PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 23
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 23
Karya Singgih Hadi Mintardja
PERTAPA itu hanya tersenyum saja. Tetapi seperti yang dikatakan oleh cantrik-cantriknya, ia memang mungkin memerlukan waktu lebih dari sepuluh hari. Namun mungkin justru lebih pendek. Ia harus dengan cepat dapat mengambil Pangeran Lembu Sabdata dan membawanya ke padepokan. Tidak lebih dari sehari. Di hari berikutnya ia harus membawa Pangeran Lembu Sabdata ke sebuah gubug kecil yang sudah dipersiapkan.
Gubug kecil yang jauh terpencil, sehingga tidak akan mungkin diketemukan oleh orang-orang Kediri. Bahkan seandainya orang-orang Kediri itu mendekati gubug itu, maka Pengeran Lembu Sabdata akan dengan mudah bersembunyi di hutan yang tidak jauh dari gubug itu.
Di gubug itulah Pangeran Lembu Sabdata harus menempa diri lahir dan batin dibawah bimbingan pertapa itu, sehingga pada suatu saat Pangeran Lembu Sabdata akan memiliki ilmu sebagai mana Pangeran Kuda Permati.
Demikianlah, pada saatnya, maka pertapa itu telah berangkat ke Kota Raja bersama pututnya. Tetapi mereka tidak akan pergi ke rumah Ki Sadmaya. Mereka akan berada di tempat yang tersembunyi sebagaimana sudah mereka tentukan pada saat mereka berada di Kota Raja cukup lama sambil mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
Ternyata semuanya berjalan sebagaimana mereka rencanakan. Kedua orang itu berada di sebuah padang perdu yang terbuka di luar Kota Raja. Namun dari tempat mereka bersembunyi mereka dapat mencapai tujuan untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Namun demikian pada hari-hari pertama, mereka pun telah menyiapkan sebuah persembunyian di dalam Kota Raja. Mereka telah menemukan sebuah bangunan lama yang rusak dan tidak terpelihara, sehingga mereka dapat mempergunakan bangunan itu sebagai tempat bersembunyi dalam keadaan memaksa, jika mereka tidak sempat meloncati dinding dan keluar ke padang perdu.
Dengan cermat keduanya mempersiapkan segala sesuatunya yang mereka perlukan. Termasuk bekal makanan dan air minum karena segala kemungkinan dapat terjadi. Setelah semua persiapan mereka selesaikan dengan baik, maka mulailah keduanya menyelidiki sasaran.
Ternyata Pangeran Lembu Sabdata masih berada di tempatnya semula. Pangeran itu tidak dipindahkan ke tempat lain. Penjagaan pun tidak lagi dilakukan terlalu ketat, karena sikap Pangeran Lembu Sabdata yang semakin meyakinkan, bahwa ia sudah pasrah sebulat-bulatnya.
Pada malam hari dengan diam-diam pertapa itu melihat-lihat suasana. Bagaimana mereka akan dapat membawa Pangeran Lembu Sabdata itu keluar dari lingkungannya.
Dari tempat yang gelap, Ki Ajar dan muridnya mengamati keadaan dengan saksama. Mereka memperhatikan di mana para peronda itu berada. Kapan diantara mereka akan berkeliling di seputar bilik tahanan itu. Berapa orang dan apakah mereka siap dengan senjata mereka.
Ternyata semuanya tidak berubah seperti yang pernah mereka kenal sebelumnya. Pada saat pertapa itu mengobati Pangeran Lembu Sabdata, maka keadaan itu telah dipelajari dengan saksama.
“Semuanya masih seperti sediakala,” desis Ki Ajar.
“Ya guru,” jawab muridnya, “Menurut pendapatku, kita akan dapat segera mulai.”
“Besok kita akan mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Malam ini kita akan berada di bangunan yang rusak itu, agar kita tidak terlalu letih keluar masuk kota. Bukankah kita sudah menyediakan bekal di tempat itu?” bertanya Ki Ajar.
“Sudah guru. Semuanya sudah tersedia,” jawab Putut itu.
Demikianlah, maka hari-hari yang menegangkan itu akan segera sampai ke puncaknya. Di malam berikutnya, pertapa itu benar-benar berniat untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata dari tempatnya. Pertapa itu berharap usahanya akan berhasil karena para petugas agaknya benar-benar sudah menjadi lengah.
Pada hari yang berikutnya, pertapa dan muridnya berada di rumah yang rusak itu, sejak semalam. Mereka mencoba untuk beristirahat, mengurangi ketegangan yang rasa-rasanya telah mencengkam jantung mereka..Hampir sehari-harian keduanya duduk sambil berbincang. Kemudian berbaring dan tidur dengan nyenyak. Mereka benar-benar melepaskan segala macam ketegangan yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu untuk bertindak.
Baru ketika matahari mulai turun sampai ke batas dataran edarnya, maka kedua orang itu mulai bersiap-siap. Langit semakin lama menjadi semakin suram. Dan sebentar kemudian maka bintang-bintang pun mulai bergayutan di lembaran yang biru kehitaman.
“Apakah kau sudah siap?” bertanya pertapa itu kepada muridnya.
“Sudah guru,” jawab muridnya.
“Lahir dan batin?” bertanya gurunya pula.
“Ya guru. Lahir dan batin,” jawab muridnya pula.
“Kau sudah makan?” tiba-tiba saja gurunya memberikan pertanyaan yang tidak diduga.
Dengan ragu-ragu muridnya menjawab, “Sudah guru. Bekal yang kita sediakan masih cukup.”
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita berangkat sekarang, untuk melakukan satu tugas yang sangat penting. Satu tugas yang akan menyangkut sejarah kehidupan Kediri dan Singasari. Jika kita berhasil, meskipun nama kita tidak pernah disebut-sebut oleh sejarah, tetapi kitalah yang sebenarnya memegang peranan dalam perubahan-perubahan yang akan terjadi. Tetapi kau jangan menjadi sakit hati karenanya, jika kelak orang yang disebut pahlawan dari orang-orang Kediri sejati bukan namamu dan namaku.”
Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya guru. Aku mengerti. Tetapi sebenarnyalah bahwa yang penting bagiku adalah tercapainya satu keinginan yang luhur. Siapapun yang akan disebut sebagai pahlawannya.”
“Bagus,” sahut pertapa itu. “Jika demikian kita memang dapat mulai sekarang.”
“Ya guru. Aku sudah siap,” jawab muridnya.
Demikianlah keduanya kemudian meninggalkan bangunan tua yang telah rusak itu. Mereka memasuki malam yang semakin gelap menuju ke lingkungan istana Kediri. Mereka sudah bertekad untuk melepaskan Pangeran Lembu Sabdata yang akan mereka siapkan untuk merubah kedudukan Kediri terutama di hadapan Singasari.
Dengan hati-hati kedua orang itu merayap di sepanjang dinding-dinding halaman menuju ke sasaran. Dalam perjalanan, murid pertapa itu pun sudah benar-benar mempersiapkan diri. Ia sudah mempersiapkan jenis-jenis senjata kecilnya. Ia membawa paser-paser kecil yang disimpan di dalam kantung-kantung ikat pinggangnya melingkari lambungnya.
Sementara itu dalam pertempuran yang keras. Putut itu sudah menyiapkan senjatanya yang sangat dibanggakannya. Sebilah keris yang besar yang diletakkannya di punggungnya. Setiap saat diperlukan, maka senjata-senjata itu akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Berapa pun lawan yang akan dihadapinya, maka paser-paser kecilnya akan dapat membantunya.
“Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata sendiri sudah tidak mempunyai keinginan untuk berbuat sesuatu,” berkata Putut itu di dalam hatinya, sehingga ia tidak dapat berharap bahwa dalam usaha melarikan diri. Pangeran Lembu Sabdata akan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri jika terjadi benturan kekerasan.
Semakin lama mereka menjadi semakin mendekati sasaran. Bilik yang dipergunakan untuk menahan Pangeran Lembu Sabdata memang berada di tempat yang sulit untuk dicapai. Meskipun tidak berada di lingkungan istana, tetapi letaknya tidak terlalu jauh. Dalam satu lingkungan yang memang disediakan untuk menahan dan mengurung keluarga istana yang melakukan kesalahan. Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di sekitar lingkungan tersebut. Satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding yang cukup tinggi.
“Kita menunggu kesempatan,” berkata pertapa itu.
Untuk beberapa saat keduanya duduk di dalam kegelapan mengawasi lingkungan yang akan mereka masuki.
“Peronda,” desis putut itu.
Pertapa itu mengangguk kecil. Katanya, “Peronda itu dalam saat-saat tertentu mengelilingi lingkungan yang dibatasi oleh dinding itu.”
“Ya. Mereka akan berhenti di muka gardu dan kemudian duduk-duduk diantara para petugas yang lain,” jawab putut itu.
“Kau masih mengingat semuanya. Namun, jalan manakah yang paling baik kita lalui?” bertanya pertapa itu.
“Mereka akan meronda lagi mengelilingi tempat itu. Namun kita akan sempat meloncat dari sudut di dekat pohon mulwa itu. Jika kita melompat di sudut itu, maka kita akan berada di dekat sumur. Aku pernah mengambil air di sumur itu dan memperhatikan sudut dinding itu dengan saksama. Di sebelah sumur itu ada sebuah bangunan kecil. Tempat untuk menyimpan makanan kuda. Rumput dan kulit padi,” berkata Putut itu.
“Baiklah. Kita akan masuk dengan meloncati dinding di sudut itu,“ berkata gurunya.
Ki Ajar itu pun kemudian mempersiapkan diri. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga muridnya itu pun menjadi heran. Bahkan kemudian bertanya, “Marilah guru, selagi peronda itu baru saja lewat.”
“Kau kira sebentar lagi mereka akan lewat?” bertanya gurunya.
“Ya. Dalam saat-saat tertentu mereka meronda mengelilingi dinding itu, “Jawab muridnya.
“Ya. Karena itu, maka kita harus berusaha agar mereka tidak lagi mengelilingi dinding itu,” jawab gurunya.
“Maksud guru?” bertanya putut itu.
“Apakah kau tidak mengerti?” gurunya justru bertanya.
Muridnya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Gumamnya, “Apakah guru akan mengetrapkannya?”
Gurunya tersenyum sambil menjawab, “Ya. Aku akan mengetrapkannya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku ingin usahaku berhasil sepenuhnya. Tanpa banyak mengalami kesulitan.”
Muridnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian maksud guru, maka terserahlah.”
“Apakah kau tidak sependapat,” bertanya gurunya.
“Tentu saja aku sependapat guru. Semakin mudah tugas ini kita selesaikan, tentu semakin baik,” jawab putut itu.
“Baiklah. Aku akan mengetrapkannya. Dengan sirep yang kuat maka semua petugas tentu akan tertidur nyenyak, jika ada satu atau dua orang yang terlepas dari pengaruh sirep itu. maka kita memang harus bertempur. Tetapi lawan kita tidak akan terlalu banyak.”
Putut itu mengangguk angguk. Desisnya, “Jika ada yang terlepas dari sirep itu, apakah mereka tidak akan mengenali kita lagi?”
“Memang mungkin. Karena itu, kita harus dapat menyamar diri. Jika tidak terpaksa sekali, kita tidak akan menunjukkan diri bahwa kita datang berdua. Jika mereka melihat kita datang berdua, maka mereka tentu akan menghubungkan jumlah itu dengan kehadiran kita beberapa saat yang lampau, saat kita mengobati Pangeran Lembu Sabdata,” berkata gurunya.
Agaknya putut itu masih agak kurang jelas maksud gurunya karena itu, maka iapun bertanya, “Apakah kita hanya boleh masuk seorang-seorang saja?”
“Tentu tidak. Tetapi jika ada orang yang lepas dari sirep, maka mereka tidak boleh melihat bahwa kita berdua,” jawab gurunya, “Karena itu, maka seorang diantara kita akan menyembunyikan diri.”
Muridnya mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian, maka gurunya itu pun duduk dengan kaki dan tangan bersilang. Ia ingin menempuh jalan yang paling aman. Karena itu, maka iapun segera memusatkan nalar dan budinya, untuk membangunkan ilmu sirep yang akan dapat membuat semua orang di dalam lingkungan sasarannya menjadi tertidur nyenyak.
“Bantu aku,” desis Ki Ajar itu.
Muridnya pun telah mempelajari ilmu itu pula meskipun belum sempurna sebagaimana gurunya. Namun dengan kemampuan yang ada, maka ia akan dapat membantu mempertajam sirep yang dilontarkan oleh gurunya. Karena itu maka kedua orang itu pun telah memusatkan ilmunya dan melontarkannya ke sasaran, satu lingkungan yang menjadi tempat menahan orang-orang yang bersalah dari lingkungan keluarga istana.
Demikianlah maka sejenak kemudian, maka ilmu itu pun mulai menebar diatas sasaran Udara yang tidak nampak oleh mata wadag rasa-rasanya telah berubah. Seakan-akan telah ditaburkan serbuk yang langsung mempengaruhi pernafasannya mereka sehingga orang-orang yang ada di dalam lingkungan itu pun telah menjadi mengantuk semuanya.
Tidak seorang pun yang berusaha menahan diri dari cengkeraman perasaan kantuknya. Ternyata malam itu tidak seorang pun yang cukup kuat untuk mengatasi kekuatan sirep yang menerkam seluruh lingkungan itu.
Beberapa saat lamanya Ki ajar dan muridnya masih dalam pemusatan nalar dan budi. Mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka, karena taruhan dari kerja mereka saat itu terlalu besar. Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu maka mereka tidak mau gagal.
Setelah melepaskan ilmu mereka, maka untuk beberapa saat keduanya menunggu. Baru kemudian mereka mulai bergerak. Meskipun menurut perhitungan mereka, orang-orang yang bertugas di tempat itu sudah tertidur nyenyak, namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan, karena menurut dugaan mereka mungkin satu dua orang mampu mengatasi kekuatan sirep itu.
Dengan hati-hati keduanya pun kemudian meloncati sudut dinding. Dengan demikian, mereka turun di bagian dalam dinding itu di dekat sumur. Seperti yang dikatakan oleh pututnya, maka Ki Ajar itu pun melihat sebuah rumah kecil tempat menyimpan makanan kuda, sementara kandang kuda itu sendiri terletak beberapa puluh langkah dari tempat itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar, “tetapi ingat, jika ada diantara para petugas dapat membebaskan diri, maka kita hanya boleh terlihat olehnya salah seorang saja.”
“Baiklah guru. Jika demikian, aku akan mengambil jarak dari guru,” berkata putut itu.
Gurunya tidak menjawab. Tetapi dibiarkannya muridnya itu bergeser mengambil jarak. Sementara itu, Ki Ajar sendiri telah pergi langsung menuju ke bilik tempat Pangeran Lembu Sabdata itu dikurung. Ternyata bahwa sirep itu sendiri telah berpengaruh pula terhadap Pangeran Lembu Sabdata, sehingga Pangeran Lembu Sabdata pun telah tertidur dengan nyenyaknya.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Ajar itu berdiri termangu-mangu di depan bilik Pangeran Lembu Sabdata. Bilik yang sangat kuat dan dijaga oleh beberapa orang prajurit. Namun malam itu, para prajurit itu terbaring diam karena mereka telah tertidur nyenyak.
Seorang prajurit tersandar pada dinding kayu dengan mata terpejam. Demikian kuatnya sirep yang dilontarkan oleh Ki Ajar bersama murid-muridnya, maka para prajurit yang tertidur itu seakan-akan bagaikan telah mati. Demikian pula dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar yang berdiri di depan bilik itu pun masih termangu-mangu. Dipandanginya Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Ada beberapa bagian dari dinding kayu yang diikat rapat itu agak renggang untuk memasukkan udara dan cahaya. Agaknya di tempat itu ia akan dapat dicari kemungkinan, merusak dinding dengan cara yang paling baik.
“Aku tidak akan mempergunakan kekerasan,” berkata Ki Ajar, ”Kesannya harus lain dari sekedar mendorong dinding hingga roboh.”
Akhirnya Ki Ajar itu telah mengambil sebilah pisau belati yang tajam. Dengan pisau belati itu, Ki Ajar telah memotong tali-tali pengikat dinding kayu. Tali yang kuat dan beranyam itu ternyata tidak terlalu mudah untuk diputuskan. Namun karena tidak seorang pun yang menghalangi pekerjaan itu, maka meskipun agak lama, Ki Ajar berhasil membuka beberapa batang kayu pada dinding itu.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Dinding yang terbuka itu telah cukup memberikan jalan kepadanya untuk memasuki bilik tahanan itu dan mendapatkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, Ki Ajar telah membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dengan memijat pada bagian tubuhnya yang sangat peka, dibawah telinga sebelah kiri.
Pangeran Lembu Sabdata yang sedang tertidur nyenyak itu ternyata terpengaruh juga oleh sentuhan tangan Ki Ajar, perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata itu membuka matanya. Ketika ia kemudian sadar sepenuhnya, dan dilihatnya Ki Ajar berada di dalam bilik itu, maka iapun segera bangkit dan duduk di bibir amben pembaringannya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, ”Apakah Pangeran mengerti maksud kedatanganku?”
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa batang kayu dari dinding biliknya itu telah terbuka, karena tali temalinya telah terputus. Karena itu, Pangeran Lembu Sabdata yang memang sudah berada dibawah pengaruh pribadi Ki Ajar itu setelah ia mendapat pengobatan, segera menjawab, “Aku mengerti Ki Ajar. Ki Ajar ingin membawa aku keluar dari tempat ini.”
“Bagus,” berkata Ki Ajar, “marilah. Waktunya sudah tiba. Pangeran harus keluar dari tempat ini. Perjuangan Pangeran masih panjang. Umur Pangeran masih cukup muda untuk menyongsong masa depan yang baik bagi Kediri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk kecil. Jawabnya dengan nada datar, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Ajar.”
“Baiklah Pangeran,” berkata Ki Ajar, ”Marilah. Kita keluar dari tempat ini.”
Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menjawab. Ketika Ki Ajar membimbingnya, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun hanya mengikutinya saja. Mereka menyusup diantara dinding kayu yang dipecahkan oleh Ki Ajar. Tidak dengan bantuan ilmunya yang luar biasa, tetapi dengan memotong tali-tali pengikatnya meskipun dengan demikian, waktunya menjadi bertambah panjang.
Tetapi Ki Ajar tidak menjadi cemas, bahwa para prajurit yang menjaga tempat itu akan segera terbangun. Sirep yang dilontarkan bersama muridnya adalah sirep yang sangat kuat. Jika tidak ada kekuatan lain yang mempengaruhinya, maka menjelang pagi para prajurit itu tentu baru akan bangun. Sejenak kemudian, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah melangkah keluar dari dalam biliknya lewat beberapa batang kayu yang telah dilepas dari ikatannya.
Pangeran Lembu Sabdata melihat dua orang tertidur di dekat pintu biliknya. Di ujung ruangan di depan biliknya, ia melihat prajurit yang lain tertidur sangat nyenyak diatas tikar yang sudah terbentang. Tombaknya terletak di sisinya, sementara seorang yang lain tidur sambil tersandar dinding.
Pangeran Lembu Sabdata itu mengetahui, betapa kuatnya sirep yang mencengkam tempat itu. Ia sendiri sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, selain perasaan kantuk yang mencengkam kemudian tertidur nyenyak, sampai saatnya Ki Ajar itu membangunkannya.
Dengan hati-hati kedua orang itu meninggalkan barak khusus itu. Di gardu kecil tiga orang juga sedang tertidur nyenyak pula. Bahkan dua orang yang sedang mengelilingi halaman di bagian dalam lingkungan itu telah tertidur pula bersandar sebatang pohon di halaman. Karena itu, Ki Ajar dan Pangeran Lembu Sabdata berjalan saja sebagaimana mereka berjalan dalam keadaan bebas di jalan-jalan raya.
Putut yang memisahkan diri dari Ki Ajar itu melihat keduanya melintasi halaman samping menuju ke sumur dari mana mereka masuk. Karena itu, maka iapun telah bergeser pula mendekati sudut dinding halaman itu. Sejenak kemudian, maka Ki Ajar dan Pangeran Lembu Sabdata telah meloncati dinding itu. Demikian pula murid Ki Ajar itu pun telah menyusulnya pula.
“Ki Ajar tidak sendiri?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Tidak Pangeran. Aku datang berdua dengan muridku, sebagaimana saat aku mengobati Pangeran beberapa waktu yang lalu di tempat ini pula,” jawab Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sudah mengenal Putut itu pada saat Ki Ajar mengobatinya. Karena itu, maka ia tidak bertanya lagi tentang Putut itu.
Demikianlah, malam itu ketiga orang itu telah berusaha keluar dari dinding kota. Mereka tidak boleh terkurung di dalam Kota Raja. Jika akhirnya diketahui bahwa Pangeran Lembu Sabdata sudah tidak ada di dalam biliknya, maka para prajurit tentu akan mencarinya di seluruh Kota Raja.
Tetapi menurut perhitungan Ki Ajar, maka baru menjelang dini hari orang-orang yang terbius oleh ilmu sirepnya itu akan terbangun dan menyadari apa yang telah terjadi. Sementara itu, mereka bertiga telah jauh dari Kota Raja dan tidak lagi dapat diikuti jejak perjalanan mereka. Karena itu, menurut perhitungan Ki Ajar, maka prajurit-prajurit Kediri tidak akan dapat lagi menyusul mereka, apalagi Ki Ajar pun kemudian telah memilih jalan-jalan sempit dan yang jarang sekali dilalui orang.
Namun karena ketiga orang itu memiliki kemampuan melampaui kebanyakan orang, maka perjalanan yang bagaimanapun beratnya dapat mereka tempuh dengan rancak dan seakan-akan tidak terjadi hambatan apapun juga. Mereka telah meninggalkan Kota Raja dengan meloncati dinding tanpa kesulitan. Kemudian menyusuri jalan kecil menjauhi dinding Kota Raja. Mereka melintasi sebuah sungai kecil dan naik ke tebing memasuki jalan bulak yang sempit. Selanjutnya, mereka memilih jalan yang tidak akan mungkin ditelusuri oleh para prajurit Kediri apabila mereka mengetahui bahwa bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata telah kosong.
Sementara itu, para pengawal yang ditinggalkan dalam keadaan tertidur nyenyak, masih juga tertidur di tempatnya. Satu dua orang mulai menggeliat. Tetapi mereka kembali lagi tertidur sambil mendengkur. Senjata-senjata mereka pun telah terlepas dari tangan. Tombak-tombak tersandar di dinding, sedangkan yang tertidur di halaman, tombak-tombak mereka justru terletak di tanah. Agaknya mereka memang masih belum akan terbangun. Kekuatan sirep yang mencengkam mereka memang terlalu kuat untuk dapat mereka lawan.
Namun dalam pada itu, di istananya Pangeran Singa Narpada justru merasa gelisah. Ia tidak dapat tidur nyenyak. Setiap kali ia terbangun dan bahkan seakan-akan terdengar suara memanggil-manggilnya. Ketajaman penggraita Pangeran Singa Narpada telah memaksanya untuk bangkit. Kegelisahannya itu telah memberikan berbagai macam dugaan. Namun yang sangat menggelisahkannya kemudian adalah justru Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada berusaha untuk menyingkirkan dugaannya yang bukan-bukan. Ia percaya bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang sudah berubah. Apalagi penjagaan di sekitar tempat tahanannya terlalu kuat untuk dapat ditembusnya, meskipun Pangeran Lembu Sabdata memiliki kelebihan. Tetapi menurut pengenalan Pangeran Singa Narpada. kemampuan Pangeran Lembu Sabdata masih belum nggegirisi sehingga masih akan dapat dikuasai oleh sekelompok prajurit yang bertugas. Bahkan seandainya terdapat kesulitan, maka para prajurit itu tentu akan memberikan isyarat dengan kentongan.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada tidak berhasil mengekang perasaannya. Karena itu, maka iapun kemudian turun ke halaman. Diperintahkannya beberapa orang pengawalnya untuk bersiap. Kemudian berkuda mereka telah pergi ke tempat Pangeran Lembu Sabdata ditahan. Ketika mereka memasuki lingkungan itu, maka betapa terkejutnya Pangeran Singa Narpada. Sejak ia berada di pintu gerbang, dan mengetuk pintu yang tertutup tanpa ada seorang pun yang menyahut, jantungnya terasa berdebar semakin keras.
Beberapa kali Pangeran Singa Narpada mengetuk pintu gerbang. Namun tidak seorang pun yang menyahut membuka pintu. Bahkan suasana yang terasa menyentuh perasaannya, membuatnya semakin berdebar-debar.
“Sesuatu telah terjadi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran,” jawab pengawalnya, “Tentu sesuatu telah terjadi. Aku merasakan satu pengaruh yang asing.”
“Apakah kau merasa mengantuk?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran. Rasa-rasanya udara terlalu segar, sehingga mata pun rasa-rasanya ingin terkatub,” berkata pengawalnya itu.
Jantung Pangeran Singa Narpada berdegup semakin cepat. Karena itu, iapun menjadi gelisah dan tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Dengan lantang ia memerintahkan semua pengawalnya, katanya, “bertahanlah terhadap pengaruh asing ini. Ada yang tidak wajar. Siapa yang tidak mampu mempertahankan kesadarannya, maka ia akan ketinggalan. Mungkin satu bencana akan menerkam kalian.”
Tidak ada yang menyahut. Namun para pengawal itu mendapat kesempatan untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka mereka tidak segera terpengaruh dan jatuh tertidur. Apalagi sumber pengaruh itu telah pergi, dan pengaruh sirep itu perlahan-lahan telah susut.
Namun Pengeran Singa Narpada yang menjadi gelisah itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia tidak lagi mengetuk pintu gerbang itu perlahan-lahan. Tetapi iapun kemudian telah melangkah beberapa langkah mundur.
Para pengawalnya yang telah mengenal watak dan sifat Pangeran Singa Narpada itu pun telah menyibak. Mereka tahu, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada yang marah itu.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada itu telah meloncat maju, kemudian tubuhnya berputar menyamping. Dengan loncatan panjang, tubuhnya menjadi bagaikan datar dengan tanah dengan kaki meluncur ke arah pintu gerbang itu.
Satu benturan yang sangat kuat telah terjadi. Pintu gerbang yang kuat itu tiba-tiba saja telah pecah oleh kekuatan kaki Pangeran Singa Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak sekedar mempergunakan tenaga wajar. Tetapi ia sudah mengetrapkan ilmunya, sehingga dengan demikian, maka pintu gerbang yang kuat itu telah dipecahkannya.
Dengan tidak sabar lagi, maka Pangeran Singa Narpada dan para pengawalnya itu pun segera berloncatan memasuki pintu gerbang. Namun yang kemudian mereka lihat benar-benar telah membuat jantung Pangeran Singa Narpada bagaikan berhenti. Meskipun derak pintu yang pecah itu hampir memecahkan pula selaput telinga, namun beberapa orang pengawal pintu gerbang itu telah tertidur dengan nyenyaknya di gardu mereka.
“Gila,“ geram Pangeran Singa Narpada. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang tertidur itu. Tetapi iapun langsung berlari menuju ke bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun di lingkungan itu ada pula beberapa orang bangsawan yang ditahan dalam persoalan yang berbeda-beda, namun yang terpenting bagi Pangeran Singa Narpada Lembu Sabdata, yang ditahan karena telah memberontak terhadap Kediri dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati.
Sebenarnyalah, kemarahan Pangeran Singa Narpada hampir saja memecahkan dadanya. Ternyata bahwa bilik kurungan Pangeran Lembu Sabdata telah terbuka. Beberapa batang kayu yang kokoh telah terlepas dari ikatannya, sementara beberapa orang penjaga tertidur dengan nyenyaknya.
“Gila, gila!” teriak Pangeran Singa Narpada. Tetapi yang mendengar suaranya hanyalah para pengawalnya.
Dalam ketegangan itu, serta kesadaran akan pengaruh sirep maka para pengawal Pangeran Singa Narpada berhasil bertahan. Mereka dapat mengesampingkan perasaan kantuk yang sebenarnya juga meraba perasaan mereka. Namun dalam pada itu, satu kenyataan telah terjadi. Pangeran Lembu Sabdata telah terlepas dari bilik tahanannya.
Kemarahan Pangeran Singa Narpada tidak tertahankan lagi ketika ia menjumpai bilik itu benar-benar telah kosong. Dengan kekuatan ilmu yang luar biasa, maka Pangeran Singa Narpada telah menghantam dinding bilik itu hingga pecah berantakan. Meskipun tali-talinya cukup kuat dan anyaman yang rapat, namun ternyata bahwa dinding bilik itu dalam sejenak telah berserakan. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang sudah tidak ada didalamnya.
Dengan suara lantang Pangeran Singa Narpada kemudian berteriak, “Cari di seluruh halaman ini, sementara itu yang lain supaya membunyikan tanda bahaya.”
Perintah itu tidak perlu diulang. Sejenak kemudian semua pengawal Pangeran Singa Narpada telah tersebar di seluruh halaman, sementara seorang diantara mereka telah membunyikan kentongan dengan nada titir.
Suara kentongan itu segera terdengar oleh para peronda diluar lingkungan itu. Dengan serta merta mereka telah menyambut isyarat itu dan menyambungnya. Dengan demikian maka sejenak kemudian suara kentongan itu telah menjalar ke seluruh Kota Raja. Bahkan padukuhan-padukuhan di perbatasan pun telah ikut membunyikan tanda bahaya itu pula.
Seluruh kota menjadi sibuk. Para prajurit berkeliaran hilir mudik. Namun ada diantara mereka yang dengan serta merta sekedar mengamati keadaan sebelum mereka tahu pasti apa yang telah terjadi. Namun dengan demikian mereka akan dapat mencegah hal-hal yang tidak diharapkan.
Baru beberapa saat kemudian, persoalannya menjadi jelas. Pangeran Lembu Sabdata, salah seorang terpenting dari para pengikut Pangeran Kuda Permati telah terlepas dari tahanannya. Mungkin melarikan diri, tetapi mungkin ada orang lain yang membantunya. Ternyata kekuatan sirep yang mencengkam para pengawal Pangeran Lembu Sabdata cukup kuat. Baru beberapa saat kemudian, para pengawal itu berhasil dibangunkan.
Dengan tergesa-gesa Pangeran Singa Narpada telah memanggil pemimpin pengawal yang saat itu bertugas. Dengan wajah yang memancarkan kemarahan tiada terhingga, Pangeran Singa Narpada minta pertanggungan jawab pemimpin pengawal itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan oleh pemimpin pengawal itu kecuali pasrah.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja kami telah digulung oleh perasaan kantuk yang tidak terlawan,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Itu suatu bukti bahwa kalian secara jiwani tidak bersiap. Jika kalian bersiap, maka tidak akan terjadi, bahwa semua orang di dalam lingkungan ini tertidur.” Bentak Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran,” jawab pemimpin pengawal itu. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat mengelakkan tanggung jawab, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah terlepas.
Namun dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada telah memastikan satu kesimpulan bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat sendiri. Tentu ada pihak lain yang telah membantunya untuk melepaskan diri.
Sementara itu, di seluruh Kota Raja telah diadakan pengamatan yang saksama. Seolah-olah para prajurit telah memasuki semua pintu rumah. Dengan garang prajurit berusaha untuk menemukan seorang yang telah melarikan diri dari bilik kurungannya. Dan orang yang melarikan diri itu adalah Pangeran Lembu Sabdata.
Malam itu Kediri benar-benar menjadi gempar. Prajurit berkuda hilir-mudik di jalan-jalan raya. Setiap sudut Kota telah diawasi oleh pasukan khusus sementara yang lain memasuki setiap halaman. Malam itu juga Pangeran Singa Narpada telah menghadap Sri Baginda. Dengan cemas Pangeran Singa Narpada melaporkan yang telah terjadi.
Sri Baginda untuk beberapa saat termenung dengan pandangan mata yang sayu. Sebenarnya ia sudah memikirkan, kapan Lembu Sabdata dapat dilepaskan. Namun yang terjadi ternyata telah membuat jantungnya berdebar-debar. Yang terbayang oleh Sri Baginda adalah peperangan sebagaimana telah terjadi. Kematian yang tidak terbendung. Permusuhan dan dendam. Jika Pangeran Lembu Sabdata membakar dendam di hati orang-orang yang menjadi korban dalam perang yang baru lalu, maka segalanya itu akan terulang kembali.
Sri Baginda itu menarik nafas dalam-dalam. Juga terbayang, betapa puteri Purnadewi telah mengorbankan cintanya, mengorbankan yang paling berharga dalam hidupnya untuk mengakhiri perang yang menelan korban tiada terhitung jumlahnya.
“Apakah semuanya itu akan terulang kembali?” bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
Namun kemudian katanya kepada Pangeran Singa Narpada, “Terserahlah kepadamu. Apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Namun aku ingin pertumpahan darah dapat dicegah. Setidak-tidaknya dapat dikekang sehingga Kediri tidak akan menjadi semakin surut karenanya. Apalagi jika Singasari menganggap perlu untuk ikut memecahkan persoalan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengerti sepenuhnya, betapa perasaan Sri Baginda. Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat berbuat lain, kecuali menyelamatkan Kediri.
Malam itu para prajurit tidak dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun semua pintu gerbang ditutup dan dinding Kota Raja diawasi dari sudut sampai ke sudut, namun tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban, bagaimana dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Karena itu, yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada adalah perintah yang disampaikan kepada semua Senapati di daerah perbatasan untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dan berusaha untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata yang telah melarikan diri.
Sebagaimana Pangeran Singa Narpada, maka Panji Sempana Murti pun menjadi geram. Seperti Pangeran Singa Narpada pula, iapun telah jemu melihat darah putera-putera Kediri tertumpah. Tetapi seperti juga Pangeran Singa Narpada ia tidak akan dapat membenarkan semua bentuk pengkhianatan dan pemberontakan terhadap Kediri.
Dalam pada itu, selain usaha langsung untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berbicara dengan beberapa orang pembantunya yang terpenting untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, siapakah yang telah membantu Pangeran Lembu Sabdata keluar dari bilik tahanannya.
Sementara itu, selagi Kota Raja dan daerah di sekelilingnya terjadi keributan, maka Pangeran Lembu Sabdata sudah menjadi semakin jauh. Bersama Ki Ajar dan muridnya, mereka melintasi jalan-jalan sempit, bulak-bulak panjang, menyeberangi sungai dan menuruni tebing-tebing bukit.
“Kita tidak perlu cemas lagi Pangeran,” berkata Ki Ajar. ”Kita sudah berada di tempat yang cukup jauh. Tidak akan ada usaha menyusul kita melalui jalan ini.”
Sebenarnyalah tidak ada prajurit yang mengikuti jejak Pangeran Lembu Sabdata lewat jalan yang benar. Mereka memang menyebar prajurit berkuda ke seluruh arah. Tetapi mereka tidak pernah memikirkan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah melarikan diri melalui jalan-jalan sempit yang jarang dilalui orang. Seandainya ada beberapa prajurit yang berpikir demikian, namun jalan yang demikian itu jumlahnya sangat banyak. Karena itu, maka sangat sulitlah bagi para prajurit Kediri untuk dapat melacak kemana Pangeran Lembu Sabdata itu pergi.
Tetapi bahwa di hari pertama para prajurit tidak dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata, bukan berarti bahwa mereka tidak akan berusaha mencarinya. Dengan sungguh-sungguh para pemimpin Kediri berbicara diantara mereka, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika para pemimpin di Kediri masih sibuk menebak-nebak, apa yang telah terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Lembu Sabdata bersama Ki Ajar yang telah menyembuhkannya sekaligus mempengaruhi pribadinya, diikuti oleh seorang muridnya menuju ke sebuah tempat yang terpencil. Tidak di padepokan Ki Ajar, tetapi ke tempat yang memang khusus dibangun oleh Ki Ajar bagi tempat yang akan dihuni oleh Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “untuk beberapa saat lamanya Pangeran harus mengasingkan diri. Mungkin untuk sementara Pangeran tidak akan berhubungan dengan siapapun, kecuali aku dan pututku yang sekali-sekali akan datang mengunjungi Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak mempunyai sikap menghadapi tawaran itu. Seakan-akan ia berada dibawah perintah Ki Ajar tanpa dapat membuat pertimbangan-pertimbangan.
Ketika malam datang, maka ketiga orang itu telah bermalam di sebuah padang rumput. Di malam hari titik-titik embun membuat udara menjadi semakin dingin. Namun bagai para pejalan itu, pengaruh udara sama sekali tidak terasa mengganggu. Baru di hari berikutnya mereka melanjutkan perjalanan dan memasuki sebuah padang perdu.
“Kami sudah menyiapkan sebuah gubug kecil Pangeran. Kami mohon Pangeran bersedia tinggal di gubug itu untuk waktu yang tidak terbatas. Di gubug itu Pangeran akan menempa diri untuk menghadapi tugas yang sangat berat,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk. Jawabnya, “Apakah yang harus aku lakukan, akan aku lakukan. Sekalipun aku harus melalui laku yang sangat berat. Asal aku masih dapat berpengharapan bahwa putera-putera Kediri sejati akan berhasil.”
“Kami akan bersama-sama berharap,” berkata Ki Ajar. Lalu, “Semuanya itu kami lakukan untuk mengatasi kecerdikan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, aku dan muridku akan berada di padepokan sampai saatnya Pangeran Singa Narpada mencari Pangeran ke padepokanku. Tetapi jika mereka tidak menemukan Pangeran di padepokanku, maka mereka tentu akan mengambil kesimpulan lain.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi kakangmas Pangeran Singa Narpada adalah orang yang cerdik dan keras. Mungkin kakangmas Singa Narpada akan dapat memaksa Ki Ajar untuk berbicara dengan caranya.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha untuk bertahan. Aku sudah tua. Seandainya aku harus mati, maka aku tidak akan kecewa. Tetapi jika yang terjadi demikian, maka Pangeran harus menentukan langkah-langkah yang harus Pangeran ambil. Sementara itu, aku percaya bahwa muridku satu-satunya yang mengetahui tentang Pangeran, tentu akan berbuat sebagaimana aku lakukan. Ia akan mengikhlaskan jiwanya. Bukan untuk Pangeran, tetapi untuk Kediri. Namun lantaran bagi kebebasan Kediri adalah Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa ia akan memikul beban yang sangat berat yang diletakkan oleh Ki Ajar itu diatas pundaknya. Tetapi memang tidak ada pertimbangan lain di hatinya, kecuali melakukannya dengan penuh tekad dan kemauan, sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar.
Demikianlah, akhirnya mereka bertiga telah berada di sebuah gubug kecil yang benar-benar terpencil. Sebidang tanah terbentang di belakang gubug itu. Sebuah sungai kecil mengalir di sebelah sebidang tanah itu, sehingga dengan mudah tanah itu dapat diairi.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar ketika mereka memasuki gubug yang sudah dipersiapkan itu, “pangeran akan tinggal di gubug ini. Memang jauh berbeda dengan tinggal di sebuah istana. Tetapi disini Pangeran mengemban satu tugas.”
Pangeran Lembu Sabdata memandang berkeliling. Di dalam rumah itu terdapat beberapa perabot yang sederhana. Amben untuk tidur, geledeg bambu dan dilengkapi dengan perapian, belanga dan beberapa mangkuk.
“Nah, Pangeran harus berusaha untuk dapat tetap hidup dalam keadaan seperti ini. Sebelum Pangeran berhasil memetik hasil dari tanah itu, aku menempatkan beberapa ceruk beras dan jagung. Pangeran dapat memburu binatang liar untuk dibuat lauk atau bahkan untuk memperpanjang penggunaan beras dan jagung,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Namun tekad yang sudah diletakkan oleh Ki Ajar di dalam hatinya, membuatnya tidak gentar menghadapi apapun. Juga menghadapi kesepian yang panjang.
“Malam ini aku bermalam disini Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Ada beberapa pesan yang akan aku sampaikan. Tetapi besok aku harus berada di padepokan.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menentukan lain dari yang ditentukan oleh Ki Ajar. Sementara itu Ki Ajar berkata selanjutnya, “Semula aku berniat membawa Pangeran ke padepokan barang semalam, baru kemudian Pangeran akan aku sisihkan. Namun agaknya lebih aman jika aku membawa Pangeran langsung ke tempat ini. Akulah yang akan bermalam di tempat ini satu malam.”
Seperti yang dikatakan, maka Ki Ajar dan muridnya telah bermalam semalam di gubug itu. Di malam itu, Ki Ajar telah menyempurnakan pengaruhnya atas Pangeran Lembu Sabdata. Namun selain itu, Ki Ajar pun telah menentukan untuk meningkatkan ilmu Pangeran Lembu Sabdata dengan memberikan sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran tentang olah kanuragan.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Aku mempunyai sebuah kitab yang tidak terlalu besar. Aku minta Pangeran mempelajarinya selama aku masih belum sempat memberikan tuntutan langsung kepada Pangeran. Selama itu Pangeran dapat berlatih sendiri. Menentukan laku yang paling sesuai dengan sifat dan kebiasaan Pangeran. Dengan demikian, jika aku datang kelak, semua persiapan telah mapan, sehingga Pangeran akan segera melejit menjadi orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya, justru akan melampaui kemampuan Pangeran Kuda Permati.”
“Aku akan melakukan yang dianggap baik oleh Ki Ajar,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Pangeran. Yang harus Pangeran lakukan adalah dengan sungguh-sungguh mempelajari dan berlatih berdasarkan atas kitab yang akan aku serahkan kepada Pangeran, sebagai laku pendahuluan sebelum aku sendiri sempat menuntun Pangeran. Tetapi jika kemudian aku ditangkap bersama muridku, dan kemudian karena tindakan Pangeran Singa Narpada aku dan muridku tidak lagi sempat menjumpaimu, maka kitab itu adalah bekal yang paling berharga bagimu. Kau harus dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya. Baru setelah Pangeran menguasai sepenuhnya. Pangeran dapat mulai dengan langkah-langkah berikutnya.”
“Baik Kiai,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Namun aku masih berharap bahwa Ki Ajar masih akan mempunyai kesempatan untuk menentukan di kemudian hari. Kapan pun.”
“Aku berharap demikian,” jawab Ki Ajar, “Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik dan tidak ada kesulitan, juga tentang Pangeran Singa Narpada yang kita cemaskan.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dengan satu kehidupan baru. Ia harus hidup sendiri untuk waktu yang tidak terbatas. Sehingga pada satu saat ia akan turun ke medan dengan kemampuan yang tidak lagi terlawan.
Malam itu, Ki Ajar benar-benar bermalam di gubug kecil itu. Di dalam kelam, ternyata gubug itu diliputi oleh gemeresaknya suara malam. Sekali-sekali terdengar aum seekor harimau di hutan di seberang sungai kecil di dekat gubug itu. Kemudian di kejauhan anjing hutan meraung menggetarkan jantung.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak gentar mendengar suara-suara malam yang menyeramkan. Rasa-rasanya ia sudah kebal dari perasaan takut dan cemas. Ia seakan-akan merasa bahwa hidupnya itu tidak lebih dari sekedar kelebihan dari masa hidupnya yang sebenarnya setelah ia mengalami sakit ingatan.
Ternyata Ki Ajar tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika langit mulai diwarnai oleh cahaya fajar, Ki Ajar dan muridnya telah meninggalkan gubug itu. Sebenarnyalah Ki Ajar digelisahkan oleh perhitungan, bahwa mungkin sekali Pangeran Singa Narpada akan datang ke padepokannya.
Dengan demikian, maka sepeninggal Ki Ajar, Pangeran Lembu Sabdata benar-benar berada di dalam kesendirian. Namun ia sudah bertekad bulat untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh Ki Ajar. Ia harus mempelajari isi kitab itu sampai saatnya Ki Ajar datang kepadanya untuk menyempurnakannya. Bahkan Ki Ajar telah berpesan, jika ia tidak datang lagi ke gubug itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Pangeran gubug itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa Ki Ajar kembali ke padepokannya. Dengan kemampuannya yang tinggi, maka mereka telah berjalan dengan kecepatan yang tinggi. Melampaui kecepatan orang kebanyakan yang berjalan tergesa-gesa.
“Pangeran Sing Narpada tentu akan berusaha untuk memecahkan teka-teki hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Ki Ajar kepada muridnya.
Sebenarnyalah, saat itu Pangeran Singa Narpada dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Sadmaya. Menurut perhitungan Pengeran Singa Narpada, tidak ada orang lain yang pernah berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata sebelumnya kecuali Ki Sadmaya dengan tamunya, Ajar yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata yang sakit ingatan. Meskipun hal itu sudah dilakukan agak lama, namun tidak ada orang lain yang pantas untuk ditanya, apakah mereka mengerti serba sedikit tentang Pangeran Lembu Sabdata yang hilang.
Kedatangan Pangeran Singa Narpada sendiri ke rumah Ki Sadmaya ternyata telah mengejutkannya. Setiap orang mengerti, betapa marahnya Pangeran Singa Narpada, atas hilangnya Pangeran Lembu Sabdata dari biliknya. Karena itu, kehadiran Pangeran Singa Narpada di rumah Ki Sadmaya telah membuat jantungnya bergetar cepat.
Sebagaimana sifatnya, maka Pangeran Singa Narpada pun tidak ingin bertanya melingkar-lingkar. Ia pun dengan serta merta bertanya tentang hubungan Ki Sadmaya dengan orang yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
“Kami adalah sahabat baik,” jawab Ki Sadmaya, ”Sejak kami masih muda. Tetapi jalan hidup kami ternyata berbeda. Aku tinggal seperti sekarang ini di Kota Raja, sedang sahabatku itu tinggal di tempat yang terpencil. Untuk waktu yang lama kami tidak bertemu. Namun tiba-tiba kami berhubungan lagi sebagai dua orang sahabat.”
“Bagaimana menurut pendapat Ki Sadmaya tentang Ajar itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada, ”Apakah mungkin ia mempunyai kepentingan dengan Pangeran Lembu Sabdata?”
“Pangeran,” jawab Ki Sadmaya, ”Menurut pendapatku, sahabatku itu adalah orang yang berpikir sederhana. Mungkin ia memang memiliki kepandaian sebagaimana para dukun di padepokan-padepokan, antara lain mengobati orang sakit ingatan. Tetapi jangkauan pikirannya tidak akan sampai kepada persoalan yang lebih jauh dalam hubungannya dengan pemerintahan. Menurut pendapatku, Ki Ajar itu tidak akan berbuat sesuatu atau katakanlah tersangkut dalam persoalan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Jika demikian, maka engkau adalah satu-satunya orang yang dapat dituduh berkepentingan dengan Lembu Sabdata.”
Wajah Ki Sadmaya menjadi pucat. Katanya, “Kenapa aku Pangeran? Aku sama sekali tidak berkepentingan apapun juga. Sebelumnya aku tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata, apalagi ketika ternyata Pangeran Lembu Sabdata terlibat ke dalam pemberontakan itu. Jika aku menghubungkan Ajar itu dengan Pangeran, adalah karena aku mendengar bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah terserang penyakit ingatan. Aku hanya membayangkan, alangkah malangnya seseorang yang tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Apalagi seseorang yang sedang berada di dalam tahanan. Tidak lebih dan tidak kurang. Apalagi sebelumnya bukankah aku telah menghadap Pangeran yang telah menyetujui pengobatan itu.”
Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia telah menyetujui permohonan untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata. Namun sikapnya sebagai seorang Senapati telah menentukan langkahnya pula. Katanya, “Ki Sadmaya, aku akan meneliti persoalan ini sampai tuntas. Tetapi untuk sementara kau dikenakan tahanan.”
Jantung Ki Sadmaya bagaikan terhenti karenanya. Tetapi semua orang tahu sifat Pangeran Singa Narpada. Karena itu, segala keluhannya tidak akan didengarnya. Demikianlah, Ki Sadmaya dengan Senapati yang pernah menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada telah ditahan. Namun mereka berusaha untuk menenangkan diri sendiri. Senapati itu pun berkata kepada Ki Sadmaya di dalam bilik tahanannya,
“Maksud kita adalah baik. Jika ternyata kita mengalami akibat yang sebaliknya adalah nasib kitalah yang sangat buruk. Tetapi aku yakin bahwa kebenaranlah yang akhirnya akan ditegakkan oleh Pangeran Singa Narpada. Aku yakin akan sikapnya.”
“Mungkin jiwanya dapat kita percaya,” berkata Ki Sadmaya. ”Tetapi seseorang mungkin akan dapat khilaf.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang aku sebut dengan nasib buruk yang ada pada diri kita.”
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada ternyata ingin pergi juga ke padepokan Ki Ajar. Meskipun Ki Sadmaya mengatakan bahwa Ki Ajar adalah orang yang menurut pengenalannya tidak akan mungkin melibatkan diri ke dalam persoalan Pangeran Lembu Sabdata, namun Pangeran Singa Narpada ingin melihat, apa yang ada di padepokan Ki Ajar itu untuk meyakinkannya. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata justru berada di padepokan itu.
Ternyata Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan untuk membawa Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya dengan dirinya. Selain kedua orang itu merupakan orang-orang yang dicurigai, Ki Sadmaya harus menunjukkan dimanakah letak padepokan Ki Ajar yang telah mengobati sakit ingatan Pangeran Lembu Sabdata.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan dari pasukan berkuda untuk mengiringinya ke sebuah padepokan kecil untuk menemui Ki Ajar yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika iring-iringan itu sampai di padepokan Ki Ajar, ternyata Ki Ajar dan pututnya telah berada di padepokan. Demikian mereka sampai ke padepokan, maka Ki Ajar telah mengumpulkan semua cantriknya untuk memberikan beberapa pesan.
“Jangan mencelakai aku,” berkata Ki Ajar, “Jika seseorang bertanya kepada kalian, maka kalian harus menjawab, bahwa dalam waktu-waktu terakhir, lebih dari sebulan, aku tidak pernah meninggalkan padepokan ini. Apakah kalian mengerti?”
Para cantrik mengangguk-angguk meskipun mereka kurang pasti, apakah yang dimaksud oleh Ki Ajar. Sementara itu Ki Ajar berkata selanjutnya, “Jika kalian mengatakan yang lain, itu berarti bahwa kalian telah menjerumuskan aku ke dalam kesulitan. Kalian tidak perlu mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Namun siapapun yang bertanya kepada kalian, termasuk para prajurit dari Kediri, maka jawab kalian adalah sebagaimana aku katakan. Sudah lama aku tidak meninggalkan padepokan. Dengan demikian kalian telah menyelamatkan jiwaku.”
Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Meskipun mereka tidak mengerti sebabnya, tetapi mereka pahami pesan itu. Kepada siapapun juga, mereka harus mengatakan bahwa Ki Ajar sudah lama tidak meninggalkan padepokan. Sudah sebulan lebih.
Karena itu, ketika sekelompok prajurit datang ke padepokan itu, maka para cantrik pun telah bersiap menjawab pertanyaan yang akan diberikan kepada mereka. Mereka harus mengatakan bahwa Ki Ajar sudah lama tidak meninggalkan padepokan.
Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Ki Ajar. Ketika Pangeran Singa Narpada sampai ke padepokan itu, maka bersama Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada, iapun telah minta untuk langsung berbicara dengan Ki Ajar, sementara itu ia sudah menugaskan beberapa Senapati bawahannya yang lain untuk menghubungi para cantrik dan menanyakan serba sedikit tentang Ki Ajar.
Namun cantriknya yang sedikit jumlahnya itu, semuanya telah mendengar pesan Ki Ajar tentang jawaban yang harus diberikan kepada orang-orang yang akan bertanya kepada mereka tentang Ki Ajar. Demikianlah, telah terjadi pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang Pangeran Lembu Sabdata. Ketika Pangeran Singa Narpada mengatakan bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah hilang dari bilik tahanannya.
Ki Ajar itu telah terkejut bukan buatan. Untuk sejenak mulutnya bagaikan terbungkam, sehingga justru karena itu, ia tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya tersendat, “Jika demikian, sia-sialah aku mengobatinya. Ternyata ada orang lain yang tanpa belas kasihan telah memanfaatkan keadaan Pangeran Lembu Sabdata.”
Ki Sadmaya menarik nafas dalam-dalam. Sikap Ki Ajar meyakinkan sekali, bahwa ia memang tidak tahu menahu tentang Pangeran Lembu Sabdata.
Sementara itu Ki Ajar pun telah melanjutkan. “Pangeran, dengan didorong oleh perasaan kemanusiaan yang tinggi, aku telah mengerahkan segenap ilmuku tanpa mengenal siapa Pangeran Lembu Sabdata itu. Aku hanya mengenalnya sebagai seorang yang berada di dalam tawanan dalam keadaan sakit ingatan. Namun setelah Pangeran itu sembuh untuk beberapa saat, ia telah hilang dengan cara yang sangat aneh. Tetapi apakah tidak mungkin bahwa Pangeran itu telah melarikan diri tanpa bantuan orang lain? Jika demikian, maka aku akan merasa sangat berdosa. Seakan-akan usahaku mengobatinya atas dasar kemanusiaan itu, justru telah menimbulkan malapetaka. Bukan saja bagi Pangeran Lembu Sabdata, tetapi juga bagi orang lain.”
Sikap Ki Ajar benar-benar meyakinkan. Karena itu, Pangeran Singa Narpada tidak dapat mendesaknya. Tetapi ia menjawab, “Ki Ajar. Pangeran Lembu Sabdata tentu mendapat bantuan dari orang lain. Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat melepaskan diri dengan cara seperti itu?”
“Cara yang mana Pangeran?” bertanya Ki Ajar.
“Dengan ilmu sirep,” jawab Pangeran Singa Narpada. “Semua orang yang bertugas telah tertidur nyenyak. Dalam kesempatan yang demikian dinding bilik tahanan itu telah dirusakkan dengan paksa.”
“Sirep? Dengan tanah kuburan?“ bertanya Ki Ajar.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Kau kira cara itu akan mampu mempengaruhi seorang saja dari para prajurit yang terlatih lahir dan batin?”
“Jadi?” bertanya Ki Ajar.
“Dengan kekuatan ilmu yang dipancarkan dari kesadaran jiwa yang sangat kuat. Dengan demikian, maka getaran pancaran kekuatan jiwa itu dapat mempengaruhi jiwa orang lain yang lebih lemah dari padanya.“ Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, lalu, “Sebagaimana yang Ki Ajar lakukan atas orang lain yang telah Ki Ajar sembuhkan dari sakit ingatan.”
Terasa jantung Ki Ajar berdetak semakin cepat. Tetapi ia berusaha sekuat tenaganya untuk tidak memberikan kesan apapun. Katanya, “Ah, yang aku lakukan tidak lebih dari yang dilakukan oleh ayahku, kakekku dan mungkin dari orang tua mereka. Mungkin aku memiliki kepribadian yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Namun sudah barang tentu dalam persoalan yang sangat khusus.”
“Aku mengerti Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Memang persoalannya tidak sama. Orang yang memiliki kemampuan memancarkan pengaruh pribadinya untuk membuat mereka kehilangan kesadaran dan tertidur, belum tentu dapat mempergunakan pengaruh pribadinya itu untuk mengobati seseorang yang sakit ingatan.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pangeran Singa Narpada memang sudah tidak mencurigainya lagi. Tetapi dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Mungkin persoalan kita sudah selesai Ki Ajar. Tetapi aku masih menunggu hasil pengamatan beberapa orang Senapatiku.”
Ki Ajar menjadi berdebar-debar. Jika ada seorang saja diantara para cantriknya yang salah ucap, maka akibatnya tentu akan sangat parah baginya dan bagi padepokan kecilnya itu. Padepokan yang telah dibangunnya untuk waktu yang sangat lama melalui perjuangan yang berat. Karena itu, bagaimanapun juga, terasa jantung Ki Ajar itu dicengkam oleh ketegangan, karena Ki Ajar menyadari bahwa tidak semua cantrik memiliki kecerdasan berpikir.
Sementara itu, beberapa orang Senapati memang telah memanggil para cantrik untuk berbicara seorang dengan seorang. Para Senapati itu telah menanyakan kegiatan dari Ki Ajar. Apa saja yang telah diajarkan di padepokan kecil itu.
“Kami belajar olah kajiwan,” jawab para cantrik meskipun mereka tidak saling berbicara sebelumnya. Tetapi mereka dapat menghubungkan, pesan Ki Ajar dengan kehadiran para prajurit dan justru karena para prajurit itu telah bertanya kepada mereka tentang kegiatan Ki Ajar.
Ternyata bahwa para cantrik itu telah berusaha untuk melindungi nama baik dan keselamatan Ki Ajar. Karena itu, maka mereka dengan sungguh-sungguh berusaha untuk berbicara sebagaimana dipesankan oleh Ki Ajar.
Senapati yang berbicara dengan para cantrik itu ternyata memang bertanya, "apakah Ki Ajar baru saja pergi meninggalkan padepokan.?"
Namun semua cantrik yang dipanggil para Senapati itu menjawab, “Sudah lama guru tidak meninggalkan padepokan.”
“Berapa lama?” bertanya para Senapati.
“Sudah lebih dari sebulan,” jawab para cantrik.
Para Senapati itu kemudian bertanya tentang lingkungan mereka dan mereka pun bertanya apakah padepokan itu baru saja menerima tamu.
“Kami jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menerima tamu,” jawab para cantrik.
“Apakah kemarin ada tamu?” desak Senapati-senapati itu.
Tetapi jawabnya para cantrik di tempat yang terpisah-pisah itu, “Tidak tuan. Tidak ada seorang tamu pun. Apalagi dalam waktu dekat ini.”
Ketika kemudian para Senapati itu selain bertemu dan berbicara tentang hasil pengamatan mereka padepokan itu dan para cantrik, serta menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Memang tidak ada alasan untuk mencurigai Ki Ajar yang sederhana ini.”
Dengan demikian, maka Ki Ajar pun telah dibebaskan dari segala tanggung jawab atas hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. Sehingga karena itu, maka juga tidak ada alasan lagi untuk lebih lama menahan Ki Sadmaya dan Senapati yang telah menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun langsung minta diri bersama para pengiringnya. Sebaliknya keputusan bahwa Ki Ajar memang tidak tahu menahu tentang keadaan dan usaha Pangeran Lembu Sabdata yang telah melepaskan diri, maka Pangeran Singa Narpada pun mengambil keputusan pula untuk membebaskan Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya.
Sepeninggal Pangeran Singa Narpada, maka Ki Ajar pun telah menarik nafas dalam-dalam. Muridnya yang paling dipercayainya itu pun bertanya, “Apakah ini berarti bahwa kita sudah bebas sama sekali dari semua tuduhan?”
“Kita masih menunggu,” jawab gurunya, “Dalam beberapa saat ini, Pangeran Singa Narpada tentu masih memasang petugas sandinya untuk mengamati kita. Jika dalam saat-saat yang demikian kita pergi ke gubug Pangeran Lembu Sabdata, maka kita tentu akan terjebak karenanya.”
“Jika demikian kita akan menunggu. Sementara itu, aku akan mengamati pula, apakah masih ada para petugas sandi itu di sekitar padepokan ini,” sahut pututnya.
“Tidak mudah untuk mengetahui kehadirannya,” berkata Ki Ajar.
“Aku sadar guru. Tetapi aku akan mencoba. Bukankah tidak ada bahayanya untuk melihat-lihat pategalan sambil mengamati keadaan,” berkata Putut itu, “Memang mungkin aku gagal menemukan mereka. Tetapi aku akan mencobanya.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi untuk sementara kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa kita sudah dibebaskan. Justru karena tidak ada pesan apapun juga, maka Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai.”
Demikianlah, maka Ki Ajar tidak lagi merasa gelisah dengan hadirnya siapapun juga yang berusaha untuk mengkhianatinya.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang ditinggalkan seorang, diri di dalam sebuah gubug di pinggir hutan yang lebat sama sekali tidak merasa gentar. Meskipun ada juga sepercik kecemasan, namun ternyata kemudian ia merasa mapan untuk tinggal di tempat itu. Ternyata di dalam gubug itu terdapat alat-alat dapur yang lengkap. Senjata yang pendek, sedang dan senjata panjang. Bahkan ada sejenis senjata lontar.
Dengan senjata-senjata itu, Pangeran Lembu Sabdata harus mempertahankan diri. Namun jika pada suatu saat ia lengah, maka mungkin sekali ia akan dapat diterkam oleh seekor harimau atau sekelompok anjing hutan.
Dari hari ke hari, Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan alam di sekitarnya. Pategalan, tanah garapan, sungai, padang rumput dan perdu serta hutan yang masih pepat, ditumbuhi berbagai batang pohon raksasa.
Namun karena tekad yang telah membara di dalam dadanya, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tidak pernah mengeluh karena keadaannya. Sepekan dua pekan, terasa juga kerinduan Pengeran Lembu Sabdata untuk dapat bertemu dan berbicara dengan seseorang. Tetapi keinginan itu akhirnya kabur juga.
Apalagi ketika Pangeran Lembu Sabdata mulai membuka kitab yang diberikan oleh Ki Ajar yang membawanya ke tempat itu. Maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dapat memahami arti hidupnya dalam keterasingannya. Karena dengan mempelajari ilmu itu, ia berharap bahwa pada suatu ketika ia akan hadir kembali di tengah-tengah sekelompok orang yang akan tercengang menyaksikan kemampuannya.
“Tentu bukan sekedar untuk dipertontonkan,” berkata Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya, “Ada satu tujuan yang penting bagi kebebasan orang-orang Kediri sejati.”
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah menenggelamkan sebagian besar waktunya dengan isi kitab Ki Ajar. Dibacanya isi kitab itu. Kemudian ia mulai melakukannya. Membiasakan diri dengan gerakan-gerakan tertentu, kemudian memahaminya dan mengerti artinya sehingga akhirnya gerakan itu dapat dikuasai watak dan kegunaannya.
Pangeran Lembu Sabdata di setiap hari bangun pagi-pagi benar. Setelah mandi di sebuah mata air di pinggir sungai, maka iapun mulai mengadakan latihan-latihan bagi wadagnya. Berlari-lari, berloncatan dari atas batu ke batu, mendaki lereng-lereng bukit kecil, memanjat pohon dan gerakan-gerakan yang lain yang berarti bagi ilmunya dan bagi kekuatan jasmaniahnya.
Kemudian Pangeran Lembu Sabdata melakukan sebagaimana kebanyakan orang, menyiapkan makannya bagi sehari penuh. Menanak nasi atau merebus jagung, atau bahan makanan yang lain di samping daging hasil buruannya. Juga kadang-kadang hijau-hijauan yang dipetiknya dari halamannya. Namun juga Pangeran Lembu Sabdata sering mencari lauk bagi makannya dari dalam air. Ikan air atau udang yang banyak terdapat di sungai yang mengalir di sebelah tanah yang terbentang di sisi pondoknya.
Jika matahari menjadi semakin tinggi, maka Pangeran Lembu Sabdata telah bekerja di sekitar pondoknya, menggarap tanah untuk dipetik hasilnya. Beberapa jenis tanaman telah ditanamnya. Baru lewat tengah hari, Pangeran Lembu Sabdata telah tenggelam dengan latihan-latihan yang berat tanpa mengenal lelah. Bahkan sampai malam turun.
Ketika tubuhnya telah dicengkam oleh keletihan, maka barulah Pangeran Lembu Sabdata masuk ke dalam pondok kecilnya. Makan apa yang ada, beristirahat sejenak, kemudian membaringkan dirinya di atas sebuah amben. Pangeran Lembu Sabdata tidak pernah memerlukan lampu minyak atau obor. Sekali-sekali ia membakar dedaunan kering di dalam rumah kecilnya sekedar untuk mengusir nyamuk.
Dengan cara hidup yang demikian, Pangeran Lembu Sabdata telah meningkatkan kemampuan olah kanuragannya setapak demi setapak. Bagaimana juga ia menempa diri, namun Pangeran Lembu Sabdata masih juga berusaha untuk selalu berdiri diatas martabatnya sebagai manusia. Ia tidak akan merendahkan dirinya dan hidup menyerupai binatang di dalam hutan.
Sehingga karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata telah membuat beberapa catatan dengan goresan-goresan duri pada kekayuan tentang peri kehidupannya di masa yang lalu sebagaimana diingatnya. Hanya coretan-coretan pendek, tetapi memberikan satu gambaran dari sikap dan tata cara hidup sebagai mahluk yang mempunyai martabat tertinggi.
Dalam pada itu, untuk beberapa lama, Ki Ajar masih belum pergi menengok Pangeran Lembu Sabdata. Ia masih ingin meyakinkan bahwa ia tidak akan diamati-amati lagi oleh siapapun juga. Terutama Pangeran Singa Narpada.
Sementara Ki Ajar masih berusaha untuk melihat suasana di sekitarnya, maka di Kediri, para pemimpin masih juga menjadi pening jika sekali-sekali mereka berbicara tentang Pangeran Lembu Sabdata. Namun betapapun mereka berusaha untuk melacak namun Pangeran Lembu Sabdata seakan-akan telah lenyap seperti asap.
Namun dalam pada itu, setiap kali Pangeran Singa Narpada berpesan, “Kita jangan menjadi lengah. Aku yakin bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak sekedar lari dan bersembunyi sambil menunggu saat-saat ia mati ditelan oleh umurnya. Tetapi pada suatu saat ia akan bangkit dan muncul sebagaimana pernah terjadi dengan Pangeran Kuda Permati.”
Para Senopati mempercayai keterangan itu. Merekapun menganggap bahwa akan terjadi memang demikian. Karena itu, maka atas perintah Pangeran Singa Narpada, maka para Senopati telah menekankan kepada Senopati-senopati yang lebih muda, yang sebaya atau yang lebih muda dari Pangeran Lembu Sabdata untuk tetap berhati-hati.
“Setiap saat, akan terjadi ledakan seperti meledaknya gunung berapi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui, kapan waktu yang mereka cemaskan itu akan datang. Mungkin setahun, mungkin dua tiga tahun atau lebih.
Namun Pangeran Lembu Sabdata memang tidak akan tergesa-gesa. Ki Ajar yang masih belum pernah menengoknya itu masih harus mempersiapkan segala-galanya. Agar rencana Pangeran Lembu Sabdata berjalan lancar, maka masih harus diusahakan untuk memperoleh sebuah benda yang sangat mahal, bukan saja harganya, tetapi juga nilainya sebagai benda yang dikeramatkan.
Tetapi untuk mengambil benda itu, Ki Ajar harus memperhitungkannya dengan sangat cermat. Mengambil sebuah benda di gedung perbendaharaan, adalah satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Mungkin Ki Ajar akan dapat mempergunakan cara yang sama sebagaimana dipergunakannya pada saat ia mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Namun mungkin ia harus mengambil cara lain, karena di gedung perbendaharaan mungkin sekali terdapat orang-orang yang akan mampu bertahan terhadap kekuatan sirepnya.
Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, Ki Ajar masih belum bertindak. Sementara itu, ia mulai meyakini bahwa padepokannya sudah tidak diawasi lagi oleh siapapun juga, sehingga dengan demikian, maka ia sudah mempunyai kesempatan untuk pergi.
Dalam satu dua pekan, Ki Ajar sendiri telah melihat-lihat keadaan di sekitar padepokannya. Baru kemudian, ia memutuskan untuk menengok Pangeran Lembu Sabdata yang berada di tempat pengasingannya.
“Kau ikut aku,” berkata Ki Ajar kepada muridnya yang paling dipercayainya. Sementara itu kepada murid-muridnya yang lain, Ki Ajar mengatakan, bahwa ia ingin pergi ke tempat-tempat yang memungkinkannya untuk melakukan samadi.
“Apakah guru sudah dapat menyebut, dimana guru akan melakukan Samadi?” bertanya seorang muridnya.
“Aku akan berjalan,” jawab Ki Ajar, “baru jika terasa olehku tempat yang sesuai, maka aku akan berhenti dan melakukan samadi barang dua tiga pekan. Mudah-mudahan aku dapat kembali dengan selamat. Sementara itu, jika ada orang yang bertanya tentang aku, maka katakanlah, aku sedang samadi di tempat yang masih akan diketemukan kemudian.”
“Baiklah guru,” jawab muridnya, “Tetapi kami mohon guru tidak akan terlalu lama pergi.”
“Tidak. Aku tidak akan terlalu lama pergi,” jawab Ki Ajar.
Demikianlah, pada hari-hari yang sudah ditentukan, maka Ki Ajar dan pututnya itu pun telah meninggalkan padepokannya. Demikian hati-hati, Ki Ajar tidak langsung menuju ke tempat Pangeran Lembu Sabdata disembunyikan. Tetapi ia mengambil jalan melingkar. Meskipun agak jauh, tetapi jika orang-orang padukuhan di sekitar padepokannya melihat, maka arah kepergiannya bukannya arah yang menuju ke tujuannya.
Karena itu, maka Ki Ajar memerlukan waktu yang lebih lama untuk menempuh jarak ke pondok Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi selisih waktu itu sama sekali tidak berpengaruh apapun juga, baik bagi Pangeran Lembu Sabdata, maupun bagi Ki Ajar dan muridnya.
Namun akhirnya, Ki Ajar pun sampai juga ke pondok Pangeran Lembu Sabdata. Pangeran yang berada di tempat yang terasing dan yang sudah cukup lama tidak bertemu dengan seseorang.
Karena itu, maka kedatangan Ki Ajar telah memberikan kegembiraan yang luar biasa kepada Pangeran Lembu Sabdata. Kedatangan Ki Ajar seakan-akan telah menempatkannya kembali kepada kedudukannya dan ke dalam lingkungan sesamanya. Karena sebenarnyalah bahwa seseorang pada dasarnya akan berusaha untuk hidup di dalam lingkungannya. Bukan sendiri-sendiri tanpa saling berhubungan.
Ki Ajar yang sudah lama tidak bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata itu, melihat pada saat kedatangannya bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang agak kurus. Tetapi Ki Ajar itu pun melihat bahwa Pangeran itu nampak memiliki sesuatu yang belum dimilikinya sebelumnya.
Setelah Ki Ajar dipersilahkan duduk, dan setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Pangeran Lembu Sabdata pun mulai menceriterakan pengalaman yang didapatkannya selama ia berada di tempat yang terasing itu.
“Aku ternyata mampu menggarap tanah,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Sementara itu, aku mampu pula memaksa diri untuk mempelajari ilmu sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ki Ajar.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengagumi Pangeran. Ternyata Pangeran dengan cepat mampu menyesuaikan diri. Pangeran dapat hidup dalam suasana yang lain sama sekali dengan suasana yang pernah Pangeran alami di Kediri.”
“Tetapi meskipun hidup disini bagaikan hidup dalam dunia mimpi, tetapi agaknya masih lebih baik daripada hidup di dalam bilik kurungan. Apalagi dalam keadaan kehilangan ingatan. Di dalam bilik itu aku tidak lebih dari pangewan-ewan yang tidak berharga sama sekali. Pada saat aku masih dicengkam oleh sakit ingatan, maka mungkin orang akan meludahiku jika mereka lewat di muka bilik tahanan itu,” sahut Pangeran Lembu Sabdata.
“Tidak Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Tidak ada yang memperlakukan Pangeran seperti itu.”
“Tentu ada,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Aku tidak lebih dari seekor keledai di hadapan Pangeran Singa Narpada.”
“Ternyata Pangeran Singa Narpada masih juga mengingat bahwa Pangeran adalah keluarga sendiri. Ternyata Pangeran Singa Narpada tidak berkeberatan ketika seseorang memohon untuk mengobati Pangeran pada saat Pangeran sakit ingatan,” berkata Ki Ajar.
“Sekedar memamerkan diri, agar kakangmas Singa Narpada dianggap orang yang baik hati,” sahut Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar tersenyum. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Pangeran. Bukan sekedar memamerkan kebaikan hati. Tetapi sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada tidak berkeberatan jika Pangeran Lembu Sabdata mendapat pengobatan dan sembuh dari penyakit Pangeran. Tetapi sudah barang tentu bahwa Pangeran Singa Narpada tidak ingin melihat Pangeran meninggalkan bilik tahanan itu. Karena Pangeran Lembu Sabdata merupakan orang yang sangat berbahaya bagi Pengeran Singa Narpada.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Kakangmas Singa Narpada membenci aku sejak aku masih kanak-kanak.”
“Tentu tidak Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Pangeran Singa Narpada dan Pangeran Lembu Sabdata telah memilih jalan sendiri dalam hubungan dengan keadaan Kediri sekarang ini. Karena itu, maka jika ada jarak antara Pangeran Singa Narpada dan Pangeran Lembu Sabdata tentu tidak sejak Pangeran Lembu Sabdata masih kanak-kanak.”
Pengeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kapan pun mulainya, tetapi bagi Pangeran Singa Narpada aku memang merupakan musuh yang sangat dibencinya. Kepergianku tentu akan menggoncangkan Kediri meskipun hanya sesaat. Kemudian Kediri akan tenang lagi untuk beberapa lama, sampai saatnya aku ikan muncul lagi sebagaimana Ki Ajar harapkan.”
“Ya Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Namun setelah rangkaian dari segala rencana ini lengkap.”
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian mendapat penjelasan dari rencana Ki Ajar. Sebelum bertindak lebih jauh, maka Mahkota yang keramat itu harus sudah berada di tangan.
“Segalanya terserah kepada Ki Ajar,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Aku hanya akan melaksanakan sebagaimana Ki Ajar kehendaki.”
“Pangeran adalah trah Raja-raja di Kediri. Karena itu, maka Pangeran pun berhak menduduki tahta. Memang tidak semua orang kuat memikul beban itu. Tetapi Mahkota itu adalah pertanda wahyu. Siapa yang memiliki mahkota itu akan dapat dan kuat memanggul tugas sebagai Raja di Kediri.”
“Jika demikian, maka tidak usah trah para Raja di Kediri akan dapat menjadi Raja,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Menurut nalar memang demikian Pangeran. Tetapi bagi kepentingan para pendukung, maka mereka akan lebih percaya bahwa pemimpin mereka adalah salah seorang dari keluarga Raja sendiri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa yang sebenarnya akan mengemudikan semua gerakan adalah Ki Ajar. Namun ia sama sekali tidak merasa kecil dan berkeberatan untuk sekedar menjadi alat. Pangeran Lembu Sabdata memang tidak merasa lagi harus berdiri tegak diatas kepribadiannya. Dirinya sendiri telah menjadi kabur baginya, sehingga dengan demikian, maka ia akan melakukan semua perintah Ki Ajar yang telah mengobatinya.
Sebenarnyalah Ki Ajar telah menumpukan harapannya kepada Pangeran Lembu Sabdata setelah Pangeran Kuda Permati terbunuh, justru oleh isterinya sendiri. Demikianlah, maka Ki Ajar untuk beberapa hari memang berada di pondok itu bersama seorang muridnya. Dengan tekun dan bersungguh-sungguh keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu Pangeran Lembu Sabdata. Yang sudah dipelajarinya dari kitab yang ditinggalkan oleh Ki Ajar, kemudian mendapat penjelasan dan tuntunan untuk mengembangkannya dari Ki Ajar.
“Pangeran harus memiliki tingkat ilmu sebagaimana Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka kita bertiga akan dengan mudah mengambil Mahkota yang tersimpan di gedung perbendaharaan. Kemudian setelah memiliki Mahkota yang menjadi lambang wahyu Kraton itu, maka semuanya akan dapat kita lakukan. Mungkin dengan cara sebagaimana pernah ditempuh oleh Pangeran Kuda Permati dengan perlawanan terbuka. Tetapi mungkin dapat dilakukan dengan cara lain,” berkata Ki Ajar.
“Cara lain yang bagaimana?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Aku belum tahu. Tetapi mungkin dengan cara membunuh seorang demi seorang diantara mereka yang menentang niat Pangeran Lembu Sabdata. Yang utama adalah Pangeran Singa Narpada. Kemudian Pangeran-pangeran yang lain. Baru kemudian para Senapati. Diantara mereka yang pertama adalah Panji Sempana Murti,” jawab Ki Ajar. Tetapi kemudian katanya lebih lanjut, “Namun semuanya itu jangan kau pikirkan sekarang Pangeran. Yang penting bagi Pangeran sekarang adalah menempa diri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk. Memang yang penting baginya adalah menyempurnakan ilmunya. Baru rencana-rencana itu akan dipelajarinya untuk dilaksanakannya.
Dengan demikian, maka dari hari ke hari, Ki Ajar telah memberikan latihan-latihan yang berat. Pada satu saat Ki Ajar telah membuka satu kemungkinan pengembangan satu jenis ilmu. Sementara di saat lain, Pangeran Lembu Sabdata harus mulai dengan tata gerak yang baru untuk melengkapi ilmu yang telah dipelajarinya.
Waktu yang ada telah dipergunakan oleh Pangeran Lembu Sabdata sebaik-baiknya. Ia mengerti, bahwa Ki Ajar tidak akan terlalu lama berada di tempat itu. Karena itu, maka iapun memanfaatkan waktu yang tersedia dengan latihan-latihan yang berat, agar jika Ki Ajar meninggalkannya, maka ia sudah mempunyai bahan yang cukup banyak.
Dalam pada itu, sementara Pangeran Lembu Sabdata sedang menempa diri, maka dua orang kakak beradik di tempat yang berjarak ribuan tonggak, sedang sibuk membajakan diri pula. Sebagaimana telah mereka putuskan, bahwa keduanya akan pergi ke Kediri untuk menyatakan, bahwa untuk sementara mereka akan menarik diri dari tugas-tugas sandi. Mereka akan menjalani laku sebagai dua orang penerus dari salah satu cabang perguruan olah kanuragan.
Dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melakukan sebagaimana dijanjikaannya kepada kakak dan ayahnya. Mereka berusaha untuk tidak mengecewakan cabang perguruan Mahendra, karena ayahnya memang tidak mempunyai murid yang lain kecuali anak-anaknya sendiri.
“Selagi ayah belum menjadi pikun,” berkata Mahendra, “Kalian harus menjadi orang yang pantas berkelana diantara mereka yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Bukan untuk menunjukkan kelebihanmu dan bertindak sewenang-wenang. Namun kalian justru harus berada dalam keadaan bertapa Ngrame. Satu laku sebagai pertapa yang selalu siap untuk menolong orang lain yang memerlukan pertolongan.”
Kedua anaknya selalu mendengarkan nasehat ayahnya itu. Keduanya berusaha untuk mengerti dan meresapi makna dari nasehat itu. Dengan demikian maka keduanya telah berusaha dengan sungguh-sungguh, sejauh jangkauan kemampuan tubuh dan jiwa mereka.
Hampir setiap hari keduanya selalu berada di dalam sanggar. Sekali-sekali mereka menyusuri lereng pegunungan dan memasuki hutan-hutan lebat yang dapat mereka jangkau dalam latihan-latihan mereka. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan alam dan berusaha menyatukan diri dengan kekuatan alam itu. Mereka melihat angin yang menggoyang dedaunan. Merekapun melihat topan yang mengguncang pepohonan. Dan mereka melihat juga prahara yang mengamuk memutar pohon-pohon raksasa dan kemudian menumbangkannya timpa-menimpa.
Kedua anak muda itu juga melihat gemercik air sungai yang jernih mengalir disela-sela bebatuan. Merekapun melihat banjir yang melanda tebing. Dan mereka pun melihat arus banjir bandang yang menyeret rumpun-rumpun pering ori, menghanyutkan batu-batu sebesar gunung anakan. Menggugurkan tebing-tebing pegunungan.
Merekapun melihat betapa api menghangatkan tubuh yang kedinginan di malam hari. Tetapi api itu juga membuat air menjadi mendidih karenanya, dan kedua anak itu pada suatu saat telah melihat betapa dahsyatnya hutan yang terbakar. Binatang-binatang seisi hutan berlari-larian berebut dahulu. Seekor harimau telah berlari meloncati seekor kambing tanpa berpaling. Sementara anjing-anjing hutan menggonggong tidak berkeputusan, saling melanggar derap kijang yang kepanasan. Ujung lidah api yang meloncat ke udara bagaikan menggapai langit dan membakar awan yang bergayutan.
Semua yang terjadi itu tidak lepas dari pengamatannya. Bahkan semua gejala kejadian alam. Jika hal yang berkesan di hatinya itu diungkapkan kepada ayah mereka, maka ayah mereka pun segera memberikan petunjuk-petunjuk dalam hubungan dengan ilmu mereka. Kekuatan angin, air dan api. Kekuatan alam yang mungkin akan dapat menjadi landasan kekuatan ilmu mereka. Ilmu Gundala Sasra, Bajra Geni, Sapu Angin dan kekuatan-kekuatan lain bersandar kepada kekuatan air, api dan angin. Sementara itu, ilmu yang lain berlandaskan kepada kekuatan yang disadap dari kekuatan bumi. Aji Sangga Buana dan kekuatan-kekuatan lain akan mempunyai arti yang sangat besar, apabila seseorang mampu menguasainya.
Dengan cara yang khusus Mahendra memberikan petunjuk kepada kedua orang anak laki-lakinya yang dianggapnya sudah dewasa sepenuhnya, untuk menelusuri lebih dahulu ilmu dari cabang perguruannya sendiri. Baru kemudian dengan alas itu mereka akan membuka pengembangannya lebih jauh berdasarkan atas pengamatan mereka terhadap alam di sekeliling mereka.
Sebenarnyalah, bahwa kesempatan yang didapat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih baik dari Mahisa Bungalan. Kedua anak muda itu mendapat kesempatan lebih luas untuk mengenali ilmu mereka dan menukik kekedalamannya. Baru kemudian, ternyata bahwa Witantra pun telah ikut pula turun ke sanggar. Karena Witantra bersumber dari ilmu yang sama dengan Mahendra, maka Witantra dapat langsung ikut serta membimbing keduanya. Meskipun di dalam perkembangannya, ada sedikit perbedaan antara Mahendra dan Witantra, namun pada dasarnya keduanya memang bersumber dari perguruan yang sama.
Agak berbeda dengan Mahisa Agni yang menjadi semakin tua. Tidak ada keinginan apapun lagi padanya, kecuali mewariskan ilmunya sampai tuntas. Namun karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dalam tempaan ayah dan paman yang sekaligus menjadi gurunya, maka Mahisa Agni telah memilih Mahisa Bungalan untuk mewarisi ilmunya sepenuhnya.
Namun karena Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati di Singasari, maka segalanya berjalan dalam keadaan yang lebih terbatas. Mahisa Bungalan tidak mempunyai waktu seluas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi dengan ijin panglimanya, maka Mahisa Bungalan mendapat juga waktu untuk melakukannya pada saat-saat tertentu di setiap hari.
Tetapi seperti yang pernah dilakukan Mahisa Agni, maka pada saat-saat terakhir, Mahisa Bungalan harus menempatkan diri sepenuhnya untuk menjalankan laku. Tetapi atas pengaruh Mahisa Agni di lingkungan istana Singasari, maka ijin itu bukan persoalan yang sulit bagi Mahisa Bungalan apabila saatnya nanti tiba.
Namun dalam pada itu, ternyata sebuah berita dari Kediri telah mengejutkan beberapa kalangan di Singasari. Sri Baginda di Kediri memang tidak memberikan laporan secara resmi bahwa Pangeran Lembu Sabdata yang ditahan berhasil melarikan diri. Tetapi justru para petugas sandi di Kediri lah yang mengetahui dan memberikan laporan kepada para pemimpin di Singasari, bahwa Pangeran Lembu Sabdata, seorang Pangeran pengikut Pangeran Kuda Permati telah terlepas dari bilik tahanannya.
Petugas sandi di Kediri dapat memberikan laporan terperinci tentang pelarian itu. Juga tentang keadaan Pangeran Lembu Sabdata sebelumnya, yang mengalami sakit ingatan dan kemudian telah disembuhkan oleh seorang pertapa. Namun yang beberapa saat kemudian, Pangeran itu justru telah hilang. Dengan jelas petugas sandi itu memberikan laporan, bagaimana Pangeran Lembu Sabdata itu lenyap tanpa diketahui oleh para petugas yang tertidur.
Hilangnya Pangeran Lembu Sabdata ternyata merupakan peristiwa yang mendapat tanggapan yang luas bagi Singasari. Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang Pangeran yang keras hati. Selebihnya, Pangeran Lembu Sabdata akan dapat menjadi bibit yang tumbuh menjadi bahan yang akan dapat membakar kembali perlawanan Kediri terhadap Singasari. Apalagi para petugas sandi di Kediri tahu pasti bahwa Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang pangeran yang sangat di kasihi oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, maka bukan saja di Kediri, bahwa Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan petugas-petugas sandi khusus untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata, namun di Singasari pun telah turun pula perintah rahasia untuk melakukan hal yang sama. Para pemimpin di Singasari yang menanggapi lepasnya Pangeran Lembu Sabdata itu sebagai satu persoalan yang harus ditangani dengan sungguh-sungguh telah memberikan perintah pula kepada beberapa orang petugas sandi pilihan untuk melacak jejak Pangeran Lembu Sabdata.
Tetapi pekerjaan melacak Pangeran Lembu Sabdata bukannya pekerjaan yang mudah, karena Pangeran Lembu Sabdata telah jatuh ke tangan seseorang yang memiliki perhitungan yang mapan di samping memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas serta ilmu kanuragan yang tinggi.
Karena itu Pangeran Lembu Sabdata yang berada di persembunyiannya, telah menempa diri sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia berada di tempat itu sendiri, karena Ki Ajar telah meninggalkannya dan berada di padepokannya. Tetapi pada kesempatan lain, pertapa itu telah berada di pondok persembunyian Pangeran Lembu Sabdata itu untuk menempanya.
Namun bersamaan dengan itu, di Singasari, dua orang kakak beradik telah melakukan hal yang serupa. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha dengan laku yang sangat berat untuk mewarisi ilmu ayahnya dan pamannya Witantra, sedangkan di tempat lain, atas ijin panglimanya. Mahisa Bungalan telah menyisihkan sebagian waktu tugasnya untuk bekerja keras menuju kepada suatu kesempatan untuk sepenuhnya menerima ilmu yang ada di dalam diri Mahisa Agni.
Demikianlah, maka waktu pun berjalan dari hari ke hari, bulan ke bulan sehingga akhirnya tahun pun berlalu. Mereka yang sedang bergulat dengan laku untuk meningkatkan ilmu kanuragan telah mendekati batas-batas kemampuan untuk sampai ke puncak pewarisan. Meskipun laku itu ditempuh menurut jalur cabang ilmu masing-masing, namun dalam keseluruhannya mereka telah bekerja sangat keras dari waktu ke waktu.
Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang hidup terpencil itu telah mengalami beberapa perubahan. Bukan saja karena dari hari ke hari ia telah bekerja keras, namun sengatan matahari telah membuat kulitnya menjadi kehitam-hitaman. Dalam kesibukannya Pangeran Lembu Sabdata tidak sempat lagi memelihara rambutnya, kumisnya dan janggutnya yang tumbuh dengan kusut dan tidak terpelihara.
Dengan demikian, maka wajah Pangeran Lembu Sabdata dan bahkan ujud lahiriahnya seakan akan telah berubah. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Ajar telah mengambil satu kesimpulan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak akan mudah dikenal lagi oleh orang-orang Kediri, bahkan oleh orang-orang yang terdekat sekalipun. Dengan kesimpulan itu maka Ki Ajar pun telah berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukannya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Sudah cukup lama Pangeran hidup menyendiri, sehingga dengan demikian mungkin sekali ada persoalan-persoalan yang tidak lagi dapat Pangeran ingat di dalam pergaulan antara manusia. Karena itu sebaiknya, Pangeran mulai mengenali kembali hubungan diantara sesama.”
“Maksud Ki Ajar?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Sebaiknya Pangeran pergi ke Kediri untuk mengenang kembali tata pergaulan hidup yang pernah Pangeran tinggalkan untuk waktu yang lama,” berkata Ki Ajar, “Dengan demikian jika saatnya tiba, maka Pangeran akan dapat bertindak dengan tepat dan tidak terpisah dari para pendukung Pangeran kemudian.”
“Siapakah pendukungku itu?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Masih belum jelas sekarang,” jawab Ki Ajar, “Tetapi tentu dapat diperkirakan. Mereka adalah putera-putera Kediri sejati. Karena itu, maka Pangeran harus mengenal mereka, sementara mereka belum saatnya mengenal Pangeran. Untuk menjaga segala kemungkinan, biarlah muridku selalu mengawasi Pangeran dalam perjalanan-perjalanan. Jika Pangeran merasa untuk satu perjalanan telah cukup, maka Pangeran dapat kembali tidak perlu ke pondok terpencil ini, tetapi silahkan kembali ke padepokanku.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk, sementara Ki Ajar meneruskan, “Kecuali segala sesuatunya dapat dibicarakan dengan cepat, maka kesempatan Pangeran untuk menyempurnakan kemampuan Pangeran dalam olah kanuragan akan menjadi semakin banyak. Pangeran akan mempunyai kawan berlatih dan aku pun akan selalu ada untuk memberikan tuntunan kepada Pangeran. Sebenarnyalah sampai saat ini ilmu Pangeran sudah meningkat hampir berlipat. Dalam kehidupan sewajarnya, maka Pangeran adalah orang yang pilih tanding. Tetapi sebaiknya untuk sementara Pangeran tidak perlu menunjukkan kemampuan itu kecuali untuk melindungi diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk.”
“Pangeran yang lain. Pangeran harus mulai mempelajari kemungkinan untuk mengambil mahkota dari Gedung Perbendaharaan. Baru kemungkinan-kemungkinannya, karena aku sendirilah kelak yang akan mengambilnya meskipun mungkin juga bersama dengan Pangeran. Ingat Pangeran, Pangeran lah yang kelak akan mempergunakan mahkota itu.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Ajar. Aku akan melihat kehidupan yang sudah lama aku tinggalkan. Tetapi sudah tentu maksud Ki Ajar bahwa aku hadir di tengah-tengah pergaulan itu tidak sebagai Pangeran Lembu Sabdata. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
“Tepat Pangeran,” jawab Ki Ajar, “Pangeran dapat menyebut diri Pangeran dengan siapa saja. Demikian pula muridku. Sementara itu, di samping Pangeran mengenali kembali tata kehidupan di Kediri, maka ada pula tugas yang penting bukan gemerlapnya intan berlian yang ada pada mahkota itu, serta kemukten yang akan Pangeran dapatkan, tetapi dengan mahkota itu, maka Pangeran mendapat kekuasaan untuk menentukan langkah-langkah yang paling baik bagi Kediri menghadapi Singasari. Namun sekali lagi ingat Pangeran. Jangan tergesa-gesa agar langkah kita tidak salah lagi sebagaimana pernah terjadi.”
“Baik Ki Ajar,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “aku akan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Lebih baik kita mematangkan semua rencana baru melangkah daripada kita mulai dengan cepat tetapi langkah kita sesat.”
“Bagus Pangeran. Nah, jika demikian kita akan segera mulai. Pangeran akan segera meninggalkan pondok kecil ini dan akan tinggal bersama kami. Pada saatnya Pangeran akan berangkat ke Kediri dari padepokan kami,” berkata Ki Ajar kemudian.
Namun demikian, mereka masih tinggal dua hari lagi di pondok kecil itu, karena Pangeran Lembu Sabdata tidak sampai hati meninggalkan pondoknya begitu saja. Ia masih sempat memetik jagung dan menyimpannya dengan baik. Meskipun jika ia kelak sempat singgah jagung itu sudah dimakan bubuk sekalipun.
Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata akan memasuki tahap berikutnya dari perjuangannya. Agaknya Ki Ajar menganggap bahwa ujud Pangeran Lembu Sabdata telah berubah, sehingga ia tidak lagi mudah dikenal, serta Pangeran Lembu Sabdata pun telah memiliki ilmu yang jauh meningkat, meskipun masih harus disempurnakan.
Dalam waktu-waktu tertentu, Pangeran Lembu Sabdata akan berada di Kediri, sementara di saat yang lain, Pangeran Lembu Sabdata akan menekuni ilmunya di dalam sanggar padepokan Ki Ajar. Dengan demikian, maka ia mulai dengan langkah-langkahnya yang baru untuk mencapai tujuan akhir, yang menurut Ki Ajar, tegaknya kembali Kediri sebagaimana sebelum Tumapel menguasainya dan kemudian disebut dengan Singasari.
Pada waktu yang sudah ditentukan, maka Ki Ajar telah membawa Pangeran Lembu Sabdata ke padepokannya. Ia tidak takut lagi dikenali petugas sandi Kediri, bahwa ia telah menyembunyikan Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi menurut pengamatan Ki Ajar. Kediri seolah-olah telah melupakan Pangeran Lembu Sabdata yang telah hilang itu.
Sebenarnyalah bahwa Kediri seakan-akan memang telah melupakan Pangeran Lembu Sabdata. Setelah untuk waktu yang lama tidak ada persoalan yang timbul karena hilangnya Pangeran itu, maka orang-orang Kediri mengira, bahwa Pangeran Lembu Sabdata benar-benar hanya ingin melarikan diri dan tidak akan berbuat apa-apa lagi.
Agak berbeda dengan mereka, maka Pangeran Singa Narpada masih tetap mengingatnya. Beberapa orang bawahannya masih selalu diperingatkannya agar mereka jangan lengah.
“Suasana di Kediri nampak tenang Pangeran,” berkata seorang Senapati.
“Mungkin sekarang masih tetap tenang,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Namun mungkin sekali setiap saat akan dapat meledak kesulitan yang menerpa Kediri.”
“Tetapi Pangeran,” berkata Senapatinya yang lain, “Jika Pangeran Lembu Sabdata itu mengadakan gerakan betapapun kecilnya, maka para petugas sandi akan berhasil menciumnya. Kita telah melepaskan petugas sandi di seluruh sudut tanah ini.”
“Tetapi para petugas sandi itu jangan tertidur pada saat seperti ini. Meskipun tiga empat tahun mendatang, aku masih akan tetap selalu memperingatkan kalian untuk tidak menjadi lengah. Bahkan sepanjang umurku,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Para Senapatinya mengangguk-angguk. Namun selain Pangeran Singa Narpada, tidak banyak lagi para Panglima yang masih menaruh perhatian terhadap Pengeran Lembu Sabdata yang sudah dianggap hilang itu. Tetapi bahwa masih ada satu dua orang yang selalu mengingatnya, maka Pangeran Lembu Sabdata masih belum bebas sepenuhnya untuk berbuat sekehendak hatinya.
Namun dalam pada itu, meskipun Pangeran Singa Narpada selalu memperingatkan agar prajurit-prajurit Kediri tidak menjadi lengah, namun tidak seorang pun yang masih dapat mengenali Pangeran Lembu Sabdata ketika Pangeran itu memasuki gerbang Kota Raja. Tidak seorang pun yang memperhatikannya. Kulitnya yang hitam karena terbakar oleh terik matahari, serta jambang dan kumis serta janggutnya yang tumbuh tidak teratur telah merubah ujudnya sehingga ia benar-benar tidak dikenal. Apalagi pakaiannya yang kusut dan sikapnya yang nampak kasar.
Dengan leluasa Pangeran Lembu Sabdata menelusuri jalan-jalan di Kota Raja sebagaimana dilakukan oleh orang-orang lain. Tidak ada prajurit yang menyapanya. Tidak ada perwira yang mencurigainya dan tidak ada orang-orang yang dapat mengenalinya. Kepada Putut yang menyertainya, Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Aku leluasa untuk bertindak sekarang.”
“Pangeran tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Putut itu, “Segalanya akan diatur oleh guru.”
“Aku mengerti. Maksudku, bahwa aku mempunyai keleluasaan untuk berada di dalam Kota ini. Bukankah gurumu juga memerlukan banyak keterangan sebelum kita memasuki gedung perbendahaaraan? Sebagai seorang Pangeran, aku banyak mengenal istana. Dan aku pun masih dapat mengingat jalan-jalan yang dapat ditempuh untuk memasuki gedung perbendaharaan dan gedung pusaka,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Ya Pangeran,” jawab Putut itu, “pada saatnya pengenalan Pangeran itu akan sangat berguna. Tetapi sebelumnya maka kita masih harus meyakinkan apakah pengenalan Pangeran itu masih tepat.”
“Tentu,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Sebelum kita melangkah, segalanya harus pasti. Aku tidak mau terjebak sebagaimana terjadi atas Pangeran Kuda Permati.”
Putut itu mengangguk-angguk. Agaknya Pangeran Lembu Sabdata masih tetap dikuasai oleh Ki Ajar, sehingga segala langkah-langkahnya dengan mudah dapat dikendalikan. Namun demikian Pangeran Lembu Sabdata bukannya merupakan alat mati. Ia masih tetap memiliki kemampuan mempergunakan akalnya, namun ia telah kehilangan sebagian dari kepribadiannya, karena pengaruh pribadi Ki Ajar yang sangat kuat atas dirinya.
Untuk beberapa lama Pangeran Lembu Sabdata berada di Kota Raja. Ia tidak bermalam di tempat seseorang. Tidak ada seorang pun yang dipercaya oleh Ki Ajar untuk mengenali Pangeran Lembu Sabdata. Seandainya ia bermalam juga di rumah seseorang, maka ia harus dikenal sebagai cantrik Ki Ajar dan bukan sebagai Pangeran Lembu Sabdata.
Namun lebih baik agaknya jika Pangeran Lembu Sabdata tidak bermalam di rumah seseorang. Ia dapat berada dimana saja. Bermalam di pategalan, di padang perdu atau di tepian sungai.
“Sebenarnya, kita dapat memanfaatkan waktu ini untuk mengenali kembali gedung perbendaharaan dan gedung pusaka itu,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Jangan sekarang Pangeran,” jawab putut itu, “Kedatangan kita kali ini hanya untuk memastikan bahwa Pangeran memang sudah tidak dikenal lagi. Setelah itu, maka kita akan kembali. Sebelum guru menentukan langkah-langkah berikutnya, Pangeran mendapat kesempatan untuk menempa diri, mempertebal kemampuan menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang yang berat.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita sudah yakin, bahwa aku sudah tidak dikenal sama sekali.”
Putut itu pun mengangguk-angguk. Ia memang sependapat bahwa tidak ada lagi yang mengenal Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun demikian Putut itu berkata, “Tetapi Pangeran, masih harus diperhatikan satu kemungkinan. Jika Pangeran Singa Narpada sendiri melihat Pangeran, apakah ia juga tidak mengenalnya. Karena tangkapan penglihatan pandangan Pangeran Singa Narpada bukan sekedar mempergunakan mata wadagnya, tetapi juga mempergunakan mata hatinya.”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata itu tersenyum sambil berkata, “Dahulu aku kagum melihat kakangmas Pangeran Singa Narpada dalam ilmu kanuragan. Tetapi sekarang sama sekali tidak. Bahkan aku sekarang sudah siap seandainya kita harus memasuki perang tanding sekalipun.”
Tetapi Putut itu menggeleng. “Belum Pangeran. Mungkin sebentar lagi. Pangeran masih harus menyempurnakan ilmu yang sudah Pangeran miliki sekarang di dalam hubungannya dengan kemungkinan-kemungkinan hadirnya kekuatan di dalam alam di sekeliling Pangeran.”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menjawab, “Apakah kau kira Kakangmas Pangeran Singa Narpada juga mampu mengungkapkan kekuatan alam di dalam ilmunya.”
“Ya Pangeran,” jawab Putut itu, “Aku tidak hanya mengira, tetapi aku pasti. Dalam keadaan yang paling gawat, apalagi dalam perang tanding, maka Pangeran Singa Narpada akan mampu mengungkapkan kekuatan alam dan melontarkannya lewat ilmunya. Pangeran jangan salah menilai kemampuan orang lain, apalagi yang akan mungkin berhadapan sebagai lawan. Jika Pangeran salah menilai, maka kesulitan yang pernah di alami Pangeran Kuda Permati akan terulang kembali, meskipun dalam ujud yang berbeda.”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ia tidak menolak pendapat Putut itu. Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian meninggalkan Kota Raja setelah mereka menganggap kunjungannya mereka telah cukup. Pangeran Lembu Sabdata telah meyakini dirinya, bahwa ia tidak akan dapat dikenal lagi. Namun ia tetap memperhatikan pendapat Putut itu, bahwa mungkin sekali, Pangeran Singa Narpada masih akan dapat mengenalinya.
Ki Ajar yang kemudian menerima keduanya dan mendengarkan laporan mereka, mengangguk-angguk. Senyumnya nampak bermain dibibirnya.
“Segalanya akan berjalan baik.” Katanya, “Tetapi sudah tentu kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Namun meskipun lambat, tetapi pasti. Pada suatu saat Kediri akan bangun.”
“Apakah waktunya masih lama?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Ya, semua akan berlangsung kelak, pada suatu saat,” jawab Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata hanya dapat menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia ingin semuanya terjadi lebih cepat. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat sendiri tanpa Ki Ajar dan orang-orangnya. Apalagi pengaruh kekuatan pribadi Ki Ajar tanpa disadarinya masih tetap mencengkamnya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Pangeran memang akan kembali ke Kota Raja dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pangeran harus berusaha untuk mengenali kembali letak gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Baru kemudian kita merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Sementara itu Pangeran masih sempat meningkatkan ilmu Pangeran. Sehingga benar-benar akan mampu mengimbangi ilmu Pangeran Singa Narpada.”
“Apakah kemampuanku masih berjarak jauh dari ilmu kakangmas Singa Narpada?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Memang tidak terlalu jauh Pangeran. Tetapi Pangeran masih harus bekerja keras untuk mengejarnya. Karena itu, Pangeran harus mempergunakan semua kesempatan untuk meningkatkan ilmu Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia tidak akan ingkar untuk melakukannya. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata telah bekerja keras untuk dapat menempatkan dirinya di sisi Pangeran Singa Narpada di dalam olah kanuragan. Diam-diam ia berkeinginan untuk pada suatu saat dapat melakukan perang tanding dengan Pangeran Singa Narpada yang ditakuti oleh setiap orang di Kediri.
“Jika kelak terbukti aku dapat mengalahkannya, maka ceritera tentang kakangmas Pangeran Singa Narpada seakan-akan ia memiliki kemampuan diatas kemampuan manusia adalah sekedar dongeng yang akan runtuh nilainya. Ia tidak lebih seseorang yang berwatak keras dan bengis. Yang mempergunakan kekerasan untuk mencapai maksudnya.”
“Ya,” jawab Ki Ajar, “pada saat yang demikian, maka Pangeran harus dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Pangeran harus berdiri diatas martabat Pangeran yang sebenarnya dan menyatakan diri sebagai Yang Paling Berkuasa di Kediri dan tidak lagi mengakui kekuasaan Singasari. Tetapi sebelum sampai ke mata tangga yang demikian, masih sangat banyak yang harus Pangeran lakukan.”
“Aku akan melakukannya. Apapun juga,” jawab Pangeran Lembu Sabdata. Keinginannya itu merupakan dorongan bagi usahanya untuk sampai kepada satu tataran yang diinginkannya.
Karena itulah, maka di hari-hari berikutnya, Pangeran Lembu Sabdata telah kembali tenggelam di dalam sanggarnya. Tetapi ia sudah tidak sendiri lagi. Pengeran Lembu Sabdata mendapat kesempatan berlatih bersama Putut yang tertua diantara murid-murid Ki Ajar, setelah Pangeran Kuda Permati tidak ada. Bersama Putut itu ilmu Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin meningkat. Sementara Ki Ajar mempelajari kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Pangeran itu di Kediri.
Untuk mengetahui keadaan dengan baik, maka sekali-sekali Ki Ajar pun telah pergi pula ke Kediri dalam ujud yang tidak mudah dikenal. Bahkan oleh Ki Sadmaya sekalipun. Ternyata bahwa orang-orang Kediri agaknya memang telah melupakan persoalan Pangeran Sabdata. Sekali-sekali ia memancing pembicaraan di kedai-kedai dengan orang-orang Kediri. Namun pada umumnya mereka sudah menganggap bahwa persoalan Pangeran Lembu Sabdata itu sudah selesai.
Sambil tersenyum di dalam hati, maka Ki Ajar pun merasa bahwa saatnya menjadi semakin mantap. Yang pertama akan dilakukan adalah mengambil mahkota yang keramat yang akan dapat menjadi pendukung kekuasaan Pangeran Lembu Sabdata kelak. Sementara itu, kemampuan Pangeran Sabdata pun telah menjadi semakin meningkat. Dalam saat-saat tertentu, Ki Ajar sendiri telah menuntun Pangeran Lembu Sabdata memanjat ke kemampuan puncak.
Namun bersamaan dengan itu, di Singasari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menempa diri dengan tanpa mengenal letih. Apapun yang diperintahkan oleh Mahendra dan Witantra telah mereka lakukan. Kedua anak muda itu tidak pernah mengeluh meskipun ia mendapat tempaan yang luar biasa beratnya dari ayahnya sendiri serta pamannya Witantra, seorang yang kebetulan adalah saudara seperguruan ayahnya.
Di samping mereka berdua, Mahisa Bungalan pun telah mempersiapkan diri untuk sampai ke puncak ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Agni. Memang lain dengan ilmu yang diturunkan oleh Mahendra dan Witantra kepada Mahisa Bungalan. Tetapi dengan bimbingan Mahisa Agni, Mahisa Bungalan sejak sebelumnya telah mencerna kedua jalur ilmu itu sehingga menjadi luluh, justru saling mengisi dan saling memperkuat dalam kedudukan masing-masing.
“Mahisa Bungalan,“ berkata Mahisa Agni, “Jika pada saatnya kau memahami semua ilmuku sampai tuntas, serta kedua adiknya memiliki ilmu ayahnya dan pamanmu Witantra, maka kalian akan dapat saling menyadap dan dengan hati-hati membuat jenis ilmu yang berbeda itu menjadi luluh di dalam diri kalian.”
“Mudah-mudahan paman,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi bukankah di dalam diriku kedua jalur ilmu itu sudah ada?”
“Tetapi belum dalam kedudukan seimbang. Ilmu yang aku berikan kepadamu sampai saat terakhir, telah mewarnai kemampuanmu. Apalagi sebentar lagi, kau akan sampai pada batas kemampuan yang tuntas. Sementara itu pengalamanmu akan mampu mengembangkan ilmu yang aku berikan kepadamu itu sampai pada puncaknya, Gundala Sasra.”
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa untuk sampai ke puncak ilmu itu ia harus menjalani laku yang sangat berat. Ketika Mahisa Agni dipersiapkan untuk menerima ilmu itu, ia harus mencari akar wregu putih sehingga Mahisa Agni harus mendaki lereng-lereng pegunungan yang sangat terjal. Ternyata bahwa yang penting bagi Mahisa Agni bukannya mendapat wregu putih, tetapi yang penting adalah laku yang dijalani.
Mahisa Agni telah mengatakan hal itu kepada Mahisa Bungalan, karena cara Mahisa Agni menurunkan ilmunya memang berbeda dengan cara gurunya menurunkannya kepadanya, justru pada saat Mahisa Agni kecewa dengan kenyataan hidupnya pada saat itu.
“Aku tidak perlu memaksakan dengan cara seperti yang dilakukan oleh guru, seolah-olah aku memang harus mengambil akar wregu putih itu. Namun dengan kesadaran yang tinggi, kau harus melakukan laku sebagaimana pernah aku lakukan. Kau harus mempersiapkan dirimu lahir dan batin. Sudah saatnya kau minta ijin kepada Panglimamu bahwa kau memerlukan waktu empat puluh hari empat puluh malam.” berkata Mahisa Agni.
“Tetapi aku diijinkan untuk minta waktu sepanjang itu paman?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku akan membantumu,” jawab Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun telah menghubungi Panglima yang memegang pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan untuk minta ijin bagi Senapati muda itu waktu selama empat puluh hari empat puluh malam.
“Untuk apa?” bertanya panglima itu.
“Ia akan menjadi Prajurit linuwih. Beri saja ia waktu justru lima puluh hari lima puluh malam, karena ia memerlukan persiapan dan pembenahan sebelum dan sesudah ia menyadap ilmunya sampai tuntas,” berkata Mahisa Agni.
Pengaruh Mahisa Agni adalah sedemikian besarnya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia adalah orang yang sangat dihormati di Singasari. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan yang sudah berangkat lebih dahulu dari kedua adiknya di dalam berpacu dengan ilmu, telah mendapat kesempatan lebih dahulu untuk menerima puncak ilmu dari jalur ilmu Mahisa Agni. Dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan Mahisa Bungalan pun telah mempersiapkan diri.
“Duduklah,” berkata Mahisa Agni, “pusatkan segala inderamu. Nalar budimu. Siapkan segala petunjuk yang telah aku berikan untuk membuka pintu jiwamu. Aku mengetrapkan arus mewarnai ilmu ini. Laku yang aku tempuh mungkin agak berbeda dengan yang dilakukan oleh guruku. Tetapi aku yakin, bahwa akibatnya akan sama.”
Mahisa Bungalan pun kemudian memperhatikan dan melakukan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Sementara itu Mahisa Agni duduk di depannya. Kedua tangan Mahisa Agni terletak di pundak Mahisa Bungalan yang bersilang tangan di dada.
“Pejamkan matamu, dan laku itu akan sampai ke puncak,” desis Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan pun memejamkan matanya, sementara itu mulai terasa getaran yang tidak dikenal telah bergerak lewat sentuhan tangan Mahisa Agni menyusuri urat darahnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Dalam kepekaan matanya yang terpejam, Mahisa Bungalan telah melihat beberapa warna yang bergetar, kemudian berputar saling menindih. Merah, hijau, kuning, hitam dan akhirnya putaran warna itu menjadi putih.
Mahisa Bungalan merasa tubuhnya berguncang. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah kehilangan gaya beratnya. Hampir saja tubuhnya terangkat dan melayang. Namun sambil memejamkan matanya Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk bertahan, sehingga ia tetap duduk di lantai sanggarnya.
Namun sejenak kemudian, maka rasa-rasanya bumi lah yang berputar, semakin lama semakin cepat. Dalam putaran itu tiba-tiba saja di rongga matanya yang terpejam itu telah melihat dirinya sendiri. Berdiri tegak dalam putaran yang semakin cepat. Sekali-sekali tubuh itu nampak terhuyung, namun Mahisa Bungalan telah menghentakkan kekuatannya untuk bertahan agar bayangan itu tetap berdiri dengan penuh keyakinan, bahwa ia mampu berbuat sesuatu bagi bayangan dirinya yang melangkah mendekatinya. Semakin lama semakin dekat, semakin dekat, sehingga akhirnya, sebagaimana pernah terjadi dengan Mahisa Agni dengan laku yang agak berbeda, bayangan dirinya itu telah menghentak menyusup dan luluh dengan dirinya sendiri.
Terasa tubuh Mahisa Bungalan itu berguncang. Sejenak warna-warna di dalam rongga matanya itu memancar semakin terang dan kembali berputar menjadi cahaya yang putih berkilauan. Namun kemudian semuanya menjadi gelap. Pekat. Namun pada saat terakhir, terasa perubahan telah terjadi di dalam dirinya. Ternyata Mahisa Bungalan telah menjadi pingsan.
Dengan laku yang berat sebagaimana Mahisa Agni mengambil akar wregu putih di lereng gunung yang tinggi dan curam, maka Mahisa Bungalan mempersiapkan dirinya untuk menerima warisan dari puncak ilmu dari jalur perguruan Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Bungalan tidak melakukannya dengan memanjat tebing yang tinggi dan curam. Tidak pula harus memasuki goa yang terjal dan berebut akar wregu dengan Buyut Ing Wangon. Tetapi Mahisa Bungalan harus berada di dalam sanggar menempa diri dengan mengarahkan segenap kemampuan dan daya tahan tubuhnya.
Dari hari ke hari, Mahisa Bungalan memang bagaikan merangkak mendaki tebing gunung yang curam. Ia maju setapak demi setapak, namun pasti menuju ke puncak kemampuan ilmu Gundala Sasra. Yang dikuasainya sampai saat terakhir belumlah ilmu warisan Mahisa Agni seutuhnya. Baru setelah ia menjalankan laku, ia sampai kepada tataran tangga terakhir dari ilmunya.
Dengan sepengetahuan ayahnya, Mahisa Bungalan menempatkan dirinya pada langkah-langkah yang sulit dan berat. Sekali-sekali ia harus mengikuti setiap gerak dan langkah Mahisa Agni. Namun kadang-kadang ia harus berdiri sebagai lawan yang harus mengimbangi kekuatan ilmu orang yang telah mengangkatnya menjadi murid tunggalnya itu.
Demikianlah, pada saatnya, maka Mahisa Agni itu telah memaksakannya untuk bertempur dengan segenap ilmu dan kemampuan yang telah dimilikinya. Dalam sanggar yang cukup luas, keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Serangan dibalas dengan serangan. Kecepatan gerak diimbangi dengan kecepatan gerak pula. Demikian cepatnya, sehingga keduanya seakan-akan tidak lagi berpijak di atas tanah. Sentuhan-sentuhan kaki mereka, telah melemparkan mereka dengan loncatan-loncatan yang panjang dan cepat.
Sehingga akhirnya, keduanya bagaikan telah berayun di putaran angin pusaran yang dahsyat. Ayunan tangan mereka bagaikan prahara yang mengamuk, sementara serangan-serangan kaki mereka bagaikan hentakkan banjir bandang yang tidak tertahan oleh bendungan besi sekalipun. Dalam pusaran yang semakin cepat, maka Mahisa Agni telah memberikan isyarat, untuk memperlambat gerak mereka. Demikianlah perlahan-lahan pusaran itu menjadi susut, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Sekarang saatnya telah sampai dalam keadaanmu yang siap untuk menerimanya,” berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi terasa tubuhnya menjadi sangat letih dan kulit dagingnya terasa sakit oleh sentuhan-sentuhan serangan Mahisa Agni. Namun ia tidak dapat menolak dan menunda perintah gurunya itu. Mahisa Agni yang meletakkan kedua tangannya di pundak Mahisa Bungalan, dengan cepat menangkapnya. Kemudian meletakkannya perlahan-lahan.
“Laku ini terlalu berat baginya,“ gumam Mahisa Agni kepada diri sendiri. ”Tetapi ini adalah jalan memintas."
Sementara itu, Mahisa Bungalan menjadi pingsan ketika pewarisan ilmu ini sudah selesai. Mahisa Bungalan telah menerimanya dengan bulat, sehingga jika ia sadar nanti, maka ilmu itu telah ada pula di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni sendiri juga merasa letih. Keringat telah mengembun di wajah dan di seluruh tubuhnya. Rambutnya yang telah memutih pun rasa-rasanya ikut menjadi basah. Dalam keletihan itu terasa oleh Mahisa Agni, bahwa ia memang sudah terlalu tua.
Untuk beberapa saat, Mahisa Agni menunggu sambil sekali-sekali mengusap keringat di tubuh Mahisa Bungalan. Namun sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan itu mulai membuka matanya. Perlahan-lahan. Bayangan-bayangan yang kabur mulai nampak. Semakin lama menjadi semakin jelas. Akhirnya Mahisa Bungalan menyadari seluruhnya yang telah terjadi pada dirinya. Ia telah menerima warisan ilmu dari Mahisa Agni. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan bangkit, dan duduk kembali di hadapan Mahisa Agni.
“Mahisa Bungalan,“ desis Mahisa Agni, “Kau mampu bertahan sampai tahap terakhir dari pewarisan ilmuku kepadamu. Karena itu, maka menurut pendapatku, kau telah memiliki ilmuku selengkapnya. Puncak ilmu Gundala Sasra telah kau kuasai pula.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, “Terima kasih paman. Mudah-mudahan aku dapat memanfaatkannya untuk kepentingan yang sesuai dengan keinginan paman.”
“Jika kau selalu ingat kepada Sumber Hidupmu, maka kau tentu akan selalu mengabdikan ilmumu bagi kepentingan Sumber Hidupmu dalam hubungannya dengan sesamamu. Karena sebenarnyalah kau harus menganggap dan memperlakukan sesamamu sebagaimana dirimu sendiri,” berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa dengan ilmu puncak itu, tanggung jawabnya justru menjadi semakin besar.
“Beristirahatlah,” berkata Mahisa Agni, “kau dapat melihat hasil laku ini pada kesempatan lain.”
Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa Agni pun telah bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah.“
Mahisa Bungalan pun kemudian berdiri pula. Tetapi seluruh tubuhnya masih merasa lemas. Tulang-tulangnya bagaikan dilepas dari anggauta badannya. Tertatih-tatih Mahisa Bungalan mengikuti Mahisa Agni keluar dari sanggar. Kemudian, dengan langkah satu-satu mereka pun meninggalkan sanggar yang telah memberikan satu arti di dalam kehidupan Mahisa Bungalan itu. Hari itu Mahisa Bungalan telah meluangkan waktunya untuk benar-benar beristirahat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menjalani laku yang berat. Tetapi mereka masih belum sampai kepada satu saat, dimana mereka dapat mewarisi ilmu puncak Mahendra dan Witantra. Karena itu keduanya masih harus bekerja keras.
“Waktunya tidak akan lama lagi,” berkata Mehendra, “Jika kalian dengan tekun mengikuti semua laku yang harus kalian jalani, maka dalam waktu dekat, kalian akan dapat mewarisi ilmu puncak Bajra Geni.”
“Kami akan berusaha ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Semua dasar ilmu itu sudah kalian miliki. Yang perlu kalian lakukan adalah menempa alas yang akan menjadi dasar meletakkan puncak ilmu Bajra Geni itu,” berkata Mahendra pula.
“Kami akan melakukan apa yang seharusnya kami lakukan,” jawab Mahisa Pukat.
Menurut pengetahuanku, kakakmu Mahisa Bungalan pada saat-saat ini sedang mengalami tempaan terakhir. Mudah-mudahan telah berlangsung pewarisan ilmu Mahisa Agni kepada kakakmu Mahisa Bungalan. Jika kalian kelak telah menguasai ilmu puncak Bajra Geni, sedangkan kakakmu menguasai ilmu puncak Gundala Sasra, maka kalian akan dapat saling menghadap dengan mempelajari kemungkinan-kemungkinan agar kedua ilmu itu dapat luluh sehingga kalian menemukan satu ujud kemampuan melampaui keduanya, karena sebenarnyalah kalian harus memiliki kelebihan dari yang tua-tua ini. Tetapi kalian tidak boleh meninggalkan sifat dan watak dari ilmu yang kalian pelajari dan kalian cari kemungkinan-kemungkinannya untuk dikembangkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi laku puncak yang paling berat sebelum mereka akan menerima puncak ilmu Bajra Geni. Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus berbuat lebih banyak lagi, sementara Mahisa Bungalan tengah bersiap-siap untuk melihat hasil laku yang sangat berat yang sudah diselesaikannya.
Dalam pada itu, pada saat yang demikian, seseorang tengah berusaha untuk mengambil sebuah benda keramat dari gedung pusaka di istana Kediri. Pertapa yang membimbing Pangeran Lembu Sabdata itu akhirnya mengambil keputusan, bahwa mereka sudah sampai pada saatnya untuk mengambil pusaka yang akan dapat menjadi kekuatan bagi Pangeran Lembu Sabdata untuk menaiki tahta di Kediri.
“Jika mahkota itu sudah berada di tangan kita, maka segala sesuatunya tentu akan dapat berlangsung dengan baik, meskipun mungkin kita baru akan mempergunakan tiga, atau empat tahun mendatang. Bahkan mungkin sepuluh tahun lagi,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Tetapi ia yakin, jika mahkota itu sudah berada di tangan mereka, maka mereka tentu tidak akan merasa perlu menunggu lebih lama lagi. Karena itu, maka yang harus segera mereka lakukan adalah menguasai mahkota itu. Untuk merintis jalan, maka Pangeran Lembu Sabdata yang sudah tidak dikenal lagi itu, beberapa kali telah memasuki Kota Raja disela-sela latihan-latihannya yang berat.
Dengan usaha yang tekun, maka ia berhasil mendekati tujuannya. Dengan laku seorang pencuri. Pangeran Lembu Sabdata masuk ke dalam lingkungan istana. Menilik para petugas di malam hari, maka Pangeran Lembu Sabdata mengambil kesimpulan bahwa gedung perbendaharaan dan gedung pusaka masih terletak sebagaimana ia mengenal dahulu. Tidak ada perubahan-perubahan yang berarti di dalam lingkungan istana Kediri.
“Jadi menurut pendapat Pangeran, segala sesuatunya masih sebagaimana saat Pangeran meninggalkan istana?” bertanya Ki Ajar.
“Ya. Hampir tidak ada perubahan. Karena itu aku yakin, bahwa gedung perbendaharaan dan gedung pusaka masih bangsal yang dahulu pula, ternyata masing-masing masih dijaga dengan kuat oleh beberapa orang prajurit,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Baiklah. Agaknya kita sudah cukup lama menunggu. Orang-orang Kediri tentu sudah melupakan peristiwa hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. Namun mereka akan segera dikejutkan lagi oleh satu peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, maka Ki Ajar pun segera mempersiapkan diri. Karena ia menganggap bahwa tugasnya itu merupakan tugas yang sangat penting, menyangkut sebuah benda keramat, maka sebelum melakukannya, Ki Ajar telah mengambil waktu tiga hari untuk menjalankan laku bagi kepentingan usahanya untuk mengambil pusakanya itu.
Tiga hari tiga malam Ki Ajar berada di dalam sanggarnya, bersamadi untuk menempa diri lahir dan batin. Mengungkat semua kekuatan yang ada di dalam dirinya, agar usahanya untuk mengambil pusaka yang keramat itu dapat berhasil. Ki Ajar pun telah melakukan samadi, agar tuah pusaka yang akan diambilnya, itu tidak akan mengutuknya sehingga ia akan mengalami bencana pada saat ia mengambilnya.
Demikianlah, setelah Ki Ajar selesai dengan lakunya, maka bersama Pangeran Lembu Sabdata dan muridnya yang paling dipercayainya itu telah menuju ke Kota Raja. Pangeran Lembu Sabdata telah yang kemudian menjadi penunjuk jalan yang sangat baik. Pangeran itu mengenal segala lekuk liku istana Kediri. Karena itu, maka Ki Ajar pun telah berhasil memasuki lingkungan istana yang menuju ke gedung perbendaharaan.
“Kita akan mengetrapkan ilmu sirep,” desis Ki Ajar.
“Marilah guru,” berkata muridnya, “Kita akan melakukannya sebagaimana saat kita mengambil Pangeran Lembu Sabdata.”
“Jangan,” berkata Ki Ajar, “Kita hanya akan melepaskan sirep bagi lingkungan kecil. Aku hanya ingin mempengaruhi beberapa orang penjaga di muka pintu. Jika kita melepaskan sirep seperti saat kita mengambil Pangeran Lembu Sabdata, maka kita justru akan segera diketahui. Beberapa orang Senapati pilihan pengawal Sri Baginda, atau mungkin bahkan Sri Baginda sendiri, akan segera mengenali ilmu itu. Apalagi jika mereka memang belum tidur karena sesuatu sebab. Bahkan aku yakin, seseorang yang berilmu tinggi seperti Sri Baginda akan mengalami sentuhan yang sebaliknya. Sri Baginda akan segera mengetahui, bahwa di istana ini telah disebarkan sirep.”
“Jadi, apa yang kita lakukan?” bertanya muridnya.
“Aku akan menyebarkan sirep yang lemah dan yang hanya akan meliputi pintu gedung perbendaharaan dan pintu gedung pusaka yang letaknya berdekatan.”
“Bagaimana dengan para peronda?” bertanya muridnya.
“Kalian harus mengawasi mereka. Jika kalian melihat peronda memasuki lingkungan ini dan terlepas dari sirep, maka kalian harus memberikan isyarat,” berkata Ki Ajar.
Muridnya dan Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa yang mereka lakukan itu adalah satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Tetapi untuk mencari satu keinginan yang besar, tentu harus berani memberikan taruhan yang besar pula. Termasuk nyawa mereka.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajar pun telah mengetrapkan ilmunya. Sasarannya adalah beberapa orang prajurit yang bertugas di pintu gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Ternyata Ki Ajar memang seorang yang memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Ilmunya merupakan ilmu yang sulit dicari bandingannya, sehingga dengan demikian, maka usahanya untuk mempengaruhi para prajurit itu pun perlahan-lahan telah berhasil.
Para prajurit yang bertugas di muka pintu itu tidak dapat mengelakkan diri dari serangan ilmu sirep pertapa yang memiliki ilmu linuwih. Karena itu, maka perlahan-lahan mata mereka pun telah terpejam tanpa menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, justru pada saat mereka sedang bertugas. Sejenak kemudian, maka para petugas itu pun telah benar-benar tertidur. Senjata mereka pun tersandar di dinding dan terlepas dari pegangan tangan mereka.
Ki Ajar dan kedua orang pengikutnya melihat keadaan itu dari kegelapan. Setelah mereka yakin, bahwa para prajurit itu sudah tertidur maka Ki Ajar pun berdesis, “Sekarang datang waktunya. Aku akan mengambil mahkota itu. Mudah-mudahan laku yang telah aku jalani sebelum kita memasuki istana ini akan berarti. Bahwa aku tidak akan terkena kutuk mahkota itu karena aku telah memperlakukannya lain dari yang seharusnya. Tetapi aku yakin, bahwa pribadiku akan mampu mengatasinya, apalagi setelah aku menjalani laku tiga hari tiga malam itu.”
“Kami akan mengamati dari tempat ini guru,” berkata muridnya.
“Ya. Demikianlah aku keluar dari gedung perbendaharaan aku akan menyerahkan mahkota itu kepada Pangeran Lembu Sabdata. Ia adalah orang yang lebih berhak memilikinya dan memanfaatkannya daripada orang lain. Karena itu, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata tidak akan terkena kutuk atau semacamnya dari mahkota itu karena darah raja-raja Kediri mengalir di dalam tubuhnya,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata sendiri tidak menjawab. Ia memang tidak mempunyai sikap apapun juga selain sikap sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Ajar itu pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Ia siap bertempur jika ia menjumpai seorang prajurit atau Senapati yang melihat perilakunya. Tetapi iapun siap mengambil pusaka yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib itu, serta menghindari akibat-akibat yang tidak baik daripadanya.
Pangeran Lembu Sabdata dan Putut itu pun kemudian hanya dapat memandangi dengan hati yang berdebar-debar ketika Ki Ajar bangkit berdiri dan berjalan dengan tenangnya menuju ke pintu gedung perbendaharaan itu. seolah-olah ia yakin bahwa tidak seorang pun yang akan dapat melihatnya. Bukan saja yang sedang tertidur, tetapi orang lain pun seakan-akan tidak akan dapat melihatnya pula. Nampaknya memang tidak ada hambatan apapun. Demikian rencananya Ki Ajar itu langsung berjalan ke pintu dan membuka selaraknya.
Namun demikian Ki Ajar melangkah masuk, tiba-tiba saja ia merasa seakan-akan sebuah kekuatan yang sangat besar telah mendorongnya keluar. Ki Ajar tergeser selangkah surut. Rasa-rasanya demikian dahsyatnya hentakkan itu sehingga tanpa dapat dilawannya. Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Dipusatkannya daya tahannya. Dengan segenap ilmu dan kemampuan serta kekuatan yang ada di dalam dirinya, Ki Ajar telah mencoba melangkah sekali lagi masuk. Kembali terasa tubuhnya bagaikan didorong keluar dari gedung perbendaharaan itu.
Ki Ajar adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu maka sekali lagi ia menghentakkan kekuatannya dengan alas ilmunya. Setapak ia berhasil maju, tetapi tiba-tiba saja dari dalam ruangan itu telah berhembus prahara yang sangat dahsyatnya. Tubuh Ki Ajar bagaikan hanyut oleh prahara itu. Hanya karena kemampuan Ki Ajar yang sangat tinggi sajalah maka ia tidak terlempar. Meskipun demikian, sekali lagi ia terdorong keluar.
Ki Ajar yang kemudian telah berada kembali diluar pintu itu termangu-mangu sejenak. Tubuhnya telah basah oleh keringat. Ada sesuatu yang ternyata harus diatasinya. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar itu menyadari betapa isi dari Gedung perbendaharaan itu selain harta benda kerajaan juga benda-benda pusaka yang bertuah sebagaimana senjata-senjata yang terdapat di gedung pusaka di sebelah gedung perbendaharaan itu.
Karena itu, maka Ki Ajar itu pun segera mengambil langkah yang paling mungkin untuk mengatasi kesulitan itu. Iapun kemudian berjongkok di depan pintu, menyembah dan kemudian beringsut masuk. Memang sangat mengherankan Ketika Ki Ajar berjalan dengan langkah jongkok, ternyata ia tidak didera oleh kekuatan yang tidak dikenalnya. Rasa rasanya ia memasuki sebuah ruangan sebagaimana ruang yang lain. Namun demikian terasa bahwa ruang di gedung perbendaharaan itu sangat panas.
Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Tetapi ia pernah mendengar dari beberapa orang berilmu tinggi tentang mahkota yang memiliki tuah dan kekuatan untuk menjadi sipat kandel serta memiliki kekuatan untuk menjadi tempat bersemayamnya wahyu keraton.
Juga dari Pangeran Lembu Sabdata yang pada suatu masa pernah ikut memandikan beberapa macam benda-benda keramat di gedung perbendaharaan itu, Ki Ajar mendapat petunjuk letak mahkota yang dimaksudkan. Mahkota yang hanya dipakai sekali dalam waktu setahun. Sambil berjalan jongkok Ki Ajar meneliti isi dari gedung perbendaharaan itu dengan cermatnya.
Berbagai macam benda terletak di dalam gedung perbendaharaan. Benda yang sederhana sampai benda yang sangat berharga. Namun kesemuanya itu dianggap sebagai benda yang dihormati di istana Kediri. Tiga buah topeng yang paling keramat terdapat di dalam gedung perbendaharaan itu pula. Dua buah bende. Semacam slepe yang berwarna kuning kemerahan karena bintik-bintik yang tidak diketahui asalnya. Dan beberapa macam benda yang lain. Namun yang berada di tengah-tengah ruangan, dibungkus oleh kain putih, adalah sebuah mahkota.
Ki Ajar telah mendapat petunjuk letak mahkota itu. Demikian pula bentuk dan ujudnya. Namun ternyata mahkota itu terbungkus sehingga Ki Ajar tidak langsung dapat melihat bentuk dan ujudnya. Untuk sesaat Ki Ajar termangu-mangu. Namun iapun kemudian yakin, bahwa yang berada di tengah dan dibungkus oleh kain putih itu adalah mahkota yang dikehendakinya.
Perlahan-lahan Ki Ajar mendekatinya. Kemudian dipusatkannya nalar budinya. Dengan menempatkan diri ke dalam puncak pengaruh kepribadiannya, maka Ki Ajar itu berusaha untuk mengambil mahkota itu. Namun tiba-tiba saja semacam awan panas telah menghembusnya. Tidak terlalu keras, tetapi rasa-rasanya seluruh tubuhnya telah terbakar.
Ki Ajar itu menyeringai menahan sakit. Namun juga dikerahkannya segenap kemampuan daya tahannya, sehingga akhirnya perlahan-lahan ia dapat mengatasi perasaan panas yang menerpa tubuhnya. Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Namun iapun segera teringat pada saat ia memasuki gedung itu. Karena itu, maka iapun kemudian telah duduk dengan tertib dan menyembah mahkota itu beberapa kali sambil mengatur perasaannya.
Kemudian dengan keyakinan yang teguh akan diri dan pribadinya akhirnya Ki Ajar itu pun menggapai mahkota yang keramat itu. Ternyata Ki Ajar itu berhasil. Dengan jantung yang berdebar-debar ia mengangkat mahkota yang terbungkus kain putih itu. Namun demikian ia mengangkat benda yang terbungkus oleh kain putih itu, ia menjadi ragu-ragu. Ternyata benda itu sangat berat.
“Jika benar ini mahkota, apakah seseorang dapat memakainya untuk waktu yang lebih dari sepenginang,” bertanya Ki Ajar itu kepada diri sendiri.
Karena keragu-raguan itulah, maka Ki Ajar pun kemudian telah membuka bungkusan itu dan melihat benda yang dipegangnya. Ternyata bahwa benda itu memang sebuah mahkota. Mahkota yang berwarna kekuning-kuningan yang tentu terbuat dari emas bertatahkan intan permata yang gemerlapan. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tentu mahkota itulah yang dimaksud. Mahkota yang bukan saja karena mahal sekali harganya, tetapi juga karena pada mahkota itu bersemayam wahyu keraton. Tetapi mahkota itu ternyata sangat berat.
“Memang hanya orang-orang yang memiliki darah raja-raja Kediri sajalah dapat memakainya untuk waktu yang agak lama,” berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Ajar itu pun telah keluar dari gedung perbendaharaan. Kemudian duduk dengan hitmatnya. Mengangguk dalam-dalam sampai dahinya menyentuh lantai sambil membawa mahkota yang sangat berat itu. Kemudian, Ki Ajar itu baru bangkit berdiri. Dengan sedikit kesulitan ia telah menyelarak pintu kembali. Ki Ajar memang seorang yang sangat yakin akan dirinya. Tanpa menghiraukan apapun juga, iapun telah berjalan dengan tenang sebagaimana ia pergi ke pintu gedung perbendaharaan itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar setelah ia mendekati Pangeran Lembu Sabdata dan muridnya.
“Apakah semuanya sudah selesai?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Sudah. Inilah Mahkota itu. Terimalah. Kau adalah seseorang yang mempunyai darah para raja di Kediri. Mudah-mudahan karena itu, kau tidak terkena pengaruh tuahnya.”
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian menyembah mahkota yang masih dipegang oleh Ki Ajar itu. Baru kemudian ia menerimanya. Ternyata berbeda dengan Ki Ajar, menurut Pangeran Lembu Sabdata mahkota itu sama sekali tidak berat. Mahkota itu sebagaimana benda-benda yang lain memiliki bobot yang wajar saja. Emas dengan intan berlian yang menghiasinya.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Bukankah sebagaimana kataku, bahwa Pangeran Lembu Sabdata pantas untuk mengenakannya. Bukan saja sekedar pantas, tetapi mahkota itu akan menjadi alas kekuasaan Pangeran yang akan mendukung cita-cita Pangeran Kuda Permati.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Semuanya akan aku junjung tinggi.”
“Nah, sekarang kita akan keluar dari istana ini dan langsung kembali ke padepokan. Kita akan berjalan tanpa berhenti. Bukankah kita akan sanggup melakukannya?” berkata Ki Ajar.
“Tentu,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Bukankah kita sudah terbiasa melakukannya.”
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun dengan hati-hati telah keluar dari lingkungan istana dan hilang di dalam gelapnya malam.
Ternyata bahwa hilangnya pusaka itu tidak segera diketahui. Untuk beberapa saat, para penjaga pintu itu masih tertidur nyenyak. Sirep yang dilontarkan terbatas itu ternyata tidak berpengaruh di seluruh istana. Sirep itu hanya berpengaruh dalam satu lingkungan kecil, sehingga para Senapati yang bertugas malam itu tidak ada yang merasa curiga karena kelainan suasana.
Baru beberapa saat kemudian, ketika dua orang prajurit meronda, berkeliling halaman istana dan melihat setiap lingkungan yang gawat, merasa heran ketika mereka memasuki lingkungan gedung perbendaharaan dan gedung pusaka.
“Aku tidak pernah merasa kantuk seperti saat ini,” berkata salah seorang diantara mereka.
Kawannya justru menguap. Desisnya, “Mataku ternyata pantas ditukar mata ikan. Kenapa tiba-tiba saja mataku terpejam.”
Kedua orang itu ternyata masih menyadari keadaannya. Karena itu, maka katanya, “Aku tidak mungkin dapat bertahan. Aku akan berkata terus terang dengan Ki Lurah. Mungkin aku sakit.”
“Kita bersama-sama sakit. Marilah kita minta waktu kita meronda ditukar.”
Keduanya segera kembali ke gardu peronda di halaman belakang istana, karena mereka mendapat tugas di bagian belakang bersama beberapa orang kawannya yang lain. Namun demikian mereka meninggalkan daerah yang tersentuh ilmu sirep, maka mereka tidak lagi merasa kantuk. Mereka merasa bahwa badan mereka tetap sehat. Mata mereka menjadi terang dan mereka merasa siap untuk melakukan tugas mereka.
“He, apakah terjadi perubahan di dalam dirimu? Aku tidak merasa kantuk lagi,” berkata seorang diantara mereka.
“Sebagai seorang prajurit, aku sedang membuat perhitungan. Tentu tidak dapat bahwa hal seperti ini tiba-tiba saja terjadi. Apakah kau tidak merasakan sesuatu yang aneh?“ Yang lain justru bertanya.
“Ya,” jawab kawannya, “Aku memang merasa aneh.”
“Jika demikian, kita wajib menyelidiki. Mari kita kembali ke tempat yang aneh itu.” ajak yang lain.
Keduanya pun kemudian kembali mendekati gedung perbendaharaan. Namun keduanya dengan penuh kesadaran mulai memperhatikan suasana. Demikian mereka mendekati gedung perbendaharaan, terasa angin semilir lembut. Dedaunan bergerak perlahan-lahan sementara udara yang segar menerpa wajah-wajah mereka.
“Disini aku mulai merasa kantuk,” tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka berkata.
“Ya, tepat. Panggraitamu memang tajam sekali. Aku tahu maksudmu. Tentu ada hal yang tidak wajar disini. Atau di sekitar tempat ini,” sahut kawannya.
Demikianlah, maka keduanya menemukan sesuatu yang mendebarkan. Apalagi ketika kemudian mereka memaksa diri untuk semakin mendekat. Ilmu Sirep itu pun sudah menjadi semakin lemah, sementara sumber ilmu itu pun telah tidak ada lagi di tempat. Karena itu, maka kedua orang yang telah berusaha untuk tetap menyadari keadaan dirinya itu pun menemukan kawan-kawannya yang sedang bertugas telah tertidur.
Dengan serta merta, maka kedua orang itu pun telah berusaha membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur itu. Betapa sulitnya, namun usaha itu pun telah berhasil. Beberapa orang yang bertugas itu telah terbangun. Sementara seorang diantara kedua orang peronda itu berkata, “Aku akan melaporkan hal ini kepada Ki Lurah.”
“Pergilah. Tetapi jangan tertidur di halaman,“ pesan yang lain.
Ternyata peronda itu pun berlari, agar ia tidak disergap oleh perasaan kantuk yang mungkin akan sulit untuk diatasinya. Laporannya telah menggemparkan gardu peronda. Lurah prajurit yang sedang bertugas pun telah dengan serta merta pergi ke gedung perbendaharaan. Mereka memang masih merasakan sisa-sisa ilmu sirep itu. Namun kekuatannya sudah menjadi semakin lemah.
“Apakah kalian telah tertidur?” bertanya Lurah prajurit itu kepada para penjaga.
“Ya Ki Lurah,” jawab para prajurit itu dengan jujur. ”Kami tidak dapat menghindarkan diri. Kami tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi, sehingga kami sama sekali tidak dapat melawannya.”
Ki Lurah memperhatikan selarak pintu gedung perbendaharaan itu. Selarak pintu itu masih terpasang sebagaimana sebelumnya. Namun Lurah prajurit itu tidak tahu pasti apakah selarak itu pernah dibuka. Tetapi Ki Lurah itu tidak berani membukanya dan melihat isi gedung perbendaharaan itu.
Dengan demikian, maka yang dilakukan Ki Lurah kemudian adalah melaporkan kepada petugas yang bertanggung jawab atas gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Dengan demikian, maka orang itu akan segera dapat mengetahui, apakah ada sesuatu yang berubah letaknya atau bahkan hilang.
Laporan itu pun sangat mengejutkan pula. Seorang Tumenggung yang bertanggung jawab atas gedung perbendaharaan itu pun telah berlari-lari pergi ke tempat tugasnya. Ketika Ki Tumenggung itu sampai di pintu gedung pusaka, maka ia pun menarik nafas panjang. Gedung itu masih tertutup sebagaimana semula. Demikian pula gedung perbendaharaan.
“Bukankah tidak ada apa-apa yang terjadi?” bertanya Ki Tumenggung.
“Tentu telah terjadi sesuatu Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah yang kemudian menceriterakan selengkapnya apa yang telah terjadi. ”Segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung.”
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Kita lihat, apakah isinya ada yang berubah.”
Para prajurit yang bertugas menjadi tegang. Sejenak kemudian Ki Tumenggung pun duduk dengan tertibnya di depan pintu gedung pusaka. Setelah menyembah maka iapun segera membuka selarak pintu itu. Ia cenderung untuk melihat isi gedung pusaka itu lebih dahulu, karena di dalam gedung itu tersimpan banyak sekali senjata-senjata yang bertuah dan memiliki kekuatan yang gaib, yang menjadi pendukung kekuasaan Sri Baginda di Kediri.
Demikian Ki Tumenggung membuka selarak, maka sekali lagi ia duduk dan menyembah. Baru kemudian ia berjalan jongkok memasuki ruangan itu. Karena tugasnya, maka Ki Tumenggung itu telah mengenal sebaik-baiknya isi gedung pusaka itu. Karena itu, demikian pintu itu terbuka, sebenarnyalah Ki Tumenggung langsung mengenali bahwa tidak ada sebuah pun diantara pusaka-pusaka itu yang bergeser.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Beberapa pusaka yang paling keramat masih berada di tempatnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung pun telah keluar dari gedung pusaka itu dan menuju ke gedung perbendaharaan. Seperti yang dilakukan di gedung pusaka, maka dilakukannya pula di gedung perbendaharaan. Namun ketika ia memasuki gedung itu dengan berjalan jongkok, maka terasa jantungnya bagaikan akan meledak.
Ketika ia langsung memandang ke tempat penyimpanan mahkota yang dibungkus dengan kain putih, maka terasa pandangan matanya menjadi gelap. Mahkota itu tidak ada di tempatnya. Dalam kekaburan penglihatannya ia masih berusaha melihat di sekitarnya, mungkin mahkota itu telah berpindah tempat. Namun ternyata bahwa di dalam ruangan itu tidak dilihatnya lagi mahkota yang terbungkus dengan kain putih.
Karena itu, maka isi dadanya pun terasa terguncang. Ki Tumenggung tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja semuanya menjadi hitam pekat. Orang-orang yang berada diluar gedung menjadi kebingungan melihat keadaan Ki Tumenggung. Ketika mereka akan memasuki ruangan, maka terasa angin prahara telah menempuh mereka sehingga langkah mereka segera terhenti.
“Apa yang dapat kita lakukan Ki Lurah.” Seseorang telah bertanya.
Ki Lurah itu pun kemudian melakukan sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung, sehingga iapun kemudian dapat memasuki gedung perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mendekati Ki Tumenggung dan mengamatinya. Ternyata Ki Tumenggung itu telah pingsan. Ki Lurah pun kemudian memanggil salah seorang diantara prajurit yang berada diluar. Dengan laku yang sama maka prajurit itu pun berhasil memasuki gedung perbendaharaan itu.
Dengan susah payah, maka Ki Lurah dan seorang prajurit telah membawa Ki Tumenggung itu keluar. Beberapa saat, mereka berusaha merawat Ki Tumenggung sehingga Ki Tumenggung pun akhirnya menjadi sadar.
“Tutup pintu itu dahulu,” desisnya ketika matanya mulai terbuka.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Lurah dengan laku sebagaimana saat Ki Tumenggung akan membuka pintu itu telah menutupnya kembali dan menyelaraknya.
“Apa yang terjadi Ki Tumenggung?” bertanya Ki Lurah. “Apakah ada yang salah.”
Ki Tumenggung memandang para prajurit di sekitarnya setelah ia bangkit dan duduk. Dengan nada datar ia berkata. “Kita telah mengalami satu bencana. Sebuah diantara benda-benda yang paling berharga telah hilang.”
“Apa?” bertanya Ki Lurah.
“Mahkota,” jawab Ki Tumenggung.
“Mahkota,“ ulang Ki Lurah.
“Ya. Mahkota pusaka kerajaan Kediri,” jawab Ki Tumenggung.
Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening. Namun akhirnya Ki Lurah itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu, maka katanya kepada seorang prajurit, “Laporkan kepada Senapati yang memimpin pengawalan istana malam ini.”
Prajurit itu pun segera berangkat ke bagian depan istana untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Betapa terkejutnya Senapati itu. Mahkota itu adalah pertanda kuasa Sri Baginda di Kediri. Bahkan menurut pendengaran Senapati itu, Mahkota itu adalah benda yang bertuah. Karena itu, maka iapun telah bergegas pergi ke gedung perbendaharaan.
Sebenarnyalah seperti yang dilaporkan kepadanya, mahkota itu telah hilang. Ki Tumenggung yang dibebani tugas untuk memelihara gedung perbendaharaan dan gedung pusaka itu mengatakan kepada Senapati yang datang itu, bahwa mahkota itu memang sudah hilang.
“Siapa yang melaporkan kepadamu Ki Tumenggung?” bertanya Senapati itu.
“Para peronda. Aku mendapat laporan dari mereka,” jawab Ki Tumenggung.
Senapati itu memandangi Ki Lurah dengan tajamnya. Lalu katanya, “Kau tidak melaporkan kepadaku sebelum melapor kepada Ki Tumenggung?”
“Aku ingin meyakinkan apa yang terjadi. Jika tidak terjadi apa-apa, maka bukankah kita tidak perlu ribut seperti ini?” jawab Ki Lurah.
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau menduga, bahwa ada sesuatu yang hilang?” bertanya Senapati itu.
Ki Lurah tidak ingkar. Iapun menceriterakan semuanya apa yang telah terjadi di gedung perbendaharaan itu.
“Jadi para prajurit yang bertugas telah tertidur?” bertanya Senapati itu.
“Ya. Dalam pengaruh ilmu sirep,” jawab Ki Lurah.
“Persetan dengan sirep. Dipengaruhi atau tidak, tetapi kenyataan yang terjadi, para prajurit telah tidur nyenyak dalam tugas mereka,“ jawab Senapati itu.
“Jangan meniadakan laporan atau sebagian dari laporan yang kami sampaikan. Sirep itu telah terjadi. Dan itu perlu kami laporkan. Jika atasan kami menganggap bahwa kami telah bersalah karena tidak berhasil melawan sirep, kami tidak akan ingkar,“ Ki Lurah menjelaskan.
“Tetapi kenyataan itu telah terjadi. Kalian tidak dapat mengamankan benda-benda berharga yang terdapat di gedung perbendaharaan.” bentak Senapati itu.
“Bukankah kami tidak akan ingkar. Kami akan mempertanggung jawabkannya. Hal itu memang sudah terjadi,” jawab Ki Lurah.
Senapati itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Lurah sudah mengakui kesalahannya. Namun demikian, yang akan bertanggung jawab terhadap para pemimpin Kediri, termasuk Pangeran Singa Narpada adalah Senapati yang memimpin tugas pengawalan pada malam itu. Sehingga apapun yang dikatakannya kepada Ki Lurah, namun yang terjadi itu akan dapat menjeratnya ke dalam kesulitan.
Tetapi Senapati itu harus mengusut persoalannya dengan teliti. Ia memang harus membuat laporan terperinci. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, ia memang harus melaporkan tentang sirep itu pula.
Peristiwa hilangnya mahkota itu memang tidak dapat disembunyikan. Menurut Ki Tumenggung, laporan harus dibuat secepatnya, sehingga mungkin para pemimpin di Kediri dapat mengambil langkah-langkah yang perlu.
Namun demikian, Ki Tumenggung masih berpesan, agar hilangnya mahkota itu dirahasiakan bagi rakyat banyak. Jika berita itu tersebar, maka akan terjadi keresahan yang mungkin akan berakibat buruk.
Senapati yang memimpin para peronda malam itu ternyata sependapat dengan Ki Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera mengumpulkan para pemimpin kelompok prajurit yang malam itu bertugas di istana.
Beberapa pesan telah diberikan. Dengan tegas Senapati itu berkata, “Demi tegaknya Kediri, kalian harus merahasiakan apa yang terjadi. Meskipun hal ini tidak akan dapat kita rahasiakan terhadap para pemimpin dan kepada Sri Baginda.”
Para prajurit mengerti maksud Senapati itu. Karena itu, maka mereka pun bertekad untuk melaksanakannya. Namun demikian mereka sadar, bahwa hukuman tidak akan terlepas dari mereka, karena mereka telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar atas Kediri. Namun, sebagai seorang prajurit, mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab.
Demikianlah, ketika laporan itu sampai kepada para pemimpin di Kediri, maka rasa-rasanya Kediri bagaikan telah terbakar. Jantung di dalam hati Sri Baginda bagaikan berhenti berdetak. Apalagi Sri Baginda pun menyadari, menurut kepercayaan para raja turun temurun di Kediri, Mahkota itu adalah tempat bersemayam wahyu keraton.
Hilangnya mahkota itu, maka Kediri akan benar-benar hapus. Tidak saja sebagaimana saat Tumapel mengalahkan Kediri. Karena setelah itu Kediri tetap berdiri meskipun dibawah pengaruh Singasari. Tetapi jika Kediri sudah kehilangan wahyu keraton, maka Kediri benar-benar akan tenggelam dan hilang sama sekali dari percaturan rakyat di Singasari. Sementara itu, darah Pangeran Singa Narpada bagaikan telah terbakar. Dengan garang ia bertanya kepada Senapati yang memberikan laporan. “Kau sebut-sebut tentang sirep?”
“Ya Pangeran,” jawab Senapati itu.
“Jika demikian, kita akan dapat menghubungkannya dengan saat hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Senapati itu mengangguk-angguk. Meskipun pada saat itu ia tidak bertugas di tempat Pangeran Lembu Sabdata ditahan, namun ia juga mendengar bahwa semua petugas pada waktu itu telah terbius oleh kekuatan ilmu yang membuat mereka mengantuk dan tertidur.
Ternyata persoalan sirep yang semula oleh Senapati yang bertugas di istana itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu di perhatikan dalam penilaian atas mahkota yang hilang, karena menurut Senapati itu, apapun yang terjadi, tetapi ternyata bahwa mahkota itu telah hilang, sehingga laporan tentang sirep itu seakan-akan hanya sekedar untuk memperkecil kesalahan, namun ternyata bahwa justru sirep itulah yang mendapat perhatian utama dari Pangeran Singa Narpada.
“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian. ”Kita tidak akan mengingkari kenyataan. Mahkota itu telah hilang. Kalian tidak akan dapat mencuci tangan begitu saja atas hilangnya pusaka itu. Kesalahan kalian tidak kurang dari kesalahan para petugas waktu Pangeran Lembu Sabdata hilang. Namun demikian, keputusan tentang kalian tidak akan diberikan sekarang. Semua tenaga apalagi yang berhubungan dengan hilangnya mahkota itu, akan dikerahkan. Mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk menemukannya, atau kita bersama sama akan tenggelam.“ Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak. Namun masih terdengar giginya yang gemeretak. Katanya kemudian, “Mundurlah. Tetapi ingat, bahwa hal ini masih merupakan rahasia istana. Siapa yang membocorkan rahasia ini akan mendapat hukuman yang seimbang dengan kesalahannya. Bahkan siapa yang membocorkan rahasia ini tidak kurang dari seorang pengkhianat.”
Demikianlah mereka yang menghadap untuk melaporkan hilangnya mahkota itu telah mundur dari hadapan para pemimpin di Kediri, sementara itu Pangeran Singa Narpada masih juga berbicara dengan para pemimpin itu.
Sri Baginda sendiri kemudian berkata kepada pangeran Singa Narpada. “Terserah kepada kalian, apa yang sebaiknya dilakukan. Aku akan beristirahat.”
Yang kemudian menjadi pusat pembicaraan adalah cara yang mirip yang ditempuh oleh orang-orang yang mengambil mahkota itu sebagaimana yang pernah dilakukan untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Pangeran Singa Narpada sendiri yakin, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmu sirep. Karena itu, maka tentu ada pihak lain yang telah mengambilnya dari bilik tahanannya dan yang kemudian telah mengambil mahkota itu pula dari gedung perbendaharaan.
Satu kesimpulan yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada namun yang belum dikatakannya kepada siapapun, adalah satu rangkaian usaha untuk merebut tahta Kediri dan usaha untuk menempatkan Pangeran Lembu Sabdata pada kedudukan tertinggi. Namun Pangeran Singa Narpada yakin, bahwa ada satu pihak yang berdiri di belakang Pangeran Lembu Sabdata, justru orang itu adalah orang yang menentukan segala-galanya.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada yakin bahwa yang dihadapi oleh Kediri adalah satu gerakan yang sangat rumit. Namun Pangeran Singa Narpada yang mempunyai ketajaman pengamatan dan perhitungan, tidak melepaskan usaha yang sedang dilakukan itu dengan usaha Pangeran Kuda Permati yang gagal.
“Tetapi kegagalan itu telah memberikan banyak pelajaran kepada pihak mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam dirinya, “Kini orang yang telah menggerakkan usaha perlawanan itu, telah mengambil cara yang lain. Cara yang lebih cermat dan lembut.”
Pikiran itu merupakan pangkal usaha Pangeran Singa Narpada untuk menelusuri hilangnya pusaka yang dianggap menjadi tempat semayam wahyu keraton Kediri. Tetapi sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada telah menjadi curiga terhadap para pemimpin Kediri sendiri. Seolah-olah diantara mereka terdapat orang-orang yang setiap saat akan dapat berkhianat.
Karena itu, maka untuk beberapa lama Pangeran Singa Narpada tidak banyak memberikan pendapatnya dalam pertemuan-pertemuan para pemimpin Kediri. Bahkan ia telah mengatakan cara-cara yang mungkin ditempuh, namun yang berbeda dari perhitungannya yang sebenarnya.
“Kita harus menyebarkan para petugas sandi,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Mereka harus berusaha melihat pertanda-pertanda yang mencurigakan. Bahkan mungkin mereka dapat mendengar atau melihat gerakan yang pantas untuk diamati.”
Tetapi persoalannya tidak terlalu sederhana. Hal itu disadari oleh Pangeran Singa Narpada. Namun para pemimpin di Kediri itu memang belum menemukan jalan yang menjurus ke arah yang memungkinkan untuk mengetahui jejak mahkota yang hilang itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada berniat untuk menelusuri gerakan ini dari ujung, Ia harus menemukan beberapa nama yang dapat dihubungkan dengan Pangeran Kuda Permati. Karena Pangeran Singa Narpada-pun kemudian yakin bahwa terbunuhnya Pangeran Kuda Permati ternyata masih belum memadamkan perlawanan itu. Bahkan perlahan-lahan api perlawanan itu justru semakin lama menjadi semakin membesar kembali.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada berpendapat bahwa sumber dari gerakan itu masih harus diketemukan. Tetapi untuk sementara Pangeran Singa Narpada merasa dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat mempercayai seseorang. Bahkan ia menduga, lepasnya Pangeran Lembu Sabdata dan hilangnya mahkota itu, tentu berkaitan dengan pengkhianat diantara para pemimpin Kediri sendiri.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang telah berhasil mengambil mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat semayam wahyu keraton itu telah berada kembali di padepokannya. Yang kemudian menyimpan mahkota itu adalah Pangeran Lembu Sabdata, yang dianggap memiliki darah raja-raja Kediri, sehingga mahkota itu tidak akan menimbulkan persoalan baginya. Bahkan kemudian diharapkan bahwa wahyu keraton yang bersemayam di mahkota itu akan dapat mendukung usaha Pangeran Lembu Sabdata untuk menguasai tahta.
“Perjuangan ini harus dilakukan sampai tuntas,” berkata Ki Ajar. Lalu, “perjuangan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati ternyata diwarnai oleh kebimbangan. Pangeran Kuda Permati ingin merubah sikap Kediri, tetapi ia ingin tetap membiarkan Sri Baginda untuk berada diatas tahtanya. Sikap yang bimbang inilah salah satu sebab, kenapa Pangeran Kuda Permati tidak berani bergerak lebih tegas dan lebih keras.“ Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu, “Sikap kita harus lain. Kita harus bersikap tegas. Meskipun mungkin Sri Baginda itu juga disentuh oleh perasaan ragu sebagaimana sikapnya terhadap Pangeran Singa Narpada, tetapi sikap yang ragu itu akan dapat menghambat perjuangan. Karena itu, maka bagaimanapun juga, sampai hati atau tidak, Sri Baginda harus disingkirkan.”
Pangeran Lembu Sabdata yang masih lebih muda dari Pangeran Kuda Permati itu mengangguk-angguk. Agaknya ia akan dapat berbuat lebih keras dari Pangeran Kuda Permati itu. Apalagi Pangeran Lembu Sabdata benar-benar sudah berada dibawah pengaruh Ki Ajar.
“Tetapi sekali lagi Pangeran, kita tidak boleh tergesa-gesa,” berkata Ki Ajar, “Kita harus menunggu sampai orang-orang Kediri melupakannya, sebagaimana saat hilangnya Pangeran dari bilik tahanan. Baru di saat orang-orang Kediri itu tidak lagi memikirkan mahkota yang hilang, kita akan menyusun diri. Jika hal itu kita lakukan sekarang sebelum kita mulai, kita tentu sudah akan digulung oleh Pangeran Singa Narpada. Sementara itu, Pangeran masih harus menyempurnakan ilmu Pangeran bersama dengan Putut itu.“
“Baik Ki Ajar,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Aku memang tidak tergesa-gesa. Aku sependapat, bahwa seharusnya aku menyempurnakan ilmu yang aku sadap dari Ki Ajar, agar bekalku jadi memadai nanti.”
“Dengan demikian, maka untuk sementara kita pun akan melupakan mahkota itu,” berkata Ki Ajar, “Asal Pangeran menyimpannya dengan baik.”
“Aku simpan di dalam bilikku,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Dan kita bersama-sama akan mempertahankannya seandainya ada pihak yang berhasil mengetahui, bahwa mahkota itu ada disini.”
“Tentu,” berkata Ki Ajar, “Tetapi tidak akan ada orang yang pernah menduga bahwa Pangeran berada disini.”
"Menurut perhitungan, para pemimpin di Kediri tentu akan menghubungkan hilangnya mahkota ini dengan hilangnya Pangeran dari bilik tahanan. Mereka tentu akan memperhitungkan pula cara yang mirip yang terjadi pada saat Pangeran diambil dari bilik tahanan itu, dan pada saat mahkota itu hilang. Keduanya mempergunakan ilmu sirep. Karena itu, untuk sementara kita tidak boleh menempuh jalan yang sangat berbahaya dengan memberikan kemungkinan seseorang dapat mengenali Pangeran.”
“Tidak seorang pun lagi yang akan dapat mengenal aku,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Tetapi lebih baik kita berhati-hati. Untuk sementara Pangeran akan tetap berada di padepokan. Biarlah orang lain diantara kita yang melihat-lihat suasana setelah mahkota itu hilang,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata tidak membantah. Ia patuh kepada semua perintah Ki Ajar. Karena itu, maka untuk beberapa lama Pangeran Lembu Sabdata tetap berada di padepokan. Dipergunakannya waktunya untuk memperdalam ilmunya, sehingga Pangeran Lembu Sabdata benar-benar menjadi seorang yang jarang ada duanya di dalam olah kanuragan. Bersama Putut yang terpercaya di padepokan itu, ilmu Pangeran Lembu Sabdata setapak demi setapak berkembang.
Sementara itu, dalam pengamatan yang dilakukan oleh murid terpercaya dari padepokan Ki Ajar, ternyata di Kediri suasana tidak bergejolak sebagaimana telah diduga oleh Ki Ajar. Ki Ajar sudah memperhitungkan bahwa hilangnya mahkota itu akan dirahasiakan, sehingga tidak akan banyak orang yang mengetahuinya. Dengan demikian Kediri akan dapat menjaga ketenangannya.
Namun pengamatan Putut yang tajam itu, dapat dilihatnya bahwa ada juga pihak yang menjadi sibuk karenanya. Meskipun tidak semata-mata, maka perondaan yang dilakukan oleh para prajurit Kediri pun agaknya telah meningkat. Bahkan para prajurit itu telah mengamati daerah yang luas. Para Senapati di daerah perbatasan Kota Raja juga sibuk dan sangat berhati-hati menanggapi perkembangan keadaan.
Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada persiapan-persiapan yang pantas dicurigai. Tidak ada kegiatan yang mengarah kepada pembentukan satu kekuatan. Karena itu, maka sikap para prajurit Kediri itu pun semakin lama menjadi semakin lunak pula. Juga para Senapati di daerah perbatasan.
Namun berbeda dengan mereka, dengan diam-diam Pangeran Singa Narpada justru telah mengadakan pengamatan. Namun hal itu pun juga dilakukannya dengan sangat berhati-hati. Ia merasa bersalah, bahwa selama ini ia menjadi lengah. Meskipun ia masih saja setelah berpesan, agar para prajurit Kediri tidak pernah melupakan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. namun ia tidak memerintahkan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu.
Tetapi sebenarnya bahwa Pangeran Singa Narpada tidak pernah menduga, bahwa sasaran berikutnya adalah justru mahkota Kediri. Sebelumnya Pangeran Singa Narpada memperhitungkan, bahwa langkah selanjutnya adalah menghimpun kembali kekuatan Pangeran Kuda Permati yang tercerai berai. Karena itu perhatian Pangeran Singa Narpada sebagian besar adalah pengamatan kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan kelompok-kelompok yang akan dapat tersusun menjadi kekuatan yang besar untuk melawan Kediri.
Namun dalam kesendiriannya, Pangeran Singa Narpada teringat kepada Singasari. Ia memang tidak ingin mengundang kekuatan prajurit Singasari untuk hadir di Kediri. Sejak Singasari menarik wakil kuasa Sri Maharaja Singasari di Kediri, sebenarnya Pangeran Singa Narpada berharap bahwa Kediri akan mampu menegakkan dirinya sendiri. Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh Singasari ternyata tidak pernah dapat dimanfaatkan justru karena pergolakan yang terjadi di Kediri.
Pangeran Singa Narpada tidak akan mengundang bantuan Singasari, karena Kediri memang tidak memerlukannya. Dalam pada itu, Kediri masih juga belum melihat sasaran kekuatan prajurit, yang menurut perhitungan Pangeran Singa Narpada lambat laun tentu ikan datang juga.
“Yang penting untuk dilaksanakan dengan cepat adalah menemukan kembali mahkota yang hilang itu,” berkata Pangeran Singa Narpada dalam hatinya. Karena itu maka telah terbersit niatnya untuk berhubungan dengan Singasari dalam usaha menemukan mahkota itu dengan tugas sandi.
“Aku tidak dapat mempercayai lagi orang-orang Kediri. Meskipun aku yakin, bahwa hanya satu-dua orang saja yang berkhianat, tetapi aku tidak tahu yang manakah yang hanya satu atau dua itu,” desis Pangeran Singa Narpada kepada diri sendiri. Karena itulah, maka agaknya ia akan merasa lebih aman untuk bekerja dengan orang-orang Singasari.
“Tidak dengan satu pasukan segelar sepapan. Tetapi hanya satu atau dua orang saja,” desisnya pula.
Ternyata Pangeran Singa Narpada benar-benar ingin melaksanakan maksudnya. Karena itu, maka dengan diam-diam ia telah mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Singasari. Ia tidak akan dengan resmi menghubungi Panglima keprajuritan di Singasari, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan seorang Senapati muda yang dikenalnya. Mahisa Bungalan, lewat seorang pemimpin Singasari yang pernah berada di Kediri, Mahisa Agni.
“Mahisa Agni tentu sudah terlalu tua untuk melaksanakan tugas-tugas yang berat,“ gumam Pangeran Singa Narpada. ”Tetapi agaknya Mahisa Bungalan akan bersedia membantuku apabila ia mendapat ijin dari Panglima.”
Karena itulah, maka pada suatu hari Pangeran Singa Narpada minta diri kepada kepercayaannya, namun yang tidak juga dapat menampung kesulitannya karena hilangnya mahkota Kediri. Betapapun juga ia mempercayainya, namun persoalan yang dianggapnya sangat penting dan menentukan itu dirasa perlu untuk berahasia. Pangeran Singa Narpada tidak mengatakan bahwa ia akan pergi dari Kediri untuk memecahkan persoalan mahkota yang hilang, tetapi ia mengatakan bahwa ia akan mesu diri. Menyepi untuk mendapatkan petunjuk tentang mahkota yang hilang itu.
“Nalarku sudah buntu,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Karena itu, aku merasa perlu untuk mencari kesegaran penglihatan hatiku agar aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.”
“Apakah Pangeran akan pergi untuk waktu panjang?” bertanya kepercayaannya itu.
“Aku tidak tahu, berapa hari aku akan pergi,” jawab Pangeran Singa Narpada. ”Mudah-mudahan tidak terlalu lama. Tetapi jika seseorang mencariku, katakan bahwa aku sedang samadi di dalam sanggar. Katakan bahwa aku tidak pergi kemana-mana. Tetapi untuk sementara aku tidak dapat menerima tamu siapapun juga.”
“Pangeran tidak membawa seorang pengawalnya?” bertanya kepercayaannya pula.
Pangeran Singa Narpada menggeleng. Jawabnya, “Aku akan pergi sendiri. Perhatikan semua pesanku. Jangan ada yang salah langkah, atau salah ucap.”
“Baiklah Pangeran,” jawab kepercayaannya itu, “Aku akan melakukannya sebaik-baiknya.”
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun telah meninggalkan istananya. Ia keluar dari gerbang halaman istananya pada saat matahari telah terbenam, sehingga tidak ada seorang pun yang melihatnya. Apalagi Pangeran Singa Narpada telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Pangeran Singa Narpada sendiri sadar, bahwa perjalanannya adalah perjalanan yang panjang. Apalagi ia tidak membawa seekor kuda agar ia dapat dengan leluasa bergerak di Singasari kelak.
Sementara itu, tidak seorang pun di Kediri yang mengetahui bahwa Pangeran Singa Narpada telah menuju ke Singasari untuk berusaha menemukan seorang atau sekelompok petugas sandi yang akan dapat membantunya menemukan mahkota Kediri yang hilang. Mahkota yang dianggap tempat bersemayam wahyu Keraton.
Dengan demikian, maka mulailah Pangeran Singa Narpada dengan pengembaraannya. Ia sadar, bahwa tugas yang diembannya adalah tugas yang berat dan berbahaya. Tetapi ia merasa wajib untuk melakukannya. Jika ia tidak berbuat sesuatu, maka hari depan Kediri akan menjadi sangat suram. Kediri akan menjadi kuburan anak-anak terbaiknya yang saling membunuh diantara mereka sendiri.
Meskipun demikian ada juga kecemasan di hati Pangeran Singa Narpada. Jika selama ia pergi, ada gerakan kekuatan yang besar, mungkin Kediri akan mengalami kesulitan. Tetapi Pangeran Singa Narpada percaya kepada Panji Sempana Murti. Dalam keadaan yang gawat, ia tentu tidak hanya bergerak di perbatasan Utara, Ia akan dapat mengambil langkah yang akan mencegah bahaya yang akan dapat menghancurkan Kediri sampai saatnya ia datang.
Dalam perjalanan Pangeran Singa Narpada merasa ragu. Apakah ia akan memberikan pesan-pesan kepada Panji Sempana Murti atau tidak. Namun akhirnya ia memutuskan, bahwa tidak perlu ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya ke Singasari. Mungkin Panji Sempana Murti tidak sependapat, sehingga justru akan timbul persoalan diantara mereka.
Karena itu, maka keberangkatan Pangeran Singa Narpada benar-benar tidak diketahui oleh seorang pun diantara orang-orang Kediri. Pangeran itu menempuh perjalanan sebagaimana seorang pengembara. Tetapi untuk mempermudah segala persoalan di perjalanan, maka Pangeran Singa Narpada telah membawa bekal uang yang cukup banyak, meskipun ia tidak akan berada di Singasari terlalu lama.
Dalam perjalanannya sebagai seorang pengembara maka Pangeran Singa Narpada justru tidak banyak mengalami hambatan. Tidak banyak orang yang memperhatikan perjalanan semacam itu. Bahkan beberapa orang berusaha untuk menghindari para pengembara yang kadang-kadang dengan memelas minta uang kepada mereka dan sulit untuk menolaknya.
Tetapi diantara mereka yang berusaha menghindar, ternyata Pangeran Singa Narpada telah diamati oleh dua orang yang berwajah kasar. Ketika Pangeran Singa Narpada berada di sebuah kedai, tidak sengaja Pangeran Singa Narpada telah berbuat kesalahan sehingga kedua orang itu mengetahui bahwa kampil yang dibawa olehnya berisi uang yang tidak terlalu sedikit.
“He.” Bisik salah seorang diantara kedua orang itu kepada kawannya, “pengembara itu membawa uang.”
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ketajaman penglihatan Pangeran Singa Narpada menangkap gelagat yang kurang baik. Ia menyesal bahwa ia telah melakukan kesalahan, sehingga telah menarik perhatian orang lain. Apalagi agaknya kedua orang itu adalah orang yang berkelakuan tidak baik. Tetapi hal itu sudah terlanjur terjadi. Karena itu, maka ia harus mengatasi kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada masih akan berusaha menghindar apabila mungkin. Sehingga tidak usah terjadi bahwa ia mempertahankan miliknya itu dengan kekerasan. Karena itu, demikian Pangeran Singa Narpada membayar makanan dan minuman, sebelum kedua orang itu selesai, dengan cepat telah meninggalkan kedai itu. Dengan tergesa-gesa Pangeran Singa Narpada telah memilih jalan yang banyak dilalui orang sehingga sulit bagi kedua orang itu untuk mendapat kesempatan berbuat jahat atas dirinya. Bahkan ternyata kemudian Pangeran Singa Narpada sempat memasuki sebuah pasar yang ramai.
Tetapi ternyata kedua orang itu tidak melepaskannya. Kedua orang itu berhasil menyusulnya dan mengikutinya memasuki pasar itu pula. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Menurut pengamatannya kedua orang itu memang dua orang yang terbiasa melakukan kejahatan sehingga dengan telaten mengikuti calon korbannya.
“Agaknya sulit untuk menghindari mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada dirinya sendiri.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian tidak lagi berusaha menghindar. Ia berjalan saja keluar dari pasar dan berjalan menuju ke sebuah padukuhan.
“Mudah-mudahan aku akan dapat berada di banjar padukuhan itu sampai malam nanti,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya.
Namun demikian kedua orang itu masih saja mengikutinya. Tetapi keduanya masih belum mempunyai kesempatan untuk bertindak, karena Pangeran Singa Narpada selalu berada di jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi Pangeran itu kecewa. Ketika ia memasuki padukuhan di hadapan bulak itu, ternyata padukuhan itu sedang sibuk dengan upacara kematian. Bekel yang memimpin padukuhan itu telah meninggal.
Pangeran Singa Narpada tidak mau mengganggu orang-orang yang sedang sibuk. Karena itu, maka iapun telah meneruskan perjalanan. Tetapi ketika Pangeran Singa Narpada keluar dari padukuhan itu dan menghadap ke sebuah bulak yang panjang, maka iapun mengeluh di dalam hati. Ia memang tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar.
Namun ketika ia berada diluar regol padukuhan, ia berhenti dan duduk di sebuah sebatang pohon yang besar, tidak jauh dari regol yang justru banyak terdapat anak-anak muda yang masih berada dalam suasana upacara kematian pemimpin mereka. Kedua orang yang mengikuti Pangeran Singa Narpada itu mengumpat. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan anak-anak muda itu.
“Pengembara itu agaknya sudah merasa bahwa kita akan berbuat sesuatu atas dirinya,” berkata salah seorang diantara mereka.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun keduanya masih saja termangu-mangu di regol. Ternyata sikap kedua orang itu menarik perhatian anak-anak muda yang berada di regol. Seorang diantara mereka telah mendekati kedua orang itu sambil bertanya, “Apakah yang menarik perhatian kalian disini?”
Kedua orang itu memandang anak muda itu dengan wajah yang tegang. Dengan kasar ia menjawab, “Apa pedulimu.”
Anak muda itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa kedua orang itu akan bersikap sangat kasar, sehingga karena itu maka anak muda itu pun menjawabnya dengan keras pula, “Aku bertanya dengan baik. Kenapa jawabmu begitu kasar?”
“Jangan ikut campur,“ orang itu justru membentak. ”Ajak saja kawan-kawanmu pergi.”
Anak muda itu benar-benar tersinggung. Katanya, “Persetan. Kau jangan mencari perkara disini.”
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Namun sementara itu beberapa orang yang lain telah mengerumuninya pula setelah mereka mendengar nada-nada yang keras dan kasar.
“Ada apa?” bertanya beberapa orang.
“Aku bertanya dengan baik. Tetapi jawabnya kasar sekali,” jawab anak muda itu.
Yang lain pun kemudian mendesak maju. Agaknya anak-anak muda itu tidak senang melihat sikap orang itu. Tetapi tiba-tiba saja salah seorang diantara kedua orang itu berkata, “Kalian mau apa?”
“Jangan begitu Ki Sanak,” sahut seorang yang nampaknya paling tua diantara anak-anak muda itu, “Kita tidak ingin bertengkar. Kenapa kita tidak berbicara dengan baik saja?”
“Jangan campuri urusanku,” sekali lagi orang itu membentak.
Dengan demikian anak-anak muda itu menjadi marah. Beberapa orang mendesak semakin maju. Seorang diantara mereka berkata, “Kau ingin kami juga berbuat kasar?”
Tetapi jawab salah seorang dari kedua orang itu sangat mengejutkan anak-anak muda itu. Katanya, “Kau jangan mengganggu aku anak setan. Kau dengar namaku. Kemudian pertimbangkan, apakah kalian benar-benar ingin berbuat kasar.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Namaku Sadkala.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian beberapa orang diantara mereka justru menjadi gemetar. Ternyata orang itu adalah Sadkala. Orang yang namanya sangat ditakuti. Anak-anak muda itu belum begitu mengenal orang yang bernama Sadkala. Namun seorang diantara mereka ternyata memang pernah melihat orang yang bernama Sadkala. Tetapi semula ia tidak begitu memperhatikan. Namun demikian ia mendengar nama itu, maka iapun segera teringat, bahwa orang itu memang bernama Sadkala. Seorang yang namanya sering disebut-sebut dan seakan-akan tidak seorang pun yang menghalangi apapun yang ingin dilakukannya.
Karena anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu, maka orang yang bernama Sadkala itu berkata, “Nah, apa yang akan kalian lakukan? Sebenarnya aku tidak ingin kalian menjadi ribut. Tetapi kalian yang mencari perkara.”
Anak-anak muda itu seorang demi seorang telah bergeser surut. Sementara itu, seorang diantara mereka berdesis, “Sebenarnya satu kesempatan baik. Jika kita tidak sedang sibuk dengan kematian Ki Bekel, maka kita sekarang ini dapat membunyikan pertanda, sehingga kita dan anak-anak muda di seluruh padukuhan akan dapat menangkapnya.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Sulit untuk menangkapnya, tetapi jika kita berbuat demikian dengan segala kekuatan yang ada aku kira kita akan berhasil. Tetapi sudah tentu tidak sekarang.”
Anak-anak muda itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu kedua orang itu pun telah bergeser menjauhi regol. Mereka tidak menghiraukan lagi anak-anak muda yang menjadi gemetar mendengar namanya.
“Jadi agaknya orang itu termasuk orang yang ditakuti,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya. Apalagi ketika dari tempatnya ia melihat anak-anak muda itu bergeser menjauh.
Dalam pada itu, dengan kemampuan ilmunya, Pangeran Singa Narpada sempat mendengarkan percakapan itu meskipun lamat-lamat. Tetapi dengan demikian ia mengerti, apa yang sedang dipercakapkan. Namun justru karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun segera bangkit dan meninggalkan tempatnya menuju ke bulak yang panjang yang terbentang di hadapannya.
Keduanya yang melihat buruannya meneruskan perjalanan mereka pun telah meninggalkan regol itu pula. Anak-anak muda yang ada di regol itu hanya memandanginya saja. Namun agaknya mereka pun menjadi curiga, bahwa orang yang bernama Sadkala dan kawannya itu sedang mengikuti seorang pengembara.
Namun salah seorang diantara mereka kemudian berdesis, “Tentu tidak. Buat apa orang yang dikenal dengan nama Sadkala itu mengikuti seorang pengembara? Jika ia ingin mengikuti, tentu seseorang yang mungkin akan dapat dirampoknya.”
“Tetapi demikian orang yang duduk dibawah pohon itu pergi, maka mereka pun telah pergi pula,” berkata yang lain.
“Hanya satu kebetulan,” sahut kawannya.
Mereka tidak membicarakan lagi. Memang ada kecemasan bahwa kedua orang itu akan berbuat jahat terhadap pengembara yang nampaknya tidak berdaya. Tetapi mereka telah menenangkan perasaan mereka sendiri, dengan satu anggapan bahwa kedua orang perampok yang namanya ditakuti itu tentu tidak akan merampok pengembara yang miskin dan tidak mempunyai bekal apapun juga. Bahkan kadang-kadang untuk makan sehari-hari saja mereka minta bantuan kepada orang lain.
Namun sebenarnyalah bahwa kedua orang itu telah mengikuti pengembara yang diketahuinya mempunyai uang yang cukup banyak di dalam kampilnya. Karena itu, maka agaknya mereka merasa akan dapat merampas uang itu dengan mudahnya. Ketika pengembara itu telah berada di tengah-tengah bulak panjang, maka kedua orang itu mempercepat langkahnya sehingga jarak mereka dengan pengembara itu menjadi semakin lama semakin dekat...
Gubug kecil yang jauh terpencil, sehingga tidak akan mungkin diketemukan oleh orang-orang Kediri. Bahkan seandainya orang-orang Kediri itu mendekati gubug itu, maka Pengeran Lembu Sabdata akan dengan mudah bersembunyi di hutan yang tidak jauh dari gubug itu.
Di gubug itulah Pangeran Lembu Sabdata harus menempa diri lahir dan batin dibawah bimbingan pertapa itu, sehingga pada suatu saat Pangeran Lembu Sabdata akan memiliki ilmu sebagai mana Pangeran Kuda Permati.
Demikianlah, pada saatnya, maka pertapa itu telah berangkat ke Kota Raja bersama pututnya. Tetapi mereka tidak akan pergi ke rumah Ki Sadmaya. Mereka akan berada di tempat yang tersembunyi sebagaimana sudah mereka tentukan pada saat mereka berada di Kota Raja cukup lama sambil mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
Ternyata semuanya berjalan sebagaimana mereka rencanakan. Kedua orang itu berada di sebuah padang perdu yang terbuka di luar Kota Raja. Namun dari tempat mereka bersembunyi mereka dapat mencapai tujuan untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Namun demikian pada hari-hari pertama, mereka pun telah menyiapkan sebuah persembunyian di dalam Kota Raja. Mereka telah menemukan sebuah bangunan lama yang rusak dan tidak terpelihara, sehingga mereka dapat mempergunakan bangunan itu sebagai tempat bersembunyi dalam keadaan memaksa, jika mereka tidak sempat meloncati dinding dan keluar ke padang perdu.
Dengan cermat keduanya mempersiapkan segala sesuatunya yang mereka perlukan. Termasuk bekal makanan dan air minum karena segala kemungkinan dapat terjadi. Setelah semua persiapan mereka selesaikan dengan baik, maka mulailah keduanya menyelidiki sasaran.
Ternyata Pangeran Lembu Sabdata masih berada di tempatnya semula. Pangeran itu tidak dipindahkan ke tempat lain. Penjagaan pun tidak lagi dilakukan terlalu ketat, karena sikap Pangeran Lembu Sabdata yang semakin meyakinkan, bahwa ia sudah pasrah sebulat-bulatnya.
Pada malam hari dengan diam-diam pertapa itu melihat-lihat suasana. Bagaimana mereka akan dapat membawa Pangeran Lembu Sabdata itu keluar dari lingkungannya.
Dari tempat yang gelap, Ki Ajar dan muridnya mengamati keadaan dengan saksama. Mereka memperhatikan di mana para peronda itu berada. Kapan diantara mereka akan berkeliling di seputar bilik tahanan itu. Berapa orang dan apakah mereka siap dengan senjata mereka.
Ternyata semuanya tidak berubah seperti yang pernah mereka kenal sebelumnya. Pada saat pertapa itu mengobati Pangeran Lembu Sabdata, maka keadaan itu telah dipelajari dengan saksama.
“Semuanya masih seperti sediakala,” desis Ki Ajar.
“Ya guru,” jawab muridnya, “Menurut pendapatku, kita akan dapat segera mulai.”
“Besok kita akan mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Malam ini kita akan berada di bangunan yang rusak itu, agar kita tidak terlalu letih keluar masuk kota. Bukankah kita sudah menyediakan bekal di tempat itu?” bertanya Ki Ajar.
“Sudah guru. Semuanya sudah tersedia,” jawab Putut itu.
Demikianlah, maka hari-hari yang menegangkan itu akan segera sampai ke puncaknya. Di malam berikutnya, pertapa itu benar-benar berniat untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata dari tempatnya. Pertapa itu berharap usahanya akan berhasil karena para petugas agaknya benar-benar sudah menjadi lengah.
Pada hari yang berikutnya, pertapa dan muridnya berada di rumah yang rusak itu, sejak semalam. Mereka mencoba untuk beristirahat, mengurangi ketegangan yang rasa-rasanya telah mencengkam jantung mereka..Hampir sehari-harian keduanya duduk sambil berbincang. Kemudian berbaring dan tidur dengan nyenyak. Mereka benar-benar melepaskan segala macam ketegangan yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu untuk bertindak.
Baru ketika matahari mulai turun sampai ke batas dataran edarnya, maka kedua orang itu mulai bersiap-siap. Langit semakin lama menjadi semakin suram. Dan sebentar kemudian maka bintang-bintang pun mulai bergayutan di lembaran yang biru kehitaman.
“Apakah kau sudah siap?” bertanya pertapa itu kepada muridnya.
“Sudah guru,” jawab muridnya.
“Lahir dan batin?” bertanya gurunya pula.
“Ya guru. Lahir dan batin,” jawab muridnya pula.
“Kau sudah makan?” tiba-tiba saja gurunya memberikan pertanyaan yang tidak diduga.
Dengan ragu-ragu muridnya menjawab, “Sudah guru. Bekal yang kita sediakan masih cukup.”
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita berangkat sekarang, untuk melakukan satu tugas yang sangat penting. Satu tugas yang akan menyangkut sejarah kehidupan Kediri dan Singasari. Jika kita berhasil, meskipun nama kita tidak pernah disebut-sebut oleh sejarah, tetapi kitalah yang sebenarnya memegang peranan dalam perubahan-perubahan yang akan terjadi. Tetapi kau jangan menjadi sakit hati karenanya, jika kelak orang yang disebut pahlawan dari orang-orang Kediri sejati bukan namamu dan namaku.”
Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya guru. Aku mengerti. Tetapi sebenarnyalah bahwa yang penting bagiku adalah tercapainya satu keinginan yang luhur. Siapapun yang akan disebut sebagai pahlawannya.”
“Bagus,” sahut pertapa itu. “Jika demikian kita memang dapat mulai sekarang.”
“Ya guru. Aku sudah siap,” jawab muridnya.
Demikianlah keduanya kemudian meninggalkan bangunan tua yang telah rusak itu. Mereka memasuki malam yang semakin gelap menuju ke lingkungan istana Kediri. Mereka sudah bertekad untuk melepaskan Pangeran Lembu Sabdata yang akan mereka siapkan untuk merubah kedudukan Kediri terutama di hadapan Singasari.
Dengan hati-hati kedua orang itu merayap di sepanjang dinding-dinding halaman menuju ke sasaran. Dalam perjalanan, murid pertapa itu pun sudah benar-benar mempersiapkan diri. Ia sudah mempersiapkan jenis-jenis senjata kecilnya. Ia membawa paser-paser kecil yang disimpan di dalam kantung-kantung ikat pinggangnya melingkari lambungnya.
Sementara itu dalam pertempuran yang keras. Putut itu sudah menyiapkan senjatanya yang sangat dibanggakannya. Sebilah keris yang besar yang diletakkannya di punggungnya. Setiap saat diperlukan, maka senjata-senjata itu akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Berapa pun lawan yang akan dihadapinya, maka paser-paser kecilnya akan dapat membantunya.
“Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata sendiri sudah tidak mempunyai keinginan untuk berbuat sesuatu,” berkata Putut itu di dalam hatinya, sehingga ia tidak dapat berharap bahwa dalam usaha melarikan diri. Pangeran Lembu Sabdata akan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri jika terjadi benturan kekerasan.
Semakin lama mereka menjadi semakin mendekati sasaran. Bilik yang dipergunakan untuk menahan Pangeran Lembu Sabdata memang berada di tempat yang sulit untuk dicapai. Meskipun tidak berada di lingkungan istana, tetapi letaknya tidak terlalu jauh. Dalam satu lingkungan yang memang disediakan untuk menahan dan mengurung keluarga istana yang melakukan kesalahan. Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di sekitar lingkungan tersebut. Satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding yang cukup tinggi.
“Kita menunggu kesempatan,” berkata pertapa itu.
Untuk beberapa saat keduanya duduk di dalam kegelapan mengawasi lingkungan yang akan mereka masuki.
“Peronda,” desis putut itu.
Pertapa itu mengangguk kecil. Katanya, “Peronda itu dalam saat-saat tertentu mengelilingi lingkungan yang dibatasi oleh dinding itu.”
“Ya. Mereka akan berhenti di muka gardu dan kemudian duduk-duduk diantara para petugas yang lain,” jawab putut itu.
“Kau masih mengingat semuanya. Namun, jalan manakah yang paling baik kita lalui?” bertanya pertapa itu.
“Mereka akan meronda lagi mengelilingi tempat itu. Namun kita akan sempat meloncat dari sudut di dekat pohon mulwa itu. Jika kita melompat di sudut itu, maka kita akan berada di dekat sumur. Aku pernah mengambil air di sumur itu dan memperhatikan sudut dinding itu dengan saksama. Di sebelah sumur itu ada sebuah bangunan kecil. Tempat untuk menyimpan makanan kuda. Rumput dan kulit padi,” berkata Putut itu.
“Baiklah. Kita akan masuk dengan meloncati dinding di sudut itu,“ berkata gurunya.
Ki Ajar itu pun kemudian mempersiapkan diri. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga muridnya itu pun menjadi heran. Bahkan kemudian bertanya, “Marilah guru, selagi peronda itu baru saja lewat.”
“Kau kira sebentar lagi mereka akan lewat?” bertanya gurunya.
“Ya. Dalam saat-saat tertentu mereka meronda mengelilingi dinding itu, “Jawab muridnya.
“Ya. Karena itu, maka kita harus berusaha agar mereka tidak lagi mengelilingi dinding itu,” jawab gurunya.
“Maksud guru?” bertanya putut itu.
“Apakah kau tidak mengerti?” gurunya justru bertanya.
Muridnya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Gumamnya, “Apakah guru akan mengetrapkannya?”
Gurunya tersenyum sambil menjawab, “Ya. Aku akan mengetrapkannya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku ingin usahaku berhasil sepenuhnya. Tanpa banyak mengalami kesulitan.”
Muridnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian maksud guru, maka terserahlah.”
“Apakah kau tidak sependapat,” bertanya gurunya.
“Tentu saja aku sependapat guru. Semakin mudah tugas ini kita selesaikan, tentu semakin baik,” jawab putut itu.
“Baiklah. Aku akan mengetrapkannya. Dengan sirep yang kuat maka semua petugas tentu akan tertidur nyenyak, jika ada satu atau dua orang yang terlepas dari pengaruh sirep itu. maka kita memang harus bertempur. Tetapi lawan kita tidak akan terlalu banyak.”
Putut itu mengangguk angguk. Desisnya, “Jika ada yang terlepas dari sirep itu, apakah mereka tidak akan mengenali kita lagi?”
“Memang mungkin. Karena itu, kita harus dapat menyamar diri. Jika tidak terpaksa sekali, kita tidak akan menunjukkan diri bahwa kita datang berdua. Jika mereka melihat kita datang berdua, maka mereka tentu akan menghubungkan jumlah itu dengan kehadiran kita beberapa saat yang lampau, saat kita mengobati Pangeran Lembu Sabdata,” berkata gurunya.
Agaknya putut itu masih agak kurang jelas maksud gurunya karena itu, maka iapun bertanya, “Apakah kita hanya boleh masuk seorang-seorang saja?”
“Tentu tidak. Tetapi jika ada orang yang lepas dari sirep, maka mereka tidak boleh melihat bahwa kita berdua,” jawab gurunya, “Karena itu, maka seorang diantara kita akan menyembunyikan diri.”
Muridnya mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian, maka gurunya itu pun duduk dengan kaki dan tangan bersilang. Ia ingin menempuh jalan yang paling aman. Karena itu, maka iapun segera memusatkan nalar dan budinya, untuk membangunkan ilmu sirep yang akan dapat membuat semua orang di dalam lingkungan sasarannya menjadi tertidur nyenyak.
“Bantu aku,” desis Ki Ajar itu.
Muridnya pun telah mempelajari ilmu itu pula meskipun belum sempurna sebagaimana gurunya. Namun dengan kemampuan yang ada, maka ia akan dapat membantu mempertajam sirep yang dilontarkan oleh gurunya. Karena itu maka kedua orang itu pun telah memusatkan ilmunya dan melontarkannya ke sasaran, satu lingkungan yang menjadi tempat menahan orang-orang yang bersalah dari lingkungan keluarga istana.
Demikianlah maka sejenak kemudian, maka ilmu itu pun mulai menebar diatas sasaran Udara yang tidak nampak oleh mata wadag rasa-rasanya telah berubah. Seakan-akan telah ditaburkan serbuk yang langsung mempengaruhi pernafasannya mereka sehingga orang-orang yang ada di dalam lingkungan itu pun telah menjadi mengantuk semuanya.
Tidak seorang pun yang berusaha menahan diri dari cengkeraman perasaan kantuknya. Ternyata malam itu tidak seorang pun yang cukup kuat untuk mengatasi kekuatan sirep yang menerkam seluruh lingkungan itu.
Beberapa saat lamanya Ki ajar dan muridnya masih dalam pemusatan nalar dan budi. Mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka, karena taruhan dari kerja mereka saat itu terlalu besar. Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu maka mereka tidak mau gagal.
Setelah melepaskan ilmu mereka, maka untuk beberapa saat keduanya menunggu. Baru kemudian mereka mulai bergerak. Meskipun menurut perhitungan mereka, orang-orang yang bertugas di tempat itu sudah tertidur nyenyak, namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan, karena menurut dugaan mereka mungkin satu dua orang mampu mengatasi kekuatan sirep itu.
Dengan hati-hati keduanya pun kemudian meloncati sudut dinding. Dengan demikian, mereka turun di bagian dalam dinding itu di dekat sumur. Seperti yang dikatakan oleh pututnya, maka Ki Ajar itu pun melihat sebuah rumah kecil tempat menyimpan makanan kuda, sementara kandang kuda itu sendiri terletak beberapa puluh langkah dari tempat itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar, “tetapi ingat, jika ada diantara para petugas dapat membebaskan diri, maka kita hanya boleh terlihat olehnya salah seorang saja.”
“Baiklah guru. Jika demikian, aku akan mengambil jarak dari guru,” berkata putut itu.
Gurunya tidak menjawab. Tetapi dibiarkannya muridnya itu bergeser mengambil jarak. Sementara itu, Ki Ajar sendiri telah pergi langsung menuju ke bilik tempat Pangeran Lembu Sabdata itu dikurung. Ternyata bahwa sirep itu sendiri telah berpengaruh pula terhadap Pangeran Lembu Sabdata, sehingga Pangeran Lembu Sabdata pun telah tertidur dengan nyenyaknya.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Ajar itu berdiri termangu-mangu di depan bilik Pangeran Lembu Sabdata. Bilik yang sangat kuat dan dijaga oleh beberapa orang prajurit. Namun malam itu, para prajurit itu terbaring diam karena mereka telah tertidur nyenyak.
Seorang prajurit tersandar pada dinding kayu dengan mata terpejam. Demikian kuatnya sirep yang dilontarkan oleh Ki Ajar bersama murid-muridnya, maka para prajurit yang tertidur itu seakan-akan bagaikan telah mati. Demikian pula dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar yang berdiri di depan bilik itu pun masih termangu-mangu. Dipandanginya Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Ada beberapa bagian dari dinding kayu yang diikat rapat itu agak renggang untuk memasukkan udara dan cahaya. Agaknya di tempat itu ia akan dapat dicari kemungkinan, merusak dinding dengan cara yang paling baik.
“Aku tidak akan mempergunakan kekerasan,” berkata Ki Ajar, ”Kesannya harus lain dari sekedar mendorong dinding hingga roboh.”
Akhirnya Ki Ajar itu telah mengambil sebilah pisau belati yang tajam. Dengan pisau belati itu, Ki Ajar telah memotong tali-tali pengikat dinding kayu. Tali yang kuat dan beranyam itu ternyata tidak terlalu mudah untuk diputuskan. Namun karena tidak seorang pun yang menghalangi pekerjaan itu, maka meskipun agak lama, Ki Ajar berhasil membuka beberapa batang kayu pada dinding itu.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Dinding yang terbuka itu telah cukup memberikan jalan kepadanya untuk memasuki bilik tahanan itu dan mendapatkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, Ki Ajar telah membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dengan memijat pada bagian tubuhnya yang sangat peka, dibawah telinga sebelah kiri.
Pangeran Lembu Sabdata yang sedang tertidur nyenyak itu ternyata terpengaruh juga oleh sentuhan tangan Ki Ajar, perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata itu membuka matanya. Ketika ia kemudian sadar sepenuhnya, dan dilihatnya Ki Ajar berada di dalam bilik itu, maka iapun segera bangkit dan duduk di bibir amben pembaringannya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, ”Apakah Pangeran mengerti maksud kedatanganku?”
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa batang kayu dari dinding biliknya itu telah terbuka, karena tali temalinya telah terputus. Karena itu, Pangeran Lembu Sabdata yang memang sudah berada dibawah pengaruh pribadi Ki Ajar itu setelah ia mendapat pengobatan, segera menjawab, “Aku mengerti Ki Ajar. Ki Ajar ingin membawa aku keluar dari tempat ini.”
“Bagus,” berkata Ki Ajar, “marilah. Waktunya sudah tiba. Pangeran harus keluar dari tempat ini. Perjuangan Pangeran masih panjang. Umur Pangeran masih cukup muda untuk menyongsong masa depan yang baik bagi Kediri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk kecil. Jawabnya dengan nada datar, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Ajar.”
“Baiklah Pangeran,” berkata Ki Ajar, ”Marilah. Kita keluar dari tempat ini.”
Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menjawab. Ketika Ki Ajar membimbingnya, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun hanya mengikutinya saja. Mereka menyusup diantara dinding kayu yang dipecahkan oleh Ki Ajar. Tidak dengan bantuan ilmunya yang luar biasa, tetapi dengan memotong tali-tali pengikatnya meskipun dengan demikian, waktunya menjadi bertambah panjang.
Tetapi Ki Ajar tidak menjadi cemas, bahwa para prajurit yang menjaga tempat itu akan segera terbangun. Sirep yang dilontarkan bersama muridnya adalah sirep yang sangat kuat. Jika tidak ada kekuatan lain yang mempengaruhinya, maka menjelang pagi para prajurit itu tentu baru akan bangun. Sejenak kemudian, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah melangkah keluar dari dalam biliknya lewat beberapa batang kayu yang telah dilepas dari ikatannya.
Pangeran Lembu Sabdata melihat dua orang tertidur di dekat pintu biliknya. Di ujung ruangan di depan biliknya, ia melihat prajurit yang lain tertidur sangat nyenyak diatas tikar yang sudah terbentang. Tombaknya terletak di sisinya, sementara seorang yang lain tidur sambil tersandar dinding.
Pangeran Lembu Sabdata itu mengetahui, betapa kuatnya sirep yang mencengkam tempat itu. Ia sendiri sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, selain perasaan kantuk yang mencengkam kemudian tertidur nyenyak, sampai saatnya Ki Ajar itu membangunkannya.
Dengan hati-hati kedua orang itu meninggalkan barak khusus itu. Di gardu kecil tiga orang juga sedang tertidur nyenyak pula. Bahkan dua orang yang sedang mengelilingi halaman di bagian dalam lingkungan itu telah tertidur pula bersandar sebatang pohon di halaman. Karena itu, Ki Ajar dan Pangeran Lembu Sabdata berjalan saja sebagaimana mereka berjalan dalam keadaan bebas di jalan-jalan raya.
Putut yang memisahkan diri dari Ki Ajar itu melihat keduanya melintasi halaman samping menuju ke sumur dari mana mereka masuk. Karena itu, maka iapun telah bergeser pula mendekati sudut dinding halaman itu. Sejenak kemudian, maka Ki Ajar dan Pangeran Lembu Sabdata telah meloncati dinding itu. Demikian pula murid Ki Ajar itu pun telah menyusulnya pula.
“Ki Ajar tidak sendiri?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Tidak Pangeran. Aku datang berdua dengan muridku, sebagaimana saat aku mengobati Pangeran beberapa waktu yang lalu di tempat ini pula,” jawab Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sudah mengenal Putut itu pada saat Ki Ajar mengobatinya. Karena itu, maka ia tidak bertanya lagi tentang Putut itu.
Demikianlah, malam itu ketiga orang itu telah berusaha keluar dari dinding kota. Mereka tidak boleh terkurung di dalam Kota Raja. Jika akhirnya diketahui bahwa Pangeran Lembu Sabdata sudah tidak ada di dalam biliknya, maka para prajurit tentu akan mencarinya di seluruh Kota Raja.
Tetapi menurut perhitungan Ki Ajar, maka baru menjelang dini hari orang-orang yang terbius oleh ilmu sirepnya itu akan terbangun dan menyadari apa yang telah terjadi. Sementara itu, mereka bertiga telah jauh dari Kota Raja dan tidak lagi dapat diikuti jejak perjalanan mereka. Karena itu, menurut perhitungan Ki Ajar, maka prajurit-prajurit Kediri tidak akan dapat lagi menyusul mereka, apalagi Ki Ajar pun kemudian telah memilih jalan-jalan sempit dan yang jarang sekali dilalui orang.
Namun karena ketiga orang itu memiliki kemampuan melampaui kebanyakan orang, maka perjalanan yang bagaimanapun beratnya dapat mereka tempuh dengan rancak dan seakan-akan tidak terjadi hambatan apapun juga. Mereka telah meninggalkan Kota Raja dengan meloncati dinding tanpa kesulitan. Kemudian menyusuri jalan kecil menjauhi dinding Kota Raja. Mereka melintasi sebuah sungai kecil dan naik ke tebing memasuki jalan bulak yang sempit. Selanjutnya, mereka memilih jalan yang tidak akan mungkin ditelusuri oleh para prajurit Kediri apabila mereka mengetahui bahwa bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata telah kosong.
Sementara itu, para pengawal yang ditinggalkan dalam keadaan tertidur nyenyak, masih juga tertidur di tempatnya. Satu dua orang mulai menggeliat. Tetapi mereka kembali lagi tertidur sambil mendengkur. Senjata-senjata mereka pun telah terlepas dari tangan. Tombak-tombak tersandar di dinding, sedangkan yang tertidur di halaman, tombak-tombak mereka justru terletak di tanah. Agaknya mereka memang masih belum akan terbangun. Kekuatan sirep yang mencengkam mereka memang terlalu kuat untuk dapat mereka lawan.
Namun dalam pada itu, di istananya Pangeran Singa Narpada justru merasa gelisah. Ia tidak dapat tidur nyenyak. Setiap kali ia terbangun dan bahkan seakan-akan terdengar suara memanggil-manggilnya. Ketajaman penggraita Pangeran Singa Narpada telah memaksanya untuk bangkit. Kegelisahannya itu telah memberikan berbagai macam dugaan. Namun yang sangat menggelisahkannya kemudian adalah justru Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada berusaha untuk menyingkirkan dugaannya yang bukan-bukan. Ia percaya bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang sudah berubah. Apalagi penjagaan di sekitar tempat tahanannya terlalu kuat untuk dapat ditembusnya, meskipun Pangeran Lembu Sabdata memiliki kelebihan. Tetapi menurut pengenalan Pangeran Singa Narpada. kemampuan Pangeran Lembu Sabdata masih belum nggegirisi sehingga masih akan dapat dikuasai oleh sekelompok prajurit yang bertugas. Bahkan seandainya terdapat kesulitan, maka para prajurit itu tentu akan memberikan isyarat dengan kentongan.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada tidak berhasil mengekang perasaannya. Karena itu, maka iapun kemudian turun ke halaman. Diperintahkannya beberapa orang pengawalnya untuk bersiap. Kemudian berkuda mereka telah pergi ke tempat Pangeran Lembu Sabdata ditahan. Ketika mereka memasuki lingkungan itu, maka betapa terkejutnya Pangeran Singa Narpada. Sejak ia berada di pintu gerbang, dan mengetuk pintu yang tertutup tanpa ada seorang pun yang menyahut, jantungnya terasa berdebar semakin keras.
Beberapa kali Pangeran Singa Narpada mengetuk pintu gerbang. Namun tidak seorang pun yang menyahut membuka pintu. Bahkan suasana yang terasa menyentuh perasaannya, membuatnya semakin berdebar-debar.
“Sesuatu telah terjadi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran,” jawab pengawalnya, “Tentu sesuatu telah terjadi. Aku merasakan satu pengaruh yang asing.”
“Apakah kau merasa mengantuk?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran. Rasa-rasanya udara terlalu segar, sehingga mata pun rasa-rasanya ingin terkatub,” berkata pengawalnya itu.
Jantung Pangeran Singa Narpada berdegup semakin cepat. Karena itu, iapun menjadi gelisah dan tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Dengan lantang ia memerintahkan semua pengawalnya, katanya, “bertahanlah terhadap pengaruh asing ini. Ada yang tidak wajar. Siapa yang tidak mampu mempertahankan kesadarannya, maka ia akan ketinggalan. Mungkin satu bencana akan menerkam kalian.”
Tidak ada yang menyahut. Namun para pengawal itu mendapat kesempatan untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka mereka tidak segera terpengaruh dan jatuh tertidur. Apalagi sumber pengaruh itu telah pergi, dan pengaruh sirep itu perlahan-lahan telah susut.
Namun Pengeran Singa Narpada yang menjadi gelisah itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia tidak lagi mengetuk pintu gerbang itu perlahan-lahan. Tetapi iapun kemudian telah melangkah beberapa langkah mundur.
Para pengawalnya yang telah mengenal watak dan sifat Pangeran Singa Narpada itu pun telah menyibak. Mereka tahu, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada yang marah itu.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada itu telah meloncat maju, kemudian tubuhnya berputar menyamping. Dengan loncatan panjang, tubuhnya menjadi bagaikan datar dengan tanah dengan kaki meluncur ke arah pintu gerbang itu.
Satu benturan yang sangat kuat telah terjadi. Pintu gerbang yang kuat itu tiba-tiba saja telah pecah oleh kekuatan kaki Pangeran Singa Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak sekedar mempergunakan tenaga wajar. Tetapi ia sudah mengetrapkan ilmunya, sehingga dengan demikian, maka pintu gerbang yang kuat itu telah dipecahkannya.
Dengan tidak sabar lagi, maka Pangeran Singa Narpada dan para pengawalnya itu pun segera berloncatan memasuki pintu gerbang. Namun yang kemudian mereka lihat benar-benar telah membuat jantung Pangeran Singa Narpada bagaikan berhenti. Meskipun derak pintu yang pecah itu hampir memecahkan pula selaput telinga, namun beberapa orang pengawal pintu gerbang itu telah tertidur dengan nyenyaknya di gardu mereka.
“Gila,“ geram Pangeran Singa Narpada. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang tertidur itu. Tetapi iapun langsung berlari menuju ke bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun di lingkungan itu ada pula beberapa orang bangsawan yang ditahan dalam persoalan yang berbeda-beda, namun yang terpenting bagi Pangeran Singa Narpada Lembu Sabdata, yang ditahan karena telah memberontak terhadap Kediri dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati.
Sebenarnyalah, kemarahan Pangeran Singa Narpada hampir saja memecahkan dadanya. Ternyata bahwa bilik kurungan Pangeran Lembu Sabdata telah terbuka. Beberapa batang kayu yang kokoh telah terlepas dari ikatannya, sementara beberapa orang penjaga tertidur dengan nyenyaknya.
“Gila, gila!” teriak Pangeran Singa Narpada. Tetapi yang mendengar suaranya hanyalah para pengawalnya.
Dalam ketegangan itu, serta kesadaran akan pengaruh sirep maka para pengawal Pangeran Singa Narpada berhasil bertahan. Mereka dapat mengesampingkan perasaan kantuk yang sebenarnya juga meraba perasaan mereka. Namun dalam pada itu, satu kenyataan telah terjadi. Pangeran Lembu Sabdata telah terlepas dari bilik tahanannya.
Kemarahan Pangeran Singa Narpada tidak tertahankan lagi ketika ia menjumpai bilik itu benar-benar telah kosong. Dengan kekuatan ilmu yang luar biasa, maka Pangeran Singa Narpada telah menghantam dinding bilik itu hingga pecah berantakan. Meskipun tali-talinya cukup kuat dan anyaman yang rapat, namun ternyata bahwa dinding bilik itu dalam sejenak telah berserakan. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang sudah tidak ada didalamnya.
Dengan suara lantang Pangeran Singa Narpada kemudian berteriak, “Cari di seluruh halaman ini, sementara itu yang lain supaya membunyikan tanda bahaya.”
Perintah itu tidak perlu diulang. Sejenak kemudian semua pengawal Pangeran Singa Narpada telah tersebar di seluruh halaman, sementara seorang diantara mereka telah membunyikan kentongan dengan nada titir.
Suara kentongan itu segera terdengar oleh para peronda diluar lingkungan itu. Dengan serta merta mereka telah menyambut isyarat itu dan menyambungnya. Dengan demikian maka sejenak kemudian suara kentongan itu telah menjalar ke seluruh Kota Raja. Bahkan padukuhan-padukuhan di perbatasan pun telah ikut membunyikan tanda bahaya itu pula.
Seluruh kota menjadi sibuk. Para prajurit berkeliaran hilir mudik. Namun ada diantara mereka yang dengan serta merta sekedar mengamati keadaan sebelum mereka tahu pasti apa yang telah terjadi. Namun dengan demikian mereka akan dapat mencegah hal-hal yang tidak diharapkan.
Baru beberapa saat kemudian, persoalannya menjadi jelas. Pangeran Lembu Sabdata, salah seorang terpenting dari para pengikut Pangeran Kuda Permati telah terlepas dari tahanannya. Mungkin melarikan diri, tetapi mungkin ada orang lain yang membantunya. Ternyata kekuatan sirep yang mencengkam para pengawal Pangeran Lembu Sabdata cukup kuat. Baru beberapa saat kemudian, para pengawal itu berhasil dibangunkan.
Dengan tergesa-gesa Pangeran Singa Narpada telah memanggil pemimpin pengawal yang saat itu bertugas. Dengan wajah yang memancarkan kemarahan tiada terhingga, Pangeran Singa Narpada minta pertanggungan jawab pemimpin pengawal itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan oleh pemimpin pengawal itu kecuali pasrah.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja kami telah digulung oleh perasaan kantuk yang tidak terlawan,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Itu suatu bukti bahwa kalian secara jiwani tidak bersiap. Jika kalian bersiap, maka tidak akan terjadi, bahwa semua orang di dalam lingkungan ini tertidur.” Bentak Pangeran Singa Narpada.
“Ya Pangeran,” jawab pemimpin pengawal itu. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat mengelakkan tanggung jawab, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah terlepas.
Namun dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada telah memastikan satu kesimpulan bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat sendiri. Tentu ada pihak lain yang telah membantunya untuk melepaskan diri.
Sementara itu, di seluruh Kota Raja telah diadakan pengamatan yang saksama. Seolah-olah para prajurit telah memasuki semua pintu rumah. Dengan garang prajurit berusaha untuk menemukan seorang yang telah melarikan diri dari bilik kurungannya. Dan orang yang melarikan diri itu adalah Pangeran Lembu Sabdata.
Malam itu Kediri benar-benar menjadi gempar. Prajurit berkuda hilir-mudik di jalan-jalan raya. Setiap sudut Kota telah diawasi oleh pasukan khusus sementara yang lain memasuki setiap halaman. Malam itu juga Pangeran Singa Narpada telah menghadap Sri Baginda. Dengan cemas Pangeran Singa Narpada melaporkan yang telah terjadi.
Sri Baginda untuk beberapa saat termenung dengan pandangan mata yang sayu. Sebenarnya ia sudah memikirkan, kapan Lembu Sabdata dapat dilepaskan. Namun yang terjadi ternyata telah membuat jantungnya berdebar-debar. Yang terbayang oleh Sri Baginda adalah peperangan sebagaimana telah terjadi. Kematian yang tidak terbendung. Permusuhan dan dendam. Jika Pangeran Lembu Sabdata membakar dendam di hati orang-orang yang menjadi korban dalam perang yang baru lalu, maka segalanya itu akan terulang kembali.
Sri Baginda itu menarik nafas dalam-dalam. Juga terbayang, betapa puteri Purnadewi telah mengorbankan cintanya, mengorbankan yang paling berharga dalam hidupnya untuk mengakhiri perang yang menelan korban tiada terhitung jumlahnya.
“Apakah semuanya itu akan terulang kembali?” bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
Namun kemudian katanya kepada Pangeran Singa Narpada, “Terserahlah kepadamu. Apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Namun aku ingin pertumpahan darah dapat dicegah. Setidak-tidaknya dapat dikekang sehingga Kediri tidak akan menjadi semakin surut karenanya. Apalagi jika Singasari menganggap perlu untuk ikut memecahkan persoalan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengerti sepenuhnya, betapa perasaan Sri Baginda. Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat berbuat lain, kecuali menyelamatkan Kediri.
Malam itu para prajurit tidak dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun semua pintu gerbang ditutup dan dinding Kota Raja diawasi dari sudut sampai ke sudut, namun tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban, bagaimana dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Karena itu, yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada adalah perintah yang disampaikan kepada semua Senapati di daerah perbatasan untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dan berusaha untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata yang telah melarikan diri.
Sebagaimana Pangeran Singa Narpada, maka Panji Sempana Murti pun menjadi geram. Seperti Pangeran Singa Narpada pula, iapun telah jemu melihat darah putera-putera Kediri tertumpah. Tetapi seperti juga Pangeran Singa Narpada ia tidak akan dapat membenarkan semua bentuk pengkhianatan dan pemberontakan terhadap Kediri.
Dalam pada itu, selain usaha langsung untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berbicara dengan beberapa orang pembantunya yang terpenting untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, siapakah yang telah membantu Pangeran Lembu Sabdata keluar dari bilik tahanannya.
Sementara itu, selagi Kota Raja dan daerah di sekelilingnya terjadi keributan, maka Pangeran Lembu Sabdata sudah menjadi semakin jauh. Bersama Ki Ajar dan muridnya, mereka melintasi jalan-jalan sempit, bulak-bulak panjang, menyeberangi sungai dan menuruni tebing-tebing bukit.
“Kita tidak perlu cemas lagi Pangeran,” berkata Ki Ajar. ”Kita sudah berada di tempat yang cukup jauh. Tidak akan ada usaha menyusul kita melalui jalan ini.”
Sebenarnyalah tidak ada prajurit yang mengikuti jejak Pangeran Lembu Sabdata lewat jalan yang benar. Mereka memang menyebar prajurit berkuda ke seluruh arah. Tetapi mereka tidak pernah memikirkan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah melarikan diri melalui jalan-jalan sempit yang jarang dilalui orang. Seandainya ada beberapa prajurit yang berpikir demikian, namun jalan yang demikian itu jumlahnya sangat banyak. Karena itu, maka sangat sulitlah bagi para prajurit Kediri untuk dapat melacak kemana Pangeran Lembu Sabdata itu pergi.
Tetapi bahwa di hari pertama para prajurit tidak dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata, bukan berarti bahwa mereka tidak akan berusaha mencarinya. Dengan sungguh-sungguh para pemimpin Kediri berbicara diantara mereka, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika para pemimpin di Kediri masih sibuk menebak-nebak, apa yang telah terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Lembu Sabdata bersama Ki Ajar yang telah menyembuhkannya sekaligus mempengaruhi pribadinya, diikuti oleh seorang muridnya menuju ke sebuah tempat yang terpencil. Tidak di padepokan Ki Ajar, tetapi ke tempat yang memang khusus dibangun oleh Ki Ajar bagi tempat yang akan dihuni oleh Pangeran Lembu Sabdata.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “untuk beberapa saat lamanya Pangeran harus mengasingkan diri. Mungkin untuk sementara Pangeran tidak akan berhubungan dengan siapapun, kecuali aku dan pututku yang sekali-sekali akan datang mengunjungi Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak mempunyai sikap menghadapi tawaran itu. Seakan-akan ia berada dibawah perintah Ki Ajar tanpa dapat membuat pertimbangan-pertimbangan.
Ketika malam datang, maka ketiga orang itu telah bermalam di sebuah padang rumput. Di malam hari titik-titik embun membuat udara menjadi semakin dingin. Namun bagai para pejalan itu, pengaruh udara sama sekali tidak terasa mengganggu. Baru di hari berikutnya mereka melanjutkan perjalanan dan memasuki sebuah padang perdu.
“Kami sudah menyiapkan sebuah gubug kecil Pangeran. Kami mohon Pangeran bersedia tinggal di gubug itu untuk waktu yang tidak terbatas. Di gubug itu Pangeran akan menempa diri untuk menghadapi tugas yang sangat berat,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk. Jawabnya, “Apakah yang harus aku lakukan, akan aku lakukan. Sekalipun aku harus melalui laku yang sangat berat. Asal aku masih dapat berpengharapan bahwa putera-putera Kediri sejati akan berhasil.”
“Kami akan bersama-sama berharap,” berkata Ki Ajar. Lalu, “Semuanya itu kami lakukan untuk mengatasi kecerdikan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, aku dan muridku akan berada di padepokan sampai saatnya Pangeran Singa Narpada mencari Pangeran ke padepokanku. Tetapi jika mereka tidak menemukan Pangeran di padepokanku, maka mereka tentu akan mengambil kesimpulan lain.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi kakangmas Pangeran Singa Narpada adalah orang yang cerdik dan keras. Mungkin kakangmas Singa Narpada akan dapat memaksa Ki Ajar untuk berbicara dengan caranya.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha untuk bertahan. Aku sudah tua. Seandainya aku harus mati, maka aku tidak akan kecewa. Tetapi jika yang terjadi demikian, maka Pangeran harus menentukan langkah-langkah yang harus Pangeran ambil. Sementara itu, aku percaya bahwa muridku satu-satunya yang mengetahui tentang Pangeran, tentu akan berbuat sebagaimana aku lakukan. Ia akan mengikhlaskan jiwanya. Bukan untuk Pangeran, tetapi untuk Kediri. Namun lantaran bagi kebebasan Kediri adalah Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa ia akan memikul beban yang sangat berat yang diletakkan oleh Ki Ajar itu diatas pundaknya. Tetapi memang tidak ada pertimbangan lain di hatinya, kecuali melakukannya dengan penuh tekad dan kemauan, sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar.
Demikianlah, akhirnya mereka bertiga telah berada di sebuah gubug kecil yang benar-benar terpencil. Sebidang tanah terbentang di belakang gubug itu. Sebuah sungai kecil mengalir di sebelah sebidang tanah itu, sehingga dengan mudah tanah itu dapat diairi.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar ketika mereka memasuki gubug yang sudah dipersiapkan itu, “pangeran akan tinggal di gubug ini. Memang jauh berbeda dengan tinggal di sebuah istana. Tetapi disini Pangeran mengemban satu tugas.”
Pangeran Lembu Sabdata memandang berkeliling. Di dalam rumah itu terdapat beberapa perabot yang sederhana. Amben untuk tidur, geledeg bambu dan dilengkapi dengan perapian, belanga dan beberapa mangkuk.
“Nah, Pangeran harus berusaha untuk dapat tetap hidup dalam keadaan seperti ini. Sebelum Pangeran berhasil memetik hasil dari tanah itu, aku menempatkan beberapa ceruk beras dan jagung. Pangeran dapat memburu binatang liar untuk dibuat lauk atau bahkan untuk memperpanjang penggunaan beras dan jagung,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Namun tekad yang sudah diletakkan oleh Ki Ajar di dalam hatinya, membuatnya tidak gentar menghadapi apapun. Juga menghadapi kesepian yang panjang.
“Malam ini aku bermalam disini Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Ada beberapa pesan yang akan aku sampaikan. Tetapi besok aku harus berada di padepokan.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menentukan lain dari yang ditentukan oleh Ki Ajar. Sementara itu Ki Ajar berkata selanjutnya, “Semula aku berniat membawa Pangeran ke padepokan barang semalam, baru kemudian Pangeran akan aku sisihkan. Namun agaknya lebih aman jika aku membawa Pangeran langsung ke tempat ini. Akulah yang akan bermalam di tempat ini satu malam.”
Seperti yang dikatakan, maka Ki Ajar dan muridnya telah bermalam semalam di gubug itu. Di malam itu, Ki Ajar telah menyempurnakan pengaruhnya atas Pangeran Lembu Sabdata. Namun selain itu, Ki Ajar pun telah menentukan untuk meningkatkan ilmu Pangeran Lembu Sabdata dengan memberikan sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran tentang olah kanuragan.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Aku mempunyai sebuah kitab yang tidak terlalu besar. Aku minta Pangeran mempelajarinya selama aku masih belum sempat memberikan tuntutan langsung kepada Pangeran. Selama itu Pangeran dapat berlatih sendiri. Menentukan laku yang paling sesuai dengan sifat dan kebiasaan Pangeran. Dengan demikian, jika aku datang kelak, semua persiapan telah mapan, sehingga Pangeran akan segera melejit menjadi orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya, justru akan melampaui kemampuan Pangeran Kuda Permati.”
“Aku akan melakukan yang dianggap baik oleh Ki Ajar,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Pangeran. Yang harus Pangeran lakukan adalah dengan sungguh-sungguh mempelajari dan berlatih berdasarkan atas kitab yang akan aku serahkan kepada Pangeran, sebagai laku pendahuluan sebelum aku sendiri sempat menuntun Pangeran. Tetapi jika kemudian aku ditangkap bersama muridku, dan kemudian karena tindakan Pangeran Singa Narpada aku dan muridku tidak lagi sempat menjumpaimu, maka kitab itu adalah bekal yang paling berharga bagimu. Kau harus dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya. Baru setelah Pangeran menguasai sepenuhnya. Pangeran dapat mulai dengan langkah-langkah berikutnya.”
“Baik Kiai,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Namun aku masih berharap bahwa Ki Ajar masih akan mempunyai kesempatan untuk menentukan di kemudian hari. Kapan pun.”
“Aku berharap demikian,” jawab Ki Ajar, “Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik dan tidak ada kesulitan, juga tentang Pangeran Singa Narpada yang kita cemaskan.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dengan satu kehidupan baru. Ia harus hidup sendiri untuk waktu yang tidak terbatas. Sehingga pada satu saat ia akan turun ke medan dengan kemampuan yang tidak lagi terlawan.
Malam itu, Ki Ajar benar-benar bermalam di gubug kecil itu. Di dalam kelam, ternyata gubug itu diliputi oleh gemeresaknya suara malam. Sekali-sekali terdengar aum seekor harimau di hutan di seberang sungai kecil di dekat gubug itu. Kemudian di kejauhan anjing hutan meraung menggetarkan jantung.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak gentar mendengar suara-suara malam yang menyeramkan. Rasa-rasanya ia sudah kebal dari perasaan takut dan cemas. Ia seakan-akan merasa bahwa hidupnya itu tidak lebih dari sekedar kelebihan dari masa hidupnya yang sebenarnya setelah ia mengalami sakit ingatan.
Ternyata Ki Ajar tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika langit mulai diwarnai oleh cahaya fajar, Ki Ajar dan muridnya telah meninggalkan gubug itu. Sebenarnyalah Ki Ajar digelisahkan oleh perhitungan, bahwa mungkin sekali Pangeran Singa Narpada akan datang ke padepokannya.
Dengan demikian, maka sepeninggal Ki Ajar, Pangeran Lembu Sabdata benar-benar berada di dalam kesendirian. Namun ia sudah bertekad bulat untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh Ki Ajar. Ia harus mempelajari isi kitab itu sampai saatnya Ki Ajar datang kepadanya untuk menyempurnakannya. Bahkan Ki Ajar telah berpesan, jika ia tidak datang lagi ke gubug itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Pangeran gubug itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa Ki Ajar kembali ke padepokannya. Dengan kemampuannya yang tinggi, maka mereka telah berjalan dengan kecepatan yang tinggi. Melampaui kecepatan orang kebanyakan yang berjalan tergesa-gesa.
“Pangeran Sing Narpada tentu akan berusaha untuk memecahkan teka-teki hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Ki Ajar kepada muridnya.
Sebenarnyalah, saat itu Pangeran Singa Narpada dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Sadmaya. Menurut perhitungan Pengeran Singa Narpada, tidak ada orang lain yang pernah berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata sebelumnya kecuali Ki Sadmaya dengan tamunya, Ajar yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata yang sakit ingatan. Meskipun hal itu sudah dilakukan agak lama, namun tidak ada orang lain yang pantas untuk ditanya, apakah mereka mengerti serba sedikit tentang Pangeran Lembu Sabdata yang hilang.
Kedatangan Pangeran Singa Narpada sendiri ke rumah Ki Sadmaya ternyata telah mengejutkannya. Setiap orang mengerti, betapa marahnya Pangeran Singa Narpada, atas hilangnya Pangeran Lembu Sabdata dari biliknya. Karena itu, kehadiran Pangeran Singa Narpada di rumah Ki Sadmaya telah membuat jantungnya bergetar cepat.
Sebagaimana sifatnya, maka Pangeran Singa Narpada pun tidak ingin bertanya melingkar-lingkar. Ia pun dengan serta merta bertanya tentang hubungan Ki Sadmaya dengan orang yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
“Kami adalah sahabat baik,” jawab Ki Sadmaya, ”Sejak kami masih muda. Tetapi jalan hidup kami ternyata berbeda. Aku tinggal seperti sekarang ini di Kota Raja, sedang sahabatku itu tinggal di tempat yang terpencil. Untuk waktu yang lama kami tidak bertemu. Namun tiba-tiba kami berhubungan lagi sebagai dua orang sahabat.”
“Bagaimana menurut pendapat Ki Sadmaya tentang Ajar itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada, ”Apakah mungkin ia mempunyai kepentingan dengan Pangeran Lembu Sabdata?”
“Pangeran,” jawab Ki Sadmaya, ”Menurut pendapatku, sahabatku itu adalah orang yang berpikir sederhana. Mungkin ia memang memiliki kepandaian sebagaimana para dukun di padepokan-padepokan, antara lain mengobati orang sakit ingatan. Tetapi jangkauan pikirannya tidak akan sampai kepada persoalan yang lebih jauh dalam hubungannya dengan pemerintahan. Menurut pendapatku, Ki Ajar itu tidak akan berbuat sesuatu atau katakanlah tersangkut dalam persoalan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Jika demikian, maka engkau adalah satu-satunya orang yang dapat dituduh berkepentingan dengan Lembu Sabdata.”
Wajah Ki Sadmaya menjadi pucat. Katanya, “Kenapa aku Pangeran? Aku sama sekali tidak berkepentingan apapun juga. Sebelumnya aku tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata, apalagi ketika ternyata Pangeran Lembu Sabdata terlibat ke dalam pemberontakan itu. Jika aku menghubungkan Ajar itu dengan Pangeran, adalah karena aku mendengar bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah terserang penyakit ingatan. Aku hanya membayangkan, alangkah malangnya seseorang yang tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Apalagi seseorang yang sedang berada di dalam tahanan. Tidak lebih dan tidak kurang. Apalagi sebelumnya bukankah aku telah menghadap Pangeran yang telah menyetujui pengobatan itu.”
Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia telah menyetujui permohonan untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata. Namun sikapnya sebagai seorang Senapati telah menentukan langkahnya pula. Katanya, “Ki Sadmaya, aku akan meneliti persoalan ini sampai tuntas. Tetapi untuk sementara kau dikenakan tahanan.”
Jantung Ki Sadmaya bagaikan terhenti karenanya. Tetapi semua orang tahu sifat Pangeran Singa Narpada. Karena itu, segala keluhannya tidak akan didengarnya. Demikianlah, Ki Sadmaya dengan Senapati yang pernah menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada telah ditahan. Namun mereka berusaha untuk menenangkan diri sendiri. Senapati itu pun berkata kepada Ki Sadmaya di dalam bilik tahanannya,
“Maksud kita adalah baik. Jika ternyata kita mengalami akibat yang sebaliknya adalah nasib kitalah yang sangat buruk. Tetapi aku yakin bahwa kebenaranlah yang akhirnya akan ditegakkan oleh Pangeran Singa Narpada. Aku yakin akan sikapnya.”
“Mungkin jiwanya dapat kita percaya,” berkata Ki Sadmaya. ”Tetapi seseorang mungkin akan dapat khilaf.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang aku sebut dengan nasib buruk yang ada pada diri kita.”
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada ternyata ingin pergi juga ke padepokan Ki Ajar. Meskipun Ki Sadmaya mengatakan bahwa Ki Ajar adalah orang yang menurut pengenalannya tidak akan mungkin melibatkan diri ke dalam persoalan Pangeran Lembu Sabdata, namun Pangeran Singa Narpada ingin melihat, apa yang ada di padepokan Ki Ajar itu untuk meyakinkannya. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata justru berada di padepokan itu.
Ternyata Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan untuk membawa Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya dengan dirinya. Selain kedua orang itu merupakan orang-orang yang dicurigai, Ki Sadmaya harus menunjukkan dimanakah letak padepokan Ki Ajar yang telah mengobati sakit ingatan Pangeran Lembu Sabdata.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan dari pasukan berkuda untuk mengiringinya ke sebuah padepokan kecil untuk menemui Ki Ajar yang telah mengobati Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika iring-iringan itu sampai di padepokan Ki Ajar, ternyata Ki Ajar dan pututnya telah berada di padepokan. Demikian mereka sampai ke padepokan, maka Ki Ajar telah mengumpulkan semua cantriknya untuk memberikan beberapa pesan.
“Jangan mencelakai aku,” berkata Ki Ajar, “Jika seseorang bertanya kepada kalian, maka kalian harus menjawab, bahwa dalam waktu-waktu terakhir, lebih dari sebulan, aku tidak pernah meninggalkan padepokan ini. Apakah kalian mengerti?”
Para cantrik mengangguk-angguk meskipun mereka kurang pasti, apakah yang dimaksud oleh Ki Ajar. Sementara itu Ki Ajar berkata selanjutnya, “Jika kalian mengatakan yang lain, itu berarti bahwa kalian telah menjerumuskan aku ke dalam kesulitan. Kalian tidak perlu mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Namun siapapun yang bertanya kepada kalian, termasuk para prajurit dari Kediri, maka jawab kalian adalah sebagaimana aku katakan. Sudah lama aku tidak meninggalkan padepokan. Dengan demikian kalian telah menyelamatkan jiwaku.”
Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Meskipun mereka tidak mengerti sebabnya, tetapi mereka pahami pesan itu. Kepada siapapun juga, mereka harus mengatakan bahwa Ki Ajar sudah lama tidak meninggalkan padepokan. Sudah sebulan lebih.
Karena itu, ketika sekelompok prajurit datang ke padepokan itu, maka para cantrik pun telah bersiap menjawab pertanyaan yang akan diberikan kepada mereka. Mereka harus mengatakan bahwa Ki Ajar sudah lama tidak meninggalkan padepokan.
Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Ki Ajar. Ketika Pangeran Singa Narpada sampai ke padepokan itu, maka bersama Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada, iapun telah minta untuk langsung berbicara dengan Ki Ajar, sementara itu ia sudah menugaskan beberapa Senapati bawahannya yang lain untuk menghubungi para cantrik dan menanyakan serba sedikit tentang Ki Ajar.
Namun cantriknya yang sedikit jumlahnya itu, semuanya telah mendengar pesan Ki Ajar tentang jawaban yang harus diberikan kepada orang-orang yang akan bertanya kepada mereka tentang Ki Ajar. Demikianlah, telah terjadi pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang Pangeran Lembu Sabdata. Ketika Pangeran Singa Narpada mengatakan bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah hilang dari bilik tahanannya.
Ki Ajar itu telah terkejut bukan buatan. Untuk sejenak mulutnya bagaikan terbungkam, sehingga justru karena itu, ia tidak segera menjawab. Namun kemudian katanya tersendat, “Jika demikian, sia-sialah aku mengobatinya. Ternyata ada orang lain yang tanpa belas kasihan telah memanfaatkan keadaan Pangeran Lembu Sabdata.”
Ki Sadmaya menarik nafas dalam-dalam. Sikap Ki Ajar meyakinkan sekali, bahwa ia memang tidak tahu menahu tentang Pangeran Lembu Sabdata.
Sementara itu Ki Ajar pun telah melanjutkan. “Pangeran, dengan didorong oleh perasaan kemanusiaan yang tinggi, aku telah mengerahkan segenap ilmuku tanpa mengenal siapa Pangeran Lembu Sabdata itu. Aku hanya mengenalnya sebagai seorang yang berada di dalam tawanan dalam keadaan sakit ingatan. Namun setelah Pangeran itu sembuh untuk beberapa saat, ia telah hilang dengan cara yang sangat aneh. Tetapi apakah tidak mungkin bahwa Pangeran itu telah melarikan diri tanpa bantuan orang lain? Jika demikian, maka aku akan merasa sangat berdosa. Seakan-akan usahaku mengobatinya atas dasar kemanusiaan itu, justru telah menimbulkan malapetaka. Bukan saja bagi Pangeran Lembu Sabdata, tetapi juga bagi orang lain.”
Sikap Ki Ajar benar-benar meyakinkan. Karena itu, Pangeran Singa Narpada tidak dapat mendesaknya. Tetapi ia menjawab, “Ki Ajar. Pangeran Lembu Sabdata tentu mendapat bantuan dari orang lain. Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat melepaskan diri dengan cara seperti itu?”
“Cara yang mana Pangeran?” bertanya Ki Ajar.
“Dengan ilmu sirep,” jawab Pangeran Singa Narpada. “Semua orang yang bertugas telah tertidur nyenyak. Dalam kesempatan yang demikian dinding bilik tahanan itu telah dirusakkan dengan paksa.”
“Sirep? Dengan tanah kuburan?“ bertanya Ki Ajar.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Kau kira cara itu akan mampu mempengaruhi seorang saja dari para prajurit yang terlatih lahir dan batin?”
“Jadi?” bertanya Ki Ajar.
“Dengan kekuatan ilmu yang dipancarkan dari kesadaran jiwa yang sangat kuat. Dengan demikian, maka getaran pancaran kekuatan jiwa itu dapat mempengaruhi jiwa orang lain yang lebih lemah dari padanya.“ Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, lalu, “Sebagaimana yang Ki Ajar lakukan atas orang lain yang telah Ki Ajar sembuhkan dari sakit ingatan.”
Terasa jantung Ki Ajar berdetak semakin cepat. Tetapi ia berusaha sekuat tenaganya untuk tidak memberikan kesan apapun. Katanya, “Ah, yang aku lakukan tidak lebih dari yang dilakukan oleh ayahku, kakekku dan mungkin dari orang tua mereka. Mungkin aku memiliki kepribadian yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Namun sudah barang tentu dalam persoalan yang sangat khusus.”
“Aku mengerti Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Memang persoalannya tidak sama. Orang yang memiliki kemampuan memancarkan pengaruh pribadinya untuk membuat mereka kehilangan kesadaran dan tertidur, belum tentu dapat mempergunakan pengaruh pribadinya itu untuk mengobati seseorang yang sakit ingatan.”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pangeran Singa Narpada memang sudah tidak mencurigainya lagi. Tetapi dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Mungkin persoalan kita sudah selesai Ki Ajar. Tetapi aku masih menunggu hasil pengamatan beberapa orang Senapatiku.”
Ki Ajar menjadi berdebar-debar. Jika ada seorang saja diantara para cantriknya yang salah ucap, maka akibatnya tentu akan sangat parah baginya dan bagi padepokan kecilnya itu. Padepokan yang telah dibangunnya untuk waktu yang sangat lama melalui perjuangan yang berat. Karena itu, bagaimanapun juga, terasa jantung Ki Ajar itu dicengkam oleh ketegangan, karena Ki Ajar menyadari bahwa tidak semua cantrik memiliki kecerdasan berpikir.
Sementara itu, beberapa orang Senapati memang telah memanggil para cantrik untuk berbicara seorang dengan seorang. Para Senapati itu telah menanyakan kegiatan dari Ki Ajar. Apa saja yang telah diajarkan di padepokan kecil itu.
“Kami belajar olah kajiwan,” jawab para cantrik meskipun mereka tidak saling berbicara sebelumnya. Tetapi mereka dapat menghubungkan, pesan Ki Ajar dengan kehadiran para prajurit dan justru karena para prajurit itu telah bertanya kepada mereka tentang kegiatan Ki Ajar.
Ternyata bahwa para cantrik itu telah berusaha untuk melindungi nama baik dan keselamatan Ki Ajar. Karena itu, maka mereka dengan sungguh-sungguh berusaha untuk berbicara sebagaimana dipesankan oleh Ki Ajar.
Senapati yang berbicara dengan para cantrik itu ternyata memang bertanya, "apakah Ki Ajar baru saja pergi meninggalkan padepokan.?"
Namun semua cantrik yang dipanggil para Senapati itu menjawab, “Sudah lama guru tidak meninggalkan padepokan.”
“Berapa lama?” bertanya para Senapati.
“Sudah lebih dari sebulan,” jawab para cantrik.
Para Senapati itu kemudian bertanya tentang lingkungan mereka dan mereka pun bertanya apakah padepokan itu baru saja menerima tamu.
“Kami jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menerima tamu,” jawab para cantrik.
“Apakah kemarin ada tamu?” desak Senapati-senapati itu.
Tetapi jawabnya para cantrik di tempat yang terpisah-pisah itu, “Tidak tuan. Tidak ada seorang tamu pun. Apalagi dalam waktu dekat ini.”
Ketika kemudian para Senapati itu selain bertemu dan berbicara tentang hasil pengamatan mereka padepokan itu dan para cantrik, serta menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Memang tidak ada alasan untuk mencurigai Ki Ajar yang sederhana ini.”
Dengan demikian, maka Ki Ajar pun telah dibebaskan dari segala tanggung jawab atas hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. Sehingga karena itu, maka juga tidak ada alasan lagi untuk lebih lama menahan Ki Sadmaya dan Senapati yang telah menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun langsung minta diri bersama para pengiringnya. Sebaliknya keputusan bahwa Ki Ajar memang tidak tahu menahu tentang keadaan dan usaha Pangeran Lembu Sabdata yang telah melepaskan diri, maka Pangeran Singa Narpada pun mengambil keputusan pula untuk membebaskan Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya.
Sepeninggal Pangeran Singa Narpada, maka Ki Ajar pun telah menarik nafas dalam-dalam. Muridnya yang paling dipercayainya itu pun bertanya, “Apakah ini berarti bahwa kita sudah bebas sama sekali dari semua tuduhan?”
“Kita masih menunggu,” jawab gurunya, “Dalam beberapa saat ini, Pangeran Singa Narpada tentu masih memasang petugas sandinya untuk mengamati kita. Jika dalam saat-saat yang demikian kita pergi ke gubug Pangeran Lembu Sabdata, maka kita tentu akan terjebak karenanya.”
“Jika demikian kita akan menunggu. Sementara itu, aku akan mengamati pula, apakah masih ada para petugas sandi itu di sekitar padepokan ini,” sahut pututnya.
“Tidak mudah untuk mengetahui kehadirannya,” berkata Ki Ajar.
“Aku sadar guru. Tetapi aku akan mencoba. Bukankah tidak ada bahayanya untuk melihat-lihat pategalan sambil mengamati keadaan,” berkata Putut itu, “Memang mungkin aku gagal menemukan mereka. Tetapi aku akan mencobanya.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi untuk sementara kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa kita sudah dibebaskan. Justru karena tidak ada pesan apapun juga, maka Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai.”
Demikianlah, maka Ki Ajar tidak lagi merasa gelisah dengan hadirnya siapapun juga yang berusaha untuk mengkhianatinya.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang ditinggalkan seorang, diri di dalam sebuah gubug di pinggir hutan yang lebat sama sekali tidak merasa gentar. Meskipun ada juga sepercik kecemasan, namun ternyata kemudian ia merasa mapan untuk tinggal di tempat itu. Ternyata di dalam gubug itu terdapat alat-alat dapur yang lengkap. Senjata yang pendek, sedang dan senjata panjang. Bahkan ada sejenis senjata lontar.
Dengan senjata-senjata itu, Pangeran Lembu Sabdata harus mempertahankan diri. Namun jika pada suatu saat ia lengah, maka mungkin sekali ia akan dapat diterkam oleh seekor harimau atau sekelompok anjing hutan.
Dari hari ke hari, Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan alam di sekitarnya. Pategalan, tanah garapan, sungai, padang rumput dan perdu serta hutan yang masih pepat, ditumbuhi berbagai batang pohon raksasa.
Namun karena tekad yang telah membara di dalam dadanya, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tidak pernah mengeluh karena keadaannya. Sepekan dua pekan, terasa juga kerinduan Pengeran Lembu Sabdata untuk dapat bertemu dan berbicara dengan seseorang. Tetapi keinginan itu akhirnya kabur juga.
Apalagi ketika Pangeran Lembu Sabdata mulai membuka kitab yang diberikan oleh Ki Ajar yang membawanya ke tempat itu. Maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dapat memahami arti hidupnya dalam keterasingannya. Karena dengan mempelajari ilmu itu, ia berharap bahwa pada suatu ketika ia akan hadir kembali di tengah-tengah sekelompok orang yang akan tercengang menyaksikan kemampuannya.
“Tentu bukan sekedar untuk dipertontonkan,” berkata Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya, “Ada satu tujuan yang penting bagi kebebasan orang-orang Kediri sejati.”
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun telah menenggelamkan sebagian besar waktunya dengan isi kitab Ki Ajar. Dibacanya isi kitab itu. Kemudian ia mulai melakukannya. Membiasakan diri dengan gerakan-gerakan tertentu, kemudian memahaminya dan mengerti artinya sehingga akhirnya gerakan itu dapat dikuasai watak dan kegunaannya.
Pangeran Lembu Sabdata di setiap hari bangun pagi-pagi benar. Setelah mandi di sebuah mata air di pinggir sungai, maka iapun mulai mengadakan latihan-latihan bagi wadagnya. Berlari-lari, berloncatan dari atas batu ke batu, mendaki lereng-lereng bukit kecil, memanjat pohon dan gerakan-gerakan yang lain yang berarti bagi ilmunya dan bagi kekuatan jasmaniahnya.
Kemudian Pangeran Lembu Sabdata melakukan sebagaimana kebanyakan orang, menyiapkan makannya bagi sehari penuh. Menanak nasi atau merebus jagung, atau bahan makanan yang lain di samping daging hasil buruannya. Juga kadang-kadang hijau-hijauan yang dipetiknya dari halamannya. Namun juga Pangeran Lembu Sabdata sering mencari lauk bagi makannya dari dalam air. Ikan air atau udang yang banyak terdapat di sungai yang mengalir di sebelah tanah yang terbentang di sisi pondoknya.
Jika matahari menjadi semakin tinggi, maka Pangeran Lembu Sabdata telah bekerja di sekitar pondoknya, menggarap tanah untuk dipetik hasilnya. Beberapa jenis tanaman telah ditanamnya. Baru lewat tengah hari, Pangeran Lembu Sabdata telah tenggelam dengan latihan-latihan yang berat tanpa mengenal lelah. Bahkan sampai malam turun.
Ketika tubuhnya telah dicengkam oleh keletihan, maka barulah Pangeran Lembu Sabdata masuk ke dalam pondok kecilnya. Makan apa yang ada, beristirahat sejenak, kemudian membaringkan dirinya di atas sebuah amben. Pangeran Lembu Sabdata tidak pernah memerlukan lampu minyak atau obor. Sekali-sekali ia membakar dedaunan kering di dalam rumah kecilnya sekedar untuk mengusir nyamuk.
Dengan cara hidup yang demikian, Pangeran Lembu Sabdata telah meningkatkan kemampuan olah kanuragannya setapak demi setapak. Bagaimana juga ia menempa diri, namun Pangeran Lembu Sabdata masih juga berusaha untuk selalu berdiri diatas martabatnya sebagai manusia. Ia tidak akan merendahkan dirinya dan hidup menyerupai binatang di dalam hutan.
Sehingga karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata telah membuat beberapa catatan dengan goresan-goresan duri pada kekayuan tentang peri kehidupannya di masa yang lalu sebagaimana diingatnya. Hanya coretan-coretan pendek, tetapi memberikan satu gambaran dari sikap dan tata cara hidup sebagai mahluk yang mempunyai martabat tertinggi.
Dalam pada itu, untuk beberapa lama, Ki Ajar masih belum pergi menengok Pangeran Lembu Sabdata. Ia masih ingin meyakinkan bahwa ia tidak akan diamati-amati lagi oleh siapapun juga. Terutama Pangeran Singa Narpada.
Sementara Ki Ajar masih berusaha untuk melihat suasana di sekitarnya, maka di Kediri, para pemimpin masih juga menjadi pening jika sekali-sekali mereka berbicara tentang Pangeran Lembu Sabdata. Namun betapapun mereka berusaha untuk melacak namun Pangeran Lembu Sabdata seakan-akan telah lenyap seperti asap.
Namun dalam pada itu, setiap kali Pangeran Singa Narpada berpesan, “Kita jangan menjadi lengah. Aku yakin bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak sekedar lari dan bersembunyi sambil menunggu saat-saat ia mati ditelan oleh umurnya. Tetapi pada suatu saat ia akan bangkit dan muncul sebagaimana pernah terjadi dengan Pangeran Kuda Permati.”
Para Senopati mempercayai keterangan itu. Merekapun menganggap bahwa akan terjadi memang demikian. Karena itu, maka atas perintah Pangeran Singa Narpada, maka para Senopati telah menekankan kepada Senopati-senopati yang lebih muda, yang sebaya atau yang lebih muda dari Pangeran Lembu Sabdata untuk tetap berhati-hati.
“Setiap saat, akan terjadi ledakan seperti meledaknya gunung berapi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui, kapan waktu yang mereka cemaskan itu akan datang. Mungkin setahun, mungkin dua tiga tahun atau lebih.
Namun Pangeran Lembu Sabdata memang tidak akan tergesa-gesa. Ki Ajar yang masih belum pernah menengoknya itu masih harus mempersiapkan segala-galanya. Agar rencana Pangeran Lembu Sabdata berjalan lancar, maka masih harus diusahakan untuk memperoleh sebuah benda yang sangat mahal, bukan saja harganya, tetapi juga nilainya sebagai benda yang dikeramatkan.
Tetapi untuk mengambil benda itu, Ki Ajar harus memperhitungkannya dengan sangat cermat. Mengambil sebuah benda di gedung perbendaharaan, adalah satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Mungkin Ki Ajar akan dapat mempergunakan cara yang sama sebagaimana dipergunakannya pada saat ia mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Namun mungkin ia harus mengambil cara lain, karena di gedung perbendaharaan mungkin sekali terdapat orang-orang yang akan mampu bertahan terhadap kekuatan sirepnya.
Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, Ki Ajar masih belum bertindak. Sementara itu, ia mulai meyakini bahwa padepokannya sudah tidak diawasi lagi oleh siapapun juga, sehingga dengan demikian, maka ia sudah mempunyai kesempatan untuk pergi.
Dalam satu dua pekan, Ki Ajar sendiri telah melihat-lihat keadaan di sekitar padepokannya. Baru kemudian, ia memutuskan untuk menengok Pangeran Lembu Sabdata yang berada di tempat pengasingannya.
“Kau ikut aku,” berkata Ki Ajar kepada muridnya yang paling dipercayainya. Sementara itu kepada murid-muridnya yang lain, Ki Ajar mengatakan, bahwa ia ingin pergi ke tempat-tempat yang memungkinkannya untuk melakukan samadi.
“Apakah guru sudah dapat menyebut, dimana guru akan melakukan Samadi?” bertanya seorang muridnya.
“Aku akan berjalan,” jawab Ki Ajar, “baru jika terasa olehku tempat yang sesuai, maka aku akan berhenti dan melakukan samadi barang dua tiga pekan. Mudah-mudahan aku dapat kembali dengan selamat. Sementara itu, jika ada orang yang bertanya tentang aku, maka katakanlah, aku sedang samadi di tempat yang masih akan diketemukan kemudian.”
“Baiklah guru,” jawab muridnya, “Tetapi kami mohon guru tidak akan terlalu lama pergi.”
“Tidak. Aku tidak akan terlalu lama pergi,” jawab Ki Ajar.
Demikianlah, pada hari-hari yang sudah ditentukan, maka Ki Ajar dan pututnya itu pun telah meninggalkan padepokannya. Demikian hati-hati, Ki Ajar tidak langsung menuju ke tempat Pangeran Lembu Sabdata disembunyikan. Tetapi ia mengambil jalan melingkar. Meskipun agak jauh, tetapi jika orang-orang padukuhan di sekitar padepokannya melihat, maka arah kepergiannya bukannya arah yang menuju ke tujuannya.
Karena itu, maka Ki Ajar memerlukan waktu yang lebih lama untuk menempuh jarak ke pondok Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi selisih waktu itu sama sekali tidak berpengaruh apapun juga, baik bagi Pangeran Lembu Sabdata, maupun bagi Ki Ajar dan muridnya.
Namun akhirnya, Ki Ajar pun sampai juga ke pondok Pangeran Lembu Sabdata. Pangeran yang berada di tempat yang terasing dan yang sudah cukup lama tidak bertemu dengan seseorang.
Karena itu, maka kedatangan Ki Ajar telah memberikan kegembiraan yang luar biasa kepada Pangeran Lembu Sabdata. Kedatangan Ki Ajar seakan-akan telah menempatkannya kembali kepada kedudukannya dan ke dalam lingkungan sesamanya. Karena sebenarnyalah bahwa seseorang pada dasarnya akan berusaha untuk hidup di dalam lingkungannya. Bukan sendiri-sendiri tanpa saling berhubungan.
Ki Ajar yang sudah lama tidak bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata itu, melihat pada saat kedatangannya bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang agak kurus. Tetapi Ki Ajar itu pun melihat bahwa Pangeran itu nampak memiliki sesuatu yang belum dimilikinya sebelumnya.
Setelah Ki Ajar dipersilahkan duduk, dan setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Pangeran Lembu Sabdata pun mulai menceriterakan pengalaman yang didapatkannya selama ia berada di tempat yang terasing itu.
“Aku ternyata mampu menggarap tanah,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Sementara itu, aku mampu pula memaksa diri untuk mempelajari ilmu sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ki Ajar.”
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengagumi Pangeran. Ternyata Pangeran dengan cepat mampu menyesuaikan diri. Pangeran dapat hidup dalam suasana yang lain sama sekali dengan suasana yang pernah Pangeran alami di Kediri.”
“Tetapi meskipun hidup disini bagaikan hidup dalam dunia mimpi, tetapi agaknya masih lebih baik daripada hidup di dalam bilik kurungan. Apalagi dalam keadaan kehilangan ingatan. Di dalam bilik itu aku tidak lebih dari pangewan-ewan yang tidak berharga sama sekali. Pada saat aku masih dicengkam oleh sakit ingatan, maka mungkin orang akan meludahiku jika mereka lewat di muka bilik tahanan itu,” sahut Pangeran Lembu Sabdata.
“Tidak Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Tidak ada yang memperlakukan Pangeran seperti itu.”
“Tentu ada,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Aku tidak lebih dari seekor keledai di hadapan Pangeran Singa Narpada.”
“Ternyata Pangeran Singa Narpada masih juga mengingat bahwa Pangeran adalah keluarga sendiri. Ternyata Pangeran Singa Narpada tidak berkeberatan ketika seseorang memohon untuk mengobati Pangeran pada saat Pangeran sakit ingatan,” berkata Ki Ajar.
“Sekedar memamerkan diri, agar kakangmas Singa Narpada dianggap orang yang baik hati,” sahut Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar tersenyum. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Pangeran. Bukan sekedar memamerkan kebaikan hati. Tetapi sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada tidak berkeberatan jika Pangeran Lembu Sabdata mendapat pengobatan dan sembuh dari penyakit Pangeran. Tetapi sudah barang tentu bahwa Pangeran Singa Narpada tidak ingin melihat Pangeran meninggalkan bilik tahanan itu. Karena Pangeran Lembu Sabdata merupakan orang yang sangat berbahaya bagi Pengeran Singa Narpada.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Kakangmas Singa Narpada membenci aku sejak aku masih kanak-kanak.”
“Tentu tidak Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Pangeran Singa Narpada dan Pangeran Lembu Sabdata telah memilih jalan sendiri dalam hubungan dengan keadaan Kediri sekarang ini. Karena itu, maka jika ada jarak antara Pangeran Singa Narpada dan Pangeran Lembu Sabdata tentu tidak sejak Pangeran Lembu Sabdata masih kanak-kanak.”
Pengeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kapan pun mulainya, tetapi bagi Pangeran Singa Narpada aku memang merupakan musuh yang sangat dibencinya. Kepergianku tentu akan menggoncangkan Kediri meskipun hanya sesaat. Kemudian Kediri akan tenang lagi untuk beberapa lama, sampai saatnya aku ikan muncul lagi sebagaimana Ki Ajar harapkan.”
“Ya Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Namun setelah rangkaian dari segala rencana ini lengkap.”
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian mendapat penjelasan dari rencana Ki Ajar. Sebelum bertindak lebih jauh, maka Mahkota yang keramat itu harus sudah berada di tangan.
“Segalanya terserah kepada Ki Ajar,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Aku hanya akan melaksanakan sebagaimana Ki Ajar kehendaki.”
“Pangeran adalah trah Raja-raja di Kediri. Karena itu, maka Pangeran pun berhak menduduki tahta. Memang tidak semua orang kuat memikul beban itu. Tetapi Mahkota itu adalah pertanda wahyu. Siapa yang memiliki mahkota itu akan dapat dan kuat memanggul tugas sebagai Raja di Kediri.”
“Jika demikian, maka tidak usah trah para Raja di Kediri akan dapat menjadi Raja,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Menurut nalar memang demikian Pangeran. Tetapi bagi kepentingan para pendukung, maka mereka akan lebih percaya bahwa pemimpin mereka adalah salah seorang dari keluarga Raja sendiri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa yang sebenarnya akan mengemudikan semua gerakan adalah Ki Ajar. Namun ia sama sekali tidak merasa kecil dan berkeberatan untuk sekedar menjadi alat. Pangeran Lembu Sabdata memang tidak merasa lagi harus berdiri tegak diatas kepribadiannya. Dirinya sendiri telah menjadi kabur baginya, sehingga dengan demikian, maka ia akan melakukan semua perintah Ki Ajar yang telah mengobatinya.
Sebenarnyalah Ki Ajar telah menumpukan harapannya kepada Pangeran Lembu Sabdata setelah Pangeran Kuda Permati terbunuh, justru oleh isterinya sendiri. Demikianlah, maka Ki Ajar untuk beberapa hari memang berada di pondok itu bersama seorang muridnya. Dengan tekun dan bersungguh-sungguh keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu Pangeran Lembu Sabdata. Yang sudah dipelajarinya dari kitab yang ditinggalkan oleh Ki Ajar, kemudian mendapat penjelasan dan tuntunan untuk mengembangkannya dari Ki Ajar.
“Pangeran harus memiliki tingkat ilmu sebagaimana Pangeran Kuda Permati. Dengan demikian, maka kita bertiga akan dengan mudah mengambil Mahkota yang tersimpan di gedung perbendaharaan. Kemudian setelah memiliki Mahkota yang menjadi lambang wahyu Kraton itu, maka semuanya akan dapat kita lakukan. Mungkin dengan cara sebagaimana pernah ditempuh oleh Pangeran Kuda Permati dengan perlawanan terbuka. Tetapi mungkin dapat dilakukan dengan cara lain,” berkata Ki Ajar.
“Cara lain yang bagaimana?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Aku belum tahu. Tetapi mungkin dengan cara membunuh seorang demi seorang diantara mereka yang menentang niat Pangeran Lembu Sabdata. Yang utama adalah Pangeran Singa Narpada. Kemudian Pangeran-pangeran yang lain. Baru kemudian para Senapati. Diantara mereka yang pertama adalah Panji Sempana Murti,” jawab Ki Ajar. Tetapi kemudian katanya lebih lanjut, “Namun semuanya itu jangan kau pikirkan sekarang Pangeran. Yang penting bagi Pangeran sekarang adalah menempa diri.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk. Memang yang penting baginya adalah menyempurnakan ilmunya. Baru rencana-rencana itu akan dipelajarinya untuk dilaksanakannya.
Dengan demikian, maka dari hari ke hari, Ki Ajar telah memberikan latihan-latihan yang berat. Pada satu saat Ki Ajar telah membuka satu kemungkinan pengembangan satu jenis ilmu. Sementara di saat lain, Pangeran Lembu Sabdata harus mulai dengan tata gerak yang baru untuk melengkapi ilmu yang telah dipelajarinya.
Waktu yang ada telah dipergunakan oleh Pangeran Lembu Sabdata sebaik-baiknya. Ia mengerti, bahwa Ki Ajar tidak akan terlalu lama berada di tempat itu. Karena itu, maka iapun memanfaatkan waktu yang tersedia dengan latihan-latihan yang berat, agar jika Ki Ajar meninggalkannya, maka ia sudah mempunyai bahan yang cukup banyak.
Dalam pada itu, sementara Pangeran Lembu Sabdata sedang menempa diri, maka dua orang kakak beradik di tempat yang berjarak ribuan tonggak, sedang sibuk membajakan diri pula. Sebagaimana telah mereka putuskan, bahwa keduanya akan pergi ke Kediri untuk menyatakan, bahwa untuk sementara mereka akan menarik diri dari tugas-tugas sandi. Mereka akan menjalani laku sebagai dua orang penerus dari salah satu cabang perguruan olah kanuragan.
Dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melakukan sebagaimana dijanjikaannya kepada kakak dan ayahnya. Mereka berusaha untuk tidak mengecewakan cabang perguruan Mahendra, karena ayahnya memang tidak mempunyai murid yang lain kecuali anak-anaknya sendiri.
“Selagi ayah belum menjadi pikun,” berkata Mahendra, “Kalian harus menjadi orang yang pantas berkelana diantara mereka yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Bukan untuk menunjukkan kelebihanmu dan bertindak sewenang-wenang. Namun kalian justru harus berada dalam keadaan bertapa Ngrame. Satu laku sebagai pertapa yang selalu siap untuk menolong orang lain yang memerlukan pertolongan.”
Kedua anaknya selalu mendengarkan nasehat ayahnya itu. Keduanya berusaha untuk mengerti dan meresapi makna dari nasehat itu. Dengan demikian maka keduanya telah berusaha dengan sungguh-sungguh, sejauh jangkauan kemampuan tubuh dan jiwa mereka.
Hampir setiap hari keduanya selalu berada di dalam sanggar. Sekali-sekali mereka menyusuri lereng pegunungan dan memasuki hutan-hutan lebat yang dapat mereka jangkau dalam latihan-latihan mereka. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan alam dan berusaha menyatukan diri dengan kekuatan alam itu. Mereka melihat angin yang menggoyang dedaunan. Merekapun melihat topan yang mengguncang pepohonan. Dan mereka melihat juga prahara yang mengamuk memutar pohon-pohon raksasa dan kemudian menumbangkannya timpa-menimpa.
Kedua anak muda itu juga melihat gemercik air sungai yang jernih mengalir disela-sela bebatuan. Merekapun melihat banjir yang melanda tebing. Dan mereka pun melihat arus banjir bandang yang menyeret rumpun-rumpun pering ori, menghanyutkan batu-batu sebesar gunung anakan. Menggugurkan tebing-tebing pegunungan.
Merekapun melihat betapa api menghangatkan tubuh yang kedinginan di malam hari. Tetapi api itu juga membuat air menjadi mendidih karenanya, dan kedua anak itu pada suatu saat telah melihat betapa dahsyatnya hutan yang terbakar. Binatang-binatang seisi hutan berlari-larian berebut dahulu. Seekor harimau telah berlari meloncati seekor kambing tanpa berpaling. Sementara anjing-anjing hutan menggonggong tidak berkeputusan, saling melanggar derap kijang yang kepanasan. Ujung lidah api yang meloncat ke udara bagaikan menggapai langit dan membakar awan yang bergayutan.
Semua yang terjadi itu tidak lepas dari pengamatannya. Bahkan semua gejala kejadian alam. Jika hal yang berkesan di hatinya itu diungkapkan kepada ayah mereka, maka ayah mereka pun segera memberikan petunjuk-petunjuk dalam hubungan dengan ilmu mereka. Kekuatan angin, air dan api. Kekuatan alam yang mungkin akan dapat menjadi landasan kekuatan ilmu mereka. Ilmu Gundala Sasra, Bajra Geni, Sapu Angin dan kekuatan-kekuatan lain bersandar kepada kekuatan air, api dan angin. Sementara itu, ilmu yang lain berlandaskan kepada kekuatan yang disadap dari kekuatan bumi. Aji Sangga Buana dan kekuatan-kekuatan lain akan mempunyai arti yang sangat besar, apabila seseorang mampu menguasainya.
Dengan cara yang khusus Mahendra memberikan petunjuk kepada kedua orang anak laki-lakinya yang dianggapnya sudah dewasa sepenuhnya, untuk menelusuri lebih dahulu ilmu dari cabang perguruannya sendiri. Baru kemudian dengan alas itu mereka akan membuka pengembangannya lebih jauh berdasarkan atas pengamatan mereka terhadap alam di sekeliling mereka.
Sebenarnyalah, bahwa kesempatan yang didapat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih baik dari Mahisa Bungalan. Kedua anak muda itu mendapat kesempatan lebih luas untuk mengenali ilmu mereka dan menukik kekedalamannya. Baru kemudian, ternyata bahwa Witantra pun telah ikut pula turun ke sanggar. Karena Witantra bersumber dari ilmu yang sama dengan Mahendra, maka Witantra dapat langsung ikut serta membimbing keduanya. Meskipun di dalam perkembangannya, ada sedikit perbedaan antara Mahendra dan Witantra, namun pada dasarnya keduanya memang bersumber dari perguruan yang sama.
Agak berbeda dengan Mahisa Agni yang menjadi semakin tua. Tidak ada keinginan apapun lagi padanya, kecuali mewariskan ilmunya sampai tuntas. Namun karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dalam tempaan ayah dan paman yang sekaligus menjadi gurunya, maka Mahisa Agni telah memilih Mahisa Bungalan untuk mewarisi ilmunya sepenuhnya.
Namun karena Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati di Singasari, maka segalanya berjalan dalam keadaan yang lebih terbatas. Mahisa Bungalan tidak mempunyai waktu seluas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi dengan ijin panglimanya, maka Mahisa Bungalan mendapat juga waktu untuk melakukannya pada saat-saat tertentu di setiap hari.
Tetapi seperti yang pernah dilakukan Mahisa Agni, maka pada saat-saat terakhir, Mahisa Bungalan harus menempatkan diri sepenuhnya untuk menjalankan laku. Tetapi atas pengaruh Mahisa Agni di lingkungan istana Singasari, maka ijin itu bukan persoalan yang sulit bagi Mahisa Bungalan apabila saatnya nanti tiba.
Namun dalam pada itu, ternyata sebuah berita dari Kediri telah mengejutkan beberapa kalangan di Singasari. Sri Baginda di Kediri memang tidak memberikan laporan secara resmi bahwa Pangeran Lembu Sabdata yang ditahan berhasil melarikan diri. Tetapi justru para petugas sandi di Kediri lah yang mengetahui dan memberikan laporan kepada para pemimpin di Singasari, bahwa Pangeran Lembu Sabdata, seorang Pangeran pengikut Pangeran Kuda Permati telah terlepas dari bilik tahanannya.
Petugas sandi di Kediri dapat memberikan laporan terperinci tentang pelarian itu. Juga tentang keadaan Pangeran Lembu Sabdata sebelumnya, yang mengalami sakit ingatan dan kemudian telah disembuhkan oleh seorang pertapa. Namun yang beberapa saat kemudian, Pangeran itu justru telah hilang. Dengan jelas petugas sandi itu memberikan laporan, bagaimana Pangeran Lembu Sabdata itu lenyap tanpa diketahui oleh para petugas yang tertidur.
Hilangnya Pangeran Lembu Sabdata ternyata merupakan peristiwa yang mendapat tanggapan yang luas bagi Singasari. Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang Pangeran yang keras hati. Selebihnya, Pangeran Lembu Sabdata akan dapat menjadi bibit yang tumbuh menjadi bahan yang akan dapat membakar kembali perlawanan Kediri terhadap Singasari. Apalagi para petugas sandi di Kediri tahu pasti bahwa Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang pangeran yang sangat di kasihi oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, maka bukan saja di Kediri, bahwa Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan petugas-petugas sandi khusus untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata, namun di Singasari pun telah turun pula perintah rahasia untuk melakukan hal yang sama. Para pemimpin di Singasari yang menanggapi lepasnya Pangeran Lembu Sabdata itu sebagai satu persoalan yang harus ditangani dengan sungguh-sungguh telah memberikan perintah pula kepada beberapa orang petugas sandi pilihan untuk melacak jejak Pangeran Lembu Sabdata.
Tetapi pekerjaan melacak Pangeran Lembu Sabdata bukannya pekerjaan yang mudah, karena Pangeran Lembu Sabdata telah jatuh ke tangan seseorang yang memiliki perhitungan yang mapan di samping memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas serta ilmu kanuragan yang tinggi.
Karena itu Pangeran Lembu Sabdata yang berada di persembunyiannya, telah menempa diri sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia berada di tempat itu sendiri, karena Ki Ajar telah meninggalkannya dan berada di padepokannya. Tetapi pada kesempatan lain, pertapa itu telah berada di pondok persembunyian Pangeran Lembu Sabdata itu untuk menempanya.
Namun bersamaan dengan itu, di Singasari, dua orang kakak beradik telah melakukan hal yang serupa. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha dengan laku yang sangat berat untuk mewarisi ilmu ayahnya dan pamannya Witantra, sedangkan di tempat lain, atas ijin panglimanya. Mahisa Bungalan telah menyisihkan sebagian waktu tugasnya untuk bekerja keras menuju kepada suatu kesempatan untuk sepenuhnya menerima ilmu yang ada di dalam diri Mahisa Agni.
Demikianlah, maka waktu pun berjalan dari hari ke hari, bulan ke bulan sehingga akhirnya tahun pun berlalu. Mereka yang sedang bergulat dengan laku untuk meningkatkan ilmu kanuragan telah mendekati batas-batas kemampuan untuk sampai ke puncak pewarisan. Meskipun laku itu ditempuh menurut jalur cabang ilmu masing-masing, namun dalam keseluruhannya mereka telah bekerja sangat keras dari waktu ke waktu.
Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang hidup terpencil itu telah mengalami beberapa perubahan. Bukan saja karena dari hari ke hari ia telah bekerja keras, namun sengatan matahari telah membuat kulitnya menjadi kehitam-hitaman. Dalam kesibukannya Pangeran Lembu Sabdata tidak sempat lagi memelihara rambutnya, kumisnya dan janggutnya yang tumbuh dengan kusut dan tidak terpelihara.
Dengan demikian, maka wajah Pangeran Lembu Sabdata dan bahkan ujud lahiriahnya seakan akan telah berubah. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Ajar telah mengambil satu kesimpulan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak akan mudah dikenal lagi oleh orang-orang Kediri, bahkan oleh orang-orang yang terdekat sekalipun. Dengan kesimpulan itu maka Ki Ajar pun telah berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukannya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Sudah cukup lama Pangeran hidup menyendiri, sehingga dengan demikian mungkin sekali ada persoalan-persoalan yang tidak lagi dapat Pangeran ingat di dalam pergaulan antara manusia. Karena itu sebaiknya, Pangeran mulai mengenali kembali hubungan diantara sesama.”
“Maksud Ki Ajar?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Sebaiknya Pangeran pergi ke Kediri untuk mengenang kembali tata pergaulan hidup yang pernah Pangeran tinggalkan untuk waktu yang lama,” berkata Ki Ajar, “Dengan demikian jika saatnya tiba, maka Pangeran akan dapat bertindak dengan tepat dan tidak terpisah dari para pendukung Pangeran kemudian.”
“Siapakah pendukungku itu?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Masih belum jelas sekarang,” jawab Ki Ajar, “Tetapi tentu dapat diperkirakan. Mereka adalah putera-putera Kediri sejati. Karena itu, maka Pangeran harus mengenal mereka, sementara mereka belum saatnya mengenal Pangeran. Untuk menjaga segala kemungkinan, biarlah muridku selalu mengawasi Pangeran dalam perjalanan-perjalanan. Jika Pangeran merasa untuk satu perjalanan telah cukup, maka Pangeran dapat kembali tidak perlu ke pondok terpencil ini, tetapi silahkan kembali ke padepokanku.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk, sementara Ki Ajar meneruskan, “Kecuali segala sesuatunya dapat dibicarakan dengan cepat, maka kesempatan Pangeran untuk menyempurnakan kemampuan Pangeran dalam olah kanuragan akan menjadi semakin banyak. Pangeran akan mempunyai kawan berlatih dan aku pun akan selalu ada untuk memberikan tuntunan kepada Pangeran. Sebenarnyalah sampai saat ini ilmu Pangeran sudah meningkat hampir berlipat. Dalam kehidupan sewajarnya, maka Pangeran adalah orang yang pilih tanding. Tetapi sebaiknya untuk sementara Pangeran tidak perlu menunjukkan kemampuan itu kecuali untuk melindungi diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk.”
“Pangeran yang lain. Pangeran harus mulai mempelajari kemungkinan untuk mengambil mahkota dari Gedung Perbendaharaan. Baru kemungkinan-kemungkinannya, karena aku sendirilah kelak yang akan mengambilnya meskipun mungkin juga bersama dengan Pangeran. Ingat Pangeran, Pangeran lah yang kelak akan mempergunakan mahkota itu.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Ajar. Aku akan melihat kehidupan yang sudah lama aku tinggalkan. Tetapi sudah tentu maksud Ki Ajar bahwa aku hadir di tengah-tengah pergaulan itu tidak sebagai Pangeran Lembu Sabdata. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
“Tepat Pangeran,” jawab Ki Ajar, “Pangeran dapat menyebut diri Pangeran dengan siapa saja. Demikian pula muridku. Sementara itu, di samping Pangeran mengenali kembali tata kehidupan di Kediri, maka ada pula tugas yang penting bukan gemerlapnya intan berlian yang ada pada mahkota itu, serta kemukten yang akan Pangeran dapatkan, tetapi dengan mahkota itu, maka Pangeran mendapat kekuasaan untuk menentukan langkah-langkah yang paling baik bagi Kediri menghadapi Singasari. Namun sekali lagi ingat Pangeran. Jangan tergesa-gesa agar langkah kita tidak salah lagi sebagaimana pernah terjadi.”
“Baik Ki Ajar,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “aku akan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Lebih baik kita mematangkan semua rencana baru melangkah daripada kita mulai dengan cepat tetapi langkah kita sesat.”
“Bagus Pangeran. Nah, jika demikian kita akan segera mulai. Pangeran akan segera meninggalkan pondok kecil ini dan akan tinggal bersama kami. Pada saatnya Pangeran akan berangkat ke Kediri dari padepokan kami,” berkata Ki Ajar kemudian.
Namun demikian, mereka masih tinggal dua hari lagi di pondok kecil itu, karena Pangeran Lembu Sabdata tidak sampai hati meninggalkan pondoknya begitu saja. Ia masih sempat memetik jagung dan menyimpannya dengan baik. Meskipun jika ia kelak sempat singgah jagung itu sudah dimakan bubuk sekalipun.
Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata akan memasuki tahap berikutnya dari perjuangannya. Agaknya Ki Ajar menganggap bahwa ujud Pangeran Lembu Sabdata telah berubah, sehingga ia tidak lagi mudah dikenal, serta Pangeran Lembu Sabdata pun telah memiliki ilmu yang jauh meningkat, meskipun masih harus disempurnakan.
Dalam waktu-waktu tertentu, Pangeran Lembu Sabdata akan berada di Kediri, sementara di saat yang lain, Pangeran Lembu Sabdata akan menekuni ilmunya di dalam sanggar padepokan Ki Ajar. Dengan demikian, maka ia mulai dengan langkah-langkahnya yang baru untuk mencapai tujuan akhir, yang menurut Ki Ajar, tegaknya kembali Kediri sebagaimana sebelum Tumapel menguasainya dan kemudian disebut dengan Singasari.
Pada waktu yang sudah ditentukan, maka Ki Ajar telah membawa Pangeran Lembu Sabdata ke padepokannya. Ia tidak takut lagi dikenali petugas sandi Kediri, bahwa ia telah menyembunyikan Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi menurut pengamatan Ki Ajar. Kediri seolah-olah telah melupakan Pangeran Lembu Sabdata yang telah hilang itu.
Sebenarnyalah bahwa Kediri seakan-akan memang telah melupakan Pangeran Lembu Sabdata. Setelah untuk waktu yang lama tidak ada persoalan yang timbul karena hilangnya Pangeran itu, maka orang-orang Kediri mengira, bahwa Pangeran Lembu Sabdata benar-benar hanya ingin melarikan diri dan tidak akan berbuat apa-apa lagi.
Agak berbeda dengan mereka, maka Pangeran Singa Narpada masih tetap mengingatnya. Beberapa orang bawahannya masih selalu diperingatkannya agar mereka jangan lengah.
“Suasana di Kediri nampak tenang Pangeran,” berkata seorang Senapati.
“Mungkin sekarang masih tetap tenang,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Namun mungkin sekali setiap saat akan dapat meledak kesulitan yang menerpa Kediri.”
“Tetapi Pangeran,” berkata Senapatinya yang lain, “Jika Pangeran Lembu Sabdata itu mengadakan gerakan betapapun kecilnya, maka para petugas sandi akan berhasil menciumnya. Kita telah melepaskan petugas sandi di seluruh sudut tanah ini.”
“Tetapi para petugas sandi itu jangan tertidur pada saat seperti ini. Meskipun tiga empat tahun mendatang, aku masih akan tetap selalu memperingatkan kalian untuk tidak menjadi lengah. Bahkan sepanjang umurku,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Para Senapatinya mengangguk-angguk. Namun selain Pangeran Singa Narpada, tidak banyak lagi para Panglima yang masih menaruh perhatian terhadap Pengeran Lembu Sabdata yang sudah dianggap hilang itu. Tetapi bahwa masih ada satu dua orang yang selalu mengingatnya, maka Pangeran Lembu Sabdata masih belum bebas sepenuhnya untuk berbuat sekehendak hatinya.
Namun dalam pada itu, meskipun Pangeran Singa Narpada selalu memperingatkan agar prajurit-prajurit Kediri tidak menjadi lengah, namun tidak seorang pun yang masih dapat mengenali Pangeran Lembu Sabdata ketika Pangeran itu memasuki gerbang Kota Raja. Tidak seorang pun yang memperhatikannya. Kulitnya yang hitam karena terbakar oleh terik matahari, serta jambang dan kumis serta janggutnya yang tumbuh tidak teratur telah merubah ujudnya sehingga ia benar-benar tidak dikenal. Apalagi pakaiannya yang kusut dan sikapnya yang nampak kasar.
Dengan leluasa Pangeran Lembu Sabdata menelusuri jalan-jalan di Kota Raja sebagaimana dilakukan oleh orang-orang lain. Tidak ada prajurit yang menyapanya. Tidak ada perwira yang mencurigainya dan tidak ada orang-orang yang dapat mengenalinya. Kepada Putut yang menyertainya, Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Aku leluasa untuk bertindak sekarang.”
“Pangeran tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Putut itu, “Segalanya akan diatur oleh guru.”
“Aku mengerti. Maksudku, bahwa aku mempunyai keleluasaan untuk berada di dalam Kota ini. Bukankah gurumu juga memerlukan banyak keterangan sebelum kita memasuki gedung perbendahaaraan? Sebagai seorang Pangeran, aku banyak mengenal istana. Dan aku pun masih dapat mengingat jalan-jalan yang dapat ditempuh untuk memasuki gedung perbendaharaan dan gedung pusaka,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Ya Pangeran,” jawab Putut itu, “pada saatnya pengenalan Pangeran itu akan sangat berguna. Tetapi sebelumnya maka kita masih harus meyakinkan apakah pengenalan Pangeran itu masih tepat.”
“Tentu,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Sebelum kita melangkah, segalanya harus pasti. Aku tidak mau terjebak sebagaimana terjadi atas Pangeran Kuda Permati.”
Putut itu mengangguk-angguk. Agaknya Pangeran Lembu Sabdata masih tetap dikuasai oleh Ki Ajar, sehingga segala langkah-langkahnya dengan mudah dapat dikendalikan. Namun demikian Pangeran Lembu Sabdata bukannya merupakan alat mati. Ia masih tetap memiliki kemampuan mempergunakan akalnya, namun ia telah kehilangan sebagian dari kepribadiannya, karena pengaruh pribadi Ki Ajar yang sangat kuat atas dirinya.
Untuk beberapa lama Pangeran Lembu Sabdata berada di Kota Raja. Ia tidak bermalam di tempat seseorang. Tidak ada seorang pun yang dipercaya oleh Ki Ajar untuk mengenali Pangeran Lembu Sabdata. Seandainya ia bermalam juga di rumah seseorang, maka ia harus dikenal sebagai cantrik Ki Ajar dan bukan sebagai Pangeran Lembu Sabdata.
Namun lebih baik agaknya jika Pangeran Lembu Sabdata tidak bermalam di rumah seseorang. Ia dapat berada dimana saja. Bermalam di pategalan, di padang perdu atau di tepian sungai.
“Sebenarnya, kita dapat memanfaatkan waktu ini untuk mengenali kembali gedung perbendaharaan dan gedung pusaka itu,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Jangan sekarang Pangeran,” jawab putut itu, “Kedatangan kita kali ini hanya untuk memastikan bahwa Pangeran memang sudah tidak dikenal lagi. Setelah itu, maka kita akan kembali. Sebelum guru menentukan langkah-langkah berikutnya, Pangeran mendapat kesempatan untuk menempa diri, mempertebal kemampuan menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang yang berat.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita sudah yakin, bahwa aku sudah tidak dikenal sama sekali.”
Putut itu pun mengangguk-angguk. Ia memang sependapat bahwa tidak ada lagi yang mengenal Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun demikian Putut itu berkata, “Tetapi Pangeran, masih harus diperhatikan satu kemungkinan. Jika Pangeran Singa Narpada sendiri melihat Pangeran, apakah ia juga tidak mengenalnya. Karena tangkapan penglihatan pandangan Pangeran Singa Narpada bukan sekedar mempergunakan mata wadagnya, tetapi juga mempergunakan mata hatinya.”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata itu tersenyum sambil berkata, “Dahulu aku kagum melihat kakangmas Pangeran Singa Narpada dalam ilmu kanuragan. Tetapi sekarang sama sekali tidak. Bahkan aku sekarang sudah siap seandainya kita harus memasuki perang tanding sekalipun.”
Tetapi Putut itu menggeleng. “Belum Pangeran. Mungkin sebentar lagi. Pangeran masih harus menyempurnakan ilmu yang sudah Pangeran miliki sekarang di dalam hubungannya dengan kemungkinan-kemungkinan hadirnya kekuatan di dalam alam di sekeliling Pangeran.”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menjawab, “Apakah kau kira Kakangmas Pangeran Singa Narpada juga mampu mengungkapkan kekuatan alam di dalam ilmunya.”
“Ya Pangeran,” jawab Putut itu, “Aku tidak hanya mengira, tetapi aku pasti. Dalam keadaan yang paling gawat, apalagi dalam perang tanding, maka Pangeran Singa Narpada akan mampu mengungkapkan kekuatan alam dan melontarkannya lewat ilmunya. Pangeran jangan salah menilai kemampuan orang lain, apalagi yang akan mungkin berhadapan sebagai lawan. Jika Pangeran salah menilai, maka kesulitan yang pernah di alami Pangeran Kuda Permati akan terulang kembali, meskipun dalam ujud yang berbeda.”
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ia tidak menolak pendapat Putut itu. Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian meninggalkan Kota Raja setelah mereka menganggap kunjungannya mereka telah cukup. Pangeran Lembu Sabdata telah meyakini dirinya, bahwa ia tidak akan dapat dikenal lagi. Namun ia tetap memperhatikan pendapat Putut itu, bahwa mungkin sekali, Pangeran Singa Narpada masih akan dapat mengenalinya.
Ki Ajar yang kemudian menerima keduanya dan mendengarkan laporan mereka, mengangguk-angguk. Senyumnya nampak bermain dibibirnya.
“Segalanya akan berjalan baik.” Katanya, “Tetapi sudah tentu kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Namun meskipun lambat, tetapi pasti. Pada suatu saat Kediri akan bangun.”
“Apakah waktunya masih lama?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Ya, semua akan berlangsung kelak, pada suatu saat,” jawab Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata hanya dapat menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia ingin semuanya terjadi lebih cepat. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat sendiri tanpa Ki Ajar dan orang-orangnya. Apalagi pengaruh kekuatan pribadi Ki Ajar tanpa disadarinya masih tetap mencengkamnya.
“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Pangeran memang akan kembali ke Kota Raja dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pangeran harus berusaha untuk mengenali kembali letak gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Baru kemudian kita merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Sementara itu Pangeran masih sempat meningkatkan ilmu Pangeran. Sehingga benar-benar akan mampu mengimbangi ilmu Pangeran Singa Narpada.”
“Apakah kemampuanku masih berjarak jauh dari ilmu kakangmas Singa Narpada?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Memang tidak terlalu jauh Pangeran. Tetapi Pangeran masih harus bekerja keras untuk mengejarnya. Karena itu, Pangeran harus mempergunakan semua kesempatan untuk meningkatkan ilmu Pangeran.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Ia tidak akan ingkar untuk melakukannya. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata telah bekerja keras untuk dapat menempatkan dirinya di sisi Pangeran Singa Narpada di dalam olah kanuragan. Diam-diam ia berkeinginan untuk pada suatu saat dapat melakukan perang tanding dengan Pangeran Singa Narpada yang ditakuti oleh setiap orang di Kediri.
“Jika kelak terbukti aku dapat mengalahkannya, maka ceritera tentang kakangmas Pangeran Singa Narpada seakan-akan ia memiliki kemampuan diatas kemampuan manusia adalah sekedar dongeng yang akan runtuh nilainya. Ia tidak lebih seseorang yang berwatak keras dan bengis. Yang mempergunakan kekerasan untuk mencapai maksudnya.”
“Ya,” jawab Ki Ajar, “pada saat yang demikian, maka Pangeran harus dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Pangeran harus berdiri diatas martabat Pangeran yang sebenarnya dan menyatakan diri sebagai Yang Paling Berkuasa di Kediri dan tidak lagi mengakui kekuasaan Singasari. Tetapi sebelum sampai ke mata tangga yang demikian, masih sangat banyak yang harus Pangeran lakukan.”
“Aku akan melakukannya. Apapun juga,” jawab Pangeran Lembu Sabdata. Keinginannya itu merupakan dorongan bagi usahanya untuk sampai kepada satu tataran yang diinginkannya.
Karena itulah, maka di hari-hari berikutnya, Pangeran Lembu Sabdata telah kembali tenggelam di dalam sanggarnya. Tetapi ia sudah tidak sendiri lagi. Pengeran Lembu Sabdata mendapat kesempatan berlatih bersama Putut yang tertua diantara murid-murid Ki Ajar, setelah Pangeran Kuda Permati tidak ada. Bersama Putut itu ilmu Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin meningkat. Sementara Ki Ajar mempelajari kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Pangeran itu di Kediri.
Untuk mengetahui keadaan dengan baik, maka sekali-sekali Ki Ajar pun telah pergi pula ke Kediri dalam ujud yang tidak mudah dikenal. Bahkan oleh Ki Sadmaya sekalipun. Ternyata bahwa orang-orang Kediri agaknya memang telah melupakan persoalan Pangeran Sabdata. Sekali-sekali ia memancing pembicaraan di kedai-kedai dengan orang-orang Kediri. Namun pada umumnya mereka sudah menganggap bahwa persoalan Pangeran Lembu Sabdata itu sudah selesai.
Sambil tersenyum di dalam hati, maka Ki Ajar pun merasa bahwa saatnya menjadi semakin mantap. Yang pertama akan dilakukan adalah mengambil mahkota yang keramat yang akan dapat menjadi pendukung kekuasaan Pangeran Lembu Sabdata kelak. Sementara itu, kemampuan Pangeran Sabdata pun telah menjadi semakin meningkat. Dalam saat-saat tertentu, Ki Ajar sendiri telah menuntun Pangeran Lembu Sabdata memanjat ke kemampuan puncak.
Namun bersamaan dengan itu, di Singasari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menempa diri dengan tanpa mengenal letih. Apapun yang diperintahkan oleh Mahendra dan Witantra telah mereka lakukan. Kedua anak muda itu tidak pernah mengeluh meskipun ia mendapat tempaan yang luar biasa beratnya dari ayahnya sendiri serta pamannya Witantra, seorang yang kebetulan adalah saudara seperguruan ayahnya.
Di samping mereka berdua, Mahisa Bungalan pun telah mempersiapkan diri untuk sampai ke puncak ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Agni. Memang lain dengan ilmu yang diturunkan oleh Mahendra dan Witantra kepada Mahisa Bungalan. Tetapi dengan bimbingan Mahisa Agni, Mahisa Bungalan sejak sebelumnya telah mencerna kedua jalur ilmu itu sehingga menjadi luluh, justru saling mengisi dan saling memperkuat dalam kedudukan masing-masing.
“Mahisa Bungalan,“ berkata Mahisa Agni, “Jika pada saatnya kau memahami semua ilmuku sampai tuntas, serta kedua adiknya memiliki ilmu ayahnya dan pamanmu Witantra, maka kalian akan dapat saling menyadap dan dengan hati-hati membuat jenis ilmu yang berbeda itu menjadi luluh di dalam diri kalian.”
“Mudah-mudahan paman,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi bukankah di dalam diriku kedua jalur ilmu itu sudah ada?”
“Tetapi belum dalam kedudukan seimbang. Ilmu yang aku berikan kepadamu sampai saat terakhir, telah mewarnai kemampuanmu. Apalagi sebentar lagi, kau akan sampai pada batas kemampuan yang tuntas. Sementara itu pengalamanmu akan mampu mengembangkan ilmu yang aku berikan kepadamu itu sampai pada puncaknya, Gundala Sasra.”
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa untuk sampai ke puncak ilmu itu ia harus menjalani laku yang sangat berat. Ketika Mahisa Agni dipersiapkan untuk menerima ilmu itu, ia harus mencari akar wregu putih sehingga Mahisa Agni harus mendaki lereng-lereng pegunungan yang sangat terjal. Ternyata bahwa yang penting bagi Mahisa Agni bukannya mendapat wregu putih, tetapi yang penting adalah laku yang dijalani.
Mahisa Agni telah mengatakan hal itu kepada Mahisa Bungalan, karena cara Mahisa Agni menurunkan ilmunya memang berbeda dengan cara gurunya menurunkannya kepadanya, justru pada saat Mahisa Agni kecewa dengan kenyataan hidupnya pada saat itu.
“Aku tidak perlu memaksakan dengan cara seperti yang dilakukan oleh guru, seolah-olah aku memang harus mengambil akar wregu putih itu. Namun dengan kesadaran yang tinggi, kau harus melakukan laku sebagaimana pernah aku lakukan. Kau harus mempersiapkan dirimu lahir dan batin. Sudah saatnya kau minta ijin kepada Panglimamu bahwa kau memerlukan waktu empat puluh hari empat puluh malam.” berkata Mahisa Agni.
“Tetapi aku diijinkan untuk minta waktu sepanjang itu paman?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku akan membantumu,” jawab Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun telah menghubungi Panglima yang memegang pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan untuk minta ijin bagi Senapati muda itu waktu selama empat puluh hari empat puluh malam.
“Untuk apa?” bertanya panglima itu.
“Ia akan menjadi Prajurit linuwih. Beri saja ia waktu justru lima puluh hari lima puluh malam, karena ia memerlukan persiapan dan pembenahan sebelum dan sesudah ia menyadap ilmunya sampai tuntas,” berkata Mahisa Agni.
Pengaruh Mahisa Agni adalah sedemikian besarnya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia adalah orang yang sangat dihormati di Singasari. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan yang sudah berangkat lebih dahulu dari kedua adiknya di dalam berpacu dengan ilmu, telah mendapat kesempatan lebih dahulu untuk menerima puncak ilmu dari jalur ilmu Mahisa Agni. Dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan Mahisa Bungalan pun telah mempersiapkan diri.
“Duduklah,” berkata Mahisa Agni, “pusatkan segala inderamu. Nalar budimu. Siapkan segala petunjuk yang telah aku berikan untuk membuka pintu jiwamu. Aku mengetrapkan arus mewarnai ilmu ini. Laku yang aku tempuh mungkin agak berbeda dengan yang dilakukan oleh guruku. Tetapi aku yakin, bahwa akibatnya akan sama.”
Mahisa Bungalan pun kemudian memperhatikan dan melakukan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Sementara itu Mahisa Agni duduk di depannya. Kedua tangan Mahisa Agni terletak di pundak Mahisa Bungalan yang bersilang tangan di dada.
“Pejamkan matamu, dan laku itu akan sampai ke puncak,” desis Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan pun memejamkan matanya, sementara itu mulai terasa getaran yang tidak dikenal telah bergerak lewat sentuhan tangan Mahisa Agni menyusuri urat darahnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Dalam kepekaan matanya yang terpejam, Mahisa Bungalan telah melihat beberapa warna yang bergetar, kemudian berputar saling menindih. Merah, hijau, kuning, hitam dan akhirnya putaran warna itu menjadi putih.
Mahisa Bungalan merasa tubuhnya berguncang. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah kehilangan gaya beratnya. Hampir saja tubuhnya terangkat dan melayang. Namun sambil memejamkan matanya Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk bertahan, sehingga ia tetap duduk di lantai sanggarnya.
Namun sejenak kemudian, maka rasa-rasanya bumi lah yang berputar, semakin lama semakin cepat. Dalam putaran itu tiba-tiba saja di rongga matanya yang terpejam itu telah melihat dirinya sendiri. Berdiri tegak dalam putaran yang semakin cepat. Sekali-sekali tubuh itu nampak terhuyung, namun Mahisa Bungalan telah menghentakkan kekuatannya untuk bertahan agar bayangan itu tetap berdiri dengan penuh keyakinan, bahwa ia mampu berbuat sesuatu bagi bayangan dirinya yang melangkah mendekatinya. Semakin lama semakin dekat, semakin dekat, sehingga akhirnya, sebagaimana pernah terjadi dengan Mahisa Agni dengan laku yang agak berbeda, bayangan dirinya itu telah menghentak menyusup dan luluh dengan dirinya sendiri.
Terasa tubuh Mahisa Bungalan itu berguncang. Sejenak warna-warna di dalam rongga matanya itu memancar semakin terang dan kembali berputar menjadi cahaya yang putih berkilauan. Namun kemudian semuanya menjadi gelap. Pekat. Namun pada saat terakhir, terasa perubahan telah terjadi di dalam dirinya. Ternyata Mahisa Bungalan telah menjadi pingsan.
Dengan laku yang berat sebagaimana Mahisa Agni mengambil akar wregu putih di lereng gunung yang tinggi dan curam, maka Mahisa Bungalan mempersiapkan dirinya untuk menerima warisan dari puncak ilmu dari jalur perguruan Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Bungalan tidak melakukannya dengan memanjat tebing yang tinggi dan curam. Tidak pula harus memasuki goa yang terjal dan berebut akar wregu dengan Buyut Ing Wangon. Tetapi Mahisa Bungalan harus berada di dalam sanggar menempa diri dengan mengarahkan segenap kemampuan dan daya tahan tubuhnya.
Dari hari ke hari, Mahisa Bungalan memang bagaikan merangkak mendaki tebing gunung yang curam. Ia maju setapak demi setapak, namun pasti menuju ke puncak kemampuan ilmu Gundala Sasra. Yang dikuasainya sampai saat terakhir belumlah ilmu warisan Mahisa Agni seutuhnya. Baru setelah ia menjalankan laku, ia sampai kepada tataran tangga terakhir dari ilmunya.
Dengan sepengetahuan ayahnya, Mahisa Bungalan menempatkan dirinya pada langkah-langkah yang sulit dan berat. Sekali-sekali ia harus mengikuti setiap gerak dan langkah Mahisa Agni. Namun kadang-kadang ia harus berdiri sebagai lawan yang harus mengimbangi kekuatan ilmu orang yang telah mengangkatnya menjadi murid tunggalnya itu.
Demikianlah, pada saatnya, maka Mahisa Agni itu telah memaksakannya untuk bertempur dengan segenap ilmu dan kemampuan yang telah dimilikinya. Dalam sanggar yang cukup luas, keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Serangan dibalas dengan serangan. Kecepatan gerak diimbangi dengan kecepatan gerak pula. Demikian cepatnya, sehingga keduanya seakan-akan tidak lagi berpijak di atas tanah. Sentuhan-sentuhan kaki mereka, telah melemparkan mereka dengan loncatan-loncatan yang panjang dan cepat.
Sehingga akhirnya, keduanya bagaikan telah berayun di putaran angin pusaran yang dahsyat. Ayunan tangan mereka bagaikan prahara yang mengamuk, sementara serangan-serangan kaki mereka bagaikan hentakkan banjir bandang yang tidak tertahan oleh bendungan besi sekalipun. Dalam pusaran yang semakin cepat, maka Mahisa Agni telah memberikan isyarat, untuk memperlambat gerak mereka. Demikianlah perlahan-lahan pusaran itu menjadi susut, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Sekarang saatnya telah sampai dalam keadaanmu yang siap untuk menerimanya,” berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi terasa tubuhnya menjadi sangat letih dan kulit dagingnya terasa sakit oleh sentuhan-sentuhan serangan Mahisa Agni. Namun ia tidak dapat menolak dan menunda perintah gurunya itu. Mahisa Agni yang meletakkan kedua tangannya di pundak Mahisa Bungalan, dengan cepat menangkapnya. Kemudian meletakkannya perlahan-lahan.
“Laku ini terlalu berat baginya,“ gumam Mahisa Agni kepada diri sendiri. ”Tetapi ini adalah jalan memintas."
Sementara itu, Mahisa Bungalan menjadi pingsan ketika pewarisan ilmu ini sudah selesai. Mahisa Bungalan telah menerimanya dengan bulat, sehingga jika ia sadar nanti, maka ilmu itu telah ada pula di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni sendiri juga merasa letih. Keringat telah mengembun di wajah dan di seluruh tubuhnya. Rambutnya yang telah memutih pun rasa-rasanya ikut menjadi basah. Dalam keletihan itu terasa oleh Mahisa Agni, bahwa ia memang sudah terlalu tua.
Untuk beberapa saat, Mahisa Agni menunggu sambil sekali-sekali mengusap keringat di tubuh Mahisa Bungalan. Namun sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan itu mulai membuka matanya. Perlahan-lahan. Bayangan-bayangan yang kabur mulai nampak. Semakin lama menjadi semakin jelas. Akhirnya Mahisa Bungalan menyadari seluruhnya yang telah terjadi pada dirinya. Ia telah menerima warisan ilmu dari Mahisa Agni. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan bangkit, dan duduk kembali di hadapan Mahisa Agni.
“Mahisa Bungalan,“ desis Mahisa Agni, “Kau mampu bertahan sampai tahap terakhir dari pewarisan ilmuku kepadamu. Karena itu, maka menurut pendapatku, kau telah memiliki ilmuku selengkapnya. Puncak ilmu Gundala Sasra telah kau kuasai pula.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, “Terima kasih paman. Mudah-mudahan aku dapat memanfaatkannya untuk kepentingan yang sesuai dengan keinginan paman.”
“Jika kau selalu ingat kepada Sumber Hidupmu, maka kau tentu akan selalu mengabdikan ilmumu bagi kepentingan Sumber Hidupmu dalam hubungannya dengan sesamamu. Karena sebenarnyalah kau harus menganggap dan memperlakukan sesamamu sebagaimana dirimu sendiri,” berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa dengan ilmu puncak itu, tanggung jawabnya justru menjadi semakin besar.
“Beristirahatlah,” berkata Mahisa Agni, “kau dapat melihat hasil laku ini pada kesempatan lain.”
Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa Agni pun telah bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah.“
Mahisa Bungalan pun kemudian berdiri pula. Tetapi seluruh tubuhnya masih merasa lemas. Tulang-tulangnya bagaikan dilepas dari anggauta badannya. Tertatih-tatih Mahisa Bungalan mengikuti Mahisa Agni keluar dari sanggar. Kemudian, dengan langkah satu-satu mereka pun meninggalkan sanggar yang telah memberikan satu arti di dalam kehidupan Mahisa Bungalan itu. Hari itu Mahisa Bungalan telah meluangkan waktunya untuk benar-benar beristirahat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menjalani laku yang berat. Tetapi mereka masih belum sampai kepada satu saat, dimana mereka dapat mewarisi ilmu puncak Mahendra dan Witantra. Karena itu keduanya masih harus bekerja keras.
“Waktunya tidak akan lama lagi,” berkata Mehendra, “Jika kalian dengan tekun mengikuti semua laku yang harus kalian jalani, maka dalam waktu dekat, kalian akan dapat mewarisi ilmu puncak Bajra Geni.”
“Kami akan berusaha ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Semua dasar ilmu itu sudah kalian miliki. Yang perlu kalian lakukan adalah menempa alas yang akan menjadi dasar meletakkan puncak ilmu Bajra Geni itu,” berkata Mahendra pula.
“Kami akan melakukan apa yang seharusnya kami lakukan,” jawab Mahisa Pukat.
Menurut pengetahuanku, kakakmu Mahisa Bungalan pada saat-saat ini sedang mengalami tempaan terakhir. Mudah-mudahan telah berlangsung pewarisan ilmu Mahisa Agni kepada kakakmu Mahisa Bungalan. Jika kalian kelak telah menguasai ilmu puncak Bajra Geni, sedangkan kakakmu menguasai ilmu puncak Gundala Sasra, maka kalian akan dapat saling menghadap dengan mempelajari kemungkinan-kemungkinan agar kedua ilmu itu dapat luluh sehingga kalian menemukan satu ujud kemampuan melampaui keduanya, karena sebenarnyalah kalian harus memiliki kelebihan dari yang tua-tua ini. Tetapi kalian tidak boleh meninggalkan sifat dan watak dari ilmu yang kalian pelajari dan kalian cari kemungkinan-kemungkinannya untuk dikembangkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi laku puncak yang paling berat sebelum mereka akan menerima puncak ilmu Bajra Geni. Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus berbuat lebih banyak lagi, sementara Mahisa Bungalan tengah bersiap-siap untuk melihat hasil laku yang sangat berat yang sudah diselesaikannya.
Dalam pada itu, pada saat yang demikian, seseorang tengah berusaha untuk mengambil sebuah benda keramat dari gedung pusaka di istana Kediri. Pertapa yang membimbing Pangeran Lembu Sabdata itu akhirnya mengambil keputusan, bahwa mereka sudah sampai pada saatnya untuk mengambil pusaka yang akan dapat menjadi kekuatan bagi Pangeran Lembu Sabdata untuk menaiki tahta di Kediri.
“Jika mahkota itu sudah berada di tangan kita, maka segala sesuatunya tentu akan dapat berlangsung dengan baik, meskipun mungkin kita baru akan mempergunakan tiga, atau empat tahun mendatang. Bahkan mungkin sepuluh tahun lagi,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Tetapi ia yakin, jika mahkota itu sudah berada di tangan mereka, maka mereka tentu tidak akan merasa perlu menunggu lebih lama lagi. Karena itu, maka yang harus segera mereka lakukan adalah menguasai mahkota itu. Untuk merintis jalan, maka Pangeran Lembu Sabdata yang sudah tidak dikenal lagi itu, beberapa kali telah memasuki Kota Raja disela-sela latihan-latihannya yang berat.
Dengan usaha yang tekun, maka ia berhasil mendekati tujuannya. Dengan laku seorang pencuri. Pangeran Lembu Sabdata masuk ke dalam lingkungan istana. Menilik para petugas di malam hari, maka Pangeran Lembu Sabdata mengambil kesimpulan bahwa gedung perbendaharaan dan gedung pusaka masih terletak sebagaimana ia mengenal dahulu. Tidak ada perubahan-perubahan yang berarti di dalam lingkungan istana Kediri.
“Jadi menurut pendapat Pangeran, segala sesuatunya masih sebagaimana saat Pangeran meninggalkan istana?” bertanya Ki Ajar.
“Ya. Hampir tidak ada perubahan. Karena itu aku yakin, bahwa gedung perbendaharaan dan gedung pusaka masih bangsal yang dahulu pula, ternyata masing-masing masih dijaga dengan kuat oleh beberapa orang prajurit,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Baiklah. Agaknya kita sudah cukup lama menunggu. Orang-orang Kediri tentu sudah melupakan peristiwa hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. Namun mereka akan segera dikejutkan lagi oleh satu peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Ki Ajar.
Demikianlah, maka Ki Ajar pun segera mempersiapkan diri. Karena ia menganggap bahwa tugasnya itu merupakan tugas yang sangat penting, menyangkut sebuah benda keramat, maka sebelum melakukannya, Ki Ajar telah mengambil waktu tiga hari untuk menjalankan laku bagi kepentingan usahanya untuk mengambil pusakanya itu.
Tiga hari tiga malam Ki Ajar berada di dalam sanggarnya, bersamadi untuk menempa diri lahir dan batin. Mengungkat semua kekuatan yang ada di dalam dirinya, agar usahanya untuk mengambil pusaka yang keramat itu dapat berhasil. Ki Ajar pun telah melakukan samadi, agar tuah pusaka yang akan diambilnya, itu tidak akan mengutuknya sehingga ia akan mengalami bencana pada saat ia mengambilnya.
Demikianlah, setelah Ki Ajar selesai dengan lakunya, maka bersama Pangeran Lembu Sabdata dan muridnya yang paling dipercayainya itu telah menuju ke Kota Raja. Pangeran Lembu Sabdata telah yang kemudian menjadi penunjuk jalan yang sangat baik. Pangeran itu mengenal segala lekuk liku istana Kediri. Karena itu, maka Ki Ajar pun telah berhasil memasuki lingkungan istana yang menuju ke gedung perbendaharaan.
“Kita akan mengetrapkan ilmu sirep,” desis Ki Ajar.
“Marilah guru,” berkata muridnya, “Kita akan melakukannya sebagaimana saat kita mengambil Pangeran Lembu Sabdata.”
“Jangan,” berkata Ki Ajar, “Kita hanya akan melepaskan sirep bagi lingkungan kecil. Aku hanya ingin mempengaruhi beberapa orang penjaga di muka pintu. Jika kita melepaskan sirep seperti saat kita mengambil Pangeran Lembu Sabdata, maka kita justru akan segera diketahui. Beberapa orang Senapati pilihan pengawal Sri Baginda, atau mungkin bahkan Sri Baginda sendiri, akan segera mengenali ilmu itu. Apalagi jika mereka memang belum tidur karena sesuatu sebab. Bahkan aku yakin, seseorang yang berilmu tinggi seperti Sri Baginda akan mengalami sentuhan yang sebaliknya. Sri Baginda akan segera mengetahui, bahwa di istana ini telah disebarkan sirep.”
“Jadi, apa yang kita lakukan?” bertanya muridnya.
“Aku akan menyebarkan sirep yang lemah dan yang hanya akan meliputi pintu gedung perbendaharaan dan pintu gedung pusaka yang letaknya berdekatan.”
“Bagaimana dengan para peronda?” bertanya muridnya.
“Kalian harus mengawasi mereka. Jika kalian melihat peronda memasuki lingkungan ini dan terlepas dari sirep, maka kalian harus memberikan isyarat,” berkata Ki Ajar.
Muridnya dan Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa yang mereka lakukan itu adalah satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Tetapi untuk mencari satu keinginan yang besar, tentu harus berani memberikan taruhan yang besar pula. Termasuk nyawa mereka.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajar pun telah mengetrapkan ilmunya. Sasarannya adalah beberapa orang prajurit yang bertugas di pintu gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Ternyata Ki Ajar memang seorang yang memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Ilmunya merupakan ilmu yang sulit dicari bandingannya, sehingga dengan demikian, maka usahanya untuk mempengaruhi para prajurit itu pun perlahan-lahan telah berhasil.
Para prajurit yang bertugas di muka pintu itu tidak dapat mengelakkan diri dari serangan ilmu sirep pertapa yang memiliki ilmu linuwih. Karena itu, maka perlahan-lahan mata mereka pun telah terpejam tanpa menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, justru pada saat mereka sedang bertugas. Sejenak kemudian, maka para petugas itu pun telah benar-benar tertidur. Senjata mereka pun tersandar di dinding dan terlepas dari pegangan tangan mereka.
Ki Ajar dan kedua orang pengikutnya melihat keadaan itu dari kegelapan. Setelah mereka yakin, bahwa para prajurit itu sudah tertidur maka Ki Ajar pun berdesis, “Sekarang datang waktunya. Aku akan mengambil mahkota itu. Mudah-mudahan laku yang telah aku jalani sebelum kita memasuki istana ini akan berarti. Bahwa aku tidak akan terkena kutuk mahkota itu karena aku telah memperlakukannya lain dari yang seharusnya. Tetapi aku yakin, bahwa pribadiku akan mampu mengatasinya, apalagi setelah aku menjalani laku tiga hari tiga malam itu.”
“Kami akan mengamati dari tempat ini guru,” berkata muridnya.
“Ya. Demikianlah aku keluar dari gedung perbendaharaan aku akan menyerahkan mahkota itu kepada Pangeran Lembu Sabdata. Ia adalah orang yang lebih berhak memilikinya dan memanfaatkannya daripada orang lain. Karena itu, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata tidak akan terkena kutuk atau semacamnya dari mahkota itu karena darah raja-raja Kediri mengalir di dalam tubuhnya,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata sendiri tidak menjawab. Ia memang tidak mempunyai sikap apapun juga selain sikap sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Ajar itu pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Ia siap bertempur jika ia menjumpai seorang prajurit atau Senapati yang melihat perilakunya. Tetapi iapun siap mengambil pusaka yang dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib itu, serta menghindari akibat-akibat yang tidak baik daripadanya.
Pangeran Lembu Sabdata dan Putut itu pun kemudian hanya dapat memandangi dengan hati yang berdebar-debar ketika Ki Ajar bangkit berdiri dan berjalan dengan tenangnya menuju ke pintu gedung perbendaharaan itu. seolah-olah ia yakin bahwa tidak seorang pun yang akan dapat melihatnya. Bukan saja yang sedang tertidur, tetapi orang lain pun seakan-akan tidak akan dapat melihatnya pula. Nampaknya memang tidak ada hambatan apapun. Demikian rencananya Ki Ajar itu langsung berjalan ke pintu dan membuka selaraknya.
Namun demikian Ki Ajar melangkah masuk, tiba-tiba saja ia merasa seakan-akan sebuah kekuatan yang sangat besar telah mendorongnya keluar. Ki Ajar tergeser selangkah surut. Rasa-rasanya demikian dahsyatnya hentakkan itu sehingga tanpa dapat dilawannya. Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Dipusatkannya daya tahannya. Dengan segenap ilmu dan kemampuan serta kekuatan yang ada di dalam dirinya, Ki Ajar telah mencoba melangkah sekali lagi masuk. Kembali terasa tubuhnya bagaikan didorong keluar dari gedung perbendaharaan itu.
Ki Ajar adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu maka sekali lagi ia menghentakkan kekuatannya dengan alas ilmunya. Setapak ia berhasil maju, tetapi tiba-tiba saja dari dalam ruangan itu telah berhembus prahara yang sangat dahsyatnya. Tubuh Ki Ajar bagaikan hanyut oleh prahara itu. Hanya karena kemampuan Ki Ajar yang sangat tinggi sajalah maka ia tidak terlempar. Meskipun demikian, sekali lagi ia terdorong keluar.
Ki Ajar yang kemudian telah berada kembali diluar pintu itu termangu-mangu sejenak. Tubuhnya telah basah oleh keringat. Ada sesuatu yang ternyata harus diatasinya. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar itu menyadari betapa isi dari Gedung perbendaharaan itu selain harta benda kerajaan juga benda-benda pusaka yang bertuah sebagaimana senjata-senjata yang terdapat di gedung pusaka di sebelah gedung perbendaharaan itu.
Karena itu, maka Ki Ajar itu pun segera mengambil langkah yang paling mungkin untuk mengatasi kesulitan itu. Iapun kemudian berjongkok di depan pintu, menyembah dan kemudian beringsut masuk. Memang sangat mengherankan Ketika Ki Ajar berjalan dengan langkah jongkok, ternyata ia tidak didera oleh kekuatan yang tidak dikenalnya. Rasa rasanya ia memasuki sebuah ruangan sebagaimana ruang yang lain. Namun demikian terasa bahwa ruang di gedung perbendaharaan itu sangat panas.
Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Tetapi ia pernah mendengar dari beberapa orang berilmu tinggi tentang mahkota yang memiliki tuah dan kekuatan untuk menjadi sipat kandel serta memiliki kekuatan untuk menjadi tempat bersemayamnya wahyu keraton.
Juga dari Pangeran Lembu Sabdata yang pada suatu masa pernah ikut memandikan beberapa macam benda-benda keramat di gedung perbendaharaan itu, Ki Ajar mendapat petunjuk letak mahkota yang dimaksudkan. Mahkota yang hanya dipakai sekali dalam waktu setahun. Sambil berjalan jongkok Ki Ajar meneliti isi dari gedung perbendaharaan itu dengan cermatnya.
Berbagai macam benda terletak di dalam gedung perbendaharaan. Benda yang sederhana sampai benda yang sangat berharga. Namun kesemuanya itu dianggap sebagai benda yang dihormati di istana Kediri. Tiga buah topeng yang paling keramat terdapat di dalam gedung perbendaharaan itu pula. Dua buah bende. Semacam slepe yang berwarna kuning kemerahan karena bintik-bintik yang tidak diketahui asalnya. Dan beberapa macam benda yang lain. Namun yang berada di tengah-tengah ruangan, dibungkus oleh kain putih, adalah sebuah mahkota.
Ki Ajar telah mendapat petunjuk letak mahkota itu. Demikian pula bentuk dan ujudnya. Namun ternyata mahkota itu terbungkus sehingga Ki Ajar tidak langsung dapat melihat bentuk dan ujudnya. Untuk sesaat Ki Ajar termangu-mangu. Namun iapun kemudian yakin, bahwa yang berada di tengah dan dibungkus oleh kain putih itu adalah mahkota yang dikehendakinya.
Perlahan-lahan Ki Ajar mendekatinya. Kemudian dipusatkannya nalar budinya. Dengan menempatkan diri ke dalam puncak pengaruh kepribadiannya, maka Ki Ajar itu berusaha untuk mengambil mahkota itu. Namun tiba-tiba saja semacam awan panas telah menghembusnya. Tidak terlalu keras, tetapi rasa-rasanya seluruh tubuhnya telah terbakar.
Ki Ajar itu menyeringai menahan sakit. Namun juga dikerahkannya segenap kemampuan daya tahannya, sehingga akhirnya perlahan-lahan ia dapat mengatasi perasaan panas yang menerpa tubuhnya. Sejenak Ki Ajar termangu-mangu. Namun iapun segera teringat pada saat ia memasuki gedung itu. Karena itu, maka iapun kemudian telah duduk dengan tertib dan menyembah mahkota itu beberapa kali sambil mengatur perasaannya.
Kemudian dengan keyakinan yang teguh akan diri dan pribadinya akhirnya Ki Ajar itu pun menggapai mahkota yang keramat itu. Ternyata Ki Ajar itu berhasil. Dengan jantung yang berdebar-debar ia mengangkat mahkota yang terbungkus kain putih itu. Namun demikian ia mengangkat benda yang terbungkus oleh kain putih itu, ia menjadi ragu-ragu. Ternyata benda itu sangat berat.
“Jika benar ini mahkota, apakah seseorang dapat memakainya untuk waktu yang lebih dari sepenginang,” bertanya Ki Ajar itu kepada diri sendiri.
Karena keragu-raguan itulah, maka Ki Ajar pun kemudian telah membuka bungkusan itu dan melihat benda yang dipegangnya. Ternyata bahwa benda itu memang sebuah mahkota. Mahkota yang berwarna kekuning-kuningan yang tentu terbuat dari emas bertatahkan intan permata yang gemerlapan. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tentu mahkota itulah yang dimaksud. Mahkota yang bukan saja karena mahal sekali harganya, tetapi juga karena pada mahkota itu bersemayam wahyu keraton. Tetapi mahkota itu ternyata sangat berat.
“Memang hanya orang-orang yang memiliki darah raja-raja Kediri sajalah dapat memakainya untuk waktu yang agak lama,” berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Ajar itu pun telah keluar dari gedung perbendaharaan. Kemudian duduk dengan hitmatnya. Mengangguk dalam-dalam sampai dahinya menyentuh lantai sambil membawa mahkota yang sangat berat itu. Kemudian, Ki Ajar itu baru bangkit berdiri. Dengan sedikit kesulitan ia telah menyelarak pintu kembali. Ki Ajar memang seorang yang sangat yakin akan dirinya. Tanpa menghiraukan apapun juga, iapun telah berjalan dengan tenang sebagaimana ia pergi ke pintu gedung perbendaharaan itu.
“Marilah,” berkata Ki Ajar setelah ia mendekati Pangeran Lembu Sabdata dan muridnya.
“Apakah semuanya sudah selesai?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
“Sudah. Inilah Mahkota itu. Terimalah. Kau adalah seseorang yang mempunyai darah para raja di Kediri. Mudah-mudahan karena itu, kau tidak terkena pengaruh tuahnya.”
Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian menyembah mahkota yang masih dipegang oleh Ki Ajar itu. Baru kemudian ia menerimanya. Ternyata berbeda dengan Ki Ajar, menurut Pangeran Lembu Sabdata mahkota itu sama sekali tidak berat. Mahkota itu sebagaimana benda-benda yang lain memiliki bobot yang wajar saja. Emas dengan intan berlian yang menghiasinya.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Bukankah sebagaimana kataku, bahwa Pangeran Lembu Sabdata pantas untuk mengenakannya. Bukan saja sekedar pantas, tetapi mahkota itu akan menjadi alas kekuasaan Pangeran yang akan mendukung cita-cita Pangeran Kuda Permati.”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya, “Semuanya akan aku junjung tinggi.”
“Nah, sekarang kita akan keluar dari istana ini dan langsung kembali ke padepokan. Kita akan berjalan tanpa berhenti. Bukankah kita akan sanggup melakukannya?” berkata Ki Ajar.
“Tentu,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Bukankah kita sudah terbiasa melakukannya.”
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun dengan hati-hati telah keluar dari lingkungan istana dan hilang di dalam gelapnya malam.
Ternyata bahwa hilangnya pusaka itu tidak segera diketahui. Untuk beberapa saat, para penjaga pintu itu masih tertidur nyenyak. Sirep yang dilontarkan terbatas itu ternyata tidak berpengaruh di seluruh istana. Sirep itu hanya berpengaruh dalam satu lingkungan kecil, sehingga para Senapati yang bertugas malam itu tidak ada yang merasa curiga karena kelainan suasana.
Baru beberapa saat kemudian, ketika dua orang prajurit meronda, berkeliling halaman istana dan melihat setiap lingkungan yang gawat, merasa heran ketika mereka memasuki lingkungan gedung perbendaharaan dan gedung pusaka.
“Aku tidak pernah merasa kantuk seperti saat ini,” berkata salah seorang diantara mereka.
Kawannya justru menguap. Desisnya, “Mataku ternyata pantas ditukar mata ikan. Kenapa tiba-tiba saja mataku terpejam.”
Kedua orang itu ternyata masih menyadari keadaannya. Karena itu, maka katanya, “Aku tidak mungkin dapat bertahan. Aku akan berkata terus terang dengan Ki Lurah. Mungkin aku sakit.”
“Kita bersama-sama sakit. Marilah kita minta waktu kita meronda ditukar.”
Keduanya segera kembali ke gardu peronda di halaman belakang istana, karena mereka mendapat tugas di bagian belakang bersama beberapa orang kawannya yang lain. Namun demikian mereka meninggalkan daerah yang tersentuh ilmu sirep, maka mereka tidak lagi merasa kantuk. Mereka merasa bahwa badan mereka tetap sehat. Mata mereka menjadi terang dan mereka merasa siap untuk melakukan tugas mereka.
“He, apakah terjadi perubahan di dalam dirimu? Aku tidak merasa kantuk lagi,” berkata seorang diantara mereka.
“Sebagai seorang prajurit, aku sedang membuat perhitungan. Tentu tidak dapat bahwa hal seperti ini tiba-tiba saja terjadi. Apakah kau tidak merasakan sesuatu yang aneh?“ Yang lain justru bertanya.
“Ya,” jawab kawannya, “Aku memang merasa aneh.”
“Jika demikian, kita wajib menyelidiki. Mari kita kembali ke tempat yang aneh itu.” ajak yang lain.
Keduanya pun kemudian kembali mendekati gedung perbendaharaan. Namun keduanya dengan penuh kesadaran mulai memperhatikan suasana. Demikian mereka mendekati gedung perbendaharaan, terasa angin semilir lembut. Dedaunan bergerak perlahan-lahan sementara udara yang segar menerpa wajah-wajah mereka.
“Disini aku mulai merasa kantuk,” tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka berkata.
“Ya, tepat. Panggraitamu memang tajam sekali. Aku tahu maksudmu. Tentu ada hal yang tidak wajar disini. Atau di sekitar tempat ini,” sahut kawannya.
Demikianlah, maka keduanya menemukan sesuatu yang mendebarkan. Apalagi ketika kemudian mereka memaksa diri untuk semakin mendekat. Ilmu Sirep itu pun sudah menjadi semakin lemah, sementara sumber ilmu itu pun telah tidak ada lagi di tempat. Karena itu, maka kedua orang yang telah berusaha untuk tetap menyadari keadaan dirinya itu pun menemukan kawan-kawannya yang sedang bertugas telah tertidur.
Dengan serta merta, maka kedua orang itu pun telah berusaha membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur itu. Betapa sulitnya, namun usaha itu pun telah berhasil. Beberapa orang yang bertugas itu telah terbangun. Sementara seorang diantara kedua orang peronda itu berkata, “Aku akan melaporkan hal ini kepada Ki Lurah.”
“Pergilah. Tetapi jangan tertidur di halaman,“ pesan yang lain.
Ternyata peronda itu pun berlari, agar ia tidak disergap oleh perasaan kantuk yang mungkin akan sulit untuk diatasinya. Laporannya telah menggemparkan gardu peronda. Lurah prajurit yang sedang bertugas pun telah dengan serta merta pergi ke gedung perbendaharaan. Mereka memang masih merasakan sisa-sisa ilmu sirep itu. Namun kekuatannya sudah menjadi semakin lemah.
“Apakah kalian telah tertidur?” bertanya Lurah prajurit itu kepada para penjaga.
“Ya Ki Lurah,” jawab para prajurit itu dengan jujur. ”Kami tidak dapat menghindarkan diri. Kami tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi, sehingga kami sama sekali tidak dapat melawannya.”
Ki Lurah memperhatikan selarak pintu gedung perbendaharaan itu. Selarak pintu itu masih terpasang sebagaimana sebelumnya. Namun Lurah prajurit itu tidak tahu pasti apakah selarak itu pernah dibuka. Tetapi Ki Lurah itu tidak berani membukanya dan melihat isi gedung perbendaharaan itu.
Dengan demikian, maka yang dilakukan Ki Lurah kemudian adalah melaporkan kepada petugas yang bertanggung jawab atas gedung perbendaharaan dan gedung pusaka. Dengan demikian, maka orang itu akan segera dapat mengetahui, apakah ada sesuatu yang berubah letaknya atau bahkan hilang.
Laporan itu pun sangat mengejutkan pula. Seorang Tumenggung yang bertanggung jawab atas gedung perbendaharaan itu pun telah berlari-lari pergi ke tempat tugasnya. Ketika Ki Tumenggung itu sampai di pintu gedung pusaka, maka ia pun menarik nafas panjang. Gedung itu masih tertutup sebagaimana semula. Demikian pula gedung perbendaharaan.
“Bukankah tidak ada apa-apa yang terjadi?” bertanya Ki Tumenggung.
“Tentu telah terjadi sesuatu Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah yang kemudian menceriterakan selengkapnya apa yang telah terjadi. ”Segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung.”
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Kita lihat, apakah isinya ada yang berubah.”
Para prajurit yang bertugas menjadi tegang. Sejenak kemudian Ki Tumenggung pun duduk dengan tertibnya di depan pintu gedung pusaka. Setelah menyembah maka iapun segera membuka selarak pintu itu. Ia cenderung untuk melihat isi gedung pusaka itu lebih dahulu, karena di dalam gedung itu tersimpan banyak sekali senjata-senjata yang bertuah dan memiliki kekuatan yang gaib, yang menjadi pendukung kekuasaan Sri Baginda di Kediri.
Demikian Ki Tumenggung membuka selarak, maka sekali lagi ia duduk dan menyembah. Baru kemudian ia berjalan jongkok memasuki ruangan itu. Karena tugasnya, maka Ki Tumenggung itu telah mengenal sebaik-baiknya isi gedung pusaka itu. Karena itu, demikian pintu itu terbuka, sebenarnyalah Ki Tumenggung langsung mengenali bahwa tidak ada sebuah pun diantara pusaka-pusaka itu yang bergeser.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Beberapa pusaka yang paling keramat masih berada di tempatnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung pun telah keluar dari gedung pusaka itu dan menuju ke gedung perbendaharaan. Seperti yang dilakukan di gedung pusaka, maka dilakukannya pula di gedung perbendaharaan. Namun ketika ia memasuki gedung itu dengan berjalan jongkok, maka terasa jantungnya bagaikan akan meledak.
Ketika ia langsung memandang ke tempat penyimpanan mahkota yang dibungkus dengan kain putih, maka terasa pandangan matanya menjadi gelap. Mahkota itu tidak ada di tempatnya. Dalam kekaburan penglihatannya ia masih berusaha melihat di sekitarnya, mungkin mahkota itu telah berpindah tempat. Namun ternyata bahwa di dalam ruangan itu tidak dilihatnya lagi mahkota yang terbungkus dengan kain putih.
Karena itu, maka isi dadanya pun terasa terguncang. Ki Tumenggung tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja semuanya menjadi hitam pekat. Orang-orang yang berada diluar gedung menjadi kebingungan melihat keadaan Ki Tumenggung. Ketika mereka akan memasuki ruangan, maka terasa angin prahara telah menempuh mereka sehingga langkah mereka segera terhenti.
“Apa yang dapat kita lakukan Ki Lurah.” Seseorang telah bertanya.
Ki Lurah itu pun kemudian melakukan sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung, sehingga iapun kemudian dapat memasuki gedung perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mendekati Ki Tumenggung dan mengamatinya. Ternyata Ki Tumenggung itu telah pingsan. Ki Lurah pun kemudian memanggil salah seorang diantara prajurit yang berada diluar. Dengan laku yang sama maka prajurit itu pun berhasil memasuki gedung perbendaharaan itu.
Dengan susah payah, maka Ki Lurah dan seorang prajurit telah membawa Ki Tumenggung itu keluar. Beberapa saat, mereka berusaha merawat Ki Tumenggung sehingga Ki Tumenggung pun akhirnya menjadi sadar.
“Tutup pintu itu dahulu,” desisnya ketika matanya mulai terbuka.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Lurah dengan laku sebagaimana saat Ki Tumenggung akan membuka pintu itu telah menutupnya kembali dan menyelaraknya.
“Apa yang terjadi Ki Tumenggung?” bertanya Ki Lurah. “Apakah ada yang salah.”
Ki Tumenggung memandang para prajurit di sekitarnya setelah ia bangkit dan duduk. Dengan nada datar ia berkata. “Kita telah mengalami satu bencana. Sebuah diantara benda-benda yang paling berharga telah hilang.”
“Apa?” bertanya Ki Lurah.
“Mahkota,” jawab Ki Tumenggung.
“Mahkota,“ ulang Ki Lurah.
“Ya. Mahkota pusaka kerajaan Kediri,” jawab Ki Tumenggung.
Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening. Namun akhirnya Ki Lurah itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu, maka katanya kepada seorang prajurit, “Laporkan kepada Senapati yang memimpin pengawalan istana malam ini.”
Prajurit itu pun segera berangkat ke bagian depan istana untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Betapa terkejutnya Senapati itu. Mahkota itu adalah pertanda kuasa Sri Baginda di Kediri. Bahkan menurut pendengaran Senapati itu, Mahkota itu adalah benda yang bertuah. Karena itu, maka iapun telah bergegas pergi ke gedung perbendaharaan.
Sebenarnyalah seperti yang dilaporkan kepadanya, mahkota itu telah hilang. Ki Tumenggung yang dibebani tugas untuk memelihara gedung perbendaharaan dan gedung pusaka itu mengatakan kepada Senapati yang datang itu, bahwa mahkota itu memang sudah hilang.
“Siapa yang melaporkan kepadamu Ki Tumenggung?” bertanya Senapati itu.
“Para peronda. Aku mendapat laporan dari mereka,” jawab Ki Tumenggung.
Senapati itu memandangi Ki Lurah dengan tajamnya. Lalu katanya, “Kau tidak melaporkan kepadaku sebelum melapor kepada Ki Tumenggung?”
“Aku ingin meyakinkan apa yang terjadi. Jika tidak terjadi apa-apa, maka bukankah kita tidak perlu ribut seperti ini?” jawab Ki Lurah.
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau menduga, bahwa ada sesuatu yang hilang?” bertanya Senapati itu.
Ki Lurah tidak ingkar. Iapun menceriterakan semuanya apa yang telah terjadi di gedung perbendaharaan itu.
“Jadi para prajurit yang bertugas telah tertidur?” bertanya Senapati itu.
“Ya. Dalam pengaruh ilmu sirep,” jawab Ki Lurah.
“Persetan dengan sirep. Dipengaruhi atau tidak, tetapi kenyataan yang terjadi, para prajurit telah tidur nyenyak dalam tugas mereka,“ jawab Senapati itu.
“Jangan meniadakan laporan atau sebagian dari laporan yang kami sampaikan. Sirep itu telah terjadi. Dan itu perlu kami laporkan. Jika atasan kami menganggap bahwa kami telah bersalah karena tidak berhasil melawan sirep, kami tidak akan ingkar,“ Ki Lurah menjelaskan.
“Tetapi kenyataan itu telah terjadi. Kalian tidak dapat mengamankan benda-benda berharga yang terdapat di gedung perbendaharaan.” bentak Senapati itu.
“Bukankah kami tidak akan ingkar. Kami akan mempertanggung jawabkannya. Hal itu memang sudah terjadi,” jawab Ki Lurah.
Senapati itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Lurah sudah mengakui kesalahannya. Namun demikian, yang akan bertanggung jawab terhadap para pemimpin Kediri, termasuk Pangeran Singa Narpada adalah Senapati yang memimpin tugas pengawalan pada malam itu. Sehingga apapun yang dikatakannya kepada Ki Lurah, namun yang terjadi itu akan dapat menjeratnya ke dalam kesulitan.
Tetapi Senapati itu harus mengusut persoalannya dengan teliti. Ia memang harus membuat laporan terperinci. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, ia memang harus melaporkan tentang sirep itu pula.
Peristiwa hilangnya mahkota itu memang tidak dapat disembunyikan. Menurut Ki Tumenggung, laporan harus dibuat secepatnya, sehingga mungkin para pemimpin di Kediri dapat mengambil langkah-langkah yang perlu.
Namun demikian, Ki Tumenggung masih berpesan, agar hilangnya mahkota itu dirahasiakan bagi rakyat banyak. Jika berita itu tersebar, maka akan terjadi keresahan yang mungkin akan berakibat buruk.
Senapati yang memimpin para peronda malam itu ternyata sependapat dengan Ki Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera mengumpulkan para pemimpin kelompok prajurit yang malam itu bertugas di istana.
Beberapa pesan telah diberikan. Dengan tegas Senapati itu berkata, “Demi tegaknya Kediri, kalian harus merahasiakan apa yang terjadi. Meskipun hal ini tidak akan dapat kita rahasiakan terhadap para pemimpin dan kepada Sri Baginda.”
Para prajurit mengerti maksud Senapati itu. Karena itu, maka mereka pun bertekad untuk melaksanakannya. Namun demikian mereka sadar, bahwa hukuman tidak akan terlepas dari mereka, karena mereka telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar atas Kediri. Namun, sebagai seorang prajurit, mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab.
Demikianlah, ketika laporan itu sampai kepada para pemimpin di Kediri, maka rasa-rasanya Kediri bagaikan telah terbakar. Jantung di dalam hati Sri Baginda bagaikan berhenti berdetak. Apalagi Sri Baginda pun menyadari, menurut kepercayaan para raja turun temurun di Kediri, Mahkota itu adalah tempat bersemayam wahyu keraton.
Hilangnya mahkota itu, maka Kediri akan benar-benar hapus. Tidak saja sebagaimana saat Tumapel mengalahkan Kediri. Karena setelah itu Kediri tetap berdiri meskipun dibawah pengaruh Singasari. Tetapi jika Kediri sudah kehilangan wahyu keraton, maka Kediri benar-benar akan tenggelam dan hilang sama sekali dari percaturan rakyat di Singasari. Sementara itu, darah Pangeran Singa Narpada bagaikan telah terbakar. Dengan garang ia bertanya kepada Senapati yang memberikan laporan. “Kau sebut-sebut tentang sirep?”
“Ya Pangeran,” jawab Senapati itu.
“Jika demikian, kita akan dapat menghubungkannya dengan saat hilangnya Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Senapati itu mengangguk-angguk. Meskipun pada saat itu ia tidak bertugas di tempat Pangeran Lembu Sabdata ditahan, namun ia juga mendengar bahwa semua petugas pada waktu itu telah terbius oleh kekuatan ilmu yang membuat mereka mengantuk dan tertidur.
Ternyata persoalan sirep yang semula oleh Senapati yang bertugas di istana itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu di perhatikan dalam penilaian atas mahkota yang hilang, karena menurut Senapati itu, apapun yang terjadi, tetapi ternyata bahwa mahkota itu telah hilang, sehingga laporan tentang sirep itu seakan-akan hanya sekedar untuk memperkecil kesalahan, namun ternyata bahwa justru sirep itulah yang mendapat perhatian utama dari Pangeran Singa Narpada.
“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian. ”Kita tidak akan mengingkari kenyataan. Mahkota itu telah hilang. Kalian tidak akan dapat mencuci tangan begitu saja atas hilangnya pusaka itu. Kesalahan kalian tidak kurang dari kesalahan para petugas waktu Pangeran Lembu Sabdata hilang. Namun demikian, keputusan tentang kalian tidak akan diberikan sekarang. Semua tenaga apalagi yang berhubungan dengan hilangnya mahkota itu, akan dikerahkan. Mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk menemukannya, atau kita bersama sama akan tenggelam.“ Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak. Namun masih terdengar giginya yang gemeretak. Katanya kemudian, “Mundurlah. Tetapi ingat, bahwa hal ini masih merupakan rahasia istana. Siapa yang membocorkan rahasia ini akan mendapat hukuman yang seimbang dengan kesalahannya. Bahkan siapa yang membocorkan rahasia ini tidak kurang dari seorang pengkhianat.”
Demikianlah mereka yang menghadap untuk melaporkan hilangnya mahkota itu telah mundur dari hadapan para pemimpin di Kediri, sementara itu Pangeran Singa Narpada masih juga berbicara dengan para pemimpin itu.
Sri Baginda sendiri kemudian berkata kepada pangeran Singa Narpada. “Terserah kepada kalian, apa yang sebaiknya dilakukan. Aku akan beristirahat.”
Yang kemudian menjadi pusat pembicaraan adalah cara yang mirip yang ditempuh oleh orang-orang yang mengambil mahkota itu sebagaimana yang pernah dilakukan untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Pangeran Singa Narpada sendiri yakin, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmu sirep. Karena itu, maka tentu ada pihak lain yang telah mengambilnya dari bilik tahanannya dan yang kemudian telah mengambil mahkota itu pula dari gedung perbendaharaan.
Satu kesimpulan yang diambil oleh Pangeran Singa Narpada namun yang belum dikatakannya kepada siapapun, adalah satu rangkaian usaha untuk merebut tahta Kediri dan usaha untuk menempatkan Pangeran Lembu Sabdata pada kedudukan tertinggi. Namun Pangeran Singa Narpada yakin, bahwa ada satu pihak yang berdiri di belakang Pangeran Lembu Sabdata, justru orang itu adalah orang yang menentukan segala-galanya.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada yakin bahwa yang dihadapi oleh Kediri adalah satu gerakan yang sangat rumit. Namun Pangeran Singa Narpada yang mempunyai ketajaman pengamatan dan perhitungan, tidak melepaskan usaha yang sedang dilakukan itu dengan usaha Pangeran Kuda Permati yang gagal.
“Tetapi kegagalan itu telah memberikan banyak pelajaran kepada pihak mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam dirinya, “Kini orang yang telah menggerakkan usaha perlawanan itu, telah mengambil cara yang lain. Cara yang lebih cermat dan lembut.”
Pikiran itu merupakan pangkal usaha Pangeran Singa Narpada untuk menelusuri hilangnya pusaka yang dianggap menjadi tempat semayam wahyu keraton Kediri. Tetapi sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada telah menjadi curiga terhadap para pemimpin Kediri sendiri. Seolah-olah diantara mereka terdapat orang-orang yang setiap saat akan dapat berkhianat.
Karena itu, maka untuk beberapa lama Pangeran Singa Narpada tidak banyak memberikan pendapatnya dalam pertemuan-pertemuan para pemimpin Kediri. Bahkan ia telah mengatakan cara-cara yang mungkin ditempuh, namun yang berbeda dari perhitungannya yang sebenarnya.
“Kita harus menyebarkan para petugas sandi,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Mereka harus berusaha melihat pertanda-pertanda yang mencurigakan. Bahkan mungkin mereka dapat mendengar atau melihat gerakan yang pantas untuk diamati.”
Tetapi persoalannya tidak terlalu sederhana. Hal itu disadari oleh Pangeran Singa Narpada. Namun para pemimpin di Kediri itu memang belum menemukan jalan yang menjurus ke arah yang memungkinkan untuk mengetahui jejak mahkota yang hilang itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada berniat untuk menelusuri gerakan ini dari ujung, Ia harus menemukan beberapa nama yang dapat dihubungkan dengan Pangeran Kuda Permati. Karena Pangeran Singa Narpada-pun kemudian yakin bahwa terbunuhnya Pangeran Kuda Permati ternyata masih belum memadamkan perlawanan itu. Bahkan perlahan-lahan api perlawanan itu justru semakin lama menjadi semakin membesar kembali.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada berpendapat bahwa sumber dari gerakan itu masih harus diketemukan. Tetapi untuk sementara Pangeran Singa Narpada merasa dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat mempercayai seseorang. Bahkan ia menduga, lepasnya Pangeran Lembu Sabdata dan hilangnya mahkota itu, tentu berkaitan dengan pengkhianat diantara para pemimpin Kediri sendiri.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang telah berhasil mengambil mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat semayam wahyu keraton itu telah berada kembali di padepokannya. Yang kemudian menyimpan mahkota itu adalah Pangeran Lembu Sabdata, yang dianggap memiliki darah raja-raja Kediri, sehingga mahkota itu tidak akan menimbulkan persoalan baginya. Bahkan kemudian diharapkan bahwa wahyu keraton yang bersemayam di mahkota itu akan dapat mendukung usaha Pangeran Lembu Sabdata untuk menguasai tahta.
“Perjuangan ini harus dilakukan sampai tuntas,” berkata Ki Ajar. Lalu, “perjuangan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati ternyata diwarnai oleh kebimbangan. Pangeran Kuda Permati ingin merubah sikap Kediri, tetapi ia ingin tetap membiarkan Sri Baginda untuk berada diatas tahtanya. Sikap yang bimbang inilah salah satu sebab, kenapa Pangeran Kuda Permati tidak berani bergerak lebih tegas dan lebih keras.“ Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu, “Sikap kita harus lain. Kita harus bersikap tegas. Meskipun mungkin Sri Baginda itu juga disentuh oleh perasaan ragu sebagaimana sikapnya terhadap Pangeran Singa Narpada, tetapi sikap yang ragu itu akan dapat menghambat perjuangan. Karena itu, maka bagaimanapun juga, sampai hati atau tidak, Sri Baginda harus disingkirkan.”
Pangeran Lembu Sabdata yang masih lebih muda dari Pangeran Kuda Permati itu mengangguk-angguk. Agaknya ia akan dapat berbuat lebih keras dari Pangeran Kuda Permati itu. Apalagi Pangeran Lembu Sabdata benar-benar sudah berada dibawah pengaruh Ki Ajar.
“Tetapi sekali lagi Pangeran, kita tidak boleh tergesa-gesa,” berkata Ki Ajar, “Kita harus menunggu sampai orang-orang Kediri melupakannya, sebagaimana saat hilangnya Pangeran dari bilik tahanan. Baru di saat orang-orang Kediri itu tidak lagi memikirkan mahkota yang hilang, kita akan menyusun diri. Jika hal itu kita lakukan sekarang sebelum kita mulai, kita tentu sudah akan digulung oleh Pangeran Singa Narpada. Sementara itu, Pangeran masih harus menyempurnakan ilmu Pangeran bersama dengan Putut itu.“
“Baik Ki Ajar,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Aku memang tidak tergesa-gesa. Aku sependapat, bahwa seharusnya aku menyempurnakan ilmu yang aku sadap dari Ki Ajar, agar bekalku jadi memadai nanti.”
“Dengan demikian, maka untuk sementara kita pun akan melupakan mahkota itu,” berkata Ki Ajar, “Asal Pangeran menyimpannya dengan baik.”
“Aku simpan di dalam bilikku,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Dan kita bersama-sama akan mempertahankannya seandainya ada pihak yang berhasil mengetahui, bahwa mahkota itu ada disini.”
“Tentu,” berkata Ki Ajar, “Tetapi tidak akan ada orang yang pernah menduga bahwa Pangeran berada disini.”
"Menurut perhitungan, para pemimpin di Kediri tentu akan menghubungkan hilangnya mahkota ini dengan hilangnya Pangeran dari bilik tahanan. Mereka tentu akan memperhitungkan pula cara yang mirip yang terjadi pada saat Pangeran diambil dari bilik tahanan itu, dan pada saat mahkota itu hilang. Keduanya mempergunakan ilmu sirep. Karena itu, untuk sementara kita tidak boleh menempuh jalan yang sangat berbahaya dengan memberikan kemungkinan seseorang dapat mengenali Pangeran.”
“Tidak seorang pun lagi yang akan dapat mengenal aku,” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
“Tetapi lebih baik kita berhati-hati. Untuk sementara Pangeran akan tetap berada di padepokan. Biarlah orang lain diantara kita yang melihat-lihat suasana setelah mahkota itu hilang,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Lembu Sabdata tidak membantah. Ia patuh kepada semua perintah Ki Ajar. Karena itu, maka untuk beberapa lama Pangeran Lembu Sabdata tetap berada di padepokan. Dipergunakannya waktunya untuk memperdalam ilmunya, sehingga Pangeran Lembu Sabdata benar-benar menjadi seorang yang jarang ada duanya di dalam olah kanuragan. Bersama Putut yang terpercaya di padepokan itu, ilmu Pangeran Lembu Sabdata setapak demi setapak berkembang.
Sementara itu, dalam pengamatan yang dilakukan oleh murid terpercaya dari padepokan Ki Ajar, ternyata di Kediri suasana tidak bergejolak sebagaimana telah diduga oleh Ki Ajar. Ki Ajar sudah memperhitungkan bahwa hilangnya mahkota itu akan dirahasiakan, sehingga tidak akan banyak orang yang mengetahuinya. Dengan demikian Kediri akan dapat menjaga ketenangannya.
Namun pengamatan Putut yang tajam itu, dapat dilihatnya bahwa ada juga pihak yang menjadi sibuk karenanya. Meskipun tidak semata-mata, maka perondaan yang dilakukan oleh para prajurit Kediri pun agaknya telah meningkat. Bahkan para prajurit itu telah mengamati daerah yang luas. Para Senapati di daerah perbatasan Kota Raja juga sibuk dan sangat berhati-hati menanggapi perkembangan keadaan.
Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada persiapan-persiapan yang pantas dicurigai. Tidak ada kegiatan yang mengarah kepada pembentukan satu kekuatan. Karena itu, maka sikap para prajurit Kediri itu pun semakin lama menjadi semakin lunak pula. Juga para Senapati di daerah perbatasan.
Namun berbeda dengan mereka, dengan diam-diam Pangeran Singa Narpada justru telah mengadakan pengamatan. Namun hal itu pun juga dilakukannya dengan sangat berhati-hati. Ia merasa bersalah, bahwa selama ini ia menjadi lengah. Meskipun ia masih saja setelah berpesan, agar para prajurit Kediri tidak pernah melupakan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. namun ia tidak memerintahkan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu.
Tetapi sebenarnya bahwa Pangeran Singa Narpada tidak pernah menduga, bahwa sasaran berikutnya adalah justru mahkota Kediri. Sebelumnya Pangeran Singa Narpada memperhitungkan, bahwa langkah selanjutnya adalah menghimpun kembali kekuatan Pangeran Kuda Permati yang tercerai berai. Karena itu perhatian Pangeran Singa Narpada sebagian besar adalah pengamatan kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan kelompok-kelompok yang akan dapat tersusun menjadi kekuatan yang besar untuk melawan Kediri.
Namun dalam kesendiriannya, Pangeran Singa Narpada teringat kepada Singasari. Ia memang tidak ingin mengundang kekuatan prajurit Singasari untuk hadir di Kediri. Sejak Singasari menarik wakil kuasa Sri Maharaja Singasari di Kediri, sebenarnya Pangeran Singa Narpada berharap bahwa Kediri akan mampu menegakkan dirinya sendiri. Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh Singasari ternyata tidak pernah dapat dimanfaatkan justru karena pergolakan yang terjadi di Kediri.
Pangeran Singa Narpada tidak akan mengundang bantuan Singasari, karena Kediri memang tidak memerlukannya. Dalam pada itu, Kediri masih juga belum melihat sasaran kekuatan prajurit, yang menurut perhitungan Pangeran Singa Narpada lambat laun tentu ikan datang juga.
“Yang penting untuk dilaksanakan dengan cepat adalah menemukan kembali mahkota yang hilang itu,” berkata Pangeran Singa Narpada dalam hatinya. Karena itu maka telah terbersit niatnya untuk berhubungan dengan Singasari dalam usaha menemukan mahkota itu dengan tugas sandi.
“Aku tidak dapat mempercayai lagi orang-orang Kediri. Meskipun aku yakin, bahwa hanya satu-dua orang saja yang berkhianat, tetapi aku tidak tahu yang manakah yang hanya satu atau dua itu,” desis Pangeran Singa Narpada kepada diri sendiri. Karena itulah, maka agaknya ia akan merasa lebih aman untuk bekerja dengan orang-orang Singasari.
“Tidak dengan satu pasukan segelar sepapan. Tetapi hanya satu atau dua orang saja,” desisnya pula.
Ternyata Pangeran Singa Narpada benar-benar ingin melaksanakan maksudnya. Karena itu, maka dengan diam-diam ia telah mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Singasari. Ia tidak akan dengan resmi menghubungi Panglima keprajuritan di Singasari, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan seorang Senapati muda yang dikenalnya. Mahisa Bungalan, lewat seorang pemimpin Singasari yang pernah berada di Kediri, Mahisa Agni.
“Mahisa Agni tentu sudah terlalu tua untuk melaksanakan tugas-tugas yang berat,“ gumam Pangeran Singa Narpada. ”Tetapi agaknya Mahisa Bungalan akan bersedia membantuku apabila ia mendapat ijin dari Panglima.”
Karena itulah, maka pada suatu hari Pangeran Singa Narpada minta diri kepada kepercayaannya, namun yang tidak juga dapat menampung kesulitannya karena hilangnya mahkota Kediri. Betapapun juga ia mempercayainya, namun persoalan yang dianggapnya sangat penting dan menentukan itu dirasa perlu untuk berahasia. Pangeran Singa Narpada tidak mengatakan bahwa ia akan pergi dari Kediri untuk memecahkan persoalan mahkota yang hilang, tetapi ia mengatakan bahwa ia akan mesu diri. Menyepi untuk mendapatkan petunjuk tentang mahkota yang hilang itu.
“Nalarku sudah buntu,” berkata Pangeran Singa Narpada. ”Karena itu, aku merasa perlu untuk mencari kesegaran penglihatan hatiku agar aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.”
“Apakah Pangeran akan pergi untuk waktu panjang?” bertanya kepercayaannya itu.
“Aku tidak tahu, berapa hari aku akan pergi,” jawab Pangeran Singa Narpada. ”Mudah-mudahan tidak terlalu lama. Tetapi jika seseorang mencariku, katakan bahwa aku sedang samadi di dalam sanggar. Katakan bahwa aku tidak pergi kemana-mana. Tetapi untuk sementara aku tidak dapat menerima tamu siapapun juga.”
“Pangeran tidak membawa seorang pengawalnya?” bertanya kepercayaannya pula.
Pangeran Singa Narpada menggeleng. Jawabnya, “Aku akan pergi sendiri. Perhatikan semua pesanku. Jangan ada yang salah langkah, atau salah ucap.”
“Baiklah Pangeran,” jawab kepercayaannya itu, “Aku akan melakukannya sebaik-baiknya.”
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun telah meninggalkan istananya. Ia keluar dari gerbang halaman istananya pada saat matahari telah terbenam, sehingga tidak ada seorang pun yang melihatnya. Apalagi Pangeran Singa Narpada telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Pangeran Singa Narpada sendiri sadar, bahwa perjalanannya adalah perjalanan yang panjang. Apalagi ia tidak membawa seekor kuda agar ia dapat dengan leluasa bergerak di Singasari kelak.
Sementara itu, tidak seorang pun di Kediri yang mengetahui bahwa Pangeran Singa Narpada telah menuju ke Singasari untuk berusaha menemukan seorang atau sekelompok petugas sandi yang akan dapat membantunya menemukan mahkota Kediri yang hilang. Mahkota yang dianggap tempat bersemayam wahyu Keraton.
Dengan demikian, maka mulailah Pangeran Singa Narpada dengan pengembaraannya. Ia sadar, bahwa tugas yang diembannya adalah tugas yang berat dan berbahaya. Tetapi ia merasa wajib untuk melakukannya. Jika ia tidak berbuat sesuatu, maka hari depan Kediri akan menjadi sangat suram. Kediri akan menjadi kuburan anak-anak terbaiknya yang saling membunuh diantara mereka sendiri.
Meskipun demikian ada juga kecemasan di hati Pangeran Singa Narpada. Jika selama ia pergi, ada gerakan kekuatan yang besar, mungkin Kediri akan mengalami kesulitan. Tetapi Pangeran Singa Narpada percaya kepada Panji Sempana Murti. Dalam keadaan yang gawat, ia tentu tidak hanya bergerak di perbatasan Utara, Ia akan dapat mengambil langkah yang akan mencegah bahaya yang akan dapat menghancurkan Kediri sampai saatnya ia datang.
Dalam perjalanan Pangeran Singa Narpada merasa ragu. Apakah ia akan memberikan pesan-pesan kepada Panji Sempana Murti atau tidak. Namun akhirnya ia memutuskan, bahwa tidak perlu ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya ke Singasari. Mungkin Panji Sempana Murti tidak sependapat, sehingga justru akan timbul persoalan diantara mereka.
Karena itu, maka keberangkatan Pangeran Singa Narpada benar-benar tidak diketahui oleh seorang pun diantara orang-orang Kediri. Pangeran itu menempuh perjalanan sebagaimana seorang pengembara. Tetapi untuk mempermudah segala persoalan di perjalanan, maka Pangeran Singa Narpada telah membawa bekal uang yang cukup banyak, meskipun ia tidak akan berada di Singasari terlalu lama.
Dalam perjalanannya sebagai seorang pengembara maka Pangeran Singa Narpada justru tidak banyak mengalami hambatan. Tidak banyak orang yang memperhatikan perjalanan semacam itu. Bahkan beberapa orang berusaha untuk menghindari para pengembara yang kadang-kadang dengan memelas minta uang kepada mereka dan sulit untuk menolaknya.
Tetapi diantara mereka yang berusaha menghindar, ternyata Pangeran Singa Narpada telah diamati oleh dua orang yang berwajah kasar. Ketika Pangeran Singa Narpada berada di sebuah kedai, tidak sengaja Pangeran Singa Narpada telah berbuat kesalahan sehingga kedua orang itu mengetahui bahwa kampil yang dibawa olehnya berisi uang yang tidak terlalu sedikit.
“He.” Bisik salah seorang diantara kedua orang itu kepada kawannya, “pengembara itu membawa uang.”
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ketajaman penglihatan Pangeran Singa Narpada menangkap gelagat yang kurang baik. Ia menyesal bahwa ia telah melakukan kesalahan, sehingga telah menarik perhatian orang lain. Apalagi agaknya kedua orang itu adalah orang yang berkelakuan tidak baik. Tetapi hal itu sudah terlanjur terjadi. Karena itu, maka ia harus mengatasi kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada masih akan berusaha menghindar apabila mungkin. Sehingga tidak usah terjadi bahwa ia mempertahankan miliknya itu dengan kekerasan. Karena itu, demikian Pangeran Singa Narpada membayar makanan dan minuman, sebelum kedua orang itu selesai, dengan cepat telah meninggalkan kedai itu. Dengan tergesa-gesa Pangeran Singa Narpada telah memilih jalan yang banyak dilalui orang sehingga sulit bagi kedua orang itu untuk mendapat kesempatan berbuat jahat atas dirinya. Bahkan ternyata kemudian Pangeran Singa Narpada sempat memasuki sebuah pasar yang ramai.
Tetapi ternyata kedua orang itu tidak melepaskannya. Kedua orang itu berhasil menyusulnya dan mengikutinya memasuki pasar itu pula. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Menurut pengamatannya kedua orang itu memang dua orang yang terbiasa melakukan kejahatan sehingga dengan telaten mengikuti calon korbannya.
“Agaknya sulit untuk menghindari mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada dirinya sendiri.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian tidak lagi berusaha menghindar. Ia berjalan saja keluar dari pasar dan berjalan menuju ke sebuah padukuhan.
“Mudah-mudahan aku akan dapat berada di banjar padukuhan itu sampai malam nanti,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya.
Namun demikian kedua orang itu masih saja mengikutinya. Tetapi keduanya masih belum mempunyai kesempatan untuk bertindak, karena Pangeran Singa Narpada selalu berada di jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi Pangeran itu kecewa. Ketika ia memasuki padukuhan di hadapan bulak itu, ternyata padukuhan itu sedang sibuk dengan upacara kematian. Bekel yang memimpin padukuhan itu telah meninggal.
Pangeran Singa Narpada tidak mau mengganggu orang-orang yang sedang sibuk. Karena itu, maka iapun telah meneruskan perjalanan. Tetapi ketika Pangeran Singa Narpada keluar dari padukuhan itu dan menghadap ke sebuah bulak yang panjang, maka iapun mengeluh di dalam hati. Ia memang tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar.
Namun ketika ia berada diluar regol padukuhan, ia berhenti dan duduk di sebuah sebatang pohon yang besar, tidak jauh dari regol yang justru banyak terdapat anak-anak muda yang masih berada dalam suasana upacara kematian pemimpin mereka. Kedua orang yang mengikuti Pangeran Singa Narpada itu mengumpat. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan anak-anak muda itu.
“Pengembara itu agaknya sudah merasa bahwa kita akan berbuat sesuatu atas dirinya,” berkata salah seorang diantara mereka.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun keduanya masih saja termangu-mangu di regol. Ternyata sikap kedua orang itu menarik perhatian anak-anak muda yang berada di regol. Seorang diantara mereka telah mendekati kedua orang itu sambil bertanya, “Apakah yang menarik perhatian kalian disini?”
Kedua orang itu memandang anak muda itu dengan wajah yang tegang. Dengan kasar ia menjawab, “Apa pedulimu.”
Anak muda itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa kedua orang itu akan bersikap sangat kasar, sehingga karena itu maka anak muda itu pun menjawabnya dengan keras pula, “Aku bertanya dengan baik. Kenapa jawabmu begitu kasar?”
“Jangan ikut campur,“ orang itu justru membentak. ”Ajak saja kawan-kawanmu pergi.”
Anak muda itu benar-benar tersinggung. Katanya, “Persetan. Kau jangan mencari perkara disini.”
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Namun sementara itu beberapa orang yang lain telah mengerumuninya pula setelah mereka mendengar nada-nada yang keras dan kasar.
“Ada apa?” bertanya beberapa orang.
“Aku bertanya dengan baik. Tetapi jawabnya kasar sekali,” jawab anak muda itu.
Yang lain pun kemudian mendesak maju. Agaknya anak-anak muda itu tidak senang melihat sikap orang itu. Tetapi tiba-tiba saja salah seorang diantara kedua orang itu berkata, “Kalian mau apa?”
“Jangan begitu Ki Sanak,” sahut seorang yang nampaknya paling tua diantara anak-anak muda itu, “Kita tidak ingin bertengkar. Kenapa kita tidak berbicara dengan baik saja?”
“Jangan campuri urusanku,” sekali lagi orang itu membentak.
Dengan demikian anak-anak muda itu menjadi marah. Beberapa orang mendesak semakin maju. Seorang diantara mereka berkata, “Kau ingin kami juga berbuat kasar?”
Tetapi jawab salah seorang dari kedua orang itu sangat mengejutkan anak-anak muda itu. Katanya, “Kau jangan mengganggu aku anak setan. Kau dengar namaku. Kemudian pertimbangkan, apakah kalian benar-benar ingin berbuat kasar.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Namaku Sadkala.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian beberapa orang diantara mereka justru menjadi gemetar. Ternyata orang itu adalah Sadkala. Orang yang namanya sangat ditakuti. Anak-anak muda itu belum begitu mengenal orang yang bernama Sadkala. Namun seorang diantara mereka ternyata memang pernah melihat orang yang bernama Sadkala. Tetapi semula ia tidak begitu memperhatikan. Namun demikian ia mendengar nama itu, maka iapun segera teringat, bahwa orang itu memang bernama Sadkala. Seorang yang namanya sering disebut-sebut dan seakan-akan tidak seorang pun yang menghalangi apapun yang ingin dilakukannya.
Karena anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu, maka orang yang bernama Sadkala itu berkata, “Nah, apa yang akan kalian lakukan? Sebenarnya aku tidak ingin kalian menjadi ribut. Tetapi kalian yang mencari perkara.”
Anak-anak muda itu seorang demi seorang telah bergeser surut. Sementara itu, seorang diantara mereka berdesis, “Sebenarnya satu kesempatan baik. Jika kita tidak sedang sibuk dengan kematian Ki Bekel, maka kita sekarang ini dapat membunyikan pertanda, sehingga kita dan anak-anak muda di seluruh padukuhan akan dapat menangkapnya.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Sulit untuk menangkapnya, tetapi jika kita berbuat demikian dengan segala kekuatan yang ada aku kira kita akan berhasil. Tetapi sudah tentu tidak sekarang.”
Anak-anak muda itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu kedua orang itu pun telah bergeser menjauhi regol. Mereka tidak menghiraukan lagi anak-anak muda yang menjadi gemetar mendengar namanya.
“Jadi agaknya orang itu termasuk orang yang ditakuti,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya. Apalagi ketika dari tempatnya ia melihat anak-anak muda itu bergeser menjauh.
Dalam pada itu, dengan kemampuan ilmunya, Pangeran Singa Narpada sempat mendengarkan percakapan itu meskipun lamat-lamat. Tetapi dengan demikian ia mengerti, apa yang sedang dipercakapkan. Namun justru karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun segera bangkit dan meninggalkan tempatnya menuju ke bulak yang panjang yang terbentang di hadapannya.
Keduanya yang melihat buruannya meneruskan perjalanan mereka pun telah meninggalkan regol itu pula. Anak-anak muda yang ada di regol itu hanya memandanginya saja. Namun agaknya mereka pun menjadi curiga, bahwa orang yang bernama Sadkala dan kawannya itu sedang mengikuti seorang pengembara.
Namun salah seorang diantara mereka kemudian berdesis, “Tentu tidak. Buat apa orang yang dikenal dengan nama Sadkala itu mengikuti seorang pengembara? Jika ia ingin mengikuti, tentu seseorang yang mungkin akan dapat dirampoknya.”
“Tetapi demikian orang yang duduk dibawah pohon itu pergi, maka mereka pun telah pergi pula,” berkata yang lain.
“Hanya satu kebetulan,” sahut kawannya.
Mereka tidak membicarakan lagi. Memang ada kecemasan bahwa kedua orang itu akan berbuat jahat terhadap pengembara yang nampaknya tidak berdaya. Tetapi mereka telah menenangkan perasaan mereka sendiri, dengan satu anggapan bahwa kedua orang perampok yang namanya ditakuti itu tentu tidak akan merampok pengembara yang miskin dan tidak mempunyai bekal apapun juga. Bahkan kadang-kadang untuk makan sehari-hari saja mereka minta bantuan kepada orang lain.
Namun sebenarnyalah bahwa kedua orang itu telah mengikuti pengembara yang diketahuinya mempunyai uang yang cukup banyak di dalam kampilnya. Karena itu, maka agaknya mereka merasa akan dapat merampas uang itu dengan mudahnya. Ketika pengembara itu telah berada di tengah-tengah bulak panjang, maka kedua orang itu mempercepat langkahnya sehingga jarak mereka dengan pengembara itu menjadi semakin lama semakin dekat...