Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 19

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 19 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 19
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DALAM pada itu, Panji Sempana Murti yang memegang kendali gelar berada di paruh pasukan. Untuk beberapa saat ia masih memimpin pasukannya dan belum langsung bertempur di induk pasukan. Namun ketika ia melihat Senapati yang memimpin pasukan Kuda Permati itu mengamuk bagaikan harimau lapar, maka Pangeran Panji Sempana Murti pun telah menyerahkan pengamatan dan kendali gelar itu kepada seorang perwira yang telah memiliki pengalaman yang cukup.

“Setan itu tidak boleh menjadi buas di lingkungan kambing-kambing yang lemah” geram Panji Sempana Murti.

Sejenak kemudian, maka Panji Sempana Murti dengan pedangnya yang besar telah turun menghadapi Senapati yang sedang mengamuk itu. “Kau kira kau satu-satunya laki-laki di medan ini” geram Panji Sempana Murti.

“Bagus” jawab Senapati itu, “Aku berhadapan dengan Panglima pasukan budak-budak Singasari di daerah perbatasan Utara.

“Aku merasa lebih terhormat menjadi budak daripada seorang pengkhianat” jawab Panji Sempana Murti, “betapa hinanya budak-budak, tetapi ia masih mempunyai harga diri untuk berjuang melawan pemberontakan. Nah, sekarang menyerahlah pengkhianat. Tidak ada tempat bagimu di tanah ini selama yang kau sebut budak bernama Panji Sempana Murti ini masih ada”

“Setan budak yang hina” geram Senapati itu, “kau jangan berlagak sebagai seorang pahlawan. Apa artinya sikapmu itu? Katakan kau memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, namun kelebihanmu justru kau pergunakan untuk menindas kadangmu sendiri atas nama orang-orang Singasari”

“Nalarmu memang sudah terbalik” berkata Panji Sempana Murti, “Aku melihat satu kesatuan yang besar saat ini. Jika kita masing-masing masih berpijak kepada kepentingan diri sendiri, maka kita akan tetap terpecah belah dan kita akan menjadi bangsa yang paling ringkih di seluruh muka bumi ini. Pada saat-saat kita membuka hubungan dengan orang-orang asing yang mulai merambah tanah ini, maka kita harus kuat, lahir dan batin, agar kita tidak memberikan kesan sebagai anak sapi yang lemah, yang akhirnya akan diterkam oleh harimau-harimau yang garang dari daerah di luar rangkah”

“Omong kosong” geram Senapati itu, “alasan yang tidak masuk akal. Kau ingin mencari alasan untuk membela sikap budakmu”

“Persetan” geram Panji Sempana Murti, “apa pun yang kau katakan, aku adalah Panglima pasukan Kediri di daerah perbatasan Utara dengan kekancingan yang di beri pertanda atas kuasa Seri Baginda di Kediri. Sekarang menyerahlah, atau kau akan binasa. Aku telah mengambil sikap yang tidak ragu-ragu. Semua pengkhianat harus ditangkap atau dibinasakan”

Senopati itu tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan sebatang tombak pendek.

Panji Sempana Murti sudah bersiap. Karena itu, maka ia pun masih sempat meloncat menghindar sehingga ujung tombak lawannya sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan sesaat kemudian Panji Sempana Murti masih sempat meloncat sambil mengayunkan pedangnya yang besar mengarah lambung.

Senapati lawannya sempat bergeser sambil memutar tombaknya. Sekejap kemudian tombak itu telah mematuk. Tetapi Panji Sempana Murti sempat memukul kes amping. Namun tombak itu justru terayun berputar. Tiba-tiba saja justru landean tombak itulah yang menyerang ke arah kening Panji Sempana Murti.

Hampir saja kulit pada kening Panji Sempana Murti terkojak oleh landean tombak yang dilapisi dengan perunggu. Untunglah Panji Sempana Murti sempat mengelak. Sambil merendah pada lututnya, Panji Sempana Murti menjulurkan pedangnya ke perut Senapati yang sedang memukulnya dengan landean tombaknya itu.

Namun, Senapati itu pun masih sempat mengelak pula dengan loncatan panjang. Tetapi Panji Sempana Murti tidak melepaskannya. Ia pun segera memburunya dengan pedang terjulur.

Demikianlah pertempuran di antara kedua orang itu menjadi semakin sengit di antara gemuruhnya perang dalam keseluruhan. Sebagaimana para prajurit di dalam gelar itu, maka kedua orang Senapati itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk segera dapat mengalahkan lawan.

Dalam pada itu, di padukuhan yang baru saja ditinggalkan oleh pasukan Pangeran Kuda Permati, pertempuran pun terjadi dengan sengit pula. Tetapi jumlah para prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati jauh lebih sedikit dari lawan mereka. Meskipun mereka memiliki ketrampilan secara pribadi ma-lampau lawan-lawannya, namun bagaimanapun juga, jumlah lawan yang banyak itu telah membingungkan mereka.

Apalagi di antara anak-anak muda itu memang terdapat beberapa orang prajurit yang dapat mengimbangi kemampuan lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikian yang sedikit itu telah memberikan kesan yang mendebarkan bagi para pengikut Pangeran Kuda Permati.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, para pengikut Pangeran Kuda Permati itu telah terdesak. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka korban pun telah berjatuhan. Tidak ada lagi usaha untuk mengekang diri. Setiap senjata yang terhunjam di tubuh lawan justru telah ditekan agar menyentuh jantung.

Anak-anak muda yang baru menginjak tataran pertama dalam dunia kanuragan, bertempur dalam kelompok-kelompok kecil menghadapi seorang lawan. Sementara para prajurit yang berpihak kepada mereka, menghadapi lawan mereka seorang demi seorang.

Ada di antara mereka yang berhasil membunuh lawannya. Tetapi ada juga di antara mereka yang terbunuh. Anak-anak muda yang bertempur dalam kelompok-kelompok itu pun ada yang terkoyak dadanya. Tetapi secara bersama-sama mereka sempat juga membunuh lawan mereka beramai-ramai.

Bagaimanapun juga, akhirnya para pengikut Pangeran Kuda Permati menjadi semakin terdesak. Mereka justru bergeser semakin jauh dari padukuhan yang harus dibakarnya menjadi abu. Ketika beberapa orang berusaha untuk menyusup dan memasuki padukuhan itu untuk membakar satu dua rumah, maka ternyata mereka telah dicegat oleh sekelompok anak-anak muda.

Bagaikan memburu bajing orang-orang itu telah dikepung oleh beberapa orang sehingga akhirnya, sebagaimana terjadi di peperangan yang garang dan buas, maka tidak seorang pun di antara mereka yang sempat keluar lagi dari padukuhan itu.

Demikianlah yang terjadi di seluruh medan. Di luar padukuhan itu dan di dalam perang gelar. Semua orang di dalam arena pertempuran itu menjadi seperti orang kesurupan. Demikian pula Panji Sempana Murti dan Senapati yang memimpin para pengikut Pangeran Kuda Permati itu. Keduanya dibekali dengan kebencian yang menggelegak di dalam dadanya. Panji Sempana Murti merasa sudah cukup lama ia dipermainkan oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati, sementara para pengikut Pangeran Kuda Permati merasa terganggu oleh tingkah Panji Sempana Murti yang sombong.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di tempat Ki Waruju telah mencium pula kepergian sepasukan prajurit ke padukuhan-padukuhan sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya justru dari Ki Waruju. Namun ketika ia dengan tergesa-gesa kembali, pertempuran itu sudah terjadi.

“Semua orang telah pergi ke medan” berkata beberapa orang laki-laki yang sudah dianggap tidak lagi mampu bertempur. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berlari-lari pula menyusul ke medan yang garang itu. Dengan susah payah, keduanya berhasil mendekat dan mencari Pugutrawe yang menurut beberapa orang tetangganya telah ikut pula bersama pasukan.

“He, demikian cepat kau kembali?” bertanya Pugutrawe ketika kedua anak-anak muda itu menemukannya di peperangan, karena Pugutrawe justru berada di belakang garis pertempuran meskipun ia memegang parang yang besar.

"Aku mendengar berita tentang pasukan ini" desis Mahisa Murti, “tiba-tiba saja aku merasa gelisah. Ternyata hal seperti ini telah terjadi.”

Pugutrawe menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pembantaian yang mengerikan. Kedua belah pihak tidak lagi mengekang diri. Pertempuran ini benar-benar merupakan neraka tempat sesama saling berbunuhan."

“Watak dari peperangan” desis Mahisa Pukat.

“Tetapi dendam dan kebencian telah membakar jantung dari kedua belah pihak” jawab Pugutrawe.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Benar-benar satu pertempuran yang sangat dahsyat.

“Kalian akan ikut bertempur?” bertanya Pugutrawe.

“Aku berada di belakang garis perang seperti beberapa anak-anak muda yang lain, yang hanya sekali-sekali mengayunkan senjata mereka. Mereka yang sedikit bersombong untuk menyentuh garis perang, kulit mereka tentu akan terkoyak.” desis Mahisa Murti, “bukankah sudah ada beberapa orang anak muda yang mencoba-coba dan terpaksa digotong keluar arena?”

“Tetapi kalian dan mereka” berkata Pugutrawe.

“Tidak. Aku sama saja dengan mereka” jawab Mahisa Murti.

Pugutrawe tidak mendesak mereka. Tetapi ketiga orang itu telah berada dekat dengan garis perang. Mereka membawa senjata masing-masing, dan dalam keadaan yang tiba-tiba merekapun telah terlibat pula dalam benturan senjata. Namun di depan mereka para prajurit dalam pasukan Panji Sempana Murti tengah bertempur dengan garangnya pula.

Dalam pertempuran selanjutnya, ternyata bahwa bagian dari pasukan Pangeran Kuda Permati itu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Pasukan Panji Sempana Murti dalam jumlah yang lebih besar, karena telah dikerahkan semua pasukannya yang ada ditambah dengan sebagian dari pasukan Pangeran Singa Narpada yang bergabung dengan kekuatan di daerah perbatasan Utara itu, apalagi dengan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang seakan-akan tidak terhitung jumlahnya karena semakin lama menjadi semakin banyak, telah menekan pasukan lawan dengan sepenuh kekuatan yang ada.

Sementara pasukan Pangeran Kuda Permati yang mendapat perintah untuk menjadikan padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan menjadi abu, mengalami keadaan yang paling parah. Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati, sempat melihat keadaan itu meskipun ia sendiri bertempur dengan sengitnya melawan Panji Sempana Murti. Setiap kali prajurit Kediri dibawah pimpinan Panji Sempana Murti itu telah bersorak-sorak bagaikan meruntuhkan langit.

Tekanan yang sangat berat telah mendesak pasukan Pangeran Kuda Permati perlahan-lahan surut, sehingga gelar pasukan Panji Sempana Murti bergerak maju. Sayap-sayapnya yang tidak berhasil dikoyak oleh ujung gelar lawan yang runcing, berusaha untuk menguasai dan menutup ujung-ujung pasukan itu.

Korban masih terus berjatuhan di antara kedua belah pihak. Tetapi keadaan yang sulit dari pasukan Pangeran Kuda Permati menjadi bertambah ketika pasukan kecilnya yang diperintahkannya menghancurkan padukuhan yang ditinggalkannya itu telah benar-benar dilumatkan oleh lawan mereka. Yang tersisa dalam jumlah yang sangat kecil telah berlari-lari dan bergabung pada pasukan induknya. Sementara itu, lawan mereka pun telah mengejarnya pula.

Namun demikian pasukan yang mengejar itu mendekati arena, maka seorang perwira dari pasukan Panji Sempana Murti yang ada di antara para prajurit yang berbaur dengan anak-anak muda yang bertempur di padukuhan itupun memberikan isyarat agar anak-anak muda itu mengekang diri.

“Biarlah para prajurit yang langsung menghadapi mereka yang sudah bergabung di induk pasukan.” berkata perwira itu, “agaknya medan itu merupakan medan yang sangat garang dan terlalu berbahaya bagi kalian.“

“Kami sudah cukup mengerti apa yang kami hadapi" berkata salah seorang anak muda.

“Kami sudah cukup mendapat latihan-latihan” sahut yang lain.

“Tetapi kalian harus melihat keganasan di medan yang tidak mengenal apapun selain pembantaian itu” sahut perwira itu, “karena itu, jangan mencoba-coba. Dalam medan yang ganas itu, kalian tidak akan mendapat kesempatan untuk sekedar menjajagi ilmu-ilmu kalian. Sekali kalian tersentuh garangnya pertempuran seperti itu, maka kita harus menghadapi dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Karena itu jangan menganggap pertempuran itu sebagai tempat bermain.“

Anak-anak muda itu mulai memperhatikan kenyataan di hadapan mereka. Sementara itu, perwira itu dan para prajurit tidak lagi menunggu mereka. Berlari-lari mereka memasuki medan dengan tekad seorang prajurit dengan senjata di tangan.

Kedatangan sekelompok prajurit yang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun karena mereka menyerang dari arah belakang gelar, maka para prajurit yang sekelompok kecil itu terasa benar-benar mengganggu. Apalagi para prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati yang melarikan diri dari padukuhan itu dan bergabung di induk pasukan, tidak mampu menghadapi para prajurit yang mengejarnya.

Dengan demikian, maka mereka harus mencari bantuan dari para prajurit yang berada di dalam gelar, sementara gelar wulan punanggal itu sendiri sudah mulai terdesak. Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas telah menjadi goyah. Pasukan Panji Sempana Murti akan segera menguasai keadaan. Meskipun demikian, pertempuran itu masih tetap merupakan pertempuran yang garang, bahkan buas. Kedua belah pihak benar-benar tidak lagi memikirkan apapun juga selain membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

Sementara itu, Panji Sempana Murti masih bertempur dengan dahsyat nya melawan Senopati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati. Senopati yang garang itu berusaha untuk secepatnya mengalahkan lawannya kemudian memperbaiki keadaan pasukannya. Tetapi, Panji Sempana Murti yang mendapatkan kekuasaan untuk memegang pimpinan pasukan Kediri di daerah, perbatasan sebelah Utara itu, benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang memadai bagi seorang Panglima yang menghadapi tugas yang cukup berat. Karena itu, maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang sangat dahsyat.

Pertempuran antara dua orang Senopati yang memiliki ilmu yang tinggi, yang sulit dicari bandingnya, seolah-olah tidak seorang prajurit pun yang dapat mencampurinya. Dengan tombak pendeknya Senapati yang memimpin para prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati itu mengamuk bagaikan angin pusaran yang melanda semak-semak di padang perdu. Namun pedang Panji Sempana Murti pun berputaran dan menggulung lawannya bagaikan prahara.

Benturan-benturan yang keras dan dahsyat tidak terhindarkan. Agaknya keduanya memang dengan sengaja membentur kekuatan masing-masing tanpa kekangan. Tetapi, keduanya memang memiliki kekuatan yang besar dan mengagumkan. Sementara itu senjata mereka pun terbuat dari bahan yang terpilih. Betapapun kerasnya benturan yang terjadi, namun landean tombak pendek yang terbuat dari kayu berlian bersalut baja itu tidak dapat terpatahkan.

Sementara pedang di tangan Panji Sempana Murti pun tetap dipertahankannya, meskipun kadang-kadang tombak pendek lawannya sempat mengungkit pedang itu. Namun pedang itu tidak akan pernah terlepas dari tangan, seakan-akan hulu pedang itu telah menyatu dengan telapak tangan Panji Sempana Murti.

Betapa dahsyatnya pertempuran antara kedua orang itu, ternyata kemudian, bahwa para prajurit di kedua belah pihak justru telah menyibak, sehingga dalam pertempuran yang betapa dahsyatnya itu, keduanya seakan-akan terlibat dalam satu perang tanding yang nggegirisi.

Tetapi ternyata bahwa Panji Sempana Murti, Panglima di daerah perbatasan Utara itu, memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun keduanya memiliki ilmu yang seimbang, tetapi Panji Sempana Murti memiliki daya tahan yang lebih besar, sehingga ketika keduanya telah menghentakkan semua kekuatannya dan kemampuannya, maka daya tempur Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati itulah yang lebih dahulu mulai susut.

Panji Sempana Murti yang memiliki pengalaman yang sangat luas, telah mempergunakan saat-saat yang demikian untuk mengakhiri pertempuran. Ia justru meningkatkan serangan-serangannya. Pedangnya berputaran semakin cepat. Kemudian menyerang dengan ayunan mendatar yang kuat. Disusul dengan juluran ujung pedangnya yang mematuk mengarah langsung ke jantung lawannya.

Tetapi Senapati itu masih belum mau mati. Ia sadar, bahwa di medan yang buas itu tidak ada kesempatan lain kecuali membunuh atau dibunuh. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segala sisa kekuatannya. Ia masih berusaha untuk mempertahankan hidupnya dan mematikan lawannya dalam kesempatan terakhirnya.

Namun Senapati itu ternyata memang tidak mempunyai kesempatan untuk bertahan lebih lama lagi. Panji Sempana Murti pun sadar, jika ia ragu-ragu membunuh, maka kemungkinan terbesar ia sendirilah yang akan mati di peperangan itu. Karena itu, pada kesempatan terakhir, serangan Panji Sempana Murti pun datang bagaikan amuk seekor banteng yang terluka. Pedangnya berputar, terayun dan mematuk. Serangan-serangannya datang beruntun susul menyusul.

Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan-serangan itu. Bahkan akhirnya justru karena tenaganya yang menyusut, setelah ia mengarahkan segenap kekuatannya, maka kecepatannyapun mulai menurun pula. Ketika pedang Panji Sempana Murti yang besar itu terayun mendatar, maka dengan susah payah Senapati itu berusaha untuk menangkisnya. Tetapi ternyata pedang itu telah berubah arah. Mematuk dengan derasnya kearah lambung.

Senapati itu hanya sempat bergeser sedikit. Namun ternyata kemampuan ilmu pedang Panji Sempana Murti masih sempat menggerakkan ujung pedangnya, sehingga lambung Senapati itupun telah terkoyak karenanya. Senapati itu mengumpat tertahan. Tetapi ia masih sempat berpikir. Ia melihat medan dalam keseluruhan, dan iapun tidak mempunyai harapan. Karena itu, maka demikian lambungnya terluka, maka iapun telah meneriakkan satu isyarat kepada para prajuritnya.

Pada saat yang menentukan itu ternyata Panji Sempana Murti tidak melepaskannya. Sekali lagi ia sempat menjulurkan pedangnya, dan sekali lagi ujung pedang itu telah mengoyak dada Senapati itu. Namun pada saat yang demikian, isyarat itu telah didengar oleh para prajuritnya. Isyarat yang memberi kesempatan kepada prajurit-prajuritnya yang semakin susut untuk meninggalkan medan.

Demikianlah, pada saat Senapati itu kemudian jatuh pada lututnya, maka medan itu telah bergejolak sejenak. Para prajurit, pengikut Pangeran Kuda Permati telah dengan serta merta berusaha untuk menarik diri dari pertempuran.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menekan dadanya melihat akibat dari pertempuran itu. Meskipun ada juga sebagian dari para prajurit Pangeran Kuda Permati yang lolos, namun sebagian dari mereka tidak lagi sempat menarik nafas lebih lama lagi. Bahkan hanya beberapa orang dalam jumlah yang kecil sajalah yang mendapat kesempatan untuk tetap hidup setelah mereka melemparkan senjatanya dan menyatakan diri menyerah.

Demikianlah, maka pertempuran itu telah berakhir. Medan itu benar-benar telah menjadi neraka bagi kedua belah pihak. Yang kalah maupun yang menang. Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga, sebagai seorang Panglima, maka Panji Sempana Murti berusaha untuk menahan diri.

Dengan kesadaran seorang Panglima, maka Panji Sempana-Murti memerintahkan untuk tidak mengusik para tawanan yang memang sudah menyerah. Betapapun jantung bergejolak oleh kebencian dan dendam karena kematian kawan-kawannya, namun para prajurit Kediri dibawah pimpinan Panji Sempana Murti itupun telah mematuhi perintah itu.

Namun dalam pada itu, merupakan satu kenyataan di hadapan Pugutrawe dan kedua anak muda yang bertugas bagi Singasari bahwa perbedaan sikap dan pendapat di Kediri akan memungkinkan terjadinya satu pembantaian yang mengerikan. Pertentangan antara sesama saudara justru dapat membangkitkan satu permusuhan yg tidak berkesudahan.

Dengan jantung yang terasa berdegup semakin cepat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan, bagaimana para prajurit Kedidri dibawah pimpinan Panji Sempana Murti itu membenahi diri. Selain mengurus para tawanan, maka mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan sesuai dengan sifat-sifat kesatria, meskipun kadang-kadang tidak menarik untuk dilakukan, mereka pun harus merawat lawan-lawan mereka yang terluka. Mengumpulkan kawan dan lawan yang terbunuh dan menyelenggarakan mayatnya.

Demikianlah, maka saat-saat berikutnya adalah kesibukan pasukan Panji Sempana Murti dan anak-anak muda yang telah melibatkan diri didalam pertempuran itu. Tangan mereka yang sudah basah oleh darah, kemudian telah dibebani pula untuk mengangkat mayat-mayat yang terbujur lintang di bulak.

Pematang, parit dan jalan di bulak itu pun telah menjadi merah pula. Tanaman yang tumbuh subur di kotak-kotak sawah telah rusak terinjak bukan saja oleh kaki-kaki kuda, tetapi juga oleh kaki-kaki prajurit yang bertempur dalam gelar yang melebar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama Pugutrawe telah membantu mengumpulkan para prajurit yang terluka. Namun peristiwa itu memang harus menjadi bahan laporan yang terperinci kepada para pemimpin di Singasari.

“Jika Singasari masih berdiam diri atau sekedar mengamati saja keadaan yang berlarut-larut ini, maka semakin lama Kediri akan semakin parah dilanda oleh permusuhan di antara mereka sendiri,” berkata Pugutrawe ditelinga anak-anak muda itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnya keduanya sependapat sepenuhnya, bahwa pertempuran-pertempuran semacam itu akan merenggut banyak jiwa prajurit Kediri sendiri.

Dalam pada itu, Panji Sempana Murti ternyata masih sempat merenungi keadaan. Tetapi ia benar-benar berdiri di satu batas simpang yang sulit. Ketika pertempuran sudah selesai, barulah ia menyadari, betapa garangnya medan yang baru saja membakar bulak itu. Korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak merupakan satu kenyataan yang sangat pahit.

Namun tanpa sikap yang tegas menghadapi Pangeran Kuda Permati, maka kematian justru hanya akan terjadi di satu pihak saja. Pangeran Kuda Permati akan dapat berbuat apa saja, sementara orang lain berpikir dua tiga kali untuk melakukan tindakan yang sama. Bagi Panji Sempana Murti tindakan yang tegas itu me mang sangat diperlukan. Tetapi kenyataan dari pertempuran itu telah membuat jiwanya berguncang.

“Apakah aku harus kembali pada sikapku, berdiam diri, menunggu apa saja yang terjadi? Sementara itu rakyat akan mengalami tekanan yang semakin lama semakin membenahi hidup mereka karena tingkah Pengeran Kuda Permati?” pertanyaan itu terasa tajam menusuk-nusuk perasaan Panji Sempana Murti.

Karena itu, maka ketika semuanya telah selesai, Panji Sempana Murti duduk di pendapa Kabuyutan bersama beberapa orang pemimpin dari pasukannya. Sementara itu di gandok Kabuyutan dan di banjar, orang-orang yang terluka mendapat perawatan dari beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sedangkan satu rumah khusus telah dipergunakan oleh para prajurit Sempana Murti untuk menawan beberapa orang lawan yang menyerah.

Dengan para pemimpin pasukannya, Panji Sempana Murti masih juga memperbincangkan pertempuran yang baru saja terjadi, sementara dibawah lampu minyak beberapa potong makanan masih berasap disamping minuman yang panas dan gula kelapa.

“Pangeran Kuda Permati tentu tidak akan tinggal diam berkata Panji Sempana Murti.

”Ya” jawab salah seorang perwira, “tetapi kekalahannya hari ini memaksanya untuk merenungi langkah-langkahnya yang sudah dan akan diambil berulang kali. Pasukan yang dikirimkan itu merupakan pasukan yang cukup kuat. Kehancuran pasukan itu akan mempengaruhi kekuatan Pengeran Kuda Permati dalam keseluruhan.“

Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Dalam waktu singkat, Pangeran Kuda Permati akan dapat memperbaiki keadaannya. Tetapi aku sependapat, bahwa kekalahannya itu akan mempunyai akibat yang harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Kuda Permati. Mudah-mudahan ada sesuatu yang menghambat langkah-langkahnya yang sampai saat ini seakan-akan tidak terkendali dan yang berbahaya tidak ada kekuatan apapun yang dirasa dapat menghalangi.”

Para perwira di dalam pasukan Panji Sempana Murti itu sependapat. Tetapi agaknya memang ada dua sikap yang agak berbeda terdapat di antara para perwira itu. Dua sikap yang mencerminkan sikap Panji Sempana Murti. Di suatu pihak ia memang berusaha untuk menghancurkan pasukan Pengeran Kuda Permati sampai orang yang terakhir, namun ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa pertempuran yang baru saja terjadi telah membunuh sekian banyak orang.

Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat meyakinkan pihak yang lain bahwa pendapatnyalah yang paling benar, sebagaimana Panji Sempana Murti mendapat kesulitan untuk nenentukan, langkah yang manakah yang paling baik untuk dilakukan.

Namun para prajurit itu sependapat, bahwa mereka sama sekali tidak boleh lengah. Semua pihak berpendapat, bahwa lebih baik mereka saling membantai di dalam satu pertempuran yang jujur, betapapun keras dan buasnya daripada salah satu pihak dengan curang telah membantai yang lain tanpa terkendali.

Karena itu, maka dalam kebimbangan, Panji Sempana Murti masih memerintahkan pasukannya untuk berjaga-jaga dan bersiap untuk setiap saat melakukan tugas mereka. Terutama para prajurit dari pasukan berkuda.

Sementara itu, Pugutrawe telah bersiap-siap pula untuk memberikan laporan yang akan memberi kesan sebagaimana yang telah terjadi. Menurut pendapat Pugutrawe, maka harus ada langkah-langkah yang diambil oleh Singasari, untuk melerai pertikaian yang tidak berkeputusan. Tetapi sudah tentu Singasari akan mengambil landasan sikap, bahwa satu di antara dua pihak yang bertempur itu menghendaki Kediri terlepas sama sekali, bahkan sebaliknya, Kedirilah yang sepantasnya menguasai Singasari sebagaimana pada masa Tumapel yang terbatas sebagai satu Pakuwon.

Mereka tidak rela melihat bentuk persatuan yang ada pada saat itu, karena Kediri justru berada dibawah naungan Singasari. Mereka sama sekali tidak mau mendengar, jika seseorang menjelaskan bahwa yang ada kemudian adalah Singasari sebagai satu kesatuan dan Kediri merupakan unsur dari kesatuan itu.

Dalam pada itu, kekalahan pasukan Pangeran Kuda Permati itu segera sampai kepada Pangeran Kuda Permati sendiri. Kemarahan yang tiada terhingga telah membakar jantungnya. Tetapi Pengeran Kuda Permati harus menerima kenyataan itu. Pasukannya memang sudah dihancurkan oleh Panji Sempana Murti. Sebagian dari prajurit-prajuritnya yang terbaik telah binasa di medan pertempuran yang garang.

“Panji itu memang gila” geram Pangeran Kuda Permati.

Seperti beberapa orang Senapati yang lain, maka Pangeran Kuda Permati pun berpendapat, bahwa Panji Sempana Murti ternyata telah berbuat sebagaimana mungkin dilakukan oleh Pengeran Singa Narpada. Karena itu, maka Panji Sempana Murti bagi Pangeran Kuda Permati adalah orang yang sangat berbahaya.

Tetapi, Pangeran Kuda Permati memang tidak segera dapat membalas kekalahan-yang baru saja diderita. Ia harus menghimpun kekuatan yang cukup untuk menghancurkan Panji Sempana Murti, karena pasukannya yang baik, sebagian telah dihancurkan dalam kelengahan yang menurut Pangeran Kuda Permati sangat bodoh. Dengan jantung yang bagaikan retak, Pangeran Kuda Permati telah memanggil para Senapatinya. Dengan tegas ia telah menjatuhkan perintah, bahwa kekalahan itu harus ditebus.

“Tetapi jangan justru mengulangi kebodohan itu” geram Pangeran Kuda Permati. Seandainya Senopati yang bertanggungjawab atas kekalahan itu tidak terbunuh di peperangan, maka ia akan mendapat hukuman yang sesuai dengan kedunguannya itu.”

“Sudah sepantasnya ia menebus kebodohannya dengan nyawanya” berkata seorang Senopati.

Tetapi Pengeran Kuda Permati menyebut dengan lantang, “itu tidak cukup. Kedunguannya telah menghancurkan sebagian, dari pasukanku. Pasukan yang sangat aku perlukan dalam keadaan ini. Dengar, kehancuran pasukan itu, aku harus menghimpun kembali. Yang tersisa harus diperkuat dengan tenaga-tenaga baru yang kurang berpengalaman.”

“Tetapi kita tidak perlu cemas Pangeran” berkata salah seorang perwiranya, “dengan cepat kita akan dapat memulihkan kekuatan pasukan kita. Yang hancur itu sebenarnya bukan landasan kekuatan kita. Yang hancur itu hanya sebagian kecil dari seluruh kekuatan kita.“

“Kau juga bodoh” geram Pengeran Kuda Permati, “Kau kira cara untuk menutup-nutupi kenyataan seperti itu akan bermanfaat? Kau kira berpura-pura seperti itu, kekuatan kita benar-benar akan tumbuh? Permulaan dari kesalahan berikutnya adalah justru pada usaha ingkar dari kenyataan seperti itu. Menyenangkan hatinya sendiri dengan mimpi dan kebodohan.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun justru tertunduk dalam-dalam. Ia mengerti sifat dan watak Pangeran Kuda Permati, sehingga ia tidak berani lagi untuk membantah.

Pada saat api dendam dan kemarahan membakar Pangeran Kuda Permati dan para Senapatinya, maka berita tentang peristiwa yang terjadi itu telah menusuk ke jantung istana Kediri. Sri Baginda yang mendengar berita itu benar-benar menjadi sedih. Tanpa Pangeran Singa Narpada, maka pertempuran yang mengerikan itu telah terjadi pula. Panji Sempana Murti lah yang telah bertindak dengan tegas.

Tetapi Sri Baginda tidak dapat memperlakukan Panji Sempana Murti sebagaimana dilakukan atas Pengeran Singa Narpada. Jika ia berbuat demikian justru pada saat yang gawat itu, maka mungkin sekali terjadi, bahwa Pangeran Kuda Permati akan melakukan balas dendam. Dan terulang lagilah pembantaian yang ganas itu, justru dalam keadaan yang berat sebelah. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Sri Baginda untuk sementara hanyalah merenung dengan hati yang gelap. Seakan-akan tidak ada setitik sinarpun yang akan dapat menerangi hatinya.

Namun dalam pada itu, laporan tentang peristiwa di Kediri itu sudah terbaca di Singasari. Tidak hanya dari seorang petugas atau satu urutan jaringan. Tetapi dari beberapa urutan nadanya hampir sama. Pada dasarnya, keadaan seperti yang terjadi di Singasari itu tidak boleh berlarut-larut. Dalam keseimbangan kekuatan di daerah perbatasan sebelah Utara, maka telah terjadi benturan kekuatan yang sangat garang.

Kedua belah pihak yang merasa dirinya lebih kuat dari yang lain membuat kedua belah pihak tidak mau mengekang diri. Seperti dua ekor ayam jantan yang merasa masing-masing kuat. Maka keduanya akan selalu bertempur tanpa henti-hentinya. Baru jika yang seekor dian-tara mereka merasa lemah dan kalah, maka pertarungan di antara keduanya akan berakhir.

“Hanya itulah jalan yang paling baik ditempuh pada saat ini” berkata Mahisa Bungalan Kepada para Senapati yang membicarakan tentang peristiwa di Kediri itu.“

Beberapa orang Senapati yang mendapat tugas untuk membahas persoalan yang tumbuh dan berkembang di Kediri itu sependapat. Salah satu pihak harus dinyatakan lebih kuat dari yang lain.

“Pangeran Singa Narpada harus segera dilepaskan dengan pesan” berkata Mahisa Bungalan, “Laporan-laporan telah cukup yang menyatakan, bahwa Sri Baginda di Kediri memang sedang bingung menghadapi sikap Pangeran Kuda Permati. Meskipun masih diragukan, tetapi agaknya memang ada secercah pikiran di dalam dada Sri Baginda, bahwa Pengeran Kuda Permati bukannya tidak beralasan dalam sikap dan langkahnya. Namun ia pun dapat mengerti pula, bahwa bagi Pangeran Singa Narpada sikap itu adalah sikap perlawanan terhadap pemimpin tertinggi di Kediri. Sedangkan Sri Baginda sadar sepenuhnya, apa saja yang akan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada. Bahkan ia telah menjadi sangat cemas akan nasib Pangeran Lembu Sabdata yang telah diserahkan oleh Pengeran Singa Narpada.”

Akhirnya para Senapati muda di Singasari itupun telah mengambil satu pendapat, bahwa Pengeran Singa Narpada harus segera dibebaskan, meskipun harus dengan pesan-pesan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang cermat atas tindakan-tindakannya.

“Jika Sri Baginda di Kediri masih berpegangan kepada pendiriannya untuk menahan Pangeran Singa Narpada sebagai imbangan penahanan Pangeran Lembu Sabdata serta usaha untuk mengekang tindakan kekerasan yang berlebihan, maka Pangeran Kuda Permati lah yang akan melakukan langkah-langkah yang keras, bahkan tanpa merasa harus bertanggung jawab kepada siapapun juga. Sedangkan Pangeran Singa Narpada masih mempunyai kekang tanggung jawab terhadap Sri Baginda.” berkata Mahisa Bungalan.

Namun sebenarnyalah ada dugaan bahwa Sri Baginda memang sedang mengalami keragu-raguan atas hubungan antara Kediri dan Singasari, sehingga karena itu, maka langkah-langkahnya pun menjadi kurang mapan.

“Itu adalah tugas wakil Sri Maharaja di Singasari untuk Kediri” berkata Mahisa Bungalan, “justru pada saat terakhir mulai diperkecil artinya, bahkan seakan-akan telah ditarik sama sekali.“

“Itulah agaknya sebabnya” berkata seorang Senapati yang lain. ”dengan demikian maka ikatan antara Singasari dan Kediri menjadi kendor.“

Namun dalam pada itu, dengan nada rendah Mahisa Bungalan berkata, “Tetapi mungkin ada sebab lain yang tidak diketahui kenapa Pangeran Singa Narpada telah ditahan justru saat Pangeran itu telah menyerahkan Pangeran Lembu Sabdata."

Para Senapati itu pun mengangaguk angguk. Namun mereka telah mempunyai satu rumusan yang akan mereka ajukan kepada Sri Maharaja di Singasari untuk mengatasi kemelut di Kediri dengan usaha membatasi korban sekecil-kecilnya. Namun bagaimanapun juga, korban yang akan jatuh tentu tidak akan dapat dihindarkan sama sekali. Demikianlah, maka para Senapati itu telah menyampaikan pendapat mereka langsung kepada Sri Maharaja, karena mereka berpendapat bahwa persoalannya harus lebih cepat diselesaikan.

Ternyata Sri Maharaja telah mempertimbangkan persoalan itu dengan sungguh-sungguh. Dipanggilnya para pemimpin dan orang-orang yang dianggapnya akan dapat memberikan pertimbangan, termasuk Mahisa Agni dan Witantra.

“Tidak ada pilihan lain Sri Maharaja” berkata Mahisa Agni, “hamba berpendapat, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik. Namun demikian, apabila dalam pelaksanaannya terdapat kemungkinan-kemungkinan lain, maka segalanya akan dapat diperhitungkan sesuai dengan perkembangan keadaan.”

Sri Maharaja di Singasari itu merenung sejenak. Memang agaknya tidak ada jalan lain bagi Kediri untuk memberikan kesempatan kepada Pangeran Singa Narpada, namun dengan pesan bahwa yang dihadapinya adalah justru saudaranya sendiri.

“Sri Baginda di Kediri sudah mengenal dengan baik sifat Pengeran Singa Narpada” berkata salah seorang Senapati, “sehingga menurut laporan petugas sandi, Sri Baginda di Kediri menganggap bahwa pengakuan Pangeran Lembu Sabdata itu disebabkan karena tindak kekerasan Pengeran Singa Narpada.”

Sri Maharaja di Singasari itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian, maka aku akan segera mengirimkan utusan ke Kediri. Kecuali mengamati secara langsung perkembangan di Kediri selain petugas sandi yang sudah ada disana, maka orang yang akan aku kirimkan itu mempunyai wewenang sebagai wakilku dan mempunyai kekuasaan bertindak atas namaku. Karena itu, maka ia akan membawa pertanda kerajaan bagi tugasnya.“

“Jadi, akan diletakkan lagi seseorang yang memegang kekuasaan Sri Maharaja Singasari di Kediri” bertanya seorang Senapati.”

“Ya” jawab Sri Maharaja, “aku akan memerintahkan Mahisa Agni dan Witantra bersama-sama. Keduanya pernah melakukan tugas seperti ini di Kediri.“

“Hamba akan menjunjung tinggi segala titah” jawab Mahisa Agni, “namun sekarang hamba sudah terlalu tua. Meskipun demikian, hamba akan melakukannya sejauh ke mampuan hamba.“

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Berangkatlah dengan segera. Mungkin kehadiran kalian di Kediri ada manfaatnya. Kalian akan dapat membawa pasukan kecil untuk mengawal perjalanan kalian. Tetapi jika diperlukan, maka kalian akan dapat memanggil pasukan seberapa saja kalian perlukan. Mungkin kalian benar, bahwa dengan menunjukkan kekuatan yang besar, justru akan bermanfaat untuk memadamkan sama sekali usaha perlawanan Pangeran Kuda Permati. Namun segala sesuatunya terserah kepada pengamatan kalian. Bagiku sebaiknya Kediri dapat mengatasi persoalan ini dengan kekuatan yang ada di Kediri sendiri, agar tidak ada kesan, bahwa Singasari telah melakukan penindasan. Apalagi jika hal itu dikemukakan oleh Pangeran Kuda Permati.”

Mahisa Agni dan Witantra, dua orang tua yang memiliki pengalaman yang sangat luas, meskipun karena ketuaan mereka, maka mereka sudah tidak lagi setangkas sebelumnya, merasa mendapat beban yang berat. Tetapi sebagai seorang yang selama hidupnya pengabdian dirinya kepada keyakinan dan kepentingan sesama, maka betapapun beratnya tugas itu bagi orang setua umurnya, maka keduanya tidak akan mengelak.

Meskipun demikian, Mahisa Agni masih mengajukan satu permohonan, “Sri Maharaja, apabila berkenan, hamba mohon Mahisa Bungalan akan ikut bersama hamba, memimpin pasukan kecil yang akan mengawani hamba pergi ke Kediri.“

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Bawalah Mahisa Bungalan dengan sepasukan prajurit terpilih. Mudah-mudahan perjalanan kalian tidak terganggu oleh pihak manapun juga, terutama pihak-pihak yang menentang ujud kesatuan Singasari sekarang ini.“

Demikianlah, maka sesuai dengan perintah Sri Baginda, maka Mahisa Agni dan Witantra pun segera berkemas, sementara Mahisa Bungalan telah menyiapkan pasukan berkuda yang akan menemani Mahisa Agni dan Witantra ke Kediri.

Namun dalam pada itu, Mahendra yang mendengar akan keberangkatan anaknya ke Kediri menyertai Mahisa Agni dan Witantra, sempat menemuinya untuk memberikan beberapa pesan. “Mungkin adikmu berada di Kediri” berkata Mahendra, “karena itu, mudah-mudahan kau dapat bertemu dengan mereka.”

“Aku melakukan tugas yang cukup berat. Tetapi mudah-mudahan aku mendapat waktu untuk menemukan mereka, jika memang mereka berada di Kediri” jawab Mahisa Bungalan, “keduanya sedang memanjat pada umur-umur yang memungkinkan mereka ingin melakukan pengembaraan. Karena itu, maka ada kemungkinan bahwa keduanya justru sudah berada di tempat lain.“

“Mungkin. Tetapi jika kau bertemu dengan kedua adikmu, maka berilah mereka petunjuk dalam suasana kemelut di Kediri” berkata ayahnya kemudian.

“Baiklah ayah” jawab Mahisa Bungalan, “aku akan berusaha.“

Mahendra mengangguk-angguk. Kepada Mahisa Agni, Witantra pun ia berpesan, apabila mereka bertemu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar mereka memberikan petunjuk-petunjuk bagi keselamatan kedua anak muda itu.

Demikianlah, setelah semua persiapan selesai, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah berangkat ke Kediri dengan sepasukan prajurit. Lengkap dengan pertanda kebesaran Singasari karena Mahisa Agni dan Witantra tengah mengemban limpahan kuasa Sri Maharaja di Kediri.

Perjalanan pasukan itu memang menarik perhatian. Baik orang-orang Singasari, maupun kemudian orang-orang Kediri. Namun dengan cepat mereka telah menghubungkan kedatangan pasukan itu dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Kediri.

Tetapi pasukan itu terlalu kecil untuk dikatakan, bahwa Singasari telah datang untuk menindas pemberontakan di Kediri. Pasukan itu hanya terdiri dari beberapa orang prajurit berkuda meskipun dalam sikap sebagaimana pasukan yang membawa pertanda kuasa Sri Maharaja, dan sekedar melindungi kedua orang yang datang atas nama Sri Maharaja itu.

Kedatangan Mahisa Agni dan Witantra di Kediri memang telah disampaikan lebih dahulu kepada Sri Baginda di Kediri. Sebenarnya Sri Baginda di Kediri tidak mengharapkan sama sekali kehadiran mereka. Namun Sri Baginda di Kediri tidak akan dapat menolak. Tetapi ketika Sri Baginda menyadari bahwa pasukan Singasari yang datang dalam jumlah yang sangat kecil, maka mengertilah Sri Baginda di Kediri, bahwa Singasari masih tetap bertindak dengan bijaksana.

“Ternyata dugaanku salah” berkata Sri Baginda, “Singasari tidak datang dengan pasukan segelar sepapan untuk menindas Kediri.“

Sementara itu, petugas sandi Pangeran Kuda Permati yang berada di Kota Raja pun melihat pasukan itu. Hanya sekelompok kecil. Karena itu, maka mereka tidak akan dapat mengatakan bahwa pasukan itu merupakan pasukan yang dengan sengaja dikirim oleh Singasari justru pada saat terjadi kemelut di Kediri dan memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan Singasari.

Namun dengan demikian, maka Pangeran Kuda Permati justru merasa bahwa geraknya tidak akan banyak terganggu. Usahanya untuk menghimpun kekuatan dan membalas sakit hatinya terhadap Panji Sempana Murti masih akan tetap dilakukannya.

“Justru pada saat orang-orang Singasari itu ada di sini” berkata Pangeran Kuda Permati, “merasa harus melihat, bahwa aku memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menghancurkan para penjilat itu, dan bahkan menghancurkan pasukan Singasari apabila mereka berani datang ke Kediri.“

Demikianlah maka Mahisa Agni dan Witantra yang datang di Kediri itu tidak langsung diterima oleh Sri Baginda. Mereka dengan pasukan kecilnya telah ditempatkan di sebuah istana yang memang khusus diperuntukkan bagi para tamu yang dihormati.

Namun untuk menjaga hal-hal yang tidak dikehendaki, justru pada saat utusan Sri Maharaja itu berada di Kediri, maka Sri Baginda telah memerintahkan sejumlah petugas sandi untuk selalu mengawasi, bahwa tidak akan terjadi sesuatu dengan sekelompok orang-orang Singasari itu. Bahkan di sebuah barak prajurit Kediri, Sri Baginda telah memerintahkan untuk mempersiapkan prajurit-prajurit itu untuk dapat bergerak setiap saat. Sri Baginda merasa bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang Singasari itu selama mereka berada di Kediri. Bahkan di perjalanan.

Tetapi menurut perhitungan Mahisa Agni dan Witantra, orang-orang Kediri, meskipun Pangeran Kuda Permati sekalipun tidak akan mengganggunya, karena jika mereka berbuat demikian sehingga terjadi bencana atas pasukan itu, maka Kediri tentu benar-benar akan menjadi parah karena tindakan yang akan diambil oleh Sri Maharaja di Singasari.

Pada saat yang demikian, justru telah timbul pikiran di hati Pangeran Kuda Permati untuk menunjukkan kekuatannya kepada orang-orang Singasari. Pangeran Kuda Permati ingin mengatakan, bahwa langkahnya bukannya tidak mendapat dukungan dari orang-orang Kediri. Karena itu, maka dengan beberapa orang Senapatinya ia telah membicarakan satu rencana yang akan dapat menarik perhatian.

“Semua orang laki-laki akan ikut bersama kita” berkata Pangeran Kuda Permati.

“Bagaimana jika Panji Sempana Murti juga melakukan hal yang sama” bertanya seorang Senapatinya.

“Dengan diam-diam kita panggil semua prajurit kita yang tersebar” berkata Pangeran Kuda Permati, “kemudian kita mulai bergerak dari perbatasan sebelah Utara. Justru pada saat Panji Sempana Murti belum siap menghadapinya. Kita akan melintasi daerah kuasanya dengan kekuatan penuh. Dengan tidak mengulangi kebodohan pasukan kita yang dihancurkan itu, maka kita akan dapat memberikan kesan, bahwa kita memang kuat. Kemudian kita akan melewati daerah perbatasan Barat dan Selatan. Tanpa mengadakan benturan kekuatan, kita sudah akan dapat menyatakan kepada orang-orang Singasari, bahwa pasukan kita memang kuat. Prajurit kita yang besar cukup banyak, sementara semua laki-laki yang berpihak kepada kita akan kita bawa serta sebagaimana para, prajurit dengan sikap prajurit pula. Dengan tanda-tanda yang memberikan kesan kebesaran Kediri maka kita akan memaksa Singasari untuk berpikir.”

Beberapa orang Senapati Pangeran Kuda Permati menyetujui rencana itu. Tetapi beberapa orang lainnya meragukannya, karena mereka yakin, bahwa beberapa orang Perwira Kediri yang termasuk Panji Sempana Murti tentu tidak akan tinggal diam. Mungkin mereka tidak akan dengan langsung menghadapi seluruh kekuatan Pangeran Kuda Permati yang akan dikerahkan. Tetapi pada saat lain, mereka pun akan dapat berbuat sama. Bahkan mungkin akan dapat timbul benturan-benturan lain yang mengerikan bagaimana pernah terjadi. Tetapi mereka yang tidak sependapat dengan Pengeran Kuda Permati itu merasa segan memberikan pendapatnya untuk menolak rencana itu.

Meskipun demikian Sri Baginda tidak tergesa-gesa menentukan sikap. Ternyata Sri Baginda masih memerlukan pendapat para penasehatnya.

“Karena itu maka kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang yang aku anggap dapat memberikan petunjuk kepadaku. Baru kemudian, aku akan menentukan sikap yang paling baik yang dapat aku lakukan menghadapi persoalan ini. Mudah-mudahan aku tidak perlu mengganggu kesibukan para petugas di Singasari, karena aku bertekad untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Kediri ini atas dasar perkembangan keadaan di Kediri pula.”

“Terima kasih Sri Baginda. Demikian pula yang dikehendaki oleh Sri Maharaja di Singasari. Kedatangan kami di sini adalah sekedar memberikan pendapat dan barangkali bantuan apapun jika diperlukan. Hanya jika diperlukan.“

Dengan demikian, maka Sri Baginda pun minta kepada Mahisa Agni dan Witantra untuk menunggu, setelah Sri Baginda berbicara dengan beberapa orang penasehatnya. Pada malam hari, Sri Baginda memang telah memanggil beberapa orang yang dianggapnya mampu memberikan pertimbangan kepadanya tentang perkembangan keadaan di Kediri berhubung dengan sikap Pangeran Kuda Permati.

Memang ada beberapa pendapat yang berbeda. Tetapi ternyta bahwa nada umumnva mereka tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Pangeran Kuda Permati telah melangkah terlalu jauh. Ia tidak saja berdiri diatas keyakinannya tentang hubungan antara Kediri dan Singasari, tetapi ternyata Pangeran Kuda Permati telah mengambil langkah-langkah yang kurang terpuji.

“Sebenarnyalah bahwa Pengeran Kuda Permati telah menakut-nakuti rakyat di beberapa Kabuyutan dan merampas milik mereka” berkata salah seorang di antara para penasehat Sri Baginda, “apalagi, satu hal yang sangat berbahaya bagi masa depan, adalah usaha untuk melumpuhkan Singasari dengan cara yang sangat tercela. Dengan bantuan banyak pihak, bahkan tanpa memandang sifat dan watak seseorang, Pangeran Kuda Permati telah memerintahkan untuk menebangi hutan di lereng-lereng bukit terutama yang menghadap ke Kota Raja Singasari, dengan harapan bahwa Singasari lambat laun akan menjadi lemah, sehingga akhirnya Kediri akan dapat menghancurkannya. Sebenarnyalah bukit-bukit yang gundul itu akan sangat berbahaya bukan saja bagi saat ini, tetapi untuk waktu yang sangat panjang. Semakin lama semakin parah, karena tanah akan menjadi gundul dan bukit-bukit akan tinggal bebatuan yang kering dan gersang tanpa dapat menyimpan air sama sekali. Banjir bandang, tanah longsor dan di musim kemarau air-air menjadi kering”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mendengarnya lebih dari seribu kali.“

Penasehat Sri Baginda itu mengerutkan keningnya, sementara Sri Baginda berkata, “Yang aku perlukan sekarang, apa yang sebaiknya aku lakukan. Bukan sekedar mengumpat-umpat, mencela dan mencari kesalahan orang lain.“

Orang-orang yang hadir itu menundukkan kepalanya. Namun seorang di antara mereka telah memberanikan diri berkata, “Baiklah Sri Baginda. Agaknya hamba mempunyai pendapat, yang segala sesuatunya terserah kepada Sri Baginda, apakah pendapat hamba itu dapat dipergunakan atau tidak.“

“Apa pendapatmu. Tetapi aku tidak mau mendengar lagi umpatan-umpatan yang tidak berarti sama sekali untuk memecahkan masalah yang kita hadapi sekarang ini.” berkata Sri Baginda.

“Hamba Sri Baginda.” jawab orang itu, “menurut pendapat hamba, maka sebaiknya Sri Baginda memanggil Pengeran Kuda Permati. Persoalan ini harus kita pecahkan dengan usaha menghindari korban sejauh-jauhnya. Sri Baginda dapat memerintahkan Pangeran Kuda Permati untuk menghentikan langkah-langkahnya yang saat ini tidak akan menguntungkan siapapun juga. Sementara itu, Sri Baginda dapat menjelaskan kepada Pangeran Kuda Permati, perlunya ketenangan yang dapat memberikan perasaan damai kepada rakyat Kediri. Hubungan antara Kediri dan Singasari dapat disusun berdasarkan pembicaraan yang mapan dan dewasa. Tidak dengan cara sebagaimana ditempuh oleh Pangeran Kuda Permati.“

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah menurut pendapatmu, jika aku memanggil Pangeran Kuda Permati, ia akan bersedia menghadap, apalagi tahu saat ini ada baberapa orang Singasari di Kediri.”

“Jika Sri Baginda mempertanggungjawabkan keselamatannya, maka aku kira Pangeran Kuda Permati akan datang menghadap” jawab penasehatnya itu, “kita berharap bahwa semua permusuhan akan dapat dihentikan. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun tidak usah terlalu lama dibatasi geraknya, karena sebenarnya pembatasan gerak Pangeran Singa Narpada itu karena beralasan.“

“Kau ingin mengatakan bahwa aku telah bertindak tidak adil dalam hal ini?“ bertanya Sri Baginda.

“Bukan maksud hamba Sri Baginda. Hamba tahu, bahwa maksud Sri Baginda dengan membatasi gerak Pangeran Singa Narpada adalah untuk menghindari pertumpahan darah terlalu banyak.” jawab orang itu, “namun ternyata yang terjadi pada pertempuran antara pasukan Pangeran Kuda Permati dan Panji Sempana Murti telah merenggut korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku sependapat. Aku akan memerintahkan seseorang untuk mencari Pangeran Kuda Permati.”

Demikianlah, maka setelah dianggap cukup beristirahat, maka Sri Baginda di Kediri pun telah menerima kehadiran Mahisa Agni dan Witantra. Betapapun keseganan bergumul di dalam dadanya, namun Sri Baginda di Kediri itu tidak akan dapat menolak kehadiran kedua orang yang membawa pertanda kuasa Sri Maharaja di Singasari.

Setelah saling mempertanyakan keadaan masing-masing dan lingkungannya, sebagaimana kebiasaan di setiap pertemuan, maka pembicaraan mereka mulai menjadi bersungguh-sungguh. Mahisa Agni dan Witantra atas nama Sri Baginda ingin mendapatkan laporan langsung dari Sri Baginda di Kediri.

“Kami sudah mendengar beberapa peristiwa di Kediri” berkata Mahisa Agni, “tetapi kami ingin mendengar dari Sri Baginda, atas nama Sri Maharaja.”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat berbohong. Singasari tentu sudah menyebar petugas sandinya di daerah Kediri. Bahkan di dalam pertempuran yang baru saja terjadi dengan dahsyatnya itu, tentu hadir petugas sandi dari Singasari.

Sebenarnyalah Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Pugutrawe melihat langsung keadaan yang mengerikan itu, sehingga mereka dapat memberikan laporan yang terperinci tentang peristiwa itu. Karena itu, maka yang kemudian dikatakan oleh Sri Baginda adalah keadaan di Kediri yang terjadi secara singkat.

Memang ada beberapa hal yang sengaja tidak disebut, meskipun Sri Baginda menduga, bahwa hal itu sudah diketahui. Mahisa Agni dan Witantra mendengarkan laporan Sri Baginda itu dengan sungguh-sungguh. Terutama mengenai pertempuran yang baru saja terjadi, yang telah membunuh terlalu banyak orang.

“Sri Baginda” berkata Mahisa Agni kemudian, “bagaimana sikap Sri Baginda menghadapi keadaan yang menjadi semakin gawat itu? Apakah Sri Baginda akan membiarkan peristiwa ini semakin berlarut-larut? Aku tahu maksud Sri Baginda. Agaknya Sri Baginda berusaha untuk tidak memperuncing persoalan sehingga akan menumbuhkan permusuhan yang tajam. Tetapi sekarang Sri Baginda dapat melihat, apakah perhitungan Sri Baginda itu tepat.“

Sri Baginda di Kediri itu termangu-mangu. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab. Tetapi memang sudah menjadi satu kenyataan bahwa perang itu telah terjadi. Terlalu dahsyat. Panji Sempana Murti telah menghancurkan satu pasukan dari para pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Bagaimana pendapat Sri Baginda?” desak Witantra.

Sri Baginda itu menarik nafas. Katanya, “Ya. Perang itu memang terlalu dahsyat. Panji Sempana Murti ternyata tidak dapat mengekang diri. Mungkin Pangeran Kuda Permati selalu berpesan kepada para pengikutnya, bahwa mereka tidak boleh bertindak melampaui batas, karena mereka berhadapan dengan saudara sendiri. Tetapi agaknya tidak demikian dengan Panji Sempana Murti.“

“Jadi menurut Sri Baginda, yang menyebabkan pertempuran itu menjadi sangat mengerikan adalah sikap Panji Sempana Murti?” bertanya Mahisa Agni.

Sri Baginda itu menjadi termangu-mangu. Tetapi sementara itu Witantra bertanya pula, “Bagaimanakah kira-kira akibat dari pertempuran itu seandainya Panji Sempana Murti tidak bertindak tegas? Apakah Sri Baginda juga mendapat laporan bahwa Senapati yang memimpin para pengikut Pangeran Kuda Permati itu telah mengirimkan sebagian kecil dari pasukannya kembali ke padukuhan? Apakah kira-kira yang akan mereka lakukan, apabila mereka berhasil memasuki padukuhan itu?“

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Jangan bertanya kepadaku sebagaimana kalian sedang mengadili aku. Katakan, apa perintah Sri Maharaja. Aku mengerti, bahwa Sri Maharaja tidak akan mengambil jalan kekerasan. Karena itu, pasukan yang dikirim bersama kalian tidak lebih dari sekelompok pengawal dari pasukan berkuda. Tetapi agaknya kalian memang membawa perintah dari Sri Maharaja.“

Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Tidak ada perintah khusus. Kamilah yang mendapat perintah untuk datang sebagai wakil Sri Maharaja. Kami harus melihat, suasana di Kediri, kemudian atas dasar keadaan itulah maka kami akan berbicara dengan Sri Baginda untuk mencari jalan keluar.”

Sri Baginda memandang Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Bukankah kalian telah melihat, dan sebelumnya mendengar laporan tentang Kediri? Jika demikian, apakah kalian mempunyai petunjuk yang akan dapat aku pertimbangkan?”

”Sri Baginda” berkata Mahisa Agni, “para petugas sudah mempelajari keadaan di Kediri ini dengan seksama. Kami mempunyai beberapa jalur laporan tentang keadaan di Kediri. Ternyata bahwa sulit bagi Sri Baginda untuk mengekang gejolak perasaan Pangeran Kuda Permati.“

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian bertanya, “Tuduhan itu dapat kami mengerti, karena menurut penilaian Singasari, Pangeran Kuda Permati memang menentang kekuasaan Singasari di Kediri.”

“Ya” jawab Mahisa Agni tegas, “bagaimana sikap Sri Baginda sendiri? Bahwa Sri Baginda telah menangkap Pangeran Singa Narpada, ternyata telah menumbuhkan pertanyaan di hati kami.”

Sri Baginda di Kediri tidak segera menjawab. Tetapi pertanyaan itu memang sudah diduga akan diucapkan oleh utusan Sri Maharaja di Singasari itu. Namun kemudian Sri Baginda itu berkata, “Aku kira laporan tentang hal itu sudah sampai di Singasari. Sehingga dengan demikian Singasari dapat mengambil kesimpulan, kenapa aku menangkap Pangeran Singa Narpada.”

“Laporan tentang penangkapan itu memang sudah kami terima justru pada saat Pangeran Singa Narpada menghadapkan Pangeran Lembu Sabdata” jawab Mahisa Agni, “tetapi karena kami tidak mengerti maksud Sri Baginda maka kami merasa perlu untuk bertanya.”

Sri Baginda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika kalian ingin tahu alasanku. Sebenarnya Pangeran Singa Narpada tidak bersalah dalam hubungannya dengan tertangkapnya Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi cara yang dipergunakannya untuk mendapatkan keterangan tentang persoalan yang ingin diketahuinya, selalu disertai dengan kekerasan. Ia selalu memaksa orang lain untuk mengatakan sebagaimana di kehendaki.”

“Apakah hal itu dilakukannya juga atas Pangeran Lembu Sabdata?” bertanya Mahisa Agni.

“Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat meninggalkan cara itu” jawab Sri Baginda, “selanjutnya, jika ia tidak dibatasi geraknya, maka ia tentu akan melakukan satu tekanan yang tidak terkendali atas Pangeran Kuda Permati.”

Mahisa Agani mengangguk-angguk, sementara itu Witantra lah yang bertanya, “Sri Baginda. Apakah usaha Sri Baginda membatasi gerak Pangeran Singa Narpada berhasil menghindari benturan kekuatan di Kediri?”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu terulang kembali, dan ia pun mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Tetapi kenyataan telah terjadi. Perang yang dahsyat itu tidak dapat dihindari. Ternyata selain Pangeran Singa Narpada, maka Panji Sempana Murti pun telah bertindak sebagaimana mungkin dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada.

“Sri Baginda” berkata Witantra, “kami dapat mengerti usaha Sri Baginda untuk menghindari korban yang berlebihan. Tetapi jika hal itu terjadi pada kedua belah pihak. Pada saat Sri Baginda membatasi gerak Pangeran Singa Narpada, Pangeran Kuda Permati berusaha membatasi geraknya sendiri. Tetapi yang terjadi adalah tidak demikian. Ketika Sri Baginda membatasi gerak Pangeran Singa Narpada, maka justru saat itu dipergunakan sabaik-baiknya oleh Pangeran Kuda Permati untuk memperkuat diri. Mengumpulkan kebutuhan-kebutuhannya, terutama yang bersangkutan dengan gerak pasukan. Namun yang parah, kebutuhan-kebutuhan itu telah diambil dari lingkungan rakyat yang hidupnya sudah sulit. Tentu Sri Baginda pernah mendapat laporan, bahwa Pengeran Kuda Permati telah memerintahkan untuk merampas kuda yang ada di Kabuyutan terutama di perbatasan Utara. Tentu daerah itu bukan satu-satunya daerah yang mengalami nasib buruk. Setelah ia berhasil melakukan di daerah itu, maka ia tentu akan melakukannya di daerah lain. Namun ternyata yang memangku jabatan Panglima di daerah perbatasan itu adalah Panji Sempana Murti, sehingga dengan kekuatan yang ada telah melawan tindakan sewenang-wenang, bukan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada, tetapi dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati. Bahkan Pangeran Kuda Permati dengan terbuka telah menyatakan sikapnya terhadap Singasari. Jadi bukan sekedar khayalan Pangeran Singa Narpada dan dengan kekerasan memaksa Sabdata menyebut namanya.”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Pangeran Kuda Permati memang sudah menyatakan sikapnya itu kepada rakyat yang telah dipengaruhinya.

Sementara itu, Mahisa Agni pun berkata, “Sri Baginda, selain sikap Pangeran Kuda Permati, apa pendapat Sri Baginda dengan usaha beberapa pihak yang berada di sekitar Singasari menebangi hutan di lereng-lereng bukit”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Apa maksud kalian“

“Usaha untuk menghancurkan Singasari perlahan-lahan, dengan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Baru kemudian akan datang pasukan prajurit yang tinggal saja Singasari yang sudah menjadi sangat lemah.” jawab Mahisa Agni.

Sri Baginda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku juga pernah mendengar laporan.“

“Dan Sri Baginda tidak menaruh perhatian apalagi mengambil satu tindakan” bertanya Witantra.

“Aku ingin meyakinkan lebih dahulu” jawab Sri Baginda.

“Ternyata bahwa urutan persoalan berpusar pada Pangeran Kuda Permati. Bukan sekedar fitnah.” desak Mahisa Agni.

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya orang lain tidak perlu mengatakan kepadanya tentang hal itu. Sri Baginda di Kediri itu sudah mendapatkan banyak bahan untuk mengambil kesimpulan yang demikian. Namun ternyata bahwa ada sesuatu yang kurang dikenalnya sendiri bergejolak di dalam hatinya. Namun ketika ia berhadapan dengan utusan Sri Maharaja di Singasari, maka rasa-rasanya ia ingin menyembunyikan perasaan itu. Namun kemudian Sri Baginda itu berkata kepada diri sendiri, “Tetapi semuanya belum terlanjur. Masih ada jalan untuk memperbaiki.“

Dengan demikian, maka Sri Baginda telah melakukan sebagaimana dikatakannya. Seorang telah mendapat tugas dengan pertanda kuasa Sri Baginda di Kediri untuk mencari, menemukan dan kemudian memanggil pangeran Kuda Permati untuk datang menghadap. Tugas untuk menemukan Pangeran Kuda Permati bukanlah tugas yang mudah. Sri Baginda yang memang menugaskan hanya seorang, agar tidak menimbulkan banyak persoalan di sepanjang jalan itu, berharap bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, Pangeran Kuda Permati telah datang menghadap.

Jarak yang ditempuh petugas itu memang tidak terlalu jauh. Menurut dugaan, Pangeran Kuda Permati berada di luar Kota Raja di daerah perbatasan sebelah Utara, daerah yang berada dibawah pengawasan pasukan yang dipimpin oleh Panji Sempana Murti dan yang sebagian lagi berada di perbatasan sebelah Barat. Namun yang telah menunjukkan kegiatannya adalah yang berada di daerah Utara, sehingga banyak orang yang menduga, bahwa Pangeran Kuda Permati memang berada di daerah Utara.

Orang yang mendapat tugas untuk menemukan Pangeran Kuda Permati itu telah berusaha untuk menyusup ke daerah yang berada di bawah pengaruh Pangeran Kuda Permati. Orang itu sama sekali tidak merahasiakan dirinya. Kepada orang-orang yang dianggapnya mempunyai pengaruh di daerah itu, ia menunjukkan pertanda kuasanya agar orang itu tidak ragu-ragu untuk menunjukkan, dan kemudian mempertemukannya dengan Pangeran Kuda Permati.

Ternyata bahwa dengan pertanda itu, utusan Sri Baginda itu memang mendapatkan kepercayaan. Seseorang yang pernah melihat pertanda kuasa Sri Baginda itu telah melaporkan kepada Pangeran Kuda Permati, bahwa seseorang telah mencarinya dengan membawa pertanda kuasa Sri Baginda.

“Untuk apa?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Aku tidak tahu Pangeran. Tetapi malam ini ia berada di banjar padukuhan. Ia telah menemui beberapa orang dengan menunjukkan pertanda itu, dengan harapan akan dapat bertemu dengan Pangeran dalam waktu singkat.” berkata orang yang melaporkannya itu.

“Apakah bukan sekedar satu jebakan“ bertanya Pangeran itu.

“Semula kami juga berpikir demikian. Tetapi setelah kami adakan mengamatan, maka tidak ada pasukan siapapun juga di sekitar daerah ini.” berkata orang yang melaporkan itu.

Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Memang tidak banyak orang yang mengetahui tentang dirinya, kecuali orang-orang yang mendapat kepercayaannya. Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati masih tetap curiga terhadap siapapun. Karena itu, maka katanya, “Jika kau yakin akan pertanda yang dibawanya, maka bawa orang itu ke bukit Buntas. Aku akan menemuinya di sana. Sementara itu, adakan pengawasan yang ketat, bahwa orang itu tidak akan menjebakku. Kau jangan menyebut dimana aku menunggu sebelumnya.”

Dengan demikian, maka pertemuan dengan Pangeran Kuda Permati itu pun segera diatur. Pangeran Kuda Permati akan menunggu utusan yang membawa pertanda kuasa Sri Baginda itu di bukit Buntas. Bukit kecil yang tidak mempunyai kekhususan apa-apa sebagaiman bukit-bukit yang lain. Ternyata bahwa utusan Sri Baginda itu melakukan tugasnya sebagaimana dikatakannya. Seorang diri, hanya dengan seorang kepercayaan Pangeran Kuda Permati.

Di bukit Buntas, Pangeran Kuda Permati sudah menunggu. Sebagaimana orang yang mencarinya itu mempergunakan ciri-ciri dan pertanda kuasa Sri Baginda di Kediri, maka Pangeran Kuda Permati pun telah mengenakan pakaian kebesaran seorang Pengeran di Kediri.

“Selamat datang Ki Sanak” sapa Pangeran Kuda Permati ketika orang itu datang menghadap. Pangeran Kuda Permati ternyata telah menerima utusan itu juga seorang diri, di bawah sebatang pohon preh yang tumbuh di bukit buntas itu.

Utusan Sri Baginda itu pun kemudian duduk di atas rerumputan kering sebagaimana Pangeran Kuda Permati. Sementara itu, orang yang telah membawa utusan Sri Baginda itu ikut pula duduk bersama mereka.

“Apakah benar bahwa kau adalah seorang utusan dari Sri Baginda” bertanya Pangeran Kuda Permati kemudian.

”Ya Pangeran. Aku adalah utusan Sri Baginda yang mendapatkan pertanda kuasa Sri Baginda” jawab orang itu. Di acukannya tangannya yang pada jari-jarinya terdapat sebentuk cincin yang memang dikenal sebagai pertanda kuasa Sri Baginda.”

“Apakah kau pernah mengenal aku sebelumnya” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Sudah Pangeran. Aku sudah mengenal Pangeran dengan baik. Tetapi mungkin sekali Pangeran tidak mengenalku” jawab orang itu.

“Jadi kau yakin, bahwa yang menerimamu sekarang ini memang Pangeran Kuda Permati, dan bukannya orang lain?” bertanya Pangeran itu.

“Aku yakin Pangeran, karena aku sudah mengenal Pangeran sebagaimana aku katakan tadi" jawab utusan itu.

“Baiklah. Jika kau yakin, bahwa bernama Kuda Permati adalah aku, maka katakanlah, apakah perintah Sri Baginda, sehingga kau bersusah payah mencari aku” berkata Pangeran itu.

Utusan itu termenung sejenak. Tetapi jika ia terpilih untuk menemui Pangeran Kuda Permati, maka utusan itu-pun tentu mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan. Karena itu, maka dengan yakin ia memastikan bahwa yang berhadapan dengan dirinya waktu itu sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka untuk selanjutnya utusan itu tidak ragu-ragu lagi. Dengan tegas ia berkata, “Pangeran. Aku mengemban perintah Sri Baginda, Pangeran Kuda Permati dipanggil oleh Sri Baginda untuk menghadap.“

“Aku?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Ya. Pangeran. Ada persoalan yang ingin dikemukakan kepada Pangeran menanggapi keadaan terakhir di Kediri. Sri Baginda ingin berbicara dengan Pangeran” utusan itu menjelaskan.

“Tentu bukan kehendak Sri Baginda sendiri. Ini tentu akal licik orang-orang Singasari yang kebetulan sedang berada di Kediri. Jika aku menghadap, maka aku tentu akan ditangkap karena mereka sudah kehabisan akal untuk menangkap aku. Tanpa cara yang licik begitu maka mereka tidak akan berhasil menangkap aku.” geram Pangeran Kuda Permati.

“Sri Baginda akan bertanggung jawab atas keselamatan Pangeran.” berkata utusan itu lebih lanjut.

“Aku tidak percaya” jawab Pangeran Kuda Permati.

“Apakah kepercayaan Pangeran kepada Sri Baginda sudah larut sebagaimana kepercayaan Pangeran terhadap orang-orang Singasari. Jika demikian, maka cara Sri Baginda menghadapi Pangeran tentu akan berlainan” berkata utusan itu.

“Apakah Baginda juga mengancam aku seperti itu?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Apakah ada nada mengancam” utusan itu ganti bertanya, “aku hanya seorang utusan Pangeran. Segala sesuatunya akan aku serahkan kembali kepada Sri Baginda. Sri Baginda memerintahkan aku untuk memanggil Pangeran. Jika Pangeran tidak bersedia datang, bukankah Sri Baginda tentu akan mengambil cara lain?”

Pangeran Kuda Permati menggeram. Katanya, “Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Jika kau kebetulan menjadi seorang utusan yang membawa pertanda kuasa Sri Baginda itu bukan berarti bahwa kau adalah Sri Baginda” Pangeran Kuda Permati diam sejenak, lalu, “bersikaplah lebih baik terhadap aku. Kau tahu arti dari sikapku. Jika aku sudah berani menentang Singasari itu berarti bahwa aku tidak terikat lagi kepada siapapun juga yang berada dibawah pengaruh Singasari itu.“

“Itukah jawaban Pangeran” bertanya utusan itu, “selama ini Sri Baginda berusaha untuk menyelamatkan rakyat Kediri dari pertentangan yang dapat menelan terlalu banyak korban. Tetapi dengan sikap Panji Sempana Murti yang sudah kehilangan kesabaran, maka korban itu tidak dapat dihindari lagi. Dan sikap kehilangan kesabaran itu tentu akan segera menjalar kepada Senapati-senapati yang lain, selain Pangeran Singa Narpada yang dibatasi geraknya sekarang ini. Karena itulah, maka Sri Baginda memanggil Pangeran untuk berbicara langsung. Kecuali jika Pangeran memang sudah tidak mempunyai kepercayaan sama sekali kepada Sri Baginda.”

“Kau memang orang gila” geram Pangeran Kuda Permati, “kata-katamu sangat menyakitkan hati. Kau tidak mencerminkan sifat dan watak orang Kediri. Tetapi kau pun telah menjadi budak orang-orang Singasari.”

“Aku adalah utusan Sri Baginda yang berkuasa di Kediri. Pangeran, sekali lagi aku menyampaikan perintah Sri Baginda. Pangeran dipanggil menghadap untuk membicarakan perkembangan keadaan terakhir di Kediri, sedangkan keselamatan Pangeran akan dipertanggung jawabkan oleh Sri Baginda. Itulah keseluruhan perintah Sri Baginda. Aku ingin mendengar jawaban Pangeran yang akan aku sampaikan kepada Sri Baginda.”

“Gila” bentak Pangeran Kuda Permati, “jika kau tidak memakai pertanda kuasa Sri Baginda, maka aku sudah mencekik lehermu sampai putus. Sikap dan kata-katamu sangat menyakitkan hati. Atau kau memang memancing suasana agar aku menolak memenuhi perintah itu”

“Tidak” jawab utusan itu, “suasana ini terbentuk karena sikap Pangeran. Aku sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Diam” potong Pangeran Kuda Permati, “aku muak mendengar kata-katamu.“

“Terserahlah Pangeran, tetapi bagaimana jawab Pangeran” bertanya utusan itu.

Hampir saja Pangeran Kuda Permati kehilangan kesabaran. Namun ia masih menyadari, bahwa ia sedang berhadapan dengan utusan Sri Baginda di Kediri. Dengan nada keras Pangeran Kuda Permati berkata, “Pergilah. Kembalilah ke Kediri.”

“Dan apa yang harus aku sampaikan kepada Sri Baginda sebagai jawaban perintah Sri Baginda” bertanya orang itu.

“Aku akan menghadap Sri Baginda atas perintah Sri Baginda, bukan karena berhasil menakut-nakuti aku” jawab Pangeran Kuda Permati sambil menggeretakkan giginya.

Utusan itu tidak peduli, apakah yang mendorong Pangeran Kuda Permati menghadap. Tetapi yang penting baginya, bagaimana ia akan menyampaikannya kepada Sri Baginda. “Baiklah Pangeran” berkata utusan itu, “aku akan kembali ke Kediri dan menyampaikan kepada Sri Baginda bahwa Pangeran akan menghadap. Tetapi kapan saat yang akan Pangeran pergunakan untuk menghadap”

“Sekehendakku. Apa pedulimu?” jawab Pangeran itu.

Wajah utusan itulah yang kemudian menjadi merah. Jawaban itu adalah jawaban yang tidak diduganya sama sekali. Namun karena itu, maka jawabnya, “Baiklah. Tetapi jika karena kami tidak mengetahui saat kedatangan Pangeran, sehingga perjalanan Pangeran terganggu, bukanlah tanggung jawab kami. Tanggung jawab Sri Baginda berlaku sejak Pangeran berada di istana dan sampai saatnya Pangeran keluar dari pintu gerbang.“

“Persetan” Pangeran Kuda Permati membentak, “saat aku menghadap akan aku beritahukan kepada Sri Baginda. Tidak kepadamu.”

Utusan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian maka aku mohon diri. Aku akan menyampaikan segala jawaban Pangeran kepada Sri Baginda.”

Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak menjawab. Dibiarkannya utusan itu bangkit dan meninggalkan tempatnya kembali ke Kota Raja.

Demikian orang itu sampai di Kota Raja, maka ia pun langsung menghadap Sri Baginda berdasarkan pertanda kuasanya. Dilaporkannya pertemuannya dengan Pengeran Kuda Permati, serta kesediannya untuk menghadap.

“Pangeran akan memberitahukan, kapan Pangeran itu akan menghadap” berkata utusan itu.

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu. Namun demi pertanggungan jawabku atas Pangeran Kuda Permati, maka pada saatnya ia akan menghadap, maka aku akan mengirimkan beberapa orang yang akan mengawalnya memasuki Kota Raja dan kemudian keluar lagi dari Kota Raja.”

Utusan itu tidak lagi menghiraukannya meskipun nampaknya ia duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Terserah, apa yang akan terjadi dengan Pangeran yang sombong itu.”

Setelah mengembalikan pertanda kuasa Sri Baginda, maka utusan itupun diperkenankan untuk meninggalkan Sri Baginda yang kemudian dengan para pemimpin Kediri, menentukan langkah-langkah yang akan diambil jika Pangeran Kuda Permati benar-benar akan menghadap.

Seperti yang dikatakan oleh Sri Baginda, maka para pemimpin di Kediri itu sependapat, bahwa kedatangan Pangeran Kuda Permati harus di sambut di luar batas Kota Raja, sehingga dengan demikian keselamatannya dapat dipertanggung-jawabkan pada saat Pangeran Kuda Permati memasuki Kota Raja.

Seperti yang dikatakannya, maka sebelum menghadap Pangeran Kuda Permati telah mengirimkan dua orang petugasnya untuk lebih dahulu menghadap Sri Baginda, menyampaikan maksudnya serta saat-saat yang sudah ditentukan.

“Dihari terakhir pekan ini Pangeran Kuda Permati akan menghadap” berkata utusan itu.

“Baiklah” jawab Sri Baginda, “aku akan mengirimkan sekelompok prajurit untuk menjemputnya di perbatasan Barat. Mungkin agak jauh bagi Pangeran Kuda Permati, tetapi agaknya akan lebih aman baginya, karena jika ia berada di daerah pengawasan Panji Sempana Murti, mungkin akan dapat menimbulkan keadaan yang kurang menguntungkan.”

“Segalanya terserah kepada Sri Baginda” jawab utusan itu.

“Sampaikan kepada Pangeran Kuda Permati, bahwa sejak di perbatasan itu sampai keperbatasan itu pula keselamatannya aku pertanggung jawabkan.” berkata Sri Baginda.

“Hamba Sri Baginda. Selanjutnya akan hamba sampaikan kepada Pangeran Kuda Permati.” jawab utusan itu.

Demikianlah, maka utusan itu pun kemudian mohon diri untuk menyampaikan pesan Sri Baginda dan seterusnya mengatur rencana Pangeran Kuda Permati untuk menghadap Sri Baginda di Kediri. Pada saat yang ditentukan, maka segalanya berjalan sebagaimana dikehendaki. Baik oleh Sri Baginda, maupun oleh Pangeran Kuda Permati dalam pertemuan itu.

Di perbatasan, sekelompok prajurit terpilih memang sudah menunggu, ketika Pangeran Kuda Permati yang dibayangi oleh pasukannya mendekati perbatasan. Selanjutnya, dengan sisa kepercayaan kepada Sri Baginda di Kediri, maka Pangeran Kuda Permati telah mempercayakan dirinya kepada sekelompok prajurit yang kemudian membawanya ke istana dengan satu perintah kepada para pengikutnya.

"Jika malam ini aku belum keluar dari perbatasan, maka berarti bahwa aku telah dijebak. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Nampaknya pasukan Kediri di daerah Barat tidak segarang pasukan Panji Sempana Murti. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita harus mencegah pembalasan jika aku tidak keluar dari kota malam ini. Apa saja dapat kalian lakukan untuk membalas dendam. Apa saja dapat kalian lakukan. Bahkan sampai yang paling kasar sekalipun.“

Perwira yang diserahi untuk memimpin pasukan selama Pangeran Kuda Permati meninggalkan mereka itu pun mengangguk. Dengan nada dalam ia menjawab, “Baiklah Pangeran. Aku akan melakukan segala perintah Pangeran."

“Ingat, Sri Baginda telah dibayangi oleh orang-orang Singasari. Karena itu, semua kemungkinan akan dapat terjadi.” berkata Pangeran Kuda Permati kemudian.

Perwira itu mengangguk pula. Demikianlah maka Pangeran Kuda Permati seorang diri bersama para prajurit dari Kediri kemudian memasuki perbatasan Kota Raja menuju ke istana untuk menghadap Sri Baginda sebagaimana sudah direncanakan.

Kehadiran Pangeran Kuda Permati di Kota Raja memang menggemparkan. Beberapa orang yang mengenalnya dengan baik terkejut melihat kehadirannya, karena mereka sudah mengetahui apa yang dilakukannya oleh Pangeran itu selama ini. Tetapi yang mengherankan bagi mereka, justru Pangeran Kuda Permati telah dikawal oleh beberapa orang prajurit yang lengkap dengan tanda-tanda kesatuan mereka dan tunggul kerajaan.

“Apa yang telah terjadi dengan Pangeran itu” berkata beberapa orang yang mengenalnya, “apakah Sri Baginda akan berbicara dengan Pangeran Kuda Permati dan memberinya pengampunan atau justru akan memenuhi segala macam tuntutannya? Bahkan mungkin Sri Baginda akan menyatakan diri berpihak kepada Pangeran Kuda Permati justru pada saat beberapa orang Singasari ada di Kota Raja?”

“Jika demikian, maka akan benar-benar terjadi pertumpahan darah. Perang yang lebih besar tidak akan dapat dihindari lagi.” sahut yang lain.

“Perang di antara saudara sendiri selamanya akan berakibat lebih parah. Kita akan berada dalam satu lingkungan yang sama antara kawan dan lawan. Kita tidak segera mengenal apakah orang yang makan bersama kita hari ini besok tidak akan membunuh kita atau orang yang sekarang kita kejar-kejar, justru sebenarnya orang yang harus kita selamatkan” berkata orang yang pertama.

Namun dalam pada itu, tidak seorang pun yang mengusik Pangeran Kuda Permati yang dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan dengan panji-panji pasukan dan tunggul kebesaran. Sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Permati itu-pun telah memasuki lingkungan istana Kediri. Dengan dada tengadah Pangeran Kuda Permati turun dari kudanya dan berjalan diiringi oleh para prajurit menuju ke paseban dalam.

Ternyata Sri Baginda, memang sudah menunggu. Sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Permati itu telah duduk dihadapan Sri Baginda dengan kepala tunduk. Namun terasa bahwa sikap Pangeran Kuda Permati agak berbeda dengan sikap orang-orang lain yang menghadap pula pada saat itu. Bahkan di antara mereka terdapat dua orang utusan dari Singasari. Meskipun Pangeran Kuda Permati juga menunduk hormat, tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih penting dari orang-orang lain yang berada di ruang itu.

Setelah Sri Baginda menanyakan keselamatannya sebagai suatu ucapan yang biasa dalam satu pertemuan yang jarang terjadi, maka Sri Baginda pun telah bertanya, “Kau sudah menerima pesanku?”

“Ya Sri Baginda. Jika hamba tidak menerima pesan Sri Baginda, maka hamba tidak akan sampai di tempat ini.”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Sementara beberapa orang telah berpaling ke arahnya meskipun hanya sekilas. “Baiklah Kuda Permati” berkata Sri Baginda kemudian, “aku memang menginginkan kau hadir dalam pertemuan ini. Aku ingin berbicara dengan beberapa orang pemimpin Kediri untuk mencari jalan agar peristiwa yang pahit ini tidak berlarut-larut.“

“Adalah menjadi harapan hamba Sri Baginda, bahwa Kediri akan dapat menjadi daerah yang tenang dan damai. “jawab Pangeran Kuda Permati.

“Keinginan kita agaknya memang sama, seperti keinginan semua orang yang hadir di sini sekarang” berkata Sri Baginda, lalu, “karena itu, maka marilah kita mencari jalan, agar masa depan yang kita hadapi akan menjamin ketenangan dan kedamaian itu.“

“Hamba akan mendengarkan titah Baginda untuk mencapai hal itu” sahut Pangeran Kuda Permati.

“Kuda Permati” berkata Sri Baginda pula, “dengan prihatin aku telah mendengar laporan, bahwa di perbatasan Utara telah terjadi pertempuran yang merenggut banyak jiwa orang-orang Kediri dimanapun ia berpihak.“

“Benar Sri Baginda. Hamba memang mengalami perlakuan yang licik dari Panji Sempana Murti yang telah menyergap dan kemudian membantai sekelompok orang yang berpendirian sebagaimana pendirian hamba. Orang-orang itu tidak dapat dipaksa oleh Panji Sempana Murti untuk memilih sikap yang lain, sehingga akhirnya mereka harus menebus dengan nyawanya. Memang satu peristiwa yang sangat menyedihkan.” desis Pangeran Kuda Permati.

Tetapi Sri Baginda menyahut, “Jangan seperti kanak-kanak Kuda Permati. Jangan kau sangka bahwa laporan tentang peristiwa itu tidak sampai kepadaku.“

“Aku tidak akan mempersoalkan laporan yang sampai kepada Sri Baginda. Tetapi hamba mengatakan, yang tersirat di hati hamba. Diterima atau tidak diterima.“

“Jangan terlalu kasar Kuda Permati” potong Sri Baginda.

“Ampun Sri Baginda. Sebenarnyalah hamba kurang senang dengan hadirnya orang-orang Singasari di tempat ini. Mereka sama sekali tidak mempunyai kepentingan apapun dengan pembicaraan di antara kita.”

“Aku menghendaki mereka hadir. Bahkan kau tidak akan dapat menolak, siapapun yang aku undang sekarang ini. Meskipun seandainya aku mengundang utusan dari negeri seberang sekalipun” jawab Sri Baginda.

Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi merah sekilas. Namun dengan susah payah ia berusaha menahan diri. Meskipun demikian, ia masih juga berkata, “Itukah kepentingan Sri Baginda memanggil hamba?”

Terasa jantung Sri Baginda berdenyut semakin cepat. Dengan suara yang mulai bergetar Sri Baginda itu menjawab, “Kau adalah hamba Kediri. Kau adalah hambaku. Kau harus mengahadap jika aku memanggilmu untuk kepentingan apa saja.”

Rasa-rasanya Pengeran Kuda Permati tidak dapat menahan diri lagi. Ia sudah bertekad untuk mengadakan perlawanan. Apapun yang akan dihadapinya ia sama sekali tidak akan gentar. Juga seandainya Sri Baginda itu mengambil keputusan yang akan dapat menjerat lehernya. Meskipun demikian, Pangeran Kuda Permati itu masih juga berusaha mengekang diri. Katanya, “Baiklah. Sri Baginda dapat berbuat apa saja terhadap hambanya. Sekarang, hamba sudah menghadap.“

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi suasana telah menjadi hangat. Baik Sri Baginda, maupun Pengeran Kuda Permati sudah tidak lagi dapat berbicara dengan hati yang bening.

Namun demikian, adalah di luar dugaan, bahwa justru salah seorang dari utusan dari Singasari itu berkata, “Ampun Sri Baginda. Bagi Kediri, maka yang paling baik adalah ketenangan dan ketenteraman seperti yang aku dengar pada permulaan dari pembicaraan ini. Karena itu, apakah pembicaraan ini dapat dikembalikan kepada satu keinginan semula. Kediri sedang mencari jalan untuk menemukan satu ketenangan tanpa campur tangan pihak manapun juga. Karena segala pihak masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan yang satu terhadap yang lain. Sisa-sisa itu akan dapat dikembangkan dan kemudian menemukan satu rumusan yang paling mengikat.”

Sri Baginda di Kediri menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk berbuat demikian, selama Pangeran Kuda Permati juga berbuat demikian.”

“Tentu tidak ada keberatannya. Bukankah kita semua menghendaki ketenangan dan ketenteraman?” Mahisa Agni menambahkan.

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati masih saja dicengkam oleh ketegangan. Meskipun demikian, iapun berkata, “Hamba akan menyesuaikan diri Sri Baginda.”

Sri Baginda merenung sejenak. Ketika ia memandang orang-orang yang ada di dalam ruangan itu, terasa, bahwa ketegangan memang sedang mencekam. Karena itu, dengan susah payah, Sri Baginda yang merasa dirinya bertanggung jawab atas masalah yang lebih luas dari sekedar mengikuti arus perasaannya itu pun kemudian berkata, “Kuda Permati. Jika pada saat ini aku memanggilmu, maka aku ingin mendapatkan satu jalan yang paling baik bagi semua untuk mendapatkan satu suasana kehidupan yang tenang dan damai di Kediri.”

Pangeran Kuda Permati mengerutkan keningnya. Ketika terpandang olehnya orang-orang Singasari yang ada ruang itu, maka terasa jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka katanya, “Sri Baginda, menurut pendapat hamba, maka satu-satunya cara untuk membuat Kediri tenang dan tenteram adalah mengembalikan kewibawaan Kediri sebagaimana sebelum Tumapel menyombongkan dirinya, mengambil dengan kekerasan kekuasaan Kediri dan bahkan kemudian memerintah Kediri dengan semena-mena.”

Jawaban itu memang sudah diduga. Baik oleh Sri Baginda maupun oleh Mahisa Agni dan Witantra. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak terkejut.

Dalam pada itu Sri Baginda lah yang menjawab, “Kuda Permati. Dalam hati kecil setiap orang Kediri memang tersimpan satu kenangan atas kebesaran Kediri pada masa lampau. Tetapi yang nampak itu bukannya yang harus kita genggam sebagai satu keharusan, seolah-olah tidak ada cara lain untuk menggalang ketenangan dan ketenteraman. Jika kita sekarang merupakan satu keluarga dengan Singasari, maka kita berharap bahwa dengan demikian akan tergalang satu kebesaran yang melampaui Kediri, yang meliputi daerah yang jauh lebih luas, sehingga satunya Singasari akan lebih besar dan lebih menyeluruh dari satunya Kediri dimasa lampau.”

“Itu adalan pertanda kelemahan hati Sri Baginda” berkata Kuda Permati, “bagi kami, Kediri adalah puncak dari segala kebesaran.”

“Jika jalan pikiran itu yang kita tanamkan, maka setiap tempat yang menyebut namanya, akan berbuat seperti itu, sehingga yang satu itu akan pecah berkeping-keping. Beberapa Pakuwon akan dapat berbuat serupa dan dengan demikian, apakah yang akan terjadi? Ketenangan dan ketenteraman?” sahut Sri Baginda.

“Kebesaran Kediri akan meliputi” berkata Kuda Permati kemudian, “karena itu Singasari harus lebur. Itu sudah menjadi tekad dan keyakinan hamba. Hamba akan berjuang untuk mewujudkannya. Kemudian, hamba sama sekali tidak ingin untuk mendapatkan kedudukan apapun juga. Hamba akan mempersembahkan kebesaran Kediri kepada Sri Baginda”

“Jadi kau tidak mau mendengarkan kata-kataku”? bertanya Sri Baginda.

Pangeran Kuda Permati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sri Baginda, kemudian ia berpaling kepada dua orang utusan Singasari yang ada di ruangan itu. Namun demikian Pangeran Kuda Permati itu masih saja menjawab, “Sri Baginda. Sekali lagi hamba tegaskan, bahwa hamba akan mempersembahkan kebesaran Kediri kepada Sri Baginda.”

“Kuda Permati” jawab Sri Baginda, “aku tidak menginginkan pertumpahan darah ini berkepanjangan. Bantai membantai tanpa peri-kemanusiaan. Sementara itu kebesaran Kediri tidak akan ada bedanya dengan kebesaran Singasari karena wilayah Kediri yang besar itu juga wilayah Singasari sekarang. Jika sekarang orang Kediri merasa di kuasai oleh orang Singasari, maka kelak perasaan serupa akan timbul pula pada orang-orang Singasari, atau katakanlah orang-orang Tumapel.”

Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi tegang. Perasaannya bergejolak penuh kebencian. Dengan suara bergetar-ia berkata, “Sri Baginda, apakah Sri Baginda bersabda atas dasar hati nurani, atau karena di sini ada dua orang utusan dari Singasari yang mungkin dapat menakut-nakuti Sri Baginda.”

Tetapi akibat dari kata-kata itu ternyata sangat tajam menusuk perasaan Sri Baginda. Dengan wajah yang menyala Sri Baginda berkata, “Kuda Permati. Kau sangka aku seorang pengecut yang tidak berarti apa-apa? Kau sangka aku tidak mempunyai keberanian untuk menentukan sikap? Jika aku tidak memikirkan nasib rakyatnya yang terpecah dan akan saling membunuh, aku tidak akan memanggilmu. Aku tidak akan berbicara apapun dengan seorang pemberontak seperti kau? Jika aku sekarang bersikap lunak terhadapmu, adalah karena aku masih berusaha untuk meyakinkanmu bahwa kita mungkin akan dapat menemukan jalan yang lebih baik dari peperangan.”

Namun ternyata Pangeran Kuda Permati pun sudah dikungkung oleh satu sikap vang tidak dapat dilepaskannya. Maka jawabnya, “Hamba mohon maaf Sri Baginda. Bukan maksud hamba merendahkan Sri Baginda. Bagaimanapun juga Sri Baginda adalah seorang kesatria terbesar di Kediri. Tetapi sikap Sri Baginda yang kadang-kadang menumbuhkan pernyataan dihati hamba. Selama ini hamba sudah berbesar hati, bahwa Sri Baginda telah menunjukkan sikap yang lebih tegas, dengan di batasinya gerak kakangmas Singa Narpada. Bahwa Sri Baginda tidak bertindak kasar terhadap gerakan hamba dan bahwa Sri Baginda membiarkan para prajurit tetap di tempatnya masing-masing. Tetapi dengan kehadiran kedua orang utusan dari Singasari, sikap Baginda telah berubah.“

“Kuda Permati” bentak Sri Baginda, “jika aku membatasi gerak Pangeran Singa Narpada itu karena aku memikirkan kemungkinan korban yang akan jatuh tanpa hitungan. Tetapi ternyata tanpa Pangeran Singa Narpada, peristiwa yang aku cemaskan itu telah terjadi. Aku tidak dapat menangkap Panji Sempana Murti karena sesudah Panji Sempana Murti, tentu ada Senapati lain yang bertindak sebagaimana dilakukannya, karena sebenarnyalah bahwa mereka justru telah bertindak sebagaimana seorang prajurit.“

Wajah Pangeran Kuda Permati lah yang kemudian menjadi semakin tegang. Namun akhirnya ia berkata, “Sri Baginda. Hamba mohon ampun. Hamba mohon Sri Baginda memberi kesempatan kepada hamba untuk menegakkan kembali kebesaran Kediri dan kemudian mempersembahkannya kepada Sri Baginda.“

“Aku tidak memerlukannya” jawab Sri Baginda.

“Jika demikian, maka hambalah yang akan memerintah di Kediri. Hamba adalah juga keturunan ayahanda Sri Baginda di Kediri sebelum Sri Baginda sendiri. Jika Sri Baginda, saudara hamba yang berhak atas tahta berkeberatan untuk memegang kendali pemerintahan, maka hamba, saudara Sri Baginda, berhak juga untuk memerintah atas nama ayahanda.” jawab Pangeran Kuda Permati.

Persoalannya sudah menjadi jelas bagi Sri Baginda dan bagi orang-orang yang hadir. Tidak ada lagi yang dapat dibicarakan. Sehingga karena itu, maka Sri Bagindapun berkata, “Pembicaraan kita tertutup sampai di sini. Aku memenuhi janjiku. Aku bertanggung jawab mengembalikan kepada pasukanmu. Tetapi sesudah nyawamu akan terancam oleh sikapku yang akan lebih tegas daripada sikapku sebelumnya. Aku mengira bahwa kau dapat mengerti. Tetapi ternyata kau justru memanfaatkan kelemahanku bahwa aku tidak sampai hati melihat darah terlalu banyak mengalir, untuk memperoleh pengaruhmu.“

“Terima kasih Sri Baginda” jawab Pangeran Kuda Permati” pada saatnya seluruh Kediri akan bangkit.“

“Kau akan kecewa” jawab Sri Baginda, “aku akan segera memerintahkan, melepaskan Pangeran Singa Narpada dari keterbtasan geraknya. Ia akan bergabung dengan para Senapati di perbatasan yang sudah siap mengahadapimu, terutama Panji Sempana Murti yang sudah menghancurkan sebagian dari pasukanmu.“

Wajah Pangeran Kuda Permati semakin menegang. Namun kemudian jawabnya, “Pangeran Singa Narpada tidak lagi berbahaya bagi hamba. Ia tidak akan banyak berarti. Seorang yang sudah dikecewakan seperti Pangeran Singa Narpada, akan bertindak jauh lebih buruk dari yang sebenarnya dapat dilakukan? Jika ia dilepaskan, maka yang pertama-tama dilakukan adalah mengutuk Sri Baginda sendiri dihadapan banyak orang dan pasukannya.“

Tubuh Sri Baginda menjadi gemetar menahan ke marahan yang bagaikan meledakkan dadanya. Dengan lantang maka iapun kemudian berkata, “Bawa orang itu pergi. Kembalikan keperbatasan sebagaimana aku janjikan, karena aku bukan hendak menjebaknya dengan licik. Aku ingin menangkapnya dengan cara seorang laki-laki yang berhadapan di medan perang.”

Pangeran Kuda Permati tidak menjawab. Seperti pada saat datang, ia pun kemudian dikawal oleh sekelompok prajurit, dikembalikan kepada pasukannya yang membayanginya ketika ia berangkat menghadap Sri Baginda.

Ternyata, setelah Sri Baginda bertemu langsung dengan Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak dapat diajak untuk berbicara, mencari kemungkinan untuk mengurangi korban yang terbunuh tanpa arti.

Sebenarnya Sri Baginda sendiri memaklumi keinginan orang-orang Kediri untuk mengembalikan kebesaran Kediri sebagaimana sebelum Tumapel merebut kekuasaan dan kebesaran Kediri. Tetapi Sri Baginda di Kediri itupun tidak akan dapat membiarkan rakyatnya terbantai dengan sewenang-wenang. Karena itu, sepeninggal Pangeran Kuda Permati, maka Sri Bagindapun segera memerintahkan untuk memanggil Pangeran Singa Narpada di tempatnya untuk batasi geraknya.

Ketika Pangeran Singa Narpada memasuki ruangan itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat dua orang pemimpin tinggi dari Singasari hadir di tempat itu. Ketika Pangeran Singa Narpada sudah duduk di antara mereka yang berada diruangan itu, maka Sri Baginda pun mulai menguraikan keadaan yang berkembang di Kediri. Dengan nada dalam Sri Baginda berkata,

“Singa Narpada, aku membatasi gerakmu karena aku mengerti, bahwa kau adalah orang yang tidak dapat menahan perasaanmu. Kau dapat bertindak dengan keras dan kadang-kadang meloncat dari batas kewajaran. Namun ternyata bahwa keadaan tidak mereda meskipun kau tidak ikut terlibat didalam pertentangan ini.”

Pangeran Singa Narpada menundukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Sekarang, apa yang tuanku kehendaki?“

“Di perbatasan Utara, ternyata Panji Sempana Murti telah bertindak dengan tegas. Pertumpahan darah tidak dapat dicegah lagi. Sementara itu, aku sudah memanggil Pangeran Kuda Permati untuk berbicara mencari jalan penyelesaian yang paling baik.” berkata Sri Baginda.

“Jadi, Sri Baginda sudah memanggil adimas Kuda Permati?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya” Jawab Sri Baginda.

“Baginda” wajah Pangeran Singa Narpada menjadi merah, “jadi Sri Baginda sudah merendahkan diri, berbicara dengan seorang pemimpin pemberontak yang telah menodai nama baik Sri Baginda selama ini?“

“Singa Narpada” jawab Sri Baginda, “aku memanggil dan berbicara dengan Kuda Permati karena aku ingin mencari pemecahan masalah yang kita hadapi dengan kemungkinan yang lebih baik daripada saling berbunuhan. Aku memanggil Kuda Permati untuk memberikan penjelasan kepadanya, bahwa permusuhan selama ini tidak akan ada artinya. Aku berusaha untuk menjelaskan kepadanya, hubungan antara Kediri dan Singasari.

“Apa katanya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kuda Permati tidak mau tahu” jawab Sri Baginda.

“Hamba sudah menduga. Sebenarnya Sri Baginda haras sudah mengetahui sikap itu. Atas dasar sikap itulah hamba ingin bertindak. Tetapi pada saat hamba membawa adimas Lembu Sabdata yang akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang adimas Kuda Permati, maka hamba sudah dijerat dalam tahanan” geram Pangeran Singa Narpada.

Sri Baginda termangu-mangu sejenak. Terngiang ditelinganya kata-kata Pangeran Kuda Permati, bahwa yang pertama-tama dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada adalah mengutuknya. Namun dalam pada itu, Sri Baginda pun bertanya kepada Pangeran Singa Narpada, “Kau tahu, kenapa aku membatasi gerakmu selama ini. Sekarang, aku minta pertimbanganmu, apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku sudah berusaha untuk mencari penyelesaian dengan baik untuk menghindari pertumpahan darah. Tetapi aku tidak berhasil. Kuda Permati tidak mau mendengarkan kata-kataku.“

“Sri Baginda bersikap aneh” jawab Pangeran Singa Narpada, “Sri Baginda tidak pernah bertanya kepada hamba, apakah hamba sependapat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan menghindari pertumpahan darah. Tetapi yang Sri Baginda lakukan terhadap hamba adalah dengan tiba-tiba saja menangkap dan menahan hamba, meskipun istilah yang Sri Baginda pergunakan adalah membatasi gerak hamba. Tetapi tidak demikian terhadap Kuda Permati. Kuda Permati datang sebagai seorang pahlawan yang sempat berbicara dengan Sri Baginda. Sesudah itu, Kuda Permati dipersilahkan untuk kembali ke tempat persembunyiannya, dengan aman dibawah pengawalan pasukan Kediri, sehingga kadang-kadang hamba berpikir, apakah dengan demikian sebaiknya hamba bertindak atas nama hamba sendiri menurut kesenangan hamba, karena hambapun merasa mempunyai kekuatan sebagaimana Kuda Permati. Tetapi ternyata hamba tidak sampai hati berbuat demikian.“

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menolak kata Singa Narpada, karena setiap orang memang melihat apa yang telah terjadi. Meskipun demikian, betapa kerasnya kata-kata Pangeran Singa Narpada, namun masih tersirat kesetiaannya yang lebih tinggi dari Pengeran Kuda Permati. Karena itu, maka Sri Baginda pun telah bertanya,

“Singa Narpada. Kau boleh mengatakan apa saja. Tetapi aku merasa bahwa aku sedang berusaha untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar. Tetapi aku ternyata telah gagal. Dan sekarang, aku tidak mempunyai pilihan lain untuk menghadapi Pangeran Kuda Permati yang telah menyebarkan bibit permusuhan di mana-mana. Di Singasari telah terjadi pula permusuhan, karena beberapa kelompok orang yang menganut perintah dan cita-citanya telah berusaha untuk melumpuhkan Singasari dengan membinasakan hutan di lereng-lereng pegunungan.“

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Ia tidak segera dapat melepaskan diri dari kekecewaannya, bahwa ia telah beberapa lamanya dibatasi geraknya yang menurut Pangeran Singa Narpada tidak lebih dan tidak kurang daripada disekap dalam tahanan. Betapa kasar sifat dan watak Pangeran Singa Narpada, tetapi ternyata bahwa kesetiaannya masih juga mengatasi gejolak perasaannya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Apakah perintah Sri Baginda atas hamba?“

“Kau akan termasuk salah seorang Senapati yang akan menumpas gerakan Kuda Permati. Di sini ada dua orang utusan dari Singasari yang bersedia untuk memberikan bantuan apa saja yang aku perlukan. Tetapi untuk sementara ini aku tidak memerlukan bantuan apa-apa. Bagaimana katamu tentang hal itu?“

Pangeran Singa Narpada berpaling kearah kedua orang utusan dari Singasari itu. Namun kemudian katanya, “Hamba sependapat Sri Baginda. Untuk sementara kita tidak memerlukan bantuan. Biarlah kita bersikap dewasa, menyelesaikan persoalan kita sendiri. Baru apabila kita memang tidak mampu lagi berbuat demikian, kita akan menentukan sikap selanjutnya.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Karena itu, maka lakukan segera persiapan-persiapan yang perlu. Kau dapat menghubungi Panji Sempana Murti yang sudah bertindak lebih dahulu.“

“Hamba akan melaksanakan segala perintah Sri Baginda betapapun kecewanya perasaan hamba” jawab Pangeran Singa Narpada.

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Mahisa Agni dan Witantra, “Demikianlah Ki Sanak. Kalian sudah melihat apa yang terjadi di Kediri. Kalian dapat melaporkannya kepada Sri Maharaja. Di antaranya bahwa Kediri ingin menyelesaikan persoalannya sendiri dengan sikap sebagaimana kalian lihat dalam pertemuan ini.“

Mahisa Agni bergeser setapak. Katanya, “Baiklah Sri Baginda. Aku akan membawa laporan ini kepada Sri Maharaja. Mudah-mudahan Sri Baginda berhasil. Namun demikian, apapun yang Sri Baginda perlukan, maka Singasari akan berusaha untuk memenuhinya menurut kemampuan yang ada.“

“Terima kasih” jawab Sri Baginda, “segala sesuatu yang terjadi sebagaimana kalian lihat, adalah jawabanku atas titah Sri Maharaja.“

“Kami mengerti seluruhnya” jawab Mahisa Agni, “namun demikian, adalah menjadi kewajiban kami untuk mengikuti semua perkembangan yang terjadi di Kediri. Kami akan mengamati hasil langkah-langkah yang akan diambil oleh Pangeran Singa Narpada.“

“Silahkan. Tetapi apakah dengan demikian berarti kalian akan tetap tinggal di Kediri untuk waktu yang tidak terbatas?” bertanya Sri Baginda.

“Ya. Meskipun kami tidak akan berbuat apa-apa selain melihat perkembangan keadaan” jawab Mahisa Agni.

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sama sekali tidak berkeberatan. Justru dengan demikian kalian akan mengetahui langsung apa yang terjadi. Bukan sekedar laporan yang mungkin dapat kembangkan atau menyusut dari kenyataan.”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra bersama sekelompok pengawalnya dibawah pimpinan Mahisa Bungalan akan tetap berada di Kediri atas persetujuan para pemimpin di Kediri.

Dalam pada itu, setelah pertemuan yang dihadiri oleh utusan dari Singasari itu, maka Pangeran Singa Narpada telah mendapat perintah dari Sri Baginda untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh Pengeran Kuda Per-mati. Namun bagaimanapun juga, Sri Baginda masih juga berpesan, agar Pangeran Singa Narpada berusaha untuk membatasi sejauh-jauhnya pertumpahan darah. Terutama atas rakyat yang tidak mengerti persoalan yang timbul di Kediri antara beberapa orang pemimpin yang berbeda pendirian.

“Bagaimanapun juga, hamba masih juga berjantung” berkata Pangeran Singa Narpada.“

“Aku selalu cemas melihat sikapmu. Jika kau bergabung dengan Panji Sempana Murti, maka rasa-rasanya Kediri akan terbakar oleh gejolak pasukanmu. Namun mudah-mudahan kau mengerti getar kata nuraniku” pesan Sri Baginda.

“Hamba akan memperhatikannya” jawab Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada, pertama-tama adalah kembali ke istananya dan memanggil beberapa orang perwira yang dekat dengan dirinya dalam pasukannya. Ternyata bahwa beberapa orang di antara para pemimpin dari pasukannya telah bekerja bersama dengan Panji Sempana Murti. Dari mereka Pangeran Singa Narpada mendengar dengan jelas apa yang pernah dilakukan oleh Panji Sempana Murti, sebagai salah satu panglima yang bertugas di perbatasan.

“Tetapi Panji Sempana Murti mengahadapi satu kesulitan” berkata para perwira itu, “di beberapa daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati sudah terlalu dalam. Mereka sudah menyatu dengan rakyat daerah itu, sehingga jika kita datang ke tempat itu, maka mereka seakan-akan telah hilang luluh dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Panji Sempana Murti untuk membedakan, yang manakah pasukan Pangeran Kuda Permati dan yang manakah rakyat kebanyakan yang tidak tahu-menahu tentang persoalan yang sedang bergejolak di Kediri.“

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada kecewa ia berkata, “Sebenarnya kita sudah terlambat. Kita memang akan menghadapi terlalu banyak persoalan. Yang harus kita lakukan adalah mengetahui dimanakah induk pasukan Pangeran Kuda Permati itu berada.“

Dengan demikian, maka para pemimpin dalam pasukan Pangeran Singa Narpada itu telah menganjurkan, agar Pangeran Singa Narpada berhubungan langsung dengan Panji Sempana Murti yang sudah mendahului bertindak dengan cara yang sesuai dengan sikap Pangeran Singa Narpada.

“Baiklah. Aku akan menemuinya” berkata Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Singa Narpada memang bertindak cepat. Ia tidak menunggu terlalu lama. Setelah semua pendapat saling disesuaikan di antara para pemimpinnya, maka iapun segera memberitahukan kahadirannya kepada Panji Sempana Murti yang memang sudah menunggu langkah-langkah yang akan diambil oleh Pangeran Singa Narpada.

Pertemuan di antara Pangeran Singa Narpada dengan Panji Sempana Murti memang mempertemukan pendapat mereka. Panji Sempana Murti pun mengucapkan terima kasih, bahwa sebagian dari pasukan Pangeran Singa Narpada dengan diam-diam telah membantunya.

“Sekarang seluruh pasukanku dapat bergerak dengan bebas berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu kita tidak akan menunggu. Kita akan bergerak dan menggelitik pasukan Pangeran Kuda Permati.“

”Apa yang akan Pangeran lakukan?” bertanya Panji Sempana Murti.

“Menempatkan pasukanku di daerah yang selama ini menjadi daerah pasukan Pangeran Kuda Permati” jawab Pangeran Singa Narpada.

Panji Sempana Murti mengerutkan keningnya. Ia sendiri tidak akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada. Namun kemudian Panji Sempana Murti itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Inilah gaya Pangeran Singa Narpada. Aku sudah disebut orang yang tidak berjantung. Tetapi Pangeran Singa Narpada memang tidak tanggung-tanggung. Ia menantang langsung Pangeran Kuda Permati dan tentu tidak akan segan-segan bertindak tegas.”

Namun demikian Panji Sempana Murti masih memikirkan, apa yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada terhadap lingkungan yang sulit untuk diadakan, yang manakah para pengikut Pangeran Kuda Permati dan yang mana yang bukan.

Sebenarnyalah, Pangeran Singa Narpada pun segera mempersiapkan seluruh pasukannya yang besar. Ia sudah mendapat laporan tantang langkah-langkah yang sudah diambil oleh Panji Sempana Murti yang membentuk kekuatan di setiap padukuhan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada merencanakan penempatan seluruh kekuatan pasukannya di hadapan Pangeran Kuda Permati. Sementara itu, Panji Sempana Murti akan tetap berada dalam wilayah tugasnya dan tetap memelihara ketahanan kekuatan di setiap padukuhan dengan mempersiapkan pasukan berkuda yang dapat bergerak dengan cepat.

“Selain tugas keprajuritan, maka kita mempunyai tugas yang lebih berat” berkata Pangeran Singa Narpada, “untuk mengurangi korban yang tidak perlu, maka kita harus memberikan kesadaran, bahwa langkah Kuda Permati adalah langkah yang salah. Kita kan memberikan batas waktu kepada orang-orang yang berpihak kepadanya. Sesudah batas waktu itu lewat, maka kita akan mengambil tindakan tegas.“

Panji Sempana Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia belum dapat membayangkan, tindakan apa yang akan diambil oleh Pangeran Singa Narpada. Tetapi jika Pangeran Singa Narpada sudah mengatakan akan mengambil tindakan yang tegas, itu berarti bahwa segala sesuatunya akan berlangsung dengan keras.

Namun pimpinan perlawanan atas pemberontakan Pangeran Kuda Permati sudah diambil alih oleh Pangeran Singa Narpada. Tidak lagi berada ditangan Panglima daerah perbatasan yang berhadapan langsung dengan kegiatan Pangeran Kuda Permati. Demikianlah, maka setelah semua rencana disiapkan dengan masak menurut keputusan Pangeran Singa Narpada dengan para Senapatinya, maka langkahpun segera mulai dilaksanakan.

Pengeran Singa Narpada telah mengatur pasukannya dan seperti rencananya, mereka kemudian ditempatkan di beberapa padukuhan yang berdekatan, dihadapan daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati. Namun dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada pun menyadari bahwa Pangeran Kuda Permati tidak akan dapat digertak dengan pasukannya yang kuat. Pangeran Kuda Permati akan menarik diri dengan induk pasukannya. Namun ia tentu masih meninggalkan kekuatan di antara rakyat dibawah pengaruhnya.

“Kita memerlukan waktu yang lama” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Panji Sempana Murti dalam satu pertemuan, “kau harus berusaha untuk tetap meyakinkan orang-orang yang belum terperangkap oleh pengaruh Kuda Permati, bahwa yang dilakukan adalah satu langkah yang sesat.“

“Aku akan berusaha Pengeran” jawab Panji Sempana Murti, “sementara itu, apa yang akan Pangeran lakukan untuk memerangi pengaruh Pangeran Kuda Permati. Bukan pasukannya dalam ujud wadag yang pada saat-saat tertentu nampak dalam satu kesatuan, namun yang pada saat lain hilang luluh didalam kehidupan rakyat sehari-hari.“

“Itulah yang aku anggap sebagai satu perjuangan yang lama. Tetapi kita tidak boleh berkecil hati. Aku akan mengirimkan pasukannya untuk memasuki padukuhan-padukuhan dibawah pengaruh Pengeran Kuda Permati. Aku akan memerintahkan pasukanku untuk mengerti, mengenal,dan memasuki lingkungan hidup mereka. Para prajurit itu akan menghitung jumlah jiwa disetiap rumah. Mengetahui apakah hubungan keluarga di antara mereka dan dengan pasti mengetahui pekerjaan orang-orang yang ada di padukuhan itu. Tidak boleh ada yang terlampaui, tetapi juga tidak boleh ada orang-orang yang tidak terhitung berada di padukuhan itu.” berkata Pangeran Singa Narpada.

Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu pekerjaan yang sulit sekali dilakukan“

“Ya. Tetapi hal itu harus kita lakukan. Kita akan mengadakan penelitian untuk beberapa padukuhan. Kemudian kita akan mengamatinya untuk beberapa lama. Pada saat-saat tertentu, siang atau malam, kita akan memasuki rumah-rumah dan meneliti, apakah ada orang-orang yang tidak terhitung berada di rumah-rumah itu.” berkata Pengeran Singa Narpada.

Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti apa yang akan terjadi kemudian. Orang-orang yang dicurigai tidak akan mendapat kesempatan apapun juga untuk mengelak dari tuduhan yang dapat membawa mereka kedalam satu keadaan yang paling pahit. Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Singa Narpada benar-benar akan bertindak tegas sebagaimana dikatakannya.

Dalam pada itu, dalam gejolak yang kemudian terasa semakin keras, maka Pugutrawe dengan hati-hati berusaha untuk dapat mengikuti segala perkembangan. Lewat seorang petugas sandi. Pugutrawe tahu pasti, bahwa dua orang utusan dari Singasari berada di Kediri dengan sekelompok kecil prajurit dibawah pimpinan Mahisa Bungalan. Pugutrawe telah mengetahui, bahwa Mahisa Bungalan sebenarnya adalah kakak dari dua orang anak muda yang berada didalam lingkungan tugasnya. Karena itu, maka Pugutrawe pun telah memberikan beberapa petunjuk kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk berada didalam lingkungan pengaruh Pangeran Kuda Permati.

“Nampaknya kalian memiliki sumber yang dapat dipercaya di lingkungan mereka” berkata Pugutrawe.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sampai sekarang aku masih mempercayakan.“

“Tetapi kalian harus lebih berhati-hati jika kalian mondar-mandir melintasi perbatasan yang semu antara pengaruh Pangeran Kuda Permati dan pengaruh Pangeran Singa Narpada. Keduanya adalah orang yang keras dan kekerasannya itu berpengaruh sampai kepada para Senapati, bahkan para prajuritnya. Jika kau tertangkap baik oleh Pengeran Singa Narpada, maupun oleh Pangeran Kuda Permati, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.“

“Kami akan berhati-hati” jawab Mahisa Murti, “namun agaknya memang sekarang waktunya untuk berada di antara kedua kekuatan itu, agar kita dapat selalu mengikuti apa yang terjadi. Dengan berada di dalam pasukan yang dibentuk oleh Panji Sempana Murti yang tersusun dalam golongan-golongan itu, sekarang sulit sekali untuk dapat melihat apa yang terjadi di baris pertama dari benturan yang sebenarnya.”

Pugutrawe mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Tetapi bagaimanapun juga, mondar-mandir seperti yang kalian lakukan itu memerlukan satu perhitungan tersendiri. Hati-hatilah, karena jika kalian tertangkap oleh siapapun, sulit bagi kalian untuk tidak mengatakan sesuatu tentang apa-apa yang kau ketahui.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Pugutrawe akan sangat berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan itu. Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang selalu hilir-mudik antara kedua daerah pengaruh yang berbeda. Tetapi mereka mempunyai tempat untuk hinggap selagi mereka berada di dalam lingkungan pengaruh Kuda Permati. Mereka berada di tempat Ki Waruju yang dikenal dalam lingkungannya sebagai pedagang ternak yang berhasil.

Dengan demikian, maka atas petunjuk kedua belah pihak, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Di daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati, Ki Waruju berhasil berhubungan dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam pasukan Pangeran Kuda Permati. Sebagai seorang pedagang yang mempunyai hubungan yang luas, maka kesempatan yang diusahakan dengan segala cara akhirnya berhasil. Ki Waruju merupakan salah seorang yang sering mendapat pesanan untuk melayani kepentingan pasukan induk Pangeran Kuda Permati.

Meskipun demikian, sangat sulit bagi Ki Waruju untuk mengetahui, tempat persembunyian Pangeran Kuda Permati. Tetapi terasa olehnya, bahwa ada satu tempat yang terlindung oleh berlapis-lapis pengaman yang merupakan pusat pengendalian pasukan Pengeran Kuda Permati yang tersebar. Agaknya pengamanan yang berlapis-lapis itu memang sulit untuk ditembus dengan cara apapun juga. Apalagi tempat itu baru merupakan angan-angan yang tidak diketahui letaknya.

Namun demikian, lambat laun, Ki Waruju mempunyai hubungan yang semakin baik dengan para prajurit dari pasukan induk Pangeran Kuda Permati. Bahkan sekali-kali Ki Waruju sempat mempertunjukkan bukan saja kuda yang tegar dan kuat yang sangat menarik bagi para prajurit, tetapi juga bermacam-macam batu-batu akik yang dianggap mempunyai tuah dan kasiat, berbagai macam pusaka yang mempunyai kemampuan melindungi para pemiliknya dari bahaya yang tersembunyi. Ternyata Ki Waruju dapat mengambil hati para prajurit itu. Sekali-sekali ia memberikan sebutir batu akik yang sangat bagus bagi seorang prajurit yang sudah dikenalnya dengan baik.

“Tetapi jangan rampas kudaku” bisiknya kepada prajurit itu, “kuda itu adalah binatang yang aku perdagangkan."

“Tetapi kau memang bodoh” berkata prajurit itu, “siapa yang pada saat ini bersedia membeli seekor kuda yang tegar dan kuat? Jika seseorang melakukannya, besok kuda itu sudah kami ambil.“

“Aku menjualnya di tempat yang jauh” berkata Ki Waruju, “di sini harga kuda sangat murah. Lebih baik dijual daripada diambil oleh para prajurit. Juga barangkali kau ikut mengambilnya. Kemudian dengan diam-diam kau bawa kuda itu keluar daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati. Maka disana kuda itu akan laku dengan harga yang tinggi.“

“Kau memang pantas disebut pengkhianat” berkata prajurit itu.

“Kenapa?” bertanya Ki Waruju.

“Kau curi kuda-kuda kami. Kuda-kuda yang sebenarnya dapat kami pergunakan untuk perjuangan kami menentang orang-orang Singasari. Bahkan mungkin kuda-kuda itu kau jual kepada orang-orang Singasari.” geram prajurit itu.

Tetapi Ki Waruju tertawa. Katanya, “Coba, buatlah satu perbandingan. Berapa ekor kuda yang pernah kalian ambil dan kalian pergunakan, sementara itu aku berusaha mengambil keuntungan dari keadaan ini hanya seekor dari ratusan. Sementara itu keuntungan yang aku dapatkan, sebagian juga aku pergunakan bagi perjuangan ini. He, darimana kau dapat akik sebagus itu? Sementara itu, aku telah memberi sebuah gelang akar beringin putih kepada seorang kawanmu yang berhidung pesek itu. Sedangkan itu, aku berjanji untuk mencari sebilah keris yang mempunyai watak seorang prajurit sejati. Berdaun lurus dan memiliki pamor manggada. Selebihnya akupun masih harus menyediakan sekelompok kambing yang akan kalian pergunakan untuk bujana menjelang akhir pekan.“

“Tetapi bukanlah duapuluh lima ekor kambing itu akan dibayar harganya? Dari dua puluh ekor kambing itu kau akan mendapat keuntungan yang besar.” berkata prajurit itu.

“Ah, kau mempunyai penilaian yang salah terhadap usahaku. Aku memang seorang pedagang yang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Tetapi bagi perjuangan ini, aku bersikap lain. Lebih baik mencuri membawa seekor kuda keluar untuk mendapat untung berlipat ganda daripada mencari keuntungan dari ternak yang aku jual bagi para prajurit. Kambing dan ternak-ternak lain yang aku serahkan bagi para prajurit, aku sama sekali tidak mengambil keuntungan. Bahkan duapuluh lima ekor kambing yang akan aku serahkan nanti, telah aku beri harga dibawah harga yang seharusnya, karena nampaknya perjuangan kita telah semakin meningkat. Aku dengar pangeran Singa Narpada telah dibebaskan dari tahanannya dan sekarang meletakkan pasukannya di luar daerah perbatasan langsung menghadap daerah ini.” berkata Ki Waruju.

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran Singa Narpada memang seorang Pangeran yang kurang waras. Ia seorang yang kasar dan dungu, melampaui Panji Sempana Murti.“

“Uh” geram Ki Waruju, “keduanya memang orang-orang yang tidak tahu diri. Tetapi kenapa Pangeran Kuda Permati tidak membalas sakit hati kita semuanya, karena sergapan Panji Sempana Murti yang tiba-tiba itu?“

“Kami tidak sempat melakukannya. Pangeran Kuda Permati telah dipanggil oleh Sri Baginda. Tetapi hasil pembicaraan itu adalah dilepaskannya Pangeran Singa Narpada” berkata prajurit itu.

“Kenapa tiba-tiba saja Sri Baginda bersikap demikian?” bertanya Ki Waruju.

“Tentu karena hasutan dua orang utusan dari Singasari yang ada di Kota Raja. Mereka memang harus disingkirkan. Dan ini sudah menjadi rencana Pangeran Kuda Permati.“

Ki Waruju mengerutkan keningnya. Tetapi untuk tidak menimbulkan kecurigaan, seolah-olah ia sama sekali tidak memperhatikan kata-kata prajurit itu. Bahkan ia justru bertanya, “Kenapa Sri Baginda tidak menangkap saja kedua orang Singasari itu? Jika kita semuanya sepakat untuk mengangkat senjata, maka aku kira Singasari tidak akan dengan mudah memaksakan kehendaknya. Mereka harus berpikir ulang, apakah mereka akan tetap bertahan untuk tinggal di Kediri atau melepaskannya saja.”

“Masih banyak penjilat di tanah ini” jawab prajurit itu, “mereka harus kita singkirkan sebagaimana kita akan menyingkirkan orang-orang Singasari itu.“

“Bagaimana mungkin kita dapat menyingkirkan orang-orang Singasari itu. Mereka berada di Kota Raja, di dekat istana Sri Baginda. Jika Sri Baginda memang tidak menghendaki demikian, maka agaknya hal itu tidak akan dapat dilakukan.” berkata Ki Waruju. Lalu, “seharusnya Sri Baginda bertindak tegas.”

“Sri Baginda bukan orang kuat” jawab prajurit itu, “tetapi Sri Baginda harus melihat satu kenyataan, bahwa kedua orang itu akan tersingkir.”

Tetapi Ki Waruju tertawa kecut. Katanya, “Mudah sekali untuk mengatakannya. Tetapi sulit sekali untuk melakukannya“

“Kau memang dungu” geram prajurit itu, “yang kau ketahui hanya keuntungan melulu. Mencuri menyingkirkan kuda-kuda tegar dari daerah ini dan menjualnya di daerah yang dikuasai oleh para penjilat. Itu pengkhianat, karena dengan demikian kau sudah membantu para penjilat untuk memperkokoh kekuasaan Singasari.“

Tetapi Ki Waruju justru tertawa. Katanya, “Tetapi aku memang melakukannya. Bukan sekedar berbicara tentang hal itu.”

“Anak setan” geram prajurit itu, “kamipun akan melakukannya. Lihat, dalam waktu singkat, kedua orang itu akan menjadi mayat di pesanggrahannya. Pesanggrahan itu adalah milik orang Kediri. Mereka sudah menodainya dan mengotorinya."

Ki Waruju masih tertawa. Tetapi tiba-tiba tertawanya tertahan ketika prajurit itu membentaknya, “Diam. Kau kira aku hanya bergurau.”

“Tidak.” jawab Ki Waruju sambil menahan tertawanya, "aku percaya. Besok jika kalian berhasil, mudah-mudahan akibatnya akan menguntungkan Kediri.”

“Tentu. Jika kedua orang itu terbunuh, Singasari akan marah kepada Kediri. Bahkan kita berharap Singasari akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka Sri Baginda akan terpaksa membela diri, melawan Singasari. Kecuali jika Sri Baginda di Kediri benar-benar telah kehilangan harga dirinya. Menyerah untuk diikat dan digiring di sepanjang jalan dan akhirnya di gantung di alun-alun.”

Ki Waruju tidak tertawa lagi. Ia melihat prajurit itu berbicara dengan sungguh-sungguh. Jika ia masih mentertawakannya maka prajurit itu tentu akan marah kepadanya. Namun dalam itu, sesuatu sudah dapat ditangkapnya. Agaknya memang benar-benar ada rencana Pangeran Kuda Permati untuk menyingkirkan Mahisa Agni dan Witantra. Karena, itu, maka Ki Waruju pun kemudian mencari hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Untunglah bahwa kedua anak muda itu selalu mondar-mandir melintasi perbatasan yang semu, namun cukup berbahaya.

Ketika rencana itu diberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya menganggap bahwa berita itu adalah berita yang penting. Jadi atau tidak jadi rencana itu dilaksanakan, maka orang-orang Singasari yang berada di Kota Raja harus mengetahuinya. Dengan cepat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membawa berita itu kepada Pugutrawe. Didalam gelapnya malam keduanya telah kembali memasuki daerah Pangeran Panji Sempana Murti.

Pugutrawe pun sependapat, bahwa berita itu harus segera sampai kepada para utusan yang berada di Kediri. Karena itu, maka lewat jalur petugas sandi yang ada di Kediri, maka Pugutrawe ingin memasukkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke dalam lingkungan para pengawal yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan untuk menyampaikan sendiri berita yang diterimanya dari daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati.

Dengan kerja yang cermat, akhirnya para petugas sandi Singasari di Kediri berhasil menghubungi Mahisa Bungalan dan menyampaikan rencananya untuk menyerahkan dua orang anak muda yang akan menyampaikan berita yang sangat penting.

“Kau percaya kepada keduanya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Keduanya mempergunakan pertanda petugas sandi langsung dari para petugas sandi di Singasari” jawab petugas itu.

“Baiklah. Bawa mereka kemari. Tengah malam nanti. Aku menunggu kalian di luar regol, di bawah pohon asem di seberang jalan.” berkata Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah, pada tengah malam yang senyap, petugas itu telah membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menemui Mahisa Bungalan. Kedua anak muda itu sama sekali tidak terkejut, karena mereka tahu, bahwa mereka akan dipertemukan dengan Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan lah yang terkejut melihat kedua adiknya datang bersama petugas sandi yang pernah menghubunginya.

Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan seakan-akan ingin meyakinkan, bahwa yang datang itu keduanya memang adiknya. Sehingga karena itu, maka orang yang membawa kedua anak muda itu justru menjadi berdebar-debar.

“Kenapa dengan keduanya?” bertanya orang itu.

“Tidak apa-apa” jawab Mahisa Bungalan. Bahkan ia pun kemudian bertanya, “Aku percaya kepadamu, bahwa keduanya tidak akan berbahaya bagiku dan bagi kedua orang yang aku lindungi keselamatannya itu.

“Keduanya mengenakan pertanda” jawab orang itu, “jika terjadi sesuatu, maka dapat ditelusuri, cari dan pertanda itu diberikan oleh siapa” jawab orang itu.

“Baiklah. Terima kasih. Aku akan membawanya menghadap untuk memberikan keterangan sebagaimana pernah kau singgung sebelumnya.” jawab Mahisa Bungalan.

Demikianlah, maka orang yang menyerahkan kedua anak muda itupun meninggalkan Mahisa Bungalan, dan hilang dalam kegelapan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata tidak sempat bertanya tentang keadaan kakaknya itu. Demikian orang yang menyerahkan mereka itu hilang, maka Mahisa Bungalan telah berdesis, ”Ikuti aku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Bungalan telah melangkah menyeberangi jalan dan membawanya masuk kedalam regol sebuah istana yang diperuntukkan bagi kedua utusan dari Singasari. Dengan ketukan dua kali ganda, maka regol itu pun terbuka. Namun demikian, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki regol itu pula di belakang Mahisa Bungalan, beberapa ujung tombak telah mengarah ke tubuhnya.

“Biarkan mereka” desis Mahisa Bungalan. Ujung-ujung tombak itupun kemudian telah merunduk dan kedua orang anak muda itu melangkah terus mengikuti Mahisa Bungalan memasuki seketheng dan tiba di serambi. samping.

Baru ketika mereka sudah duduk di sebuah amben kayu diserambi Mahisa Bungalan bertanya, “Kenapa Kalian berada di sini?”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Sebagaimana dikatakan oleh orang yang membawa kami kemari. Kami telah menyatakan diri dalam tugas sandi“

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kalian telah memasuki satu arena petualangan yang sangat berbahaya. Jauh lebih berbahaya daripada kalian memasuki sarang sekelompok penjahat yang paling garang.”

“Kami menyadari” jawab Mahisa Murti, “tetapi kami merasa terpanggil untuk melakukannya. Ternyata dunia tugas terselubung ini sangat menarik.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk kecil. Ia dapat mengerti, bahwa agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ubahnya seperti dirinya sendiri pada umur yang sama, ingin mengalami peristiwa-peristiwa yang menggetarkan jantung mereka. Mereka ingin mendapat pengalaman hidup yang berkesan bagi masa depan mereka.

Mahisa Bungalan kemudian tidak lagi mempersoalkan, kenapa kedua orang adiknya itu telah melibatkan diri. Bahkan ia merasa bersyukur, bahwa dengan demikian ia dapat bertemu dengan kedua adiknya itu sebagaimana dipesankan oleh ayahnya. Yang ditanyakan Mahisa Bungalan kemudian adalah pesan yang ingin disampaikannya tentang persoalan yang menyangkut sekelompok petugas dari Singasari di Kediri.

Mahisa Murti pun kemudian menyampaikan sesuatu dengan keterangan yang diperolehnya, bahwa Pangeran Kuda Permati berniat untuk membinasakan kedua utusan dari Singasari yang beraada di Kediri.

“Apakah kau yakin?” bertanya Mahisa Bungalan, “dari mana kau mendapat keterangan tentang hal itu?”

“Dari lingkungan daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati” jawab Mahisa Murti, “tegasnya dari paman Waruju.“

“He, jadi Ki Waruju juga melibatkan diri dalam hal ini” Bertanya Mahisa Bungalan

“Ya. Tetapi paman Waruju bekerja atas kehendak sendiri tanpa ikatan dengan siapapun. Dengan suka rela ia berusaha untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang berarti yang kemudian disampaikan kepada kami berdua.” Mahisa Pukatlah yang menjawab.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian harus mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku tahu, bahwa Ki Waruju berusaha untuk membantu kalian berdua. Jika kalian berdua tidak memasuki tugas ini, maka agaknya Ki Waruju juga tidak akan mempertaruhkan dirinya untuk melakukan tugas yang demikian, Apalagi atas tanggung jawab sendiri.”

“Kami mengerti” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan paman Waruju tidak akan mengalami kesulitan dengan beban yang diletakkannya sendiri di pundaknya itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Keterangan dari Ki Waruju itu sangat kami hargai. Tetapi rencana Pangeran Kuda Permati itu akan sangat sulit dilakukan. Di lingkungan ini terdapat barak prajurit Kediri yang cukup kuat, yang memang dipersiapkan untuk melindungi kami apabila diperlukan. Seandainya Pangeran Kuda Permati dengan diam-diam menyerang kami, maka kami akan dapat sekedar bertahan sambil memberikan isyarat ke barak itu. Dengan cepat mereka akan datang dan menyapu pasukan Pangeran Kuda Permati.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merenung sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun menjawab, “Adanya prajurit dalam barak itu tentu sudah diketahui oleh Pangeran Kuda Permati. Karena itu, Pangeran itu tentu sudah memperhitungkannya.“

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau benar. Agaknya kami memang harus berhati-hati menghadapi rencana Pangeran Kuda Permati itu. Karena itu, marilah kita menghadap paman Mahisa Agni dan paman Witantra.“

Demikianlah, di hadapan Mahisa Agni dan Witantra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah melaporkan, apa yang mereka dengar tentang rencana Pangeran Kuda Permati. Seperti Mahisa Bungalan, maka keduanya memang menganggap bahwa mereka harus bersiap menghadapinya.

“Memang di bagian lain dari Kota Raja ini terdapat sepasukan prajurit Kediri” berkata Mahisa Agni, “tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap-siap. Meskipun jumlah kita tidak terlalu besar, tetapi mudah-mudahan kita akan dapat mempertahankan diri sendiri. Kita memang akan dapat menghadapi banyak sekali kemungkinan.“

“Karena itu, maka sebaiknya kau tetap berada di sini” berkata Witantra kemudian, “sehingga kau akan dapat melihat sendiri, apa yang telah terjadi. Bukankah dengan demikian kau akan dapat memberikan laporan terperinci tentang peristiwa yang terjadi itu?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Apakah hal itu akan menguntungkan tugasku? Jika ada di antara mereka yang dapat mengenali kami berdua, maka tugas-tugas kami selanjutnya akan sangat terbatasi. Mungkin orang yang mengenali kami itu akan dapat bertemu dengan kami pada suatu waktu di dalam daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati.“

Witantra merenungi pendapat itu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Memang kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi jika kalian memang masih berniat untuk meneruskan tugas-tugas kalian di kemudian hari, maka memang sebaiknya kalian tidak menampakkan diri di antara kami.“

“Itulah sebabnya, aku menerimanya pada waktu-waktu yang tidak mudah dilihat orang” berkata Mahisa Bungalan kemudian Lalu, “Meskipun sebelumnya aku tidak tahu, bahwa kedua orang petugas itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

“Baiklah” berkata Witantra kemudian, “bahkan jika demikian sebaiknya kalian tidak perlu terlalu lama di sini”

“Mereka akan kembali dan meninggalkan Kota Raja sebelum fajar” berkata Mahisa Bungalan.

Witantra mengangguk-angguk, sementara Mahisa Agni sempat memberikan pesan-pesan yang penting bagi kedua anak muda yang ternyata merasa sesuai dengan tugas sandi itu. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka sebelum fajar kedua anak muda itu telah minta diri untuk kembali ke tugasnya. Mahisa Bungalan mengantar keduanya ke seberang jalan serta melihat kemungkinan di sekitar istana itu, apakah kedua adiknya itu tidak akan mengalami kesulitan.

Ternyata bahwa Kota Raja masih tetap sepi. Tidak ada seorang pun yang lewat. Tetapi Mahisa Bungalan masih berpesan Hindari para peronda. "Kalian berdua tahu, apa yang harus kalian lakukan. Dalam keadaan yang gawat ini perondaan dan penjagaan telah diperketat.“

“Ya. Kami sudah mendapat petunjuk, jalan-jalan yang harus kami lalui untuk menghindari penjagaan,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi para peronda akan menyusuri jalan-jalan tanpa diketahui waktu dan arahnya” jawab Mahisa Bungalan.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa tugas mereka cukup berat. Bukan saja pada saat mereka memasuki Kota Raja. Tetapi saat mereka meninggalkan Kota Rajapun akan merupakan perjalanan yang rumit.

Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itupun telah meninggalkan Mahisa Bungalan, memasuki gelapnya malam di Kota Raja Kediri yang sepi. Namun pepohonan dan semak-semak di pekarangan sebelah menyebelah akan dapat menjadi tempat bersembunyi yang baik jika diperlukan.

Namun dalam pada itu, pesan yang disampaikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu merupakan pesan yang penting. Orang-orang Singasari semula tidak mengira, bahwa Pangeran Kuda Permati akan mempunyai rencana yang gila itu. Namun ternyata bahwa serangan itu bukannya tidak mungkin dilakukannya.

“Ada banyak cara untuk memancing perhatian pasukan Kediri itu” berkata Mahisa Bungalan kemudian setelah ia kembali menghadap Mahisa Agni dan Witantra.

“Ya. Tetapi kita tidak boleh melepaskan kepercayaan kita kepada mereka” berkata Mahisa Agni.

“Apakah hal ini dapat kita sampaikan kepada Senopati yang bertugas memimpin prajurit Kediri di barak itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni merenung sejenak. Namun iapun kemudian menggeleng sambil berkata, “Tidak dalam waktu yang dekat ini. Kita masih akan melihat suasana. Jika kita tergesa-gesa memberikan laporan, maka akan mungkin terjadi salah paham, karena bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang Kediri. Sementara itu kita akan dapat menunjukkan sumber keterangan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa kemungkinan terjadi salahpaham itu besar sekali. Bahkan mungkin laporan itu dianggap sebagai satu usaha untuk lebih menyudutkan keadaan Pangeran Kuda Permati sehingga akan timbul pertempuran yang lebih besar lagi. Apalagi apabila hal itu didengar oleh Pangeran Singa Narpada. Maka dapat terjadi, Pangeran Singa Narpada akan dengan serta merta bertindak.

Memang ada usaha Pugutrawe untuk menyusupkan berita tentang rencana itu kedalam pasukan Pangeran Singa, Narpada, sehingga Pangeran Singa Narpada akan dapat mempersiapkan diri. Tetapi Pugutrawe masih menjumpai beberapa kesulitan sehingga ia masih belum sempat menghubungi petugas sandi yang ada didalam lingkungan pasukan Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka ia akan dapat berbuat sejauh kemampuan yang ada didalam pasukan kecilnya.

Sebenarnyalah, sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Ki Waruju, maka Pangeran Kuda Permati memang bermaksud membinasakan utusan dari Singasari. Ia sudah berniat untuk merusak hubungan antara Singasari dan Kediri. Jika Singasari mengambil tindakan lebih jauh lagi, maka ia akan mendapat bahan untuk membakar hati rakyat Kediri, sehingga dengan demikian maka kedudukannya akan menjadi lebih kuat. Kediri akan benar-benar bangkit untuk melawan Singasari.

Sementara itu, ia akan melanjutkan perintah yang tertunda. Menghapuskan semua hutan di lereng pegunungan. Jika perlu bukan sekedar dengan penebangan. Tetapi hutan itu akan dapat dibakarnya saja. Dengan cermat Pangeran Kuda Permati membuat perhitungan-perhitungan yang teliti. Jika sekelompok prajuritnya menyerang orang-orang Singasari itu, maka segalanya harus berlangsung cepat. Sementara ia harus memancing pasukan yang mendapat tugas untuk setiap saat melindungi orang-orang Singasari itu untuk memalingkan perhatiannya dari tugas mereka.

Yang pertama-tama dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati adalah menghubungi orang-orangnya yang ada di dalam lingkungan para prajurit yang mendapat tugas melindungi orang-orang Singasari itu sendiri. Mereka harus membuat satu suasana, sehingga Panglima dari pasukan itu akan terpancing menjauhi istana yang dipergunakan oleh orang-orang Singasari di Kediri.

Hubungan yang luas dari Pangeran Kuda Permati di lingkungan para prajurit Kediri itulah yang selalu menyulitkan para prajurit Kediri. Demikian pula, rencana Pangeran Kuda Permati yang menyangkut keselamatan utusan dari Singasari itu.

Ketika semuanya sudah dipersiapkan dengan mantap, maka Pangeran Kuda Permati pun mulai dengan langkah-langkahnya. Ia mulai menyusupkan prajurit-prajuritnya memasuki kota Raja sebagaimana orang kebanyakan. Mereka berusaha untuk tinggal di rumah orang-orang yang menurut pengamatan mereka akan dapat melindungi mereka.

“Mereka harus sudah berada di dalam dinding Kota Raja berkata Pangeran Kuda Permati, sementara ia menyiapkan sebuah pasukan yang akan menyerang dan memecahkan pintu gerbang memasuki kota. Pasukan itulah yang harus dilawan oleh para prajurit Kediri yang disiapkan untuk melindungi para utusan di Kota Raja akan berhimpun dengan cepat dan memasuki istilah yang dipergunakan oleh para utusan dari Singasari.

Semuanya sudah diatur sebaik-baiknya. Pasukan yang akan memasuki Kota Raja lewat pintu gerbang pun telah disiapkan pula. Mereka tidak akan memasuki Kota lewat perbatasan Utara tetapi mereka akan memecahkan gerbang dari arah Timur. Menurut perhitungan mereka, arah timur akan memberikan kemungkinan lebih baik. Kecuali kesiagaan pasukan diperbatasan tidak sebagaimana dilakukan oleh Panji Sempana Murti, maka letak barak pasukan yang siap melindungi orang-orang Singasari itupun lebih dekat dengan pintu gerbang di sebelah Timur.

Ketika semua unsur dari gerakan itu-sudah siap, maka Pangeran Kuda Permati telah menentukan hari yang dikehendakinya. Menurut perhitungannya, orang-orangnya yang berada didalam Kota sudah cukup kuat untuk menghancurkan orang-orang Singasari yang berada di Kota Raja, sementara pasukannya yang akan memecahkan pintu gerbang pun cukup kuat untuk melindungi diri selagi mereka menarik pasukan itu mundur dan keluar dari pintu gerbang.

Namun bagaimanapun juga, kecermatan para petugas sandi memang mempengaruhi segala rencana. Dalam pertempuran yang demikian, maka para petugas sandi dari kedua belah pihak harus saling mengamati dengan cermat dan penuh perhitungan.

Hari-hari pun berjalan dengan penuh ketegangan bagi Pangeran Kuda Permati dan para pengikutnya. Ketika saat itu tiba maka pasukan yang cukup kuat pun telah dipersiapkan. Mereka akan mendekati gerbang sebelah Timur menjelang malam. Demikian gelap turun, maka mereka akan mulai dengan serangan mereka.

Sementara itu, orang-orang yang berada di dalam Kota Raja pun harus sudah siap menuju ke istana. Mereka akan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan untuk mendapat perintah-perintah terakhir. Demikian gerbang pecah dan pasukan di barak itu digerakkan untuk menyongsong mereka, maka pasukan itu akan memasuki istana.

Demikianlah, maka saat yang ditentukan itu akhirnya datang. Pasukan Pangeran Kuda Permati bergerak mendekati pintu gerbang melalui jalan-jalan yang sudah diperhitungkan. Menjelang gelap pasukan itu berada beberapa puluh tonggak dari pintu gerbang, sehingga pada saatnya gelap turun, pasukan itu benar-benar mendekati pintu gerbang dengan ratusan obor yang menyala.

Kedatangan pasukan itu telah mengejutkan para penjaga. Mereka tidak melihat sebelumnya. Yang mereka ketahui, tiba-tiba saja beratus-ratus obor itu sudah menyala di-hadapan mereka. Dengan serta merta, para penjaga telah membunyikan tanda bahaya. Kentongan pun melontarkan irama titir sebagai isyarat bahwa bahaya yang besar telah mengancam.

Pasukan yang bertugas diregol pun segera bersiap. Tetapi obor itu terlalu banyak, sehingga mereka tidak akan dapat melawan hanya dengan pasukan penjaga yang ada. Kedatangan pasukan itu memang tidak diduga sebelumnya oleh para prajurit. Mereka tidak menyangka, bahwa sekelompok pengikut Pangeran Kuda Permati akan dengan terang-terangan menyerang Kota Raja. Karena menurut perhitungan, betapapun kuatnya pasukan Pangeran Kuda Permati, namun mereka tidak akan mampu memecah pertahanan di batas Kota Raja.

Suara titir itu telah mengejutkan seisi Kota Raja. Prajurit di barak-barak pun segera mempersiapkan diri. Barak yang mendapat tugas untuk melindungi sekelompok utusan dari Singasari pun telah bersiap-siap pula. Namun beberapa orang di antara para perwira memang sudah disiapkan oleh Pangeran Kuda Permati. Mereka telah membuat satu suasana, sehingga pasukan itu bersiap untuk pergi ke belakang pintu gerbang.

“Biarlah hal itu dilakukan oleh mereka yang bertugas” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu, “tugas kita adalah melindungi utusan dari Singasari.“

“Mereka belum memasuki pintu gerbang” berkata seorang perwira yang berpengaruh, “kita akan dapat menahannya dengan tujuan yang sama.“

Senopati itu ragu-ragu. Namun ketika sejenak kemudian datang seorang petugas berlari-lari dan mengabarkan bahwa pasukan yang datang adalah pasukan yang kuat dengan beratus-ratus obor, maka Senopati itu berpikir ulang.

“Kita menahan mereka di pintu gerbang” berkata seorang perwira yang memang sudah mendapat pesan dari Pangeran Kuda Permati, “kita melindungi utusan dari Singasari dengan tidak memberi kesempatan pasukan itu memasuki gerbang Kota Raja.”

Senopati itu sempat membuat hubungan dengan beberapa orang Senopati yang lain lewat para penghubung berkuda. Namun akhirnya ia mengambil keputusan untuk membantu pasukan yang berada di pintu gerbang. Sementara itu, beberapa kesatuan telah berangkat lebih dahulu. Namun utusan yang datang berlari-lari itu mengabarkan bahwa pasukan lawan agaknya memang terlalu banyak.

“Pangeran Kuda Permati telah mengerahkan segenap kekuatannya” berkata petugas itu.

Senopati itu pun kemudian telah memerintahkan pasukannya untuk pergi ke pintu gerbang sebelah Timur. Tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan. Ia telah memerintahkan sekelompok pasukannya untuk tinggal. Bahkan mereka telah mendapat perintah untuk mengawasi langsung istana tempat orang-orang Singasari itu tinggal selama mereka berada di Kediri.

Demikianlah, sebagian besar dari pasukan itu telah berangkat menuju kepintu gerbang. Orang-orang Kediri memang tidak menyangka bahwa di dalam Kota Raja telah bertebaran para pengikut Pangeran Kuda Permati, justru yang terpilih untuk membinasakan orang-orang Singasari. Pasukan Kediri tidak membiarkan pasukan yang menyerang itu memasuki pintu gerbang. Karena itu, maka mereka pun telah keluar dari pintu gerbang dan menyambut serangan itu di luar batas dinding Kota Raja.

Sementara itu, titir itu pun menjadi isyarat bagi para pengikut Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian mereka memperhitungkan bahwa pasukan yang besar dari Pangeran Kuda Permati telah datang. Mereka mempercayakan kepada beberapa orang prajurit yang berpihak kepada Pangeran Kuda Permati yang berada di lingkungan pasukan yang justru harus melindungi para utusan dari Singasari, bahwa mereka akan berhasil mempengaruhi suasana pasukan itu sehingga mereka akan ikut menahan agar pasukan Pangeran Kuda Permati itu tidak masuk kedalam Kota Raja.

Namun pada saat yang demikian, dua orang anak muda tengah dengan tergesa-gesa mengendap-endap mendekati istana tempat utusan dari Singasari itu tinggal, diikuti oleh seorang petugas sandi yang telah berpengalaman. Mereka dengan susah payah akhirnya berhasil menyusup sampai ke-gerbang istana. Demikianlah petugas sandi itu pun kemudian mengetuk pintu gerbang istana itu dengan hati-hati.

“Siapa?” bertanya petugas didalam pintu gerbang.

“Aku” jawab petugas sandi itu. Ia tidak dapat mengucapkan isyarat sandi, karena ia yakin prajurit yang bertugas itu tidak akan mengenalnya. Karena itu, maka jawabnya, “Aku ingin bertemu dengan Mahisa Bungalan. Senopati yang memimpin pasukan pengawal dari Singasari. Ada sesuatu yang penting sekali harus aku sampaikan.”

Tetapi penjaga pintu gerbang itu tidak begitu saja mempercayainya. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka telah membuka lubang persegi empat yang terdapat pada pintu gerbang, yang memang merupakan semacam alat untuk melihat keluar bila terdapat keragu-raguan. Dari lubang kecil yang dibuka itu, para penjaga melihat tiga orang berdiri termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak bersenjata.

Penjaga itu ragu-ragu, sementara Mahisa Pukat mendesak, “Ada yang sangat penting. Beri kami kesempatan untuk berbicara dengan Mahisa Bungalan sebelum bencana itu datang.“

Penjaga itu masih saja ragu-ragu. Namun yang ada di-luar itu hanya tiga orang. Seandainya mereka curang, maka jumlah mereka hanya bertiga dan tidak bersenjata lagi. Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang bertanya dari halaman, “Ada apa?”

Penjaga itu berpaling. Mereka melihat Mahisa Bungalan dan dua orang pengawal berdiri tegak menghadap kepada para penjaga di regol.

“Tiga orang mencari tuan” berkata penjaga di regol itu.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian iapun mendekati gerbang dan melihat keluar lewat lubang persegi empat yang masih terbuka itu. Dari lubang itu ia melihat kedua adiknya diantar oleh seorang yang tentu petugas sandi dari Singasari.

Karena itu, maka katanya, “Biarlah mereka masuk.”

Para penjaga itupun segera membuka pintu gerbang yang besar dan berat itu. Dengan cepat, ketiga orang yang berada di luar pun segera meloncat masuk. Dengan segera pula pintu gerbang itu telah ditutup kembali dan diselarak dengan balok kayu yang besar dan berat.

“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Mahisa Bungalan ketika mereka telah berdiri di tengah-tengah halaman.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur perasaannya yang bergejolak. Kemudian katanya, “Kami hampir saja terlambat. Tetapi keterangan ini baru saja kami dengar.”

“Tentang apa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Serangan Pangeran Kuda Permati ke Kota Raja” jawab Mahisa Murti.

“Dan itu sudah terjadi” jawab Mahisa Bungalan.

Tetapi kami mendapat keterangan lain” berkata Mahisa Pukat” serangan ke pintu gerbang itu bukan tujuan utama. Kami mendapat keterangan, bahwa sebelumnya sekelompok prajurit telah berada di dalam dinding Kota Raja. Serangan itu sekedar menarik perhatian prajurit-prajurit Kediri, termasuk prajurit yang mendapat tugas untuk melindungi utusan dari Singasari ini. Prajurit-prajurit Kediri akan merasa lebih baik mengusir para pemberontak itu jangan sampai memasuki gerbang kota daripada harus bertempur di dalam kota. Namun mungkin mereka tidak mengetahui, bahwa sepasukan yang terpilih telah siap memasuki istana ini.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Apakah aku dapat mempercayai keterangan itu?"

”Nampaknya keterangan itu bukan keterangan yang dibuat-buat” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan pun kemudian dengan tergesa-gesa menghadap Mahisa Agni dan Witantra untuk mendapat pertimbangannya.

“Mungkin keterangan adik-adikmu itu benar” berkata Mahisa Agni, “nah, jika demikian, apa rencanamu?“

Mahisa Bungalan berpikir sejenak. Lalu katanya, “Tidak ada pilihan lain kecuali melawan mereka.“

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun katanya, “Apakah tidak sebaiknya kita mencari satu cara yang paling baik untuk melawan, karena mungkin mereka sudah memperhitungkan kekuatan yang ada pada kita sekarang ini.“

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bagaimana menurut paman berdua?“

Mahisa Agni memandang Witantra sejenak, lalu katanya, “Kita dapat menentukan satu cara yang paling baik untuk menghadapi mereka yang aku yakin, kekuatannya tentu sudah diperhitungkan.“

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang harus mencari cara yang paling baik untuk menghadapi kekuatan yang tentu lebih besar dari kekuatan kita."

Demikianlah, maka untuk sesaat Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan berunding untuk menentukan cara yang paling baik melawan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan mereka, sementara mereka tidak akan dapat mempercayakan diri kepada prajurit Kediri yang agaknya telah terpancing keluar kota menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati yang datang. Agaknya menurut perhitungan, memang lebih baik bertempur yang diluar pintu gerbang dan menghindari kerusakan-kerusakan yang dapat terjadi jika pertempuran itu terjadi di dalam Kota Raja.

Dalam pada itu, para pengikut Pangeran Kuda Permati yang telah lebih dahulu menyusup ke dalam kota telah berkumpul sebagaimana mereka rencanakan. Mereka menerima beberapa penjelasan dari seorang Senopati yang bertanggung jawab untuk memimpin pasukan kecil terpilih yang akan menghancurkan sekelompok utusan dari Singasa-riitu. Dengan tegas Senapati itu memerintahkan, bahwa serangan yang akan mereka lakukan merupakan serangan kilat yang tidak boleh gagal.

“Semua orang harus dibinasakan” perintah Senapati itu kita memang sengaja, memancing persoalan dengan Singasari.“

Peringatan itu cukup jelas. Karena itu, tidak seorang pun yang bertanya tentang tugas-tugas mereka. Mereka hanya akan melakukan satu tugas. Membinasakan orang-orang Singasari. Demikianlah, maka kelompok orang-orang terpilih itu-pun kemudian dengan segera menuju keistana-orang-orang Singasari yang berada di Kediri, justru pada saat prajurit-prajurit Kediri bertempur untuk menghalau para prajurit yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati.

Sekelompok orang-orang terpilih itu tidak menemui kesulitan. Mereka berhasil dengan tidak diketahui oleh siapapun juga merayap mendekati istana tempat para utusan dari Singasari tinggal selama mereka berada di Kediri. Sejenak kemudian orang-orang itu sudah mengepung istana itu. Mereka menunggu isyarat dari Senapati yang memimpin kelompok itu sambil mempersiapkan diri meloncati dinding halaman. Mereka tidak tidak perlu mengetuk pintu, berpura-pura atau dengan paksa memecahkan gerbang. Tetapi mereka akan bersama-sama meloncati dinding jika mereka sudah mendengar isyarat dari pimpinan mereka.

Ternyata mereka tidak menunggu terlalu lama. Segalanya memang harus terjadi dengan cepat. Sebelum orang-orang Kediri menyadari kekeliruannya, maka seisi istana itu harus sudah binasa. Sesaat kemudian telah terdengar suara suitan bersambut. Ketika Senapati yang memimpin pasukan itu bersuit, maka orang-orang di sebelah menyebelah telah menyahut dengan cara yang sama, sehingga beberapa saat kemudian, semua orang yang mengepung istana itu sudah mendengar.

Karena itu, maka dengan serta merta setiap orang yang telah mendengar isyarat itu pun segera berdiri dan meloncat memasuki halaman istana yang luas itu. Tetapi mereka sudah mendapat pengarahan dari pimpinan mereka, bahwa mereka harus melintasi halaman dan mengepung istana itu dengan rapat. Kemudian memasuki istana dan membinasakan semua orang yang ada di istana itu.

“Mungkin kita akan mendapat perlawanan yang gigih” berkata Senapatinya, “kita mengenal sifat para prajurit Singasari. Tetapi jumlah mereka terlalu sedikit untuk dapat bertahan.“

Dengan demikian, maka setelah orang-orang Kediri itu berada di halaman maka mereka pun segera mengepung istana yang dihuni oleh orang utusan dari Singasari itu. Namun orang-orang Kediri itu sudah mulai merasakan sesuatu yang aneh. ketika mereka meloncat masuk ke halaman istana, mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di halaman. Tidak ada prajurit yang bertugas di-regol dan tidak ada kesiagaan sama sekali dari para pengawal.

Menurut perhitungan mereka, setelah orang-orang Singasari itu mendengar suara kentongan yang dibunyikan oleh para petugas di gerbang Kota Raja, maka seharusnya mereka mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi halaman itu sama sekali tidak di jaga oleh seorangpun. Apakah ia petugas dari Kediri yang mendapat perintah untuk mengawal istana itu, maupun prajurit Singasari sendiri.

Tetapi mereka tidak sempat membicarakan dengan para Senapati. Sebagaimana yang diperintahkannya, maka. merekapun telah mengepung istana itu dan dengan satu perintah, maka mereka telah menyerbu masuk lewat beberapa pintu yang ada. Pintu pringgitan, pintu samping dan pintu-pintu butulan. Sebagian dari mereka menerobos memasuki longkangan lewat seketheng sedangkan yang lain menyusup kedalam dapur lewat pintu belakang. Sebagian yang lain telah mendorong dan membuka pintu-pintu gandok dan bangunan-bangunan yang lain yang ada di halaman itu.

Namun mereka benar-benar terkejut. Mereka tidak menemukan seorangpun di halaman manapun didalam istana itu. Senapati yang memimpin sergapan itupun telah memasuki pintu pringgitan dan langsung masuk ke ruang tengah. Namun yang mereka ketemukan adalah ruang yang kosong. Beberapa orang prajuritnya yang memasuki tiga buah senthong di bagian dalam istana itupun tidak menemukan seorang pun.

“Gila” geram Senapati itu, “apakah mereka mempunyai Aji penglimunan sehingga mereka dapat melenyapkan diri?“

Beberapa orang perwira pembantunya pun menjadi bingung. Seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang lebat telah berteriak, “Cari di seluruh halaman. Di kandang, lumbung dan pakiwan.“

Para prajurit terpilih itu pun telah berlari-larian dari satu bangunan ke bangunan yang lain. Namun mereka benar-benar tidak menemukan sesuatu.

“Anak iblis” Senapati itu mengumpat, “apa yang sebenarnya sudah terjadi?“

Dengan cepat ia memanggil semua perwira yang bertugas untuk membinasakan utusan dari Singasari itu. Mereka dengan jantung yang berdebaran berusaha untuk memecahkan teka-teki yang sedang mereka hadapi.

“Kita tidak mempunyai waktu banyak” geram Senapati yang memimpin pasukan kecil itu.

Tetapi para perwiranya tidak dapat memberikan jawaban atas peristiwa yang benar-benar di luar perhitungan mereka. Mereka sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi dan apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Namun dalam pada itu, dalam ketegangan itu salah seorang dari para perwira itu berdesis, “Agaknya ada pengkhianatan di antara kita. Orang-orang Singasari itu tentu sudah tahu, bahwa kita akan datang. Dengan demikian maka mereka sempat menghindarkan diri.“

Wajah Senopati yang memimpin pasukan itu menjadi semakin tegang. Dengan suara bergetar menahan kemarahan yang akan meledakkan dadanya ia berkata, “Ya. Aku sependapat. Tentu ada seorang di antara kita yang memasuki istana ini. Tetapi orang lain yang ikut membicarakan rencana ini.“

Para perwira itu tiba-tiba saja saling berpandangan di antara mereka. Seakan-akan mereka mencari, sipakah yang paling pantas untuk menjadi pengkhianat itu. Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang pantas dicurigai. Namun sejenak kemudian, Senopati yang memimpin pasukan itupun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak dapat berdiam diri dan termangu-mangu seperti ini. Kita harus berbuat sesuatu.”

“Agaknya kehadirannya kita sudah diketahui” berkata salah seorang perwira, “karena itu, kita tidak boleh terlambat. Kita harus menghindar dari kemungkinan yang lebih buruk dari kekecewaan ini. Mumpung di pintu gerbang sebelah Timur terjadi pertempuran. Kita akan dapat menggabungkan diri sehingga kita akan mendapat kesempatan untuk bersama-sama mereka mengundurkan diri.”

“Apakah kita akan mengorbankan tugas kita?” bertanya Senopati yang memimpin pasukan itu.

“Apa yang dapat kita lakukan di sini? Kita tidak menemukan seorangpun? Jika kita meninggalkan Kota Raja, bukan karena kita gentar menghadapi tugas ini. Kita sudah sampai di arena. Tetapi kita tidak mendapatkan lawan. Sasaran yang harus kita hadapi sama sekali tidak kita ketemukan. Lalu apa lagi?” sahut perwira itu.

Senopati yang memimpin pasukan itu mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan lain. Bukan sebaiknya mereka membunuh diri, dengan menunggu para prajurit Kediri siap mengepung dan menumpas mereka. Karena itu, maka merekapun kemudian mengambil satu keputusan yang akan mereka pertanggung jawabkan bersama. Menarik diri dan keluar dari Kota Raja. Dengan demikian, maka Senopati yang memimpin pasukan itupun kemudian memerintahkan untuk memanggil semua orang di dalam pasukannya.

“Mereka masih bertebaran di setiap bangunan yang ada di halaman ini” berkata seorang perwira.

“Kumpulkan mereka” perintah Senopati itu.

Para perwirapun kemudian menebar. Mereka memberikan isyarat untuk memanggil orang-orang mereka yang bertebaran di halaman dan disetiap bangunan istana yang dipergunakan oleh orang-orang Singasari itu. Beberapa saat kemudian, maka beberapa bagian dari para prajurit itu sudah berkumpul. Tetapi ada beberapa orang yang masih belum hadir di antara mereka, sehingga para perwira terpaksa memberikan isyarat ulangan.

Sekali lagi para perwira memberikan isyarat agar setiap orang berkumpul di halaman depan. Namun beberapa orang masih tidak segera datang berkumpul bersama kawan-kawannya.

“Cari mereka” bentak seorang perwira, “apakah mereka tertidur?“

Para prajurit yang sudah berkumpul itupun telah menebar lagi untuk memanggil beberapa orang kawan mereka yang belum hadir. Namun tiba-tiba para perwira itu terkejut. Dua orang prajurit telah datang berlari-lari menemui para perwira, nafasnya terengah-engah dani’ wajahnya membayangkan kegelisahan hatinya. Para perwira itupun menjadi tegang. Jika prajurit terpilih menjadi seperti orang ketakutan maka tentu ada sesuatu yang sangat penting telah terjadi.

“Ada apa? Katakan” desak salah seorang perwira.

“Kami menemukan dua orang kawan kami terbaring dilumbung dalam keadaan luka-luka. Agaknya keduanya tidak sempat mengadakan perlawanan ketika mereka ditusuk dari belakang” jawab salah seorang di antara mereka.

Wajah perwira itu menjadi merah seperti bara dalam cahaya obor di pendapa. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, maka orang lain telah datang dengan gelisah dan memberikan laporan yang hampir sama, “Disudut longkangan, seorang kawan kami mengerang kesakitan.“

“Dan kau lari terbirit-birit seperti anjing dilempar batu?” perwira itu semakin marah.

“Tidak. Aku mencari seseorang yang mungkin melakukannya. Tetapi aku tidak menemukannya” jawab prajurit itu.

Sementara itu, salah seorang dari dua orang prajurit yang terdahulu berkata, “Kami sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi kami memang tergesa-gesa memberikan laporan. Tentu masih ada lawan di halaman ini yang bersembunyi dengan cara mereka sendiri.“

Para perwira dan Senapati yang memimpin pasukan Kediri terpilih yang menjadi pengikut Pengeran Kuda Permati itu termangu-mangu. Namun kemudian Senapati yang memimpin pasukan itu berkata, “Ya. Aku sependapat. Tentu masih ada lawan tersembunyi. Jika demikian, kita akan mencari mereka sekali lagi dengan lebih teliti.“

Maka perintahpun sekali lagi dijatuhkan. Pasukan terpilih itu harus mencari orang-orang yang telah menyerang kawan-kawan mereka.

“Jangan dungu. Mereka masih ada didalam halaman ini” berkata Senapati itu dengan tegas. Lalu, “Kita ternyata adalah orang-orang yang dibayangi oleh perasaan takut dibalik kesombongan kita yang mendapat julukan prajurit terpilih. Dalam suasana seperti ini kita tidak dapat ingkar, sehingga dalam melakukan tugas kita di istana ini sangat mengecewakan. Dengan tergesa-gesa kita mengambil kesimpulan bahwa istana ini kosong, karena kita ingin segera meninggalkan tempat yang mungkin dapat membahayakan jiwa kita ini.”

Para perwira dan para prajurit itupun merasa betapa mereka dibayangi oleh ketergesa-gesaan sikap karena suasana yang memang mendebarkan itu. Karena itu, maka mereka pun berjanji kepada diri sendidri untuk menunjukkan bahwa mereka memang prajurit terpilih. Demikianlah, maka para perwira itu pun telah menyampaikan perintah itu kepada kelompoknya masing-masing dengan penuh kesungguhan.

Sekali lagi dengan dibebani julukan pada diri masing-masing sebagai prajurit pilihan, maka mereka telah menebar diseluruh halaman. Sebenarnyalah, beberapa orang diantara mereka telah terbaring dengan luka-luka di tubuh mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sudah tidak mungkin lagi untuk ditolong jiwanya.

Para pengikut Pengeran Kuda Permati itu tidak ingin lagi disebut sebagai orang-orang sombong yang pengecut. Karena itu, mereka telah mencari lawan-lawan mereka, orang-orang Singasari dengan lebih teliti.

Ternyata bahwa akhirnya mereka pun menemukan orang-orang Singasari itu. Mereka bersembunyi di dalam bangunan-bangunan yang ada, di sudut-sudut ruangan di belakang geledeg dan bahkan sebagian ada yang bersembunyi di atap yang terlindung oleh kegelapan, karena lampu minyak yang nyalanya tidak cukup memberikan penerangan. Mereka meloncat dan menikam para prajurit terpilih itu, untuk kemudian bersembunyi lagi, sehingga dengan demikian maka mereka telah berhasil mengurangi jumlah lawan mereka.

Namun ketika sekali lagi para prajurit terpilih dengan marah memasuki setiap bangunan, maka mereka tidak lagi dapat tetap menyembunyikan diri. Para pengikut Pangeran Kuda Permati itu akan menilik setiap lekuk dan setiap sudut yang dibayangi oleh kegelapan. Bukan saja sekedar membuka pintu dan melihat seluruh ruangan dengan sepintas. Tetapi ternyata bahwa setiap bangunan mempunyai lekuk dan sudut yang cukup banyak untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang Singasari yang ada diistana itu.

Dengan demikian, maka pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Dalam keadaan demikian, maka orang-orang Singasari lah yang kemudian membunyikan isyarat, sehingga tiba-tiba saja beberapa orang telah berloncat dari atap-atap bangunan di halaman itu dengan senjata telanjang. Namun sergapan yang tiba-tiba dari orang-orang Singasari ternyata mampu mengejutkan orang-orang Kediri dan sejumlah di antara mereka dengan serta merta dapat dilumpuhkan.

Pertempuran yang sengit tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak adalah pasukan terpilih. Orang-orang Kediri merupakan orang-orang pilihan untuk menghancurkan sekelompok prajurit dari Singasari, sementara sekelompok kecil orang-orang Singasari yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan itulah memang prajurit pilihan pula. Dengan demikian, maka pertempuran terjadi dengan sengitnya. Kedua belah pihak telah menunjukkan kemampuan mereka sebagai prajurit pilihan.

“Licik” geram Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati, “mereka telah menyergap dengan diam diam setelah mereka bersembunyi di atap bangunan-bangunan yang ada.”

Namun dalam pada itu, seorang prajurit muda dari Singasari telah meloncat dari sebatang pohon di halaman, langsung berlari kearahnya sambil berkata lantang, “Kau yang memimpin sekelompok pemberontak ini.“

“Persetan orang-orang licik dan pengecut” geram Senapati itu, “kenapa kalian bersembunyi dan menyergap dengan diam-diam dari persembunyian kalian dan menikam punggung.“

“Apakah kau tidak melakukan hal yang sama? Menyerang istana ini dengan diam-diam justru pada saat kawan-kawanmu berhasil memancing perhatian pasukan Kediri yang setia kepada Sri Baginda di Kediri?“

“Persetan” geram Senapati itu sambil mengacukan pedangnya, “siapa kau?”

“Mahisa Bungalan” jawab prajurit muda itu "akulah yagn bertanggung jawab atas sekelompok kecil pasukan Singasari yang mengawal kedua utusan itu.”

“Bagus” sahut Senapati itu, “kalau begitu kaulah yang pertama kali harus mati.“

”Orang-orangmu sudah ada yang mati” jawab Mahisa Bungalan.

Senapati itu menggeram. Ia sudah mengerti bahwa memang sudah ada orang-orangnya yang terbunuh dan terluka parah. Sementara itu pertempuran di seluruh bagian halaman itu sudah terjadi. Tetapi Senapati itu yakin, bahwa orang-orangnya akan dapat menyelesaikan tugas mereka, karena jumlah mereka cukup banyak. Meskipun dalam sergapan pertama orang-orangnya sudah berjatuhan, namun prajurit Kediri pilihan itu tentu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik.

Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian dengan sepenuh kemampuannya telah mengahadapi Mahisa Bungalan, yang mengaku sebagai pemimpin dari para prajurit pengawal dari Singasari. Ternyata Senapati dari Singasari itupun adalah Senapati pilihan. Karena itu, maka Mahisa Bungalan segera menempatkan diri sebagai lawan yang seimbang dari Senapati Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati itu.

Namun dalam pada itu, ada satu hal yang semula kurang diperhitungkan oleh Pangeran Kuda Permati. Pangeran Kuda Permati melupakan, siapakah Mahisa Agni dan Witantra. Menurut perhitungan Pangeran Kuda Permati, kedua orang itu adalah utusan dari antara pemimpin pemerintahan di Singasari yang pernah berada di Kediri. Tetapi Pangeran Kuda Permati lupa memperhitungkan keduanya sebagai dua orang yang memiliki ilmu tiada taranya. Itulah sebabnya, maka ketika Mahisa Agni dan Witantra berada di antara hiruk pikuk pertempuran, maka para prajurit Singasari yang disebut sebagai pengawal-pengawal mereka sama sekali tidak mencemaskan keduanya.

Namun dalam pada itu, orang-orang Singasari itu tidak ingin menyelesaikan tugas mereka tanpa saksi orang-orang Kediri sendiri. Karena itu, sebelum segalanya itu terjadi, Mahisa Bungalan telah mengirimkan dua orang utusan yang dengan diam-diam harus pergi ke barak pasukan yang mendapat tugas untuk melindungi mereka.

“Jika barak itu kosong, cepatlah kembali” perintah Mahisa Bungalan, “kita akan bertahan dengan kekuatan kita sendiri. Tetapi kita harus mempunyai akal yang tepat untuk menyergap mereka. Tetapi jika barak itu isi, laporkan apa yang akan terjadi di sini.“

Demikianlah, kedua utusan itu telah sampai ke barak pasukan Kediri yang telah meninggalkan barak mereka untuk pergi ke pintu gerbang sebelah Timur. Sesuai dengan pendapat beberapa orang perwira, mereka akan mengusir orang-orang Kediri sebelum mereka memasuki pintu gerbang sebagai salah satu cara untuk melindungi para utusan dari Singasari itu. Namun demikian, ternyata Senapati yang menjadi panglima pasukan di barak itu telah meninggalkan sekelompok di antara pasukannya untuk mengambil langkah-langkah jika diperlukan.

Kedatangan kedua orang prajurit Singasari itu telah mengejutkan mereka. Pemimpin kelompok pasukan yang ditinggalkan itu dengan cepat telah memanggil pasukannya dan mempersiapkan mereka untuk melakukan satu tugas yang justru tugas mereka yang sebenarnya.

“Kita akan pergi ke istana itu” berkata pemimpin kelompok pasukan yang ditinggalkan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi bersama-sama dengan para pengwal dari Singasari sendiri, mereka akan dapat mengatasi orang-orang yang berusaha menyergap utusan dari Singasari itu. Dengan tergesa-gesa pasukan itu pun segera pergi ke istana yang diperuntukkan bagi utusan dari Singasari itu. Mereka langsung pergi ke pintu gerbang halaman istana yang sudah terbuka setelah pertempuran itu terjadi.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya pemimpin kelompok pasukan Kediri itu.

“Ternyata mereka benar-benar telah datang. Pertempuran telah terjadi,” jawab prajurit Singasari yang mengabarkan kemungkinan itu kepada para prajurit Kediri.

Pemimpin sekelompok prajurit Kediri itu mengangguk-angguk. Kemudian ia pun memberikan pesan-pesan singkat kepada pasukannya. “Nah, sekarang kalian dapat memasukki regol halaman itu. Tetapi hati-hatilah. Demikian kalian melangkahi regol, maka kalian sudah memasuki-arena.“

Seorang prajurit tiba-tiba saja bertanya, “Kenapa kita tidak memanjat dinding dan memasuki halaman itu dari banyak arah?”

Pemimpin kelompok itu agaknya mempertibangkannya. Kemudian katanya, “Baiklah. Lakukanlah.“

Demikianlah pasukan yang jumlahnya tidak banyak itu menebar. Mereka kemudian dengan serta merta telah memasuki halaman istana tidak melalui regol, tetapi justru berloncatan dari beberapa arah.

Kedatangan para prajurit Kediri itu memang mengejutkan. Namun pemimpin pasukan Kediri yang jumlahnya hanya sedikit itu sempat berteriak dari atas dinding halaman disamping regol, “Sayang, kami telah terpancing untuk menyambut kedatangan pasukan Kediri di gerbang Kota Raja. Namun sekelompok kecil ini hendaknya akan membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi di sini?"

Sejenak kemudian, maka pasukan kecil itu sudah berloncatan menghambur memasuki arena di halaman istana itu. Orang-orang yang sedang bertempur di halaman istana itu sempat berpaling. Dalam cahaya obor mereka sempat melihat beberapa orang berloncatan. Memang tidak terlalu banyak, karena pasukan di dalam barak itu telah mendapat perintah untuk pergi ke gerbang. Hanya sekelompok kecil saja yang ditinggalkan. Itupun masih harus terbagi. Beberapa di antara mereka tetap berada di barak, karena barak mereka tidak boleh kosong sama sekali.

Meskipun demikian, meskipun yang datang ke halaman itu hanya sekelompok kecil, tetapi hal itu akan sangat berarti bagi orang-orang Singasari yang jumlahnya memang hanya sedikit. Meskipun mereka sempat menyergap lebih dahulu dan mengurangi jumlah lawan, tetapi jumlah lawan mereka masih tetap terlalu banyak. Namun dengan kehadiran sekelompok kecil prajurit Kediri itu, maka imbangan antara keduanya menjadi lebih dekat, meskipun masih belum seimbang sepenuhnya.

Tetapi meskipun jumlahnya masih berselisih, namun ternyata bahwa pasukan Singasari yang terdiri dari prajurit pilihan ditambah dengan prajurit Kediri itu, merupakan kekuatan yang mengejutkan bagi para pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi merekapun adalah prajurit pilihan. Karena itu, maka kedatangan sekelompok kecil prajurit Kediri itu sama sekali tidak menggetarkan mereka. Apalagi mereka sudah terbiasa mendapat pujian, bahwa mereka adalah prajurit pilihan yang tidak ada duanya di Kediri. Sementara prajurit Kediri yang berloncatan memasuki halaman itu adalah prajurit biasa.

Namun yang prajurit biasa itupun adalah prajurit yang telah ditempa oleh latihan-latihan yang cukup berat, sehingga karena itu, maka mereka pun tidak mudah pula untuk merasa dirinya terlalu kecil. Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin lama semakin seru. Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Senopati dari pasukan pengikut Pangeran Kuda Permati itupun telah sampai pula pada puncak kemampuannya, sebagaimana juga lawannya. Keduanya adalah orang-orang pilihan, sehingga keduanya mampu bergerak secepat angin pusaran. Saling menyerang dan saling mendesak.

Sementara itu, di seluruh halaman telah terjadi pula pertempuran yang sengit. Namun ternyata bahwa prajurit Singasari yang mengawal kedua utusan itu benar-benar prajurit terpilih dari prajurit pilihan. Mereka memiliki ilmu yang tinggi baik secara pribadi maupun sebagai seorang prajurit yang bertempur dalam kelompok-kelompoknya.

Tetapi sebenarnyalah orang yang paling berbahaya diantara mereka adalah orang-orang yang justru harus mereka lindungi. Mahisa Agni dan Witantra. Untuk beberapa saat Mahisa Agni dan Witantra masih belum menunjukkan tingkat kemampuan mereka yang sebenarnya. Tetapi dalam hiruk pikuk pertempuran yang merata di luar dan di dalam bangunan-bangunan yang ada. Mahisa Agni dan Witantra sudah cukup membuat lawan-lawan mereka yang berusaha menyerangnya kebingungan.

Namun ketika pertempuran menjadi semakin sengit, sementara jumlah pasukan para pengikut Pangeran Kuda Permati yang lebih besar itu mulai mendesak, maka Mahisa Agni mulai terpanggil untuk memasuki arena lebih dalam lagi.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “sebelum korban berjatuhan.“

Witantra mengangguk. Ia pun mengerti apa yang harus dilakukannya, karena selama itu mereka baru sekedar bermain-main.

“Apa boleh buat” berkata Mahisa Agni, “tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan membiarkan selain diri kita sendiri, juga para pengawal.“

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni dan Witantra pun melangkah ke arah yang berbeda. Keduanya harus menyesuaikan diri pada tingkatkan pertempuran yang menjadi semakin seru itu. Namun justru dalam kedudukan yang sebaliknya. Mahisa Agni dan Witantra lah yang kemudian harus menjaga agar korban dipihaknya tidak terlalu banyak jatuh.

Ketika kemudian Mahisa Agni memasuki arena di halaman samping dari istana itu, maka beberapa orang langsung datang menyerangnya. Tetapi Mahisa Agni sudah memutuskan, bahwa ia akan ikut dalam pertempuran itu. Jika tidak, maka korban akan menjadi sangat besar pada orang-orang Singasari yang jumlahnya lebih sedikit dari orang-orang Kediri, meskipun bersama mereka telah bertempur prajurit Kediri pula. Sejenak Mahisa Agni memperhatikan pertempuran itu. Namun kemudian maka ia pun mulai bersikap.

“Inilah salah seorang di antara mereka yang kita cari” tiba-tiba saja salah seorang di antara para pengikut Pangeran Kuda Permati itu berteriak, “aku sudah pernah mengenalinya. Akulah yang kemarin memasuki halaman ini sebagai penjual buah-buahan. Aku melihat orang ini dan dari pembicaraan yang aku dengar, maka orang inilah yang bernama Mahisa Agni.“

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kau mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang sangat tinggi. Aku memang Mahisa Agni.“

“Bagus. Kau adalah satu di antara dua orang yang harus kami binasakan.” teriak orang itu.

“Apa salahku?” bertanya Mahisa Agni.

Orang Kediri itu termangu-mangu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia akan mendapatkan pertanyaan yang demikian. Namun orang itupun kemudian menjawab, “Mungkin secara pribadi kau tidak bersalah. Tetapi sikap Singasari memang sangat menyakitkan hati.“

“Apa yang dilakukan oleh Singasari terhadap Kediri?“ bertanya Mahisa Agni pula.

“Jangan berpura-pura. Bersiaplah untuk mati.” geram orang Kediri itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.