Pendekar Sadis Jilid 04
DAPAT dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam. Dia melihat Kui Lin langsung menutupkan semua pintu dan jendela, ada pun isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Sesudah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ.
Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini.
Memang harus dia akui bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, apa lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang turut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain!
“Lan-moi, ada apakah? Engkau tenanglah dan ceritakan kepadaku,” akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di hadapannya itu sambil mencoba untuk membangunkan Kui Lan.
Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, “Sun-koko… kau… kau bunuhlah saja aku…”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya kemudian merangkul isterinya yang masih berlutut.
“Ahh… apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau… berkata demikian, isteriku?”
“Koko… dia… dia itu…,” Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan jari telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, “…akulah yang… membunuhnya…”
“Aihhh…?” Khai Sun merasa kepalanya laksana disambar kilat hingga dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang masih terus menunduk itu.
Kui Lin cepat menghampiri enci-nya dan juga berlutut merangkul enci-nya, lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami enci-nya. “Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!”
Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, “Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian… kalian yang telah membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?”
Melihat keadaan pria yang tinggi besar serta gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan enci-nya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak menangis, “Bukan kami… melainkan dialah yang gila… dia layak mati… karena dia telah memperkosa Enci Lan…!”
“Ohhhhh…?” Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya sehingga dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya memandang ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu.
Ada perasaan marah yang sangat hebat membakar hatinya, namun dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa. Tanpa disadari, tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat dari pada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata nanar dia membuka tangannya kemudian memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya bagaikan terapung di dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia pun sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seakan-akan hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.
Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya kembali menjadi terang dan tenang, lantas terdengarlah suaranya yang parau dan berat,
“Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku.”
Akan tetapi Kui Lan tidak sanggup mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, hingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun dan berkata dengan suara gemetar, “Enci Lan, duduklah… biar aku yang akan menceritakan…”
Kui Lin membawa enci-nya duduk di atas bangku di hadapan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping enci-nya, merangkulnya kemudian mempergunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan batin yang amat mendalam.
“I-thio Khai Sun, harap kau dengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu… dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya hingga akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan… untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat…”
Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isterinya sendiri!
Melihat bahwa setelah mendengar cerita itu keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan, Kui Lan menjerit lirih dan dia langsung menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis.
“Suamiku… kau…kau bunuhlah aku… aku tidak dapat membunuh diri… karena… karena Lin-moi…” Dia terus menangis tersedu-sedu.
Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia lalu bertanya. “Mengapa kau minta kubunuh?”
Kui Lan menengadah, memandang pada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. “Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini… aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor… aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu… dan aku… aku sudah membunuh suami Lin-moi… aku sudah merusak hidup Lin-moi…”
“Tidak… tidak…!” Kui Lin berseru sambil terisak. “Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tak berdaya melawan… dan tentang pembunuhan itu… kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati…! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian untuk menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, aku pun tidak sudi hidup lagi di dunia ini…!”
“Lin-moi…!”
“Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!”
Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi makin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah bisa membayangkan apa yang sudah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.
“Sudahlah, Lan-moi… aku… aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar… peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain.” Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.
Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. “Kau… kau tidak benci kepadaku?”
Khai Sun menggelengkan kepala dan tersenyum duka. “Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu.”
Kui Lan masih meragu. “Tapi… tapi aku… aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi…”
“Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu bijaksana sekali, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat.”
“Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar,” kata pula Khai Sun.
Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu.
Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Sesudah mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia segera berangkat ke Kun-ting dan tiba di sana sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.
Kurang lebih satu bulan sesudah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu kelihatan sunyi dan masih dalam suasana berkabung, meski pun pekerjaan Ui-eng Piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.
Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana telah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biar pun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, akan tetapi mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andai kata ada orang berdiri di luar kamar itu pun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.
“Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, sungguh memalukan dan amat merendahkan aku!”
“Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkanlah masak-masak sebab aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini telah kupikirkan sejak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk bisa terus hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa di dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan bersalah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapa pun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, maka hal itu tidak akan terjadi dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tak akan dapat terhapus kecuali… kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku.”
“Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!”
“Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik jika hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, malah adik kembarku hingga di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Jika engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagai mana jika sampai engkau kelak terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia adalah laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita… kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi.”
“Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu.”
“Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku.”
“Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apa lagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku menjadi… ehhh…, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seakan-akan sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?”
“Ahh, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagai mana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikiran semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan sesudah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak…”
“Kalau tidak, mengapa, Enci?”
“Kalau engkau tidak mau… aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, akan tetapi agar kau ketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau saja engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa bersalah di dalam hatiku.”
“Enci Lan…!”
“Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan bila engkau mau mempertimbangkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini.”
“Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku… berilah aku waktu untuk dapat mempertimbangkan urusan ini, aku bingung, Enci…”
“Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku.”
Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang kala dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian sesudah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.
“Lan-moi, isteriku sayang, mengapa sekarang engkau selalu menjauhkan diri? Aku… aku rindu padamu, Lan-moi…” kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan.
Namun Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di pinggir pembaringan dan saling memandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.
“Aku… rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu… aku akan selalu merasa kotor dan hina…”
“Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku telah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap hal itu tak pernah terjadi padamu dan…”
“Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau…”
“Kecuali apa, isteriku?”
“Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi…”
“Aahhh…! Sudah gilakah engkau?”
Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.
Kui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan secara masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku.”
“Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu dapat terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa mala petaka itu?”
Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. “Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus apa bila engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku.”
“Tapi… tapi…”
“Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati.”
“Tapi… Lin-i…”
“Hal ini sudah kubicarakan dengan Lin-moi. Kini Lin-moi telah menjadi seorang janda, dia muda, cantik dan berharta. Maka dia juga memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang amat pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan jika menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini.”
“Tapi, kau kira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu…”
“Aku tahu, akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua.”
Dengan tubuh lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, dua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali.
“Ahhh, alangkah akan malu rasanya di dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku menggunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu… aku harus memikirkan hal ini secara mendalam…”
“Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku.”
Begitulah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang sudah dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek.
Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu serta anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga. Mereka hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai, kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan akhirnya untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.
Marilah sekarang kita mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri serta puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh sehingga merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka sekarang mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.
Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk dapat menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan.
Pada saat mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, akan tetapi dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani ‘biasa’ karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.
Pada jaman itu Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar sehingga namanya sebagai Pendekar Lembah Naga sangat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sejak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Karena itu, apa bila ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!
Akan tetapi, justru keadaan mereka yang bagaikan petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu bisa dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka pun dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena jika orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.
Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan yang seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, maka sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebenarnya hanyalah merupakan satu di antara banyak gunung-gunung lainnya yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Nama Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti.
Ketika itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang mempunyai ilmu tinggi bernama Yap In Hong.
Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan laksana orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya lelaki yang berumur sekian, kalau tidak perutnya menggendut karena terlalu banyak makan gajih dan daging, tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran!
Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekas-bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masih ramping dan padat kuat, walau pun rambutnya mulai terhias uban. Akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!
Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, biar pun semenjak muda suami isteri pendekar sakti ini telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru sesudah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun.
Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.
Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi, yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu kemudian menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang sangat baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya beserta puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.
Sesudah mereka bertiga sampai di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah kelihatan tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada.
Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka sudah memiliki banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.
Begitu keluarga ini sampai di pintu gerbang, mereka sudah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang datang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.
“Selamat datang di Cin-ling-pai,” kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga pada pagi hari itu. “Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?” Pertanyaan itu singkat dan tegas, namun diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah.
Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah apa bila Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!
“Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,” jawab Sin Liong dengan ramah pula.
Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu menatap penuh perhatian kepada Sin Liong sambil berkata. “Maaf, ketua kami tak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan lebih dulu siapa adanya saudara dan dari mana…?”
Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata,
“Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami bertiga datang dari jauh, dari luar Tembok Besar…”
“Kami datang dari Lembah Naga!” sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.
“Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kongkong-ku!” kata pula Han Tiong yang juga tak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.
Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, maka semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.
“Ahh,… apakah… taihiap ini Cia Sin Liong…?”
Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, “Benar, itulah namaku.”
“Maaf… maaf… kami tidak mengenal… silakan masuk…” kata mereka.
Beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang sangat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga.
Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biar pun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap sangat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai juga bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka.
Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlarian keluar untuk menyambut dan melihat.
Cia Bun Houw yang sudah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong dan putera mereka, Cia Kong Liang yang kini berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai segera membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.
Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang sungguh pun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya juga masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.
“Ayah…!” Sin Liong segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.
“Engkau tentu adikku Kong Liang! Ahh, engkau sudah besar, tegap dan gagah!” kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.
“Inikah putera kalian?” kata Yap In Hong ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.
“Ha-ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus… sudah besar dan sehat pula!” kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.
Pada waktu Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang sekarang telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, maka dia pun mengangguk-angguk.
“Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Ahhh…, engkau memang benar, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, sebab ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, keponakanku Hong San Hwesio itu memang boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Ahhh, aku gembira sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh sangat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam.”
“Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlampau lama hanya bersembunyi saja, tidak pernah lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw.”
Ayahnya menarik napas panjang. “Aku sendiri pun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan kepada semua anak murid Cin-ling-pai telah kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguh pun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja apa bila menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, benar-benar membuat aku merasa khawatir sekali.”
“Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?” tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Ada pun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.
Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. “Akhir-akhir ini, di dunia kang-ouw banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru. Nama mereka memang baru, akan tetapi sebenarnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang sekarang seolah-olah menjadi raja-raja kecil di dalam dunia hitam.”
“Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?”
“Aku tak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar bahwa mereka itu berpengaruh sekali dan selain memiliki banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapa pun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai supaya tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka jika sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja.”
Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang sangat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang sudah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya.
Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya mempunyai ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat.
Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara), yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si.
Di sebelah timur muncul seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur. Dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan amat terkenal dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di pinggir pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Ada pun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Itulah mereka yang sekarang merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu mempunyai kepandaian yang hebat, memilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
“Ahh…! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!” kata Sin Liong terkejut.
“Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?”
Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia juga dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dahulu dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apa lagi jika berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.
Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati sangat tertarik, bahkan di dalam hatinya dia mencatat nama-nama berikut tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi.
Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik lagi seperti Han Tiong. Bahkan dia kemudian mengajak keponakannya itu untuk keluar lalu mereka pun bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat.
Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang sudah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Sesuai dengan watak yang selalu ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya lalu saling memuji dan merendahkan diri sendiri.
Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga pergi meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui Lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, ada pun Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.
Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw, mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari sana, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.
“Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?” Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. “Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?”
Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang, dan wajahnya nampak sangat berduka. “Sudah lama sekali terjadinya, sudah terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.”
Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari kota Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi mala petaka itu.
“Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak ada yang tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek lantas membunuhnya itu.”
Kemudian diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek, di mana Kui Lan tengah menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang-barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu, lantas datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.
“Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,” kata Sin Liong.
“Mereka pun mengatakan bahwa mereka tak mengenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apa lagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarang pun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu.”
Sin Liong mengerutkan alisnya. “Tidak mengherankan kalau sebagai seorang piauwsu, Tiong Pek mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran bila sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah dia ditinggal mati suaminya?” tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.
Tiba-tiba saja sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di sana terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. “Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja.”
Mendengar ini, Sin Liong merasa heran sekali, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia segera mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.
“Beng Sin, urusan apa yang hendak kau katakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia.”
Beng Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi sebagai saudara seibu, engkau juga berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi turut bersama Lan-moi dan suaminya yang masih melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun sesudah kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi… ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya.”
“Ahhh…!” Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut.
Terdapat keraguan di dalam hatinya, maka dia tidak dapat segera mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin sudah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang dia berhak untuk menikah lagi, sungguh pun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?
“Hemm, lalu bagaimana kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?” tanya Sin Liong.
Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa… ehh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan… agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang.”
“Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,” kata Sin Liong.
Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Ui-eng Piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.
Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana yang tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian sesudah mendapatkan persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Ui-eng Piauwkiok.
Dari jauh sudah kelihatan papan nama Ui-eng Piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.
Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semuanya ini karena pandang matanya sudah tertuju ke arah beranda depan rumah itu, di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin!
Tidak nampak orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, dan ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!
Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan segera menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan sesudah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.
“Liong-ko…!” Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata sudah bercucuran di atas pipi mereka.
“Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!” kata Kui Lin.
“Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?” tanya Kui Lan.
Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. “Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!”
Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang sangat menghormati Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biar pun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar).
Akan tetapi Sin Liong hanya sedikit mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.
Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lantas menarik tangan Sin Liong dan berkata, “Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali.”
“Duduklah, koko,” kata pula Kui Lin.
“Cia-taihiap, silakan duduk,” Ciu Khai Sun juga menyambung.
Biar pun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. “Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin…,” dia berkata, suaranya dingin.
Khai Sun dan kedua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, “Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kau dengar darinya?”
Sekarang Sin Liong memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, “Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami enci-nya. Benarkah ini?”
Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.
“Brakkk…!”
“Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?” Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan.
Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar yang maklum akan kemarahan kakak mereka itu langsung menangis dan seperti hendak saling melindungi.
“Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau yang mempunyai kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, kenapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?” Pertanyaan ini penuh teguran serta penyesalan, dan sekarang pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan.
Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, kedua matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata,
“Cia-taihiap, biar diriku ini akan kau bunuh sekali pun, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri.”
Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya!
“Liong-ko, jangan kau salahkan suami kami, dia sama sekali tak bersalah dalam hal ini…” kata Kui Lan.
“Akulah yang bersalah, Liong-ko,” kata Kui Lin.
“Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!”
Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia lalu mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan pandang mata tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin.
Sekarang dua orang wanita itu tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah. Pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!
“Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah…”
“Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!” tiba-tiba Kui Lin menjawab. Jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak hingga dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali.
“Kalian… kalian sudah gila…?” tanyanya gagap.
“Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua lalu mengeroyoknya dan membunuhnya!”
“Ohhh…!” Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri!
“Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?” Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, “Aku telah ternoda, walau pun itu terjadi di luar kesadaranku, akan tetapi hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan serta melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tak kami kenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat dari pada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?”
Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang lelaki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin!
Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan dan merangkul pangkuan wanita ini, sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka tadi memang berlomba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin.
“Mereka anak-anak kalian…?” Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya.
Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, barulah Khai Sun menjawab sambil tersenyum. “Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua.”
Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justru puteri Kui Lan!
“Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!” kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguh pun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.
“Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!” kata anak laki-laki itu dengan sikap gagah.
“Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!” sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja.
Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. “Anak-anak baik…,” katanya terharu.
Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun yang tidak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua sudah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak.
Karena mereka masih akan berbicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu supaya bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.
“Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!” kata anak laki-laki itu.
“Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!” bantah adiknya.
Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing memiliki dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini, agaknya sedikit pun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua!
“Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?” Kui Lin bertanya.
“Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen.”
“Ahh? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?” Kui Lin menegur.
Wajah Sin Liong menjadi merah. “Karena tadinya… ehhh, kupikir… tidak enaklah dengan adanya urusan… tetapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biarlah kuambil mereka.”
Keluarga Ciu merasa gembira sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka. Oleh karena itu, pada waktu Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin langsung sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.
Dengan hati lapang karena melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen?
Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu cepat menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul yang panjang dan ditulisi dengan huruf-huruf berwarna merah!
Mata Sin Liong terbelalak memandang sampul itu. Dia pun teringat akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menuturkan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu telah mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya?
Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu, dan suaranya berwibawa ketika dia bertanya, “Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!”
Pengurus losmen itu tampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. “Maafkan kami semua, sicu…” Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu mulai menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ.
Sesudah ditinggalkan oleh Sin Liong, Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tidak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
Terdengar suara keras membentak-bentak pengurus losmen. “Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?”
Mendengar ini, tentu saja Bi Cu menjadi terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap,
“Ada… ada… tapi dia sedang keluar.”
“Ke mana? Hayo katakan ke mana!”
“Tidak… tidak tahu…”
“Plakk! Plakk!” Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.
“Sungguh mati, dia keluar tanpa memberi tahu ke mana… ampunkan saya… ampunkan saya…”
“Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?” bentak suara kasar tadi.
Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan dia pun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang lelaki tinggi besar yang mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah sedang menghadapi tontonan yang menyenangkan.
“Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa yang mencari suamiku?!” Bi Cu membentak sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.
Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai.
“Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?”
“Hemmm, engkau orang kasar mengapa hendak mencari suamiku?” bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.
“Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu. Sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu sudah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ.
“Han Tiong, mundurlah!” Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.
“Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?!” Bi Cu membentak.
“Ha-ha-ha-ha, tuan besar kami hendak mengundang Pendekar Lembah Naga, tapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanyalah isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya nanti! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulurkan tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tawa ha-ha he-he oleh para temannya.
“Keparat jahanam kau!” Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlampau cepat atau memang laki-laki itu memandang terlalu rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!
“Plakkk!”
Orang itu terkejut, terhuyung sambil mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah karena bibirnya telah pecah.
“Serbu! Tangkap!” bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu.
Akan tetapi dengan mudah saja nyonya ini mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar.
Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, “Lepaskan aku!”
Bi Cu terkejut dan cepat menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok sudah ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.
“Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!” bentak orang yang menangkap Han Tiong.
“Hemm, apa maksud kalian?!” bentak Bi Cu, sedikit pun tidak merasa takut sungguh pun diam-diam dia sangat mengkhawatirkan puteranya. “Sedikit saja kau ganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!”
Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jeri juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Tentu mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, pastilah akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya apa bila mereka sampai berani mengganggu puteranya.
“Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus mau pun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, maka kami pun tidak berani bersikap kasar.”
Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau saja sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan jika hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja maka amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia beserta puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.
“Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!” katanya dengan tegas dan dia pun lalu menghampiri puteranya.
Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lantas keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata sebuah kereta sudah menunggu di luar. Bi Cu beserta puteranya dipersilakan naik kereta yang segera dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.
Demikianlah keterangan yang didapatkan Sin Liong dari pengurus losmen yang mukanya masih biru-biru. Sesudah mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.
“Di manakah rumah Pak-san-kui ini?” tanyanya kepada pengurus losmen.
Pengurus losmen itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadi pun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara.”
Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Mengapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagai mana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, lantas mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu?
Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ahh, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, kemudian memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya.
Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya!
Sesudah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mereka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.
“Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?” tanya Kui Lin.
“Mari kita berbicara di dalam,” kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan.
Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu.
“Inilah sampul undangan itu,” katanya sebagai penutup dan menunjukkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka.
“Sungguh kurang ajar!” seru Kui Lan.
“Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?” seru Kui Lin.
Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang sekali. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut.
“Hemm… Pak-san-kui…”
“Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?” tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu.
Ciu Khai Sun menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi namanya sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah pula mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga amat besar. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main hingga terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?”
“Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Sudah pasti dia berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota,” kata Sin Liong.
“Ahh, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, baru pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali apa bila dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?”
“Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana.”
“Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!”
“Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, sangat tidak baik apa bila engkau sampai tersangkut, apa lagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulah saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku.”
Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong segera berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh rasa khawatir dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin.
Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak dan isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biar pun istana kaisar sekali pun akan dimasuki kalau perlu!
Beberapa orang prajurit penjaga langsung maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, “Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?”
Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!”
Enam orang prajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, dan karena mereka pun datang dari Tai-goan, maka tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan mereka pun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Walau pun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka sudah mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga. Maka, ketika mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.
“Tunggulah… tunggulah kami melapor dulu…” kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam.
Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak dan isterinya berada di dalam gedung itu? Apakah masih dalam keadaan selamat?
Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu lantas menghampirinya dengan lagak memandang rendah sambil tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.
“Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?” tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.
Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa yang melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi dia pun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak dari pada si pembesar itu sendiri!
Memang demikianlah keadaan kita manusia di dalam dunia ini. Kita selalu ingin merasa lebih tinggi dari pada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu?
Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh terhadap orang lain yang kita anggap lebih rendah dari kita. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang demikian tingginya akibat kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu.
Kenyataannya sehari-hari, mereka itu merupakan bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah dari pada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu.
Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam ‘paling’ lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau kita tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan setiap saat waspada kepada diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah!
Penglihatan yang amat jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kita pun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.
Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini.
Memang harus dia akui bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, apa lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang turut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain!
“Lan-moi, ada apakah? Engkau tenanglah dan ceritakan kepadaku,” akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di hadapannya itu sambil mencoba untuk membangunkan Kui Lan.
Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, “Sun-koko… kau… kau bunuhlah saja aku…”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya kemudian merangkul isterinya yang masih berlutut.
“Ahh… apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau… berkata demikian, isteriku?”
“Koko… dia… dia itu…,” Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan jari telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, “…akulah yang… membunuhnya…”
“Aihhh…?” Khai Sun merasa kepalanya laksana disambar kilat hingga dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang masih terus menunduk itu.
Kui Lin cepat menghampiri enci-nya dan juga berlutut merangkul enci-nya, lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami enci-nya. “Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!”
Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, “Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian… kalian yang telah membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?”
Melihat keadaan pria yang tinggi besar serta gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan enci-nya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak menangis, “Bukan kami… melainkan dialah yang gila… dia layak mati… karena dia telah memperkosa Enci Lan…!”
“Ohhhhh…?” Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya sehingga dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya memandang ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu.
Ada perasaan marah yang sangat hebat membakar hatinya, namun dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa. Tanpa disadari, tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat dari pada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata nanar dia membuka tangannya kemudian memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya bagaikan terapung di dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia pun sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seakan-akan hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.
Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya kembali menjadi terang dan tenang, lantas terdengarlah suaranya yang parau dan berat,
“Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku.”
Akan tetapi Kui Lan tidak sanggup mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, hingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun dan berkata dengan suara gemetar, “Enci Lan, duduklah… biar aku yang akan menceritakan…”
Kui Lin membawa enci-nya duduk di atas bangku di hadapan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping enci-nya, merangkulnya kemudian mempergunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan batin yang amat mendalam.
“I-thio Khai Sun, harap kau dengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu… dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya hingga akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan… untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat…”
Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isterinya sendiri!
Melihat bahwa setelah mendengar cerita itu keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan, Kui Lan menjerit lirih dan dia langsung menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis.
“Suamiku… kau…kau bunuhlah aku… aku tidak dapat membunuh diri… karena… karena Lin-moi…” Dia terus menangis tersedu-sedu.
Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia lalu bertanya. “Mengapa kau minta kubunuh?”
Kui Lan menengadah, memandang pada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. “Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini… aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor… aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu… dan aku… aku sudah membunuh suami Lin-moi… aku sudah merusak hidup Lin-moi…”
“Tidak… tidak…!” Kui Lin berseru sambil terisak. “Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tak berdaya melawan… dan tentang pembunuhan itu… kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati…! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian untuk menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, aku pun tidak sudi hidup lagi di dunia ini…!”
“Lin-moi…!”
“Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!”
Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi makin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah bisa membayangkan apa yang sudah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.
“Sudahlah, Lan-moi… aku… aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar… peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain.” Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.
Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. “Kau… kau tidak benci kepadaku?”
Khai Sun menggelengkan kepala dan tersenyum duka. “Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu.”
Kui Lan masih meragu. “Tapi… tapi aku… aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi…”
“Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu bijaksana sekali, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat.”
“Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar,” kata pula Khai Sun.
Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu.
Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Sesudah mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia segera berangkat ke Kun-ting dan tiba di sana sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.
Kurang lebih satu bulan sesudah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu kelihatan sunyi dan masih dalam suasana berkabung, meski pun pekerjaan Ui-eng Piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.
Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana telah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biar pun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, akan tetapi mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andai kata ada orang berdiri di luar kamar itu pun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.
“Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, sungguh memalukan dan amat merendahkan aku!”
“Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkanlah masak-masak sebab aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini telah kupikirkan sejak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk bisa terus hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa di dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan bersalah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapa pun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, maka hal itu tidak akan terjadi dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tak akan dapat terhapus kecuali… kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku.”
“Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!”
“Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik jika hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, malah adik kembarku hingga di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Jika engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagai mana jika sampai engkau kelak terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia adalah laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita… kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi.”
“Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu.”
“Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku.”
“Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apa lagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku menjadi… ehhh…, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seakan-akan sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?”
“Ahh, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagai mana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikiran semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan sesudah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak…”
“Kalau tidak, mengapa, Enci?”
“Kalau engkau tidak mau… aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, akan tetapi agar kau ketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau saja engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa bersalah di dalam hatiku.”
“Enci Lan…!”
“Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan bila engkau mau mempertimbangkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini.”
“Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku… berilah aku waktu untuk dapat mempertimbangkan urusan ini, aku bingung, Enci…”
“Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku.”
Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang kala dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian sesudah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.
“Lan-moi, isteriku sayang, mengapa sekarang engkau selalu menjauhkan diri? Aku… aku rindu padamu, Lan-moi…” kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan.
Namun Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di pinggir pembaringan dan saling memandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.
“Aku… rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu… aku akan selalu merasa kotor dan hina…”
“Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku telah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap hal itu tak pernah terjadi padamu dan…”
“Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau…”
“Kecuali apa, isteriku?”
“Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi…”
“Aahhh…! Sudah gilakah engkau?”
Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.
Kui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan secara masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku.”
“Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu dapat terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa mala petaka itu?”
Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. “Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus apa bila engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku.”
“Tapi… tapi…”
“Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati.”
“Tapi… Lin-i…”
“Hal ini sudah kubicarakan dengan Lin-moi. Kini Lin-moi telah menjadi seorang janda, dia muda, cantik dan berharta. Maka dia juga memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang amat pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan jika menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini.”
“Tapi, kau kira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu…”
“Aku tahu, akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua.”
Dengan tubuh lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, dua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali.
“Ahhh, alangkah akan malu rasanya di dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku menggunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu… aku harus memikirkan hal ini secara mendalam…”
“Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku.”
Begitulah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang sudah dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek.
********************
Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu serta anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga. Mereka hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai, kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan akhirnya untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.
Marilah sekarang kita mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri serta puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh sehingga merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka sekarang mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.
Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk dapat menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan.
Pada saat mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, akan tetapi dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani ‘biasa’ karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.
Pada jaman itu Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar sehingga namanya sebagai Pendekar Lembah Naga sangat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sejak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Karena itu, apa bila ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!
Akan tetapi, justru keadaan mereka yang bagaikan petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu bisa dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka pun dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena jika orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.
Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan yang seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, maka sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebenarnya hanyalah merupakan satu di antara banyak gunung-gunung lainnya yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Nama Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti.
Ketika itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang mempunyai ilmu tinggi bernama Yap In Hong.
Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan laksana orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya lelaki yang berumur sekian, kalau tidak perutnya menggendut karena terlalu banyak makan gajih dan daging, tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran!
Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekas-bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masih ramping dan padat kuat, walau pun rambutnya mulai terhias uban. Akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!
Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, biar pun semenjak muda suami isteri pendekar sakti ini telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru sesudah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun.
Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.
Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi, yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu kemudian menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang sangat baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya beserta puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.
Sesudah mereka bertiga sampai di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah kelihatan tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada.
Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka sudah memiliki banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.
Begitu keluarga ini sampai di pintu gerbang, mereka sudah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang datang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.
“Selamat datang di Cin-ling-pai,” kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga pada pagi hari itu. “Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?” Pertanyaan itu singkat dan tegas, namun diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah.
Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah apa bila Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!
“Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,” jawab Sin Liong dengan ramah pula.
Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu menatap penuh perhatian kepada Sin Liong sambil berkata. “Maaf, ketua kami tak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan lebih dulu siapa adanya saudara dan dari mana…?”
Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata,
“Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami bertiga datang dari jauh, dari luar Tembok Besar…”
“Kami datang dari Lembah Naga!” sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.
“Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kongkong-ku!” kata pula Han Tiong yang juga tak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.
Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, maka semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.
“Ahh,… apakah… taihiap ini Cia Sin Liong…?”
Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, “Benar, itulah namaku.”
“Maaf… maaf… kami tidak mengenal… silakan masuk…” kata mereka.
Beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang sangat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga.
Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biar pun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap sangat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai juga bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka.
Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlarian keluar untuk menyambut dan melihat.
Cia Bun Houw yang sudah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong dan putera mereka, Cia Kong Liang yang kini berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai segera membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.
Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang sungguh pun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya juga masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.
“Ayah…!” Sin Liong segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.
“Engkau tentu adikku Kong Liang! Ahh, engkau sudah besar, tegap dan gagah!” kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.
“Inikah putera kalian?” kata Yap In Hong ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.
“Ha-ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus… sudah besar dan sehat pula!” kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.
Pada waktu Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang sekarang telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, maka dia pun mengangguk-angguk.
“Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Ahhh…, engkau memang benar, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, sebab ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, keponakanku Hong San Hwesio itu memang boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Ahhh, aku gembira sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh sangat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam.”
“Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlampau lama hanya bersembunyi saja, tidak pernah lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw.”
Ayahnya menarik napas panjang. “Aku sendiri pun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan kepada semua anak murid Cin-ling-pai telah kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguh pun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja apa bila menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, benar-benar membuat aku merasa khawatir sekali.”
“Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?” tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Ada pun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.
Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. “Akhir-akhir ini, di dunia kang-ouw banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru. Nama mereka memang baru, akan tetapi sebenarnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang sekarang seolah-olah menjadi raja-raja kecil di dalam dunia hitam.”
“Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?”
“Aku tak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar bahwa mereka itu berpengaruh sekali dan selain memiliki banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapa pun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai supaya tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka jika sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja.”
Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang sangat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang sudah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya.
Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya mempunyai ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat.
Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara), yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si.
Di sebelah timur muncul seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur. Dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan amat terkenal dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di pinggir pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Ada pun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Itulah mereka yang sekarang merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu mempunyai kepandaian yang hebat, memilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
“Ahh…! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!” kata Sin Liong terkejut.
“Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?”
Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia juga dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dahulu dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apa lagi jika berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.
Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati sangat tertarik, bahkan di dalam hatinya dia mencatat nama-nama berikut tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi.
Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik lagi seperti Han Tiong. Bahkan dia kemudian mengajak keponakannya itu untuk keluar lalu mereka pun bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat.
Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang sudah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Sesuai dengan watak yang selalu ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya lalu saling memuji dan merendahkan diri sendiri.
Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga pergi meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui Lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, ada pun Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.
Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw, mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari sana, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.
“Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?” Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. “Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?”
Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang, dan wajahnya nampak sangat berduka. “Sudah lama sekali terjadinya, sudah terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.”
Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari kota Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi mala petaka itu.
“Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak ada yang tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek lantas membunuhnya itu.”
Kemudian diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek, di mana Kui Lan tengah menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang-barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu, lantas datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.
“Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,” kata Sin Liong.
“Mereka pun mengatakan bahwa mereka tak mengenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apa lagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarang pun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu.”
Sin Liong mengerutkan alisnya. “Tidak mengherankan kalau sebagai seorang piauwsu, Tiong Pek mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran bila sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah dia ditinggal mati suaminya?” tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.
Tiba-tiba saja sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di sana terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. “Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja.”
Mendengar ini, Sin Liong merasa heran sekali, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia segera mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.
“Beng Sin, urusan apa yang hendak kau katakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia.”
Beng Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi sebagai saudara seibu, engkau juga berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi turut bersama Lan-moi dan suaminya yang masih melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun sesudah kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi… ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya.”
“Ahhh…!” Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut.
Terdapat keraguan di dalam hatinya, maka dia tidak dapat segera mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin sudah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang dia berhak untuk menikah lagi, sungguh pun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?
“Hemm, lalu bagaimana kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?” tanya Sin Liong.
Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa… ehh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan… agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang.”
“Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,” kata Sin Liong.
Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Ui-eng Piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.
Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana yang tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian sesudah mendapatkan persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Ui-eng Piauwkiok.
Dari jauh sudah kelihatan papan nama Ui-eng Piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.
Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semuanya ini karena pandang matanya sudah tertuju ke arah beranda depan rumah itu, di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin!
Tidak nampak orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, dan ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!
Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan segera menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan sesudah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.
“Liong-ko…!” Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata sudah bercucuran di atas pipi mereka.
“Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!” kata Kui Lin.
“Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?” tanya Kui Lan.
Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. “Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!”
Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang sangat menghormati Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biar pun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar).
Akan tetapi Sin Liong hanya sedikit mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.
Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lantas menarik tangan Sin Liong dan berkata, “Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali.”
“Duduklah, koko,” kata pula Kui Lin.
“Cia-taihiap, silakan duduk,” Ciu Khai Sun juga menyambung.
Biar pun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. “Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin…,” dia berkata, suaranya dingin.
Khai Sun dan kedua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, “Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kau dengar darinya?”
Sekarang Sin Liong memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, “Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami enci-nya. Benarkah ini?”
Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.
“Brakkk…!”
“Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?” Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan.
Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar yang maklum akan kemarahan kakak mereka itu langsung menangis dan seperti hendak saling melindungi.
“Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau yang mempunyai kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, kenapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?” Pertanyaan ini penuh teguran serta penyesalan, dan sekarang pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan.
Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, kedua matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata,
“Cia-taihiap, biar diriku ini akan kau bunuh sekali pun, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri.”
Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya!
“Liong-ko, jangan kau salahkan suami kami, dia sama sekali tak bersalah dalam hal ini…” kata Kui Lan.
“Akulah yang bersalah, Liong-ko,” kata Kui Lin.
“Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!”
Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia lalu mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan pandang mata tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin.
Sekarang dua orang wanita itu tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah. Pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!
“Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah…”
“Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!” tiba-tiba Kui Lin menjawab. Jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak hingga dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali.
“Kalian… kalian sudah gila…?” tanyanya gagap.
“Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua lalu mengeroyoknya dan membunuhnya!”
“Ohhh…!” Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri!
“Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?” Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, “Aku telah ternoda, walau pun itu terjadi di luar kesadaranku, akan tetapi hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan serta melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tak kami kenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat dari pada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?”
Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang lelaki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin!
Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan dan merangkul pangkuan wanita ini, sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka tadi memang berlomba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin.
“Mereka anak-anak kalian…?” Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya.
Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, barulah Khai Sun menjawab sambil tersenyum. “Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua.”
Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justru puteri Kui Lan!
“Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!” kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguh pun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.
“Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!” kata anak laki-laki itu dengan sikap gagah.
“Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!” sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja.
Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. “Anak-anak baik…,” katanya terharu.
Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun yang tidak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua sudah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak.
Karena mereka masih akan berbicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu supaya bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.
“Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!” kata anak laki-laki itu.
“Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!” bantah adiknya.
Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing memiliki dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini, agaknya sedikit pun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua!
“Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?” Kui Lin bertanya.
“Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen.”
“Ahh? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?” Kui Lin menegur.
Wajah Sin Liong menjadi merah. “Karena tadinya… ehhh, kupikir… tidak enaklah dengan adanya urusan… tetapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biarlah kuambil mereka.”
Keluarga Ciu merasa gembira sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka. Oleh karena itu, pada waktu Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin langsung sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.
Dengan hati lapang karena melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen?
Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu cepat menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul yang panjang dan ditulisi dengan huruf-huruf berwarna merah!
PAK-SAN-KUI MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG!
Mata Sin Liong terbelalak memandang sampul itu. Dia pun teringat akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menuturkan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu telah mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya?
Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu, dan suaranya berwibawa ketika dia bertanya, “Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!”
Pengurus losmen itu tampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. “Maafkan kami semua, sicu…” Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu mulai menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ.
Sesudah ditinggalkan oleh Sin Liong, Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tidak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
Terdengar suara keras membentak-bentak pengurus losmen. “Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?”
Mendengar ini, tentu saja Bi Cu menjadi terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap,
“Ada… ada… tapi dia sedang keluar.”
“Ke mana? Hayo katakan ke mana!”
“Tidak… tidak tahu…”
“Plakk! Plakk!” Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.
“Sungguh mati, dia keluar tanpa memberi tahu ke mana… ampunkan saya… ampunkan saya…”
“Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?” bentak suara kasar tadi.
Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan dia pun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang lelaki tinggi besar yang mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah sedang menghadapi tontonan yang menyenangkan.
“Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa yang mencari suamiku?!” Bi Cu membentak sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.
Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai.
“Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?”
“Hemmm, engkau orang kasar mengapa hendak mencari suamiku?” bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.
“Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu. Sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu sudah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ.
“Han Tiong, mundurlah!” Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.
“Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?!” Bi Cu membentak.
“Ha-ha-ha-ha, tuan besar kami hendak mengundang Pendekar Lembah Naga, tapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanyalah isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya nanti! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulurkan tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tawa ha-ha he-he oleh para temannya.
“Keparat jahanam kau!” Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlampau cepat atau memang laki-laki itu memandang terlalu rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!
“Plakkk!”
Orang itu terkejut, terhuyung sambil mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah karena bibirnya telah pecah.
“Serbu! Tangkap!” bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu.
Akan tetapi dengan mudah saja nyonya ini mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar.
Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, “Lepaskan aku!”
Bi Cu terkejut dan cepat menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok sudah ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.
“Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!” bentak orang yang menangkap Han Tiong.
“Hemm, apa maksud kalian?!” bentak Bi Cu, sedikit pun tidak merasa takut sungguh pun diam-diam dia sangat mengkhawatirkan puteranya. “Sedikit saja kau ganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!”
Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jeri juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Tentu mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, pastilah akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya apa bila mereka sampai berani mengganggu puteranya.
“Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus mau pun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, maka kami pun tidak berani bersikap kasar.”
Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau saja sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan jika hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja maka amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia beserta puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.
“Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!” katanya dengan tegas dan dia pun lalu menghampiri puteranya.
Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lantas keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata sebuah kereta sudah menunggu di luar. Bi Cu beserta puteranya dipersilakan naik kereta yang segera dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.
Demikianlah keterangan yang didapatkan Sin Liong dari pengurus losmen yang mukanya masih biru-biru. Sesudah mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.
“Di manakah rumah Pak-san-kui ini?” tanyanya kepada pengurus losmen.
Pengurus losmen itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadi pun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara.”
Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Mengapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagai mana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, lantas mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu?
Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ahh, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, kemudian memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya.
Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya!
Sesudah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mereka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.
“Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?” tanya Kui Lin.
“Mari kita berbicara di dalam,” kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan.
Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu.
“Inilah sampul undangan itu,” katanya sebagai penutup dan menunjukkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka.
“Sungguh kurang ajar!” seru Kui Lan.
“Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?” seru Kui Lin.
Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang sekali. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut.
“Hemm… Pak-san-kui…”
“Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?” tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu.
Ciu Khai Sun menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi namanya sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah pula mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga amat besar. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main hingga terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?”
“Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Sudah pasti dia berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota,” kata Sin Liong.
“Ahh, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, baru pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali apa bila dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?”
“Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana.”
“Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!”
“Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, sangat tidak baik apa bila engkau sampai tersangkut, apa lagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulah saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku.”
Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong segera berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh rasa khawatir dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin.
Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak dan isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biar pun istana kaisar sekali pun akan dimasuki kalau perlu!
Beberapa orang prajurit penjaga langsung maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, “Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?”
Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!”
Enam orang prajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, dan karena mereka pun datang dari Tai-goan, maka tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan mereka pun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Walau pun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka sudah mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga. Maka, ketika mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.
“Tunggulah… tunggulah kami melapor dulu…” kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam.
Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak dan isterinya berada di dalam gedung itu? Apakah masih dalam keadaan selamat?
Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu lantas menghampirinya dengan lagak memandang rendah sambil tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.
“Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?” tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.
Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa yang melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi dia pun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak dari pada si pembesar itu sendiri!
Memang demikianlah keadaan kita manusia di dalam dunia ini. Kita selalu ingin merasa lebih tinggi dari pada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu?
Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh terhadap orang lain yang kita anggap lebih rendah dari kita. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang demikian tingginya akibat kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu.
Kenyataannya sehari-hari, mereka itu merupakan bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah dari pada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu.
Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam ‘paling’ lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau kita tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan setiap saat waspada kepada diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah!
Penglihatan yang amat jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kita pun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.
Selanjutnya,