Pendekar Sadis Jilid 20
PADA waktu Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya tapi tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan.
Maka dia pun tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang paling baik untuk mendahului lawan.
Maka, begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!
Akan tetapi kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.
“Desss…!”
Jalan darah pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!
Maka terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula.
Akan tetapi tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.
Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.
“Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.”
Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dahsyat itu.
Angin bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.
Terjadilah pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.
Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga mereka.
Thian Sin hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.
“Bukkk!”
Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.
“Ha-ha-ha…!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.
“Ahhh…!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!
Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.
“Dessss…!”
Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.
Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.
“Thian Sin, tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.
Melihat gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.
“Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali.
“Suhu…!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.
“Plakkk!”
Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara itu, membuatnya terpelanting keras.
“Engkau pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?”
“Suhu, aku… aku cinta padanya…”
“Tidak peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!”
See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.
“Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.
“Tranggg…!”
Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apa lagi melawan dengan senjata.
Akan tetapi See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi kekasih gurunya itu!
“Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.
“Suhu, jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu.
Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.
See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani menentang dirinya pula.
Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.
Dihadapi oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling.
Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya.
“Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoi-nya.
“Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi pengkhianat?”
“Suhu, teecu mencintainya…”
“Karena dia cantik dan muda?”
“Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.”
“Jika begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.”
“Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut.
See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk.
Dengan demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat.
Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.
Kini Cian Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.
Menerima hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi membicarakan kekalahan datuk itu!
Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.
Sesudah luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa, karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan mengampuninya lagi dan akan membunuhnya.
Melawan pun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia menerima keputusan itu.
Dan hal yang ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu, benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya, bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi.
Thian Sin melarikan diri dengan hati girang bukan main. Dia sudah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, sebab dia menganggap belum tiba saatnya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya.
Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa betul-betul kuat maka barulah dia akan turun tangan dan membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan serta memenuhi cita-cita ayah kandungnya.
Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah berupa kemenangan tipis, belum mutlak. Sebab itu dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya dengan sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan apa bila mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw!
Maka, dengan hati mantap Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himalaya!
Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa mala petaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat hendak memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?
Ketika terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk saat melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu sudah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan.
Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi setelah dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya dia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah, ibu serta keluarganya dikeroyok. Dan ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, sudah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas.
“Ibuuuu…! Ayaahhh…!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi dia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini kemudian terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya.
Di antara para pengeroyok itu tiba-tiba nampak seorang pengemis muda yang usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, yang segera meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa.
“A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa.
“Jangan khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu.
A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang turut membantu pasukan di dalam penyerbuan itu, sebab dalam usahanya berhubungan dengan para pemberontak, memang pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam. Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai.
Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota, kemudian membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di pinggir jalan. Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tak ada penghuninya. Tempat itu siang tadi digunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu.
Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun lalu memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan langsung merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang apa bila dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin.
A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona ini pun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu…, dia pun menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil.
Dengan tenang saja A-khun lantas membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang. Tak lama kemudian, ruangan yang gelap itu kini menjadi terang.
Dengan sepasang mata yang bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya, secara diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri sebab sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong.
Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu dia membuka mata dan menjadi silau oleh cahaya lilin, dia pun terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, dia menengok dan melihat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, dia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi dia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong.
“Apa…siapa…?”
“Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Kau cantik manis, aku suka padamu…”
“Keparat busuk! Engkau… engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu…!” Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu dia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di hadapan mulut harimau yang siap menerkamnya.
“Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku… ha-ha-ha!”
Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubuh Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba sudah menjadi kaku!
“Ehhh…?!” A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih pada saat melihat bahwa pada punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku!
“Binatang, berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya.
“Pangcu… am… ampunkan… saya…” Dengan seluruh tubuh menggigil bagai orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah.
Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat dia rebah, dia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan!
Rambut di atas kepala itu lebat sekali, tapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai pada kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lainnya karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi dan kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam.
Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih mempunyai kesegaran dan kekuatan tubuh. Sulit menaksir usianya, akan tetapi bila melihat rambut yang sudah putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tak akan kurang dari tujuh puluh tahun!
Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, malah bersinar mencorong bagai mata orang-orang sakti. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular.
Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong bisa menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Dia merasa semakin seram. Apa bila anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apa lagi ketuanya!
Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat pula akan bayangan mayat-mayat keluarganya, Lian Hong tidak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi dia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa dia akan berkumpul dengan keluarganya.
“Berapa lama engkau sudah menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut.
“Satu… dua… tahun…”
“Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?”
“Berkhianat terhadap perkumpulan.”
“Dan ke dua?”
“Bicara tentang Pangcu…”
“Dan ke tiga?”
“Ke tiga… ehhh… ampunkan saya, Pangcu… saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya… saya tidak tahu Pangcu akan datang…”
“Apa larangan yang ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali.
“Larangan ke tiga… ehhh… memperkosa wanita… akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri.
Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah yang mengenai lehernya tanpa mampu dia elakkan.
“Seluruh anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorang pun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?” kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi bagi A-khun makin menakutkan.
“Karena… karena… Pangcu adalah seorang wanita pula…”
“Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak.
“Pangcu, ampuuuuunnn…!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam!
Sekarang nenek itu melangkah maju dan menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian.
“Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya sehingga Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru dia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan.
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus.
“Ahhh, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka berdua itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu…” Nenek itu berkata, kemudian kelihatan termenung.
“Kalau ada Tiong-koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika dia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu.
Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka lantas memandang kepada Lian Hong, sinar matanya bagai kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?”
Lian Hong tahu bahwa dia menghadapi kematian, maka dia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!”
“Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.”
“Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukanlah apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, jika mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang.
Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba saja tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena dia hendak menyambut maut dengan mata terbuka.
“Ceppp!”
Ujung tongkat itu amblas ke dalam lantai dan hanya berjarak satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak.
“Tidak, engkau tak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Ehh, maukah engkau menjadi muridku?”
Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar dia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapa pun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau dia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak dia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka dia pun cepat menjawab, “Jika locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali.”
Nenek itu tertawa, suara tawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja dia telah dapat bergerak kembali! Dengan girang dia pun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu.
“Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?”
“Kalau teecu tak salah menduga, tentu locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?”
“Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku namun masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan berbicara dengan aku, dan bahkan menjadi muridku.”
Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh sangat luar biasa, sombong bukan kepalang, agaknya seolah-olah menganggap dirinya betul-betul seorang malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi dia pun bukan seorang dara yang bodoh, maka dia cepat berkata,
“Kalau begitu, sungguh teecu mempunyai keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo.”
“Hemm, kau kira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uhh, jangan salah kira, ya? Aku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!”
Mendengar suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang seorang yang memiliki watak yang aneh.
“Hayo, kau ikuti aku!” Tiba-tiba nenek itu berkata.
Ternyata dia telah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya, seperti diguyur air es, membuat dia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Pada saat itu dia melihat gurunya telah berjalan pergi, maka dia cepat-cepat mengikutinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong pada waktu melihat bahwa nenek itu membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan karena dia juga ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam itu.
Dan ternyata nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam telah berganti pagi dan semua mayat tak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan.
Ketika tiba di dekat rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain waktu tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah salah seorang tetangganya! Lian Hong merasa kagum bukan main. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang lengannya bisa membawanya meloncat seperti terbang jelas menunjukkan alangkah lihai ginkang-nya.
“Lekas kau beritahukan kepada para tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu.
Lian Hong masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka dia hanya memandang bingung. “Tapi… tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu…” Suaranya tertahan oleh isak.
“Taati perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh juga? Hayo cepat kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak nenek itu dengan lirih.
Lian Hong tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini membuat dia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat menyusulnya. Maka dia pun meloncat turun dan cepat dia menghampiri kelompok keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah.
Agaknya mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi tadi malam, mala petaka mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati suami isteri serta tiga orang anaknya itu ketika tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka.
“Ciu-siocia…!” Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan berbahayanya bagi keluarganya kalau saja fihak tentara sampai melihat nona itu berada di tempatnya!
Sementara itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara mengerikan.
“Paman Ong, di manakah… ehh, jenazah mereka…?” Lian Hong menguatkan hatinya dan bertanya.
“Jenazah keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona. Kami semua tidak berdaya, tidak ada yang berani mencampuri… maklumlah…”
Lian Hong menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong…”
“Maaf… nona, kami tidak berani…”
“Aku hanya ingin agar kalau Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara kedua pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, bersama…”
“Cukup!” Terdengar bentakan merdu, lantas tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari hadapan keluarga Ong yang memandang bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka mereka pun langsung berlutut dan sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka!
Sementara itu, Lian Hong sudah dibawa pergi jauh keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek Lam-sin. Tadi, dengan menggunakan kesaktiannya yang tinggi, Nenek Lam-sin berkelebat cepat sehingga tak sampai diketahui oleh para penjaga. Setelah keluar dari pintu gerbang, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Lam-sin adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari daerah selatan. Meski pun jarang ada orang pernah melihatnya, akan tetapi namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apa lagi nama ini didukung dan dijunjung tinggi pula oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang yang merajai dunia kang-ouw di daerah selatan.
Benarkah kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sebenarnya tidak demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan di dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat, bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai murid pun hanya merupakan sebuah siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu.
Dia sudah mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga, maka dia pun ingin sekali dapat bertemu dan mengadu ilmu dengan mereka. Apa lagi sesudah mendengar bahwa ada beberapa orang anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini lalu menjadi penasaran sekali.
Dengan mengangkat dara itu sebagai murid, maka dia mengharapkan akan bisa bertemu dengan mereka. Selain itu memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa wanita. Ini pun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena dia sendiri seorang wanita, maka dia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka memperkosa wanita.
Lian Hong yang maklum bahwa dia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena untuk saat itu dia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa yang dapat dilakukannya. Maka dia pun pasrah kepada gurunya.
Memang ada ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagai mana mungkin dia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Dia belum pernah tahu di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat Tembok Besar utara. Bagaimana kalau dia tidak berhasil menemukan tempat itu?
Dan perjalanan sejauh itu, apa lagi harus melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya tidak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Karena itu, jalan satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Bila dia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian padanya cukup kuat, baru dia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah mertuanya.
Karena mempunyai cita-cita seperti ini, di sepanjang perjalanan Lian Hong bersikap taat kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subo-nya. Akan tetapi nenek itu benar-benar seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang sunyi dan sukar dilalui.
Kadang-kadang, apa bila melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Walau pun Lian Hong juga seorang dara perkasa, tetapi melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan.
Dan selama dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang sekali bicara. Kalau kemalaman, mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang sangat mengherankan hati Lian Hong akan tetapi juga menguntungkan. Biar pun nenek itu tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila, namun nenek itu sama sekali tidak jorok, bahkan selalu bersih. Kalau terkena kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan pakaiannya selalu diganti setiap hari!
Lian Hong juga diberi dua stel pakaiannya, sehingga gadis itu pun terpaksa mengenakan pakaian Si Nenek yang ternyata mempunyai potongan tubuh yang tidak berbeda banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata sangat royal kalau makan! Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang berkualitas tinggi dan mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan.
Akan tetapi kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tak jarang Lian Hong harus mengunjungi restoran untuk membeli bermacam-macam masakan yang mahal-mahal kemudian membawanya ke tempat subo-nya menunggu di luar kota. Semua ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subo-nya adalah seorang wanita yang amat pembersih, dan suka makan!
Akan tetapi, hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu. Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang sangat dingin ini, maka Lian Hong juga tidak berani banyak bertanya.
Beberapa pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka sampailah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa gurunya itu memiliki sebuah rumah yang amat mewah!
Bangunannya tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh dengan perabot rumah yang serba mahal dan halus buatannya, bagaikan perabot rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, dan meja kursi yang juga merupakan barang seni yang halus dan mahal, ada pun di dinding penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah.
Juga di mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang yang mengatur dan menghias rumah itu, dan kemudian sesudah Lian Hong mendengar bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu bertambah.
Ketika Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan.
“Mereka berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.”
Mendengar keterangan ini, Lian Hong terkejut sekali. Mereka itu begitu muda dan cantik, dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah pelayan.
“Ini adalah Ciu-siocia yang sudah menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik,” terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya.
Lima orang wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong. Mereka serentak berkata dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!”
Lian Hong cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai murid subo, aku juga harus melayaninya, karena itu aku akan membantu pekerjaan cici berlima.”
Demiklanlah, karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi sebab mendapatkan pelajaran dari Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan sering mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota.
Cara hidup nenek itu sungguh aneh sekali. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalah para pelayan dan juga para anggota Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau dia pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran, tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan yang tersohor.
Nenek itu sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali.
“Apakah subo pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya.
Nenek itu menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan mencoba kepandaian mereka. Ehh, jika menurut pendapatmu, siapa di antara putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai, Lian Hong?”
Ditanya tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong lalu membayangkan keadaan mereka. Hatinya terharu dan timbul rindunya terhadap Han Tiong yang diam-diam sudah menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga.”
Lam-sin sudah banyak mendengar mengenai mereka berdua dari para anak buah Bu-tek Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya amat lihai itu. Kalau saja tak ingin bertemu dengan mereka, terutama dengan putera Pangeran Ceng, tentu dia tak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya, melainkan dara itu telah dibunuhnya. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari nenek itu berkilat.
“Ya, aku ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!”
“Tetapi, subo… oleh karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi mereka. Mereka berdua adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri… dan… dan Han Tiong koko adalah tunangan teecu.”
“Siapa yang hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji, apakah benar mereka itu selihai yang dikabarkan orang.”
Lian Hong tidak banyak membantah lagi. Diam-diam dia merasa kagum dan juga heran melihat gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput ada pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli dan indah seperti mata orang muda, dan gerak-geriknya sangat gesit, tubuhnya juga amat langsing padat walau pun tertutup pakaian sederhana.
Sungguh seorang nenek yang amat aneh, yang mempunyai suara merdu, kadang-kadang dingin sekali, kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu, mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang dia bergidik ketika melihat sepasang mata yang mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman.
Akan tetapi, di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subo-nya. Oleh sebab itu dia pun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa dia akan bisa mewarisi ilmu silat tinggi agar kelak dia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau dia teringat akan ayah kandungnya dan kakaknya, maka Lian Hong tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan menangislah dia pada waktu dia tidur sendirian di dalam kamarnya.
Pada suatu hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong diajak subo-nya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek Lam-sin memiliki suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang kala dimasaknya sendiri, dan untuk keperluan itu dia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar.
Seperti biasanya, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua berbelanja di pasar juga.
Yang mengenal nenek itu adalah seorang lelaki gagah perkasa yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, lelaki ini lalu menjura dengan sikap amat menghormat sambil berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.”
Dan hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit lantas melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah cukup jauh, Lian Hong tak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan lelaki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu hanya menjawab bahwa laki-laki itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)!
Diam-diam Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biar pun dia tidak dikenal oleh orang-orang biasa sebab memang selalu menyembunyikan diri, namun nenek itu dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!
Pagi hari itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang sangat segar karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong turut memilih dan dara ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka dengan kedua mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Seperti yang telah diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu. Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki.
Dengan hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tetapi agaknya tidak ada orang yang tahu ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara!
Mendengar ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberi tahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong.
“Nona Ciu Lian Hong memang meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han Tiong…”
“Sayalah Ciu Han Tiong,” kata Han Tiong cepat.
Orang she Ong itu mengangguk-angguk. “Memang sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan.”
“Apa lagi pesannya?” Han Tiong bertanya, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa betapa pun tunangannya itu juga belum tewas!
“Tidak ada apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, dia lenyap begitu saja!” Orang she Ong itu bergidik.
Mendengar suara orang itu bergetar dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong lalu mengerutkan alisnya. “Tapi… tapi dia masih hidup, bukan?”
Dan betapa kaget hatinya melihat orang itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, kongcu. Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti… seperti setan…”
Tentu saja hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia pun tak percaya kalau nona itu sudah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin, sungguh pun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat ‘menghilang’. Dia tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Mungkin saja dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, nona itu meloncat dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang.
Betapa pun juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lantas menghaturkan terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Di kota ini dia bermalam pada sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan memasuki pasar bersama seorang nenek! Han Tiong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh perhatian.
Dia melihat betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua yang mempunyai mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih sangat segar dan padat, mempunyai gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja!
Tadinya, dia menaruh curiga sesudah mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang. Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga tinggal di Heng-yang, memegang peran di dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini dia berhati-hati sekali. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak buah Lam-sin!
Dia harus mengetahui terlebih dahulu ke mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong. Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam keadaan sehat dan selamat, walau pun ada kedukaan membayang di wajahnya yang jelita.
Kalau Lian Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu sejak tadi! Tak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan.
Ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan sikapnya selalu waspada sehingga begitu ada sedikit perubahan saja di sekitarnya dia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan dengan sikap yang tidak kentara, dia sudah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu kemudian dapat menduga bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Lembah Naga, pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong! Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada anak buahnya!
Jangan dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke mana pun ia pergi, tentu ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah ketuanya ini. Maka tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk memberikan perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja.
Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat.
“Ehh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran.
“Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subo-nya yang memang luar biasa itu.
Akan tetapi hati dara ini menjadl makin heran saat melihat bahwa subo-nya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang!
“Subo, kenapa kita memasuki hutan?”
“Diamlah, nanti engkau akan tahu sendiri,” kata Nenek Lam-sin yang secara diam-diam terus memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang.
Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biar pun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya semenjak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu.
Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong kaget sekali, akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata,
“Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu.”
Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan pada saat mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggota Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, sekaligus juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi kemudian dia pun telah menjerit dengan tangis,
“Tiong-koko…!” Kemudian larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah lapangan.
“Hong-moi…!” Han Tiong berseru kemudian menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu.
“Tiong-ko… ah, Tiong-ko…!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya.
Baru sekarang ini gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, dia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada orang yang dapat dia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu.
“Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi… dan agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.”
“Lian Hong, ke sini engkau!” Mendadak terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin.
Lian Hong mengangkat mukanya lantas berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu.
“Subo, inilah Tiong-koko, dia… tunangan teecu itu…”
“Hong-moi, siapa nenek itu? Subo-mu…?” Han Tiong bertanya heran.
“Benar, Tiong-ko. Dia adalah… Lam-sin, penolongku juga guruku…”
Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya.
“Hemm, Lian Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?”
Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat.
“Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.”
“Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!”
“Ahhh, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.”
Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.
“Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?”
Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.
“Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?”
“Hemmm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!”
“Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong.
“Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!”
Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.
“Plakkk!”
Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum mengejek.
“Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya.
“Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.”
“Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.
“Plakk! Plakk!”
Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.
“Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.
Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya?
Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi, semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.
Nenek itu terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu!
Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.
Betapa pun juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!
“Plakk!”
Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.
“Ihhh…!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya.
Akan tetapi ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun tidak terluka hebat.
Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas.
Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong!
Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh!
Han Tiong merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang lagi.
Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.
“Desssss…!”
Sekali ini, nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih.
Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.
“Bukkk!”
Sekali ini Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas.
“Hik-hik-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.
“Dessss…!”
Tubuh nenek itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.
“Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang menangkis tadi.
“Ayah…! Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar.
Ternyata yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula.
Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.
“Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati sehingga terkena pukulan lawan.
“Ayah, locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong.
Sementara itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam dia merasa gentar juga.
Maka dia pun tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang paling baik untuk mendahului lawan.
Maka, begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!
Akan tetapi kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.
“Desss…!”
Jalan darah pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!
Maka terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula.
Akan tetapi tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.
Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.
“Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.”
Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dahsyat itu.
Angin bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.
Terjadilah pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.
Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga mereka.
Thian Sin hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.
“Bukkk!”
Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.
“Ha-ha-ha…!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.
“Ahhh…!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!
Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.
“Dessss…!”
Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.
Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.
“Thian Sin, tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.
Melihat gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.
“Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali.
“Suhu…!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.
“Plakkk!”
Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara itu, membuatnya terpelanting keras.
“Engkau pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?”
“Suhu, aku… aku cinta padanya…”
“Tidak peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!”
See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.
“Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.
“Tranggg…!”
Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apa lagi melawan dengan senjata.
Akan tetapi See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi kekasih gurunya itu!
“Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.
“Suhu, jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu.
Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.
See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani menentang dirinya pula.
Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.
Dihadapi oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling.
Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya.
“Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoi-nya.
“Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi pengkhianat?”
“Suhu, teecu mencintainya…”
“Karena dia cantik dan muda?”
“Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.”
“Jika begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.”
“Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut.
See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk.
Dengan demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat.
Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.
Kini Cian Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.
Menerima hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi membicarakan kekalahan datuk itu!
Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.
Sesudah luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa, karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan mengampuninya lagi dan akan membunuhnya.
Melawan pun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia menerima keputusan itu.
Dan hal yang ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu, benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya, bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi.
********************
Thian Sin melarikan diri dengan hati girang bukan main. Dia sudah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, sebab dia menganggap belum tiba saatnya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya.
Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa betul-betul kuat maka barulah dia akan turun tangan dan membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan serta memenuhi cita-cita ayah kandungnya.
Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah berupa kemenangan tipis, belum mutlak. Sebab itu dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya dengan sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan apa bila mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw!
Maka, dengan hati mantap Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himalaya!
********************
Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa mala petaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat hendak memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?
Ketika terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk saat melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu sudah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan.
Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi setelah dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya dia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah, ibu serta keluarganya dikeroyok. Dan ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, sudah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas.
“Ibuuuu…! Ayaahhh…!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi dia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini kemudian terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya.
Di antara para pengeroyok itu tiba-tiba nampak seorang pengemis muda yang usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, yang segera meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa.
“A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa.
“Jangan khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu.
A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang turut membantu pasukan di dalam penyerbuan itu, sebab dalam usahanya berhubungan dengan para pemberontak, memang pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam. Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai.
Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota, kemudian membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di pinggir jalan. Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tak ada penghuninya. Tempat itu siang tadi digunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu.
Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun lalu memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan langsung merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang apa bila dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin.
A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona ini pun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu…, dia pun menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil.
Dengan tenang saja A-khun lantas membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang. Tak lama kemudian, ruangan yang gelap itu kini menjadi terang.
Dengan sepasang mata yang bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya, secara diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri sebab sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong.
Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu dia membuka mata dan menjadi silau oleh cahaya lilin, dia pun terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, dia menengok dan melihat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, dia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi dia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong.
“Apa…siapa…?”
“Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Kau cantik manis, aku suka padamu…”
“Keparat busuk! Engkau… engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu…!” Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu dia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di hadapan mulut harimau yang siap menerkamnya.
“Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku… ha-ha-ha!”
Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubuh Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba sudah menjadi kaku!
“Ehhh…?!” A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih pada saat melihat bahwa pada punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku!
“Binatang, berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya.
“Pangcu… am… ampunkan… saya…” Dengan seluruh tubuh menggigil bagai orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah.
Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat dia rebah, dia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan!
Rambut di atas kepala itu lebat sekali, tapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai pada kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lainnya karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi dan kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam.
Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih mempunyai kesegaran dan kekuatan tubuh. Sulit menaksir usianya, akan tetapi bila melihat rambut yang sudah putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tak akan kurang dari tujuh puluh tahun!
Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, malah bersinar mencorong bagai mata orang-orang sakti. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular.
Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong bisa menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Dia merasa semakin seram. Apa bila anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apa lagi ketuanya!
Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat pula akan bayangan mayat-mayat keluarganya, Lian Hong tidak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi dia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa dia akan berkumpul dengan keluarganya.
“Berapa lama engkau sudah menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut.
“Satu… dua… tahun…”
“Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?”
“Berkhianat terhadap perkumpulan.”
“Dan ke dua?”
“Bicara tentang Pangcu…”
“Dan ke tiga?”
“Ke tiga… ehhh… ampunkan saya, Pangcu… saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya… saya tidak tahu Pangcu akan datang…”
“Apa larangan yang ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali.
“Larangan ke tiga… ehhh… memperkosa wanita… akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri.
Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah yang mengenai lehernya tanpa mampu dia elakkan.
“Seluruh anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorang pun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?” kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi bagi A-khun makin menakutkan.
“Karena… karena… Pangcu adalah seorang wanita pula…”
“Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak.
“Pangcu, ampuuuuunnn…!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam!
Sekarang nenek itu melangkah maju dan menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian.
“Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya sehingga Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru dia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan.
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus.
“Ahhh, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka berdua itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu…” Nenek itu berkata, kemudian kelihatan termenung.
“Kalau ada Tiong-koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika dia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu.
Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka lantas memandang kepada Lian Hong, sinar matanya bagai kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?”
Lian Hong tahu bahwa dia menghadapi kematian, maka dia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!”
“Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.”
“Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukanlah apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, jika mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang.
Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba saja tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena dia hendak menyambut maut dengan mata terbuka.
“Ceppp!”
Ujung tongkat itu amblas ke dalam lantai dan hanya berjarak satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak.
“Tidak, engkau tak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Ehh, maukah engkau menjadi muridku?”
Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar dia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapa pun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau dia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak dia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka dia pun cepat menjawab, “Jika locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali.”
Nenek itu tertawa, suara tawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja dia telah dapat bergerak kembali! Dengan girang dia pun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu.
“Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?”
“Kalau teecu tak salah menduga, tentu locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?”
“Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku namun masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan berbicara dengan aku, dan bahkan menjadi muridku.”
Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh sangat luar biasa, sombong bukan kepalang, agaknya seolah-olah menganggap dirinya betul-betul seorang malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi dia pun bukan seorang dara yang bodoh, maka dia cepat berkata,
“Kalau begitu, sungguh teecu mempunyai keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo.”
“Hemm, kau kira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uhh, jangan salah kira, ya? Aku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!”
Mendengar suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang seorang yang memiliki watak yang aneh.
“Hayo, kau ikuti aku!” Tiba-tiba nenek itu berkata.
Ternyata dia telah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya, seperti diguyur air es, membuat dia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Pada saat itu dia melihat gurunya telah berjalan pergi, maka dia cepat-cepat mengikutinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong pada waktu melihat bahwa nenek itu membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan karena dia juga ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam itu.
Dan ternyata nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam telah berganti pagi dan semua mayat tak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan.
Ketika tiba di dekat rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain waktu tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah salah seorang tetangganya! Lian Hong merasa kagum bukan main. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang lengannya bisa membawanya meloncat seperti terbang jelas menunjukkan alangkah lihai ginkang-nya.
“Lekas kau beritahukan kepada para tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu.
Lian Hong masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka dia hanya memandang bingung. “Tapi… tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu…” Suaranya tertahan oleh isak.
“Taati perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh juga? Hayo cepat kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak nenek itu dengan lirih.
Lian Hong tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini membuat dia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat menyusulnya. Maka dia pun meloncat turun dan cepat dia menghampiri kelompok keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah.
Agaknya mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi tadi malam, mala petaka mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati suami isteri serta tiga orang anaknya itu ketika tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka.
“Ciu-siocia…!” Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan berbahayanya bagi keluarganya kalau saja fihak tentara sampai melihat nona itu berada di tempatnya!
Sementara itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara mengerikan.
“Paman Ong, di manakah… ehh, jenazah mereka…?” Lian Hong menguatkan hatinya dan bertanya.
“Jenazah keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona. Kami semua tidak berdaya, tidak ada yang berani mencampuri… maklumlah…”
Lian Hong menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong…”
“Maaf… nona, kami tidak berani…”
“Aku hanya ingin agar kalau Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara kedua pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, bersama…”
“Cukup!” Terdengar bentakan merdu, lantas tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari hadapan keluarga Ong yang memandang bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka mereka pun langsung berlutut dan sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka!
Sementara itu, Lian Hong sudah dibawa pergi jauh keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek Lam-sin. Tadi, dengan menggunakan kesaktiannya yang tinggi, Nenek Lam-sin berkelebat cepat sehingga tak sampai diketahui oleh para penjaga. Setelah keluar dari pintu gerbang, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Lam-sin adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari daerah selatan. Meski pun jarang ada orang pernah melihatnya, akan tetapi namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apa lagi nama ini didukung dan dijunjung tinggi pula oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang yang merajai dunia kang-ouw di daerah selatan.
Benarkah kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sebenarnya tidak demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan di dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat, bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai murid pun hanya merupakan sebuah siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu.
Dia sudah mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga, maka dia pun ingin sekali dapat bertemu dan mengadu ilmu dengan mereka. Apa lagi sesudah mendengar bahwa ada beberapa orang anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini lalu menjadi penasaran sekali.
Dengan mengangkat dara itu sebagai murid, maka dia mengharapkan akan bisa bertemu dengan mereka. Selain itu memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa wanita. Ini pun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena dia sendiri seorang wanita, maka dia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka memperkosa wanita.
Lian Hong yang maklum bahwa dia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena untuk saat itu dia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa yang dapat dilakukannya. Maka dia pun pasrah kepada gurunya.
Memang ada ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagai mana mungkin dia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Dia belum pernah tahu di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat Tembok Besar utara. Bagaimana kalau dia tidak berhasil menemukan tempat itu?
Dan perjalanan sejauh itu, apa lagi harus melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya tidak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Karena itu, jalan satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Bila dia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian padanya cukup kuat, baru dia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah mertuanya.
Karena mempunyai cita-cita seperti ini, di sepanjang perjalanan Lian Hong bersikap taat kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subo-nya. Akan tetapi nenek itu benar-benar seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang sunyi dan sukar dilalui.
Kadang-kadang, apa bila melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Walau pun Lian Hong juga seorang dara perkasa, tetapi melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan.
Dan selama dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang sekali bicara. Kalau kemalaman, mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang sangat mengherankan hati Lian Hong akan tetapi juga menguntungkan. Biar pun nenek itu tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila, namun nenek itu sama sekali tidak jorok, bahkan selalu bersih. Kalau terkena kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan pakaiannya selalu diganti setiap hari!
Lian Hong juga diberi dua stel pakaiannya, sehingga gadis itu pun terpaksa mengenakan pakaian Si Nenek yang ternyata mempunyai potongan tubuh yang tidak berbeda banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata sangat royal kalau makan! Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang berkualitas tinggi dan mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan.
Akan tetapi kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tak jarang Lian Hong harus mengunjungi restoran untuk membeli bermacam-macam masakan yang mahal-mahal kemudian membawanya ke tempat subo-nya menunggu di luar kota. Semua ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subo-nya adalah seorang wanita yang amat pembersih, dan suka makan!
Akan tetapi, hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu. Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang sangat dingin ini, maka Lian Hong juga tidak berani banyak bertanya.
Beberapa pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka sampailah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa gurunya itu memiliki sebuah rumah yang amat mewah!
Bangunannya tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh dengan perabot rumah yang serba mahal dan halus buatannya, bagaikan perabot rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, dan meja kursi yang juga merupakan barang seni yang halus dan mahal, ada pun di dinding penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah.
Juga di mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang yang mengatur dan menghias rumah itu, dan kemudian sesudah Lian Hong mendengar bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu bertambah.
Ketika Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan.
“Mereka berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.”
Mendengar keterangan ini, Lian Hong terkejut sekali. Mereka itu begitu muda dan cantik, dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah pelayan.
“Ini adalah Ciu-siocia yang sudah menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik,” terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya.
Lima orang wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong. Mereka serentak berkata dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!”
Lian Hong cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai murid subo, aku juga harus melayaninya, karena itu aku akan membantu pekerjaan cici berlima.”
Demiklanlah, karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi sebab mendapatkan pelajaran dari Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan sering mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota.
Cara hidup nenek itu sungguh aneh sekali. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalah para pelayan dan juga para anggota Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau dia pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran, tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan yang tersohor.
Nenek itu sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali.
“Apakah subo pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya.
Nenek itu menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan mencoba kepandaian mereka. Ehh, jika menurut pendapatmu, siapa di antara putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai, Lian Hong?”
Ditanya tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong lalu membayangkan keadaan mereka. Hatinya terharu dan timbul rindunya terhadap Han Tiong yang diam-diam sudah menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga.”
Lam-sin sudah banyak mendengar mengenai mereka berdua dari para anak buah Bu-tek Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya amat lihai itu. Kalau saja tak ingin bertemu dengan mereka, terutama dengan putera Pangeran Ceng, tentu dia tak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya, melainkan dara itu telah dibunuhnya. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari nenek itu berkilat.
“Ya, aku ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!”
“Tetapi, subo… oleh karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi mereka. Mereka berdua adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri… dan… dan Han Tiong koko adalah tunangan teecu.”
“Siapa yang hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji, apakah benar mereka itu selihai yang dikabarkan orang.”
Lian Hong tidak banyak membantah lagi. Diam-diam dia merasa kagum dan juga heran melihat gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput ada pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli dan indah seperti mata orang muda, dan gerak-geriknya sangat gesit, tubuhnya juga amat langsing padat walau pun tertutup pakaian sederhana.
Sungguh seorang nenek yang amat aneh, yang mempunyai suara merdu, kadang-kadang dingin sekali, kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu, mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang dia bergidik ketika melihat sepasang mata yang mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman.
Akan tetapi, di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subo-nya. Oleh sebab itu dia pun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa dia akan bisa mewarisi ilmu silat tinggi agar kelak dia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau dia teringat akan ayah kandungnya dan kakaknya, maka Lian Hong tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan menangislah dia pada waktu dia tidur sendirian di dalam kamarnya.
********************
Pada suatu hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong diajak subo-nya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek Lam-sin memiliki suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang kala dimasaknya sendiri, dan untuk keperluan itu dia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar.
Seperti biasanya, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua berbelanja di pasar juga.
Yang mengenal nenek itu adalah seorang lelaki gagah perkasa yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, lelaki ini lalu menjura dengan sikap amat menghormat sambil berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.”
Dan hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit lantas melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah cukup jauh, Lian Hong tak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan lelaki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu hanya menjawab bahwa laki-laki itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)!
Diam-diam Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biar pun dia tidak dikenal oleh orang-orang biasa sebab memang selalu menyembunyikan diri, namun nenek itu dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!
Pagi hari itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang sangat segar karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong turut memilih dan dara ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka dengan kedua mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Seperti yang telah diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu. Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki.
Dengan hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tetapi agaknya tidak ada orang yang tahu ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara!
Mendengar ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberi tahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong.
“Nona Ciu Lian Hong memang meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han Tiong…”
“Sayalah Ciu Han Tiong,” kata Han Tiong cepat.
Orang she Ong itu mengangguk-angguk. “Memang sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan.”
“Apa lagi pesannya?” Han Tiong bertanya, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa betapa pun tunangannya itu juga belum tewas!
“Tidak ada apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, dia lenyap begitu saja!” Orang she Ong itu bergidik.
Mendengar suara orang itu bergetar dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong lalu mengerutkan alisnya. “Tapi… tapi dia masih hidup, bukan?”
Dan betapa kaget hatinya melihat orang itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, kongcu. Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti… seperti setan…”
Tentu saja hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia pun tak percaya kalau nona itu sudah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin, sungguh pun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat ‘menghilang’. Dia tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Mungkin saja dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, nona itu meloncat dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang.
Betapa pun juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lantas menghaturkan terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Di kota ini dia bermalam pada sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan memasuki pasar bersama seorang nenek! Han Tiong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh perhatian.
Dia melihat betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua yang mempunyai mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih sangat segar dan padat, mempunyai gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja!
Tadinya, dia menaruh curiga sesudah mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang. Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga tinggal di Heng-yang, memegang peran di dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini dia berhati-hati sekali. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak buah Lam-sin!
Dia harus mengetahui terlebih dahulu ke mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong. Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam keadaan sehat dan selamat, walau pun ada kedukaan membayang di wajahnya yang jelita.
Kalau Lian Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu sejak tadi! Tak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan.
Ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan sikapnya selalu waspada sehingga begitu ada sedikit perubahan saja di sekitarnya dia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan dengan sikap yang tidak kentara, dia sudah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu kemudian dapat menduga bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Lembah Naga, pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong! Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada anak buahnya!
Jangan dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke mana pun ia pergi, tentu ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah ketuanya ini. Maka tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk memberikan perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja.
Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat.
“Ehh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran.
“Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subo-nya yang memang luar biasa itu.
Akan tetapi hati dara ini menjadl makin heran saat melihat bahwa subo-nya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang!
“Subo, kenapa kita memasuki hutan?”
“Diamlah, nanti engkau akan tahu sendiri,” kata Nenek Lam-sin yang secara diam-diam terus memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang.
Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biar pun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya semenjak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu.
Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong kaget sekali, akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata,
“Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu.”
Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan pada saat mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggota Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, sekaligus juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi kemudian dia pun telah menjerit dengan tangis,
“Tiong-koko…!” Kemudian larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah lapangan.
“Hong-moi…!” Han Tiong berseru kemudian menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu.
“Tiong-ko… ah, Tiong-ko…!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya.
Baru sekarang ini gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, dia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada orang yang dapat dia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu.
“Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi… dan agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.”
“Lian Hong, ke sini engkau!” Mendadak terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin.
Lian Hong mengangkat mukanya lantas berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu.
“Subo, inilah Tiong-koko, dia… tunangan teecu itu…”
“Hong-moi, siapa nenek itu? Subo-mu…?” Han Tiong bertanya heran.
“Benar, Tiong-ko. Dia adalah… Lam-sin, penolongku juga guruku…”
Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya.
“Hemm, Lian Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?”
Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat.
“Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.”
“Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!”
“Ahhh, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.”
Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.
“Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?”
Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.
“Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?”
“Hemmm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!”
“Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong.
“Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!”
Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.
“Plakkk!”
Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum mengejek.
“Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya.
“Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.”
“Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.
“Plakk! Plakk!”
Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.
“Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.
Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya?
Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi, semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.
Nenek itu terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu!
Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.
Betapa pun juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!
“Plakk!”
Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.
“Ihhh…!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya.
Akan tetapi ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun tidak terluka hebat.
Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas.
Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong!
Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh!
Han Tiong merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang lagi.
Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.
“Desssss…!”
Sekali ini, nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih.
Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.
“Bukkk!”
Sekali ini Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas.
“Hik-hik-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.
“Dessss…!”
Tubuh nenek itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.
“Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang menangkis tadi.
“Ayah…! Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar.
Ternyata yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula.
Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.
“Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati sehingga terkena pukulan lawan.
“Ayah, locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong.
Sementara itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam dia merasa gentar juga.
Selanjutnya,