Pendekar Sadis Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Sadis Jilid 06 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Sadis Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan gerak-geriknya halus, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan.

Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu pada saat dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata sudah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang sangat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya!

Sin Liong lalu menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada kedua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata,

“Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberi tahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka.”

Sin Liong merasa girang sekali. “Tentu saja, toako. Memang selama ini tentu toako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka berdua, dan amatlah penting bagiku untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka.”

“Tentang Han Tiong, tak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu mempunyai dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni.”

“Dan bagaimana dengan Thian Sin?” tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.

“Itulah…, dia adalah seorang anak yang sangat baik, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, dan dia pun cerdas bukan main, bahkan lebih cerdas bila dibandingkan dengan Han Tiong. Tapi justru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama di dalam batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia amat pandai menyelimuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian pula sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, kini engkau telah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau menjadi waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya.”

Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Namun dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah mempunyai kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi!

“Baiklah, toako. Akan kuperhatikan dia.”

“Dan selain itu… pinceng tak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang selalu disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapa pun juga termasuk pinceng itu. Harap kau amati hal itu.”

Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw sudah meninggalkan ilmu-ilmu mukjijatnya yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu.

Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk turut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio dan menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.

“Semoga ketika mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka.”

Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya bagaikan terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu.

Pada sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan gembira mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu.

Dia pun sangat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang terlampau mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tak segan-segan melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng dari pada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu.

********************

Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini?

Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan hanya mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya mengenai keadaan di daerah itu.

“Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai. Menurut cerita ayah, dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka adalah penghuni dusun pertama yang telah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun.”

Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu.

Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi walau pun sederhana. Dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang serta kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.

“Selamat datang, Cia-kongcu!” Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak lelaki sebaya Han Tiong telah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu.

Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. “Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!”

Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan lagi yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras!

Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa bagaikan mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Di dalam mimpi dia sering bertemu dengan bangunan ini! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Cepat digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!

“Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?” Han Tiong bertanya sambil menyentuh pundaknya.

Thian Sin menoleh sambil tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan. “Ahhh, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini yang begini kokoh kuat dan… demikian menyeramkan!”

“Thian Sin, dahulu bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir…”

Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang kenapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu!

Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan semua ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu.

Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong baru dapat melihat bahwa bakat pada diri Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum sekali, dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguh pun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali.

Akan tetapi dia pun melihat bahwa Han Tiong mempunyai ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmunya, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun, dan anak ini belum merasa puas apa bila belum mampu memainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain.

Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini agar segera bisa mempelajari jurus lain. Dia seakan-akan merupakan seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari ilmu silat sebanyak-banyaknya.

Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung hingga teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin.

Bi Cu sendiri pun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tidak lama kemudian juga merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri.

Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat sehingga dengan mudah bisa menundukkan hati orang. Apa lagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam.

Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan senang bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan mempunyai daya tarik yang luar biasa. Apa lagi terhadap wanita!

Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenal dan sering membicarakan dirinya dengan hati penuh kagum. Apa lagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini!

Karena Thian Sin belum dewasa benar, maka para gadis itu pun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya berbicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka terhadap Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini.

Akan tetapi Thian Sin masih hijau. Maka dia pun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu-malu dan manja hingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila!

Bila terhadap Thian Sin para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda, sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itu pun lenyap apa bila di sana ada Han Tiong.

Han Tiong mempunyai wibawa yang sangat terasa oleh siapa pun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar.

Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin mau pun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, apa bila pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, maka pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan hingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani.

Sebaliknya, Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini sangat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapa pun juga!

Berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio, agaknya pemuda tanggung ini telah berhasil melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Memang demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi apakah betul dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini?

Apakah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau pun dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?

Dari mana timbul nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir mau pun batin, kemudian timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya.

Setelah muncul kemarahan, baik dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itu pun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marah pun aku sendiri.

Bermacam daya upaya dilakukan oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang hingga mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri dari pada kenyataan, yaitu amarah itu.

Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tidak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok supaya nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itu pun tentu akan timbul kembali!

Begitu pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seakan-akan sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup!

Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Pada waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Kenapa, kita lari? Kenapa kita tak menanggulanginya secara langsung, mengamati, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu?

Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspadaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu?

Cobalah! Segala pengertian itu tiada guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya akan merupakan pengetahuan kosong saja, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, apa bila ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.

Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.

Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!


Dalam pergaulan mereka dengan para muda-mudi di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Akan tetapi, dia pun maklum bahwa dia harus mampu mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya.

Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justru pelajaran ini yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya.

Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.


Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang sangat cepat, apa lagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu.

Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka. Memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang sangat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh.

Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersemedhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersemedhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, akan tetapi untuk melatih pernapasan dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja.

“Pada saat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mukjijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan semedhi di saat-saat seperti itu,” demikian antara lain Sin Liong berkata.

Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka. Di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu, tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (semedhi).

Pada saat mereka dididik oleh Hong San Hwesio, secara terpaksa mereka hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio itu, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam hal makanan ini pun terdapat perbedaan di antara keduanya.

Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, sungguh pun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak, sungguh pun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja.

Memang sudah nampak perbedaan besar di antara kedua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terlalu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya.

Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya, perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka.

Dalam usia seperti ini pada umumnya birahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati apa bila melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinar mata yang lain, dengan denyut jantung berbeda dari pada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya.

Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah suatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah birahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk pula manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin.

Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam maya pada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembang biakan pada setiap jenis makhluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini.


Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dahulu terlanda gairah birahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnya yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya.

Sekarang dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau bila mana dia yang suka bermain-main adu jangkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jangkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin.

Kalau pada waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak yang lantas lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu di hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali di dalam renungan!

Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang birahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan birahi ini.

“Birahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti di dalam tubuh,” demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. “Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti di dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Birahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin.”

Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan betul karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan birahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, ialah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mukjijat hingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembang biakan semua makhluk hidup di dunia ini!

Sungguh terdapat kemukjijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang tidak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembang biakan manusia dan juga untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapatlah gairah-gairah birahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini akan mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembang biakan manusia. Betapa mukjijatnya!

Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbullah bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andai kata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada di dalam diri setiap orang, gairah birahi adalah pembawaan lahir, alamiah.

Hubungan kelamin merupakan hal yang suci. Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan serta kesempurnaan ini, dengan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci ini berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara!

Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan mau pun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, adalah hal yang wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut.

Seperti juga tuntutan birahi yang menjadi sarana perkembang biakan, bukankah hal ini merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak di dalam makanan, juga rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupakan mukjijat dan anugerah yang berlimpah?

Namun sayang, seperti juga dalam gairah birahi, dalam gairah makan pun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, tetapi lebih mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka!

Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, ada rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali TIDAK berbahaya. Yang berbahaya adalah bila sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan.


Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu birahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka dia pun cepat-cepat bersemedhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah birahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah.

Dan pada suatu malam, di dalam mimpi, gairah birahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah pada saat melihat betapa celananya menjadi basah! Maka teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh!

Hong San Hwesio dulu memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu, dan dia menasehati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apa lagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri! Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini.

Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, dan ditambah khayalan-khayalan mengenai hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang kemudian melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batinnya dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan mengenai hubungan sex, mau pun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani.

Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu telah mengatakan bahwa perbuatan itu tidak baik, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya!

Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, maka dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu.

Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan.

“Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?” tegurnya dengan halus dan penuh perhatian.

Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya.

“Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi… aku bermimpi dan… dan aku sudah… celanaku basah…” Dia menerangkan dengan gagap, meski pun biasanya dia tak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkat yang amat disuka dan dihormatinya itu.

Berkerut kedua alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Bagaimana pun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasehat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah bermimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga.

“Aihh, Sin-te… bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?”

Thian Sin mengangguk. “Kemarin aku berbicara dengan beberapa orang kawan di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan isteri kakaknya itu melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah lantas datang khayalan dan kenangan yang kemudian terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Tadi malam aku sudah melakukan semedhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah…”

Han Tiong sendiri tak pernah mengalami hal itu, maka dia pun menjadi bingung. “Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasehat ayah.”

“Ahh, aku… aku takut, Tiong-ko…”

“Kenapa harus takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, hanya dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah.”

“Tapi aku… aku malu…”

“Mengapa harus malu? Hal itu sudah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lantas diam-diam saja dalam kegelisahan, malah hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasehati bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini.”

Sesudah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam. Thian Sin hanya duduk sambil menundukkan muka, tak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali.

Mendengar penuturan Han Tiong itu, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik sekali kalau engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, kenapa harus kakakmu yang menceritakannya padaku, bukan engkau sendiri?”

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya, kemudian dengan lirih dia menjawab, “Aku… aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat).”

Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan bersikap sungguh-sungguh. “Justru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?”

Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.

“Tapi… Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh supaya kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti di dalam tubuh.”

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kau alami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu. Itu bukan merupakan hal yang terlampau hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau hal itu tidak sampai terjadi dan jika engkau lebih mencurahkan perhatian pada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran sastera, mengisi waktumu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu birahi, maka hal ini pun tak akan terjadi, atau tidak sering mengganggumu.”

Bukan main leganya rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung. “Betapa pun juga, apa bila hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah.”

Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onani pun sering kali dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan hal itu.

Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.

Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan perasaan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya dari pada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai ‘penyakit’ ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu.

Akan tetapi, selain itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang telah mencandu dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang semakin kuat daya rangsangnya sehingga tidak tertahankan, kemudian berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya.

Ini bukanlah berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena jika sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kita harus menghadapi hal itu setiap kali dia timbul, setiap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, malah sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekannya, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja!

Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, tapi dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan terlihat bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya.

Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong hingga ‘pertahanan’ yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, bila mana kita membuka mata memandang penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku yang mengejar-ngejar kesenangan itu tidak ada, yang ada hanya kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu.

Mimpi tentang hubungan sex, mau pun onani, keduanya adalah akibat dari pada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.

Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya.


Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong itu, maka lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanya pun makin besar pula.

Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang sudah diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskannya saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun.

Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini ‘alim’ bukan karena paksaan, bukan karena pengekangan batin, akan tetapi memang pikirannya bersih dari pada bayangan-bayangan kesenangan birahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin.

Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas, dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang muda yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang terus membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu.

“Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kau pun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang.”

Sesudah terus menerus dibujuk-bujuk, akhirnya Han Tiong yang sangat menyayangi adik angkatnya itu pun setuju, dan hampir seharian penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat untuk berburu kijang saja, maka mereka tidak mau mengganggu binatang-binatang lain.

Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka pun melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat mereka mengejarnya hingga akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena cuaca hari itu panas bukan main.

Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka lantas berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini kemudian membuat mereka ingin mengaso.

“Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te,” kata Han Tiong.

Adiknya setuju dan mereka berdua segera duduk bersila di antara semak-semak, di atas rerumputan yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di pinggir danau itu mereka duduk bersila dan bersemedhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya.

Karena badan lelah, kemudian terasa segar setelah terkena air dingin dan tempat itu pun memang sejuk dan dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersemedhi dengan hening dan tenteramnya sehingga mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi.

Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan dan bercanda menuju ke danau itu, sambil membawa pakaian kotor. Para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena kedua orang itu bersemedhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tidak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersemedhi.

Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu kemudian menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula. Mereka lantas mandi dengan telanjang bulat karena biasanya mereka juga melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi.

Semua suara itu sama sekali tak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersemedhi. Tak nampak segaris kerut pun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya sanggup menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersemedhi dengan hening.

Sekarang pemuda itu mulai menggerakkan bola matanya hingga bola matanya pun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, diselingi suara percik air.

Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan dia membuka mata kanannya, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dari balik semak-semak dia melihat betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, ada empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main di dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat!

Wajah Thian Sin menjadi merah. Dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia lalu membuka mata kiri, melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersemedhi dengan hening dan tekun, sedikit pun tak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus.

Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan sekarang hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apa lagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing!

Gadis ini adalah kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis yang menarik hatinya ini, lebih dari pada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuhnya yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan.

Sesudah mata kanan Thian Sin meliar ke arah tubuh keempat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona pada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan setelah mengeringkan tubuh mereka segera mengenakan pakaian bersih.

Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, maka kini Thian Sin mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru.

“Ada orang mengintai kita!”

Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu. Akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, maka sambil berlari mereka kadang kala menengok dan mereka tertawa-tawa serta menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang!

Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari semedhinya. Dia lantas membuka mata dan melihat betapa adik angkatnya masih bersila dengan antengnya, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.

“Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?” Dan Han Tiong lalu memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat.

“He? Suara apa? Aku tidak tahu… ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa…,” kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

“Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!” kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu.

Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia lalu tersenyum sendiri.

Sejak terjadinya peristiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu akan tetapi kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat.

Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu.

Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, semakin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun!

Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lainnya sebab dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu.

Bhe Soan ini lebih berpengalaman dari pada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannya pun lebih mampu dari pada para petani lain.

Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil sudah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apa lagi ketika dia berjumpa dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya!

Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin. Akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tidak berani memandang langsung. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tetapi bibir tersungging senyuman apa bila teman-temannya menggodanya.

Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apa lagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih ‘hijau’ maka perasaan malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apa bila bertemu gadis itu di depan banyak orang.

Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing, akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada kawannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang kawannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai pada saat mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat melihatnya.

“Hi-hik-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!” terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit.

Mendengar kata-kata ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan dan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.

“He-he-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!”

“Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!” bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali.

“Mana bisa? Aku berani bertaruh bahwa pandangan matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?” goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya.

“Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?” goda pula seorang lain.

Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut. “Aiihh, pertanyaan macam apa yang kau katakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?”

“Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?”

“Dan engkau tergila-gila kepadanya?”

“Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada kongcu itu?”

Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, “Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang.”

Sambil tertawa-tawa gadis-gadis itu segera mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, dan terutama sekali, di dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai.

Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, mendadak Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata,

“Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu…”

Empat orang gadis itu terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Dan kini sesudah mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah menjadi merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum.

Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, “Aku pergi dulu, hi-hik…”

“Hi-hi-hik…”

“Hi-hik…”

Ketiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi sesudah melihat teman-temannya lari, dia pun lalu ikut melarikan diri.

“Nona Cu Ing…”

Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu, karena itu dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan tentulah dia sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.

“Cu Ing, tunggulah sebentar, aku ingin bicara denganmu…,” kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk segera melepaskannya!

Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka yang terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya, akan tetapi tidak terlepas.

Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali!

“Cu Ing… mengapa kau lari dariku? Aku… aku ingin bicara denganmu, aku… aku hendak mengatakan bahwa aku… aku cinta padamu…,” kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu.

Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi akhirnya dia memaksa diri.

“Aihhh… kongcu… mana mungkin itu…?”

“Cu Ing, aku bersumpah… aku cinta padamu. Kau raba jantungku ini…” Dia membawa tangan itu menempel ke dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing cepat menggenggam tangannya.

“Kongcu… lepaskan aku… ahh, aku malu… aku takut…,” bisiknya.

“Cu Ing, kenapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu bahwa engkau pun cinta padaku…”

“Bagaimana kongcu bisa tahu…?” Dara itu mendesah lirih sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan sekarang, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.

“Tentu saja aku tahu… dari pandang matamu, dari senyummu…”

“Aku… aku takut, kongcu…”

“Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!”

“Aihhh… kongcu…”

“Cu Ing, janganlah kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara…”

Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. “Kongcu…! Jadi kau… kau tadi… kembali engkau mengintai…” Wajah yang manis itu menjadi semakin merah.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu…”

“Ihhh…, kau nakal, kongcu!”

Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, sesudah dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya langsung lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang. Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu.

Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling berbicara dengan getaran-getaran sinar yang mesra. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlampau lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka dia pun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara.

“Kongcu… aku… aku mau pulang dulu… teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku.”

“Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing…,” kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya.

Mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada, menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah.

Sesudah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, sekali ini agak berdekatan.

“Cu Ing, aku cinta padamu… katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?”

Cu Ing tak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian cepat menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan berlari memasuki dusun. Sesudah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, agaknya mulai timbul keberaniannya maka dia menoleh sambil tersenyum.

“Kongcu… besok… pagi-pagi aku ke danau…!” Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah.

Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandangan matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.