PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 17
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 17
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA PUKAT mengerutkan keningnya, sementara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan warung itu. Dalam pada itu, kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika mereka kemudian melihat meskipun dalam keremangan malam, bahwa yang seorang lagi adalah justru pemilik warung itu sendiri. Wajah itu dapat mereka lihat, ketika orang itu dengan hati-hati mendorong pintu warung yang ternyata tidak diselarak dari dalam.
Wajah itu nampak berkerut. Namun kemudian menjadi tidak jelas bagi kedua anak muda itu. Tetapi mereka mendengar orang itu berkata, “Pintunya tidak diselarak dari dalam”
Dengan hati-hati keduanya kemudian memasuki warung itu, yang diterangi dengan lampu minyak. Sekaligus anak-anak muda itu melihat wajah-wajah itu lagi dibawah sorot minyak. Namun sejenak kemudian keduanya telah ditelan pintu warung kecil itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara keduanya tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam warung itu.
Namun sejenak kemudian keduanya telah keluar lagi dari warung itu. Dari atas dahan pohon mahoni keduanya mendengar pemilik warung itu berkata, “Aku sudah menduga, keduanya cukup cerdik”
“Jadi bagaimana pendapatmu?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku tidak tahu, untuk siapa keduanya bekerja. Tetapi aku kira keduanya bukan para pengikut Pangeran Kuda Permati” jawab pemilik warung itu.
“Apakah mungkin keduanya petugas langsung dari Kediri?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Entahlah. Tetapi jika mereka kau temui menyusuri jalan menuju ke sungai itu, mungkin mereka mempunyai kepentingan arah itu” berkata pemilik warung itu.
Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita tidak dapat menyebut apapun juga tentang keduanya. Masih ada kemungkinan keduanya pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi mungkin pula keduanya adalah pengikut setia Pangeran Singa Narpada. Bahkan mungkin keduanya adalah petugas dari Singasari”
“Kita akan menunggu, apa yang akan mereka lakukan” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi kemungkinan bahwa mereka kembali ke warung ini sangat kecil” berkata pemilik warung itu.
“Lalu mereka akan kemana?” bertanya orang bertubuh raksasa
“Tentu saja kita tidak tahu. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi dengan anak-anak itu dan mendapat sedikit gambaran tentang kepentingan mereka” berkata pemilik warung itu.
Sejenak kedua orang itu masih termangu-mangu. Namun kemudian pintu warung itu pun telah ditutup tanpa diselarak baik dari luar maupun dari dalam.
Setelah kedua orang itu meninggalkan warung kecil itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keduanya masih tetap berhati-hati. Mungkin kedua orang itu masih belum meninggalkan tempat itu terlalu jauh. Bahkan mungkin kedua orang itu masih berusaha untuk menjebak kedua anak muda itu dari tempat yang tersembunyi.
Namun ternyata bahwa pemilik warung dan orang bertubuh raksasa itu pun telah meninggalkan warung itu tanpa menunggu lebih lama lagi. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua orang anak muda itu berada di tempat yang tidak jauh dari warung itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan tempat itu pula meskipun mereka tahu, bahwa kedua orang itu tidak akan datang lagi. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil satu keputusan tersendiri.
“Kita harus segera sampai kepada orang yang disebut oleh Senopati Singasari di Talang Amba itu” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian kita akan segera mendapat kepastian dengan siapa kita harus berhadapan. Tanpa mengetahui serba sedikit keadaan disini, maka mungkin kita justru akan terjebak tanpa dapat berbuat apa-apa”
“Baiklah, kita melanjutkan perjalanan sekarang” berkata Mahisa Pukat. ”meskipun malam hari, aku kira kita akan dapat menemukan jalan sampai ke tempat yang ditunjuk tanpa banyak kesulitan. Bukankah tempatnya sudah tidak terlalu jauh lagi dari sini?”
“Tentu tidak. Menilik tempat ini dan sungai yang bertebing agak tinggi itu, maka kita sudah berada tidak jauh lagi dari tujuan” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya kemudian telah meninggalkan tempat itu. Dalam kelamnya malam mereka menelusuri jalan menuju ke sungai sebagaimana pernah mereka tempuh. Tetapi di siang hari. Dalam pada itu, kedua anak muda itu berjalan dengan cepat tanpa berprasangka apapun juga. Mereka ternyata kurang memperhatikan jalan yang akan mereka lalui. Selain mereka ingin cepat-cepat sampai, maka agaknya kekelaman malam memang ikut menentukan.
Karena itu, ketika mereka berbelok pada jalan yang menurun ke sungai yang dibatasi oleh dinding di sebelah menyebelah, maka keduanya terkejut. Bukan keduanya saja yang terkejut, tetapi seseorang yang duduk di pinggir jalan itu pun terkejut pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Namun mereka menjadi berdebar-debar ketika orang itu kemudian berdiri. Ternyata orang itu adalah orang yang bertubuh tinggi besar yang baru saja mendatangi warung bersama pemiliknya itu.
“Gila” geram Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ternyata orang bertubuh raksasa itu pun cepat bertindak. Ia pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan katanya kemudian dengan suara berat, “Kita telah bertemu lagi anak-anak. Kau kemarin berhasil lolos dari tanganku. Tetapi kau sekarang tidak akan mendapat kesempatan lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun terpancar di wajah mereka satu tekad untuk berjalan terus. Mereka ingin sampai ketujuan pada saat yang cepat, karena ternyata daerah itu adalah daerah yang memiliki beribu kemungkinan di bawah pengamatan beribu pasang mata.
Karena itu Mahisa Murti pun lalu berkata, “Ki Sanak. Berikanlah kesempatan kepadaku untuk meninggalkan tempat ini”
“Sudah aku katakan, bahwa semua pengembara yang tidak ada artinya bagi pergaulan hidup, akan aku singkirkan. Aku sudah menunggumu di sini sejak kemarin. Aku yakin bahwa pada satu saat kau akan kembali. Karena itu, maka sekarang aku tidak akan melepaskan lagi” berkata raksasa itu.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti kemudian, “kita akan berterus terang. Untuk siapa kau bekerja he? Apakah kau kawan-kawan penunggang kuda yang kemarin datang ke simpang empat itu untuk merampasi kuda penduduk daerah ini?”
“Kau mulai mengigau he. Apa yang kau katakan itu?” raksasa itu menggeram.
“Aku tidak peduli. Tetapi selama aku berada di tempat ini, aku melihat kau dan dua orang berkuda telah berbuat aneh-aneh. Kau kira bahwa kami percaya alasanmu untuk membunuh semua pengembara, pengemis dan orang-orang yang kau sebut tidak berarti? Jika benar hal itu kau lakukan, alangkah besar dosamu. Bukan saja bagi Kediri, tetapi juga di hadapan Tuhan Yang Maha Penyayang” Mahisa Murti berhenti sejenak, Lalu, “nah, katakan saja, apa alasanmu sebenarnya”
“Anak setan” orang itu hampir berteriak, “menyeralah. Kalian memang harus ditangkap”
“Sesudah ditangkap?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi sebelum ia menjawab, Mahisa Pukat telah mendahuluinya, “Jangan katakan, bahwa kau akan membinasaan semua pengembara dan orang-orang yang tidak berarti karena kami berdua tidak percaya akan alasanmu itu”
“Persetan” geram raksasa itu, “apapun alasannya, menyerahlah. Kami mencurigai kau berdua. Kalian tentu bukan pengembara seperti yang kalian katakan. Jika kalian tidak percaya bahwa aku akan membinasakan semua pengembara, maka aku pun tidak percaya bahwa kalian adalah pengembara”
“Nah, dengan demikian persoalannya menjadi lebih jelas” jawab Mahisa Pukat, “bukankah dengan demikian kita dihadapkan pada satu pilihan? Kami berdua akan berjalan terus. Jika kau tetap pada niatmu akan menangkap kami, maka kami akan mempertahankan diri. Dan kita akan berkelahi. Meskipun kau bertubuh raksasa, tetapi kami berdua sama sekali tidak takut. Jika kemarin kami berdua melarikan diri, kami masih berniat untuk tetap dalam keadaan kami, dua orang pengembara. Tetapi ternyata kami tidak akau dapat menyatakan diri kami seperti itu, karena kau sudah mencurigai kami. Karena itu, tidak ada pilihan lain. Kita berkelahi. Jika kami menang, kami akan meneruskan perjalanan”
“Jika kalian kalah?” bertanya raksasa itu.
“Kami akan melarikan diri dan mencari jalan lain untuk dapat menyeberang” jawab Mahisa Pukat pula.
“Kalian tidak akan sempat melarikan diri. Aku akan menangkap kalian dan membawa kalian kepada pemimpinku” jawab raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun bersikap untuk menghadapi segala kemungkinan. Karena itu maka keduanya pun justru telah merenggang.
“Jadi kalian benar-benar akan melawan?” geram raksasa itu.
“Apa boleh buat. Kita sudah tidak saling mempercayai. Karena itu, maka jalan yang dapat kita tempuh adalah kekerasan. Kau akan memaksakan kehendakmu, sementara kami akan mempertahankan sikap kami pula” jawab Mahisa Pukat.
Raksasa itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia pun kemudian mempersiapkan diri untuk bertempur. Memang tidak ada jalan lama yang dapat mereka lakukan saat itu, kecuali memaksa atau bertahan. Raksasa itulah yang pertama-tama mulai menyerang. Dengan loncatan yang cepat ia menerkam Mahisa Pukat, Tetapi Mahisa Pukat yang benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan sempat mengelak dan meloncat surut.
Pada saat yang tepat, Mahisa Murti pun telah meloncat menyerang raksasa itu dengan kakinya. Demikian cepatnya, sehingga raksasa itu tidak sempat mengelak, setelah serangannya atas Mahisa pukat gagal. Dengan lengannya ia telah berusaha melindungi lambungnya yang menjadi sasaran serangan Mahisa Murti.
Satu benturan telah terjadi. Benar-benar mengejutkan raksasa itu. Ternyata serangan kaki Mahisa Murti telah mendorong raksasa itu beberapa langkah menyamping. Hampir saja raksasa itu jatuh dan kehilangan keseimbangan. Namun, sambil menggeram akhirnya raksasa itu berhasil menguasai dirinya dan tegak kembali.
“Anak setan” raksasa itu mengumpat, “jangan kau kira bahwa dengan demikian aku tidak dapat mengimbangi kekuatanmu. Aku terlalu gegabah menghadapi kalian. Aku, kira kalian tidak lebih dari anak-anak yang berkepala batu. Tetapi ternyata bahwa kalian memang memiliki bekal ilmu kenuragan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka pun sudah mengira bahwa raksasa itu bukannya tidak memiliki kekuatan untuk menandingi kedua anak muda itu, tetapi raksasa itu telah menganggap kedua anak muda itu terlalu lemah, sehingga ketika terjadi benturan, raksasa itu terkejut.
Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus menjadi semakin berhati-hati. Dengan menyadari kekuatan lawannya, maka raksasa itu tentu akan mempergunakan kekuatannya lebih besar lagi.
Tetapi, dengan menggabungkan kekuatannya, kedua anak muda itu masih tetap mengharap untuk dapat menerobos jalan dan menyeberang sungai menuju ke tempat yang disebut oleh Senapati dari Singasari di Talang Amba, yang sebenarnya adalah salah seorang dari sekelompok pasukan sandi dari Singasari.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang semakin sengit. Orang bertubuh tinggi besar itu tidak lagi menganggap kedua lawannya itu sebagai anak-anak yang mengajaknya bermain-main. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah benar-benar lawan yang harus dihadapinya dengan segenap kemampuannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk memecah perhatian raksasa itu. Mereka bertempur berpasangan dalam arena yang sempit. Tetapi kecepatan gerak mereka agaknya telah berhasil membuat raksasa itu menemui kesulitan.
Mahia Murti dan Mahisa Pukat telah menyerang raksasa itu berganti-ganti. Mereka selalu berusaha menghindari benturan setelah mereka menyadari, bahwa raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi serangan yang cepat dan datang bergantian, bahkan kadang-kadang beruntun susul menyusul, membuat raksasa itu benar-benar menjadi marah.
“Anak-anak yang tidak tahu diri” geramnya, “apakah dengan demikian kalian menyangka akan dapat lepas dari tanganku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi keduanya adalah anak-anak muda yang telah menempa diri dalam olah kanuragan. Mereka bukan saja berlatih kecepatan gerak, tetapi mereka pun telah dengan teratur meningkatkan kekuatan tenaga mereka. Keduanya dengan matang menguasai tenaga-tenaga mereka. Keduanya dengan matang menguasai tenaga cadangan yang dapat mereka pergunakan setiap saat yang mereka kehendaki.
Karena itu, maka perlawanan mereka terhadap raksasa itu pun benar-benar merupakan satu kekuatan yang mapan menghadapi kekuatan yang besar dari raksasa yang marah itu. Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka sehingga dengan demikian maka yang terjadi kemudian adalah benturan ilmu yang semakin tinggi.
Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin cepat datang dari arah yang berbeda. Sementara itu, raksasa itu pun telah mempergunakan ketangkasannya untuk mengatasi setiap serangan. Dengan mempercayakan diri pada kebesaran tenaganya, orang bertubuh tinggi besar itu, hampir tidak pernah berusaha untuk menghindari serangan. Tetapi ia selalu berusaha untuk membentur setiap serangan.
Namun lambat laun, orang itu pun merasa bahwa kekuatan kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan ilmu mereka. Tenaga cadangan keduanya telah dipergunakan hampir sampai kepuncak kemampuan.
“Gila” geram raksasa itu, “ternyata kedua anak ini memiliki kekuatan iblis”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sampai pada kemampuan yang tinggi dalam pengerahan tenaga cadangannya, ternyata merasakan kelebihan mereka atas kekuatan raksasa itu. Kekuatan yang besar, tetapi kekuatan wadagnya saja.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berharap untuk dapat keluar dari pertempurran itu dan melanjutkan perjalanan mereka, menyeberangi sungai untuk mencapai tujuan sebagaimana dikatakan oleh Senopati dari Singasari yang berada di Talang Amba itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bertempur semakin cepat. Mereka ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk membunuh raksasa yang marah itu. Sebagaimana raksasa itu pun semula tidak benar-benar ingin membunuh mereka. Ternyata bahwa ketika keduanya melarikan diri, raksasa itu sama sekali tidak mengejarnya.
Ketika serangan-serangan kedua anak muda itu menjadi semakin cepat, maka raksasa itu pun menjadi semakin bingung. Serangan-serangan datang dari dua arah yang berbeda dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat semakin sering berhasil mengenai tubuh orang bertubuh besar itu. Meskipun serangan-serangan itu bukannya serangan yang menentukan akhir dari perlawanan raksasa itu, tetapi kulit daging raksasa itu semakin lama menjadi semakin terasa sakit. Di beberapa tempat tulang-tulangnya pun menjadi memar.
Betapapun raksasa itu mengerahkan kemampuannya, tetapi kedua anak muda itu ternyata terlalu cepat untuk dapat ditundukkannya. Dengan demikian, maka perlawanannya raksasa itu pun semakin lama justru menjadi semakin lemah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk membuat raksasa itu tidak berdaya.
Tetapi raksasa yang marah itu justru berteriak, “Cepat, menyerahlah sebelum aku benar-benar marah dan benar-benar ingin membunuh kalian”
Tetapi Mahisa Pukatlah yang menjawab, “Akulah yang akan membunuhmu. Aku tidak senang melihat orang-orang yang tidak berarti hidup dalam lingkungan peradaban manusia. Orang yang tanpa berperikemanusiaan berusaha untuk membunuh para pengembara”
“Gila” geram raksasa itu.
Namun serangan Mahisa Pukat dengan kakinya, tiba-tiba saja telah menghantam lambungnya. Meskipun raksasa itu berusaha melindungi dengan sikapnya sambil merendah, namun kaki Mahisa Pukat yang cepat, berhasil menyusup dan langsung mengenai lambung itu. Raksasa itu terdorong beberapa langkah. Sebelum ia dapat berdiri tegak, Mahisa Murti lah yang meloncat menyerang, menghantam raksasa itu pada dadanya. Raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja dia jatuh terguling.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat menyambarnya dan mendorongnya untuk tetap tegak. Tetapi ia pun segera meloncat menjauh sambil berkata, “Hampir saja kau terguling di sepanjang lorong yang menurun ini dan mandi tanpa melepaskan pakaianmu”
“Gila” teriak raksasa itu, “kalian telah mempermainkan aku he?”
“Jangan marah” sahut Mahisa Murti, “kau sedang berhadapan dengan pengembara yang tidak punya arti”
“Tutup mulutmu” geram raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justeru tertawa. Namun kemudian mereka merasa, bahwa yang mereka lakukan agaknya sudah cukup. Mereka harus mendapat kesempatan untuk meneruskan perjalanan tanpa diikuti oleh raksasa itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita jangan terlalu lama bermain-main dengan raksasa ini. Marilah kita meneruskan perjalanan. Pengembaraan kami masih sangat panjang”
“Aku bunuh kau pengembara” teriak orang bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya lagi. Dengan serta merta keduanya menyerang bersama-sama sehingga orang bertubuh tinggi besar itu, tidak mampu menghindarkan dirinya. Demikian cepat kedua serangan itu beruntun menghantam tubuhnya, maka raksasa itu pun telah terhuyung-huyung.
Terdengar raksasa itu menyeringai menahan sakit, sementara itu maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Kita akan meninggalkannya”
Mahisa Murti tidak menyahut. Keduanya pun kemudian dengan cepat meloncat meninggalkan raksasa yang sedang kesakitan itu.
“Gila” geramnya. Tetapi ia tidak segera dapat bangkit, apalagi mengejar kedua anak muda itu. Bahkan ia pun sama sekali tidak berniat melakukannya, karena ia yakin, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak atas kedua orang anak muda itu. Seandainya ia berhasil mengejarnya, namun ia tidak akan dapat menangkapnya, karena ternyata ia tidak dapat mengalahkan kedua orang anak muda yang semula disebutnya pengembara. Namun yang sejak semula memang menarik perhatiannya.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berlari menghambat turun ke sungai dan menyeberanginya, orang bertubuh tinggi besar itu bangkit dengan susah payah. Tubuhnya terasa nyeri. Namun hatinya pun ikut terasa pedih, karena anak-anak muda itu ternyata telah mempermainkannya. Pada saat ia hampir jatuh terguling, seorang di antara anak-anak muda itu telah menahannya dan mendorongnya untuk tetap tegak.
Perlahan-lahan orang itu pun menuruni lorong yang turun ke sungai. Kepada dirinya sendiri berkata, “Biarlah anak-anak itu pergi. Tetapi jika ia mengambil arah yang kami cemaskan, maka ia akan bertemu dengan hambatan-hambatan berikutnya”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan orang bertubuh tinggi besar itu. Sebenarnya jika mereka menghendaki, mereka akan dapat berbuat lebih banyak. Namun betapapun raksasa itu marah, tetapi kedua anak muda itu mendapat kesan bahwa sebenarnya orang bertubuh tinggi dan besar itu bukannya orang yang bermaksud jahat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menyeberangi sungai. Dengan hati-hati mereka melanjutkan perjalanan. Dengan teliti mereka memperhatikan setiap bentuk dan gejala alam yang ada di sekitarnya. Ternyata dalam beberapa hal mereka mengenali tempat itu sebagaimana diceriterakan oleh Senopati yang berada di Talang Amba. Beberapa pertanda telah mereka lalui, sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah bulak yang panjang.
“Inikah bulak yang disebut oleh Senopati itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Bulak panjang yang gawat. Senopati itu sama sekali tidak menyebut apa-apa tentang sungai itu. Tetapi kita telah menjumpai sebuah hambatan. Sedangkan bulak ini telah disebut sebagai tempat yang gawat. Yang harus kita lalui dengan sangat hati-hati sebelum kita memasuki padukuhan sebelah. Padukuhan yang kita tuju” jawab Mahisa Murti.
“Apa boleh buat” berkata Mahisa Pukat sambil memandang bulak yang panjang itu, "namun sebaiknya kita memang berhati-hati”
“Kita tidak akan melalui jalan bulak itu. Kita sudah tahu bahwa di jalan itu kita akan menjumpai sebuah rintangan apapun ujudnya. Tentu rintangan yang dipasang untuk melindungi tujuan kita” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Kita sebenarnya tidak perlu cemas atas hambatan-hambatan itu. Sebenarnya kita tahu, bahwa hambatan-hambatan itu tidak akan menghancurkan kita. Hambatan itu hanya sekedar satu cara untuk meyakinkan siapakah sebenarnya yang datang”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Hambatan itu tidak benar-benar akan membunuh. Bagaimana jadinya jika yang mereka hadapi benar-benar orang lewat tanpa maksud apa-apa”
“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Pukat.
“Namun aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya kita tidak memasuki padukuhan sebelah lewat jalan itu. Kita akan dapat mendekati padukuhan itu lewat pematang dan tanggul-tanggul parit” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita memang dapat berusaha memperkecil persoalan. Mudah-mudahan dengan cara ini kita terlepas dari hambatan yang disebut gawat oleh Senopati Singasari itu, karena hambatan itu agaknya memang dipasang di sepanjang jalan itu”
Demikianlah kedua anak itu yang sudah mendapat pesan bahwa mereka akan melalui sebuah jalan panjang di bulak yang luas, telah mengambil langkah untuk menempuhnya tidak melalui jalan sewajarnya. Mereka mencoba untuk menghindari hambatan yang mungkin ada dengan melalui pematang dan tanggul-tanggul parit.
“Pokoknya tujuan kita jelas. Padukuhan itu” berkata Mahisa Murti, “agar kita tidak kehilangan kiblat dan tersesat ke padukuhan yang lain, maka kita akan memperhatikan pepohonan di sepanjang jalan itu. Dengan demikian kita akan selalu dapat mengikuti arah jalan itu. Jalan yang menurut keterangan adalah jalan satu-satunya”
Mahisa Pukat mengangguk. Dengan demikian, maka kedua orang itu pun segera turun ke pematang dan berjalan menyusurinya. Namun dalam keremangan malam mereka tidak kehilangan kiblat. Mereka mengikuti pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan untuk tetap memelihara jarak dan arah. Dengan cepat mereka melintasi kotak demi kotak. Mereka meloncati parit dan kadang-kadang meniti titian bambu yang licin dan bahkan melintasi pematang-pematang yang ditanami dengan berbagai macam tanaman, sehingga keduanya mengalami kesulitan agar tidak merusakkan tanaman itu.
Ketika keduanya sampai ke tengah bulak, maka keduanya terhenti sejenak. Memang agaknya tidak ada rintangan yang mereka temui. Mungkin agak berbeda dengan apabila mereka menempuh perjalanan lewat jalan di sebelah. Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu terhenti. Dalam kegelapan malam, penglihatan mereka yang tajam, telah menangkap gerak yang mencurigakan. Tanpa melihat seseorang, mereka melihat dedaunan yang bergoyang-goyang.
“Berhati-hatilah” desis Mahisa Murti, “agaknya kita memang harus menjumpai rintangan yang dimaksud meskipun kita sudah memilih jalan”
Mahisa Pukat pun telah besiap pula. Pengalaman mereka sebagai pengembara telah memperingatkan mereka, bahwa yang ada di hadapan mereka adalah sejenis binatang merangkak. Binatang yang berbahaya tetapi yang tidak segera dapat mereka lihat.
Dada kedua anak muda itu berdebaran ketika tiba-tiba saja di sela-sela batang-batang padi muncul seekor binatang yang besar. Ketika binatang yang menyusuri pematang itu berpaling ke arah kedua orang anak muda itu, maka kedua belah matanya nampak bagaikan bercahaya kehijauan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mengenali jenis binatang itu. Harimau.
“Ternyata kita memang harus menghadapinya” guman Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak tahu, bagaimana itu dapat diatur untuk mencegat perjalanan kita. Padahal kita sudah tidak mengambil jalan yang seharusnya kita lalui”
“Apakah seandainya kita melalui jalan itu, kita tidak akan bertemu dengan seekor harimau?” bertanya Mahisa Pukat.
“Entahlah” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Tetapi kehadiran seekor harimau di tempat ini pun agak menarik perhatian. Menurut pendapatku daerah ini tidak terlalu dekat dengan hutan yang lebat dan luas. Agaknya kehadiran seekor harimau di tempat ini pantas dipertanyakan”
“Aku sependapat” desis Mahisa Pukat, “jika harimau ini berada di tempat ini sehari-harinya, apakah tidak menakut-nakuti para petani yang pergi ke sawah untuk mengairi tanamannya?”
Tetapi keduanya tidak sempat berbincang lebih lama. Harimau itu agaknya telah melihat kedua anak muda itu, sehingga selangkah demi selangkah harimau itu merunduk maju.
“Lebih baik kita pergi ke jalan itu” berkata Mahisa Murti, “agaknya kita akan mendapat tempat yang lebih luas untuk berkelahi melawan harimau itu”
“Masih beberapa puluh langkah, harimau itu tidak akan menunggu” jawab Mahisa Pukat.
“Marilah kita coba. Aku akan berjalan di belakang. Kau berjalan di depan. Kita menuju ke jalan di tengah-tengah bulak” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian melangkah lewat pematang yang menyilang, ke arah jalan di tengah-tengah bulak yang semula mereka hindari. Sebenarnyalah seperti dugaan Mahisa Murti. Harimau itu tidak segera menyerang. Tetapi harimau itu pun mengikuti saja kedua anak muda yang berjalan semakin cepat menuju kejalan.
Mahisa Pukat yang berada di depan sempat bertanya, “Harimau itu tidak berbuat apa-apa”
“Sekarang harimau itu tidak berbuat apa-apa. Kau lihat, bahwa harimau tadi sudah merunduk. Sekarang seolah-olah harimau itu memberi kesempatan kita untuk mencari jalan itu. Agaknya harimau itu pun ingin berkelahi di tempai yang agak luas”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi harimau itu memang agak aneh menurut pendapat kedua orang anak muda itu. Beberapa saat lagi keduanya akan segera sampai ke jalan yang menghubungkan sebuah padukuhan dengan padukuhan berikutnya yang terpisah oleh bulah yang panjang. Di jalan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mempunyai kesempatan lebih baik bila berkelahi tanpa merusak tanaman yang sedang tumbuh dengan suburnya.
Harimau itu seakan-akan mengerti maksud kedua anak muda itu, dan agaknya harimau itu pun tidak berkeberatan. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu sudah meloncat parit dan berdiri di sebuah jalan yang cukup luas, yang agaknya di siang hari merupakan jalan yang tidak begitu sepi.
“Kita menunggu harimau itu” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah menjauhi Mahisa Murti. Namun ia masih bertanya, “Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi jika kita menempuh jalan ini di siang hari”
“Ya. Hambatan apakah yang kira-kira akan kita jumpai. Tetapi agaknya tentu bukan seekor harimau” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Mungkin kita akan menjumpai seekor lembu yang mengamuk, atau sekelompok penyamun atau apa saja” sahut Mahisa Pukat.
Namun keduanya harus terdiam, karena harimau yang menjadi semakin dekat itu mulai mengaum.
“Bersiaplah. Harimau itu sudah berbaik hati memberi kesempatan kepada kita untuk mendapatkan tempat berpijak yang lebih luas untuk menghadapinya” berkata Mahisa Murti, “agaknya harimau ini pun bukan sejenis harimau yang hanya tahu menerkam dan membunuh”
Mahisa Pukat pun segera bersiap. Ia sependapat dengan Mahisa Murti, bahwa harimau itu termasuk harimau yang baik. Yang dapat mengerti dan memberi kesempatan kedua anak muda itu untuk mencari tempat yang paling baik untuk melawannya. Namun agaknya harimau itu sependapat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa jika mereka berkelahi di antara tanaman yang hijau, tentu akan menimbulkan kerusakan dan merugikan para petani yang tidak tahu menahu tentang kedua orang anak muda itu.
Namun bagaimanapun juga ujud yang mereka hadapi adalah seekor harimau yang besar yang mempunyai gigi dan kuku yang tajam, sehingga karena itu, maka keduanya-pun tidak dapat membiarkan tubuh mereka dikoyak oleh kuku dan gigi harimau itu. Dengan gerak nalurilah, maka kedua anak muda itu telah mengagapai pisau belati mereka yang tersimpan di bawah kain panjang. Dengan pisau belati itu mereka akan menghadapi tajamnya gigi dan kuku harimau itu.
Ketika harimau itu mulai merunduk lagi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri pada jarak beberapa langkah. Karena itu, maka harimau itu nampaknya memang harus memilih. Apakah ia akan menerkam Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.
Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan dan ketakutan. Keduanya berdiri tegak dengan lutut yang agak merendah. Di tangan mereka telah tergenggam pisau-pisau belati yang tajam, setajam ujung taring harimau itu. Untuk beberapa saat harimau itu masih merunduk. Sekali di tatapnya Mahisa Pukat sambil menggeram. Kemudian harimau itu pun berpaling kepada Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua anak muda itu pun telah menunggu. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat. Seakan-akan keduanya tanpa berkedip menatap harimau yang menggeram. Sejenak suasana dicengkam oleh ketegangan. Namun kemudian terdengar harimau itu mengaum dahsyat. Dengan tangkasnya harimau itu meloncat menerkam ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang memperhatikan gerak kaki harimau itu pun segera menyadari bahwa harimau itu telah meloncat ke arahnya. Karena itu, maka ia pun segera menempatkan diri. Pisaunya mulai bergerak. Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas. Kakinya yang seakan-akan melekat pada bumi, tiba-tiba saja melemparkan tubuhnya menyamping.
Harimau itu terkejut. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu hanya sekejap saja sebelum harimau dengan kuku-kukunya yang tajam terjulur ke depan itu menggapainya. Karena kehilangan sasarannya, harimau itu mengaum dahsyat sekali. Namun tiba-tiba saja terasa sesuatu menindih punggungnya. Tangan yang kuat telah melingkar di lehernya. Harimau itu menggeliat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan tubuh yang telah melekat di punggungnya itu. Bahkan harimau itu pun telah berguling di tanah.
Ternyata kekuatan harimau itu memang luar biasa. Mahisa Murti yang telah meloncat ke punggung harimau itu telah terlempar pada saat harimau itu berguling. Namun dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat bangkit. Sehingga ketika harimau itu bangkit berdiri pula di atas empat kakinya, Mahisa Murti telah meloncat sekali lagi ke punggunya dan melekat lebih erat.
Namun Mahisa Murti tidak mau terlambat. Sebelum harimau itu melemparkannya, tiba-tiba saja pisau belatinya telah menghunjam ke tubuh harimau itu. Sekali lagi harimau itu mengamuk dahsyat. Sekali lagi harimau itu menggeliat. Bahkan melonjak dan jatuh berguling dengan kemarahan yang menghentak-hentak oleh luka di punggungnya.
Sekali lagi Mahisa Murti tidak berhasil bertahan pada punggung harimau itu dan terlepas terpental beberapa langkah. Namun Mahisa Murti memang lebih cepat bergerak daripada lawannya. Ternyata Mahisa Murti telah melenting dan berdiri tegak lebih dahulu dari harimau itu. Pada saat harimau itu tegak. Mahisa Murti justru telah menyerangnya. Pisaunya menyambar mendatar. Namun harimau itu mengerutkan tubuhnya bahkan tangannyalah yang berusaha untuk menggapai tangan Mahis Murti.
Tetapi Mahisa Murti berhasil menghindar. Bahkan ia pun telah siap untuk meloncat lagi justru menerkam harimau itu. Namun karena harimau itu menghadap ke arahnya, maka Mahisa Murti harus berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti telah berhasil menarik perhatian harimau itu. Bahkan harimau itu telah siap menerkam dengan kuku-kukunya yang tajam. Selangkah harimau itu maju dengan kepala merendah siap untuk meloncat pada jarak yang hanya dua tiga langkah. Namun harimau itu terkejut. Ia mendengar gemersik di belakangnya. Karena itu, maka dengan gerak naluriah harimau itu berpaling.
Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang tinggi Mahisa Murti sempat meloncat maju. Pisaunya mematuk leher harimau yang berpaling itu. Namun pendengaran harimau itu memang sangat tajam. Gerak Mahisa Murti sekan-akan diketahuinya sehingga karena itu, maka justru sekali lagi tangan harimau itu terangkat, seakan-akan menangkis tangan Mahisa Murti.
Mahisa Murti berhasil mengenai lengan harimau itu. Tetapi tangannya pun telah tergores pula oleh kuku-kuku harimau yang tajam itu. Mahisa Murti berdesis. Ia bergerser surut. Terasa tangannya menjadi pedih. Namun ia pun segera bersiap kembali untuk menghadapi harimau itu.
Pada saat yang demikian, sekali lagi harimau itu terkejut. Seperti yang terjadi sebelumnya, sesosok tubuh telah menindihnya dari belakang. Dan tangan yang kuat telah melingkar pula di lehernya.
Mahisa Pukat yang melihat kedudukan Mahisa Murti yang sulit telah melekat di punggung harimau itu. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Karena itu, maka dengan segenap kekuatan yang ada padanya, ia tidak hanya menghunjamkan pisaunya sekali pada tubuh harimau itu. Tetapi berkali-kali.
Harimau itu benar-benar marah. Dengan dahsyatnya harimau itu mengaum sambil menggeliat dan berguling-guling. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan Mahisa Pukat dari punggungnya. Mahisa Pukat berusaha untuk tidak terlepas. Tetapi tiba-tiba saja tubuhnya telah terantuk batu padas, sehingga kulitnya bagaikan telah terkoyak oleh batu yang runcing itu.
Pada saat-saat yang demikian, ternyata tangan Mahisa Pukat terlepas. Namun seperti yang dilakukan oleh Mahisa Murti, maka dengan cepat ia pun meloncat berdiri. Harimau itu pun telah berdiri pula. Justru terlalu dekat di hadapan Mahisa Pukat. Namun sekali lagi ternyata Mahisa Pukat lebih cepat bergerak dari pada harimau itu, sehingga justru pisau Mahisa Pukatlah yang menyambar kening harimau itu.
Harimau itu melangkah surut sambil mengaum sekali lagi. Ternyata tubuhnya telah menjadi merah oleh darahnya yang mengalir dari luka-lukanya. Apalagi kedua anak muda itu kemudian telah bersiap menghadapinya. Sejenak harimau itu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak bersama dari dua arah mendekati harimau itu, maka harimau itu pun telah mengaum lebih dahsyat lagi oleh kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Puat tertegun. Tetapi ketika pisau belati kedua anak muda itu mulai bergerak lagi, tiba-tiba harimau itu telah meloncat. Tidak menyerang salah seorang dari kedua anak muda itu, tetapi harimau itu telah meloncat berlari memasuki daerah persawahan, menyusup di antara batang-batang padi yang hijau.
Mahisa Pukat telah siap pula untuk berlari mengejar. Tetapi Mahisa Murti telah menggamitnya sambil berdesis, “Biarkan harimau itu lari. Kita tidak akan dapat mengejarnya”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Ya. Kita memang tidak akan dapat mengejarnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu beberapa saat. Tetapi kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menuju ke padukuhan di depan kita”
“Baiklah” jawab Mahisa Pukat yang kemudian bertanya, “apakah kita akan menempuh jalan ini atau seperti tadi kita akan berjalan lewat pematang?”
“Kita akan berjalan melalui jalan ini” berkata Mahisa Murti, “tetapi kita perlu mengobati luka-luka kita. Meskipun tidak terlalu dalam, namun kita harus menempatkan darah yang mengalir ini lebih dahulu”
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Tubuhnya juga terluka ketika tubuh itu dibanting-banting oleh harimau itu dan membentur padas yang tajam, sedangkan Mahisa Murti terluka tersentuh oleh kuku harimau itu. Setelah menaburkan obat pada luka yang berdarah, maka keduanya pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka tidak algi menghindari jalan yang mereka lalui seperti sebelumnya.
“Mungkin kita masih akan bertemu dengan hambatan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Mungkin sekelompok penyamun” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi dipandanginya bulak panjang yang terbentang di hadapannya. Rasa-rasanya mereka berdua memang telah memasuki satu daerah yang asing dan penuh dengan rahasia. Kedua anak muda itu berjalan dengan hati-hati. Mereka tidak menyelipkan pisau mereka di bawah kain panjang mereka. Tetapi mereka telah meletakkan pisau-pisau belati mereka di luar agar setiap saat diperlukan, mereka dengan cepat dapat menariknya dari sarungnya.
Bahkan kedua anak-anak muda itu seakan-akan selalu menggenggam hulu pisau belatinya sambil berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang itu. Pada setiap langkah, baik Mahisa Murti maupun, Mahisa Pukat tidak pernah terlepas dari perhatian mereka terhadap keadaan di sekitarnya. Malam yang gelap, batang-batang padi yang bergerak oleh sentuhan angin malam yang lembut dan suara langkah kaki mereka sendiri.
Namun untuk beberapa saat lamanya, mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Tidak ada binatang dan tidak ada seorang pun yang mereka jumpai, sehingga akhirnya mereka mendekati regol padukuhan.
“Kita akan memasuki padukuhan itu” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Ternyata ciri-cirinya tepat seperti yang dikatakan oleh Senopati itu. Tetapi bukankah pesannya, agar kita tidak memasuki padukuhan itu lewat regol. Baik siang, maupun malam?” jawab Mahisa Pukat.
“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “orang yang akan kita datangi tidak banyak dikenal di padukuhan ini. Seandainya ia dikenal juga, tentu bukan sebagai petugas sandi dari Singsari”
Ketika anak muda itu pun kemudian terdiam. Tempat yang mereka tuju telah ada di depan mereka. Dari tempat itu, seorang Senapati lain dari Singasari memimpin tugas-tugas sandi atas beberapa orang kepercayaan mereka. Petugas-petugas itulah yang agaknya hilir mudik di daerah perbatasan, dan bahkan mungkin di seluruh kota Kediri.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengamati pintu gerbang itu. Mereka yakin, bahwa di belakang pintu gerbang itu terdapat sebuah gardu. Namun mereka tidak tahu, apakah di dalam gardu itu terdapat pata peronda atau tidak.
“Kita akan memilih meloncat dinding di sisi sebelah kiri sebagaimana disarankan oleh Senopati itu, kecuali dalam keadaan yang khusus menurut pertimbangan kita. Namun agaknya saat ini kita tidak menjumpai persoalan yang dapat memaksa kita untuk memilih tempat lain” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada persoalan yang harus merubah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Senapati Singasari yang berada di Talang Amba. Karena itu, maka keduanya pun telah bergeser ke kiri menuju ke sebatang pohon yang besar dan rimbun, yang akan dapat membayangi mereka, saat mereka memasuki dinding padukuhan.
“Pohon itu tentu pohon preh” desis Mahisa Pukat bukankah di sebelahnya ada sebatang pohon siwalan?”
“Ya” Mahisa Murti mengangguk, “kita akan meloncati dinding di bawah pohon preh itu”
Kedua anak muda itu pun kemudian dengan hati-hati telah memasuki bayangan pohon preh yang kelam. Dengan hati-hati pula keduanya berusaha untuk meloncati dinding tanpa mengetahui apakah yang ada di dalam dinding itu. Namun ketika keduanya menelungkup melekat dinding itu dalam bayangan pohon preh, mereka sama sekali tidak melihat sesuatu di báwah mereka.
Namun demikian keduanya masih menunggu sesaat untuk menyakinkan bahwa mereka tidak akan menjumpai kesulitan apabila mereka kemudian meloncat turun. Malam memang terasa sangat sepi dan kelam. Tetapi udara yang mengalir serasa memberi peringatan, bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Diluar sadarnya Mahisa Murti pun memandang Mahisa Pukat yang masih menelungkup. Perlahan-lahan ia berdesis dan kemudian memberi isyarat untuk meloncat turun.
Sesaat kemudian keduanya telah berada di dalam dinding padukuhan. Dengan hati-hati keduanya meraya di sepanjang dinding padukuhan itu, untuk mencari ciri-ciri yang dapat menunjukkan arah, kemana mereka harus pergi. Tiba-tiba keduanya tertegun. Mereka melihat sebuah jalan sempit yang ujungnya ditumbuhi sebatang pohon kulbandang. Daunnya yang berwarna ke kuning-kuningan cepat menarik perhatian.
“Disebelah pohon itu terdapat sebuah tugu batu” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Perlahan-lahan ia merayap mendekatinya. Sebenarnya mereka melihat sebuah tugu yang tidak terlalu besar. Tugu yang menurut Senopati Singa-sari di Talang Amba berisi keterangan tentang wewenang seorang Kepala Tanah Perdikan di masa lampau, tiga keturunan sebelum Buyut yang sedang memerintah.
Dengan demikian maka keduanya telah memasuki lorong sempit itu. Menyusup di bawah pohon kulbandang dan kemudian berjalan dengan sangat hati-hati menuju sebuah halaman rumah yang tidak terlalu sempit, tetapi juga bukan termasuk halaman yang luas, yang di dalamnya tumbuh sebatang pohon pucung.
“Jika pohon pucung itu sudah ditebang” berkata Senapati di Talang Amba, “atau roboh oleh angin, kalian dapat melihat ciri dari pintu gerbang halaman yang tidak terlalu besar. Kau akan melihat bahwa gawang pintunya sebelah kiri dan sebelah kanan tidak sama besar”
Karena itu, maka kedua anak muda itu berusaha mengamati setiap halaman dengan saksama. Namun mereka tidak perlu mengamati gawang pintu regol, karena kemudian mereka telah melihat sebatang pohon pucang yang sudah sangat tinggi.
“Pohon itu masih ada” berkata ia masih juga meyakinkan melihat gawang pintu gerbang. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, gawang pintu gerbang itu sebelah kiri dan kanan memang tidak sama.
“Rumah inilah yang harus kita datangi” berkata Mahisa Murti.
“Apakah kita akan segera masuk?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Kita harus memperlihatkan ciri kita setelah orang yang kita hadapi menyebut satu kalimat sandi” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia harus selalu ingat, semua pertanda, ciri kata-kata rahasia sebagai pertanda bahwa mereka berhadapan dengan orang yang benar.
Sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu pun berusaha untuk membuka pintu regol. Ternyata pintu itu sama sekali tidak diselarak. Tidak ada tanda-tanda bahwa tempat yang mereka masuki kemudian adalah tempat yang penting, yang menjadi pusat pengendalian petugas-petugas rahasia Singasari di Kediri.
Dengan tidak ragu-ragu, karena semua ciri yang disebut oleh perwira Singsari di Talang Amba itu telah mereka ketemukan, maka mereka pun langsung menuju ke seketheng sebelah kiri. Kemudian tanpa ragu-ragu pula Mahisa Murti mengetuk pintu seketheng itu dua kali berganda. Sejenak kedua anak muda itu menunggu. Sementara itu Mahisa Pukat yang menengadahkan kepalanya telah melihat cahaya fajar mulai mewarnai langit.
“Hampir pagi” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk. Ia pun melihat langit yang semakin cerah. Karena itu, maka katanya, “Mudah-mudahan kita segera menemuinya. Meskipun kita tidak terikat waktu, tetapi semakin cepat agaknya semakin baik bagi kita. Apapun yang kemudian terjadi, kita sudah berada di bawah pengetahuan yang bertugas di sini”
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Di dalam seketheng telah terdengar langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu pun terbuka. Seorang perempuan berdiri tegak di pintu. Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian perempuan itu pun bertanya, “Apakah kalian mencari seseorang?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung. Mereka mengharap seseorang menerima mereka dan langsung mengucapkan kata sandi. Tetapi yang sekarang mereka temui adalah seorang perempuan yang bertanya sewajarnya. Namun akhirnya Mahisa Murti pun menjawab, “Kami ingin bertemu dengan pemilik rumah ini”
Jawaban perempuan itu semakin membingungkannya. Katanya, “Ya. Akulah pemilik rumah ini. Aku menjadi cemas melihat kedatangan kalian pada waktu yang bukan sewajarnya seperti ini”
Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan. Tetapi Mahisa Murti pun akhirnya berkata, “Aku datang dengan ketukan khusus pada pintu seketheng sebelah kiri”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah. Silahkan masuk”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikutinya. Mereka menjadi ragu-ragu. Jika penghuni rumah itu sudah berganti karena sesuatu hal, mungkin dengan kekerasan atau pertimbangan-pertimbangan lain, maka mereka akan menemui kesulitan. Dalam kebimbangan maka Mahisa Murti kemudian menuju ke pintu butulan. Dari dalam cahaya lampu memancar keluar lewat daun pintu yang terbuka.
“Marilah anak-anak muda” perempuan itu mempersilahkan.
Kedua anak muda itu melangkah masuk. Mereka memasuki ruang yang tidak begitu luas. Memang agak berbeda dengan bayangan mereka, bahwa mereka akan memasuki ruang dalam di belakang pringgitan.
“Silahkan” berkata perempuan itu selanjutnya, “masuklah ke ruang tengah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin ragu. Namun keduanya tidak dapat melangkah surut. Dari dalam terdengar suara berat. “Masuklah anak-anak muda. Kami memang sedang menunggu kedatangan kalian”
Kedua anak muda itu tertegun sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berdesis, “Apa boleh buat” Di ikutsertakan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun memasuki pintu yang ditunjuk oleh perempuan itu. Hampir diluar sadar mereka, tangan kedua anak itu melekat pada hulu pisau belati mereka.
Demikian mereka memasuki ruang itu, maka jantung mereka terasa berdegup semakin keras. Nafas mereka terhenti sejenak. Betapa keduanya terkejut ketika keduanya melihat orang bertubuh raksasa dan pemilik warung itu berada di dalam ruangan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak di depan pintu. Wajah mereka menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, terdengar pemilik warung itu berkata, “Acungkan tangan kalian dengan jari-jari yang mengembang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang memang mereka cari. Kata-kata itu adalah kata-kata yang memang harus mereka dengar dari mulut pemilik rumah itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengulurkan tangan mereka. Jelas terlihat oleh orang yang menjadikan dirinya pemilik warung itu, cincin khusus di jari kedua anak muda itu. Agaknya pemilik warung itu mengenali sikap keduanya. Sikap yang memang harus diperlihatkan jika mereka berada di tempat itu.
“Bagus” berkata pemilik warung itu, “duduklah. Ternyata kalian adalah anak-anak kelinci sebagaimana aku duga meskipun agak kurang meyakinkan. Tetapi sikap kalian menimbulkan kepercayaan padaku, bahwa kalian memang datang untuk kepentingan Singasari”
“Ya” jawab Mahisa Murti, “kami datang untuk melaporkan diri”
“Besok kita bicarakan tentang diri kita masing-masing. Sekarang kalian dapat beristirahat” berkata orang yang dikenal sebagai pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata, “Marilah ikut aku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun orang bertubuh raksasa itu tersenyum sambil berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah kalian telah mengalahkan aku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ketika mereka berpaling kepada orang yang dikenalnya sebagai pemilik warung itu, maka dilihatnya orang itu pun tersenyum. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikuti orang bertubuh raksasa. Mereka kemudian dibawa ke serambi belakang dan kemudian keduanya dibawa masuk ke dalam sebuah bilik yang tidak terlalu luas.
“Beristirahatlah” berkata orang bertubuh tinggi besar itu, “besok masih banyak waktu bagi kalian untuk berbicara tentang tugas kalian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanya memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu. Sebuah lampu minyak masih menyala. Namun meskipun kecil, tetapi bilik itu nampak bersih. Sehingga tikar pandan yang putih terbentang di atas sebuah amben bambu yang cukup besar untuk kedua anak muda itu. Sebuah geledek bambu berada di sudut dan sebuah dingklik kayu melekat dinding di bawah lampu minyak yang masih menyala.
Selagi keduanya mengamati ruangan itu, maka orang bertubuh raksasa itu berkata, “Silahkan. Aku akan pergi. Masih ada waktu meskipun hanya sekejap”
“Terima kasih” sahut Mahisa Pukat.
Ketika orang itu meninggalkan kedua anak muda itu, maka Mahisa Murti pun telah menutup pintu bilik itu dan menyelaraknya. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun membaringkan dirinya di amben itu. “Aku memang merasa lelah” berkata Mahisa Murti.
“Kita akan dapat beristirahat” berkata Mahisa Pukat, “nah jika kau lelah sekali, tidurlah. Aku sudah terlanjur tidak merasa mengantuk”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia memang menguap. Tetapi agaknya Mahisa Murti pun sudah tidak akan sempat tidur. Suara ayam jantan yang berkokok telah memenuhi keheningan. Fajar memang telah menyingsing.
Mahisa Pukat duduk di atas amben bambu di bawah lampu minyak yang berkerdipan. Sambil bersandar dinding diamatinya Mahisa Murti yang berbaring. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak memejamkan matanya. “Tidurlah” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Mana mungkin pada waktu yang begini. Entahlah, justru setelah matahari terbit nanti. Mungkin aku justru akan tertidur nyenyak”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Dipandanginya sudut-sudut ruangan itu, seakan-akan ada yang dicarinya. Namun Mahisa Pukat memang tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu saling berdiam diri. Lampu minyak masih berkeredipan menerangi bilik itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja bangkit. Ia mendengar suara pedati di halaman yang mulai bergerak. Semakin lama menjadi semakin jauh.
“Pedati” desis Mahisa Murti
“Ya. Mungkin sesuatu harus dibawa dengan pedati meninggalkan rumah ini” sahut Mahisa Pukat.
“Matahari masih belum terbit” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Bahkan mereka pun telah duduk kembali dengan baik ketika mereka mendengar derap langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu bilik itu pun diketuk dari luar. Perlahan-lahan saja. Mahisa Pukat pun yang kemudian berdiri menghampiri pintu. Meskipun kedua anak muda itu merasa, bahwa mereka telah sampai ketempat yang memang harus di datangi, namun mereka masih tetap berhati-hati. Demikian pintu itu terbuka, maka mereka melihat orang yang bertubuh tinggi besar itu telah berdiri di luar pintu.
“Apakah kalian sempat beristirahat” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling ber pandangan sejenak. Namun sebelum mereka menyahut, orang bertubuh raksasa itu berkata, “kalian tentu belum sempat beristirahat. Tetapi kalian dipanggil ke dalam”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak. Mereka pun kemudian mengikuti orang bertubuh raksasa itu masuk ke ruang dalam. Diruang dalam orang yang menyebut dirinya pemilik warung itu duduk diapit oleh dua orang yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki ruang itu, maka sambil tersenyum orang yang menyebut dirinya pemilik warung itu pun segera mempersilahkan duduk.
“Marilah anak-anak muda” berkata orang itu, “sebentar lagi aku harus sudah pergi. Pedati yang membawa dagangan ke warungku sudah berangkat. Aku harus segera menyusulnya. Nanti pada saat matahari naik, orang mulai datang untuk berbelanja di pasar itu dan di antara mereka akan singgah di warung kami”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pedati yang meninggalkan halaman itu ternyata berisi dagangan yang akan dijual di warung. Mungkin nasi dan beberapa jenis makanan sebagaimana pernah mereka makan pada saat-saat mereka berada di warung itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk pula bersama beberapa orang di ruang itu. Dengan berdebar-debar keduanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh pemilik warung itu kepada mereka.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Anak-anak muda. Melihat ciri-ciri dan sikap kalian, maka kami tidak meragukan lagi bahwa kalian telah dikirim untuk bergabung dengan kami. Kami sama sekali tidak berkeberatan karena kami memang memerlukan kawan-kawan yang akan dapat membantu kami dalam saat seperti sekarang ini. Karena itu, lakukan apa yang telah kalian persiapkan. Aku dan kawan-kawan kita yang sudah terdahulu berada di sini akan dapat membantu keterangan-keterangan yang kalian perlukan. Namun dalam banyak hal kami masih harus bekerja keras. Persoalan Pangeran Kuda Permati merupakan bagian yang terpenting dari tugas kita di sini. Sementara itu peristiwa yang dialami Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat lepas dari perhatian kita. Kita akan mengikuti persoalannya untuk selanjutnya, sementara itu sikap Sri Baginda atas Pangeran Lembu Sabdata pun secara terus-menerus kita ikuti. Untuk selanjutnya, maka kalian berdua telah diserahkan kepadaku untuk membimbing langkah-langkah selanjutnya dalam hubungan dengan tugas ini. Sayang sekali bahwa kalian masih belum dapat berhubungan langsung dengan Senapati dalam tugas ini di Kediri. Mungkin pada suatu saat kalian akan mendapat kesempatan. Namun segala sesuatunya masih tergantung pada keadaan. Sedangkan aku sendiri masih belum mendapat kesempatan untuk mengetahui di mana tempat Senapati itu dalam tugas ini meskipun aku pernah melihat baraknya di Singsari, barak pasukan khusus sandi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata pemilik warung itu juga bukan pemimpin dari. jaringan sandi Singsari yang ada di Kediri. Namun demikian orang itu tentu memiliki wawasan yang cukup luas dan akan dapat meberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya.
“Anak-anak muda” berkata pemilik warung itu, “mungkin kalian dapat menyebut nama kalian yang sebenarnya dan bahan-bahan yang ada pada kalian dalam tugas kalian”
Kedua anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian mereka berusaha untuk menghilangkan segala prasangka. Karena itu maka Mahisa Murti pun menjawab, “Namaku adalah Mahisa Murti, dan saudaraku ini bernama Mahisa Pukat. Kami datang dari Talang Amba, satu daerah yang menjadi sasaran serangan Pangeran Lembu Sabdata itu ditangkap dan jatuh ke tangan orang-orang Singasari. Namun kedatangan Pangeran Singa Narpada telah membawanya ke Kediri. Meskipun akhirnya terjadi sesuatu yang agaknya kurang wajar”
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Ia pun dapat mengerti kenapa kedua orang anak muda itu berkepentingan dengan Pangeran Kuda Permati. Namun kemudian ia pun bertanya pula, “Anak-anak muda. Apakah kalian memang anak-anak muda dari Talang Amba?”
Mahisa Murti pun kemudian menceriterakan tentang dirinya dan tentang Mahisa Pukat. Ia sadar, bahwa dengan demikian, maka tugasnya berdua tidak akan banyak terganggu oleh prasangka. Jika orang-orang itu mempercayainya dan mengetahui latar belakang kehadirannya, maka ia akan mendapat bantuan seperti yang dikehendakinya.
Pemilik warung itu pun memperhatikan segala ceriteranya dengan saksama. Kemudian dengan suara datar ia pun berkata, “Pantas. Memang kalian tidak akan mendapat pertanda bahwa kalian termasuk dalam jajaran petugas sandi jika kalian memang tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Kelebihan kemampuan kalian telah kami ketahui. Kalian mampu melampaui hambatan-hambatan yang kami pasang. Bahkan kemudian ternyata kalian memang anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kehormatan, karena kalian kemenakan Mahisa Agni dan adik Mahisa Bungalan. Seorang Senopati yang penunjul”
“Tetapi mungkin kami akan mengecewakan kalian” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Entahlah apa yang akan terjadi. Tetapi kita akan berusaha untuk bekerja bersama. Biarlah kalian hari ini beristirahat secukupnya. Besok kalian akau membantu aku di warung itu sebelum kalian mendapatkan jalan, apa yang harus kau lakukan kemudian. Pada hari-hari tertentu kalian dapat berada di warung itu. Apalagi pada hari-hari Keliwon. Biasanya pada hari-hari itu warungku banyak dikunjungi orang, karena pasar itu memang menjadi lebih ramai dari hari-hari biasanya” berkata pemilik warung itu, lalu, “Sementara itu, dalam usaha kailan melaksanakan tugas kalian, kalian dapat berhubungan langsung dengan kedua orang ini. Pada saat-saat aku tidak ada, kedua orang ini akan memberikan banyak petunjuk dan bimbingan bagi kalian, berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sekilas diamatinya kedua orang yang sebelumnya belum pernah dilihatnya itu. Sementara itu pemilik warung itu berkata, “Yang seorang bernama Watang Cemani sedang yang lain adalah Lembu Panenggak. Keduanya adalah kawan-kawanku terdekat”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya, Mahisa Pukat pun bertanya, “Sedangkan Ki Sanak sendiri?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Jawabnya, “Namaku Dandang Panumping”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Sementara itu, pemilik warung yang menyebut dirinya bernama Dandang Panumping itu berkata, “Tetapi anak-anak muda, sebagai penjual di warung itu namaku adalah Ki Pugutrawe”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Mereka harus mengingat-ingat nama itu. Di warung ia harus memanggil orang itu Ki Pugutrawe.
Dalam pada itu, maka Ki Pugutrawe itu pun kemudian berkata, “Sudahlah, Aku sudah kesiangan hari ini. Aku akan segera menyusul daganganku. Sebentar lagi orang-orang akan memerlukan makan pagi. Dan aku harus melayani mereka”
Demikianlah, maka pemilik warung yang menyebut dirinya bernama Ki Pugutrawe itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dipersilahkan kembali ke dalam biliknya. Hari itu mereka masih belum mempunyai tugas apapun juga. Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mendapat kesempatan untuk kembali ke dalam biliknya sementara Pugutrawe masih berpesan,
“Kedua orang yang akan memberi kalian bimbingan ini tinggal di rumah ini pula. Mereka ada di gandok sebelah Timur. Namun demikian kalian harus ikut menjaga, agar rumah ini nampaknya tetap lengang dan tidak penuh dengan orang-orang yang dapat menarik perhatian. Jika tidak penting sekali, kalian jangan berkeliaran di halaman depan. Sementara halaman rumah ini telah aku bawakan dengan kesibukan orang-orang yang membantu aku sebagai pemilik warung itu. Mereka adalah orang-orang yang setiap kali datang menjual kayu bakar, daun pisang dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sebuah pedati dengan orang-orang yang memelihara lembunya dan beberapa orang untuk kepentingan-kepentingan lain”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat gambaran yang agak lengkap dengan isi rumah itu. Karena itu, maka mereka pun kemudian telah kembali ke dalam bilik untuk beristirahat. Ketika mereka duduk di serambi, maka orang yang bertubuh raksasa itu datang mendekat. Kemudian ia pun duduk pula di sebelah mereka sambil bertanya, “He, dari mana kalian mendapat ilmu iblis kalian itu? Anak-anak yang masih semuda kalian mampu mempermainkan aku. Sebenarnyalah aku benar-benar menjadi marah terhadap kalian”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau memiliki modal yang luar biasa. Tetapi kau tidak sempat mengembangkan ilmumu lebih jauh. Kau mempunyai kekuatan raksasa sesuai dengan tubuhmu”
“Ya. Aku memang tidak sempat. Tetapi aku akan mencari waktu khusus untuk itu. Aku mudah mendapat ijin dari Pugutrawe untuk melakukannya” berkata orang bertubuh raksasa itu, “he, apakah kalian mau berlatih bersama aku?”
“Apakah di sini tidak ada orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku agak segan dengan Watang Cemani dan Lembu Penenggak. Mereka adalah orang yang terlalu bersungguh-sungguh dalam banyak hal” jawab orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menurut pengamatan mereka yang hanya sekilas, kedua orang itu nampaknya memang pendiam dan tidak banyak bicara. Selama mereka berada di ruang dalam, keduanya sama sekali tidak menunjukkan sikap yang ramah. Wajah keduanya memang nampak selalu bersungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun kemudian bertanya kepada, raksasa itu, “Bagaimana anggapanmu tentang kami? Apakah kau mengira bahwa kami tidak selalu bersuugguh-sungguh, sehingga kau tidak segan menyatakan niatmu kepadaku?”
“Jangan mengada-ada. Aku tahu, kalian bukan orang-orang garang. Ketika kalian terlibat dalam perkelahian yang seru, kalian masih sempat mempermainkan aku” jawab orang bertubuh tinggi besar itu, “dengan demikian aku menganggap bahwa kalian memang orang-orang yang tidak terlalu kaku, dan bahkan sedikit mempunyai sifat Jenaka”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Sukurlah jika masih ada orang yang menganggap kami demikian. Sebenarnyalah kami adalah orang-orang yang kasar dan sama sekali tidak mengenal gurau”
“Omong kosong” sahut raksasa itu, “bagaimana sifat dan keadaan, aku ingin mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmu meskipun hanya dalam kesempatan yang terbatas”
Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Kita dapat mengatur waktu. Aku belum tahu, kewajiban apakah yang harus aku lakukan. Tetapi aku kira, bahwa aku tidak hanya akan berada di rumah ini. Rumah ini hanyalah sekedar tempat persinggahan untuk memberikan laporan-laporan dan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang kami perlukan”
Orang itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang lain. Mereka pada umumnya memang tidak tinggal di rumah ini” orang itu berhenti sejenak, Lalu, “Nah, jika demikian, mumpung kalian untuk sementara masih berada di rumah ini”
Mahisa Pukat pun mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku setuju. Besok kita akan mulai, apakah di sini ada sanggar yang memadai?”
“Tidak usah dengan sanggar. Kita dapat berlatih di tempat terbuka. Di halaman belakang yang rimbun oleh pepohonan. Tetapi sudah barang tentu di malam hari”
“Apakah bunyi gaduh yang timbul tidak akan menarik perhatian?” bertanya Mahisa Murti.
“Kita dapat mempergunakan tempat yang paling sepi, tempat yang agak jauh dengan tetangga dan tempat-tempat yang dihuni orang di halaman ini” jawab orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya memang tidak berkeberatan. Apalagi Pututrawe sudah memberi ijin kepada orang bertubuh raksasa itu. Meskipun agaknya Pututrawe bukan orang tertinggi, tetapi ia tentu memiliki pengaruh yang besar di antara mereka.
Namun sementara itu, selagi mereka masih berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan latihan untuk meningkatkan ilmu masing-masing, maka mereka tertegun ketika mereka melihat Watang Cemani muncul dari sudut rumah itu dan berada di serambi.
“Oh” orang bertubuh raksasa itu tergagap, “marilah”
“Aku akan berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab Watang Cemani dengan wajah yang sama sekali tidak berubah. Wajah yang selalu nampak bersungguh-sungguh.
“Silahkan” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Aku memerlukan mereka di ruang dalam” gumam Watang Cemani.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian bangkit sambil bersiap-siap untuk mengikuti Watang Cemani.
“Kau tinggal di sini” berkata Watang Cemani kepada orang bertubuh tinggi besar itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku tinggal di sini”
Watang Cemani pun kemudian meninggalkan serambi itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikutinya menuju ke ruang dalam. Diruang itu telah menunggu Lembu Penenggak. Seperti Watang Cemani, maka wajah Lembu Panenggak pun nampaknya selalu bersungguh-sungguh.
“Marilah anak-anak” desis Lembu Panenggak dengan suara yang datar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di hadapan Lembu Panenggak, sementara Watang Cemani pun telah duduk pula di samping Lembu Panenggak.
“Ada yang ingin kami ketahui tentang kalian” berkata Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi mereka tidak menjawab.
“Siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan kalian berdua kemari?” bertanya Lembu Panenggak
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Sudah kami ceriterakan, bagaimana kami dapat mencapai tempat ini”
“Ya. Tetapi siapakah yang memerintahkan kalian” ulang Lembu Panenggak dengan nada berat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Senapati dari Singasari yang memimpin sepasukan prajurit di Talang Amba untuk menghadapi pasukan Pangeran Lembu Sabdata”
Lembu Panenggak mengerutkan keningnya. Wajan memancarkan perasaan yang sulit ditebak. “Anak-anak” berkata Lembu Panenggak kemudian, “sebenarnya aku merasa heran, bahwa seorang Senapati memerintahkan kalian untuk datang kemari dalam tugas sandi. Apakah Senapati itu tidak mempunyai petugas-petugas sendiri-sendiri, sehinggah merekalah yang akan mendapat tugas yang berat ini. Petugas-petugas sandi memerlukan latihan khusus untuk melaksanakan tugasnva. Sedangkan kalian adalah anak-anak ingusan yang di samping tidak mengenal paugeran dan kebiasaan-kebiasaan dalam tugas sandi ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Kami memang tidak mendapat latihan apapun dalam tugas ini. Kami hanya merasa terpanggil untuk membantu menjernihkan kekeruhan yang terjadi di Talang Amba. Namun kami pun tertarik keadaan keganjilan-keganjilan yang terjadi di Kediri, bahwa menurut pendengaran kami, ada semacam salah paham yang telah terjadi setelah Pangeran Singa Narpada kembali dari Talang Amba”
“Hanya itu?” bertanya Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung, sehingga Mahisa Murti pun bertanya, “Aku tidak tahu yang kau maksudkan”
“Ternyata kalian memang anak-anak yang bodoh. Dengar baik-baik” berkata Lembu Panenggak, “apakah hanya karena itu maka kalian merasa terpanggil? Apakah kalian tahu, dimanakah letak istana Kediri. Di mana istana Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata dan Pangeran Kuda Permati. Apakah kalian mengenal salah seorang dari keluarga mereka sehingga kalian akan dapat mencari hubungan untuk mengetahui persoalan yang berkembang di antara mereka. Apalagi apakah kalian mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitar Sri Baginda untuk mendapatkan penjelasan tentang sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin bingung. Sambil menggeleng Mahisa Pukat itu pun menjawab, “Tidak. Kami tidak tahu apa-apa tentang semuanya itu. Sekali lagi aku katakan, bahwa kami hanya merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Talang Amba dan Gagelang. Jika kami terlempar ke tempat ini, sebenarnya hanyalah kelanjutan saja dari sikap kami. Namun kami tidak terlalu bodoh untuk mendengarkan keterangan tentang semua yang belum kami ketahui. Kami ternyata mampu menemukan rumah ini dan berhubungan dengan Dandang Penumping”
Wajah Lembu Panenggak menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan sorot mata tajam. Sementara itu terdengar ia berkata, “Kau semakin menunjukkan kebodohan. Mencari Dandang Penumping bukan satu soal yang dapat dibanggakan. Anak anak kecil pun akan dapat melakukannya. Tetapi yang aku tanyakan adalah bobot dari alasanmu datang kemari dan jangkauan pengetahuanmu tentang medan yang akan kau hadapi”
“Semuanya sudah kami katakan” jawab Mahisa Pukat “apa lagi”
“Kami meragukan keterangan kalian yang kalian katakan kepada Dandang Penumping dan kepada kami” berkata Lembu Panenggak.
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Pukat berkata lantang, “Terserah. Itu hakmu. Tetapi kami memakai cincin yang diberikan oleh seorang Senapati dari Singasari.
“Kami juga meragukan keaslian cincin itu” jawab Lembu Panenggak itu dengan tegas.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang dan suara yang bergetar Mahisa Pukat menjawab, “Ternyata kami justru telah meragukan kalian berdua. Ternyata kalian tidak dapat mengenali keaslian cincin yang kami pakai. Dengan demikian maka kalian berdua bukan seorang yang tahu pasti akan pertanda yang sudah disiapkan oleh Singasari”
Sementara itu Mahisa Murti pun menyambung, “Kau sudah menempatkan dirimu pada keadaan yang sulit dalam pandangan kami. Seandainya kalian tidak mengenal cincin ini sebagai cincin yang memang benar-benar diserahkan oleh seorang pemimpin dari lingkungan petugas sandi, maka kau memang pantas dicurigai. Apalagi karena kau sudah berhasil memasuki rumah ini, satu lingkungan yang menurut pendapat kami, pasti merupakan lingkungan dari banyak lingkungan para petugas sandi, sebaiknya jika alasan itu hanya sekedar alasan, ketidak percayaan kalian terhadap kami berdua, maka kau telah menempatkan dirimu berhadapan langsung dengan Senapati yang telah memberikan cincin itu kepada kami. Siapa pun kami, betapapun bodoh dan dungunya kami berdua, tetapi kami sudah mendapatkan kepercayaan itu dari Senapati yang berwenang memberikan pertanda itu kepada kami. Dengan demikian, maka jika kau tidak mengakui pertanda ini, maka sepantasnya kau mendapat perhatian khusus dari Singasari”
“Anak-anak gila” geram Lembu Panenggak. "Kalian mulai mengancam dengan cara yang sudah terlalu sering dipergunakan oleh orang-orang seperti kalian. Tetapi semuanya itu tidak ada gunanya. Kalian akan tetap dianggap sebagai orang-orang yang telah dengan sengaja menyusup ke dalam lingkungan kami”
“Bagus” jawab Mahisa Pukat, “kau mau apa?”
Wajah orang itu menjadi merah, sementara itu Mahisa Murti melanjutkan, “Itulah sebabnya, maka Singasari dengan penuh kebijaksanaan telah mengirimkan orang ketiga bersama kami. Orang yang akan mengawasi kami tetapi juga akan melindungi kami. Orang yang berasal dari lingkungan keprajuritan Singasari sendiri”
Ketegangan nampaknya telah mencengkam jantung Lembu Panenggak. Dipandanginya Watang Cemani sejenak. Namun kemudian Lembu Panenggak itu tertawa. Katanya, “Sekarang kami semakin yakin bahwa kalian memang orang yang tidak pantas berada di antara kami. Seorang petugas sandi yang sebenarnya tidak akan menyebut orang lain dari lingkungannya, yang akan dapat membuka jalur menelitian terhadap kawan-kawannya. Dengan menyebut orang ketiga, maka kalian telah menyatakan diri, bahwa kalian memang bukan orang-orang yang pantas menyebut diri petugas sandi”
Kedua anak muda itulah yang menjadi semakin tegang. Tetapi Mahisa Pukat dengan segera menjawab, “Kau memang jauh lebih bodoh dari yang aku duga. Kau kira dalam hubungan sandi, aku dapat menunjukkan seseorang. Jika kalian menuduh bahwa kami telah menyeret seorang lagi di antara kami ke dalam malapetaka, maka kau sama sekali tidak mengerti tubuh dari petugas sandi. Tidak seorang pun yang tahu, siapakah yang mendampingi dan mengawasi. Tetapi dengan penuh kesadaran bahwa orang itu ada di sekitar kami. Nah, apa katamu”
Lembu Panenggak menggeretakkan giginya. Katanya, “Sikap kalian sangat sombong. Kalian sangka, apakah kalian akan dapat menyelamatkan diri dari tangan kami. Kami akan menangkap kalian. Kami tidak mempedulikan Dandang Penumping. Setelah kalian berdua kami selesaikan, maka barulah kami akan melaporkannya kepada Dandang Penumping”
Wajah Mahisa Pukat pun telah, membara. Katanya, “Jika benar kami memasuki mulut serigala, maka kami tidak akan membiarkan diri kami untuk dikunyah. Tetapi kami akan memotong tenggorokan serigala itu dan membunuhnya. Karena itu, jangan menganggap bahwa kami akan menyerah. Kami akan menyerah bersama lepasnya nyawa kami”
“Omong kosong” geram Lembu Panenggak, “kami mampu menangkap kalian dan memeras keterangan tentang orang ketiga yang kau sebut”
Mahisaa Murti pun yang kemudian menjawab dengan suaranya bergetar, “Sebenarnya kami menghormati kalian berdua. Tetapi kami bukan kambing perahan yang dapat kau perlakukan sekehendak hati. Kami akan mempertahankan diri sampai batas terakhir daria kemampuan kami, apapun kalian akan bertempur berdua saja, atau kalian masih ingin memanggil kawan”
“Gila” geram Lembu Panenggak, “darahku sudah mendidih. Apakah kau tidak menyadari, bahwa sikap kalian akan membawa akibat yang lebih buruk dari mati”
“Akibat apapun tidak akan dapat memaksa kami untuk menyerahkan leher kami. Bersiaplah. Kita akan menentukan, siapakah di antara kita yang pantas berada di rumah ini menunggu kedatangan Dandang Panumping” tantang Mahisa Murti.
Dalam pada itu Watang Cemani pun telah bergeser mendekati Lembu Panenggak. Wajahnya pun menjadi tegang dan sikapnya menjadi garang. Namun dalam pada itu, Lembu Panenggak menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kalian benar-benar sudah jemu hidup”
“Jangan aneh-aneh” berkata Mahisa murti, “jika kalian ingin berbuat sesuatu yang menarik kalian adalah benar, maka lakukanlah sebagaimana kami pun akan berbuat sesuai dengan keyakinan kami”
Lembu Panenggak memandang kedua anak muda itu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata kalian masih beruntung. Dalam keadaan yang menentukan, aku mendengar kedatangan seseorang yang tidak perlu tahu tentang keadaan rumah ini meskipun ia terbiasa keluar masuk tanpa hambatan”
“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.
Lembu Panenggak terdiam sejenak. Di luar memang terdengar langkah seseorang. Sejenak kemudian, pintu berserit. Sebuah kepala muncul menjenguk ke dalam.
“He” desis orang itu, “apa yang sedang kalian lakukan?”
Lembu Panenggak yang tegang, tiba-tiba saja menjadi ramah dan menjawab, “Tidak apa-apa Kiai. Marilah”
Orang itu melangkah masuk. Dilihatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang agaknya belum dikenalnya. Dengan ramah orang itu menyapanya, “Siapa kalian? Aku yang setiap hari datang kemari, belum pernah melihat kalian berdua di sini”
“Keduanya adalah saudara Pugutrawe” jawab Lembu Panenggak mendahului Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang termangu-mangu.
“Oh” orang itu mengangguk-angguk, “kebetulan sekali ada kalian sekarang ini. Tolong, ambilkan aku kelapa muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Sebelum mereka menjawab orang itu mendesak, “Ayo. Jangan ragu-ragu. Pugutrawe sendiri sering memanjat untuk mengambil kelapa muda bagiku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu. Karena itu maka orang itu pun semakin mendesaknya, “Cepat. Kenapa kalian hanya mematung saja?”
Dalam pada itu sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab, maka Lembu Panenggaklah yang menyahut, “Baiklah kiai. Biarlah seseorang mengambil kelapa muda itu untuk Kiai. Tetapi bukankah salah seorang dari keduanya”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Kenapa dengan dua orang anak ini? Apakah mereka memang pemalas?”
“Mereka baru saja datang, sehingga keduanya masih terlalu letih untuk memanjat sebatang pohon kelapa” jawab Lembu Panenggak.
Orang itu mengangguk-angguk katanya “Terserah, siapa saja yang akan memanjat. Aku memerlukan dua buah kelapa muda itu”
Lembu Panenggak dan Watang Cemani pun tiba-tiba telah meninggalkan ruangan itu mengikuti orang yang ingin mendapat dua butir kelapa muda itu dengan meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat begitu saja.
Beberapa saat lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu di tempatnya. Namun akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita kembali ke bilik kita”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya kemudian meninggalkan ruang itu dan kembali ke dalam bilik mereka berdua. Ketika mereka sampai ke bilik mereka, orang yang bertubuh tinggi besar itu ternyata justru telah tertidur dengan nyenyaknya di lantai, tanpa alas apapun juga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membangunkannya. Justru keduanya telah berbaring di pembaringannya.
“Orang itu agaknya memang gila” geram Mahisa Pukat, “jika keduanya menyusul kemari, apa boleh buat. Bukan salah kita jika terjadi sesuatu”
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku kurang mengerti, apakah sebenarnya yang baru saja terjadi”
“Yang kau maksud, apakah mereka benar-benar akan melakukan seperti yang dikatakannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang perasaanku pun condong untuk menduga demikian. Tetapi kita harus tetap berhati-hati”
“Aku mengerti” jawab Mahisa Murti, “karena itu, kita jangan sampai tertidur bersama-sama. Apakah itu siang, apakah malam hari”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya, “Bagaimanapun juga kedua orang itu memang aneh”
Dalam pada itu, Watang Cemani, Lembu Panenggak dan orang yang ingin mendapatkan dua butir kelapa itu pun terhenti di sudut kandang, beberapa langkah dari sebatang pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, tetapi buahnya cukup lebat.
Namun ternyata mereka tidak mencari orang untuk memanjat pohon kelapa itu. Sementara itu, dengan kata-kata yang bernada dalam, Lembu Panenggak berkata, “Keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang tinggi. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan atau gentar ketika aku menggertaknya. Bahkan mengancamnya untuk membunuh”
Orang yang menginginkan dua butir kelapa muda itu tertawa. Katanya, “Kau justru telah hanyut ke dalam arus perasaanmu. Agaknya kau benar-benar menjadi marah”
“Jawaban anak-anak itu memang membuat telinga ini menjadi merah” jawab Lembu Panenggak, “Aku hampir kehilangan pengamatan diri. Anak-anak itu sama sekali tidak mengenal takut. Mereka menantang kami dengan tatag”
“Menurut pengamatanku, keduanya memang pantas untuk berada dalam lingkungan petugas sandi” berkata Watang Cemani.
Orang yang mengatakan ingin mendapat dua butir kelapa muda itu mengangguk-angguK. Lalu katanya, “Kalian harus membuat laporan terperinci kepada Dandang Penumping”
“Ya. Watang Cemani akan pergi ke warungnya. Ia berpesan, agar segala sesuatunya segera dilaporkan tanpa menunggu ia kembali” berkata Lembu Panenggak.
“Tetapi jangan sampai terjadi salah paham. Kedua anak itu jangan sampai meninggalkan tempat ini karena perlakuanmu” berkata orang yang ingin mendapatkan kelapa muda itu.
“Menilik sikapnya yang keras, mereka tidak akan pergi. Bahkan keduanya telah siap untuk bertahan jika ada seseorang yang memaksanya untuk pergi. Ia merasa sudah mendapatkan haknya untuk tinggal di sini. Selain ciri yang dipakainya yang didapatkannya dari Singasari, ia pun merasa sudah diterima oleh Dandang Penumping” berkata Lembu Panenggak.
“Baiklah” berkata orang yang menyebut dirinya ingin mendapatkan kelapa muda itu, “tetapi pada suatu saat, mereka harus mengerti bahwa kalian tidak bersungguh-sungguh. Menilik sikap mereka yang keras, maka mereka tidak akan mudah melupakan mereka yang keras, maka mereka tidak akan mudah melupakan peristiwa ini jika kalian tidak memberikan penjelasan kepada keduanya”
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya, “Hatiku benar-benar terbakar. Untunglah aku selalu menyadari tugasku. Tetapi biarlah Dandang Penumping yang mengatakan kepada anak-anak itu. Selama aku bertugas, aku belum pernah mengalami kekerasan sikap seperti itu”
“Keduanya adalah adik Mahisa Bungalan. Senapati besar yang keras hati” berkata Watang Cemani, “bukanlah sifat itu nampakjuga pada keduanya?"
Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian orang yang mengatakan memerlukan dua buah kelapa muda itu pun kemudian berkata, “Aku benar-benar akan mengambil kelapa muda”
Lembu Panenggak tidak mencegahnya Orang itu kemudian memanjat dengan cekatan. Dalam waktu yang singkat, dua buah kelapa muda sudah terjatuh dari tangkainya.
“Sudahlah” berkata orang itu, “Aku akan pergi. Aku akan datang menjelang malam. Hati-hatilah dengan anak-anak muda itu. Jika kau ingin melakukan, sesuatu, sebaiknya kau hubungi aku seperti yang tadi kau lakukan”
“Baiklah” jawab Lembu Panenggak, “mudah-mudahan keduanya akan mampu dikendalikan dengan baik sesuai dengan tugas.
Demikianlah, maka orang yang membawa dua butir kelapa muda itu pun minta diri. Ia sempat sungguh di ruang yang telah kosong. Namun orang itu mengerti, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu sudah berada di biliknya, sehingga ia pun singgah pula sejenak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika seseorang memasuki bilik mereka. Demikian pintu berderit, maka keduanya telah berdiri tegak menghadap pintu. Namun yang berdiri di pintu itu adalah orang yang memerlukan dua butir kelapa muda.
“Aku sudah mendapatkan kelapa muda itu anak-anak” berkata orang itu.
“Oh, sukurlah” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Kami mohon maaf bahwa kami tidak dapat mengambil kelapa muda itu”
“Oh, tidak apa-apa. Bukankah yang penting bahwa aku telah mendapatkannya” berkata orang itu. Lalu, “Baiklah, beristirahatlah. Aku akan pulang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka memandangi saja ketika orang itu kemudian meninggalkan biliknya tanpa menutup pintu. Sekilas orang itu sempat melihat raksasa yang tidur sambil mendekur.
“Pemalas itu tidur di sini” desis orang itu sambil melangkah pergi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika Mahisa Pukat menutup pintu bilik itu, maka orang bertubuh tinggi besar yang tertidur itu pun telah terbangun.
“Oh, ada apa dengan kalian?” bertanya raksasa itu.
“Tidak ada apa-apa” jawab Mahisa Pukat.
“Orang itu mengusap matanya sambil bangkit dan duduk bersandar dinding. Katanya, “Aku bermimpi ada orang yang baru saja memasuki bilik ini”
“Kau tidak bermimpi. Memang ada orang yang baru saja keluar dari bilik ini. Ia sempat melihat kau tidur mendekur” jawab Mahisa Pukat.
“Karena itu, aku memang bermimpi. Tidak mungkin aku mendengar kehadirannya sambil mendekur” jawab raksasa itu.
“Mungkin” jawab Mahisa Murti, “tetapi di dalam mimpimu siapakah yang telah datang ke bilik ini?”
Orang itu menggeleng. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri "Aku tidak mengenalnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu memang sedang bermimpi, jika ia tidak bermimpi, maka seharusnya ia mengerti siapakah orang yang menginginkan kelapa muda itu.
Dalam pada itu ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali berbaring di pembaringan mereka, maka Lembu Panenggak telah meninggalkan rumah itu. Sebagaimana biasa, ia hanya mengenakan pakaian orang kebanyakan. Dengan sebuah keba dari pandan yang dikepitnya, ia pun berjalan tergesa-gesa meninggalkan regol halaman menuju ke warung Pugutrawe.
Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Rumah Pugutrawe memang sering didatangi oleh banyak orang. Kadang-kadang menawarkan kayu bakar. Kadang-kadang daun pisang atau beras. Tetangga-tetangganya mengetahui bahwa Pugutrawe membuka sebuah warung nasi dan beberapa jenis makanan. Meskipun warung itu pada mulanya tidak terlalu besar. Tetapi agaknya warung itu berkembang dengan baik, sehingga semakin lama semakin besar sebagaimana warung-warung yang lain di sekitar warungnya.
Seandainya tempat pertemuan beberapa jenis barang itu masih tetap seramai sebelumnya, maka perkembangan warung Pugutrawe tentu semakin baik. Tetapi keramaian tempat itu semakin lama nampaknya semakin susut. Apalagi pada saat-saat terakhir, kadang-kadang timbul kekerasan yang dapat membuat orang-orang kecil dipengaruhi juga oleh perkembangan persoalan yang lebih besar. Kekurangan yang terjadi di Kediri memang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan putaran perdagangan rakyat kecil.
Apalagi di daerah perbatasan yang sejak tersingkirnya Pangeran Kuda Permati menjadi daerah yang sangat rawan. Kadang-kadang muncul orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Memungut pajak dan barang-barang sesuai dengan kehendaknya sendiri, sementara Kediri masih belum sempat melindungi orang-orang yang terpaksa menuruti kehendak para pengikut Pengeran Kuda Permati.
Persoalan inilah yang disoroti dengan tajamnya oleh para petugas sandi dari Singasari. Ketika Lembu Panenggak memasuki warung Pugutrawe, maka beberapa orang telah berada di dalam warung itu. Seorang yang bertubuh gemuk sedang sibuk menyuapi mulutnya dengan nasi dan lauk pauknya. Semetara orang lain yang bertubuh kurus, tengah menikmati minuman panasnya. Sekali-sekali terdengar mulutnya berdesis, segumpal demi segumpal ia mengunyah gula kelapa. Kemudian dihirupnya wedang sereh yang panas dari mangkuknya.
Lembu Panenggak menelan ludahnya Rasa-rasanya ia pun telah menjadi sangat haus. “Wedang sere” tiba-tiba Lembu Penenggak memesan minuman, “gulanya jangan dimasukkan ke dalam wedang sere itu”
Pugutrawe tersenyum. Katanya, “Buat sendirilah”
Lembu Panenggak menarik nafas dalam-dalam. Orang bertubuh kurus yang sedang menikmati minuman panas itu pun memandanginya sejenak. Namun ia pun kemudian tidak memperhatikannya lagi. Ketika kemudian Pugutrawe memberikan mangkuk itu kepada Lembu Panenggak, maka Lembu Panenggak itu pun berdesis, “Aku sudah memanggil kedua anak muda itu”
Pugutrawe tersenyum. Perlahan-lahan ia bertanya, “Bagaimana kesanmu atas mereka?”
“Aku kagum kepada mereka. Mereka mempunyai tekad yang sangat teguh. Tetapi mereka masih kekanak-kanakan. Mereka memerlukan beberapa petunjuk untuk mengendalikan perasaan mereka."
Pugutrawe mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduganya. Dalam pada itu, Lembu Panenggak pun telah duduk pula sambil meneguk wedang serenya. Beberapa orang memandanginya. Nampaknya orang yang sedang meneguk wedang sere sambil mengunyah gula kelapa itu sudah terlalu biasa berada di warung itu.
Pugutrawe melihat tatapan mata beberapa orang yang sedang berada di warungnya itu. Karena itu, maka katanya kemudian kepada orang gemuk yang sudah selesai makan, “Ini adalah adikku”
Orang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa-rasanya aku pernah melihatnya”
“Agaknya di warung ini juga. Ia sering berada di warung ini jika haus atau lapar. Tetapi ia malas untuk membantu aku bekerja di sini” berkata Pugutrawe.
Orang yang gemuk itu pun menyahut sambil mengusap mulutnya, “Seharusnya ia tidak boleh malas. Lalu apa kerjanya sehari-harinya?”
“Disawah” jawabi Pugutrawe.
“Oh, Artinya ia bekerja juga. Bukan sekedar bermalas-malasan meskipun tidak membantu di warung ini” berkata orang gemuk itu, “memang seseorang dapat memilih pekerjaannya sendiri. Aku juga tidak mau bekerja di warung seperti ini. Aku lebih suka menjadi tengkulak hasil bumi seperti yang aku lakukan sekarang. Jika aku lapar, aku dapat membeli makanan di warung-warung yang tersebar”
“Orang lain akan memilih tugas yang lain pula” orang bertubuh kurus itu pun tiba-tiba menyahut.
“Itulah bijaksananya yang memberikan rejeki kepada kita masing-masing dengan cara yang berbeda-beda, sehingga kita tidak saling berebut pada pilihan yang sama” berkata Pugutraewe.
Orang-orang yang berada di warung itu mengangguk-angguk. Sementara itu Lembu Panenggak masih saja menghirup minumannya sambil tersenyum di dalam hatinya. Dalam pada itu, maka satu dua orang yang berada di dalam warung itu sudah melangkah keluar. Seorang lain memasuki warung itu dengan tidak mengacuhkan orang-orang lain yang sudah ada di dalamnya. Sambil memungut sepotong makanan dari tambir yang berada di atas paga, maka ia pun berkata, “Apakah kau mempunyai tuak?”
Pugutrawe menggeleng. Jawabnya, “Sayang Ki Sanak. Aku tidak mempunyai persediaan tuak”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengunyah makanannya ia memesan, “Wedang tape”
Pugutrawe pun kemudian sibuk membuat wedang tape buat orang itu, sementara Lembu Panenggak sempat memperhatikan orang itu dengn saksama. Namun kemudian ia pun berdiri sambil berdesis di telinga Pugutrawe, “Aku sebaiknya pergi saja”
“Ya. Tetapi bagaimana dengan anak-anak itu? Beri mereka kesan yang baik sehingga mereka tidak salah paham atas sikapmu yang barangkali dianggapnya terlalu kasar” berkata Pugutrawe kemudian.
“Aku justru hampir kehilangan kesabaran” jawab Lembu Panenggak “Untunglah, aku masih sempat mengekang diri”
“Baiklah” berkata Pugutrawe kemudian, “mereka akan segera dapat melakukan tugas mereka”
“Jangan tergesa-gesa. Biarlah ia berada di sini lima enam hari, sebelum mereka benar-benar melakukan pekerjaan itu” berkata Lembu Panenggak.
Pugutrawe mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat menjawab ketika orang yang-memesan wedang tapi itu berteriak, “He apakah kau tidak mendengar pesanku”
“Oh. maaf Ki Sanak” berkata Pugutrawe sambil membawa mangkuk berisi wedang tape yang masih panas dengan gula kelapa yang langsung di masukkan ke dalam mangkuk pula.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Lembu Panenggak telah berada di luar warung. Tetapi ia tidak segera meninggalkan warung itu. Ternyata ia pergi menuju ke deretan pande besi yang sedang sibuk membuat alat-alat pertanian.
“He” seorang tukang pande yang sudah terbiasa dengan Lembu Panenggak meskipun dengan nama yang berbeda, “apakah kau akan membeli parang atau cangkul?”
Lembu Panenggak kemudian berjongkok di sebelah tukang pande itu. Katanya, “Bukankah baru saja aku membeli cangkul. Kenapa kau tidak bekerja?”
“Beristirahat sejenak. Aku baru saja makan” jawab pande besi itu.
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Tiga orang pembantu tukang pande itu pun masih beristirahat setelah mereka makan. Dari tempat itu Lembu Panenggak mengamati warung yang baru ditinggalkannya. Didalam ada orang yang pernah dikenalnya sebagai salah seorang yang sering menyatakan dirinya sebagai pemungut pajak bagi perjuangan yang panjang.
“Orang itu tentu mempunyai jalur dengan Pangeran Kuda Permati meskipun jalur itu panjang dan berbelit” berkata Lembu Panenggak di dalam hatinya.
Tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu di dalam warung itu. Beberapa saat ia menunggu. Sampai saatnya tukang pande itu bangkit dan berkata, “Aku akan bekerja lagi”
“Oh, silahkan” jawab Lem bu Panenggak. Sementara itu seseorang telah berada di ububannya. Dengan kedua tangannya ia menekan penghembus di dalam ububannya berganti-ganti, sehingga api pun mulai menyala besar.
Dari tempatnya Lembu Panenggak melihat orang yang berada di dalam warungnya itu satu demi satu ke luar, sementara orang lain pun masih seorang demi seorang. Memang tidak terlalu penuh seperti warung-warung lain yang lebih besar. Namun warung Pugutrawe itu pun mulai berkembang pula. Ia menarik nafas ketika ternyata orang yang dikenalnya sebagai pemungut pajak itu pun telah melangkah ke luar.
Dengan demikian maka orang yang sering memungut pajak menurut kehendaknya sendiri, meskipun berlandaskan satu tugas juga, tetapi tugas yang tidak dapat dipertanggung jawabkan itu, tidak membuat keributan di warung Pugutrawe. Karena itu, maka Lembu Panenggak itu pun kemudian meninggalkan pande besi yang sudah mulai bekerja itu, kembali ke rumah yang dihuninya.
Ketika ia memasuki regol halaman, dilihatnya Watang Cemani berada di pendapa. Dengan serta merta ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kedua orang anak muda itu?”
“Mereka masih tetap berada di dalam biliknya” jawab Watang Cemani.
“Aku yakin mereka tidak akan pergi. Hati mereka ternyata sekeras baja” berkata Lembu Panenggak.
“Apa kata Dandang Penumping?” bertanya Watang Cemani.
Lembu Panenggak kemudian menceriterakan pertemuannya dengan Pugutrawe dan tanggapan Pugutrawe atas laporannya tentang kedua anak muda itu.
“Menurut aku, biarlah Dandang Penumping yang mengatakan tentang diri kita dalam hubungan dengan usahamu menjajagi tekad mereka” berkata Watang Cemani, “jika aku atau kau yang menyampaikannya maka keduanya akan sulit untuk mengerti. Kecurigaan mereka tidak akan mudah terhapus”
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya, “Dandang Penumping tentu tidak akan berkeberatan”
Sebenarnyalah, bahwa Pugutrawe memang tidak berkeberatan ketika Lembu Panenggak minta kepadanya, setelah ia pulang dari warungnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di tempatnya, meskipun keduanya kemudian duduk di serambi. Namun keduanya sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.
Ketika Pugutrawe mengatakan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa Lembu Panenggak tidak bersikap sebagaimana dilakukan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak terkejut lagi. Mereka memang sudah menduga, menilik beberapa peristiwa yang telah terjadi sebelumnya atas keduanya. Namun dalam pada itu. Dandang Penumping itu pun telah memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka akan tetap berada di rumah itu untuk dua tiga pekan.
“Dari rumah ini kau akan dapat mengenali keadaan di daerah perbatasan ini” berkata Dandang Penumping.
Senapati Singasari di Talang Amba juga menyebut daerah itu dengan daerah perbatasan. Sehingga dengan demikian maka petunjuk yang dikatakan oleh Dandang Penumping itu mereka terima dengan senang hati.
“Dalam waktu dua atau tiga pekan, kalian akan melihat-lihat keadaan Kediri dari daerah perbatasan ini, sebelum kalian benar-benar akan memasuki medan. Kalian memerlukan pengenalan yang lebih dalam tentang Kediri, orang-orang yang menghuninya dan sikapnya. Baru kemudian kau akan merambah ke pengenalan yang lebih khusus lagi. Karena sebenarnyalah, bukan hanya kau berdua yang merasa perlu untuk mengetahui sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada, Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Lembu Sabdata”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Dandang Penumping berkata selanjutnya, “Tetapi bukan berarti bahwa kehadiran kalian adalah sia-sia. Semakin banyak orang yang membantu dalam tugas ini akan terasa semakin baik. Tetapi sudah barang tentu tidak sembarang orang. Mereka harus orang-orang terpilih. Karena itu maka kalian berdua telah mengalami berbagai macam penjajagan sebelum kalian benar-benar akan terjun. Bahkan aku akan berkata terus terang, bahwa dalam waktu dua tiga pekan ini pun masih merupakan semacam pendadaran bagi kalian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berdesis, “Aku mengerti”
“Sukurlah. Karena itu, maka dalam waktu dua tiga pekan, kalian akan lebih banyak mendengar dan melihat. Di hari-hari tertentu kau dapat berada di warung itu”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menjadi pembantu Pugutrawe di warungnya. Keduanya dalam ujud orang kebanyakan, telah membantu menyiapkan pesanan-pesanan orang-orang yang berada di warung Pugutrawe. Pada hari-hari pertama Pugutrawe masih harus banyak memberikan petunjuk-petunjuk. Namun kemudian keduanya pun dengan cepat dapat melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Pugutrawe.
Selain menunggui warung itu, maka kadang-kadang dengan Lembu Panenggak dalam ujudnya sebagai orang kebanyakan, kadang-kadang keduanya berada di tempat para pande besi bekerja. Bahkan Mahisa Pukat kadang kadang duduk sambil menekan tangkai ububan dengan kedua tangannya berganti-ganti.
Ternyata kedua anak muda itu cepat sekali menyesuaikan diri dengan kehidupan di sekitar warung itu. Bahkan keduanya pun dengan cepat telah mengenal gadis-gadis yang sering berada di tempat itu untuk menjual hasil pekarangan atau mereka yang memang berjual beli bermacam-macam barang dan hasil bumi.
Tetapi tidak banyak gadis-gadis dan perempuan yang sering mengunjungi warung warung. Kebanyakan dari mereka telah membawa bekal sendiri dari rumah mereka. Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat sikap beberapa orang yang kurang wajar. Yang kadang-kadang nampak terlalu kasar. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghubungkan mereka dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati yang telah meninggalkan Kota Raja.
“Tetapi Pangeran itu sangat berani. Ia tetap berada di daerah perbatasan” gumam Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada hari-hari tertentu berada di warung Pugutrawe, maka ia telah banyak mendapat petunjuk-petunjuk. Baik dari Pungutrawe sendiri maupun Lembu Panenggak atau dari Watang Cemani.
Untuk kedua kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seseorang yang mengalami kesulitan karena orang itu telah menyelamatkan kudanya dari para pengikut Pangeran Kuda Permati. Dengan kasar orang-orang Pangeran Kuda Permati memaksa pemilik kuda itu untuk mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual kuda itu untuk mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual miliknya yang lain. Dengan diam-diam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk mengetahui rumah orang yang dipersalahkan karena menyelamatkan kudanya itu.
“Hati-hatilah” berkata Pugutrawe, “kau tahu siapa kau berdua dan siapakah orang-orang itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa mereka harus melakukan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab. Karena itulah, maka keduanya tidak begitu saja mencari rumah orang itu, tetapi dengan ketajaman ingatan mereka, maka mereka berusaha untuk tetap mengenali orang itu dan menjumpainya di pasar itu pada saat-saat yang lain.
Ternyata bahwa usaha kedua anak muda itu berhasil, tanpa menimbulkan kecurigaan. Orang itu pada suatu saat telah berdiri di muka warung Pugutrawe. Meskipun orang itu semula tidak ingin masuk kedalam warung namun Mahisa Murtilah yang kemudian sambil tersenyum mempersilahkan. Orang itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang anak muda sambil tersenyum berdiri di muka pintu warung itu.
“Silahkan Ki Sanak” desis Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia pun telah masuk ke warung itu. “Wedang jae” minta orang itu.
Mahisa Pukatlah yang kemudian menyiapkan wedang jahe untuk orang itu. Adalah kebetulan bahwa pada saat itu tidak banyak orang berada di dalam warung itu. Dua orang duduk terpencar, sementara orang yang kehilangan kudanya itu duduk menyendiri.
Mahisa Pukat yang menyerahkan wedang jae itu dengan nada sekedar ingin tahu bertanya, “Ki Sanak. Bagaimana dengan kuda Ki Sanak itu?”
“Apa maksudmu?” bertanya orang itu
“He” desis Pugutrawe, “jangan mencampuri persoalan yang kau tidak tahu ujung dan pangkalnya”
“Ah, tidak paman” jawab Mahisa Pukat, “dua hari yang lalu, aku melihat Ki Sanak ini mengalami kesulitan. Aku memang tidak tahu persoalannya. Tetapi aku hanya ingin tahu, bukankah tidak terjadi sesuatu”
“Sudahlah” Mahisa Murti memotong, “jangan terlalu banyak ingin tahu”
Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Dua orang yang berada di warung itu pun mengerutkan keningnya. Namun mereka sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Dari pembicaraan yang pendek itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil satu kesimpulan bahwa benar orang itulah yang mereka maksudkan.
Demikian ketika orang itu kemudian meninggalkan warung itu, maka Mahisa Murti sempat mengamati, kemana saja orang itu singgah. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat menduga, tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh orang itu, dan kepada mereka Mahisa Murti akan menanyakan rumahnya.
“Kenapa kau tanyakan rumah orang itu?” bertanya seorang penjual kurungan ayam.
“Aku harus mengembalikan uangnya” jawab Mahisa Murti, “paman Pugutrawe salah menghitung harga makanan yang dibelinya. Aku sudah menganjurkan agar biar saja uang itu disimpan di warung. Lain kali jika ia datang kita kembalikan. Atau jika orang itu sudah lupa, apa boleh buat”
“Ah, jangan begitu. Kau masih muda, tetapi kau sudah mempunyai pikiran buruk” desis penjual kurungan itu.
“Tidak. Tidak sebenarnya. Aku hanya bergurau” sahut Mahisa Murti, “tetapi dimana rumahnya”
Penjual kurungan itu pun kemudian menjawab tanpa curiga, “Karang Kembar. Sebuah padukuhan kecil di sebelah utara gumuk karang itu”
“Jauh?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Tidak. Itu gumuknya kelihatan dari ujung padukuhan ini” jawab penjual kurungan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berusaha untuk mencari rumah orang itu. Penjual kurungan itu telah memberikan ancar-ancar dimana letak rumahnya di padukuhan dekat gumuk karung.
“Letaknya tidak terlalu dalam” berkata Mahisa Murti hanya sekitar tiga atau empat rumah dari mulut lorong padukuhan itu”
Dengan pengamatan seorang pengembara, maka usaha mereka pun segera berhasil. Keduanya dengan cepat menemukan rumah yang dikehendaki. Sebuah rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas. Beberapa buah kurungan ayam bertebar di halaman, berisi ayam aduan yang terpilih. Dipinggir halaman itu terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi tidak ada seekor kuda pun di dalam kandang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memasuki halaman rumah itu dengan sikap seorang kemenakan pemilik warung. Keduanya nampaknya agak ketakutan dan berjalan menyusuri pinggir halaman. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seorang perempuan berada di seketheng, maka keduanya pun segera mendekat. Dengan sangat hati-hati Mahisa Murti menanyakan apakah pemilik rumah itu ada.
“Untuk apa?” bertanya perempuan itu.
“Ada pesan dari Paman Pugutrawe. Pemilik warung di pasar prapatan itu” jawab Mahisa Murti.
“Apa pesannya?” bertanya perempuan itu.
“Paman minta aku menyampaikan sesuatu” jawab Mahisa Murti.
Perempuan itu mengamati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejenak. Namun pada kedua anak muda itu nampak sikapnya yang sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan nampaknya keduanya justru agak ketakutan. Karena itu, maka perempuan itu pun berkata, “Tunggulah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menunggu di tangga pendapa. Karena perempuan itu tidak mempersalahkan mereka, maka mereka tidak berani naik ke pendapa itu. Dengan demikian, maka keduanya hanya duduk saja di tangga pendapa sambil berbicara perlahan-lahan. Mereka menunggu untuk waktu yang cukup lama. Baru kemudian seorang laki-laki muncul, tidak di pendapa, tetapi dari seketheng juga.
Ketika laki-laki itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun segera mengenali bahwa kedua orang anakmuda itu adalah kemanakan Pugutrawe.
“Ada apa?” bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun dengan terbongkok-bongkok mendekatinya. “Aku mendapat pesan dari paman Pugutrawe” berkata Mahisa Murti dengan kepala tunduk.
“Pesan apa?” bertanya orang itu, “bukankah aku sudah membayar makanan dan minuman yang aku ambil”
“Justru paman ternyata salah menghitung. Ada sisa uang pada paman Pugutrawe” berkata Mahisa Murti, “Aku mendapat pesan untuk mengembalikannya”
“O” orang itu mengangguk-angguk, “Aku, aku masih berhutang kepada pamanmu. Jika hanya tersisa sedikit saja, sebenarnya kau tidak perlu datang kemari”
“Paman takut. Sisa uang orang lain kadang-kadang dapat mengganggu ketenangan hati paman” berkata Mahisa Murti, “dahulu paman pernah mendapat bayaran lebih karena kesalahan paman menghitung. Ternyata hampir setiap malam paman selalu diganggu oleh anak-anak kecil di dalam tidurnya”
“Thuyul” desis orang itu sambil tertawa, “he, kau kira aku juga memelihara thuyul seperti itu? Tidak anak-anak. Aku mencari rejeki dengan cara yang wajar”
“Thuyul” ulang Mahisa Pukat, “paman tidak pernah menyebutnya”
“Ya. Orang yang memiliki uang milik orang lain dengan tidak sah seperi kelebihan pembayaran karena kesalahan pamanmu itu memang dapat dituntut dengan gangguan pada tidurnya di setiap malam” berkata orang itu, “tetapi karena aku tidak mempunyai thuyul, maka pamanmu tidak akan mengalami gangguan seperti itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun sambil mengeluarkan beberapa keping uang kecil, maka Mahisa Murti pun berkata, “Bagaimana pun juga, paman sudah jera. Inilah kelebihan itu”
Orang itu tertawa lagi. Diterima juga beberapa keping uang kecil itu. Katanya, “Baiklah. Terima kasih”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian minta diri. Dengan tidak sengaja Mahisa Murti memandang ke arah kandang kuda yang kosong itu sambil bertanya, “Dimanakah isi kandang itu?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sebenarnya mempunyai dua ekor kuda. Seekor telah diambil oleh orang-orang gila itu. Sedangkan seekor yang lain telah aku berikan kepada kemanakanku. Tetapi yang kemudian justru menjadi persoalan. “Ya. Itulah akibatnya. Mereka menganggap aku dengan sengaja menyingkirkan kuda yang oleh mereka dianggap sangat berguna itu” jawab orang itu.
“Mereka siapa,“ bertanya Mahisa Murti seakan-akan tidak sengaja.
Orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun karena Mahisa Murti bertanya seakan-akan tanpa maksud apapun juga, orang itu justru menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang gila”
“Gila” ulang Mahisa Murti, “Aku tidak tahu maksudmu”
“Sudahlah, jika kau tidak tahu, pulanglah. Katakan bahwa aku berterima kasih kepada pamanmu, bahwa ia telah mengembalikan sisa uangku. Meskipun tidak seberapa, tetapi hal itu menunjukkan kejujurannya”
“Oh” Mahisa Murti mengangguk, “baiklah. Akan aku katakan kepada paman”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian meninggalkan orang itu. Tetapi beberapa langkah dari kandang yang kosong itu Mahisa Murti berhenti dan berkata, "Apakah kandang ini tidak akan diisi lagi”
"Aku tidak sebodoh itu untuk mengisinya lagi. Bukankah dengan demikian aku hanya akan membuang uang saja, karena kuda itu akan mereka ambil lagi” jawab orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Mahisa Pukat dengan sikap yang bodoh bertanya, “Jadi, apakah orang itu dapat mengambil milik sesamanya begitu saja?
“Tentu tidak. Tetapi mereka bukan orang kebanyakan” jawab orang itu.
“Mereka lagi” desis Mahisa Pukat, “tentu orang-orang gila itu”
“Ya” jawab orang itu. Lalu, “Tetapi sudahlah. Pergilah”
“Baiklah” jawab Mahisa Murti. Namun katanya kemudian. "Tempat ini terasa sangat sejuk. Apakah pada kesempatan lain aku diperkenankan datang lagi kemari meskipun tanpa keperluan apapun, sekedar untuk menikmati kesejukan udara di sini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kenapa tidak boleh. Asal kau tidak menimbulkan persoalan di sini, maka aku tidak akan berkeberatan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian minta diri. Di regol halaman keduanya mengangguk sekali lagi. Kemudian keduanya pun hilang di balik regol halaman itu.
Ketika kedua anak muda itu telah keluar dari regol halaman dan berjalan menyusuri jalan pedukuhan, maka Mahisa Murti pun berkata, “Satu hal yang kita ketahui dengan pasti. Pangeran Kuda Permati memang sedang mengumpulkan kuda bagi pasukannya. Dengan demikian, maka pasukan Pangeran Kuda Permati telah dipersiapkan menjadi pasukan yang mampu bergerak dengan cepat"
“Ya. Tetapi yang kurang aku mengerti. Pangeran itu serta orang-orangnya dapat melakukannya di daerah ini tanpa kesulitan” berkata Mahisa Pukat, “rakyat daerah ini seakan-akan sama sekali tidak mendapat perlindungan atas harta benda mereka."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita menjadi semakin tertarik untuk melihat-lihat Kediri secara keseluruhan. Apakah yang sebenarnya terjadi di antara para pemimpin di Kediri. Jika yang terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata itu hanya sekedar kesalahan langkah Pangeran Lembu Sabdata yang dibakar oleh dendamnya terhadap Talang Amba, maka sebenarnya yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata itu justru telah mengganggu rencana mereka secara utuh”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. "Memang ada beberapa macam kemungkinan dapat terjadi. Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan itulah mereka kemudian berada di Kediri”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di dalam warung Pugutrawe lagi, maka warung itu telah menjadi semakin sepi seperti warung-warung yang lain. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti sempat memberikan laporan kunjungannya ke rumah orang yang telah di rampas kudanya.
“Jika demikian, kalian akan dapat melihat, apakah masih ada orang yang mempunyai kuda dikandangnya pada saat ini” berkata Pugutrawe.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Malam nanti kami akan melihat”
Sebenarnyalah, ketika malam kemudian turun di atas padukuhan-padukuhan di daerah perbatasan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan rumah Dandang Panumping yang juga disebut Pugutrawe. Dalam keheningan malam keduanya telah melihat-lihat padukuhan yang di siang harinya telah mereka kunjungi. Mereka ingin melihat, apakah masih ada kandang di antar kandang di padukuhan itu yang berisi kuda. Beberapa saat keduanya berkeliling. Namun beberapa kandang yang mereka temui memang sudah kosong sama sekali.
“Kuda-kuda itu sudah diungsikan” berkata Mahisa Pukat.
“Mereka tidak akan berani melakukannya” jawab Mahisa Murti, “orang yang menyingkirkan kudanya, justru akan mengalami kesulitan yang lebih besar lagi. karena ia harus menukar kuda yang disingkirkan itu dengan seekor kuda yang besar dan tegar, sehingga mereka justur akan menjual miliknya yang lain untuk membeli kuda itu. Jika mereka tidak ingin mengalami kesulitan dan bahkan barangkali lebih dari sekedar kesulitan”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berkata, “Tetapi mungkin masih ada juga kuda yang belum diambil. Agaknya mereka mengambil kuda-kuda itu tidak bersama-sama”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka meneruskan langkah mereka, mengelilingi padukuhan itu dengan diam-diam. Setiap kali mereka berhenti untuk memperhatikan kandang yang berada di halaman, apakah di dalam kandang itu masih ada seekor kuda.
“Hanya kudalah yang mereka ambil” berkata Mahisa Pukat, “kerbau dan sapi di biarkan saja di dalam kandang mereka”
Namun kemudian Mahisa Murti itu berkata, “Tetapi mungkin pada suatu saat akan datang giliran, sapi, dan kambing pun akan dibawa oleh orang-orang itu”
Mahisa Pukat pun menyahut, “Mungkin. Hal itu memang mungkin sekali”
Sementara itu, langkah mereka pun tertegun ketika mereka mendengar ringkik seekor kuda. Keduanya segera mengetahui, bahwa di sebuah kandang masih terdapat seekor kuda. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendekati kandang itu. Di dalam kandang itu terdapat seekor kuda yang cukup besar dan tegar. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya saling berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis didalam rumah pemilik kuda itu.
“Bukan tangis seorang bayi” berkata Mahisa Murti, “tetapi tangis anak-anak yang sudah pandai membantu ayahnya di sawah” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi dengan hati-hati ia melangkah mendekati dinding rumah yang lengang itu. Yang terdengar hanyalah tangis seorang anak yang sudah besar terisak-isak.
“Sudahlah” terdengar suara yang berat. “Tidak ada gunanya kau tangisi kuda itu”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya saling berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis di dalam rumah pemilik kuda itu.
“Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu ayah?” bertanya anak yang menangis itu.
“Tidak anakku. Kuda-kuda yang lainnya telah diambil pula. Besok datang giliran kuda kita” jawab ayahnya, “Aku pun sayang sekali dengan kuda itu. Kuda itu aku beli dengan memeras keringat. Aku menabung sekeping demi sekeping. Namun akhirnya aku harus melepaskannya begitu saja”
Anaknya masih manangis. Katanya, “Bagaimana jika kita berusaha mempertahankan kuda itu ayah”
“Bagaimana kita akan mempertahankan” sahut ayahnya.
“Kita melawan orang-orang yang datang mengambil kuda itu” berkata anaknya.
“Kau tentu tahu akibatnya jika hal itu kita lakukan. Mereka bukannya orang yang tidak berkawan di sini. Ada satu kelompok yang kuat dibangun di daerah perbatasan ini. Jika kita mencoba melawan, maka kita akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar” berkata ayahnya. Lalu, “Sudahlah. Kau sudah bukan kanak-kanak lagi yang pantas untuk menangis. Kau sudah terlalu besar untuk menitikkan air mata. Apalagi kau adalah seorang laki-laki” berkata ayahnya.
“Tetapi kuda itu” jawab anaknya, “kuda itu sudah seperti saudaraku sendiri”
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Bagaimanapun juga, kita tentu lebih sayang kepada nyawa kita. Pada suatu saat, jika Tuhan Yang Maha Pemurah akan mengganti. Mungkin jauh lebih baik dari Dawuk yang akan diambil itu”
“Betapapun baiknya kuda yang mungkin dapat kita beli kelak ayah, tetapi kuda itu tentu bukan Dawuk itu” jawab anaknya.
Ayah terdiam sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Marilah kita belajar menerima satu kenyataan”
Anaknya tidak menyahut. Tetapi masih terdengar isak tangisnya yang tertahan-tahan. Untuk beberapa saat pembicaraan antara ayah dan anak itu terhenti. Namun tiba-tiba saja terdengar lagi suara anak itu, “Apakah kita tidak dapat minta perlindungan kepada siapa pun juga? Bukankah kita berada di dalam wewenang Kediri?”
“Sudahlah” suara ayahnya menjadi berat, “Kita harus mengiklaskannya”
“Bagaimana jika kita melaporkan hal ini kepada penguasa yang berwenang melindungi kita?” bertanya anaknya pula, “apakah mereka akan tetap membiarkan kita hidup dalam bayangan kekuasaan sekelompok orang yang selalu merampas harta benda kita?”
“Kapan mereka merampas harta benda kita seenaknya” ayahnya justru bertanya, “bukankah mereka baru sekali ini datang mengambil kuda kita. Itu pun baru akan terjadi besok. Sebelumnya kita tidak pernah merasa kehilangan apapun juga”
“Tetapi kuda yang satu ini lain ayah. Bagaimana jika kita tukar saja kuda itu dengan kuda yang lain” betanya anaknya pula.
“Mereka telah datang dan melihat kuda itu” jawab ayahnya, “Aku tidak akan dapat menukarnya” ayahnya berhenti sejenak Lalu, “Sudahlah. Jangan melawan kekuatan yang tidak akan terlawan. Jika kau mengikhlaskannya, maka beban hati kita justru akan menjadi ringan. Kita akan berdoa, semoga kita kelak akan mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dari yang hilang itu”
Anaknya tidak menjawab lagi. Isaknya yang tertahan-tahan pun sudah menjadi semakin menurun.
“Tidurlah” berkata ayahnya, “besok kita harus bekerja di sawah”
Anaknya tidak menjawab. Agaknya anak itu hanya mengangguk saja.
Sejenak kemudian terdengar pintu berderit dan pembaringan yang berderak. Agaknya anak itu benar-benar ingin menerima satu kenyataan seperti yang dikatakan oleh ayahnya dan berusaha untuk tidur. Tetapi ternyata bahwa anak itu tidak ingin tidur.
Namun dalam pada itu, keadaan pun menjadi hening. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidak melihat apa yang terjadi di dalam bilik anak itu, perlahan-lahan bergeser menjauh. Tetapi mereka pun ternyata tidak segera pergi. Keduanya telah pergi ke kandang untuk sekali lagi memperhatikan kuda yang disebut dengan Dawuk itu.
Warna bulu kuda itu memang dawuk. Nampaknya kuda itu tegar dan kuat. Tetapi lebih dari itu, anak yang menangis itu tentu merasa bahwa kuda itu sudah terlalu akrab dengan dirinya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika mereka mendengar pintu berderit. Dengan serta merta mereka bergeser dan bersembunyi di belakang kandang yang berada di halaman depan itu.
Sejanak mereka menunggu. Perlahan lahan pintu depan rumah itu telah terbuka. Seorang anak yang umurnya berusia antara empat belas tahun telah keluar dengan sangat hati-hati. Dengan kaki berjingkat ia menyeberangi pendapa dan turun ke halaman. Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Pukat. Tanpa berbicara sepatah kata pun keduanya mengerti, bahwa mereka perlu untuk mengikuti anak itu.
Tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya, anak itu berjalan dalam keremangan malam tanpa mengenal takut. Tetapi ia menghindari regol jalan padukuhan, karena di mulut lorong itu terdapat beberapa orang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan diam-diam telah mengikutinya. Mereka berjalan lewat jalan sempit yang menuju ke regol kecil pada dinding padukuhan itu. Regol yang tidak pernah mendapat perhatian.
“Apakah kita akan bertanya?” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng sambil Berbisik, “Jangan. Kita biarkan saja ke mana anak itu pergi. Baru kemudian, barangkali kita dapat bertanya ketika ia kembali”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat. Karena jika mereka bertanya lebih dahulu, maka mungkin anak itu mengurungkan niatnya.
Dalam pada itu, maka anak itu pun telah menelusuri jalan-jalan bulak. Angin malam yang sejuk menampar wajah anak itu. Sekali-sekali tangannya mengusap wajahnya yang terasa semakin dingin. Namun anak itu tidak kembali. Ternyata bahwa anak itu anak yang cerdas. Meskipun ia tergesa-gesa, namun ia masih sempat juga berpikir untuk menghindari padukuhan. Ia lebih senang melingkar dan tidak mau berjalan lewat padukuhan karena anak itu tidak mau bertemu dengan para peronda.
Beberapa buah bulak sudah dilewati. Anak itu akhirnya menuju ke sebuah padukuhan yang besar. Namun seperti yang dilakukan, ia menghindari jalan-jalan besar dan pintu-pintu regol induk padukuhan. Jika terpaksa ia harus melintasi padukuhan, maka ia lebih senang lewat regol yang sepi, atau bahkan meloncat dinding. Ia baru mau memasuki regol induk, jika ia pasti, bahwa di regol itu tidak ada peronda.
Namun dalam pada itu, langkah anak itu pun terhenti. Dua orang yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan bayangan gerumbul semak-semak telah mendekati anak itu dengan tergesa-gesa. Anak itu terkejut. Ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi kedua orang itu agaknya lebih cepat memotong jalan kembali anak yang kemudian menjadi ketakutan itu
“He” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu, “kau siapa?”
Suaranya menjadi lebih lunak dari sikapnya ketika kedua orang itu melihat, bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang anak yang masih remaja.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tergesa-gesa pula ia telah bersembunyi di belakang semak-semak yang tersebar. Namun keduanya berusaha untuk dapat lebih dekat kepada anak itu untuk dapat mendengar pembicaraan mereka.
Karena anak itu tidak segera menjawab, maka salah seorang dari kedua orang itu mengulangi, “Siapa kau. Dan malam-malam begini kau akan pergi ke mana?”
Anak itu termangu-mangu. Namun yang seorang lagi dari kedua orang itu berkata, “Katakan, barangkali aku dapat membantumu. Jusrtru karena kau pergi malam-malam begini, tentu ada kepentingan yang sangat mendesak”
Kata-kata yang lembut itu telah menumbuhkan keberanian pada anak itu. Karena itu, maka dengan suara parau ia berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut”
“Ke rumah Ki Buyut malam-malam begini. Ada apa?” bertanya orang itu pula.
Anak itu menjadi ragu-ragu pula. Tetapi kemudian ia pun menjawab, “Aku akan mengadu”
“Mengadu? Apa yang telah terjadi? Kenapa kau yang pergi ke rumah Ki Buyut? Bukan ayahmu atau orang lain yang lebih tua dari kau” bertanya orang itu.
“Ayah tidak mau, dan ibu tidak berani. Karena itu, aku merasa berkewajiban untuk melakukannya” jawab anak itu.
“Apa sebenarnya yang telah tejadi? Mungkin kami berdua dapat membantumu, meyakinkan Ki Buyut atau langkah-langkah lain yang lebih baik” berkata salah seorang dari keduanya”
“Aku akan mohon perlindungan kepada Ki Buyut. Besok kudaku akan diambil dengan paksa” jawab anak itu.
“Kuda?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
“Ya. Kudaku akan diambil oleh orang-orang yang tidak dikenal. Ayah tidak berani menolak, karena menolak akan dapat berarti bencana. Karena itu, maka ayah condong untuk menyerahkan saja kuda itu. Tetapi kuda itu adalah kuda yang sangat baik bagiku. Bahkan seakan-akan seperti saudaraku sendiri”
Kedua orang yang mendengarkan ceritera anak itu termangu-mangu. Sejenak kemudian keduanya mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka berkata kepada kawannya. "Laporan ini bukannya satu-satunya. Persoalan ini merupakan persoalan yang tidak akan dapat dibiarkan berlarut-larut”
“Biarlah anak ini bertemu dengan Ki Buyut sebagaimana di kehendaki” sahut yang lain. Lalu katanya kepada anak itu, “Marilah. Aku antar kau kepada Ki Buyut”
Anak itu termenung sejenak. Namun satu pertanyaan yang kemudian timbul justru setelah ia dekat dengan rumah Ki Buyut, “Tetapi apakah kedatanganku malam-malam begini tidak membuat Ki Buyut marah?”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka bertanya, “jika demikian, kenapa kau pergi juga malam-malam begini?”
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Besok kuda itu sudah akan diambil”
“Karena itu, marilah. Jangan bertanya apakah Ki Buyut akan marah atau tidak” jawab salah seorang dari keduanya.
Demikianlah, maka anak itu pun telah mengikuti kedua orang itu menuju ke pedukuhan yang agak lebih besar dari padukuhan-padukuhan yang lain. Anak itu tidak perlu lagi mencari jalan masuk padukuhan itu dan menghindari orang-orang yang sedang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatlah yang kemudian harus mencari jalan mereka sendiri. Kedua orang yang membawa anak itu memasuki regol padukuhan. Beberaa orang peronda menjadi heran melihat kedua orang itu membawa seorang anak remaja. Namun ketika seseorang bertanya tentang anak itu, maka salah seorang dari yang membawanya itu menjawab, “Besok aku beritahu kalian, apa yang telah terjadi dengan anak ini”
Orang-orang yang meronda itu tidak bertanya lagi. Dua orang itu ternyata adalah dua orang bebahu padukuhan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat memasuki padukuhan itu pula. Mereka dengan tergesa-gesa telah meloncat dari halaman ke halaman yang lain, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke sebuah lorong yang terbesar di padukuhan ini. Menurut pengalaman mereka, maka jalan itu tentu akan menuju ke rumah Ki Buyut dan banjar padukuhan. Karena itu, maka keduanya pun kemudian menelusuri jalan itu dengan hati-hati. Mereka berusaha untuk tidak diketahui oleh siapapun. Apalagi oleh para peronda.
Sebenarnyalah, maka langkah mereka tertegun ketika mereka melihat sebuah obor pada sebuah regol yang lebih besar dari regol-regol yang lain. Ketika dengan hati-hati keduanya mengamatinya, maka keduanya yakin bahwa regol itu tentu regol rumah Ki Buyut. Ketika dengan diam-diam keduanya menjenguk dinding halaman maka mereka pun telah melihat kedua orang yang membawa anak yang akan kehilangan kudanya itu sudah duduk di pendapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak puas sekedar melihat dari kejauhan. Mereka pun kemudian berusaha untuk lebih mendekat dan apabila mungkin dapat mendengarkan pembicaraan anak itu dengan Ki Buyut yang sedang dibangunkan oleh seorang peronda.
Agaknya Ki Buyut memang sudah berpesan. Jika ada sesuatu yang penting, seseorang supaya membangunkannya dengan mengetuk dinding di arah senthong-tengen.
Dengan kemampuan mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berhasil meloncat masuk. Dengan sangat hati-hati mereka bersembuhyi di belakang semak-semak yang ada di halaman samping. Namun di sekitar pendapa itu sama sekali tidak terdapat tanaman apapun juga, sehingga sulit bagi mereka untuk dapat mendekat dan mendengarkan pembicaraan dengan jelas.
Tetapi keduanya berputus-asa. Keberanian mereka sebagai pengembara telah membawa mereka untuk mendekat dan berlindung di bayangan sudut pringgitan. Ternyata dua buah keranjang rumput bagi persediaan ternak Ki Buyut berguna bagi kedua anak muda itu untuk sekedar menyamarkan diri dalam kegelapan malam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menumpuk kedua keranjang itu dan meletakkannya pada jarak yang memungkinkan keduanya berada di antaranya dengan dinding sudut pringgitan. Ternyata dari tempat mereka, keduanya akan dapat mendengar pembicaraan antara Ki Buyut dengan anak yang tidak mau kehilangan kudanya itu.
“Tunggulah sebentar” berkata salah seorang dari ke dua bebahu itu. “Ki Buyut tentu akan segera keluar. Seorang peronda sedang membangunkannya.”
Anak itu tidak menjawab. Namun sikap kedua orang bebahu itu tidak membuatnya agak tenang. Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Ki Buyut telah terbangun. Setelah membenahi diri, maka ia pun segera keluar dari biliknya. Bagi Ki Buyut, jika para peronda membangunkannya, tentu ada yang penting telah terjadi.
Ketika ia keluar dari pintu depan, dilihatnya dua orang bebahu duduk di pendapa bersama seorang anak yang masih remaja. Dengan dahi yang berkerut, Ki Buyut itu betanya, “Apakah kalian yang berkepentingan dengan aku?”
“Ya Ki Buyut” jawab salah seorang dari kedua orang bebahu itu.
Ki Buyut pun mengangguk-angguk, kemudian duduk pula bersama mereka. Sejenak kemudian, maka ia pun bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Anak ini akan menyampaikan satu persoalan kepada Ki Buyut. Persoalan yang sudah tidak dapat kita abaikan lagi”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian dengan suara datar ia bertanya, “Persoalan apakah yang kau maksud?”
Bebahu itu memandang anak yang tidak ingin kehilangan kudanya itu. Katanya, “Laporkan semuanya kepada Ki Buyut. Jangan takut”
Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah menceriterakan kepada Ki Buyut apa yang dialami oleh keluarganya. Satu-satunya kuda yang dimilikinya akan diambil oleh orang yang tidak dikenal. Tetapi orang-orang itu sangat menakutkan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar ia berkata, “Sudah lebih dari sepuluh laporan yang sampai kepadaku tentang hal seperti ini. Aku kira masih banyak lagi di antara mereka yang tidak melaporkan kepadaku. Entah karena segan atau karena takut”
“Apakah hal semacam ini akan kita biarkan saja Ki Buyut?” bertanya bebahu itu.
“Pertanyaanmu aneh” jawab Ki Buyut, “bukankah kau sudah tahu jawabnya?”
“Kita harus mencari jalan” jawab bebahu itu.
Ki Buyut itu pun termangu-mangu. Katanya hampir kepada diri sendiri, “Aku tidak ada pilihan. Aku tahu bahwa orang orang yang mengambil kuda itu di dukung oleh satu kekuatan yang tidak terlawan, meskipun tidak nampak dengan jelas. Bukankah kalian juga mengetahui? Setiap kali persoalan itu di sampaikan kepadaku, maka setiap kali jantungku terasa akan terlepas”
“Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak dapat membiarkannya terjadi untuk seterusnya Ki Buyut” berkata salah seorang bebahunya.
“Aku tahu. Tetapi aku tidak tahu, pemecahan yang manakah yang harus aku pilih” jawab Ki Buyut, “apakah aku harus mengerahkan semua orang laki-laki di Kabuyutan ini untuk melindungi hak milik kita yang akan dirampas oleh orang-orang yang kita sebut tidak dikenal itu, meskipun sebenarnya kita dapat mengenal mereka? Seandainya aku lakukan juga hal itu, apakah bukan berarti bahwa lebih dari tiga perempat laki-laki akan mati dan hasilnya, seisi Kabuyutan ini justru akan mereka rampas. Bukan hanya kuda, tetapi juga isi peti-peti yang kita sembunyikan”
“Ki Buyut, apakah kita tidak dapat mencari jalan, untuk mohon perlindungan kepada pimpinan pemerintahan di Kediri misalnya?” bertanya bebahu itu.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua bebahu itu berganti-ganti. Kemudian katanya, “Apa yang dapat dilakukan oleh Panji Sempana Murti? Aku kira Panji Sempana Murti bukannya tidak tahu apa yang telah terjadi di sini. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa”
Kedua bebahu itu mengerutkan keningnya. Namun salah seorang di antara keduanya bertanya, “Kenapa? Bukankah Panji Sempana Murti mempunyai wewenang di daerah ini? Seandainya kita tidak melewati Panji Sempana Murti dan langsung melaporkan persoalan-persoalan di daerah ini kepada para perwira pengawal di Kediri dan apalagi Singasari, maka Panji Sempana Murti akan marah kepada kita”
“Ya” jawab Ki Buyut. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian, Panji Sempana Murti tidak ingin mengalami nasib seperti Pangeran Singa Narpada”
“Kenapa dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya salah seorang dari kedua orang bebahu itu.
“Jangan seperti kanak-kanak yang berlagak bodoh” jawab Ki Buyut.
“Kami memang tidak mengetahui” desis seorang dari kedua orang bebahu itu.
“Jangan berpura-pura. Tetapi baiklah, aku sebut saja, bahwa Pangeran Singa Narpada justru ditangkap setelah ia berhasil menangkap Pangeran Lembu Sabdata yang dianggap telah melawan kekuasaan Kediri sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati” jawab Ki Buyut.
Kedua bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang di antara mereka berkata, “Aku sudah pernah mendengar tentang hal itu. Tetapi bukankah itu sekedar dugaan."
“Aku ingin mendengar alasan yang sebenarnya, kenapa Pangeran Singa Narpada telah ditahan pula. Mungkin cara Pangeran itu memaksa adiknya mengakui kesalahannya, sehingga yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata bukannya tentang keadaan yang sebenarnya, tetapi karena tekanan Pangeran Singa Narpada”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tidak seorang pun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Tetapi yang kita tahu, Pangeran itu telah ditahan, justru setelah ia berhasil mengatasi kesulitan yang timbul di Kabuyutan Talang Amba. Bukankah dengan demikian. Panji Sempana Murti akan menjadi ragu-ragu juga bertindak. Katakan ia berhasil menahan gerak Pangeran Kuda Permati, atau bahkan berhasil menangkapnya, belum tentu Panji Sempana Murti akan memperoleh ucapan terima kasih dari Sri Baginda. Mungkin justru Panji Sempana Murti akan mengalami nasib yang sama seperti Pangeran Singa Narpada”
“Tetapi seandainya demikian, maka Panji Sempana Murti tidak akan berdiri sendiri. Kami, semua rakyat Kabuyutan ini, akan membantu. Daerah perbatasan ini jangan menjadi daerah yang tidak berperlindungan. Sehingga apa saja dapat dilakukan atas orang-orang yang lemah” berkata salah seorang dari kedua bebahu itu.
Ki Buyut termangu-mangu. Sebenarnya peristiwa-peristiwa seperti itu benar-benar membuatnya pening. Namun ia masih belum menemukan pemecahan yang paling baik untuk mengatasinya.
Dalam pada itu, anak yang akan kehilangan kudanya itu mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdegupan. Namun dengan demikian, ia mendapat gambaran yang semakin jelas tentang orang-orang yang ingin merampas kudanya. Meskipun masih remaja, namun pikirannya sudah mampu mengurangi persoalan yang dihadapinya.
Ternyata bahwa sikap ayahnya kemudian justru dapat dimengertinya. Ayahnya tidak akan dapat melawan satu kenyataan tentang orang-orang yang tanpa belas kasihan mengambil kuda dan bahkan kelak barang-barang lain yang dikehendakinya. Apalagi ayahnya, sedangkan Ki Buyut pun mempunyai banyak kesulitan untuk menentang kehendak orang-orang yang tidak dikenal namun yang sebenarnya sudah dikenal itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengarkan pembicaraan itu pun menahan nafasnya. Mereka menjadi semakin jelas tentang persoalan yang terjadi di daerah perbatasan ini. Agaknya bukan hanya orang-orang yang berada di luar Kediri saja yang menjadi bingung terhadap sikap Seri Baginda di Kediri, tetapi orang-orang Kediri, justru Ki Buyut yang memerintah daerah perbatasan Kota Raja itu pun menjadi bingung pula. Bahkan Senapati yang menguasai daerah yang lebih luas dari sebuah Kabuyutan pun tidak dapat bertindak tegas, meskipun alasannya masih diduga-duga.
Karena itu, maka betapapun pedihnya, anak itu ternyata lebih kasihan kepada ayahnya daripada mempertahankan kudanya. Ia sadar, jika ia mempertahankan kudanya atau membawa kudanya itu lari dari rumahnya, maka akibatnya akan dapat mencekik ayahnya. Mungkin ayahnya hanya sekedar diancam dan dalam batas waktu tertentu iharus menyediakan seekor kuda, namun mungkin ayahnya akan mengalami kesulitan yang lebih parah lagi.
Tetapi sementara itu, ternyata kedua bebahu Kabuyutan itu telah berpikir lebih jauh lagi. Salah seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Ki Buyut. Selama ini kita masih belum yakin, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Panji Sempana Murti. Karena itu, aku berdua bersedia malam ini menghadap Panji Sempana Murti untuk menyampaikan persoalan anak ini. Bukan semata-mata persoalan anak ini, tetapi persoalan yang kita hadapi dalam keseluruhan. Sementara itu, kami akan minta Ki Jagabaya untuk bersiap-siap seandainya kita memang harus melakukan satu langkah yang lebih keras daripada yang kita lakukan selama ini”
Ki Buyut termangii-mangu. Namun kemudian katanya "Kita sedang kehilangan pegangan sekarang ini. Kita tidak tahu sikap yang pasti dari Sri Baginda terhadap Singasari. Hulah sumber dari segala keragu-raguan”
“Tetapi kita harus berbuat sesuatu. Jika langkah kta salah, apaboieh buat. Tetapi kita tidak dengan langsung menanggapi persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari, tetapi kita membatasi persoalan yang lebih kecil dan terbatas pada lingkungankita. Kita tidak dapat membiarkan seseorang, siapa pun orang itu, dengan sewenang-wenang merampas milik orang lain. Apa pun alasannya”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Baiklah. Pergilah kepada Panji Sempana Murti”
“Terima kasih atas ijin Ki Buyut. Kami tidak tahu, apa yang akan terjadi kemudian” jawab salah seorang dari kedua bebahu itu.
Sementara itu, maka bebahu yang lain pun berkata, “Kita harus segera berangkat. Tetapi bagaimana dengan anak ini”
“Biarlah anak itu pulang. Mungkin persoalan kudanya akan merupakan persoalan yang akan menjadi titik api yang dapat membakar suasana. Tetapi mungkin pula keluarganya harus menerima satu kenyataan, bahwa kuda itu memang harus diserahkan” jawab bebahu yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Buyut pun kemudian berkata, “Biarlah dua orang peronda mengantarkan anak itu pulang”
Demikianlah, maka kedua orang bebahu itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka ingin bergerak dengan cepat, sehingga mereka pun telah minta ijin Ki Buyut untuk mempergunakan kuda yang ada di Kabuyutan.
“Mungkin pada suatu saat kuda-kuda ini pun akan diambilnya pula” berkata bebahu itu.
Ki Buyut menjawab. Namun ia berdiri di tangga pendapa ketika kedua bebahu itu meninggalkan halaman. Katanya, “Kami akan singgah di rumah Ki Jagabaya”
Ki Buyut tidak menjawab. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser menjauh. Mereka berada tidak jauh dari kandang kuda ketika kedua bebahu itu mengambil dua ekor kuda dari kandang itu.
Sepeninggal kedua bebahu itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat Ki Buyut memerintahkan dua orang peronda untuk mengantarkan anak yang menangisi kudanya itu pulang. Namun ternyata sikap anak itu sudah berbeda. Ia tidak akan dapat mengorbankan ayahnya untuk mempertahankan kudanya. Bagaimanapun juga, ia harus mengerti bagaimana keadaan ayahnya menghadapi keadaan yang tidak akan mungkin dapat ditentangnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berbisik di telinga Mahisa Pukat, “Marilah. Kita juga harus segera melaporkan hal ini kepada Pugutrawe. Mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting untuk diketahui dari peristiwa yang dapat saja terjadi setiap saat”
“Tetapi bagaimana dengan anak itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dilihatnya dua orang peronda telah meninggalkan halaman Ki Buyut bersama anak yang akan pulang itu. “Anak itu akan pulang bersama dengan dua orang peronda” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Biarlah kita mengikuti kedua peronda itu. Rasa-rasanya kurang tenang juga membiarkan anak itu pulang hanya dengan dua orang peronda pada saat seperti ini”
Mahisa Murti mengerti perasaan Mahisa Pukat. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah. Kita akan mengikuti mereka sebagaimana saat anak itu berangkat”
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun lelah berloncatan dari dinding ke dinding halaman berikutnya. Ternyata bahwa mereka telah lebih dahulu berada di luar pedukuhan. Di tempat yang terlindung, mereka menunggu dua orang peronda yang mengantar anak yang melaporkan tentang kudanya itu lewat.
Ternyata mereka tidak usah menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, mereka pun segera melihat dua orang peronda yang mengantarkan anak itu melalui jalan yang juga dilalui saat anak itu pergi ke Kabuyutan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk mengikuti anak itu. Keduanya kurang yakin melihat sikap para peronda. Agaknya mereka adalah anak-anak muda Kabuyutan yang kurang mendapat tuntunan olah kanuragan, karena mereka adalah anak-anak muda yang berjaga-jaga menghadapi kerusuhan di Kabuyutan masing-masing di malam hari, terutama terhadap pencuri.
Dalam pada itu, beberapa bulak kecil telah dilewati tanpa mengalami gangguan apapun juga. Namun ketika mereka sampai di sebuah jalan yang menghadap ke sebuah bulak yang panjang kedua orang peronda itu menjadi ragu-ragu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengikuti mereka, namun sekali-sekali harus melingkari sebuah padukuhan apabila mereka melalui jalan di dalam padukuhan, justru telah menunggu di pinggir bulak itu, meskipun masih belum terlalu jauh dari mulut lorong di padukuhan yang haru saja dilingkarinya.
“Kenapa mereka belum juga lewat?” desis Mahisa lukat.
“Mungkin mereka beristirahat di padukuhan itu” jawab Mahisa Murti.
“Atau para peronda telah mencurigai mereka dan menahan mereka di gardu peronda” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Ah, tentu tidak. Kedua peronda itu tentu sudah saling mengenal dengan anak-anak muda sekabuyutan” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kedua peronda itu masih belum lewat. Mahisa Pukatlah yang kemudian kurang sabar. Karena itu,maka katanya, “Aku akan melihat mereka sebentar. Mungkin mereka sudah berada di ujung bulak ini”
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti pun mengikutinya pula, kembali mendekati padukuhan yang baru saja dilampaui. Keduanya kemudian melihat kedua peronda itu berjalan dengan ragu-ragu mengantarkan anak yang melaporkan tentang kudanya itu.
“Tidak apa-apa” justru anak itulah yang berjalan di paling depan. "Ketika berangkat aku berjalan sendiri”
“Kau berani pulang sendiri?” bertanya kedua peronda itu.
“Kenapa tidak” jawab anak itu.
Tetapi kedua perondaa itu ragu-ragu. Salah seorang dari keduanya berdesis, “Tetapi jika terjadi sesuatu, maka kami berdualah yang bertanggung jawab”
“Aku tadi juga pergi sendiri” berkata anak itu, “jika kalian akan kembali, kembalilah”
Tetapi salah seorang dari kedua peronda itu akhirnya menjawab, “Marilah. Mudah-mudahan tidak apa-apa. Bulak ini terkenal dengan kesuramannya”
“Jangan berkata begitu” potong kawannya.
“Ya. Aku tidak akan mengatakannya lagi” jawab yang pertama.
Demikianlah dengan ragu-ragu ketiga orang itu berjalan menyeberangi bulak panjang yang gelap. Ada beberapa batang pohon pelindung yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan. Di siang hari pohon-pohon itu sangat berarti bagi orang-orang yang berjalan kaki menyeberangi bulak. Dalam terik matahari, maka pohon-pohon itu akan dapat menjadi tempat berteduh yang sejuk.
Namun di malam hari pohon-pohon besar itu rasa-rasanya seperti bayangan hantu yang siap untuk menerkam. Apalagi sebatang randu alas yang tumbuh di tengah-tengah bulak itu. Pohon randu alas raksasa yang menakutkan. Tetapi anak muda yang melaporkan tentang kudanya itu tidak takut meskipun tidak lagi seperti saat berangkat, ia berjalan sambil sekali-sekali mengusap air matanya.
“Anak itu agaknya memang anak yang berani” desis Mahisa Pukat
“Ya. Bukan hanya sekedar terdorong oleh sakit hatinya karena ia akan kehilangan kudanya” jawab Mahisa Murti.
Dalam pada itu, justru kedua peronda itulah yang kelihatan menjadi ketakutan. Semakin mereka melangkah ke tengah bulak, maka langkah mereka pun menjadi semakin ragu-ragu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengikuti mereka. Keduanya berusaha untuk berada dalam jarak tertentu, sehingga keduanya tidak akan diketahui oleh mereka bertiga. Jika kedua orang peronda itu mengetahui hadirnya dua orang yang tidak mereka kenal, mungkin keduanya akan melarikan diri.
Semakin lama maka ketiga orang itu pun menjadi semakin ketengah bulak yang panjang itu. Mereka menjadi semakin dekat dengan pohon randu alas yang besar yang tumbuh di tengah-tengah bulak.
Kedua orang peronda itu justru melangkah semakin lamban karena bayangan pohon randu alas itu di mata mereka bagaikan bayangan seorang raksasa yang siap untuk menerkam.
Namun ternyata sebelum mereka bertiga sampai ke bayangan randu alas, langkah mereka telah terhenti. Betapa terkejut ketiga orang itu ketika tiba-tiba saja tiga orang meloncat dari dalam gerumbul di pinggir jalan. Kedua orang peronda itu rasa-rasanya hampir menjadi pingsan. Mereka menjadi gemetar ketika mereka melihat tiga orang berdiri bertolak pinggang di hadapan mereka.
“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Namun justru anak yang melaporkan kudanya yang akan diambil orang itulah yang menjawab, “kami adalah tiga orang peronda”
“Peronda” desis salah seorang dari ketiga orang itu, “kau juga?” ia bertanya kepada anak itu.
“Ya. Ayah tidak dapat meronda malam ini karena sakit. Aku mewakilinya” jawab anak itu. Bahkan anak itu pun sempat pula bertanya, “Kalian siapa?”
“Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka menjawab, “kami hanya melihat-lihat suasana saja. Kami mengawasi tata kehidupan Kabuyutan ini. Tidak boleh ada kecurangan yang terjadi”
“Kecurangan apa?” bertanya anak itu.
“Pergilah. Bukankah kalian meronda? Awasi, jangan ada pencuri” berkata salah seorang dari ketiga orang itu, “jika ada pencuri, kalian harus segera memukul isyarat”
Kedua peronda itu pun segera menggamit anak itu. Mereka berdua ingin segera meninggalkan ketiga orang yang tidak mereka kenal itu. Tetapi sebelum mereka melangkah, salah seorang dari ketiga orang itu yang lain tiba-tiba saja bertanya,
“jika kalian meronda, kenapa kalian melewati bulak ini? Biasanya para peronda hanya meronda di padukuhan masing-masing”
“Ya” jawab anak itu, “tetapi sekali-sekali kami ingin berhubungan dengan kawan-kawan di padukuhan sebelah”
Orang itu menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Katakan, apa sebenarnya keperluan kalian di malam hari begini”
Anak itu mulai menjadi bingung. Ia tidak siap untuk menjawab pertanyaan yang berkepanjangan. Sementara itu kedua orang peronda yang mengawaninya benar-benar telah menjadi ketakutan.
“Ayo, katakan. Apa sebenarnya keperluan kalian melintasi bulak ini” desak salah seorang dari ketiga orang itu.
Anak itu termangu-mangu. Ia benar-benar tidak dapat menjawab. Namun dalam pada itu, salah seorang peronda itulah yang menjawab, “Kami sekedar mengantarkan anak ini pulang”
“Pulang?” orang itu menjadi heran, “bukankah ia sedang mewakili ayahnya meronda?”
Peronda yang lain tiba-tiba saja menemukan akal. Jawabnya, “Ya. Tetapi Ki Buyut justru marah. Seharusnya ayahnyalah yang hari ini mendapat giliran ronda di Kabuyutan. Tetapi ia mewakilkan anak ingusan ini sehingga Ki Buyut memerintahkan kami mengantarkan pulang saja dan menyampaikan pesan kepada ayahnya, bahwa yang dilakukan itu tidak dibenarkan oleh Ki Buyut”
Ketiga orang yang berdiri di tengah jalan itu mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang berkata, “Aku masih kurang yakin akan kata-katamu. Tetapi pergilah. Jika aku bertanya lebih lama, kalian akan pingsan”
Ketiga orang itu tidak menjawab lagi. Dengan serta merta mereka meninggalkan ketiga orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Langkah mereka menjadi semakin panjang didorong oleh denyut jantung yang semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyaksikan hal itu justru tertarik karenanya. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang ketiga orang itu. Namun menurut pengamatan mereka, ketiga orang itu bukan orang dari Kabuyutan itu, ternyata kedua orang peronda itu tidak mengenalnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, Kitalah yang kemudian lewat”
“Tetapi mereka akan dapat mengenali wajah kita di siang hari jika kita bertemu di manapun” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya memang ingin bertemu dengan ketiga orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menemui mereka sendiri dengan menyamarkan wajahku. Dengan demikian maka kesan bahwa kita selalu berdua akan hilang. Mereka tidak akan menyangka bahwa salah seorang dari kitalah yang telah menjumpainya di bulak ini”
“Tetapi bagaimana jika ternyata kemampuan mereka melampaui kemampuan kita masing-masing, sehingga kau akan dapat ditangkapnya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kau datang kemudian sebagai orang lain. Kau dapat memakai alasan apapun untuk berpihak kepadaku” jawab Mahisa Murti.
“Juga dengan menyamarkan wajah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi rasa-rasanya memang ingin mengenal orang-orang itu lebih dekat. Sehingga akhirnya Mahisa Pukat itu berkata, “Baiklah. Lakukan. Aku akan mengamati dari kejauhan”
“Tetapi hati-hatilah” desis Mahisa Murti, “jangan justru tertidur dan tidak melihat akibat dari perkelahian yang mungkin sekali akan terjadi”
Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Mahisa Murti sudah mulai mengotori wajahnya dengan lumpur. Ia mempertebal garis-garis wajahnya dan garis-garis pada tulang iganya. Dengan demikian, di keremangan malam, wajah Mahisa Murti dan ujud tubuhnya sudah berubah. Seseorang yang belum mengenalnya dengan baik tidak akan dapat lagi mengingat wajah itu. Demikianlah maka Mahisa Murti itu pun kemudian melengkapi penyamarannya dengan mengurai rambutnya dan diikat pada ujungnya.
“jika kau terpaksa menyusul aku, kau tidak perlu mengurai rambutmu agar nampak satu kelainan di antara kita” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Ia mengerti, bahwa harus ada kesan bahwa keduanya adalah orang lain yang tidak saling berhubungan. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah melangkah ke jalan bulak yang panjang itu. Ia berjalan dengan cepat menuju ke arah tiga orang yang sudah mulai bergeser menyingkir.
Tetapi ketika mereka melihat seseorang berjalan dalam kegelapan malam, maka ketiga orang itu pun berhenti. Ketiganya kemudian telah bergeser pula ketengah. Mereka memberi isyarat kepada Mahisa Murti agar menghentikan langkahnya.
Mahisa Murti berhenti beberapa langkah dari ketiga orang itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu mengamati ketiga orang itu. Meskipun malam terasa gelap, tetapi ia berhasil mengamati ketiga orang itu lebih jelas. Ternyata bahwa ketiganya adalah orang-orang yang bertubuh kekar.
Seorang di antara ketiga orang itu pun mendekatinya sambil berdesis, “Ki Sanak. Siapakah kau? Dan apakah keperluanmu malam-malam begini?”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku hanya akan lewat. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah”
“Untuk apa?” bertanya ketiga orang itu.
“Aku akan mengambil seekor kuda yang telah aku beli” jawab Mahisa Murti.
“He” ketiga orang itu terkejut, “malam-malam begini?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Ya. Pemilik kuda itu minta agar aku mengambilnya di malam hari” jawab Mahisa Murti.
“Kuda siapa? Dan apa warnanya?” bertanya orangitu pula.
“Nama pemiliknya aku lupa. Aku hanya mengenalnya dengan panggilan semasa kami masih kanak-kanak. Aku memanggilnya Gandang karena ia pandai berdendang dengan suara yang mantap panjang. Warna kudanya putih berbelang hitam” jawab Mahisa Murti.
“Bukan dawuk?” bertanya orang itu pula.
“Tidak. Aku tidak suka kuda dawuk. Tetapi karena aku memang pedagang kuda, maka jika kau mempunyai kuda berwarna dawuk pun aku mau juga membeli”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Jadi kaulah yang sering membeli kuda di Kabuyutan ini?”
“Bukan hanya di Kabuyutan ini” jawab Mahisa Murti dengan nada meninggi, untuk memberikan kesan lain dari suaranya sendiri, “Aku memang pedagang kuda. Aku membeli kuda dari mana saja. Bahkan dari Kota Raja sekalipun. Dan aku adalah pedagang kuda yang sering menerima pesanan dari pasukan berkuda Kediri”
Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Seorang yang paling tua dari ketiga orang itu berkata, “Jika demikian adalah kebetulan sekali. Aku memerlukan seorang pedagang kuda. Marilah. Ikut aku. Mungkin kau akan mendapatkan beberapa ekor kuda yang baik dan harganya murah”
“Kuda apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kuda tunggangan. Sesuai untuk prajurit berkuda” jawab orang itu.
Mahisa Murti mulai berhati-hati. Ternyata orang itu cukup cerdik. Ia tidak dengan serta merta menanggapi masalahnya. Tetapi orang itu sempat berusaha memancing Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Aku akan datang kepada kalian. Dimana rumah kalian?”
“Marilah. Kita pergi bersama-sama” jawab orang yang tertua itu.
“Jangan sekarang. Aku sudah berjanji untuk mengambil jaran putih itu. Harganya cukup murah. Nampaknya pemiliknya agak tergesa-gesa menjualnya” jawab Mahisa Murti.
Orang tertua itu mengingat-ingat. Namun kemudian katanya, “Di padukuhan itu tidak ada kuda putih dengan belang-belang hitam”
“Ah, jangan berkata begitu Ki Sanak” jawab Mahisa Murti “Aku sudah melihat di kandangnya”
“Jangan bohong Ki Sanak” berkata orang tertua itu, “kau harus mengatakan yang sebenarnya. Warnanya tentu tidak putih berbelang hitam”
“He” Mahisa Murti menjadi heran, “apakah kau mengenal semua kuda di Kabuyutan ini? Siapakah kalian sebenarnya? Apakah kalian memang petugas untuk mengetahui jumlah dan warna kuda di Kabuyutan ini?”
“Sudahlah” sahut orang itu “berkatalah berterus terang. Kuda itu warnanya tentu lain. Tetapi pemilik kuda itu berpesan kepadamu agar kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Di padukuhan itu tinggal ada tiga ekor kuda. Dan kami tahu dengan pasti warna dari ketiganya. Karena itu, sebut saja, kuda yang manakah yang akan kau ambil?”
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang aneh. Sudah aku katakan. Kuda putih berbelang hitam”
Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Di cobanya untuk memandang wajah Mahisa Murti dengan jelas. Tetapi Mahisa Murti yang menyadari akan hal itu, telah berusaha untuk tidak dengan mudah dikenali bahwa ia telah mempergunakan samaran wajah dengan lumpur. Untunglah bahwa malam yang gelap telah melindunginya, sehingga orang-orang itu tidak mudah untuk mengetahui wajah Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itu menjadi semakin curiga kepada orang yang mengurai rambutnya itu. Dengan lantang salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Ki Sanak. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi atasmu jika kau berkeras untuk mengatakan, bahwa kau adalah seorang pedagang kuda yang akan mengambil kuda berwarna putih berbelang hitam. Aku tahu pasti bahwa kuda berwarna itu tidak ada karena aku adalah penghuni padukuhan itu”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “jika kalian penghuni padukuhan itu, kenapa, kalian tidak mengenali para peronda itu?”
Ketiga orang itu terkejut. Seorang di antara mereka dengan serta merta bertanya, “Jadi kau mengetahui kedua orang peronda yang mengantarkan anak itu?”
“Bukankah baru saja mereka bertemu dengan kalian? Waktu itu aku agak takut jika terjadi sesuatu sehingga aku berhenti di balik gerumbul itu. Baru setelah kedua peronda itu pergi akan melanjutkan perjalanan” jawab Mahisa Murti.
Ketiga orang itu menjadi tidak sabar lagi. Orang yang mereka hadapi tentu orang yang mempunyai kepentingan tersendiri. Karena itu, maka salah seorang dari ketiganya berkata, “Ki Sanak. Tidak ada pilihan lain bagimu, kau harus ikut aku”
Mahisa Murti surut selangkah. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Untuk apa? Aku sudah berjanji dengan orang itu”
“Kau tidak akan dapat mengambil kuda yang manapun” berkata orang tertua di antara ketiga orang itu “Tidak boleh ada seekor kuda pun yang keluar dari setiap padukuhan”
“Siapakah yang membuat peraturan itu? Jika kau yang membuat, siapakah kau sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
Ketiga orang itu tidak mau lagi berbicara terlalu panjang. Tiba-tiba saja mereka telah berpencar. Seorang di antara mereka berkata, “Kau memang harus mendapat pelajaran dari sikapmu itu. Menyerahlah. Kau akan aku hadapkan kepada orang yang berhak mengadilimu”
Mahisa Murti berkisar sambil berkata, “Ki Sanak. Jika Ki Sanak bersikap demikian, maka persoalannya akan berkisar pula. Sebenarnya aku tidak ingin perselisihan ini terjadi. Tetapi kalian terlalu banyak mencampuri persoalanku. Karena itu, aku harus berusaha melindungi diriku sendiri”
Ketiga orang itu menjadi semakin terbakar oleh sikap Mahisa Murti Karena itu, maka yang tertua diantara mereka pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita akan menangkapnya. Sikapnya sangat mencurigakan. Tetapi jika ia melawan dan benar-benar tidak mau mengerti, apa boleh buat”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mulai bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Orang gila ini merasa mampu menghadapi kami bertiga” geram orang tertua di antara ketiga orang itu.
Mahisa Murti masih tetap berdiam diri. Tetapi ia benar-benar telah siap. Demikianlah, ketika salah seorang dari ketiga orang itu mulai menyerang, maka Mahisa Murti pun meloncat menghindar. Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Murti telah meloncat menyerang orang lain di antara ketiga lawannya.
Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga orang itu tidak sempat menghindar. Karena itu, maka orang itu pun telah menangkis serangan Mahisa Murti dengan tangannya. Dalam benturan itu, terasa oleh kedua belah pihak akan kekuatan masing-masing. Mereka pun sadar, bahwa kekuatan itu bukannya kekuatan puncak. Namun dapat mereka pergunakan sebagai penjajagan dalam keseimbangan, mereka.
Ternyata orang yang menangkis serangan Mahisa Murti itu terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa pedagang kuda itu memiliki kekuatan yang mengejutkan. Jika mereka bertempur bertiga, bukan karena ketiga orang itu menganggap bahwa orang yang mengaku pedagang kuda itu memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing. Tetapi semata-mata agar tugas mereka cepat selesai.
Namun ternyata bahwa mereka telah membentur satu kemampuan yang pantas mereka perhitungkan masak-masak. Dengan demikian, maka orang yang telah membentur kekuatan Mahisa Murti itu menjadi lebih berhati-hati. Bahkan ia sempat memperingatkan kawan-kawannya, “Hati-hatilah. Pedagang kuda ini mempunyai kekuatan iblis.
Tetapi orang tertua di antara mereka bertiga itu pun menyahut, “Bahkan seandainya ia iblis itu sendiri, maka kita akan menggulungnya dan menghadap pimpinan kita. Orang itu sudah berbicara tentang seekor kuda. Satu hal yang akan sangat menarik perhatian. Karena itu, marilah, kita menyelesaikan tugas ini dengan cepat”
“Panggil kawan-kawanmu” tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut, “jangan hanya bertiga”
“Gila. Kau sangka aku seorang seorang tidak dapat memenggal lehermu? Soalnya kami ingin cepat dengan tugas gila ini” jawab orang tertua.
“Karena itu, akan lebih cepat lagi jika kalian memanggil lima atau sepuluh orang lagi, atau justru pemimpinmu itu sendiri” berkata Mahisa Murti.
Darah ketiga orang itu bagaikan mendidih mendengar penghinaan Mahisa Murti. Karena itu, maka ke-tiganya pun kemudian telah mengerahkan kemampuan mereka untuk menangkap Mahisa Murti. Bahkan orang tertua di antara mereka bertiga itu pun berkata, “Tangkap anak ini, hidup atau mati”
Perintah itu jelas bagi Mahisa Murti. Jika orang-orang itu tidak mampu menangkapnya, maka mereka tidak akan segan-segan mempergunakan cara yang paling keras untuk membunuhnya. Memang terbersit juga sedikit penyesalan, bahwa usahanya sekedar mengetahui keadaan ketiga orang itu telah mendorongnya kedalam pertempuran antara hidup atau mati. Tetapi apa yang didengarnya tentang ketiga orang itu ternyata cukup memberinya bahan laporan kepada Pugutrawe.
Namun Mahisa Murti tidak dapat melangkah surut. Ia sudah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Tiga orang itu telah menyerangnya beruntun susul menyusul dari arah yang berbeda. Tetapi ternyata bahwa ketiganya bukanlah orang-orang yang pantas disegani. Agaknya mereka hanyalah orang-orang yang melaksanakan perintah bagi tugas-tugas yang kasar, tetapi tidak berbahaya.
Agaknya merekalah orang-orang yang melaksanakan mengambil kuda-kuda yang tersebar di padukuhan-padukuhan. Agaknya orang-orang seperti ketiga orang itu pulalah yang pernah dilihatnya di warung Pugutrawe, menakut-nakuti seorang pemilik kuda yang menyingkirkan kudanya.
Meskipun demikian, dengan bertempur bersama, ketiga orang itu merupakan lawan yang memerlukan perhatian dari Mahisa Murti. Mereka ternyata mampu juga bergerak cepat dan kadang-kadang memang menyulitkan. Tetapi Mahisa Murti memiliki bekal dan pengalaman yang jauh lebih baik dari ketiga orang itu.
“Agaknya mereka memang prajurit Kediri dari tataran terendah yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “nampaknya mereka mampu bertempur dalam pasangan yang sangal baik, sehingga agaknya mereka telah terlatih untuk bertempur berpasangan. Tetapi nampaknya bekal mereka secara pribadi masih belum mencukupi untuk turun kedalam arena yang lebih khusus dari sebuah pertempuran gelar atau pertempuran dalam pasangan seperti yang dilakukan sekarang.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti ternyata mempunyai kesempatan lebih baik dari ketiga orang itu untuk memenangkan pertempuran. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih harus berhati-hati. Kadang-kadang ketiga orang itu mampu melakukan gerakan yang mengejutkan dan sangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun merasa heran menghadapi pedagang kuda yang membiarkan rambutnya terurai itu. Ternyata tidak semudah yang mereka perkirakan untuk menangkap pedagang kuda itu. Bahkan dengan tegas yang tertua di antara mereka telah menjatuhkan perintah, “Tangkap hidup atau mati”
Namun orang yang mengaku pedagang kuda itu mampu mengimbangi kemampuan bersama dari tiga orang itu. Bahkan kadang-kadang orang yang mengaku pedagang kuda itu melakukan langkah-langkah yang mengejutkan dan bahkan membingungkan. Dengan demikian maka ketiga orang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kemarahan yang menghentak di dalam dada mereka, seakan-akan membuat mereka bertiga semakin garang.
Dalam pada itu, di tempat persembunyiannya, Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi kemudian ia pun melihat, bahwa keadaan Mahisa Murti semakin lama justru menjadi semakin baik. Ketiga orang lawannya seakan-akan menjadi kebingungan melihat tata gerak Mahisa Murti yang cepat, yang kadang-kadang hanya bagaikan bayangan saja bagi mereka. Sekali mel_oncat di antara mereka, kemudian bagaikan terlepas dari pengamatan mereka bertiga. Namun yang tiba-tiba saja menyerang dengan garangnya.
Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ketika orang yang marah itu telah menggenggam senjata masing-masing. Agaknya mereka tidak hanya sekedar akan menangkap Mahisa Murti, tetapi seperti yang dikatakannya, tangkap hidup atau mati. Sejenak kemudian, maka tiga buah pedang telah berputaran. Ketiga orang itu menyerang dengan dahsyatnya. Sekali terayun menyambar, kemudian yang lain mematuk dengan dahsyatnya.
Mahisa Murti menjadi gelisah menghadapi tiga ujung pedang itu. Agaknya ketiga orang itu mampu mempergunakan senjata mereka dengan baik. Untuk beberapa saat Mahisa Murti hanya mampu meloncat dan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun itu. Ia masih belum mengambil satu keputusan yang mantap untuk menghadapi ketiga lawannya.
“Sebenarnya aku tidak ingin melukai apalagi membunuh mereka” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Aku hanya ingin tahu tentang mereka dan sedikit tentang kuda dalam hubungan dengan mereka” Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menemukan satu penyelesaian yang paling baik dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat melihat, bahwa Mahisa Murti telah mengalami kesulitan, menghadapi ketiga orang yang bersenjata pedang itu, sementara itu Mahisa Murti masih belum mencabut pisau belati yang dibawanya di bawah kain panjangnya.
“Apa lagi yang ditunggunya?” bertanya Mahisa Pukat di dalam hatinya, “apakah ia benar-benar ingin melawan dengan tangannya? Satu pekerjaan yang sangat berbahaya, baginya”
Dalam kegelisahan Mahisa Pukat melihat Mahisa Murti menjadi semakin terdesak. Namun Mahisa Murti masih belum mempergunakan senjata apapun. Karena itu, maka Mahisa Pukat mengira, bahwa Mahisa Murti sedang menunggunya. Mereka akan bertempur berpasangan tetapi tanpa mempergunakan senjata.
Tetapi yang terjadi ternyata agak kurang dimengerti oleh Mahisa Pukat. Dalam satu kesempatan, maka Mahisa Murti telah meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba saja Mahisa Murti telah berlari ke kegelapan malam.
“Jangan biarkan orang itu lari” teriak salah seorang dari ketiga orang yang bersenjata pedang itu.
Seorang di antara mereka mencoba untuk mengejarnya. Tetapi ternyata langkah Mahisa Murti lebih cepat, sehingga jaraknya justru semakin jauh. Bahkan akhirnya orang itu pun menyadari, seandainya ia berhasil menyusul orang yang mengaku pedagang kuda itu, maka apakah ia benar-benar akan dapat menangkapnya.
Mahisa Pukat yang masih berada di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti. Namun tiba-tiba saja ia masih ingin mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ketiga orang itu. Justru karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekat.
Dalam pada itu salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Aku tidak percaya, bahwa orang itu benar-benar pedagang kuda. Orang itu tentu sedang menyelidiki persoalan kuda yang memang telah menggelisahkan orang-orang di padukuhan ini”
“Tentu ada yang melaporkan” berkata yang lain.
“Jangan bodoh” berkata kawannya, “ada atau tidak ada yang melaporkan, akhirnya hal ini akan diketahuinya juga oleh pimpinan wilayah yang diangkat oleh Sri Baginda di Kediri”
Tetapi kawannya tertawa. Katanya, “Kita tidak usah cemas. Tidak ada kepastian lagi di Kediri. Sikap para bangsawan sudah menjadi kacau. Bahkan sikap Sri Baginda sendiri telah meragukan. Aku tidak yakin bahwa Panji Sempana Murti akan berani bertindak. Jika ia bertindak, berarti ia akan berhadapan dengan Pangeran Kuda Permati”
“Aku tidak tahu sikap Panji Sempana Murti" kemudian berkata kawannya, “tetapi kita harus melaporkan, bahwa kita telah bertemu dengan seseorang yang mencurigakan. Mungkin orang itu berpihak kepada Pangeran Singa Narpada, tetapi mungkin juga orangnya Panji Sempana Murti”
“Siapa pun orang itu, kita wajib melaporkan peristiwa vang terjadi malam ini, sejak keberangkatan tiga orang yang menyebut dirinya peronda-peronda itu”
“Aku percaya bahwa mereka adalah peronda” berkata yang lain, “tetapi ternyata ada orang yang mengikuti mereka dan menilai persoalan yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan ini”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, yang tertua di antara mereka berkata, “Marilah. Tidak ada gunanya kita berada di sini. Tidak akan ada orang yang akan menyingkirkan kudanya. Mereka sudah menjadi takut untuk berbuat demikian. Tetapi persoalan yang terjadi Ini benar-benar harus mendapat perhatian”
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan bulak itu. Mereka berjalan melintasi pematang dan hilang di gelapan.
Demikian mereka hilang, maka Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Beberapa hal memang dapat melengkapi laporan yang akan mereka berikan kepada Pugutrawe untuk mempersiapkan langkah-langkah yang akan dapat mereka ambil menghadapi keadaan Kediri dalam keseluruhan. Namun satu hal perlu diperhatikan, di Kediri sedang timbul gejolak di antara para pemimpinnya. Sikap mereka menghadapi kekuasaan Singasari ternyata berbeda-beda.
Ketika Mahisa Pukat sudah yakin bahwa ketiga orang itu sudah menjadi semakin jauh, maka ia pun telah muncul ke jalan. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat tinggal Pugutrawe. Namun tiba-tiba saja ia pun berkisar dan siap menghadapi segala kemungkinan, ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata bahwa yang datang adalah Mahisa Murti.
“Kau membuat aku bingung” berkata Mahisa Pukat.
“Aku menghindarkan diri dari kemungkinan yang lebih buruk” jawab Mahisa Murti, “Aku tidak sempat memberimu isyarat. Mudah-mudahan kau dapat mengerti”
“Tentu. Ketika kau melarikan diri, aku hampir saja meloncat ke medan. Aku mengira bahwa kau menghendaki aku ikut bertempur tetapi tanpa senjata” jawab Mahisa Pukat.
“Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita ketahui” berkata Mahisa Murti, “ternyata bahwa di Kabuyutan ini berkeliaran orang-orang yang tidak menghendaki seekor kuda pun terlepas. Sementara itu, mereka masih juga menahan diri tidak mengambil semua kuda sekaligus."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menceriterakan apa yang didengarnya sepeninggal Mahisa Murti. Dugaan bahwa di Kediri sedang berkembang ketidak pastian, agaknya memang benar. Bahkan sikap Sri Baginda pun meragukan.
Kedua anak muda itu pun kemudian bersepakat untuk segera menemui Pugutrawe. Mereka juga harus melaporkan, bahwa malam itu dua orang bebahu Kabuyutan telah berusaha untuk menemui Panji Sempana Murti. Tetapi keduanya sama sekali tidak dapat membayangkan sikap Panji Sempana Murti itu sendiri menaggapi kemelut yang sedang terjadi. Apakah ia akan segera mengambil sikap, atau justru akan menunggu tanpa batas waktu.
Sebenarnyalah pada saat itu, kedua orang bebahu dari Kabuyutan di daerah perbatasan itu sedang berusaha untuk dapat menghadap Panji Sempana Murti. Keduanya berpacu di atas punggung kuda seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Semakin lama justru semakin cepat.
Apa pun yang akan dilakukan oleh Panji Sempana Murti, kedua orang itu tidak banyak mempersoalkan. Yang penting bagi mereka adalah, persoalannya sudah dengan resmi disampaikan kepada yang berwenang.
Sementara itu, kedua orang itu pun telah mendekati rumah yang dipergunakan oleh Panji Sempana Murti memimpin daerah perbatasan sebelah Utara itu. Rumah yang kemudian telah menjadi barak sepasukan prajurit yang berada di bawah perintah Panji Sempana Murti itu.
Tetapi prajurit itu memang tidak banyak. Bahkan rasa-rasanya ada semacam kelesuan di antara mereka. Panji Sempana Murti sendiri, nampaknya bukan lagi seorang panglima yang garang sebagaimana sebelumnya.
Ketika dua orang bebahu Kabuyutan itu sampai ke rumah itu, maka mereka pun telah berhenti di regol. Sekelompok penjaga masih tetap bersiaga di dalam gardu, di belakang regol itu. Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang bebahu itu telah menghentikan kudanya di depan regol. Keduanya pun segera meloncat turun.
Namun derap kaki kuda mereka, agaknya menarik perhatian para penjaga yang ada di dalam. Karena itu, maka sebuah lubang empat persegi pada regol itu pun telah terbuka. Sepasang mata menjenguk dari lubang itu.
Penjaga itu melihat dua orang berkuda berhenti di depan regol itu. Karena itulah maka orang yang melihat lewat lubang persegi empat itu pun bertanya, “Siapa kalian he?”
Kedua bebahu itu pun kemudian mengikat kuda mereka dan melangkah mendekat. Kepada orang yang melihat lewat lubang itu salah seorang dari kedua bebahu itu menjawab, “Kami, dua orang bebahu dari daerah perbatasan”
“Apa maksudmu?” bertanya orang yang berada di balik regol itu.
“Kami ingin menghadap panji Sempana Murti” jawab salah seorang bebahu itu.
“Malam-malam begini?” bertanya orang yang menjenguk itu.
“Ya” jawab bebahu itu.
“Kalian benar-benar tidak tahu adat. Pulanglah. Besok saja datanglah kembali di siang hari. Itu pun jika Panji Sempana Murti berkenan menerima kalian” jawab orang yang menjengukkan kepalanya lewat lubang itu.
“Tetapi kami membawa kabar yang penting” berkata bebahu itu.
“Berlakulah sopan sedikit” jawab orang yang menjenguk.
Bebahu itu menyahut, “Ki Sanak. Cobalah dengar. Di Kabuyutan di daerah perbatasan ini telah terjadi sesuatu yang gawat. Kami datang untuk menyampaikan persoalan ini kepada Panji Sempana Murti”
“Kalian memang dungu. Jangan malam-malam begini” jawab penjaga itu.
“Persoalan itu datang di malam hari. Bukankah kalian adalah prajurit? Apakah jika lawan kalian menyerang di malam hari, kalian juga minta mereka kembali dan datang esok pagi?” bertanya bebahu itu menjadi jengkel.
“Tutup mulutmu” bentak penjaga itu, “Aku tahu kau bukan musuh yang datang di malam hari. Tetapi kalian adalah orang-orang yang tidak tau sopan santun sama sekali”
“Persoalan yang aku bawa tidak ada bedanya dengan datangnya musuh di malam hari itu” jawab bebahu itu.
Namun tiba-tiba saja penjaga itu membentak, “Pergi. Jangan ganggu kami. Jangan ganggu Panji Sempana Murti."
Bebahu itu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba saja lubang di pintu regol itu pun telah tertutup kembali dengan kerasnya. Kedua bebahu itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan mengetuk pintu sampai pintu itu dibuka,“
Tetapi yang lain mencegahnya. Katanya, “Hal itu akan dapat mendatangkan kesulitan bagi kita”
“Jadi kami harus menunggu sampai esok pagi di sini?” bertanya kawannya.
“Apa boleh buat. Persoalannya harus kita sampaikan kepada Panji Sempana Murti secepatnya” jawab yang lain.
Kedua bebahu itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar desis seseorang., “Tidak terlalu jauh dari regol”
Ketika keduanya berpaling kekegelapan, maka mereka melihat sesosok bayangkan mendekati mereka. Kedua bebahu itu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ketika bayangan itu muncul dalam cahaya obor di regol, maka kedua bebahu itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang dicarinya itu justru di luar regol.
“Kau kenal aku?” bertanya orang itu.
“Ya Panji. Kami mengenal tuan” jawab kedua bebahu itu hampir bersamaan.
“Terima kasih” orang itu mengangguk-angguk “apakah kalian memang mencari aku?”
“Ya tuan. Kami berusaha untuk menemui tuan. Tetapi gagal. Penjaga pintu itu tidak mau membuka pintunya” jawab kedua bebahu itu...
Wajah itu nampak berkerut. Namun kemudian menjadi tidak jelas bagi kedua anak muda itu. Tetapi mereka mendengar orang itu berkata, “Pintunya tidak diselarak dari dalam”
Dengan hati-hati keduanya kemudian memasuki warung itu, yang diterangi dengan lampu minyak. Sekaligus anak-anak muda itu melihat wajah-wajah itu lagi dibawah sorot minyak. Namun sejenak kemudian keduanya telah ditelan pintu warung kecil itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara keduanya tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam warung itu.
Namun sejenak kemudian keduanya telah keluar lagi dari warung itu. Dari atas dahan pohon mahoni keduanya mendengar pemilik warung itu berkata, “Aku sudah menduga, keduanya cukup cerdik”
“Jadi bagaimana pendapatmu?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku tidak tahu, untuk siapa keduanya bekerja. Tetapi aku kira keduanya bukan para pengikut Pangeran Kuda Permati” jawab pemilik warung itu.
“Apakah mungkin keduanya petugas langsung dari Kediri?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Entahlah. Tetapi jika mereka kau temui menyusuri jalan menuju ke sungai itu, mungkin mereka mempunyai kepentingan arah itu” berkata pemilik warung itu.
Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita tidak dapat menyebut apapun juga tentang keduanya. Masih ada kemungkinan keduanya pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi mungkin pula keduanya adalah pengikut setia Pangeran Singa Narpada. Bahkan mungkin keduanya adalah petugas dari Singasari”
“Kita akan menunggu, apa yang akan mereka lakukan” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi kemungkinan bahwa mereka kembali ke warung ini sangat kecil” berkata pemilik warung itu.
“Lalu mereka akan kemana?” bertanya orang bertubuh raksasa
“Tentu saja kita tidak tahu. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi dengan anak-anak itu dan mendapat sedikit gambaran tentang kepentingan mereka” berkata pemilik warung itu.
Sejenak kedua orang itu masih termangu-mangu. Namun kemudian pintu warung itu pun telah ditutup tanpa diselarak baik dari luar maupun dari dalam.
Setelah kedua orang itu meninggalkan warung kecil itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keduanya masih tetap berhati-hati. Mungkin kedua orang itu masih belum meninggalkan tempat itu terlalu jauh. Bahkan mungkin kedua orang itu masih berusaha untuk menjebak kedua anak muda itu dari tempat yang tersembunyi.
Namun ternyata bahwa pemilik warung dan orang bertubuh raksasa itu pun telah meninggalkan warung itu tanpa menunggu lebih lama lagi. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua orang anak muda itu berada di tempat yang tidak jauh dari warung itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan tempat itu pula meskipun mereka tahu, bahwa kedua orang itu tidak akan datang lagi. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil satu keputusan tersendiri.
“Kita harus segera sampai kepada orang yang disebut oleh Senopati Singasari di Talang Amba itu” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian kita akan segera mendapat kepastian dengan siapa kita harus berhadapan. Tanpa mengetahui serba sedikit keadaan disini, maka mungkin kita justru akan terjebak tanpa dapat berbuat apa-apa”
“Baiklah, kita melanjutkan perjalanan sekarang” berkata Mahisa Pukat. ”meskipun malam hari, aku kira kita akan dapat menemukan jalan sampai ke tempat yang ditunjuk tanpa banyak kesulitan. Bukankah tempatnya sudah tidak terlalu jauh lagi dari sini?”
“Tentu tidak. Menilik tempat ini dan sungai yang bertebing agak tinggi itu, maka kita sudah berada tidak jauh lagi dari tujuan” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya kemudian telah meninggalkan tempat itu. Dalam kelamnya malam mereka menelusuri jalan menuju ke sungai sebagaimana pernah mereka tempuh. Tetapi di siang hari. Dalam pada itu, kedua anak muda itu berjalan dengan cepat tanpa berprasangka apapun juga. Mereka ternyata kurang memperhatikan jalan yang akan mereka lalui. Selain mereka ingin cepat-cepat sampai, maka agaknya kekelaman malam memang ikut menentukan.
Karena itu, ketika mereka berbelok pada jalan yang menurun ke sungai yang dibatasi oleh dinding di sebelah menyebelah, maka keduanya terkejut. Bukan keduanya saja yang terkejut, tetapi seseorang yang duduk di pinggir jalan itu pun terkejut pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Namun mereka menjadi berdebar-debar ketika orang itu kemudian berdiri. Ternyata orang itu adalah orang yang bertubuh tinggi besar yang baru saja mendatangi warung bersama pemiliknya itu.
“Gila” geram Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ternyata orang bertubuh raksasa itu pun cepat bertindak. Ia pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan katanya kemudian dengan suara berat, “Kita telah bertemu lagi anak-anak. Kau kemarin berhasil lolos dari tanganku. Tetapi kau sekarang tidak akan mendapat kesempatan lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun terpancar di wajah mereka satu tekad untuk berjalan terus. Mereka ingin sampai ketujuan pada saat yang cepat, karena ternyata daerah itu adalah daerah yang memiliki beribu kemungkinan di bawah pengamatan beribu pasang mata.
Karena itu Mahisa Murti pun lalu berkata, “Ki Sanak. Berikanlah kesempatan kepadaku untuk meninggalkan tempat ini”
“Sudah aku katakan, bahwa semua pengembara yang tidak ada artinya bagi pergaulan hidup, akan aku singkirkan. Aku sudah menunggumu di sini sejak kemarin. Aku yakin bahwa pada satu saat kau akan kembali. Karena itu, maka sekarang aku tidak akan melepaskan lagi” berkata raksasa itu.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti kemudian, “kita akan berterus terang. Untuk siapa kau bekerja he? Apakah kau kawan-kawan penunggang kuda yang kemarin datang ke simpang empat itu untuk merampasi kuda penduduk daerah ini?”
“Kau mulai mengigau he. Apa yang kau katakan itu?” raksasa itu menggeram.
“Aku tidak peduli. Tetapi selama aku berada di tempat ini, aku melihat kau dan dua orang berkuda telah berbuat aneh-aneh. Kau kira bahwa kami percaya alasanmu untuk membunuh semua pengembara, pengemis dan orang-orang yang kau sebut tidak berarti? Jika benar hal itu kau lakukan, alangkah besar dosamu. Bukan saja bagi Kediri, tetapi juga di hadapan Tuhan Yang Maha Penyayang” Mahisa Murti berhenti sejenak, Lalu, “nah, katakan saja, apa alasanmu sebenarnya”
“Anak setan” orang itu hampir berteriak, “menyeralah. Kalian memang harus ditangkap”
“Sesudah ditangkap?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi sebelum ia menjawab, Mahisa Pukat telah mendahuluinya, “Jangan katakan, bahwa kau akan membinasaan semua pengembara dan orang-orang yang tidak berarti karena kami berdua tidak percaya akan alasanmu itu”
“Persetan” geram raksasa itu, “apapun alasannya, menyerahlah. Kami mencurigai kau berdua. Kalian tentu bukan pengembara seperti yang kalian katakan. Jika kalian tidak percaya bahwa aku akan membinasakan semua pengembara, maka aku pun tidak percaya bahwa kalian adalah pengembara”
“Nah, dengan demikian persoalannya menjadi lebih jelas” jawab Mahisa Pukat, “bukankah dengan demikian kita dihadapkan pada satu pilihan? Kami berdua akan berjalan terus. Jika kau tetap pada niatmu akan menangkap kami, maka kami akan mempertahankan diri. Dan kita akan berkelahi. Meskipun kau bertubuh raksasa, tetapi kami berdua sama sekali tidak takut. Jika kemarin kami berdua melarikan diri, kami masih berniat untuk tetap dalam keadaan kami, dua orang pengembara. Tetapi ternyata kami tidak akau dapat menyatakan diri kami seperti itu, karena kau sudah mencurigai kami. Karena itu, tidak ada pilihan lain. Kita berkelahi. Jika kami menang, kami akan meneruskan perjalanan”
“Jika kalian kalah?” bertanya raksasa itu.
“Kami akan melarikan diri dan mencari jalan lain untuk dapat menyeberang” jawab Mahisa Pukat pula.
“Kalian tidak akan sempat melarikan diri. Aku akan menangkap kalian dan membawa kalian kepada pemimpinku” jawab raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun bersikap untuk menghadapi segala kemungkinan. Karena itu maka keduanya pun justru telah merenggang.
“Jadi kalian benar-benar akan melawan?” geram raksasa itu.
“Apa boleh buat. Kita sudah tidak saling mempercayai. Karena itu, maka jalan yang dapat kita tempuh adalah kekerasan. Kau akan memaksakan kehendakmu, sementara kami akan mempertahankan sikap kami pula” jawab Mahisa Pukat.
Raksasa itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia pun kemudian mempersiapkan diri untuk bertempur. Memang tidak ada jalan lama yang dapat mereka lakukan saat itu, kecuali memaksa atau bertahan. Raksasa itulah yang pertama-tama mulai menyerang. Dengan loncatan yang cepat ia menerkam Mahisa Pukat, Tetapi Mahisa Pukat yang benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan sempat mengelak dan meloncat surut.
Pada saat yang tepat, Mahisa Murti pun telah meloncat menyerang raksasa itu dengan kakinya. Demikian cepatnya, sehingga raksasa itu tidak sempat mengelak, setelah serangannya atas Mahisa pukat gagal. Dengan lengannya ia telah berusaha melindungi lambungnya yang menjadi sasaran serangan Mahisa Murti.
Satu benturan telah terjadi. Benar-benar mengejutkan raksasa itu. Ternyata serangan kaki Mahisa Murti telah mendorong raksasa itu beberapa langkah menyamping. Hampir saja raksasa itu jatuh dan kehilangan keseimbangan. Namun, sambil menggeram akhirnya raksasa itu berhasil menguasai dirinya dan tegak kembali.
“Anak setan” raksasa itu mengumpat, “jangan kau kira bahwa dengan demikian aku tidak dapat mengimbangi kekuatanmu. Aku terlalu gegabah menghadapi kalian. Aku, kira kalian tidak lebih dari anak-anak yang berkepala batu. Tetapi ternyata bahwa kalian memang memiliki bekal ilmu kenuragan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka pun sudah mengira bahwa raksasa itu bukannya tidak memiliki kekuatan untuk menandingi kedua anak muda itu, tetapi raksasa itu telah menganggap kedua anak muda itu terlalu lemah, sehingga ketika terjadi benturan, raksasa itu terkejut.
Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus menjadi semakin berhati-hati. Dengan menyadari kekuatan lawannya, maka raksasa itu tentu akan mempergunakan kekuatannya lebih besar lagi.
Tetapi, dengan menggabungkan kekuatannya, kedua anak muda itu masih tetap mengharap untuk dapat menerobos jalan dan menyeberang sungai menuju ke tempat yang disebut oleh Senapati dari Singasari di Talang Amba, yang sebenarnya adalah salah seorang dari sekelompok pasukan sandi dari Singasari.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang semakin sengit. Orang bertubuh tinggi besar itu tidak lagi menganggap kedua lawannya itu sebagai anak-anak yang mengajaknya bermain-main. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah benar-benar lawan yang harus dihadapinya dengan segenap kemampuannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk memecah perhatian raksasa itu. Mereka bertempur berpasangan dalam arena yang sempit. Tetapi kecepatan gerak mereka agaknya telah berhasil membuat raksasa itu menemui kesulitan.
Mahia Murti dan Mahisa Pukat telah menyerang raksasa itu berganti-ganti. Mereka selalu berusaha menghindari benturan setelah mereka menyadari, bahwa raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi serangan yang cepat dan datang bergantian, bahkan kadang-kadang beruntun susul menyusul, membuat raksasa itu benar-benar menjadi marah.
“Anak-anak yang tidak tahu diri” geramnya, “apakah dengan demikian kalian menyangka akan dapat lepas dari tanganku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi keduanya adalah anak-anak muda yang telah menempa diri dalam olah kanuragan. Mereka bukan saja berlatih kecepatan gerak, tetapi mereka pun telah dengan teratur meningkatkan kekuatan tenaga mereka. Keduanya dengan matang menguasai tenaga-tenaga mereka. Keduanya dengan matang menguasai tenaga cadangan yang dapat mereka pergunakan setiap saat yang mereka kehendaki.
Karena itu, maka perlawanan mereka terhadap raksasa itu pun benar-benar merupakan satu kekuatan yang mapan menghadapi kekuatan yang besar dari raksasa yang marah itu. Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka sehingga dengan demikian maka yang terjadi kemudian adalah benturan ilmu yang semakin tinggi.
Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin cepat datang dari arah yang berbeda. Sementara itu, raksasa itu pun telah mempergunakan ketangkasannya untuk mengatasi setiap serangan. Dengan mempercayakan diri pada kebesaran tenaganya, orang bertubuh tinggi besar itu, hampir tidak pernah berusaha untuk menghindari serangan. Tetapi ia selalu berusaha untuk membentur setiap serangan.
Namun lambat laun, orang itu pun merasa bahwa kekuatan kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan ilmu mereka. Tenaga cadangan keduanya telah dipergunakan hampir sampai kepuncak kemampuan.
“Gila” geram raksasa itu, “ternyata kedua anak ini memiliki kekuatan iblis”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sampai pada kemampuan yang tinggi dalam pengerahan tenaga cadangannya, ternyata merasakan kelebihan mereka atas kekuatan raksasa itu. Kekuatan yang besar, tetapi kekuatan wadagnya saja.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berharap untuk dapat keluar dari pertempurran itu dan melanjutkan perjalanan mereka, menyeberangi sungai untuk mencapai tujuan sebagaimana dikatakan oleh Senopati dari Singasari yang berada di Talang Amba itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bertempur semakin cepat. Mereka ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk membunuh raksasa yang marah itu. Sebagaimana raksasa itu pun semula tidak benar-benar ingin membunuh mereka. Ternyata bahwa ketika keduanya melarikan diri, raksasa itu sama sekali tidak mengejarnya.
Ketika serangan-serangan kedua anak muda itu menjadi semakin cepat, maka raksasa itu pun menjadi semakin bingung. Serangan-serangan datang dari dua arah yang berbeda dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat semakin sering berhasil mengenai tubuh orang bertubuh besar itu. Meskipun serangan-serangan itu bukannya serangan yang menentukan akhir dari perlawanan raksasa itu, tetapi kulit daging raksasa itu semakin lama menjadi semakin terasa sakit. Di beberapa tempat tulang-tulangnya pun menjadi memar.
Betapapun raksasa itu mengerahkan kemampuannya, tetapi kedua anak muda itu ternyata terlalu cepat untuk dapat ditundukkannya. Dengan demikian, maka perlawanannya raksasa itu pun semakin lama justru menjadi semakin lemah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk membuat raksasa itu tidak berdaya.
Tetapi raksasa yang marah itu justru berteriak, “Cepat, menyerahlah sebelum aku benar-benar marah dan benar-benar ingin membunuh kalian”
Tetapi Mahisa Pukatlah yang menjawab, “Akulah yang akan membunuhmu. Aku tidak senang melihat orang-orang yang tidak berarti hidup dalam lingkungan peradaban manusia. Orang yang tanpa berperikemanusiaan berusaha untuk membunuh para pengembara”
“Gila” geram raksasa itu.
Namun serangan Mahisa Pukat dengan kakinya, tiba-tiba saja telah menghantam lambungnya. Meskipun raksasa itu berusaha melindungi dengan sikapnya sambil merendah, namun kaki Mahisa Pukat yang cepat, berhasil menyusup dan langsung mengenai lambung itu. Raksasa itu terdorong beberapa langkah. Sebelum ia dapat berdiri tegak, Mahisa Murti lah yang meloncat menyerang, menghantam raksasa itu pada dadanya. Raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja dia jatuh terguling.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat menyambarnya dan mendorongnya untuk tetap tegak. Tetapi ia pun segera meloncat menjauh sambil berkata, “Hampir saja kau terguling di sepanjang lorong yang menurun ini dan mandi tanpa melepaskan pakaianmu”
“Gila” teriak raksasa itu, “kalian telah mempermainkan aku he?”
“Jangan marah” sahut Mahisa Murti, “kau sedang berhadapan dengan pengembara yang tidak punya arti”
“Tutup mulutmu” geram raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justeru tertawa. Namun kemudian mereka merasa, bahwa yang mereka lakukan agaknya sudah cukup. Mereka harus mendapat kesempatan untuk meneruskan perjalanan tanpa diikuti oleh raksasa itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita jangan terlalu lama bermain-main dengan raksasa ini. Marilah kita meneruskan perjalanan. Pengembaraan kami masih sangat panjang”
“Aku bunuh kau pengembara” teriak orang bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya lagi. Dengan serta merta keduanya menyerang bersama-sama sehingga orang bertubuh tinggi besar itu, tidak mampu menghindarkan dirinya. Demikian cepat kedua serangan itu beruntun menghantam tubuhnya, maka raksasa itu pun telah terhuyung-huyung.
Terdengar raksasa itu menyeringai menahan sakit, sementara itu maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Kita akan meninggalkannya”
Mahisa Murti tidak menyahut. Keduanya pun kemudian dengan cepat meloncat meninggalkan raksasa yang sedang kesakitan itu.
“Gila” geramnya. Tetapi ia tidak segera dapat bangkit, apalagi mengejar kedua anak muda itu. Bahkan ia pun sama sekali tidak berniat melakukannya, karena ia yakin, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak atas kedua orang anak muda itu. Seandainya ia berhasil mengejarnya, namun ia tidak akan dapat menangkapnya, karena ternyata ia tidak dapat mengalahkan kedua orang anak muda yang semula disebutnya pengembara. Namun yang sejak semula memang menarik perhatiannya.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berlari menghambat turun ke sungai dan menyeberanginya, orang bertubuh tinggi besar itu bangkit dengan susah payah. Tubuhnya terasa nyeri. Namun hatinya pun ikut terasa pedih, karena anak-anak muda itu ternyata telah mempermainkannya. Pada saat ia hampir jatuh terguling, seorang di antara anak-anak muda itu telah menahannya dan mendorongnya untuk tetap tegak.
Perlahan-lahan orang itu pun menuruni lorong yang turun ke sungai. Kepada dirinya sendiri berkata, “Biarlah anak-anak itu pergi. Tetapi jika ia mengambil arah yang kami cemaskan, maka ia akan bertemu dengan hambatan-hambatan berikutnya”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan orang bertubuh tinggi besar itu. Sebenarnya jika mereka menghendaki, mereka akan dapat berbuat lebih banyak. Namun betapapun raksasa itu marah, tetapi kedua anak muda itu mendapat kesan bahwa sebenarnya orang bertubuh tinggi dan besar itu bukannya orang yang bermaksud jahat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menyeberangi sungai. Dengan hati-hati mereka melanjutkan perjalanan. Dengan teliti mereka memperhatikan setiap bentuk dan gejala alam yang ada di sekitarnya. Ternyata dalam beberapa hal mereka mengenali tempat itu sebagaimana diceriterakan oleh Senopati yang berada di Talang Amba. Beberapa pertanda telah mereka lalui, sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah bulak yang panjang.
“Inikah bulak yang disebut oleh Senopati itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Bulak panjang yang gawat. Senopati itu sama sekali tidak menyebut apa-apa tentang sungai itu. Tetapi kita telah menjumpai sebuah hambatan. Sedangkan bulak ini telah disebut sebagai tempat yang gawat. Yang harus kita lalui dengan sangat hati-hati sebelum kita memasuki padukuhan sebelah. Padukuhan yang kita tuju” jawab Mahisa Murti.
“Apa boleh buat” berkata Mahisa Pukat sambil memandang bulak yang panjang itu, "namun sebaiknya kita memang berhati-hati”
“Kita tidak akan melalui jalan bulak itu. Kita sudah tahu bahwa di jalan itu kita akan menjumpai sebuah rintangan apapun ujudnya. Tentu rintangan yang dipasang untuk melindungi tujuan kita” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Kita sebenarnya tidak perlu cemas atas hambatan-hambatan itu. Sebenarnya kita tahu, bahwa hambatan-hambatan itu tidak akan menghancurkan kita. Hambatan itu hanya sekedar satu cara untuk meyakinkan siapakah sebenarnya yang datang”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Hambatan itu tidak benar-benar akan membunuh. Bagaimana jadinya jika yang mereka hadapi benar-benar orang lewat tanpa maksud apa-apa”
“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Pukat.
“Namun aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya kita tidak memasuki padukuhan sebelah lewat jalan itu. Kita akan dapat mendekati padukuhan itu lewat pematang dan tanggul-tanggul parit” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita memang dapat berusaha memperkecil persoalan. Mudah-mudahan dengan cara ini kita terlepas dari hambatan yang disebut gawat oleh Senopati Singasari itu, karena hambatan itu agaknya memang dipasang di sepanjang jalan itu”
Demikianlah kedua anak itu yang sudah mendapat pesan bahwa mereka akan melalui sebuah jalan panjang di bulak yang luas, telah mengambil langkah untuk menempuhnya tidak melalui jalan sewajarnya. Mereka mencoba untuk menghindari hambatan yang mungkin ada dengan melalui pematang dan tanggul-tanggul parit.
“Pokoknya tujuan kita jelas. Padukuhan itu” berkata Mahisa Murti, “agar kita tidak kehilangan kiblat dan tersesat ke padukuhan yang lain, maka kita akan memperhatikan pepohonan di sepanjang jalan itu. Dengan demikian kita akan selalu dapat mengikuti arah jalan itu. Jalan yang menurut keterangan adalah jalan satu-satunya”
Mahisa Pukat mengangguk. Dengan demikian, maka kedua orang itu pun segera turun ke pematang dan berjalan menyusurinya. Namun dalam keremangan malam mereka tidak kehilangan kiblat. Mereka mengikuti pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan untuk tetap memelihara jarak dan arah. Dengan cepat mereka melintasi kotak demi kotak. Mereka meloncati parit dan kadang-kadang meniti titian bambu yang licin dan bahkan melintasi pematang-pematang yang ditanami dengan berbagai macam tanaman, sehingga keduanya mengalami kesulitan agar tidak merusakkan tanaman itu.
Ketika keduanya sampai ke tengah bulak, maka keduanya terhenti sejenak. Memang agaknya tidak ada rintangan yang mereka temui. Mungkin agak berbeda dengan apabila mereka menempuh perjalanan lewat jalan di sebelah. Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu terhenti. Dalam kegelapan malam, penglihatan mereka yang tajam, telah menangkap gerak yang mencurigakan. Tanpa melihat seseorang, mereka melihat dedaunan yang bergoyang-goyang.
“Berhati-hatilah” desis Mahisa Murti, “agaknya kita memang harus menjumpai rintangan yang dimaksud meskipun kita sudah memilih jalan”
Mahisa Pukat pun telah besiap pula. Pengalaman mereka sebagai pengembara telah memperingatkan mereka, bahwa yang ada di hadapan mereka adalah sejenis binatang merangkak. Binatang yang berbahaya tetapi yang tidak segera dapat mereka lihat.
Dada kedua anak muda itu berdebaran ketika tiba-tiba saja di sela-sela batang-batang padi muncul seekor binatang yang besar. Ketika binatang yang menyusuri pematang itu berpaling ke arah kedua orang anak muda itu, maka kedua belah matanya nampak bagaikan bercahaya kehijauan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mengenali jenis binatang itu. Harimau.
“Ternyata kita memang harus menghadapinya” guman Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak tahu, bagaimana itu dapat diatur untuk mencegat perjalanan kita. Padahal kita sudah tidak mengambil jalan yang seharusnya kita lalui”
“Apakah seandainya kita melalui jalan itu, kita tidak akan bertemu dengan seekor harimau?” bertanya Mahisa Pukat.
“Entahlah” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Tetapi kehadiran seekor harimau di tempat ini pun agak menarik perhatian. Menurut pendapatku daerah ini tidak terlalu dekat dengan hutan yang lebat dan luas. Agaknya kehadiran seekor harimau di tempat ini pantas dipertanyakan”
“Aku sependapat” desis Mahisa Pukat, “jika harimau ini berada di tempat ini sehari-harinya, apakah tidak menakut-nakuti para petani yang pergi ke sawah untuk mengairi tanamannya?”
Tetapi keduanya tidak sempat berbincang lebih lama. Harimau itu agaknya telah melihat kedua anak muda itu, sehingga selangkah demi selangkah harimau itu merunduk maju.
“Lebih baik kita pergi ke jalan itu” berkata Mahisa Murti, “agaknya kita akan mendapat tempat yang lebih luas untuk berkelahi melawan harimau itu”
“Masih beberapa puluh langkah, harimau itu tidak akan menunggu” jawab Mahisa Pukat.
“Marilah kita coba. Aku akan berjalan di belakang. Kau berjalan di depan. Kita menuju ke jalan di tengah-tengah bulak” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian melangkah lewat pematang yang menyilang, ke arah jalan di tengah-tengah bulak yang semula mereka hindari. Sebenarnyalah seperti dugaan Mahisa Murti. Harimau itu tidak segera menyerang. Tetapi harimau itu pun mengikuti saja kedua anak muda yang berjalan semakin cepat menuju kejalan.
Mahisa Pukat yang berada di depan sempat bertanya, “Harimau itu tidak berbuat apa-apa”
“Sekarang harimau itu tidak berbuat apa-apa. Kau lihat, bahwa harimau tadi sudah merunduk. Sekarang seolah-olah harimau itu memberi kesempatan kita untuk mencari jalan itu. Agaknya harimau itu pun ingin berkelahi di tempai yang agak luas”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi harimau itu memang agak aneh menurut pendapat kedua orang anak muda itu. Beberapa saat lagi keduanya akan segera sampai ke jalan yang menghubungkan sebuah padukuhan dengan padukuhan berikutnya yang terpisah oleh bulah yang panjang. Di jalan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mempunyai kesempatan lebih baik bila berkelahi tanpa merusak tanaman yang sedang tumbuh dengan suburnya.
Harimau itu seakan-akan mengerti maksud kedua anak muda itu, dan agaknya harimau itu pun tidak berkeberatan. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu sudah meloncat parit dan berdiri di sebuah jalan yang cukup luas, yang agaknya di siang hari merupakan jalan yang tidak begitu sepi.
“Kita menunggu harimau itu” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah menjauhi Mahisa Murti. Namun ia masih bertanya, “Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi jika kita menempuh jalan ini di siang hari”
“Ya. Hambatan apakah yang kira-kira akan kita jumpai. Tetapi agaknya tentu bukan seekor harimau” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Mungkin kita akan menjumpai seekor lembu yang mengamuk, atau sekelompok penyamun atau apa saja” sahut Mahisa Pukat.
Namun keduanya harus terdiam, karena harimau yang menjadi semakin dekat itu mulai mengaum.
“Bersiaplah. Harimau itu sudah berbaik hati memberi kesempatan kepada kita untuk mendapatkan tempat berpijak yang lebih luas untuk menghadapinya” berkata Mahisa Murti, “agaknya harimau ini pun bukan sejenis harimau yang hanya tahu menerkam dan membunuh”
Mahisa Pukat pun segera bersiap. Ia sependapat dengan Mahisa Murti, bahwa harimau itu termasuk harimau yang baik. Yang dapat mengerti dan memberi kesempatan kedua anak muda itu untuk mencari tempat yang paling baik untuk melawannya. Namun agaknya harimau itu sependapat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa jika mereka berkelahi di antara tanaman yang hijau, tentu akan menimbulkan kerusakan dan merugikan para petani yang tidak tahu menahu tentang kedua orang anak muda itu.
Namun bagaimanapun juga ujud yang mereka hadapi adalah seekor harimau yang besar yang mempunyai gigi dan kuku yang tajam, sehingga karena itu, maka keduanya-pun tidak dapat membiarkan tubuh mereka dikoyak oleh kuku dan gigi harimau itu. Dengan gerak nalurilah, maka kedua anak muda itu telah mengagapai pisau belati mereka yang tersimpan di bawah kain panjang. Dengan pisau belati itu mereka akan menghadapi tajamnya gigi dan kuku harimau itu.
Ketika harimau itu mulai merunduk lagi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri pada jarak beberapa langkah. Karena itu, maka harimau itu nampaknya memang harus memilih. Apakah ia akan menerkam Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.
Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan dan ketakutan. Keduanya berdiri tegak dengan lutut yang agak merendah. Di tangan mereka telah tergenggam pisau-pisau belati yang tajam, setajam ujung taring harimau itu. Untuk beberapa saat harimau itu masih merunduk. Sekali di tatapnya Mahisa Pukat sambil menggeram. Kemudian harimau itu pun berpaling kepada Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua anak muda itu pun telah menunggu. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat. Seakan-akan keduanya tanpa berkedip menatap harimau yang menggeram. Sejenak suasana dicengkam oleh ketegangan. Namun kemudian terdengar harimau itu mengaum dahsyat. Dengan tangkasnya harimau itu meloncat menerkam ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang memperhatikan gerak kaki harimau itu pun segera menyadari bahwa harimau itu telah meloncat ke arahnya. Karena itu, maka ia pun segera menempatkan diri. Pisaunya mulai bergerak. Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas. Kakinya yang seakan-akan melekat pada bumi, tiba-tiba saja melemparkan tubuhnya menyamping.
Harimau itu terkejut. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu hanya sekejap saja sebelum harimau dengan kuku-kukunya yang tajam terjulur ke depan itu menggapainya. Karena kehilangan sasarannya, harimau itu mengaum dahsyat sekali. Namun tiba-tiba saja terasa sesuatu menindih punggungnya. Tangan yang kuat telah melingkar di lehernya. Harimau itu menggeliat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan tubuh yang telah melekat di punggungnya itu. Bahkan harimau itu pun telah berguling di tanah.
Ternyata kekuatan harimau itu memang luar biasa. Mahisa Murti yang telah meloncat ke punggung harimau itu telah terlempar pada saat harimau itu berguling. Namun dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat bangkit. Sehingga ketika harimau itu bangkit berdiri pula di atas empat kakinya, Mahisa Murti telah meloncat sekali lagi ke punggunya dan melekat lebih erat.
Namun Mahisa Murti tidak mau terlambat. Sebelum harimau itu melemparkannya, tiba-tiba saja pisau belatinya telah menghunjam ke tubuh harimau itu. Sekali lagi harimau itu mengamuk dahsyat. Sekali lagi harimau itu menggeliat. Bahkan melonjak dan jatuh berguling dengan kemarahan yang menghentak-hentak oleh luka di punggungnya.
Sekali lagi Mahisa Murti tidak berhasil bertahan pada punggung harimau itu dan terlepas terpental beberapa langkah. Namun Mahisa Murti memang lebih cepat bergerak daripada lawannya. Ternyata Mahisa Murti telah melenting dan berdiri tegak lebih dahulu dari harimau itu. Pada saat harimau itu tegak. Mahisa Murti justru telah menyerangnya. Pisaunya menyambar mendatar. Namun harimau itu mengerutkan tubuhnya bahkan tangannyalah yang berusaha untuk menggapai tangan Mahis Murti.
Tetapi Mahisa Murti berhasil menghindar. Bahkan ia pun telah siap untuk meloncat lagi justru menerkam harimau itu. Namun karena harimau itu menghadap ke arahnya, maka Mahisa Murti harus berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti telah berhasil menarik perhatian harimau itu. Bahkan harimau itu telah siap menerkam dengan kuku-kukunya yang tajam. Selangkah harimau itu maju dengan kepala merendah siap untuk meloncat pada jarak yang hanya dua tiga langkah. Namun harimau itu terkejut. Ia mendengar gemersik di belakangnya. Karena itu, maka dengan gerak naluriah harimau itu berpaling.
Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang tinggi Mahisa Murti sempat meloncat maju. Pisaunya mematuk leher harimau yang berpaling itu. Namun pendengaran harimau itu memang sangat tajam. Gerak Mahisa Murti sekan-akan diketahuinya sehingga karena itu, maka justru sekali lagi tangan harimau itu terangkat, seakan-akan menangkis tangan Mahisa Murti.
Mahisa Murti berhasil mengenai lengan harimau itu. Tetapi tangannya pun telah tergores pula oleh kuku-kuku harimau yang tajam itu. Mahisa Murti berdesis. Ia bergerser surut. Terasa tangannya menjadi pedih. Namun ia pun segera bersiap kembali untuk menghadapi harimau itu.
Pada saat yang demikian, sekali lagi harimau itu terkejut. Seperti yang terjadi sebelumnya, sesosok tubuh telah menindihnya dari belakang. Dan tangan yang kuat telah melingkar pula di lehernya.
Mahisa Pukat yang melihat kedudukan Mahisa Murti yang sulit telah melekat di punggung harimau itu. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Karena itu, maka dengan segenap kekuatan yang ada padanya, ia tidak hanya menghunjamkan pisaunya sekali pada tubuh harimau itu. Tetapi berkali-kali.
Harimau itu benar-benar marah. Dengan dahsyatnya harimau itu mengaum sambil menggeliat dan berguling-guling. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan Mahisa Pukat dari punggungnya. Mahisa Pukat berusaha untuk tidak terlepas. Tetapi tiba-tiba saja tubuhnya telah terantuk batu padas, sehingga kulitnya bagaikan telah terkoyak oleh batu yang runcing itu.
Pada saat-saat yang demikian, ternyata tangan Mahisa Pukat terlepas. Namun seperti yang dilakukan oleh Mahisa Murti, maka dengan cepat ia pun meloncat berdiri. Harimau itu pun telah berdiri pula. Justru terlalu dekat di hadapan Mahisa Pukat. Namun sekali lagi ternyata Mahisa Pukat lebih cepat bergerak dari pada harimau itu, sehingga justru pisau Mahisa Pukatlah yang menyambar kening harimau itu.
Harimau itu melangkah surut sambil mengaum sekali lagi. Ternyata tubuhnya telah menjadi merah oleh darahnya yang mengalir dari luka-lukanya. Apalagi kedua anak muda itu kemudian telah bersiap menghadapinya. Sejenak harimau itu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak bersama dari dua arah mendekati harimau itu, maka harimau itu pun telah mengaum lebih dahsyat lagi oleh kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Puat tertegun. Tetapi ketika pisau belati kedua anak muda itu mulai bergerak lagi, tiba-tiba harimau itu telah meloncat. Tidak menyerang salah seorang dari kedua anak muda itu, tetapi harimau itu telah meloncat berlari memasuki daerah persawahan, menyusup di antara batang-batang padi yang hijau.
Mahisa Pukat telah siap pula untuk berlari mengejar. Tetapi Mahisa Murti telah menggamitnya sambil berdesis, “Biarkan harimau itu lari. Kita tidak akan dapat mengejarnya”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Ya. Kita memang tidak akan dapat mengejarnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu beberapa saat. Tetapi kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menuju ke padukuhan di depan kita”
“Baiklah” jawab Mahisa Pukat yang kemudian bertanya, “apakah kita akan menempuh jalan ini atau seperti tadi kita akan berjalan lewat pematang?”
“Kita akan berjalan melalui jalan ini” berkata Mahisa Murti, “tetapi kita perlu mengobati luka-luka kita. Meskipun tidak terlalu dalam, namun kita harus menempatkan darah yang mengalir ini lebih dahulu”
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Tubuhnya juga terluka ketika tubuh itu dibanting-banting oleh harimau itu dan membentur padas yang tajam, sedangkan Mahisa Murti terluka tersentuh oleh kuku harimau itu. Setelah menaburkan obat pada luka yang berdarah, maka keduanya pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka tidak algi menghindari jalan yang mereka lalui seperti sebelumnya.
“Mungkin kita masih akan bertemu dengan hambatan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Mungkin sekelompok penyamun” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi dipandanginya bulak panjang yang terbentang di hadapannya. Rasa-rasanya mereka berdua memang telah memasuki satu daerah yang asing dan penuh dengan rahasia. Kedua anak muda itu berjalan dengan hati-hati. Mereka tidak menyelipkan pisau mereka di bawah kain panjang mereka. Tetapi mereka telah meletakkan pisau-pisau belati mereka di luar agar setiap saat diperlukan, mereka dengan cepat dapat menariknya dari sarungnya.
Bahkan kedua anak-anak muda itu seakan-akan selalu menggenggam hulu pisau belatinya sambil berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang itu. Pada setiap langkah, baik Mahisa Murti maupun, Mahisa Pukat tidak pernah terlepas dari perhatian mereka terhadap keadaan di sekitarnya. Malam yang gelap, batang-batang padi yang bergerak oleh sentuhan angin malam yang lembut dan suara langkah kaki mereka sendiri.
Namun untuk beberapa saat lamanya, mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Tidak ada binatang dan tidak ada seorang pun yang mereka jumpai, sehingga akhirnya mereka mendekati regol padukuhan.
“Kita akan memasuki padukuhan itu” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Ternyata ciri-cirinya tepat seperti yang dikatakan oleh Senopati itu. Tetapi bukankah pesannya, agar kita tidak memasuki padukuhan itu lewat regol. Baik siang, maupun malam?” jawab Mahisa Pukat.
“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “orang yang akan kita datangi tidak banyak dikenal di padukuhan ini. Seandainya ia dikenal juga, tentu bukan sebagai petugas sandi dari Singsari”
Ketika anak muda itu pun kemudian terdiam. Tempat yang mereka tuju telah ada di depan mereka. Dari tempat itu, seorang Senapati lain dari Singasari memimpin tugas-tugas sandi atas beberapa orang kepercayaan mereka. Petugas-petugas itulah yang agaknya hilir mudik di daerah perbatasan, dan bahkan mungkin di seluruh kota Kediri.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengamati pintu gerbang itu. Mereka yakin, bahwa di belakang pintu gerbang itu terdapat sebuah gardu. Namun mereka tidak tahu, apakah di dalam gardu itu terdapat pata peronda atau tidak.
“Kita akan memilih meloncat dinding di sisi sebelah kiri sebagaimana disarankan oleh Senopati itu, kecuali dalam keadaan yang khusus menurut pertimbangan kita. Namun agaknya saat ini kita tidak menjumpai persoalan yang dapat memaksa kita untuk memilih tempat lain” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada persoalan yang harus merubah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Senapati Singasari yang berada di Talang Amba. Karena itu, maka keduanya pun telah bergeser ke kiri menuju ke sebatang pohon yang besar dan rimbun, yang akan dapat membayangi mereka, saat mereka memasuki dinding padukuhan.
“Pohon itu tentu pohon preh” desis Mahisa Pukat bukankah di sebelahnya ada sebatang pohon siwalan?”
“Ya” Mahisa Murti mengangguk, “kita akan meloncati dinding di bawah pohon preh itu”
Kedua anak muda itu pun kemudian dengan hati-hati telah memasuki bayangan pohon preh yang kelam. Dengan hati-hati pula keduanya berusaha untuk meloncati dinding tanpa mengetahui apakah yang ada di dalam dinding itu. Namun ketika keduanya menelungkup melekat dinding itu dalam bayangan pohon preh, mereka sama sekali tidak melihat sesuatu di báwah mereka.
Namun demikian keduanya masih menunggu sesaat untuk menyakinkan bahwa mereka tidak akan menjumpai kesulitan apabila mereka kemudian meloncat turun. Malam memang terasa sangat sepi dan kelam. Tetapi udara yang mengalir serasa memberi peringatan, bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Diluar sadarnya Mahisa Murti pun memandang Mahisa Pukat yang masih menelungkup. Perlahan-lahan ia berdesis dan kemudian memberi isyarat untuk meloncat turun.
Sesaat kemudian keduanya telah berada di dalam dinding padukuhan. Dengan hati-hati keduanya meraya di sepanjang dinding padukuhan itu, untuk mencari ciri-ciri yang dapat menunjukkan arah, kemana mereka harus pergi. Tiba-tiba keduanya tertegun. Mereka melihat sebuah jalan sempit yang ujungnya ditumbuhi sebatang pohon kulbandang. Daunnya yang berwarna ke kuning-kuningan cepat menarik perhatian.
“Disebelah pohon itu terdapat sebuah tugu batu” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Perlahan-lahan ia merayap mendekatinya. Sebenarnya mereka melihat sebuah tugu yang tidak terlalu besar. Tugu yang menurut Senopati Singa-sari di Talang Amba berisi keterangan tentang wewenang seorang Kepala Tanah Perdikan di masa lampau, tiga keturunan sebelum Buyut yang sedang memerintah.
Dengan demikian maka keduanya telah memasuki lorong sempit itu. Menyusup di bawah pohon kulbandang dan kemudian berjalan dengan sangat hati-hati menuju sebuah halaman rumah yang tidak terlalu sempit, tetapi juga bukan termasuk halaman yang luas, yang di dalamnya tumbuh sebatang pohon pucung.
“Jika pohon pucung itu sudah ditebang” berkata Senapati di Talang Amba, “atau roboh oleh angin, kalian dapat melihat ciri dari pintu gerbang halaman yang tidak terlalu besar. Kau akan melihat bahwa gawang pintunya sebelah kiri dan sebelah kanan tidak sama besar”
Karena itu, maka kedua anak muda itu berusaha mengamati setiap halaman dengan saksama. Namun mereka tidak perlu mengamati gawang pintu regol, karena kemudian mereka telah melihat sebatang pohon pucang yang sudah sangat tinggi.
“Pohon itu masih ada” berkata ia masih juga meyakinkan melihat gawang pintu gerbang. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, gawang pintu gerbang itu sebelah kiri dan kanan memang tidak sama.
“Rumah inilah yang harus kita datangi” berkata Mahisa Murti.
“Apakah kita akan segera masuk?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Kita harus memperlihatkan ciri kita setelah orang yang kita hadapi menyebut satu kalimat sandi” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia harus selalu ingat, semua pertanda, ciri kata-kata rahasia sebagai pertanda bahwa mereka berhadapan dengan orang yang benar.
Sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu pun berusaha untuk membuka pintu regol. Ternyata pintu itu sama sekali tidak diselarak. Tidak ada tanda-tanda bahwa tempat yang mereka masuki kemudian adalah tempat yang penting, yang menjadi pusat pengendalian petugas-petugas rahasia Singasari di Kediri.
Dengan tidak ragu-ragu, karena semua ciri yang disebut oleh perwira Singsari di Talang Amba itu telah mereka ketemukan, maka mereka pun langsung menuju ke seketheng sebelah kiri. Kemudian tanpa ragu-ragu pula Mahisa Murti mengetuk pintu seketheng itu dua kali berganda. Sejenak kedua anak muda itu menunggu. Sementara itu Mahisa Pukat yang menengadahkan kepalanya telah melihat cahaya fajar mulai mewarnai langit.
“Hampir pagi” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk. Ia pun melihat langit yang semakin cerah. Karena itu, maka katanya, “Mudah-mudahan kita segera menemuinya. Meskipun kita tidak terikat waktu, tetapi semakin cepat agaknya semakin baik bagi kita. Apapun yang kemudian terjadi, kita sudah berada di bawah pengetahuan yang bertugas di sini”
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Di dalam seketheng telah terdengar langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu pun terbuka. Seorang perempuan berdiri tegak di pintu. Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian perempuan itu pun bertanya, “Apakah kalian mencari seseorang?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung. Mereka mengharap seseorang menerima mereka dan langsung mengucapkan kata sandi. Tetapi yang sekarang mereka temui adalah seorang perempuan yang bertanya sewajarnya. Namun akhirnya Mahisa Murti pun menjawab, “Kami ingin bertemu dengan pemilik rumah ini”
Jawaban perempuan itu semakin membingungkannya. Katanya, “Ya. Akulah pemilik rumah ini. Aku menjadi cemas melihat kedatangan kalian pada waktu yang bukan sewajarnya seperti ini”
Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan. Tetapi Mahisa Murti pun akhirnya berkata, “Aku datang dengan ketukan khusus pada pintu seketheng sebelah kiri”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah. Silahkan masuk”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikutinya. Mereka menjadi ragu-ragu. Jika penghuni rumah itu sudah berganti karena sesuatu hal, mungkin dengan kekerasan atau pertimbangan-pertimbangan lain, maka mereka akan menemui kesulitan. Dalam kebimbangan maka Mahisa Murti kemudian menuju ke pintu butulan. Dari dalam cahaya lampu memancar keluar lewat daun pintu yang terbuka.
“Marilah anak-anak muda” perempuan itu mempersilahkan.
Kedua anak muda itu melangkah masuk. Mereka memasuki ruang yang tidak begitu luas. Memang agak berbeda dengan bayangan mereka, bahwa mereka akan memasuki ruang dalam di belakang pringgitan.
“Silahkan” berkata perempuan itu selanjutnya, “masuklah ke ruang tengah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin ragu. Namun keduanya tidak dapat melangkah surut. Dari dalam terdengar suara berat. “Masuklah anak-anak muda. Kami memang sedang menunggu kedatangan kalian”
Kedua anak muda itu tertegun sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berdesis, “Apa boleh buat” Di ikutsertakan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun memasuki pintu yang ditunjuk oleh perempuan itu. Hampir diluar sadar mereka, tangan kedua anak itu melekat pada hulu pisau belati mereka.
Demikian mereka memasuki ruang itu, maka jantung mereka terasa berdegup semakin keras. Nafas mereka terhenti sejenak. Betapa keduanya terkejut ketika keduanya melihat orang bertubuh raksasa dan pemilik warung itu berada di dalam ruangan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak di depan pintu. Wajah mereka menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, terdengar pemilik warung itu berkata, “Acungkan tangan kalian dengan jari-jari yang mengembang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang memang mereka cari. Kata-kata itu adalah kata-kata yang memang harus mereka dengar dari mulut pemilik rumah itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengulurkan tangan mereka. Jelas terlihat oleh orang yang menjadikan dirinya pemilik warung itu, cincin khusus di jari kedua anak muda itu. Agaknya pemilik warung itu mengenali sikap keduanya. Sikap yang memang harus diperlihatkan jika mereka berada di tempat itu.
“Bagus” berkata pemilik warung itu, “duduklah. Ternyata kalian adalah anak-anak kelinci sebagaimana aku duga meskipun agak kurang meyakinkan. Tetapi sikap kalian menimbulkan kepercayaan padaku, bahwa kalian memang datang untuk kepentingan Singasari”
“Ya” jawab Mahisa Murti, “kami datang untuk melaporkan diri”
“Besok kita bicarakan tentang diri kita masing-masing. Sekarang kalian dapat beristirahat” berkata orang yang dikenal sebagai pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata, “Marilah ikut aku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun orang bertubuh raksasa itu tersenyum sambil berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah kalian telah mengalahkan aku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ketika mereka berpaling kepada orang yang dikenalnya sebagai pemilik warung itu, maka dilihatnya orang itu pun tersenyum. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikuti orang bertubuh raksasa. Mereka kemudian dibawa ke serambi belakang dan kemudian keduanya dibawa masuk ke dalam sebuah bilik yang tidak terlalu luas.
“Beristirahatlah” berkata orang bertubuh tinggi besar itu, “besok masih banyak waktu bagi kalian untuk berbicara tentang tugas kalian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanya memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu. Sebuah lampu minyak masih menyala. Namun meskipun kecil, tetapi bilik itu nampak bersih. Sehingga tikar pandan yang putih terbentang di atas sebuah amben bambu yang cukup besar untuk kedua anak muda itu. Sebuah geledek bambu berada di sudut dan sebuah dingklik kayu melekat dinding di bawah lampu minyak yang masih menyala.
Selagi keduanya mengamati ruangan itu, maka orang bertubuh raksasa itu berkata, “Silahkan. Aku akan pergi. Masih ada waktu meskipun hanya sekejap”
“Terima kasih” sahut Mahisa Pukat.
Ketika orang itu meninggalkan kedua anak muda itu, maka Mahisa Murti pun telah menutup pintu bilik itu dan menyelaraknya. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun membaringkan dirinya di amben itu. “Aku memang merasa lelah” berkata Mahisa Murti.
“Kita akan dapat beristirahat” berkata Mahisa Pukat, “nah jika kau lelah sekali, tidurlah. Aku sudah terlanjur tidak merasa mengantuk”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia memang menguap. Tetapi agaknya Mahisa Murti pun sudah tidak akan sempat tidur. Suara ayam jantan yang berkokok telah memenuhi keheningan. Fajar memang telah menyingsing.
Mahisa Pukat duduk di atas amben bambu di bawah lampu minyak yang berkerdipan. Sambil bersandar dinding diamatinya Mahisa Murti yang berbaring. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak memejamkan matanya. “Tidurlah” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Mana mungkin pada waktu yang begini. Entahlah, justru setelah matahari terbit nanti. Mungkin aku justru akan tertidur nyenyak”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Dipandanginya sudut-sudut ruangan itu, seakan-akan ada yang dicarinya. Namun Mahisa Pukat memang tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu saling berdiam diri. Lampu minyak masih berkeredipan menerangi bilik itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja bangkit. Ia mendengar suara pedati di halaman yang mulai bergerak. Semakin lama menjadi semakin jauh.
“Pedati” desis Mahisa Murti
“Ya. Mungkin sesuatu harus dibawa dengan pedati meninggalkan rumah ini” sahut Mahisa Pukat.
“Matahari masih belum terbit” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Bahkan mereka pun telah duduk kembali dengan baik ketika mereka mendengar derap langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu bilik itu pun diketuk dari luar. Perlahan-lahan saja. Mahisa Pukat pun yang kemudian berdiri menghampiri pintu. Meskipun kedua anak muda itu merasa, bahwa mereka telah sampai ketempat yang memang harus di datangi, namun mereka masih tetap berhati-hati. Demikian pintu itu terbuka, maka mereka melihat orang yang bertubuh tinggi besar itu telah berdiri di luar pintu.
“Apakah kalian sempat beristirahat” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling ber pandangan sejenak. Namun sebelum mereka menyahut, orang bertubuh raksasa itu berkata, “kalian tentu belum sempat beristirahat. Tetapi kalian dipanggil ke dalam”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak. Mereka pun kemudian mengikuti orang bertubuh raksasa itu masuk ke ruang dalam. Diruang dalam orang yang menyebut dirinya pemilik warung itu duduk diapit oleh dua orang yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki ruang itu, maka sambil tersenyum orang yang menyebut dirinya pemilik warung itu pun segera mempersilahkan duduk.
“Marilah anak-anak muda” berkata orang itu, “sebentar lagi aku harus sudah pergi. Pedati yang membawa dagangan ke warungku sudah berangkat. Aku harus segera menyusulnya. Nanti pada saat matahari naik, orang mulai datang untuk berbelanja di pasar itu dan di antara mereka akan singgah di warung kami”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pedati yang meninggalkan halaman itu ternyata berisi dagangan yang akan dijual di warung. Mungkin nasi dan beberapa jenis makanan sebagaimana pernah mereka makan pada saat-saat mereka berada di warung itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk pula bersama beberapa orang di ruang itu. Dengan berdebar-debar keduanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh pemilik warung itu kepada mereka.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Anak-anak muda. Melihat ciri-ciri dan sikap kalian, maka kami tidak meragukan lagi bahwa kalian telah dikirim untuk bergabung dengan kami. Kami sama sekali tidak berkeberatan karena kami memang memerlukan kawan-kawan yang akan dapat membantu kami dalam saat seperti sekarang ini. Karena itu, lakukan apa yang telah kalian persiapkan. Aku dan kawan-kawan kita yang sudah terdahulu berada di sini akan dapat membantu keterangan-keterangan yang kalian perlukan. Namun dalam banyak hal kami masih harus bekerja keras. Persoalan Pangeran Kuda Permati merupakan bagian yang terpenting dari tugas kita di sini. Sementara itu peristiwa yang dialami Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat lepas dari perhatian kita. Kita akan mengikuti persoalannya untuk selanjutnya, sementara itu sikap Sri Baginda atas Pangeran Lembu Sabdata pun secara terus-menerus kita ikuti. Untuk selanjutnya, maka kalian berdua telah diserahkan kepadaku untuk membimbing langkah-langkah selanjutnya dalam hubungan dengan tugas ini. Sayang sekali bahwa kalian masih belum dapat berhubungan langsung dengan Senapati dalam tugas ini di Kediri. Mungkin pada suatu saat kalian akan mendapat kesempatan. Namun segala sesuatunya masih tergantung pada keadaan. Sedangkan aku sendiri masih belum mendapat kesempatan untuk mengetahui di mana tempat Senapati itu dalam tugas ini meskipun aku pernah melihat baraknya di Singsari, barak pasukan khusus sandi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata pemilik warung itu juga bukan pemimpin dari. jaringan sandi Singsari yang ada di Kediri. Namun demikian orang itu tentu memiliki wawasan yang cukup luas dan akan dapat meberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya.
“Anak-anak muda” berkata pemilik warung itu, “mungkin kalian dapat menyebut nama kalian yang sebenarnya dan bahan-bahan yang ada pada kalian dalam tugas kalian”
Kedua anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian mereka berusaha untuk menghilangkan segala prasangka. Karena itu maka Mahisa Murti pun menjawab, “Namaku adalah Mahisa Murti, dan saudaraku ini bernama Mahisa Pukat. Kami datang dari Talang Amba, satu daerah yang menjadi sasaran serangan Pangeran Lembu Sabdata itu ditangkap dan jatuh ke tangan orang-orang Singasari. Namun kedatangan Pangeran Singa Narpada telah membawanya ke Kediri. Meskipun akhirnya terjadi sesuatu yang agaknya kurang wajar”
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Ia pun dapat mengerti kenapa kedua orang anak muda itu berkepentingan dengan Pangeran Kuda Permati. Namun kemudian ia pun bertanya pula, “Anak-anak muda. Apakah kalian memang anak-anak muda dari Talang Amba?”
Mahisa Murti pun kemudian menceriterakan tentang dirinya dan tentang Mahisa Pukat. Ia sadar, bahwa dengan demikian, maka tugasnya berdua tidak akan banyak terganggu oleh prasangka. Jika orang-orang itu mempercayainya dan mengetahui latar belakang kehadirannya, maka ia akan mendapat bantuan seperti yang dikehendakinya.
Pemilik warung itu pun memperhatikan segala ceriteranya dengan saksama. Kemudian dengan suara datar ia pun berkata, “Pantas. Memang kalian tidak akan mendapat pertanda bahwa kalian termasuk dalam jajaran petugas sandi jika kalian memang tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Kelebihan kemampuan kalian telah kami ketahui. Kalian mampu melampaui hambatan-hambatan yang kami pasang. Bahkan kemudian ternyata kalian memang anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kehormatan, karena kalian kemenakan Mahisa Agni dan adik Mahisa Bungalan. Seorang Senopati yang penunjul”
“Tetapi mungkin kami akan mengecewakan kalian” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Entahlah apa yang akan terjadi. Tetapi kita akan berusaha untuk bekerja bersama. Biarlah kalian hari ini beristirahat secukupnya. Besok kalian akau membantu aku di warung itu sebelum kalian mendapatkan jalan, apa yang harus kau lakukan kemudian. Pada hari-hari tertentu kalian dapat berada di warung itu. Apalagi pada hari-hari Keliwon. Biasanya pada hari-hari itu warungku banyak dikunjungi orang, karena pasar itu memang menjadi lebih ramai dari hari-hari biasanya” berkata pemilik warung itu, lalu, “Sementara itu, dalam usaha kailan melaksanakan tugas kalian, kalian dapat berhubungan langsung dengan kedua orang ini. Pada saat-saat aku tidak ada, kedua orang ini akan memberikan banyak petunjuk dan bimbingan bagi kalian, berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sekilas diamatinya kedua orang yang sebelumnya belum pernah dilihatnya itu. Sementara itu pemilik warung itu berkata, “Yang seorang bernama Watang Cemani sedang yang lain adalah Lembu Panenggak. Keduanya adalah kawan-kawanku terdekat”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya, Mahisa Pukat pun bertanya, “Sedangkan Ki Sanak sendiri?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Jawabnya, “Namaku Dandang Panumping”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Sementara itu, pemilik warung yang menyebut dirinya bernama Dandang Panumping itu berkata, “Tetapi anak-anak muda, sebagai penjual di warung itu namaku adalah Ki Pugutrawe”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Mereka harus mengingat-ingat nama itu. Di warung ia harus memanggil orang itu Ki Pugutrawe.
Dalam pada itu, maka Ki Pugutrawe itu pun kemudian berkata, “Sudahlah, Aku sudah kesiangan hari ini. Aku akan segera menyusul daganganku. Sebentar lagi orang-orang akan memerlukan makan pagi. Dan aku harus melayani mereka”
Demikianlah, maka pemilik warung yang menyebut dirinya bernama Ki Pugutrawe itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dipersilahkan kembali ke dalam biliknya. Hari itu mereka masih belum mempunyai tugas apapun juga. Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mendapat kesempatan untuk kembali ke dalam biliknya sementara Pugutrawe masih berpesan,
“Kedua orang yang akan memberi kalian bimbingan ini tinggal di rumah ini pula. Mereka ada di gandok sebelah Timur. Namun demikian kalian harus ikut menjaga, agar rumah ini nampaknya tetap lengang dan tidak penuh dengan orang-orang yang dapat menarik perhatian. Jika tidak penting sekali, kalian jangan berkeliaran di halaman depan. Sementara halaman rumah ini telah aku bawakan dengan kesibukan orang-orang yang membantu aku sebagai pemilik warung itu. Mereka adalah orang-orang yang setiap kali datang menjual kayu bakar, daun pisang dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sebuah pedati dengan orang-orang yang memelihara lembunya dan beberapa orang untuk kepentingan-kepentingan lain”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat gambaran yang agak lengkap dengan isi rumah itu. Karena itu, maka mereka pun kemudian telah kembali ke dalam bilik untuk beristirahat. Ketika mereka duduk di serambi, maka orang yang bertubuh raksasa itu datang mendekat. Kemudian ia pun duduk pula di sebelah mereka sambil bertanya, “He, dari mana kalian mendapat ilmu iblis kalian itu? Anak-anak yang masih semuda kalian mampu mempermainkan aku. Sebenarnyalah aku benar-benar menjadi marah terhadap kalian”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kau memiliki modal yang luar biasa. Tetapi kau tidak sempat mengembangkan ilmumu lebih jauh. Kau mempunyai kekuatan raksasa sesuai dengan tubuhmu”
“Ya. Aku memang tidak sempat. Tetapi aku akan mencari waktu khusus untuk itu. Aku mudah mendapat ijin dari Pugutrawe untuk melakukannya” berkata orang bertubuh raksasa itu, “he, apakah kalian mau berlatih bersama aku?”
“Apakah di sini tidak ada orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku agak segan dengan Watang Cemani dan Lembu Penenggak. Mereka adalah orang yang terlalu bersungguh-sungguh dalam banyak hal” jawab orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menurut pengamatan mereka yang hanya sekilas, kedua orang itu nampaknya memang pendiam dan tidak banyak bicara. Selama mereka berada di ruang dalam, keduanya sama sekali tidak menunjukkan sikap yang ramah. Wajah keduanya memang nampak selalu bersungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun kemudian bertanya kepada, raksasa itu, “Bagaimana anggapanmu tentang kami? Apakah kau mengira bahwa kami tidak selalu bersuugguh-sungguh, sehingga kau tidak segan menyatakan niatmu kepadaku?”
“Jangan mengada-ada. Aku tahu, kalian bukan orang-orang garang. Ketika kalian terlibat dalam perkelahian yang seru, kalian masih sempat mempermainkan aku” jawab orang bertubuh tinggi besar itu, “dengan demikian aku menganggap bahwa kalian memang orang-orang yang tidak terlalu kaku, dan bahkan sedikit mempunyai sifat Jenaka”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Sukurlah jika masih ada orang yang menganggap kami demikian. Sebenarnyalah kami adalah orang-orang yang kasar dan sama sekali tidak mengenal gurau”
“Omong kosong” sahut raksasa itu, “bagaimana sifat dan keadaan, aku ingin mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmu meskipun hanya dalam kesempatan yang terbatas”
Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Kita dapat mengatur waktu. Aku belum tahu, kewajiban apakah yang harus aku lakukan. Tetapi aku kira, bahwa aku tidak hanya akan berada di rumah ini. Rumah ini hanyalah sekedar tempat persinggahan untuk memberikan laporan-laporan dan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang kami perlukan”
Orang itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang lain. Mereka pada umumnya memang tidak tinggal di rumah ini” orang itu berhenti sejenak, Lalu, “Nah, jika demikian, mumpung kalian untuk sementara masih berada di rumah ini”
Mahisa Pukat pun mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku setuju. Besok kita akan mulai, apakah di sini ada sanggar yang memadai?”
“Tidak usah dengan sanggar. Kita dapat berlatih di tempat terbuka. Di halaman belakang yang rimbun oleh pepohonan. Tetapi sudah barang tentu di malam hari”
“Apakah bunyi gaduh yang timbul tidak akan menarik perhatian?” bertanya Mahisa Murti.
“Kita dapat mempergunakan tempat yang paling sepi, tempat yang agak jauh dengan tetangga dan tempat-tempat yang dihuni orang di halaman ini” jawab orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya memang tidak berkeberatan. Apalagi Pututrawe sudah memberi ijin kepada orang bertubuh raksasa itu. Meskipun agaknya Pututrawe bukan orang tertinggi, tetapi ia tentu memiliki pengaruh yang besar di antara mereka.
Namun sementara itu, selagi mereka masih berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan latihan untuk meningkatkan ilmu masing-masing, maka mereka tertegun ketika mereka melihat Watang Cemani muncul dari sudut rumah itu dan berada di serambi.
“Oh” orang bertubuh raksasa itu tergagap, “marilah”
“Aku akan berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab Watang Cemani dengan wajah yang sama sekali tidak berubah. Wajah yang selalu nampak bersungguh-sungguh.
“Silahkan” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Aku memerlukan mereka di ruang dalam” gumam Watang Cemani.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian bangkit sambil bersiap-siap untuk mengikuti Watang Cemani.
“Kau tinggal di sini” berkata Watang Cemani kepada orang bertubuh tinggi besar itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku tinggal di sini”
Watang Cemani pun kemudian meninggalkan serambi itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengikutinya menuju ke ruang dalam. Diruang itu telah menunggu Lembu Penenggak. Seperti Watang Cemani, maka wajah Lembu Panenggak pun nampaknya selalu bersungguh-sungguh.
“Marilah anak-anak” desis Lembu Panenggak dengan suara yang datar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di hadapan Lembu Panenggak, sementara Watang Cemani pun telah duduk pula di samping Lembu Panenggak.
“Ada yang ingin kami ketahui tentang kalian” berkata Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi mereka tidak menjawab.
“Siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan kalian berdua kemari?” bertanya Lembu Panenggak
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Sudah kami ceriterakan, bagaimana kami dapat mencapai tempat ini”
“Ya. Tetapi siapakah yang memerintahkan kalian” ulang Lembu Panenggak dengan nada berat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Senapati dari Singasari yang memimpin sepasukan prajurit di Talang Amba untuk menghadapi pasukan Pangeran Lembu Sabdata”
Lembu Panenggak mengerutkan keningnya. Wajan memancarkan perasaan yang sulit ditebak. “Anak-anak” berkata Lembu Panenggak kemudian, “sebenarnya aku merasa heran, bahwa seorang Senapati memerintahkan kalian untuk datang kemari dalam tugas sandi. Apakah Senapati itu tidak mempunyai petugas-petugas sendiri-sendiri, sehinggah merekalah yang akan mendapat tugas yang berat ini. Petugas-petugas sandi memerlukan latihan khusus untuk melaksanakan tugasnva. Sedangkan kalian adalah anak-anak ingusan yang di samping tidak mengenal paugeran dan kebiasaan-kebiasaan dalam tugas sandi ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Kami memang tidak mendapat latihan apapun dalam tugas ini. Kami hanya merasa terpanggil untuk membantu menjernihkan kekeruhan yang terjadi di Talang Amba. Namun kami pun tertarik keadaan keganjilan-keganjilan yang terjadi di Kediri, bahwa menurut pendengaran kami, ada semacam salah paham yang telah terjadi setelah Pangeran Singa Narpada kembali dari Talang Amba”
“Hanya itu?” bertanya Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung, sehingga Mahisa Murti pun bertanya, “Aku tidak tahu yang kau maksudkan”
“Ternyata kalian memang anak-anak yang bodoh. Dengar baik-baik” berkata Lembu Panenggak, “apakah hanya karena itu maka kalian merasa terpanggil? Apakah kalian tahu, dimanakah letak istana Kediri. Di mana istana Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata dan Pangeran Kuda Permati. Apakah kalian mengenal salah seorang dari keluarga mereka sehingga kalian akan dapat mencari hubungan untuk mengetahui persoalan yang berkembang di antara mereka. Apalagi apakah kalian mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitar Sri Baginda untuk mendapatkan penjelasan tentang sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin bingung. Sambil menggeleng Mahisa Pukat itu pun menjawab, “Tidak. Kami tidak tahu apa-apa tentang semuanya itu. Sekali lagi aku katakan, bahwa kami hanya merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Talang Amba dan Gagelang. Jika kami terlempar ke tempat ini, sebenarnya hanyalah kelanjutan saja dari sikap kami. Namun kami tidak terlalu bodoh untuk mendengarkan keterangan tentang semua yang belum kami ketahui. Kami ternyata mampu menemukan rumah ini dan berhubungan dengan Dandang Penumping”
Wajah Lembu Panenggak menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan sorot mata tajam. Sementara itu terdengar ia berkata, “Kau semakin menunjukkan kebodohan. Mencari Dandang Penumping bukan satu soal yang dapat dibanggakan. Anak anak kecil pun akan dapat melakukannya. Tetapi yang aku tanyakan adalah bobot dari alasanmu datang kemari dan jangkauan pengetahuanmu tentang medan yang akan kau hadapi”
“Semuanya sudah kami katakan” jawab Mahisa Pukat “apa lagi”
“Kami meragukan keterangan kalian yang kalian katakan kepada Dandang Penumping dan kepada kami” berkata Lembu Panenggak.
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Pukat berkata lantang, “Terserah. Itu hakmu. Tetapi kami memakai cincin yang diberikan oleh seorang Senapati dari Singasari.
“Kami juga meragukan keaslian cincin itu” jawab Lembu Panenggak itu dengan tegas.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang dan suara yang bergetar Mahisa Pukat menjawab, “Ternyata kami justru telah meragukan kalian berdua. Ternyata kalian tidak dapat mengenali keaslian cincin yang kami pakai. Dengan demikian maka kalian berdua bukan seorang yang tahu pasti akan pertanda yang sudah disiapkan oleh Singasari”
Sementara itu Mahisa Murti pun menyambung, “Kau sudah menempatkan dirimu pada keadaan yang sulit dalam pandangan kami. Seandainya kalian tidak mengenal cincin ini sebagai cincin yang memang benar-benar diserahkan oleh seorang pemimpin dari lingkungan petugas sandi, maka kau memang pantas dicurigai. Apalagi karena kau sudah berhasil memasuki rumah ini, satu lingkungan yang menurut pendapat kami, pasti merupakan lingkungan dari banyak lingkungan para petugas sandi, sebaiknya jika alasan itu hanya sekedar alasan, ketidak percayaan kalian terhadap kami berdua, maka kau telah menempatkan dirimu berhadapan langsung dengan Senapati yang telah memberikan cincin itu kepada kami. Siapa pun kami, betapapun bodoh dan dungunya kami berdua, tetapi kami sudah mendapatkan kepercayaan itu dari Senapati yang berwenang memberikan pertanda itu kepada kami. Dengan demikian, maka jika kau tidak mengakui pertanda ini, maka sepantasnya kau mendapat perhatian khusus dari Singasari”
“Anak-anak gila” geram Lembu Panenggak. "Kalian mulai mengancam dengan cara yang sudah terlalu sering dipergunakan oleh orang-orang seperti kalian. Tetapi semuanya itu tidak ada gunanya. Kalian akan tetap dianggap sebagai orang-orang yang telah dengan sengaja menyusup ke dalam lingkungan kami”
“Bagus” jawab Mahisa Pukat, “kau mau apa?”
Wajah orang itu menjadi merah, sementara itu Mahisa Murti melanjutkan, “Itulah sebabnya, maka Singasari dengan penuh kebijaksanaan telah mengirimkan orang ketiga bersama kami. Orang yang akan mengawasi kami tetapi juga akan melindungi kami. Orang yang berasal dari lingkungan keprajuritan Singasari sendiri”
Ketegangan nampaknya telah mencengkam jantung Lembu Panenggak. Dipandanginya Watang Cemani sejenak. Namun kemudian Lembu Panenggak itu tertawa. Katanya, “Sekarang kami semakin yakin bahwa kalian memang orang yang tidak pantas berada di antara kami. Seorang petugas sandi yang sebenarnya tidak akan menyebut orang lain dari lingkungannya, yang akan dapat membuka jalur menelitian terhadap kawan-kawannya. Dengan menyebut orang ketiga, maka kalian telah menyatakan diri, bahwa kalian memang bukan orang-orang yang pantas menyebut diri petugas sandi”
Kedua anak muda itulah yang menjadi semakin tegang. Tetapi Mahisa Pukat dengan segera menjawab, “Kau memang jauh lebih bodoh dari yang aku duga. Kau kira dalam hubungan sandi, aku dapat menunjukkan seseorang. Jika kalian menuduh bahwa kami telah menyeret seorang lagi di antara kami ke dalam malapetaka, maka kau sama sekali tidak mengerti tubuh dari petugas sandi. Tidak seorang pun yang tahu, siapakah yang mendampingi dan mengawasi. Tetapi dengan penuh kesadaran bahwa orang itu ada di sekitar kami. Nah, apa katamu”
Lembu Panenggak menggeretakkan giginya. Katanya, “Sikap kalian sangat sombong. Kalian sangka, apakah kalian akan dapat menyelamatkan diri dari tangan kami. Kami akan menangkap kalian. Kami tidak mempedulikan Dandang Penumping. Setelah kalian berdua kami selesaikan, maka barulah kami akan melaporkannya kepada Dandang Penumping”
Wajah Mahisa Pukat pun telah, membara. Katanya, “Jika benar kami memasuki mulut serigala, maka kami tidak akan membiarkan diri kami untuk dikunyah. Tetapi kami akan memotong tenggorokan serigala itu dan membunuhnya. Karena itu, jangan menganggap bahwa kami akan menyerah. Kami akan menyerah bersama lepasnya nyawa kami”
“Omong kosong” geram Lembu Panenggak, “kami mampu menangkap kalian dan memeras keterangan tentang orang ketiga yang kau sebut”
Mahisaa Murti pun yang kemudian menjawab dengan suaranya bergetar, “Sebenarnya kami menghormati kalian berdua. Tetapi kami bukan kambing perahan yang dapat kau perlakukan sekehendak hati. Kami akan mempertahankan diri sampai batas terakhir daria kemampuan kami, apapun kalian akan bertempur berdua saja, atau kalian masih ingin memanggil kawan”
“Gila” geram Lembu Panenggak, “darahku sudah mendidih. Apakah kau tidak menyadari, bahwa sikap kalian akan membawa akibat yang lebih buruk dari mati”
“Akibat apapun tidak akan dapat memaksa kami untuk menyerahkan leher kami. Bersiaplah. Kita akan menentukan, siapakah di antara kita yang pantas berada di rumah ini menunggu kedatangan Dandang Panumping” tantang Mahisa Murti.
Dalam pada itu Watang Cemani pun telah bergeser mendekati Lembu Panenggak. Wajahnya pun menjadi tegang dan sikapnya menjadi garang. Namun dalam pada itu, Lembu Panenggak menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kalian benar-benar sudah jemu hidup”
“Jangan aneh-aneh” berkata Mahisa murti, “jika kalian ingin berbuat sesuatu yang menarik kalian adalah benar, maka lakukanlah sebagaimana kami pun akan berbuat sesuai dengan keyakinan kami”
Lembu Panenggak memandang kedua anak muda itu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata kalian masih beruntung. Dalam keadaan yang menentukan, aku mendengar kedatangan seseorang yang tidak perlu tahu tentang keadaan rumah ini meskipun ia terbiasa keluar masuk tanpa hambatan”
“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.
Lembu Panenggak terdiam sejenak. Di luar memang terdengar langkah seseorang. Sejenak kemudian, pintu berserit. Sebuah kepala muncul menjenguk ke dalam.
“He” desis orang itu, “apa yang sedang kalian lakukan?”
Lembu Panenggak yang tegang, tiba-tiba saja menjadi ramah dan menjawab, “Tidak apa-apa Kiai. Marilah”
Orang itu melangkah masuk. Dilihatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang agaknya belum dikenalnya. Dengan ramah orang itu menyapanya, “Siapa kalian? Aku yang setiap hari datang kemari, belum pernah melihat kalian berdua di sini”
“Keduanya adalah saudara Pugutrawe” jawab Lembu Panenggak mendahului Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang termangu-mangu.
“Oh” orang itu mengangguk-angguk, “kebetulan sekali ada kalian sekarang ini. Tolong, ambilkan aku kelapa muda”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Sebelum mereka menjawab orang itu mendesak, “Ayo. Jangan ragu-ragu. Pugutrawe sendiri sering memanjat untuk mengambil kelapa muda bagiku”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu. Karena itu maka orang itu pun semakin mendesaknya, “Cepat. Kenapa kalian hanya mematung saja?”
Dalam pada itu sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab, maka Lembu Panenggaklah yang menyahut, “Baiklah kiai. Biarlah seseorang mengambil kelapa muda itu untuk Kiai. Tetapi bukankah salah seorang dari keduanya”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Kenapa dengan dua orang anak ini? Apakah mereka memang pemalas?”
“Mereka baru saja datang, sehingga keduanya masih terlalu letih untuk memanjat sebatang pohon kelapa” jawab Lembu Panenggak.
Orang itu mengangguk-angguk katanya “Terserah, siapa saja yang akan memanjat. Aku memerlukan dua buah kelapa muda itu”
Lembu Panenggak dan Watang Cemani pun tiba-tiba telah meninggalkan ruangan itu mengikuti orang yang ingin mendapat dua butir kelapa muda itu dengan meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat begitu saja.
Beberapa saat lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu di tempatnya. Namun akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita kembali ke bilik kita”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya kemudian meninggalkan ruang itu dan kembali ke dalam bilik mereka berdua. Ketika mereka sampai ke bilik mereka, orang yang bertubuh tinggi besar itu ternyata justru telah tertidur dengan nyenyaknya di lantai, tanpa alas apapun juga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membangunkannya. Justru keduanya telah berbaring di pembaringannya.
“Orang itu agaknya memang gila” geram Mahisa Pukat, “jika keduanya menyusul kemari, apa boleh buat. Bukan salah kita jika terjadi sesuatu”
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku kurang mengerti, apakah sebenarnya yang baru saja terjadi”
“Yang kau maksud, apakah mereka benar-benar akan melakukan seperti yang dikatakannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang perasaanku pun condong untuk menduga demikian. Tetapi kita harus tetap berhati-hati”
“Aku mengerti” jawab Mahisa Murti, “karena itu, kita jangan sampai tertidur bersama-sama. Apakah itu siang, apakah malam hari”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya, “Bagaimanapun juga kedua orang itu memang aneh”
Dalam pada itu, Watang Cemani, Lembu Panenggak dan orang yang ingin mendapatkan dua butir kelapa itu pun terhenti di sudut kandang, beberapa langkah dari sebatang pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, tetapi buahnya cukup lebat.
Namun ternyata mereka tidak mencari orang untuk memanjat pohon kelapa itu. Sementara itu, dengan kata-kata yang bernada dalam, Lembu Panenggak berkata, “Keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang tinggi. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan atau gentar ketika aku menggertaknya. Bahkan mengancamnya untuk membunuh”
Orang yang menginginkan dua butir kelapa muda itu tertawa. Katanya, “Kau justru telah hanyut ke dalam arus perasaanmu. Agaknya kau benar-benar menjadi marah”
“Jawaban anak-anak itu memang membuat telinga ini menjadi merah” jawab Lembu Panenggak, “Aku hampir kehilangan pengamatan diri. Anak-anak itu sama sekali tidak mengenal takut. Mereka menantang kami dengan tatag”
“Menurut pengamatanku, keduanya memang pantas untuk berada dalam lingkungan petugas sandi” berkata Watang Cemani.
Orang yang mengatakan ingin mendapat dua butir kelapa muda itu mengangguk-angguK. Lalu katanya, “Kalian harus membuat laporan terperinci kepada Dandang Penumping”
“Ya. Watang Cemani akan pergi ke warungnya. Ia berpesan, agar segala sesuatunya segera dilaporkan tanpa menunggu ia kembali” berkata Lembu Panenggak.
“Tetapi jangan sampai terjadi salah paham. Kedua anak itu jangan sampai meninggalkan tempat ini karena perlakuanmu” berkata orang yang ingin mendapatkan kelapa muda itu.
“Menilik sikapnya yang keras, mereka tidak akan pergi. Bahkan keduanya telah siap untuk bertahan jika ada seseorang yang memaksanya untuk pergi. Ia merasa sudah mendapatkan haknya untuk tinggal di sini. Selain ciri yang dipakainya yang didapatkannya dari Singasari, ia pun merasa sudah diterima oleh Dandang Penumping” berkata Lembu Panenggak.
“Baiklah” berkata orang yang menyebut dirinya ingin mendapatkan kelapa muda itu, “tetapi pada suatu saat, mereka harus mengerti bahwa kalian tidak bersungguh-sungguh. Menilik sikap mereka yang keras, maka mereka tidak akan mudah melupakan mereka yang keras, maka mereka tidak akan mudah melupakan peristiwa ini jika kalian tidak memberikan penjelasan kepada keduanya”
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya, “Hatiku benar-benar terbakar. Untunglah aku selalu menyadari tugasku. Tetapi biarlah Dandang Penumping yang mengatakan kepada anak-anak itu. Selama aku bertugas, aku belum pernah mengalami kekerasan sikap seperti itu”
“Keduanya adalah adik Mahisa Bungalan. Senapati besar yang keras hati” berkata Watang Cemani, “bukanlah sifat itu nampakjuga pada keduanya?"
Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian orang yang mengatakan memerlukan dua buah kelapa muda itu pun kemudian berkata, “Aku benar-benar akan mengambil kelapa muda”
Lembu Panenggak tidak mencegahnya Orang itu kemudian memanjat dengan cekatan. Dalam waktu yang singkat, dua buah kelapa muda sudah terjatuh dari tangkainya.
“Sudahlah” berkata orang itu, “Aku akan pergi. Aku akan datang menjelang malam. Hati-hatilah dengan anak-anak muda itu. Jika kau ingin melakukan, sesuatu, sebaiknya kau hubungi aku seperti yang tadi kau lakukan”
“Baiklah” jawab Lembu Panenggak, “mudah-mudahan keduanya akan mampu dikendalikan dengan baik sesuai dengan tugas.
Demikianlah, maka orang yang membawa dua butir kelapa muda itu pun minta diri. Ia sempat sungguh di ruang yang telah kosong. Namun orang itu mengerti, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu sudah berada di biliknya, sehingga ia pun singgah pula sejenak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika seseorang memasuki bilik mereka. Demikian pintu berderit, maka keduanya telah berdiri tegak menghadap pintu. Namun yang berdiri di pintu itu adalah orang yang memerlukan dua butir kelapa muda.
“Aku sudah mendapatkan kelapa muda itu anak-anak” berkata orang itu.
“Oh, sukurlah” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Kami mohon maaf bahwa kami tidak dapat mengambil kelapa muda itu”
“Oh, tidak apa-apa. Bukankah yang penting bahwa aku telah mendapatkannya” berkata orang itu. Lalu, “Baiklah, beristirahatlah. Aku akan pulang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka memandangi saja ketika orang itu kemudian meninggalkan biliknya tanpa menutup pintu. Sekilas orang itu sempat melihat raksasa yang tidur sambil mendekur.
“Pemalas itu tidur di sini” desis orang itu sambil melangkah pergi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika Mahisa Pukat menutup pintu bilik itu, maka orang bertubuh tinggi besar yang tertidur itu pun telah terbangun.
“Oh, ada apa dengan kalian?” bertanya raksasa itu.
“Tidak ada apa-apa” jawab Mahisa Pukat.
“Orang itu mengusap matanya sambil bangkit dan duduk bersandar dinding. Katanya, “Aku bermimpi ada orang yang baru saja memasuki bilik ini”
“Kau tidak bermimpi. Memang ada orang yang baru saja keluar dari bilik ini. Ia sempat melihat kau tidur mendekur” jawab Mahisa Pukat.
“Karena itu, aku memang bermimpi. Tidak mungkin aku mendengar kehadirannya sambil mendekur” jawab raksasa itu.
“Mungkin” jawab Mahisa Murti, “tetapi di dalam mimpimu siapakah yang telah datang ke bilik ini?”
Orang itu menggeleng. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri "Aku tidak mengenalnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu memang sedang bermimpi, jika ia tidak bermimpi, maka seharusnya ia mengerti siapakah orang yang menginginkan kelapa muda itu.
Dalam pada itu ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali berbaring di pembaringan mereka, maka Lembu Panenggak telah meninggalkan rumah itu. Sebagaimana biasa, ia hanya mengenakan pakaian orang kebanyakan. Dengan sebuah keba dari pandan yang dikepitnya, ia pun berjalan tergesa-gesa meninggalkan regol halaman menuju ke warung Pugutrawe.
Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Rumah Pugutrawe memang sering didatangi oleh banyak orang. Kadang-kadang menawarkan kayu bakar. Kadang-kadang daun pisang atau beras. Tetangga-tetangganya mengetahui bahwa Pugutrawe membuka sebuah warung nasi dan beberapa jenis makanan. Meskipun warung itu pada mulanya tidak terlalu besar. Tetapi agaknya warung itu berkembang dengan baik, sehingga semakin lama semakin besar sebagaimana warung-warung yang lain di sekitar warungnya.
Seandainya tempat pertemuan beberapa jenis barang itu masih tetap seramai sebelumnya, maka perkembangan warung Pugutrawe tentu semakin baik. Tetapi keramaian tempat itu semakin lama nampaknya semakin susut. Apalagi pada saat-saat terakhir, kadang-kadang timbul kekerasan yang dapat membuat orang-orang kecil dipengaruhi juga oleh perkembangan persoalan yang lebih besar. Kekurangan yang terjadi di Kediri memang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan putaran perdagangan rakyat kecil.
Apalagi di daerah perbatasan yang sejak tersingkirnya Pangeran Kuda Permati menjadi daerah yang sangat rawan. Kadang-kadang muncul orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Memungut pajak dan barang-barang sesuai dengan kehendaknya sendiri, sementara Kediri masih belum sempat melindungi orang-orang yang terpaksa menuruti kehendak para pengikut Pengeran Kuda Permati.
Persoalan inilah yang disoroti dengan tajamnya oleh para petugas sandi dari Singasari. Ketika Lembu Panenggak memasuki warung Pugutrawe, maka beberapa orang telah berada di dalam warung itu. Seorang yang bertubuh gemuk sedang sibuk menyuapi mulutnya dengan nasi dan lauk pauknya. Semetara orang lain yang bertubuh kurus, tengah menikmati minuman panasnya. Sekali-sekali terdengar mulutnya berdesis, segumpal demi segumpal ia mengunyah gula kelapa. Kemudian dihirupnya wedang sereh yang panas dari mangkuknya.
Lembu Panenggak menelan ludahnya Rasa-rasanya ia pun telah menjadi sangat haus. “Wedang sere” tiba-tiba Lembu Penenggak memesan minuman, “gulanya jangan dimasukkan ke dalam wedang sere itu”
Pugutrawe tersenyum. Katanya, “Buat sendirilah”
Lembu Panenggak menarik nafas dalam-dalam. Orang bertubuh kurus yang sedang menikmati minuman panas itu pun memandanginya sejenak. Namun ia pun kemudian tidak memperhatikannya lagi. Ketika kemudian Pugutrawe memberikan mangkuk itu kepada Lembu Panenggak, maka Lembu Panenggak itu pun berdesis, “Aku sudah memanggil kedua anak muda itu”
Pugutrawe tersenyum. Perlahan-lahan ia bertanya, “Bagaimana kesanmu atas mereka?”
“Aku kagum kepada mereka. Mereka mempunyai tekad yang sangat teguh. Tetapi mereka masih kekanak-kanakan. Mereka memerlukan beberapa petunjuk untuk mengendalikan perasaan mereka."
Pugutrawe mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduganya. Dalam pada itu, Lembu Panenggak pun telah duduk pula sambil meneguk wedang serenya. Beberapa orang memandanginya. Nampaknya orang yang sedang meneguk wedang sere sambil mengunyah gula kelapa itu sudah terlalu biasa berada di warung itu.
Pugutrawe melihat tatapan mata beberapa orang yang sedang berada di warungnya itu. Karena itu, maka katanya kemudian kepada orang gemuk yang sudah selesai makan, “Ini adalah adikku”
Orang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa-rasanya aku pernah melihatnya”
“Agaknya di warung ini juga. Ia sering berada di warung ini jika haus atau lapar. Tetapi ia malas untuk membantu aku bekerja di sini” berkata Pugutrawe.
Orang yang gemuk itu pun menyahut sambil mengusap mulutnya, “Seharusnya ia tidak boleh malas. Lalu apa kerjanya sehari-harinya?”
“Disawah” jawabi Pugutrawe.
“Oh, Artinya ia bekerja juga. Bukan sekedar bermalas-malasan meskipun tidak membantu di warung ini” berkata orang gemuk itu, “memang seseorang dapat memilih pekerjaannya sendiri. Aku juga tidak mau bekerja di warung seperti ini. Aku lebih suka menjadi tengkulak hasil bumi seperti yang aku lakukan sekarang. Jika aku lapar, aku dapat membeli makanan di warung-warung yang tersebar”
“Orang lain akan memilih tugas yang lain pula” orang bertubuh kurus itu pun tiba-tiba menyahut.
“Itulah bijaksananya yang memberikan rejeki kepada kita masing-masing dengan cara yang berbeda-beda, sehingga kita tidak saling berebut pada pilihan yang sama” berkata Pugutraewe.
Orang-orang yang berada di warung itu mengangguk-angguk. Sementara itu Lembu Panenggak masih saja menghirup minumannya sambil tersenyum di dalam hatinya. Dalam pada itu, maka satu dua orang yang berada di dalam warung itu sudah melangkah keluar. Seorang lain memasuki warung itu dengan tidak mengacuhkan orang-orang lain yang sudah ada di dalamnya. Sambil memungut sepotong makanan dari tambir yang berada di atas paga, maka ia pun berkata, “Apakah kau mempunyai tuak?”
Pugutrawe menggeleng. Jawabnya, “Sayang Ki Sanak. Aku tidak mempunyai persediaan tuak”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengunyah makanannya ia memesan, “Wedang tape”
Pugutrawe pun kemudian sibuk membuat wedang tape buat orang itu, sementara Lembu Panenggak sempat memperhatikan orang itu dengn saksama. Namun kemudian ia pun berdiri sambil berdesis di telinga Pugutrawe, “Aku sebaiknya pergi saja”
“Ya. Tetapi bagaimana dengan anak-anak itu? Beri mereka kesan yang baik sehingga mereka tidak salah paham atas sikapmu yang barangkali dianggapnya terlalu kasar” berkata Pugutrawe kemudian.
“Aku justru hampir kehilangan kesabaran” jawab Lembu Panenggak “Untunglah, aku masih sempat mengekang diri”
“Baiklah” berkata Pugutrawe kemudian, “mereka akan segera dapat melakukan tugas mereka”
“Jangan tergesa-gesa. Biarlah ia berada di sini lima enam hari, sebelum mereka benar-benar melakukan pekerjaan itu” berkata Lembu Panenggak.
Pugutrawe mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat menjawab ketika orang yang-memesan wedang tapi itu berteriak, “He apakah kau tidak mendengar pesanku”
“Oh. maaf Ki Sanak” berkata Pugutrawe sambil membawa mangkuk berisi wedang tape yang masih panas dengan gula kelapa yang langsung di masukkan ke dalam mangkuk pula.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Lembu Panenggak telah berada di luar warung. Tetapi ia tidak segera meninggalkan warung itu. Ternyata ia pergi menuju ke deretan pande besi yang sedang sibuk membuat alat-alat pertanian.
“He” seorang tukang pande yang sudah terbiasa dengan Lembu Panenggak meskipun dengan nama yang berbeda, “apakah kau akan membeli parang atau cangkul?”
Lembu Panenggak kemudian berjongkok di sebelah tukang pande itu. Katanya, “Bukankah baru saja aku membeli cangkul. Kenapa kau tidak bekerja?”
“Beristirahat sejenak. Aku baru saja makan” jawab pande besi itu.
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Tiga orang pembantu tukang pande itu pun masih beristirahat setelah mereka makan. Dari tempat itu Lembu Panenggak mengamati warung yang baru ditinggalkannya. Didalam ada orang yang pernah dikenalnya sebagai salah seorang yang sering menyatakan dirinya sebagai pemungut pajak bagi perjuangan yang panjang.
“Orang itu tentu mempunyai jalur dengan Pangeran Kuda Permati meskipun jalur itu panjang dan berbelit” berkata Lembu Panenggak di dalam hatinya.
Tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu di dalam warung itu. Beberapa saat ia menunggu. Sampai saatnya tukang pande itu bangkit dan berkata, “Aku akan bekerja lagi”
“Oh, silahkan” jawab Lem bu Panenggak. Sementara itu seseorang telah berada di ububannya. Dengan kedua tangannya ia menekan penghembus di dalam ububannya berganti-ganti, sehingga api pun mulai menyala besar.
Dari tempatnya Lembu Panenggak melihat orang yang berada di dalam warungnya itu satu demi satu ke luar, sementara orang lain pun masih seorang demi seorang. Memang tidak terlalu penuh seperti warung-warung lain yang lebih besar. Namun warung Pugutrawe itu pun mulai berkembang pula. Ia menarik nafas ketika ternyata orang yang dikenalnya sebagai pemungut pajak itu pun telah melangkah ke luar.
Dengan demikian maka orang yang sering memungut pajak menurut kehendaknya sendiri, meskipun berlandaskan satu tugas juga, tetapi tugas yang tidak dapat dipertanggung jawabkan itu, tidak membuat keributan di warung Pugutrawe. Karena itu, maka Lembu Panenggak itu pun kemudian meninggalkan pande besi yang sudah mulai bekerja itu, kembali ke rumah yang dihuninya.
Ketika ia memasuki regol halaman, dilihatnya Watang Cemani berada di pendapa. Dengan serta merta ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan kedua orang anak muda itu?”
“Mereka masih tetap berada di dalam biliknya” jawab Watang Cemani.
“Aku yakin mereka tidak akan pergi. Hati mereka ternyata sekeras baja” berkata Lembu Panenggak.
“Apa kata Dandang Penumping?” bertanya Watang Cemani.
Lembu Panenggak kemudian menceriterakan pertemuannya dengan Pugutrawe dan tanggapan Pugutrawe atas laporannya tentang kedua anak muda itu.
“Menurut aku, biarlah Dandang Penumping yang mengatakan tentang diri kita dalam hubungan dengan usahamu menjajagi tekad mereka” berkata Watang Cemani, “jika aku atau kau yang menyampaikannya maka keduanya akan sulit untuk mengerti. Kecurigaan mereka tidak akan mudah terhapus”
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya, “Dandang Penumping tentu tidak akan berkeberatan”
Sebenarnyalah, bahwa Pugutrawe memang tidak berkeberatan ketika Lembu Panenggak minta kepadanya, setelah ia pulang dari warungnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di tempatnya, meskipun keduanya kemudian duduk di serambi. Namun keduanya sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.
Ketika Pugutrawe mengatakan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa Lembu Panenggak tidak bersikap sebagaimana dilakukan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak terkejut lagi. Mereka memang sudah menduga, menilik beberapa peristiwa yang telah terjadi sebelumnya atas keduanya. Namun dalam pada itu. Dandang Penumping itu pun telah memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka akan tetap berada di rumah itu untuk dua tiga pekan.
“Dari rumah ini kau akan dapat mengenali keadaan di daerah perbatasan ini” berkata Dandang Penumping.
Senapati Singasari di Talang Amba juga menyebut daerah itu dengan daerah perbatasan. Sehingga dengan demikian maka petunjuk yang dikatakan oleh Dandang Penumping itu mereka terima dengan senang hati.
“Dalam waktu dua atau tiga pekan, kalian akan melihat-lihat keadaan Kediri dari daerah perbatasan ini, sebelum kalian benar-benar akan memasuki medan. Kalian memerlukan pengenalan yang lebih dalam tentang Kediri, orang-orang yang menghuninya dan sikapnya. Baru kemudian kau akan merambah ke pengenalan yang lebih khusus lagi. Karena sebenarnyalah, bukan hanya kau berdua yang merasa perlu untuk mengetahui sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada, Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Lembu Sabdata”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Dandang Penumping berkata selanjutnya, “Tetapi bukan berarti bahwa kehadiran kalian adalah sia-sia. Semakin banyak orang yang membantu dalam tugas ini akan terasa semakin baik. Tetapi sudah barang tentu tidak sembarang orang. Mereka harus orang-orang terpilih. Karena itu maka kalian berdua telah mengalami berbagai macam penjajagan sebelum kalian benar-benar akan terjun. Bahkan aku akan berkata terus terang, bahwa dalam waktu dua tiga pekan ini pun masih merupakan semacam pendadaran bagi kalian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berdesis, “Aku mengerti”
“Sukurlah. Karena itu, maka dalam waktu dua tiga pekan, kalian akan lebih banyak mendengar dan melihat. Di hari-hari tertentu kau dapat berada di warung itu”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menjadi pembantu Pugutrawe di warungnya. Keduanya dalam ujud orang kebanyakan, telah membantu menyiapkan pesanan-pesanan orang-orang yang berada di warung Pugutrawe. Pada hari-hari pertama Pugutrawe masih harus banyak memberikan petunjuk-petunjuk. Namun kemudian keduanya pun dengan cepat dapat melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Pugutrawe.
Selain menunggui warung itu, maka kadang-kadang dengan Lembu Panenggak dalam ujudnya sebagai orang kebanyakan, kadang-kadang keduanya berada di tempat para pande besi bekerja. Bahkan Mahisa Pukat kadang kadang duduk sambil menekan tangkai ububan dengan kedua tangannya berganti-ganti.
Ternyata kedua anak muda itu cepat sekali menyesuaikan diri dengan kehidupan di sekitar warung itu. Bahkan keduanya pun dengan cepat telah mengenal gadis-gadis yang sering berada di tempat itu untuk menjual hasil pekarangan atau mereka yang memang berjual beli bermacam-macam barang dan hasil bumi.
Tetapi tidak banyak gadis-gadis dan perempuan yang sering mengunjungi warung warung. Kebanyakan dari mereka telah membawa bekal sendiri dari rumah mereka. Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat sikap beberapa orang yang kurang wajar. Yang kadang-kadang nampak terlalu kasar. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghubungkan mereka dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati yang telah meninggalkan Kota Raja.
“Tetapi Pangeran itu sangat berani. Ia tetap berada di daerah perbatasan” gumam Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada hari-hari tertentu berada di warung Pugutrawe, maka ia telah banyak mendapat petunjuk-petunjuk. Baik dari Pungutrawe sendiri maupun Lembu Panenggak atau dari Watang Cemani.
Untuk kedua kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seseorang yang mengalami kesulitan karena orang itu telah menyelamatkan kudanya dari para pengikut Pangeran Kuda Permati. Dengan kasar orang-orang Pangeran Kuda Permati memaksa pemilik kuda itu untuk mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual kuda itu untuk mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual miliknya yang lain. Dengan diam-diam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk mengetahui rumah orang yang dipersalahkan karena menyelamatkan kudanya itu.
“Hati-hatilah” berkata Pugutrawe, “kau tahu siapa kau berdua dan siapakah orang-orang itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa mereka harus melakukan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab. Karena itulah, maka keduanya tidak begitu saja mencari rumah orang itu, tetapi dengan ketajaman ingatan mereka, maka mereka berusaha untuk tetap mengenali orang itu dan menjumpainya di pasar itu pada saat-saat yang lain.
Ternyata bahwa usaha kedua anak muda itu berhasil, tanpa menimbulkan kecurigaan. Orang itu pada suatu saat telah berdiri di muka warung Pugutrawe. Meskipun orang itu semula tidak ingin masuk kedalam warung namun Mahisa Murtilah yang kemudian sambil tersenyum mempersilahkan. Orang itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang anak muda sambil tersenyum berdiri di muka pintu warung itu.
“Silahkan Ki Sanak” desis Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia pun telah masuk ke warung itu. “Wedang jae” minta orang itu.
Mahisa Pukatlah yang kemudian menyiapkan wedang jahe untuk orang itu. Adalah kebetulan bahwa pada saat itu tidak banyak orang berada di dalam warung itu. Dua orang duduk terpencar, sementara orang yang kehilangan kudanya itu duduk menyendiri.
Mahisa Pukat yang menyerahkan wedang jae itu dengan nada sekedar ingin tahu bertanya, “Ki Sanak. Bagaimana dengan kuda Ki Sanak itu?”
“Apa maksudmu?” bertanya orang itu
“He” desis Pugutrawe, “jangan mencampuri persoalan yang kau tidak tahu ujung dan pangkalnya”
“Ah, tidak paman” jawab Mahisa Pukat, “dua hari yang lalu, aku melihat Ki Sanak ini mengalami kesulitan. Aku memang tidak tahu persoalannya. Tetapi aku hanya ingin tahu, bukankah tidak terjadi sesuatu”
“Sudahlah” Mahisa Murti memotong, “jangan terlalu banyak ingin tahu”
Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Dua orang yang berada di warung itu pun mengerutkan keningnya. Namun mereka sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Dari pembicaraan yang pendek itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil satu kesimpulan bahwa benar orang itulah yang mereka maksudkan.
Demikian ketika orang itu kemudian meninggalkan warung itu, maka Mahisa Murti sempat mengamati, kemana saja orang itu singgah. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat menduga, tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh orang itu, dan kepada mereka Mahisa Murti akan menanyakan rumahnya.
“Kenapa kau tanyakan rumah orang itu?” bertanya seorang penjual kurungan ayam.
“Aku harus mengembalikan uangnya” jawab Mahisa Murti, “paman Pugutrawe salah menghitung harga makanan yang dibelinya. Aku sudah menganjurkan agar biar saja uang itu disimpan di warung. Lain kali jika ia datang kita kembalikan. Atau jika orang itu sudah lupa, apa boleh buat”
“Ah, jangan begitu. Kau masih muda, tetapi kau sudah mempunyai pikiran buruk” desis penjual kurungan itu.
“Tidak. Tidak sebenarnya. Aku hanya bergurau” sahut Mahisa Murti, “tetapi dimana rumahnya”
Penjual kurungan itu pun kemudian menjawab tanpa curiga, “Karang Kembar. Sebuah padukuhan kecil di sebelah utara gumuk karang itu”
“Jauh?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Tidak. Itu gumuknya kelihatan dari ujung padukuhan ini” jawab penjual kurungan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berusaha untuk mencari rumah orang itu. Penjual kurungan itu telah memberikan ancar-ancar dimana letak rumahnya di padukuhan dekat gumuk karung.
“Letaknya tidak terlalu dalam” berkata Mahisa Murti hanya sekitar tiga atau empat rumah dari mulut lorong padukuhan itu”
Dengan pengamatan seorang pengembara, maka usaha mereka pun segera berhasil. Keduanya dengan cepat menemukan rumah yang dikehendaki. Sebuah rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas. Beberapa buah kurungan ayam bertebar di halaman, berisi ayam aduan yang terpilih. Dipinggir halaman itu terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi tidak ada seekor kuda pun di dalam kandang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memasuki halaman rumah itu dengan sikap seorang kemenakan pemilik warung. Keduanya nampaknya agak ketakutan dan berjalan menyusuri pinggir halaman. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seorang perempuan berada di seketheng, maka keduanya pun segera mendekat. Dengan sangat hati-hati Mahisa Murti menanyakan apakah pemilik rumah itu ada.
“Untuk apa?” bertanya perempuan itu.
“Ada pesan dari Paman Pugutrawe. Pemilik warung di pasar prapatan itu” jawab Mahisa Murti.
“Apa pesannya?” bertanya perempuan itu.
“Paman minta aku menyampaikan sesuatu” jawab Mahisa Murti.
Perempuan itu mengamati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejenak. Namun pada kedua anak muda itu nampak sikapnya yang sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan nampaknya keduanya justru agak ketakutan. Karena itu, maka perempuan itu pun berkata, “Tunggulah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menunggu di tangga pendapa. Karena perempuan itu tidak mempersalahkan mereka, maka mereka tidak berani naik ke pendapa itu. Dengan demikian, maka keduanya hanya duduk saja di tangga pendapa sambil berbicara perlahan-lahan. Mereka menunggu untuk waktu yang cukup lama. Baru kemudian seorang laki-laki muncul, tidak di pendapa, tetapi dari seketheng juga.
Ketika laki-laki itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun segera mengenali bahwa kedua orang anakmuda itu adalah kemanakan Pugutrawe.
“Ada apa?” bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun dengan terbongkok-bongkok mendekatinya. “Aku mendapat pesan dari paman Pugutrawe” berkata Mahisa Murti dengan kepala tunduk.
“Pesan apa?” bertanya orang itu, “bukankah aku sudah membayar makanan dan minuman yang aku ambil”
“Justru paman ternyata salah menghitung. Ada sisa uang pada paman Pugutrawe” berkata Mahisa Murti, “Aku mendapat pesan untuk mengembalikannya”
“O” orang itu mengangguk-angguk, “Aku, aku masih berhutang kepada pamanmu. Jika hanya tersisa sedikit saja, sebenarnya kau tidak perlu datang kemari”
“Paman takut. Sisa uang orang lain kadang-kadang dapat mengganggu ketenangan hati paman” berkata Mahisa Murti, “dahulu paman pernah mendapat bayaran lebih karena kesalahan paman menghitung. Ternyata hampir setiap malam paman selalu diganggu oleh anak-anak kecil di dalam tidurnya”
“Thuyul” desis orang itu sambil tertawa, “he, kau kira aku juga memelihara thuyul seperti itu? Tidak anak-anak. Aku mencari rejeki dengan cara yang wajar”
“Thuyul” ulang Mahisa Pukat, “paman tidak pernah menyebutnya”
“Ya. Orang yang memiliki uang milik orang lain dengan tidak sah seperi kelebihan pembayaran karena kesalahan pamanmu itu memang dapat dituntut dengan gangguan pada tidurnya di setiap malam” berkata orang itu, “tetapi karena aku tidak mempunyai thuyul, maka pamanmu tidak akan mengalami gangguan seperti itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun sambil mengeluarkan beberapa keping uang kecil, maka Mahisa Murti pun berkata, “Bagaimana pun juga, paman sudah jera. Inilah kelebihan itu”
Orang itu tertawa lagi. Diterima juga beberapa keping uang kecil itu. Katanya, “Baiklah. Terima kasih”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian minta diri. Dengan tidak sengaja Mahisa Murti memandang ke arah kandang kuda yang kosong itu sambil bertanya, “Dimanakah isi kandang itu?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sebenarnya mempunyai dua ekor kuda. Seekor telah diambil oleh orang-orang gila itu. Sedangkan seekor yang lain telah aku berikan kepada kemanakanku. Tetapi yang kemudian justru menjadi persoalan. “Ya. Itulah akibatnya. Mereka menganggap aku dengan sengaja menyingkirkan kuda yang oleh mereka dianggap sangat berguna itu” jawab orang itu.
“Mereka siapa,“ bertanya Mahisa Murti seakan-akan tidak sengaja.
Orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun karena Mahisa Murti bertanya seakan-akan tanpa maksud apapun juga, orang itu justru menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang gila”
“Gila” ulang Mahisa Murti, “Aku tidak tahu maksudmu”
“Sudahlah, jika kau tidak tahu, pulanglah. Katakan bahwa aku berterima kasih kepada pamanmu, bahwa ia telah mengembalikan sisa uangku. Meskipun tidak seberapa, tetapi hal itu menunjukkan kejujurannya”
“Oh” Mahisa Murti mengangguk, “baiklah. Akan aku katakan kepada paman”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian meninggalkan orang itu. Tetapi beberapa langkah dari kandang yang kosong itu Mahisa Murti berhenti dan berkata, "Apakah kandang ini tidak akan diisi lagi”
"Aku tidak sebodoh itu untuk mengisinya lagi. Bukankah dengan demikian aku hanya akan membuang uang saja, karena kuda itu akan mereka ambil lagi” jawab orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Mahisa Pukat dengan sikap yang bodoh bertanya, “Jadi, apakah orang itu dapat mengambil milik sesamanya begitu saja?
“Tentu tidak. Tetapi mereka bukan orang kebanyakan” jawab orang itu.
“Mereka lagi” desis Mahisa Pukat, “tentu orang-orang gila itu”
“Ya” jawab orang itu. Lalu, “Tetapi sudahlah. Pergilah”
“Baiklah” jawab Mahisa Murti. Namun katanya kemudian. "Tempat ini terasa sangat sejuk. Apakah pada kesempatan lain aku diperkenankan datang lagi kemari meskipun tanpa keperluan apapun, sekedar untuk menikmati kesejukan udara di sini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kenapa tidak boleh. Asal kau tidak menimbulkan persoalan di sini, maka aku tidak akan berkeberatan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian minta diri. Di regol halaman keduanya mengangguk sekali lagi. Kemudian keduanya pun hilang di balik regol halaman itu.
Ketika kedua anak muda itu telah keluar dari regol halaman dan berjalan menyusuri jalan pedukuhan, maka Mahisa Murti pun berkata, “Satu hal yang kita ketahui dengan pasti. Pangeran Kuda Permati memang sedang mengumpulkan kuda bagi pasukannya. Dengan demikian, maka pasukan Pangeran Kuda Permati telah dipersiapkan menjadi pasukan yang mampu bergerak dengan cepat"
“Ya. Tetapi yang kurang aku mengerti. Pangeran itu serta orang-orangnya dapat melakukannya di daerah ini tanpa kesulitan” berkata Mahisa Pukat, “rakyat daerah ini seakan-akan sama sekali tidak mendapat perlindungan atas harta benda mereka."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita menjadi semakin tertarik untuk melihat-lihat Kediri secara keseluruhan. Apakah yang sebenarnya terjadi di antara para pemimpin di Kediri. Jika yang terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata itu hanya sekedar kesalahan langkah Pangeran Lembu Sabdata yang dibakar oleh dendamnya terhadap Talang Amba, maka sebenarnya yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata itu justru telah mengganggu rencana mereka secara utuh”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. "Memang ada beberapa macam kemungkinan dapat terjadi. Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan itulah mereka kemudian berada di Kediri”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di dalam warung Pugutrawe lagi, maka warung itu telah menjadi semakin sepi seperti warung-warung yang lain. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti sempat memberikan laporan kunjungannya ke rumah orang yang telah di rampas kudanya.
“Jika demikian, kalian akan dapat melihat, apakah masih ada orang yang mempunyai kuda dikandangnya pada saat ini” berkata Pugutrawe.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Malam nanti kami akan melihat”
Sebenarnyalah, ketika malam kemudian turun di atas padukuhan-padukuhan di daerah perbatasan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan rumah Dandang Panumping yang juga disebut Pugutrawe. Dalam keheningan malam keduanya telah melihat-lihat padukuhan yang di siang harinya telah mereka kunjungi. Mereka ingin melihat, apakah masih ada kandang di antar kandang di padukuhan itu yang berisi kuda. Beberapa saat keduanya berkeliling. Namun beberapa kandang yang mereka temui memang sudah kosong sama sekali.
“Kuda-kuda itu sudah diungsikan” berkata Mahisa Pukat.
“Mereka tidak akan berani melakukannya” jawab Mahisa Murti, “orang yang menyingkirkan kudanya, justru akan mengalami kesulitan yang lebih besar lagi. karena ia harus menukar kuda yang disingkirkan itu dengan seekor kuda yang besar dan tegar, sehingga mereka justur akan menjual miliknya yang lain untuk membeli kuda itu. Jika mereka tidak ingin mengalami kesulitan dan bahkan barangkali lebih dari sekedar kesulitan”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berkata, “Tetapi mungkin masih ada juga kuda yang belum diambil. Agaknya mereka mengambil kuda-kuda itu tidak bersama-sama”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka meneruskan langkah mereka, mengelilingi padukuhan itu dengan diam-diam. Setiap kali mereka berhenti untuk memperhatikan kandang yang berada di halaman, apakah di dalam kandang itu masih ada seekor kuda.
“Hanya kudalah yang mereka ambil” berkata Mahisa Pukat, “kerbau dan sapi di biarkan saja di dalam kandang mereka”
Namun kemudian Mahisa Murti itu berkata, “Tetapi mungkin pada suatu saat akan datang giliran, sapi, dan kambing pun akan dibawa oleh orang-orang itu”
Mahisa Pukat pun menyahut, “Mungkin. Hal itu memang mungkin sekali”
Sementara itu, langkah mereka pun tertegun ketika mereka mendengar ringkik seekor kuda. Keduanya segera mengetahui, bahwa di sebuah kandang masih terdapat seekor kuda. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendekati kandang itu. Di dalam kandang itu terdapat seekor kuda yang cukup besar dan tegar. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya saling berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis didalam rumah pemilik kuda itu.
“Bukan tangis seorang bayi” berkata Mahisa Murti, “tetapi tangis anak-anak yang sudah pandai membantu ayahnya di sawah” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi dengan hati-hati ia melangkah mendekati dinding rumah yang lengang itu. Yang terdengar hanyalah tangis seorang anak yang sudah besar terisak-isak.
“Sudahlah” terdengar suara yang berat. “Tidak ada gunanya kau tangisi kuda itu”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya saling berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis di dalam rumah pemilik kuda itu.
“Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu ayah?” bertanya anak yang menangis itu.
“Tidak anakku. Kuda-kuda yang lainnya telah diambil pula. Besok datang giliran kuda kita” jawab ayahnya, “Aku pun sayang sekali dengan kuda itu. Kuda itu aku beli dengan memeras keringat. Aku menabung sekeping demi sekeping. Namun akhirnya aku harus melepaskannya begitu saja”
Anaknya masih manangis. Katanya, “Bagaimana jika kita berusaha mempertahankan kuda itu ayah”
“Bagaimana kita akan mempertahankan” sahut ayahnya.
“Kita melawan orang-orang yang datang mengambil kuda itu” berkata anaknya.
“Kau tentu tahu akibatnya jika hal itu kita lakukan. Mereka bukannya orang yang tidak berkawan di sini. Ada satu kelompok yang kuat dibangun di daerah perbatasan ini. Jika kita mencoba melawan, maka kita akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar” berkata ayahnya. Lalu, “Sudahlah. Kau sudah bukan kanak-kanak lagi yang pantas untuk menangis. Kau sudah terlalu besar untuk menitikkan air mata. Apalagi kau adalah seorang laki-laki” berkata ayahnya.
“Tetapi kuda itu” jawab anaknya, “kuda itu sudah seperti saudaraku sendiri”
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Bagaimanapun juga, kita tentu lebih sayang kepada nyawa kita. Pada suatu saat, jika Tuhan Yang Maha Pemurah akan mengganti. Mungkin jauh lebih baik dari Dawuk yang akan diambil itu”
“Betapapun baiknya kuda yang mungkin dapat kita beli kelak ayah, tetapi kuda itu tentu bukan Dawuk itu” jawab anaknya.
Ayah terdiam sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Marilah kita belajar menerima satu kenyataan”
Anaknya tidak menyahut. Tetapi masih terdengar isak tangisnya yang tertahan-tahan. Untuk beberapa saat pembicaraan antara ayah dan anak itu terhenti. Namun tiba-tiba saja terdengar lagi suara anak itu, “Apakah kita tidak dapat minta perlindungan kepada siapa pun juga? Bukankah kita berada di dalam wewenang Kediri?”
“Sudahlah” suara ayahnya menjadi berat, “Kita harus mengiklaskannya”
“Bagaimana jika kita melaporkan hal ini kepada penguasa yang berwenang melindungi kita?” bertanya anaknya pula, “apakah mereka akan tetap membiarkan kita hidup dalam bayangan kekuasaan sekelompok orang yang selalu merampas harta benda kita?”
“Kapan mereka merampas harta benda kita seenaknya” ayahnya justru bertanya, “bukankah mereka baru sekali ini datang mengambil kuda kita. Itu pun baru akan terjadi besok. Sebelumnya kita tidak pernah merasa kehilangan apapun juga”
“Tetapi kuda yang satu ini lain ayah. Bagaimana jika kita tukar saja kuda itu dengan kuda yang lain” betanya anaknya pula.
“Mereka telah datang dan melihat kuda itu” jawab ayahnya, “Aku tidak akan dapat menukarnya” ayahnya berhenti sejenak Lalu, “Sudahlah. Jangan melawan kekuatan yang tidak akan terlawan. Jika kau mengikhlaskannya, maka beban hati kita justru akan menjadi ringan. Kita akan berdoa, semoga kita kelak akan mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dari yang hilang itu”
Anaknya tidak menjawab lagi. Isaknya yang tertahan-tahan pun sudah menjadi semakin menurun.
“Tidurlah” berkata ayahnya, “besok kita harus bekerja di sawah”
Anaknya tidak menjawab. Agaknya anak itu hanya mengangguk saja.
Sejenak kemudian terdengar pintu berderit dan pembaringan yang berderak. Agaknya anak itu benar-benar ingin menerima satu kenyataan seperti yang dikatakan oleh ayahnya dan berusaha untuk tidur. Tetapi ternyata bahwa anak itu tidak ingin tidur.
Namun dalam pada itu, keadaan pun menjadi hening. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidak melihat apa yang terjadi di dalam bilik anak itu, perlahan-lahan bergeser menjauh. Tetapi mereka pun ternyata tidak segera pergi. Keduanya telah pergi ke kandang untuk sekali lagi memperhatikan kuda yang disebut dengan Dawuk itu.
Warna bulu kuda itu memang dawuk. Nampaknya kuda itu tegar dan kuat. Tetapi lebih dari itu, anak yang menangis itu tentu merasa bahwa kuda itu sudah terlalu akrab dengan dirinya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika mereka mendengar pintu berderit. Dengan serta merta mereka bergeser dan bersembunyi di belakang kandang yang berada di halaman depan itu.
Sejanak mereka menunggu. Perlahan lahan pintu depan rumah itu telah terbuka. Seorang anak yang umurnya berusia antara empat belas tahun telah keluar dengan sangat hati-hati. Dengan kaki berjingkat ia menyeberangi pendapa dan turun ke halaman. Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Pukat. Tanpa berbicara sepatah kata pun keduanya mengerti, bahwa mereka perlu untuk mengikuti anak itu.
Tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya, anak itu berjalan dalam keremangan malam tanpa mengenal takut. Tetapi ia menghindari regol jalan padukuhan, karena di mulut lorong itu terdapat beberapa orang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan diam-diam telah mengikutinya. Mereka berjalan lewat jalan sempit yang menuju ke regol kecil pada dinding padukuhan itu. Regol yang tidak pernah mendapat perhatian.
“Apakah kita akan bertanya?” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng sambil Berbisik, “Jangan. Kita biarkan saja ke mana anak itu pergi. Baru kemudian, barangkali kita dapat bertanya ketika ia kembali”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat. Karena jika mereka bertanya lebih dahulu, maka mungkin anak itu mengurungkan niatnya.
Dalam pada itu, maka anak itu pun telah menelusuri jalan-jalan bulak. Angin malam yang sejuk menampar wajah anak itu. Sekali-sekali tangannya mengusap wajahnya yang terasa semakin dingin. Namun anak itu tidak kembali. Ternyata bahwa anak itu anak yang cerdas. Meskipun ia tergesa-gesa, namun ia masih sempat juga berpikir untuk menghindari padukuhan. Ia lebih senang melingkar dan tidak mau berjalan lewat padukuhan karena anak itu tidak mau bertemu dengan para peronda.
Beberapa buah bulak sudah dilewati. Anak itu akhirnya menuju ke sebuah padukuhan yang besar. Namun seperti yang dilakukan, ia menghindari jalan-jalan besar dan pintu-pintu regol induk padukuhan. Jika terpaksa ia harus melintasi padukuhan, maka ia lebih senang lewat regol yang sepi, atau bahkan meloncat dinding. Ia baru mau memasuki regol induk, jika ia pasti, bahwa di regol itu tidak ada peronda.
Namun dalam pada itu, langkah anak itu pun terhenti. Dua orang yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan bayangan gerumbul semak-semak telah mendekati anak itu dengan tergesa-gesa. Anak itu terkejut. Ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi kedua orang itu agaknya lebih cepat memotong jalan kembali anak yang kemudian menjadi ketakutan itu
“He” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu, “kau siapa?”
Suaranya menjadi lebih lunak dari sikapnya ketika kedua orang itu melihat, bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang anak yang masih remaja.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tergesa-gesa pula ia telah bersembunyi di belakang semak-semak yang tersebar. Namun keduanya berusaha untuk dapat lebih dekat kepada anak itu untuk dapat mendengar pembicaraan mereka.
Karena anak itu tidak segera menjawab, maka salah seorang dari kedua orang itu mengulangi, “Siapa kau. Dan malam-malam begini kau akan pergi ke mana?”
Anak itu termangu-mangu. Namun yang seorang lagi dari kedua orang itu berkata, “Katakan, barangkali aku dapat membantumu. Jusrtru karena kau pergi malam-malam begini, tentu ada kepentingan yang sangat mendesak”
Kata-kata yang lembut itu telah menumbuhkan keberanian pada anak itu. Karena itu, maka dengan suara parau ia berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut”
“Ke rumah Ki Buyut malam-malam begini. Ada apa?” bertanya orang itu pula.
Anak itu menjadi ragu-ragu pula. Tetapi kemudian ia pun menjawab, “Aku akan mengadu”
“Mengadu? Apa yang telah terjadi? Kenapa kau yang pergi ke rumah Ki Buyut? Bukan ayahmu atau orang lain yang lebih tua dari kau” bertanya orang itu.
“Ayah tidak mau, dan ibu tidak berani. Karena itu, aku merasa berkewajiban untuk melakukannya” jawab anak itu.
“Apa sebenarnya yang telah tejadi? Mungkin kami berdua dapat membantumu, meyakinkan Ki Buyut atau langkah-langkah lain yang lebih baik” berkata salah seorang dari keduanya”
“Aku akan mohon perlindungan kepada Ki Buyut. Besok kudaku akan diambil dengan paksa” jawab anak itu.
“Kuda?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
“Ya. Kudaku akan diambil oleh orang-orang yang tidak dikenal. Ayah tidak berani menolak, karena menolak akan dapat berarti bencana. Karena itu, maka ayah condong untuk menyerahkan saja kuda itu. Tetapi kuda itu adalah kuda yang sangat baik bagiku. Bahkan seakan-akan seperti saudaraku sendiri”
Kedua orang yang mendengarkan ceritera anak itu termangu-mangu. Sejenak kemudian keduanya mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka berkata kepada kawannya. "Laporan ini bukannya satu-satunya. Persoalan ini merupakan persoalan yang tidak akan dapat dibiarkan berlarut-larut”
“Biarlah anak ini bertemu dengan Ki Buyut sebagaimana di kehendaki” sahut yang lain. Lalu katanya kepada anak itu, “Marilah. Aku antar kau kepada Ki Buyut”
Anak itu termenung sejenak. Namun satu pertanyaan yang kemudian timbul justru setelah ia dekat dengan rumah Ki Buyut, “Tetapi apakah kedatanganku malam-malam begini tidak membuat Ki Buyut marah?”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka bertanya, “jika demikian, kenapa kau pergi juga malam-malam begini?”
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Besok kuda itu sudah akan diambil”
“Karena itu, marilah. Jangan bertanya apakah Ki Buyut akan marah atau tidak” jawab salah seorang dari keduanya.
Demikianlah, maka anak itu pun telah mengikuti kedua orang itu menuju ke pedukuhan yang agak lebih besar dari padukuhan-padukuhan yang lain. Anak itu tidak perlu lagi mencari jalan masuk padukuhan itu dan menghindari orang-orang yang sedang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatlah yang kemudian harus mencari jalan mereka sendiri. Kedua orang yang membawa anak itu memasuki regol padukuhan. Beberaa orang peronda menjadi heran melihat kedua orang itu membawa seorang anak remaja. Namun ketika seseorang bertanya tentang anak itu, maka salah seorang dari yang membawanya itu menjawab, “Besok aku beritahu kalian, apa yang telah terjadi dengan anak ini”
Orang-orang yang meronda itu tidak bertanya lagi. Dua orang itu ternyata adalah dua orang bebahu padukuhan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat memasuki padukuhan itu pula. Mereka dengan tergesa-gesa telah meloncat dari halaman ke halaman yang lain, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke sebuah lorong yang terbesar di padukuhan ini. Menurut pengalaman mereka, maka jalan itu tentu akan menuju ke rumah Ki Buyut dan banjar padukuhan. Karena itu, maka keduanya pun kemudian menelusuri jalan itu dengan hati-hati. Mereka berusaha untuk tidak diketahui oleh siapapun. Apalagi oleh para peronda.
Sebenarnyalah, maka langkah mereka tertegun ketika mereka melihat sebuah obor pada sebuah regol yang lebih besar dari regol-regol yang lain. Ketika dengan hati-hati keduanya mengamatinya, maka keduanya yakin bahwa regol itu tentu regol rumah Ki Buyut. Ketika dengan diam-diam keduanya menjenguk dinding halaman maka mereka pun telah melihat kedua orang yang membawa anak yang akan kehilangan kudanya itu sudah duduk di pendapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak puas sekedar melihat dari kejauhan. Mereka pun kemudian berusaha untuk lebih mendekat dan apabila mungkin dapat mendengarkan pembicaraan anak itu dengan Ki Buyut yang sedang dibangunkan oleh seorang peronda.
Agaknya Ki Buyut memang sudah berpesan. Jika ada sesuatu yang penting, seseorang supaya membangunkannya dengan mengetuk dinding di arah senthong-tengen.
Dengan kemampuan mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berhasil meloncat masuk. Dengan sangat hati-hati mereka bersembuhyi di belakang semak-semak yang ada di halaman samping. Namun di sekitar pendapa itu sama sekali tidak terdapat tanaman apapun juga, sehingga sulit bagi mereka untuk dapat mendekat dan mendengarkan pembicaraan dengan jelas.
Tetapi keduanya berputus-asa. Keberanian mereka sebagai pengembara telah membawa mereka untuk mendekat dan berlindung di bayangan sudut pringgitan. Ternyata dua buah keranjang rumput bagi persediaan ternak Ki Buyut berguna bagi kedua anak muda itu untuk sekedar menyamarkan diri dalam kegelapan malam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menumpuk kedua keranjang itu dan meletakkannya pada jarak yang memungkinkan keduanya berada di antaranya dengan dinding sudut pringgitan. Ternyata dari tempat mereka, keduanya akan dapat mendengar pembicaraan antara Ki Buyut dengan anak yang tidak mau kehilangan kudanya itu.
“Tunggulah sebentar” berkata salah seorang dari ke dua bebahu itu. “Ki Buyut tentu akan segera keluar. Seorang peronda sedang membangunkannya.”
Anak itu tidak menjawab. Namun sikap kedua orang bebahu itu tidak membuatnya agak tenang. Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Ki Buyut telah terbangun. Setelah membenahi diri, maka ia pun segera keluar dari biliknya. Bagi Ki Buyut, jika para peronda membangunkannya, tentu ada yang penting telah terjadi.
Ketika ia keluar dari pintu depan, dilihatnya dua orang bebahu duduk di pendapa bersama seorang anak yang masih remaja. Dengan dahi yang berkerut, Ki Buyut itu betanya, “Apakah kalian yang berkepentingan dengan aku?”
“Ya Ki Buyut” jawab salah seorang dari kedua orang bebahu itu.
Ki Buyut pun mengangguk-angguk, kemudian duduk pula bersama mereka. Sejenak kemudian, maka ia pun bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Anak ini akan menyampaikan satu persoalan kepada Ki Buyut. Persoalan yang sudah tidak dapat kita abaikan lagi”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian dengan suara datar ia bertanya, “Persoalan apakah yang kau maksud?”
Bebahu itu memandang anak yang tidak ingin kehilangan kudanya itu. Katanya, “Laporkan semuanya kepada Ki Buyut. Jangan takut”
Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah menceriterakan kepada Ki Buyut apa yang dialami oleh keluarganya. Satu-satunya kuda yang dimilikinya akan diambil oleh orang yang tidak dikenal. Tetapi orang-orang itu sangat menakutkan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar ia berkata, “Sudah lebih dari sepuluh laporan yang sampai kepadaku tentang hal seperti ini. Aku kira masih banyak lagi di antara mereka yang tidak melaporkan kepadaku. Entah karena segan atau karena takut”
“Apakah hal semacam ini akan kita biarkan saja Ki Buyut?” bertanya bebahu itu.
“Pertanyaanmu aneh” jawab Ki Buyut, “bukankah kau sudah tahu jawabnya?”
“Kita harus mencari jalan” jawab bebahu itu.
Ki Buyut itu pun termangu-mangu. Katanya hampir kepada diri sendiri, “Aku tidak ada pilihan. Aku tahu bahwa orang orang yang mengambil kuda itu di dukung oleh satu kekuatan yang tidak terlawan, meskipun tidak nampak dengan jelas. Bukankah kalian juga mengetahui? Setiap kali persoalan itu di sampaikan kepadaku, maka setiap kali jantungku terasa akan terlepas”
“Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak dapat membiarkannya terjadi untuk seterusnya Ki Buyut” berkata salah seorang bebahunya.
“Aku tahu. Tetapi aku tidak tahu, pemecahan yang manakah yang harus aku pilih” jawab Ki Buyut, “apakah aku harus mengerahkan semua orang laki-laki di Kabuyutan ini untuk melindungi hak milik kita yang akan dirampas oleh orang-orang yang kita sebut tidak dikenal itu, meskipun sebenarnya kita dapat mengenal mereka? Seandainya aku lakukan juga hal itu, apakah bukan berarti bahwa lebih dari tiga perempat laki-laki akan mati dan hasilnya, seisi Kabuyutan ini justru akan mereka rampas. Bukan hanya kuda, tetapi juga isi peti-peti yang kita sembunyikan”
“Ki Buyut, apakah kita tidak dapat mencari jalan, untuk mohon perlindungan kepada pimpinan pemerintahan di Kediri misalnya?” bertanya bebahu itu.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua bebahu itu berganti-ganti. Kemudian katanya, “Apa yang dapat dilakukan oleh Panji Sempana Murti? Aku kira Panji Sempana Murti bukannya tidak tahu apa yang telah terjadi di sini. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa”
Kedua bebahu itu mengerutkan keningnya. Namun salah seorang di antara keduanya bertanya, “Kenapa? Bukankah Panji Sempana Murti mempunyai wewenang di daerah ini? Seandainya kita tidak melewati Panji Sempana Murti dan langsung melaporkan persoalan-persoalan di daerah ini kepada para perwira pengawal di Kediri dan apalagi Singasari, maka Panji Sempana Murti akan marah kepada kita”
“Ya” jawab Ki Buyut. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian, Panji Sempana Murti tidak ingin mengalami nasib seperti Pangeran Singa Narpada”
“Kenapa dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya salah seorang dari kedua orang bebahu itu.
“Jangan seperti kanak-kanak yang berlagak bodoh” jawab Ki Buyut.
“Kami memang tidak mengetahui” desis seorang dari kedua orang bebahu itu.
“Jangan berpura-pura. Tetapi baiklah, aku sebut saja, bahwa Pangeran Singa Narpada justru ditangkap setelah ia berhasil menangkap Pangeran Lembu Sabdata yang dianggap telah melawan kekuasaan Kediri sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati” jawab Ki Buyut.
Kedua bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang di antara mereka berkata, “Aku sudah pernah mendengar tentang hal itu. Tetapi bukankah itu sekedar dugaan."
“Aku ingin mendengar alasan yang sebenarnya, kenapa Pangeran Singa Narpada telah ditahan pula. Mungkin cara Pangeran itu memaksa adiknya mengakui kesalahannya, sehingga yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata bukannya tentang keadaan yang sebenarnya, tetapi karena tekanan Pangeran Singa Narpada”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tidak seorang pun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Tetapi yang kita tahu, Pangeran itu telah ditahan, justru setelah ia berhasil mengatasi kesulitan yang timbul di Kabuyutan Talang Amba. Bukankah dengan demikian. Panji Sempana Murti akan menjadi ragu-ragu juga bertindak. Katakan ia berhasil menahan gerak Pangeran Kuda Permati, atau bahkan berhasil menangkapnya, belum tentu Panji Sempana Murti akan memperoleh ucapan terima kasih dari Sri Baginda. Mungkin justru Panji Sempana Murti akan mengalami nasib yang sama seperti Pangeran Singa Narpada”
“Tetapi seandainya demikian, maka Panji Sempana Murti tidak akan berdiri sendiri. Kami, semua rakyat Kabuyutan ini, akan membantu. Daerah perbatasan ini jangan menjadi daerah yang tidak berperlindungan. Sehingga apa saja dapat dilakukan atas orang-orang yang lemah” berkata salah seorang dari kedua bebahu itu.
Ki Buyut termangu-mangu. Sebenarnya peristiwa-peristiwa seperti itu benar-benar membuatnya pening. Namun ia masih belum menemukan pemecahan yang paling baik untuk mengatasinya.
Dalam pada itu, anak yang akan kehilangan kudanya itu mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdegupan. Namun dengan demikian, ia mendapat gambaran yang semakin jelas tentang orang-orang yang ingin merampas kudanya. Meskipun masih remaja, namun pikirannya sudah mampu mengurangi persoalan yang dihadapinya.
Ternyata bahwa sikap ayahnya kemudian justru dapat dimengertinya. Ayahnya tidak akan dapat melawan satu kenyataan tentang orang-orang yang tanpa belas kasihan mengambil kuda dan bahkan kelak barang-barang lain yang dikehendakinya. Apalagi ayahnya, sedangkan Ki Buyut pun mempunyai banyak kesulitan untuk menentang kehendak orang-orang yang tidak dikenal namun yang sebenarnya sudah dikenal itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengarkan pembicaraan itu pun menahan nafasnya. Mereka menjadi semakin jelas tentang persoalan yang terjadi di daerah perbatasan ini. Agaknya bukan hanya orang-orang yang berada di luar Kediri saja yang menjadi bingung terhadap sikap Seri Baginda di Kediri, tetapi orang-orang Kediri, justru Ki Buyut yang memerintah daerah perbatasan Kota Raja itu pun menjadi bingung pula. Bahkan Senapati yang menguasai daerah yang lebih luas dari sebuah Kabuyutan pun tidak dapat bertindak tegas, meskipun alasannya masih diduga-duga.
Karena itu, maka betapapun pedihnya, anak itu ternyata lebih kasihan kepada ayahnya daripada mempertahankan kudanya. Ia sadar, jika ia mempertahankan kudanya atau membawa kudanya itu lari dari rumahnya, maka akibatnya akan dapat mencekik ayahnya. Mungkin ayahnya hanya sekedar diancam dan dalam batas waktu tertentu iharus menyediakan seekor kuda, namun mungkin ayahnya akan mengalami kesulitan yang lebih parah lagi.
Tetapi sementara itu, ternyata kedua bebahu Kabuyutan itu telah berpikir lebih jauh lagi. Salah seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Ki Buyut. Selama ini kita masih belum yakin, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Panji Sempana Murti. Karena itu, aku berdua bersedia malam ini menghadap Panji Sempana Murti untuk menyampaikan persoalan anak ini. Bukan semata-mata persoalan anak ini, tetapi persoalan yang kita hadapi dalam keseluruhan. Sementara itu, kami akan minta Ki Jagabaya untuk bersiap-siap seandainya kita memang harus melakukan satu langkah yang lebih keras daripada yang kita lakukan selama ini”
Ki Buyut termangii-mangu. Namun kemudian katanya "Kita sedang kehilangan pegangan sekarang ini. Kita tidak tahu sikap yang pasti dari Sri Baginda terhadap Singasari. Hulah sumber dari segala keragu-raguan”
“Tetapi kita harus berbuat sesuatu. Jika langkah kta salah, apaboieh buat. Tetapi kita tidak dengan langsung menanggapi persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari, tetapi kita membatasi persoalan yang lebih kecil dan terbatas pada lingkungankita. Kita tidak dapat membiarkan seseorang, siapa pun orang itu, dengan sewenang-wenang merampas milik orang lain. Apa pun alasannya”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Baiklah. Pergilah kepada Panji Sempana Murti”
“Terima kasih atas ijin Ki Buyut. Kami tidak tahu, apa yang akan terjadi kemudian” jawab salah seorang dari kedua bebahu itu.
Sementara itu, maka bebahu yang lain pun berkata, “Kita harus segera berangkat. Tetapi bagaimana dengan anak ini”
“Biarlah anak itu pulang. Mungkin persoalan kudanya akan merupakan persoalan yang akan menjadi titik api yang dapat membakar suasana. Tetapi mungkin pula keluarganya harus menerima satu kenyataan, bahwa kuda itu memang harus diserahkan” jawab bebahu yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Buyut pun kemudian berkata, “Biarlah dua orang peronda mengantarkan anak itu pulang”
Demikianlah, maka kedua orang bebahu itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka ingin bergerak dengan cepat, sehingga mereka pun telah minta ijin Ki Buyut untuk mempergunakan kuda yang ada di Kabuyutan.
“Mungkin pada suatu saat kuda-kuda ini pun akan diambilnya pula” berkata bebahu itu.
Ki Buyut menjawab. Namun ia berdiri di tangga pendapa ketika kedua bebahu itu meninggalkan halaman. Katanya, “Kami akan singgah di rumah Ki Jagabaya”
Ki Buyut tidak menjawab. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser menjauh. Mereka berada tidak jauh dari kandang kuda ketika kedua bebahu itu mengambil dua ekor kuda dari kandang itu.
Sepeninggal kedua bebahu itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat Ki Buyut memerintahkan dua orang peronda untuk mengantarkan anak yang menangisi kudanya itu pulang. Namun ternyata sikap anak itu sudah berbeda. Ia tidak akan dapat mengorbankan ayahnya untuk mempertahankan kudanya. Bagaimanapun juga, ia harus mengerti bagaimana keadaan ayahnya menghadapi keadaan yang tidak akan mungkin dapat ditentangnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berbisik di telinga Mahisa Pukat, “Marilah. Kita juga harus segera melaporkan hal ini kepada Pugutrawe. Mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting untuk diketahui dari peristiwa yang dapat saja terjadi setiap saat”
“Tetapi bagaimana dengan anak itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dilihatnya dua orang peronda telah meninggalkan halaman Ki Buyut bersama anak yang akan pulang itu. “Anak itu akan pulang bersama dengan dua orang peronda” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Biarlah kita mengikuti kedua peronda itu. Rasa-rasanya kurang tenang juga membiarkan anak itu pulang hanya dengan dua orang peronda pada saat seperti ini”
Mahisa Murti mengerti perasaan Mahisa Pukat. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah. Kita akan mengikuti mereka sebagaimana saat anak itu berangkat”
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun lelah berloncatan dari dinding ke dinding halaman berikutnya. Ternyata bahwa mereka telah lebih dahulu berada di luar pedukuhan. Di tempat yang terlindung, mereka menunggu dua orang peronda yang mengantar anak yang melaporkan tentang kudanya itu lewat.
Ternyata mereka tidak usah menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, mereka pun segera melihat dua orang peronda yang mengantarkan anak itu melalui jalan yang juga dilalui saat anak itu pergi ke Kabuyutan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk mengikuti anak itu. Keduanya kurang yakin melihat sikap para peronda. Agaknya mereka adalah anak-anak muda Kabuyutan yang kurang mendapat tuntunan olah kanuragan, karena mereka adalah anak-anak muda yang berjaga-jaga menghadapi kerusuhan di Kabuyutan masing-masing di malam hari, terutama terhadap pencuri.
Dalam pada itu, beberapa bulak kecil telah dilewati tanpa mengalami gangguan apapun juga. Namun ketika mereka sampai di sebuah jalan yang menghadap ke sebuah bulak yang panjang kedua orang peronda itu menjadi ragu-ragu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengikuti mereka, namun sekali-sekali harus melingkari sebuah padukuhan apabila mereka melalui jalan di dalam padukuhan, justru telah menunggu di pinggir bulak itu, meskipun masih belum terlalu jauh dari mulut lorong di padukuhan yang haru saja dilingkarinya.
“Kenapa mereka belum juga lewat?” desis Mahisa lukat.
“Mungkin mereka beristirahat di padukuhan itu” jawab Mahisa Murti.
“Atau para peronda telah mencurigai mereka dan menahan mereka di gardu peronda” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Ah, tentu tidak. Kedua peronda itu tentu sudah saling mengenal dengan anak-anak muda sekabuyutan” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kedua peronda itu masih belum lewat. Mahisa Pukatlah yang kemudian kurang sabar. Karena itu,maka katanya, “Aku akan melihat mereka sebentar. Mungkin mereka sudah berada di ujung bulak ini”
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti pun mengikutinya pula, kembali mendekati padukuhan yang baru saja dilampaui. Keduanya kemudian melihat kedua peronda itu berjalan dengan ragu-ragu mengantarkan anak yang melaporkan tentang kudanya itu.
“Tidak apa-apa” justru anak itulah yang berjalan di paling depan. "Ketika berangkat aku berjalan sendiri”
“Kau berani pulang sendiri?” bertanya kedua peronda itu.
“Kenapa tidak” jawab anak itu.
Tetapi kedua perondaa itu ragu-ragu. Salah seorang dari keduanya berdesis, “Tetapi jika terjadi sesuatu, maka kami berdualah yang bertanggung jawab”
“Aku tadi juga pergi sendiri” berkata anak itu, “jika kalian akan kembali, kembalilah”
Tetapi salah seorang dari kedua peronda itu akhirnya menjawab, “Marilah. Mudah-mudahan tidak apa-apa. Bulak ini terkenal dengan kesuramannya”
“Jangan berkata begitu” potong kawannya.
“Ya. Aku tidak akan mengatakannya lagi” jawab yang pertama.
Demikianlah dengan ragu-ragu ketiga orang itu berjalan menyeberangi bulak panjang yang gelap. Ada beberapa batang pohon pelindung yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan. Di siang hari pohon-pohon itu sangat berarti bagi orang-orang yang berjalan kaki menyeberangi bulak. Dalam terik matahari, maka pohon-pohon itu akan dapat menjadi tempat berteduh yang sejuk.
Namun di malam hari pohon-pohon besar itu rasa-rasanya seperti bayangan hantu yang siap untuk menerkam. Apalagi sebatang randu alas yang tumbuh di tengah-tengah bulak itu. Pohon randu alas raksasa yang menakutkan. Tetapi anak muda yang melaporkan tentang kudanya itu tidak takut meskipun tidak lagi seperti saat berangkat, ia berjalan sambil sekali-sekali mengusap air matanya.
“Anak itu agaknya memang anak yang berani” desis Mahisa Pukat
“Ya. Bukan hanya sekedar terdorong oleh sakit hatinya karena ia akan kehilangan kudanya” jawab Mahisa Murti.
Dalam pada itu, justru kedua peronda itulah yang kelihatan menjadi ketakutan. Semakin mereka melangkah ke tengah bulak, maka langkah mereka pun menjadi semakin ragu-ragu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengikuti mereka. Keduanya berusaha untuk berada dalam jarak tertentu, sehingga keduanya tidak akan diketahui oleh mereka bertiga. Jika kedua orang peronda itu mengetahui hadirnya dua orang yang tidak mereka kenal, mungkin keduanya akan melarikan diri.
Semakin lama maka ketiga orang itu pun menjadi semakin ketengah bulak yang panjang itu. Mereka menjadi semakin dekat dengan pohon randu alas yang besar yang tumbuh di tengah-tengah bulak.
Kedua orang peronda itu justru melangkah semakin lamban karena bayangan pohon randu alas itu di mata mereka bagaikan bayangan seorang raksasa yang siap untuk menerkam.
Namun ternyata sebelum mereka bertiga sampai ke bayangan randu alas, langkah mereka telah terhenti. Betapa terkejut ketiga orang itu ketika tiba-tiba saja tiga orang meloncat dari dalam gerumbul di pinggir jalan. Kedua orang peronda itu rasa-rasanya hampir menjadi pingsan. Mereka menjadi gemetar ketika mereka melihat tiga orang berdiri bertolak pinggang di hadapan mereka.
“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Namun justru anak yang melaporkan kudanya yang akan diambil orang itulah yang menjawab, “kami adalah tiga orang peronda”
“Peronda” desis salah seorang dari ketiga orang itu, “kau juga?” ia bertanya kepada anak itu.
“Ya. Ayah tidak dapat meronda malam ini karena sakit. Aku mewakilinya” jawab anak itu. Bahkan anak itu pun sempat pula bertanya, “Kalian siapa?”
“Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka menjawab, “kami hanya melihat-lihat suasana saja. Kami mengawasi tata kehidupan Kabuyutan ini. Tidak boleh ada kecurangan yang terjadi”
“Kecurangan apa?” bertanya anak itu.
“Pergilah. Bukankah kalian meronda? Awasi, jangan ada pencuri” berkata salah seorang dari ketiga orang itu, “jika ada pencuri, kalian harus segera memukul isyarat”
Kedua peronda itu pun segera menggamit anak itu. Mereka berdua ingin segera meninggalkan ketiga orang yang tidak mereka kenal itu. Tetapi sebelum mereka melangkah, salah seorang dari ketiga orang itu yang lain tiba-tiba saja bertanya,
“jika kalian meronda, kenapa kalian melewati bulak ini? Biasanya para peronda hanya meronda di padukuhan masing-masing”
“Ya” jawab anak itu, “tetapi sekali-sekali kami ingin berhubungan dengan kawan-kawan di padukuhan sebelah”
Orang itu menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Katakan, apa sebenarnya keperluan kalian di malam hari begini”
Anak itu mulai menjadi bingung. Ia tidak siap untuk menjawab pertanyaan yang berkepanjangan. Sementara itu kedua orang peronda yang mengawaninya benar-benar telah menjadi ketakutan.
“Ayo, katakan. Apa sebenarnya keperluan kalian melintasi bulak ini” desak salah seorang dari ketiga orang itu.
Anak itu termangu-mangu. Ia benar-benar tidak dapat menjawab. Namun dalam pada itu, salah seorang peronda itulah yang menjawab, “Kami sekedar mengantarkan anak ini pulang”
“Pulang?” orang itu menjadi heran, “bukankah ia sedang mewakili ayahnya meronda?”
Peronda yang lain tiba-tiba saja menemukan akal. Jawabnya, “Ya. Tetapi Ki Buyut justru marah. Seharusnya ayahnyalah yang hari ini mendapat giliran ronda di Kabuyutan. Tetapi ia mewakilkan anak ingusan ini sehingga Ki Buyut memerintahkan kami mengantarkan pulang saja dan menyampaikan pesan kepada ayahnya, bahwa yang dilakukan itu tidak dibenarkan oleh Ki Buyut”
Ketiga orang yang berdiri di tengah jalan itu mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang berkata, “Aku masih kurang yakin akan kata-katamu. Tetapi pergilah. Jika aku bertanya lebih lama, kalian akan pingsan”
Ketiga orang itu tidak menjawab lagi. Dengan serta merta mereka meninggalkan ketiga orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Langkah mereka menjadi semakin panjang didorong oleh denyut jantung yang semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyaksikan hal itu justru tertarik karenanya. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang ketiga orang itu. Namun menurut pengamatan mereka, ketiga orang itu bukan orang dari Kabuyutan itu, ternyata kedua orang peronda itu tidak mengenalnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, Kitalah yang kemudian lewat”
“Tetapi mereka akan dapat mengenali wajah kita di siang hari jika kita bertemu di manapun” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya memang ingin bertemu dengan ketiga orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menemui mereka sendiri dengan menyamarkan wajahku. Dengan demikian maka kesan bahwa kita selalu berdua akan hilang. Mereka tidak akan menyangka bahwa salah seorang dari kitalah yang telah menjumpainya di bulak ini”
“Tetapi bagaimana jika ternyata kemampuan mereka melampaui kemampuan kita masing-masing, sehingga kau akan dapat ditangkapnya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kau datang kemudian sebagai orang lain. Kau dapat memakai alasan apapun untuk berpihak kepadaku” jawab Mahisa Murti.
“Juga dengan menyamarkan wajah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi rasa-rasanya memang ingin mengenal orang-orang itu lebih dekat. Sehingga akhirnya Mahisa Pukat itu berkata, “Baiklah. Lakukan. Aku akan mengamati dari kejauhan”
“Tetapi hati-hatilah” desis Mahisa Murti, “jangan justru tertidur dan tidak melihat akibat dari perkelahian yang mungkin sekali akan terjadi”
Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Mahisa Murti sudah mulai mengotori wajahnya dengan lumpur. Ia mempertebal garis-garis wajahnya dan garis-garis pada tulang iganya. Dengan demikian, di keremangan malam, wajah Mahisa Murti dan ujud tubuhnya sudah berubah. Seseorang yang belum mengenalnya dengan baik tidak akan dapat lagi mengingat wajah itu. Demikianlah maka Mahisa Murti itu pun kemudian melengkapi penyamarannya dengan mengurai rambutnya dan diikat pada ujungnya.
“jika kau terpaksa menyusul aku, kau tidak perlu mengurai rambutmu agar nampak satu kelainan di antara kita” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Ia mengerti, bahwa harus ada kesan bahwa keduanya adalah orang lain yang tidak saling berhubungan. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah melangkah ke jalan bulak yang panjang itu. Ia berjalan dengan cepat menuju ke arah tiga orang yang sudah mulai bergeser menyingkir.
Tetapi ketika mereka melihat seseorang berjalan dalam kegelapan malam, maka ketiga orang itu pun berhenti. Ketiganya kemudian telah bergeser pula ketengah. Mereka memberi isyarat kepada Mahisa Murti agar menghentikan langkahnya.
Mahisa Murti berhenti beberapa langkah dari ketiga orang itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu mengamati ketiga orang itu. Meskipun malam terasa gelap, tetapi ia berhasil mengamati ketiga orang itu lebih jelas. Ternyata bahwa ketiganya adalah orang-orang yang bertubuh kekar.
Seorang di antara ketiga orang itu pun mendekatinya sambil berdesis, “Ki Sanak. Siapakah kau? Dan apakah keperluanmu malam-malam begini?”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku hanya akan lewat. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah”
“Untuk apa?” bertanya ketiga orang itu.
“Aku akan mengambil seekor kuda yang telah aku beli” jawab Mahisa Murti.
“He” ketiga orang itu terkejut, “malam-malam begini?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Ya. Pemilik kuda itu minta agar aku mengambilnya di malam hari” jawab Mahisa Murti.
“Kuda siapa? Dan apa warnanya?” bertanya orangitu pula.
“Nama pemiliknya aku lupa. Aku hanya mengenalnya dengan panggilan semasa kami masih kanak-kanak. Aku memanggilnya Gandang karena ia pandai berdendang dengan suara yang mantap panjang. Warna kudanya putih berbelang hitam” jawab Mahisa Murti.
“Bukan dawuk?” bertanya orang itu pula.
“Tidak. Aku tidak suka kuda dawuk. Tetapi karena aku memang pedagang kuda, maka jika kau mempunyai kuda berwarna dawuk pun aku mau juga membeli”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Jadi kaulah yang sering membeli kuda di Kabuyutan ini?”
“Bukan hanya di Kabuyutan ini” jawab Mahisa Murti dengan nada meninggi, untuk memberikan kesan lain dari suaranya sendiri, “Aku memang pedagang kuda. Aku membeli kuda dari mana saja. Bahkan dari Kota Raja sekalipun. Dan aku adalah pedagang kuda yang sering menerima pesanan dari pasukan berkuda Kediri”
Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Seorang yang paling tua dari ketiga orang itu berkata, “Jika demikian adalah kebetulan sekali. Aku memerlukan seorang pedagang kuda. Marilah. Ikut aku. Mungkin kau akan mendapatkan beberapa ekor kuda yang baik dan harganya murah”
“Kuda apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kuda tunggangan. Sesuai untuk prajurit berkuda” jawab orang itu.
Mahisa Murti mulai berhati-hati. Ternyata orang itu cukup cerdik. Ia tidak dengan serta merta menanggapi masalahnya. Tetapi orang itu sempat berusaha memancing Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Aku akan datang kepada kalian. Dimana rumah kalian?”
“Marilah. Kita pergi bersama-sama” jawab orang yang tertua itu.
“Jangan sekarang. Aku sudah berjanji untuk mengambil jaran putih itu. Harganya cukup murah. Nampaknya pemiliknya agak tergesa-gesa menjualnya” jawab Mahisa Murti.
Orang tertua itu mengingat-ingat. Namun kemudian katanya, “Di padukuhan itu tidak ada kuda putih dengan belang-belang hitam”
“Ah, jangan berkata begitu Ki Sanak” jawab Mahisa Murti “Aku sudah melihat di kandangnya”
“Jangan bohong Ki Sanak” berkata orang tertua itu, “kau harus mengatakan yang sebenarnya. Warnanya tentu tidak putih berbelang hitam”
“He” Mahisa Murti menjadi heran, “apakah kau mengenal semua kuda di Kabuyutan ini? Siapakah kalian sebenarnya? Apakah kalian memang petugas untuk mengetahui jumlah dan warna kuda di Kabuyutan ini?”
“Sudahlah” sahut orang itu “berkatalah berterus terang. Kuda itu warnanya tentu lain. Tetapi pemilik kuda itu berpesan kepadamu agar kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Di padukuhan itu tinggal ada tiga ekor kuda. Dan kami tahu dengan pasti warna dari ketiganya. Karena itu, sebut saja, kuda yang manakah yang akan kau ambil?”
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang aneh. Sudah aku katakan. Kuda putih berbelang hitam”
Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Di cobanya untuk memandang wajah Mahisa Murti dengan jelas. Tetapi Mahisa Murti yang menyadari akan hal itu, telah berusaha untuk tidak dengan mudah dikenali bahwa ia telah mempergunakan samaran wajah dengan lumpur. Untunglah bahwa malam yang gelap telah melindunginya, sehingga orang-orang itu tidak mudah untuk mengetahui wajah Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itu menjadi semakin curiga kepada orang yang mengurai rambutnya itu. Dengan lantang salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Ki Sanak. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi atasmu jika kau berkeras untuk mengatakan, bahwa kau adalah seorang pedagang kuda yang akan mengambil kuda berwarna putih berbelang hitam. Aku tahu pasti bahwa kuda berwarna itu tidak ada karena aku adalah penghuni padukuhan itu”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “jika kalian penghuni padukuhan itu, kenapa, kalian tidak mengenali para peronda itu?”
Ketiga orang itu terkejut. Seorang di antara mereka dengan serta merta bertanya, “Jadi kau mengetahui kedua orang peronda yang mengantarkan anak itu?”
“Bukankah baru saja mereka bertemu dengan kalian? Waktu itu aku agak takut jika terjadi sesuatu sehingga aku berhenti di balik gerumbul itu. Baru setelah kedua peronda itu pergi akan melanjutkan perjalanan” jawab Mahisa Murti.
Ketiga orang itu menjadi tidak sabar lagi. Orang yang mereka hadapi tentu orang yang mempunyai kepentingan tersendiri. Karena itu, maka salah seorang dari ketiganya berkata, “Ki Sanak. Tidak ada pilihan lain bagimu, kau harus ikut aku”
Mahisa Murti surut selangkah. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Untuk apa? Aku sudah berjanji dengan orang itu”
“Kau tidak akan dapat mengambil kuda yang manapun” berkata orang tertua di antara ketiga orang itu “Tidak boleh ada seekor kuda pun yang keluar dari setiap padukuhan”
“Siapakah yang membuat peraturan itu? Jika kau yang membuat, siapakah kau sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
Ketiga orang itu tidak mau lagi berbicara terlalu panjang. Tiba-tiba saja mereka telah berpencar. Seorang di antara mereka berkata, “Kau memang harus mendapat pelajaran dari sikapmu itu. Menyerahlah. Kau akan aku hadapkan kepada orang yang berhak mengadilimu”
Mahisa Murti berkisar sambil berkata, “Ki Sanak. Jika Ki Sanak bersikap demikian, maka persoalannya akan berkisar pula. Sebenarnya aku tidak ingin perselisihan ini terjadi. Tetapi kalian terlalu banyak mencampuri persoalanku. Karena itu, aku harus berusaha melindungi diriku sendiri”
Ketiga orang itu menjadi semakin terbakar oleh sikap Mahisa Murti Karena itu, maka yang tertua diantara mereka pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita akan menangkapnya. Sikapnya sangat mencurigakan. Tetapi jika ia melawan dan benar-benar tidak mau mengerti, apa boleh buat”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mulai bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Orang gila ini merasa mampu menghadapi kami bertiga” geram orang tertua di antara ketiga orang itu.
Mahisa Murti masih tetap berdiam diri. Tetapi ia benar-benar telah siap. Demikianlah, ketika salah seorang dari ketiga orang itu mulai menyerang, maka Mahisa Murti pun meloncat menghindar. Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Murti telah meloncat menyerang orang lain di antara ketiga lawannya.
Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga orang itu tidak sempat menghindar. Karena itu, maka orang itu pun telah menangkis serangan Mahisa Murti dengan tangannya. Dalam benturan itu, terasa oleh kedua belah pihak akan kekuatan masing-masing. Mereka pun sadar, bahwa kekuatan itu bukannya kekuatan puncak. Namun dapat mereka pergunakan sebagai penjajagan dalam keseimbangan, mereka.
Ternyata orang yang menangkis serangan Mahisa Murti itu terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa pedagang kuda itu memiliki kekuatan yang mengejutkan. Jika mereka bertempur bertiga, bukan karena ketiga orang itu menganggap bahwa orang yang mengaku pedagang kuda itu memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing. Tetapi semata-mata agar tugas mereka cepat selesai.
Namun ternyata bahwa mereka telah membentur satu kemampuan yang pantas mereka perhitungkan masak-masak. Dengan demikian, maka orang yang telah membentur kekuatan Mahisa Murti itu menjadi lebih berhati-hati. Bahkan ia sempat memperingatkan kawan-kawannya, “Hati-hatilah. Pedagang kuda ini mempunyai kekuatan iblis.
Tetapi orang tertua di antara mereka bertiga itu pun menyahut, “Bahkan seandainya ia iblis itu sendiri, maka kita akan menggulungnya dan menghadap pimpinan kita. Orang itu sudah berbicara tentang seekor kuda. Satu hal yang akan sangat menarik perhatian. Karena itu, marilah, kita menyelesaikan tugas ini dengan cepat”
“Panggil kawan-kawanmu” tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut, “jangan hanya bertiga”
“Gila. Kau sangka aku seorang seorang tidak dapat memenggal lehermu? Soalnya kami ingin cepat dengan tugas gila ini” jawab orang tertua.
“Karena itu, akan lebih cepat lagi jika kalian memanggil lima atau sepuluh orang lagi, atau justru pemimpinmu itu sendiri” berkata Mahisa Murti.
Darah ketiga orang itu bagaikan mendidih mendengar penghinaan Mahisa Murti. Karena itu, maka ke-tiganya pun kemudian telah mengerahkan kemampuan mereka untuk menangkap Mahisa Murti. Bahkan orang tertua di antara mereka bertiga itu pun berkata, “Tangkap anak ini, hidup atau mati”
Perintah itu jelas bagi Mahisa Murti. Jika orang-orang itu tidak mampu menangkapnya, maka mereka tidak akan segan-segan mempergunakan cara yang paling keras untuk membunuhnya. Memang terbersit juga sedikit penyesalan, bahwa usahanya sekedar mengetahui keadaan ketiga orang itu telah mendorongnya kedalam pertempuran antara hidup atau mati. Tetapi apa yang didengarnya tentang ketiga orang itu ternyata cukup memberinya bahan laporan kepada Pugutrawe.
Namun Mahisa Murti tidak dapat melangkah surut. Ia sudah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Tiga orang itu telah menyerangnya beruntun susul menyusul dari arah yang berbeda. Tetapi ternyata bahwa ketiganya bukanlah orang-orang yang pantas disegani. Agaknya mereka hanyalah orang-orang yang melaksanakan perintah bagi tugas-tugas yang kasar, tetapi tidak berbahaya.
Agaknya merekalah orang-orang yang melaksanakan mengambil kuda-kuda yang tersebar di padukuhan-padukuhan. Agaknya orang-orang seperti ketiga orang itu pulalah yang pernah dilihatnya di warung Pugutrawe, menakut-nakuti seorang pemilik kuda yang menyingkirkan kudanya.
Meskipun demikian, dengan bertempur bersama, ketiga orang itu merupakan lawan yang memerlukan perhatian dari Mahisa Murti. Mereka ternyata mampu juga bergerak cepat dan kadang-kadang memang menyulitkan. Tetapi Mahisa Murti memiliki bekal dan pengalaman yang jauh lebih baik dari ketiga orang itu.
“Agaknya mereka memang prajurit Kediri dari tataran terendah yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “nampaknya mereka mampu bertempur dalam pasangan yang sangal baik, sehingga agaknya mereka telah terlatih untuk bertempur berpasangan. Tetapi nampaknya bekal mereka secara pribadi masih belum mencukupi untuk turun kedalam arena yang lebih khusus dari sebuah pertempuran gelar atau pertempuran dalam pasangan seperti yang dilakukan sekarang.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti ternyata mempunyai kesempatan lebih baik dari ketiga orang itu untuk memenangkan pertempuran. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih harus berhati-hati. Kadang-kadang ketiga orang itu mampu melakukan gerakan yang mengejutkan dan sangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun merasa heran menghadapi pedagang kuda yang membiarkan rambutnya terurai itu. Ternyata tidak semudah yang mereka perkirakan untuk menangkap pedagang kuda itu. Bahkan dengan tegas yang tertua di antara mereka telah menjatuhkan perintah, “Tangkap hidup atau mati”
Namun orang yang mengaku pedagang kuda itu mampu mengimbangi kemampuan bersama dari tiga orang itu. Bahkan kadang-kadang orang yang mengaku pedagang kuda itu melakukan langkah-langkah yang mengejutkan dan bahkan membingungkan. Dengan demikian maka ketiga orang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kemarahan yang menghentak di dalam dada mereka, seakan-akan membuat mereka bertiga semakin garang.
Dalam pada itu, di tempat persembunyiannya, Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi kemudian ia pun melihat, bahwa keadaan Mahisa Murti semakin lama justru menjadi semakin baik. Ketiga orang lawannya seakan-akan menjadi kebingungan melihat tata gerak Mahisa Murti yang cepat, yang kadang-kadang hanya bagaikan bayangan saja bagi mereka. Sekali mel_oncat di antara mereka, kemudian bagaikan terlepas dari pengamatan mereka bertiga. Namun yang tiba-tiba saja menyerang dengan garangnya.
Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ketika orang yang marah itu telah menggenggam senjata masing-masing. Agaknya mereka tidak hanya sekedar akan menangkap Mahisa Murti, tetapi seperti yang dikatakannya, tangkap hidup atau mati. Sejenak kemudian, maka tiga buah pedang telah berputaran. Ketiga orang itu menyerang dengan dahsyatnya. Sekali terayun menyambar, kemudian yang lain mematuk dengan dahsyatnya.
Mahisa Murti menjadi gelisah menghadapi tiga ujung pedang itu. Agaknya ketiga orang itu mampu mempergunakan senjata mereka dengan baik. Untuk beberapa saat Mahisa Murti hanya mampu meloncat dan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun itu. Ia masih belum mengambil satu keputusan yang mantap untuk menghadapi ketiga lawannya.
“Sebenarnya aku tidak ingin melukai apalagi membunuh mereka” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Aku hanya ingin tahu tentang mereka dan sedikit tentang kuda dalam hubungan dengan mereka” Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menemukan satu penyelesaian yang paling baik dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat melihat, bahwa Mahisa Murti telah mengalami kesulitan, menghadapi ketiga orang yang bersenjata pedang itu, sementara itu Mahisa Murti masih belum mencabut pisau belati yang dibawanya di bawah kain panjangnya.
“Apa lagi yang ditunggunya?” bertanya Mahisa Pukat di dalam hatinya, “apakah ia benar-benar ingin melawan dengan tangannya? Satu pekerjaan yang sangat berbahaya, baginya”
Dalam kegelisahan Mahisa Pukat melihat Mahisa Murti menjadi semakin terdesak. Namun Mahisa Murti masih belum mempergunakan senjata apapun. Karena itu, maka Mahisa Pukat mengira, bahwa Mahisa Murti sedang menunggunya. Mereka akan bertempur berpasangan tetapi tanpa mempergunakan senjata.
Tetapi yang terjadi ternyata agak kurang dimengerti oleh Mahisa Pukat. Dalam satu kesempatan, maka Mahisa Murti telah meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba saja Mahisa Murti telah berlari ke kegelapan malam.
“Jangan biarkan orang itu lari” teriak salah seorang dari ketiga orang yang bersenjata pedang itu.
Seorang di antara mereka mencoba untuk mengejarnya. Tetapi ternyata langkah Mahisa Murti lebih cepat, sehingga jaraknya justru semakin jauh. Bahkan akhirnya orang itu pun menyadari, seandainya ia berhasil menyusul orang yang mengaku pedagang kuda itu, maka apakah ia benar-benar akan dapat menangkapnya.
Mahisa Pukat yang masih berada di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti. Namun tiba-tiba saja ia masih ingin mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ketiga orang itu. Justru karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekat.
Dalam pada itu salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Aku tidak percaya, bahwa orang itu benar-benar pedagang kuda. Orang itu tentu sedang menyelidiki persoalan kuda yang memang telah menggelisahkan orang-orang di padukuhan ini”
“Tentu ada yang melaporkan” berkata yang lain.
“Jangan bodoh” berkata kawannya, “ada atau tidak ada yang melaporkan, akhirnya hal ini akan diketahuinya juga oleh pimpinan wilayah yang diangkat oleh Sri Baginda di Kediri”
Tetapi kawannya tertawa. Katanya, “Kita tidak usah cemas. Tidak ada kepastian lagi di Kediri. Sikap para bangsawan sudah menjadi kacau. Bahkan sikap Sri Baginda sendiri telah meragukan. Aku tidak yakin bahwa Panji Sempana Murti akan berani bertindak. Jika ia bertindak, berarti ia akan berhadapan dengan Pangeran Kuda Permati”
“Aku tidak tahu sikap Panji Sempana Murti" kemudian berkata kawannya, “tetapi kita harus melaporkan, bahwa kita telah bertemu dengan seseorang yang mencurigakan. Mungkin orang itu berpihak kepada Pangeran Singa Narpada, tetapi mungkin juga orangnya Panji Sempana Murti”
“Siapa pun orang itu, kita wajib melaporkan peristiwa vang terjadi malam ini, sejak keberangkatan tiga orang yang menyebut dirinya peronda-peronda itu”
“Aku percaya bahwa mereka adalah peronda” berkata yang lain, “tetapi ternyata ada orang yang mengikuti mereka dan menilai persoalan yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan ini”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, yang tertua di antara mereka berkata, “Marilah. Tidak ada gunanya kita berada di sini. Tidak akan ada orang yang akan menyingkirkan kudanya. Mereka sudah menjadi takut untuk berbuat demikian. Tetapi persoalan yang terjadi Ini benar-benar harus mendapat perhatian”
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan bulak itu. Mereka berjalan melintasi pematang dan hilang di gelapan.
Demikian mereka hilang, maka Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Beberapa hal memang dapat melengkapi laporan yang akan mereka berikan kepada Pugutrawe untuk mempersiapkan langkah-langkah yang akan dapat mereka ambil menghadapi keadaan Kediri dalam keseluruhan. Namun satu hal perlu diperhatikan, di Kediri sedang timbul gejolak di antara para pemimpinnya. Sikap mereka menghadapi kekuasaan Singasari ternyata berbeda-beda.
Ketika Mahisa Pukat sudah yakin bahwa ketiga orang itu sudah menjadi semakin jauh, maka ia pun telah muncul ke jalan. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat tinggal Pugutrawe. Namun tiba-tiba saja ia pun berkisar dan siap menghadapi segala kemungkinan, ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata bahwa yang datang adalah Mahisa Murti.
“Kau membuat aku bingung” berkata Mahisa Pukat.
“Aku menghindarkan diri dari kemungkinan yang lebih buruk” jawab Mahisa Murti, “Aku tidak sempat memberimu isyarat. Mudah-mudahan kau dapat mengerti”
“Tentu. Ketika kau melarikan diri, aku hampir saja meloncat ke medan. Aku mengira bahwa kau menghendaki aku ikut bertempur tetapi tanpa senjata” jawab Mahisa Pukat.
“Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita ketahui” berkata Mahisa Murti, “ternyata bahwa di Kabuyutan ini berkeliaran orang-orang yang tidak menghendaki seekor kuda pun terlepas. Sementara itu, mereka masih juga menahan diri tidak mengambil semua kuda sekaligus."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menceriterakan apa yang didengarnya sepeninggal Mahisa Murti. Dugaan bahwa di Kediri sedang berkembang ketidak pastian, agaknya memang benar. Bahkan sikap Sri Baginda pun meragukan.
Kedua anak muda itu pun kemudian bersepakat untuk segera menemui Pugutrawe. Mereka juga harus melaporkan, bahwa malam itu dua orang bebahu Kabuyutan telah berusaha untuk menemui Panji Sempana Murti. Tetapi keduanya sama sekali tidak dapat membayangkan sikap Panji Sempana Murti itu sendiri menaggapi kemelut yang sedang terjadi. Apakah ia akan segera mengambil sikap, atau justru akan menunggu tanpa batas waktu.
Sebenarnyalah pada saat itu, kedua orang bebahu dari Kabuyutan di daerah perbatasan itu sedang berusaha untuk dapat menghadap Panji Sempana Murti. Keduanya berpacu di atas punggung kuda seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Semakin lama justru semakin cepat.
Apa pun yang akan dilakukan oleh Panji Sempana Murti, kedua orang itu tidak banyak mempersoalkan. Yang penting bagi mereka adalah, persoalannya sudah dengan resmi disampaikan kepada yang berwenang.
Sementara itu, kedua orang itu pun telah mendekati rumah yang dipergunakan oleh Panji Sempana Murti memimpin daerah perbatasan sebelah Utara itu. Rumah yang kemudian telah menjadi barak sepasukan prajurit yang berada di bawah perintah Panji Sempana Murti itu.
Tetapi prajurit itu memang tidak banyak. Bahkan rasa-rasanya ada semacam kelesuan di antara mereka. Panji Sempana Murti sendiri, nampaknya bukan lagi seorang panglima yang garang sebagaimana sebelumnya.
Ketika dua orang bebahu Kabuyutan itu sampai ke rumah itu, maka mereka pun telah berhenti di regol. Sekelompok penjaga masih tetap bersiaga di dalam gardu, di belakang regol itu. Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang bebahu itu telah menghentikan kudanya di depan regol. Keduanya pun segera meloncat turun.
Namun derap kaki kuda mereka, agaknya menarik perhatian para penjaga yang ada di dalam. Karena itu, maka sebuah lubang empat persegi pada regol itu pun telah terbuka. Sepasang mata menjenguk dari lubang itu.
Penjaga itu melihat dua orang berkuda berhenti di depan regol itu. Karena itulah maka orang yang melihat lewat lubang persegi empat itu pun bertanya, “Siapa kalian he?”
Kedua bebahu itu pun kemudian mengikat kuda mereka dan melangkah mendekat. Kepada orang yang melihat lewat lubang itu salah seorang dari kedua bebahu itu menjawab, “Kami, dua orang bebahu dari daerah perbatasan”
“Apa maksudmu?” bertanya orang yang berada di balik regol itu.
“Kami ingin menghadap panji Sempana Murti” jawab salah seorang bebahu itu.
“Malam-malam begini?” bertanya orang yang menjenguk itu.
“Ya” jawab bebahu itu.
“Kalian benar-benar tidak tahu adat. Pulanglah. Besok saja datanglah kembali di siang hari. Itu pun jika Panji Sempana Murti berkenan menerima kalian” jawab orang yang menjengukkan kepalanya lewat lubang itu.
“Tetapi kami membawa kabar yang penting” berkata bebahu itu.
“Berlakulah sopan sedikit” jawab orang yang menjenguk.
Bebahu itu menyahut, “Ki Sanak. Cobalah dengar. Di Kabuyutan di daerah perbatasan ini telah terjadi sesuatu yang gawat. Kami datang untuk menyampaikan persoalan ini kepada Panji Sempana Murti”
“Kalian memang dungu. Jangan malam-malam begini” jawab penjaga itu.
“Persoalan itu datang di malam hari. Bukankah kalian adalah prajurit? Apakah jika lawan kalian menyerang di malam hari, kalian juga minta mereka kembali dan datang esok pagi?” bertanya bebahu itu menjadi jengkel.
“Tutup mulutmu” bentak penjaga itu, “Aku tahu kau bukan musuh yang datang di malam hari. Tetapi kalian adalah orang-orang yang tidak tau sopan santun sama sekali”
“Persoalan yang aku bawa tidak ada bedanya dengan datangnya musuh di malam hari itu” jawab bebahu itu.
Namun tiba-tiba saja penjaga itu membentak, “Pergi. Jangan ganggu kami. Jangan ganggu Panji Sempana Murti."
Bebahu itu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba saja lubang di pintu regol itu pun telah tertutup kembali dengan kerasnya. Kedua bebahu itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan mengetuk pintu sampai pintu itu dibuka,“
Tetapi yang lain mencegahnya. Katanya, “Hal itu akan dapat mendatangkan kesulitan bagi kita”
“Jadi kami harus menunggu sampai esok pagi di sini?” bertanya kawannya.
“Apa boleh buat. Persoalannya harus kita sampaikan kepada Panji Sempana Murti secepatnya” jawab yang lain.
Kedua bebahu itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar desis seseorang., “Tidak terlalu jauh dari regol”
Ketika keduanya berpaling kekegelapan, maka mereka melihat sesosok bayangkan mendekati mereka. Kedua bebahu itu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ketika bayangan itu muncul dalam cahaya obor di regol, maka kedua bebahu itu terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang dicarinya itu justru di luar regol.
“Kau kenal aku?” bertanya orang itu.
“Ya Panji. Kami mengenal tuan” jawab kedua bebahu itu hampir bersamaan.
“Terima kasih” orang itu mengangguk-angguk “apakah kalian memang mencari aku?”
“Ya tuan. Kami berusaha untuk menemui tuan. Tetapi gagal. Penjaga pintu itu tidak mau membuka pintunya” jawab kedua bebahu itu...