Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 26

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 26 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 26
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KI AJAR sempat melihat benturan-benturan yang terjadi. Dengan demikian maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Anak-anak muda yang datang ke padepokan itu benar-benar anak-anak muda yang sudah siap. Tentu demikian pula dengan orang-orang yang lebih tua. Sebagaimana didengarnya, Pangeran Singa Narpada adalah seorang yang pilih tanding. Seolah-olah kekuatan Kediri tergantung di pundaknya. Jika Pangeran Singa Narpada dapat dikalahkannya, maka Kediri akan menjadi lumpuh dan kehilangan tumpuan.

Dengan demikian, maka pertapa yang berusaha untuk mengendalikan perjalanan dan perputaran kejadian di Kediri itu, harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati pula. Tetapi yang dicemaskan oleh Ki Ajar yang pertama-tama justru Pangeran Lembu Sabdata. Ia kurang menghargai kemampuan lawannya yang ternyata berilmu sangat tinggi. Namun bahwa ia telah terlempar jatuh dalam satu benturan, adalah merupakan satu kesalahan dari lawannya.

Seandainya lawannya mampu menyembunyikan kemampuannya yang sebenarnya sehingga Pangeran Lembu Sabdata tetap pada sikapnya, namun tiba-tiba dengan menghentakkan puncak ilmunya lawannya itu menyerang, maka Pangeran Lembu Sabdata akan mengalami kesulitan. Bahkan mungkin lawannya akan segera dapat menyelesaikan pertempuran itu.

“Untunglah bahwa lawannya sempat memperingatkannya,” berkata Ki Ajar didalam hatinya.

Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Lembu Sabdata kemudian telah menghadapi lawannya dengan sikap yang berubah. Ia tidak dapat lagi menganggap bahwa lawannya sama sekali tidak sepantasnya untuk menghadapinya. Ternyata bahwa lawannya memiliki bekal ilmu yang sangat tinggi.

Pangeran Lembu Sabdata yang terlalu cepat ingin menyelesaikan pertempuran itu telah dengan cepat pula sampai ke tataran tertinggi ilmunya. Ia tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali menghancurkan lawannya. Kemudian satu keinginan Pangeran Lembu Sabdata adalah berhadapan dengan Pangeran Singa Narpada.

Tetapi ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah membentur kemampuan Mahisa Pukat. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak dapat segera menyelesaikannya dan mengambil-alih perlawanan terhadap Pangeran Singa Narpada. Bahkan pertempuran yang terjadi antara Pangeran Lembu Sabdata dan Mahisa Pukat itu semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Pukat benar-benar seorang yang mampu memancarkan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya.

Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata yang telah menyadap ilmu dari Ki Ajar dalam laku yang berat itu, harus menghadapi satu kenyataan, bahwa ia bukannya satu-satunya orang yang mampu meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Mahisa Pukat yang diduganya masih saja pada tataran ilmu yang dahulu, ternyata telah meningkat pula menjadi seorang yang tangguh tanggon.

Pangeran Lembu Sabdata itu mengumpat didalam hati. Tetapi ia tidak dapat sekedar mengumpat-umpat saja. Tetapi ia harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi lawannya. Serangan-serangannya yang datang membadai dengan kekuatan ilmunya, ternyata mampu dihindari, dan bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa ilmu Pangeran Lembu Sabdata tidak lebih baik dari ilmu Mahisa Pukat.

Yang masih saja terdengar suara tertawanya adalah Panembahan Bajang. Sekali-sekali ia menyerang dengan caranya. Loncatannya yang panjang seakan-akan membuatnya berputaran di sekitar lawannya. Semakin lama semakin cepat. Suara tertawanya terdengar berputaran sebagaimana tubuhnya yang kerdil.

Namun Mahisa Bungalan tidak terpengaruh karenanya. Ia berusaha untuk tetap pada alas perlawanannya yang mapan, sehingga karena itu, maka ia tidak banyak menghiraukan tingkah Panembahan Kerdil itu. Namun suara tertawa Panembahan Bajang itu rasa-rasanya telah mengetuk-ngetuk telinganya menembus ke dalam dadanya.

Meskipun Mahisa Bungalan sama sekali tidak memperhatikannya, namun suara tertawa itu memang sangat mengganggunya. Getaran-getaran suara tertawa itu menggelitiknya sehingga Mahisa Bungalan telah menghentakkan daya tahannya untuk menghapuskan pengaruh itu sama sekali.

Ternyata bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang yang memiliki ilmu yang mapan. Getaran-getaran yang dilontarkan oleh ilmu Panembahan Bajang lewat getaran suaranya itu, akhirnya mampu diserap dan seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Suara tertawa itu masih terdengar, tetapi sama sekali tidak mempengaruhi lagi jantung Mahisa Bungalan.

Ternyata getaran suara tertawa yang dilandasi kekuatan ilmu Panembahan Bajang itu bukan saja berpengaruh atas Mahisa Bungalan. Tetapi Panembahan Bajang sengaja melontarkannya untuk mengetuk setiap isi dada.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun merasakan pengaruh itu pula. Sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata dan Putut dari padepokan itu. Namun karena mereka dipisahkan oleh jarak yang tidak melekat sebagaimana jarak Panembahan Bajang dan Mahisa Bungalan, maka ketukan getaran suara tertawa itu tidak terlalu banyak mengganggu mereka. Meskipun demikian, mereka memang harus berusaha untuk melepaskan pengaruh getaran itu dari dalam diri mereka.

Panembahan Bajang pun akhirnya menyadari, bahwa suara tertawanya tidak mempunyai pengaruh apapun juga atas Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Kau memang luar biasa. Tetapi kau harus ingat, bahwa aku adalah Panembahan Bajang yang memiliki seribu macam ilmu. Yang kau dengar tadi baru permulaan dari ilmu yang disebut Gelap Ngampar. Jika aku melepaskan seluruh kekuatan ilmu Gelap Ngampar, maka aku kira jantungmu tidak akan dapat bertahan.”

“Aku akan menggeser arena ini,” jawab Mahisa Bungalan.

“Untuk apa?” bertanya Panembahan Bajang.

“Aku akan mendekati Pangeran Lembu Sabdata,“ jawab Mahisa Bungalan, “Jika isi dadaku rontok, maka biarlah isi dada Pangeran Lembu Sabdata juga rontok.”

“Kau salah,“ Panembahan Bajang tertawa. Tetapi serangannya tidak mengendor. Lalu katanya ketika ternyata Mahisa Bungalan sempat menghindar. “Pangeran Lembu Sabdata memiliki penangkal dari ilmu ini.”

“O,” sahut Mahisa Bungalan, “Jika Pangeran Lembu Sabdata dapat menghindarkan diri dari ilmu itu, maka aku-pun akan dapat menghindari pula, karena ilmu Gelap Ngampar bukan ilmu yang asing bagiku.”

“Persetan,“ geram Panembahan Bajang. ”Kau jangan menakut-nakuti aku. Bagimu lebih baik bertempur berhadapan dengan aku, daripada kau harus mati di pembaringanmu karena ilmuku.”

“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Itulah agaknya maka kau tidak mengenal takut. Bukan karena kau seorang pemberani, tetapi karena kau tidak mengetahui bahayanya, sebagaimana seorang anak-anak yang baru dapat berjalan sama sekali tidak takut kepada seekor harimau yang garang,” jawab Panembahan Bajang.

Mahisa Bungalan tidak segera dapat menjawab. Panembahan Bajang itu meloncat menyerang, Ketika Mahisa Bungalan berhasil mengelak, maka Panembahan Bajang itu meloncat lagi dengan cepatnya, berkisar dan berputar di sekeliling Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan dengan hati-hati berkisar. Tetapi kemudian ia sempat berkata, “Itukah caramu untuk menghina aku?”

“Sama sekali tidak,” jawab Panembahan Bajang. Agaknya Panembahan Bajang masih akan menjawab. Tetapi Mahisa Bungalan lah yang kemudian menyerang. Namun Mahisa Bungalan masih belum mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak, sebagaimana Panembahan Bajang.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada dan Ki Ajar Bomantara telah semakin dalam memasuki pertarungan ilmu yang nggegirisi. Keduanya ternyata benar-benar orang yang berilmu tinggi. Pangeran Singa Narpada adalah seorang prajurit yang dengan segenap hati menyerahkan diri ke dalam pengabdian bagi kepentingan Kediri menurut keyakinannya, yang telah mendalami segala macam ilmu dari beberapa macam cabang perguruan. Bukan sekedar mengenal, tetapi ia sudah menghayatinya sampai kemampuan puncaknya. Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa ia harus mempunyai bekal yang cukup bagi tugas-tugasnya mengabdi kepada Kediri.

Sedangkan Ki Ajar Bomantara adalah seorang pertapa yang menghabiskan waktunya sebagian besar untuk menekuni ilmunya yang dikembangkannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Yang telah berusaha membentuk Pangeran Kuda Permati menjadi seorang prajurit linuwih dan kemudian juga Pangeran Lembu Sabdata. Namun yang ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih belum sampai pada tataran kemampuan yang tertinggi dari ilmu yang pernah dituangkan oleh Ki Ajar.

Semula Ki Ajar Bomantara tidak mencemaskannya ketika ia melihat siapa yang akan melawannya. Tetapi ternyata anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu adalah anak Mahendra yang telah mewarisi puncak kemampuannya, sehingga berhadapan dengan anak muda itu Pangeran Lembu Sabdata telah membentur kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Bahkan dengan sikapnya yang angkuh, telah membuatnya terlempar dari arena.

Yang bertempur dengan sungguh-sungguh dan perhitungan-perhitungan yang cermat adalah Mahisa Murti dan Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar itu. Langkah-langkah mereka merupakan pertarungan perhitungan yang jika terjadi sedikit saja kesalahan dalam penilaian tataran ilmu maupun langkah-langkah yang diambil, maka akibatnya akan menjadi sangat gawat.

Tetapi baik Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar Bomantara itu, maupun Mahisa Murti, agaknya telah terlatih dengan mapan, sehingga se demikian jauh mereka tidak membuat kesalahan-kesalahan yang berarti.

Namun justru karena itu, maka pertempuran diantara keduanya kemudian nampaknya tidak terlalu sengit. Keduanya tidak terlalu banyak menyerang. Tetapi keduanya baru akan menyerang jika mereka melihat kemungkinan-kemungkinan keterbukaan pada pertahanan lawan. Itupun ternyata bahwa keduanya belum ada yang berhasil melukai bahkan menyentuh pun tidak, kecuali benturan-benturan yang memang sering terjadi diantara keduanya.

Dalam pada itu, maka Putut itupun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi menggapai puncaknya. Dengan demikian terasa oleh Mahisa Murti, getaran-getaran yang seakan-akan telah menyengat dan menyusup ke dalam dirinya, sehingga terasa arus yang menjalar lewat nadi-nadi darahnya menusuk jantung.

“Bukan main,“ geram Mahisa Murti, “ilmu iblis ini mampu merambat dan menggigit jantung.”

Namun Mahisa Murti pun mampu mengerahkan daya tahannya. Ia berusaha membentengi dirinya dari kemungkinan yang lebih buruk dari getaran-getaran yang meloncat lewat benturan-benturan yang terjadi, kemudian merayap melalui saluran darahnya menyerang jantung. Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Murti mampu bertahan. Tetapi Putut itu masih selalu meningkatkan kekuatan daya serangnya. Ketika ia tidak mampu lagi melampaui kecepatan Mahisa Murti, maka dipusatkannya serangan-serangannya lewat ilmunya yang aneh itu.

Namun Mahisa Murti pun telah berjuang pula mengatasinya. Dikerahkannya kemampuan ilmunya untuk meningkatkan daya tahannya, sehingga dengan demikian terjadi benturan-benturan ilmu diantara keduanya. Bagaimanapun juga, sulit bagi Putut itu untuk mengalahkan Mahisa Murti. Daya tahan Mahisa Murti akhirnya mampu menahan serangan-serangan yang aneh melalui sentuhan tubuh dan benturan kekuatan itu.

Namun dengan demikian, ketika Putut itu menyadari, bahwa ia tidak mampu lagi menyerang lewat sentuhan itu, maka iapun berusaha untuk melepaskan ilmunya yang lain. Dengan mengerahkan ilmunya, dari tubuh Putut itu terasa seakan-akan memancar panas yang membakar udara di sekitarnya.

Sekali lagi Mahisa Murti terdesak. Ia merasa udara itu bagaikan uap air yang mendidih, sehingga dengan demikian, maka beberapa kali Mahisa Murti memang harus berloncatan menghindar. Namun akhirnya Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak akan dapat terus menghindarkan diri. Ia harus langsung menusuk ke pusat sumber panas itu. Jika ia mampu mencapai sebab dari panasnya udara, maka ia akan dapat meredakannya.

Karena itu, maka untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sambil meloncat menghindar ia memusatkan segenap kemampuan daya tahannya agar ia tidak hangus ditelan oleh panasnya udara. Dengan demikian, setelah Mahisa Murti benar-benar bersiap menghadapi lawannya, tiba-tiba saja ia justru menyuruk ke dalam lingkungan panasnya udara itu. Dengan segenap kemampuan daya tahannya, serta dengan segenap kemampuan ilmunya. Mahisa Murti telah menyerang Putut yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.

Serangan itu memang mengejutkan. Putut yang merasa dirinya terlindung oleh panas itu tidak menyangka sama sekali bahwa serangan Mahisa Murti datang demikian cepat dan dengan tenaga yang sangat besar oleh dorongan ilmunya.

Sementara itu Mahisa Murti sendiri merasa kulitnya dibakar oleh panasnya udara. Namun ia masih berhasil menghentakkan tenaganya. Justru karena lawannya tidak menduganya sama sekali, maka kaki Mahisa Murti sempat memasuki lingkaran pertahanan Putut itu dan mengenai dadanya. Terdengar Putut itu mengaduh tertahan. Justru karena ia tidak siap, maka iapun telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.

Sementara itu, Mahisa Murti pun hampir saja jatuh di atas kedua lututnya pula. Panasnya udara hampir tidak tertahankan. Namun serangannya yang tiba-tiba dan berhasil menjatuhkan lawannya, maka rasa-rasanya udara yang panas itupun segera menyusut. Tahulah Mahisa Murti, bahwa usahanya berhasil. Jika ia dapat merusakkan pemusatan nalar budi lawannya, maka lawannya tidak akan sempat melepaskan ilmunya yang dapat membakar udara di sekitarnya.

Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terlambat. Dengan cepat ia berusaha untuk mengatasi perasaan nyerinya karena udara yang panas. Namun udara yang sejuk yang dibawa angin telah membuatnya mendapatkan kesegaran baru.

Dalam pada itu, Putut yang jatuh terguling itupun berusaha untuk segera bangkit. Dadanya terasa sesak oleh serangan Mahisa Murti. Bukan serangan dengan tenaga kewadagan sewajarnya. Tetapi dilambari dengan kekuatan ilmunya yang mapan dan disadapnya dari ayahnya sampai tuntas.

Sementara itu, Mahisa Murti tidak mau didera kembali oleh panasnya api yang membakar udara. Karena itu, demikian Putut itu berdiri, maka Mahisa Murti pun telah menyerangnya kembali. Dengan serangan itu, maka Putut itupun tidak sempat membangunkan ilmunya yang mampu membakar udara. Dengan demikian maka keduanya pun telah bertempur dengan serunya dengan saling membenturkan kekuatan ilmunya yang disalurkan lewat tenaganya.

Namun sekali lagi terasa oleh Mahisa Murti, kekuatan getaran ilmu lawannya telah meloncat dan menelusuri urat darahnya sampai ke jantung. Namun sekali lagi Mahisa Murti dapat mengatasinya sehingga ia dapat mengabaikan serangan ilmu yang aneh itu.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang telah beberapa kali membentur kekuatan Mahisa Pukat, akhirnya benar-benar menyadari dengan siapa ia berhadapan. Betapa ia melepaskan kekuatan ilmunya, namun Mahisa Pukat masih saja mampu mengimbanginya.

“Anak iblis,” geram Pangeran Lembu Sabdata.

Namun ia tidak cukup mengumpat-umpat saja. Ternyata serangan-serangan Mahisa Pukat pun kemudian telah datang bagaikan angin pusaran. Membelit, memutar dan kemudian bagaikan meremas sasarannya dengan pusaran yang dahsyat.

Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu menghadapi kenyataan itu. Namun ia tidak dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk memecahkan pusaran yang mengelilingi tubuhnya dan membuatnya pening itu.

Sebenarnyalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata memiliki alas ilmu yang sama dengan Putut padepokan itu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mempergunakan ilmu yang sama pula. Dalam cengkaman putaran ilmu Mahisa Pukat, maka Pangeran Lembu Sabdata telah menggerakkan ilmunya sebagaimana Putut itu mampu memanasi udara di sekitarnya.

Mahisa Pukat terkejut ketika ia merasa udara semakin lama menjadi semakin panas. Semula Mahisa Pukat agak kebingungan, apakah yang menyebabkannya. Namun akhirnya iapun menemukan sumbernya. Tentu Pangeran Lembu Sabdata yang berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Mahisa Pukat bergeser agak menjauh. Tetapi seperti Mahisa Murti, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuan daya tahannya, agar jantungnya tidak meledak oleh panasnya udara.

Namun kekuatan pancaran udara panas itu mampu menerobos daya tahannya dan menyakitinya, sehingga Mahisa Pukat pun kemudian harus bergeser semakin jauh. Tetapi yang kemudian memburunya adalah Pangeran Lembu Sabdata. Ia merasa bahwa dengan ilmunya itu, ia mampu mengatasi perlawanan Mahisa Pukat.

Tetapi karena Mahisa Pukat juga dari guru yang sama dengan Mahisa Murti, maka iapun mempunyai jalan pikiran yang sama pula dengan Mahisa Murti. Ketika ia sadar, bahwa sumber panas yang memancar itu adalah Pangeran Lembu Sabdata, maka iapun berniat untuk menghancurkan sumbernya sama sekali.

Namun agak berbeda dengan Mahisa Murti. Mahisa Pukat menyadari bahwa ada beban yang harus dipikulnya. Sejauh mungkin ia jangan sampai membunuh lawannya, karena jika terjadi demikian, mungkin Sri Baginda akan menganggapnya bersalah. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus bertempur lebih berhati-hati daripada Mahisa Murti.

Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak ingin dirinya sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka iapun kemudian telah berusaha untuk tiba-tiba menyerang lawannya dengan mengesampingkan perasaan nyeri yang membakar tubuhnya.

Seperti Mahisa Murti, maka usahanya pun berhasil. Mahisa Pukat sempat menyusup dan menembus pertahanan Pangeran Lembu Sabdata. Betapapun perasaan panas menghalanginya, namun Mahisa Pukat dapat mengenai pundak lawannya sehingga Pangeran Lembu Sabdata terdorong surut beberapa langkah. Mahisa Pukat tidak melepaskan kesempatan itu. Meskipun ia masih merasakan kulitnya bagaikan dipanggang di atas bara, tetapi ia telah memburu lawannya dan menyerangnya sekali lagi.

Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menghindari serangan-serangan itu. Namun dengan demikian pemusatan nalar budinya pun telah dikoyakkan oleh serangan-serangan Mahisa Pukat itu.

“Anak setan,“ Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Namun ia benar-benar tidak dapat mengatasi serangan-serangan Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata harus melepaskan pemusatan nalar budinya, sehingga ia tidak dapat mempertahankan serangan panasnya atas lawannya.

Mahisa Pukat memang yakin, bahwa lawannya itu tidak akan mampu mempertahankan serangannya. Ternyata bahwa udara pun semakin lama menjadi semakin sejuk kembali. Apalagi angin bertiup agak kencang, sehingga perasaan nyeri pun semakin berkurang pula.

Sementara itu, Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Panembahan Bajang, semakin lama menjadi semakin cepat pula. Ternyata bahwa Panembahan Bajang juga seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya kerdil, tetapi serangannya bagaikan benturan kekuatan himpitan gunung anakan.

“Untunglah kau cekatan,” berkata Panembahan Bajang sambil berloncatan. Ternyata ia memang seorang yang banyak berbicara, ”Jika tidak, kau tentu sudah lumat tersentuh tanganku.”

Namun Panembahan Bajang tidak sempat berbicara lebih panjang ketika Mahisa Bungalan kemudian menyerangnya dengan lontaran kaki menyamping.

“Uh,” berkata Panembahan Bajang. ”Kau jangan main-main. Aku sudah memasuki kekuatan ilmuku yang aku andalkan. Jika kau masih saja berkelakar dengan tata gerakmu, maka kau akan menyesal, karena tiba-tiba saja terasa bahwa jantungmu telah aku rontokkan.”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya untuk mengatasi keadaan. Sebenarnya bahwa Panembahan Bajang telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi. Ketika perkelahian itu menjadi semakin sengit dan masih belum ada tanda-tanda siapakah yang akan mendesak lawannya, maka Panembahan Bajang mulai menjadi jemu. Karena iapun kemudian mampu bergerak semakin cepat, sementara kekuatannya itupun bagaikan menjadi berlipat.

Mahisa Bungalan harus menyesuaikan diri. Menghadapi lawan yang telah benar-benar menjadi masak, Mahisa Bungalan harus memeras segenap kemampuan yang ada didalam dirinya. Namun karena pengalaman dan bekal Mahisa Bungalan yang berlimpah tertimbun didalam dirinya, maka ia mampu mengimbangi lawannya. Sebelum Mahisa Bungalan berguru kepada Mahisa Agni, maka ia memang sudah memiliki bekal ilmu dari ayahnya. Bahkan sudah sampai pada tataran tertinggi pula.

Namun ia mencapai puncak ilmunya justru pada saat ia berguru kepada Mahisa Agni. Namun sebagai seorang yang memiliki pandangan yang luas didasari pengalaman yang bertimbun di dalam dirinya, maka kedua ilmu itu telah luluh sehingga dengan demikian beberapa unsurnya yang berbeda justru dapat saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian ilmu yang dimilikinya justru menjadi semakin mapan dan kaya. Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah menghadapi tingkat kemampuan Panembahan Bajang yang semakin memuncak.

Bahkan dalam beberapa hal, Mahisa Bungalan ternyata harus dengan sangat berhati-hati melihat permainan ilmu Panembahan Bajang yang kadang-kadang sangat mengejutkan. Loncatan-loncatan yang tiba-tiba, kadang-kadang memang membuat Mahisa Bungalan berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi itu bukan berarti bahwa Mahisa Bungalan telah terdesak..Bahkan Mahisa Bungalan pun telah mulai memanjat pula pada kemampuan tertingginya. Hampir diluar sadarnya, Mahisa Bungalan telah meningkatkan kemampuannya mendekati puncak kemampuan yang jarang ada duanya. Aji Gundala Sasra.

Tetapi Mahisa Bungalan masih belum ingin melepaskan kemampuan puncaknya itu. Ia masih berusaha untuk mengatasi lawannya dengan ilmunya pada tataran tertinggi. Tetapi jika tidak perlu sekali, maka ia tidak akan melepaskan ilmu puncaknya itu.

Namun dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin cepat dan keras. Panembahan Bajang nampaknya tidak lagi mengekang dirinya. Bahkan, akhirnya Panembahan Bajang yang menjadi marah karena lawannya tidak segera dapat diatasinya itu, telah mulai melepaskan ilmu pada tataran tertingginya pula. Dalam saat-saat serangan Mahisa Bungalan yang perkasa datang membadai, maksud Panembahan Bajang yang yakin akan dapat mengalahkan lawannya yang masih jauh lebih muda daripadanya itu justru telah terdesak.

Pada saat Panembahan Bajang menghindari serangan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Ia pun telah sampai pada tataran tertinggi sehingga geraknya menjadi semakin cepat dan mengejutkan. Ketika Mahisa Bungalan kemudian memburunya, maka Panembahan Bajang harus beringsut lagi menghindar. Namun Mahisa Bungalan tidak ingin melepaskannya. Sekali lagi telah melancarkan serangan dengan segenap kekuatannya didorong oleh tenaga cadangan dan lambaran ilmunya.

Serangan itu datang demikian cepatnya, sehingga Panembahan Bajang tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka Panembahan Bajang telah berusaha untuk melindungi dirinya dengan menangkis serangan itu. Yang terjadi adalah satu benturan yang keras. Dua kekuatan pada tataran tertinggi dari ilmu yang dahsyat telah saling berbenturan. Dengan demikian, maka akibatnya pun telah mengejutkan kedua belah pihak.

Ternyata Mahisa Bungalan yang mengenai Panembahan Bajang yang sengaja menangkis serangan itu, merasa bagaikan menghantam dinding baja. Karena itu, maka ia justru terdorong surut beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling. Untunglah, ia cepat menguasai diri dan berdiri tegak diatas kedua kakinya.

Namun sementara itu Panembahan Bajang sendiri telah terdorong pula oleh kekuatan Mahisa Bungalan. Tubuhnya yang kerdil itu bagaikan terlempar. Namun Panembahan Bajang itu dengan tangkasnya justru telah melenting dan berputar sambil berguling diatas tanah. Dengan serta merta iapun telah meloncat berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Pada saat itu Mahisa Bungalan telah tegak pula dengan kokohnya. Bahkan demikian Panembahan Bajang tegak, Mahisa Bungalan telah bersiap untuk menyerangnya. Namun ternyata Panembahan Bajang tidak ingin didahului lagi oleh Mahisa Bungalan. Dengan cepat Panembahan Bajang menggerakkan tangannya, membuka telapak tangannya menghadap ke arah Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan terkejut. Namun iapun segera menyadari, bahwa Panembahan Bajang telah sampai ke puncak kemampuannya. Pada saat yang demikian, seakan-akan dari telapak tangan Panembahan Bajang telah meloncat petir yang menyambar Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan yang sangat berhati-hati menghadapi lawannya yang kerdil itu, sempat melihatnya.

Karena itu, maka iapun telah sempat meloncat menghindar. Namun Panembahan Bajang tidak menghentikan serangannya hanya pada serangan yang pertama. Iapun telah menyusul serangan yang pertama dengan serangan berikutnya, sehingga Mahisa Bungalan harus berloncatan dengan cepat untuk selalu menghindari serangan itu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada terlibat ke dalam pertempuran yang sengit pula melawan Ki Ajar Bomantara. Ternyata pertapa itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Pangeran Singa Narpada benar-benar harus berhati-hati menghadapinya. Banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam pertempuran itu, sehingga Pangeran Singa Narpada yakin, bahwa ia tidak sekedar dapat mempergunakan wadagnya, ilmu dan kemampuannya, tetapi juga otaknya.

Yang dilakukan Ki Ajar memang banyak mengandung kemungkinan. Karena itu, Pangeran Singa Narpada harus dengan cepat memecahkan kemungkinan-kemungkinan itu sehingga sampai pada satu kesimpulan sebelum mengambil sikap. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi sulit untuk diterka. Kadang-kadang yang tidak terduga-duga telah terjadi. Tetapi sebaliknya yang diperkirakan akan terjadi, justru tidak.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar harus bekerja sebaik-baiknya untuk menghadapi Pangeran Singa Narpada. Ia harus yakin, bahwa ia akan memenangkan pertempuran. Seandainya ia sendiri pada saat itu tidak bertemu dengan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Lembu Sabdata lah yang harus melakukan untuknya. Karena itu, menurut perhitungannya, maka Pangeran Singa Narpada yang langsung menghadapinya itu, pada suatu saat akan dihancurkannya.

Tetapi Pangeran Singa Narpada sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya digulung oleh kemampuan dan ilmu Ki Ajar. Karena itu, maka apapun yang terjadi, dihadapinya dengan hati yang tabah. Ketabahan hati seorang Senapati Agung yang pantang menyerah.

Tetapi Ki Ajar dengan penuh keyakinan telah menekan lawannya. Ia harus menunjukkan kepada murid-muridnya di padepokan itu, juga kepada muridnya yang khusus Pangeran Lembu Sabdata, bahwa Pangeran Singa Narpada bukan apa-apa baginya. Dengan perhitungan yang cermat, Ki Ajar berusaha untuk selalu berada selapis diatas tataran kemampuan lawannya. Demikian Pangeran Singa Narpada berusaha mengimbangi Ki Ajar dengan meningkatkan ilmunya, maka Ki Ajar sudah selapis pula di atasnya.

Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada harus bekerja keras untuk dapat bertahan terhadap lawannya. Dalam kesempatan yang terbuka, maka serangan Ki Ajar memang datang bagaikan badai. Menerjang dengan kekuatan yang tidak terlawan, sehingga setiap kali Pangeran Singa Narpada memang terdesak surut.

Untuk mengimbangi tingkat ilmu lawannya, Pangeran Singa Narpada berusaha untuk sampai kepada tingkat tertinggi kemampuannya ilmu kewadagannya. Dengan demikian ia mampu bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata. Dengan kecepatan gerak itu Pangeran Singa Narpada berusaha, untuk mengurangi tekanan Ki Ajar yang terus semakin berat.

Namun ternyata bahwa Ki Ajar masih belum sampai ke puncak. Ketika Pangeran Singa Narpada mengerahkan kemampuannya dan menitik beratkan perlawanannya kepada kecepatan gerak, maka Ki Ajar itu tertawa. Katanya, “Kau akan mencoba untuk mengatasi kecepatan gerakku Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun ia sadar, bahwa dalam keadaan yang demikian, maka Ki Ajar itu tidak sekedar bergurau. Ia akan mampu untuk berbuat lebih banyak lagi dari yang dilakukannya.

Sebenarnyalah ternyata bahwa Ki Ajar telah meningkatkan pula kecepatan geraknya, sehingga Pangeran Singa Narpada tidak berhasil mengatasinya dengan bertumpu kepada kecepatannya.

Dengan demikian maka akhirnya Pangeran Singa Narpada pun telah meningkatkan ilmunya pula tidak sekedar pada puncak kemampuan kewadagannya. Dengan memusatkan nalar budinya, maka iapun telah merambah dalam kemampuan ilmunya yang dilambarinya dengan ungkapan tenaganya yang paling dalam, yang disadapnya dari kekuatan alam yang melingkunginya.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada telah menggeram bagaikan seekor singa. Dengan menghentikan semua daya ungkapnya atas kemampuannya untuk menyadap kekuatan dari alam sekitarnya, maka Pangeran Singa Narpada telah mengisi semua tata geraknya dan daya tahannya dengan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat disadapnya lewat laku yang rumit dan berat. Karena itulah maka kekuatan dan daya tahan Pangeran Singa Narpada benar-benar sampai pada satu tataran diluar jangkauan nalar dan pikiran wantah.

Ki Ajar Bomantara terkejut melihat perubahan yang terjadi pada Pangeran Singa Narpada. Ketika terjadi benturan kekuatan meskipun tidak langsung, namun Ki Ajar telah mendapat kesan, bahwa kekuatan Pangeran Singa Narpada telah menjadi berlipat ganda. Ki Ajar Bomantara menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian katanya,

“Tingkah laku Pangeran telah mempercepat penyelesaian. Pangeran telah memamerkan satu kekuatan yang luar biasa. Yang tidak dapat aku lawan dengan kemampuan wajar dan tenaga cadangan yang tersedia didalam diriku. Karena itu, maka biarlah kita mempertemukan ilmu kita masing-masing. Justru karena aku tidak ingin menjadi korban karena ilmu Pangeran, biarlah ilmukulah yang melumatkan Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada pun menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar apa yang akan terjadi. Karena itu maka sebelum ia dilumatkan, maka ia harus membangunkan seluruh kekuatannya. Namun demikian, maka sejenak kemudian, Ki Ajar benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dengan ilmunya yang mampu membangunkan kekuatan yang disadapnya dari luar dirinya, maka iapun bagaikan memiliki kekuatan raksasa. Bahkan lebih dari itu, maka tiba-tiba saja udara di sekitar Ki Ajar itupun menjadi hangat. Bukan saja hangat, tetapi semakin lama menjadi semakin panas.

Ilmu yang dilepaskan oleh Ki Ajar adalah sejenis ilmu yang telah diteruskannya kepada Pututnya dan kepada Pangeran Lembu Sabdata, sehingga keduanya mampu membangunkan ilmu seperti itu. Namun yang ternyata keduanya membentur kekuatan yang mampu mengimbanginya.

Sebenarnyalah bahwa Putut terpercaya dari padepokan itu tidak sempat melepaskan ilmu puncaknya yang dapat membakar udara di sekitarnya. Memang tataran kemampuan pemusatan nalar budi untuk melepaskan ilmu itu berbeda dari gurunya. Karena itu ketika ia terlibat dalam pertempuran pada jarak pendek, Putut itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan. Sementara itu Mahisa Murti telah pula mengerahkan ilmunya yang menggetarkan yang disadapnya dari gurunya yang juga adalah ayahnya.

Hampir berbareng Pangeran Lembu Sabdata juga mulai digetarkan oleh kemampuan lawannya. Anak muda yang dikiranya tidak akan mampu bertahan sepenginang. Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak banyak mendapat kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan pada tataran terakhir, ternyata Mahisa Pukat benar-benar mampu mengimbanginya.

Namun yang nampak mulai terdesak adalah justru Putut terpercaya diantara para murid Ki Ajar Bomantara. Perlahan-lahan ia merasakan betapa lawannya masih mampu meningkatkan ilmunya selapis, meskipun sangat tipis. Tetapi kelebihan selapis tipis itu belum menentukan apakah Putut itu akan dapat dikalahkan oleh lawannya. Jika lawannya membuat kesalahan sedikit saja, maka mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Mungkin yang ilmunya kalah selapis tipis itu akan berhasil menyelesaikan pertempuran dengan kemenangan.

Namun Mahisa Murti pun bertempur dengan sangat cermat. Ia tidak mau membuat kesalahan barang sedikit pun. Jika lawannya dengan serta merta meloncat menjauh untuk mengambil jarak, maka iapun dengan cepat memburunya, sehingga ilmu yang dilontarkan itu tidak sempat memanaskan tubuhnya. Dengan demikian, maka yang dipergunakan oleh Putut itu adalah ilmunya yang mempergunakan ujud wadagnya untuk melawan Mahisa Murti. Sekali-sekali Putut itu mampu juga mengerahkan kemampuannya dan mendesak lawannya.

Mahisa Murti lah yang kemudian merasa bahwa ia telah terlalu lama mengerahkan segenap kemampuannya, namun tidak berhasil mengalahkan lawannya. Sementara itu, Mahisa Murti pun menyadari, jika ia dipaksa untuk mengerahkan kemampuannya dalam tataran itu untuk beberapa lama lagi, maka kemampuannya pun akan segera susut. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah sampai kepada satu keputusan untuk mengakhiri pertempuran.

Untuk beberapa saat, para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu masih menganggap bahwa kemampuan ilmu kedua orang itu seimbang. Desak mendesak, serang menyerang, meskipun Putut terpercaya itu memang lebih sering bergeser menjauh. Para cantrik itu juga melihat, bahwa keduanya telah sering tersentuh oleh serangan-serangan lawannya. Sekali-sekali mereka berdesah. Namun kemudian mereka-pun telah bertempur bagaikan putaran angin pusaran.

Dalam kesadaran bahwa tenaganya sudah sampai ke batas, sehingga Mahisa Murti merasa bahwa tataran kekuatannya mulai pada titik menurun, maka Mahisa Murti pun segera mengambil sikap.

Sementara itu Putut yang berusaha untuk mengambil jarak itu merasa heran, bahwa pada saat Mahisa Murti tidak memburunya. Putut itu mengira, bahwa kecepatan geraknya tidak lagi terjangkau oleh kemampuan Mahisa Murti, yang diperhitungkan oleh lawannya, kemampuannya memang mulai menurun. Karena itu, maka kesempatan itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Putut itu mampu mengerahkan ilmunya untuk melepaskan pancaran panas pada udara di sekelilingnya.

Namun pada saat yang bersamaan Mahisa Murti ternyata telah membangunkan puncak ilmunya pula. Sebagaimana diwariskan oleh ayahnya, maka Mahisa Murti akan mampu melepaskan ilmu yang sulit dicari imbangannya.

Dalam waktu yang melampaui batas kecepatan angan-angan para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu, maka keduanya telah mampu melepaskan ilmu masing-masing. Putut itu benar-benar telah membakar udara di sekitarnya. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah membentangkan tangannya, kemudian bersilang dan ketika terasa udara panas mulai menyentuhnya, maka Mahisa Murti dengan perhitungan yang matang, telah meloncat justru memasuki lingkungan udara panas itu.

Kulit dagingnya memang terasa bagaikan dibenam dalam api. Namun Mahisa Murti harus meyakinkan dirinya, bahwa ia harus melakukannya apapun yang terjadi. Betapa terasa kulitnya terkelupas oleh panasnya api, namun akhirnya tangan Mahisa Murti berhasil menyentuh tubuh Putut terpercaya di padepokan itu, yang menjadi tetua para cantrik yang telah memiliki pula puncak kemampuan dari cabang perguruan Ki Ajar Bomantara.

Dua ilmu yang nggegirisi telah membentur sasaran masing-masing. Ilmu yang dilontarkan oleh Putut itu benar-benar telah membakar tubuh Mahisa Murti sehingga di beberapa bagian tubuh itu benar-benar telah terkelupas. Namun dalam pada itu, tangan Mahisa Murti dalam puncak ilmunya telah menghantam kening Putut yang terpercaya itu.

Benturan ilmu pada sasaran masing-masing itu bagaikan telah mengguncangkan padepokan itu. Perhatian orang-orang yang ada di halaman itu, bahkan yang sedang bertempur sekalipun telah tertarik pada peristiwa yang dahsyat itu. Yang kemudian mereka lihat adalah, dua sosok tubuh yang kemudian terbaring diam.

Beberapa orang cantrik dengan serta merta telah berloncatan mendekat. Namun dalam pada itu terdengar suara Mahisa Bungalan, “Jangan kalian nodai sifat kesatria dari dua orang yang telah bertempur mempertaruhkan nyawa mereka. Biarlah mereka tetap dalam keadaannya.”

Para cantrik itupun tertegun diam. Namun yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ajar, “Kau mencemaskan kejujuran para cantrik. Mereka tidak akan mencekik kawanmu seandainya mereka masih hidup. Tetapi jika itu membuat kau menjadi ragu-ragu akan kejujuran kami, maka biarlah keduanya tetap dalam keadaannya. Tetapi jika kawanmu itu kemudian mati kehausan seandainya ia masih hidup, jangan menyesal. Cantrik-cantrikku tentu bermaksud menolongnya jika kau tidak mencurigainya.”

“Ia tidak memerlukan pertolongan,” jawab Mahisa Bungalan, “Terima kasih.”

“O,“ geram Panembahan Bajang sambil bertempur. ”Kau dapat juga mengucapkan terima kasih.”

Mahisa Bungalan tidak menyahut. Namun keduanya bertempur semakin dahsyat. Loncatan api yang memancar dari telapak tangan Panembahan Bajang masih menyambar-nyambar, sementara Mahisa Bungalan masih saja harus meloncat menghindar. Untunglah bahwa ancang-ancang Panembahan Bajang pada saat melontarkan ilmunya dapat dibaca oleh Mahisa Bungalan sehingga ia mampu untuk meloncat menghindar. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi sasaran ilmu Panembahan Bajang.

Namun sementara itu, Ki Ajar pun telah berteriak kepada para cantrik, “Biarkan kedua orang itu dalam keadaannya.” Tetapi dalam pada itu, serangan-serangan Ki Ajar pun telah datang membadai. Dengan kemampuan ilmunya yang dapat membakar udara di sekitarnya, ia selalu memburu Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada mengalami sedikit kesulitan dengan lawannya. Daya tahan Pangeran Singa Narpada memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ilmu yang disadap dari panasnya api itupun dilontarkan oleh Ki Ajar Bomantara. Bukan oleh Pututnya yang terbaring diam di samping tubuh Mahisa Murti.

Namun sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa ia akan dapat memadamkan ilmu itu pada sumbernya. Karena itu, dengan mengerahkan daya tahannya maka Pangeran Singa Narpada telah menyusup pertahanan Ki Ajar Bomantara untuk langsung berusaha memadamkan ilmu itu.

Usaha Pangeran Singa Narpada untuk menyusup memang berhasil. Tetapi ternyata kematangan ilmu Ki Ajar membuatnya jauh lebih baik dalam ungkapan ilmu puncaknya itu. Karena itu serangan Pangeran Singa Narpada memang harus dihindarinya. Namun pada saat-saat ia berloncatan menghindar, ternyata bahwa serangannya dengan ilmu puncaknya itu tidak mengendor. Udara masih tetap panas bagaikan membara, sehingga setiap kali, maka Pangeran Singa Narpada harus mencari kesempatan untuk berloncatan menjauh.

Ki Ajar Bomantara tertawa. Katanya, “Pangeran. Kau adalah orang yang ditakuti di seluruh Kediri. Pangeran Kuda Permati pun merasa segan terhadapmu. Namun menurut perhitunganku, maka kau memang memiliki ilmu setingkat dengan Pangeran Kuda Permati, atau katakanlah kematangan ilmumu selapis lebih tinggi. Tetapi kemampuan memecahkan persoalan dengan otaknya, Pengeran Kuda Permati jauh lebih baik dari padamu. Dan kini kau berhadapan dengan guru Pangeran Kuda Permati. Nah, kau sudah dapat mengira-irakan akhir dari pertempuran ini.”

Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin cepat. Namun ia tidak dapat ingkar bahwa kemampuan ilmu Ki Ajar benar-benar nggegirisi. Jika ia harus bertempur dengan cara itu untuk seterusnya, maka iapun pada akhirnya akan menjadi arang dan debu. Namun Ki Ajar memang seorang yang memiliki kemampuan bagaikan tanpa batas.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata. Ia berhasil mendesak lawannya, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan, bahwa Pangeran Singa Narpada menghendaki apabila mungkin menangkap Pangeran itu hidup-hidup. Karena itu, maka dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, Mahisa Pukat telah berusaha mendesak Pangeran Lembu Sabdata untuk sampai pada satu keadaan yang tidak dapat diatasi lagi atau sampai pada suatu keadaan yang lemah sekali oleh keletihan.

Namun tidak mudah bagi Mahisa Pukat untuk melakukannya. Pangeran Lembu Sabdata juga seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi serta perhitungan yang mapan. Karena itu, maka menanggapi serangan-serangan Mahisa Pukat pada jarak yang pendek itu, iapun telah berusaha untuk membuat jebakan-jebakan yang dapat membuat jarak antara dirinya dengan Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat tidak mau kehilangan. Ia mampu bergerak secepat lawannya, serta mampu mengurangi langkah-langkah yang diambilnya. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata tidak pernah berhasil memisahkan Mahisa Pukat dengan jarak dari dirinya.

Yang menjadi semakin seru adalah pertempuran antara Ki Ajar Bomantara melawan Pangeran Singa Narpada. Ilmu Ki Ajar seakan-akan memancar dari dirinya tanpa jarak waktu sekejap pun dari saat yang dikehendakinya. Meskipun ia harus berloncatan menghindari dan menangkis serangan lawan, tetapi serangannya itu masih tetap mencengkam dan membakar udara di seputarnya bagaikan bara api tempurung. Beberapa kali Pangeran Singa Narpada harus meloncat menjauh. Ia harus memecahkan ilmu lawannya yang nggegirisi itu.

Dalam pada itu terdengar suara tertawa Ki Ajar Bomantara sambil berkata, “Pangeran. Jangan menyesal. Pangeran lah yang telah memasuki padepokan. Jika kemudian Pangeran akan terbakar hidup-hidup disini, adalah karena pokal Pangeran sendiri. Dengan demikian maka Pangeran sudah memetik hasil pekerjaan Pangeran sendiri.”

Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia telah digiring oleh Ki Ajar ke sudut halaman. Jika Pangeran Singa Narpada tidak lagi mampu menjauhi lawannya, maka ia tentu akan terbakar hangus karena ilmu Ki Ajar yang nggegirisi itu.

Suara Ki Ajar masih terdengar menggetarkan udara halaman padepokan itu. Selangkah demi selangkah ia bergeser maju, sementara Pangeran Singa Narpada harus berloncatan mengambil jarak. Meskipun demikian Pangeran Singa Narpada itu masih juga berusaha untuk menyusup di panasnya ilmu Ki Ajar dan dengan segenap kekuatan yang ada padanya menyerang lawannya. Namun Ki Ajar mampu menghindari serangan-serangan itu, atau menangkisnya.

Kadang-kadang Pangeran Singa Narpada memang bergerak terlalu cepat, sehingga Ki Ajar tidak dapat menghindari serangan itu, dan terpaksa menangkisnya. Tetapi dalam udara yang panas, maka kemampuan Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah menyusut, karena sebagian besar kemampuannya diterapkan untuk melindungi dirinya dengan mempertebal daya tahannya. Namun begitu, terasa kulitnya kadang-kadang masih terkelupas juga.

“Sudahlah Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Sebaiknya Pangeran menghentikan saja perlawanan ini dan mati dengan tenang. Karena dalam keadaan seperti ini, sudah tidak ada lagi jalan kembali bagi Pangeran selain kematian. Tetapi bukanlah pada saat terakhir Pangeran masih dapat memilih jalan kematian yang paling baik?”

Hati Pangeran Singa Narpada bagaikan menyala mendengar kata-kata itu. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Singa Narpada sampai pada suatu pertimbangan untuk dengan kemampuannya yang terakhir merebut kemenangan.

“Tetapi apakah aku harus mempergunakan ilmu itu?” berkata Pangeran singa Narpada di dalam hatinya.

Tetapi memang tidak ada jalan lain. Meskipun Pangeran Singa Narpada merasa segan, namun ia memang berada dalam satu keharusan, meskipun hal itu masih juga belum menjamin bahwa ia akan dapat memecahkan ilmu lawannya yang luar biasa itu. Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada sengaja menjauhi lawannya yang berusaha mendesaknya. Namun sebenarnyalah ia tengah mengambil ancang-ancang. Ia berusaha untuk dapat mengetrapkan ilmunya, meskipun pada saat itu ilmu itu jarang dikenal.

“Ilmu ini agak licik,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya. Namun kemudian dibantahnya sendiri, “Kenapa licik?”

Akhirnya Pangeran Singa Narpada memutuskan, bahwa ia harus mempertahankan hidupnya. Karena itu, maka tidak ada jalan lain untuk berusaha, selain mempergunakan ilmunya itu, yang mungkin akan dapat menolongnya atau memperpanjang perlawanannya. Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada pun telah bersiap dengan ilmunya yang jarang sekali hadir didalam unsur tata geraknya dalam pertempuran yang betapapun dahsyatnya.

Ketika Ki Ajar dengan kemampuannya membakar udara di sekitarnya maju selangkah lagi, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berusaha meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi udara panas itu. Dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat, maka Pangeran Singa Narpada pun telah meloncat menyerang lawannya.

Ki Ajar masih sempat menghindari serangan itu tanpa melepaskan pancaran panasnya. Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak segera bergeser menjauh. Tetapi sekali lagi ia menyerang dengan cepatnya. Kakinya terlontar mengarah lambung. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ajar tidak sempat menghindar, tetapi ia harus menangkisnya sebagaimana selalu dilakukannya.

Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat bertahan terlalu lama karena udara panas. Ia harus melenting menjauh untuk mendapatkan kesegaran baru karena dengan demikian ia terhindar dari panasnya udara. Namun sekejap kemudian, diluar dugaan, maka Pangeran Singa Narpada telah menyerang lagi dengan loncatan yang panjang mengarah ke dada. Demikian tiba-tiba, sehingga sekali lagi Ki Ajar harus menangkisnya. Kembali terjadi sebuah benturan yang keras. Namun kembali Pangeran Singa Narpada harus berloncatan menjauh.

Ki Ajar masih juga tertawa. Katanya, “Marilah Pangeran. Kerahkan semua ilmu dan jimat. Ternyata bahwa orang terbaik di Kediri sebentar lagi akan terkapar mati di padepokan terpencil ini meskipun bagi satu pengabdian. Tetapi ternyata pengabdian itu akan sia-sia.”

Belum lagi Ki Ajar terdiam, Pangeran Singa Narpada sekali lagi menyerang. Serangannya sangat rendah. Kakinya yang mendatar mengarah ke perut lawan. Sekali lagi Ki Ajar terkejut, sehingga Ki Ajar tidak menghindari serangan itu, tetapi memukul kaki Pangeran Singa Narpada dengan pukulan menyamping. Tetapi Pangeran Singa Narpada justru telah berputar setengah lingkaran. Dan bertumpu pada kakinya yang kemudian diletakkan, maka kakinya yang lain telah menyambar pula lambung lawannya.

Sekali lagi Pangeran Singa Narpada gagal mengenai sasaran karena Ki Ajar telah menangkisnya dengan sikunya sambil memiringkan tubuhnya dengan agak merendah. Pangeran Singa Narpada masih akan menyerang lagi. Tetapi udara panas serasa mencekiknya, sehingga ia harus meloncat surut.

Namun ternyata bahwa Ki Ajar tidak ingin melepaskannya. Sebagaimana Pangeran Singa Narpada, maka lawannya itupun ingin dengan cepat mengalahkannya. Karena itu, ketika Pangeran Singa Narpada meloncat surut, maka Ki Ajar pun telah memburunya. Tetapi ada sesuatu yang terasa agak lain pada dirinya. Ia merasa bahwa tenaganya tidak sekuat pada saat-saat sebelumnya, sehingga ia tidak mampu bergerak secepat Pangeran Singa Narpada.

“Aku belum merasa mengerahkan tenaga melampaui daya dan kekuatan yang ada padaku,” berkata Ki Ajar itu didalam hatinya, “Sehingga menyusutkan kemampuanku.”

Namun karena itu, maka ia tidak sempat menyerang Pangeran Singa Narpada dengan serta merta. Pangeran Singa Narpada sempat meloncat lagi menjauhinya. Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian telah berusaha mendekati lawannya lagi. Ia sadar, bahwa Pangeran Singa Narpada berusaha untuk melepaskan diri dari cengkaman hawa panas.

Pangeran Singa Narpada yang telah mendapat kesempatan menyegarkan tubuhnya, telah bersiap pula. Namun udara panas yang dilontarkan oleh Ki Ajar itu rasa-rasanya telah mulai menyusup ke dalam kulit dagingnya dan menyakitinya. Tetapi ia tidak boleh berhenti. Ia harus bertempur sampai selesai, siapapun yang ternyata kemudian harus mati.

Namun dalam pada itu, justru Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian memasuki lingkaran udara panas di sekitar lawannya. Sekali lagi ia menyerang dengan garangnya meskipun ia harus menyeringai menahan panas. Ki Ajar masih sempat menghindar. Namun sekali lagi ia merasa bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Ia tidak dapat bergerak secepat yang dikehendaki, sehingga hampir saja serangan Pangeran Singa Narpada itu benar-benar mengenainya.

Namun demikian serangan itu luput dari sasaran, maka Pangeran Singa Narpada telah berputar dan mengayunkan kakinya mendatar. Betapa terasa panasnya udara yang menggigit tubuhnya, namun ternyata bahwa serangannya itu cukup berbahaya sehingga Ki Ajar harus menangkis serangan yang tidak lagi sempat dihindarinya itu.

Terasa dorongan serangan itu hampir saja membantingnya jatuh ketika serangan itu membentur tangannya yang menangkis serangan itu, terasa kekuatan Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah bertambah-tambah. Tetapi Pangeran Singa Narpada pun harus segera menghindar ketika udara panas hampir saja mengelupas kulitnya.

Namun, sebenarnyalah Ki Ajar merasa sangat heran tentang dirinya sendiri. Kemampuannya terasa menjadi susut. Kemampuannya tidak lagi sebagaimana saat-saat ia mengerahkan pada puncak ilmunya. Bahkan tulang-tulangnya serasa menjadi semakin lemah dan tidak lagi mampu mendukung gejolak kekuatan ilmunya.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Ajar itu kepada diri sendiri. Tetapi jawabannya tidak segera didapatkannya. Ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya yang terasa semakin menyusut.

Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun mulai melihat perubahan pada lawannya. Ki Ajar tidak lagi mampu bergerak cepat dan bahkan terasa oleh Pangeran Singa Narpada, kemampuan Ki Ajar membakar udara di sekitarnya pun menjadi susut. Meskipun udara masih terasa panas, tetapi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi segalanya sudah susut, sehingga akhirnya semuanya akan larut dan habis sama sekali.

Serangan-serangan Pangeran Singa Narpada pun semakin lama menjadi semakin sering. Betapa kulitnya benar-benar menjadi terkelupas oleh panasnya udara, justru dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun demikian, maka ilmunya ternyata mampu mengatasi kesulitan yang hampir tidak teratasi. Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih merasa seakan-akan ia tidak lagi bertempur dengan jujur.

“Aku telah dengan bersembunyi mengurangi daya kekuatan ilmunya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Namun kemudian dijawabnya sendiri. “Seperti ilmu yang lain yang dapat dianggap pula licik. Melontarkan udara panas tidak lebih baik dari ilmu yang aku pergunakan.”

Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin nampak bahwa telah terjadi perubahan yang terhitung cepat pada diri Ki Ajar. Kekuatannya dan kemampuannya telah menyusut melampaui kewajaran jika ia mengerahkan kemampuan ilmunya. Bahkan semakin lama semakin jelas, bahwa Ki Ajar mengalami kesulitan untuk melawan dan menghindari serangan-serangan Pangeran Singa Narpada berikutnya. Dalam keadaan yang sulit itulah Pangeran Singa Narpada berusaha untuk menekannya semakin berat dan bahkan kemudian untuk mengakhirinya sama sekali.

Sementara itu, Ki Ajar pun menyadari keadaannya. Tiba-tiba saja ia berteriak lantang, “Kau licik Pangeran. Kau mempergunakan ilmu iblis itu. Kau telah menghisap kekuatanku di setiap sentuhan. Ilmu yang tidak pantas dipergunakan oleh para kesatria, apalagi kesatria dalam jabatan tertinggi sebagaimana Pangeran Singa Narpada.”

Wajah Pangeran Singa Narpada menegang. Tuduhan itu membuatnya agak kebingungan. Ilmu itu memang ilmu yang jarang sekali terdapat pada saat itu. Tetapi ia masih selalu bertanya, “Kenapa licik?”

Untuk beberapa saat Pengeran Singa Narpada termangu-mangu. Bahkan ia melangkah surut ketika Ki Ajar mendekatinya. Udara panas masih terasa. Tetapi sudah jauh susut dari semula.

“Kenapa kau sampai hati mempergunakan ilmu iblis itu Pangeran?” bertanya Ki Ajar. Wajahnya mulai menjadi pucat dan darahnya pun seakan-akan telah terhisap dalam setiap sentuhan dengan tubuh Pangeran Singa Narpada.

Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin cepat. Namun kemudian katanya, “Ki Ajar, kenapa kau sebut ilmu itu licik?”

“Kau curi kekuatanku dengan langkah yang tidak tangguh tanggon? Perbuatanmu tidak ubahnya dengan perbuatan seorang pencuri yang dengan bersembunyi mengambil milik orang lain,” berkata Ki Ajar.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ki Ajar. Dalam pertempuran kita mempergunakan senjata apa saja yang kita punya. Aku tidak menyerangmu dari belakang. Aku juga tidak menyerangmu pada saat kau tidur. Tetapi kita berhadapan dan saling melepaskan ilmu. Aku bersedia akan menekan ilmu yang kau anggap licik ini jika kau juga tidak mempergunakan ilmu pemanasmu. Bukankah ilmu mu juga ilmu yang licik karena kau tidak memberi kesempatan kepada lawanmu dalam suasana yang sama?”

“Persetan,“ geram Ki Ajar yang dengan tiba-tiba saja telah menyerang Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Singa Narpada tidak sempat menghindar. Tetapi ia telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Dengan mengerahkan daya tahannya ia melindungi dirinya dari panasnya api yang terpencar dari sisa ilmu Ki Ajar Bomantara. Sementara itu, iapun telah menangkis serangan itu, sehingga telah terjadi benturan diantara keduanya.

Ki Ajar memang sudah menjadi terlalu lemah. Dalam benturan itu Ki Ajar telah terlempar dan jatuh berguling di tanah. Sementara itu sentuhan itu sendiri telah menghisap sebagian dari kekuatan Ki Ajar pula. Apalagi Pangeran Singa Narpada tiba-tiba saja telah menemukan kekuatan dan ketabahan di hatinya, sehingga ia tidak lagi terpengaruh oleh pendapat, bahwa ilmunya adalah ilmu yang licik.

Karena itu, ketika ia melihat Ki Ajar berusaha untuk bangkit maka dengan segenap kekuatan yang ada padanya, maka iapun telah menyerang. Dengan sepenuh kekuatan yang ada didalam dirinya dialasi dengan tenaga cadangan dan kekuatan ilmunya, maka Pangeran Singa Narpada telah meloncat menyimpang dengan kaki lurus mendatar. Satu serangan yang langsung mengarah ke dada lawannya yang baru saja sempat berdiri tegak.

Sekali lagi terjadi benturan. Kaki Pangeran Singa Narpada telah mengenai sasarannya. Dengan derasnya bagaikan prahara, serangan Pangeran Singa Narpada serasa telah meremukkan dada Ki Ajar yang telah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya. Udara panasnya tidak lagi dapat menahan serangan Pangeran Singa Narpada yang meluncur dengan kekuatan yang tidak terkirakan besarnya itu.

Terdengar Ki Ajar mengaduh tertahan. Rasa-rasanya ujung gunung karang telah menghantam dadanya. Iga-iganya telah berpatahan dan isi dadanya bagaikan telah rontok dari tangkainya. Terasa nafas Ki Ajar menjadi sesak. Matanya menjadi kabur dan ia benar-benar telah kehilangan keseimbangan. Ki Ajar seakan-akan telah terlempar jatuh dan terbanting di tanah. Sejenak ia masih menggeliat, bahkan berusaha untuk bangkit. Namun sejenak kemudian pernafasannya pun bagaikan telah tersumbat.

Untuk beberapa saat Ki Ajar justru terdiam. Ia masih berusaha untuk mengerahkan sisa kemampuannya dengan memperbaiki pernafasannya. Dipejamkannya matanya dan dikerahkannya daya tahannya. Untuk beberapa saat, ia terbaring diam, sementara Pangeran Singa Narpada termangu-mangu mengamatinya. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak melepaskan kewaspadaan sama sekali. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan.

Sejenak kemudian ternyata bahwa Ki Ajar masih sempat memperbaiki keadaannya. Pernafasannya dapat berjalan lebih baik dan darahnya pun mengalir dengan wajar. Karena itu, maka iapun telah membuka matanya dan dengan sisa tenaganya telah bangkit berdiri.

“Luar biasa,“ geram Pangeran Singa Narpada. Ia tidak dapat berlaku licik dengan menyerang lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya tanpa mampu untuk melawannya. Baru ketika Ki Ajar berdiri tegak, Pangeran Singa Narpada berkata, “Kau masih akan bertempur Ki Ajar.”

Ki Ajar itu memandang wajah Pangeran Singa Narpada dengan sorot mata penuh dengan dendam dan kebencian. Dengan suara bergetar ia berkata, “Bagi kita Pangeran, akhir dari perkelahian adalah kematian. Sebelum salah seorang diantara kita mati, maka pertempuran ini masih belum berakhir.”

“Kau tidak mau menyerah?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Yang terdengar adalah suara tertawa iblis dari mulut Ki Ajar. Tetapi usahanya untuk mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya dengan getaran suara tertawanya tidak berlaku bagi Pangeran Singa Narpada. Meskipun rasa-rasanya kulit Pangeran Singa Narpada telah terkelupas di beberapa bagian dan perasaan nyeri mencengkamnya, namun ia masih mampu melawan ilmu Gelap Ngampar yang sudah menjadi semakin lemah.

Namun ternyata bahwa pelepasan ilmu itu telah mempengaruhi keadaan tubuh Ki Ajar itu sendiri. Tubuhnya yang benar-benar telah menjadi sangat lemah, ternyata tidak mampu lagi menjadi alas lontaran ilmunya yang dipaksakannya. Karena itu, maka darahnya yang sudah mengalir wajar itupun tiba-tiba bagaikan terhenti, sementara pernafasannya pun menjadi bagaikan tersumbat.

Tetapi rasa-rasanya Ki Ajar itu sendiri tidak mau mengakui kenyataan tentang dirinya. Ketika ia melihat Pangeran Singa Narpada masih berdiri tegak, maka iapun menghentakkan ilmunya dengan segenap daya lontar yang seharusnya diberikan. Tetapi keadaan wadag serta alas kemampuan ilmunya telah tidak ada sama sekali, sehingga karena itu, maka lontaran ilmunya tidak ada lagi yang mendukungnya.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata ilmu itu sendiri telah menghisap semua sisa tenaga dan kekuatan wadag yang ada didalam diri Ki Ajar, sehingga tiba-tiba saja terasa darahnya bagaikan mengering dan pernafasannya pun terputus. Terdengar teriakan mengerikan. Satu pemberontakan terhadap kenyataan yang terjadi atas dirinya. Namun hentakan itu justru mempercepat penyelesaian. Darah Ki Ajar pun telah berhenti mengalir ketika jantungnya berhenti berdetak. Nafasnya seolah-olah telah membeku dan sebenarnyalah Ki Ajar telah kehilangan semua kesempatan.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Ki Ajar itu seakan-akan telah membunuh dirinya sendiri tanpa disadarinya. Satu peristiwa yang sulit untuk dimengerti. Karena Ki Ajar adalah seorang pertapa yang berilmu sangat tinggi yang seharusnya mempunyai nalar yang mapan dan pengamatan yang tajam tentang keadaannya. Tetapi ternyata Ki Ajar benar-benar telah kehilangan nalar budinya. Ia tidak mampu mengendalikan diri dan telah terjerumus ke dalam jebakan perasaannya sendiri.

Kematian Ki Ajar telah menggemparkan hati para cantrik di padepokan itu. Bagi mereka Ki Ajar adalah puncak dari segala-galanya. Karena kematiannya bagi mereka bagaikan kiamat rasanya. Apalagi Putut yang terpercaya yang setiap kali Ki Ajar tidak ada di padepokan seolah-olah telah menggantikan kedudukannya telah tidak ada pula beberapa saat sebelumnya.

Terasa padepokan itu benar-benar bagaikan dicengkam oleh suasana yang menakutkan bagi para cantrik. Yang masih bertempur kemudian adalah Panembahan Bajang melawan Mahisa Bungalan. Dan Pangeran Lembu Sabdata masih harus bertempur melawan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata sebenarnya sudah tidak memiliki kemungkinan apapun juga. Hanya karena Mahisa Pukat ingin menangkapnya hidup-hidup, maka ia masih bertempur dengan hati-hati.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada sendiri tubuhnya dirasakan bagaikan remuk didalam dan kulitnya rasa-rasanya terkelupas oleh udara panas. Namun ia tidak tinggal diam. Ketika ia melihat lawannya benar-benar telah mati, maka ia merasa berkewajiban untuk menolong dirinya sendiri dan Mahisa Murti yang terkapar berbareng dengan Putut padepokan itu.

Dengan sisa tenaganya Pangeran Singa Narpada pun berjalan tertatih-tatih mendekati tubuh yang terbaring diam. Namun ketika ia berjongkok di samping Mahisa Murti, iapun menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Murti ternyata masih tetap hidup. Yang terjadi padanya adalah sebagaimana terjadi pada Pangeran Singa Narpada sendiri. Kekuatan ilmu Putut yang memiliki ilmu sebagaimana Ki Ajar itu sendiri telah membakar kulit daging Mahisa Murti sehingga membuatnya beberapa saat menjadi pingsan. Tetapi lambat laun oleh udara yang segar dan angin yang mengalir, maka Mahisa Murti pun telah mendekati kesadarannya kembali.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Putut, kepercayaan Ki Ajar itu telah terbunuh. Ia tidak dapat bertahan ketika Mahisa Murti mempergunakan kekuatan ilmu puncaknya yang diterimanya dari gurunya yang adalah ayahnya sendiri.

Dalam pada itu, yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada adalah menunggu Mahisa Bungalan menyelesaikan pertempuran itu. Ternyata Panembahan Bajang adalah seorang yang luar biasa. Dengan lontaran petirnya yang menyambar-nyambar. Namun Mahisa Bungalan mampu berloncatan bagaikan burung sikatan. Bahkan sekali-sekali, Mahisa Bungalan masih mampu menyusup diantara lontaran-lontaran petir dari tangan Panembahan Bajang dan mengenainya dengan serangan-serangan yang garang dan dilandasi dengan kekuatan ilmu yang mendebarkan.

Mahisa Bungalan memiliki dasar ilmu ayahnya dan pamannya Mahisa Agni. Kemudian menyelesaikan sampai pada ilmu puncaknya pada Mahisa Agni yang memberinya kemampuan untuk melontarkan ilmu Gundala Sasra.

Sebenarnya bahwa dalam keadaan yang terdesak oleh lontaran-lontaran petir dari tangan lawannya, maka Mahisa Bungalan tidak mempunyai pilihan lain daripada mempergunakan ilmu puncaknya. Ia harus berusaha untuk mendapat kesempatan barang sekejap. Kemudian melepaskan ilmu Gundala Sasra itu.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun telah memperhitungkan keadaan dengan sangat cermat. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menunggu bantuan dari siapapun juga karena harga dirinya. Mereka sudah menyatakan diri untuk berhadapan dan bertempur seorang melawan seorang. Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak akan saling membantu, apapun yang akan terjadi, sebagaimana para cantrik juga tidak berbuat sesuatu. Namun sebenarnyalah bahwa para cantrik itu memang tidak akan banyak mempengaruhi pertempuran jika mereka terpaut terlalu banyak dengan mereka yang terlibat ke dalam pertempuran itu.

Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata memang terpengaruh oleh keadaan yang berkembang dalam pertempuran itu. Ia melihat Ki Ajar yang terbanting dan kemudian terbaring diam. Sedangkan Putut yang terpercaya di padepokan itu, tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan keduanya telah terbaring pula di arena. Sementara itu, Panembahan Bajang pun tidak dapat dengan segera menghancurkan lawannya.

Bahkan ternyata Panembahan Bajang itu tidak lagi dapat ingkar dari kenyataan. Lawannya yang masih muda itu masih belum sampai ke puncak ilmu tertingginya. Lawannya yang masih muda itu masih akan dapat melakukan sesuatu yang dapat mengejutkannya.

Sementara itu Panembahan Bajang pun menyadari, bahwa ia tidak lagi mempunyai kawan yang akan dapat saling membantu, sementara ia sadar, bahwa lawan Ki Ajar yang sudah bebas itu sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Jika kekuatannya sebagian menjadi pulih kembali dan ia tidak bertahan pada harga dirinya dan bertempur berpasangan dengan lawannya yang muda itu, maka keadaannya akan menjadi sangat sulit. Karena itu, ketika ia tidak lagi berpengharapan, maka Panembahan Bajang itupun telah mengambil sikap.

Ketika Mahisa Bungalan sedang mencari kesempatan untuk melepaskan ilmu puncaknya, maka Panembahan Bajang pun telah menentukan langkahnya sendiri. Ia tidak menghiraukan lagi Pangeran Lembu Sabdata yang menjadi murid dan harapan bagi Ki Ajar untuk dapat memperalatnya. Dengan demikian, ketika kesempatan itu terbuka, maka dengan serta merta dan tidak terduga, maka Panembahan Bajang itu telah meloncat justru menjauh.

Mahisa Bungalan terkejut. Ia memang berusaha mengejar. Tetapi yang sekejap telah memberi kesempatan kepada Panembahan kerdil itu untuk mendahului meninggalkan padepokan itu. Seperti belalang Panembahan itu meloncat keatas dinding halaman, namun sejenak kemudian ia telah hilang di pategalan diluar dinding halaman.

Sementara Mahisa Bungalan bertengger diatas dinding sambil mengamati pategalan itu, maka Panembahan Bajang telah menyusup di antara pepohonan. Yang nampak oleh Mahisa Bungalan hanya daun-daun yang terguncang, sementara Panembahan kerdil itu sendiri ternyata telah terlindung oleh dedaunan dan gerumbul-gerumbul.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat menyusul Panembahan kerdil itu. Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak berusaha untuk mengejar dan menangkapnya. Bahkan meskipun Panembahan Bajang telah berada pada satu titik yang jauh, masih terdengar suaranya menggelepar,

“Tunggu. Aku akan membunuhmu dari padepokanku. Kau tidak akan dapat bersembunyi dimanapun juga. Nyawamu ada di tanganku.”

Mahisa Bungalan menggeram. Ia sama sekali tidak gentar mendengar ancaman itu. Namun ia sangat kecewa bahwa ia telah kehilangan seorang lawannya yang mungkin akan dapat menjadi semacam bara didalam sekam yang pada suatu saat akan dapat membakar lingkungannya. Tetapi hal itu sudah terjadi. Panembahan Bajang telah terlepas.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan teringat kepada Mahisa Murti yang dalam keadaan gawat, serta Mahisa Pukat yang masih bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu, betapapun beratnya, maka ia harus melepaskan Panembahan Bajang dan kembali ke halaman padepokan.

Yang pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Murti. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, “Ia masih dapat bertahan. Meskipun keadaannya lemah sekali, tetapi ia mempunyai kemampuan dengan daya tahannya.”

“Aku akan mengobatinya,” berkata Mahisa Bungalan.

“Hati-hatilah. Bukankah kau memerlukan air?” bertanya Pangeran Singa Narpada, ”Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur.”

“Aku berharap Mahisa Pukat dapat menguasainya,” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi mungkin ia juga akan berusaha melarikan diri,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun dalam pada itu, keadaan Pangeran Singa Narpada sendiri sudah menjadi semakin baik. Karena itu, maka katanya, “Pangeran dapat menjaganya agar tidak melarikan diri, sementara aku akan mengambil air.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan mengawasi adimas Lembu Sabdata sekaligus adikmu ini. Cepatlah mencari air untuk mencairkan obat yang kau tentu membawanya.”

“Apakah Pangeran tidak membawa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku juga membawanya,“ jawab Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi aku tidak dapat meninggalkannya selagi kau masih bertempur. Mungkin seseorang akan berbuat curang, sementara itu aku yakin, bahwa keadaannya tidak membahayakan jiwanya. Keadaannya disebabkan hanya karena sengatan udara panas yang terasa sangat nyeri seperti yang terjadi atas kulitku.”

Mahisa Bungalan pun kemudian telah meninggalkannya, sementara Pangeran Singa Narpada telah bangkit mendekati arena untuk mengawasi keadaan agar Pangeran Lembu Sabdata tidak sempat melarikan diri. Namun iapun harus mengawasi Mahisa Murti yang terbaring diam, agar tidak diciderai oleh orang-orang padepokan itu yang putus asa karena kematian Ki Ajar.

Sebenarnyalah para cantrik telah menjadi berputus asa. Mereka sudah tidak mampu berpikir, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Yang mereka lihat kemudian adalah Pangeran Lembu Sabdata yang masih bertempur melawan seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Sedangkan menurut penglihatan para cantrik, sekali-sekali Pangeran Lembu Sabdata ternyata telah terdesak surut.

Tetapi Pangeran Lembu Sabdata telah terjebak ke dalam satu keadaan yang jauh dari impiannya. Ia berharap untuk dapat mengenakan sebuah mahkota yang menjadi tempat bersemayam wahyu keraton, sehingga dengan demikian, maka ia akan memerintah Kediri. Bahkan kemudian Kediri akan tegak kembali dan memaksa Singasari untuk tunduk kepadanya dan menjadi tidak lebih dari sebuah pakuwon lagi. Tumapel.

Namun, impian itu telah larut dengan terbunuhnya Ki Ajar Bomantara. Bahkan terbunuhnya Ki Ajar Bomantara tidak lagi sekedar membuatnya kehilangan semua harapan. Tetapi pengaruh kejiwaan yang mencengkamnya pun perlahan-lahan telah menjadi kabur. Kematian Ki Ajar, Putut kepercayaan Ki Ajar dan kemudian bahwa Panembahan Bajang telah meninggalkan arena, merupakan goncangan-goncangan yang sulit untuk diatasinya.

Sementara itu, Mahisa Pukat masih berusaha untuk menekannya. Dan Pangeran Lembu Sabdata pun masih bertempur melawannya. Meskipun Mahisa Pukat menjadi heran, bahwa telah terjadi sesuatu pada lawannya itu. Cara bertempur Pangeran Lembu Sabdata pun tidak lagi teratur dan mencerminkan kemampuan seorang berilmu tinggi. Tetapi gerak Pangeran Lembu Sabdata menjadi kasar dan kadang-kadang telah kehilangan pegangan.

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat menjadi bingung. Justru karena itulah maka ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan lawannya yang terasa menjadi asing. Mahisa Pukat semakin bingung ketika kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras dan berkepanjangan. Bahkan kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu seakan-akan tidak lagi menghiraukannya.

Mahisa Pukat menghentikan perlawannya. Dalam kebingungan ia melihat Pangeran Lembu Sabdata itu menurut penglihatan telah kehilangan kesadarannya. Dengan wajah yang tegang Mahisa Pukat memandang Pangeran Singa Narpada yang gelisah. Pangeran Singa Narpada pun tidak segera menangkap persoalan yang dihadapinya. Namun sikap Pangeran Lembu Sabdata itu benar-benar membuat jantungnya berdebar-debar.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah kembali berjongkok di samping Mahisa Murti. Sesaat perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Mahisa Murti yang dalam keadaan parah meskipun menurut pengamatan Pangeran Singa Narpada tidak membahayakan jiwanya. Dengan mencairkan obat yang dibawanya, maka Mahisa Bungalan berusaha untuk meningkatkan daya tahan Mahisa Murti, yang berhasil minum beberapa teguk, sehingga untuk sementara keadaannya akan berangsur menjadi baik, sebelum ia akan mendapat pengobatan yang sesungguhnya serta kemampuannya untuk melakukan samadi serta memperbaiki pernafasannya.

Namun ketika ia melihat Mahisa Murti menjadi berangsur baik serta berusaha memperbaiki pernafasannya sambil berbaring, Mahisa Bungalan mendengar suara tertawa Pangeran Lembu Sabdata. Suara tertawa yang aneh dan sangat menarik perhatiannya. Mahisa Bungalan yang mulai memperhatikan sikap Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi heran. Sikap Pangeran Lembu Sabdata yang terlepas dari pengaruh kejiwaan Ki Ajar Bomantara yang terbunuh itu menjadi sangat asing baginya.

“Mahisa Murti,” berkata Mahisa Bungalan, “usahakan mengatur pernafasan sebaik-baiknya. Obat itu akan membantu meningkatkan daya tahanmu. Aku akan melihat keadaan Pangeran Lembu Sabdata sejenak.”

Mahisa Murti menyeringai menahan pedih di tubuhnya. Namun kemudian katanya, “Silahkan kakang.”

Mahisa Bungalan kemudian meninggalkan Mahisa Murti yang terbaring diam. Selangkah demi selangkah ia mendekati Pangeran Singa Narpada yang termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat pun menjadi bingung melihat keadaannya.

“Pangeran,” desis Mahisa Bungalan, “Apa yang telah terjadi dengan Pangeran Lembu Sabdata?”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Agaknya ia telah terlempar kembali ke dalam keadaannya yang menyedihkan. Syarafnya telah terguncang lagi. Dan agaknya ingatannya mulai kabur.”

“Lalu, apakah sebaiknya yang kita lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan berusaha untuk menekan salah satu pusat syarafnya. Dalam keadaan yang demikian ia tidak akan dapat melawan. Aku mengharap ia akan kehilangan kesadarannya dan tertidur beberapa lama,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun telah melangkah mendekatinya sambil berkata kepada Mahisa Pukat, “Lepaskan. Biarlah aku yang menghadapinya.”

Mahisa Pukat pun kemudian melangkah menjauh, sementara Pangeran Singa Narpada dengan hati-hati mendekatinya. Pangeran Lembu Sabdata memandanginya dengan tegang. Namun kembali terdengar suara tertawanya. Tidak terlalu keras. Bahkan justru seperti seekor kuda yang meringkik.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin membiarkan keadaan Pangeran Lembu Sabdata itu berkepanjangan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itupun dengan tiba-tiba telah meloncat sambil menangkap tengkuk Pangeran Lembu Sabdata.

Dalam keadaannya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak mengelak. Ketika tangan Pangeran Singa Narpada menekan salah satu pusat syarafnya, maka tiba-tiba saja terasa matanya menjadi kabur. Bahkan akhirnya Pangeran Lembu Sabdata itupun bagaikan telah tertidur di tangan Pangeran Singa Narpada.

Sejenak kemudian, maka halaman padepokan itu telah menjadi sepi. Para cantrik benar-benar tidak tahu lagi, apa yang akan terjadi atas diri mereka. Sementara itu, mereka melihat tiga orang yang berdiri dengan tegang di hadapan mereka.

Namun dua orang diantara mereka, telah mendekati seorang yang terbaring diam karena keadaan tubuhnya yang lemah setelah mengerahkan tenaga melawan Putut yang terpercaya di padepokan Ki Ajar itu, serta telah terkena ilmunya yang membakar udara sekelilingnya.

Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk mengangkat Mahisa Murti dan menempatkannya di tempat yang lebih baik di serambi sebuah pondok yang ada di padepokan itu.

“Bagaimana keadaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku sudah merasa semakin baik,” jawab Mahisa Murti, “Meskipun aku masih merasa sangat lemah.”

“Obat itu akan dapat membantumu,” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu Mahisa Pukat berdesis, “Ternyata kemampuan orang itu melampaui kemampuan Pangeran Lembu Sabdata. Sebenarnya aku akan dapat lebih cepat mengalahkannya. Tetapi aku masih berusaha untuk dapat membiarkannya hidup.”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Pangeran Lembu Sabdata nampaknya diselimuti oleh pengaruh kejiwaan Ki Ajar. Setelah Ki Ajar terbunuh, goncangan-goncangan jiwanya tidak dapat ditahankannya lagi. Apalagi ketika Panembahan Bajang pun meninggalkannya sendiri.”

“Bagaimana keadaannya sekarang?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia tertidur karena sentuhan tangan Pangeran Singa Narpada,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi jika nanti ia sadar kembali, maka ingatannya tidak akan lengkap.”

“Dan bagaimana keadaan lawanku itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Ia sudah benar-benar mati,” jawab Mahisa Bungalan, “Kau telah membunuhnya, meskipun keadaanmu sendiri cukup parah. Tetapi justru di bagian luar tubuhnya, sehingga keadaanmu tidak berbahaya bagi keselamatanmu, meskipun nampaknya sangat parah.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah ia merasa tubuhnya semakin segar. Ia sudah berhasil memulihkan pernafasannya dan aliran darahnya pun sudah menjadi wajar kembali.

Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Kawani Mahisa Murti. Aku masih mempunyai pekerjaan bersama Pangeran Singa Narpada. Aku akan meletakkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur itu di sini pula.”

Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Baiklah kakang. Agaknya kakang masih akan berusaha untuk menemukan sesuatu di padepokan ini.”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Mudah-mudahan. Jika kita berhasil, maka kita telah menyelesaikan tugas ini dengan tuntas.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Silahkan kakang. Biarlah aku menjaga Mahisa Murti dan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur itu. Mudah-mudahan para cantrik yang kebingungan itu tidak menjadi gila untuk merebut Pangeran Lembu Sabdata.”

Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat yang duduk di bibir amben di serambi, sementara Mahisa Murti masih berbaring karena tubuhnya yang lemah. Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan telah membawa tubuh Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur dan meletakkannya di sebelah Mahisa Murti.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada masih mempunyai satu tugas yang tidak kalah pentingnya. Mereka harus menemukan mahkota yang telah hilang dari gedung perbendaharaan.

Berdua Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah memasuki halaman padepokan itu lebih dalam lagi. Mereka memang telah melihat dengan ketajaman penglihatan batin mereka, bahwa mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat bersemayam wahyu keraton itu berada di padepokan itu.

Tetapi keduanya harus mencari, di barak yang manakah mahkota itu disimpan. Keduanya yakin, bahwa mereka tidak akan dapat menanyakan kepada para cantrik. Mereka menganggap bahwa para cantrik tidak akan dapat memberikan petunjuk juga tentang mahkota itu, karena Ki Ajar tentu merahasiakannya. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata mengetahuinya, tetapi pada saatnya ia sadar, ia tidak akan dapat berbicara tentang mahkota itu dengan wajar, karena goncangan-goncangan jiwani yang tidak teratasi.

Sementara itu, keduanya masih harus bersikap hati-hati. Meskipun para cantrik nampaknya kebingungan dan tidak berbuat apa-apa, namun mungkin sekali mereka akan melakukan sesuatu diluar dugaan. Dengan memperhatikan keadaan di padepokan itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah memasuki barak demi barak yang dianggapnya mungkin sekali untuk menyimpan benda-benda berharga. Namun mereka tidak segera dapat menemukan yang mereka cari.

“Apakah kita akan menunggu Pangeran Lembu Sabdata?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat memberikan keterangan apapun juga,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Jadi kita harus mencarinya? Mengulangi memasuki barak demi barak sekali lagi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Apa boleh buat,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun bersama Pangeran Singa Narpada ia memasuki sekali lagi barak demi barak. Mereka harus memperhatikan setiap sudut dengan seksama. Memperhatikan setiap benda yang ada didalam setiap bilik. Mungkin benda yang sangat berharga itu telah dikaburkan dengan benda-benda lain yang ada di padepokan itu.

Satu-satu mereka memasuki bilik yang ada di barak-barak di padepokan itu. Memeriksa dengan seksama, bahkan kadang-kadang mereka harus membongkar geledeg-geledeg bambu dan peti-peti yang tertutup rapat. Tetapi mereka tidak menemukannya. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

“Baiklah kita beristirahat Pangeran,” berkata Mahisa Bungalan yang melihat wajah Pangeran Singa Narpada penuh ketegangan.

Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Jika perlu, kita harus melihat sekali lagi dengan penglihatan batin kita. Mungkin dengan demikian kita akan mendapat petunjuk letak benda keramat itu.”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku sependapat. Tetapi kita harus beristirahat dahulu. Kita akan berbicara dengan para cantrik untuk membuka hati mereka yang seakan-akan telah membeku.”

“Baiklah,“ Pangeran Singa Narpada mengangguk.

Sejenak kemudian keduanya telah kembali ke serambi tempat Mahisa Pukat menunggui Mahisa Murti dan Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur. Namun sementara itu, Mahisa Murti telah bangkit duduk di bibir pembaringan bersama Mahisa Pukat.

“Bagaimana keadaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Keadaanku menjadi berangsur baik, kakang,” jawab Mahisa Murti, “Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi akan segera pulih kembali.”

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Kita masih belum menemukan yang kita cari.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk beristirahat.”

“Ya, beristirahatlah. Kami akan berbicara dengan para cantrik yang tidak tahu apa yang harus diperbuat,” berkata mahisa Bungalan kemudian.

“Pangeran Singa Narpada yang gelisah, nampaknya tidak berminat sama sekali untuk berbicara dengan para cantrik. Karena itu maka dibiarkannya saja Mahisa Bungalan pergi sendiri menemui para cantrik yang berkumpul di sudut halaman tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan.”

Ketika Mahisa Bungalan mendekati mereka, maka rasa-rasanya darah mereka jadi membeku. Mereka menjadi ketakutan jika Mahisa Bungalan, yang telah mampu mengalahkan Panembahan Bajang, itu akan berbuat sesuatu atas mereka. Tetapi Mahisa Bungalan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya ingin berbicara serba sedikit dengan para cantrik itu.

Mula-mula cantrik-cantrik itu menjadi ragu-ragu untuk menanggapi sikap Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan bagi mereka nampaknya sama sekali tidak menakutkan. Bahkan dengan nada ramah ia bertanya, “Apakah kalian para cantrik dari padepokan ini?”

Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun Mahisa Bungalan mempertegas pertanyaannya, sehingga kemudian salah seorang diantaranya para cantrik itu memberanikan diri untuk menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami adalah para cantrik dari padepokan ini.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya sekali lagi, “Apakah kalian sudah melihat apa yang terjadi?”

“Ya Ki Sanak,” jawab cantrik itu lagi.

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sekarang pemimpin padepokan ini dan seorang pembantunya telah terbunuh. Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata menjadi tawanan kami.”

Para cantrik itu hanya dapat saling berpandangan. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata seterusnya, “Nah, siapakah diantara kalian yang tidak mau menerima keadaan seperti ini? Siapakah diantara kalian yang merasa wajib untuk berbuat sesuatu bagi padepokan?”

Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka Mahisa Bungalan berkata. “Para cantrik. Ketahuilah, bahwa yang kami lakukan adalah atas nama kekuasaan negara Kediri. Ki Ajar Bomantara telah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap Kediri, sehingga ia harus ditangkap. Tetapi sayang, bahwa ia sama sekali menolak untuk ditangkap, sehingga akhirnya kami berusaha untuk memaksanya. Tetapi kami gagal dan Ki Ajar itu terbunuh.”

Para cantrik hanya dapat menundukkan kepalanya saja.

“Ki Ajar telah dibunuh oleh Pangeran Singa Narpada karena ia menentang perintah penangkapan atas dirinya dan bahkan ia telah melawan,” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya.

Jantung para cantrik menjadi semakin berdebaran.

“Nah,” berkata Mahisa Bungalan seterusnya, “Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?”

Para cantrik itu saling berpandangan. Seorang diantara mereka memberanikan diri untuk menjawab, “Kami tidak mengerti, apa yang baik kami lakukan dalam keadaan seperti ini.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kami tidak akan menganggap kalian ikut bersalah sebagaimana pemimpin padepokan kalian. Karena itu, kalian akan tetap dapat melakukan pekerjaan kalian, memelihara padepokan ini apabila kalian masih ingin melakukannya. Atau jika kalian ingin kembali ke rumah kalian masing-masing, maka kalian bebas melakukannya. Karena kalian bukan tawanan kami.”

Para cantrik itu tidak segera menjawab. Mereka benar-benar tidak tahu lagi, apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Mahisa Bungalan lah yang kemudian justru memberikan pendapatnya, “Para cantrik. Jika kalian memang mencintai padepokan ini, maka kalian dapat tinggal disini, meneruskan pekerjaan kalian sehari-hari. Tanah pertanian kalian akan tetap menghasilkan, dan padepokan ini akan tetap terpelihara. Tetapi padepokan ini tidak lagi dihuni oleh seorang pertapa yang memiliki kelebihan dari orang lain karena Ki Ajar telah terbunuh. Namun demikian, mungkin salah seorang yang tertua diantara kalian akan dapat menjadi pemimpin disini bukan untuk mengembangkan kanuragan, tetapi untuk mengembangkan tanah pertanian yang sampai saat ini terpelihara dengan baik.”

Para cantrik tidak menjawab. Tetapi beberapa orang diantara mereka mengangguk-angguk.

“Nah, para cantrik,” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “Sekarang kalian mempunyai tugas untuk menyelenggarakan sebaik-baiknya mayat pemimpin kalian yang dengan terpaksa sekali terbunuh di pertempuran ini.”

Para cantrik itu masih saja termangu-mangu, sehingga Mahisa Bungalan pun berkata lebih tegas, “Nah, bangunlah dari mimpimu yang buruk itu. Lakukan. Mayat itu sudah terlalu lama membeku di tempatnya.”

Para cantrik itu seakan-akan memang terbangun dari sebuah angan-angan yang sangat buruk. Merekapun kemudian melangkah dengan hati yang kosong ke tempat pemimpin mereka terbaring diam.

Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata masih saja tertidur. Sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk termenung di bibir amben di serambi.

Mahisa Bungalan pun kemudian mendekati Pangeran Singa Narpada yang gelisah sambil berkata, “Mereka sudah melakukannya.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Tetapi aku tidak dapat melepaskan sekejap pun kegelisahan tentang benda yang masih belum kita ketemukan itu.”

“Tetapi kita tidak harus memaksa diri,” jawab Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka pun sempat melihat keadaan Pangeran Lembu Sabdata. “Ia masih akan tertidur untuk waktu yang cukup lama,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bertanggung jawab atas Pangeran yang dengan susah payah dicari di seluruh Kediri itu. Beberapa saat, Pangeran Singa Narpada duduk pula di amben itu, sementara Mahisa Bungalan berjalan hilir mudik di halaman samping sambil mengamati kerja para cantrik yang menjadi sibuk.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat menyingkirkan kegelisahannya barang sekejap. Karena itu, bagaimanapun juga, Pangeran Singa Narpada berniat untuk mencari benda keramat itu sampai ketemu, baru mereka akan memikirkan yang lain-lain.

“Baiklah Pangeran,” berkata Mahisa Bungalan, “Kita akan mencari benda itu dengan cara yang lain. Kita tidak hanya akan sekedar memasuki bilik demi bilik di setiap barak, tetapi kita akan memperhatikan suasana didalam bilik-bilik itu. Kita akan mempergunakan penglihatan batin kita untuk mencari pusaka yang hilang itu. Tetapi seperti Pangeran, aku pun yakin bahwa pusaka itu ada didalam padepokan ini.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencarinya tidak sekedar dengan penglihatan mata wadag kita.”

Demikianlah, keduanya telah mengulangi sekali lagi mencari pusaka yang dianggap mampu menjadi wadah wahyu keraton Kediri itu. Mahisa Pukat lah yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan di halaman padepokan, serta mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur.

“Jika sewaktu-waktu ia terbangun, maka segalanya terserah kepadamu,” berkata Mahisa Bungalan, “Tetapi satu hal yang harus kau perhatikan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak lagi menguasai kesadaran dan ingatannya sepenuhnya.”

Sementara itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengamati keadaan satu tempat dengan mempergunakan penglihatan batin. Mereka memang mendapat kesulitan untuk melakukannya. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka betapapun sulitnya, namun mereka pun akhirnya berhasil melakukannya.

Sekali lagi mereka memasuki bilik demi bilik. Tetapi mereka tidak sekedar mengamati benda-benda yang ada didalam bilik itu. Tidak sekedar membuka peti-peti kayu atau geledeg-geledeg bambu. Namun mereka memang tidak segera menemukannya. Tetapi ternyata bahwa kemampuan mereka menangkap dari mahkota yang mereka cari dengan pengamatan batin mereka, maka akhirnya keduanya merasakan, bahwa mereka telah berada tidak terlalu jauh dari benda yang mereka cari.

“Jantungku berdebar-debar,” berkata Mahisa Bungalan, “Agaknya ini merupakan satu pertanda.”

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Aku pun merasakan sesuatu yang asing. Tetapi agaknya getaran yang asing itu adalah satu bukti bahwa pusaka yang keramat itu berada disini.”

“Didalam bilik ini,” berkata Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian desisnya, “Ya. Didalam bilik ini atau di bilik sebelah.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun mereka terlalu yakin akan sentuhan halus dari pengamatan jiwani Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada dengan getar benda pusaka yang mereka cari itu.

Dengan demikian maka keduanya telah memeriksa isi bilik itu dengan teliti. Tidak ada sudut yang terlampaui. Amben yang ada didalam bilik itupun telah diangkat dan diletakkan miring. Geledeg bambu didalam bilik itupun telah digeser. Namun mereka tidak menemukan yang mereka cari.

“Kita lihat bilik sebelah,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Keduanya pun kemudian telah pergi ke bilik sebelah. Tetapi seperti di bilik yang terdahulu, mereka tidak menemukan apapun juga. Dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata, “Ada sesuatu yang aneh. Benda itu tentu ada disini.”

Pangeran Singa Narpada pun menjadi jengkel. Namun mereka tidak berhenti mencari. Mereka memasuki bilik demi bilik yang menurut pendapat mereka menjadi tempat penyimpanan benda keramat itu. Namun benda itu tidak mereka ketemukan.

Ketika gejolak perasaan memuncak, maka Mahisa Bungalan berusaha mempertajam penglihatan batinnya. Getaran yang menyentuh tali perasaannya yang paling halus, terasa semakin tajam. Dan yakinlah Mahisa Bungalan, bahwa ia berada dekat dengan benda yang dicarinya. Dalam pada itu, ketika sekali lagi ia mengamati bilik itu, terasa sesuatu menarik perhatiannya. Tiba-tiba saja ia berkata kepada Pangeran Singa Narpada, ”Tunggu disini sebentar Pangeran.”

“Ada apa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia telah pergi ke bilik sebelah. Tetapi tidak lama kemudian iapun telah kembali. Kemudian katanya, “Dinding ini telah menarik perhatianku. Ketika aku melihat sisi sebelah, aku semakin yakin, bahwa dinding ini bukan dinding kebanyakan. Tetapi didalam dinding ini terdapat rongga.”

“Maksudmu dinding ini rangkap?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Dan ada ruang diantara kedua helai dinding yang rangkap itu,” jawab Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian telah mendekati dinding kayu dari bilik itu. Merabanya, namun kemudian siap untuk memecahkannya.

“Tunggu Pangeran,” desis Mahisa Bungalan, “Jangan dengan cara itu. Jika ada sesuatu yang berharga dibalik dinding itu, mungkin akan menjadi rusak karenanya jika kayu yang pecah itu akan runtuh ke dalam rongga itu.”

Pangeran Singa Narpada mengurungkan niatnya. Namun iapun kemudian telah mengambil cara lain. Ia tidak memukul dinding kayu itu sehingga pecah. Tetapi Pangeran Singa Narpada telah mengerahkan kekuatannya untuk melepaskan kepingan papan dari dinding itu dengan hati-hati. Terdengar papan itu berderak. Sehelai papan telah patah.

Ketika kemudian Pangeran Singa Narpada melepaskan papan kedua, maka kedua orang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata diantara dua helai dinding yang berongga itu terdapat sebuah benda yang bercahaya bagaikan matahari. Pangeran Singa Narpada justru bagaikan membeku. Dipandanginya benda itu tanpa berkedip untuk beberapa saat. Namun kemudian, Pangeran Singa Narpada itupun telah jatuh pada lututnya.

Mahisa Bungalan pun kemudian berlutut pula ketika Pangeran Singa Narpada telah menyembah benda itu. Benda yang ternyata adalah Mahkota Kediri yang hilang, yang menurut kepercayaan beberapa orang di Kediri, Mahkota itu akan dapat menjadi tempat bersemayam wahyu keraton.

Betapa gejolak perasaan Pangeran Singa Narpada melihat benda yang harus diketemukannya itu. Rasa-rasanya dadanya justru menjadi sesak oleh kebanggaan yang meledak karena tugas yang dibebankan kepadanya ternyata telah berhasil. Dengan sangat berhati-hati, Pangeran Singa Narpada telah melangkah memasuki rongga itu. Ketika ia mengamati tempat itu dengan saksama, maka ternyata bahwa ada beberapa helai papan yang memang lepas dan yang merupakan pintu untuk masuk keluar ruang sempit itu.

“Bukan main,” desis Pangeran Singa Narpada, ”Ki Ajar mempunyai cara sangat cermat untuk menyembunyikan mahkota ini.”

“Ya.“ Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. ”Meskipun tempat ini tersembunyi, namun tempat ini terlalu bersih. Agaknya setiap hari tempat ini telah dibersihkan dengan cermat.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Tugas kita telah selesai.”

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya, “Belum Pangeran. Tugas ini baru selesai, jika Mahkota itu dan Pangeran Lembu Sabdata telah berada di Kediri. Bukankah masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan kembali ke Kediri. Mungkin Panembahan Bajang akan menghubungi mPu Lengkon yang dapat saja berubah pikiran. Atau mungkin langkah-langkah lain yang dapat diambil. Atau bahaya yang lain lagi, yang tidak kita perhitungkan sebelumnya.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Mahisa Bungalan. Aku tergesa-gesa menjadi gembira. Sudah terlalu lama jantungku merasa tertekan karena hilangnya benda itu dan hilangnya pula Pangeran Lembu Sabdata. Ketika aku mendapatkan keduanya disini, seolah-olah aku merasa, bahwa tugas yang sangat menekan perasaan itu sudah selesai.“ Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ternyata kau telah memperingatkan aku, agar aku tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Mereka seharusnya berusaha secepatnya mengamankan benda yang sangat berharga itu. Namun mereka terbentur pada kenyataan tentang Mahisa Murti yang keadaannya cukup parah meskipun tidak berbahaya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Pangeran. Bagaimana menurut Pangeran, apakah kita akan segera meninggalkan padepokan ini?”

“Sebenarnya hal itu akan lebih baik,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi bagaimana dengan adikmu?”

“Itulah yang menjadi pikiranku,” jawab Mahisa Bungalan.

“Biarlah kita menunggu sampai keadaannya berangsur baik,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Bukankah itu akan sangat berbahaya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tetapi kita tentu tidak akan dapat meninggalkan adikmu itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan menanyakannya kepada anak itu. Apakah ia sudah mampu berjalan.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Lalu, “Tetapi jangan kau paksa ia berjalan jika keadaannya memang belum mengijinkan.”

Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan bilik itu untuk melihat keadaan Mahisa Murti. Namun ternyata bahwa dalam waktu pendek, anak muda itu masih belum akan dapat meninggalkan padepokan itu.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada diri sendiri. “Apa boleh buat. Kami masih harus tinggal setidak-tidaknya semalam lagi. Besok Mahisa Murti baru mungkin dapat berjalan meninggalkan tempat ini. Jika malam nanti ternyata sesuatu akan terjadi atas kami maka itu merupakan akibat yang harus diterimanya.”

Hari itu juga para cantrik dari padepokan itu telah menyelenggarakan penguburan mayat para pemimpin mereka, sementara di padepokan itu ada beberapa orang yang justru telah membunuh pemimpin mereka itu, tinggal. Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat sesuatu selalu menerima keadaan itu.

Namun sudah tidak ada niat sama sekali para cantrik itu untuk berbuat sesuatu. Orang-orang yang berada di padepokan mereka adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan para cantrik itu tidak tahu, bahwa orang-orang yang berada di padepokan mereka itu telah membongkar dinding salah sebuah bilik dan menemukan yang mereka cari di rongga antara kedua helai dinding itu.

Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya memutuskan untuk tinggal semalam lagi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak mengatakan sesuatu tentang rencana mereka kepada para cantrik, sehingga para cantrik tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.

Yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan kepada para cantrik itu adalah, “Lakukan apa yang harus kalian lakukan. Jika kalian harus menanak nasi, maka lakukanlah, agar kalian tidak menjadi kelaparan. Jangan hiraukan kami. Kami akan mengurus diri kami sendiri dan Pangeran Lembu Sabdata.”

Para cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka mencoba untuk dapat melakukan pekerjaan mereka sehari-hari meskipun dengan penuh kebimbangan dan keragu-raguan.

Ketika malam tiba, maka menjadi tugas Mahisa Bungalan dan Mahisa Murti untuk bergantian mengamati keadaan, sementara Mahisa Murti diminta untuk tidak memikirkan apapun juga dan berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya agar besok mereka benar-benar dapat meninggalkan tempat itu.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada bertanggung jawab atas benda pusaka yang telah mereka ketemukan kembali, sehingga karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah berada bersama benda yang bernilai tidak terkirakan itu di rongga diantara kedua helai dinding bilik itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang dibuatnya tetap tertidur nyenyak.

Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat memejamkan mata sepanjang malam, karena mereka merasa bertanggung jawab terhadap keadaan. Namun ternyata bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi.

Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti pun telah terbangun. Keadaan tubuhnya telah menjadi jauh lebih baik. Dibantu oleh obat yang diminumnya, sehingga ketika Mahisa Bungalan melihatnya, sambil tersenyum Mahisa Murti berkata, “Aku sudah menjadi baik.”

“Justru setiap saat keadaanku akan bertambah baik,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah kau sudah dapat berjalan jauh?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tentu,” jawab Mahisa Murti, “Sudah tidak terasa apa-apa lagi. Memang mungkin masih ada perasaan nyeri yang kadang-kadang menyerang tulang-tulangku. Tetapi hanya kadang-kadang dan mudah sekali untuk mengatasinya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Kita harus mengambil langkah-langkah yang cepat, karena benda itu adalah benda yang sangat berharga.”

“Aku akan dapat berjalan sampai berapa hari sekalipun. Justru setiap saat akan bertambah baik,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian berbicara dengan Pangeran Singa Narpada, bahwa mereka sudah dapat melakukan perjalanan kembali ke Kediri. Namun Pangeran Singa Narpada justru berkata, “Kita harus sangat berhati-hati.”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku menyadari. Tetapi untuk berada terlalu lama disini, keadaannya akan sangat berbahaya pula.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun agaknya Pangeran Singa Narpada terbentur pada perhitungan bahwa menempuh perjalanan di siang hari akan mengundang persoalan pula karena mereka membawa mahkota yang sangat berharga, meskipun mahkota itu akan dibungkus sekalipun. Karena itu maka Singa Narpada itupun kemudian berkata, “Manakah yang lebih baik bagi kita. Apakah kita akan tinggal disini hari ini dan berangkat menjelang senja, atau kita akan berada di perjalanan siang ini?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan. Merekapun tidak mengerti, manakah yang lebih baik dilakukan. Namun akhirnya Mahisa Bungalan pun berkata, “Kita akan meninggalkan padepokan ini, tetapi kita tidak melakukan perjalanan. Kita akan berhenti di hutan perburuan yang tidak terlalu jauh dari tempat ini.”

Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sependapat. Kita akan berada di hutan itu. Baru menjelang senja kita berjalan. Esok pagi, jika matahari terbit, kita mencari tempat untuk bersembunyi.”

“Kita berjalan di malam hari,” berkata Mahisa Bungalan, “Bukankah begitu maksud Pangeran?”

“Ya. Bukankah untuk sementara cara itulah yang kita anggap paling aman. Sementara itu, kita masih harus membawa Pangeran Lembu Sabdata yang pada saat-saat tertentu akan dapat membuat kesulitan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencoba melakukannya. Tetapi sampai saat ini Pangeran Lembu Sabdata masih belum bangun.”

“Aku akan membangunkannya. Biarlah ia makan dan minum. Baru kita akan berangkat,” berkata pangeran Singa Narpada.

Sebenarnyalah kemudian Pangeran Singa Narpada telah menyentuh tengkuk Pangeran Lembu Sabdata yang perlahan-lahan terbangun dari tidurnya. Namun demikian ia membuka matanya dan bangkit untuk duduk, rasa-rasanya ia sama sekali tidak melihat orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan siapapun juga. Dengan pandangan kosong ia menatap celah-celah pintu yang terbuka. Tetapi seakan-akan tidak nampak apapun di hadapannya.

”Berilah ia makan,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat pun kemudian mengambil nasi di belakang. Seorang cantrik dengan tergesa-gesa telah menyediakannya meskipun lauknya tidak lebih dari ikan air yang ditangkap di belumbang.

Dengan pandangan yang tidak mengandung makna apapun, Pangeran Lembu Sabdata memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Namun kemudian nalurinya telah mendorongnya untuk menyuapi mulutnya karena perutnya terasa lapar. Setelah Pangeran Lembu Sabdata makan dan demikian pula yang lain-lain, maka mereka pun telah minta diri kepada para cantrik untuk meninggalkan padepokan itu.

Para cantrik itu melihat, bahwa keempat orang itu telah membawa Pangeran Lembu Sabdata dan sesuatu yang dimaksudkan ke dalam sebuah selongsong sehingga tidak terlihat oleh mereka. Tetapi tidak seorang pun diantara para cantrik yang berani menanyakannya. Mereka menganggap bahwa keempat orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga pemimpin padepokan itu, yang mereka anggap orang yang tidak terkalahkan, ternyata telah terbunuh oleh seorang diantara mereka. Pangeran Lembu Sabdata pun tidak mampu melawan kehendak mereka, dan saudara mereka yang tertua, Putut yang terpercaya itupun telah terbunuh pula.

Karena itu, maka para cantrik itu hanya dapat memandangi saja keempat orang yang meninggalkan padepokan itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan sudah tidak lagi memiliki kehendak. Ia tidak lebih dari sesosok tubuh yang terdiri dari tulang dan dagingnya. Namun yang sama sekali tidak, lagi memiliki kesadaran tentang adanya.

Demikianlah maka keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan padepokan itu sambil membawa Pangeran Lembu Sabdata. Mereka berjalan menyusuri jalan sempit di tengah-tengah tegalan. Namun yang kemudian telah meninggalkan jalan itu setelah mereka terlepas dari tatapan mata para cantrik. Seperti yang mereka rencanakan maka mereka telah mengambil jalan setapak menuju ke hutan perburuan. Mereka akan berada di hutan itu sampai senja turun. Baru mereka akan melanjutkan perjalanan.

Demikian berhati-hatinya Pangeran Singa Narpada, karena ia telah membawa dua macam benda yang sangat berharga. Satu diantaranya adalah sesosok tubuh yang seakan-akan telah kehilangan jiwa, dan satu lagu sebuah pusaka yang sangat dikeramatkan di Kediri.

Melewati jalan sempit mereka menuju ke hutan perburuan untuk tinggal di hari itu. Mereka harus berusaha beristirahat sebaik-baiknya karena malam nanti mereka akan menempuh perjalanan. Karena Pangeran Lembu Sabdata tidak mengerti keterangan tentang kepentingan mereka di hutan itu, maka Pangeran Singa Narpada telah memaksanya untuk tidur dengan menyentuh tengkuknya sebagaimana telah dilakukannya di padepokan.

“Aku tidak dapat tidur meskipun malam nanti harus berjalan semalam suntuk,” berkata Mahisa Pukat.

“Kau harus menjaga tubuhmu. Mungkin kau memang sudah terlatih untuk melakukan kerja yang keras. Tetapi selagi ada kesempatan jangan kau hamburkan tenagamu tanpa arti.”

Mahisa Pukat tidak membantah. Ia mengerti maksud kakaknya. Namun rasa-rasanya memang menjemukan sekali untuk menunggu tanpa berbuat apa-apa. Apalagi untuk tidur dalam keadaan seperti itu. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat melihat seekor burung terbang rendah menyambar sesuatu pada dahan sebatang pohon. Burung alap-alap.

“Apa yang disambar burung alap-alap itu?” bertanya Mahisa Pukat didalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Aku akan berburu.”

Mahisa Bungalan memandanginya dengan kerut di kening. Dengan nada datar ia bertanya, “Kau akan berburu tanpa busur dan anak panah?”

Mahisa Pukat menarik nafas. Memang sulit untuk berburu tanpa busur dan anak panah. Ia tidak dapat menerkam binatang buruannya, karena biasanya seekor binatang mempunyai alat penciuman dan pendengaran yang tajam. Sebelum ia mencapai seekor rusa yang sedang minum di sebuah mata air, maka binatang itu tentu sudah terkejut dan lari. Tetapi Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Aku akan membuat lembing.”

Mahisa Bungalan memandanginya dengan tajamnya. Lalu katanya, “Kau akan membuang tenaga tanpa arti apa-apa. Aku tahu, kau hanya sekedar ingin mengusir kejemuan. Tetapi kita tidak sedang duduk kesepian tanpa berbuat apa-apa. Kita harus menyimpan tenaga kita untuk menghadapi satu kemungkinan yang mendebarkan. Satu kemungkinan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia menurut pesan kakaknya. Ia tidak berbuat apa-apa dan duduk saja dalam kejemuan. Hari itu orang-orang yang berada didalam hutan itu berusaha untuk dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya, karena malam harinya mereka akan menempuh perjalanan panjang.

Ketika senja turun, maka orang-orang didalam hutan itupun telah mempersiapkan diri. Mereka makan bekal yang masih ada pada mereka, sebelumnya mereka mulai dengan perjalanan. Sementara itu Pangeran Singa Narpada telah membangunkan Pangeran Lembu Sabdata dan dengan cara khusus memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk makan.

Menjelang gelap, maka sekelompok kecil orang-orang itupun telah meninggalkan hutan perburuan. Mahisa Murti telah nampak semakin baik. Bahkan tidak lagi nampak tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami kesulitan pada tubuhnya menghadapi ilmu yang ganas. Meskipun kemudian jalan setapak yang mereka lalui benar-benar menjadi gelap, tetapi orang-orang yang sudah terbiasa dengan pengembaraan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Bahkan Pengeran Lembu Sabdata yang tidak sepenuhnya menyadari dirinya sendiri, secara naluriah dapat juga menempuh jalan yang terbentang di hadapan mereka, meskipun kadang-kadang memang menimbulkan kesulitan juga bagi Pangeran Singa Narpada yang harus selalu mengamati keadaannya.

Namun demikian, perjalanan mereka tidak mengalami hambatan yang berarti. Mereka dapat maju sesuai dengan kemungkinan yang dapat mereka capai. Sementara itu, jalan-jalan yang sepi memberikan mereka keleluasaan untuk bergerak tanpa menarik perhatian orang lain. Tetapi mereka masih harus menghindari kemungkinan melintasi gardu-gardu perondaan, agar tidak menimbulkan persoalan dengan anak-anak muda yang bertugas.

Namun mendekati tengah malam, ternyata sesuatu telah terjadi atas sekelompok kecil orang-orang yang menempuh perjalanan itu. Rasa-rasanya di langit tidak ada mendung. Udara bersih dan bintang nampak bergayutan di langit. Namun tiba-tiba beberapa langkah dari mereka telah meledak suara petir yang memekakkan telinga. Lidah api menjilat di langit dan menghantam sebatang pohon gayam yang tumbuh di pinggir jalan.

Orang-orang yang sedang berjalan itu terkejut bukan kepalang. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata pun terkejut pula dan hampir saja ia melarikan diri, jika Mahisa Bungalan tidak cepat menangkapnya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Panembahan Kerdil itu. Ia telah mengancam untuk menyerang aku dari jarak jauh. Agaknya ia telah melakukan rencana itu. Dengan kemampuan ilmu yang lembut didalam dirinya ia telah berusaha untuk menyerangku.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun sebelum mereka beranjak dari tempatnya, maka sekali lagi terdengar suara petir mengguncang tanah tempat mereka berpijak, dan menyambar sisa pohon gayam yang sedang terbakar.

“Gila,“ geram Mahisa Bungalan, “Dikiranya ilmu setannya itu dapat menakut-nakuti aku.”

“Lalu apa yang dapat kau lakukan. Panembahan Kerdil itu tidak ada disini sekarang,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Hanya orang yang lemah hati dan ketakutan sajalah yang akan dapat dikenai iblis yang licik itu, karena ia tidak berani beradu dada. Aku harus bertahan, agar aku tidak menjadi cemas dan pribadiku tidak terpengaruh oleh kekuatan pribadinya,” sahut Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata, “Kita berjalan terus. Jangan hiraukan permainan iblis itu.”

Tetapi Pangeran Singa Narpada bertanya, “Mahisa Bungalan. Apakah kita akan dapat melawannya?”

“Tanpa melawan, kita tidak akan dicelakainya,“ jawab Mahisa Bungalan.

Tetapi Pangeran Singa Narpada nampak ragu-ragu. Sekilas di pandanginya pohon gayam yang terbakar itu.

“Kita tidak boleh ragu-ragu,” berkata Mahisa Bungalan, “Marilah. Akulah yang akan dikenainya. Bukan orang lain. Karena itu biarlah ia mengenaiku jika ia mampu.”

Pangeran Singa Narpada masih termangu-mangu. Karena itu sekali lagi Mahisa Bungalan berkata tegas, “Jangan ragu-ragu. Jika kita ragu-ragu, maka kita telah memberi kesempatan kepada Panembahan Kerdil itu untuk mengenaiku.”

“Aku tidak ragu-ragu tentang kemampuanmu untuk melepaskan diri dari arah serangan licik Panembahan Bajang itu. Yang aku pikirkan, apakah kita akan melawan atau tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan belum sempat menjawab, ketika beberapa langkah dari Pangeran Singa Narpada, tanah bagaikan meledak oleh sambaran lidah api dari udara. Debu dan kerikil berhamburan sementara tanah pun menjadi bagaikan digali setinggi paha dengan lingkaran yang lebih luas dari sebuah sumur.

“Gila,“ geram Mahisa Bungalan, “Panembahan licik yang dungu itu hanya akan menghambur-hamburkan tenaga saja.”

“Kita akan melawannya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Bagaimana caranya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Marilah. Kita mencapai tempat yang sunyi,” berkata Pengeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia mulai mengerti, cara apakah yang akan ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun mengangguk-angguk sambil mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang seolah-olah tidak tahu tentang apa yang terjadi.

Ketika sekali lagi petir meledak di sisi lain dari Mahisa Bungalan, maka mereka pun mulai melanjutkan perjalanan. Tetapi seperti yang dikehendaki Pangeran Singa Narpada, mereka telah berusaha untuk mendapatkan tempat yang sepi, dibalik gumuk padas yang tidak terlalu besar, namun cukup terlindung.

Ketika sekali lagi terdengar ledakan, maka bebatuan diatas bukit kecil itupun telah pecah berserakan. Namun orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak menghiraukan.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Jagalah Pangeran Lembu Sabdata baik-baik. Jangan kau sakiti meskipun barangkali ia akan sangat menjengkelkan. Aku dan Mahisa Bungalan akan melawan serangan-serangan gila dari Panembahan Bajang.”

Pangeran Singa Narpada tidak perlu menjelaskan. Namun kedua orang adik Mahisa Bungalan itupun telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.

“Kita dapat melihat cahaya Teja sebagaimana dilihat oleh Panembahan Bajang. Kita pun tentu akan dapat melawan serangan-serangannya yang curang ini,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.

Mahisa Bungalan segera tahu apa yang harus dilakukan. Karena itu, maka kedua orang itupun segera mencari tempat untuk duduk sambil menyilangkan tangannya. Kepalanya menunduk dan sambil memejamkan matanya, keduanya telah memusatkan nalar budi. Meskipun mereka tidak pernah melakukannya sebelumnya. Tetapi mereka yakin bahwa mereka akan dapat melawan kekuatan batin Panembahan Bajang.

Sesaat kemudian, sekali lagi terdengar ledakan yang dahsyat. Sebongkah batu padas yang terletak hanya tiga langkah di belakang Mahisa Bungalan telah pecah. Gumpalan-gumpalan kecil batu padas itu telah terlempar berhamburan. Punggung Mahisa Bungalan pun telah tertimpa pula oleh pecahan-pecahan batu padas itu. Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menunggui Pangeran Lembu Sabdata yang ternyata duduk juga di sebuah batu padas. Kedua adik Mahisa Bungalan itu memang telah berusaha untuk menghadapi serangan-serangan itu dengan tabah. Mereka tidak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat dan kekuatannya membelah bebatuan dan bahkan membakar sebatang pohon yang besar.

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, mereka tidak boleh jatuh ke dalam pengaruh kepribadian Panembahan Bajang yang kuat, agar mereka tidak akan dapat dicelakainya dengan serangan-serangannya yang licik itu. Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Sekali-sekali ia memang terkejut. Namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.

“Mudah-mudahan orang itu tidak membuat aku pening,” berkata Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah dengan segenap kemampuannya berusaha untuk melawan serangan-serangan Panembahan Bajang yang licik. Keduanya telah dengan tulus dan segenap nalar budinya, memanjatkan permohonan kepada Yang Maha A-gung untuk melindunginya dan mencegah serangan-serangan yang bakal datang.

Demikian dalam dan kuatnya kedua orang itu memohon, maka ternyata pengaruhnya mulai terasa. Ketika sekali lagi terjadi ledakan, maka ledakan itu menjadi semakin jauh. Bahkan ledakan itu menjadi semakin kecil dan seakan-akan tidak lagi mampu berteriak menghentak dengan kekuatan raksasa.

Sementara itu di padepokannya sendiri, Panembahan Bajang duduk menghadapi lampu yang tengah menyala. Di dalam sebuah nampan di hadapannya terletak beberapa macam reramuan yang dipergunakannya untuk melakukannya serangan-serangannya. Sebuah perapian dengan bara yang memerah memancarkan kemerahan yang menghentak hentak di dada Panembahan Kerdil itu.

“Setan,“ Panembahan itu menggeram, “liat juga nyawa orang ini.”

Untuk beberapa saat Panembahan Bajang itu berjuang dengan alas ilmu yang dimilikinya untuk menghancurkan lawannya. Beberapa butir telur masih ada di sisinya. Dengan wajah yang tegang, maka diambilnya lagi sebutir telur dan dimasukkannya ke dalam bara api yang merah menyala.

Terdengar telur itu meledak. Sanggar Panembahan Bajang itupun bagaikan meledak pula. Cahaya petir memancar didalam sanggar itu. Namun hanya sekilas. Kemudian bilik itu menjadi sepi kembali. Namun ketika Panembahan Bajang melihat lampu minyaknya masih menyala, maka iapun mengumpat tidak habis-habisnya.

“Apalagi yang kurang,” desis Panembahan Bajang.

Sekali lagi ia menghentakkan ilmunya. Diucapkannya berbagai mantera. Diperciknya nampan di hadapannya dengan air bunga. Kemudian, sekali lagi ia mengambil sebutir telur dan dimasukkannya ke dalam bara yang kemerahan. Seperti yang telah berulang kali terjadi, maka telur itu-pun telah meledak. Cahaya lidah api memancar menyilaukan. Hanya untuk sesaat. Namun bilik itupun kemudian menjadi sepi. Namun lampunya tetap menyala.

“Gila,“ geram Panembahan Bajang. ”Apakah ada iblis yang melindunginya. Telah beberapa butir telur aku ledakkan, tetapi nampaknya serangan-seranganku tidak mengenainya.”

Dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantung, maka Panembahan Bajang itu menjadi semakin dalam mengungkap ilmunya. Ia berharap bahwa ia akan mampu mengatasi keliatan nyawa orang yang telah mengalahkannya dalam olah kanuragan.

“Aku harus membunuhnya,“ geram Panembahan Bajang. ”Meskipun seandainya ia berperisai ilmu yang betapapun kuatnya.”

Karena itulah, maka Panembahan Bajang tidak mau berhenti sebelum lampunya padam yang memberikan isyarat bahwa orang yang dikehendakinya sudah terbunuh. Dua tiga kali lagi ia mencoba, namun lampu itu masih tetap menyala. Bahkan Panembahan Bajang pun merasa bahwa serangannya menjadi semakin lama semakin lemah.

Kemarahan yang tidak tertahankan, akhirnya memaksa Panembahan Bajang untuk sampai ke puncak kedalamnya. Sejenak ia memandang lampu yang masih menyala itu. Kemudian iapun telah menaburkan reramuan ke dalam bara yang menyala. Baunya semerbak memenuhi sanggarnya, sementara itu, maka Panembahan Bajang itu telah memusatkan segenap nalar budinya, segenap kemampuan ilmunya dan segenap kemungkinan yang dapat dilakukannya.

Dengan tangan gemetar Panembahan Bajang telah mengambil sebutir telur. Tetapi telur itu tidak segera di masukkan ke dalam bara api sebagaimana telah dilakukannya. Tetapi telur itu telah diusapnya dengan semacam serbuk yang berwarna kekuning-kuningan. Kemudian dengan sepucuk duri dari sebatang daun pandan sungsang, maka ia telah menusuk kulit telur itu sehingga membuat sebuah lubang yang kecil tanpa meretakkan kulit telur itu memanjang.

Panembahan Bajang memandang telur itu dengan tatapan mata yang bagaikan menyala sebagaimana bara api di hadapannya. Lubang yang sangat kecil yang dibuatnya dengan duri pandan itupun kemudian diletakkannya di mulutnya. Dengan kekuatan yang khusus maka ia telah menghembus telur itu.

Memang tidak ada perubahan pada telur itu menurut ujud lahiriahnya. Tetapi ia sudah menghembuskan kemungkinan yang terakhir yang dapat dilakukannya. Telur itu akan memiliki kekuatan yang berlipat ganda dari yang pernah diledakkannya sebelumnya. Dengan landasan ilmu puncaknya, maka ia akan menggempur sasarannya dengan kekuatan terakhirnya. Satu lingkungan yang luas akan dikenainya dengan ilmu puncaknya. Bukan sekedar selingkar sumur atau lebih sedikit. Tetapi ia akan menghancurkan daerah seluas ara-ara.

“Dengan kekuatanku terakhir ini, maka gunungan-pun akan runtuh,“ geram Panembahan Bajang.

Sejenak kemudian, maka iapun telah duduk dengan penuh kesungguhan menghadapi perapiannya. Lampunya masih tetap menyala sementara telur yang khusus itupun telah dipersiapkannya sebaik-baiknya.

Sementara itu, jauh dari padepokan Panembahan Bajang, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan masih tetap duduk sambil menyilangkan tangannya di dada. Mereka merasakan hentakan-hentakan kekuatan di dada mereka jika terdengar ledakan yang dahsyat di sekitar tempat mereka.

Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang seolah-olah tidak tahu menahu tentang kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya itupun tidak menghiraukannya. Jika terjadi ledakkan maka iapun terkejut. Namun setelah itu, seakan-akan ia tidak pernah mendengar apapun juga.

Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan yang sedang memusatkan daya kemampuan mereka. Demikian bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu yang ada didalam diri mereka sehingga keduanya telah menjadi terengah-engah. Bahkan dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu tinggi seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka telah melihat seakan-akan asap mengepul dari ubun-ubun kedua orang itu.

“Mereka benar-benar sampai ke puncak,” desis Mahisa Murti.

“Ya. Segala sesuatu mungkin dapat terjadi. Tetapi kemampuan mereka meraba dengan ujung indera peraba di hati mereka, maka mereka mengetahui bahwa mereka akan mengalami serangan yang luar biasa.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah di hatinya, sebagaimana juga di hati Mahisa Pukat, telah terjadi satu gejolak yang seakan-akan memberikan petunjuk kepada mereka bahwa sesuatu akan terjadi.

Karena itu, maka Mahisa Murti itupun kemudian berkata, “Marilah, kita ikut bersama mereka.”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa saja. Tetapi kita tentu akan dapat membantu memperkuat pertahanan kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada,” jawab Mahisa Murti.

“Lalu bagaimana dengan Pangeran Lembu Sabdata? Jika kita membiarkannya, maka mungkin ia akan sampai kemana-mana. Atau bahkan mungkin Pangeran Lembu Sabdata dapat mencelakai kita,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Singa Narpada telah menidurkannya dalam saat-saat tertentu. Apakah kita juga dapat melakukannya?”

“Kita tentu dapat melakukannya karena hal itu sudah kita pelajari. Tetapi apakah nanti kita tidak dianggap bersalah oleh Pangeran Singa Narpada?” bertanya Mahisa Pukat.

Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun kemudian katanya. “Asal pada saatnya kita dapat membangunkannya maka aku kira, Pangeran Singa Narpada tidak akan menyalahkan kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah, Kita akan mencoba, Semuanya kita lakukan dengan niat yang baik-baik.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah membuat Pangeran Lembu Sabdata tertidur sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada, sementara kedua anak muda itu telah menempatkan diri mereka untuk bersama dengan Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan, mengatasi segala macam kemungkinan yang akan dapat menyerang mereka lewat laku yang tidak wajar.

Setelah mengamati tempat mereka yang menurut perhitungan mereka tidak akan didatangi oleh seorang pun, maka keduanya pun telah duduk pula di tempat yang terpisah serta memusatkan nalar budi, mengembangkan kemampuan dan tenaga yang dapat mereka lepaskan dari himpunan kekuatan menurut laku ilmu yang telah mereka sadap dari ayah mereka.

Keduanya memang tidak begitu mengerti tentang kekuatan kelam yang dapat melontarkan serangan dari jarak jauh. Namun keduanya yakin, bahwa dengan pemusatan nalar budi, memanjatkan doa dan permohonan perlindungan kepada Yang Maha Agung dalam ujud perisai kekuatan yang menyelubungi keduanya dan lingkungannya.

Untuk beberapa saat keduanya duduk dalam samadi. Namun terasa di hati mereka, getaran-getaran yang berulang kali seakan-akan telah mengguncang ketahanan samadi mereka. Namun justru karena itu, maka keduanya menjadi semakin dalam menukik ke alam samadi dalam hubungan tegak antara keduanya dengan penciptanya.

Sebenarnyalah bagi mereka yang tidak terlibat ke dalam samadi itu akan melihat, bahwa kedua orang anak muda itupun benar-benar telah tenggelam ke dalam satu keadaan yang sangat bersungguh-sungguh. Untuk beberapa saat, kesenyapan telah mencengkam tempat itu. Namun sementara itu di tempat lain. Panembahan Bajang pun telah sampai ke dalam puncak laku bagi puncak kekuatannya.

Beberapa saat Panembahan Bajang masih menimang telurnya didalam genggaman sementara iapun telah memusatkan segenap kemampuannya. Perapian di hadapannya telah memancarkan cahaya merah dari dunia kekelaman hati Panembahan Bajang. Sementara beberapa jenis serbuk telah diusapkan pada telurnya yang telah dihembusnya dengan kekuatan ilmu sebagai pertanda akan dilepaskannya kemampuannya yang sulit dicari bandingnya.

Telur itu akan dimasukkannya ke dalam perapian dan akan terjadi satu ledakan yang maha dahsyat. Sanggar itu akan terguncang. Namun tidak akan terjadi apapun juga didalam sanggar itu. Setelah ledakkan itu berhenti, maka udara didalam sanggar itu akan menjadi segar kembali. Panembahan Bajang akan dapat menghirup kemenangannya, karena lampu itu tentu sudah padam.

Sejenak Panembahan Bajang masih mengucapkan beberapa kalimat mantra. Kemudian tangannya mulai bergerak mengembang Telur itupun digerakkan melingkar beberapa kali, kemudian perlahan-lahan telur itupun dimasukkan ke dalam api perapian yang nyalanya kemerah-merahan bagaikan warna darah yang memancar dari luka.

Ketika telur itu dilepaskannya, maka seperti yang sudah dilakukannya, maka telur itupun jatuh ke dalam api dan meledak. Demikian pula telurnya yang terakhir itu. Ketika telur itu jatuh ke perapian, maka telah terjadi ledakan yang sangat dahsyat. Ledakkan bagaikan tujuh petir yang menyambar bersama-sama. Sanggar Panembahan Bajang itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Asap mengepul memenuhi ruang sanggar itu.

Sementara itu, di sebuah gumuk batu padas, telah terjadi sesuatu yang mendebarkan. Sesuatu seakan-akan telah terjatuh dari langit. Tetapi benda itu tidak meledak, melainkan seakan-akan telah menyemburkan api tegak lurus ke langit. Cahayanya menyilaukan mata, namun tidak terlalu lama. Cahaya itupun kemudian seakan-akan telah pudar, sementara benda yang terjatuh dari langit itupun telah terhisap kembali ke arah semula ketika benda itu jatuh.

Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar Panembahan Bajang bukan saja telah terguncang. Tetapi sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak. Segala isinya telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan. Para cantrik dari padepokan itu terkejut. Ledakkan itu terlalu keras dan terlalu besar dari yang selalu mereka dengar jika Panembahan Bajang melontarkan ilmunya. Karena itu, maka para cantrik pun telah berlari-larian ke sanggar yang telah berserakan itu.

“Panembahan ada dimana?” bertanya seorang cantrik.

Yang lain pun termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka melihat asap yang mengepul diantara reruntuhan sanggar itu. “Api?” Seorang cantrik berteriak.

Sebenarnyalah, perapian dan lampu minyak yang ada didalam sanggar itu telah menjilat reruntuhan yang menimpanya. Seorang cantrik yang cekatan telah meloncat ke arah itu untuk memadamkannya. Namun tiba-tiba saja cantrik itu memekik tinggi.

“Panembahan,” suaranya melengking.

Beberapa orang cantrik yang lain pun berlarian mendekat. Mereka tidak menghiraukan ketika kaki mereka tersandung batang-batang kayu yang berserakan. Dengan menyingkirkan pecahan-pecahan kayu dan bambu maka mereka telah mengangkat tubuh yang terbaring diam. Betapapun besar kuasa ilmu Panembahan Bajang, namun dalam keadaan yang demikian, maka Panembahan tidak lebih sesosok tubuh yang terbaring diam.

Dengan kecemasan yang mencengkam jantung, para cantrik itu telah membawa tubuh yang membeku itu di serambi barak yang berada di dekat sanggar. Sedang yang lain memadamkan sisa api yang masih mengepul. Namun ketika tubuh itu terbaring menelentang, maka para cantrik itu melihat bahwa Panembahan Bajang telah meninggal.

Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar Panembahan Bajang bukan saja telah terguncang. Tetapi sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak, segala isinya telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan. Betapa kesedihan telah mencengkam jantung para cantrik. Panembahan Bajang bagi mereka adalah orang yang baik. Mereka berharap untuk dapat meneguk sejemput ilmu dari Panembahan yang baik menurut penilaian mereka. Namun tanpa mereka ketahui sebabnya, maka Panembahan Bajang itu telah terbunuh.

Sebenarnyalah bahwa ternyata Panembahan Bajang yang telah melontarkan kemampuan ilmu puncaknya untuk menghancurkan orang yang telah mengalahkannya dalam olah kanuragan, telah membentur kekuatan jiwani yang tidak tertembus. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan yang kemudian juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil membangun perisai yang sangat kuat. Mereka ternyata telah menghubungkan diri mereka dengan lindungan Yang Maha Agung, sehingga betapapun kuatnya ilmu Penembahan Bajang yang mampu menghancurkan bukit batu, ternyata ilmu itu tidak dapat menghembus perlindungan Yang Maha Agung itu.

Bahkan kekuatan ilmu itu telah memental kembali dan meledak justru di tempat ilmu itu dilontarkan. Hanya karena Panembahan Bajang termasuk seorang yang luar biasa sajalah maka Panembahan Bajang tidak menjadi lumat, sehingga tubuhnya justru masih utuh. Namun Panembahan Bajang telah mati.

Sementara itu jauh dari padepokan Panembahan Bajang, empat orang masih dalam pemusatan kemampuan mereka. Namun didalam tahap terakhir, terasa oleh mereka, bahwa getaran-getaran yang rasa-rasanya telah mengguncangkan samadi mereka telah susut dan akhirnya pudar sama sekali.

Isyarat jiwani itu telah membuat keempat orang itu perlahan-lahan melepaskan pemusatan ilmu mereka. Mereka mulai mengendorkan ketegangan yang mencekam jiwa mereka. Apalagi untuk beberapa saat lamanya mereka tidak lagi mendengar ledakan-ledakan yang dapat memecahkan selaput telinga mereka.

Hampir bersamaan mereka telah melepaskan samadi mereka. Namun baru kemudian Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan mengetahui bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula.

“Kita bersama-sama telah mampu melawan kekuatan Panembahan Bajang,” berkata Mahisa Bungalan.

“Serangan-serangan itu telah berhenti,” berkata Mahisa Murti.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun perhatiannya tertuju kepada Pangeran Lembu Sabdata yang terbaring diam.

“Aku terpaksa membuatnya tidur,” berkata Mahisa Murti, “Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan atas Pangeran Lembu Sabdata pada saat aku dan Mahisa Pukat ingin ikut membantu melawan kekuatan Panembahan Bajang yang nggegirisi itu.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak-anak muda itu benar-benar telah dibekali dengan ilmu yang mapan. Mahisa Murti telah mampu dengan tidak membahayakan seseorang membuatnya tidur nyenyak sebagaimana dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Pangeran. Aku akan membangunkannya. Jika perlakuanku atas Pangeran Lembu Sabdata tidak berkenan di hati Pangeran, aku mohon maaf.”

“Tidak. Aku tidak sedang menyesali perbuatanmu, tetapi aku justru mengagumimu. Kau dan Mahisa Pukat yang masih terlalu muda itu ternyata telah mampu menunjukkan satu tingkat kemampuan yang sangat tinggi.”

“Jangan memuji Pangeran,” jawab Mahisa Murti, “Apa yang aku lakukan tidak berarti apa-apa.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bangunkan Pangeran Lembu Sabdata. Kita masih mempunyai tugas yang berat.”

Mahisa Murti pun kemudian membangunkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi di sekitarnya. Bahkan seandainya Pangeran Lembu Sabdata itu tidak tertidur, iapun tidak menyadari apa yang telah terjadi.

Sejenak kemudian, ketika mereka telah yakin bahwa sudah tidak terjadi ledakan-ledakan yang agaknya memang ditujukan kepada mereka, maka Pangeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melanjutkan perjalanan bersama Pangeran Lembu Sabdata.

Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin larut. Namun mereka yang menempuh perjalanan itu sama sekali tidak berniat untuk berhenti, karena justru mereka lebih baik berjalan malam hari.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan itupun berkata, “Aku ingin singgah di padepokan Panembahan Bajang.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita membawa sesuatu yang sangat berharga.”

“Aku ingin meyakinkan, apa yang telah terjadi. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja serangan-serangannya terhenti. Apakah Panembahan Bajang mengira bahwa aku sudah mati? Selebihnya aku ingin mendengar janjinya, bahwa ia tida akan melakukan serangan licik seperti itu,“ jawab Mahisa Bungalan.

“Tetapi baiklah kita mengembalikan benda ini dan menitipkan Pangeran Lembu Sabdata di Kediri,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Agaknya akan makan waktu terlalu lama. Dalam kesempatan itu Panembahan Bajang mungkin telah melakukan serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi, sementara kita kurang mengerti apa yang sebaiknya kita lakukan untuk melawan,” berkata Mahisa Bungalan, “Meskipun baru saja kita dapat menghindarkan diri, namun dalam hal seperti ini, kita harus mengakui bahwa Panembahan Bajang memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kita semua. Karena itu, aku harus berhadapan langsung dengan orang itu dan memaksanya mengucapkan janji bahwa ia tidak akan melakukannya lagi atas taruhan kemampuannya. Ia harus mengatakan bahwa jika ia sekali lagi menyerangku, maka serangan itu akan mengenai dirinya sendiri.”

“Apakah kau yakin bahwa ia akan benar-benar berjanji dan janji itu akan berarti?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kita akan memaksanya untuk mengucapkan janji didalam sanggarnya, di hadapan para cantriknya dan atas nama sumber ilmu yang disadapnya,” jawab Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan itupun berkata, “Pangeran. Aku merasa tidak tenang sebelum aku bertemu dengan Panembahan Bajang. Aku akan bertemu dan menyelesaikan persoalanku sampai tuntas. Jika perlu, maka aku akan membunuhnya, sehingga bagiku persoalan dengan orang itu sudah selesai.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Tetapi ia melihat kesungguhan memancar di wajah Mahisa Bungalan. Karena itu mengingat bahwa Mahisa Bungalan dan kedua adiknya sudah bekerja keras untuk membantunya menemukan benda yang paling berharga bagi Kediri, serta menemukan Pengeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Singa Narpada pun merasa wajib untuk membantu dan memenuhi keinginan itu.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah Mahisa Bungalan. Kita akan singgah sebentar. Mudah-mudahan kita tidak terhambat karenanya.”

Dengan demikian, maka mereka pun telah berusaha untuk mencari arah. Sekali mereka pernah mengunjungi satu tempat, mereka akan dapat mencarinya dengan ancar-ancar alam yang dapat dilihat dim alam hari. Jangankan tempat yang pernah mereka lihat, sedangkan tempat yang baru mereka kenal dengan ancar-ancar pun akan dapat mereka ketemukan.

Meskipun dengan demikian, maka perjalanan mereka akan menjadi bertambah jauh, tetapi Mahisa Bungalan telah membulatkan tekadnya untuk datang ke padepokan Panembahan Kerdil itu. Tetapi padepokan itu tidak dapat mereka capai malam itu juga. Karena itu, maka ketika matahari mulai menerangi langit di dini hari, mereka harus menyesuaikan diri.

“Jalan terlalu sepi,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Biarlah kita meneruskan perjalanan.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Namun diluar sadarnya ia berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, agaknya kakaknya ingin bertanya kepada mereka, apakah mereka telah lelah. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun bergumam, “Kami masih dapat berjalan sampai tiga hari tiga malam lagi.”

“Sombongnya,” desis kakaknya.

Mahisa Murti pun berpaling kepadanya. Namun Mahisa Pukat justru tersenyum karenanya. Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat juga mengamati Pangeran Lembu Sabdata. Namun agaknya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menghiraukan, apa yang sedang dilakukannya. Ia berjalan saja seakan-akan tanpa jiwa. Namun sama sekali tidak terbayang keletihan pada langkahnya atau pada bayangan di wajahnya. Ia berjalan saja seperti tidak melakukan apa-apa.

Dengan demikian, maka meskipun matahari kemudian terbit, mereka masih tetap berjalan. Mereka telah menyempatkan diri untuk membersihkan wajah mereka dan membenahi pakaian mereka, sementara Mahkota yang dibawa oleh Pangeran Lembu Sabdata telah dibungkus sedemikian rupa sehingga tidak menarik perhatian, seolah-olah yang dibawa bungkusan barang yang tidak berharga sebagaimana sering dibawa oleh para perantau.

Ternyata bahwa ketahanan tubuh mereka sangat tinggi. Meskipun mereka semalaman telah melakukan kerja dan perjalanan yang berat, namun mereka masih mampu berjalan dengan langkah yang segar, seakan-akan baru saja mereka mulai dengan perjalanan mereka. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan tidak menyadari apa yang sedang dilakukan itupun berjalan dengan langkah tetap sambil menundukkan wajahnya.

Di siang hari mereka berhenti sejenak untuk melepaskan haus dan membeli makanan serta bakal di perjalanan. Ka-dang-kadang mereka memang jemu untuk saling berbicara, tetapi tidak ingin membiarkan mulut mereka berhenti bergerak, karena itu, maka Mahisa Pukat telah membeli makanan yang dapat dipergunakan untuk mengusir kejemuan di perjalanan jika mereka letih berbicara. Ternyata bahwa mereka benar-benar tidak mengenal letih. Mereka berjalan terus sampai akhirnya menjelang senja mereka telah mendekati padepokan Panembahan Bajang.

“Apakah kita akan terus memasuki padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia berhasil mengendalikan perasaannya dan berkata, “Kita akan beristirahat sejenak sebelum kita memasuki padepokan itu. Aku ingin memasuki padepokan dengan langkah yang segar.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti bahwa Mahisa Bungalan ingin mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi Panembahan Bajang. Jika perlu tentu dengan perang tanding. Demikianlah maka orang-orang yang mendekati padepokan itu telah memasuki sebuah hutan kecil untuk beristirahat.

Beberapa saat mereka berada didalam hutan kecil itu. Setelah Mahisa Bungalan benar-benar merasa tubuhnya segar, maka iapun berkata, “Marilah. Kita akan memasuki Padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mempersiapkan diri, sementara Pangeran Singa Narpada tidak mempunyai rencana lain dari memberikan kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk menyelesaikan persoalannya yang tersisa dengan Panembahan Bajang. Karena itu, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan mereka langsung menuju ke padepokan yang sudah ada di depan hidung mereka meskipun malam telah turun.

Dengan langkah tetap Mahisa Bungalan berjalan di paling depan ketika mereka memasuki regol. Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka melihat kesibukan di padepokan itu. Dengan ragu-ragu mereka perlahan-lahan melangkah setapak demi setapak di halaman padepokan.

Seorang cantrik yang melihat kehadiran mereka dibawah cahaya obor regol padepokan itupun dengan tergesa-gesa menyongsong mereka. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Marilah, silahkan Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai satu keperluan atau hanya sekedar ingin singgah karena kalian kemalaman. Atau kalian memang sudah mendengar tentang Panembahan Bajang dan datang untuk memberikan penghormatan?”

Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kami ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Bajang.”

“Oh.“ cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. ”Siapakah kalian?”

“Kami adalah sahabat-sahabatnya,“ jawab Mahisa Bungalan.

Cantrik itu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Panembahan Bajang telah meninggal.”

“Oh.“ Mahisa Bungalan benar-benar terkejut, bukan sekedar dibuat-buat. ”Kenapa?”

Cantrik itupun kemudian berceritera tentang sanggar yang meledak tanpa diketahui sebabnya. Mahisa Bungalan lah yang kemudian termangu-mangu. Kemudian iapun berpaling ke arah Pangeran Singa Narpada ketika Pangeran Singa Narpada kebetulan berpaling pula kepadanya. Seolah-olah mereka telah bersepakat untuk mengatakan, bahwa ledakan itu tentu merupakan kegagalan Panembahan Bajang dalam bermain-main dengan ilmunya.

Namun dalam pada itu, baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran Singa Narpada telah berkata didalam hatinya, “Untunglah Panembahan Bajang mempergunakan ilmu kasarnya. Jika ia mempergunakan ilmunya yang lebih halus, mungkin ilmu itu akan berhasil menyusup ke dalam otaknya dan membuatnya gila.”

Tetapi ternyata bahwa ilmunya yang kasar itu tidak dapat menembus perisai yang telah dibuat bersama-sama dalam empat kekuatan yang pasrah kepada Yang Maha Agung, sehingga justru kekuatan itu telah melenting kembali mengenai dirinya sendiri.

Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan masih termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Pangeran Singa Narpada, ”Kita ikut berbela sungkawa. Tetapi maaf Ki Sanak, kami tidak dapat singgah. Ada sesuatu yang ingin kami lakukan, yang seharusnya diketahui oleh Panembahan Bajang. Tetapi karena Panembahan Bajang sudah tidak ada lagi, maka biarlah kami melakukannya sendiri.”

“Jadi kalian tidak singgah dan menunggu sampai mayat Panembahan diselenggarakan?” bertanya cantrik itu.

“Maaf Ki Sanak. Kami agak tergesa-gesa. Mungkin kelak jika tugas kami sudah selesai, maka kami akan singgah di padepokan ini,” jawab Mahisa Bungalan.

“Baiklah Ki Sanak,” berkata cantrik itu, “Kami sangat mengharapkan kedatangan kalian. Tetapi apakah kalian tidak singgah barang sejenak. Hari sudah malam. Jika Ki Sanak memerlukan bermalam disini, kami tidak berkeberatan.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan, “Kami terpaksa meneruskan perjalanan kami.”

“Jika demikian silahkan Ki Sanak,” berkata cantrik itu.

Dengan demikian, maka kelima orang itupun telah melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan padepokan itu. Dengan saling berdiam diri, kelima orang itu berjalan dalam gelapnya malam. Yang tidak terduga ternyata telah terjadi. Panembahan Bajang telah meninggal. Tidak ada penjelasan dari cantrik di padepokan itu. Namun yang diketahui oleh cantrik itu bahwa sanggar Panembahan Bajang telah meledak.

Keempat orang yang telah berusaha melawan kekuatan Panembahan Bajang itu menghubungkan perjuangan mereka dengan kemungkinan terjadinya ledakkan itu. Tatapi tidak seorang pun diantara mereka yang dapat mengatakan, bahwa meledaknya sanggar Panembahan Bajang itu adalah karena kekuatan berempat telah berhasil mendorong kembali kekuatan ilmu Panembahan Bajang.

Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berkata, “Kita sudah terlalu lama berjalan. Menurut pendapatku, apakah tidak sebaiknya kita beristirahat barang sejenak.”

Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Karena itu. maka ketika mereka sampai pada sebuah ara-ara perdu, maka mereka pun telah mencari tempat untuk dapat beristirahat. Beruntunglah mereka karena ternyata tidak jauh dari tempat itu mengalir sebatang sungai kecil, namun yang airnya cukup jernih.

Sementara itu. di padepokan Panembahan Bajang para cantrik dengan wajah yang murung telah menjadi sibuk. Tidak ada diantara mereka yang tahu pasti, apa yang telah terjadi. Namun pemimpin padepokan mereka, yang mereka anggap sebagai seorang yang baik telah pergi meninggalkan mereka.

Namun dalam pada itu. selagi para cantrik merasa kehilangan pegangan, seseorang telah memasuki halaman padepokan itu. Dengan langkah yang sangat cepat, orang itu bagaikan tidak menyentuh tanah. Seorang cantrik dengan tergesa-gesa telah mendekati orang yang datang itu. Dengan hormat cantrik itupun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

“Selamat datang mPu,” berkata cantrik itu.

“Apa yang terjadi,” bertanya orang yang baru datang itu, “hatiku merasa sangat cemas. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku didera oleh suatu keinginan untuk mengunjungi padepokan ini. Dimana Panembahan mu yang kerdil itu.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan suara yang bergetar menyahut, “MPu, Panembahan sudah meninggal.”

“Meninggal?” MPu Lengkon terkejut. ”Kenapa?”

Cantrik itupun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Panembahan Bajang, sehingga akhirnya ia-pun meninggal.

mPu Lengkon menjadi tegang. Kemudian katanya, “Aku ingin melihat tubuh Panembahan.”

Cantrik itupun kemudian mengantar mPu Lengkon melihat tubuh Panembahan Bajang yang pada beberapa bagian terdapat semacam luka dan memar karena tertimpa bagian-bagian dari atap sanggarnya yang runtuh oleh satu ledakan yang sangat dahsyat dan mengejutkan.

Sejenak mPu Lengkon memperhatikan keadaan tubuh Panembahan Bajang. Berdasarkan atas kenyataan yang diamatinya serta beberapa keterangan yang didengarnya dari beberapa orang cantrik padepokan itu, maka mPu Lengkon dapat mengambil satu kesimpulan, meskipun ia tidak dapat mengatakan kesimpulan itu kepada para murid Panembahan Kerdil itu.

“Ternyata Panembahan Bajang telah dihancurkan oleh ilmunya sendiri yang membantu kekuatan yang tidak dapat ditembusnya,” berkata mPu Lengkon didalam hatinya sendiri.

Karena itu, maka mPu Lengkon pun telah berusaha untuk mencari, siapakah kira-kira orang yang mampu mengembalikan kekuatan ilmu Panembahan Bajang yang dahsyat itu. Meskipun mPu Lengkon sendiri tidak pernah merasa takut kepada kekuatan ilmu Panemhahan Bajang, namun menurut penilaiannya, kemampuan ilmu Panembahan Bajang adalah sangat nggegirisi. Karena itu, jika ada orang yang mampu melawannya dan bahkan melontarkan kembali sehingga membunuhnya, tentu orang itu memiliki kemampuan yang tidak dapat dijajagi.

Namun mPu Lengkon tidak membayangkan sama sekali, bahwa satu kekuatan yang dibangun atas empat kemampuan yang tinggi telah mendorong kembali serangan Panembahan Bajang. Empat orang yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi kekuatan sebagaimana dilontarkan oleh Panembahan Bajang, namun karena kebulatan hati mereka tertuju kepada Yang Maha Agung untuk mendapatkan perisai perlindungan, maka ternyata bahwa kekuatan mereka berempat dapat melontarkan kembali serangan Panembahan Bajang kepada dirinya sendiri.

mPu Langkon pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memberikan petunjuk apapun kepada para cantrik, karena peristiwa yang terjadi itu merupakan peristiwa yang gelap.

“Mungkin Panembahan Bajang telah membentur kekuatan para kesatria di Kediri,” berkata mPu Lengkon kepada diri sendiri. Lalu, “Karena di Kediri tentu terdapat banyak kekuatan yang dapat mengimbangi kekuatan Panembahan Bajang. Dan tentu akan terjadi hal yang mungkin sama jika aku melakukan serangan-serangan tersembunyi sebagaimana dilakukan oleh Panembahan Bajang.”

Namun dalam pada itu, mPu Lengkon tidak segera meninggalkan tempat itu. Ternyata kehadirannya telah memberikan sedikit ketenangan kepada para cantrik. karena ternyata mPu Lengkon telah ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi para cantrik untuk menyelenggarakan mayat Panembahan Bajang.

“Aku akan berada disini sampai semuanya selesai,” berkata mPu Lengkon yang menjadi iba melihat keadaan para cantrik yang kebingungan.

Sementara itu, maka mereka yang berjalan menuju Kediri tengah beristirahat di sebuah ara-ara perdu. Ternyata bahwa ketika mereka sempat duduk, justru terasa bahwa mereka memang sudah mulai letih.

Demikianlah maka Mahisa Bungalan pun telah berkata kepada kedua adiknya, “beristirahatlah. Mungkin kalian ingin tidur barang sekejap. Kita akan bergantian berjaga-jaga.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mencari tempat. Sekilas mereka melihat Pangeran Lembu Sabdata duduk bersandar sebongkah batu padas. Tatapan matanya yang kosong terlempar jauh kekeramangan malam. Namun keduanya sama sekali tidak berbuat sesuatu, karena di tempat itu pula ada Pangeran Singa Narpada. Segala sesuatunya tentu akan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada itu bagi kepentingan adiknya yang kurang menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya itu.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak membuat adiknya tertidur. Dibiarkannya Pangeran Lembu Sabdata duduk merenungi gelapnya malam sebagaimana hatinya yang gelap. Tetapi dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada harus mengawasinya terus-menerus agar adiknya itu tidak hilang tanpa diketahui kemana perginya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendapatkan tempat untuk berbaring. Ternyata sisa malam tinggal beberapa saat saja. Namun keduanya memang sempat memejamkan matanya dan tidur sejenak.

Tetapi mereka pun segera terbangun ketika langit menjadi terang. Berdua mereka pergi ke sungai yang airnya meskipun sedikit tetapi jernih. Keduanya sempat mandi dan membersihkan dirinya, sehingga dengan demikian maka tubuh mereka pun terasa menjadi segar setelah mereka sempat tidur beberapa kejap.

Setelah keduanya, barulah Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan yang turun ke sungai. Pangeran Singa Narpada telah mengajak Pangeran Lembu Sabdata dengan cara yang khusus untuk ikut pergi ke sungai dan membersihkan dirinya pula.

Meskipun kemudian mereka telah selesai mandi dan membersihkan diri, namun mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tergesa-gesa melanjutkan perjalanan justru di siang hari. Mereka berusaha untuk menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari perhatian orang banyak, bahwa mereka telah membawa sesuatu yang sangat berharga. Apalagi sikap Pangeran Lembu Sabdata yang tentu menumbuhkan beberapa pertanyaan dan kemudian menarik perhatian orang yang melihatnya. Karena itu, maka sebagaimana mereka rencanakan sebelumnya, bahwa mereka akan lebih banyak berada di jalan-jalan justru di malam hari.

“Jadi kita akan berada di tempat ini sampai senja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Seharusnya memang demikian,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi kita akan melihat suasana. Mungkin kita akan berangkat lebih cepat.”

“Lalu apa yang akan kita kerjakan selama kita menunggu matahari turun? Berbaring, tidur lagi atau apa?” desak Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan menyadari bahwa kedua adiknya akan menjadi jemu menunggu tanpa berbuat apa-apa. Karena itu, maka katanya, “Nah, jika demikian apa yang sebaiknya kalian lakukan? Mungkin mencari ikan di sungai kecil itu dengan membendungnya atau apa?”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Aku barangkali Mahisa Pukat akan melihat-lihat lingkungan diluar hutan perdu ini.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kita berada di tempat ini untuk menghindarkan diri dari persoalan-persoalan yang dapat timbul. Karena itu, maka sebaiknya kalian pun tidak keluar dari ara-ara perdu ini.”

“Kami tidak akan berbuat apa-apa,” jawab Mahisa Murti, “hanya sekedar melupakan kejemuan. Seandainya ada pasar atau kedai atau orang-orang yang berjualan, maka kami memang ingin membeli makanan.”

Mahisa Bungalan memang tidak akan membiarkan keduanya menjadi sangat gelisah karena mereka harus menunggu tanpa berbuat apa-apa. Karena itu, maka Mahisa Bungalan itupun kemudian bertanya kepada Pangeran Singa Narpada. “Bagaimana menurut pertimbangan Pangeran?”

“Biarlah mereka pergi. Agaknya mereka benar-benar telah dewasa dalam sikap dan tingkah laku, bukan saja ilmunya. Karena itu, kami percaya bahwa mereka akan dapat menempatkan diri sebaik-baiknya, dan tidak akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan perjalanan kita,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Pangeran Singa Narpada pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Sementara itu, bersama Mahisa Pukat keduanya telah meninggalkan hutan perdu itu turun ke sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah padukuhan.

“Mudah-mudahan kita menemukan pasar,” berkata Mahisa Pukat.

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu yang lain dari yang selalu kita makan selama ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Ah, kau,” desis Mahisa Murti, “Apakah yang kita makan selama ini kurang baik?”

“Jangan berpura-pura. Jika kita menemukan jenis makanan yang sudah lama tidak kita jumpai, maka kau menyadarinya,“ jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak membantah. Agaknya benar juga bahwa mereka menjadi jenuh dengan makanan yang seadanya dan minum dengan meneguk air dari belik. Sebenarnyalah, akhirnya keduanya telah menemukan sebuah pasar yang meskipun tidak begitu besar, tetapi didalamnya terdapat beberapa buah kedai makanan.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat. ”Kita dapat-memilih. Jika kita sudah kenyang, maka kita akan dapat membeli untuk kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada.”

Mahisa Murti tidak menjawab, namun iapun telah menuju ke sebuah pintu kedai yang terbesar diantara kedai yang ada di warung itu. Ketika mereka kemudian duduk, maka didalam kedai itu telah lebih dahulu duduk beberapa orang yang sedang menikmati minuman panas dan makanan.

Tidak ada orang yang memperhatikan kedatangan kedua anak muda itu. Ketika mereka mendengar langkah mereka memasuki pintu kedai, mereka hanya sekedar berpaling. Kemudian perhatian mereka kembali kepada minuman dan makanan yang sudah tersedia.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah telah memesan minuman dan makanan pula. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah sibuk menikmatinya, sehingga karena itu, maka keduanya seperti orang-orang lain tidak menghiraukan ketika ada seorang lagi memasuki warung itu.

Seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan telah duduk tidak terlalu jauh dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tongkatnya yang panjang pun kemudian disandarkannya pada dinding warung itu. Orang bertubuh kecil itupun kemudian sebagaimana orang-orang lain juga memesan minuman dan makanan. Seolah-olah tanpa menghiraukan orang lain, maka orang itupun kemudian minum dan makan dengan asyiknya.

Tetapi sekali-sekali orang itu berusaha untuk dapat memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sama sekali tidak memperhatikannya. Bahkan agaknya orang itu kemudian menjadi sangat tertarik kepada kedua orang anak muda itu.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sibuk dengan minuman dan makanan mereka. Karena itu, mereka sama sekali tidak tahu, bahwa orang yang bertubuh kecil itu, perlahan-lahan tanpa dilihat oleh orang lain telah menyentuh tongkat panjangnya yang tersandar di dinding.

Tiba-tiba saja tongkat panjangnya itu mulai bergeser dan roboh menimpa pundak Mahisa Pukat. Adalah diluar dugaan bahwa tongkat yang kecil itu terasa di pundak Mahisa Pukat bagaikan robohnya sebatang pohon kelapa. Diluar sadarnya, karena yang terjadi itu sama sekali tidak disangkanya, Mahisa Pukat telah mengaduh sambil meloncat berdiri.

Mahisa Murti pun terkejut pula. Tongkat yang dikibaskan dari pundak Mahisa Pukat itu hampir saja menimpanya. Namun tongkat itu telah terjatuh dan menimpa tempat duduk yang terbuat dari bambu.

Seisi kedai itu terkejut bukan buatan. Bahkan orang-orang yang duduk di ujung tempat duduk bambu itupun telah jatuh terlentang menimpa dinding kedai itu, karena tempat duduk dari bambu yang tertimpa oleh tongkat panjang itu menjadi roboh. Orang-orang itupun kemudian tertatih-tatih berdiri. Beberapa orang menjadi marah. Tanpa memikirkan sebab dan terjadinya mereka memaki orang yang membawa tongkat itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menilai peristiwa yang terjadi itu bukannya sekedar satu kebetulan sebagaimana orang-orang lain menganggap. Beberapa orang marah karena orang bertubuh kecil itu dianggap tidak berhati-hati dengan tongkatnya. Namun mereka tidak berpikir sama sekali, bahwa tongkat itu pada keadaan wajar tentu tidak akan dapat merobohkan tempat duduk yang meskipun terbuat dari bambu tetapi cukup kuat sebagai tempat duduk bagi beberapa orang.

Orang bertubuh kecil itu ternyata tidak menjawab sama sekali yang diperhatikannya adalah justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, dengan mengerahkan daya tahannya, Mahisa Pukat berusaha mengatasi rasa sakitnya. Tulangnya terasa bagaikan retak. Tetapi karena kemampuannya serta ketahanan tubuhnya yang tinggi, maka lambat laun ia berhasil menguasai perasaan sakitnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak menunjukkan bahwa rasa sakitnya itu telah dapat diatasinya. Ia masih saja menyeringai dengan memegang pundaknya dan bahkan kemudian iapun telah mengaduh pula beberapa kali.

Orang bertubuh kecil itupun kemudian mengambil tongkatnya yang telah merusakkan salah satu tempat duduk dikedai itu. Dilemparkannya beberapa keping uang kepada pemilik warung itu, kemudian tanpa mengucapkan kata apapun juga, ia telah melangkah keluar.

Beberapa orang yang masih ada didalam kedai itu masih saja mengumpat-umpat. Apalagi yang telah terjatuh karena tempat duduknya rusak tertimpa tongkat panjang itu.

Sementara itu, Mahisa Murti telah berbisik, di telinga Mahisa Pukat, “Bagaimana?”

“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau nampak kesakitan,” berkata Mahisa Murti.

“Aku sengaja berbuat begitu. Mungkin masih akan ada kelanjutannya. Mudah-mudahan tidak akan mengganggu perjalanan kita, apalagi dengan mahkota dan Pangeran Lembu Sabdata,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis. “Apalagi sebabnya orang itu berbuat demikian atas kita?”

“Entahlah,” sahut Mahisa Pukat, “Tetapi kita memang harus berhati-hati. Mudah-mudahan, sekali lagi mudah-mudahan, tidak akan mengganggu perjalanan kita. Kakang Mahisa Bungalan tentu akan menyalahkan kita.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian mengambil uangnya dan memberikannya kepada pemilik kedai itu sesuai dengan makanan dan minuman yang telah mereka habiskan. Keduanya pun kemudian keluar dari kedai itu dengan penuh kewaspadaan. Mereka yakin bahwa orang bertubuh kecil itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

“Kemana orang itu,” desis Mahisa Pukat.

“Entahlah,” sahut Mahisa Murti, “Tetapi kita tentu akan bertemu lagi. Kita tidak usah susah-susah mencarinya.”

“Orang itu tentu akan datang menemui kita. Mungkin dengan sikap yang ramah, tetapi mungkin dengan wajah yang garang dan menantang kita untuk berkelahi tanpa sebab.”

“Tetapi ia baik terhadap pemilik kedai itu. Ia memberikan ganti pada ambennya yang rusak dan barangkali makanan yang tumpah dengan beberapa keping uang yang tentu lebih banyak dari nilai barang-barang itu yang sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah, tetapi kita tidak dapat langsung kembali ke tempat kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka berdua pun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka tidak langsung menuju tempat kakaknya menunggu.

Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti, mereka memang tidak usah mencari orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu. Ketika keduanya keluar dari padukuhan, maka mereka telah melihat orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu duduk dibawah sebatang pohon gayam yang besar sambil memeluk tongkatnya.

“Itulah,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang itu memang sedang mencari persoalan. Tetapi tentu bukannya satu kebetulan. Orang itu tentu mempunyai kepentingan dengan kita dan mungkin dengan kakang Mahisa Bungalan atau Pangeran Singa Narpada.”

Mahisa Murti tidak menjawab, sementara Mahisa Pukat mulai Iagi meraba-raba pundaknya sambil menyeringai, seolah-olah pundaknya itu menjadi sangat sakit, atau tulangnya menjadi retak karenanya. Beberapa saat kemudian, keduanya menjadi semakin dekat dengan orang yang duduk dibawah pohon gayam itu.

Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Hati-hatilah. Mungkin ia seorang laki-laki. Tetapi mungkin ia seorang yang licik dan menyerang dengan tiba-tiba saja tanpa memberi isyarat lebih dahulu.”

Meskipun Mahisa Pukat masih saja menyeringai menahan sakit, namun ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah ketika mereka melewati orang yang duduk itu, ternyata orang itu telah menyilangkan tongkatnya melintang jalan. Meskipun panjang tongkat itu tidak selebar jalan yang dilalui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keduanya telah berhenti.

Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Apa maksudmu menghalangi langkahku Ki Sanak.”

Orang itupun kemudian bangkit berdiri. Diamatinya Mahisa Pukat yang masih memegangi pundaknya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Apakah pundakmu terasa sakit?”

“Apakah maksudmu dengan menyakiti aku Ki Sanak?” bertanya Mahisa Pukat, “Tulangku serasa patah dan tanganku seakan-akan tidak mampu bergerak sama sekali.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau telah membuat aku menjadi heran. Meskipun kau mengatakan bahwa tulang-tulangmu terasa sakit, tetapi kau masih mampu berdiri tegak dan berjalan meninggalkan kedai itu.”

“Jadi, bagaimana seharusnya menurut nalarmu?” bertanya Mahisa Pukat, “Apakah aku harus mati?“

“Seandainya kau tidak mati, maka kau harus menjadi lumpuh atau sama sekali tidak dapat keluar dari kedai itu,“ jawab orang itu.

“Kenapa? Bukankah tongkatmu tidak lebih dari sebatang tongkat kecil dan panjang? Apakah dengan tongkat itu kau memang terbiasa membunuh orang atau membuatnya lumpuh dan tidak berdaya seperti aku?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kau masih dapat berjalan sampai ke tempat ini. Karena itu aku menunggumu. Kau harus ditimpa tongkat ini sekali lagi agar kau benar-benar menjadi lumpuh atau mati.” berkata orang bertubuh kecil itu.

“Ah.” desah Mahisa Pukat, “Apakah kau sampai hati berbuat demikian terhadapku? Apakah sebenarnya salahku dan apakah sebenarnya persoalan yang ada diantara kita?”

“Kenapa kau tanyakan persoalan yang ada diantara kita?“ orang itu justru bertanya, “Jika aku ingin membunuh seseorang maka aku tidak pernah berpikir apakah aku mempunyai persoalan dengan orang itu atau tidak.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Sanak. Marilah kita berterus terang. Apakah maumu sebenarnya, agar semuanya menjadi jelas. Kau sudah menyakiti pundak saudaraku. Sekarang kau berniat untuk membunuh kami. Aku yakin bahwa yang kau katakan itu bukannya yang sebenarnya. Mungkin kau memang ingin membunuh kami, tetapi tentu ada persoalan yang mendorong melakukannya. Tidak seperti yang kau katakan, bahwa hal itu kau lakukan karena kau ingin melakukannya.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kalian memang bukan orang kebanyakan. Kecuali itu tidak hancur, kau pun menangkap persoalan diantara kita dengan sikap dewasa.”

“Apapun menurut penilaianmu,” desis Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya kedua anak muda itu berganti-ganti. Untuk beberapa saat kedua belah pihak saling berdiam diri. Seakan-akan kedua belah pihak sedang menjajagi kemungkinan yang ada didalam diri mereka. Terutama orang bertubuh kecil itu. Dengan cermat ia melihat pundak Mahisa Pukat yang masih saja dipeganginya seakan-akan pundak itu masih terasa sakit.

Namun tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu berkata, “Anak muda. Jangan berpura-pura. Aku tahu, kau sudah berhasil mengatasi perasaan sakitmu. Dengan demikian maka kau tentu seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi justru karena itu maka keinginan untuk membunuh dan saudaramu menjadi semakin mendesak.”

“Itu bukan soal,” jawab Mahisa Pukat sambil melepaskan pundaknya, “Tetapi bahwa kau tahu aku berhasil mengatasi perasaan sakitku merupakan satu kemampuan penglihatan yang luar biasa. Sekali-sekali aku juga ingin memujimu, meskipun pujian yang keluar dari mulutku tidak akan lebih berarti dari pujian yang keluar dari mulutmu.”

Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Tepat,” jawab Mahisa Murti, “Apalagi membunuh seseorang yang sombong dan terlalu yakin akan kemampuannya. Seseorang yang akan dibunuh, tetapi kemudian justru berhasil membunuh lawannya itu akan dapat memberikan kepuasan lebih besar daripada membunuh seseorang yang sekedar memberikan perlawanan pada saat ia akan dibunuh.”

“Hem,“ orang itu menggeram. Tetapi ia menahan gejolak didalam hatinya. Bahkan dengan nada datar ia berkata, “Kalian benar-benar lepas dari dugaanku. Yang aku hadapi sekarang bukan anak-anak muda sebagaimana aku lihat. Tetapi marilah, mumpung masih ada waktu. Aku masih mempunyai tugas yang lain. Aku masih harus membunuh tujuh orang lagi, karena diantara sepuluh orang yang harus aku bunuh, aku baru berhasil membunuh satu orang. Sekarang aku akan membunuh dua orang lagi.”

“Kenapa baru seorang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Yang aku jumpai memang baru seorang,” jawab orang bertubuh kecil itu. “Beruntunglah bahwa sekarang aku menjumpai dua orang sekaligus. Jika aku dapat menjumpai lima atau tujuh orang yang lain sekaligus, pekerjaanku akan semakin cepat, karena aku akan dapat membunuh mereka bersama-sama dalam satu saat seperti yang akan aku lakukan atas kalian...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.