Pendekar Sadis Jilid 18
Thian Sin terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut yang terampuh dari huncwenya! Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia telah memperhatikan dengan teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu akan inti kekuatan huncwe itu.
Dia segera membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum akan hal ini sehingga tak lagi merasa heran mengapa pemuda itu kini memainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya.
“Cringgg…!”
Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui hingga tampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras!
Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini. Mendadak dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh, lantas dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang sekarang digunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air!
“Cessss…!” begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara berdesis dan apinya tentu saja menjadi padam. Nampak asap hitam yang baunya keras bukan main.
Pada saat itu pula Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, disusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan sangat cepatnya! Itu pun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini.
“Tringggg…!”
Pedang itu tertangkis oleh huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya. Akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki.
“Blukkk!”
Dua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan dia pun roboh pingsan!
Siangkoan Wi Hong beserta tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan langsung menyerang dengan senjata mereka. Pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka.
Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga pada waktu merobohkan kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apa lagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok.
Maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakan Thian Sin amat cepat sehingga biar pun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus berlari dengan cepat.
Sementara itu malam telah tiba sehingga kegelapan malam menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biar pun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia sudah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangkan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, sesudah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, maka dia tidak perlu takut lagi terhadap datuk utara itu!
Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiri pun masih terlalu kaget akibat melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui.
Kakek itu masih pingsan. Akan tetapi sesudah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan hanya pingsan sungguh pun terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak!
Sesudah siuman, tentu saja kakek itu langsung menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga sangat cerdik seperti setan sehingga ‘tukar menukar’ ilmu itu hanya suatu tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, ada pun pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan.
Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini dia pun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagian yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri.
Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia sudah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu.
Ia akan terus berusaha membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dahulu bahwa dia mampu mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tak ada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat!
Dan sekarang dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus sanggup mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi!
Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi di dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Dia seorang yang kasar, apa bila bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Hal ini adalah karena dulunya dia seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet lantas dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan terus memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib.
Dia malah juga mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepanjang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia sampai di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat mau pun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tak ada seorang pun ahli silat, baik dari golongan bersih mau pun kotor, yang dapat mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu.
Akhirnya namanya menjadi makin terkenal sehingga orang-orang menyebut dia sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, maka dia pun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorang pun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai.
Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong sudah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, tetapi di bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru.
Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan walau pun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggotanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggota atau pembantu itu.
Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong di dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu.
Akan tetapi, See-thian-ong memiliki watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tak pernah menikah, akan tetapi banyak wanita cantik yang menjadi simpanannya. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, merupakan salah seorang di antara kekasihnya!
Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya. Terlebih lagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu.
Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Jika tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, maka jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi.
Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam ‘pelindung’ supaya mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Ching-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, walau pun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana.
See-thian-ong amat terkenal meski pun dia jarang memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya pun telah cukup untuk ‘membereskan’ setiap fihak yang berani menentangnya. Dan apa bila sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan!
Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata sangat ganas, dia memiliki ilmu yang sangat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan apa bila tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya!
Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekali pun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandangan mata atau bentakan suaranya yang sangat berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan.
Dan kini, tokoh semacam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini sampai di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk berbicara tentang See-thian-ong.
“Toako, aku adalah seorang pelancong dari daerah utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai pada saat terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu.
“Ahh, kongcu tidak salah apa bila memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai selalu menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat pula bermain judi apa bila kongcu suka, dan ada perahu…,” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik…”
Thian Sin tertawa, berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aihh, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, yakni mengenai orang yang bernama See-thian-ong…”
Wajah pelayan itu berubah pucat pasi. “Ssstt, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sebenarnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan juga tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu…”
Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin bahkan melaporkan untuk mencari muka! Dia lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi serta bertukar pakaian bersih sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang sikapnya halus dan wajahnya amat tampan, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biar pun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar.
Telaga itu besar sekali dan airnya sangat jernih, berkilauan laksana cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalur kemerahan panjang di atas air yang belum begitu banyak bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga.
Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga mau pun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya.
Thian Sin lalu memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itu pun datang ketika Thian Sin menghampirinya.
“Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?”
Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang!
“Tentu saja, kongcu. Perahuku ini meski pun sudah tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.”
Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan hendak berlomba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!”
Sesudah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan perahu itu kemudian meluncur ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu!
Di atas telaga itu masih senyap. Akan tetapi, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mengandung pesona tersendiri dan tentulah akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seorang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut, ada pun perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja.
“Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.”
“Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.”
“Biarlah, aku justru suka akan kesunyian.”
Tukang perahu itu lalu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, menuju pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Sesudah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini.
“Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?”
Kakek yang usianya sudah ada enam puluh tahun itu memandang wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, tapi mengapa mesti mencari tempat yang sunyi?”
“Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara, dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tak akan puas sebelum mendapat keterangan yang memuaskan.”
“Tentang apakah, kongcu?”
“Tentang orang yang bernama See-thian-ong…”
“Ahh…!” Wajah kakek itu menjadi pucat dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang.
“Tidak ada seorang pun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang hendak menyusahkanmu? Karena itulah maka aku tadi memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak bertanya tentang apa?”
“Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakan dia?”
“Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu. Dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, malah pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan orang maka biarlah kalau didengar juga.”
“Hemm, di manakah rumahnya, paman?”
“Rumahnya tidak jauh dari telaga ini, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia mempunyai sebuah rumah besar, dan di sanalah para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya itu berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.”
“Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?”
“Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekitar rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.”
“Dan keluarganya?”
“Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya… dia memiliki belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak…”
“Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang bukan main karena dia sudah memperoleh keterangan secukupnya.
Setelah melihat banyak perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya telah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu.
Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu. Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesir yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu.
Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya akan suka mendekati perahu itu, dia pun lalu mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang sangat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya.
“Kongcu yang tampan… mengapa sendirian saja…”
“Aihh… kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?”
“Mari, kongcu… mari kami layani kongcu bersenang-senang… dengan kongcu, tidak usah bayar pun tidak mengapa…”
“Aduh gantengnya…”
Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, sapu tangan serta lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin dibarengi gelak tawa genit. Melihat hal ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang pemuda lantas didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin.
“Ehh… ehh… jangan menabrak…!” Tukang perahu tua berteriak ketakutan.
Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, karena itu sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidak-tidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar apa bila hanya terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu!
Melihat hal ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, menyangka bahwa mereka itu tak sengaja, maka dia pun cepat-cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu lantas menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung.
Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya tentu akan patah pula!
“Jangan, kongcu…!” teriaknya.
Akan tetapi perahu itu telah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan… perahu besar itu melenceng lalu meluncur melewati perahu kecil dan hanya berselisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu lalu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja.
“Aduhhh… kita selamat…,” katanya.
“Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!”
Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Tukang perahu itu lalu bergegas mendayung perahunya hendak pergi dari situ.
“Jangan melarikan diri, paman. Biarkan saja mereka datang,” kata Thian Sin yang menjadi sangat marah setelah dia tahu bahwa keempat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya.
Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, lari pun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan.
Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali.
Sekali ini, Thian Sin tidak mempergunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti hingga moncong perahu besar itu telah hampir menyentuh perahunya dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu melihatnya dengan mulut menyeringai girang.
Tiba-tiba jari-jari tangannya menyentuh moncong perahu, lantas dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling!
Segera terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorang pun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa!
Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu!
“Ehh, bagaimana bisa terjadi itu?”
“Luar biasa sekali!”
“Tentu ada setan air yang menolongnya!”
“Ahh, dia tentu benar-benar dewa dari kahyangan…!” terdengar seorang wanita penghibur berseru.
Semakin ramailah keadaan di situ dan sekarang Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya kini hendak berlomba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik.
Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu akan menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!”
“Wah, celaka, kongcu…!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat.
Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada cepat-cepat minggir untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali.
“Silakan, nona…!”
“Silakan, siocia…!”
Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu lalu wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling!
Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajah yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenyum ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin!
Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar. Bukan apa-apa, hanya girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk bisa berhubungan dengan See-thian-ong tanpa harus menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong?
Thian Sin segera mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!”
Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira.
“Aihhhh…! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ahh, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari… kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!”
“Akan tetapi… perahu ini kusewa…”
“Aihh, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu…,” si tukang perahu cepat berkata.
“Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong uang emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!”
“Terima kasih… ahh, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, cepatlah kau pindah ke perahu siocia…” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin.
Pemuda ini tersenyum, lantas bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu pula So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat kejadian ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya!
Akan tetapi mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring, kemudian tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu lalu dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Melihat ini, semua orang berseru kagum dan So Cian Ling tertawa.
“Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin sambil tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andai kata dia tidak sedang mendekatinya karena dia hendak mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas.
“Hi-hik, siapa takut kau tercebur?”
So Cian Ling lantas mendayung perahunya dan ketika melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan bagaikan mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru,
“Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?”
Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu langsung mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar dengan keras, bahkan ada pula yang sampai terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil.
“Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” kata Thian Sin sambil dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu.
Perahu hitam kecil itu menjadi miring, maka dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang masih berputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran!
“Hi-hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga.
Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang hanya dapat menarik napas panjang dan menduga-duga siapa adanya pemuda itu.
“Pantas, kiranya sahabat So-siocia…,” akhirnya mereka berkata-kata, sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali.
“Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba Cian Ling memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu.
“Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?”
“Kepadaku sih tidak, akan tetapi… ehh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?”
“Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong…”
“Aih… jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek.
Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang dulu pernah ditemuinya dua kali itu. Dahulu, baik untuk yang pertama kalinya pada waktu dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya pada saat dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Bedanya seperti langit dan bumi!
“Hayaaa… apa yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu.
“Ahh, tidak… hanya… ahh, kenapa kau bilang aku pura-pura?”
“Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?”
Thian Sin terbelalak. Memang sejak tadi pun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan kaum pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian.
“Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andai kata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?”
“Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta…”
“Berdosakah itu?”
“Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Ehh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?”
Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?”
Tiba-tiba saja dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi.
Thian Sin merasa mendongkol juga karena ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa.
“Ehh, mengapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli ketika melihat dia marah.
“Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi.
“Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?”
“Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu…”
“Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin.
“Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita mana pun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?”
Wajah Thian Sin menjadi merah sekali laksana udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?”
“Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu sangat tinggi, engkau juga keturunan seorang pangeran, bahkan seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai, tetapi engkau… engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya hal itu? Akan tetapi aku percaya dan aku… aku kagum, Thian Sin.”
Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan pada saat tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikit pun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua!
Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah merasa tergila-gila kepada Thian Sin, segera mendekatkan tubuhnya sehingga kehangatan tubuh gadis itu dapat terasa oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik,
“Kau… kau takut…?”
Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tetapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu.
“Takut apa…?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, nyaris seperti bisikan saja.
Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya.
“Engkau… pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau… ehhh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik-hik…!”
Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, biar pun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, begitu mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran.
“Siapa takut kepada wanita? Huhh…!”
Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?”
“Tidak!”
“Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?”
Thian Sin semakin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat dia enggan kalah oleh siapa pun juga dan dalam hal apa pun juga.
“Mengapa aku tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan.
Dengan bibir yang masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu lalu berbisik, “Mengapa? Aihh… karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?”
Kini Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Dia pun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu ‘dusun’ dan ‘hijau’. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir bahwa dia tak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin.
Tanpa disadarinya lagi dia sudah dibawa rebah oleh Cian Ling. Kemudian dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekali pun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang sangat pandai, sangat manis dan yang agaknya tak mengenal puas.
Setiap manusia di dunia ini, baik wanita mau pun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan khusus menjadi pendeta atau yang berpantang senggama, sekali waktu sudah pasti akan mengalami hubungan pertama di dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan.
Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang laki-laki bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita bisa menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan bisa pula mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya!
Hubungan antara pria dan wanita, malah hubungan yang menyangkut kelamin sekali pun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, bagaikan hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak mau pun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, atau manusia-manusia. Jodoh di dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.
Demikian pula hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu sungguh sesat jika menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam.
Namun, segala macam perbuatan di dunia ini, apa bila dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai sebuah kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mengejar kesenangan sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal dari pada kesengsaraan.
Umpamanya, kegiatan makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang sepatutnya membuat manusia bersyukur. Akan tetapi bila dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengejar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka akan terjadilah penyelewengan.
Kita lantas makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Kemudian terjadilah akibat-akibat yang sangat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita.
Gairah yang ada dalam hubungan seksual adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itu pun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namun apa bila kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalah gunakan berkah itu.
Kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinahan-perjinahan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu birahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka.
Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang sudah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit kelamin, dan sebagainya lagi.
Kebijaksanaan sajalah yang bisa menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul bila kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksual ini. Dengan cinta kasih, maka segalanya pun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Walau pun hubungan seksual merupakan sebagian dari pada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan dari pada kasih sayang dan kemesraan.
Dan sebagai manusia tentu saja kita tak mungkin bisa terlepas dari pada norma-norma kesusilaan, dari pada hukum-hukum yang sudah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita barulah benar apa bila dilakukan antara suami dan isteri yang telah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andai kata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kita pun tidak terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin.
Kenikmatan mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat akan selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu.
Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di permukaan danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan kenikmatan dan memabukkan. Cian Ling yang merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, menggunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu birahi!
Sesudah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini yang selain tampan, gagah serta menyenangkan, juga yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka timbullah rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin dia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, namun juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, kini Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.
Akan tetapi, setelah mereka berdua tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang makin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mampu mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang telah berpengalaman dalam hal bermain cinta.
Maka, sesudah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya ke pinggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin.
Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, jika dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan mempunyai gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Namun, di dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang di samping menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong!
Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan mereka pun mendarat. Ini pun adalah atas kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong.
Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang diri See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia pun sudah tahu bahwa selain sangat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir.
“Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mempunyai ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata.
Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang sangat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon serta bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi tetapi dapat hidup subur, maka padang rumput itu tebal sekali dan bila mana diinjak rasanya bagaikan menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu.
“Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini…”
Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra.
“Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku mengenai dia, dia itu senang sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing supaya bisa mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya.
Cian Ling menarik napas panjang, bagai seekor kucing yang dipangku dan dibelai, sebab dengan pandai Thian Sin menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu.
“Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahhh… dia suka sekali dan setiap hari, maksudku tiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampingi dia. Dia… dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa…”
Cian Ling menarik leher pemuda itu lantas menciumnya. Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi,
“Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu…”
“Kau… kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk kemudian memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum.
Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.”
Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa sekali. “Aihhh… ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.”
Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?”
Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thian Sin, lalu menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata,
“Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.”
“Bukankah sudah banyak aku bercerita mengenai dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti… seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar.
Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tidak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dengan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak mempergunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka dia pun tidak memberi komentar atas hal itu.
“Cian Ling, coba kau jelaskan. Mana yang lebih berbahaya di antara dua macam ilmunya yang pernah kau beri tahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khikang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sehingga dapat menggembung besar, ataukah ilmu tongkatnya?”
“Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci, sebab walau pun aku adalah murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, belum pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajarkan ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu aku pun akan kalah olehnya.”
“Sayang, aku ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan dua ilmu itu.”
“Aku hanya bisa memberi tahumu bahwa ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayu pun bila berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu maka akan berubah menjadi senjata yang ampuh. Ada pun ilmu khikang yang bisa membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Bila suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, maka tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin lantas segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan di samping itu, juga dengan hembusan khikang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan sanggup menahannya. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?”
Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia pun menjawab,
“Cian Ling, engkau tentu sudah pernah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?”
Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kenyataan yang membuat dia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, ialah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya.
“Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang dulu pernah menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia…”
“Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, maka akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini dapat memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di keempat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.”
“Ahh… untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang sukar bukan main, kekasihku.”
“Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Kecuali engkau, siapa lagi yang dapat membantuku dalam menghadapi suhumu itu.”
“Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu untuk menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan kedua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula… mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?”
“Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?”
“Hi-hik-hik, kau cemburu?”
Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta birahi mereka.
Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suheng-nya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, yaitu dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya.
Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, lantas diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra dari pada biasanya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik.
Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali. Pakaiannya kuning sederhana dan dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi.
Karena dia dekat dengan sumoi-nya, maka tentu saja dia pun tidak dilewatkan oleh Cian Ling sehingga antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dengan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila.
Akan tetapi, jika Cian Ling hanya menganggap suheng-nya itu sebagai seorang di antara para pria yang pernah menggaulinya dan tak begitu mendatangkan kesan dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoi-nya ini, mengharapkan kelak sumoi-nya mau menjadi isterinya.
Sudah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia sedang mencari-cari sumoi-nya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya mempunyai kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguh pun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoi-nya itu untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi biasanya, bila mana sedang bermain gila dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan bahkan paling lama sehari semalam sumoi-nya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam.
Akan tetapi sekarang, telah dua hari dua malam sumoi-nya tidak pulang, maka timbullah rasa kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoi-nya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoi-nya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoi-nya itu, maka ke situlah dia pergi.
Ketika dia mengintai dan melihat sumoi-nya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa sangat cemburu. Sumoi-nya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik kepada pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu.
Dan sumoi-nya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, pada saat itu juga dia ingin meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan terhadap sumoi-nya. Oleh karena itu, dia menunggu sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah,
“Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan dia pun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat dari pada emas.
Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suheng-nya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan, sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh.
“Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?”
Menghadapi sumoi-nya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!”
“Dia bukan musuh. Kau lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!”
“Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw… telah…”
“Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?”
“Sumoi, suhu tentu akan marah…”
“Suhu tak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling segera mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?”
Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu sudah berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja dan sikapnya tenang sambil menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya.
“Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak akan senang bila melihat ini…”
Dan sesudah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat.
“Suheng, kalau kau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu.
Setelah suheng-nya tak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu kemudian dia pun menarik napas panjang.
“Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia…!”
Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.”
“Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.”
“Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.”
“Apakah engkau takut?”
“Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya…”
“Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Apakah kau maksudkan dia mau mengeroyokmu? Kau jangan memandang rendah, Thian Sin. Selamanya guruku tak pernah mengeroyok orang!”
“Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.”
“Hemm, engkau akan kalah.”
“Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.”
Cian Ling langsung merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!”
Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk padanya. Dia telah dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu mempunyai pengaruh terhadap See-thian-ong, malah suheng-nya tadi pun tunduk padanya. Dengan kewanitaannya yang mempunyai daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling mampu menguasai suheng-nya dan juga gurunya sendiri, kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya guru dan pengganti orang tuanya, melainkan juga menganggapnya sebagai kekasih.
Dia segera membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum akan hal ini sehingga tak lagi merasa heran mengapa pemuda itu kini memainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya.
“Cringgg…!”
Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui hingga tampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras!
Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini. Mendadak dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh, lantas dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang sekarang digunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air!
“Cessss…!” begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara berdesis dan apinya tentu saja menjadi padam. Nampak asap hitam yang baunya keras bukan main.
Pada saat itu pula Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, disusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan sangat cepatnya! Itu pun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini.
“Tringggg…!”
Pedang itu tertangkis oleh huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya. Akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki.
“Blukkk!”
Dua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan dia pun roboh pingsan!
Siangkoan Wi Hong beserta tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan langsung menyerang dengan senjata mereka. Pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka.
Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga pada waktu merobohkan kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apa lagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok.
Maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakan Thian Sin amat cepat sehingga biar pun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus berlari dengan cepat.
Sementara itu malam telah tiba sehingga kegelapan malam menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biar pun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia sudah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangkan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, sesudah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, maka dia tidak perlu takut lagi terhadap datuk utara itu!
Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiri pun masih terlalu kaget akibat melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui.
Kakek itu masih pingsan. Akan tetapi sesudah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan hanya pingsan sungguh pun terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak!
Sesudah siuman, tentu saja kakek itu langsung menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga sangat cerdik seperti setan sehingga ‘tukar menukar’ ilmu itu hanya suatu tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, ada pun pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan.
Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini dia pun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagian yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri.
********************
Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia sudah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu.
Ia akan terus berusaha membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dahulu bahwa dia mampu mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tak ada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat!
Dan sekarang dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus sanggup mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi!
********************
Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi di dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Dia seorang yang kasar, apa bila bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Hal ini adalah karena dulunya dia seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet lantas dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan terus memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib.
Dia malah juga mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepanjang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia sampai di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat mau pun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tak ada seorang pun ahli silat, baik dari golongan bersih mau pun kotor, yang dapat mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu.
Akhirnya namanya menjadi makin terkenal sehingga orang-orang menyebut dia sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, maka dia pun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorang pun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai.
Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong sudah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, tetapi di bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru.
Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan walau pun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggotanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggota atau pembantu itu.
Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong di dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu.
Akan tetapi, See-thian-ong memiliki watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tak pernah menikah, akan tetapi banyak wanita cantik yang menjadi simpanannya. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, merupakan salah seorang di antara kekasihnya!
Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya. Terlebih lagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu.
Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Jika tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, maka jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi.
Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam ‘pelindung’ supaya mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Ching-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, walau pun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana.
See-thian-ong amat terkenal meski pun dia jarang memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya pun telah cukup untuk ‘membereskan’ setiap fihak yang berani menentangnya. Dan apa bila sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan!
Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata sangat ganas, dia memiliki ilmu yang sangat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan apa bila tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya!
Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekali pun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandangan mata atau bentakan suaranya yang sangat berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan.
Dan kini, tokoh semacam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini sampai di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk berbicara tentang See-thian-ong.
“Toako, aku adalah seorang pelancong dari daerah utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai pada saat terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu.
“Ahh, kongcu tidak salah apa bila memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai selalu menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat pula bermain judi apa bila kongcu suka, dan ada perahu…,” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik…”
Thian Sin tertawa, berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aihh, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, yakni mengenai orang yang bernama See-thian-ong…”
Wajah pelayan itu berubah pucat pasi. “Ssstt, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sebenarnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan juga tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu…”
Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin bahkan melaporkan untuk mencari muka! Dia lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi serta bertukar pakaian bersih sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang sikapnya halus dan wajahnya amat tampan, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biar pun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar.
Telaga itu besar sekali dan airnya sangat jernih, berkilauan laksana cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalur kemerahan panjang di atas air yang belum begitu banyak bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga.
Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga mau pun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya.
Thian Sin lalu memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itu pun datang ketika Thian Sin menghampirinya.
“Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?”
Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang!
“Tentu saja, kongcu. Perahuku ini meski pun sudah tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.”
Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan hendak berlomba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!”
Sesudah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan perahu itu kemudian meluncur ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu!
Di atas telaga itu masih senyap. Akan tetapi, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mengandung pesona tersendiri dan tentulah akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seorang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut, ada pun perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja.
“Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.”
“Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.”
“Biarlah, aku justru suka akan kesunyian.”
Tukang perahu itu lalu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, menuju pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Sesudah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini.
“Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?”
Kakek yang usianya sudah ada enam puluh tahun itu memandang wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, tapi mengapa mesti mencari tempat yang sunyi?”
“Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara, dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tak akan puas sebelum mendapat keterangan yang memuaskan.”
“Tentang apakah, kongcu?”
“Tentang orang yang bernama See-thian-ong…”
“Ahh…!” Wajah kakek itu menjadi pucat dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang.
“Tidak ada seorang pun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang hendak menyusahkanmu? Karena itulah maka aku tadi memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak bertanya tentang apa?”
“Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakan dia?”
“Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu. Dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, malah pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan orang maka biarlah kalau didengar juga.”
“Hemm, di manakah rumahnya, paman?”
“Rumahnya tidak jauh dari telaga ini, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia mempunyai sebuah rumah besar, dan di sanalah para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya itu berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.”
“Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?”
“Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekitar rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.”
“Dan keluarganya?”
“Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya… dia memiliki belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak…”
“Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang bukan main karena dia sudah memperoleh keterangan secukupnya.
Setelah melihat banyak perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya telah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu.
Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu. Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesir yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu.
Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya akan suka mendekati perahu itu, dia pun lalu mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang sangat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya.
“Kongcu yang tampan… mengapa sendirian saja…”
“Aihh… kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?”
“Mari, kongcu… mari kami layani kongcu bersenang-senang… dengan kongcu, tidak usah bayar pun tidak mengapa…”
“Aduh gantengnya…”
Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, sapu tangan serta lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin dibarengi gelak tawa genit. Melihat hal ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang pemuda lantas didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin.
“Ehh… ehh… jangan menabrak…!” Tukang perahu tua berteriak ketakutan.
Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, karena itu sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidak-tidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar apa bila hanya terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu!
Melihat hal ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, menyangka bahwa mereka itu tak sengaja, maka dia pun cepat-cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu lantas menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung.
Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya tentu akan patah pula!
“Jangan, kongcu…!” teriaknya.
Akan tetapi perahu itu telah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan… perahu besar itu melenceng lalu meluncur melewati perahu kecil dan hanya berselisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu lalu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja.
“Aduhhh… kita selamat…,” katanya.
“Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!”
Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Tukang perahu itu lalu bergegas mendayung perahunya hendak pergi dari situ.
“Jangan melarikan diri, paman. Biarkan saja mereka datang,” kata Thian Sin yang menjadi sangat marah setelah dia tahu bahwa keempat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya.
Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, lari pun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan.
Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali.
Sekali ini, Thian Sin tidak mempergunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti hingga moncong perahu besar itu telah hampir menyentuh perahunya dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu melihatnya dengan mulut menyeringai girang.
Tiba-tiba jari-jari tangannya menyentuh moncong perahu, lantas dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling!
Segera terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorang pun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa!
Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu!
“Ehh, bagaimana bisa terjadi itu?”
“Luar biasa sekali!”
“Tentu ada setan air yang menolongnya!”
“Ahh, dia tentu benar-benar dewa dari kahyangan…!” terdengar seorang wanita penghibur berseru.
Semakin ramailah keadaan di situ dan sekarang Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya kini hendak berlomba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik.
Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu akan menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!”
“Wah, celaka, kongcu…!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat.
Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada cepat-cepat minggir untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali.
“Silakan, nona…!”
“Silakan, siocia…!”
Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu lalu wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling!
Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajah yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenyum ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin!
Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar. Bukan apa-apa, hanya girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk bisa berhubungan dengan See-thian-ong tanpa harus menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong?
Thian Sin segera mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!”
Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira.
“Aihhhh…! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ahh, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari… kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!”
“Akan tetapi… perahu ini kusewa…”
“Aihh, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu…,” si tukang perahu cepat berkata.
“Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong uang emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!”
“Terima kasih… ahh, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, cepatlah kau pindah ke perahu siocia…” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin.
Pemuda ini tersenyum, lantas bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu pula So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat kejadian ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya!
Akan tetapi mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring, kemudian tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu lalu dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Melihat ini, semua orang berseru kagum dan So Cian Ling tertawa.
“Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin sambil tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andai kata dia tidak sedang mendekatinya karena dia hendak mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas.
“Hi-hik, siapa takut kau tercebur?”
So Cian Ling lantas mendayung perahunya dan ketika melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan bagaikan mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru,
“Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?”
Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu langsung mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar dengan keras, bahkan ada pula yang sampai terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil.
“Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” kata Thian Sin sambil dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu.
Perahu hitam kecil itu menjadi miring, maka dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang masih berputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran!
“Hi-hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga.
Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang hanya dapat menarik napas panjang dan menduga-duga siapa adanya pemuda itu.
“Pantas, kiranya sahabat So-siocia…,” akhirnya mereka berkata-kata, sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali.
********************
“Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba Cian Ling memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu.
“Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?”
“Kepadaku sih tidak, akan tetapi… ehh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?”
“Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong…”
“Aih… jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek.
Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang dulu pernah ditemuinya dua kali itu. Dahulu, baik untuk yang pertama kalinya pada waktu dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya pada saat dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Bedanya seperti langit dan bumi!
“Hayaaa… apa yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu.
“Ahh, tidak… hanya… ahh, kenapa kau bilang aku pura-pura?”
“Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?”
Thian Sin terbelalak. Memang sejak tadi pun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan kaum pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian.
“Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andai kata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?”
“Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta…”
“Berdosakah itu?”
“Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Ehh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?”
Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?”
Tiba-tiba saja dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi.
Thian Sin merasa mendongkol juga karena ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa.
“Ehh, mengapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli ketika melihat dia marah.
“Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi.
“Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?”
“Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu…”
“Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin.
“Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita mana pun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?”
Wajah Thian Sin menjadi merah sekali laksana udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?”
“Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu sangat tinggi, engkau juga keturunan seorang pangeran, bahkan seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai, tetapi engkau… engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya hal itu? Akan tetapi aku percaya dan aku… aku kagum, Thian Sin.”
Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan pada saat tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikit pun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua!
Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah merasa tergila-gila kepada Thian Sin, segera mendekatkan tubuhnya sehingga kehangatan tubuh gadis itu dapat terasa oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik,
“Kau… kau takut…?”
Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tetapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu.
“Takut apa…?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, nyaris seperti bisikan saja.
Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya.
“Engkau… pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau… ehhh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik-hik…!”
Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, biar pun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, begitu mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran.
“Siapa takut kepada wanita? Huhh…!”
Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?”
“Tidak!”
“Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?”
Thian Sin semakin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat dia enggan kalah oleh siapa pun juga dan dalam hal apa pun juga.
“Mengapa aku tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan.
Dengan bibir yang masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu lalu berbisik, “Mengapa? Aihh… karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?”
Kini Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Dia pun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu ‘dusun’ dan ‘hijau’. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir bahwa dia tak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin.
Tanpa disadarinya lagi dia sudah dibawa rebah oleh Cian Ling. Kemudian dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekali pun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang sangat pandai, sangat manis dan yang agaknya tak mengenal puas.
Setiap manusia di dunia ini, baik wanita mau pun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan khusus menjadi pendeta atau yang berpantang senggama, sekali waktu sudah pasti akan mengalami hubungan pertama di dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan.
Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang laki-laki bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita bisa menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan bisa pula mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya!
Hubungan antara pria dan wanita, malah hubungan yang menyangkut kelamin sekali pun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, bagaikan hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak mau pun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, atau manusia-manusia. Jodoh di dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.
Demikian pula hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu sungguh sesat jika menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam.
Namun, segala macam perbuatan di dunia ini, apa bila dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai sebuah kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mengejar kesenangan sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal dari pada kesengsaraan.
Umpamanya, kegiatan makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang sepatutnya membuat manusia bersyukur. Akan tetapi bila dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengejar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka akan terjadilah penyelewengan.
Kita lantas makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Kemudian terjadilah akibat-akibat yang sangat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita.
Gairah yang ada dalam hubungan seksual adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itu pun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namun apa bila kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalah gunakan berkah itu.
Kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinahan-perjinahan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu birahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka.
Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang sudah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit kelamin, dan sebagainya lagi.
Kebijaksanaan sajalah yang bisa menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul bila kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksual ini. Dengan cinta kasih, maka segalanya pun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Walau pun hubungan seksual merupakan sebagian dari pada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan dari pada kasih sayang dan kemesraan.
Dan sebagai manusia tentu saja kita tak mungkin bisa terlepas dari pada norma-norma kesusilaan, dari pada hukum-hukum yang sudah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita barulah benar apa bila dilakukan antara suami dan isteri yang telah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andai kata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kita pun tidak terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin.
Kenikmatan mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat akan selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu.
Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di permukaan danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan kenikmatan dan memabukkan. Cian Ling yang merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, menggunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu birahi!
Sesudah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini yang selain tampan, gagah serta menyenangkan, juga yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka timbullah rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin dia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, namun juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, kini Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.
Akan tetapi, setelah mereka berdua tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang makin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mampu mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang telah berpengalaman dalam hal bermain cinta.
Maka, sesudah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya ke pinggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin.
Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, jika dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan mempunyai gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Namun, di dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang di samping menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong!
Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan mereka pun mendarat. Ini pun adalah atas kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong.
Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang diri See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia pun sudah tahu bahwa selain sangat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir.
“Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mempunyai ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata.
Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang sangat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon serta bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi tetapi dapat hidup subur, maka padang rumput itu tebal sekali dan bila mana diinjak rasanya bagaikan menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu.
“Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini…”
Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra.
“Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku mengenai dia, dia itu senang sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing supaya bisa mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya.
Cian Ling menarik napas panjang, bagai seekor kucing yang dipangku dan dibelai, sebab dengan pandai Thian Sin menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu.
“Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahhh… dia suka sekali dan setiap hari, maksudku tiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampingi dia. Dia… dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa…”
Cian Ling menarik leher pemuda itu lantas menciumnya. Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi,
“Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu…”
“Kau… kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk kemudian memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum.
Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.”
Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa sekali. “Aihhh… ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.”
Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?”
Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thian Sin, lalu menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata,
“Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.”
“Bukankah sudah banyak aku bercerita mengenai dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti… seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar.
Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tidak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dengan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak mempergunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka dia pun tidak memberi komentar atas hal itu.
“Cian Ling, coba kau jelaskan. Mana yang lebih berbahaya di antara dua macam ilmunya yang pernah kau beri tahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khikang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sehingga dapat menggembung besar, ataukah ilmu tongkatnya?”
“Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci, sebab walau pun aku adalah murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, belum pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajarkan ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu aku pun akan kalah olehnya.”
“Sayang, aku ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan dua ilmu itu.”
“Aku hanya bisa memberi tahumu bahwa ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayu pun bila berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu maka akan berubah menjadi senjata yang ampuh. Ada pun ilmu khikang yang bisa membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Bila suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, maka tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin lantas segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan di samping itu, juga dengan hembusan khikang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan sanggup menahannya. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?”
Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia pun menjawab,
“Cian Ling, engkau tentu sudah pernah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?”
Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kenyataan yang membuat dia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, ialah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya.
“Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang dulu pernah menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia…”
“Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, maka akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini dapat memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di keempat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.”
“Ahh… untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang sukar bukan main, kekasihku.”
“Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Kecuali engkau, siapa lagi yang dapat membantuku dalam menghadapi suhumu itu.”
“Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu untuk menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan kedua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula… mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?”
“Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?”
“Hi-hik-hik, kau cemburu?”
Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta birahi mereka.
Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suheng-nya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, yaitu dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya.
Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, lantas diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra dari pada biasanya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik.
Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali. Pakaiannya kuning sederhana dan dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi.
Karena dia dekat dengan sumoi-nya, maka tentu saja dia pun tidak dilewatkan oleh Cian Ling sehingga antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dengan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila.
Akan tetapi, jika Cian Ling hanya menganggap suheng-nya itu sebagai seorang di antara para pria yang pernah menggaulinya dan tak begitu mendatangkan kesan dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoi-nya ini, mengharapkan kelak sumoi-nya mau menjadi isterinya.
Sudah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia sedang mencari-cari sumoi-nya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya mempunyai kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguh pun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoi-nya itu untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi biasanya, bila mana sedang bermain gila dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan bahkan paling lama sehari semalam sumoi-nya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam.
Akan tetapi sekarang, telah dua hari dua malam sumoi-nya tidak pulang, maka timbullah rasa kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoi-nya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoi-nya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoi-nya itu, maka ke situlah dia pergi.
Ketika dia mengintai dan melihat sumoi-nya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa sangat cemburu. Sumoi-nya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik kepada pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu.
Dan sumoi-nya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, pada saat itu juga dia ingin meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan terhadap sumoi-nya. Oleh karena itu, dia menunggu sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah,
“Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan dia pun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat dari pada emas.
Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suheng-nya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan, sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh.
“Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?”
Menghadapi sumoi-nya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!”
“Dia bukan musuh. Kau lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!”
“Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw… telah…”
“Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?”
“Sumoi, suhu tentu akan marah…”
“Suhu tak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling segera mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?”
Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu sudah berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja dan sikapnya tenang sambil menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya.
“Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak akan senang bila melihat ini…”
Dan sesudah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat.
“Suheng, kalau kau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu.
Setelah suheng-nya tak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu kemudian dia pun menarik napas panjang.
“Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia…!”
Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.”
“Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.”
“Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.”
“Apakah engkau takut?”
“Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya…”
“Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Apakah kau maksudkan dia mau mengeroyokmu? Kau jangan memandang rendah, Thian Sin. Selamanya guruku tak pernah mengeroyok orang!”
“Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.”
“Hemm, engkau akan kalah.”
“Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.”
Cian Ling langsung merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!”
Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk padanya. Dia telah dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu mempunyai pengaruh terhadap See-thian-ong, malah suheng-nya tadi pun tunduk padanya. Dengan kewanitaannya yang mempunyai daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling mampu menguasai suheng-nya dan juga gurunya sendiri, kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya guru dan pengganti orang tuanya, melainkan juga menganggapnya sebagai kekasih.
Selanjutnya,