Pendekar Sadis Jilid 02
SIAPAKAH dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti, untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa.
Mereka adalah tentara-tentara kasar yang sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak mereka selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali.
Di dusun itu mereka bersikap kasar, sebab mereka memandang rendah kepada pangeran yang kabarnya pemberontak itu. Kini, mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget.
Sebenarnya dua orang perwira tinggi ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun sudah mempunyai kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan mereka pun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Namun kini, sikap mereka lain ketika menghadapi anak itu.
“Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!” kata Si Tinggi Besar muka hitam. “Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?”
“Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?”
Dua orang itu girang bukan kepalang. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!”
Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya untuk menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya.
Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, karena itu mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima banyak hadiah.
Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi amat marah. “Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!”
Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari tandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang.
Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapa pun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
“Plakkk!”
Lengan tangan Thian Sin yang kecil mungil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin mempergunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya.
Cepat sekali pukulan ini sehingga Si Tinggi Besar berteriak kaget. Tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat pada sambungan siku bawah, maka tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!
“Bocah setan!” Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main.
Sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu sudah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya.
Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Akan tetapi anak itu sulit sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran.
Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.
Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini.
Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah secara cukup sempurna bagi orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan sekarang dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!
“He-heh-heh, engkau hendak lari ke mana, anak pemberontak?” Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. “Hayo cepat ajak kami ke rumah orang tuamu!”
Meski pun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Aku tidak sudi!”
“Ehhh, bocah setan! Apakah kau sudah bosan hidup?” Si Mata Juling mengancam sambil memperkuat cengkeramannya.
“Siapa takut mampus?!” Thian Sin juga membentak.
Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di hadapan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, “Harap ji-wi tidak mengganggu dia… apa bila ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar…”
“Paman A-coan!” Thian Sin membentak.
Akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman. “Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!”
Kemudian dia mengerahkan sedikit tenaga sehingga membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
“Baik… baik… tidak bohong… tidak bohong…”
Dua orang kakek itu kemudian keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, ada pun Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, bagaikan orang membawa seekor kucing saja.
A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lantas mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi banyak pula yang mencegah niat ini ketika melihat betapa pemilik warung dan anak itu telah berada dalam kekuasaan kedua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang.
Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata penuh kemarahan, sebab tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.
Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini sampai di pekarangan rumah Han Houw, nampaklah seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget saat melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan pundaknya dicengkeram. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini.
Dua orang kakek itu memandang rendah pada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan,
“Inikah rumah pangeran pemberontak itu?!”
“Saya… saya tidak tahu pangeran mana… tapi inilah rumah orang tua anak itu…” A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar hingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lantas tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang sekarang berdiri menonton di luar pekarangan.
Mendadak nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya!
Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia mempergunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu pula, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat pula betapa tangan kanan kakek itu sudah tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
“Dukkkk!” dengan tepat sepatu kecil itu menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.
“Auhhh…!” Si Mata Juling terkejut sehingga cengkeramannya terlepas.
Thian Sin langsung meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.
“Ngekkk!”
Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak lagi sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.
“Aduhhh…!” Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.
Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya, sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
“Srattt! Srattt!”
Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.
“Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!” Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu.
Ciauw Si terkejut sekali. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang, pikirnya. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang.
“Kau mundurlah,” bisiknya dan kini dia menghadapi kedua orang kakek itu, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.
“Siapakah kalian? Dan apakah keperluan kalian datang ke sini?” dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu.
Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagai mana pun juga, mereka masih terlampau memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di hadapan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi amat penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Bahkan sebaliknya mereka lantas mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan!
Tentu saja para penghuni dusun memandang dengan muka pucat. Meski mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukanlah orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat ‘terbang’ bagaikan burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang!
Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan sangat mudah mengelak dari sambaran dua batang golok yang berupa dua gulung sinar putih itu. Ke mana pun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlalu gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat dari pada sambaran dua batang golok.
Lie Ciauw Si adalah cucu luar sekaligus juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in Kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus dan Thai-kek Sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan sudah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan kedua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya.
Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya. Setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba saja dia lantas mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya.
Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok pada tangan mereka terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang!
“Isteriku, jangan membunuh orang…!” Tiba-tiba terdengar suara mencegah.
Ciauw Si yang telah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin sudah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang kedua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
“Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya ada sedikit kesalah pahaman.”
Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka sesudah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.
Sesudah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apa lagi kini suaminya sudah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik, ada pun fihak atasan sudah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!
“Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?”
Dua orang itu sudah mati kutunya sehingga tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar.
“Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan… apakah… apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw…?”
“Hemmm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?” tanya Han Houw sambil memandang tajam.
“Ampun… ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini… dan… ahhh, hamba berdua telah lancang karena tidak menyangka bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar… mohon ampun…”
Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng ingin menyelidikinya? Dia lalu mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian disuruh menyelidiki?”
“Hamba… hamba tidak tahu… hanya ada utusan dari kota raja yang memerintahkan kami berdua untuk menyelidiki…”
Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang terhadap sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang-orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
“Pergilah kalian!” katanya.
Ketika dua kali kakinya bergerak, maka tubuh dua orang itu pun terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka segera bangkit sambil merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul!
Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. “Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!”
Han Houw memegang lengan puteranya, cepat ditariknya masuk ke dalam rumah. “Thian Sin, tadi ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sebenarnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami dulu hidup menderita, karena itu engkau ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?” Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk.
Pada malam hari itu, sesudah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap mengenai peristiwa itu.
“Aku khawatir peristiwa belasan tahun yang lalu akan terulang,” Ciauw Si berkata sambil menarik napas panjang. “Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?”
Ceng Han Houw mengerutkan kedua alisnya. “Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian.”
“Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita.”
Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, pada saat mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu.
Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya.
Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tertidur nyenak, dan dia lalu duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, seperti ada orang bertempur di arah ruangan depan, dia pun cepat-cepat membangunkan puteranya.
Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, maka begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benar, sepasang matanya menatap wajah ibunya, ada pun telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
“Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?”
“Sstttt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini.” Ciauw Si segera menggandeng tangan puteranya dan mereka lalu berlari keluar.
Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan sangat ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu.
Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada pula yang membunyikan ekornya dengan suara berderik.
Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak mendapat obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau pun kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ.
Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw cepat mencabut pedang lantas dengan beberapa kali gerakan pedangnya, keenam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biar pun Han Houw sudah kehilangan sebagian besar tenaga sinkang-nya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apa lagi dia memegang sebatang pedang.
“Wirrr…! Siuuuuuttt…!”
Han Houw memutar pedangnya.
“Tringg! Tringgg…!”
Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang pada ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut lantas berkata lantang,
“Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!”
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan juga amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar.
Dulunya perkumpulan ini didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sianjin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, lalu mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun.
Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang kini dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu salah seorang murid Jeng-hwa Sianjin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw.
Apa lagi sesudah ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka, dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw.
Seperti diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan kemunculan seorang tosu bernama Tok-siang Sianjin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama mendiang Jeng-hwa Sianjin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.
Kini, melihat kemunculan orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw menjadi terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.
Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras, lalu dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri ada pun tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang nampak berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu langsung mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.
Han Houw terkejut juga ketika menyaksikan ketangkasan serta kerapian gerakan mereka yang demikian teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.
“Siapa kalian?!” dia membentak.
Seorang di antara mereka yang berada di hadapannya, menjawab dari balik perisainya, “Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan semua dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!”
Setelah berkata demikian, tujuh orang itu segera bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul.
Melihat ini, Han Houw menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, akan tetapi yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang sudah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang sudah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung?
Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik apa bila dia berada di tempat yang sempit, maka dia kemudian menerjang ke kanan dengan maksud membobolkan kepungan itu sehingga dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tujuh buah perisai membentuk benteng baja diikuti tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat!
Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Begitu melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat pula bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
“Keparat, kalian datang mengantar nyawa!” bentak Ciauw Si.
Dia pun segera menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu.
Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, hati Han Houw menjadi tenang dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Mereka sudah melatih diri dalam barisan Jit-seng Twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan.
Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli apakah lawan itu seorang atau pun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga bisa mengadakan perubahan-perubahan yang tak terduga-duga oleh lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi selama ini mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang menyerang secara serentak atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan!
Dan lebih lagi, kini yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi sungguh pun tenaga sinkang-nya banyak berkurang sesudah dia menderita sakit dan karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena kini di luar kepungan terdapat seorang wanita sakti yang juga turut mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan sudah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggota Jit-seng Twa-to-tin itu.
Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi tujuh orang itu menjadi sibuk sekali karena menghadapi serangan-serangan dahsyat, baik dari dalam mau pun luar barisan, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk ketika melihat suaminya dikepung,.
“Crokkk…! Aughhhh…!”
Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika.
Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas walau pun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka sehingga dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua.
Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa mempergunakan seluruh tenaga hingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!
“Ayo lekas katakan yang sebetulnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?!” bentak Ciauw Si.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan kepalang melihat orang itu sudah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat.
Dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata setelah melihat semua temannya tewas, orang yang terluka ini lalu membunuh diri!
“Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!” kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
“Apa? Pamanmu sendiri?” Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
“Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!” katanya dan dia cepat memanggil para tetangga.
Mereka menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu sudah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.
“Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,” kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.
“Maksudmu?” Ciauw Si bertanya.
“Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepatlah dengan ramalan mendiang Yok-sian dulu bahwa kita tak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya mala petaka.”
“Tetapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik.”
“Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak kembali lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku.”
“Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!” kata Ciauw Si. “Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar.”
“Hemmm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!” kata Han Houw dengan marah.
“Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayatku. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian…”
Diingatkan akan hal ini, Han Houw langsung termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.
“Aku pun tidak takut!” kata anak itu.
Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. “Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin.”
“Dia harus pergi dahulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana…?” Han Houw berkata, dalam suaranya terdengar penuh sesal.
Baru kini dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak memiliki siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka adalah keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, malah keluarganya sendiri kini memusuhinya.
“Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko saja?” tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.
“Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!”
“Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,” kata Ciauw Si.
“Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!” Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.
“Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibumu! Kami tahu apa yang baik untukmu!” bentak Han Houw.
“Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?” Thian Sin merengek.
Ibunya sudah merangkulnya sambil berkata dengan halus, “Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?”
“Siapa yang akan mati? Kita tak akan mudah mati begitu saja!” Han Houw berkata keras. “Pendek kata, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang sangat banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini.”
Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, kemudian menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu.
Sambil menangis Thian Sin berpamit kepada ayah bundanya, dan pada pagi hari itu juga pergi meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh sehingga tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis.
Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, kemudian mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah untuk duduk di ruangan dalam. “Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, bahkan kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya.”
“Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara mau pun dari selatan?”
Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. “Tidak!” Namun dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan sangat pucat. “Dengar baik-baik, isteriku sayang, tidak sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apa lagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini.”
Ciauw Si tidak berkata apa-apa lagi, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.
“Isteriku, tak seharusnya engkau terancam bahaya bersamaku. Sudah terlampau banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karena aku. Dan baik Raja Agahai mau pun kaisar tidak memusuhimu. Karena itu engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku.”
“Tidak!” Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras sambil merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. “Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau bisa berkata demikian? Ahhh, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?”
Han Houw cepat memeluknya. “Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku… aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku… aku ingin agar engkau hidup terus… demi anak kita…”
Ciauw Si balas merangkul. “Tidak! Aku harus selalu berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita… di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya.”
Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya, maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja.
Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si segera maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lantas keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.
Pasukan berkuda itu datang dari sebelah timur, berbondong-bondong memasuki pintu gerbang dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.
Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja.
Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali namun leher serta kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih, sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suheng-nya.
Dahulu Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik dibandingkan Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini lalu mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini dapat mempergunakan tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi.
Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu pula oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam sangat terkejut sungguh pun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah bukan main melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.
Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh lalu dari pintu gerbang sebelah barat nampaklah debu mengepul disusul masuknya puluhan orang prajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang prajurit itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok.
Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, yaitu seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya.
Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Sekarang makin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat.
“Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?” Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang.
Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng mau pun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini!
Menurut kabar, satu-satunya orang yang sanggup mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Karena itu, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apa lagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, termasuk juga Tok-ciang Sianjin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, sekarang melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, lekas menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!” kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.
“Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kau bayar, tapi sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!” kata Tok-ciang Sianjin pula sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar.
Cambuk itu terbuat dari bahan baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang sangat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini, terlebih lagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang luar biasa keji. Memang Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.
Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. “Hemm, sekali ini kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang memiliki kepandaian dan berani, kalian majulah!”
Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi marah sekali dan dia mengeluarkan teriakan nyaring lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya sehingga terdengar suara meledak-ledak pada saat ujung cambuk itu mematuk ke arah kedua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!
Akan tetapi, biar pun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sinkang-nya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia bisa mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk.
Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal ini pun sudah diduga oleh Han Houw, maka dia pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.
“Tringgg…!”
Terdengar suara nyaring sekali pada saat pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seakan-akan merupakan isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggota pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si.
Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kong-kiam hingga nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu kemudian sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar.
Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu memainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang merupakan andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagahnya Ciauw Si lantas menghadapi mereka dan memainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang sangat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.
Seperti namanya, Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) sesungguhnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang sangat hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw.
Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, walau pun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut hingga seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang mereka lantas maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok.
Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dalam sebuah pertempuran yang sebetulnya berat sebelah, akan tetapi sekaligus juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk laksana sepasang naga sakti. Ke mana pun pedang mereka berkelebat, maka robohlah seorang pengeroyok sehingga sebentar saja halaman di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan.
Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu, dan sepasang suami isteri itu sendiri pun tak terluput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih bisa terus bertahan dan hanya menderita luka-luka ringan saja.
Andai kata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sinkang-nya, jika hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, kiranya dia beserta isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sinkang-nya sudah banyak hilang setelah dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang sangat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Meski pun ilmu silatnya masih lihai, namun karena tenaga sinkang-nya lemah, hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang sangat tinggi ilmunya, bahkan dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Ciauw Si! Meski pun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja!
Kini, biar pun dia telah dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biar pun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini!
Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas dari pada suaminya. Dia telah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia pun sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Pada saat dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si pun mengeluh.
“Suamiku, jangan kau tinggalkan aku…!” dia berseru lirih.
Seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, dengan saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, meski pun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir.
“Ciauw Si… isteriku…” Han Houw merintih ketika untuk kesekian kali pundaknya tertusuk tombak lawan. Dia membabat dan seorang prajurit yang menusuknya itu roboh.
“Pangeran… suamiku…” Ciauw Si juga merintih karena pahanya kembali kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya.
Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia cepat membalik maka robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi.
“Si-moi…!” Han Houw berseru.
Dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, dan tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun lalu menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas.
Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlalu banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar hingga membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus.
Akan tetapi tentu saja tenaga mereka semakin lama semakin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi. Mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan beberapa kali terpukul oleh tongkat. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi.
Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.
Sesudah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggota pasukan, baik pasukan Raja Agahai mau pun pasukan Kerajaan Beng, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa ‘pembersihan’ seperti itu. Mereka lalu memasuki rumah-rumah para penduduk dusun, dan senjata mereka pun berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa!
Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di sana semuanya dianggap sebagai kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan yang tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka perkosa dan permainkan. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya sangat tenang dan tenteram itu.
Lewat tengah hari, para pasukan itu mulai pergi meninggalkan dusun sambil membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Keadaan di dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda penduduk dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.
Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak akan ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek serta wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin semua kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis.
Pada esok harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata, setelah tiba di tengah jalan, anak itu tidak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.
Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar memanjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, “Ayaaah…! Ibuuu…!” Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.
“Ayaaaah…! Ibuuuuu…!” Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat keadaan di dalam rumah orang tuanya yang berantakan, juga di sana-sini nampak darah dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar kembali sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lantas berteriak kepada mereka dengan suara parau,
“Di mana ayah dan ibuku?”
Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. “Ayahmu… Ibu…”
Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.
Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip menatap kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidak percayaan,
“Ayahku… Ibuku… mereka… mereka tewas…?”
Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang bukan main mengerikan karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat. Dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan!
Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapa pun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar mau pun pengemis, tak peduli apakah dia itu pendeta mau pun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?
Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bila mana di sana terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang amat enak sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apa bila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih.
Sebagian besar dari ratap tangis yang ditumpahkan orang di dalam peristiwa kematian adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan oleh orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang dalam hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapa pun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati.
Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkaian dari hidup adalah sebuah proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari pada senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Kenapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?
Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita merasa enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Makin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu.
Bukan kematian yang menakutkan, tetapi perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup kita. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.
Tidak dapatkah kita ‘mati’ selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian, yang tak mungkin dielakkan itu.
Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itu. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat.
Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kita pun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus makin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat makin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di sana!
Akibat dari guncangan batin yang sangat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan serta menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh para tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, maka Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.
“Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!” katanya berkali-kali.
Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarkannya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan.
“Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kau bawa serta,” kata kakek Lai Sui yang sabar.
Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang oleh ayahnya telah diberikan kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu sudah dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.
“Rumah beserta semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek.” kata Thian Sin kepada Lai Sui. “boleh kau pakai dan kau tinggali sampai aku kembali.”
Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang sangat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.
Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan untuk mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapa pun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayah bundanya itu.
Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah.
Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluh tahun yang tengah membersihkan halaman di sebelah kanan kuil cepat melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang disangkanya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walau pun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.
“Apakah ji-wi (kalian berdua) akan bersembahyang?” tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati, suaranya halus dan sopan.
Melihat sikap ini saja Thian Sin telah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh pada mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah ramah dan sikap yang sopan, dan memang agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.
“Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, tetapi mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang,” kata Lan Sui.
Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. “Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi.”
Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa yang diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa),” kata Lai Sui.
“Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk semedhi.”
“Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, dan kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami.” jawab Lai Sui sambil tersenyum.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu pergi meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan ketika melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.
“Omitohud…! Sepagi ini sudah ada tamu yang datang mencari pinceng?” kata Hong San Hwesio. “Entah dari mana gerangan mereka?”
“Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka tampak lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya.”
“Omitohud…! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang sangat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja,” hwesio itu berkata dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat demikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.
Tidak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio menatap penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini.
“Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang, menghadap paman memenuhi pesan ayah…,” kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.
Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio menjadi terkejut, “Ah, kiranya engkau….” dia meragu.
“Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami…”
“Ahh, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?”
Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu, kemudian dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa mala petaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.
“Mereka telah merasa akan datangnya mala petaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini,” Kakek itu mengakhiri ceritanya. “Ternyata surat ini merupakan pesan terakhir mereka.”
Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, kedua alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu sejenak dia memejamkan kedua matanya sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu.
Mereka adalah tentara-tentara kasar yang sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak mereka selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali.
Di dusun itu mereka bersikap kasar, sebab mereka memandang rendah kepada pangeran yang kabarnya pemberontak itu. Kini, mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget.
Sebenarnya dua orang perwira tinggi ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun sudah mempunyai kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan mereka pun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Namun kini, sikap mereka lain ketika menghadapi anak itu.
“Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!” kata Si Tinggi Besar muka hitam. “Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?”
“Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?”
Dua orang itu girang bukan kepalang. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!”
Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya untuk menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya.
Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, karena itu mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima banyak hadiah.
Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi amat marah. “Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!”
Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari tandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang.
Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapa pun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
“Plakkk!”
Lengan tangan Thian Sin yang kecil mungil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin mempergunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya.
Cepat sekali pukulan ini sehingga Si Tinggi Besar berteriak kaget. Tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat pada sambungan siku bawah, maka tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!
“Bocah setan!” Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main.
Sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu sudah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya.
Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Akan tetapi anak itu sulit sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran.
Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.
Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini.
Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah secara cukup sempurna bagi orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan sekarang dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!
“He-heh-heh, engkau hendak lari ke mana, anak pemberontak?” Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. “Hayo cepat ajak kami ke rumah orang tuamu!”
Meski pun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Aku tidak sudi!”
“Ehhh, bocah setan! Apakah kau sudah bosan hidup?” Si Mata Juling mengancam sambil memperkuat cengkeramannya.
“Siapa takut mampus?!” Thian Sin juga membentak.
Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di hadapan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, “Harap ji-wi tidak mengganggu dia… apa bila ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar…”
“Paman A-coan!” Thian Sin membentak.
Akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman. “Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!”
Kemudian dia mengerahkan sedikit tenaga sehingga membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
“Baik… baik… tidak bohong… tidak bohong…”
Dua orang kakek itu kemudian keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, ada pun Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, bagaikan orang membawa seekor kucing saja.
A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lantas mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi banyak pula yang mencegah niat ini ketika melihat betapa pemilik warung dan anak itu telah berada dalam kekuasaan kedua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang.
Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata penuh kemarahan, sebab tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.
Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini sampai di pekarangan rumah Han Houw, nampaklah seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget saat melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan pundaknya dicengkeram. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini.
Dua orang kakek itu memandang rendah pada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan,
“Inikah rumah pangeran pemberontak itu?!”
“Saya… saya tidak tahu pangeran mana… tapi inilah rumah orang tua anak itu…” A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar hingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lantas tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang sekarang berdiri menonton di luar pekarangan.
Mendadak nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya!
Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia mempergunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu pula, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat pula betapa tangan kanan kakek itu sudah tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
“Dukkkk!” dengan tepat sepatu kecil itu menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.
“Auhhh…!” Si Mata Juling terkejut sehingga cengkeramannya terlepas.
Thian Sin langsung meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.
“Ngekkk!”
Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak lagi sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.
“Aduhhh…!” Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.
Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya, sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
“Srattt! Srattt!”
Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.
“Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!” Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu.
Ciauw Si terkejut sekali. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang, pikirnya. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang.
“Kau mundurlah,” bisiknya dan kini dia menghadapi kedua orang kakek itu, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.
“Siapakah kalian? Dan apakah keperluan kalian datang ke sini?” dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu.
Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagai mana pun juga, mereka masih terlampau memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di hadapan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi amat penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Bahkan sebaliknya mereka lantas mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan!
Tentu saja para penghuni dusun memandang dengan muka pucat. Meski mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukanlah orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat ‘terbang’ bagaikan burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang!
Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan sangat mudah mengelak dari sambaran dua batang golok yang berupa dua gulung sinar putih itu. Ke mana pun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlalu gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat dari pada sambaran dua batang golok.
Lie Ciauw Si adalah cucu luar sekaligus juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in Kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus dan Thai-kek Sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan sudah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan kedua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya.
Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya. Setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba saja dia lantas mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya.
Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok pada tangan mereka terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang!
“Isteriku, jangan membunuh orang…!” Tiba-tiba terdengar suara mencegah.
Ciauw Si yang telah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin sudah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang kedua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
“Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya ada sedikit kesalah pahaman.”
Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka sesudah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.
Sesudah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apa lagi kini suaminya sudah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik, ada pun fihak atasan sudah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!
“Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?”
Dua orang itu sudah mati kutunya sehingga tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar.
“Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan… apakah… apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw…?”
“Hemmm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?” tanya Han Houw sambil memandang tajam.
“Ampun… ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini… dan… ahhh, hamba berdua telah lancang karena tidak menyangka bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar… mohon ampun…”
Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng ingin menyelidikinya? Dia lalu mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian disuruh menyelidiki?”
“Hamba… hamba tidak tahu… hanya ada utusan dari kota raja yang memerintahkan kami berdua untuk menyelidiki…”
Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang terhadap sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang-orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
“Pergilah kalian!” katanya.
Ketika dua kali kakinya bergerak, maka tubuh dua orang itu pun terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka segera bangkit sambil merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul!
Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. “Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!”
Han Houw memegang lengan puteranya, cepat ditariknya masuk ke dalam rumah. “Thian Sin, tadi ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sebenarnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami dulu hidup menderita, karena itu engkau ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?” Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk.
Pada malam hari itu, sesudah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap mengenai peristiwa itu.
“Aku khawatir peristiwa belasan tahun yang lalu akan terulang,” Ciauw Si berkata sambil menarik napas panjang. “Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?”
Ceng Han Houw mengerutkan kedua alisnya. “Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian.”
“Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita.”
Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, pada saat mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu.
Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya.
Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tertidur nyenak, dan dia lalu duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, seperti ada orang bertempur di arah ruangan depan, dia pun cepat-cepat membangunkan puteranya.
Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, maka begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benar, sepasang matanya menatap wajah ibunya, ada pun telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
“Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?”
“Sstttt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini.” Ciauw Si segera menggandeng tangan puteranya dan mereka lalu berlari keluar.
Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan sangat ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu.
Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada pula yang membunyikan ekornya dengan suara berderik.
Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak mendapat obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau pun kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ.
Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw cepat mencabut pedang lantas dengan beberapa kali gerakan pedangnya, keenam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biar pun Han Houw sudah kehilangan sebagian besar tenaga sinkang-nya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apa lagi dia memegang sebatang pedang.
“Wirrr…! Siuuuuuttt…!”
Han Houw memutar pedangnya.
“Tringg! Tringgg…!”
Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang pada ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut lantas berkata lantang,
“Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!”
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan juga amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar.
Dulunya perkumpulan ini didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sianjin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, lalu mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun.
Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang kini dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu salah seorang murid Jeng-hwa Sianjin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw.
Apa lagi sesudah ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka, dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw.
Seperti diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan kemunculan seorang tosu bernama Tok-siang Sianjin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama mendiang Jeng-hwa Sianjin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.
Kini, melihat kemunculan orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw menjadi terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.
Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras, lalu dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri ada pun tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang nampak berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu langsung mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.
Han Houw terkejut juga ketika menyaksikan ketangkasan serta kerapian gerakan mereka yang demikian teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.
“Siapa kalian?!” dia membentak.
Seorang di antara mereka yang berada di hadapannya, menjawab dari balik perisainya, “Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan semua dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!”
Setelah berkata demikian, tujuh orang itu segera bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul.
Melihat ini, Han Houw menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, akan tetapi yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang sudah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang sudah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung?
Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik apa bila dia berada di tempat yang sempit, maka dia kemudian menerjang ke kanan dengan maksud membobolkan kepungan itu sehingga dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tujuh buah perisai membentuk benteng baja diikuti tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat!
Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Begitu melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat pula bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
“Keparat, kalian datang mengantar nyawa!” bentak Ciauw Si.
Dia pun segera menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu.
Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, hati Han Houw menjadi tenang dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Mereka sudah melatih diri dalam barisan Jit-seng Twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan.
Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli apakah lawan itu seorang atau pun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga bisa mengadakan perubahan-perubahan yang tak terduga-duga oleh lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi selama ini mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang menyerang secara serentak atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan!
Dan lebih lagi, kini yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi sungguh pun tenaga sinkang-nya banyak berkurang sesudah dia menderita sakit dan karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena kini di luar kepungan terdapat seorang wanita sakti yang juga turut mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan sudah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggota Jit-seng Twa-to-tin itu.
Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi tujuh orang itu menjadi sibuk sekali karena menghadapi serangan-serangan dahsyat, baik dari dalam mau pun luar barisan, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk ketika melihat suaminya dikepung,.
“Crokkk…! Aughhhh…!”
Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika.
Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas walau pun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka sehingga dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua.
Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa mempergunakan seluruh tenaga hingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!
“Ayo lekas katakan yang sebetulnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?!” bentak Ciauw Si.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan kepalang melihat orang itu sudah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat.
Dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata setelah melihat semua temannya tewas, orang yang terluka ini lalu membunuh diri!
“Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!” kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
“Apa? Pamanmu sendiri?” Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
“Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!” katanya dan dia cepat memanggil para tetangga.
Mereka menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu sudah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.
“Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,” kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.
“Maksudmu?” Ciauw Si bertanya.
“Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepatlah dengan ramalan mendiang Yok-sian dulu bahwa kita tak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya mala petaka.”
“Tetapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik.”
“Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak kembali lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku.”
“Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!” kata Ciauw Si. “Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar.”
“Hemmm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!” kata Han Houw dengan marah.
“Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayatku. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian…”
Diingatkan akan hal ini, Han Houw langsung termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.
“Aku pun tidak takut!” kata anak itu.
Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. “Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin.”
“Dia harus pergi dahulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana…?” Han Houw berkata, dalam suaranya terdengar penuh sesal.
Baru kini dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak memiliki siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka adalah keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, malah keluarganya sendiri kini memusuhinya.
“Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko saja?” tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.
“Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!”
“Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,” kata Ciauw Si.
“Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!” Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.
“Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibumu! Kami tahu apa yang baik untukmu!” bentak Han Houw.
“Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?” Thian Sin merengek.
Ibunya sudah merangkulnya sambil berkata dengan halus, “Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?”
“Siapa yang akan mati? Kita tak akan mudah mati begitu saja!” Han Houw berkata keras. “Pendek kata, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang sangat banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini.”
Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, kemudian menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu.
Sambil menangis Thian Sin berpamit kepada ayah bundanya, dan pada pagi hari itu juga pergi meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh sehingga tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis.
Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, kemudian mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah untuk duduk di ruangan dalam. “Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, bahkan kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya.”
“Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara mau pun dari selatan?”
Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. “Tidak!” Namun dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan sangat pucat. “Dengar baik-baik, isteriku sayang, tidak sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apa lagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini.”
Ciauw Si tidak berkata apa-apa lagi, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.
“Isteriku, tak seharusnya engkau terancam bahaya bersamaku. Sudah terlampau banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karena aku. Dan baik Raja Agahai mau pun kaisar tidak memusuhimu. Karena itu engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku.”
“Tidak!” Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras sambil merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. “Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau bisa berkata demikian? Ahhh, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?”
Han Houw cepat memeluknya. “Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku… aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku… aku ingin agar engkau hidup terus… demi anak kita…”
Ciauw Si balas merangkul. “Tidak! Aku harus selalu berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita… di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya.”
Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya, maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja.
Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si segera maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lantas keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.
Pasukan berkuda itu datang dari sebelah timur, berbondong-bondong memasuki pintu gerbang dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.
Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja.
Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali namun leher serta kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih, sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suheng-nya.
Dahulu Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik dibandingkan Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini lalu mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini dapat mempergunakan tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi.
Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu pula oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam sangat terkejut sungguh pun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah bukan main melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.
Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh lalu dari pintu gerbang sebelah barat nampaklah debu mengepul disusul masuknya puluhan orang prajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang prajurit itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok.
Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, yaitu seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya.
Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Sekarang makin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat.
“Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?” Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang.
Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng mau pun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini!
Menurut kabar, satu-satunya orang yang sanggup mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Karena itu, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apa lagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, termasuk juga Tok-ciang Sianjin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, sekarang melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, lekas menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!” kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.
“Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kau bayar, tapi sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!” kata Tok-ciang Sianjin pula sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar.
Cambuk itu terbuat dari bahan baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang sangat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini, terlebih lagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang luar biasa keji. Memang Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.
Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. “Hemm, sekali ini kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang memiliki kepandaian dan berani, kalian majulah!”
Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi marah sekali dan dia mengeluarkan teriakan nyaring lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya sehingga terdengar suara meledak-ledak pada saat ujung cambuk itu mematuk ke arah kedua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!
Akan tetapi, biar pun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sinkang-nya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia bisa mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk.
Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal ini pun sudah diduga oleh Han Houw, maka dia pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.
“Tringgg…!”
Terdengar suara nyaring sekali pada saat pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seakan-akan merupakan isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggota pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si.
Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kong-kiam hingga nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu kemudian sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar.
Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu memainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang merupakan andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagahnya Ciauw Si lantas menghadapi mereka dan memainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang sangat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.
Seperti namanya, Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) sesungguhnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang sangat hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw.
Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, walau pun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut hingga seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang mereka lantas maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok.
Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dalam sebuah pertempuran yang sebetulnya berat sebelah, akan tetapi sekaligus juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk laksana sepasang naga sakti. Ke mana pun pedang mereka berkelebat, maka robohlah seorang pengeroyok sehingga sebentar saja halaman di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan.
Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu, dan sepasang suami isteri itu sendiri pun tak terluput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih bisa terus bertahan dan hanya menderita luka-luka ringan saja.
Andai kata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sinkang-nya, jika hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, kiranya dia beserta isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sinkang-nya sudah banyak hilang setelah dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang sangat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Meski pun ilmu silatnya masih lihai, namun karena tenaga sinkang-nya lemah, hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang sangat tinggi ilmunya, bahkan dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Ciauw Si! Meski pun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja!
Kini, biar pun dia telah dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biar pun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini!
Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas dari pada suaminya. Dia telah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia pun sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Pada saat dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si pun mengeluh.
“Suamiku, jangan kau tinggalkan aku…!” dia berseru lirih.
Seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, dengan saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, meski pun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir.
“Ciauw Si… isteriku…” Han Houw merintih ketika untuk kesekian kali pundaknya tertusuk tombak lawan. Dia membabat dan seorang prajurit yang menusuknya itu roboh.
“Pangeran… suamiku…” Ciauw Si juga merintih karena pahanya kembali kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya.
Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia cepat membalik maka robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi.
“Si-moi…!” Han Houw berseru.
Dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, dan tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun lalu menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas.
Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlalu banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar hingga membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus.
Akan tetapi tentu saja tenaga mereka semakin lama semakin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi. Mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan beberapa kali terpukul oleh tongkat. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi.
Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.
Sesudah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggota pasukan, baik pasukan Raja Agahai mau pun pasukan Kerajaan Beng, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa ‘pembersihan’ seperti itu. Mereka lalu memasuki rumah-rumah para penduduk dusun, dan senjata mereka pun berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa!
Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di sana semuanya dianggap sebagai kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan yang tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka perkosa dan permainkan. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya sangat tenang dan tenteram itu.
Lewat tengah hari, para pasukan itu mulai pergi meninggalkan dusun sambil membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Keadaan di dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda penduduk dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.
Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak akan ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek serta wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin semua kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis.
Pada esok harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata, setelah tiba di tengah jalan, anak itu tidak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.
Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar memanjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, “Ayaaah…! Ibuuu…!” Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.
“Ayaaaah…! Ibuuuuu…!” Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat keadaan di dalam rumah orang tuanya yang berantakan, juga di sana-sini nampak darah dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar kembali sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lantas berteriak kepada mereka dengan suara parau,
“Di mana ayah dan ibuku?”
Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. “Ayahmu… Ibu…”
Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.
Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip menatap kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidak percayaan,
“Ayahku… Ibuku… mereka… mereka tewas…?”
Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang bukan main mengerikan karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat. Dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan!
Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapa pun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar mau pun pengemis, tak peduli apakah dia itu pendeta mau pun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?
Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bila mana di sana terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang amat enak sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apa bila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih.
Sebagian besar dari ratap tangis yang ditumpahkan orang di dalam peristiwa kematian adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan oleh orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang dalam hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapa pun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati.
Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkaian dari hidup adalah sebuah proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari pada senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Kenapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?
Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita merasa enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Makin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu.
Bukan kematian yang menakutkan, tetapi perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup kita. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.
Tidak dapatkah kita ‘mati’ selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian, yang tak mungkin dielakkan itu.
Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itu. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat.
Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kita pun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus makin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat makin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di sana!
********************
Akibat dari guncangan batin yang sangat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan serta menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh para tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, maka Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.
“Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!” katanya berkali-kali.
Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarkannya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan.
“Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kau bawa serta,” kata kakek Lai Sui yang sabar.
Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang oleh ayahnya telah diberikan kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu sudah dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.
“Rumah beserta semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek.” kata Thian Sin kepada Lai Sui. “boleh kau pakai dan kau tinggali sampai aku kembali.”
Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang sangat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.
Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan untuk mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapa pun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayah bundanya itu.
Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah.
Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluh tahun yang tengah membersihkan halaman di sebelah kanan kuil cepat melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang disangkanya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walau pun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.
“Apakah ji-wi (kalian berdua) akan bersembahyang?” tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati, suaranya halus dan sopan.
Melihat sikap ini saja Thian Sin telah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh pada mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah ramah dan sikap yang sopan, dan memang agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.
“Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, tetapi mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang,” kata Lan Sui.
Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. “Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi.”
Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa yang diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa),” kata Lai Sui.
“Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk semedhi.”
“Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, dan kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami.” jawab Lai Sui sambil tersenyum.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu pergi meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan ketika melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.
“Omitohud…! Sepagi ini sudah ada tamu yang datang mencari pinceng?” kata Hong San Hwesio. “Entah dari mana gerangan mereka?”
“Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka tampak lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya.”
“Omitohud…! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang sangat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja,” hwesio itu berkata dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat demikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.
Tidak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio menatap penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini.
“Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang, menghadap paman memenuhi pesan ayah…,” kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.
Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio menjadi terkejut, “Ah, kiranya engkau….” dia meragu.
“Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami…”
“Ahh, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?”
Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu, kemudian dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa mala petaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.
“Mereka telah merasa akan datangnya mala petaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini,” Kakek itu mengakhiri ceritanya. “Ternyata surat ini merupakan pesan terakhir mereka.”
Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, kedua alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu sejenak dia memejamkan kedua matanya sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu.
Selanjutnya,