Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 20

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 20 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 20
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Sebaiknya kau berpikir baik–baik.“

“Jangan merajuk. Aku akan membunuhmu dengan apapun yang kau katakan” jawab orang itu.

“Jadi sebelum malam ini kau sudah pernah memasuki istana ini sebagai penjual buah-buahan?” bertanya Mahisa Agni tiba-tiba.

“Ya. Sebagai petugas sandi untuk mengetahui serba sedikit tentang keadaanmu dan keadaan pasukan pengawalmu. Dan karena nasibmu memang buruk, aku dapat mengenalimu sekarang” jawab orang itu.

“Apakah kau tidak mempunyai pertimbangan lain?” bertanya Mahisa Agni pula

Orang itu menggeram. Katanya, “Aku tidak mempunyai waktu lagi. Jangan memperpanjang waktu. Kau kira dengan demikian kau akan selamat? Saat ini pertempuran terjadi diseluruh lingkungan istana ini. Sebentar lagi semua pengawalmu mati terbunuh. Tetapi aku adalah salah seorang yang akan mendapat hadiah tertinggi, karena aku membunuh Mahisa Agni. Bahkan mungkin kemudian aku akan berkesempatan untuk membunuh orang yang bernama Witantra itu juga.“

Mahisa Agni pun tidak menjawab. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Menilik sikapnya orang itu tentu seorang prajurit pilihan. Mahisa Agni bergeser ketika orang itu melangkah maju. Sikapnya memang meyakinkan. Apalagi dengan sebilah pedang ditangan.

“Nasibmu memang buruk” geram orang itu, “agaknya kau tidak terbiasa berada di medan, sehingga kau tidak bersiap membawa senjata apapun. Tetapi aku tidak peduli. Kau akan mati.”

Orang itu tidak menunggu jawaban. Dengan garangnya ia meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Tetapi orang itu terkejut. Ia telah yakin bahwa dengan sekali tusuk, orang yang namanya Mahisa Agni, seorang pemimpin pemerintahan di Singasari itu akan tertembus pedang dari dada sampai kepunggungnya. Namun ternyata bahwa dugaannya itu salah. Pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasarannya meskipun nampaknya Mahisa Agni itu tidak bergerak.

“Setan” geram orang itu, “kau mampu mengelak?”

“Setiap orang akan berusaha,” jawab Mahisa Agni. Kemudian tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, “Ki Sanak. Berapa umurmu sekarang?”

“Persetan dengan umur,” orang itu mengumpat.

“Maksudku, apa memang benar kau belum pernah mendengar namaku pada saat aku bertugas di Kediri beberapa waktu yang lampau.” bertanya Mahisa Agni pula.

“Mati kau” sekali lagi orang itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Tetapi sekali lagi senjatanya itu tidak mengenai sasarannya. Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Tetapi akhirnya ia menyadari. Menilik sikapnya, wajah dan pandangan mata Mahisa Agni, maka orang itu tentu bukan seorang pemimpin pemerintah yang menjadi utusan ke Kediri dengan dikawal oleh sepasukan kecil prajurit. Akan tetapi orang yang bernama Mahisa Agni itu sendiri tentu seorang yang mempunyai kemampuan seorang prajurit.

“Kau ternyata seorang yang sangat sombong” geram orang Kediri itu, “kau ingin menunjukkan kepadaku, bahwa kau juga mempunyai kemampuan dalal olah kanuragan meskipun kau adalah utusan dari Singasari dalam hubungan dengan pemerintahan.”

“Setiap orang Singasari adalah prajurit” berkata Mahisa Agni, “karena itu, maka aku pun seorang prajurit. Karena disini terjadi pertempuran, maka aku pun akan bertempur sebagaimana seorang prajurit bertempur.”

Orang itu tidak mau mendengarkan kata-kata Mahisa Agni sampai yang terakhir. Ia pun kemudian meloncat bagaikan menerkam dengan pedang yang terjulur lurus kedepan. Tetapi yang terjadi sangat mengejutkannya. Sasarannya itu mampu meloncat jauh lebih cepat dari loncatannya sendiri. Ia melihat gerakan orang yang bernama Mahisa Agni itu. Tetapi karena ia sendiri sedang meluncur dalam dorongan kekuatan sendiri, maka ia tidak dapat banyak berbuat ketika tiba-tiba saja Mahisa Agni memotong serangannya.

Orang Kediri itu menyadari keadaan dirinya kemudian ketika senjata telah terlepas, dan lebih daripada itu, senjatanya ternyata sudah berada di tangan Mahisa Agni. Hanya pergelangan tangannya sajalah yang terasa sangat sakit.

“Maaf Ki Sanak” berkata Mahisa Agni, “karena aku tidak membawa senjata, aku pinjam senjatamu.”

Wajah orang itu menjadi merah padam. Sebagai seorang prajurit pilihan, maka yang terjadi itu benar-benar satu penghinaan. Namun ternyata ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang telah terjadi itu. Senjatanya memang terlepas dari tangannya, bahkan telah jatuh ke-tangan lawannya.

Sejenak orang itu memandang Mahisa Agni. Barulah ia yakin bahwa Mahisa Agni bukannya seorang pemimpin pemerintahan yang kedudukannya terpisah dari unsur keprajuritan. Namun orang yang bernama Mahisa Agni itu tentu seorang prajurit linuwih. Ia mampu mengambil senjatanya justru pada saat ia menyerangnya begitu mudahnya seperti mengambil makanan dari dalam gledeg di dapur.

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berteriak, “He, dengar, orang inilah, yang bernama Mahisa Agni, yang harus kita binasakan bersama. Seorang di antara dua orang utusan dari Singasari yang mendapat perlindungan sekelompok kecil prajurit Singasari dan orang-orang Kediri yang menjadi penjilat.”

Beberapa orang mendengarnya. Sementara karena jumlah orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati memang lebih banyak, maka beberapa orang berkesempatan mendekati Mahisa Agni yang sudah menggengam senjata prajurit yang menyerangnya itu.

“Hati-hati” desis prajurit yang kehilangan senjatanya itu ketika, beberapa orang mendekatinya.

Sementara orang-orang Singasari sendiri membiarkannya saja beberapa orang mengepung Mahisa Agni, karena orang-orang Singasari itu tahu dengan pasti kemampuan Mahisa Agni sebagaimana juga kemampuan Witantra.

“Kenapa?” bertanya salah seorang kawannya.

“Orang itu sangat berbahaya” jawab prajurit yang kehilangan senjatanya.

“Dan kau menghadapinya tanpa senjata” desis kawannya yang lain.

Prajurit itu ragu-ragu sejenak untuk mengatakan bahwa senjatanya telah dirampas oleh Mahisa Agni, karena kawan-kawannya yang belum membuktikan kemampuan orang Singasari itu tentu akan mentertawakannya. Karena itu, maka katanya, “Senjataku sudah patah ketika aku bertempur melawan tiga orang sebelum orang ini datang. Ketika aku berhasil menyelesaikan ketiga orang lawanku, aku melemparkan senjataku yang patah namun yang masih juga mampu melawan tiga orang Kediri penjilat itu.”

“Kau bunuh mereka?” bertanya kawannya, yang lain.

Sekali lagi orang itu ragu-ragu. Tidak, ada sesosok mayat pun yang ada didekatnya. Maka katanya, “Mereka melarikan diri. Seorang di antaranya tentu terluka parah, karena pedangku yang patah, yang aku lontarkan berhasil mengenai pundaknya".

Kawan-kawannya tidak sempat bertanya lebih panjang lagi. Mereka mulai memperhatikan Mahisa Agni yang berdiri tegak dengan pedang ditangannya.

Namun Mahisa Agni sempat tersenyum mendengarkan prajurit itu membual. Bahkan ia sempat berkata, “Ya. Aku melihat sendiri bagaimana ketiga orang lawannya lari terbirit-birit.”

“Gila” geram prajurit yang kehilangan pedangnya itu.

Namun kawan-kawannya tidak memperhatikannya. Mereka mulai mendekati Mahisa Agni dengan senjata masing-masing, sementara prajurit yang kehilangan senjatanya itu berusaha untuk mendapatkan gantinya. Ia berlari -lari kearah sesosok tubuh yang terbaring di pinggir arena, sementara senjatanya, sebatang tombak pendek tergolek di sebelahnya.

Tetapi ketika ia mengambil tombak itu, ternyata tubuh yang terbaring itu masih mengerang sambil berkata, “Jangan kau ambil senjataku.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berjongkok sambil berdesis, “Aku pinjam tombakmu.”

Yang terluka parah itu beringsut. Tetapi ternyata tubuhnya sudah terlalu parah. Karena itu, maka prajurit yang kehilangan senjatanya itupun sempat, menolong orang itu beringsut dan menyandarkannya pada sebatang pohon.

“Bertahanlah. Sebentar lagi kita selesai. Orang-orang Kediri yang tangguh akan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Aku akan membunuh dengan tanganku sendiri, orang yang bernama Mahisa Agni.”

Dengan demikian, maka ia pun segera meloncat berlari sambil menjinjing tombak pendeknya. Namun orang itu tidak pernah bertemu lagi dengan Mahisa Agni, karena tiba-tiba saja seorang prajurit Singasari telah memotong langkahnya. Prajurit Kediri itu tidak dapat menolak. Ketika prajurit Singasari itu menyerang, maka ia pun harus melawan dengan tombak pendeknya.

Namun ia masih sempat melihat ke arah pertempuran antara beberapa orang kawannya melawan Mahisa Agni. Namun hanya sekilas. Apalagi dalam keremangan malam. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan, apa yang telah terjadi.

Sebenarnya beruntunglah prajurit itu. Ia mendapat lawan yang seimbang sehingga ia mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya untuk menang atau kalah. Sedangkan kawan-kawannya yang bertempur melawan Mahisa Agni sama sekali tidak mendapat kesempatan apapun. Mahisa Agni memang tidak ingin memperpanjang waktu pertempuran. Ia mulai melumpuhkan lawan-lawannya seorang demi seorang.

Meskipun niat Mahisa Agni yang utama tidak untuk membunuh tetapi dalam pertempuran yang kemudian menjadi keras, kemungkinan itu dapat terjadi atas lawan-lawannya. Satu dua orang terlempar dengan darah membasahi tubuh mereka. Tetapi mereka masih sempat untuk merangkak menyingkir dari arena. Tetapi ada di antara mereka yang terpelanting dan tidak akan dapat bangun untuk selamanya.

Dengan demikian maka orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati itu menyadari, bahwa orang yang bernama Mahisa Agni itu adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Sebelum mereka berangkat, memang mereka mendapat pesan untuk berhati-hati menghadapi orang yang bernama Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa kemampuan kedua orang itu begitu tinggi.

Yang terjadi di bagian lain dari pertempuran itupun tidak banyak berbeda. Witantra pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Agni. Sekelompok orang yang bertempur melawan Witantra tidak banyak memberikan perlawanan ketika Witantra dengan sungguh-sungguh menyerang mereka.

Sementara itu pertempuran yang terjadi di seluruh halaman istana itu menjadia semakin seru. Kedua belah pihak, yang prajurit pilihan, telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Prajurit Kediri yang mendapat tugas untuk melindungi utusan dari Singasari itupun ternyata mampu mengimbangi lawan mereka. Meskipun mereka bukan dari pasukan khusus, tetapi terdorong oleh tanggung jawab mereka yang besar, serta bekal keprajuritan mereka, maka mereka bukan sekedar menjadi anak bawang di arena itu. Mereka pun menunjukkan, bahwa mereka adalah prajurit yang menguasai senjatanya di medan perang.

Mahisa Bungalan masih bertempur melawan Senopati yang memimpin sepasukan pilihan pengikut Pangeran Kuda Permati. Ternyata bahwa Mahisa Bungalan memang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas.

Tetapi Senopati yang mendapat kepercayaan dari Pangeran Kuda Permati itu pun adalah orang pilihan. Ia mampu bergerak dan bertempur dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tangannya menguasai pedangnya dalam ilmu yang mapan, sehingga dengan demikian, maka ia mampu bertempur bagaikan burung sikatan. Menyambar-nyambar dengan cepat, kemudian menukik dengan ujung pedang mengarah jantung lawannya.

Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak terkejut melihat gerak lawannya. Betapapun cepatnya Senopati, itu mempermainkan senjatanya, namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan pun dapat bergerak secepat itu pula. Setiap serangan lawannya justeru dibalas dengan serangan pula. Dengan demikian pertempuran itu memang menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang, saling mendesak dan yang tidak lagi dapat mereka hindarkan, keduanya telah membenturkan kemampuan ilmu mereka.

Sebenarnyalah bahwa pilihan Pangeran Kuda Permati atas Senopati itu memang sudah tepat. Ia mampu mengimbangi kemampuan Senopati pilihan dari Singasari. Tetapi yang kurang tepat adalah perhitungan Pangeran Kuda Permati terhadap kedua utusan dari Singasari itu. Meskipun keduanya pernah berada di Kediri dan pernah dikenal pula, namun Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak menduga, bahwa keduanya bukan hanya orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir tentang tata pemerintahan, tetapi juga orang yang memiliki kelebihan di medan perang bahkan keduanya adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

Karena itu, maka baik Mahisa Agni, maupun Witantra ternyata telah menghisap lawan cukup banyak. Meskipun jumlah orang-orang Kediri terlalu banyak, tetapi serangan pertama orang-orang Singasari, kemudian kemampuan Mahisa Agni dan Witantra ternyata dapat menjadikan kedua belah pihak menjadi seimbang.

Sementara itu, para prajurit dari Singasari yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan dua orang utusan telah benar-benar mengerahkan segenap kemampuan mereka. Dalam pada itu, lawan-lawan Mahisa Agni dan Witantra masih saja selalu berkurang, meskipun seandainya datang orang-orang baru kedalam kelompok itu. Para prajurit Kediri yang datang untuk melindungi orang-orang Singasari itu justru menjadi sangat heran melihat apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra.

“Apakah orang-orang yang demikian masih memerlukan perlindungan” bertanya orang-orang itu di dalam hatinya. Bahkan kemudian, “Jika Singasari mempunyai pasukan kecil yang terdiri dari orang-orang seperti itu, maka agaknya dunia akan dapat digulungnya.”

Demikianlah, di saat-saat pertempuran di istana itu menjadi semakin meningkat, keras dan cepat, maka di muka regol Kota Raja disebelah Timur telah terjadi pertempuran pula. Pertempuran yang sengit yang melibatkan prajurit yang cukup banyak. Beberapa kesatuan prajurit Kediri telah keluar menyongsong lawan yang jumlahnya terlalu banyak, sehingga kehadiran prajurit dari barak yang dipersiapkan untuk melindungi utusan dari Kediri itupun sangat berpengaruh. Tanpa, pasukan itu, maka jumlah prajurit Kediri tidak akan cukup memadai untuk melawan orang-orang yang datang dengan obtir ditangan.

Namun, prajurit-prajurit Kediri dari beberapa kesatuan itu akhirnya memang dapat menahan mereka, sehingga orang-orang yang datang dalam beratus-ratus obor itu tidak dapat mendekati pintu gerbang Kota Raja. Meskipun demikian, pertempuran di luar pintu gerbang itu pun menjadi semakin sengit. Pasukan Pangeran Kuda Permati memang mendapat tugas untuk bertempur dalam waktu yang cukup. Jika menurut pertimbangan waktu sebagaimana direncanakan, kawan-kawan mereka sudah berhasil membinasakan orang-orang Singasari yang berada di Kota Raja, maka mereka dapat menarik diri.

Pasukan Kediri di sisi Timur memang tidak siap menghadapi sergapan yang demikian. Sehingga karena itu, maka mereka lebih banyak tergantung pada pasukan yang datang dari dalam lingkungan Kota Raja, termasuk pasukan yang seharusnya melindungi para utusan dari Singasari.

Agaknya kesiagaan di sisi timur ini beberapa dengan kesiagaan para prajurit Kediri disisi Utara. Diperbatasan Utara Panji Sempana Murti sudah mempersiapkan diri sehingga setiap saat akan dapat turun ke medan. Meskipun demikian, jika yang datang itu pasukan sebesar pasukan yang menyerang sisi Timur maka Panji Sempana Murti pun tentu memerlukan bantuan pula. Sedangkan pasukan yang berada di perbatasan Utara adalah pasukan Pangeran Singa Narpada.

Karena itulah, maka Pangeran Kuda Permati memilih sisi yang lemah untuk sekedar memancing perhatian pasukan di dalam dinding Kota Raja, agar orang-orangnya yang sudah ada di dalam mendapat kesempatan untuk melakukan tugas mereka. Dengan demikian, para prajurit yang menyerang dari sisi Timur itu memang tidak dengan sungguh-sungguh ingin memecah pintu gerbang dan memasuki Kota Raja. Selain pintu gerbang itu tentu akan dipertahankan mati-matian oleh prajurit yang ada, juga kepentingan Pangeran Kuda Permati tidak pada pintu gerbang itu. Tetapi justru di dalam dinding Kota Raja.

Para Senapati yang memimpin serangan itu sudah mendapat pesan, kapan mereka harus bertahan dan kapan mereka dapat meninggalkan pertemuan. Para pemimpin dari pasukan itu sudah dibekali dengan perkiraan waktu, bahwa pasukan Kediri di dalam dinding Kota Raja akan dapat menyelesaikan tugas mereka selambat-lambatnya tengah malam. Karena itu, maka pertempuran di luar pintu gerbang Kota Raja itu hendaknya dapat berlangsung sampai tengah malam.

Untuk beberapa saat kedua pasukan yang bertempur itu saling mendesak. Pasukan Pangeran Kuda Permati berusaha bertahan pada suatu garis perang yang sudah mereka tentukan. Betapapun berat tekanan yang dilakukan oleh para prajurit Kediri yang setia kepada Sri Baginda, namun para pengikut Pangeran Kuda Permati itu tidak bergeser setapak pun dari garis pertempuran yang mereka tentukan itu.

Tetapi, pertempuran di luar dinding Kota Raja itu bukannya sasaran utama dari para prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati. Karena itu, ketika malam mendekati pertengahannya, maka para Senapati di lingkungan para pengikut Pangeran Kuda Permati telah mempersiapkan diri untuk menarik pasukannya. Mereka harus bergeser mundur, tetapi tetap dalam kesatuan pasukan sehingga tidak akan jatuh korban terlalu banyak, sementara itu, tugas prajurit pilihan di lingkungan istana yang dipergunakan oleh para utusan dari Singasari itu pun telah dapat diselesaikan, menurut perhitungan.

Untuk beberapa saat pasukan Pangeran Kuda Permati itu masih bertahan di medan. Namun ketika tengah malam telah lewat maka terdengarlah beberapa isyarat untuk menarik pasukan itu mundur meninggalkan medan. Sejenak kemudian, maka terdengarlah perintah untuk menarik pasukan. Bersamaan dengan itu, maka obor-obor masih menyalapun tiba-tiba telah padam seluruhnya, sehingga medan itu benar-benar menjadi gelap.

Pada saat itulah, maka pasukan Pangeran Kuda Permati itu beringsut surut. Perlahan-lahan. Namun setelah mereka sampai di garis tertentu sesuai dengan rencana mereka yang matang, maka pasukan itupun mundur dengan cepat.

Para prajurit Kediri yang setia kepada Sri Baginda memang berusaha untuk mengejar mereka. Namun kemudian usaha itu dihentikan. Mereka membiarkan pasukan lawan mundur meninggalkan medan. Pada saat itulah, maka satu pasukan di antara para prajurit Kediri itu berusaha dengan cepat meninggalkan medan pula setelah memberikan laporan kepada Senapati yang memimpin pertempuran itu.

“Baik, “jawab Senapati itu, “kembalikah ke barak, Namun ternyata mereka tidak berhasil memasuki pintu gerbang, sehingga mereka tidak sempat mengusik utusan dari Singasari itu.”

Meskipun demikian, pemimpin pasukan itu telah mendahului pasukan yang lain kembali ke barak mereka sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Sementara yang masih belum mereka ketemukan telah mereka serahkan pasukan yang tinggal untuk merawat mereka. Demikian pasukan itu sampai di barak, maka merekapun terkejut bukan kepalang. Mereka mendapat laporan dari prajurit yang tinggal di barak, bahwa pasukan kecil yang ditinggalkan telah pergi ke istana bagi orang-orang Singasari.

“Kenapa?” bertanya Senapati itu.

“Istana itu telah diserang oleh sekelompok orang-orang Pangeran Kuda Permati.” jawab prajurit itu.

“Apakah sudah ada laporan tentang mereka” bertanya Senapati itu.

“Belum” jawab prajurit itu.

Senapati itu menjadi berdebar-debar. Ia pun segera memerintahkan sekelompok pasukannya untuk bersama-sama pergi ke istana itu. Agaknya orang-orang Kediri telah melakukan satu permainan yang licik untuk menghancurkan sekelompok utusan dari Singasari itu. Senopati itu baru menyadari, bahwa sebenarnya serangan atas pintu gerbang di sisi Timur itu tentu hanya sekedar cara untuk mengalihkan perhatian, sementara sasaran mereka yang sebenarnya adalah orang-orang Singasari itu.

Dengan ketajaman penalarannya maka Senopati itu seakan-akan dapat melihat apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Mereka menyiapkan satu serangan terbuka, namun sebelumnya beberapa orang yang terpilih telah menyusup masuk ke dalam lingkungan Kota Raja. Dalam kesibukan pertempuran melawan pasukan Pangeran Kuda Permati yang menyerang secara terbuka itu, maka orang-orangnya telah memasuki Istana tempat orang-orang Singasari itu beristirahat.

Karena itu, maka dalam kegelisahan ia telah dengan tergesa-gesa membawa sekelompok pasukan berkuda menuju ke istana itu. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka ia pun ikut bertanggung jawab. Sementara itu ia telah memerintahkan pasukannya yang lain untuk bersiap. Mungkin mereka pun diperlukan segera untuk pergi ke istana itu. Ketika Senopati dan sekelompok pengawal berkudanya mendekati regol istana itu, jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Halaman istana itu nampaknya sepi-sepi saja, sementara pintu regolnya masih terbuka lebar.

Karena itu, tanpa turun dari kudanya, serta senjata siap ditangan Senopati itu langsung memacu kudanya memasuki halaman dan siap untuk bertempur. Ia memastikan bahwa orang-orang Singasari itu telah dikuasai oleh orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Mudah-mudahan mereka belum dibunuh atau dibawa pergi meninggalkan istana itu” geram Senopati itu.

Namun demikian mereka memasuki halaman, maka terasa sesuatu bergejolak didadanya. Ia melihat beberapa orang duduk dengan tenang di pendapa, sementara beberapa orang yang lain berkerumun di muka gandok sebelah menyebelah. Dalam keremangan cahaya lampu Senopati itu-pun melihat, beberapa orang dalam pakaian prajurit Kediri dan Singasari berada di antara mereka.

Senopati itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Mahisa Agni dan Witantra masih duduk di pendapa bersama dua orang perwira dari pasukannya, di antara beberapa orang lain. Senopati itu meloncat turun dari kudanya. Setelah menambatkan kudanya, maka ia pun naik kependapa. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan lewat mulutnya ia berkata,

“Aku merasa bahwa bumi tempat aku berpinjak ini sudah berguncang ketika aku mendapat laporan, bahwa pasukan kecil yang aku tinggalkan telah menuju ke istana ini.”

“Silahkah duduk” berkata Mahisa Agni.

Senopati itupun kemudian duduk di antara mereka yang berada di pendapa. Katanya, “Aku sudah membayangkan satu peristiwa yang dapat membawa aku ke tiang gantungan, karena kelengahanku.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni.

“Syukurlah bahwa tuan berdua tidak mengalami sesuatu “berkata Senopati itu.

“Kenapa kau menjadi gelisah?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku membayangkan, bahwa sekelompok orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati telah datang memasuki istana ini.” berkata Senopati itu.

Mahisa Agni tertawa. Katanya kemudian, “Yang ada di istana ini adalah beberapa orang tamu. Biarlah Mahisa Bungalan menunjukkan kepadamu, tamu-tamu yang datang untuk menemui aku itu.”

Senopati itu termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Marilah. Aku akan menunjukkan tamu-tamu itu bersama perwira pasukanmu yang telah datang kemari.”

Senopati itu memandang kedua orang perwiranya, sementara keduanya hanya tersenyum saja kepadanya. Senopati itu tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian bangkit mengikut Mahisa Bungalan di iringi oleh kedua orang perwiranya. Dengan berdebar-debar Senopati itu dibawa ke gandok sebelah kanan. Beberapa orang prajurit Kediri dan Singasari yang ada di muka gandok itu telah menyibak.

Mahisa Bungalan lah yang telah membuka selarak pintu itu. Dan ketika keduanya melangkah masuk, Senopati itu terkejut. Di gandok itu terdapat sejumlah orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati duduk menebar di atas sebuah amben yang besar sementara yang lain berada di atas tikar yang dibentangkan dilantai. Wajah-wajah mereka nampak pucat dan tubuh mereka menjadi lemah oleh ketiadaan gairah lagi untuk menegakkan kepala sebagai seorang prajurit.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Senopati itu.

“Di bilik sebelah dan digandok Barat serta disebagian ruang-ruang lain di bangunan-bangunan yang ada di halaman ini untuk sementara telah menjadi tempat tahanan” jawab Mahisa Bungalan, “mereka adalah orang-orang Pangeran Kuda Permati yang menyerang istana ini. Namun untunglah bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kami. Sekelompok kecil pasukan yang kau tinggalkan merupakan unsur penting yang dapat melepaskan kami dari malapetaka dan kemusnahan mutlak.”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam bilik itu terdapat sejumlah orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Di bilik sebelah, di gandok yang lain dan di beberapa tempat pada bangunan-bangunan di halaman istana itu telah dipergunakan untuk menawan para pengikut Pangeran Kuda Permati yang tertangkap. Dengan demikian maka Senapati itu dapat membayangkan bahwa jumlah para pengikut Pangeran Kuda Permati itu tentu cukup banyak.

Tetapi, ternyata bahwa para prajurit Singasari dan sejumlah kecil pasukannya mampu bertahan dan bahkan memenangkan pertempuran itu. Ketika Senapati itu kemudian keluar dari dalam bilik tempat para pengikut Pangeran Kuda Permati itu ditawan, maka ia sempat berbicara dengan perwira yang memimpin sekelompok kecil pasukannya. Dari mereka Senapati itu mendengar tentang Mahisa Agni dan Witantra.

“Sebenarnya keduanya tidak memerlukan pengawal sama sekali” berkata perwira itu, “juga Senapati dari pasukan Singasari yang bernama Mahisa Bungalan itu memiliki ilmu yang tinggi.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya "Syukurlah. Jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka aku akan dapat digantung di alun-alun. Jika tidak oleh Sri Baginda, juga oleh prajurit Singasari yang tentu akan datang menyusul."

Namun dengan demikian pasukan kecil itu justru sempat menunjukkan kekuatan pasukan Singasari.

“Marilah kita mengambil keuntungan dari peristiwa ini” berkata Senapati itu kemudian, “Pangeran Kuda Permati akan dapat menilai kekuatan Singasari yang sebenarnya. Jika pasukan kecil ini mampu melakukan satu tugas yang besar, maka mereka akan dapat membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh pasukan Singasari segelar sepapan.”

Perwira yang memimpin sekelompok kecil pasukannya itu tersenyum. Katanya, “Kita memang dapat mengambil manfaat dari peristiwa ini, justru karena sudah terjadi seperti ini. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya?“

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Sudah aku katakan beberapa kali. Aku akan digantung di-alun-alun.”

Perwiranya tidak bertanya lagi. Merekapun kemudian kembali kependapa. Namun wajah Senapati itu masih juga tegang. Ia masih membayangkan apa yang terjadi, seandainya orang-orang Singasari yang datang itu bukan, orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

“Sudahlah” berkata Mahisa Agni kemudian setelah mereka duduk kembali di pendapa. Sementara itu, beberapa orang sempat juga menyediakan minuman panas. Lalu katanya lebih lanjut, “semuanya sudah teratasi. Aku justru kagum akan ketajaman perhitunganmu, sehingga kau tidak membawa seluruh pasukanmu ke gerbang itu. Sebagian kecil pasukan yng kau tinggalkan di barak. Ternyata memberikan arti yang besar bagi kami.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Agni melanjutkan, “kami terpaksa memberikan beban lebih banyak kepada kalian. Kami harus menyerahkan tawanan-tawanan itu karena kami tidak akan membawanya ke Singasari.”

“Itu adalah kewajiban kami” jawab Senapati itu.

“Besok kalian dapat mengambil mereka dan besok kami akan menghadap Sri Baginda untuk memberikan laporan, apa yang telah terjadi” berkata Mahisa Agni. Lalu, “Dengan demikian maka sudah pasti bagi kami, bahwa Pangeran Kuda Permati telah dengan terang-terangan memberontak melawan Kediri dan Singasari. Yang terjadi ini sudah cukup kuat menjadi alasan bagi kekuatan Singasari untuk bertindak.”

Senapati Kediri itu mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Agni melanjutkan, “Tetapi agaknya Singasari tidak akan secepat itu mengambil langkah. Selama Kediri masih mampu mengatasi persoalannya sendiri, maka Singasari tidak akan mengirimkan pasukan untuk ikut campur, karena dengan demikian akan terjadi persoalan yang semakin rumit."

“Ya” Senapati itu mengangguk-angguk dengan sertas merta, “itu adalah sikap yang bijaksana. Yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati kali ini, yang terpenting bukan kebinasaan utusan Singasari itu sendiri. Tetapi satu pancingan agar Singasari mengambil tindakan kekerasan.”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Itu sudah kami perhitungkan. Jika Singasari benar mengambil langkah yang demikian, maka langkah itu diharapkan akan dapat menyinggung perasaan orang-orang Kediri yang menganggap bahwa Singasari telah bertindak sewenang-wenang. Itu adalah satu keuntungan bagi Pangeran Kuda Permati.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Tetapi sikap kami akan berbeda terhadap orang-orang yang mempersulit kedudukan Singasari di tlatah Singasari diluar Kediri.”

“Apa yang tuan maksudkan?” bertanya Senapati itu.

“Orang-orang yang merusak hutan untuk memperlemah kedudukan Singasari dalam jangka waktu yang panjang, akan ditindak tegas oleh pasukan Singasari. Juga mereka yang membuat keresahan dengan tingkah laku yang menyinggung kehormatan Singasari,” jawab Mahisa Agni.

Senapati itu mengangguk-angguk, ia dapat mengerti keterangan itu, dan adalah wajar sekali apabila Singasari bersikap demikian.

Sejenak kemudian, maka agaknya tidak ada lagi persoalan yang harus dibicarakan, segera, maka menjelang fajar menyingsing Senapati itu-pun mohon diri untuk kembali ke baraknya, sementara ia meninggalkan beberapa orang prajurit untuk menambah prajurit-prajurit yang terdahulu untuk membantu menjaga para tawanan.

“Besok mereka akan kami ambil setelah kami melaporkan semuanya ini kepada Panglima,” berkata Senapati itu.

“Silahkan,” jawab Mahisa Agni, “Besok aku dan Witantra juga akan menghadap Sri Baginda. Kami ingin mendapat kesan pendapat Sri Baginda tentang peristiwa ini.”

Demikianlah, maka Senapati itu-pun meninggalkan istana yang diperuntukkan bagi para utusan dari Singasari. Ketika ia sampai di baraknya, maka ia-pun segera memanggil para perwiranya. Ia tidak merasa perlu untuk beristirahat pada sisa malam itu.

Para perwira yang masih juga bersiaga sepenuhnya itu-pun segera berkumpul. Dengan singkat Senapati itu memberikan beberapa keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi di Kediri. Bukan saja di istana yang diperuntukkan bagi utusan dari Singasari, tetapi keadaan dalam keseluruhan. Hubungan antara serangan di pintu gerbang sebelah Timur dan peristiwa di istana yang diperuntukkan bagi orang-orang Singasari itu. Para perwira itu mengangguk-angguk. Mereka kemudian mendapat gambaran yang jelas apa yang sudah terjadi.

“Untunglah, bahwa tidak terjadi malapetaka atas para utusan itu,” gumam salah seorang diantara para perwira itu.

“Ya,” sahut Senapatinya, “Ternyata kita telah lengah. Kita telah kalah satu langkah. Jika orang-orang Singasari itu tidak menolong diri sendiri, maka mereka tentu sudah dibinasakan. Tetapi beruntung jugalah, bahwa masih ada sekelompok kecil prajurit di antara kita yang tersisa, betapapun kecilnya, namun mereka dapat juga membantu menyelesaikan persoalan.”

Senapati itu-pun kemudian memerintahkan pasukan bersiap-siap untuk mengambil para tawanan di keesokan harinya, sementara ia-pun kemudian berkuda pergi menghadap Panglima pasukan Kediri.

Laporannya cukup mengejutkan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan Senapati itu, karena sebelumnya Senapati itu sudah membuat hubungan dengan beberapa pihak. Namun kelengahan itu merupakan satu pengalaman yang pahit bagi mereka.

“Besok kalian harus mengambil para tawanan itu,” berkata Panglima prajurit Kediri itu, “Kita perlu mendapat keterangan dari mereka.”

“Apakah mereka akan bersedia berbicara?” bertanya Senapati itu.

“Mereka tentu orang-orang pilihan,” jawab Panglimanya, “Tetapi kita akan mencari seorang diantara orang-orang pilihan itu yang paling lemah, sehingga mungkin kita akan mendapat keterangan.”

Demikianlah, ketika matahari mulai memancarkan cahayanya, maka sekelompok prajurit telah menuju istana yang semalam menjadi ajang pertempuran. Mereka telah mempersiapkan kelengkapan untuk membawa para tawanan dari istana itu.

Ternyata bahwa pagi itu Kota Raja telah menjadi gempar. Setiap orang mempercakapkan pertempuran yang telah terjadi semalam. Di depan pintu gerbang sebelah Timur dan di istana yang dipergunakan oleh para utusan dari Singasari. Bekas-bekas pertempuran itu masih juga membuat orang-orang yang menyaksikan menjadi ngeri. Sawah yang terserakkan, tanah yang merah oleh darah pepohonan yang berpatahan. Bahkan di langit nampak burung-burung gagak yang berterbangan mengitari bekas arena yang berbau darah itu.

Seorang petani yang sedang merenungi tanamannya yang hancur terinjak-injak karena tiba-tiba saja kakinya menyentuh sesosok mayat. Beberapa orang prajurit yang masih berjaga-jaga di tempat itu segera datang berlari-lari. Mereka-pun terkejut ketika ternyata masih ada mayat yang belum sempat disingkirkan.

“Kami bekerja sampai matahari terbit,” berkata prajurit itu, “Kami telah merawat semua orang yang terluka dan menyingkirkan mayat yang bertebaran dari pihak mana-pun juga.”

“Tetapi kalian masih kurang cermat,” berkata petani itu, “hampir saja akan menjadi pingsan.”

Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Sudahlah. Benahi sawahmu. Sri Baginda tentu tidak akan tinggal diam. Kami akan membuat laporan, dan kalian tentu akan mendapat bantuan, setidak-tidaknya bibit untuk menanami sawahmu ini kembali.”

“Tetapi pada saat panen nanti, kami tidak akan dapat memetik apa-pun juga, karena baru besok atau lusa atau mungkin sepekan lagi kami baru akan menanami lagi sawah ini,” jawab petani itu.

“Yang kalian alami adalah korban dari peperangan,” jawab prajurit itu, “Tidak ada seorang-pun yang dengan senang hati mengalami peperangan. Apalagi memberikan pengorbanan yang terluka besar seperti yang kaliain berikan. Tetapi masih ada pengorbanan yang lebih besar lagi?”

“Apa?” bertanya petani itu.

“Ada seorang ibu yang harus mengorbankan anak laki-lakinya karena gugur di peperangan. Ada seorang isteri yang harus mengorbankan suaminya di medan perang. Dan ada yang justru kehilangan lebih dari satu anaknya.”

Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun mengangguk-angguk. Ia memang dapat mengerti dan dapat membayangkan, apa yang dikatakan oleh prajurit itu. Beruntunglah bahwa yang harus dikorbankannya sekedar tanamannya yang masih muda. Bukan jiwa seseorang.

Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku kira aku tidak akan menuntut apa-apa atas kerusakan tanaman-tanamanku. Mudah-mudahan aku dapat menanami dengan bibit-bibit baru dan di musim panen berikutnya akan memberikan hasil yang lebih baik.”

Prajurit-prajurit yang datang kepada petani itu-pun tersenyum. Sesosok mayat yang membuat petani itu terkejut sudah disingkirkan.

Hari itu, prajurit Kediri sibuk dengan orang-orang yang terluka, sosok-sosok mayat dan tawanan-tawanan. Ternyata bahwa tawanan-tawanan yang dibawa dari istana yang diperuntukkan bagi para utusan dari Singasari telah menarik perhatian yang sangat besar. Ketika tawanan itu dibawa dalam satu barisan yang cukup panjang dengan pengawalan yang sangat kuat, maka rakyat Kediri, khususnya yang tinggal di Kota Raja telah berdiri berderet di sepanjang jalan untuk melihat orang-orang Kediri yang ikut dalam pasukan terpilih dari para pengikut Pangeran Kuda Permati.

Namun karena orang-orang yang digiring itu adalah orang-orang Kediri juga, maka banyak diantara mereka yang sudah saling mengenal diantara para tawanan dan orang-orang yang berdiri berjajar di pinggir jalan. Namun sebagian dari mereka tidak ingin menambah beban perasaan bagi para tawanan, sehingga mereka yang sudah merasa kenal satu atau dua orang telah berusaha untuk berdiri di belakang kawannya atau berpaling ke arah yang lain.

Ketika tawanan itu sudah bersih, maka Mahisa Agni dan Witantra-pun telah bersiap-siap untuk pergi ke istana untuk menghadap Sri Baginda. Karena bagaimana-pun juga, keduanya harus memberikan laporan kepada Sri Baginda tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama ia berada di Kediri.

“Sri Baginda,” berkata Mahisa Agni setelah diterima oleh Sri Baginda bersama orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, “Aku mengucapkan terima kasih bahwa Sri Baginda telah mempersiapkan sepasukan prajurit yang dapat membantu kami menentukan akhir pertempuran.”

“Akulah yang wajib minta maaf, bahwa menurut laporan yang aku terima, pasukan di dalam barak itu justru berada di regol di sisi Timur, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlindungan,” sahut Sri Baginda.

“Tetapi sebagian dari mereka telah datang ke tempat yang disediakan kepada kami untuk beristirahat. Dan yang datang itu telah ikut menentukan, sehingga para pengikut Pangeran Kuda Permati telah dapat tertawan.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Sementara itu di bagian belakang dari mereka yang sempat hadir disaat itu, yaitu Senapati yang mendapat tugas untuk memimpin pasukan yang hampir saja melakukan satu kesalahan yang besar itu, menarik nafas dalam-dalam. Jika utusan dari Singasari itu mengatakan yang lain, sehingga karena itu telah terdapat satu dua orang yang harus menjadi korban di antara orang-orang Singasari itu, maka ia akan mendapat kesulitan. Tetapi dengan laporan itu, maka ia tentu akan mendapat keringanan seandainya Sri Baginda akan menghukumnya.

Sementara itu, Mahisa Agni-pun berkata, “Sri Baginda. Dengan demikian, maka sebenarnya sudah jelas bagi kami, bagaimana kedudukan Pangeran Kuda Permati. Setelah Sri Baginda melepaskan Pangeran Singa Narpada dan kemudian memberikan perintah untuk bertindak tegas terhadap para pengikut Pangeran Kuda Permati, maka tugas kami di Kediri untuk mengamati keadaan dan memberikan sedikit bahan-bahan pertimbangan, agaknya memang sudah selesai. Sri Baginda yang mula-mula telah melakukan satu dua langkah yang kurang kami mengerti, kini benar-benar telah kami pahami.”

Sri Baginda di Kediri itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia-pun mengakui, bahwa langkah-langkah yang pernah diambil adalah langkah-langkah yang penuh dengan keragu-raguan. Usahanya untuk menghindarkan pertumpahan darah, ternyata sama sekali tidak berhasil, sehingga yang terjadi justru satu pertempuran yang besar di luar regol sisi Timur, dan pertempuran yang tentu tidak kalah dahsyatnya di halaman istana yang diperuntukkan bagi para utusan dari Singasari meskipun jumlah orang yang terlibat dalam pertempuran itu tidak terlalu banyak. Tetapi yang sedikit itu adalah prajurit-prajurit pilihan. Benturan antara prajurit pilihan itu memang dapat menimbulkan akibat yang parah bagi kedua belah pihak.

“Lalu apakah yang akan kalian lakukan kemudian?” bertanya Sri Baginda.

“Kembali ke Singasari dan memberikan laporan kepada Sri Maha Raja tentang keadaan di Kediri. Namun aku yakin bahwa Sri Maha Raja akan mengambil langkah yang paling baik bagi Kediri,” jawab Mahisa Agni. Lalu, “Sri Maharaja tentu akan memberikan kesempatan kepada Kediri untuk menyelesaikan persoalan diantara keluarga sendiri. Meskipun demikian Sri Maha Raja tentu tidak akan berlepas tangan jika memang hal itu dikehendaki oleh Kediri.”

Sri Baginda-pun mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, “Aku akan menyelesaikan persoalan kami sendiri.”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Mereka memang sudah menduga, dan mereka-pun yakin bahwa Sri Maharaja di Singasari tidak akan menolak, bahwa Kediri akan menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Singasari dapat hanya berdiam diri sambil menonton perkembangan keadaan di Kediri. Apalagi Singasari menyadari, bahwa usaha Pangeran Kuda Permati itu telah meluas jauh di luar tlatah Kediri sendiri, dengan menghancurkan kehidupan di lereng-lereng pegunungan, justru lereng yang menghadap langsung ke daerah yang menjadi sumber pangan dan kesejahteraan bagi Singasari.

Namun sementara itu Mahisa Agni-pun menyahut, “Baiklah Sri Baginda. Semuanya akan kami sampaikan kepada Sri Maharaja. Kediri akan menyelesaikan persoalan di antara keluarganya sendiri. Mudah-mudahan semuanya akan dapat dengan cepat diselesaikan, tanpa pertumpahan darah.”

“Mudah-mudahan,” tetapi suara itu terdengar terlalu dalam. Namun Sri Baginda memang masih berharap bahwa seandainya terjadi kekerasan, maka kekerasan itu akan dapat diatasi.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra telah menyatakan kepada Sri Baginda, bahwa dalam waktu yang dekat, mereka akan segera kembali ke Singasari. Namun dalam dua tiga hari mereka masih akan berada di Kediri untuk melihat perkembangan keadaan terakhir. Ketika tidak ada lagi persoalan yang akan disampaikan kepada Sri Baginda di Kediri, maka Mahisa Agni dan Witantra mohon diri untuk kembali ke tempat peristirahatan mereka.

Demikian mereka kembali, maka Mahisa Bungalan telah menemui kedua adiknya yang untuk beberapa lama bersembunyi. Mereka tidak ingin bertemu dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati meskipun di peperangan. Jika ada satu dua orang di antara mereka yang mengenalinya dan sempat lolos dari tangan para prajurit Kediri yang setia kepada Sri Baginda, maka kesempatan mereka untuk bergerak dengan bebas akan terganggu.

“Lalu apa rencana kalian?” bertanya Mahisa Bungalan, “Apakah kalian akan pulang bersama kami ke Singasari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Sementara itu Mahisa Murti menjawab, “Aku masih ingin melihat perkembangan keadaan di Kediri. Aku sudah memakai pertanda dari petugas sandi, karena itu, maka aku akan melanjutkan tugas ini.”

“Kau sadari, bahwa tugas ini sangat berbahaya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku mengerti. Tetapi kami berdua sudah bertekad untuk melanjutkannya. Kami mendapat kawan-kawan yang baik dalam tugas ini.”

“Jadi kalian akan kembali kepada tugas kalian?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “Tugas ini akan dapat memberikan banyak sekali pengalaman, meskipun kami sadari bahayanya.”

Mahisa Bungalan merenung sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Ayah selalu mempertanyakan kalian. Kalian harus mengerti, bahwa ayah menjadi semakin tua.”

“Bukankah ayah sebaya dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra? Mereka masih mengemban tugas-tugas berat di hari-hari tua mereka,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau kira ayah tidak,” jawab Mahisa Bungalan, “Ayah masih juga menjadi pedagang keliling yang menjajakan batu-batu bertuah dan wesi aji di samping permata yang memang mahal harganya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi jawaban kakaknya itu memang menyentuh hatinya. Meskipun demikian, mereka berdua masih tetap dalam pendiriannya. Mereka masih ingin melanjutkan tugas mereka.

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “Ayah memang tidak berpesan untuk memaksa kalian kembali. Tetapi ayah berpesan agar kalian berbuat sebaik-baiknya. Kalian harus berhati-hati dan jangan menganggap semua persoalan yang kalian hadapi adalah sekedar permainan sebagaimana masa anak-anak kalian bermain sembunyi-sembunyian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.

“Kalau begitu, kalian dapat minta diri kepada paman.”

Mahisa Agni dan paman Witantra. Tetapi sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini di malam hari. Namun dengan demikian kalian harus menyadari, bahwa kalian harus berusaha menghindari pengamatan para petugas dari Kediri yang setia kepada Sri Baginda dan para pengikut Pangeran Kuda Permati yang tentu juga berkeliaran,” pesan Mahisa Bungalan.

“Kami mengerti,” jawab keduanya hampir berbareng.

Demikianlah, maka kedua anak muda itu-pun telah mohon diri kepada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa demikian malam turun, mereka akan meninggalkan istana itu, kembali kepada tugas mereka.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian telah memilih satu tugas yang sangat berat.”

“Tetapi agaknya tugas ini dapat memberikan landasan hidup yang mantap,” jawab Mahisa Murti.

“Mungkin demikian,” sahut Witantra, “Tetapi pengalaman itu harus kau peroleh dengan taruhan yang mahal sekali. Meskipun demikian, jika hal itu memang sudah menjadi pilihan kalian, lakukanlah dengan bersungguh-sungguh tetapi dengan sangat berhati-hati.”

“Ya paman,” jawab kedua anak itu hampir berbareng. Sementara itu, beberapa pesan masih diberikan oleh kedua pamannya.

Demikianlah, maka ketika Kota Raja sudah menjadi gelap, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan istana itu. Mereka menyadari bahwa kota yang baru saja dilanda oleh pertempuran itu tentu mendapat penjagaan yang ketat oleh pasukan Kediri, tetapi tentu juga mendapat pengawasan dari para petugas sandi dari para pengikut Pangeran Kuda Permati. Apalagi setelah Pangeran Kuda Permati mengalami kegagalan. Mereka tidak dapat membinasakan para utusan dari Singasari yang terjadi justru sebaliknya. Para pengikut Pangeran Kuda Permati itu sebagian besar telah menjadi tawanan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati sedang bertemu dengan para pemimpin pasukannya, kemarahan yang membakar jantung Pangeran Kuda Permati tidak dapat disembunyikannya lagi. Di hadapan para pemimpin pasukannya ia memaki tidak habis-habisnya.

“Sebenarnya rencana itu berhasil,” geram Pangeran Kuda Permati, “pasukan yang dipersiapkan sudah memasuki istana itu. Tetapi kesalahan terletak pada perhitungan atas kekuatan orang-orang Singasari itu.”

“Ada satu alasan lain kenapa pasukan gagal Pangeran,” berkata salah seorang Senapati.

“Apa?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Ternyata bahwa masih ada sepasukan meskipun kecil dari para prajurit Kediri yang datang membantu orang-orang Singasari itu. Meskipun pasukan ini tidak terlalu besar, tetapi mereka telah menyerap sebagian kekuatan orang-orang yang seharusnya menghadapi orang-orang Singasari.”

“Benar. Tetapi kelengahan orang-orang kita juga membuat pasukan itu menjadi lemah. Ternyata bahwa orang-orang Singasari lah yang justru pertama-tama menyergap pasukan Kediri. Bukan sebaliknya. Dalam sergapan pertama itu menurut laporan yang aku terima, beberapa orang telah menjadi korban,” jawab Pangeran Kuda Permati.

“Benar Pangeran,” jawab Senapati yang lain, “Namun masih ada satu hal yang perlu mendapat perhatian. Pada saat pasukan kita memasuki istana itu, ternyata tidak seorang pun yang dijumpai, sehingga sampai saatnya mereka menyergap. Itu adalah pertanda bahwa sebenarnya mereka telah dapat mencium rencana kita. Mungkin ada seorang pengkhianat sengaja atau tidak sengaja, sehingga hal ini merupakan satu permulaan yang sangat berarti bagi orang-orang Singasari itu.”

Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Jika orang-orang Singasari telah mengetahui, bahwa ada sepasukan kecil akan memasuki halaman istana itu, memang tentu ada pengkhianatan. Tetapi untuk mencari pengkhianat itu, adalah satu pekerjaan yang sangat sulit. Meskipun demikian Pengeran Kuda Permati itu-pun berkata,

“Pengkhianatan memang memungkinkan dimana saja. Tetapi kemungkinan lain adalah ada orang-orang yang memang diselundupkan oleh penjilat-penjilat dari Kediri itu ke dalam tubuh kita, sehingga setiap kali kita berbicara tentang satu rencana, maka rencana itu tentu jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Orang-orang yang menjadi penjilat itu.”

Para Senapatinya-pun mengangguk-angguk. Salah seorang di antara mereka berkata, “Hal itu memang mungkin sekali. Memang berbeda antara pengkhianat dan orang-orang yang memang diselundupkan ke dalam tubuh kita. Mereka tidak dapat disebut pengkhianat, karena mereka hadir dengan tugas mereka untuk mengamati kita.”

“Tetapi bagi Kediri orang itu memang pengkhianat. Jika yang diselundupkan itu orang Singasari, maka ia memang bukan pengkhianat, tetapi justru seorang pahlawan bagi Singasari,” sahut Pangeran Kuda Permati.

Para Senapatinya masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Kuda Permati-pun berkata, “Tetapi kita tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan untuk saling menyalahkan dan saling mencurigai. Meskipun aku tetap memerintahkan kepada kalian untuk berhati-hati menghadapi pengkhianatan itu atau orang-orang yang dengan sengaja diselundupkan ke dalam lingkungan kita. Tetapi satu hal yang harus kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Meskipun orang-orang kita gagal membunuh utusan dari Singasari itu, tetapi mereka telah berhasil memasuki istana yang diperuntukkan bagi mereka. Dengan demikian, maka Singasari tentu mempunyai penilaian yang pasti terhadap kita. Itulah yang penting. Aku mengharap Singasari akan benar-benar bertindak dengan mengerahkan pasukannya ke Kediri. Jika demikian, maka dalam waktu dekat, aku akan menggugah orang-orang Kediri untuk bangkit. Bahwa sesungguhnya orang-orang Singasari memang ingin menguasai Kediri. Sekarang kita masih tertidur nyenyak, karena kita belum sempat melihat kenyataan itu. Orang-orang Singasari dengan cerdik dan licik melakukan dan penghisapan. Sementara kita merasa bahwa orang-orang Singasari seolah-olah telah mendatangkan kesejahteraan.”

Para Senopatinya memang sependapat. Mereka menunggu langkah-langkah yang akan diambil oleh Singasari, sehingga Pangeran Kuda Permati dapat menunjukkan bahwa Singasari memang benar-benar dengan garang telah memeras Kediri sampai kering. Tetapi ternyata Singasari tidak melakukan sebagian yang diharapkan oleh Pangeran Kuda Permati. Singasari melangkah dengan bijaksana, karena Singasari menyadari kedudukannya.

Sementara Mahisa Agni dan Witantra yang masih berada di Kediri dalam dua hari terakhir, tidak melihat perkembangan baru di Kediri. Karena itu, maka mereka-pun telah memutuskan untuk segera kembali ke Singasari dengan laporan tentang perkembangan keadaan di Kediri. Bahwa Pangeran Singa Narpada telah diturunkan kembali ke dalam tugasnya. Sementara itu Pangeran Kuda Permati berusaha untuk memancing permusuhan menjadi semakin parah antara orang-orang Kediri dan orang-orang Singasari. Sehingga dengan demikian, maka Singasari akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan.

Dengan hasil pengamatannya selama di Kediri, maka Mahisa Agni dan Witantra-pun akhirnya mohon diri kepada Sri Baginda. Agaknya mereka merasa bahwa perkembangan selanjutnya masih harus selalu diikuti. Namun Mahisa Agni dan Witantra masih belum dapat mengatakan, cara yang manakah yang akan ditempuh oleh Singasari.

“Salamku kepada Sri Maharaja,” berkata Sri Baginda di Kediri, “Aku mohon restunya, semoga aku segera berhasil mengatasi kemelut ini.”

“Mudah-mudahan,” berkata Mahisa Agni, “Tetapi yang Sri Baginda hadapi kini sudah jelas.”

“Ya,” jawab Sri Baginda, “Dalam dua hari ini Kuda Permati nampaknya merasa perlu untuk membenahi pasukannya. Namun aku menjadi semakin jelas, sikap apakah yang harus aku ambil sekarang.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu, ia tidak lagi menawarkan jasa apa-pun juga, karena dengan demikian Kediri justru akan dapat tersinggung.

Hari itu Mahisa Agni dan Witantra-pun telah meninggalkan Kediri. Mereka hanya dikawal oleh sekelompok kecil pasukan Singasari. Namun mereka yakin, bahwa mereka tidak akan mengalami kesulitan di perjalanan, karena mereka-pun sependapat dengan Sri Baginda, bahwa agaknya Pangeran Kuda Permati sedang membenahi diri. Apalagi jalan yang akan ditempuh oleh orang-orang Singasari itu adalah jalan yang tidak pernah dijamah oleh pasukan Pangeran Kuda Permati sebelumnya.

“Seandainya kita menjumpainya di perjalanan, maka apa boleh buat,” berkata Witantra.

Namun sebenarnyalah, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sekelompok orang-orang Singasari telah meninggalkan gerbang kota Kediri.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati memang sedang membenahi pasukannya. Kegagalan yang dialaminya di Kota Raja mendorong mereka untuk bertindak lebih hati-hati dan cermat. Namun dengan diam-diam beberapa orang kepercayaan Pangeran Kuda Permati berusaha untuk mengetahui dalam lingkungan sendiri, apakah benar-benar di antara mereka terdapat pengkhianat.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada yang bekerja bersama dengan Panji Sempana Murti telah mempelajari peristiwa yang terjadi di gerbang sebelah Timur Kota Raja. Mereka sudah mendapatkan laporan kegagalan usaha Pangeran Kuda Permati untuk membunuh orang-orang Singasari, meskipun sebagian dari tujuan mereka telah tercapai, untuk memancing kemarahan Sri Maharaja di Singasari.

Tetapi bagi Pangeran Singa Narpada, seandainya Singasari mengirimkan pasukannya, ia tidak merasa berkeberatan. Dengan demikian, maka Pangeran Kuda Permati akan dengan lebih cepat dihancurkan.

Namun demikian, Panji Sempana Murti yang pada satu saat dipanggilnya berpendapat, “Tetapi sulit untuk menghancurkan Pangeran Kuda Permati sekedar dengan kekuatan pasukan. Mereka berada di antara orang-orang yang telah terpengaruh olehnya. Dan kita juga orang-orang Singasari tidak dapat begitu saja dengan membabi buta menghancurkan orang-orang yang kita anggap terpengaruh olehnya itu.”

“Aku mengerti,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Tetapi sergapan pasukan Pangeran Kuda Permati itu ada juga baiknya. Dengan prajurit yang berada di dalam lingkungan dinding Kota Raja menjadi terbangun karenanya.”

“Juga pasukan perbatasan di sisi lain,” jawab Panji Sempana Murti. Lalu, “Tetapi sebaiknya Pangeran melakukan apa yang pernah kita rencanakan. Kita harus tahu pasti isi setiap rumah di padukuhan-padukuhan yang termasuk daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati. Dengan pasukan yang kuat untuk memberikan pengawalan kepada orang-orang yang akan kita tugaskan kemudian, maka kita memasuki padukuhan demi padukuhan. Kemudian setiap saat kita dapat melihat, apakah isi rumah-rumah berubah atau bertambah dengan orang-orang yang tidak termasuk keluarga mereka, tetapi pengikut-pengikut Pangeran Kuda Permati.”

“Aku sependapat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Kita akan segera mulai. Cara itu akan mempermudah bagi kita untuk mengetahui, apakah orang-orang di padukuhan itu jujur terhadap kita, atau justru mereka merupakan selimut yang mampu menyelubungi pasukan Pangeran Kuda Permati.”

“Kita akan segera dapat mulai dengan rencana itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Dan agaknya Pangeran Singa Narpada tidak akan menunggu lebih lama lagi. Ia tidak mau memberi kesempatan kepada Pangeran Kuda Permati untuk bernafas setelah kegagalannya di Kota Raja. Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada-pun segera mengadakan persiapan-persiapan untuk melaksanakan rencananya.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra yang meninggalkan Kediri untuk ke Singasari tidak menjumpai hambatan di perjalanan. Perjalanan mereka memang tidak segera diketahui oleh Pangeran Kuda Permati. Ketika dua orang petugas sandi Pangeran Kuda Permati melihat iring-iringan itu, maka mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Seandainya mereka dengan tergesa-gesa memberitahukan.

Kepada Pangeran Kuda Permati, maka iring-iringan itu tentu sudah menjadi semakin jauh. Dengan demikian, maka yang dapat mereka laporkan adalah bahwa para petugas itu telah melihat sebuah iring-iringan prajurit Singasari dalam jumlah yang kecil.

“Jika kita tahu sebelumnya,” geram Senapati yang menerima laporan itu, “Sekarang sudah terlambat untuk mengejar mereka.”

“Ya. Agaknya sampai memasuki Singasari kita tidak akan dapat mencapai mereka,” jawab petugas sandi itu.

Dengan demikian, maka Senapati itu-pun telah melanjutkan laporan itu, sehingga seorang petugas telah menghadap Pangeran Kuda Permati untuk memberikan laporan tersebut. Tetapi justru dengan marah Pangeran Kuda Permati menjawab,

“Kalian memang dungu. Buat apa kau laporkan kepergian orang-orang Singasari itu? Kami sudah mengetahuinya sejak mereka meninggalkan pintu gerbang.”

Petugas itu mengerutkan keningnya. Jika demikian kenapa Pangeran Kuda Permati tidak bertindak. Namun sebagaimana perhitungan Senapati yang pertama kali menerima laporan itu, bahwa mereka telah terlambat. Mereka tidak sempat memerintahkan pasukan untuk mengejar. Karena mungkin di perjalanan pasukan itu justru harus mengalami hambatan. Mungkin mereka bertemu dengan kesatuan-kesatuan prajurit Kediri sendiri. Sementara jika mereka mencari jalan yang berputar menghindari kemungkinan itu, pasukan Singasari menjadi semakin jauh.

Karena itulah, maka pasukan Singasari yang kecil itu dengan selamat kembali ke barak mereka, untuk seterusnya menghadap Sri Maharaja, melaporkan hasil perjalanan mereka ke Kediri. Ternyata Sri Maharaja di Singasari-pun sependapat dengan Mahisa Agni dan Witantra. Singasari tidak akan dengan tergesa-gesa mengirimkan pasukan ke Kediri.

“Biarlah Kediri menyelesaikan masalahnya,” berkata Sri Maharaja di Singasari.

“Hamba Tuanku,” Sembah Mahisa Agni, “Sementara itu, kita akan mengikuti perkembangan keadaan dengan saksama. Namun satu hal yang harus kita perhitungkan sehubungan dengan sikap Pangeran Kuda Permati.”

“Bukankah kita sudah meyakininya?” bertanya Sri Maharaja.

“Hamba Tuanku. Tetapi Pangeran Kuda Permati bukan saja bertindak di Kediri sendiri. Tetapi langkah-langkahnya di luar Kediri harus kita amati. Agaknya usaha Pangeran Kuda Permati untuk melumpuhkan Singasari sebagaimana kita kenal dengan usahanya merusak hutan di lereng-lereng pegunungan, merupakan langkah yang sangat berbahaya,” berkata Mahisa Agni.

Sri Maharaja di Singasari mengangguk-angguk. Laporan tentang perusakan hutan itu memang sudah lama didengarnya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Kita memang harus bertindak tegas. Karena itu, maka perintahkan kepada prajurit Singasari untuk bertindak lebih tegas terhadap orang-orang yang menjual diri untuk merusak hutan itu daripada para pengikut Pangeran Kuda Permati yang berada di medan-medan perang.”

Perintah Sri Maharaja itu-pun tegas dan pasti. Karena itu, maka perintah itu akan menjadi pegangan bagi setiap prajurit, bahkan rakyat Singasari untuk menentukan sikap.

Di hari berikutnya, maka perintah itu telah sampai ke telinga setiap prajurit. Jika sebelumnya Singasari masih memperhitungkan berbagai kemungkinan, maka untuk selanjutnya Singasari benar-benar bertindak tegas. Diperintahkan kepada setiap Kabuyutan untuk membantu pengawasan atas lereng-lereng pegunungan. Para Akuwu harus memerintahkan para pengawalnya meronda lereng-lereng hutan yang menjadi daerahnya.

Jika ternyata mereka menjumpai kekuatan yang sulit untuk dipatahkan, maka mereka harus menghubungi pasukan Singasari yang di tempatkan di tempat-tempat tertentu khusus menghadapi sikap Pangeran Kuda Permati. Di luar lingkungan Kediri sendiri, maka Singasari ternyata benar-benar bertindak sesuai dengan perintah Sri Baginda.

Beberapa kelompok berandal dan bahkan beberapa orang pemimpin padepokan yang terlampau mudah untuk menelan janji dan harapan-harapan harus menilai kembali langkah mereka setelah mereka mengetahui, bahwa Singasari benar-benar bertindak dengan sikap keprajuritan. Para petugas sandi-pun telah berkeliaran dipadukuhan-padukuhan dan pasar-pasar. Jika mereka menjumpai pande besi yang membuat kapak penebang kayu melampaui kewajaran, maka pande-pande besi itu akan diusut.

Tindakan tegas Singasari itu, akhirnya sampai juga ke telinga Pangeran Kuda Permati, sejalan dengan sikap tegas Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti di Kediri. Sikap keras pemimpin-pemimpin Singasari dan para Senapati di Kediri itu membuat Pangeran Kuda Permati menjadi semakin marah. Yang diharapkannya, terutama tidak terjadi. Singasari tidak mengirimkan pasukan ke Kediri yang akan dapat dipergunakannya sebagai alat untuk membakar hati rakyat Kediri yang sudah mulai dipengaruhinya. Tetapi yang terjadi adalah sikap keras orang-orang Kediri sendiri dan orang-orang Singasari di daerah luar Kediri.

“Licik,” geram Pengeran Kuda Permati di tempat persembunyiannya yang dirahasiakan, “Singasari tidak berani mengirimkan pasukannya ke Kediri. Mereka hanya berani mengejar anak-anak ingusan yang bermain-main di lereng-lereng bukit. Sementara itu, mereka telah berusaha mengadu domba orang-orang Kediri.”

Dengan cerdik Pangeran Kuda Permati berhasil meyakinkan beberapa orang yang mempunyai pengaruh dilingkungan rakyat padukuhan, bahwa rakyat Kediri sedang diadu domba.

“Gila,” geram beberapa orang petugas sandi, “Pangeran Kuda Permati memang memiliki kecerdikan untuk membakar hati rakyat. Jika Singasari mengirimkan pasukannya, maka Pangeran Kuda Permati akan mengatakan, bahwa Singasari memang bernafsu untuk menguasai tlatah Kediri. Singasari datang untuk memeras dan merendahkan martabat orang-orang Kediri. Tetapi jika Singasari menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri, maka Singasari dikatakannya mengadu domba orang-orang Kediri, sehingga dimana-mana telah terjadi benturan kekuatan antara sesama saudara.”

“Kita harus segera membuat laporan,” berkata yang lain.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun melihat sikap Pangeran Kuda Permati beserta orang-orangnya seperti itu. Mereka melihat, bagaimana para pengikut Pangeran Kuda Permati berusaha memberikan keyakinan kepada rakyat Kediri, bahwa mereka jangan terlalu mudah untuk diadu domba.

“Kita harus bangkit dan bersatu. Jika kita masih mementingkan kepentingan kita sendiri-sendiri, maka kita akan tetap menjadi sasaran kedengkian dan ketamakan orang-orang Singasari. Kita akan menjadi ayam aduan yang akan saling membunuh di antara kita, sementara orang-orang Singasari pada saatnya akan datang untuk berbujana di atas mayat-mayat kita yang berserakan.”

Orang-orang yang pada dasarnya memang sudah berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati akan dengan mudah menelan hasutan itu. Sehingga mereka-pun menjadi semakin jauh dari jalan yang diambil oleh Sri Baginda di Kediri sendiri.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah menentukan langkahnya sendiri. Pangeran Singa Narpada telah menyusun pasukan yang besar diperkuat oleh para prajurit Panji Sempana Murti. Dengan pasukan yang kuat itu, maka Pangeran Singa Narpada telah memasuki daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati.

Kedatangan pasukan yang kuat itu memang mengejutkan. Tetapi sebagaimana yang pernah mereka lakukan, jika padukuhan-padukuhan yang berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati itu didatangi oleh prajurit-prajurit Kediri, maka para pengikut Pangeran Kuda Permati itu telah hilang di antara para penghuni padukuhan itu.

Tetapi saat itu, Pangeran Singa Narpada tidak hanya sekedar lewat. Ternyata ia memasuki setiap rumah. Para petugas yang sudah disiapkan, telah menghitung setiap orang yang ada di setiap rumah.

“Kami menghendaki kalian bersikap jujur,” berkata salah seorang di antara para petugas itu, “Kita adalah sama-sama orang Kediri. Tetapi kita akan dapat terjebak dalam sikap yang berbeda jika kita tidak berhati-hati.”

Orang-orang padukuhan itu mengerutkan keningnya. Ternyata yang dikatakan oleh petugas itu mirip dengan yang dikatakan oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati. Sementara petugas itu berkata lebih lanjut, “Karena itu kita harus menyadari, bahwa kita bukan ayam aduan yang akan saling bertarung di arena.”

Seorang yang berambut putih mengangguk-angguk. Ia mulai memperbandingkan sikap orang itu dengan sikap para pengikut Pangeran Kuda Permati. Bahkan ia mulai berpikir, “Apakah orang ini juga pengikut Pangeran Kuda Permati?”

Namun untuk selanjutnya orang itu berkata, “Karena itu, maka marilah kita berusaha untuk melihat peristiwa yang terjadi di Kediri dengan pandangan mata hati yang jernih, sehingga kita tidak akan dijadikan alat oleh orang-orang yang sekedar menuruti gejolak hatinya sendiri.”

Orang-orang yang mendengar penjelasan itu mulai mengerutkan keningnya. Namun justru pengaruh Pangeran Kuda Permati yang sudah meresap di dalam hati mereka mulai terungkat dan mereka mulai berpikir, “Inilah agaknya yang dimaksud dengan Pangeran Kuda Permati para penjilat yang tamak, sehingga mereka bersedia diadu domba dengan sanak kadangnya sendiri, karena mereka mengharapkan hadiah yang besar dari orang-orang Singasari.”

Dengan demikian, maka segala penjelasan berikutnya, justru mendorong orang-orang itu untuk lebih mendekatkan mereka kepada jaringan pengaruh Pangeran Kuda Permati. Segala keterangan dianggap oleh mereka sebagai sikap berpura-pura untuk menutupi ketamakan dan kedengkian mereka.

Sikap itu memang terasa oleh para petugas dari Kediri yang berdiri di pihak Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka mereka-pun mulai bersikap. Wajah-wajah menjadi tegang, dan kata-kata mereka-pun menjadi keras.

“Dengar kata-kataku,” berkata para petugas itu, “Aku datang menjunjung titah Sri Baginda. Bagiku titah itu sama dengan paugeran. Siapa yang menentang titah Sri Baginda sama dengan menentang paugeran yang berlaku di Kediri.”

Orang-orang yang terpengaruh Pangeran Kuda Permati itu menunjukkan betapa mereka tidak senang terhadap orang-orang itu. Namun para petugas itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka dengan kata-kata keras mulai menanyakan isi di setiap rumah dan menanyakan setiap hubungan keluarga di antara nama-nama yang disebut.

“Aku minta kalian menyebut nama yang sebenarnya dan harus kalian pertanggung jawabkan. Jika terjadi perbedaan dengan kenyataan yang akan kami temui kemudian, maka seisi rumah akan mengalami akibatnya,” berkata para petugas itu.

Para pengikut Pangeran Kuda Permati tidak dapat menentang langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada di daerah pengaruh mereka, karena para petugas itu mendapat pengawalan yang sangat kuat oleh pasukan segelar sepapan. Mereka mengikuti langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada itu dengan cemas dari kejauhan. Dari pemusatan pasukan yang tersembunyi.

Demikianlah para petugas itu telah mencantumkan urutan nama pada setiap rumah pada sehelai rontal, sehingga setiap saat yang diperlukan, maka nama-nama itu akan dibaca kembali dan disesuaikan dengan orang-orang yang ada di rumah itu.

“Kami tidak sekedar bermain-main,” berkata para petugas itu, “Tetapi kami bersungguh-sungguh. Kami mengetahui apa yang tersimpan di hati kalian, bahwa kalian condong untuk mengikuti jalan pikiran Pangeran Kuda Permati yang sesat, yang sekedar memanjakan mimpinya yang sangat buruk bagi Kediri.”

Orang-orang yang berada di bawah pengaruh Pangeran Kuda Permati itu tidak menjawab. Tetapi seandainya mereka berani, maka mereka tentu akan mencibirkan bibir mereka. Namun, dalam pada itu, langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada itu ternyata mempunyai pengaruh yang luas. Setiap rumah yang pernah didatangi dan ditulis susunan keluarga mereka di atas sehelai rontal, menjadi cemas jika di rumahnya terdapat seseorang yang sebenarnya adalah seorang prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati. Perasaan yang demikian belum pernah mereka alami sebelumnya.

“Mereka hanya menakut-nakuti,” berkata seorang prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati.

Namun orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan yang pernah didatangi oleh pasukan Pangeran Singa Narpada tidak dapat menganggap bahwa yang dilakukan itu sekedar untuk menakut-nakuti. Karena itu, maka sikap mereka-pun sudah mulai berubah. Meskipun mereka masih tetap berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati, tetapi mereka minta kepada para prajurit yang menjadi pengikut Pangeran itu untuk memikirkan nasib mereka bersama keluarga mereka.

Pangeran Kuda Permati yang mendapat laporan tentang langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada itu-pun menjadi sangat marah. Tetapi ia tidak boleh bertindak dengan kasar. Ia harus menyadari, bahwa orang-orang padukuhan itu tidak memiliki ketahanan wadag maupun jiwani sebagaimana seorang prajurit. Karena itu, maka yang harus dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati adalah mempertebal pengaruh mereka kepada orang-orang padukuhan itu, agar mereka tidak terlepas dari ikatan yang sudah mereka bina sebelumnya.

Namun sementara itu, maka Pangeran Singa Narpada-pun tidak tinggal diam. Pangeran Singa Narpada mengejar ketinggalannya atas pengaruh orang-orang padukuhan itu dengan sikapnya yang keras. Ia benar-benar tidak sekedar menakut-nakuti. Sehingga orang-orang di daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati itu tidak dapat mengabaikan ancamannya.

Tiba-tiba saja ketika fajar menyingsing, di sebuah padukuhan yang besar, yang termasuk daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati, sepasukan prajurit yang kuat telah berada di seputar padukuhan itu. Tidak seorang-pun yang boleh keluar dan masuk regol padukuhan. Di antara para prajurit itu terdapat beberap orang petugas yang membawa helai-helai rontal yang memuat nama-nama setiap penghuni rumah di daerah padukuhan itu.

Langkah yang mengejutkan itu, ternyata telah menggetarkan ketahanan tekad para pengikut Pangeran Kuda Permati, apalagi orang-orang yang sekedar berada dibawah pengaruhnya. Langkah yang tidak diduga benar-benar akan dilakukan itu, ternyata telah menjebak beberapa orang prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati yang tidak yakin, bahwa langkah yang demikian benar-benar akan diambil.

Beberapa orang yang tinggal diantara penduduk, namun yang tidak termasuk keluarga yang tertulis di dalam rontal telah terjebak. Mereka tidak dapat melawan karena mereka tidak bersiap untuk melakukannya, apalagi para petugas itu mendapat pengawalan yang sangat kuat. Karena itu, mereka-pun telah menjadi tawanan yang akan dibawa oleh para prajurit pasukan Pangeran Singa Narpada, termasuk orang yang bertanggung jawab dalam lingkungan keluarga itu.

Beberapa orang diantara mereka berusaha untuk bersembunyi. Tetapi para petugas dari pasukan Pangeran Singa Narpada telah menelusuri setiap sudut padukuhan tanpa ada yang terlampaui. Berbagai macam cara telah pula ditempuh untuk menghindarkan diri dari penangkapan. Ada yang mengaku tamu yang baru datang semalam dari padukuhan lain, atau sanak keluarganya yang tinggal di tempat yang jauh dan sudah lama tidak datang kembali. Baru dua hari yang lalu ia kembali ke rumah itu.

Namun para prajurit Pangeran Singa Narpada tidak menghiraukannya. Mereka telah dibawa sebagai tawanan. Bahkan meskipun namanya tercantum, tetapi ujud orangnya meragukan, maka orang yang demikian telah dibawa pula. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak mengabaikan kemungkinan bahwa orang yang dibawanya itu benar-benar tidak bersalah. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan sekelompok orang terpilih untuk memeriksa mereka yang ditangkap di padukuhan itu.

“Kita belum dapat menentukan, bahwa mereka bersalah, sebelum kita mendapatkan satu keyakinan. Mungkin bukti, saksi atau pengakuan mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Dengan demikian, maka orang-orang yang dibawa oleh para petugas itu-pun telah di tempatkan pada satu tempat yang mendapat pengawasan yang ketat untuk diperiksa dengan teliti. Namun dalam pada itu, betapa cermatnya langkah itu diambil, tetapi pada saat pasukan Pangeran Singa Narpada mengepung padukuhan itu, ada juga orang yang dapat lolos dari tangan mereka.

Dengan tergesa-gesa orang yang dapat menghindar lewat sebuah terowongan air dibawah rumpun-rumpun bambu yang rimbun, dengan tergesa-gesa telah menghubungi kawan-kawannya. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak, kecuali membawa orang itu menghadap seorang perwira yang terpercaya dari Pangeran Kuda Permati.

“Gila,” geram perwira itu, “Jadi Pangeran Singa Narpada benar-benar mengambil langkah yang tidak masuk akal itu? Apakah dengan demikian ia tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat menumbuhkan perlawanan yang lebih luas?”

Tetapi salah seorang di antara para pengikut itu justru berkata, “Jika demikian, bukankah langkah itu akan menguntungkan kita meskipun kita harus mengorbankan beberapa orang di antara kita?”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Sementara orang itu melanjutkan, “Karena itu, bukankah sebaiknya kita mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa seperti itu?”

“Kau memang dungu. Kita tidak boleh terlalu banyak mengorbankan kawan-kawan kita. Bagaimana seandainya kau yang terpilih menjadi korban?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Demikianlah, maka hal itu-pun segera dilaporkan kepada Pangeran Kuda Permati, yang sebagaimana perwira itu, telah terkejut karenanya. Pada saat Pangeran Singa Narpada mendatangi setiap rumah untuk mengetahui jumlah isinya. Pangeran Kuda Permati sudah merasa tersinggung, apalagi langkah yang dengan cepat telah diambil oleh Pangeran Singa Narpada itu.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati merasa terdorong untuk mengambil langkah-langkah untuk mengimbangi tindakan yang cepat dari Pangeran Singa Narpada. Tetapi untuk melakukan kegiatan di sisi Utara, Pangeran Kuda Permati terbentur oleh sikap yang keras kepala dari Panji Sempana Murti.

Panji Sempana Murti bukan saja mempersiapkan pasukannya untuk bergerak cepat, tetapi ia telah menyusun kekuatan di padukuhan-padukuhan yang berhadapan dengan daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati. Daerah yang semula mampu melindungi kekuatan Pangeran Kuda Permati, sehingga merupakan alas loncatan para pengikutnya untuk melakukan tekanan dan bahkan kadang-kadang perampasan di daerah diluar daerah pengaruh mereka, terutama kuda-kuda yang tegar.

Dengan kekuatan yang tersusun semakin lama semakin rapi, dibantu oleh para prajurit dibawah pimpinan Panji Sempana Murti, maka daerah perbatasan Utara seakan-akan tidak memberikan kesempatan lagi bagi Pangeran Kuda Permati, apalagi Pangeran Singa Narpada telah bukan saja bergerak di padukuhan-padukuhan yang berhadapan dengan daerah pengaruh Pangeran Kuda Permati, tetapi mereka telah memasuki dan mengkoyak-koyak kekuatan pengaruh Pangeran Kuda Permati itu.

Karena itulah, maka Pangeran Kuda Permati telah merubah cara perjuangannya. Ia tidak terikat pada satu tempat alas perjuangan. Tetapi ia sudah menyusun rencana-rencana baru yang akan dibicarakannya dengan para pengikutnya.

“Jadi kita akan selalu bergerak dan bergeser?” bertanya seorang perwiranya.

“Ya. Meskipun kita tetap mempunyai satu tempat yang terlindung sebagai alas perjuangan kita dalam keseluruhan, namun kita akan membagi kekuatan dan bergerak di segala sudut tanah ini sebagaimana kita sudah bergerak justru di Singasari dengan menugaskan beberapa kelompok di antara kita untuk memperlemah kedudukan Singasari lewat kekuatan alam yang kita manfaatkan dengan membuat lereng-lereng gunung kehilangan perlindungan,” berkata Pangeran Kuda Permati.

Para Senapatinya-pun segera mendapat perintah untuk merenungi rencana itu, sehingga pada satu saat. Pangeran Kuda Permati telah memanggil mereka untuk membicarakannya. Memang ada perbedaan pendapat di antara para Senapati dan para prajurit yang berpihak kepada Pangeran Kuda Permati. Namun akhirnya Pangeran Kuda Permati berhasil meyakinkan mereka, bahwa tidak ada gunanya untuk tetap berada di suatu alas perjuangan menghadapi kekuatan yang besar, sebagaimana kekuatan Pangeran Singa Narpada yang keras dan Panji Sempana Murti yang selain keras, juga cerdik.

Panji Sempana Murti berhasil menyusun kekuatan di padukuhan-padukuhan untuk menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati, sehingga padukuhan-padukuhan itu tidak lagi dapat dijadikan sumber persediaan makan dan kebutuhan-kebutuhan lain, karena kelompok-kelompok kecil pengikut Pangeran Kuda Permati yang berani memasuki padukuhan itu tentu akan dihadapi oleh para penghuninya, terutama anak-anak mudanya dan laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata. Sementara jika datang kekuatan yang lebih besar, maka mereka akan membunyikan isyarat dengan kentongan, sehingga dalam waktu yang pendek pasukan berkuda Panji Sempana Murti dan Pangeran Singa Narpada akan berdatangan.

Karena itulah, maka Pangeran Kuda Permati kemudian mengambil satu keputusan bahwa alas perjuangannya akan berpindah. Bahkan pasukannya tidak akan menetap lagi di tempat-tempat yang terlindung oleh bayangan penghuni setiap padukuhan, karena Pangeran Singa Narpada telah memasuki bukan saja padukuhan-padukuhan, tetapi rumah demi rumah.

“Kita akan berada di sini yang lemah dari daerah perbatasan,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Sementara daerah itu diperkuat, kita akan mengambil tempat yang lain. Aku yakin, bahwa Kediri tidak akan dapat membentengi Kota Raja dengan satu lingkaran penuh. Pada satu saat, kita akan memilih dinding yang paling lemah. Satu kali, kita akan menyerang memasuki Kota Raja.”

“Apakah kita akan merebut Kota Raja?” berkata salah seorang perwiranya.

“Kau memang dungu,” Pangeran Kuda Permati menggeram, “Buat apa kita merebut Kota Raja? Kita akan menguasainya untuk beberapa saat, namun cukup waktu untuk menjadikan Kota Raja menjadi karang abang.”

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi ada diantara mereka yang berbisik di telinga kawannya, “Lalu apakah sebenarnya yang diinginkan oleh Pangeran Kuda Permati? Bukankah Kota Raja merupakan satu-satunya pusat pemerintahan? Jika kita menguasai Kota Raja, berarti kita menguasai pusat pemerintahan. Kenapa justru sekedar untuk menjadikan karang abang.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian menjawab, “Kau memang tidak mudah menangkap pikiran orang lain. Jika Kota Raja itu menjadi karang abang, maka pertanda bahwa pemerintahan Kediri yang sekarang itu sudah tidak ada. Harus dibangun Kediri yang baru.”

Orang yang pertama mengangguk-angguk. Tetapi ia tetap tidak mengerti jalan pikiran Pangeran Kuda Permati.

Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Permati-pun dengan cepat melaksanakan rencananya yang sudah disepakati oleh para Senapatinya. Dengan demikian, maka gerakan Pangeran Kuda Permati itu telah mengejutkan para prajurit Kediri. Pada satu saat, tiba-tiba saja Pangeran Kuda Permati dan pasukannya telah menyergap pasukan Kediri di perbatasan sebelah Timur. Namun dua hari kemudian, maka daerah sebelah Barat telah dikacaukan oleh kehadiran pasukan Pangeran Kuda Permati.

Namun dalam pada itu, Ki Waruju telah mendengar sikap pangeran Kuda Permati itu dari seseorang yang sering membual bersamanya di warung-warung di sekitar pasar-pasar hewan. Dalam keadaan mabuk, maka orang itu menceriterakan rencana yang akan diambil oleh Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka rencana itu-pun segera sampai pula kepada Pugutrawe, lewat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Satu rencana yang sangat berbahaya,” berkata Pugutrawe. Hal ini harus segera sampai kepada Pangeran Singa Narpada.”

Tetapi jalur lurus antara para petugas sandi dari Singasari dan para prajurit dari Kediri tidak ada. Karena itu, ia mempergunakan petugasnya yang ada di dalam pasukan Pangeran Singa Narpada, meskipun orang itu agak sulit untuk meyakinkannya. Namun, demikian perbatasan di sebelah Timur mendapat sergapan dari pasukan Pangeran Kuda Permati, maka dengan segera Pangeran Singa Narpada menghubungkan hal itu dengan rencana Pangeran Kuda Permati yang pernah didengarnya.

“Benar,” geramnya, “Kuda Permati mempergunakan akal yang licik itu.”

Namun Pangeran Singa Narpada tidak mau ketinggalan. Dengan serta merta ia memanggil beberapa orang pengikut Pangeran Kuda Permati yang tertawan. Dengan caranya, Pangeran Singa Narpada memaksa orang itu untuk mengatakan dimana landasan utama Pangeran Kuda Permati.

Tetapi dari orang-orang itu Pangeran Singa Narpada telah mendapatkan beberapa nama dari orang-orang yang dianggapnya mengetahuinya, sehingga jika Pangeran Singa Narpada dapat berbicara dengan orang-orang itu, maka ia akan dapat menemukan persembunyian Pangeran Kuda Permati yang sangat dirahasiakannya itu.

“Setan,” geram Pangeran Singa Narpada, “jadi kalian tidak mengetahui?”

Orang-orang itu memang benar-benar tidak mengetahui. Apa-pun yang dilakukan atas mereka, maka mereka akan dapat menunjukkan dimanakah alas utama Pangeran Kuda Permati. Orang itu tidak tahu, bahwa Pangeran Kuda Permati telah mengambil satu langkah yang lain. Namun bagaimana-pun juga ia bertahan, akhirnya terloncat pula dari mulutnya, nama-nama orang yang dianggap mengerti tentang landasan utama Pangeran Kuda Permati.

Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada tidak mau menyerah. Dengan telaten ia mengusut setiap nama dari orang-orang yang ditawannya dan yang pernah ditawan oleh Panji Sempana Murti, sehingga akhirnya, Pangeran Singa Narpada telah menemukan seseorang yang namanya disebut oleh para tawanan sebagai orang yang mengetahui serba sedikit tentang seluk-beluk persembunyian itu.

Ketika orang itu kemudian dihadapkan kepada Pangeran Singa Narpada, maka wajahnya telah menjadi basah oleh keringat yang mengembun dari seluruh lubang-lubang di kulit mukanya.

“Kau kenal aku?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya, Pangeran,” jawab orang itu.

“Bukankah kau orang yang bernama Tundadata?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya, Pangeran,” jawab orang itu.

“Nah, kau tidak perlu mempersulit tugasku dan menyakiti dirimu sendiri. Sebut, dimana landasan perjuangan Pangeran Kuda Permati. Tegasnya, dimana persembunyiannya pribadi?”

Orang yang bernama Tundadata itu menyadari apa yang dapat terjadi dengan dirinya. Karena itu, maka ia-pun tidak banyak berputar-putar. Apalagi menurut pendapatnya, perjuangan Pangeran Kuda Permati telah menjadi semakin terdesak oleh sikap keras Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti. Selebihnya, ternyata Tundadata tidak mempunyai keteguhan hati sebagaimana yang diharapkan oleh Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka sikap Pangeran Singa Narpada itu telah mengguncangkan jiwanya.

“Tundadata,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku kira kau memang seorang kepercayaan Kuda Permati. Karena itu, maka aku-pun akan memperlakukan kau seperti itu. Untuk mendengar keterangan dari mulutmu, memang diperlukan sikap yang khusus sebagaimana aku bersikap terhadap orang-orang yang pernah ditempa untuk menjadi seorang kepercayaan pemimpinnya.”

Wajah Tundadata menjadi semakin pucat. Dan keringat-pun menjadi semakin deras mengalir.

“Mungkin kau akan terpaksa kehilangan nalar dan kemampuanmu berpikir, sehingga kau akan terpaksa berbuat menurut nalurimu saja,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Jantung Tundadata terasa seakan-akan berhenti berdetak. Ia mengenal Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka apa yang dikatakan itu bukan sekedar untuk menakut-nakuti. Tetapi ia akan dapat berbuat sebagaimana dikatakannya.

“Tentu hal seperti itu tidak akan dilakukan atas Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Tundadata di dalam hatinya.

Karena itu, maka akhirnya Tundadata tidak menunggu tubuhnya menjadi kehilangan bentuk. “Baiklah Pangeran,” berkata Tundadata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali berkhianat terhadap Pangeran Kuda Permati.”

“Katakan sekali lagi bahwa kau terpaksa berkhianat terhadap Pangeran Kuda Permati, tetapi tanpa menyadari pengkhianatanmu terhadap Kediri,” geram Pangeran Singa Narpada.

Jantung Tundadata benar-benar terasa berhenti sesaat. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, dengan petunjuk Tundadata, maka Pangeran Singa Narpada telah menyiapkan pasukan yang besar untuk datang ke landasan Utama dari perjuangannya. Meskipun ia kemudian akan selalu bergeser, tetapi ia tentu mempunyai sarang yang sewaktu-waktu akan dapat dijadikan tempat untuk hinggap.

“Kita harus menyerang tempat itu,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada para Senopatinya.

Di hari yang sudah ditentukan, maka Pangeran Singa Narpada beserta pasukannya yang kuat, termasuk sebagian dari pasukan Panji Sempana Murti telah berangkat ke sarang Pangeran Kuda Permati. Meskipun seandainya Pangeran Kuda Permati lengkap dengan pasukannya ada di sarangnya, maka pasukan itu tidak akan mengecewakan. Tetapi sebaliknya, jika Pangeran Kuda Permati dan pasukan induknya tidak ada. Pangeran Singa Narpada akan menjadikan sarang Pangeran Kuda Permati itu karang abang, sebagaimana ingin dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati atas Kota Raja.

Pasukan Pangeran Singa Narpada telah menghitung waktu dengan cermat. Mereka akan berada di perjalanan pada malam hari. Demikian fajar menyingsing, maka pasukan itu akan menerobos masuk ke dalam landasan utama Pangeran Kuda Permati. Keberangkatan pasukan itu tidak lepas dari pengamatan para petugas sandi dari Singasari. Mereka mengikuti gerakan itu dengan cermat. Yang menjadi perhatian utama mereka seandainya pasukan Pangeran Singa Narpada menemui kegagalan, maka berarti bahwa Pangeran Kuda Permati akan menjadi leluasa bertindak lebih jauh.

Ternyata bahwa pasukan sandi dari Singasari, telah menangkap satu pemberitahuan, ketika pasukan Pangeran Singa Narpada memasuki landasan utamanya, maka pasukan Pangeran Kuda Permati memang tidak sedang berada di tempat. Tetapi pasukan sandi itu sengaja tidak memberikan keterangan itu lewat jalur mana-pun juga, sehingga pasukan Singa Narpada tidak merubah rencananya sama sekali, sementara para petugas sandi dari Kediri sendiri ternyata terlambat mendapat keterangan itu.

Namun keberangkatan pasukan Pangeran Singa Narpada tidak akan mengalami kerugian apa-pun meskipun mereka akan menjumpai tempat persembunyian Pangeran Kuda Permati yang kosong. Bahkan dengan demikian mereka tidak akan menjumpai perlawanan, sementara mungkin mereka akan dapat berbuat sesuatu dengan menghancurkan landasan utama itu.

Sementara itu Pangeran Kuda Permati sendiri ternyata tidak mendapat laporan apa-pun juga tentang gerakan itu. Ternyata para Senapati dari pasukan Pangeran Singa Narpada mampu memegang rahasia keberangkatannya itu dengan baik, sehingga tidak tersadap para petugas sandi dari pasukan lawan. Karena itu, maka baik Pangeran Kuda Permati, mau-pun mereka yang berada di sarang utama Pangeran Kuda Permati tidak menyadari, bahwa sepasukan yang kuat sedang merayap mendekati di dalam gelapnya malam.

Dengan petunjuk Tundadata yang merasa dirinya sebagai seorang pengkhianat terhadap Pangeran Kuda Permati, pasukan yang besar itu mendekati sasaran menjelang fajar. Mereka-pun segera mengepung landasan utama itu dan sebelum matahari terbit, mereka masih sempat beristirahat barang sejenak. Tetapi sebagaimana direncanakan, maka ketika langit dibayangi oleh cahaya pagi, maka pasukan itu telah bersiap. Mereka akan mendapat isyarat yang akan memberikan perintah kepada mereka untuk bergerak.

Dengan tegang para prajurit itu-pun bersiap. Justru pada saat terakhir, seorang petugas sandi datang melaporkan, bahwa sasaran itu ternyata tidak ditunggui oleh induk pasukan Pangeran Kuda Permati. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak merubah gelar pasukannya. Sehingga demikian matahari mulai nampak di batas cakrawala, maka telah terdengar isyarat yang ditunggu. Suara sangkala bersambut telah terdengar memutari sasaran.

Demikianlah, maka pasukan yang kuat itu mulai bergerak. Sebenarnyalah bahwa landasan Utama yang tersembunyi itu, sedang ditinggalkan oleh induk pasukan Pangeran Kuda Permati yang bergeser ke perbatasan Selatan. Pada saat yang bersamaan, Pangeran Kuda Permati telah memasuki sebuah padukuhan di daerah perbatasan Selatan. Daerah yang bagi Pangeran Kuda Permati tidak segarang daerah Utara.

Daerah itu memang terkejut karena kedatangan Pangeran Kuda Permati dengan sikap yang tidak ramah. Bahkan ternyata mereka telah berbuat kasar dengan mengambil milik mereka, terutama kuda-kuda yang tegar.

“Sampaikan kepada para prajurit Kediri yang menyediakan diri menjadi budak dan penjilat atas orang-orang Singasari, bahwa kami akan sering datang memasuki padukuhan-padukuhan. Terima kasih atas bantuan kalian terhadap perjuangan kami dengan kuda-kuda tegar yang telah kalian relakan,” berkata seorang Senapati yang memimpin pasukan itu.

Orang-orang padukuhan yang kehilangan kuda-kuda mereka hanya dapat mengumpat di dalam hati. Namun demikian pasukan Pangeran Kuda Permati itu meninggalkan padukuhan mereka, maka mereka-pun segera telah berusaha untuk menghubungi para prajurit Kediri di daerah Selatan yang memang kurang siap menghadapi persoalan itu meskipun mereka sudah mendapat isyarat bahwa hal yang demikian mungkin akan terjadi, ketika para petugas sandi menangkap isyarat bahwa pasukan Pangeran Kuda Permati akan merubah caranya menghadapi pasukan Kediri.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah landasan utama pasukan Pangeran Kuda Permati yang tersembunyi dan dirahasiakan itu ternyata telah dapat diketemukan oleh Pangeran Singa Narpada. Berbeda dengan Pangeran Kuda Permati yang tidak pernah nampak sebagai dirinya memimpin pasukan meskipun ia berada didalam pasukan itu, maka Pangeran Singa Narpada dengan tanda-tanda kebesaran telah memasuki landasan Utama Pangeran Kuda Permati.

Tidak banyak perlawanan yang didapatkannya. Sepasukan pengawal yang terkejut telah berjuang dengan sekuat tenaga. Tetapi perlawanan mereka tidak lama, karena jumlah mereka memang terlalu sedikit menghadapi pasukan Pangeran Singa Narpada yang keras. Sehingga beberapa saat kemudian, sebagian dari mereka yang masih hidup telah tertawan.

Namun ternyata Pangeran Singa Narpada sendiri telah menjumpai sesuatu yang tidak pernah diduganya. Ketika dengan dikawal oleh beberapa orang prajurit terpilih ia memasuki bangunan induk pada landasan utama itu, ia-pun telah terkejut sekali. Di tengah-tengah ruangan dalam ia jumpai seorang perempuan dengan keris di tangan siap untuk bertempur.

“Jangan mendekat,” terdengar suara perempuan itu geram.

Pangeran Singa Narpada tertegun. Namun tiba-tiba saja terdengar ia berdesis, “Diajeng Purnadewi?”

Perempuan itu bergeser selangkah surut. Baru kemudian dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya, “Kakangmas Singa Narpada.”

Keduanya berdiri mematung untuk beberapa saat. Sementara itu ditagan perempuan yang disebut Purnadewi itu masih tergenggam sebilah keris. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia kemudian menyadari bahwa ia berhadapan dengan isteri Pangeran Kuda Permati.

“Diajeng,” desis Pangeran Singa Narpada kemudian, “jadi selama ini kau berada disini?”

Sejenak perempuan itu termangu-mangu. Namun ia-pun kemudian menggeretakkan gigi sambil menjawab, “Ya. Aku selama ini berada disini dan akan tetap berada disini. Tempat ini akan kami pertahankan sampai orang yang terakhir.”

Pangeran Singa Narpada yang garang itu ternyata berkata dengan nada yang sabar, “Diajeng. Jangan kehilangan akal. Masih banyak jalan yang dapat kau tempuh. Kau masih cukup muda, sehingga masa mendatang bagimu masih panjang.”

“Aku tidak percaya. Mereka akan bertahan sampai mati, sebagaimana akan aku lakukan,” jawab Purnadewi.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun ia-pun kemudian menyarungkan senjatanya. Katanya, “Apakah kau benar-benar akan mempertahankan tempat ini? Para pengawal yang ada di tempat ini sudah menyerah.”

“Aku adalah isteri Pangeran Kuda Permati. Senopati Agung dari pasukan pembebas bagi Kediri. Karena itu, maka aku-pun harus menyesuaikan diri dengan kedudukan suamiku. Kakangmas hanya akan dapat menyebut namaku. Tetapi Kakangmas tidak akan dapat membawa dan membelenggu tekadku dan tekad suamiku. Jika Kakangmas akan menangkap aku, maka yang dapat Kakangmas sentuh adalah tubuhku yang sudah tidak berjiwa lagi,” geram Purnadewi.

“Jangan berkata begitu Diajeng,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Kita adalah keluarga sendiri. Mungkin sikap kita dapat berbeda. Tetapi bagaimana-pun juga aku adalah pengemban titah Sri Baginda. Kau adalah salah seorang keluarga dari Sri Baginda sebagaimana aku dan adimas Pangeran Kuda Permati.”

“Jangan membujuk Kakangmas,” berkata Purnadewi kemudian, “Sekarang kita berdiri berhadapan meskipun kita adalah keluarga. Jika aku sepupu Kakangmas, biarlah aku tetap menghormati sebagai saudara yang berdarah lebih tua. Tetapi tentang sikap dan pendirian kita terhadap Kediri adalah persoalan yang berbeda.”

“Jangan mengeraskan hatimu Diajeng. Kau dapat berpikir lebih jernih. Kita akan menghadap Sri Baginda. Kemudian katakan apa saja tentang tekadmu dan tekad suamimu kepada Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Dan Kakangmas akan membawa aku sebagai tawanan perang menghadap Sri Baginda dalam keadaan hidup?” bertanya Purnadewi.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “persengketaan ini akan berjalan untuk waktu yang lama. Jika kita tetap berkeras terhadap pendirian kita masing-masing. Korban akan berjatuhan dan keadaan Kediri justru akan menjadi semakin buruk.”

“Itu adalah kesalahan kalian,” jawab Purnadewi, “Jika kalian tidak menjadi alat orang-orang Singasari, maka Kediri akan bangkit. Tetapi kalian tidak menyadari kebesaran Kediri sebagaimana kita dengar pada saat Tumapel belum berkhianat? Tetapi pengkhianatan itu telah merubah Kediri menjadi daerah mati. Sedangkan pengkhianatan itu berlangsung terus dari masa kemasa. Dan agaknya sekarang-pun telah terjadi pengkhianatan, sehingga Kakangmas Singa Narpada dapat menemukan tempat ini.”

“Jangan menyesali sikap yang berbeda di antara kita,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jangan pula menyesali orang yang telah menyadari kesalahan langkahnya dan menunjukkan tempat ini. Namun yang penting, apakah kita memang benar-benar tidak dapat menemukan satu titik yang paling baik bagi Kediri dalam keadaan sekarang ini?”

“Sudah aku katakan,” jawab Purnadewi, “Jika kalian dapat merubah sikap kalian dan berada didalam satu barisan dengan kami, maka segalanya akan berakhir dengan baik. Kediri akan berdiri sebagai satu kekuatan yang tidak terkalahkan.”

“Apa artinya kekuatan yang tidak terkalahkan? Dan untuk apakah kekuatan itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Singasari harus tunduk dibawah perintah Kediri,” jawab Purnadewi.

“Dan peristiwa yang serupa akan terulang. Singasari lah yang akan bergolak, sehingga pada suatu saat, Singasari dapat mengalahkan Kediri atau kekuatan lain yang akan timbul,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Karena itu, maka kita harus melihat dari sisi yang lain. Kita adalah keluarga besar yang satu, dimana-pun pusat kekuasaan berada. Di Singasari atau di Kediri atau di Gagelang atau di tempat lain. Jika kita dapat hidup saling menghormati sebagaimana layaknya keluarga yang besar, maka pusat pemerintahan bukan soal yang harus dipertentangkan. Kecuali jika yang satu berusaha menghisap yang lain serta memperbudaknya, maka persoalannya akan berbeda. Tetapi yang kita hadapi sekarang ini adalah satu keluarga besar yang saling mengerti, bertenggang rasa dan saling menghormati.”

Wajah Purnadewi menegang. Namun kemudian jawabnya, “Aku mendengar alasan seperti itu dari orang-orang yang tidak bersikap, sebagaimana Kakangmas Singa Narpada.”

Kata-kata itu benar-benar menyinggung perasaan Pangeran Singa Narpada yang keras hati. Namun yang dihadapinya adalah seorang perempuan. Bukan Pangeran Kuda Permati sendiri. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk mengekang diri. Bahkan kemudian dengan nada sareh ia bertanya, “Diajeng. Sebenarnya aku dapat mengerti sikap Diajeng sebagai isteri Pangeran Kuda Permati yang berdiri atas satu keyakinan, tanpa menghiraukan kenyataan yang dihadapinya. Tetapi apakah memang demikian sikap Diajeng sendiri? Selama ini Diajeng sudah merasakan betapa pahit getirnya bermusuhan diantara sesama kadang sendiri. Dan barangkali Diajeng Purnadewi juga mengerti gejolak perasaan Pangeran Kuda Permati yang sebenarnya atas keyakinannya.”

“Cukup,” Purnadewi itu berteriak sambil mengacukan keris di tangannya, “jangan Kakangmas mengira bahwa aku tidak akan berani menghujamkan keris ini di dada Kakangmas.”

“Aku percaya Diajeng. Keadaan yang selama ini membelenggumu telah menempa jiwamu menjadi seorang perempuan yang keras,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Tetapi yang aku tanyakan, apakah sikap suamimu sesuai dengan sikap nuranimu yang mendasar.”

“Diam,” Purnadewi itu berteriak pula, “Kakangmas harus tahu. Aku adalah seorang isteri yang setia.”

“Aku tahu Diajeng. Justru karena sikapmu menunjukkan bahwa kau adalah seorang isteri yang setia. Betapapun sulitnya, pahitnya dan pedihnya hidup dalam pertentangan yang tidak berujung pangkal, kau tetap mendampingi Pangeran Kuda Permati. Tetapi yang ingin aku ketahui bukan kesetiaanmu. Aku yakin akan kesetiaanmu itu, sehingga akan dapat menjadi tauladan setiap perempuan di Kediri. Tetapi yang aku tanyakan adalah sikap nuranimu.”

“Kesetiaan adalah sikap nuraniku,” jawab Purnadewi.

“Benar sekali. Tetapi sikap nuranimu menghadapi perang diantara keluarga sendiri? Sikap nuranimu terhadap keyakinan Pangeran Kuda Permati yang aku ragukan kejujurannya, karena aku mengenal Pangeran Kuda Permati sejak anak-anak. Apakah Pangeran Kuda Permati benar-benar berjuang untuk kebebasan Kediri sebagaimana selalu diteriak-teriakkan meskipun dalam pengertian yang kabur atas kebebasan itu sendiri, atau sekedar memanfaatkan keadaan untuk mengangkat dirinya sendiri agar mendapat pengaruh yang besar atas rakyat Kediri?”

“Diam. Diam kau Kakangmas,” teriak Purnadewi lebih keras lagi sambil meloncat mengayunkan kerisnya.

Para pengawal Pangeran Singa Narpada telah bergeser selangkah. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada tidak mengambil sikap apa-pun. Ia memang menghindari ujung keris Purnadewi, tetapi sama sekali tidak berusaha untuk melawan dan apalagi menyerang kembali. Karena itu, maka para pengawalnya-pun tidak pula berbuat sesuatu.

“Jangan bermain-main dengan keris itu Diajeng. Menilik ujudnya, keris itu adalah keris yang luar biasa. Jika keris itu menyentuh kulitku meskipun hanya segores kecil, maka jiwaku tidak akan tertolong lagi,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Aku memang akan membunuh Kakangmas,” jawab Purnadewi.

“Apakah benar begitu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya,” jawab Purnadewi singkat. Lalu, “Jika Kakangmas Pangeran akan mempertahankan diri, lakukanlah. Aku sama sekali tidak takut seandainya akulah yang akan terbunuh karena para pengawal Kakangmas Pangeran akan ikut membantu Kakangmas.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Diajeng pernah mendengar, entah dari orang lain atau dari suamimu, bahwa aku adalah seorang yang keras dan kasar. Namun dalam pada itu, aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa di ruang ini dapat kau lihat contoh dari gejolak yang terjadi di seluruh Kediri sekarang ini karena api yang telah dinyalakan oleh Pangeran Kuda Permati. Kau ternyata sudah tidak lagi mempunyai satu keberatan apa-pun untuk membunuh aku. Saudara sepupumu. Memang hal yang demikian itu wajar sekali terjadi di peperangan. Seperti di ruangan ini, maka di daerah seluas Kediri telah terjadi pula saling membunuh diantara saudara tanpa lagi menumbuhkan penyesalan. Yang tumbuh kemudian adalah dendam diantara anak-anak mereka yang saling berbunuhan, sehingga dendam itu akan menyala lagi pada setiap tataran keturunan.”

Wajah Purnadewi menjadi semakin tegang sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, “Diajeng. Selama kemelut terjadi di Kediri, maka berapa orang yang telah terbunuh. Dan ini akan berlanjut terus. Betapa keras hatiku seperti batu, dan bahwa setiap orang mengatakan, bahwa aku dapat membunuh lawan-lawanku dengan tatapan mata tanpa berkedip dan tanpa kesan apa-pun, namun semakin banyak mayat yang aku temui di peperangan, maka hatiku yang seperti batu itu, akan menjadi lekuk juga oleh titik-titik air hujan yang memukul terus-menerus. Yang kemudian ingin aku ketahui, bagaimanakah perasaan Diajeng sebagai seorang perempuan?”

Wajah Purnadewi yang tegang itu menjadi semakin tegang. Namun terasa kemudian jantungnya berdegup semakin keras. Kata-kata Pangeran Singa Narpada itu ternyata telah menyentuh hatinya. Namun untuk beberapa saat lamanya, Purnadewi sama sekali tidak berkata sepatah kata-pun.

Untuk sejenak ruangan itu menjadi sepi. Meskipun demikian keris di tangan Purnadewi masih tetap teracu. Pangeran Singa Narpada bergeser selangkah. Tetapi ia tertegun ketika arah ujung keris Purnadewi masih tetap mengikutinya. Namun sikap Purnadewi sudah tidak segarang sebelumnya.

“Diajeng,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Bagaimanapun juga aku mohon kau sempat memikirkan apa yang terjadi di Kediri. Mungkin kau tidak pernah keluar dari ruangan ini, sehingga kau tidak melihat darah yang tercecer membasahi bumi Kediri. Kau tidak pernah mendengar tangis biyung yang kehilangan anaknya serta ratap gadis-gadis yang kehilangan kekasih,” Pangeran Singa Narpada terdiam sejenak, lalu katanya, “Aku tidak ingkar, bahwa sampai pertempuran yang terakhir, aku adalah orang yang garang. Aku masih tetap membunuh dan membantai lawan-lawanku. Namun sudah barang tentu aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat melakukannya terus-menerus. Aku menyadari bahwa pada suatu ketika aku harus berhenti membunuh. Dan itu hanya dapat aku lakukan jika Kediri menjadi tenang. Tidak ada lagi orang-orang yang ingin memanjakan nafsu ketamakannya dan kedengkiannya.”

Purnadewi memangdang wajah Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun ia-pun kemudian menundukkan kepalanya perlahan-lahan. Pangeran Singa Narpada adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Sikap Purnadewi memberikan isyarat kepadanya, bahwa kata-katanya berhasil menyentuh hati perempuan itu. Karena itu, maka katanya pula,

“Diajeng. Pintu masih terbuka. Jika kau tidak berkeberatan, aku dapat membawamu menghadap Sri Baginda. Tidak sebagai tawanan, tetapi sebagai kadang sendiri.”

Prunadewi mengangkat wajahnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kakangmas. Jangan bawa aku keluar dari tempat ini. Jika Kakangmas ingin membunuh aku, lakukanlah. Kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, karena lambat atau cepat, kita pasti akan sampai juga kepadanya.”

“Hatimu telah tertempa, sehingga menjadi sekeras baja,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tetapi sebenarnyalah sikap itu tidak perlu. Aku tahu, bahwa dengan demikian kau telah menunjukkan kesetiaanmu. Tetapi kesetiaan yang demikian adalah kesetiaan yang tidak berjiwa. Jika kau bersedia mendengarkan nasehatku, sebaiknya kau pergi menghadap Sri Baginda. Kau akan dapat berbicara sebagaimana kau katakan kepadaku, atau mungkin alasan-alasan lain yang dapat dimengerti oleh Sri Baginda, bahwa Pangeran Kuda Permati harus melakukan perlawanan diatas satu keyakinan yang mapan. Diajeng, kau tentu sudah pernah mendengar, bahwa aku sendiri pernah ditangkap dan dimasukkan kedalam sebuah bilik yang sempit dan gelap sebagai tawanan. Aku merasa bahwa aku tidak pernah melakukan kesalahan apa-pun. Aku adalah seorang prajurit yang melakukan tugasku sebaik-baiknya menurut pendapatku. Namun Sri Baginda ternyata berpendapat lain. Menurut pendapat Sri Baginda, aku adalah seekor singa yang gila di medan perang. Yang membunuh tanpa pertimbangan, seolah-olah aku adalah manusia yang tidak berjantung.”

Pangeran Singa Narpada terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Purnadewi yang menjadi semakin menunduk. Baru sejenak kemudian ia melanjutkan, “Diajeng. Aku juga akan berbicara tentang kesetiaan. Kesetiaan seorang prajurit. Bagaimanapun juga hatiku disakiti, tetapi ketika Sri Baginda memberikan tugas kepadaku, aku tidak ingkar. Tetapi satu hal yang dipesankan secara khusus oleh Sri Baginda, bahwa aku tidak dibenarkan untuk membunuh dan berbuat kasar menurut kehendakku saja.”

Wajah Purnadewi terangkat sejenak. Namun wajah itu kembali menunduk. Sementara itu Pangeran Singa Narpada melanjutkan, “Nah, itu adalah gambaran jiwa Sri Baginda yang menjadi sangat sedih melihat pertumpahan darah yang terjadi di Kediri sekarang ini. Bahkan Pangeran Kuda Permati pernah dipanggil oleh Sri Baginda, dan dengan hati terbuka Sri Baginda menyatakan sikapnya. Namun adimas Kuda Permati sama sekali tidak menanggapinya, sehingga akhirnya api peperangan menyala semakin besar. Korban semakin banyak berjatuhan dan Kediri dengan demikian akan menjadi semakin lemah.”

Ujung keris di tangan Purnadewi-pun menjadi semakin menunduk, sehingga dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada-pun menjadi semakin yakin, bahwa ia akan berhasil membujuk adik sepupunya itu. Katanya kemudian,

“Tetapi Diajeng. Aku tidak tahu, apakah aku dapat memenuhi keinginan Sri Baginda. Meskipun sudah aku pertimbangkan semasak-masaknya, bahwa aku ingin bersikap sebagaimana dikehendaki oleh Sri Baginda, namun jika aku sudah turun kemedan, maka persoalannya akan menjadi lain. Darahku serasa telah mendidih dan nalarku menjadi buntu. Aku kehilangan kemampuan untuk mengingat pesan itu. Tetapi aku kira bukan aku saja yang berbuat demikian. Orang lain-pun akan dapat terjebak dalam sikap serupa. Sehingga karena itu, maka kematian tidak terbendung lagi.”

Adalah diluar dugaan Pangeran Singa Narpada, bahwa tiba-tiba saja Purnadewi telah melepaskan kerisnya. Tubuhnya seakan-akan menjadi lemah, sehingga ia telah jatuh pada lututnya. Sambil menutup wajahnya, maka Purnadewi itu telah menangis.

Perlahan-lahan Pangeran Singa Narpada mendekatinya sambil berkata, “Diajeng. Kenalilah dirimu sendiri. Kau adalah seorang putri yang memiliki kehalusan budi. Karena itu, aku tahu apa kata nuranimu menghadapi peperangan yang sudah cukup membakar Kediri.”

Purnadewi tidak menjawab. Tetapi ia menjadi terisak-isak. Ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi ketika Pangeran Singa Narpada memungut kerisnya.

“Marilah Diajeng,” Ajak Pangeran Singa Narpada, “Kita tinggalkan sarang yang pengab ini. Bukan karena kita kehilangan kesetiaan kita, tetapi kita mencari kemungkinan yang lebih baik dalam pengabdian ini. Apalagi jika kita harus mempertanggung jawabkannya kepada Yang Maha Agung.”

Purnadewi sama sekali tidak mengelak lagi. Pangeran Singa Narpada kemudian membimbing Purnadewi keluar dari ruangan itu. Ketika Purnadewi sampai di halaman, maka ia-pun melihat satu kenyataan bahwa prajurit-prajuritnya memang sudah dilumpuhkan. Prajurit yang jumlahnya memang terlalu kecil untuk menghadapi pasukan Pangeran Singa Narpada. Purnadewi-pun kemudian benar-benar telah menyerahkan diri. Ia menurut saja perintah Pangeran Singa Narpada yang membawanya mengahadap Sri Baginda.

Sri Baginda yang melihat seorang perempuan yang dibawa menghadapnya diluar paseban, karena keadaan yang mendesak, benar-benar telah terkejut ketika Pangeran Singa Narpada yang membawa perempuan itu berkata, “Hamba datang bersama Diajeng Purnadewi.”

“Purnadewi?” ulang Sri Baginda.

“Ya Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Jadi kau?” wajah Sri Baginda menjadi tegang.

Purnadewi hanya menunduk saja dalam-dalam. Tetapi satu hal yang dikaguminya, Pangeran Singa Narpada yang garang itu telah membawanya mengahadap tidak sebagai seorang tawanan. Untuk beberapa saat Sri Baginda memperhatikan Purnadewi yang menghadapinya. Kemudian katanya, “Kau berubah sama sekali Purnadewi. Kau menjadi kurus dan hitam. Meskipun sorot matamu masih juga sorot matamu yang penuh dengan panasnya gejolak perasaanmu. Agaknya kau telah melibatkan diri dalam kegiatan pasukanmu, atau kegiatan-kegiatan lain yang sejalan dengan sikap suamimu.”

Purnadewi sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Sementara itu Sri Baginda berkata pula, “Aku kasihan melihat ujud wajahmu Purnadewi.”

“Sri Baginda,” Pangeran Singa Narpada menengahi, “Sejak hari ini Diajeng Purnadewi akan berada didalam lingkungan istana. Yang terpenting adalah untuk melindungi jiwanya. Seseorang yang menyangka bahwa Diajeng Purnadewi telah menyerah, akan dapat mengambil langkah-langkah yang beraneka dan tidak wajar.”

“Baiklah,” kata Sri Baginda, “Kau akan tinggal di tempat yang khusus diperuntukkan bagimu dalam lingkungan dinding istana ini.”

Purnadewi masih tetap berdiam diri. Justru terasa nyatanya mulai menjadi panas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan yang terlalu baik menurut gambaran angan-angannya. Ia menyangka bahwa ia akan diperlakukan sebagai tawanan. Diperlakukan sebagai seorang budak yang harus berbuat apa saja menurut perintah tuannya.

Tetapi baik Pangeran Singa Narpada, maupun Sri Baginda sendiri tidak memperlakukannya seperti itu. Bahkan ia masih tetap mempunyai kedudukan yang terhormat sebagaimana sepupu Sri Baginda sendiri. Purnadewi tidak terlalu lama menghadap Sri Baginda. Ia sama sekali tidak berkata sepatah kata-pun juga. Agaknya Sri Baginda-pun memaklumi sikapnya, sehingga karena itu, maka Sri Baginda-pun berkata,

“Bawalah Purnadewi ke tempat yang akan disediakan baginya. Biarlah ia beristirahat. Ia tidak hanya mengalami kelelahan lahiriah saja, tetapi ia juga mengalami kelelahan batin yang akan dapat sangat mengganggu jika ia tidak segera mendapat kesempatan untuk beristirahat sebaik-baiknya.”

Pangeran Singa Narpada-pun kemudian menyerahkan Purnadewi kepada orang-orang yang bertugas untuk melayaninya. Dua orang perempuan akan selalu berada di dekatnya untuk mengawaninya dan melakukan segala perintahnya.

Sebenarnyalah, Purnadewi yang mendapat tempat yang jauh lebih baik dari tempatnya sendiri di lingkungan sarang para pengikut suaminya, mulai memikirkan langkah-langkah yang pernah diambilnya selama itu. Bahkan ia sempat heran kepada diri sendiri, bahwa pandangannya terhadap dunia diluar sarang para pengikut suaminya itu menjadi terlalu sempit, sehingga karena itu, ia tidak mendapat gambaran yang benar tentang keadaan di sekitarnya, di sekitar istana dan di sekitar Kota Raja.

Sementara itu, ketika Purnadewi telah mulai mapan, Sri Baginda telah berbicara dengan Pangeran Singa Narpada tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh menghadapi perkembangan keadaan yang semakin memuncak.

“Apakah Purnadewi dapat membantu menyelesaiakan perang yang berkecamuk tanpa akhir ini?” berkata Sri Baginda.

“Kita akan mencoba jika Purnadewi sendiri setuju Sri Baginda. Jalan yang harus ditempuh adalah jalan yang agak sulit untuk dilewati. Tetapi jika ia bersedia, maka tentu akan ada jalan untuk memecahkan kesulitan itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, laporan tentang sergapan Pangeran Singa Narpada ke sarang pasukannya telah didengar pula oleh Pangeran Kuda Permati. Demikian ia mendengar bahwa Pangeran Singa Narpada menemukan sarangnya, telah membuatnya menjadi seperti gila.

Betapa-pun marahnya Pangeran Kuda Permati, namun ia tidak tahu kepada siapa ia harus menumpahkan kemarahannya itu. Meskipun ia sadar, bahwa tentu ada seorang pengkhianat yang telah menunjukkan sarangnya itu kepada lawan.

“Ada beberapa orang yang tertawan,” berkata salah seorang kepercayaannya, “Tentu satu diantara mereka tidak dapat menahan diri untuk berterus-terang.”

“Ia adalah pengkhianat,” geram Pangeran Kuda Permati.

“Ya, orang itu memang pengkhianat,” jawab kepercayaannya itu, “Seharusnya ia berdiam diri sampai akhir hayatnya. Namun, tentu ada pengkhianat yang lain yang telah menyebut beberapa orang yang dianggap mengetahui sarang kita.”

“Ya,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Jika kita dapat menemukan mereka, maka mereka akan aku cincang sampai lumat.”

“Mereka berada di tempat-tempat tawanan di Kediri,” jawab kepercayaannya itu.

Pangeran Kuda Permati menggeretakkan giginya. Hancurnya landasan utamanya itu tidak begitu penting baginya, karena di tempat itu memang tidak terdapat benda-benda yang bernilai bagi peperangan yang sedang berlangsung, seandainya di tempat itu tidak terdapat istri Pangeran Kuda Permati itu, Purnadewi. Namun hal itu sudah terjadi. Purnadewi telah ditangkap oleh Pangeran Singa Narpada sendiri dan dibawa ke Kediri.

Dalam kemarahan yang tidak terkendali, maka Pangeran Kuda Permati telah menyusun rencana yang tidak dipertimbangkannya dengan jernih. Yang tersirat didalam dadanya adalah sekedar pemuasan kemarahannya, seakan-akan semua orang Kediri telah bersalah kepadanya, sehingga dengan demikian ia dapat membalas dendam kepada siapa-pun juga.

Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka ia-pun telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap sepenuhnya. Pasukan berkudanya-pun telah mendapat perintah untuk setiap saat bergerak, sehari-semalam penuh. Bahkan bukan saja pasukan Pangeran Singa Narpada. Namun menghadapi cara bergerak Pangeran Kuda Permati, maka Sri Baginda sendiri sudah memerintahkan semua pasukan, terutama di perbatasan untuk bersiap menghadapi gerak Pangeran Kuda Permati.

Sebagian pasukan yang berada didalam lingkungan Kota Raja-pun telah disebarkan di daerah perbatasan, terutama pasukan berkuda yang akan dapat membantu setiap pasukan Kediri. Bahkan sebagaimana dilakukan oleh Panji Sempana Murti, maka para pemimpin pasukan di perbatasan telah memerintahkan semua anak-anak muda dan laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka harus menyiapkan kentongan untuk memberikan isyarat jika pasukan Pangeran Kuda Permati mendatangi padukuhan mereka.

Bagaimana-pun juga, sikap prajurit Kediri itu merupakan tantangan yang berat bagi Pangeran Kuda Permati. Meskipun Pangeran Kuda Permati masih tetap mempergunakan caranya, menyerang tempat-tempat yang dianggapnya lemah, namun pasukan berkuda yang di tempatkan berpencar berpengaruh pula bagi gerak Pangeran Kuda Permati itu. Apalagi pasukan Kediri tidak hanya sekedar menunggu, tetapi dengan cepat pasukan Kediri-pun melakukan sergapan-sergapan jika mereka mengetahui pemusatan kekuatan pasukan Pangeran Kuda Permati. Karena meskipun pemusatan pasukan itu berpindah-pindah tempat, tetapi pada saat-saat tertentu para prajurit Kediri mendapat laporan tentang gerakan pasukan Pangeran Kuda Permati.

Sebenarnyalah tugas pasukan sandi-pun menjadi semakin berat. Dengan gerak yang cepat dan berpindah-pindah, maka para petugas sandi harus bekerja dengan lebih cermat dan hati-hati. Demikian pula para petugas sandi dari Singasari yang mendapat kewajiban untuk mengikuti perkembangan keadaan di Kediri. Mereka bergerak tidak hanya di tempat tertentu, tetapi mereka berada di berbagai tempat untuk dapat mengetahui perkembangan keadaan sebaik-baiknya.

Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Singasari itu-pun telah berpencar, namun mereka tetap selalu berhubungan dan tetap menganggap warung dan rumah Pugutrawe sebagai pusat hubungan diantara mereka, diluar Kota Raja, dan dari tempat itu pula laporan kepada pimpinan petugas sandi Singasari disusun.

Namun pada saat-saat terakhir, para petugas sandi justru telah menjadi cemas. Benturan-benturan kekuatan dan pertempuran-pertempuran telah terjadi dan bahkan semakin meningkat. Pasukan Pangeran Kuda Permati yang marah itu bergerak mengelilingi Kota Raja dan menyerang beberapa padukuhan di daerah perbatasan.

Sementara pasukan Kediri-pun telah meningkatkan pula usahanya untuk menghancurkan pasukan Pangeran Kuda Permati. Nampaknya bukan saja Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti yang bergerak dengan keras, tetapi beberapa Senapati yang lain mengikuti pula cara mereka menghadapi Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka benturan kekerasan menjadi sering terjadi dan korban-pun semakin banyak berjatuhan.

Dalam kecemasan yang demikian itu, maka Pangeran Singa Narpada yang dianggap Senapati yang paling keras, telah berusaha untuk menemukan jalan lain, justru diluar kebiasaannya, kekerasan. Bersama Sri Baginda, Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk memberikan satu keyakinan baru terhadap Purnadewi. Pertempuran di Kediri itu semakin lama telah menelan korban semakin besar. Sementara itu, belum ada tanda-tanda bahwa pertempuran itu akan berakhir pada suatu saat.

Sementara itu Singasari-pun telah menjadi semakin cemas pula. Kediri nampaknya tidak segera dapat mengatasi kesulitannya. Atas laporan para petugas sandi, maka Singasari tidak dapat untuk berdiam diri apabila keadaan menjadi semakin buruk.

Karena itu, maka Pugutrawe telah mengirim Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menghadap para pemimpin petugas sandi di Singasari dengan pertanda khusus, bahwa kedua anak muda itu adalah adik Mahisa Bungalan, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang khusus untuk membicarakan kemungkinan penggunaan kekuatan prajurit bagi ketenteraman Kediri.

Dengan pertanda khusus, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dihadapkan kepada Mahisa Bungalan untuk memberikan laporan secara langsung dibawah penilikan seorang perwira dari petugas sandi di Singasari.

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan setelah mendengarkan laporan kedua adiknya, “Aku akan menyampaikan laporan ini kepada Panglima yang akan menyampaikannya kepada Sri Maharaja. Menurut pendapatku, pasukan Singasari harus bersiap-siap di perbatasan Kediri. Tetapi pada saat ini kita masih belum perlu bergerak memasuki daerah Kediri sebelum keadaan benar-benar menjadi gawat. Jika Sri Baginda, dengan pasukannya benar-benar tidak dapat menguasai pemberontakan Pangeran Kuda Permati, sehingga keadaan Kota Raja terancam, maka pasukan Singasari akan berada di Kota Raja Kediri. Namun sementara ini menurut laporan yang kami terima dari beberapa jalur, maka agaknya pasukan Kediri masih mampu menguasai Kota Raja dan sekitarnya dengan baik meskipun disana-sini terjadi benturan-benturan bersenjata, sementara arus pengungsi yang memasuki gerbang Kota Raja menjadi semakin banyak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Aku akan melaporkannya kepada petugas sandi yang menjadi penghimpun dan memimpin kami.”

“Hati-hatilah,” pesan Mahisa Bungalan, “Keadaan menjadi bertambah buruk. Jika kalian salah langkah, maka kalian akan dapat dibantai oleh pasukan Pangeran Kuda Permati tetapi juga mungkin oleh pasukan Pangeran Singa Narpada atau prajurit Kediri yang lain karena mereka mencurigaimu, sementara tanda petugas sandi yang kau kenakan hanya dikenal oleh para petugas sandi dari Singasari.”

“Kami akan berhati-hati kakang,” jawab Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka kedua anak muda itu-pun telah meninggalkan Kediri. Sementara Mahisa Bungalan masih selalu berhubungan dengan perwira dari petugas sandi yang ikut mendengarkan laporan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika Mahisa Bungalan lewat Panglima prajurit Singasari menyampaikan hal itu kepada Sri Maharaja, maka perintah Sri Maharaja di Singasari tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan kemudian Mahisa Bungalanlah yang mendapat perintah untuk mempersiapkan sepasukan prajurit yang kuat di daerah perbatasan.

“Jangan menarik perhatian orang-orang Kediri,” pesan Panglima prajurit Singasari.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan-pun segera mempersiapkan sepasukan prajurit yang kuat. Tidak lagi sekelompok kecil untuk mengawal Mahisa Agni dan Witantra ke Kediri. Tetapi pasukan yang kemudian itu, jika perlu akan memasuki Kediri bagaikan bendungan yang pecah. Arus banjir bandang akan melanda Kediri dan menyapu pemberontakan Pangeran Kuda Permati tanpa ampun.

Tetapi dalam pada itu, Sri Baginda di Kediri justru bersama Pangeran Singa Narpada sedang dengan susah berusaha untuk menyelesaikan perang itu dengan cara yang lebih baik daripada saling berbunuhan. Sri Baginda semula memang agak curiga dengan sikap Pangeran Singa Narpada yang disangkanya hanya sekedar berpura-pura. Namun ternyata Pangeran Singa Narpada telah berbuat dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan Purnadewi bahwa pertempuran yang tidak berkesudahan akan membuat Kediri semakin lemah, sehingga mungkin pada suatu saat Kediri akan terhapus dari jajaran susunan pemerintahan dibawah panji-panji persatuan Singasari.

Untuk memberikan tekanan kepada keterangan-keterangannya, maka Pangeran Singa Narpada telah membawa Purnadewi ke daerah yang menjadi ajang pertempuran. Di bekas arena itu Purnadewi menyaksikan korban yang terbujur lintang dari kedua belah pihak. Baik prajurit Kediri yang setia kepada Sri Baginda, mau-pun prajurit yang berpihak kepada Pangeran Kuda Permati.

“Diajeng,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Jika perang ini akan berkelanjutan, kau dapat membayangkan, sementara aku berbicara tentang cara lain yang mungkin dapat ditempuh, maka pasukanku masih bergerak dengan garang di medan-medan perang. Mereka membunuh sebagaimana kawan-kawan mereka dibunuh. Bahkan mungkin orang-orang yang tidak bersalah, karena kedua belah pihak salah menilai, maka yang terjadi adalah kematian yang menyedihkan justru tanpa arti apa-apa. Mungkin seseorang akan dibunuh di tangan siapa-pun ia jatuh.”

Purnadewi hanya dapat menundukkan kepalanya. Semuanya itu memang membuatnya ngeri. Bukan saja orang-orang di daerah perang selalu dibayangi oleh ketakutan, sebagaimana para prajurit menjadi semakin keras dan kasar karena kehidupan mereka di medan, tetapi orang-orang yang tinggal di Kota Raja-pun selalu dicengkam oleh ketegangan.

Orang-orang di Kota Raja selalu merasa takut, bahwa pada satu saat Kota Raja itu diserang dan apalagi jatuh ke tangan pasukan Pangeran Kuda Permati. Para pengikut Pangeran Kuda Permati tentu akan melakukan tindakan yang dapat mendirikan bulu-bulu tengkuk. Demikian kerasnya pertempuran diantara saudara sendiri di Kediri, sehingga sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi kelak. Mungkin Kediri akan benar-benar hancur sampai orang yang terakhir dalam benturan kekerasan dan saling membunuh.

Berbagai macam peristiwa telah didengar oleh Purnadewi. Bahkan sekali-sekali air matanya tidak dapat ditahannya lagi jika ia mendengar ceritera yang pedih dan sangat menyakitkan hati. Purnadewi-pun juga mendengar kisah sepasang penganten baru yang melarikan diri dari tangan pasukan Pangeran Kuda Permati yang garang di medan perang. Mereka ditangkap dan hampir saja terjadi peristiwa yang sangat menyakitkan hati.

Namun keduanya berhasil melarikan diri dengan menggali lubang di malam hari, menyusup dibawah dinding sebuah bilik yang dipergunakan untuk menyimpan mereka, sebelum pada pagi harinya, laki-laki dari sepasang penganten itu akan di bunuh, sementara isterinya akan tetap berada di tangan prajurit-prajurit yang menjadi buas.

Namun ternyata bahwa perempuan yang malang itu tidak sempat menikmati kebebasannya. Ketika keduanya dikejar oleh para prajurit Pangeran Kuda Permati, maka perempuan itu terluka parah oleh anak panah di lambungnya. Meskipun keduanya berhasil menyembunyikan diri, tetapi luka parah itu tidak dapat diobati lagi. Perempuan itu meninggal dipelukan suaminya.

Sementara itu, setelah menguburkan isterinya di tepian sungai yang berpasir, maka laki-laki itu berusaha untuk menuju ke Kota Raja. Tetapi malang baginya. Di tempat ia mendekati Kota Raja telah terjadi pertempuran yang sengit antara pasukan Pangeran Kuda Permati dan pasukan Kediri di daerah perbatasan. Dalam pertempuran itu, laki-laki yang malang itu terbunuh oleh prajurit Kediri yang marah karena sergapan pasukan Pangeran Kuda Permati yang tiba-tiba.

Dalam kemarahan mereka memburu pasukan Pangeran Kuda Permati yang menarik diri. Sekelompok prajurit menemukan laki-laki yang kehilangan isterinya itu bersembunyi. Namun laki-laki itu tiba-tiba menjadi ketakutan dan melarikan diri. Tetapi ujung anak panah telah menembus punggungnya. Pasa saat terakhir sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia sempat menceriterakan peristiwa yang pahit dari dirinya itu. Prajurit-prajurit Kediri menyesalkan. Tetapi orang itu kemudian sudah mati.

Dalam keharuan itu, Purnadewi mendengar Pangerar Singa Narpada berkata, “Diajeng. Ada satu cara yang mungkin dapat ditempuh. Mungkin akan berhasil tetapi mungkin juga tidak. Tetapi mudah-mudahan usaha ini dapat berarti bagi ketenangan hidup rakyat Kediri.”

Tiba-tiba saja Purnadewi menangis. Dalam isaknya ia berkata, “Aku mengerti yang kakangmas maksudkan. Kakangmas ingin mengirim aku kepada suamiku agar aku membujuknya untuk menghentikan perlawanan.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Panggraitamu tajam sekali. Kemudian terserah kepadamu. Apakah kau bersedia atau tidak. Jika kau bersedia, maka kami akan sangat berterima kasih. Apalagi jika kemudian Pangeran Kuda Permati benar-benar menghentikan perlawanannya.”

Wajah Purnadewi masih basah. Sementara ia bertanya, “Jika kakangmas Kuda Permati menyerah, apa yang akan dilakukan oleh Sri Baginda atasnya.”

“Aku akan mohon agar hukuman yang dijatuhkan atasnya menjadi ringan. Jika Pangeran Kuda Permati bersedia menghentikan perlawanan, maka itu berarti bahwa Pangeran Kuda Permati telah ikut menciptakan ketenangan di Kediri,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Purnadewi termenung sejenak. Ia teringat kepada Pangeran Lembu Sabdata yang masih menjadi tawanan. Ia-pun menyadari bahwa Pangeran Singa Narpada sendiri pernah ditawan. Memang kadang-kadang timbul pertanyaan, apakah langkah Pangeran Singa Narpada itu bukan sekedar cara yang licik untuk menangkap suaminya dan kemudian membalas dendam dengan cara yang kasar? Namun menilik kesungguhan sikapnya, maka Pangeran Singa Narpada, seorang Senapati yang paling garang di peperangan itu, berkata sebenarnya.

“Diajeng,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “untuk memperkuat landasan usaha Diajeng, maka aku akan membawa Diajeng menghadap Sri Baginda. Bukan sekedar atas perintahku. Dengan landasan perintah Sri Baginda, maka segalanya akan menjadi jelas. Masa depan Pangeran Kuda Permati pun akan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan sabda Sri Baginda. Jika sekedar janji yang akan aku berikan, namun kemudian tidak berkenan di hati Sri Baginda, maka janjiku itu masih akan dapat terlepas karena nilainya lebih rendah dari titah Sri Baginda. Tetapi jika Sri Baginda sendiri yang berjanji, maka janji itu akan merupakan sabda Raja yang tidak akan berubah.”

Purnadewi masih ragu-ragu. Namun ia merasakan kesungguhan usaha para pemimpin di Kediri. Untuk beberapa saat Purnadewi masih tetap berdiam diri. Satu pergolakan yang sengit telah terjadi di dalam dirinya.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada masih berkata selanjutnya, “Diajeng. Segala sesuatunya memang terserah kepadamu. Namun aku selalu teringat akan kata-katamu, bahwa kesetiaanmu kepada suamimu adalah kata nuranimu. Satu pertanyaan yang barangkali tidak usah kau jawab, bagaimanakah kesetiaanmu kepada Kediri. Tanah Kelahiranmu.”

Isaknya yang sudah mereka tiba-tiba telah menyesak lagi. Tetapi Purnadewi sama sekali tidak menjawab.

“Baiklah Diajeng,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku tidak menunggu jawabmu sekarang. Terserah kepadamu, kapan saja kau akan memberikan jawabanmu. Tetapi yang perlu kau ingat, bahwa setiap hari berapa orang Kediri terbunuh di peperangan. Semakin lama aku harus menunggu, maka kematian itu akan bertambah-tambah.”

Tangis Purnadewi menjadi semakin meninggi. Di sela-sela isaknya terdengar suaranya, “Kau telah menyudutkan aku kakangmas.”

“Tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada dengan serta merta, “Aku tidak bermaksud demikian. Segala sesuatunya terserah kepada pertimbanganmu.”

Isak Purnadewi tiba-tiba saja menurun. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Suaranya yang masih terputus-putus oleh isaknya telah berubah pula. Tegas dan pendek. “Bawa aku menghadapi Sri Baginda.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Purnadewi yang tidak lagi menunduk. Namun agaknya tatapan matanya memberikan keyakinan kepada Pangeran Singa Narpada bahwa Purnadewi berkata dengan sungguh-sungguh.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada-pun telah membawa Purnadewi menghadap Sri Baginda. Dengan tulus hati Purnadewi itu berkata, “Sri Baginda. Perkenankanlah hamba mencari suami hamba. Hamba akan berusaha untuk memberikan kesadaran baru pada sikapnya. Mudah-mudahan ada gunanya, karena sebenarnyalah ia sangat mencintai Kediri. Tetapi ternyata ia mempunyai cara tersendiri untuk menyatakan cintanya kepada Kediri itu.”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara lembut ia berkata, “Aku mengerti Purnadewi. Kuda Permati memang sangat mencintai Kediri. Tetapi ia tidak mengingat kepentingan yang lebih besar dari sikapnya sendiri untuk menyatakan cintanya kepada Kediri. Karena itu, meskipun aku pernah gagal membujuknya, maka aku berharap mudah-mudahan kau berhasil melakukannya. Aku berjanji bahwa pengorbananmu dan pengorbanannya dengan melepaskan keyakinannya yang keliru akan aku pertimbangkan sebaik-baiknya. Karena aku yakin, jika Pangeran Kuda Permati bersedia menghentikan perlawanannya, maka pertempuran yang terjadi di mana-mana ini-pun akan segera susut dan akhirnya padam sama sekali.”

“Hamba mohon restu,” berkata Purnadewi kemudian. “Tetapi ada sesuatu yang hamba tidak tahu, dimanakah suami hamba sekarang berada. Dan hamba-pun meragukan, apakah hamba dapat melintasi perjalanan yang berbahaya ini.”

“Hal ini akan dapat dipecahkan oleh Pangeran Singa Narpada,” berkata Sri Baginda kemudian.

“Hamba akan berusaha untuk mendapat keterangan tentang gerak pasukan Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka kami akan dapat menempatkan Diajeng Purnadewi, sehingga ia akan diketemukan oleh pasukan Pangeran Kuda Permati”, berkata Pangeran Singa Narpada.

“Aku sendiri?” bertanya Purnadewi.

“Kami akan mengantar Diajeng sampai satu lingkungan yang akan didatangi oleh pasukan yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Bukankah dengan demikian Diajeng akan dengan segera dibawa menghadap Pangeran Kuda Permati?” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Maaf kakangmas,” jawab Purnadewi, “Aku tidak berani melakukannya. Jika aku berada diantara para prajurit pengikut kakangmas Kuda Permati, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Jika mereka tidak percaya bahwa aku adalah Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati, maka nasibku akan menjadi sangat buruk. Aku akan dapat mengalami satu penderitaan yang paling pahit melampaui mati itu sendiri.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Yang disebut oleh Purnadewi itu-pun merupakan salah satu akibat peperangan yang tidak berkesudahan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada-pun harus menemukan satu cara untuk melepaskan Purnadewi tetapi tidak terjerumus kedalam tangan orang-orang buas meskipun itu adalah orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati yang setia.

“Carilah satu jalan yang paling baik,” berkata Sri Baginda kepada Pangeran Singa Narpada.

“Hamba akan memikirkannya Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Aku akan selalu berdoa bagi keselamatanmu dan keselamatan Pangeran Kuda Permati,” berkata Sri Baginda, “Mudah-mudahan nalarnya menjadi terang, sehingga usahamu akan berhasil. Jika demikian, maka Kediri akan bersorak dan memandangmu sebagai seorang perempuan yang paling berjasa bagi kedamaian tanah tercinta ini. Sementara hal itu belum terwujud, maka di sudut-sudut tanah ini masih akan terjadi pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan.”

Purnadewi mengusap air matanya. Namun wajahnya menjadi tengadah sambil menjawab, “Hamba mohon doa restu Sri Baginda. Semoga usaha hamba akan berhasil, sehingga peperangan akan berhenti dan kematian tidak akan bertambah-tambah.”

“Pergilah,” berkata Sri Baginda kemudian.

Purnadewi-pun kemudian minta diri bersama Pangeran Singa Narpada. Mereka masih harus mencari jalan untuk mengirimkan Purnadewi, sehingga ia benar-benar akan sampai kepada Pangeran Kuda Permati.

Dengan dua orang perwira kepercayaannya, Pangeran Singa Narpada telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh oleh Purnadewi. Mereka menimbang kesulitan dan mungkin rintangan-rintangan yang akan dapat menggagalkan usaha Purnadewi.

“Usahanya tidak boleh gagal sebelum dimulainya,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Jika terjadi malapetaka atas Diajeng Purnadewi, sehingga ia tidak dapat mencapai Pangeran Kuda Permati, maka itu berarti bahwa ia telah gagal sebelum ia dapat mulai dengan tugas besarnya.”

Para perwira itu mengangguk-angguk. Berbagai pikiran telah mereka kemukakan. Mereka telah melihat berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga akhirnya mereka memiliki salah satu cara yang mempunyai kemungkinan buruk paling kecil.

“Mungkin cara ini dapat dicoba,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tetapi kita tetap bertanggung jawab atas keselamatan Diajeng Purnadewi.”

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah mengerahkan kemampuan pasukan sandinya untuk mengetahui dimanakah pasukan Pangeran Kuda Permati berada. Disaat terjadi pertempuran dalam beberapa hari berturut-turut, Pangeran Singa Narpada dapat mengikuti gerak pasukan Pangeran Kuda Permati. Dari satu daerah pertempuran ke daerah pertempuran berikutnya memberikan gambaran, kemanakah gerak pasukan itu berikutnya. Dari pasukan sandinya Pangeran Singa Narpada-pun mendapat laporan bahwa pasukan Pangeran Kuda Permati nampak di luar daerah perbatasan sebelah Barat Kota Raja.

“Kita kirim Diajeng Purnadewi ke daerah itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tetapi kita harus mengamati perjalanannya sampai kita yakin, bahwa ia akan sampai ke daerah yang kini menjadi landasan pasukan Pangeran Kuda Permati di sisi Barat.”

Setelah mereka menemukan satu cara yang dianggap paling baik, maka Pangeran Singa Narpada itu-pun segera memanggil Purnadewi untuk memberitahukan, apa Purnadewi setuju dengan cara itu.

Purnadewi merenungi cara itu untuk beberapa saat. Tetapi ternyata baginya cara itulah yang paling baik. Memang masih ada kemungkinan-kemungkinan pahit yang dapat terjadi. Tetapi tidak ada usaha yang tidak mengalami hambatan apa-pun juga. Karena itu, maka Purnadewi-pun kemudian berkata, “Baiklah kakangmas. Beri aku kesempatan. Aku akan mencoba melakukannya.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Diajeng. Ternyata kau memiliki keberanian melampaui keberanian seorang prajurit. Lakukanlah. Jika kau berhasil, maka kau benar-benar seorang pahlawan. Kediri benar-benar memerlukan kedamaian.”

Dengan demikian, maka rencana untuk melepaskan Purnadewi itu-pun dilakukan dengan sangat berhati-hati dan rahasia. Pada saatnya, ketika Kota Raja sedang dicengkam oleh kesepian di malam hari, maka sesosok tubuh telah mengendap-endap meninggalkan halaman istana Pangeran Singa Narpada. Dengan sangat hati-hati orang itu telah berusaha diselimuti oleh kesenyapan. Hanya beberapa orang petugas sajalah yang masih tetap berjaga-jaga. Untuk mendekati sebuah barak prajurit Kediri yang sedang benerapa saat lamanya orang itu menunggu.

Kemudian dengan penuh kewaspadaan orang itu menelusuri jalan sempit diluar dinding barak itu. Namun ternyata segalanya berjalan dengan lancar. Ketika orang itu sampai kepintu butulan, ternyata bahwa pintu butulan sama sekali tidak diselarak, sehingga orang itu perlahan-lahan telah mendorong pintu butulan itu, sehingga terbuka.

Sejenak orang itu mengamati keadaan di sekelilingnya. Namun kemudian ia-pun telah menyusup masuk kedalam lingkungan barak prajurit Kediri. Halaman barak itu memang sepi. Yang berjaga-jaga di gardu di halaman depan nampaknya agak segan-segan untuk berkeliling. Beberapa orang diantara para penjaga itu sudah duduk terkantuk-kantuk, sehingga tidak seorang-pun diantara para penjaga itu yang melihat, apa yang dilakukan oleh sesosok tubuh yang memasuki halaman itu dari pintu butulan.

Dengan cekatan, orang yang berhasil memasuki halaman barak prajurit Kediri itu berusaha menemukan sebuah ruang yang dijaga secara khusus. Namun ternyata bahwa dua orang penjaga ruang yang khusus itu duduk sambil mendengkur. Tombaknya tersandar pada dinding. Nampaknya para penjaga terlalu percaya bahwa orang yang ada didalamnya itu tidak akan mampu berbuat sesuatu, karena dinding itu memang dibuat secara kusus.

Di dekat kedua penjaga itu terdapat dua buah bumbung yang nampaknya baru saja mereka pergunakan untuk minum. Ternyata bahwa minuman merekalah yang telah membuat keduanya menjadi mabuk, karena didalam minuman itu terdapat biji kecubung. Dengan sangat berhati-hati orang yang memasuki halaman itu dengan diam-diam telah membuka sebuah selarak pintu yang besar yang terbuka dari papan yang tebal.

Demikian pintu itu terbuka, maka orang itu-pun dengan serta merta telah meloncat masuk. Hampir saja terjadi salah paham dengan orang-orang yang berada didalam bilik itu. Tiga orang bersama-sama telah meloncat mendekatinya dengan kesiagaan yang tinggi. Untunglah bahwa ketiga orang itu belum menyerangnya.

“Tunggu,” Terdengar suara seorang perempuan.

Ketiga orang didalam bilik itu termangu-mangu. Cahaya lampu minyak yang kecil didalam bilik itu telah menerangi wajah orang yang dengan diam-diam memasuki bilik itu.

“Puteri,” Terdengar salah seorang dari ketiga orang itu berdesis.

“Ya Aku,” jawab orang yang memasuki bilik itu.

Ketiga orang yang ada didalam bilik itu termangu-mangu. Baru sejenak kemudian salah seorang diantara mereka bertanya, “Bagaimana puteri dapat sampai di bilik ini?”

“Satu ceritera yang panjang,” jawab orang yang memasuki bilik itu, “Sekarang, marilah. Kita keluar dari bilik ini dan berusaha meninggalkan Kota Raja. Aku harus segera menemukan kakangmas Kuda Permati.”

Ketiga orang itu saling berpandangan. Namun mereka tidak membantah. Ketika orang yang memasuki bilik itu memberikan isyarat, maka tiga orang itu-pun segera mengikutinya.

Dimuka bilik itu mereka melihat dua orang penjaga yang mendengkur. Dengan serta merta dua orang diantara mereka telah mengambil tombak yang tersandar didinding, sementara yang seorang lagi telah mengambil pedang salah seorang dari kedua orang yang tidur itu.

Namun ketika salah seorang diantara mereka telah mengacukan tombaknya untuk membunuh kedua penjaga yang tidur itu, maka orang yang datang kemudian itu-pun mencegahnya, “Biarlah mereka tidur sampai besok. Mereka tengah mabuk karena di dalam minuman mereka terdapat biji kecubung.”

Orang yang akan membunuh keduanya itu-pun telah mengurungkan niatnya. Sementara itu, maka mereka-pun telah bergeser meninggalkan tempat itu. Sebagaimana saat orang itu memasuki halaman lewat pintu butulan, maka mereka-pun telah keluar lewat pintu itu pula.

Diluar pintu mereka menelusuri jalan sempit menjauhi tempat itu. Beberapa puluh langkah kemudian mereka berhenti. Setelah mereka yakin, bahwa mereka tidak dikejar oleh para prajurit yang bertugas, maka orang yang telah membebaskan mereka itu-pun berkata, “Kita akan segera mencari Pangeran Kuda Permati. Aku akan ikut bersama kalian.”

“Tetapi bagaimana puteri dapat melakukan semua ini?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

“Sebenarnya aku juga telah ditangkap oleh kakangmas Singa Narpada ketika Pangeran Kuda Permati meninggalkan landasan utama perjuangan kita. Tetapi ternyata bahwa didalam tawanan aku dapat berhubungan dengan petugas sandi kakangmas Kuda Permati yang berhasil menyusup ke dalam lingkungan prajurit Kediri. Aku ternyata telah dilepaskan, bahkan orang itu, bersama beberapa orang yang lain telah mengatur apa yang berhasil aku lakukan malam ini.”

“Luar biasa,” desis salah seorang dari ketiga orang itu.

“Kita tidak mempunyai banyak waktu. Kita harus segera keluar dari Kota Raja sebelum semua pintu gerbang dan dinding Kota Raja dijaga pada setiap jengkalnya,” berkata orang yang telah membebaskan ketiga orang itu, “Jika para prajurit Kediri menyadari bahwa mereka telah kehilangan kita, maka kita akan sulit sekali mencari jalan keluar.”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka berusaha untuk tidak terlalu banyak bertanya. Sejenak kemudian, maka ketiga orang bersama-sama dengan orang yang membebaskannya itu telah berusaha untuk dapat keluar dari dinding Kota Raja. Mereka tidak dapat menembus lewat pintu gerbang yang dijaga ketat. Namun agaknya mereka tidak kekurangan akal. Mereka dapat memanjat dinding di tempat yang sepi, atau mereka dapat menempuh jalan lain. Keluar lewat urung-urung air.

Untuk beberapa saat mereka berbincang. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk keluar lewat urung-urung. Karena itu, maka mereka-pun telah menyelusuri sebuah sungai kecil yang melintasi Kota Raja. Dengan sangat berhati-hati, maka mereka telah menyusup lewat urung-urung dan keluar dengan selamat dari lingkungan Kota Raja.

“Kita akan pergi kemana?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Orang yang membebaskannya itu-pun memberikan beberapa keterangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati pada saat berakhir. Sehingga akhirnya ia berkata, “Kita akan mencarinya di perbatasan sebelah Barat. Kita akan menempuh perjalanan yang rumit. Tetapi kita harus menemukannya.”

Ketiga orang yang telah dibebaskannya itu-pun kemudian berkata, “Apa-pun yang kita hadapi, kita akan melakukannya. Langkah ini adalah satu-satunya langkah yang paling baik yang dapat kita tempuh. Aku lebih senang mati terkapar di medan daripada meringkuk di dalam bilik sempit sebagai tawanan.”

“Bagus,” sahut orang yang membebaskannya, “Marilah. Kita akan segera meneruskan perjalanan.”

Dengan demikian, maka mereka berempat-pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Mereka mengendap-endap lewat jalan-jalan sempit menghindari kemungkinan bertemu dengan peronda dari Kediri.

Betapa-pun sulitnya perjalanan mereka, namun mereka dengan tekad yang teguh telah menembus berbagai macam kesulitan. Dengan sangat berhati-hati mereka melintasi sebuah bulak yang tidak begitu luas. Kemudian menerobos hutan kecil yang merupakan daerah berburu didalam keadaan yang tenang, sehingga di hutan itu masih terdapat binatang-binatang buruan yang buas. Tetapi mereka sama sekali tidak takut. Mereka lebih mementingkan keselamatan mereka dari kemungkinan tertangkap oleh para prajurit Kediri daripada kemungkinan untuk bertemu dengan binatang buas.

Orang perempuan yang telah membebaskan mereka itulah yang seakan-akan menuntun ketiga orang yang telah dibebaskan itu. Perempuan itu seakan-akan telah mengenal jalan-jalan sempit itu dengan baik. Ketika mereka kemudian keluar dari hutan itu, maka di hadapan mereka terbentang sebuah pategalan yang memanjang sepanjang jalan menuju kekejauhan, seakan-akan jalan itu menusuk langsung kejantung gelapnya malam.

“Kita sudah cukup jauh dari Kota Raja,” berkata orang itu, “Agaknya kita sudah terlepas dari kemungkinan terperangkap ke tangan para penjilat. Jika kita menempuh jalan lurus itu, maka kita akan sampai kesatu daerah yang berada dibawah pengaruh kakangmas Pangeran Kuda Permati.”

“Apakah puteri yakin?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

“Aku sudah berbicara langsung dengan petugas sandi yang mengatur perjalanan ini. Aku pasti, jika kita sudah sampai ke jalan ini, maka perjalanan kita akan segera sampai, meskipun jarak perjalanan yang akan kita tempuh masih cukup panjang,” berkata orang yang membebaskan ketiga orang itu.

Ketiga orang itu nampaknya masih ragu-ragu. Namun kemudian mereka-pun mengikuti perempuan yang berjalan di paling depan. Nampaknya tekad yang menyala di dalam dadanya membuatnya sama sekali tidak menjadi letih. Sejenak kemudian, maka mereka-pun telah memasuki jalan yang panjang.

Sebagaimana dikatakan oleh perempuan itu, maka jalan itu memang menuju ke daerah yang sedang menjadi sasaran kekuatan Pangeran Kuda Permati. Dalam beberapa hari terakhir, pasukan Pangeran Kuda Permati nampak di sekitar perbukitan di ujung jalan itu. Beberapa padukuhan telah dilintasinya, sehingga berdasarkan atas perhitungan dan pengamatan dari para petugas sandi, maka diperhitungkan pasukan Pangeran Kuda Permati berada di arah perjalanan mereka.

Karena itu, maka keempat orang itu telah mempercepat perjalanan mereka. Mereka berharap agar mereka dapat mencapai daerah yang mereka tuju itu sebelum fajar. Tetapi jika mereka harus kesiangan, maka mereka tidak akan melangkah surut. Jika mereka bertemu dengan sekelompok pasukan yang mereka kenal ujud dan keadaannya, maka mereka akan dapat menyatakan diri kepada mereka, bahwa mereka berempat sedang mencari Pangeran Kuda Permati.

Namun sementara itu, ternyata bahwa mereka tidak usah berjalan sampai ke ujung jalan diperbukitan. Ketika mereka sampai di tengah-tengah bulak panjang di pinggir pategalan itu, tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Beberapa orang berloncatan ke tengah jalan dengan senjata teracu.

“Berhenti,” salah seorang diantara orang-orang itu berkata lantang, “Siapa kalian dan kalian akan pergi ke mana?”

Keempat orang itu-pun berhenti. Di sekitarnya kemudian telah menebar sepuluh orang dengan senjata telanjang. Orang yang membebaskan ketiga orang pengikut Pangeran Kuda Permati itu bergeser surut. Kedatangan orang-orang itu sangat mengejutkannya. Bagaimana-pun juga, terasa bulu tengkuknya telah berdiri. Kegarangannya sebagai seorang yang telah membebaskan ketiga orang pengikut Pangeran Kuda Permati menjadi susut. Bahkan kemudian ia-pun telah berada diantara ketiga orang yang telah dibebaskannya itu.

“Kami adalah para peronda dari Kediri,” jawab salah seorang diantara ketiga orang yang telah dibebaskannya itu.

“Prajurit Kediri?” bertanya beberapa orang hampir berbareng.

“Ya,” jawab orang itu.

Wajah perempuan yang membebaskannya menjadi tegang. Ia tidak mengerti, kenapa orang itu mengaku bahwa mereka adalah para peronda dari Kediri.

Tiba-tiba saja terdengar beberapa orang diantara mereka yang menghentikan perjalanan keempat orang itu tertawa. Salah seorang diantara mereka berkata, “Nasib kalian memang buruk sekali. Jika kalian peronda dari Kediri, maka kita adalah sama-sama prajurit Kediri. Tetapi agaknya kalian telah menjadi penjilat kaki-kaki orang Singasari. Tetapi kami tidak. Kami adalah orang-orang Kediri sejati."

Orang-orang yang baru keluar dari Kota Raja itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, mereka telah benar-benar dikepung oleh orang-orang yang menghentikan perjalanan mereka. Dalam pada itu, salah seorang diantara mereka yang menghentikan perjalanan itu berkata lantang, “Menyerahlah, agar kami dapat membuat pertimbangan yang baik bagi nasib kalian.”

Keempat orang itu benar-benar telah dikelilingi ujung senjata, sehingga tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk lolos. Namun orang yang mengaku prajurit Kediri yang sedang meronda itu sama sekali tidak gelisah. Bahkan dengan nada datar ia bertanya, “jadi kalian pengikut Pangeran Kuda Permati?”

“Ya,” jawab salah seorang dari mereka,”Aku tidak akan ingkar. Kami adalah pengikut Pangeran Kuda Permati.”

Orang yang mengaku peronda dari Kediri itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perempuan yang telah membebaskannya, “Kita sudah menemukan kelompok yang benar. Menilik pakaian, sikap dan pengakuan mereka, aku percaya bahwa mereka adalah pengikut Pangeran Kuda Permati.”

Perempuan itu mengangguk. Tetapi nampak keragu-raguan mambayang di wajahnya.

“Ki Sanak,” berkata orang yang mengaku peronda dari Kediri itu, “Apa yang akan kalian lakukan jika kami menyerah?”

“Kami akan menentukan kemudian, setelah kalian kami bawa ke barak kami,” jawab salah seorang dari mereka.

“Baiklah. Kami menyerah,” jawab orang yang pengaku peronda dari Kediri itu, “Tetapi ketahuilah, bahwa sebenarnya kami bukan peronda dari Kediri. Kami adalah pengikut Pangeran Kuda Permati sebagaimana kalian.”

“Omong kosong,” teriak seorang diantara mereka sambil melangkah mendekat, “jangan menipu kami. Kau sangka dengan cara itu kau akan selamat.”

“Kami tidak akan menipu kalian,” jawab orang itu, “Ketahuilah, bahwa kami sedang dalam tugas khusus. Kami sedang mengantarkan puteri Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati.”

Sejenak suasana menjadi tegang. Sepuluh orang yang berdiri melingkari itu memandang seorang perempuan yang berada diantara ketiga orang itu. “Aku tidak percaya. Aku pernah bertemu dengan puteri Purnadewi,” berkata salah seorang dari mereka.

“Inilah puteri itu,” berkata orang yang mula-mula menyebut dirinya peronda dari Kediri.

“Biarlah orang itu maju. Aku ingin melihat, apakah benar ia puteri Purnadewi.”

Perempuan yang membebaskan ketiga orang itu-pun kemudian dipersilahkan bergeser maju. Dengan kulit yang meremang, perempuan itu membiarkan dirinya diamati oleh beberapa orang yang mencegat perjalanannya.

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja seorang diantara mereka yang mencegat itu berteriak, “Bohong. Orang ini bukan puteri Purnadewi.”

“Gila,” geram orang yang semula mengaku peronda dari Kediri, “puteri ini adalah puteri Purnadewi.”

“Perempuan ini sangat cantik,” berkata orang yang bertubuh kekar dengan kumis dan jambang yang panjang, “Aku tidak percaya jika perempuan ini isteri Pangeran Kuda Permati, maka mungkin isteri Pangeran Kuda Permati ada disini. Aku tahu, bahwa isteri Pangeran Kuda Permati berada di landasan utama di sisi sebelah Utara. Bagaimana mungkin puteri Purnadewi berkeliaran disini bersama kalian bertiga.”

“Ceriteranya cukup panjang,” jawab orang yang mengaku sebagai peronda dari Kediri, “Nanti, jika kami telah menghadap Pangeran Kuda Permati, kami akan menceriterakan. Nah, sekarang, bawa kami kepada Pangeran Kuda Permati.”

Tetapi orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “jangan mencoba membohongi kami. Kami sangat berterima kasih kepada kalian, bahwa kalian telah membawa seorang perempuan cantik bagi kami. Nah, dengan demikian, maka tugas kalian telah selesai. Sepantasnyalah bahwa kalian bertiga harus dibinasakan agar kalian tidak akan dapat mengatakan apa-pun juga tentang kami.”

“Gila. Jadi kau berani berbuat demikian terhadap puteri Purnadewi?” bertanya salah seorang dari ketiga orang yang telah dibebaskan oleh puteri itu.

“Kami tidak percaya bahwa orang ini adalah puteri Purnadewi. Tetapi seandainya benar, maka tidak ada seorang-pun yang akan dapat menyampaikannya kepada Pangeran Kuda Permati, sehingga kami tidak akan pernah mendapat hukumannya, sementara perempuan ini dapat kami simpan baik-baik sampai saatnya kami akan membunuhnya pula, agar rahasia kami tidak akan dapat diketahui oleh siapapun juga.”

“Gila. Jadi kalian memang sudah gila,” geram salah seorang dari ketiga orang yang sudah dibebaskan oleh Purnadewi itu.

“Apa-pun yang kau katakan, kami tidak akan berkeberatan,” jawab orang berjambang lebat itu.

Sejenak kemudian suasana-pun menjadi semakin tegang. Purnadewi benar-benar menjadi ketakutan. Tubuhnya terasa gemetar, sementara jantungnya bagaikan akan terlepas dari tangkainya. Orang-orang yang mengepungnya itu bergeser semakin mendekat. Rasa-rasanya memang tidak ada lagi jalan untuk keluar dari lingkaran itu.

Namun ketiga orang yang telah dibebaskan oleh Purnadewi itu merasa bertanggung jawab atas keselamatan puteri itu. Karena itu, apa-pun yang akan terjadi, mereka sama sekali tidak akan gentar.

Sementara itu, orang berjambang lebat itu berkata sambil tertawa, “Nah, apa yang akan kalian lakukan sekarang? Kalian tidak akan dapat menipu kami. Kau sangka dengan menyebut nama Puteri Purnadewi, maka segala sesuatunya akan dapat berjalan sebagaimana kau inginkan?”

“Tetapi puteri ini benar-benar puteri Purnadewi,” salah seorang dari ketiga orang itu berteriak.

Orang berjambang lebat itu masih saja tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kalian jangan menganggap kami terlalu dungu. Perempuan cantik itu sangat kami perlukan.”

“Gila,” geram seorang yang lain, “Kalian tentu belum pernah melihat puteri Purnadewi.”

“Cukup,” bentak orang berjambang itu tiba-tiba, “Aku sudah muak mendengarnya. Sekarang bersiaplah untuk mati. Perempuan itu akan kami bawa kembali ke sarang kami.”

Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak ingin mengorbankan puteri Purnadewi. Karena itu, maka mereka tidak lagi memikirkan diri mereka sendiri. Yang terlintas di dalam angan-angan mereka adalah keselamatan isteri Pangeran Kuda Permati itu. Karena itu, maka ketiga orang itu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Untunglah bahwa dua diantara mereka telah membawa tombak dan seorang yang lain membawa pedang.

“Jadi kalian akan melawan?” bertanya orang berjambang itu.

“Atas nama Pangeran Kuda Permati kami harus menyelamatkan puteri Purnadewi,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

“Jangan sebut-sebut Pangeran Kuda Permati,” berkata orang berjambang itu, “Tingkahmu itu hanya akan mencelakai dirimu sendiri. Semakin gila kelakuanmu, maka jalan kematianmu-pun menjadi semakin sulit dan pahit.”

“Kami adalah prajurit,” jawab salah seorang diantara ketiga orang itu, “Apakah kau kira kami dapat kau takut-takuti dengan kematian yang bagaimana-pun juga?”

“Persetan,” geram orang berjambang itu, “Kalian memang harus dicincang di sini.”

Ketiga orang itu tidak menjawab lagi. Ketika mereka melihat orang-orang yang mengepungnya bergeser semakin dekat, maka ketiga orang itu-pun telah bersiap untuk bertempur. Mereka berdiri menghadap ketiga arah di seputar Purnadewi yang ketakutan.

Sejenak kemudian, maka orang berjambang itu-pun memberikan aba-aba, “Cincang ketiga orang ini. Mereka tidak boleh mati terlalu cepat. Mereka terlalu sombong untuk dibunuh dengan tusukan di dada. Tetapi mereka harus mengalami satu keadaan bahwa mereka merasa sangat menyesal atas tingkah laku mereka.”

Orang-orang yang mengepung itu-pun mulai bergerak. Senjata mereka mulai teracu-acu. Bahkan yang lain-pun telah mulai menyerang dengan garangnya. Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang seru. Ketiga orang itu telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

Ternyata ketiga orang itu memang memiliki kelebihan dari orang-orang yang mengepungnya. Ketiga orang itu adalah perwira yang mendapat kepercayaan dari Pangeran Kuda Permati sebelum mereka tertangkap oleh pasukan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka orang-orang yang mengepungnya itu tidak segera dapat mengalahkan mereka, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Namun bagaimana-pun juga kemampuan ketiga orang itu, tetapi ketika orang-orang yang mengepung mereka itu bertempur dengan keras dan kasar, maka mereka-pun segera mengalami kesulitan. Apalagi mereka masih harus melindungi Puteri Purnadewi, sehingga kedudukan mereka-pun menjadi sangat terikat.

Orang berjambang itu memperhatikan pertempuran itu sejenak. Tiba-tiba saja terdengar ia tertawa berkepanjangan. Katanya dengan suara lantang, sehingga mengatasi suara benturan senjata, “Nah, ternyata kalian tidak akan berumur sampai matahari terbit. Kalian akan mengalami kematian yang sangat berkesan disaat terakhir.”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Namun bagaimana-pun juga, ternyata bahwa orang-orang yang mengepungnya itu-pun prajurit-prajurit terlatih. Tetapi pengaruh keadaan mereka membuatnya menjadi semakin kasar. Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk menerobos ketiga orang yang melindungi puteri Pjrnadewi itu untuk mengambilnya sebelum mereka akan membunuh ketiga orang itu.

Kesulitan utama dari ketiga orang itu justru terletak pada usaha mereka melindungi puteri Purnadewi, bukan untuk keselamatan mereka sendiri. Karena itulah, maka orang-orang yang mengepungnya itu-pun semakin lama semakin mendesak u Bahkan kemudian perlawanan ketiga orang itu-pun menjadi semakin kacau, ketika ada diantara lawan mereka yang tidak lagi merasa perlu bertempur tetapi mereka ingin sekedar menerobos masuk mendekati Purnadewi.

Jika mereka dapat menangkap perempuan itu, dan mengancamnya, maka perlawanan ketiga orang pengawalnya itu tentu akan terhenti. Dengan demikian, maka ketiga orang pengawalnya itu kadang-kadang menjadi bingung karena orang-orang yang dengan kasar ingin menembus pertahanan mereka.

Purnadewi sendiri menjadi semakin ketakutan. Orang-orang itu ternyata benar-benar tidak percaya bahwa ia adalah Purnadewi yang menurut orang-orang yang mencegat itu sama sekali tidak masuk akal bahwa ia berkeliaran di malam hari bersama tiga orang laki-laki.

“Tidak ada seorang-pun diantara mereka yang mengenal kami,” desis salah seorang dari ketiga orang perwira yang melindungi Purnadewi itu.

Dalam keadaan yang sulit itu telah terjadi sesuatu yang agak kurang dapat dimengerti oleh semua pihak. Dalam kekalutan yang tidak teratasi oleh ketiga orang pengawal Purnadewi itu telah muncul sekelompok orang yang tidak dikenal. Mereka berpakaian seperti petani-petani. Bahkan dua diantara lima orang petani itu membawa cangkul, sedang seorang diantaranya membawa keranjang rumput. Tetapi keranjang itu masih kosong, sementara sebuah parang terselip pada keranjang itu.

Lima orang petani itu tidak melarikan diri melihat pertempuran yang ramai itu. Tetapi ternyata mereka justru telah mendekati. Yang membawa cangkul dan keranjang itu-pun telah diletakkan, sedangkan yang lain memperhatikan pertepuran itu dengan saksama.

“He, kenapa kalian berkelahi di sini?” berkata salah seorang dari para petani itu.

Tidak seorang-pun yang menjawab, sehingga dengan suara yang lebih keras petani itu berkata, “He, kenapa kalian berkelahi di daerah pategalan ini he? Apa yang kalian perebutkan.”

Yang terdengar kemudian adalah jawaban salah seorang pengawal Purnadewi, “Kami tidak tahu. Orang-orang itu telah menyerang kami. Mungkin mereka ingin merampok, bahkan merampok dan mengambil perempuan ini.”

Para petani itu terdiam sejenak. Lalu yang lain bertanya, “Apakah perempuan itu membawa harta benda.”

“Tidak,” jawab pengawalnya.

Seorang diantara para petani itu-pun telah maju selangkah. Katanya, “satu pertempuran yang tidak adil. Tiga orang harus bertempur melawan sepuluh orang. Aku tidak tahu, apa sebab yang sebenarnya. Tetapi sebaiknya pertempuran ini dihentikan saja. Kalian dapat berbicara untuk memecahkan persoalan diantara kalian. Kecuali jika memang benar ada usaha perampokan, maka biasanya perampokan tidak dapat diselesaikan dengan pembicaraan.”

“Tutup mulutmu,” teriak salah seorang dari sepuluh orang yang dihentikan iring-iringan Purnadewi itu, “pergi atau kalian akan ikut kami cincang disini.”

“Kami tidak akan pergi,” jawab salah seorang dari kelima orang petani itu, “Kami akan menjadi saksi, bahwa di sini telah terjadi pertempuran yang tidak adil. Tiga orang harus bertempur melawan sepuluh orang apapun persoalannya. Menurut perhitungan nalar, tentu bukan yang tiga oranglah yang telah mulai dengan pertempuran ini. Tetapi tentu yang merasa dirinya kuat. Karena itu, kami ingin mencari keterangan tentang kalian untuk menjadi bahan kesaksian kami.”

“Gila,” teriak orang berjambang lebat, “cepat pergi.”

“Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan melaporkan peristiwa ini kepada sekelompok pasukan berkuda yang ada di padukuhan sebelah.”

“Pasukan berkuda dari mana?” bertanya salah seorang diantara mereka.

“Aku tidak tahu. Tetapi aku kira prajurit-prajurit Kediri yang meronda,” jawab petani.

“Jangan gila. Jika demikian, maka kalian-pun sepantasnya harus dibunuh disini. Nasib kalian-pun ternyata sangat buruk seperti ke tiga orang ini,” berkata orang berjambang itu.

“Tetapi kalian tidak dapat begitu saja membunuh kami,” berkata petani itu, “itu sama sekali tidak berperikemanusiaan karena kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian.”

“Kami tidak peduli,” jawab orang berjambang.

“Kalau begitu, kami memang harus melaporkan perkelahian ini,” jawab salah seorang petani itu.

“Apa salah kami?” bertanya salah seorang petani.

“Kalian akan dapat menjadi saksi. Itu kesalahan kalian yang sangat menentukan. Sementara itu, kalian-pun berusaha untuk dapat menjadi saksi,” jawab orang berjambang.

Hampir berbareng kelima orang petani itu melangkah surut. Setelah menggapai cangkul dan keranjangnya, maka kelimanya benar-benar telah beranjak pergi. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar perintah.

“Tahan mereka. Mereka memang akan dapat menjadi saksi dan mungkin mereka benar-benar akan melapor.”

Dua orang diantara sepuluh orang yang menghentikan Purnadewi dan para pengawalnya itu telah meninggalkan arena dan mengancam para petani itu. Seorang diantara mereka membentak, “Kalian tidak dapat meninggalkan tempat ini.”

“Kenapa? Kami akan melaporkan perkelahian ini,” jawab petani.

“Dungu. Kalian tidak boleh pergi, justru karena kalian akan melapor itu,“ Jawab orang yang menahannya.

Para petani itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang diantaranya berkata, “Siapa-pun tidak berhak menahan kami, apa-pun yang akan kami lakukan. Kalian-pun tidak. Kami akan menemui pasukan berkuda itu untuk melerai pertempuran yang tidak adil ini.”

“Jangan banyak bicara,” bentak salah seorang dari kedua orang yang menahan mereka, “Selangkah lagi kalian maju, maka kalian akan menyesal. Aku sudah memperingatkan. Jika kalian memaksa, maka kalian akan mati.”

“Mati? Jadi jika aku melangkah lagi, aku akan mati? Begitu mudahnya seseorang mati,” desis salah seorang diantara para petani itu.

“Tutup mulutmu,” bentak orang yang menahannya. “Kalian tidak boleh pergi. Duduk disitu sampai kami menyelesaikan ketiga orang itu.”

Tetapi petani itu menjawab, “Jangan urusi kami. Biar saja kami berbuat menurut keinginan kami sendiri.”

Wajah orang yang menahan para petani itu menjadi tegang. Ketika seorang diantara para petani itu melangkah, maka salah seorang dari kedua orang yang menahannya itu telah meloncat di hadapannya sambil mengacukan senjatanya, “Selangkah lagi kau maju, maka kau benar-benar akan mati.”

Petani itu memang berhenti. Tetapi kemudian katanya. “Aku tidak mempunyai waktu untuk menanggapi permainanmu yang kasar itu.”

Petani itu seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Ia masih saja melangkah maju. Namun dengan demikian, maka orang yang menahannya itu sudah kehilangan kesabaran. Dengan serta merta orang itu telah mengayunkan senjatanya. Ia tidak bermain-main sama sekali, karena senjatanya sekali ayun akan dapat membunuh petani itu.

Tetapi yang terjadi adalah sesuatu yang tidak diduga sama sekali oleh orang yang menyerangnya. Ayunan senjatanya itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan karena ia mengayunkan dengan segenap kekuatannya, maka ia sendiri telah terseret oleh ayunan senjata itu, sehingga terhuyung-huyung. Dengan susah payah orang itu berusaha mempertahankan keseimbangannya.

Tetapi petani itu tidak tinggal diam. Ketika orang yang menyerangnya itu hampir menguasai keseimbangannya kembali, maka dengan kakinya ia telah mendorongnya. Seakan-akan tenaga yang dikeluarkan adalah tenaga yang tidak ada artinya sama sekali. Namun akibatnya ternyata luar biasa. Orang yang menyerangnya itu terdorong beberapa langkah dan kemudian jatuh terjerembab di tanah yang berdebu. Dengan demikian wajahnya yang basah oleh keringat itu menjadi seperti ditaburi tepung. Namun bukan itu saja. Tubuhnya terasa sakit. Namun yang lebih sakit lagi adalah perasaannya. Petani-petani dungu itu ternyata mampu mendorongnya sampai jatuh terjerembab.

Sementara itu, seorang kawannya yang melihat orang yang jatuh terjerembab, benar-benar menjadi marah. Dengan serta merta, maka ia-pun telah menyerang pula dengan senjatanya. Tetapi ia tidak mau mengalami peristiwa seperti kawannya itu. Karena itu, ia tidak lagi menganggap petani itu sama sekali tidak memiliki kemampuan sebagaimana kesalahan yang dilakukan oleh kawannya.

Namun dalam pada itu, serangannya telah memancing pertempuran. Petani itu tiba-tiba pula telah mencabut parangnya di lambung. Parang pembelah kayu yang nampaknya sudah berkarat. Tetapi justru karena itu, maka nampaknya parang itu memiliki kekuatan tersendiri.

Sejenak kemudian orang itu-pun telah terlibat dalam satu perkelahian melawan petani yang berparang itu. Sementara seorang di antara kedua orang yang telah terjatuh dan terjerembab itu telah bangkit sambil membenahi dirinya.

Namun ketika ia melangkah mendekati petani yang sedang bertempur itu, maka petani yang membawa keranjang-pun mendekatinya, “Kau juga ingin berkelahi?”

“Persetan,” geramnya. Namun ia tidak menunggu lebih lama. Tiba-tiba saja ia sekali mengayunkan senjatanya mengarah ke kepala petani itu.

Tetapi terjadi lagi satu kejutan bagi orang yang menyerangnya itu. Petani itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dengan gerak sederhana ia menangkis serangan itu dengan keranjangnya. Benturan yang terjadi benar-benar mengejutkan. Keranjang yang ujudnya tidak lebih dari keranjang rumput itu ternyata mampu menahan serangan senjatanya yang pernah dipergunakannya diberbagai medan pertempuran.

Karena itu, maka orang itu-pun telah berbuat jauh lebih banyak lagi. Dengan cepat ia harus berusaha mengatasi kejutan itu. Dengan gerak yang sangat cepat, maka orang itu-pun telah memutar senjatanya. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat telah menyerang petani itu dengan tusukan senjatanya.

Tetapi ia benar-benar kehilangan akal menghadapi petani itu. Demikian pedangnya menyusup di antara lubang-lubang keranjangnya, maka keranjang itu telah diputarnya, sehingga senjata itu-pun terputar pula. Demikian cepat dan kuatnya, sehingga ia tidak mampu berbuat sesuatu, sehingga ternyata senjatanya itu telah terlepas dari tangannya.

“Gila,” geram orang itu. Namun ia tidak sempat mengumpat lebih panjang lagi, karena keranjang itu telah terayun dan membentur kepalanya.

Benturan itu memang tidak terlalu keras, sebagaimana ayunan itu-pun tidak terlalu keras. Tetapi yang tidak terlalu keras itu telah membuatnya pening. Matanya menjadi berkunang-kunang. Hampir tidak masuk akal bahwa orang itu-pun kemudian telah menjadi pingsan.

Sementara itu, dua orang masih bertempur dengan sengitnya. Ternyata bahwa parang petani yang sedang bertempur itu adalah parang yang luar biasa. Bukan sekedar parang pembelah kayu sebagaimana ujudnya. Karena itu, maka lawannya salah seorang dari kedua orang yang berusaha mencegah para petani itu meninggalkan arena tidak mampu melawannya. Setiap benturan senjata telah membuat tangan orang itu merasa sangat sakit. Semakin lama semakin keras menggigit telapak tangannya.

Karena itu, maka orang itu-pun berusaha untuk menghindarkan benturan senjata. Setiap kali orang itu berusaha mengelakkan serangan dan apabila serangannya ditangkis dengan parang itu, maka ia telah mengurungkan serangannya. Dengan demikian, maka orang itu berada dalam kedudukan yang semakin lama semakin lemah.

Sementara itu, maka kawan-kawan dari kedua orang itu melihat apa yang telah terjadi. Dua orang kawannya sama sekali tidak berdaya menahan para petani itu. Bahkan seorang diantara mereka telah jatuh pingsan, sementara yang lain telah terdesak dan sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.

“Gila,” geram orang berjambang lebat, “Bunuh mereka. Biarlah ketiga orang pengawal perempuan ini kita selesaikan kemudian. Hadapi mereka seorang dengan seorang.”

Perintah itu tidak diulangnya. Empat orang diantara orang-orang yang mengepung tiga orang pengawal Purnadewi itu telah meninggalkan arena dan berlari-lari ke arah para petani yang mencurigakan itu. Dengan demikian, maka para petani itu seluruhnya telah terlibat kedalam pertempuran yang sengit seorang melawan seorang. Sementara seorang diantara lawan para petani yang terdahulu itu menjadi semakin tidak berdaya.

Karena enam orang telah terserap oleh para petani itu, maka ketiga orang pengawal Purnadewi sempat menarik nafas dalam-dalam. Demikian lawan-lawannya meninggalkan kepungan, maka tugas mereka menjadi terasa sangat ringan. Seorang dari mereka berhadapan dengan seorang lawan. Hanya seorang saja dari ketiga orang itu harus bertempur melawan dua orang lawan.

Namun ketiga orang itu adalah perwira yang terpercaya dari pasukan yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati, sehingga dengan demikian, maka dalam waktu dekat, empat orang yang berusaha untuk menahan ketiga orang pengawal Purnadewi itu telah terdesak...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.