Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 11

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 11 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 11
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang itu sudah keluar lama sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terbangun dan keluar dari gandok untuk mencari kesempaan bertemu dengan Ki Waruju. Mungkin Ki Waruju berada di luar regol padukuhan.

“Kemana orang itu pergi?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kenapa dengan kawanmu itu?” bertanya salah seorang dari para peronda itu.

“Entahlah. Nampaknya tidak apa-apa. Tetapi mungkin ia pun pergi ke sungai. Kegelisahannya disebabkan karena kemalasannya. Mungkin ia segan pergi. Tetapi perutnya memaksanya juga untuk pergi” jawab Mahisa Pukat.

Para peronda itu mengangguk-angguk. Yang seorang kemudian berkata, “Ia pergi kearah Barat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Biar sajalah kemana ia akan pergi. Kami akan pergi ke sungai”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah pergi ke arah Barat pula. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap yang tergesa-gesa. Mereka melangkah sewajarnya memasuki kegelapan. Namun demikian mereka merasa tidak terawasi oleh orang-orang yang meronda di regol, maka mereka pun telah mengambil satu sikap tertentu.

“Apa yang harus kita kerjakan?” berkata Mahisa Murti.

“Orang itu memang mencurigakan” jawab Mahisa Pukat.

“Sudah lama aku memikirkannya” berkata Mahisa Murti, “ia adalah gambaran dari seorang yang kecewa”

“Tetapi ia sempat menyembunyikan perasaan itu terhadap Ki Sarpa Kuning. Nampaknya Ki Sarpa Kuning tidak mencurigainya” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku mempunyai dugaan buruk terhadap orang itu. Usahanya menyembunyikan perasaannya tentu ada batasnya. Agaknya kematian adiknya merupakan beban yang sulit untuk dilupakannya”

“Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti merenung sejenak. Lalu katanya, “Aku mempunyai firasat bahwa orang itu ada di sekitar halaman rumah Ki Sendawa. Meskipun ia tidak mempunyai persoalan dengan Ki Sendawa, namun agaknya ia tidak segan-segan untuk berbuat sesuatu atas Ki Sarpa Kuning. Karena ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berhadapan dengan Ki Sarpa Kuning, karena ia adalah muridnya, maka ia akan dapat mengambil jalan lain”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya. "Aku sependapat. Marilah kita lihat, apakah ia benar-benar ada di sekitar tempat ini”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bersepakat untuk mencari orang yang meninggalkan gandok itu di sekitar halaman rumah Ki Sendawa. Dengan hati-hati keduanya pun berputar memasuki halaman rumah disamping rumah Ki Sendawa. Halaman yang sudah menjadi sepi. Dengan kemampuan mereka, maka kedua anak muda itu sama sekali tidak menimbulkan kegaduhan ketika mereka meloncati dinding dan sekat-sekat halaman.

Untuk beberapa saat keduanya mengamati keadaan. Mereka bergeser dari satu tempat ketempat yang lain. Bahkan keduanya seolah-olah telah melingkari halaman rumah Ki Sendawa yang luas itu. Namun mereka tidak melihat seseorang.

“Nampaknya orang itu tidak ada disini” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk kecil. Jawabnya, “Mungkin orang itu benar-benar pergi ke sungai atau keluar dari padukuhan untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Tetapi rasa-rasanya sesuatu akan terjadi. Baiklah kita menunggu sejenak”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menunggu dengan sabar meskipun ada juga kegelisahan didalam hati. Jika Ki Sarpa Kuning terbangun dan mencarinya, mungkin kesulitan akan terjadi.

“Mudah-mudahan ia mengira bahwa aku justru pergi bersama seorang muridnya” berkata Mahisa Murti didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, keduanya mulai mendengar sesuatu. Keduanya mulai mendengar gemerisik tidak terlalu jauh dari tempat mereka menunggu. Mahisa Murti menggamit lengan Mahisa Pukat yang ter-nyata sudah mendengar juga suara yang asing itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun mengangguk kecil ketika ia merasa Mahisa Murti menggamitnya.

Perlahan-lahan keduanya berusaha untuk mendekati suara itu. Dengan sangat berhati-hati agar mereka sendiri justru tidak menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian. Setapak demi setapak mereka berusaha mendekati sumber suara yang tidak menarik perhatian mereka itu. Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Apalagi ketika mereka melihat murid Ki Sarpa Kuning itu menarik sesuatu dari balik bajunya. Sumpit.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai meraba arti dari perbuatan orang itu. Orang yang pernah menjadi kecewa dan sakit hati. Apalagi setelah adiknya dibunuh oleh Ki Sarpa Kuning. Dengan demikian, maka keduanya pun mulai dapat menebak teka-teki yang mereka hadapi. Karena itu, maka keduanya pun hampir diluar sadarnya telah bergeser mendekat.

Tetapi karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada orang yang berada diatas atap itu, maka Mahisa Pukat menjadi kurang memperhatikan langkahnya. Diluar kehendaknya, ia telah menginjak sepotong ranting kering, sehingga kakinya itu telah menimbulkan suara yang berderik. Suara itu telah menarik perhatian orang yang sedang berada diatas atap itu. Dengan serta mereka, maka ia pun telah berpaling.

Ternyata penglihatannya tidak kalah tajamnya dengan penglihatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun malam cukup gelap, tetapi orang itu dapat melihat dalam keremangan malam, bayangan dua orang yang berdiri di belakang dinding halaman. Tiba-tiba saja orang itu meletakkan sumpitnya di mulutnya. Dengan kecepatan yang tinggi, orang itu telah melepaskan sumpitnya kearah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Untunglah bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengimbangi kecepatan gerak orang yang berada diatap rumah itu. Dengan serta merta, keduanya telah menjatuhkan diri di balik dinding halaman, sehingga mata sumpit itu tidak mengenai mereka.

Namun orang yang berada diatas atap itu merasa, bahwa perbuatannya telah diketahui seseorang. Karena itu, maka dengan tangkasnya orang itu pun kemudian berkisar dan meluncur turun lewat cabang dan batang pohon jambu air yang dipanjatnya. Dalam waktu yang sangat singkat orang itu sudah berdiri diatas dinding halaman dan meloncat turun.

Namun sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyadari apa yang telah terjadi, sempat mengambil satu keputusan bahwa mereka akan menyingkir dari tempat itu. Jika mereka harus berkelahi, mereka akan mengambil tempat yang agak jauh dari rumah Ki Sendawa. Tetapi keduanya dengan sengaja telah memancing orang yang telah berada diatas dinding itu untuk mengikuti mereka

Dalam kegelapan mereka pun telah saling mengejar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak ingin melepaskan diri dari pengamatan orang itu, sehingga akhirnya mereka telah berada di sebuah halaman kosong yang ditumbuhi semak semak belukar.

“Kita berhenti disini” berkata Mahisa Murti.

Sementara itu, orang yang mengejarnya pun telah berdiri beberapa langkah dihadapan mereka. Ternyata sumber suara itu berasal dari balik dinding halaman, justru diarah halaman Ki Sendawa.

Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan isyarat keduanya pun berusaha untuk dapat menjenguk. Tetapi keduanya harus berusaha, agar mereka tidak melakukan kesalahan dengan menimbulkan bunyi pula betapapun lemahnya. Karena dimalam yang sepi itu, suara yang lemuh pun akan mudah didengar seperti suara yang timbul di halaman rumah Ki Sendawa itu.

Yang paling mudah mereka lakukan kemudian adalah salah seorang dari keduanya berdiri di pundak yang lain. Perlahan lahan yang lain itu akan berdiri dan mengangkat yang berdiri dipundaknya sehingga ia akan dapat menjenguk apakah yang ada dibalik dinding itu tanpa menimbulkan bunyi.

Mahisa Pukatlah yang kemudian berdiri dipundak Mahisa Murti yang berjongkok. Perlahan-lahan Mahisa Murti berdiri sehingga akhirnya, Mahisa Pukat berhasil menjenguk halaman rumah Ki Sendawa. Ternyata keduanya tidak menimbulkan suara sama sekali. Karena itu. maka Mahisa Pukat sempat melihat, apakah yang sedang terjadi.

Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Pukat melihat murid Ki Sarpa Kuning yang telah keluar mendahuluinya itu berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang tumbuh dibelakang gandok. Dengan isyarat Mahisa Pukat pun kemudian minta agar Mahisa Murti menurunkannya, agar ia dapat berbicara serba sedikit apa yang sebaiknya mereka lakukan.

“Apa yang akan dilakukannya” desis Mahisa Murti yang kemudian mendengar hal itu dari Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Namun ia pun kemudian menunjuk sebatang pohon yang rimbun. Sebatang pohon jambu air. Keduanya pun kemudian melekat di dinding halaman disebelah agar orang yang memanjat itu tidak segera melihat mereka. Perlahan-lahan keduanya bergeser semakin dekat dengan arah pohon jambu air itu.

Dari halaman di sebelah keduanya kemudian dapat melihat dalam keremangan malam, orang itu memanjat semakin tinggi. Sehingga kemudian ia berada diatas atap gandok rumah Ki Sendawa. Kedua anak muda itu saling berpandangan. Keduanya menjadi tegang, justru teka-teki yang dihadapinya tidak segera dapat dipecahkan.

Namun kemudian mereka melihat orang itu mulai menyingkapkan atap gandok itu tepat diarah Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya itu tidur. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin tertarik melihat sikap orang itu. Dengan sangat hati-hati dan hampir tidak menimbulkan suara apa pun juga, atap gandok itu mulai tersingkap.

Ketika mereka sudah berhadapan, maka jelaslah bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, siapakah yang berdiri dihadapan mereka. Orang itu adalah murid Ki Sarpa Kuning sendiri, yang telah keluar mendahului kedua anak muda itu.

“Apa yang sebenarnya kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia pun bertanya, “Kau sengaja mengikuti aku?”

“Aku memang mencarimu. Para peronda melihat kau keluar dari gandok dengan sikap gelisah” jawab Mahisa Murti, “ternyata kau telah melakukan satu perbuatan yang dapat mencelakai guru”

“Orang itu bukan gurumu” potong orang itu, “kau telah masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang terserah kepadamu. Apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi aku harus membunuh kalian karena kalian melihat, apa yang akan aku lakukan. Bukan karena aku seorang pembunuh seperti Ki Sarpa Kuning, tetapi jika aku tidak melakukannya, maka akulah yang akan dibunuhnya karena kalian akan melaporkannya”

“Terserah apa yang akan kau lakukan” jawab Mahisa Murti, “tetapi beri aku penjelasan akan sikapmu. Kemudian kita akan menentukan, kau atau kami berdua yang akan mati jika kau masih berniat untuk membunuh kami”

“Persetan” geram orang itu, “aku memang akan membunuh orang yang telah merampas kebebasan hidupku dan membunuh adikku itu”

“Kenapa kau mengambil jalan yang sulit. Kenapa kau tidak membunuh guru ketika kau masih berbaring disampingnya” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak akan berhasil membunuh mereka semua. Jika aku membunuh orang yang berada di sisiku, maka yang lain tentu akan segera terbangun” jawab orang itu, “tetapi dari atas atap dengan paser beracun ini, aku akan dapat membunuh semua orang. Aku akan dapat menyumpit mereka dengan cepat seorang demi seorang. Sentuhan paser yang menjadi mata supitku ini tidak akan dapat ditawarkan."

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau salah. Ki Sarpa Kuning kebal akan segala bisa”

“Aku muridnya yang jauh lebih lama dari kehadiranmu yang baru saja” jawab orang itu, “aku tahu. Ki Sarpa Kuning memiliki obat tertentu. Tetapi jika ia tidak makan obatnya untuk waktu tertentu, maka kekebalannya akan bisa menjadi berkurang. Biasanya ia makan obat itu sebelum melakukan sesuatu dengan ular-ularnya yang tersimpan baik-baik di dalam kotaknya. Tetapi aku tahu, malam ini ia tidak menelan obat itu. Karena itu, aku akan mengambil kesempatan ini”

Wajah kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Apakah tidak ada murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain yang akan menuntutmu kelak”

“Tidak ada yang tahu, bahwa aku yang telah melakukannya. Seandainya ada yang menduga demikian, tidak akan ada orang yang akan mampu mencari aku” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Sementara orang itu berkata, “Baiklah. Jika kalian tidak keras kepala, maka kalian masih mempunyai kesempatan untuk hidup. Jika kalian menyerah, maka aku akan mengikat kalian pada batang-batang pohon itu. Aku akan melaksanakan rencanaku dan kemudian meninggalkan tempat ini tanpa seorang pun yang mengetahui tujuanku. Besok kalian akan diketemukan oleh orang-orang padukuhan ini dan kalian akan dibebaskan. Tetapi seandainya murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain, yang mendengar kematian gurunya kemudian menyangka kalian yang melakukan pembunuhan, itu karena memang nasibmu yang terlalu buruk”

“Tunggu” berkata Mahisa Pukat, “apakah kau tidak mempunyai cara lain daripada membunuh?”

“Tidak ada cara lain terhadap Ki Sarpa Kuning” jawab orang itu, “meskipun sebenarnya aku bukan pembunuh. Karena itu, aku akan memberi kalian kesempatan”

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebaiknya kau tidak usah memikirkan aku dan saudaraku. Lakukan apa yang akan kau lakukan. Tetapi kau tidak usah mengikat kami. Itu tidak perlu. Dan kami pun merasa cemas, bahwa setelah kami terikat, kau telah berubah pendirian. Tiba-tiba kau ingin membunuh kami berdua”

“Memang mungkin” jawab orang itu, “sebagaimana timbul pula keinginanku sekarang untuk membunuh kalian. Apalagi jika kalian memperlambat usahaku. Aku akan melakukannya sebelum Ki Sarpa Kuning bangun. Aku sudah mempelajari keadaan di sekitar gandok rumah itu sejak kita tinggal di sana. Aku sudah mempelajari keadaan batang jambu air itu. Dan aku pun telah mempelajari letak amben dimana Ki Sarpa Kuning tidur. Karena itu, kalian jangan mengganggu aku”

“Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan mengganggumu. Aku tidak akan menghalangimu. Tetapi aku pun tidak mau jika kau ingin mengikat kami”

“Kalian tidak mempunyai pilihan lain” jawab orang itu, “aku tinggalkan dengan terikat, atau aku akan membunuhmu sama sekali”

“Kami tidak memilih kedua-duanya” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku pun tidak akan menghalangi apa yang akan kau lakukan”

“Omong kosong” jawab orang itu, “cepat, ambil keputusan. Waktuku sudah habis. Jika Ki Sarpa Kuning terbangun, maka akulah yang akan mati”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Nampaknya orang itu tidak sekedar mengancam. Tetapi karena ia sendiri merasa terdesak oleh keadaan, maka ia akan dapat menjadi garang. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat meraba warna perasaan orang itu. Sebenarnyalah bahwa ia memang bukan seorang pembunuh.

Mereka memang tidak sebenarnya ingin membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ia juga tidak ingin membunuh Ki Sarpa Kuning jika ia tidak tersudut ke dalam satu keadaan yang tidak lagi dapat diatasinya. Ia merasa terjebak ke dalam satu keterikatan yang sangat menyakitkan hati. Ditambah lagi dengan kematian adiknya yang dibunuh oleh Ki Sarpa Kuning meskipun adiknya memang bersalah.

Gejolak perasaannya yang tidak dapat dikendalikannya lagi, kerinduannya atas perubahan sikap dan tatanan kehidupannya telah mendorongnya untuk mengambil satu sikap yang keras. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau menjadi korban keadaan orang itu. Mereka tidak mau menjadi sasaran kebingungan orang yang seakan-akan telah kehilangan pegangan itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak akan menghukumnya sebagaimana ia bersikap dengan orang-orang yang akan membunuhnya. Kedua anak muda itu justru merasa, betapa sakitnya hati orang itu menghadapi keadaannya sendiri. Kematian adiknya yang diketahuinya dengan pasti, tetapi tanpa dapat berbuat apa-apa, sementara itu iu merasa terpenjara dalam satu keadaan yang buram.

Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merenungi orang yang berdiri dihadapannya itu, tiba-tiba orang itu telah membentak, “Cepat. Jangan dengan sengaja memperlambat waktu. Cepat katakan, yang manakah yang kau pilih. Terikat dengan harapan bahwa besok kau akan diketemukan oleh seseorang, atau aku akan membunuhmu”

“Jangan Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku akan berada disini, tetapi tidak dengan tangan dan kaki terikat”

“Persetan” geram orang itu, “aku tidak mempunyai waktu lagi. Jika kalian tidak memilih kedua-duanya, maka akulah yang akan menentukan. Aku lebih mudah membunuh kalian daripada menangkap dan mengikat kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa orang itu tentu akan melakukannya. Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian justru berkata kepada saudara laki-kalinya, “Hati-hatilah. Kita agaknya terpaksa mempertahankan diri”

Orang itu tidak ingin memperpanjang waktu lagi Ketika ia mendengar keputusan Mahisa Murti itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah menduga. Karena itu, maka serangan yang pertama yang diarahkan kepada Mahisa Murti itu pun dengan mudah dapat dihindarinya.

Tetapi orang itu benar-benar ingin menyelesaikan lawannya dengan cepat. Kegelisahannya tentang dirinya sendiri, telah mendorongnya untuk melakukan kekerasan dan bahkan sampai pada satu kemungkinan untuk membunuh.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah berusaha bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil berdesis, “Kita hadapi orang itu berdua”

“Bagus” ternyata orang itu mendengarnya pula, “dengan demikian kita akan cepat sampai kepada satu keputusan akhir dari pertempuran ini”

Mahisa Murti bergeser pula ketika orang itu menyerangnya. Namun Mahisa Murti masih sempat berkata, “Kami akan melawan karena kami tidak mau diperlakukan tidak adil. Tetapi sebenarnya kami tidak ingin berbuat sesuatu atas perbuatanmu, karena hal itu harus kau pertanggung jawabkan sendiri”

“Aku tidak peduli. Tetapi membunuh kalian memang lebih mudah dari menangkap kalian dan mengikat pada sebatang pohon” berkata orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai membalas serangan-serangan orang itu dengan serangan pula. Tetapi Mahisa Murti masih sempat berdesis, “Jangan sakiti orang itu”

“Kau menghina aku” orang itu hampir berteriak Sementara Mahisa Pukat memotong, “Jangan berteriak. Jika suaramu didengar seseorang, maka akibatnya akan semakin parah. Bukan bagi kami, tetapi bagi kau”

“Tidak. Timbul pikiran baru padaku. Jika Ki Sarpa Kuning atau saudara-saudara seperguruanku datang, aku akan dapat mengatakan bahwa kalian ingin melarikan diri” berkata orang itu.

“Tentu tidak akan dipercaya” jawab Mahisa Murti, “aku masih mempunyai sesuatu yang tertinggal di gandok”

Namun dengan demikian pekerjaan mereka menjadi sangat berat, karena yang mereka hadapi adalah seseorang yang memiliki ilmu yang cukup.

Dalam pada itu, ketika orang itu merasakan, tekanan yang semakin berat dari kedua lawannya, maka ia pun berdesis, “Agaknya kalian merasa memiliki ilmu yang cukup tinggi untuk menggangguku. Tetapi kalian akan segera menyesal, bahwa aku akan segera kehilangan pengekangan diri. Jika aku tidak segera dapat menyelesaikan kalian dengan cara yang lebih lunak, maka aku akan benar-benar membunuh”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka telah meningkatkan tekanan mereka terhada lawannya. Semakin lama, orang itu pun semakin merasakan tekanan yang sulit untuk dielakkan Kedua anak muda itu mampu bergerak cepat. Jika yang seorang gagal menyerang, maka yang lain telah menyusul dengan serangan berikutnya, beruntun tanpa henti-hentinya.

“Gila” geram orang itu. Namun ia masih juga mengancam, “apakah kalian tidak berpikir untuk menghentikan perlawanan kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri. Tetapi mereka masih juga berusaha untuk meningkatkan tekanan mereka terhadap lawannya.

Dalam pada itu, ketika orang itu merasa dirinya tidak mampu lagi menghadapi kedua anak muda itu, agaknya benar-benar telah di cengkam oleh kebingungan, karena sudah barang tentu bahwa ia tidak akan mau mati tanpa berbuat sesuatu. Jika ia dapat ditangkap atau dilumpuhkan oleh kedua orang anak muda itu, maka berarti bahwa ia akan mengalami kematian yang menyakitkan hati.

Ki Sarpa Kuning akan membawa seekor ular sebesar jari kelingkingnya. Dan ular kecil itu akan dibiarkan mematuk kulitnya, sehingga akhirnya ia akan mati. Karena itu, maka orang itu tidak lagi berpikir terlalu panjang. Tiba-tiba saja ia sudah menarik pedangnya. Bagaimanapun juga, lebih baik baginya untuk membunuh daripada dibunuh.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Mereka melihat lawannya telah kehilangan penalaran. Karena itu, maka mereka harus berhati-hati menghadapinya.

Sejenak kemudian, maka murid Ki Sarpa Kuning itu telah menyerang dengan ayunan pedangnya. Sekali sekali terayun mendatar, namun kemudian terayun dalam putaran yang berbahaya, sementara sejenak kemudian pedang itu terjulur lurus mematuk kearah dada lawan

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar harus berhati-hati. Orang itu agaknya sudah tidak sempat berpikir lagi. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berpencar. Keduanya berada di arah yang berlawanan, sehingga dengan demikian, mereka dapat memecah perhatian lawan mereka.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk lebih cepat mengakhiri pertempuran itu. Dengan kemampuan mereka yang tinggi mereka mulai benar-benar mendesak lawannya. Mereka tidak merasa perlu untuk menyembunyikan unsur-unsur gerak yang manapun karena mereka tidak berhadap-hadapan dengan Ki Sarpa Kuning.

Dalam tingkat tertinggi dari ilmu mereka, ternyata kedua orang anak muda itu berhasil menguasai lawannya, meskipun lawannya itu berpedang. Dengan langkah panjang dan beruntun berganti-ganti, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai menyentuh tubuh lawannya. Dalam kecepatan tertinggi dari kemampuan gerak mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti mampu menembus putaran pedang lawannya. Apalagi ketika kedua anak muda itu telah mempergunakan pisau-pisau belati yang selalu mereka selipkan dibawah kain panjang mereka.

Justru karena kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang yang kehilangan nalar itu menjadi semakin gugup. Sekali-kali ia merasa kecil. Namun kemudian kemarahannya telah membuatnya semakin garang. Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu tidak akan mampu mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Semakin lama orang itu justru semakin terdesak.

Akhirnya, dalam keadaan yang paling sulit, maka orang itu tidak lagi mempunyai pilihan lain. Dengan loncatan panjang, maka ia telah mengambil jarak sambil menarik sumpitnya yang diselipkannya diikat pinggangnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka mereka mengerti, mata sumpit itu tentu beracun. Namun murid Ki Sarpa Kuning itu bergerak terlalu cepat. Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berbuat sesuatu, orang itu telah meniup sumpitnya mengarah ke dada Mahisa Murti.

Mahisa Murti berusaha mengelak. Tetapi ternyata ia tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya. Mata sumpit itu telah menancap pada pundaknya. Terdengar Mahisa Murti mengeluh pendek. Wajahnya menjadi tegang. Bagaimanapun juga, darah mudanya mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah terkejut pula. la menyadari bahwa Mahisa Murti telah dikenai oleh mata sumpit murid Ki Sarpa Kuning itu.

Dalam pada itu, untuk sesaat, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat seolah-olah justru telah membeku. Jantung mereka bagaikan bedegup semakin cepat. Dengan tajamnya kedua anak muda itu memandang lawan mereka dengan sorot mata yang menyala.

Namun dalam pada itu, selagi kedua anak muda itu mulai dipanasi oleh darah mereka yang mendidih, mereka melihat lawan mereka berdiri termangu-mangu. Dengan-sikap yang aneh orang itu memandang Mahisa Murti yang telah dikenai mata sumpitnya yang memang beracun.

“Ki Sanak” tiba-tiba saja orang itu berdesis, “kau kena mata sumpitku?”

Mahisa murti yang tidak mengerti sikap lawannya itu tidak segera menjawab. Tetapi kedua anak muda itu telah bersiap sepenuhnya menghadapi lawannya yang bersenjata sumpit itu. Tetapi keduanya menjadi semakin bimbang ketika mereka melihat orang itu menundukkan sumpitnya. Bahkan dengan suara bergetar ia berkata,

“Maafkan aku anak-anak muda. Aku tidak berniat untuk membunuh. Tetapi dalam keadaan yang sulit, aku tidak dapat menguasai diriku lagi”

Mahisa Murti melihat perubahan sikap itu dengan hati-hati. Namun nampaknya orang itu bersungguh-sungguh. Dalam keremangan malam, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat orang itu melangkah mendekat. Namun, bagaimanapun juga keduanya masih belum dapat mempercayai lawannya itu sepenuhnya. Tetapi ketika mereka melihat orang itu menyelipkan sumpitnya, maka keduanya menjadi semakin meyakini sikap orang itu.

“Ki Sanak” berkata orang itu, “mata sumpit itu beracun. Racun itu kuat sekali, sehingga tidak ada orang yang akan dapat membebaskan diri dari kematian tanpa mendapat pengobatan yang sebaik-baiknya. Karena itu, berilah aku kesempatan untuk mengobati lukamu. Aku sama sekali tidak ingin membunuh kalian. Karena sebenarnya aku tidak mempunyai persoalan dengan kalian, kecuali jika kalian memang akan melaporkan kepergianku dan usahaku untuk melenyapkan Ki Sarpa Kuning. Hal itu pun tidak akan aku lakukan, jika tidak merasa diriku kehilangan harapan untuk menyusun masa depanku”

“Apakah kau berkata dengan jujur?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku berkata dengan jujur. Cepatlah. Beri aku kesempatan memperbaiki kekeliruanku” jawab orang itu. “Jika terlambat maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai obat penawar racun Ki Sanak”

“Mungkin obatmu dapat mengobati luka beracun itu. Tetapi jika kalian gagal karena obatmu kurang tajam menghadapi racunku, maka pengobatan selanjutnya sudah terlambat."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka semakin menyadari, bahwa orang itu telah berkata sebenarnya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jangan risaukan racunmu Ki Sanak”

“Aku tidak bergurau” jawab orang itu, “racun itu adalah racun sebagaimana dipergunakan oleh Ki Sarpa Kuning. Kami, murid-muridnya telah mendapat senjata seperti ini, tetapi juga sekaligus obat untuk menawarkan racun setajam racun Ki Sarpa Kuning itu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat kesungguhan sikap kemudian mendekatinya. Sementara orang itu menjadi bertambah tegang. Katanya, “Aku tidak sedang bermain-main Ki Sanak. Nyawamu ada dalam bahaya”

Mahisa Murti yang terkena sumpit pada pundaknya itu pun kemudian dengan hati-hati menarik mata sumpit itu dari tubuhnya.

“Jangan. Tunggu, aku akan mengobatimu. Jika mata sumpit itu kau tarik sebelum obat dipersiapkan, maka segalanya akan terlambat” orang itu hampir berteriak.

Tetapi Mahisa Murti tersenyum sambil melangkah semakin dekat. Katanya, “Percayalah. Aku tidak akan terpengaruh oleh racunmu itu”

Orang itu termangu-mangu. Namun nampak pada sikap-sikapnya, bahwa ia benar-benar dicengkam oleh ketegangan.

“Jangan risau Ki Sanak. Kau tidak sedang melakukan pembunuhan, karena aku tidak akan mati karena racunmu. Bahkan karena racun siapa pun juga. Apakah kau tidak percaya?” berkata Mahisa Murti kemudian.

Orang itu masih berdiri tegang. Ditatapnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, seolah-olah ia tidak percaya akan penglihatannya. Ternyata Mahisa Murti itu masih tetap berdiri tegak dan benar-benar tidak terpengaruh oleh racun pada mata sumpitnya. Untuk beberapa saat orang itu dicengkam oleh satu perasaan yang kisruh di dalam dadanya.

Ketika ia melihat anak muda itu tidak mati, maka perasaan cemasnya telah berubah. Bukan lagi kecemasan bahwa ia akan membunuh orang yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan dirinya, tetapi kecemasan tentang nasibnya sendiri. Anak muda itu akan dapat berbuat apa saja atasnya. Jika mereka tidak membunuhnya dengan tangannya, maka anak-anak muda itu akan dapat melaporkannya kepada Ki Sarpa Kuning yang akan membunuhnya juga.

Dalam kebimbangan dan kecemasan itu, akhirnya tidak ada pilihan lain baginya kecuali bertempur sampai mati. Agaknya cara mati yang demikianlah yang paling terhormat baginya. Namun selagi ia mempersiapkan diri, terdengar Mahisa Murti berkata,

“Ki Sanak. Aku kira kita tidak perlu bertempur lagi. Tidak akan ada gunanya”

“Apakah kau kira akan membiarkan diriku dibantai oleh Ki Sarpa Kuning jika kau melaporkannya” sahut orang itu.

“Tidak” jawab Mahisa Murti, “aku tidak akan melaporkannya”

“Omong kosong” jawab orang itu” agaknya kau telah mendapat kepercayaan Ki Sarpa Kuning melampaui aku, muridnya yang lebih tua. Kau telah mendapatkan kepercayaan untuk menerima obat penawar racun yang kuat itu, sehingga racunku tidak dapat membunuhmu”

“Tidak” jawab Mahisa Murti, “aku tidak mendapat apa pun juga dari Ki Sarpa Kuning. Karena itu, aku tidak akan melaporkanmu. karena kau pun akan dapat melaporkan aku. Nah, apakah kau percaya kepadaku”

“Aku tidak mengerti” desis orang itu.

"Ki Sanak. Ki Sarpa Kuning tentu tidak akan senang melihat seseorang memiliki kemampuan melawan racun, karena dengan demikian, maka orang itu akan dapat melawan senjatanya yang paling berbahaya” jawab Mahisa Pukat.

Karena orang itu masih saja dicengkam oleh kebimbangan, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Ki Sanak. Percayalah bahwa kami tidak akan melaporkanmu. Kita masing-masing telah mengetahui rahasia kedua belah pihak. Kami tahu, bahwa kau berniat untuk membunuh Ki Sarpa Kuning, sementara itu kau tahu, bahwa kami memiliki kekebalan atas bisa. Nah, bukankah jika kita saling membuka rahasia itu, kita semuanya akan dibunuhnya”

“Jadi apa maksud kalian sebenarnya?” bertanya orang itu.

“Kita akan kembali ke gandok itu. Kita akan saling berdiam diri. Tetapi kita sudah mengetahui, bahwa kita tidak dengan setulus hati berpihak kepada Ki Sarpa Kuning. Nah, apakah kau sudah mengerti maksud kami?” bertanya Mahisa Pukat kemudian. Lalu, “Sebenarnyalah kami tidak perlu melaporkan kepada Ki Sarpa Kuning jika kami ingin mencelakaimu, karena kami dapat melakukannya sendiri sekarang”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnyai ia pun mengerti maksud kedua orang anak muda itu. Ternyata kedua anak muda itu tidak benar-benar ingin menjadi murid Ki Sarpa Kuning. “Anak-anak muda” berkata orang itu kemudian, “aku melihat sikap kalian yang bertentangan dengan yang kalian lakukan sehari-hari. Apakah dengan demikian kalian ingin mengatakan, bahwa apa yang kalian lakukan sekarang ini hanyalah pura-pura saja?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murti pun menjawab, “Ya. Kami tidak sebenarnya ingin menjadi murid Ki Sarpa Kuning. Kami hanya sekedar ingin tahu, apa yang akan dilakukannya. Kami pun menyadari bahwa Ki Sarpa Kuning tidak sepenuhnya percaya kepada kami. Namun kami telah berusaha untuk berbuat apa saja yang dapat mempertebal kepercayaan itu."

“Ya. Ki Sarpa Kuning tetap mencurigai kalian” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Kami mengerti. Ketika Ki Sarpa Kuning memungut kami justru pada saat Kami sedang berkelahi, maka kami pun sudah menyadari” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Marilah kita kembali. Jangan terlalu lama meninggalkan gandok”

“Apa kata Ki Sarpa Kuning nanti” desis muridnya itu.

"Katakan, bahwa kau telah mengikuti aku pergi ke sungai" berkata Mahisa Murti. ”bukankah kami masih harus selalu mendapat pengawasan”

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kita akan dapat bekerja sama untuk seterusnya. Bukankah kau sudah tidak ingin berada dibawah pengaruh Ki Sarpa kuning?”

“Ya. Tetapi Ki Sarpa Kuning adalah orang yang tidak terkalahkan” jawab muridnya. Lalu, “Bahkan orang orang berilmu pun segan menghadapinya”

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menyahut, “Kami mengerti. Tetapi itu bukan satu alasan bahwa apa pun yang akan dilakukan tidak akan dapat dicegah”

“Aku mengerti, tetapi siapakah yang akan dapat mencegahnya?” bertanya orang itu.

Dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti menjawab, terdengar suara dari dalam kegelapan, “Kita akan mencegah bersama-sama”

Ketiga orang itu pun dengan serta merta telah mempersiapkan diri. Mereka bergeser menghadap kearah suara itu. Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah lain, ”Aku akan disini ngger. Kenapa kalian justru menghadap kesana?”

Sekali lagi orang-orang itu terkejut. Sekali lagi mereka meloncat kearah yang lain. Terdengar suara tertawa. Mereka melihat seseorang berdiri dihadapan mereka. Sambil tertawa orang itu berkata,

“Kalian masih harus belajar mengenal sumber suara lebih baik lagi. Aku ada disini. dan kalian menyangka bahwa aku berada di tempat lain. Dalam keadaan yang demikian, kalian berada dalam bahaya. Sementara kalian kebingungan, aku dapat berbuat banyak atas kalian”

Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menyadari bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga orang itu mampu mengacaukan tanggapan mereka atas suara yang ditimbulkannya. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas dalam-dalam. Yang berdiri dihadapan mereka adalah Ki Waruju.

“Ki Waruju mengejutkan kami” berkata Mahisa Murti. “Aku mengamati kalian sejak kalian berada di halaman sebelah rumah Ki Sendawa” berkata Ki Waruju.

“Siapakah kau?” bertanya murid Ki Sarpa Kuning.

Orang itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Katanya, “Kau belum mengenal aku Ki Sanak. Tetapi kedua anak muda ini sudah mengenalku sebelumnya” Ki Waruju berhenti sejenak, lalu, “aku adalah seorang petani dari padukuhan sebelah. Padukuhan yang di sebelah oleh sungai kecil yang mengalir di sebelah Timur padukuhan Ki Sendawa ini."

Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu. Hampir tidak percaya ia bertanya, “Kau orang Kabuyutan ini?”

“Ya” jawab Ki Waruju, “aku memang orang Kabuyutan ini yang mengikuti perkembangan terakhir dengan jantung yang berdebar-debar. Agaknya persoalan yang semakin panas di Kabuyutan ini tidak akan segera dapat dipecahkan”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi heran. Jika benar orang itu adalah orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu, maka ternyata Kabuyutan itu mempunyai orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana orang yang berdiri dihadapannya itu.

“Ki Sanak” berkata Ki Waruju kemudian kepada murid Ki Sarpa Kuning, “aku dan beberapa orang kawan-kawanku menjadi cemas melihat perkembangan keadaan, sehingga kami merasa perlu untuk mengamati keadaan dengan saksama. Termasuk orang-orang asing yang berada di lingkungan Kabuyutan kami. Orang asing yang bukan saja tinggal di Kabuyutan kami, tetapi telah mempengaruhi perkembangan Kabuyutan kami dengan licik”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi berdebar-debar. Sementara Ki Waruju itu pun berkata, “Sampai saat ini kami baru sekedar mengamati-amati. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang kami anggap asing bagi Kabuyutan kami”

“Jadi kalian selama ini selalu mengamati kami?” bertanya murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Ya. Kami selalu mengamati kalian” jawab Ki Waruju, “kami pun mengerti bahwa murid-murid Ki Sarpa Kuning selalu menganggap bahwa gurunya tidak akan dapat dicegah niatnya oleh siapa pun juga. Tetapi ketahuilah, bahwa aku dan beberapa orang kawan-kawanku akan berusaha untuk mencegahnya”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin gelisah. Sementara Ki Waruju itu pun berkata, “Tetapi sudahlah. Sekarang kembalilah ke rumah Ki Sendawa, agar Ki Sarpa Kuning tidak mencurigai kalian”

Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu.

Sementara Ki Waruju berkata, “Aku sudah mengerti sikap kalian. Sejak sebelumnya aku sudah mengerti tentang angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dan sekarang aku mengerti tentang kau Ki Sanak, bahwa kau sebenarnya tidak sejalan dengan pandangan dan sikap hidup Ki Sarpa Kuning. Karena itu, maka jangan cemas. Jika pada saatnya kawan-kawanku bertindak atas Ki Sarpa Kuning, maka kau akan mendapat perhatian khusus dari kami”

“Bagaimana dengan kedua orang anak muda ini?” bertanya murid Ki Sarpa Kuning.

Ki Waruju tertawa. Katanya, “Anak itu sejak semula adalah sebagian dari kami. Adalah kebetulan sekali, bahwa Ki Sarpa Kuning melihat mereka berkelahi dan tertarik kepada mereka, sehingga Ki Sarpa Kuning menawarkan kepada kedua anak itu untuk bergabung dengan mereka. Karena menurut dugaan Ki Sarpa Kuning kedua orang anak ini adalah dua orang perantau”

“Apakah keduanya bukan perantau?” bertanya murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Bukan” jawab Ki Waruju, “mereka bukan perantau”.

Orang itu berpikir sejenak. Lalu ia pun berkata, “Aku tidak mengerti. Tetapi kedua orang anak ini tentu bukan orang Kabuyutan ini”

“Kenapa?” bertanya Ki Waruju

“Jika keduanya orang Kabuyutan ini, keduanya tidak asing dengan anak-anak muda dipadukuhan Ki Sendawa” Jawab murid Ki Sarpa Kuning, “tetapi kedua anak muda ini sama sekali tidak mengenal seorang di antara mereka”

Ki Waruju tersenyum. Katanya, “Kau memiliki pengamatan yang cukup cermat Ki Sanak. Keduanya memang bukan orang Kabuyutan ini sejak lahir. Tetapi keduanya adalah kemanakanku. Aku memanggil mereka untuk tinggal di Kabuyutan ini. Ternyata disini mereka mendapatkan satu kerja yang menarik”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak mempercayai ceritera itu sepenuhnya, namun ia tidak dapat menyangkal bahwa orang yang disebut Ki Waruju itu memiliki ilmu yang pantas diperhitungkan. Oleh gurunya sekalipun.

Namun dalam pada itu, Ki Waruju pun berkata, “Cepat Kembalilah. Kalian sudah terlalu lama pergi. Mudah-mudahan kalian tidak dkurigai. Langkah-langkah berikutnya akan kita bicarakan kemudian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengajak murid Ki Sarpa Kuning itu kembali ke rumah Ki Sendawa, karena mereka masih harus melakukan peranan mereka untuk selanjutnya.

Di perjalanan itu, Mahisa Murti berkata kepada murid Ki Sarpa Kuning itu, “Kita tidak akan dapat saling membuka rahasia. Kita telah terikat ke dalam satu ikatan tanpa kita kehendaki. Kita harus bersama-sama melawan Ki Sarpa Kuning itu”

“Apakah kita akan membunuhnya saja?” bertanya murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Kita harus memperhitungkannya” jawab Mahisa Murti, “karena selain Ki Sarpa Kuning sendiri, terdapat Ki Sendawa dan para pengikutnya. Pusar dari masalah yang dihadapi orang-orang Kabuyutan ini bukannya Ki Sarpa Kuning itu sendiri. Tetapi Ki Sendawa”

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa hubungan antara Ki Sarpa Kuning dan Ki Sendawa nampaknya merupakan masalah yang harus mendapat pemecahan karena kedua belah pihak akan saling mendapatkan keuntungan.

Ki Sendawa akan mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, sementara Ki Sarpa Kuning akan mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan satu tugas besarnya tanpa diganggu. Ia akan mendapatkan hak untuk menguasai hutan di lereng bukit dan kemudian menebang hutan itu sesuai dengan kehendaknya, dalam rangka pelaksanaan satu rencana yang besar bukan saja yang akan dilaksanakan oleh Ki Sarpa Kuning, tetapi oleh banyak pihak yang dikendalikan oleh beberapa orang bangsawan di Kediri.

Dengan demikian, maka baik murid Ki Sarpa Kuning, maupun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan sebelum mereka melakukan satu tindakan yang akan berarti bagi mereka dan lingkungan mereka.

Dalam pada itu, maka ketiga orang itu pun semakin lama menjadi semakin mendekati halaman rumah Ki Sendawa. Karena itu, maka mereka pun mulai berpikir, alasan apakah yang akan mereka berikan jika Ki Sarpa Kuning ternyata mengetahui kepergian mereka bertiga untuk waktu yang cukup lama.

Namun akhirnya Mahisa Murti menemukan juga satu alasan yang mungkin akan dapat dipercaya oleh Ki Sarpa Kuning. Apa saja yang telah mereka lakukan selama mereka meninggalkan rumah Ki Sendawa.

“Katakan” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan ia mempercayainya”

Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk. Memang tidak alasan lain yang lebih baik daripada yang di katakan oleh Mahisa Murti.

Demikianlah, dengan hati yang berdebar-debar ketiga orang itu pun kemudian memasuki halaman rumah Ki Sendawa, Para peronda di regol halaman yang telah mengenal mereka, sama sekali tidak mengganggu. Mereka membiarkan ketiga orang itu melintas halaman menuju ke gandok.

Namun debar jantung ketiga orang itu serasa menjadi semakin cepat ketika mereka melihat Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang lain duduk di serambi gandok rumah Ki Sendawa.

Ketika Ki Sarpa Kuning melihat kehadiran mereka, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun bertanya, “Darimana kalian bertiga malam-malam begini?”

Murid Ki Sarpa Kuning itulah yang menjawab, sesuai dengan pembicaraannya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Aku mengantar mereka pergi ke sungai. Aku tidak dapat melepaskan keduanya pergi tanpa pengawasan"

Ki Sarpa Kuning menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kedua anak muda itu harus diawasi?”

Ketegangan telah mencengkam jantung murid Ki Sarpa Kuning itu. Namun kemudian ia berkata, “Mereka termasuk orang baru bagi kita. Apakah yang aku lakukan itu keliru?”

Ki Sarpa Kuning merenungi wajah muridnya itu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kau tidak melakukan kesalahan. Tetapi sebenarnya kau tidak perlu terlalu mencurigai kedua anak muda itu. Bukankah keduanya adalah adik seperguruanmu?”

“Aku mengerti guru. Tetapi selama ini, kita memang masih mengawasinya, apakah keduanya benar-benar dapat dipercaya” jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.

Namun Ki Sarpa Kuning tertawa sambil berkata, “Baiklah. Kau memang seorang yang dungu. Jika hal itu kau katakan dihadapan kedua anak muda itu sendiri, apakah hal itu tidak akan menumbuhkan persoalan di dalam dirinya?”

Sementara itu, sebelum murid Ki Sarpa Kuning itu menjawab, Mahisa Murti lah yang menyahut, “Sebenarnya kami pun merasa bahwa kami memang masih dalam pengamatan. Tetapi kami mengerti bahwa kami adalah orang-orang baru yang belum pernah menunjukkan kesetiaan kami.”

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Syukurlah jika kau tidak menjadi sakit hati. Tetapi sudah menjadi kebiasaan kami untuk menilik setiap orang di dalam lingkungan keluarga kami, apakah mereka bersungguh-sungguh atau sekedar ingin menyadap ilmu tanpa memberikan kenyataan sebagai keluarga yang baik”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat dan murid Ki Sarpa Kuning itu pun merasa seolah-olah himpitan perasaan mereka telah terlepas Ki Sarpa Kuning ternyata mempercayai mereka, bahwa mereka tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan mereka sebagai muridnya.

Dalam pada itu, maka Ki Sarpa Kuning pun kemudian menyuruh murid-muridnya kembali ke ruang dalam gandok, karena sudah larut malam. “Kepergian kalian memang membuat kami agak cemas” berkata Ki Sarpa Kuning, “Karena itu kami telah duduk di serambi sambil menunggu”

“Kami tidak ingin mengganggu” sahut murid Ki Sarpa Kuning, “karena itu, kami tidak memberitahukan kepergian kami”

“Baiklah. Masih ada waktu bagi kalian untuk tidur” berkata Ki Sarpa Kuning, “Aku akan melihat-lihat keadaan”

“Guru akan pergi kemana?” bertanya orang berkumis itu.

“Hanya berjalan-jalan saja” jawab Ki Sarpa Kuning.

“Apakah aku boleh menyertai guru?” bertanya orang berrkumis itu pula.

Sarpa Kuning termenung sejenak. Kemudian dipandanginya Gajah Wareng sambil berkata, “Biarlah ia pergi bersama aku”

“Silahkan” jawab Gajah Wareng, “aku akan tidur”

Ki Sarpa Kuning pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Sendawa. Sementara itu, Gajah Wareng pun berkata, “Tidurlah. Jangan berkeliaran di malam hari”

“Kami pergi ke sungai” jawab saudara seperguruannya.

Gajah Wareng tidak menyahut. Tetapi ia pun kemudian memasuki gandok dan menjatuhkan dirinya diatas amben yang besar. Sementara itu, mereka yang masih di luar telah bangkit pula. Namun saudara seperguruan Gajah Wareng itu masih juga sempat berbisik, “Kami adalah orang-orang yang selalu berkeliaran di malam hari. Peringatan itu justru terdengar aneh ditelingaku”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi keduanya pun kemudian memasuki gandok itu. Baru kemudian murid Ki Sarpa Kuning itu masuk pula. Tanpa berbicara apa pun juga, maka ketiga orang itu pun telah berbaring pula. Seolah-olah tidak ada persoalan sama sekali yang sedang mereka pikirkan, karena sejenak kemudian, ketiga orang itu seakan-akan telah tertidur nyenyak.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapatkan satu kepastian, bahwa orang yang telah kehilangan adiknya dan kebebasannya itu benar-benar memusuhi gurunya meskipun tidak dengan berterus terang. Dengan demikian, maka dalam keadaan yang khusus orang itu akan dapat diajak bekerja bersama.

“Orang itu tentu tidak akan menolak" berkata Mahisa Murti pada suatu saat kepada Mahisa Pukat "kita memegang satu rahasia besar yang akan dapat menjeratnya ke dalam kematian meskipun mungkin akan menjadi sumber kesulitan pula bagi kita”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan dapat mempergunakannya pada suatu saat. Atau barangkali kita akan dapat saling membantu”

Mahisa Murti memang ingin merencanakan satu kerja sama yang sebaik-baiknya dengan orang itu untuk menggagalkan usaha Ki Sendawa.

“Bagaimanapun juga, Ki Sarpa Kuning tentu lebih percaya kepada muridnya itu daripada kepada kita, meskipun kita juga disebut sebagai muridnya” berkata Mahisa Murti, “karena itu, kita sangat memerlukannya”

“Tetapi apakah Ki Sarpa Kuning tidak akan mencurigainya juga?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mungkin pada saat-saat mendatang” jawab Mahisa Murti, “tetapi tentu tidak dalam waktu dekat. Meskipun orang itu telah kehilangan adiknya, tetapi agaknya ia menyimpan dendamnya di dalam hatinya. Agaknya orang itu dengan berpura-pura seperti yang kita lakukan, mampu memelihara kepercayaan gurunya, sehingga pada suatu saat ia akan dapat membalas sakit hatinya itu”

“Lalu, apa yang dapat kita lakukan bersamanya” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita mengganggu Ki Sendawa tidak pada bentuk lahiriahnya. Tetapi kita mengganggu perasaannya” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimana. Aku belum mengetahui rencana semacam itu” sahut Mahisa Pukat.

“Kita meletakkan benda-benda yang aneh di dalam rumah Ki Sendawa. Tentu lebih baik bukan kita yang meletakkannya. Pada saat-saat tertentu, kita harus selalu berada di dekat Ki Sarpa Kuning atau murid-muridnya yang lain. Jika diketemukan sesuatu di dalam rumah itu, mereka tidak akan menuduh kita. Dan mereka pun tidak akan dengan cepat menuduh muridnya yang kehilangan adiknya itu asal ia tidak tertangkap pada saat ia melakukannya” jawab Mahisa Murti.

“Apakah ada gunanya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu ada. Jika di dalam satu sudut bilik rumah Ki Sendawa terdapat sebungkus bunga dengan beberapa rerangken yang aneh-aneh, misalnya duri ikan atau pecahan kulit kerang atau sebangsa itu, maka Ki Sendawa akan berpikir tentang benda-benda itu. Mudah-mudahan ia memperhatikannya” jawab Mahisa Murti.

“Apakah hasilnya dengan permainan itu” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita ingin menunda saat Ki Sendawa mengangkat dirinya menjadi Buyut. Jika kita berhasil menyusupkan sesuatu yang mencurigakan, sekaligus memberikan sebangsa gangguan yang tidak perlu membunuhnya atau jenis-jenis permainan lain, maka ia akan memperhitungkan rencananya itu kembali. Mudah-mudahan permainan itu demikian mencengkam hatinya, sehingga ia akan menunda pengangkatannya sendiri itu. Sementara Ki Waruju akan mendapat gambaran sikap dari pihak yang lain dari perebutan ini”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia kurang yakin bahwa usaha itu akan berhasil. Meskipun demikian ia tidak akan mencegah hal itu dilakukan.

Demikianlah, pada saat-saat tertentu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berbicara dengan murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa itu. Disamping pembicaraan di antara mereka, maka setiap kali Ki Waruju sempat pula menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesempatan-kesempatan yang khusus.

“Cobalah kau berusaha” minta Mahisa Murti kepada murid Ki Sarpa Kuning itu.

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti sikap Mahisa Murti. Ternyata bahwa orang itu memang lebih leluasa bergerak dari pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Nampaknya Gajah Wareng dan orang berkumis, murid Ki Sarpa Kuning itu masih tetap menganggap penting untuk mengawasi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Untunglah bahwa kadang-kadang mereka menyerahkan pengawasannya kepada saudara seperguruan mereka yang diluar pengetahuan mereka, mempunyai hubungan yang khusus dengan kedua orang anak muda itu.

Sesuai dengan rencana Mahisa Murti, maka orang yang kecewa itu telah berhasil pada satu saat menyusupkan sebilah keris tua yang sebenarnya tidak berarti apa-apa dengan sebungkus bunga dari berbagai jenis. Orang itu meletakkan benda-benda itu di sudut dapur Ki Sendawa.

Sebenarnyalah. benda-benda itu telah membuat seluruh keluarga Ki Sendawa menjadi ribut. Mereka menganggap yang terjadi itu satu peristiwa ajaib yang mempunyai pengaruh tertentu. Mereka tidak menganggap bahwa keris tua yang sudah karatan itu sebagai keris yang tidak berarti apa-apa. Tetapi justru melihat ujudnya, maka Ki Sendawa menganggap bahwa keris itu tentu mempunyai kekuatan tertentu bagi keluarganya.

Tetapi peristiwa yang pertama itu, masih belum dihubungkan oleh Ki Sendawa dan keluarganya dengan rencana Ki Sendawa untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut Kabilyutan Talang Amba. Mereka menganggap bahwa yang terjadi itu adalah usaha orang-orang yang tidak menyukainya dalam hubungan yang lain. Namun sementara itu, Ki Waruju dengan tidak jemu-jemunya telah menghubungi menantu Ki Buyut yang telah tidak ada lagi itu untuk bangkit dari keragu-raguannya.

“Tidak ada waktu untuk memikirkannya berkepanjangan” berkata, Ki Waruju kepada menantu Ki Buyut, “aku memang tidak banyak berkepentingan. Aku adalah orang lain bagi Kabuyutan ini. Tetapi aku tahu benar pendapat orang-orang Kabuyutan ini. Mereka merupakan harapannya kepadamu”

Menantu Ki Buyut itu memandangi orang-orang yang pada waktu itu ada di sekitarnya. Wajah-wajah mereka memancarkan berbagai macam perasaan. Sebenarnyalah jantung orang-orang Kabuyutan Talang Amba itu bagaikan terguncang-guncang melihat sikap menantu Ki Buyut. Mereka merasa kasihan melihat kekerdilan sikap itu. Namun mereka pun menahan perasaan marah dan kecewa.

Karena menantu Ki Buyut itu masih belum juga dengan tegas menentukan sikap, juga karena isterinya berusaha mencegahnya melibatkan diri ke dalam pertentangan perebutan kekuasaan itu, maka orang-orang Kabuyutan itu telah mengambil langkah sendiri.

“Kita tidak akan mencegah usaha Ki Sendawa dengan kekerasan” berkata Ki Waruju, “nampaknya mereka memiliki kekuatan yang mungkin akan dapat membuat keadaan semakin rumit”

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya beberapa orang anak muda yang perlahan-lahan terpengaruh oleh sikap Ki Waruju.

“Kita mempengaruhi Ki Sendawa dengan cara lain. Kekerasan hanya akan kita pergunakan dalam keadaan yang tidak terelakkan lagi” jawab Ki Waruju.

“Ya. Tetapi apa yang dapat kita lakukan?” bertanya orang-orang Talang Amba.

Ternyata Ki Waruju telah membuat satu rencana yang sudah disusun bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pada malam yang sudah ditentukan, beberapa malam menjelang purnama, saat Ki Sendawa akan mengumumkan dirinya menjadi Buyut di Talang Amba, orang-orang yang tinggal di beberapa pedukuhan telah membuat satu upacara. Upacara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Mereka telah berkumpul di tempat terbuka dan membakar seonggok kayu dan ranting-ranting yang kering.

“Api itu tidak boleh padam semalam suntuk” berkata Ki Waruju.

Sementara itu, di rumah Ki Sendawa, Mahisa Murti telah berusaha lewat murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa untuk menyusupkan benda-benda aneh ke dalam rumah Ki Sendawa. Sebilah mata tombak yang sudah geripis dan sebuah cumplung kelapa yang sudah kering. Di dalam cumplung kelapa itu terdapat beberapa jenis bunga.

Ternyata bahwa usaha itu dapat mempengaruhi ketabahan hati Ki Sendawa. Dari beberapa orang kepercayaannya, ia mendengar bahwa semalam disemua padukuhan telah diadakan satu upacara yang khusus. Orang-orang padukuhan itu telah menyalakan api semalam suntuk. Sementara itu di sudut longkangan bagian dalam rumahnya telah diketemukan mata tombak dan cumplung kelapa. Usaha yang telah berhasil mengguncang keteguhan hati Ki Sendawa, membuatnya tergesa-gesa memanggil beberapa orang kepercayaannya termasuk Ki Sarpa Kuning.

“Mereka mempergunakan cara yang lembut” berkata Ki Sendawa.

“Omong kosong, “Ki Sarpa Kuning hampir berteriak.

Orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu memandanginya dengan wajah yang tegang. Sementara itu Ki Sarpa Kuning berkata selanjutnya, “Hanya orang-orang yang penakut sajalah yang percaya akan hal itu”

“Jangan berkata begitu Ki Sarpa Kuning” sahut seseorang, “bagaimanapun juga, percaya atau tidak percaya, laku yang lembut seperti itu memang ada. Nampaknya menantu Ki Buyut yang putus asa itu telah mempergunakan cara itu”

“Seandainya ada cara seperti itu” berkata Ki Sarpa Kuning kemudian, “Ki Sendawa juga dapat mempergunakannya. Seandainya menantu Ki Buyut itu memanggil seorang dukun atau seorang juru tenung, apakah Ki Sendawa tidak dapat melakukannya?”

“Tetapi mereka telah melakukannya lebih dahulu” jawab Ki Sendawa.

“Apa bedanya” jawab Ki Sarpa Kuning.

“Sementara kita baru bersiap-siap serangan-serangan lembut itu berdatangan. Untunglah, kali ini aku masih selamat. Ujung tombak itu tidak menyusup ke dalam dadaku” berkata Ki Sendawa, “namun mereka tentu akan mempergunakan cara yang lain lagi.

“Aku tidak percaya” berkata Ki Sarpa Kuning. Namun kemudian, “Tetapi jika kalian semua percaya akan kemampuan yang demikian, maka tidak ada jalan lain kita harus lebih cepat bertindak. Kita tidak usah menunggu saat purnama naik. Kita akan mengangkat Ki Sendawa menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Sekarang atau besok”

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Maksud mereka adalah menunda atau jika mungkin mengurungkan niat Ki Sendawa mempergunakan caranya sendiri, dengan mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut. Tetapi akibatnya akan dapat justru sebaliknya. Ki Sarpa Kuning justru akan mempercepat pelaksanaan dari rencana itu.

“Orang itu memang gila” berkata Mahisa Pukat didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, seorang kepercayaan Ki Sendawa yang hadir itu pun berkata, “Sebenarnya kita mempunyai satu cara yang dapat mengakhiri laku lembut menantu Ki Buyut itu”

“Bagaimana menurut caramu” bertanya Ki Sendawa.

“Jika terjadi benturan kekerasan, apa boleh buat. Kita memang sudah bersiap. Aku kira Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya tentu tidak berkeberatan untuk melibatkan diri” jawab orang itu.

“Kita akan menyerang mereka?” bertanya Ki Sendawa.

“Tidak. Tetapi kita ambil menantu Ki Buyut itu” jawab orang yang mengusulkan cara itu jika orang itu atau pengikut, “pengikutnya melawan, bukan salah kita. Orang itu telah bertindak lebih dahulu”

Tiba-tiba saja Ki Sarpa Kuning menyahut, “Bagus. Aku sependapat. Kita ambil menantu Ki Buyut. Kita akan mengadilinya, karena ia telah menyerang dengan tenung saudaranya sendiri. Pamannya sendiri”

Ki Sendawa termangu-mangu. Namun kepercayaannya itu pun berkata, “Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini, justru pada saat menantu Ki Buyut itu melakukan satu kesalahan. Meskipun yang melakukan seluruh pengikutnya dengan membuat api yang menyala semalam suntuk. Namun tentu menantu Ki Buyut itulah yang telah memerintahkannya”

Beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu mengangguk-angguk. Nampaknya beberapa orang di antara mereka telah sependapat. Yang benar-benar menjadi tegang adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata perhitungan mereka keliru. Ki Sendawa tidak mengurungkan niatnya atau menunda rencananya, tetapi karena pengaruh orang-orang disekitarnya dan Ki Sarpa Kuning, akibatnya justru sebaliknya.

Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning pun kemudian berkata, “Kapan kita akan mengambil orang itu”

“Jangan terlalu lama. Besok kita akan mengambilnya. Sekarang sudah menjelang malam” jawab salah seorang diantara mereka.

Ki Sendawa pun akhirnya tidak berkeberatan. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika hal itu tidak dilakukan, maka menantu Ki Buyut itu tentu akan dapat melakukan perbuatan yang lebih keji lagi. Mungkin malam berikutnya, usaha menantu Ki Buyut itu berhasil, dan ujung sebilah keris yang patah, akan menyusup ke jantungnya. Jika anak itu sudah ditangkap, maka aku akan dapat mengadilinya atas nama Buyut di Talang Amba” gumam Ki Sendawa di dalam hatinya, karena menurut penilaiannya, memang tidak ada kekuasaan yang lebih sah dari kekuasaannya.

Demikianlah, maka Ki Sendawa dan para pengikutnya telah sepakat. Mereka akan mengerahkan kekuatan yang ada, sementara kekuatan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya akan menjadi ujung kekuatan Ki Sendawa.

“Jika terjadi benturan kekuatan, aku akan membuat pengeram-pangeram. Aku akan menunjukkan kepada rakyat Talang Amba. bahwa aku mempunyai kekuasaan yang tidak terlawan. Sebenarnya aku dapat berbuat lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang, misalnya memiliki hutan itu tanpa berbicara dengan siapa pun dari Kabuyutan ini. Tetapi aku memang tidak mau berbuat demikian. Aku akan melakukannya dengan tenang tanpa terganggu oleh siapapun, dan tanpa terganggu oleh perasaan bersalah karena aku telah mengambil milik orang” berkata Ki Sarpa Kuning. Lalu, “Memang agak berbeda dengan jika aku memiliki hutan itu dengan sah, atas ijin orang yang berkuasa di Kabuyutan ini."

Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Bagi mereka, Ki Sarpa Kuning adalah orang yang bersih dan jujur. Meskipun Ki Sarpa Kuning dan pengikut-pengikutnya memiliki kemampuan untuk merampas hutan itu dengan kekerasan, tetapi ia tidak melakukannya. Bahkan ia telah menyerahkan kekuatan yang ada padanya untuk menegakkan kekuasaan yang sah di Kabuyutan itu.

Demikianlah, orang-orang yang kerkumpul itu akhirnya berniat bulat untuk melakukan sebagaimana telah mereka bicarakan. Besok menantu Ki Buyut akan mereka ambil. Jika perlu dengan kekerasan. Meskipun para pengikut menantu Ki Buyut itu jauh lebih banyak, tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat tinggal diam. Mereka harus berbuat sesuatu, sebelum orang-orang Ki Sendawa itu benar-benar memasuki halaman rumah menantu Ki Buyut itu. Tetapi jika mereka berdua meninggalkan pondok Ki Sendawa, atau salah seorang dari mereka, dalam keadaan yang demikian, tentu akan dapat menimbulkan kecurigaan. Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya, terutama Gajah Wareng, masih belum mempercayainya sepenuhnya. Namun akhirnya menemukan akal. Mereka berbicara dengan murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa karena kematian adiknya.

“Kau lebih leluasa untuk berbuat sesuatu” berkata Mahisa Murti.

Orang itu termenung sejenak. Lalu katanya, “Apa yang harus aku lakukan?”

“Kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini” berkata Mahisa Murti, “tetapi sayang hasilnya justru sebaliknya dari yang kita harapkan. Kita berharap bahwa dengan cara kita itu Ki Sarpa Kuning akan menunda rencananya. Tetapi yang terjadi, justru mempercepat ledakan yang ingin dihindarkan itu”

“Ya. Tetapi apa yang harus aku lakukan?” desak murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Kau temui Ki Waruju. Bukankah kau sudah pernah mengenalnya?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

“Ya. Pada suatu saat kau sudah pernah mempertemukan aku dengan orang yang bernama Ki Waruju itu” jawab murid Ki Sarpa Kuning.

“Baik. Datanglah kepadanya atau langsung kepada menantu Ki Buyut itu. Katakan apa yang akan terjadi” berkata Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat berkata, “Soalnya rangkap. Bukan karena aku mengetahui rahasiamu dan memerasmu. Tetapi yang penting, dengan demikian kita akan dapat menyelamatkan menantu Ki Buyut yang tidak bersalah dan mungkin akan dapat mengurangi korban yang akan berjatuhan, jika terjadi kekerasan”

“Apakah justru bukan sebaliknya” berkata orang itu, “dengan demikian orang-orang yang menjadi pengikut menantu Ki Buyut akan bersiap-siap, sehingga akan, terjadi pertempuran”

“Kita akan terlibat ke dalamnya. Tetapi jika yang terjadi kemudian benturan-benturan yang pecah dimana-mana, maka korbannya akan jatuh dimana-mana. Para pengikut menantu Ki Buyut itu akan kehilangan pengekangan diri dan menyerang tanpa perhitungan. Jika itu terjadi diluar pengamatan kita, maka mereka akan menjadi korban yang parah. Mungkin Gajah Wareng, mungkin saudara seperguruanmu yang berkumis itu. Atau mungkin Ki Sendawa sendiri yang agaknya juga memiliki kemampuan. Selebihnya orang-orang yang selalu mengawalnya itu nampaknya orang-orang yang tidak berjantung sama sekali” jawab Mahisa Pukat.

Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jika terjadi benturan kekerasan, apakah kita akan berdiri dipihak menantu Ki Buyut?”

“Ya. Kita akan berdiri dipihak menantu Ki Buyut. Dengan tenang murid-murid Ki Sarpa Kuning akan segera selesai” berkata Mahisa Murti. ”Bukankah kau sudah mengetahuinya?”

Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan berdiri dipihakmu”

“Pergilah malam ini. Hanya kau sajalah yang dapat melakukannya” berkata Mahisa Murti kemudian.

Demikianlah, ketika malam menjadi semakin kelam, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun telah pergi keluar gandok. Kepada Gajah Wareng ia berkata, “Aku akan pergi kesungai. Hati-hatilah dengan kedua orang anak muda itu. Kadang-kadang tengah malam ia keluar. Meskipun setelah mereka tahu bahwa aku mengawasinya mereka hanya pergi ke sungai, tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya, aku tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan”

“Kau tidak usah menggurui aku” sahut Gajah Wareng, “aku lebih tahu dari pada kau”

“Mungkin, tetapi ternyata kau tidak melihatnya ketika kedua orang anak itu keluar malam itu” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu.

Gajah Wareng tidak menjawab. Tetapi ia berkata, “Jika kau mau pergi, pergilah”

Murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa itu tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian meninggalkan gandok itu.

“Nampaknya ia terlalu iri” berkata murid Ki Sarpa Kuning yang berkumis, “tetapi itu bukan salahnya. Guru tidak pernah memperlakukan murid yang baru seperti anak-anak itu”

“Kita memerlukan tenaganya dalam waktu dekat ini” jawab Gajah Wareng. Kemudian suaranya menjadi semakin lambat, “Jika kita tidak memerlukannya lagi, aku pun ingin memilin lehernya”

Kawannya yang berkumis itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa sambil berkata, “Aku mempunyai rencana lain yang lebih menarik. Kita bawa kedua orang anak itu ke padepokan. Saudara-saudara kita seperguruan tentu akan mendapatkan satu permainan yang mengasyikkan”

“Apalagi anak yang merasa iri itu” jawab Gajah Wareng, “rencanamu memang menarik sekali. Semakin lama kedua orang itu semakin menjemukan, sementara guru berusaha mengambil hatinya, agar keduanya merasa benar-benar murid Ki Sarpa Kuning sebagaimana kita semuanya”

Kawannya tidak menjawab. Sekilas mereka memperhatikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk beberapa langkah dari kedua orang itu. Sementara Ki Sarpa Kuning sama sekali tidak menghiraukan murid-muridnya. Nampaknya ia sedang merenungi.

Dalam pada itu, murid Ki Sarpa Kuning yang kehilangan adiknya dan pergi ke rumah menantu Ki Buyut itu melangkah dengan ragu-ragu. Bagaimanapun juga ia adalah orang asing di Kabuyutan itu. Mungkin sekali ia akan mengalami sikap yang kurang menguntungkannya. Tetapi ia memang tidak mempunyai cara lain dari yang dapat dilakukannya itu. Ia memang memiliki kemungkinan yang lebih baik dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin pekat. Dengan langkah yang ragu, Orang itu pun melintasi bulak-bulak persawahan menuju ke padukuhan induk dari Kabuyutan Talang Amba, langsung menuju kerumah menantu Ki Buyut.

Ketika ia berada beberapa langkah dari sebuah padukuhan yang harus dilaluinya, hatinya menjadi berdebar-debar. Orang itu melihat dari jarak yang masih belum terlalu dekat, obor yang ada di sudut gardu.

“Agaknya di gardu itu penuh dengan anak-anak muda. Bahkan semua laki-laki padukuhan itu agaknya telah keluar dari rumah mereka dan berada di gardu-gardu” berkata orang itu di dalam hatinya.

Karena itu, maka keragu-raguan telah menghambat langkahnya. Orang itu pun kemudian telah memilih jalan lain. Ia lebih baik melingkari padukuhan itu dan berjalan di pematang. Namun ia tidak dapat melakukannya, ketika ia sampai di padukuhan induk. Ia tidak dapat sekedar melingkari padukuhan itu. Tetapi ia harus memasukinya. Karena itu, maka ia pun tertegun beberapa saat ketika ia mendekati mulut lorong padukuhan induk itu.

Dengan bimbang ia harus memilih, apakah akan berjalan memasuki padukuhan induk itu lewat pintu gerbang yang penuh dengan anak-anak muda itu, atau ia harus memilih jalan lain. Namun akhirnya murid Ki Sarpa Kuning itu memilih jalan lain. Ia tidak memasuki padukuhan induk itu lewat pintu gerbang yang manapun. Tetapi murid Ki Sarpa Kuning itu memilih meloncati dinding padukuhan.

Namun ia memang memiliki bekal ilmu. Yang dilakukannya itu bukan sesuatu yang sulit baginya. Dengan mudah ia meloncat memasuki lingkungan padukuhan induk Talang Amba. Meskipun murid Ki Sarpa Kuning itu telah mengetahui letak padukuhan induk, tetapi ia belum pernah melihat rumah menantu Ki Buyut. Namun dari Mahisa Murti ia telah mendapat petunjuk sebagaimana dikatakan oleh Ki Waruju.

Sebagai seorang petualang, maka tidak sulit baginya untuk menemukan rumah menantu Ki Buyut. Namun seperti yang telah terjadi, ia mengalami kesulitan. Ternyata di rumah menantu Ki Buyut itu terdapat beberapa orang anak muda. Bagaimanapun tidak harus berhenti di regol, maka ia tentu akan berhadapan dengan anak-anak muda itu dalam keadaan yang belum diketahui. Apakah anak-anak muda itu akan menanggapi kedatangannya dengan baik, atau justru sebaliknya.

Dalam pada itu, murid Ki Sarpa Kuning itu memang harus mempersiapkan diri. Ia bersedia membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru karena kekecewaan dan dendamnya kepada Ki Sarpa Kuning. Namun itu bukan berarti bahwa ia pun harus membiarkan dirinya dibantai oleh anak-anak muda itu.

Untuk beberapa saat, murid Ki Sarpa Kuning itu menyiapkan dirinya. Baru kemudian ia menemukan satu ketetapan, bahwa ia akan memasuki halaman rumah itu lewat regol halaman, apa pun yang terjadi. Namun, dengan satu tekad pula, bahwa jika ia dihadapkan pada satu keadaan yang sulit, maka ia akan mempertahankan dirinya.

Dengan ketetapan itu, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun kemudian mendekati regol halaman. Langkahnya memang masih di warnai oleh keragu-raguan hatinya. Tetapi ia berusaha untuk tidak nampak gelisah.

Dalam pada itu, kedatangannya telah membuat anak-anak muda yang berada di regol halaman memperhatikannya. Anak-anak muda itu melihat orang itu melangkah mendekati mereka.

Murid Ki Sarpa Kuning itu berhenti beberapa langkah dihadapan anak-anak muda itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun sementara itu, seorang anak muda. maju selangkah sambil bertanya, “Apakah Ki Sanak mencari seseorang?”

Murid Ki Sarpa Kuning itu ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Aku mencari Ki Sanggarana. Menantu Ki Buyut yang sudah tidak ada lagi”

Anak-anak muda itu ragi-ragu sejenak. Namun mereka nampaknya tidak begitu mudah untuk memenuhi keinginan itu. Ternyata seseorang bertanya, “Siapakah Ki Sanak dan untuk keperluan apa?”

Murid Ki Sarpa Kuning itu tercenung sejenak Sekilas diamatinya beberapa orang yang berdiri disekitarnya. Anak-anak muda garang dan penuh kecurigaan. Dengan demikian, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun menjadi ragu-ragu. Jika ia salah langkah, maka sesuatu yang tidak dikehendaki akan dapat terjadi. Karena itu, dengan sangat berhati-hati ia pun kemudian menjawab, “Aku adalah salah seorang kawan Ki Sanggarana. Ada sesuatu yang penting harus aku sampaikan”

“Kami belum pernah melihat kau sebelumnya” berkata seorang anak muda bertubuh tinggi.

“Ya. Aku memang jarang sekali pergi kerumah ini” jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Jarang pun tentu tidak,“ sahut anak muda yang lain, “kau orang asing bagi kami. Nah, apa keperluanmu menemui menantu Ki Buyut itu?”

“Ada sesuatu yang akan aku katakan kepada Ki Sanggarana” jawab murid Ki Sarpa Kuning.

“Katakan kepada kami” bentak seorang anak muda bertubuh kekar, “Kami akan menyampaikannya kepada menantu Ki Buyut itu”

“Katakan kepada menantu Ki Buyut, bahwa aku akan menemuinya” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu.

“Aku siapa?” bentak seorang laki-laki yang sudah melampaui masa mudanya.

Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Rampon. Namaku Rampon. Tetapi mungkin sekali Ki Sanggarana telah lupa akan nama itu. Karena itu, jika aku dapat menemuinya, maka ia akan mengenalku. Aku akan memberitahukan satu masalah yang penting sekali baginya”

“Jangan membuat kami kehilangan kesabaran” geram anak muda bertubuh kekar, “jawabanmu berbelit-belit.”

“Ki Sanak” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu, “aku hanya seorang diri dan sama sekali tidak membawa senjata. Jika aku berniat buruk, aku tidak akan mempergunakan cara ini”

Orang yang sudah lebih dewasa mendengarkan kata-kata itu. Mereka melihat kebenarannya dan menganggap bahwa orang itu berkata sebenarnya. Karena itu, salah seorang dari mereka bertanya, “Ki Sanak. Jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepada menantu Ki Buyut, katakan, dalam hubungan apa?”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia pun akhirnya tidak melihat kemungkinan lain yang lebih baik dari mengatakan yang sebenarnya. “Ada sesuatu yang penting diketahui oleh menantu Ki Buyut dalam hubungan dengan kemungkinan pengangkatan Buyut yang baru” jawab murid Ki Buyut.

Orang yang sudah lebih dewasa itu mengangguk-angguk. Orang itu memang hanya sendiri. Tidak mungkin ia akan dapat berbuat sesuatu dihadapan sekian banyak orang. Tetapi anak-anak yang lebih muda nampaknya sulit untuk mengekang diri. Ketika seorang menjadi marah, maka yang lain pun menjadi marah pula.

“Kau tentu orang yang ingin membuat onar disini”, seorang anak muda berambut keriting berteriak.

“Ya. Orang itu tentu bukan orang yang berniat baik. Hanya karena ia tidak dapat mengelak lagi setelah kita melihatnya, maka ia telah berbuat seolah-olah ia ingin berjasa” sahut yang lain.

Namun seorang yang lebih tua berkata, “Baiklah kita bawa saja orang itu kepada Ki Sanggarana. Apa yang dikatakannya, kita akan menurut saja”

“Menantu Ki Buyut itu orang yang terlalu baik. Bahkan orang yang mencekik untuk membunuhnya pun masih juga diterimanya dengan ramah disaat lain, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu” jawab seorang anak muda yang gemuk.

Namun tiba-tiba seseorang diantara mereka berkata, “Aku pernah melihatnya”

“Dimana?” bertanya yang lain.

Orang itu merenung. Kemudian katanya, “Aku hanya bertemu saja di jalan. Agaknya orang itu berada di lingkungan pengikut Ki Sendawa”

“Nah, bukankah dugaanku benar?” teriak anak muda yang berambut kerinting, “orang itu telah melihat kelemahan kita. Hanya karena ia tidak dapat mengelak saja maka ia justru datang kepada kita”

“Lalu, apa artinya niat yang dikatakannya untuk menemui menantu Ki Buyut itu” bertanya seorang yang sudah separuh baya.

“Satu cara untuk melepaskan diri. Ia yakin, bahwa Sanggarana akan melepaskan jika ia sedikit saja mengutarakan satu alasan” sahut seorang anak muda bertubuh gemuk.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” teriak anak muda yang berambut kerinting.

“Kita menangkapnya dan mengikatnya di halaman” teriak yang lain.

“Ya. Orang itu kita tangkap dan kita jadikan pengewan-panewan. Orang itu tentu pengikut Sendawa” yang lain lagi berteriak.

Murid Ki Sarpa Kuning menjadi termangu-mangu. Ia tidak ingin terjadi salah paham. Apalagi ia tidak mempunyai waktu yang cukup lama. Ia harus segera kembali. Jika Ki Sarpa Kuning mengetahui apa yang dilakukannya, artinya mati tanpa dapat membela diri lagi.

Dalam pada itu, selagi di regol terjadi keributan, maka suara itu telah terdengar dari pendapa. Karena itu, maka menantu Ki Buyut yang sedang duduk bersama Ki Waruju itu pun kemudian tertarik juga kepada keributan itu. Tetapi agaknya mereka telah terlambat.

Anak-anak muda yang berdarah panas itu, tidak lagi dapat menahan diri. Kebencian mereka kepada Ki Sendawa, kejemuan mereka terhadap keadaan yang tidak menentu, serta kekecewaan mereka terhadap sikap menantu Ki Buyut, telah membuat mereka cepat mengambil sikap menurut selera mereka sendiri.

Demikianlah, anak-anak muda itu berniat untuk menangkap murid Ki Sarpa Kuning itu. Baru dikeesokan harinya mereka akan meyakinkan, siapakah orang itu sebenarnya”

“Jika orang itu benar-benar jujur, maka ia tentu tidak akan berkeberatan untuk kami tangkap dan menunggu sampai esok pagi” berkata seorang anak muda.

Murid Ki Sarpa Kuning itu benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak mau menjadi korban seandainya Ki Sarpa Kuning mengetahuinya. Jika ia harus menunggu sampai esok, itu berarti bahwa Ki Sarpa Kuning akan mendengar apa yang telah terjadi itu.

Namun dalam pada itu, agaknya anak-anak muda itu tidak lagi dapat diajak berbicara. Mereka telah mengambil satu sikap. Bahkan mereka tidak mau lagi mendengarkan pendapat kawan-kawan mereka sendiri yang lebih tua dan berpikir lebih bening.

“Dengar” tiba-tiba murid Ki Sarpa Kuning itu berteriak, “aku tidak berkeberatan menunggu sampai kapanpun. Tetapi aku harus dapat bertemu dengan Ki Sanggarana sekarang, sebelum kalian semuanya menjadi korban yang tidak berarti”

“Omong kosong” teriak anak-anak muda itu.

“Apa yang dapat mengancam kami?” bertanya seseorang.

Tetapi murid Ki Sarpa Kuning itu ragu-ragu untuk mengatakan dihadapan orang banyak.

“Jika kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan mendapat kesempatan apa pun juga” berkata anak muda yang berambut keriting.

Setelah ragu-ragu sebentar, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun akhirnya menjawab, “Baiklah. Beri kesempatan aku mengatakan sesuatu yang gawat dalam hubungan Ki Sanggarana dengan Ki Sendawa”

“Jadi kau utusan Ki Sendawa” tiba-tiba saja seseorang berteriak.

“Bukan, sama sekali bukan” jawab murid Ki Sarpa Kuning yang mengaku bersama Rampon itu.

“Omong kosong” yang lain berteriak, “tangkap saja. Kita tidak usah terlalu baik hati kepada orang-orang Ki Sendawa”

Keadaan memang tidak menguntungkan bagi murid Ki Sarpa Kuning itu. Ada sedikit penyesalan di dalam hatinya, bahwa ia telah memenuhi permintaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun ia harus mengambil sikap. Demikian anak-anak muda itu benar-benar akan menangkapnya, maka tidak ada lain sikap yang dapat diambilnya, kecuali melawan. Perlawanannya itulah yang membuat anak-anak muda itu semakin yakin, bahwa orang itu memang berniat buruk.

Pada saat orang itu sudah terlibat ke dalam satu benturan kekerasan, barulah Ki Sanggarana dan Ki Waruju sampai ke regol halaman. Namun dalam pada itu, perlawanan orang itu benar-benar mengejutkan. Ketika anak-anak muda itu berusaha menangkapnya, maka perlawanan orang itu telah melemparkan beberapa orang anak muda keluar lingkaran, justru pada langkah-langkah permulaan.

“Sudah aku katakan” berkata orang itu, “aku tidak ingin mencari persoalan. Tetapi kalian tidak mempercayainya. Karena itu, apa boleh buat bahwa aku harus memberikan perlawanan”

Dalam pada itu, anak-anak muda yang ada di regol itu pun menjadi semakin marah. Beberapa orang bersama-sama menyerang murid Ki Sarpa Kuning itu. Namun anak-anak muda Kabuyutan Talang Amba bukannya anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang dapat diperbandingkan dengan kemampuan murid Ki Sarpa Kuning. Karena itu, maka dalam saat-saat berikutnya, mereka pun menjadi semakin berdebar-debar melihat perlawanan orang yang menyebut dirinya bernama Rampon itu.

Dalam pada itu, menantu Ki Buyut yang melihat peristiwa itu telah meloncat mendekat untuk berusaha melerainya. Namun Ki Waruju menangkap lengannya sambil berkata, “Biarkan saja”

“Mereka berkelahi” desis menantu Ki Buyut.

“Tidak akan terjadi apa-apa. Biarlah mereka saling berkenalan sebentar. Aku mengenal orang itu” jawab Ki Waruju.

Menantu Ki Buyut menjadi semakin gelisah. Namun Ki Waruju yang nampaknya sama sekali tidak menjadi cemas, justru melangkah maju sambil berkata lantang, “Bagus. Satu latihan yang baik bagi kedua belah pihak”

Beberapa orang berpaling kepadanya. Murid Ki Sarpa Kuning itu juga. Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran Ki Waruju memberikan ketenangan kepadanya. Nampaknya Ki Waruju tetap mengenalnya dan bahkan murid Ki Sarpa Kuning itu pun rasa-rasanya dapat menangkap maksud Ki Waruju.

Sebenarnyalah Ki Waruju pun berkata kepada anak anak muda Talang Amba, “Perhatikan anak-anak muda. Demikianlah caranya seseorang berkelahi dengan mempergunakan ilmu kanuragan. Bukan sekedar mempergunakan kekuatan yang terasa sudah ada di dalam diri tanpa diungkapkan dengan baik dan teratur”

Sikap Ki Waruju itu ternyata telah mendorong murid Ki Sarpa Kuning untuk bertempur lebih keras. Rasa-rasanya ia menangkap maksud Ki Waruju untuk menunjukkan kekerasan dunia kanuragan. Dengan demikian maka murid Ki Sarpa Kuning yang menyebut dirinya Rampon itu pun justru telah meningkatkan kemampuannya. Ia mulai menunjukkan kepada anak-anak muda Talang Amba, bahwa mereka belum mengenal arti kekerasan yang sebenarnya.

Demikianlah, maka anak-anak muda Talang Amba itu menjadi sangat terkejut melihat tata gerak murid Ki Sarpa Kuning itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Sekali menyerang orang yang berada di depannya, sejenak kemudian tubuhnya berputar melingkar bertumpu kepada satu kakinya. Sedangkan kakinya yang lain menyambar seorang kawannya dan terlempar jatuh keluar arena. Dengan demikian, maka anak-anak muda Talang Amba itu pun mulai menjadi cemas. Satu-satu mereka mulai disakiti oleh lawannya.

Tetapi ternyata anak-anak muda Talang Amba itu bukan anak-anak muda yang berhati kerdil. Meskipun mereka menjadi berdebar-debar dan mengalami kesulitan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, ternyata pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan. Setiap unsur yang mereka nilai sebagai pembantu atau orang yang berpihak kepada Ki Sendawa, maka mereka adalah musuh-musuh yang harus dilawan.

Namun kemudian mereka tidak dapat ingkar dari satu kenyataan. Satu-satu anak-anak muda yang ada di regol itu tidak lagi mampu berbuat apa-apa lagi. Tenaga mereka terperas dan perasaan sakit menyengat-nyengat. Sentuhan tangan orang yang menyebut dirinya bernama Rampon itu bagi anak-anak muda Talang Amba bagaikan sambaran besi baja.

Ki Waruju menyaksikan perkelahian itu dengan saksama. Ia justru mendapat kesempatan untuk melihat apa yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba apabila benar-benar akan terjadi kekerasan diantara dua golongan yang ada di Talang Amba. Dalam pada itu, selagi Ki Waruju mengangguk-angguk di saat-saat ia menilai perkelahian itu, Ki Sanggarana merasa sangat cemas. Dengan suara yang bergetar ia berkata,

“Ki Sanak. Bagaimana dengan anak-anak itu? Apakah mereka akan dihancurkan oleh orang asing yang tidak kita kenal itu?”

“Tidak apa-apa. Orang itu tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakai anak-anak muda Talang Amba” jawab Ki Waruju.

“Mereka telah mengalami. Beberapa orang terlempar dari arena dan tidak dapat bangkit lagi” jawab menantu Ki Buyut itu.

“Satu latihan yang baik. Aku yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu. Aku mengenal orang itu. Orang itu sama sekali bukan orang asing” jawab Ki Waruju.

Menantu Ki Buyut itu tidak mengerti sikap Ki Waruju. Namun nampaknya Ki Waruju sama sekali tidak menjadi cemas melihat keadaan. Tetapi yang terjadi ternyata diluar perhitungan. Tiba-tiba saja salah seorang anak muda telah berlari ke serambi gandok. Sebelum Ki Waruju dapat berbuat sesuatu, anak muda itu sudah menggapai pemukul kentongan.

Tetapi Ki Waruju tidak ingin membuat seluruh Kabuyutan menjadi kisruh. Jika kentongan itu sempat ditabuh dalam nada titir maka seisi Kabuyutan tentu akan menjadi gelisah. Bahkan mungkin akan dapat mempercepat benturan antara para pengikut Ki Sendawa dan para pengikut menantu Ki Buyut itu. Karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh Ki Waruju selain mempergunakan kemampuannya.

Untunglah bahwa dalam pada itu, perhatian sebagian besar orang-orang yang ada di regol, termasuk Ki Sanggarana sendiri tertuju kepada seorang anak muda yang berteriak kesakitan karena kaki murid Ki Sarpa Kuning itu mengenai perutnya. Pada saat yang demikian itulah, maka Ki Waruju sempat meraih sebutir batu kerikil. Dengan dorongan kemampuannya maka Ki Waruju telah melontarkan kerikil itu dengan jari-jarinya.

Akibatnya adalah mengejutkan sekali. Ternyata daya tahan anak muda yang menggapai pemukul kentongan itu terlalu ringkih dibandingkan dengan kekuatan yang mendorong batu kerikil yang mengenai tubuhnya. Karena itu, ketika punggungnya tersentuh batu kerikil itu, anak muda itu pun telah berteriak nyaring. Sejenak kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab sebelum tangannya sempat terayun dan menyentuh kentongan yang tergantung di serambi itu.

Teriakan anak muda itu memang sangat mengejutkan. Semua orang yang berada di regol telah berpaling kepadanya. Beberapa orang telah berlari-lari mendekatinya. Dalam kekalutan itn, maka Seolah-olah telah terdengar aba-aba untuk menghentikan perkelahian. Anak-anak muda Talang Amba yang mulai menjadi gentar melihat sikap dan tata gerak Rampon tidak lagi memaksa diri untuk bertempur. Apalagi setelah terjadi peristiwa yang mengejutkan di serambi gandok itu.

Ki Waruju ternyata cepat menanggapi keadaan. Dalam keragu-raguan yang mencengkam ia berkata lantang, “Kita hentikan perkelahian. Marilah, kita akan naik ke pendapa. Aku akan mengatakan sesuatu yang penting bagi kalian”

Namun dalam pada itu, seseorang bertanya, “Bagaimana dengan anak yang pingsan itu?”

“Bawa anak itu ke pendapa” jawab Ki Waruju.

“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia menjadi pingsan?” bertanya yang lain.

“Aku kurang tahu. Nanti kita akan bertanya kepadanya setelah ia sadar” jawab Ki Waruju pula.

Untuk sesaat orang-orang yang ada dihalaman dan diregol menjadi termangu-mangu. Namun Ki Waruju pun kemudian berkata kepada Ki Sanggarana, “Marilah. Kita akan berbicara”

Menantu Ki Buyut itu memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun kemudian tatapan matanya telah terhenti pada orang yang menyebut dirinya bernama Rampon itu.

Ki Waruju seolah-olah dapat menangkap perasaan menantu Ki Buyut itu. Karena itu, maka katanya kepada orang yang menyebut dirinya bernama Rampon itu, “Marilah Ki Sanak. Kita akan berbicara di pendapa”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi ragu-ragu. Meskipun ia mempercayai Ki Waruju, namun ia digelisahkan oleh waktu yang semakin mendesak. Karena itu, maka katanya, “Ki Waruju. Aku tidak mempunyai waktu terlalu banyak”

“Baiklah” berkata Ki Waruju, “jika demikian, apakah kau akan mengatakan sesuatu sekarang atau kau memerlukan hubungan khusus dan tersendiri?”

“Tidak. Aku akan dapat mengatakannya sekarang” jawab murid Ki Sarpa Kuning.

“Jika demikian, katakanlah” sahut Ki Waruju.

Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia bergeser mendekat.Katanya, “Ki Waruju. Sebenarnya kedatanganku ini membawa berita yang barangkali penting bagi Ki Sanggarana. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan untuk menemuinya karena aku tertahan di regol. Sementara itu, aku tidak dapat menyampaikan pesan itu lewat orang lain, karena selain pesan itu mungkin tidak dipercaya, ada pula kemungkinan pesan itu diabaikan tidak sampai pada saatnya”

“Apakah kau dapat mengatakan pesan itu sekarang?” bertanya Ki Waruju.

Murid Ki Sarpa Kuning yang menyebut dirinya bernama Rampon itu memandang beberapa orang disekitarnya. Namun kemudian katanya, “Ki Sanggarana. Pesan itu sangat penting bagi Kabuyutan Talang Amba, karena akan menyangkut pertumbuhan Kabuyutan ini untuk selanjutnya”

Menantu Ki Buyut itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning itu melanjutkan, “Hari ini telah diambil keputusan oleh Ki Sendawa, bahwa Ki Sanggarana dianggap bersalah telah melakukan tindakan yang tercela terhadap Ki Sendawa. Ki Sanggarana telah melakukan semacam tenung yang mengakibatkan kegelisahan di dalam lingkungan keluarga Ki Sendawa. Untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk maka Ki Sendawa mengambil keputusan, akan menangkap Ki Sanggarana untuk diadili”

“Apa yang sudah aku lakukan?”Ki Sanggarana itu menjadi heran.

“Tenung” jawab Rampon, “semua yang berpihak kepada Ki Sanggarana telah melakukannya dengan membuat api semalam suntuk dan telah melontarkan semacam senjata tajam ke dalam lingkungan keluarga Ki Sendawa”

“Tidak” bantah Ki Sanggarana.

Namun Ki Waruju lah yang memotong, “Kenapa dengan senjata tajam itu?”

“Ki Waruju” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu kemudian, “ternyata akibat dari permainan dengan cumplung dan ujung tombak itu berakibat sebaliknya. Ki Sendawa tidak menjadi cemas dan mengurungkan atau menunda niatnya, tetapi justru ia akan mengambil tindakan secepatnya”

“Apa yang akan dilakukan?” bertanya Ki Waruju.

“Sudah aku katakan. Ki Sendawa akan menangkap Ki Sanggarana” jawab orang itu.

Wajah Ki Waruju menjadi tegang. Sesaat dipandanginya Ki Sanggarana yang menjadi cemas pula. Sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata perlahan-lahan, “Ki Waruju, seperti yang sudah aku katakan, aku tidak mempunyai waktu banyak. Aku harus segera kembali sebelum Ki Sarpa Kuning mengetahui apa yang aku lakukan sekarang ini. Sementara itu, aku ingin menjelaskan sikapku, bahwa aku telah melawan ketika aku hendak ditangkap. Jika aku membiarkan diriku ditangkap dan baru dikeesokan harinya aku dipertemukan dengan Ki Sanggarana, mungkin semuanya sudah terlambat. Selebihnya, maka nyawaku pun akan terancam karena Ki Sarpa Kuning mengetahui bahwa aku telah berkhianat kepadanya”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada menantu Ki Buyut, “Ki Sanggarana. Orang ini tidak akan dapat lebih lama tinggal. Biarlah ia kembali agar ia tidak mengalami nasib yang sangat buruk. Aku akan dapat menjelaskan semuanya yang telah terjadi dan yang akan terjadi”

Menantu Ki Buyut itu masih bimbang menanggapi keadaan. Namun sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Aku minta maaf, atas semuanya yang terjadi. Mungkin aku telah menyakiti beberapa orang di antara anak-anak muda Kabuyutan ini”

“Tidak apa-apa” Ki Warujulah yang menyahut, “kau justru sudah memperkenalkan anak-anak muda itu dengan kerasnya benturan olah kanuragan. Apalagi apabila anak-anak muda itu membentur langsung kekuatan olah kanuragan yang sebenarnya”

Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Waruju berkata, “Marilah Ki Sanggarana. Kita akan membicarakan persoalan ini di pendapa. Biarlah orang ini kembali ketempatnya, agar ia tidak mengalami kesulitan di lingkungannya nanti”

Ki Sanggarana yang masih bimbang itu hanya mengangguk saja. Namun dalam pada itu murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Mudah-mudahan tidak semua pembicaraan ini ditangkap oleh anak-anak muda disekitar kita. Terutama agar mereka tidak mengetahui bahwa aku adalah murid Ki Sarpa Kuning”

Murid Ki Sarpa Kuning yang mengaku bernama Rampon itu termenung sejenak. Beberapa orang memang memperhatikan pembicaraan mereka. Tetapi agaknya mereka memang tidak akan dapat mengetahui seluruh isi pembicaraan, terutama tentang keadaan murid Ki Sarpa Kuning itu sendiri.

Dalam pada itu, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun kemudian berkata, “Aku akan minta diri. Lakukan apa yang dapat dilakukan. Besok Ki Sendawa akan datang bersama Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya, termasuk kedua orang anak muda itu”

Ki Waruju memandangi Ki Sanggarana yang menjadi cemas. Namun kemudian katanya, “Jangan cemas. Kita akan dapat melakukan banyak usaha untuk mencegahnya.

“Tetapi paman Sendawa akan membawa sekelompok orang-orang dari luar lingkungan Kabuyutan ini. Mereka tentu akan membantai orang-orang yang tidak bersalah, jika besok aku mencoba bertahan” berkata menantu Ki Buyut, “karena itu, biarlah besok aku menyerah. Apa saja yang akan dilakukan oleh paman Sendawa. Namun dengan demikian, korban tidak akan berjatuhan”

“Jadi, kau akan menyerah?” bertanya Ki Waruju dengan jantung yang tegang.

“Apa boleh buat. Aku tidak boleh mengorbankan kawan-kawanku untuk keselamatanku. Orang-orang asing itu akan dengan mudah membantai anak-anak muda Kabuyutan ini tanpa dapat melawan. Satu contoh yang tidak dapat diragukan, saat ini mereka tidak dapat berbuat apa-apa hanya karena satu orang. Apalagi jika yang datang besok lebih dari satu orang, dan gurunya ada pula diantara mereka”

“Tetapi jangan cepat berputus asa. Kau harus berusaha” berkata Ki Waruju, “lihat anak-anak muda kawan-kawanmu. Kau kira jika kau menyerah, persoalannya akan sudah selesai? Kau kira jika kau digantung oleh Ki Sendawa dengan tuduhan tenung, persoalannya sudah teratasi? Tidak. Jika kau kali ini menolak jatuhnya korban, katakan sepuluh dua puluh orang anak muda, dan selanjutnya kau menyerah, maka setelah kau digantung, korban akan tetap berjatuhan. Tidak hanya sepuluh atau pemerintahan Ki Sendawa, akan jatuh korban yang tidak terhitung banyaknya. Orang-orang yang akan digantung dan dengan cara-cara yang lain akan menemui kematian mereka yang menyedihkan sekali. Nah, apakah kira-kira yang akan mereka katakan menjelang ajal mereka? Mereka akan mengumpatimu, karena kau besok telah menyerah dan sama sekali tidak berjuang untuk merebut kedudukan itu. Bukan karena satu keinginan untuk berkuasa, tetapi dengan menggenggam kekuasaan itu, kau akan dapat mengendalikan kekuasaan itu sendiri”

Kata-kata Ki Waruju itu ternyata mampu menyentuh hati menantu Ki Buyut itu. Namun ia masih tetap ragu-ragu untuk menerimanya.

Dalam pada itu, murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Baiklah. Apa pun yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Aku akan segera kembali agar aku tidak mengalami nasib lebih buruk dari anak-anak muda Kabuyutan ini”

Ki Waruju tidak mencegahnya. Murid Ki Sarpa Kuning itu pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Sanggarana, kembali ke padukuhan tempat Ki Sendawa tinggal.

Sepeninggal murid Ki Sarpa Kuning, beberapa orang anak muda berusaha mendapatkan penjelasan. Namun Ki Waruju pun kemudian berkata, “Jangan sebut, bahwa seseorang telah datang untuk memberitahukan tentang rencana itu. Kalian harus mengerti, orang itu berusaha menolong Ki Sanggarana. Apa pun tanggapan kita atas usaha baiknya, kita harus mengucapkan terima kasih kepadanya."

“Siapakah orang itu?” bertanya seseorang.

“Untuk sementara kita tidak usah menyebutnya. Mungkin ada satu dua orang yang mendengar pembicaraan kami dengan orang itu. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan sebut kedatangannya kepada siapa pun juga. Ia sudah berusaha menolong kita, sehingga sewajarnya kita membalas budinya. Bukan justru menjerumuskannya ke alam kesulitan. Bahkan mungkin akan mengancam jiwanya” berkata Ki Waruju pula.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun mereka tidak pasti apa yang dimaksud Ki Waruju, tetapi mereka mengerti, bahwa mereka tidak boleh berbicara dengan siapa saja tentang orang itu.

Dalam pada itu, Ki Waruju pun sekali lagi bertanya kepada menantu Ki Buyut, “Bagaimana keputusanmu? Kabuyutan Talang Amba ini sebagian terbesar tergantung kepada keputusanmu kali ini. Jika kau salah mengambil keputusan, maka akibatnya akan sangat parah bagi orang-orang Kabuyutan ini. Sedangkan tanggung jawab kesalahan itu ada di tanganmu”

“Kau menyudutkan aku” berkata Ki Sanggarana.

“Sama sekali tidak” jawab Ki Waruju, “semuanya terserah kepadamu. Aku memberikan pendapatku. Bagaimana jika kau bertanya kepada anak-anak muda itu, apakah mereka akan menyerahkan kau ditangkap dan diadili oleh Ki Sendawa. Kau dapat membayangkan, bahwa benturan kekerasan yang ingin kau hindari itu akan tetap terjadi. Bahkan akan dapat berakibat jauh lebih buruk jika kau sudah tidak ada diantara mereka. Dendam dan kebencian akan paling banyak berbicara daripada tujuan yang semula. Dengan demikian, maka Kabuyutan ini akan menjadi ajang pembalasan dendam turun tumurun tidak ada henti-hentinya. Dendam anak akan terlimpahkan kepada cucu-cucu lawannya, sementara cucu-cucu lawannya akan mendendam cicit-cicit dipihak pertama” Menantu Ki Buyut itu merenung sejenak. Sementara mereka sudah tidak mempunyai waktu cukup banyak. Karena itu, maka halaman rumah Ki Sanggarana itu menjadi tegang. Sementara itu, isteri Ki Sanggarana, anak perempuan Ki Buyut Talang Amba yang sudah tidak ada lagi mendengar hiruk pikuk di halaman. Tetapi ia tidak berani keluar rumahnya. Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran ia menunggu.

Tetapi Ki Sanggarana tidak seagera masuk ke ruang dalam. Karena itu, ketika keadaan sudah menjadi tenang, dan rasa-rasanya tidak lagi terjadi keributan, maka isteri Ki Sanggarana itu berusaha untuk dapat mengetahui keadaan di halaman. Tetapi ia tidak langsung keluar lewat pintu pringgitan dan menemui suaminya di pendapa. Tetapi ia telah keluar lewat pintu butulan dan turun ke longkangan. Ketika ia melihat seseorang di longkangan, maka orang itu pun telah dipanggilnya.

“Apa yang terjadi di halaman?” bertanya isteri Ki Sanggarana kepada orang itu.

“Tidak begitu jelas Nyai. Tetapi nampaknya semuanya sudah selesai” jawab orang itu.

“Bagaimana dengan Ki Sanggarana?” bertanya perempuan itu pula.

“Tidak apa-apa. Ia tidak mengalami sesuatu” jawab orang itu, “sekarang ia pergi ke pendapa untuk merawat seorang yang pingsan”

“Kenapa?” bertanya isteri Ki Sanggarana pula. “Aku tidak tahu Nyai” jawab orang itu.

Anak perempuan Ki Buyut itu termangu-mangu. Tetapi ia tahu pasti bahwa tidak terjadi sesuatu dengan suaminya.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di halaman sudah naik ke pendapa. Mereka menekuni peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Ki Waruju masih saja mendesak, “Cepatlah ambil keputusan Ki Sanggarana. Malam menjadi semakin larut”

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah-wajah di sekitarnya. Rasa-rasanya semua orang memang sedang memandanginya.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang duduk di pendapa itu mengalami ketegangan karena sikap Ki Waruju, maka murid Ki Sarpa Kuning itu dengan tergesa-gesa telah kembali kerumah Ki Sendawa. Ketika ia sampai ke regol, maka ia pun menjadi ragu-ragu.

“Aku sudah pergi terlalu lama” berkata orang itu di dalam hatinya.

Karena itu, agar tidak seorang pun yang dapat mengetahui jarak waktu yang dipergunakannya, maka orang itu pun telah mengambil jalan lain. Dengan tangkasnya ia telah meloncati dinding halaman. Kemudian diam-diam ia telah pergi ke serambi gandok dan langsung berbaring diamben bambu digandok itu.

“Aku akan tidur disini saja” berkata orang itu didalam hati. Dengan demikian ia berharap, bahwa tidak seorang pun yang akan dapat menyebutnya, bahwa ia telah berada diluar lingkungan halaman rumah itu terlalu lama.

“Jika seseorang bertanya, bagaimana aku masuk, maka aku akan dapat mengatakan, bahwa anak-anak yang ada di regol itu telah tertidur pada saat aku datang” berkata orang itu kepada diri sendiri. Lalu, “asal aku mengatakannya dengan pasti, kedua orang penjaga itu tentu akan ragu-ragu tentang diri mereka sendiri, sementara beberapa orang di gardu itu nampaknya benar-benar telah tertidur. Besok mereka akan melakukan tugas yang besar, sehingga mereka perlu beristirahat”

Sebenarnyalah, sebelum dini hari, seseorang telah keluar dari gandok. Dengan gelisah orang itu mengamati halaman. Sementara murid Ki Sarpa Kuning yang berada di serambi itu benar-benar telah tertidur. Tarikan nafasnya telah terdengar oleh orang yang berdiri dipintu itu. Sambil mengumpat orang itu mendekati murid Ki Sarpa Kuning yang tidur nyenyak itu.

“Orang gila” geram orang yang mendekati itu, “aku kira ia melarikan diri”

Orang itu tidak menghiraukannya lagi. Tetapi ia pun kemudian turun kehalaman dan pergi ke pakiwan. Sejenak kemudian, Ki Sarpa Kuning sendiri telah keluar pula. Ia pun mendekati orang yang tertidur itu. Sambil menyentuh tubuh orang itu Ki Sarpa Kuning bertanya, “He. kenapa kau tidur disitu”

Muridnya itu pun terbangun. Sambil bangkit ia pun menguap.

“Kenapa kau tidur disitu?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

“Udara panas sekali. Aku tidak tahan tidur di ruang yang pengab” jawab orang itu sambil mengusap matanya, “semalam aku pergi ke sungai. Tetapi aku segan masuk lagi ke dalam bilik itu. Ternyata aku dapat tidur nyenyak diluar”

Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia tidak mencurigainya. Karena itu. maka katanya, “Bersiaplah”

“Apa yang lain sudah bangun pula?” bertanya orang itu.

“Mereka sudah bangun meskipun mereka masih ada dipembaringan. Kedua orang anak muda itu pun sudah bangun pula” jawab Ki Sarpa Kuning.

Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan segera siap”

“Kita akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kita akan melakukan tugas kita di pagi hari. Siang nanti, biarlah Ki Sendawa mengadili kemanakanannnya itu” berkata Ki Sarpa Kuning.

“Baiklah” jawab muridnya, “aku akan pergi ke pakiwan”

Demikianlah murid Ki Sarpa Kuning itu pun segera bersiap-siap. Orang berkumis dan Gajah Wareng pun telah pergi ke pakiwan pula disusul oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, ternyata Ki Sendawa pun telah bersiap pula Beberapa orang kepercayaannya pun telah berada idi halaman menunggu perintah. Ki Sendawa yang kemudian berdiri di pendapa dengan tidak sabar menunggu kehadiran Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya, yang baru sejenak kemudian telah naik kependapa itu pula.

Dalam kesempatan itu, murid Ki Sarpa Kuning yang telah mengunjungi menantu Ki Buyut telah memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tentang apa yang dilakukannya.

“Mudah-mudahan mereka telah bersiap menunggu kehadiran kita” desis Mahisa Pukat.

“Tetapi menantu Ki Buyut sebenarnyalah memang seorang yang lemah hati” jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Sarpa Kuning dan Ki Sendawa pun telah mengadakan pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Nampaknya Ki Sarpa Kuning telah mendesak, agar segalanya segera diselesaikan dengan tuntas.

“Semakin lama persoalannya akan menjadi semakin berlarut-larut” berkata Ki Sarpa Kuning.

“Ya. Aku sependapat. Kita harus menyelesaikan dengan tuntas. Baru kemudian kita akan membuat laporan kepada Akuwu. Tentu Akuwu tidak akan menolak langkah-langkah yang sudah kita ambil” jawab Ki Sendawa.

"Dengan demikian, maka aku pun akan segera dapat bekerja dengan tenang. Menebas hutan dan membuka satu padepokan di lereng bukit” berkata Ki Sarpa Kuning.

Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang Ki Sendawa pun telah bersiap. Dikumpulkannya para pengikutnya. Hampir semua laki-laki yang masih muda telah ikut bersama mereka menuju ke padukuhan Ki Sanggarana. Bahkan mereka pun telah siap menghadapi para prajurit Ki Sanggarana apabila mereka harus mempergunakan kekerasan.

Karena di antara mereka terdapat Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya, maka para prajurit KI Sendawa itu merasa bahwa mereka tentu akan berhasil. Mereka tentu akan dapat menangkap menantu Ki Buyut dan jika para pengikutnya melawan maka mereka akan dihancurkannya.

“Jangan ragu-ragu” berkata Ki Sarpa Kuning "meskipun mereka adalah saudara-saudara kalian, tetapi mereka telah merambah jalan yang salah. Kita akan membuat penyelesaian sebaik-baiknya. Tetapi jika mereka menolak, maka kita akan berbuat sesuatu yang akan dapat menegakkan kebenaran di Kabuyutan ini”

Ki Sendawa pun menjadi semakin mantap. Bersama Ki Sarpa Kuning, maka setiap kesulitan akan dapat diselesaikan, sementara upah yang dikehendaki oleh Ki Sarpa Kuning adalah sesuatu yang selama ini tidak pernah diperlukan. Hutan-hutan lebat di lereng pebukitan. Hutan yang dianggap daerah yang tidak berguna bagi orang-orang Talang Amba. Bahkan jika hutan itu dapat dijinakkan, mereka tidak akan diganggu lagi oleh binatang-binatang buas yang disaat-saat tertentu turun ke padesan.

Sebelum Ki Sendawa berangkat menuju ke tempat kemanakannya, maka ia telah memberikan beberapa pesan kepada para pengikutnya untuk meyakinkan bahwa langkah yang diambilnya itu adalah langkah yang paling baik bagi Kabuyutan Talang Amba.

Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning berkata pula kepada para pengikut Ki Sendawa itu, “Jika mereka memang menghendaki kekerasan, maka biarlah kami yang menyelesaikannya”

Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Sendawa pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk mengikutinya ke padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.

Sebenarnyalah bahwa iring-iringan itu telah membuat penghuni padukuhan yang dilewatinya menjadi berdebar-debar. Setiap orang dengan tergesa-gesa telah masuk ke dalam rumah mereka dan menutup pintu. Bahkan ada beberapa orang yang dengan tergesa-gesa menutup pintu regol halaman rumah mereka.

Ki Sendawa sama sekali tidak menghiraukannya. Ia melihat pintu yang kemudian tertutup. Namun ia tidak menghiraukan, apakah yang menutup pintu itu laki-laki atau perempuan. Atau gadis-gadis atau anak-anak muda.

Sementara itu, iring-iringan, para pengikut Ki Sendawa itu lewat dengan langkah pasti, sebagai sekelompok prajurit yang maju ke medan perang. Apalagi orang-orang itu pun telah membawa senjata pula. Mereka bersiap-siap jika menantu Ki Buyut dan para pengikutnya akan menentang kehendak mereka.

Dalam pada itu, iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan induk. Karena itu, maka Ki Sendawa pun kemudian menghentikan pasukannya di tengah-tengah bulak. Sekali lagi ia berpesan, bahwa yang mereka lakukan adalah langkah yang paling baik. Karena itu, jika terpaksa maka mereka akan mengambil sikap yang keras.

Mereka akan memaksa untuk membawa Ki Sanggarana yang telah bersalah, melakukan satu tindakan tercela. Dengan sengaja telah berusaha membunuh Ki Sendawa, pamannya sendiri dengan mempergunakan kekuatan tenung.

“Marilah” berkata Ki Sendawa, “kita berbuat dengan penuh keyakinan, bahwa kita akan berhasil. Kita adalah orang-orang yang dengan sepenuh hati mengabdikan diri kepada Kabuyutan ini, yang untuk beberapa saat lamanya berada di bawah kuasa orang-orang yang tidak berhak, yang justru telah dengan licik berhasil menguasai Kabuyutan ini."

Rasa-rasanya para pengikut Ki Sendawa itu pun menjadi semakin mantap. Mereka merasa bahwa mereka telah ikut serta dalam satu perjuangan untuk menegakkan kebenaran di Kabuyutan mereka. Sesaat kemudian maka iring-iringan yang bersiaga sebagaimana sepasukan prajurit pergi ke medan perang itu telah bergerak pula langsung menuju ke padukuhan induk.

Sementara itu, Ki Sendawa dan orang-orang yang berada di dalam pasukannya menganggap bahwa langkah yang mereka ambil itu tidak akan banyak mengalami hambatan. Orang-orang yang bersikap lain dan berpihak kepada menantu Ki Buyut itu sama sekali tidak akan menghalangi mereka.

Kecuali karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, mereka pun tidak akan mampu mencegahnya. Seandainya mereka bersiap dengan mengumpulkan setiap laki-laki di Kabuyutan Talang Amba, maka akibatnya justru akan menjadi semakin parah bagi mereka.

Demikianlah, maka iring-iringan itu mulai memasuki padukuhan induk Kabuyutan Talang Amha. Mereka mulai memasuki regol Kabuyutan yang ternyata sudah terbuka. Tetapi sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Ki Sendawa yang melangkah di ujung iring-iringannya terkejut melihat jalan induk selewat mulut padukuhan itu.

Yang pertama-tama nampak oleh Ki Sendawa adalah sekelompok anak-anak muda yang berada di halaman rumah di sebelah regol padukuhan itu. Mereka tidak menghiraukan sama sekali iring-iringan yang memasuki padukuhan. Bahkan mereka seolah-olah tidak melihat Ki Sendawa yang berdiri keheranan di ujung iring-iringannya. Ketika iring-iringan itu memasuki regol, anak-anak itu tetap duduk bertebaran di halaman itu. Di antara mereka bersandar tiang-tiang pendapa, sementara yang lain bersandar pepohonan dan dinding halaman. Ki Sendawa yang keheranan itu terhenti diluar sadarnya. Dengan wajah tegang ia memandangi anak-anak muda itu dengan jantung yang berdegup semakin cepat.

Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning mendekatinya sambil berdesis, “Apakah Ki Sendawa terpengaruh oleh sikap anak-anak gila itu?”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara sendat ia berkata, “Terus terang, agaknya memang demikian”

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, lupakan saja apa yang telah kau lihat. Mereka tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Jumlah mereka tidak terlalu banyak dibanding jumlah pengikut Ki Sendawa. Seandainya mereka ingin bersikap keras, maka anak-anakku akan dapat menyelesaikan mereka dengan cepat”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah melanjutkan langkahnya menuju ke rumah menantu Ki Buyut yang dianggapnya telah menenungnya.

Ketika iring-iringan itu lewat, maka anak-anak muda yang berada di halaman itulah yang menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka telah berdesis, “Jantungku hampir terlepas oleh ketegangan. Untunglah Ki Sendawa tidak mengambil sikap langsung terhadap kita”

“Aku juga menjadi berdebar-debar. Tetapi bukankah kita sudah siap menghadapi segala kemungkinan?” jawab kawannya.

“Aku mengerti. Tetapi kita adalah orang yang berada di paling depan. Jika terjadi benturan itu, maka kita akan menjadi orang pertama yang terjilat oleh api pertempuran ini” jawab yang pertama.

“Itu sudah kita ketahui. Tetapi kawan-kawan kita tentu tidak akan tinggal diam” jawab kawannya, “mereka sudah di persiapkan menghadapi segala kemungkinan”

Namun seorang yang duduk di sebelah mereka itu menyahut, “Kita bukan seorang prajurit. Kita tidak mampu mempermainkan senjata sebagaimana seharusnya. Aku sebenarnya juga berdebar-debar”

“Para pengikut Ki Sendawa adalah orang-orang yang juga seperti kita. Mereka adalah penghuni Kabuyutan ini pula. Mereka adalah petani-petani seperti kita. Mereka adalah orang-orang padesan. Bahkan seorang pamanku ternyata telah berpihak kepada Ki Sendawa” jawab yang lain.

Namun orang yang pertama menyahut, “Tetapi di antara mereka terdapat orang-orang upahan yang dapat berbuat jauh lebih berbahaya dari Ki Sendawa sendiri”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Tetapi kita tidak boleh membiarkan ketidak-adilan itu berlaku di Kabuyutan ini”

Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Tetapi bagaimanapun juga mereka merasa cemas menghadapi kenyataan itu. Bahkan mereka mulai membayangkan apa yang akan terjadi.

“Tetapi bukankah kita sudah bertekad bulat?” tiba-tiba seseorang telah berdesis, “kitalah yang telah mendorong Ki Sanggarana untuk berdiri tegak menghadapi Ki Sendawa. Jika sekarang akibat seperti ini terjadi, kita harus ikut mempertanggung-jawabkannya”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak, namun mereka pun kemudian mengangguk-angguk. Bahkan seorang yang berkumis tipis dibawah hidungnya berkata, “Kita sudah siap, meskipun jantung kita berdegup semakin cepat. Akibat seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh menantu Ki Buyut itu. Tetapi kita yang telah mendesaknya untuk melakukannya”

Anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian berusaha untuk menemukan satu sikap yang selama ini telah mereka nyatakan kepada Ki Sanggarana. Bahkan di antara mereka pernah menganggap bahwa Ki Sanggarana adalah seorang yang berhati lemah. Karena itu. betapapun mereka menjadi berdebar-debar, namun mereka berusaha untuk menunjukkan, bahwa mereka telah bertekad bulat untuk melawan Ki Sendawa. Kasar atau lembut.

Demikianlah Ki Sendawa itu pun meneruskan langkahnya bersama orang-orangnya. Para pengikutnya pun mulai di rayapi oleh perasaan gelisah. Meskipun di antara mereka terdapat Ki Sarpa Kuning bersama murid-muridnya, namun ternyata sikap anak-anak muda Talang Amba yang berpihak kepada Ki Sanggarana telah membuat mereka berdebar-debar

Apalagi ketika mereka sampai di tikungan. Jantung mereka menjadi semakin berdegupan. Ternyata di sebuah halaman di sudut tikungan itu. mereka melihat sekelompok anak-anak muda yang lain bertebaran. Sebagian duduk-duduk ditangga pendapa, yang lain berada di serambi gandok. Sekelompok yang lain berada di teritisan.

Seperti kelompok yang pertama mereka temui, anak-anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan iring-iringan yang lewat di depan regol halaman. Mereka seolah-olah tidak melihat seorang pun lewat di sebelah mereka. Yang duduk tetap pada sikapnya. Yang berbincang tetap saja berbincang, sementara ada yang terkantuk-kantuk.

“Gila” geram Ki Sendawa.

“Jangan terpengaruh” berkata Ki Sarpa Kuning sambil tersebyum, “tidak ada yang aneh pada mereka. Mereka berusaha untuk mengatasi kekecutan hati dengan sikap yang aneh-aneh. Tetapi sebenarnyalah mereka dicengkam oleh kegelisahan yang tidak teratasi”

Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Sarpa Kuning benar. Seseorang yang ketakutan akan berusaha untuk berbuat dan bersikap tidak sewajarnya”

“Karena itu, marilah. Kita akan melakukan sesuai dengan rencana kita” berkata Ki Sarpa Kuning.

“Tetapi” berkata Ki Sendawa, “apakah mereka telah mengetahui rencana kita untuk mengambil Sanggarana?”

Pertanyaan itu telah menyentuh hati Ki Sarpa Kuning. Dengan dahi yang berkerut ia justru mengulangi pertanyaan itu, “Ya. Apakah mereka sudah mengetahui rencana kita sehingga mereka dengan sengaja telah mempersiapkan para pengikutnya?”

Namun sejenak kemudian Ki Sarpa Kuning itu tersenyum, “Seandainya mereka mengetahui rencana kita, apakah kita menjadi gentar dan mengurungkan niat kita?” Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Tentu tidak. Kita akan melakukan sesuai dengan rencana kita yang telah kita sepakat bersama”

“Bagus” jawab Ki Sarpa Kuning. Lalu, “Kita akan menghadapi mereka meskipun mereka telah bersiap”

“Tetapi soalnya bukan sekedar menghadapi mereka” jawab Ki Sendawa, “bukankah dengan demikian berarti bahwa ada di antara kita yang berkhianat?”

Wajah Ki Sarpa Kuning menjadi tegang. Sambil mengangguk-angguk ia pun bergumam “Ya. Tentu ada yang berkhianat”

Kata-kata itu didengar oleh Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan murid Ki Sarpa Kuning yang telah membocorkan rencana itu pun mendengarnya pula. Dengan demikian mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Mungkin Ki Sarpa Kuning akan menghubungkan kebocoran itu dengan sikapnya semalam.

Namun dalam pada itu Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Tetapi itu pun tidak mengherankan. Diantara sekian banyak orang pedukuhan Ki Sendawa, tentu ada orang yang tidak sependapat. Karena itu, pengkhianatan itu memang mungkin saja terjadi. Tetapi kita sudah siap menghadapi”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Meskipun demikian kegelisahan masih saja membayang di wajahnya.

Ternyata tidak hanya ada dua kelompok anak-anak muda yang bertebaran di halaman rumah di sebelah menyebelah jalan menuju ke rumah menantu Ki Buyut. Masih ada beberapa kelompok lagi anak-anak muda yang berada di halaman rumah. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat dengan halaman, rumah Ki Sanggarana yang luas, mereka menemui sekelompok yang cukup besar dari anak-anak muda yang nampaknya berpihak kepada menantu Ki Buyut itu.

Tetapi sebelum Ki Sendawa berkata sesuatu, Ki Sarpa Kuning telah mendahului, “Menyenangkan sekali. Aku dan murid-muridku tidak akan tanggung-tanggung lagi bekerja hari ini”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun ia masih tetap gelisah. Bagaimanapun juga, jumlah anak-anak muda itu jauh melampui jumlah para pengikutnya yang sedang bersamanya saat itu”

Dalam pada itu, maka iring-iringan itu akhirnya telah sampai ke regol rumah Ki Sanggarana. Rumah yang mempunyai halaman yang cukup luas. Namun dalam pada itu, baik Ki Sendawa maupun Ki Sarpa Kuning merasa heran. Ternyata bahwa dihalaman rumah itu tidak terdapat anak-anak muda yang berkelompok atau bertebaran sebagaimana terdapat di beberapa halaman dipinggir jalan yang mereka lalui.

Dalam pada itu, para pengikut Ki Sendawa pun menjadi saling bertanya. Mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka hadapi. Sikap anak-anak muda Talang Amba yang menjadi pengikut menantu Ki Buyut itu telah mengherankan mereka.

“Jangan ragu-ragu” berkata Ki Sarpa Kuning, “kita memasuki halaman rumahnya. Apa pun yang terjadi, kita sudah siap kasar atau halus. Cara yang mana yang akan dipilih oleh menantu Ki Buyut itu."

Ki Sendawa pun mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa orang-orang Talang Amba yang berpihak kepada menantu Ki Buyut itu lebih banyak daripada yang berpihak kepadanya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan kekerasan ia akan dapat merubah keadaan. Orang-orang yang semula berpihak kepada menantu Ki Buyut itu tidak akan dapat berbuat apa-apa jika ternyata menantu Ki Buyut itu sudah ditangkap. Sedangkan apabila ia dan para pengikutnya akan melawan, maka akibatnya justru akan menjadi lebih buruk lagi baginya.

Untuk beberapa saat Ki Sendawa termangu-mangu di regol halaman. Namun akhirnya ia pun mendorong pintu regol dan melangkah memasuki halaman. Halaman rumah itu memang sepi. Tidak ada anak-anak muda yang berjaga-jaga atau tidak ada kesan bahwa menantu Ki Buyut itu sudah mempersiapkan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk berlindung.

“Terasa suasana yang aneh” berkata Ki Sendawa, “agaknya Sanggarana memang belum mengetahui apa yang akan terjadi atas dirinya”

“Tetapi bagaimana dengan anak-anak muda itu?” bertanya salah seorang kepercayaannya.

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang ke arah Ki Sarpa Kuning, maka Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Tahu atau tidak tahu. Bukan masalah bagi kita”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin kebiasaan anak-anak muda itu sudah berlangsung sejak lama. Sejak mereka membantu Sanggarana untuk melontarkan tenungnya. Mereka di setiap padukuhan yang berpihak kepadanya telah membuat api semalam suntuk sesaat sebelum diketemukan benda-benda aneh di rumah."

“Sekarang panggil anak itu” geram Ki Sarpa Kuning yang tidak sabar.

Ki Sendawa pun mengangguk-angguk. Dipandanginya pendapa yang sepi. Seketheng yang masih tertutup dan gandok yang kosong. Namun sejenak kemudian terdengar suara Ki Sendawa lantang, “Sanggarana. He, Sanggarana. Ini aku datang”

Tidak terdengar jawaban. Rumah itu menjadi sesepi kuburan.

“Sanggarana. He, Sanggarana.” Ki Sendawa itu pun berteriak.

Namun tidak seorang pun yang nampak keluar dari pintu rumah yang masih saja tertutup

“Gila” geram Ki Sendawa, “aku akan mencarinya ke dalam”

“Jangan” cegah Ki Sarpa Kuning, “mungkin anak itu sengaja memancingmu”

Ki Sendawa menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi ia berteriak, “He, Sanggarana. Ini aku pamanmu”

Tetapi rumah itu benar-benar kosong. Tidak ada seorang pun yang menanggapi suara Ki Sendawa yang bergetar oleh debar jantungnya.

“Jadi apakah kita akan tetap berteriak-teriak disini tanpa melihat ke dalam rumah itu?” tiba-tiba saja Ki Sendawa bertanya.

Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Rumah itu agaknya memang kosong. Meskipun demikian ia tetap mencegah agar Ki Sendawa tidak memasuki rumah itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dari seketheng sebelah kiri, seseorang menjengukkan kepalanya. Dengan wajah ketakutan ia memandang ke halaman rumah yang penuh para pengikut Ki Sendawa.

Hampir berteriak Ki Sendawa dan beberapa orang yang melihat orang yang menjengukkan kepalanya itu berkata, “He, ternyata ada orang di rumah ini”

Orang yang menjengukkan kepalanya itu masih berdiri di tempatnya. Ia tidak beranjak ketika seorang kepercayaan Ki Sendawa mendekatinya, “He, kau penghuni rumah ini?”

Orang itu termangu-mangu. Tetapi tiba-tiba aja kepercayaan Ki Sendawa itu justru menariknya dengan kasar sambil membentak, “Kau tinggal di rumah ini?”

Orang itu terlempar beberapa langkah keluar seketheng. Hampir saja ia jatuh terbanting. Namun ia masih berhasil bertahan meskipun terhuyung-huyung.

“Jawab” teriak kepercayaan Ki Sendawa itu, “kau penghuni rumah ini?”

“Ya, ya Ki Sanak” jawab orang itu, “aku ikut tinggal di rumah ini bersama Ki Sanggarana”

“Dimana Ki Sanggarana sekarang?” bertanya kepercayaan Ki Sendawa itu.

Orang itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab. Namun kepercayaan Ki Sendawa itu telah mencengkam pundaknya sambil membentak, “jawab. Dimana Ki Sanggarana sekarang?”

Orang itu menjadi gemetar. Namun kemudian jawabnya, “Ki Sangarana berada di banjar”

“Di banjar?” kepercayaan Ki Sendawa itu mengulang, “untuk apa ia pergi ke banjar?”

Orang yang gemetar itu tidak segera menjawab. Sementara kepercayaan Ki Sendawa itu bertanya pula. “Dimana isterinya? Apakah ia berada di rumah?”

“Tidak” orang itu semakin gemetar, “mereka memang tidak ada di rumah”

“Bohong” teriak kepercayaan Ki Sendawa itu, “di mana mereka sekarang, he? Bersembunyi? Jika kau berbohong, aku pilin lehermu sampai patah” geram kepercayaan Ki Sendawa yang garang itu.

“Aku berkata sebenarnya” jawab orang yang ke takutan itu.

Kepercayaan Ki Sendawa itu menggeram. Sejenak kemudian ia pun berpaling kearah Ki Sendawa. Dengan suara lantang ia bertanya, “Apakah kita begitu saja mempercayainya?”

Sendawa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Sarpa Kuninglah yang menjawab, “Kita akan melihat, apakah ia berada di rumah atau tidak. Mungkin Ki Sanggarana itu hanya bersembunyi saja di kolong-kolong amben di biliknya atau di atas kandang”

“Kita akan menggeledah rumahnya” berkata kepercayaan Ki Sendawa itu.

“Ya” baru Ki Sendawa menyahut, “lihat semua ruang di rumah itu”

Kepercayaan Ki Sendawa itu pun kemudian memerintahkan para pengikut Ki Sendawa untuk dengan serentak memasuki rumah itu dan mencari apakah Ki Sanggarana ada di rumah. Sementara yang lain telah diperintahkannya untuk mengepung rumah itu, agar tidak seorang pun yang dapat ke luar atau memasuki halaman meskipun meloncati dinding.

Sejenak kemudian, maka para pengikut Ki Sendawa itu pun telah menghambur memasuki rumah Ki Sanggarana. Mereka telah memasuki setiap ruangan dan memeriksa setiap sudut. Kolong-kolong amben pun mereka singkapkan sementara yang lain telah naik keatas kandang untuk melihat, apakah Ki Sanggarana bersembunyi di atas kandang itu.

Tetapi tidak seorang pun yang menjumpai Ki Sanggarana atau pun isterinya. Rumah itu benar-benar kosong. Selain orang yang menjengukkan kepalanya lewat seketheng dan yang kemudian telah memberitahukan bahwa Ki Sanggarana ada di banjar, di rumah itu sama sekali tidak dijumpai seorang pun juga.

Dengan geram para pengikut Ki Sendawa itu pun kemudian telah melaporkan apa yang mereka jumpai di rumah itu Mereka tidak menemukan Ki Sanggarana atau isterinya. Bahkan orang lain pun tidak ada di rumah itu pula. Kepercayaan Ki Sanggarana yang jengkel itu pun kemudian mengguncang tubuh orang yang ditemuinya di seketheng itu sambil berkata,

“Marilah. Ikut kami ke banjar. Jika kami tidak menemukan Ki Sanggarana di banjar, maka kau akan menjadi korhan tipu muslihatmu sendiri”

Wajah orang itu menjadi pucat. Katanya kemudian, “Aku mendapat perintah Ki Sanggarana untuk menunggui rumahnya. Karena itu aku tidak berani meninggalkan halaman ini”

“Persetan” geram kepercayaan Ki Sanggarana itu sambil mencengkam leher orang itu, “kau harus ikut kami atau kau akan kami bantai disini”

“Jangan. Jangan sakiti aku” pinta orang itu dengan memelas.

Tetapi kepercayaan Ki Sendawa itu sama sekali tidak menjadi belas kasihan. Bahkan ia bersikap semakin garang terhadap orang itu. Sambil mendorongnya ia berkata lantang, “Cepat. Lakukan perintahku. Ikuti kami pergi ke banjar. Jika orang yang kau katakan itu tidak terdapat di banjar, maka kau akan menjadi sasaran kemarahan kami.

Orang itu menjadi gemetar. Tetapi ia tidak dapat menolak untuk mengikuti iring-iringan itu pergi ke banjar. Demikianlah, maka Ki Sendawa dan Ki Sarpa Kuning pun telah memutuskan untuk pergi ke Banjar. Dengan suara berat Ki Sarpa Kuning berkata,

“Kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mungkin menantu Ki Buyut itu memang sudah mengetahui bahwa kita akan datang pagi ini. Karena itu, .maka ia telah pergi mengungsi. Sementara itu di banjar telah terdapat pula anak-anak muda sebagaimana kita lihat berada dipinggir jalan itu”

Ki sendawa mengangguk-angguk. Ia pun kemudian memerintahkan kepada para pengikutnya agar mereka bersiap-siap menghadapi pertempuran yang mungkin terjadi. Menurut perhitungannya, Ki Sanggarana memang sengaja menunggunya di banjar sambil menyiapkan anak-anak muda yang berpihak kepadanya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Sendawa dan Ki Sarpa Kuning bersama para pengikutnya telah pergi ke banjar. Orang yang mereka tangkap di rumah Ki Sanggarana itu pun mereka giring dipaling depan. Dengan tubuh gemetar orang itu berjalan sambil” sekali-sekali berpaling kearah Ki Sendawa, Ki Sarpa Kuning atau kepercayaan Ki Sendawa yang telah menangkapnya. Tetapi kepercayaan Ki Sendawa itu selalu membentak nya dan mendorongnya untuk berjalan terus.

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan banjar Kabuyutan di padukuhan induk itu. Banjar yang menjadi pusat kegiatan penghuni padukuhan induk itu.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang tinggal di pinggir jalan telah menutup pintu rumah mereka. Tidak seorang pun yang berani berada di jalan ketika iring-iringan Ki Sendawa itu lewat. Karena itu, padukuhan itu terasa menjadi sepi. Halaman-halaman menjadi lengang, dan tidak ada seorang pun yang berjalan di jalan padukuhan itu.

Namun yang mendebarkan jantung, sekali lagi iring-iringan itu melihat sekelompok anak-anak muda di halaman rumah di sudut simpang jalan. Mereka pun sama sekali tidak menghiraukan ketika iring-iringan itu lewat, seolah-olah mereka tidak melihatnya.

Tetapi selagi orang-orang dalam iring-iringan itu termangu-mangu, Ki Sarpa Kuning berkata lantang, “Jangan hiraukan mereka sebagaimana mereka tidak menghiraukan kalian”

Para pengikut Ki Sendawa itu menggeretakkan giginya. Mereka mencoba untuk tidak menghiraukan anak-anak muda yang duduk dihalaman. Dengan demikian maka iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan banjar Kabuyutan. Mereka tidak lagi menghiraukan, jika mereka melihat anak-anak muda yang duduk di halaman rumah, atau di kebun-kebun yang kosong.

Mereka telah membulatkan tekad mereka untuk menghadapi apa pun juga di banjar Kabuyutan. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Demikianlah maka akhirnya iring-iringan itu mendekati regol banjar Kabuyutan. Ki Sendawa yang menggiring orang yang mereka temukan di halaman rumah Ki Sanggarana berada di paling depan. Di sebelah Ki Sendawa, Ki Sarpa Kuning berjalan sambil menengadahkan kepalanya.

Namun iring-iringan itu menjadi termangu-mangu Ketika mereka melihat, bahwa di banjar Kabuyutan itu keadaannya jauh berbeda dari keadaan rumah Ki Sanggarana. Ternyata di banjar itu terdapat beberapa kelompok kecil anak-anak muda. Mereka bergerombol di beberapa tempat diluar regol halaman banjar. Namun ada beberapa kelompok lagi yang duduk-duduk di dalam regol halaman banjar.

Ki Sarpa Kuning melihat keragu-raguan yang mulai merayapi lagi perasaan orang-orang yang mengikuti Ki Sendawa. Sikap para pengikut Ki Sanggarana benar-benar telah mengguncang jantung mereka. Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning itu pun berkata lantang tanpa menghiraukan para pengikut Ki Sanggarana,

“Apakah kalian masih tetap pada sikap dan pendirian kalian? Nah, jika demikian, marilah. Kita sudah sampai pada langkah terakhir dari kerja kita”

Orang-orang yang mengikuti Ki Sendawa itu pun saling berpandangan sejenak. Namun ketika mereka melihat wajah Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang nampaknya tetap tenang, maka mereka pun menjadi semakin mantap.

“Nah” berkata Ki Sarpa Kuning, “Kita lakukan niat kita. Kita tangkap menantu Ki Buyut yang licik itu.

Ki Sendawa pun kemudian menggeretakkan giginya, la mencari kekuatan di dalam dirinya. Kemudian dengan langkah tetap ia melangkah memasuki regol halaman banjar Kabuyutan. Demikian Ki Sendawa memasuki regol, maka para pengikutnya pun telah mengikutinya pula. Dengan demikian maka halaman banjar itu pun telah dipenuhi oleh para pengikut Ki Sendawa, sementara anak-anak muda yang berada di halaman itu masih tetap berada di tempatnya.

Namun dalam pada itu, kedatangan para pengikut Ki Sendawa bersama Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya itu telah mendebarkan para pengikut Ki Sanggarana. Meskipun dalam sikap mereka, seolah-olah mereka acuh tak acuh saja atas kedatangan iring-iringan itu. namun sebenarnyalah bahwa mereka pun menjadi sangat gelisah.

Sementara itu, ketika Ki Sendawa telah berada di depan tangga pendapa banjar, maka ia pun telah bertanya kepada orang yang mengatakan bahwa Ki Sanggarana berada di banjar, “Nah, sekarang tunjukkan. Dimana Ki Sanggarana”

“Ia berada di banjar” jawab orang itu.

Sementara itu, kepercayaan Ki Sendawa telah mengguncangnya sambil membentak, “Tunjukkan. Dimana orang itu sekarang”

Orang-orang yang sejak semula berada di halaman itu menjadi semakin berdebar-debar. Orang yang mengguncang tubuh tanpa mengekang diri itu adalah seorang pengikut Ki Sendawa. Orang itu adalah orang Talang Amba sebagaimana dikenal oleh banyak orang. Namun sikapnya memang mendebarkan jantung.

Orang yang diketemukan di halaman rumah Ki Sanggarana itu pun menjadi gemetar. Dengan suara sendat ia berkata, “Yang mengatakan bahwa menantu Ki Buyut itu berada di banjar adalah ia sendiri”

“Ya, sekarang orang itu ada dimana” bentak kepercayaan Ki Sendawa itu semakin keras.

Orang yang ditanya itu menjadi semakin gemetar. Dipandanginya halaman rumah itu. Namun ia tidak melihat menantu Ki Buyut.

Anak-anak muda yang berada dihalaman itu menjadi semakin gelisah. Mereka memang mendapat pesan untuk tidak mengambil sikap sebelum mereka mendapat isyarat. Apa pun yang terjadi, mereka harus tetap berada di tempat, atau bergeser menepi. Tetapi mereka tidak boleh mengambil satu tindakan tertentu.

Disamping pesan itu, sebenarnyalah anak-anak muda itu memang dihinggapi satu kecemasan, bahwa Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya akan dapat melakukan kekerasan dan tidak akan terlawan.

Sementara itu, kepercayaan Ki Sendawa itu masih juga membentak-bentak sambil mengguncang tubuh orang yang diketemukannya di halaman rumah Ki Sanggarana, “Tunjukkan dimana menantu Ki Buyut itu bersembunyi. Jika kau tidak mau menunjukkan, atau kau memang membohongi kami dan berusaha menjebak kami, maka kau adalah orang yang pertama yang akan terbunuh disini”

“Tidak. Aku tidak berbohong. Aku mengatakan sebenarnya sebagaimana dikatakan oleh Ki Sanggarana. Jika ia tidak ada disini, maka bukan akulah yang berbohong. Tetapi menantu Ki Buyut itulah yang membohongi aku dan akibatnya, kalian pun telah dibohonginya pula” jawab orang itu.

“Setan alas” tiba-tiba kepercayaan Ki Sendawa itu mencekiknya sehingga orang itu mengaduh tertahan.

Wajah anak-anak muda yang ada di halaman banjar itu menjadi tegang. Tetapi seperti yang dipesankan, sebelum ada isyarat apa pun juga, mereka tidak boleh bertindak. Bahkan seandainya isyarat itu mereka lihat juga, hati mereka menjadi sangat berdebar-debar melihat Ki Sendawa dan para pengikutnya bersama murid-muridnya.

Sementara itu, satu dua orang yang melihat satu diantara murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin tegang. Orang itu adalah orang yang semalam mereka lihat.

“Peran apakah yang sebenarnya dilakukan” bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.

Meski pun mereka sudah menduga, bahwa orang itu mempunyai niat yang baik, tetapi mereka yang tidak tahu sama sekali tentang dirinya, bertanya-tanya juga di dalam hati.

Sementara itu, suasana benar-benar menjadi tegang. Apalagi ketika kemudian di luar regol itu menjadi semakin banyak anak-anak muda yang mengalir dari beberapa penjuru. Mereka yang sudah melihat kehadiran Ki Sendawa dengan para pengikutnya memasuki padukuhan induk, telah mendapat perintah untuk berkumpul didepan halaman banjar Kabuyutan.

Ki Sarpa Kuning yang menyadari, bahwa ternyata para pengikut Ki Sanggarana sudah siap menerima kedatangan Ki Sendawa, telah bersiap-siap pula. Bahkan ia pun telah berbisik kepada Gajah Wareng, “Hati-hatilah. Suruhlah anak-anak itu bersiap. Mungkin kita benar-benar akan bertempur”

Gajah Wareng berpaling kepada murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain. Namun ia pun mengangguk kecil ketika murid-murid Ki Sarpa Kuning itu pun mengangguk pula.

Namun dalam pada itu, kepercayaan Ki Sendawa agaknya sudah tidak sabar lagi. Orang yang membawa mereka ke banjar itu pun telah diguncang-guncangnya sambil mencekik lehernya dan berteriak, “Cepat. Katakan, dimana menantu Ki Buyut itu. Kalau kau tidak menjawab dan tidak dapat menunjukkannya, maka kau akan aku cekik sampai mati”

“Jangan” teriak orang itu. Lalu ia pun berteriak pula, “He, Ki Sanggarana. Apakah kau benar-benar berada di banjar ini?”

Sejenak halaman itu dicengkam oleh keheningan. Seolah-olah setiap orang menunggu jawaban yang akan mereka dengar dari pintu banjar yang terbuka. Sebenarnyalah, setiap jantung telah berdegup semakin keras. Yang keluar dari pintu itu bukan sebuah teriakan nyaring, tetapi justru menantu Ki Buyut itu telah melangkah keluar dengan langkah ragu.

“Nah” desis orang yang sedang dicekik itu, “itulah orang yang kau cari. Bukankah ia benar-benar berada di banjar ini”

Orang itu pun perlahan-lahan telah dilepaskan. Dengan wajah yang garang, kepercayaan Ki Sendawa itu memandang menantu Ki Buyut yang berdiri di pendapa.

Dalam pada itu. ketegangan benar-benar telah mencengkam. Semua orang memandang menantu Ki Buyut itu dengan wajah yang penuh dengan pertanyaan. Baik orang-orang yang datang bersama Ki Sendawa, maupun para pengikut Ki Sanggarana itu sendiri.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara menantu Ki Buyut itu, “Paman Sendawa. Selamat datang di banjar Kabuyutan ini?”

Pertanyaan itu membingungkan Ki Sendawa. Hampir diluar sadarnya ia mengumpat. Namun dalam pada itu, Ki Sanggarana itu bertanya lebih lanjut, “Paman, apakah kepentingan paman datang ke banjar ini bersama dengan para pengikut paman?”

Ki Sarpa Kuning yang berdiri di sebelah Ki Sendawa berdesis perlahan, “Katakan terus terang, apakah keperluan kita datang kemari”

Ki Sendawa memandang kemanakannya yang berdiri tegak di pendapa itu. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Sanggarana. Ketahuilah, bahwa aku benar-benar datang pagi ini. Aku kira kau sudah mengetahuinya, menilik persiapan yang telah kau lakukan untuk menyambut ke datangan kami”

Wajah Ki Sanggarana itu pun berkerut. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi seorang yang berada di sawah melihat iring-iringan yang datang ke induk padukuhan ini”

“Omong kosong. Kau tidak akan sempat membuat persiapan yang demikian rapi. Tetapi aku tidak peduli. Mungkin kau sudah mengetahui pula bahwa aku datang untuk menangkapmu. Mengadilimu dan memberikan hukuman kepadamu, karena kau sudah berusaha membunuh aku”

Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya, “Apa yang sudah aku lakukan untuk membunuh paman?”

“Jangan berpura-pura. Kau sudah menenungku. Kau persiapkan semua orang yang dapat kau pengaruhi dengan janji-janji yang tidak akan mungkin kau penuhi. Semalam suntuk mereka menyalakan api, sementara itu kau sudah menyuruh seseorang melontarkan tenung kepadaku dengan dukungan sikap orang-orangmu. Tetapi untunglah bahwa tenungmu sama sekali tidak berarti bagiku. Meskipun demikian usaha pembunuhan itu harus dicegah. Kau harus ditangkap” berkata Ki Sendawa.

“Paman” jawab menantu Ki Buyut, “jangan asal saja menuduh. Sebenarnya sampai hari ini aku belum pernah mengambil sikap apa pun yang dapat diartikan menentang kehendak paman. Meskipun paman tentu merasa, bahwa aku telah memusuhi paman”

“Jangan ingkar” teriak Ki Sendawa, “apa pun yang kau katakan, aku mempunyai banyak saksi bahwa di rumahku ada Benda benda yang terlontar oleh kekuatan”

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa ia memang merasa telah melakukan satu langkah yang dikatakan oleh Ki Sendawa meskipun bukan satu kekuatan tenung.

Dalam pada itu, maka terdengar Ki Sendawa itu pun melanjutkan kata-katanya, “Sanggarana. Kau harus mempertanggung-jawabkan tingkah lakumu. Aku datang untuk menangkapmu”

Wajah menantu Ki Buyut itu menjadi tegang. Katanya, “Paman. Kita akan dapat menempuh jalan yang paling baik untuk memecahkan persoalan kita. Bukan cara seperti yang paman tempuh sekarang”

“Aku tidak melihat jalan lain” berkata Ki Sendawa, “menurut pendapatku, jalan ini adalah jalan yang paling adil. Kau telah mencoba membunuhku. Dan percobaan pembunuhan itu merupakan satu kejahatan yang harus dihukum. Apalagi menilik alasan pembunuhan yang akan kau lakukan itu adalah karena kau ingin merebut kedudukanku”

“Paman jangan asal saja menuduh” berkata Ki Sanggarana, “tetapi sebaiknya kita mempergunakan cara yang paling baik bagi keluarga manusia untuk memecahkan persoalannya. Kita bukan penghuni belantara yang buas yang tidak mengenal peradaban. Yang hanya mengenal kekerasan dan kekuatan”

“Persetan” geram Ki Sendawa, “kau telah mendahului melakukannya. Sekarang kau menyebut-nyebut tentang peradaban. Apakah tenung itu cara yang terbaik menurut pendapatmu?”

“Paman” Ki Sanggarana berusaha untuk menjelaskan, “kita dapat berbicara”

“Terlambat. Jika kau belum nenenungku, maka kita akan berbicara. Tetapi sekarang tidak. Kita akan menangkapmu. Jika kau dan orang-orangmu melawan, maka kami akan membinasakanmu. Kau dengar? Kami mempunyai kekuatan cukup untuk membinasakanmu” berkata Ki Sendawa.

Percakapan itu ternyata telah menggelitik hati para pengikut dari kedua belah pihak. Anak-anak muda Talang Amba yang berpihak kepada Ki Sanggarana, yang semula merasa ngeri melihat kehadiran Ki Sendawa bersama orang-orang yang diupahnya, ketika mereka merasa bahwa jumlah mereka menjadi kian banyak, maka mereka pun menjadi bangkit dan keberanian mereka pun mulai tumbuh.

Karena itu, maka beberapa orang pemimpin anak muda pengikut Ki Sanggarana itu pun mulai bangkit berdiri. Namun dengan demikian, maka para pengikut Ki Sendawa pun mulai bersiap-siap pula. Bahkan Ki Sarpa Kuning pun telah berpaling kepada Gajah Wareng yang kemudian berbisik kepada murid Ki Sarpa Kuning yang berkumis, “Bersiap-siaplah. Anak-anak muda itu akan dapat menjadi gila dan berbuat aneh-aneh. Kalian telah mendapat wewenang untuk berbuat apa saja”

Orang berkumis itu mengangguk-angguk. Dan orang itu pun telah berkata pula kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta murid Ki Sarpa Kuning yang seorang, “Bersiaplah. Kita akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan, siapakah kita sebenarnya”

Demikianlah, dua kekuatan yang besar telah saling berhadapan. Anak-anak muda Talang Amba yang berpihak kepada Ki Sanggarana telah bersiap. Mereka tinggal menunggu isyarakat untuk bertindak. Namun sementara itu, para pengikut Ki Sendawa pun telah bersiap pula. Mereka sama sekali tidak menjadi berkecil hati, karena di antara mereka terdapat Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang memiliki kemampuan tidak terbatas.

“Cepat” bentak Ki Sendawa, “menyerahlah. Atau kami akan membinasakan kalian semua dan .menjadikan padukuhan ini karang abang”

Bentakkan yang menggelegar itu memang mendebarkan. Sementara Ki Sendawa melanjutkan, “Jangan mencoba melawan. Setiap perlawanan berarti mempercepat perjalanan kekematian dan kehancuran padukuhan ini”

Anak-anak muda yang mulai bangkit itu tiba-tiba telah dicengkam lagi oleh kegelisahan. Sejenak kemudian, ketegangan telah mencengkam halaman banjar Kabuyutan itu. Setiap orang menjadi berdebar-debar. Namun masing-masing telah mempersiapkan senjata mereka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang menggemparkan. Sesuatu yang tidak terduga-duga sebelumnya. Ki Sanggarana yang melihat kemungkinan yang pahit itu terjadi, telah mengambil satu sikap yang mengejutkan. Dengan langkah pasti, Ki Sanggarana maju ke tangga pendapa. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata lantang,

“Paman Sendawa. Persoalan ini adalah persoalan kita. Persoalan paman dan aku. Meskipun orang-orang Talang Amba berkepentingan, tetapi mereka akan menerima keputusan yang kita ambil bersama. Karena itu, marilah kita bersepakat untuk mengambil satu keputusan, siapa yang akan memegang jabatan yang sampai saat ini tidak menentu ujung pangkalnya itu. Paman atau aku. Selama ini sebenarnya aku berusaha untuk menghindar dari persoalan itu, karena aku dan isteriku sama sekali tidak berminat untuk berebut kedudukan melawan paman sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku tidak dapat mengelak lagi. Persoalan ini adalah persoalanku. Karena itu, jika terjadi benturan kekerasan maka biarlah aku dan paman saja yang terlibat”

Wajah orang-orang yang mendengar keputusan Ki Sanggarana itu terperanjat. Wajah mereka menjadi semakin tegang dan jantung mereka pun menjadi berdebaran. Ki Sendawa pun terkejut bukan buatan. Ia pun tidak menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja Sanggarana telah menantangnya.

Ki Sanggarana berdiri tegak di tempatnya. Seolah-olah ia telah yakin akan kebenaran langkahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian melanjutkan, “Paman, jika aku mengambil langkah itu adalah semata-mata karena aku tidak ingin melihat pertengkaran dan apalagi benturan kekerasan antara orang-orang Talang Amba sendiri. Orang-orang yang karena satu sebab berpihak kepada paman, sementara orang lain berpihak kepadaku. Jika kedua kekuatan itu berbenturan, maka tentu akan jatuh korban. Mungkin di antara orang-orang yang berpihak kepada paman. Tetapi mungkin orang-orang yang berpihak kepadaku. Karena itu, daripada di antara mereka akan jatuh korban, maka lebih baik kita berdua mengambil penyelesaian. Bukan maksud kita untuk duduk di atas satu kedudukan dengan mengorbankan orang lain”

Wajah Ki Sendawa menjadi merah padam. Kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga justru karena itu, untuk sesaat ia berdiri tegak mematung tanpa dapat berbuat sesuatu. Baru sejenak kemudian terdengar ia mengumpat kasar. Katanya kemudian, “Anak iblis. Kau berani menantang aku he? Seharusnya kau mengenal aku. Seharusnya kau tahu bahwa aku akan dapat memutar lehermu. Kenapa kau mencoba menantang aku dalam perang tanding?”

“Hanya sekedar untuk menentukan siapa yang akan menjadi Buyut di Kabuyutan ini” jawab Sanggarana. Lalu, “Sebab aku tidak mempunyai cara lain. Paman tentu akan menolak jika aku mengusulkan untuk membuat saja semacam undian. Aku dan paman akan mengambil masing-masing sehelai daun dengan mata tertutup pada sebatang pohon yang sama. Siapa yang memiliki daun yang lebih lebar, ia akan menjadi Buyut di Kabuyutan Talang Amba”

“Persetan” geram Ki Sendawa.

“Nah. Karena itu, maka cara yang paling baik, yang agaknya cukup memadai bagi paman adalah kita akan berkelahi. Siapa yang memenangkan perkelahian itu akan menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Kemenangan akan ditandai dengan keadaan lawannya. Jika lawannya sudah tidak dapat melawan sama sekali atau menyerah, maka perkelahian itu sudah dianggap selesai” berkata Ki Sanggarana selanjutnya.

Wajah Ki Sendawa menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Sarpa Kuning pun menjadi tegang. Ia tidak segera dapat memberikan petunjuknya. Ki Sarpa Kuning tidak tahu pasti, siapakah yang lebih kuat diantara kedua orang itu. Namun menilik sikap menantu Ki Buyut itu, ia tidak banyak memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Apalagi menilik sikapnya selama ini. Tetapi bahwa tiba-tiba saja ia telah menantang Ki Sendawa dalam satu perkelahian, hal itu telah membuatnya ragu-ragu untuk mengambil satu sikap.

Sementara itu, maka Ki Sanggarana itu pun telah mendesaknya. Katanya, “Marilah paman. Aku persilahkan paman mengambil satu keputusan”

“Anak setan. Ternyata kau terlalu sombong. Jauh lebih sombong dari yang aku duga. Apa yang sebenarnya telah mendorongmu menantangku berkelahi seorang lawan seorang? Apakah kau baru saja berguru kepada orang-orang sakti? Atau kau baru saja bangun dari sebuah mimpi yang mengagumkan?”

“Tidak paman” jawab Sanggarana, “aku tidak bermimpi dan aku tidak berguru kepada siapapun. Tetapi lebih baik aku yang menjadi korban perselisihan ini daripada orang-orang lain yang tidak banyak mengetahui persoalan yang sebenarnya diantara kita. Apalagi kita sendiri pun dapat memandang persolan ini dari segi yang berbeda. Jika paman merasa berhak untuk menjadi Buyut di Kabuyutan ini, maka banyak orang berpendapat bahwa aku pun berhak, karena aku adalah menantu Ki Buyut yang baru saja meninggal”

“Persetan, “potong Ki Sendawa, “aku adalah anak orang yang seharusnya berhak atas Kabuyutan ini. Tetapi orang yang berhak itu telah dibunuh dengan licik”

“Nah, itu adalah ceritera menurut paman. Mungkin orang lain mempunyai ceritera yang lain. Orang lain mengatakan bahwa ayah paman yang paman sebut-sebut itu sebenarnya memang tidak berhak, karena ia lahir dari ayah yang berbeda dengan ayah Ki Buyut, mertuaku yang kemudian menjadi Buyut. Tetapi perbedaan pendapat yang demikian hanya akan memperpanjang persoalan saja. Kini aku berhadapan dengan Ki Buyut. Marilah kita selesaikan persoalan kita. Jangan ada setetes pun darah yang tertumpah. Apalagi nyawa yang lepas dari wadagnya, hanya karena kita berselisih”

“Kau memang sudah gila Sanggarana” teriak Ki Sendawa, “tetapi jika itu yang kau kehendaki, baiklah. Kau dan setiap orang tentu tahu, apa yang akan terjadi”

“Terserah kepada apa yang akan terjadi” jawab Ki Sanggarana, “jika aku kalah, aku akan melepaskan perasaanku bahwa sebaliknya akan terjadi”

Ki Sendawa menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Ki Sarpa Kuning berbisik, “Apa orang itu mempunyai bekal ilmu?”

“Tidak” sahut Ki Sendawa.

“Sedangkan Ki Sendawa memilikinya betapapun sedikit. Karena itu, agaknya Ki Sendawa akan dapat memenangkan perang tanding itu” desis Ki Sarpa Kuning pula.

Ki Sendawa menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku yakin, bahwa aku akan dapat memilin lehernya. Ia terlalu sombong dan tidak tahu diri”

“Jika demikian, apalagi yang ditunggu” berkata Ki Sarpa Kuning selanjutnya.

Wajah Ki Sendawa menjadi bertambah tegang. Namun, yang dikatakan oleh Ki Sarpa Kuning untuk mendorongnya cepat bertindak. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah anak dungu. Marilah, kita selesaikan persoalan kita tanpa melibatkan orang lain”

“Terima kasih paman” jawab Ki Sanggarana, “dengan demikian maka siapa pun yang akan menang, tidak akan dianggap berdiri diatas korban kawan sendiri. Tidak akan ada korban disini. Dan tidak akan ada seseorang yang meratapi kematian keluarganya”

“Sekarang turunlah. Kita akan berkelahi diarena” jawab Ki Sendawa.

“Kita percayakan arena itu kepada para pengikut kita masing-masing. Mereka tentu akan melingkari kita yang akan menjajagi ilmu kita masing-masing” jawab Ki Sanggarana.

“Tetapi mereka tidak akan berdiri tegak di tempatnya sebagaimana sebatang patok bambu. Patok bambu tidak akan bergeser seujung rambutpun, apa pun yang terjadi ditengah-tengah arena. Tetapi seseorang mungkin akan bergerak. Mungkin akan menyibak dan mungkin akan bergeser maju”

“Baiklah paman” jawab Ki Sanggarana, “orang-orangku akan dengan cepat menyiapkan sebuah arena. Mereka akan memotong bambu, membuat patok dan memasang gawar”

Demikianlah, dalam waktu yang singkat, para pengikut menantu Ki Buyut itu telah menyiapkan sebuah arena Dengan patok-patok bambu dan gawar serat kayu, maka siaplah yang dikehendaki Ki Sendawa dalam waktu singkat. Sejenak kemudian, maka para pengikut dari kedua belah pihak telah berdiri diseputar arena. Ki Sarpa Kuning yang mengumpat-umpat melihat orang-orang yang sibuk menyiapkan sebuah arena telah berdiri di pinggir arena, diluar gawar itu pula.

Dalam pada itu, ketika semuanya sudah siap, maka Ki Sendawa pun kemudian berkata, “Marilah Sanggarana. Ternyata bahwa kau benar-benar seorang jantan menghadapi persoalan yang tumbuh diantara kita”

“Aku hanya akan menghindari korban yang mungkin jatuh. Mungkin luka arang kranjang, tetapi mungkin juga terbunuh. Satu saja ada orang terbunuh, maka kita akan menanggung beban dosa, karena persoalannya adalah persoalan kita berdua” jawab menantu Ki Buyut itu.

“Jika demikian, maka biarlah kita memilih saksi masing-masing satu orang” berkata Ki Sendawa, “aku akan menunjuk Ki Sarpa Kuning, sahabatku untuk menjadi saksi dan akan berada di dalam arena."

“Baiklah paman. Dan aku pun akan menunjuk paman Waruju untuk menjadi saksiku” jawab Ki Sanggarana.

“Ya manakah orang yang kau sebut itu?” bertanya Ki Sendawa.

Ki Sanggarana kemudian berpaling kepada seseorang. Orang yang diketemukan oleh Ki Sendawa dan orang-orangnya di halaman rumah Ki Sanggarana.

“Orang itu?” Ki Sendawa menjadi heran, “jadi kau mengambil saksi orang dungu itu”

“Ya. Tetapi ia jujur” jawab Ki Sanggarana.

“Tetapi saksi bagi perkelahian seperti ini harus orang yang setidak-tidaknya mengerti apa yang sedang berlangsung di arena” bentak Ki Sendawa.

“Ia akan dapat mengerti paman” jawab Sanggarana.

Ki Sendawa menggeram. Namun kemudian katanya, “Baiklah jika hal itu yang kau kehendaki”

Demikianlah, keduanya pun kemudian telah bersiap. Ki Sarpa Kuning berada di dalam arena, sementara murid-muridnya termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada diluar arena. Sedangkan saksi menantu Ki Buyut pun berada di dalam arena pula.

“Kita akan segera mulai” berkata Ki Sarpa Kuning.

“Aku sudah siap” berkata Ki Sendawa.

“Aku juga sudah siap” sahut Ki Sanggarana.

“Bagus” berkata Ki Sarpa Kuning kemudian, “kita akan menentukan pertanda dari kekalahan”

“Jika lawannya sudah tidak mampu melawan lagi” jawab Ki Sanggarana.

“Tidak. Sampai salah seorang mati?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

“Itu tidak perlu” jawab Ki Sanggarana.

“Pengecut yang sombong” geram pamannya. Namun katanya kemudian, “baiklah. Aku setuju”

Demikianlah keduanya pun segera telah mempersiapkan diri. Sementara itu, beberapa orang pengikut Ki Sanggarana menjadi ragu-ragu akan kesungguhan menantu Ki Buyut itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Ia hanya akan memberi kita kepuasan. Tetapi ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Ia akan menyerah kalah. Dan kedudukan itu akan jatuh ke tangan Ki Sendawa. Dalam pada itu, kita tidak akan memaksa-maksanya lagi untuk berjuang mengambil kedudukan itu”

“Mungkin ia memang hanya sekedar berbuat demikian” sahut yang lain, “dengan demikian maka apa yang kita lakukan selama ini sia-sia saja”

Namun tiba-tiba seorang bertanya, “Tetapi seandainya tidak demikian. Seandainya kedua pasukan ini bertempur, apakah kita akan mampu melawan orang yang bernama Sarpa Kuning itu?”

Ternyata tidak seorang pun yang menjawab. Bahkan terasa bulu-bulu tengkuk mereka pun tatah berdiri tegak. “Mengerikan” seseorang telah berdesis, “dari kedua belah pihak pun akan jatuh korban. Diantara kita akan ada yang mati. Ya, mati”

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun mulai membayangkan, jika terjadi pertempuran antara kedua pihak yang berdiri bertentangan itu. tentu akan jatuh korban. Mungkin dirinya sendiri, mungkin saudaranya, mungkin kawan baiknya. Sementara itu yang akan berdiri menjadi lawan, adalah saudara-saudara se Kabuyutan juga.

Namun dalam pada itu, beberapa orang yang usianya sudah mendekati separuh baya yang ada di halaman banyak itu menjadi berdebar-debar. Mereka yang telah mengenal ayah Ki Sanggarana itu. Pada saat mudanya ayah Ki Sanggarana itu memang mirip sekali dengan Ki Sanggarana yang kini berdiri di arena itu. Apalagi ketika sejenak kemudian, Ki Sendawa mulai melangkah maju. Ki Sanggarana pun mulai bergeser pula.

Orang-orang yang berdiri diseputar arena itu melihat ada semacam perubahan di dalam diri Ki Sanggarana. Ia tidak lagi nampak kecut dan ragu-ragu. Tetapi justru ketika ia berdiri di arena, serta lawannya sudah mulai menyerangnya, maka sikapnya menjadi bersungguh-sungguh. Wajahnya menjadi menyala dan dari kedua matanya gejolak di dalam dadanya.

Ki Sendawa yang merasa mempunyai kesempatan untuk segera mengalahkan lawannya, telah menyerang dengan garangnya. Ia tidak mau terlalu lama berada di arena. Ia harus segera membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dari kemanakannya itu. Tetapi Ki Sendawa terkejut ketika Ki Sanggarana itu mampu meloncat mengelakkan serangannya.

Mula-mula Ki Sendawa mengira, bahwa ia kurang bersungguh-sungguh karena sejak semula ia menganggap lawannya tidak berarti. Namun ketika ia mengulangi serangannya, ternyata Ki Sanggarana memang mampu mengelak dengan baik.

“Anak setan” geram Ki Sendawa, “darimana ia memiliki kemampuan untuk mengelak demikian baiknya?”

Tetapi sebenarnyalah, ketika serangan-serangan Ki Sendawa menjadi semakin keras, maka Ki Sanggarana pun menjadi semakin nyata, bahwa ia pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menghindari serangan-serangan itu. Bahkan anak-anak muda yang tidak pernah melihat Ki Sanggarana berlatih oleh kanuragan menjadi sangat tertarik melihat sikap Ki Sanggarana menghadapi pamannya.

Tetapi beberapa orang yang lebih tua menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka berdesah, “Ia memiliki warisan kemampuan itu dari ayahnya. Ayahnya yang mempunyai kebiasaan dan kegemaran berburu itu, tentu tidak membiarkan anaknya, sedungu yang kita duga.”

Sebenarnyalah, Ki Sarpa Kuning yang menyaksikan pertempuran itu pun segera melihat, bahwa orang yang bernama Ki Sanggarana itu bukan seorang yang dungu. Bahkan ternyata ia bukan seorang pengecut. Dengan tangkas Ki Sanggarana menghadapi serangan-serangan Ki Sendawa. Bahkan semakin lama Ki Sanggarana menunjukkan bahwa ia mampu bergerak lebih cepat dari Ki Sendawa.

Ki Sendawa menjadi semakin marah menghadapi sikap kemanakannya. Namun akhirnya ia pun sampai kepada satu kesimpulan, bahwa Sanggarana itu tentu pernah mendapat tuntunan kenuragan dari ayahnya. “Tetapai anak gila itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mempunyai kemampuan, olah kanuragan” berkata Ki Sendawa di dalam hatinya.

Sementara orang lain berkata di dalam hatinya, “Anak itu memang rendah hati. Ia dapat bersikap seolah-olah seperti anak-anak muda kebanyakan yang tidak mempunyai kemampuan olah kanuragan. Ia tidak pernah bersikap sombong dan dengan sengaja memamerkan kemampuannya, sehingga kawan-kawannya yang paling dekat pun tidak mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang cukup. Bahkan dapat mengimbangi kemampuan pamannya, Ki Sendawa."

Tetapi pada saat Ki Sanggarana itu harus menunjukkan kemampuannya, maka orang-orang yang mengenal ayahnya berkata di dalam hati, “Wajar sekali jika ia memiliki kemampuan untuk melawan pamannya”

Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Sanggarana yang dalam sikapnya sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan untuk melawan pamannya bahkan seakan-akan ia sama sekali tidak peduli lagi dengan kedudukan yang ditinggalkan oleh mertuanya, tiba-tiba saja telah bertempur dengan tangkasnya melawan pamannya. Bahkan semakin lama semakin keras, sebagaimana dilakukan oleh Ki Sendawa.

Ternyata Ki Sendawa narus mengumpat-umpat tidak ada habisnya. Ternyata ia bertemu dengan keadaan yang tidak pernah diduganya. Meskipun ia mengenal ayah Ki Sanggarana, namun pengenalannya atas kemanakannya itu sejak ia menjadi menantu Ki Buyut, tidak menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi ketika ia bertemu di arena dalam keadaan yang bersungguh-sungguh, maka ternyata bahwa anak kemanakannya itu memiliki bekal yang cukup untuk mengimbanginya.

Tetapi Ki Sendawa masih mempunyai harapan. Ia masih belum mengerahkan segenap ilmunya, justru karena ia tidak menyangka akan berhadapan dengan kemanakannya dalam tingkat kemampuan yang demikian. Karena itu, maka dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya, Ki Sendawa pun telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak.

Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin sengit. Keduanya benar-benar telah berusaha dengan segenap kemampuannya. Ki Sendawa dalam puncak ilmunya, menghadapi Ki Sanggarana yang tidak sebelumnya ternyata memiliki kemampuan yang mendebarkan.

Ki Sarpa Kuning yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Dua orang itu telah bertaruh. Jika Ki Sendawa menang, maka ia akan menjadi Buyut. Tetapi jika Sanggarana menang, maka ialah yang menjadi Buyut.

“Jika Sanggarana yang menjadi Buyut, maka semua rencanaku mungkin akan gagal. Agaknya orang itu cukup cerdas untuk menangkap maksudku” berkata Ki Sarpa Kuning di dalam hatinya.

Dengan jantung berdegupan, Ki Sarpa Kuning mengikuti pertempuran yang menjadi semakin sengit itu. Bahkan kemudian ternyata, bahwa kemampuan Ki Sanggarana tidak berada dibawah lapisan kemampuan Ki Sendawa.

Sementara itu keduanya masih berkelahi dengan sengitnya. Serangan Ki Sendawa yang datang beruntun tidak menggoyahkan pertahanan Ki Sanggarana. Ketika Ki Sendawa meloncat maju dengan kaki yang terjulur lurus menyamping, maka Ki Sanggarana sempat mengelak. Bahkan ia pun telah berusaha untuk memukul kaki itu menyamping sementara kakinya sendiri siap untuk menyerang lambung.

Tetapi Ki Sandawa sempat menarik serangannya. Bahkan dengan cepat, dengan putaran yang bersumbu pada kakinya yang lain, kaki itu berputar mendatar. Sebuah ayunan yang sangat berbahaya telah menyerang Ki Sanggarana. Ki Sanggarana sempat bergeser. Kaki itu menyentuhnya. Sementara itu, Ki Sanggarana melihat. satu kesempatan. Dengan satu langkah maju. tangannya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya.

Tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya, karena Ki Sendawa sempat bergeser surut. Namun Ki Sanggarana tidak melepaskannya. Selangkah lagi ia maju. Dan sekali lagi tangannya yang lain terjulur sementara tangannya yang terdahulu ditariknya kedada. Ki Sendawa tidak bergeser surut, tetapi ia melangkah setengah langkah kesamping. Dengan sigapnya maka ia pun telah memiringkan kepalanya sekaligus menyongsong tubuh lawannya dengan sikunya.

Ki Sanggarana menggeretakkan giginya. Tetapi ia sempat menguasai serangannya, sehingga tubuhnya tidak sempat tersentuh siku lawannya. Tetapi yang tidak diduganya, Ki Sendawa Justru merendah. Kakinyalah yang kemudian terjulur menghantam lambung. Ki Sanggarana terkejut. Dengan serta merta ia pun telah meloncat surut. Ia sempat menghindari serangan itu. Tetapi serangan berikutnya pun telah datang menyambarnya. Tangan Ki Sendawa terayun mendatar setinggi wajahnya.

Ki Sanggarana tidak membiarkan dirinya dihujani oleh serangan-serangan yang datang beruntun. Tetapi tiba-tiba ia pun telah berputar dan justru meloncat dengan tangannya yang terjulur lurus kedepan. Ki Sendawa lah yang harus menghindar. Namun dalam puncak kemampuannya, ternyata Ki Sanggarana mampu bergerak lebih cepat. Dengan loncatan yang panjang, ternyata Ki Sanggarana berhasil menyambar lambung Ki Sendawa dengan ujung kakinya. Meskipun serangan itu tidak amat berbahaya, tetapi Ki Sendawa harus menyeringai menahan sakit. Bukan saja kesakitan yang menyengat, tetapi hatinyalah yang terlebih sakit lagi.

Tetapi itu sudah terjadi. Dalam pertempuran berikutnya, meskipun sekali-sekali Ki Sendawa berhasil mengenai tubuh Ki Sanggarana, tetapi ternyata Ki Sanggarana lah yang telah mengenainya lebih banyak. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Ki Snggarana terasa telah benar-benar menyakitinya.

“Anak iblis” geram Ki Sendawa.

Namun sementara itu, serangan Ki Sanggarana menjadi semakin cepat dan semakin keras.

Orang-orang yang pernah mengenal ayah Ki Sanggarana, seolah-olah telah melihat orang itu di masa mudanya. Ternyata kelebihan pada ayahnya telah diwarisinya sepenuhnya. Bahkan ada satu kelebihan pada anaknya. Sanggarana ternyata adalah orang yang rendah hati. Melebihi dari ayahnya. Tidak seorang pun yang mengetahui sebelumnya bahwa orang itu memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh ayahnya.

“Ia meningkatkan ilmunya dengan diam-diam tanpa diketahui oleh siapapun” berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

Tetapi Ki Sarpa Kuning tidak berpendirian demikian. Meskipun baginya, ilmu Ki Sanggarana dan Ki Sendawa itu tidak menggetarkan bulu-bulunya, namun ia harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. “Mungkin orang itu telah menyampaikan persoalannya kepada gurunya” berkata Ki Sarpa Kuning di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka tiba-tiba saja telah timbul satu keinginan pada Ki Sarpa Kuning untuk menyelesaikan persoalan itu dengan tuntas. Ia ingin memancing, siapakah yang berdiri dibelakang orang yang bernama Ki Sanggarana itu. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia ingin melihat pertempuran itu sampai kemungkinan terakhir.

Namun Ki Sarpa Kuning tidak mengetahui, bahwa Ki Sanggarana itu mewarisi ilmu dari ayahnya sendiri. Ia tidak berguru kepada orang lain, meskipun ada juga orang yang membantu perkembangan ilmunya. Tetapi dasar ilmunya itu telah dipelajarinya dari ayahnya.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang itu pun berlangsung semakin seru. Keduanya telah mengerahkan sisa-sisa kemampuan yang ada pada mereka. Namun dalam pada itu, semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa sebenarnyalah Ki Sendawa tidak mampu mengatasi kemampuan kemanakannya, yang selama ini dianggapnya sebagai seorang anak bawang yang tidak berarti apa-apa. Betapa jantungnya bergejolak, tetapi ia tidak mampu mengelakkan satu kenyataan, bahwa Ki Sanggarana memang memiliki kelebihan daripadanya.

Sementara itu, Ki Sanggarana pun seakan-akan telah berubah. Ketika ia benar-benar tersudut pada satu keadaan tanpa pilihan, maka ia bukan lagi seorang yang ragu-ragu, cemas dan bahkan ada yang menganggapnya ketakutan menghadapi keadaan dalam perebutan kekuasaan di Kabuyutan Talang Amba, meskipun bagi Ki Sanggarana yang direbutnya adalah haknya sendiri.

Dalam perkelahian yang menentukan itu. Ki Sanggarana telah berhasil mendesak lawannya, sehingga seolah-olah tidak lagi mempunyai kesempatan. Ki Sendawa hanya mampu bertahan dan sekali-sekali berloncatan surut. Sekali-dua kali ia masih mencoba, untuk membalas. Tetapi serangan-serangannya kemudian sudah tidak berarti apa-apa lagi. Sisa-sisa tenaganya hanya mampu memperlambat kehancurannya. Tetapi hampir pasti, bahwa saatnya akan tiba ia jatuh berlutut di tengah-tengah arena itu.

Dengan garangnya Ki Sendawa menggerang. Ia sama sekali tidak ikhlas mengalami keadaan itu. Karena itu, ia masih mencoba dan memaksa diri untuk bangkit dan menguasai lawannya. Tetapi sudah tidak ada jalan lagi baginya. Ketika ia mengerahkan sisa tenaganya meloncat sambil mengulurkan tangannya lurus mengarah kening, ternyata Ki Sanggarana dengan mudahnya mengelakkan serangan itu. Bahkan dengan sisi telapak tangannya ia memukul tangan pamannya kesamping.

Demikian tubuh pamannya itu terputar, maka tiba-tiba saja ia melangkah dengansatu kakinya kedepan, sementara sambil merendah, sikunya telah menyusup dibawah lengannya yang masih terjulur mengantam lambung. Ki Sendawa mengeluh pendek. Terhuyung-huyung ia terdorong kebelakang. Terasa dadanya menjadi sesak, dan nafasnya bagaikan tersumbat.

Beberapa orang Kebuyutan Talang Amba melihat kesulitan itu. Ketika seseorang di luar sadarnya berteriak, tiba-tiba saja beberapa orang ikut berteriak pula. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah bersorak gemuruh. Betapa sakit hati Ki Sendawa. Tetapi lambungnya benar-benar terasa sakit, meskipun tidak separah sakit hatinya.

Dengan wajah yang menyala ia berusaha untuk dengan tegak menghadapi kemanakannya. Namun Sanggarana yang seakan-akan telah berubah menjadi sesorang yang bertindak tegas dan tidak ragu-ragu. Seolah-olah ia benar-benar seorang Senapati yang sedang berperang tanding dengan taruhan seluruh pasukannya. Karena itu, ketika Ki Sendawa masih dalam kedudukannya yang belum mapan, Ki Sanggarana telah meloncat menyerang dengan kaki mendatar.

Tumit Ki Sanggarana mengarah ke dada pamannya. Dengan tergesa-gesa Ki Sendawa yang masih belum mapan benar, terkejut melihat serangan itu. Dengan tangannya ia berusaha menangkis serangan kemanakannya. Tetapi tenaga Ki Sanggarana masih jauh lebih segar dari tenaga Ki Sendawa. Karena itu, ketika kakinya mengenai tangan Ki Sendawa yang bersilang di dadanya, maka kekuatan serangannya itu telah mendorongnya.

Ki Sendawa ternyata tidak lagi mampu bertahan pada keseimbangannya. Hentakkan kaki kemanakannya itu benar-benar telah melemparkannya dan jatuh terguling ditanah. Tumit Ki Sanggarana tidak mematahkan tulang iganya, karena dilambari oleh tangannya yang bersilang. Tetapi dorongan kekuatan serangan itulah yang telah melemparkannya sehingga ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri.

Terdengar Ki Sendawa menggeram. Tetapi kemudian yang terdengar justru keluhannya yang tertahan. Betapa tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya menjadi nyeri. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Ternyata Ki Sanggarana telah memberikan kesempatan. Dibiarkannya pamannya itu bertelekan kedua tangannya kemudian bangkit sambil mengumpat kasar. Namun nafasnya menjadi terengah-engah.

Ki Sanggarana membiarkannya untuk tegak berdiri. Bahkan ketika dengan marah dan mengumpat-umpat Ki Sendawa itu menyerangnya dengan sisa tenaganya, Ki Sanggarana tidak berbuat sesuatu. Ia tidak menghindar dan tidak pula menangkis. Tetapi ternyata perhitungan Ki Sanggarana tepat. Justru karena kelelahan yang sangat, maka ayunan tangan Ki Sendawa tidak menyentuh lawannya yang tidak bergerak sama sekali. Bahkan Ki Sendawa itu pun telah terhuyung-huyung pula.

Dengan susah payah Ki Sendawa bertahan. Ia tetap berdiri meskipun tidak tegak benar. Namun setiap orang akan dapat menilainya, bahwa ia sudah tidak akan mampu berkelahi lebih lanjut.

“Bagaimana paman?” bertanya Ki Sanggarana yang meskipun nafasnya menjadi terengah-engah juga, tetapi ia masih berdiri tegak.

“Anak iblis” geram Ki Sendawa, “kita teruskan sayembara ini. Aku akan mengalahkanmu. Bahkan jika kau keras kepala, aku akan membunuhmu. Aku akan menjadi Buyut di tanah ini”

“Apakah paman masih belum kalah” desak Sanggarana.

“Anak gila” bentak Ki Sendawa, “he, apa katamu? Aku sobek mulutmu. Ayo, kita selesaikan perang tanding ini”

Ki Sanggarana memandang Ki Sendawa dengan tegang. Ia melihat dendam yang menyala dimata pamannya itu. Nampaknya pamannya tidak lagi dapat melihat kenyataan karena dorongan ketamakan di dalam dadanya. Dalam pada itu, maka akhirnya Ki Sanggarana pun berkata, “Paman. Aku sudah terlanjur berdiri diarena. Karena itu, maka aku pun akan menyelesaikan tugasku di arena”

“Apa maksudmu anak bengal?” bertanya Ki Sendawa dengan nafas terengah-engah.

“Semula aku memang ragu-ragu untuk melawan paman. Aku merasa bahwa aku harus menghormati paman sebagai ganti orang tua isteriku. Tetapi ternyata setelah aku berdiri di arena, dan apalagi mempertaruhkan seluruh Kabuyutan dengan isinya, maka aku berpendirian lain. Aku harus berhasil mempertahankan hak mertuaku. Hak yang akan diwariskan kepada isteriku, dan sudah barang tentu, akulah yang akan mengemban tugas itu. Mungkin sikapku sekarang berbeda dengan sikapku sebelum aku memasuki arena ini” berkata Ki Sanggarana.

“Persetan. Jangan membual” sahut pamannya. Dengan serta merta Ki Sendawa itu pun telah berusaha untuk menyerang sekali lagi. Tetapi ketika Ki Sanggarana bergeser setapak sambil memiringkan tubuhnya, maka Ki Sendawa telah terseret oleh ayunan serangannya sendiri dan kemudian jatuh tertelungkup. Sekali lagi, dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit.

Namun dalam pada itu. Ki Sanggarana berkata, “Paman sudah kalah. Paman sudah tidak mampu melawan”

Ki Sendawa masih mengumpat.

“Paman” berkata Sanggarana, “jika paman ingin meyakinkan bahwa paman sudah kalah dan tidak mampu lagi melawan, aku akan dengan mudah melakukannya. Tetapi aku berharap bahwa paman akan bersikap jantan. Paman akan mengakui kekalahan paman, sebelum paman jatuh pingsan”

“Anak iblis. Aku akan membunuhmu” teriak Ki Sendawa.

Namun adalah sangat mengejutkan, bahwa justru Ki Sarpa Kuninglah yang kemudian berkata lantang, “Baiklah. Ki Sendawa memang sudah kalah. Ia sudah tidak mampu lagi melawan”

Ki Sendawa memandang Ki Sarpa Kuning dengan sorot mata keheranan. Ia tidak mengerti, kenapa justru Ki Sarpa Kuninglah yang mencegahnya. “Aku belum kalah” jawab Ki Sendawa.

“Sudah” sahut Ki Sarpa Kuning, “sebaiknya Ki Sendawa secara jantan mengakui kekalahan ini seperti yang dikatakan oleh Ki Sanggarana”

“Dan kedudukan Buyut itu akan jatuh ke tangannya?” bertanya Ki Sendawa dengan nada tinggi.

“Belum” jawab Ki Sarpa Kuning, “masih ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh Ki Sanggarana."

Ki Sanggarana termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Kita sudah membicarakannya sebelumnya. Tidak ada syarat yang lain. Siapa yang kalah, harus mengikhlaskan kedudukan yang sedang kita perebutkan itu”

“Aku membuat perjanjian lain” berkata Ki Sarpa Kuning, “yang kalah boleh memilih seseorang untuk maju ke pertarungan berikutnya. Jika misalnya kau kemudian kalah dalam perkelahian itu, maka kau pun berhak memilih seseorang untuk menggantikanmu”

“Perkelahian yang demikian tidak akan ada akhirnya” berkata Ki Sanggarana, “yang satu harus melawan yang lain. Demikian sesterusnya”

“Tentu ada” jawab Ki Sarpa Kuning, “jumlah orang-orang kita terbatas. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih banyak, tetapi belum tentu jika orangmulah yang akan tetap berdiri diarena sebagai orang yang terakhir”

“Tetapi itu tidak adil” jawab Ki Sanggarana, “sebaiknya kita berpegang pada perjanjian kita yang pertama. Kita adalah laki-laki yang telah memegang janji”

“Tetapi kita juga laki-laki jantan yang tidak gentar turun kearena dalam benturan kanuragan” jawab Ki Sarpa Kuning. Lalu, “Bagiku nilai perjanjian sama artinya dengan nilai kekuatan dan kemampuan. Siapa yang kuat, ia yang dapat dianggap menang dalam perjanjian apa pun juga. Jika yang lemah merasa berhak atas satu kemenangan apa pun juga, maka ia akan digilas oleh kekuatan itu”

“Dengan demikian, kita akan kehilangan perhargaan kepada janji kita sendiri” jawab Ki Sanggarana.

“Aku telah merubahnya. Setuju atau tidak setuju” jawab Ki Sarpa Kuning, “atau barangkali kau memilih kita bersama-sama dengan para pengikut kita, akan bertempur di halaman ini? Jika demikian yang kau kehendaki, aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku akan membantai setiap orang yang ada di sekitarku dan di sekitar murid-muridku, karena murid-muridku akan melakukan sebagaimana aku lakukan” jawab Ki Sarpa Kuning.

“Jadi bagaimana maksudmu?” bertanya Ki Sanggarana.

“Perkelahian seorang lawan seorang” jawab Ki Sarpa Kuning, “supaya semuanya berlangsung dengan cepat, maka biarlah aku saja yang akan turun ke arena. Nah, siapakah yang akan mewakilimu, karena jika kau sendiri akan melawan aku, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Karena itu, panggil gurumu atau saudara tua seperguruanmu, atau siapa saja yang kau anggap memiliki kemampuan seperti gurumu”’

Wajah Ki Sanggarana menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Sarpa Kuning berkata, “Cepatlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Apalagi jika masih ada diantara orang-orangmu nanti yang akan menggantikanmu melawan aku meskipun itu berarti pekerjaan yanga sia-sia bahkan terlalu dungu”

Suasana menjadi bertambah tegang. Setiap orang telah menahan nafas. Mereka menunggu ana yang akan dilakukan oleh Ki Sanggarana menghadapi tantangan Ki Sarpa Kuning. Ki Sanggarana sendiri menyadari, bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang yang telah diminta oleh Ki Sendawa untuk membantunya. Bahkan jika perlu dengan kekerasan.

Di belakang Ki Sarpa Kuning itu berdiri beberapa orang yang tentu adalah murid-murid Ki Sarpa Kuning. Namun di antara mereka telah dikenal oleh Ki Sanggarana. Dalam kebimbangan itu, Ki Sanggarana justru masih tetap diam mematung. Namun sudah barang tentu, ia tidak akan membiarkan kedua kelompok yang sudah siap untuk bertempur itu, benar-benar membenturkan kekuatan mereka.

Jika demikian, maka korban pun akan jatuh dari kedua belah pihak. Dan kedua belah pihak itu adalah orang-orang Kabuyutan Talang Amba. Karena menurut perhitungan Ki Sanggarana, orang-orang yang diminta mencampuri persoalan Talang Amba itu sendiri adalah orang-orang berilmu sehingga mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri. Bahkan mungkin orang-orang itulah yang akan lebih banyak menuntut korban dari orang-orang Talang Amba.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Terlebih-lebih bagi para pengikut Ki Sendawa dan Ki Sarpa Kuning sendiri. Dalam ketegangan itu. orang yang berada di arena, yang semula sekedar menjadi saksi, dan yang diketemukan oleh orang-orang yang mengikut Ki Sendawa di rumah Ki Sanggarana, tiba-tiba saja telah melangkah maju. Dengan kepala tengadah ia berkata,

“Jika demikian yang kau kehendaki Ki Sarpa Kuning, maka biarlah Ki Sanggarana akan menerimanya. Tetapi Ki Sanggarana sendiri tidak akan turun ke arena atau bukan saudara tuanya atau gurunya. Tetapi biarlah aku saja yang mewakilinya”

“He, apakah kau sudah gila” bentak Ki Sarpa Kuning.

“Tidak. Aku tidak gila. Tetapi aku sadar, bahwa dalam keadaan yang gawat ini, aku tidak dapat tinggal diam. Seandainya tidak ada orang lain yang turut campur, sehingga persoalan ini dapat diselesaikan oleh Ki Sanggarana dan Ki Sendawa sendiri, aku pun tidak akan turut campur. Tetapi karena kau, yang dianggap orang asing di Kabuyutan ini, telah mencoba mempengaruhi keadaan, maka aku merasa wajib untuk mencampurinya pula. Tetapi yang aku lakukan bukannya langsung mempengaruhi persoalan mereka itu sendiri, tetapi aku hanya akan sekedar mencegah orang lain ikut campur” berkata orang itu.

“Gila. Siapa kau?” bertanya Ki Sarpa Kuning.

“Namaku Waruju” jawab orang itu.

“Waruju” desis Ki Sarpa Kuning. Nama yang asing baginya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Ki Sanak. Sebaiknya kau berpikir ulang sebelum kau bertindak. Mungkin kau belum mengenal nama Ki Sarpa Kuning. Tetapi kau terlalu sombong untuk menyatakan dirimu menerima tantanganku mewakili Ki Sanggarana sebelum kau mengenai siapa bakal lawanmu”

Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Mungkin kau benar Ki Sanak. Mungkin aku memang seorang yang sangat sombong. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku kira kita berdua adalah memang orang-orang yang sombong. Aku belum mengenalmu, dan kau belum mengenalku”

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti sekarang. Jika kau berada di rumah Ki Sanggarana, maka itu bukan satu kebetulan. Kau merasa dirimu orang yang pilih tanding meskipun kau berpura-pura dungu. Tetapi baiklah kau melihat kenyataan di arena ini, siapakah Ki Sarpa Kuning yang sebenarnya”

“Baik Ki Sanak. Kita akan memperkenalkan diri kita dengan cara yang aneh. Tetapi jika ini adalah kesempatan yang kita dapatkan sekarang, maka baiklah kita mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya”

Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Ia memang sudah berada di arena sebagaimana Ki Waruju. Karena itu, maka kemudian ia pun berkata, “Kita sudah berdiri disini. Kita tidak memerlukan saksi khusus seperti yang terjadi pada Ki Sendawa dan Ki Sanggarana. Tetapi kita akan mengamati diri kita sendiri sebagaimana kita bertempur yang sebenarnya. Batas diantara kita bukan sekedar kalah karena kita tidak mampu melawan lagi, tetapi batas yang ada pada kita masing-masing adalah batas kematian. Jika kau terima syarat ini, maka kau memang berhak untuk berada diarena. Jika kau takut menghadapi maut, minggir sajalah”

Wajah Ki Waruju menjadi semakin tegang. Tetapi akhirnya ia pun menggangguk dan menjawab, “Baiklah jika tidak ada ukuran lain bagimu kecuali mati. Aku terima syaratmu, meskipun aku sama sekali tidak berniat membunuh”

Ki Sarpa Kuning pun kemudian memandang Ki Sendawa dan Ki Sanggarana berganti-ganti. Katanya kemudian. “Minggirlah. Kami berdua sepakat untuk berperang tanding dalam arti yang sebenarnya. Tidak seorang pun yang akan mengganggu kami berdua. Murid-muridku juga tidak...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.