PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 15
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 15
Karya Singgih Hadi Mintardja
PARA PENGAWAS itu menjadi tegang. Diluar sadar, mereka memperhatikan anak-anak muda yang telah menghentikan mereka. Menurut ujudnya mereka adalah anak-anak muda Talang Amba. Tetapi seperti yang berada di padukuhan di sekitar padukuhan induk Talang Amba, ternyata terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, yang pasti bukan anak-anak muda Talang Amba, sehingga para pengawas itu merasa telah melakukan satu kesalahan, bahwa mereka tidak melihat, kapan orang-orang itu hadir.
Karena itulah, maka mereka lebih baik menghindarkan diri dari Pangeran Lembu Sabdata yang akan dapat menghukum mereka, karena pada saat mereka melakukan tugas, seakan-akan apa saja yang mereka kehendaki telah dipenuhi. Sehingga dengan demikian maka pengawasan itu telah menelan beaya yang cukup banyak. Namun yang ternyata tidak ada artinya sama sekali.
Dengan demikian, bukan saja karena bahaya yang besar, tetapi juga karena pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah terjebak memasuki satu lingkungan pasukan lawan yang sangat kuat. Untuk beberapa saat para pengawas yang ingin menghindari kemarahan Pangeran Lembu Sabdata itu termangu-mangu. Namun hampir semua diantara mereka berpendapat, bahwa kekuatan orang-orang dari luar Talang Amba tentu berada di tiga padukuhan di sekitar padukuhan induk itu. Karena itulah, maka para pengawas itu menganggap bahwa yang mereka hadapi itu benar-benar hanya anak-anak muda Talang Amba saja.
“Ki Sanak” berkata salah seorang diantara para pengawas “seharusnya Ki Sanak tidak mengganggu kami. Kami sudah menyatakan bahwa kami tidak mau diadu domba dengan anak-anak muda Talang Amba. Karena itu, kami akan pergi saja. Tetapi Ki Sanak justru menghalangi kami.
“Kami terpaksa melakukannya” jawab pemimpin anak-anak muda itu “kami memerlukan keterangan selengkapnya tentang pasukan yang tiba-tiba telah menyerang Talang Amba tanpa sebab ini. Karena itu maka kami berharap bahwa kalian bersedia tinggal. Karena menurut pengamatan kami, kalian tentu termasuk orang-orang yang akan dapat memberikan keterangan kepada kami“
“Jangan memaksa“ tiba-tiba salah seorang pengawas itu menggeram “Aku akan dapat mengambil jalan kekerasan untuk meninggalkan tempat ini”
“Jika demikian sikap Ki Sanak untuk menghindari permusuhan dan adu domba itu tidak ada artinya” berkata pemimpin anak muda itu.
“Ada bedanya. Kami sekedar mempertahankan kebebasan kami. Mempertahankan hak kami sebagai seorang yang tidak berada dibawah kuasa kalian” jawab salah seorang pengawas “Karena itu maka jangan halangi kami. Dengan demikian maka kami benar-benar tidak akan bermusuhan dengan kalian”
Tetapi pemimpin anak-anak muda Talang Amba itu menggeleng. Katanya “Maaf Ki Sanak. Kami tidak akan melepaskan kalian. Kami curiga terhadap siapapun juga. Apalagi Kalian, karena kalian akan dapat menjadi penghubung untuk mendapatkan bantuan dari kawan-kawan kalian yang mungkin kini berada di disatu tempat”
“Gila“ seorang pengawas yang bertubuh tinggi besar dan berjambang panjang menggeram “Jika demikian, maka kami benar-benar akan mempergunakan kekerasan. Jangan menyesal jika dengan demikian ada diantara kalian yang terbunuh”
“Kami adalah pengawal Kabuyutan” jawab pemimpin pengawal itu “Jika ada diantara kami yang harus gugur dalam tugas ini, adalah satu akibat yang sangat wajar. Karena itu kami tidak akan takut karenanya”
Para pengawas yang ingin melepaskan diri dari tangan Pangeran Lembu Sabdata itu menggeram. Namun agaknya anak-anak muda yang menahan mereka itu benara-benar tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Karena itu, maka memang tidak ada jalan lain untuk keluar kecuali dengan kekerasan. Karena itu, maka para pengawas itupun telah mempersiapkan diri untuk bertempur.
Demikianlah, anak-anak muda Talang Amba itupun telah memencar. Mereka menghadapi para pengawas itu dari berbagai arah. Namun dengan demikian, maka para pengawas yang gagal melakukan tugas mereka itupun seakan-akan telah terkepung.
Sejenak kemudian, maka para pengawas itu pun sudah menggerakkan senjata mereka. Agaknya waktu memang terlalu sempit bagi mereka. Karena mereka harus dengan segera keluar dari Talang Amba.
Dengan demikian, maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Para pengawas itu pun segera menyerang anak-anak muda Talang Amba yang telah menahan mereka. Namun dalam pada itu, para pengawas itu pun terkejut. Meskipun diantara lawan-lawan mereka ada yang dengan cepat terdesak sehingga mereka harus bertempur berpasangan, namun ada juga diantara mereka yang justru mampu mendesak.
“Gila” geram para pengawas. Ternyata bahwa yang mereka hadapi itu pun bukan semua anak-anak muda Talang Amba. Sedangkan anak muda Talang Amba jumlahnya jauh lebih banyak dari para pengawas itu, sehingga mereka pun telah menyerang berpasangan dari segala arah.
Dalam waktu yang singkat, maka para pengawas itu segera mengalami kesulitan. Kecuali jumlah lawan yang terlalu banyak, namun diantara lawan itu pun terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang memadai. Karena itu, maka sejenak kemudian kepungan anak-anak muda Talang Amba itu pun menjadi semakin sempit, sehingga para pengawas itu kehilangan arena untuk bergerak dengan leluasa.
Meskipun demikian para pengawas gagal itu tidak segera menyerah. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka. Diantara anak-anak muda yang mengepung mereka, para pengawas itu memang melihat mata kepungan yang lemah, yang agaknya akan dapat mereka pecahkan. Tetapi setiap kali mereka menyerang bagian yang mereka anggap lemah, ternyata mereka telah membentur kekuatan yang tidak dapat mereka tembus.
Demikianlah dengan sepenuh kemampuan para pengawas itu berusaha untuk dapat melepaskan diri dari kepungan anak-anak muda Talang Amba. Atas pimpinan seorang yang berhati batu, maka mereka telah bertempur habis-habisan. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, mereka telah menghantam di satu bagian saja dari kepungan itu.
Namun justru di bagian itu rasa-rasanya mereka telah membentur gelang-gelang baja yang sangat kuat, yang tidak mungkin mereka pecahkan. Bahkan kepungan itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin menekan, sehingga mereka menjadi semakin sulit untuk bergerak. Dari segala arah rasa-rasanya ujung-ujung senjata telah teracu kepada mereka.
Akhirnya betapapun keras hati mereka, namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan. Kepungan itu tidak dapat mereka pecahkan, sementara ujung-ujung senjata menjadi semakin merapat di seputar mereka.
“Jangan keras kepala” berkata salah seorang yang menilik ujudnya tidak ubahnya seperti anak-anak muda Talang Amba, “Kalian tidak mendapat kesempatan lagi”
Pemimpin dari para pengawas itu menggeram. Namun tiba-tiba seorang diantara para pengawas itu mengaduh. Ujung senjata dari mengepung mereka itu pun mulai melukai para pengawas itu.
Ternyata pemimpin pengawas itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain. Ketika dua orang diantara mereka terluka pula, maka para pengawas itu tidak dapat lagi menolak ketika anak-anak muda yang mengepungnya itu memerintahkan mereka untuk menyerah. Dengan demikian, maka mereka pun telah melepaskan senjata-senjata mereka dan kemudian dengan patuh melakukan segala perintah-perintah anak-anak muda itu. Para pengawas itu pun kemudian telah dibawa ke dalam salah satu halaman yang tidak terlalu luas. Mempersilahkan mereka naik pendapa.
“Silahkan duduk Ki Sanak. Kalian dapat membantu mengobati kawan kalian yang terluka. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapat mempersulit kedudukan kalian sendiri” perintah anak-anak muda itu.
Para pengawas itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian duduk melingkar di pendapa. Dengan obat yang ada pada mereka, maka para pengawas itu telah mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Sementara itu, beberapa orang anak muda Talang Amba bersiap-siap serta mengawasi mereka di halaman.
Dalam pada itu, selagi para pengawas yang duduk di pendapa itu mengumpat-umpat dengan gelisah karena nasib mereka yang buruk itu, di padukuhan di sekitar padukuhan induk, pasukan Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur dengan sengitnya. Kedua belah pihak berusaha untuk segera dapat menguasai lawannya.
Ternyata jumlah anak-anak muda Talang Amba yang jumlahnya lebih banyak, apalagi diantara mereka terdapat anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, mempunyai pengaruh yang besar pada pertempuran itu. Jika para pengikut Pangeran Lembu Sabdata ingin menyelesaikan lawan mereka sebelum tengah hari, maka ternyata mereka justru telah terdesak semakin menjauhi padukuhan-padukuhan itu.
Meskipun pasukan cadangan telah dikerahkan, dan bahwa Pangeran Lembu Sabdata sendiri telah mendekati arena pertempuran, namun ternyata bahwa pasukan Pangeran itu tidak berhasil segera mendesak lawannya. Bahkan terasa betapa beratnya tekanan lawan yang justru telah keluar dari padukuhan-padukuhan menyongsong kehadiran para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin memuncak. Tiba-tiba saja ia memanggil beberapa pengawalnya dan berkata, “Kita harus mempengaruhi hati dan jantung orang-orang Talang Amba dan barangkali juga para prajurit Singasari. Kita akan membakar rumah-rumah di padukuhan-padukuhan kecil di sekeliling padukuhan ini”
“Lalu, siapakah yang harus melakukannya?” bertanya pengawalnya.
“Panggil dua orang. Mereka harus pergi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Membakar rumah dan isinya bukannya satu pekerjaan yang sulit. Dalam sekejap hal itu dapat dilakukan” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawalnya pun tidak membantah. Bahkan dengan tergesa-gesa ia telah memanggil dua orang pengawal dan ditarik dari arena.
“Pergi ke padukuhan-padukuhan kecil itu. Bakar rumah-rumah yang ada di padukuhan itu” perintah Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawal itu pun segera mengerti maksudnya. Tetapi ia masih bertanya, “Semua rumah, atau beberapa saja untuk sekedar memberikan kesan bahwa padukuhan itu sudah terbakar”
“Bagus” desis Pangeran Lembu Sabdata, “otakmu cukup cerdas. Lakukan. Tidak semua rumah”
Pengawal. pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut. Pekerjaan itu memang lebih mudah daripada harus berada di medan, bertempur dengan anak-anak muda Talang Amba. Namun yang memiliki kemampuan prajurit Singasari
Demikianlah, maka kedua pengawal itu pun segera pergi ke padukuhan yang paling dekat dengan padukuhan yang menjadi arena pertempuran itu. Dengan penuh dendam dan kebencian keduanya siap untuk melakukan perintah Pangeran Lembu Sabdata. Alangkah mudahnya tugas mereka. Membakar rumah-rumah yang terbuat dari dinding bambu atau kayu.
“Kita akan memilih satu yang paling mudah untuk dibakar sebelum kita membakar yang lain. Rumah yang beratap ilalang meskipun kecil, tetapi akan cepat memanggil perhatian. Kemudian rumah yang lebih, besar dan bahkan rumah yang terbesar di padukuhan itu” geram salah seorang diantara kedua pengawal yang mendendam itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata dengan gelisah menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sulit bagi para pengikutnya. Di semua medan, pasukan Pangeran Lembu Sabdata telah terdesak. Perlahan-lahan mereka terpaksa bergeser surut menjauhi padukuhan-padukuhan yang seharusnya mereka hancurkan sebelum tengah hari. Namun yang terjadi, mereka sama sekali tidak dapat memasuki padukuhan-padukuhan itu. Apalagi memasuki padukuhan induk.
Sementara itu, anak-anak muda Talang Amba telah bertempur dengan berani untuk mempertahankan kampung halaman mereka dari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi jika para pengikut Pangeran Lembu Sabdata berhasil memasuki Kabuyutan mereka. Apalagi setelah mereka menyadari, bahwa para prajurit Singasari yang ada di Kabuyutan itu mampu menahan serangan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat menahan serangan lawan mereka apalagi mereka harus menghadapi seorang lawan seorang, namun anak-anak muda Talang Amba itu sudah mendapat petunjuk sebelumnya bahwa sebaiknya mereka bertempur berpasangan, atau bahkan dalam kelompok-kelompok kecil sekalipun, karena jumlah mereka mencukupi.
Dalam pada itu, dengan jantung yang berdebaran. Pangeran Lembu Sabdata menunggu kedua orang yang ditugaskannya untuk memancing perhatian orang-orang Talang Amba, sehingga dalam keadaan yang gelisah, mereka akan dapat didesak mundur. Namun ternyata sudah beberapa lama ditunggu, tidak sebuah rumah pun yang terbakar. Tidak ada asap mengepul, apalagi api yang menjilat sampai ke udara.
“Gila, apakah orang-orang itu hanya tidur saja atau mereka tidak mampu membuat api?” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Mereka mempunyai thithikan. Dengan embun gelugut aren mereka akan dapat membuat api. Kemudian dengan belarak atau ilalang kering, mereka akan dengan cepat dapat membuat api” jawab salah seorang pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu.
"Tetapi kenapa mereka tidak melakukan sesuatu?” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
Tidak seorang pun diantara para pengawal khusus dari Pangeran Lembu Sabdata yang dapat menjawab. Mereka hanya saling berpandangan dengan pertanyaan yang sama di hati mereka.
Sebenarnyalah pada saat itu kedua orang pengawal yang memasuki padukuhan kecil dihadapan padukuhan yang menjadi arena pertempuran itu, telah terjebak. Ketika mereka mendekati padukuhan yang mereka kira sebuah padukuhan yang kosong sebagaimana saat mereka memasukinya menuju ke padukuhan yang telah menjadi arena pertempuran itu, tidak seorang pun yang mereka lihat. Tetapi demikian mereka berada di dalam regol, maka beberapa orang anak muda telah mengepung mereka.
“Siapa kau dan apa maksudmu? bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Namun adalah satu kenyataan bahwa mereka telah dikepung. Tetapi kedua orang pengawal itu menyangka, bahwa mereka hanya menghadapi anak-anak muda Talang Amba saja. Bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
“Orang-orang yang berilmu itu tentu berkumpul di padukuhan di sebelah padukuhan induk itu atau di padukuhan induk sendiri” berkata kedua orang itu di dalam hatinya. Karena itu, maka keduanya sama sekali tidak gentar ketika anak-anak muda itu mengacukan senjata mereka.
“Jangan besar kepala” geram salah seorang dari kedua pengawal itu, “pergi, atau kalian akan mati seperti babatan batang ilalang disini”
“Memang mengerikan” jawab salah seorang diantara anak-anak muda yang mengepungnya, “tetapi kami tidak akan membiarkan diri kami menjadi babatan ilalang disini. Kami akan menangkap kalian berdua sebelum kalian dapat membunuh seorang pun diantara kami” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Jangan terlalu sombong anak-anak muda” bentak pengawal yang lain, “Kalian belum mengenal permainan senjata yang sebenarnya”
“Kami sudah berlatih dengan sungguh-sungguh” jawab salah seorang anak muda itu, “siang dan malam. Pagi dan sore, kapan saja ada waktu. Kami menempa diri dengan tanpa mengenal lelah. Nah. karena itu, maka permainan senjata apapun tidak akan mengherankan kami”
“Anak iblis” bentak pengawal itu pula, “bayi yang belum pernah melihat api, tidak akan takut menggenggam bara meskipun kemudian tangannya akan terbakar. Kalian pun tidak akan takut mendengar ilmu pedang kami, karena kalian tidak mengerti bahayanya. Nah, sekarang kalian akan tahu, bahkan mengalami. Kalian tidak akan menganggap remeh ilmu pedang kami, setelah tangan kalian putus diatas pergelangan."
Anak-anak muda yang mengepung kedua orang pegawai Pangeran Lembu Sabdata itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu mangu. Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka pun melangkah maju sambil berkata,
“Jika hal itu terjadi, maka kami memang akan menjadi ketakutan. Tetapi aku berharap bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. Tidak seorang pun diantara kami yang akan membiarkan tangan kami terpenggal di atas pergelangan”
“Gila” salah seorang dari kedua orang pengawal itu menggeram, “agaknya kalian memang ingin mengalami bencana yang gawat bukan saja bagi dirimu sendiri, tetapi bagi Kabuyutanmu. Tetapi baiklah. Marilah kita buktikan. Siapa diantara kalian yang ingin pertama kali tangannya terputus?”
“Jangan memakai istilah itu” berkata salah seorang diantara anak-anak muda itu, “Jika kalian menantang kami, baiklah. Tetapi jangan bertanya, siapa diantara kami yang pertama-tama tangannya ingin kau putuskan”
“Persetan” pengawal itu hampir berteriak. Sementara itu pedangnya telah teracu ke arah anak-anak muda yang mengepungnya. Kedua orang itu berdiri beradu punggung dengan wajah yang tegang. Sementara ujung pedang mereka telah mulai bergetar.
Tetapi yang terjadi adalah sangat menyakitkan hati mereka. Bukan anak-anak muda yang mengepungnya itu bergeser maju dan bersama-sama menyerang mereka. Tetapi yang mendekati keduanya yang berdiri beradu punggung itu hanyalah dua orang saja diantara anak-anak muda itu. Seorang diantara kedua anak muda itu membawa sebatang tombak pendek, sedangkan yang lain membawa sepasang trisula di kedua tangannya.
“Kami telah siap Ki Sanak” berkata anak muda yang membawa trisula itu.
Kedua pengawal itu menggeram. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi kalian berdua yang ingin lebih dahulu mati?”
“Kami akan menangkap kalian. Bukan hanya kami berdua. Tetapi kami semuanya pada saatnya akan bertindak” jawab anak muda yang membawa tombak pendek.
Kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu tidak menjawab. Keduanya kemudian telah memutar pedang mereka yang panjang dan besar menurut ukuran pedang kebanyakan. Namun pedang yang panjang dan besar itu di tangan mereka nampaknya tidak lebih berat dari sepotong lidi.
Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata melawan dua orang anak muda di padukuhan yang akan dijadikan karang abang itu telah mulai. Dengan marah kedua orang pengawal itu menyerang lawannya dengan pedang terjulur. Namun kedua orang anak muda itu pun telah bersiap sepenuhnya. Mereka bergeser surut sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Justru karena kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang beradu punggung itu masing-masing memburu lawan mereka, maka mereka pun kemudian menjadi renggang. Tetapi kedua orang anak muda itu agaknya benar-benar ingin bertempur melawan dua orang pengawal itu tanpa orang lain. Karena itu, maka keduanya pun kemudian bersiaga sepenuhnya untuk melawan seorang lawan seorang.
Kemarahan yang memuncak telah menyeret kedua orang pengawal itu untuk melayani kedua orang muda itu. sehingga kemudian mereka memang bertempur seorang melawan seorang. Sejenak kemudian, maka di dalam kepungan anak-anak muda Talang Amba, telah terdapat dua lingkaran pertempuran antara dua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata melawan dua orang anak muda yang semula berada diantara anak-anak . muda Talang Amba itu.
Namun sebenarnyalah bahwa keduanya bukan anak muda Talang Amba itu sendiri. Dengan demikian, maka pertempuran antara para pengawal dan anak-anak muda itu pun menjadi semakin seru. Ternyata bahwa dugaan kedua orang pengawal tentang lawan-lawan mereka itu keliru.
“Apakah kedua orang ini juga bukan anak-anak muda Talang Amba?” pertanyaan ini mulai timbul di dalam hati kedua orang itu.
Namun agaknya seorang diantara para pengawal itu tidak sabar lagi. Dengan nada keras ia bertanya, “He, anak-anak muda. Katakan terus terang, apakah kalian semuanya anak-anak Talang Amba?”
“Apa pedulimu” jawab anak muda yang bertempur melawannya.
“Aku hanya ingin tahu sebelum kalian terbunuh” geram pengawal itu
“Jangan sombong” jawab lawannya, “menyerah sajalah. Seandainya kau menang atasku, apakah kau akan menang melawan sekian banyak orang?. Jika, kau membunuhku, maka kawan-kawanku akan menjadi sangat marah. Kau akan dapat menduga, akibat dari kemarahan kawan-kawanku itu. Mungkin kalian berdua akan mengalami satu keadaan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya”
“Persetan” teriak salah seorang dari kedua pengawal itu, “Aku akan membunuh kalian semuanya”
Kedua anak muda yang melawan kedua orang pengawal itu tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka telah meningkatkan serangan-serangan mereka. Tombak pendek di tangan salah seorang anak muda itu telah berputar pula. Namun tiba-tiba ujung tombak itu telah mematuk dada.
Tetapi lawannya tidak membiarkan dadanya terkoyak. Dengan tangkasnya ia menangkis dengan pedangnya yang besar dan panjang. Namun anak muda yang menggenggam tombak itu cukup tangkas. Tombaknya tiba-tiba saja bagaikan menggeliat. Dengan cepat serangannya telah berubah mendatar menyambar lambung.
Pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun menggeram. Namun ia masih sempat meloncat selangkah surut, sehingga ujung tombak itu tidak mengenainya. Meskipun demikian, pengawal itu pun menyadari, bahwa lawannya benar-benar memiliki kemampuan bermain dengan tombaknya, sehingga dengan demikian iapun menyadari bahwa lawannya bukan seseorang yang tidak mengenal takut karena tidak mengerti persoalan yang dihadapi. Lawannya itu mengerti sepenuhnya bahwa apa yang harus dilakukan dan mengerti pula nilai kemampuan pengawal itu dalam ilmu pedang.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Anak muda yang membawa sepasang trisula itu pun telah membingungkan lawannya. Kedua trisula di kedua tangannya berputar dengan cepat. Setiap kali ujung-ujungnya menyambar beruntun susul menyusul. Namun kemudian menyambar menyilang dengan ayunan yang deras.
Kedua orang pengawal itu pun kemudian meyakini, bahwa mereka memang berhadapan dengan dua orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari kedua pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun menggeram, “Apakah kalian prajurit Singasari atau Gagelang?”
Ternyata anak-anak muda itu tidak lagi ingkar. Seorang diantara mereka, anak muda yang membawa trisula itu pun menjawab, “Ya. Kami adalah prajurit Singasari. Karena itu menyerahlah. Petugas kalian telah gagal mengamati Kabuyutan Talang Amba. karena mereka tidak melihat kehadiran kami. Justru para petugas sandi dari Singasari lah yang berhasil mengawasi mereka”
“Gila” geram pengawal itu, “Meskipun kau prajurit Singasari namun kau tidak akan mampu melawan kami”
“Jangan kehilangan akal. Kemampuanmu tidak lebih baik dari kemampuanku, sementara itu di sekitar arena ini, anak-anak muda telah mengepungmu. Sebagian diantara mereka memang anak-anak muda Talang Amba. Tetapi yang lain adalah kawan-kawanku, para prajurit dari Singasari” jawab anak muda yang bersenjata trisula itu.
Kedua orang pengawal itu tidak menjawab. Tetapi senjata-senjata mereka masih terus berputar, menyambar, mematuk dan kadang-kadang justru langsung menebas leher. Namun lawan-lawannya ternyata memiliki kecepatan gerak yang dapat mendahului kecepatan sambaran pedang mereka, sehingga dengan demikian, maka senjata mereka tidak mampu menyentuh tubuh lawannya itu.
“Menyerahlah” tiba-tiba anak muda yang membawa trisula itu berdesis.
Para pengawal itu mengumpat. Tetapi anak muda yang membawa tombak itu pun menyambung, “apakah kau tidak dapat melihat kenyataan yang bakal kau hadapi? Jangan menunggu kami kehilangan kesabaran, sehingga kami akan melakukan tindakan yang barangkali tidak kalian duga sebelumnya. Karena itu, pikirkanlah”
Kedua orang pengawal itu sama sekali tidak menghiraukan. Mereka bertempur terus dengan garangnya, meskipun mereka harus. menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan lawan mereka masing-masing. Apalagi jika anak-anak muda yang lain ikut turun pula ke medan.
Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin gelisah. Setiap kali ia mengumpat Di padukuhan kecil yang ditunjuknya, belum nampak tanda-tanda asap yang mengepul. “Apakah mereka telah menjadi gila” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Para pengawalnya pun menjadi tegang. Namun mereka memang tidak melihat asap selembar pun. Apalagi sepercik api di udara.
Sementara itu, pertempuran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk pun menjadi semakin sengit. Namun agaknya anak-anak muda Talang Amba dan kekuatan yang membantu mereka berhasil mendesak lawan mereka semakin lama semakin jauh dari padukuhan. Dengan demikian, maka rencana Pangeran Lembu Sabdata untuk menyelesaikan padukuhan-padukuhan itu sebelum tengah hari, menjadi semakin jauh dari satu kenyataan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu, maka kemarahan yang hampir tidak terkendali rasa-rasanya membuat kepala Pangeran Lembu Sabdata hampir meledak. Namun ia tidak dapat berbuat banyak. Pasukan yang dibawanya dan dianggap akan dapat menyelesaikan persoalannya dengan Kabuyutan Talang Amba itu ternyata telah kandas.
“Tidak ada pilihan lain” gumam Pangeran Lembu Sabdata di dalam dirinya, “selagi pertempuran itu masih berlangsung. Aku tidak akan dapat berbuat lain kecuali menyingkir dari medan”
Karena itu. maka dipanggilnya kepercayaannya, seorang Senopati yang mengawalnya dan seorang yang dianggapnya menjadi pelindungnya.
“Apakah yang dapat aku lakukan sekarang?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata kepada pengawal-pengawal terpilihnya itu.
“Terserah kepada Pangeran” jawab orang yang dianggapnya dapat menjadi pelindungnya, karena orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Lalu orang itu pun justru bertanya, “Apakah Pangeran akan memerintahkan aku memasuki arena?”
“Apakah ada gunanya?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Mungkin ada Pangeran” jawab orang itu, “tetapi sudah tentu sangat terbatas, karena aku hanya seorang diri. Yang dapat aku lakukan adalah membuat korban sebanyak-banyaknya dipihak lawan, sebelum aku sendiri tentu akan mati pula di peperangan, kecuali jika aku melarikan diri."
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau tidak usah memasuki arena, jika akhirnya kau pun akan mati. Sekarang, kita mengambil jalan terbaik yang dapat kita tempuh”
Pengawal-pengawalnya itu pun mengerti, bahwa Pangeran Lembu Sabdata ingin menghindar dari arena pertempuran itu. Seperti pada pertempuran yang pernah terjadi antara orang-orang Gagelang dengan orang-orang Talang Amba yang juga disisipi oleh prajurit Singasari, maka Pangeran Lembu Sabdata akan meninggalkan arena.
Karena itu, maka pengawal-pengawalnya yang terpilih itu pun kemudian telah mempersiapkan diri. Pengawalnya yang dianggapnya memiliki ilmu yang tinggi dan akan dapat melindunginya itu pun bertanya, “Apakah Pangeran ingin keluar dari negara ini?”
“Ya, Aku tidak mau terkurung dalam lingkungan yang tidak aku duga sebelumnya karena kedunguan orang-orang yang aku percaya itu” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawalnya itu mengangguk-angguk. Tanpa menghiraukan nasib para pengikutnya yang lain, maka Pangeran Lembu Sabdata telah bersiap-siap untuk menyingkir dari medan.
Namun ternyata pengalaman orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari telah memberikan pelajaran tentang sikap Pangeran yang licik itu. Karena itulah, maka di padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan yang menjadi medan pertempuran itu, ditempatkan beberapa orang prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba yang dapat mengawasi seluruh jalan keluar dari Talang Amba.
Bahkan beberapa orang telah ditugaskan oleh Senopati prajurit Singasari yang memimpin pasukan yang bertugas di Talang Amba itu beberapa orang khusus untuk menemukan, dimana pimpinan tertinggi pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu berada. Karena itulah, maka akhirnya Senopati dari Singasari itu mengetahui, bahwa Pangeran Lembu Sabdata berada di belakang medan diluar salah satu padukuhan yang menjadi ajang pertempuran itu.
“Biarlah kami menyelesaikannya” berkata Senopati itu kepada Ki Sanggarana.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mendekat sambil berkata, “Kami pernah kehilangan Pangeran itu ketika pertempuran serupa ini terjadi. Biarlah kami menjumpainya sekali lagi. Meskipun demikian, kami mohon untuk dapat diawasi agar Pangeran itu tidak akan dapat melarikan diri untuk kedua kalinya”
“Kami tidak hanya sekedar mengawasi. Tetapi kami akan menyertakan beberapa orang bersama kalian” berkata Senopati itu, “Pangeran Lembu Sabdata dibayangi oleh beberapa orang pengawal. Tentu pengawal-pengawal kepercayaannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan. Sehingga dengan demikian, maka bersama beberapa orang mereka pun telah berusaha untuk dapat menutup jalan keluar bagi Pangeran Lembu Sabdata apabila hal itu akan dilakukannya lagi.
Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan tempatnya, maka seorang prajurit Singasari yang mengamati keadaan sekelompok pemimpin dan pengawal-pengawalnya itu dengan tergesa-gesa datang memberikan laporan kepada Senopati dari Singasari itu, “Orang yang kita duga sebagai pimpinan tertinggi pasukan lawan itu, bersiap-siap untuk meninggalkan medan”
“Jadi mereka akan melarikan diri? bertanya Senopati itu.
“Satu kemungkinan besar” jawab pengamat itu.
“Apakah mereka sudah mulai bergerak?” bertanya Senopati itu pula.
“Ya. Dua orang kawanku mengamati mereka” jawab pengamat itu.
“Baiklah. Kita akan mengikutinya. Tetapi mereka tidak akan dapat terlepas dari pengawasan anak-anak muda yang berada di padukuhan-padukuhan kecil” jawab Senopati itu.
“Tetapi apakah kekuatan mereka cukup untuk menahan Pangeran itu” desis prajurit Singasari yang memberikan laporan itu.
Mereka ternyata tidak membuang waktu lagi. Senopati itu pun kemudian memberikan aba-aba untuk bergerak. Atas petunjuk prajurit yang memberikan laporan itu, maka mereka pun langsung menuju ke sasaran.
Tetapi seperti yang sudah dilaporkan, Pangeran Lembu Sabdata memang sudah meninggalkan tempatnya. Satu diantara dua orang prajurit Singasari yang mengawasinya masih ditinggal di tempatnya oleh kawannya yang lain, yang mengikuti arah Pangeran Lembu Sabdata yang menyingkir itu.
“Kita menuju ke padukuhan kecil itu” berkata pengawas yang ditinggalkan, “mereka memasuki padukuhan itu”
“Apakah anak-anak muda dan prajurit Singasari di padukuhan itu cukup kuat untuk menahannya agar Pangeran itu tidak melarikan diri?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak tahu” jawab pengawas itu, “tetapi beberapa pengawal Pangeran Lembu Sabdata nampaknya memiliki kemampuan untuk menerobos kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan kecil”
“Jadi cara Pangeran itu melepaskan diri agak berbeda” berkata Mahisa Pukat, “pada pertempuran terdahulu, Pangeran itu seorang diri menyelinap di antara pertempuran itu sendiri. Sekarang ia membawa beberapa orang pengawal untuk melindunginya”
“Medannya pun berbeda” sahut Mahisa Murti, “pada pertempuran itu, kita belum mempunyai pengalaman, sehingga tidak ada orang yang bertugas untuk mengamatinya jika ia melarikan diri. Apalagi waktu itu Pangeran itu tidak menyatakan dirinya sebagaimana seorang Pangeran, sehingga sulit untuk mengamatinya”
Demikianlah, maka kelompok kecil itu pun telah segera menyusul ke padukuhan kecil yang ditunjukkan oleh prajurit Singasari yang mengawasi Pangeran Lembu Sabdata. Mereka menjadi agak tergesa-gesa ketika mereka menerima laporan bahwa Pangeran Lembu Sabdata ternyata telah dikawal oleh beberapa orang yang mungkin akan mampu menerobos kekuatan anak-anak muda dan beberapa orang prajurit yang ada di padukuhan kecil itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata yang tidak menyangka bahwa di padukuhan-padukuhan kecil itu masih ada beberapa orang anak-anak muda yang berjaga-jaga, maka tanpa ragu-ragu maka bersama pengawalnya, iapun telah memasuki padukuhan itu. Namun kelompok itu menjadi terkejut karenanya, ketika mereka telah bertemu dengan beberapa orang anak muda yang agaknya memang telah menunggu.
“Anak Setan” geram Pangeran Lembu Sabdata, “siapakah kalian he?”
“Kami adalah anak-anak Talang Amba” jawab salah seorang anak muda. Lalu, “siapakah kalian?
“Minggir” geram Pangeran Lembu Sabdata aku hanya akan lewat. Aku tidak mau terlibat ke dalam pertempuran yang tidak aku ketahui ujung pangkalnya itu”
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka sudah mendapat pemberitahuan dari padukuhan sebelah, bahwa ada beberapa orang pengikut Pangeran dari Kediri yang ingin melarikan diri, sehingga terpaksa menahan mereka dengan kekerasan. Sementara itu dari padukuhan yang lain anak-anak muda itu mendengar bahwa ada dua orang yang akan membakar rumah dan bahkan seisi padukuhan. Karena itu, maka mereka telah bersiaga sepenuhnya. Sekelompok orang yang akan lewat itu pun tentu orang-orang yang akan melarikan dari medan.
Dengan demikian, maka pemimpin anak-anak muda yang ada di padukuhan itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Dalam keadaan yang kalut ini, kami tidak akan dapat membiarkan seorang pun meninggalkan Kabuyutan Talang Amba”
“Kalian jangan mengada-ada. Apakah hak kalian menahan kami?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Kami adalah pengawal Kabuyutan ini. Kami mempunyai hak untuk berbuat sesuatu sepanjang hal itu memberikan kemungkinan keselamatan bagi Kabuyutan Talang Amba” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu.
“Baiklah” Pangeran Lembu Sabdata menjadi tidak sabar. Anak-anak muda itu akan dapat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya di padukuhan itu atau bahkan di padukuhan lain. Dengan demikian, maka mungkin Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya akan menjumpai hambatan yang akan dapat mengganggu usaha mereka untuk menyingkir dari pertempuran itu. Karena itu, maka katanya selanjutnya, “jika kalian tidak mau minggir, maka kami akan menunjukkan kepada kalian bahwa kalian tidak akan mampu menahanku disini”
“Jangan memaksa Ki Sanak. Kami tidak akan membiarkan seorang pun keluar dari Kabuyutan ini. Jika kemudian ternyata bahwa kalian tidak bersalah atau tidak tersangkut dalam pertempuran itu, maka kalian akan kami biarkan meninggalkan Kabuyutan ini setelah kami mendapat perintah yang demikian dari Ki Buyut di Talang Amba” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, pengawal Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi tidak sabar. Seorang Senopati pengawal dari Kediri yang ikut menjadi pengawal Pangeran itu pun kemudian membentak, “Minggir. Atau kami harus membunuh?”
Anak-anak muda itu pun menyadari, bahwa tidak ada cara lain kecuali dengan kekerasan. Karena itu, maka tanpa perintah dari siapapun, mereka pun telah bergeser memencar. Seakan-akan mereka pun telah mengepung sekelompok orang yang ingin meninggalkan medan itu.
Tetapi Senopati yang garang itu tidak memberikan kesempatan lagi. Tiba-tiba saja iapun telah mencabut pedangnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kita akan lewat. Jika anak-anak itu tidak mau minggir, maka bukan salah kita jika kita nanti membunuh mereka”
Tidak ada yang menyahut atau bertanya Orang-orang di dalam kelompok itu pun telah mencabut senjata mereka masing-masing. Kecuali seorang tua yang dianggap oleh Pangeran Lembu Sabdata akan dapat menjadi pelindungnya dalam keadaan yang paling sulit. Baginya senjata tidak akan memberikan arti apa-apa.
Menghadapi orang-orang yang telah bersenjata itu, maka anak-anak muda yang mengepung mereka itu pun telah mencabut senjata mereka pula. Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang berasal benar-benar dari Talang Amba memang menjadi gelisah melihat sikap yang garang dari orang-orang yang akan lewat itu. Namun anak-anak muda yang berasal dari para prajurit Singasari yang membaurkan diri, sama sekali tidak gentar melihat lawan-lawan mereka yang nampaknya memang meyakinkan.
Sejenak kemudian, Senopati dari Kediri yang berada di paling depan itu pun telah melangkah maju. Pedangnya teracu ke depan. Seolah-olah tanpa menghiraukan anak-anak muda yang melingkarinya ia melangkah terus.
“Sekali lagi, aku peringatkan” berkata pemimpin anak muda itu, “berhenti atau kami akan memaksa kalian dengan kekerasan”
Senopati itu sama sekali tidak menjawab. Ia melangkah terus dengan pedang teracu, sementara para pengawal yang lain pun telah mengacukan senjata mereka pula. Agaknya mereka benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tidak ada pilihan lain dari anak-anak muda itu, yang sebenarnya adalah seorang prajurit Singasari, telah siap sepenuhnya.
Ketegangan pun telah menjadi semakin memuncak. Senopati yang berjalan di paling depan masih tidak menghiraukan anak-anak muda di sekitarnya, bahwa yang kemudian berdiri di hadapannya. Namun anak-anak muda yang terdiri dari para prajurit dari Singasari itu akhirnya tidak mau menyibak. Ketika Senopati itu mendekati mereka, maka mereka pun telah menggerakkan ujung senjata mereka pula. Yang memegang tombak telah merundukkan tombaknya, sementara yang menggenggam pedang telah menjulurkan pedangnya pula.
Senopati yang berdiri di paling depan itu pun mengumpat. Anak-anak muda itu memang harus dikejutkan agar mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka hadapi. Karena itu, tiba-tiba saja Senopati itu telah memutar pedangnya, menyambar ujung sepucuk tombak yang sudah merunduk. Senopati itu ingin melontarkan tombak itu, sehingga terlepas dari. genggaman anak muda yang berdiri dihadapannya.
Namun Senopati itu terkejut bukan buatan. Ketika ia menyambar tombak itu dengan pedangnya, maka tombak itu telah berputar pula secepat gerakan pedangnya, sehingga dengan demikian maka ujung tombak itu tidak dapat disentuhnya dengan pedangnya.
“Gila” geram Senopati itu. Namun iapun segera sadar, bahwa anak-anak muda yang berada di padukuhan itu pun tentu berbaur pula dengan prajurit Singasari atau pengawal dari Gagelang, yang memiliki kemampuan seorang prajurit.
Karena itulah, maka iapun justru berhenti. Dengan wajah yang tegang, serta tatapan mata yang membara ia bergumam, “Anak-anak iblis itu ada disini pula”
“Apa?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Ada orang-orang Singasari atau Gagelang yang ada disini sebagaimana di padukuhan-padukuhan yang menjadi ajang pertempuran itu” berkata Senopati itu.
Sementara itu, orang tua yang menjadi pelindung dan pengawal terpercaya dari Pangeran Lembu Sabdata itu pun berkata, “Jika demikian, kita justru harus cepat sedikit agar kita segera keluar dari padukuhan kecil ini, sebelum mereka berbuat terlalu banyak”
“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Menghancurkan mereka” jawab orang tua itu, “jumlah mereka tidak terlalu banyak dibandingkan dengan mereka yang ada di medan”
Lembu Sabdata tidak menjawab. Ia yakin akan perhitungan pengawalnya yang paling dipercayanya itu, dan yang dianggapnya memiliki kemampuan yang tidak ada batasnya. Karena itu, yang dilakukannya kemudian adalah meneriakkan aba-aba untuk menghancurkan anak-anak muda yang telah menghalangi perjalanan mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu tidak mengekang diri sama sekali. Mereka dengan garangnya telah menyerang anak-anak muda yang berada di sekeliling mereka.
Serangan itu memang mengejutkan. Anak-anak muda yang sebenarnya adalah prajurit Singasari itu pun segera menempatkan diri di paling depan. Sementara anak-anak muda Talang Amba yang serba sedikit juga sudah menerima latihan-latihan olah kanuragan itu. segera menyusun diri dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka menyadari, bahwa kemampuan mereka sama sekali belum seimbang dengan kemampuan para pengawal yang melindungi Pangeran Lembu Sabdata itu.
Dalam pada itu, pertempuran pun segera membakar padukuhan kecil itu, Pangawal Pangeran Lembu Sabdata yang terlalu sedikit itu ternyata memiliki kemampuan yang sulit dibendung. Senopati yang berdiri di paling depan telah memecahkan kepungan anak-anak muda yang menahan mereka, sementara seorang tua yang menjadi pengawal terpercaya Lembu Sabdata itu pun memiliki kemampuan yang aneh.
Tiga orang anak muda tiba-tiba saja telah terpelanting dari arena. Tubuh mereka yang membentur dinding halaman membuat mereka pingsan. Tulang-tulang mereka serasa retak dan tubuh mereka pun rasa-rasanya menjadi hancur.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata sendiri telah bertempur pula dengan tangkasnya. Kemampuannya memang mengejutkan, sehingga lawannya pun harus menjadi sangat berhati-hati menghadapinya.
Demikianlah, perlahan-lahan tetapi pasti. Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang pengawal khususnya itu maju terus. Anak-anak muda yang mengepungnya, menjadi gelisah. Bahkan anak-anak muda yang berasal dari prajurit Singasari pun menjadi cemas juga menghadapi lawan mereka yang luar biasa. Senopati yang tangguh dan seorang tua yang aneh telah membuat kepungan anak-anak muda itu retak.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu masih berusaha menghambat langkah Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya. Tetapi setiap kali satu dua orang telah terlempar dan jatuh pingsan. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi parah dan kehilangan harapan untuk dapat keluar dari padukuhan itu dengan selamat.
Kecemasan telah mencengkam anak-anak muda itu. Bukan saja karena kawan-kawan mereka telah menjadi korban, tetapi juga karena mereka tidak berhasil menahan beberapa orang yang ingin melarikan diri dari medan. Justru menurut pengamatan mereka adalah orang-orang terpenting diantara orang-orang yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu.
Namun betapapun mereka berjuang, ternyata kemampuan para pengawal-pengawal Pangeran yang akan melarikan diri itu melampauinya. Tetapi anak-anak muda Talang Amba dan prajurit-prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu sama sekali tidak menyerah. Meskipun beberapa orang telah terlempar dari arena dan bahkan korban jiwa telah jatuh, namun anak-anak muda itu dengan sepenuh kemampuan telah menghambat gerak Pangeran Lembu Sabdata dan para pengiringnya.
Tetapi kekuatan di padukuhan-padukuhan kecil itu memang tidak cukup besar. Di padukuhan-padukuhan kecil itu sekelompok anak-anak muda Talang Amba dan beberapa prajurit Singasari sebenarnya hanya bertugas untuk mengamati keadaan, menahan satu dua orang yang akan melarikan diri dan apabila diperlukan bersama-sama dengan mereka yang ada di padukuhan-padukuhan lain memasuki arena dari belakang pasukan lawan. Terutama apabila pasukan Talang Amba benar-benar terdesak.
Namun pasukan di padukuhan kecil itu ternyata harus menghadapi meskipun hanya sekelompok kecil, tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Demikianlah, maka akhirnya Pangeran Lembu Sabdata berhasil mendesak lawannya mendekati pintu gerbang keluar dari padukuhan kecil itu. Beberapa saat lagi mereka akan meninggalkan padukuhan kecil itu untuk selanjutnya menjauhi Kabuyutan Talang Amba.
Sementara itu, sekelompok prajurit Singasari yang dipimpin oleh seorang Senopati bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati padukuhan kecil itu. Mereka menyadari, bahwa yang ada di padukuhan-padukuhan kecil itu bukannya satu pasukan yang kuat untuk mengatasi keadaan yang gawat. Karena itu, maka justru semakin dekat dengan pintu gerbang padukuhan itu, mereka menjadi semakin cemas. Bahkan sekelompok kecil pasukan itu pun telah berlari-lari kecil memasuki gerbang padukuhan. Demikian mereka melangkah masuk, maka mereka pun menjadi semakin tegang. Mereka melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring.
“Pingsan” desis seseorang yang kemudian berjongkok di samping salah seorang dari tubuh yang terbaring itu. Namun seorang yang lain yang menempelkan telinganya di dada seorang anak muda yang menelentang di pinggir jalan itu telah menggelengkan kepalanya sambil berdesis, “Anak ini telah meninggal”
Senopati yang memimpin sekelompok kecil pasukannya itu bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menyadari apa yang telah terjadi. Karena itu, maka mereka pun segera berlari menyusuri jalan padukuhan kecil itu.
Pada saat itu, Pangeran Lembu Sabdata dan pengiringnya telah memecahkan hambatan terakhir. Anak-anak muda Talang Amba dan beberapa orang prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu dengan kekuatan terakhir telah berusaha menutup jalan keluar. Tetapi mereka tidak berdaya. Senopati yang memimpin pengawalan Pangeran Lembu Sabdata itu telah dengan garangnya bertempur untuk membuka jalan keluar. Sementara itu, seorang tua, pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata itu ternyata benar-benar orang yang luar biasa. Tanpa kesulitan mereka menyingkirkan orang-orang yang berusaha menghambatnya keluar bersama Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi Pangeran lembu Sabdata sendiri pun bertempur dengan kemampuannya yang tinggi.
Sementara itu orang-orangnya yang lain telah melindungi Pangeran itu dari sergapan-sergapan dari segala arah. Namun demikian mereka berhasil memecahkan kepungan terakhir itu, maka sekelompok anak-anak muda yang lain telah datang menghampiri mereka.
“Gila” geram Senopati dari Singasari itu, “hampir saja kita kehilangan lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak sabar lagi. Dengan serta merta mereka pun menyusup diantara anak-anak muda Talang Amba yang mengalami kesulitan menahan sekelompok orang yang akan meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata kehadirannya telah mengejutkan Pangeran Lembu Sabdata. Ia mengenal anak-anak muda itu. Seorang diantaranya pernah bertempur melawannya
Namun kini ia bersama dengan seorang pengawalnya yang terpercaya. Karena itu, maka iapun segera dapat menguasai perasaannya. Bahkan dengan geram iapun kemudian berkata, “Anak-anak inilah yang pertama-tama harus dibinasakan. Ia bukan anak Talang Amba. Bukan pula prajurit Singasari. Mereka adalah petualang-petualang yang selalu membuat keributan di mana-mana."
Pengawalnya yang memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah Pangeran. Biarlah aku memusnahkan keduanya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Ternyata bahwa para pengiring Pangeran Lembu Sabdata itu pun segera bersiap menghadapi lawan-lawannya yang baru. Sementara itu, maka Senopati dari Singasari yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bersiap-siap pula. Bahkan ia masih sempat berkata, "Ki Sanak Sebaiknya kalian mengurungkan niat kalian untuk meninggalkan tempat ini. Tidak ada jalan yang akan dapat kalian lalui”
“Persetan” Pangeran Lembu Sabdata lah yang menjawab, “minggir, atau kami akan membunuh kalian”
“Jadi kau akan melarikan diri lagi Pangeran?” bertanya Mahisa Pukat, “langkah-langkah yang licik itulah agaknya yang kau lakukan selama ini. Kau korbankan orang-orangmu, sementara kau lari meninggalkan medan.
Telinga Pangeran Lembu Sabdata bagaikan terbakar. Dengan garang ia berkata, “Hanya orang-orang gila yang menurutkan dirinya untuk dibantai."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Nampaknya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menghargai lagi sifat kesatria yang harus disandang oleh seorang prajurit. Namun demikian Mahisa Pukat masih berkata, “Itukah pendirian Pangeran? Pangeran lebih menghargai perasaan takut daripada sifat seorang prajurit”
“Aku berdiri diatas naluri kemanusiaanku” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “setiap orang tentu ingin mempertahankan hidupnya”
“Tetapi tanpa mengorbankan orang lain seperti yang Pangeran lakukan sekarang” potong Mahisa Murti, “Jika Pangeran sempat melihat, para pengikut Pangeran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba itu telah bertempur mengorbankan diri mereka untuk satu tugas yang Pangeran bebankan diatas pundak mereka. Sementara itu Pangeran sendiri telah berusaha melarikan diri dari arena dengan membiarkan para pengikut Pangeran itu menjadi korban di peperangan”
“Aku tidak memerintahkan kepada mereka untuk mati” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “adalah salah mereka sendiri jika mereka tidak berhasil mempertahankan hidup mereka”
“Dan Pangeran dengan licik melarikan diri” sambung Mahisa Murti.
“Sudah aku katakan. Aku tidak mau mati. Karena itu aku menghindarkan diri dari kemungkinan untuk mati. Jika disini aku dihambat, maka aku menghancurkan hambatan itu dari pada aku yang akan terbunuh” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka mereka pun segera menempatkan diri. Sementara itu Senopati yang memimpin para pengiring Pangeran Lembu Sabdata itu sudah-berhadapan dengan Senopati Singasari yang ada diantara sekelompok kecil orang-orang yang berusaha menyusul Pangeran Lembu Sabdata itu. Sedangkan Mahisa Pukat pun telah menempatkan dirinya berhadapan dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Namun dalam pada itu, seorang tua yang justru merupakan orang yang berilmu sangat tinggi, agaknya terlepas dari perhatian orang-orang yang memburu Pangeran Lembu Sabdata itu. Mahisa Murti dan kemudian menghadapi seorang pengawal telah di gamit oleh seorang anak muda yang telah bertempur melawan sekelompok pengawal Pangeran itu sebelumnya.
“Orang itu memiliki ilmu iblis” desis anak muda itu.
“Oh” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “Aku akan menghadapinya. Orang tua itukah yang kau maksud?”
“Jangan sendiri” berkata anak muda yang sebenarnya adalah seorang prajurit Singasari, “orang itu benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia percaya kepada anak muda itu, setelah anak muda itu mengatakan tentang dirinya sendiri dan apa yang dilihatnya sebelumnya, maka Mahisa Murti pun telah berada di dalam sekelompok kecil prajurit Singasari menghadapi pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu, maka para pengawal Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat lain daripada bersungguh-sungguh. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih buruk yang dapat terjadi. Mungkin dalam waktu yang singkat, ada lagi sekelompok lawan yang menyusul mereka. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata menganggap bahwa ia harus segera dapat menyelesaikan pertempuran itu secepatnya.
Karena itu, maka ketika pertempuran itu mulai berkobar, terdengar Pangeran itu berteriak, “Cepat. Kita selesaikan anak-anak yang keras kepala ini”
Aba-aba itu lebih tertuju kepada para pengawalnya, karena ternyata ia sendiri tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan ketika Mahisa Pukat pun telah mengerahkan kemampuannya pula, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai merasakan tekanan lawannya itu menjadi semakin berat.
Tetapi orang tua yang menjadi pengawal dan sekaligus pelindung Pangeran Lembu Sabdata itu memiliki ilmu yang tidak terlawan oleh anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari termasuk Mahisa Murti. Bahkan ketika Pangeran Lembu Sabdata telah meneriakkan aba-aba untuk mempercepat penyelesaian, maka orang itu pun menjadi semakin garang.
Dalam waktu yang singkat, seorang anak muda telah terlempar. Orang tua itu nampaknya tidak bersenjata, tetapi luka di tubuh anak muda yang terlempar itu bagaikan terkoyak oleh tajamnya pedang bermata eri pandan.
“Mengerikan” desis kawan-kawannya.
Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan lawan mereka. Bagaimanapun juga, orang tua itu harus dihadapi. Namun sejenak kemudian, seorang lagi telah terlempar. Tidak nampak adanya luka-luka di tubuhnya. Namun demikian ia terbanting jatuh, maka ia hanya dapat menggeliat. Kemudian tubuh itu bagaikan membeku.
Pertempuran itu pun telah dicengkam oleh ketegangan. Mahisa Murti dengan pedang di tangan telah berusaha untuk memancing perhatian orang tua itu kepadanya. Namun setiap kali, orang tua itu masih sempat mengarahkan serangannya kepada anak-anak muda yang lain.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti berusaha untuk menyelamatkan seorang anak muda yang kehilangan keseimbangannya, tiba-tiba orang itu justru telah menyerangnya. Sambil menjulurkan pedangnya Mahisa Murti meloncat jauh kebelakang. Meskipun ia berhasil keluar dari jangkauan serangan yang mematikan, namun ternyata pundaknya telah terkoyak pula.
Mahisa Murti menggeram. Ia tidak menduga bahwa orang tua itu benar-benar memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya, melampaui perhitungannya semula. Justru karena orang itu tidak bersenjata.
Dalam pada itu, orang yang memiliki ilmu yang mencengangkan itu, memandang Mahisa Murti dengan tatapan mata yang menyala. Dengan nada berat ia berkata, “Agaknya kau adalah orang yang paling berbahaya diantara anak-anak muda gila ini. Karena itu, maka kaulah yang harus lebih dahulu mati. Baru kemudian kawan-kawanmu yang dungu, yang tidak mau menyingkir dari arena ini”
Mahisa Murti menjadi tegang. Pedangnya masih di-dalam genggamannya. Namun ia sadar, bahwa orang yang dihadapinya adalah orang yang luar biasa. Mahisa Murti memang tidak menyadari. Sementara Mahisa Pukat bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata, serta Senopati yang memimpin pasukan Singasari itu berhadapan dengan seorang Senopati dari Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata, maka beberapa orang prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba telah membantu Mahisa Murti menghadapi orang yang memiliki ilmu tidak terlawan itu.
Tetapi seperti yang sudah terjadi, maka sekelompok kecil diantara anak-anak muda itu sulit untuk dapat melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Sementara mereka masih harus berhadapan dengan pengawal-pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang lain.
Tetapi Mahisa Murti pantang untuk menarik diri dari pertempuran apapun yang terjadi. Sementara anak-anak muda yang lain telah menjadi korban. Apapun yang terjadi, maka iapun harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, karena Mahisa Murti bukannya tidak berilmu sama sekali.
Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang paling gawat, selagi orang tua yang menjadi pelindung Pangeran Lembu Sabdata itu siap menerkam, maka terasa tubuh Mahisa Murti terdorong ke samping. Seorang yang terengah-engah berdiri di sampingnya sambil berkata, “Hampir saja aku terlambat. Untunglah bahwa aku tertarik untuk melihat lingkaran pertempuran ini”
“Ki Waruju” desis Mahisa Murti.
Ki Waruju tidak menjawab. Ia sadar, bahwa orang yang sedang dihadapi oleh anak-anak muda itu adalah orang yang sangat berbahaya. Namun ia merasa dirinya berkewajiban untuk melibatkan dirinya langsung menghadapi orang itu.
Orang tua itu memandang Ki Waruju dengan tatapan mata yang bagaikan menyemburkan api. Dengan suara geram ia bertanya, “Jadi kaulah yang menempatkan dirimu pertama kali untuk mati?”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Biarlah kita yang tua-tua ini bermain-main dengan maut. Aku kira memang lebih baik orang tua-tua ini yang mati di medan dari pada anak-anak muda yang masih memiliki kemungkinan di masa depan yang panjang”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau ingin mati, maka aku akan membunuhmu. Tetapi yang perlu kau ketahui, anak-anak muda itu pun akan mati jika mereka masih tetap menghambat perjalanan kami”
“Seharusnya kalian tidak melarikan diri. Kalian lebih baik memasuki arena yang gawat bagi pasukan kalian. Sebentar lagi pasukan kalian akan pecah dan dihancurkan”
“Karena itu, kami akan menyingkir” jawab orang tua itu tanpa ragu-ragu.
“Kau sampai hati melakukan sementara orang-orangmu terbunuh” desis Ki Waruju.
“Apa pedulimu Nah, bersiaplah untuk mati sekarang ini” berkata orang tua itu sambil bergeser.
Ki Waruju telah bersiap sepenuhnya. Sebenarnyalah bahwa Ki Waruju pun bukan orang kebanyakan. Ia memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan. Ia telah berhasil menempatkan diri berhadapan dengan Ki Sarpa Kuning.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran. Dalam benturan pertama, maka pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun segera menyadari, bahwa lawannya itu bukan sekedar sebagaimana anak-anak muda Talang Amba atau bahkan prajurit Singasari yang ada diantara anak-anak muda itu.
“Anak iblis” pengawal tua itu mengumpat. Namun dengan demikian iapun telah meningkatkan kemampuannya menghadapi orang yang bernama Ki Waruju itu.
Pertempuran antara dua orang berilmu tinggi itu pun menjadi semakin seru. Keduanya memang memiliki kelebihan sehingga dengan dahsyatnya benturan-benturan telah terjadi.
Dalam pada itu, dalam lingkaran pertempuran yang lain, kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Pangeran Lembu. Sabdata ternyata sekali lagi membentur kekuatan yang dapat mengimbanginya. Sementara orang yang diharapkan akan dapat melindunginya itu pun telah mendapat lawannya sendiri.
Sementara itu, anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada diantara mereka, yang semula bertempur dalam satu kelompok melawan pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata itu, telah bebas dari tugas mereka. Setelah mereka menyaksikan pertempuran antara dua orang tua itu sejenak, serta atas keyakinan mereka bahwa Ki Waruju akan mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama bahkan mungkin mampu mengimbanginya, maka beberapa orang diantara mereka telah menarik diri dan menghadapi lawan yang lain. Kecuali beberapa orang yang mendapat tugas khusus untuk mengamati pertempuran itu.
“Jika perlu sekali, berikan isyarat” berkata seorang prajurit Singasari.
Anak-anak muda yang mendapat tugas untuk mengamati pertempuran itu pun mengangguk. Mereka sadar, jika Ki Waruju mengalami kesulitan, maka beberapa orang prajurit Singasari akan membantunya melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.
Ternyata bahwa pertempuran antara kedua orang itu kemudian merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Keduanya memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda yang mengamati pertempuran itu pun tidak lagi jelas, apakah keduanya masih tetap seimbang atau salah seorang diantara mereka telah berhasil mendesak lawannya.
Di bagian lain dari pertempuran itu, maka anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada diantara mereka telah berhasil mengepung para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Para pengawalnya ternyata telah mendapat tandingnya, sementara Pangeran Lembu Sabdata sendiri berjuang untuk melawan serangan-serangan Mahisa Pukat.
“Kau tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk melarikan diri Pangeran” geram Mahisa Pukat.
“Aku tidak akan melarikan diri. Aku akan membunuhmu” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat telah mendesaknya. Serangan-serangannya datang bagaikan badai yang mengamuk. Sementara kepungan anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang ada diantara mereka menjadi semakin rapat. Sedangkan beberapa orang prajurit Singasari yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bertempur dengan serunya melawan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata.
Bagaimanapun juga, jumlah pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang tidak seberapa itu tidak mampu menembus kepungan anak-anak muda Talang Amba serta para prajurit Singasari yang ada diantara mereka. Apalagi setelah pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata terikat dalam pertempuran melawan Ki Waruju.
Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi gelisah. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin menghindar dari Talang Amba. Namun agaknya jalan telah tertutup Beberapa orang pengawalnya ternyata telah menghadapi lawan yang tangguh, sedangkan orang yang dianggapnya akan dapat menjadi pelindungnya telah menemukan lawan yang seimbang.
Ketika seorang pengawalnya mengeluh oleh goresan ditubuhnya, maka Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi semakin gelisah. Tetapi para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu telah menimbulkan korban diantara anak-anak muda Talang Amba. Karena itu. maka menghadapi mereka, anak-anak muda Talang Amba itu pun menjadi garang.
Setelah orang yang memiliki kemampuan tidak terlawan bagi anak-anak muda Talang Amba itu terikat dalam pertempuran maka kekuatan para pengawal itu seakan-akan menjadi jauh susut. Mereka segera merasa mengalami kesulitan. Anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit yang ada diantara mereka dalam waktu yang singkat, benar-benar telah menjepit mereka dari segala arah dengan kemarahan yang memuncak. Apalagi jika mereka mengingat kawan-kawan mereka yang terlempar dari arena, membentur dinding dan tidak akan dapat bangkit untuk selama-lamanya.
Mahisa Murti yang terluka itu pun telah menyempatkan diri untuk mengobati lukanya, sekedar untuk mengurangi arus darahnya. Dengan demikian maka iapun kemudian telah siap pula untuk tampil lagi di peperangan, meskipun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati agar darah di lukanya itu tidak justru mengalir semakin deras.
Namun menurut pengamatan Mahisa Murti, maka Ki Waruju yang turun di medan itu, telah dapat mengimbangi kemampuan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang paling dipercaya dan yang diharapkan dapat melindunginya. Bahkan sekali-sekali Ki Waruju berhasil mengejutkan lawannya dengan serangan-serangannya yang cepat dan tiba-tiba.
“Gila” geram pengawal Pangeran Lembu Sabdata. Dengan jantung yang berdegupan orang itu harus berloncatan. Sambaran serangan Ki Waruju terdengar berdesing di-telinganya, sehingga dengan demikian orang itu menyadari bahwa lawannya memang memiliki kekuatan yang mampu mengimbanginya.
Pengawal itu pun kemudian harus mengerahkan kemampuannya. Ketika la melawan anak-anak muda yang bertempur dalam kelompok kecil melawannya, maka ia merasa sebagai seekor harimau diantara domba-domba yang marah. Tanpa kesulitan, maka ia dapat melemparkan lawannya seorang demi seorang. Bahkan kadang-kadang dua orang sekaligus. Namun ketika ia bertemu dengan orang yang bernama Ki Waruju itu, maka rasa-rasanya ia benar-benar dihadapkan kepada kekuatan dan kemampuan yang sulit untuk diatasinya.
Namun demikian, dengan segenap kemampuan orang itu berusaha untuk mempengaruhi perhatian Ki Waruju. Dengan kemampuan yang ada padanya, maka orang itu dengan sengaja telah menghantam dinding halaman dan dahan-dahan pepohonan. Dengan demikian maka ia dapat menunjukkan kekuatannya yang luar biasa. Dahan-dahan berpatahan dan dinding halaman pun menjadi roboh pula karenanya. Orang-orang yang menyaksikan kekuatan dan kemampuannya itu menjadi ngeri karenanya. Kadang-kadang memang timbul pertanyaan apakah Ki Waruju akan dapat mengimbanginya.
Sebenarnyalah dengan demikian pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu berusaha selain mempengaruhi perhatian Ki Waruju, tetapi juga menggertaknya agar hatinya menjadi kecut. Dengan demikian, maka gairah pertempurannya-pun akan menjadi susut pula karenanya.
Ki Waruju memang tertarik juga memperhatikan kekuatan yang luar biasa itu. Iapun melihat dinding yang roboh dan dahan yang berpatahan. Namun semuanya itu tidak membuatnya gentar dan apalagi mempengaruhi kemampuannya bertempur sehingga kehilangan pengamatan diri. Tetapi justru membuatnya menjadi semakin berhati-hati dan mendorongnya untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian maka pertempuran antara pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang terpercaya itu melawan Ki Waruju menjadi semakin seru. Ternyata Ki Waruju justru berusaha mengimbangi kemampuan lawannya. Untuk meyakinkan anak-anak muda Talang Amba agar mereka tidak menjadi cemas, maka kemudian Ki Waruju pun telah melakukan hal yang sama. Jika serangannya atas lawannya dihindari dan tenaganya itu membentur dinding halaman, maka dinding itu pun telah roboh karenanya. Sementara ayunan tangannya yang menggetarkan udara dengan suaranya yang berdesing telah meruntuhkan dedaunan dan mengguncang pepohonan.
“Anak iblis” geram pengawal Pangeran Lembu Sabdata, “ada juga orang Talang Amba yang memiliki ilmu iblis ini”
Ki Waruju tidak menyahut. Tetapi dengan demikian, maka anak-anak muda Talang Amba yang semula merasa ragu atas kemampuannya, telah bersorak bagaikan meruntuhkan langit Ternyata dipihak mereka pun terdapat orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi.
Dalam pada itu, selagi kedua orang raksasa itu bertempur dengan dahsyatnya, maka anak-anak muda Talang Amba dan beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara mereka pun telah berhasil mendesak lawan-lawan mereka, bahkan perlahan-lahan mereka telah mematahkan perlawanan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata.
Bagaimanapun juga kemarahan menghentak-hentak di jantung Pangeran itu, namun ia benar-benar tidak berhasil mengatasi kemampuan Mahisa Pukat, sementara para pengawalnya tidak mendapat kesempatan untuk membantunya dan apalagi mengamankannya. Bahkan pengawalnya yang terpercaya, yang dianggap sebagai pelindung oleh Pangeran Lembu Sabdata pun telah terlibat dalam satu pertempuran yang tidak dapat diatasinya.
Sementara itu. Senopati yang memimpin para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah mengalami kesulitan melawan seorang Senopati dari Singasari yang membaurkan diri dengan anak-anak muda Talang Amba. Bahkan beberapa saat kemudian, Senapati yang memimpin para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah kehilangan kesempatannya untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Ketika senjata lawannya menggores di tubuhnya, maka rasa-rasanya titik-titik darah yang terlepas dari tubuhnya bagaikan terlepasnya harapan-harapan yang telah dibangunkannya bersama Pangeran Lembu Sabdata pada saat mereka menuju Talang Amba.
Tetapi Senapati itu adalah seorang prajurit. Karena itu maka bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Meskipun ia menjadi semakin terdesak, tetapi tidak ada tanda-tanda kesediaannya untuk menyerah. Namun tidak seharusnya kemenangan anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari itu ditandai dengan pembunuhan tanpa ampun. Karena itu, maka mereka berusaha untuk menguasai lawannya dalam keadaan hidup sejauh dapat mereka lakukan.
Dalam pada itu, maka Senapati yang memimpin prajurit di Talang Amba itu masih juga berusaha berseru, “Dengar orang-orang yang sesat, apakah kalian tidak ingin menyerah? Ada beberapa hal yang dapat kita bicarakan. Mungkin sesuatu yang berarti. Bukan bagi kita masing-masing, tetapi bagi Singasari dan wilayah-wilayahnya.
“Persetan dengan Singasari” justru terdengar Pangeran Lembu Sabdata berteriak, “Kita justru ingin menghancurkan Singasari”
“Itulah yang ingin kita ketahui. Alasan-alasan yang barangkali masuk akal dan dapat dipertimbangkan” jawab Senopati itu.
“Kalian ingin menjebak kami” Pangeran Lembu Sabdata itu masih saja berteriak.
“Tidak. Tetapi jika kalian berkeras, kami tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghancurkan kalian. Sebab kita masing-masing tentu sudah mengetahui, bagaimana akhir dari pertempuran ini” Senapati dari Singasari itu berteriak pula.
Untuk beberapa saat masih tidak ada jawaban. Pertempuran diantara kedua pihak itu pun masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu sudah benar-benar kehilangan kesempatan untuk dapat memenangkan pertempuran itu dan apalagi meninggalkan padukuhan kecil itu.
Dalam pada itu, Ki Waruju pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Ia merasa bahwa lawannya telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga dengan menghentakkan kemampuan pada puncak ilmunya, maka Ki Waruju akan dapat menguasai lawannya itu sepenuhnya.
Demikianlah, pertempuran itu pun benar-benar telah sampai pada batas penyelesaian. Satu dua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata telah kehilangan keseimbangan untuk melawan. Diantara mereka telah tergores oleh senjata Bahkan ada pula diantara mereka yang tidak akan dapat bangkit lagi untuk selamanya.
Dalam pada itu, pertempuran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk pun berangsur semakin sengit. Tetapi seperti yang terjadi di padukuhan kecil itu, para pengikut Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah kehilangan harapan untuk keluar dari arena sebagai pemenangnya.
Perlahan-lahan mereka telah terdesak justru semakin jauh dari padukuhan yang ingin mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang ingin mereka musnahkan sebelum tengah hari, kemudian mereka akan langsung menuju ke padukuhan induk.
Namun dalam pada itu, kekuatan Kabuyutan Talang Amba sebenarnyalah memang telah diletakkan di padukuhan-padukuhan di sekitar Padukuhan induk. Para pemimpin di Talang Amba dan para Senopati dari Singasari memang memperhitungkan bahwa, pasukan yang akan menyerang Kabuyutan Talang Amba tentu akan menjajagi padukuhan-padukuhan di seputar padukuhan induk itu. Tiga padukuhan yang cukup besar, sehingga dengan demikian maka kekuatan yang ada di padukuhan induk, justru kekuatan yang tidak banyak berarti.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda Talang Amba dan prajurit dari Singasari memperhitungkan bahwa pasukan yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu sebentar lagi akan dapat mereka pecahkan. Karena itu, maka untuk mencegah mereka melarikan diri, maka para penghubung yang sudah ditugaskan sejak semula segera mempersiapkan isyarat untuk memberikan aba-aba kepada para prajurit Singasari yang-berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba di padukuhan-padukuhan kecil agar mempersiapkan diri, menghalangi sejauh mungkin dapat mereka lakukan atas para pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang akan melarikan diri.
Dalam pada itu, maka para prajurit Singasari yang ada di Talang Amba dan anak-anak muda Kabuyutan itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk memecahkan perlawanan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
Demikianlah, akhirnya para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu tidak dapat bertahan lagi. Ketika pasukan Talang Amba bersama para prajurit dari Singasari yang membaur diantara mereka mendesak dengan sepenuh kekuatan, maka pasukan yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu pun. telah terdesak semakin jauh, sehingga akhirnya gelar mereka pun telah terkoyak karenanya.
Pada saat yang demikian, maka para penghubung yang telah menyiapkan isyarat itu pun segera melontarkan anak panah dari busur-busur mereka. Tidak ditujukan kepada para pengikut Pangeran Lembu Sabdata, tetapi anak panah itu telah meluncur ke udara. Sejenak kemudian, maka panah sendaren itu telah bersuit dengan nyaringnya di udara.
Ternyata suara panah sendaren itu mengumandang di padukuhan-padukuhan kecil di tlatah Kabuyutan Talang Amba. Beberapa buah panah sendaren telah mencapai padukuhan kecil yang Sedang dicengkam oleh pertempuran antara Pangeran Lembu Sabdata dan para pengikutnya melawan kekuatan Kabuyutan Talang Amba.
Beberapa orang pemimpin anak-anak muda Talang Amba di padukuhan kecil itu serta para prajurit dari Singasari segera menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka mereka pun harus segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda Talang Amba yang sudah tidak terlibat dalam pertempuran serta beberapa orang prajurit Singasari segera mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang baru. Sementara itu, para prajurit yang datang kemudian bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya.
Namun akhirnya para pengawal Pangeran Lembu Sabdata tidak mampu lagi bertahan. Beberapa orang telah menjadi korban, yang lain terluka berat, sementara ada yang karena putus asa segera melemparkan senjatanya. Dengan demikian maka kekuatan Pangeran Lembu Sabdata telah dipatahkan. Namun Pangeran Lembu Sabdata sendiri masih juga berusaha mempertahankan dirinya dari serangan-serangan Mahisa Pukat. Tetapi Pangeran itu pun sudah tidak berpengharapan lagi. Yang dilakukannya kemudian adalah justru ungkapan dari keputus-asaannya.
Tetapi di bagian lain, pengawalnya yang paling dipercaya masih tetap bertempur dengan garangnya menghadapi Ki Waruju. Tetapi, betapapun tinggi ilmunya, namun orang itu sudah tidak berbahaya, lagi bagi orang lain. Setelah Ki Waruju melepaskan segenap kemampuannya dan justru mulai menekan lawannya, maka orang itu tidak dapat berbuat apapun lagi terhadap orang lain kecuali lawannya yang ternyata memiliki kemampuan lebih baik daripadanya.
Karena itu, maka yang kemudian bertempur di padukuhan kecil itu seakan-akan tinggallah Pangeran Lembu Sabdata melawan Mahisa Pukat dan pengawalnya yang paling terpercaya itu melawan Ki Waruju. Yang lain sama sekali sudah tidak berdaya lagi, sehingga senjata mereka pun telah dikumpulkan oleh anak-anak muda Talang Amba.
Namun agaknya Mahisa Pukat tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk mencampuri pertempuran itu. Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang kemudian mencegah para prajurit Singasari untuk membantu Mahisa Pukat.
“Amati saja, dan jangan beri kesempatan Pangeran itu lari lagi dari pertempuran” berkata Mahisa Murti.
Sementara itu, tidak ada orang yang akan dapat mencampuri pertempuran antara Ki Waruju melawan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang terpercaya itu. Karena itu, maka yang terjadi seakan adalah perang tanding yang nggegirisi.
Dalam pada itu, panah sendaren itu telah mengejutkan Pangeran Lembu Sabdata. Ia tidak mengerti arti dari isyarat tersebut sehingga karena itu, maka iapun menduga bahwa isyarat itu diberikan justru karena kehadirannya di padukuhan itu.
Karena itu, maka kegelisahan di hatinya pun menjadi semakin memuncak. Ia sadar, bahwa para pengawalnya tidak ada lagi yang masih bertempur kecuali pengawalnya yang paling terpercaya. Pengawalnya yang dianggapnya akan dapat melindunginya.
Namun dalam pada. itu. Pangeran Lembu Sabdata masih berpengharapan. Jika pengawalnya itu kemudian berhasil mengalahkan lawannya, maka yang lain tidak akan dapat menghalanginya untuk meninggalkan arena itu, sekaligus meninggalkan padukuhan yang akan dapat menjadi neraka baginya itu.
Sejenak kemudian Pangeran Lembu Sabdata justru berusaha untuk bertempur semakin sengit. Dihentakkannya kemampuannya menghadapi Mahisa Pukat. Namun sebenarnyalah Mahisa Pukat pun telah mencapai puncak kemampuannya pula, sehingga Pangeran Lembu Sabdata tidak berhasil mengalahkannya dengan segera.
Bahkan dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata yang sekali-sekali sempat berpaling ke arah pertempuran antara kepercayaannya melawan Ki Waruju itu pun sempat pula melihat, bahwa orang yang dianggapnya akan dapat melindunginya itu telah terdesak. Bahkan dalam satu benturan yang dahsyat, maka kepercayaannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Meskipun orang itu segera meloncat bangkit, namun dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata pun dengan jantung yang berdebaran melihat satu kemungkinan yang pahit akan dapat terjadi atas kepercayaannya itu.
Sementara itu ia sendiri tidak dapat berbuat banyak. Ketika ia sampai ke puncak ilmunya, ternyata lawannya pun masih juga mampu mengimbanginya. Benturan demi benturan pun telah terjadi. Namun tidak ada harapan setitikpun bagi Pangeran Lembu Sabdata untuk dapat mengalahkan lawannya.
Dalam pada itu, puncak kemampuan kepercayaannya-pun tidak berhasil melampaui kemampuan ilmu Ki Waruju. Ketika keduanya terlibat dalam benturan kekuatan dalam puncak ilmu masing-masing, maka ternyata kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata itu telah jatuh berguling, sementara Ki Waruju terdorong dua langkah surut. Namun Ki Waruju masih dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia tidak terjatuh karenanya.
Sementara itu, beberapa orang diantara anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun kekuatan mereka telah susut, karena ada diantara mereka yang menjadi korban melawan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata, serta yang lain harus mengamati para tawanan, namun para prajurit yang datang kemudian bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak lagi bertempur akan dapat membantu mereka, sementara dua orang masih tetap mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur melawan Mahisa Pukat, agar tidak sempat melarikan diri dari arena.
Dalam pada itu, gelar perang pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata telah tidak tertolong lagi. Gelar itu sudah benar-benar terkoyak dan beberapa orang mulai melarikan diri dari arena.
Dalam pada itu, anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari tidak mau melepaskan mereka. Dengan cepat mereka berusaha menguasai keadaan Sebagian dari anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari berusaha untuk mengejar mereka, sementara yang lain menguasai beberapa orang yang akan menjadi tawanan.
Sementara itu, yang menggelisahkan mereka yang melarikan diri itu, karena tiba-tiba di setiap padukuhan telah terdengar suara kentongan dengan irama titir, sementara beberapa orang anak muda telah keluar dari padukuhan-padukuhan kecil untuk menghadang mereka yang melarikan diri dalam keadaan yang tercerai berai serta kecemasan yang i mencekam jantung. Sehingga dengan demikian, maka mereka yang melarikan diri itu tidak dapat lagi berpikir secara jernih menghadapi keadaan yang berkembang demikian cepat diluar dugaan.
Orang-orang yang melarikan diri itu tidak sempat berpikir, bahwa kemampuan anak-anak muda yang tersebar di padukuhan-padukuhan itu tentu tidak cukup untuk menahan mereka, jika mereka mengundurkan diri dengan teratur. Tetapi orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah melarikan diri terpecah-pecah dan tercerai berai sehingga mereka tidak lebih dari kekuatan-kekuatan kecil yang terpecah-pecah.
Sebagian dari kekuatan kecil yang terpecah-pecah itu telah jatuh ke tangan mereka yang mengejarnya. Sementara yang lain karena dengan tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan sekelompok anak-anak muda di sebuah padukuhan kecil, maka mereka pun segera melemparkan senjata mereka dan menyerah.
Demikianlah, sebagian terbesar dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah menyerah. Meskipun ada juga sebagian dari mereka yang berhasil menyusup diantara padukuhan-padukuhan kecil dan hilang di bulak-bulak panjang, namun jumlah mereka sama sekali tidak berarti.
“Namun demikian, orang-orang itu akan dapat memberikan laporan kepada saudara-saudara Pangeran Lembu Sabdata yang mempunyai pendirian yang sama” berkata Ki Sanggarana.
“Ya” jawab salah seorang Senopati dari Singasari, “tetapi biar sajalah. Kita sudah berusaha sejauh jauh dapat kita lakukan. Namun kemungkinan yang demikian memang sulit untuk dielakkan”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Namun sebagian besar dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata memang sudah tertangkap.
Demikianlah, pergolakan itu tidak berlangsung lebih lama. Pasukan Singasari yang berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba segera menguasai keadaan. Sementara itu, para pemimpin dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata pun telah tertangkap pula.
Ki Sanggarana dan para pemimpin Talang Amba dan Singasari yang mendapat laporan tentang Pangeran Lembu Sabdata pun segera datang ke padukuhan kecil itu. Sementara itu, dengan putus asa Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur terus tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang berusaha menyesuaikan diri. Ia mengerti, bahwa ia dapat dengan cepat mengakhiri pertempuran jika ia tidak berusaha untuk tetap membiarkan Pangeran Lembu Sabdata tertangkap hidup dan utuh.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berusaha untuk bertempur secara khusus. Dibiarkannya Pangeran Lembu Sabdata yang gelisah, cemas dan putus asa itu mengerahkan segenap kemampuannya yang sudah tidak terarah lagi, sehingga akhirnya akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya.
Namun agar dijaga bahwa Pangeran itu jangan mendapat kesempatan untuk membunuh diri dengan cara apapun. Mungkin dengan bertempur membatu buta tetapi mungkin benar-benar membunuh diri dalam arti yang sebenarnya. Mahisa Murti yang terluka menunggui saudaranya yang sedang bertempur itu. Setelah ia sempat menaburkan obat pada lukanya, maka lukanya itu tidak lagi mengucurkan darah.
Di luar padukuhan, beberapa orang anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari telah berhasil menawan beberapa orang lagi yang berusaha melarikan diri. Dengan demikian, maka mereka pun segera mengumpulkan tawanan-tawanan mereka menjadi satu.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Sanggarana dan beberapa orang Senopati yang membaurkan diri sebagaimana orang-orang Talang Amba telah sampai ke padukuhan kecil itu pula. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat Pangeran Lembu Sabdata masih juga bertempur tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Seakan-akan nalarnya benar-benar telah menjadi gelap.
Tetapi yang tidak kalah menarik adalah pertempuran antara Ki Waruju dengan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang paling terpercaya. Orang itu pun sama sekali tidak ingin menyerah bagaimanapun keadaannya. Ia sadar, bahwa tidak lagi ada harapan untuk melepaskan diri atau apalagi menang. Tetapi karena Pangeran Lembu Sabdata sendiri masih juga bertempur, maka kesetiaannya tidak membenarkannya untuk berbuat lain. Juga harga dirinya sebagai seorang laki-laki akan pudar jika ia menyerah. Sehingga yang paling baik baginya dalam keadaan yang demikian adalah bertempur sampai tuntas. Bahkan iapun sadar, seandainya ia memenangkan pertempuran melawan orang yang bernama Ki Waruju itu, maka tidak akan dapat keluar dari arena itu kecuali hanya namanya.
“Tetapi namaku tidak akan ternoda” berkata orang itu di dalam hatinya, “Aku mati di peperangan dengan sikap seorang laki-laki. Aku mati dalam peperangan tanpa menyerahkan diri dalam keadaan yang bagaimanapun juga”
Dengan demikian, maka orang itu pun telah menghentakkan sisa-sisa kemampuannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih menghormati namanya daripada jiwanya.
Ki Waruju pun akhirnya tidak dapat mengekang diri lagi. Ia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Orang itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga jika Ki Waruju melakukan sedikit saja kesalahan, maka kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Waruju untuk berbuat sejauh dapat dilakukannya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Benturan-benturan ilmu pun segera terjadi dengan dahsyatnya. Keduanya justru tidak lagi terlalu banyak bergerak. Tetapi keduanya seakan-akan tidak lagi berusaha untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Mereka justru membenturkan ilmu mereka dalam setiap kesempatan.
Nampaknya keduanya memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, bagaimanapun juga akibatnya. Ki Waruju mengetahui bahwa pertempuran yang sebenarnya antara para pengikut Pangeran Lembu Sabdata dan orang-orang Talang Amba serta para prajurit Singasari sudah selesai, nampaknya juga menjadi jemu untuk bertempur sendiri. Sementara itu, lawannya pun telah menjadi jemu pula menjadi tontonan dan apabila keadaan memaksa, maka orang-orang yang menontonnya itu akan dapat ikut serta memasuki arena dan mencincangnya. Karena itu, maka tanpa perhitungan yang mapan, orang itu pun telah berusaha untuk membentur-benturkan dirinya dalam puncak ilmunya.
“Jika aku harus mati, biarlah segera terjadi” geram orang itu.
Ki Waruju nampaknya menanggapi cara yang ditempuh oleh lawannya. Iapun dengan dahsyatnya telah menyerang lawannya tanpa mengenal surut.
Orang-orang yang menyaksikan benturan ilmu dalam tataran yang sangat tinggi itu termangu mangu. Bahkan para Senopati dari Singasari pun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat dinding-dinding halaman yang tersentuh salah seorang dari keduanya menjadi pecah berderakan. Dahan-dahan pepohonan berpatahan dan daun-daunan berguguran. Benturan-benturan yang terjadi bagaikan telah mengguncang udara Talang Amba dan tanah pun bagaikan digetarkan oleh gempa.
Benturan-benturan yang semakin lama menjadi semakin sengit itu pun akhirnya mencapai puncaknya. Ketika pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu menyerang dengan segenap sisa kekuatan dan kemampuannya. Namun Ki Waruju memang tidak ingin menghindar atau mengelak. Dengan sepenuh kemampuannya pula ia sengaja membentur serangan itu.
Sejenak kemudian maka benturan dua kekuatan yang mengungkapkan ilmu yang tinggi itu telah terjadi. Benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seluruh padukuhan kecil itu.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam. Orang-orang yang menyaksikan benturan itu, seakan-akan merasa dada mereka menjadi sesak. Seolah-olah adalah mereka sendiri yang telah membentur ilmu yang luar biasa itu. Beberapa saat kemudian suasana benar-benar menjadi beku. Baik Ki Waruju maupun orang yang menjadi kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata itu telah terlempar surut.
Dengan susah payah Ki Waruju berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Sejenak ia berdiri terhuyung-huyung. Dadanya serasa terhimpit oleh kekuatan yang tiada taranya. Matanya menjadi berkunang-kunang, sementara pepohonan di sekitarnya bagaikan bergoyang.
Untuk sesaat Ki Waruju masih tetap berdiri tegak. Namun akhirnya Ki Waruju tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan tentang dirinya. Perlahan-lahan iapun telah berjongkok, bahkan kemudian duduk bersila. Ia tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha untuk memusatkan nalar budinya, melawan himpitan yang menindih isi dadanya. Dengan segenap kemampuan ilmu yang ada padanya, Ki Waruju berusaha untuk mengatur pernafasannya. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menguasai sebagian besar dari kesulitan di dalam dirinya.
Beberapa orang bergeser mendekatinya. Tetapi tidak seorang pun yang mengganggunya. Mereka membiarkan Ki Waruju berusaha dengan ilmunya untuk memperbaiki keadaannya.
Sementara itu, lawan Ki Waruju yang juga terlempar beberapa langkah surut, sama sekali tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Dengan serta merta orang tua itu jatuh terpelanting. Sesaat, orang itu pun berusaha untuk bangkit. Namun orang itu telah terjatuh kembali.
Ketika beberapa orang mendekatinya, orang itu masih menggeliat. Bahkan terdengar ia mengumpat. Namun akhirnya orang itu pun terdiam. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya pun kemudian terpejam dan nafasnya terhenti sama sekali. Tidak ada yang mampu menolongnya. Pengawal yang setia itu telah mati sebagai seorang prajurit yang tangguh di medan pertempuran sebagaimana dikehendakinya. Hal itu akan lebih baik baginya daripada menjadi seorang tawanan.
Suasana menjadi hening sejenak. Pangeran Lembu Sabdata yang mengetahui keadaan pengawalnya yang terpercaya dan yang diharapkan akan dapat melindunginya, benar-benar menjadi putus asa. Pangeran itu telah kehilangan semua yang ada padanya. Kegagalannya kali ini jauh lebih menyakitkan hati dari yang pernah dialaminya ketika ia datang ke Talang Amba bersama orang-orang Gagelang.
Orang-orang telah dikirimnya lebih dahulu untuk mengamati keadaan di sekitar Talang Amba, sama sekali tidak berarti apa-apa. Mereka gagal untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Orang-orangnya itu tidak dapat melihat, sepasukan prajurit Singasari telah memasuki Talang Amba dan membaurkan diri mereka dengan anak-anak muda Talang Amba. Sebagaimana peristiwa yang pernah terjadi terdahulu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Pangeran Lembu Sabdata untuk menghentikan semua perlawanannya. Dengan wajah yang kecut Pangeran itu telah meletakkan senjatanya.
“Tetapi jangan menjadi berbangga atas kemenangan kalian kali ini” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Jika pada suatu saat, Kediri bangkit dan menguasai Singasari kembali, maka Talang Amba akan menjadi abu. Para pemimpin di Kediri mengetahui, bahwa Talang Amba adalah alas perlawanan yang paling berbahaya bagi Kediri”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kau masih juga bermimpi bahwa Kediri dan Singasari akan saling berbenturan?”
“Aku yakin” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “ketidak-puasan telah membakar jantung setiap kesatria di Kediri”
Mahisa Murti yang telah terluka itu pun melangkah mendekat. Dengan nada dalam ia bertanya, “Pangeran. Apakah menurut pendapat Pangeran, benturan kekuatan itu akan menjadi cara penyelesaian yang paling baik bagi hubungan antara Singasari dan Kediri?”
“Aku tidak melihat cara lain untuk membangunkan kembali kebesaran yang telah pudar pada masa yang paling buruk bagi Kediri. Tingkah laku Akuwu Tumapel yang lahir dari antara orang-orang yang dimusuhi oleh peradaban itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, Singasari yang dibangun diatas harga diri orang-orang Kediri yang saat itu dikorbankan, harus ditebus dengan segala cara” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Dengan segala cara?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Dengan segala cara” jawab Pangeran Lembu Sabdata tegas.
“Jadi Pangeran termasuk salah satu diantara orang-orang yang dapat mempergunakan cara apapun untuk mencapai maksudnya?” bertanya Mahisa Murti pula.
Pangeran Lembu Sabdata menjadi ragu-ragu. Namun ia sudah melakukannya. Meskipun demikian Pangeran Lembu Sabdata itu tidak menjawab. Dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dada, ia terpaksa harus berdiri membeku diantara anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang berbaur diantara anak-anak muda itu, yang telah menggagalkan usahanya untuk kedua kalinya.
“Pangeran” tiba-tiba terdengar suara Ki Sanggarana, “marilah. Kita anggap saja permusuhan ini telah berakhir. Kami persilahkan Pangeran untuk pergi ke padukuhan induk”
“Tidak seorang kesatria pun dari Kediri yang akan menganggap bahwa permusuhan dengan Singasari sudah berakhir dengan kekalahan kecil ini. Kecuali mereka yang tidak mempunyai kepribadian sama sekali” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Baiklah hal itu kita lihat di kemudian hari” berkata Ki Sanggarana pula, “tetapi pertempuran yang terjadi kali ini di Talang Amba telah berakhir. Telah banyak korban yang jatuh sehingga kita harus merenunginya, apakah permusuhan yang demikian itu masih perlu dilanjutkan”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ketika ia mengedarkan pandangan matanya, ia melihat beberapa orang pengikutnya telah menjadi tawanan pula. Sejenak kemudian, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah dibawa oleh para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba ke induk padukuhan. Tidak banyak yang dikatakan oleh Pangeran itu. Banyak pertanyaan yang tidak dijawabnya ketika ia berada di banjar Kabuyutan Talang Amba.
Namun dalam pada itu, setiap terdengar ia mengancam, “Pada satu saat akan datang pasukan yang kuat untuk menggilas kalian. Meskipun disini ada prajurit-prajurit Singasari segelar sepapan, namun mereka tidak akan gagal lagi. Kalian akan ditangkap dan dihukum gantung. Kecuali jika kalian membunuh diri di medan”
Ancaman itu memang menggetarkan jantung Ki Sanggarana. Agaknya Pangeran itu benar-benar mendendam, sementara ia tentu tidak berdiri sendiri. Tentu ada orang lain di Kediri yang berpendirian seperti Pangeran Lembu Sabdata, meskipun mungkin tidak terlalu banyak.
Demikianlah ketika para tawanan telah ditempatkan di tempat yang terjaga dengan baik, yang sebagian besar diletakkan di banjar-banjar padukuhan, maka para pemimpin di Talang Amba telah berbincang dengan sungguh-sungguh bersama dengan para Senopati dari Singasari. Mereka tidak dapat mengabaikan ancaman Pangeran Lembu Sabdata, karena hal yang demikian itu memang dapat terjadi.
Tetapi sedang Senopati pun kemudian berkata, “Kita tidak akan tinggal diam. Kita akan menelusuri sampai ke sumbernya. Kita sudah tahu, bahwa Pangeran yang telah melakukan hal ini adalah Pangeran Lembu Sabdata. Pimpinan prajurit Singasari tentu akan berbuat sesuatu. Tidak perlu Sri Maharaja turun tangan dalam persoalan yang tidak begitu berarti ini”
“Jangan salah menilai” desis Ki Waruju, “persoalan ini bukan persoalan yang tidak begitu berarti. Mungkin persoalan yang terjadi di Talang Amba ini dapat dianggap persoalan kecil. Tetapi dalam hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di tempat lain, maka persoalan ini adalah persoalan yang besar dan gawat bagi Singasari. Aku bukan seorang prajurit. Bukan pula seorang pemimpin pemerintahan. Tetapi aku mohon hal ini mendapat perhatian yang sewajarnya”
Senopati itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, seorang Senopati yang lain telah menyahut, “Kau benar Ki Waruju. Persoalan ini menyangkut daerah yang luas dan menyangkut masalah-masalah yang gawat. Karena itu, aku sependapat, persoalan ini tidak boleh dianggap sebagai persoalan yang tidak begitu berarti. Tetapi untuk menanganinya tidak harus dilakukan oleh Sri Maharaja sendiri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Namun dalam pada itu, yang dibicarakan oleh para Senopati adalah masalah para tawanan yang harus mereka bawa ke Singasari. Ada beberapa hal yang mungkin terjadi. Perjalanan ke Singasari dari Talang Amba adalah perjalanan yang panjang, sehingga banyak hal dapat terjadi di perjalanan, karena mereka harus membawa tawanan yang cukup banyak.
“Kita akan menghubungi Singasari sebelum kita membawa mereka” berkata seorang Senopati.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya jalan itu adalah jalan yang paling baik. Mungkin Singasari akan mengambil satu kebijaksanaan yang lain dari yang direncanakan oleh. para Senopati di Talang Amba. Bahkan mungkin Singasari akan mengirimkan beberapa orang ke Talang Amba untuk mempelajari keadaan. Atau Singasari akan mengirimkan sepasukan pengawal yang akan membawa para tawanan itu bersama-sama prajurit Singasari yang berada di Talang Amba.
Dengan demikian, maka para pemimpin Talang Amba dan para Senopati akhirnya bersepakat untuk menempatkan para tawanan untuk sementara di Talang Amba dibawah pengawasan ketat anak-anak muda Talang Amba sendiri dan para prajurit Singasari itu tetap berada dalam kesiagaan tertinggi, karena kemungkinan yang buruk masih mungkin terjadi. Para Pangeran yang sependapat dengan Pangeran Lembu Sabdata dan para pengikutnya dengan kekerasan, setelah orang-orang yang sempat melarikan diri kembali kepada Para Pangeran itu serta melaporkan apa yang telah terjadi di Talang Amba, tentang kegagalan serta akibat yang parah dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Sementara itu, para Senopati di Talang Amba pun telah menunjuk. sekelompok kecil diantara mereka untuk pergi ke Singasari. Melaporkan semua peristiwa yang terjadi dan menerima perintah tentang para tawanan yang masih berada di Talang Amba.
Namun dalam pada itu, sebelum kelompok kecil itu berangkat ke Singasari, maka Talang Amba telah dikejutkan sekali lagi hadirnya beberapa orang berkuda. Para petugas di padukuhan-padukuhan kecil yang melihat kehadiran beberapa orang berkuda itu pun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang telah berdiri di pintu gerbang. Yang lain berada di banjar d-alam kesiagaan penuh. Sedangkan kentongan pun telah siap untuk dibunyikan apabila perlu. Beberapa orang penghubung berkuda telah siap pula melakukan tugas mereka untuk menghubungi padukuhan-padukuhan lain.
Tetapi agaknya sekelompok orang berkuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan tindak kekerasan. Ternyata ketika mereka mendekati pintu gerbang, kelompok itu pun segera berhenti. Dua orang diantara mereka mendekati anak-anak muda yang bertugas di pintu gerbang dengan senjata di tangan. Kedua orang itu pun telah mengangkat tangan kanan mereka. Dengan demikian, keduanya menunjukkan sikap damai mereka, karena dalam keadaan yang demikian mereka tidak akan menggapai hulu senjata mereka.
Karena itu, maka anak-anak muda yang bertugas di pintu gerbang telah menanggapi sikap mereka dengan baik pula. Dua orang diantara anak-anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat sambil mengangguk hormat. Menilik pakaian yang dikenakan maka orang-orang berkuda itu bukannya orang kebanyakan. Mereka tentu orang-orang terhormat, dan bahkan para bangsawan.
“Kami mohon maaf Ki Sanak” berkata salah seorang anak muda yang bertugas di regol, “apakah aku boleh bertanya tentang Ki Sanak dan keperluan Ki Sanak? Hal ini terpaksa kami lakukan karena keadaan Kabuyutan kami pada saat-saat terakhir ini agak suram oleh peristiwa-peristiwa yang tidak kami kehendaki”
“Kami mengerti anak muda” jawab salah seorang dari kedua penunggang kuda yang mendekat, “kami adalah sekelompok orang-orang Kediri dan Singasari”
Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja diluar sadarnya ia berpaling ke arah seorang anak muda yang lain, yang berdiri diantara anak-anak muda di dekat regol padukuhan kecil itu. Anak muda yang dimaksud itu pun kemudian melangkah maju. Ketika ia berada dua langkah dari kedua orang yang mengaku orang Kediri dan Singasari itu pun ia berhenti.
Sejenak anak muda itu memperhatikan kedua orang berkuda itu, kemudian orang-orang lain yang berhenti beberapa langkah dari kedua orang berkuda itu. Namun akhirnya ia berkata, “Kami mengenali sebagian dari tuan-tuan sebagai pimpinan prajurit di Kediri menilik pakaian dan kelengkapan tuan-tuan, sedangkan yang lain dari Singasari."
“Ya. Aku adalah Pangeran Singa Narpada, dari Kediri” berkata salah seorang dari kedua orang berkuda.
“Kami sudah mendapat laporan tentang semua peristiwa yang terjadi di Kabuyutan Talang Amba ini” berkata Pangeran yang menyebut dirinya Singa Narpada, “Karena itu, kami ingin menemui Pangeran Lembu Sabdata”
Anak muda yang sebenarnya adalah seorang prajurit dari Singasari itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Lembu Sabdata sekarang adalah seorang yang dalam keadaan khusus karena perbuatannya”
“Katakan saja, bahwa Pangeran Lembu Sabdata menjadi tawanan di Talang Amba” sahut orang berkuda itu.
“Ya tuan. Agaknya memang demikian” jawab anak muda itu, “karena itu, untuk menemuinya diperlukan ijin tersendiri dari Ki Sanggarana, yang memangku jabatan Buyut di Talang Amba ini”
“Baiklah. Apakah aku diijinkan untuk memasuki Talang Amba dan berbicara dengan Ki Sanggarana?” bertanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Singa Narpada itu.
“Kami akan mempersilahkan dua diantara tuan-tuan untuk pergi ke padukuhan induk” jawab Senopati itu, “ selebihnya kami mohon maaf, bahwa tuan-tuan masih harus menunggu sampai ada perintah lebih lanjut dari Ki Sanggarana”
“Baiklah” jawab Pangeran Singa Narpada, “kami berdua akan menemui Ki Sanggarana”
Anak muda yang sebenarnya adalah seorang Senopati muda dari Singasari itu pun kemudian mengatur beberapa orang penghubung berkuda untuk mengantarkan kedua orang itu ke padukuhan induk. Tempat orang penghubung itu, dua diantaranya adalah prajurit Singasari. Jika terjadi sesuatu, maka segalanya supaya diatur sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka beberapa diantara orang-orang berkuda itu harus menunggu. Mereka dipersilahkan memasuki sebuah halaman rumah yang tidak begitu besar dan dipersilahkan untuk duduk di pendapa. Sementara itu, beberapa orang anak muda mengawasi mereka dari kejauhan.
Namun dalam pada itu, Senopati muda dari Singasari itu telah berbisik kepada pemimpin anak-anak muda di padukuhan itu, “Aku mengenal salah seorang perwira dari Singasari yang juga seorang Pangeran”
Anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa mereka tidak mengirimkan orang yang telah kita kenal dengan baik. Mahisa Bungalan misalnya”
Senapati muda dari Singasari itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Entahlah. Mungkin karena disini tertawan Pangeran Lembu Sabdata, maka Singasari pun mengirimkan satu atau dua orang perwira tinggi yang juga seorang Pangeran. Demikian juga agaknya Kediri. Sementara yang lain adalah pengawal-pengawal mereka”
Anak-anak muda Talang Amba mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Tetapi apakah kau yakin bahwa sekelompok orang berkuda itu benar-benar akan membawa satu penyelesaian. Bukan sekedar untuk memberikan pertolongan kepada satu pihak."
“Aku kira, mereka benar-benar akan membawakan satu penyelesaian” jawab Senapati muda dari Singasari. Tetapi iapun kemudian melanjutkan, “Tetapi segalanya kita tunggu dari hasil pertemuan mereka dengan Ki Sanggarana.
Anak-anak muda Talang Amba hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, dua orang diantara orang-orang berkuda itu telah diantarkan ke padukuhan induk untuk bertemu dengan Ki Sanggarana. Sebenarnya kedatangan kedua orang berkuda itu telah mengejutkan Ki Sanggarana. Dengan jantung yang berdebaran, keduanya telah dipersilahkan duduk di pendapa.
“Seorang diantara mereka mengaku bernama Pangeran Singa Narpada” berkata salah seorang dari empat orang yang mengantar kedua orang itu kepada Ki Sanggarana. “Apa maksudnya?“ bertanya Ki Sanggarana.
“Itulah yang harus kita ketahui dengan pasti. Menurut keterangannya mereka ingin dengan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan itu” jawab anak muda yang mengantarkan kedua orang berkuda itu.
Ki Sanggarana mengangguk. Namun kemudian ia tidak menemui kedua tamunya itu seorang diri atau hanya bersama Ki Sendawa dan para bebahu Kabuyutan. Tetapi Ki Sanggarana juga mengajak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Selain kedua orang anak muda itu, Ki Sanggarana juga mengundang Ki Waruju untuk ikut serta berbicara tentang para tawanan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Talang Amba itu pun menjadi berdebar-debar. Apakah yang telah mereka lakukan itu salah, sehingga orang-orang yang datang itu ingin menangkapnya dan memenjarakannya. Tetapi para prajurit dari Singasari akan menjamin langkah kami tersebut. Jika langkah itu salah, maka prajurit-prajurit Singasari itu pun akan terkena akibatnya pula.
Justru karena itu, maka para pemimpin dari Kabuyutan Talang Amba itu menjadi tenang. Mereka telah melakukan satu perlawanan terhadap orang-orang Kediri dalam angka mempertahankan hal mereka terhadap ancaman orang lain. Apalagi mereka sadar, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah mempergunakan cara yang paling buruk untuk menghancurkan wilayah Singasari. Bukan hanya untuk satu saat. Tetapi untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin sekali keadaan tidak akan tertolong lagi.
Jika hutan itu benar-benar menjadi gundul, maka tanah di lereng bukit itu akan hanyut. Jika yang tersisa adalah batu-batu padas dan batu-batu hitam, maka gunung itu tidak akan dapat ditanami lagi untuk selamanya. Gunung itu kelak akan menjadi lambang kehancuran bagi kesuburan tanah Kabuyutan Talang Amba. Sehingga yang kemudian terbentang dibawah bukit batu yang gundul adalah tanah yang gersang. Padang yang luas tidak berpohon dan bahkan rerumputan pun tidak akan dapat tumbuh lagi.
Impian buruk yang mengerikan itu harus dicegah. Tiga atau empat keturunan lagi tidak boleh mengutuk leluhur mereka karena kedengkian serupa itu. Demikianlah, maka Ki Sanggarana bersama beberapa orang itu pun telah duduk di pendapa. Sementara itu. Pangeran Singa Narpada telah memperkenalkan dirinya pula, sedangkan yang lain adalah Pangeran Kuda Kertapati.
“Kedatangan Pangeran ke Kabuyutan ini telah mengejutkan kami” berkata Ki Sanggarana kemudian.
“Ya Ki Sanggarana. Kami pun menyadari bahwa mungkin sekali kehadiran kami akan mengejutkan orang-orang Talang Amba. Tetapi barangkali Ki Sanggarana sudah dapat menduga keperluan kami datang ke Kabuyutan ini”
“Pangeran” jawab Ki Sanggarana, “memang di Kabuyutan ini telah tumbuh persoalan antara kami, orang-orang Talang Amba yang mendapat perlindungan dari para prajurit dari Singasari dengan orang-orang dari Kediri. Tetapi sudah barang tentu kami tidak dapat menyebut mereka adalah para pengawal dari Kediri, karena kami pun mengerti, tidak semua orang Kediri atau katakan bahwa yang terjadi itu sama sekali tentu bukan sikap resmi Kediri”
“Ya, ya Ki Sanggarana” jawab Pangeran Singa Narpada Pangeran Lembu Sabdata memang tidak mewakili sikap Kediri yang sebenarnya. Ia bertindak atas namanya sendiri, sedangkan apa yang dilakukannya pun bukan sikap kebanyakan orang-orang Kediri”
“Kami memang sudah menduga” jawab Ki Sanggarana, “karena itu sikap kami pun tidak kami tujukan kepada Kediri, sebagaimana para prajurit Singasari. Mereka mendapat perintah untuk melindungi Kabuyutan ini dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Sementara itu, para perusuh dapat saja dilakukan oleh orang-orang dari Kediri, atau oleh orang-orang dari Singasari atau Gagelang atau tempat-tempat lain”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih atas pengertian itu”
Ki Sanggarana pun mengangguk-angguk pula. Namun ia masih tetap berdebar-debar. Langkah yang akan diambil oleh para bangsawan di Kediri itu.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Ki Sanggarana. Aku datang ke Kabuyutan ini bersama beberapa orang kawan. Kami ingin melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan demikian maka kami akan dapat mengambil satu kesimpulan yang tepat. Tidak hanya berdasarkan atas laporan-laporan saja”
“Apakah Pangeran sudah berhubungan dengan para pemimpin di Singasari?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ada dua orang bangsawan dari Singasari yang menyertai perjalanan kami, karena kami ingin melihat persoalan ini dalam keseluruhan. Juga dalam hubungan dengan hadirnya para prajurit dari Singasari” jawab Pangeran Singa Narpada.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah Pangeran. Kita akan dapat membicarakannya. Tetapi karena disini hadir prajurit dari Singasari yang berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba, maka Senapati yang memimpin pasukan Singasari itu pun akan ikut pula berbicara diantara kita”
“Tentu” sahut Pangeran Singa Narpada, “semua pihak yang berkepentingan dengan penyelesaian yang harus diambil sebaik-baiknya ikut dalam pembicaraan ini”
“Baiklah Pangeran” berkata Ki Sanggarana kemudian, “dimanakah kawan-kawan Pangeran?”
“Mereka terhenti di padukuhan kecil di ujung Kabuyutan ini. Para peronda hanya mengijinkan kami berdua Ki Sanggarana lebih dahulu untuk mendapatkan ijin memasuki Kabuyutan” jawab Pangeran itu.
“Oh” Ki Sanggarana mengangguk-angguk, “kami mohon maaf Pangeran. Itu hanyalah karena sikap hati-hati dari anak-anak kami”
“Kami mengerti” jawab Pangeran Singa Narpada, “Karena itu kami berusaha untuk mematuhi ketentuan mereka."
Demikianlah, maka Ki Sanggarana itu pun mempersilahkan orang-orang berkuda itu untuk datang ke rumahnya. Kedua Pangeran itu berkeberatan ketika Ki Sanggarana akan memerintahkan anak-anak muda menjemput mereka.
“Biar kami berdua sajalah kembali ke Padukuhan kecil itu. Untuk membuktikan bahwa kami telah bertemu dengan Ki Sanggarana, ada juga baiknya satu atau dua orang pergi bersama kami” berkata Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian, maka dua orang pengawal di rumah Ki Sanggarana itu pun telah mengantarkan kedua Pangeran itu kembali ke padukuhan kecil di ujung Kabuyutan. Mereka, memanggil kawan-kawan mereka untuk bersama-sama menemui Ki Sanggarana dan orang-orang Kediri yang tertawan.
Sementara itu, Ki Sanggarana pun telah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Bahkan dengan sikap berhati-hati Ki Sanggarana telah berbicara dengan Senapati Singasari yang berada di Talang Amba, agar para prajurit Singasari pun bersikap hati-hati pula.
“kami mengharap Senapati ikut menentukan sikap” berkata Ki Sanggarana.
“Jika benar ada diantara mereka satu atau dua orang Senapati dari Singasari, mungkin aku akan dapat mengenalinya” berkata pemimpin tertinggi dari para pengawal yang berada di Talang Amba.
“Apakah para prajurit yang berada di padukuhan-padukuhan kecil itu mungkin tidak mengenal seorang Senapati dari Singasari?” bertanya Ki Sendawa.
“Mungkin sekali Ki Sendawa” jawab Senapati itu, “tata keprajuritan Singasari cukup luas. Ada beberapa kesatuan yang terpisah. Mungkin terpisah tempatnya dan mungkin terpisah tugas-tugasnya”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Singasari yang luas itu tentu mempunyai tata keprajuritan yang luas pula.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada bersama sekelompok perwira dan bangsawan diiringi oleh beberapa orang prajurit telah memasuki padukuhan induk. Mereka langsung pergi ke rumah Ki Sanggarana, yang menerima mereka di pendapa bersama beberapa orang bebahu Kabuyutan itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Waruju dan beberapa orang Senapati terpenting dari pasukan Singasari yang ada di padukuhan itu. Untuk mempermudah hubungan diantara mereka, maka para Senapati yang semula membaurkan diri diantara anak-anak muda Talang Amba itu telah mengenakan pakaian keprajuritan mereka.
Demikianlah, ketika iring-iringan itu memasuki halaman rumah Ki Sanggarana, maka para Senapati terpenting dari pasukan Singasari yang ada di Talang Amba segera melihat, bahwa diantara mereka yang datang itu memang terdapat beberapa orang perwira tinggi dari Singasari.
“Agaknya persoalan ini benar-benar ingin diselesaikan dengan tuntas” berkata Senapati itu di telinga Mahisa Murti.
“Agaknya memang harus demikian” jawab Mahisa Murti, “Jika Kediri tidak mengambil sikap terhadap para Pangerannya, maka persoalannya akan dapat semakin berlarut-larut”
“Nampaknya kali ini Kediri bersungguh-sungguh” berkata Senapati itu pula.
“Mereka mungkin akan dapat segera mengatasi persoalan yang timbul pada para Pangeran” jawab Mahisa Murti pula, “tetapi mereka harus juga memperhatikan benih yang sudah mereka tebarkan. Yang sudah bergerak bukan saja terbatas kepada para Pangeran. Tetapi tentu ada satu dua orang Akuwu yang masih mempunyai pendirian seperti Akuwu Gagelang yang terbunuh itu."
Senopati itu mengangguk-angguk. Ternyata sikap itu telah berkembang. Tidak hanya pada para Pangeran dan pengikutnya di Kediri. Tetapi beberapa orang Akuwu agaknya telah terpengaruh pula seperti di Gagelang yang terbunuh itu.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah berkata pula, “Selain para Akuwu, mana mungkin pula sikap itu sudah merambat diantara para pemimpin Padepokan. Ada diantara mereka yang dengan sadar atas cita-cita beberapa orang Pangeran di Kediri, tetapi ada pula yang menyatakan ikut serta dengan mereka hanya karena janji”
Senopati itu masih mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa ada beberapa orang diluar lingkungan istana Kediri, yang terlibat. Nama Ki Sarpa Kuning dan para pengikutnya adalah salah satu contoh dari mereka yang berada di-barisan Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, maka para tamu dari Kediri dan Singasari itu pun segera dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Ki Sanggarana bersama beberapa orang telah menerima mereka. Sementara itu dengan tidak menimbulkan kesan yang dapat menarik perhatian, maka beberapa orang anak muda Talang Amba mengamati halaman rumah Ki Sanggarana itu. Segala kemungkinan masih akan dapat terjadi. Meskipun diantara mereka terdapat beberapa orang bangsawan dari Singasari, namun yang tidak terduga itu dapat saja megejutkan Talang Amba.
Setelah Ki Sanggarana mempersilahkan tamunya untuk duduk dengan baik, maka iapun kemudian mulai bertanya tentang kedatangan para Pangeran dan perwira dari Kediri dan Singasari itu.
“Kami telah mendapatkan laporan dari Talang Amba” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Demikian cepatnya” desis Ki Sanggarana.
“Di samping para prajurit Singasari yang dikirim untuk membantu Talang Amba, maka telah dikirim pula beberapa orang petugas sandi dari Singasari untuk melihat apakah yang terjadi disini. Bersamaan dengan itu, maka semua persoalan telah dikirim pula ke Kediri. Karena itu, maka beberapa orang pemimpin di Kediri telah datang ke Singasari. Dan bersama-sama kami telah datang kemari” jawab salah seorang perwira tinggi dari Singasari yang berada diantara para tamu itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Kerucigaannya menjadi semakin susut. Beberapa orang Senopati terpenting Singasari yang ada diantara mereka yang menerima tamu dari Kediri dan Singasari itu pun mengangguk-angguk. Agaknya mereka pun mempercayai sepenuhnya keterangan itu.
Dalam pada itu, maka Ki Sanggarana pun kemudian bertanya, “Setelah tuan-tuan sampai ke Talang Amba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu tugas tuan-tuan?”
“Kami ingin berbicara dengan beberapa orang yang tertawan. Bukankah diantara mereka yang tertawan terdapat Pangeran Lembu Sabdata?” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran. Sebenarnya kami tidak ingin menawan. Tetapi kami hanya memperlakukannya secara khusus, karena Pangeran Lembu Sabdata terlibat dalam satu tindakan kekerasan terhadap Talang Amba” sahut Ki Sanggarana.
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Tidak ada istilah lain yang lebih baik daripada tawanan. Memang adimas Pangeran Lembu Sabdata harus mengalami perlakuan yang demikian”
Ki Sanggarana tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk mengiakan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun kemudian bertanya, “Jadi apakah menurut Ki Sanggarana, kami akan diperkenankan menemui adimas Lembu Sabdata?”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk kecil. Meskipun nampak ragu-ragu, namun iapun kemudian berkata, “Baiklah Pangeran. Jika hal itu Pangeran kehendaki, maka kami tidak berkeberatan. Pertemuan itu akan dapat dilakukan di pendapa ini”
“Oh” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. “Jadi Ki Sanggarana akan membawa Adimas Pangeran kemari?”
“Jika Pangeran Lembu Sabdata bersedia, Pangeran” jawab Ki Sanggarana.
“Baiklah. Agaknya itu memang lebih baik. Tetapi yang ingin kami temui bukannya sekedar Pangeran Lembu Sabdata. Itulah sebabnya kami membawa beberapa orang kawan dalam perjalanan ini selain beberapa orang pengawal” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Jadi siapa saja yang ingin Pangeran temui?” bertanya Ki Sanggarana.
“Yang terpenting memang hanya adimas. Pangeran Lembu Sabdata” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi kami ingin juga melihat tawanan yang ada di Talang Amba. Kami ingin melihat pihak mana sajakah yang terlibat. Apakah mereka hanya para pengawal Kediri dan dengan cerdik telah diperlakukan sebagai para pengikut adimas Lembu Sabdata atau masih ada pihak-pihak lain. Dengan demikian, maka kami akan mendapatkan sedikit gambaran, siapa sajakah yang telah terlibat. Sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang bermanfaat bagi satu usaha mencari penyelesaian”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Diluar sadarnya maka iapun berpaling kepada Senopati yang memimpin seluruh pasukan Singasari yang ada di Talang Amba. Katanya, “Bagaimana Ki Sanak. Ki Sanak lah yang telah menangkap mereka”
Senopati itu mengangguk. Katana, “Aku percayakan semuanya kepada para Senopati yang memiliki tanggung jawab lebih besar yang sekarang telah hadir disini."
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa dengan hadirnya beberapa orang perwira tinggi dari Singasari, maka Senopati yang ada di Talang Amba akan menyerahkan segala sesuatunya kepada mereka.
Demikianlah, maka segala persiapan pun segera dilakukan. Sementara itu, Ki Sanggarana masih sempat menjamu tamu-tamunya sambil menunggu para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba yang akan menghubungi Pangeran Lembu Sabdata dan orang-orang yang tertawan yang diletakkan di beberapa tempat, terutama di banjar-banjar padukuhan.
Tetapi di banjar padukuhan induk itu telah terjadi satu perselisihan antara Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati yang datang kepadanya, memberitahukan akan kehadiran Pangeran Singa Narpada yang ingin bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata.
“Jika ia ingin bertemu dengan aku, biarlah orang itu datang kemari” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran” berkata Senopati itu, “mereka mengharap agar Pangeran bersedia untuk datang ke pendapa rumah Ki Sanggarana. Kita akan dapat berbicara dengan baik sebagaimana hubungan antara sesama. Bukankah Pangeran Singa Narpada itu termasuk sanak kadang Pangeran sendiri? sehingga dengan demikian, maka pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang akan dapat memberikan beberapa pemecahan terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh Pangeran”
“Aku tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Singa Narpada sebelumnya” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran berdua adalah kadang sentana dari Kediri” berkata Senopati itu.
“Tetapi sikap dan pandangan kami berbeda. Aku bukan penjilat seperti kakangmas Pangeran Singa Narpada. Buat apa aku datang menemuinya. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Dan aku pun sudah tahu apa yang akan dianjurkannya kepadaku. Tentu suatu pengkhianatan terhadap cita-cita yang agung bagi Kediri, sebagaimana sudah mulai merata di kalangan para bangsawan di Kediri selain beberapa orang penjilat seperti kakangmas Singa Narpada itu” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Terserahlah, apa yang akan Pangeran katakan terhadap Pangeran Singa Narpada. Tetapi sekarang kami persilahkan bersama kami pergi ke rumah Ki Sanggarana. Jarak dari banjar ini ke rumah itu sangat dekat”
“Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan pergi” bentak Pangeran Lembu Sabdata, “jangan mengatakan sekali lagi tentang hal itu. Aku muak mendengar. Jika kau ingin ikut dengan penjilat itu lakukan. Tetapi jangan ajak aku”
“Aku mendapat perintah” berkata Senopati itu.
“Tutup mulutmu” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak, “sudah aku katakan. Jangan menyebutnya lagi”
Senopati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, “Aku mendapat perintah, bagaimana mungkin aku tidak menyebutnya”
“Diam. Diam kau iblis. Aku tidak mau kau mengatakannya. Aku muak. Atau aku harus membungkam mulutmu” Pangeran Lembu Sabdata itu berteriak.
Namun dalam pada itu Senopati itu menjadi jengkel. Karena itu maka katanya lebih keras lagi, “Bersiaplah. Kau harus datang ke pendapa rumah Ki Sanggarana. Sekarang, Kau harus menemui Pangeran Singa Narpada dari Kediri dan beberapa orang Senopati dari Singasari”
Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata telah memuncak. Karena itu maka tiba-tiba saja telah meloncat menerkam Senopati itu. Tetapi Senopati itu memang sudah menduga. Ia sudah bersiap. Demikian Pangeran Lembu Sabdata meloncat, iapun meloncat pula menghindar.
Namun dalam sekejap, maka beberapa orang prajurit Singasari yang menjaga banjar itu telah mengacungkan senjata mereka dari beberapa arah. Bahkan sepucuk tombak telah menyentuh tubuh Pangeran Lembu Sabdata itu.
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tidak memburu Senopati yang menghindar itu. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat keluar dari lingkaran ujung senjata di sekitarnya. Apalagi yang menggenggam senjata adalah prajurit-prajurit Singasari.
“Nah Pangeran” berkata Senopati itu, “Kau harus menyadari kedudukanmu disini. Kau tidak berada di istanamu di Kediri. Dan kami bukan abdimu yang kau anggap tidak berharga. Dengar, dengan sekali lagi. Mau atau tidak mau. Kau dipanggil menghadap ke rumah Ki Sanggarana. Kau akan diperiksa sebagai seorang tawanan yang kalah perang”
Pangeran Lembu Sabdata menggeretakkan giginya. Tetapi ketika ia bergerak, maka ujung-ujung senjata telah melekat dikulitnya.
“Pengecut” geram Pangeran itu, “Kau bersembunyi di belakang kecoak-kecoak ini”
“Kau jangan membuat hatiku semakin sakit Pangeran. Kau telah dikalahkan dalam peperangan. Kau sudah melepaskan senjatamu dan kau adalah tawanan. Sekarang dengar perintahku. Pergi ke rumah Ki Sanggarana. Jika kau tidak puas dengan perlakuan ini, adukan kepada saudara-saudaramu yang ada di pendapa itu” jawab Senopati itu.
Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah padam. Tetapi terasa ujung senjata masih melekat dikulitnya. Bahkan salah seorang diantara mereka yang membawa tombak telah menekankan ujung tombaknya sambil berkata, “Marilah Pangeran. Mereka sudah menunggu di pendapa”
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Kemarahannya bagaikan membakar seisi dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Senjata-senjata sudah menekan kulitnya. Nampaknya prajurit-prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba itu tidak hanya sekedar bermain-main. Mereka benar-benar akan melakukan apa yang mereka katakan, karena Pangeran Lembu Sabdata bagi mereka memang tidak lebih dari seorang tawanan.
Karena itu, mau tidak mau, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah melangkah. Demikian mereka turun ke halaman, maka Senopati yang memerintahkannya pergi ke rumah Ki Sanggarana itu pun berkata, “Jangan biarkan Pangeran itu lari atau melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keributan. Tetapi juga jangan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan. Biarlah Pangeran itu berjalan sendiri”
Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Namun orang-orang yang mengacukan senjatanya pun telah bergeser dan mengambil jarak. Dengan demikian, maka para prajurit Singasari dan beberapa orang anak muda Talang Amba itu pun kemudian sekedar mengiringi Pangeran itu tanpa menimbulkan kesan yang dapat menarik perhatian, seakan-akan mereka sedang menggiring seorang tawanan.
Pangeran Lembu Sabdata memang tidak berbuat sesuatu. Ia sadar, bahwa para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba itu akan dapat menjadi kasar jika mereka tersinggung. Mungkin mereka akan dapat memperlakukannya dengan kasar pula dan menghinakannya di depan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata pun berusaha untuk berbuat sebagaimana dikehendaki oleh Senopati dari Singasari itu, agar segala sesuatunya tidak justru membuat dirinya semakin kecil.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Sanggarana yang memang tidak begitu jauh dari banjar, maka jantung Pangeran Lembu Sabdata rasa-rasanya memang akan meledak, la melihat beberapa orang saudaranya berada di pendapa. Beberapa orang Perwira dan pengawal. Ketika Pangeran Lembu Sabdata mendekati pendapa, maka orang-orang yang berada di pendapa itu pun telah beringsut. Mereka telah memberikan tempat kepada Pangeran Lembu Sabdata yang diantar naik ke pendapa.
“Marilah adimas” Pangeran Singa Narpada mempersilahkan. Sementara Ki Sanggarana pun telah menyongsongnya dengan penuh hormat. Sama sekali tidak tercermin sikapnya kepada seorang tawanan.
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di tempat yang sudah disediakan, di sebelah Pangeran Singa Narpada.
“Marilah adimas” berkata Pangeran Singa Narpada pula, “sudah cukup lama kita tidak bertemu”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Namun demikian giginya terkatub rapat-rapat. Dengan demikian Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menahan diri, agar tidak dengan serta merta mengumpat-umpat dihadapan beberapa orang saudaranya itu.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Adimas. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan. Aku minta dengan sangat, agar adimas dengan ikhlas bersedia untuk memberikan keterangan sebaik-baiknya. Karena aku datang tidak atas kehendakku sendiri. Tetapi aku mewakili semua kadang di istana Kediri."
Pangeran Lembu Sabdata masih tetap berdiam diri. Tetapi dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak.
“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada, “Yang ingin aku ketahui, sudah berapa lama adimas berada atau berkepentingan dengan tlatah Talang Amba atau lebih luas lagi daerah Gagelang ini? Menurut keterangan yang aku dengar, bukankah adimas justru pernah berada di Gagelang?"
Pangeran Lembu Sabdata tidak segera menjawab. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada Ki Sanggarana dan Senopati yang bertanggung atas seluruh pasukan yang berada di Talang Amba, “Aku mengerti, bahwa cara ini tentu bukan cara yang terbaik untuk berbicara dengan adimas Lembu Sabdata. Karena itu, aku mohon kesempatan untuk berbicara pada satu tempat yang terpisah. Aku akan membawa beberapa orang saksi termasuk para perwira dari Singasari dan sudah tentu Ki Sanggarana sendiri”
“Silahkan Pangeran” jawab Ki Sanggarana yang mengerti kesulitan Pangeran Singa Narpada untuk berbicara di tempat terbuka, karena ada beberapa hal yang mungkin tidak perlu didengar oleh beberapa orang lain. Karena itu. maka Ki Sanggarana pun kemudian mempersilahkan Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang lain untuk masuk ke Pringgitan bersama Ki Sanggarana sendiri.
Tetapi sebenarnyalah yang terpenting bagi para Pangeran dari Kediri dan Singasari bukan saja mendapat keterangan dari Pangeran Lembu Sabdata, tetapi juga dari para pengikutnya. Karena itu dengan demikian, mereka akan mendapat gambaran, siapa saja yang telah terlibat dalam usaha yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata yang sudah tentu tidak berdiri sendiri.
Karena itu, demikian Pangeran Singa Narpada mempersilahkan Pangeran Lembu Sabdata untuk memasuki pringgitan tanpa dapat menolaknya, maka beberapa orang yang lain telah membuat rencana mereka sendiri. Bersama para Senopati dari Singasari yang berada di Talang Amba maka para pengiring Pangeran Singa Narpada telah memencar ke banjar-banjar tempat para pengikut Pangeran Lembu Sabdata tertawan.
Ternyata tugas beberapa orang yang menemui para pengikut Pangeran Lembu Sabdata di banjar-banjar tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Pada umumnya tawanan-tawanan itu dengan terus terang mengatakan apa saja yang mereka ketahui. Tetapi yang mereka ketahui ternyata terlalu sedikit. Mereka hanya dibentuk untuk menjadi seorang pengikut yang setia dengan harapan-harapan yang sangat baik di masa depan, apabila nanti saatnya datang Kediri dapat menguasai kembali seluruh buminya yang pernah dirampas oleh Singasari.
Tetapi pada umumnya mereka tidak mengetahui cita-cita itu sampai mendasar karena mereka menangkap harapan-harapan itu dengan sangat dangkal. Itulah sebabnya, maka mereka pun dengan tekad yang menyala di dalam hati berusaha untuk menghancurkan perlahan-lahan kekuatan Singasari. Dari sedikit namun akhirnya Singasari akan runtuh.
“Apakah kalian tahu, apa artinya rencana Pangeran Lembu Sabdata untuk membuat hutan di lereng menjadi gundul?” bertanya seorang perwira dari Kediri kepada salah seorang pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
“Aku mengetahui” jawab orang itu, “dengan demikian maka daerah di bawah lereng akan mengalami kesulitan. Di musim basah akan datang banjir setiap kali dan di musim kering mereka tidak akan mendapatkan air”
“Kau tahu dengan pasti” desis perwira itu.
“Ya. Tanah di tebing akan hanyut dan bukit itu akan menjadi bukit batu dan padas” orang itu melanjutkan.
“Jika demikian, kenapa kau melakukannya juga? Apakah kau dapat membayangkan penderitaan yang akan terjadi?” bertanya perwira itu.
“Kami dengan sengaja ingin melihat Singasari hancur” jawab orang itu yakin.
“Jadi, apakah yang akan didapatkan oleh Kediri seandainya ia dapat menghancurkan Singasari? Apakah kemudian Kediri hanya akan memerintah bukit gundul berbatu-batu terjal?” bertanya perwira itu.
“Hal itu tidak terjadi atas Kediri. Hanya atas Singasari” jawab orang itu.
“Kau membedakan Kediri dari Singasari. Jika menurut tanggapanmu Kediri menang, maka Kediri akan bangkit sementara Singasari akan dihancurkan? Jadi menurut angan-anganmu, Kediri adalah daerah dengan batasan yang mana karena sebelumnya Kediri mempunyai wilayah yang hampir sama dengan Singasari? Sehingga dengan demikian, maka berarti menghancurkan Talang Amba sekarang ini juga menghancurkan satu daerah yang akan menjadi wilayah Kediri seandainya Kediri menang atas Singasari” berkata perwira itu.
Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi iapun mulai berpikir.
“Nah. Cobalah menilai apa yang telah kau lakukan” berkata perwira itu.
Namun di samping sikap dan sejauh manakah kesadaran para pengikut Pangeran Lembu Sabdata, maka para perwira dari Kediri dan Singasari itu pun mengenal siapa saja yang berada di dalam barisan Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun mereka tidak mengatakan nama-nama dari jalur kepemimpinan mereka di Kediri, namun dengan mengetahui dari kesatuan mana saja yang telah membantu Pangeran Lembu Sabdata, maka orang-orang Kediri itu akan sampai kepada satu orang pemimpin dari satu lingkungan tertentu.
Di banjar yang lain, para perwira itu ternyata telah menemukan sekelompok tawanan yang berasal dari sebuah padepokan. Ternyata mereka sama sekali bukan pengawal dari Kediri. Mereka terlibat dalam pertempuran di Talang Amba karena mereka mendapat perintah dari pemimpin mereka.
“Padepokanmu tentu sebuah padepokan yang besar?” bertanya perwira yang memeriksanya.
Orang itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya mereka pun mengangguk.
“Kenapa kalian melibatkan diri dalam permusuhan ini?” bertanya perwira itu pula.
“Aku tidak tahu” jawab salah seorang dari mereka, “Ki Ajar memerintahkan kepada kami untuk ikut dalam kesatuan ini”
“Dan pemimpin padepokanmu? Apakah ia ikut pula?” bertanya perwira itu pula.
Orang itu menggeleng. Katanya, “Hanya kami para cantrik dan jejanggan. Dua puluh orang diantara kami telah dipersiapkan. Tetapi yang kemudian ikut hanya lima belas orang”
“Berapa orang yang ada di banjar ini?” bertanya perwira itu pula.
“Yang aku ketahui hanya empat orang. Aku tidak tahu. dimana saja kawan-kawanku yang lain” jawab orang itu.
Perwira itu mengangguk-angguk. Ia mempercayai jawaban-jawaban orang itu. Dan ternyata bahwa orang itu memang tidak banyak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mereka hanya sekedar melakukan perintah dari pimpinan padepokannya.
Ternyata bukan hanya satu padepokan saja yang telah terlibat. Tetapi beberapa padepokan dan kelompok-kelompok orang yang tidak puas menanggapi perkembangan masyarakat. Mereka yang berkeberatan membayar pajak mendapat janji pembebasan pajak untuk satu daerah yang akan menjadi daerah perdikan. Para pemimpin dari Kediri dan Singasari itu pun melihat, bahwa jaring-jaring yang dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang saudaranya itu ternyata cukup luas.
Sementara itu di pringgitan rumah Ki Sanggarana, Pangeran Singa Narpada bersama seorang perwira dari Singasari, di Talang Amba dan Sanggarana sendiri sedang bertanya tentang beberapa hal kepada Pangeran Lembu Sabdata disaksikan oleh Ki Waruju. Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap bersikap bermusuhan dengan orang-orang yang sedang mempertanyakan beberapa hal tentang dirinya itu.
“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku memerlukan bantuanmu untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh Kediri dan Singasari sekarang ini. Jika kau sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga, maka kami akan mengalami banyak kesulitan untuk mencari jalan yang paling baik. Yang tidak merugikan segala pihak dan bermanfaat”
“Apa yang baik kakangmas tidak selalu baik bagiku. Yang bermanfaat bagi Kediri dan Singasari sekarang ini, tidak selalu bermanfaat menurut pendapatku” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Kau benar adimas. Tetapi yang ingin kami ketahui adalah alasanmu. Penjelasan-penjelasan dan mungkin beberapa kenyataan yang dapat kau tunjukkan kepada kami sehingga memaksa adimas melakukan langkah-langkah seperti sekarang ini" berkata Pangeran Singa Narpada.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata nampaknya sama sekali tidak tertarik. Katanya, “Apa yang dapat aku katakan tentang sikapku? Yang aku katakan tentu tidak akan dipercaya. Karena itu kakangmas, sebaiknya kita hentikan saja pembicaraan ini. Jika kakangmas atas nama Kediri yang rapuh atau Singasari yang tamak itu akan menghukum aku, lakukanlah. Aku tidak akan berkeberatan menjalaninya. Aku memang seorang tawanan”
“Hatimu menjadi sekeras batu adimas. Sebenarnya kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk mencari penyelesaian sebagaimana kadang sendiri. Memang tidak dapat diingkari, tentu ada perbedaan sikap diantara kita. Jika tidak, maka kau dan beberapa orang saudara kita tentu tidak akan melakukan hal seperti ini. Namun justru perbedaan sikap itulah yang ingin kami ketahui” berkata Pangeran Singa Narpada yang masih saja nampak sabar dan sareh.
Pangeran Lembu Sabdata menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang perlu aku katakan. Sepatah kata aku menjawab, maka segera menjadi jelas, bahwa arah kita berlawanan. Karena itu, jawaban itu tidak akan ada gunanya sama sekali”
“Bagaimana jika ternyata kami dapat mengerti alasan-alasanmu, sehingga kami pun akan merubah arah?” desis Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Lembu Sabdata tertawa betapapun pahitnya. Katanya, “Jangan menganggap aku masih terlalu kanak-kanak menanggapi persoalan ini. Baiklah kita sudahi saja pembicaraan ini. Agaknya tidak akan ada gunanya. Jika aku sekarang akan digantung, biarlah kakangmas menyediakan tambang di halaman. Bukankah tugas kakangmas akan cepat selesai”
Nampak perubahan pada wajah Pangeran Singa Narpada. Namun ia masih dengan sareh berkata, “Baiklah adimas. Jika hari ini kau tidak ingin mengatakannya, maka aku akan menunggu kesedianmu dengan sabar. Aku akan berada di Kabuyutan ini barang dua tiga hari. Dan jika saat itu masih belum cukup, maka aku pun akan menunggu sampai kapan pun”
“Tidak ada gunanya" geram Pangeran Lembu Sabdata, “Meskipun kakangmas ada disini sampai kiamat, aku akan tetap menganggap bahwa pembicaraan diantara kita tidak akan ada gunanya. Bahkan seandainya kakangmas akan mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh para pengawal di Kediri yang sedang memeriksa seorang penyamun, aku pun merasa tidak perlu untuk memberikan keterangan apapun juga sampai tubuhku menjadi hancur lumat”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin mengendapkan isi dadanya yang mulai terangkat naik. “Adimas, agaknya suasana di Kabuyutan ini perlahan-lahan akan menjadi berangsur baik. Kehidupan akan menjadi tenang dan berlangsung wajar. Sementara itu, diantara kita masih terdapat jurang yang tidak terjembatani” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Memang. Tidak ada jembatan yang dapat menghubungkan pendirian kita masing-masing. Kami adalah orang-orang yang berdiri diatas harga diri, sementara pihak yang lain adalah orang-orang yang berhati ilalang. Karena itu, setiap pembicaraan hanya akan membuang waktu saja. Dan itu sebaiknya tidak usah dilakukan” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, kami akan kembali ke pendapa. Biarlah adi Pangeran berada di pringgitan ini”
“Aku akan kembali akan ke banjar” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Banjar mana?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Banjar padukuhan induk ini” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Siapa yang memerintahkan adimas ke sana?” bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
“Tidak ada. Itu adalah keinginanku sendiri” jawab Pangeran Lembu Sabdata dengan nada keras.
“Sayang adimas” suara Pangeran Singa Narpada menurun, “adimas adalah seorang tawanan seperti yang adimas katakan sendiri. Karena itu, adimas tidak berhak untuk menentukan apapun juga meskipun atas diri adimas sendiri. Bukankah begitu? Jika diantara kita masih di antara dengan anggapan bahwa adimas adalah seorang tawanan kami, maka segalanya akan berlaku sebagai mana seharusnya bagi seorang tawanan”
Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu adalah ungkapan kemarahannya. meskipun dengan sekuat kemampuan telah dikekangnya. Meskipun demikian Pangeran Lembu Sabdata masih juga tidak mau tunduk. Karena itu, maka katanya, “Perlakukan aku sebagai tawanan. Aku tidak akan menyesal”
Pangeran Singa Narpada mengatupkan giginya rapat-rapat. Namun ia masih tetap berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Pangeran, saudara tua Pangeran Lembu Sabdata. “Jika demikian adimas, kau akan tetap tinggal di pringgitan ini. Kau tidak akan dibawa pergi kemanapun juga. Nanti kita akan bertemu lagi. Mungkin kau sudah mempunyai kesempatan untuk berbicara lebih baik dari sekarang”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Ia tidak menghiraukan lagi ketika orang-orang yang berada di pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua orang pengawal yang selalu mengawasinya.
“Penjilat” geramnya ketika orang-orang yang berada di pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua orang pengawal yang akan selalu mengawasinya.
“Penjilat” geramnya ketika orang-orang itu sudah tidak berada lagi di pringgitan.
Kedua pengawal itu hanya saling berpandangan. Mereka tidak menjawab dan tidak berbuat apa-apa.
“Penjilat” sekali lagi mereka mendengar suara Pangeran Lembu Sabdata. Ketika kemudian keduanya berpaling kepadanya, maka Pangeran itu menunjuk mereka berdua berganti-ganti, “Kalianlah pengkhianat dan penjilat itu”
Kedua orang pengawal itu mengerutkan keningnya. Kemudian seorang diantaranya bertanya, “Kenapa Pangeran menuduh aku sebagai pengkhianat dan penjilat dan penjilat”
"Kau bersedia menjalankan perintahnya meskipun kau tahu bahwa itu tidak benar” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Yang mana yang tidak benar Pangeran?” bertanya salah seorang dari keduanya.
“Apakah kau menolak kebenaran perjuanganku? Apakah kau tidak tahu bahwa aku ingin membebaskan Kediri dari kuasa Singasari?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Oh, itukah yang Pangeran maksud?” bertanya seorang dari kedua pengawal itu.
“Ya” jawab Pangeran Lembu Sabdata tegas.
“Pangeran benar” desis pengawal itu.
“Jadi kau sependapat dengan aku?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran benar, bahwa aku tidak tahu apa yang Pangeran perjuangkan. Aku tidak tahu bahwa Pangeran akan membebaskan Kediri dari kuasa Singasari” desis pengawal itu.
Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Dengan wajah yang tegang ia bergumam, “Penjilat, pengecut, pengkhianat. Alangkah bodohnya kau”
Tetapi para pengawal itu memang sudah mendapat pesan, bahwa mereka harus berhati-hati. Mereka harus mempersiapkan diri, bukan saja lahiriah, apabila Pangeran itu berusaha untuk melarikan diri. Tetapi juga sikap batin mereka menghadapi Pangeran yang keras kepala itu. Karena itu, maka keduanya pun kemudian tidak menanggapinya. Dibiarkannya saja apa yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seorang diantara para pengawal itu sempat menjawab,
“Pembicaraan diantara kita tidak akan ada gunanya Pangeran. Sikap kita berbeda. Landasan berpikir kita juga berbeda. Sebagaimana Pangeran mengatakan kepada Pangeran Singa Narpada bahwa lebih baik kita tidak ada pembicaraan sama sekali. Jika Pangeran masih ingin mengumpati kami berdua, silahkan. Memang aku tidak mendapat pesan untuk melarang”
“Gila” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Kedua pengawal itu tidak menjawab lagi. Namun mereka tetap bersiaga mengamati tawanan mereka yang memang berhati batu. Ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata untuk selanjutnya memang tidak mau berbicara. Karena itu. maka akhirnya Pangeran itu pun dikembalikan ke banjar pedukuhan induk.
Namun Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Hari ini pembicaraan diantara kita, kita akhiri. Besok kita akan berbicara lagi. Mungkin sikapku akan berbeda dengan sikapku hari ini. Agaknya adimas sudah mengetahui akan hal itu. Aku bukan seorang yang dapat terbatas. Pada suatu saat mungkin aku akan melakukan satu tindakan yang kurang bijaksana”
“Kakangmas mengancam aku. Apakah kakangmas masih menduga bahwa dengan cara apapun juga aku akan bersedia berbicara” geram Pangeran Lembu Sabdata
“Ya. Aku yakin bahwa pada Suatu saat kau akan berbicara. Ketahanan jasmani dan jiwani seseorang memang sangat terbatas. Dan kekerasan kepalamu pun akan terbatas” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Aku bukan pengecut. Bukan penjilat dan aku sama sekali tidak gentar meskipun tubuhku akan lumat dalam hukuman picis sekalipun” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
Tetapi suaranya kemudian terputus ketika Pangeran Singa Narpada berkata, “Kau bukan orang yang berhati tabah. Kau tentu akan berbicara sebagaimana kau menyerah. Hanya orang-orang yang tabah saja akan bertempur sampai saat terakhir. Tetapi yang kau lakukan adalah satu kelicikan pula. Menyerah. Apakah itu sifat kesatria. Karena itu. dalam keadaan terpaksa kau nanti atau besok lusa, tentu akan berbicara. Bukan salahku jika besok atau besok lusa kau tidak lagi dapat mengenali aku dan sifat sifatku hari ini. Sebenarnyalah aku memang seorang yang buas dan kasar”
Wajah Pangeran Lembu Sabdata memang menjadi tegang. Dengan sorot mata yang memancarkan gejolak perasaannya, ia memandang Pangeran Singa Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada itu pun tidak menghiraukannya lagi. Yang kemudian dihargai oleh Pangeran Lembu Sabdata adalah Senapati prajurit Singasari yang akan membawanya ke banjar.
“Aku bukan Pangeran Singa Narpada, Pangeran. Aku bukan orang yang dapat berbicara dengan lemah lembut. Dan aku bukan saudaramu. Karena itu. Pangeran jangan bersikap kasar kepadaku sebagaimana Pangeran bersikap terhadap Singa Narpada yang sabarnya melampaui setiap orang yang pernah aku kenal. Dadanya seakan-akan luasnya melampaui luasnya samodra”
“Jika demikian, kau mau apa?” Pangeran Lembu Sabdata masih mencoba mengatasi pribadi Senapati itu.
“Jika perlu, kami akan mengikat Pangeran dan menariknya di belakang pedati. Aku tidak perduli bahwa Pangeran akan menjadi tontonan dan dilempari batu oleh anak-anak?” sahut Senapati itu.
Darah Pangeran Lembu Sabdata bagaikan mendidih mendengar kata-kata Senapati itu. Tetapi menurut Pangeran Lembu Sabdata Senapati itu bukan orang yang berdiri pada tataran yang sama dengan dirinya, sehingga karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata menganggap bahwa ia tidak pantas berbantah dengan Senapati kecil itu. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata selanjutnya tidak lagi menolak untuk dibawa ke banjar.
“Silahkan masuk” berkata Senapati itu kepada Pangeran Lembu Sabdata ketika mereka sampai di banjar. Sebuah bilik khusus telah disediakan bagi Pangeran itu.
Ketika kemudian pintu bilik yang kuat itu ditutup dan diselarak, Pangeran Lembu Sabdata menghentakkan tangannya pada dinding biliknya sehingga dinding itu terguncang. Para pengawal dengan serta merta telah bersiaga, karena mungkin sekali Pangeran itu akan dapat memecahkan dinding.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata kemudian dengan lemahnya duduk diatas sebuah amben kayu di sudut bilik itu. Terdengar ia mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat berbuat apapun juga untuk melawan keadaan yang harus dijalaninya. Memang ada penyesalan bahwa ia menyerah dalam peperangan itu. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun demikian ia masih juga bergumam, “Kenapa aku tidak memilih mati waktu itu”
Di luar para pengawal mengamati. Dinding dan pintu bilik itu. Namun agaknya Pangeran itu menjadi lebih tenang menurut pengamatan dari luar.
Tetapi Sebenarnyalah bahwa jantung Pangeran itu masih tetap bergejolak. Kegagalannya itu benar-benar telah melenyapkan harapan yang telah disusunnya. Meskipun demikian ia masih mempunyai harapan, bahwa saudara-saudaranya yang lain akan berhasil dan bahkan berusaha untuk dapat melepaskannya.
Dalam pada itu, ketika malam menyelubungi Kabuyutan Talang Amba, maka terasa suasana menjadi lebih tenang. Para tawanan telah tertidur di ruang masing-masing, sementara itu di pendapat rumah Ki Sanggarana Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang yang datang bersamanya, masih juga digelisahkan oleh sikap Pangeran Lembu Sabdata.
“Ki Sanggarana” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnya aku gelisah tentang diriku sendiri. Mungkin aku akan dapat berbuat di luar pengamatan nalarku. Aku memang orang yang kasar. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin merusak citra para keluarga Keraton Kediri. Bahwa orang-orang Kediri pada umumnya adalah orang-orang kasar seperti aku. Tetapi tanpa berbuat demikian, aku nampak terlalu lemah di mata adimas Pangeran Lembu Sabdata."
“Memang diperlukan kesabaran Pangeran” berkata Ki Sanggarana, “Mudah-mudahan pada satu saat semuanya akan dapat dipecahkan”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun berharap agar ia akan dapat melakukan tugas itu dengan baik tanpa menumbuhkan persoalan-persoalan baru bagi Kediri. Dengan gejolak yang masih saja mengetuk-ketuk jantung Pangeran Singa Narpada dan mereka yang datang bersamanya itu pun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di gandok.
“Kami mohon maaf Pangeran, bahwa tempat yang dapat kami sediakan adalah tempat yang sangat sederhana” berkata Ki Sanggarana.
“Semuanya sudah memenuhi keperluan Ki Sanggarana, kami mengucapkan terima kasih” jawab Pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, malam di Kabuyutan Talang Amba itu menjadi semakin sepi. Rumah-rumah pun telah ditutup, bukan saja pintu-pintunya, tetapi juga regol-regol halaman. Hanya di gardu-gardu sajalah anak-anak muda masih berjaga-jaga, sebagaimana mereka lakukan. Sedangkan di banjar-banjar dan tempat para tataran, prajurit Singasari. melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, selagi kesunyian semakin mencengkam, Ki Waruju telah memanggil Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan berbisik ia berkata, “Agaknya sesuatu akan terjadi malam ini. Aku mendapat firasat buruk, meskipun barangkali hanya sekedar bayangan-bayangan suram yang bermain di dalam angan-angan yang sedang dicengkam kegelisahan ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Pergilah ke Banjar. Aku tidak dapat pergi. Mungkin setiap saat aku diperlukan untuk berbicara disini. Jika persoalannya sangat gawat, suruhlah para peronda untuk membunyikan isyarat. Tetapi cobalah atasi agar tidak menimbulkan kegelisahan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa mereka harus berjaga-jaga sebaik-baiknya di banjar padukuhan induk, di tempat Pangeran Lembu Sabdata di tahan.
“Apakah mungkin Pangeran itu akan melarikan diri paman?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak dapat mengatakannya” jawab Ki Waruju, “Aku hanya mendapat firasat tidak baik. Aku merasa dicengkam oleh kegelisahan dan dugaan bahwa sesuatu akan terjadi. Tetapi aku sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi itu. Bahkan mungkin memang tidak akan terjadi apa-apa. Namun demikian kita wajib berhati-hati."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami akan pergi ke banjar. Kami akan menghubungi para petugas meskipun kami yakin bahwa mereka pun akan melakukan tugas mereka sebaik-baiknya"
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah pergi ke banjar. Seperti biasanya, keduanya berada diantara anak-anak muda Kabuyutan Talang Amba yang berada di banjar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menghubungi para prajurit Singasari yang bertugas di tempat itu pula.
“Pangeran itu memang keras kepala” berkata seorang prajurit, “berhadapan dengan Pangeran Lembu Sabdata, maka seseorang memang harus berlaku agak keras. Seperti pada saat membawanya ke rumah Ki Sanggarana. Namun dengan sikap yang terlalu lunak seperti sikap Pangeran Singa Narpada, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata sulit untuk diharapkan dapat memberikan keterangan. Bahkan nampaknya ia telah menganggap para petugas yang datang dari Kediri dan Singasari itu terlalu lemah menghadapinya”
“Tetapi sudah tentu bahwa para petugas itu berlaku kasar” berkata Mahisa Murti, “mereka harus melakukan tugas mereka dengan bijaksana”
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak akan dapat banyak mengharapkan hasilnya jika cara yang ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada itu masih dilakukannya untuk selanjutnya.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di gardu anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang menjaga banjar Padukuhan Induk. Penjagaan yang harus mengawasinya beberapa orang tahanan terpenting, termasuk Pangeran Lembu Sabdata.
Nampaknya malam itu tidak ada tanda-tanda sebagaimana digelisahkan oleh Ki Waruju. Pangeran Lembu Sabdata justru telah tertidur dengan nyenyaknya. Demikian juga beberapa orang tawanan yang lain, yang diletakkan di bilik yang lain pula.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun yang dikatakan oleh Ki Waruju itu hanya berdasarkan kepada firasatnya saja, dan sama sekali tidak berdasarkan kepada keterangan-keterangan atau tanda-tanda lainnya, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengabaikannya.
Dalam pada itu, semakin malam, banjar Padukuhan Induk itu pun menjadi semakin sepi. Para pengawal Kabuyutan pun mulai membagi tugas. Sebagian dari mereka akan beristirahat, sedangkan yang lain akan berjaga-jaga. Demikian juga para prajurit Singasari yang berada di banjar pun sebagian telah beristirahat pula.
Dua orang Senopati bertanggung jawab atas tugas para prajurit Singasari itu. Mereka akan bertugas bergantian. Seorang diantara mereka akan beristirahat. Jika tengah malam telah lewat, maka mereka akan bergantian melakukan tugas mereka.
Namun dalam pada itu, yang berada diluar pembagian tugas itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka tidak termasuk ke dalam para pengawal Kabuyutan atau para prajurit Singasari, sehingga dengan demikian, mereka berdua harus membagi tugas mereka sendiri. Mahisa Pukat yang kemudian mendapat giliran untuk beristirahat lebih dahulu, sementara Mahisa Murti akan berada diantara anak-anak muda Talang Amba yang bertugas.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka banjar itu pun menjadi semakin sepi pula. Selain para petugas, maka orang-orang yang berada di halaman itu sudah tertidur nyenyak. Hanya beberapa orang sajalah yang masih tetap berjaga-jaga. Beberapa orang bertugas di bagian belakang banjar, sedang yang lain ada di bagian depan. Sementara itu. khusus bilik yang dipergunakan oleh Pangeran Lembu Sabdata telah mendapat pengawasan khusus, karena banyak hal akan dapat terjadi. Pangeran yang keras hati itu akan dapat melakukan apa saja yang bahkan tidak diduga sebelumnya.
Tetapi jika terjadi sesuatu, maka para prajurit Singasari yang mengawasi bilik Pangeran Lembu Sabdata itu tentu akan dapat bertindak cepat. Bahkan jika mereka merasa tidak mampu melakukannya, maka mereka pun tentu akan memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Namun dalam itu, Mahisa Murti yang terpengaruh oleh keterangan Ki Waruju menjadi sangat berhati-hati mengamati keadaan. Mungkin terjadi sesuatu diluar pengamatan wadag para prajurit dan anak-anak muda Talang Amba, sehingga akan dapat terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.
“Mudah-mudahan firasat K) Waruju itu tidak terjadi” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak akan lengah sama sekali.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti itu pun telah berada diantara para petugas yang berjaga-jaga di pintu butulan di halaman belakang. Dua orang anak muda Talang Amba duduk di sebelah pintu butulan itu dengan tombak tersandar di dinding. Untuk beberapa saat, mereka masih berbincang tentang keadaan Kabuyutan Talang Amba. Namun suara kedua orang anak muda itu semakin lama serasa menjadi semakin dalam.
“Sst” desis Mahisa Murti, “apakah kalian sudah mulai mengantuk?”
Kedua orang anak muda itu menghentakkan diri dan bangkit sambil memandang langit yang digayuti oleh beribu bintang. Namun salah seorang diantara mereka bergumam, “Malam ini memang agak lain. Rasa rasanya aku menjadi sangat mengantuk”
“Bukankah tugasmu sampai lewat tengah malam?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Waktuku bertugas tidak terlalu lama lagi. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat bertahan sampai tepat tengah malam” jawab seorang diantara kedua petugas itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Beberapa saat kedua orang yang bertugas mengawasi pintu butulan itu melangkah mondar-mandir untuk melenyapkan cengkaman perasaan kantuk mereka. Namun di luar kuasa mereka, maki mereka pun telah kembali duduk di tempat mereka semula sambil menyandarkan tombak mereka.
Mahisa Murti pun ternyata mulai disentuh oleh perasaan serupa. Matanya seakan-akan dibebani oleh kantuknya yang hampir tidak terlawan. Mahisa Murti makin menjadi cemas. Ia teringat kepada pesan Ki Waruju Mungkin sesuatu akan terjadi malam itu. Ketika kedua orang pengawal itu justru telah benar-benar tertidur, maka Mahisa Murti pun semakin yakin, memang ada yang tidak wajar telah terjadi.
Karena itu, maka ia pun lelah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya untuk melawan kantuknya. Bukan sekedar daya tahan wajarnya, tetapi ia mulai merambah kepada alas ilmunya untuk melawan udara yang tidak wajar di banjar Kabuyutan itu. Mahisa Murti terkejut ketika ia menengok halaman depan banjar padukuhan Induk itu. Semua orang telah tertidur nyenyak bahkan pemimpin peronda diantara anak-anak muda Talang Amba itu pun telah tertidur pula.
Mahisa Murti menjadi semakin curiga. Iapun tergesa-gesa telah menghampiri Mahisa Pukat yang sedang tidur dengan nyenyaknya pula. Dengan hati-hati, agar tidak mengejutkannya, maka Mahisa Murti pun berusaha untuk membangunkan saudaranya sebelum ia terjerat semakin dalam oleh pengaruh yang tidak wajar yang mencengkam banjar Kabuyutan itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti mengalami kesulitan untuk membangunkan saudara laki-lakinya. Dalam keadaan tidur, maka Mahisa Pukat sama sekali tidak mampu melawan kekuatan yang mendesaknya ke dalam kelelapan yang semakin dalam itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah mengerahkan kemampuan ilmunya. Sambil memegang tangan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti telah mengerahkan daya tahannya untuk menolak pengaruh yang tidak sewajarnya itu.
Perlahan-lahan terasa arus yang hangat mengalir lewat genggaman tangan Mahisa Murti menjalar ke tubuh Mahisa Pukat, sehingga perlahan-lahan maka Mahisa Pukat pun diluar sadarnya telah melawan pengaruh yang mencengkam banjar itu. Dengan demikian, maka akhirnya Mahisa Pukat itu pun mulai terbangun, sementara Mahisa Murti masih tetap membantunya mempertahankan kesadaran Mahisa Pukat yang baru saja terbangun dari tidurnya itu.
“Apa yang terjadi? bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perlahan-lahan Mahisa Murti melepaskan tangan Mahisa Pukat sambil berkata, “Pertahankan dirimu dari pengaruh ini. Jangan membiarkan dirimu tertidur lagi”
Mahisa Pukat mulai menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan daya tahannya pula. “Pengaruh apakah ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin kita telah dicengkam oleh kekuatan sirep” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah berhasil menguasai dirinya dan mengatasi pengaruh sirep itu. “Kita telah benar-benar menjumpai peristiwa yang dikatakan oleh Ki Waruju” berkata Mahisa Pukat.
“Ya. Tentu ada yang tidak wajar, sehingga seseorang telah melepaskan pengaruh sirep itu” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, kita melihat keadaan. Orang terpenting disini adalah Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin orang yang melepaskan sirep ini mempunyai hubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ada pihak yang ingin melepaskannya“
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Marilah. Kita tidak boleh terlambat”
Keduanya pun kemudian dengan hati-hati telah turun ke halaman samping. Keduanya berusaha untuk tidak menampakkan diri, sehingga apabila mungkin dapat menjebak orang yang telah melepaskan sirep yang sangat tajam itu. Pertama-tama keduanya berusaha untuk melihat, apakah para prajurit Singasari juga telah terkena pengaruh sirep itu, terutama Senopati yang bertugas malam itu. Nampaknya mereka sama sekali tidak bersiap menghadapi pengaruh itu, sehingga agaknya mereka pun telah tertidur lelap.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka sama sekali belum mendengar atau melihat sesuatu yang menarik perhatian dan kecurigaan. Tetapi keduanya telah menjadi yakin, bahwa banjar kabuyutan itu tengah dikuasai oleh sirep yang tajam. Tanpa mempertahankan diri, Senopati yang memimpin tugas pengawalan itu pun telah tertidur pula.
“Untunglah bahwa kita telah mendapat pesan dari Ki Waruju” berkata Mahisa Murti sambil berbisik perlahan-lahan, “sehingga kita sempat mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan ini”
“Kau sempat mengenali suasana” sahut Mahisa Pukat, “tetapi aku justru tertidur dengan nyenyak”
“Pada saat kau tidur, belum terasa cengkaman ilmu ini” desis Mahisa Murti.
Mahisa Murti pun telah memberikan isyarat, agar keduanya berpura-pura tidur seperti orang-orang yang lain. Demikialah, maka Mahisa Murti pun telah berada di depan pintu bilik, Dibawah selarak yang besar. Disampingnya telah tertidur pula seorang prajurit yang bertugas mengawasi pintu itu. Sedangkan Mahisa Pukat berbaring pula beberapa langkah dari seorang prajurit yang tertidur sambil menyandarkan tombaknya pada dinding.
Sedangkan Senopati yang memimpin penjagaan malam itu. telah tertidur pula di sudut ruang depan banjar bersama dua orang prajurit yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berbaring itu harus mengerahkan segenap daya mereka untuk tidak jatuh pula ke bawah pengaruh sirep. Apalagi keduanya memang sudah berbaring sambil memejamkan mata. Rasa-rasanya mereka memang telah menyerahkan diri pada cengkaman ilmu yang tajam itu.
Tetapi dengan penuh kesadaran, ternyata keduanya mampu bertahan untuk beberapa lamanya sambil menunggu perkembangan keadaan. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Agaknya orang yang melepaskan sirep itu masih ingin meyakinkan, apakah masih ada orang yang terbangun diantara mereka yang berada di banjar itu.
Demikianlah, maka dua orang telah berjalan dengan langkah yang lamban dan sangat berhati hati memasuki halaman banjar. Dengan penuh kewaspadaan keduanya memperhatikan keadaan di banjar itu.
“Tidak ada lagi yang terbangun” berkata seorang diantara mereka.
“Kita akan dapat bekerja dengan leluasa” sahut yang lain.
“Ya. Kita harus menyelamatkan Pangeran Lembu Sabdata dari tangan Pangeran Singa Narpada yang garang itu. Mungkin pada hari berikutnya, Pangeran Singa Narpada tidak akan menunjukkan sikap pada hari-hari pertama” berkata kawannya.
Namun orang yang lain bergumam, “Tetapi selagi Pangeran Lembu Sabdata masih diperiksa di Kabuyutan ini, maka keadaannya masih akan dapat diharapkan. Tetapi jika Pangeran Singa Narpada memintanya untuk dibawa ke Kediri dan diperiksa di dalam ruang khusus Pangeran Singa Narpada, maka keadaan Pangeran Lembu Sabdata akan menjadi sangat parah”
“Kita harus menyelamatkannya sebelum keputusan itu jatuh” jawab yang lain, “agaknya disini Pangeran Singa Narpada masih mempunyai perasaan segan dihadapan orang-orang Talang Amba, tetapi jika Pangeran Lembu Sabdata telah dibawa ke Kediri, maka keadaannya akan segera berubah”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi keduanya pun mendekati banjar dengan sangat berhati-hati.
“Agaknya tidak seorang pun yang masih terbangun” berkata salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Semuanya sudah tertidur nyenyak. Kau memang luar biasa. Ilmu sirepmu pun telah mencengkam seisi banjar. Bahkan agaknya orang yang tinggal di sebelah menyebelah banjar ini pun telah terkena ilmu sirepmu pula”
Yang lain tidak menjawab. Dengan hati-hati keduanya telah naik ke tangga pendapa banjar Kabuyutan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendengar kehadiran mereka. Tetapi keduanya masih tetap terbaring sambil memejamkan mata mereka. Namun dengan demikian mereka masih harus berjuang untuk melawan kekuatan sirep yang seakan-akan telah membius seisi banjar.
Kehadiran kedua orang itu ternyata justru telah membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tetap menyadari keadaan. Ketika keduanya mulai memusatkan perhatian mereka kepada kedua orang itu, maka rasa-rasanya kantuk yang menyentuh-nyentuh perasaan mereka pun telah terusir sama sekali. Yang mencengkam jantung mereka adalah justru ketegangan. Apalagi ketika dua orang itu pun telah memasuki ruang dalam dan berdiri di ambang pintu.
“Semuanya sudah tertidur” desis yang seorang
“Luar biasa” sahut yang lain, “nah, marilah kita segera menyingkirkan Pangeran. Kesempatan kita tidak terlalu banyak. Di tangan Pangeran Singa Narpada, apalagi jika Pangeran Lembu Sabdata sempat dibawa ke Kediri, maka tidak akan ada yang dapat dirahasiakan lagi. Semuanya tentu akan dapat diperas oleh Pangeran Singa Narpada yang garang itu, sampai kepada orang yang paling tersembunyi sekalipun”
“Marilah” jawab kawannya, “Jika hal ini diketahui oleh orang-orang yang berada di rumah pemangku Buyut di Kabuyutan ini, mungkin usaha kita akan gagal”
Sejenak kemudian, maka suasana pun menjadi hening. Baru kemudian terdengar langkah kedua orang itu mendekati pintu. Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu bilik yang diselarak dari luar itu menjadi kian tegang. Sejenak ia justru memperhatikan keadaan di dalam bilik. Ia tidak mendengar suara apapun juga. Menurut dugaan Mahisa Murti, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tentu tertidur nyenyak pula.
Beberapa saat lamanya Mahisa Murti menimbang-nimbang. Apakah ia menunggu sampai orang-orang itu membuka pintu, sehingga dengan demikian, maka terbukti bahwa keduanya benar-benar akan berbuat sesuatu atas tawanan yang sangat penting itu. Atau mereka akan menunggu saja sampai keduanya mendekat dan dengan demikian, Mahisa Murti akan dapat langsung menyerang keduanya.
“Mungkin keduanya memiliki ilmu yang melampaui kemampuan kami berdua” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Jika demikian, maka salah seorang dari kami harus sempat membunyikan isyarat di serambi. Mudah-mudahan kekuatan sirep ini tidak sampai menjalar ke seluruh padukuhan”.
Namun demikian Mahisa Murti pun yakin, jika sirep ini merambah sampai ke rumah Ki Sanggarana, maka banyak orang yang akan dapat melepaskan diri dari kekuatannya. Bahkan akan menjadi sangat menarik perhatian sehingga mungkin ada diantara mereka yang datang ke banjar. Tetapi Mahisa Murti tidak dapat minta pertimbangan kepada siapapun juga. Karena itu, maka ia sendiri harus memutuskannya.
“Aku akan membiarkan keduanya masuk. Kemudian aku akan menyelaraknya dari luar. Jika mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka mereka akan segera memecahkan pintu. Dari cara mereka memecahkan pintu, aku akan melihat dan menjajagi, sampai seberapa tinggi tingkat ilmu kedua orang itu” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun kemudian tidak bergerak sama sekali ketika keduanya mendekat. Ia masih tetap berbaring di tempatnya dan berusaha untuk tetap dalam keadaan sebagaimana orang-orang lain sedang tertidur nyenyak.
Ternyata kedua orang yang mendekati pintu itu tidak banyak memperhatikan Mahisa Murti yang terbaring. Keduanya menganggap bahwa tidak seorang pun yang dapat lolos dari pengaruh sirepnya. Bahkan Senopati yang memimpin pengawalan, yang dapat ditilik dari pakaian dan sikapnya diantara para pengawal yang lain, telah tertidur nyenyak pula.
“Pangeran Lembu Sabdata berada di bilik ini” berkata salah seorang dari kedua orang itu.
“Kau yakin?” bertanya orang itu.
“Aku sudah mendapat keterangan itu. Biliknya diselarak kuat, di seberang pintu pringgitan agak kekanan” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk, katanya, “Jika demikian, kita akan membuka selarak itu. Agaknya Pangeran Lembu Sabdata pun telah terpengaruh oleh sirep itu dan tertidur pula dengan nyenyaknya, sehingga kita perlu membangunkannya”
“Aku akan menyalurkan kekuatan yang akan dapat melindunginya dari pengaruh ini, sehingga Pangeran itu akan segera terbangun” berkata yang lain.
Kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu. keduanya melangkah mendekati pintu. Meskipun keduanya menganggap bahwa orang-orang yang ada di banjar itu telah tertidur nyenyak, namun keduanya masih juga membuka selarak pintu itu dengan sangat hati-hati.
Mahisa Murti yang berbaring didekat pintu itu menahan gejolak perasaannya. Ia harus dapat menahan diri sehingga pintu itu terbuka dan keduanya masuk ke dalam. Ia harus meloncat dengan cepat, menutup pintu dan memasang selarak.
“Mudah-mudahan Mahisa Pukat tidak membuat sesuatu yang menarik perhatian keduanya” berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti rencana Mahisa Murti. Tetapi karena ia yakin bahwa Mahisa Murti tidak justru tertidur karenanya, maka iapun menahan ketegangan di dalam hatinya dan menunggu perintah Mahisa Murti selanjutnya.
“Tentu ia sudah membuat rencana menghadapi kedua orang itu” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Bahkan Mahisa Pukat yang tidak langsung berada di bagian depan bilik tempat Pangeran Sabdata ditawan, maka ia sama sekali tidak dihiraukan oleh kedua orang itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah meletakkan selarak pintu yang besar itu perlahan-lahan. Ketika derit pintu itu terdengar, maka Mahisa Murti benar-benar menjadi berdebar-debar.
“Nah” desis yang seorang dari kedua orang yang berusaha untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu, “Bukankah Pangeran tertidur nyenyak?”
“Aku akan membangunkannya. Ia harus dibawa menyingkir sebagaimana pesan Pangeran Kuda Permati” Jawab yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Dengan sangat hati-hati keduanya pun melangkah masuk.
Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu itu pun mulai mempersiapkan diri. Meskipun ia tidak melihat dengan mata terbuka sepenuhnya, namun ia dapat melihat disela-sela pelupuk matanya yang hanya sedikit terbuka. Dengan cermat Mahisa Murti memperhatikan letak selarak di sebelah pintu. Kemudian daun pintu yang terbuka seterusnya kedua orang yang berada di dalam bilik.
“Aku harus dapat melakukan dalam sekejap. Meloncat, meraih selarak sambil menutup pintu, kemudian memasang selarak itu dengan cepat” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Tetapi jika Mahisa Pukat itu tertidur, maka aku akan mengalami kesulitan”
Namun demikian Mahisa Murti tidak mempunyai kesempatan untuk melihat apakah Mahisa Pukat tidak tertidur. Namun ia percaya bahwa Mahisa Pukat akan bertahan sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang gawat itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti telah membuat perhitungan sebaik-baiknya.
Tepat pada saat kedua orang itu berjongkok di samping Pangeran Lembu Sabdata, maka Mahisa Murti pun telah bangkit dan meloncat sebagaimana telah diperhitungkan. Dengan kecepatan yang tinggi, maka iapun telah meraih selarak pintu dan sekaligus menutup daun pintu yang terbuka. Derit pintu itu bersamaan dengan derak selarak yang terpasang diluar pintu, sehingga dengan demikian, maka pintu itu telah tertutup rapat.
Pada saat yang demikian, maka Mahisa Pukat yang mengetahui bahwa Mahisa Murti telah bertindak, dengan cepat telah bangkit pula. Dengan serta merta maka iapun telah meloncat mendekat. “Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Cobalah, bangunkan Senopati itu jika mungkin. Aku akan melihat, bagaimana kedua orang itu memecahkan pintu untuk menjajagi kemampuan mereka” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun tidak bertanya lebih lanjut. Iapun segera berlari ke sudut ruangan untuk membangunkan Senopati yang tertidur nyenyak, karena agaknya ia sama sekali tidak menduga, bahwa banjar itu telah dicengkam oleh kekuatan sirep. Dengan tergesa-gesa Mahisa Pukat telah menggenggam pergelangan tangan Senopati itu untuk mengguncang kesadarannya lewat aliran darahnya.
Pada saat yang demikian, kedua orang yang berada di dalam bilik Pangeran Lembu Sabdata terkejut bukan buatan. Dengan serta merta keduanya telah terloncat bangkit. Tetapi pintu telah tertutup. Selarak telah dipasang, sehingga kedua orang itu tidak dapat keluar begitu saja tanpa memecah pintu atau dinding.
“Orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari memang gila” geram salah seorang dari mereka.
Sejenak keduanya menjadi tegang. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan yang tidak mereka duga sebelumnya akan terjadi. Dengan tegang keduanya memandang pintu yang telah tertutup. Merekapun sadar, bahwa pintu itu tentu sudah diselarak. Tetapi yang mendebarkan bagi mereka adalah, bahwa tentu ada orang-orang Talang Amba atau prajurit Singasari di banjar itu yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep mereka.
Sebenarnyalah pintu itu sendiri tidak merupakan masalah yang terlalu sulit bagi mereka. Dengan kemampuan ilmu mereka, maka keduanya akan dapat memecahkan pintu itu. Namun dengan demikian, mereka bukan berarti akan dapat dengan leluasa meninggalkan tempat itu, karena di-belakang pintu itu terdapat orang yang tentu memiliki ilmu yang mapan.
“Tidak hanya seorang” desis salah seorang diantara keduanya.
“Ya. Aku mendengar mereka berbicara” jawab yang lain.
Namun dalam pada itu, seorang diantaranya telah mengambil satu sikap. Katanya, “Kita akan meninggalkan tempat ini. Tetapi biarlah kita bangunkan Pangeran. Kecuali Pangeran akan bebas dari kemungkinan yang paling buruk dan kemungkinan untuk membuka seluruh rahasia kita, maka Pangeran pun akan dapat membantu kita menerobos perlawanan orang-orang Talang Amba atau prajurit Singasari yang mampu melawan sirep. Tentu tidak banyak. Sementara itu mereka tidak akan dapat membangunkan orang-orang yang tertidur, karena sebenarnya mereka bukan tertidur sewajarnya."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara yang lain melanjutkan, “Hanya orang yang pada dasarnya mempunyai daya tahan terhadap sirep inilah yang akan dapat kita bangunkan”
Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian bersama-sama telah membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dengan cara yang mirip dengan cara yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Karena itu, maka perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata pun telah membuka matanya dan dengan serta merta berdesis, “Kau?”
“Ya. Kami telah mendapat tugas untuk membebaskan Pangeran. Cepat bangun. Kita akan keluar dari bilik ini” jawab salah seorang dari keduanya.
“Darimana kalian masuk?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itu pun menceriterakan apa yang telah mereka lakukan dan apa yang telah terjadi kemudian. Lalu katanya, “Kita harus segera keluar sebelum orang-orang yang ada di banjar itu datang”
Pangeran Lembu Sabdata pun segera bangkit. Salah seorang dari kedua orang itu telah menyerahkan sepucuk senjata kepada Pangeran Lembu Sabdata sambil berkata "Dugaanku tidak salah. Kita harus keluar dari tempat ini dengan mempergunakan senjata. Itulah sebabnya aku telah membawa senjata ini Pangeran”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan memecahkan pintu”
Kedua orang yang berusaha menolongnya sama sekali tidak ragu-ragu. Memang tidak ada cara lain. Kemudian setelah pintu itu pecah mereka masih harus bertempur. Sejenak kemudian, mereka yang ada di dalam bilik itu pun telah bersiap. Dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka, maka mereka pun telah mengambil ancang-ancang. Demikian Pangeran Lembu Sabdata menjatuhkan perintah, maka mereka bertiga pun telah meloncat untuk memecahkan pintu.
Sejenak kemudian, maka pintu itu pun telah bergerak. Selarak pintu yang kuat itu telah patah dan pintu pun telah terbuka lebar-lebar. Namun pada saat yang demikian, tiga orang telah berdiri di luar pintu yang terbuka itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan senopati yang telah berhasil dibangunkan oleh Mahisa Pukat.
“Bukan main” desis Senopati itu, “hampir saja leherku dipenggal besok di halaman banjar ini jika aku kehilangan tahananku yang terpenting malam ini”
“Ternyata kemampuanmu tidak seberapa” desis Pangeran Lembu Sabdata, “Kau tidak dapat bertahan atas sirep yang dilontarkan oleh seorang kawanku. Karena itu minggirlah. Kau tidak akan dapat bertahan melawan kami”
“Dua orang anak muda ini dapat bertahan atas sirepmu yang licik itu” jawab Senopati itu, “Aku sama sekali tidak menduga, bahwa kepercayaan seorang Pangeran dari Kediri telah mempergunakan ilmu yang licik sekali. Kenapa kalian tidak datang dengan dada tengadah? Kalian telah datang sambil bersembunyi di balik ilmu sirepmu? Justru karena aku tidak menduga sama sekali itulah, maka aku telah menjadi lengah”
“Omong kosong” desis salah seorang yang telah menolong Pangeran Lembu Sabdata, “apapun yang kau katakan, tetapi ternyata kau tidak dapat bertahan. Jika aku licik seperti yang kau katakan, maka aku tentu sudah membunuhmu selagi kau tertidur nyenyak. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Aku membiarkan kau hidup dan merasa betapa kecilnya kau dihadapan ilmuku yang mumpuni”
Senopati itu menggeram. Katanya, “Tetapi kalian tidak akan dapat keluar dari halaman banjar ini. Pangeran lembu Sabdata adalah tawananku”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Sekarang aku mudah bebas. Di tanganku tergenggam pedang. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku”
Yang menyahut adalah Mahisa Pukat, “Pangeran. Aku mengharap agar Pangeran tidak cepat melupakan kenyataan. Pangeran tidak dapat memenangkan perkelahian diantara kita. Dan sekarang kita telah bertemu kembali. Apakah Pangeran mengira, bahwa karena pengaruh sirep ini, aku menjadi semakin lemah?”
“Persetan” geram Pangeran Lembu Sabdata, “jika kau sekarang berani mencoba menghadapi aku, maka lehermu akan menjadi taruhan”
“Aku pertaruhan leherku. Jika aku kalah Pangeran dapat mengambilnya, tetapi jika aku menang?” bertanya Mahisa Pukat.
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Tetapi ia tidak mau kehilangan banyak waktu. Karena itu, maka iapun telah bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil menggerakkan pedangnya.
“Oh” desis Mahisa Pukat, “Pangeran benar-benar ingin kembali dimasukkan ke dalam bilik itu dengan tangan terikat?”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ia sudah menduga bahwa Pangeran Lembu Sabdata itu tentu akan menyerangnya. Karena itu, maka dengan cepat ia bergeser sehingga serangan Pangeran Lembu Sabdata itu tidak mengenainya.
Bahkan ketika Mahisa Pukat kemudian bersiap menghadap ke arah Pangeran Lembu Sabdata, maka ditangannya telah tergenggam sebilah pedang.
“Setan” geram Pangeran Lembu Sabdata. Serangannya pun kemudian datang membadai.
Tetapi Mahisa Pukat memang sudah bersiap menghadapinya, karena itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan Mahisa Pukat itu pun tidak lagi bersedia menjadi sasaran serangan lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun telah menyerang pula.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu, Mahisa Murti dan Senapati yang memimpin tugas di banjar itu berdiri termangu-mangu menghadapi kedua prang yang telah berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu.
“Jangan ikut campur” berkata salah seorang dari keduanya, “Jika kalian minggir kami tidak akan membunuh kalian. Kami akan meninggalkan banjar ini bersama Pangeran Lembu Sabdata. Hanya orang yang telah bertempur melawan Pangeran itu sajalah yang akan kami bunuh”
“Apakah kami akan dapat membiarkan salah seorang diantara kami terbunuh?” bertanya Senapati itu.
“Ia telah berani melawan Pangeran” jawab orang itu.
“Kami pun berani melawan kalian. Karena itu, jangan mimpi dapat meninggalkan halaman banjar ini” geram Senapati itu.
Kedua orang itu pun segera bersiap. Senjata mereka pun segera teracu. Seorang diantara mereka berkata, “Kalian memang ingin mati”
Mahisa Murti dan Senapati yang memimpin tugas para prajurit Singasari di banjar itu tidak menjawab. Merekapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi. Mahisa Murti dan Senapati yang bertugas itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua orang yang menolong Pangeran Lembu Sabdata, itu agaknya ingin mengakhiri pertempuran dengan cepat.
Tetapi Mahisa Murti dan Senapati itu pun telah memberikan perlawanan yang sengit pula. Ternyata bahwa keduanya juga memiliki bekal yang cukup untuk melawan kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata dengan ilmu sirep yang tajam itu...
Karena itulah, maka mereka lebih baik menghindarkan diri dari Pangeran Lembu Sabdata yang akan dapat menghukum mereka, karena pada saat mereka melakukan tugas, seakan-akan apa saja yang mereka kehendaki telah dipenuhi. Sehingga dengan demikian maka pengawasan itu telah menelan beaya yang cukup banyak. Namun yang ternyata tidak ada artinya sama sekali.
Dengan demikian, bukan saja karena bahaya yang besar, tetapi juga karena pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah terjebak memasuki satu lingkungan pasukan lawan yang sangat kuat. Untuk beberapa saat para pengawas yang ingin menghindari kemarahan Pangeran Lembu Sabdata itu termangu-mangu. Namun hampir semua diantara mereka berpendapat, bahwa kekuatan orang-orang dari luar Talang Amba tentu berada di tiga padukuhan di sekitar padukuhan induk itu. Karena itulah, maka para pengawas itu menganggap bahwa yang mereka hadapi itu benar-benar hanya anak-anak muda Talang Amba saja.
“Ki Sanak” berkata salah seorang diantara para pengawas “seharusnya Ki Sanak tidak mengganggu kami. Kami sudah menyatakan bahwa kami tidak mau diadu domba dengan anak-anak muda Talang Amba. Karena itu, kami akan pergi saja. Tetapi Ki Sanak justru menghalangi kami.
“Kami terpaksa melakukannya” jawab pemimpin anak-anak muda itu “kami memerlukan keterangan selengkapnya tentang pasukan yang tiba-tiba telah menyerang Talang Amba tanpa sebab ini. Karena itu maka kami berharap bahwa kalian bersedia tinggal. Karena menurut pengamatan kami, kalian tentu termasuk orang-orang yang akan dapat memberikan keterangan kepada kami“
“Jangan memaksa“ tiba-tiba salah seorang pengawas itu menggeram “Aku akan dapat mengambil jalan kekerasan untuk meninggalkan tempat ini”
“Jika demikian sikap Ki Sanak untuk menghindari permusuhan dan adu domba itu tidak ada artinya” berkata pemimpin anak muda itu.
“Ada bedanya. Kami sekedar mempertahankan kebebasan kami. Mempertahankan hak kami sebagai seorang yang tidak berada dibawah kuasa kalian” jawab salah seorang pengawas “Karena itu maka jangan halangi kami. Dengan demikian maka kami benar-benar tidak akan bermusuhan dengan kalian”
Tetapi pemimpin anak-anak muda Talang Amba itu menggeleng. Katanya “Maaf Ki Sanak. Kami tidak akan melepaskan kalian. Kami curiga terhadap siapapun juga. Apalagi Kalian, karena kalian akan dapat menjadi penghubung untuk mendapatkan bantuan dari kawan-kawan kalian yang mungkin kini berada di disatu tempat”
“Gila“ seorang pengawas yang bertubuh tinggi besar dan berjambang panjang menggeram “Jika demikian, maka kami benar-benar akan mempergunakan kekerasan. Jangan menyesal jika dengan demikian ada diantara kalian yang terbunuh”
“Kami adalah pengawal Kabuyutan” jawab pemimpin pengawal itu “Jika ada diantara kami yang harus gugur dalam tugas ini, adalah satu akibat yang sangat wajar. Karena itu kami tidak akan takut karenanya”
Para pengawas yang ingin melepaskan diri dari tangan Pangeran Lembu Sabdata itu menggeram. Namun agaknya anak-anak muda yang menahan mereka itu benara-benar tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Karena itu, maka memang tidak ada jalan lain untuk keluar kecuali dengan kekerasan. Karena itu, maka para pengawas itupun telah mempersiapkan diri untuk bertempur.
Demikianlah, anak-anak muda Talang Amba itupun telah memencar. Mereka menghadapi para pengawas itu dari berbagai arah. Namun dengan demikian, maka para pengawas yang gagal melakukan tugas mereka itupun seakan-akan telah terkepung.
Sejenak kemudian, maka para pengawas itu pun sudah menggerakkan senjata mereka. Agaknya waktu memang terlalu sempit bagi mereka. Karena mereka harus dengan segera keluar dari Talang Amba.
Dengan demikian, maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Para pengawas itu pun segera menyerang anak-anak muda Talang Amba yang telah menahan mereka. Namun dalam pada itu, para pengawas itu pun terkejut. Meskipun diantara lawan-lawan mereka ada yang dengan cepat terdesak sehingga mereka harus bertempur berpasangan, namun ada juga diantara mereka yang justru mampu mendesak.
“Gila” geram para pengawas. Ternyata bahwa yang mereka hadapi itu pun bukan semua anak-anak muda Talang Amba. Sedangkan anak muda Talang Amba jumlahnya jauh lebih banyak dari para pengawas itu, sehingga mereka pun telah menyerang berpasangan dari segala arah.
Dalam waktu yang singkat, maka para pengawas itu segera mengalami kesulitan. Kecuali jumlah lawan yang terlalu banyak, namun diantara lawan itu pun terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang memadai. Karena itu, maka sejenak kemudian kepungan anak-anak muda Talang Amba itu pun menjadi semakin sempit, sehingga para pengawas itu kehilangan arena untuk bergerak dengan leluasa.
Meskipun demikian para pengawas gagal itu tidak segera menyerah. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka. Diantara anak-anak muda yang mengepung mereka, para pengawas itu memang melihat mata kepungan yang lemah, yang agaknya akan dapat mereka pecahkan. Tetapi setiap kali mereka menyerang bagian yang mereka anggap lemah, ternyata mereka telah membentur kekuatan yang tidak dapat mereka tembus.
Demikianlah dengan sepenuh kemampuan para pengawas itu berusaha untuk dapat melepaskan diri dari kepungan anak-anak muda Talang Amba. Atas pimpinan seorang yang berhati batu, maka mereka telah bertempur habis-habisan. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, mereka telah menghantam di satu bagian saja dari kepungan itu.
Namun justru di bagian itu rasa-rasanya mereka telah membentur gelang-gelang baja yang sangat kuat, yang tidak mungkin mereka pecahkan. Bahkan kepungan itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin menekan, sehingga mereka menjadi semakin sulit untuk bergerak. Dari segala arah rasa-rasanya ujung-ujung senjata telah teracu kepada mereka.
Akhirnya betapapun keras hati mereka, namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan. Kepungan itu tidak dapat mereka pecahkan, sementara ujung-ujung senjata menjadi semakin merapat di seputar mereka.
“Jangan keras kepala” berkata salah seorang yang menilik ujudnya tidak ubahnya seperti anak-anak muda Talang Amba, “Kalian tidak mendapat kesempatan lagi”
Pemimpin dari para pengawas itu menggeram. Namun tiba-tiba seorang diantara para pengawas itu mengaduh. Ujung senjata dari mengepung mereka itu pun mulai melukai para pengawas itu.
Ternyata pemimpin pengawas itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain. Ketika dua orang diantara mereka terluka pula, maka para pengawas itu tidak dapat lagi menolak ketika anak-anak muda yang mengepungnya itu memerintahkan mereka untuk menyerah. Dengan demikian, maka mereka pun telah melepaskan senjata-senjata mereka dan kemudian dengan patuh melakukan segala perintah-perintah anak-anak muda itu. Para pengawas itu pun kemudian telah dibawa ke dalam salah satu halaman yang tidak terlalu luas. Mempersilahkan mereka naik pendapa.
“Silahkan duduk Ki Sanak. Kalian dapat membantu mengobati kawan kalian yang terluka. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapat mempersulit kedudukan kalian sendiri” perintah anak-anak muda itu.
Para pengawas itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian duduk melingkar di pendapa. Dengan obat yang ada pada mereka, maka para pengawas itu telah mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Sementara itu, beberapa orang anak muda Talang Amba bersiap-siap serta mengawasi mereka di halaman.
Dalam pada itu, selagi para pengawas yang duduk di pendapa itu mengumpat-umpat dengan gelisah karena nasib mereka yang buruk itu, di padukuhan di sekitar padukuhan induk, pasukan Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur dengan sengitnya. Kedua belah pihak berusaha untuk segera dapat menguasai lawannya.
Ternyata jumlah anak-anak muda Talang Amba yang jumlahnya lebih banyak, apalagi diantara mereka terdapat anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, mempunyai pengaruh yang besar pada pertempuran itu. Jika para pengikut Pangeran Lembu Sabdata ingin menyelesaikan lawan mereka sebelum tengah hari, maka ternyata mereka justru telah terdesak semakin menjauhi padukuhan-padukuhan itu.
Meskipun pasukan cadangan telah dikerahkan, dan bahwa Pangeran Lembu Sabdata sendiri telah mendekati arena pertempuran, namun ternyata bahwa pasukan Pangeran itu tidak berhasil segera mendesak lawannya. Bahkan terasa betapa beratnya tekanan lawan yang justru telah keluar dari padukuhan-padukuhan menyongsong kehadiran para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin memuncak. Tiba-tiba saja ia memanggil beberapa pengawalnya dan berkata, “Kita harus mempengaruhi hati dan jantung orang-orang Talang Amba dan barangkali juga para prajurit Singasari. Kita akan membakar rumah-rumah di padukuhan-padukuhan kecil di sekeliling padukuhan ini”
“Lalu, siapakah yang harus melakukannya?” bertanya pengawalnya.
“Panggil dua orang. Mereka harus pergi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Membakar rumah dan isinya bukannya satu pekerjaan yang sulit. Dalam sekejap hal itu dapat dilakukan” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawalnya pun tidak membantah. Bahkan dengan tergesa-gesa ia telah memanggil dua orang pengawal dan ditarik dari arena.
“Pergi ke padukuhan-padukuhan kecil itu. Bakar rumah-rumah yang ada di padukuhan itu” perintah Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawal itu pun segera mengerti maksudnya. Tetapi ia masih bertanya, “Semua rumah, atau beberapa saja untuk sekedar memberikan kesan bahwa padukuhan itu sudah terbakar”
“Bagus” desis Pangeran Lembu Sabdata, “otakmu cukup cerdas. Lakukan. Tidak semua rumah”
Pengawal. pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut. Pekerjaan itu memang lebih mudah daripada harus berada di medan, bertempur dengan anak-anak muda Talang Amba. Namun yang memiliki kemampuan prajurit Singasari
Demikianlah, maka kedua pengawal itu pun segera pergi ke padukuhan yang paling dekat dengan padukuhan yang menjadi arena pertempuran itu. Dengan penuh dendam dan kebencian keduanya siap untuk melakukan perintah Pangeran Lembu Sabdata. Alangkah mudahnya tugas mereka. Membakar rumah-rumah yang terbuat dari dinding bambu atau kayu.
“Kita akan memilih satu yang paling mudah untuk dibakar sebelum kita membakar yang lain. Rumah yang beratap ilalang meskipun kecil, tetapi akan cepat memanggil perhatian. Kemudian rumah yang lebih, besar dan bahkan rumah yang terbesar di padukuhan itu” geram salah seorang diantara kedua pengawal yang mendendam itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata dengan gelisah menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sulit bagi para pengikutnya. Di semua medan, pasukan Pangeran Lembu Sabdata telah terdesak. Perlahan-lahan mereka terpaksa bergeser surut menjauhi padukuhan-padukuhan yang seharusnya mereka hancurkan sebelum tengah hari. Namun yang terjadi, mereka sama sekali tidak dapat memasuki padukuhan-padukuhan itu. Apalagi memasuki padukuhan induk.
Sementara itu, anak-anak muda Talang Amba telah bertempur dengan berani untuk mempertahankan kampung halaman mereka dari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi jika para pengikut Pangeran Lembu Sabdata berhasil memasuki Kabuyutan mereka. Apalagi setelah mereka menyadari, bahwa para prajurit Singasari yang ada di Kabuyutan itu mampu menahan serangan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat menahan serangan lawan mereka apalagi mereka harus menghadapi seorang lawan seorang, namun anak-anak muda Talang Amba itu sudah mendapat petunjuk sebelumnya bahwa sebaiknya mereka bertempur berpasangan, atau bahkan dalam kelompok-kelompok kecil sekalipun, karena jumlah mereka mencukupi.
Dalam pada itu, dengan jantung yang berdebaran. Pangeran Lembu Sabdata menunggu kedua orang yang ditugaskannya untuk memancing perhatian orang-orang Talang Amba, sehingga dalam keadaan yang gelisah, mereka akan dapat didesak mundur. Namun ternyata sudah beberapa lama ditunggu, tidak sebuah rumah pun yang terbakar. Tidak ada asap mengepul, apalagi api yang menjilat sampai ke udara.
“Gila, apakah orang-orang itu hanya tidur saja atau mereka tidak mampu membuat api?” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Mereka mempunyai thithikan. Dengan embun gelugut aren mereka akan dapat membuat api. Kemudian dengan belarak atau ilalang kering, mereka akan dengan cepat dapat membuat api” jawab salah seorang pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu.
"Tetapi kenapa mereka tidak melakukan sesuatu?” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
Tidak seorang pun diantara para pengawal khusus dari Pangeran Lembu Sabdata yang dapat menjawab. Mereka hanya saling berpandangan dengan pertanyaan yang sama di hati mereka.
Sebenarnyalah pada saat itu kedua orang pengawal yang memasuki padukuhan kecil dihadapan padukuhan yang menjadi arena pertempuran itu, telah terjebak. Ketika mereka mendekati padukuhan yang mereka kira sebuah padukuhan yang kosong sebagaimana saat mereka memasukinya menuju ke padukuhan yang telah menjadi arena pertempuran itu, tidak seorang pun yang mereka lihat. Tetapi demikian mereka berada di dalam regol, maka beberapa orang anak muda telah mengepung mereka.
“Siapa kau dan apa maksudmu? bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Namun adalah satu kenyataan bahwa mereka telah dikepung. Tetapi kedua orang pengawal itu menyangka, bahwa mereka hanya menghadapi anak-anak muda Talang Amba saja. Bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
“Orang-orang yang berilmu itu tentu berkumpul di padukuhan di sebelah padukuhan induk itu atau di padukuhan induk sendiri” berkata kedua orang itu di dalam hatinya. Karena itu, maka keduanya sama sekali tidak gentar ketika anak-anak muda itu mengacukan senjata mereka.
“Jangan besar kepala” geram salah seorang dari kedua pengawal itu, “pergi, atau kalian akan mati seperti babatan batang ilalang disini”
“Memang mengerikan” jawab salah seorang diantara anak-anak muda yang mengepungnya, “tetapi kami tidak akan membiarkan diri kami menjadi babatan ilalang disini. Kami akan menangkap kalian berdua sebelum kalian dapat membunuh seorang pun diantara kami” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Jangan terlalu sombong anak-anak muda” bentak pengawal yang lain, “Kalian belum mengenal permainan senjata yang sebenarnya”
“Kami sudah berlatih dengan sungguh-sungguh” jawab salah seorang anak muda itu, “siang dan malam. Pagi dan sore, kapan saja ada waktu. Kami menempa diri dengan tanpa mengenal lelah. Nah. karena itu, maka permainan senjata apapun tidak akan mengherankan kami”
“Anak iblis” bentak pengawal itu pula, “bayi yang belum pernah melihat api, tidak akan takut menggenggam bara meskipun kemudian tangannya akan terbakar. Kalian pun tidak akan takut mendengar ilmu pedang kami, karena kalian tidak mengerti bahayanya. Nah, sekarang kalian akan tahu, bahkan mengalami. Kalian tidak akan menganggap remeh ilmu pedang kami, setelah tangan kalian putus diatas pergelangan."
Anak-anak muda yang mengepung kedua orang pegawai Pangeran Lembu Sabdata itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu mangu. Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka pun melangkah maju sambil berkata,
“Jika hal itu terjadi, maka kami memang akan menjadi ketakutan. Tetapi aku berharap bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. Tidak seorang pun diantara kami yang akan membiarkan tangan kami terpenggal di atas pergelangan”
“Gila” salah seorang dari kedua orang pengawal itu menggeram, “agaknya kalian memang ingin mengalami bencana yang gawat bukan saja bagi dirimu sendiri, tetapi bagi Kabuyutanmu. Tetapi baiklah. Marilah kita buktikan. Siapa diantara kalian yang ingin pertama kali tangannya terputus?”
“Jangan memakai istilah itu” berkata salah seorang diantara anak-anak muda itu, “Jika kalian menantang kami, baiklah. Tetapi jangan bertanya, siapa diantara kami yang pertama-tama tangannya ingin kau putuskan”
“Persetan” pengawal itu hampir berteriak. Sementara itu pedangnya telah teracu ke arah anak-anak muda yang mengepungnya. Kedua orang itu berdiri beradu punggung dengan wajah yang tegang. Sementara ujung pedang mereka telah mulai bergetar.
Tetapi yang terjadi adalah sangat menyakitkan hati mereka. Bukan anak-anak muda yang mengepungnya itu bergeser maju dan bersama-sama menyerang mereka. Tetapi yang mendekati keduanya yang berdiri beradu punggung itu hanyalah dua orang saja diantara anak-anak muda itu. Seorang diantara kedua anak muda itu membawa sebatang tombak pendek, sedangkan yang lain membawa sepasang trisula di kedua tangannya.
“Kami telah siap Ki Sanak” berkata anak muda yang membawa trisula itu.
Kedua pengawal itu menggeram. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi kalian berdua yang ingin lebih dahulu mati?”
“Kami akan menangkap kalian. Bukan hanya kami berdua. Tetapi kami semuanya pada saatnya akan bertindak” jawab anak muda yang membawa tombak pendek.
Kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu tidak menjawab. Keduanya kemudian telah memutar pedang mereka yang panjang dan besar menurut ukuran pedang kebanyakan. Namun pedang yang panjang dan besar itu di tangan mereka nampaknya tidak lebih berat dari sepotong lidi.
Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata melawan dua orang anak muda di padukuhan yang akan dijadikan karang abang itu telah mulai. Dengan marah kedua orang pengawal itu menyerang lawannya dengan pedang terjulur. Namun kedua orang anak muda itu pun telah bersiap sepenuhnya. Mereka bergeser surut sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Justru karena kedua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang beradu punggung itu masing-masing memburu lawan mereka, maka mereka pun kemudian menjadi renggang. Tetapi kedua orang anak muda itu agaknya benar-benar ingin bertempur melawan dua orang pengawal itu tanpa orang lain. Karena itu, maka keduanya pun kemudian bersiaga sepenuhnya untuk melawan seorang lawan seorang.
Kemarahan yang memuncak telah menyeret kedua orang pengawal itu untuk melayani kedua orang muda itu. sehingga kemudian mereka memang bertempur seorang melawan seorang. Sejenak kemudian, maka di dalam kepungan anak-anak muda Talang Amba, telah terdapat dua lingkaran pertempuran antara dua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata melawan dua orang anak muda yang semula berada diantara anak-anak . muda Talang Amba itu.
Namun sebenarnyalah bahwa keduanya bukan anak muda Talang Amba itu sendiri. Dengan demikian, maka pertempuran antara para pengawal dan anak-anak muda itu pun menjadi semakin seru. Ternyata bahwa dugaan kedua orang pengawal tentang lawan-lawan mereka itu keliru.
“Apakah kedua orang ini juga bukan anak-anak muda Talang Amba?” pertanyaan ini mulai timbul di dalam hati kedua orang itu.
Namun agaknya seorang diantara para pengawal itu tidak sabar lagi. Dengan nada keras ia bertanya, “He, anak-anak muda. Katakan terus terang, apakah kalian semuanya anak-anak Talang Amba?”
“Apa pedulimu” jawab anak muda yang bertempur melawannya.
“Aku hanya ingin tahu sebelum kalian terbunuh” geram pengawal itu
“Jangan sombong” jawab lawannya, “menyerah sajalah. Seandainya kau menang atasku, apakah kau akan menang melawan sekian banyak orang?. Jika, kau membunuhku, maka kawan-kawanku akan menjadi sangat marah. Kau akan dapat menduga, akibat dari kemarahan kawan-kawanku itu. Mungkin kalian berdua akan mengalami satu keadaan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya”
“Persetan” teriak salah seorang dari kedua pengawal itu, “Aku akan membunuh kalian semuanya”
Kedua anak muda yang melawan kedua orang pengawal itu tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka telah meningkatkan serangan-serangan mereka. Tombak pendek di tangan salah seorang anak muda itu telah berputar pula. Namun tiba-tiba ujung tombak itu telah mematuk dada.
Tetapi lawannya tidak membiarkan dadanya terkoyak. Dengan tangkasnya ia menangkis dengan pedangnya yang besar dan panjang. Namun anak muda yang menggenggam tombak itu cukup tangkas. Tombaknya tiba-tiba saja bagaikan menggeliat. Dengan cepat serangannya telah berubah mendatar menyambar lambung.
Pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun menggeram. Namun ia masih sempat meloncat selangkah surut, sehingga ujung tombak itu tidak mengenainya. Meskipun demikian, pengawal itu pun menyadari, bahwa lawannya benar-benar memiliki kemampuan bermain dengan tombaknya, sehingga dengan demikian iapun menyadari bahwa lawannya bukan seseorang yang tidak mengenal takut karena tidak mengerti persoalan yang dihadapi. Lawannya itu mengerti sepenuhnya bahwa apa yang harus dilakukan dan mengerti pula nilai kemampuan pengawal itu dalam ilmu pedang.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Anak muda yang membawa sepasang trisula itu pun telah membingungkan lawannya. Kedua trisula di kedua tangannya berputar dengan cepat. Setiap kali ujung-ujungnya menyambar beruntun susul menyusul. Namun kemudian menyambar menyilang dengan ayunan yang deras.
Kedua orang pengawal itu pun kemudian meyakini, bahwa mereka memang berhadapan dengan dua orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari kedua pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun menggeram, “Apakah kalian prajurit Singasari atau Gagelang?”
Ternyata anak-anak muda itu tidak lagi ingkar. Seorang diantara mereka, anak muda yang membawa trisula itu pun menjawab, “Ya. Kami adalah prajurit Singasari. Karena itu menyerahlah. Petugas kalian telah gagal mengamati Kabuyutan Talang Amba. karena mereka tidak melihat kehadiran kami. Justru para petugas sandi dari Singasari lah yang berhasil mengawasi mereka”
“Gila” geram pengawal itu, “Meskipun kau prajurit Singasari namun kau tidak akan mampu melawan kami”
“Jangan kehilangan akal. Kemampuanmu tidak lebih baik dari kemampuanku, sementara itu di sekitar arena ini, anak-anak muda telah mengepungmu. Sebagian diantara mereka memang anak-anak muda Talang Amba. Tetapi yang lain adalah kawan-kawanku, para prajurit dari Singasari” jawab anak muda yang bersenjata trisula itu.
Kedua orang pengawal itu tidak menjawab. Tetapi senjata-senjata mereka masih terus berputar, menyambar, mematuk dan kadang-kadang justru langsung menebas leher. Namun lawan-lawannya ternyata memiliki kecepatan gerak yang dapat mendahului kecepatan sambaran pedang mereka, sehingga dengan demikian, maka senjata mereka tidak mampu menyentuh tubuh lawannya itu.
“Menyerahlah” tiba-tiba anak muda yang membawa trisula itu berdesis.
Para pengawal itu mengumpat. Tetapi anak muda yang membawa tombak itu pun menyambung, “apakah kau tidak dapat melihat kenyataan yang bakal kau hadapi? Jangan menunggu kami kehilangan kesabaran, sehingga kami akan melakukan tindakan yang barangkali tidak kalian duga sebelumnya. Karena itu, pikirkanlah”
Kedua orang pengawal itu sama sekali tidak menghiraukan. Mereka bertempur terus dengan garangnya, meskipun mereka harus. menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan lawan mereka masing-masing. Apalagi jika anak-anak muda yang lain ikut turun pula ke medan.
Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin gelisah. Setiap kali ia mengumpat Di padukuhan kecil yang ditunjuknya, belum nampak tanda-tanda asap yang mengepul. “Apakah mereka telah menjadi gila” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Para pengawalnya pun menjadi tegang. Namun mereka memang tidak melihat asap selembar pun. Apalagi sepercik api di udara.
Sementara itu, pertempuran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk pun menjadi semakin sengit. Namun agaknya anak-anak muda Talang Amba dan kekuatan yang membantu mereka berhasil mendesak lawan mereka semakin lama semakin jauh dari padukuhan. Dengan demikian, maka rencana Pangeran Lembu Sabdata untuk menyelesaikan padukuhan-padukuhan itu sebelum tengah hari, menjadi semakin jauh dari satu kenyataan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu, maka kemarahan yang hampir tidak terkendali rasa-rasanya membuat kepala Pangeran Lembu Sabdata hampir meledak. Namun ia tidak dapat berbuat banyak. Pasukan yang dibawanya dan dianggap akan dapat menyelesaikan persoalannya dengan Kabuyutan Talang Amba itu ternyata telah kandas.
“Tidak ada pilihan lain” gumam Pangeran Lembu Sabdata di dalam dirinya, “selagi pertempuran itu masih berlangsung. Aku tidak akan dapat berbuat lain kecuali menyingkir dari medan”
Karena itu. maka dipanggilnya kepercayaannya, seorang Senopati yang mengawalnya dan seorang yang dianggapnya menjadi pelindungnya.
“Apakah yang dapat aku lakukan sekarang?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata kepada pengawal-pengawal terpilihnya itu.
“Terserah kepada Pangeran” jawab orang yang dianggapnya dapat menjadi pelindungnya, karena orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Lalu orang itu pun justru bertanya, “Apakah Pangeran akan memerintahkan aku memasuki arena?”
“Apakah ada gunanya?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Mungkin ada Pangeran” jawab orang itu, “tetapi sudah tentu sangat terbatas, karena aku hanya seorang diri. Yang dapat aku lakukan adalah membuat korban sebanyak-banyaknya dipihak lawan, sebelum aku sendiri tentu akan mati pula di peperangan, kecuali jika aku melarikan diri."
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau tidak usah memasuki arena, jika akhirnya kau pun akan mati. Sekarang, kita mengambil jalan terbaik yang dapat kita tempuh”
Pengawal-pengawalnya itu pun mengerti, bahwa Pangeran Lembu Sabdata ingin menghindar dari arena pertempuran itu. Seperti pada pertempuran yang pernah terjadi antara orang-orang Gagelang dengan orang-orang Talang Amba yang juga disisipi oleh prajurit Singasari, maka Pangeran Lembu Sabdata akan meninggalkan arena.
Karena itu, maka pengawal-pengawalnya yang terpilih itu pun kemudian telah mempersiapkan diri. Pengawalnya yang dianggapnya memiliki ilmu yang tinggi dan akan dapat melindunginya itu pun bertanya, “Apakah Pangeran ingin keluar dari negara ini?”
“Ya, Aku tidak mau terkurung dalam lingkungan yang tidak aku duga sebelumnya karena kedunguan orang-orang yang aku percaya itu” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Pengawalnya itu mengangguk-angguk. Tanpa menghiraukan nasib para pengikutnya yang lain, maka Pangeran Lembu Sabdata telah bersiap-siap untuk menyingkir dari medan.
Namun ternyata pengalaman orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari telah memberikan pelajaran tentang sikap Pangeran yang licik itu. Karena itulah, maka di padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan yang menjadi medan pertempuran itu, ditempatkan beberapa orang prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba yang dapat mengawasi seluruh jalan keluar dari Talang Amba.
Bahkan beberapa orang telah ditugaskan oleh Senopati prajurit Singasari yang memimpin pasukan yang bertugas di Talang Amba itu beberapa orang khusus untuk menemukan, dimana pimpinan tertinggi pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu berada. Karena itulah, maka akhirnya Senopati dari Singasari itu mengetahui, bahwa Pangeran Lembu Sabdata berada di belakang medan diluar salah satu padukuhan yang menjadi ajang pertempuran itu.
“Biarlah kami menyelesaikannya” berkata Senopati itu kepada Ki Sanggarana.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mendekat sambil berkata, “Kami pernah kehilangan Pangeran itu ketika pertempuran serupa ini terjadi. Biarlah kami menjumpainya sekali lagi. Meskipun demikian, kami mohon untuk dapat diawasi agar Pangeran itu tidak akan dapat melarikan diri untuk kedua kalinya”
“Kami tidak hanya sekedar mengawasi. Tetapi kami akan menyertakan beberapa orang bersama kalian” berkata Senopati itu, “Pangeran Lembu Sabdata dibayangi oleh beberapa orang pengawal. Tentu pengawal-pengawal kepercayaannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan. Sehingga dengan demikian, maka bersama beberapa orang mereka pun telah berusaha untuk dapat menutup jalan keluar bagi Pangeran Lembu Sabdata apabila hal itu akan dilakukannya lagi.
Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan tempatnya, maka seorang prajurit Singasari yang mengamati keadaan sekelompok pemimpin dan pengawal-pengawalnya itu dengan tergesa-gesa datang memberikan laporan kepada Senopati dari Singasari itu, “Orang yang kita duga sebagai pimpinan tertinggi pasukan lawan itu, bersiap-siap untuk meninggalkan medan”
“Jadi mereka akan melarikan diri? bertanya Senopati itu.
“Satu kemungkinan besar” jawab pengamat itu.
“Apakah mereka sudah mulai bergerak?” bertanya Senopati itu pula.
“Ya. Dua orang kawanku mengamati mereka” jawab pengamat itu.
“Baiklah. Kita akan mengikutinya. Tetapi mereka tidak akan dapat terlepas dari pengawasan anak-anak muda yang berada di padukuhan-padukuhan kecil” jawab Senopati itu.
“Tetapi apakah kekuatan mereka cukup untuk menahan Pangeran itu” desis prajurit Singasari yang memberikan laporan itu.
Mereka ternyata tidak membuang waktu lagi. Senopati itu pun kemudian memberikan aba-aba untuk bergerak. Atas petunjuk prajurit yang memberikan laporan itu, maka mereka pun langsung menuju ke sasaran.
Tetapi seperti yang sudah dilaporkan, Pangeran Lembu Sabdata memang sudah meninggalkan tempatnya. Satu diantara dua orang prajurit Singasari yang mengawasinya masih ditinggal di tempatnya oleh kawannya yang lain, yang mengikuti arah Pangeran Lembu Sabdata yang menyingkir itu.
“Kita menuju ke padukuhan kecil itu” berkata pengawas yang ditinggalkan, “mereka memasuki padukuhan itu”
“Apakah anak-anak muda dan prajurit Singasari di padukuhan itu cukup kuat untuk menahannya agar Pangeran itu tidak melarikan diri?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak tahu” jawab pengawas itu, “tetapi beberapa pengawal Pangeran Lembu Sabdata nampaknya memiliki kemampuan untuk menerobos kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan kecil”
“Jadi cara Pangeran itu melepaskan diri agak berbeda” berkata Mahisa Pukat, “pada pertempuran terdahulu, Pangeran itu seorang diri menyelinap di antara pertempuran itu sendiri. Sekarang ia membawa beberapa orang pengawal untuk melindunginya”
“Medannya pun berbeda” sahut Mahisa Murti, “pada pertempuran itu, kita belum mempunyai pengalaman, sehingga tidak ada orang yang bertugas untuk mengamatinya jika ia melarikan diri. Apalagi waktu itu Pangeran itu tidak menyatakan dirinya sebagaimana seorang Pangeran, sehingga sulit untuk mengamatinya”
Demikianlah, maka kelompok kecil itu pun telah segera menyusul ke padukuhan kecil yang ditunjukkan oleh prajurit Singasari yang mengawasi Pangeran Lembu Sabdata. Mereka menjadi agak tergesa-gesa ketika mereka menerima laporan bahwa Pangeran Lembu Sabdata ternyata telah dikawal oleh beberapa orang yang mungkin akan mampu menerobos kekuatan anak-anak muda dan beberapa orang prajurit yang ada di padukuhan kecil itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata yang tidak menyangka bahwa di padukuhan-padukuhan kecil itu masih ada beberapa orang anak-anak muda yang berjaga-jaga, maka tanpa ragu-ragu maka bersama pengawalnya, iapun telah memasuki padukuhan itu. Namun kelompok itu menjadi terkejut karenanya, ketika mereka telah bertemu dengan beberapa orang anak muda yang agaknya memang telah menunggu.
“Anak Setan” geram Pangeran Lembu Sabdata, “siapakah kalian he?”
“Kami adalah anak-anak Talang Amba” jawab salah seorang anak muda. Lalu, “siapakah kalian?
“Minggir” geram Pangeran Lembu Sabdata aku hanya akan lewat. Aku tidak mau terlibat ke dalam pertempuran yang tidak aku ketahui ujung pangkalnya itu”
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka sudah mendapat pemberitahuan dari padukuhan sebelah, bahwa ada beberapa orang pengikut Pangeran dari Kediri yang ingin melarikan diri, sehingga terpaksa menahan mereka dengan kekerasan. Sementara itu dari padukuhan yang lain anak-anak muda itu mendengar bahwa ada dua orang yang akan membakar rumah dan bahkan seisi padukuhan. Karena itu, maka mereka telah bersiaga sepenuhnya. Sekelompok orang yang akan lewat itu pun tentu orang-orang yang akan melarikan dari medan.
Dengan demikian, maka pemimpin anak-anak muda yang ada di padukuhan itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Dalam keadaan yang kalut ini, kami tidak akan dapat membiarkan seorang pun meninggalkan Kabuyutan Talang Amba”
“Kalian jangan mengada-ada. Apakah hak kalian menahan kami?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Kami adalah pengawal Kabuyutan ini. Kami mempunyai hak untuk berbuat sesuatu sepanjang hal itu memberikan kemungkinan keselamatan bagi Kabuyutan Talang Amba” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu.
“Baiklah” Pangeran Lembu Sabdata menjadi tidak sabar. Anak-anak muda itu akan dapat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya di padukuhan itu atau bahkan di padukuhan lain. Dengan demikian, maka mungkin Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya akan menjumpai hambatan yang akan dapat mengganggu usaha mereka untuk menyingkir dari pertempuran itu. Karena itu, maka katanya selanjutnya, “jika kalian tidak mau minggir, maka kami akan menunjukkan kepada kalian bahwa kalian tidak akan mampu menahanku disini”
“Jangan memaksa Ki Sanak. Kami tidak akan membiarkan seorang pun keluar dari Kabuyutan ini. Jika kemudian ternyata bahwa kalian tidak bersalah atau tidak tersangkut dalam pertempuran itu, maka kalian akan kami biarkan meninggalkan Kabuyutan ini setelah kami mendapat perintah yang demikian dari Ki Buyut di Talang Amba” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, pengawal Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi tidak sabar. Seorang Senopati pengawal dari Kediri yang ikut menjadi pengawal Pangeran itu pun kemudian membentak, “Minggir. Atau kami harus membunuh?”
Anak-anak muda itu pun menyadari, bahwa tidak ada cara lain kecuali dengan kekerasan. Karena itu, maka tanpa perintah dari siapapun, mereka pun telah bergeser memencar. Seakan-akan mereka pun telah mengepung sekelompok orang yang ingin meninggalkan medan itu.
Tetapi Senopati yang garang itu tidak memberikan kesempatan lagi. Tiba-tiba saja iapun telah mencabut pedangnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kita akan lewat. Jika anak-anak itu tidak mau minggir, maka bukan salah kita jika kita nanti membunuh mereka”
Tidak ada yang menyahut atau bertanya Orang-orang di dalam kelompok itu pun telah mencabut senjata mereka masing-masing. Kecuali seorang tua yang dianggap oleh Pangeran Lembu Sabdata akan dapat menjadi pelindungnya dalam keadaan yang paling sulit. Baginya senjata tidak akan memberikan arti apa-apa.
Menghadapi orang-orang yang telah bersenjata itu, maka anak-anak muda yang mengepung mereka itu pun telah mencabut senjata mereka pula. Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang berasal benar-benar dari Talang Amba memang menjadi gelisah melihat sikap yang garang dari orang-orang yang akan lewat itu. Namun anak-anak muda yang berasal dari para prajurit Singasari yang membaurkan diri, sama sekali tidak gentar melihat lawan-lawan mereka yang nampaknya memang meyakinkan.
Sejenak kemudian, Senopati dari Kediri yang berada di paling depan itu pun telah melangkah maju. Pedangnya teracu ke depan. Seolah-olah tanpa menghiraukan anak-anak muda yang melingkarinya ia melangkah terus.
“Sekali lagi, aku peringatkan” berkata pemimpin anak muda itu, “berhenti atau kami akan memaksa kalian dengan kekerasan”
Senopati itu sama sekali tidak menjawab. Ia melangkah terus dengan pedang teracu, sementara para pengawal yang lain pun telah mengacukan senjata mereka pula. Agaknya mereka benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tidak ada pilihan lain dari anak-anak muda itu, yang sebenarnya adalah seorang prajurit Singasari, telah siap sepenuhnya.
Ketegangan pun telah menjadi semakin memuncak. Senopati yang berjalan di paling depan masih tidak menghiraukan anak-anak muda di sekitarnya, bahwa yang kemudian berdiri di hadapannya. Namun anak-anak muda yang terdiri dari para prajurit dari Singasari itu akhirnya tidak mau menyibak. Ketika Senopati itu mendekati mereka, maka mereka pun telah menggerakkan ujung senjata mereka pula. Yang memegang tombak telah merundukkan tombaknya, sementara yang menggenggam pedang telah menjulurkan pedangnya pula.
Senopati yang berdiri di paling depan itu pun mengumpat. Anak-anak muda itu memang harus dikejutkan agar mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka hadapi. Karena itu, tiba-tiba saja Senopati itu telah memutar pedangnya, menyambar ujung sepucuk tombak yang sudah merunduk. Senopati itu ingin melontarkan tombak itu, sehingga terlepas dari. genggaman anak muda yang berdiri dihadapannya.
Namun Senopati itu terkejut bukan buatan. Ketika ia menyambar tombak itu dengan pedangnya, maka tombak itu telah berputar pula secepat gerakan pedangnya, sehingga dengan demikian maka ujung tombak itu tidak dapat disentuhnya dengan pedangnya.
“Gila” geram Senopati itu. Namun iapun segera sadar, bahwa anak-anak muda yang berada di padukuhan itu pun tentu berbaur pula dengan prajurit Singasari atau pengawal dari Gagelang, yang memiliki kemampuan seorang prajurit.
Karena itulah, maka iapun justru berhenti. Dengan wajah yang tegang, serta tatapan mata yang membara ia bergumam, “Anak-anak iblis itu ada disini pula”
“Apa?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Ada orang-orang Singasari atau Gagelang yang ada disini sebagaimana di padukuhan-padukuhan yang menjadi ajang pertempuran itu” berkata Senopati itu.
Sementara itu, orang tua yang menjadi pelindung dan pengawal terpercaya dari Pangeran Lembu Sabdata itu pun berkata, “Jika demikian, kita justru harus cepat sedikit agar kita segera keluar dari padukuhan kecil ini, sebelum mereka berbuat terlalu banyak”
“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Menghancurkan mereka” jawab orang tua itu, “jumlah mereka tidak terlalu banyak dibandingkan dengan mereka yang ada di medan”
Lembu Sabdata tidak menjawab. Ia yakin akan perhitungan pengawalnya yang paling dipercayanya itu, dan yang dianggapnya memiliki kemampuan yang tidak ada batasnya. Karena itu, yang dilakukannya kemudian adalah meneriakkan aba-aba untuk menghancurkan anak-anak muda yang telah menghalangi perjalanan mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu tidak mengekang diri sama sekali. Mereka dengan garangnya telah menyerang anak-anak muda yang berada di sekeliling mereka.
Serangan itu memang mengejutkan. Anak-anak muda yang sebenarnya adalah prajurit Singasari itu pun segera menempatkan diri di paling depan. Sementara anak-anak muda Talang Amba yang serba sedikit juga sudah menerima latihan-latihan olah kanuragan itu. segera menyusun diri dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka menyadari, bahwa kemampuan mereka sama sekali belum seimbang dengan kemampuan para pengawal yang melindungi Pangeran Lembu Sabdata itu.
Dalam pada itu, pertempuran pun segera membakar padukuhan kecil itu, Pangawal Pangeran Lembu Sabdata yang terlalu sedikit itu ternyata memiliki kemampuan yang sulit dibendung. Senopati yang berdiri di paling depan telah memecahkan kepungan anak-anak muda yang menahan mereka, sementara seorang tua yang menjadi pengawal terpercaya Lembu Sabdata itu pun memiliki kemampuan yang aneh.
Tiga orang anak muda tiba-tiba saja telah terpelanting dari arena. Tubuh mereka yang membentur dinding halaman membuat mereka pingsan. Tulang-tulang mereka serasa retak dan tubuh mereka pun rasa-rasanya menjadi hancur.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata sendiri telah bertempur pula dengan tangkasnya. Kemampuannya memang mengejutkan, sehingga lawannya pun harus menjadi sangat berhati-hati menghadapinya.
Demikianlah, perlahan-lahan tetapi pasti. Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang pengawal khususnya itu maju terus. Anak-anak muda yang mengepungnya, menjadi gelisah. Bahkan anak-anak muda yang berasal dari prajurit Singasari pun menjadi cemas juga menghadapi lawan mereka yang luar biasa. Senopati yang tangguh dan seorang tua yang aneh telah membuat kepungan anak-anak muda itu retak.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu masih berusaha menghambat langkah Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya. Tetapi setiap kali satu dua orang telah terlempar dan jatuh pingsan. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi parah dan kehilangan harapan untuk dapat keluar dari padukuhan itu dengan selamat.
Kecemasan telah mencengkam anak-anak muda itu. Bukan saja karena kawan-kawan mereka telah menjadi korban, tetapi juga karena mereka tidak berhasil menahan beberapa orang yang ingin melarikan diri dari medan. Justru menurut pengamatan mereka adalah orang-orang terpenting diantara orang-orang yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu.
Namun betapapun mereka berjuang, ternyata kemampuan para pengawal-pengawal Pangeran yang akan melarikan diri itu melampauinya. Tetapi anak-anak muda Talang Amba dan prajurit-prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu sama sekali tidak menyerah. Meskipun beberapa orang telah terlempar dari arena dan bahkan korban jiwa telah jatuh, namun anak-anak muda itu dengan sepenuh kemampuan telah menghambat gerak Pangeran Lembu Sabdata dan para pengiringnya.
Tetapi kekuatan di padukuhan-padukuhan kecil itu memang tidak cukup besar. Di padukuhan-padukuhan kecil itu sekelompok anak-anak muda Talang Amba dan beberapa prajurit Singasari sebenarnya hanya bertugas untuk mengamati keadaan, menahan satu dua orang yang akan melarikan diri dan apabila diperlukan bersama-sama dengan mereka yang ada di padukuhan-padukuhan lain memasuki arena dari belakang pasukan lawan. Terutama apabila pasukan Talang Amba benar-benar terdesak.
Namun pasukan di padukuhan kecil itu ternyata harus menghadapi meskipun hanya sekelompok kecil, tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Demikianlah, maka akhirnya Pangeran Lembu Sabdata berhasil mendesak lawannya mendekati pintu gerbang keluar dari padukuhan kecil itu. Beberapa saat lagi mereka akan meninggalkan padukuhan kecil itu untuk selanjutnya menjauhi Kabuyutan Talang Amba.
Sementara itu, sekelompok prajurit Singasari yang dipimpin oleh seorang Senopati bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati padukuhan kecil itu. Mereka menyadari, bahwa yang ada di padukuhan-padukuhan kecil itu bukannya satu pasukan yang kuat untuk mengatasi keadaan yang gawat. Karena itu, maka justru semakin dekat dengan pintu gerbang padukuhan itu, mereka menjadi semakin cemas. Bahkan sekelompok kecil pasukan itu pun telah berlari-lari kecil memasuki gerbang padukuhan. Demikian mereka melangkah masuk, maka mereka pun menjadi semakin tegang. Mereka melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring.
“Pingsan” desis seseorang yang kemudian berjongkok di samping salah seorang dari tubuh yang terbaring itu. Namun seorang yang lain yang menempelkan telinganya di dada seorang anak muda yang menelentang di pinggir jalan itu telah menggelengkan kepalanya sambil berdesis, “Anak ini telah meninggal”
Senopati yang memimpin sekelompok kecil pasukannya itu bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menyadari apa yang telah terjadi. Karena itu, maka mereka pun segera berlari menyusuri jalan padukuhan kecil itu.
Pada saat itu, Pangeran Lembu Sabdata dan pengiringnya telah memecahkan hambatan terakhir. Anak-anak muda Talang Amba dan beberapa orang prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu dengan kekuatan terakhir telah berusaha menutup jalan keluar. Tetapi mereka tidak berdaya. Senopati yang memimpin pengawalan Pangeran Lembu Sabdata itu telah dengan garangnya bertempur untuk membuka jalan keluar. Sementara itu, seorang tua, pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata itu ternyata benar-benar orang yang luar biasa. Tanpa kesulitan mereka menyingkirkan orang-orang yang berusaha menghambatnya keluar bersama Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi Pangeran lembu Sabdata sendiri pun bertempur dengan kemampuannya yang tinggi.
Sementara itu orang-orangnya yang lain telah melindungi Pangeran itu dari sergapan-sergapan dari segala arah. Namun demikian mereka berhasil memecahkan kepungan terakhir itu, maka sekelompok anak-anak muda yang lain telah datang menghampiri mereka.
“Gila” geram Senopati dari Singasari itu, “hampir saja kita kehilangan lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak sabar lagi. Dengan serta merta mereka pun menyusup diantara anak-anak muda Talang Amba yang mengalami kesulitan menahan sekelompok orang yang akan meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata kehadirannya telah mengejutkan Pangeran Lembu Sabdata. Ia mengenal anak-anak muda itu. Seorang diantaranya pernah bertempur melawannya
Namun kini ia bersama dengan seorang pengawalnya yang terpercaya. Karena itu, maka iapun segera dapat menguasai perasaannya. Bahkan dengan geram iapun kemudian berkata, “Anak-anak inilah yang pertama-tama harus dibinasakan. Ia bukan anak Talang Amba. Bukan pula prajurit Singasari. Mereka adalah petualang-petualang yang selalu membuat keributan di mana-mana."
Pengawalnya yang memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah Pangeran. Biarlah aku memusnahkan keduanya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Ternyata bahwa para pengiring Pangeran Lembu Sabdata itu pun segera bersiap menghadapi lawan-lawannya yang baru. Sementara itu, maka Senopati dari Singasari yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bersiap-siap pula. Bahkan ia masih sempat berkata, "Ki Sanak Sebaiknya kalian mengurungkan niat kalian untuk meninggalkan tempat ini. Tidak ada jalan yang akan dapat kalian lalui”
“Persetan” Pangeran Lembu Sabdata lah yang menjawab, “minggir, atau kami akan membunuh kalian”
“Jadi kau akan melarikan diri lagi Pangeran?” bertanya Mahisa Pukat, “langkah-langkah yang licik itulah agaknya yang kau lakukan selama ini. Kau korbankan orang-orangmu, sementara kau lari meninggalkan medan.
Telinga Pangeran Lembu Sabdata bagaikan terbakar. Dengan garang ia berkata, “Hanya orang-orang gila yang menurutkan dirinya untuk dibantai."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Nampaknya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menghargai lagi sifat kesatria yang harus disandang oleh seorang prajurit. Namun demikian Mahisa Pukat masih berkata, “Itukah pendirian Pangeran? Pangeran lebih menghargai perasaan takut daripada sifat seorang prajurit”
“Aku berdiri diatas naluri kemanusiaanku” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “setiap orang tentu ingin mempertahankan hidupnya”
“Tetapi tanpa mengorbankan orang lain seperti yang Pangeran lakukan sekarang” potong Mahisa Murti, “Jika Pangeran sempat melihat, para pengikut Pangeran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba itu telah bertempur mengorbankan diri mereka untuk satu tugas yang Pangeran bebankan diatas pundak mereka. Sementara itu Pangeran sendiri telah berusaha melarikan diri dari arena dengan membiarkan para pengikut Pangeran itu menjadi korban di peperangan”
“Aku tidak memerintahkan kepada mereka untuk mati” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “adalah salah mereka sendiri jika mereka tidak berhasil mempertahankan hidup mereka”
“Dan Pangeran dengan licik melarikan diri” sambung Mahisa Murti.
“Sudah aku katakan. Aku tidak mau mati. Karena itu aku menghindarkan diri dari kemungkinan untuk mati. Jika disini aku dihambat, maka aku menghancurkan hambatan itu dari pada aku yang akan terbunuh” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka mereka pun segera menempatkan diri. Sementara itu Senopati yang memimpin para pengiring Pangeran Lembu Sabdata itu sudah-berhadapan dengan Senopati Singasari yang ada diantara sekelompok kecil orang-orang yang berusaha menyusul Pangeran Lembu Sabdata itu. Sedangkan Mahisa Pukat pun telah menempatkan dirinya berhadapan dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Namun dalam pada itu, seorang tua yang justru merupakan orang yang berilmu sangat tinggi, agaknya terlepas dari perhatian orang-orang yang memburu Pangeran Lembu Sabdata itu. Mahisa Murti dan kemudian menghadapi seorang pengawal telah di gamit oleh seorang anak muda yang telah bertempur melawan sekelompok pengawal Pangeran itu sebelumnya.
“Orang itu memiliki ilmu iblis” desis anak muda itu.
“Oh” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “Aku akan menghadapinya. Orang tua itukah yang kau maksud?”
“Jangan sendiri” berkata anak muda yang sebenarnya adalah seorang prajurit Singasari, “orang itu benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia percaya kepada anak muda itu, setelah anak muda itu mengatakan tentang dirinya sendiri dan apa yang dilihatnya sebelumnya, maka Mahisa Murti pun telah berada di dalam sekelompok kecil prajurit Singasari menghadapi pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu, maka para pengawal Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat lain daripada bersungguh-sungguh. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih buruk yang dapat terjadi. Mungkin dalam waktu yang singkat, ada lagi sekelompok lawan yang menyusul mereka. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata menganggap bahwa ia harus segera dapat menyelesaikan pertempuran itu secepatnya.
Karena itu, maka ketika pertempuran itu mulai berkobar, terdengar Pangeran itu berteriak, “Cepat. Kita selesaikan anak-anak yang keras kepala ini”
Aba-aba itu lebih tertuju kepada para pengawalnya, karena ternyata ia sendiri tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan ketika Mahisa Pukat pun telah mengerahkan kemampuannya pula, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai merasakan tekanan lawannya itu menjadi semakin berat.
Tetapi orang tua yang menjadi pengawal dan sekaligus pelindung Pangeran Lembu Sabdata itu memiliki ilmu yang tidak terlawan oleh anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari termasuk Mahisa Murti. Bahkan ketika Pangeran Lembu Sabdata telah meneriakkan aba-aba untuk mempercepat penyelesaian, maka orang itu pun menjadi semakin garang.
Dalam waktu yang singkat, seorang anak muda telah terlempar. Orang tua itu nampaknya tidak bersenjata, tetapi luka di tubuh anak muda yang terlempar itu bagaikan terkoyak oleh tajamnya pedang bermata eri pandan.
“Mengerikan” desis kawan-kawannya.
Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan lawan mereka. Bagaimanapun juga, orang tua itu harus dihadapi. Namun sejenak kemudian, seorang lagi telah terlempar. Tidak nampak adanya luka-luka di tubuhnya. Namun demikian ia terbanting jatuh, maka ia hanya dapat menggeliat. Kemudian tubuh itu bagaikan membeku.
Pertempuran itu pun telah dicengkam oleh ketegangan. Mahisa Murti dengan pedang di tangan telah berusaha untuk memancing perhatian orang tua itu kepadanya. Namun setiap kali, orang tua itu masih sempat mengarahkan serangannya kepada anak-anak muda yang lain.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti berusaha untuk menyelamatkan seorang anak muda yang kehilangan keseimbangannya, tiba-tiba orang itu justru telah menyerangnya. Sambil menjulurkan pedangnya Mahisa Murti meloncat jauh kebelakang. Meskipun ia berhasil keluar dari jangkauan serangan yang mematikan, namun ternyata pundaknya telah terkoyak pula.
Mahisa Murti menggeram. Ia tidak menduga bahwa orang tua itu benar-benar memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya, melampaui perhitungannya semula. Justru karena orang itu tidak bersenjata.
Dalam pada itu, orang yang memiliki ilmu yang mencengangkan itu, memandang Mahisa Murti dengan tatapan mata yang menyala. Dengan nada berat ia berkata, “Agaknya kau adalah orang yang paling berbahaya diantara anak-anak muda gila ini. Karena itu, maka kaulah yang harus lebih dahulu mati. Baru kemudian kawan-kawanmu yang dungu, yang tidak mau menyingkir dari arena ini”
Mahisa Murti menjadi tegang. Pedangnya masih di-dalam genggamannya. Namun ia sadar, bahwa orang yang dihadapinya adalah orang yang luar biasa. Mahisa Murti memang tidak menyadari. Sementara Mahisa Pukat bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata, serta Senopati yang memimpin pasukan Singasari itu berhadapan dengan seorang Senopati dari Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata, maka beberapa orang prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba telah membantu Mahisa Murti menghadapi orang yang memiliki ilmu tidak terlawan itu.
Tetapi seperti yang sudah terjadi, maka sekelompok kecil diantara anak-anak muda itu sulit untuk dapat melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Sementara mereka masih harus berhadapan dengan pengawal-pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang lain.
Tetapi Mahisa Murti pantang untuk menarik diri dari pertempuran apapun yang terjadi. Sementara anak-anak muda yang lain telah menjadi korban. Apapun yang terjadi, maka iapun harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, karena Mahisa Murti bukannya tidak berilmu sama sekali.
Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang paling gawat, selagi orang tua yang menjadi pelindung Pangeran Lembu Sabdata itu siap menerkam, maka terasa tubuh Mahisa Murti terdorong ke samping. Seorang yang terengah-engah berdiri di sampingnya sambil berkata, “Hampir saja aku terlambat. Untunglah bahwa aku tertarik untuk melihat lingkaran pertempuran ini”
“Ki Waruju” desis Mahisa Murti.
Ki Waruju tidak menjawab. Ia sadar, bahwa orang yang sedang dihadapi oleh anak-anak muda itu adalah orang yang sangat berbahaya. Namun ia merasa dirinya berkewajiban untuk melibatkan dirinya langsung menghadapi orang itu.
Orang tua itu memandang Ki Waruju dengan tatapan mata yang bagaikan menyemburkan api. Dengan suara geram ia bertanya, “Jadi kaulah yang menempatkan dirimu pertama kali untuk mati?”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Biarlah kita yang tua-tua ini bermain-main dengan maut. Aku kira memang lebih baik orang tua-tua ini yang mati di medan dari pada anak-anak muda yang masih memiliki kemungkinan di masa depan yang panjang”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau ingin mati, maka aku akan membunuhmu. Tetapi yang perlu kau ketahui, anak-anak muda itu pun akan mati jika mereka masih tetap menghambat perjalanan kami”
“Seharusnya kalian tidak melarikan diri. Kalian lebih baik memasuki arena yang gawat bagi pasukan kalian. Sebentar lagi pasukan kalian akan pecah dan dihancurkan”
“Karena itu, kami akan menyingkir” jawab orang tua itu tanpa ragu-ragu.
“Kau sampai hati melakukan sementara orang-orangmu terbunuh” desis Ki Waruju.
“Apa pedulimu Nah, bersiaplah untuk mati sekarang ini” berkata orang tua itu sambil bergeser.
Ki Waruju telah bersiap sepenuhnya. Sebenarnyalah bahwa Ki Waruju pun bukan orang kebanyakan. Ia memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan. Ia telah berhasil menempatkan diri berhadapan dengan Ki Sarpa Kuning.
Sejenak kemudian, keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran. Dalam benturan pertama, maka pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun segera menyadari, bahwa lawannya itu bukan sekedar sebagaimana anak-anak muda Talang Amba atau bahkan prajurit Singasari yang ada diantara anak-anak muda itu.
“Anak iblis” pengawal tua itu mengumpat. Namun dengan demikian iapun telah meningkatkan kemampuannya menghadapi orang yang bernama Ki Waruju itu.
Pertempuran antara dua orang berilmu tinggi itu pun menjadi semakin seru. Keduanya memang memiliki kelebihan sehingga dengan dahsyatnya benturan-benturan telah terjadi.
Dalam pada itu, dalam lingkaran pertempuran yang lain, kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Pangeran Lembu. Sabdata ternyata sekali lagi membentur kekuatan yang dapat mengimbanginya. Sementara orang yang diharapkan akan dapat melindunginya itu pun telah mendapat lawannya sendiri.
Sementara itu, anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada diantara mereka, yang semula bertempur dalam satu kelompok melawan pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata itu, telah bebas dari tugas mereka. Setelah mereka menyaksikan pertempuran antara dua orang tua itu sejenak, serta atas keyakinan mereka bahwa Ki Waruju akan mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama bahkan mungkin mampu mengimbanginya, maka beberapa orang diantara mereka telah menarik diri dan menghadapi lawan yang lain. Kecuali beberapa orang yang mendapat tugas khusus untuk mengamati pertempuran itu.
“Jika perlu sekali, berikan isyarat” berkata seorang prajurit Singasari.
Anak-anak muda yang mendapat tugas untuk mengamati pertempuran itu pun mengangguk. Mereka sadar, jika Ki Waruju mengalami kesulitan, maka beberapa orang prajurit Singasari akan membantunya melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.
Ternyata bahwa pertempuran antara kedua orang itu kemudian merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Keduanya memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda yang mengamati pertempuran itu pun tidak lagi jelas, apakah keduanya masih tetap seimbang atau salah seorang diantara mereka telah berhasil mendesak lawannya.
Di bagian lain dari pertempuran itu, maka anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada diantara mereka telah berhasil mengepung para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Para pengawalnya ternyata telah mendapat tandingnya, sementara Pangeran Lembu Sabdata sendiri berjuang untuk melawan serangan-serangan Mahisa Pukat.
“Kau tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk melarikan diri Pangeran” geram Mahisa Pukat.
“Aku tidak akan melarikan diri. Aku akan membunuhmu” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat telah mendesaknya. Serangan-serangannya datang bagaikan badai yang mengamuk. Sementara kepungan anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang ada diantara mereka menjadi semakin rapat. Sedangkan beberapa orang prajurit Singasari yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bertempur dengan serunya melawan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata.
Bagaimanapun juga, jumlah pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang tidak seberapa itu tidak mampu menembus kepungan anak-anak muda Talang Amba serta para prajurit Singasari yang ada diantara mereka. Apalagi setelah pengawal terpercaya Pangeran Lembu Sabdata terikat dalam pertempuran melawan Ki Waruju.
Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi gelisah. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin menghindar dari Talang Amba. Namun agaknya jalan telah tertutup Beberapa orang pengawalnya ternyata telah menghadapi lawan yang tangguh, sedangkan orang yang dianggapnya akan dapat menjadi pelindungnya telah menemukan lawan yang seimbang.
Ketika seorang pengawalnya mengeluh oleh goresan ditubuhnya, maka Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi semakin gelisah. Tetapi para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu telah menimbulkan korban diantara anak-anak muda Talang Amba. Karena itu. maka menghadapi mereka, anak-anak muda Talang Amba itu pun menjadi garang.
Setelah orang yang memiliki kemampuan tidak terlawan bagi anak-anak muda Talang Amba itu terikat dalam pertempuran maka kekuatan para pengawal itu seakan-akan menjadi jauh susut. Mereka segera merasa mengalami kesulitan. Anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit yang ada diantara mereka dalam waktu yang singkat, benar-benar telah menjepit mereka dari segala arah dengan kemarahan yang memuncak. Apalagi jika mereka mengingat kawan-kawan mereka yang terlempar dari arena, membentur dinding dan tidak akan dapat bangkit untuk selama-lamanya.
Mahisa Murti yang terluka itu pun telah menyempatkan diri untuk mengobati lukanya, sekedar untuk mengurangi arus darahnya. Dengan demikian maka iapun kemudian telah siap pula untuk tampil lagi di peperangan, meskipun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati agar darah di lukanya itu tidak justru mengalir semakin deras.
Namun menurut pengamatan Mahisa Murti, maka Ki Waruju yang turun di medan itu, telah dapat mengimbangi kemampuan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang paling dipercaya dan yang diharapkan dapat melindunginya. Bahkan sekali-sekali Ki Waruju berhasil mengejutkan lawannya dengan serangan-serangannya yang cepat dan tiba-tiba.
“Gila” geram pengawal Pangeran Lembu Sabdata. Dengan jantung yang berdegupan orang itu harus berloncatan. Sambaran serangan Ki Waruju terdengar berdesing di-telinganya, sehingga dengan demikian orang itu menyadari bahwa lawannya memang memiliki kekuatan yang mampu mengimbanginya.
Pengawal itu pun kemudian harus mengerahkan kemampuannya. Ketika la melawan anak-anak muda yang bertempur dalam kelompok kecil melawannya, maka ia merasa sebagai seekor harimau diantara domba-domba yang marah. Tanpa kesulitan, maka ia dapat melemparkan lawannya seorang demi seorang. Bahkan kadang-kadang dua orang sekaligus. Namun ketika ia bertemu dengan orang yang bernama Ki Waruju itu, maka rasa-rasanya ia benar-benar dihadapkan kepada kekuatan dan kemampuan yang sulit untuk diatasinya.
Namun demikian, dengan segenap kemampuan orang itu berusaha untuk mempengaruhi perhatian Ki Waruju. Dengan kemampuan yang ada padanya, maka orang itu dengan sengaja telah menghantam dinding halaman dan dahan-dahan pepohonan. Dengan demikian maka ia dapat menunjukkan kekuatannya yang luar biasa. Dahan-dahan berpatahan dan dinding halaman pun menjadi roboh pula karenanya. Orang-orang yang menyaksikan kekuatan dan kemampuannya itu menjadi ngeri karenanya. Kadang-kadang memang timbul pertanyaan apakah Ki Waruju akan dapat mengimbanginya.
Sebenarnyalah dengan demikian pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu berusaha selain mempengaruhi perhatian Ki Waruju, tetapi juga menggertaknya agar hatinya menjadi kecut. Dengan demikian, maka gairah pertempurannya-pun akan menjadi susut pula karenanya.
Ki Waruju memang tertarik juga memperhatikan kekuatan yang luar biasa itu. Iapun melihat dinding yang roboh dan dahan yang berpatahan. Namun semuanya itu tidak membuatnya gentar dan apalagi mempengaruhi kemampuannya bertempur sehingga kehilangan pengamatan diri. Tetapi justru membuatnya menjadi semakin berhati-hati dan mendorongnya untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian maka pertempuran antara pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang terpercaya itu melawan Ki Waruju menjadi semakin seru. Ternyata Ki Waruju justru berusaha mengimbangi kemampuan lawannya. Untuk meyakinkan anak-anak muda Talang Amba agar mereka tidak menjadi cemas, maka kemudian Ki Waruju pun telah melakukan hal yang sama. Jika serangannya atas lawannya dihindari dan tenaganya itu membentur dinding halaman, maka dinding itu pun telah roboh karenanya. Sementara ayunan tangannya yang menggetarkan udara dengan suaranya yang berdesing telah meruntuhkan dedaunan dan mengguncang pepohonan.
“Anak iblis” geram pengawal Pangeran Lembu Sabdata, “ada juga orang Talang Amba yang memiliki ilmu iblis ini”
Ki Waruju tidak menyahut. Tetapi dengan demikian, maka anak-anak muda Talang Amba yang semula merasa ragu atas kemampuannya, telah bersorak bagaikan meruntuhkan langit Ternyata dipihak mereka pun terdapat orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi.
Dalam pada itu, selagi kedua orang raksasa itu bertempur dengan dahsyatnya, maka anak-anak muda Talang Amba dan beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara mereka pun telah berhasil mendesak lawan-lawan mereka, bahkan perlahan-lahan mereka telah mematahkan perlawanan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata.
Bagaimanapun juga kemarahan menghentak-hentak di jantung Pangeran itu, namun ia benar-benar tidak berhasil mengatasi kemampuan Mahisa Pukat, sementara para pengawalnya tidak mendapat kesempatan untuk membantunya dan apalagi mengamankannya. Bahkan pengawalnya yang terpercaya, yang dianggap sebagai pelindung oleh Pangeran Lembu Sabdata pun telah terlibat dalam satu pertempuran yang tidak dapat diatasinya.
Sementara itu. Senopati yang memimpin para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah mengalami kesulitan melawan seorang Senopati dari Singasari yang membaurkan diri dengan anak-anak muda Talang Amba. Bahkan beberapa saat kemudian, Senapati yang memimpin para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah kehilangan kesempatannya untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Ketika senjata lawannya menggores di tubuhnya, maka rasa-rasanya titik-titik darah yang terlepas dari tubuhnya bagaikan terlepasnya harapan-harapan yang telah dibangunkannya bersama Pangeran Lembu Sabdata pada saat mereka menuju Talang Amba.
Tetapi Senapati itu adalah seorang prajurit. Karena itu maka bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Meskipun ia menjadi semakin terdesak, tetapi tidak ada tanda-tanda kesediaannya untuk menyerah. Namun tidak seharusnya kemenangan anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari itu ditandai dengan pembunuhan tanpa ampun. Karena itu, maka mereka berusaha untuk menguasai lawannya dalam keadaan hidup sejauh dapat mereka lakukan.
Dalam pada itu, maka Senapati yang memimpin prajurit di Talang Amba itu masih juga berusaha berseru, “Dengar orang-orang yang sesat, apakah kalian tidak ingin menyerah? Ada beberapa hal yang dapat kita bicarakan. Mungkin sesuatu yang berarti. Bukan bagi kita masing-masing, tetapi bagi Singasari dan wilayah-wilayahnya.
“Persetan dengan Singasari” justru terdengar Pangeran Lembu Sabdata berteriak, “Kita justru ingin menghancurkan Singasari”
“Itulah yang ingin kita ketahui. Alasan-alasan yang barangkali masuk akal dan dapat dipertimbangkan” jawab Senopati itu.
“Kalian ingin menjebak kami” Pangeran Lembu Sabdata itu masih saja berteriak.
“Tidak. Tetapi jika kalian berkeras, kami tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghancurkan kalian. Sebab kita masing-masing tentu sudah mengetahui, bagaimana akhir dari pertempuran ini” Senapati dari Singasari itu berteriak pula.
Untuk beberapa saat masih tidak ada jawaban. Pertempuran diantara kedua pihak itu pun masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu sudah benar-benar kehilangan kesempatan untuk dapat memenangkan pertempuran itu dan apalagi meninggalkan padukuhan kecil itu.
Dalam pada itu, Ki Waruju pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Ia merasa bahwa lawannya telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga dengan menghentakkan kemampuan pada puncak ilmunya, maka Ki Waruju akan dapat menguasai lawannya itu sepenuhnya.
Demikianlah, pertempuran itu pun benar-benar telah sampai pada batas penyelesaian. Satu dua orang pengawal Pangeran Lembu Sabdata telah kehilangan keseimbangan untuk melawan. Diantara mereka telah tergores oleh senjata Bahkan ada pula diantara mereka yang tidak akan dapat bangkit lagi untuk selamanya.
Dalam pada itu, pertempuran di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk pun berangsur semakin sengit. Tetapi seperti yang terjadi di padukuhan kecil itu, para pengikut Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah kehilangan harapan untuk keluar dari arena sebagai pemenangnya.
Perlahan-lahan mereka telah terdesak justru semakin jauh dari padukuhan yang ingin mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang ingin mereka musnahkan sebelum tengah hari, kemudian mereka akan langsung menuju ke padukuhan induk.
Namun dalam pada itu, kekuatan Kabuyutan Talang Amba sebenarnyalah memang telah diletakkan di padukuhan-padukuhan di sekitar Padukuhan induk. Para pemimpin di Talang Amba dan para Senopati dari Singasari memang memperhitungkan bahwa, pasukan yang akan menyerang Kabuyutan Talang Amba tentu akan menjajagi padukuhan-padukuhan di seputar padukuhan induk itu. Tiga padukuhan yang cukup besar, sehingga dengan demikian maka kekuatan yang ada di padukuhan induk, justru kekuatan yang tidak banyak berarti.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda Talang Amba dan prajurit dari Singasari memperhitungkan bahwa pasukan yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu sebentar lagi akan dapat mereka pecahkan. Karena itu, maka untuk mencegah mereka melarikan diri, maka para penghubung yang sudah ditugaskan sejak semula segera mempersiapkan isyarat untuk memberikan aba-aba kepada para prajurit Singasari yang-berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba di padukuhan-padukuhan kecil agar mempersiapkan diri, menghalangi sejauh mungkin dapat mereka lakukan atas para pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang akan melarikan diri.
Dalam pada itu, maka para prajurit Singasari yang ada di Talang Amba dan anak-anak muda Kabuyutan itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk memecahkan perlawanan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
Demikianlah, akhirnya para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu tidak dapat bertahan lagi. Ketika pasukan Talang Amba bersama para prajurit dari Singasari yang membaur diantara mereka mendesak dengan sepenuh kekuatan, maka pasukan yang menyerang Kabuyutan Talang Amba itu pun. telah terdesak semakin jauh, sehingga akhirnya gelar mereka pun telah terkoyak karenanya.
Pada saat yang demikian, maka para penghubung yang telah menyiapkan isyarat itu pun segera melontarkan anak panah dari busur-busur mereka. Tidak ditujukan kepada para pengikut Pangeran Lembu Sabdata, tetapi anak panah itu telah meluncur ke udara. Sejenak kemudian, maka panah sendaren itu telah bersuit dengan nyaringnya di udara.
Ternyata suara panah sendaren itu mengumandang di padukuhan-padukuhan kecil di tlatah Kabuyutan Talang Amba. Beberapa buah panah sendaren telah mencapai padukuhan kecil yang Sedang dicengkam oleh pertempuran antara Pangeran Lembu Sabdata dan para pengikutnya melawan kekuatan Kabuyutan Talang Amba.
Beberapa orang pemimpin anak-anak muda Talang Amba di padukuhan kecil itu serta para prajurit dari Singasari segera menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka mereka pun harus segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda Talang Amba yang sudah tidak terlibat dalam pertempuran serta beberapa orang prajurit Singasari segera mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang baru. Sementara itu, para prajurit yang datang kemudian bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata dan para pengawalnya.
Namun akhirnya para pengawal Pangeran Lembu Sabdata tidak mampu lagi bertahan. Beberapa orang telah menjadi korban, yang lain terluka berat, sementara ada yang karena putus asa segera melemparkan senjatanya. Dengan demikian maka kekuatan Pangeran Lembu Sabdata telah dipatahkan. Namun Pangeran Lembu Sabdata sendiri masih juga berusaha mempertahankan dirinya dari serangan-serangan Mahisa Pukat. Tetapi Pangeran itu pun sudah tidak berpengharapan lagi. Yang dilakukannya kemudian adalah justru ungkapan dari keputus-asaannya.
Tetapi di bagian lain, pengawalnya yang paling dipercaya masih tetap bertempur dengan garangnya menghadapi Ki Waruju. Tetapi, betapapun tinggi ilmunya, namun orang itu sudah tidak berbahaya, lagi bagi orang lain. Setelah Ki Waruju melepaskan segenap kemampuannya dan justru mulai menekan lawannya, maka orang itu tidak dapat berbuat apapun lagi terhadap orang lain kecuali lawannya yang ternyata memiliki kemampuan lebih baik daripadanya.
Karena itu, maka yang kemudian bertempur di padukuhan kecil itu seakan-akan tinggallah Pangeran Lembu Sabdata melawan Mahisa Pukat dan pengawalnya yang paling terpercaya itu melawan Ki Waruju. Yang lain sama sekali sudah tidak berdaya lagi, sehingga senjata mereka pun telah dikumpulkan oleh anak-anak muda Talang Amba.
Namun agaknya Mahisa Pukat tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk mencampuri pertempuran itu. Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang kemudian mencegah para prajurit Singasari untuk membantu Mahisa Pukat.
“Amati saja, dan jangan beri kesempatan Pangeran itu lari lagi dari pertempuran” berkata Mahisa Murti.
Sementara itu, tidak ada orang yang akan dapat mencampuri pertempuran antara Ki Waruju melawan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang terpercaya itu. Karena itu, maka yang terjadi seakan adalah perang tanding yang nggegirisi.
Dalam pada itu, panah sendaren itu telah mengejutkan Pangeran Lembu Sabdata. Ia tidak mengerti arti dari isyarat tersebut sehingga karena itu, maka iapun menduga bahwa isyarat itu diberikan justru karena kehadirannya di padukuhan itu.
Karena itu, maka kegelisahan di hatinya pun menjadi semakin memuncak. Ia sadar, bahwa para pengawalnya tidak ada lagi yang masih bertempur kecuali pengawalnya yang paling terpercaya. Pengawalnya yang dianggapnya akan dapat melindunginya.
Namun dalam pada. itu. Pangeran Lembu Sabdata masih berpengharapan. Jika pengawalnya itu kemudian berhasil mengalahkan lawannya, maka yang lain tidak akan dapat menghalanginya untuk meninggalkan arena itu, sekaligus meninggalkan padukuhan yang akan dapat menjadi neraka baginya itu.
Sejenak kemudian Pangeran Lembu Sabdata justru berusaha untuk bertempur semakin sengit. Dihentakkannya kemampuannya menghadapi Mahisa Pukat. Namun sebenarnyalah Mahisa Pukat pun telah mencapai puncak kemampuannya pula, sehingga Pangeran Lembu Sabdata tidak berhasil mengalahkannya dengan segera.
Bahkan dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata yang sekali-sekali sempat berpaling ke arah pertempuran antara kepercayaannya melawan Ki Waruju itu pun sempat pula melihat, bahwa orang yang dianggapnya akan dapat melindunginya itu telah terdesak. Bahkan dalam satu benturan yang dahsyat, maka kepercayaannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Meskipun orang itu segera meloncat bangkit, namun dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata pun dengan jantung yang berdebaran melihat satu kemungkinan yang pahit akan dapat terjadi atas kepercayaannya itu.
Sementara itu ia sendiri tidak dapat berbuat banyak. Ketika ia sampai ke puncak ilmunya, ternyata lawannya pun masih juga mampu mengimbanginya. Benturan demi benturan pun telah terjadi. Namun tidak ada harapan setitikpun bagi Pangeran Lembu Sabdata untuk dapat mengalahkan lawannya.
Dalam pada itu, puncak kemampuan kepercayaannya-pun tidak berhasil melampaui kemampuan ilmu Ki Waruju. Ketika keduanya terlibat dalam benturan kekuatan dalam puncak ilmu masing-masing, maka ternyata kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata itu telah jatuh berguling, sementara Ki Waruju terdorong dua langkah surut. Namun Ki Waruju masih dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia tidak terjatuh karenanya.
Sementara itu, beberapa orang diantara anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang ada di padukuhan itu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun kekuatan mereka telah susut, karena ada diantara mereka yang menjadi korban melawan para pengawal Pangeran Lembu Sabdata, serta yang lain harus mengamati para tawanan, namun para prajurit yang datang kemudian bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak lagi bertempur akan dapat membantu mereka, sementara dua orang masih tetap mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur melawan Mahisa Pukat, agar tidak sempat melarikan diri dari arena.
Dalam pada itu, gelar perang pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata telah tidak tertolong lagi. Gelar itu sudah benar-benar terkoyak dan beberapa orang mulai melarikan diri dari arena.
Dalam pada itu, anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari tidak mau melepaskan mereka. Dengan cepat mereka berusaha menguasai keadaan Sebagian dari anak-anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari berusaha untuk mengejar mereka, sementara yang lain menguasai beberapa orang yang akan menjadi tawanan.
Sementara itu, yang menggelisahkan mereka yang melarikan diri itu, karena tiba-tiba di setiap padukuhan telah terdengar suara kentongan dengan irama titir, sementara beberapa orang anak muda telah keluar dari padukuhan-padukuhan kecil untuk menghadang mereka yang melarikan diri dalam keadaan yang tercerai berai serta kecemasan yang i mencekam jantung. Sehingga dengan demikian, maka mereka yang melarikan diri itu tidak dapat lagi berpikir secara jernih menghadapi keadaan yang berkembang demikian cepat diluar dugaan.
Orang-orang yang melarikan diri itu tidak sempat berpikir, bahwa kemampuan anak-anak muda yang tersebar di padukuhan-padukuhan itu tentu tidak cukup untuk menahan mereka, jika mereka mengundurkan diri dengan teratur. Tetapi orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah melarikan diri terpecah-pecah dan tercerai berai sehingga mereka tidak lebih dari kekuatan-kekuatan kecil yang terpecah-pecah.
Sebagian dari kekuatan kecil yang terpecah-pecah itu telah jatuh ke tangan mereka yang mengejarnya. Sementara yang lain karena dengan tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan sekelompok anak-anak muda di sebuah padukuhan kecil, maka mereka pun segera melemparkan senjata mereka dan menyerah.
Demikianlah, sebagian terbesar dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah menyerah. Meskipun ada juga sebagian dari mereka yang berhasil menyusup diantara padukuhan-padukuhan kecil dan hilang di bulak-bulak panjang, namun jumlah mereka sama sekali tidak berarti.
“Namun demikian, orang-orang itu akan dapat memberikan laporan kepada saudara-saudara Pangeran Lembu Sabdata yang mempunyai pendirian yang sama” berkata Ki Sanggarana.
“Ya” jawab salah seorang Senopati dari Singasari, “tetapi biar sajalah. Kita sudah berusaha sejauh jauh dapat kita lakukan. Namun kemungkinan yang demikian memang sulit untuk dielakkan”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Namun sebagian besar dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata memang sudah tertangkap.
Demikianlah, pergolakan itu tidak berlangsung lebih lama. Pasukan Singasari yang berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba segera menguasai keadaan. Sementara itu, para pemimpin dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata pun telah tertangkap pula.
Ki Sanggarana dan para pemimpin Talang Amba dan Singasari yang mendapat laporan tentang Pangeran Lembu Sabdata pun segera datang ke padukuhan kecil itu. Sementara itu, dengan putus asa Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur terus tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang berusaha menyesuaikan diri. Ia mengerti, bahwa ia dapat dengan cepat mengakhiri pertempuran jika ia tidak berusaha untuk tetap membiarkan Pangeran Lembu Sabdata tertangkap hidup dan utuh.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berusaha untuk bertempur secara khusus. Dibiarkannya Pangeran Lembu Sabdata yang gelisah, cemas dan putus asa itu mengerahkan segenap kemampuannya yang sudah tidak terarah lagi, sehingga akhirnya akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya.
Namun agar dijaga bahwa Pangeran itu jangan mendapat kesempatan untuk membunuh diri dengan cara apapun. Mungkin dengan bertempur membatu buta tetapi mungkin benar-benar membunuh diri dalam arti yang sebenarnya. Mahisa Murti yang terluka menunggui saudaranya yang sedang bertempur itu. Setelah ia sempat menaburkan obat pada lukanya, maka lukanya itu tidak lagi mengucurkan darah.
Di luar padukuhan, beberapa orang anak muda Talang Amba dan prajurit Singasari telah berhasil menawan beberapa orang lagi yang berusaha melarikan diri. Dengan demikian, maka mereka pun segera mengumpulkan tawanan-tawanan mereka menjadi satu.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Sanggarana dan beberapa orang Senopati yang membaurkan diri sebagaimana orang-orang Talang Amba telah sampai ke padukuhan kecil itu pula. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat Pangeran Lembu Sabdata masih juga bertempur tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Seakan-akan nalarnya benar-benar telah menjadi gelap.
Tetapi yang tidak kalah menarik adalah pertempuran antara Ki Waruju dengan pengawal Pangeran Lembu Sabdata yang paling terpercaya. Orang itu pun sama sekali tidak ingin menyerah bagaimanapun keadaannya. Ia sadar, bahwa tidak lagi ada harapan untuk melepaskan diri atau apalagi menang. Tetapi karena Pangeran Lembu Sabdata sendiri masih juga bertempur, maka kesetiaannya tidak membenarkannya untuk berbuat lain. Juga harga dirinya sebagai seorang laki-laki akan pudar jika ia menyerah. Sehingga yang paling baik baginya dalam keadaan yang demikian adalah bertempur sampai tuntas. Bahkan iapun sadar, seandainya ia memenangkan pertempuran melawan orang yang bernama Ki Waruju itu, maka tidak akan dapat keluar dari arena itu kecuali hanya namanya.
“Tetapi namaku tidak akan ternoda” berkata orang itu di dalam hatinya, “Aku mati di peperangan dengan sikap seorang laki-laki. Aku mati dalam peperangan tanpa menyerahkan diri dalam keadaan yang bagaimanapun juga”
Dengan demikian, maka orang itu pun telah menghentakkan sisa-sisa kemampuannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih menghormati namanya daripada jiwanya.
Ki Waruju pun akhirnya tidak dapat mengekang diri lagi. Ia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Orang itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga jika Ki Waruju melakukan sedikit saja kesalahan, maka kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Waruju untuk berbuat sejauh dapat dilakukannya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Benturan-benturan ilmu pun segera terjadi dengan dahsyatnya. Keduanya justru tidak lagi terlalu banyak bergerak. Tetapi keduanya seakan-akan tidak lagi berusaha untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Mereka justru membenturkan ilmu mereka dalam setiap kesempatan.
Nampaknya keduanya memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, bagaimanapun juga akibatnya. Ki Waruju mengetahui bahwa pertempuran yang sebenarnya antara para pengikut Pangeran Lembu Sabdata dan orang-orang Talang Amba serta para prajurit Singasari sudah selesai, nampaknya juga menjadi jemu untuk bertempur sendiri. Sementara itu, lawannya pun telah menjadi jemu pula menjadi tontonan dan apabila keadaan memaksa, maka orang-orang yang menontonnya itu akan dapat ikut serta memasuki arena dan mencincangnya. Karena itu, maka tanpa perhitungan yang mapan, orang itu pun telah berusaha untuk membentur-benturkan dirinya dalam puncak ilmunya.
“Jika aku harus mati, biarlah segera terjadi” geram orang itu.
Ki Waruju nampaknya menanggapi cara yang ditempuh oleh lawannya. Iapun dengan dahsyatnya telah menyerang lawannya tanpa mengenal surut.
Orang-orang yang menyaksikan benturan ilmu dalam tataran yang sangat tinggi itu termangu mangu. Bahkan para Senopati dari Singasari pun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat dinding-dinding halaman yang tersentuh salah seorang dari keduanya menjadi pecah berderakan. Dahan-dahan pepohonan berpatahan dan daun-daunan berguguran. Benturan-benturan yang terjadi bagaikan telah mengguncang udara Talang Amba dan tanah pun bagaikan digetarkan oleh gempa.
Benturan-benturan yang semakin lama menjadi semakin sengit itu pun akhirnya mencapai puncaknya. Ketika pengawal Pangeran Lembu Sabdata itu menyerang dengan segenap sisa kekuatan dan kemampuannya. Namun Ki Waruju memang tidak ingin menghindar atau mengelak. Dengan sepenuh kemampuannya pula ia sengaja membentur serangan itu.
Sejenak kemudian maka benturan dua kekuatan yang mengungkapkan ilmu yang tinggi itu telah terjadi. Benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seluruh padukuhan kecil itu.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam. Orang-orang yang menyaksikan benturan itu, seakan-akan merasa dada mereka menjadi sesak. Seolah-olah adalah mereka sendiri yang telah membentur ilmu yang luar biasa itu. Beberapa saat kemudian suasana benar-benar menjadi beku. Baik Ki Waruju maupun orang yang menjadi kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata itu telah terlempar surut.
Dengan susah payah Ki Waruju berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Sejenak ia berdiri terhuyung-huyung. Dadanya serasa terhimpit oleh kekuatan yang tiada taranya. Matanya menjadi berkunang-kunang, sementara pepohonan di sekitarnya bagaikan bergoyang.
Untuk sesaat Ki Waruju masih tetap berdiri tegak. Namun akhirnya Ki Waruju tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan tentang dirinya. Perlahan-lahan iapun telah berjongkok, bahkan kemudian duduk bersila. Ia tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha untuk memusatkan nalar budinya, melawan himpitan yang menindih isi dadanya. Dengan segenap kemampuan ilmu yang ada padanya, Ki Waruju berusaha untuk mengatur pernafasannya. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menguasai sebagian besar dari kesulitan di dalam dirinya.
Beberapa orang bergeser mendekatinya. Tetapi tidak seorang pun yang mengganggunya. Mereka membiarkan Ki Waruju berusaha dengan ilmunya untuk memperbaiki keadaannya.
Sementara itu, lawan Ki Waruju yang juga terlempar beberapa langkah surut, sama sekali tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Dengan serta merta orang tua itu jatuh terpelanting. Sesaat, orang itu pun berusaha untuk bangkit. Namun orang itu telah terjatuh kembali.
Ketika beberapa orang mendekatinya, orang itu masih menggeliat. Bahkan terdengar ia mengumpat. Namun akhirnya orang itu pun terdiam. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya pun kemudian terpejam dan nafasnya terhenti sama sekali. Tidak ada yang mampu menolongnya. Pengawal yang setia itu telah mati sebagai seorang prajurit yang tangguh di medan pertempuran sebagaimana dikehendakinya. Hal itu akan lebih baik baginya daripada menjadi seorang tawanan.
Suasana menjadi hening sejenak. Pangeran Lembu Sabdata yang mengetahui keadaan pengawalnya yang terpercaya dan yang diharapkan akan dapat melindunginya, benar-benar menjadi putus asa. Pangeran itu telah kehilangan semua yang ada padanya. Kegagalannya kali ini jauh lebih menyakitkan hati dari yang pernah dialaminya ketika ia datang ke Talang Amba bersama orang-orang Gagelang.
Orang-orang telah dikirimnya lebih dahulu untuk mengamati keadaan di sekitar Talang Amba, sama sekali tidak berarti apa-apa. Mereka gagal untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Orang-orangnya itu tidak dapat melihat, sepasukan prajurit Singasari telah memasuki Talang Amba dan membaurkan diri mereka dengan anak-anak muda Talang Amba. Sebagaimana peristiwa yang pernah terjadi terdahulu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Pangeran Lembu Sabdata untuk menghentikan semua perlawanannya. Dengan wajah yang kecut Pangeran itu telah meletakkan senjatanya.
“Tetapi jangan menjadi berbangga atas kemenangan kalian kali ini” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Jika pada suatu saat, Kediri bangkit dan menguasai Singasari kembali, maka Talang Amba akan menjadi abu. Para pemimpin di Kediri mengetahui, bahwa Talang Amba adalah alas perlawanan yang paling berbahaya bagi Kediri”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kau masih juga bermimpi bahwa Kediri dan Singasari akan saling berbenturan?”
“Aku yakin” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “ketidak-puasan telah membakar jantung setiap kesatria di Kediri”
Mahisa Murti yang telah terluka itu pun melangkah mendekat. Dengan nada dalam ia bertanya, “Pangeran. Apakah menurut pendapat Pangeran, benturan kekuatan itu akan menjadi cara penyelesaian yang paling baik bagi hubungan antara Singasari dan Kediri?”
“Aku tidak melihat cara lain untuk membangunkan kembali kebesaran yang telah pudar pada masa yang paling buruk bagi Kediri. Tingkah laku Akuwu Tumapel yang lahir dari antara orang-orang yang dimusuhi oleh peradaban itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, Singasari yang dibangun diatas harga diri orang-orang Kediri yang saat itu dikorbankan, harus ditebus dengan segala cara” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Dengan segala cara?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Dengan segala cara” jawab Pangeran Lembu Sabdata tegas.
“Jadi Pangeran termasuk salah satu diantara orang-orang yang dapat mempergunakan cara apapun untuk mencapai maksudnya?” bertanya Mahisa Murti pula.
Pangeran Lembu Sabdata menjadi ragu-ragu. Namun ia sudah melakukannya. Meskipun demikian Pangeran Lembu Sabdata itu tidak menjawab. Dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dada, ia terpaksa harus berdiri membeku diantara anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang berbaur diantara anak-anak muda itu, yang telah menggagalkan usahanya untuk kedua kalinya.
“Pangeran” tiba-tiba terdengar suara Ki Sanggarana, “marilah. Kita anggap saja permusuhan ini telah berakhir. Kami persilahkan Pangeran untuk pergi ke padukuhan induk”
“Tidak seorang kesatria pun dari Kediri yang akan menganggap bahwa permusuhan dengan Singasari sudah berakhir dengan kekalahan kecil ini. Kecuali mereka yang tidak mempunyai kepribadian sama sekali” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Baiklah hal itu kita lihat di kemudian hari” berkata Ki Sanggarana pula, “tetapi pertempuran yang terjadi kali ini di Talang Amba telah berakhir. Telah banyak korban yang jatuh sehingga kita harus merenunginya, apakah permusuhan yang demikian itu masih perlu dilanjutkan”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ketika ia mengedarkan pandangan matanya, ia melihat beberapa orang pengikutnya telah menjadi tawanan pula. Sejenak kemudian, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah dibawa oleh para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba ke induk padukuhan. Tidak banyak yang dikatakan oleh Pangeran itu. Banyak pertanyaan yang tidak dijawabnya ketika ia berada di banjar Kabuyutan Talang Amba.
Namun dalam pada itu, setiap terdengar ia mengancam, “Pada satu saat akan datang pasukan yang kuat untuk menggilas kalian. Meskipun disini ada prajurit-prajurit Singasari segelar sepapan, namun mereka tidak akan gagal lagi. Kalian akan ditangkap dan dihukum gantung. Kecuali jika kalian membunuh diri di medan”
Ancaman itu memang menggetarkan jantung Ki Sanggarana. Agaknya Pangeran itu benar-benar mendendam, sementara ia tentu tidak berdiri sendiri. Tentu ada orang lain di Kediri yang berpendirian seperti Pangeran Lembu Sabdata, meskipun mungkin tidak terlalu banyak.
Demikianlah ketika para tawanan telah ditempatkan di tempat yang terjaga dengan baik, yang sebagian besar diletakkan di banjar-banjar padukuhan, maka para pemimpin di Talang Amba telah berbincang dengan sungguh-sungguh bersama dengan para Senopati dari Singasari. Mereka tidak dapat mengabaikan ancaman Pangeran Lembu Sabdata, karena hal yang demikian itu memang dapat terjadi.
Tetapi sedang Senopati pun kemudian berkata, “Kita tidak akan tinggal diam. Kita akan menelusuri sampai ke sumbernya. Kita sudah tahu, bahwa Pangeran yang telah melakukan hal ini adalah Pangeran Lembu Sabdata. Pimpinan prajurit Singasari tentu akan berbuat sesuatu. Tidak perlu Sri Maharaja turun tangan dalam persoalan yang tidak begitu berarti ini”
“Jangan salah menilai” desis Ki Waruju, “persoalan ini bukan persoalan yang tidak begitu berarti. Mungkin persoalan yang terjadi di Talang Amba ini dapat dianggap persoalan kecil. Tetapi dalam hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di tempat lain, maka persoalan ini adalah persoalan yang besar dan gawat bagi Singasari. Aku bukan seorang prajurit. Bukan pula seorang pemimpin pemerintahan. Tetapi aku mohon hal ini mendapat perhatian yang sewajarnya”
Senopati itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, seorang Senopati yang lain telah menyahut, “Kau benar Ki Waruju. Persoalan ini menyangkut daerah yang luas dan menyangkut masalah-masalah yang gawat. Karena itu, aku sependapat, persoalan ini tidak boleh dianggap sebagai persoalan yang tidak begitu berarti. Tetapi untuk menanganinya tidak harus dilakukan oleh Sri Maharaja sendiri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Namun dalam pada itu, yang dibicarakan oleh para Senopati adalah masalah para tawanan yang harus mereka bawa ke Singasari. Ada beberapa hal yang mungkin terjadi. Perjalanan ke Singasari dari Talang Amba adalah perjalanan yang panjang, sehingga banyak hal dapat terjadi di perjalanan, karena mereka harus membawa tawanan yang cukup banyak.
“Kita akan menghubungi Singasari sebelum kita membawa mereka” berkata seorang Senopati.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya jalan itu adalah jalan yang paling baik. Mungkin Singasari akan mengambil satu kebijaksanaan yang lain dari yang direncanakan oleh. para Senopati di Talang Amba. Bahkan mungkin Singasari akan mengirimkan beberapa orang ke Talang Amba untuk mempelajari keadaan. Atau Singasari akan mengirimkan sepasukan pengawal yang akan membawa para tawanan itu bersama-sama prajurit Singasari yang berada di Talang Amba.
Dengan demikian, maka para pemimpin Talang Amba dan para Senopati akhirnya bersepakat untuk menempatkan para tawanan untuk sementara di Talang Amba dibawah pengawasan ketat anak-anak muda Talang Amba sendiri dan para prajurit Singasari itu tetap berada dalam kesiagaan tertinggi, karena kemungkinan yang buruk masih mungkin terjadi. Para Pangeran yang sependapat dengan Pangeran Lembu Sabdata dan para pengikutnya dengan kekerasan, setelah orang-orang yang sempat melarikan diri kembali kepada Para Pangeran itu serta melaporkan apa yang telah terjadi di Talang Amba, tentang kegagalan serta akibat yang parah dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Sementara itu, para Senopati di Talang Amba pun telah menunjuk. sekelompok kecil diantara mereka untuk pergi ke Singasari. Melaporkan semua peristiwa yang terjadi dan menerima perintah tentang para tawanan yang masih berada di Talang Amba.
Namun dalam pada itu, sebelum kelompok kecil itu berangkat ke Singasari, maka Talang Amba telah dikejutkan sekali lagi hadirnya beberapa orang berkuda. Para petugas di padukuhan-padukuhan kecil yang melihat kehadiran beberapa orang berkuda itu pun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang telah berdiri di pintu gerbang. Yang lain berada di banjar d-alam kesiagaan penuh. Sedangkan kentongan pun telah siap untuk dibunyikan apabila perlu. Beberapa orang penghubung berkuda telah siap pula melakukan tugas mereka untuk menghubungi padukuhan-padukuhan lain.
Tetapi agaknya sekelompok orang berkuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan tindak kekerasan. Ternyata ketika mereka mendekati pintu gerbang, kelompok itu pun segera berhenti. Dua orang diantara mereka mendekati anak-anak muda yang bertugas di pintu gerbang dengan senjata di tangan. Kedua orang itu pun telah mengangkat tangan kanan mereka. Dengan demikian, keduanya menunjukkan sikap damai mereka, karena dalam keadaan yang demikian mereka tidak akan menggapai hulu senjata mereka.
Karena itu, maka anak-anak muda yang bertugas di pintu gerbang telah menanggapi sikap mereka dengan baik pula. Dua orang diantara anak-anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat sambil mengangguk hormat. Menilik pakaian yang dikenakan maka orang-orang berkuda itu bukannya orang kebanyakan. Mereka tentu orang-orang terhormat, dan bahkan para bangsawan.
“Kami mohon maaf Ki Sanak” berkata salah seorang anak muda yang bertugas di regol, “apakah aku boleh bertanya tentang Ki Sanak dan keperluan Ki Sanak? Hal ini terpaksa kami lakukan karena keadaan Kabuyutan kami pada saat-saat terakhir ini agak suram oleh peristiwa-peristiwa yang tidak kami kehendaki”
“Kami mengerti anak muda” jawab salah seorang dari kedua penunggang kuda yang mendekat, “kami adalah sekelompok orang-orang Kediri dan Singasari”
Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja diluar sadarnya ia berpaling ke arah seorang anak muda yang lain, yang berdiri diantara anak-anak muda di dekat regol padukuhan kecil itu. Anak muda yang dimaksud itu pun kemudian melangkah maju. Ketika ia berada dua langkah dari kedua orang yang mengaku orang Kediri dan Singasari itu pun ia berhenti.
Sejenak anak muda itu memperhatikan kedua orang berkuda itu, kemudian orang-orang lain yang berhenti beberapa langkah dari kedua orang berkuda itu. Namun akhirnya ia berkata, “Kami mengenali sebagian dari tuan-tuan sebagai pimpinan prajurit di Kediri menilik pakaian dan kelengkapan tuan-tuan, sedangkan yang lain dari Singasari."
“Ya. Aku adalah Pangeran Singa Narpada, dari Kediri” berkata salah seorang dari kedua orang berkuda.
“Kami sudah mendapat laporan tentang semua peristiwa yang terjadi di Kabuyutan Talang Amba ini” berkata Pangeran yang menyebut dirinya Singa Narpada, “Karena itu, kami ingin menemui Pangeran Lembu Sabdata”
Anak muda yang sebenarnya adalah seorang prajurit dari Singasari itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Lembu Sabdata sekarang adalah seorang yang dalam keadaan khusus karena perbuatannya”
“Katakan saja, bahwa Pangeran Lembu Sabdata menjadi tawanan di Talang Amba” sahut orang berkuda itu.
“Ya tuan. Agaknya memang demikian” jawab anak muda itu, “karena itu, untuk menemuinya diperlukan ijin tersendiri dari Ki Sanggarana, yang memangku jabatan Buyut di Talang Amba ini”
“Baiklah. Apakah aku diijinkan untuk memasuki Talang Amba dan berbicara dengan Ki Sanggarana?” bertanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Singa Narpada itu.
“Kami akan mempersilahkan dua diantara tuan-tuan untuk pergi ke padukuhan induk” jawab Senopati itu, “ selebihnya kami mohon maaf, bahwa tuan-tuan masih harus menunggu sampai ada perintah lebih lanjut dari Ki Sanggarana”
“Baiklah” jawab Pangeran Singa Narpada, “kami berdua akan menemui Ki Sanggarana”
Anak muda yang sebenarnya adalah seorang Senopati muda dari Singasari itu pun kemudian mengatur beberapa orang penghubung berkuda untuk mengantarkan kedua orang itu ke padukuhan induk. Tempat orang penghubung itu, dua diantaranya adalah prajurit Singasari. Jika terjadi sesuatu, maka segalanya supaya diatur sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka beberapa diantara orang-orang berkuda itu harus menunggu. Mereka dipersilahkan memasuki sebuah halaman rumah yang tidak begitu besar dan dipersilahkan untuk duduk di pendapa. Sementara itu, beberapa orang anak muda mengawasi mereka dari kejauhan.
Namun dalam pada itu, Senopati muda dari Singasari itu telah berbisik kepada pemimpin anak-anak muda di padukuhan itu, “Aku mengenal salah seorang perwira dari Singasari yang juga seorang Pangeran”
Anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa mereka tidak mengirimkan orang yang telah kita kenal dengan baik. Mahisa Bungalan misalnya”
Senapati muda dari Singasari itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Entahlah. Mungkin karena disini tertawan Pangeran Lembu Sabdata, maka Singasari pun mengirimkan satu atau dua orang perwira tinggi yang juga seorang Pangeran. Demikian juga agaknya Kediri. Sementara yang lain adalah pengawal-pengawal mereka”
Anak-anak muda Talang Amba mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Tetapi apakah kau yakin bahwa sekelompok orang berkuda itu benar-benar akan membawa satu penyelesaian. Bukan sekedar untuk memberikan pertolongan kepada satu pihak."
“Aku kira, mereka benar-benar akan membawakan satu penyelesaian” jawab Senapati muda dari Singasari. Tetapi iapun kemudian melanjutkan, “Tetapi segalanya kita tunggu dari hasil pertemuan mereka dengan Ki Sanggarana.
Anak-anak muda Talang Amba hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, dua orang diantara orang-orang berkuda itu telah diantarkan ke padukuhan induk untuk bertemu dengan Ki Sanggarana. Sebenarnya kedatangan kedua orang berkuda itu telah mengejutkan Ki Sanggarana. Dengan jantung yang berdebaran, keduanya telah dipersilahkan duduk di pendapa.
“Seorang diantara mereka mengaku bernama Pangeran Singa Narpada” berkata salah seorang dari empat orang yang mengantar kedua orang itu kepada Ki Sanggarana. “Apa maksudnya?“ bertanya Ki Sanggarana.
“Itulah yang harus kita ketahui dengan pasti. Menurut keterangannya mereka ingin dengan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan itu” jawab anak muda yang mengantarkan kedua orang berkuda itu.
Ki Sanggarana mengangguk. Namun kemudian ia tidak menemui kedua tamunya itu seorang diri atau hanya bersama Ki Sendawa dan para bebahu Kabuyutan. Tetapi Ki Sanggarana juga mengajak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Selain kedua orang anak muda itu, Ki Sanggarana juga mengundang Ki Waruju untuk ikut serta berbicara tentang para tawanan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Talang Amba itu pun menjadi berdebar-debar. Apakah yang telah mereka lakukan itu salah, sehingga orang-orang yang datang itu ingin menangkapnya dan memenjarakannya. Tetapi para prajurit dari Singasari akan menjamin langkah kami tersebut. Jika langkah itu salah, maka prajurit-prajurit Singasari itu pun akan terkena akibatnya pula.
Justru karena itu, maka para pemimpin dari Kabuyutan Talang Amba itu menjadi tenang. Mereka telah melakukan satu perlawanan terhadap orang-orang Kediri dalam angka mempertahankan hal mereka terhadap ancaman orang lain. Apalagi mereka sadar, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah mempergunakan cara yang paling buruk untuk menghancurkan wilayah Singasari. Bukan hanya untuk satu saat. Tetapi untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin sekali keadaan tidak akan tertolong lagi.
Jika hutan itu benar-benar menjadi gundul, maka tanah di lereng bukit itu akan hanyut. Jika yang tersisa adalah batu-batu padas dan batu-batu hitam, maka gunung itu tidak akan dapat ditanami lagi untuk selamanya. Gunung itu kelak akan menjadi lambang kehancuran bagi kesuburan tanah Kabuyutan Talang Amba. Sehingga yang kemudian terbentang dibawah bukit batu yang gundul adalah tanah yang gersang. Padang yang luas tidak berpohon dan bahkan rerumputan pun tidak akan dapat tumbuh lagi.
Impian buruk yang mengerikan itu harus dicegah. Tiga atau empat keturunan lagi tidak boleh mengutuk leluhur mereka karena kedengkian serupa itu. Demikianlah, maka Ki Sanggarana bersama beberapa orang itu pun telah duduk di pendapa. Sementara itu. Pangeran Singa Narpada telah memperkenalkan dirinya pula, sedangkan yang lain adalah Pangeran Kuda Kertapati.
“Kedatangan Pangeran ke Kabuyutan ini telah mengejutkan kami” berkata Ki Sanggarana kemudian.
“Ya Ki Sanggarana. Kami pun menyadari bahwa mungkin sekali kehadiran kami akan mengejutkan orang-orang Talang Amba. Tetapi barangkali Ki Sanggarana sudah dapat menduga keperluan kami datang ke Kabuyutan ini”
“Pangeran” jawab Ki Sanggarana, “memang di Kabuyutan ini telah tumbuh persoalan antara kami, orang-orang Talang Amba yang mendapat perlindungan dari para prajurit dari Singasari dengan orang-orang dari Kediri. Tetapi sudah barang tentu kami tidak dapat menyebut mereka adalah para pengawal dari Kediri, karena kami pun mengerti, tidak semua orang Kediri atau katakan bahwa yang terjadi itu sama sekali tentu bukan sikap resmi Kediri”
“Ya, ya Ki Sanggarana” jawab Pangeran Singa Narpada Pangeran Lembu Sabdata memang tidak mewakili sikap Kediri yang sebenarnya. Ia bertindak atas namanya sendiri, sedangkan apa yang dilakukannya pun bukan sikap kebanyakan orang-orang Kediri”
“Kami memang sudah menduga” jawab Ki Sanggarana, “karena itu sikap kami pun tidak kami tujukan kepada Kediri, sebagaimana para prajurit Singasari. Mereka mendapat perintah untuk melindungi Kabuyutan ini dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Sementara itu, para perusuh dapat saja dilakukan oleh orang-orang dari Kediri, atau oleh orang-orang dari Singasari atau Gagelang atau tempat-tempat lain”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih atas pengertian itu”
Ki Sanggarana pun mengangguk-angguk pula. Namun ia masih tetap berdebar-debar. Langkah yang akan diambil oleh para bangsawan di Kediri itu.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Ki Sanggarana. Aku datang ke Kabuyutan ini bersama beberapa orang kawan. Kami ingin melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan demikian maka kami akan dapat mengambil satu kesimpulan yang tepat. Tidak hanya berdasarkan atas laporan-laporan saja”
“Apakah Pangeran sudah berhubungan dengan para pemimpin di Singasari?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ada dua orang bangsawan dari Singasari yang menyertai perjalanan kami, karena kami ingin melihat persoalan ini dalam keseluruhan. Juga dalam hubungan dengan hadirnya para prajurit dari Singasari” jawab Pangeran Singa Narpada.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah Pangeran. Kita akan dapat membicarakannya. Tetapi karena disini hadir prajurit dari Singasari yang berbaur dengan anak-anak muda Talang Amba, maka Senapati yang memimpin pasukan Singasari itu pun akan ikut pula berbicara diantara kita”
“Tentu” sahut Pangeran Singa Narpada, “semua pihak yang berkepentingan dengan penyelesaian yang harus diambil sebaik-baiknya ikut dalam pembicaraan ini”
“Baiklah Pangeran” berkata Ki Sanggarana kemudian, “dimanakah kawan-kawan Pangeran?”
“Mereka terhenti di padukuhan kecil di ujung Kabuyutan ini. Para peronda hanya mengijinkan kami berdua Ki Sanggarana lebih dahulu untuk mendapatkan ijin memasuki Kabuyutan” jawab Pangeran itu.
“Oh” Ki Sanggarana mengangguk-angguk, “kami mohon maaf Pangeran. Itu hanyalah karena sikap hati-hati dari anak-anak kami”
“Kami mengerti” jawab Pangeran Singa Narpada, “Karena itu kami berusaha untuk mematuhi ketentuan mereka."
Demikianlah, maka Ki Sanggarana itu pun mempersilahkan orang-orang berkuda itu untuk datang ke rumahnya. Kedua Pangeran itu berkeberatan ketika Ki Sanggarana akan memerintahkan anak-anak muda menjemput mereka.
“Biar kami berdua sajalah kembali ke Padukuhan kecil itu. Untuk membuktikan bahwa kami telah bertemu dengan Ki Sanggarana, ada juga baiknya satu atau dua orang pergi bersama kami” berkata Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian, maka dua orang pengawal di rumah Ki Sanggarana itu pun telah mengantarkan kedua Pangeran itu kembali ke padukuhan kecil di ujung Kabuyutan. Mereka, memanggil kawan-kawan mereka untuk bersama-sama menemui Ki Sanggarana dan orang-orang Kediri yang tertawan.
Sementara itu, Ki Sanggarana pun telah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Bahkan dengan sikap berhati-hati Ki Sanggarana telah berbicara dengan Senapati Singasari yang berada di Talang Amba, agar para prajurit Singasari pun bersikap hati-hati pula.
“kami mengharap Senapati ikut menentukan sikap” berkata Ki Sanggarana.
“Jika benar ada diantara mereka satu atau dua orang Senapati dari Singasari, mungkin aku akan dapat mengenalinya” berkata pemimpin tertinggi dari para pengawal yang berada di Talang Amba.
“Apakah para prajurit yang berada di padukuhan-padukuhan kecil itu mungkin tidak mengenal seorang Senapati dari Singasari?” bertanya Ki Sendawa.
“Mungkin sekali Ki Sendawa” jawab Senapati itu, “tata keprajuritan Singasari cukup luas. Ada beberapa kesatuan yang terpisah. Mungkin terpisah tempatnya dan mungkin terpisah tugas-tugasnya”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Singasari yang luas itu tentu mempunyai tata keprajuritan yang luas pula.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada bersama sekelompok perwira dan bangsawan diiringi oleh beberapa orang prajurit telah memasuki padukuhan induk. Mereka langsung pergi ke rumah Ki Sanggarana, yang menerima mereka di pendapa bersama beberapa orang bebahu Kabuyutan itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Waruju dan beberapa orang Senapati terpenting dari pasukan Singasari yang ada di padukuhan itu. Untuk mempermudah hubungan diantara mereka, maka para Senapati yang semula membaurkan diri diantara anak-anak muda Talang Amba itu telah mengenakan pakaian keprajuritan mereka.
Demikianlah, ketika iring-iringan itu memasuki halaman rumah Ki Sanggarana, maka para Senapati terpenting dari pasukan Singasari yang ada di Talang Amba segera melihat, bahwa diantara mereka yang datang itu memang terdapat beberapa orang perwira tinggi dari Singasari.
“Agaknya persoalan ini benar-benar ingin diselesaikan dengan tuntas” berkata Senapati itu di telinga Mahisa Murti.
“Agaknya memang harus demikian” jawab Mahisa Murti, “Jika Kediri tidak mengambil sikap terhadap para Pangerannya, maka persoalannya akan dapat semakin berlarut-larut”
“Nampaknya kali ini Kediri bersungguh-sungguh” berkata Senapati itu pula.
“Mereka mungkin akan dapat segera mengatasi persoalan yang timbul pada para Pangeran” jawab Mahisa Murti pula, “tetapi mereka harus juga memperhatikan benih yang sudah mereka tebarkan. Yang sudah bergerak bukan saja terbatas kepada para Pangeran. Tetapi tentu ada satu dua orang Akuwu yang masih mempunyai pendirian seperti Akuwu Gagelang yang terbunuh itu."
Senopati itu mengangguk-angguk. Ternyata sikap itu telah berkembang. Tidak hanya pada para Pangeran dan pengikutnya di Kediri. Tetapi beberapa orang Akuwu agaknya telah terpengaruh pula seperti di Gagelang yang terbunuh itu.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah berkata pula, “Selain para Akuwu, mana mungkin pula sikap itu sudah merambat diantara para pemimpin Padepokan. Ada diantara mereka yang dengan sadar atas cita-cita beberapa orang Pangeran di Kediri, tetapi ada pula yang menyatakan ikut serta dengan mereka hanya karena janji”
Senopati itu masih mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa ada beberapa orang diluar lingkungan istana Kediri, yang terlibat. Nama Ki Sarpa Kuning dan para pengikutnya adalah salah satu contoh dari mereka yang berada di-barisan Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, maka para tamu dari Kediri dan Singasari itu pun segera dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Ki Sanggarana bersama beberapa orang telah menerima mereka. Sementara itu dengan tidak menimbulkan kesan yang dapat menarik perhatian, maka beberapa orang anak muda Talang Amba mengamati halaman rumah Ki Sanggarana itu. Segala kemungkinan masih akan dapat terjadi. Meskipun diantara mereka terdapat beberapa orang bangsawan dari Singasari, namun yang tidak terduga itu dapat saja megejutkan Talang Amba.
Setelah Ki Sanggarana mempersilahkan tamunya untuk duduk dengan baik, maka iapun kemudian mulai bertanya tentang kedatangan para Pangeran dan perwira dari Kediri dan Singasari itu.
“Kami telah mendapatkan laporan dari Talang Amba” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Demikian cepatnya” desis Ki Sanggarana.
“Di samping para prajurit Singasari yang dikirim untuk membantu Talang Amba, maka telah dikirim pula beberapa orang petugas sandi dari Singasari untuk melihat apakah yang terjadi disini. Bersamaan dengan itu, maka semua persoalan telah dikirim pula ke Kediri. Karena itu, maka beberapa orang pemimpin di Kediri telah datang ke Singasari. Dan bersama-sama kami telah datang kemari” jawab salah seorang perwira tinggi dari Singasari yang berada diantara para tamu itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Kerucigaannya menjadi semakin susut. Beberapa orang Senopati terpenting Singasari yang ada diantara mereka yang menerima tamu dari Kediri dan Singasari itu pun mengangguk-angguk. Agaknya mereka pun mempercayai sepenuhnya keterangan itu.
Dalam pada itu, maka Ki Sanggarana pun kemudian bertanya, “Setelah tuan-tuan sampai ke Talang Amba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu tugas tuan-tuan?”
“Kami ingin berbicara dengan beberapa orang yang tertawan. Bukankah diantara mereka yang tertawan terdapat Pangeran Lembu Sabdata?” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran. Sebenarnya kami tidak ingin menawan. Tetapi kami hanya memperlakukannya secara khusus, karena Pangeran Lembu Sabdata terlibat dalam satu tindakan kekerasan terhadap Talang Amba” sahut Ki Sanggarana.
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Tidak ada istilah lain yang lebih baik daripada tawanan. Memang adimas Pangeran Lembu Sabdata harus mengalami perlakuan yang demikian”
Ki Sanggarana tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk mengiakan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun kemudian bertanya, “Jadi apakah menurut Ki Sanggarana, kami akan diperkenankan menemui adimas Lembu Sabdata?”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk kecil. Meskipun nampak ragu-ragu, namun iapun kemudian berkata, “Baiklah Pangeran. Jika hal itu Pangeran kehendaki, maka kami tidak berkeberatan. Pertemuan itu akan dapat dilakukan di pendapa ini”
“Oh” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. “Jadi Ki Sanggarana akan membawa Adimas Pangeran kemari?”
“Jika Pangeran Lembu Sabdata bersedia, Pangeran” jawab Ki Sanggarana.
“Baiklah. Agaknya itu memang lebih baik. Tetapi yang ingin kami temui bukannya sekedar Pangeran Lembu Sabdata. Itulah sebabnya kami membawa beberapa orang kawan dalam perjalanan ini selain beberapa orang pengawal” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Jadi siapa saja yang ingin Pangeran temui?” bertanya Ki Sanggarana.
“Yang terpenting memang hanya adimas. Pangeran Lembu Sabdata” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi kami ingin juga melihat tawanan yang ada di Talang Amba. Kami ingin melihat pihak mana sajakah yang terlibat. Apakah mereka hanya para pengawal Kediri dan dengan cerdik telah diperlakukan sebagai para pengikut adimas Lembu Sabdata atau masih ada pihak-pihak lain. Dengan demikian, maka kami akan mendapatkan sedikit gambaran, siapa sajakah yang telah terlibat. Sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang bermanfaat bagi satu usaha mencari penyelesaian”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Diluar sadarnya maka iapun berpaling kepada Senopati yang memimpin seluruh pasukan Singasari yang ada di Talang Amba. Katanya, “Bagaimana Ki Sanak. Ki Sanak lah yang telah menangkap mereka”
Senopati itu mengangguk. Katana, “Aku percayakan semuanya kepada para Senopati yang memiliki tanggung jawab lebih besar yang sekarang telah hadir disini."
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa dengan hadirnya beberapa orang perwira tinggi dari Singasari, maka Senopati yang ada di Talang Amba akan menyerahkan segala sesuatunya kepada mereka.
Demikianlah, maka segala persiapan pun segera dilakukan. Sementara itu, Ki Sanggarana masih sempat menjamu tamu-tamunya sambil menunggu para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba yang akan menghubungi Pangeran Lembu Sabdata dan orang-orang yang tertawan yang diletakkan di beberapa tempat, terutama di banjar-banjar padukuhan.
Tetapi di banjar padukuhan induk itu telah terjadi satu perselisihan antara Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati yang datang kepadanya, memberitahukan akan kehadiran Pangeran Singa Narpada yang ingin bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata.
“Jika ia ingin bertemu dengan aku, biarlah orang itu datang kemari” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran” berkata Senopati itu, “mereka mengharap agar Pangeran bersedia untuk datang ke pendapa rumah Ki Sanggarana. Kita akan dapat berbicara dengan baik sebagaimana hubungan antara sesama. Bukankah Pangeran Singa Narpada itu termasuk sanak kadang Pangeran sendiri? sehingga dengan demikian, maka pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang akan dapat memberikan beberapa pemecahan terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh Pangeran”
“Aku tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Singa Narpada sebelumnya” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran berdua adalah kadang sentana dari Kediri” berkata Senopati itu.
“Tetapi sikap dan pandangan kami berbeda. Aku bukan penjilat seperti kakangmas Pangeran Singa Narpada. Buat apa aku datang menemuinya. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Dan aku pun sudah tahu apa yang akan dianjurkannya kepadaku. Tentu suatu pengkhianatan terhadap cita-cita yang agung bagi Kediri, sebagaimana sudah mulai merata di kalangan para bangsawan di Kediri selain beberapa orang penjilat seperti kakangmas Singa Narpada itu” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Terserahlah, apa yang akan Pangeran katakan terhadap Pangeran Singa Narpada. Tetapi sekarang kami persilahkan bersama kami pergi ke rumah Ki Sanggarana. Jarak dari banjar ini ke rumah itu sangat dekat”
“Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan pergi” bentak Pangeran Lembu Sabdata, “jangan mengatakan sekali lagi tentang hal itu. Aku muak mendengar. Jika kau ingin ikut dengan penjilat itu lakukan. Tetapi jangan ajak aku”
“Aku mendapat perintah” berkata Senopati itu.
“Tutup mulutmu” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak, “sudah aku katakan. Jangan menyebutnya lagi”
Senopati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, “Aku mendapat perintah, bagaimana mungkin aku tidak menyebutnya”
“Diam. Diam kau iblis. Aku tidak mau kau mengatakannya. Aku muak. Atau aku harus membungkam mulutmu” Pangeran Lembu Sabdata itu berteriak.
Namun dalam pada itu Senopati itu menjadi jengkel. Karena itu maka katanya lebih keras lagi, “Bersiaplah. Kau harus datang ke pendapa rumah Ki Sanggarana. Sekarang, Kau harus menemui Pangeran Singa Narpada dari Kediri dan beberapa orang Senopati dari Singasari”
Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata telah memuncak. Karena itu maka tiba-tiba saja telah meloncat menerkam Senopati itu. Tetapi Senopati itu memang sudah menduga. Ia sudah bersiap. Demikian Pangeran Lembu Sabdata meloncat, iapun meloncat pula menghindar.
Namun dalam sekejap, maka beberapa orang prajurit Singasari yang menjaga banjar itu telah mengacungkan senjata mereka dari beberapa arah. Bahkan sepucuk tombak telah menyentuh tubuh Pangeran Lembu Sabdata itu.
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tidak memburu Senopati yang menghindar itu. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat keluar dari lingkaran ujung senjata di sekitarnya. Apalagi yang menggenggam senjata adalah prajurit-prajurit Singasari.
“Nah Pangeran” berkata Senopati itu, “Kau harus menyadari kedudukanmu disini. Kau tidak berada di istanamu di Kediri. Dan kami bukan abdimu yang kau anggap tidak berharga. Dengar, dengan sekali lagi. Mau atau tidak mau. Kau dipanggil menghadap ke rumah Ki Sanggarana. Kau akan diperiksa sebagai seorang tawanan yang kalah perang”
Pangeran Lembu Sabdata menggeretakkan giginya. Tetapi ketika ia bergerak, maka ujung-ujung senjata telah melekat dikulitnya.
“Pengecut” geram Pangeran itu, “Kau bersembunyi di belakang kecoak-kecoak ini”
“Kau jangan membuat hatiku semakin sakit Pangeran. Kau telah dikalahkan dalam peperangan. Kau sudah melepaskan senjatamu dan kau adalah tawanan. Sekarang dengar perintahku. Pergi ke rumah Ki Sanggarana. Jika kau tidak puas dengan perlakuan ini, adukan kepada saudara-saudaramu yang ada di pendapa itu” jawab Senopati itu.
Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah padam. Tetapi terasa ujung senjata masih melekat dikulitnya. Bahkan salah seorang diantara mereka yang membawa tombak telah menekankan ujung tombaknya sambil berkata, “Marilah Pangeran. Mereka sudah menunggu di pendapa”
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Kemarahannya bagaikan membakar seisi dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Senjata-senjata sudah menekan kulitnya. Nampaknya prajurit-prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba itu tidak hanya sekedar bermain-main. Mereka benar-benar akan melakukan apa yang mereka katakan, karena Pangeran Lembu Sabdata bagi mereka memang tidak lebih dari seorang tawanan.
Karena itu, mau tidak mau, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah melangkah. Demikian mereka turun ke halaman, maka Senopati yang memerintahkannya pergi ke rumah Ki Sanggarana itu pun berkata, “Jangan biarkan Pangeran itu lari atau melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keributan. Tetapi juga jangan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan. Biarlah Pangeran itu berjalan sendiri”
Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Namun orang-orang yang mengacukan senjatanya pun telah bergeser dan mengambil jarak. Dengan demikian, maka para prajurit Singasari dan beberapa orang anak muda Talang Amba itu pun kemudian sekedar mengiringi Pangeran itu tanpa menimbulkan kesan yang dapat menarik perhatian, seakan-akan mereka sedang menggiring seorang tawanan.
Pangeran Lembu Sabdata memang tidak berbuat sesuatu. Ia sadar, bahwa para prajurit Singasari dan anak-anak muda Talang Amba itu akan dapat menjadi kasar jika mereka tersinggung. Mungkin mereka akan dapat memperlakukannya dengan kasar pula dan menghinakannya di depan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata pun berusaha untuk berbuat sebagaimana dikehendaki oleh Senopati dari Singasari itu, agar segala sesuatunya tidak justru membuat dirinya semakin kecil.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Sanggarana yang memang tidak begitu jauh dari banjar, maka jantung Pangeran Lembu Sabdata rasa-rasanya memang akan meledak, la melihat beberapa orang saudaranya berada di pendapa. Beberapa orang Perwira dan pengawal. Ketika Pangeran Lembu Sabdata mendekati pendapa, maka orang-orang yang berada di pendapa itu pun telah beringsut. Mereka telah memberikan tempat kepada Pangeran Lembu Sabdata yang diantar naik ke pendapa.
“Marilah adimas” Pangeran Singa Narpada mempersilahkan. Sementara Ki Sanggarana pun telah menyongsongnya dengan penuh hormat. Sama sekali tidak tercermin sikapnya kepada seorang tawanan.
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di tempat yang sudah disediakan, di sebelah Pangeran Singa Narpada.
“Marilah adimas” berkata Pangeran Singa Narpada pula, “sudah cukup lama kita tidak bertemu”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Namun demikian giginya terkatub rapat-rapat. Dengan demikian Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menahan diri, agar tidak dengan serta merta mengumpat-umpat dihadapan beberapa orang saudaranya itu.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Adimas. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan. Aku minta dengan sangat, agar adimas dengan ikhlas bersedia untuk memberikan keterangan sebaik-baiknya. Karena aku datang tidak atas kehendakku sendiri. Tetapi aku mewakili semua kadang di istana Kediri."
Pangeran Lembu Sabdata masih tetap berdiam diri. Tetapi dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak.
“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada, “Yang ingin aku ketahui, sudah berapa lama adimas berada atau berkepentingan dengan tlatah Talang Amba atau lebih luas lagi daerah Gagelang ini? Menurut keterangan yang aku dengar, bukankah adimas justru pernah berada di Gagelang?"
Pangeran Lembu Sabdata tidak segera menjawab. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada Ki Sanggarana dan Senopati yang bertanggung atas seluruh pasukan yang berada di Talang Amba, “Aku mengerti, bahwa cara ini tentu bukan cara yang terbaik untuk berbicara dengan adimas Lembu Sabdata. Karena itu, aku mohon kesempatan untuk berbicara pada satu tempat yang terpisah. Aku akan membawa beberapa orang saksi termasuk para perwira dari Singasari dan sudah tentu Ki Sanggarana sendiri”
“Silahkan Pangeran” jawab Ki Sanggarana yang mengerti kesulitan Pangeran Singa Narpada untuk berbicara di tempat terbuka, karena ada beberapa hal yang mungkin tidak perlu didengar oleh beberapa orang lain. Karena itu. maka Ki Sanggarana pun kemudian mempersilahkan Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang lain untuk masuk ke Pringgitan bersama Ki Sanggarana sendiri.
Tetapi sebenarnyalah yang terpenting bagi para Pangeran dari Kediri dan Singasari bukan saja mendapat keterangan dari Pangeran Lembu Sabdata, tetapi juga dari para pengikutnya. Karena itu dengan demikian, mereka akan mendapat gambaran, siapa saja yang telah terlibat dalam usaha yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata yang sudah tentu tidak berdiri sendiri.
Karena itu, demikian Pangeran Singa Narpada mempersilahkan Pangeran Lembu Sabdata untuk memasuki pringgitan tanpa dapat menolaknya, maka beberapa orang yang lain telah membuat rencana mereka sendiri. Bersama para Senopati dari Singasari yang berada di Talang Amba maka para pengiring Pangeran Singa Narpada telah memencar ke banjar-banjar tempat para pengikut Pangeran Lembu Sabdata tertawan.
Ternyata tugas beberapa orang yang menemui para pengikut Pangeran Lembu Sabdata di banjar-banjar tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Pada umumnya tawanan-tawanan itu dengan terus terang mengatakan apa saja yang mereka ketahui. Tetapi yang mereka ketahui ternyata terlalu sedikit. Mereka hanya dibentuk untuk menjadi seorang pengikut yang setia dengan harapan-harapan yang sangat baik di masa depan, apabila nanti saatnya datang Kediri dapat menguasai kembali seluruh buminya yang pernah dirampas oleh Singasari.
Tetapi pada umumnya mereka tidak mengetahui cita-cita itu sampai mendasar karena mereka menangkap harapan-harapan itu dengan sangat dangkal. Itulah sebabnya, maka mereka pun dengan tekad yang menyala di dalam hati berusaha untuk menghancurkan perlahan-lahan kekuatan Singasari. Dari sedikit namun akhirnya Singasari akan runtuh.
“Apakah kalian tahu, apa artinya rencana Pangeran Lembu Sabdata untuk membuat hutan di lereng menjadi gundul?” bertanya seorang perwira dari Kediri kepada salah seorang pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
“Aku mengetahui” jawab orang itu, “dengan demikian maka daerah di bawah lereng akan mengalami kesulitan. Di musim basah akan datang banjir setiap kali dan di musim kering mereka tidak akan mendapatkan air”
“Kau tahu dengan pasti” desis perwira itu.
“Ya. Tanah di tebing akan hanyut dan bukit itu akan menjadi bukit batu dan padas” orang itu melanjutkan.
“Jika demikian, kenapa kau melakukannya juga? Apakah kau dapat membayangkan penderitaan yang akan terjadi?” bertanya perwira itu.
“Kami dengan sengaja ingin melihat Singasari hancur” jawab orang itu yakin.
“Jadi, apakah yang akan didapatkan oleh Kediri seandainya ia dapat menghancurkan Singasari? Apakah kemudian Kediri hanya akan memerintah bukit gundul berbatu-batu terjal?” bertanya perwira itu.
“Hal itu tidak terjadi atas Kediri. Hanya atas Singasari” jawab orang itu.
“Kau membedakan Kediri dari Singasari. Jika menurut tanggapanmu Kediri menang, maka Kediri akan bangkit sementara Singasari akan dihancurkan? Jadi menurut angan-anganmu, Kediri adalah daerah dengan batasan yang mana karena sebelumnya Kediri mempunyai wilayah yang hampir sama dengan Singasari? Sehingga dengan demikian, maka berarti menghancurkan Talang Amba sekarang ini juga menghancurkan satu daerah yang akan menjadi wilayah Kediri seandainya Kediri menang atas Singasari” berkata perwira itu.
Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi iapun mulai berpikir.
“Nah. Cobalah menilai apa yang telah kau lakukan” berkata perwira itu.
Namun di samping sikap dan sejauh manakah kesadaran para pengikut Pangeran Lembu Sabdata, maka para perwira dari Kediri dan Singasari itu pun mengenal siapa saja yang berada di dalam barisan Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun mereka tidak mengatakan nama-nama dari jalur kepemimpinan mereka di Kediri, namun dengan mengetahui dari kesatuan mana saja yang telah membantu Pangeran Lembu Sabdata, maka orang-orang Kediri itu akan sampai kepada satu orang pemimpin dari satu lingkungan tertentu.
Di banjar yang lain, para perwira itu ternyata telah menemukan sekelompok tawanan yang berasal dari sebuah padepokan. Ternyata mereka sama sekali bukan pengawal dari Kediri. Mereka terlibat dalam pertempuran di Talang Amba karena mereka mendapat perintah dari pemimpin mereka.
“Padepokanmu tentu sebuah padepokan yang besar?” bertanya perwira yang memeriksanya.
Orang itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya mereka pun mengangguk.
“Kenapa kalian melibatkan diri dalam permusuhan ini?” bertanya perwira itu pula.
“Aku tidak tahu” jawab salah seorang dari mereka, “Ki Ajar memerintahkan kepada kami untuk ikut dalam kesatuan ini”
“Dan pemimpin padepokanmu? Apakah ia ikut pula?” bertanya perwira itu pula.
Orang itu menggeleng. Katanya, “Hanya kami para cantrik dan jejanggan. Dua puluh orang diantara kami telah dipersiapkan. Tetapi yang kemudian ikut hanya lima belas orang”
“Berapa orang yang ada di banjar ini?” bertanya perwira itu pula.
“Yang aku ketahui hanya empat orang. Aku tidak tahu. dimana saja kawan-kawanku yang lain” jawab orang itu.
Perwira itu mengangguk-angguk. Ia mempercayai jawaban-jawaban orang itu. Dan ternyata bahwa orang itu memang tidak banyak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mereka hanya sekedar melakukan perintah dari pimpinan padepokannya.
Ternyata bukan hanya satu padepokan saja yang telah terlibat. Tetapi beberapa padepokan dan kelompok-kelompok orang yang tidak puas menanggapi perkembangan masyarakat. Mereka yang berkeberatan membayar pajak mendapat janji pembebasan pajak untuk satu daerah yang akan menjadi daerah perdikan. Para pemimpin dari Kediri dan Singasari itu pun melihat, bahwa jaring-jaring yang dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang saudaranya itu ternyata cukup luas.
Sementara itu di pringgitan rumah Ki Sanggarana, Pangeran Singa Narpada bersama seorang perwira dari Singasari, di Talang Amba dan Sanggarana sendiri sedang bertanya tentang beberapa hal kepada Pangeran Lembu Sabdata disaksikan oleh Ki Waruju. Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap bersikap bermusuhan dengan orang-orang yang sedang mempertanyakan beberapa hal tentang dirinya itu.
“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku memerlukan bantuanmu untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh Kediri dan Singasari sekarang ini. Jika kau sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga, maka kami akan mengalami banyak kesulitan untuk mencari jalan yang paling baik. Yang tidak merugikan segala pihak dan bermanfaat”
“Apa yang baik kakangmas tidak selalu baik bagiku. Yang bermanfaat bagi Kediri dan Singasari sekarang ini, tidak selalu bermanfaat menurut pendapatku” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Kau benar adimas. Tetapi yang ingin kami ketahui adalah alasanmu. Penjelasan-penjelasan dan mungkin beberapa kenyataan yang dapat kau tunjukkan kepada kami sehingga memaksa adimas melakukan langkah-langkah seperti sekarang ini" berkata Pangeran Singa Narpada.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata nampaknya sama sekali tidak tertarik. Katanya, “Apa yang dapat aku katakan tentang sikapku? Yang aku katakan tentu tidak akan dipercaya. Karena itu kakangmas, sebaiknya kita hentikan saja pembicaraan ini. Jika kakangmas atas nama Kediri yang rapuh atau Singasari yang tamak itu akan menghukum aku, lakukanlah. Aku tidak akan berkeberatan menjalaninya. Aku memang seorang tawanan”
“Hatimu menjadi sekeras batu adimas. Sebenarnya kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk mencari penyelesaian sebagaimana kadang sendiri. Memang tidak dapat diingkari, tentu ada perbedaan sikap diantara kita. Jika tidak, maka kau dan beberapa orang saudara kita tentu tidak akan melakukan hal seperti ini. Namun justru perbedaan sikap itulah yang ingin kami ketahui” berkata Pangeran Singa Narpada yang masih saja nampak sabar dan sareh.
Pangeran Lembu Sabdata menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang perlu aku katakan. Sepatah kata aku menjawab, maka segera menjadi jelas, bahwa arah kita berlawanan. Karena itu, jawaban itu tidak akan ada gunanya sama sekali”
“Bagaimana jika ternyata kami dapat mengerti alasan-alasanmu, sehingga kami pun akan merubah arah?” desis Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Lembu Sabdata tertawa betapapun pahitnya. Katanya, “Jangan menganggap aku masih terlalu kanak-kanak menanggapi persoalan ini. Baiklah kita sudahi saja pembicaraan ini. Agaknya tidak akan ada gunanya. Jika aku sekarang akan digantung, biarlah kakangmas menyediakan tambang di halaman. Bukankah tugas kakangmas akan cepat selesai”
Nampak perubahan pada wajah Pangeran Singa Narpada. Namun ia masih dengan sareh berkata, “Baiklah adimas. Jika hari ini kau tidak ingin mengatakannya, maka aku akan menunggu kesedianmu dengan sabar. Aku akan berada di Kabuyutan ini barang dua tiga hari. Dan jika saat itu masih belum cukup, maka aku pun akan menunggu sampai kapan pun”
“Tidak ada gunanya" geram Pangeran Lembu Sabdata, “Meskipun kakangmas ada disini sampai kiamat, aku akan tetap menganggap bahwa pembicaraan diantara kita tidak akan ada gunanya. Bahkan seandainya kakangmas akan mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh para pengawal di Kediri yang sedang memeriksa seorang penyamun, aku pun merasa tidak perlu untuk memberikan keterangan apapun juga sampai tubuhku menjadi hancur lumat”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin mengendapkan isi dadanya yang mulai terangkat naik. “Adimas, agaknya suasana di Kabuyutan ini perlahan-lahan akan menjadi berangsur baik. Kehidupan akan menjadi tenang dan berlangsung wajar. Sementara itu, diantara kita masih terdapat jurang yang tidak terjembatani” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Memang. Tidak ada jembatan yang dapat menghubungkan pendirian kita masing-masing. Kami adalah orang-orang yang berdiri diatas harga diri, sementara pihak yang lain adalah orang-orang yang berhati ilalang. Karena itu, setiap pembicaraan hanya akan membuang waktu saja. Dan itu sebaiknya tidak usah dilakukan” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, kami akan kembali ke pendapa. Biarlah adi Pangeran berada di pringgitan ini”
“Aku akan kembali akan ke banjar” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Banjar mana?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Banjar padukuhan induk ini” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Siapa yang memerintahkan adimas ke sana?” bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
“Tidak ada. Itu adalah keinginanku sendiri” jawab Pangeran Lembu Sabdata dengan nada keras.
“Sayang adimas” suara Pangeran Singa Narpada menurun, “adimas adalah seorang tawanan seperti yang adimas katakan sendiri. Karena itu, adimas tidak berhak untuk menentukan apapun juga meskipun atas diri adimas sendiri. Bukankah begitu? Jika diantara kita masih di antara dengan anggapan bahwa adimas adalah seorang tawanan kami, maka segalanya akan berlaku sebagai mana seharusnya bagi seorang tawanan”
Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu adalah ungkapan kemarahannya. meskipun dengan sekuat kemampuan telah dikekangnya. Meskipun demikian Pangeran Lembu Sabdata masih juga tidak mau tunduk. Karena itu, maka katanya, “Perlakukan aku sebagai tawanan. Aku tidak akan menyesal”
Pangeran Singa Narpada mengatupkan giginya rapat-rapat. Namun ia masih tetap berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Pangeran, saudara tua Pangeran Lembu Sabdata. “Jika demikian adimas, kau akan tetap tinggal di pringgitan ini. Kau tidak akan dibawa pergi kemanapun juga. Nanti kita akan bertemu lagi. Mungkin kau sudah mempunyai kesempatan untuk berbicara lebih baik dari sekarang”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Ia tidak menghiraukan lagi ketika orang-orang yang berada di pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua orang pengawal yang selalu mengawasinya.
“Penjilat” geramnya ketika orang-orang yang berada di pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua orang pengawal yang akan selalu mengawasinya.
“Penjilat” geramnya ketika orang-orang itu sudah tidak berada lagi di pringgitan.
Kedua pengawal itu hanya saling berpandangan. Mereka tidak menjawab dan tidak berbuat apa-apa.
“Penjilat” sekali lagi mereka mendengar suara Pangeran Lembu Sabdata. Ketika kemudian keduanya berpaling kepadanya, maka Pangeran itu menunjuk mereka berdua berganti-ganti, “Kalianlah pengkhianat dan penjilat itu”
Kedua orang pengawal itu mengerutkan keningnya. Kemudian seorang diantaranya bertanya, “Kenapa Pangeran menuduh aku sebagai pengkhianat dan penjilat dan penjilat”
"Kau bersedia menjalankan perintahnya meskipun kau tahu bahwa itu tidak benar” geram Pangeran Lembu Sabdata.
“Yang mana yang tidak benar Pangeran?” bertanya salah seorang dari keduanya.
“Apakah kau menolak kebenaran perjuanganku? Apakah kau tidak tahu bahwa aku ingin membebaskan Kediri dari kuasa Singasari?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Oh, itukah yang Pangeran maksud?” bertanya seorang dari kedua pengawal itu.
“Ya” jawab Pangeran Lembu Sabdata tegas.
“Pangeran benar” desis pengawal itu.
“Jadi kau sependapat dengan aku?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran benar, bahwa aku tidak tahu apa yang Pangeran perjuangkan. Aku tidak tahu bahwa Pangeran akan membebaskan Kediri dari kuasa Singasari” desis pengawal itu.
Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Dengan wajah yang tegang ia bergumam, “Penjilat, pengecut, pengkhianat. Alangkah bodohnya kau”
Tetapi para pengawal itu memang sudah mendapat pesan, bahwa mereka harus berhati-hati. Mereka harus mempersiapkan diri, bukan saja lahiriah, apabila Pangeran itu berusaha untuk melarikan diri. Tetapi juga sikap batin mereka menghadapi Pangeran yang keras kepala itu. Karena itu, maka keduanya pun kemudian tidak menanggapinya. Dibiarkannya saja apa yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seorang diantara para pengawal itu sempat menjawab,
“Pembicaraan diantara kita tidak akan ada gunanya Pangeran. Sikap kita berbeda. Landasan berpikir kita juga berbeda. Sebagaimana Pangeran mengatakan kepada Pangeran Singa Narpada bahwa lebih baik kita tidak ada pembicaraan sama sekali. Jika Pangeran masih ingin mengumpati kami berdua, silahkan. Memang aku tidak mendapat pesan untuk melarang”
“Gila” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Kedua pengawal itu tidak menjawab lagi. Namun mereka tetap bersiaga mengamati tawanan mereka yang memang berhati batu. Ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata untuk selanjutnya memang tidak mau berbicara. Karena itu. maka akhirnya Pangeran itu pun dikembalikan ke banjar pedukuhan induk.
Namun Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Hari ini pembicaraan diantara kita, kita akhiri. Besok kita akan berbicara lagi. Mungkin sikapku akan berbeda dengan sikapku hari ini. Agaknya adimas sudah mengetahui akan hal itu. Aku bukan seorang yang dapat terbatas. Pada suatu saat mungkin aku akan melakukan satu tindakan yang kurang bijaksana”
“Kakangmas mengancam aku. Apakah kakangmas masih menduga bahwa dengan cara apapun juga aku akan bersedia berbicara” geram Pangeran Lembu Sabdata
“Ya. Aku yakin bahwa pada Suatu saat kau akan berbicara. Ketahanan jasmani dan jiwani seseorang memang sangat terbatas. Dan kekerasan kepalamu pun akan terbatas” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Aku bukan pengecut. Bukan penjilat dan aku sama sekali tidak gentar meskipun tubuhku akan lumat dalam hukuman picis sekalipun” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
Tetapi suaranya kemudian terputus ketika Pangeran Singa Narpada berkata, “Kau bukan orang yang berhati tabah. Kau tentu akan berbicara sebagaimana kau menyerah. Hanya orang-orang yang tabah saja akan bertempur sampai saat terakhir. Tetapi yang kau lakukan adalah satu kelicikan pula. Menyerah. Apakah itu sifat kesatria. Karena itu. dalam keadaan terpaksa kau nanti atau besok lusa, tentu akan berbicara. Bukan salahku jika besok atau besok lusa kau tidak lagi dapat mengenali aku dan sifat sifatku hari ini. Sebenarnyalah aku memang seorang yang buas dan kasar”
Wajah Pangeran Lembu Sabdata memang menjadi tegang. Dengan sorot mata yang memancarkan gejolak perasaannya, ia memandang Pangeran Singa Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada itu pun tidak menghiraukannya lagi. Yang kemudian dihargai oleh Pangeran Lembu Sabdata adalah Senapati prajurit Singasari yang akan membawanya ke banjar.
“Aku bukan Pangeran Singa Narpada, Pangeran. Aku bukan orang yang dapat berbicara dengan lemah lembut. Dan aku bukan saudaramu. Karena itu. Pangeran jangan bersikap kasar kepadaku sebagaimana Pangeran bersikap terhadap Singa Narpada yang sabarnya melampaui setiap orang yang pernah aku kenal. Dadanya seakan-akan luasnya melampaui luasnya samodra”
“Jika demikian, kau mau apa?” Pangeran Lembu Sabdata masih mencoba mengatasi pribadi Senapati itu.
“Jika perlu, kami akan mengikat Pangeran dan menariknya di belakang pedati. Aku tidak perduli bahwa Pangeran akan menjadi tontonan dan dilempari batu oleh anak-anak?” sahut Senapati itu.
Darah Pangeran Lembu Sabdata bagaikan mendidih mendengar kata-kata Senapati itu. Tetapi menurut Pangeran Lembu Sabdata Senapati itu bukan orang yang berdiri pada tataran yang sama dengan dirinya, sehingga karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata menganggap bahwa ia tidak pantas berbantah dengan Senapati kecil itu. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata selanjutnya tidak lagi menolak untuk dibawa ke banjar.
“Silahkan masuk” berkata Senapati itu kepada Pangeran Lembu Sabdata ketika mereka sampai di banjar. Sebuah bilik khusus telah disediakan bagi Pangeran itu.
Ketika kemudian pintu bilik yang kuat itu ditutup dan diselarak, Pangeran Lembu Sabdata menghentakkan tangannya pada dinding biliknya sehingga dinding itu terguncang. Para pengawal dengan serta merta telah bersiaga, karena mungkin sekali Pangeran itu akan dapat memecahkan dinding.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata kemudian dengan lemahnya duduk diatas sebuah amben kayu di sudut bilik itu. Terdengar ia mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat berbuat apapun juga untuk melawan keadaan yang harus dijalaninya. Memang ada penyesalan bahwa ia menyerah dalam peperangan itu. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun demikian ia masih juga bergumam, “Kenapa aku tidak memilih mati waktu itu”
Di luar para pengawal mengamati. Dinding dan pintu bilik itu. Namun agaknya Pangeran itu menjadi lebih tenang menurut pengamatan dari luar.
Tetapi Sebenarnyalah bahwa jantung Pangeran itu masih tetap bergejolak. Kegagalannya itu benar-benar telah melenyapkan harapan yang telah disusunnya. Meskipun demikian ia masih mempunyai harapan, bahwa saudara-saudaranya yang lain akan berhasil dan bahkan berusaha untuk dapat melepaskannya.
Dalam pada itu, ketika malam menyelubungi Kabuyutan Talang Amba, maka terasa suasana menjadi lebih tenang. Para tawanan telah tertidur di ruang masing-masing, sementara itu di pendapat rumah Ki Sanggarana Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang yang datang bersamanya, masih juga digelisahkan oleh sikap Pangeran Lembu Sabdata.
“Ki Sanggarana” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnya aku gelisah tentang diriku sendiri. Mungkin aku akan dapat berbuat di luar pengamatan nalarku. Aku memang orang yang kasar. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin merusak citra para keluarga Keraton Kediri. Bahwa orang-orang Kediri pada umumnya adalah orang-orang kasar seperti aku. Tetapi tanpa berbuat demikian, aku nampak terlalu lemah di mata adimas Pangeran Lembu Sabdata."
“Memang diperlukan kesabaran Pangeran” berkata Ki Sanggarana, “Mudah-mudahan pada satu saat semuanya akan dapat dipecahkan”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun berharap agar ia akan dapat melakukan tugas itu dengan baik tanpa menumbuhkan persoalan-persoalan baru bagi Kediri. Dengan gejolak yang masih saja mengetuk-ketuk jantung Pangeran Singa Narpada dan mereka yang datang bersamanya itu pun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di gandok.
“Kami mohon maaf Pangeran, bahwa tempat yang dapat kami sediakan adalah tempat yang sangat sederhana” berkata Ki Sanggarana.
“Semuanya sudah memenuhi keperluan Ki Sanggarana, kami mengucapkan terima kasih” jawab Pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, malam di Kabuyutan Talang Amba itu menjadi semakin sepi. Rumah-rumah pun telah ditutup, bukan saja pintu-pintunya, tetapi juga regol-regol halaman. Hanya di gardu-gardu sajalah anak-anak muda masih berjaga-jaga, sebagaimana mereka lakukan. Sedangkan di banjar-banjar dan tempat para tataran, prajurit Singasari. melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, selagi kesunyian semakin mencengkam, Ki Waruju telah memanggil Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan berbisik ia berkata, “Agaknya sesuatu akan terjadi malam ini. Aku mendapat firasat buruk, meskipun barangkali hanya sekedar bayangan-bayangan suram yang bermain di dalam angan-angan yang sedang dicengkam kegelisahan ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Pergilah ke Banjar. Aku tidak dapat pergi. Mungkin setiap saat aku diperlukan untuk berbicara disini. Jika persoalannya sangat gawat, suruhlah para peronda untuk membunyikan isyarat. Tetapi cobalah atasi agar tidak menimbulkan kegelisahan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa mereka harus berjaga-jaga sebaik-baiknya di banjar padukuhan induk, di tempat Pangeran Lembu Sabdata di tahan.
“Apakah mungkin Pangeran itu akan melarikan diri paman?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak dapat mengatakannya” jawab Ki Waruju, “Aku hanya mendapat firasat tidak baik. Aku merasa dicengkam oleh kegelisahan dan dugaan bahwa sesuatu akan terjadi. Tetapi aku sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi itu. Bahkan mungkin memang tidak akan terjadi apa-apa. Namun demikian kita wajib berhati-hati."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami akan pergi ke banjar. Kami akan menghubungi para petugas meskipun kami yakin bahwa mereka pun akan melakukan tugas mereka sebaik-baiknya"
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah pergi ke banjar. Seperti biasanya, keduanya berada diantara anak-anak muda Kabuyutan Talang Amba yang berada di banjar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menghubungi para prajurit Singasari yang bertugas di tempat itu pula.
“Pangeran itu memang keras kepala” berkata seorang prajurit, “berhadapan dengan Pangeran Lembu Sabdata, maka seseorang memang harus berlaku agak keras. Seperti pada saat membawanya ke rumah Ki Sanggarana. Namun dengan sikap yang terlalu lunak seperti sikap Pangeran Singa Narpada, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata sulit untuk diharapkan dapat memberikan keterangan. Bahkan nampaknya ia telah menganggap para petugas yang datang dari Kediri dan Singasari itu terlalu lemah menghadapinya”
“Tetapi sudah tentu bahwa para petugas itu berlaku kasar” berkata Mahisa Murti, “mereka harus melakukan tugas mereka dengan bijaksana”
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak akan dapat banyak mengharapkan hasilnya jika cara yang ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada itu masih dilakukannya untuk selanjutnya.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di gardu anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang menjaga banjar Padukuhan Induk. Penjagaan yang harus mengawasinya beberapa orang tahanan terpenting, termasuk Pangeran Lembu Sabdata.
Nampaknya malam itu tidak ada tanda-tanda sebagaimana digelisahkan oleh Ki Waruju. Pangeran Lembu Sabdata justru telah tertidur dengan nyenyaknya. Demikian juga beberapa orang tawanan yang lain, yang diletakkan di bilik yang lain pula.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun yang dikatakan oleh Ki Waruju itu hanya berdasarkan kepada firasatnya saja, dan sama sekali tidak berdasarkan kepada keterangan-keterangan atau tanda-tanda lainnya, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengabaikannya.
Dalam pada itu, semakin malam, banjar Padukuhan Induk itu pun menjadi semakin sepi. Para pengawal Kabuyutan pun mulai membagi tugas. Sebagian dari mereka akan beristirahat, sedangkan yang lain akan berjaga-jaga. Demikian juga para prajurit Singasari yang berada di banjar pun sebagian telah beristirahat pula.
Dua orang Senopati bertanggung jawab atas tugas para prajurit Singasari itu. Mereka akan bertugas bergantian. Seorang diantara mereka akan beristirahat. Jika tengah malam telah lewat, maka mereka akan bergantian melakukan tugas mereka.
Namun dalam pada itu, yang berada diluar pembagian tugas itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka tidak termasuk ke dalam para pengawal Kabuyutan atau para prajurit Singasari, sehingga dengan demikian, mereka berdua harus membagi tugas mereka sendiri. Mahisa Pukat yang kemudian mendapat giliran untuk beristirahat lebih dahulu, sementara Mahisa Murti akan berada diantara anak-anak muda Talang Amba yang bertugas.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka banjar itu pun menjadi semakin sepi pula. Selain para petugas, maka orang-orang yang berada di halaman itu sudah tertidur nyenyak. Hanya beberapa orang sajalah yang masih tetap berjaga-jaga. Beberapa orang bertugas di bagian belakang banjar, sedang yang lain ada di bagian depan. Sementara itu. khusus bilik yang dipergunakan oleh Pangeran Lembu Sabdata telah mendapat pengawasan khusus, karena banyak hal akan dapat terjadi. Pangeran yang keras hati itu akan dapat melakukan apa saja yang bahkan tidak diduga sebelumnya.
Tetapi jika terjadi sesuatu, maka para prajurit Singasari yang mengawasi bilik Pangeran Lembu Sabdata itu tentu akan dapat bertindak cepat. Bahkan jika mereka merasa tidak mampu melakukannya, maka mereka pun tentu akan memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Namun dalam itu, Mahisa Murti yang terpengaruh oleh keterangan Ki Waruju menjadi sangat berhati-hati mengamati keadaan. Mungkin terjadi sesuatu diluar pengamatan wadag para prajurit dan anak-anak muda Talang Amba, sehingga akan dapat terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.
“Mudah-mudahan firasat K) Waruju itu tidak terjadi” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak akan lengah sama sekali.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti itu pun telah berada diantara para petugas yang berjaga-jaga di pintu butulan di halaman belakang. Dua orang anak muda Talang Amba duduk di sebelah pintu butulan itu dengan tombak tersandar di dinding. Untuk beberapa saat, mereka masih berbincang tentang keadaan Kabuyutan Talang Amba. Namun suara kedua orang anak muda itu semakin lama serasa menjadi semakin dalam.
“Sst” desis Mahisa Murti, “apakah kalian sudah mulai mengantuk?”
Kedua orang anak muda itu menghentakkan diri dan bangkit sambil memandang langit yang digayuti oleh beribu bintang. Namun salah seorang diantara mereka bergumam, “Malam ini memang agak lain. Rasa rasanya aku menjadi sangat mengantuk”
“Bukankah tugasmu sampai lewat tengah malam?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Waktuku bertugas tidak terlalu lama lagi. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat bertahan sampai tepat tengah malam” jawab seorang diantara kedua petugas itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Beberapa saat kedua orang yang bertugas mengawasi pintu butulan itu melangkah mondar-mandir untuk melenyapkan cengkaman perasaan kantuk mereka. Namun di luar kuasa mereka, maki mereka pun telah kembali duduk di tempat mereka semula sambil menyandarkan tombak mereka.
Mahisa Murti pun ternyata mulai disentuh oleh perasaan serupa. Matanya seakan-akan dibebani oleh kantuknya yang hampir tidak terlawan. Mahisa Murti makin menjadi cemas. Ia teringat kepada pesan Ki Waruju Mungkin sesuatu akan terjadi malam itu. Ketika kedua orang pengawal itu justru telah benar-benar tertidur, maka Mahisa Murti pun semakin yakin, memang ada yang tidak wajar telah terjadi.
Karena itu, maka ia pun lelah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya untuk melawan kantuknya. Bukan sekedar daya tahan wajarnya, tetapi ia mulai merambah kepada alas ilmunya untuk melawan udara yang tidak wajar di banjar Kabuyutan itu. Mahisa Murti terkejut ketika ia menengok halaman depan banjar padukuhan Induk itu. Semua orang telah tertidur nyenyak bahkan pemimpin peronda diantara anak-anak muda Talang Amba itu pun telah tertidur pula.
Mahisa Murti menjadi semakin curiga. Iapun tergesa-gesa telah menghampiri Mahisa Pukat yang sedang tidur dengan nyenyaknya pula. Dengan hati-hati, agar tidak mengejutkannya, maka Mahisa Murti pun berusaha untuk membangunkan saudaranya sebelum ia terjerat semakin dalam oleh pengaruh yang tidak wajar yang mencengkam banjar Kabuyutan itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti mengalami kesulitan untuk membangunkan saudara laki-lakinya. Dalam keadaan tidur, maka Mahisa Pukat sama sekali tidak mampu melawan kekuatan yang mendesaknya ke dalam kelelapan yang semakin dalam itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah mengerahkan kemampuan ilmunya. Sambil memegang tangan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti telah mengerahkan daya tahannya untuk menolak pengaruh yang tidak sewajarnya itu.
Perlahan-lahan terasa arus yang hangat mengalir lewat genggaman tangan Mahisa Murti menjalar ke tubuh Mahisa Pukat, sehingga perlahan-lahan maka Mahisa Pukat pun diluar sadarnya telah melawan pengaruh yang mencengkam banjar itu. Dengan demikian, maka akhirnya Mahisa Pukat itu pun mulai terbangun, sementara Mahisa Murti masih tetap membantunya mempertahankan kesadaran Mahisa Pukat yang baru saja terbangun dari tidurnya itu.
“Apa yang terjadi? bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perlahan-lahan Mahisa Murti melepaskan tangan Mahisa Pukat sambil berkata, “Pertahankan dirimu dari pengaruh ini. Jangan membiarkan dirimu tertidur lagi”
Mahisa Pukat mulai menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan daya tahannya pula. “Pengaruh apakah ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin kita telah dicengkam oleh kekuatan sirep” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah berhasil menguasai dirinya dan mengatasi pengaruh sirep itu. “Kita telah benar-benar menjumpai peristiwa yang dikatakan oleh Ki Waruju” berkata Mahisa Pukat.
“Ya. Tentu ada yang tidak wajar, sehingga seseorang telah melepaskan pengaruh sirep itu” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, kita melihat keadaan. Orang terpenting disini adalah Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin orang yang melepaskan sirep ini mempunyai hubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ada pihak yang ingin melepaskannya“
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Marilah. Kita tidak boleh terlambat”
Keduanya pun kemudian dengan hati-hati telah turun ke halaman samping. Keduanya berusaha untuk tidak menampakkan diri, sehingga apabila mungkin dapat menjebak orang yang telah melepaskan sirep yang sangat tajam itu. Pertama-tama keduanya berusaha untuk melihat, apakah para prajurit Singasari juga telah terkena pengaruh sirep itu, terutama Senopati yang bertugas malam itu. Nampaknya mereka sama sekali tidak bersiap menghadapi pengaruh itu, sehingga agaknya mereka pun telah tertidur lelap.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka sama sekali belum mendengar atau melihat sesuatu yang menarik perhatian dan kecurigaan. Tetapi keduanya telah menjadi yakin, bahwa banjar kabuyutan itu tengah dikuasai oleh sirep yang tajam. Tanpa mempertahankan diri, Senopati yang memimpin tugas pengawalan itu pun telah tertidur pula.
“Untunglah bahwa kita telah mendapat pesan dari Ki Waruju” berkata Mahisa Murti sambil berbisik perlahan-lahan, “sehingga kita sempat mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan ini”
“Kau sempat mengenali suasana” sahut Mahisa Pukat, “tetapi aku justru tertidur dengan nyenyak”
“Pada saat kau tidur, belum terasa cengkaman ilmu ini” desis Mahisa Murti.
Mahisa Murti pun telah memberikan isyarat, agar keduanya berpura-pura tidur seperti orang-orang yang lain. Demikialah, maka Mahisa Murti pun telah berada di depan pintu bilik, Dibawah selarak yang besar. Disampingnya telah tertidur pula seorang prajurit yang bertugas mengawasi pintu itu. Sedangkan Mahisa Pukat berbaring pula beberapa langkah dari seorang prajurit yang tertidur sambil menyandarkan tombaknya pada dinding.
Sedangkan Senopati yang memimpin penjagaan malam itu. telah tertidur pula di sudut ruang depan banjar bersama dua orang prajurit yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berbaring itu harus mengerahkan segenap daya mereka untuk tidak jatuh pula ke bawah pengaruh sirep. Apalagi keduanya memang sudah berbaring sambil memejamkan mata. Rasa-rasanya mereka memang telah menyerahkan diri pada cengkaman ilmu yang tajam itu.
Tetapi dengan penuh kesadaran, ternyata keduanya mampu bertahan untuk beberapa lamanya sambil menunggu perkembangan keadaan. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Agaknya orang yang melepaskan sirep itu masih ingin meyakinkan, apakah masih ada orang yang terbangun diantara mereka yang berada di banjar itu.
Demikianlah, maka dua orang telah berjalan dengan langkah yang lamban dan sangat berhati hati memasuki halaman banjar. Dengan penuh kewaspadaan keduanya memperhatikan keadaan di banjar itu.
“Tidak ada lagi yang terbangun” berkata seorang diantara mereka.
“Kita akan dapat bekerja dengan leluasa” sahut yang lain.
“Ya. Kita harus menyelamatkan Pangeran Lembu Sabdata dari tangan Pangeran Singa Narpada yang garang itu. Mungkin pada hari berikutnya, Pangeran Singa Narpada tidak akan menunjukkan sikap pada hari-hari pertama” berkata kawannya.
Namun orang yang lain bergumam, “Tetapi selagi Pangeran Lembu Sabdata masih diperiksa di Kabuyutan ini, maka keadaannya masih akan dapat diharapkan. Tetapi jika Pangeran Singa Narpada memintanya untuk dibawa ke Kediri dan diperiksa di dalam ruang khusus Pangeran Singa Narpada, maka keadaan Pangeran Lembu Sabdata akan menjadi sangat parah”
“Kita harus menyelamatkannya sebelum keputusan itu jatuh” jawab yang lain, “agaknya disini Pangeran Singa Narpada masih mempunyai perasaan segan dihadapan orang-orang Talang Amba, tetapi jika Pangeran Lembu Sabdata telah dibawa ke Kediri, maka keadaannya akan segera berubah”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi keduanya pun mendekati banjar dengan sangat berhati-hati.
“Agaknya tidak seorang pun yang masih terbangun” berkata salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Semuanya sudah tertidur nyenyak. Kau memang luar biasa. Ilmu sirepmu pun telah mencengkam seisi banjar. Bahkan agaknya orang yang tinggal di sebelah menyebelah banjar ini pun telah terkena ilmu sirepmu pula”
Yang lain tidak menjawab. Dengan hati-hati keduanya telah naik ke tangga pendapa banjar Kabuyutan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendengar kehadiran mereka. Tetapi keduanya masih tetap terbaring sambil memejamkan mata mereka. Namun dengan demikian mereka masih harus berjuang untuk melawan kekuatan sirep yang seakan-akan telah membius seisi banjar.
Kehadiran kedua orang itu ternyata justru telah membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tetap menyadari keadaan. Ketika keduanya mulai memusatkan perhatian mereka kepada kedua orang itu, maka rasa-rasanya kantuk yang menyentuh-nyentuh perasaan mereka pun telah terusir sama sekali. Yang mencengkam jantung mereka adalah justru ketegangan. Apalagi ketika dua orang itu pun telah memasuki ruang dalam dan berdiri di ambang pintu.
“Semuanya sudah tertidur” desis yang seorang
“Luar biasa” sahut yang lain, “nah, marilah kita segera menyingkirkan Pangeran. Kesempatan kita tidak terlalu banyak. Di tangan Pangeran Singa Narpada, apalagi jika Pangeran Lembu Sabdata sempat dibawa ke Kediri, maka tidak akan ada yang dapat dirahasiakan lagi. Semuanya tentu akan dapat diperas oleh Pangeran Singa Narpada yang garang itu, sampai kepada orang yang paling tersembunyi sekalipun”
“Marilah” jawab kawannya, “Jika hal ini diketahui oleh orang-orang yang berada di rumah pemangku Buyut di Kabuyutan ini, mungkin usaha kita akan gagal”
Sejenak kemudian, maka suasana pun menjadi hening. Baru kemudian terdengar langkah kedua orang itu mendekati pintu. Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu bilik yang diselarak dari luar itu menjadi kian tegang. Sejenak ia justru memperhatikan keadaan di dalam bilik. Ia tidak mendengar suara apapun juga. Menurut dugaan Mahisa Murti, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tentu tertidur nyenyak pula.
Beberapa saat lamanya Mahisa Murti menimbang-nimbang. Apakah ia menunggu sampai orang-orang itu membuka pintu, sehingga dengan demikian, maka terbukti bahwa keduanya benar-benar akan berbuat sesuatu atas tawanan yang sangat penting itu. Atau mereka akan menunggu saja sampai keduanya mendekat dan dengan demikian, Mahisa Murti akan dapat langsung menyerang keduanya.
“Mungkin keduanya memiliki ilmu yang melampaui kemampuan kami berdua” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Jika demikian, maka salah seorang dari kami harus sempat membunyikan isyarat di serambi. Mudah-mudahan kekuatan sirep ini tidak sampai menjalar ke seluruh padukuhan”.
Namun demikian Mahisa Murti pun yakin, jika sirep ini merambah sampai ke rumah Ki Sanggarana, maka banyak orang yang akan dapat melepaskan diri dari kekuatannya. Bahkan akan menjadi sangat menarik perhatian sehingga mungkin ada diantara mereka yang datang ke banjar. Tetapi Mahisa Murti tidak dapat minta pertimbangan kepada siapapun juga. Karena itu, maka ia sendiri harus memutuskannya.
“Aku akan membiarkan keduanya masuk. Kemudian aku akan menyelaraknya dari luar. Jika mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka mereka akan segera memecahkan pintu. Dari cara mereka memecahkan pintu, aku akan melihat dan menjajagi, sampai seberapa tinggi tingkat ilmu kedua orang itu” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun kemudian tidak bergerak sama sekali ketika keduanya mendekat. Ia masih tetap berbaring di tempatnya dan berusaha untuk tetap dalam keadaan sebagaimana orang-orang lain sedang tertidur nyenyak.
Ternyata kedua orang yang mendekati pintu itu tidak banyak memperhatikan Mahisa Murti yang terbaring. Keduanya menganggap bahwa tidak seorang pun yang dapat lolos dari pengaruh sirepnya. Bahkan Senopati yang memimpin pengawalan, yang dapat ditilik dari pakaian dan sikapnya diantara para pengawal yang lain, telah tertidur nyenyak pula.
“Pangeran Lembu Sabdata berada di bilik ini” berkata salah seorang dari kedua orang itu.
“Kau yakin?” bertanya orang itu.
“Aku sudah mendapat keterangan itu. Biliknya diselarak kuat, di seberang pintu pringgitan agak kekanan” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk, katanya, “Jika demikian, kita akan membuka selarak itu. Agaknya Pangeran Lembu Sabdata pun telah terpengaruh oleh sirep itu dan tertidur pula dengan nyenyaknya, sehingga kita perlu membangunkannya”
“Aku akan menyalurkan kekuatan yang akan dapat melindunginya dari pengaruh ini, sehingga Pangeran itu akan segera terbangun” berkata yang lain.
Kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu. keduanya melangkah mendekati pintu. Meskipun keduanya menganggap bahwa orang-orang yang ada di banjar itu telah tertidur nyenyak, namun keduanya masih juga membuka selarak pintu itu dengan sangat hati-hati.
Mahisa Murti yang berbaring didekat pintu itu menahan gejolak perasaannya. Ia harus dapat menahan diri sehingga pintu itu terbuka dan keduanya masuk ke dalam. Ia harus meloncat dengan cepat, menutup pintu dan memasang selarak.
“Mudah-mudahan Mahisa Pukat tidak membuat sesuatu yang menarik perhatian keduanya” berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti rencana Mahisa Murti. Tetapi karena ia yakin bahwa Mahisa Murti tidak justru tertidur karenanya, maka iapun menahan ketegangan di dalam hatinya dan menunggu perintah Mahisa Murti selanjutnya.
“Tentu ia sudah membuat rencana menghadapi kedua orang itu” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Bahkan Mahisa Pukat yang tidak langsung berada di bagian depan bilik tempat Pangeran Sabdata ditawan, maka ia sama sekali tidak dihiraukan oleh kedua orang itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah meletakkan selarak pintu yang besar itu perlahan-lahan. Ketika derit pintu itu terdengar, maka Mahisa Murti benar-benar menjadi berdebar-debar.
“Nah” desis yang seorang dari kedua orang yang berusaha untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu, “Bukankah Pangeran tertidur nyenyak?”
“Aku akan membangunkannya. Ia harus dibawa menyingkir sebagaimana pesan Pangeran Kuda Permati” Jawab yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Dengan sangat hati-hati keduanya pun melangkah masuk.
Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu itu pun mulai mempersiapkan diri. Meskipun ia tidak melihat dengan mata terbuka sepenuhnya, namun ia dapat melihat disela-sela pelupuk matanya yang hanya sedikit terbuka. Dengan cermat Mahisa Murti memperhatikan letak selarak di sebelah pintu. Kemudian daun pintu yang terbuka seterusnya kedua orang yang berada di dalam bilik.
“Aku harus dapat melakukan dalam sekejap. Meloncat, meraih selarak sambil menutup pintu, kemudian memasang selarak itu dengan cepat” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Tetapi jika Mahisa Pukat itu tertidur, maka aku akan mengalami kesulitan”
Namun demikian Mahisa Murti tidak mempunyai kesempatan untuk melihat apakah Mahisa Pukat tidak tertidur. Namun ia percaya bahwa Mahisa Pukat akan bertahan sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang gawat itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti telah membuat perhitungan sebaik-baiknya.
Tepat pada saat kedua orang itu berjongkok di samping Pangeran Lembu Sabdata, maka Mahisa Murti pun telah bangkit dan meloncat sebagaimana telah diperhitungkan. Dengan kecepatan yang tinggi, maka iapun telah meraih selarak pintu dan sekaligus menutup daun pintu yang terbuka. Derit pintu itu bersamaan dengan derak selarak yang terpasang diluar pintu, sehingga dengan demikian, maka pintu itu telah tertutup rapat.
Pada saat yang demikian, maka Mahisa Pukat yang mengetahui bahwa Mahisa Murti telah bertindak, dengan cepat telah bangkit pula. Dengan serta merta maka iapun telah meloncat mendekat. “Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Cobalah, bangunkan Senopati itu jika mungkin. Aku akan melihat, bagaimana kedua orang itu memecahkan pintu untuk menjajagi kemampuan mereka” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun tidak bertanya lebih lanjut. Iapun segera berlari ke sudut ruangan untuk membangunkan Senopati yang tertidur nyenyak, karena agaknya ia sama sekali tidak menduga, bahwa banjar itu telah dicengkam oleh kekuatan sirep. Dengan tergesa-gesa Mahisa Pukat telah menggenggam pergelangan tangan Senopati itu untuk mengguncang kesadarannya lewat aliran darahnya.
Pada saat yang demikian, kedua orang yang berada di dalam bilik Pangeran Lembu Sabdata terkejut bukan buatan. Dengan serta merta keduanya telah terloncat bangkit. Tetapi pintu telah tertutup. Selarak telah dipasang, sehingga kedua orang itu tidak dapat keluar begitu saja tanpa memecah pintu atau dinding.
“Orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari memang gila” geram salah seorang dari mereka.
Sejenak keduanya menjadi tegang. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan yang tidak mereka duga sebelumnya akan terjadi. Dengan tegang keduanya memandang pintu yang telah tertutup. Merekapun sadar, bahwa pintu itu tentu sudah diselarak. Tetapi yang mendebarkan bagi mereka adalah, bahwa tentu ada orang-orang Talang Amba atau prajurit Singasari di banjar itu yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep mereka.
Sebenarnyalah pintu itu sendiri tidak merupakan masalah yang terlalu sulit bagi mereka. Dengan kemampuan ilmu mereka, maka keduanya akan dapat memecahkan pintu itu. Namun dengan demikian, mereka bukan berarti akan dapat dengan leluasa meninggalkan tempat itu, karena di-belakang pintu itu terdapat orang yang tentu memiliki ilmu yang mapan.
“Tidak hanya seorang” desis salah seorang diantara keduanya.
“Ya. Aku mendengar mereka berbicara” jawab yang lain.
Namun dalam pada itu, seorang diantaranya telah mengambil satu sikap. Katanya, “Kita akan meninggalkan tempat ini. Tetapi biarlah kita bangunkan Pangeran. Kecuali Pangeran akan bebas dari kemungkinan yang paling buruk dan kemungkinan untuk membuka seluruh rahasia kita, maka Pangeran pun akan dapat membantu kita menerobos perlawanan orang-orang Talang Amba atau prajurit Singasari yang mampu melawan sirep. Tentu tidak banyak. Sementara itu mereka tidak akan dapat membangunkan orang-orang yang tertidur, karena sebenarnya mereka bukan tertidur sewajarnya."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara yang lain melanjutkan, “Hanya orang yang pada dasarnya mempunyai daya tahan terhadap sirep inilah yang akan dapat kita bangunkan”
Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian bersama-sama telah membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dengan cara yang mirip dengan cara yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Karena itu, maka perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata pun telah membuka matanya dan dengan serta merta berdesis, “Kau?”
“Ya. Kami telah mendapat tugas untuk membebaskan Pangeran. Cepat bangun. Kita akan keluar dari bilik ini” jawab salah seorang dari keduanya.
“Darimana kalian masuk?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itu pun menceriterakan apa yang telah mereka lakukan dan apa yang telah terjadi kemudian. Lalu katanya, “Kita harus segera keluar sebelum orang-orang yang ada di banjar itu datang”
Pangeran Lembu Sabdata pun segera bangkit. Salah seorang dari kedua orang itu telah menyerahkan sepucuk senjata kepada Pangeran Lembu Sabdata sambil berkata "Dugaanku tidak salah. Kita harus keluar dari tempat ini dengan mempergunakan senjata. Itulah sebabnya aku telah membawa senjata ini Pangeran”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan memecahkan pintu”
Kedua orang yang berusaha menolongnya sama sekali tidak ragu-ragu. Memang tidak ada cara lain. Kemudian setelah pintu itu pecah mereka masih harus bertempur. Sejenak kemudian, mereka yang ada di dalam bilik itu pun telah bersiap. Dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka, maka mereka pun telah mengambil ancang-ancang. Demikian Pangeran Lembu Sabdata menjatuhkan perintah, maka mereka bertiga pun telah meloncat untuk memecahkan pintu.
Sejenak kemudian, maka pintu itu pun telah bergerak. Selarak pintu yang kuat itu telah patah dan pintu pun telah terbuka lebar-lebar. Namun pada saat yang demikian, tiga orang telah berdiri di luar pintu yang terbuka itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan senopati yang telah berhasil dibangunkan oleh Mahisa Pukat.
“Bukan main” desis Senopati itu, “hampir saja leherku dipenggal besok di halaman banjar ini jika aku kehilangan tahananku yang terpenting malam ini”
“Ternyata kemampuanmu tidak seberapa” desis Pangeran Lembu Sabdata, “Kau tidak dapat bertahan atas sirep yang dilontarkan oleh seorang kawanku. Karena itu minggirlah. Kau tidak akan dapat bertahan melawan kami”
“Dua orang anak muda ini dapat bertahan atas sirepmu yang licik itu” jawab Senopati itu, “Aku sama sekali tidak menduga, bahwa kepercayaan seorang Pangeran dari Kediri telah mempergunakan ilmu yang licik sekali. Kenapa kalian tidak datang dengan dada tengadah? Kalian telah datang sambil bersembunyi di balik ilmu sirepmu? Justru karena aku tidak menduga sama sekali itulah, maka aku telah menjadi lengah”
“Omong kosong” desis salah seorang yang telah menolong Pangeran Lembu Sabdata, “apapun yang kau katakan, tetapi ternyata kau tidak dapat bertahan. Jika aku licik seperti yang kau katakan, maka aku tentu sudah membunuhmu selagi kau tertidur nyenyak. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Aku membiarkan kau hidup dan merasa betapa kecilnya kau dihadapan ilmuku yang mumpuni”
Senopati itu menggeram. Katanya, “Tetapi kalian tidak akan dapat keluar dari halaman banjar ini. Pangeran lembu Sabdata adalah tawananku”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Sekarang aku mudah bebas. Di tanganku tergenggam pedang. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku”
Yang menyahut adalah Mahisa Pukat, “Pangeran. Aku mengharap agar Pangeran tidak cepat melupakan kenyataan. Pangeran tidak dapat memenangkan perkelahian diantara kita. Dan sekarang kita telah bertemu kembali. Apakah Pangeran mengira, bahwa karena pengaruh sirep ini, aku menjadi semakin lemah?”
“Persetan” geram Pangeran Lembu Sabdata, “jika kau sekarang berani mencoba menghadapi aku, maka lehermu akan menjadi taruhan”
“Aku pertaruhan leherku. Jika aku kalah Pangeran dapat mengambilnya, tetapi jika aku menang?” bertanya Mahisa Pukat.
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Tetapi ia tidak mau kehilangan banyak waktu. Karena itu, maka iapun telah bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil menggerakkan pedangnya.
“Oh” desis Mahisa Pukat, “Pangeran benar-benar ingin kembali dimasukkan ke dalam bilik itu dengan tangan terikat?”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ia sudah menduga bahwa Pangeran Lembu Sabdata itu tentu akan menyerangnya. Karena itu, maka dengan cepat ia bergeser sehingga serangan Pangeran Lembu Sabdata itu tidak mengenainya.
Bahkan ketika Mahisa Pukat kemudian bersiap menghadap ke arah Pangeran Lembu Sabdata, maka ditangannya telah tergenggam sebilah pedang.
“Setan” geram Pangeran Lembu Sabdata. Serangannya pun kemudian datang membadai.
Tetapi Mahisa Pukat memang sudah bersiap menghadapinya, karena itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan Mahisa Pukat itu pun tidak lagi bersedia menjadi sasaran serangan lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun telah menyerang pula.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu, Mahisa Murti dan Senapati yang memimpin tugas di banjar itu berdiri termangu-mangu menghadapi kedua prang yang telah berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu.
“Jangan ikut campur” berkata salah seorang dari keduanya, “Jika kalian minggir kami tidak akan membunuh kalian. Kami akan meninggalkan banjar ini bersama Pangeran Lembu Sabdata. Hanya orang yang telah bertempur melawan Pangeran itu sajalah yang akan kami bunuh”
“Apakah kami akan dapat membiarkan salah seorang diantara kami terbunuh?” bertanya Senapati itu.
“Ia telah berani melawan Pangeran” jawab orang itu.
“Kami pun berani melawan kalian. Karena itu, jangan mimpi dapat meninggalkan halaman banjar ini” geram Senapati itu.
Kedua orang itu pun segera bersiap. Senjata mereka pun segera teracu. Seorang diantara mereka berkata, “Kalian memang ingin mati”
Mahisa Murti dan Senapati yang memimpin tugas para prajurit Singasari di banjar itu tidak menjawab. Merekapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi. Mahisa Murti dan Senapati yang bertugas itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua orang yang menolong Pangeran Lembu Sabdata, itu agaknya ingin mengakhiri pertempuran dengan cepat.
Tetapi Mahisa Murti dan Senapati itu pun telah memberikan perlawanan yang sengit pula. Ternyata bahwa keduanya juga memiliki bekal yang cukup untuk melawan kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata dengan ilmu sirep yang tajam itu...