bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Pukat pula
“Aku seperti orang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan Ki Sanak" berkata Ki Jagabaya, ”betapapun bodohnya aku. tetapi akhirnya aku dapat melihat apa yang sebenarnya kami orang-orang padukuhan ini hadapi pada saat-saat terakhir ini”
“Itulah yang aku tanyakan” desak Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bagiku sekarang, semuanya itu ternyata hanyalah permainan yang licik dan kasar."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata Ki Jagabaya itupun kemudian menyatakan pendapatnya tentang Hantu Jurang Growong seperti yang dikatakan oleh orang yang bernasib buruk itu. Dengan nada dalam, Ki Jagabaya itupun kemudian berkata, “Sekali lagi aku minta maaf, bahwa aku telah berbuat dosa terhadap beberapa orang saudara-saudaraku di Kabuyutan ini”
“Tetapi kedua orang itu telah menerima hukumannya” berkata orang yang bernasib buruk itu.
Ki Jagabaya mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang itu sejenak. Kemudian katanya, “kau memaafkan aku?”
“Tentu Ki Jagabaya” jawab orang itu, “kita semuanya telah menjadi korban kelicikan kedua orang itu. Ia berhasil membuat kami seluruh isi Kabuyutan ini menjadi bingung, gelisah dan kehilangan pegangan”
“Terima kasih” berkata Ki Jagabaya kemudian, “tetapi aku tidak tahu apa kata mereka yang sudah terlanjur menjadi cacat. Meskipun bukan tanganku langsung, tetapi yang terjadi atas mereka adalah sepengetahuanku. Aku tidak yakin bahwa mereka semuanya akan dapat memaafkan aku”
“Mereka semuanya?” potong Mahisa Pukat berapa orangkah yang sudah mengalami nasib yang sangat buruk itu.
“Tiga orang sudah menjadi cacat” jawab Ki Jagabaya, “tetapi kami sudah menyakiti lebih dari dua puluh orang. Kami memeriksa siapa saja yang ingin kami periksa dengan menyakiti mereka. Di antara mereka ada yang segera kami lepaskan dengan peringatan-peringatan, karena mereka kita sebut tidak terlibat langsung dengan Hantu Jurang Growong. Mereka hanya memberikan peluang terjadi kejahatan, karena mereka lalai meronda atau tugas-tugas padukuhan lain. Tetapi mereka yang kami anggap tersangka langsung dengan kegiatan Hantu Jurang Growong itu. kami tidak memberikan ampun lagi. Kami membuat mereka cacat meskipun sampai saat terakhir mereka tidak mengaku”
“Nampaknya memang demikian Ki Sanak sambung orang yang hampir saja menjadi korban itu, “aku menjadi sangat ngeri. Bukan saja oleh kesakitan yang hampir tidak tertanggungkan, tetapi juga karena ketakutanku bahwa akhirnya aku akan cacat, karena aku telah dituduh terlibat langsung dalam hubungan dengan Hantu Jurang Growong”
“Itulah kebodohanku” sahut Ki Jagabaya, “tetapi suasana padukuhan ini benar-benar dicengkam oleh kegelisahan dan keresahan yang tidak tertanggungkan. Perampokan, tidak saja di rumah-rumah, tetapi juga beberapa orang telah disamun di bulak-bulak panjang. Seolah-olah Hantu Jurang Growong itu terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kemampuan yang tidak terlawan”
Dirumah Ki Buyut, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat tempat dan pelayanan yang sangat baik. Namun justru karena itu keduanya merasa kurang mapan. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun pada satu kesempatan berkata kepada Ki Buyut.
“Ki Buyut, perlakukan kami sebagaimana dua orang pengembara yang mendapatkan tempat bermalam. Kesempatan untuk tidur di serambi gandok sekalipun telah sangat memenangkan bagi kami berdua. Sementara makanan yang diberikan kepada kami terasa terlampau berlebih-lebihan. Dengan demikian, kami justru merasa segan dan kurang mapan”
“Jangan kau hiraukan anak-anak muda” berkata Ki Buyut, “biarlah kami memperlakukan kalian herdua sesuai dengan sikap kami terhadap kalian berdua. Meskipun kalian menyebut diri pengembara, tetapi kalian akan dapat memberikan beberapa peruhahan yang akan sangat herarti hagi kami”
“Kami akan tetap berbuat sesuai dengan tingkat jangkauan kami bagi kepentingan Kabuyutan ini, Ki Buyut” jawab Mahisa Murti, “tetapi perlakuan Ki Buyut membuat kami justru menjadi segan dan kaku”
“Sekali lagi aku minta, jangan hiraukan” berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk mencegah sikap yang justru membuatnya tidak dapat bersikap wajar. Tetapi Ki Buyut ternyata kurang sependapat.
“Aku tidak peduli lagi” berkata Mahisa Pukat ketika keduanya berada di dalam biliknya aku akan berbuat apa saja sesuai dengan sifat kebiasaanku”
Mahisa Murti tersenyum. Namun katanya, “Kita terikat pada unggah-ungguh. Itulah sebabnya, maka rasa-rasanya kita justru terbelenggu disini”
Namun demikian, pada saat-saat tertentu, keduanya minta diri untuk pergi ke sungai atau kemanapun juga. Pada saat-saat yang demikian, maka keduanya dapat berbuat apa saja untuk mengendorkan kekuatan tatanan di rumah Ki Buyut.
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai tertarik kepada ceritera tentang hutan pohon cendana yang menjadi gundul. Dengan demikian, maka hekas pohon cendana itu rasa-rasanya dapat di atur sehingga tidak lagi berupa tanah terbuka yang akan dapat sedikit demi sedikit menjadi aus.
“Kita dapat melihat tanah gundul dilereng bukit sebelah” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Namun nampaknya Akuwu yang sekarang, sudah menaruh perhatian yang cukup”
“Pada sisa-sisa pepohonan yang ada. Tetapi nampaknya tidak ada rencana Akuwu untuk menanam pepohonan yang baru apapun jenisnya untuk menghijaukan lereng yang gundul itu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kita dapat memberitahukan hal itu kepada Ki Buyut. Jika kita langsung menanganinya, maka kita akan tertahan di tempat ini untuk waktu yang lama. Kita mungkin akan bertemu lagi dengan Akuwu, sehingga untuk beberapa saat kita akan menjadi penghuni Pakuwon ini”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Mahisa Murti, bahwa mereka berdua hanya dapat memberikan pesan-pesan saja kepada Ki Buyut, karena mereka tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan itu terlalu lama. Mereka hanya ingin membantu Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan itu memulihkan wibawanya, setelah Ki Jagahaya melakukan perbuatan yang telah menyakiti hati rakyatnya, sementara Ki Buyut yang lemah hati tidak berbuat apa-apa.
Justru karena keadaan yang sudah tersingkap itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui, kenapa orang-orang dan para bebahu di Kabuyutan itu tidak melaporkan persoalan Hantu Jurang Growong itu kepada Akuwu. Agaknya kedua orang itu pulalah yang telah mempengaruhi mereka untuk tidak melaporkannya kepada Akuwu, karena jika demikian, maka pasukan pengawal Akuwu akan mengatasi kekalutan itu, sehingga keduanya tidak akan berkesempatan lagi untuk melakukan tindakan- tindakan yang nggegirisi yang dapat menakut-nakuti dan membuat rakyat seisi Kabuyutan menjadi resah.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengikuti perkembangan keadaan Kabuyutan itu dengan saksama Ki Buyut yang telah melihat akibat pahit itu pun mulai berusaha untuk menyusun tertib pemerintahan di Kabuyutannya. Ia memanggil para bebahu untuk mengadakan pertemuan. Mereka diminta untuk menilai apa yang telah terjadi.
“Katakan dengan hati terbuka” berkata Ki Buyut "kita akan mengambil pengalaman ini sebagai satu pelajaran yang berguna”
Beberapa orang semula merasa ragu-ragu, karena mereka merasa cemas, bahwa perlakuan yang tidak wajar itu akan dapat terjadi pula atas mereka. Tetapi ternyata kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar memberikan arti. Para bebahu merasa mereka akan mendapat perlindungan jika ada perlakuan yang tidak adil atas mereka. Karena itulah, maka mereka pun kemudian dapat menyampaikan isi hati mereka dengan terbuka.
Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Para bebahu yang lain pun melihat, bahwa ia telah terseret. Meskipun ia berniat untuk membuat Kabuyutannya aman, tetapi ia telah mengambil langkah yang salah.
“Baiklah” berkata Ki Buyut kemudian, “kita sudah melihat langkah-langkah kita yang salah. Kita akan berusaha untuk memperbaikinya. Kita akan menjadi orang-orang baru yang akan memerintah daerah ini dengan sikap yang baru."
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabaya pun mengangguk-angguk pula. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Ki Buyut. Aku tidak akan ingkar, bahwa aku telah melakukan kesalahan. Tetapi aku mohon dinilai bahwa kesalahanku terletak tidak pada niat. Tetapi pada cara. sehingga menimbulkan kekalutan dan keresahan”
“Aku mengerti Ki Jagabaya” jawab Ki Buyut, “karena itu aku tidak mengambil satu tindakan terhadapmu dan terhadap kedudukanmu. Yang kami inginkan adalah perubahan sikap dan caramu. Tetapi niatmu untuk mengabdi kepada Kabuyutan ini tetap aku hargai”
“Terima kasih Ki Buyut” berkata Ki Jagabaya.
“Tetapi bagaimanapun juga, kau tetap kami anggap pernah melakukan kesalahan. Karena itu, maka kau harus minta maaf kepada rakyat Kabuyutan ini. Bukan sekedar sopan santun, tetapi dengan satu kesanggupan di dalam hati untuk menebus kesalahan yang pernah kau lakukan” berkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk hormat sambil menjawab, “Aku mengerti Ki Buyut”
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyaksikan perubahan sikap yang terjadi di Kabuyutan itu. Karena itu, maka keduanya merasa bahwa mereka tidak perlu lagi terlalu lama berada di Kabuyutan itu.
“Kita sudah dapat meninggalkan rumah ini” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kapan saja kita dapat minta diri. Nampaknya segala sesuatunya telah dapat diatasi. Ki Jagabaya cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya, dan Ki Buyut pun cukup bijaksana dengan tanpa menghukumnya secara langsung”
“Tidak ada keberanian Ki Buyut untuk melakukannya” jawab Mahisa Murti, “tetapi dalam hubungannya dengan persoalan yang dihadapinya kini, adalah kebetulan. Dengan kelemahannya ia nampak bijaksana”
“Ah” Mahisa Pukat berdesis. Namun ia pun kemudian tertawa kecil.
“Kita bermalam satu malam lagi” berkata Mahisa Murti, “besok kita minta diri. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang dapat menghambat kita. Kita akan melanjutkan pengembaraan. Sementara itu kita dapat berpesan kepada Ki Buyut untuk memperhatikan lereng yang gundul itu, sehingga tanahnya tidak akan menjadi semakin aus dimakan air hujan yang bukan saja turun dari langit, tetapi juga arus dari lereng yang lebih tinggi”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Malam nanti masih ada kesempatan untuk berbincang dengan Ki Buyut tentang banyak hal. Sekaligus mereka akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Namun dalam pada itu, ketika matahari condong ke Barat, Mahisa Murti yang keluar dari gandok dan duduk diserambi terkejut melihat seorang gadis yang melintasi halaman. Selama ia berada di rumah Ki Buyut itu, ia tidak pernah melihat gadis itu. Memang ada beberapa perempuan di rumah Ki Buyut itu. Selain Nyi Buyut, beberapa orang pembantunya terdiri dari perempuan dan mungkin juga diantara mereka terdapat gadis-gadis. Tetapi yang seorang ini belum pernah dilihatnya.
Sambil memperhatikan langkah gadis itu, terasa jantung Mahisa Murti berdegup semakin keras, sehingga akhirnya gadis itu melangkah naik kependapa dan hilang di pintu pringgitan.
“Tentu bukan sekedar pembantu Ki Buyut” berkata Manisa Murti dalam hatinya, “jika gadis itu sekedar pembantunya, maka ia tidak akan masuk lewat pintu itu”
Mahisa Murti terkejut, ketika ia mendengar Mahisa Pukat terbatuk-batuk kecil di belakangnya. Sambil berpaling ia berkata, “Kau mengejutkan aku”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Apa yang kau perhatikan sehingga kau tidak tahu aku hadir di sini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau tentu juga melihatnya”
“Apa?” desak Mahisa Pukat.
“Seorang gadis” jawab Mahisa Murti.
“Darimana kau tahu, bahwa ia seorang gadis. Siapa tahu bahwa perempuan itu adalah isteri Ki Buyut” jawab Mahisa Pukat.
“Jangan berpikiran gila” potong Mahisa Murti, “gadis itu terlalu muda bagi isteri Ki Buyut. Mungkin ia anaknya, atau bahkan cucunya”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan hiraukan perempuan itu”
“Aku hanya memperhatikannya. Bukankah aku tidak bersalah jika aku melihat kecantikan seseorang? Seperti aku juga tidak bersalah memperhatikan kecantikan sekuntum bunga ceplok piring. Bukankah begitu?” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Kemudian katanya, “Kau cerdik. Tetapi ingat pesan ayah. Kau harus belajar dari pengalaman Kakang Mahisa Bungalan. Seorang gadis telah mengikatnya sehingga pengembaraannya tidak lagi dapat berkisar lebih jauh dari putaran gadis itu saja”
“Tetapi dengan demikian, ia mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dalam pengembaraannya itu. He, kau katakan, bahwa kakang Mahisa Bungalan tidak berkisar jauh dari gadis itu?”
“Ya” jawab Mahisa Pukat.
“Kau keliru. Tetapi seandainya demikian, namun ia justru mendapat pengalaman yang terlalu banyak. Bukan saja Pengalaman lahir, tetapi juga pengalaman batin."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Murti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, jangan kau abaikan pesan ayah”
“Ah” desah Mahisa Murti, “aku tentu akan selalu mengingatnya. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa. Aku pun tidak tahu, apakah gadis itu termasuk keluarga Ki Buyut atau bukan”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah. Kita duduk di dalam saja”
“Udara terlalu panas. Aku akan duduk di sini” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian medangkah masuk ke dalam gandok, yang disediakan oleh Ki Buyut bagi tempat mereka berdua. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat duduk sendiri di dalam gandok itu sambil bersandar tiang. Diluar sadarnya, ia pun mulai menelusuri perjalanannya berdua dengan Mahisa Murti yang masih terhitung sangat pendek itu.
Namun dalam perjalanan yang pendek itu, mereka ternyata telah mengalami berbagai peristiwa yang dapat dijadikan bekal dalam hidupnya kelak. Namun kadang-kadang terasa ngeri juga jika ia memikirkan kemungkinan yang paling buruk dalam pengembaraannya itu. Meskipun ia mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, tetapi jika jiwanya terampas karenanya, maka pengalaman itu tidak akan berarti apa-apa baginya.
“Tetapi akau tidak boleh menjadi seorang pengecut” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu ia terkejut ketika ia mendengar suara Mahisa Murti bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Sambil mengangkat wajahnya ia bergeser. Dan didengarnya suara perempuan itu, “Silahkan minum Ki Sanak”
“Ya, ya. Terima kasih” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mangkuk ini harus aku letakkan didalam atau disini saja?” bertanya perempuan itu.
Dengan gagap Mahisa Murti menjawab, “Baiklah di dalam, ah, maksudku di sini saja”
“Mangkuk yang satu?” bertanya perempuan itu., “Biarlah di sini juga” jawab Mahisa Murti.
Suara itu pun terdiam. Yang didengar oleh telinga tajam Mahisa Pukat dalam langkah yang menjadi semakin jauh. Mahisa Pukat pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Dilihatnya dua buah mangkuk minuman panas dan beberapa potong gula kelapa.
“Segarnya” desis Mahisa Pukat, “air sere atau air jahe?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Kedua-duanya. Air jahe dengan sere. Terasa sedapnya kayu legi pula didalamnya”
“Kau sudah minum?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Jawabnya, “Belum”
“Darimana kau tahu, bahwa terasa sedapnya kayu legi di dalam minuman itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti masih tersenyum. Katanya kemudian, “Duduklah. Marilah kita minum”
“Kenapa tidak ditaruh di dalam saja?” bertanya Mahisa Pukat selanjutnya.
“Kita minum diserambi saja” jawab Mahisa Murti.
“Perempuan yang membawa minuman ini tidak mau masuk”
“Bohong” sahut Mahisa Pukat, “kau yang minta kepadanya untuk meletakkan minuman ini di sini”
“Kau dengar pembicaraan kami?” bertanya Mahisa Murti.
"Aku mendengar” jawab Mahisa Pukat” siapakah perempuan yang membawa minuman itu?”
“Kau tentu sudah mengintipnya” tebak Mahisa Murti.
“Tidak. Aku duduk saja diamben itu” Mahisa Pukat menjelaskan.
“Salah seorang pelayan Ki Buyut. Seorang perempuan tua yang tadi pagi juga membawa minuman kita” jawab Mahisa Murti.
“Jangan bohong. Suaranya lain. Tentu bukan perempuan tua itu” bantah Mahisa Pukat.
“Jadi siapa? Bukankah kau tidak melihatnya?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat yang duduk di sebelah Mahisa Murti itu tersenyum. Jawabnya, “Meskipun aku tidak melihatnya, tetapi aku dapat membedakan warna suara. Aku yakin, yang membawa minuman ini tentu perempuan yang kau sangka gadis yang tadi melintasi halaman, dan yang belum pernah kita lihat sebelumnya”
“Ah darimana kau tahu? Kau belum pernah mendengar suaranya. Kau tentu tidak akan dapat mengatakan bahwa kau mengenalinya lewat suaranya” sahut Mahisa Murti.
“Aku tidak mengenalinya lewat suara perempuan itu. Tetapi lewat suaramu” jawab Mahisa Pukat.
“Bagaimana mungkin lewat suaraku?” bertanya Mahisa Murti heran.
“Suaramu menjadi gagap dan seolah-olah kau menjadi bingung menjawab pertanyaan-pertanyaannya” tebak Mahisa Pukat.
“Ah desah Mahisa Murti, “kau hanya menduga-duga”
“Katakan, apakah dugaanku salah?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja sambil mengusap keringatnya di dahinya. Dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang kemudian meraih mangkuk berisi minuman hangat itu. Sambil meneguk isinya ia berdesis, “Merasa segar sekali. Apakah dengan gula kelapa?”
“Ya, dengan gula kelapa. He, bukankah benar dugaanku, bahwa minuman itu memakai kayu legi?” bertanya Mahesa Murti."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Minuman ini tidak diberi kayu legi”
“He?” dahi Mahisa Murti berkerut, “tetapi meskipun tidak diberi kayu legi tetapi minuman itu tetap segar bukan?”
“Ya. Segar sekali. Kenapa kau tidak minum?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun kemudian mengambil sepotong gula kelapa Kemudian mengangkat mangkok berisi minuman hangat itu dan menghirupnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Malam nanti kita akan minta diri. Bukankah besok kita akan melanjutkan perjalanan? Bagaimana jika kita minta beberapa ruas pering cendani yang beruas panjang itu? Dengan supit kita akan dapat berburu burung”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Kita akan mengambil beberapa ruas pering cendani itu Pukat. Besok kita akan pergi ke padang perdu itu. Tetapi dengan demikian kita tidak akan dapat meninggalkan Kabuyutan ini besok”
“Kenapa? Kita minta diri. Sambil meninggalkan Kabuyutan ini kita mengambil beberapa ruas pering cendani itu. Jika pada saat kita meninggalkan Kabuyutan ini, kita sudah menyatakan keinginan kita untuk mengambil pering cendani itu, maka aku kira kita tidak akan dapat dianggap bersalah, apalagi dituduh mencuri. Ki Jagabaya tidak akan lagi berbuat seperti itu” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Kita tidak akan berbuat demikian. Sebaiknya kita mengambil beberapa ruas pering cendani itu, dan kemudian membawanya ke Kabuyutan ini sehingga dengan demikian Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan ini tahu, seberapa banyak kita telah mengambilnya. Dengan demikian, hal itu akan baik pula akibatnya bagi kita. Jika ternyata ada kerusakan pada rumpun pering cendani itu, bukan kitalah yang telah merusaknya”
“Jika demikian” jawab Mahisa Pukat, “marilah. Kita sekarang pergi ke padang itu dan mengambilnya. Malam ini kita dapat menunjukkan kepada Ki Buyut beberapa ruas paring cendani yang akan kita bawa”
“Kenapa sekarang” sahut Mahisa Murti, “kenapa kau tiba-tiba menjadi begitu tergesa-gesa? Bukankah pengembaraan kita masih panjang. Apa artinya satu dua hari bagi kita seandainya kita masih tertahan di Kabuyutan ini. Sekaligus kita dapat melihat, apakah keadaan di Kabuyutan ini benar-benar sudah mantap”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan aku yang tiba-tiba saja menjadi tergesa-gesa. He, bukankah kita sudah sepakat untuk meninggalkan Kabuyutan ini esok pagi setelah malam nanti kita memberikan beberapa pesan kepada Ki Buyut tentang lereng yang gundul itu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata, “Sebaiknya kita pun pergi ke lereng bukit yang gundul itu. Kita tidak saja memberikan pesan, tetapi kita akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti bagi mereka”
“Kau keliru Murti” jawab Mahisa Pukat” kita hanya tahu arti keseluruhan dari tanah yang dihijaukan itu. Tetapi kita bukan orang-orang yang mengerti cara-cara yang paling baik untuk menanam jenis-jenis pepohonan di lereng itu. Mungkin Ki Buyut dan orang-orang Kabuyutan ini justru lebih banyak mengetahui”
“Yang aku katakan tidak pernah sesuai dengan pendapatmu. Tetapi baiklah aku berharap, kau tidak terlalu tergesa-gesa meninggalkan Kabuyutan ini. Masih ada beberapa persoalan yang dapat kita sumbangkan kepada penghuni Kabuyutan ini” berkata Mahisa Murti.
“Sebenarnya ada apa dengan kau?” bertanya Mahisa Pukat, “kaulah yang tiba-tiba saja merubah sikapnya”
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan, “agaknya telah terjadi satu gejolak di dalam dirimu, sehingga kau sudah berubah sikap. Tetapi jika perubahan sikap itu beralasan, aku tidak akan berkeberatan”
“Ya. Aku mempunyai alasan” jawab Mahisa Murti, “bukankah aku sudah mengatakan beberapa alasan?”
“Bukan alasan yang sebenarnya” jawab Mahisa Pukat. “Apa yang kau maksud dengan alasan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu kaulah yang tahu. Cobalah bertanya kepada dirimu sendiri. Alasan apakah yang sebenarnya telah menahan kau disini?” berkata Mahis Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga karena itu. Mahisa Pukat lah yang memberikan jawabnya, “He, bukankah karena kau telah melihat perempuan yang kau sebut gadis itu?”
“Ah” desah Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan terus terang. Dan aku akan mencoba mengekang diri agar aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Tetapi sekali lagi aku peringatkan pesan ayah kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati”
Mahisa Murti menarik nafas panjang. Dipandanginya Mahisa Pukat sejenak. Namun ia pun kemudian mengalihkan tatapan matanya ke halaman, sementara langit pun menjadi semakin terasa dingin karena matahari yang merendah. Namun dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat meninggalkan rumah Ki Buyut esok pagi karena Mahisa Murti agaknya mempunyai pertimbangan lain.
Meskipun sebenarnya Mahisa Pukat tidak sesuai dengan sikap Mahisa Murti, tetapi ia tidak ingin mengecewakan saudaranya. Namun demikian, ia memang berniat untuk selalu memberi peringatan kepada Mahisa Murti agar tidak terjerat oleh satu keadaan seperti yang di cemaskan oleh ayahnya, justru karena Mahisa Bungalan pernah mengalaminya. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan berhasil menyelesaikan persoalannya dalam libatan hubungannya dengan Ken Padmi dengan baik. Jika ia gagal, maka persoalan itu akan dapat membawa nyawanya.
Demikianlah ketika lewat senja, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk-duduk di pendapa bersama Ki Buyut dan beberapa orang bebahu yang hadir, maka anak-anak muda itu sama sekali tidak menyinggung rencana mereka untuk minta diri. Yang mereka katakan hanyalah, bahwa mereka ingin mendapatkan beberapa batang pering cendani yang beruas panjang.
“Tentu kami tidak akan berkeberatan” berkata Ki Buyut” pering cendani itu tidak akan banyak artinya lagi bagi kami”
“Tetapi tidak ada jeleknya jika ketrampilan mempergunakan supit itu dikembangkan” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi kami tidak akan berkelahi lagi melawan Hantu Jurang Growong” jawab seorang bebahu.
“Sekarang tidak” jawab Mahisa Pukat, “mungkin lain kali ada pihak lain lagi yang ingin mengganggu Kabuyutan ini”
“Tetapi, bagaimana dengan anak panah dan busur?” bertanya seorang yang bertubuh, tinggi besar pembantu Ki Jagabaya.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Jika kalian berminat, kalian dapat menyiapkan justru pada saat-saat kalian mempunyai waktu untuk melatih diri”
Ki Jagabaya yang juga hadir, mengangguk-angguk. Katanya, “Pendapat yang baik sekali”
“Bukan saja berlatih mempergunakan busur dan anak panah. Tetapi memperdalam olah kanuragan pun akan sangat bermanfaat. Pada keadaan yang gawat, baru terasa bahwa ilmu kanuragan itu kita perlukan”
Orang-orang yang berada di pendapa itu mengangguk-angguk. Mereka memang memerlukan perlindungan. Pada saat-saat yang gawat sangat terasa, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi diri sendiri.
“Anak muda” berkata Ki Buyut tiba-tiba, “bagaimana jika kami minta kalian berdua untuk tinggal barang beberapa lamanya, sekedar untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan olah kanuragan?”
Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Murti telah mendahului, “Jika hanya untuk beberapa hari saja, kami tidak akan berkeberatan Ki Buyut. Tetapi, sudah barang tentu, bahwa pada saatnya kami akan meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan pengembaraan kami”
“Ya. Tentu hanya beberapa hari saja. Tetapi yang beberapa hari itu tentu akan sangat bermanfaat bagi kami” jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Jika ia bersikap lain, maka persoalannya tentu akan menjadi rumit. Karena itu. Mahisa Pukat hanya dapat memandangi Mahisa Murti dengan senyum yang masam.
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa lama. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mengetahui dengan pasti, kenapa Mahisa Murti masih lebih senang tinggal beberapa lama di padukuhan itu.
Dihari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai memberikan beberapa tuntunan olah kanuragan bagi anak-anak muda. Beberapa orang terpilih telah terbagi menjadi dua kelompok, yang masing-masing dibimbing oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyempatkan diri mengambil beberapa ruas pering cendani. Mereka telah membuat sumpit tidak untuk membunuh seseorang, tetapi mereka pergunakan untuk berburu burung yang banyak terdapat di pategalan dan di pinggir-pinggir hutan. Dalam pada itu, pada kesempatan yang lain, Mahisa Murti telah mengenal gadis yang baru kemudian hadir di rumah Ki Buyut. Ternyata gadis itu adalah anak Ki Buyut.
“Kenapa kau baru hadir beberapa hari yang lalu?” bertanya Mahisa Murti ketika keduanya sempat berbicara di serambi gandok, pada saat gadis itu mengantarkan minuman panas.
“Aku berada di rumah paman” jawab gadis itu, “sebenarnya aku sudah lama ingin pulang. Tetapi daerah ini justru tidak aman”
“Kau tidak kerasan di rumah pamanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Sebenarnya aku kerasan tinggal di rumah paman. Tetapi pada saat terakhir, aku mengalami beberapa gangguan, sehingga paman menganggap bahwa lebih baik aku kembali ke rumah ayah. Apalagi setelah Kabuyutan ini menjadi tenang”
“Gangguan apakah yang kau alami?” bertanya Mahisa Murti.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Bahkan sejenak kemudian ia berkata, “Sudahlah. Tidak ada apa-apa”
Mahisa Murti masih akan bertanya, tetapi gadis itu sudah lari. Sebenarnyalah gadis anak Ki Buyut itu sangat menarik perhatian Mahisa Murti. Dalam setiap kesempatan ia berusaha untuk dapat berbincang tentang apa saja dengan gadis itu. Apalagi nampaknya gadis itu pun telah memberikan banyak peluang pula kepada Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak jemu-jemunya memperingatkan Mahisa Murti, bahwa mereka baru mulai dengan suatu pengembaraan.
“Kita belum terlalu jauh dari Kota Raja” berkata Mahisa Pukat, “jika perjalanan kita terhenti di sini, maka jarak yang pernah kita tempuh dalam pengembaraan ini untuk mendapatkan pengalaman hidup tidak lebih jauh dari jarak anak-anak bermain sembunyi-sembunyian di terang bulan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun berkata, “Baiklah Mahisa Pukat. Aku mengerti. Aku akan berusaha menguasai perasaanku. Kita akan segera melanjutkan perjalanan. Seandainya aku tidak dapat melupakan tempat ini, maka biarlah kelak aku akan kembali lagi apabila aku masih mendapat kesempatan”
Mahisa Pukat memandang wajah saudaranya yang menjadi buram. Terbersit pula perasaan iba didalam hatinya. Karena itu. katanya, “Baiklah Mahisa Murti, aku berjanji, bahwa dalam perjalanan kita kembali kelak, kita akan berusaha untuk melalui Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Kita akan mengingat nama Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang”
“Dan kita akan selalu teringat kepada nama seorang gadis He. siapa namanya?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia merasa berat untuk meninggalkan rumah Ki Buyut itu. Tetapi iapun menyadari, bahwa ia tidak boleh tinggal terlalu lama di tempat itu. Karena Mahisa Murti tidak segera menjawab, maka Mahisa Pukat mendesaknya,
“Siapa nama yang sebenarnya gadis itu? Tentu Ireng itu bukan namanya. Bukankah itu hanya sebutannya saja karena gadis itu berkulit agak kehitaman. Dan nampaknya justru hitam-hitam manis itulah yang telah menarik perhatianmu”
“Sebut saja dengan Ireng. Aku tidak pernah bertanya siapakah namanya yang sebenarnya, karena setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab nama panggilannya itu pula” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Aku-pun sudah puas menyebutnya Ireng. Rara Ireng”
Dalam pada itu, pada saat-saat kedua anak muda itu siap meninggalkan Kabuyutan itu, maka mereka masih juga memberikan tuntunan olah kanuragan. Anak-anak muda di Kabuyutan itu ternyata dengan tekun mengikuti bimbingan itu. Mereka seolah-olah tidak mengenal letih. Kapan saja mereka justru meminta kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memberikan latihan-latihan, karena mereka pun sadar, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di Kabuyutan mereka.
Sebenarnyalah, maka pada suatu saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan niatnya untuk meninggalkan Kabuyutan itu. Mereka harus meneruskan pengembaraan mereka untuk waktu yang tidak ditentukan. Niat itu telah menumbuhkan kerisauan pada beberapa orang di Kabuyutan itu. Beberapa orang anak muda ingin menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar mereka lebih lama lagi tinggal bersama anak-anak muda di Kabuyutan Randumalang. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memutuskan, bahwa mereka harus segera melanjutkan perjalanan.
“Kau akan pergi besok?” bertanya gadis itu.
“Ya Ireng. Aku harus melanjutkan perjalanan kembaraku. Aku tidak dapat tinggal terlalu lama di satu tempat” jawab Mahisa Murti.
Gadis itu menunduk. Namun ia mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Tetapi apakah aku dapat mendengar namamu sebelum aku pergi?”
Gadis itu memandang wajah Mahisa Murti. Lalu katanya Bukankah kau sudah mengenal namaku?”
“Belum. Aku hanya mengenal sebutan atau panggilanmu sehari-hari. Tetapi namamu tentu bukan Rara Ireng” sahut Mahisa Murti. Lalu, “Sebelum aku pergi, maka aku ingin dapat selalu mengingat namamu”
Gadis itu menunduk. Namun kemudian katanya, “Namaku memang Ireng. Tetapi kadang-kadang paman memanggil aku Widati”
“Widati” desis Mahisa Murti, “aku lebih senang memanggilmu dengan Widati. Bukan Ireng”
“Tidak. Disini namaku Ireng. Panggil aku dengan Ireng. jawab gadis itu.
“Ya. Disini aku akan tetap memanggilmu Ireng. Tetapi aku akan lebih senang mengenang namamu Widati. Besok pada suatu saat, jika aku kembali lagi. aku akan mencari Widati” berkata Mahisa Murti.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan sejenak kemudian, maka gadis itupun telah berlari meninggalkan Mahisa Murti yang termangu-mangu di serambi gandok memandanginya sampai hilang di balik pendapa.
Mahisa Murti terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat menegurnya, “Sudahlah. Agar kau tidak menunda lagi perjalanan kita. Pada saatnya kita akan kembali”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkedip ia masih saja memandangi pintu yang sudah tertutup. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai perasaan aneh terhadap gadis itu”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Kau tentu dapat menyebut perasaan apa yang sebenarnya mencengkammu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menjawab Mahisa Pukat telah berkata, “Karena itu, maka biarlah kita segera meninggalkan tempat ini sebelum perasaan itu berakar dihatimu. Jika Yang Maha Agung memang mengijinkan, gadis itu akan menjadi jodohmu, maka pada suatu saat kau akan bertemu lagi dimana pun juga”
Mahisa Murti mengangguk-angguk Katanya, “Kau benar Mahisa Pukat. Kita memang harus segera meninggalkan tempat ini”
Ketika kemudian malam turun, untuk terakhir kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang dengan Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan. Pada kesempatan terakhir itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali lagi menyinggung lereng pegunungan yang menjadi gundul. Keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang penggunaan berbagai macam senjata jarak jauh. Keduanya menganjurkan agar orang-orang Kabuyutan itu lebih banyak mempelajari cara mempergunakan anak panah dan busur daripada mempergunakan sumpit. Mereka pun memberitahukan beberapa jenis senjata lontar yang lain. Bandil dan paser. Bahkan pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan para bebahu masih ingin menahan kedua anak muda itu barang satu dua pekan. Tetapi keduanya ternyata telah mengambil satu keputusan untuk meninggalkan Kabuyutan itu, betapapun berat hati mereka. Terlebih-lebih adalah Mahisa Murti.
Demikianlah, maka malam itu, para bebahu dan Ki Buyut sendiri telah mengucapkan beribu terima kasih kepada kedua orang anak muda itu. Ada keinginan mereka untuk memberikan sesuatu kepada keduanya sebagai tanda terima kasih orang-orang seluruh Kabuyutan.
Namun dengan hati-hati Mahisa Murti menjawab, “Terima kasih Ki Buyut. Bukan berarti aku menolak, tetapi aku masih ingin mengembara. Karena itu, maka hadiah yang akan aku terima, tentu tidak sewajarnya jika aku bawa berkeliaran tanpa tujuan”
“Kami mempunyai sepasang cincin dengan sebuah permata yang baik” berkata Ki Buyut mungkin kalian berdua pada suatu saat membutuhkannya. Tentu cincin itu tidak akan memberati beban kalian diperjalanan”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah kami menitipkan cincin itu disini”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian berdua akan kembali lagi ke Kabuyutan ini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukatlah yang menjawab, “Ya. Kami memang berniat demikian. Pada suatu saat yang tidak dapat kami sebutkan, karena kami sendiri belum dapat menentukan, kami berdua berusaha untuk dapat singgah di padukuhan ini. Pada saat itu kami akan mengambil barang-barang kami yang kami titipkan”
“Barang-barang apa saja yang kalian titipkan selain sepasang cincin yang akan kami serahkan?” Ki Jagabaya bertanya.
Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi Mahisa Murti cepat menyahut tidak ada. Memang tidak ada Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi akhirnya mereka tidak mempersoalkannya lagi. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih saja cemas, bahwa Mahisa Pukat pada suatu saat akan menyebut hubungannya dengan gadis yang bernama Widati itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak tergelincir dengan ucapan ucapannya, meskipun kadang-kadang Mahisa Murti menjadi tegang juga.
Kedua anak muda itu duduk di pendapa sampai jauh malam, justru karena malam itu adalah malam terakhir mereka berada di Kabuyutan itu. Tetapi akhirnya Ki Buyut pun telah mempersilahkan keduanya untuk beristirahat, karena esok harinya keduanya akan menempuh perjalanan yang tidak diketahui, betapa jauh dan betapa lamanya.
Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengemasi bekal mereka yang tidak terlalu banyak, selain sebungkus kecil pakaian yang tidak berarti. Tetapi sesaat kemudian, ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap terjaga, meskipun ia pun sudah berbaring dipembaringan. Setiap kali ia memejamkan matanya, justru ingatannya kepada gadis yang bernama Widati itu serasa menjadi semakin tajam. Namun bagaimanapun juga ia sudah bertekad bulat untuk meninggalkan padukuhan itu.
Sesaat menjelang dini hari, Mahisa Murti sempat terlena beberapa waktu. Namun justru Mahisa Pukat lah yang kemudian telah terbangun. Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak membangunkan Mahisa Murti karena ia pun seolah-olah dapat mengerti, bahwa hampir semalaman Mahisa Murti tidak tidur, ternyata bahwa nampaknya ia masih lelap menjelang dini hari. Karena bukan demikianlah kebiasaannya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat lah yang kemudian mendahului pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Tetapi Mahisa Murti tidak terlalu lama pulas dalam tidurnya. Ia tidak terbiasa bangun setelah terbit. Karena itu, maka ia pun kemudian terbangun juga sebelum langit menjadi terang. Namun pada pagi hari itu. keduanya benar-benar telah berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan berat hati, orang-orang Kabuyutan itu telah melepaskan kedua anak muda itu pergi. Apalagi mereka yang serba sedikit telah menerima terutama olah kanuragan. Mereka merasa bahwa yang mereka terima masih terlalu sedikit, sehingga mereka masih memerlukan jauh lebih banyak lagi.
Tetapi kedua anak muda itu tidak lagi dapat ditahan. Mereka benar-benar siap meninggalkan Kabuyutan itu. Ketika keduanya sudah berada di regol, maka seorang gadis berdiri di bawah sebatang pohon kemuning yang tumbuh di halaman. Dengan wajah yang suram gadis itu memperhatikan kedua anak muda yang sudah siap untuk berangkat. Namun adalah diluar kehendaknya, ketika Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah berpaling. Ketika dilihatnya gadis itu berdiri termangu-mangu, maka Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Ki Buyut mengerutkan keningnya ketika ia melihat sikap anak muda itu. Ketika ia berpaling ke arah pandangan Mahisa Murti, maka dilihatnya anak gadisnya berdiri dengan kepala tunduk. Meskipun tidak terucapkan, agaknya Ki Buyut bertanya di dalam hatinya, hubungan apakah yang sudah terjalin antara anak gadisnya dengan anak muda pengembara itu?
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat kemudian berkata, “Ki Buyut, sebagaimana sudah kami katakan, pada suatu saat kami akan kembali. Seandainya kami tidak akan mengambil kenangan yang akan diberikan oleh orang-orang di Kabuyutan ini, kami memang benar-benar akan singgah”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat Mahisa Pukat tersenyum sambil memandangi Mahisa Murti, maka Ki Buyut pun dapat memaklumi, perasaan apakah yang tersirat di hati anak muda itu. Karena itu, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Segala terserah kepada kehendak Yang Maha Agung.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata, “Demikianlah Ki Buyut. Tetapi bukankah kita wenang memohon kepada-Nya?”
“Ya. Kita memang wenang memohon” sahut Ki Buyut.
“Sudah tentu, dengan pengharapan, bahwa permohonan kita akan terkabul” sambung Mahisa Pukat.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Kita akan memohon”
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu pun telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut. Mahisa Murti sempat berpaling dan seleret pandang anak muda itu telah membentur mata Widati. Namun gadis itu kemudian menunduk dalam-dalam. Bahkan ia pun telah berlari masuk ke ruang dalam.
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berkata apapun juga tentang anaknya. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyusuri jalan padukuhan induk menjauhi rumah Ki Buyut. Beberapa orang anak muda telah mengikutinya sampai keregol padukuhan.
Sepeninggal kedua anak muda itu, maka Ki Buyut pun kemudian masuk keruang dalam, “Dilihatnya anak gadisnya duduk tepekur di pembaringannya, sementara pintu biliknya masih terbuka. Perlahan-lahan Ki Buyut mendekati anaknya, yang terkejut melihat kehadirannya.
“Ireng, apa yang sebenarnya kau pikirkan?” bertanya Ki Buyut.
Widati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya, “Tidak ada ayah”
“Jangan kau bohongi orang tua ini Ireng” berkata ayahnya kemudian, “meskipun tidak kau ucapkan, aku melihat sorot matamu ketika kau memperhatikan kedua anak muda itu telah membentur mata Widati anak muda yang meninggalkan Kabuyutan ini”
Widati menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih, “Tidak ada apa-apa ayah”
“Baiklah” berkata ayahnya, “Syukurlah jika tidak ada apa-apa di antara kalian. Namun demikian, baiklah ayah ingin mengatakan sesuatu serba sedikit”
Widati menjadi tegang. Sementara itu ayahnya berkata lebih lanjut, “Aku tidak menyesali hubunganmu dengan anak-anak muda. Aku kira hal itu wajar sekali. Tetapi ternyata bahwa kau tidak kerasan tinggal dirumah pamanmu, justru karena kau merasa diganggu oleh anak muda yang tidak kau sukai”
Widati tidak menyahut. “Tetapi bagaimanapun juga, ayah mempunyai satu sikap, bahwa hubunganmu dengan anak-anak muda itu, harus kau batasi pada hubungan persahabatan saja. Jika hubungan itu terasa menjadi semakin dalam, maka banyak hal yang harus di amati. Misalnya, keturunan. Watak dan tingkah laku, juga kemungkinan masa depan. Mungkin kita bertemu dengan seseorang yang langsung kita kagumi. Tetapi kita tidak tahu asal usulnya, kita tidak tahu sifat dan tabiatnya yang sebenarnya, karena kita baru mengenal dalam waktu singkat. Sebab seseorang dapat saja menyelubungi sifat-sifatnya yang sebenarnya untuk sesuatu maksud”
Wajah Widati menjadi tegang, la mengerti maksud ayahnya. Yang disebut-sebut itu tentu anak-anak muda yang baru saja meninggalkan Kabuyutan itu, karena sebenarnyalah Ki Buyut tidak tahu asal-usul anak-anak muda itu. Ki Buyut pun tidak tahu sifat dan watak yang sebenarnya.
Bahkan Ki Buyut itu berkata lebih lanjut, “Aku dapat memberikan contoh yang jelas Ireng. Sebelum anak-anak muda itu datang, maka seorang tamu di Kabuyutan ini merupakan orang yang kita kagumi. Sikapnya yang tegas penuh wibawa, kepandaiannya bermain senjata dan nasehat-nasehatnya yang semula terasa sangat berarti bagi kita disini. Tetapi ternyata sikap itu adalah sikap yang terselubung. Sikap yang semu seperti salah seorang tetangga kita sendiri, yang bersikap semu pula. Seolah-olah ia tidak lebih dari petani biasa seperti kebanyakan penghuni Kabuyutan ini. Tetapi apa yang sebenarnya kita hadapi”
Widati menundukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya dan ia pun tidak menganggap bahwa yang dikatakan oleh ayahnya itu keliru. Tetapi ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Menurut pendapatnya, salah seorang dari kedua anak muda itu adalah seorang anak muda yang mempunyai ciri yang terlalu baik. Ramah, sopan dan mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Menurut seorang kawannya, anak muda itu tentu tidak ada yang mengalahkan. Tetapi ia pun melihat tirai yang menyelubungi anak-anak muda itu. Mereka tentu tidak mengatakan tentang diri mereka yang sebenarnya. Karena itu, tentulah beralasan bahwa ayahnya mempunyai sikap tertentu.
Namun agaknya sulit bagi Widati untuk menghilangkan kenangannya terhadap anak muda yang seorang. Yang nampaknya lebih lembut dari yang lain. Seolah-olah segalanya mapan sebagaimana diidamkan pada seorang laki-laki muda. Tetapi Widati sama sekali tidak menjawab. Sementara itu ayahnya pun berkata selanjutnya,
“Seterusnya Widati, kau harus selalu berhati-hati menghadapi masa datang. Kecuali kau harus dapat menjaga dirimu, maka kau pun harus memperhitungkan apa yang kira-kira bakal terjadi atasmu”
Widati masih menunduk. Namun terasa degup jantungnya menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak-anak Kabuyutan itu pun seolah-olah mendapat kesempatan untuk melihat kedalam diri sendiri. Dua orang pengembara itu umurnya masih semuda dengan mereka. Tetapi keduanya sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Yang menggelitik hati anak-anak muda itu adalah pertanyaan salah seorang dari kedua anak muda itu, “Jika kami mampu melakukannya, kenapa kalian tidak? Apa bedanya?”
Anak-anak-muda itu memang berpikir untuk mencari jawabnya. Anak muda yang menyebut diri mereka pengembara itu memang mengatakan, mungkin kesempatanlah yang telah membuat tingkatan mereka demikian. Tetapi untuk seterusnya apakah anak-anak muda itu tidak dapat berbuat sesuatu untuk menciptakan satu kesempatan, meskipun tidak sama dan setingkat.
Karena itu, sepeninggalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak-anak muda yang mengantarkannya sampai ke gerbang padukuhan induk itupun berbicara diantara mereka, ”Kita harus mengembangkan apa yang telah diberikan oleh kedua anak-anak muda itu”
“Ya” sahut yang lain, “kita dapat berlatih terus. Kita sudah menerima pokok-pokok unsur yang diperlukan. Jika kita tidak terlalu bodoh, maka kita akan dapat mengembangkannya meskipun serba sedikit”
“Kita akan mengembangkannya” jawab yang lain lagi. Bahkan katanya kemudian, “Bukan saja olah kanuragan. tetapi pesan-pesannya yang lainpun perlu kita perhatikan. Kita memang prihatin terhadap hutan dilereng yang gundul itu. Kita memang cemas menghadapi tanah longsor. Menghadapi banjir seperti yang dikatakannya itu”
“Ya. Sementara itu kita pun cemas menghadapi kejahatan seperti yang pernah terjadi. berkata yang lain lagi.
Dengan demikian, maka kehadiran mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang hanya beberapa hari saja di Kabuyutan itu telah dapat menumbuhkan kesan yang mendalam, terutama di antara anak-anak muda. Mereka merasa tersentuh, bahwa pengembara yang asing bagi Kabuyutan mereka, telah berbuat terlalu banyak terhadap Kabuyutan itu melampaui apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda di padukuhan itu sendiri.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itu pun telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan lebih banyak bekerja bagi Kabuyutan mereka sendiri. Bekas yang ditinggalkan oleh kedua pengembara itu memang terasa oleh Ki Buyut, terutama dilingkungan anak anak mudanya. Bukan saja di bidang kewadagan dan ilmu kanuragan, tetapi ternyata kehadiran mereka telah menggetarkan gejolak jiwa anak-anak muda di padukuhan itu sendiri.
Meskipun demikian, ia tidak dapat bersikap seperti itu, tanpa pengamatan yang lebih mendalam, apabila anaknya telah memandang anak muda itu dari segi yang terlalu khusus, justru karena anak gadisnya itu sudah menjelang gadis dewasa.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjalan semakin jauh. Mahisa Murti sendiri sama sekali tidak pernah berpaling. Justru Mahisa Pukat lah yang sering berpaling kearah jalur jalan yang panjang yang telah dilewatinya. Rasa-rasanya jalan itu panjang sekali sehingga malaslah untuk menjalaninya kembali di satu saat mendatang. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menutup mata. Mahisa Murti agaknya benar-benar tertarik kepada seorang gadis yang bernama Widati, yang sehari-hari dipanggil Ireng itu.
Sementara itu Ireng sendiri sedang menelungkup di pembaringannya. Meskipun ia tidak menjawab sepatah kata pun ketika ayahnya memberinya nasehat, tetapi ketika ayahnya kemudian meninggalkannya, maka ia tidak dapat menahan lagi gejolak perasaannya. Betapapun juga ia berusaha, namun titik-titik air matanya telah mengembun di pelupuknya.
Anak muda yang meninggalkan halaman rumah itu tentu bukan orang-orang yang bertabiat buruk. Seorang di antaranya benar-benar telah memikat hatinya. Namun agaknya ayahnya kurang sependapat, karena beberapa hal seperti yang dikatakannya. Terutama bahwa ayahnya sama sekali tidak mengenal asal-usul anak muda itu.
“Tetapi apakah asal-usul itu mutlak harus ditelusuri?” bertanya Widati di dalam hatinya, “jika seseorang ternyata menunjukkan sikap, sifat dan watak yang baik serta bertanggung jawab, apakah artinya asal-usul itu Sebaliknya, meskipun menurut silsilahnya seseorang adalah orang yang terpandang, tetapi orang itu tidak bersikap dan bersifat terpuji apalagi tidak bertanggung jawab, apakah artinya nilai asal-usulnya itu?”
Namun demikian Widati tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Ia pun tidak berani pula mengatakannya kepada ibunya, karena menurut dugaannya, ibunya tentu sudah mendengarnya dari ayahnya, apa yang telah terjadi atas dirinya serta sikap ayahnya itu sendiri. Karena itu. ia berusaha untuk membawa beban perasaan nya itu seorang diri. betapapun beratnya
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki satu daerah yang mendebarkan. Mereka mulai melintasi lereng pegunungan yang menjadi gersang. Jaiur-jalur air hujan yang mengalir dengan membawa lapisan tanah nampak semakin lama agaknya menjadi semakin dalam, sementara pepohonan yang nampak menjadi semakin jarang.
Mahisa Pukat memperhatikan lereng pegunungan itu dengan hati yang berdebaran. Terbayang masa-masa mendatang yang panjang. Jika tanah di lereng ini terus- menerus di hanyutkan oleh air hujan, maka akibatnya akan sangat terasa. Bukan saja saat-saat air hujan itu mengalir tanpa kendali sehingga dapat menimbulkan bahaya yang dahsyat di kaki pegunungan itu, namun akhirnya pegunungan itu benar-benar akan terkelupas sehingga yang tersisa dalah seonggok batu-batu padas raksasa yang kering dan tandus.
“Belum terlambat” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau berkata sesuatu?”
Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku mengatakan bahwa usaha menyelamatkan lereng pegunungan ini masih belum terlambat. Mudah-mudahan Ki Buyut bersama-sama dengan Kabuyutan tetangganya di sekitar daerah ini akan berhasil mengatasi keadaan ini dengan satu kesadaran baru”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Agaknya angan-angannya masih saja meloncat kembali ke Kabuyutan yang baru saja ditinggalkannya. Mahisa Pukat pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Mereka pun kemudian melangkah dengan cepat di lereng pegunungan melintas ke lembah di sebelahnya.
Keduanya tidak menghiraukan matahari yang menjadi terik di puncak langit. Ketika mereka menyuruk di bawah hutan yang tidak terlalu lebat, maka panasnya sinar matahari tidak begitu terasa membakar kulit. Meskipun demikian, ketika mereka sampai di pinggir sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih, maka mereka pun memerlukan untuk berhenti barang sejenak.
Namun Mahisa Murti itu pun kemudian berkata, “Kita dapat beristirahat di sini. Di sini banyak burung yang dapat kita tangkap dengan sumpit. sehingga kita tidak akan kelaparan”
Mahisa Pukat memandang berkeliling. Memang terasa sejuknya udara. Namun ternyata Mahisa Pukat itu menjawab, “Apakah tidak lebih baik kita berjalan terus sampai saatnya matahari terbenam?”
“Jika kita tidak lagi menemukan tempat sesejuk ini” berkata Mahisa Murti.
“Tentu bukan tempat yang sejuk yang penting bagi kita” Jawab Mahisa Pukat, “jika demikian, maka kita tidak akan bergeser dari tempat ini”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita akan meneruskan perjalanan”
Demikianlah keduanya memang melanjutkan pengembaraan mereka. Mereka berjalan menyusuri lereng-lereng pegunungan, lembah lembah dan melintasi padang perdu. Tetapi sekali-sekali mereka pun berjalan melalui daerah berpenghuni yang padat tanpa menarik perhatian.
Demikianlah, mereka melakukan dari hari kehari. Padukuhan demi padukuhan mereka lalui, sehingga dengan demikian mereka menjadi semakin jauh dari sebuah Kabuyutan yang menyimpan seorang gadis yang bernama Widati. Seorang gadis yang belum lama kembali ke rumah orang tuanya setelah beberapa lamanya ia berada di rumah pamannya.
Tetapi berjalan terus meskipun dalam pengembaraan adalah menjemukan. Mereka tidak menemukan pengalaman baru yang dapat meningkatkan pengamatan mereka terhadap kehidupan, sehingga karena itu, maka mereka mulai berpikir lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah bersepakat untuk mencari tempat pemberhentian. Mungkin di tempat itu mereka akan mendapatkan pengalaman yang akan bermanfaat bagi hidup mereka kelak.
Ketika mereka mendekati sebuah padepokan yang besar, maka Mahisa Murtipun berkata, “Apakah kita akan memasukinya?”
“Ada juga baiknya” berkata Mahisa Pukat, “mungkin kita akan mendapat kesempatan barang sepekan untuk tinggal di padepokan ini. Beruntunglah kita jika selama kita tinggal di padepokan itu, kita akan mendapatkan sesuatu”
“Aku setuju” berkata Mahisa Murti, “nampaknya padukuhan ini sebuah padukuhan yang tenang. Di sekitarnya terdapat sawah yang hijau dan pategalan yang subur”
“Mudah-mudahan di padukuhan ini tidak ada seorang gadis yang dapat menyentuh dasar perasaan yang paling dalam” desis Mahisa Pukat.
“Ah” Mahisa Murti berdesah. Tetapi ia tidak berkata lebih lanjut.
Demikianlah keduanya pun kemudian memasuki jalur jalan menuju ke padukuhan itu. Padukuhan yang nampak hijau subur dan bahkan terasa ketenangan menyentuh hati kedua anak muda itu. Sejenak kemudian mereka telah memasuki lingkungan sebuah padepokan. Ketika mereka sampai di regol halaman yang luas. maka mereka pun menjadi termangu-mangu.
Sebelum mereka berbuat sesuatu, mereka melihat seorang cantrik yang tergesa-gesa mendekat. Sambil membungkuk hormat, cantrik itu pun Kemudian bertanya, “Ki Sanak, apakah kepentingan Ki Sanak mendekati regol padepokan kami yang sunyi ini”
Mahisa Murti pun mengangguk pula. Katanya, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang bersaudara yang sedang mengembara. Kami melihat betapa sejuk dan damainya lingkungan padepokan ini. sehingga rasa-rasanya kami ingin singgah barang sejenak”
“Oh, tentu kami tidak akan berkeberatan. Marilah Ki Sanak, aku akan menyampaikan kedatangan Ki Sanak kepada Empu Nawamula yang untuk sementara memimpin padepokan ini”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat, “Kenapa untuk sementara?”
“Ya. Hanya untuk sementara. Pemimpin padepokan kami yang sebenarnya sudah meninggal dunia hampir setahun yang lalu. Empu Nawamula adalah adik satu-satunya dari pemimpin padepokan kami yang telah meninggal itu. Karena tidak ada orang lain, maka Empu Nawamula untuk sementara diserahi pimpinan padepokan ini, sementara anak pemimpin padepokan kami yang telah meninggal itu sedang berguru kepada seorang pertapa yang tidak ada duanya di tempat yang jauh. Jika ia kembali kelak, maka ialah yang berhak untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu” jawab cantrik yang menemui mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan rendah hati Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak, apakah kiranya kami diperkenankan untuk singgah barang satu dua hari di padepokan ini.
“Tentu. Empu Nawamula adalah orang yang baik. Ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menerima kedatangan Ki Sanak berdua” jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah dibawa oleh cantrik itu memasuki padepokan. Sejak keduanya melangkah di halaman, terasa betapa tenangnya kehidupan di padepokan itu. Di antara beberapa buah rumah yang terdapat di padepokan itu terdapat pohon buah-buahan yang rimbun. Pohon jambu air yang berbuah lebat. Manggis dan Srikaya yang berbuah pula. Agak menyudut, nampak sebuah belumbang yang besar. Beberapa ekor angsa berenang di airnya yang kehijauan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Padepokan itu benar-benar merupakan sebuah padepokan yang asri.
“Ki Sanak” bertanya Mahisa Murti, “apakah Empu Nawamula tidak mempunyai sebuah padepokan tersendiri sebelum ia berada di padepokan ini?”
Cantrik itu menggeleng. Jawabnya, “Empu Nawamula bukan seorang pemimpin padepokan Ia tinggal di satu lingkungan yang kecil. Empu Nawamula tenggelam dalam pekerjaannya bersama tiga orang cantriknya”
“Pekerjaan apa yang dilakukannya? bertanya Mahisa Murti.
“Empu Nawamula adalah seorang ahli membuat keris. Ia memang benar-benar seorang empu” jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murtipun bertanya, “Apakah di sini Empu Nawamula juga masih membuat keris?”
“Ya” jawab cantrik itu, “tiga orang pembantunya berada di sini pula. Jika kau melihat asap di kebun belakang yang agak jauh itu, disanalah Empu Nawamula melakukan tugasnya. Meskipun Empu Nawamula bukan seorang Empu yang banyak menghasilkan. Tetapi satu dua keris yang dibuatnya merupakan pusaka yang sangat berharga”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu maka cantrik itu pun telah mempersilahkannya naik kependapa sambil berkata, “Silahkan. Aku akan menyampaikannya kepada Empu Nawamula”
Terima kasih” jawab Mahisa Murti” biarlah aku menunggu di sini saja. Aku bukan seorang tamu yang pantas. Kami berdua hanyalah pengembara yang ingin singgah barang satu dua hari”
Cantrik itu tidak memaksanya. Dibiarkannya saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk di tangga pendapa, karena mereka memang merasa bukan tamu-tamu yang harus mendapat penghormatan.
Sepeninggal cantrik itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk di tangga pendapa itu pun sempat mengamati halaman padepokan yang luas tetapi bersih. Sekali-sekali terdengar lenguh lembu di kandang di kebun belakang. Sementara itu terdengar pula suara lesung dengan iramanya yang rampak. Agaknya beberapa orang perempuan tengah menumbuk padi di dekat lumbung padepokan itu.
Namun dalam pada itu. tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis, “Mahisa Pukat, rasa-rasanya aku pernah mendengar nama Empu Nawamula. Dimana dan kapan, aku masih belum berhasil mengingatnya.”
“Ya. aku juga pernah mendengarnya. Mungkin pada saat-saat kita ikut ayah yang sering memperjual belikan batu-batu berharga dan kadang-kadang membawa pula wesi aji. Agaknya ayah memang pernah berhubungan dengan Empu Nawamula” jawab Mahisa Pukat.
“Ya” sahut Mahisa Murti dengan serta merta, “ayah memang pernah menemui seorang Empu untuk memesan sebilah keris. Bukan untuk ayah sendiri, tetapi untuk Seorang sahabatnya. Empu itu bernama Nawamula”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Jika Empu itu melihat kita di sini, maka ia akan segera mengenal kita pula. Tetapi apakah Empu itu bernama Nawamula?”
“Ya. Nawamula. Bukankah kau pernah mendengar nama itu? Tentu Empu Nawamula adalah Empu yang pernah membual keris untuk ayah. Meskipun keris itu kemudian disampaikan oleh ayah kepada sahabatnya yang memesannya. Aku sekarang ingat dengan gamblang. Akupun ingat pula wajah Empu yang sejuk itu”
“Tetapi bagaimana dengan kita? Jika Empu itu mengenali kita?” desis Mahisa Pukat.
Sebelum keduanya menemukan pemecahan, terdengar langkah seseorang mendekat. Ternyata cantrik yang semula mempersilahkannya itu datang pula kepada keduanya sambil berkata, “Ki Sanak. Empu mempersilahkan kalian datang ke sanggar. Empu sedang menyiapkan sebilah keris. Baru sesaat nanti. Empu dapat meninggalkan pekerjaannya”
Keduanya ragu-ragu. Namun cantrik itu berkata pula, “Marilah. Aku sudah menyampaikan segalanya kepada Empu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat membantah lagi. Keduanya pun kemudian mengikuti cantrik itu menuju ke bagian belakang padepokan. Ketika mereka mendekati sebuah perapian yang terbuka, muka cantrik isu berkata, “Itu adalah sanggar khusus Empu Nawamula. Bukan sanggar untuk olah kanuragan. Tetapi sanggar khusus untuk melakukan pekerjaannya, membuat keris."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun keduanya tidak menjawab.
“Silahkan duduk Ki Sanak,” cantrik itu mempersilahkan, “sebentar lagi. Empu Nawamula akan menemui kalian berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun dipersilahkan duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di serambi sebuah rumah kecil di hadapan sanggar Empu Nawamula. Ketika cantrik itu kemudian meninggalkan mereka, maka Mahisa Murti itupun kemudian berkata, “Benar. Empu itulah yang pernah kita kenal”
“Ya” Sahut Mahisa Pukat, “aku tidak lupa lagi”
“Apa boleh buat. Bukankah kita tidak berbuat apa-apa? Seandainya pada suatu saat Empu itu bertemu dengan ayah dan mengatakan kehadiran kita di padepokan ini, justru sekaligus memberikan kabar keselamatan kami kepada ayah” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun tidak berkeberatan atas pengenalan mereka terhadap orang yang untuk sementara memimpin padepokan yang sejuk itu. Beberapa saat mereka menunggu. Namun akhirnya Empu Nawamula itu meletakkan alat-alatnya. Kemudian menyeka keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Baru kemudian Empu itu berpaling ke arah kedua orang anak-anak muda yang duduk di serambi menunggunya.
Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian iapun melangkah meninggalkan perapiannya mendekati kedua orang anak yang sedang menunggunya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun serentak berdiri. Sambil membungkuk hormat keduanya beringsut ke samping.
“Silahkan. Silahkan duduk anak-anak muda” Empu Nawamula mempersilahkan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun termangu-mangu. Namun ketika Empu Nawamula pun duduk pula di atas tikar itu, maka keduanya pun telah duduk kembali. Sejenak Empu Nawamula mengamati kedua orang anak muda itu. Kemudian katanya, “Aku sudah tua ngger. Tetapi, rasa rasanya aku pernah mengenal kalian berdua. Tetapi mungkin aku keliru karena aku sudah hampir menjadi pikun”
“Mungkin Empu benar” jawab Mahisa Murti, “kami berdua yang sedang mengembara tidak menduga, bahwa kami akan berjumpa dengan Empu di sini”
“Jadi pengenalanku benar? Tetapi sebut, siapa namamu berdua?” bertanya Empu itu.
“Aku Mahisa Murti Empu dan ini saudaraku Mahisa Pukat” Jawab Manisa Murti.
Empu itu mengerutkan keningnya, ia mencoba mengingat nama itu. Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian menjelaskan, “Kami adalah anak-anak laki-laki dari ayah Mahendra”
“Oh” Empu itu mengangguk-angguk, “jadi kalian anak Muhendra. Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan sudah seperti saudara sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Ternyata Empu itu memang mengenal ayah mereka, dan ia pun pernah melihat keduanya pula. Dalam pada itu. Empu itu pun berkata, “Aku ingat sekarang. Aku ingat kalian berdua memang pernah mengikuti ayah kalian pergi ke gubugku. Tetapi tidak di padepokan ini”
“Ya Empu” jawab Mahisa Murti, “karena itu. Kamipun tidak menyangka, bahwa kami menjumpai Empu di padepokan ini”
“Adalah kebetulan sekali” jawab Empu Nawamula, “tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?”
“Kami sedang mengembara Empu. Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami hanya ingin melengkapi pengalaman kami menginjak masa dewasa kami” jawab Mahisa Murti.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ketika seorang cantrik menyuguhkan minuman panas dan beberapa potong makanan, maka Empu itu pun telah mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mencicipinya. Sejenak kemudian pembicaraan mereka pun telah berkembang. Empu Nawamula telah menanyakan keselamatan seluruh keluarga Mahendra. Kemudian menanyakan beberapa hal tentang perjalanan kedua orang anak muda itu.
“Kalian telah membekali hidup kalian kelak dengan pengalaman yang akan sangat berarti” berkata Empu Nawamula, “ternyata Mahendra mempunyai wawasan yang luas atas masa depan anak-anaknya”
Kedua anak muda itu hanya menundukkan kepalanya. Sementara itu Empu Nawamula berkata, “Anakmas berdua. Sebaiknya kalian berdua tinggal di padepokan ini untuk satu dua pekan. Selama ini kalian telah menempuh jarak yang panjang. Sepekan dua pekan akan dapat kalian pergunakan untuk sekedar beristirahat. Sementara itu. kalian akan dapat menjadi kawan berbincang di sini di samping para cantrik”
Adalah kebetulan sekali bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memang ingin beristirahat barang satu dua hari setelah menempuh perjalanan yang panjang. Sementara itu Empu Nawamula telah menawarkan agar mereka berada di padepokan itu barang satu dua pekan. Karena itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menolak. Bahkan dengan terus-terang Mahisa Murti berkata,
“Empu. Sebenarnyalah kami berdua memang ingin menyatakan keinginan kami untuk dapat berada di padepokan ini. Seandainya yang memimpin padepokan ini bukan Empu, kami memang ingin mohon untuk tinggal barang satu dua hari. Tetapi adalah kebetulan sekali, bahwa Empu yang berada di padepokan ini”
“Ya. Meskipun hanya untuk sementara. Pada saatnya aku harus menyerahkan padepokan ini kepada yang berhak. Kemenakanku yang sekarang sedang berguru di tempat yang jauh”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan kesediaannya untuk tinggal di padepokan itu barang satu dua pekan. Dalam waktu singkat, keduanya telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. sehingga mereka pun segera dapat luluh dalam kehidupan para cantrik.
Namun dalam pada itu, pada saat-saat tertentu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk di pendapa padepokan itu untuk berbincang dengan Empu Nawamula pada saat-saat senggangnya. Terutama di ujung malam. Dengan lampu minyak, mereka berbicara tentang satu segi kehidupan meloncat kesegi kehidupan yang lain. Namun akhirnya Empu Nawamula itu pun sampai pula kepada persoalan padepokan itu sendiri.
“Apakah pada suatu saat Empu juga akan meninggalkan padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu ngger” jawab Empu Nawamula aku tidak akan tinggal di sini seterusnya. Jika kemenakanku itu kembali dari perguruannya maka padepokan ini akan aku serahkan kepadanya”
“Kapan kemenakan Empu itu akan kembali” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku kurang pasti ngger” jawab Empu Nawamula, “tetapi pada saat-saat tertentu ia sering mengunjungi padepokan ini Kadang-kadang sebulan sekali ia kembali dan tinggal di padepokan ini sekitar dua tiga hari. Kemudian ia kembali ke perguruannya. Namun sementara itu ia minta agar aku tetap tinggal di sini”
“Ia akan kembali dengan ilmu yang mumpuni” berkata Mahisa Pukat, “bukankah itu pun satu usaha untuk membekali hidupnya kelak?”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia bukan anakku sendiri. Jika ia anakku, maka aku akan berusaha untuk menasehatinya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Terasa pada nada kata-kata Empu Nawamula, seolah-olah ada penyesalan atas sikap kemenakannya itu.
“Angger berdua” berkata Empu itu selanjutnya, “aku sendiri tidak mempunyai anak. Ketika isteriku meninggal, rasa-rasanya hidup ini menjadi sepi. Aku tidak ingin kawin lagi dengan perempuan yang manapun juga. Namun akibatnya, aku benar-benar tidak mempunyai keturunan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mendengar serba sedikit tentang kemenakan Empu Nawamula. Tetapi mereka tidak berani menanyakannya. Karena itu. mereka hanya dapat menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Empu itu.
Tetapi Empu itu berkata tentang dirinya sendiri Terasa kesepian kadang-kadang mencengkam., “Tetapi aku memang sudah berniat demikian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sekilas. Mereka melihat, terbersit satu perasaan yang kurang mapan di hati Empu itu. Adalah diluar sadarnya, bahwa Mahisa Murti kemudian berkata, “Empu, kemanakan Empu itu akan dapat Empu anggap sebagai anak sendiri”
Empu Nawamula itu menggeleng. Katanya, “Ada bedanya ngger. Jika ia anakku sendiri, aku akan dapat memberinya arah”
“Apa tidak demikian dengan kemanakan Empu itu?”’ bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba saja.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan maksudku untuk mengeluh. Kau berdua adalah anak sahabatku yang menurut pengamatanku, kalian telah dapat berpikir dewasa. Karena itu. Aku kira kau akan dapat mengatakan sesuatu yang akan dapat mengurangi beban perasaanku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu sejenak Sementara itu Empu Nawamula itupun berkata selanjutnya, “Ada sesuatu yang kurang sesuai dengan perasaanku. Kemanakanku itu telah terjerumus ke dalam satu perguruan yang menurut pendapatku, kurang menguntungkan bagi masa depannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Perguruan yang bagaimanakah yang Empu maksud? Seandainya perguruan itu bukan perguruan yang baik, apakah ayahnya pada masa hidupnya tidak pernah mencegahnya?”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang selama ini memberati perasaanku. Saudara tuaku, ayah anak itu, sudah tidak dapat mencegahnya lagi. Setiap kali keduanya berselisih, sehingga akhirnya ayah anak itu tidak lagi mempunyai harapan bagi masa depannya yang terasa sangat gelap. Tingkah laku anak laki lakinya mempercepat surutnya kesehatannya. Namun agaknya segalanya memang sudah menjadi guratan takdir. Saudaraku itu meninggal hampir setahun yang lalu dengan beban yang berat di hatinya karena tingkah laku anaknya. Sebelum meninggal ia menitipkan padepokan ini beserta anaknya kepadaku. Tetapi apa yang dapat aku lakukan atas anak itu? Aku dapat mengatur padepokan ini sementara anak itu belum bersedia memimpinnya. Tetapi untuk mengatur anak itu sendiri, aku sama sekali tidak mampu. Jangankan aku, ayahnyapun tidak dapat berbuat apa-apa”
“Apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak itu. Empu?” bertanya Mahisa Pukat
“Ia berguru kepada seorang pertapa ditempat yang jauh. Pertapa yang menganut aliran yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan” berkata Empu Nawamula.
“Tetapi kenapa ia dapat menjadi murid seorang pertapa yang jauh itu?” bertanya Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Semuanya terjadi diluar pengamatan. Nampaknya seorang pertapa dari aliran yang tidak banyak disukai itu sedang mengembara. Ketika dijumpainya kemanakanku itu. Ia mulai tertarik. Dengan segala macam cara diluar pengetahuan saudaraku, pertapa itu telah memikat kemanakanku untuk menjadi muridnya, sehingga akhirnya hal itu terjadi tanpa dapat dicegah lagi”
“Tetapi apakah tanda-tanda bahwa pertapa itu menganut aliran yang kurang disukai?” bertanya Mahisa Murti
“Cara-cara pertapa itu memperoleh kekuatan” jawab Empu Nawamula, “pertapa itu menganut aliran seperti yang pernah terdapat di daerah Selatan. Satu aliran yang pernah juga diceriterakan oleh ayahmu. Mungkin kakakmulah yang pernah menemui satu aliran yang mempergunakan darah sebagai satu cara untuk menumbuhkan kekuatan di dalam dirinya”
“Darah?” bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
“Ya. Meskipun pada tahap pertama pertapa itu mempergunakan darah seekor binatang. Sebenarnyalah bahwa dengan minum darah kekuatan seseorang dapat tumbuh dengan cepat. Bahkan mungkin melampaui kekuatan orang kebanyakan. Apalagi dilambari dengan ilmu kanuragan. Namun minum darah bukan kelajiman yang pantas dianut. Apalagi dalam perkembangannya kemudian. Pada saatnya untuk mencapai puncak kemampuannya, ilmu yang demikian akan sampai pada satu pilihan, darah sesama”
Terasa tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun meremang. Mereka memang pernah mendengar dari Mahisa Bungalan tentang satu aliran yang membasahi diri mereka dan senjata-senjata mereka dengan darah manusia di saat bulan bulat dilangit, “Mengerikan” desis Mahisa Pukat.
“Itulah yang membuat ayah anak itu menjadi sangat prihatin. Tetapi ternyata anak itu sudah tidak dapat dicegah lagi. Ia lebih percaya kepada gurunya daripada kepada ayahnya sendiri. Usaha ayahnya untuk menitipkan anak itu kepadaku, sama sekali tiak berhasil. Menurut anak itu. kemampuanku sama sekali tidak berarti dibanding dengan pertapa yang menjadi gurunya itu. Bahkan menurut kemanakanku itu, gurunya telah sanggup untuk membuatnya menjadi manusia yang paling kuat didunia. Manusia yang memiliki ilmu tertinggi di antara sesamanya” berkata Empu Nawamula.
“Tetapi apakah memang demikian Empu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak tahu ngger. Tetapi aku yakin, bahwa pertapa itu tidak akan lebih dari manusia biasa yang mempunyai batas kemampuan” jawab Empu itu, “aku tidak yakin akan adanya kekuatan yang tidak terkalahkan di dunia ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Empu Nawamula melanjutkan, “Selebihnya pertapa itu telah menyediakan sebuah pusaka yang tidak ada duanya didunia”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Namun demikian, mereka mulai dapat membayangkan, apa yang sebenarnya tersimpan di belakang padepokan yang nampaknya tenang dan damai. Namun yang pada saatnya, padepokan itu akan menjadi sumber angin prahara yang sulit dikendalikan.
“Angger berdua” berkata Empu itu lebih lanjut, “tingkah laku anak itu benar-benar telah menyusahkan seluruh keluarganya. Bukan saja karena ia telah menyadap ilmu yang sesat. Tetapi tingkah lakunya kadang-kadang memang sangat menyakitkan hati. Untunglah, bahwa ia masih mempunyai rasa segan kepadaku. Betapa tinggi ilmunya, ia merasa bahwa ia masih belum dapat mengimbangi ilmuku. Karena itu, maka ia masih menghormatiku. Menilik sikap lahiriahnya. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan di dalam hatinya. Tetapi menilik sikapnya kepada ayahnya dan kadang-kadang melihat gelagat dan tatapan matanya, ia justru mendendamku. Karena itu, maka pada suatu saat ia akan datang mengusirku. Mungkin dengan kekuatannya sendiri, tetapi mungkin ia akan mendapat pertolongan gurunya”
“Dan Empu akan bertahan?” bertanya Mahisa Pukat
“Jika ia berkata kepadaku dengan cara yang wajar, aku akan pergi. Padepokan ini memang padepokannya. Tetapi jika ia datang dan dengan sikapnya yang gila mengusir aku seperti mengusir anjing liar, maka aku akan memilih mati di sini” jawab Empu Nawamula.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti bertanya, “Apakah ada tanda-tanda bahwa ia akan bersikap demikian?”
“Mungkin aku terlalu berprasangka ngger. Tetapi aku merasa bahwa ia akan datang dan mengusir aku seperti mengusir seekor anjing” jawab Empu Nawamula, “karena itu ngger. Aku telah berpuasa seratus hari sebelum aku mulai membuat keris yang sedang aku kerjakan itu. Aku membuat keris yang menurut niatku, akan menjadi keris yang mempunyai tuah yang berarti. Sedangkan ujudnya, memang mempunyai kelebihan dari keris-keris yang pernah aku buat sebelumnya. Keris ini jauh lebih besar dari keris kebanyakan”
Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi mereka dapat merasa, betapa ketegangan sebenarnya mencengkam padepokan itu. Namun agaknya Empu Nawamula berhasil menyembunyikan gejolak perasaannya, sehingga sama sekali tidak mempengaruhi para cantrik, sementara kemanakannya yang datang pada hari-hari tertentu itu pun tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan, karena ia masih mempunyai perasaan segan kepada pamannya.
Namun sebenarnyalah bahwa ketenangan itu adalah ketenangan yang semu. Sementara itu. tiba-tiba saja Empu Nawamula itu berkata, “Angger berdua, sebenarnya aku tidak perlu mengatakan semuanya itu kepadamu. Tetapi bahwa kalian adalah anak Mahendra. Tiba-tiba saja tumbuh kepercayaanku kepada kalian, sehingga dengan demikian, aku sudah mengurangi beban perasaanku. Selama ini seolah-olah tidak ada orang yang pantas aku ajak berbincang. Tiga orang pembantuku, memang orang-orang yang pantas diajak untuk berbicara. Tetapi mereka adalah bagian dari aku sendiri, sehingga meskipun aku telah mengatakan kepada mereka, namun rasa-rasanya beban itu masih saja harus aku pikul betapapun beratnya. Jika hal ini aku katakan kepada kalian, bukan maksudku, bahwa kalian harus ikut berprihatin karenanya. Anggaplah bahwa kalian cukup mengetahuinya saja, karena masalahnya tidak akan menyangkut kalian sama sekali”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti berkata, “Seandainya aku mempunyai kesempatan untuk membantu, maka aku dan saudaraku tentu akan membantu. Tetapi kami berdua adalah orang-orang yang tidak berarti”
Empu Nawamula tersenyum. Katanya, “Perbedaan yang sudah aku duga. Kalian tentu akan mengatakan demikian. Tetapi tidak dengan kemanakanku itu. Ia akan berkata bahwa ia adalah orang yang paling berarti”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat menyambung, “Kami hanya mengatakan yang sebenarnya”
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia berkata, “Sikap kalian telah menggelitik aku untuk mengukur kemampuan kalian. Benar-benar hanya untuk mengukur. Aku kenal Mahendra, karena itu aku mempunyai alasan untuk mengetahui ilmu kalian berdua”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sekejap mereka saling berpandangan. Sambil mengangguk hormat Mahisa Murti kemudian berkata, “Tentu tidak akan terjadi Empu. Kami berdua tidak akan berani melakukannya. Sebenarnyalah kami berdua adalah orang-orang yang tidak berilmu. Jika kami mengembara, bahwa kami ingin melihat dunia ini dengan sikap paling dasar”
Tetapi Empu Nawamula tertawa pendek. Katanya sikapmu menambah keyakinanku, bahwa Mahendra sudah membekali kalian cukup banyak Anak-anak muda. Bersiaplah. Kita akan pergi ke sanggar. Mumpung hari telah semakin malam, agar para cantrik tidak menjadi heran. Kalian tidak usah berpura-pura lagi kepadaku. Tetapi kepada para cantrik, kau dapat berbuat demikian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai kesempatan untuk membantah lagi. Mereka harus memenuhi permintaan Empu Nawamula. Bahkan akhirnya keduanya berkata di dalam hatinya, “Aku kira tidak akan ada ruginya. Justru akan dapat menambah pengalaman saja”
Demikianlah. Empu Nawamula telah membawa kedua orang anak muda itu ke dalam sanggar. Adalah di luar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa tiga orang pembantu Empu Nawamula itu telah hadir pula. Agaknya mereka melihat tiga orang itu pergi ke Sanggar. Dengan wajah bertanya-tanya kedua anak muda itu memandang Empu Nawamula. Karena keduanya tidak tahu, apakah ketiga orang itu termasuk cantrik seperti yang dimaksudkan oleh Empu Nawamula.
Agaknya Empu itu mengetahui isi hati kedua anak muda itu. Maka katanya, “Anak-anak. Ketiga orang itu adalah pembantu-pembantuku. Dalam olah kanuragan mereka adalah murid-muridku. Kalian tidak usah mencemaskannya. Mereka dapat dipercaya sepenuhnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mengangguk-angguk. Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak menghiraukan lagi ketiga orang yang juga telah berada dalam sangggar.
“Kita akan mencoba saling menjajagi” berkata Empu Nawamula, “menurut pengertianku, Mahendra adalah orang yang pilih tanding”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Empu itu pun berkata, “Bersiaplah. Kita akan segera mulai”
Ternyata bahwa Empu Nawamula sendirilah yang akan langsung menjajagi kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan ketiga muridnya.
“Siapakah yang pertama?” bertanya Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Baru sesaat kemudian Mahisa Murti berkata, “Baiklah, aku yang akan memenuhi perintah Empu yang terdahulu”
Empu itu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, maka keduanya pun mulai saling menjajagi. Namun Empu Nawamula telah berhasil memancing kemampuan Mahisa Murti meningkat dengan cepat.
Sebenarnyalah Empu Nawamula benar-benar ingin menjajagi kemampuan anak muda itu sampai tuntas. Karena itu, maka ia pun telah melakukannya dengan sungguh-sungguh, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. apakah Empu Nawamula hanya sekedar untuk memancingnya saja untuk sampai ke puncak ilmunya.
Namun agaknya Empu Nawamula tidak memaksa Mahisa Murti bertempur sampai ke aji pamungkasnya. Ketika Empu itu sudah mendapat gambaran tentang kemampuan anak muda itu. maka ia pun mulai mengendorkan serangan-serangannya, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Terima kasih” berkata Empu Nawamula, “aku tidak perlu melakukan hal yang sama atas angger Mahisa Pukat, karena agaknya ilmu kalian berimbang”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah jika ia harus bertempur pula, maka keadaannya tidak akan jauh berbeda dari yang sudah terjadi.
Dalam pada itu, maka Empu Nawamula berkata, “Aku memang sudah yakin, bahwa kalian memiliki ilmu yang luar biasa. Aku mengerti, bahwa di atas kemampuan yang nampak ini kalian tentu masih mempunyai ilmu pamungkas yang benar-benar dapat dipercaya. Dengan demikian, maka ternyata bahwa kemampuan kalian berada di atas kemampuan murid-muridku, dalam olah kanuragan”
Mahisa Murti mengusap keringatnya sambil berkata, “Sekedar sebagai bekal perjalanan Empu. Sebenarnyalah bahwa ilmu yang kami kuasai tidak berarti apa-apa”
“Kalian berdua sungguh sungguh mengagumkan ngger” berkata Empu Nawamula, “aku sudah kagum atas kemampuan ilmu kalian, selebihnya kalian adalah anak-anak muda yang rendah hati. Dalam usia kalian yang masih sangat muda. kalian sudah menguasai ilmu yang tinggi. Namun kalian sama sekali tidak menjadi sombong dan kehilangan pegangan sebagaimana anak-anak muda seumur kalian. Murid-muridku yang lebih tua dari kalian, masih harus berlatih untuk beberapa tahun lagi. apabila mereka ingin menyejajarkan diri dengan kalian”
“Ah. Empu terlalu memuji” desis Mahisa Murti.
“Tidak ngger. Aku tidak sekedar memuji. Tetapi bahwa kalian berdua memiliki bekal yang cukup, sebenarnyalah kalian akan dengan tenang berada di padepokan ini. karena apabila pada suatu saat kalian terbentur kepada satu keadaan yang tidak dikehendaki, maka kalian akan dapat mengatasinya” berkata Empu Nawamula.
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Empu, jika sekiranya kehadiran kami akan dapat menumbuhkan persoalan, tentu yang Empu maksud apabila kemanakan Empu itu kebetulan pulang, maka biarlah kami meninggalkan padepokan ini. Biarlah kami meneruskan pengembaraan kami sambil melihat-lihat lingkungan yang belum pernah kami kenal sebelumnya”
“Tidak ngger. Jangan pergi. Yang aku maksudkan, hanya apabila kalian dalam keadaan terpaksa. Tetapi tentu tidak harus terjadi demikian” jawab Empu Nawamula, “sudah aku katakan, bahwa kalian dapat menyembunyikan keadaan angger yang sesungguhnya terhadap para cantrik dan sudah tentu terhadap kemanakanku itu apabila kebetulan ia datang. Hanya dalam keadaan terpaksa, jika angger berdua harus melindungi jiwa kalian, maka aku tidak akan dapat menghalangi apabila angger terpaksa membela diri. Aku tidak akan menyalahkan angger berdua, meskipun kalian harus melawan kemanakanku sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi pandangan wajah mereka menunjukkan keraguan. Sehingga karena itu maka Empu Nawamula pun berkata, “Percayalah, bahwa aku berkata sebenarnya”
“Terima kasih Empu” jawab Mahisa Murti, “jika demikian, maka biarlah kami di padepokan ini barang dua pekan”
“Jangan kau batasi dengan dua pekan” jawab Empu Nawamula, “kau dapat berada di sini lebih lama lagi. Kau akan hidup sebagaimana para cantrik. Aku lihat kalian telah berusaha menyesuaikan diri. Kau akan mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana aku membuat keris. Terutama kerisku yang terakhir ini. Selebihnya, kalian akan menjadi kawan berlatih dari murid-muridku dan aku sendiri”
Pernyataan Empu Nawamula yang terakhir itulah yang lebih menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan demikian mereka akan mengenal satu cabang perguruan lain dari yang pernah mereka kenal. Apalagi karena mereka telah mendapat tuntunan, baik dari Mahisa Agni maupun dari ayah mereka Mahendra dan Witantra, bagaimana mereka harus memperbandingkan ilmu.
Mereka pun telah berhasil meluluhkan unsur-unsur yang ada didalam cabang ilmu Witantra dan ayah mereka Mahendra, sementara mereka menyadap ilmu dari Mahisa Agni. Bahkan sampai pada ilmu puncak yang berbeda pun dapat pula mereka kuasai dengan imbangan yang mapan dan seolah-olah tidak ada persoalan yang harus dipecahkan didalam penguasaannya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah tertarik untuk tinggal lebih lagi di padepokan ini.
Pada hari-hari berikutnya, mereka justru hampir melupakan kemanakan Empu Nawamula yang semula mereka anggap akan dapat menimbulkan persoalan jika ia datang. Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan diri mereka sebagaimana para cantrik sehingga seandainya kemanakan Empu Nawamula itu benar-benar datang, ia tidak akan menghiraukan kedua anak muda itu lagi, sebagaimana ia tidak menghiraukan para cantrik yang lain.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk berlatih dengan ketiga orang pembantu Empu Nawamula. Ternyata bahwa ketiga orang itu pun memiliki ilmu yang tinggi meskipun dengan rendah hati Empu Nawamula mengatakan, bahwa ilmu mereka jauh berada di bawah tataran ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi yang paling menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah kesempatan yang diberikan oleh Empu Nawamula kepada kedua orang anak muda itu untuk berlatih langsung bersamanya.
Dalam beberapa hal, terasa oleh kedua orang anak muda itu, bahwa sebenarnyalah Empu Nawamula berniat baik terhadap mereka. Ternyata bahwa Empu Nawamula bukan sekedar berlatih bersama, tetapi dalam beberapa hal Empu Nawamula telah memperkenalkan mereka dengan unsur-unsur baru yang dapat mengisi kekurangan mereka.
“Anak-anak” berkata Empu Nawamula pada saat mereka berada di sanggar kemudaan, “kalian telah memberikan gairah kepadaku untuk bekerja lebih keras. Namun lebih dari itu, kalian berdua memang sangat menarik perhatianku lebih dari murid-muridku sendiri. Mereka telah lewat usia dewasanya. Karena itu, maka rasa-rasanya peningkatan ilmu mereka tidak akan dapat bergerak secepat kalian yang sedang tumbuh. Karena itu, sebenarnyalah, aku ingin menitipkan sesuatu kepada kalian, agar apa yang sudah aku dapat selama ini tidak begitu saja dilupakan orang. Meskipun aku tahu, bahwa kemampuanku tidak akan melampaui ayahmu Mahendra yang perkasa itu, namun dengan meniupkan unsur-unsur yang ada di dalam jalur ilmuku, maka serba sedikit bagian-bagian yang dapat kau pergunakan itu akan tetap hidup bersama ilmu yang telah kau kuasai lebih dahulu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Apalagi ketika Empu Nawamula mengatakan, “Anak-anak muda, sebenarnya kemampuan daya serap murid-muridku tidak setajam kalian berdua. Karena itu, bagaimanapun aku berbuat bagi mereka, namun tingkat ilmu mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan kalian berdua”
“Tetapi mereka juga berilmu tinggi” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi mereka sudah terlalu sulit untuk maju dengan cepat” berkata Empu Nawamula, “meskipun aku tidak pernah berputus-asa. Aku tetap meningkatkan kemampuan mereka sesuai dengan kemampuanku sendiri. Namun yang aku cemaskan, bahwa sebelum aku selesai, maka kesempatanku telah patah, karena aku sadar, bahwa umur manusia itu tetap terbatas”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat kecemasan seorang guru yang kurang puas terhadap kerjanya sendiri atas murid- muridnya. Sehingga dengan demikian maka dengan tidak langsung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah diterima menjadi murid Empu Nawamula itu pula.
Meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu itu, bahwa ilmunya memang tidak melampaui Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni, namun ada beberapa hal yang dapat mengisi bagian-bagian dari ilmu yang sudah dikuasai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sehingga dengan demikian, maka kedua anak muda itu pun merasa sangat berterima kasih kepada Empu Nawamula yang merasa hidupnya sangat sepi di saat saat tertentu. Namun dalam pada itu, padepokan itu sendiri sama sekali tidak mengalami perubahan suasana. Tenang dan terasa sejuk.
Sementara itu. Empu Nawamula sendiri, merasa sangat berbahagia bertemu dengan anak-anak muda yang sangat menarik baginya. Sikapnya dan tingkah lakunya. Dengan menilik sikap dan tingkah laku, maka Empu Nawamula dapat membaca sifat dan watak anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, akhirnya Empu Nawamula telah menumpahkan segala macam ilmunya kepada kedua anak muda itu. Seperti yang diduganya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih cepat menangkap dan menyadap ilmunya daripada ketiga murid Empu itu sendiri. Meskipun demikian, seperti yang dikatakannya, Empu Nawamula tidak jemu-jemunya berusaha untuk meningkatkan ilmu ketiga orang muridnya yang telah sekaligus menjadi pembantunya. Tetapi yang dicapai oleh murid-muridnya itu tidak sejauh yang dapat dicapai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun ketiga orang murid Empu itu sama sekali tidak menjadi sakit hati ketika Empu Nawamula berterus terang kepada mereka. Dengan hati-hati Empu itu berkata, “Bukan maksudku mengkesampingkan kalian setelah kedua orang anak muda itu hadir di padepokan ini. Tetapi aku ingin segera mewariskan ilmuku sampai tuntas. Jika terjadi sesuatu dengan aku kemudian, maka aku tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Yang aku wariskan adalah utuh seperti yang aku miliki. Aku yakin bahwa dengan demikian maka ilmu yang aku turunkan nilainya tidak akan susut, justru akan semakin meningkat. Aku akan sangat bergembira jika kalian dapat menyelesaikan usaha kalian untuk menyadap ilmuku dengan baik. Tetapi seandainya sebelum kalian selesai, aku tidak lagi dapat menuntunmu karena sesuatu hal, maka aku berharap bahwa anak-anak muda ini akan dapat membantumu. Aku akan memberikan petunjuk kepadamu, dimana kalian harus mencarinya, karena ayahnya adalah sahabatku yang baik”
Ketiga orang murid Empu Nawamula itu mengangguk-angguk. Namun mereka merasa, bahwa mereka seolah-olah sudah sampai pada puncak kemampuan mereka untuk menyadap tingkat ilmu yang lebih tinggi, sehingga kemajuan merekapun serasa sangat lambat. Agak berbeda dengan anak-anak muda yang sudah berbekal ilmu itu. Mereka seolah-olah dapat menyerap dengan cepat dan kemudian menguasainya.
Namun dengan demikian ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat segera meninggalkan padepokan itu. Dua pekan telah lewat. Tiga pekan, empat pekan, bahkan dua bulan telah lampau. Keduanya tetap berada di padepokan itu untuk menerima tuntunan ilmu dari Empu Nawamula. Dengan ilmu itu kedua anak muda itu dapat melengkapi ilmunya sehingga keduanya seolah-olah telah menjadi semakin meningkat. Pengalaman mereka dalam kanuragan menjadi semakin banyak sehingga dengan demikian maka keduanya pun mampu mengembangkan dasar ilmu yang mereka terima dari Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra.
Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seolah-olah telah tenggelam di dalam kesibukan di padepokan itu. Namun demikian, kegiatan yang dilakukannya itu masih saja selalu tersembunyi dari pengamatan para cantrik kebanyakan. Hanya tiga orang pembantu Empu Nawamula itu lah yang tahu, siapa sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun kedua anak muda itu dalam kehidupan mereka sehari-hari berada di antara para cantrik, namun ternyata bahwa mereka berada dalam satu tataran yang jauh berbeda. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berbaur dengan mereka. Jika para cantrik itu menerima tuntunan kanuragan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut pula berlatih bersama mereka. Keduanya berusaha untuk dapat menunjukkan kemampuan yang sama dengan tataran para cantrik itu. Bagaimanapun juga, ketiga orang pembantu Empu Nawamula itu kadang-kadang merasa segan pula bahwa di antara para cantrik yang harus dibimbingnya itu terdapat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sebenarnya memiliki kemampuan melampaui mereka sendiri.
Dalam usaha mewariskan ilmunya, Empu Nawamula telah bekerja dengan keras di malam hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun rasa-rasanya telah dibebani satu kewajiban untuk menerima uluran ilmu yang sangat berarti bagi mereka. Karena itu, maka merekapun telah bekerja sangat keras untuk dapat menanggapi keinginan Empu Nawamula dan harapan bagi mereka berdua itu sendiri.
Namun bagaimanapun juga. Empu Nawamula akhirnya merasa puas dengan usahanya. Sebagian besar ilmunya telah berhasil diwariskan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Empu Nawamula sadar, bahwa dengan demikian ilmunya tidak akan dapat dipisah-pisahkan secara murni lagi pada kedua anak muda itu. Tetapi Empu Nawamula tidak menyesal. Apalagi setelah lebih dari dua bulan ia bergaul dengan kedua orang anak muda yang mempunyai sifat yang yang menarik baginya.
Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu, Empu Nawamula masih saja digelisahkan oleh sifat dan watak kemenakannya. Pada suatu saat ia akan datang ke padepokan itu. Biasanya anak itu tidak berjarak terlalu lama telah datang untuk menengok padepokan yang kelak akan dipimpinnya. Dengan berbagai pesan. Empu Nawamula mempersiapkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar kehadiran mereka tidak akan menimbulkan persoalan jika kemenakannya itu datang. Kedua anak muda itu akan menjadi seolah-olah cantrik kebanyakan di antara para cantrik yang lain.
Meskipun bagaimanapun juga, terasa juga perbedaan di antara para cantrik yang lain dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam hubungan mereka dengan Empu Nawamula. Namun hal ini diterima dengan wajar ketika Empu Nawamula memberitahukan kepada para cantrik, bahwa perlu diadakan bimbingan khusus bagi kedua anak muda yang datang kemudian itu oleh ketiga orang pembantu Empu Nawamula agar kemampuannya dalam olah kanuragan dapat segera menyusul dan kemudian meningkat bersama-sama dengan para cantrik yang lain.
Namun dalam pada itu, setelah untuk waktu yang lebih lama dari kebiasaannya, kemanakan Empu Nawamula itu tidak datang ke padepokan, maka pada suatu hari, tiba-tiba saja ia telah muncul di regol halaman bersama dengan dua orang saudara seperguruannya.
Kedatangannya disambut oleh para cantrik dengan penuh hormat. Namun bukan karena mereka merasa bersenang hati atas kehadiran anak muda itu, tetapi semata-mata karena para cantrik menjadi ketakutan oleh kehadirannya seperti setiap kali ia kembali.
“Hati-hatilah dengan anak muda itu” pesan seorang cantrik kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ”putera pemimpin padepokan ini yang telah meninggal setahun yang lalu, adalah seorang anak muda yang keras hati dan lebih dari itu, ia mempunyai kebiasaan yang kurang kami senangi”
“Kebiasaan apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Tangannya terlalu ringan. Ia sering memukul kawan-kawan kami yang membuat kesalahan yang barangkali tidak berarti apa-apa” jawab cantrik itu.
“Tetapi pada saatnya ia akan memimpin padepokan ini” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah yang kami takuti. Dibawah pimpinan Empu Nawamula padepokan ini terasa tenang dan sejuk” jawab cantrik itu, “tetapi pada suatu saat padepokan ini tentu akan menjadi neraka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menurut ceritera para cantrik dan Empu Nawamula sendiri, maka keduanya sudah dapat membayangkan, sifat dan tabiat anak muda kemanakan Empu Nawamula itu.
Dari hari pertama anak muda itu tidak berbuat apa-apa. Ia hanya berbincang saja dengan Empu Nawamula di pendapa. Sementara itu anak muda itu justru kelihatan ramah terhadap beberapa orang cantrik, bahwa mencoba bergurau pula dengan mereka.
“Nampaknya ia baik” berkata Mahisa Murti kepada seorang cantrik.
“Kadang-kadang ia memang suka bergurau” jawab cantrik itu, “tetapi ia tidak dapat ditebak. Jika kami berusaha untuk menanggapinya, kadang-kadang ia justru menjadi marah dan tiba-tiba memukul kami. Justru di kepala sehingga rasanya otak kami telah bergetar”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, lebih baik kami berdua tidak menampakkan diri saja”
“Itu lebih baik” jawab cantrik itu, “tetapi jika secara kebetulan hal itu terjadi?”
“Apa boleh buat. Mudah-mudahan kepalaku tidak menjadi sasaran” desis Mahisa Pukat.
Dalam kegelisahan itu, ternyata salah seorang pembantu Empu Nawamula itu dapat berceritera kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Agak lama anak itu tidak datang ke padepokan ini, agaknya ia sedang jatuh cinta”
“He” Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya berbareng, “jatuh cinta”
“Ya. Justru karena itu ia tidak mau meninggalkan gadis itu barang sehari” jawab pembantu Empu Nawamula itu.
“Tetapi akhirnya ia pun meninggalkan gadis itu” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Ternyata gadis itu telah pergi” jawab pembantu Empu Nawamula itu.
“Pergi? Kemana? Apakah gadis itu tidak mencintainya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Agaknya demikian” jawab murid Empu Nawamula itu, “semalam aku mendengar ia berbicara tentang gadis itu dengan guru. Katanya Gadis itu telah disembunyikan oleh pamannya”
“Disembunyikan?” ulang Mahisa Pukat.
“Ya. Selebihnya aku tidak jelas” jawab murid Empu Nawamula itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat bertanya lebih lanjut, karena murid Empu Nawamula itu tidak dapat mendengarkan pembicaraan itu selanjutnya.
“Lain kali dalam satu kesempatan, guru tentu akan menceriterakannya kepada kalian” berkata murid Empu Nawamula itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, mereka pun menjadi gelisah jika pada suatu saat anak muda itu melihat mereka dan tertarik justru karena anak muda itu belum pernah melihat mereka sebelumnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menyingkir dari kemenakan Empu Nawamula itu. Apalagi ketika kemudian dihari-hari berikutnya, keduanya melihat apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan oleb anak muda itu.
Sebenarnyalah bahwa ia seorang anak muda yang ringan tangan. Demikian mudahnya ia menjadi marah dan menampar para cantrik yang ketakutan. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh salah seorang murid dan sekaligus pembantu Empu Nawamula, maka pada satu kesempatan, Empu Nawamula telah berceritera kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang kemanakannya itu.
“Ia lebih senang menyebut dirinya Singatama daripada namanya sendiri” berkata Empu Nawamula.
“Siapa namanya sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti ”bukankah setiap kali Empu juga menyebut namanya Singatama?”
“Namanya yang sebenarnya bukan Singatama. Ayahnya menyebutnya dengan nama yang diberikan disaat lahirnya. Sembada”
“Nama yang bagus” desis Mahisa Pukat.
“Tetapi ia tidak senang dengan nama itu. Karena itu, ia sampai saat ini memakai nama pemberian gurunya, Singatama” jawab Empu Nawamula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Empu Nawamula pun berceritera tentang kemanakannya itu, bahwa ia memang sedang jatuh cinta seperti yang dikatakan oleh salah seorang muridnya.
“Bukankah hal yang wajar jika seorang anak muda mencintai seorang gadis” berkata Mahisa Pukat.
“Memang wajar sekali ngger” jawab Empu Nawamula, “tetapi yang tidak wajar adalah, bahwa gadis itu tidak mencintainya”
“Oh” Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
“Ia mencoba minta nasehatku, apa yang sebaiknya dilakukannya” berkata Empu Nawamula.
“Lalu apa yang Empu katakan kepadanya?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku berusaha untuk menenangkannya. Aku menasehatinya, bahwa sebaiknya ia melupakan saja gadis itu. Bukankah masa depan Singatama itu masih panjang, sehingga pada suatu saat ia akan dapat bertemu dengan gadis yang lain, yang akan dapat menanggapi perasaannya” jawab Empu Nawamula. Kemudian katanya melanjutkan, “Tetapi anak itu salah paham. Ia menganggap bahwa aku tidak berusaha membantunya di saat ia dalam kesulitan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya sifat anak muda itu benar-benar sulit dikendalikan. Ia tidak pernah mendengarkan nasehat yang baik.
“Tetapi aku tahu persoalannya” berkata Empu Nawamula, “gurunya, pertapa itu sama sekali tidak berusaha mencegah tingkah lakunya yang kurang baik. Aku kira justru gurunya yang menganjurkannya, agar ia datang kepadaku dan minta bantuanku”
“Apa yang ia kehendaki Empu?” bertanya Mahisa Pukat. “Ia justru minta agar aku mencari gadis itu dan melamar kepada orang tuanya bagi kepentingannya, karena aku adalah satu-satunya orang tua baginya saat ini” jawab Empu itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Memang agaknya menjadi kewajiban Empu Nawamula. Tetapi sayang, bahwa persoalannya tidak berjalan dengan lancar. Gadis itu sudah terlanjur menyatakan sikapnya.
Dalam pada itu, maka Empu itu akhirnya berkata, “Memang terasa sangat sulit bagiku ngger. Jika aku menolak, maka aku akan mengalami satu peristiwa yang sangat pahit. Anak itu tentu akan memaksaku dengan caranya, sehingga aku harus mempertahankan diri. Jika demikian, apakah akan terjadi benturan kekuatan antara aku dan kemanakanku. Bukankah hal itu berarti satu peristiwa yang sangat memalukan. Seandainya aku kehilangan pengamatan diri atau sebaliknya sehinga salah satu di antara kami menjadi korban, maka hal itu akan merupakan satu malapetaka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Lalu, apa yang akan Empu lakukan?”
“Empu Nawamula menjadi ragu-ragu pula. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya aku memenuhi permintaan itu ngger”
“Empu akan memaksa gadis itu untuk menjadi isteri seseorang yang tidak dicintainya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bukan begitu” jawab Empu Nawamula, “aku hanya akan melamarnya. Jika orang tuanya tidak mengijinkan, atau gadis itu berkeberatan, maka aku akan menyampaikannya kepada Singatama, bahwa lamarannya ditolak”
“Bagaimana jika anak itu menjadi marah?” bertanya Mahisa Murti.
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah gadis itu seharusnya mendapat perlindungan?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Meskipun tidak dikatakan, tetapi seolah-olah tergetar di dalam hati mereka, bahwa mereka berdua mempunyai kewajiban untuk kepentingan sesama. Mereka harus memenuhi darma seorang kesatria. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata,
“Baik Empu. Jika Empu memang ingin mencobanya, agaknya dapat dicoba. Tanpa menakut-nakuti dan tanpa memaksa. Tetapi jika gadis itu atau orang tuanya menolak, maka seperti yang Empu katakan, mereka memang sewajarnya mendapat perlindungan”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Lalu Katanya, “Kalian ternyata dapat menanggapi sikapku. Baiklah. Aku terpaksa mempergunakan cara ini. Aku tidak mempunyai cara lain yang lebih baik”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Tetapi rasa-rasanya mereka telah membulatkan tekad untuk melibatkan diri kedalam persoalan yang sebenarnya tidak menyangkut mereka berdua. Tetapi sepanjang mereka berkepentingan bagi sesama, maka rasa-rasanya mereka terpanggil untuk melakukannya.
Karena itu, maka keduanya pun berpendapat, bahwa cara yang akan ditempuh oleh Empu Nawamula itu adalah cara yang paling baik. Jika anak muda yang menyebut dirinya Singatama itu dapat menerima kenyataan, bahwa ia telah ditolak, alangkah baiknya. Tetapi seandainya ia berkeras. maka apa boleh buat.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian menunggu perkembangan keadaan. Sehingga pada suatu saat Empu Nawamula akan memberitahukan kepada mereka lebih lanjut. Sebenarnyalah, bahwa pada akhirnya, rencana Empu Nawamula itu pun harus dilaksanakan. Anak muda yang menyebut dirinya Singatama itu memang memaksa Empu Nawamula untuk pergi melamar gadis yang dikehendakinya itu.
“Paman akan bertanya kepada paman gadis itu. Aku tidak tahu, dimana gadis itu telah disembunyikan” berkata Singatama. Lalu, “Selama ini aku masih mencoba bersabar. Aku memang ingin menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Paman yang akan mewakili orang tuaku datang melamar gadis itu. Aku masih belum menempuh jalan yang paling singkat, mengambil gadis itu disetujui atau tidak disetujui”
“Baiklah ngger” jawab Empu Nawamula, “aku akan menemui pamannya. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada paman gadis itu”
“Paman sudah cukup berpengalaman” jawab Singatama, “terserah cara yang akan paman tempuh”
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan pergi bersama dua orang cantrik padepokan ini, sementara tiga orang pembantuku masih harus menyelesaikan keris yang telah dipesan oleh seseorang sahabatku”
“Terserah dengan siapa saja paman akan pergi” jawab Singatama, “dan aku pun tidak peduli apakah pembantu paman itu akan membuat keris atau tidur selama paman pergi”
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Besok aku akan berangkat”
“Semakin cepat semakin baik paman. Aku sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi. Umurku sudah menjadi semakin tua sementara tidak ada perempuan lain yang dapat menarik perhatianku kecuali gadis yang telah disembunyikan oleh pamannya itu. Aku yakin bahwa gadis itu tidak akan menolak. Tetapi pamannyalah yang menjadi dengki. Agaknya pamannya ingin aku mengambil anak pamannya itu sendiri. Tetapi aku tidak menyukainya” berkata Singatama.
Empu Nawamula mengangguk-angguk. Jika benar demikian, gadis itu sebenarnya menerimanya, tetapi karena pamannya sajalah yang mempunyai pokal tersendiri, persoalannya akan berbeda. Dalam pada itu, maka malam itu Empu Nawamula telah mempersiapkan diri...