Pendekar Sadis Jilid 21
KEPANDAIAN puteranya itu sudah hebat dan dia pun tadi merasa heran kenapa pemuda itu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru dia tahu bahwa sebenarnya pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andai kata melawannya dengan sepenuh hati, belum tentu dia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi ayahnya dan ibunya ini.
“Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Sudah lama kami mendengar akan kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata dan kini dia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku.”
“Huh, siapa yang sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina. Wanita yang keras hati ini telah marah sekali ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apa lagi sesudah mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah.
Cia Sin Liong tidak segalak isterinya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk dari kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka dia pun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin.
“Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapa pun juga.”
Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengarlah suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan.
Jumlah para anggota Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama.
Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini sesudah membunuh ketuanya yang berjulukan Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), anggota perkumpulan ini berjumlah banyak. Lalu muncul Lam-sin yang membunuh banyak anggota kai-pang sekaligus membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang itu, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, kemudian takluk dan menyerah.
Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang amat baik, nenek itu lalu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan baru dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya hingga kepandaian mereka maju banyak sekali.
Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini betul-betul menjadi ‘bu-tek’ (tanpa tanding). Ketiga pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada pada punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan.
Para pengemis ini sangat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan makmur. Maka tadi, pada waktu mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan kepada Cia Han Tiong akan tetapi tak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka.
Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan mampu mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga yang demikian angkuh serta merendahkan ketua mereka yang telah bersikap manis, maka tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali.
Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum sambil mengangguk sedikit, hampir tidak kentara.
“Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu berkata dan meloncat ke hadapan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu.
Dengan muka merah Bhe Bi Cu hendak maju, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi ketiga orang kakek itu.
“Kami datang bukan untuk mengadu ilmu.”
“Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.”
“Majulah kalau kalian penasaran!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan tetap bersikap dingin.
Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum.
Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini.
Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khikang hingga tempat itu tergetar, kemudian bagaikan tiga ekor naga mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, mempergunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu.
Pendekar Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang di antara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, yang disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar lantas tenaga sinkang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali!
“Thi-khi I-beng! Simpan tenaga kalian…!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin.
Akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sinkang, tiba-tiba tubuh mereka sudah terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin!
Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau tadi menghendaki tentu telah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar, hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur.
Sungguh pun selama ini Cia Sin Liong sudah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, namun sekali ini mukanya agak merah ketika dia berkata kepada nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti bahwa kami takut. Majulah kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit!”
Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biar pun belum tentu ia akan kalah namun di sana masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya.
Tidak, kalau ia maju, biar pun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebih baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah.
“Tidak, Cia-taihiap, aku pun tak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Harap taihiap suka memaafkan mereka ini,” katanya sambil menjura.
“Jika begitu, sekarang juga kami hendak pergi!” kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu.
Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapa pun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari mala petaka yang lebih hebat dari pada maut. Melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, maka dia pun merasa kasihan.
“Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo.
Nenek itu menghela napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih.
Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi, dan di tengah perjalanan barulah keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggota Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong lalu menghela napas panjang.
“Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi kenapa ia menjadi datuk kaum sesat?”
Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru.
“Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beri tahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!”
Nenek itu lalu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Bila teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, dia merasa penasaran dan juga berduka.
Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan Han Tiong tak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini meupakan sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dahulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin.
Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang sangat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu.
“Ayah dan ibu harap pulang dahulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum berjumpa dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!”
“Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?”
“Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, jika tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Sekarang kita sekeluarga sudah berkumpul, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.”
“Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimana nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku hendak mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam mereka pun bangga akan kecintaan dan kesetiaan hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus,
“Ahh, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?”
Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan mukanya saja. Dia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapa pun juga, dia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang sangat menyayangi adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas dia pun menjawab,
“Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya… dalam keadaan berkabung ini… saya… belum dapat berpikir tentang pernikahan…”
Suami isteri itu menarik napas panjang. Mereka merasa amat kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja sudah kehilangan segala-galanya, baik orang tuanya, rumah mau pun semua harta miliknya.
“Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menunggu kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.”
Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga.
Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia dapat mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, biar pun kemenangan itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri pada saat hendak dikeroyok.
Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Kelak akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu bila mana ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dahulu dicita-citakan oleh ayahnya.
Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dahulu dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa ilmu-ilmu yang ditulisnya di dalam kitab-kitab itu dipelajari mendiang ayahnya dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan baru bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja.
Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidak-tidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu kini dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya.
Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan beberapa kali menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan serta kedinginan yang sangat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia bergegas mencari tempat perlindungan.
Dari bawah dilihatnya sebuah mulut goa di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil juga mencapai goa itu dan setelah dia berada di dalam goa, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut goa sambil mengeluarkan suara mengerikan.
Lewat kurang lebih satu jam sesudah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin sempat memperhatikan goa yang telah menyelamatkannya itu. Goa itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia segera masuk ke dalam dan ternyata goa itu membelok ke kiri.
Ketika dia masuk terus ke kiri, pada sudut goa itu, di dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan dua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat.
Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, mengapa dia tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itu pun masih lemas, belum kaku, belum beku.
Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walau pun sangat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguh pun tiga perempat mati.
Thian Sin cepat mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah.
Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan… guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinya pun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya!
Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Harap Locianpwe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat.
Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara,
“Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, tapi bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku… hemmm…”
Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lantas dihiburnya dengan pendapat bahwa hal itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu?
Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai penyebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah dari pada hasil tanamannya sendiri.
Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lain di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma ini pun hanya menjadi pengetahuan mati saja, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja.
Orang sudah tahu bahwa apa bila menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.
Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Begitu seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat. Putusnya rantai ini tergantung pada kita sendiri!
Seseorang menghina saya. Hal itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah kemudian memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, bisa menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lainnya lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita.
Akan tetapi, apa bila orang itu menghina saya lantas saya hanya mengamati saja penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, juga tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itu pun akan putus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya.
Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri ini pun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja supaya kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan?
Tak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tak disengaja untuk berbaik-baik melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih pada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih dari pada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin.
“Locianpwe, teecu mohon petunjuk…,” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin sudah berjumpa dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat berjumpa dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.”
Kakek itu menarik napas panjang sambil melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ahh, apa artinya nama? Jika orang-orang macam aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan kini aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?”
“Ahhh, ada, locianpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering.
Kakek itu cepat-cepat menyambar roti serta daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu sanggup menghabiskan seperempat potong saja. Dia pun menyerahkan guci air yang segera diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara.
“Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau kembali mendatangkan kehidupan bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang sangat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan hingga beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?”
“Locianpwe, terus terang saja, teecu pergi merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan di samping mencari guru-guru yang pandai juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.”
Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha-ha, aku pun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertapa di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).”
Mendengar hal ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin bertemu dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.”
“Oho, sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barang kali aku akan dapat menolongmu.”
Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lantas bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata,
“Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ahhh, hal itu mudah saja. Setiap orang pun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.”
“Locianpwe, kalau begitu teecu ingin mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.”
Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuah pun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering!
“Mudah saja… ha-ha-ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau bisa memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?”
“Untuk meminta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.”
“Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?”
“Teecu telah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya saja teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.”
“Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?”
“Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.”
Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekali pun bisa mati! Tetapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan goa ini, bersemedhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, sambil mengulangi mantera, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.”
“Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?”
“Bodoh, siapa pernah melihatnya? Kau bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia pun akan muncul.”
Demikianlah, mulai saat itu juga Thian Sin bertapa di dalam goa di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Dia bersemedhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan pada bayangan seorang kakek yang menurut dia sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, sambil bibirnya dan terus sampai ke hatinya, membisikkan mantera terus-menerus, diulang-ulang.
Mantera adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang demikian hebatnya bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apa lagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri.
Di dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin terus diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang selalu diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat ‘berjumpa’ dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk padanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga semedhi dengan jungkir balik.
Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam goa itu, bukan hanya untuk menyempurnakan latihannya atas semua ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya pada saat melawan Pak-san-kui mau pun See-thian-ong. Di samping ini, dia pun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni goa itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati.
Enam bulan lewat dengan sangat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan goa turun dari puncak. Akan tetapi, kalau ada orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran.
Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah sikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum itu, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek.
Gerak-geriknya lebih halus dari pada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja!
Tujuan pertamanya adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu Raja Agahai yang sekarang menjadi raja, adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah salah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu!
Maka tanpa merasa ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, akan tetapi mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat. Perjalanan yang sangat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja.
Di mana pun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia akan menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya.
Oleh karena itu, maka dalam waktu sebentar saja namanya telah menjadi sangat terkenal sehingga mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan memang Thian Sin pantas sekali disebut Pendekar Sadis.
Di luarnya dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun. Sikapnya, gerak-gerik mau pun tutur-sapanya amat ramah-tamah, wajahnya pun amat tampan. Juga suara suling yang ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang mana pun juga. Akan tetapi, apa bila dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami mala petaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu akan cacad dan tersiksa hebat!
Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah satu pekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga dinamakan Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu, ketika dia pesiar selama satu pekan, dia pun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal.
Bahkan pada waktu dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya sehingga para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka. Nama itu sudah menimbulkan kegemparan! Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak pernah mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, walau pun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya.
Pada pagi hari itu, sesudah dia memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lantas keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan laksana seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya.
Pada waktu dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya hingga membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan sambil memandang penuh perhatian. Biasanya Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang selalu bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri.
Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu.
Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan kadang-kadang membentaknya. Dari percakapan mereka, Thian Sin bisa mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja.
Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, sesudah dua orang itu memasuki rumah perjudian, dia pun lalu menyelinap ke belakang rumah besar itu dan pada lain saat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja.
“Ayah, aku takut…” Dara remaja itu berbisik ketika dia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu.
“Hussshhh… tidak apa-apa, jangan takut.”
“Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ahh, di sana banyak orang, semua laki-laki…”
“Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan segera masuk penjara…”
Sesudah dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping, bukan ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum ketika melihat kakek itu, lalu menegur, “Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan dia ini… dia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling.
“Benar, di mana cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu.
“Terus saja, dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai.
Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia telah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar itu terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan.
“Siapa di luar?” terdengar suara berat di dalam kamar.
“Saya… saya A Piang…,” kakek itu menjawab.
“Hemmm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu.
“Saya datang… ehh, mengantar anak perempuan saya…”
Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang di antara dua penjaga itu. “A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?”
Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, kemudian menjawab, “Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!”
“Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu.
Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang sangat besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang asyik menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal.
Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampaklah kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apa lagi ketika dia memandang kepada gadis itu.
“A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian.
“Empat puluh lima tail… loya…”
“Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?”
“Tadi saya… saya sudah memberi tahu pembantu loya… saya butuh enam puluh tail… dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi… dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan…”
“Sebulan? Dan anakmu sudah mau?”
Kakek A Piang segera menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin… kau dengar sudah… kau tolonglah ayahmu, kau hanya sebulan bekerja di sini lalu kujemput pulang, nak. Kau dengarlah dan taati semua perintah loya ini… maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara…”
Kui Cin, gadis itu, lalu mengangguk. Tentu saja dia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apa lagi hanya satu bulan, tentu saja dia sanggup. Sejak kecil dia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini.”
“Nah, anak saya sudah mau, loya. Dia anak yang berbakti dan baik…”
“Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail lagi. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Dia harus mentaati semua perintahku. Dia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang aku perintahkan. Mengerti?”
“Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?”
“Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras di sini.”
“Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!” kata majikan itu.
A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak segera membawa sisa uang itu pulang, namun langsung saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu.
Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.
Akan tetapi segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lambat laun lantas menjadi kebiasaan yang tidak mudah dilepaskan. Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala.
Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang terbesar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk membalikkan kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya itu dapat diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk sebanyak mungkin bisa menambah kemenangannya itu.
Dan dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembang biakkan menjadi sangat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besar pun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, walau pun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat kedua orang kawan baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah.
Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Alangkah banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan akibat kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat sesudah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus.
A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia sudah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi.
Kui Cin berusaha sebisa mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang sehingga akhirnya semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumah pun digadaikan!
Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia di dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan dan merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah.
Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apa pun juga akan dilakukannya agar dapat memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar.
Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan mulai bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
“Jika sudah tidak punya apa-apa lagi kenapa berani berjudi terus dan berani berhutang?” Demikian tukang pukul itu mengancamnya. “Kalau engkau tidak sanggup mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau akan dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan ke dalam penjara!” Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu.
“Aku… aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan pula…,” A Piang meratap.
“Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu.”
“Aku tidak mempunyai keluarga…”
“Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!”
“Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku… ahh, kasihanilah aku dan berilah kesempatan…”
“Seorang anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik.
“Empat belas… lima belas tahun.”
“Bagus, kalau begitu engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si tukang pukul mata juling itu.
Sepasang mata A Piang langsung terbelalak. “Apa?! Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!”
“Siapa yang bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikan anakmu itu untuk selama satu bulan, atau menyewakan dia selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.”
“Apa… apa maksudmu?”
“Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar… eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan.”
“Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima anakku itu sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?”
“Berapa kau butuh?”
“Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini… anakku tentu mau menolongku, dia anak baik…”
“Kalau begitu, besok pagi-pagi bawalah anakmu itu ke sini untuk menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.”
Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang lantas mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya.
A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini telah kecanduan judi sehingga di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan sempat timbul pikiran bahwa jika anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentulah dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu!
Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan cerita ini bukan dongeng belaka. Bahkan sudah sering terjadi ada orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat.
Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu: Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini?
Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk dapat memenangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalah dan menang.
Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lagi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnya, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itu pun akan terhentilah.
Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di mana pun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga seluruhnya kelihatan, latar belakangnya, sebab-sebabnya.
Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Dia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan makhluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Dia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan dia pun siap untuk melakukan pekerjaan betapa berat pun untuk membalas budi.
“Siapa namamu?” terdengar pria itu bertanya.
Semenjak tadi Kui Cin berdiri sambil menunduk, dan kini dia memberanikan diri menjawab lirih, “Nama saya Kui Cin, loya.”
“Coba angkat mukamu dan pandang aku.”
Kui Cin merasa malu-malu dan takut sekali. Lebih baik dia disuruh bekerja berat dari pada menerima perintah ini. Akan tetapi dia pun segera mengangkat mukanya dan memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang lelaki yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar bagai menelanjangi dirinya.
“Ke sinilah kau, Kui Cin.”
Gadis itu lalu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, dia seperti mendapat firasat buruk, seakan-akan merasa ada bahaya mengancamnya. Sesudah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, dia pun berhenti dan menunduk.
“Majulah mendekat.”
“Di… di sini saja, loya…”
“Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apa lagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, dia pun melangkah maju beberapa tindak sampai dia berdiri dekat di depan laki-laki itu.
“Engkau manis…!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya.
“Ahh, loya…!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar.
“Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!”
Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia lalu mundur dan menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak…! Tidak mau…!”
Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum. “Hemmm… Ingat, engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?”
“Tapi… tapi… saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apa pun akan saya lalukan, bukan… bukan ini…”
“Taat tetap taat, dan ini pun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!”
“Tidak…! Tidak…!”
“Hemmm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apa pun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!”
“Tidak…! Ohh, ayaaahh…!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu.
Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam.
“Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta bermain kucing-kucingan!” kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin.
Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu telah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya.
Muka Kui Cin menjadi pucat dan dia berusaha berlari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya merasa makin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itu pun sudah cukup bising dengan suara orang.
Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula.
Biasanya, gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu tidak akan mampu terlampau lama mengelak terus. Mereka yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, lalu mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, berikut suara-suara lain yang menimbulkan gairah mereka.
Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, bahkan kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jeritan yang mengerikan.
Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, ada pun tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan bibirnya tersenyum.
Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci yang ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu sudah meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol pada bagian dahinya.
Saat melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan kepalang karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba saja muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya.
Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia lalu berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding hingga kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia lantas berseru,
“Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!”
Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan serta tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui.
Hal ini saja sudah membuat mereka amat penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang saja. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiri pun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya lantas roboh terguling!
“Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang sangat kejam!” Pemuda itu mencokel dengan kakinya, maka sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul segera melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian tampak cahaya berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu.
Darah pun bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, bermandikan darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu!
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan alangkah hebatnya gerakan golok tadi, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan kini terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak.
“Memetik buah dari pada kejahatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang telah kau perkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan.
“Taihiap… ampunkan saya… ampunkan saya… engkau boleh mengambil berapa banyak pun uangku, tapi jangan… jangan membunuhku…”
Dan salah seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar… Pendekar Sadis…!”
Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Celaka, mati aku…” Tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah.
Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang kejam bukan main. Dan tadi dia telah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin!
“Ampun… ampunkan aku…” Dia terus meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum.
“Betapa seringnya engkau sendiri mendengar ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kau perkosa, akan tetapi pernahkah engkau mengampuni mereka? Engkau malah makin bergairah dan makin senang jika mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kau terima!”
Golok itu pun menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar kemudian majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dan dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok hingga buntung! Bagi orang ini tentu saja kecil sekali harapan untuk terus hidup.
“Kau keluarlah dari sini dan pulanglah,” Thian Sin berkata kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan.
Karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu. Dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi!
Sebelum tiba di ruangan judi itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak,
“Siapa engkau?! Apa yang terjadi?!”
Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berlari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka dia pun lantas berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata.
“Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya.
“Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka sudah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?”
“Bunuh penjahat ini!” teriak salah seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin.
“Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Sudah lama kami mendengar akan kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata dan kini dia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku.”
“Huh, siapa yang sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina. Wanita yang keras hati ini telah marah sekali ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apa lagi sesudah mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah.
Cia Sin Liong tidak segalak isterinya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk dari kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka dia pun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin.
“Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapa pun juga.”
Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengarlah suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan.
Jumlah para anggota Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama.
Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini sesudah membunuh ketuanya yang berjulukan Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), anggota perkumpulan ini berjumlah banyak. Lalu muncul Lam-sin yang membunuh banyak anggota kai-pang sekaligus membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang itu, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, kemudian takluk dan menyerah.
Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang amat baik, nenek itu lalu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan baru dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya hingga kepandaian mereka maju banyak sekali.
Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini betul-betul menjadi ‘bu-tek’ (tanpa tanding). Ketiga pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada pada punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan.
Para pengemis ini sangat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan makmur. Maka tadi, pada waktu mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan kepada Cia Han Tiong akan tetapi tak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka.
Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan mampu mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga yang demikian angkuh serta merendahkan ketua mereka yang telah bersikap manis, maka tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali.
Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum sambil mengangguk sedikit, hampir tidak kentara.
“Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu berkata dan meloncat ke hadapan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu.
Dengan muka merah Bhe Bi Cu hendak maju, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi ketiga orang kakek itu.
“Kami datang bukan untuk mengadu ilmu.”
“Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.”
“Majulah kalau kalian penasaran!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan tetap bersikap dingin.
Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum.
Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini.
Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khikang hingga tempat itu tergetar, kemudian bagaikan tiga ekor naga mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, mempergunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu.
Pendekar Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang di antara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, yang disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar lantas tenaga sinkang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali!
“Thi-khi I-beng! Simpan tenaga kalian…!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin.
Akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sinkang, tiba-tiba tubuh mereka sudah terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin!
Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau tadi menghendaki tentu telah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar, hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur.
Sungguh pun selama ini Cia Sin Liong sudah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, namun sekali ini mukanya agak merah ketika dia berkata kepada nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti bahwa kami takut. Majulah kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit!”
Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biar pun belum tentu ia akan kalah namun di sana masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya.
Tidak, kalau ia maju, biar pun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebih baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah.
“Tidak, Cia-taihiap, aku pun tak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Harap taihiap suka memaafkan mereka ini,” katanya sambil menjura.
“Jika begitu, sekarang juga kami hendak pergi!” kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu.
Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapa pun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari mala petaka yang lebih hebat dari pada maut. Melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, maka dia pun merasa kasihan.
“Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo.
Nenek itu menghela napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih.
Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi, dan di tengah perjalanan barulah keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggota Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong lalu menghela napas panjang.
“Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi kenapa ia menjadi datuk kaum sesat?”
Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru.
“Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beri tahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!”
Nenek itu lalu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Bila teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, dia merasa penasaran dan juga berduka.
********************
Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan Han Tiong tak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini meupakan sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dahulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin.
Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang sangat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu.
“Ayah dan ibu harap pulang dahulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum berjumpa dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!”
“Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?”
“Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, jika tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Sekarang kita sekeluarga sudah berkumpul, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.”
“Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimana nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku hendak mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam mereka pun bangga akan kecintaan dan kesetiaan hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus,
“Ahh, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?”
Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan mukanya saja. Dia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapa pun juga, dia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang sangat menyayangi adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas dia pun menjawab,
“Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya… dalam keadaan berkabung ini… saya… belum dapat berpikir tentang pernikahan…”
Suami isteri itu menarik napas panjang. Mereka merasa amat kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja sudah kehilangan segala-galanya, baik orang tuanya, rumah mau pun semua harta miliknya.
“Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menunggu kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.”
Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga.
********************
Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia dapat mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, biar pun kemenangan itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri pada saat hendak dikeroyok.
Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Kelak akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu bila mana ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dahulu dicita-citakan oleh ayahnya.
Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dahulu dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa ilmu-ilmu yang ditulisnya di dalam kitab-kitab itu dipelajari mendiang ayahnya dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan baru bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja.
Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidak-tidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu kini dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya.
Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan beberapa kali menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan serta kedinginan yang sangat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia bergegas mencari tempat perlindungan.
Dari bawah dilihatnya sebuah mulut goa di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil juga mencapai goa itu dan setelah dia berada di dalam goa, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut goa sambil mengeluarkan suara mengerikan.
Lewat kurang lebih satu jam sesudah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin sempat memperhatikan goa yang telah menyelamatkannya itu. Goa itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia segera masuk ke dalam dan ternyata goa itu membelok ke kiri.
Ketika dia masuk terus ke kiri, pada sudut goa itu, di dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan dua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat.
Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, mengapa dia tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itu pun masih lemas, belum kaku, belum beku.
Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walau pun sangat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguh pun tiga perempat mati.
Thian Sin cepat mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah.
Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan… guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinya pun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya!
Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Harap Locianpwe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat.
Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara,
“Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, tapi bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku… hemmm…”
Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lantas dihiburnya dengan pendapat bahwa hal itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu?
Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai penyebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah dari pada hasil tanamannya sendiri.
Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lain di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma ini pun hanya menjadi pengetahuan mati saja, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja.
Orang sudah tahu bahwa apa bila menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.
Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Begitu seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat. Putusnya rantai ini tergantung pada kita sendiri!
Seseorang menghina saya. Hal itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah kemudian memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, bisa menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lainnya lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita.
Akan tetapi, apa bila orang itu menghina saya lantas saya hanya mengamati saja penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, juga tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itu pun akan putus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya.
Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri ini pun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja supaya kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan?
Tak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tak disengaja untuk berbaik-baik melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih pada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih dari pada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin.
“Locianpwe, teecu mohon petunjuk…,” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin sudah berjumpa dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat berjumpa dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.”
Kakek itu menarik napas panjang sambil melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ahh, apa artinya nama? Jika orang-orang macam aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan kini aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?”
“Ahhh, ada, locianpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering.
Kakek itu cepat-cepat menyambar roti serta daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu sanggup menghabiskan seperempat potong saja. Dia pun menyerahkan guci air yang segera diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara.
“Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau kembali mendatangkan kehidupan bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang sangat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan hingga beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?”
“Locianpwe, terus terang saja, teecu pergi merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan di samping mencari guru-guru yang pandai juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.”
Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha-ha, aku pun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertapa di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).”
Mendengar hal ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin bertemu dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.”
“Oho, sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barang kali aku akan dapat menolongmu.”
Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lantas bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata,
“Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ahhh, hal itu mudah saja. Setiap orang pun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.”
“Locianpwe, kalau begitu teecu ingin mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.”
Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuah pun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering!
“Mudah saja… ha-ha-ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau bisa memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?”
“Untuk meminta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.”
“Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?”
“Teecu telah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya saja teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.”
“Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?”
“Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.”
Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekali pun bisa mati! Tetapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan goa ini, bersemedhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, sambil mengulangi mantera, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.”
“Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?”
“Bodoh, siapa pernah melihatnya? Kau bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia pun akan muncul.”
Demikianlah, mulai saat itu juga Thian Sin bertapa di dalam goa di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Dia bersemedhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan pada bayangan seorang kakek yang menurut dia sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, sambil bibirnya dan terus sampai ke hatinya, membisikkan mantera terus-menerus, diulang-ulang.
Mantera adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang demikian hebatnya bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apa lagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri.
Di dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin terus diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang selalu diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat ‘berjumpa’ dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk padanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga semedhi dengan jungkir balik.
Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam goa itu, bukan hanya untuk menyempurnakan latihannya atas semua ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya pada saat melawan Pak-san-kui mau pun See-thian-ong. Di samping ini, dia pun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni goa itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati.
Enam bulan lewat dengan sangat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan goa turun dari puncak. Akan tetapi, kalau ada orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran.
Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah sikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum itu, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek.
Gerak-geriknya lebih halus dari pada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja!
Tujuan pertamanya adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu Raja Agahai yang sekarang menjadi raja, adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah salah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu!
Maka tanpa merasa ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, akan tetapi mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat. Perjalanan yang sangat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja.
Di mana pun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia akan menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya.
Oleh karena itu, maka dalam waktu sebentar saja namanya telah menjadi sangat terkenal sehingga mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan memang Thian Sin pantas sekali disebut Pendekar Sadis.
Di luarnya dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun. Sikapnya, gerak-gerik mau pun tutur-sapanya amat ramah-tamah, wajahnya pun amat tampan. Juga suara suling yang ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang mana pun juga. Akan tetapi, apa bila dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami mala petaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu akan cacad dan tersiksa hebat!
Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah satu pekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga dinamakan Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu, ketika dia pesiar selama satu pekan, dia pun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal.
Bahkan pada waktu dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya sehingga para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka. Nama itu sudah menimbulkan kegemparan! Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak pernah mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, walau pun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya.
Pada pagi hari itu, sesudah dia memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lantas keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan laksana seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya.
Pada waktu dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya hingga membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan sambil memandang penuh perhatian. Biasanya Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang selalu bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri.
Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu.
Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan kadang-kadang membentaknya. Dari percakapan mereka, Thian Sin bisa mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja.
Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, sesudah dua orang itu memasuki rumah perjudian, dia pun lalu menyelinap ke belakang rumah besar itu dan pada lain saat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja.
“Ayah, aku takut…” Dara remaja itu berbisik ketika dia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu.
“Hussshhh… tidak apa-apa, jangan takut.”
“Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ahh, di sana banyak orang, semua laki-laki…”
“Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan segera masuk penjara…”
Sesudah dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping, bukan ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum ketika melihat kakek itu, lalu menegur, “Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan dia ini… dia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling.
“Benar, di mana cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu.
“Terus saja, dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai.
Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia telah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar itu terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan.
“Siapa di luar?” terdengar suara berat di dalam kamar.
“Saya… saya A Piang…,” kakek itu menjawab.
“Hemmm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu.
“Saya datang… ehh, mengantar anak perempuan saya…”
Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang di antara dua penjaga itu. “A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?”
Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, kemudian menjawab, “Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!”
“Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu.
Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang sangat besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang asyik menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal.
Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampaklah kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apa lagi ketika dia memandang kepada gadis itu.
“A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian.
“Empat puluh lima tail… loya…”
“Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?”
“Tadi saya… saya sudah memberi tahu pembantu loya… saya butuh enam puluh tail… dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi… dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan…”
“Sebulan? Dan anakmu sudah mau?”
Kakek A Piang segera menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin… kau dengar sudah… kau tolonglah ayahmu, kau hanya sebulan bekerja di sini lalu kujemput pulang, nak. Kau dengarlah dan taati semua perintah loya ini… maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara…”
Kui Cin, gadis itu, lalu mengangguk. Tentu saja dia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apa lagi hanya satu bulan, tentu saja dia sanggup. Sejak kecil dia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini.”
“Nah, anak saya sudah mau, loya. Dia anak yang berbakti dan baik…”
“Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail lagi. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Dia harus mentaati semua perintahku. Dia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang aku perintahkan. Mengerti?”
“Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?”
“Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras di sini.”
“Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!” kata majikan itu.
A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak segera membawa sisa uang itu pulang, namun langsung saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu.
Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.
Akan tetapi segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lambat laun lantas menjadi kebiasaan yang tidak mudah dilepaskan. Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala.
Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang terbesar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk membalikkan kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya itu dapat diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk sebanyak mungkin bisa menambah kemenangannya itu.
Dan dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembang biakkan menjadi sangat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besar pun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, walau pun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat kedua orang kawan baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah.
Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Alangkah banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan akibat kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat sesudah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus.
A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia sudah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi.
Kui Cin berusaha sebisa mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang sehingga akhirnya semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumah pun digadaikan!
Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia di dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan dan merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah.
Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apa pun juga akan dilakukannya agar dapat memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar.
Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan mulai bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
“Jika sudah tidak punya apa-apa lagi kenapa berani berjudi terus dan berani berhutang?” Demikian tukang pukul itu mengancamnya. “Kalau engkau tidak sanggup mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau akan dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan ke dalam penjara!” Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu.
“Aku… aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan pula…,” A Piang meratap.
“Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu.”
“Aku tidak mempunyai keluarga…”
“Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!”
“Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku… ahh, kasihanilah aku dan berilah kesempatan…”
“Seorang anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik.
“Empat belas… lima belas tahun.”
“Bagus, kalau begitu engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si tukang pukul mata juling itu.
Sepasang mata A Piang langsung terbelalak. “Apa?! Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!”
“Siapa yang bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikan anakmu itu untuk selama satu bulan, atau menyewakan dia selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.”
“Apa… apa maksudmu?”
“Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar… eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan.”
“Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima anakku itu sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?”
“Berapa kau butuh?”
“Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini… anakku tentu mau menolongku, dia anak baik…”
“Kalau begitu, besok pagi-pagi bawalah anakmu itu ke sini untuk menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.”
Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang lantas mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya.
A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini telah kecanduan judi sehingga di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan sempat timbul pikiran bahwa jika anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentulah dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu!
Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan cerita ini bukan dongeng belaka. Bahkan sudah sering terjadi ada orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat.
Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu: Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini?
Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk dapat memenangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalah dan menang.
Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lagi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnya, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itu pun akan terhentilah.
Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di mana pun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga seluruhnya kelihatan, latar belakangnya, sebab-sebabnya.
Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Dia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan makhluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Dia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan dia pun siap untuk melakukan pekerjaan betapa berat pun untuk membalas budi.
“Siapa namamu?” terdengar pria itu bertanya.
Semenjak tadi Kui Cin berdiri sambil menunduk, dan kini dia memberanikan diri menjawab lirih, “Nama saya Kui Cin, loya.”
“Coba angkat mukamu dan pandang aku.”
Kui Cin merasa malu-malu dan takut sekali. Lebih baik dia disuruh bekerja berat dari pada menerima perintah ini. Akan tetapi dia pun segera mengangkat mukanya dan memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang lelaki yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar bagai menelanjangi dirinya.
“Ke sinilah kau, Kui Cin.”
Gadis itu lalu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, dia seperti mendapat firasat buruk, seakan-akan merasa ada bahaya mengancamnya. Sesudah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, dia pun berhenti dan menunduk.
“Majulah mendekat.”
“Di… di sini saja, loya…”
“Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apa lagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, dia pun melangkah maju beberapa tindak sampai dia berdiri dekat di depan laki-laki itu.
“Engkau manis…!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya.
“Ahh, loya…!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar.
“Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!”
Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia lalu mundur dan menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak…! Tidak mau…!”
Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum. “Hemmm… Ingat, engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?”
“Tapi… tapi… saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apa pun akan saya lalukan, bukan… bukan ini…”
“Taat tetap taat, dan ini pun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!”
“Tidak…! Tidak…!”
“Hemmm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apa pun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!”
“Tidak…! Ohh, ayaaahh…!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu.
Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam.
“Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta bermain kucing-kucingan!” kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin.
Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu telah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya.
Muka Kui Cin menjadi pucat dan dia berusaha berlari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya merasa makin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itu pun sudah cukup bising dengan suara orang.
Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula.
Biasanya, gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu tidak akan mampu terlampau lama mengelak terus. Mereka yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, lalu mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, berikut suara-suara lain yang menimbulkan gairah mereka.
Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, bahkan kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jeritan yang mengerikan.
Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, ada pun tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan bibirnya tersenyum.
Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci yang ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu sudah meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol pada bagian dahinya.
Saat melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan kepalang karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba saja muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya.
Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia lalu berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding hingga kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia lantas berseru,
“Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!”
Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan serta tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui.
Hal ini saja sudah membuat mereka amat penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang saja. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiri pun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya lantas roboh terguling!
“Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang sangat kejam!” Pemuda itu mencokel dengan kakinya, maka sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul segera melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian tampak cahaya berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu.
Darah pun bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, bermandikan darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu!
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan alangkah hebatnya gerakan golok tadi, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan kini terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak.
“Memetik buah dari pada kejahatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang telah kau perkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan.
“Taihiap… ampunkan saya… ampunkan saya… engkau boleh mengambil berapa banyak pun uangku, tapi jangan… jangan membunuhku…”
Dan salah seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar… Pendekar Sadis…!”
Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Celaka, mati aku…” Tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah.
Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang kejam bukan main. Dan tadi dia telah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin!
“Ampun… ampunkan aku…” Dia terus meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum.
“Betapa seringnya engkau sendiri mendengar ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kau perkosa, akan tetapi pernahkah engkau mengampuni mereka? Engkau malah makin bergairah dan makin senang jika mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kau terima!”
Golok itu pun menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar kemudian majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dan dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok hingga buntung! Bagi orang ini tentu saja kecil sekali harapan untuk terus hidup.
“Kau keluarlah dari sini dan pulanglah,” Thian Sin berkata kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan.
Karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu. Dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi!
Sebelum tiba di ruangan judi itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak,
“Siapa engkau?! Apa yang terjadi?!”
Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berlari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka dia pun lantas berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata.
“Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya.
“Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka sudah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?”
“Bunuh penjahat ini!” teriak salah seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin.
Selanjutnya,