Pendekar Sadis Jilid 33
MESKI pun orang pertama sudah mengaku, akan tetapi Thian Sin masih belum puas, dan hatinya masih belum yakin benar. Orang-orang semacam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja.
Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya semakin berkurang setelah mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup.
Si Codet memejamkan kedua matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup dari pada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal sudah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang karena dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu.
Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis dari pada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiri pun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu sungguh berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus, tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!
Sesudah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu sekarang bergunduk berupa sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.
“A-ciang…!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah itu sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang…! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri.
Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andai kata temannya dapat mendengarnya sekali pun, tentu teman itu sudah tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.
Si Codet tak lagi memanggil pada saat Thian Sin sudah kembali datang dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan ketiga orang itu. Orang ini mempunyai kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu amat mirip dengan muka seekor monyet.
Saat Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan.
“Pendekar Sadis, apa yang kau lakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya.
Thian Sin tak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia dapat melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sute-nya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sute-nya tadi tentu sudah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sute-nya itu belum mati, maka dia bertanya,
“Tauw-sute, di mana Ciang-sute?”
Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba sepasang mata A-tauw itu terbelalak bagaikan orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan dia pun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kini kepala yang penuh dengan tanah itu keluar, matanya berkedip-kedip akibat kemasukan tanah, bibirnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula.
Ternyata Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati. Ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah sehingga dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.
Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku?”
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu lalu memaki dengan suara seperti orang yang lehernya dicekik, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin.
Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan laksana harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan hanya dengan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang sudah tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.
“Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam hendak menyiksa kawanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong serta seluruh anak buahnya pun akan kusiksa sampai mati semuanya. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.”
Berkata demikian, tiba-tiba saja leher Si Muka Monyet itu sudah dibelit sabuknya sendiri lantas sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin sudah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya!
Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu sudah menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar, kemudian tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Thian Sin melepaskan ujung sabuk hingga tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap bagai ikan yang dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.
“Nah, apa yang hendak kau katakan?” katanya kemudian.
“Gadis itu… dia… ditawan… di pondok merah… dekat Telaga Ching-hai…”
Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau ada dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasannya. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu langsung menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka sudah tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, dan yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya!
Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya untuk berlari menuju ke Telaga Ching-hai!
Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, dia pun mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri lalu pada saat dia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika dia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah dia bahwa dia sudah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.
Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Dia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa dia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih hidup. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan memiliki suatu rencana kenapa dia masih dibiarkan hidup. Dan selama dia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.
Pandang matanya menyatakan bahwa dia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Dia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana dia rebah miring.
Kedua kakinya bebas, akan tetapi sepasang lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah dia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi itu telah melukai sepasang pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat.
Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, dia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apa lagi bermusuhan. Jelaslah bahwa dia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.
Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong bisa menduga bahwa tentu dia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan dia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya serta berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal inilah yang dikehendaki oleh pihak musuh, yaitu memancing datangnya Thian Sin.
Ini berarti bahwa dia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa dia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sin-lah yang terancam. Dia harus bisa lolos untuk memperingatkan Thian Sin!
Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di pinggir pembaringan. Pertama-tama, dia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, maka dia masih akan dapat menjaga dan melindungi dirinya.
Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya dua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapa pun juga, dia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Dia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.
Namun hal ini jauh lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan. Dengan pengerahan sinkang, mungkin saja dia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu dia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan apa bila urat besarnya yang sampai terluka, maka dapat berbahaya juga.
Apa lagi ketika dia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, dia pun memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidak-tidaknya harus ada bantuan tangan orang lain yang membukanya.
Kim Hong bangkit lantas memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan, meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.
Lebih dari dua jam dia bekerja, mengerahkan tenaga, tapi hasilnya baru sedikit saja, baru mulai bisa merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh-sungguh memakan banyak sekali tenaga di dalam badan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya, maka Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.
Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang semuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja dia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang hendak dipancing dan dijebak, tentu dia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi dia menahan dirinya.
Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Apa bila mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek.
Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah dia pun bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Salah seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.
Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walau pun tingkatnya belum setinggi tingkat para suheng-nya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia serta dua orang sute-nya yang bertugas menjaga di situ mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong.
Si Jangkung tersenyum mengejek pada waktu melihat gadis itu agaknya hendak melawan akan tetapi tidak berdaya. Dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka pada pergelangan lengannya.
“Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?”
“Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?”
Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
“Nona manis, simpanlah kegalakanmu itu. Sekarang engkau sudah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.”
“Ahhh…!” Dengan sengaja Kim Hong menunjukkan kekagetannya dan juga menunjukkan rasa takut.
Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba-coba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.”
Kim Hong masih menunjukkan sikapnya yang ketakutan, kemudian dia pun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?”
Dia disuruh berjalan di muka, sementara tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biar pun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin sekali bahwa dengan kedua kakinya saja, dia akan mampu merobohkan tiga orang ini.
Akan tetapi hal ini tidak dia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, dia tak akan mau bertindak sembrono karena dia akan gagal jika harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan sepasang tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini dia harus menggunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.
Ruangan itu sangat luas. See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam dia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia pun memandang marah.
“Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.
Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi dia segera menegakkan kepalanya lalu memandang kepada See-thian-ong, kini sedikit pun tidak menunjukkan rasa takut. Baru sekarang inilah dia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih terlihat gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar serta berkulit hitam ini. Selama dia menjadi Lam-sin, dia baru mendengar nama saja dari ‘rekan’ ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.
“Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.
Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis, yang berpakaian mewah dan pesolek, ada pun di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini adalah murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik.
Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.
Melihat So Cian Ling juga berada di situ, Kim Hong yang tadinya tak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?”
See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya sangat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapa pun banyaknya arak memasuki perutnya.
“Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkau pun cukup manis. Siapakah namamu, nona?”
“Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.
She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka dia pun tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka dia she Kim dan bernama Hong.
“Nama yang manis, seperti juga orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Kini nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.”
“Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.
“Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya bila Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandangan mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, secara diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Dia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suheng-nya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja dia merasa iri sekali.
“Perempuan rendah,” kata So Cian Ling, “kau dengarlah baik-baik. Kami sudah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Apa bila sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan hingga mati. Pertama-tama, engkau akan diberikan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!”
Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah semua masalahku. Namun engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, hingga engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik dari pada nasibmu.”
“Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.
“Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong mencegah sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu dia mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku sangat kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuk dia!” perintahnya kepada seorang murid.
Salah seorang di antara murid-muridnya yang ikut mengurung tempat itu segera maju. Dia membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.
“Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.
Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti serta daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja dia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena dia tak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar.
Dia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Jika menuruti hatinya, tentu saja dia lebih baik memilih mati dari pada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Dia bisa menduga bahwa mereka semua ini amat membenci Thian Sin, kecuali Cian Ling mungkin, tetapi Cian Ling pun tentu saja amat membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat dia terhina, juga ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas.
Kalau dia menolak suguhan ini, berarti dia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini akan sangat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai dia kelaparan, maka dia akan lemas dan ilmu silatnya pun tidak akan mampu menolong tubuh yang kelaparan.
Maka Kim Hong lalu memusatkan pikiran, mendiamkan pikirannya hingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, kemudian dia pun lalu menekuk tubuhnya ke depan.
“Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.
Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang telah dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan bagaikan seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring sehingga perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanyalah merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!
Biar pun agak sulit, karena piring itu kadang-kadang terdorong ke depan hingga terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Kini badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering sehingga dia ingin sekali minum.
“See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”!
“Ha-ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali.
Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu maka sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lantas mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.
Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Ia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari ketiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu, dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu.
Tidak sulit menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, dia segera memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.
Dengan lindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk. Kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong, dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng sesudah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang.
Apa bila menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, dia pun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia langsung dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia bisa menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk dapat melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong.
Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Jika saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati!
Jika See-thian-ong cerdik, tentu Kim Hong akan dibunuhnya seketika itu juga, tidak malah mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dia pun sudah mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.
Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, maka padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.
“Sekarang bawa dia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak cukup berharga untuk menjadi lawan yang ditakuti. “Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!”
Maka terhindarilah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguh pun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Dia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa dia akan diperkosa oleh dua puluh orang kalau Thian Sin tidak muncul, justru merupakan pertanda bahwa apa bila Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu dia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi.
Tak ada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan dia seperti itu. Akan tetapi jika Thian Sin terkena pancingan lalu datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan dia diperkosa oleh banyak orang di hadapan matanya. Hal ini dia yakin benar!
Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, malah membiarkan dia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika dia kelak ‘dibantai’ oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.
Sementara itu, Thian Sin terus mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka dia pun dengan cepat dan berhati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, lalu mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan.
Pada saat mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng kemudian mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.
“Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok,” Si Muka Bopeng berbisik. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi berusaha ditahannya dan dia bergegas memasuki kamar tahanan itu.
“Nanti dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong.
Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu dua pergelangan tangan Kim Hong agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong sehingga gadis ini menggigit bibirnya.
Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih dia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan dari pada kekurang ajaran dua orang temannya.
“Awas, nanti kau akan kubunuh lebih dulu…!” kata suara hati Kim Hong saat Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
Thian Sin sempat melihat ini semua. Tangannya pun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil kawan-kawannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Dia pun lalu meneliti keadaan kamar itu.
Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang bagian atasnya berjeruji. Tak mungkin untuk memasuki dari pintu. Maka dia pun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu sangat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apa lagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal.
Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan itu. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia pun dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga paku itu terlihat, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu.
Dan akhirnya berhasillah ia membongkar papan persegi selebar satu meter itu, kemudian mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.
Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang telah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lantas gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu.
Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka dia pun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan ‘aman’. Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa berbicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian dia pun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua pergelangan lengan kekasihnya. Untuk sejenak Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.
“Mereka sedang bermain kartu…,” bisiknya.
“Hanya bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.
“Kita pancing mereka masuk,” kata Thian Sin.
Kim Hong mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan orang yang terdekat dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang.
Diam-diam Thian Sin amat kagum. Tak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, sebab sikapnya memang bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seperti seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.
Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada lengannya lantas rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah menggunakan darah yang membasahi kedua tangannya, dioleskan pada pipi serta dahinya dan sekarang dia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu. Dia merintih-rintih lirih.
Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu, yang kemudian bergegas bangkit menuju pintu kamar tahanan sehingga nampaklah wajah tiga orang penjaga itu. Si jangkung dan teman-temannya terkejut sekali dipan sudah terguling, apa lagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah.
“Celaka… dia membunuh diri…,” kata si jangkung yang cepat-cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya. Si jangkung cepat menghampiri Kim Hong lalu berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu.
Pada saat itu, selagi si jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.
Kim Hong menyambut si jangkung yang berjongkok itu dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggota kelamin orang itu lalu pada detik berikutnya, pada waktu si jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong sudah menyambar ke arah tenggorokan.
“Krekkk!”
Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluarnya teriakan si jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah cepat menyambarnya.
Pada detik yang hampir bersamaan, nampak pula cahaya perak berkelebat dua kali dan dua orang penjaga lainnya sudah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya cahaya pedang menyambar sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriak pun tidak sempat lagi karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka ini pun roboh dan cepat disambar oleh tangan Thian Sin sebelum berdebuk.
“Bagaimana pergelangan tanganmu?” bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan semua mayat itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Dara itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakannya.
“Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya,” jawabnya.
“Tidak nyeri kalau digerakan? Kita akan menghadapi banyak lawan tangguh.”
“Tidak, dan aku sudah siap sedia menghadapi mereka.”
“Bagus. Nih, kau pakai pedangku……”
“Tidak perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas.”
Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah dia mencoba memutar-mutar sepasang pedang itu dan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, “Mari, aku sudah siap!”
Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.
“Engkau tadi tidak takut…..?” Thian Sin bertanya dengan bisikan.
“Tidak, sejak tadi aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, aku pun tentu akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa untuk membukakan belenggu ini,” jawab Kim Hong tenang.
Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu. Meski dengan kedua pergelangan lengan terbelenggu sekali pun Kim Hong pasti akan dapat membunuh mereka bertiga itu.
“Sekarang marilah kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya terhadapmu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!” kata Thian Sin.
“Kita harus berhati-hati, jangan sampai kita melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia dan berbahaya.”
“Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk kita bunuh,” kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok sekali dengan rencananya.
Kini setelah langit-langit itu berlubang, tentu saja keduanya dengan mudah bisa meloncat dan menerobos melalui lubang lantas menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas, Thian Sin lalu berbisik,
“Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak.”
Kim Hong mengangguk dan mereka pun berpencar. Tidak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga sehingga keadaan menjadi panik. Apa lagi ketika terdengar pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.
See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang sudah melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran.
Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lainnya, dia lalu melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang sudah mengamuk dari dua jurusan itu.
See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah cahaya api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, maka kedua orang muda itu langsung terkepung.
Thian Sin segera menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.
“Hemmm, ternyata See-thian-ong yang kabarnya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu…!” kata Kim Hong.
“Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!” Thian Sin menambahkan.
Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Sepasang matanya melotot seakan-akan dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.
“Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!” bentaknya.
“Wah, betulkah? Apakah ada yang dapat mengantarku ke kematian? Hemmm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali.
Akan tetapi, biar pun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah padanya. Maka dia pun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan satu tingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!
“Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!”
Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seakan-akan melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.
Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek dan tidak memegang senjata, maka belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlomba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang lagi dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam sudah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!
Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan dia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggota rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan.
“Tokkk!”
Hanya terdengar suara itu dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar.
“Plakk-plakk!”
Kembali terdengar suara dan kedua orang itu pun roboh dengan kepala retak. Lima orang itu pun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!
Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan terkejut bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas hanya dalam satu gebrakan saja, menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing.
Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar telah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal amat lihai dalam permainan tongkat Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuh gadis itu, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka.
Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu dia bergerak, semua orang segera terkejut sebab tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya tampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah yang muncrat di sana-sini lalu sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Sesudah dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya!
See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut sekali, lalu mengerutkan alisnya dan membentak, “Bukankah itu adalah Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” bentakan ini lantas disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam.
Betapa pun juga, Lam-sin boleh dibilang masih ‘rekannya’, sama-sama datuk kaum sesat. Karena itu, jika sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia merasa penasaran sekali.
“Hei, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kau hadapi itu?” kata Thian Sin mengejek.
See-thian-ong terbelalak, akan tetapi dia masih belum mengerti benar, atau kalau pun dia telah mengerti, dia sama sekali tak percaya. “Tapi… Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh…!” katanya.
“See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa semalam engkau memperlakukan aku sebagai anjing?”
Wajah See-thian-ong menjadi pucat sekali. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan semalam dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin sedang mempermainkannya, atau sengaja menggunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.
“Siapa pun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah.
Hawa pukulan yang sangat dahsyat menyambar. Kim Hong cepat mengerahkan sinkang untuk menyambutnya, dengan mengerahkan Ilmu Bian-kun (Ilmu Tangan Kapas). Tenaga sinkang yang saat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekali pun tanpa terluka.
“Plakkk!”
See-thian-ong terkejut sekali pada saat merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan dia pun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang telah menyambar ganas.
“Benarkah… engkau… Lam-sin…?” See-thian-ong berseru, kaget bukan kepalang karena dia pun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin.
“Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!”
“Nona, jawablah, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mukjijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat dia pun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.
“Aku… aku…”
“See-thian-ong, manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini adalah lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut lantas melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu.
“Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru.
See-thian-ong mengangguk, maka Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar pada tangan kanan serta rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang dara ini berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya kembali di balik punggung setelah dia merobohkan semua pengeroyok.
Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya semakin berkurang setelah mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup.
Si Codet memejamkan kedua matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup dari pada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal sudah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang karena dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu.
Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis dari pada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiri pun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu sungguh berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus, tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!
Sesudah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu sekarang bergunduk berupa sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.
“A-ciang…!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah itu sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang…! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri.
Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andai kata temannya dapat mendengarnya sekali pun, tentu teman itu sudah tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.
Si Codet tak lagi memanggil pada saat Thian Sin sudah kembali datang dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan ketiga orang itu. Orang ini mempunyai kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu amat mirip dengan muka seekor monyet.
Saat Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan.
“Pendekar Sadis, apa yang kau lakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya.
Thian Sin tak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia dapat melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sute-nya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sute-nya tadi tentu sudah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sute-nya itu belum mati, maka dia bertanya,
“Tauw-sute, di mana Ciang-sute?”
Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba sepasang mata A-tauw itu terbelalak bagaikan orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan dia pun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kini kepala yang penuh dengan tanah itu keluar, matanya berkedip-kedip akibat kemasukan tanah, bibirnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula.
Ternyata Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati. Ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah sehingga dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.
Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku?”
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu lalu memaki dengan suara seperti orang yang lehernya dicekik, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin.
Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan laksana harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan hanya dengan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang sudah tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.
“Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam hendak menyiksa kawanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong serta seluruh anak buahnya pun akan kusiksa sampai mati semuanya. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.”
Berkata demikian, tiba-tiba saja leher Si Muka Monyet itu sudah dibelit sabuknya sendiri lantas sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin sudah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya!
Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu sudah menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar, kemudian tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Thian Sin melepaskan ujung sabuk hingga tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap bagai ikan yang dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.
“Nah, apa yang hendak kau katakan?” katanya kemudian.
“Gadis itu… dia… ditawan… di pondok merah… dekat Telaga Ching-hai…”
Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau ada dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasannya. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu langsung menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka sudah tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, dan yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya!
Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya untuk berlari menuju ke Telaga Ching-hai!
********************
Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, dia pun mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri lalu pada saat dia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika dia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah dia bahwa dia sudah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.
Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Dia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa dia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih hidup. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan memiliki suatu rencana kenapa dia masih dibiarkan hidup. Dan selama dia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.
Pandang matanya menyatakan bahwa dia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Dia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana dia rebah miring.
Kedua kakinya bebas, akan tetapi sepasang lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah dia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi itu telah melukai sepasang pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat.
Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, dia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apa lagi bermusuhan. Jelaslah bahwa dia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.
Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong bisa menduga bahwa tentu dia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan dia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya serta berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal inilah yang dikehendaki oleh pihak musuh, yaitu memancing datangnya Thian Sin.
Ini berarti bahwa dia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa dia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sin-lah yang terancam. Dia harus bisa lolos untuk memperingatkan Thian Sin!
Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di pinggir pembaringan. Pertama-tama, dia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, maka dia masih akan dapat menjaga dan melindungi dirinya.
Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya dua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapa pun juga, dia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Dia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.
Namun hal ini jauh lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan. Dengan pengerahan sinkang, mungkin saja dia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu dia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan apa bila urat besarnya yang sampai terluka, maka dapat berbahaya juga.
Apa lagi ketika dia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, dia pun memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidak-tidaknya harus ada bantuan tangan orang lain yang membukanya.
Kim Hong bangkit lantas memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan, meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.
Lebih dari dua jam dia bekerja, mengerahkan tenaga, tapi hasilnya baru sedikit saja, baru mulai bisa merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh-sungguh memakan banyak sekali tenaga di dalam badan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya, maka Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.
Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang semuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja dia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang hendak dipancing dan dijebak, tentu dia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi dia menahan dirinya.
Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Apa bila mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek.
Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah dia pun bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Salah seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.
Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walau pun tingkatnya belum setinggi tingkat para suheng-nya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia serta dua orang sute-nya yang bertugas menjaga di situ mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong.
Si Jangkung tersenyum mengejek pada waktu melihat gadis itu agaknya hendak melawan akan tetapi tidak berdaya. Dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka pada pergelangan lengannya.
“Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?”
“Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?”
Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
“Nona manis, simpanlah kegalakanmu itu. Sekarang engkau sudah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.”
“Ahhh…!” Dengan sengaja Kim Hong menunjukkan kekagetannya dan juga menunjukkan rasa takut.
Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba-coba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.”
Kim Hong masih menunjukkan sikapnya yang ketakutan, kemudian dia pun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?”
Dia disuruh berjalan di muka, sementara tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biar pun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin sekali bahwa dengan kedua kakinya saja, dia akan mampu merobohkan tiga orang ini.
Akan tetapi hal ini tidak dia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, dia tak akan mau bertindak sembrono karena dia akan gagal jika harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan sepasang tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini dia harus menggunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.
Ruangan itu sangat luas. See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam dia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia pun memandang marah.
“Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.
Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi dia segera menegakkan kepalanya lalu memandang kepada See-thian-ong, kini sedikit pun tidak menunjukkan rasa takut. Baru sekarang inilah dia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih terlihat gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar serta berkulit hitam ini. Selama dia menjadi Lam-sin, dia baru mendengar nama saja dari ‘rekan’ ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.
“Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.
Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis, yang berpakaian mewah dan pesolek, ada pun di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini adalah murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik.
Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.
Melihat So Cian Ling juga berada di situ, Kim Hong yang tadinya tak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?”
See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya sangat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapa pun banyaknya arak memasuki perutnya.
“Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkau pun cukup manis. Siapakah namamu, nona?”
“Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.
She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka dia pun tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka dia she Kim dan bernama Hong.
“Nama yang manis, seperti juga orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Kini nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.”
“Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.
“Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya bila Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandangan mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, secara diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Dia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suheng-nya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja dia merasa iri sekali.
“Perempuan rendah,” kata So Cian Ling, “kau dengarlah baik-baik. Kami sudah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Apa bila sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan hingga mati. Pertama-tama, engkau akan diberikan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!”
Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah semua masalahku. Namun engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, hingga engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik dari pada nasibmu.”
“Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.
“Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong mencegah sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu dia mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku sangat kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuk dia!” perintahnya kepada seorang murid.
Salah seorang di antara murid-muridnya yang ikut mengurung tempat itu segera maju. Dia membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.
“Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.
Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti serta daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja dia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena dia tak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar.
Dia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Jika menuruti hatinya, tentu saja dia lebih baik memilih mati dari pada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Dia bisa menduga bahwa mereka semua ini amat membenci Thian Sin, kecuali Cian Ling mungkin, tetapi Cian Ling pun tentu saja amat membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat dia terhina, juga ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas.
Kalau dia menolak suguhan ini, berarti dia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini akan sangat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai dia kelaparan, maka dia akan lemas dan ilmu silatnya pun tidak akan mampu menolong tubuh yang kelaparan.
Maka Kim Hong lalu memusatkan pikiran, mendiamkan pikirannya hingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, kemudian dia pun lalu menekuk tubuhnya ke depan.
“Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.
Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang telah dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan bagaikan seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring sehingga perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanyalah merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!
Biar pun agak sulit, karena piring itu kadang-kadang terdorong ke depan hingga terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Kini badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering sehingga dia ingin sekali minum.
“See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”!
“Ha-ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali.
Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu maka sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lantas mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.
Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Ia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari ketiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu, dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu.
Tidak sulit menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, dia segera memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.
Dengan lindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk. Kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong, dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng sesudah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang.
Apa bila menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, dia pun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia langsung dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia bisa menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk dapat melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong.
Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Jika saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati!
Jika See-thian-ong cerdik, tentu Kim Hong akan dibunuhnya seketika itu juga, tidak malah mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dia pun sudah mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.
Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, maka padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.
“Sekarang bawa dia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak cukup berharga untuk menjadi lawan yang ditakuti. “Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!”
Maka terhindarilah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguh pun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Dia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa dia akan diperkosa oleh dua puluh orang kalau Thian Sin tidak muncul, justru merupakan pertanda bahwa apa bila Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu dia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi.
Tak ada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan dia seperti itu. Akan tetapi jika Thian Sin terkena pancingan lalu datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan dia diperkosa oleh banyak orang di hadapan matanya. Hal ini dia yakin benar!
Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, malah membiarkan dia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika dia kelak ‘dibantai’ oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.
Sementara itu, Thian Sin terus mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka dia pun dengan cepat dan berhati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, lalu mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan.
Pada saat mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng kemudian mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.
“Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok,” Si Muka Bopeng berbisik. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi berusaha ditahannya dan dia bergegas memasuki kamar tahanan itu.
“Nanti dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong.
Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu dua pergelangan tangan Kim Hong agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong sehingga gadis ini menggigit bibirnya.
Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih dia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan dari pada kekurang ajaran dua orang temannya.
“Awas, nanti kau akan kubunuh lebih dulu…!” kata suara hati Kim Hong saat Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
Thian Sin sempat melihat ini semua. Tangannya pun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil kawan-kawannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Dia pun lalu meneliti keadaan kamar itu.
Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang bagian atasnya berjeruji. Tak mungkin untuk memasuki dari pintu. Maka dia pun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu sangat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apa lagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal.
Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan itu. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia pun dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga paku itu terlihat, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu.
Dan akhirnya berhasillah ia membongkar papan persegi selebar satu meter itu, kemudian mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.
Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang telah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lantas gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu.
Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka dia pun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan ‘aman’. Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa berbicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian dia pun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua pergelangan lengan kekasihnya. Untuk sejenak Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.
“Mereka sedang bermain kartu…,” bisiknya.
“Hanya bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.
“Kita pancing mereka masuk,” kata Thian Sin.
Kim Hong mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan orang yang terdekat dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang.
Diam-diam Thian Sin amat kagum. Tak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, sebab sikapnya memang bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seperti seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.
Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada lengannya lantas rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah menggunakan darah yang membasahi kedua tangannya, dioleskan pada pipi serta dahinya dan sekarang dia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu. Dia merintih-rintih lirih.
Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu, yang kemudian bergegas bangkit menuju pintu kamar tahanan sehingga nampaklah wajah tiga orang penjaga itu. Si jangkung dan teman-temannya terkejut sekali dipan sudah terguling, apa lagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah.
“Celaka… dia membunuh diri…,” kata si jangkung yang cepat-cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya. Si jangkung cepat menghampiri Kim Hong lalu berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu.
Pada saat itu, selagi si jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.
Kim Hong menyambut si jangkung yang berjongkok itu dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggota kelamin orang itu lalu pada detik berikutnya, pada waktu si jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong sudah menyambar ke arah tenggorokan.
“Krekkk!”
Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluarnya teriakan si jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah cepat menyambarnya.
Pada detik yang hampir bersamaan, nampak pula cahaya perak berkelebat dua kali dan dua orang penjaga lainnya sudah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya cahaya pedang menyambar sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriak pun tidak sempat lagi karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka ini pun roboh dan cepat disambar oleh tangan Thian Sin sebelum berdebuk.
“Bagaimana pergelangan tanganmu?” bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan semua mayat itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Dara itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakannya.
“Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya,” jawabnya.
“Tidak nyeri kalau digerakan? Kita akan menghadapi banyak lawan tangguh.”
“Tidak, dan aku sudah siap sedia menghadapi mereka.”
“Bagus. Nih, kau pakai pedangku……”
“Tidak perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas.”
Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah dia mencoba memutar-mutar sepasang pedang itu dan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, “Mari, aku sudah siap!”
Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.
“Engkau tadi tidak takut…..?” Thian Sin bertanya dengan bisikan.
“Tidak, sejak tadi aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, aku pun tentu akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa untuk membukakan belenggu ini,” jawab Kim Hong tenang.
Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu. Meski dengan kedua pergelangan lengan terbelenggu sekali pun Kim Hong pasti akan dapat membunuh mereka bertiga itu.
“Sekarang marilah kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya terhadapmu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!” kata Thian Sin.
“Kita harus berhati-hati, jangan sampai kita melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia dan berbahaya.”
“Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk kita bunuh,” kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok sekali dengan rencananya.
Kini setelah langit-langit itu berlubang, tentu saja keduanya dengan mudah bisa meloncat dan menerobos melalui lubang lantas menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas, Thian Sin lalu berbisik,
“Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak.”
Kim Hong mengangguk dan mereka pun berpencar. Tidak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga sehingga keadaan menjadi panik. Apa lagi ketika terdengar pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.
See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang sudah melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran.
Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lainnya, dia lalu melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang sudah mengamuk dari dua jurusan itu.
See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah cahaya api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, maka kedua orang muda itu langsung terkepung.
Thian Sin segera menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.
“Hemmm, ternyata See-thian-ong yang kabarnya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu…!” kata Kim Hong.
“Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!” Thian Sin menambahkan.
Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Sepasang matanya melotot seakan-akan dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.
“Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!” bentaknya.
“Wah, betulkah? Apakah ada yang dapat mengantarku ke kematian? Hemmm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali.
Akan tetapi, biar pun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah padanya. Maka dia pun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan satu tingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!
“Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!”
Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seakan-akan melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.
Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek dan tidak memegang senjata, maka belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlomba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang lagi dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam sudah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!
Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan dia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggota rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan.
“Tokkk!”
Hanya terdengar suara itu dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar.
“Plakk-plakk!”
Kembali terdengar suara dan kedua orang itu pun roboh dengan kepala retak. Lima orang itu pun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!
Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan terkejut bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas hanya dalam satu gebrakan saja, menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing.
Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar telah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal amat lihai dalam permainan tongkat Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuh gadis itu, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka.
Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu dia bergerak, semua orang segera terkejut sebab tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya tampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah yang muncrat di sana-sini lalu sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Sesudah dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya!
See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut sekali, lalu mengerutkan alisnya dan membentak, “Bukankah itu adalah Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” bentakan ini lantas disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam.
Betapa pun juga, Lam-sin boleh dibilang masih ‘rekannya’, sama-sama datuk kaum sesat. Karena itu, jika sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia merasa penasaran sekali.
“Hei, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kau hadapi itu?” kata Thian Sin mengejek.
See-thian-ong terbelalak, akan tetapi dia masih belum mengerti benar, atau kalau pun dia telah mengerti, dia sama sekali tak percaya. “Tapi… Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh…!” katanya.
“See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa semalam engkau memperlakukan aku sebagai anjing?”
Wajah See-thian-ong menjadi pucat sekali. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan semalam dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin sedang mempermainkannya, atau sengaja menggunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.
“Siapa pun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah.
Hawa pukulan yang sangat dahsyat menyambar. Kim Hong cepat mengerahkan sinkang untuk menyambutnya, dengan mengerahkan Ilmu Bian-kun (Ilmu Tangan Kapas). Tenaga sinkang yang saat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekali pun tanpa terluka.
“Plakkk!”
See-thian-ong terkejut sekali pada saat merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan dia pun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang telah menyambar ganas.
“Benarkah… engkau… Lam-sin…?” See-thian-ong berseru, kaget bukan kepalang karena dia pun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin.
“Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!”
“Nona, jawablah, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mukjijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat dia pun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.
“Aku… aku…”
“See-thian-ong, manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini adalah lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut lantas melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu.
“Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru.
See-thian-ong mengangguk, maka Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar pada tangan kanan serta rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang dara ini berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya kembali di balik punggung setelah dia merobohkan semua pengeroyok.
Selanjutnya,