PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 08
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 08
Karya Singgih Hadi Mintardja
KEDUA orang berwajah kasar itupun kemudian menyadari keadaan mereka. Justru ketika Mahisa Pukat telah berdiri tegak menghadap ke arah mereka sambil memegang pedang masing-masing. Dengan demikian berarti bahwa mereka harus bertempur seorang melawan seorang. Apalagi kedua anak muda itu akan menggenggam senjata di tangan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menarik pedang mereka masing-masing dan menyisipkan wrangkanya di ikat pinggang mereka. Sambil menggerakkan pedangnya Mahisa Murti berkata, “Pedang ini tentu lebih baik dari sekedar sulur yang lemah itu. Namun bagaimana pun juga, aku mengakui bahwa kalian adalah orang-orang kuat yang pantas mendapat perhatian khusus.”
“Anak iblis!” geram orang yang bersenjata golok. “Kini bersiaplah untuk mati. Apa bila aku terlambat membunuh kalian, dan aku tidak sempat berbuat sesuatu segera atas kedua gadis di tepian yang pingsan itu, maka kedua gadis itupun akan mati pula.”
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Jangan memperbodoh orang lain. Aku tahu, gadis itu tidak akan mati meski pun dibiarkan sehari semalam dalam keadaannya. Bahkan pada saatnya, keduanya akan bangun dengan sendirinya, jika tidak ada orang lain yang membuka salah satu saraf yang kau sentuh di tengkuknya.”
“Anak setan!” geram yang bersenjata pedang yang panjang, “kalian mempelajari ilmu dari iblis yang mana? Namun demikian sebentar lagi kalian akan mati. Salah seorang dari kalian telah terlanjur mendengar maksud kehadiranku di tempat ini. Karena itu, tidak ada kemungkinan lain bagi kalian kecuali mati”
Mahisa Murti dan mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi mereka bergeser saling menjauh beberapa langkah. Pedang mereka mulai bergetar, sementara dengan tajamnya keduanya memandangi orang-orang yang paling dekat di hadapannya. Kedua orang berwajah kasar itu mengumpat. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur seorang melawan seorang.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah bersiap pula. Namun agaknya Mahisa Pukat bersikap agak lain dari Mahisa Murti. Mahisa Pukat tidak menunggu. Tetapi ia lah yang kemudian bergeser mendekati orang yang bersenjata golok yang besar dan berat.
Dengan mengenali senjatanya, Mahisa Pukat menyadari, banwa orang itu tentu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Tetapi ia benar-benar telah bersiap. Karena itu, maka pedangnya yang bergetar itupun mulai terjulur ke depan, meskipun anak muda itu belum dengan sungguh-sungguh menyerang.
Lawannya yang bersenjata golok itu mengumpat kasar. Tetapi goloknyapun telah bergetar pula. Bahkan golok itu kemudian terayun menghantam pedang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat segera menarik pedangnya, sehingga tidak terjadi benturan senjata. Namun pedang itu pun berputar-putar dan terayun menyambar lambung. Orang bersenjata golok itu memang dengan sengaja tidak menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis Dedang itu dengan goloknya.
Namun sekali lagi, Mahisa Pukat menghindari benturan, ia sekali lagi menarik serangannya dan memutar pedangnya melingkar. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah berloncatan. Ia berusaha untuk mengimbangi kekuatan lawan dengan kecepatan geraknya. Ia harus dapat memaksa lawannya itu mengayun-ayunkan senjatanya yang berat. Betapapun besar tangannya, tetapi pada suatu saat, tenaganya itu tentu akan susut.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang sudah menggenggam pedangnya menjadi jauh lebih tenang. Karena itu, maka ia sama sekali tidak tergesa-gesa. Dibiarkannya lawannya memperhatikan sikapnya. Mungkin lawannya itu melihat satu perubahan padanya, sebagaimana dilihatnya ketika Mahisa Murti itu bersenjata sulur yang dihentakkannya dari batang beringin itu. Ketenangan Mahisa Murti justru membuat lawannya menjadi gelisah. Karena itu, maka untuk menutupi kegelisahannya, orang berpedang itu telah membentak-bentak.
“Menyerahlah sebelum kau aku perlakukan dengan kasar”
“Ketika aku bertempur seorang diri tanpa senjata yang memadai, aku tidak mau menyerah. Apalagi sekarang” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Sebaiknya kaulah yang menilai dirimu”
Orang itu menjadi sangat marah. Dengan kasar ia berkata, “Jika kau melawan, berarti kau telah membunuh kedua gadis itu pula”
“Sudah aku katakan, jangan memperbodoh orang lain. Sebaiknya kau sempat melihat dirimu sendiri” jawab Mahisa Murti.
Orang berpedang panjang itu menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar jantungnya. Karena itu, maka kemudian, ia sudah meloncat menyerang Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Murti merasa kedudukannya menjadi lebih baik, tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan. Ia masih tetap berhati-hati menghadapi lawannya yang menurut penilaiannya mempunyai tenaga yang cukup besar.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Mahisa Pukat melawan orang yang bersenjata golok yang besar, sedangkan Mahisa Murti bertempur melawan orang yang bersenjata pedang panjang. Namun sejenak kemudian, mulai terasa bahwa keseimbangan pertempuran itu telah berguncang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera dapat mendesak lawannya. Betapapun lawannya mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, tetapi kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur dengan sengitnya, maka beberapa orang telah turun ke tepian. Ki Buyut dan Widati diikuti oleh Mahisa Agni dan Witantra beserta beberapa orang bebahu yang penghuni Kabuyutan itu. Ki Buyut terkejut ketika ia melihat dua orang gadis yang terbaring di tepian. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya. Sambil berjongkok ia meraba-raba tubuh kedua gadis itu yang ternyata tidak menjadi beku.
“Keduanya masih hidup” berkata Ki Buyut.
Mahisa Agni dan Witantra pun telah berjongkok pula di dekat kedua gadis itu. Keduanyapun segera mengetahui apa yang telah terjadi. Gadis-gadis yang berada di tepian dan menjadi ketakutan itu, tiba-tiba saja telah mendapatkan keberanian mereka, ketika mereka melihat beberapa orang telah turun ke tepian, termasuk Ki Buyut sendiri. Karena itu, maka merekapun segera berlari-lari mendekati kedua kawannya yang terbaring diam itu.
Hampir berbarengan gadis-gadis itu berusaha untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Ki Buyut yang telah mendengar sebagian peristiwa itu dari Widati mengangguk-angguk saja. Meskipun ia tidak dapat mengerti keterangan dari gadis-gadis yang berbicara berbarengan dengan suara yang masih gemetar, namun persoalannya memang sudah didengarnya lebih dahulu. Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian bertanya tentang dua orang anak muda yang telah lebih dahulu berada di tepian.
“Mereka berada disana” jawab gadis-gadis itu hampir berbareng pula.
Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat menyembunyikan kecemasan mereka, karena mereka tidak tahu pasti, siapakah yang dihadapi oleh kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian berkata,
“Ki Buyut. Biarlah kami berdua melihat, apa yang telah terjadi. Biarlah kedua gadis itu dalam keadaannya. Menurut penglihatan kami mereka tidak dalam keadaan berbahaya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Bagaimana Ki Sanak berpendapat bahwa keadaan gadis ini tidak berbahaya. Mereka memang masih hidup, tetapi apakah mereka pingsan atau bahkan setengah mati”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kegelisahaan Ki Buyut itu, karena kedua gadis itu masih berdiam diri meskipun masih ada pernafasan dan denyut nadi. Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat mengabaikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika terjadi sesuatu atas kedua anak muda itu. sementara ia ada didekatnya, maka orang tua kedua anak muda itu tentu akan menyesalinya.
Karena itu, maka berkata Mahisa Agni kemudian, “Ki Buyut. Aku yakin bahwa keduanya tidak akan mengalami keadaan yang lebih gawat lagi. Biarlah kami melihat kedua anak muda itu sejenak. Sebaiknya kedua gadis itu dibawa saja ke tempat yang teduh. Tetapi sebaiknya ia dibiarkan saja dalam keadaannya. Kedua anak muda yang sedang bertempur itu aku harapkan akan dapat membantu membangunkan kedua gadis yang pingsan itu”
Ki Buyut tidak dapat menahan Mahisa Agni dan Witantra untuk naik ke tebing di seberang, untuk menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang bertempur. Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni dan Witantra pun bergegas meninggalkan Ki Buyut dan langsung memanjat tebing di seberang. Sementara itu, Ki Buyut dan orang-orangnya telah mengangkat kedua gadis yang seolah-olah pingsan itu menepi, ke tempat yang lebih teduh. Tetapi seperti pesan Mahisa Agni, kedua gadis itu sama sekali tidak diapa-apakan.
Dalam pada itu, demikian Mahisa Agni dan Witantra naik keatas tebing, maka mereka pun segera melihat perkelahian yang seru. Tetapi pada saat-saat terakhir, Mahisa Agni dan Witantra melihat bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil mendesak lawan mereka. Sambil menarik nafas Witantra berkata, “Tidak banyak yang perlu kita lakukan disini”
Mahisa Agni pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi apakah kedua orang itu tidak akan mendapat bantuan dari kawan-kawannya?”
“Nampaknya mereka sudah cukup lama bertempur. Tentu sejak sebelum Widati lari ke Kabuyutan, Mahisa Murti sudah bertempur melawan mereka berdua. Jika ada kawan-kawan mereka, agaknya mereka tentu sudah datang membantu” berkata Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Witantra. Sementara itu, pertempuran itu pun masih berlangsung terus. Namun kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sudah tidak lagi banyak mendapat kesempatan untuk melawan.
Karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun tidak merasa perlu untuk mencampuri persoalan mereka. Mereka hanya menunggu saja, saatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengakhiri pertempuran itu.
Namun dalam pada itu kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun agaknya tidak mau melihat kenyataan itu. Mereka telah mengumpat-umpat dan berteriak-teriak. Mereka bertempur dengan kasarnya dan sama sekali tidak lagi mempergunakan akalnya.
Justru karena itu, maka kekalahan mereka pun menjadi semakin cepat. Senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya. Karena itu. maka pada tubuh kedua orang berwajah kasar itu telah mengalir keringat dan darah membasahi kulit mereka.
Meskipun demikian, orang bersenjata golok yang besar itu masih berteriak, “Menyerahlah atau aku akan mencincangmu. Kawan-kawanku akan ikut membantaimu jika mereka mengetahui bahwa kau telah berani menentang kehendakku”
“Apakah kau mempunyai kawan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kawan-kawanku akan segera datang” jawab orang itu.
“Tidak” berkata Mahisa Pukat, “kawan-kawanmu tidak tahu bahwa kau bertempur di sini”
“Anak iblis” teriak orang itu, “orang-orang yang mengetahui pertempuran ini tentu akan saling berceritera. Akhirnya kawan-kawanku akan mengetahuinya juga”
“Kau mulai putus asa” berkata Mahisa Pukat, “kau harap bahwa kawan-kawanmu akan menuntut balas jika kau mati di sini?”
Orang itu mengumpat kasar. Katanya, “Kau yang akan mati. Bukan aku”
Tetapi suaranya patah ketika pedang Mahisa Murti telah menyentuh pundaknya, sehingga orang itu meloncat surut. Perasaan pedih mulai menyengat tubuhnya yang basah. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa mereka telah terlalu lama bertempur. Mereka ingin segera menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Mungkin yang dikatakan oleh kedua orang itu benar, bahwa mereka mempunyai banyak kawan di sekitar tempat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak merasa menjadi gentar dan ketakutan. Tetapi mereka tidak menginginkan persoalannya akan menjadi semakin luas. Sehingga dengan demikian, maka keselamatan orang-orang Kabuyutan Randumalang akan terancam. Karena itu, maka sejenak kemudian serangan-serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin cepat. Pedang mereka berputaran dan dengan loncatan-loncatan yang cepat, mereka membuat lawan-lawan mereka menjadi kebingungan.
“Menyerahlah” berkata Mahisa Murti, “kami tidak akan membunuh”
“Kami yang akan membunuh kalian” teriak orang bersenjata pedang panjang itu.
“Sudahlah” berkata Mahisa Murti, “jangan seperti orang yang kehilangan ingatan. Kalian harus melihat kenyataan ini”
“Persetan” geram orang yang bersenjata golok yang besar, “dua orang gadis itu benar-benar akan mati. Hanya kami yang akan dapat menyelamatkan mereka”
“Jangan sebut-sebut itu lagi. Permainan itu adalah permainan yang sangat sederhana. Hampir setiap orang dapat mengurai sentuhan jari-jarimu, sehingga gadis-gadis itu akan terbangun”
Kedua orang itu mengumpat semakin kasar. Namun mereka benar-benar sudah terdesak. Bahkan Mahisa Pukat yang menjadi jemu, tiba-tiba telah melibat lawannya dengan cepatnya. Sejenak kemudian, terdengar lawannya itu mengeluh tertahan. Ketika ia meloncat surut, maka goloknya telah terlempar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah di sampingnya.
Dengan tanpa menghiraukan lawannya, orang itu meloncat dan berusaha untuk meraih senjatanya. Namun ia terkejut, ketika tiba-tiba saja kaki Mahisa Pukat telah menginjak tangkai golok itu. Sambil mengacungkan-pedangnya ke lambung orang itu, Mahisa Pukat berkata, "Aku tidak sedang bermain-main. Dalam keadaan yang khusus aku pun dapat membunuh”
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian berubah menjadi pucat. Ketika Mahisa Pukat mendesak lambungnya dengan tajam pedangnya. “Kau mau mati?” geram Mahisa Pukat.
“Jangan” desis orang itu. Beberapa langkah orang itu surut, sementara ujung pedang Mahisa Pukat masih mengancamnya.
Sementara itu, lawan Mahisa Murti masih belum mau melihat kenyataaan itu. Meskipun ia tahu, bahwa kawannya telah kehilangan kesempatan untuk melawan, namun ia masih juga berusaha untuk bertempur terus sambil berteriak-teriak kasar.
Namun Mahisa Murti pun dengan cepat telah berusaha mengakhiri pertempuran itu pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan sambaran pedang terayun mendatar, maka Mahisa Murti meloncat selangkah surut. Kemudian dengan sepenuh kekuatannya, Mahisa Murti telah memukul pedang lawannya. Ia ingin mengalahkan orang bersenjata pedang itu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa kekuatan orang berwajah kasar itu memang sudah jauh susut. Ketika pedangnya terbentur pedang Mahisa Murti, maka ia tidak lagi mampu untuk mempertahankannya. Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Murti, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat, maka senjata lawannya itu un telah terjatuh. Sejenak kedua orang itu termangu mangu. Tetapi mereka benar-benar harus melihat kenyataan itu. Senjata mereka telah terlepas dari tangan mereka.
“Katakan” berkata Mahisa Murti , “apakah kalian akan menyerah atau kalian masih akan melawan dengan tangan kalian? Atau barangkali kalian ingin mengambil senjata-senjata kalian”
Kedua orang itu terdiam. Rasa-rasanya apapun yang akan mereka lakukan sudah tidak akan berguna lagi. Karena keduanya tidak menjawab, maka Mahisa Murti un melangkah maju sambil berkata, “Baiklah. Agaknya kalian sudah tidak ingin melawan. Karena itu, maka kalian berdua adalah tawanan kami”
Kedua orang berwajah kasar itu saling berpandangan. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Lawannya masih menggeram. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia un kemudian berdiri tegak bagaikan membeku.
“Tidak ada gunanya lagi kalian melawan” berkata Mahisa Murti.
Sekilas nampak wajah mereka menegang. Namun kemudian kembali mereka harus menyadari kenyataan yang mereka hadapi.
“Kami tidak akan mengikat tangan dan kaki kalian. Tetapi kami ingin kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan kami” berkata Mahisa Murti.
“Katakan, siapakah kalian ini sebenarnya” desak Mahisa Murti.
Keduanya tidak segera menjawab. Namun ketika Mahisa Pukat mulai menyentuh salah seorang dari kedua orang itu dengan pedangnya, maka orang itu un berkata , “Kami hanya sekedar melakukan perintah”
“Perintah apa?” bertanya Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat menekankan pedangnya. Dan orang itu un menjawab, “Kami mendapat perintah untuk menunggu di lereng bukit itu”
“Menunggu siapa?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
“Kami tidak begitu jelas. Tetapi kami harus menunggu orang-orang yang akan menyerahkan alat-alat penebang kayu kepada kami” jawab orang itu.
“Kalian mendapat perintah untuk menebangi hutan di lereng gunung” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab orang itu.
“Yang menghadap ke rah Kotaraja?” desak Mahisa Pukat pula.
“Ya” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kearah Mahisa Agni dan Witantra yang berdiri termangu-mangu. “Akan menjadi jelas bagi kita” berkata Mahisa Pukat, “bahwa ada satu gerakan untuk berbuat demikian”
Kedua orang itu memandang anak muda itu sekilas. Namun ketika Mahisa Pukat berpaling ke arah mereka, maka mereka pun telah berpaling pula.
“Kita bawa mereka ke Kabuyutan” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kita akan dapat berbicara lebih panjang”
Kedua orang itu menjajdi tegang. Agaknya mereka kurang senang untuk dibawa ke Kabuyutan. Namun mereka tidak akan dapat menolak seandainya kedua anak muda itu memaksa mereka. Sebenarnya, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu pun menyarungkan senjata masing-masing. Namun dengan senjata kedua orang itu, mereka akan membawa keduanya ke Kabuyutan.
“Kalian harus menyadari, bahwa tingkah laku kalian akan menyeret kalian kedalam kesulitan” berkata Mahisa Pukat, “kami berdua adalah pengawal-pengawal Kabuyutan. Kalian harus selalu mengingat bahwa kalian tidak dapat memenangkan perkelahian ini. Apalagi jika kami, para pengawal di seluruh Kabuyutan bergerak bersama-sama. Maka betapapun besar kekuatan kalian, maka kalian tidak akan dapat mengalahkan kami. Karena itu, sebaiknya kalian harus selalu mengingatnya”
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang merasa heran, apabila kedua anak muda itu benar-benar pengawal Kabuyutan, maka alangkah kuatnya Kabuyutan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat bahkan berkata selanjutnya, “Kau baru melihat kemampuan kami, anak-anak muda. Kalian belum melihat kemampuan guru-guru kami. Jika guru-guru kami melibatkan diri maka kalian tidak akan lebih dari debu yang akan dihembuskannya tanpa mendapat kesempatan untuk melawan sama sekali. Nah, apakah kalian ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh guru-guru kami itu?”
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun Witantra berdesah. “Anak ini”
Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Marilah mereka kita bawa.sekarang. Mungkin kedua gadis itu memerlukan pertolongan segera”
“Biarlah mereka melihat, apa yang dapat dilakukan oleh guru-guru kami. Sentuhan jari-jarinya sama sekali tidak berarti apa-apa” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Agni dan Witantra hanya berpandangan saja sekilas. Namun mereka tidak berbuat apa-apa. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membawa kedua orang itu ke Kabuyutan. Betapapun perasaan tidak senang hampir memecahkan jantung mereka, tetapi mereka tidak dapat menolak untuk melakukannya.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah melangkah ke tebing diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra telah mengikutinya pula. Demikian mereka muncul di atas tebing, maka perhatian orang-orang yang berada di pinggir sungai itu pun tertuju kepada mereka. Beberapa orang yang masih saja menunggui gadis-gadis yang sedang terbaring diam di bawah sebatang pohon yang rimbun, setelah mereka di singkirkan dari atas pasir tepian yang panas.
Beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Dua orang berwajah kasar itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu Mahisa Murti mendekatinya sambil berbisik, “Nah, marilah. Mereka adalah Ki Buyut, beberapa orang bebahu dan pengawal seperti kami berdua. Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki”
Dua orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian turun ke tepian. Beberapa orang gadis yang masih ada di tepian menunggui kawannya yang sedang tertidur itu diluar sadarnya berkata hampir berbareng, “Itulah orangnya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berkata, “Nampaknya mereka sudah menyerah”
Para bebahu dan anak-anak muda yang ada di tepian itupun membenarkannya. "Kedua orang itu nampaknya memang sudah tidak berdaya”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti oleh Mahisa Agni dan Witantra menjadi dekat, maka orang-orang yang ada di tepian itu pun bagaikan menyibak. Namun mereka pun kemudian mengerumuni kedua orang berserta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berhasil menawan mereka.
“Benarkah ini orangnya?” bertanya Ki Buyut kepada Mahisa Murti.
“Ya Ki Buyut” jawab Mahisa Murti, “orang inilah yang telah membuat kerusuhan di tepian ini. Mereka telah mengganggu gadis-gadis yang sedang mandi”
“Lalu bagaimana dengan kedua gadis ini?” bertanya Ki Buyut pula.
Semua mata memandang kedua orang berwajah kasar itu. Seolah-olah mereka telah menumpahkan segera pertanggungan jawab kepada mereka, sehingga orang-orang di tepian itu telah menuntut agar kedua gadis itu dibangunkan. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang berwajah kasar itu pun berkata,
“Biarlah kami berdua berusaha untuk membangunkan kedua gadis itu. Kami sudah merasa bersalah, sehingga kami memang seharusnya memikul tanggung jawab atas kesembuhan kedua gadis itu”
“Cepat, lakukan” sahut Ki Buyut lantang.
Tetapi ketika kedua orang itu baru melangkah selangkah, Mahisa Agni berkata, “Jangan orang itu”
“Ya” tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut, “Jangan orang itu. Ia akan dapat berbuat lebih buruk lagi terhadap kedua orang gadis itu, atau bahkan mempergunakan mereka sebagai perisai untuk melepaskan diri”
Langkah orang itu tertegun. Sementara Ki Buyut dan orang-orang Randumalang menjadi termangu-mangu. Apakah dengan demikian berarti bahwa kedua orang gadis itu akan tetap dibiarkan tidur nyenyak, sampai saatnya terbangun dengan sendirinya?
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun berkata, “Jangan cemas. Kedua gadis itu tidak apa-apa”
Tetapi seorang laki-laki yang sudah mulai ubanan menyibak maju sambil berkata, “Kau dapat berkata seperti itu karena mereka bukan anakmu. Tetapi aku adalah ayah dari salah seorang gadis itu. Bagaimana aku dapat menganggap bahwa gadis-gadis itu tidak apa-apa."
Suasana menjadi tegang. Tiba-tiba saja salah seorang berwajah kasar itu berkata, “Gadis-gadis itu terkena racun. Tetapi aku mempunyai penawarnya. Racun itu memang hanya sekedar membuat tidur. Tetapi dalam batas tertentu, jika penawarnya tidak di trapkan, maka kedua gadis itu akan mengalami nasib yang buruk. Racun itu akan bekerja perlahan-lahan sebagaimana kena racun yang tidak terlalu kuat. Tetapi dengan pasti akan dapat membunuh korbannya."
“Nah, kau dengar” berkata orang yang rambutnya mulai ubanan itu, “jika anak itu meninggal, akulah yang kehilangan. Memang bukan kau”
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mendekati orang berwajah kasar yang berbicara itu sambil berkata, “Nah, sekarang kita bertaruh. Jika kedua gadis itu nanti atau kapan pun akan mati atau mengalami nasib buruk, biarlah leherku menjadi taruhan. Tetapi jika gadis itu akan terbangun, atau orang lain mampu membangunkannya, maka lehermu menjadi taruhan. Leher yang menjadi taruhan akan dipotong perlahan-lahan dengan golokmu yang besar, berat tetapi tidak tajam sama sekali ini”
Terasa kulit orang itu meremang. Memang mengerikan sekali, bahwa lehernya harus dipotong perlahan-lahan, apa lagi dengan goloknya. Karena itu, maka untuk sesaat ia pun justru terdiam. Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa Murtipun mendesak, “Bagaimana? Apakah kau bersedia mengadakan taruhan seperti yang kau katakan?”
Orang itu tidak menjawab. Namun dipandanginya goloknya yang masih dibawa oleh Mahisa Pukat.
“Nah, Ki Buyut” berkata Mahisa Murti, “orang itu tidak menyanggupinya. Karena itu sebenarnya tahu, bahwa kami pun dapat membangunkannya”
Orang yang mulai ubanan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika benar kau dapat membangunkan, maka bangunkanlah”
“Jangan tergesa-gesa” Jawab Mahisa Murti, “sudah kami katakan, gadis itu tidak akan mengalami sesuatu. Mereka memang sedang tidur nyenyak. Tetapi perlahan-lahan, ia akan bangun sendiri. Namun secara khusus mereka pun dapat juga dibangunkannya”
Orang itu menjadi tegang. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni pun berkata, “Bangunkan mereka agar orang-orang Kabuyutan itu tidak dicengkam oleh ketegangan."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Bahkan kemudian ditatapnya Mahisa Pukat yang berdiri dengan tegangnya. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun melangkah mendekati kedua gadis yang terbaring diam itu.
“Apakah kau benar-benar mampu melakukannya sehingga tidak akan mencelakakan anakku itu?” bertanya orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban itu.
“Percayalah” Mahisa Agnilah yang menjawab. Namun nampaknya orang itu masih tetap ragu-ragu sehingga ia pun kemudian bertanya kepada Ki Buyut, “Apakah aku dapat mempercayainya?”
Ki Buyut pernah mengalami satu peristiwa yang membuatnya tidak akan dapat melupakannya. Menurut penglihatannya, kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Karena itu, meskipun agak kurang yakin, Ki Buyut itupun berkata, “Biarlah anak muda itu mencobanya”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berjongkok di samping gadis-gadis yang sedang tertidur nyenyak itu.
“Kenapa kau menjadi ragu-ragu” berkata Mahisa Agni, “bukankah kau mampu melakukannya? Sesuatu yang dapat kau lakukan dengan tidak usah memikirkan lagi akan menjadi terasa sulit jika kau harus merenunginya, mempertimbangkannya dan apalagi menjadi ragu-ragu” Mahisa Pukatlah yang kemudian mendekati Mahisa Murti sambil berkata , “Lakukan. Bukankah kita dapat melakukannya?”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan tangannya meraba tengkuk gadis yang pertama. Dengan kemampuan yang sudah dipelajarinya dengan baik, maka ia pun segera menemukan simpul yang tertutup oleh sentuhan tangan kedua orang berwajah kasar itu. Dengan pengetahuannya itu, maka ia pun segera membuka simpul yang tertutup itu, meskipun masih ada juga sisa gejolak pada perasaannya. Sejenak kemudian, gadis itu pun mulai menggeliat. Perlahan-lahan ia mulai bangkit sambil memandang orang-orang di sekelilingnya.
“Apa yang terjadi?” gadis itu bertanya. Namun perlahan-lahan ia mencoba mengingat kembali apa yang telah dialaminya. Bahkan demikian ia melihat kedua orang berwajah kasar itu, maka iapun telah menjerit ketakutan.
Tetapi ayahnya telah berada di sampingnya sambil berkata, “Aku ada disini. Jangan takut”
Gadis yang melihat ayahnya itu pun telah memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Di antara isak tangisnya, terdengar kata-katanya, “Aku takut. Aku takut”
“Sudahlah” berkata ayahnya, “kau sudah diselamatkan” Kemudian katanya kepada Mahisa Murti, “Terima kasih anak muda. Ternyata kau benar-benar mampu melakukannya”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian telah melakukan hal yang sama terhadap gadis yang lain, yang sesaat kemudian telah tersadar pula dari tidurnya.
“Di mana ayah gadis itu?” bertanya Ki Buyut.
“Ayahnya sudah pergi ke sawah ketika hal ini diketahui” jawab salah seorang, “tetapi ia sudah dipanggil”
Ki Buyut dan Widati lah yang kemudian menolong gadis yang juga menjadi ketakutan sebagaimana kawannya. “Orang itu tidak akan mengganggumu lagi” berkata Ki Buyut.
Gadis itu pun menangis pula. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ia memang merasa aman dibawah pengawasan Ki Buyut dan beberapa penghuni Kabuyutannya.
Dalam pada itu kedua orang berwajah kasar itu pun menjadi semakin cemas melihat sikap orang-orang Kabuyutan Randumalang. Apalagi ketika tiba-tiba saja, ayah gadis yang pertama sadar itu menuding kedua orang itu sambil berkata, “Merekalah sumber malapetaka itu”
“Ya, mereka” seorang anak muda menyahut, “jika mereka masih ada, maka malapetaka ini tentu akan berulang kembali”
“Keduanya itulah sumber bencana” teriak yang lain. Adalah tiba-tiba saja, ketika terdengar seorang anak muda berteriak, “Bunuh keduanya”
Yang terdengar kemudian adalah teriakan-teriakan marah dari orang-orang Kabuyutan Randumalang. Seorang bertubuh gemuk justru telah mengangkat senjatanya sambil berteriak lehih keras lagi, “Bunuh mereka. Bunuh mereka”
Orang-orang Kabuyutan Randumalang itu pun mulai bergerak. Mereka mulai mengacu-acukan senjata mereka dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi gelisah. Mereka pun kemudian telah berdiri dan bergeser mendekati kedua orang berwajah kasar itu.
Namun adalah diluar dugaan, bahwa kedua orang berwajah kasar itu telah menjadi sangat ketakutan melihat orang-orang Kabuyutan Randumalang yang marah. Bahkan dengan suara gemetar salah seorang berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Tolong anak muda. Tolonglah aku. Bukankah kalian pengawal Kabuyutan ini”
Sebelum Mahisa Murti menjawab, Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Kau takut mati?”
“Aku tidak takut mati. Tetapi tidak dengan cara ini” jawab orang itu.
“Dengan cara apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bunuh aku dengan pedangmu” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang mengerikan sekali menghadapi orang-orang yang marah seperti itu. Mereka akan benar-benar melakukan seperti apa yang mereka katakan. Dengan cara yang tidak terkendali, justru karena dilakukan oleh sekelompok orang, mereka akan membunuh kedua orang itu. Bahkan orang-orang yang dalam kehidupannya sehari-hari tidak pernah membunuh seekor tikus pun, akan dapat membunuh dengan sangat kejam diantara banyak orang yang bersama-sama sedang marah.
Dalam pada itu, orang-orang Kabuyutan Randumalang itu pun menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan mereka bergeser bersama-sama mendekati kedua orang berwajah kasar itu. Mereka berteriak semakin keras dan mereka pun mulai merundukkan senjata mereka. Mahisa Agni dan Witantra pun menjadi semakin cemas melihat kemarahan orang-orang Randumalang itu. Karena itu keduanya telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Cobalah, hentikan mereka” berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berdiri menghadapi orang-orang yang sedang marah itu. “Ki sanak” berkata Mahisa Murti, “Cobalah dengar keteranganku”
Tetapi orang-orang itu masih saja berteriak, “Bunuh mereka, bunuh mereka”
“Kalian benar-benar akan membunuh mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Kami akan membunuh mereka. Orang-orang itu telah mencemaskan gadis-gadis kami” jawab salah seorang di antara orang-orang Randumalang itu.
“Mereka memang bersalah” jawab Mahisa Murti, “tetapi bukan begini cara untuk mengadilinya”
“Aku tidak peduli” berkata ayah salah seorang gadis yang pingsan. Orang-orang itu telah mengotori nama anakku”
“Tidak” jawab Mahisa Murti, “orang-orang itu belum berbuat apa-apa”
“Anakku telah tertidur diluar kehendaknya” jawab orang tua itu.
“Tetapi anakmu sudah bangun” jawab Mahisa Murti.
“Jadi, apakah akan kita biarkan saja orang-orang itu berbuat kesalahan yang sangat besar di Kabuyutan kami?” bertanya yang lain lagi.
“Mereka akan dihukum. Tetapi kita harus mempertimbangkannya dengan bening. Kita dapat menyerahkannya kepada Akuwu, atau mungkin wewenang Ki Buyut akan dapat mengadilinya. Tetapi tidak dengan beramai-ramai seperti ini, seolah-olah kalian berhak untuk mengadilinya disini” jawab Mahisa Murti.
“Kami berhak mengadilinya. Kedua gadis itu adalah anak-anak kami. Anak-anak Kabuyutan kami” jawab seorang yang bertubuh tinggi besar.
“Tidak” jawab Mahisa Murti, “kalian tidak berhak mengadilinya bersama-sama. Orang-orang yang khusus akan menentukan hukuman apa yang paling pantas ditilik dari kesalahan yang telah dilakukannya”
“Serahkan kepada kami” teriak seorang anak muda.
“Serahkan kepada kami” teriak yang lain.
Mahisa Murti menjadi tegang. Orang-orang itu agaknya sudah sulit untuk diajak berbicara. Seandainya mereka akan memaksa, apakah berarti Mahisa Murti harus mencegahnya dengan kekerasan sehingga ia harus berkelahi melawan orang-orang itu?.
Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni melangkah maju sambil berkata lantang, “Ki Sanak. Dengarlah. Ada yang ingin aku katakan kepada kalian”
“Serahkan kepada kami. Tidak ada lagi yang akan kami bicarakan” sahut salah seorang dari mereka yang sedang marah itu.
“Dengarlah” suara Mahisa Agni semakin keras, “aku akan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi dengar lebih dahulu”
Ternyata suara Mahisa Agni itu menyentuh telinga mereka, sehingga mereka pun mulai mendengarkannya Apalagi karena Mahisa Agni mengatakan bahwa orang-orang itu akan diserahkan kepada mereka.
“Dengar” berkata Mahisa Agni, “kami memang akan menyerahkan mereka, karena orang-orang ini sudah melakukan satu kesalahan di daerah kalian. Apakah begitu yang kalian maksudkan?”
“Ya. Serahkan kepada kami” sahut beberapa orang bersama-sama.
“Bukan hanya kedua orang ini yang akan aku serahkan kepada kalian. Jika kalian tidak lagi mempunyai pertimbangan lain, maka kami memang akan menyerahkan semua persoalan ini kepada kalian” jawab Mahisa Agni.
Jawaban Mahisa Agni itu memang membuat orang-orang itu tercenung. Bahkan seorang anak muda bertanya, “Apa maksudmu?”
“Semua persoalan akan kami kembalikan” jawab Mahisa Agni, “karena kehadiran kami tidak berarti sama sekali di hadapan kalian, maka anggap saja, bahwa kami tidak pernah ada. Kedua anak itu akan dikembalikan kepada keadaannya semula. Kemudian kedua anak muda itu akan menyerahkan senjata kedua orang itu kepada mereka. Seterusnya, lakukan apa yang akan kalian lakukan”
Kata-kata Mahisa Agni itu telah menyentuh perasaan orang-orang yang marah itu. Seorang anak muda masih mencoba berteriak, “Mereka hanya berdua”
“Mereka hanya berdua. Anak-anak muda yang mengalahkan mereka juga berdua. Kemampuan mereka memang hampir seimbang” berkata Mahisa Agni.
Orang-orang Kabuyutan Randumalaug itu tidak segera mengetahui maksud Mahisa Agni. Karena itu, mereka masih saja berteriak-teriak, “Kami bunuh mereka. Mereka hanya berdua”
“Baik-baik” jawab Mahisa Agni, “mereka memang hanya berdua. Tetapi bertanyalah kepada Ki Buyut, apa yang dapat dilakukan kedua anak muda itu. Kedua orang itu pun tentu akan dapat melakukan sebagaimana dilakukan oleh kedua anak muda itu”
Orang-orang Randumalang itu tertegun sejenak. Namun semua orang pun kemudian berpaling kepada Ki Buyut. Seolah-olah mereka ingin mendapat penjelasan maksud kata-kata Mahisa Agni
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sepenuhnya maksud Mahisa Agni. Meskipun sebenarnya Ki Buyut pun menjadi sangat marah kepada kedua orang itu, tetapi ia masih mampu berpikir sebagaimana di kehendaki oleh Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya kemudian kepada orang-orangnya, “He, orang-orang Randumalaug. Aku minta kalian menjadi tenang”
“Perintahkan kepada kami untuk membunuhnya” berkata salah seorang yang berjanggut lebat.
“Dengar” berkata Ki Buyut, “Usahakan mengerti maksud Ki Sanak itu”
“Katakan” berkata seorang anak muda.
“Aku tidak dapat memerintahkan kepada kalian untuk membunuhnya” berkata Ki Buyut.
“Kenapa?” bertanya orang tua dari gadis yang tertidur itu. “Aku tidak sampai hati membantai kalian di tepian ini” jawab Ki Buyut.
“Kenapa kami?” bertanya seseorang, “Kamilah yang akan membunuh orang itu”
“Tetapi kau dengar, bahwa kedua anak muda itu akan menyerahkan kembali kedua senjata yang mereka bawa kepada kedua orang itu” jawab Ki Buyut.
“Kami tidak takut” jawab seorang bertubuh tinggi.
“Dengar” berkata Ki Buyut, “menurut anak-anak muda dan kedua pamannya itu, kedua orang itu memiliki ilmu yang hampir seimbang dengan kedua orang anak muda ini. Nah, ketahuilah, bahwa aku pernah menyaksikan kedua anak muda ini bertempur. Bertempur dalam satu perang brubuh yang kisruh, maupun dalam perang tanding, seorang melawan seorang. Aku tahu, apa yang dapat mereka lakukan. Sedangkan aku pun tahu, apa yang dapat kalian lakukan” Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu, “karena itu, jika kalian berkeras untuk membunuh kedua orang itu beramai-ramai, maka yang akan terjadi adalah satu malapetaka”
“Kenapa?” bertanya beberapa orang berbareng.
Ki Buyut memandang kedua orang itu. Sebenarnya ia segan untuk mengatakannya, karena dengan demikian Ki Buyut mengakui kelemahan Kabuyutannya, sehingga dengan demikian maka bayangan yang buruk mulai menerawang di matanya. Orang-orang itu atau kawan-kawannya pada saat-saat lain tentu akan dengan berani berbuat sesuatu yang mungkin akan sangat mengerikan.
Karena Ki Buyut menjadi ragu-ragu, maka Mahisa Agnipun kemudian berkata, “Cepat Ki Buyut. Ambillah satu keputusan. Nampaknya nalar Ki Buyut telah mengalir kejurusan yang benar. Tetapi keragu-raguan Ki Buyut akan dapat menghambat penyelesaian”
Ki Buyut masih termangu-mangu. Sementara itu, orang yang lain telah bertanya pula, “Kenapa akan terjadi satu malapetaka?”
Ki Buyut mengangkat wajahnya. Agaknya ia sedang mencari kekuatan dari dalam dirinya untuk menyatakan maksudnya, “Dengarlah. Jika kau memaksa untuk membunuh mereka, maka keduanya tentu akan melawan. Sementara itu, kedua gadis itu akan menjadi tertidur lagi dan tidak seorang pun yang akan dapat membangunkannya. Baik. Katakan, beberapa orang di antara kalian akan melindungi gadis itu. Tetapi jika kedua orang itu melawan dengan kemampuan mereka sepenuhnya, maka tentu akan terjadi perkelahian yang sengit. Mungkin kedua orang itu akhirnya akan mati. Tetapi separo dari kalianpun akan mati”
Ki Buyut memandang orang-orang Kabuyutan Randumalang itu dengan tajamnya. Seolah-olah ia memandang seorang demi seorang, menatap langsung ke matanya menghunjam sampai ke jantung. Lalu katanya, “Mungkin kau. Mungkin kau. mungkin kau yang masih sangat muda. Mungkin justru ayah gadis itu atau setiap orang di antara kalian mempunyai kemungkinan yang sama untuk mati”
Kata-kata Ki Buyut itu benar-benar telah menyentuh hati orang-orang itu. Apalagi ketika Ki Buyut menunjuk ke arah mereka, seolah-olah setiap orang telah ditunjuknya sambil berkata, “Kaulah yang mungkin akan mati. Atau kau. Atau kau. Atau kalian bertiga bersama-sama”
Wajah-wajah menjadi semakin tegang. Beberapa orang saling berpandangan. Sementara itu Ki Buyut pun berkata, “Baiklah. Mulailah. Siapa yang ingin terbunuh lebih dahulu, berusahalah untuk membunuh kedua orang itu. Senjata mereka akan segera diserahkan kepada mereka sebelum kalian sampai kepadanya”
Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya, “Marilah. Siapa yang akan mendahului?” bertanya Ki Buyut kemudian.
Orang-orang itu masih berdiri tetap berdiri tegak. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum memberikan senjata kedua orang itu seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Suasana menjadi semakin tegang. Orang-orang Randumalang berdiri dalam kebimbangan. Mereka masih didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak jantung. Tetapi mereka tidak dapat mengesampingkan kenyataan, bahwa kedua orang itu memang akan dapat membunuh sebagian dari orang-orang Randumalang itu.
Karena itu, maka keragu-raguan mulai merayapi perasaan orang-orang Randumalang yang marah itu. Tidak seorang pun di antara mereka yang ingin lebih dahulu. Karena itu tidak ada di antara mereka yang bersedia untuk melangkah pertama kali sambil mengacungkan senjatanya menyerang kedua orang yang ingin mereka bunuh itu.
Dalam suasana yang tegang itu, maka Ki Buyut Randumalang menarik nafas dalam-dalam. Ia lah yang kemudian baru saja terbangun dari tidur yang tidak dikehendakinya itu. Sejenak orang-orang Kabuyutan Randumalang itu termangu-mangu. Namun sekali lagi Ki Buyut berkata, “Marilah. Kita kembali ke Kabuyutan?”
Karena orang-orang itu masih belum bergerak, Ki Buyutlah yang melangkah pertama-tama meninggalkan tepian itu. Ketika ia berjalan di dekat orang tua gadis yang baru sadar itu, ia berkata, “Hati-hatilah dengan anak gadismu”
Orang itu menggangguk. Namun ia masih berdiri tegak di tempatnya. Baru ketika beberapa orang bebahu kemudian mengikutinya, maka yang lain pun mulai bergerak pula. Beberapa orang diantara mereka membayangi gadis-gadis yang masih saja ketakutan, sementara yang lain dengan ragu-ragu melangkah di antara batu-batu padas dengan kepala tunduk.
Pada saat orang-orang itu sampai di atas tebing, seseorang telah berlari-lari kearah mereka. Orang itu adalah ayah gadis yang seorang lagi. Ia tertegun ketika ia bertemu dengan Ki Buyut yang berjalan di paling depan. Dengan singkat Ki Buyut memberikan keterangan tentang anak gadisnya.
“Dimana anak itu sekarang?” bertanya orang itu.
“Di antara kawan-kawannya. Ia sudah tidak apa-apa” jawab Ki Buyut sambil berjalan terus.
Ketika orang itu mendekati anaknya, maka sambil menangis anak gadisnya memeluknya. Namun kemudian bersama-sama dengan yang lain mereka mengikuti Ki Buyut kembali ke padukuhan induk Kabuyutan Randumalang melangkah mendekati Mahisa Agni sambil berkata perlahan-lahan,
“Aku berada dalam kesulitan. Jika kedua orang ini tetap hidup, maka akibatnya akan sangat pahit bagi Kabuyutan ini. Kali ini ada kedua orang anak muda itu, sehingga kami akan dapat melawan keduanya. Tetapi pada saat lain keduanya dan bahkan mungkin kawan-kawannya akan dapat berbuat apa saja. Mungkin tidak hanya separo orang Randumalang yang akan menjadi korban. Tetapi lebih dari itu”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan yang dialami oleh Ki Buyut. Karena itu maka jawabnya, “Hal itu akan kita bicarakan kemudian. Kita akan mengambil satu keputusan yang paling baik tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan”
“Mereka tidak menghargai kemanusiaan” jawab Ki Buyut.
“Kita yang menghargai kemanusiaan. Dengan demikian maka kita memang berbeda dengan mereka” jawab Mahisa Agni.
Ki Buyut menarik nafas. Sementara itu ketegangan di tepian itu masih saja mencengkam. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun bertanya lantang, “Nah, siapa yang akan melangkah lebih dahulu?”
Tidak seorangpun yang bergerak. Karena itu, maka Buyutpun berkata, “Jika demikian, agaknya kalian sudah merubah sikap kalian. Kalian agaknya dapat menerima satu pendapat, bahwa sebaiknya kita tidak mengadili mereka beramai-ramai di tepian ini. Kita akan membawa mereka di Kabuyutan”
Namun kata-kata Ki Buyut rasa-rasanya kurang meyakinkan. Bahkan Ki Buyut pun kemudian berpaling ke arah Mahisa Agni dengan lontaran pertanyaan pada sorot matanya.
“Tepat Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “kita akan membawa keduanya ke Kabuyutan. Kita akan dapat membicarakannya, apa yang sebaiknya kita lakukan akan orang-orang ini”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu katanya , “Marilah. Kita akan kembali ke Kabuyutan. Kita akan berbicara dengan hati yang lebih tenang”
Tidak ada yang mereka bicarakan di sepanjang perjalanan. Semua orang terbenam dalam angan-angan mereka masing-masing. Iring-iringan itu bagaikan iring-iringan orang mengantar sanak kadang dalam keadaan duka.
Baru ketika orang-orang itu sudah naik keatas tebing dan berjalan menjauh, Mahisa Agni berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Marilah. Kita bawa kedua orang itu ke Kabuyutan Randumalang”
Mahisa Murtilah yang menyahut, “Marilah paman”
Namun dalam pada itu salah seorang dari kedua orang itu bertanya, “Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang marah itu kepadaku? Apakah kemarahan mereka tidak akan terungkat lagi?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku akan berusaha agar hal ini dapat diselesaikan dengan cara yang sebaik-baiknya”
“Apakah mungkin aku akan dibebaskan?” bertanya seorang yang lain.
Tetapi jawab Mahisa Agni sangat mengecewakannya, “Tidak Ki Sanak. Kalian memang akan mendapat hukuman. Tetapi tentu yang sesuai dengan kesalahan yang kalian lakukan. Dan dengan cara yang paling wajar”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya mereka memang tidak dapat melihat kemungkinan lain. Bahwa mereka tidak jatuh ke tangan orang-orang yang sedang marah yang akan dapat mencincang mereka sampai lumat, adalah satu hal yang terlalu baik bagi mereka.
Namun demikian, kedua orang itu masih saja dibayangi oleh kemungkinan vang sangat buruk itu. Keduanya memang tidak percaya bahwa anak-anak muda serta orang-orang yang disebut guru-guru mereka itu benar-benar akan memberikan kembali senjata-senjata mereka jika orang-orang Kabuyutan Randumalang itu akan menghukum mereka beramai-ramai.
Dalam pada itu, selagi kedua orang itu termangu-mangu, maka Mahisa Agni pun berkata pula, “Marilah Ki Sanak. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu”
“Kami tidak akan berkeberatan” jawab salah seorang dari mereka, “Tetapi kawan-kawan kami tentu akan mencari kami jika pada saatnya kami tidak kembali di antara mereka”
“Tidak apa-apa” jawab Mahisa Agni, “tidak ada seorang pun di antara kawan-kawan kalian mengerti, apa yang telah terjadi sebenarnya”
“Tetapi orang-orang Kabuyutan itu akan mengatakan kepada kenalan mereka temui di pasar atau di jalan-jalan, apa yang telah terjadi di sini. Kawan-kawanku tentu akan dapat mengambil satu kesimpulan jika mereka pun pada suatu saat mendengar ceritera seperti itu” berkata salah seorang dari kedua orang itu kemudian.
“Kami mengerti” jawab Mahisa Agni, “karena itu, kami akan mengambil satu sikap yang paling baik dan paling aman bagi Kabuyutan ini”
“Satu-satunya cara adalah, melepaskan kami untuk kembali ke dalam lingkungan kami” berkata salah seorang dari kedua orang itu.
“Tidak Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “hal yang buruk masih dapat terjadi. Kami tidak yakin, bahwa kau berdua akan dapat melupakan gadis-gadis Kabuyutan ini. Dan kami pun tidak yakin bahwa kau masih mempunyai kawan yang lain di daerah ini”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menurut segala perintah yang diberikan oleh Mahisa Agni.
“Marilah. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu” berkata Mahisa Agni kemudian.
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian melangkah menyusul orang-orang Kabuyutan yang sudah lebih dahulu meninggalkan tepian. Namun bagaimanapun juga kedua orang itu masih selalu dibayangi kegelisahan. Bukan karena kemungkinan bahwa mereka akan dihukum. Tetapi hukuman itu akan sangat menyakitkan hati menjelang saat-saat kematian, apabila mereka jatuh ke tangan orang-orang Kabuyutan yang marah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi ragu-ragu pula. Jika mereka sudah sampai di Kabuyutan, maka terlalu sulit bagi mereka untuk mencegah kemarahan orang-orang Kabuyutan itu. Apalagi orang-orang yang berkerumun tentu akan menjadi lebih banyak, sehingga akan lebih sulit lagi untuk mengendalikan mereka.
“Mudah-mudahan Ki Buyut tidak justru berubah pikiran. Jika ia tidak dapat mengendalikan diri, dan justru mengambil sikap yang sebaliknya, maka akibatnya akan menjadi parah” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, selagi kedua orang itu berjalan ke padukuhan induk, diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka beberapa langkah di belakang mereka. Mahisa Agni dan Witantra pun telah membicarakan, apa yang paling baik dilakukan bagi kedua orang itu.
“Serba sulit” berkata Witantra, “aku dapat mengerti keterangan orang itu. Berita ini tentu tidak akan dapat dicegah untuk merambat keluar dari Kabuyutan ini. Pada suatu saat kawan-kawan kedua orang itu tentu akan mendengar apa yang telah terjadi”
“Ya” jawab Mahisa Agni, “hal itu memang mungkin sekali. Akibatnya memang agak pahit bagi Kabuyutan ini”
Witantra tidak segera menjawab. Ia masih saja melangkah di samping Mahisa Agni. Namun keduanya pun kemudian melangkah dengan kepala tunduk. Beberapa saat kemudian, dua orang yang diiringi oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Agni dan Witantra itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Beberapa orang justru telah tidak kelihatan lagi setelah hilang memasuki mulut lorong.
Namun keempat orang yang mendekati padukuhan induk itu menjadi semakin cemas melihat keributan yang terjadi di padukuhan. Beberapa orang yang terdahulu memasuki gerbang padukuhan telah menceriterakan apa yang terjadi kepada orang-orang yang berada di padukuhan dan tidak sempat pergi ke sungai. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang berkumpul setelah mereka mendengar apa yang terjadi.
Ketika orang-orang berkumpul di Kabuyutan untuk mendengar ceritera Ki Buyut, anak-anak muda itu sebagian telah pergi ke sawah. Mereka bergegas kembali ketika mereka mendengar berita tentang peristiwa yang terjadi di sungai. Berita yang dibawa Widati yang kemudian tersebar. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan yang lain pun telah berkumpul pula untuk mendengar peristiwa yang terjadi itu dari dekat.
Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, kedua orang yang berwajah kasar itu mulai memperlambat langkah mereka. Seorang diantaranya berguman, “Mengerikan sekali.”
“Kita mencoba untuk percaya kepada sikap Ki Buyut” desis Mahis Murti.
Tetapi kedua orang berwajah kasar itu justru telah berhenti. Seorang di antara mereka berkata, “Sebenarnya segala sesuatunya tergantung kepada kalian. Bagaimana pendapat kalian, jika kalian tidak terlalu banyak ikut campur. Aku yakin sekarang, bahwa kalian bukan para pengawal padukuhan atau Kabuyutan ini”
“Apa maksudmu?” berkata Mahisa Murti.
“Jika kalian melepaskan saja kami, maka aku kira tidak akan ada akibat apapun terjadi atas kalian, sementara kami pun akan terlepas dari suasana yang sangat menegangkan itu”
“Kau akan mengadu kami dengan orang-orang Kabuyutan yang marah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita harus mempergunakan cara. Dari kesempatan aku melepaskan diri. Aku akan meloncat ke arah kanan dan kawanku kearah kiri. Kalian memang harus berusaha mengejar kami, tetapi kalian tidak berhasil” jawab orang itu.
Namun Mahisa Pukat itu tertawa. Katanya, “Satu pikiran yang bagus. Tetapi khusus bagi kalian. Dan tidak bagi kami. Kami tetap berpendirian, bahwa kalian harus dihukum. Kalian telah melakukan satu perbuatan yang tercela sekali. Bahkan kalian telah berusaha untuk mempertahankan kesalahan kalian dengan berusaha untuk membunuh kami berdua”
“Tetapi kami belum melakukannya” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Sudah. Kalian sudah melakukannya. Kalian telah berusaha membunuh. Tetapi kalian tidak berhasil, karena kalian dapat kami kalahkan” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Karena itu, marilah. Kita akan pergi ke Kabuyutan. Kita percaya bahwa Ki Buyut akan berbuat sesuatu”
Kedua orang itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Ia memandang ujung lorong yang memasuki padukuhan induk dari Kabuyutan Randumalang itu dengan jantung yang berdegupan. Sebenarnyalah pada waktu itu, di padukuhan induk itu telah terjadi satu pembicaraan yang tegang. Ketika anak-anak muda menuntut untuk dengan langsung menghukum orang-orang itu. maka Ki Buyut telah berusaha untuk mencegahnya.
“Kalian harus mendengarkan kata-kataku” berkata Ki Buyut.
“Kita tidak boleh terlalu lemah menghadapi penjahat-penjahat. Kabuyutan ini harus mulai bangun. Pada saat-saat lampau, kita adalah orang-orang yang paling lemah yang sama sekali tidak berani berbuat apa-apa terhadap para penjahat. Tetapi kita mulai menyadari, bahwa sikap itu telah menyeret kami kedalam satu kesulitan. Sekarang sudah saatnya kita menunjukkan, bahwa kita juga dapat berbuat sesuatu. Kita juga mempunyai keberanian untuk melawan kejahatan” berkata seorang anak muda.
“Coba kita melihat diri kita dengan jujur” jawab Ki Buyut, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa kedua orang anak muda itu”
“Mereka telah mengajari kita sebelum mereka meninggalkan Kabuyutan ini beberapa waktu yang lalu. Mereka mengajari kami untuk menjadi pengawal yang baik bagi Kabuyutan ini”
“Tetapi mereka tentu tidak mengajari kalian untuk berbuat kepadaku, dan kepada orang-orang yang ada di tepian, bahwa kita jangan berbuat menuruti perasaan saja. Merekalah yang mengatakan, agar kedua orang itu dihadapkan pada satu keputusan yang adil dan wajar, sesuai dengan kesalahan mereka menurut pertimbangan nalar dan paugeran. Merekalah yang mencegah agar kita tidak menghukum mereka dengan sewenang-wenang, meskipun mereka jelas melakukan kesalahan”
“Mereka dapat saja berkata begitu, karena gadis-gadis yang menjadi korban itu bukan sanak dan bukan kadang mereka” jawab salah seorang dari orang-orang tua yang marah, “tetapi kami, orang-orang tua yang mempunyai anak-anak gadis, akan selalu dibayangi kecemasan”
“Justru karena itu” berkata Ki Buyut kemudian, “jika kalian menghukum orang itu dengan semena-mena, maka kawan-kawannya kedua orang itu tentu akan marah, karena perasaan keadilan mereka tersinggung. Nah, apakah dengan demikian, kita tidak akan justru menjadi terancam. Tetapi jika kita memperlakukan kedua orang itu dengan adil, meskipun kita menghukumnya juga. Maka kawan-kawan mereka mungkin akan justru mendukung sikap kita, bahwa kedua orang itu harus dihukum karena telah melakukan satu kesalahan”
Tetapi anak-anak muda Kabuyutan itu nampaknya tidak puas terhadap sikap Ki Buyut. Bahkan ada diantara mereka yang berkata, “Ki Buyut. Kami sudah cukup dewasa. Sebaiknya Ki Buyut tidak menganggap lagi bahwa kami adalah kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Seandainya kawan-kawan mereka marah, biarlah kita menghadapinya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bergeser mendekati anak muda itu sambil berkata lantang, “He, apakah benar-benar kau berkata demikian. Apakah benar kau mengucapkan kata-kata itu sebagaimana tersirat di hatimu? Jika demikian, bagus. Aku setuju. Kalian adalah anak-anak muda yang gagah berani anak-anak muda Kabuyutan Randumalang yang terpercaya. Jika nanti sepuluh atau duapuluh orang kawan kedua orang itu datang, maka kita akan bertempur. Kita akan membunuh orang-orang itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh salah seorang di antara orang-orang yang datang Kabuyutan, sebagian besar dari kita akan mati. Mungkin aku, mungkin kau. Setiap orang mempunyai kemungkinan untuk mati. Tetapi yang paling parah, apabila kita semua sudah mati. Tetapi orang-orang yang menyerang Kabuyutan ini belum semuanya mati. Maka mereka akan mulai dengan satu perbuatan yang akan merupakan malapetaka yang paling besar bagi gadis-gadis Kabuyutan ini setelah semua orang laki-laki terbunuh."
Orang-orang yang sedang marah itu mulai berpikir. Mereka mulai membayangkan, apakah yang akan terjadi sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu. Tetapi seorang laki-laki yang bertubuh kurus bertanya, “Apakah mungkin akan terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Buyut itu”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Mungkin sekali. Orang-orang kasar itu memiliki ilmu yang tinggi. Kedua anak muda yang sudah aku ketahui dengan pasti tingkat kemampuannya itupun mengakui, bahwa mereka berdua berjuang dengan susah payah untuk mengalahkan dua orang yang telah berusaha mengambil gadis-gadis Kabuyutan ini”
“Tetapi Ki Buyut” bertanya seorang laki-laki bertubuh pendek, “seandainya kita akan mendapatkan jaminan bahwa Kabuyutan ini tidak akan mengalami sesuatu?”
“Kita dapat berbicara dengan kedua anak-anak muda itu” jawab Ki Buyut.
“Bukankah sama saja halnya? Seandainya kita mengambil sikap yang tegas terhadap kedua orang itu, maka kita pun akan dapat berbicara dengan kedua anak muda itu” sahut seseorang.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun seolah-olah ia mendapat satu jalan untuk menekankan pendapatnya. Jika semula ia hampir kehilangan harapan untuk menahan gejolak kemarahan orang-orang Kabuyutannya, maka justru karena pertanyaan itu ia mulai berpengharapan lagi. Karena itu, maka jawabnya,
“Ya. Kita memang dapat berbicara dengan kedua anak muda itu. Tetapi kita tidak akan dapat memaksakan keinginan kita kepada mereka. Yang ikut bersamaku ke tepian telah mendengar keterangannya dan keterangan orang tua yang disebut paman dari anak-anak muda itu. Kedua anak muda itu justru akan menyerahkan kembali senjata kedua orang yang sudah menyerah itu. Kedua senjata yang sudah dirampas itu akan diserahkan kembali dan tidak mau lagi ikut campur persoalan-persoalan yang akan terjadi kemudian”
Orang-orang itu menjadi tegang. Tetapi orang-orang yang ikut ke tepian telah teringat akan kata-kata itu. Kata-kata yang memang telah diucapkan. Sejenak orang-orang itu saling berpandangan. Namun orang-orang yang ikut pergi ke tepian itupun mulai menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat bertindak sendiri tanpa kedua orang anak muda yang telah mengalahkan kedua orang itu.
Karena sebenarnyalah mereka mulai mengakui betapa bahayanya persoalan yang dapat timbul kemudian, jika kawan-kawan kedua orang itu menuntut balas, sementara kedua orang anak muda itu tidak mau ikut campur sama sekali. Karena itu, maka orang-orang itu pun mulai melihat persoalannya dari beberapa segi, sehingga mereka tidak lagi dengan garang mengacung-acungkan sanjata sambil meneriakkan kata-kata ancaman.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati mulut lorong padukuhan induk Kabuyutan Randumalang. Terasa betapa jantung kedua orang itu hampir rontok karenanya. Mereka adalah orang-orang kasar yang memiliki pengalaman yang luas dalam pengembaraan yang berat dan tugas-tugas yang membawa mereka kedalam satu perbuatan yang kadang-kadang sangat bertentangan dengan kemanusiaan.
Namun menghadapi orang-orang yang marah, terasa juga kengerian yang sangat. Mereka sama sekali tidak akan menjadi ketakutan seandainya mereka dihadapkan pada satu kemungkinan untuk mati dalam perkelahian yang manapun. Tetapi tidak dicincang oleh orang-orang yang sedang marah. Tetapi rasa-rasanya titik-titik air telah jatuh ke atas jantung mereka yang putus asa. Mereka mulai melihat suasana yang berbeda ketika mereka melihat beberapa orang bergeser dari mulut lorong. Bahkan keduanya melihat seseorang yang menyarungkan senjatanya dan yang kemudian melangkah menepi.
Manisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam, sementara Witantra berbisik ditelinga Mahisa Agni, “Nampaknya terjadi perubahan sikap di antara mereka. Ki Buyut telah berusaha dengan sungguh-sungguh” jawab Mahisa Agni.
Sebenarnyalah ketika mereka memasuki gerbang padukuhan, maka tidak ada tindakan orang-orang Kabuyutan Randumalang yang bertentangan dengan kehendak Ki Buyut. Orang-orang Randumalang telah melihat satu kemungkinan yang dapat berakibat paling buruk dan kemungkinan yang lain yang dapat melindungi Kabuyutan mereka.
Ki Buyut yang kemudian berdiri di muka gerbang padukuhan induknya pun kemudian mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk membawa kedua orang itu memasuki padukuhan induk dan langsung dibawa ke Kabuyutan.
Beberapa orang kemudian telah mengikutinya, sehingga iring-iringan itu pun semakin lama menjadi panjang. Namun dalam pada itu, keluarga gadis-gadis yang berada di tepian-pun telah membawa gadis-gadis mereka pulang dengan tergesa-gesa. Apalagi kedua gadis yang telah tertidur di tepian. Bahkan ibu gadis-gadis itu telah menangisinya di rumahnya. seolah-olah mereka telah menemukan kembali anak-anak gadis mereka yang telah hilang.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar itu berjalan dengan kepala tunduk. Mereka tidak berani menatap wajah-wajah orang Kabuyutan Randumalang yang marah, meskipun akhirnya mereka tidak berbuat apa-apa. Demikianlah, akhirnya kedua orang itu pun telah memasuki halaman Kabuyutan. Tetapi mereka tidak langsung dibawa ke pendapa. Tetapi mereka telah dibawa ke gandok sebelah kanan.
“Biarlah mereka berada di gandok” berkata Ki Buyut, “kita akan berbicara di pendapa”
“Tetapi keduanya perlu mendapat pengawasan yang kuat” berkata Mahisa Murti.
“Biarlah anak-anak muda mengawasinya” jawab Ki Buyut.
“Di depan dan di belakang gandok. agar mereka tidak melarikan diri dengan memecah dinding di belakang, atau meloncat lewat bumbungan” Mahisa Pukat melanjutkan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara kedua orang itu mencoba menatap wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ketika mereka membentur pandangan kedua anak muda itu, maka mereka pun telah menundukkan wajah mereka, meskipun mereka harus mengumpat di dalam hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian membawa keduanya memasuki gandok. Sementara itu Ki Buyut talah menyerahkan pengawasan kedua orang itu kepada Ki Jagabaya.
“Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya” berkata Ki Buyut.
“Baiklah Ki Buyut” jawab Ki Jagabaya, “aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya atas kedua orang itu. Anak-anak muda akan menjaga mereka di depan dan di belakang."
“Berapa orang yang akan kau siapkan?” bertanya Ki Buyut.
“Dua di belakang dan dua di depan” jawab Ki Jagabaya.
Ki Buyut mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Agni. berkata, “Jangan salah menilai orang-orang itu Ki Jagabaya. Sebaiknya Ki Jagabaya mengerahkan orang lima kali lipat”
“Duapuluh orang?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Sepuluh di depan dan sepuluh di belakang” jawab Mahisa Agni, “itupun mereka harus dengan cepat mamberikan isyarat seandainya kedua orang itu benar-benar berusaha melepaskan diri, karena sepuluh orang anak muda itu tidak akan dapat menangkap kedua orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu”
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun Ki Buyut lah yang kemudian berkata, “Yakini kata-katanya Ki Jagabaya. Aku tahu pasti, bagaimana orang-orang berilmu tinggi itu mempergunakan ilmunya. Kerahkan anak-anak muda yang paling baik untuk membantu mengawasi orang itu. Duapuluh orang setiap kali, yang kemudian akan digantikan oleh duapuluh orang berikutnya”
Ki Jagabaya mengngguk-angguk. Namun masih terbayang pada sorot matanya sikapnya yang ragu-ragu bahwa untuk mengawasi kedua orang itu diperlukan sepuluh orang di depan dan sepuluh orang di belakang. Tetapi Ki Jagabaya tidak membantah. Ketika Ki Buyut mempersilahkan keempat orang tamunya duduk di pendapa, maka Ki Jagabaya pun telah menghubungi anak-anak muda Kabuyutan Randumalang untuk melaksanakan perintah Ki Buyut.
“Ki Buyut terlalu berhati-hati” berkata seorang anak muda.
“Ki Buyut kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sejak Kabuyutan ini dibayangi oleh ketidak tenteraman, karena dihantui oleh peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu, maka ia benar-benar menjadi seorang penakut” berkata seorang anak muda yang lain.
Ki Jagabaya tidak menyahut, ia justru telah terlibat ke dalam satu sikap yang tidak menguntungkan anak-anak muda Randumalang pada saat itu. Bahkan ia pun telah bertindak kasar terhadap anak-anak Kabuyutan itu sendiri, karena tingkah laku seseorang. Namun demikian, bagaimanapun juga, anak-anak muda itu berusaha untuk melakukannya. Dengan malas mereka telah menyusun kalompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh orang.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apabila kita mendapat kesempatan, maka sepuluh anak-anak yang berada di belakang itu tidak akan berarti apa-apa bagi kita”
“Ternyata gambaran kita tentang pangawal Kabuyutan ini keliru. Kedua anak muda yang telah mengalahkan kita itu, tentu bukan pengawal Kabuyutan ini” berkata yang lain.
“Ya. Menilik sikap dan tingkah laku mereka, maka anak-anak muda di Kabuyutan ini tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi aku yakin bahwa kedua orang anak muda itu masih ada di Kabuyutan ini. Mereka akan dapat berbuat sesuatu, jika mereka mendengar isyarat dari anak-anak muda yang sedang mengamati kita” sahut kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah kita tidak akan barusaha untuk dapat keluar dari tempat terkutuk ini”
Kawannya menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada gunanya. Terlalu banyak mata yang mengamati kita. Tetapi aku tidak tahu, apakah malam nanti, kita akan mendapat kesempatan”
“Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi atas kita sebelum malam nanti” jawab yang lain. Tetapi kemudian, “Namun demikian, ada kemungkinan bahwa kedua anak-anak muda itu akan meninggalkan tempat ini”
“Kita tidak tahu” berkata kawannya, “sebaiknya aku tidur saja sekarang”
Yang lain tidak menjawab. Ketika kawannya kemudian berbaring, maka ia pun talah duduk di sudut bersandar dinding.
Dalam pada itu, di pendapa Ki Buyut sedang berbincang-bincang dengan keempat orang tamunya. Nampaknya mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Persoalan yang mereka bicarakan menyangkut kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan Kabuyutan Randumalang.
“Kita tidak akan dapat mencegah orang-orang Kabuyutan ini berceritara tentang peristiwa yang telah terjadi ini, Ki Buyut” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Benar anak muda. Berita tentang tartangkapnya dua orang itu akan tersebar. Jika keduanya memang mempunyai kawan di sekitar tempat ini, maka kawan-kawan mereka tentu akan berbuat sesuatu untuk membebaskan mereka”
“Hal itu akan dapat menjadi bencana bagi Kabuyutan ini” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah yang membuat kami sangat prihatin” jawab Ki Buyut.
Dalam pada itu maka Mahisa Agni pun kemudian barkata, “Ki Buyut. Barangkali aku mempunyai pendapat yang dapat dipertimbangkan”
Ki Buyut memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Jika hal itu akan berakibat baik, maka aku akan mengucapkan terima kasih”
Sekilas Mahisa Agni memandang Witantra yang termangu-mangu. Kemudian katanya, “Ki Buyut. Sebenarnyalah kedua orang itu telah melakukan sesuatu yang gawat tidak saja bagi Kabuyutan ini. Meskipun untuk waktu yang panjang, namun kedua orang itu talah terlibat dalam satu usaha untuk mengguncangkan kekuasaan Singasari. Karena itu, maka aku cenderung mengatakan, bahwa kedua orang itu tentu mempunyai banyak kawan di sekitar kaki pegunungan itu”
Ki Buyut memandang wajah Mahisa Agni dengan tatapan mata yang memancarkan kecemasan hatinya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Jika damikian, apa yang dapat kami lakukan?”
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Ki Buyut. Sebenarnyalah kami memerlukan orang itu. Kami ingin membawanya ke Singasari. Mereka akan dapat memberikan beberapa keterangan yang kami perlukan, sementara itu, Kabuyutan ini akan bebas dari persoalan yang menyangkut kedua orang itu. Ki Buyut dapat mengatakan kepada orang-orang Kabuyutan ini, bahwa kami, prajurit Singasari telah menangkap kedua orang itu dan membawanya ke Singasari. Dengan demikian, maka ceritera yang akan tersebar dari mulut ke mulut, akan dilengkapi oleh keterangan itu. Jika kawan-kawannya mendengar lewat siapa pun, maka mereka tidak akan tarlalu mendendam orang-orang Kabuyutan ini. Tetapi mereka harus memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi”
“Kemungkinan yang mana Ki Sanak?” bertanya Ki Buyut.
“Jika mereka mendengar bahwa kedua kawannya talah dibawa oleh prajurit Singasari ke Singasari maka mereka dapat membayangkan, apa yang tarjadi dengan dua orang kawannya itu. Prajurit Singasari akan dapat mendengar dari keduanya, apa yang telah mereka lakukan dan dari keduanya pula akan dapat didengar keterangan tantang kawan-kawannya” jawab Mahisa Agni, “Dengan demikian, memang ada kemungkinan bahwa kawan-kawan kedua orang itu akan justru menyingkir untuk menghindarkan diri dari tangan para prajurit Singasari”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Mahisa Agni sejenak. Kemudian wajah Witantra dan kedua anak muda yang duduk sebelah menyebelah. Dengan ragu-ragu Ki Buyut itu pun kemudian berkata, “Tetapi, apakah sebenarnya memang demikian? Bahwa kalian akan membawa kadua orang itu sebagai prajurit Singasari dan akan memperlakukan sebagaimana kau katakan itu?”
“Ki Buyut” jawab Mahisa Agni, “kami akan membawa keduanya dan memperlakukan sebagaimana kami katakan. Keterangan dari meraka akan sangat penting artinya bagi kami."
Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih. Barangkali cara yang akan kita ambil ini akan bermanfaaat bagi keselamatan Kabuyutan Randumalang”
“Mudah-mudahan Ki Buyut. Tetapi Ki Buyut benar-benar harus memberitahukan kepada orang-orang Randumalang secepatnya, agar setiap ceritera yang disampaikan kepada orang lain, telah di katakan pula, bahwa keduanya akan dibawa ke Singasari” jawab Mahisa Agni kemudian.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “aku akan memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang ada di gandok. Berita ini tentu akan capat tersebar di antara mereka dan orang-orang Randumalang yang lain”
“Silakan Ki Buyut” jawab Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Buyut meninggalkan pendapa, Witantra berkata, “Tetapi ada kamungkinan lain yang dapat terjadi”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, sementara Witantra berkata selanjutnya, “Jika hal itu didengar oleh kawan-kawan mereka, maka akan ada kemungkinan kawan-kawan mereka akan menahan perjalanan kami, membawa kedua orang itu ke Singasari”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawab, “Ya. Kau benar. Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Tetapi bukankah ada lebih dari satu jalur jalan menuju ke Singasari. Mudah-mudahan kita dapat memilih jalan yang tidak mereka perhitungkan, sehingga seandainya mereka berniat untuk mencegat dan mengambil kawan-kawan mereka, maka mereka tidak akan dapat menjumpai kita di perjalanan”
Witantra mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi yang dikatakan oleh Witantra itu memang tidak mustahil terjadi. Kawan-kawan kedua orang itu akan dapat mencegat dan berusaha untuk merebut kedua orang itu, sehingga keduanya tidak sempat dibawa ke Singasari. Persoalannya bukan sekedar karena parsoalan mereka dengan gadis-gadis Randumalang. Tetapi jika keduanya dibawa ke Singasari, maka persoalan mereka yang lain, justru yang jauh lebih besar dari persoalan gadis-gadis itu, akan terungkap pula.
Sementara itu, Ki Buyut talah berada di serambi gandok. Ia pun kemudian mengatakan kepada Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang berada di serambi itu, bahwa kedua orang itu akan dibawa oleh kedua orang Singasari untuk didengar keterangan mereka tentang tugas-tugas mereka di daerah di sekitar Kabuyut an Randumalang.
“Jadi kedua orang itu tidak akan menjadi tanggungan kita lagi?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Kita akan menyerahkan mereka kepada orang-orang Singasari itu. Dengan demikian, maka kita tidak perlu bentanggung-jawab lagi. Baik mengenai pengamatannya maupun hubungannya dengan kawan-kawan mereka. Karena itu, maka setiap keterangan tentang kedua orang itu harus diberikan penjelasan, bahwa persoalan mereka sebenarnya adalah dengan orang-orang Singasari, meskipun semula menyangkut juga gadis-gadis Randumalang” barkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Tetapi apakah dengan demikian, dapat menjamin bahwa kawan-kawan mereka tidak akan mendendam lagi kepada kita?”
“Yang kita pilih adalah kemungkinan yang paling baik” jawab Ki Buyut, “bahwa kedua orang itu akan dibawa pergi, merupakan pilihan satu-satunya”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam, ia memang tidak melihat kemungkinan lain yang lebih baik. Karena itu, maka katanya kemudian, “Segalanya terserah kepada Ki Buyut!”
“Tetapi seandainya ada akibat apapun, kita bersama-sama akan mempertanggung-jawabkan” sahut Ki Buyut.
Ki Jagabaya pun mengangguk-angguk pula. Memang tidak mungkin baginya dan para bebahu yang lain untuk ingkar dari pertanggungan jawab. Demikianlah, ketika Ki Buyut kembali ke pendapa, maka keterangan itu pun memang segera tersebar. Anak-anak muda itu pun kemudian mengatakan kepada kawan-kawan mereka, bukan saja dari padukuhan induk, tatapi juga dari padukuhan-padukuhan lain dalam lingkungan Kabuyutan Randumalang.
Seperti yang diharapkan, maka jika setiap orang kemudian berbicara tentang peristiwa di pinggir sungai itu, maka mereka pun selalu mengatakan, bahwa kedua orang itu akan segera dibawa ke Singasari oleh prajurit-prajurit dalam tugas sandi mereka.
Di pendapa, Mahisa Agni dan Witantra telah mengambil satu keputusan untuk membawa kedua orang itu, di keesokan harinya ke Singasari.
“Kenapa begitu targesa-gesa?” bertanya Ki Buyut.
“Kami sudah terlalu lama pergi. Selebihnya, semakin cepat kedua orang itu menyingkir dari Kabuyutan ini, rasa-rasanya akan menjadi semakin baik” jawab Mahisa Agni.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kedua orang anak muda ini?” Bahkan anak-anak muda dari padukuhan yang bukan padukuhan induk itu pun telah diikut-sertakan.
Kedua orang kasar itupun mengumpat-umpat kasar ketika ketika mereka harus tinggal di sebuah bilik yang sempit di gandok. Pintu bilik itu telah diselarak dari luar, sementara tiga orang anak muda telah duduk di ruangan di depan bilik yang tertutup itu.
“Ada sepuluh orang yang berada di depan, termasuk anak anak yang barada di ruang depan ini dan sepuluh yang lain berada di belakang” berkata salah seorang dari keduanya.
Mahisa Agni memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil tersenyum Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Witantra sambil berkata, “Bukankah kita menyerahkan kepada keputusan mereka, apa yang akan mereka lakukan?”
Witantra pun tersenyum. Katanya, “Memang terserah kepada mereka. Mereka akan dapat mengambil keputusan” Ki Buyut masih saja termangu-mangu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab, “Paman. Sebenarnyalah bahwa kami masih ingin tinggal. Tetapi dalam keadaan yang gawat bagi paman berdua, kami ingin ikut mengantar kedua orang itu sampai ke perbatasan Kota Raja. Kami memang tidak ingin kembali ke Singasari, sebelum kami puas dengan pengembaraan kami. Tetapi kami melihat sesuatu yang penting saat ini untuk ikut bersama paman berdua”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Mahisa Agni pun berkata, “Kami sama sekali tidak berkeberatan. Terserah kepada kalian. Namun dengan pertimbangan pamanmu Witantra, ada baiknya pula jika kalian ikut mengantarkan kedua orang itu ke Singasari”
“Tetapi bagaimana dengan Kabuyutan ini? bertanya Ki Buyut, “jika kalian semuanya meninggalkan Kabuyutan ini, bukankah berarti bahwa Kabuyutan ini akan mennjadi sangat lemah dan tidak berarti sama sakali?”
“Kami tidak akan pergi terlalu lama” jawab Mahisa Murti, “Singasari tidak terlalu jauh”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang kecemasan di wajahnya. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku kira, tidak akan terjadi sesuatu di Kabuyutan ini. Jika kawan-kawan orang itu ingin berbuat sesuatu, mereka tentu akan melakukannya atas kami yang membawa kedua orang kawannya ke Singasari”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia pun merasa segan untuk menahan kedua orang anak muda itu. Seolah-olah Kabuyutan mereka targantung dari kehadiran kedua orang anak muda dari Singasari itu. Apalagi ketika Mahisa Pukat kemudian berkata,
“Ki Buyut. Menurut pengamatanku, anak-anak muda di Kabuyutan ini sudah mulai menunjukkan keberanian mereka untuk berbuat sesuatu. Biarlah mereka menjaga ketenangan Kabuyutan ini untuk satu dua hari. Sementara itu, kami akan segera kembali, meskipun kami juga tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan ini”
Ki Buyut memang tidak menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kecuali ia tidak ingin menunjukkan ketergantungan Kabuyutannya kepada kedua orang anak muda itu, maka ia pun merasa segan, justru karena ia mengetahui hubungan antara Mahisa Murti dan anak gadisnya, yang tidak lagi dapat disembunyikan. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Baiklah, anak-anak muda. Nampaknya kalian benar-benar akan mengantar kedua paman anak-anak muda yang akan membawa kedua orang itu. Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan, dan Kabuyutan ini pun tidak diganggu lagi oleh orang-orang yang tidak mengenal perabadan itu”
“Mereka memang tidak mengenal peradaban Ki Buyut” berkata Mahisa Murti, “bahkan mereka ingin menghancurkan peradaban dengan cara mereka. Hal itu akan dapat segera diketahui jika mereka telah berada di Singasari”
Demikianlah, maka kegelisahan memang telah timbul di antara kawan-kawan kedua orang itu, ketika dua orang kawannya tidak kembali kedalam sarang meraka pada saatnya. Ketika seseorang berusaha untuk mengetahui sebab-sebabnya, maka orang itu telah mandengar berita tentang dua orang yang ditangkap oleh dua orang prajurit Singasari dan yang akan membawanya besok ke Singasari.
“Gila” geram pemimpin dari orang-orang yang bersarang di hutan di lereng pegunungan, “kenapa mereka dibawa oleh dua orang prajurit Singasari”
Orang itu pun telah menceriterakan apa yang didengarnya tentang tingkah laku kedua orang kawannya itu. Lalu katanya, “Adalah satu kebetulan, bahwa di Kabuyutan itu ada prajurit Singasari”
“Gila” geram pemimpinnya, “kedua orang itu memang harus dibunuh. Kenapa kedua prajurit Singasari itu tidak membunuhnya saja”
“Mereka sengaja menangkap mereka hidup-hidup. Mungkin para prajurit Singasari itu sudah mencium tugas-tugas kita disini, sehingga kedua orang kawan kita yang tertangkap itu akan dapat memberikan lebih banyak keterangan tentang kita” berkata orang yang mendengar tingkah laku kedua kawannya itu dari orang-orang Kabuyutan.
“Kapan orang-orang itu akan kembali ke Singasari?” bertanya pemimpinnya.
Menurut pendengaranku, segera. Kabar terakhirnya mengatakan, bahwa besok mereka akan berangkat ke Singasari” jawab orang yang mendapat katerangan itu.
“Kita akan mencegatnya” berkata pemimpinnya, “Kita akan mengambil kembali kedua orang itu. Jika gagal, biarlah keduanya itu mati saja, sehingga dari mulut mereka tidak akan lagi keluar keterangan yang akan dapat menjerat leher kita disini, sementara tugas kita sama sekali belum dapat kita lakukan. Dengan demikian, kita akan kehilangan nilai perjanjian yang telah kita setujui yang akan mamberikan hasil yang sangat menguntungkan bagi kita”
“Aku sependapat” berkata seorang kawannya, “kita akan mencegat orang-orang Singasari itu dan kita akan mengambil atau membunuh sama sekali kedua orang kawan kita yang tidak tahu diri itu”
Dengan demikian, maka sekelompok orang-orang kasar yang berada di daerah hutan di lereng pegunungan itu, telah mengambil satu keputusan. Namun mereka masih membicarakan, dimana mereka akan mencegat orang-orang Singasari itu.
“Tidak hanya satu jalan menuju ke Singasari” berkata pemimpin mereka.
“Ya. Mereka dapat mengambil jalan yang tidak kita duga. Sementara itu, kita tidak mampunyai cukup tenaga untuk memecah orang-orang kita” berkata kawannya.
“Sepuluh orang akan dapat dibagi menjadi dua” berkata seorang bertubuh gemuk.
“Kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan” jawab pemimpinnya, “kita tidak yakin, apakah lima orang kita akan dapat melawan dua orang prajurit Singasari dan mungkin ada orang yang akan menyertai mereka.”
“Ya. Dua orang anak muda yang agaknya juga orang-orang Singasari itu akan pergi bersama kedua orang prajurit itu” berkata orang yang mendapatkan keterangan tantang kedua kawannya yang tertangkap.
“Dua orang anak muda itu harus kita perhitungkan pula” berkata pemimpinnya, “karena itu, kita akan bersepuluh. Dua orang akan tetap berada di sarang kita”
“Ya. Tetapi dimana?” bertanya yang lain.
Pemimpinnya tarmangu-mangu. Dimana mereka akan melakukannya. Tidak hanya ada satu jalur menuju ke Singasari. Namun akhirnya pemimpinnya itu berkata, “Kita akan mencegatnya sebelum mereka sempat memilih jalan. Demikian mereka keluar dari Kabuyutan, kita akan menemui mereka di bulak panjang di sebelah Kabuyutan itu”
“Terlalu dekat” desis salah seorang diantara mereka.
“Aku tidak peduli. Orang-orang Kabuyutan itu tentu tidak akan berani ikut campur. Jika mareka benar-benar ikut campur, kita akan membinasakan mereka. Kabuyutan itu akan menjadi karang abang”
Orang-orang yang mendengar penjelasan itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak terlalu banyak memperhitungkan orang-orang Kabuyutan di sekitar sarang mereka, karena menurut pendapat mereka, orang-orang Kabuyutan itu tidak akan berarti apa-apa.
Ternyata orang-orang yang berbincang itu telah mengambil keputusan sebagaimana dikatakan oleh pemimpinnya. Sepuluh orang akan mencegat orang-orang Singasari itu. Jika mereka gagal mengambil kedua orang kawannya, meka kedua orang itu akan dibinasakan saja.
Demikianlah, maka orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Pagi-pagi benar mereka harus sudah berada di bulak panjang, di luar Kabuyutan Randumalang. Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi cemas, seandainya orang-orang Randumalang mengetahui apa yang akan mereka lakukan.
Dalam pada itu, sebagaimana direncanakan, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah bersiap pula ketika langit menjaui merah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membenahi diri pula. Sementara itu, para pembantu Ki Buyut telah menyediakan minuman dan makanan panas, karena mereka telah mendapat perintah dari Ki Buyut menyediakannya menjelang keberangkatan tamu-tamunya ke Singasari.
Dalam waktu yang singkat itu, Mahisa Murti masih memerlukan menjumpai Widati untuk minta diri. Ki Buyut yang melihat pertemuan itu, sama sekali tidak mengganggunya. Ia tidak lagi melarang anaknya berhubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika semula Ki Buyut masih membatasi hubungan anaknya dengan anak muda itu, karena Ki Buyut sama sekali belum mendapat gambaran, siapakah sebenarnya Mahisa Murti itu.
Terasa betapa beratnya Widati melepaskan Mahisa Murti. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain. Ia memang harus melepas Mahisa Murti meninggalkannya. Jika tidak pada hari itu, namun pada saat yang lainpun Mahisa Murti tentu akan pergi. Meskipun demikian, Widati masih tetap berpengharapan, bahwa pada suatu saat Mahisa Murti itu akan kembali lagi kepadanya.
Demikianlah, ketika matahari muncul di cakrawala, Mahisa Agni dan Witatra telah minta diri untuk pergi ke Singasari bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, dengan membawa dua orang tawanan yang telah berhasil ditangkap oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setelah mereka makan pagi, maka mereka pun segera berkemas. Kuda-kuda yang akan mereka pergunakan pun telah siap pula di halaman. Enam ekor kuda.
Sejenak kemudian, maka mereka pun mulai bergerak meninggalkan rumah Ki Buyut Randumalang. Dengan berat hati, Ki Buyut telah melepaskan mereka sampai ke regol halaman. Demikian pula dengan anak gadisnya. Widatipun berada di regol pula ketika iring-iringan kecil itu meninggalkan rumahnya.
Dengan dilepas oleh beberapa orang penghuni Kabuyutan Randumalang di regol rumah masing-masing, maka iring-iringan itu pun bergerak semakin lama semakin cepat, lika mereka berkuda di bulak-bulak di antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, maka kuda-kuda mereka pun berlari lebih cepat. Tetapi jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan, maka mereka memperlambat derap kaki kuda mereka.
Dalam pada itu, maka kedua orang tawanan itu pun benar-benar merasa tersiksa. Meskipun mereka sama sekali tidak diikat dan diperlakukan sebagai tawanan, namun mereka mengerti, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu pun telah sampai ke padukuhan terakhir dalam lingkungan Kabuyutan Randumalang. Sebentar lagi, mereka akan keluar dari Kabuyutan itu dan memasuki satu bulak panjang, sebelum mereka akan sampai ke padukuhan pertama dari Kabuyutan tetangga.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terbersit satu dugaan pada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa satu kemungkinan dapat terjadi, bahwa orang-orang yang akan mengambil kembali kedua orang tawanan itu jika ada, justru akan menunggu di satu tempat sebelum mereka sampai kepada satu kemungkinan memilih jalan yang menuju ke Singasari.
“Aku kira mereka memang mempunyai sejumlah kawan” desis Witantra.
“Ya” jawab Mahisa Agni, “kemungkinan kawan-kawannya akan mengambil satu tindakan memang besar. Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang mengatakan, bahwa mereka masih mempunyai kawan-kawan yang mungkin sekali akan berbuat sesuatu”
Witantra mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling dilihatnya kedua orang yang berkuda di belakangnya memandanginya. Agaknya mereka mendengar percakapan antara Mahisa Agni dan Witantra itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni dan Witantra memang tidak merahasiakan percakapannya. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian bertanya, “Ada berapa orang jumlah kawan-kawanmu?”
“Banyak Ki Sanak” jawab salah seorang dari mereka, “kami terdiri dari satu lingkungan yang terdiri dari banyak sekali orang”
“Jangan mengada-ada. Apakah kau bersedia menyebut, berapa orang kawanmu?” bertanya Witantra kemudian.
Kedua orang itu termangu-mangu. Apa niat mereka untuk berbohong dengan menyebut jumlah yang besar. Tetapi mereka masih juga ragu-ragu.
“Sebut,“ tiba-tiba saja Mahisa Pukat yang ada di belakangnya membentak.
Kedua orang itu terkejut. Hampir berbareng mereka menyebut satu jumlah. Tetapi jumlah itu ternyata jauh berbeda. Seorang di antara mereka mengatakan, bahwa kawannya berjumlah seratus lebih. Sementara yang lain hanya menyebut duapuluh lima.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kalian membicarakan lebih dahulu sebelum berbohong. Berapa orang kalian akan menyebut jumlah kawan-kawan mereka. Baru setelah kalian sepakat, kalian dapat mengatakannya”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut lagi.
Demikianlah iring-iringan itu telah sampai di ujung padukuhan terakhir dari Kabuyutan Randumalang. Sesaat kemudian, maka mereka telah meninggalkan regol padukuhan. memasuki sebuah bulak yang sangat panjang. Bulak yang separuh digarap oleh orang-orang Randumalang dan yang separuh oleh orang-orang di Kabuyutan tetangga.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di paling depan telah memperlambat laju kuda mereka. Sambil memandangi bulak panjang itu. Mahisa Agni berkata, “Di seberang padukuhan di ujung bulak panjang ini terdapat jalan yang bercabang. Kita akan dapat memilih salah satu dari keduanya. Dan kita akan dapat mencapai Singasari dengan pedalaman pengembaraan kita”
“Ya” jawab Witantra, “aku sependapat, bahwa kita memang harus berhati-hati”
Sambil berpaling kepada kedua orang tawanannya Mahisa Agni berkata, “Kalian pun harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, mungkin di bulak panjang ini, tetapi mungkin juga di tempat lain, atau bahkan kita tidak akan bertemu dengan kawan-kawanmu, namun kita memang harus bersedia”
“Apa yang harus kami lakukan, jika kawan-kawan kami benar-benar akan mencegat perjalananku ini” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tidak apa-apa. Justru kalian harus tidak berbuat apa-apa” jawab Mahisa Agni, “sebab, jika kalian ikut campur, maka kalian dapat mengalami nasib yang tidak menyenangkan mendesak, kami dapat berbuat kasar”
Kedua orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu kuda mereka berderap di jalan yang berdebu. Meskipun hari masih pagi, namun kaki-kaki kuda itu telah melepaskan debu yang putih mengepul. Namun sejenak kemudian larut oleh angin yang bertiup dari arah pegunungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di depan memang menjadi sangat berhati-hati. Naluri pengembaraan mereka seakan-akan sudah memberitahukan, bahwa ada sesuatu di hadapan mereka, di tengah-tengah bulak panjang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berkuda di paling belakang agaknya masih meragukan, bahwa kawan-kawan kedua orang itu akan mengganggu perjalanan mereka. “Mungkin keduanya tidak mempunyai kawan sama sekali” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan peringatan yang diberikan oleh kedua pamannya yang berkuda di paling depan.
Dalam pada itu, matahari yang memanjat kaki langit sinarnya terasa hangat di segarnya udara pagi. Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menengadahkan wajah mereka, memandang sekelompok burung bangau yang terbang beriringan dari Tenggara.
“Daerah ini termasuk daerah yang subur” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tetapi jika bukit-bukit itu menjadi gundul, maka daerah ini akan segera menjadi gersang. Di musim hujan, banjir akan melanda padukuhan dan sawah-sawah. Sungai akan meluap karena tidak dapat menampung arus air dari pegunungan. Di musim kering sungai-sungai akan menjadi kering karena di pegunungan yang gundul tidak dapat menyimpan air”
“Satu usaha yang terkutuk” sahut Mahisa Murti, “karena itu, maka hal ini harus didengar oleh para pemimpin di Singasari”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dipandanginya kedua orang tawanannya yang berkuda di depannya. “Meskipun demikian, mungkin kita akan dapat menelusuri lewat orang-orang itu sampai akhirnya kita menemukan orang yang memegang kendali atas rencana mereka” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu kuda-kuda itu pun berderap semakin jauh dari padukuhan terakhir dari Kabuyutan Randumalang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra merasakan sesuatu yang kurang wajar dihadapan mereka. Dua orang di bawah sebatang pohon yang tidak terlalu rimbun. Tentu bukan pengembara yang sedang beristirahat, karena hari masih belum terlalu panas. Juga bukan petani yang duduk menunggu giliran mendapatkan air bagi sawah mereka, karena parit mengalir deras di tepi jalan yang mereka lalui. Apalagi ketika keduanya melihat bahwa seorang di antara keduanya bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam satu tikungan yang dibayangi oleh pohon jarak kepyar yang tumbuh di sudut tikungan.
Keduanya tanpa berjanji telah memperlambat kuda mereka. Bahkan kemudian Mahisa Agni berpaling sambil berkata, “Berhati-hatilah. Kita akan sampai ke satu tikungan yang perlu mendapat perhatian”
Kedua orang tawanan itu menjadi tegang. Namun terbersit harapan, bahwa kawan-kawannya benar-benar akan datang untuk membebaskan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian mendesak maju, mendekati dua orang tawanannya. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Seandainya benar kawan-kawanmu yang datang, sekali lagi aku peringatkan. Kalian jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai diri kalian sendiri”
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang berada di tikungan itu adalah kawan-kawan kedua orang tawanan yang akan membebaskannya. Namun satu pengertian, bahwa jika mereka gagal, maka kedua itu akan dibunuhnya saja.
Dalam pada itu. dua orang yang duduk di bawah pohon itu adalah orang-orang yang bertugas untuk mengamati jalan. Kawan-kawan kedua orang tawanan itu memperhitungkan, bahwa pada saat yang demikian itu, orang-orang Singasari akan lewat. Karena itu, ketika mereka melihat sebuah iring-iringan kecil orang berkuda, maka seorang diantara kedua orang yang menunggu di pinggir jalan itu segera memberitahukan kepada kawan-kawan mereka.
“Berapa orang?” bertanya pemimpinnya yang duduk di bawah sebatang pohon kepyar yang rimbun.
“Enam orang” jawab pengamat itu, “dua diantara mereka tentu kawan-kawan kita yang tertawan itu”
Pemimpin mereka itu pun mengangguk-angguk. "Lalu bebaskan mereka, kita adalah kelinci-kelinci yang tidak berarti. Kita tidak usah membunuh kedua kawan kita. Tetapi kitalah yang sebaiknya membunuh di
ri” Kawan-kawan tidak menjawab. Tetapi mereka sadar, bahwa pemimpin mereka telah menentukan satu sikap. Mereka dapat merebut kedua orang kawan mereka. Itu berarti bahwa mereka harus dapat membinasakan keempat orang singasari yang membawa kedua orang kawan mereka itu.
“Kita tidak memerlukan seorang tawanan pun. Karena itu, maka ke empat orang itu harus kita bunuh” berkata pemimpin mereka.
Orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Ketika orang yang menunggu di pinggir jalan itu memberikan satu isyarat bunyi, maka sembilan orang yang lain serentak telah berdiri dan melangkah ke tikungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berada di paling depan telah menarik kendali kuda mereka, sehingga kuda itupun berhenti. Dengan wajah tegang, Mahisa Agni dan Witantra memandangi kesepuluh orang yang berada di tikungan itu.
Seorang di antara kesepuluh orang itupun melangkah maju. Sejenak dipandanginya kedua orang kawannya yang berkuda di belakang dua orang Singasari yang sudah lewat setengah umur, sementara dua orang anak-anak muda berkuda di belakang mereka. Kedua orang berkuda itu tersenyum. Tanpa disadari, seorang di antara mereka pun berpaling memandangi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menggeram. Terdengar ia berdesis, “Ingat. Jika kau berbuat sesuatu, maka nasibmu akan terhenti di sini. Akan dapat membunuh kalian dengan cara apapun juga”
Tetapi orang itu tersenyum semakin lebar. Namun ia sama sekali tidak menjawab. Namun demikian, kesan yang menyentuh perasaan Mahisa Pukat membuatnya harus berwaspada sepenuhnya. Nampaknya kedua orang itu tidak akan tinggal diam pada saat-saat yang menentukan.
Dalam pada itu, pemimpin orang-orang yang mencegat itu kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami minta maaf, jika kami mengganggu perjalanan kalian”
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa Ki Sanak. Agaknya Ki Sanak mempunyai satu keperluan yang barangkali kami dapat membantunya”
“Ya Ki Sanak. Aku kira kalian akan dapat membantu kami” jawab pemimpin dari orang-orang yang mencegat itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk Dengan nada datar ia bertanya, “Apa yang dapat kami lakukan?”
“Ki Sanak” berkata pemimpin orang-orang yang memcegat itu, “ketahuilah, bahwa dua orang yang sekarang berkuda di belakang Ki Sanak itu adalah kawan-kawanku. Menurut pendengaranku, mereka akan kalian ajak pergi ke Singasari. Bahkan kalian telah memperlakukan mereka sebagai tawanan”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kau benar. Kedua orang yang kau sebut sebagai kawanmu ini memang dua orang tawanan kami yang akan kami bawa ke Singasari. Kami adalah petugas-petugas dari Singasari yang secara kebetulan menemukan mereka sedang melakukan satu kesalahan yang sangat mengganggu, sehingga kami memutuskan untuk membawa mereka ke Singasari”
“Apakah kesalahan mereka?” bertanya pemimpin kelompok yang mencegat iring-iringan itu
“Apakah kalian belum mengetahui?” bertanya Mahisa Agni.
“Sebetulnya. Apakah pendengaranku sesuai dengan pendapatmu” jawab pemimpin kelompok itu.
“Mereka telah merampas kebebasan dua orang gadis dari padukuhan Randumalang. Orang-orang Randumalang sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya, sehingga kami yang kebetulan sedang beristirahat di Kabuyutan itu dalam perjalanan kami kembali ke Singasari, telah menangkap kedua orang itu” jawab Mahisa Agni.
“Hanya itu?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Ya. Apalagi?” bertanya Mahisa Agni.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Apakah kalian tidak melihat persoalan lain pada kedua orang kawan kami itu?”
“Persoalan apa? Kami hanya melihat keduanya berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Dan kami telah menangkap mereka,” jawab Mahisa Agni.
“Jika hanya itu, kenapa kalian bersusah payah membawa mereka ke Singasari?” bertanya pemimpin kelompok itu pula.
“Lalu, harus kami bawa kemana?” Mahisa Agni justru ganti bertanya, “kami adalah prajurit Singasari. Bukan pengawal yang bertugas di Kediri. Bukan pula pengawal dari salah satu Pakuwon dan yang membawahi Kabuyutan Randumalang”
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, salah seorang dari kedua tawanan itu tiba-tiba saja berkata, “Mereka ingin mengetahui, apa yang kita lakukan di sini. Karena itu, mereka menangkap kami”
Semua orang yang ada di tempat itu berpaling kepada tawanan yang menyahut pertanyaan pemimpinnya itu. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat telah membentaknya, “Diam kau”
Tetapi orang itu tersenyum, “Baiklah kita sekarang melihat kenyataan yang kita hadapi. Kawan-kawanku telah datang untuk membebaskan aku. Mereka tentu tidak akan membiarkan aku kalian bawa ke Singasari dan kalian paksa dengan segala cara untuk mengatakan, apa kerjaku di sekitar Kabuyutan Randumalang ini”
Hampir saja Mahisa Pukat menyerang orang itu. Tetapi Mahisa Murti sempat mencegahnya. Katanya, “Biarkan saja apa yang dikatakannya. Biarlah paman Mahisa Agni dan paman Witantra mengambil keputusan, sikap apakah yang harus kita lakukan”
“Ternyata kau lebih bijaksana anak muda” berkata orang itu.
“Aku memang ingin bersikap bijaksana seperti yang kau katakan, karena aku yakin, bahwa kami akan dapat berbuat apa saja yang kami kehendaki atas kalian” jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu pemimpinnya menyahut, “Kau terlalu sombong anak muda. Jauh lebih sombong dari anak muda pemarah itu. Tetapi baiklah, aku ingin mengatakan sebagaimana sudah dikatakan oleh kawanku yang kau tawan itu. Kami ingin membebaskan mereka. Mungkin dengan satu perjanjian. Tetapi mungkin kalian akan merelakannya begitu saja. Karena sebenarnyalah kalian memang sudah tidak mempunyai pilihan apapun juga”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni, “bukankah kami wenang untuk memilih banyak kemungkinan, “Memang satu diantaranya adalah menyerahkan tawanan kami kepada kalian. Tetapi kami dapat memilih yang lain? Kami dapat memilih untuk tetap membawa mereka ke Singasari. Atau bahkan kami dapat memilih yang lebih buruk dari itu. Membunuh mereka berdua misalnya”
“Jangan mengada-ada Ki Sanak” jawab pemimpin kelompok itu, “aku berusaha untuk tetap bersabar menghadapi kalian. Kami memang ingin membebaskan kedua orang kawan kami dengan cara yang paling baik. Tetapi jika kalian masih tetap dalam kesombongan kalian, maka mungkin aku akan kehilangan kesabaran dan mengambil sikap yang kasar. Karena sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang yang kasar dan tidak mengenal belas kasihan”
“Aku tahu. Contohnya adalah kedua orang kawanmu yang telah kami tangkap. Mereka memang tidak mengenal belas kasihan. Apalagi terhadap gadis-gadis kecil dari Kabuyutan Randumalang”
Terdengar pemimpin kelompok itu menggertakkan giginya. Sementara itu seorang yang berdiri di belakangnya menggeram, “Tidak ada gunanya untuk berbicara lebih panjang. Kita binasakan saja mereka, dan kita ambil kawan-kawan kita”
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika mereka benar-benar tidak mau bersikap lebih baik, kita akan membinasakan mereka, dan bukan saja mengambil kawan-kawan kita. Tetapi kita akan mendapat kuda yang tegar dan kuat. Kuda yang tentu cukup mahal harganya”
“Ki Sanak” berkata Witantra kemudian, “nampaknya kalian memang akan mempergunakan kekerasan. Tetapi sebaiknya kalian berpikir ulang. Kami adalah prajurit Singasari. Kami memiliki pengalaman berperang dan sudah barang tentu kami tidak akan dapat kalian takut-takuti dengan cara apapun juga. Karena itu, sebaiknya kalian minggir saja. Relakan kedua orang kawan kalian yang telah mencemarkan nama baik kelompok kalian. Tanpa kedua orang ini mungkin kedudukan kalian akan menjadi lebih aman, karena prajurit Singasari berikutnya tidak selalu mengejar-ngejar kalian. Bukankah kalian menyadari bahwa jika kami tidak kembali berarti Singasari akan menggerakkan prajuritnya lebih banyak dan lebih bersungguh-sungguh”
Kata-kata itu memang menyentuh perasaan pemimpin kelompok itu sehingga iapun telah merenunginya. Namun seorang yang berdiri di belakangnya berkata, “Kaulah yang ingin menakut-nakuti kami. Jika kalian mempunyai pengalaman bertempur, kamipun mempunyai pengalaman yang barangkali justru lebih luas dari pengalaman kalian. Sementara itu, jika mayat kalian tidak diketemukan oleh siapapun juga, maka tidak seorang pun yang akan dapat mengatakan, bahwa kalian telah mati di bulak ini, dan prajurit Singasari tidak akan dapat mencari siapakah yang bertanggung jawab atas kematian kalian”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Minggirlah. Kami tetap dalam pendirian kami”
“Bukankah tidak ada gunanya untuk berbicara?” sahut seorang yang bertubuh tinggi.
Pemimpin kelompok itu pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya, “Bersiaplah. Kita akan bertempur”
Beberapa orangpun kemudian telah memencar. Sementara itu. kedua orang tawanan yang berada di antara Mahisa Agni dan Witantra serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu, telah bersiap-siap pula. Namun mereka terkejut tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di samping mereka.
“Sekali lagi aku peringatkan, jangan berbuat sesuatu” berkata Mahisa Murti.
Wajah orang itu menjadi tegang. Terasa ujung pedang kedua anak muda itu telah menyentuh pinggangnya. Tetapi salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Kau tidak akan berani membunuh kami. Dengan demikian, nasib kalian akan menjadi sangat buruk. Kawan-kawan kami yang marah akan memperlakukan kalian di luar segala macam sikap yang pernah kau pikirkan”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi merah. Merekapun hampir kehilangan kesabaran mereka. Namun dalam pada itu, mereka masih berusaha menahan diri. Namun Mahisa Pukat menggeram sambil menekankan pedangnya, “Kau kira mereka akan dapat membunuh kami!?”
“Jumlah kalian jauh lebih sedikit dari jumlah kawan-kawan kami. Sementara itu, beberapa orang di antara kawan-kawan kami ittu memiliki kemampuan di atas kemampuan kami, sehingga dengan demikian, mereka yang jumlahnya sepuluh orang itu akan dengan mudah membunuh kalian berdua. Selebihnya dua orang pamanmu itu tidak akan berdaya apa-apa” jawab salah seorang dari kedua orang tawanan itu."
Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba saja tangannya menyambar tengkuk orang itu sambil berkata, “Diamlah orang gila”
Sentuhan tangan Mahisa Pukat benar-benar telah membuat orang itu diam. Bahkan orang itu telah kehilangan kesadarannya, sehingga ia telah terkulai di punggung kudanya.
“Gila” geram kawannya” Kau membunuh kawan kami he?”
“Tidak. Aku hanya membungkamnya untuk sementara” jawab Mahisa Pukat.
Orang itulah hampir saja berteriak mengumpat. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian memukul tengkuknya sehingga orang itu pun menjadi pingsan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera meloncat turun dari kuda mereka. Tanpa menghiraukan orang-orang yang telah berpencar itu, mereka menambatkan kuda mereka, dan kuda kedua orang yang telah pingsan itu.
Pada saat sepuluh orang yang mencegat iring-iringan di tengah-tengah bulak itu akan bergerak, pemimpinnya berdesis, “tunggu. Apa yang akan mereka lakukan atas kawan-kawan kita yang sudah terlanjur pingsan itu”
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membaringkan keduanya di atas rerumputan setelah mereka mengambil keduanya dari atas punggung kuda masing-masing.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mencegat perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian berkata, ”mereka masih belum mati. Tetapi ketahuilah bahwa mereka memang tidak terlalu berharga buat kami. Karena itu, seandainya mereka matipun kami tidak akan merasa kehilangan”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian bertanya, “Jadi buat apa kalian ingin menyelamatkannya, jika mereka tidak cukup berharga buat kalian. Apa lagi kalian masih harus mempertaruhkan nyawa kalian”
“Persetan” bentak pemimpin kelompok itu, “siapa yang mempertaruhkan nyawa untuk tikus-tikus kecil itu. Kau sangka bahwa kalian berempat dapat berbuat sesuatu atas kami?”
Mahisa Pukat benar-benar menjadi muak menghadapi orang-orang itu, sehingga iapun kemudian menjawab, “Kami akan membunuh kalian, bukan kalian akan membunuh kami”
Dalam pada itu, orang bertubuh tinggi di antara kelompok itupun menyahut hampir berteriak, “Cukup. Kita tidak perlu berbicara terlalu banyak”
“Baiklah” berkata pemimpinnya. Namun ia masih, berkata, “Tetapi biarlah mereka menyadari kesia-siaan kerja, mereka. Orang-orang itu memang tidak berharga bagi kami. Jika kami gagal membebaskan mereka, maka biarlah mereka akan kami bunuh saja”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Dalam pada itu Witantra pun berkata, “Kau ingin menghilangkan jejak?”
“Ya. Ada dua cara yang dapat kami tempuh. Membunuh kalian, dan membebaskan kawan-kawan kami, atau jika kalian sempat mempertahankan diri, maka kedua orang itulah yang akan kami bunuh” Jawab pemimpin kelompok itu, “tetapi satu hal yang harus kalian perhitungkan. Kalian akan menghadapi kekuatan yang tidak mungkin kalian lawan. Karena itu, maka lebih baik kalian memperhitungkannya dengan cermat”
“Sekali lagi aku tegaskan” jawab Mahisa Agni, “kami tetap dalam pendirian kami”
Pemimpin kelompok itu benar-benar telah kehilangan kesabaran mereka. Dengan satu isyarat, maka sepuluh orang itu pun segera mengepung empat orang yang menyebut diri mereka prajurit-prajurit Singasari itu.
Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Mereka pun segera bersiap di seputar kedua orang yang terbaring diam setelah Mahisa Agni dan Witantra mengikat mereka pula. Kepungan kesepuluh orang itu pun menjadi semakin lama semakin rapat. Beberapa orang di antara mereka telah mengacukan senjata-senjata mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menggenggam pedang masing-masing. Dengan tegang mereka menunggu orang-orang itu datang menyerangnya.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu telah mendahului kawan-kawannya menyerang Mahisa Agni. Senjatanya terjulur lurus ke dada Mahisa Agni yang siap menangkisnya. Sehingga dengan demikian, maka ujung senjata itu sama sekali tidak mengenai lawannya. Tetapi pemimpin kelompok itu memang tidak ingin melukai lawannya pada serangan pertama. Ia hanya sekedar memberikan perintah kepada kawan-kawannya agar mereka mulai menyerang.
Sebenarnyalah, sesaat kemudian maka kesepuluh orang itupun telah menjulurkan senjata mereka bersama-sama. Namun dalam pada itu, Mahhisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia melihat senjata-senjata yang teracu kepada mereka, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan ketika mereka mendengar Mahisa Agni berdesis , “Hati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya”
Sebenarnyalah kesepuluh orang itu merupakan orang-orang yang berbahaya. Ketika mulai menyerang, maka kesepuluh orang itu telah berusaha untuk membuat keempat orang yang mereka kepung itu menjadi bingung. Berganti-ganti mereka meloncat menyerang, semakin lama semakin cepat, sehingga sejenak kemudian, maka kesepuluh orang itu telah menyerang berganti-ganti berurut-urutan seperti gelombang yang didorong oleh badai menghantam tebing.
Dengan penuh keyakinan, mereka berharap bahwa dalam waktu yang singkat mereka akan berhasil melumpuhkan keempat orang yang menyebut diri mereka, prajurit-prajurit Singasari itu. Tetapi ternyata yang mereka hadapi adalah Mahisa Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra. Karena itu. maka pada putaran pertama dari cara mereka menyerang keempat orang itu sudah mulai terasa, bahwa yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Justru karena itu, maka pemimpin mereka telah memberikan isyarat, agar orang-orangnya menjadi semakin berhati-hati.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Orang-orang itu berloncatan menyerang berganti-ganti. Beruntun tidak henti-hentinya. Namun demikian serangan mereka hampir tidak berarti sama sekali. Setiap kali senjata mereka yang terjulur, seolah-olah telah membentur dinding yang memagari Keempat orang itu dengan tangkisan-tangkisan yang cepat. Bahkan kadang-kadang terasa, tangan mereka menjadi pedih jika terjadi benturan yang keras.
Karena itu, maka pemimpin mereka menganggap bahwa cara itu tidak akan segera dapat mengatasi keadaan. Mereka tidak akan segera dapat membunuh keempat orang itu, atau melukainya. Sejenak kemudian, terdengar isyarat dari pemimpin orang-orang yang mengepung keempat orang itu. Mahisa Agni, Witantra dan kedua anak Mahendra itu pun segera dapat mengetahuinya, bahwa akan terjadi satu perubahan dalam tata gerak kesepuluh orang lawannya itu.
Sebenarnyalah, kesepuluh orang itu pun segera berloncatan mundur. Untuk seesaat, pertempuran itu memang terhenti. Namun dalam pada itu, keempat orang yang berada dalam kepungan itu segera melihat, bahwa kesepuluh orang itu telah membuat satu cara yang lain untuk melawan mereka. Dengan berdebar-debar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kesepuluh orang itu telah terpecah dan membuat kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi mereka.
“Satu cara yang lain” desis Mahisa Pukat.
Nampak baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Murti menganggap bahwa cara itu adalah cara yang paling wajar untuk bertempur menghadapi lawan yang sedikit jumlahnya. Meskipun dengan demikian mereka berharap bahwa mereka akan dapat mengalahkan lawan mereka seorang demi seorang.
Sebenarnyalah dalam pada itu, pemimpin kelompok itu pun berkata, “Sekarang kami bersungguh-sungguh setelah kami mencoba untuk memberi kesempatan kepada kalian menyerah. Jangan menyesal bahwa kalian akan mati terbunuh. Seorang saja di antara kalian kami habisi, maka beruntun yang lain pun akan segera menyusul”
“Kami menyadari” jawab Mahisa Agni, ”tetapi untuk membunuh seorang diantara kami, bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena telah menjadi naluri seseorang, bahwa ia akan mempertahankan hidupnya sejauh dapat dilakukan”
“Tetapi usaha kalian akan sia-sia” berkata pemimpin mereka, “tetapi jika kalian ingin mati jantan dengan pedang di tangan, kamipun tidak akan berkeberatan”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah Witantra. maka Witantra pun memandanginya. Ketika Witantra mengangguk kecil, maka Mahisa Agni pun telah mengangguk pula. Agaknya keduanya telah sepakat untuk segera menghalau orang-orang itu, meskipun mereka menyadari, bahwa mereka harus bekerja keras. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi untunglah, bahwa kesepuluh orang itu telah berdiri dalam kelompok-kelompok yang tidak sangat membahayakan bagi kedua anak muda itu, meskipun keduanya harus bekerja berat untuk bertahan sampai saatnya Mahisa Agni dan Witantra dapat membantu mereka.
Kesepuluh orang itu telah terbagi dalam ampat kelompok. Masing-masing tiga orang yang berdiri berhadapan dengan Mahisa Agni dan Witantra. Kemudian untuk menghadapi dua orang anak muda anak Mahendra itu, empat orang yang tersisa telah membagi diri pula. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra harus berhadapan masing-masing dengan tiga orang, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menghadapi masing-masing dua orang.
“Apakah kalian tetap pada pendirian kalian?” pemimpin kelompok itu masih bertanya.
“Ya” Mahisa Agnilah yang menjawab.
Pemimpin kelompok itu menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar ia meneriakkan aba-aba, sekaligus meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya terjulur lurus kearah jantung Mahisa Agni. Tetapi serangan itu tidak berarti apa-apa. Namun demikian, serangan-serangan yang lain pun segera menyusulnya. Seperti juga kelompok-kelompok yang berhadapan dengan Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah terjadi di empat lingkaran. Di luar sadar mereka yang sedang bertempur itu. maka setiap lingkaran telah mengambil jarak dari lingkaran pertempuran yang lain. Mahisa Agni yang bergeser ke sawah telah bertempur di antara tanaman yang sedang tumbuh. Batang-batang padi yang hijau telah terinjak-injak oleh kaki mereka yang sedang bertaruh nyawa. Sementara itu, seorang dari ketiga lawannya adalah pemimpin kelompok yang garang.
Dalam pada itu. Witantra telah bertempur melawan tiga orang pula. Tetapi mereka tetap bertempur di jalan simpang. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun ke tanah persawahan pula. di seberang menyeberang jalan. Mereka pun telah menginjak-injak tanaman yang tumbuh dengan suburnya. Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus mempertahankan hidup mereka, sehingga karena itu, maka mereka terpaksa mengorbankan tanaman yang hijau di tanah persawahan itu.
Dalam pada itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, mulai terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa untuk melawan masing-masing dua orang, ternyata mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Seperti dua orang yang tidak sadarkan diri dan terbaring diam itu, maka orang-orang yang bertempur berpasangan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, sebagaimana melawan dua orang yang terbaring itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat merasa, betapa tekanan-tekanan yang berat mulai menggetarkan pertahanan mereka.
Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka sadar bahwa mereka memang harus mengerahkan segenap kemampuan. Mereka harus mempergunakan nalar dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan mereka menghadapi masing-masing dua orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dan Witantra melihat kesulitan yang dialami oleh kedua orang anak muda itu. Karena mereka pun telah melihat kemampuan dua orang yang terbaring diam itu, dan memang mempunyai perhitungan bahwa kemampuan kawan-kawannya pun tidak akan terpaut banyak, maka keduanya pun harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya, agar kedua anak, muda itu tidak mengalami kesulitan yang lebih parah, tetapi tanpa datang membantu mereka.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahisa Murti yang harus berloncatan dengan tergesa-gesa menghindari serangan kedua orang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti itu seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk membalas serangan kedua lawannya, selain berloncatan menghindar. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah mengalami kesulitan yang sama. Betapapun ia berusaha, namun serangan lawannya yang datang beruntun telah menggetarkan pertahanannya. Sehingga karena itu, seperti Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun telah terdesak, sehingga ia terdorong semakin jauh ke tengah-tengah sawah.
Namun demikian, perlawanan kedua orang anak muda itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya. Meskipun keduanya seolah-olah hampir tidak mempunyai kesempatan, tetapi sekali-sekali kedua anak muda itu masih juga berusaha untuk menyerang dengan tiba-tiba.
Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula melawan masing-masing tiga orang. Namun berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Agni dan Witantra segera dapat menempatkan diri dalam perlawanan mereka atas ketiga orang lawan mereka. Namun demikian, tiga orang lawan itu bukannya lawan yang dapat diabaikan. Mereka bertempur dengan cepat dan kasar.
Apalagi ketika mereka bertempur semakin cepat. Setelah keringat mereka membasahi seluruh tubuh mereka, maka seolah-olah mereka tidak lagi mengekang diri untuk berbuat apa saja. Juga kekasaran dan kekerasan yang tidak terkekang. Tetapi menghadapi Mahisa Agni dan Witantra, mereka ternyata tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu telah berusaha untuk memancing perhatian Mahisa Agni. Sementara itu, seorang kawannya berusaha menyerangnya dari arah kanan. Jika ia gagal, maka kawannya yang lain akan menyerang dengan serangan yang mematikan dari arah yang lain. Namun dalam pada itu, meskipun perhatian Mahisa Agni seakan-akan telah terpancing oleh pemimpin kelompok itu, namun serangan kawannya yang pertama sama sekali tidak dapat mengenainya. Dengan cepat Mahisa Agni bergeser mengelakkan serangan itu.
Tetapi masih ada serangan yang terakhir, yang diharapkan akan dapat menghunjam ke dalam tubuhnya. Namun ketika serangan itu datang, Mahisa Agni sama sekali tidak dapat disentuhnya. Dengan tangkasnya Mahisa Agni meloncat sambil berputar. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja pedangnya telah menyambar senjata orang ketiga itu.
Kekuatan Mahisa Agni benar-benar tidak terlawan. Ternyata sambaran pedang Mahisa Agni alas senjata orang ketiga itu serasa telah mematahkan jari-jarinya. Dengan demikian, maka senjatanya telah terlepas dan terlempar beberapa langkah dari padanya. Tetapi Mahisa Agni tidak sempat memburunya. Kedua orang lawan orang itu hampir bersamaan telah menyerang dari arah yang berbeda, sehingga Mahisa Agni harus bergeser surut.
Lawannya mendapat kesempatan untuk memungut senjatanya ketika kedua orang lawannya melindunginya. Namun jari-jarinya terasa tidak lagi mampu menggenggam senjatanya seperti semula. Meskipun demikian, ketiga orang itupun kemudian masih tetap bertempur dengan gigihnya. Serangan mereka datang beruntun bagaikan ombak di lautan.
Sementara itu, Witantra pun bertempur dengan serunya. Tiga orang lawannya dengan kasar telah berusaha menyerang dari tiga arah yang berlawanan. Dengan gerakan yang cepat, mereka berusaha untuk berputar mengelilingi Witantra sambil menyerang bergantian, dari arah yang berbeda-beda. Tetapi ketiganya menjadi semakin berdebar-debar karena Witantra sama sekali tidak terpengaruh oleh tata gerak ketiga orang lawannya. Dengan tenang dan mapan ia menghadapi lawan-lawannya.
Dengan cara apapun juga, ternyata ketiga lawannya itu telah mengalami kesulitan. Bahkan dalam kemarahan yang memuncak, ketiganya telah bersepakat untuk menyerang Witantra bersama-sama dari satu arah mereka bersama-sama menjulurkan senjata mereka. Namun, meskipun Witantra hanya menggenggam sebilah pedang, tetapi rasa-rasanya pedang itu dapat berubah juga menjadi tiga yang menangkis serangan ketiga orang itu satu demi satu.
“Hantu mana yang telah masuk ke dalam dirinya” geram salah seorang dari ketiga lawannya.
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Aku ngeri terhadap hantu-hantu. Karena itu. aku sama sekali tidak berguru kepada hantu-hantu itu” Namun bagaimanapun juga, serangan ketiga orang lawannya itu pun selalu kandas oleh kecepatan gerak Witantra. Apakah ia menghindar atau menangkis serangan lawannya.
Namun dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahisa Agni tidak dapat bersikap terlalu sabar menghadapi lawan-lawan mereka yang kasar. Mereka tidak dapat membiarkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesulitan menghadapi dua orang lawan mereka yang keras daa tanpa menghiraukan cara yang mereka pergunakan. Karena itu, maka baik Mahisa Agni. maupun Witantra telah berusaha untuk dapat berbuat sesuatu secepatnya. Apalagi ketika mereka melihat kedua anak muda itu telah terpisah semakin jauh.
Witantra lah yang melawan tiga orang lawan itupun telah mengambil satu keputusan untuk berbuat lebih cepat. Karena itu, maka ia pun semakin meningkatkan ilmunya. Dengan mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya yang disalurkan lewat pedangnya, maka Witantra telah bertindak cepat.
Demikianlah, ketika ketiga orang lawannya menyerangnya beruntun, maka dengan kekuatan yang tidak terduga, Witantra telah berusaha merampas ketiga senjata lawannya. Tetapi, usahanya tidak mudah dilakukannya. Ketika orang pertama menyerangnya dengan senjata terjulur, maka Witantra telah berhasil memukul senjata lawannya, sehingga senjata itu terloncat jauh.
Namun ternyata bahwa kedua orang kawannya tidak tergesa-gesa melakukannya sebagaimana dilakukan oleh orang yang pertama. Kedua orang itu justru memencar. Mereka datang beruntun dengan sikap yang jauh lebih berhati-hati. Karena itu, maka Witantra tidak segera dapat melemparkan senjata kedua orang itu.
Namun dalam pada itu, kegelisahannya pun menjadi semakin meningkat. Mahisa Pukat telah terdesak semakin jauh. Bahkan sekilas, Witantra melihat, bahwa anak muda itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ternyata kedua lawannya memiliki sedikit kelebihan dari dua orang yang telah berbaring diam di pinggir jalan itu. Demikian juga lawan Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Murti tidak dapat mengatasi kedua lawannya, meskipun ia masih sempat meloncat-loncat menghindari serangan mereka. “Nampaknya mereka memiliki tataran yang lebih tinggi dari kedua orang yang menjadi tawanan itu” berkata Witantra di dalam hatinya.
Karena itulah, maka ia pun segera bertindak cepat, ia tidak membiarkan seorang yang senjatanya terlepas itu dapat memiliki senjatanya kembali. Karena dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi semakin panjang. Dalam kegelisahan itu, maka Witantra menjadi-kurang dapat mengendalikan diri. Ketika lawannya yang kehilangan senjatanya itu mempergunakan kesempatan, selagi Witantra melayani dua orang kawannya untuk mengambil senjatanya, maka Witantra telah berusaha mencegahnya.
Namun, selain kegelisahannya Witantra juga tergesa-gesa karena ia melihat dua orang lawannya yang lain telah bersiap. Sehingga dengan demikian, maka ia kurang dapat mengendalikan tangannya. Ketika lawannya yang seorang itu sedang berusaha meraih senjatanya, tiba-tiba saja Witantra meloncat panjang dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Ayunan pedangnyapun ternyata kurang dikendalikannya. Dengan demikian, maka sekejap kemudian telah terdengar keluhan tertahan. Orang yang berusaha mengambil senjatanya itu telah terdorong dan jatuh terguling di tanah. Dadanya telah dikoyakkan oleh goresan senjata Witantra, sehingga darah pun telah memerah.
“Uh, gila” geram orang itu sambil menggeliat. Perasaan sakit telah menyengat kulitnya pada lukanya yang memanjang itu.
“Oh” desis Witantra, “apaboleh buat. Bukan maksudku untuk membunuhmu. Mudah-mudahan kau dapat bertahan untuk tetap hidup tanpa mengganggu perjalananku ke Singasari membawa dua orang kawanmu itu”
Tetapi luka itu terlalu lebar. Dan darahpun mengalir terlalu banyak. Meskipun demikian, orang itu masih kesakitan. Dua orang kawannya menjadi berdebar-debar. Bertiga mereka tidak berhasil mengalahkan orang itu. Apalagi hanya berdua saja. Sementara kawannya yang terluka itu benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, kedua orang lawan Witantra yang tersisa telah melihat, bahwa dua orang lawan Mahisa Pukat memiliki kelebihan dari anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang lawan Witantra itupun menganggap hahwa anak muda itu akan cukup dihadapi oleh seorang saja. Setidak-tidaknya orang itu akan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama.
Dalam pada itu, Witantra yang sudah kehilangan seorang lawannya justru semakin mempercepat tata geraknya. Ia memang berharap agar kedua lawannya yang tersisa itu memanggil kawannya yang lain untuk membantu mereka. Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu sudah tidak berdaya sama sekali menghadapi kecepatan gerak Witantra, maka seorang di antara merekapun segera memberi isyarat kepada seorang kawannya yang bertempur melawan Mahisa Pukat.
“Tunggu sebentar” teriak kawannya itu dari antara tanaman di sawah, ”aku akan segera menyelesaikan anak ini”
Namun hampir bersamaan dengan itu, Witantra mendesak kedua kawannya semakin cepat. Senjatanya berputar membingungkan. Namun Witantra masih belum mengakhiri pertempuran itu. Ia masih berharap salah seorang lawannya memanggil lagi kawannya yang bertempur melawan Mahisa pukat.
Sementara itu, Mahisa Pukat bertahan dengan sekuat tenaganya. Meskipun ia merasa tekanan lawannya menjadi semakin berat, tetapi ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang sebenarnya. Dengan loncatan-loncatan panjang ia berhasil menghindari setiap serangan, meskipun lawan-lawannya selalu mengumpannya dengan kasar.
“Pengecut” geram salah seorang lawannya, “kau hanya mampu berloncatan menghindar. Ayo, tunjukkan bahwa kau bertempur dengan jantan”
“Apakah artinya jantan menurut kalian?” bertanya Mahisa Pukat, “bertempur berdua?”
“Anak setan” geram orang itu. Sementara serangannya menjadi semakin cepat.
“Cepat. Kemari” teriak orang yang terluka itu, “kita binasakan dahulu tikus tua ini. Baru kemudian kita akan membunuh anak-anak muda itu”
Namun dalam pada itu, kedua lawan Witantra benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit. Bahkan sejenak kemudian, seorang di antara mereka telah terdorong beberapa langkah surut. Ujung senjata Witantara telah tergores di lengannya, meskipun hanya segores tipis. Kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba seorang diantara mereka berkata,
“Tinggalkan anak ini. Biarlah aku yang menyelesaikan”
Kawannya masih saja ragu-ragu. Namun ketika ia melihat kesulitan kawannya yang bertempur melawan Witantra, maka ia pun segera meninggalkan Mahisa Pukat, berlari-lari mendekati kawan-kawannya yang bertempur melawan Witantra.
Mahisa Pukat yang melihat seorang lawannya meninggalkannya, terasa ia mendapat kesempatan untuk bangkit dari kesulitannya. Bahkan hampir diluar sadarnya, iapun berkata, “Nah, sekarang baru kita berhadapan sebagai dua orang laki-laki”
“Persetan” geram lawannya, “kau sangka kau masih akan sempat hidup lebih lama lagi”
“Berdua kau tidak dapat membunuhku. Apalagi seorang diri” sahut Mahisa Pukat.
“Aku memang tidak dapat membunuh seorang yang berlari-lari ketakutan seperti yang kau lakukan. Tetapi berhadapan dengan tanggon, maka kau akan binasa” jawab lawannya.
Mahisa Pukat bergeser selangkah. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat ingkar, bahwa tenaganya memang sudah mulai susut setelah ia memeras tenaga melawan dua orang yang memiliki ilmu melampaui dua orang yang telah tertawan itu. Meskipun demikian, namun Mahisa Pukat mempunyai harapan yang lebih besar untuk dapat bertahan setelah lawannya berkurang.
Dalam pada itu, ketika Witantra harus berhadapan lagi dengan tiga orang, maka iapun telah bertempur semakin cepat. Tenaganya menjadi semakin kuat dan ujung senjatanya berputaran bagaikan baling-baling. Bahkan kemudian, ketika ketiga lawannya berusaha mengepungnya, maka Witantralah yang telah membuat ketiga orang lawannya kebingungan, karena arah serangan Witantra yang berubah setiap saat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja mengalami kesulitan. Ia masih harus bertempur melawan dua orang. Dua orang yang memang memiliki kelebihan dari dua orang yang telah tertawan itu.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni mempunyai cara yang berbeda dari cara yang sudah ditempuh oleh Witantra. la tidak segera mengurangi jumlah lawannya. Tetapi ia telah memancing lawannya untuk bergeser dari tempat mereka bertempur. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah menunjukkan satu sikap yang meragukan, justru karena Mahisa Agni selalu berloncatan mundur.
Tetapi akhirnya ketiga orang lawannya itu pun mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni berusaha mendekati Mahisa Murti. Karena itu, maka ketiga lawannya itu pun kemudian berusaha untuk mencegahnya.
“Jangan beri kesempatan” berkata peminpin kelompok itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Jika ketiga lawannya tidak mengikutinya ketika ia bergeser, ia sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan sambil berjalan dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menuju ke tempat Mahisa Murti bertempur. Tetapi jika ketiga lawannya berusaha menahannya, maka ternyata mereka tidak dapat mengatasi kemampuan Mahisa Agni.
Karena itu, mau tidak mau, maka arena pertempuran itu pun menjadi semakin merapat. Mahisa Murti yang menyadari niat Mahisa Agni berusaha untuk tidak bergeser menjauh. Bahkan ia pun kemudian berloncatan mendekati arah Mahisa Agni yang menjadi semakin dekat.
“Pengecut” geram salah seorang lawannya, “kau ingin berlindung dibawah sayap orang-orang tua itu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia memang merasa tersinggung. Karena itu, maka iapun menjawab, “Siapa yang licik? Aku atau kalian? Jika kalian dapat bertempur berpasangan, kenapa aku tidak? Bahkan seandainya aku dan pamanku hertempur berpasangan, kami berdua masih harus melawan lima orang”
“Persetan” geram orang itu, sementara serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin gawat.
Mahisa Murti benar-benar harus berjuang untuk mempertahankan diri. Namun kedua orang itu berusaha untuk menyelesaikannya sebelum Mahisa Agni mendekat. Karena itu, maka kedua orang lawan Mahisa Murti benar-benar telah menyerang dengan serangan-serangan yang mematikan.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Witantra. Seandainya ia membunuh ketiga orang lawannyapun, maka kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti tidak akan meninggalkan anak muda itu, karena menurut perhitungan mereka, dalam waktu yang pendek, Mahisa Murti tentu akan dapat dibinasakannya. Karena itu, Mahisa Agni telah melakukan satu cara yang berbeda. Bahkan kemudian, Mahisa Agni pun menjadi semakin tergesa-gesa karena keadaan Mahisa Murti yang semakin gawat.
Sebenarnyalah, sebelum Mahisa Agni mencapai arena pertempuran antara Mahisa Murti dan kedua lawannya, maka Mahisa Murti telah kehilangan kesempatan untuk mengelak, ketika kedua serangan yang berbahaya datang beruntun. Bahkan kemudian Mahisa Murti terpaksa meloncat dengan tergesa-gesa menjauhi lawannya sambil mengeluh tertahan. Segera luka telah memanjang dipundaknya. Mahisa Agni benar-benar tidak ingin terlambat. Karena itu, maka iapun telah meloncat berlari meninggalkan lawan-lawannya yang kemudian mengejarnya.
“Pengecut. Jangan lari” teriak lawan-lawannya.
Mahisa Agni tidak menghiraukan mereka, karena merekapun tentu akan mengejarnya dan menyadari apa yang akan terjadi. Sebenarnyalah, Mahisa Agni datang tepat pada waktunya. Ketika Mahisa Murti benar-benar dalam kesulitan, maka Mahisa Agni pun telah langsung melibatkan dirinya melawan dua orang yang dengan kemarahan yang memuncak merasa kehilangan kesempatan untuk membinasakan Mahisa Murti yang telah terluka.
Namun dalam pada itu, ketiga orang Mahisa Agni pun telah datang menyusul. Merekapun telah menyerang dengan serta merta. Pemimpin kelompok yang sangat marah itu berusaha untuk langsung dapat membunuh Mahisa Agni dengan serangan-serangannya yang membadai. Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil. Mahisa Agni sempat menempatkan diri disebelah Mahisa Murti sambil berkata, “Hati-hatilah. Kita akan bertempur berpasangan melawan kelima orang itu”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun pundaknya telah terluka, namun ia masih mampu bertempur dengan cepat. Namun dalam pada itu, seperti Mahisa Pukat, maka tenaga Mahisa Murti pun menjadi semakin susut, karena ia telah mengerahkan kemampuannya untuk mempertahankan diri terhadap kedua lawannya.
Tetapi dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Agni tidak lagi banyak memberikan kesempatan kepada lawan-lawannya. Apalagi lawan-lawannya benar-benar berusaha untuk membunuhnya dan membunuh Mahisa Murti. Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Pemimpin kelompok itu telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Beberapa kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada orang-orangnya, agar mereka menyelesaikan tugas mereka dengan cepat.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya dari yang mereka kehendaki. Mahisa Agni telah membuat mereka sekali-kali kebingungan. Sementara itu, Mahisa Murti telah sempat inenyesuaiKan diri, sehingga keadaannya menjadi lebih mapan, meskipun ia lebih banyak bertahan daripada menyerang. Tetapi luka dipundaknya telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah mengambil satu sikap yang mengejutkan.
Ketika orang-orang kasar itu terlibat dalam pertempuran yang sulit dengan Mahisa Agni, maka seorang diantara mereka telah menyerang Mahisa Murti secara khusus. Orang itu memperhitungkan kelemahan dan keletihan pada anak muda itu, sehingga orang itu menganggap bahwa Mahisa Murti tidak akan banyak dapat berbuat.
Tetapi perhitungan itu ternyata keliru. Ketika orang itu mengayunkan pedangnya mendatar, maka Mahisa Murti masih sempat bergeser sambil mendera senjata lawannya sehingga senjata itu telah berubah arah. Namun orang itupun cekatan. Senjatanya segera berputar mematuk kearah jantung.
Mahisa Murti tidak membiarkan dadanya dikoyak oleh senjata lawannya. Dengan tangkas ia mengelak Namun Mahisa Murti sempat melihat gerak mata orang itu, sehingga iapun dapat menebak apa yang akan dilakukannya. Sebagaimana diperhitungkan, maka orang itupun mengurungkan serangannya. Tetapi senjatanya telah terayun mendatar menebas lambung.
Apalagi Mahisa Murti yang ternyata telah terluka. Meskipun pada dasarnya ia lebih banyak mempunyai pertimbangn dari pada Mahisa Pukat, tetapi karena lukanya, maka iapun telah menjadi garang pula. Mahisa Murti melihat kesempatan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia tidak menghiraukan lawan-lawannya yang lain. Ia mempercayakan mereka kepada Mahisa Agni yang nampaknya berhasil menguasai keadaan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti meneruskan perhatiannya kepada lawannya yang seorang itu. Yang menebas lambungnya dengan garang. Mahisa Murti dengan perhitungan yang cermat tanpa menghiraukan orang lain telah menghindari serangan itu, ia meloncat surut. Kemudian sambil memiringkan tubuhnya ia bergeser. Sementara itu, dengan cepatnya ia menjulurkan pedangnya menyayat dada orang itu. Orang yang terluka itu terpekik kecil. Dengan serta merta ia meloncat surut. Namun Mahisa Murti tidak melepaskannya. Ia pun meloncat maju. Pedangnya sekali lagi mematuk.
Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Karena itu. maka ujung pedang Mahisa Murtipun kemudian telah menghunjam ke dalam tubuh orang itu tepat di perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun kemudian, ketika Mahisa Murti menarik pedangnya, maka orang itupun terhuyung-huyung dan jatuh terbanting di tanah.
Pada saat itu kawan-kawannya telah berusaha untuk membantunya. Tetapi Mahisa Agnipun cukup tangkas. Mahisa Agni sadar, bahwa Mahisa Murti yang marah itu tidak menghiraukan lawan-lawannya yang lain. Sehingga seluruh perhatiannya terpusat kepada lawannya yang seorang itu. Karena itulah, maka Mahisa Agni harus berbuat sesuatu. Dengan kecepatan geraknya, maka Mahisa Agni masih sempat menghalau orang-orang yang ingin menyelamatkan kawannya dari ujung pedang Mahisa Murti. Tetapi mereka telah gagal. Seorang lagi dari antara sepuluh orang itu telah terbunuh.
Kemarahan pemimpin kelompok itu memang tidak tertahankan lagi. Dua orang kawannya telah terbunuh. Dengan demikian maka dendam telah menyala di dalam dadanya. Tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya, maka pemimpin kelompok itu telah mengerahkan segenap kemampuannya bersama sisa-sisa orangnya. Namun kesulitan itu telah datang lagi. Seorang yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah terdorong pula oleh pedang anak muda itu, sehingga kehilangan keseimbangannya. Ketika orang itu jatuh di tanah, ia masih sempat mengumpat dengan kata-kata kasar. Namun sejenak kemudian, iapun telah terdiam.
Yang kemudian mengumpat adalah pemimpin kelompok itu. Untuk membebaskan kedua orang kawannya ia telah kehilangan tiga orang yang justru lebih baik. Tetapi yang penting baginya, bukan kebebasan orang itu karena ia sangat membutuhkannya. Tetapi yang penting bahwa kedua orang itu tidak dapat berbicara tentang rencana kegiatan mereka di daerah perbukitan yang langsung atau tidak langsung menghadapi ke daerah-daerah yang dianggap penting oleh Singasari. Baik sebagai daerah yang disediakan perkembangan Kota Raja, maupun tanah-tanah padukuhan yang dapat menjadi sumber bahan makan bagi Singasari. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu telah memutuskan mengambil jalan yang kedua yang sudah direncanakan. Jika mereka gagal merebut kedua orang itu, maka keduanya sebaiknya dibinasakan saja.
Pemimpin kelompok itu tidak mau kehilangan kawannya lebih banyak lagi. Tiga orang telah terlalu banyak. Karena itulah, maka iapun telah mengambil satu langkah yang paling baik yang dapat dilakukannya. Tanpa mempercayakan kepada orang lain, maka iapun tiba-tiba telah meneriakkan perintah untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada dalam diri orang-orangnya. Sementara itu, ia sendiri telah meloncat meninggalkan kawan-kawannya yang bertempur melawan Mahisa Agni, langsung mendekati kedua orang kawannya yang pingsan. “Mereka tidak perlu bangun untuk selama-lamanya” berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah terbebas dari lawannya. Karena itu, ketika pemimpin kelompok itu berlari mendekati kedua orang yang terbaring dengan senjata teracu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari pula menyongsongnya.
“Gila” geram pemimpin kelompok itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat tidak akan membiarkan pemimpin kelompok itu berbuat sesuatu, Mahisa Pukat mengerti, jika kedua orang itu terbunuh, maka jalur penyelidikannya akan terputus pula, sehingga akan kehilangan jejak atas rencana orang-orang yang telah memesan kapak penebang kayu terlalu banyak itu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berhadapan dengan pemimpin kelompok yang gagal mencapai kedua orang kawannya yang pingsan untuk membunuhnya. Bahkan ia pun kemudian harus menghadapi anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi itu.
Bagaimanapun juga, pemimpin kelompok itu masih juga dibakar oleh kemarahan dan dendam. Karena itu, ia masih mencoba untuk membenturkan ilmunya melawan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak akan dapat di atasinya seorang diri sehingga karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya selain menyelamatkan diri bersama orang-orangnya yang tersisa.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat pemimpin kelompok itu. Isyarat bagi orang-orangnya, agar mereka meninggalkan arena pertempuran. Demikian isyarat itu terdengar, maka dalam waktu sekejap orang-orang yang sedang bertempur itupun telah berlari berhamburan ke arah yang berbeda-beda.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sudah meloncat memburunya. Namun Mahisa Agni telah memanggil mereka, agar mereka tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri ke arah yang berlainan itu.
“Aku ingin menangkap pemimpinnya” berkata Mahisa Pukat.
“Sudahlah. Tidak banyak gunanya” berkata Mahisa Agni.
"Tetapi mereka akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya bagi Kabuyutan Randumalang” sahut Mahisa Murti.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga tidak. Orang-orang itu tahu pasti, bahwa yang membawa kedua kawannya adalah para prajurit dari Singasari. Agaknya mereka pun tidak akan membuat waktu untuk mengurusi orang-orang Randumalang, karena mereka tentu memperhitungkan satu kemungkinan bahwa para prajurit Singasari akan datang mencari mereka di lereng-lereng bukit” jawab Mahisa Agni, “sebab kedua orang yang tertangkap itu tentu akan dapat menunjukkan, kemana kita harus mencari mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Ya paman” berkata Mahisa Murti, “mereka akan meninggalkan sarang mereka”
“Aku kira demikian” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Karena itu. marilah. Biar lukamu diobati dahulu”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru ia merasakan bahwa lukanya menjadi pedih. Pakaiannya telah merah oleh darah yang mengalir dari lukanya.
Witantra lah yang kemudian mengobati luka Mahisa Murti. Dengan hati-hati Witantra mengusap luka itu dengan serbuk obat yang dibawanya dalam sebuah bumbung kecil. Namun dalam pada itu, agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian karena darah pada pakaian Mahisa Murti. maka ia pun kemudian mengambil bajunya yang lain di dalam sebuah bungkusan kecil dan mengenakannya, setelah darahnya menjadi pampat.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian harus berhubungan lagi dengan orang-orang Randumalang, yang baru saja ditinggalkannya. Kepada orang-orang Randumalang ia mengatakan, bahwa ia harus mempertahankan diri dari sergapan orang-orang yang tidak dikenal.
“Kami memerlukan pertolongan kalian. Bukan untuk melawan orang itu. Tetapi untuk menguburkan beberapa orang di antara mereka yang terbunuh” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka dengan pertolongan orang-orang Randumalang, maka ketiga orang yang terbunuh di pertempuran itu pun dikuburkannya. Bagaimanapun juga, akhirnya Ki Buyut mengetahuinya pula. Dengan tergesa-gesa ia menemui Mahisa Agni sebelum Mahisa Agni melanjutkan perjalanan.
“Jangan cemas Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “mereka tidak akan mendendam orang-orang Randumalang. Tetapi tidak ada jeleknya jika Ki Buyut mempersiapkan semua anak-anak muda. Sebanyak-banyaknya. Karena bagaimanapun juga, jumlahpun akan sangat menentukan jika Kabuyutan ini memang harus berhadapan dengan orang-orang liar itu”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Beberapa di antara anak-anak muda Kabuyutannya memang pernah mendapat tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun serba sedikit. Namun mereka dalam jumlah yang banyak, memang akan berpengaruh pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian telah berusaha untuk membangunkan orang-orang yang pingsan itu. Kemudian setelah segalanya selesai, sekali lagi mereka minta diri kepada orang-orang Randumalang untuk meneruskan perjalanan.
Orang-orang Randumalang yang kemudian ditinggalkan oleh Mahisa Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra itu pun telah berusaha bersiap-siap menurut kekuatan yang ada di Randumalang. Namun mereka pun sependapat, bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi itu, kemungkinannya memang sangat kecil.
“Sebagian besar dari perhitungan orang-orang Singasari itu memang tepat” berkata Ki Buyut, “mereka berhasil memancing kawan-kawan dari kedua orang itu untuk mencegat perjalanan mereka. Mudah-mudahan perhitungan mereka yang kemudianpun tepat pula”
Dalam pada itu, ketika dua orang yang tertawan itu menyadari apa yang terjadi, maka yang dapat mereka lakukan tidak lebih dari menggertakkan gigi mereka. Mereka harus menerima satu kenyataan, bahwa mereka harus menjadi tawanan yang akan dibawa ke Singasari.
“Kau masih dapat mengucap sukur” berkata Mahisa Pukat. Kedua orang itu memandanginya dengan heran. Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan, “Kawan-kawanmu telah siap membunuhmu. Jika aku tidak mencegahnya, maka pemimpinmu itulah yang telah siap untuk menghunjamkan pedangnya diperutmu”
“Omong kosong” desis salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Tetapi Mahisa Agnilah yang menyahutnya, “Mungkin kau tidak percaya. Tetapi bukankah cara itulah yang paling baik dilakukan untuk membungkam mulutmu? Apakah kau tidak dapat mengenali tabiat kawan-kawanmu itu? Bahkan seandainya kalian sendiri yang menghadapi keadaan seperti pemimpinmu itu?”
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka mulai membayangkan, bahwa hal itu memang dapat terjadi. Agaknya kawan-kawannya menganggap, lebih baik membunuhnya dari pada membiarkan mereka tetap hidup, tetapi berceritera tentang kehidupan mereka di lereng bukit serta tugas-tugas yang harus mereka jalankan.
“Nah” berkata Mahisa Murti, “bersiaplah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Singasari memang tidak sangat jauh. Kita akan segera sampai. Dan kau akan segera bercerita tentang lingkunganmu”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka tidak dapat mengatakannya, karena kedua orang anak muda itu nampaknya memang terlalu garang. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti bersama iring iringannya itu pun menjadi semakin jauh dari Kabuyutan Randumalang. Tidak banyak yang mereka percakapan di perjalanan. Sekali-sekali mereka masih juga membayangkan apa yang baru saja terjadi. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga membayangkan, apakah yang terjadi jika mereka gagal mempertahankan diri...
“Kami akan menjadi bangkai” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya...
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menarik pedang mereka masing-masing dan menyisipkan wrangkanya di ikat pinggang mereka. Sambil menggerakkan pedangnya Mahisa Murti berkata, “Pedang ini tentu lebih baik dari sekedar sulur yang lemah itu. Namun bagaimana pun juga, aku mengakui bahwa kalian adalah orang-orang kuat yang pantas mendapat perhatian khusus.”
“Anak iblis!” geram orang yang bersenjata golok. “Kini bersiaplah untuk mati. Apa bila aku terlambat membunuh kalian, dan aku tidak sempat berbuat sesuatu segera atas kedua gadis di tepian yang pingsan itu, maka kedua gadis itupun akan mati pula.”
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Jangan memperbodoh orang lain. Aku tahu, gadis itu tidak akan mati meski pun dibiarkan sehari semalam dalam keadaannya. Bahkan pada saatnya, keduanya akan bangun dengan sendirinya, jika tidak ada orang lain yang membuka salah satu saraf yang kau sentuh di tengkuknya.”
“Anak setan!” geram yang bersenjata pedang yang panjang, “kalian mempelajari ilmu dari iblis yang mana? Namun demikian sebentar lagi kalian akan mati. Salah seorang dari kalian telah terlanjur mendengar maksud kehadiranku di tempat ini. Karena itu, tidak ada kemungkinan lain bagi kalian kecuali mati”
Mahisa Murti dan mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi mereka bergeser saling menjauh beberapa langkah. Pedang mereka mulai bergetar, sementara dengan tajamnya keduanya memandangi orang-orang yang paling dekat di hadapannya. Kedua orang berwajah kasar itu mengumpat. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur seorang melawan seorang.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah bersiap pula. Namun agaknya Mahisa Pukat bersikap agak lain dari Mahisa Murti. Mahisa Pukat tidak menunggu. Tetapi ia lah yang kemudian bergeser mendekati orang yang bersenjata golok yang besar dan berat.
Dengan mengenali senjatanya, Mahisa Pukat menyadari, banwa orang itu tentu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Tetapi ia benar-benar telah bersiap. Karena itu, maka pedangnya yang bergetar itupun mulai terjulur ke depan, meskipun anak muda itu belum dengan sungguh-sungguh menyerang.
Lawannya yang bersenjata golok itu mengumpat kasar. Tetapi goloknyapun telah bergetar pula. Bahkan golok itu kemudian terayun menghantam pedang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat segera menarik pedangnya, sehingga tidak terjadi benturan senjata. Namun pedang itu pun berputar-putar dan terayun menyambar lambung. Orang bersenjata golok itu memang dengan sengaja tidak menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis Dedang itu dengan goloknya.
Namun sekali lagi, Mahisa Pukat menghindari benturan, ia sekali lagi menarik serangannya dan memutar pedangnya melingkar. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah berloncatan. Ia berusaha untuk mengimbangi kekuatan lawan dengan kecepatan geraknya. Ia harus dapat memaksa lawannya itu mengayun-ayunkan senjatanya yang berat. Betapapun besar tangannya, tetapi pada suatu saat, tenaganya itu tentu akan susut.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang sudah menggenggam pedangnya menjadi jauh lebih tenang. Karena itu, maka ia sama sekali tidak tergesa-gesa. Dibiarkannya lawannya memperhatikan sikapnya. Mungkin lawannya itu melihat satu perubahan padanya, sebagaimana dilihatnya ketika Mahisa Murti itu bersenjata sulur yang dihentakkannya dari batang beringin itu. Ketenangan Mahisa Murti justru membuat lawannya menjadi gelisah. Karena itu, maka untuk menutupi kegelisahannya, orang berpedang itu telah membentak-bentak.
“Menyerahlah sebelum kau aku perlakukan dengan kasar”
“Ketika aku bertempur seorang diri tanpa senjata yang memadai, aku tidak mau menyerah. Apalagi sekarang” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Sebaiknya kaulah yang menilai dirimu”
Orang itu menjadi sangat marah. Dengan kasar ia berkata, “Jika kau melawan, berarti kau telah membunuh kedua gadis itu pula”
“Sudah aku katakan, jangan memperbodoh orang lain. Sebaiknya kau sempat melihat dirimu sendiri” jawab Mahisa Murti.
Orang berpedang panjang itu menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar jantungnya. Karena itu, maka kemudian, ia sudah meloncat menyerang Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Murti merasa kedudukannya menjadi lebih baik, tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan. Ia masih tetap berhati-hati menghadapi lawannya yang menurut penilaiannya mempunyai tenaga yang cukup besar.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Mahisa Pukat melawan orang yang bersenjata golok yang besar, sedangkan Mahisa Murti bertempur melawan orang yang bersenjata pedang panjang. Namun sejenak kemudian, mulai terasa bahwa keseimbangan pertempuran itu telah berguncang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera dapat mendesak lawannya. Betapapun lawannya mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, tetapi kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur dengan sengitnya, maka beberapa orang telah turun ke tepian. Ki Buyut dan Widati diikuti oleh Mahisa Agni dan Witantra beserta beberapa orang bebahu yang penghuni Kabuyutan itu. Ki Buyut terkejut ketika ia melihat dua orang gadis yang terbaring di tepian. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya. Sambil berjongkok ia meraba-raba tubuh kedua gadis itu yang ternyata tidak menjadi beku.
“Keduanya masih hidup” berkata Ki Buyut.
Mahisa Agni dan Witantra pun telah berjongkok pula di dekat kedua gadis itu. Keduanyapun segera mengetahui apa yang telah terjadi. Gadis-gadis yang berada di tepian dan menjadi ketakutan itu, tiba-tiba saja telah mendapatkan keberanian mereka, ketika mereka melihat beberapa orang telah turun ke tepian, termasuk Ki Buyut sendiri. Karena itu, maka merekapun segera berlari-lari mendekati kedua kawannya yang terbaring diam itu.
Hampir berbarengan gadis-gadis itu berusaha untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Ki Buyut yang telah mendengar sebagian peristiwa itu dari Widati mengangguk-angguk saja. Meskipun ia tidak dapat mengerti keterangan dari gadis-gadis yang berbicara berbarengan dengan suara yang masih gemetar, namun persoalannya memang sudah didengarnya lebih dahulu. Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian bertanya tentang dua orang anak muda yang telah lebih dahulu berada di tepian.
“Mereka berada disana” jawab gadis-gadis itu hampir berbareng pula.
Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat menyembunyikan kecemasan mereka, karena mereka tidak tahu pasti, siapakah yang dihadapi oleh kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian berkata,
“Ki Buyut. Biarlah kami berdua melihat, apa yang telah terjadi. Biarlah kedua gadis itu dalam keadaannya. Menurut penglihatan kami mereka tidak dalam keadaan berbahaya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Bagaimana Ki Sanak berpendapat bahwa keadaan gadis ini tidak berbahaya. Mereka memang masih hidup, tetapi apakah mereka pingsan atau bahkan setengah mati”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kegelisahaan Ki Buyut itu, karena kedua gadis itu masih berdiam diri meskipun masih ada pernafasan dan denyut nadi. Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat mengabaikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika terjadi sesuatu atas kedua anak muda itu. sementara ia ada didekatnya, maka orang tua kedua anak muda itu tentu akan menyesalinya.
Karena itu, maka berkata Mahisa Agni kemudian, “Ki Buyut. Aku yakin bahwa keduanya tidak akan mengalami keadaan yang lebih gawat lagi. Biarlah kami melihat kedua anak muda itu sejenak. Sebaiknya kedua gadis itu dibawa saja ke tempat yang teduh. Tetapi sebaiknya ia dibiarkan saja dalam keadaannya. Kedua anak muda yang sedang bertempur itu aku harapkan akan dapat membantu membangunkan kedua gadis yang pingsan itu”
Ki Buyut tidak dapat menahan Mahisa Agni dan Witantra untuk naik ke tebing di seberang, untuk menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang bertempur. Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni dan Witantra pun bergegas meninggalkan Ki Buyut dan langsung memanjat tebing di seberang. Sementara itu, Ki Buyut dan orang-orangnya telah mengangkat kedua gadis yang seolah-olah pingsan itu menepi, ke tempat yang lebih teduh. Tetapi seperti pesan Mahisa Agni, kedua gadis itu sama sekali tidak diapa-apakan.
Dalam pada itu, demikian Mahisa Agni dan Witantra naik keatas tebing, maka mereka pun segera melihat perkelahian yang seru. Tetapi pada saat-saat terakhir, Mahisa Agni dan Witantra melihat bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil mendesak lawan mereka. Sambil menarik nafas Witantra berkata, “Tidak banyak yang perlu kita lakukan disini”
Mahisa Agni pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi apakah kedua orang itu tidak akan mendapat bantuan dari kawan-kawannya?”
“Nampaknya mereka sudah cukup lama bertempur. Tentu sejak sebelum Widati lari ke Kabuyutan, Mahisa Murti sudah bertempur melawan mereka berdua. Jika ada kawan-kawan mereka, agaknya mereka tentu sudah datang membantu” berkata Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Witantra. Sementara itu, pertempuran itu pun masih berlangsung terus. Namun kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sudah tidak lagi banyak mendapat kesempatan untuk melawan.
Karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun tidak merasa perlu untuk mencampuri persoalan mereka. Mereka hanya menunggu saja, saatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengakhiri pertempuran itu.
Namun dalam pada itu kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun agaknya tidak mau melihat kenyataan itu. Mereka telah mengumpat-umpat dan berteriak-teriak. Mereka bertempur dengan kasarnya dan sama sekali tidak lagi mempergunakan akalnya.
Justru karena itu, maka kekalahan mereka pun menjadi semakin cepat. Senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya. Karena itu. maka pada tubuh kedua orang berwajah kasar itu telah mengalir keringat dan darah membasahi kulit mereka.
Meskipun demikian, orang bersenjata golok yang besar itu masih berteriak, “Menyerahlah atau aku akan mencincangmu. Kawan-kawanku akan ikut membantaimu jika mereka mengetahui bahwa kau telah berani menentang kehendakku”
“Apakah kau mempunyai kawan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kawan-kawanku akan segera datang” jawab orang itu.
“Tidak” berkata Mahisa Pukat, “kawan-kawanmu tidak tahu bahwa kau bertempur di sini”
“Anak iblis” teriak orang itu, “orang-orang yang mengetahui pertempuran ini tentu akan saling berceritera. Akhirnya kawan-kawanku akan mengetahuinya juga”
“Kau mulai putus asa” berkata Mahisa Pukat, “kau harap bahwa kawan-kawanmu akan menuntut balas jika kau mati di sini?”
Orang itu mengumpat kasar. Katanya, “Kau yang akan mati. Bukan aku”
Tetapi suaranya patah ketika pedang Mahisa Murti telah menyentuh pundaknya, sehingga orang itu meloncat surut. Perasaan pedih mulai menyengat tubuhnya yang basah. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa mereka telah terlalu lama bertempur. Mereka ingin segera menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Mungkin yang dikatakan oleh kedua orang itu benar, bahwa mereka mempunyai banyak kawan di sekitar tempat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak merasa menjadi gentar dan ketakutan. Tetapi mereka tidak menginginkan persoalannya akan menjadi semakin luas. Sehingga dengan demikian, maka keselamatan orang-orang Kabuyutan Randumalang akan terancam. Karena itu, maka sejenak kemudian serangan-serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin cepat. Pedang mereka berputaran dan dengan loncatan-loncatan yang cepat, mereka membuat lawan-lawan mereka menjadi kebingungan.
“Menyerahlah” berkata Mahisa Murti, “kami tidak akan membunuh”
“Kami yang akan membunuh kalian” teriak orang bersenjata pedang panjang itu.
“Sudahlah” berkata Mahisa Murti, “jangan seperti orang yang kehilangan ingatan. Kalian harus melihat kenyataan ini”
“Persetan” geram orang yang bersenjata golok yang besar, “dua orang gadis itu benar-benar akan mati. Hanya kami yang akan dapat menyelamatkan mereka”
“Jangan sebut-sebut itu lagi. Permainan itu adalah permainan yang sangat sederhana. Hampir setiap orang dapat mengurai sentuhan jari-jarimu, sehingga gadis-gadis itu akan terbangun”
Kedua orang itu mengumpat semakin kasar. Namun mereka benar-benar sudah terdesak. Bahkan Mahisa Pukat yang menjadi jemu, tiba-tiba telah melibat lawannya dengan cepatnya. Sejenak kemudian, terdengar lawannya itu mengeluh tertahan. Ketika ia meloncat surut, maka goloknya telah terlempar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah di sampingnya.
Dengan tanpa menghiraukan lawannya, orang itu meloncat dan berusaha untuk meraih senjatanya. Namun ia terkejut, ketika tiba-tiba saja kaki Mahisa Pukat telah menginjak tangkai golok itu. Sambil mengacungkan-pedangnya ke lambung orang itu, Mahisa Pukat berkata, "Aku tidak sedang bermain-main. Dalam keadaan yang khusus aku pun dapat membunuh”
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian berubah menjadi pucat. Ketika Mahisa Pukat mendesak lambungnya dengan tajam pedangnya. “Kau mau mati?” geram Mahisa Pukat.
“Jangan” desis orang itu. Beberapa langkah orang itu surut, sementara ujung pedang Mahisa Pukat masih mengancamnya.
Sementara itu, lawan Mahisa Murti masih belum mau melihat kenyataaan itu. Meskipun ia tahu, bahwa kawannya telah kehilangan kesempatan untuk melawan, namun ia masih juga berusaha untuk bertempur terus sambil berteriak-teriak kasar.
Namun Mahisa Murti pun dengan cepat telah berusaha mengakhiri pertempuran itu pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan sambaran pedang terayun mendatar, maka Mahisa Murti meloncat selangkah surut. Kemudian dengan sepenuh kekuatannya, Mahisa Murti telah memukul pedang lawannya. Ia ingin mengalahkan orang bersenjata pedang itu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa kekuatan orang berwajah kasar itu memang sudah jauh susut. Ketika pedangnya terbentur pedang Mahisa Murti, maka ia tidak lagi mampu untuk mempertahankannya. Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Murti, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat, maka senjata lawannya itu un telah terjatuh. Sejenak kedua orang itu termangu mangu. Tetapi mereka benar-benar harus melihat kenyataan itu. Senjata mereka telah terlepas dari tangan mereka.
“Katakan” berkata Mahisa Murti , “apakah kalian akan menyerah atau kalian masih akan melawan dengan tangan kalian? Atau barangkali kalian ingin mengambil senjata-senjata kalian”
Kedua orang itu terdiam. Rasa-rasanya apapun yang akan mereka lakukan sudah tidak akan berguna lagi. Karena keduanya tidak menjawab, maka Mahisa Murti un melangkah maju sambil berkata, “Baiklah. Agaknya kalian sudah tidak ingin melawan. Karena itu, maka kalian berdua adalah tawanan kami”
Kedua orang berwajah kasar itu saling berpandangan. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Lawannya masih menggeram. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia un kemudian berdiri tegak bagaikan membeku.
“Tidak ada gunanya lagi kalian melawan” berkata Mahisa Murti.
Sekilas nampak wajah mereka menegang. Namun kemudian kembali mereka harus menyadari kenyataan yang mereka hadapi.
“Kami tidak akan mengikat tangan dan kaki kalian. Tetapi kami ingin kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan kami” berkata Mahisa Murti.
“Katakan, siapakah kalian ini sebenarnya” desak Mahisa Murti.
Keduanya tidak segera menjawab. Namun ketika Mahisa Pukat mulai menyentuh salah seorang dari kedua orang itu dengan pedangnya, maka orang itu un berkata , “Kami hanya sekedar melakukan perintah”
“Perintah apa?” bertanya Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat menekankan pedangnya. Dan orang itu un menjawab, “Kami mendapat perintah untuk menunggu di lereng bukit itu”
“Menunggu siapa?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
“Kami tidak begitu jelas. Tetapi kami harus menunggu orang-orang yang akan menyerahkan alat-alat penebang kayu kepada kami” jawab orang itu.
“Kalian mendapat perintah untuk menebangi hutan di lereng gunung” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab orang itu.
“Yang menghadap ke rah Kotaraja?” desak Mahisa Pukat pula.
“Ya” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kearah Mahisa Agni dan Witantra yang berdiri termangu-mangu. “Akan menjadi jelas bagi kita” berkata Mahisa Pukat, “bahwa ada satu gerakan untuk berbuat demikian”
Kedua orang itu memandang anak muda itu sekilas. Namun ketika Mahisa Pukat berpaling ke arah mereka, maka mereka pun telah berpaling pula.
“Kita bawa mereka ke Kabuyutan” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kita akan dapat berbicara lebih panjang”
Kedua orang itu menjajdi tegang. Agaknya mereka kurang senang untuk dibawa ke Kabuyutan. Namun mereka tidak akan dapat menolak seandainya kedua anak muda itu memaksa mereka. Sebenarnya, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu pun menyarungkan senjata masing-masing. Namun dengan senjata kedua orang itu, mereka akan membawa keduanya ke Kabuyutan.
“Kalian harus menyadari, bahwa tingkah laku kalian akan menyeret kalian kedalam kesulitan” berkata Mahisa Pukat, “kami berdua adalah pengawal-pengawal Kabuyutan. Kalian harus selalu mengingat bahwa kalian tidak dapat memenangkan perkelahian ini. Apalagi jika kami, para pengawal di seluruh Kabuyutan bergerak bersama-sama. Maka betapapun besar kekuatan kalian, maka kalian tidak akan dapat mengalahkan kami. Karena itu, sebaiknya kalian harus selalu mengingatnya”
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang merasa heran, apabila kedua anak muda itu benar-benar pengawal Kabuyutan, maka alangkah kuatnya Kabuyutan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat bahkan berkata selanjutnya, “Kau baru melihat kemampuan kami, anak-anak muda. Kalian belum melihat kemampuan guru-guru kami. Jika guru-guru kami melibatkan diri maka kalian tidak akan lebih dari debu yang akan dihembuskannya tanpa mendapat kesempatan untuk melawan sama sekali. Nah, apakah kalian ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh guru-guru kami itu?”
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun Witantra berdesah. “Anak ini”
Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Marilah mereka kita bawa.sekarang. Mungkin kedua gadis itu memerlukan pertolongan segera”
“Biarlah mereka melihat, apa yang dapat dilakukan oleh guru-guru kami. Sentuhan jari-jarinya sama sekali tidak berarti apa-apa” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Agni dan Witantra hanya berpandangan saja sekilas. Namun mereka tidak berbuat apa-apa. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membawa kedua orang itu ke Kabuyutan. Betapapun perasaan tidak senang hampir memecahkan jantung mereka, tetapi mereka tidak dapat menolak untuk melakukannya.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah melangkah ke tebing diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra telah mengikutinya pula. Demikian mereka muncul di atas tebing, maka perhatian orang-orang yang berada di pinggir sungai itu pun tertuju kepada mereka. Beberapa orang yang masih saja menunggui gadis-gadis yang sedang terbaring diam di bawah sebatang pohon yang rimbun, setelah mereka di singkirkan dari atas pasir tepian yang panas.
Beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Dua orang berwajah kasar itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu Mahisa Murti mendekatinya sambil berbisik, “Nah, marilah. Mereka adalah Ki Buyut, beberapa orang bebahu dan pengawal seperti kami berdua. Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki”
Dua orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian turun ke tepian. Beberapa orang gadis yang masih ada di tepian menunggui kawannya yang sedang tertidur itu diluar sadarnya berkata hampir berbareng, “Itulah orangnya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berkata, “Nampaknya mereka sudah menyerah”
Para bebahu dan anak-anak muda yang ada di tepian itupun membenarkannya. "Kedua orang itu nampaknya memang sudah tidak berdaya”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti oleh Mahisa Agni dan Witantra menjadi dekat, maka orang-orang yang ada di tepian itu pun bagaikan menyibak. Namun mereka pun kemudian mengerumuni kedua orang berserta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berhasil menawan mereka.
“Benarkah ini orangnya?” bertanya Ki Buyut kepada Mahisa Murti.
“Ya Ki Buyut” jawab Mahisa Murti, “orang inilah yang telah membuat kerusuhan di tepian ini. Mereka telah mengganggu gadis-gadis yang sedang mandi”
“Lalu bagaimana dengan kedua gadis ini?” bertanya Ki Buyut pula.
Semua mata memandang kedua orang berwajah kasar itu. Seolah-olah mereka telah menumpahkan segera pertanggungan jawab kepada mereka, sehingga orang-orang di tepian itu telah menuntut agar kedua gadis itu dibangunkan. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang berwajah kasar itu pun berkata,
“Biarlah kami berdua berusaha untuk membangunkan kedua gadis itu. Kami sudah merasa bersalah, sehingga kami memang seharusnya memikul tanggung jawab atas kesembuhan kedua gadis itu”
“Cepat, lakukan” sahut Ki Buyut lantang.
Tetapi ketika kedua orang itu baru melangkah selangkah, Mahisa Agni berkata, “Jangan orang itu”
“Ya” tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut, “Jangan orang itu. Ia akan dapat berbuat lebih buruk lagi terhadap kedua orang gadis itu, atau bahkan mempergunakan mereka sebagai perisai untuk melepaskan diri”
Langkah orang itu tertegun. Sementara Ki Buyut dan orang-orang Randumalang menjadi termangu-mangu. Apakah dengan demikian berarti bahwa kedua orang gadis itu akan tetap dibiarkan tidur nyenyak, sampai saatnya terbangun dengan sendirinya?
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun berkata, “Jangan cemas. Kedua gadis itu tidak apa-apa”
Tetapi seorang laki-laki yang sudah mulai ubanan menyibak maju sambil berkata, “Kau dapat berkata seperti itu karena mereka bukan anakmu. Tetapi aku adalah ayah dari salah seorang gadis itu. Bagaimana aku dapat menganggap bahwa gadis-gadis itu tidak apa-apa."
Suasana menjadi tegang. Tiba-tiba saja salah seorang berwajah kasar itu berkata, “Gadis-gadis itu terkena racun. Tetapi aku mempunyai penawarnya. Racun itu memang hanya sekedar membuat tidur. Tetapi dalam batas tertentu, jika penawarnya tidak di trapkan, maka kedua gadis itu akan mengalami nasib yang buruk. Racun itu akan bekerja perlahan-lahan sebagaimana kena racun yang tidak terlalu kuat. Tetapi dengan pasti akan dapat membunuh korbannya."
“Nah, kau dengar” berkata orang yang rambutnya mulai ubanan itu, “jika anak itu meninggal, akulah yang kehilangan. Memang bukan kau”
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mendekati orang berwajah kasar yang berbicara itu sambil berkata, “Nah, sekarang kita bertaruh. Jika kedua gadis itu nanti atau kapan pun akan mati atau mengalami nasib buruk, biarlah leherku menjadi taruhan. Tetapi jika gadis itu akan terbangun, atau orang lain mampu membangunkannya, maka lehermu menjadi taruhan. Leher yang menjadi taruhan akan dipotong perlahan-lahan dengan golokmu yang besar, berat tetapi tidak tajam sama sekali ini”
Terasa kulit orang itu meremang. Memang mengerikan sekali, bahwa lehernya harus dipotong perlahan-lahan, apa lagi dengan goloknya. Karena itu, maka untuk sesaat ia pun justru terdiam. Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa Murtipun mendesak, “Bagaimana? Apakah kau bersedia mengadakan taruhan seperti yang kau katakan?”
Orang itu tidak menjawab. Namun dipandanginya goloknya yang masih dibawa oleh Mahisa Pukat.
“Nah, Ki Buyut” berkata Mahisa Murti, “orang itu tidak menyanggupinya. Karena itu sebenarnya tahu, bahwa kami pun dapat membangunkannya”
Orang yang mulai ubanan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika benar kau dapat membangunkan, maka bangunkanlah”
“Jangan tergesa-gesa” Jawab Mahisa Murti, “sudah kami katakan, gadis itu tidak akan mengalami sesuatu. Mereka memang sedang tidur nyenyak. Tetapi perlahan-lahan, ia akan bangun sendiri. Namun secara khusus mereka pun dapat juga dibangunkannya”
Orang itu menjadi tegang. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni pun berkata, “Bangunkan mereka agar orang-orang Kabuyutan itu tidak dicengkam oleh ketegangan."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Bahkan kemudian ditatapnya Mahisa Pukat yang berdiri dengan tegangnya. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun melangkah mendekati kedua gadis yang terbaring diam itu.
“Apakah kau benar-benar mampu melakukannya sehingga tidak akan mencelakakan anakku itu?” bertanya orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban itu.
“Percayalah” Mahisa Agnilah yang menjawab. Namun nampaknya orang itu masih tetap ragu-ragu sehingga ia pun kemudian bertanya kepada Ki Buyut, “Apakah aku dapat mempercayainya?”
Ki Buyut pernah mengalami satu peristiwa yang membuatnya tidak akan dapat melupakannya. Menurut penglihatannya, kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Karena itu, meskipun agak kurang yakin, Ki Buyut itupun berkata, “Biarlah anak muda itu mencobanya”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berjongkok di samping gadis-gadis yang sedang tertidur nyenyak itu.
“Kenapa kau menjadi ragu-ragu” berkata Mahisa Agni, “bukankah kau mampu melakukannya? Sesuatu yang dapat kau lakukan dengan tidak usah memikirkan lagi akan menjadi terasa sulit jika kau harus merenunginya, mempertimbangkannya dan apalagi menjadi ragu-ragu” Mahisa Pukatlah yang kemudian mendekati Mahisa Murti sambil berkata , “Lakukan. Bukankah kita dapat melakukannya?”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan tangannya meraba tengkuk gadis yang pertama. Dengan kemampuan yang sudah dipelajarinya dengan baik, maka ia pun segera menemukan simpul yang tertutup oleh sentuhan tangan kedua orang berwajah kasar itu. Dengan pengetahuannya itu, maka ia pun segera membuka simpul yang tertutup itu, meskipun masih ada juga sisa gejolak pada perasaannya. Sejenak kemudian, gadis itu pun mulai menggeliat. Perlahan-lahan ia mulai bangkit sambil memandang orang-orang di sekelilingnya.
“Apa yang terjadi?” gadis itu bertanya. Namun perlahan-lahan ia mencoba mengingat kembali apa yang telah dialaminya. Bahkan demikian ia melihat kedua orang berwajah kasar itu, maka iapun telah menjerit ketakutan.
Tetapi ayahnya telah berada di sampingnya sambil berkata, “Aku ada disini. Jangan takut”
Gadis yang melihat ayahnya itu pun telah memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Di antara isak tangisnya, terdengar kata-katanya, “Aku takut. Aku takut”
“Sudahlah” berkata ayahnya, “kau sudah diselamatkan” Kemudian katanya kepada Mahisa Murti, “Terima kasih anak muda. Ternyata kau benar-benar mampu melakukannya”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian telah melakukan hal yang sama terhadap gadis yang lain, yang sesaat kemudian telah tersadar pula dari tidurnya.
“Di mana ayah gadis itu?” bertanya Ki Buyut.
“Ayahnya sudah pergi ke sawah ketika hal ini diketahui” jawab salah seorang, “tetapi ia sudah dipanggil”
Ki Buyut dan Widati lah yang kemudian menolong gadis yang juga menjadi ketakutan sebagaimana kawannya. “Orang itu tidak akan mengganggumu lagi” berkata Ki Buyut.
Gadis itu pun menangis pula. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ia memang merasa aman dibawah pengawasan Ki Buyut dan beberapa penghuni Kabuyutannya.
Dalam pada itu kedua orang berwajah kasar itu pun menjadi semakin cemas melihat sikap orang-orang Kabuyutan Randumalang. Apalagi ketika tiba-tiba saja, ayah gadis yang pertama sadar itu menuding kedua orang itu sambil berkata, “Merekalah sumber malapetaka itu”
“Ya, mereka” seorang anak muda menyahut, “jika mereka masih ada, maka malapetaka ini tentu akan berulang kembali”
“Keduanya itulah sumber bencana” teriak yang lain. Adalah tiba-tiba saja, ketika terdengar seorang anak muda berteriak, “Bunuh keduanya”
Yang terdengar kemudian adalah teriakan-teriakan marah dari orang-orang Kabuyutan Randumalang. Seorang bertubuh gemuk justru telah mengangkat senjatanya sambil berteriak lehih keras lagi, “Bunuh mereka. Bunuh mereka”
Orang-orang Kabuyutan Randumalang itu pun mulai bergerak. Mereka mulai mengacu-acukan senjata mereka dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi gelisah. Mereka pun kemudian telah berdiri dan bergeser mendekati kedua orang berwajah kasar itu.
Namun adalah diluar dugaan, bahwa kedua orang berwajah kasar itu telah menjadi sangat ketakutan melihat orang-orang Kabuyutan Randumalang yang marah. Bahkan dengan suara gemetar salah seorang berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Tolong anak muda. Tolonglah aku. Bukankah kalian pengawal Kabuyutan ini”
Sebelum Mahisa Murti menjawab, Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Kau takut mati?”
“Aku tidak takut mati. Tetapi tidak dengan cara ini” jawab orang itu.
“Dengan cara apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bunuh aku dengan pedangmu” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang mengerikan sekali menghadapi orang-orang yang marah seperti itu. Mereka akan benar-benar melakukan seperti apa yang mereka katakan. Dengan cara yang tidak terkendali, justru karena dilakukan oleh sekelompok orang, mereka akan membunuh kedua orang itu. Bahkan orang-orang yang dalam kehidupannya sehari-hari tidak pernah membunuh seekor tikus pun, akan dapat membunuh dengan sangat kejam diantara banyak orang yang bersama-sama sedang marah.
Dalam pada itu, orang-orang Kabuyutan Randumalang itu pun menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan mereka bergeser bersama-sama mendekati kedua orang berwajah kasar itu. Mereka berteriak semakin keras dan mereka pun mulai merundukkan senjata mereka. Mahisa Agni dan Witantra pun menjadi semakin cemas melihat kemarahan orang-orang Randumalang itu. Karena itu keduanya telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Cobalah, hentikan mereka” berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berdiri menghadapi orang-orang yang sedang marah itu. “Ki sanak” berkata Mahisa Murti, “Cobalah dengar keteranganku”
Tetapi orang-orang itu masih saja berteriak, “Bunuh mereka, bunuh mereka”
“Kalian benar-benar akan membunuh mereka?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Kami akan membunuh mereka. Orang-orang itu telah mencemaskan gadis-gadis kami” jawab salah seorang di antara orang-orang Randumalang itu.
“Mereka memang bersalah” jawab Mahisa Murti, “tetapi bukan begini cara untuk mengadilinya”
“Aku tidak peduli” berkata ayah salah seorang gadis yang pingsan. Orang-orang itu telah mengotori nama anakku”
“Tidak” jawab Mahisa Murti, “orang-orang itu belum berbuat apa-apa”
“Anakku telah tertidur diluar kehendaknya” jawab orang tua itu.
“Tetapi anakmu sudah bangun” jawab Mahisa Murti.
“Jadi, apakah akan kita biarkan saja orang-orang itu berbuat kesalahan yang sangat besar di Kabuyutan kami?” bertanya yang lain lagi.
“Mereka akan dihukum. Tetapi kita harus mempertimbangkannya dengan bening. Kita dapat menyerahkannya kepada Akuwu, atau mungkin wewenang Ki Buyut akan dapat mengadilinya. Tetapi tidak dengan beramai-ramai seperti ini, seolah-olah kalian berhak untuk mengadilinya disini” jawab Mahisa Murti.
“Kami berhak mengadilinya. Kedua gadis itu adalah anak-anak kami. Anak-anak Kabuyutan kami” jawab seorang yang bertubuh tinggi besar.
“Tidak” jawab Mahisa Murti, “kalian tidak berhak mengadilinya bersama-sama. Orang-orang yang khusus akan menentukan hukuman apa yang paling pantas ditilik dari kesalahan yang telah dilakukannya”
“Serahkan kepada kami” teriak seorang anak muda.
“Serahkan kepada kami” teriak yang lain.
Mahisa Murti menjadi tegang. Orang-orang itu agaknya sudah sulit untuk diajak berbicara. Seandainya mereka akan memaksa, apakah berarti Mahisa Murti harus mencegahnya dengan kekerasan sehingga ia harus berkelahi melawan orang-orang itu?.
Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni melangkah maju sambil berkata lantang, “Ki Sanak. Dengarlah. Ada yang ingin aku katakan kepada kalian”
“Serahkan kepada kami. Tidak ada lagi yang akan kami bicarakan” sahut salah seorang dari mereka yang sedang marah itu.
“Dengarlah” suara Mahisa Agni semakin keras, “aku akan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi dengar lebih dahulu”
Ternyata suara Mahisa Agni itu menyentuh telinga mereka, sehingga mereka pun mulai mendengarkannya Apalagi karena Mahisa Agni mengatakan bahwa orang-orang itu akan diserahkan kepada mereka.
“Dengar” berkata Mahisa Agni, “kami memang akan menyerahkan mereka, karena orang-orang ini sudah melakukan satu kesalahan di daerah kalian. Apakah begitu yang kalian maksudkan?”
“Ya. Serahkan kepada kami” sahut beberapa orang bersama-sama.
“Bukan hanya kedua orang ini yang akan aku serahkan kepada kalian. Jika kalian tidak lagi mempunyai pertimbangan lain, maka kami memang akan menyerahkan semua persoalan ini kepada kalian” jawab Mahisa Agni.
Jawaban Mahisa Agni itu memang membuat orang-orang itu tercenung. Bahkan seorang anak muda bertanya, “Apa maksudmu?”
“Semua persoalan akan kami kembalikan” jawab Mahisa Agni, “karena kehadiran kami tidak berarti sama sekali di hadapan kalian, maka anggap saja, bahwa kami tidak pernah ada. Kedua anak itu akan dikembalikan kepada keadaannya semula. Kemudian kedua anak muda itu akan menyerahkan senjata kedua orang itu kepada mereka. Seterusnya, lakukan apa yang akan kalian lakukan”
Kata-kata Mahisa Agni itu telah menyentuh perasaan orang-orang yang marah itu. Seorang anak muda masih mencoba berteriak, “Mereka hanya berdua”
“Mereka hanya berdua. Anak-anak muda yang mengalahkan mereka juga berdua. Kemampuan mereka memang hampir seimbang” berkata Mahisa Agni.
Orang-orang Kabuyutan Randumalaug itu tidak segera mengetahui maksud Mahisa Agni. Karena itu, mereka masih saja berteriak-teriak, “Kami bunuh mereka. Mereka hanya berdua”
“Baik-baik” jawab Mahisa Agni, “mereka memang hanya berdua. Tetapi bertanyalah kepada Ki Buyut, apa yang dapat dilakukan kedua anak muda itu. Kedua orang itu pun tentu akan dapat melakukan sebagaimana dilakukan oleh kedua anak muda itu”
Orang-orang Randumalang itu tertegun sejenak. Namun semua orang pun kemudian berpaling kepada Ki Buyut. Seolah-olah mereka ingin mendapat penjelasan maksud kata-kata Mahisa Agni
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sepenuhnya maksud Mahisa Agni. Meskipun sebenarnya Ki Buyut pun menjadi sangat marah kepada kedua orang itu, tetapi ia masih mampu berpikir sebagaimana di kehendaki oleh Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya kemudian kepada orang-orangnya, “He, orang-orang Randumalaug. Aku minta kalian menjadi tenang”
“Perintahkan kepada kami untuk membunuhnya” berkata salah seorang yang berjanggut lebat.
“Dengar” berkata Ki Buyut, “Usahakan mengerti maksud Ki Sanak itu”
“Katakan” berkata seorang anak muda.
“Aku tidak dapat memerintahkan kepada kalian untuk membunuhnya” berkata Ki Buyut.
“Kenapa?” bertanya orang tua dari gadis yang tertidur itu. “Aku tidak sampai hati membantai kalian di tepian ini” jawab Ki Buyut.
“Kenapa kami?” bertanya seseorang, “Kamilah yang akan membunuh orang itu”
“Tetapi kau dengar, bahwa kedua anak muda itu akan menyerahkan kembali kedua senjata yang mereka bawa kepada kedua orang itu” jawab Ki Buyut.
“Kami tidak takut” jawab seorang bertubuh tinggi.
“Dengar” berkata Ki Buyut, “menurut anak-anak muda dan kedua pamannya itu, kedua orang itu memiliki ilmu yang hampir seimbang dengan kedua orang anak muda ini. Nah, ketahuilah, bahwa aku pernah menyaksikan kedua anak muda ini bertempur. Bertempur dalam satu perang brubuh yang kisruh, maupun dalam perang tanding, seorang melawan seorang. Aku tahu, apa yang dapat mereka lakukan. Sedangkan aku pun tahu, apa yang dapat kalian lakukan” Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu, “karena itu, jika kalian berkeras untuk membunuh kedua orang itu beramai-ramai, maka yang akan terjadi adalah satu malapetaka”
“Kenapa?” bertanya beberapa orang berbareng.
Ki Buyut memandang kedua orang itu. Sebenarnya ia segan untuk mengatakannya, karena dengan demikian Ki Buyut mengakui kelemahan Kabuyutannya, sehingga dengan demikian maka bayangan yang buruk mulai menerawang di matanya. Orang-orang itu atau kawan-kawannya pada saat-saat lain tentu akan dengan berani berbuat sesuatu yang mungkin akan sangat mengerikan.
Karena Ki Buyut menjadi ragu-ragu, maka Mahisa Agnipun kemudian berkata, “Cepat Ki Buyut. Ambillah satu keputusan. Nampaknya nalar Ki Buyut telah mengalir kejurusan yang benar. Tetapi keragu-raguan Ki Buyut akan dapat menghambat penyelesaian”
Ki Buyut masih termangu-mangu. Sementara itu, orang yang lain telah bertanya pula, “Kenapa akan terjadi satu malapetaka?”
Ki Buyut mengangkat wajahnya. Agaknya ia sedang mencari kekuatan dari dalam dirinya untuk menyatakan maksudnya, “Dengarlah. Jika kau memaksa untuk membunuh mereka, maka keduanya tentu akan melawan. Sementara itu, kedua gadis itu akan menjadi tertidur lagi dan tidak seorang pun yang akan dapat membangunkannya. Baik. Katakan, beberapa orang di antara kalian akan melindungi gadis itu. Tetapi jika kedua orang itu melawan dengan kemampuan mereka sepenuhnya, maka tentu akan terjadi perkelahian yang sengit. Mungkin kedua orang itu akhirnya akan mati. Tetapi separo dari kalianpun akan mati”
Ki Buyut memandang orang-orang Kabuyutan Randumalang itu dengan tajamnya. Seolah-olah ia memandang seorang demi seorang, menatap langsung ke matanya menghunjam sampai ke jantung. Lalu katanya, “Mungkin kau. Mungkin kau. mungkin kau yang masih sangat muda. Mungkin justru ayah gadis itu atau setiap orang di antara kalian mempunyai kemungkinan yang sama untuk mati”
Kata-kata Ki Buyut itu benar-benar telah menyentuh hati orang-orang itu. Apalagi ketika Ki Buyut menunjuk ke arah mereka, seolah-olah setiap orang telah ditunjuknya sambil berkata, “Kaulah yang mungkin akan mati. Atau kau. Atau kau. Atau kalian bertiga bersama-sama”
Wajah-wajah menjadi semakin tegang. Beberapa orang saling berpandangan. Sementara itu Ki Buyut pun berkata, “Baiklah. Mulailah. Siapa yang ingin terbunuh lebih dahulu, berusahalah untuk membunuh kedua orang itu. Senjata mereka akan segera diserahkan kepada mereka sebelum kalian sampai kepadanya”
Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya, “Marilah. Siapa yang akan mendahului?” bertanya Ki Buyut kemudian.
Orang-orang itu masih berdiri tetap berdiri tegak. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum memberikan senjata kedua orang itu seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Suasana menjadi semakin tegang. Orang-orang Randumalang berdiri dalam kebimbangan. Mereka masih didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak jantung. Tetapi mereka tidak dapat mengesampingkan kenyataan, bahwa kedua orang itu memang akan dapat membunuh sebagian dari orang-orang Randumalang itu.
Karena itu, maka keragu-raguan mulai merayapi perasaan orang-orang Randumalang yang marah itu. Tidak seorang pun di antara mereka yang ingin lebih dahulu. Karena itu tidak ada di antara mereka yang bersedia untuk melangkah pertama kali sambil mengacungkan senjatanya menyerang kedua orang yang ingin mereka bunuh itu.
Dalam suasana yang tegang itu, maka Ki Buyut Randumalang menarik nafas dalam-dalam. Ia lah yang kemudian baru saja terbangun dari tidur yang tidak dikehendakinya itu. Sejenak orang-orang Kabuyutan Randumalang itu termangu-mangu. Namun sekali lagi Ki Buyut berkata, “Marilah. Kita kembali ke Kabuyutan?”
Karena orang-orang itu masih belum bergerak, Ki Buyutlah yang melangkah pertama-tama meninggalkan tepian itu. Ketika ia berjalan di dekat orang tua gadis yang baru sadar itu, ia berkata, “Hati-hatilah dengan anak gadismu”
Orang itu menggangguk. Namun ia masih berdiri tegak di tempatnya. Baru ketika beberapa orang bebahu kemudian mengikutinya, maka yang lain pun mulai bergerak pula. Beberapa orang diantara mereka membayangi gadis-gadis yang masih saja ketakutan, sementara yang lain dengan ragu-ragu melangkah di antara batu-batu padas dengan kepala tunduk.
Pada saat orang-orang itu sampai di atas tebing, seseorang telah berlari-lari kearah mereka. Orang itu adalah ayah gadis yang seorang lagi. Ia tertegun ketika ia bertemu dengan Ki Buyut yang berjalan di paling depan. Dengan singkat Ki Buyut memberikan keterangan tentang anak gadisnya.
“Dimana anak itu sekarang?” bertanya orang itu.
“Di antara kawan-kawannya. Ia sudah tidak apa-apa” jawab Ki Buyut sambil berjalan terus.
Ketika orang itu mendekati anaknya, maka sambil menangis anak gadisnya memeluknya. Namun kemudian bersama-sama dengan yang lain mereka mengikuti Ki Buyut kembali ke padukuhan induk Kabuyutan Randumalang melangkah mendekati Mahisa Agni sambil berkata perlahan-lahan,
“Aku berada dalam kesulitan. Jika kedua orang ini tetap hidup, maka akibatnya akan sangat pahit bagi Kabuyutan ini. Kali ini ada kedua orang anak muda itu, sehingga kami akan dapat melawan keduanya. Tetapi pada saat lain keduanya dan bahkan mungkin kawan-kawannya akan dapat berbuat apa saja. Mungkin tidak hanya separo orang Randumalang yang akan menjadi korban. Tetapi lebih dari itu”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan yang dialami oleh Ki Buyut. Karena itu maka jawabnya, “Hal itu akan kita bicarakan kemudian. Kita akan mengambil satu keputusan yang paling baik tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan”
“Mereka tidak menghargai kemanusiaan” jawab Ki Buyut.
“Kita yang menghargai kemanusiaan. Dengan demikian maka kita memang berbeda dengan mereka” jawab Mahisa Agni.
Ki Buyut menarik nafas. Sementara itu ketegangan di tepian itu masih saja mencengkam. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun bertanya lantang, “Nah, siapa yang akan melangkah lebih dahulu?”
Tidak seorangpun yang bergerak. Karena itu, maka Buyutpun berkata, “Jika demikian, agaknya kalian sudah merubah sikap kalian. Kalian agaknya dapat menerima satu pendapat, bahwa sebaiknya kita tidak mengadili mereka beramai-ramai di tepian ini. Kita akan membawa mereka di Kabuyutan”
Namun kata-kata Ki Buyut rasa-rasanya kurang meyakinkan. Bahkan Ki Buyut pun kemudian berpaling ke arah Mahisa Agni dengan lontaran pertanyaan pada sorot matanya.
“Tepat Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “kita akan membawa keduanya ke Kabuyutan. Kita akan dapat membicarakannya, apa yang sebaiknya kita lakukan akan orang-orang ini”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu katanya , “Marilah. Kita akan kembali ke Kabuyutan. Kita akan berbicara dengan hati yang lebih tenang”
Tidak ada yang mereka bicarakan di sepanjang perjalanan. Semua orang terbenam dalam angan-angan mereka masing-masing. Iring-iringan itu bagaikan iring-iringan orang mengantar sanak kadang dalam keadaan duka.
Baru ketika orang-orang itu sudah naik keatas tebing dan berjalan menjauh, Mahisa Agni berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Marilah. Kita bawa kedua orang itu ke Kabuyutan Randumalang”
Mahisa Murtilah yang menyahut, “Marilah paman”
Namun dalam pada itu salah seorang dari kedua orang itu bertanya, “Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang marah itu kepadaku? Apakah kemarahan mereka tidak akan terungkat lagi?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku akan berusaha agar hal ini dapat diselesaikan dengan cara yang sebaik-baiknya”
“Apakah mungkin aku akan dibebaskan?” bertanya seorang yang lain.
Tetapi jawab Mahisa Agni sangat mengecewakannya, “Tidak Ki Sanak. Kalian memang akan mendapat hukuman. Tetapi tentu yang sesuai dengan kesalahan yang kalian lakukan. Dan dengan cara yang paling wajar”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya mereka memang tidak dapat melihat kemungkinan lain. Bahwa mereka tidak jatuh ke tangan orang-orang yang sedang marah yang akan dapat mencincang mereka sampai lumat, adalah satu hal yang terlalu baik bagi mereka.
Namun demikian, kedua orang itu masih saja dibayangi oleh kemungkinan vang sangat buruk itu. Keduanya memang tidak percaya bahwa anak-anak muda serta orang-orang yang disebut guru-guru mereka itu benar-benar akan memberikan kembali senjata-senjata mereka jika orang-orang Kabuyutan Randumalang itu akan menghukum mereka beramai-ramai.
Dalam pada itu, selagi kedua orang itu termangu-mangu, maka Mahisa Agni pun berkata pula, “Marilah Ki Sanak. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu”
“Kami tidak akan berkeberatan” jawab salah seorang dari mereka, “Tetapi kawan-kawan kami tentu akan mencari kami jika pada saatnya kami tidak kembali di antara mereka”
“Tidak apa-apa” jawab Mahisa Agni, “tidak ada seorang pun di antara kawan-kawan kalian mengerti, apa yang telah terjadi sebenarnya”
“Tetapi orang-orang Kabuyutan itu akan mengatakan kepada kenalan mereka temui di pasar atau di jalan-jalan, apa yang telah terjadi di sini. Kawan-kawanku tentu akan dapat mengambil satu kesimpulan jika mereka pun pada suatu saat mendengar ceritera seperti itu” berkata salah seorang dari kedua orang itu kemudian.
“Kami mengerti” jawab Mahisa Agni, “karena itu, kami akan mengambil satu sikap yang paling baik dan paling aman bagi Kabuyutan ini”
“Satu-satunya cara adalah, melepaskan kami untuk kembali ke dalam lingkungan kami” berkata salah seorang dari kedua orang itu.
“Tidak Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “hal yang buruk masih dapat terjadi. Kami tidak yakin, bahwa kau berdua akan dapat melupakan gadis-gadis Kabuyutan ini. Dan kami pun tidak yakin bahwa kau masih mempunyai kawan yang lain di daerah ini”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menurut segala perintah yang diberikan oleh Mahisa Agni.
“Marilah. Kita menyusul orang-orang Kabuyutan itu” berkata Mahisa Agni kemudian.
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian melangkah menyusul orang-orang Kabuyutan yang sudah lebih dahulu meninggalkan tepian. Namun bagaimanapun juga kedua orang itu masih selalu dibayangi kegelisahan. Bukan karena kemungkinan bahwa mereka akan dihukum. Tetapi hukuman itu akan sangat menyakitkan hati menjelang saat-saat kematian, apabila mereka jatuh ke tangan orang-orang Kabuyutan yang marah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi ragu-ragu pula. Jika mereka sudah sampai di Kabuyutan, maka terlalu sulit bagi mereka untuk mencegah kemarahan orang-orang Kabuyutan itu. Apalagi orang-orang yang berkerumun tentu akan menjadi lebih banyak, sehingga akan lebih sulit lagi untuk mengendalikan mereka.
“Mudah-mudahan Ki Buyut tidak justru berubah pikiran. Jika ia tidak dapat mengendalikan diri, dan justru mengambil sikap yang sebaliknya, maka akibatnya akan menjadi parah” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, selagi kedua orang itu berjalan ke padukuhan induk, diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka beberapa langkah di belakang mereka. Mahisa Agni dan Witantra pun telah membicarakan, apa yang paling baik dilakukan bagi kedua orang itu.
“Serba sulit” berkata Witantra, “aku dapat mengerti keterangan orang itu. Berita ini tentu tidak akan dapat dicegah untuk merambat keluar dari Kabuyutan ini. Pada suatu saat kawan-kawan kedua orang itu tentu akan mendengar apa yang telah terjadi”
“Ya” jawab Mahisa Agni, “hal itu memang mungkin sekali. Akibatnya memang agak pahit bagi Kabuyutan ini”
Witantra tidak segera menjawab. Ia masih saja melangkah di samping Mahisa Agni. Namun keduanya pun kemudian melangkah dengan kepala tunduk. Beberapa saat kemudian, dua orang yang diiringi oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Agni dan Witantra itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Beberapa orang justru telah tidak kelihatan lagi setelah hilang memasuki mulut lorong.
Namun keempat orang yang mendekati padukuhan induk itu menjadi semakin cemas melihat keributan yang terjadi di padukuhan. Beberapa orang yang terdahulu memasuki gerbang padukuhan telah menceriterakan apa yang terjadi kepada orang-orang yang berada di padukuhan dan tidak sempat pergi ke sungai. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang berkumpul setelah mereka mendengar apa yang terjadi.
Ketika orang-orang berkumpul di Kabuyutan untuk mendengar ceritera Ki Buyut, anak-anak muda itu sebagian telah pergi ke sawah. Mereka bergegas kembali ketika mereka mendengar berita tentang peristiwa yang terjadi di sungai. Berita yang dibawa Widati yang kemudian tersebar. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan yang lain pun telah berkumpul pula untuk mendengar peristiwa yang terjadi itu dari dekat.
Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat, kedua orang yang berwajah kasar itu mulai memperlambat langkah mereka. Seorang diantaranya berguman, “Mengerikan sekali.”
“Kita mencoba untuk percaya kepada sikap Ki Buyut” desis Mahis Murti.
Tetapi kedua orang berwajah kasar itu justru telah berhenti. Seorang di antara mereka berkata, “Sebenarnya segala sesuatunya tergantung kepada kalian. Bagaimana pendapat kalian, jika kalian tidak terlalu banyak ikut campur. Aku yakin sekarang, bahwa kalian bukan para pengawal padukuhan atau Kabuyutan ini”
“Apa maksudmu?” berkata Mahisa Murti.
“Jika kalian melepaskan saja kami, maka aku kira tidak akan ada akibat apapun terjadi atas kalian, sementara kami pun akan terlepas dari suasana yang sangat menegangkan itu”
“Kau akan mengadu kami dengan orang-orang Kabuyutan yang marah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita harus mempergunakan cara. Dari kesempatan aku melepaskan diri. Aku akan meloncat ke arah kanan dan kawanku kearah kiri. Kalian memang harus berusaha mengejar kami, tetapi kalian tidak berhasil” jawab orang itu.
Namun Mahisa Pukat itu tertawa. Katanya, “Satu pikiran yang bagus. Tetapi khusus bagi kalian. Dan tidak bagi kami. Kami tetap berpendirian, bahwa kalian harus dihukum. Kalian telah melakukan satu perbuatan yang tercela sekali. Bahkan kalian telah berusaha untuk mempertahankan kesalahan kalian dengan berusaha untuk membunuh kami berdua”
“Tetapi kami belum melakukannya” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Sudah. Kalian sudah melakukannya. Kalian telah berusaha membunuh. Tetapi kalian tidak berhasil, karena kalian dapat kami kalahkan” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Karena itu, marilah. Kita akan pergi ke Kabuyutan. Kita percaya bahwa Ki Buyut akan berbuat sesuatu”
Kedua orang itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Ia memandang ujung lorong yang memasuki padukuhan induk dari Kabuyutan Randumalang itu dengan jantung yang berdegupan. Sebenarnyalah pada waktu itu, di padukuhan induk itu telah terjadi satu pembicaraan yang tegang. Ketika anak-anak muda menuntut untuk dengan langsung menghukum orang-orang itu. maka Ki Buyut telah berusaha untuk mencegahnya.
“Kalian harus mendengarkan kata-kataku” berkata Ki Buyut.
“Kita tidak boleh terlalu lemah menghadapi penjahat-penjahat. Kabuyutan ini harus mulai bangun. Pada saat-saat lampau, kita adalah orang-orang yang paling lemah yang sama sekali tidak berani berbuat apa-apa terhadap para penjahat. Tetapi kita mulai menyadari, bahwa sikap itu telah menyeret kami kedalam satu kesulitan. Sekarang sudah saatnya kita menunjukkan, bahwa kita juga dapat berbuat sesuatu. Kita juga mempunyai keberanian untuk melawan kejahatan” berkata seorang anak muda.
“Coba kita melihat diri kita dengan jujur” jawab Ki Buyut, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa kedua orang anak muda itu”
“Mereka telah mengajari kita sebelum mereka meninggalkan Kabuyutan ini beberapa waktu yang lalu. Mereka mengajari kami untuk menjadi pengawal yang baik bagi Kabuyutan ini”
“Tetapi mereka tentu tidak mengajari kalian untuk berbuat kepadaku, dan kepada orang-orang yang ada di tepian, bahwa kita jangan berbuat menuruti perasaan saja. Merekalah yang mengatakan, agar kedua orang itu dihadapkan pada satu keputusan yang adil dan wajar, sesuai dengan kesalahan mereka menurut pertimbangan nalar dan paugeran. Merekalah yang mencegah agar kita tidak menghukum mereka dengan sewenang-wenang, meskipun mereka jelas melakukan kesalahan”
“Mereka dapat saja berkata begitu, karena gadis-gadis yang menjadi korban itu bukan sanak dan bukan kadang mereka” jawab salah seorang dari orang-orang tua yang marah, “tetapi kami, orang-orang tua yang mempunyai anak-anak gadis, akan selalu dibayangi kecemasan”
“Justru karena itu” berkata Ki Buyut kemudian, “jika kalian menghukum orang itu dengan semena-mena, maka kawan-kawannya kedua orang itu tentu akan marah, karena perasaan keadilan mereka tersinggung. Nah, apakah dengan demikian, kita tidak akan justru menjadi terancam. Tetapi jika kita memperlakukan kedua orang itu dengan adil, meskipun kita menghukumnya juga. Maka kawan-kawan mereka mungkin akan justru mendukung sikap kita, bahwa kedua orang itu harus dihukum karena telah melakukan satu kesalahan”
Tetapi anak-anak muda Kabuyutan itu nampaknya tidak puas terhadap sikap Ki Buyut. Bahkan ada diantara mereka yang berkata, “Ki Buyut. Kami sudah cukup dewasa. Sebaiknya Ki Buyut tidak menganggap lagi bahwa kami adalah kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Seandainya kawan-kawan mereka marah, biarlah kita menghadapinya”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bergeser mendekati anak muda itu sambil berkata lantang, “He, apakah benar-benar kau berkata demikian. Apakah benar kau mengucapkan kata-kata itu sebagaimana tersirat di hatimu? Jika demikian, bagus. Aku setuju. Kalian adalah anak-anak muda yang gagah berani anak-anak muda Kabuyutan Randumalang yang terpercaya. Jika nanti sepuluh atau duapuluh orang kawan kedua orang itu datang, maka kita akan bertempur. Kita akan membunuh orang-orang itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh salah seorang di antara orang-orang yang datang Kabuyutan, sebagian besar dari kita akan mati. Mungkin aku, mungkin kau. Setiap orang mempunyai kemungkinan untuk mati. Tetapi yang paling parah, apabila kita semua sudah mati. Tetapi orang-orang yang menyerang Kabuyutan ini belum semuanya mati. Maka mereka akan mulai dengan satu perbuatan yang akan merupakan malapetaka yang paling besar bagi gadis-gadis Kabuyutan ini setelah semua orang laki-laki terbunuh."
Orang-orang yang sedang marah itu mulai berpikir. Mereka mulai membayangkan, apakah yang akan terjadi sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu. Tetapi seorang laki-laki yang bertubuh kurus bertanya, “Apakah mungkin akan terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Buyut itu”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Mungkin sekali. Orang-orang kasar itu memiliki ilmu yang tinggi. Kedua anak muda yang sudah aku ketahui dengan pasti tingkat kemampuannya itupun mengakui, bahwa mereka berdua berjuang dengan susah payah untuk mengalahkan dua orang yang telah berusaha mengambil gadis-gadis Kabuyutan ini”
“Tetapi Ki Buyut” bertanya seorang laki-laki bertubuh pendek, “seandainya kita akan mendapatkan jaminan bahwa Kabuyutan ini tidak akan mengalami sesuatu?”
“Kita dapat berbicara dengan kedua anak-anak muda itu” jawab Ki Buyut.
“Bukankah sama saja halnya? Seandainya kita mengambil sikap yang tegas terhadap kedua orang itu, maka kita pun akan dapat berbicara dengan kedua anak muda itu” sahut seseorang.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun seolah-olah ia mendapat satu jalan untuk menekankan pendapatnya. Jika semula ia hampir kehilangan harapan untuk menahan gejolak kemarahan orang-orang Kabuyutannya, maka justru karena pertanyaan itu ia mulai berpengharapan lagi. Karena itu, maka jawabnya,
“Ya. Kita memang dapat berbicara dengan kedua anak muda itu. Tetapi kita tidak akan dapat memaksakan keinginan kita kepada mereka. Yang ikut bersamaku ke tepian telah mendengar keterangannya dan keterangan orang tua yang disebut paman dari anak-anak muda itu. Kedua anak muda itu justru akan menyerahkan kembali senjata kedua orang yang sudah menyerah itu. Kedua senjata yang sudah dirampas itu akan diserahkan kembali dan tidak mau lagi ikut campur persoalan-persoalan yang akan terjadi kemudian”
Orang-orang itu menjadi tegang. Tetapi orang-orang yang ikut ke tepian telah teringat akan kata-kata itu. Kata-kata yang memang telah diucapkan. Sejenak orang-orang itu saling berpandangan. Namun orang-orang yang ikut pergi ke tepian itupun mulai menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat bertindak sendiri tanpa kedua orang anak muda yang telah mengalahkan kedua orang itu.
Karena sebenarnyalah mereka mulai mengakui betapa bahayanya persoalan yang dapat timbul kemudian, jika kawan-kawan kedua orang itu menuntut balas, sementara kedua orang anak muda itu tidak mau ikut campur sama sekali. Karena itu, maka orang-orang itu pun mulai melihat persoalannya dari beberapa segi, sehingga mereka tidak lagi dengan garang mengacung-acungkan sanjata sambil meneriakkan kata-kata ancaman.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati mulut lorong padukuhan induk Kabuyutan Randumalang. Terasa betapa jantung kedua orang itu hampir rontok karenanya. Mereka adalah orang-orang kasar yang memiliki pengalaman yang luas dalam pengembaraan yang berat dan tugas-tugas yang membawa mereka kedalam satu perbuatan yang kadang-kadang sangat bertentangan dengan kemanusiaan.
Namun menghadapi orang-orang yang marah, terasa juga kengerian yang sangat. Mereka sama sekali tidak akan menjadi ketakutan seandainya mereka dihadapkan pada satu kemungkinan untuk mati dalam perkelahian yang manapun. Tetapi tidak dicincang oleh orang-orang yang sedang marah. Tetapi rasa-rasanya titik-titik air telah jatuh ke atas jantung mereka yang putus asa. Mereka mulai melihat suasana yang berbeda ketika mereka melihat beberapa orang bergeser dari mulut lorong. Bahkan keduanya melihat seseorang yang menyarungkan senjatanya dan yang kemudian melangkah menepi.
Manisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam, sementara Witantra berbisik ditelinga Mahisa Agni, “Nampaknya terjadi perubahan sikap di antara mereka. Ki Buyut telah berusaha dengan sungguh-sungguh” jawab Mahisa Agni.
Sebenarnyalah ketika mereka memasuki gerbang padukuhan, maka tidak ada tindakan orang-orang Kabuyutan Randumalang yang bertentangan dengan kehendak Ki Buyut. Orang-orang Randumalang telah melihat satu kemungkinan yang dapat berakibat paling buruk dan kemungkinan yang lain yang dapat melindungi Kabuyutan mereka.
Ki Buyut yang kemudian berdiri di muka gerbang padukuhan induknya pun kemudian mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk membawa kedua orang itu memasuki padukuhan induk dan langsung dibawa ke Kabuyutan.
Beberapa orang kemudian telah mengikutinya, sehingga iring-iringan itu pun semakin lama menjadi panjang. Namun dalam pada itu, keluarga gadis-gadis yang berada di tepian-pun telah membawa gadis-gadis mereka pulang dengan tergesa-gesa. Apalagi kedua gadis yang telah tertidur di tepian. Bahkan ibu gadis-gadis itu telah menangisinya di rumahnya. seolah-olah mereka telah menemukan kembali anak-anak gadis mereka yang telah hilang.
Dalam pada itu, kedua orang berwajah kasar itu berjalan dengan kepala tunduk. Mereka tidak berani menatap wajah-wajah orang Kabuyutan Randumalang yang marah, meskipun akhirnya mereka tidak berbuat apa-apa. Demikianlah, akhirnya kedua orang itu pun telah memasuki halaman Kabuyutan. Tetapi mereka tidak langsung dibawa ke pendapa. Tetapi mereka telah dibawa ke gandok sebelah kanan.
“Biarlah mereka berada di gandok” berkata Ki Buyut, “kita akan berbicara di pendapa”
“Tetapi keduanya perlu mendapat pengawasan yang kuat” berkata Mahisa Murti.
“Biarlah anak-anak muda mengawasinya” jawab Ki Buyut.
“Di depan dan di belakang gandok. agar mereka tidak melarikan diri dengan memecah dinding di belakang, atau meloncat lewat bumbungan” Mahisa Pukat melanjutkan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara kedua orang itu mencoba menatap wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ketika mereka membentur pandangan kedua anak muda itu, maka mereka pun telah menundukkan wajah mereka, meskipun mereka harus mengumpat di dalam hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian membawa keduanya memasuki gandok. Sementara itu Ki Buyut talah menyerahkan pengawasan kedua orang itu kepada Ki Jagabaya.
“Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya” berkata Ki Buyut.
“Baiklah Ki Buyut” jawab Ki Jagabaya, “aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya atas kedua orang itu. Anak-anak muda akan menjaga mereka di depan dan di belakang."
“Berapa orang yang akan kau siapkan?” bertanya Ki Buyut.
“Dua di belakang dan dua di depan” jawab Ki Jagabaya.
Ki Buyut mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Agni. berkata, “Jangan salah menilai orang-orang itu Ki Jagabaya. Sebaiknya Ki Jagabaya mengerahkan orang lima kali lipat”
“Duapuluh orang?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Sepuluh di depan dan sepuluh di belakang” jawab Mahisa Agni, “itupun mereka harus dengan cepat mamberikan isyarat seandainya kedua orang itu benar-benar berusaha melepaskan diri, karena sepuluh orang anak muda itu tidak akan dapat menangkap kedua orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu”
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun Ki Buyut lah yang kemudian berkata, “Yakini kata-katanya Ki Jagabaya. Aku tahu pasti, bagaimana orang-orang berilmu tinggi itu mempergunakan ilmunya. Kerahkan anak-anak muda yang paling baik untuk membantu mengawasi orang itu. Duapuluh orang setiap kali, yang kemudian akan digantikan oleh duapuluh orang berikutnya”
Ki Jagabaya mengngguk-angguk. Namun masih terbayang pada sorot matanya sikapnya yang ragu-ragu bahwa untuk mengawasi kedua orang itu diperlukan sepuluh orang di depan dan sepuluh orang di belakang. Tetapi Ki Jagabaya tidak membantah. Ketika Ki Buyut mempersilahkan keempat orang tamunya duduk di pendapa, maka Ki Jagabaya pun telah menghubungi anak-anak muda Kabuyutan Randumalang untuk melaksanakan perintah Ki Buyut.
“Ki Buyut terlalu berhati-hati” berkata seorang anak muda.
“Ki Buyut kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sejak Kabuyutan ini dibayangi oleh ketidak tenteraman, karena dihantui oleh peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu, maka ia benar-benar menjadi seorang penakut” berkata seorang anak muda yang lain.
Ki Jagabaya tidak menyahut, ia justru telah terlibat ke dalam satu sikap yang tidak menguntungkan anak-anak muda Randumalang pada saat itu. Bahkan ia pun telah bertindak kasar terhadap anak-anak Kabuyutan itu sendiri, karena tingkah laku seseorang. Namun demikian, bagaimanapun juga, anak-anak muda itu berusaha untuk melakukannya. Dengan malas mereka telah menyusun kalompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh orang.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apabila kita mendapat kesempatan, maka sepuluh anak-anak yang berada di belakang itu tidak akan berarti apa-apa bagi kita”
“Ternyata gambaran kita tentang pangawal Kabuyutan ini keliru. Kedua anak muda yang telah mengalahkan kita itu, tentu bukan pengawal Kabuyutan ini” berkata yang lain.
“Ya. Menilik sikap dan tingkah laku mereka, maka anak-anak muda di Kabuyutan ini tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi aku yakin bahwa kedua orang anak muda itu masih ada di Kabuyutan ini. Mereka akan dapat berbuat sesuatu, jika mereka mendengar isyarat dari anak-anak muda yang sedang mengamati kita” sahut kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah kita tidak akan barusaha untuk dapat keluar dari tempat terkutuk ini”
Kawannya menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada gunanya. Terlalu banyak mata yang mengamati kita. Tetapi aku tidak tahu, apakah malam nanti, kita akan mendapat kesempatan”
“Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi atas kita sebelum malam nanti” jawab yang lain. Tetapi kemudian, “Namun demikian, ada kemungkinan bahwa kedua anak-anak muda itu akan meninggalkan tempat ini”
“Kita tidak tahu” berkata kawannya, “sebaiknya aku tidur saja sekarang”
Yang lain tidak menjawab. Ketika kawannya kemudian berbaring, maka ia pun talah duduk di sudut bersandar dinding.
Dalam pada itu, di pendapa Ki Buyut sedang berbincang-bincang dengan keempat orang tamunya. Nampaknya mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Persoalan yang mereka bicarakan menyangkut kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan Kabuyutan Randumalang.
“Kita tidak akan dapat mencegah orang-orang Kabuyutan ini berceritara tentang peristiwa yang telah terjadi ini, Ki Buyut” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Benar anak muda. Berita tentang tartangkapnya dua orang itu akan tersebar. Jika keduanya memang mempunyai kawan di sekitar tempat ini, maka kawan-kawan mereka tentu akan berbuat sesuatu untuk membebaskan mereka”
“Hal itu akan dapat menjadi bencana bagi Kabuyutan ini” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah yang membuat kami sangat prihatin” jawab Ki Buyut.
Dalam pada itu maka Mahisa Agni pun kemudian barkata, “Ki Buyut. Barangkali aku mempunyai pendapat yang dapat dipertimbangkan”
Ki Buyut memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Jika hal itu akan berakibat baik, maka aku akan mengucapkan terima kasih”
Sekilas Mahisa Agni memandang Witantra yang termangu-mangu. Kemudian katanya, “Ki Buyut. Sebenarnyalah kedua orang itu telah melakukan sesuatu yang gawat tidak saja bagi Kabuyutan ini. Meskipun untuk waktu yang panjang, namun kedua orang itu talah terlibat dalam satu usaha untuk mengguncangkan kekuasaan Singasari. Karena itu, maka aku cenderung mengatakan, bahwa kedua orang itu tentu mempunyai banyak kawan di sekitar kaki pegunungan itu”
Ki Buyut memandang wajah Mahisa Agni dengan tatapan mata yang memancarkan kecemasan hatinya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Jika damikian, apa yang dapat kami lakukan?”
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Ki Buyut. Sebenarnyalah kami memerlukan orang itu. Kami ingin membawanya ke Singasari. Mereka akan dapat memberikan beberapa keterangan yang kami perlukan, sementara itu, Kabuyutan ini akan bebas dari persoalan yang menyangkut kedua orang itu. Ki Buyut dapat mengatakan kepada orang-orang Kabuyutan ini, bahwa kami, prajurit Singasari telah menangkap kedua orang itu dan membawanya ke Singasari. Dengan demikian, maka ceritera yang akan tersebar dari mulut ke mulut, akan dilengkapi oleh keterangan itu. Jika kawan-kawannya mendengar lewat siapa pun, maka mereka tidak akan tarlalu mendendam orang-orang Kabuyutan ini. Tetapi mereka harus memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi”
“Kemungkinan yang mana Ki Sanak?” bertanya Ki Buyut.
“Jika mereka mendengar bahwa kedua kawannya talah dibawa oleh prajurit Singasari ke Singasari maka mereka dapat membayangkan, apa yang tarjadi dengan dua orang kawannya itu. Prajurit Singasari akan dapat mendengar dari keduanya, apa yang telah mereka lakukan dan dari keduanya pula akan dapat didengar keterangan tantang kawan-kawannya” jawab Mahisa Agni, “Dengan demikian, memang ada kemungkinan bahwa kawan-kawan kedua orang itu akan justru menyingkir untuk menghindarkan diri dari tangan para prajurit Singasari”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Mahisa Agni sejenak. Kemudian wajah Witantra dan kedua anak muda yang duduk sebelah menyebelah. Dengan ragu-ragu Ki Buyut itu pun kemudian berkata, “Tetapi, apakah sebenarnya memang demikian? Bahwa kalian akan membawa kadua orang itu sebagai prajurit Singasari dan akan memperlakukan sebagaimana kau katakan itu?”
“Ki Buyut” jawab Mahisa Agni, “kami akan membawa keduanya dan memperlakukan sebagaimana kami katakan. Keterangan dari meraka akan sangat penting artinya bagi kami."
Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih. Barangkali cara yang akan kita ambil ini akan bermanfaaat bagi keselamatan Kabuyutan Randumalang”
“Mudah-mudahan Ki Buyut. Tetapi Ki Buyut benar-benar harus memberitahukan kepada orang-orang Randumalang secepatnya, agar setiap ceritera yang disampaikan kepada orang lain, telah di katakan pula, bahwa keduanya akan dibawa ke Singasari” jawab Mahisa Agni kemudian.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “aku akan memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang ada di gandok. Berita ini tentu akan capat tersebar di antara mereka dan orang-orang Randumalang yang lain”
“Silakan Ki Buyut” jawab Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Buyut meninggalkan pendapa, Witantra berkata, “Tetapi ada kamungkinan lain yang dapat terjadi”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, sementara Witantra berkata selanjutnya, “Jika hal itu didengar oleh kawan-kawan mereka, maka akan ada kemungkinan kawan-kawan mereka akan menahan perjalanan kami, membawa kedua orang itu ke Singasari”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawab, “Ya. Kau benar. Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Tetapi bukankah ada lebih dari satu jalur jalan menuju ke Singasari. Mudah-mudahan kita dapat memilih jalan yang tidak mereka perhitungkan, sehingga seandainya mereka berniat untuk mencegat dan mengambil kawan-kawan mereka, maka mereka tidak akan dapat menjumpai kita di perjalanan”
Witantra mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi yang dikatakan oleh Witantra itu memang tidak mustahil terjadi. Kawan-kawan kedua orang itu akan dapat mencegat dan berusaha untuk merebut kedua orang itu, sehingga keduanya tidak sempat dibawa ke Singasari. Persoalannya bukan sekedar karena parsoalan mereka dengan gadis-gadis Randumalang. Tetapi jika keduanya dibawa ke Singasari, maka persoalan mereka yang lain, justru yang jauh lebih besar dari persoalan gadis-gadis itu, akan terungkap pula.
Sementara itu, Ki Buyut talah berada di serambi gandok. Ia pun kemudian mengatakan kepada Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang berada di serambi itu, bahwa kedua orang itu akan dibawa oleh kedua orang Singasari untuk didengar keterangan mereka tentang tugas-tugas mereka di daerah di sekitar Kabuyut an Randumalang.
“Jadi kedua orang itu tidak akan menjadi tanggungan kita lagi?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Kita akan menyerahkan mereka kepada orang-orang Singasari itu. Dengan demikian, maka kita tidak perlu bentanggung-jawab lagi. Baik mengenai pengamatannya maupun hubungannya dengan kawan-kawan mereka. Karena itu, maka setiap keterangan tentang kedua orang itu harus diberikan penjelasan, bahwa persoalan mereka sebenarnya adalah dengan orang-orang Singasari, meskipun semula menyangkut juga gadis-gadis Randumalang” barkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Tetapi apakah dengan demikian, dapat menjamin bahwa kawan-kawan mereka tidak akan mendendam lagi kepada kita?”
“Yang kita pilih adalah kemungkinan yang paling baik” jawab Ki Buyut, “bahwa kedua orang itu akan dibawa pergi, merupakan pilihan satu-satunya”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam, ia memang tidak melihat kemungkinan lain yang lebih baik. Karena itu, maka katanya kemudian, “Segalanya terserah kepada Ki Buyut!”
“Tetapi seandainya ada akibat apapun, kita bersama-sama akan mempertanggung-jawabkan” sahut Ki Buyut.
Ki Jagabaya pun mengangguk-angguk pula. Memang tidak mungkin baginya dan para bebahu yang lain untuk ingkar dari pertanggungan jawab. Demikianlah, ketika Ki Buyut kembali ke pendapa, maka keterangan itu pun memang segera tersebar. Anak-anak muda itu pun kemudian mengatakan kepada kawan-kawan mereka, bukan saja dari padukuhan induk, tatapi juga dari padukuhan-padukuhan lain dalam lingkungan Kabuyutan Randumalang.
Seperti yang diharapkan, maka jika setiap orang kemudian berbicara tentang peristiwa di pinggir sungai itu, maka mereka pun selalu mengatakan, bahwa kedua orang itu akan segera dibawa ke Singasari oleh prajurit-prajurit dalam tugas sandi mereka.
Di pendapa, Mahisa Agni dan Witantra telah mengambil satu keputusan untuk membawa kedua orang itu, di keesokan harinya ke Singasari.
“Kenapa begitu targesa-gesa?” bertanya Ki Buyut.
“Kami sudah terlalu lama pergi. Selebihnya, semakin cepat kedua orang itu menyingkir dari Kabuyutan ini, rasa-rasanya akan menjadi semakin baik” jawab Mahisa Agni.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kedua orang anak muda ini?” Bahkan anak-anak muda dari padukuhan yang bukan padukuhan induk itu pun telah diikut-sertakan.
Kedua orang kasar itupun mengumpat-umpat kasar ketika ketika mereka harus tinggal di sebuah bilik yang sempit di gandok. Pintu bilik itu telah diselarak dari luar, sementara tiga orang anak muda telah duduk di ruangan di depan bilik yang tertutup itu.
“Ada sepuluh orang yang berada di depan, termasuk anak anak yang barada di ruang depan ini dan sepuluh yang lain berada di belakang” berkata salah seorang dari keduanya.
Mahisa Agni memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil tersenyum Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Witantra sambil berkata, “Bukankah kita menyerahkan kepada keputusan mereka, apa yang akan mereka lakukan?”
Witantra pun tersenyum. Katanya, “Memang terserah kepada mereka. Mereka akan dapat mengambil keputusan” Ki Buyut masih saja termangu-mangu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab, “Paman. Sebenarnyalah bahwa kami masih ingin tinggal. Tetapi dalam keadaan yang gawat bagi paman berdua, kami ingin ikut mengantar kedua orang itu sampai ke perbatasan Kota Raja. Kami memang tidak ingin kembali ke Singasari, sebelum kami puas dengan pengembaraan kami. Tetapi kami melihat sesuatu yang penting saat ini untuk ikut bersama paman berdua”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Mahisa Agni pun berkata, “Kami sama sekali tidak berkeberatan. Terserah kepada kalian. Namun dengan pertimbangan pamanmu Witantra, ada baiknya pula jika kalian ikut mengantarkan kedua orang itu ke Singasari”
“Tetapi bagaimana dengan Kabuyutan ini? bertanya Ki Buyut, “jika kalian semuanya meninggalkan Kabuyutan ini, bukankah berarti bahwa Kabuyutan ini akan mennjadi sangat lemah dan tidak berarti sama sakali?”
“Kami tidak akan pergi terlalu lama” jawab Mahisa Murti, “Singasari tidak terlalu jauh”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang kecemasan di wajahnya. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku kira, tidak akan terjadi sesuatu di Kabuyutan ini. Jika kawan-kawan orang itu ingin berbuat sesuatu, mereka tentu akan melakukannya atas kami yang membawa kedua orang kawannya ke Singasari”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia pun merasa segan untuk menahan kedua orang anak muda itu. Seolah-olah Kabuyutan mereka targantung dari kehadiran kedua orang anak muda dari Singasari itu. Apalagi ketika Mahisa Pukat kemudian berkata,
“Ki Buyut. Menurut pengamatanku, anak-anak muda di Kabuyutan ini sudah mulai menunjukkan keberanian mereka untuk berbuat sesuatu. Biarlah mereka menjaga ketenangan Kabuyutan ini untuk satu dua hari. Sementara itu, kami akan segera kembali, meskipun kami juga tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan ini”
Ki Buyut memang tidak menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kecuali ia tidak ingin menunjukkan ketergantungan Kabuyutannya kepada kedua orang anak muda itu, maka ia pun merasa segan, justru karena ia mengetahui hubungan antara Mahisa Murti dan anak gadisnya, yang tidak lagi dapat disembunyikan. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Baiklah, anak-anak muda. Nampaknya kalian benar-benar akan mengantar kedua paman anak-anak muda yang akan membawa kedua orang itu. Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan, dan Kabuyutan ini pun tidak diganggu lagi oleh orang-orang yang tidak mengenal perabadan itu”
“Mereka memang tidak mengenal peradaban Ki Buyut” berkata Mahisa Murti, “bahkan mereka ingin menghancurkan peradaban dengan cara mereka. Hal itu akan dapat segera diketahui jika mereka telah berada di Singasari”
Demikianlah, maka kegelisahan memang telah timbul di antara kawan-kawan kedua orang itu, ketika dua orang kawannya tidak kembali kedalam sarang meraka pada saatnya. Ketika seseorang berusaha untuk mengetahui sebab-sebabnya, maka orang itu telah mandengar berita tentang dua orang yang ditangkap oleh dua orang prajurit Singasari dan yang akan membawanya besok ke Singasari.
“Gila” geram pemimpin dari orang-orang yang bersarang di hutan di lereng pegunungan, “kenapa mereka dibawa oleh dua orang prajurit Singasari”
Orang itu pun telah menceriterakan apa yang didengarnya tentang tingkah laku kedua orang kawannya itu. Lalu katanya, “Adalah satu kebetulan, bahwa di Kabuyutan itu ada prajurit Singasari”
“Gila” geram pemimpinnya, “kedua orang itu memang harus dibunuh. Kenapa kedua prajurit Singasari itu tidak membunuhnya saja”
“Mereka sengaja menangkap mereka hidup-hidup. Mungkin para prajurit Singasari itu sudah mencium tugas-tugas kita disini, sehingga kedua orang kawan kita yang tertangkap itu akan dapat memberikan lebih banyak keterangan tentang kita” berkata orang yang mendengar tingkah laku kedua kawannya itu dari orang-orang Kabuyutan.
“Kapan orang-orang itu akan kembali ke Singasari?” bertanya pemimpinnya.
Menurut pendengaranku, segera. Kabar terakhirnya mengatakan, bahwa besok mereka akan berangkat ke Singasari” jawab orang yang mendapat katerangan itu.
“Kita akan mencegatnya” berkata pemimpinnya, “Kita akan mengambil kembali kedua orang itu. Jika gagal, biarlah keduanya itu mati saja, sehingga dari mulut mereka tidak akan lagi keluar keterangan yang akan dapat menjerat leher kita disini, sementara tugas kita sama sekali belum dapat kita lakukan. Dengan demikian, kita akan kehilangan nilai perjanjian yang telah kita setujui yang akan mamberikan hasil yang sangat menguntungkan bagi kita”
“Aku sependapat” berkata seorang kawannya, “kita akan mencegat orang-orang Singasari itu dan kita akan mengambil atau membunuh sama sekali kedua orang kawan kita yang tidak tahu diri itu”
Dengan demikian, maka sekelompok orang-orang kasar yang berada di daerah hutan di lereng pegunungan itu, telah mengambil satu keputusan. Namun mereka masih membicarakan, dimana mereka akan mencegat orang-orang Singasari itu.
“Tidak hanya satu jalan menuju ke Singasari” berkata pemimpin mereka.
“Ya. Mereka dapat mengambil jalan yang tidak kita duga. Sementara itu, kita tidak mampunyai cukup tenaga untuk memecah orang-orang kita” berkata kawannya.
“Sepuluh orang akan dapat dibagi menjadi dua” berkata seorang bertubuh gemuk.
“Kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan” jawab pemimpinnya, “kita tidak yakin, apakah lima orang kita akan dapat melawan dua orang prajurit Singasari dan mungkin ada orang yang akan menyertai mereka.”
“Ya. Dua orang anak muda yang agaknya juga orang-orang Singasari itu akan pergi bersama kedua orang prajurit itu” berkata orang yang mendapatkan keterangan tantang kedua kawannya yang tertangkap.
“Dua orang anak muda itu harus kita perhitungkan pula” berkata pemimpinnya, “karena itu, kita akan bersepuluh. Dua orang akan tetap berada di sarang kita”
“Ya. Tetapi dimana?” bertanya yang lain.
Pemimpinnya tarmangu-mangu. Dimana mereka akan melakukannya. Tidak hanya ada satu jalur menuju ke Singasari. Namun akhirnya pemimpinnya itu berkata, “Kita akan mencegatnya sebelum mereka sempat memilih jalan. Demikian mereka keluar dari Kabuyutan, kita akan menemui mereka di bulak panjang di sebelah Kabuyutan itu”
“Terlalu dekat” desis salah seorang diantara mereka.
“Aku tidak peduli. Orang-orang Kabuyutan itu tentu tidak akan berani ikut campur. Jika mareka benar-benar ikut campur, kita akan membinasakan mereka. Kabuyutan itu akan menjadi karang abang”
Orang-orang yang mendengar penjelasan itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak terlalu banyak memperhitungkan orang-orang Kabuyutan di sekitar sarang mereka, karena menurut pendapat mereka, orang-orang Kabuyutan itu tidak akan berarti apa-apa.
Ternyata orang-orang yang berbincang itu telah mengambil keputusan sebagaimana dikatakan oleh pemimpinnya. Sepuluh orang akan mencegat orang-orang Singasari itu. Jika mereka gagal mengambil kedua orang kawannya, meka kedua orang itu akan dibinasakan saja.
Demikianlah, maka orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Pagi-pagi benar mereka harus sudah berada di bulak panjang, di luar Kabuyutan Randumalang. Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi cemas, seandainya orang-orang Randumalang mengetahui apa yang akan mereka lakukan.
Dalam pada itu, sebagaimana direncanakan, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah bersiap pula ketika langit menjaui merah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membenahi diri pula. Sementara itu, para pembantu Ki Buyut telah menyediakan minuman dan makanan panas, karena mereka telah mendapat perintah dari Ki Buyut menyediakannya menjelang keberangkatan tamu-tamunya ke Singasari.
Dalam waktu yang singkat itu, Mahisa Murti masih memerlukan menjumpai Widati untuk minta diri. Ki Buyut yang melihat pertemuan itu, sama sekali tidak mengganggunya. Ia tidak lagi melarang anaknya berhubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika semula Ki Buyut masih membatasi hubungan anaknya dengan anak muda itu, karena Ki Buyut sama sekali belum mendapat gambaran, siapakah sebenarnya Mahisa Murti itu.
Terasa betapa beratnya Widati melepaskan Mahisa Murti. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain. Ia memang harus melepas Mahisa Murti meninggalkannya. Jika tidak pada hari itu, namun pada saat yang lainpun Mahisa Murti tentu akan pergi. Meskipun demikian, Widati masih tetap berpengharapan, bahwa pada suatu saat Mahisa Murti itu akan kembali lagi kepadanya.
Demikianlah, ketika matahari muncul di cakrawala, Mahisa Agni dan Witatra telah minta diri untuk pergi ke Singasari bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, dengan membawa dua orang tawanan yang telah berhasil ditangkap oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setelah mereka makan pagi, maka mereka pun segera berkemas. Kuda-kuda yang akan mereka pergunakan pun telah siap pula di halaman. Enam ekor kuda.
Sejenak kemudian, maka mereka pun mulai bergerak meninggalkan rumah Ki Buyut Randumalang. Dengan berat hati, Ki Buyut telah melepaskan mereka sampai ke regol halaman. Demikian pula dengan anak gadisnya. Widatipun berada di regol pula ketika iring-iringan kecil itu meninggalkan rumahnya.
Dengan dilepas oleh beberapa orang penghuni Kabuyutan Randumalang di regol rumah masing-masing, maka iring-iringan itu pun bergerak semakin lama semakin cepat, lika mereka berkuda di bulak-bulak di antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, maka kuda-kuda mereka pun berlari lebih cepat. Tetapi jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan, maka mereka memperlambat derap kaki kuda mereka.
Dalam pada itu, maka kedua orang tawanan itu pun benar-benar merasa tersiksa. Meskipun mereka sama sekali tidak diikat dan diperlakukan sebagai tawanan, namun mereka mengerti, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu pun telah sampai ke padukuhan terakhir dalam lingkungan Kabuyutan Randumalang. Sebentar lagi, mereka akan keluar dari Kabuyutan itu dan memasuki satu bulak panjang, sebelum mereka akan sampai ke padukuhan pertama dari Kabuyutan tetangga.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terbersit satu dugaan pada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa satu kemungkinan dapat terjadi, bahwa orang-orang yang akan mengambil kembali kedua orang tawanan itu jika ada, justru akan menunggu di satu tempat sebelum mereka sampai kepada satu kemungkinan memilih jalan yang menuju ke Singasari.
“Aku kira mereka memang mempunyai sejumlah kawan” desis Witantra.
“Ya” jawab Mahisa Agni, “kemungkinan kawan-kawannya akan mengambil satu tindakan memang besar. Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang mengatakan, bahwa mereka masih mempunyai kawan-kawan yang mungkin sekali akan berbuat sesuatu”
Witantra mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling dilihatnya kedua orang yang berkuda di belakangnya memandanginya. Agaknya mereka mendengar percakapan antara Mahisa Agni dan Witantra itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni dan Witantra memang tidak merahasiakan percakapannya. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian bertanya, “Ada berapa orang jumlah kawan-kawanmu?”
“Banyak Ki Sanak” jawab salah seorang dari mereka, “kami terdiri dari satu lingkungan yang terdiri dari banyak sekali orang”
“Jangan mengada-ada. Apakah kau bersedia menyebut, berapa orang kawanmu?” bertanya Witantra kemudian.
Kedua orang itu termangu-mangu. Apa niat mereka untuk berbohong dengan menyebut jumlah yang besar. Tetapi mereka masih juga ragu-ragu.
“Sebut,“ tiba-tiba saja Mahisa Pukat yang ada di belakangnya membentak.
Kedua orang itu terkejut. Hampir berbareng mereka menyebut satu jumlah. Tetapi jumlah itu ternyata jauh berbeda. Seorang di antara mereka mengatakan, bahwa kawannya berjumlah seratus lebih. Sementara yang lain hanya menyebut duapuluh lima.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kalian membicarakan lebih dahulu sebelum berbohong. Berapa orang kalian akan menyebut jumlah kawan-kawan mereka. Baru setelah kalian sepakat, kalian dapat mengatakannya”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut lagi.
Demikianlah iring-iringan itu telah sampai di ujung padukuhan terakhir dari Kabuyutan Randumalang. Sesaat kemudian, maka mereka telah meninggalkan regol padukuhan. memasuki sebuah bulak yang sangat panjang. Bulak yang separuh digarap oleh orang-orang Randumalang dan yang separuh oleh orang-orang di Kabuyutan tetangga.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di paling depan telah memperlambat laju kuda mereka. Sambil memandangi bulak panjang itu. Mahisa Agni berkata, “Di seberang padukuhan di ujung bulak panjang ini terdapat jalan yang bercabang. Kita akan dapat memilih salah satu dari keduanya. Dan kita akan dapat mencapai Singasari dengan pedalaman pengembaraan kita”
“Ya” jawab Witantra, “aku sependapat, bahwa kita memang harus berhati-hati”
Sambil berpaling kepada kedua orang tawanannya Mahisa Agni berkata, “Kalian pun harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, mungkin di bulak panjang ini, tetapi mungkin juga di tempat lain, atau bahkan kita tidak akan bertemu dengan kawan-kawanmu, namun kita memang harus bersedia”
“Apa yang harus kami lakukan, jika kawan-kawan kami benar-benar akan mencegat perjalananku ini” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tidak apa-apa. Justru kalian harus tidak berbuat apa-apa” jawab Mahisa Agni, “sebab, jika kalian ikut campur, maka kalian dapat mengalami nasib yang tidak menyenangkan mendesak, kami dapat berbuat kasar”
Kedua orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu kuda mereka berderap di jalan yang berdebu. Meskipun hari masih pagi, namun kaki-kaki kuda itu telah melepaskan debu yang putih mengepul. Namun sejenak kemudian larut oleh angin yang bertiup dari arah pegunungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di depan memang menjadi sangat berhati-hati. Naluri pengembaraan mereka seakan-akan sudah memberitahukan, bahwa ada sesuatu di hadapan mereka, di tengah-tengah bulak panjang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berkuda di paling belakang agaknya masih meragukan, bahwa kawan-kawan kedua orang itu akan mengganggu perjalanan mereka. “Mungkin keduanya tidak mempunyai kawan sama sekali” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan peringatan yang diberikan oleh kedua pamannya yang berkuda di paling depan.
Dalam pada itu, matahari yang memanjat kaki langit sinarnya terasa hangat di segarnya udara pagi. Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menengadahkan wajah mereka, memandang sekelompok burung bangau yang terbang beriringan dari Tenggara.
“Daerah ini termasuk daerah yang subur” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tetapi jika bukit-bukit itu menjadi gundul, maka daerah ini akan segera menjadi gersang. Di musim hujan, banjir akan melanda padukuhan dan sawah-sawah. Sungai akan meluap karena tidak dapat menampung arus air dari pegunungan. Di musim kering sungai-sungai akan menjadi kering karena di pegunungan yang gundul tidak dapat menyimpan air”
“Satu usaha yang terkutuk” sahut Mahisa Murti, “karena itu, maka hal ini harus didengar oleh para pemimpin di Singasari”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dipandanginya kedua orang tawanannya yang berkuda di depannya. “Meskipun demikian, mungkin kita akan dapat menelusuri lewat orang-orang itu sampai akhirnya kita menemukan orang yang memegang kendali atas rencana mereka” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu kuda-kuda itu pun berderap semakin jauh dari padukuhan terakhir dari Kabuyutan Randumalang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra merasakan sesuatu yang kurang wajar dihadapan mereka. Dua orang di bawah sebatang pohon yang tidak terlalu rimbun. Tentu bukan pengembara yang sedang beristirahat, karena hari masih belum terlalu panas. Juga bukan petani yang duduk menunggu giliran mendapatkan air bagi sawah mereka, karena parit mengalir deras di tepi jalan yang mereka lalui. Apalagi ketika keduanya melihat bahwa seorang di antara keduanya bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam satu tikungan yang dibayangi oleh pohon jarak kepyar yang tumbuh di sudut tikungan.
Keduanya tanpa berjanji telah memperlambat kuda mereka. Bahkan kemudian Mahisa Agni berpaling sambil berkata, “Berhati-hatilah. Kita akan sampai ke satu tikungan yang perlu mendapat perhatian”
Kedua orang tawanan itu menjadi tegang. Namun terbersit harapan, bahwa kawan-kawannya benar-benar akan datang untuk membebaskan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian mendesak maju, mendekati dua orang tawanannya. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Seandainya benar kawan-kawanmu yang datang, sekali lagi aku peringatkan. Kalian jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai diri kalian sendiri”
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang berada di tikungan itu adalah kawan-kawan kedua orang tawanan yang akan membebaskannya. Namun satu pengertian, bahwa jika mereka gagal, maka kedua itu akan dibunuhnya saja.
Dalam pada itu. dua orang yang duduk di bawah pohon itu adalah orang-orang yang bertugas untuk mengamati jalan. Kawan-kawan kedua orang tawanan itu memperhitungkan, bahwa pada saat yang demikian itu, orang-orang Singasari akan lewat. Karena itu, ketika mereka melihat sebuah iring-iringan kecil orang berkuda, maka seorang diantara kedua orang yang menunggu di pinggir jalan itu segera memberitahukan kepada kawan-kawan mereka.
“Berapa orang?” bertanya pemimpinnya yang duduk di bawah sebatang pohon kepyar yang rimbun.
“Enam orang” jawab pengamat itu, “dua diantara mereka tentu kawan-kawan kita yang tertawan itu”
Pemimpin mereka itu pun mengangguk-angguk. "Lalu bebaskan mereka, kita adalah kelinci-kelinci yang tidak berarti. Kita tidak usah membunuh kedua kawan kita. Tetapi kitalah yang sebaiknya membunuh di
ri” Kawan-kawan tidak menjawab. Tetapi mereka sadar, bahwa pemimpin mereka telah menentukan satu sikap. Mereka dapat merebut kedua orang kawan mereka. Itu berarti bahwa mereka harus dapat membinasakan keempat orang singasari yang membawa kedua orang kawan mereka itu.
“Kita tidak memerlukan seorang tawanan pun. Karena itu, maka ke empat orang itu harus kita bunuh” berkata pemimpin mereka.
Orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Ketika orang yang menunggu di pinggir jalan itu memberikan satu isyarat bunyi, maka sembilan orang yang lain serentak telah berdiri dan melangkah ke tikungan.
Mahisa Agni dan Witantra yang berada di paling depan telah menarik kendali kuda mereka, sehingga kuda itupun berhenti. Dengan wajah tegang, Mahisa Agni dan Witantra memandangi kesepuluh orang yang berada di tikungan itu.
Seorang di antara kesepuluh orang itupun melangkah maju. Sejenak dipandanginya kedua orang kawannya yang berkuda di belakang dua orang Singasari yang sudah lewat setengah umur, sementara dua orang anak-anak muda berkuda di belakang mereka. Kedua orang berkuda itu tersenyum. Tanpa disadari, seorang di antara mereka pun berpaling memandangi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menggeram. Terdengar ia berdesis, “Ingat. Jika kau berbuat sesuatu, maka nasibmu akan terhenti di sini. Akan dapat membunuh kalian dengan cara apapun juga”
Tetapi orang itu tersenyum semakin lebar. Namun ia sama sekali tidak menjawab. Namun demikian, kesan yang menyentuh perasaan Mahisa Pukat membuatnya harus berwaspada sepenuhnya. Nampaknya kedua orang itu tidak akan tinggal diam pada saat-saat yang menentukan.
Dalam pada itu, pemimpin orang-orang yang mencegat itu kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami minta maaf, jika kami mengganggu perjalanan kalian”
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa Ki Sanak. Agaknya Ki Sanak mempunyai satu keperluan yang barangkali kami dapat membantunya”
“Ya Ki Sanak. Aku kira kalian akan dapat membantu kami” jawab pemimpin dari orang-orang yang mencegat itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk Dengan nada datar ia bertanya, “Apa yang dapat kami lakukan?”
“Ki Sanak” berkata pemimpin orang-orang yang memcegat itu, “ketahuilah, bahwa dua orang yang sekarang berkuda di belakang Ki Sanak itu adalah kawan-kawanku. Menurut pendengaranku, mereka akan kalian ajak pergi ke Singasari. Bahkan kalian telah memperlakukan mereka sebagai tawanan”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kau benar. Kedua orang yang kau sebut sebagai kawanmu ini memang dua orang tawanan kami yang akan kami bawa ke Singasari. Kami adalah petugas-petugas dari Singasari yang secara kebetulan menemukan mereka sedang melakukan satu kesalahan yang sangat mengganggu, sehingga kami memutuskan untuk membawa mereka ke Singasari”
“Apakah kesalahan mereka?” bertanya pemimpin kelompok yang mencegat iring-iringan itu
“Apakah kalian belum mengetahui?” bertanya Mahisa Agni.
“Sebetulnya. Apakah pendengaranku sesuai dengan pendapatmu” jawab pemimpin kelompok itu.
“Mereka telah merampas kebebasan dua orang gadis dari padukuhan Randumalang. Orang-orang Randumalang sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya, sehingga kami yang kebetulan sedang beristirahat di Kabuyutan itu dalam perjalanan kami kembali ke Singasari, telah menangkap kedua orang itu” jawab Mahisa Agni.
“Hanya itu?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Ya. Apalagi?” bertanya Mahisa Agni.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Apakah kalian tidak melihat persoalan lain pada kedua orang kawan kami itu?”
“Persoalan apa? Kami hanya melihat keduanya berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Dan kami telah menangkap mereka,” jawab Mahisa Agni.
“Jika hanya itu, kenapa kalian bersusah payah membawa mereka ke Singasari?” bertanya pemimpin kelompok itu pula.
“Lalu, harus kami bawa kemana?” Mahisa Agni justru ganti bertanya, “kami adalah prajurit Singasari. Bukan pengawal yang bertugas di Kediri. Bukan pula pengawal dari salah satu Pakuwon dan yang membawahi Kabuyutan Randumalang”
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, salah seorang dari kedua tawanan itu tiba-tiba saja berkata, “Mereka ingin mengetahui, apa yang kita lakukan di sini. Karena itu, mereka menangkap kami”
Semua orang yang ada di tempat itu berpaling kepada tawanan yang menyahut pertanyaan pemimpinnya itu. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat telah membentaknya, “Diam kau”
Tetapi orang itu tersenyum, “Baiklah kita sekarang melihat kenyataan yang kita hadapi. Kawan-kawanku telah datang untuk membebaskan aku. Mereka tentu tidak akan membiarkan aku kalian bawa ke Singasari dan kalian paksa dengan segala cara untuk mengatakan, apa kerjaku di sekitar Kabuyutan Randumalang ini”
Hampir saja Mahisa Pukat menyerang orang itu. Tetapi Mahisa Murti sempat mencegahnya. Katanya, “Biarkan saja apa yang dikatakannya. Biarlah paman Mahisa Agni dan paman Witantra mengambil keputusan, sikap apakah yang harus kita lakukan”
“Ternyata kau lebih bijaksana anak muda” berkata orang itu.
“Aku memang ingin bersikap bijaksana seperti yang kau katakan, karena aku yakin, bahwa kami akan dapat berbuat apa saja yang kami kehendaki atas kalian” jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu pemimpinnya menyahut, “Kau terlalu sombong anak muda. Jauh lebih sombong dari anak muda pemarah itu. Tetapi baiklah, aku ingin mengatakan sebagaimana sudah dikatakan oleh kawanku yang kau tawan itu. Kami ingin membebaskan mereka. Mungkin dengan satu perjanjian. Tetapi mungkin kalian akan merelakannya begitu saja. Karena sebenarnyalah kalian memang sudah tidak mempunyai pilihan apapun juga”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni, “bukankah kami wenang untuk memilih banyak kemungkinan, “Memang satu diantaranya adalah menyerahkan tawanan kami kepada kalian. Tetapi kami dapat memilih yang lain? Kami dapat memilih untuk tetap membawa mereka ke Singasari. Atau bahkan kami dapat memilih yang lebih buruk dari itu. Membunuh mereka berdua misalnya”
“Jangan mengada-ada Ki Sanak” jawab pemimpin kelompok itu, “aku berusaha untuk tetap bersabar menghadapi kalian. Kami memang ingin membebaskan kedua orang kawan kami dengan cara yang paling baik. Tetapi jika kalian masih tetap dalam kesombongan kalian, maka mungkin aku akan kehilangan kesabaran dan mengambil sikap yang kasar. Karena sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang yang kasar dan tidak mengenal belas kasihan”
“Aku tahu. Contohnya adalah kedua orang kawanmu yang telah kami tangkap. Mereka memang tidak mengenal belas kasihan. Apalagi terhadap gadis-gadis kecil dari Kabuyutan Randumalang”
Terdengar pemimpin kelompok itu menggertakkan giginya. Sementara itu seorang yang berdiri di belakangnya menggeram, “Tidak ada gunanya untuk berbicara lebih panjang. Kita binasakan saja mereka, dan kita ambil kawan-kawan kita”
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika mereka benar-benar tidak mau bersikap lebih baik, kita akan membinasakan mereka, dan bukan saja mengambil kawan-kawan kita. Tetapi kita akan mendapat kuda yang tegar dan kuat. Kuda yang tentu cukup mahal harganya”
“Ki Sanak” berkata Witantra kemudian, “nampaknya kalian memang akan mempergunakan kekerasan. Tetapi sebaiknya kalian berpikir ulang. Kami adalah prajurit Singasari. Kami memiliki pengalaman berperang dan sudah barang tentu kami tidak akan dapat kalian takut-takuti dengan cara apapun juga. Karena itu, sebaiknya kalian minggir saja. Relakan kedua orang kawan kalian yang telah mencemarkan nama baik kelompok kalian. Tanpa kedua orang ini mungkin kedudukan kalian akan menjadi lebih aman, karena prajurit Singasari berikutnya tidak selalu mengejar-ngejar kalian. Bukankah kalian menyadari bahwa jika kami tidak kembali berarti Singasari akan menggerakkan prajuritnya lebih banyak dan lebih bersungguh-sungguh”
Kata-kata itu memang menyentuh perasaan pemimpin kelompok itu sehingga iapun telah merenunginya. Namun seorang yang berdiri di belakangnya berkata, “Kaulah yang ingin menakut-nakuti kami. Jika kalian mempunyai pengalaman bertempur, kamipun mempunyai pengalaman yang barangkali justru lebih luas dari pengalaman kalian. Sementara itu, jika mayat kalian tidak diketemukan oleh siapapun juga, maka tidak seorang pun yang akan dapat mengatakan, bahwa kalian telah mati di bulak ini, dan prajurit Singasari tidak akan dapat mencari siapakah yang bertanggung jawab atas kematian kalian”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Minggirlah. Kami tetap dalam pendirian kami”
“Bukankah tidak ada gunanya untuk berbicara?” sahut seorang yang bertubuh tinggi.
Pemimpin kelompok itu pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya, “Bersiaplah. Kita akan bertempur”
Beberapa orangpun kemudian telah memencar. Sementara itu. kedua orang tawanan yang berada di antara Mahisa Agni dan Witantra serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu, telah bersiap-siap pula. Namun mereka terkejut tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di samping mereka.
“Sekali lagi aku peringatkan, jangan berbuat sesuatu” berkata Mahisa Murti.
Wajah orang itu menjadi tegang. Terasa ujung pedang kedua anak muda itu telah menyentuh pinggangnya. Tetapi salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Kau tidak akan berani membunuh kami. Dengan demikian, nasib kalian akan menjadi sangat buruk. Kawan-kawan kami yang marah akan memperlakukan kalian di luar segala macam sikap yang pernah kau pikirkan”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi merah. Merekapun hampir kehilangan kesabaran mereka. Namun dalam pada itu, mereka masih berusaha menahan diri. Namun Mahisa Pukat menggeram sambil menekankan pedangnya, “Kau kira mereka akan dapat membunuh kami!?”
“Jumlah kalian jauh lebih sedikit dari jumlah kawan-kawan kami. Sementara itu, beberapa orang di antara kawan-kawan kami ittu memiliki kemampuan di atas kemampuan kami, sehingga dengan demikian, mereka yang jumlahnya sepuluh orang itu akan dengan mudah membunuh kalian berdua. Selebihnya dua orang pamanmu itu tidak akan berdaya apa-apa” jawab salah seorang dari kedua orang tawanan itu."
Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba saja tangannya menyambar tengkuk orang itu sambil berkata, “Diamlah orang gila”
Sentuhan tangan Mahisa Pukat benar-benar telah membuat orang itu diam. Bahkan orang itu telah kehilangan kesadarannya, sehingga ia telah terkulai di punggung kudanya.
“Gila” geram kawannya” Kau membunuh kawan kami he?”
“Tidak. Aku hanya membungkamnya untuk sementara” jawab Mahisa Pukat.
Orang itulah hampir saja berteriak mengumpat. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian memukul tengkuknya sehingga orang itu pun menjadi pingsan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera meloncat turun dari kuda mereka. Tanpa menghiraukan orang-orang yang telah berpencar itu, mereka menambatkan kuda mereka, dan kuda kedua orang yang telah pingsan itu.
Pada saat sepuluh orang yang mencegat iring-iringan di tengah-tengah bulak itu akan bergerak, pemimpinnya berdesis, “tunggu. Apa yang akan mereka lakukan atas kawan-kawan kita yang sudah terlanjur pingsan itu”
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membaringkan keduanya di atas rerumputan setelah mereka mengambil keduanya dari atas punggung kuda masing-masing.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mencegat perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian berkata, ”mereka masih belum mati. Tetapi ketahuilah bahwa mereka memang tidak terlalu berharga buat kami. Karena itu, seandainya mereka matipun kami tidak akan merasa kehilangan”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian bertanya, “Jadi buat apa kalian ingin menyelamatkannya, jika mereka tidak cukup berharga buat kalian. Apa lagi kalian masih harus mempertaruhkan nyawa kalian”
“Persetan” bentak pemimpin kelompok itu, “siapa yang mempertaruhkan nyawa untuk tikus-tikus kecil itu. Kau sangka bahwa kalian berempat dapat berbuat sesuatu atas kami?”
Mahisa Pukat benar-benar menjadi muak menghadapi orang-orang itu, sehingga iapun kemudian menjawab, “Kami akan membunuh kalian, bukan kalian akan membunuh kami”
Dalam pada itu, orang bertubuh tinggi di antara kelompok itupun menyahut hampir berteriak, “Cukup. Kita tidak perlu berbicara terlalu banyak”
“Baiklah” berkata pemimpinnya. Namun ia masih, berkata, “Tetapi biarlah mereka menyadari kesia-siaan kerja, mereka. Orang-orang itu memang tidak berharga bagi kami. Jika kami gagal membebaskan mereka, maka biarlah mereka akan kami bunuh saja”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Dalam pada itu Witantra pun berkata, “Kau ingin menghilangkan jejak?”
“Ya. Ada dua cara yang dapat kami tempuh. Membunuh kalian, dan membebaskan kawan-kawan kami, atau jika kalian sempat mempertahankan diri, maka kedua orang itulah yang akan kami bunuh” Jawab pemimpin kelompok itu, “tetapi satu hal yang harus kalian perhitungkan. Kalian akan menghadapi kekuatan yang tidak mungkin kalian lawan. Karena itu, maka lebih baik kalian memperhitungkannya dengan cermat”
“Sekali lagi aku tegaskan” jawab Mahisa Agni, “kami tetap dalam pendirian kami”
Pemimpin kelompok itu benar-benar telah kehilangan kesabaran mereka. Dengan satu isyarat, maka sepuluh orang itu pun segera mengepung empat orang yang menyebut diri mereka prajurit-prajurit Singasari itu.
Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Mereka pun segera bersiap di seputar kedua orang yang terbaring diam setelah Mahisa Agni dan Witantra mengikat mereka pula. Kepungan kesepuluh orang itu pun menjadi semakin lama semakin rapat. Beberapa orang di antara mereka telah mengacukan senjata-senjata mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menggenggam pedang masing-masing. Dengan tegang mereka menunggu orang-orang itu datang menyerangnya.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu telah mendahului kawan-kawannya menyerang Mahisa Agni. Senjatanya terjulur lurus ke dada Mahisa Agni yang siap menangkisnya. Sehingga dengan demikian, maka ujung senjata itu sama sekali tidak mengenai lawannya. Tetapi pemimpin kelompok itu memang tidak ingin melukai lawannya pada serangan pertama. Ia hanya sekedar memberikan perintah kepada kawan-kawannya agar mereka mulai menyerang.
Sebenarnyalah, sesaat kemudian maka kesepuluh orang itupun telah menjulurkan senjata mereka bersama-sama. Namun dalam pada itu, Mahhisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia melihat senjata-senjata yang teracu kepada mereka, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun demikian, keduanya tidak mengabaikan ketika mereka mendengar Mahisa Agni berdesis , “Hati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya”
Sebenarnyalah kesepuluh orang itu merupakan orang-orang yang berbahaya. Ketika mulai menyerang, maka kesepuluh orang itu telah berusaha untuk membuat keempat orang yang mereka kepung itu menjadi bingung. Berganti-ganti mereka meloncat menyerang, semakin lama semakin cepat, sehingga sejenak kemudian, maka kesepuluh orang itu telah menyerang berganti-ganti berurut-urutan seperti gelombang yang didorong oleh badai menghantam tebing.
Dengan penuh keyakinan, mereka berharap bahwa dalam waktu yang singkat mereka akan berhasil melumpuhkan keempat orang yang menyebut diri mereka, prajurit-prajurit Singasari itu. Tetapi ternyata yang mereka hadapi adalah Mahisa Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra. Karena itu. maka pada putaran pertama dari cara mereka menyerang keempat orang itu sudah mulai terasa, bahwa yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Justru karena itu, maka pemimpin mereka telah memberikan isyarat, agar orang-orangnya menjadi semakin berhati-hati.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Orang-orang itu berloncatan menyerang berganti-ganti. Beruntun tidak henti-hentinya. Namun demikian serangan mereka hampir tidak berarti sama sekali. Setiap kali senjata mereka yang terjulur, seolah-olah telah membentur dinding yang memagari Keempat orang itu dengan tangkisan-tangkisan yang cepat. Bahkan kadang-kadang terasa, tangan mereka menjadi pedih jika terjadi benturan yang keras.
Karena itu, maka pemimpin mereka menganggap bahwa cara itu tidak akan segera dapat mengatasi keadaan. Mereka tidak akan segera dapat membunuh keempat orang itu, atau melukainya. Sejenak kemudian, terdengar isyarat dari pemimpin orang-orang yang mengepung keempat orang itu. Mahisa Agni, Witantra dan kedua anak Mahendra itu pun segera dapat mengetahuinya, bahwa akan terjadi satu perubahan dalam tata gerak kesepuluh orang lawannya itu.
Sebenarnyalah, kesepuluh orang itu pun segera berloncatan mundur. Untuk seesaat, pertempuran itu memang terhenti. Namun dalam pada itu, keempat orang yang berada dalam kepungan itu segera melihat, bahwa kesepuluh orang itu telah membuat satu cara yang lain untuk melawan mereka. Dengan berdebar-debar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kesepuluh orang itu telah terpecah dan membuat kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi mereka.
“Satu cara yang lain” desis Mahisa Pukat.
Nampak baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Murti menganggap bahwa cara itu adalah cara yang paling wajar untuk bertempur menghadapi lawan yang sedikit jumlahnya. Meskipun dengan demikian mereka berharap bahwa mereka akan dapat mengalahkan lawan mereka seorang demi seorang.
Sebenarnyalah dalam pada itu, pemimpin kelompok itu pun berkata, “Sekarang kami bersungguh-sungguh setelah kami mencoba untuk memberi kesempatan kepada kalian menyerah. Jangan menyesal bahwa kalian akan mati terbunuh. Seorang saja di antara kalian kami habisi, maka beruntun yang lain pun akan segera menyusul”
“Kami menyadari” jawab Mahisa Agni, ”tetapi untuk membunuh seorang diantara kami, bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena telah menjadi naluri seseorang, bahwa ia akan mempertahankan hidupnya sejauh dapat dilakukan”
“Tetapi usaha kalian akan sia-sia” berkata pemimpin mereka, “tetapi jika kalian ingin mati jantan dengan pedang di tangan, kamipun tidak akan berkeberatan”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah Witantra. maka Witantra pun memandanginya. Ketika Witantra mengangguk kecil, maka Mahisa Agni pun telah mengangguk pula. Agaknya keduanya telah sepakat untuk segera menghalau orang-orang itu, meskipun mereka menyadari, bahwa mereka harus bekerja keras. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi untunglah, bahwa kesepuluh orang itu telah berdiri dalam kelompok-kelompok yang tidak sangat membahayakan bagi kedua anak muda itu, meskipun keduanya harus bekerja berat untuk bertahan sampai saatnya Mahisa Agni dan Witantra dapat membantu mereka.
Kesepuluh orang itu telah terbagi dalam ampat kelompok. Masing-masing tiga orang yang berdiri berhadapan dengan Mahisa Agni dan Witantra. Kemudian untuk menghadapi dua orang anak muda anak Mahendra itu, empat orang yang tersisa telah membagi diri pula. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra harus berhadapan masing-masing dengan tiga orang, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menghadapi masing-masing dua orang.
“Apakah kalian tetap pada pendirian kalian?” pemimpin kelompok itu masih bertanya.
“Ya” Mahisa Agnilah yang menjawab.
Pemimpin kelompok itu menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar ia meneriakkan aba-aba, sekaligus meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya terjulur lurus kearah jantung Mahisa Agni. Tetapi serangan itu tidak berarti apa-apa. Namun demikian, serangan-serangan yang lain pun segera menyusulnya. Seperti juga kelompok-kelompok yang berhadapan dengan Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah terjadi di empat lingkaran. Di luar sadar mereka yang sedang bertempur itu. maka setiap lingkaran telah mengambil jarak dari lingkaran pertempuran yang lain. Mahisa Agni yang bergeser ke sawah telah bertempur di antara tanaman yang sedang tumbuh. Batang-batang padi yang hijau telah terinjak-injak oleh kaki mereka yang sedang bertaruh nyawa. Sementara itu, seorang dari ketiga lawannya adalah pemimpin kelompok yang garang.
Dalam pada itu. Witantra telah bertempur melawan tiga orang pula. Tetapi mereka tetap bertempur di jalan simpang. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun ke tanah persawahan pula. di seberang menyeberang jalan. Mereka pun telah menginjak-injak tanaman yang tumbuh dengan suburnya. Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus mempertahankan hidup mereka, sehingga karena itu, maka mereka terpaksa mengorbankan tanaman yang hijau di tanah persawahan itu.
Dalam pada itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, mulai terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa untuk melawan masing-masing dua orang, ternyata mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Seperti dua orang yang tidak sadarkan diri dan terbaring diam itu, maka orang-orang yang bertempur berpasangan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, sebagaimana melawan dua orang yang terbaring itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat merasa, betapa tekanan-tekanan yang berat mulai menggetarkan pertahanan mereka.
Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka sadar bahwa mereka memang harus mengerahkan segenap kemampuan. Mereka harus mempergunakan nalar dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan mereka menghadapi masing-masing dua orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dan Witantra melihat kesulitan yang dialami oleh kedua orang anak muda itu. Karena mereka pun telah melihat kemampuan dua orang yang terbaring diam itu, dan memang mempunyai perhitungan bahwa kemampuan kawan-kawannya pun tidak akan terpaut banyak, maka keduanya pun harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya, agar kedua anak, muda itu tidak mengalami kesulitan yang lebih parah, tetapi tanpa datang membantu mereka.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahisa Murti yang harus berloncatan dengan tergesa-gesa menghindari serangan kedua orang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti itu seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk membalas serangan kedua lawannya, selain berloncatan menghindar. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah mengalami kesulitan yang sama. Betapapun ia berusaha, namun serangan lawannya yang datang beruntun telah menggetarkan pertahanannya. Sehingga karena itu, seperti Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun telah terdesak, sehingga ia terdorong semakin jauh ke tengah-tengah sawah.
Namun demikian, perlawanan kedua orang anak muda itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya. Meskipun keduanya seolah-olah hampir tidak mempunyai kesempatan, tetapi sekali-sekali kedua anak muda itu masih juga berusaha untuk menyerang dengan tiba-tiba.
Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula melawan masing-masing tiga orang. Namun berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Agni dan Witantra segera dapat menempatkan diri dalam perlawanan mereka atas ketiga orang lawan mereka. Namun demikian, tiga orang lawan itu bukannya lawan yang dapat diabaikan. Mereka bertempur dengan cepat dan kasar.
Apalagi ketika mereka bertempur semakin cepat. Setelah keringat mereka membasahi seluruh tubuh mereka, maka seolah-olah mereka tidak lagi mengekang diri untuk berbuat apa saja. Juga kekasaran dan kekerasan yang tidak terkekang. Tetapi menghadapi Mahisa Agni dan Witantra, mereka ternyata tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu telah berusaha untuk memancing perhatian Mahisa Agni. Sementara itu, seorang kawannya berusaha menyerangnya dari arah kanan. Jika ia gagal, maka kawannya yang lain akan menyerang dengan serangan yang mematikan dari arah yang lain. Namun dalam pada itu, meskipun perhatian Mahisa Agni seakan-akan telah terpancing oleh pemimpin kelompok itu, namun serangan kawannya yang pertama sama sekali tidak dapat mengenainya. Dengan cepat Mahisa Agni bergeser mengelakkan serangan itu.
Tetapi masih ada serangan yang terakhir, yang diharapkan akan dapat menghunjam ke dalam tubuhnya. Namun ketika serangan itu datang, Mahisa Agni sama sekali tidak dapat disentuhnya. Dengan tangkasnya Mahisa Agni meloncat sambil berputar. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja pedangnya telah menyambar senjata orang ketiga itu.
Kekuatan Mahisa Agni benar-benar tidak terlawan. Ternyata sambaran pedang Mahisa Agni alas senjata orang ketiga itu serasa telah mematahkan jari-jarinya. Dengan demikian, maka senjatanya telah terlepas dan terlempar beberapa langkah dari padanya. Tetapi Mahisa Agni tidak sempat memburunya. Kedua orang lawan orang itu hampir bersamaan telah menyerang dari arah yang berbeda, sehingga Mahisa Agni harus bergeser surut.
Lawannya mendapat kesempatan untuk memungut senjatanya ketika kedua orang lawannya melindunginya. Namun jari-jarinya terasa tidak lagi mampu menggenggam senjatanya seperti semula. Meskipun demikian, ketiga orang itupun kemudian masih tetap bertempur dengan gigihnya. Serangan mereka datang beruntun bagaikan ombak di lautan.
Sementara itu, Witantra pun bertempur dengan serunya. Tiga orang lawannya dengan kasar telah berusaha menyerang dari tiga arah yang berlawanan. Dengan gerakan yang cepat, mereka berusaha untuk berputar mengelilingi Witantra sambil menyerang bergantian, dari arah yang berbeda-beda. Tetapi ketiganya menjadi semakin berdebar-debar karena Witantra sama sekali tidak terpengaruh oleh tata gerak ketiga orang lawannya. Dengan tenang dan mapan ia menghadapi lawan-lawannya.
Dengan cara apapun juga, ternyata ketiga lawannya itu telah mengalami kesulitan. Bahkan dalam kemarahan yang memuncak, ketiganya telah bersepakat untuk menyerang Witantra bersama-sama dari satu arah mereka bersama-sama menjulurkan senjata mereka. Namun, meskipun Witantra hanya menggenggam sebilah pedang, tetapi rasa-rasanya pedang itu dapat berubah juga menjadi tiga yang menangkis serangan ketiga orang itu satu demi satu.
“Hantu mana yang telah masuk ke dalam dirinya” geram salah seorang dari ketiga lawannya.
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Aku ngeri terhadap hantu-hantu. Karena itu. aku sama sekali tidak berguru kepada hantu-hantu itu” Namun bagaimanapun juga, serangan ketiga orang lawannya itu pun selalu kandas oleh kecepatan gerak Witantra. Apakah ia menghindar atau menangkis serangan lawannya.
Namun dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahisa Agni tidak dapat bersikap terlalu sabar menghadapi lawan-lawan mereka yang kasar. Mereka tidak dapat membiarkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesulitan menghadapi dua orang lawan mereka yang keras daa tanpa menghiraukan cara yang mereka pergunakan. Karena itu, maka baik Mahisa Agni. maupun Witantra telah berusaha untuk dapat berbuat sesuatu secepatnya. Apalagi ketika mereka melihat kedua anak muda itu telah terpisah semakin jauh.
Witantra lah yang melawan tiga orang lawan itupun telah mengambil satu keputusan untuk berbuat lebih cepat. Karena itu, maka ia pun semakin meningkatkan ilmunya. Dengan mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya yang disalurkan lewat pedangnya, maka Witantra telah bertindak cepat.
Demikianlah, ketika ketiga orang lawannya menyerangnya beruntun, maka dengan kekuatan yang tidak terduga, Witantra telah berusaha merampas ketiga senjata lawannya. Tetapi, usahanya tidak mudah dilakukannya. Ketika orang pertama menyerangnya dengan senjata terjulur, maka Witantra telah berhasil memukul senjata lawannya, sehingga senjata itu terloncat jauh.
Namun ternyata bahwa kedua orang kawannya tidak tergesa-gesa melakukannya sebagaimana dilakukan oleh orang yang pertama. Kedua orang itu justru memencar. Mereka datang beruntun dengan sikap yang jauh lebih berhati-hati. Karena itu, maka Witantra tidak segera dapat melemparkan senjata kedua orang itu.
Namun dalam pada itu, kegelisahannya pun menjadi semakin meningkat. Mahisa Pukat telah terdesak semakin jauh. Bahkan sekilas, Witantra melihat, bahwa anak muda itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ternyata kedua lawannya memiliki sedikit kelebihan dari dua orang yang telah berbaring diam di pinggir jalan itu. Demikian juga lawan Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Murti tidak dapat mengatasi kedua lawannya, meskipun ia masih sempat meloncat-loncat menghindari serangan mereka. “Nampaknya mereka memiliki tataran yang lebih tinggi dari kedua orang yang menjadi tawanan itu” berkata Witantra di dalam hatinya.
Karena itulah, maka ia pun segera bertindak cepat, ia tidak membiarkan seorang yang senjatanya terlepas itu dapat memiliki senjatanya kembali. Karena dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi semakin panjang. Dalam kegelisahan itu, maka Witantra menjadi-kurang dapat mengendalikan diri. Ketika lawannya yang kehilangan senjatanya itu mempergunakan kesempatan, selagi Witantra melayani dua orang kawannya untuk mengambil senjatanya, maka Witantra telah berusaha mencegahnya.
Namun, selain kegelisahannya Witantra juga tergesa-gesa karena ia melihat dua orang lawannya yang lain telah bersiap. Sehingga dengan demikian, maka ia kurang dapat mengendalikan tangannya. Ketika lawannya yang seorang itu sedang berusaha meraih senjatanya, tiba-tiba saja Witantra meloncat panjang dengan kecepatan yang tidak diduga sebelumnya. Ayunan pedangnyapun ternyata kurang dikendalikannya. Dengan demikian, maka sekejap kemudian telah terdengar keluhan tertahan. Orang yang berusaha mengambil senjatanya itu telah terdorong dan jatuh terguling di tanah. Dadanya telah dikoyakkan oleh goresan senjata Witantra, sehingga darah pun telah memerah.
“Uh, gila” geram orang itu sambil menggeliat. Perasaan sakit telah menyengat kulitnya pada lukanya yang memanjang itu.
“Oh” desis Witantra, “apaboleh buat. Bukan maksudku untuk membunuhmu. Mudah-mudahan kau dapat bertahan untuk tetap hidup tanpa mengganggu perjalananku ke Singasari membawa dua orang kawanmu itu”
Tetapi luka itu terlalu lebar. Dan darahpun mengalir terlalu banyak. Meskipun demikian, orang itu masih kesakitan. Dua orang kawannya menjadi berdebar-debar. Bertiga mereka tidak berhasil mengalahkan orang itu. Apalagi hanya berdua saja. Sementara kawannya yang terluka itu benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, kedua orang lawan Witantra yang tersisa telah melihat, bahwa dua orang lawan Mahisa Pukat memiliki kelebihan dari anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang lawan Witantra itupun menganggap hahwa anak muda itu akan cukup dihadapi oleh seorang saja. Setidak-tidaknya orang itu akan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama.
Dalam pada itu, Witantra yang sudah kehilangan seorang lawannya justru semakin mempercepat tata geraknya. Ia memang berharap agar kedua lawannya yang tersisa itu memanggil kawannya yang lain untuk membantu mereka. Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu sudah tidak berdaya sama sekali menghadapi kecepatan gerak Witantra, maka seorang di antara merekapun segera memberi isyarat kepada seorang kawannya yang bertempur melawan Mahisa Pukat.
“Tunggu sebentar” teriak kawannya itu dari antara tanaman di sawah, ”aku akan segera menyelesaikan anak ini”
Namun hampir bersamaan dengan itu, Witantra mendesak kedua kawannya semakin cepat. Senjatanya berputar membingungkan. Namun Witantra masih belum mengakhiri pertempuran itu. Ia masih berharap salah seorang lawannya memanggil lagi kawannya yang bertempur melawan Mahisa pukat.
Sementara itu, Mahisa Pukat bertahan dengan sekuat tenaganya. Meskipun ia merasa tekanan lawannya menjadi semakin berat, tetapi ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang sebenarnya. Dengan loncatan-loncatan panjang ia berhasil menghindari setiap serangan, meskipun lawan-lawannya selalu mengumpannya dengan kasar.
“Pengecut” geram salah seorang lawannya, “kau hanya mampu berloncatan menghindar. Ayo, tunjukkan bahwa kau bertempur dengan jantan”
“Apakah artinya jantan menurut kalian?” bertanya Mahisa Pukat, “bertempur berdua?”
“Anak setan” geram orang itu. Sementara serangannya menjadi semakin cepat.
“Cepat. Kemari” teriak orang yang terluka itu, “kita binasakan dahulu tikus tua ini. Baru kemudian kita akan membunuh anak-anak muda itu”
Namun dalam pada itu, kedua lawan Witantra benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit. Bahkan sejenak kemudian, seorang di antara mereka telah terdorong beberapa langkah surut. Ujung senjata Witantara telah tergores di lengannya, meskipun hanya segores tipis. Kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba seorang diantara mereka berkata,
“Tinggalkan anak ini. Biarlah aku yang menyelesaikan”
Kawannya masih saja ragu-ragu. Namun ketika ia melihat kesulitan kawannya yang bertempur melawan Witantra, maka ia pun segera meninggalkan Mahisa Pukat, berlari-lari mendekati kawan-kawannya yang bertempur melawan Witantra.
Mahisa Pukat yang melihat seorang lawannya meninggalkannya, terasa ia mendapat kesempatan untuk bangkit dari kesulitannya. Bahkan hampir diluar sadarnya, iapun berkata, “Nah, sekarang baru kita berhadapan sebagai dua orang laki-laki”
“Persetan” geram lawannya, “kau sangka kau masih akan sempat hidup lebih lama lagi”
“Berdua kau tidak dapat membunuhku. Apalagi seorang diri” sahut Mahisa Pukat.
“Aku memang tidak dapat membunuh seorang yang berlari-lari ketakutan seperti yang kau lakukan. Tetapi berhadapan dengan tanggon, maka kau akan binasa” jawab lawannya.
Mahisa Pukat bergeser selangkah. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat ingkar, bahwa tenaganya memang sudah mulai susut setelah ia memeras tenaga melawan dua orang yang memiliki ilmu melampaui dua orang yang telah tertawan itu. Meskipun demikian, namun Mahisa Pukat mempunyai harapan yang lebih besar untuk dapat bertahan setelah lawannya berkurang.
Dalam pada itu, ketika Witantra harus berhadapan lagi dengan tiga orang, maka iapun telah bertempur semakin cepat. Tenaganya menjadi semakin kuat dan ujung senjatanya berputaran bagaikan baling-baling. Bahkan kemudian, ketika ketiga lawannya berusaha mengepungnya, maka Witantralah yang telah membuat ketiga orang lawannya kebingungan, karena arah serangan Witantra yang berubah setiap saat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja mengalami kesulitan. Ia masih harus bertempur melawan dua orang. Dua orang yang memang memiliki kelebihan dari dua orang yang telah tertawan itu.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni mempunyai cara yang berbeda dari cara yang sudah ditempuh oleh Witantra. la tidak segera mengurangi jumlah lawannya. Tetapi ia telah memancing lawannya untuk bergeser dari tempat mereka bertempur. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah menunjukkan satu sikap yang meragukan, justru karena Mahisa Agni selalu berloncatan mundur.
Tetapi akhirnya ketiga orang lawannya itu pun mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni berusaha mendekati Mahisa Murti. Karena itu, maka ketiga lawannya itu pun kemudian berusaha untuk mencegahnya.
“Jangan beri kesempatan” berkata peminpin kelompok itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Jika ketiga lawannya tidak mengikutinya ketika ia bergeser, ia sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan sambil berjalan dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menuju ke tempat Mahisa Murti bertempur. Tetapi jika ketiga lawannya berusaha menahannya, maka ternyata mereka tidak dapat mengatasi kemampuan Mahisa Agni.
Karena itu, mau tidak mau, maka arena pertempuran itu pun menjadi semakin merapat. Mahisa Murti yang menyadari niat Mahisa Agni berusaha untuk tidak bergeser menjauh. Bahkan ia pun kemudian berloncatan mendekati arah Mahisa Agni yang menjadi semakin dekat.
“Pengecut” geram salah seorang lawannya, “kau ingin berlindung dibawah sayap orang-orang tua itu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia memang merasa tersinggung. Karena itu, maka iapun menjawab, “Siapa yang licik? Aku atau kalian? Jika kalian dapat bertempur berpasangan, kenapa aku tidak? Bahkan seandainya aku dan pamanku hertempur berpasangan, kami berdua masih harus melawan lima orang”
“Persetan” geram orang itu, sementara serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin gawat.
Mahisa Murti benar-benar harus berjuang untuk mempertahankan diri. Namun kedua orang itu berusaha untuk menyelesaikannya sebelum Mahisa Agni mendekat. Karena itu, maka kedua orang lawan Mahisa Murti benar-benar telah menyerang dengan serangan-serangan yang mematikan.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Witantra. Seandainya ia membunuh ketiga orang lawannyapun, maka kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti tidak akan meninggalkan anak muda itu, karena menurut perhitungan mereka, dalam waktu yang pendek, Mahisa Murti tentu akan dapat dibinasakannya. Karena itu, Mahisa Agni telah melakukan satu cara yang berbeda. Bahkan kemudian, Mahisa Agni pun menjadi semakin tergesa-gesa karena keadaan Mahisa Murti yang semakin gawat.
Sebenarnyalah, sebelum Mahisa Agni mencapai arena pertempuran antara Mahisa Murti dan kedua lawannya, maka Mahisa Murti telah kehilangan kesempatan untuk mengelak, ketika kedua serangan yang berbahaya datang beruntun. Bahkan kemudian Mahisa Murti terpaksa meloncat dengan tergesa-gesa menjauhi lawannya sambil mengeluh tertahan. Segera luka telah memanjang dipundaknya. Mahisa Agni benar-benar tidak ingin terlambat. Karena itu, maka iapun telah meloncat berlari meninggalkan lawan-lawannya yang kemudian mengejarnya.
“Pengecut. Jangan lari” teriak lawan-lawannya.
Mahisa Agni tidak menghiraukan mereka, karena merekapun tentu akan mengejarnya dan menyadari apa yang akan terjadi. Sebenarnyalah, Mahisa Agni datang tepat pada waktunya. Ketika Mahisa Murti benar-benar dalam kesulitan, maka Mahisa Agni pun telah langsung melibatkan dirinya melawan dua orang yang dengan kemarahan yang memuncak merasa kehilangan kesempatan untuk membinasakan Mahisa Murti yang telah terluka.
Namun dalam pada itu, ketiga orang Mahisa Agni pun telah datang menyusul. Merekapun telah menyerang dengan serta merta. Pemimpin kelompok yang sangat marah itu berusaha untuk langsung dapat membunuh Mahisa Agni dengan serangan-serangannya yang membadai. Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil. Mahisa Agni sempat menempatkan diri disebelah Mahisa Murti sambil berkata, “Hati-hatilah. Kita akan bertempur berpasangan melawan kelima orang itu”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun pundaknya telah terluka, namun ia masih mampu bertempur dengan cepat. Namun dalam pada itu, seperti Mahisa Pukat, maka tenaga Mahisa Murti pun menjadi semakin susut, karena ia telah mengerahkan kemampuannya untuk mempertahankan diri terhadap kedua lawannya.
Tetapi dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Agni tidak lagi banyak memberikan kesempatan kepada lawan-lawannya. Apalagi lawan-lawannya benar-benar berusaha untuk membunuhnya dan membunuh Mahisa Murti. Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Pemimpin kelompok itu telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Beberapa kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada orang-orangnya, agar mereka menyelesaikan tugas mereka dengan cepat.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya dari yang mereka kehendaki. Mahisa Agni telah membuat mereka sekali-kali kebingungan. Sementara itu, Mahisa Murti telah sempat inenyesuaiKan diri, sehingga keadaannya menjadi lebih mapan, meskipun ia lebih banyak bertahan daripada menyerang. Tetapi luka dipundaknya telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah mengambil satu sikap yang mengejutkan.
Ketika orang-orang kasar itu terlibat dalam pertempuran yang sulit dengan Mahisa Agni, maka seorang diantara mereka telah menyerang Mahisa Murti secara khusus. Orang itu memperhitungkan kelemahan dan keletihan pada anak muda itu, sehingga orang itu menganggap bahwa Mahisa Murti tidak akan banyak dapat berbuat.
Tetapi perhitungan itu ternyata keliru. Ketika orang itu mengayunkan pedangnya mendatar, maka Mahisa Murti masih sempat bergeser sambil mendera senjata lawannya sehingga senjata itu telah berubah arah. Namun orang itupun cekatan. Senjatanya segera berputar mematuk kearah jantung.
Mahisa Murti tidak membiarkan dadanya dikoyak oleh senjata lawannya. Dengan tangkas ia mengelak Namun Mahisa Murti sempat melihat gerak mata orang itu, sehingga iapun dapat menebak apa yang akan dilakukannya. Sebagaimana diperhitungkan, maka orang itupun mengurungkan serangannya. Tetapi senjatanya telah terayun mendatar menebas lambung.
Apalagi Mahisa Murti yang ternyata telah terluka. Meskipun pada dasarnya ia lebih banyak mempunyai pertimbangn dari pada Mahisa Pukat, tetapi karena lukanya, maka iapun telah menjadi garang pula. Mahisa Murti melihat kesempatan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia tidak menghiraukan lawan-lawannya yang lain. Ia mempercayakan mereka kepada Mahisa Agni yang nampaknya berhasil menguasai keadaan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti meneruskan perhatiannya kepada lawannya yang seorang itu. Yang menebas lambungnya dengan garang. Mahisa Murti dengan perhitungan yang cermat tanpa menghiraukan orang lain telah menghindari serangan itu, ia meloncat surut. Kemudian sambil memiringkan tubuhnya ia bergeser. Sementara itu, dengan cepatnya ia menjulurkan pedangnya menyayat dada orang itu. Orang yang terluka itu terpekik kecil. Dengan serta merta ia meloncat surut. Namun Mahisa Murti tidak melepaskannya. Ia pun meloncat maju. Pedangnya sekali lagi mematuk.
Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Karena itu. maka ujung pedang Mahisa Murtipun kemudian telah menghunjam ke dalam tubuh orang itu tepat di perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun kemudian, ketika Mahisa Murti menarik pedangnya, maka orang itupun terhuyung-huyung dan jatuh terbanting di tanah.
Pada saat itu kawan-kawannya telah berusaha untuk membantunya. Tetapi Mahisa Agnipun cukup tangkas. Mahisa Agni sadar, bahwa Mahisa Murti yang marah itu tidak menghiraukan lawan-lawannya yang lain. Sehingga seluruh perhatiannya terpusat kepada lawannya yang seorang itu. Karena itulah, maka Mahisa Agni harus berbuat sesuatu. Dengan kecepatan geraknya, maka Mahisa Agni masih sempat menghalau orang-orang yang ingin menyelamatkan kawannya dari ujung pedang Mahisa Murti. Tetapi mereka telah gagal. Seorang lagi dari antara sepuluh orang itu telah terbunuh.
Kemarahan pemimpin kelompok itu memang tidak tertahankan lagi. Dua orang kawannya telah terbunuh. Dengan demikian maka dendam telah menyala di dalam dadanya. Tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya, maka pemimpin kelompok itu telah mengerahkan segenap kemampuannya bersama sisa-sisa orangnya. Namun kesulitan itu telah datang lagi. Seorang yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah terdorong pula oleh pedang anak muda itu, sehingga kehilangan keseimbangannya. Ketika orang itu jatuh di tanah, ia masih sempat mengumpat dengan kata-kata kasar. Namun sejenak kemudian, iapun telah terdiam.
Yang kemudian mengumpat adalah pemimpin kelompok itu. Untuk membebaskan kedua orang kawannya ia telah kehilangan tiga orang yang justru lebih baik. Tetapi yang penting baginya, bukan kebebasan orang itu karena ia sangat membutuhkannya. Tetapi yang penting bahwa kedua orang itu tidak dapat berbicara tentang rencana kegiatan mereka di daerah perbukitan yang langsung atau tidak langsung menghadapi ke daerah-daerah yang dianggap penting oleh Singasari. Baik sebagai daerah yang disediakan perkembangan Kota Raja, maupun tanah-tanah padukuhan yang dapat menjadi sumber bahan makan bagi Singasari. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu telah memutuskan mengambil jalan yang kedua yang sudah direncanakan. Jika mereka gagal merebut kedua orang itu, maka keduanya sebaiknya dibinasakan saja.
Pemimpin kelompok itu tidak mau kehilangan kawannya lebih banyak lagi. Tiga orang telah terlalu banyak. Karena itulah, maka iapun telah mengambil satu langkah yang paling baik yang dapat dilakukannya. Tanpa mempercayakan kepada orang lain, maka iapun tiba-tiba telah meneriakkan perintah untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada dalam diri orang-orangnya. Sementara itu, ia sendiri telah meloncat meninggalkan kawan-kawannya yang bertempur melawan Mahisa Agni, langsung mendekati kedua orang kawannya yang pingsan. “Mereka tidak perlu bangun untuk selama-lamanya” berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah terbebas dari lawannya. Karena itu, ketika pemimpin kelompok itu berlari mendekati kedua orang yang terbaring dengan senjata teracu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari pula menyongsongnya.
“Gila” geram pemimpin kelompok itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat tidak akan membiarkan pemimpin kelompok itu berbuat sesuatu, Mahisa Pukat mengerti, jika kedua orang itu terbunuh, maka jalur penyelidikannya akan terputus pula, sehingga akan kehilangan jejak atas rencana orang-orang yang telah memesan kapak penebang kayu terlalu banyak itu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berhadapan dengan pemimpin kelompok yang gagal mencapai kedua orang kawannya yang pingsan untuk membunuhnya. Bahkan ia pun kemudian harus menghadapi anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi itu.
Bagaimanapun juga, pemimpin kelompok itu masih juga dibakar oleh kemarahan dan dendam. Karena itu, ia masih mencoba untuk membenturkan ilmunya melawan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak akan dapat di atasinya seorang diri sehingga karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya selain menyelamatkan diri bersama orang-orangnya yang tersisa.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat pemimpin kelompok itu. Isyarat bagi orang-orangnya, agar mereka meninggalkan arena pertempuran. Demikian isyarat itu terdengar, maka dalam waktu sekejap orang-orang yang sedang bertempur itupun telah berlari berhamburan ke arah yang berbeda-beda.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sudah meloncat memburunya. Namun Mahisa Agni telah memanggil mereka, agar mereka tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri ke arah yang berlainan itu.
“Aku ingin menangkap pemimpinnya” berkata Mahisa Pukat.
“Sudahlah. Tidak banyak gunanya” berkata Mahisa Agni.
"Tetapi mereka akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya bagi Kabuyutan Randumalang” sahut Mahisa Murti.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga tidak. Orang-orang itu tahu pasti, bahwa yang membawa kedua kawannya adalah para prajurit dari Singasari. Agaknya mereka pun tidak akan membuat waktu untuk mengurusi orang-orang Randumalang, karena mereka tentu memperhitungkan satu kemungkinan bahwa para prajurit Singasari akan datang mencari mereka di lereng-lereng bukit” jawab Mahisa Agni, “sebab kedua orang yang tertangkap itu tentu akan dapat menunjukkan, kemana kita harus mencari mereka”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Ya paman” berkata Mahisa Murti, “mereka akan meninggalkan sarang mereka”
“Aku kira demikian” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Karena itu. marilah. Biar lukamu diobati dahulu”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru ia merasakan bahwa lukanya menjadi pedih. Pakaiannya telah merah oleh darah yang mengalir dari lukanya.
Witantra lah yang kemudian mengobati luka Mahisa Murti. Dengan hati-hati Witantra mengusap luka itu dengan serbuk obat yang dibawanya dalam sebuah bumbung kecil. Namun dalam pada itu, agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian karena darah pada pakaian Mahisa Murti. maka ia pun kemudian mengambil bajunya yang lain di dalam sebuah bungkusan kecil dan mengenakannya, setelah darahnya menjadi pampat.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian harus berhubungan lagi dengan orang-orang Randumalang, yang baru saja ditinggalkannya. Kepada orang-orang Randumalang ia mengatakan, bahwa ia harus mempertahankan diri dari sergapan orang-orang yang tidak dikenal.
“Kami memerlukan pertolongan kalian. Bukan untuk melawan orang itu. Tetapi untuk menguburkan beberapa orang di antara mereka yang terbunuh” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka dengan pertolongan orang-orang Randumalang, maka ketiga orang yang terbunuh di pertempuran itu pun dikuburkannya. Bagaimanapun juga, akhirnya Ki Buyut mengetahuinya pula. Dengan tergesa-gesa ia menemui Mahisa Agni sebelum Mahisa Agni melanjutkan perjalanan.
“Jangan cemas Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “mereka tidak akan mendendam orang-orang Randumalang. Tetapi tidak ada jeleknya jika Ki Buyut mempersiapkan semua anak-anak muda. Sebanyak-banyaknya. Karena bagaimanapun juga, jumlahpun akan sangat menentukan jika Kabuyutan ini memang harus berhadapan dengan orang-orang liar itu”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Beberapa di antara anak-anak muda Kabuyutannya memang pernah mendapat tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun serba sedikit. Namun mereka dalam jumlah yang banyak, memang akan berpengaruh pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian telah berusaha untuk membangunkan orang-orang yang pingsan itu. Kemudian setelah segalanya selesai, sekali lagi mereka minta diri kepada orang-orang Randumalang untuk meneruskan perjalanan.
Orang-orang Randumalang yang kemudian ditinggalkan oleh Mahisa Agni, Witantra dan dua orang anak Mahendra itu pun telah berusaha bersiap-siap menurut kekuatan yang ada di Randumalang. Namun mereka pun sependapat, bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi itu, kemungkinannya memang sangat kecil.
“Sebagian besar dari perhitungan orang-orang Singasari itu memang tepat” berkata Ki Buyut, “mereka berhasil memancing kawan-kawan dari kedua orang itu untuk mencegat perjalanan mereka. Mudah-mudahan perhitungan mereka yang kemudianpun tepat pula”
Dalam pada itu, ketika dua orang yang tertawan itu menyadari apa yang terjadi, maka yang dapat mereka lakukan tidak lebih dari menggertakkan gigi mereka. Mereka harus menerima satu kenyataan, bahwa mereka harus menjadi tawanan yang akan dibawa ke Singasari.
“Kau masih dapat mengucap sukur” berkata Mahisa Pukat. Kedua orang itu memandanginya dengan heran. Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan, “Kawan-kawanmu telah siap membunuhmu. Jika aku tidak mencegahnya, maka pemimpinmu itulah yang telah siap untuk menghunjamkan pedangnya diperutmu”
“Omong kosong” desis salah seorang dari kedua orang tawanan itu.
Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Tetapi Mahisa Agnilah yang menyahutnya, “Mungkin kau tidak percaya. Tetapi bukankah cara itulah yang paling baik dilakukan untuk membungkam mulutmu? Apakah kau tidak dapat mengenali tabiat kawan-kawanmu itu? Bahkan seandainya kalian sendiri yang menghadapi keadaan seperti pemimpinmu itu?”
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka mulai membayangkan, bahwa hal itu memang dapat terjadi. Agaknya kawan-kawannya menganggap, lebih baik membunuhnya dari pada membiarkan mereka tetap hidup, tetapi berceritera tentang kehidupan mereka di lereng bukit serta tugas-tugas yang harus mereka jalankan.
“Nah” berkata Mahisa Murti, “bersiaplah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Singasari memang tidak sangat jauh. Kita akan segera sampai. Dan kau akan segera bercerita tentang lingkunganmu”
Kedua orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka tidak dapat mengatakannya, karena kedua orang anak muda itu nampaknya memang terlalu garang. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti bersama iring iringannya itu pun menjadi semakin jauh dari Kabuyutan Randumalang. Tidak banyak yang mereka percakapan di perjalanan. Sekali-sekali mereka masih juga membayangkan apa yang baru saja terjadi. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga membayangkan, apakah yang terjadi jika mereka gagal mempertahankan diri...
“Kami akan menjadi bangkai” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya...