Pendekar Sadis Jilid 16
PENDAPAT Thian Sin itu mungkin sekali juga menjadi pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang betul. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan!
Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam!
Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.
“Jika bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji serta pembunuh-pembunuh itu?”
“Sin-ko, aku tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?”
“Ahh, tidak bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!”
Lian Hong tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.
Mendadak Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…”
Dia pun mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu.
Orang-orang itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai!
Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.
“Siapa membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?”
“Tangkap pemberontak…!”
“Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw…!”
“Basmi pemberontak dan pengkhianat…!”
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!
Tentu saja keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.
Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka.
Agaknya mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.
Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.
“Keparat!” teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya.
Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai.
Thian Sin mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.
“Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!”
Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat.
Dengan kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.
Hebat bukan main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu.
Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong!
Oleh karena itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian di tempat lain.
Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong!
Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.
“Tranggg… desss! Creppp!”
Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.
Thian Sin cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!
Keluarga ini sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!
“Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima pembalasanku!”
Kemudian dia pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.
Entah sudah berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama semakin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin akan tetapi dia masih seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.
Akhirnya para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa apa bila dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorang pun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.
Thian Sin mengejar kemudian merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Akhirnya dia bisa menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.
“Ngekkk…!” Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.
Thian Sin cepat menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. “Cepat ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itu pun terobek sedikit dan berdarah.
“Baik… baik… kami hanya menjalankan perintah… mula-mula komandan kami menerima laporan dari… dari Su-couw…”
Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Saat mendengar disebutnya kota Su-couw, dia pun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia lantas teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.
“Phoa-taijin…?!” Dia membentak dengan sikap mengancam.
“Ya… ya benar…!”
“Mengapa? Hayo cepat katakan, mengapa dia melakukan ini?!” bentaknya.
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan mengenai adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Ui-eng Piauwkiok di Lok-yang, kemudian komandannya langsung bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.
“Tidak… tidak tahu…,” perwira itu berkata, namun kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin sudah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!
Malam itu juga, baru lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Semenjak mengamuk tadi, dia tak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam bagaikan mata iblis di dalam dongeng!
Thian Sin tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan supaya keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya hendak menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, kenapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggota keluarga Ciu terbasmi habis?
Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin!
Maka dia pun cepat-cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lantas menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia pun dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan tapi terdengar serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.
“Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak berhasil ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang juga ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!”
“Tapi, taijin. Keluarga Ciu sudah dapat dibasmi, kalau lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali…,” terdengar suara orang lain.
“Saya masih belum mengerti kenapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara serak.
“Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang sudah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar sebagai perampok untuk merampok barang-barang yang sebelumnya telah kusuruh kawal Pouw-an Piauwkiok? Jika mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?”
Thian Sin mengerutkan alisnya. Biar pun hanya secara samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok lantas merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an Piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga.
Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu kemudian dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.
“Aku berada di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu.
“Braakkkkk…!” daun jendela itu pecah dan dia pun sudah meloncat ke dalam.
“Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!”
Namun empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan sudah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu.
Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi lunak bagaikan karet, lunak akan tetapi kuat sekali. Maka begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sinkang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sinkang empat orang itu tersedot seketika.
Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka cepat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi I-beng, semakin mereka mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga sinkang mereka tersedot. Dan pada saat itu pula sinar pedang perak berkelebat, maka robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.
Phoa-taijin telah melarikan diri melalui sebuah lorong. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan Thian Sin menyambar dan tahu-tahu pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.
“Ampun… ampun… taihiap…!”
“Keparat jahanam! Engkau telah mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Sekarang kau mau apa?!”
“Ampuun… aku… aku hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah… dan karena… ayahmu dulu pernah memberontak maka… aku… aku…”
“Cacing busuk! Kalau begitu, mengapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu juga kau basmi? Engkau membalas sebab kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an Piauwkiok itu, ya? Hayo cepat katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara…”
Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan pada waktu pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin.
Pemuda ini cukup waspada. Tatapan mata pembesar itu membuatnya cepat mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang maka tahulah dia bahwa ada dua atau tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.
“Hayo jawab!”
“Mereka… mereka itu… ah… para datuk kaum kang-ouw… telah bersekutu… eh, dengan mereka yang bergerak di utara… orang-orang bangsa Mancu…”
“Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!”
“See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui…”
“Hemm, juga Tung-hai-sian?”
“Tidak… tidak… belum, sedang dihubungi… dia yang keras kepala…”
“Setan, mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali.
Terdengar tulang terbacok beberapa kali yang disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan pada waktu Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi amat pendek akibat kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah.
Sungguh merupakan pemandangan yang bukan main mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.
Kini Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu sudah memanggil bala bantuan sehingga kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.
Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah.
Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.
Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat bukan main. Walau pun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.
“Inilah Ceng Thian Sin! Inilah dia putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin terus mengamuk sambil berteriak-teriak.
“Sin-te…!”
Sesosok bayangan berkelebat lantas sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang sudah mendatangkan Han Tiong!
Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan merasa semakin heran karena tak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada.
Hatinya terasa tidak enak maka dia pun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi telah dibaca oleh Thian Sin. Meski pun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir dengan keadaan Thian Sin, maka dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.
Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Maka mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke manakah perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja.
Mendadak dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras.
Dugaan ini makin kuat ketika dia menanti-nanti namun adiknya belum juga pulang. Maka dia pun mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia lantas membawa buntalan-buntalan pakaian, kemudian menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.
Tidak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru sampai di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Namun ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia hanya melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang terlihat panik di luar rumah-rumah mereka sambil bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Ui-eng Piauwkiok!
Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu, maka dia langsung mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya sesudah dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan dan Kui Lin serta Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong langsung menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kirinya. Han Tiong menoleh dan melihat bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang prajurit.
Melihat bahwa pakaian para prajurit yang sudah menjadi mayat berserakan di tempat itu, maka tahulah dia bahwa mereka ini merupakan teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka dia pun cepat meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu lalu terpelanting.
Mereka bangkit kembali dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di tempat itu sehingga Han Tiong sudah terkepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap.
Para prajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul sehingga sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh sambil membawa seorang yang sudah ditotoknya. Di sebuah tempat sunyi Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.
“Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberi tahukan apa yang telah terjadi.”
Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si prajurit tidak takut lagi. Oleh karena itu dia pun segera menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan dari Phoa-taijin untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin dan rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang akhirnya mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.
“Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan prajurit, kalau bukan adiknya?
“Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!”
“Di mana dia sekarang?”
“Tidak tahu… tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.”
“Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?”
“Tidak tahu… hanya kabarnya berhasil lolos…”
Han Tiong lantas menotok orang itu sampai pingsan dan dia pun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itu pun sudah melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang prajurit supaya menceritakan keadaannya dan sesudah mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Maka dia pun cepat menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu.
Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu. Kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja, kalau saja dia masih berada di sana ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.
Akan tetapi semua telah terjadi. Keluarga Ciu sudah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harapkan mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.
Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.
Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun lantas menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.
“Sin-te, ingatlah…!” Dia berkata lagi.
Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Han Tiong cepat memondong tubuh adiknya, lalu menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar-mutarkan pedangnya untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka.
Berkat ketangkasannya, Han Tiong berhasil cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia segera menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar.
Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luka luar mau pun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka dia pun lalu mendiamkannya saja, dan dia pun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.
Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga ikut meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong telah bersikap waspada, maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,
“Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tak mengenalku lagi? Kau lihatlah baik-baik, aku adalah Han Tiong!”
Tiba-tiba saja Thian Sin menghentikan serangannya, memandang pada wajah Han Tiong, kemudian dia pun menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga ikut berlutut sambil merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.
“Adikku… ahhh, Sin-te… tenangkanlah hatimu. Aku tahu… aku sudah melihatnya… akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.”
“Tiong-ko… aduh, Tiong-ko… betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!”
“Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?”
Thian Sin menenangkan hatinya, kemudian duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan dia pun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.
“Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku… aku malam tadi telah membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah…”
“Aku sudah tahu, adikku.”
“Kau tahu? Dan kau diam saja…?”
Han Tiong tersenyum duka. “Keinginan tahu dari seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.”
“Lupakanlah? Ahh, Tiong-ko, engkau tidak tahu alangkah jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku menjadi penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!”
“Ahhh…!” Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan oleh adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.
“Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar, kemudian kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena… karena aku… hemmm, aku orang yang kejam dan jahat!”
“Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!”
“Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, lantas terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu sudah menyerbu. Mereka terus berteriak-teriak, katanya hendak menangkap aku, anak seorang pemberontak, tapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, aku pun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh… betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat…” Dan pemuda itu segera memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.
“Aku pun sudah melihat mereka, Sin-te. Dan… dan… Hong-moi, bagaimana dengan dia?” tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar.
“Tidak tahu, Tiong-ko… tidak tahu… dia lenyap begitu saja… aku tidak tahu ke mana dia pergi… ahhh, hal itu membuatku semakin sedih karena mala petaka yang menimpanya itu adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!”
“Jangan, Sin-te. Urusan yang telah terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah ikut mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya prajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya…”
“Kalau perlu, aku akan siksa semua prajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!”
“Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Apa bila dia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku juga sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te.”
“Habis, apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya hingga tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan dia… dia adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran.
Han Tiong menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku menunjukkan atau memamerkan rasa dukaku akibat kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku akibat hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang di dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu sudah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu sedang disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te.”
Akhirnya, biar pun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukannya takut, tetapi merasa segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini.
Biar pun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang telah jatuh cinta kepada dara itu, akan tetapi dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlalu sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarang pun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu sangat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda ini pun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.
Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera mereka itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
Melihat keadaan dua orang muda itu, Bhe Bi Cu telah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.
“Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji… ada apakah? Kenapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?”
Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandangan matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.
“Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Hanya dapat menangis seperti anak-anak kecil! Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekali pun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!”
Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka sehingga tidak terisak-isak lagi meski pun kedua mata mereka masih basah.
Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang pernah mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, lalu pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, juga kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya karena berjumpa dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.
Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penuturan dua orang muda itu, apa lagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu.
Kemudian dua orang pemuda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya.
Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.
“Sungguh tidak pernah kami sangka bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu akhirnya mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam terakhir kami berada di kota Lok-yang, secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja segera membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, tetapi fihak musuh terlampau banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan di dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong… mereka berempat itu… ahhh, mereka semua tewas…!”
“Ohhhhh…!” Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.
“Hemmm…!” Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seakan-akan hendak menolak penglihatan yang nampak akibat cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itu pun menundukkan muka.
“Tapi mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata.
“Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang sudah berdosa. Keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk…!”
“Thian Sin!” Cia Sin Liong membentak dengan kereng. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.
“Aku telah berteriak bahwa aku di situ, supaya mereka jangan mengganggu keluarga Ciu. Aku telah mengamuk, aku juga telah membunuh puluhan orang prajurit, akan tetapi tidak mampu untuk menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, kemudian aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri untuk merampok barang-barangnya yang dikawal oleh Paman Kui Beng Sing supaya dapat mengumpulkan uang pengganti. Dia… dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka sedang berhubungan dengan orang-orang di utara, dengan bangsa Mancu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya supaya dia mau mengaku, dan aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya…”
“Sin-te…!” Han Tiong berseru.
“Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, memang aku yang telah menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Akan tetapi kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang pasti akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!”
“Thian Sin! Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga khikang sehingga ruangan itu tergetar.
Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan kaget sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang laksana mata naga itu, dan dia pun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf.
Mereda kemarahan Sin Liong setelah melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.
“Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tak akan tergoyahkan oleh peristiwa apa pun juga. Bila mana engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam kau biarkan menguasai batinmu, maka engkau pun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.”
Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi di dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga dia pun tidak akan banyak bicara lagi.
“Ayah, melihat Sin-te sedang mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena jika dia tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, dan membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini… ini… adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan oleh Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.
Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai menua ini, tampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seseorang yang sudah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.
“Han Tiong… kau harus… harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Dan sekarang juga!” akhirnya dia berkata.
“Ah, dia baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.
Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan dia pun merasa terharu sekali.
“Bagaimana pun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya.”
“Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Akan tetapi demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari, namun besok lusa engkau harus berangkat mencarinya hingga dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.”
“Baik, ayah.”
Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, terlebih lagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, apa bila menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan juga sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang sangat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang juga engkau harus lebih banyak berlatih semedhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau bisa dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu saja. Mengerti?”
“Tapi… tapi, ayah… saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi…”
“Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih semedhi!”
Thian Sin hanya mengangguk dan menundukkan mukanya, tak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut mengenai segala yang mereka tanyakan tentang perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.
Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin sudah tidak ada di dalam kamarnya dan jika melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.
Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Ahh, kukira akan dapat menundukkannya, apa lagi sesudah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin… hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, jika nanti engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikan kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar mau pulang atau biarlah kau perbolehkan dia turut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.”
“Baik, ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.
Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya akibat kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, lantas melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit.
Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah bisa ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Bila perlu dia akan mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.
Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam!
Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.
“Jika bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji serta pembunuh-pembunuh itu?”
“Sin-ko, aku tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?”
“Ahh, tidak bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!”
Lian Hong tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.
Mendadak Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…”
Dia pun mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu.
Orang-orang itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai!
Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.
“Siapa membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?”
“Tangkap pemberontak…!”
“Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw…!”
“Basmi pemberontak dan pengkhianat…!”
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!
Tentu saja keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.
Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka.
Agaknya mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.
Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.
“Keparat!” teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya.
Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai.
Thian Sin mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.
“Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!”
Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat.
Dengan kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.
Hebat bukan main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu.
Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong!
Oleh karena itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian di tempat lain.
Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong!
Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.
“Tranggg… desss! Creppp!”
Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.
Thian Sin cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!
Keluarga ini sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!
“Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima pembalasanku!”
Kemudian dia pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.
Entah sudah berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama semakin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin akan tetapi dia masih seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.
Akhirnya para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa apa bila dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorang pun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.
Thian Sin mengejar kemudian merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Akhirnya dia bisa menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.
“Ngekkk…!” Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.
Thian Sin cepat menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. “Cepat ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itu pun terobek sedikit dan berdarah.
“Baik… baik… kami hanya menjalankan perintah… mula-mula komandan kami menerima laporan dari… dari Su-couw…”
Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Saat mendengar disebutnya kota Su-couw, dia pun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia lantas teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.
“Phoa-taijin…?!” Dia membentak dengan sikap mengancam.
“Ya… ya benar…!”
“Mengapa? Hayo cepat katakan, mengapa dia melakukan ini?!” bentaknya.
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan mengenai adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Ui-eng Piauwkiok di Lok-yang, kemudian komandannya langsung bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.
“Tidak… tidak tahu…,” perwira itu berkata, namun kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin sudah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!
Malam itu juga, baru lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Semenjak mengamuk tadi, dia tak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam bagaikan mata iblis di dalam dongeng!
Thian Sin tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan supaya keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya hendak menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, kenapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggota keluarga Ciu terbasmi habis?
Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin!
Maka dia pun cepat-cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lantas menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia pun dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan tapi terdengar serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.
“Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak berhasil ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang juga ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!”
“Tapi, taijin. Keluarga Ciu sudah dapat dibasmi, kalau lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali…,” terdengar suara orang lain.
“Saya masih belum mengerti kenapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara serak.
“Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang sudah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar sebagai perampok untuk merampok barang-barang yang sebelumnya telah kusuruh kawal Pouw-an Piauwkiok? Jika mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?”
Thian Sin mengerutkan alisnya. Biar pun hanya secara samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok lantas merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an Piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga.
Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu kemudian dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.
“Aku berada di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu.
“Braakkkkk…!” daun jendela itu pecah dan dia pun sudah meloncat ke dalam.
“Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!”
Namun empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan sudah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu.
Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi lunak bagaikan karet, lunak akan tetapi kuat sekali. Maka begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sinkang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sinkang empat orang itu tersedot seketika.
Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka cepat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi I-beng, semakin mereka mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga sinkang mereka tersedot. Dan pada saat itu pula sinar pedang perak berkelebat, maka robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.
Phoa-taijin telah melarikan diri melalui sebuah lorong. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan Thian Sin menyambar dan tahu-tahu pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.
“Ampun… ampun… taihiap…!”
“Keparat jahanam! Engkau telah mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Sekarang kau mau apa?!”
“Ampuun… aku… aku hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah… dan karena… ayahmu dulu pernah memberontak maka… aku… aku…”
“Cacing busuk! Kalau begitu, mengapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu juga kau basmi? Engkau membalas sebab kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an Piauwkiok itu, ya? Hayo cepat katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara…”
Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan pada waktu pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin.
Pemuda ini cukup waspada. Tatapan mata pembesar itu membuatnya cepat mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang maka tahulah dia bahwa ada dua atau tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.
“Hayo jawab!”
“Mereka… mereka itu… ah… para datuk kaum kang-ouw… telah bersekutu… eh, dengan mereka yang bergerak di utara… orang-orang bangsa Mancu…”
“Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!”
“See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui…”
“Hemm, juga Tung-hai-sian?”
“Tidak… tidak… belum, sedang dihubungi… dia yang keras kepala…”
“Setan, mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali.
Terdengar tulang terbacok beberapa kali yang disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan pada waktu Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi amat pendek akibat kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah.
Sungguh merupakan pemandangan yang bukan main mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.
Kini Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu sudah memanggil bala bantuan sehingga kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.
Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah.
Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.
Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat bukan main. Walau pun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.
“Inilah Ceng Thian Sin! Inilah dia putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin terus mengamuk sambil berteriak-teriak.
“Sin-te…!”
Sesosok bayangan berkelebat lantas sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang sudah mendatangkan Han Tiong!
Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan merasa semakin heran karena tak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada.
Hatinya terasa tidak enak maka dia pun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi telah dibaca oleh Thian Sin. Meski pun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir dengan keadaan Thian Sin, maka dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.
Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Maka mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke manakah perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja.
Mendadak dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras.
Dugaan ini makin kuat ketika dia menanti-nanti namun adiknya belum juga pulang. Maka dia pun mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia lantas membawa buntalan-buntalan pakaian, kemudian menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.
Tidak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru sampai di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Namun ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia hanya melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang terlihat panik di luar rumah-rumah mereka sambil bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Ui-eng Piauwkiok!
Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu, maka dia langsung mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya sesudah dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan dan Kui Lin serta Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong langsung menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kirinya. Han Tiong menoleh dan melihat bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang prajurit.
Melihat bahwa pakaian para prajurit yang sudah menjadi mayat berserakan di tempat itu, maka tahulah dia bahwa mereka ini merupakan teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka dia pun cepat meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu lalu terpelanting.
Mereka bangkit kembali dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di tempat itu sehingga Han Tiong sudah terkepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap.
Para prajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul sehingga sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh sambil membawa seorang yang sudah ditotoknya. Di sebuah tempat sunyi Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.
“Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberi tahukan apa yang telah terjadi.”
Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si prajurit tidak takut lagi. Oleh karena itu dia pun segera menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan dari Phoa-taijin untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin dan rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang akhirnya mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.
“Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan prajurit, kalau bukan adiknya?
“Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!”
“Di mana dia sekarang?”
“Tidak tahu… tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.”
“Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?”
“Tidak tahu… hanya kabarnya berhasil lolos…”
Han Tiong lantas menotok orang itu sampai pingsan dan dia pun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itu pun sudah melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang prajurit supaya menceritakan keadaannya dan sesudah mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Maka dia pun cepat menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu.
Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu. Kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja, kalau saja dia masih berada di sana ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.
Akan tetapi semua telah terjadi. Keluarga Ciu sudah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harapkan mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.
Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.
Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun lantas menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.
“Sin-te, ingatlah…!” Dia berkata lagi.
Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Han Tiong cepat memondong tubuh adiknya, lalu menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar-mutarkan pedangnya untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka.
Berkat ketangkasannya, Han Tiong berhasil cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia segera menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar.
Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luka luar mau pun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka dia pun lalu mendiamkannya saja, dan dia pun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.
Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga ikut meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong telah bersikap waspada, maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,
“Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tak mengenalku lagi? Kau lihatlah baik-baik, aku adalah Han Tiong!”
Tiba-tiba saja Thian Sin menghentikan serangannya, memandang pada wajah Han Tiong, kemudian dia pun menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga ikut berlutut sambil merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.
“Adikku… ahhh, Sin-te… tenangkanlah hatimu. Aku tahu… aku sudah melihatnya… akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.”
“Tiong-ko… aduh, Tiong-ko… betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!”
“Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?”
Thian Sin menenangkan hatinya, kemudian duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan dia pun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.
“Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku… aku malam tadi telah membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah…”
“Aku sudah tahu, adikku.”
“Kau tahu? Dan kau diam saja…?”
Han Tiong tersenyum duka. “Keinginan tahu dari seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.”
“Lupakanlah? Ahh, Tiong-ko, engkau tidak tahu alangkah jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku menjadi penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!”
“Ahhh…!” Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan oleh adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.
“Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar, kemudian kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena… karena aku… hemmm, aku orang yang kejam dan jahat!”
“Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!”
“Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, lantas terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu sudah menyerbu. Mereka terus berteriak-teriak, katanya hendak menangkap aku, anak seorang pemberontak, tapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, aku pun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh… betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat…” Dan pemuda itu segera memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.
“Aku pun sudah melihat mereka, Sin-te. Dan… dan… Hong-moi, bagaimana dengan dia?” tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar.
“Tidak tahu, Tiong-ko… tidak tahu… dia lenyap begitu saja… aku tidak tahu ke mana dia pergi… ahhh, hal itu membuatku semakin sedih karena mala petaka yang menimpanya itu adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!”
“Jangan, Sin-te. Urusan yang telah terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah ikut mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya prajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya…”
“Kalau perlu, aku akan siksa semua prajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!”
“Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Apa bila dia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku juga sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te.”
“Habis, apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya hingga tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan dia… dia adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran.
Han Tiong menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku menunjukkan atau memamerkan rasa dukaku akibat kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku akibat hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang di dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu sudah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu sedang disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te.”
Akhirnya, biar pun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukannya takut, tetapi merasa segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini.
Biar pun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang telah jatuh cinta kepada dara itu, akan tetapi dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlalu sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarang pun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu sangat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda ini pun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.
********************
Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera mereka itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
Melihat keadaan dua orang muda itu, Bhe Bi Cu telah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.
“Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji… ada apakah? Kenapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?”
Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandangan matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.
“Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Hanya dapat menangis seperti anak-anak kecil! Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekali pun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!”
Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka sehingga tidak terisak-isak lagi meski pun kedua mata mereka masih basah.
Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang pernah mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, lalu pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, juga kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya karena berjumpa dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.
Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penuturan dua orang muda itu, apa lagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu.
Kemudian dua orang pemuda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya.
Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.
“Sungguh tidak pernah kami sangka bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu akhirnya mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam terakhir kami berada di kota Lok-yang, secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja segera membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, tetapi fihak musuh terlampau banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan di dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong… mereka berempat itu… ahhh, mereka semua tewas…!”
“Ohhhhh…!” Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.
“Hemmm…!” Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seakan-akan hendak menolak penglihatan yang nampak akibat cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itu pun menundukkan muka.
“Tapi mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata.
“Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang sudah berdosa. Keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk…!”
“Thian Sin!” Cia Sin Liong membentak dengan kereng. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.
“Aku telah berteriak bahwa aku di situ, supaya mereka jangan mengganggu keluarga Ciu. Aku telah mengamuk, aku juga telah membunuh puluhan orang prajurit, akan tetapi tidak mampu untuk menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, kemudian aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri untuk merampok barang-barangnya yang dikawal oleh Paman Kui Beng Sing supaya dapat mengumpulkan uang pengganti. Dia… dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka sedang berhubungan dengan orang-orang di utara, dengan bangsa Mancu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya supaya dia mau mengaku, dan aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya…”
“Sin-te…!” Han Tiong berseru.
“Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, memang aku yang telah menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Akan tetapi kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang pasti akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!”
“Thian Sin! Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga khikang sehingga ruangan itu tergetar.
Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan kaget sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang laksana mata naga itu, dan dia pun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf.
Mereda kemarahan Sin Liong setelah melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.
“Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tak akan tergoyahkan oleh peristiwa apa pun juga. Bila mana engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam kau biarkan menguasai batinmu, maka engkau pun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.”
Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi di dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga dia pun tidak akan banyak bicara lagi.
“Ayah, melihat Sin-te sedang mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena jika dia tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, dan membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini… ini… adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan oleh Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.
Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai menua ini, tampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seseorang yang sudah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.
“Han Tiong… kau harus… harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Dan sekarang juga!” akhirnya dia berkata.
“Ah, dia baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.
Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan dia pun merasa terharu sekali.
“Bagaimana pun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya.”
“Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Akan tetapi demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari, namun besok lusa engkau harus berangkat mencarinya hingga dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.”
“Baik, ayah.”
Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, terlebih lagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, apa bila menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan juga sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang sangat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang juga engkau harus lebih banyak berlatih semedhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau bisa dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu saja. Mengerti?”
“Tapi… tapi, ayah… saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi…”
“Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih semedhi!”
Thian Sin hanya mengangguk dan menundukkan mukanya, tak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut mengenai segala yang mereka tanyakan tentang perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.
Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin sudah tidak ada di dalam kamarnya dan jika melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.
Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Ahh, kukira akan dapat menundukkannya, apa lagi sesudah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin… hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, jika nanti engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikan kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar mau pulang atau biarlah kau perbolehkan dia turut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.”
“Baik, ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.
Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya akibat kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, lantas melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit.
Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah bisa ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Bila perlu dia akan mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.
Selanjutnya,