Pendekar Sadis Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Sadis Jilid 07 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Sadis Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MULAI hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu pula, Thian Sin sering mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi.

Akan tetapi, karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas pada saling sentuh dan saling genggam tangan saja!

Akan tetapi, birahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang sangat pandai. Apa lagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apa bila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya.

Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak sehingga beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati!

Itulah sinar mata dari seorang gadis lainnya, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam sudah jatuh cinta pula pada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.

Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang pernah mendengar kabar angin mengenai hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, maka mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan saja, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat.

Akan tetapi, pada waktu mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, tentu Cu Ing selalu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiri pun menemaninya.

Setelah berganti pakaian yang pantas, Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata dipenuhi rasa penasaran, dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu.

Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, sebab memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan siap membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.

“Bhe-toako, ada keperluan apakah maka pagi-pagi engkau datang berkunjung?” tanyanya dengan suara ramah.

Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan yang dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada waktu itu Bi Cu keluar dari dalam, dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda ini pun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa makin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya.

“Bhe-toako, agaknya ada sesuatu yang amat penting dan ingin kau sampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap untuk mendengarkan.” Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya.

Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, barulah kemudian dia berkata. “Maafkan saya, Cia-taihiap, saya… saya datang untuk bicara tentang… tentang… Ceng-kongcu…”

Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. “Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?” tanya Sin Liong.

Melihat sikap tamunya yang takut-takut itu, Bi Cu ikut bicara, “Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut.” Suaranya manis dan lembut sehingga sekarang rasa takut petani itu menjadi hilang.

“Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin telah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu sudah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah.” Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.

“Bhe-toako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?” Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.

“Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini… terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu…” Kembali dia berhenti.

Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, “Aihhh, Bhe-toako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan toako pun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?”

“Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa terhormat dan berterima kasih sekali, akan tetapi…”

“Akan tetapi bagaimana?” Bi Cu mendesak.

“Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, tapi… menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka mengadakan pertemuan berduaan, dan mereka itu saling bermesraan, berpacaran…”

“Berpacaran? Apa maksudmu?” Sin Liong bertanya kaget dan heran.

“Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman… saya khawatir sekali, taihiap…”

“Huhhh!” Bi Cu mendengus.

“Hemmm…!” Sin Liong menggeram.

Suasana lantas menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai cukup lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.

“Lalu sekarang, apa yang bendak kau lakukan Bhe-toako?” Sin Liong bertanya, suaranya tetap ramah dan halus, sungguh pun kini bercampur nada prihatin.

“Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Jika saja anak kami itu belum memiliki calon jodoh yang sah, dan seandainya dia bisa berjodoh dengan Ceng-kongcu, tentu kami sekeluarga akan merasa terhormat, girang dan bangga sekali. Namun anak kami telah bertunangan, maka kalau hubungan itu dilanjutkan, tentu saja selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa…”

“Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, toako. Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?”

“Satu-satunya jalan yang kini dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya, kemudian mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan.”

Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. “Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-toako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasehatinya.”

Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu.

“Terima kasih, terima kasih… dan maafkanlah keluarga kami taihiap…”

“Ahh, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-toako,” jawab Sin Liong.

Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu ikut duduk termenung. Sampai lama sekali keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya itu menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya yang duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih,

“Salahkah dia…?”

Sin Liong lalu sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itu pun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.

“Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain.”

Thian Sin kemudian dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing sudah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, sebab itu dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri-seri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya.

Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, secara diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, dia pun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu.

Dengan wajah berseri-seri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik, “Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?”

Sejak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, memang pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang terhadap pemuda itu.

“Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?”

“Dia sedang membantu para paman yang bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?”

“Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin.”

Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa terkejut juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya ini, dia tetap bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.

“Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?”

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutkan hati Thian Sin. Namun ternyata dia sudah mampu menguasai perasaannya sehingga pada wajah yang tampan itu tak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.

“Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah.” jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu.

Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, “Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?”

Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin telah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, oleh karena itu pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap dalam hatinya sehingga tanpa disadarinya sendiri, walau pun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap pada wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk.

“Benar, ibu,” jawabnya lirih.

Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebenarnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apa lagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidak wajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.

“Thian Sin, tahukah engkau bahwa semenjak kecil Bhe Cu Ing sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?”

Thian Sin terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. “Saya… saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah.”

“Bagus!” Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. “Nah, apa bila engkau belum tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sejak kecil sudah ditunangkan dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!”

Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. “Akan tetapi, ayah…”

“Seorang pendekar tak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!” bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.

“Thian Sin, tentunya engkau tak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga orang lain, bukan?” Bi Cu berkata halus. “Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah memiliki jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi.”

“Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatan sendiri, harus selalu memiliki garis kebijaksanaan, tak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah memiliki calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang amat busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?”

Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasehat-nasehat, dia lalu pergi meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandangan mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya.

Thian Sin menjadi sedih dan bingung sekali. Apa lagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu sudah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan segera melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Hati Thian Sin terasa hancur. Dia patah hati!

Peristiwa ini merupakan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, saat dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di hadapan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores di kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu dari Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi.

Akan tetapi sekarang, sesudah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itu pun berdarah kembali! Dan dia pun tidak sanggup menahan guncangan batin ini sehingga jatuh sakit!

Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi mereka pun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sebenarnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka.

Akan tetapi Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian. Sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!

Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau pun ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan.

Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang telah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah begini, maka mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.

Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka apabila mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut ‘cinta’ mereka itu ‘gagal’ di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan.

Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita!

Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah memiliki anak-anak! Perceraian yang timbul karena rasa cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena kekecewaan masing-masing dalam hubungan antara mereka itu.

Lalu ke manakah larinya ‘cinta’ yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling ‘mencinta’? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja!

Yang bersifat sementara ini sebenarnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar ‘mengejar kesenangan’ sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar-kejar itu selalu akan berjalan bersama dengan kesusahan, kepuasan, dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau di dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itu pun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakan ‘cinta’! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini.


Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguh pun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun dia pun dapat melihat kenyataan sehingga tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.

“Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu.”

Thian Sin tidak menyangka bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya. “Urusan apa yang kau maksudkan Tiong-ko?”

“Urusan apa lagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?”

“Ahhh…!” Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.

“Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?”

Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, “Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat… cinta padanya.”

“Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?”

“Tentu saja.”

“Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya bisa diperoleh melalui kebenaran.”

“Betul.”

“Nah, sejak kecil gadis kekasihmu itu sudah bertunangan dengan orang lain, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia bertindak benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkau pun akan ikut merasa senang jika melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?”

Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini dia pun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, “Aku sendiri masih belum mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa sangat kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali.”

Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Baik suka mau pun duka yang timbul dari kepuasan mau pun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu.

Begitu pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun semakin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali. Dia selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan sedikit pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapa pun juga.

Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong beserta isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin.

Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biar pun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar.

********************

Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa kini Han Tiong sudah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun.

Han Tiong nampak semakin matang. Memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang sangat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapa pun juga.

Sedangkan Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang periang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biar pun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga makin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi.

Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biar pun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai demikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain.

Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling Kun-hoat yang diciptakan oleh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai, bahkan sudah mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu.

Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi I-beng dan juga ilmu mukjijat yang dulu didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlampau berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar kedua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dahulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi I-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang.

Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri, biar pun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal.

Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya.

Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sinkang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya.

Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka berlatih silat dan saling serang di dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, ada pun Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya.

Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang mengejutkan sekali, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang juga masih termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, pada malam harinya sudah terjadi perampokan! Harta benda yang tidak banyak milik penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok.

Pada jaman itu, peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh bila terjadi di dusun-dusun, namun yang sangat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah karena terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, di lembah itu tak pernah terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga.

Sekarang perampok dari manakah yang berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga beserta keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan sehingga Sin Liong menganggap mereka bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya!

“Ayah, biarkan aku bersama Sin-te mengejar mereka!” Han Tiong berkata dengan sikap tenang.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Secara diam-diam dia mengukur kepandaian kedua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapa pun lihainya para perampok itu. Apa lagi dia sangat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang sangat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan.

“Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Kalian tidak usah membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingatlah, kalian tak boleh sembarangan membunuh orang. Hanya ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja hendak memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!”

Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia pun segera mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya.

“Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka.”

“Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!” kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin sehingga membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Selama ini belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu.

Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini menggunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sulit bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang telah melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan.

Akhirnya mereka melihat belasan orang lelaki yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok di tengah-tengah hutan itu, yang agaknya memang merupakan tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu terlihat lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang sedang bercakap-cakap.

Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan amat hati-hati, mengandalkan ginkang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok lalu mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam.

Pondok itu cukup luas dan pada bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang sedang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, nampak ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian kedua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengkaran di antara mereka berdua.

“Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapa pun juga!” demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring sekali, penuh kemarahan dan tantangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih sangat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menyelimuti tubuhnya yang padat dan langsing, tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan.

Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biar pun pada saat itu dia sedang marah, tetapi kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, dan diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali.

Sedangkan pria itu usianya mendekati lima puluh tahun, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat serta menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang isinya tinggal sedikit. Sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan dia pun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah.

“Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?” terdengar lelaki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang.

“Aku berhadapan dengan ayah,” jawab dara itu, sikapnya tetap menentang.

“Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?”

“Ayah, ingatlah dengan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lantas menawan wanita-wanita itu hanya untuk memenuhi tugas ayah sebagai anggota Jeng-hwa-pang saja, untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah sudah melakukan pembunuhan-pembunuhan…”

“Bukan aku yang melakukannya!”

“Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan kelima orang wanita ini, yang ayah katakan sebagai umpan untuk memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah… ayah hendak… melakukan kekejian…?”

“Ahh, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!”

Namun dengan sikap tegas dara itu menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan. “Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan mereka pun wanita! Apa bila mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapa pun juga, ayah. Jika perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!”

“Ehh…? Kau berani…? Leng-ji, sudahlah. Aku tak mau membiarkan hatiku menjadi marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kau berikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja.”

“Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?” Di dalam suara dara itu terkandung isak dan kedukaan.

“Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini.”

“Tidak akan kuberikan kepada siapa pun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!”

“Apa? Kau berani menentang ayahmu, gurumu?”

“Apa boleh buat! Biar ayah atau pun guru, kalau tidak benar, harus ditentang!” Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. “Mata-mata di atas pondok!”

“Musuh datang…!”

“Kepung! Tangkap!”

Han Tiong dan Thian Sin terkejut bukan kepalang dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata sekeliling pondok itu sudah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itu pun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas.

“Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi engkau jangan menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang.”

“Baik, Tiong-ko!” Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu lantas pemuda ini pun mulai mengamuk dengan hebatnya.

Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut.

Thian Sin mengamuk bagaikan seekor naga, gerakannya cepat dan kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk sedangkan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini. Wajahnya nampak beringas dengan sinar mata berkilat walau pun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.

“Sin-te, jangan membunuh orang…!”

Han Tiong merobohkan seorang perampok. Pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya tadi tidak sampai terluka parah, kemudian mendekati adiknya. Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka lantas mengeroyok lebih ketat, maka kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Han Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri.

Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka kerepotan karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar serta keras atau tajamnya senjata di tangan saja, namun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu.

Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya dan kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan telah merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia segera mencabut golok besarnya dan membentak nyaring,

“Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?!”

“Tiong-ko, biar aku menghadapi dia!” kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu.

Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu lalu menyambut dengan bacokan golok yang dengan cepat sekali menyambar ke arah leher Thian Sin, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Akan tetapi dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala, dan berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.

“Ehhh…!” Kepala gerombolan itu amat terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya.

“Siapa kau?!” bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, sepasang matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang.

“Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!” kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia telah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, yang membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang.

“Tangkap mereka, hidup atau mati!” bentak kepala gerombolan. Kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong.

Dan terjadilah pertempuran yang sangat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah mempunyai ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar pun ditambah dua kali lipat lagi pun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja.

Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi tetap menjaga jangan sampai membunuh. Sesungguhnya Han Tiong sajalah yang betul-betul melakukan hal ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biar pun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah.

Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh apa bila dibandingkan dengan para anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, maka Thian Sin menjadi penasaran. Dia segera merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu.

Si kepala gerombolan ini cepat menyambut dengan goloknya, membacok ke arah kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuhnya, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.

“Mampuslah!” bentak Kepala Gerombolan itu.

“Hemmm…!” Thian Sin mendengus.

Cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak maka golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu hanya meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh lantas secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.

“Crokkkk!”

“Aughhhh…!” Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya!

Melihat hal ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apa lagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka.

Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring, kemudian menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak. “Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu!”

Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi suara yang keluar hanya, “Ti… tidak, tidak…!”

“Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?” Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.

“Aughhh… aduhh… ampun… kami disuruh… Jeng-hwa-pang…”

“Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kau layak mampus!”

“Sin-te, jangan!” Tiba-tiba saja Han Tiong sudah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. “Lepaskan dia!”

Thian Sin memandang kakaknya, lalu dia mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang telah ditinggal pergi oleh sisa-sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun dengan terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung.

“Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukan orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Sekarang pergilah!” bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung.

Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk terlebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang.

“Singgg…!”

“Hemmm…!” Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia sudah menampar lengan kecil itu.

“Plakkk…!”

“Aihh…!” Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin.

Sambil menatap wajah yang manis dan yang sedang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangannya, kemudian dengan gerakan enak saja dia lalu mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja.

“Krekkk!” Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.

“Ohhh…!” Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang amat indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu.

Tadi dia telah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggota gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi pada waktu dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.

“Nona, kami bukan musuhmu. Biar pun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami tadi melihat betapa dengan gagah engkau telah melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan,” kata Han Tiong dengan suara halus.

“Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan sangat baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat…,” kata Thian Sin.

“Dia bukan ayahku!” Dara itu berkata dengan suara lantang.

“Ehh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!” kata Thian Sin tersenyum. “Akan tetapi tadi kami mendengar nona menyebutnya ayah.”

Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri dan duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. “Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia… ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayahku dan melarikan ibu beserta aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang sekarang telah meninggal dunia pula. Dan tadi, ketika melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku menjadi semakin benci padanya!”

Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apa lagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan keadaan dia! Hal ini saja telah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.

“Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga… bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?”

“Ayah tiriku itu adalah seorang anggota Jeng-hwa-pang dan dia sudah diperintahkan oleh ketua Jeng-hwa-pang agar memancing keluar Pendekar Lembah Naga, yaitu dengan cara mengacau dusun itu. Ayah lalu mengumpulkan kawan-kawannya dan aku pun ikut serta, bukan untuk turut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sebenarnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan saja melainkan dengan penuh nafsu, dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku pun menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku lantas menentangnya. Ayah sedang mabuk, bila tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya… agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah semacam dia! Dan aku tidak akan kembali kepadanya…” Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.