Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 09

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 09 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 09
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KARENA itu, kadang-kadang timbul juga kebenciannya yang mendera dinding jantungnya atas kedua orang tawanan itu. Tetapi mereka masih selalu menyadari, bahwa kedua pamannya sebagaimana Singasari tentu memerlukan kedua orang itu. Kedua orang itu akan dapat memberikan keterangan serba sedikit tentang rencana orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menebangi hutan terutama yang menghadap daerah Singasari atau daerah yang memberikan hasil pangan bagi Singasari.

“Termasuk orang-orang yang memesan kapak penebang kayu itu” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya

Dalam pada itu, sebenarnyalah orang-orang yang tersisa dari sepuluh orang yang berusaha membebaskan atau membunuh sama sekali kedua kawannya yang tertawan itu menjadi kecemasan. Mereka menyadari, bahwa kedua orang kawannya yang masih tetap menjadi tawanan, karena kegagalan mereka itu, tentu akan dapat berbicara tentang kedudukan mereka. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu pun dengan tergesa-gesa berusaha mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lari berpencaran, yang akhirnya semuanya telah menuju ke sarang mereka kembali.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya seorang berkumis lebat.

“Tempat ini tentu akan segera diketahui oleh orang-orang Singasari itu” jawab pemimpinnya.

“Belum tentu. Mungkin kedua orang itu dapat bertahan dan tidak membuka rahasia ini” sahut seorang pengikutnya.

“Kita harus menyingkir,” jawab pemimpinnya itu.

“Menyingkir?” salah seorang di antara mereka mengulangi. Lalu, “Apakah kita akan melepaskan kesempatan ini? Bukankah kita akan mendapatkan imbalan yang cukup banyak dengan rencana penebangan hutan itu, sementara pada kesempatan-kesempatan lain kita masih tetap dapat melakukan pekerjaan kita di Kabuyutan-kabuyutan di sekitar tempat ini”

Pemimpinnya memandanginya dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Aku tidak sekedar menebak. Tetapi aku mempunyai perhitungan. Seandainya dua orang itu jatuh ke tanganku. Aku akan dapat memeras semua keterangan tentang segala hal yang mereka ketahui. Jika orang itu tidak mengatakan, maka berarti bahwa mereka benar-benar tidak mengetahuinya”

Para pengikutnya itu pun mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan, apa saja dapat dilakukan oleh orang-orang Singasari itu atas kedua orang kawannya yang tertawan. Karena itu, maka salah seorang diantara mereka pun bertanya, “Jika demikian, maka apakah sebaiknya kami lakukan?”

“Kita dapat mencari sasaran yang lain. Maksudku, kita minta untuk melakukannya di tempat yang lain. Tidak di tempat ini, karena setiap saat, orang-orang Singasari itu akan datang dengan pasukannya” jawab pemimpinnya, “tentu kita tidak ingin mati tanpa arti seperti yang sudah terjadi atas ketiga orang kawan kita. Sebagaimana kita ketahui, untuk melawan empat orang, kita bersepuluh tidak dapat menguasai mereka. Bahkan seandainya kita tidak melarikan diri, maka kita semuanya tentu akan mereka tumpas”

Para pengikutnya pun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa mereka sepuluh orang tidak bernasil mengalahkan empat orang di antara prajurit Singasari. Dua orang di antara ke empat orang itu masih sangat muda. Apalagi jika yang datang sebanyak sepuluh orang setingkat dengan dua orang prajurit Singasari yang tua-tua itu.

Dengan demikian, maka akhirnya mereka telah sepakat untuk meninggalkan tempat itu. Mereka tidak sempat berbicara tentang orang-orang Kabuyutan Randumalang, karena mereka menganggap bahwa orang-orang Randumalang tidak terlibat langsung dalam persoalan mereka dengan prajurit-prajurit Singasari. Bahkan mereka telah menentukan bahwa kedua orang kawannya yang tertangkap itu telah melakukan satu kesalahaan besar sehingga akibatnya, mereka seluruhnya harus meninggalkan tempat yang sudah mereka siapkan sebaik-baiknya bagi sarang mereka, apabila mereka mulai dengan tugas-tugas barunya.

Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Sehingga karena itu, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk mencari sasaran, baru yang akan mereka sampaikan kepada orang yang menjanjikan imbalan yang cukup apabila mereka dapat menebangi dan kemudian membuat hutan menjadi gundul. Sekaligus menyingkir dari jangkauan tangan orang-orang Singasari yang telah menahan dua orang diantara mereka, karena salah mereka sendiri.

Namun dalam pada itu, yang terjadi itu telah menarik perhatian orang-orang Singasari. Mahisa Agni dan Witantra yang masih berada di perjalanan, sudah mulai membicarakan, apa yang sebaiknya dilakukan oleh Singasari.

“Sudah pasti bahwa ada satu rencana yang luas dan tersusun rapi” berkata Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Memang agak berbeda dengan apa yang terjadi saat Mahisa Bungalan mengembara. Jika ada beberapa orang bangsawan Kediri yang mengangkat senjata, sumber persoalannya bukan rancangan yang masak untuk menghancurkan Singasari. Tetapi sekedar didorong oleh luapan perasaan anak-anak muda yang terpesona melihat cantiknya wajah perawan. Tetapi agaknya tidak demikian halnya yang terjadi sekarang ini. Tentu satu rancangan yang telah disusun dengan cermat. Bahkan untuk jangka waktu yang panjang”

“Mereka memandang Singasari sekarang masih sebagai satu kekuatan yang tidak terlawan” jawab Mahisa Agni, “karena itu, maka mereka telah menempuh satu cara yang akan sangat berbahaya. Bukan saja untuk satu tujuan, memperlemah Singasari dan mengalahkannya. Tetapi dengan perhitungan yang lebih luas. Bahkan dengan demikian maka Singasari akan tidak mungkin lagi akan hancur dilanda musim hujan. Singasari akan menjadi miskin dan kehilangan kemampuannya untuk bangkit. Penghuninya akan meninggalkan tanah yang menjadi gersang mencari pemukiman baru yang memberikan harapan bagi masa depan”

Witantra mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berpaling. Dilihatnya kedua orang tawanan itu menundukkan kepalanya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berkuda di belakang mereka nampak selalu siap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah iring-iringan itu berjalan tidak terlalu cepat, tetapi juga tidak terlalu lambat. Demikianlah, maka iring-iringan itu ternyata tidak dapat mencapai Singasari hari itu juga, karena mereka terhenti untuk bertempur melawan sepuluh orang kawan kedua orang tawanan itu. Karena itu, maka mereka harus memilih, apakah mereka akan berkuda meskipun malam menjadi kelam.

“Aku lelah sekali” desis salah seorang tawanan itu kepada kawannya. Namun demikian, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mendengarnya.

“Jadi, apakah kalian ingin berhenti bermalam diperjalanan yang sudah sangat pendek ini?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Jika kalian sependapat. Ketika aku sadar dari pingsanku, terasa tubuhku sangat letih. Rasa-rasanya aku sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan ini”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah membicarakannya dengan kedua pamanku itu”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi nampaknya keduanya memang sudah sangat letih. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Aku akan membicarakannya dengan kedua paman itu”

“Baiklah” jawab Mahisa Pukat, “tetapi menurut pendapatku, hal itu tidak sangat perlu. Betapapun lelahnya, jika kita masih ingin melanjutkan perjalanan, maka aku kira kita masih akan mampu melakukannya, kecuali beristirahat justru untuk kepentingan kuda-kuda kita”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian kedua orang itu untuk menyusul Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di depan. Dengan pendek Mahisa Murti mengatakan permintaan kedua orang itu untuk beristirahat di perjalanan, karena mereka merasa sangat letih.

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Witantra berkata, “Apakah hal itu sangat penting?” Bukankah kita tidak berkuda terlalu depat?”

“Tetapi agaknya kuda-kuda kita juga memerlukan beristirahat” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa Mahisa Murti pun baru saja terluka, Meskipun luka itu sudah pampat, tetapi luka itu tentu berpengaruh atas ketahanan tubuhnya, sehingga sebenarnya Mahisa Murti pun ingin untuk beristirahat barang sebentar.

Namun demikian Mahisa Agni berkata, “Baiklah. Tetapi kita harus berhati-hati. Sebenarnya kedua orang itu tentu tidak ingin atau tidak terpaksa harus beristirahat oleh keletihan yang tidak tertahankan lagi. Tetapi malam di perjalanan akan dapat memberikan beberapa kemungkinan bagi mereka. Mungkin mereka mendapat satu cara yang paling baik untuk melepaskan diri. Atau mungkin sekali kawan-kawan mereka masih akan menyusulnya”

Mahisa Murti mengangguk angguk. Lalu katanya, “Apakah jika demikian, mereka hanya mencari kesempatan untuk melepaskan diri?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Kita akan beristirahat. Kaupun memerlukan berisitirahat barang sebentar, meskipun mungkin tidak sampai fajar”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia sendiri memerlukan waktu sejenak untuk beristirahat, karena pengaruh luka-lukanya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah paman. Kita beristirahat meskipun harus sangat berhati-hati”

Ketika kemudian Mahisa Murti kembali berkuda di samping Mahisa Pukat, di belakang kedua orang tawanan itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik bagi mereka untuk bermalam.

Akhirnya iring-iringan itu berhenti di sebuah padang perdu berpadas. Mereka berhenti di tempat yang cukup lapang. Setelah mereka mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang di bawahnya ditumbuhi rerumputan yang memungkinkan kuda mereka untuk makan, maka merekapun segera menempatkan diri mereka masing-masing.

“Ada sebatang sungai kecil yang mengalir di sebelah” berkata Mahisa Agni yang sempat melihat-lihat keadaan sekitar tempat mereka berhenti.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mendengar gemercik air sungai kecil itu. Dengan demikian esok mereka akan dapat memberi minum kepada kuda-kuda mereka. Kedua anak muda itu pun kemudian mengumpulkan ranting-ranting kering untuk menyalakan sebuah perapian. Agaknya mereka ingin mengatasi dinginnya malam yang semakin mencengkam.

Sementara itu, kedua orang tawanan itu sudah berbaring di tempat yang mereka pilih sendiri. Agaknya jauh dari perapian, di atas rerumputan kering bersandar batu padas. Namun keduanya tidak pernah terlepas dari pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka berdesis, “Anak iblis. Mereka sama sekali tidak melepaskan pengamatan mereka barang sekejap.

“Kita sudah berhasil menahan mereka untuk bermalam. Mungkin kita akan mendapat kesempatan” sahut yang lain.

Tetapi yang seorang menggeleng. Katanya, “Sulit sekali. Kecuali jika keduanya tertidur nyenyak. Sementara kedua orang tua itu nampaknya telah mempercayakan kita kepada kedua orang anak muda itu”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah, kita tidur barang sejenak. Malam masih panjang.”

Keduanya pun kemudian memejamkan matanya sambil bersandar batu padas. Agaknya mereka memang benar-benar ingin tidur. Baru kemudian jika mereka terbangun, maka mereka akan membuat satu rencana untuk melepaskan diri. Bahkan masih juga ada sepercik harapan, bahwa kawan-kawan mereka akan mengikuti iring-iringan itu dan bertindak pada saat yang tepat sehingga mereka akan dapat melepaskan diri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengawasi kedua orang itu pun telah membagi diri. Mereka akan tidur bergantian. Mereka telah sepakat tidak akan mengganggu kedua orang tua yang ada di dalam iring-iringan itu pula, “Terserah kepada mereka” berkata Mahisa Murti, “apakah mereka juga akan bergantian tidur, atau tidak”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kau saja tidur dahulu. Bukankah kau perlu beristirahat. Lukamu akan cepat sembuh”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, “Baiklah. Aku memang merasa terlalu letih. Mungkin darah yang keluar dari lukaku cukup banyak”

“Tidurlah. Aku akan mengawasi mereka dari perapian ini” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi bagaimana jika aku kemudian malas untuk bangun lewat tengah malam?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku akan menggelitikmu sampai kau bangun” jawab Mahisa Pukat.

“Jika aku masih letih karena lukaku?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Aku bangunkan kau dengan menyentuh lukamu” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tersenyum. Namun ia pun kemudian bersandar sebongkah batu padas di dekat perapian itu. Sementara Mahisa Pukat duduk di sebelah perapian menghadap kedua orang tawanan yang nampaknya benar-benar ingin tidur.

Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan kedua anak muda itu sambil tersenyum. Mereka menyadari, bahwa kedua anak muda itu merasa bahwa mereka dapat menyelesaikan persoalan kedua orang tawanan itu tanpa mengganggu Mahisa Agni dan Witantra.

Namun demikian, Mahisa Agni pun berkata kepada Witantra, “Mari, kitapun membagi diri”

“Silahkan beristirahat” berkata Witantra, “aku akan mengawani Mahisa Pukat. Pada saatnya, kau akan mengawani Mahisa Murti”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku juga akan tidur di dekat perapian itu seperti Mahisa Murti."

Keduanya pun kemudian mendekati perapian itu pula. Tanpa mengatakannya kepada Mahisa Pukat, bahwa mereka pun akan membagi diri, Mahisa Agni langsung bersandar batu padas yang sama dengan Mahisa Murti. Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun berusaha untuk benar-benar beristirahat, agar saatnya ia akan dapat mengganti Witantra berjaga-jaga.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Agni sudah memejamkan matanya, maka Witantrapun bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya, “Kau tidak letih?”

“Tidak paman” jawab Mahisa Pukat, “aku akan berjaga-jaga bergantian dengan Mahisa Murti. Biarlah ia lebih banyak beristirahat karena luka-lukanya”

Witantra mengangguk-angguk. Namun ketika ia melihat kedua orang tawanan itu tidur dengan nyenyaknya, maka iapun berkata, “Berhati-hatilah dengan kedua orang itu. Apakah mereka benar-benar tidur nyenyak, atau sekedar ingin mengelabuimu”

“Baik paman” jawab Mahisa Pukat, “aku tidak akan lengah”

Witantra mengangguk-angguk, ia percaya bahwa Mahisa Pukat akan berbuat sebaik-baiknya. Anak muda itu agaknya ingin memberi kesempatan kepada saudara laki-lakinya yang terluka untuk beristirahat sebaik-baiknya.

Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Agni itupun benar-benar telah tertidur sambil duduk bersandar. Kedua orang tawanan itu pun agaknya telah tertidur nyenyak pula. Seolah-olah mereka sama sekali tidak mempunyai persoalan apapun juga yang dapat menggelisahkan hatinya. Karena itu, maka merekapun sama sekali tidak menjadi gelisah.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang duduk di sebelah perapian itu, dengan sebatang ranting yang panjang telah bermain-main dengan api yang sedang menyala. Namun demikian, pengawasannya terhadap kedua orang tawanan itu tidak menjadi lengah. Bahkan ia pun mengamati keadaan di sekitarnya dengan cermat, karena kemungkinan kawan-kawan kedua orang itu datang, masih juga harus diperhitungkan.

Sekali-sekali Mahisa Pukat itu justru berdiri. Menggeliat, kemudian melangkah memutari perapian. Untuk menghilangkan kejemuan, kadang-kadang anak muda itu Wahisa Agni mengerutkan keningnya. Sementara itu juga melangkah mendekati kedua tawanannya dan kemudian mengamati keadaan di sekitarnya. Namun yang nampak memang hanya kegelapan. Jika Mahisa Pukat menengadahkan wajahnya, maka ia melihat bintang yang bergayutan di langit. Berkeredipan tidak henti-hentinya.

Witantra masih saja tetap duduk di tempatnya. Sekali-sekali ia pun memandang langit. Namun kemudian perhatiannya lebih banyak tertuju kepada kedua orang tawanan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu berdesis, “Pukat. Kemari”

Mahisa Pukat terkejut. Tetapi ia mengerti bahwa pamannya benar-benar memanggilnya. Karena itu, maka iapun segera mendekatinya.

Witantra sesaat menjadi tegang. Bahkan ia pun kemudian berdiri tegak. Di tangannya tergenggam sebutir kerikil kecil. “Bangunkan Mahisa Murti. Jangan mengejutkannya” berkata Witantra tiba-tiba sambil melempar Mahisa Agni dengan kerikilnya. Namun ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan tangkasnya ia meloncati batu-batu padas berlari kedalam gelap.

Mahisa Agni yang tersentuh sebutir kerikil itupun telah terbangun. Ketika ia melihat Mahisa Pukat termangu-mangu, maka iapun bertanya, “Ada apa?”

“Paman Witantra. Ia berlari ke arah itu” jawab Mahisa Pukat sambil menunjuk ke kegelapan.

Mahisa Pukat telah membangunkan Mahisa Murti dengan hati-hati. Seperti pesan Witantra ia tidak ingin mngejutkan saudaranya itu.

“Aku akan mencari pamanmu Witantra” berkata Mahisa Agni, “berhati-hatilah kalian berdua”

Tetapi sebelum Mahisa Agni beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja ia mendengar kedua orang tawanan itu hampir berbareng berteriak. Keduanyapun terlonjak dari tidurnya. Namun sejenak kemudian keduanya menjadi pucat dan gemetar.

“Ular, ular” keduanya menghentak-hentakkan kakinya. Namun ular yang mematuk mereka tidak segera dapat terlepas dari tubuh mereka.

“Ular bandotan” desis Mahisa Agni. Ketika ular itu kemudian terlepas, maka Mahisa Agni pun telah meloncat disusul oleh Mahisa Pukat mendekati kedua orang tawanan yang menjadi menggigil.

Mahisa Murti yang juga mendekati keduanya, berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya ia masih belum menyadari keadaan sepenuhnya. Meskipun demikian, ia telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Tangannya telah berada di hulu pedangnya.

Sejenak kemudian, kedua orang itupun telah menggigil. Mahisa Pukat dan Mahisa Agni telah membantu mereka mendekati perapian yang masih menyala.

“Aku digigit ular” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya” jawab Mahisa Agni, “aku tidak mempunyai obat yang paling baik untuk melawan racun seperti itu. Meskipun demikian, aku akan mencobanya”

Ketika Mahisa Agni mengambil bumbung obatnya, maka salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Tidak ada gunanya”

Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Iapun kemudian berusaha untuk menemukan luka bekas gigitan ular bandotan itu dan menaburinya dengan obat yang dibawanya.

Tetapi ternyata kedua orang itu sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi. Salah seorang dari keduanya berkata, “Ular itu bukan ular kebanyakan. Ular yang dipeliharanya mempunyai ketajaman racun melampaui ular kebanyakan. Jika obatmu dapat menyembuhkan gigitan ular bandotan, maka aku kira tidak dengan ular bandotan yang telah menggigit kakiku”

Kata-kata itu sangat menarik bagi Mahisa Agni, karena itu, maka ia pun segera berjongkok di samping kedua orang yang terbaring dalam keadaan yang gawat. Keduanya telah menggigil seluruh tubuhnya. Keringat yang dingin bagaikan terperas dari tubuh mereka.

“Ki Sanak” berkata salah seorang dari keduanya, “sebenarnyalah mereka ingin menghilangkan jejak mereka dengan membunuhku. Tetapi alangkah sakitnya. Orang yang memiliki ular itu adalah orang yang paling aku hormati. Bukan sekedar kawan-kawanku seperti yang telah mencegat kalian di tikungan. Tetapi orang ini adalah guruku sendiri."

“Gurumu?” bertanya Mahisa Agni.

“Ya. Ia terkenal dengan nama Ki Sarpa Kuning. Tetapi ia lebih senang mempergunakan ular-ular yang berwarna hitam” jawab orang itu. Lalu, “Biarlah aku jelaskan, sebelum aku mati. Orang itu pun terlibat dalam usaha untuk menghancurkan Singasari”

Mahisa Agni tidak memotong kata-kata orang itu. Ia masih ingin mendengar lebih banyak lagi tentang orang yang bernama Ki Sarpa Kuning. Tetapi kedua orang itu sudah menjadi semakin lemah.

Namun sementara itu, seorang diantara mereka berdesis, “Ki Sanak. Aku benar-benar merasa sakit karena perbuatan guru. Aku justru mengharap guru akan membebaskan aku. Tetapi yang dilakukan sangat menyakitkan hati”

“Kau akan sembuh Ki Sanak” jawab Mahisa Agni.

Tetapi seperti yang dikatakannya oleh itu. Racun ular bandotan yang dipelihara oleh guru kedua kawanan itu memiliki kekuatan racun melampuai ular bandotan kebanyakan. Obat yang diberikan oleh Mahisa Agni hanya dapat memperpanjang umur kedua orang itu beberapa saat saja. Ternyata bahwa keduanya menjadi semakin lemah. Keringat mereka telah membasahi tubuh mereka.

“Ki sanak” berkata salah seorang dari mereka dengan lemahnya, “aku harap kau bersedia membalas sakit hatiku ini” ia berhenti sejenak. Suaranya menjadi semakin lemah, “Orang itu tinggal di padukuhan Banjar Kuning”

“Padepokan Banjar Kuning” ulang Mahisa Agni aku belum pernah melihatnya Ki Sanak. Dimanakah letaknya padepokan itu?”

Tetapi kedua orang itu tidak sempat menjawab. Wajah mereka menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian maka nafas yang terakhir telah lolos dari lubang hidung mereka. Hampir dalam saat yang bersamaan keduanya terbunuh oleh guru mereka sendiri.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kedua orang ini dianggap akan dapat membahayakan kedudukannya di padepokan yang tidak kita kenal itu paman”

“Ya Nampaknya mereka tidak lagi mengingat hubungan antar sesama. Apalagi kedua orang ini adalah muridnya. Mereka hanya mementingkan diri sendiri meskipun harus mengorbankan murid-muridnya” sahut Mahisa Agni.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun kemudian berdiri tegak sambil berkata, “Dimana paman Witantra?”

Mahisa Agnipun tiba-tiba merasa cemas. Karena itu maka iapun bertanya, “Kemana ia pergi?”

“Bukankah paman berlari ke arah pohon itu” Jawab Mahisa Pukat.

“Ya” Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia terbangun oleh kerikil yang dilemparkan oleh Witantra yang tergesa-gesa ia masih melihat sekilas arah Witantra yang memasuki kegelapan. Karena itu maka katanya, “Marilah kita menyusulnya"

Kedua anak muda itu pun kemudian mengikuti Mahisa Agni berlari-lari kecil mengikuti Witantra. Mahisa Agni tidak mau meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat karena ia menyadari bahwa orang yang disebut Ki Sarpa Kuning itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sebagaimana dapat dilihat pada kemampuan kedua orang muridnya dan caranya untuk membunuh kedua muridnya itu.

Dalam pada itu ternyata Witantra masih sempat mengikuti orang yang telah melepaskan dua ekor ular untuk membunuh kedua muridnya. Orang itu memang sudah mendengar, bahwa orang-orang yang membawa kedua muridnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Terlebih-lebih dua diantara mereka justru yang tua-tua. Sepuluh orang dari kawan-kawan kedua tawanan itu tidak dapat mengalahkan empat orang Singasari itu.

Tetapi Ki Sarpa Kuning tidak menyangka, bahwa Witantra masih juga dapat mendengar desir langkahnya ketika ia melepaskan kedua ekor ular itu. Karena itu, maka Ki Sarpa Kuning itu pun berusaha untuk menghindar. Ia merasa terlalu sulit menghadapi ke empat orang itu sekaligus.

Namun ternyata bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang saja. Itulah sebabnya maka timbullah niatnya untuk menjajagi kemampuan orang Singasari itu. Sehingga dengan demikian maka, Ki Sarpa Kuning itu pun telah berhenti di ujung padang perdu berbatu padas itu. Witantra yang mengejarnya pun menyadari bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan. Karena itu maka Witantra pun menjadi semakin berhati-hati.

“Luar biasa” desis Ki Sarpa Kuning ketika Witantra mendekatinya, “Kau dapat mendengar langkahku. Pertanda bahwa kau benar-benar orang berilmu. Tetapi ilmumu mungkin terbatas pada kemampuanmu mendengarkan suara di sekitarmu. Aku belum yakin bahwa kau juga berkemampuan untuk menangkapku”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdiri tegak sambil memandang orang itu. Dalam keremangan malam ia tidak dapat dengan jelas melihat lekuk dan garis wajah orang yang dikejarnya itu. “Apa maksudnya sebenarnya?” berkata Witantra.

“Membunuh kedua orang muridku itu” jawab Ki Sarpa Kuning, “ia dapat menjadi sumber bencana. Bukan saja bagi kawan-kawannya. Tetapi juga bagiku sebagai gurunya. Tetapi kematiannya akan membawa semua rahasia yang diketahuinya. Ia tidak akan dapat berbicara tentang kawan-kawannya dan ia tidak akan dapat berbicara tentang gurunya dan padepokannya”

“Kau sampai hati membunuh muridmu sendiri” bertanya Witantra.

“Mereka telah melakukan satu kesalahan yang besar” jawab Ki Sarpa Kuning.

“Kenapa kau tidak berusaha untuk membebaskannya? Kau adalah orang berilmu tinggi” bertanya Witantra.

Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak yakin bahwa aku akan berhasil. Seperti sepuluh orang kawan-kawan muridku itu. Sepuluh orang itu ternyata telah kalian kalahkan. Karena itu, jalan yang paling aman bagiku dan kawan-kawannya, adalah membunuhnya”

“Itukah ciri kehidupan kalian? Meskipun murid sendiri, kau sama sekali tidak mempunyai ikatan batin yang mendalam sehingga kau sampai hati membunuhnya” berkata Witantra kemudian, “bukankah dengan demikian berarti bahwa kalian hanya mementingkan dirimu sendiri?”

“Pikiranmu terbalik Ki Sanak” jawab orang itu, “aku justru telah mengorbankan muridku sendiri. Mengorbankan orang-orang yang aku anggap bagian dari diriku sendiri untuk kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentingan sendiri. Tetapi bukannya tanpa alasan jika aku terpaksa melakukannya. Mereka telah melakukan satu kesalahan yang besar sehingga akan dapat menyeret satu lingkungan yang besar itu kedalam satu keadaan yang parah”

Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Apa boleh buat. Aku tidak tahu, apakah kau berhasil membunuh muridmu atau tidak, karena aku tergesa-gesa mengejarmu. Jika kau ternyata berhasil, maka aku kira jalan yang paling baik bagiku untuk tidak kehilangan jejak, adalah menangkapmu”

Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya Ki Sanak, “Jangan salah menilai orang lain. Meskipun kau berempat dapat mengalahkan sepuluh anak-anak ingusan itu, namun kau harus berpikir dua atau tiga kali jika kau hendak menangkap aku”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun ia pun menjawab, “Aku sudah berpikir masak-masak. Aku memang akan menangkapmu”

“Kau sendiri mengatakan, sebagaimana aku katakan atasmu, bahwa kita adalah orang-orang yang mempunyai lambaran ilmu. Kau sangka bahwa jika kau mengancam untuk menangkapku, aku tidak akan berbuat apa-apa dan mengulurkan kedua pergelanganku untuk kau ikat?” berkata Ki Sarpa Kuning.

Witantra memandanginya dengan tajamnya. Meskipun malam gelap, tetapi Witantra dapat menangkap sikap orang itu. Orang itu memang cukup meyakinkan. Karena itu, maka Witantra memang harus berhati-hati menghadapinya. Dalam pada itu, maka Witantra pun kemudian bergeser setapak sambil berkata, “Bagaimanapun juga, aku mengemban satu kewajiban. Karena itu, betapa tinggi ilmumu, aku akan menangkapmu”

“Kau mungkin memang seorang prajurit yang patuh. Tetapi jika hal itu dapat mengancam keselamatanmu, apa tidak lebih baik kau menghindar. Tidak ada orang yang tahu, bahwa kau bertemu dengan aku. Karena itu. jika kau tidak usah berusaha mengejarku, kau tidak akan mendapat hukuman apapun juga. Dan itu tentu akan lebih baik dari pada kau harus mati di tanganku”

Witantra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Niatku adalah menangkapmu hidup atau mati. Bukan untuk membunuh diri. Karena itu, aku akan benar-benar berbuat sesuatu atasmu”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar-benar tidak tahu, dengan siapa kau berhadapan”

“Ya. Aku tidak tahu. Siapa kau sebenarnya” tiba-tiba saja Witantra bertanya.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Maksudku, bahwa kau belum mengetahui, bahwa orang-orang yang mencoba melawanku akan mati di tanganku betapapun juga ia mengaku orang berilmu. Karena itu, pikirkanlah sebaik-baiknya”

Witantra memang melihat kelebihan pada sikap orang itu. Tetapi ia sendiri adalah orang yang memiliki bekal ilmu dan pengalaman yang sangat luas. Karena itu, bagaimanapun juga, ia tidak akan menjadi gentar menghadapinya. “Ki Sanak” berkata Witantra, “Aku sudah siap untuk menangkapmu. Hati-hatilah. Agaknya lebih baik kau tertangkap hidup dari pada mati”

Orang itu menggeram. Tetapi ia sudah tidak menjawab lagi. Sejenak kemudian keduanya telah saling mempersiapkan diri. Witantra yang melihat kemantapan sikap pada lawannya, menghadapinya dengan hati-hati. Sejenak keduanya masih belum berbuat sesuatu. Namun ketika Witantra bergeser selangkah, maka orang itu pun telah meloncat menyerang. Namun serangan itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Witantra, karena nampaknya orang itu memang belum bersungguh-sungguh sebagaimana dilakukan oleh Witantra kemudian. Ia pun telah bergeser mendekat sambil menjulurkan tangannya. Namun orang itu pun telah bergeser pula surut.

Tetapi yang terjadi kemudian, bukanlah sekedar memancing gerak lawannya. Orang yang bernama Ki Sarpa Kuning itupun benar-benar telah mulai menyerang Witantra. Dengan loncatan panjang ia menjulurkan tangannya mengarah kening. Namun ketika Witantra mengelak, maka tangannya itu pun segera berputar dan terayun mendasar mengarah ke wajah Witantra.

Witantra mengelak dengan menarik wajahnya. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya. Tiba-tiba saja satu kakinya telah terjulur menyambar lambung orang yang menyerang wajahnya itu. Tetapi, serangan itu pun masih belum berhasil. Lawannya dengan sigapnya mengelak dengan menarik tubuhnya condong kebelakang. Bahkan tiba-tiba itu telah berputar, bertumpu pada tumitnya. Satu kakinya menyambar dengan putaran mendatar menyerang Witantra.

Witantra lah yang kemudian harus meloncat. Bagaimanapun juga lawannya adalah seseorang yang mampu bergerak cepat. Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang cepat. Tetapi masing-masing masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya yang nampaknya masih membatasi diri dengan kemampuan wadag mereka. Namun dalam pada itu, karena keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi, maka perlahan-lahan ilmu mereka pun meningkat semakin tinggi pula. Gerak mereka menjadi semakin cepat dan serangan-serangan merekapun kemudian tidak lagi sekedar dilontarkan oleh tenaga wadag mereka. Tetapi mereka sudah mulai merambah ke tenaga cadangan mereka.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Kemampuan yang terungkap di dalam pertempuran itupun menjadi semakin tinggi pula. Mereka bukan saja bergerak semakin cepat, tetapi lontaran kekuatan tenaga merekapun menjadi nggegirisi. Jika mereka kehilangan sasaran karena lawan mereka mengelak, maka sentuhan serangan itu telah memecahkan batu-batu padas yang berserakan. Dahan-dahan perdu pun telah berpatahan dan gerumbul-gerumbulpun telah terguncang.

Ternyata orang yang bernama Sarpa Kuning itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Untuk beberapa saat, ia dapat mengimbangi kemampuan Witantra. Namun ketika Witantra semakin meningkatkan kemampuannya, maka terasa bahwa ilmu orang itupun masih ketinggalan. Perlahan-lahan orang itupun mulai terdesak. Kemampuan dan pengalaman Witantra sejak ia mengabdi kepada Akuwu di Tumapel sampai rambutnya sudah ubanan, ternyata membuat lawannya mengalami banyak kesulitan.

Tetapi Ki Sarpa Kuning masih belum merasa kalah. Ia pun segera mempergunakan senjata-senjatanya yang sangat berbahaya. Ketika serangan Witantra datang membadai, maka Ki Sarpa Kuning telah berloncatan menghindarinya. Bahkan ia pun kemudian telah mengambil jarak dari lawannya dengan loncatan yang panjang. Namun sejalan dengan itu, maka Ki Sarpa Kuning itu pun telah meloncatkan sesuatu kepada Witantra. Seolah-olah hanya seutas tali.

Tetapi Witantra cukup berhati-hati Apapun yang dilemparkannya, akan dapat berbahaya baginya. Karena itu, dengan cepatnya ia meloncat mengelak. Sehingga dengan demikian, benda itu terbang tidak ada sejengkal dari wajahnya. Pada saat itulah, Witantra melihat, meskipun dalam keremangan malam, namun ketajaman pengamatan Witantra dapat mengetahui bahwa yang dilemparkan oleh lawannya adalah seekor ular.

Witantra dengan cepat dapat menangkap arti dari senjata itu. Senjata yang tentu sangat berbahaya. Karena itu, dengan kecepatan yang tidak kasat mata, didorong oleh kemampuan ilmunya, maka Witantra telah menarik pedangnya. Sebelum ular itu jatuh ketanah, maka tubuh ular itu telah terpenggal menjadi tiga.

Darah Ki Sarpa Kuning tersirap melihat kecepatan gerak Witantra. Hampir ia tidak bercaya atas penglihatannya. Dalam waktu sekejap dan tiba-tiba, lawannya itu mampu menarik pedangnya dan sekaligus menyambar ular yang dilemparkannya dengan dua kali ayunan. Namun demikiaa, Ki Sarpa Kuning masih mencobanya. Sekali lagi ia melemparkan seekor ular ke arah Witantra.

Namun sekali lagi ular itu bagikan dicincang menjadi berpotong-potong. Karena itulah, maka Ki Sarpa Kuning merasa, bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bertahan lebih lama lagi. Lawannya adalah seorang yang tidak akan dapat dikalahkannya, meskipun ia mempergunakan senjatanya yang paling berbahaya. Karena itu, maka tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri selain melarikan diri jauh-jauh dari orang itu.

Demikianlah, maka Ki Sarpa Kuning itu masih juga melemparkan seekor ke arah Witantra yang menyambutnya dengan pedangnya. Namun pada saat yang demikian, Ki Sarpa Kuning itu telah mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

Witantra sama sekali tidak membiarkan orang itu berlari tanpa dikejarnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat mengikuti arah lari orang yang telah melemparkan ular-ularnya. Tetapi Witantra merasa terganggu oleh sikap lawannya. Ia tidak saja lari tanpa berbuat sesuatu. Tetapi beberapa kali orang itu telah melemparkan ular-ular yang berbahaya itu di belakangnya.

Dengan demikian, maka langkah Witantra pun terhambat. Ia tidak ingin menginjak dan kemudian dipatuk oleh seekor ular yang tentu ular yang sangat berbisa, yang akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itu, maka setiap kali ia berusaha untuk menghindarkan diri dari ular-ular yang ditebarkan oleh lawannya.

Namun, karena itulah, maka jarak antara keduanya semakin lama semenjadi semakin jauh, sehingga pada suatu saat, Witantra benar-benar kehilangan buruannya ketika Ki Sarpa Kuning menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun. Akhirnya Witantra tidak lagi melanjutkan usahanya untuk menangkap lawannya. Bahkan kemudian, ia pun mengambil keputusan untuk kembali ke tempat Mahisa Agni menunggu.

Dengan hati-hati ia berjalan di atas rerumputan. Sekali-sekali Witantra memilih berjalan di atas tanah yang berpadas sehingga baginya lebih mudah untuk melihat sesuatu daripada di rerumputan. Witantra tertegun ketika ia melihat sesuatu tergolek di atas tanah berpadas. Sebuah benda yang memanjang kehitam-hitaman. Namun benda itu tidak bergerak sama sekali.

Timbul niat Witantra untuk mengetahuinya, apakah benda itu ular seperti yang ditaburkan oleh Ki Sapar Kuning. Namun ketika dengan ujung pedangnya ia mengungkit benda itu barulah ia menyadari, bahwa lawannya benar-benar seorang yang licik. Agaknya ia tidak memiliki ular cukup banyak untuk ditaburkan, sehingga sebagian besar dari benda-benda yang dikirakan ular itu tidak lebih dari hanya seutas tali.

Namun Witantra percaya, bahwa orang itu benar-benar mampu bermain-main dengan ular, karena ular-ular yang dilemparkan kepadanya sebelumnya adalah benar-benar seekor ular. Dalam pada itu, dengan hati-hati Witantra pun telah melangkah kembali. Ia harus memberitahukan yang terjadi itu kepada Mahisa Agni dan kepada kedua orang anak Mahendra.

Namun dalam pada itu, ternyata Witantra pun kemudian bertemu dengan Mahisa Agni dan kedua anak muda yang mengikutinya itu. Ternyata bahwa mereka telah menyusulnya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Agni.

Witantra pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Sehingga akhirnya, ia telah kehilangan orang yang memiliki senjata ular-ular berbisa itu.

“Ular-ular itu benar-benar berbisa melampaui bisa kebanyakan ular” berkata Mahisa Agni, yang kemudian juga menceriterakan apa yang telan terjadi atas kedua orang tawanan itu.

“Jadi obat penawar bisa itu tidak dapat menyembuhkannya?” bertanya Witantra.

Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Harus ada obat lain yang lebih baik. Kita memang harus mengusahakannya, karena mau tidak mau, kita sudah berhadapan dengan orang berilmu tinggi dan mempunyai pengetahuan tentang bisa yang paling tajam itu”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita sudah menempatkan diri menghadapinya. Kedua muridnya itu sudah dikorbankannya. Karena itu, maka ia pun tentu akan mendendam kita”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri dengan jantung yang berdebaran. Mereka mendengarkan pembicaraan Mahisa Agni dan Witantra. Dan merekapun dapat membayangkan apa yang dapat terjadi jika seekor ular mematuk kakinya. Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun segera kembali ke tempat perapian. Mereka melihat dua orang tawanan mereka telah membeku.

“Kita telah kehilangan” desis Witantra.

“Jalur itu telah terputus sampai di sini” berkata Mahisa Agni, “tetapi kita sudah mendapat keterangan serba sedikit tentang orang yang telah melemparkan ular-ularnya itu." Mahisa Agni pun kemudian mengatakan, apa yang telah dikatakan oleh kedua orang tawanan itu menjelang tarikan nafasnya yang terakhir.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang harus berhati-hati. Kecuali kita sudah melihat satu usaha yang perlahan-lahan akan menghancurkan Singasari lewat satu usaha yang luas dan berbahaya itu, maka kita pun akan berhadapan dengan satu padepokan yang berbahaya. Tanpa persoalan hutan dan pepohonan itu pun, padepokan itu merupakan sumber persoalan bagi kita."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti pula. Nampaknya mereka masih ingin melanjutkan petualangan mereka yang setiap kali telah terganggu. Rasa-rasanya mereka masih belum berbuat apa-apa karena setiap kali mereka masih harus berhubungan dengan ayahnya, kedua pamannya itu dan orang-orang Singasari yang lain, termasuk para prajurit dibawah pimpinan kakaknya, Mahisa Bungalan.

Dalam pada itu, agaknya Mahisa Agni dan Witantra masih belum akan mempersoalkan rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selanjutnya. Yang akan mereka lakukan kemudian adalah mengubur orang-orang yang telah terbunuh itu.

“Kita tidak perlu menunggu matahari terbit” berkata Mahisa Agni kemudian.

Demikianlah, mereka pun kemudian telah mengubur kedua orang yang telah terbunuh oleh guru mereka sendiri. Ketika kemudian matahari terbit, ke empat orang itupun telah membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat mereka bermalam. Memberi minum kuda-kuda mereka dan kemudian berkemas untuk meneruskan perjalanan yang sudah tidak terlalu panjang lagi.

“Apakah kami berdua juga harus kembali lebih dahulu ke Singasari?” bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Ya Kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya” jawab Mahisa Agni, “kau mengerti, kemampuan bisa ular yang sangat berbahaya itu. Obat yang diberikan kepadanya sama sekail tidak menolongnya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ia memang harus membawa persiapan yang lebih baik dalam petualangannya. Mereka pun menyadari, bahwa orang-orang berilmu tinggi telah melibatkan dirinya meskipun tidak langsung. Kematian kedua orang itu, tentu bukannya tidak akan membawa akibat. Meskipun kedua orang itu dibunuh sendiri oleh gurunya, tetapi karena satu sebab yang dapat dituntutnya kepada kedua anak muda itu bersama Mahisa Agni dan Witantra sebagai orang-orang yang menyebabkan gurunya itu mengambil satu keputusan untuk mengakhiri hidup kedua muridnya.

Karena itu, maka ketika matahari kemudian mulai memanjat langit, maka ke empat orang itu pun telah melanjutkan perjalanan mereka ke Singasari dengan satu laporan yang sangat penting tentang usaha untuk membuat hutan-hutan menjadi gersang.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masing-masing telah menuntun seekor kuda yang ditinggalkan oleh kedua orang tawanan mereka yang terbunuh.

Tidak ada rintangan apa pun dalam perjalanan mereka yang pendek. Namun Mahisa Agni dan Witantra tertarik kepada seseorang yang berdiri di sebuah pematang. Orang yang berusaha melindungi wajahnya dengan sebuah caping bambu yang lebar. Namun terasa oleh Mahisa Agni dan Witantra, bahwa orang itu telah memperhatikan mereka berempat.

“Menarik sekali” disis Witantra, “meskipun semalam aku tidak sempat memperhatikan dengan seksama, tetapi rasa-rasanya orang itu mempunyai hubungan dengan orang yang bersenjata ular itu”

Mahisa Agnipun telah memperhatikan orang itu pula. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Sebaiknya kalian berada di sebelah kami, yang tua-tua ini. Biarlah orang itu dapat mengenali kami. Tetapi sebaiknya mereka tidak mengenalimu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya tidak ingin menyembunyikan dirinya. Tetapi mereka mematuhi perintah Mahisa Agni dan mereka pun kemudian berkuda di sebelah Mahisa Agni dan Witantra, sehingga keduanya tidak dapat dilihat dengan jelas oleh orang yang berada di pematang. karena dibayangi oleh kedua paman mereka.

Orang yang berdiri di pematang itu bergeser setapak. Orang itu berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan sekali-sekali merunduk mengusap tanaman yang hijau di bawah kakinya. Namun setiap kali, orang itu berdiri tegak dan memandang ke empat orang berkuda yang lewat. Ternyata orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah dua orang yang berkuda di sebelah kedua orang-orang tua yang diketahuinya memiliki kemampuan yang luar biasa.

Sebenarnyalah orang itu adalah orang yang memiliki kemampuan menguasai ular dan membuat bisanya bertambah tajam. Orang itu ingin melihat dengan jelas, ke empat orang yang telah menguasai kedua muridnya yang terpaksa dibunuhnya. Orang itu mengerti, bahwa seorang dari kedua orang tua berkuda itu adalah orang yang telah bertempur melawannya semalam. Yang tidak dapat ditundukkannya dengan senjata ularnya. Bahkan dengan ayunan senjatanya yang cepat, ular-ular itu menjadi terpotong-potong.

“Gila” geram orang bercaping lebar itu, “aku tidak dapat melihat kedua orang yang lain, yang nampaknya masih muda. Agaknya kedua orang tua itu menjadi curiga dan dengan sengaja membayangi kedua anak muda itu. Atau barangkali orang tua itu dapat mengenaliku”

Sebenarnyalah orang itu terkejut, ketika tiba-tiba saja, Witantra yang lewat berjarak sekotak sawah di depan orang itu telah mengangkat tangannya sambil memandanginya.

“Kau yakin bahwa orang itu adalah orang yang semalam kau kejar?” bertanya Mahisa Agni.

“Mungkin. Aku mencurigainya. Tetapi seandainya bukan, bukankah aku hanya sekedar melambaikan tanganku?” jawab Witantra.

Mahisa Agni pun tersenyum. Namun melihat sikap orang bercaping lebar itu, maka ia pun menjadi curiga. “Orang itu menjadi sangat gelisah dan bahkan berusaha untuk pergi” berkata Mahisa Agni.

“Mungkin orang itu benar-benar orang yang semalam aku kejar” jawab Witantra, “tetapi apakah kita akan melakukannya sekarang?”

Mahisa Agni termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Apakah ada gunanya?”

Witantra termenung sejenak. Kemudian ia pun menggeleng sambil menjawab, “Memang tidak ada gunanya. Ia akan dapat melarikan diri dan peristiwa yang demikian tentu akan sangat menarik perhatian”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia memandang orang bercaping lebar itu, maka orang itu pun telah beringsut semakin jauh. “Agaknya orang itupun mengerti, bahwa kita sedang membicarakan satu kemungkinan untuk menangkapnya” berkata Mahisa Agni.

Witantra tersenyum. Katanya, “Tetapi jika benar orang itu adalah orang yang semalam melemparkan ular-ularnya, ia pun tentu merasa, bahwa akupun dapat menelannya”

“Hanya karena kau melambaikan tanganmu” sahut Mahisa Agni.

Witantra tertawa. Sementara itu katanya kemudian kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Karena itu, kita harus berhati-hati menghadapinya. Ia adalah seorang yang tidak berdiri sendiri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Mahisa Agni berkata, “Kedua orang murid yang dibunuhnya itu mendendamnya sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang terakhir”

“Nama dan padepokan yang disebutnya, akan dapat menjadi petunjuk bagi kita untuk menelusuri” jejaknya.

"Tetapi aku masih ingin mendengar rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian. Apakah mereka masih akan menelusuri lembah dan lereng-lereng pegunungan atau mereka akan mempunyai rencana lain yang langsung berkaitan dengan usaha orang-orang tertentu untuk mengacaukan tatanan kehidupan di Singasari” berkata Witantra kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi merekapun mulai memikirkan langkah-langkah yang akan mereka lakukan kemudian.

Sementara itu, orang yang berada di pematang itu sudah menjadi semakin jauh di belakang mereka. Bahkan orang itu pun telah meninggalkan tempatnya, melangkahi parit dan justru mendekati jalan yang baru saja dilalui oleh ke empat orang berkuda dari Singasari itu.

“Gila” geram orang itu, “agaknya orang itu dapat mengenali aku. Dengan sengaja mereka melindungi kedua orang yang muda-muda itu, agar keduanya tidak menjadi sasaran dendamku, karena agaknya keduanya belum memiliki ilmu sebagaimana orang-orang tua itu”

Sejenak orang itu berdiri tegak memandangi kuda-kuda yang berjalan semakin jauh menyusuri bulak yang panjang. Baru sejenak kemudian, maka ia pun berjalan menuju ke arah yang berlawanan. Namun ia masih saja merasa bahwa dendamnya belum dapat dilunakkannya.

Tetapi iapun harus tetap menyimpannya sampai datang satu kesempatan. Karena ia merasa tidak akan dapat berbuat banyak terhadap kedua orang tua yang mengaku prajurit-prajurit Singasari itu. Namun menurut perhitungannya, kedua muridnya yang dibunuhnya itu tidak sempat mengatakan, siapakah ia sebenarnya dan berasal dari padukuhan dan padepokan mana.

Tetapi ternyata bahwa kedua orang muridnya yang diobati oleh Mahisa Agni. meskipun tidak menolong jiwanya, namun memberi kedua orang itu kesempatan untuk berbicara dan berpesan untuk membalaskan sakit hatinya.

“Untuk sementara aku harus melupakannya” berkata orang itu, “tetapi pada suatu saat, Sarpa Kuning akan menemukan satu cara untuk membalas sakit hati ini. Dua orang muridku sudah aku korbankan. Maka aku harus dapat membunuh prajurit Singasari sejumlah muridku yang terbunuh itu lipat lima”

Dalam pada itu. maka Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin jauh. Mereka tidak menghiraukan lagi orang bercaping lebar, meskipun Witantra kemudian yakin, bahwa orang itu adalah orang yang semalam telah bertempur melawannya.

Sejenak kemudian kuda mereka pun berlari semakin cepat, meskipun tidak terlalu kencang sebagaimana kuda-kuda itu sedang berpacu. Singasari memang tidak terlalu jauh lagi. Jika saja kedua orang tawanan itu tidak berkeras untuk beristirahat di perjalanan, karena mereka mempunyai rencana untuk berusaha melarikan diri, maka mereka memang tidak akan bermalam. Tetapi permintaan kedua tawanan itu untuk bermalam ternyata telah menyeret mereka kedalam maut. Meskipun dengan demikian Mahisa Agni dan Witantra pun telah kehilangan pula. Tetapi mereka membawa sedikit arah yang akan dapat mereka telusuri.

Namun dalam pada itu, mereka tidak langsung menuju ke Kota Raja. Mereka akan singgah lebih dahulu di rumah Mahendra, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan pulang lebih dahulu untuk berbicara tentang beberapa hal dengan ayahnya, sebelum mereka akan mulai lagi dengan satu petualangan yang baru, untuk melanjutkan petualangan mereka yang selalu terputus oleh beberapa sebab.

“Perjalanan yang pernah kita tempuh adalah perjalanan-perjalanan kerdil yang tidak banyak berarti” berkata Mahisa Murti, “kami ingin satu pengembaraan yang panjang dan penuh satu bagi pengalaman hidup kami di masa mendatang”

“Peristiwa yang terjadi itu mempunyai nilai yang besar sebagai satu pengalaman” jawab Mahisa Agni, “kau dapat mengetahui arti hijaunya lembah dan hijaunya lereng pegunungan. Jika yang hijau itu kemudian menjadi gundul, maka kegersangan itu akan mempunyai akibat yang sangat luas. Jangan menganggap bahwa hal itu bukan satu pengalaman yang berharga. Atau seandainya kau tidak menangkapnya sebagai satu pengalaman, maka perasaanmu memang tidak cukup peka menanggapi pengalaman yang berharga itu. Dengan demikian, maka kau tidak akan pernah merasa mendapatkan satu pengalaman pun berapa lamanya kau mengembara”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menundukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti kata-kata pamannya itu. Sebenarnyalah bahwa mereka telah mendapatkan satu pengalaman yang berharga. Dan bahkan pengalaman itu bukannya satu pengalaman yang tidak akan ada singgungannya lagi dengan masa-masa mendatang, karena Singasari masih harus menanggapi tantangan itu dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, meskipun mereka tidak mengucapkannya, mereka pun telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa dalam pengembaraannya mendatang, mereka akan berusaha untuk memperhatikan orang-orang yang dengan sengaja telah berusaha untuk mengacaukan tata kehidupan Singasari.

Namun dalam pada itu Mahisa Agni berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika kelak kau akan melanjutkan pengembaraanmu, maka kau harus mengisi pengembaraanmu dengan satu langkah yang berarti. Berarti dalam arti yang sebenarnya. Bukan saja bagi kalian sendiri, tetapi lebih-lebih lagi bagi lingkungan kalian. Karena itu, kalian akan menjadi pengembaraan bukan sekedar mengembara tanpa tujuan. Bukan sekedar melihat-lihat dunia yang luas ini dan mencari bekal bagi hidup kalian kelak. Tetapi langkah kalian harus berarti bagi satu lingkungan. Terutama bagi Singasari”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, mereka pun mulai menilai perjalanan yang pernah mereka tempuh. Apakah pengembaraan itu mempunyai arti seperti yang dikatakan oleh pamannya atau pengembaraan itu hanya berarti bagi diri mereka berdua.

Namun Mahisa Agni yang melihat gejolak perasaan itu di dalam diri kedua anak muda itu pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebenarnyalah apa yang kau lakukan, merupakan langkah-langkah yang baik. Ada hal-hal yang telah kalian lakukan. Kau telah melibatkan Singasari dalam beberapa persoalan. Dan itu adalah pertanda bahwa kau memang pengembara yang bukan sekedar mengembara. Tetapi kau mampu mengambil langkah-langkah penting di saat pengembaraanmu. Langkah-langkah yang bermanfaat bagi Singasari. Dan agaknya kau pun masih akan berbuat demikian, apalagi setelah kau mengetahui, bahwa ada pihak yang dengan sengaja ingin mengacaukan tata kehidupan Singasari”

Kedua orang anak muda itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa mereka memang seharusnya berbuat demikian, sebagaimana dikatakan oleh pamannya. Sehingga perjalanan yang akan mereka tempuh kelak bukan sekedar perjalanan yang tidak berarti apa-apa bagi sesama.

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Singasari. Sebagaimana mereka putuskan bahwa mereka akan singgah lebih dahulu di rumah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sebelum Mahisa Agni dan Witantra masuk kembali ke lingkungan istana.

Kedatangan mereka di rumah Mahendra telah disambut dengan gembira. Dengan wajah yang cerah Mahendra menemui kedua anaknya sambil bertanya, “Bukankah kalian selamat?”

“Ya ayah” jawab keduanya hampir bersamaan. Demikianlah, maka ke empat orang yang baru saja datang itu pun telah dipersilahkan naik ke pendapa.

“Kalian akan minum dan makan makanan lebih dahulu sebelum kalian membersihkan diri” berkata Mahendra ketika, beberapa macam makanan dan minuman dihidangkan.

Namun dalam pada itu Mahendra menjadi heran, bahwa mereka berempat, tetapi kuda yang ada di halaman berjumlah enam ekor. “Kuda siapakah yang dua itu?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dalam pada itu Mahisa Agni pun berkata, “Katakan kepada ayahmu apa yang telah terjadi”

Mahisa Murti lah yang kemudian menceriterakan apa yang telah dialaminya di sepanjang perjalanan. Sehingga akhirnya kedua orang yang sebenarnya akan dapat memberikan sedikit keterangan tentang usaha pengacauan tatanan pertanian di Singasari itu terbunuh oleh guru mereka sendiri, dengan cara yang mengerikan.

“Bukan main” berkata Mahendra, “agaknya ada satu rencana yang besar yang sudah tersusun”

“Ya” sahut Witantra "hal ini harus diketahui oleh kalangan istana. Satu-satunya nama yang paling mungkin dapat kita telusuri sekarang, adalah orang yang mengaku guru dari kedua orang yang terbunuh itu. Sebagaimana juga disebut olah kedua orang-tawanan itu”

“Namanya?” bertanya Mahendra.

“Ki Sarpa Kuning” jawab Witantra, “aku sudah menjajagi ilmunya. Meskipun ilmu kanuragannya masih dapat aku atasi, namun orang itu memiliki jenis senjata yang dahsyat” Witantra pun kemudian telah menceriterakan tentang ular dan bisa yang melampaui ketajaman bisa biasa.

Keterangan itu memang sangat menarik. Namun Mahendra pun menjadi berdebar-debar ketika kemudian ternyata bahwa kedua anaknya masih saja berniat untuk melanjutkan pengembaraannya meskipun mereka mengetahui gejolak yang sedang mengancam Singasari.

“Nampaknya beberapa orang Kediri tidak sedang bermain-main” berkata Mahendra, “kita bukan saja menghadapi kekuatan yang berkeliaran di hutan-hutan. Tetapi beberapa orang pemimpin Kediri telah menjadi jemu untuk tetap berada di bawah kuasa Singasari. Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk pada suatu saat dapat bangkit dan bermimpi tentang Kediri pada masa kejayaannya. Sebelum Tumapel yang kecil itu dapat mengalahkan Kediri dan kemudian mendirikan Singasari”

Kedua anaknya mengangguk-angguk. Mereka juga sudah mendengar hal itu dikatakan baik oleh Mahisa Agni maupun oleh Witantra, Dan mereka pun menyadari keadaan yang semakin menjadi gawat. Tetapi semuanya itu tidak mematahkan keinginan mereka, untuk melakukan pengembaraan.

“Baiklah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” berkata Mahisa Agni, “jika kalian memang berkeras untuk mengembara dan mencari pengalaman baru, terutama untuk mengenali hubungan antara Kediri dan Singasari, maka kalian harus mengadakan, persiapan yang lebih baik. Yang baru saja kita lihat adalah kekuatan bisa yang tajamnya melampaui ketajaman bisa biasa. Kemudian hutan di lereng pegunungan yang akan dihancurkan agar tanah persawahan menjadi kehilangan kesempatan di segala musim untuk ditanami. Di musim hujan akan terjadi banjir dan di musim kering akan menjadi ladang batu padas yang keras dan pecah-pecah karena tidak ada setitik air pun yang dapat membasahinya”

“Kami akan berusaha untuk mengatasi setiap kesulitan paman” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi kau tidak akan dapat mengatasi bisa ular itu tanpa pertolongan orang lain. Karena itu, kau harus menunggu sehingga seorang tabib istana akan menyiapkan obat untuk melawan bisa ular itu. Sementara itu luka-lukamu akan dapat disembuhkannya. Ingat, Sarpa Kuning itu telah mendendam kita. Ia memerlukan menunggu kita lewat untuk mengenali wajah-wajah kita di siang hari”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka pun tidak memaksa diri untuk segera berangkat sebagaimana dipesan oleh pamannya. Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun akan segera kembali ke istana. Mereka harus melaporkan apa yang diketahuinya. Sementara itu mereka harus menyiapkan sejenis obat yang dapat melawan racun yang sangat tajam.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah bersepakat dengan Witantra, bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa pengawasan. Disadari atau tidak disadari oleh anak-anak muda itu. Ketika Mahisa Agni dan Wintantra pergi istana, maka mereka telah membawa dua ekor kuda dari tawanan mereka yang terbunuh.

Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan beristirahat barang satu dua hari di rumahnya sendiri. Tetapi pengembaraan mendatang, akan merupakan pengembaraan yang lebih berat lagi keduanya karena, mereka harus mengamati beberapa hal yang akan langsung mempunyai sentuhan atas Singasari.

Ternyata berita yang dibawa oleh Mahisa Agni dan Witantra memang sangat menarik perhatian. Bagaimanapun juga berita itu tidak dapat diabaikan oleh orang-orang Singasari. Jika rencana itu benar-benar akan dijalankan oleh orang-orang yang mendapatkan perintah dari satu dua orang bangsawan Kediri yang tidak lagi dapat menahan diri untuk terus berada di bawah kekuasaan Singasari, maka semakin lama persoalannya akan menjadi semakin gawat. Tetapi Singasari juga tidak tergesa-gesa. Para pemimpin Singasari harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menentukan satu sikap.

Dalam pada itu, di samping persoalan yang masih akan banyak dibicarakan dan diurai segala seginya, Mahisa Agni dan Witantra telah menghubungi seseorang yang memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai bisa ular yang melampaui ketajaman bisa kebanyakan.

“Untuk apa” bertanya tabib yang berambut putih seperti kapuk itu meskipun ia masih nampak tegap.

“Seseorang telah menyerang lawannya dengan ular. Sejenis ular bandotan. Tetapi obatku tidak dapat menolongnya” jawab Mahesa Agni.

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, “Siapa orangnya?”

“Menurut dua orang muridnya yang terbunuh, namanya Ki Sarpa Kuning” jawab Mahisa Agni.

“Ki Sarpa Kuning” orang itu mengulang. Wajahnya menjadi tegang.

“Kau sudah pernah mendengar namanya” bertanya Witantra.

“Sarpa Kuning dari Banjar Kuning?” bertanya orang itu pula.

Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Ya. Ki Sarpa Kuning dari padepokan yang disebutnya Banjar Kuning”

Orang berambut putih seperti kapuk itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengenal namanya. Ia adalah orang yang menguasai ilmu tentang bisa. Adalah wajar bahwa kalian tidak akan dapat melawan kemampuannya. Namun ia bukan saja orang yang mengerti dan memahami tentang bisa dan racun. Tetapi ia juga seorang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan”

“Ya” jawab Witantra, “ia memang memiliki kemampuan itu. Karena itu, maka seseorang harus memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya. Setidak-tidaknya seseorang harus memiliki obat penawar bisa yang sangat tajam itu”

Orang berambut seputih kapas itu mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya. “Apakah kalian akan mencoba mengunjungi padepokannya?”

“Kami tidak akan dengan sengaja mencari persoalan dengan padepokan Banjar Kuning. Tetapi jika pada suatu saat, hal itu terjadi, maka kami memang harus bersiap menghadapinya. Terutama bisa dan racunnya”

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha menyiapkan obat yang dapat melawan ketajaman racun orang-orang Banjar Kuning. Meskipun demikian, jangan menganggap bahwa dengan reramuan itu, kalian sudah benar-benar terbebas dari cengkaman racun yang dibuat oleh orang-orang padepokan Banjar Kuning”

“Kami mengerti” jawab Mahisa Agni, “nampaknya orang-orang Banjar Kuning memang memiliki kelebihan. Terutama orang pertama di padepokan itu”

“Ia bukan saja menguasai racun. Tetapi ia menguasai ular-ular itu sendiri yang dapat dipergunakannya sebagai senjatanya” sambung Witantra.

Orang berambut putih itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku memerlukan waktu beberapa hari. Pada saatnya aku akan manghubungimu”

“Beberapa hari?” bertanya Mahisa Agni, “apakah kau dapat menyebutkan, berapa hari yang kau perlukan”

“Apakah kau sangat tergesa-gesa?” bertanya orang itu.

“Bukan aku yang tergesa-gesa. Aku tidak akan pergi kemanapun dalam waktu dekat. Tetapi kemenakanku” jawab Mahisa Agni.

“Kemanakanmu. Anak Mahendra itu yang kau maksud?” bertanya orang berambut putih itu pula.

“Ya. Ia akan mengembara menjelajahi lereng pegunungan” jawab Mahisa Agni, “karena kami saat itu telah terlihat dalam satu persoalan dengan orang-orang padepokan Banjar Kuning, maka kami tidak dapat melepaskan anak-anak itu tanpa bekal”

“Mahisa Bungalan, maksudmu?” bertanya orang itu pula.

“Bukan. Kedua adiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab Witantra.

Orang berambut putih itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kalian nampaknya terlalu kurang berhati-hati menghadapi orang-orang padepokan Banjar Kuning. Kau kira anak-anak itu akan dapat mengatasinya, jika benar-benar mereka terlibat dalam satu persoalan dengan padepokan Banjar Kuning”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Namun dalam pada itu Mahisa Agni pun bertanya, “Apakah kau banyak mengerti tentang Banjar Kuning?”

“Tidak terlalu banyak. Tetapi aku pernah mengenal. Kami adalah orang-orang yang memperdalam pengetahuan kami tentang bisa dan racun. Pada satu saat kami telah pernah bertemu. Namun aku tidak akan pernah dapat berbuat sesuatu yang tidak aku kehendaki, karena ia memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Selebihnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, sementara aku pun memperdalam ilmu tentang racun itu dengan caraku sendiri” berkata orang beramhut putih itu.

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Meskipun orang berambut putih itu menurut pengenalan Mahisa Agni dan Witantra juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi mereka percaya bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu memang memiliki ilmu kanuragan yang lebih baik. Apalagi Witantra sendiri memang pernah menjajagi ilmu orang itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun tidak dapat memaksa orang itu bekerja lebih cepat. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menunggu, sesuai dengan waktu yang disediakan oleh orang berambut putih itu.

“Demikian lamanya” keluh Mahisa Murti.

“Kau tidak dapat memaksanya untuk bekerja lebih cepat, jika kau menghendaki hasil yang benar-benar mampu melawan bisa yang sangat tajam” berkata Mahendra. Namun dalam pada itu, Mahendra ternyata telah mempunyai satu rencana sendiri, meskipun ia tidak mengabaikan rencana yang sudah dibuat oleh Mahisa Agni dan Witantra tentang obat racun dan bisa itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menghadap ayahnya, di serambi pada satu sore, maka Mahendra itu pun berkata, “Kalian memang harus membawa obat yang baik untuk melawan racun. Karena itu, maka kalian harus menunggu” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “tetapi memang ada cara lain untuk melawan racun dan bisa yang sangat keras itu”

Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya, “Apakah ayah bersedia memberikan cara itu. Atau setidak-tidaknya memberikan petunjuk untuk melakukannya?”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya. “Duduklah dengan tenang. Aku akan mengambil sesuatu”

Kedua anak muda itu tidak menjawab. Mereka duduk tanpa beringsut setapak pun sambil menunggu Mahendra yang sedang masuk ke ruang dalam. Ketika Mahendra itu keluar, maka ia pun membawa dua buah kotak kayu kecil di kedua tangannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi keduanya menjadi hampir tidak sabar.

“Apa itu ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

Tetapi Mahendra tidak segera menjawab. Ia pun kemudian duduk kembali seperti semula dan meletakkan kedua kotak kecil itu di hadapannya. Sejenak kemudian, maka ia pun berkata, “Pada saatnya, kalian akan mendapat beberapa bumbung kecil yang berisi bermacam-macam obat. Antara lain, obat untuk melawan racun dan bisa. Karena obat-obat itu akan sangat berarti bagi kalian dan mungkin orang lain yang kalian jumpai mengalami kecelakaan di perjalanan atau di tempat-tempat lain yang kalian lalui”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara Itu Mahendra meneruskan, “Namun selain obat-obat itu, sebenarnya, aku mempunyai sesuatu yang dapat aku berikan kepada kalian justru setelah aku mengetahui, bahwa kalian telah terlibat dalam satu permusuhan dengan orang-orang padepokan Banjar Kuning yang memiliki kekhususan kemampuan tentang bisa dan racun”

“Apakah ayah mengenal mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk jawabnya, “Aku mendengar tentang mereka dari kalian dan paman-pamanmu Mahisa Agni dan Witantra”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu Mahendra pun melanjutkan, “Anak-anakku. Bukan berarti aku tidak percaya kepada obat-obat yang akan kau bawa. Tetapi di samping obat-obat itu, aku ingin memberikan kepada kalian untuk meyakinkan, agar kalian benar-benar tidak hancur karena racun itu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tidak sabar. Tetapi mereka masih terpaksa menunggu. Dalam pada itu Mahendra pun telah membuka kedua kotak yang ada di hadapannya sambil berkata, “Sebagaimana kalian ketahui, aku adalah seorang pedagang wesi aji dan juga bebatuan yang memiliki tuah. Yang kalian lihat ini adalah benda-benda yang memiliki kekuatan yang khusus”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser maju. Sambil menunjukkan selingkar cincin Mahendra berkata, “Cincin ini bermata sebuah batu akik berwarna gelap. Akik ini memiliki khasiat untuk melawan bisa ular. Akik ini oleh seseorang telah diberikan kepadaku. Bukan sebagai barang yang diperdagangkan. Tetapi tanpa aku ketahui sebabnya, ia telah memberikannya kepadaku”

“Siapa ayah?” berkata Mahisa Murti.

“Seorang tua di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari Kota Raja. Padukuhan itu termasuk dalam daerah Kabuyutan Malawi. Orang itu menyebutnya akik Jamur Gunung” jawab Mahendra. Lalu katanya, “seseorang yang memakai cincin ini dan terkena racun atau bisa, betapapun juga tajamnya, maka racun dan atau bisa itu tidak akan dapat membunuhnya”

Wajah kedua anak muda itu menjadi cerah. Sebelum Mahendra mengatakan sesuatu, keduanya sudah menduga, bahwa isi kotak yang lain pun memiliki pula satu kekuatan. Sebenarnyalah, Mahendra pun kemudian memberitahukan, bahwa yang berada di kotak yang lain adalah sebuah gelang dari sepotong akar berwarna keputih-putihan. Seperti akik Janur Gunung maka akar Kayu Bule itu pun mempunyai kekuatan untuk melawan bisa. Siapapun yang memakai gelang akar Kayu Bule itu, maka ia akan terbebas dari ketajaman racun dan bisa.

“Mengingat perjalanan ini kepada kalian. Terserah, siapakah yang akan memakai cincin, dan siapakah yang memilih gelang."

Kedua anak muda itu pun saling berpandangan sesaat. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, keduanya pun memandangi kotak yang ada di hadapan ayahnya itu. Yang sebuah berisi cincin bermata batu akik berwarna gelap, sedangkan yang lain berisi sebuah gelang yang berwarna keputih-putihan yang terbuat dari sejenis akar. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri.

Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang kemudian berkata, “Tetapi kalian masih harus membuktikannya. Kelak, apabila obat yang dipesan oleh kedua pamanmu itu sudah siap, maka kita akan mencoba benda-benda ini. Jika ternyata bahwa benda-benda ini tidak berkhasiat, maka kita akan dapat mengobatinya dengan obat-obat yang tentu sudah diperhitungkan untuk melawan bisa yang paling kuat sekalipun”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka tidak sabar untuk membuktikan khasiat dari kedua benda itu. Namun mereka tidak akan dapat memaksa ayahnya, karena jika kedua benda itu ternyata tidak memiliki khasiat seperti yang dikatakan oleb ayahnya itu, maka tidak ada obat yang akan dapat menolong lagi.

Demikianlah, untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus tetap berada, di rumahnya. Rasa-rasanya mereka telah menunggu untuk waktu yang tidak terbatas. Namun mereka dapat juga memanfaatkan waktu yang menggelisahkan itu dengan berada di dalam sanggar. Bukan saja mereka berdua, tetapi mereka berada di dalam sanggar bersama ayah mereka.

Mahendra dapat menduga, bahwa kedua anaknya itu akan mengembara ke daerah yang gawat dalam jelajah orang-orang berilmu. Karena itu, maka tidak ada bekal yang lebih baik yang dapat diberikannya kecuali mendalami ilmu yang telah diberikannya.

Setelah untuk beberapa saat mereka menunggu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya melihat kehadiran kedua orang pamannya di rumahnya. Dengan tergesa-gesa keduanya menyongsongnya. Sedangkan pertanyaan yang pertama yang dilontarkan oleh Mahisa Pukat adalah, “Apakah paman sudah mendapatkah obat itu?”

Mahisa Agni dan Witantra tersenyum. Sambil meloncat turun dari kudanya Mahisa Agni berkata, “Sabarlah. Apakah kami tidak akan kau persilahkan naik?”

“Oh” Mahisa Pukat menjadi gagap. Sementara Mahisa Murti lah yang menyambung, “Marilah paman. Silahkan naik ke pendapa”

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian naik ke pendapa sementara, Mahisa Pukat telah memberitahukan kepada ayahnya, bahwa kedua pamannya telah datang.

“Apakah mereka telah membawa obat itu?” bertanya Mahendra.

“Entahlah ayah” jawab Mahisa Pukat, “silahkan ayah bertanya langsung kepada paman Mahisa Agni atau paman Witantra”

Mahendra mengangguk-angguk. Ia pun kemudian pergi ke pendapa menemui Mahisa Agni dan Witantra. Dalam pembicaraan berikutnya ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantra telah membawa obat-obat yang diperlukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam pengembaraan mereka. Bukan saja obat penawar bisa, tetapi juga obat untuk luka-luka yang baru oleh goresan senjata yang tidak beracun. Juga obat untuk beberapa macam penyakit yang akan dapat mereka pergunakan untuk diri mereka sendiri, atau untuk orang lain yang memerlukannya.

Mahisa Pukat yang tidak sabar lagi, tiba-tiba saja telah memotong pembicaraan, “Ayah. Bukankah ayah akan mencoba kemampuan kedua benda yang pernah ayah perlihatkan itu? Sekarang paman Mahisa Agni dan paman Witantra telah membawa obat yang ayah kehendaki”

Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan dahi. Namun Mahendra tersenyum sambil berkata, “Aku akan melakukannya. Tetapi tidak sangat tergesa-gesa. Biarlah pamanmu beristirahat. Mungkin pamanmu akan tinggal disini dua tiga hari”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah ayah. Paman agaknya memang akan tinggal di sini beberapa hari”

Tetapi dalam pada itu. Witantra menjawab, “Tidak Mahisa Pukat. Kami tidak akan tinggal lebih dari satu malam di sini”

“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak ada apa-apa. Tetapi kita harus membicarakan beberapa persoalan-persoalan dan langkah-langkah yang dapat yang lakukan untuk mencegah orang-orang yang dapat mengganggu tatanan yang sudah ada”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Hal itu memang harus di tanggapi dengan cepat”

“Kami akan berbuat apa saja untuk hal itu” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Karena itu, kami akan melanjutkan pengembaraan kami”

“Bagus. Bagus. Kalian memang akan melanjutkan pengembaraan kalian” jawab ayahnya, “dan karena itulah maka kedua pamanmu itu datang kemari”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, namun mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Demikianlah, setelah Mahisa Agni dan Witantra beristirahat, berbincang-bincang sejenak, maka mereka pun mulai mempertanyakan obat yang telah pernah mereka bicarakan sebelumnya.

"Apakah kau sudah mendapatkan?” bertanya Mahendra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Kami sudah mendapatkannya. Obat yang tentu akan sangat bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."

Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Namun demikian, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada kalian berdua tentang bisa ular dan racun yang tajam”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk kecil. Kemudian dengan ragu-ragu, Witantra bertanya, “Apa yang kau maksud Mahendra”

Mahendra memandang kedua orang tamunya itu berganti-ganti. Namun kemudian katanya, “Bukan maksudku memperkecil arti dari usaha kalian berdua. Kami sangat berterima kasih atas beberapa jenis obat-obatan yang akan dapat mereka bawa dalam pengembaraan mereka. Namun demikian ada sesuatu yang ingin aku katakan”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu Mahendra pun segera menceriterakan apa yang akan dilaksanakan dengan kedua anaknya. Ia pun mengatakan, bahwa ia ingin mencoba, apakah benar bahwa benda-benda yang dimilikinya itu, mempunyai kekuatan yang dapat menawarkan segala macam bisa dan racun.

Witantra dan Mahisa Agni pun mengangguk-angguk setelah mereka mendengarkan ceritera Mahendra. Bahkan kemudian Mahisa Agni pun berkata, “Aku sependapat Mahendra. Benda-benda itu memang harus dibuktikan. Apakah memang memiliki kekuatan seperti yang dimaksud atau tidak Jika benar-benar benda-benda itu memiliki kekuatan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan merasa diri mereka lebih aman terhadap gangguan racun”

“Jika kalian tidak berkeberatan, biarlah kita mencobanya atas kedua orang anak muda itu” berkata Mahendra. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Witantra, maka Witantra pun berkata, “Aku percaya sepenuhnya atas obat yang telah kita bawa. Karena itu, maka aku tidak berkeberatan untuk melakukan percobaan terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Demikianlah, setelah mereka memperbincangkannya beberapa saat. akhirnya ketiga orang tua itu mengambil keputusan, bahwa percobaan atas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dilakukan Mereka bertiga akan bertanggung jawab, seandainya terjadi sesuatu atas kedua orang anak muda itu. Namun bagaimanapun juga Mahendra menjadi sangat tegang ketika percobaan itu dilakukan. Soalnya bukan sekedar bertanggung jawab bersama dengan Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah anaknya.

Mahisa Murti lah yang kemudian mengenakan cincin bermata batu akik yang disebut Jamur Gunung Kemudian Mahisa Pukat memakai gelang akar Kayu Bule. Yang membesarkan hati Mahendra adalah kedua anaknya itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya, sedangkan Mahisa Agni dan Witantra pun yakin akan kemanjuran obat yang mereka bawa, sehingga seandainya benda-benda itu tidak mempunyai khasiat sebagaimana dikatakan orang, maka kedua anak muda itu akan dapat diobati oleh Mahisa Agni dan Witantra.

Setelah segala persiapan dilakukan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di dalam sanggar. Keris milik Mahendra yang terkenal karena warangannya yang sangat keras, akan dipergunakannya untuk mencoba, apakah benda-benda itu benar-benar berkasiat. Demikianlah, perlahan-lahan, Mahendra sendiri telah menggoreskan ujung kerisnya yang diberi warangan yang sangat keras itu pada kulit kedua orang anak-anaknya.

Sejenak ketegangan telah mencengkam. Dengan jantung yang berdegupan, ketika orang tua itu menunggu akibat yang dapat terjadi atas kedua anak muda itu. Namun Mahisa Agni dan Witantra telah mempersiapkan obat yang mereka bawa dan siap untuk dipergunakan setiap saat.

Namun ternyata bahwa setelah beberapa saat keris itu digoreskan, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak mengalami sesuatu selain ketegangan jiwa. Bagaimanapun juga, mereka harus menahan gejolak perasaan mereka. Meskipun mereka sama sekali tidak mengalami ketakutan tetapi keinginan mereka untuk segera mengetahui hasil dari percobaan itulah yang membuat mereka menjadi sangat tegang.

Setelah beberapa saat mereka menunggu dan tidak terjadi perubahan sesuatu atas kedua orang anak muda itu, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Bagaimana perasaan kalian sekarang”

Hampir berbareng keduanya menjawab, “Tidak apa-apa”

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun kemudian Mahisa Agni yang telah mendekati kedua anak muda itu berkata, “Tunjukkan luka-luka kalian”

Kedua anak muda itu menunjukkan luka di lengannya. Ternyata bahwa pada luka itu telah mengalir darah. “Darah” desis Mahisa Agni.

Sejenak orang-orang yang ada di dalam sanggar itu membeku, namun sejenak kemudian mereka pun menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, dari luka di lengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengalir darah yang berwarna merah kehitam-hitaman. Namun sejenak kemudian darah itu seolah-olah menjadi semakin merah dan cerah.

“Luar biasa” desis Mahisa Agni, “dari mana kau mendapatkan kedua jenis benda itu?”

Mahendra memandang luka di kedua lengan anaknya itu dengan tajamnya. Namun kemudian jawabnya, “Orang-orang yang baik hati telah memberikan benda-benda itu kepadaku. Pemberian yang ternyata sangat berharga”

“Meskipun demikian, luka itu harus diobati” berkata Witantra kemudian, “keduanya benar-benar telah terbebas dari racun. Selain keduanya tidak merasakan sesuatu pada tubuh mereka, darah itu merupakan pertanda, bahwa racun itu tidak merusak bagian dari tubuhnya, karena racun itu telah terdesak keluar oleh kekuatan yang tumbuh di dalam diri kedua anak itu oleh pengaruh benda-benda yang dikenakannya“

“Ya. Ya” jawab Mahendra sambil mengangguk-angguk, “luka itu memang harus diobati. Tetapi luka itu tidak lebih dari luka biasa karena goresan ujung benda tajam”

Demikianlah, setelah luka-luka itu diobati, maka mereka pun telah keluar dari sanggar. Ketika mereka sudah duduk di pendapa, sambil tersenyum Mahisa Agni berkata, “Jika aku tahu, kau memiliki benda-benda itu, maka aku tidak perlu menunggu beberapa hari selama obat untuk melawan bisa itu dipersiapkan.

“Tanpa persediaan obat itu. aku tidak akan berani mencoba, apakah benda-benda itu memang berkasiat” jawab Mahendra.

Witantra tertawa. Katanya, “Bagaimanapun juga obat-obat itu mempunyai arti. Dengan persediaan obat itu, Mahendra berani mencoba melihat khasiat benda itu. Sementara itu, obat itu pun akan sangat berarti bagi orang lain yang memerlukan pertolongan”

Mahisa Agni pun tertawa. Katanya, “Ya Kalian akan dapat memanfaatkan obat-obat itu. Tetapi yang aku tidak mengerti, seandainya ada orang yang terkena racun, jika seketika orang itu mengenakan benda-benda yang dimiliki oleh anak-anak itu, apakah racun itu juga akan tawar?”

“Demikianlah menurut keterangan pemiliknya yang memberikan benda-benda itu kepadaku” jawab Mahendra, “seandainya ada seseorang yang terkena racun atau dipagut ular, maka dengan menempelkan benda-benda itu pada tubuh korban, maka racun itu akan menjadi tawar”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Benda-benda itu tentu lebih baik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dari pada obat yang akan dibawanya. Dengan benda-benda itu melekat di tubuh mereka, maka mereka akan langsung terhindar dari racun yang menyerang mereka dari manapun datangnya. Tanpa memerlukan waktu sebagaimana mereka harus mengobati luka-luka mereka. Apalagi benda-benda itu pun akan dapat menolong orang lain yang juga terserang racun.

Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Witantra telah menyerahkan obat yang mereka dapatkan dari istana itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mungkin orang lain akan memerlukannya.

Dengan demikian, maka niat Mahisa Murti dan mahisa Pukat untuk menempuh pengembaraan lagi menjadi semakin kuat. Rasa-rasanya mereka ingin saat itu juga berangkat. Bekal mereka menjadi semakin lengkap dengan benda-benda yang dapat melawan bisa, sementara ayahnya telah memberikan beberapa petunjuk terpenting dalam puncak kemampuan ilmu mereka.

“Perjalanan itu akan terasa semakin menyenangkan” berkata Mahisa Pukat.

“Kita akan segera dapat melihat, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang yang memesan kapak itu Mudah-mudahan kita tidak terlambat mengatasi rencana mereka yang mengerikan itu. Banjir di setiap tahun dan kekeringan di setiap tahun pula” sahut Mahisa Murti.

“Tetapi hati-hatilah” pesan Mahisa Agni, “hal itu bukan sekedar akan kau lihat di lereng pegunungan. Yang terjadi di lereng pegunungan itu ternyata dikendalikan oleh beberapa orang yang mempunyai pengaruh yang kuat di Kediri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Witantra pun berkata, “Mungkin kau tidak dapat membayangkan, betapa besarnya yang kau hadapi karena kau belum mengetahui berapa besarnya pengaruh para bangsawan di Kediri. Karena itu, maka kau merasa sama sekali tidak cemas menghadapi mereka. Seperti anak-anak yang sama sekali tidak takut memegang api. Baru ketika tangannya terbakar, ia menyadari, bahwa api itu dapat menyakitinya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi mereka benar-benar mulai berpikir. Bahkan perjalanan mereka mendatang, memang perjalanan yang penuh dengan bahaya. Apalagi jika mereka benar-benar ingin mengetahui dan lebih-lebih lagi untuk mencegah orang-orang yang menjadi alat orang-orang tertentu di Kediri.

Namun niat kedua orang anak muda itu sudah bulat. Nampaknya sudah tidak ada lagi yang dapat menghalangi mereka Karena itu, maka yang tua-tuapun hanya dapat memberikan pesan dan nasehat, apa yang harus diketahui oleh anak-anak muda yang jiwanya sedang bergejolak. Jiwanya yang mekar dan berkembang. Mahendra menyadari, jika jiwa yang sedang mekar itu dibendungnya, maka pada suatu saat justru akan meledak dan akibatnya akan tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera bersiap-siap. Ketika Mahisa Agni dan Witantra kembali ke Singasari. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun itu rasa-rasanya tidak tercegah lagi.

“Baiklah” berkata Mahendra, “tetapi kalian harus mempergunakan pengalaman kalian sebaik-baiknya. Mungkin kalian akan berhadapan dengan keadaan yang sangat sulit untuk di atasi, mungkin kalian mengalami satu kesulitan yang sangat gawat. Tidak ada orang lain yang akan dapat membantu selain kalian berdua sendirilah yang harus mengatasinya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk Sementara Mahendra berkata lebih jauh, “Namun bagaimanapun kalian akan dapat berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnyalah kalian tidak pernah sendiri dalam arti yang sebenarnya. Jika kalian memohon kepadaNya, maka sebenarnyalah doa kalian akan terkabul”

Demikianlah, maka pada satu hari yang sudah ditentukan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan rumah mereka untuk mengulangi pengembaraan mereka. Keduanya merasa bahwa peristiwa-peristiwa yang memaksa mereka kembali kepada ayah mereka. Namun ternyata bahwa gejolak mereka untuk pergi mengembara masih bergelora. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat untuk tidak membawa kuda dalam pengembaraan mereka. Seperti saat-saat mereka berangkat terdahulu, mereka pun tidak membawa kuda.

Namun dalam pada itu, mereka telah sepakat pula untuk mengambil arah yang lain. Mereka tidak akan pergi ke kabuyutan-kabuyutan yang pernah dilewati. Apalagi Kabuyutan-Kabuyutan yang pernah menumbuhkan kesan tersendiri dihati mereka. Karena itu, maka mereka telah memilin arah yang berlawanan sama sekali dengan arah yang pernah mereka tempuh sebelumnya.

Seperti perjalanan-perjalanan yang lain, yang pernah dilakukannya, maka terasa udara pagi itu sangat cerah. Langit nampak biru bersih. Sementara matahari masih membayang di langit dengan warnanya yang merah. Betapa lembutnya angin, sehingga dedaunan yang bergerak hampir tidak dapat dilihat oleh mata wadag.

Ketika sesaat kemudian, matahari mulai menjenguk dari balik cakrawala, maka udara menjadi semakin ceria. Burung-burung liar bersiul bersahutan. Seolah-olah saling menyapa setelah mereka tidur nyenyak sepanjang malam hari.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan perlahan-lahan. Tidak ada yang mengejar mereka untuk tergesa-gesa. Dengan wajah yang cerah pula seperti pagi hari itu, mereka melihat orang-orang yang berjalan beriring pergi ke pasar.

Ada yang membawa hasil bumi mereka, ada yang membawa hasil ketrampilan tangan mereka. Bahkan ada diantara mereka yang-membawa serentengikan air dan sekepis lainnya hasil kerjanya semalam-malaman. Dengan sehelai jala mereka menyusuri sungai untuk mencari ikan yang akan dapat ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Satu kerja tambahan di samping kerja di sawah di malam hari.

Namun selain mereka yang pergi ke pasar, ada juga orang-orang yang langsung pergi ke sawah. Dengan cangkul dipundak mereka menyusuri pematang untuk melihat, apakah sawah mereka tidak kekeringan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan terus dengan tenangnya. Ketika mereka sebuah bukit di kejauhan, maka Mahisa Murti berkata, “Kita akan melingkari bukit itu. Kita akan sampai ke daerah yang menjadi sasaran penebangan itu dari arah yang lain dari yang pernah kita lakukan”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Meskipun mereka berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan perjalanan mereka yang terdahulu, namun.mereka tetap ingin melihat, apa saja yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang pernah mencegat perjalanan mereka kembali dengan membawa dua orang tawanan yang telah terbunuh di perjalanan.

“Orang yang bermain-main dengan bisa itu harus dapat dicari jejaknya” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya. Mereka tidak lagi merasa ngeri dengan bisa dan racun yang betapapun kerasnya yang dapat dibuat oleh orang yang bernama Ki Sarpa Kuning itu.

Perjalanan mereka di hari pertama sama sekali tidak menjumpai persoalan yang menarik. Sekali ketika mereka singgah di sebuah kedai, beberapa anak muda telah memperhatikan mereka. Seorang diantara mereka agaknya dengan sengaja ingin memancing persoalan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk tidak melayani mereka, sehingga karena itu, maka tidak terjadi sesuatu atas kedua anak muda itu, meskipun jantung mereka terasa sakit karena mereka memaksa diri untuk menghindar.

“Masih juga ada anak-anak muda yang tidak mempunyai pekerjaan” desis Mahisa Murti ketika mereka sudah keluar dari padukuhan itu.

“Aku ingin memberikan sedikit peringatan seandainya kau tidak mencegahnya” guman Mahisa Pukat.

“Tidak ada gunanya, selain membangkitkan dendam di hati mereka. Jika kemudian ada pengembara berikutnya yang lewat di padukuhan mereka, akan dapat menjadi sasaran kebencian mereka kepada setiap pengembara” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan demikian pengembara yang tidak tahu apa-apa, akan dapat menjadi sasaran dendam mereka. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti keterangan Mahisa Murti. Namun bagaimanapun juga, kadang-kadang ia sulit untuk menahan diri, agar ia tidak tersinggung Karenanya.

Demikianlah keduanya berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Mereka berusaha untuk mengambil jalan melingkar, sehingga mereka akan dapat mengetahui apa yang terjadi di berbagai tempat, sebelum mereka akan berhubungan dengan orang-orang yang telah mendapatkan tugas yang akan dapat dengan perlahan-lahan membuat Singasari menjadi sangat lemah. Dan merekapun harus mempersiapkan diri untuk menemui orang-orang dari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning.

Dihari-hari pertama dari perjalanan mereka, keduanya tidak menjumpai masalah yang berarti. Namun keduanya menjadi heran, bahwa hampir di setiap tempat mereka bertemu dengan anak-anak muda yang dalam kelompok-kelompok kecil berusaha membangkitkan perselisihan.

“Aneh” berkata Mahisa Murti.

“Hampir dimana-mana” berkata Mahisa Pukat, “tetapi aku justru menjadi terbiasa”

“Apakah tidak ada kerja yang lebih baik dari anak-anak itu selain mengganggu orang lain” gumam Mahisa Murti.

Tetapi keduanyapun melihat pula kelompok-kelompok anak-anak muda yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Dengan gembira mereka berdendang sambil mencangkul sawahnya. Seorang anak muda yang duduk di atas ujung garunya, dengan menggenggam cambuk di tangan, memandang gumpalan-gumpalan lumpur di bawah kakinya dengan cerah, sebagaimana ia memandang hari depan. Sawahnya itu kelak akan menghasilkan bagi kesejahteraan keluarganya. Sementara itu, anak-anak dengan riang bekerjanya sambil menggembalakan kambingnya di rerumputan yang hijau segar.

Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian berjalan menyusuri tebing sungai, terdengar Mahisa Pukat mengeluh, “Jika tidak segera dapat di atasi, maka sawah itu akan rusak. Banjir bandang yang akan merusakkan tanaman, dan kekeringan yang menggelisahkan”

“Kita akan membantu mereka” berkata Mahisa Pukat, “kita akan melihat, apa yang akan terjadi di lereng pegunungan”

Mahisa Murti mengangguk-angguk Namun kemudian katanya, “Ternyata di antara mereka yang bekerja keras, masih ada anak-anak muda yang kehilangan hari-harinya yang paling berharga. Mereka menyia-nyiakan masa muda mereka dengan tingkah laku yang tidak terkekang”

“Apakah kita juga memanfaatkan masa-masa muda kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya” jawab Mahisa Murti, “kita sudah menuntut ilmu kanuragan dan sedikit kajiwan. Sekarang kita berusaha untuk mendapatkan penglaman. Mungkin pengalaman kita akan berbeda dengan pengalaman anak muda yang sedang menggarap sawahnya itu. Juga berbeda dengan anak muda yang membantu ayahnya menjadi pande besi atau anak-anak muda yang mulai mengembangkan kemampuannya untuk berdagang. Dan berbeda pula dengan Kakang Mahisa Bungalan yang berada di dalam lingkungan keprajuritan”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan pengalaman yang akan kita dapatkan itu akan bermanfaat”

“Tentu” jawab Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu,. Mahisa Pukat pun berkata, “Tetapi, lihatlah pegunungan itu. Hutan yang lebat bagaikan tidak bercelah-celah. Apakah mungkin sekelompok orang akan menebangi pepohonan itu sehingga hutan akan-menjadi gundul. Coba bayangkan, kira-kira. akan dapat mereka lakukan berpuluh-pulh tahun. Sedangkan pepohonan yang muda telah tumbuh dan menjadi besar, sehingga lereng pegunungan itu akan tetap menjadi hijau”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian jawabnya, “Kita masih belum tahu pasti, apa yang akan mereka lakukan. Mereka telah memesan kapak, terlalu banyak. Mereka telah mengerahkan orang-orang. Tetapi aku kira benar perhitunganmu. Jika hal itu dilakukan oleh beberapa padepokan tertentu yang dapat” dibujuk oleh orang-orang Kediri, berapa puluh tahun, rencananya akan dapat mereka ujudkan”

“Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Tetapi kita harus melihatnya” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah keduanya meneruskan perjalanan mereka. Dari arah yang mereka tempuh kemudian, sama sekali tidak mereka temui sikap atau bahkan rerasan tentang hutan di lereng pegunungan. Seolah-olah yang ada itu memang seharusnya demikian. Hutan itu memang harus ada. Dan airpun akan mengalir di segala musim. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun bergeser melingkar. Mungkin pada suatu saat ia mendengar serba sedikit tentang pembicaraan yang menyangkut masalah hutan dan kapak penebang kayu

Tetapi ternyata yang dijumpai oleh kedua anak muda itu adalah persoalan yang lain. Ketika mereka memasuki sebuah padepokan, yang mempunyai beberapa orang pande besi, mereka memang melihat kesibukan dari para pande besi itu. Tetapi mereka tidak sedang membuat kapak. Tetapi mereka membuat senjata.

“Mereka membuat pedang-pedang yang sederhana” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ada dua orang pande besi di ujung pasar, dan sebuah lagi di sudut pasar itu, memang sedang sibuk membuat pedang. Kesibukan itu memang menarik sekali. Pedang adalah senjata untuk bertempur. Jika pande-pande besi itu sibuk membuat senjata, maka kesibukan itu agak berbeda dengan kesibukan pande-pande besi di padukuhan-padukuhan yang lain. Pande besi di padukuhan yang lain sibuk membuat alat-alat pertanian. Ada yang membuat kejen bajak, cangkul dan alat-alat yang lain. Tetapi pande-pande besi di padukuhan ini membuat senjata untuk bertempur.

“Mungkin telah terjadi sesuatu yang memaksa pande-pande besi itu membuat pedang” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Jawabnya “Tentu ada sebabnya”

“Kita dapat bertanya kepada pande-pande besi itu” berkata Mahisa Murti, “tetapi apakah hal itu tidak akan menarik perhatian mereka?”

“Dalam satu kesempatan yang tidak terlalu khusus” desis Mahisa Pukat, “sambil lalu kita akan menanyakan pada saat kita berada di kedai”

Mahisa Murti mengangguk-angguk-Katanya, “Kita singgah di kedai itu”

Keduanyapun kemudian singgah memasuki satu kedai di luar pasar yang sibuk itu setelah mereka melihat-lihat barang seienak. Terutama Dande-pande besi di pasar itu. Tidak ada yang menarik perhatian kedua anak muda itu di dalam kedai. Semuanya seperti yang terdapat di kedai kedai yang lain. Makanan, minuman dan pelayanan sebagaimana yang mereka alami sebelumnya. Pemilik kedai itu tidak banyak memperhatikan kedua anak muda pengembara dalam ujud lahiriah yang kusut dan letih itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk di sudut kedai itu memperhatikan orang-orang yang keluar masuk kedai itu. Tidak ada yang mencurigakan, dan dalam pembicaraan mereka, sama sekali tidak tersinggung masalatf-masalah yang ada hubungannya dengan pedang-pedang yang dibuat oleh pande-pande besi itu.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berdesis, “Tidak ada jalan untuk berbicara tentang pande-pande besi itu”

“Kita tunggu sampai kedai ini menjadi sepi. Kita akan berbicara dengan pemilik kedai itu” jawab Mahisa Pukat.

“Pemilik kedai itu sama sekali tidak menghiraukan kita” berkata Mahisa Murti.

“Kau pancing nanti jika kau membayar makanan yang kecilmu itu. Dengan demikian pemilik kedai itu akan memperhatikan kita, dan memberi kesempatan kita untuk berbicara” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk Sementara itu, pemilik kedai itu masih saja sibuk dengan para pembeli, pemilik kedai itu memang tidak begitu menghiraukan kedua anak muda pengembara itu. Menurut ujudnya, kedua anak muda itu tidak akan memberinya uang sebagaimana para pedagang yang singgah di kedainya.

Namun dalam pada itu, ketika kedai itu menjadi agak sepi karena beberapa orang pembelinya sudah meninggalkan makanan dan minuman yang membuat tubuh mereka menjadi segar, maka Mahisa Murti mulai menarik perhatian. Ia telah mengambil beberapa jenis makanan yang paling mahal. Sepotong jadah ketan ireng dan segumpal iwak empal. Sementara Mahisa Pukat telah mengambil sepotong paha ayam panggang.

Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya agak kurang wajar menilik pakaiannya, bahwa anak-anak muda itu membeli makanan yang mahal, yang jarang dibeli oleh para pedagang-pedagang kecil di pasar itu. Tetapi pemilik kedai itu masih belum menegurnya. Ia menduga mungkin anak-anak muda itu baru saja mendapatkan uang dari kerja yang keras dalam pengembaraannya.

Namun sikap keduanya semakin menggelitik hati pemilik kedai itu. Mahisa Pukat ternyata tidak menghabiskan paha ayamnya. Tetapi sisanya telah dilemparkannya keluar, sementara itu tangannya menggapi sebutir telur pindang. Sedangkan Mahisa Murti telah mengambil sepotong jenang alot. Tetapi jenang alot itu tidak memuaskannya. Sambil meletakkan jenang alot itu di bibir paga makanan, ia mengambil sebungkus nagasari.

Pemilik kedai itu menjadi curiga. Karena itu, maka iapun berkata, “Anak-anak muda, apakah kalian menyadari apa yang kalian lakukan?”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Barang-barang yang kau buang itu ada harganya. Bahkan termasuk makanan yang mahal” jawab pemilik kedai itu.

“Aku akan membayarnya” jawab Mahisa Murti. Sejenak ia termangu-mangu. Namun ketika orang terakhir telah keluar dari kedai itu, maka ia mulai mengguncang kampilnya sambil berkata, “jika perlu akan membayar harga lipat dua”

Pemilik kedai itu menjadi tegang. Namun Mahisa Pukat kemudian bergumam, “Kami akan membayarnya berapapun kau minta. Aku senang dengan kedai ini. Masakanmu enak dan pelayananmu menyenangkan. Apakah semua kedai disini seperti kedaimu ini?”

Orang itu termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud kedua anak muda itu. Hampir di luar sadarnya ia mengangguk sambil menjawab, “Ya, anak muda. Semua kedai di pasar ini mempunyai makanan, minuman dan pelayanan yang hampir sama”

“Menarik sekali” sahut Mahisa Pukat, “pasar ini cukup ramai. Ada berapa orang pande besi yang ada di pasar ini?”

Pertanyaan itu tidak diduganya. Kenapa anak muda itu tiba-tiba saja telah bertanya tentang pande besi, sementara baru saja ia memuji makanan dan pelayanan di kedai itu. Namun hampir diluar sadarnya, pemilik kedai itu rnenjawab, “Ada tiga orang pande besi dengan beberapa orang pembantunya”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku juga melihat, ada tiga orang pande besi dengan beberapa orang pembantu. Tetapi apa yang mereka buat sekarang ini?”

Pertanyaan itu juga tidak disangka-sangka. Namun pemilik kedai itu tidak segera menjawabnya. Sehingga Mahisa Pukat mendesaknya, “Apa yang paling banyak mereka buat sekarang? Alat-alat pertanian? Alat-alat rumah tangga atau apa?”

“Ya, ya. Anak muda. Mereka membuat alat-alat pertanian dan alat-alat rumah tangga” jawab pemilik kedai itu.

“Kau yakin?” bertanya Mahisa Murti. Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia menjawab, “Ya. Aku yakin”

Tetapi sambil tersenyum Mahisa Murti menggeleng, “Tidak Ki Sanak. Kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Kenapa? Apakah ada sesuatu yang mendesak, sehingga pande besi itu semuanya telah membuat senjata?”

Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Namun kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Sanak. Itu adalah persoalan pande besi itu sendiri. Apapun yang mereka lakukan, tidak ada hubungannya apapun dengan aku. Aku adalah penjual makanan dan minuman. Jika kau ingin makan makanan dan memesan minuman, aku akan melayaninya tetapi tidak tentang senjata-senjata itu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat bertanya, “Berapa aku harus membayar untuk makanan yang telah kami makan, minuman yang telah kami minum dan keterangan tentang pedang-pedang”

Wajah orang itu semakin menegang. Sementara Manisa Murti mulai melepaskan tali kampilnya sambil berkata, “Berapa aku harus membayar”

Orang itu menjadi semakin bingung. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti telah melemparkan beberapa keping uang. Jauh lebih banyak dari harga makanan dan minuman yang telah mereka ambil dari kedai itu.

“Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang pedang itu?” bertanya Mahisa Murti.

Pemilik kedai Itu termangu-mangu sejenak. Ternyata bahwa tidak ada orang lain di dalam kedainya selain kedua orang anak muda itu Karena itu. maka katanya kemudian, “Tetapi aku hanya akan mengatakan, apa yang aku ketahui”

“Katakan” desak Mahisa Murti.

Pemilik kedai itu masih saja ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Kita, padukuhan-padukuhan di daerah ini sedang dilanda oleh kegelisahan”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya Kedua anak muda itu. Namun ketika terpandang olehnya kepingan-kepingan uang, maka katanya, “Ada semacam ketegangan yang terjadi. Beberapa hari yang lalu. Ki Buyut telah meninggal dunia”

“Lalu?” Apa hubungannya dengan pedang?” bertanya Mahisa Murti.

“Ki Buyut tidak mempunyai anak” jawab pemilik kedai itu.

“Lalu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak mempunyai kakak dan tidak mempunyai adik laki-laki” jawab pemilik kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nwngangguk-angguk Ia sudah dapat menangkap keterangan pemilik kedai itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Dengan demikian, maka ada beberapa pihak yang ingin menggantikannya. Tetapi apakah Ki Buyut tidak mempunyai anak perempuan yang kemudian kawin dengan seseorang?”

“Ya” jawab pemilik kedai itu, “ada seorang anak perempuan Ki Buyut yang sudah kawin dan mempunyai dua orang anak laki-laki”

“Bukankah salah seorang cucunya itulah yang tidak akan dapat mewarisi kedudukannya?” bertanya Mahisa Pukat.

Tetapi pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seorang saudara sepupu Ki Buyut merasa dirinya berhak untuk menggantikan kedudukan itu. Karena itu, maka ia pun mulai berusaha untuk menguasai orang-orang padukuhan padukuhan di seluruh Kabuyutan ini”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya “Apakah orang-orang padukuhan menerimanya?”

“Sebenarnya tidak” jawab pemilik kedai itu, “tetapi menantu Ki Buyut kurang memiliki keberanian untuk melawannya. Apalagi karena saudara sepupu Ki Buyut yang menginginkan kedudukannya itu berhubungan dengan orang dari luar Kabuyutan ini”

“Itulan sebabnya kalian memerlukan pedang?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami menganggap bahwa yang paling berhak atas ke dudukan Ki Buyut adalah cucunya yang sulung. Sementara ia belum dapat melakukan tugasnya, ayahnyalah yang akan memangkunya. Karena itu, maka kita merasa perlu untuk mempersiapkan diri. Meskipun nampaknya tidak ada kegelisahan dan tidak ada ketegangan, namun sebenarnyalah kami telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ada dua padukuhan yang dapat dipengaruhi oleh saudara sepupu Ki Buyut. Tetapi tujuh padukuhan yang lain, mutlak berpihak kepada menantu Ki Buyut, yang sayangnya agak lemah hati. Sedang ada dua lagi padukuhan yang nampaknya ragu-ragu” jawab pemilik kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mulai dapat membayangkan, apa yang sebenarnya telah terjadi di Kabuyutan itu. Kabuyutan yang nampaknya tenang itu ternyata menyimpan gejolak yang setiap saat akan dapat meledak. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah melemparkan sekeping yang lagi sambil bertanya, “Kau sebut bahwa saudara sepupu Ki Buyut berhubungan dengan orang luar. Apakah kau tahu, siapakah orang itu?”

Pemilik kedai itu menelan ludahnya. Sambil memandangi uang yang sekeping itu ia merenung, Ia tidak terlalu banyak mendapat laba dari barang-barang dagangannya. Uang yang sekeping itu akan sangat berarti baginya. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahisa Murti berdesis, “Apakah kau memerlukan satu lagi? Atau tidak sama sekali?”’

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Anak muda. Kalian telah mendorong aku ke tepi jurang yang terjal. Uang itu sangat berarti bagiku. Tetapi keteranganku akan dapat menjerat leherku. Apalagi jika kalian berdua termasuk orang-orang yang justru telah dihubungi oleh saudara sepupu Ki Buyut itu”

“Ki Sanak. Aku orang asing disini. Aku hanya ingin tahu. Kau tidak usah mencurigai aku. Meskipun mungkin kau bertanya dari mana aku mendapatkan yang sebanyak ini. Karena itu, maka aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan kalian, dengan padukuhan ini, kecuali sekedar ingin tahu” jawab Mahisa Murti.

Orang itu masih termangu mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Sebenarnya tidak ada orang yang tahu dengan pasti. Tetapi menurut desas-desus yang sempat sampai ke telinga kami, bahwa orang orang itu akan membantu saudara sepupu Ki Buyut, tetapi dengan imbalan yang mereka tentukan sendiri”

“Imbalan apa? Uang, sawah atau sebagian dari Kabuyutan ini akan mereka pergunakan sebagai padepokan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Bukan itu. Tetapi mereka minta untuk menguasai bukit dan lereng pegunungan yang menjadi daerah Kabuyutan ini” jawab pemilik kedai itu.

“Bukit dan lereng pegunungan?” Bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Ya” jawab orang itu, “mereka memerlukan kayu yang jumlahnya sangat banyak. Mereka akan mengambilnya dari bukit dan pegunungan itu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun keduanya pun kemudian mengangguk-angguk. Dengan suara dalam Mahisa Murti berdesis, “Kita bertemu lagi dengan persoalan itu”

“Ya. Bukankah memang kita kehendaki” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu bertanya, “Apa yang kalian maksud?”

“Tidak apa-apa” jawab Mahisa Murti, “kami hanya berdesah, bahwa di dalam pengembaraan kami, selalu saja kami jumpai pertengkaran dan permusuhan. Sebenarnya aku ingin melihat kehidupan yang tenang damai sehingga pengembaraan kami akan dapat memberikan arti bagi kehidupan kami kelak”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah kalian tidak terlibat dalam persoalan ini”

“Tentu tidak. Tetapi kalian akan mengalami malapetaka dengan permusuhan ini. Pande-pande besi tidak lagi sempat mencari makan karena mereka terpaksa membuat senjata” berkata Mahisa Murti.

“Apa boleh buat” jawab pemilik kedai itu, “tetapi kami tidak bermaksud bermusuhan. Masih akan dicoba dengan segala cara untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik, sebagaimana penyelesaian yang wajar bagi keluarga”

“Bagus” desis Mahisa Pukat, “semua warga Kabuyutan ini harus berusaha. Termasuk saudara sepupu Ki Buyut itu”

Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Namun percakapan itu terhenti ketika ada dua orang memasuki kedai itu. Dua orang yang belum dikenal oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun yang agaknya sudah dikenal oleh pemilik kedai itu. Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itu menyongsong mereka. Dengan hormatnya ia mempersilahkan tamunya, untuk memasuki kedai itu.

“Hem” desis orang itu, “sepi sekali kedaimu hari ini?”

“Ya, Ki Sanak” jawab pemilik kedai itu, “hampir tidak ada orang yang singgah kecuali dua orang anak muda pengembara ini”

Orang itu mengangguk-angguk. Dipandanginya isi kedai itu dengan sapuan matanya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Masih saja kau berusaha untuk mengelabui kami. Bukankah kami tidak bermaksud apa-apa? Aku lihat barang-barang daganganmu hampir habis. Aku lihat bungkus meniran dan nagasari berserakan. Aku lihat kulit pisang dan pincuk-pincuk di sudut kedaimu itu”

Wajah pemilik kedai itu menjadi pucat. Namun ia masih menjawab, “Maksudku, hari ini tidak begitu banyak seperti hari-hari pasaran yang lewat”

Orang itu tertawa. Lalu katanya, “Beri kami minuman panas. Apakah kau mempunyai daun cengkeh?”

“Ada, ada Ki Sanak. Kami mempunyai daun cengkeh” jawab pemilik kedai itu dengan serta merta, “apakah Ki Sanak akan minum wedang cengkeh?”

"Beri kami dua mangkuk. Celup sama sekali gula kelapa. Jangan kurang manis” berkata orang itu.

Pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa telah menyiapkan pesanan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi kedua orang itu dengan termangu-mangu. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi gelisah pula. Mereka menghabiskan makanan dan minuman mereka. Baru kemudian, kedua anak muda itu pun telah minta diri.

Tetapi keduanya terkejut, ketika pemilik kedai itu berlari-lari mengejarnya sambil berteriak, “He, anak muda. Ada yang belum kalian bayar”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terhenti. Jarak mereka belum begitu jauh dari kedai yang telah mereka tinggalkan. Sementara dua orang yang ada di dalam kedai itu sama sekali tidak menghiraukannya. “Apa yang kurang?” berkata Mahisa Murti.

“Kau belum menghitung makanan yang kau buang” berkata pemilik kedai itu.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, pemilik kedai itu berdesis, “Tidak ada yang kurang. Tetapi aku hanya ingin memberitahukan, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Mungkin, tetapi belum pasti, bahwa saudara sepupu Ki Buyut berhubungan dengan orang-orang itu”

“Kau pernah mengalami perlakuan buruk?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Tetapi sikapnya membuat hatiku kecut” berkata pemilik kedai itu. Lalu, “Nah, sekarang beri aku uang seberapa saja, agar orang itu tidak menjadi curiga”

Mahisa Murti pun kemudian mengambil sekeping uang lagi dan diberikannya kepada pemilik kedai itu.

“Bukan maksudku untuk memerasmu anak muda” berkata pemilik kedai itu.

“Aku mengerti maksudmu. Terima kasih. Uang itu untukmu” jawab Mahisa Murti.

Pemilik kedai itu pun kemudian melangkah kembali ke kedainya sambil mengumpat-umpat. Ketika ia berdiri di muka pintu, ia berpaling sambil mengacungkan kepalan tangannya. Katanya lantang, “Kalian masih muda sudah mencoba untuk menipu”

Namun wajah pemilik kedai itu menjadi tegang ketika salah seorang dari kedua orang yang ada di dalam kedainya itu tertawa. Katanya, “Kenapa anak itu?”

“Ia berusaha untuk tidak membayar beberapa macam makanan yang sudah dimakannya atau sudah dibuangnya” jawab pemilik kedai itu” Alangkah sombong mereka. Ternyata mereka berusaha untuk menipu”

Tetapi wajah yang tegang itu menjadi semakin tegang, ketika kedua orang di dalam kedainya itu tertawa semakin keras. Salah seorang dari keduanya berkata, “Kenapa tidak kau tangkap saja keduanya dan kau serahkan orang-orang yang ada di pasar itu? Mereka akan memberinya pelajaran kepada anak-anak yang bengal seperti itu”

“Aku masih merasa kasihan kepada pengembara-pengembara itu” jawab pemilik kedai itu.

Namun wajahnya telah menjadi pucat ketika salah seorang dari kedua tamunya itu membentak, “Kau jangan berbohong lagi. Aku menjadi muak. Berkatalah terus-terang, agar kau tidak ingin mencekikmu”

Orang itu berdiri mematung. Ketika seorang di antara kedua tamunya itu berdiri, maka ia pun menjadi gemetar

“Kau anggap kami terlalu dungu” bentak orang itu, “kenapa kau tidak berterus terang saja kepada kami bahwa kau telah berusaha memberikan keterangan kepada anak-anak itu tentang kami. Mungkin kau katakan kepada mereka, bahwa kami adalah orang-orang yang berbahaya, sehingga karena itu. kedua anak-anak itu harus berhati-hati. Apalagi mereka ternyata membawa uang sekampil. He, kau mendapat berapa keping? Bukankah kau sudah menjual keterangan tentang saudara sepupu Ki Buyut yang telah berhubungan dengan orang luar. Dan barangkali kau katakan kepada anak-anak itu, bahwa yang dimaksud orang luar itu di antaranya adalah kami” orang berhenti sejenak, lalu, “Persetan dengan persoalan Ki Buyut. Aku tidak peduli. Persetan dengan orang-orang yang berpihak kepada saudara sepupunya yang ingin mendapat imbalan lereng pegunungan dan bukit-bukit berhutan lebat itu. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan adalah justru uang di dalam kampil itu”

Pemilik kedai itu benar-benar menjadi gemetar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika ia berpaling, maka kedua anak muda itu masih belum terlalu jauh.

“Aku berdiri di balik dinding ketika kau mengigau tentang Ki Buyut. Aku tahu, gemerincing kepingan uang di dalam kampil itu. Dan kawanku sempat melihat, kampil itu memang nampak terlalu berat bagi mainan kanak-kanak” berkata orang itu puia, “karena itu, biar kami sajalah yang bermain dengan uang itu. Nanti kau akan mendapat bagian seperti anak-anak itu telah memberimu. Mengerti?” orang itu meneruskan.

Pemilik kedai itu benar-benar menjadi gemetar. Karena itu, maka justru ia tidak dapat berbuat apa-apa selain tegak dengan keringat yang mengalir membasahi seluruh tubuhnya.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun telah beringsut. Keduanya segera keluar dari kedai itu. Seorang di antaranya berkata, “Aku akan kembali dan membayar lipat lima setelah kampil itu ada di tanganku”

Pemilik kedai itu sama sekali tidak menyahut. Ia pun kemudian dengan perasaan kasihan memandang kedua orang anak muda yang berjalan belum terlalu jauh. Keduanya nampaknya anak baik-baik. “Entahlah, dari mana mereka mendapat uang itu. Mungkin keduanya memang anak orang berada. Tetapi keduanya terdorong untuk pergi mengembara mencari pengalaman hidup sebelum mereka menjadi dewasa sepenuhnya” berkata pemilik kedai itu kepada diri sendirl, “Namun, di sini mereka telah bertemu dengan dua orang penjahat yang tidak kenal belas kasihan”

Pemilik kedai itu memandang sampai semuanya hilang di balik tikungan. “Terserahlah, apa yang akan terjadi. Aku tidak ikut campur. Aku sudah berusaha untuk menyelamatkan kedua anak-anak itu. Tetapi ternyata aku tidak berhasil” berkata pemilik kedai itu kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, perhatian pemilik kedai itupun segera telah berkisar kepada tamu-tamunya yang baru. Tiga orang pedagang ternak telah singgah di kedainya. Biasanya mereka membeli makanan dan minuman cukup banyak dan memberikan keuntungan yang baik kepada pemilik kedai itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjalan semakin jauh. Mereka tidak menduga, bahwa dua orang yang mereka temui di kedai itu telah mengikutinya. Bahkan keduanya masih sempat berbicara tentang padukuhan-pedukuhan di Kabuyutan yang sedang kehilangan Buyutnya itu.

“Dua berbanding tujuh” berkata Mahisa Murti, “sementara dua yang lain ragu-ragu. Cukup meyakinkan” sahut Mahisa Pukat, “sayang, menantu Ki Buyut itu dikatakan sebagai berhati lemah. Mungkin orang itu segan berselisih. Atau mungkin ia memang benar-benar orang lemah”

“Tetapi jika orang luar ikut mencampuri persoalan di dalam satu lingkungan, biasanya akan benar-benar terjadi satu kekacauan yang sulit dikendalikan. Jarang ada orang luar yang ikut campur dengan mengorbankan beberapa kawan-kawan mereka tanpa mempunyai pamrih sama sekali. Tentu ada pamrih yang tersembunyi” desis Mahisa Murti.

“Ya” berkata Mahisa Pukat kemudian, “tetapi, kita juga sudah pernah ikut mencampuri persoalan sebuah Kabuyutan”

“Kita pun mempunyai pamrih” jawab Mahisa Murti, “tetapi pamrih itu kami sandarkan kepada kepentingan kemanusiaan pada umumnya. Kita berusaha menolong orang-orang lemah dan menempatkan mereka, pada keadaan yang lebih baik”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Itu bukan pamrih. Aku menganggapnya sebagai satu pengabdian. Kecuali jika kita berharap, dengan demikian kita akan dapat disebut seorang pahlawan besar”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. kau benar. Aku pun sependapat”

Dalam keasyikan pembicaraan, mereka tidak menyadari bahwa dua orang selalu mengikuti langkah mereka dari arah yang tidak terlalu dekat. Kedua orang yang mengikuti itu benar-benar ingin mendapatkan sekampil uang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

“Bahkan masing-masing telah membawa sekampil” berkata salah seorang dari orang-orang yang mengikutinya.

“Mudah-mudahan” jawab yang lain, “dengan demikian kita akan semakin beruntung. Kita akan membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka ke pinggir sungai di sebelah”

Yang lain tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya berjalan semakin cepat. Tanpa memperbincangkan lagi, maka keduanya-seolah-olah sudah sepakat, bahwa mereka akan melakukannya di tengah-tengah bulak panjang yang sedang mereka lalui. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai di tengah bulak. Daerah yang jauh dari padukuhan sebelah menyebelah dan jarang sekali di lalui oleh orang-orang yang bepergian. Biasanya mereka memilih jalan lain. Memilih jalan yang tidak melalui bulak yang sangat panjang.

Dalam pada itu. ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sampai ke tengah-tengah bulak panjang itu. maka salah seorang dari kedua orang yang mengikutinya itupun berdesis, “Sekarang. Tidak akan ada orang yang mengganggu kita”

Yang lain mengangguk. Geramnya, “Salah sendiri. Mereka terlalu sombong”

“Jangan terlambat” sahut yang lain.

Keduanya mempercepat langkah mereka. Bahkan dengan tidak sabar salah seorang dari mereka lelah berteriak, “He. Ki Sanak, berhentilah sebentar."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar teriakan itu. Keduanya serentak berhenti dan berpaling. “Dua orang itu agaknya telah mengikuti perjalanan kita” berkata Mahisa Murti.

“Apa yang mereka kehendaki dari kita” gumam Mahisa Pukat, “kita sudah berbuat sebaik-baiknya dengan orang-orang yang pernah bertemu dan pernah saling membantu dalam satu tugas tertentu."

“He, lihat” berkata Mahisa Murti ketika kedua orang yang mengikuti mereka itu menjadi semakin dekat. Katanya lebih lanjut, “Bukankah keduanya orang orang yang singgah di kedai itu pula?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Ya”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bagaimanapun juga kita harus bersiap. Pemilik kedai itu dan sekaligus suasananya telah memberi kita peringatan."

Mahisa Pukat menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa mendekatinya. Nampaknya kedua orang itu menjadi semakin kasar menurut penglihatan Mahisa Pukat. Kedua orang itu pun akhirnya berhenti beberapa langkah saja dihadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa kalian menyusul kami?” bertanya Mahisa Murti.

“Anak-anak muda” jawab salah seorang dari mereka, “aku merasa kasihan terhadap pemilik kedai itu. Tetapi lebih kasihan lagi kepada kalian. Seandainya kau berhasil menipu pemilik kedai itu dengan tidak menghitung beberapa potong makanan yang kau makan, maka ia hanya sekedar kehilangan beberapa potong makanan itu. Tetapi kalian ternyata lebih pantas dikasihani”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat

“Kalian masih sangat muda. Tetapi kalian telah menjerumuskan diri kedalam satu sikap yang sangat menodai watak kalian sendiri” jawab orang itu, “kenapa kalian menipu?”

“Kami tidak sengaja menipu” jawab Mahisa Murti. Ia menjadi agak kesulitan mencari jawaban, karena ia tidak mengira akan menghadapi persoalan yang demikian. Tetapi ia tidak mau mengorbankan pemilik kedai itu dengan mengatakan apa yang sebenarnya. Karena itu, maka jawabnya selanjutnya, “yang terjadi adalah sekedar salah paham. Kami hanya terlupa menghitung beberapa potong makanan. Tidak dengan sengaja”

Tetapi kedua orang itu justru tertawa. Yang seorang kemudian berkata, “jangan berbelit-belit. Akupun tidak ingin berbelit-belit agar tugasku cepat selesai. Berikan kampil uangmu kepadaku. Aku tidak akan mengganggu kalian lagi”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Sementara itu, orang itu pun berkata selanjutnya, “Kami mendengar percakapan kalian dengan pemilik kedai itu. Kalian memancingnya dengan uang, agar ia menceriterakan tentang persoalan yang timbul antara Ki Buyut dengan saudara sepupunya. Mungkin pemilik kedai itu menganggap bahwa aku adalah orang yang mungkin terlibat kedalam persoalan itu. Tetapi itu salah sama sekali. Aku tidak tahu menahu persoalan Kabuyutan ini. Yang aku selalu ingin tahu, siapa saja orang memiliki uang yang cukup banyak untuk dihubungi. Ternyata hari ini aku bertemu dengan kalian yang membawa uang sekampil. Bahkan mungkin dua kampil."

Mahisa Murti menjadi tegang. Tetapi ternyata Mahisa Pukat dahululah yang menyahut, “Ya. Kami memang membawa uang. Aku tidak ingkar. Tetapi uang itu tidak akan aku berikan kepada siapapun juga tanpa timbul dari niat kami sendiri. Karena itu, kau jangan berusaha memaksa kami untuk memberikan uang itu kepadamu. Apalagi sekampil. Sekeping pun tidak”

Ternyata jawaban itu telah memanaskan telinga kedua orang itu. Anak muda itu nampaknya sama.sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan nada jawaban Mahisa Pukat telah menantang mereka untuk bertindak dengan kekerasan. Karena itu, dengan nada yang semakin kasar salah seorang dari mereka berkata, “Kau jangan menjadi gila anak muda. Apakah kau lebih sayang kepada uangmu sekampil itu dari pada nyawamu”

“Aku sayang keduanya” Mahisa Pukat pulalah yang menjawab.

“Kenapa kau berusaha mempertahankan uangmu?” bertanya orang itu pula.

“Kalianlah yang agaknya lebih menghargai uang sekampil dari pada nyawamu” jawab Mahisa Pukat pula, “seharusnya kalian menyadari, bahwa dengan berusaha merebut uang kami, maka kalian telah bermain-main dengan nyawa kalian”

“Persetan” geram orang itu yang menjadi semakin marah, “rupa-rupanya kalian memang anak-anak gila. Sekali lagi aku bertanya, apakah kalian bersedia menyerahkan uang itu. atau kami harus membunuhmu lebih dahulu dan kemudian mengambil uangmu”

“Bukan aku yang akan terbunuh, tetapi kalian” jawab Mahisa Pukat.

Kedua orang itu benar-benar tidak lagi dapat menahan diri. Apalagi ketika ia melihat dua orang petani yang bekerja di sawah mereka. Bahkan di kejauhan masih ada orang lain lagi yang termangu-mangu.

“Jangan menunggu lagi” berkata salah seorang dari keduanya, “orang-orang itu dapat mengganggu. Jika mereka memberitahukan hal ini kepada tetangga-tetangga, mereka, maka mereka akan datang berkelompok. Meskipun kita tidak takut terhadap mereka, tetapi pekerjaan kita akan menjadi berkepanjangan”

Kawannya mengangguk. Dan tiba-tiba saja ia sudah menarik senjatanya, sebilah golok yang besar. Katanya, “Kami ingin menyelesaikan pekerjaan kami dengan cepat”

Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah untuk mengambil jarak dari Mahisa Murti. Dengan tengadah dihadapinya orang yang telah membawa golok itu. Orang yang membawa golok itu menggeram. Sikap Mahisa Pukat sangat menjengkelkannya, sehingga iapun tidak menunggu lagi. Dengan cepat ia telah meloncat menyerang dengan ayunan goloknya yang besar.

Ternyata bahwa Mahisa Pukat pun tidak ingin bertempur terlalu lama. Ia pun kemudian telah menarik sebilah pisau belati dari balik kain panjangnya. Meskipun pisau itu lebih kecil dibanding dengan golok lawannya, tetapi dengan pisau belati di tangannya, maka perlawanannya pun menjadi mantap.

Dalam pada itu. Mahisa Murti masih berdiri tegak menghadapi orang yang lain. Agaknya orang itu lebih banyak berpikir dari pada kawannya yang telah bertempur melawan Mahisa Pukat. Sebelum ia berbuat sesuatu, ia masih berkata,

“Kalian adalah anak-anak muda yang berani. Benar-benar diluar dugaanku. Aku kira kalian akan menjadi gemetar dan tanpa berbuat apapun juga. menyerahkan uang kalian dalam kampil itu”

Mahisa Murti termangu-mangu. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian ia pun menjawab, “Kami adalah pengembara. Kami menempuh perjalanan yang tidak kami tetapkan lebih dahulu arahnya. Kami tidak menghendaki permusuhan dengan siapa pun juga dalam pengembaraan kami. Tetapi kami pun tidak ingin membiarkan diri kami menjadi sasaran kejahatan seperti ini”

“Ya, ya anak muda. Baru sekarang aku yakin, bahwa kalian adalah pengembara yang berpengalaman. Aku tadi menyangka, bahwa aku mendapatkan satu sasaran yang sangat lunak kali ini. Namun ternyata aku salah. Aku telah membentur satu sikap seorang petualang sejati” berkata orang itu, “Karena itu alangkah bodohnya pemilik kedai itu. Dan alangkah bodohnya kami. Namun kami sudah terlanjur, sehingga kami tidak akan mengorbankan harga diri kami. Meskipun kami berhadapan dengan seorang petualang sejati, maka kami akan tetap pada sikap kami, karena kami benar-benar perampok sejati yang tidak memilih sasaran. Siapa yang memungkinkan dapat kami hisap, maka ia akan kami korbankan untuk kepentingan kami”

“Bagus” berkata Mahisa Murti, “aku lebih senang berhadapan dengan orang-orang yang bersikap jantan seperti kalian. Marilah kita sama-sama menjunjung harga diri kita masing-masing. Kita akan bertempur di atas landasan kita masing-masing. Kami adalah pemilik yang baik dari harta kami dan kalian adalah perampok yang kau sebut sejati yang ingin merampas harta kami karena itulah, maka kami akan bertempur”

“Aku mengerti anak muda. Kau ingin bertempur sampai tuntas. Sampai selesai dan tidak lagi akan dapat diulang” jawab orang itu.

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia sudah memasuki arena pertempuran antara hidup dan mati. Sejenak kemudian maka keduanya telah mulai berputaran. Masing-masing mulai menyerang, meskipun belum merupakan pertempuran yang sebenarnya. Namun semakin lama pertempuran itu menjadi semakin cepat dan semakin seru. Keduanya mulai menambah atas ilmu masing-masing.

Sebagaimana disebut oleh perampok itu, maka anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki sikap yang pasti sebagai pengembara. Mereka tidak diambang-ambingkan oleh angin yang, berubah arah dalam musim kesanga, sebagaimana batang ilalang. Tetapi mereka adalah batu karang yang kokoh menghadapi badai yang mengamuk bersama deru ombak di lautan.

Dengan demikian, maka pertempuran antara mereka semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti menyadari, bahwa lawannya masih belum mempergunakan senjatanya. Agaknya ia ingin mengetahui tingkat ilmu yang sebenarnya dari Mahisa Murti itu. Semakin lama keduanya telah semakin meningkatkan ilmu mereka masing-masing, sehingga benturan-benturan yang terjadi kemudian, adalah benturan-benturan tenaga cadangan yang melumpui kekuatan wadag sewajarnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah bertempur semakin cepat pula. Karena senjatanya lebih kecil dari senjata lawannya, maka Mahisa Pukat harus mengimbangi kekurangannya itu dengan kecepatan geraknya. Ternyata Mahisa Pukat pun telah mempergunakan tenaga cadangan untuk mendorong kecepatan geraknya. Seperti seekor burung srikatan ia berloncatan. Menghindar, namun tiba-tiba saja pisau belatinya telah terjulur mematuk ke arah jantung. Tetapi lawannya pun bergerak cepat pula. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan sambaran-sambaran golok lawannya yang berputaran.

Namun Mahisa Pukat memiliki bekal yang cukup masak. Karena itu, maka ia pun dengan kemampuannya berhasil mengimbangi lawannya yang bersenjata golok yang besar itu. Bahkan semakin lama semakin nampak, ketepatan gerak Mahisa Pukat telah mampu membuat lawannya kadang-kadang kehilangan arah. Tetapi lawannya pun adalah orang yang berpengalaman. Orang itu sudah mengalami berbagai macam benturan ilmu dengan berbagai macam lawan. Namun ia masih tetap mampu mengatasinya dan merampas harta milik lawannya yang tanpa belas kasihan menjadi korban kegarangannya.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun benar-benar merupakan satu pertempuran yang liar biasa cepat dan kerasnya. Mahisa Pukat pun bukan orang yang mampu menahan diri. Ia cepat mengambil sikap. Dan sikapnya pun tegas. Karena itu, maka menghadapi orang yang keras itu pun Mahisa Pukat telah bertempur dengan keras pula. Apalagi ia hanya bersenjata sebilah pisau belati untuk menghadapi sebilah golok yang besar. Namun demikian, terasa di tangan lawannya, setiap benturan telah mengguncang genggamannya. Meskipun hanya sebilah pisau yang jauh lebih kecil, tetapi agaknya sebuah kekuatan yang besar telah tersalur ke dalamnya.

“Anak iblis” lawannya itu pun mengumpat. Sementara itu, semakin lama gerak Mahisa Pukat seakan akan menjadi semakin cepat. Serangannya menjadi semakin berbahaya menyusup diantara putaran golok lawannya.

Dalam pada itu. Mahisa Murti pun telah menunjukkan kelebihannya atas lawannya. Keduanya masih tetap tidak memegang senjata di tangan. Tetapi serangan-serangan maut yang dilambari dengan ilmu masing-masing telah mewarisi pertempuran itu.

Pada saat-saat terakhir, sentuhan-sentuhan tangan Mahisa Murti mulai mengenai lawannya. Ketika pundaknya tersentuh serangan Mahisa Murti karena lawannya itu terhambat mengelak, maka orang itu pun telah mengumpat. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Kau memang luar biasa anak muda”

Mahisa Murti tidak memburu lawannya. Namun ia pun berdiri tegang sambil menunggu. Sementara lawannya bersiap menghadapinya.

“Sungguh diluar dugaan” berkata orang itu, “namun dengan demikian, kau sudah menyinggung harga diriku anak muda. Seolah-olah aku tidak mampu melawan anak-anak yang baru pandai berloncatan. Jika sebelumnya aku hanya menginginkan kampil berisi uangmu, maka tingkah lakumu telah mendorong aku untuk menginginkan nyawamu”

Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Mungkin kau menganggap aku masih terlalu kanak-kanak. Tetapi dalam keadaanku sekarang, aku dapat membawa tingkat kemampuanmu. Kau sudah hampir sampai ke puncak kemampuanmu. Karena itu, jangan mencoba menggertak dan menakut-nakuti aku. Seolah-olah aku tidak mengerti bahwa kau mulai menjadi cemas”

Orang yang mempunyai pengalaman yang luas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau semakin meyakinkan aku, bahwa kau adalah anak muda yang pilih tanding. Tetapi tingkahmu itu membuat keinginanku untuk membunuh menjadi semakin besar”

“Kau akan terperosok ke dalam lubang yang akan kau gali sendiri. Semakin dalam kau menggali, maka aku akan semakin sulit untuk meloncat keluar. Karena itu, terserah kepadamu. Sampai dimana kau akan mengerahkan kemampuanmu untuk melawanku. Aku hanya akan mengimbangimu saja” jawab Mahisa Murti.

Tetapi dugaan Mahisa Murti ternyata keliru. Orang itu tidak menjadi marah dan kehilangan perhitungan seperti yang diharapkannya. Tetapi orang itu masih menjawab dengan tenang, “Baiklah. Kita akan melihat. Aku atau kau yang akan terkapar mati disini. Sebaliknya aku memang tidak menganggapmu sebagai anak-anak yang tidak mengerti arti lawanmu. Tetapi sebaiknya aku pun menyadari, bahwa kau mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Dan kau pun telah mempunyai takaran tersendiri tentang lawanmu”

“Tepat” jawab Mahisa Murti, “aku sudah mendapatkan takaran itu”

Orang itu tidak berkata lebih banyak lagi. Ia pun segera bersiap untuk menyerang dengan puncak kemampuannya. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari balik pohon jarak yang rimbun. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Suara tertawa yang seolah-olah telah menggetarkan udara di sekitar tempat itu.

“Menarik sekali” berkata orang itu, “dua orang murid perguruan yang namanya bagaikan sundul langit, telah mencegat dua orang anak-anak yang sedang bermain sembunyi-sembunyian”

Semua orang telah berpaling kearah suara itu. Mahisa Pukat dan lawannya yang sedang bertempurpun telah berloncatan surut untuk mengambil kesempatan melihat orang yang baru saja muncul itu. Sejenak orang-orang yang keheranan itu berdiri termangu-mangu.

Sementara itu, orang yang baru muncul itu berkata lebih lanjut, “He, dimana guru kalian? Apakah yang kau lakukan itu mendapat restu dari gurumu?”

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu termangu-mangu. Namun seorang di antaranya mereka pun berkata, “Siapa kau?”

“Akapah gurumu tidak pernah mengatakan sesuatu tentang seseorang seperti aku ini?” jawab orang itu.

Lawan Mahisa Murti itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak pernah mendengar nama seseorang yang ujudnya seperti kau. Tetapi jika kau tidak berkeberatan, sebut namamu”

“Eh, kau benar-benar ingin tahu. Namaku Sarpa Kuning. Orang memanggilku Ki Sarpa Kuning” jawab orang itu.

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Sekilas terbayang seseorang yang berdiri di Pematang memandangi sebuah iring-iringan kecil, menuju ke.Singasari, sementara itu Mahisa Agni dan Witantra berusaha untuk melindungi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar tidak dikenali oleh orang yang berdiri di pematang. Orang itu agaknya yang sekarang berdiri di hadapan mereka. Namun dengan kepentingan yang berbeda.

“Ki Sarpa Kuning” desis lawan Mahisa Murti, “apa maksudmu datang ke tempat ini dan mengganggu permainanku”

“Tidak apa-apa. Aku tertarik pada pertempuran ini. Aku mengenali ilmumu meskipun aku belum pernah melihatmu. Bukanlah kau berdua murid dari perguruan Gemulung?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat ingkar, bahwa keduanya memang murid dari perguruan Gemulung. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Orang itu pernah bertempur melawan paman mereka, Witantra. Sementara itu, ilmu yang menurun kepadanya dari ayahnya, memiliki beberapa unsur yang sama, karena ayah mereka, Mahendra adalah saudara seperguruan Witantra, meskipun mereka memiliki perkembangan ilmu mereka masing-masing.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga memiliki beberapa bagian unsur gerak yang mereka pelajari dari Mahisa Agni, sehingga dengan demikian, maka dalam ujud lahiriah, maka ilmu kedua anak muda itu memiliki perbedaan dari ilmu Witantra meskipun bersumber dari perguruan yang sama. Tetapi ternyata orang itu tidak menghiraukan mereka berdua meskipun itu belum berarti bahwa orang itu tidak mengenali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Mereka menduga-duga di dalam hati, apakah orang itu akan mengenali mereka lewat ilmu mereka dihubungkan dengan ilmu Witantra, sebagaimana orang itu mengenali kedua lawannya lewat ilmu mereka.

“Tetapi mungkin kedua orang itu masih mempergunakan ilmu perguruannya dengan murni” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itupun berkata, “He, anak-anak Gumulung. Apakah sebenarnya kerjamu disini?”

“Itu bukan urusanmu” jawab salah seorang dari murid perguruan Gemulung itu.

“Memang bukan urusanku. Tetapi sehubungan dengan tugas-tugasku, maka aku merasa, kehadiran kita disini tentu akan bersinggungan” jawab Ki Sarpa Kuning.

“Tugas apa?” bertanya lawan Mahisa Pukat.

“Apapun yang akan aku lakukan di sini, kau tidak usah menghiraukannya. Tetapi aku minta kepadamu berdua, agar kalian tidak mengganggu tugasku disini” jawab Ki Sarpa Kuning.

Kedua orang murid perguruan Gemulung itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba seorang di antaranya bertanya, “He, apakah kau mempunyai hubungan dengan saudara sepupu Ki Buyut?”

Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian bertanya, “Siapa yang mengatakannya?”

“Perhitunganku tepat. Aku hanya tahu, bahwa saudara sepupu Ki Buyut telah berhubungan dengan orang luar Kabuyutan ini untuk merebut kedudukan yang ditinggalkan oleh Ki Buyut. Jadi orang yang dimaksud adalah kau” jawab orang itu.

“Menarik sekali” jawab Ki Sarpa Kuning, “apakah berita semacam itu sudah tersebar?”

“Hampir semua orang mengetahuinya. Orang-orang yang duduk di kedai-kedai pun mengetahuinya. Pande-pande besi telah membuat pedang dan anak-anak pun mempercakapkannya” jawab lawan Mahisa Pukat itu, “bahkan ada orang yang menyangka, bahwa kami juga termasuk orang-orang yang berhubungan dengan saudara sepupu Ki Buyut itu”

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku pun tidak berkeberatan jika banyak orang yang mengetahui tentang hubungan kami dengan orang yang paling tepat untuk menjadi Buyut di Kabuyutan yang komplang ini. Namun Kehadiranmu rasa-rasanya agak mengganggu, karena kau sudah membuat keresahan tersendiri di sini”

“Jangan hiraukan kami” jawab lawan Mahisa Murti. “urusan kami berbeda dengan urusanmu”

“Kau tidak dapat berkata begitu. Aku berkeberatan. Biarlah keresahan orang-orang Kabuyutan ini tidak bertambah tambah dengan tingkah lakumu itu” berkata Ki Sarpa Kuning.

Kedua orang itu menggeram. Tetapi mereka harus mempertimbangkan banyak segi untuk menghadapi orang yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu.

“Nah, orang-orang Gemulung” berkata Ki Sarpa Kuning, “tinggalkan tempat ini. Meskipun sikapku ini berarti keselamatan bagimu. Aku tahu, jika pertempuran ini diteruskan, maka kalian berdua akan terbaring sebagai mayat di sini, karena kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan dari pada kalian. Tetapi mayat kalian akan menumbuhkan persoalan tersendiri. Bahkan perkelahian ini jika berlarut-larut, akan memancing perhatian petani-petani yang melihatnya”

“Kami akan membunuh kedua kelinci dungu itu” geram lawan Mahisa Pukat.

Tetapi Ki Sarpa Kuning berkata, “Kalian tidak akan mampu melakukannya. Jangan gila. Jangan sangka aku tidak dapat melihat tingkat kemampuan kalian masing-masing”

Kedua orang murid Gemulung itu tidak dapat menjawab. Sebenarnyalah mereka memang merasakan kesulitan menghadapi kedua orang anak muda itu. Namun mereka tidak mau mengakui dengan sera merta keadaan itu. Karena kedua orang itu nampak ragu-ragu, maka Ki Sarpa Kuning itu berkata,

"Apakah kalian tidak percaya akan pengamatanku? Jika kalian memang ingin melanjutkan perkelahian ini sampai mati. Maka aku akan mempersilahkan kalian meneruskannya di lereng bukit itu tanpa ada orang yang akan mengganggunya. Marilah. Aku akan menjadi saksi kematian dua orang murid dari perguruan Gemulung”

“Persetan, “geram lawan Mahisa Pukat, “kau terlalu sombong”

“Jangan bersikap kasar terhadapku. Gurumu pun tidak akan bersikap kasar seperti itu” berkata Ki Sarpa Kuning, “Nah, sekarang dengar permintaanku. Tinggalkan tempat ini. Jangan kembali lagi untuk mencampuri persoalanku jika perguruan Gemulung tidak ingin berhadapan dengan aku”

“Baiklah Ki Sarpa Kuning” jawab lawan Mahisa Murti, “kami akan meninggalkan tempat ini. Tetapi kami akan melaporkannya kepada guru kami”

“Terserahlah. Tetapi aku justru berpesan kepada kalian, agar guru kalian pun tidak mencampuri persoalanku. Persoalan yang besar yang tidak berdiri sendiri dalam hubunganya dengan Kabuyutan ini saja” berkata Ki Sarpa Kuning. Lalu, “Pada dasarnya aku tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Gemulung”

Kedua orang murid perguruan Gemulung itu termangu-mangu. Namun lawan Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku terima permintaanmu kali ini. Tetapi ini bukan berarti bahwa kau akan dapat memperlakukan perguruan Gemulung seperti ini intuk seterusnya”

Ki Sarpa Kuning tertawa berkepanjangan. Dengan suara serak di antara gelak tertawanya ia menjawab, “Baik, baik Ki Sanak. Aku tidak akan memperlakukan perguruan Gemulung seperti ini untuk waktu-waktu mendatang. Aku tahu, bahwa gurumu pun tentu akan marah, dan aku pun telah memikirkan jawaban jika pada suatu saat ia akan menemui aku. Tetapi aku justru berharap bahwa gurumu akan bersedia bergabung dengan aku untuk satu tugas yang saat penting yang berarti. Bukan sekedar menginginkan kampil uang dari anak-anak ingusan yang mengembara”

Wajah kedua orang murid dari Gemulung itu menjadi merah padam. Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa mereka memang harus menyingkir. Sesaat kedua orang itu masih berdiri tegang. Namun kemudian keduanya pun bergeser perlahan-lahan menghindar dari arena pertempuran itu.

Sepeninggal kedua orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Mereka akan dapat menjadi sasaran berikutnya. Apalagi jika Ki Sarpa Kuning itu sudah mengetahui bahwa keduanya adalah orang-orang yang bersama dengan Witantra menangkap kedua murid Ki Sarpa Kuning dan yang terpaksa dibinasakannya.

Dalam pada itu. Ki Sarpa Kuningpun kemudian memandangi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti ganti. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. He, siapakah kalian sebenarnya. Apakah kalian juga pernah mendengar Ki Sarpa Kuning”

Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku belum pernah mendengar nama itu”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun mengerti, bahwa Mahisa Murti berusaha menghindari persoalan yang dapat tumbuh.

“Kau mengingatkan aku kepada dua orang prajurit Singasari yang masih muda yang membawa dua orang muridku bersama dengan dua orang prajurit yang lain. yang lebih tua lagi dari kalian”

“Aku bukan prajurit Singasari” jawab Mahisa Murti, “kau dapat melihat pakaianku. Aku adalah anak padukuhan”

“Kau aneh anak-anak muda” jawab orang itu, “seandainya kau prajurit Singasari pun, kau tentu akan dapat bertindak dalam tugas sandi”

“Kau benar Ki Sanak. Tetapi aku adalah anak padesan Tidak ada hubungannya dengan prajurit Singasari” jawab Mahisa Murti.

“Kau panggil aku dengan Ki Sanak. Bukankah kau sudah mendengar namaku? Kenapa kau tidak, memanggil dengan namaku saja?” berkata Ki Sarpa Kuning kemudian.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sarpa Kuning”

“Terima kasih. Aku lebih senang mendengar namaku kau sebut” Ki sarpa Kuning itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi kau tetap memberi kesan kepadaku, bahwa kau adalah dua orang di antara empat orang Singasari yang membawa dua orang muridku. He, apakah kau pernah mengembara sebelum ini?”

“Tidak” jawab Mahisa Murti. Namun Mahisa Pukat menggerutu di dalam hatinya, “Kenapa kita harus ingkar” Tetapi kata-kata itu tidak diungkapkannya.

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku pernah bertempur melawan seorang dari empat orang Singasari itu. Orang itu memang luar biasa. Ia berhasil menghindari senjataku yang paling aku banggakan. Ular-ular hitamku. Apakah kau mampu juga berbuat begitu?”

Darah Mahisa Murti tersirap. Namun ia masih juga menjawab, “Sudah aku katakan. Aku tidak lebih dari anak-anak padesan”

“Tetapi kau dapat mengimbangi kemanisan anak-anak dari perguruan Gemulung. Kau memiliki ilmu yang cukup tinggi” berkata Ki Sarpa Kuning.

“Mungkin satu kebetulan. Mungkin orang-orang Gemulung memang terlalu ringkih. Tetapi kami sekedar mempertahankan milik kami yang tidak berharga” jawab Mahisa Murti.

“Aku mengerti. Kau sekedar bertahan. Tetapi kemampuanmu menarik perhatianku” berkata Ki Sarpa Kuning, “bahkan timbul niatku untuk melihat, apakah kau mempunyai hubungan ilmu dengan orang yang pernah menyerangku, saat aku membunuh dua orang muridku”

“Kenapa kau bunuh muridmu?” bertanya Mahisa Murti., “Nah. kau dengar?” Muridku sendiripun aku bunuh jika ia tidak sejalan dengan keinginanku. Apalagi orang lain” berkata orang itu.

Namun Mahisa Pukat pun bertanya, “Mungkin kau dapat bertindak begitu terhadap muridmu. Tetapi tentu tidak terhadap orang lain”

Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa Katanya, “Tidak ada orang yang menentang kehendakku dapat melepaskan diri dari tanganku,“

“Setidak-tidaknya ada seorang” jawab Mahisa Pukat.

“Siapa?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

“Apakah kau berhasil membunuh prajurit Singasari yang kau katakan itu?” bertanya Mahisa Pukat pula.

Wajah Ki Sarpa Kuning menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Aku tidak berhasil membunuh prajurit itu. He. kalian memang sangat menarik perhatianku. Apakah kalian mempunyai hubungan ilmu dengan prajurit Singasari itu? Tiba-tiba saja aku ingin mengetahui, apakah kau benar-benar tidak mempunyai hubungan dengan mereka...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.