Pendekar Sadis Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Sadis Jilid 24 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Sadis Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
AGAHAI sudah bangkit kembali lantas mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin kaget bukan main, akan tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik leher wanita itu.

“Kalau kau maju, akan kupatahkan batang lehernya!” Dia mengancam kepada Thian Sin, sedangkan Leng Ci meronta-ronta tidak berdaya. “Hayo buka pintu dan minggir, biarkan aku lewat!”

Diam-diam Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia tertawa. Suara tawanya demikian mengerikan dan aneh sebab memang dia mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya.

Raja Agahai memandang dengan heran dan merasa aneh, namun inilah kesalahannya. Begitu dia memandang dengan perasaan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada di dalam pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu.

“Ha-ha-ha, Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kau cengkeram itu? Yang kau cekik hanya sebuah bantal!”

Agahai terkejut, kemudian dia cepat memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan dicekiknya. Dan hampir saja dia berteriak kaget serta penuh kekecewaan karena ternyata memang benar, yang diringkusnya itu tidak lain hanyalah sebuah bantal! Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat ‘bantal’ itu dan melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding.

Kini Thian Sin yang terkejut bukan kepalang. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama sekali bukan bantal, namun tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak mampu lagi mencegah.

Terdengar suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Saat terjatuh ke lantai, tubuh itu sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan kepala retak!

“Agahai, manusia busuk! Manusia keparat kau! Kau membunuh dia… ah, kau membunuh Leng Ci…!” Thian Sin marah sekali.

Dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya dengan Leng Ci itu pun tidak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong oleh nafsu birahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tak berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu karena ulahnya sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat Thian Sin merasa berduka dan marah sekali. Diterjangnya Raja Agahai.

Raja ini mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal. Akan tetapi tidak ada seorang pun pengawal yang datang, dan dia pun tentu saja tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar suara keras berkali-kali dan pada waktu raja itu terpelanting dengan muka yang bengkak-bengkak dan berdarah, Thian Sin masih terus menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun.

Akan tetapi pemuda ini tidak pernah menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini, maka betapa pun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci, dia belum mau membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Yang membuat pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia. Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi benar-benar bantal sehingga saking kecewanya bantal itu lantas dilemparkan.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya terhadap raja itu pada saat melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila, neneknya. Ternyata sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan bersama rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini cepat-cepat dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak berhasil menguasai istana dan sebagian besar dari para pengawal Raja Agahai yang setia dibinasakan dan sebagian lagi yang menyerah lalu ditangkap.

Istana dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai, dan sekarang istana telah dikuasai oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu Ratu Khamila baru dibebaskan dan dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan serta beberapa orang panglima dan pengawal, lantas datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda itu sedang menghajar Raja Agahai.

Raja Agahai yang melihat munculnya Ratu Khamila dengan beberapa orang menteri dan panglima, maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, dia pun telah dapat menduga apa yang telah terjadi.

Maka kini melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir dan bahwa dia telah kalah total. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut ambil bagian dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada harapan lagi baginya, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi.

“Agahai, sudah tahukah engkau akan semua dosa-dosamu?” kata Ratu Khamila dengan suara halus namun penuh teguran. Rasa sakit hati ratu ini akibat dia ditawan tak sedalam saat dia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian dilakukan orang-orangnya Agahai.

Agahai yang sudah putus asa itu tertawa. “Hemm, kalian lihat saja nanti kalau pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!”

Seolah-olah menjawab kata-kata Agahai ini, tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh Thian Sin dan juga oleh Agahai.

“Taijin, di luar istana sudah penuh dengan pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk sekali, dan di antara mereka itu telah terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak di antara mereka yang mendukung dia!” kata pengawal itu sambil menuding ke arah Agahai dengan wajah penuh kebencian.

Mendengar ini, Agahai lalu tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng.

Tiba-tiba Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu bergerak lagi, lantas menyeretnya keluar. “Silakan mengikuti saya ke menara istana, saya akan bicara dengan mereka!”

Mendengar ini, Ratu Khamila mengangguk, dan para menteri bersama panglima itu juga mengikuti dari belakang. Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara dan tidak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini, pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah panggung menara itu.

Terdengarlah teriakan-teriakan yang simpang-siur.

“Hidup Puteri Khamila…!”

“Hidup Raja Agahai…!”

Dari teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang sudah terjadi perpecahan di antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan timbul ancaman perang saudara.

Meski pun sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan pada wajahnya. Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar berdiri lebih tinggi sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas, melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya dalam keadaan awut-awutan, maka timbullah rasa khawatir pula di dalam hatinya.

“Rakyatku, pasukanku, dengarlah!” Mendadak terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi amat sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini.

“Kalian semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?”

Terdengar sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang dahulu pernah berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang mempunyai kepandaian tinggi dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak diminta untuk membantu pemerintahan Raja Agahai.

Puteri Khamila mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orang pun segera diam. Keadaan menjadi sunyi kembali.

“Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja sudah menyalah gunakan kekuasaan, senang merampas anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi amat lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasehatinya supaya dia suka menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakiti hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia sudah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok kemudian membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!”

Semua orang terkejut, baik yang pro mau pun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukan hal yang kejam ini.

“Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, berhasil lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!”

Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, sungguh pun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya dia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai, akan tetapi keturunan Kaisar Beng-tiauw!

Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, dia pun berkata,

“Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang hendak membela Agahai? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja membunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini di samping untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim semacam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana sudah kami duduki. Siapa yang hendak membela dia?”

Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan juga membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut.

“Nah, kalau begitu, aku hendak menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan pada Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?”

“Bunuh dia!”

“Bunuh Agahai raja lalim!”

“Jangan ampunkan dia!”

Teriakan itu makin lama semakin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Memang ini yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan terdengarlah suaranya yang lantang.

“Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengannya maka melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu pula dia pun membebaskan totokannya.

Terdengar jerit mengerikan, jeritan dari mulut Agahai yang bukannya merasa ngeri karena melayang ke bawah, melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya.

Dan memang tubuhnya segera terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam padanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambak rambutnya sehingga akhirnya tubuhnya benar-benar terkoyak habis, dan hanya darah dan potongan-potongan daging saja yang tertinggal di situ sesudah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu.

Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya dan para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya.

“Betapa pun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan dari pada hukuman.”

Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena dia pun sudah puas melihat semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Malah sesudah tujuannya datang di tempat ini telah terlaksana, yaitu untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu.

Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia supaya pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walau pun pemuda itu mempunyai seorang ibu berbangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga!

Tapi usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka dia pun mencoba untuk membujuk Thian Sin agar mau menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, bahkan kemudian memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri sekaligus juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja.

Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal lainnya yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga sedikit pun saya tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik.”

Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin pergi meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai, sebagai satu-satunya pangeran yang merupakan keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja.

Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan?

Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.

Kepuasan ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya.

Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua.

Dan kita pun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.

Padahal keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’ dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.

Kita sudah demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada.

Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun sendiri.

Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga?

Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?


Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Ia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang ketika itu Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya.

Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan bukan main, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar.

Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini pada saat berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa seram. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.

Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggota Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri telah bubar dan musuh besarnya yang dulu ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin juga di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka dia pun lalu membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu.

Daerah ini merupakan daerah yang amat berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh.

Karena dia sendiri adalah orang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan pada waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di atas pohon besar di tengah hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.

Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk disertai teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat-cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara.

Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada batang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat ada lima orang sedang berteriak-teriak dan mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang sudah berhasil menjebak seekor binatang buas.

Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan secara diam-diam dia terkejut sekali. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya.

Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara beruang. Akan tetapi yang telah tertangkap itu tentunya seekor beruang yang besar sekali. Dia hanya mengintai dan kemudian melihat betapa kelima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi jelas nampak bahwa mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan.

Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah setelah dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar.

“Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang.

Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tak nampak lagi berada di dalam lubang, dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang.

Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang yang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya!

Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.

“Kita mulai sekarang!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat berdiri di seberang lubang dan menggodanya, untuk memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.”

“Tapi… berbahaya sekali untukmu, toako…”

“Tidak, aku dapat lari lantas naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.

Setelah menerima perintah, sembilan orang itu segera meninggalkan lubang, berlari-larian dengan cepat mengelilingi jebakan batu lantas berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Sekarang si pemimpin sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.

“Toako, pergilah!”

“Larilah!” teriak mereka dengan khawatir.

Pemimpin rombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah untuk mencegah binatang itu yang agaknya hendak merangkak keluar dari dalam lubang.

Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu telah tertangkap oleh binatang itu hingga terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.

“Dukk…!”

Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan dia pun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Walau pun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan!

Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang amat marah hingga nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya yang bertaring mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar.

Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biar pun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu!

Thian Sin merasa terkejut dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia akan dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya!

Kini, ketika melihat gerakan orang hutan itu serta melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Dia pun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu.

Wajah semua pemburu sudah pucat melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir saja terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan yang berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.

Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, dia pun melihat pemuda itu dan dia lalu memandang dengan mata terbelalak.

Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka mereka pun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini…! Cepat…!”

Akan tetapi, betapa heran hati mereka karena melihat pemuda itu tersenyum saja sambil memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini hanya berdiri tenang saja.

Ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram lantas mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlampau lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya.

Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat sehingga jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itu pun menahan napas dan memandang penuh kengerian sebab mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tidak seberapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu.

Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia langsung mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini sanggup menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri, dan dengan gerakan refleks yang sangat cepat seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi.

Serangan ke dua ini lebih cepat dari pada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang bersifat alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan.

Biar pun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu telah menyentuh pundaknya dan jika sampai jari-jari tangan yang kuat itu berhasil mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin segera mengerahkan tenaga sambil memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan sebuah hantaman keras ke arah perut binatang itu.

“Dukkk! Desss…!”

Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang sangat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin sehingga kuat bukan main.

Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Sekarang dia marah bukan main, lantas kedua lengan panjang itu menyerang bertubi-tubi dengan gerakan yang lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seakan-akan menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu.

Semua serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya mempunyai kecepatan dan kekuatan alamiah saja, akan tetapi tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan bila mana dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu.

Dua kali dia memukul dan menendang hingga membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu mempunyai kekebalan yang luar biasa, telah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.

Sepuluh orang yang tadinya merasa ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, sekarang memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Dan mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.

“Taihiap, harap jangan bunuh dia!”

“Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!”

“Kalau dia mati, kami tentu tak akan diampuni!”

Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin cepat menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini.

Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apa lagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, maka mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi dia pun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini.

Dia kemudian teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di pinggir perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun.

Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan serta tendangan itu marah sekali dan terus menerjang secara dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada waktu tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu.

Binatang itu terdorong ke depan, lantas tanpa dapat dihindarkan lagi dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang. Binatang itu lalu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang.

Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka kemudian menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.

“Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Apa bila tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang.

Thian Sin lalu menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?”

Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tak karuan bentuknya, sudah dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan telah terlepas dari pundaknya.

“Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang sudah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku sudah menyelamatkan kalian? Siapa yang mengancam kalian?”

Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab, bahkan Si Tinggi Besar itu lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap… kami… sudah salah bicara tadi… dan kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.”

Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan dia pun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah.

“Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.”

Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin… jangan…!”

Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin.

Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka dia pun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar sehingga jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah.

Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan melihat pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang ini juga mengandung racun yang sangat hebat. Hal ini dapat diketahuinya dari baunya.

Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang itu sudah terampas olehnya, lantas tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu disusul hiruk-pikuk di dalam lubang itu, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan.

Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka pun tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka itu sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja kemudian suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas mendapat seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya.

Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak.

Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak… bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada…” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa…”

Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu lagi kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Apa kalian telah lupa kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang pada beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?”

Mereka makin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang mereka pun ingatlah kepada pemuda ini.

“Ampun, taihiap… ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenali taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang sudah tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu…”

“Sikap kalian aneh sekali, seperti ada yang kalian takutkan. Temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukah yang lain itu.”

Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apa lagi jika mengingat bahwa pemuda ini adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut bukan main. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita.

Sisa para anggota Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, sesudah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka lalu membentuk perkampungan.

Akan tetapi mereka sudah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat. Mereka tak mau lagi mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.

Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, selain mereka rata-rata memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan.

Selama bertahun-tahun mereka hidup aman dan tenteram, keluarga mereka berkembang biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan untuk berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.

Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan setelah muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, yaitu seorang peranakan Han dan Rusia Kazak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan sungguh pun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih.

Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan dia pun menjagoi di perkampungan itu. Ternyata orang ini mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga dia sanggup merobohkan semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To ini pun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah!

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang betul bahwa Su Lo To tak pernah menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, tetapi sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri.

Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya!

Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang selalu memeras orang-orangnya dan menggunakan tangan besi. Semua orang takut padanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Banyak orang yang sudah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.