Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 27

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 27 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 27

TETAPI Mahisa Murti justru tertawa karenanya. Lalu katanya, “Kau memang aneh. Kau sendiri mengatakan, bahwa sebaiknya kita tidak usah berpura-pura, meskipun kau tidak akan mengatakan sebab yang sebenarnya. Tetapi kau masih mengigau saja seperti seorang yang sakit panas.”

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba iapun tersenyum juga. Katanya, “Aku lupa bahwa aku berhadapan dengan anak-anak muda yang telah dewasa. Tetapi baiklah. Aku sekarang bersungguh-sungguh. Jika kalian memang jantan, marilah kita benar-benar pergi ke pategalan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian melangkah ke pategalan bersama orang yang bertubuh kecil itu.

Demikian mereka sampai di pategalan, maka mereka-pun segera mencari tempat yang paling baik untuk bertempur. Karena tujuan mereka pergi ke pategalan itu adalah untuk berkelahi.

Dibawah sebatang pohon sukun mereka telah menemukan tempat yang lapang. Mereka tidak menghiraukan tanaman jagung muda yang tumbuh dengan suburnya. Hijau daunnya tidak melemahkan hasrat mereka yang ingin mengadu kemampuan ilmu mereka yang tinggi. Meskipun sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya sekedar berusaha membela diri saja.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang akan bertempur itu telah bersiap. Orang bertubuh kecil itu telah siap mempergunakan tongkatnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan pedang pendek mereka, jenis senjata yang dapat mereka bawa dibawah kain panjang mereka.

Orang bertubuh kecil yang telah siap untuk menyerang itupun masih sempat berkata, “Salah seorang diantara kalian telah dapat merasakan betapa tongkatku memiliki kekuatan yang sulit untuk dilawan. Itupun belum lagi tersalur, kekuatan ilmuku. Kalian dapat membayangkan, jika tongkat aku ayunkan langsung mengenai tubuh kalian.”

Mahisa Pukat yang telah dikenai tongkat itupun mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Murti sekilas, namun kemudian iapun memandang orang bertubuh kecil itu sambil menjawab, “Ki Sanak. Pundakku yang dikenai tongkatmu memang sakit. Itupun belum kau saluri kekuatan ilmu dan tidak langsung kau ayunkan ke tubuhku. Namun sementara itu aku pun juga tidak siap mengalami benturan dengan tongkatmu sehingga aku pun belum mempersiapkan daya tahanku dengan melambari ilmuku untuk melawan tongkatmu.”

Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir bergumam, “Kalian memang anak-anak yang sombong. Tetapi sebentar lagi kalian akan merasakan betapa kesombongan kalian telah menjerumuskan kalian ke dalam kesulitan.”

“Sombong atau tidak sombong kami sudah terjerumus ke dalam kesulitan,” jawab Mahisa Murti. Lalu, “Karena itu, marilah kita bertempur. Siapakah yang terbukti akan mati disini.”

Orang bertubuh kecil itupun kemudian bergeser setapak sambil mengayunkan tongkatnya. Perlahan-lahan namun terasa bahwa tongkat itu benar-benar berbahaya jika mengenai tubuh mereka. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat menyadari, bahwa mereka harus berusaha selalu menghindari sentuhan tongkat panjang orang bertubuh kecil itu. Karena sentuhannya benar-benar akan dapat memecahkan tulang-tulangnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun kemudian merenggang. Mereka akan langsung menghadapi orang bertubuh kecil itu berpasangan. Dengan memutar pedang pendek masing-masing keduanya berusaha untuk berada di tempat yang seberang-menyeberangi orang yang bertubuh kecil itu. Dengan demikian maka keduanya akan dapat memecah perhatian orang bertubuh kecil yang bertongkat panjang itu.

Sejenak kemudian, maka tongkat itu mulai terayun. Namun kedua orang anak muda itu telah bersiap sepenuhnya. Mereka telah bertekad untuk menghindari benturan sejauh dapat mereka lakukan karena agaknya orang bertubuh kecil itu selain mampu mempergunakan tenaga-tenaga cadangannya sebaik-baiknya, iapun memiliki kemampuan menyerap kekuatan dari alam sekelilingnya, sehingga dengan demikian, maka tongkatnya memiliki kekuatan yang luar biasa.

Tetapi kedua orang anak muda itupun telah dibekali dengan ilmu yang lengkap. Karena itu, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar melihat sikap lawannya. Ketika tongkat panjang itu terayun menyambar tubuh Mahisa Murti namun yang dapat dihindarinya, maka terdengar desing yang tajam seakan-akan menusuk langsung ke pusat jantung kedua anak muda itu.

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

Namun keduanya telah meloncat mempersiapkan diri menghadapi pertempuran yang lebih keras lagi melawan orang bertubuh kecil itu. Orang bertubuh kecil itupun merasa heran melihat ketangkasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kedua anak muda itu ternyata mampu bergerak cepat mengatasi kecepatan gerak tongkatnya.

Namun demikian, orang bertubuh kecil itu masih mampu meningkatkan kecepatan geraknya. Tongkatnya berputar semakin cepat, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berloncatan semakin cepat pula. Bahkan karena tongkat itu rasa-rasanya selalu memburunya, maka pada satu saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk menjajagi kekuatan yang sebenarnya dari orang bertubuh kecil itu.

Dengan hati-hati dan tidak langsung, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali-sekali telah membenturkan senjatanya. Namun ternyata bahwa kekuatan orang bertubuh kecil dengan ayunan tongkatnya itu bukannya tidak mungkin untuk terlawan. Dengan mengerahkan kekuatan cadangannya dan landasan ilmunya, maka kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berlipat, sehingga ketika terjadi benturan kecil, maka orang yang memutar tongkatnya itupun merasa heran. Ketika tongkatnya membentur pedang pendek Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, terasa olehnya bahwa kedua orang anak muda itu memiliki kemampuan yang nggegirisi.

“Mana mungkin,” berkata orang itu di dalam dirinya. Namun orang bertubuh kecil itu menghadapi satu kenyataan, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang sangat besar. Bukan kekuatan wajarnya, tetapi kekuatan ilmunya yang mendebarkan.

Dengan demikian maka pertempuran antara bertubuh kecil itu melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin cepat. Benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa kekuatan orang bertongkat itu tidak terlalu mengejutkan, maka mereka pun mulai semakin sering membenturkan senjatanya menangkis serangan lawannya. Mereka tidak lagi berloncatan dan diburu oleh ayunan tongkat panjang itu. Tetapi sekali-sekali mereka dengan tengadah telah memukul ayunan tongkat itu dengan lambaran ilmu mereka.

Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada mulai menjadi cemas. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata terlalu lama pergi. Bahkan keduanya pun mulai menjadi cemas, bahwa telah terjadi sesuatu dengan kedua anak muda itu.

“Apakah aku harus mencarinya?” bertanya Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita menunggu beberapa saat lagi. Jika mereka tidak segera kembali, maka memang sebaiknya kau mencarinya. Aku akan menunggui benda ini dan Adimas Lembu Sabdata akan aku paksa untuk tidur, agar pada saat-saat yang gawat tidak justru mengganggu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia masih berusaha menahan kegelisahannya. Karena itu, maka iapun masih saja duduk bersandar sebatang pohon yang tidak terlalu besar. Namun tatapan matanya terlempar ke kejauhan, ke arah kedua adiknya meninggalkan tempat itu.

“Agaknya dari sana pula mereka akan datang,” berkata Mahisa Bungalan didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih bertempur dengan sengitnya. Orang bertubuh kecil itu memutar tongkat panjangnya semakin cepat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mewarisi ilmu ayahnya justru menjadi semakin mapan, sehingga keduanya berhasil menempatkan diri mereka sebaik-baiknya. Keduanya bertempur berpasangan dalam hubungan yang semakin mantap. Saling mengisi dan kadang-kadang mampu membingungkan orang bertubuh kecil itu.

“Bukan main.” terdengar orang bertubuh kecil itu berdesis. Namun ia harus bergerak lebih cepat agar ia tidak semakin terdesak oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Orang bertubuh kecil itu ternyata tidak membatasi kemampuan ilmunya pada ayunan tongkat panjangnya. Namun tiba-tiba saja telah terjadi serangan yang sangat mengejutkan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam keadaan yang mulai terdesak, maka orang bertubuh kecil itu telah menunjukkan kemampuannya yang sangat tinggi. Ketika ia gagal menyentuh lawannya dengan tongkatnya yang sudah dijalari dengan ilmunya, maka ia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya yang lebih tinggi.

Sementara itu, ranting-ranting dan cabang-cabang pepohonan di pategalan itupun bagaikan ditebas oleh angin pusaran. Sentuhan tongkat panjang itu benar-benar telah merusakkan tanaman di pategalan itu. Bukan saja tanaman-tanaman kecil, tetapi juga pepohonan yang tumbuh menaungi pategalan itu serta pohon buah-buahan.

Meskipun demikian, ayunan demikian, ayunan tongkat itu tidak dapat mematahkan ketahanan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan pedang pendeknya, keduanya mampu menahan kekuatan lawannya dengan benturan-benturan. Karena itu, maka dalam keadaan yang semakin terdesak, tiba-tiba saja orang itu telah mengacungkan tongkatnya. Tidak diayunkan, tetapi dari ujung tongkat itu seakan-akan telah menyambar cahaya yang silau.

Mahisa Murti yang menjadi sasaran pertama, tidak membiarkan dirinya disentuh oleh sesuatu yang tidak dikenalnya. Karena itu maka iapun telah meloncat menghindar. Karena itu, maka cahaya yang silau itu tidak mengenainya. Ketika cahaya itu menyentuh sebongkah batu padas, maka batu itu seakan-akan telah meledak.

Memang mendebarkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera teringat akan serangan-serangan Panembahan Bajang. Tetapi meskipun serangan-serangan itu juga menimbulkan ledakan, namun berbeda karena serangan orang bertubuh kecil itu langsung dihadapinya. Serangan itu seakan-akan dilontarkan dari ujung tongkat panjang orang bertubuh kecil itu, meskipun tentu saja bukan karena tongkat panjang itulah yang dapat melontarkan serangan, tetapi kemampuan ilmu orang yang memilikinya.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berhati-hati. Keduanya tidak boleh lengah jika orang bertubuh kecil itu mulai mengacungkan tongkatnya. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu bekerja bersama sebaik-baiknya, sehingga seakan-akan orang itu tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menyerang bergantian dan saling mengisi. Kemampuan keduanya memang seimbang pada tataran yang tinggi.

Meskipun demikian, sekali-kali orang bertubuh kecil itu sempat juga melontarkan serangannya. Jika serangan itu mengenai sebatang pohon, maka pohon itupun menjadi tumbang karenanya.

Dengan perhitungan yang mapan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat bertempur pada jarak yang dekat, sehingga lawannya tidak sempat menyerang dengan caranya yang mendebarkan itu. Kedua pedang pendek Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergantian menyambar orang bertubuh kecil itu. Setiap kali terdengar dentang senjata mereka beradu.

Ternyata orang bertubuh kecil itu benar-benar telah membentur kekuatan yang tidak dikira sebelumnya. Ia tidak menyangka bahwa kedua anak muda itu telah memiliki ilmu puncak dari satu perguruan meskipun pengalaman mereka masih belum terlalu luas. Tetapi keduanya adalah pengembara yang pernah menjelajahi lembah dan lereng-lereng pegunungan.

Namun agaknya orang bertubuh kecil itu masih mampu meningkatkan kemampuannya. Ia masih mampu bergerak lebih cepat dan tongkatnya berputaran dengan melontarkan desing yang menyengat telinga. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, maka orang bertubuh kecil itu masih mampu juga melepaskan diri dari kurungan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, menyerang dengan cahaya yang silau yang seakan-akan dilontarkan dari ujung tongkatnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk bertempur semakin cepat pula. Namun ternyata bahwa keduanya kadang-kadang mengalami kesulitan karena serangan-serangan yang aneh itu justru dapat dilakukan lebih cepat dan dari jarak yang lebih dekat. Seakan-akan setiap ia menunjuk dengan ujung tongkatnya, maka serangan cahaya yang menyilaukan itu telah terlontar. Bahkan kadang-kadang susul menyusul.

“Gila,“ geram Mahisa Murti yang harus berloncatan menghindar, bahkan Mahisa Pukat telah menjatuhkan dirinya dan berguling dengan cepat.

Namun dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka pun menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengerahkan kemampuan mereka untuk mengatasi serangan-serangan yang seakan-akan menjadi semakin cepat itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil mengatasi serangan-serangan yang semakin cepat. Namun kemudian ternyata bahwa orang bertubuh kecil itu mampu meningkatkan serangannya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi terdesak kembali.

Namun kedua orang anak muda itu adalah anak dan sekaligus murid Mahendra yang telah mencapai tingkat tertinggi dari ilmunya meskipun masih harus dikembangkannya. Karena itu, maka keduanya tidak ingin untuk terdesak terus menerus dan kehilangan kesempatan untuk keluar dari pertemuan itu. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat sampai pada satu keputusan untuk mengimbangi kemampuan ilmu lawannya dengan caranya. Dengan bekal ilmu yang ada pada mereka.

Dalam keadaan yang terdesak itu, maka hampir berbareng Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai pada satu keputusan untuk mempergunakan senjata mereka yang lain. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti telah memindahkan pedang pendeknya di tangan kirinya. Mahisa Pukat yang melihatnya tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun telah melakukan hal yang sama pula.

Orang bertubuh kecil yang mampu menyerang dengan ilmunya yang menggetarkan itupun kedua lawannya memindahkan senjata-senjata mereka ke tangan kirinya. Karena itu, maka iapun segera menyadari, bahwa keduanya tidak membiarkan diri mereka terus menerus terdesak.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah saling menjauhi. Keduanya mengambil arah yang berbeda, sehingga orang bertubuh kecil itu harus selalu berusaha menyesuaikan dirinya.

Namun selagi serangan-serangannya harus diarahkan kepada dua sasaran yang terpisah, maka kedua anak muda itu telah menyerangnya pula dengan serangan-serangan yang mendebarkan pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan paser-paser kecilnya untuk mengimbangi serang-an-serangan yang seolah-olah melejit dari ujung tongkat panjang lawannya.

Orang bertubuh kecil itu mengumpat. Meskipun ujud serangan itu berbeda, namun memiliki kemampuan yang tidak terlalu jauh berbeda. Jika loncatan cahaya yang keluar dari ujung tongkat panjang itu mampu meledakkan batu padas, maka sentuhannya pada tubuh lawannya tentu akan dapat memecahkan tulang belulang. Namun sentuhan paser Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun hanya segores kecil akan dapat membinasakan lawannya pula karena kekuatan bisanya yang hampir tidak terlawan.

Agaknya orang bertubuh kecil itupun menyadari. Karena itu, maka ketika paser pertama mulai meluncur dari tangan Mahisa Murti, jantung orang itupun telah menjadi berdebaran. Apalagi kemudian disusul lontaran kedua dari tangan Mahisa Pukat.

Sejenak orang bertubuh kecil itu berusaha mengambil jarak. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkannya bergeser menjauh. Setiap serangan dengan kekuatan ilmu yang terlontar dari ujung tongkat panjang itu, selalu dibalas dengan lontaran paser-paser kecil dengan kecepatan yang mampu mengimbanginya.

Orang bertubuh kecil itu ternyata harus mengakui kemampuan kedua lawannya yang masih sangat muda. Meskipun orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa jumlah paser-paser kecil anak-anak muda itu tentu terbatas, tidak sebagaimana dapat dilakukan dengan lontaran serangannya dengan tongkat panjangnya, namun orang bertubuh kecil itupun tidak berani meyakini dirinya, bahwa sampai hitungan terakhir dari paser-paser itu dilontarkan, ia masih mampu menghindarinya.

Apabila menurut pengamatan orang bertubuh kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Mereka tidak asal saja melontarkan senjata mereka. Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat setiap kali melepaskan senjata kecilnya itu, tentu dilambari dengan perhitungan yang cermat, sehingga sedang lemparan senjata, hampir saja menyentuh kulit lawannya. Dan setiap sentuhan, berarti maut telah datang menjemputnya.

Beberapa saat mereka masih bertempur. Justru semakin cepat dan semakin sengit. Namun akhirnya orang bertubuh kecil itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Serangan-serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali berdesing di telinganya seperti seekor kumbang yang siap menyengat tengkuknya.

Sementara itu, kesempatannya untuk menyerang dengan tongkatnya pun menjadi semakin terbatas. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selain mempergunakan paser-paser kecilnya, mereka pun telah berusaha menyerang dengan pedang pendeknya, sehingga orang bertubuh kecil itu setiap saat harus menghindar atau menangkis serangan-serangan itu. Beruntun dan bahkan hampir tidak berhenti sama sekali. Kedua anak muda itu meloncat menyerang silih berganti dan susul menyusul antara ujung pedang pendeknya dan paser-paser kecilnya.

“Bukan main,” desis orang bertubuh kecil yang kehilangan kesempatan untuk membalas menyerang. Bahkan iapun menjadi cemas karena serangan-serangan kedua lawannya yang semakin meningkat. Sehingga akhirnya, orang bertubuh kecil itupun sampai pada satu kenyataan, bahwa ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Sementara itu, Mahisa Bungalan semakin lama menjadi semakin cemas akan keadaan kedua adiknya. Mereka telah terlalu lama pergi, sehingga menimbulkan dugaan yang menggelisahkan.

Pangeran Singa Narpada pun agaknya melihat kegelisahan itu. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Mahisa Bungalan. Aku dapat merasakan kegelisahan perasaanmu. Kedua adikmu memang sudah terlalu lama pergi. Karena itu, maka biarlah kau mencarinya. Aku akan menjaga benda ini sebaik-baiknya.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi bimbang. Apakah ia dapat meninggalkan Pangeran Singa Narpada dengan benda yang paling berharga itu. Apalagi keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang tidak dapat dianggap wajar.

Namun Pangeran Singa Narpada kemudian berkata, “Pergilah. Mungkin kedua adikmu itu memang memerlukanmu.”

Mahisa Bungalan pun kemudian bangkit. Sambil memandang berkeliling ia bergumam, “Baiklah Pangeran. Aku tidak akan pergi terlalu lama.”

“Tetapi sementara ini, biarlah aku memersilahkan adimas Lembu Sabdata untuk tidur,” berkata Pangeran Singa Narpada sambil mendekati Pangeran Lembu Sabdata yang duduk memandang kehijauan dedaunan dengan tatapan mata yang kosong.

“Marilah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tidurlah.”

Kata-kata itu seakan-akan merupakan perintah yang tidak terlawan. Bahkan kemudian sebuah sentuhan telah membuat Pangeran Lembu Sabdata benar-benar tertidur.

Mahisa Bungalan pun menjadi agak tenang melihat Pangeran Lembu Sabdata yang telah tertidur. Dengan demikian jika terjadi sesuatu, Pengeran Singa Narpada dapat memusatkan perhatiannya kepada benda yang paling berharga di Kediri itu, sehingga ia akan dapat menjaganya dengan sebaik-baiknya. Karena sebenarnyalah Mahisa Bungalan mempunyai perhitungan tersendiri.

“Pangeran,” berkata Mahisa Bungalan, “Aku mohon diri. Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali seseorang memang telah memancing salah seorang diantara kita untuk pergi.”

“Aku mengerti,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Kita akan sangat berhati-hati.”

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan tempat itu. Langkahnya perlahan-lahan. Rasa-rasanya kedua kakinya masih dibebani oleh keragu-raguannya, sehingga ia tidak meloncat dan melangkah dengan cepat. Namun akhirnya langkahnya itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Ketika ia berpaling dan tidak lagi melihat Pangeran Singa Narpada, maka iapun berjalan semakin cepat.

Ketika Mahisa Bungalan meloncati sebatang sungai kecil dan turun di sebuah jalan sempit, langkahnya terhenti. Ia ragu-ragu memilih arah. Apakah sebaiknya ia ke kiri atau kekanan. Tetapi selagi ia masih ragu-ragu, maka dilihatnya dua orang yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Keduanya ternyata adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, sementara kedua adiknya yang melihatnya justru telah mempercepat langkah mereka.

“Kalian terlalu lama pergi,” desis Mahisa Bungalan ketika kedua adiknya menjadi semakin dekat.

Mahisa Murti lah yang kemudian berceritera apa yang telah terjadi atas mereka. Sehingga akhirnya ia berkata, “Ternyata bahwa orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu telah meninggalkan gelanggang. Kami semula memang berusaha untuk memburunya. Namun dengan ilmunya, orang itu berhasil lolos dari tangan kami dan meningggalkan kami semakin jauh. Cahaya yang seakan-akan meloncat dari ujung tongkatnya itu banyak menghalangi kami, apalagi kami memang merasa bahwa jika kami terlalu lama pergi, kami akan dapat menggelisahkan kakang dan Pangeran Singa Narpada.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jika demikian, kita harus cepat kembali. Mungkin Pangeran Singa Narpada harus menghadapi orang itu.“

“Tetapi apakah orang itu mengetahui tempat kita berhenti dan beristirahat?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian meloncat sambil berkata, “Kita harus cepat kembali.”

Kedua adiknya pun cepat menyusulnya. Ketiganya pun kemudian berloncatan diatas tanah berbatu. Kemudian mereka menyusup gerumbul-gerumbul kecil sehingga akhirnya mereka sampai ke tempat Pangeran Singa Narpada menunggu. Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Pangeran Singa Narpada telah berdiri berhadapan dengan orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang. Sambil memegang Mahkota yang dibungkusnya rapat-rapat, Pangeran Singa Narpada siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi orang bertubuh kecil itu kemudian berkata, “Aku tidak akan berbuat sesuatu.”

Pangeran Singa Narpada masih berhati-hati. Sementara Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah datang mendekat.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “Kita bertemu lagi. Marilah. Kita akan melanjutkan permainan kita. Jika kau masih mampu melontarkan ilmumu yang nggegirisi itu, maka aku pun masih mempunyai paser-paser kecil. Bahkan sebagian yang telah kami lontarkan telah dapat kami pungut kembali.”

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Melawan kalian berdua aku ternyata sudah kalah. Apalagi disini ada empat orang yang tentu memiliki ilmu yang seimbang. Bahkan aku yakin, bahwa yang lebih tua memiliki pengalaman yang lebih luas.”

“Lalu apa maksudmu datang kemari?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu termangu-mangu, sementara Mahisa Murti berkata kepada Mahisa Bungalan, “Orang inilah yang telah aku katakan itu kakang.”

Mahisa Bungalan memang sudah menduga ketika ia melihat orang bersenjata tongkat itu. Selangkah ia mendekati orang itu sambil berkata, “Kedua adikku sudah berceritera tentang kau Ki Sanak. Tentang kemampuan ilmumu yang sangat tinggi.”

“Ah,” desah orang itu, “Keduanya tentu hanya sekedar memuji. Ternyata bahwa aku tidak mampu melawan mereka berdua.”

“Kau tentu mengalah. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tidak mengalah,” jawab orang bertongkat panjang itu, “Aku memang kalah. Karena itu, maka aku telah melarikan diri dari medan dan langsung menuju kemari.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, sementara orang bertubuh kecil itulah yang kemudian bertanya, “Jadi kedua orang anak muda itu adalah adikmu?”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Keduanya adalah adikku. Anak ingusan yang baru dapat bermain kucing-kucingan.“ Namun segera Mahisa Bungalan melanjutkan, “Tetapi bukan berarti bahwa kakaknya mampu lebih baik dari keduanya.”

“Tentu,” sahut orang itu, “Aku yakin bahwa kakaknya akan dapat berbuat lebih dari kedua adiknya. Tetapi siapakah sebenarnya kalian?”

“Untuk apa kau bertanya tentang kami,“ Pangeran Singa Narpada lah yang menyahut, “Kami adalah orang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut embun.”

“Ah, sebutan bagi mereka yang sengaja merendahkan diri,” berkata orang itu, “Tetapi apakah aku boleh mengetahui, siapakah kalian.”

Pangeran Singa Narpada menggeleng sambil menjawab. “Tidak ada gunanya. Siapapun kami dan siapapun kau, akan sama saja artinya dalam hubungan kita.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku telah mulai dari sudut yang keliru. Aku tidak dapat menyalahkan kalian jika kalian tidak lagi merasa perlu untuk mengetahui siapa aku, dan tidak lagi menganggap ada gunanya jika aku menanyakan siapakah kalian.”

“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi menilik kehadiranmu dan sikap kedua anak muda itu, maka begitu, kau bukan seorang yang dapat dianggap tidak bermaksud apa-apa.”

“Itulah yang aku maksudnya, bahwa aku telah mulai dari satu sudut yang salah dalam usahaku mendekati kalian.” berkata orang bertubuh kecil itu.

“Nah,” berkata Mahisa Bungalan, “Sebaiknya kau menyebut saja, apa maksudmu. Kau sudah menyerang kedua adikku dan bertempur melawan mereka. Jika kau benar-benar mengaku kalah, kau tentu tidak akan datang kemari. Karena itu, agaknya kau ingin memilih lawan yang mungkin kau anggap lebih tua dari sekedar anak-anak yang terlalu muda.”

“Tidak,” jawab orang itu, “Aku benar-benar merasa kalah. Tetapi aku merasa wajib untuk datang menemui kalian.”

Kerut di dahi Mahisa Bungalan menunjukkan gejolak di hatinya. Namun orang bertubuh kecil itupun kemudian berkata, “Baiklah, aku ingin minta maaf kepada kedua anak muda itu. Aku mungkin telah menyakiti hati mereka dan mengganggu mereka.”

“Katakan, apa maksudmu,“ geram Mahisa Pukat, “Kami sudah terlalu letih menunggu pembicaraan yang berputar-putar ini.”

Orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan berterus terang. Aku tahu bahwa kedua orang anak muda itu termasuk dua orang diantara kalian berempat. Karena itu, aku memang ingin menjajagi kemampuan mereka. Sebenarnya yang aku inginkan bukan keduanya. Tetapi siapapun diantara kalian.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Ternyata bahwa kemampuan kedua anak muda itu, dan tentu juga kalian berdua yang lebih tua, jauh lebih tinggi dari dugaanku.”

“Hanya sekedar menjajagi tanpa maksud yang lain?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Sebenarnyalah aku memang terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain. Sebenarnya aku tidak berkepentingan apapun juga dengan kalian. Sebenarnyalah kita hanya berpapasan saja di jalan. Jika aku tidak berpaling kepada kalian dan kalian tidak berpaling kepadaku, maka tidak pernah akan timbul persoalan. Tetapi dalam pengembaraan ini, tiba-tiba saja hatiku telah digelitik oleh satu keinginan untuk mengetahui, apakah yang sebenarnya terjadi. Ternyata bahwa benda yang aku cemaskan itu dikawal oleh orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga tidak perlu dicemaskan akan jatuh ke tangan orang lain. Tetapi tentu aku ingin meyakinkan, bahwa benda itu sekarang telah berada di tangan orang yang benar dan berhak.”

“Benda apa yang kau maksud Ki Sanak?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Jangan terlalu memperbodoh orang lain,” berkata orang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu, “Meskipun kau bungkus dengan seribu lembar kain, namun cahaya tejanya tidak akan tertutup karenanya. Menurut pengamatanku, teja yang memancar dari benda yang kau bawa itu adalah teja dari benda yang sangat berharga bagi Kediri. Teja itu pernah aku lihat memancar di atas gedung perbendaharaan di Kediri. Warna dan jenisnya. Tiba-tiba saja aku melihat cahaya itu di sini. Bukankah dengan demikian hal ini sangat menarik perhatian?”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Bungalan bertanya, “Kau melihat teja memancar?”

“Ya. Mungkin memang tidak setiap orang melihatnya. Tetapi adalah kebetulan bahwa aku mendapati kurnia penglihatan mata batin untuk dapat menangkap cahaya teja yang memang tidak setiap saat memancar,” jawab orang bertongkat itu.

Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan tajamnya, sementara Pangeran Singa Narpada bergeser selangkah maju. Dengan nada datar Pangeran Singa Narpada bertanya, “Ki Sanak. Apakah kau yakin bahwa memang melihat teja sebagaimana kau lihat di atas gedung perbendaharaan?”

Orang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku adalah orang kebanyakan sebagaimana orang lain yang dapat berbuat salah. Tetapi menurut penglihatanku, apa yang aku lihat di sini adalah apa yang pernah aku lihat di gedung perbendaharaan itu.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah Ki Sanak. Seandainya kau benar, apakah yang akan kau lakukan selanjutnya? Apakah kau menginginkan benda yang memancarkan teja itu?”

“Tidak Ki Sanak. Tidak,” jawab orang itu dengan serta merta, “yang ingin aku yakini, apakah benda itu tidak berada di tangan orang yang salah.”

“Orang yang salah bagaimana maksudmu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Orang yang mempunyai pamrih dari tuah yang ada di dalam pusaka itu,“ jawab orang bertubuh kecil itu, “Sehingga dengan demikian maka benda yang sangat berharga itu berada di tangan orang yang tidak berhak.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, “Bagaimana kau dapat mengetahui bahwa orang yang membawa benda ini orang yang berhak atau bukan?”

“Aku mengandalkan penglihatan mata batinku atas orang itu,“ jawab orang bertubuh kecil itu. “Karena itu, maka aku memerlukan bertemu dengan orang-orang yang bertanggung-jawab atas benda itu. Ketika aku bertemu dengan kedua orang anak muda itu, aku memang kurang yakin. Meskipun demikian aku memang berniat menjajagi kemampuan mereka.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu ia-pun bertanya, “Jika demikian, maka kau sekarang akan dapat mengatakan, apakah kau berhadapan dengan orang yang berhak atau tidak?”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Sekali lagi aku katakan bahwa aku dapat saja berbuat salah. Tetapi setelah berbicara dengan kalian, maka aku berharap bahwa kalian adalah orang-orang yang memang berhak. Apalagi kalian ternyata memang memiliki kemampuan yang memadai untuk mengamankan benda itu.”

“Bagaimana jika kau salah menilai kami?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Sudah aku katakan, bahwa mungkin sekali aku berbuat salah. Dan jika itu terjadi, apa boleh buat,” jawab orang itu, “Bukankah aku tidak akan dapat mengalahkan kalian? Sehingga seandainya aku salah menilai, maka aku tidak akan dapat menolong benda itu sekarang. Namun pertemuan ini akan dapat aku jadikan bahan dan petunjuk jika, pada suatu saat aku mendengar bahwa Kediri kehilangan benda yang sangat berharga dari gedung perbendaharaan.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, orang bertubuh kecil itupun bertanya sambil menunjuk kepada Pangeran Lembu Sabdata yang terbaring diam-diam, “Siapakah orang ini?”

“Ia adalah adikku,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa? Menurut penglihatanku, orang itu pulas.”

“Kau benar,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Aku telah menidurkannya, karena hal itu akan sangat berarti baginya. Adikku memang mempunyai kelainan.”

Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Sanak. Aku ternyata harus mempercayai kalian meskipun aku belum tahu dengan pasti, siapakah kalian. Namun justru karena itu, maka biarlah aku mengucapkan selamat bahwa benda itu sudah berada di tangan kalian. Mudah-mudahan penglihatanku atas kalian tidak salah.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya kau Ki Sanak?”

“Aku bukan orang yang pantas untuk dikenal. Bukan karena aku ingin merahasiakan diri. Tetapi sebenarnyalah aku tidak berarti apa-apa bagi kalian. Namun demikian baiklah aku menyebutkan namaku jika itu pantas kau dengar.“ orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Aku adalah seorang pertapa yang asing. Yang menyebut namaku adalah Wantingan. Ki Ajar Wantingan.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau pernah datang ke istana Kediri?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Aku belum pernah datang ke istana Kediri, karena aku memang tidak pernah mempunyai kepentingan apapun. Apalagi ketika kemudian Kediri diaduk oleh pertentangan diantara keluarga sendiri. Aku merasa semakin jauh dari setiap hubungan dengan istana Kediri, meskipun aku pernah berada di Kota Raja.”

“Jika demikian apa artinya dengan langkah yang kau ambil sekarang?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Tidak lebih dari sikap seorang hamba yang wajib ikut berusaha melindungi keselamatan Kediri dan segala perlengkapan wibawanya termasuk benda yang kau bawa itu,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Karena itu, maka setelah aku bertemu dengan kalian, terutama Ki Sanak yang membawa benda itu, maka aku yakin bahwa kalian memang berhak membawa benda itu. Namun yang aneh bagiku adalah kenapa benda itu justru kalian bawa sampai ke tempat ini.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya, “Aku memang sedang menyelamatkan untuk mengembalikannya ke istana.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Kemudian Mahisa Bungalan dan kedua adiknya. Dengan nada datar ia berkata, “Aku percaya kepada kalian. Ketika aku mulai melihat teja ini untuk pertama kalinya di bulak panjang, aku mengikuti kalian dari jarak yang cukup jauh. Kemudian ketika kedua orang diantara kalian memisahkan diri, maka aku mencoba untuk menjajagi kemampuan kalian. Dan ternyata kemampuan masih berada di lapisan yang lebih rendah seperti yang aku katakan jujur. Tetapi siapakah sebenarnya kalian?”

Pangeran Siang Narpada memandang orang itu pula dengan tajam. Namun iapun mulai mempercayai orang itu. Agaknya orang itu memang tidak mempunyai pamrih apapun juga. Namun untuk menyatakan dirinya, Pangeran Singa Narpada masih merasa segan. Karena itu maka katanya, “Ki Ajar. Melihat sikap dan sorot mata Ki Ajar, aku dapat meyakinkan diriku, bahwa Ki Ajar memang tidak bermaksud buruk. Tetapi sebaliknya Ki Ajar menyempatkan diri untuk datang ke Kediri. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu.”

“Bagaimana aku dapat mencari kalian di Kota Raja?” bertanya Ki Ajar.

“Mungkin Ki Ajar akan dapat meyakinkan diri bahwa pada suatu saat Ki Ajar akan dapat melihat teja yang sama memancar lagi dari gedung perbendaharaan. Kemudian Ki Ajar akan dapat mendengar dari orang-orang dalam, siapakah yang Ki Ajar cari. Bertanyalah kepada orang yang bertanggung jawab atas kembalinya pusaka ini. Ia akan dapat menunjukkan kepada Ki Ajar, siapakah kami sebenarnya.”

“Siapakah orang yang harus aku jumpai untuk menanyakan sekelompok orang yang telah mengembalikan benda yang sangat berharga ini?” bertanya Ki Ajar.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Datanglah kepada Pangeran Singa Narpada. Ia akan dapat menyebut nama kami seorang demi seorang, karena kepadanyalah kami akan menyerahkan benda yang sangat berharga ini.”

Ki Ajar Wantingan mengangguk-angguk. Namun ada sesuatu yang aneh di pandangan matanya meskipun tidak diucapkannya. “Baiklah,” berkata Ki Ajar Wantingan, “pada suatu saat aku akan pergi ke Kota Raja. Jika aku tidak melihat teja itu memancar dari gedung perbendaharaan dan jika aku menghadap Pangeran Singa Narpada aku tidak mendapat keterangan sebagaimana kau katakan, maka aku akan menyesali kepercayaanku kepada kalian kali ini, meskipun aku sadar, bahwa bagaimanapun juga sikapku, aku tidak akan dapat berbuat apapun juga terhadap kalian.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Ki Ajar. Mudah-mudahan Ki Ajar tidak perlu menyesal. Dan aku mohon Ki Ajar berdoa agar perjalananku selamat sampai ke Kediri dan menyerahkan benda ini kepada Pangeran Singa Narpada. Karena jika aku bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan untuk melihat bahwa benda yang aku bawa ini memiliki nilai yang sangat tinggi, baik sebagai benda dalam ujud kewadagannya, maupun nilai-nilainya sebagai benda yang dikeramatkan di Kediri, karena sebagian orang percaya bahwa benda itu mempunyai pengaruh langsung atas wahyu keraton, sedangkan orang itu mempunyai ilmu yang tidak dapat kami atasi, maka satu kemungkinan akan terjadi, bahwa benda ini tidak akan pernah kembali ke Kediri, dan bahkan kamipun mungkin tidak akan pernah melihat Kediri lagi.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan ikut berdoa bagi keselamatan kalian. Mudah-mudahan kalian tidak bertemu dengan orang-orang sebagaimana kau katakan. Tetapi baiklah kalian berhati hati meskipun aku yakin bahwa tidak ada seorang pun yang akan dapat mengalahkan kalian berempat sekaligus. Panembahan Bajang pun tentu tidak.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Bahkan Mahisa Bungalan pun bertanya, “Bagaimana dengan Panembahan Bajang?”

Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya. “Orang itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Tetapi aku pun yakin, bahwa ia tidak akan dapat mengambil benda itu dari kalian jika ia sendiri dan bertempur dengan jujur. Panembahan Bajang memiliki penglihatan sebagaimana dapat aku lihat. Ia sebenarnya bukan seorang yang sejak semula memang seorang yang jahat. Tetapi ia memiliki kelemahan pada sikap dan keputusan yang diambilnya, sehingga ia mudah sekali terpengaruh oleh orang lain.”

“Apakah jika ia melihat benda ini ia akan berusaha merampasnya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Mungkin demikian,” jawab Ki Ajar Wantingan, ”Kelebihannya adalah bahwa ia seorang yang licik dan mempunyai kemampuan menyerang dari jarak jauh.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia menggamit Mahisa Pukat yang ingin berbicara. Agaknya Mahisa Pukat ingin mengatakan, bahwa orang yang disebut itu sudah terbunuh dengan cara yang kurang dimengerti. Namun niatnya itu harus diurungkannya.

Sementara itu, maka orang bertubuh kecil yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan itupun kemudian telah minta diri. Dengan nada datar ia berkata, “Tunggulah. Pada waktunya aku akan mengunjungimu.”

“Terima kasih,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Ki Ajar itupun kemudian bergeser surut. Dipandanginya keempat orang itu berganti-ganti. Kemudian iapun melangkah meninggalkan mereka yang termangu-mangu.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Agaknya orang ini memang lain dengan Panembahan Bajang.”

Mahisa Bungalan kemudian berdesis, “Aku mempercayainya. Tetapi bagaimanapun juga, kita memang harus berhati-hati. Mungkin suatu saat ia benar-benar akan mencari Pangeran Singa Narpada untuk menanyakan, siapakah yang telah membawa benda yang nilainya sangat tinggi bagi Kediri itu kembali ke istana.”

“Mudah-mudahan ia tidak dapat mengenali aku,” desis Pangeran Singa Narpada.

“Aku kira ia akan dapat mengenali Pangeran, pengenalan orang-orang berilmu, sebagaimana Pangeran sendiri, agaknya akan cukup tajam,” desis Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Nah, sekarang, apakah yang akan kita lakukan?”

“Kita masih akan menunggu hari mendekati senja.” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang berkata, “Kita mempunyai waktu terlalu banyak.”

”Beristirahatlah sebaik-baiknya agar malam nanti, kita akan dapat menempuh perjalanan semalam suntuk,” berkata Mahisa Bungalan, “Kehadiran Ki Ajar Wantingan merupakan peringatan bagi kita, bahwa ternyata meskipun benda keramat itu dibungkus rangkap seratus, namun pembungkusnya tidak dapat menahan pancaran teja yang keluar dari benda itu, yang ternyata dapat dilihat oleh orang-orang tertentu seperti Panembahan Bajang dan Ki Ajar Wantingan.”

“Bukanlah kakang pernah juga berusaha melihatnya?” bertanya Mahisa Murti.

“Tetapi dengan satu perjuangan yang cukup berat. Aku dan agaknya juga Pangeran Singa Narpada tidak dapat dengan serta merta melihat sebagaimana Ki Ajar dan mungkin juga Panembahan Bajang,” jawab Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti pun mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia segan sekali untuk duduk-duduk, berbaring dan apalagi tidur tanpa berbuat apa-apa. Namun setiap kali kakaknya memperingatkannya, bahwa keduanya harus beristirahat. Merasa letih atau tidak, mereka harus berusaha menghemat tenaga bagi malam hari, karena di malam hari mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Betapapun juga menjemukannya, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus menunggu, sementara Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk membangunkan adiknya. Tetapi setiap usaha untuk mengadakan hubungan dengan adiknya, ternyata ia selalu mengalami kegagalan. Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah mengalami satu keadaan yang parah. Meskipun secara wadag ia nampak tetap sehat, apalagi dengan segala usaha Pangeran Lembu Sabdata dapat juga menyuapi mulutnya sendiri, namun secara jiwani Pangeran Lembu Sabdata telah kehilangan dirinya sendiri.

Demikianlah, setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa jemu menunggu, barulah matahari turun ke Barat. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada dan kelompok kecilnya telah mulai bersiap-siap. Menjelang matahari tenggelam maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan. Namun keempat orang itu menyadari, bahwa mereka memang harus sangat berhati-hati.

Ternyata bahwa selanjutnya mereka tidak lagi menjumpai hambatan yang berarti. Mereka dapat menempuh sisa perjalanan mereka dengan selamat sampai di Kediri. Meskipun demikian Pengeran Singa Narpada tidak langsung menuju ke istana. Tetapi ia membawa benda yang dikeramatkan itu ke istananya bersama Mahisa Bungalan dan kedua adiknya serta Pangeran Lembu Sabdata.

“Aku baru akan menyerahkannya besok,” berkata Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Namun aku minta kalian tinggal di rumah ini sampai benda itu kembali ke gedung perbendaharaan.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, “Sudah tentu kami tidak akan berkeberatan.”

“Sebagaimana saat aku pergi, maka tidak akan banyak orang yang tahu bahwa aku telah kembali. Juga tentang benda yang aku bawa itu. Tidak banyak orang yang tahu bahwa benda itu pernah hilang. Pada saat yang dekat, benda itu sudah akan kembali lagi ke tempatnya. Rakyat Kediri tidak mengetahui, bahwa pada saat tertentu benda pernah hilang dari gedung perbendaharaan,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Biarlah masa-masa pengembaraan mahkota itu tetap tidak diketahui oleh rakyat Kediri. Meskipun ada satu dua orang yang mengetahuinya yang agaknya sulit untuk tetap berusaha, apalagi setelah benda itu kembali ke tempatnya.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Setelah benda itu kembali, justru tidak terlalu berbahaya lagi jika berita hilangnya itu tersebar. Rakyat tidak lagi menjadi gelisah, karena mereka percaya bahwa mahkota itu adalah tempat bersemayamnya Wahyu Keraton. Meskipun benda itu hilang, tetapi karena sudah kembali, maka rakyat akan menjadi yakin, bahwa Wahyu Keraton masih tetap berada di Kediri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Karena itu, katanya, “Mudah-mudahan rakyat Kediri akan menemukan ketenangannya kembali.”

“Ya,” desis Pangeran Singa Narpada, ”Namun masih ada satu hal yang harus diperhatikan. Adimas Lembu Sabdata. Kita harus berusaha menyembuhkannya. Tetapi apakah jika ia menjadi sembuh, ia tidak lagi dibayangi oleh keinginan-keinginan gilanya itu? Sehingga ketenangan rakyat Kediri akan terguncang kembali sebagaimana yang telah terjadi pada masa kegarangan Pangeran Kuda Permati.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Pangeran Lembu Sabdata memang akan menjadi satu masalah yang harus mendapatkan pemecahan. Tetapi untuk sementara keadaannya tidak membahayakan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi itu diabaikan.

Demikianlah, setelah bermalam di istana Pangeran Singa Narpada, maka mahkota yang untuk beberapa saat lamanya tidak ada di gedung perbendaharaan Kediri telah diserahkan kembali oleh Pangeran Singa Narpada. Seperti dikatakannya, maka sebagaimana saat ia meninggalkan Kediri, maka tidak banyak orang yang tahu dan membicarakannya pada saat ia kembali. Namun di lingkungan istana Kediri, kehadirannya bersama mahkota yang hilang itu merupakan satu hal yang dianggap sebagai pertanda yang baik bagi masa depan Kediri.

“Aku mengucapkan terima kasih,” berkata Sri Baginda. ”Seharusnya aku menyambut kedatanganmu dengan upacara kebesaran.”

“Tidak Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”yang tidak mengetahui bahwa aku pergi, biarlah tetap tidak mengetahuinya.”

“Akhirnya semua orang, terutama orang-orang dalam, mengetahui juga bahwa kau telah pergi, setelah untuk waktu yang cukup lama kau tidak kelihatan,” berkata Sri Baginda. “bahkan beberapa orang langsung bertanya kepadaku. Agaknya bagiku lebih baik mengatakan bahwa aku sedang pergi daripada mereka menyangka bahwa kau pun sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun mohon diri untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan yang panjang dan berliku. “Hamba mohon agar mahkota itu mendapat penjagaan yang memadai,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Aku tentu tidak akan membiarkannya hilang untuk kedua kalinya,” jawab Sri Baginda. Namun tiba-tiba saja Sri Baginda bertanya, “Apakah orang yang kau katakan pergi bersamaan itu tidak akan kau bawa menghadap?”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang itu masih ada di rumah hamba Sri Baginda. Jika Sri Baginda menghendaki, maka biarlah pada kesempatan lain, hamba akan membawanya menghadap.”

“Sudah sepantasnya kau bawa orang itu kemari. Aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya,” berkata Sri Baginda.

“Orang itu adalah seorang perwira dari Singasari,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Apa salahnya jika ia seorang perwira dari Singasari? Aku ingin berbicara dengan orang itu dan menyatakan terima kasih bukan saja aku pribadi, tetapi Kediri pada umumnya.”

“Baiklah Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Sebenarnyalah ada juga keinginan hamba untuk membawanya menghadap. Tetapi setelah ada perintah Sri Baginda, maka rasa-rasanya ia akan menjadi semakin mantap.”

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah mohon diri. Namun keinginan Sri Baginda untuk bertemu Mahisa Bungalan menahan Mahisa Bungalan untuk tetap tinggal di Kediri lebih lama lagi, meskipun sebenarnya ia ingin segera kembali ke Singasari setelah sekian lamanya ia meninggalkan tugasnya sebagai prajurit.

“Besok kita menghadap,” berkata Mahisa Bungalan, “Selanjutnya aku akan dapat segera meninggalkan Kediri kembali ke kesatuanku.”

“Kenapa tergesa-gesa? Bukankah kau tidak pergi begitu saja? Bukankah kau sudah mendapat ijin untuk waktu yang tidak terbatas,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Tetapi rasa-rasanya aku sudah terlalu lama pergi,” jawab Mahisa Bungalan.

“Baiklah. Tetapi jangan kau sia-siakan kesempatan ini,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Bukan karena kau akan menerima hadiah. Tetapi dengan demikian kau akan dapat menjadi jalur hubungan antara Kediri dan Singasari.”

“Bukankah jalur itu sudah ada?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Jalur yang resmi memang sudah ada,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi kehadiranmu dengan kemenangan yang pernah kau berikan kepada Kediri tentu akan membuat jalur yang lain, yang barangkali akan menjadi lebih akrab dari jalur yang sudah ada.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia berkata, “Baiklah. Besok kita menghadap.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk pula. Tetapi ia tidak memberikan keterangan lebih panjang, meskipun sebenarnya didalam hatinya terbersit kecemasan tentang sikap Sri Baginda yang dibayangi oleh kebimbangan. Ia berharap bahwa jasa yang telah diberikan oleh seorang perwira Singasari akan meyakinkan Sri Baginda sehingga sikapnya tidak lagi samar-samar.

Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah ikut bersama Pangeran Singa Narpada menghadap. Dengan ramah Sri Baginda telah menerima Mahisa Bungalan yang telah ikut serta bersama Pangeran Singa Narpada menemukan kembali benda yang paling berharga bagi Kediri itu. Dengan tulus Sri Baginda menyatakan terima kasihnya yang tidak terhingga.

“Langsung atau tidak langsung, Singasari telah ikut mempertahankan hadirnya wahyu keraton di Kediri,” berkata Sri Baginda.

“Itu adalah bagian dari kewajiban hamba Sri Baginda.” jawab Mahisa Bungalan, “Keberhasilan usaha Pangeran Singa Narpada untuk menemukan kembali benda yang sangat berharga bagi Kediri itu, telah memberikan kebanggaan pula bagi Singasari, karena sebenarnyalah Kediri adalah salah satu dari anggauta keluarga Singasari.”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa yang dapat aku berikan sebagai pernyataan terima kasih Kediri?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menangkap maksud Sri Baginda. Bahkan diluar sadarnya Mahisa Bungalan telah berpaling kepada Pangeran Singa Narpada.

“Mahisa Bungalan,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Sri Baginda ingin menyatakan terima kasih yang tulus. Mungkin sama sekali tidak kau kehendaki. Tetapi agaknya Sri Baginda ingin memberikan sedikit kenangan sebagai pernyataan terima kasihnya itu.”

“O,” Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ampun Sri Baginda. Bukan berarti bahwa hamba menolak pernyataan tulus Sri Baginda. Tetapi apa yang aku lakukan tidak lebih dari mengemban kewajiban. Seandainya Sri Baginda ingin memberikan kenang-kenangan atas hasil yang hamba capai meskipun sama sekali tidak banyak berarti itu, maka sebaiknya Baginda menegaskan sikap Kediri sebagaimana selama ini dijadikan. Bukankah ikatan yang lebih mantap antara Kediri dan Singasari itu merupakan pertanda terima kasih yang tidak ada taranya.”

Sri Baginda justru mengerutkan keningnya. Memang nampak perubahan pada wajah Sri Baginda. Namun sejenak kemudian Sri Baginda berhasil menguasai perasaannya. Bahkan iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau memang seorang Senapati yang pantas menjadi tauladan. Baiklah. Aku akan mencoba melakukan sebagaimana kau katakan.”

“Terima kasih Baginda,” jawab Mahisa Bungalan, “untuk selanjutnya, maka sekaligus hamba akan mohon diri. Besok hamba akan meninggalkan Kediri kembali ke Singasari.”

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Sri Baginda.

“Hamba sudah terlalu lama meninggalkan tugas-tugas hamba,” berkata Mahisa Bungalan.

Sri Baginda tidak dapat menahannya. Ketika Mahisa Bungalan meninggalkan bangsal penghadapan, maka sekali lagi Sri Baginda mengucapkan terima kasihnya.

“Baginda ingin memberikan sesuatu kepadamu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Aku sudah menyatakan terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan, “Sebaiknya tidak menerima pernyataan terima kasih dalam ujud benda. Tetapi dalam ujud sikap sebagaimana Pangeran sendiri mengharapkan.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti maksudmu. Dan Sri Baginda pun agaknya mengerti juga. Tetapi aku harap kau tidak tergesa-gesa pergi. Kau dan kedua adikmu akan aku minta untuk tetap berada di rumahku untuk beberapa hari.”

“Pangeran sudah mengetahui, bahwa aku ingin segera kembali ke Singasari. Aku bukannya orang yang tidak mempunyai keluarga yang menunggu kedatanganku. Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat melakukannya. Atau mungkin mereka pun ingin menengok ayah di rumah.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku mengerti. Memang aku tidak akan dapat menahanmu terlalu lama. Tetapi tentu kau masih perlu melepaskan lelah barang satu dua hari.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “Aku akan bermalam dua malam lagi. Aku tentu merasa letih lagi untuk menempuh perjalanan kembali ke Singasari.”

Demikianlah, maka sesuai dengan permintaan Pangeran Singa Narpada maka Mahisa Bungalan masih tetap berada di Kediri setelah ia bermalam lagi. Ia masih akan bermalam satu malam lagi. Baru di keesokan harinya ia akan meninggalkan istana Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu, di istana Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah mendapat perlakuan yang baik sekali, karena Pangeran Singa Narpada rasa-rasanya memang berhutang budi kepada Mahisa Bungalan. Tanpa Mahisa Bungalan dan kedua adiknya, maka ia tentu tidak akan berhasil membawa mahkota itu kembali. Bahkan mungkin ia sendiri untuk seterusnya tidak akan pernah kembali ke Kediri.

Sementara itu, ketika senja turun, Mahisa Bungalan sempat berbicara dengan kedua adiknya, apakah keduanya akan kembali ke Singasari atau tidak.

“Memang ada keinginan untuk pulang,” berkata Mahisa Pukat, “Sudah lama aku tidak bertemu dengan ayah.”

“Bagaimana dengan kau Mahisa Murti?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Rasa-rasanya aku ingin juga kembali barang satu dua hari sebelum kami akan mulai dengan pengembaraan baru.” jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian maka kita akan kembali bersama-sama,” berkata Mahisa Bungalan, “Namun ada baiknya juga untuk berjalan bertiga pada jarak yang cukup panjang daripada berjalan seorang diri.”

Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada pun menyebut. “Kalian akan dapat membawa tiga ekor kuda.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Pukat lah yang mendahului menjawab, “Terima kasih. Menyenangkan sekali menempuh perjalanan dengan berkuda.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Adiknya ternyata lebih senang menempuh perjalanan kembali diatas punggung kuda. Agaknya karena tidak ada lagi kepentingan mereka di perjalanan, maka perjalanan yang terlalu lama akan menjadi sangat menjemukan. Karena itu, setiap usaha mempercepat perjalanan akan sangat menyenangkan.

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Besok akan disediakan tiga ekor kuda yang baik. Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak justru memperlambat perjalanan kalian.”

“Kuda-kuda itu kelak kami pelihara dengan baik,” berkata Mahisa Pukat.

Pangeran Singa Narpada pun tersenyum pula. Meskipun kedua anak muda itu telah menunjukkan kemampuan yang tinggi, serta puncak ilmu yang mengagumkan, namun pengaruh kemudaan masih nampak pada sikap mereka. Dalam pada itu, selagi mereka berbincang tentang kuda, maka seorang pengawal telah menghadap Pangeran Singa Narpada untuk menyampaikan permohonan seseorang yang akan menghadap.

“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Orang itu mengaku bernama Ki Ajar Wantingan,” jawab pengawal itu.

“Ajar Wantingan,“ ulang Pangeran Singa Narpada.

“Ya Pangeran,” jawab pengawal itu.

“Apakah kau melihat ciri-ciri dari orang itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada pula.

“Orang itu bertubuh kecil dengan membawa sebatang tongkat yang panjang,” jawab pengawal itu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Silahkan Ki Ajar menunggu aku di serambi. Aku akan segera datang.”

Pengawal itupun kemudian telah bergeser meninggalkan ruangan itu untuk mempersilahkan Ki Ajar Wantingan duduk di serambi. “Sebentar lagi Pangeran akan datang,” berkata pengawal itu.

“Tetapi bukankah Pangeran sudah bersedia menerima kedatanganku?” bertanya Ki Ajar.

“Ya. Pangeran sudah memerintahkan aku untuk mempersilahkan Ki Ajar menunggu,” jawab pengawal itu.

“Terima kasih,” desis Ki Ajar yang kemudian duduk menunggu dengan hati berdebar-debar. Ia belum pernah berkenalan dengan Pangeran Singa Narpada. Namun menurut pesan orang yang membawa benda yang akan dikembalikan itu adalah, agar ia menemui Pangeran Singa Narpada. Untuk beberapa saat lamanya Ki Ajar menunggu. Namun ia menjadi ragu-ragu, apakah benar bahwa Pangeran Singa Narpada bersedia menerimanya. Orang yang belum pernah dikenalnya.

Dalam kegelisahannya menunggu, Ki Ajar itu melihat seseorang melintasi halaman menuju ke serambi itu. Orang itu adalah orang yang sudah dikenalnya. Orang yang membawa benda yang dikeramatkan di Kediri.

“Ki Ajar,“ orang itu tertegun. ”Kenapa Ki Ajar berada disini?”

“Oh.“ Ki Ajar telah melangkah turun dari serambi menemui orang itu, “Aku memenuhi pesanmu. Aku akan menghadap Pangeran Singa Narpada.”

“Dan kau sudah diterima?” bertanya orang itu.

“Belum. Aku sudah mohon kepada seorang pengawal untuk disampaikan. Menurut pengawal itu, aku diperintahkan untuk menunggu di serambi,” jawab orang itu.

“O.“ orang itu mengangguk-angguk. ”Jika demikian, maka sebentar lagi Pangeran Singa Narpada tentu akan datang. Marilah. Silahkan duduk. Aku akan menemani Ki Ajar menunggu.”

“Terima kasih,” jawab Ki Ajar.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah duduk di serambi. Orang yang menemani Ki Ajar itupun bertanya tentang Ki Ajar yang demikian cepatnya menyusulnya.

“Aku tidak terpisah jauh dari kalian,” berkata Ki Ajar. “Maaf Ki Sanak. Meskipun aku mempercayaimu dan kawan-kawanmu, namun ada juga sedikit kecemasan, bahwa kau akan mengalami kesulitan di perjalanan.”

“Atau Ki Ajar mencurigai kami, bahwa kami tidak akan sampai ke istana,” jawab orang itu.

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sejak kalian memasuki istana ini aku dapat mengenalinya.”

“Cahaya teja itu,“ potong orang itu.

“Ya. Aku menjadi sedikit gelisah karena benda itu tidak langsung diserahkan kepada Sri Baginda. Tetapi bermalam di istana ini semalam,” berkata Ki Ajar.

“Aku adalah utusan Pangeran Singa Narpada,” jawab orang yang menemaninya duduk. ”Karena itu aku akan melaporkan diri sambil membawa bukti bahwa aku telah menyelesaikan tugasku dengan baik.”

Ki Ajar mengangguk-angguk sambil berguman. “Kau benar. Ternyata di hari berikutnya benda itu sudah berada di gedung perbendaharaan.”

“Ya. Benda itu sudah kembali ke tempatnya, sehingga agaknya sudah tidak ada persoalan lagi,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Syukurlah,“ Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Ah, jika demikian, maka aku kira, aku tidak perlu menghadap Pangeran Singa Narpada, karena kepentingan menemui Pangeran adalah untuk menanyakan siapakah orangnya yang tengah mengembalikan benda itu. tetapi ternyata bahwa aku telah menemuinya di sini Ki Sanak. Sebaiknya aku datang berkunjung ke rumahmu. Dimanakah ketiga orang kawanmu itu? Anak-anak muda yang luar biasa yang telah memiliki ilmu melampui ilmuku?”

“Apakah Ki Ajar akan menemui mereka?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya, tentu. Aku ingin bertemu dengan kalian berempat. Berbincang tanpa dibayangi oleh kecurigaan. Berbicara tentang hidup dan kehidupan sebagai orang kebanyakan.”

Orang yang menemaninya itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah, kita menghadap Pangeran Singa Narpada.”

“Aku mendapat perintah untuk menunggu. Aku tidak berani. Atau seperti yang aku katakan, aku urungkan niatku menghadap karena aku sudah bertemu Ki Sanak,” berkata Ki Ajar.

Orang yang menemaninya duduk itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah kita menghadap Pangeran Singa Narpada. Ki Ajar dapat mengatakan bahwa Ki Ajar tidak jadi menghadap karena orang yang Ki Ajar cari telah diketemukan.”

“Apakah perlu?” bertanya Ki Ajar.

“Tentu,” jawab orang yang menemaninya itu, “Agar Pangeran Singa Narpada yang sudah terlanjur mendapat pemberitahuan tentang kedatanganmu tidak justru mencarimu.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Terserahlah kepada Ki Sanak. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepadamu.”

“Marilah,” jawab orang itu, “Aku sudah terbiasa menghadap Pangeran Singa Narpada didalam.”

Ki Ajar memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Tetapi aku hanya sekedar itu.”

Keduanya pun kemudian memasuki pintu samping langsung menuju ke ruang dalam. Mereka terhenti ketika mereka melihat Mahisa Bungalan dan kedua adiknya duduk di sudut ruangan sambil berbincang diantara mereka.

“O,“ Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun bergeser. ”Marilah. Silahkan Ki Ajar.”

“Kalian semuanya berada disini?” bertanya Ki Ajar.

“Ya. Kami masih tinggal disini untuk hari ini. Besok kami sudah meninggalkan tempat ini,” jawab Mahisa Bungalan.

“Untunglah bahwa aku datang hari ini. Jika aku menunda sampai besok, apalagi lusa, maka aku tidak akan dapat bertemu lagi dengan Ki Sanak semuanya,” berkata Ki Ajar.

“Ya. Sebagai utusan Pangeran Singa Narpada kami sudah melaporkan hasilnya. Karena itu, maka tugas kami pun telah selesai sampai disini,” berkata Mahisa Bungalan.

“Jika aku terlambat, maka kemana aku harus mencari kalian?” bertanya Ki Ajar.

“Kami bertiga berada di Singasari,” jawab Mahisa Bungalan. “Tetapi kawan kami yang seorang itu akan tetap tinggal disini.”

“O,“ Ki Ajar mengangguk-angguk. ”Apakah ia memang keluarga Pangeran Singa Narpada.”

“Silahkan Ki Ajar bertanya saja langsung,” jawab Mahisa Bungalan.

“Ki Ajar itu memandang orang yang membawanya masuk dengan sorot mata yang memancarkan berbagai pertanyaan didalam hatinya. Namun kemudian iapun bertanya, “Aku ulangi pertanyaanku, apakah Ki Sanak memang keluarga Pangeran Singa Narpada?”

“Ya,” jawab orang itu, yang lalu mempersilahkan tamunya, “Duduklah Ki Ajar. Mungkin kita dapat berbincang sebentar sambil menunggu Pangeran Singa Narpada. Ketiga orang ini juga akan mohon diri, karena besok mereka akan meninggalkan Kediri.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah duduk pula bersama Mahisa Bungalan dan kedua adiknya, sementara orang yang membawanya masuk untuk sekejap masih tetap berdiri di tempatnya. Namun iapun kemudian telah duduk pula bersama mereka.

Untuk beberapa saat mereka masih berbincang tentang benda yang sudah mereka kembalikan ke istana. Orang yang membawa Ki Ajar itu masuk, agaknya tidak banyak lagi berahasia tentang benda yang sudah diketemukannya lagi.

“Mahkota itu memang merupakan benda yang sangat berharga, karena menurut kepercayaan beberapa pihak, mahkota itu merupakan tempat bersemayam wahyu keraton.” berkata orang itu kemudian.

Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar bertanya, “Jadi, apakah kita akan menghadap Pangeran Singa Narpada?”

“Ya,” jawab orang itu, “Tunggulah barang sebentar.”

Orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Bungalan berkata, “berapa lama lagi ia harus menunggu?”

Orang yang membawa Ki Ajar itu masuk, tersenyum. Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Ajar berkata dengan suara datar. “Aku minta maaf Pangeran. Sebenarnya sudah sejak semula aku menduga, bahwa aku berhadapan dengan seorang Pangeran, meskipun baru kemudian aku yakin bahwa Pangeran adalah Pangeran Singa Narpada itu sendiri.”

“O.“ orang yang membawanya itu mengerutkan keningnya, “Apa yang Ki Ajar katakan?”

“Sejak aku melihat Pangeran membawa benda yang dikeramatkan itu aku sudah mengira bahwa orang yang memegang benda itu adalah orang yang sudah sewajarnya membawanya. Menurut penglihatan batinku, orang yang membawa benda itu tentu seorang Pangeran. Demikian pula orang yang pada saat itu tertidur nyenyak.“ Ki Ajar itu berkata selanjutnya, “Dan sekarang aku yakin, bahwa orang itu adalah Pangeran Singa Narpada sendiri.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Lalu katanya, “Aku lupa bahwa aku berhadapan dengan seseorang yang memiliki penglihatan batin yang sangat tajam. Sebenarnya aku ingin membuat Ki Ajar terkejut.”

Ki Ajar tersenyum. Lalu katanya, “Sejak Pangeran membawa aku memasuki ruangan ini, aku sudah pasti, jika semula aku masih ragu-ragu.”

“Maaf Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Bukan maksudku mempermainkan Ki Ajar. Tetapi aku hanya sekedar ingin membuat pertemuan kita menjadi lebih akrab.”

“Aku mengerti,“ jawab Ki Ajar, “Karena itu, aku berusaha untuk bertahan, seakan-akan aku belum yakin, dengan siapa aku berhadapan. Namun akhirnya aku tidak tahan lagi untuk tetap berpura-pura.”

“Aku kira, akulah yang bertahan berpura-pura. Tetapi ternyata Ki Ajar sudah melihat yang sebenarnya tanpa aku sadari,” berkata Pangeran Singa Narpada sambil tersenyum.

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Ternyata Ki Ajar Wantingan memang memiliki penglihatan batin yang tajam. Agaknya bukan saja penglihatan batinnya, tetapi juga panggraitanya sangat tajam.

Dengan demikian maka pertemuan selanjutnya memang menjadi sangat akrab. Ki Ajar Wantingan yang belum banyak dikenal sebelumnya oleh Pangeran Singa Narpada rasa-rasanya bagaikan keluarga sendiri. Mereka dapat berbincang dan berbicara tentang apa saja dengan hati terbuka.

Namun dalam pada itu, maka Ki Ajar Wantingan itupun berkata diantara pembicaraan mereka tentang berbagai hal yang tidak penting. “Pangeran, sebenarnya aku ingin memberikan sedikit pesan bagi Pangeran.”

“Tentang apa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Selagi aku masih ingat,” berkata Ki Ajar Wantingan. ”Aku ingin sedikit memberikan pesan tentang benda yang sangat berharga itu. Aku kira orang yang mampu melihat cahaya yang terpancar dari benda itu bukannya hanya aku dan Panembahan Bajang. Karena itu, maka benda itu memerlukan perlindungan yang sangat kuat.”

“Aku sudah mohon kepada Sri Baginda, agar pengamanan atas benda itu diperkuat. Pengawal yang bertugas di gedung perbendaharaan harus berlipat jumlahnya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Itu tidak cukup Pangeran,” berkata Ki Ajar Wantingan.

“Jadi bagaimana?” bertanya Pangeran Singa Narpada, ”Apakah harus ada satu dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi untuk mengawasi benda itu?”

“Penjagaan yang kuat dengan jumlah pengawal yang berlipat tidak akan banyak menolong,” jawab Ki Ajar Wantingan, “cobalah Pangeran menceriterakan, bagaimana maka benda itu dapat hilang sebelumnya.”

“Yang mengambil pusaka itu memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmu sirep,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Ki Ajar Wantingan mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, bukankah dengan cara itu, meskipun para pengawalnya menjadi berlipat, namun para pengawal itu tidak akan banyak berarti.”

“Jadi bagaimana menurut Ki Ajar?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran,” berkata Ki Ajar Wantingan. ”Menurut pengetahuanku yang picik, sebaiknya benda itu diletakkan ke dalam satu kotak yang khusus.”

“Kotak yang khusus yang bagaimana maksud Ki Ajar?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kotak yang tidak terbuat dari kayu biasa,” jawab Ki Ajar, “Kotak itu harus terbuat dari perak dan dilapisi dengan kulit seekor kerbau dungkul berwarna bule.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Jika benda itu disimpan dalam kotak dari perak dan dilapisi dengan kulit kerbau bule dan dungkul, apakah benda itu tidak akan dapat diambil orang?”

“Bukan begitu Pangeran,” jawab Ki Ajar, “Dengan kotak itu maka teja yang memancar dari benda itu tidak akan dapat lolos, karena cahaya teja itu dapat diserap oleh kotak perak yang berlapis kulit kerbau dungkul berwarna bule.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya. “Jadi dengan demikian benda itu tidak mudah diketahui tempatnya karena tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang berpandangan batin yang tajam sekalipun.”

“Demikianlah Pangeran,” jawab Ki Ajar, “Jika tidak ditempatkan dalam kotak yang demikian, maka beberapa orang khusus akan dapat melihatnya. Jika ada diantara mereka tergelitik hatinya, maka kemungkinan yang buruk dapat terjadi, sebagaimana pernah terjadi.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya. “Terima kasih Ki Ajar. Aku akan menyampaikannya kepada Sri Baginda. Aku akan mohon agar benda itu dibuatkan kotak dari perak, dan dicarikan seekor kerbau bule yang bertanduk dungkul.”

“Tentu tidak sulit dicari di seluruh Kediri,” berkata Ki Ajar.

“Kotak dari perak tentu akan dapat dengan mudah dibuat betapapun besarnya. Ada segerobag perak yang dapat disiapkan dalam satu hari. Tetapi seekor kerbau bule yang bertanduk dungkul itulah yang perlu dicari,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Mungkin memerlukan waktu yang cukup lama meskipun mungkin ada juga satu dua ekor di seluruh Kediri ini.”

“Tentu ada,” berkata Ki Ajar, “Mungkin aku dapat membantu. Jika pada satu saat aku bertemu dengan seekor kerbau yang demikian, maka aku akan menyampaikannya kepada Pangeran. Mungkin Pangeran sudah mendapatkan sebelumnya, atau kerbau itu tidak akan boleh aku ambil. Berbeda agaknya jika perintah itu datang dari Sri Baginda.”

“Baiklah Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Jika Ki Ajar menjumpainya, ambillah jika diperbolehkan. Jika tidak maka cepat-cepatlah sampaikan kepadaku.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Bungalan tiba-tiba saja bertanya, “Apakah ada kekuatan khusus pada selapis perak dan kulit kerbau bule bertanduk dungkul?”

“Ya. Sudah aku katakan kemampuannya menyerap cahaya teja. Tetapi jika kau bertanya apa sebabnya, maka aku tidak akan dapat menjelaskan. Aku mendengarnya dari seorang pertapa. Dan sebenarnyalah, pada saat-saat aku sempat membuktikan, maka ternyata keterangan itu benar,” jawab Ki Ajar Wantingan.

“Apakah Ki Ajar pernah menyimpan pusaka yang juga memancarkan teja?” bertanya Mahisa Bungalan selanjutnya.

“Bukan aku. Tetapi pertapa itu,“ jawab Ki Ajar Wantingan.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Ajar itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia bertanya, “Pertapa yang mana? Apakah Ki Ajar sendiri bukan seorang pertapa?”

“Aku juga seorang yang berusaha menjauhkan diri dari kepentingan duniawi. Tetapi apakah aku dapat disebut seorang pertapa masih harus dipertanyakan. Seorang pertapa adalah seseorang yang memiliki gegayuhan yang tinggi disertai dengan laku yang berat dan tidak mengenal lelah. Tetapi bukannya gegayuhan duniawi. Gegayuhan yang berhubungan langsung dengan Maha Penciptanya. Sementara itu, aku masih kadang-kadang mengeluh karena keletihan dalam laku yang belum seberapa berat.”

“Bagaimanapun juga, tetapi seseorang yang telah menjauhkan diri dari kepentingan duniawi adalah orang-orang yang pantas mendapat kehormatan khusus, karena ia adalah orang-orang yang dekat dengan Yang Maha Agung,” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Ajar itu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sebutan yang demikian masih terlalu tinggi bagiku. Aku adalah sekedar orang yang sedang mencoba menempuh laku itu.”

Mahisa Bungalan tidak mempersoalkan lagi. Bahkan pembicaran mereka pun kemudian justru telah bergeser ke persoalan-persoalan lain yang tidak penting dan tidak ada hubungannya dengan benda yang baru saja diselamatkan oleh Pangeran Singa Narpada itu.

Malam itu Pangeran Singa Narpada telah mempersilahkan Ki Ajar untuk bermalam di istananya. Dengan demikian maka mereka dapat lebih banyak berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Sementara itu, di keesokan harinya, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun akan kembali ke Singasari.

Ketika fajar menyingsing, maka para tamu Pangeran Singa Narpada itupun telah bersiap-siap. Ketika Ki Ajar telah selesai berbenah diri, maka ia adalah orang yang pertama minta diri. Meskipun matahari belum terbit, namun Ki Ajar itu telah meninggalkan halaman istana Pangeran Singa Narpada.

Sejenak kemudian maka Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun telah bersiap pula. Merekapun kemudian minta diri untuk meninggalkan Kediri setelah ketiganya membantu melakukan satu tugas yang berat dan berbahaya. Namun yang ternyata telah mencapai hasil yang memadai.

“Tidak ada cara yang tepat untuk menyatakan terima kasih kami dan bahkan seluruh Kediri kepada kalian,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”pada suatu saat maka aku tentu akan datang ke Singasari untuk menyampaikan laporan itu kepada Sri Maharaja di Singasari.”

“Kami menunggu,” sahut Mahisa Bungalan, “Mudah-mudahan untuk selanjutnya, tidak terjadi seperti yang baru saja mengguncang Kediri.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Jawabnya, “Mudah-mudahan. Kami akan berusaha sebaik-baiknya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara itu, kuda-kuda mereka pun telah bersiap, sehingga sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap pula untuk berangkat. Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan itu sudah berada di pintu gerbang halaman istana iapun sempat bertanya, “Pangeran. Apakah Pangeran percaya sepenuhnya kepada Ki Ajar Wantingan?”

“Bukan percaya sepenuhnya, tetapi aku ingin mencoba. Mungkin yang dikatakannya itu benar, sehingga benda yang bagi Kediri mempunyai nilai yang tidak terhingga itu tidak setiap kali memanggil orang-orang yang memiliki pengamatan hati yang tajam, dan ingin memilikinya,” sahut Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi setiap persoalan harus dikaji dengan cermat. Aku memang sedikit mempercayai. Tetapi tidak lepas dari sikap berhati-hati.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Mahisa Bungalan. Pesanmu akan selalu aku perhatikan agar aku tidak membuatmu sekali lagi menempuh perjalanan berat dan berbahaya.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Namun iapun kemudian minta diri bersama kedua adiknya meninggalkan Kediri yang telah menemukan cahayanya kembali. Sejenak kemudian maka ketiga orang anak muda itu telah berpacu meninggalkan Kota Raja. Mereka tidak berpacu terlalu cepat, sehingga perjalanan mereka tidak banyak menarik perhatian. Sementara itu jalan-jalan pun menjadi ramai meskipun hari baru saja terang.

Orang-orang yang pergi ke pasar berjalan berurutan di jalan-jalan raya. Ada yang membawa barang-barang jualan, tetapi ada yang justru ingin membeli kebutuhan mereka masing-masing.

Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah menjadi semakin jauh dari Kota Raja. Mereka memasuki daerah persawahan yang hijau subur. Orang-orang Kediri yang sudah beberapa lama mengalami goncangan karena perang diantara keluarga sendiri, merasa telah menemukan ketenangannya kembali. Mereka dapat bekerja di sawah dan ladang. Sementara itu pasar pun menjadi ramai. Suara pande besi melengking diantara hiruk pikuknya orang-orang yang berjual beli. Buah-buahan, ubi-ubian dan gerabah memenuhi pasar-pasar yang terdapat hampir di setiap padukuhan yang besar.

Dengan demikian maka kehidupan di Kediri telah menjadi hampir pulih kembali. Sebagian besar dari orang-orang itu sama sekali tidak tahu, bahwa benda yang paling berharga di Kediri telah hilang dan baru saja diketemukan kembali.

Dalam pada itu, perjalanan Mahisa Bungalan dan kedua adiknya sama sekali tidak menemui hambatan. Ketika mereka menghirup udara Singasari, rasa-rasanya nafas di kerongkongan mereka menjadi segar. Sudah agak lama mereka meninggalkan kampung halaman menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Namun ketika semuanya telah selesai, maka rasa-rasanya hati ini menjadi bertambah lapang.

Kedatangan ketiga orang bersaudara itu telah disambut dengan gembira oleh keluarga yang untuk beberapa lama mereka tinggalkan. Mahendra yang telah menjadi semakin tua itupun merasa berbangga ketika ia mendengarkan kedua anaknya yang masih muda itu berceritera dengan nada tinggi, dengan gairah dan bahkan kadang-kadang saling berebut. Sementara Mahisa Bungalan yang lebih tua lebih banyak mendengarkan sambil tersenyum-senyum.

“Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu ternyata memiliki ilmu iblis,” berkata Mahisa Pukat, “Dari ujung tongkatnya telah meloncat cahaya yang menyambar-nyambar. Jika cahaya yang keluar dari tongkatnya itu mengenai bongkah-bongkahan batu padas, maka bongkah-bongkah batu padas itu hancur berserakan. Untunglah bahwa kami berdua masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, sehingga kami berdua berhasil meskipun tidak mengalahkannya, tetapi setidak-tidaknya melindungi diri kami.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Ceritera kedua anaknya itu sangat menarik perhatiannya. Justru ketika kedua anaknya itu berceritera tentang kemampuan seorang yang bertubuh kecil dan bersenjatakan tongkat panjang. “Kau sudah menyebut sebuah nama bukan?” bertanya Mahendra.

“Ya. Ia menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan,” jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Ia dapat menyebut nama apa saja. Tetapi rasa-rasanya aku pernah berhubungan dengan satu perguruan yang memiliki ciri seperti itu. Dan agaknya aku memang pernah mengenal seorang yang bertubuh kecil dan bertongkat panjang.”

Mahisa Bungalan yang mendengar pembicaraan itu, yang semula hanya tersenyum-senyum saja, tiba-tiba telah mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Ayah. Coba sebutkan. Ciri-ciri yang ayah kenal itu. Apakah perguruan itu termasuk perguruan yang bersih atau tidak?”

Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya perguruan itu bukan perguruan yang bersih. Tetapi sudah barang tentu, bahwa didalam telur di satu sarang, sering terdapat ayam yang berwarna lain.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada sungguh-sungguh berkata, “Tetapi orang itu dengan tidak langsung telah melibatkan diri bagi penyimpanan benda yang paling berharga di Kediri itu.”

Mahendra termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia bertanya, “Apa yang dilakukannya?”

Mahisa Bungalan pun kemudian berceritera tentang pendapat orang itu, bahwa sebaiknya benda itu disimpan didalam sebuah peti yang dibuat dari perak dan dilapisi dengan kulit seekor kerbau dungkul yang bule.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukankah peti kemudian tetap disimpan didalam gedung perbendaharaan?”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan.

“Dengan penjagaan yang diperkuat?” bertanya Mahendra pula.

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan seterusnya, “Pangeran Singa Narpada sudah minta agar penjagaan dilipatkan. Sedangkan kegunaan peti itu hanya sekedar untuk menyerap cahaya teja yang memancar dari benda itu.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali bahwa seseorang dapat melihat cahaya teja yang memancar dari satu benda atau seseorang. Kau harus tahu juga bahwa seseorang pada saat-saat tertentu akan dapat memancarkan teja dari dalam dirinya. Bahkan menurut kepercayaan, seorang yang besar dan memiliki pribadi yang kuat, pada saat meninggal akan nampak teja di langit, meskipun pada saat hidupnya ia tidak melepaskan teja itu. Teja yang menandai meninggalkan seorang besar adalah teja yang paling melintang di langit sejajar dengan cakrawala.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapat ayah tentang peti itu?”

“Kita dapat menunggu. Jika peti itu tetap berada di gedung perbendaharaan maka agaknya peti itu masih tetap didalam pengawasan para penjaga. Kecuali jika ia menyarankan agar peti itu disimpan di tempat lain,” jawab ayahnya.

“Baik ayah,” jawab Mahisa Bungalan, “Kita memang akan dapat menunggu. Sementara itu Pangeran Singa Narpada juga tidak akan terlalu mudah untuk menemukan kerbau bertanduk dungkul dan berwarna bule.”

“Tetapi pada satu saat jika kau bertemu dengan Pangeran Singa Narpada, kau dapat memberikan pesan kepadanya, agar ia tetap berhati-hati,” berkata Mahendra. Kemudian, “Mahisa Bungalan. Jika kau ingin mendapat penjelasan lebih lanjut, cobalah nanti kau bertanya kepada pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Mungkin keduanya pernah juga bertemu dengan orang yang memiliki ciri seperti itu dengan ilmu yang nggegirisi itu pula. Setidak-tidaknya pamanmu Witantra agaknya akan dapat berceritera juga tentang orang yang memiliki ilmu demikian.”

“Baiklah ayah,” berkata Mahisa Bungalan, “Aku pun akan segera pulang ke Kota Raja.”

“Isterimu tentu sudah menunggumu,” sahut ayahnya.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku kira isteriku ada disini.”

“Ia berada disini beberapa hari. Tetapi kemudian kembali ke Kota Raja,” jawab ayahnya.

Setelah bermalam satu malam, maka Mahisa Bungalan-pun segera kembali ke Kota Raja. Isterinya menyambutnya dengan gembira, setelah beberapa lama ia mengalami ketegangan oleh kecemasan. Namun Mahisa Agni dan Witantra yang semakin tua itu dapat selalu menenangkannya.

Ketika Mahisa Agni dan Witantra mengetahui bahwa Mahisa Bungalan telah datang, maka mereka pun ikut menjadi gembira. Mahisa Bungalan setelah beristirahat di rumahnya sejenak, iapun telah mengunjungi Mahisa Agni dan Witantra, untuk memberikan laporan tentang perjalanannya.

“Syukurlah,” berkata Mahisa Agni, “perjalanan membawa hasil. Untunglah bahwa kedua adikmu itu menyusulmu.”

“Anak-anak nakal,” desis Mahisa Bungalan, “Ternyata mereka mempunyai pertanda sebagai petugas sandi Singasari di Kediri. Karena itu, maka ia telah mengenal jalur tugas-tugas rahasia di Kediri meskipun hanya sebagian kecil.”

Namun yang menarik perhatian Mahisa Agni dan Witantra adalah orang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang sebagaimana diceritakan oleh Mahisa Bungalan.

“Benar kata ayah,” desis Witantra, “Aku memang pernah mengenali satu cabang perguruan dengan ciri-ciri seperti itu. Bukan tongkat panjangnya, tetapi kemampuan melontarkan serangan dengan semacam cahaya yang dapat memecahkan batu-batu padas. Murid-murid perguruan itu dapat mempergunakan tongkat panjang, atau tongkat pendek, pedang atau pisau belati sekalipun.”

“Menurut ayah, perguruan yang memiliki ciri yang demikian itu bukannya perguruan yang terhitung bersih,” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku sependapat. Tetapi sudah tentu kau tidak akan dapat menyebut bahwa semua orang yang memiliki ciri ilmu yang demikian adalah orang yang kurang bersih hatinya. Mungkin ia orang baik, karena itu diterimanya dengan cara yang lain dari orang-orang di perguruan yang pernah aku katakan,” berkata Witantra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Memang begitu paman. Orang itu nampaknya juga sangat meragukan. Menilik sikap dan tutur katanya, ia memang orang yang baik dan dapat dipercaya. Tetapi hanya kecurigaan sajalah agaknya yang membuat aku ragu-ragu.”

“Mungkin demikian. Tetapi kau harus belajar mendengarkan suara penggraitamu,” berkata Mahisa Agni, “Mungkin kau tidak sekedar menjadi curiga. Tetapi justru kau mempunyai daya pengamatan yang sangat tajam. Persoalannya kemudian adalah belajar mengenalinya dan menguranginya, sehingga kau dapat menangkap maknanya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya, “mudah-mudahan yang kita miliki ini tidak akan terkubur bersama kita.”

“Tetapi kali ini aku tidak akan dapat menentukan apakah aku harus mencurigainya atau tidak.”

“Tetapi baik kau maupun Pangeran Singa Narpada harus berhati-hati. Memang banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Aku sependapat dengan ayahmu, justru karena peti dari perak itu masih akan disimpan didalam gedung perbendaharaan, sehingga dengan demikian, maka peti itu masih berada didalam daerah pengamanan yang akan ditingkatkan itu. Seperti kata ayahmu pula, jika orang sudah menasehatkan untuk menyimpan mahkota itu di tempat tertentu, maka kau memang harus menjadi semakin mencurigainya. Apalagi tentu masih dibutuhkan waktu untuk menemukan kulit seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kedua pamannya itu pendapatnya sama sebagaimana pendapat ayahnya. Karena itu maka Mahisa Bungalan pun menjadi agak tenang pula. Apalagi agaknya masih ada waktu apabila ia ingin berbicara lagi dengan Pangeran Singa Narpada tentang benda-benda yang memancarkan teja yang dapat diserap oleh peti yang dibuat dari perak dan dilapisi dengan kulit seekor kerbau dungkul dan berkulit bule.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni berkata, “Mahisa Bungalan, sebenarnya aku juga tertarik atas keterangan tentang teja itu. Sebenarnyalah bahwa dengan sedikit laku, mungkin aku juga akan dapat melihatnya. Pada masa kecilku, aku adalah anak padepokan mPu Purwa. Dengan sisa ilmu yang sedikit, maka agaknya aku akan dapat mengembangkan pengenalanku atas cahaya teja sebagaimana dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan dan Panembahan Bajang yang sudah tidak ada itu. Sebelum benda itu disimpan didalam peti aku ingin melihatnya, apakah benar bahwa saat-saat tertentu mahkota itu memancarkan cahaya teja atau sebangsanya. Kemudian setelah benda itu disimpan didalam peti, apa benar cahaya itu dapat diserapnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kapan paman akan pergi ke Kediri? Pangeran Singa Narpada tentu akan dengan senang hati menerimanya.”

“Aku tidak akan pergi ke Kediri sebagai seorang tamu. Aku akan pergi dengan diam-diam dan melihat cahaya itu dengan diam-diam pula,” berkata Mahisa Agni, “Kecuali aku dapat dengan leluasa berbuat, aku pun tidak akan dikungkung oleh segala macam adat dan basa basi, justru karena kau, juga pamanmu Witantra pernah mendapat tugas di Kediri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun ia tidak menentang keinginan Mahisa Agni. Bahkan Mahisa Bungalan menganggap bahwa cara itu adalah cara yang terbaik.

Namun mereka memang tidak tergesa-gesa. Pangeran Singa Narpada tidak akan mendapatkan kulit yang dikehendakinya dalam satu dua hari. Bahkan satu dua bulan. Karena itu, maka Mahisa Bungalan akan mendapatkan kesempatan cukup untuk beristirahat dan mempertimbangkan semua persoalan yang sedang dihadapi oleh Kediri.

Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Agni, maka lebih baik untuk mengikuti perkembangannya dengan diam-diam, agar ia tidak terlibat langsung ke dalam persoalan yang berkembang di Kediri.

“Yang harus juga mendapat perhatian adalah justru sikap ragu-ragu Sri Baginda,” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

“Ya,” jawab Mahisa Agni, “Justru karena itu, maka lebih baik kita melangkah dengan diam-diam. Masa tugasku dan pamanmu Witantra di Kediri telah lewat lama sekali. Mungkin kami tidak dapat mengenali perkembangan yang terjadi sekarang. Namun mungkin dalam umurku yang sudah semakin tua ini, masih dapat berbuat sesuatu sebelum akhir itu datang menjemput.”

“Jangan berkata begitu paman,” jawab Mahisa Bungalan.

“Kemana lagi kita akan pergi,” berkata Mahisa Agni, “orang yang sudah setua aku dan pamanmu Witantra, sebentar lagi sudah tidak akan berarti bagi kehidupan ini. Aku, pamanmu Witantra dan kemudian yang sedikit lebih muda adalah ayahmu, telah berusaha untuk menyalurkan apa yang kami miliki kepada tataran berikutnya. Karena itu, maka kami memang sudah bersiap memasuki lorong menuju ke jaman langgeng itu.”

“Tetapi bukan berarti bahwa paman sudah tidak berarti lagi,” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku pun tidak bermaksud berkata demikian. Karena itu, aku masih ingin pergi ke Kediri. Tetapi apa yang dapat aku lakukan sekarang bersama pamanmu Witantra, tentu sudah jauh dibawah kemungkinan yang dapat aku lakukan kemudian. Namun kekurangan itu pada saatnya akan terisi dan berkembang pada dirimu dan adik-adikmu,” jawab Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah pengalamanku jauh lebih kurang daripada paman berdua.”

“Mahisa Bungalan,” berkata Witantra, “pada saatnya seseorang masih akan kalah dari orang lain tentang beberapa hal. Tetapi pada suatu saat kemudian pada seseorang dapat berkembang. Nah, karena itulah, maka seandainya kau sekarang mengaku pengalamanmu masih jauh dibawah pengalaman orang-orang tua, namun pengalamanmu bukannya terhenti sampai disini.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan kedua pamannya itu.

“Nah, untuk beberapa saat kau tentu mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah kau melaporkan perjalanan. Mungkin kami akan dapat berusaha agar kau dapat langsung menghadap Sri Maharaja. Sehingga dengan demikian, maka persoalan yang menyangkut Kediri dalam keseluruhan, bukan sekedar mengenai mahkota yang hilang itu akan dapat diketahui oleh Sri Maharaja.”

“Terima kasih paman,” jawab Mahisa Bungalan, “Jika aku dapat menghadap Sri Maharaja, maka kau akan mendapat kesempatan untuk menceriterakan segalanya sampai tuntas.”

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun kemudian mohon diri dan menanti kapan ia dapat menghadapi Sri Maharaja.

“Aku menunggu paman,” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. Tetapi kau harus lapor kepada Panglimamu lebih dahulu. Katakan kepada Panglimamu, bahwa pamanmu tengah berusaha untuk mendapat waktu menghadap Sri Maharaja,” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah paman,” berkata Mahisa Bungalan yang kemudian meninggalkan kedua pamannya dan kembali pulang ke rumah yang disediakan baginya di lingkungan pasukannya untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan yang berat. Mahisa Bungalan berniat untuk besok saja menghadap dan melaporkan kehadirannya kepada Panglimanya.

Sementara itu, di Kediri, kehidupan berangsur menjadi semakin baik, dan bahkan telah hampir menjadi pulih kembali. Para petani telah berani bekerja di sawah. Bahkan di malam hari mengairi sawahnya. Para pedagang dan saudagar telah dengan tenang menempuh perjalanan dalam tugas perdagangannya. Sedangkan para prajurit tidak lagi selalu dicengkam oleh ketegangan bahwa pagi atau sore nyawanya akan direnggut oleh peperangan diantara keluarga sendiri-sendiri.

Dalam masa yang semakin baik itulah, maka Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan beberapa orang untuk mencari seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule.

“Jarang sekali Pangeran,” berkata seorang prajurit yang diperintahkannya.

“Aku tahu,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi kita harus menemukannya. Kerbau itu akan dapat membantu membuat Kediri menjadi semakin tenang.”

Prajurit itu akan mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga ia harus menjalankan tugas itu. Dapat atau tidak dapat.

“Bukan tugas yang berat dibanding dengan usaha Pangeran Singa Narpada untuk menemukan mahkota yang hilang,” berkata prajurit itu didalam hatinya, “Aku harus menemukannya. Apalagi tugas itu sama sekali tidak mengandung bahaya apapun juga. Sedangkan menemukan mahkota itu, tentu saja dibayangi oleh nafsu maut setiap saat.”

Prajurit itu ternyata bukan prajurit satu-satunya yang mendapat tugas. Beberapa orang prajurit yang lain telah mendapat tugas yang sama pula. Bahkan mereka wajib mengemukakan, siapa yang menemukan seekor kerbau sebagaimana yang dimaksud harus diserahkan kepada Pangeran Singa Narpada.

“Usahakan secepatnya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Dengan janji kesanggupan didalam hati, maka para prajurit itupun segera berangkat ke segala penjuru Kediri untuk menemukan kerbau yang dimaksud..Tetapi sebagaimana sudah diduga, untuk menemukan jenis kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule tidak terlalu mudah. Meskipun Kediri cukup luas, namun yang dicari adalah seekor kerbau yang memang jarang sekali ada.

Meskipun demikian para prajurit yang mendapat tugas itupun tidak menjadi jemu. Apalagi Pangeran Singa Narpada tidak membatasi waktu. Pangeran Singa Narpada yang tahu benar, bahwa jarang sekali terdapat kerbau yang sebagaimana dicarinya, maka iapun memberikan keleluasan waktu kepada para prajurit.

“Jika kalian telah terlalu lama pergi dan tidak mendapatkan kerbau itu, maka kalian dapat kembali menengok keluarga kalian. Setelah satu dua pekan, maka kalian dapat meneruskan usaha kalian mencari kerbau itu. Kapan pun kerbau itu kau dapatkan bukannya soal bagiku, karena meskipun lambat, tetapi itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali.”

Para prajurit yang mendapat tugas itupun mengangguk-angguk. Sikap lunak Pangeran Singa Narpada tidak membuat mereka menjadi malas dan bekerja asal saja memenuhi perintah tanpa melakukan usaha dan kerja keras. Namun karena yang mereka cari adalah benar-benar langka, maka usaha mereka pun memerlukan waktu yang lama.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra benar-benar ingin melakukan sebagaimana telah mereka katakan. Keduanya ingin pergi ke Kediri untuk melihat cahaya teja sebagaimana yang dimaksud. Mahisa Agni dan Witantra sudah pernah berada di Kediri untuk waktu yang cukup lama meskipun tidak bersamaan. Namun mereka tidak sempat memperhatikan, apakah dari gedung perbendaharaan telah memancar teja.

“Mungkin kemampuan kita tidak setajam kemampuan orang-orang yang pernah dengan serta merta melihatnya,” berkata Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin. Sekarang pun kemampuan kita untuk melihat sesuatu yang gaib seperti itu tidak cukup tajam untuk dapat dengan serta merta menangkapnya.”

“Kita memerlukan waktu untuk membangunkan kemampuan melihat cahaya teja seperti itu,” sahut Mahisa Agni, “Mungkin sekejap tetapi mungkin sepenginang.”

“Bukankah itu bukan masalah,” berkata Mahisa Bungalan, “Jika kita melakukannya malam hari, maka kita mempunyai banyak waktu tanpa menarik perhatian orang lain. Karena kita akan dapat memilih tempat yang sepi.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan segera pergi ke Kediri.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “Tetapi apakah aku harus minta ijin lagi?”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Biarlah kami, orang-orang tua ini pergi sendiri. Jika kau minta ijin lagi, maka agaknya akan dapat memberikan kesan yang kurang baik. Apalagi jika tiba-tiba karena sesuatu hal pada waktu yang dekat, kau diperlukan lagi oleh Kediri, sehingga kau harus minta ijin lagi untuk meninggalkan kesatuanmu.”

“Tetapi bukankah aku tidak minta ijin untuk bertamasya?” jawab Mahisa Bungalan, “Bukankah panglima mengetahui apa yang aku lakukan?”

“Ya. Untuk menemukan mahkota itu,“ jawab Witantra, “Tetapi untuk mengantar kami ke Kediri dengan rencana yang tidak dapat disebut, maka agaknya pimpinanmu akan berpikir lain.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jadi paman berdua tidak akan mengajak siapapun juga?”

“Agaknya kali ini tidak Mahisa Bungalan,“ jawab Witantra.

Namun Mahisa Bungalan berkata, “Bagaimana dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat? Jika paman berdua menghubungi ayah, maka agaknya ayah tidak akan berkeberatan memberikan ijin kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi bersama paman berdua, sedangkan mereka berdua saja pergi ke Kediri, ayah telah melepaskannya setelah keduanya menyelesaikan laku untuk menerima warisan ilmu ayah.”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil memandang Mahisa Agni ia bertanya, “Apakah kita perlu membawa kedua orang anak itu?”

“Ada baiknya paman,“ Mahisa Bungalan lah yang menjawab, “mungkin paman berdua memerlukan sesuatu yang tidak pantas paman lakukan sendiri. Misalnya membeli makanan atau kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya.”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kita adalah pengembara. Aku dan pamanmu Witantra adalah pengembara pula sejak muda. Karena itu, biarlah kali ini kita pergi berdua. Suatu ketika yang tua-tua ini ingin mengenang kembali masa penjelajahan diantara lembah dan lereng pegunungan. Sementara itu, biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat beristirahat.”

“Mereka tidak akan istirahat,” berkata Mahisa Bungalan, “Seandainya tidak paman bawa, mereka pun tentu akan pergi sendiri karena mereka mempunyai pertanda petugas sandi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian mungkin aku dapat menghubunginya. Mungkin kita akan bertemu pada suatu saat.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi agaknya kedua pamannya benar-benar ingin berdua saja. Tetapi agaknya memang sudah cukup seandainya keduanya menentukan satu kemungkinan untuk dapat bertemu dengan kedua adiknya di Kediri. Namun demikian, Mahisa Agni dan Witantra minta beberapa petunjuk kepada Mahisa Bungalan, apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka di perjalanan.

“Kami sudah terlalu tua untuk dapat berbuat sebagaimana pernah kami lakukan,” berkata Mahisa Agni, “Karena itu kami memang harus berhati-hati.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah memberikan keterangan apa saja yang diketahuinya tentang Kediri. Tentang Mahkota yang hilang, tentang Pangeran Lembu Sabdata yang kemudian berada didalam bilik tahanan khusus. Tentang Pangeran Singa Narpada dan tentang beberapa hal yang lain, yang perlu diketahui oleh kedua pamannya. Bahkan Mahisa Bungalan pun telah memberitahukan kepada kedua pamannya itu, bahwa ia bersama Pangeran Singa Narpada telah mencoba pula melihat cahaya teja. Dan sesungguhnya ia dapat berhasil. Tetapi dengan laku yang sungguh-sungguh dan memerlukan waktu.

“Terima kasih,” berkata Mahisa Agni kemudian, “Besok kami berdua akan singgah di rumah ayahmu Mahendra. Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat memberikan beberapa petunjuk pula. Yang penting, kami ingin dapat berhubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jika mereka memang akan pergi juga ke Kediri.”

“Silahkan paman,” berkata Mahisa Bungalan, “Sebenarnya aku ingin ikut dengan paman. Tetapi jika hal ini paman hanya ingin pergi berdua, maka betapapun aku menyesal, namun aku terpaksa tidak dapat ikut pula.”

Witantra tersenyum. Katanya, “Mungkin lain kali kami memerlukan kau. Biarkan kali ini dua orang tua berjalan terbungkuk-bungkuk. menempuh satu jarak yang agak panjang. Tetapi dengan perjalanan itu kami justru ingin mendapat kesegaran baru didalam akhir perjalanan hidup ini. Kami ingin melihat sawah yang terbentang di ngarai. Hutan yang hijau di lembah-lembah dan lereng pegunungan.”

Sebenarnyalah, maka di keesokan harinya, Mahisa Agni dan Witantra telah meninggalkan Kota Raja. Mereka ingin singgah lebih dahulu di rumah Mahendra. Selain untuk minta diri, mereka pun ingin berbicara serba sedikit dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mahisa Agni dan Witantra ingin menempuh perjalanan mereka dengan berjalan kaki saja. Mereka agaknya tidak ingin mempergunakan kuda yang pada saat-saat tertentu justru akan dapat mengganggu. Kedatangan mereka di rumah Mahendra, keduanya telah disambut dengan gembira. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang baru datang dari perjalanan itupun kemudian sempat berceritera panjang lebar tentang perjalanan mereka.

“Ternyata anak-anak telah melakukan satu tugas yang sangat berat bersama Pangeran Singa Narpada,” berkata Mahendra.

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun mereka pun kemudian menceriterakan niat mereka untuk pergi ke Kediri.

“Sikap orang yang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu agaknya menarik perhatian,” berkata Mahisa Agni.

“Apalagi sesuai dengan pengenalan kita atas ciri-ciri orang itu,” berkata Witantra.

“Paman akan mengajak kami berdua?” bertanya Mahisa Murti.

Tetapi sambil tersenyum Mahisa Agni berkata, “Kami pergi berdua saja. Kami ingin sekali-sekali berjalan-jalan berdua dengan gaya orang-orang tua.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa kecewa. Namun sementara itu Witantra berkata, “Bukankah kau baru saja kembali dari tugasnya yang berat itu?”

“Ya paman. Tetapi kami memang tidak berniat untuk tinggal di rumah terlalu lama,” berkata Mahisa Pukat.

“Kakakmu Mahisa Bungalan juga mengatakan demikian, bahwa kalian tentu tidak akan betah tinggal di rumah,” jawab Mahisa Agni, “Namun jika demikian maka kita akan dapat berjanji, dimana kita kira-kira dapat bertemu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. “Sementara masih memerlukan istirahat barang satu dua pekan. Sementara itu, kami yang tua-tua ini akan mulai perjalanan besok pagi. Tetapi kecepatan yang dapat kami tempuh tentu sudah jauh berbeda dengan kemungkinan yang dapat kalian lakukan.”

“Kami tidak akan beristirahat terlalu lama,” berkata Mahisa Murti, “Jika perlu besok pun kami dapat berangkat.”

“Jangan,” berkata Witantra, “Kalian harus beristirahat untuk mengendapkan pengalaman yang baru saja kalian dapatkan dari perjalanan yang lalu. Dengan demikian maka pengalaman itu akan dapat memberikan arti yang sebesar-besarnya bagi kalian dan pengembangan ilmu kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjawab. Tetapi ayahnya berkata, “Aku sependapat dengan paman-pamanmu. Kalian memang harus beristirahat. Bukan dalam pengertian kewadagan saja. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pamanmu, kau perlu mengendapkan pengalamanmu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ayahnya berkata, “Kita akan dapat mengurangi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan memberikan arti bagi kepentingan kalian. Mungkin aku akan dapat membantu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Jika ayahnya sudah bersikap demikian, maka mereka pun tidak akan dapat berbuat lain. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menentukan tempat-tempat yang mungkin akan dapat mereka pergunakan untuk saling menunggu. Mungkin mereka akan saling memerlukan kelak.

Malam itu, Mahisa Agni dan Witantra bermalam di rumah Mahendra. Mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat di keesokan harinya sebagai dua orang perantau. Mereka sengaja mengenakan pakaian dan perlengkapan bagi perantau tua yang tidak banyak menarik perhatian.

Di keesokan harinya Mahendra tersenyum melihat keduanya siap untuk berangkat. Dengan nada datar Mahendra berkata, “Aku masih nampak lebih gagah di perjalanan, karena aku adalah seorang saudagar.”

Mahisa Agni tersenyum pula. Katanya, “Tetapi perjalanan kami tentu lebih aman daripada perjalananmu.”

“Ternyata aku juga tidak pernah diganggu orang,” jawab Mahendra.

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun mereka pun kemudian minta diri. Adalah diluar kebiasaannya, bahwa Mahisa Agni dan Witantra telah membawa tongkat. Tetapi jenis kedua tongkat itu berbeda. Tongkat Mahisa Agni adalah tongkat yang pendek setinggi lambung. Sedangkan tongkat Witantra adalah tongkat yang lebih panjang, setinggi pundaknya.

Namun seperti perjalanan Mahisa Bungalan, atau Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya pun telah membawa bekal uang. Meskipun ujud mereka benar-benar sebagai dua orang pengembara, tetapi mereka tidak akan kekurangan bekal di perjalanan. Dengan berjalan sewajarnya mereka menempuh jalan-jalan bulak yang hijau. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Keduanya benar-benar tidak menarik perhatian.

Karena itu, maka perjalanan mereka pun sama sekali tidak terganggu. Sekali-sekali mereka melalui lereng-lereng pegunungan yang mulai ditumbuhi semak-semak belukar dan pepohonan yang semakin tinggi. Hutan yang pada satu saat hampir saja menjadi gundul. Untunglah bahwa usaha itu dapat dicegah, sehingga dengan demikian maka lereng-lereng pegunungan itu masih tetap hijau.

Ternyata di sepanjang perjalanan menuju ke Kediri, keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan. Jika malam datang, maka dengan senang hati para penunggu banjar memberi tempat kepada kedua orang tua itu untuk bermalam. Bahkan mereka kadang-kadang memberi makan dan minum secukupnya kepada kedua orang tua yang nampaknya menempuh perjalanan yang sangat jauh.

“Kemana sebenarnya kalian akan pergi?” bertanya salah seorang penunggu banjar tempat kedua orang tua itu menginap.

“Kami adalah pengembara,” jawab Mahisa Agni, “Kadang-kadang kami merasa kebingungan juga, kemana kami harus pergi.”

“Apakah kau tidak mempunyai sanak kadang?” bertanya penunggu banjar itu.

“Kami memang mempunyai seorang kemenakan. Ia tinggal di Kediri. Sudah pernah kami pergi mencarinya. Tetapi kami tidak menemukannya. Kali ini kami mencoba sekali lagi. Mudah-mudahan kami dapat bertemu dengan >rang yang kami cari itu,” jawab Mahisa Agni.

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Katanya, “ya, mudah-mudahan Kalian sebenarnya sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan yang se demikian jauhnya. Tetapi kenapa kalian harus mencari kemenakan kalian?”

“Kami merasa hidup kami menjadi semakin sulit. Sawah dan ladang kami yang sempit tidak lagi dapat kami kerjakan dengan baik. Sehingga pada suatu saat kami memikirkan hidup kami yang sudah menjadi terlalu tua ini,” jawab Mahisa Agni.

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Ia merasa iba kepada kedua orang tua itu. Sehingga malam itu, Mahisa Agni dan Witantra telah mendapat suguhan makan dan minuman hangat secukupnya.

“Makanlah,” berkata penunggu banjar itu, “Tidak ada yang pantas aku suguhkan.”

Mahisa Agni dan Witantra pun mengucapkan terima kasih. Makanan dan minuman itu memang dapat menyegarkan tubuhnya setelah seharian berjalan. Menjelang pagi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah mohon diri. Mereka mengucapkan terima kasih ketika penunggu banjar itu minta mereka menunggu sampai dapat disiapkan makan pagi untuk mereka.

“Terima kasih. Sudah terbiasa bagi kami untuk tidak makan di pagi hari. Kami kadang-kadang memang hanya makan sekali sehari. Dan itu sudah terlalu cukup bagi kami.”

“Apakah kalian ingin membawa beras?” bertanya penunggu banjar itu, “Ada sejemput beras yang dapat kalian bawa. Mungkin kalian memerlukannya di perjalanan.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Witantra, “tetapi biarlah kami tidak usah membawanya. Kami masih mempunyai keyakinan bahwa kami akan mendapatkan belas kasihan di sepanjang perjalanan kami sebagaimana kami dapat sampai disini.”

Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sekali lagi ia berkata, “Mudah-mudahan kalian dapat menemukannya.”

Demikianlah maka Mahisa Agni dan Witantra meninggalkan banjar itu. Dengan nada datar Witantra berkata, “Mereka pada umumnya adalah orang-orang baik. Hampir setiap penunggu banjar menganggap bahwa orang-orang seperti kita ini harus mendapatkan pertolongan.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya menilik sikap mereka, maka di Kediri dan di Singasari akan dapat ditemukan satu suasana damai dan penuh kerukunan.”

“Namun kadang-kadang orang-orang yang berkedudukan yang membuat suasana menjadi demikian buruknya, sehingga sifat-sifat yang jernih itu tidak dapat diketemukan lagi,” sahut Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa pertentangan demi pertentangan itu telah mengusik kedamaian di Kediri dan Singasari. Demikianlah maka keduanya perlahan-lahan menjadi semakin mendekati Kota Raja di Kediri. Suasana di Kediri memang sudah menjadi wajar kembali. Semua segi kehidupan telah hampir pulih kembali.

Bekas-bekas peperangan yang dahsyat antara pasukan Pangeran Singa Narpada dan pasukan Pangeran Kuda Permati sudah tidak nampak lagi. Rumah-rumah yang hancur dan terbuka, telah berdiri lagi meskipun mungkin belum seperti yang telah rusak. Pintu-pintu gerbang yang roboh dan dinding-dinding yang runtuh, telah diperbaiki pula, sehingga Kediri telah nampak utuh kembali.

“Sisa-sisa pertentangan itu telah hampir hilang sama sekali,” berkata Witantra.

“Ya. Menilik ujud kewadagannya. Mudah-mudahan pertentangan yang membakar jantung telah menjadi padam pula,“ jawab Mahisa Agni.

“Itulah yang sulit,” berkata Witantra, “Biasanya bekas-bekas lahiriah lebih cepat dapat diatasi. Tetapi yang tersembunyi didasar jantunglah yang sulit untuk diketahui.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi kesan yang tenang dan damai seperti ini juga berpengaruh. Betapapun panasnya hati, lambat-laun akan menjadi sejuk pula.”

“Mudah-mudahan,” jawab Witantra, “Namun mungkin juga yang terjadi sebaliknya. Langkah-langkah akan diatur jika keadaan sudah menjadi tenang.”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Memang mungkin. Untuk itu maka Pangeran Singa Narpada tidak boleh menjadi lengah. Ia justru harus membentuk orang lain untuk dapat menggantikan kedudukannya pada saat-saat ia menjadi semakin tua seperti kita dan tidak dapat berbuat banyak lagi. Untunglah bahwa kita sudah meninggalkan jejak ilmu kepada anak-anak muda, meskipun segala sesuatunya tergantung kepada anak-anak itu sendiri. Tetapi mudah-mudahan yang kita miliki ini tidak akan terkubur bersama kita.”

Witantra mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa kedua orang tua itu rasa-rasanya sudah menjadi lapang, karena mereka telah mewariskan milik mereka kepada anak-anak muda.

Demikianlah maka di sepanjang jalan mereka sama sekali tidak menemukan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Jika mereka berjalan melalui pasar, maka pasar-pasar itupun telah menjadi ramai. Jika mereka melewati gardu-gardu dimalam hari, nampak anak-anak muda yang gembira bergurau didalamnya. Sementara yang lain bermain macanan atau bas-basan.

Dengan demikian, maka padukuhan-padukuhan-pun nampaknya sudah benar-benar menjadi tenang. Orang-orang yang mengambil keuntungan dari kekeruhan peperangan pun agaknya sudah tidak banyak lagi, karena anak-anak mudanya telah siap mengamankan padukuhan masing-masing. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra memang tidak langsung menuju Kediri. Mereka melingkari daerah yang panjang untuk melihat keadaan lebih banyak lagi.

Namun, agaknya pada suatu kali, mereka memang menjumpai satu keadaan yang menarik. Ketika mereka sedang berada di sebuah warung, maka tiba-tiba saja dua orang telah memasuki warung itu pula. Dua orang bertubuh tinggi besar namun keduanya juga membawa tongkat panjang. Agak lebih panjang sedikit dari tongkat yang dibawa oleh Witantra.

Kedua orang itu memperhatikan Mahisa Agni dan Witantra dengan seksama. Namun kemudian mereka duduk beberapa jengkal di sebelah Witantra. Dengan kasar keduanya minta disediakan makan dan minuman. Sementara itu, tangan-tangan mereka telah menggapai makanan yang ada di depan mereka, pada sebuah pagar bambu yang rendah.

Sekali-sekali kedua orang itu berpaling dan memandang tongkat Witantra. Namun ternyata memang ada perbedaan. Tongkat kedua orang itu adalah tongkat yang memang dibuat dengan cermat. Kayu terpilih yang dibubut rapi dan halus. Pada alas dan ujungnya terdapat selut yang berwarna tembaga. Sedangkan tongkat Witantra adalah tidak lebih dari sepotong kayu yang dihilangkan kulitnya, sehingga baik ujudnya maupun bentuknya adalah alami, sebagaimana tongkat Mahisa Agni yang lebih pendek lagi.

Namun agaknya kedua orang itu ingin tahu juga tentang dua orang tua yang membawa tongkat itu. Karena itu, salah seorang diantara mereka bertanya, “Ki sanak. Siapakah kalian berdua he?”

Witantra yang duduk lebih dekat dari merekalah yang menjawab, “Kami berdua adalah pengembara yang tidak berharga Ki Sanak.”

“O.“ orang itu mengangguk-angguk. Lalu ia masih bertanya lagi, “Tetapi sempat juga kau membeli makan, makanan dan minuman di sebuah kedai. Bukankah itu sangat berlebih-lebihan bagi kalian? Kalian dapat minta belas kasihan kepada para bebahu padukuhan atau kabuyutan. Atau jika kalian bermalam di sebuah banjar, maka biasanya kau akan mendapat makan dan minum.”

“Ya, ya Ki Sanak. Memang demikianlah yang terjadi di setiap hari. Tetapi pagi ini secara kebetulan ada dua orang dermawan yang memberi kami uang. Kami berpapasan di jalan. Dua orang berkuda itu tiba-tiba saja berhenti dan bertanya kepada kami, apakah kami sudah makan,” jawab Witantra.

“Kalian tentu menjawab belum meskipun seandainya kalian telah mendapat sepotong ketela rebus dari penunggu banjar tempat kau bermalam semalam,“ geram orang itu.

Witantra tidak menyahut. Tetapi ia menundukkan kepalanya.

“Kau tentu mendapat uang dari penunggang kuda itu. Dan sekarang dengan semena-mena kau belikan makan, makanan dan minuman. Kenapa uang itu tidak kau belikan ketela pohon saja, atau ubi jalar atau semacamnya?”

Witantra menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu beberapa saat ia justru terdiam, sementara Mahisa Agni pun tidak segera menemukan jawabnya.

Karena kedua orang pengembara itu tidak menjawab, maka orang bertongkat itu berkata, “Ternyata kalian bukan orang yang baik. Jika uang itu kau belikan ketela pohon atau ubi rambat, maka yang kau makan sekali ini, akan dapat kau jadikan bekal untuk dua atau tiga hari.”

Dalam pada itu, Witantra kemudian mencoba juga untuk menjawab, “Ki Sanak, Terus-terang, kami jarang sekali mendapat kesempatan seperti ini. Karena itu, maka biarlah kami sekali ini melakukannya. Nanti dan besok, kami berharap untuk mendapatkan belas kasihan dari orang-orang lain, khususnya para penunggu banjar yang pada umumnya selalu berbaik hati memberikan makan dan minum kepada kami.”

Orang bertongkat itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja seorang diantaranya berdiri dan mendekati Witantra. Diamatinya semangkuk nasi yang ada di depan Witantra. Sejenak orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Yang kalian makan ternyata sangat berlebihan bagi seorang pengembara.”

Witantra menjadi berdebar-debar. Dipandanginya Mahisa Agni sekilas. Namun agaknya Mahisa Agni pun sangat tertarik kepada kata-kata orang itu. Tetapi ternyata kedua orang bertongkat itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Keduanya pun kemudian justru telah sibuk dengan makan mereka sendiri.

Namun dalam pada itu, meskipun perlahan-lahan dan tidak jelas, tetapi Mahisa Agni dan Witantra sempat mendengar orang-orang itu menyebut tentang seekor kerbau bertanduk dungkul dengan kulit berwarna bule.

“Bagaimana jika kerbau yang demikian tidak didapatkannya di seluruh Kediri?” bertanya salah seorang diantara mereka.

“Tentu saja akan didapatkannya. Kediri cukup luas sehingga yang aneh-aneh sekalipun akan terdapat juga didalamnya,“ jawab yang lain.

Namun pembicaraan berikutnya, Mahisa Agni dan Witantra tidak sempat mendengarnya lagi dengan jelas, sehingga mereka tidak dapat menangkap pengertiannya. Meskipun kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah selesai, namun mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka menunggu sehingga kedua orang itulah yang lebih dahulu meninggalkan warung itu.

“Siapakah mereka?” bertanya Witantra kepada pemilik Warung itu.

Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya. “Aku tidak tahu sebelumnya. Tetapi sudah dua tiga kali ini mereka membeli makan dan makanan disini. Agaknya mereka orang yang datang dari jauh.”

“Jika demikian, dimana mereka menginap?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku tidak tahu,” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja pemilik warung itu berkata, “Tetapi sebenarnya aku sependapat dengan kedua orang itu. Jika Ki Sanak ini pengembara, maka apa yang Ki Sanak beli di warung ini memang terlalu berlebihan. Tetapi aku pun dapat mengerti, bahwa jika ada orang-orang yang baik hati memberikan uang cukup, maka sekali-sekali seseorang memang ingin makan yang lain dari kebiasaannya.”

“Agaknya memang demikian,” berkata Mahisa Agni, “Kami selama dalam pengembaraan hanya makan seadanya. Belas kasihan orang-orang yang melihat kami menginap di banjar-banjar, yang pada umumnya adalah penunggu banjar. Mereka sering memberi makan dan minum. Mungkin beberapa kerat ketela pohon ubi jalar atau bahkan nasi serta lauk-pauknya. Namun ketika beberapa orang penunggang kuda yang dermawan memberi kami uang, maka ada keinginan kami untuk makan dan minum yang berbeda dengan yang kami dapat selama ini.“

Pemilik warung itu mengangguk-angguk, Katanya, “Seperti yang sudah aku katakan, aku memang dapat mengerti keinginan kalian. Dan agaknya kalian benar-benar sudah menikmati yang kalian anggap lain itu.”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Sementara itu pemilik warung itupun berkata, “Karena itu Ki Sanak, maka biarlah apa yang sudah kalian makan dan minum, tidak usah kalian bayar. Jika kalian mendapat uang dari penunggang kuda seperti yang kalian katakan itu, biarlah uang itu kalian simpan untuk menjadi bekal dalam perjalanan kalian. He, kalian sebenarnya akan pergi ke mana? Apakah kalian mempunyai tujuan dalam pengembaraan kalian?”

“Sebenarnya kami memang tidak mempunyai tujuan. Tetapi bukan pula tidak bertujuan sama sekali. Sambil mengembara kami memang ingin menemukan seseorang. Kemanakan kami yang tinggal di Kediri. Tetapi sudah terlalu lama kami tidak berhubungan. Dalam pengembaraan kami yang terdahulu, kami tidak berhasil menemukannya. Tetapi kami masih berharap bahwa kami akan berhasil kali ini.”

“Apakah kalian mendapatkan keterangan baru tentang kemenakan kalian?” bertanya pemilik warung itu.

“Tidak. Tetapi waktu itu Kediri terasa terlalu panas karena pertentangan yang timbul. Kini agaknya Kediri telah menjadi dingin kembali,” jawab Witantra. Namun kemudian, “Tetapi Ki Sanak, bukankah makanan dan minuman ini Ki Sanak perjual belikan, sehingga rasa-rasanya janggal sekali jika Ki Sanak merelakannya kepada kami tanpa membayar sama sekali.”

“Ah sudahlah,” berkata pemilik warung itu, “Jangan kalian risaukan. Yang kalian makan dan minum tidak akan membuat aku rugi bahkan menjadi melarat.”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Kemudian Mahisa Agni pun berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Semoga untuk selanjutnya warung ini akan menjadi bertambah ngrembaka.”

“Doakan saja,” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Agni dan Witantra kemudian meninggalkan warung itu. Sebenarnya bahwa mereka tidak perlu membayarkan makanan dan minuman dari warung itu, meskipun seandainya mereka harus membayar dua tiga kali lipat, maka mereka tidak akan merasa keberatan.

Sejenak kemudian maka kedua orang itupun telah berjalan menyusuri jalan bulak yang menuju ke padukuhan sebelah. Di sebelah menyebelah tampak tanaman yang berwarna segar. Hijau bercahaya terkena sinar matahari. Namun langkah keduanya itupun tertegun ketika mereka melihat dua orang bertongkat yang mereka ketemukan didalam warung itu berdiri dibawah sebatang pohon randu. Agaknya mereka memang sedang menunggu.

”Berhati-hatilah,” berkata Witantra, “Aku memang merasa curiga kepada keduanya.”

“Apakah yang mereka kehendaki,” desis Mahisa Agni, “Satu-satunya sebab ialah karena kau juga membawa tongkat seperti mereka. Mungkin mereka ingin menelusuri apakah kita mempunyai alas ilmu yang sama meskipun dalam perkembangan menjadi berbeda.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita adalah pengembara yang bodoh dan tidak berilmu.”

Mahisa Agni tersenyum. Namun ia tidak menjawab lagi. Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang itu berjalan semakin dekat dengan kedua orang yang menunggu di pinggir jalan itu. Namun keduanya justru menjadi heran. Ternyata kedua orang itu tidak berbuat apa-apa.

Ketika Mahisa Agni dan Witantra berjalan di hadapan mereka, salah seorang diantara mereka menyapa, “He, bukankah kalian adalah orang yang kami jumpai di warung itu?”

“Ya,” jawab Mahisa Agni.

“Kalian mau kemana?” bertanya orang itu.

“Kami tidak mempunyai tujuan,” jawab Mahisa Agni.

Keduanya itu memperhatikan lagi ketika Mahisa Agni dan Witantra berjalan menjauh menyusuri jalan bulak itu.

“Kita salah duga,” berkata Witantra.

“Ya,” jawab Mahisa Agni, “Tetapi justru karena itu, mereka menjadi semakin menarik perhatian.”

“Mungkin kita masih akan bertemu lagi. Mereka berada di tempat ini secara khusus,” berkata Witantra kemudian, “bukanlah tempat ini sudah terlalu dekat dengan kota Raja.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya kedua orang itu masih berada di tempatnya. Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak berminat lagi untuk memperhatikan mereka pada saat itu. Namun keduanya seakan-akan mempunyai satu keyakinan bahwa pada suatu saat mereka akan dapat bertemu lagi.

Namun jantung Mahisa Agni dan Witantra menjadi berdebar-debar ketika mereka kemudian bertemu dengan dua orang lain lagi. Setelah mereka berjalan agak jauh, ternyata mereka telah bertemu lagi dengan dua orang yang juga bersenjata tongkat panjang.

“Kita bertemu lagi dengan orang-orang bertongkat,” berkata Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia berdesis, “Seorang diantara mereka bertubuh kecil. Orang itu mempunyai ciri-ciri sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Bungalan dan kedua adiknya.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku kira memang orang itulah yang dimaksud.”

“Mudah-mudahan orang itu tidak memancing persoalan sehingga kami harus berbuat sesuatu,” berkata Mahisa Agni.

Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi sangat berhati-hati. Sejak semula ia memang sudah sangat tertarik kepada orang yang diceriterakan oleh Mahisa Bungalan dan kedua adiknya.

Kedua orang itupun ternyata telah tertarik pula kepada Mahisa Agni dan Witantra. Bahkan keduanya ternyata ingin mengetahui serba sedikit dengan dua orang yang juga bertongkat meskipun tongkatnya berbeda dengan tongkat yang dibawanya.

Ketika jarak mereka menjadi semakin dekat, maka kedua orang bertongkat itu telah dengan sengaja menyongsong langkah-langkah Mahisa Agni dan Witantra. Beberapa langkah di hadapan mereka maka kedua orang bertongkat itupun telah berhenti.

Sejenak kedua orang itu mengamati tongkat yang dibawa oleh Mahisa Agni dan Witantra. Dengan nada datar orang yang bertubuh kecil itu bertanya, “Ki Sanak. Siapakah kalian berdua yang juga bersenjata tongkat?”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Dengan wajah tegang Mahisa Agni menjawab, “Kami sama sekali tidak bersenjata. Tongkat ini adalah sekedar untuk menopang tubuh kami yang sudah tua. Kami memotong dahan kayu yang ada di halaman. Itu saja.”

“Bagaimana jika tongkat kalian kami tukar dengan tongkat kami?“ bertanya orang itu, “Tongkat kami lebih baik dari tongkat kalian. Baik dari segi ujudnya, maupun dari manfaatnya.”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah maju sambil tersenyum, “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih.”

Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika orang itu membentaknya, “Gila. Seandainya saja. Hanya seandainya.”

Mahisa Agni dengan serta merta melangkah surut. Dengan kecewa ia berkata, “Jadi Ki Sanak tidak bersungguh-sungguh?”

“Kau memang dungu,” bentak orang yang bertubuh kecil. ”Kau sangka kami dapat melepaskan tongkat kami begitu saja.”

“Tetapi bukankah, menurut pendengaran telingaku, Ki Sanak minta tongkat kita dipertukarkan?” bertanya Mahisa Agni.

“Sekali lagi kau sebut, aku patahkan batang lehermu dengan tongkatku ini,” bentak yang seorang.

Mahisa Agni pun bergeser semakin menjauh. Wajahnya nampak ketakutan. Sementara Witantra pun melangkah surut pula.

Sementara itu, orang bertongkat itupun bertanya, “Jadi tongkat kalian bukan merupakan senjata?”

“Tidak Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak pernah membawa senjata karena aku tidak dapat mempergunakannya. Sementara itu aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan siapapun juga, sehingga aku kira, aku dan saudaraku ini tidak memerlukan senjata apapun juga,” jawab Mahisa Agni.

“Bagaimanakah jika kalian bertemu dengan orang jahat yang ingin merampas semua milik yang kau bawa?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Aku tidak membawa apa-apa. Jika ada orang yang ingin merampas apa yang kami bawa, maka kami tidak akan berkeberatan,” jawab Mahisa Agni.

Kedua orang itu masih mengamati Mahisa Agni dan Witantra, Namun kemudian orang bertubuh kecil itu berkata, “Pergilah. Jangan bertemu aku lagi. Mungkin sikapku lain kali agak berbeda.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni. Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Buat apa kau bertanya,“ jawab orang bertubuh kecil itu, ”sebut saja nama kami sekehendak hatimu. Bagi kami tidak ada bedanya sama sekali.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lagi. Tetapi bersama Witantra iapun kemudian meninggalkan kedua orang bersenjata tongkat yang masih berdiri termangu-mangu itu.

Beberapa langkah kemudian barulah Mahisa Agni berkata, “Nampaknya kedua orang ini seperguruan dengan kedua orang yang kita temui lebih dahulu. Tetapi menarik sekali bahwa mereka telah berkumpul disini. Tentu ada satu keperluan dari perguruan mereka dengan daerah ini, ternyata beberapa orang diantara mereka telah berkumpul.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apakah kita perlu mengamati mereka?”

“Untuk sementara belum. Sebaiknya kita pergi saja ke Kediri. Kita mencoba melihat, apakah benar cahaya yang memancar dari benda yang sangat berharga itu nampak diatas gedung perbendaharaan.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke Kediri. Namun pada saat yang lain kita akan dapat kembali lewat tempat ini.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Kita memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh orang-orang bertongkat itu.”

Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka ternyata akan langsung pergi ke Kediri untuk melihat cahaya teja yang memancar dari benda yang paling berharga itu.

Sementara itu, kedua orang yang bersenjata tongkat itu-pun telah meneruskan perjalanan mereka pula. Ternyata kedua orang itu memang sudah berjanji untuk bertemu dengan kedua orang yang telah menunggu dibawah pohon randu itu. Ternyata bahwa ketika keempat orang itu bertemu dan saling berbincang, mereka telah menyebut-nyebut dua orang yang juga bertongkat yang lewat di jalan itu pula.

“Pengembara yang malas itu,” berkata salah seorang dari kedua orang bertongkat yang bertemu dengan Mahisa Agni di warung.

“Aku kira tongkat itu merupakan senjata mereka,” berkata orang yang bertubuh kecil. ”Aku telah mengujinya. Ketika aku berkata bahwa aku minta tongkatnya aku tukar, ternyata dengan serta merta mereka memberikannya.”

Kawan-kawannya tertawa. Katanya, “Untunglah, bahwa mereka tidak menuntut untuk melakukan tukar menukar itu.”

“Gila. Ia tidak akan melakukannya,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Aku akan dapat membungkamnya.”

Yang lain mengangguk-angguk. Orang bertubuh kecil itu memang akan dapat melakukannya apa saja yang dikatakannya..Sementara itu, maka orang bertubuh kecil itupun kemudian berkata, “Jadi, apakah yang akan kita lakukan kemudian?”

“Sampai sekarang memang belum diketemukan seekor kerbau dungkul berkulit bule,” jawab seorang kawannya.

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku minta terlalu sulit. Seharusnya aku minta seekor kerbau dungkul saja, sehingga peti dari perak itu akan segera siap. Dengan demikian, dimana mahkota itu disimpan didalam gedung perbendaharaan akan segera dapat diketahui. Seorang diantara kita yang paling mungkin untuk memasuki gedung perbendaharaan tidak dapat melihat cahaya teja yang memancar dari benda itu. Sebaliknya, aku yang mampu melihatnya, tidak memiliki alas kemampuan untuk memasuki gedung perbendaharaan itu.”

“Bukankah kalian dapat pergi bersama-sama,” berkata salah seorang kawannya.

“Memang mungkin. Tetapi jika ada cahaya yang mirip memancar dari satu dua pusaka yang lain dan sangat sulit untuk membedakannya, maka kita akan segera mengetahui, dimana mahkota itu disimpan, sehingga kita tidak usah memilikinya lagi.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, “Jika ada cahaya itu, maka bukanlah kau sudah melihatnya.”

“Ya. Dari gedung perbendaharaan terpancar beberapa jenis cahaya. Bahkan ada yang sangat mirip, meskipun hanya pada saat-saat tertentu. Namun itu akan dapat membingungkan. Karena itu, seandainya aku tidak dapat pergi, maka seorang diantara kita yang memiliki kemampuan untuk memasuki gedung itu akan dengan segera mengetahui dimanakah mahkota itu disimpan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu salah seorang yang lain berkata, “Bagaimana mungkin kau dapat menipu Pangeran Singa Narpada yang memiliki nama yang besar. Bukan saja karena ilmunya yang tinggi, tetapi juga karena kecerdikannya yang tidak dapat diatasi oleh Pangeran Kuda Permati.”

Orang bertubuh kecil itu temangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku yakin, bahwa ilmuku tidak akan melampaui ilmu Pangeran Singa Narpada. Tetapi ia adalah seorang kesatria yang tidak pernah terpikir didalam benaknya untuk menipu orang lain. Karena itu, maka ia mempunyai anggapan demikian pula terhadap orang lain yang belum terbukti pernah menipunya. Karena itu menghadapi sikap yang licik, Pangeran Singa Narpada agaknya menjadi lengah.”

Kawan-kawan orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, “Jadi kau menyadari, bahwa yang kau lakukan itu adalah satu langkah yang licik?”

“Jika kita tidak berbuat licik, mana mungkin kita akan berhasil menguasai sesuatu yang sangat berharga itu. Betapapun besarnya perguruan kita, namun kita bukanlah trah keraton. Isi dari perguruan kita, memang bukan apa-apa dibanding dengan kekuatan Kediri. Karena itu, maka kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasi kelemahan kita. Mudah-mudahan kita berhasil, karena ternyata Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan orang-orangnya untuk mencari apa yang aku katakan.”

“Jika saja pada saat pusaka itu dibawa oleh Pangeran Singa Narpada kita sempat berkumpul,” berkata salah seorang dari mereka.

“Jika kita hanya berempat ini, maka kita tentu akan gagal,” berkata orang bertubuh kecil. ”Kekuatan mereka, empat orang yang membawa pusaka itu lebih besar dari kita berempat. Kecuali jika kita sempat menyampaikannya kepada guru dan beberapa kawan kita yang lain.”

Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Segalanya terserah kepadamu. Kau adalah orang tertua diantara saudara-saudara kita seperguruan. Jika tidak ada guru, maka kata-katamulah yang kami jadikan pegangan.”

“Baiklah,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Kita harus mengamati terus, apakah Pangeran Singa Narpada sudah berhasil mendapatkan seekor kerbau dungkul berkulit bule. Jika sudah maka akan kita perhitungkan, bahwa peti itu akan segera siap. Dan kita akan dengan mudah mengambilnya di gedung perbendaharaan dengan cara sebagaimana pernah terjadi. Ketika orang yang pernah mengambilnya lebih dahulu sudah tidak ada, maka mereka tentu tidak akan mengira, bahwa cara itu akan terulang oleh orang lain.”

“Tetapi bukanlah kita masih harus menunggu,” berkata salah seorang diantara mereka.

“Tentu. Setelah benda itu ada di tangan kita pun, kita akan menunggu. Kita tidak tahu pasti apa yang kelak akan terjadi. Tetapi api perjuangan yang pernah dinyalakan oleh beberapa orang Kediri berurutan, akan menyala terus. Yang terakhir kebetulan adalah Pangeran Kuda Permati. Namun sementara itu orang-orang diluar istana seperti kita bukannya tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan dengan benda keramat yang menjadi tempat bersemayamnya wahyu keraton itu, maka tidak mustahil bahwa yang kecil seperti kita akan dapat memegang pimpinan pemerintahan sebagaimana pernah ditunjukkan kenyataannya oleh seorang terbuang dipadang Karautan yang bernama Ken Arok, yang telah membangunkan Singasari dan menempatkan Kediri dibawah pengaruh Singasari itu,” jawab orang bertubuh kecil itu.

Saudara-saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian katanya, “Tetapi tidak baik kita berkumpul dengan ciri senjata kita yang memang agak menyolok ini. Kita sebaiknya berpisah. Jika kita bertemu seperti ini, maka kita tidak usah membawa jenis senjata yang menarik perhatian ini.”

Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Bagaimana pendapat kalian dengan kedua orang bertongkat yang lewat di jalan ini?”

Tetapi seorang yang lain menyahut, “Mereka benar-benar pengembara. Kita tidak perlu menghiraukannya.”

“Ya,” jawab yang seorang lagi. ”Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka perlu diperhatikan. Dua orang yang sudah tua itu tentu dua orang yang kesepian karena tidak mempunyai sanak kadang.”

Keempat orang itu sependapat, bahwa dua orang bertongkat yang sudah terlalu tua itu memang bukan orang yang dapat dianggap berbahaya. Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah berpisah, masing-masing berdua dengan tujuan yang tidak sama. Namun mereka ternyata tidak akan meninggalkan tempat itu terlalu jauh. Mereka akan selalu berusaha mendengar kabar, apakah Kediri telah mendapatkan seekor kerbau sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Singa Narpada.

Tetapi Pangeran Singa Narpada sendiri tidak pernah merasa gelisah karena kesulitannya untuk menemukan kerbau dungkul berkulit bule. Ia menekankan kepada kesiagaan yang tinggi atas para pengawal gedung perbendaharaan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Pangeran Singa Narpada menghentikan usahanya untuk mendapatkan seekor kerbau sebagaimana yang disebut oleh seseorang yang mengaku bernama Ki Ajar Wantingan.

Tetapi menurut pendapat Pangeran Singa Narpada, adalah tidak mutlak bahwa yang dicarinya itu akan dapat mengamankan pusaka yang sangat berharga. Yang akan terjadi hanyalah sekedar usaha agar mahkota itu tidak selalu menarik perhatian bagi orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan atas cahaya yang memancar dari benda-benda yang keramat. Namun memang sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada tidak menaruh kecurigaan sama sekali kepada Ki Ajar Wantingan, meskipun Mahisa Bungalan agak bersikap lain.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra telah berada didalam Kota Raja pula. Pada satu malam, mereka telah memerlukan untuk melihat dari luar dinding istana, apakah benar ada cahaya teja yang memancar dari benda-benda keramat didalam gedung perbendaharaan. Ketika keduanya menyaksikan sendiri, maka Witantra pun berkata, “Ternyata yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan dan kedua adiknya itu benar.”

Mahisa Agni yang juga melihat cahaya itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Memang menarik perhatian bagi mereka yang dapat menyaksikannya. Tetapi tentu bukan hanya sekarang.”

“Itulah sebabnya maka seseorang telah menggerakkan beberapa tataran untuk melakukan perlawanan terhadap Singasari. Yang terakhir adalah Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan dalam keadaan kurang lengkap kesadarannya itu,” jawab Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kita tinggal untuk sementara sambil mengamati, apakah sebenarnya masih ada sisa-sisa sikap dari Pangeran Kuda Permati di Kediri. Sementara itu, kita juga ingin mendengar apakah Pangeran Singa Narpada sudah menemukan seekor kerbau sebagaimana dikehendaki.”

“Ya. Tetapi orang-orang bertongkat itu sangat menarik perhatian,” jawab Witantra, “Sayang, bahwa kita tidak mempunyai tempat untuk tinggal di Kediri.”

“Kita dapat berada dimana saja,” desis Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi akan lebih baik bagi kita jika kita mempunyai landasan di Kediri.”

“Kita pernah berada di Kediri. Apakah tidak ada seorang pun diantara orang-orang yang pernah kita kenal yang akan dapat membantu kita?” desis Mahisa Agni.

“Soalnya adalah, siapa diantara mereka yang dapat kita percaya? Setelah beberapa lama kita tidak pernah membuat hubungan dengan mereka, tentu kita memerlukan waktu untuk mengingat-ingat,” sahut Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tidak tergesa-gesa. Kita masih mempunyai waktu cukup untuk menemukan seseorang yang kita kehendaki. Jika pada saatnya peti itu siap dan ternyata cahaya itu masih dapat kita lihat, maka orang yang menganjurkan untuk membuat peti perak itu tentu mempunyai maksud tersendiri.”

“Ya. Dan kita patut menilai maksud itu,” berkata Witantra kemudian.

Demikianlah kedua orang tua itu telah bertekad untuk tinggal beberapa lama di Kediri. Sebelum mereka menemukan tempat yang layak bagi landasan rencana mereka, maka mereka akan berada dimana saja sebagai dua orang pengembara sejati kita tidak akan tergantung kepada tempat.

Dari sehari, maka kedua orang itu memang berusaha untuk dapat berhubungan dengan seseorang yang dikenalnya dengan baik. Bukan seorang Pangeran. Bukan pula seorang Tumenggung. Tetapi justru seorang pekatik yang pernah berada di istana Mahisa Agni pada saat ia memegang kuasa Singasari di Kediri.

Pekatik yang juga sudah tua itu terkejut sekali ketika ia menyadari bahwa orang yang datang kepadanya itu adalah Mahisa Agni dan Witantra. Dua orang yang pernah dikenalnya sebagai dua orang pejabat tertinggi Singasari di Kediri. Bahkan yang kuasanya berada di sisi Sri Baginda pada waktu itu. Namun yang kedudukan itu kemudian telah dihapuskan ketika Singasari telah menganggap bahwa Kediri sudah dapat sepenuhnya dipercaya.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Agni, “Kami datang tidak dalam jabatan kami. Tetapi kami adalah pengembara yang singgah untuk mencari air.”

“Ah,” desis pekatik itu, “Jangan begitu. Tuanku berdua dapat singgah di istana.”

“Tidak,” jawab Mahisa Agni dengan serta merta. Lalu katanya, “Aku memang sedang dalam penyamaran.”

“O.“ pekatik itu termangu-mangu.

“Aku sedang bermain-main dengan satu persoalan yang ingin kami pecahkan,” berkata Mahisa Agni, “Karena itu, aku memerlukan bantuanmu. Aku ingin berada di rumah ini sebagai saudaramu.“

“Bagaimana mungkin tuanku berdua berada di rumahku yang kecil dan kotor ini?” desis pekatik itu.

“Ingat. Kami berdua adalah pengembara,” jawab Mahisa Agni, “Kami berdua memerlukan bantuanmu bagi kepentingan Kediri dan Singasari. Kami dapat berada dimana saja. Bahkan selama ini kami tidur dibawah pepohonan, diatas rerumputan kering.”

Pekatik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada tuanku, jika memang tuanku kehendaki. Apapun yang tuanku inginkan dapat tuanku lakukan disini.”

Ternyata Witantra dan Mahisa Agni dapat diterima dengan baik oleh pekatik itu. Sementara itu, pekatik itupun tahu benar maksud Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu, ketika Mahisa Agni minta agar ia memanggilnya dengan sebutan yang akrab pekatik itu berkata, “Sebenarnya memang demikian seharusnya. Tetapi rasa-rasanya sulit bagiku untuk mengucapkannya.”

“Panggil kami kakang,” berkata Mahisa Agni, “Bukankah menurut pengamatan lahiriah kami lebih tua dari padamu, meskipun mungkin umur kita hampir bersamaan.”

“Baiklah,” berkata pekatik itu, “Tetapi hendaknya jangan kelak kena kutuk karena aku telah berani memanggil tuanku berdua dengan sebutan kakang.”

“Kamilah yang menghendakinya,” berkata Witantra, “Dan sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang kebanyakan yang tidak akan dapat membuat orang lain mengalami kesulitan.”

Dengan demikian maka Witantra dan Mahisa Agni telah berada di tempat pekatik itu pula, sebagaimana pernah mereka lakukan sebelumnya dalam penyamaran dan pengembaraan, meskipun pada orang yang berbeda.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa betapapun sulitnya, akhirnya usaha Pangeran Singa Narpada untuk menemukan seekor kerbau dungkul berkulit bule itupun berhasil. Ketika kerbau itu kemudian dibawa ke alun-alun, maka orang-orang di sekitarnya telah berkerumun untuk melihat seekor kerbau yang jarang ada itu. Bahkan mungkin di seluruh Kediri tidak dapat diketemukan genap lima ekor kerbau yang bertanduk dungkul dan berkulit bule.

Dengan satu upacara khusus maka kerbau yang jarang sekali terdapat itu, terpaksa dikorbankan untuk memenuhi nasehat seorang yang bersikap sangat baik kepada Pangeran Singa Narpada, yang dikenalnya dengan nama Ki Ajar Wantingan.

Meskipun Pangeran Singa Narpada tidak meletakkan segenap usaha pengamanan kepada ketiadaan cahaya yang dapat memancar dari benda yang paling berharga itu dengan menempatkannya didalam sebuah peti perak berlapis kulit kerbau yang jarang sekali terdapat itu, namun Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menaruh kecurigaan, bahwa ada maksud tertentu pada orang yang bersikap sangat baik itu.

Namun demikian, Pangeran Singa Narpada telah berusaha memenuhi nasehat itu yang mungkin memang akan dapat membantu mengamankan benda yang memang sangat berharga bagi Kediri itu.

Peristiwa yang termasuk aneh itu ternyata telah diikuti oleh beberapa pihak. Pangeran Singa Narpada tidak berhasil merahasiakan usahanya untuk melakukan pengamanan itu dengan diam-diam, karena sejak kerbau itu memasuki pintu gerbang, ternyata telah banyak sekali, menarik perhatian orang. Namun tidak banyak diantara mereka yang mengetahui, maksud sebenarnya dari Pangeran Singa Narpada yang telah mengorbankan kerbau dungkul berkulit bule itu.

Sebagian dari orang-orang Kediri itu menganggap bahwa korban kerbau dungkul itu dimaksud untuk menghindarkan Kediri dari perang saudara yang dapat merenggut jiwa yang tidak terhitung jumlahnya. Apalagi mereka itu adalah putra-putra terbaik dari Kediri. Namun diantara mereka beberapa orang dari sebuah perguruan telah mengikuti perkembangan keadaan itu dengan saksama. Beberapa orang diantara mereka telah melihat di alun-alun pada saat kerbau itu dikorbankan.

“Kita akan segera memastikan bahwa mahkota itu akan berada didalam sebuah peti yang dibuat dari perak dan dilapisi dengan kulit kerbau yang dikorbankan itu. Kasihan. Binatang yang langka,” berkata seorang yang bertubuh kecil.

“Kau yang bersalah,” berkata kawannya, “Sebenarnya kau dapat menyebut yang lain. Seekor kerbau bule saja misalnya, atau apapun yang lebih banyak terdapat di Kediri daripada seekor kerbau dungkul berkulit bule.”

“Tetapi aku sudah terlanjur menyebutnya,“ jawab orang bertubuh kecil yang ternyata telah meninggalkan tongkatnya di penginapannya. Lalu, “Tetapi sudahlah. Ternyata Pangeran Singa Narpada telah berhasil mendapatkannya. Semakin sulit syarat itu didapatkannya, maka dianggapnya bahwa syarat itu akan semakin berarti.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi. Yang penting bagi mereka adalah mengikuti perkembangan usaha Pangeran Singa Narpada untuk membuat sebuah peti yang cukup besar dari perak dan dilapisi kulit kerbau yang dikorbankan itu.

Tetapi selain sekelompok murid dari sebuah perguruan itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah mengikuti perkembangan keadaan. Sekali lagi mereka memperhatikan cahaya teja yang terdapat di gedung perbendaharaan dari benda-benda yang paling berharga. Jika peti itu siap dan salah satu dari cahaya teja itu lenyap, maka apa yang dikatakan oleh orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan itu benar-benar petunjuk yang sangat berarti. Tetapi jika ternyata tidak, maka tentu ada maksud yang lain dari orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan itu.

Namun mereka tidak dapat mengetahui dengan segera. Mereka harus menunggu kapan peti dan lapisannya itu siap. Pangeran Singa Narpada tentu tidak akan mengemukakan, bahwa ia telah menyimpan benda yang paling berharga itu didalam sebuah peti untuk menyerap cahaya tejanya, karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra harus berusaha mencari berita, apakah benda itu memang sudah disimpan.

Ternyata apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra tidak banyak berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh murid-murid dari sebuah perguruan yang ternyata juga menginginkan mahkota yang dianggap menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton itu, sehingga siapa yang memilikinya akan dapat menjadi pemegang Wahyu Keraton itu pula, dan akan dapat pada suatu saat menjadi raja atau menurunkan raja-raja di Kediri.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada memang sudah memerintahkan untuk membuat sebuah peti dari perak yang kemudian akan dilapisi oleh kulit kerbau yang jarang sekali terdapat di Kediri itu.

Bagaimana juga rahasia itu disimpan, namun ternyata bahwa terbetik juga berita yang dapat ditangkap oleh Mahisa Agni dan Witantra lewat pekatik yang memberikan tempat tinggal kepada mereka, tetapi juga didengar oleh orang-orang yang memang telah menjerumuskan Pangeran Singa Narpada.

“Kotak itu sudah jadi,” berkata seseorang kepada orang yang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu, “Kulit kerbau itupun telah kering dan siap dipasang.”

“Kita akan menunggu beberapa hari lagi,” berkata orang bertubuh kecil, “usahakan untuk mendengar perkembangan keadaan.”

Dalam pada itu, pekatik yang masih juga bekerja di istana itupun mendengar juga bahwa kotak yang terbuat dari perak itu sudah selesai. Bahkan kulit kerbau itupun telah dipasang pula untuk melapisinya.

“Tetapi kemudian peti yang sudah dilapisi itu telah berada kembali di tangan Pangeran Singa Narpada,” kata pekatik itu. Lalu katanya, “Tidak seorang pun tahu, apa yang akan dilakukan dengan peti perak dan kulit kerbau itu.”

Mahisa Agni dan Witantra hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi kepada pekatik itu mereka tidak mengatakan, apakah gunanya peti perak dan kulit kerbau dungkul berkulit bule itu. Untuk meyakinkan kebenaran petunjuk tentang peti yang berlapis kulit kerbau itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah menunggu pula untuk beberapa lama. Ketika pada suatu malam mereka melihat gedung perbendaharaan, maka cahaya teja yang pernah dilihatnya itu masih tetap nampak.

“Mungkin Pangeran Singa Narpada masih belum mempergunakan peti itu,” berkata Mahisa Agni.

“Mungkin,” jawab Witantra, “Karena itu, kita akan menunggu lagi beberapa lamanya.”

Namun pekatik itu tiba-tiba pada suatu saat berkata kepada Mahisa Agni dan Witantra, “Menurut pendengaranku dari orang-orang di lingkungan istana dan yang bertugas membersihkan Gedung Perbendaharaan, bahwa peti-perak itu berada di gedung perbendaharaan.”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.”

“Tetapi buat apa sebenarnya tuanku, eh, kakang memperhatikan peti perak itu?” bertanya pekatik itu.

Mahisa Agni lah yang menjawab, “Tidak apa-apa. Tetapi peti itu sangat menarik perhatianku.”

Tetapi pekatik itu tersenyum. Meskipun ia sekedar seorang pekatik, tetapi ia bukannya orang yang dungu. Karena itu maka katanya, “Tuanku tentu merahasiakan sesuatu. Tetapi baiklah. Aku percaya bahwa setiap usaha tuanku tentu mengarah kepada sesuatu yang baik bagi Kediri.”

“Panggil aku kakang,” berkata Mahisa Agni.

“Ya. Maksudku memang demikian,” jawab pekatik itu.

Namun dengan keterangan itu, maka Mahisa Agni dan Wintantra telah mengulangi penglihatannya. Namun ternyata bahwa mereka masih melihat cahaya teja yang pernah dilihatnya itu. Merekapun yakin, bahwa orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan akan dapat mengetahui bahwa di gedung perbendaharaan itu masih terdapat beberapa pusaka yang keramat, diantaranya adalah tempat bersemayam Wahyu Keraton.

Bagi orang yang tidak dapat mengenali cahaya itu, akan segera mengetahui bahwa benda yang sangat berharga itu berada di sebuah peti perak yang dilapisi oleh kulit seekor kerbau. Kulit kerbau apapun juga, akan mudah dibedakannya.

Tiba-tiba saja Mahisa Agni itupun berkata, “Jika Pangeran Singa Narpada memenuhi anjuran orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan, bukankah itu berarti bahwa Pangeran Singa Narpada telah menempatkan benda yang paling berharga itu di tempat yang siap untuk diambilnya?”

“Jika orang-orang seperti Ajar Wantingan itu sendiri yang memasuki Gedung Perbendaharaan, maka ia tidak memerlukan tempat seperti itu, karena ia akan segera mengetahui, dimanakah dan yang manakah pusaka yang sangat berharga itu,” sahut Witantra.

“Jika orang lain yang melakukannya?” sahut Mahisa Agni. “Pada kesempatan yang terdahulu, Pangeran Lembu Sabdata ikut melibatkan diri, sehingga sebagai seorang Pangeran, maka ia tentu banyak mengenal letak dan ujud dari benda yang diinginkan. Karena itu, maka dengan bekal keterangan daripadanya, maka benda itu dapat diambil dari Gedung Perbendaharaan. Tetapi tanpa petunjuk apapun, seseorang yang memang belum mengetahuinya dan tidak memiliki ketajaman penglihatan akan sulit untuk dengan cepat menemukannya.”

Witantra mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku mengerti. Agaknya maksud orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan itu memang demikian, meskipun aku tidak mutlak menuduhnya.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Sesuatu yang sangat menarik.”

Dalam pada itu, bahwa peti yang terbuat dari perak berlapis kulit seekor kerbau dungkul berkulit bule telah berada di Gedung perbendaharaan, telah di dengar pula oleh orang-orang bertongkat yang dipimpin orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan. Dengan segera mereka-pun telah mengadakan pembicaraan tentang langkah-langkah akan mereka ambil.

“Mahkota itu tentu telah berada di dalam peti itu,” berkata orang bertubuh kecil itu.

“Ya. Satu kesempatan sudah terbuka,” sahut yang lain.

“Tetapi kita jangan tergesa-gesa. Menurut pengamatan orang-orang yang dapat kita percaya, meskipun mereka tidak menyadari, namun mereka telah memberikan beberapa keterangan tentang penjagaan atas gedung perbendaharaan itu. Agaknya masih ada kecemasan di hati Pangeran Singa Narpada, sehingga penjagaan di Gedung Perbendaharaan itu masih terlalu kuat,” berkata orang bertubuh kecil itu.

Namun demikian seorang kawannya tersenyum sambil menjawab, “Kita akan memberikannya kepada Kerbau dungkul kita. Ia tidak akan dapat dicegah oleh penjagaan yang betapapun kuatnya sebagaimana pernah terjadi. Ia memiliki ilmu sirep yang sangat kuat. Jauh lebih kuat dari ilmu orang yang menyebut dirinya Ajar Bomantara itu. Meskipun ada juga Senapati yang bertugas, tetapi ia tidak akan terlepas dari kekuatan sirep itu. Kecuali jika Pangeran Singa Narpada sendiri yang berada di Gedung perbendaharaan, mungkin ia akan dapat lolos dari pengaruh sirep itu.”

“Kita memang akan menghubungi paman Kebo Sarik,” berkata orang bertubuh kecil. ”Jangan hinakan paman kita itu dengan istilah-istilah yang menyakitkan hati. Ia adalah adik seperguruan guru kita, yang memiliki kemampuan sebagaimana guru kita. Seandainya terpaut serba sedikit, itu adalah wajar karena ia lebih muda dari guru kita.”

“Maaf, aku agak terlanjur menyebutnya,“ jawab saudara seperguruannya, “Tetapi ujudnya memang mengingatkan kita kepada seekor kerbau. Aku kira paman Kebo Sarik tidak akan marah meskipun kau berkata seperti itu di hadapannya.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kita harus kembali ke Parang Gantungan, atau ke Parang Wedang untuk menemuinya.”

“Guru akan memerintahkannya menemui kita. Kita akan mencarinya di sekitar Hutan Wentar sebagaimana yang pernah guru katakan,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Mudah-mudahan paman sudah datang.”

“Apakah kira-kira paman bersedia,” bertanya seorang diantara adik-adik seperguruannya itu.

“Jika guru memerintahkannya,“ jawab orang bertubuh kecil itu.

“Tetapi paman bukannya orang yang rajin. Ia seorang pemalas meskipun sebenarnya ia memiliki ilmu yang sangat tinggi sebagaimana guru sendiri,” berkata yang lain lagi.

Tetapi saudara seperguruannya yang lebih tua berkata, “Ia akan datang. Kita akan mengatakan kepada paman, bahwa tugasnya telah menunggu.”

Orang bertubuh kecil itu kemudian berkata, “Ya. Paman akan memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil peti yang terbuat dari perak itu. Meskipun paman tidak memiliki ketajaman penglihatan batin yang akan dapat melihat cahaya teja yang memancar dari benda yang sangat berharga itu, namun ia akan dapat langsung menemukan peti yang kita perlukan itu.”

“Bukankah kau akan dapat menyertainya?” bertanya salah seorang saudara seperguruannya.

“Memang mungkin. Tetapi semakin banyak orang yang memasuki halaman istana, maka kemungkinan untuk dapat diketahui menjadi semakin besar pula,” jawab orang bertubuh kecil itu, “Tetapi kita akan berbicara dengan paman. Apakah ia akan sendiri memasuki halaman istana atau ia memerlukan seorang kawan. Paman dan aku sama-sama belum mengenali isi istana itu. Lorong-lorong dan longkangan-longkangan serta bangsal-bangsal yang ada. Yang aku ketahui, dan yang juga akan dapat diketahui oleh paman, adalah keterangan-keterangan tentang itu. Dan aku yakin, sebagaimana aku dan kalian, maka paman tentu akan dapat mengenalinya jika ia mendapat kesempatan untuk memasuki halaman istana itu.”

Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Lalu seorang diantara mereka berkata, “Jika demikian, kita akan pergi ke Hutan Wentar. Mudah-mudahan kita akan dapat menemuinya.”

Dengan demikian, maka keempat orang itupun telah siap untuk pergi ke Hutan Wentar. Sementara itu, orang bertubuh kecil itu tidak mencemaskan bahwa mahkota yang akan diambilnya itu telah diambil lebih dahulu oleh orang lain.

Pada saat keempat orang itu meninggalkan daerah perbatasan Kota Raja Kediri, maka dua orang anak muda justru telah memasuki Kota Raja. Adalah diluar dugaan, bahwa ketika mereka berada di sebuah kedai, dua orang justru sedang membicarakan empat orang bertongkat yang berjalan beriringan.

“Tongkat mereka panjang?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.

“Ya. Tongkat mereka terlalu panjang,” jawab orang itu.

Sementara pemilik kedai itupun menyahut, “Dua diantaranya sering datang dan makan dikedai ini dengan tongkat-tongkat mereka. Tetapi ketika kemudian mereka datang berempat, mereka tidak lagi membawa tongkat-tongkat panjang mereka.”

“Kenapa?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.

“Aku tidak tahu,“ pemilik warung itu menggeleng.

Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian salah seorang diantara mereka berbisik, “Mereka tidak ingin menarik perhatian. Jika keempat-empatnya membawa tongkat panjang, maka akan segera diketahui, bahwa mereka adalah sekelompok orang dari satu perguruan.”

“Tetapi ketika mereka meninggalkan tempat ini, mereka juga membawa tongkat-tongkat mereka,” sahut yang lain.

“Tidak ada kemungkinan lain. Mereka tentu tidak akan meninggalkan tongkat-tongkat mereka, karena tongkat-tongkat mereka itu adalah senjata mereka,” jawab yang lain.

Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak membicarakannya lagi. Ketika kedua orang anak muda itu kemudian meninggalkan kedai itu, maka seorang diantaranya berkata, “Kita akan langsung mencari paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Mungkin keduanya menaruh perhatian atas keempat orang pembawa tongkat panjang itu.”

Demikianlah, maka sebagaimana dikatakan, kedua anak muda itu telah memasuki Kota Raja Kediri dan berusaha untuk mencapai tempat yang sudah dijanjikan. Ketika mereka belum menemukan Mahisa Agni dan Witantra di tempat itu, maka keduanya telah menunggu.

“Sampai kapan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Setiap saat kita datang ke tempat ini,” jawab Mahisa Murti, “Kita tidak harus selalu berada disini. Memang mungkin kita berselisih waktu. Pada saat kita datang kedua paman itu baru saja meninggalkan tempat ini atau sebaliknya. Tetapi pada suatu saat kita tentu akan bertemu.”

Sebenarnyalah keduanya tidak perlu menunggu terlalu lama. Di hari berikutnya, ketika kedua orang anak muda itu mengawasi tempat yang mereka janjikan untuk bertemu dengan Mahisa Agni dan Witantra dari tempat yang agak jauh, mereka telah melihat dua orang tua berjalan melewati tempat itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikuti Mahisa Agni dan Witantra ke rumah pekatik yang telah memberi kesempatan kedua orang tua itu tinggal selama mereka berada di Kediri. Di rumah pekatik itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berceritera tentang keempat orang bertongkat yang meninggalkan daerah perbatasan.

“Mereka pergi kemana?” bertanya Mahisa Agni.

“Itulah,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekat.

“He, kau sudah datang,” desis Witantra.

“Aku sudah sehari disini,” berkata Mahisa Pukat.

“Marilah, ikut kami. Kami tinggal di rumah seorang sahabat yang baik.” Ajak Witantra.

“Tidak seorang pun yang mengetahuinya,“ jawab Mahisa Murti.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kepergian keempat orang itu justru menjadi teka-teki baginya.

“Mungkin tugas mereka sudah selesai,” berkata Witantra.

“Tugas yang mana?” bertanya Mahisa Agni.

“Mereka hanya bertugas untuk berusaha agar benda yang sangat berharga itu ditempatkan pada satu tempat yang mudah dikenal. Sementara itu akan ada petugas lain yang datang untuk mengambilnya,” jawab Witantra.

“Memang masuk akal,” berkata, Mahisa Agni kemudian, “tetapi apakah mereka pergi begitu saja dan tidak akan ikut campur dalam usaha pengambilan benda berharga itu? Atau mereka memang bermaksud baik. Mereka benar-benar ingin membantu Pangeran Singa Narpada, agar mahkota itu tidak terlalu menarik perhatian. Tetapi usaha itu tidak berhasil, sehingga dengan demikian maka mereka pun tidak lagi merasa mempunyai tugas apapun lagi.”

“Banyak kemungkinan dapat terjadi,” sahut Witantra, “Tetapi sebaiknya kita tetap berhati-hati. Kita dapat saja mencurigai langkah-langkah seseorang meskipun akhirnya ternyata bahwa kitalah yang keliru.”

“Jadi bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya Mahisa Agni.

“Kita ikut mengawasi gedung perbendaharaan itu,“ jawab Witantra, “Kita sudah mengetahui letaknya dan kita mengetahui kemungkinan yang paling besar, jalan yang akan dilalui seseorang apabila ia ingin memasuki istana dan menuju ke Gedung Perbendaharaan.”

“Paman sudah mengetahui letak bangsal-bangsal di istana Kediri?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku dan paman Mahisa Agni pernah berada di Kediri dalam tugas kami yang berat. Karena itu, maka kami serba sedikit dapat mengetahui tentang istana Kediri,” jawab Witantra.

“Tetapi apapun kita tidak usah menyampaikan kepada Pangeran Singa Narpada?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita menunggu perkembangan keadaan,” jawab Mahisa Agni, “Mungkin kitalah yang salah menilai.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan menunggu perkembangan keadaan.”

“Namun sementara ini, kita akan selalu mengawasi jalan yang menuju ke Gedung Perbendaharaan itu. Maksudku, jalan yang paling mungkin dilalui dengan diam-diam, diluar pengamatan atau kemungkinan pengamatan yang paling kecil dari para pengawal,” berkata Mahisa Agni.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra dan kedua orang kakak beradik itu sudah menempatkan diri mereka dibawah tugas yang mereka letakkan di pundak mereka sendiri. Namun menurut perhitungan mereka, jika seseorang ingin memasuki Gedung Perbendaharaan Istana itu, maka tentu akan dilakukannya dimalam hari. Dengan demikian maka bagi Mahisa Agni, pengawasan yang paling cermat justru harus dilakukan pada malam hari.

“Kita akan mengamati Gedung Perbendaharaan itu di malam hari,” berkata Mahisa Agni, “Kita akan membagi diri menjadi dua kelompok. Aku dengan Mahisa Murti dan Witantra dengan Mahisa Pukat. Kita akan berganti-ganti melakukan tugas pengamatan itu, sehingga kita tidak akan menjadi terlalu letih. Meskipun kita berempat akan berada di satu tempat, tetapi yang bertugas akan kita tentukan bergantian.”

Witantra sependapat dengan Mahisa Agni, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah membagi hari-hari yang akan mereka lalui dengan tugas yang mereka sandang atas kehendak mereka sendiri.

Beberapa hari hal itu telah mereka lakukan. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai peristiwa yang menarik perhatian. Namun pada hari-hari berikutnya, keempat Orang itu merasa bahwa seseorang telah melihat kehadiran mereka dan mengawasinya.

“Apakah kita perlu berbuat sesuatu atasnya?” bertanya Mahisa Murti yang sedang bertugas bersama Mahisa Agni.

“Jangan,” jawab Mahisa Agni, “Biarlah terjadi sesuatu. Baru kita tahu, apa yang akan dilakukannya.”

Sementara itu, orang yang sedang mengawasi mereka itupun tidak pula berbuat apa-apa, sehingga untuk sementara mereka saling berdiam diri dan tidak mengambil langkah-langkah apapun juga. Ternyata Witantra pun telah mencegah Mahisa Pukat untuk mengamati orang itu dekat lagi.

“Kita harus berhati-hati,” berkata Witantra, “Bukankah kita tidak akan berbuat jahat dan tidak akan memasuki Gedung Perbendaharaan? Dengan demikian, maka tidak akan ada orang yang bertindak atas kita, karena kita tidak berbuat apa-apa disini.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi iapun sudah bersiaga. Seandainya ada juga orang yang berbuat apa-apa, maka ia sudah siap menghadapinya.

Ternyata dari hari ke hari mereka tidak menemui persoalan yang penting selain malam yang dingin dan angin yang basah bagaikan meresap sampai ke tulang. Sekali-sekali mereka masih melihat seseorang yang kadang-kadang bergerak dengan cepat melintas dalam jarak pengamatan. Tetapi orang itupun tidak berbuat apa-apa sebagaimana keempat orang itupun tidak berbuat apa-apa juga.

Sementara itu, keempat orang bertongkat yang pergi ke Hutan Wentar ternyata telah sampai ketujuan. Setelah berada beberapa saat di hutan Wentar, ternyata mereka telah menemukan orang yang mereka cari.

“Paman,” berkata orang yang bertubuh kecil. ”Aku sudah berhasil membujuk Pangeran Singa Narpada untuk menempatkan pusaka itu di sebuah peti dari perak.”

“Dan kau berharap mengambilnya,” sahut seorang yang bertubuh gemuk dan berambut panjang terurai dibawah ikat kepalanya berjuntai dengan kasar sampai ke bahunya.

“Ya paman,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Anak-anak dungu,“ geram orang bertubuh gemuk itu, “Ternyata kalian adalah anak-anak yang tidak berarti sama sekali. Umur kalian yang semakin tua itu tidak menumbuhkan kemampuan didalam diri kalian selain kesombongan dan ketamakan saja.”

Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, “Paman jangan menganggap kami masih terlalu bodoh. Kami sudah menjadi semakin tua paman. Dan pengalaman kami pun telah menjadi cukup panjang.”

“Tetapi kalian masih memerlukan aku untuk mengambil benda itu,“ jawab pamannya, “Jika bukan gurumu yang memerintahkan aku kemari, aku sebenarnya sangat segan melakukannya. Bukan karena aku merasa takut. Tetapi cara begini akan membuat kalian tetap manja dalam umur kalian yang semakin tua. Bahkan rambut kalian sudah mulai ubanan.”

“Paman,” berkata orang bertubuh kecil itu mewakili saudara-saudara seperguruannya, “paman memang mempunyai kelebihan dari kami di samping kekurangan paman.”

“Kekurangan?” mata orang bertubuh gemuk itu terbelalak. ”Kau menganggap bahwa padaku masih terdapat kekurangan?”

“Ya, sebagaimana kami masih belum menguasai benar-benar ilmu sirep, paman pun tidak mempunyai ketajaman penglihatan atas cahaya-cahaya gaib dari benda-benda yang keramat dan bertuah.”

“Apa artinya cahaya-cahaya gaib itu?“ geram orang bertubuh gemuk.

“Karena itulah maka paman harus mendapat petunjuk. Benda yang harus paman ambil berada di sebuah peti perak berlapis kulit. Kulit apapun itu tidak penting. Tetapi diantara benda-benda yang ada, yang berada di peti perak itulah yang paling harga. Karena didalam peti itulah Wahyu Keraton bersemayam,” sahut orang bertubuh kecil itu.

“Persetan,“ geram orang bertubuh gemuk itu, “Kalian masih juga dapat menyombongkan diri. Tetapi baiklah. Aku akan menolong kalian karena guru kalian juga akan datang kemari. Jika aku tidak melakukannya, kakang itu tentu akan marah kepadaku.”

Orang bertubuh kecil itu tidak peduli apapun alasannya. Tetapi yang penting baginya pamannya itu bersedia mengambil benda yang sangat berharga itu di Gedung Perbendaharaan.

“Tetapi apakah paman akan memasuki Gedung itu sendiri, atau memerlukan satu dua orang kawan?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Kau mulai menghina aku lagi,“ geram orang gemuk itu, “Sejak kapan aku memerlukan kawan dalam satu tugas betapapun beratnya?”

Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Demikian pula adik-adik seperguruannya. Namun mereka mendapat satu keyakinan bahwa pamannya benar-benar akan melakukannya. Karena itu, maka mereka tidak mempersoalkannya lagi.

Tetapi yang kemudian ditanyakan oleh orang bertubuh kecil itu adalah, “Kapan guru akan datang?”

“Aku tidak tahu waktunya,” berkata orang gemuk itu, “Tetapi gurumu akan datang?”

“Baiklah paman. Jika demikian maka semua persoalan sudah menjadi jelas. Namun demikian, agaknya paman tidak usah tergesa-gesa. Kita mempunyai kesempatan untuk beristirahat serta mempersiapkan segala sesuatu yang perlu,” berkata orang yang bertubuh kecil itu. “Dalam tiga empat hari kita sempat tidur nyenyak sambil menunggu guru.”

Dengan demikian, maka orang-orang itupun sempat berbicara tentang istana. Tentang letak Gedung Perbendaharaan dan tentang orang-orang yang tidak menyadari, telah diperalat untuk memberikan beberapa keterangan tentang keadaan istana itu. Tetapi ternyata guru orang-orang bertongkat itu tidak segera datang, sehingga orang bertubuh gemuk itu pada suatu hari berkata, “Bagaimana jika gurumu tidak jadi datang?”

“Apakah paman sanggup melakukan sebelum guru hadir?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Sekali lagi kau menghina aku, aku akan kembali ke Padepokan,“ geram orang gemuk itu.

“Kenapa aku menghina?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Kau menganggap bahwa yang dapat aku lakukan sangat tergantung kepada gurumu,” jawab orang itu.

“Bukan maksudku paman,” jawab orang bertubuh kecil itu, “Tetapi jika paman akan melakukannya kami pun tidak berkeberatan.”

“Kalian mau apa?” bertanya orang gemuk itu.

“Setidak-tidaknya kami dapat membantu paman diluar dinding istana. Jika paman sudah berhasil, maka kami berempat akan dapat menemani paman menyusuri jalan-jalan Kediri, karena kami mengenali jalan-jalan di Kediri seperti mengenali halaman rumah kami sendiri,” jawab orang bertubuh kecil itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.