Pendekar Sadis Jilid 34
SEMENTARA itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, secara diam-diam telah mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, lalu tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur,
“Ceng Thian Sin, engkau tidak akan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!”
Dengan jari-jari terbuka sepasang tangannya dikembangkan ke depan, dengan seluruh jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang sangat kuatnya, mempunyai daya sihir yang sangat berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa!
“Ha-ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!”
Kakek itu maklum bahwa sekarang musuhnya ternyata telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!”
Begitu menyerang, See-thian-ong langsung mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak, dan saat kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin.
Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek ini pun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dahulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, sekarang ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin yang beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya.
Namun Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin yang dulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi semua ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekali tak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Namun sesudah mereka menyerang secara bertubi-tubi dengan cara yang sangat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lima orang ini bila maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya.
Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang sangat kuat, ada kalanya mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) tetapi kadang kala berubah pula menjadi barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera dia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya.
Karena itu Kim Hong terpaksa mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu, kemudian melawan lima naga dari Ching-hai dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, pada satu pihak pertandingan antara Thian Sin dengan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.
Betapa pun lihainya Ching-hai Ngo-liong, menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja mereka tidak cepat saling melindungi kembali.
Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh sangat berbahaya. Kalau saja semalam semua senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tak dirampas musuh, tentu semenjak tadi telah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.
Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini merasa bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang kini menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Dia merasa bahwa dia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan berat itu, boleh dibilang bantuannya tak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hong pun dia merasa bahwa tenaganya terlampau lemah.
Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga merasa bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu malah akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya.
Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin kini mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menunjukkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Sesudah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa kini lawannya ini sungguh tangguh sekali, jauh lebih lihai dari pada satu setengah tahun yang lalu.
Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh sangat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Jauh lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dalam keadaan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri dari pada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam.
Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia sudah mempelajari secara salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa jika terus dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri.
Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu, dan mau tidak mau kadang-kadang tanpa disengaja dia teringat lantas mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung sehingga sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walau pun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, semenjak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi sesudah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapa pun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!
“Singgggg…!”
Demikian kuatnya ia menyambar kemudian menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya segera bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang.
Thian Sin tersenyum mengejek. Akan tetapi pemuda ini langsung maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo Pang-hoat, maka biar pun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya agar supaya bisa menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya dia mampu menggungguli See-thian-ong, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosong pun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong itu juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong dibuat sibuk sekali hingga pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.
Melihat ini, Cian Ling tak dapat tinggal diam saja. Biar pun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat dia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, dia masih setingkat lebih lihai dari pada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Dia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan apa bila bekerja sama, tapi kini kerja sama mereka sudah kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya.
Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka dia segera menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan.
Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi telah hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan.
Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.
Melihat isterinya yang juga sumoi-nya itu sudah terjun pula ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa tadi gurunya sudah terdesak hebat, dan kini setelah gurunya menggunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu.
Ciang Gu Sik lalu menyiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang sangat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
Kini See-thian-ong mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih sangat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan dia pun maklum bahwa sekali ini, jika dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiri pun agaknya tidak akan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat.
Maka, sesudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, dia pun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menubruk ke depan. Tongkatnya menyambar-nyambar secara ganas, mencurahkan seluruh perhatian untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan segenap tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.
Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!
“Dukkk…!”
Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, namun karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, maka pukulan itu tidak melukainya.
“Desss…!”
Pada detik berikutnya pundak Thian Sin disambar oleh ujung joan-pian, membuat bajunya robek, juga kulit serta sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa tadi dia masih sempat melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu hanya mengenai pundaknya.
Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada waktu Thian Sin sedang menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhu-nya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga sepenuhnya, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu tengah ditinggalkan kekuatan sinkang sebab baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak mampu melindungi pundaknya yang akhirnya terluka oleh senjata itu.
Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik. Akan tetapi murid See-thian-ong yang amat cerdik ini sudah cepat meloncat jauh ke belakang sehingga dapat terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia telah menerjang kembali dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri sehingga membuat dia marah.
Seperti kita ketahui, tadi Cian Ling turut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong. Pada waktu dia melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suheng-nya, wanita ini menjadi amat khawatir. Bagaimana pun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian hingga berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik.
Kini, ketika melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu tetap bersiap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, secara tiba-tiba Cian Ling menjadi marah Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.
Tanpa banyak cakap lagi, Cian Ling cepat meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang sudah bisa mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lantas menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu, bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, namun untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping!
Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu adalah untuk menyerang dirinya, maka dia pun tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu telah menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak, kemudian terbelalak memandang pada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba saja See-thian-ong menubruk ke depan sambil memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang!
Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya, tahu-tahu Cian Ling sudah kena terpukul dadanya hingga wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan dia pun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
“Cian Ling… kenapa kau… kau membunuhku…?”
“Suheng… maaf… aku cinta padanya…”
Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas serta pedang Gin-hwa-kiam, lalu dia menyerang See-thian-ong secara hebat. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya sambil membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sejak tadi dia telah dapat merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dia anggap cukup hebat itu, dan pula, dia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya.
Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, maka dia pun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi tidak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin kemudian terkena serangan mendadak dari Gu Sik hingga pundaknya terluka.
Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu sehingga lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apa lagi sekarang Cian Ling sudah tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika.
Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut ketiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itu pun roboh dengan jantung tertembus pedang!
Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong sempat melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya lalu mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka dia pun mengambil senjata rahasia ini.
Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih sanggup melawan dengan tidak kurang kuatnya dari pada tadi.
“Thian Sin, engkau mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” Kim Hong berkata dengan suara gembira.
Thian Sin meloncat ke belakang. Apa bila dilanjutkan, tentu saja akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia juga tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu untuk mencoba kepandaian datuk barat!
“Maju dan cobalah macan tua ompong ini!” katanya.
Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya sudah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini demikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
“Tranggg!”
See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, kemudian dia membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?”
Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada tinggal Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
“Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!”
“Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa bahwa kini aku bukan lagi Lam-sin, namun gadis biasa saja, Toan Kim Hong yang hendak mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!”
“Bagus, bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu telah menerjang dengan dahsyatnya.
Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka meski pun nanti dia akan kalah, bila dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, maka puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya kenapa kakek itu lalu mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin cepat menghampiri Cian Ling lantas memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali ketika melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, dia lalu tersenyum.
“Cian Ling…!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?”
“Thian Sin… aku… aku cinta padamu… aku tidak tahan melihat engkau terancam… dan aku… tidak dapat hidup… tanpa engkau…”
Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan terhadap gadis ini. Bagaimana pun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguh pun dia suka sekali padanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?
“Ciang Ling…” Thian Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang.
Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dengan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, maka dia pun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan dia pun bangkit berdiri.
“Thian Sin…”
Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
“Kau… kau cinta padanya…?”
Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini sehingga dia pun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walau pun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itulah yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
“Ahhh… dia… dia bahagia… aku… aku… iri kepadanya…”
Nafas gadis itu tinggal satu-satu sehingga Thian Sin memandang dengan hati iba sekali. “Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin… maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman…”
Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba maka dia pun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, lantas kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu pula Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada waktu dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main ketika melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tak sempat mengelak, maka dia menangkis dan…
“Desss…!” Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
“Ehhh… kau sudah gila…?”
“Engkaulah yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya!
Thian Sin menangkis beberapa kali, kemudian meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata ginkang dari gadis ini yang paling hebat maka dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong!
Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang Kim Hong yang sedang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan dia mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.
Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.
“Dessss…!”
Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang lantas dia pun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.
“Engkau telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. “Ehh, kenapakah…?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum. “Ehhh, apakah engkau… marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, dia… dia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman. Kini dia telah mati, harap kau tidak cemburu!”
“Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampus pun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Jika memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!”
Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka dia pun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
“Hemm, kalian tak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan… terdengarlah suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi!
Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tak dapat melarikan diri. Maka, dari pada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin segera mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia pun menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tak melihat Kim Hong lagi di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkan dia dan pergi entah ke mana.
“Kim Hong…!” Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia saja, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dan akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong beserta anak buahnya. Akan tetapi tempat itu sudah menjadi sunyi sekali. Kebakaran sudah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tak ada seorang pun berada di tempat itu.
Ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, juga tidak nampak seorang pun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong sudah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.
Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama kalangan kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa-sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu.
Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu.
Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan sanggup mengalahkan See-thian-ong bahkan juga mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk serta semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuh datuk itu dan para muridnya itu mestinya sangat menggembirakan hati Thian Sin. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau gembira, bahkan merasa gelisah dan bingung. Dia tahu, semua ini disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit.
Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian serta kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah hal ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia berjumpa dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah hal ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?
Thian Sin mengeraskan hatinya. Bila Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, maka dia pun tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apa pun!
Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, jika seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan, hubungan itu pun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biar pun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja apa bila Kim Hong tidak ingin berjumpa dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari semuanya itu, Kim Hong memiliki ginkang yang lebih tinggi dari pada dia sehingga andai kata dia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri maka dia tak akan mampu mengejar dan menyusulnya.
Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, dia pun lalu pergi menuju ke Tai-goan.
Dia sudah berhasil menundukkan dua orang di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong sudah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itu pun merupakan musuhnya, dan kali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.
Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan amat tidak menyenangkan. Dahulu dia pernah merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu setelah dia memperoleh kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, dari pada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, kemudian timbullah perasaan kesepian yang akhirnya menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara.
Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan perasaan kosong dan sunyi. Dia sering membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia sudah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap penjahat!
Dia memang sudah berniat hendak membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, jika semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan.
Thian Sin mengenang hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama, wanita yang berdekatan dengan dia adalah Bhe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang menjadi cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya.
Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia merasa amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang sudah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih dari pada wanita-wanita lain sebelumnya.
Lantas ada pula Bin Biaw, yakni puteri tunggal Tung-hai-sian yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di sana hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul Ang Bwe Nio anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dibuntungi hidungnya karena telah menghianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.
Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu birahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semuanya itu mendatangkan duka, setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperistrinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperistri dara itu gagal.
Apakah perasaan kepada Lian Hong itu adalah cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu birahi belaka? Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!
Tai-goan adalah kota besar ke dua setelah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Huang-ho.
Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka hubungan antara Kota Tai-goan dan kota-kota lainnya tentu saja menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat dilalui air, dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Huang-ho, sangatlah luasnya. Karena hubungan daerah dan kota-kota lainnya amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.
Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, telah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke kota raja! Dan tentu saja berita ini telah pula terdengar oleh Pak-san-kui!
Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia mempunyai banyak perusahaan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi serta rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang semua adalah miliknya, atau kalau pun milik orang lain, tentu berada dibawah kekuasaannya.
Datuk kalangan sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong.
Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw serta para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).
Saat mendengar tentang terbunuhnya See-thian-ong dan murud-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu.
Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han How itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Walau pun selama ini, sejak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan menggunakan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.
Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah seorang muda, dan alangkah mudahnya bagi seorang pemuda untuk mendapatkan kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Karena itu dia pun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.
“Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah si Pendekar Sadis, dan jika benar demikian, sudah tentu pada suatu hari dia akan muncul di sini,” kata Pak-san-kui.
“Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, kita takut apa? Dahulu pun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua dan dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, terlebih kalau kita mengerahkan sepasukan orang-orang pilihan lagi, tentu kita akan sanggup membekuknya! Kiraku, kita berlima saja akan cukup untuk membekuknya, betapa pun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?”
Pak-thian Sam-liong mengangguk. “Betul sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri, sudah setingkat, apa lagi kalau kita berlima maju bersama-sama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau bahkan membunuhnya sekalian.”
Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya ini, legalah hati Pak-san-kui. “Betapa pun juga kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,” katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat-cepat menyatakan kesanggupan mereka.
“Wi Hong,” katanya kepada puteranya. “Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun dan undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan.”
“Baik, ayah.” Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.
Siong-ciangkun atau komandan Siong adalah orang yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan mau pun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan yang baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Dia pun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi kemungkinan datangnya Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.
Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak menampakkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sin, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan tak lupa dia menyerahkan bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat.
Seratus orang anggota pasukan pilihan segera dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini, lalu mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, dan terutama sekali segera menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota. Hanya repotnya bagi para petugas ini adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis.
Pak-san-kui sendiri belum berani memastikan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itu baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Dia pun tak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis?
Maka dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang sudah terang menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan apa bila Pendekar Sadis bukan Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seseorang yang berbahaya dan sama sekali belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.
Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan. Para anggota pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!
Thian Sin juga bukan orang yang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka meski pun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun dia pun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri.
Maka sebelum pergi ke tempat lain, lebih dahulu dia mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di tempat penginapan karena biar pun dia bisa mempergunakan nama palsu, dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui tentu akan mengetahui tempat itu.
Dan hatinya pun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang bekerja sebagai kuli pengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu ditempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam rombeng.
Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu oleh kenalan-kenalan, maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap supaya jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberi tahukan kepada siapa pun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.
Sesudah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah perkotaan yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja telah menimbulkan selera, maka dia pun lalu memasuki rumah makan itu.
“Selamat sore, kongcu,” seorang pelayan menyambutnya dengan manis. “Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?”
Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa di dalam ruangan itu telah banyak juga tamunya, maka dia pun menjawab bahwa dia ingin makan di loteng. Pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin tiba-tiba berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!
“Kenapa, kongcu?” pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya ketika melihat pemuda itu berhenti.
“Aku tidak senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,” kata Thian Sin.
“Baik, kongcu,” kata pelayan itu yang segera turun kembali.
Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja. Dia sempat melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika mengenal pemuda itu.
Andai kata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yangkim yang tergeletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang kemana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga menjadi senjatanya yang ampuh itu?
Dan Kim Hong duduk satu meja dengan pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang sangat lihai! Cepat dia pun turun dari tangga loteng itu dan memilih tempat duduk ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan.
Ketika pelayan datang sambil membawa masakan yang dipesannya, Thian Sin langsung membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan sangat perlahan-lahan, sama sekali tidak merasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seakan-akan dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan mesra dengan Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas.
Baru saja selesai makan, ia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak saling bergandengan tangan, akan tetapi lantas terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itu pun cukuplah bagi Thian Sin untuk menumbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti ‘ada apa-apa’ antara mereka itu. Dan mereka pun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sejak tadi sudah menanti di luar restoran.
“Ceng Thian Sin, engkau tidak akan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!”
Dengan jari-jari terbuka sepasang tangannya dikembangkan ke depan, dengan seluruh jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang sangat kuatnya, mempunyai daya sihir yang sangat berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa!
“Ha-ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!”
Kakek itu maklum bahwa sekarang musuhnya ternyata telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!”
Begitu menyerang, See-thian-ong langsung mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak, dan saat kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin.
Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek ini pun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dahulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, sekarang ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin yang beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya.
Namun Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin yang dulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi semua ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekali tak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Namun sesudah mereka menyerang secara bertubi-tubi dengan cara yang sangat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lima orang ini bila maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya.
Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang sangat kuat, ada kalanya mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) tetapi kadang kala berubah pula menjadi barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera dia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya.
Karena itu Kim Hong terpaksa mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu, kemudian melawan lima naga dari Ching-hai dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, pada satu pihak pertandingan antara Thian Sin dengan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.
Betapa pun lihainya Ching-hai Ngo-liong, menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja mereka tidak cepat saling melindungi kembali.
Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh sangat berbahaya. Kalau saja semalam semua senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tak dirampas musuh, tentu semenjak tadi telah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.
Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini merasa bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang kini menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Dia merasa bahwa dia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan berat itu, boleh dibilang bantuannya tak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hong pun dia merasa bahwa tenaganya terlampau lemah.
Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga merasa bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu malah akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya.
Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin kini mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menunjukkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Sesudah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa kini lawannya ini sungguh tangguh sekali, jauh lebih lihai dari pada satu setengah tahun yang lalu.
Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh sangat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Jauh lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dalam keadaan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri dari pada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam.
Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia sudah mempelajari secara salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa jika terus dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri.
Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu, dan mau tidak mau kadang-kadang tanpa disengaja dia teringat lantas mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung sehingga sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walau pun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, semenjak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi sesudah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapa pun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!
“Singgggg…!”
Demikian kuatnya ia menyambar kemudian menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya segera bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang.
Thian Sin tersenyum mengejek. Akan tetapi pemuda ini langsung maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo Pang-hoat, maka biar pun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya agar supaya bisa menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya dia mampu menggungguli See-thian-ong, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosong pun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong itu juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong dibuat sibuk sekali hingga pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.
Melihat ini, Cian Ling tak dapat tinggal diam saja. Biar pun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat dia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, dia masih setingkat lebih lihai dari pada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Dia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan apa bila bekerja sama, tapi kini kerja sama mereka sudah kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya.
Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka dia segera menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan.
Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi telah hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan.
Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.
Melihat isterinya yang juga sumoi-nya itu sudah terjun pula ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa tadi gurunya sudah terdesak hebat, dan kini setelah gurunya menggunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu.
Ciang Gu Sik lalu menyiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang sangat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
Kini See-thian-ong mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih sangat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan dia pun maklum bahwa sekali ini, jika dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiri pun agaknya tidak akan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat.
Maka, sesudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, dia pun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menubruk ke depan. Tongkatnya menyambar-nyambar secara ganas, mencurahkan seluruh perhatian untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan segenap tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.
Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!
“Dukkk…!”
Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, namun karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, maka pukulan itu tidak melukainya.
“Desss…!”
Pada detik berikutnya pundak Thian Sin disambar oleh ujung joan-pian, membuat bajunya robek, juga kulit serta sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa tadi dia masih sempat melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu hanya mengenai pundaknya.
Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada waktu Thian Sin sedang menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhu-nya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga sepenuhnya, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu tengah ditinggalkan kekuatan sinkang sebab baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak mampu melindungi pundaknya yang akhirnya terluka oleh senjata itu.
Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik. Akan tetapi murid See-thian-ong yang amat cerdik ini sudah cepat meloncat jauh ke belakang sehingga dapat terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia telah menerjang kembali dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri sehingga membuat dia marah.
Seperti kita ketahui, tadi Cian Ling turut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong. Pada waktu dia melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suheng-nya, wanita ini menjadi amat khawatir. Bagaimana pun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian hingga berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik.
Kini, ketika melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu tetap bersiap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, secara tiba-tiba Cian Ling menjadi marah Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.
Tanpa banyak cakap lagi, Cian Ling cepat meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang sudah bisa mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lantas menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu, bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, namun untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping!
Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu adalah untuk menyerang dirinya, maka dia pun tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu telah menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak, kemudian terbelalak memandang pada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba saja See-thian-ong menubruk ke depan sambil memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang!
Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya, tahu-tahu Cian Ling sudah kena terpukul dadanya hingga wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan dia pun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
“Cian Ling… kenapa kau… kau membunuhku…?”
“Suheng… maaf… aku cinta padanya…”
Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas serta pedang Gin-hwa-kiam, lalu dia menyerang See-thian-ong secara hebat. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya sambil membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sejak tadi dia telah dapat merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dia anggap cukup hebat itu, dan pula, dia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya.
Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, maka dia pun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi tidak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin kemudian terkena serangan mendadak dari Gu Sik hingga pundaknya terluka.
Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu sehingga lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apa lagi sekarang Cian Ling sudah tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika.
Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut ketiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itu pun roboh dengan jantung tertembus pedang!
Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong sempat melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya lalu mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka dia pun mengambil senjata rahasia ini.
Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih sanggup melawan dengan tidak kurang kuatnya dari pada tadi.
“Thian Sin, engkau mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” Kim Hong berkata dengan suara gembira.
Thian Sin meloncat ke belakang. Apa bila dilanjutkan, tentu saja akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia juga tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu untuk mencoba kepandaian datuk barat!
“Maju dan cobalah macan tua ompong ini!” katanya.
Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya sudah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini demikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
“Tranggg!”
See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, kemudian dia membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?”
Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada tinggal Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
“Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!”
“Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa bahwa kini aku bukan lagi Lam-sin, namun gadis biasa saja, Toan Kim Hong yang hendak mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!”
“Bagus, bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu telah menerjang dengan dahsyatnya.
Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka meski pun nanti dia akan kalah, bila dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, maka puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya kenapa kakek itu lalu mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin cepat menghampiri Cian Ling lantas memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali ketika melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, dia lalu tersenyum.
“Cian Ling…!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?”
“Thian Sin… aku… aku cinta padamu… aku tidak tahan melihat engkau terancam… dan aku… tidak dapat hidup… tanpa engkau…”
Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan terhadap gadis ini. Bagaimana pun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguh pun dia suka sekali padanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?
“Ciang Ling…” Thian Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang.
Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dengan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, maka dia pun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan dia pun bangkit berdiri.
“Thian Sin…”
Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
“Kau… kau cinta padanya…?”
Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini sehingga dia pun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walau pun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itulah yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
“Ahhh… dia… dia bahagia… aku… aku… iri kepadanya…”
Nafas gadis itu tinggal satu-satu sehingga Thian Sin memandang dengan hati iba sekali. “Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin… maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman…”
Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba maka dia pun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, lantas kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu pula Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada waktu dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main ketika melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tak sempat mengelak, maka dia menangkis dan…
“Desss…!” Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
“Ehhh… kau sudah gila…?”
“Engkaulah yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya!
Thian Sin menangkis beberapa kali, kemudian meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata ginkang dari gadis ini yang paling hebat maka dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong!
Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang Kim Hong yang sedang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan dia mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.
Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.
“Dessss…!”
Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang lantas dia pun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.
“Engkau telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. “Ehh, kenapakah…?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum. “Ehhh, apakah engkau… marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, dia… dia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman. Kini dia telah mati, harap kau tidak cemburu!”
“Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampus pun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Jika memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!”
Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka dia pun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
“Hemm, kalian tak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan… terdengarlah suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi!
Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tak dapat melarikan diri. Maka, dari pada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin segera mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia pun menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tak melihat Kim Hong lagi di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkan dia dan pergi entah ke mana.
“Kim Hong…!” Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia saja, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dan akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong beserta anak buahnya. Akan tetapi tempat itu sudah menjadi sunyi sekali. Kebakaran sudah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tak ada seorang pun berada di tempat itu.
Ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, juga tidak nampak seorang pun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong sudah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.
Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama kalangan kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa-sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu.
Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu.
Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan sanggup mengalahkan See-thian-ong bahkan juga mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk serta semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuh datuk itu dan para muridnya itu mestinya sangat menggembirakan hati Thian Sin. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau gembira, bahkan merasa gelisah dan bingung. Dia tahu, semua ini disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit.
Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian serta kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah hal ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia berjumpa dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah hal ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?
Thian Sin mengeraskan hatinya. Bila Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, maka dia pun tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apa pun!
Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, jika seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan, hubungan itu pun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biar pun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja apa bila Kim Hong tidak ingin berjumpa dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari semuanya itu, Kim Hong memiliki ginkang yang lebih tinggi dari pada dia sehingga andai kata dia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri maka dia tak akan mampu mengejar dan menyusulnya.
Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, dia pun lalu pergi menuju ke Tai-goan.
Dia sudah berhasil menundukkan dua orang di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong sudah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itu pun merupakan musuhnya, dan kali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.
Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan amat tidak menyenangkan. Dahulu dia pernah merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu setelah dia memperoleh kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, dari pada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, kemudian timbullah perasaan kesepian yang akhirnya menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara.
Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan perasaan kosong dan sunyi. Dia sering membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia sudah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap penjahat!
Dia memang sudah berniat hendak membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, jika semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan.
Thian Sin mengenang hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama, wanita yang berdekatan dengan dia adalah Bhe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang menjadi cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya.
Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia merasa amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang sudah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih dari pada wanita-wanita lain sebelumnya.
Lantas ada pula Bin Biaw, yakni puteri tunggal Tung-hai-sian yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di sana hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul Ang Bwe Nio anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dibuntungi hidungnya karena telah menghianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.
Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu birahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semuanya itu mendatangkan duka, setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperistrinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperistri dara itu gagal.
Apakah perasaan kepada Lian Hong itu adalah cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu birahi belaka? Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!
********************
Tai-goan adalah kota besar ke dua setelah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Huang-ho.
Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka hubungan antara Kota Tai-goan dan kota-kota lainnya tentu saja menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat dilalui air, dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Huang-ho, sangatlah luasnya. Karena hubungan daerah dan kota-kota lainnya amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.
Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, telah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke kota raja! Dan tentu saja berita ini telah pula terdengar oleh Pak-san-kui!
Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia mempunyai banyak perusahaan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi serta rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang semua adalah miliknya, atau kalau pun milik orang lain, tentu berada dibawah kekuasaannya.
Datuk kalangan sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong.
Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw serta para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).
Saat mendengar tentang terbunuhnya See-thian-ong dan murud-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu.
Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han How itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Walau pun selama ini, sejak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan menggunakan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.
Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah seorang muda, dan alangkah mudahnya bagi seorang pemuda untuk mendapatkan kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Karena itu dia pun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.
“Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah si Pendekar Sadis, dan jika benar demikian, sudah tentu pada suatu hari dia akan muncul di sini,” kata Pak-san-kui.
“Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, kita takut apa? Dahulu pun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua dan dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, terlebih kalau kita mengerahkan sepasukan orang-orang pilihan lagi, tentu kita akan sanggup membekuknya! Kiraku, kita berlima saja akan cukup untuk membekuknya, betapa pun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?”
Pak-thian Sam-liong mengangguk. “Betul sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri, sudah setingkat, apa lagi kalau kita berlima maju bersama-sama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau bahkan membunuhnya sekalian.”
Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya ini, legalah hati Pak-san-kui. “Betapa pun juga kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,” katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat-cepat menyatakan kesanggupan mereka.
“Wi Hong,” katanya kepada puteranya. “Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun dan undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan.”
“Baik, ayah.” Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.
Siong-ciangkun atau komandan Siong adalah orang yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan mau pun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan yang baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Dia pun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi kemungkinan datangnya Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.
Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak menampakkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sin, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan tak lupa dia menyerahkan bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat.
Seratus orang anggota pasukan pilihan segera dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini, lalu mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, dan terutama sekali segera menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota. Hanya repotnya bagi para petugas ini adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis.
Pak-san-kui sendiri belum berani memastikan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itu baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Dia pun tak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis?
Maka dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang sudah terang menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan apa bila Pendekar Sadis bukan Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seseorang yang berbahaya dan sama sekali belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.
Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan. Para anggota pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!
Thian Sin juga bukan orang yang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka meski pun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun dia pun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri.
Maka sebelum pergi ke tempat lain, lebih dahulu dia mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di tempat penginapan karena biar pun dia bisa mempergunakan nama palsu, dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui tentu akan mengetahui tempat itu.
Dan hatinya pun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang bekerja sebagai kuli pengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu ditempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam rombeng.
Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu oleh kenalan-kenalan, maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap supaya jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberi tahukan kepada siapa pun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.
Sesudah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah perkotaan yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja telah menimbulkan selera, maka dia pun lalu memasuki rumah makan itu.
“Selamat sore, kongcu,” seorang pelayan menyambutnya dengan manis. “Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?”
Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa di dalam ruangan itu telah banyak juga tamunya, maka dia pun menjawab bahwa dia ingin makan di loteng. Pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin tiba-tiba berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!
“Kenapa, kongcu?” pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya ketika melihat pemuda itu berhenti.
“Aku tidak senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,” kata Thian Sin.
“Baik, kongcu,” kata pelayan itu yang segera turun kembali.
Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja. Dia sempat melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika mengenal pemuda itu.
Andai kata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yangkim yang tergeletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang kemana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga menjadi senjatanya yang ampuh itu?
Dan Kim Hong duduk satu meja dengan pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang sangat lihai! Cepat dia pun turun dari tangga loteng itu dan memilih tempat duduk ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan.
Ketika pelayan datang sambil membawa masakan yang dipesannya, Thian Sin langsung membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan sangat perlahan-lahan, sama sekali tidak merasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seakan-akan dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan mesra dengan Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas.
Baru saja selesai makan, ia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak saling bergandengan tangan, akan tetapi lantas terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itu pun cukuplah bagi Thian Sin untuk menumbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti ‘ada apa-apa’ antara mereka itu. Dan mereka pun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sejak tadi sudah menanti di luar restoran.
Selanjutnya,