Pendekar Sadis Jilid 14
DUA orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong. Salah seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, lalu berkata, “Selamat berjumpa lagi, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang gagah perkasa? Selamat jumpa!” Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat.
“Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula.
Diam-diam mereka pun merasa terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan oleh Tung-hai-sian.
Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!”
“Akan tetapi kenapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi.
“Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?” Jawab si hidung melengkung. “Ahh, mana kami berani?”
Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah berjumpa dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin!
Akan tetapi Kong Liang sudah merasa amat marah. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, namun sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja!
Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang ini pun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas!
“Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata Kong Liang.
Dia sudah melangkah ke depan kemudian menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras.
Kedua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak.
“Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kau hadapi kami!” si hidung melengkung membentak sambil melintangkan tongkat di depan dadanya.
Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya mirip seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada batang tumbuh-tumbuhan di dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, yaitu semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mukjijat!
“Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?”
“Kami adalah anggota Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tidak tahu malu dan bosan hidup!”
“Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok sekalidengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan sebagai penambah semangat bagi kedua orang pengemis itu. Kini hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya.
Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikit pun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut.
“Jembel busuk lancang mulut. Apa pun yang akan kuperbuat, apa pula sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!”
“Bagus! Kau coba saja, orang Cin-ling-pai yang sombong!” Dua orang pengemis itu sudah menggerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri.
Kong Liang tidak mau memberi hati, karena itu pemuda perkasa ini pun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung.
Seperti sebagian besar dari pada anggota Bu-tek Kai-pang, dahulu dua orang pengemis ini merupakan tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan kemudian menguasai seluruh pengemis, bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu dijadikan pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggota Bu-tek Kai-pang.
Jumlah mereka tidak banyak, hanya ada dua puluh empat orang karena Lam-sin tak mau mengambil pengemis sebagai anggotanya tanpa diuji dahulu. Ujian yang sangat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggota yang memiliki kepandaian tinggi itu, maka nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali.
Dan seperti para anggota lain, dua orang tokoh ini pun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Sejenis ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).
Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian. Akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara keempat datuk, dan selalu ingin merahasiakan dirinya, maka dia pun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja!
Baru sesudah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai menantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang.
Akan tetapi, kali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut sekali karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat sehingga hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru!
Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum.
Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang dulu terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding sehingga pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya keadaan membuat mereka harus berdiri saling berhadapan sebagai lawan.
Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena sekarang dua orang pengemis itu makin penasaran. Mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga, dan juga mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Akan tetapi, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang telah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu semakin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka.
Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, maka diam-diam Siangkoan Wi Hong langsung memberi isyarat kepada tiga orang suheng-nya yang juga menjadi anggota atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong.
Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, walau pun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggap rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang benar-benar berwatak jantan atau gagah.
Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan pada punggung masing-masing nampak sebatang pedang.
“Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata salah seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu.
“Kami belum kalah!” teriak seorang di antara kedua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya.
Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong merasa dongkol sekali. Sudah jelas terdesak dan tinggal menunggu mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka.
“Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong apa bila engkau memang jagoan!” Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu.
Kong Liang juga amat mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia lalu berseru keras. “Jika kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-san-kui?”
Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya.
“Paman, biarkan aku yang menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima!
“Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata ‘merobohkan’ mereka.
Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis. Karena mereka tadi ditantang, jadi mereka pun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok!
“Tiong-ko, di fihak mereka masih ada lainnya, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!”
Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya pada waktu diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin.
“Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jika engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!”
Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biar aku saja yang menghadapi dia ini!” Kemudian tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih!
Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan.
“Hemm, kukira engkau sudah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!”
Akan tetapi So Cian Ling sudah menyerang kembali sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!”
Dara ini memang merasa amat tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan salah seorang di antara ketiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah, ada pun dia sendiri belum menguji sampai di mana kelihaian Thian Sin.
Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biar pun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Bahkan sebaliknya, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik!
Akan tetapi Thian Sin masih tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya sebagai benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dia hadapi dengan pedang.
Dengan sangat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak dia pun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
“Wuut-wuuut-singgggg…!”
Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar dengan kuatnya. Akan tetapi Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan pada saat pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya cepat menangkis.
“Ehhh…?” So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus apa bila bertemu dengan pedang pusakanya. Akan tetapi gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin.
“Plakkk!”
Dara itu terpekik dan segera meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya, terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main.
Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sinkang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sinkang yang baginya masih terlalu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu!
“Engkau hebat…!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin.
Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka dia pun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apa lagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat ginkang dan sinkang seperti dia!
Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tak mungkin bisa dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajarinya selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini sudah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama sesudah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini sangat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji.
Siangkoan Wi Hong semenjak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa makin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan kini, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan, didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin.
“Bocah sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju.
“Plakkk!”
Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang,
“Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?”
Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar-kobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya lantas bergerak cepat sekali sehingga mengeluarkan suara berdering dan yang-kim itu langsung menyambar ke arah kepala Han Tiong.
Dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu, dengan sangat mudah Han Tiong mengelak hingga belasan kali sambil diam-diam dia mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu.
Sementara itu, melihat betapa sumoi-nya yang berpedang, yang dia tahu mempunyai ilmu kepandaian lebih tingi dari pada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoi-nya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah.
Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila pada sumoi-nya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoi-nya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin.
“Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suheng-nya.
Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Akan tetapi dengan mudahnya Thian Sin mengelak, malah dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik sehingga mengejutkan pemegangnya.
Sementara itu, Cia Kong Liang telah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang bersama tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera dari ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, maka dia terkepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat.
Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang sangat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah berhasil menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu.
Betapa pun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk dapat balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai.
Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan tampaknya seimbang. Padahal, sebetulnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai dari pada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagai seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, terlebih lagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu.
Biar pun Han Tiong bertangan kosong, akan tetapi jika dia menghendaki, dia akan dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Namun Han Tiong sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan.
Antara dia dengan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apa pun, dan dia pun tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkan dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja sambil mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali.
Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia sudah mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian hendak melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang.
Begitu dia mengerahkan sinkang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya sambil mengerahkan Pek-in-ciang, maka nampaklah uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih).
Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguh pun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik!
Pada saat itu pula Cian Ling telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan supaya pemuda itu mendapat peringatan terlebih dahulu sebelum dia menyerang karena majunya suheng-nya yang mengeroyok ini sudah membuat hatinya tidak enak.
Thian Sin yang ingin sekali memamerkan kepandaiannya masih tetap mempergunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itu pun menyeleweng. Akan tetapi Thian Sin masih kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang akan lebih tepat dan ampuh apa bila digunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong.
Kini dia mengandalkan Pek-in-ciang menghadapi dua lawan yang bersenjata, tentu saja kurang tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, sedangkan jika untuk menghadapi senjata tajam yang keras, maka hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil melecut pundaknya, kemudian ujung joan-pian yang digerakkan secara lihai itu terus melilit lehernya!
“Aihh…!” Cian Ling memekik kaget dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri.
“Auhhhh… ahhh, lepaskan…!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, napasnya terengah dan dia terus menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin!
Sungguh suatu pemandangan yang sangat aneh. Jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sin, bahkan ujungnya seperti seekor ular melilit leher pemuda itu. Akan tetapi mengapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu?
Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sinkang di dalam tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini tentu saja amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian itu, maka semakin hebat pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Hal ini sangat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin telah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.
“Plakk!”
Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.
Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling sangat terkejut dan dia ingin membantu suheng-nya. Akan tetapi dia pun tak ingin mencelakai Thian Sin, karena itu tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu.
Akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak mengelak, bahkan membiarkan saja pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.
“Ehhh…!” Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sinkang-nya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar!
Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang telah tersedot sinkang-nya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya.
Justru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu menatap kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu tiba-tiba saja mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan… meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi I-beng.
Cian Ling mengeluh lirih kemudian meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, sementara itu mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya!
“Ahhh… kau… kau…” dan dia tersenyum malu-malu, lantas menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. “Kenapa kau… tidak memukulku…?” bisiknya.
“Aku tidak bisa memukul wanita…,” kata Thian Sin.
Tepat pada saat itu juga, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia tentu akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu. Akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apa lagi membunuhnya.
Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba saja terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi…!”
Kemudian muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw serta belasan orang anak buah Tung-hai-sian.
Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian, kemudian dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan dua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari dua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat para pengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang apa bila tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa.
“Tahan, jangan berkelahi di antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!” kata pula Tung-hai-sian.
Sementara itu, sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya ada pun Siangkoan Wi Hong juga tak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tak peduli dan terus memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran.
Di antara lima orang itu, sudah ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, sungguh pun bukan luka yang berat. Sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin supaya dapat membendung serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya.
Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, akhirnya menarik napas panjang. “Hemmm, ternyata para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami, maka kami harap menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.” Ucapannya itu halus tetapi mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.
“Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tak mau mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkah pun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah.
Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda ini pun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, “Paman, semenjak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang secara tidak tahu malu mengangkat diri mereka sebagai pendekar-pendekar?”
Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah mengerti akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam!
Akan tetapi, jika bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itu pun terlampau rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka dia pun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.
“Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami maka keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada di dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik, sebab itu selama menjadi tamu kami maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetaplah tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami pula. Oleh sebab itu, kami melarang siapa pun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!”
Cia Kong Liang menjura sambil menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, lantas dia berkata, “Kami dari Cin-ling-pai pun sama sekali tak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe.”
Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk memiliki seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, segera mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa.”
“Selamat jalan, Cia-koko…,” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali.
Terpaksa Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sesudah tiga orang pemuda itu pergi, barulah kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi pada saat mereka bicara di hadapan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Sekarang sikap orang-orang muda itu tidak sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran apa bila mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.
“Paman Tung-hai-sian!” kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Apakah patut kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Dan kini datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!”
“Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur kini sudah mulai lemah dan jeri menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, nada suaranya mengejek.
“Kalian ini cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap sangat halus dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian turut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?”
Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu, “Jika tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu mulut kalian yang lancang ini sudah kurobek-robek! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andai kata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain terlebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah.”
“Hemmm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suheng-nya pergi dari situ.
“Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!” Dan dia pun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.
“Kami pun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan bagus untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ.
Tung-hai-sian tidak menjawab karena sopan santun memang tidak berlaku di dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di hadapan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu.
Bin Biauw masih merasa dongkol sekali dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka dia pun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya.
Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu tadi benar-benar memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!”
Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya menatap tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. “Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka kepadanya! Apa salahnya kalau timbul birahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?” Suaranya penuh nada tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek.
Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali lagi menjadi warna aslinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Aku hanya ingin membunuhnya!”
“Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!”
“Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena kaget oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi I-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana cara untuk menundukkan Thi-khi I-beng itu!”
“Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmm… dia ganteng dan menarik sekali!” Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya.
Memang mengejutkan jika melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa peduli akan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu hal yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan.
Pandangan mereka itu bagaikan bumi dengan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Bagi seorang pendekar, kehormatan lebih berharga dari pada jiwanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan.
Manakah yang benar di antara kedua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampak kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang paling penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal.
Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti jika kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran lantas kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!
Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan pada kita hingga mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya.
Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Supaya dianggap baik! Dan keinginan baik ini yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan supaya ‘menjadi orang baik’ termasuk orang sopan, bersusila dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi supaya dianggap sebagai orang baik. Maka kemudian timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan di dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya pada diri sendiri, maka akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita pada saat sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita adalah orang-orang munafik. Tapi beranikah kita melihat kenyataan ini?
Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, bisa bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu!
Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Alangkah akan indahnya! Bebas dari segala kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah… atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!
Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di sebuah persimpangan jalan, dan jika Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, maka sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali.
“Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin mencoba membantah dengan suara yang bernada penasaran.
“Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Akulah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel.
“Tetapi kami dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya.
“Hemm, betapa pun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalian pun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku.”
Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.” akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.”
“Tolong sampaikan pula hormat beserta terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman,” kata pula Thian Sin.
Kong Liang mengangguk. “Baik, nanti akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian di dalam perjalanan. Kalian belum memiliki banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, maka hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw.” Dia menasehati dengan sikap seperti seorang dewasa menasehati anak-anak yang masih bodoh.
Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran bila mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, maka sepatutnyalah jika Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan.
Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih ‘matang’ dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu.
“Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya.
Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi dia pun masih muda.”
Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih ‘tua’ dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia pun merasa yakin sekali bahwa dalam hal kepandaian pun kakaknya itu agaknya tak akan kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai.
Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti sudah kita ketahui, di kota inilah Ciu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang kini sudah berusia enam belas tahun.
Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka perusahaan pengawalan barang yang bernama Ui-eng Piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang). Mereka melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama.
Sesudah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya.
Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu menjadi amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu semua rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Ui-eng Piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang pada bagian atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya.
Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk mendapat nama besar yang ditakuti oleh para penjahat ini. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun turun tangan dan mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus mempergunakan kepandaiannya menundukkan para perampok untuk merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka.
Setelah melihat kegagahan pimpinan Ui-eng Piauwkiok ini, barulah kemudian perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tak pernah mendapat gangguan di dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan nama besarnya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya.
Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang mau pun keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai.
Sekarang Ciu Bun Hong sudah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Ada pun Ciu Lian Hong kini telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya.
Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia amat terkenal di kota Lok-yang, terkenal sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya beserta dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tak kalah bila dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia bahkan meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang.
Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya.
Agaknya bagi tiga orang tua dara ini, tidak ada seorang pun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka sudah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Ada pun Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan.
Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Ui-eng Piauwkiok dengan huruf-huruf besar itu pun agaknya sudah diperbesar. Dari keadaan rumah serta kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam dia pun merasa gembira.
Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu yang sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiri pun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh mereka pun tiada bedanya.
Ada pun dua orang nyonya kembar itu, yang sekarang sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu akan datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu ada pegawai kantor yang melaporkan kepada majikannya, kemudian Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran.
Dengan wajah gembira Han Tiong segera melangkah ke depan dan langsung menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin.
“Saya harap selama ini bibi berdua dan keluarga berada dalam keadaan baik-baik saja,” kata Han Tiong dengan sikap halus.
“Siapa kalian…?” tanya Kui Lan.
“Dan ada keperluan apakah?” sambung Kui Lin.
Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua.
“Ahh, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong…”
“Han Tiong…?”
“Putera Sin-koko…?”
Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali.
“Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!”
“Dan gagah benar kau, Han Tiong!”
“Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!”
Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara saling sambung itu.
“Maaf… maaf… saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan di antara bibi berdua…”
Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka.
“Aku Bibi Lan,” dan kata Kui Lan.
“Dan aku Bibi Lin,” kata yang kedua.
“Dan siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang pada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja, hanya melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu.
Dia sudah tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya dan merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat mengenali perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguh pun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar.
Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu memiliki sinar mata yang lebih dalam, dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri.
“Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura.
Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak saat mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar saat kakaknya segera menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa.
“Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.”
“Ahhh… syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin.
“Dia tampan sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.”
Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka.
Tidak lama kemudian wanita itu datang kembali bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat-cepat bangkit dari tempat duduk mereka lantas menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu.
Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih terlihat gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sin dengan wajah berseri sambil tertawa. Dia memegang kedua pundak Han Tiong.
“Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!”
Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan ketika mendengar bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat bila mana dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.
“Tiong-koko!” kata Bun Hong sambil maju memberi hormat.
“Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi dari pada aku!” Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apa lagi pada waktu dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar.
“Tiong-koko!” Dara itu memberi hormat dan memanggil pula.
Han Tiong memandang dan jantungnya langsung berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya.
Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu mempunyai daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia dapat juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu.
“Ahh, adik Lian Hong! Engkau pun sudah menjadi seorang gadis yang dewasa…!” hanya demikian saja dia mampu berkata, sesudah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguh pun hatinya meneriakkan demikian.
Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang sute-ku sendiri sebab dia pun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.”
Akan tetapi sudah semenjak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia laksana melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona.
Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpi pun belum. Begitu melihat, dia telah jatuh cinta sepenuhnya.
Sesungguhnya, kurang tepatlah apa bila dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan hal jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, apa bila pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila.
Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apa pun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya.
Hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang sudah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukannya melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu.
“Sin-te…!” Dengan suara halus Han Tiong menegur.
Thian Sin terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan…”
Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang sambil membawa minuman, dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu.
Dengan sikap hormat Han Tiong segera menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Lalu, sesudah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada kedua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu.
Di samping mengabarkan keselamatan dan memperkenalkan dua orang pemuda itu, isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.
Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggota keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu terdapat kebingungan dan keraguan pula, karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih salah seorang di antara Han Tiong dan Thian Sin!
Apa bila melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, walau pun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, akan tetapi dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja.
Akan tetapi, bila mana mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini lebih condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!
“Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan.
Bukankah mereka berdua pun anak kandung dari seorang ayah yang tidak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka dia pun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju.
“Maka sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata Kui Lan.
Ciu Khai Sun kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan memang benar dan tepat. Betapa pun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata bila melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang sangat sukar untuk memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Dan kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai menantu seorang di antara mereka. Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita.”
Selama beberapa hari sejak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itu pun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandainya berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.
“Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula.
Diam-diam mereka pun merasa terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan oleh Tung-hai-sian.
Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!”
“Akan tetapi kenapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi.
“Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?” Jawab si hidung melengkung. “Ahh, mana kami berani?”
Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah berjumpa dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin!
Akan tetapi Kong Liang sudah merasa amat marah. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, namun sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja!
Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang ini pun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas!
“Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata Kong Liang.
Dia sudah melangkah ke depan kemudian menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras.
Kedua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak.
“Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kau hadapi kami!” si hidung melengkung membentak sambil melintangkan tongkat di depan dadanya.
Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya mirip seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada batang tumbuh-tumbuhan di dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, yaitu semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mukjijat!
“Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?”
“Kami adalah anggota Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tidak tahu malu dan bosan hidup!”
“Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok sekalidengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan sebagai penambah semangat bagi kedua orang pengemis itu. Kini hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya.
Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikit pun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut.
“Jembel busuk lancang mulut. Apa pun yang akan kuperbuat, apa pula sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!”
“Bagus! Kau coba saja, orang Cin-ling-pai yang sombong!” Dua orang pengemis itu sudah menggerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri.
Kong Liang tidak mau memberi hati, karena itu pemuda perkasa ini pun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung.
Seperti sebagian besar dari pada anggota Bu-tek Kai-pang, dahulu dua orang pengemis ini merupakan tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan kemudian menguasai seluruh pengemis, bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu dijadikan pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggota Bu-tek Kai-pang.
Jumlah mereka tidak banyak, hanya ada dua puluh empat orang karena Lam-sin tak mau mengambil pengemis sebagai anggotanya tanpa diuji dahulu. Ujian yang sangat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggota yang memiliki kepandaian tinggi itu, maka nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali.
Dan seperti para anggota lain, dua orang tokoh ini pun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Sejenis ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).
Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian. Akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara keempat datuk, dan selalu ingin merahasiakan dirinya, maka dia pun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja!
Baru sesudah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai menantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang.
Akan tetapi, kali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut sekali karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat sehingga hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru!
Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum.
Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang dulu terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding sehingga pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya keadaan membuat mereka harus berdiri saling berhadapan sebagai lawan.
Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena sekarang dua orang pengemis itu makin penasaran. Mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga, dan juga mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Akan tetapi, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang telah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu semakin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka.
Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, maka diam-diam Siangkoan Wi Hong langsung memberi isyarat kepada tiga orang suheng-nya yang juga menjadi anggota atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong.
Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, walau pun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggap rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang benar-benar berwatak jantan atau gagah.
Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan pada punggung masing-masing nampak sebatang pedang.
“Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata salah seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu.
“Kami belum kalah!” teriak seorang di antara kedua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya.
Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong merasa dongkol sekali. Sudah jelas terdesak dan tinggal menunggu mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka.
“Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong apa bila engkau memang jagoan!” Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu.
Kong Liang juga amat mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia lalu berseru keras. “Jika kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-san-kui?”
Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya.
“Paman, biarkan aku yang menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima!
“Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata ‘merobohkan’ mereka.
Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis. Karena mereka tadi ditantang, jadi mereka pun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok!
“Tiong-ko, di fihak mereka masih ada lainnya, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!”
Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya pada waktu diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin.
“Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jika engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!”
Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biar aku saja yang menghadapi dia ini!” Kemudian tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih!
Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan.
“Hemm, kukira engkau sudah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!”
Akan tetapi So Cian Ling sudah menyerang kembali sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!”
Dara ini memang merasa amat tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan salah seorang di antara ketiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah, ada pun dia sendiri belum menguji sampai di mana kelihaian Thian Sin.
Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biar pun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Bahkan sebaliknya, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik!
Akan tetapi Thian Sin masih tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya sebagai benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dia hadapi dengan pedang.
Dengan sangat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak dia pun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
“Wuut-wuuut-singgggg…!”
Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar dengan kuatnya. Akan tetapi Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan pada saat pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya cepat menangkis.
“Ehhh…?” So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus apa bila bertemu dengan pedang pusakanya. Akan tetapi gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin.
“Plakkk!”
Dara itu terpekik dan segera meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya, terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main.
Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sinkang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sinkang yang baginya masih terlalu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu!
“Engkau hebat…!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin.
Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka dia pun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apa lagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat ginkang dan sinkang seperti dia!
Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tak mungkin bisa dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajarinya selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini sudah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama sesudah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini sangat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji.
Siangkoan Wi Hong semenjak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa makin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan kini, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan, didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin.
“Bocah sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju.
“Plakkk!”
Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang,
“Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?”
Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar-kobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya lantas bergerak cepat sekali sehingga mengeluarkan suara berdering dan yang-kim itu langsung menyambar ke arah kepala Han Tiong.
Dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu, dengan sangat mudah Han Tiong mengelak hingga belasan kali sambil diam-diam dia mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu.
Sementara itu, melihat betapa sumoi-nya yang berpedang, yang dia tahu mempunyai ilmu kepandaian lebih tingi dari pada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoi-nya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah.
Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila pada sumoi-nya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoi-nya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin.
“Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suheng-nya.
Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Akan tetapi dengan mudahnya Thian Sin mengelak, malah dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik sehingga mengejutkan pemegangnya.
Sementara itu, Cia Kong Liang telah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang bersama tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera dari ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, maka dia terkepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat.
Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang sangat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah berhasil menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu.
Betapa pun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk dapat balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai.
Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan tampaknya seimbang. Padahal, sebetulnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai dari pada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagai seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, terlebih lagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu.
Biar pun Han Tiong bertangan kosong, akan tetapi jika dia menghendaki, dia akan dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Namun Han Tiong sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan.
Antara dia dengan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apa pun, dan dia pun tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkan dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja sambil mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali.
Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia sudah mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian hendak melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang.
Begitu dia mengerahkan sinkang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya sambil mengerahkan Pek-in-ciang, maka nampaklah uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih).
Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguh pun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik!
Pada saat itu pula Cian Ling telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan supaya pemuda itu mendapat peringatan terlebih dahulu sebelum dia menyerang karena majunya suheng-nya yang mengeroyok ini sudah membuat hatinya tidak enak.
Thian Sin yang ingin sekali memamerkan kepandaiannya masih tetap mempergunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itu pun menyeleweng. Akan tetapi Thian Sin masih kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang akan lebih tepat dan ampuh apa bila digunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong.
Kini dia mengandalkan Pek-in-ciang menghadapi dua lawan yang bersenjata, tentu saja kurang tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, sedangkan jika untuk menghadapi senjata tajam yang keras, maka hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil melecut pundaknya, kemudian ujung joan-pian yang digerakkan secara lihai itu terus melilit lehernya!
“Aihh…!” Cian Ling memekik kaget dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri.
“Auhhhh… ahhh, lepaskan…!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, napasnya terengah dan dia terus menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin!
Sungguh suatu pemandangan yang sangat aneh. Jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sin, bahkan ujungnya seperti seekor ular melilit leher pemuda itu. Akan tetapi mengapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu?
Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sinkang di dalam tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini tentu saja amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian itu, maka semakin hebat pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Hal ini sangat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin telah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.
“Plakk!”
Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.
Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling sangat terkejut dan dia ingin membantu suheng-nya. Akan tetapi dia pun tak ingin mencelakai Thian Sin, karena itu tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu.
Akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak mengelak, bahkan membiarkan saja pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.
“Ehhh…!” Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sinkang-nya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar!
Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang telah tersedot sinkang-nya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya.
Justru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu menatap kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu tiba-tiba saja mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan… meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi I-beng.
Cian Ling mengeluh lirih kemudian meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, sementara itu mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya!
“Ahhh… kau… kau…” dan dia tersenyum malu-malu, lantas menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. “Kenapa kau… tidak memukulku…?” bisiknya.
“Aku tidak bisa memukul wanita…,” kata Thian Sin.
Tepat pada saat itu juga, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia tentu akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu. Akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apa lagi membunuhnya.
Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba saja terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi…!”
Kemudian muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw serta belasan orang anak buah Tung-hai-sian.
Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian, kemudian dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan dua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari dua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat para pengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang apa bila tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa.
“Tahan, jangan berkelahi di antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!” kata pula Tung-hai-sian.
Sementara itu, sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya ada pun Siangkoan Wi Hong juga tak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tak peduli dan terus memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran.
Di antara lima orang itu, sudah ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, sungguh pun bukan luka yang berat. Sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin supaya dapat membendung serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya.
Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, akhirnya menarik napas panjang. “Hemmm, ternyata para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami, maka kami harap menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.” Ucapannya itu halus tetapi mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.
“Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tak mau mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkah pun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah.
Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda ini pun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, “Paman, semenjak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang secara tidak tahu malu mengangkat diri mereka sebagai pendekar-pendekar?”
Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah mengerti akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam!
Akan tetapi, jika bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itu pun terlampau rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka dia pun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.
“Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami maka keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada di dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik, sebab itu selama menjadi tamu kami maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetaplah tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami pula. Oleh sebab itu, kami melarang siapa pun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!”
Cia Kong Liang menjura sambil menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, lantas dia berkata, “Kami dari Cin-ling-pai pun sama sekali tak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe.”
Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk memiliki seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, segera mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa.”
“Selamat jalan, Cia-koko…,” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali.
Terpaksa Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sesudah tiga orang pemuda itu pergi, barulah kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi pada saat mereka bicara di hadapan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Sekarang sikap orang-orang muda itu tidak sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran apa bila mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.
“Paman Tung-hai-sian!” kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Apakah patut kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Dan kini datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!”
“Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur kini sudah mulai lemah dan jeri menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, nada suaranya mengejek.
“Kalian ini cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap sangat halus dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian turut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?”
Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu, “Jika tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu mulut kalian yang lancang ini sudah kurobek-robek! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andai kata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain terlebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah.”
“Hemmm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suheng-nya pergi dari situ.
“Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!” Dan dia pun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.
“Kami pun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan bagus untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ.
Tung-hai-sian tidak menjawab karena sopan santun memang tidak berlaku di dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di hadapan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu.
Bin Biauw masih merasa dongkol sekali dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka dia pun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya.
********************
Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu tadi benar-benar memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!”
Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya menatap tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. “Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka kepadanya! Apa salahnya kalau timbul birahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?” Suaranya penuh nada tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek.
Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali lagi menjadi warna aslinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Aku hanya ingin membunuhnya!”
“Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!”
“Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena kaget oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi I-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana cara untuk menundukkan Thi-khi I-beng itu!”
“Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmm… dia ganteng dan menarik sekali!” Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya.
********************
Memang mengejutkan jika melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa peduli akan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu hal yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan.
Pandangan mereka itu bagaikan bumi dengan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Bagi seorang pendekar, kehormatan lebih berharga dari pada jiwanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan.
Manakah yang benar di antara kedua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampak kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang paling penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal.
Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti jika kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran lantas kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!
Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan pada kita hingga mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya.
Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Supaya dianggap baik! Dan keinginan baik ini yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan supaya ‘menjadi orang baik’ termasuk orang sopan, bersusila dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi supaya dianggap sebagai orang baik. Maka kemudian timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan di dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya pada diri sendiri, maka akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita pada saat sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita adalah orang-orang munafik. Tapi beranikah kita melihat kenyataan ini?
Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, bisa bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu!
Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Alangkah akan indahnya! Bebas dari segala kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah… atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!
Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di sebuah persimpangan jalan, dan jika Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, maka sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali.
“Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin mencoba membantah dengan suara yang bernada penasaran.
“Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Akulah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel.
“Tetapi kami dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya.
“Hemm, betapa pun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalian pun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku.”
Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.” akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.”
“Tolong sampaikan pula hormat beserta terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman,” kata pula Thian Sin.
Kong Liang mengangguk. “Baik, nanti akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian di dalam perjalanan. Kalian belum memiliki banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, maka hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw.” Dia menasehati dengan sikap seperti seorang dewasa menasehati anak-anak yang masih bodoh.
Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran bila mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, maka sepatutnyalah jika Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan.
Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih ‘matang’ dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu.
“Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya.
Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi dia pun masih muda.”
Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih ‘tua’ dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia pun merasa yakin sekali bahwa dalam hal kepandaian pun kakaknya itu agaknya tak akan kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai.
********************
Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti sudah kita ketahui, di kota inilah Ciu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang kini sudah berusia enam belas tahun.
Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka perusahaan pengawalan barang yang bernama Ui-eng Piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang). Mereka melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama.
Sesudah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya.
Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu menjadi amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu semua rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Ui-eng Piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang pada bagian atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya.
Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk mendapat nama besar yang ditakuti oleh para penjahat ini. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun turun tangan dan mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus mempergunakan kepandaiannya menundukkan para perampok untuk merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka.
Setelah melihat kegagahan pimpinan Ui-eng Piauwkiok ini, barulah kemudian perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tak pernah mendapat gangguan di dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan nama besarnya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya.
Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang mau pun keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai.
Sekarang Ciu Bun Hong sudah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Ada pun Ciu Lian Hong kini telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya.
Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia amat terkenal di kota Lok-yang, terkenal sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya beserta dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tak kalah bila dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia bahkan meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang.
Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya.
Agaknya bagi tiga orang tua dara ini, tidak ada seorang pun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka sudah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Ada pun Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan.
Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Ui-eng Piauwkiok dengan huruf-huruf besar itu pun agaknya sudah diperbesar. Dari keadaan rumah serta kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam dia pun merasa gembira.
Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu yang sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiri pun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh mereka pun tiada bedanya.
Ada pun dua orang nyonya kembar itu, yang sekarang sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu akan datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu ada pegawai kantor yang melaporkan kepada majikannya, kemudian Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran.
Dengan wajah gembira Han Tiong segera melangkah ke depan dan langsung menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin.
“Saya harap selama ini bibi berdua dan keluarga berada dalam keadaan baik-baik saja,” kata Han Tiong dengan sikap halus.
“Siapa kalian…?” tanya Kui Lan.
“Dan ada keperluan apakah?” sambung Kui Lin.
Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua.
“Ahh, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong…”
“Han Tiong…?”
“Putera Sin-koko…?”
Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali.
“Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!”
“Dan gagah benar kau, Han Tiong!”
“Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!”
Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara saling sambung itu.
“Maaf… maaf… saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan di antara bibi berdua…”
Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka.
“Aku Bibi Lan,” dan kata Kui Lan.
“Dan aku Bibi Lin,” kata yang kedua.
“Dan siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang pada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja, hanya melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu.
Dia sudah tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya dan merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat mengenali perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguh pun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar.
Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu memiliki sinar mata yang lebih dalam, dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri.
“Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura.
Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak saat mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar saat kakaknya segera menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa.
“Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.”
“Ahhh… syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin.
“Dia tampan sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.”
Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka.
Tidak lama kemudian wanita itu datang kembali bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat-cepat bangkit dari tempat duduk mereka lantas menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu.
Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih terlihat gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sin dengan wajah berseri sambil tertawa. Dia memegang kedua pundak Han Tiong.
“Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!”
Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan ketika mendengar bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat bila mana dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.
“Tiong-koko!” kata Bun Hong sambil maju memberi hormat.
“Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi dari pada aku!” Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apa lagi pada waktu dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar.
“Tiong-koko!” Dara itu memberi hormat dan memanggil pula.
Han Tiong memandang dan jantungnya langsung berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya.
Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu mempunyai daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia dapat juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu.
“Ahh, adik Lian Hong! Engkau pun sudah menjadi seorang gadis yang dewasa…!” hanya demikian saja dia mampu berkata, sesudah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguh pun hatinya meneriakkan demikian.
Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang sute-ku sendiri sebab dia pun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.”
Akan tetapi sudah semenjak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia laksana melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona.
Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpi pun belum. Begitu melihat, dia telah jatuh cinta sepenuhnya.
Sesungguhnya, kurang tepatlah apa bila dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan hal jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, apa bila pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila.
Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apa pun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya.
Hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang sudah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukannya melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu.
“Sin-te…!” Dengan suara halus Han Tiong menegur.
Thian Sin terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan…”
Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang sambil membawa minuman, dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu.
Dengan sikap hormat Han Tiong segera menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Lalu, sesudah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada kedua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu.
Di samping mengabarkan keselamatan dan memperkenalkan dua orang pemuda itu, isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.
Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggota keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu terdapat kebingungan dan keraguan pula, karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih salah seorang di antara Han Tiong dan Thian Sin!
Apa bila melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, walau pun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, akan tetapi dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja.
Akan tetapi, bila mana mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini lebih condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!
“Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan.
Bukankah mereka berdua pun anak kandung dari seorang ayah yang tidak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka dia pun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju.
“Maka sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata Kui Lan.
Ciu Khai Sun kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan memang benar dan tepat. Betapa pun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata bila melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang sangat sukar untuk memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Dan kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai menantu seorang di antara mereka. Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita.”
Selama beberapa hari sejak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itu pun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandainya berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.
Selanjutnya,