Pendekar Sadis Jilid 22
PEMUDA ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia kemudian mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi pada lain saat terdengarlah teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itu pun sudah roboh semua. Sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka.
Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar.
“Pendekar Sadis…!”
“Pendekar Sadis…!”
Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Keadaan di situ segera menjadi gempar. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau pun penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu.
Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu per satu. Ia sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, atau telinga. Pendeknya tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan.
Dalam waktu singkat saja pertempuran sudah berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, kemudian terdengar dia membentak halus.
“Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!”
A Piang yang sejak tadi mepet pada tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut.
“Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!”
Pedangnya lantas bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi,
“Bawa uang ini untuk modal bekerja dan ajaklah anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubikin buntung!”
A Piang tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena seluruh tubuhnya menggigil. Dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, ia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar.
“Semua orang boleh pergi!” kata pula Thian Sin, dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar.
Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, lalu menyimpannya dalam bungkusannya sendiri sebab dia teringat bahwa bekalnya tinggal tersisa sedikit, kemudian dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa tukang-tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan.
Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak kelihatan lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebetulnya dia tak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu.
Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh-sungguh telah menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian serta tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat.
Biar pun rumah-rumah judi itu sudah mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam ‘pajak’ kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam ‘perlindungan’. Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah.
Apa bila para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibayangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanyalah tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba pun berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut.
Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat langsung mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki kota Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota.
Ketika itu kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar tentang peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding.
“Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini sangat lihai ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum beracun.
“Nanti dulu, kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang kuterima dari daerah barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan kabarnya gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu telah dibasmi habis olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan.”
“Aku pernah mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.
“Tapi Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir siasat ini akan gagal,” kata orang pertama Si Kecil Bongkok.
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tidak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, mereka pun dengan mudah jatuh ke dalam rayuan Ang Bwe-nio. Jika sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan.
“Sebaiknya kita pun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio untuk mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat langsung turun tangan,” kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini.
Pemilik rumah penginapan segera dihubungi. Secara diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu sudah dipersilakan keluar sehingga tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu.
Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan dia pun telah siap menghadapi segala kemungkinan, bila perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok pagi-pagi dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya.
Sore itu, sesudah mandi dan dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua sudah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.”
“Ahhh, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan.
Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya dari pada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan bisa bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk lantas lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.
Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat,
“Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang sangat baik. Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.”
“Ahh, membikin repot saja…,” kata Thian Sin.
Akan tetapi hatinya telah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba saja dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki berisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan sangat cekatan mereka membersihkan meja di dalam kamar itu lantas mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampaklah seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut.
Tidak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum sehingga membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil.
Dengan langkah lemah gemulai dia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan.
“Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, juga termasuk keponakan saya ini, merasa kagum kepada taihiap yang telah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya yang menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi.
Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itu pun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.”
Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin.
“Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap…”
“Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona.”
“Ahhh, mana pantas? Aku mewakili pamanku sebagai tuan rumah…,” kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu.
Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walau pun tidak dapat dibilang mata keranjang. Tidak sembarangan wanita dapat menarik hatinya, meski pun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis.
“Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, aku pun tidak dapat menerima suguhan ini.”
“Aih, mengapa taihiap begitu…?” Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh.
“Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini.”
Sambil tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan mereka pun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpitnya, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin.
Pemuda ini pun tak mau kalah, mengambil daging-daging kecil lalu dimasukkan ke dalam mangkok di hadapan wanita itu. Mereka pun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang kala saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan.
“Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang…”
“Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan siapakah nama taihiap? Aku hanya mendengar orang menyebut dengan julukan yang mengerikan, Pendekar Sadis…”
Thian Sin tersenyum. “Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri… ahh, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis.”
“Ehh, mana bisa begitu?” Wanita itu tertawa manja.
“Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu untuk menemani aku?”
“Aku… aku bukan gadis, aku… seorang janda…”
“Ahhh…!” Hati Thian Sin berdebar girang.
Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tak sepatutnya kalau seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga!
“Kiranya nyonya seorang janda… hemm, masih begini muda…”
“Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua…”
“Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!”
“Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku,” wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin!
Tentu saja pemuda ini menjadi tertarik sekali, maka sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Dia pun membalas dan tidak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing.
Sikap mereka menjadi semakin berani. Pada waktu Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka pun saling berpegangan tangan dengan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.
“Bwe-nio, engkau cantik sekali!” Thian Sin memuji sambil mengelus-elus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis.
“Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap…” Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sebenarnya dia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa dia sedang ‘dalam tugas’ sehingga dia tidak bisa mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.
Thian Sin telah setengah mabuk, bukan mabuk oleh arak karena dengan kekuatan tenaga dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keras pun. Akan tetapi dia mabuk akan kecantikan dan rayuan wanita itu.
Betapa pun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih terlalu hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia mempunyai kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini segera jatuh dan merasa tertarik sekali. Apa lagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengan dirinya.
Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.
“Ehh, kenapa taihiap?”
“Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu apa bila engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit,” kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.
Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing akan berbagai kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi dia demikian pandainya sehingga ketika mendengar permintaan Thian Sin ini, dia dapat bersikap bagaikan seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu.
Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Dia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, “Iiiihhh… taihiap… mana bisa begitu…?”
“Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah…”
“Aihhh… aku… aku… ahhh, malu dan takut… aku tidak mengerti…”
“Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang aku maksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, aku pun tidak akan mau menerima pemberianmu.”
“Aihhh… taihiap…” Ang Bwe-nio mengeluh, namun kemudian dia pun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya.
“Mmmmm…,” mulutnya mengeluarkan suara tertahan dan sepasang matanya tertutup.
Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja kedua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat serta penuh nafsu. Dan di lain saat mereka sudah saling peluk, saling rangkul dan saling cium.
Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya sambil kedua matanya dipejamkan, akan tetapi dia membalas belaian serta ciuman pemuda itu dengan penuh gairah.
Akan tetapi semua itu sesungguhnya hanyalah permainan belaka darinya, sebab dengan cerdik sekali, pada waktu Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, secara diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya pada dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu!
“Hayo kita pindah ke pembaringan…” Thian Sin berbisik di dekat telinga kanan wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.
“Baik, taihiap, aku… aku mau… ahhh… aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu… ohhh… tapi nanti dulu… aku haus, mari kita minum dulu…”
Thian Sin tersenyum kemudian melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang isinya tinggal setengah itu sampai penuh.
“Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita…” dan pandang matanya penuh daya pikat.
“Katamu tadi engkau haus, jadi engkau minumlah.” Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak.
“Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja…” Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok.
Dia tidak tahu bahwa pada saat itu Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik, ada pun kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya.
Setelah menuangkan air teh, wanita itu lalu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu. “Taihiap…. kokoku yang tampan… marilah, marilah kita minum dulu, setelah itu baru… ehmmm…” Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti.
Senyumnya semakin melebar ketika dia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, dia sendiri pun hanya mencucup sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih,
“Ke sinilah… sayang, ke sinilah…” Dan pemuda itu lantas terguling ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan!
Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang pada wajah pemuda yang memejamkan mata itu, lalu dia menunduk dan mencium bibir pemuda itu.
“Sayang… kau ganteng… tapi terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri yang terbunuh…” Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang kini sedang tidur terlentang itu.
“Wuuuuuttt… cesss…!”
Sepasang mata yang sangat indah itu terbelalak pada saat melihat betapa pisau belatinya ‘menembus’ tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itu pun lenyap.
“Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, tetapi dihuni oleh hati yang palsu.”
Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius.
Lalu siapakah yang tadi rebah kemudian ‘menghilang’? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan kata hanya seorang saja, biar pun diminum oleh tiga empat orang pun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi dia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin!
Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau pada pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya serta menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat pada pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai serta meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu.
Walau pun kelihatannya dia dimabuk nafsu birahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, pada saat Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakannya untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir lantas wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.
“Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Engkau hendak membunuhku?” Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin, yang oleh Ang Bwe-nio terasa laksana menusuk jantung. Wanita itu menjadi ketakutan, dia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
“Taihiap… ampunkan aku…”
Thian Sin menyambar pisau yang sangat tajam itu dan tersenyum. “Mengampunkanmu? Hemmm… engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!”
Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwe-nio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawan pun tidak akan ada artinya sama sekali.
“Ampun, taihiap…,” suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang yang sedang diserang demam.
“Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapakah yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Bukankah dia itu pamanmu?”
“Bukan… bukan dia, dia hanya terpaksa saja, seperti aku… dia pun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai oleh Hui-to Ji Beng Tat…”
“Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka mempergunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan juga untuk membunuhku.”
“Dapat… dapat taihiap…!” Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya.
Memang tadinya pun dia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Dia tahu bahwa mereka berlima itu telah siap dan berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga jika dia gagal. Dan sekarang benar saja, dia telah gagal. Akan tetapi, dia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini.
Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini saja sudah terasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja dia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.
“Panggillah mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.
Kalau saja dia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tanpa terkunci itu. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu dia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Dia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian dia pun bertepuk tangan tiga kali berturut-turut.
Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamar pun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu bisa menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).
“Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekalian?” kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan.
Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. “Tidak… tidak berhasil… dia… dia…”
Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main dan cepat mencabut senjata masing-masing. Tapi pendekar itu hanya tertawa saja dan menutupkan daun pintu, lalu menguncinya dengan tenang sekali.
“Bagus, kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik.”
Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu telah bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku di dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya.
“Nah, kita sekarang bisa bicara. Tadi Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi dia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?”
“Pendekar Sadis, boleh jadi dia sudah gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,” kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram.
“Ahh, begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?”
“Karena engkau telah mengacau wilayah kami!”
“Hemm, tahukah kalian siapa aku?”
“Pendekar Sadis!”
“Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan jiwa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi.”
“Keparat sombong!” teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja dia telah menggerakkan tangan kanannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat.
Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang kemungkinan besar beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu. Semua jarum langsung runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya.
Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan satu tusukan kilat. Akan tetapi Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja!
Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya bagaikan terjepit baja, sama sekali tak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara berderak dan pedang itu sudah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan.
Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan ketiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Sepasang tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itu pun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing.
Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ketika ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing.
Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya kembali, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok.
Si Kecil Bongkok berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus, tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal pada tangannya, dijambak rambutnya!
Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher yang berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin!
Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lantas dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka telah menyerbu dengan senjata mereka.
Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Hanya dengan sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher.
Orang ke dua berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya tembus sehingga leher itu pun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah sudah disambar oleh tangan kiri Thian Sin yang memegang kepala pertama tadi.
“Bwe-nio, kau peganglah dulu kepala-kepala ini!” Thian Sin berseru lalu melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan.
“Ayaaaaauuuwww…!” Bwe-nio menjerit dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu.
Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka yang melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya.
Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Dia pun sudah sangat ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang bagaikan beterbangan haus darah dan mencari kepala itu.
Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu.
Namun senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Sesudah menangkis dengan tangan kirinya, maka semua golok itu runtuh dan pada saat itu pula Hui-to Ji Beng Tat sudah menggunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin,
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” Pemuda ini telah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali.
“Creppp…!”
Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, tepat di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin telah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil lalu menggerakkannya sedemikian rupa sehingga pada waktu tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus!
Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup dia hanya dapat memandang kepada Thian Sin yang kini melangkah menghampiri dirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikit pun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini.
“Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!” kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya.
“Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!” Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk.
Ang Bwe-nio menjerit. “Ampun… jangan… bunuh aku…”
“Hemmm, engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!”
Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu sudah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri. Wanita itu lalu berlari keluar dari kamar itu sambil mendekap mukanya yang berdarah, tidak peduli lagi apakah dia akan dibunuh kalau lari keluar.
Sambil tersenyum Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan dia pun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu.
Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya sudah berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari keluar sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka lebih terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya.
“Dukkkk!”
Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang langsung roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol akibat dihantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lainnya di atas meja penerima tamu, kemudian dia pun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi.
Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal.
Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini, dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang kemudian mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya serta membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat.
Ada perbedaan besar di antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang sekarang mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya menjadi rakyat yang gagah dan raja ini selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya, bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan cara menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja dapat mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Biar pun kekuasaannya mutlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat padanya, Raja Sabutai tak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tak pernah mengejar kesenangan diri sendiri atau mengorbankan rakyatnya.
Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewahan, juga senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu birahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya.
Diam-diam rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini selalu memanjakan pasukannya dan meski pun dia tidak mempedulikan rakyatnya, akan tetapi dia bersikap royal terhadap pasukannya.
Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh semua perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian maka timbul jurang pemisah antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa mempunyai pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Tetapi kini rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut sebab biasanya, setiap kali berdekatan atau pun berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemukan kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian.
Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghendaki kehidupan yang layak serta kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa.
Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah sekali sehingga kekuasaannya terhadap suku-suku bangsa lain tidak lagi seperti dahulu pada saat masih dipimpin Raja Sabutai. Kini suku-suku bangsa lain mulai bangkit, terlebih lagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri agar menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan dan tak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu.
Puteri Khamila, yaitu bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabutai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apa lagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu lalu dipenjarakan!
Para komandan tua beserta pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorang pun yang berani menentang keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang amat mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri ini pun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlampau menderita sengsara.
Pada waktu itu Puteri Khamila sudah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa dan mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang selama belasan tahun ini sama sekali tidak pernah terdengar beritanya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang sangat dicintanya, sudah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai.
Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Karena mengharapkan bantuan dari pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, dia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu dari kerajaan itu.
Dalam keadaan seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dengan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari daerah utara seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi.
Perdagangan ini sangat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberangi Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena tentu saja dengan mudah dia dapat memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikit pun.
Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara.
Puteri Khamila tidak dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, namun mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam secara ketat. Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tak pernah diperbolehkan keluar sehingga dia harus melewati kehidupan yang sangat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula.
Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentara. Lagi pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andai kata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka dia pun segera mempergunakan akal.
Dia melihat betapa semua pejabat serta pegawai pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu. Maka dia pun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila.
Pada jaman itu, orang-orang Han yang datang ke negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai sudah menyatakan tunduk terhadap Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, supaya dia diperbolehkan menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkan kecurigaan melainkan keheranan.
“Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?” tanya komandan jaga.
“Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera berikut permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri.”
“Ahh, akan tetapi sang puteri tidak akan dapat membelinya! Beliau sedang berada dalam penahanan, tidak memiliki uang untuk membeli barang mahal,” bantah si penjaga dengan heran.
“Tidak bisa beli pun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil sekalian melihat wajah beliau.”
“Ahh, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Tetapi biar kulaporkan dahulu apakah beliau bersedia menerimamu.” Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan.
Puteri Khamila merasa heran sekali ketika mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Dia tidak memiliki uang, dan pula, untuk apa dia membeli barang-barang indah? Akan tetapi, Puteri Khamila bukanlah seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, dia pun memperkenankan orang muda itu datang menghadap.
Ketika Thian memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biar pun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu pada saat dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu.
Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya pada saat duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, meski yang berada di situ hanya dua orang pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi.
Pada saat dengan perlahan-lahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan.
“Siapakah engkau…?” Suara itu agak gemetar dan penuh harap, dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, “dan apa maksudmu datang menemui aku?”
Thian Sin merasa terharu sekali, kemudian dia berkata dengan halus, “Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?”
Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mengangguk. “Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapa pun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!”
Thian Sin melangkah maju, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu, “Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai.”
“Ohhh… ahh, sudah kuduga… ahh, wajahmu begitu sama dengan dia…! Ahh, cucuku, ke sinilah… ke sinilah…”
Thian Sin maju mendekat. Nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak, akan tetapi dia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata,
“Ahh, betapa bahayanya… bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku? Ahh, ketika engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil… namun wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku… aku…”
“Saya sudah tahu segalanya, nek.”
“Dan mana ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?”
Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu tentang malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, maka hatinya semakin sakit terhadap Raja Agahai. “Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku… mereka sudah tewas…”
“Ahhhh…?” Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar jeritannya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu dia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya. Nenek itu lantas menangis sambil menyandarkan wajahnya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata.
Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya pada saat itu tak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya.
Dan memang, Puteri Khamila kemudian mengeluarkan semua perasaan dukanya yang selama ini selalu ditahan-tahannya. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya.
Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, “Oguthai… anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu… lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu…”
“Jangan khawatir, nek. Saya mewakili ayah dan ibu datang ke sini justru untuk keperluan itulah. Sayalah yang akan menghancurkan Agahai serta kaki tangannya, karena kematian ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya.”
Seketika nenek itu menjadi sangat marah dan lupa akan kedukaannya. “Ahh, keparat! Si bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?”
Nenek itu duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat.
“Saya sudah mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi saya untuk membasmi musuh-musuh yang dahulu telah menewaskan ayah ibu, dan pertama-tama saya akan membasmi Agahai!”
“Akan tetapi, engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan sehingga pasukannya sangat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara berterang begitu saja…”
“Karena itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk.”
“Bagus, itu namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik, cucuku. Biar pun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sebetulnya sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, dan hanya karena takut terhadap Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang panglima tua yang dahulu amat setia pada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu sangat bijaksana dan cerdik. Kau pergilah kepadanya dan bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya.”
Nenek itu lalu menuliskan huruf-huruf di atas sapu tangan putih dan memberikan surat itu kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri hiburan itu, dan setelah diberi banyak nasehat-nasehat oleh neneknya, juga diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian Sin, barulah pemuda itu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati lapang serta penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung dan tidak tahu bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini terbukalah jalan yang luas baginya.
Dengan mudah dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan hiburan. Dia mengurus apa bila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut tamu-tamu dan sebagainya.
Ketika menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu terkejut. Apa lagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia terkejut, terharu dan juga girang.
Segera diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, kemudian pemuda ini diberi sebuah kamar dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepatnya Abigan mengadakan kontak dengan kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam.
Mereka berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin. Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk ‘memasukkan’ Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat kepercayaan dari Raja Agahai.
Di dalam rapat itu Thian Sin memperoleh banyak keterangan mengenai Raja Agahai. Dia mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat.
Torgan inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang telah membuat mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama wanita-wanita.
Selir paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tidak terhitung lagi banyaknya. Akan tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai keturunan, yaitu seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu. Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir berbangsa Biauw, justru bukan selir yang sudah melahirkan anaknya. Semua ini dipelajari Thian Sin.
“Kebetulan sekali! Minggu ini keluarga raja akan menyelenggarakan pesta besar-besaran untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu,” kata Menteri Abigan. “Ini adalah kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri Baginda. Akan tetapi, sebagai apa? Sebagai seorang pedagang muda? Tentu saja kurang tepat, bahkan dapat menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata tajam dan sangat cerdik itu. Andai kata sebagai sanak keluargaku dari Mancu dan menyamar sebagai pemuda Mancu, dari bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati sekali, terutama terhadap Torgan yang cerdik. Jangan sampai kita gagal di tengah jalan sebelum tujuan tercapai.”
“Aku punya akal!” kata Thian Sin. “Bukankah di istana akan diselenggarakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran? Nah, bagaimana jika taijin memperkenalkan aku sebagai seorang pemain sulap?”
“Tukang sulap? Apakah kongcu dapat bermain sulap? Hati-hati, Torgan adalah seorang yang pandai sekali, tidak mudah ditipu.”
“Harap cu-wi lihat, apabila kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?” Tiba-tiba saja Thian Sin menggerakkan kedua lengannya dan… semua orang yang hadir di dalam rapat itu berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar sudah berubah menjadi ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan.
“Bagus! Sulap yang mengagumkan!” kata Abigan dengan kagum.
Thian Sin tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi sehingga lenyaplah ular-ular itu. “Ini hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya ketrampilan tangan seperti ini!”
Thian Sin memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua yang juga penuh sayur. Dia lalu menerima mangkok dengan dua batang sumpit itu. Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di bawahnya kemudian dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat kedua mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa ada sedikit pun kuah sayur yang tumpah. Kembali beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan diterima oleh ujung sumpit.
Tentu saja semua yang melihat kepandaian ini langsung bertepuk tangan memuji. Mereka sudah sering melihat pemain sulap memamerkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya.
Thian Sin menghentikan demonstrasinya. “Selain bermain sulap, aku juga bisa menghibur raja dengan permainan suling dan bernyanyi.” katanya sambil tersenyum.
Melihat kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu sekali. Usaha pangeran ini pasti berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang sekarang menaruh kepercayaan besar pada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai Ceng-kongcu ini.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua secara diam-diam mengerahkan pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan bila mana pemuda itu sudah berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana kemudian melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal.
Ke tiga, mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw.
Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang telah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu.
Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw dari daerah utara, sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan dan menjadi langganan keluarga raja, yang kini menjadi tamu pula.
Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasehat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Dua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapa pun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya.
Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang sangat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja.
Kecantikan selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya karena wajahnya yang cantik jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya sangat menggairahkan, masih ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang amat menarik dan merangsang.
Selir yang beruntung mendapat keturunan itu duduk di sebelah kanan Sang Raja. Karena melahirkan seorang putera, tentu saja kedudukannya sekaligus naik dan dia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa.
Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai dari pada kepada anak kecil berusia satu bulan itu.
Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang semenjak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, lantas menghadap Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dahulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya.”
Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringi beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul.
“Ahhh, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.
“Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!” Thian Sin berkata dengan suara yang diatur seperti bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi!
Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, maka raja dan para selir menjadi amat tertarik. Raja Agahai tertawa gembira.
“Bagus! Bagus sekali, engkau juga pandai berbahasa daerah. Kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?”
Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan!
Mendengar ini, Thian Sin lantas mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera paduka ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja lantas melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat ada cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ahh, benar… cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu…”
Raja Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia turut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan… dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata!
Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!
“Bagus… bagus… memang engkau seorang yang amat pandai. Ehh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?”
“Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada namanya itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau menyangka bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.
“Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.”
Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia menatap kepada pemuda tampan yang sedang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri.
Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai lalu tertawa. “Ahh, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap serta permainan suling dan sajak.”
Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja.
“Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin.
“Menteri Abigan yang membawanya,” kata Raja.
“Hambalah yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat.
Koksu itu mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami sangat mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau telah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu jika sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu.
Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir berbangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas-jelas mengandung kekaguman dan kemesraan!
Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Ini pun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.
Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang lalu memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Dan setelah mereka mundur dari sana, melalui seorang pembicara, raja kemudian mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin!
Tentu saja pengumuman ini langsung disambut dengan tepuk tangan. Ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela.
Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar.
“Pendekar Sadis…!”
“Pendekar Sadis…!”
Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Keadaan di situ segera menjadi gempar. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau pun penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu.
Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu per satu. Ia sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, atau telinga. Pendeknya tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan.
Dalam waktu singkat saja pertempuran sudah berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, kemudian terdengar dia membentak halus.
“Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!”
A Piang yang sejak tadi mepet pada tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut.
“Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!”
Pedangnya lantas bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi,
“Bawa uang ini untuk modal bekerja dan ajaklah anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubikin buntung!”
A Piang tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena seluruh tubuhnya menggigil. Dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, ia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar.
“Semua orang boleh pergi!” kata pula Thian Sin, dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar.
Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, lalu menyimpannya dalam bungkusannya sendiri sebab dia teringat bahwa bekalnya tinggal tersisa sedikit, kemudian dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa tukang-tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan.
Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak kelihatan lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebetulnya dia tak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu.
Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh-sungguh telah menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian serta tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat.
Biar pun rumah-rumah judi itu sudah mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam ‘pajak’ kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam ‘perlindungan’. Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah.
Apa bila para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibayangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanyalah tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba pun berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut.
Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat langsung mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki kota Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota.
Ketika itu kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar tentang peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding.
“Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini sangat lihai ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum beracun.
“Nanti dulu, kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang kuterima dari daerah barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan kabarnya gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu telah dibasmi habis olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan.”
“Aku pernah mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.
“Tapi Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir siasat ini akan gagal,” kata orang pertama Si Kecil Bongkok.
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tidak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, mereka pun dengan mudah jatuh ke dalam rayuan Ang Bwe-nio. Jika sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan.
“Sebaiknya kita pun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio untuk mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat langsung turun tangan,” kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini.
Pemilik rumah penginapan segera dihubungi. Secara diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu sudah dipersilakan keluar sehingga tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu.
Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan dia pun telah siap menghadapi segala kemungkinan, bila perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok pagi-pagi dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya.
Sore itu, sesudah mandi dan dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua sudah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.”
“Ahhh, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan.
Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya dari pada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan bisa bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk lantas lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.
Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat,
“Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang sangat baik. Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.”
“Ahh, membikin repot saja…,” kata Thian Sin.
Akan tetapi hatinya telah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba saja dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki berisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan sangat cekatan mereka membersihkan meja di dalam kamar itu lantas mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampaklah seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut.
Tidak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum sehingga membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil.
Dengan langkah lemah gemulai dia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan.
“Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, juga termasuk keponakan saya ini, merasa kagum kepada taihiap yang telah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya yang menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi.
Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itu pun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.”
Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin.
“Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap…”
“Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona.”
“Ahhh, mana pantas? Aku mewakili pamanku sebagai tuan rumah…,” kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu.
Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walau pun tidak dapat dibilang mata keranjang. Tidak sembarangan wanita dapat menarik hatinya, meski pun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis.
“Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, aku pun tidak dapat menerima suguhan ini.”
“Aih, mengapa taihiap begitu…?” Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh.
“Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini.”
Sambil tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan mereka pun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpitnya, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin.
Pemuda ini pun tak mau kalah, mengambil daging-daging kecil lalu dimasukkan ke dalam mangkok di hadapan wanita itu. Mereka pun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang kala saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan.
“Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang…”
“Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan siapakah nama taihiap? Aku hanya mendengar orang menyebut dengan julukan yang mengerikan, Pendekar Sadis…”
Thian Sin tersenyum. “Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri… ahh, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis.”
“Ehh, mana bisa begitu?” Wanita itu tertawa manja.
“Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu untuk menemani aku?”
“Aku… aku bukan gadis, aku… seorang janda…”
“Ahhh…!” Hati Thian Sin berdebar girang.
Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tak sepatutnya kalau seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga!
“Kiranya nyonya seorang janda… hemm, masih begini muda…”
“Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua…”
“Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!”
“Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku,” wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin!
Tentu saja pemuda ini menjadi tertarik sekali, maka sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Dia pun membalas dan tidak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing.
Sikap mereka menjadi semakin berani. Pada waktu Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka pun saling berpegangan tangan dengan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.
“Bwe-nio, engkau cantik sekali!” Thian Sin memuji sambil mengelus-elus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis.
“Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap…” Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sebenarnya dia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa dia sedang ‘dalam tugas’ sehingga dia tidak bisa mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.
Thian Sin telah setengah mabuk, bukan mabuk oleh arak karena dengan kekuatan tenaga dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keras pun. Akan tetapi dia mabuk akan kecantikan dan rayuan wanita itu.
Betapa pun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih terlalu hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia mempunyai kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini segera jatuh dan merasa tertarik sekali. Apa lagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengan dirinya.
Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.
“Ehh, kenapa taihiap?”
“Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu apa bila engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit,” kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.
Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing akan berbagai kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi dia demikian pandainya sehingga ketika mendengar permintaan Thian Sin ini, dia dapat bersikap bagaikan seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu.
Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Dia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, “Iiiihhh… taihiap… mana bisa begitu…?”
“Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah…”
“Aihhh… aku… aku… ahhh, malu dan takut… aku tidak mengerti…”
“Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang aku maksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, aku pun tidak akan mau menerima pemberianmu.”
“Aihhh… taihiap…” Ang Bwe-nio mengeluh, namun kemudian dia pun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya.
“Mmmmm…,” mulutnya mengeluarkan suara tertahan dan sepasang matanya tertutup.
Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja kedua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat serta penuh nafsu. Dan di lain saat mereka sudah saling peluk, saling rangkul dan saling cium.
Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya sambil kedua matanya dipejamkan, akan tetapi dia membalas belaian serta ciuman pemuda itu dengan penuh gairah.
Akan tetapi semua itu sesungguhnya hanyalah permainan belaka darinya, sebab dengan cerdik sekali, pada waktu Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, secara diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya pada dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu!
“Hayo kita pindah ke pembaringan…” Thian Sin berbisik di dekat telinga kanan wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.
“Baik, taihiap, aku… aku mau… ahhh… aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu… ohhh… tapi nanti dulu… aku haus, mari kita minum dulu…”
Thian Sin tersenyum kemudian melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang isinya tinggal setengah itu sampai penuh.
“Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita…” dan pandang matanya penuh daya pikat.
“Katamu tadi engkau haus, jadi engkau minumlah.” Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak.
“Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja…” Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok.
Dia tidak tahu bahwa pada saat itu Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik, ada pun kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya.
Setelah menuangkan air teh, wanita itu lalu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu. “Taihiap…. kokoku yang tampan… marilah, marilah kita minum dulu, setelah itu baru… ehmmm…” Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti.
Senyumnya semakin melebar ketika dia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, dia sendiri pun hanya mencucup sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih,
“Ke sinilah… sayang, ke sinilah…” Dan pemuda itu lantas terguling ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan!
Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang pada wajah pemuda yang memejamkan mata itu, lalu dia menunduk dan mencium bibir pemuda itu.
“Sayang… kau ganteng… tapi terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri yang terbunuh…” Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang kini sedang tidur terlentang itu.
“Wuuuuuttt… cesss…!”
Sepasang mata yang sangat indah itu terbelalak pada saat melihat betapa pisau belatinya ‘menembus’ tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itu pun lenyap.
“Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, tetapi dihuni oleh hati yang palsu.”
Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius.
Lalu siapakah yang tadi rebah kemudian ‘menghilang’? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan kata hanya seorang saja, biar pun diminum oleh tiga empat orang pun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi dia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin!
Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau pada pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya serta menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat pada pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai serta meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu.
Walau pun kelihatannya dia dimabuk nafsu birahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, pada saat Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakannya untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir lantas wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.
“Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Engkau hendak membunuhku?” Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin, yang oleh Ang Bwe-nio terasa laksana menusuk jantung. Wanita itu menjadi ketakutan, dia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
“Taihiap… ampunkan aku…”
Thian Sin menyambar pisau yang sangat tajam itu dan tersenyum. “Mengampunkanmu? Hemmm… engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!”
Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwe-nio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawan pun tidak akan ada artinya sama sekali.
“Ampun, taihiap…,” suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang yang sedang diserang demam.
“Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapakah yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Bukankah dia itu pamanmu?”
“Bukan… bukan dia, dia hanya terpaksa saja, seperti aku… dia pun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai oleh Hui-to Ji Beng Tat…”
“Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka mempergunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan juga untuk membunuhku.”
“Dapat… dapat taihiap…!” Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya.
Memang tadinya pun dia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Dia tahu bahwa mereka berlima itu telah siap dan berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga jika dia gagal. Dan sekarang benar saja, dia telah gagal. Akan tetapi, dia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini.
Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini saja sudah terasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja dia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.
“Panggillah mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.
Kalau saja dia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tanpa terkunci itu. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu dia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Dia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian dia pun bertepuk tangan tiga kali berturut-turut.
Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamar pun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu bisa menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).
“Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekalian?” kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan.
Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. “Tidak… tidak berhasil… dia… dia…”
Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main dan cepat mencabut senjata masing-masing. Tapi pendekar itu hanya tertawa saja dan menutupkan daun pintu, lalu menguncinya dengan tenang sekali.
“Bagus, kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik.”
Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu telah bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku di dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya.
“Nah, kita sekarang bisa bicara. Tadi Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi dia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?”
“Pendekar Sadis, boleh jadi dia sudah gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,” kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram.
“Ahh, begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?”
“Karena engkau telah mengacau wilayah kami!”
“Hemm, tahukah kalian siapa aku?”
“Pendekar Sadis!”
“Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan jiwa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi.”
“Keparat sombong!” teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja dia telah menggerakkan tangan kanannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat.
Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang kemungkinan besar beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu. Semua jarum langsung runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya.
Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan satu tusukan kilat. Akan tetapi Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja!
Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya bagaikan terjepit baja, sama sekali tak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara berderak dan pedang itu sudah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan.
Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan ketiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Sepasang tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itu pun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing.
Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ketika ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing.
Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya kembali, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok.
Si Kecil Bongkok berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus, tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal pada tangannya, dijambak rambutnya!
Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher yang berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin!
Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lantas dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka telah menyerbu dengan senjata mereka.
Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Hanya dengan sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher.
Orang ke dua berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya tembus sehingga leher itu pun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah sudah disambar oleh tangan kiri Thian Sin yang memegang kepala pertama tadi.
“Bwe-nio, kau peganglah dulu kepala-kepala ini!” Thian Sin berseru lalu melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan.
“Ayaaaaauuuwww…!” Bwe-nio menjerit dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu.
Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka yang melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya.
Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Dia pun sudah sangat ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang bagaikan beterbangan haus darah dan mencari kepala itu.
Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu.
Namun senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Sesudah menangkis dengan tangan kirinya, maka semua golok itu runtuh dan pada saat itu pula Hui-to Ji Beng Tat sudah menggunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin,
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” Pemuda ini telah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali.
“Creppp…!”
Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, tepat di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin telah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil lalu menggerakkannya sedemikian rupa sehingga pada waktu tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus!
Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup dia hanya dapat memandang kepada Thian Sin yang kini melangkah menghampiri dirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikit pun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini.
“Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!” kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya.
“Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!” Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk.
Ang Bwe-nio menjerit. “Ampun… jangan… bunuh aku…”
“Hemmm, engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!”
Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu sudah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri. Wanita itu lalu berlari keluar dari kamar itu sambil mendekap mukanya yang berdarah, tidak peduli lagi apakah dia akan dibunuh kalau lari keluar.
Sambil tersenyum Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan dia pun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu.
Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya sudah berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari keluar sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka lebih terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya.
“Dukkkk!”
Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang langsung roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol akibat dihantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lainnya di atas meja penerima tamu, kemudian dia pun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi.
Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal.
Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini, dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang kemudian mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya serta membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat.
********************
Ada perbedaan besar di antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang sekarang mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya menjadi rakyat yang gagah dan raja ini selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya, bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan cara menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja dapat mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Biar pun kekuasaannya mutlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat padanya, Raja Sabutai tak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tak pernah mengejar kesenangan diri sendiri atau mengorbankan rakyatnya.
Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewahan, juga senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu birahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya.
Diam-diam rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini selalu memanjakan pasukannya dan meski pun dia tidak mempedulikan rakyatnya, akan tetapi dia bersikap royal terhadap pasukannya.
Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh semua perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian maka timbul jurang pemisah antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa mempunyai pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Tetapi kini rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut sebab biasanya, setiap kali berdekatan atau pun berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemukan kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian.
Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghendaki kehidupan yang layak serta kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa.
Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah sekali sehingga kekuasaannya terhadap suku-suku bangsa lain tidak lagi seperti dahulu pada saat masih dipimpin Raja Sabutai. Kini suku-suku bangsa lain mulai bangkit, terlebih lagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri agar menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan dan tak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu.
Puteri Khamila, yaitu bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabutai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apa lagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu lalu dipenjarakan!
Para komandan tua beserta pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorang pun yang berani menentang keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang amat mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri ini pun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlampau menderita sengsara.
Pada waktu itu Puteri Khamila sudah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa dan mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang selama belasan tahun ini sama sekali tidak pernah terdengar beritanya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang sangat dicintanya, sudah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai.
Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Karena mengharapkan bantuan dari pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, dia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu dari kerajaan itu.
Dalam keadaan seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dengan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari daerah utara seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi.
Perdagangan ini sangat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberangi Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena tentu saja dengan mudah dia dapat memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikit pun.
Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara.
Puteri Khamila tidak dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, namun mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam secara ketat. Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tak pernah diperbolehkan keluar sehingga dia harus melewati kehidupan yang sangat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula.
Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentara. Lagi pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andai kata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka dia pun segera mempergunakan akal.
Dia melihat betapa semua pejabat serta pegawai pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu. Maka dia pun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila.
Pada jaman itu, orang-orang Han yang datang ke negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai sudah menyatakan tunduk terhadap Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, supaya dia diperbolehkan menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkan kecurigaan melainkan keheranan.
“Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?” tanya komandan jaga.
“Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera berikut permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri.”
“Ahh, akan tetapi sang puteri tidak akan dapat membelinya! Beliau sedang berada dalam penahanan, tidak memiliki uang untuk membeli barang mahal,” bantah si penjaga dengan heran.
“Tidak bisa beli pun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil sekalian melihat wajah beliau.”
“Ahh, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Tetapi biar kulaporkan dahulu apakah beliau bersedia menerimamu.” Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan.
Puteri Khamila merasa heran sekali ketika mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Dia tidak memiliki uang, dan pula, untuk apa dia membeli barang-barang indah? Akan tetapi, Puteri Khamila bukanlah seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, dia pun memperkenankan orang muda itu datang menghadap.
Ketika Thian memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biar pun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu pada saat dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu.
Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya pada saat duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, meski yang berada di situ hanya dua orang pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi.
Pada saat dengan perlahan-lahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan.
“Siapakah engkau…?” Suara itu agak gemetar dan penuh harap, dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, “dan apa maksudmu datang menemui aku?”
Thian Sin merasa terharu sekali, kemudian dia berkata dengan halus, “Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?”
Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mengangguk. “Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapa pun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!”
Thian Sin melangkah maju, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu, “Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai.”
“Ohhh… ahh, sudah kuduga… ahh, wajahmu begitu sama dengan dia…! Ahh, cucuku, ke sinilah… ke sinilah…”
Thian Sin maju mendekat. Nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak, akan tetapi dia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata,
“Ahh, betapa bahayanya… bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku? Ahh, ketika engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil… namun wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku… aku…”
“Saya sudah tahu segalanya, nek.”
“Dan mana ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?”
Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu tentang malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, maka hatinya semakin sakit terhadap Raja Agahai. “Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku… mereka sudah tewas…”
“Ahhhh…?” Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar jeritannya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu dia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya. Nenek itu lantas menangis sambil menyandarkan wajahnya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata.
Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya pada saat itu tak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya.
Dan memang, Puteri Khamila kemudian mengeluarkan semua perasaan dukanya yang selama ini selalu ditahan-tahannya. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya.
Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, “Oguthai… anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu… lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu…”
“Jangan khawatir, nek. Saya mewakili ayah dan ibu datang ke sini justru untuk keperluan itulah. Sayalah yang akan menghancurkan Agahai serta kaki tangannya, karena kematian ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya.”
Seketika nenek itu menjadi sangat marah dan lupa akan kedukaannya. “Ahh, keparat! Si bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?”
Nenek itu duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat.
“Saya sudah mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi saya untuk membasmi musuh-musuh yang dahulu telah menewaskan ayah ibu, dan pertama-tama saya akan membasmi Agahai!”
“Akan tetapi, engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan sehingga pasukannya sangat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara berterang begitu saja…”
“Karena itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk.”
“Bagus, itu namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik, cucuku. Biar pun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sebetulnya sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, dan hanya karena takut terhadap Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang panglima tua yang dahulu amat setia pada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu sangat bijaksana dan cerdik. Kau pergilah kepadanya dan bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya.”
Nenek itu lalu menuliskan huruf-huruf di atas sapu tangan putih dan memberikan surat itu kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri hiburan itu, dan setelah diberi banyak nasehat-nasehat oleh neneknya, juga diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian Sin, barulah pemuda itu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati lapang serta penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung dan tidak tahu bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini terbukalah jalan yang luas baginya.
Dengan mudah dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan hiburan. Dia mengurus apa bila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut tamu-tamu dan sebagainya.
Ketika menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu terkejut. Apa lagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia terkejut, terharu dan juga girang.
Segera diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, kemudian pemuda ini diberi sebuah kamar dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepatnya Abigan mengadakan kontak dengan kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam.
Mereka berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin. Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk ‘memasukkan’ Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat kepercayaan dari Raja Agahai.
Di dalam rapat itu Thian Sin memperoleh banyak keterangan mengenai Raja Agahai. Dia mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat.
Torgan inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang telah membuat mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama wanita-wanita.
Selir paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tidak terhitung lagi banyaknya. Akan tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai keturunan, yaitu seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu. Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir berbangsa Biauw, justru bukan selir yang sudah melahirkan anaknya. Semua ini dipelajari Thian Sin.
“Kebetulan sekali! Minggu ini keluarga raja akan menyelenggarakan pesta besar-besaran untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu,” kata Menteri Abigan. “Ini adalah kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri Baginda. Akan tetapi, sebagai apa? Sebagai seorang pedagang muda? Tentu saja kurang tepat, bahkan dapat menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata tajam dan sangat cerdik itu. Andai kata sebagai sanak keluargaku dari Mancu dan menyamar sebagai pemuda Mancu, dari bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati sekali, terutama terhadap Torgan yang cerdik. Jangan sampai kita gagal di tengah jalan sebelum tujuan tercapai.”
“Aku punya akal!” kata Thian Sin. “Bukankah di istana akan diselenggarakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran? Nah, bagaimana jika taijin memperkenalkan aku sebagai seorang pemain sulap?”
“Tukang sulap? Apakah kongcu dapat bermain sulap? Hati-hati, Torgan adalah seorang yang pandai sekali, tidak mudah ditipu.”
“Harap cu-wi lihat, apabila kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?” Tiba-tiba saja Thian Sin menggerakkan kedua lengannya dan… semua orang yang hadir di dalam rapat itu berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar sudah berubah menjadi ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan.
“Bagus! Sulap yang mengagumkan!” kata Abigan dengan kagum.
Thian Sin tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi sehingga lenyaplah ular-ular itu. “Ini hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya ketrampilan tangan seperti ini!”
Thian Sin memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua yang juga penuh sayur. Dia lalu menerima mangkok dengan dua batang sumpit itu. Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di bawahnya kemudian dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat kedua mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa ada sedikit pun kuah sayur yang tumpah. Kembali beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan diterima oleh ujung sumpit.
Tentu saja semua yang melihat kepandaian ini langsung bertepuk tangan memuji. Mereka sudah sering melihat pemain sulap memamerkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya.
Thian Sin menghentikan demonstrasinya. “Selain bermain sulap, aku juga bisa menghibur raja dengan permainan suling dan bernyanyi.” katanya sambil tersenyum.
Melihat kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu sekali. Usaha pangeran ini pasti berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang sekarang menaruh kepercayaan besar pada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai Ceng-kongcu ini.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua secara diam-diam mengerahkan pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan bila mana pemuda itu sudah berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana kemudian melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal.
Ke tiga, mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw.
********************
Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang telah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu.
Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw dari daerah utara, sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan dan menjadi langganan keluarga raja, yang kini menjadi tamu pula.
Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasehat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Dua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapa pun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya.
Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang sangat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja.
Kecantikan selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya karena wajahnya yang cantik jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya sangat menggairahkan, masih ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang amat menarik dan merangsang.
Selir yang beruntung mendapat keturunan itu duduk di sebelah kanan Sang Raja. Karena melahirkan seorang putera, tentu saja kedudukannya sekaligus naik dan dia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa.
Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai dari pada kepada anak kecil berusia satu bulan itu.
Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang semenjak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, lantas menghadap Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dahulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya.”
Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringi beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul.
“Ahhh, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.
“Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!” Thian Sin berkata dengan suara yang diatur seperti bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi!
Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, maka raja dan para selir menjadi amat tertarik. Raja Agahai tertawa gembira.
“Bagus! Bagus sekali, engkau juga pandai berbahasa daerah. Kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?”
Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan!
Mendengar ini, Thian Sin lantas mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera paduka ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja lantas melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat ada cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ahh, benar… cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu…”
Raja Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia turut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan… dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata!
Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!
“Bagus… bagus… memang engkau seorang yang amat pandai. Ehh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?”
“Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada namanya itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau menyangka bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.
“Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.”
Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia menatap kepada pemuda tampan yang sedang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri.
Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai lalu tertawa. “Ahh, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap serta permainan suling dan sajak.”
Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja.
“Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin.
“Menteri Abigan yang membawanya,” kata Raja.
“Hambalah yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat.
Koksu itu mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami sangat mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau telah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu jika sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu.
Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir berbangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas-jelas mengandung kekaguman dan kemesraan!
Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Ini pun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.
Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang lalu memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Dan setelah mereka mundur dari sana, melalui seorang pembicara, raja kemudian mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin!
Tentu saja pengumuman ini langsung disambut dengan tepuk tangan. Ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela.
Selanjutnya,