PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 33
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 33
Karya Singgih Hadi Mintardja
TATAS LINTANG dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu pun saling berpandangan sejenak. Bukan kebiasaan pemilik kedai itu bersikap demikian ramahnya. Sebagai penjual makanan pemilik itu memang banyak tersenyum. Tetapi tidak melampaui kewajaran. Bahkan keempat orang itu di anggap sebagai orang-orang yang tidak banyak memberikan keuntungan kepadanya, sehingga sikapnya kepada keempat orang itu terasa agak dingin. Namun tiba-tiba sikap itu telah berubah sama sekali.
“Apakah yang Ki Sanak inginkan? Minuman panas? Wedang sere atau wedang jahe? Masih ada beberapa jenis makanan yang sengaja kami simpan, karena kami sudah menduga bahwa kalian akan datang ke warung kami,” berkata pemilik kedai itu.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu justru menjadi canggung. Namun mereka pun kemudian duduk juga di amben panjang itu. Ternyata sebagaimana yang dikatakan, pemilik kedai itu sudah mengambil beberapa jenis makanan yang disimpannya. Kemudian dihidangkannya kepada keempat orang yang baru saja duduk di amben panjang itu.
Memang merupakan satu sikap yang terasa asing bagi keempat orang itu. Sehingga karena itu maka mereka berempat terpaksa menduga-duga apakah sebabnya. Tetapi minuman hangat memang telah menggoda mereka. Karena itu maka Mahisa Pukat tidak memikirkannya lebih lanjut. Iapun kemudian berpesan, “Beri kami wedang jahe saja.”
“Baik Ki Sanak. Kami akan menyediakannya,“ jawab pemilik kedai itu.
Namun pemilik kedai itu, maupun Tatas Lintang beserta ketiga orang kemanakannya itu terkejut ketika tiba-tiba saja seorang di antara para tamu itu telah bertindak kasar. Sebelum pemilik kedai itu sempat melangkah menyediakan minuman panas, maka seorang di antara para tamu telah bangkit berdiri dan mengambil makanan yang disediakan bagi Tatas Lintang dan ketiga orang kemanakannya.
“Ki Sanak,“ berkata pemilik kedai itu, “makanan itu memang kami sediakan bagi keempat tamuku itu.”
“Persetan,“ geram tamu yang mengambil makanan itu, “kau sangka derajatnya lebih tinggi dari derajatku. Kenapa bukan aku yang kau tunggu dan makanan itu tidak kau sediakan untuk aku.”
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ki Sanak. Aku tidak tahu bahwa Ki Sanak akan datang kemari, sehingga karena itu, maka aku tidak menyediakannya untuk Ki Sanak.”
“Persetan,“ bentak orang itu, “tetapi kau lihat bahwa aku sekarang sudah ada di sini. Aku datang lebih dahulu dari orang itu.”
Pemilik kedai itu memandang wajah Tatas Lintang sejenak. Namun Tatas Lintang masih belum berbuat apa-apa. Karena itu, pemilik kedai itu dengan sengaja telah memancing agar Tatas Lintang melibatkan dirinya ke dalam persoalan itu. Katanya,
“Ki Sanak. Jika aku menyediakan hidangan untuk keempat orang ini karena keempat orang ini adalah orang-orang yang paling terhormat di padukuhan kami. Kebetulan bahwa aku tinggal sepadukuhan dengan keempat orang itu. Setelah kedai ini tutup, maka aku pun telah pulang ke padukuhan yang sama dengan padukuhan mereka.”
“Kenapa orang itu paling terhormat di padukuhanmu? Apakah salah seorang di antara mereka, atau yang tertua di antara mereka itu Bekel dari padukuhanmu.”
“Bukan,“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”
Tatas Lintang terkejut. Dengan serta merta ia menyahut, “Siapa yang mengatakan kepadamu tentang hal itu?”
“Orang yang bertubuh tinggi kekar yang selalu mengaku menggarap tanah orang.“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi ia mengeluh bahwa ia telah terbentur kepada kelebihan kalian berempat, sehingga orang itu sudah menyatakan tidak akan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya itu.”
Tamu yang kasar itu mengangguk-angguk sambil mengeram, “O, jadi keempat orang ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga kau menjadi ketakutan dan memperlakukan mereka sebagai tamu yang paling terhormat he?”
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Sementara itu Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu duduk termangu-mangu.
“Baik,“ berkata tamu itu, “jika demikian maka aku akan mengembalikan makanan ini.”
Hampir di luar dugaan. Tiba-tiba saja orang itu telah melemparkan tambir kecil tempat makanan itu ke arah Tatas Lintang yang duduk termangu-mangu. Namun Tatas Lintang yang melihat tambir itu terlontar ke arahnya dengan tangkas telah bergeser ke samping. Sementara itu Mahisa Murti yang duduk di sebelah Tatas Lintang pun bergeser pula mendesak Mahisa Pukat, sehingga Mahisa Pukat-pun telah mendesak Mahisa Ura.
Sebenarnyalah orang-orang yang berada di dalam kedai itu terkejut. Ternyata tambir yang berisi makanan itu berdesing seperti gasing. Karena tambir yang berputar dan melayang itu tidak menyentuh Tatas Lintang, maka tambir itu telah mengenai dinding warung itu.
Jantung pemilik kedai itu rasa-rasanya telah berhenti berdenyut ketika ia melihat tambir itu telah membentur dinding warungnya yang terbuat dari kayu, memecahkannya dan meluncur keluar membentur sebatang pohon. Betapa kecut hati pemilik warung itu, ketika ternyata pohon itupun telah terguncang meskipun tambir itu tertahan karenanya. Namun adalah di luar nalar, bahwa tambir yang terbuat dari anyaman bambu itu telah menancap dan mengiris hampir seperempat dari batang-batang pohon itu.
Tatas Lintang pun kemudian menyadari, bahwa orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus berhati-hati menghadapinya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, maka mereka pun telah bersiaga sepenuhnya. Hampir serentak mereka bangkit berdiri menghadap ke arah orang yang telah melemparkan tambir bambu itu.
“Luar biasa,“ desis Tatas Lintang, “kau telah melakukan satu permainan yang luar biasa. Dengan anyaman bambu kau mampu menebang sebatang pohon yang besar.”
“Persetan,“ geram orang itu, “ternyata kalian pun telah menyombongkan diri dengan tingkah lakumu. Kau menunjukkan kemampuanmu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.“
“Jadi, apakah aku harus berdiam diri dan membiarkan leherku patah karena permainanmu itu,“ bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak peduli apa alasanmu,“ berkata orang itu, “tetapi sikapmu menyatakan, bahwa kau telah menantang aku.”
“Bukan maksudku Ki Sanak,“ jawab Tatas Lintang, “bukankah aku hanya berdiam diri saja, tetapi kau yang telah mendahului menyerang aku? Yang kau lakukan memang sangat berbahaya. Jika aku tidak sempat mengelak, atau yang kau serang adalah orang kebanyakan, maka seranganmu tentu telah membunuh.”
“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu, “seandainya aku telah membunuh, tidak ada orang yang akan dapat menghukumku. Orang-orang padukuhan tidak akan mampu menangkap aku.”
“Bagaimana jika Ki Buyut atau mungkin Sang Akuwu?“ bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak peduli dengan siapapun juga. Jika kau merasa terganggu dengan tingkah lakuku, kau mau apa?“ geram orang itu.
“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?“ bertanya Tatas Lintang.
“Untuk apa kau mengetahuinya?“ bertanya orang itu, ”jika kau ingin berbuat sesuatu dengan bekal ilmumu, lakukan?”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang lain yang ada di warung itu. Menilik sikapnya, ternyata mereka adalah kawan-kawan dari orang yang marah itu. Hampir di luar sadarnya Tatas Lintang pun menghitung mereka.
“Lima orang,“ desis Tatas Lintang. Namun masih ada dua orang yang duduk terpisah. Tatas Lintang tidak dapat menebak, apakah kedua orang itu termasuk kawan orang yang marah itu atau bukan. Namun keduanya nampak menjadi tegang. Sementara sebelumnya Tatas Lintang juga tidak melihat kedua orang itu berbicara atau berkelakar dengan kelima orang yang duduk berjajar itu.
“Kau menghitung jumlah kami?“ bertanya orang yang melempar itu, “kami memang berlima. Sementara itu kalian hanya berempat. Jika seorang di antara kami mampu membunuh dua orang sekaligus, maka hanya dua orang di antara kami yang diperlukan untuk turun ke arena jika kalian mencoba untuk melawan. Sementara tiga orang kawan kami masih akan sempat makan dan minum.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengamati mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang bertongkat. Ketika di luar sadarnya keduanya memandang dua orang duduk terpisah itu, maka mereka pun tidak melihat tongkat di antara mereka. Dengan demikian untuk sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak berhadapan dengan orang-orang dari padepokan yang menjadi sasaran pengamatan mereka.
“Tetapi siapa?“ pertanyaan itu tidak segera dapat dijawab, karena orang-orang itu tentu tidak akan mudah menyebut nama dan kedudukan mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari bahwa di padepokan itu telah hadir kekuatan lain di samping orang-orang yang sejak lama menghuni padepokan itu.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun dalam pada itu, orang yang telah melemparkan tambir anyaman bambu serta makanan yang ada di dalamnya membentak, “cepat. Apa yang akan kalian lakukan? Kalian mau marah? Mau menuntut karena perlakuanku atasmu? Atau mau apa?”
Tetapi jawaban Tatas Lintang mengejutkan, “Kami tidak ingin berbuat apa-apa.”
“Pengecut,“ orang itu hampir berteriak, “kenapa kalian tidak ingin berbuat apa-apa?”
“Memang kami tidak ingin berbuat apa-apa.“ jawab Tatas Lintang pula.
Ternyata orang itu menjadi semakin marah. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka iapun telah menepuk bibir mangkuknya sehingga minumannya menjadi tumpah. Tetapi ternyata bahwa kelebihan orang itu telah menyebabkan minuman yang memercik dari mangkuknya mengarah kepada Tatas Lintang.
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun cepat bertindak. Dengan kemampuannya pula maka iapun telah menghembus minuman yang memercik ke arahnya. Akibatnya memang luar biasa. Minuman itu seakan-akan telah didorong dan memercik kembali ke arah orang yang marah itu. Orang itu agaknya sama sekali tidak menduganya. Karena itu maka ia tidak sempat melawan percikan minuman itu. Yang dapat dilakukannya adalah bergeser menghindarinya.
Tetapi kawannya yang masih duduk di sampingnya sambil memperhatikan apa yang terjadi itu agaknya kurang bersiap. Karena itu, maka percikan minuman yang masih hangat dan mengandung gula itu telah terpercik ke arahnya membasahi pakaiannya.
“Gila,“ orang itupun telah meloncat bangkit dan bahkan berdiri di atas lincak tempatnya duduk. Dengan mata yang hampir meloncat dari pelupuknya ia memandangi Tatas Lintang yang berdiri termangu-mangu.
“Kau tantang aku he? Kau salah menilai Ki Sanak. Kau kira aku cucurut yang tidak berani menghancurkan kepalamu yang dungu itu? Aku memang tidak ikut campur sebelumnya. Tetapi kau sudah menyerang aku pula.”
Tatas Lintang memperhatikan orang itu. Kemudian katanya, “Maaf Ki Sanak. Jangan marah kepadaku. Kau dapat marah kepada kawanmu sendiri.”
“Persetan,“ geramnya, “kita memang tidak dapat sekedar marah kepada mereka. Kita harus berbuat sesuatu.”
Kawannya yang telah marah lebih dahulu itupun menyahut, “Kita hancurkan mereka.”
Kelima orang itupun telah bangkit. Kemudian orang yang marah pertama kali itupun menggeram, “Kami menunggu di luar, atau warung ini akan kami bakar.”
Kelima orang itu tidak menunggu jawaban. Merekapun kemudian melangkah keluar sambil mengumpat-umpat. Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka bahwa persoalan itu akan berkembang menjadi demikian tajamnya, bahkan mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat tidak diharapkan. Jika Tatas Lintang mampu mengalahkan orang bertubuh tinggi kekar, namun mereka tidak lebih dari petani-petani, maka belum tentu ia akan dapat berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Apalagi ternyata kelima orang itu telah membawa pedang di lambung.
Sejenak kemudian Tatas Lintang itupun termangu-mangu. Ketika ia berpaling ke arah ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu, maka iapun melihat sorot mata yang mulai menyala pada mereka. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Anak-anak muda itu benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak lagi membiarkan diri mereka menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu.”
Karena itu, maka Tatas Lintang pun kemudian bertanya, “Apakah kita akan melayani mereka?”
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Satu cara pemanasan yang barangkali bermanfaat.”
Tatas Lintang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kita akan keluar agar kedai ini tidak dibakar.”
Lalu katanya kepada pemilik kedai itu, “Bukan salah kami. Kami sama sekali tidak menghendaki keributan seperti ini. Tetapi apa boleh buat. Kami tidak dapat mengelak.”
Pemilik kedai itu hanya berdiam diri saja. Tetapi jantungnya bergejolak semakin keras. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya telah terjadi dan siapakah yang dapat dianggap bersalah. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu keluar dari warung, maka dua orang yang lain, yang ada di warung itupun telah keluar pula. Tetapi seorang di antara mereka sempat bertanya kepada pemilik warung itu, berapa mereka harus membayar.
“Aku akan pergi. Aku tidak mau terlibat dalam persoalan yang tidak kami ketahui. Menjadi saksi pun kami tidak ingin,“ berkata orang yang bertanya berapa ia harus membayar itu.
Tetapi pemilik warung yang bingung itu tidak dapat menghitung dengan benar. Karena itu, mulutnya seakan-akan asal saja mengucapkan angka. Tetapi orang yang membeli makanan dan minuman itupun tidak bertanya lebih banyak. Iapun kemudian segera membayar dan kemudian keduanya benar-benar telah meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, kelima orang yang telah berada di luar itu-pun telah bersiap. Sementara itu, orang yang tersisa di pasar, yang memang sudah tidak terlalu banyak itupun telah berlarian meninggalkan tempat mereka berjualan. Sambil membawa sisa barang-barang mereka dan uang hasil dari penjualan barang-barang mereka, orang-orang di pasar itupun merasa lebih baik menghindar daripada terlibat dalam pertikaian itu.
Sejenak kemudian maka Tatas Lintang pun telah berdiri berhadapan dengan orang yang telah melemparnya di dalam warung. Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemenakannya itupun berdiri berjajar di belakangnya. Sementara itu kelima orang yang menunggunya berdiri tegak dalam kesiagaan sepenuhnya.
“Kalian merasa diri kalian orang-orang berilmu tinggi,“ geram orang yang telah melempar Tatas Lintang, “tetapi dihadapan kami kalian tidak akan dapat berlagak apapun juga. Kami akan dengan tanpa belas kasihan menghancurkan kesombongan kalian itu.”
“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “bukan maksudku mencari lawan. Tetapi jika lawan itu datang, kami pantang menepi. Tetapi perkenankan aku bertanya, siapakah Ki Sanak berlima dan mungkin Ki Sanak datang dari sebuah padepokan atau pertapaan atau tempat-tempat untuk menempa diri lahir batin yang lain.”
“Jangan pedulikan siapa kami,“ jawab orang itu, “sekarang lakukan perintah kami. Berjongkok dan ciumlah telapak kaki kami. Dengan demikian maka kesalahan kalian kami ampuni. Kalian akan boleh pergi kemana kalian suka.“
Tetapi Tatas Lintang tersenyum sambil menjawab, “Kalian boleh merendahkan kami. Tetapi jangan menghina kami terlalu tajam. Betapa dungunya kami, tetapi kami masih juga mempunyai harga diri. Coba bayangkan, bagaimanakah perasaanmu jika akulah yang berkata kepadamu, berjongkoklah dan cium kakiku agar aku memaafkan kesalahanmu.”
“Aku bunuh orang yang menghinaku,“ jawab orang yang marah itu.
“Bagus,“ jawab Tatas Lintang, “aku pun akan melakukan hal yang sama.”
“Persetan,“ geram orang itu, “kenapa tidak kau lakukan jika kau mampu he? Orang-orang yang tidak tahu diri. Apa yang telah kalian lakukan bukan apa-apa. Dan kalian sudah merasa bangga, bahkan berani menantang aku?”
“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “kami tidak akan berjongkok dan mencium kaki kalian. Bahkan kamilah yang menuntut kalian melakukannya, karena kalian yang telah mendahului menimbulkan pertengkaran di warung itu.”
Orang yang marah itu agaknya memang tidak dapat mengekang dirinya. Tetapi ia masih berpesan kepada kawan-kawannya, “Jangan ganggu aku. Aku akan menyelesaikan persoalan ini sendiri.”
“Aku juga terhina. Justru akulah yang telah terpercik minuman panas itu,“ sahut kawannya.
“Tunggulah pada kesempatan lain,“ jawab kawannya, “jika mereka akan bertempur mengeroyokku berempat, biar saja. Baru jika aku memberikan isyarat, kau boleh ikut campur. Atau aku akan menyisakan seorang jika kau benar-benar ingin berkelahi untuk menumpahkan kemarahanmu atas penghinaan itu.”
Orang itu menggeram. Tetapi agaknya kawannya yang marah itu memiliki pengaruh yang besar atas keempat kawan-kawannya. Karena itu, maka iapun tidak mendesaknya lagi.
Tetapi Tatas Lintang memang memiliki harga diri yang tinggi pula. Ketika hanya seorang diantara lawan-lawannya yang melangkah maju, maka iapun berkata kepada ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya, “Tunggu sajalah di luar arena. Jika aku mati, maka singkirkan mayatku. Baru kemudian kalian boleh berbuat sesuatu.”
“Setan,“ geram orang yang marah, “kau akan menghadapi aku seorang lawan seorang?”
“Bukankah itu lebih baik? Dengan demikian akan menjadi jelas siapakah di antara kita yang lebih baik. Kau atau aku?“ bertanya Tatas Lintang.
Orang itu benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun menggeram, “Baiklah. Marilah. Aku antar kau ke pelukan maut. Mungkin kau akan mendapat tempat yang lebih baik dari tempatmu sekarang.”
Tatas Lintang tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedua orang itupun kemudian melangkah semakin mendekat. Empat orang kawan dari orang yang marah itu berdiri termangu-mangu. Tetapi seperti pesan kawannya yang akan menghadapi Tatas Lintang itu, maka mereka tidak turun ke arena sebagaimana Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Dengan demikian maka Tatas Lintang telah terlibat dalam perang tanding melawan orang yang tidak dikenalnya.
Namun seperti juga ketiga orang yang diakuinya sebagai kemenakannya itu, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Tetapi agaknya ia tidak dapat mengekang dirinya sehingga ia telah melibatkan diri ke dalam pertentangan dengan orang yang dijumpainya di jalan tanpa mengkaitkannya dengan kepentingannya.
Tatas Lintang pun menghadapi lawannya dengan bersungguh-sungguh. Ia belum mengenal sama sekali keadaan lawannya. Yang dilihatnya baru kekuatan lawannya yang mengejutkan, ketika ia melemparkan tambir bambu ke arahnya dan yang ternyata mampu memecahkan dinding dan hinggap pada sebatang pohon sebagaimana sebilah parang yang tajam.
Namun menilik bahwa orang itu begitu saja melontarkan tambir itu, sehingga orang itu masih belum mengerahkan segenap kemampuannya, maka tentu orang itu memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Karena itu maka Tatas Lintang pun harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati.
Sejenak keduanya masih mencari kesempatan. Mereka melangkah semakin dekat. Ketika tangan mereka mulai bergerak, maka tiba-tiba saja orang yang marah itu telah meloncat menyerang dengan kakinya mengarah ke dada Tatas Lintang.
Tetapi Tatas Lintang sudah bersiap sepenuhnya. Dengan bergeser ke samping ia telah membebaskan diri dari garis serangan itu. Bahkan Tatas Lintang sempat mengayunkan tangannya memukul kaki lawannya. Namun lawannya pun dengan cepat memutar kakinya, sehingga Tatas Lintang pun mengurungkan serangannya pula.
Serangan pertama orang itu telah membuka pertempuran yang menjadi seru sekali. Keduanya memang memiliki kemampuan yang tinggi. Pada gerakan-gerakan pertama keduanya memang berusaha menjajagi kemampuan lawannya masing-masing. Dengan hati-hati Tatas Lintang mencoba untuk menyentuh kekuatan lawannya pada tataran yang masih belum sampai ke puncak. Dengan demikian maka Tatas Lintang mempunyai sedikit takaran atas kekuatan lawannya itu.
Namun ternyata bahwa sedikit demi sedikit keduanya telah meningkatkan kemampuannya, sehingga pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin keras. Mereka bergerak semakin cepat dan sekali-sekali terdengar orang yang marah itu menggeram dan bahkan berteriak.
Tatas Lintang lebih banyak melayani tata gerak lawannya meskipun tidak semata-mata, karena iapun telah berusaha untuk menyerang pula. Namun Tatas Lintang yang tidak diburu oleh gejolak perasaannya dapat berpikir lebih bening dari lawannya. Karena itu, maka Tatas Lintang menjadi lebih banyak mendapat kesempatan untuk mengamati tata gerak lawannya.
Untuk beberapa saat Tatas Lintang berusaha untuk mengambil jarak dari lawannya. Ia berusaha untuk dapat mengamatinya lebih cermat lagi. Namun dalam keadaan yang demikian lawannya menganggap bahwa Tatas Lintang mulai terdepak. Sehingga karena itu maka lawannya pun telah berusaha untuk semakin mendesaknya dan bahkan berusaha untuk menguasainya.
Keempat kawan orang itupun menganggap demikian pula. Karena itu maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Jika kawannya mampu mengalahkan orang tertua di antara keempat orang itu, maka akan datang giliran mereka mendapat kesempatan untuk melawan ketiga orang yang diakuinya sebagai kemenakan orang yang dikalahkan itu.
“Tanganku sudah gatal,“ berkata seorang di antara mereka.
Yang lain pun menggeretakkan giginya. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi untuk menunggu kesempatan itu.
Untuk sesaat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menjadi berdebar-debar. Merekapun semula menduga bahwa Tatas Lintang mulai terdesak. Namun ketika mereka sempat berpikir, maka mereka pun mulai mengerti apa yang terjadi.
Mereka bertiga yang mengetahui tingkat kemampuan Tatas Lintang masih belum melihat ilmu puncak yang nggegirisi itu. Karena itulah mereka mengetahui bahwa sebenarnya Tatas Lintang masih belum terdesak. Jika Tatas Lintang mengambil jarak dari lawannya, tentu ia mempunyai perhitungan yang lain.
Sebenarnyalah, maka ketika lawannya mendesaknya terus, maka Tatas Lintang pun mulai meningkatkan lagi kemampuannya. Ia bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan gerak lawannya. Dengan demikian, maka kesan bahwa keempat kawan orang yang bertempur melawan Tatas Lintang itu terkejut melihat perubahan keseimbangan yang tiba-tiba saja terjadi.
Tatas Lintang yang bergerak semakin cepat itu telah semakin sering pula membalas setiap serangan dengan serangan, dengan penuh kesadaran bahwa lawannya adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan untuk menyalurkan ilmu pada benda-benda yang disentuhnya.
Namun demikian, Tatas Lintang pun bukannya tidak memiliki kekuatan yang tinggi. Itulah sebabnya, maka setelah menjajagi kemampuan ilmu lawannya dengan sentuhan-sentuhan yang tidak langsung, maka Tatas Lintang pun telah bertekad untuk membenturkan kekuatannya. Itulah sebabnya, iapun telah bersiap untuk menerima serangan lawannya.
Tatas Lintang telah mempersiapkan diri dengan sebagian besar dari kekuatan tenaga cadangannya didasari dengan kemampuan ilmunya ketika ia melihat lawannya telah bersiap untuk menyerangnya dengan garangnya.
Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang benar-benar telah bersiap untuk menyerang dengan kekuatannya yang sangat besar. Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka iapun telah meloncat menerkam lawannya. Tangan kanannya yang terayun mengarah ke kepala Tatas Lintang merupakan himpunan kekuatannya yang telah terpusat.
Tetapi Tatas Lintang tidak membiarkan kepalanya dikenai oleh serangan lawannya yang terpusat pada tangannya, namun Tatas Lintang pun tidak ingin menghindari serangan itu. Karena itulah, maka Tatas Lintang pun telah menyilangkan kedua tangannya di atas kepalanya untuk menangkis serangan lawannya itu.
Lawannya yang marah itu melihat Tatas Lintang tetap berdiri di tempatnya. Karena itulah maka ia menduga bahwa Tatas Lintang memang tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga ia terpaksa melindungi kepalanya dengan menyilangkan tangannya.
Lawannya yang telah meloncat itu sempat menggeram sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Kau akan hancur sekarang orang dungu. Tidak ada orang yang dapat melawan kekuatanku.”
Sebenarnyalah sesaat kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat. Kekuatan orang yang marah itu benar-benar kekuatan yang luar biasa besarnya. Ketika tangannya menghantam tangan Tatas Lintang yang bersilang, maka terasa tangan Tatas Lintang bagaikan akan patah. Iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Tatas Lintang harus berusaha untuk bertahan karena keseimbangannya telah terguncang. Untunglah bahwa meskipun Tatas Lintang terhuyung-huyung, namun ia tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Tetapi akibat yang gawat itu tidak hanya terjadi atas Tatas Lintang. Lawannya yang telah menghantam tangan Tatas Lintang yang bersilang itupun telah tergetar. Tangan lawannya itu terasa bagaikan hancur membentur sekeping baja pilihan. Sementara itu oleh kekuatannya sendiri yang terpantul pada benturan yang dahsyat itu, maka lawan Tatas Lintang itupun telah terlempar beberapa langkah. Kepalanya terasa berputar dan pandangannya menjadi berputaran. Tubuhnya yang kekar telah terbanting jatuh dan berguling di tanah.
Untuk sekejap orang itu bagaikan kehilangan nalar. Namun nalurinya sebagai seorang yang berilmu tinggi telah mendorongnya untuk meloncat bangkit. Tetapi iapun telah terhuyung-huyung pula. Bahkan ternyata orang itu tampak tidak mampu bertahan karena pandangannya yang berputar-putar. Sehingga sejenak kemudian, maka orang itupun telah jatuh berlutut. Namun kedua tangannya sempat bertelekan di tanah sehingga tubuhnya tidak berguling lagi.
Untuk sesaat ia berusaha memperbaiki keadaannya. Dengan memusatkan nalar budinya, maka orang itu berjuang untuk memulihkan keadaannya. Orang itu telah mengatur pernafasannya sambil berlutut dan bertelekan dengan tangannya.
Ternyata Tatas Lintang berhasil menguasai dirinya lebih cepat dari lawannya. Ketika ia sudah berdiri tegak, maka dilihatnya lawannya masih tetap berlutut dan bertelekan kedua tangannya. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lawannya. Ia ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki keadaannya. Kemudian terserah kepada lawannya, apa yang akan dilakukannya.
Dalam pada itu kedua orang kawan dari orang yang jatuh berlutut itu dengan tergesa-gesa mendekatinya, sementara dua orang yang lain berdiri tegak dalam kesiagaan penuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Tatas Lintang tidak berbuat apa-apa. Justru ia berkata, “Nah, selanjutnya terserah kepada Ki Sanak.”
Orang yang berlutut itupun menggeram. Perlahan-lahan keadaannya menjadi semakin baik. Ketika pernafasannya pulih kembali, maka rasa-rasanya kekuatannya pun telah pulih pula. Karena itu ketika kedua orang kawannya akan menolongnya, ia mengibaskan tangannya sambil membentak, “Aku dapat berdiri sendiri.”
Sebenarnyalah orang itupun telah tegak kembali. Dengan mata yang menyala ia memandang Tatas Lintang yang telah berdiri tegak.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah mempersiapkan diri pula. Jika keempat orang kawan orang yang marah itu melibatkan diri, maka mereka pun akan melibatkan diri pula.
Tetapi orang yang terbanting jatuh itu benar-benar telah merasa mampu untuk meneruskan perlawanannya. Bahkan kemudian iapun menggeram, “Ternyata aku harus benar-benar berusaha membunuhmu. Benturan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kau mempunyai kelebihan dari aku. Sementara itu, aku telah dipengaruhi oleh perasaan belas kasihanku kepadamu. Sekarang, kau akan menyesali kesombonganmu itu.”
Orang itu tiba-tiba saja telah mempersiapkan diri untuk mulai bertempur kembali. Tatas Lintang pun telah mempersiapkan dirinya pula. Akibat benturan yang terjadi itupun seakan-akan telah tidak terasa. Apalagi Tatas Lintang masih belum mengerahkan segenap kekuatannya.
“Jika orang itu telah mempergunakan segenap kekuatannya, maka aku masih mempunyai kelebihan,“ berkata Tatas Lintang di dalam hatinya, “tetapi aku harus melihat apa yang akan dilakukannya kemudian.”
Bahkan Tatas Lintang pun bersiap-siap jika ia harus mempergunakan ilmunya yang masih tersimpan sebagaimana pernah ditularkan kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Namun ia masih harus menunggu perkembangan ilmu lawannya, karena Tatas Lintang tidak ingin dengan serta merta mengalahkan lawannya yang masih belum diketahui asal usulnya itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap lagi. Lawan Tatas Lintang itupun maju beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba saja ia telah mengurai senjatanya seutas rantai besi yang tidak begitu panjang dari balik ikat pinggangnya.
Tatas Lintang termangu-mangu. Ia sadar, bahwa rantai di tangan orang itu tentu akan menjadi senjata yang sangat berbahaya. Sebuah tambir yang dianyam dari bambu telah mampu menancap pada sebatang pohon. Apalagi yang dipegang oleh orang itu adalah seutas rantai besi. Lawan Tatas Lintang itu tidak menunggu lebih lama. Iapun segera memutar rantainya sambil melangkah mendekat.
Sejenak Tatas Lintang berdiri tegang. Namun ketika lawannya mulai menyerang, maka iapun harus berloncatan menghindar. Rantai itupun ternyata telah menimbulkan desing yang memekakkan telinga. Suaranya menjadi seolah-olah menderu melampaui kewajaran.
Tatas Lintang menjadi berdebar-debar. Seperti yang diduganya bahwa rantai itu tidak saja merupakan senjata lentur yang berbahaya sekali, tetapi dengan memusatkan kekuatan dan kemampuan ilmunya, rantai itu dapat berubah bagaikan sepotong tongkat besi baja dan bahkan dengan rantai itu lawannya seakan-akan telah menusuk mengarah ke lambungnya.
“Gila,“ geram Tatas Lintang. Meskipun Tatas Lintang sudah menduga, tetapi kemampuan orang itu mempermainkan senjatanya telah mendebarkan jantung.
Karena itu, beberapa saat kemudian Tatas Lintang pun benar-benar mulai terdesak. Kecepatan geraknya kadang-kadang memang mengejutkan lawannya dan bahkan mampu menerobos memasuki putaran senjatanya. Namun langkah-langkah yang demikian akan menjadi sangat berbahaya jika diulanginya beberapa kali.
Karena itu, maka ketika Tatas Lintang itu benar-benar terdesak, ia telah meloncat ke pagar pasar yang sudah menjadi sepi itu. Dengan cepat ia telah mencabut sebuah tiang pagar yang terbuat dari kayu utuh yang tidak begitu besar, tidak lebih dari lengan Tatas Lintang itu sendiri. Sedangkan tingginya pun tidak lebih dari tubuh Tatas Lintang itu pula. Dengan kayu itu Tatas Lintang pun kemudian siap menghadapi lawannya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ternyata telah terkejut melihat Tatas Lintang bersenjata tongkat. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Tatas Lintang itu menggerakkan tongkatnya.
“Kemampuannya mempermainkan tongkat sangat mengagumkan,“ desis Mahisa Murti.
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “namun juga mendebarkan. Meskipun ia tidak membawa tongkat, tetapi ia benar-benar menguasai permainan tongkat.”
“Apakah ia sebenarnya seorang di antara orang-orang bertongkat dari padepokan itu?“ bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam karenanya. Namun mereka telah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun kemudian Mahisa Pukat itu berdesis. "Kenapa ia tidak mempergunakan ilmunya yang sudah ditangkarkan kepada kita? Ia justru telah mempergunakan sebatang tongkat. Jika ia mempergunakan kemampuannya menyerang pada jarak tertentu, maka lawannya pun akan mengalami kesulitan."
Mahisa Murti termangu-mangu. Jawabnya, “Semuanya masih terasa asing dan rahasia. Kita memang harus berhati-hati.”
Dalam pada itu, pertempuran antara Tatas Lintang dengan lawannya itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Rantai itupun berputar semakin cepat, sementara itu kadang-kadang rantai itu mematuk dengan cepat. Tetapi kemudian berubah terayun mendatar bagaikan tongkat baja.
Namun tongkat kayu yang dicabutnya dari pagar pasar di tangan Tatas Lintang itupun tidak kalah berbahaya. Meskipun tongkat itu tidak lebih dari sebatang kayu sebesar lengan, namun tongkat itu agaknya menjadi sangat berbahaya. Tongkat itu terayun-ayun cepat sekali. Suaranya telah mengimbangi deru putaran rantai lawannya. Seperti juga rantai lawannya itu, maka tongkat Tatas Lintang pun sekali terayun menyambar kepala, namun kemudian menjelujur mematuk ke arah dada.
Namun ketangkasan keduanya mampu saling menghindari setiap serangan. Baik tongkat Tatas Lintang maupun rantai di tangan lawannya masih belum berhasil menyentuh sasaran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Tatas Lintang yang masih belum mempergunakan kemampuan puncaknya ternyata mulai diganggu oleh kejemuannya melayani lawannya.
Ketika sekilas ia melihat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang berwajah tegang, maka Tatas Lintang pun menjadi berdebar-debar. Barulah kemudian ia sadar, bahwa ia telah mempergunakan tongkat sebagai senjatanya, sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura sedang sibuk dengan orang-orang yang disebutnya bertongkat.
Tetapi Tatas Lintang tidak melepaskan senjatanya. Iapun justru telah meningkatkan kemampuan ilmunya untuk mulai dengan sungguh-sungguh menekan lawannya. Dengan demikian maka tongkat Tatas Lintang pun telah berputar semakin cepat. Melampaui kecepatan putaran rantai lawannya.
Dalam gerak yang cepat dan saling mengarah ke tubuh lawan, maka kadang-kadang kedua jenis senjata itu memang bersentuhan. Meskipun tidak langsung, namun keduanya mampu mendapat kesan dari kekuatan masing-masing. Bahkan ketika keduanya bergerak semakin cepat, maka benturan-benturan pun tidak dapat dihindarinya lagi.
Namun akhirnya orang yang bersenjata rantai itupun menjadi jemu pula. Rasa-rasanya tenaganya justru mulai menjadi susut. Apalagi setelah terjadi benturan kekuatan sehingga ia telah jatuh terguling di tanah.
Dengan demikian maka lawan Tatas Lintang itupun telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya dilambari dengan kemampuan ilmu puncaknya, sehingga iapun telah siap untuk menghancurkan Tatas Lintang yang bersenjata tongkat kayu yang hanya diambilnya dari pagar pasar. Karena itu, selagi kekuatan dan kemampuan ilmunya masih dapat dianggap utuh, maka iapun akan mempergunakannya.
Tatas Lintang yang melihat lawannya mempersiapkan hentakkan terakhir dari ilmunya itupun telah bersiap pula. Ia tidak mau dihancurkan oleh kekuatan lawannya meskipun ia masih belum mempergunakan ilmunya yang nggegirisi. Yang akan dilakukan adalah membentur ilmu lawannya dengan lambaran kekuatan dan ilmunya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka lawannya itupun telah mengambil jarak. Memutar rantai di tangannya sambil menggeram dan siap untuk meloncat, ia lebih percaya kepada rantainya sebagai senjatanya yang khusus daripada pedangnya yang tergantung di lambung.
Tatas Lintang telah mempersiapkan tongkatnya pula. Ia sadar, bahwa tongkat kayu itu secara wajar tidak akan mampu menahan benturan kekuatan dengan rantai yang juga akan dilandasi dengan kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya. Karena itu, maka Tatas Lintang telah menyalurkan getaran kekuatannya pada tongkatnya, sehingga tongkat itu akan mampu menahan benturan yang sangat kuat.
Pada saat Tatas Lintang sampai kepada puncak kekuatan dan kemampuan ilmunya, maka lawannya pun telah meloncat sambil mengayunkan rantainya yang seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat besi baja yang kuat dan berat.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Benturan kekuatan dan kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Rantai yang seakan-akan berubah menjadi besi baja yang kokoh kuat telah berbenturan dengan sebatang tongkat kayu yang dialiri oleh getaran kekuatan dan kemampuan ilmu yang jarang ada bandingnya, sehingga tongkat kayu itupun bagaikan telah berubah pula menjadi wesi gligen.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa Tatas Lintang tentu tidak akan membenturkan tongkatnya dalam keadaan wajarnya. Meskipun demikian, melihat ayunan rantai di tangan lawannya itu, ketiganya menjadi cemas.
Benturan yang terjadi ternyata benar-benar dahsyat. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa yang berbenturan itu adalah seutas rantai dan sebatang tongkat kayu yang dicabut dari pagar pasar. Yang berbenturan seolah-olah dua batang tongkat baja yang kuat dan berat dalam ayunan yang sangat besar.
Akibatnya pun dahsyat pula. Tatas Lintang terdorong beberapa langkah surut. Tongkatnya menjadi retak meskipun belum patah. Sekali lagi ia terhuyung-huyung. Namun iapun masih mampu bertahan meskipun harus bertelekan pada tongkat kayunya.
Namun akibat yang terjadi pada lawannya ternyata jauh lebih parah. Ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan ilmu Tatas Lintang benar-benar melampaui lawannya. Kekuatan dari ilmu lawan Tatas Lintang yang kemudian bagaikan telah dipusatkan pada rantai besinya yang terayun bagaikan sebatang tongkat baja ternyata dipecahkan oleh kekuatan dari ilmu Tatas Lintang dalam benturan yang terjadi.
Rantai besi yang terayun dengan kekuatan sebatang tongkat baja itu telah kehilangan kekuatannya sehingga karena itu, maka rantai besi itu tidak lagi dapat tegak sebagai batang tongkat baja, tetapi kekuatannya dan kemampuan ilmu yang pecah itu telah menjadi rantai itu sebagaimana seutas rantai.
Karena itu, maka rantai itu telah membelit tongkat kayu Tatas Lintang yang retak pada benturan itu meskipun tidak patah. Pada saat Tatas Lintang menghentakkan tongkatnya, maka rantai yang membelit itu telah terlepas dari tangan lawannya dan yang kemudian telah terurai pula dari belitannya dan jatuh di tanah.
Sementara itu, kekuatan dan ilmunya yang telah dipecahkan oleh Tatas Lintang itu seakan-akan telah berbalik menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri sehingga terasa seolah-seolah isi dadanya telah dirontokkan karenanya. Terdengar sebuah keluhan tertahan, sementara tubuh lawan Tatas Lintang itu telah terlempar oleh kekuatannya sendiri yang memantul pada benturan yang dahsyat yang justru telah memecahkan kekuatan dari ilmunya itu.
Sekali lagi orang itu terbanting jatuh tidak saja berguling sebagaimana yang pernah terjadi, tetapi tubuhnya benar-benar bagaikan dihentakkan dengan kuat. Karena itulah, maka orang itu tidak sempat bangkit sama sekali sebagaimana dilakukan sebelumnya. Matanya bukan saja terasa berputar, tetapi kesadarannya pun telah terenggut oleh benturan itu. Orang itu ternyata telah menjadi pingsan sementara bagian dalamnya telah terluka parah.
Keempat kawannya dengan serentak meloncat mendekatinya. Seperti yang mereka lakukan sebelumnya, dua orang telah berjongkok di sisi tubuh yang terbaring itu, sementara dua orang yang lain telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ternyata orang itu tidak bergerak. Kedua kawannya telah mengguncang-guncang tubuh yang pingsan itu. Namun untuk beberapa lamanya mata orang itu tetap terpejam.
Tatas Lintang yang masih bertelekan pada tongkatnya itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali sehingga nafasnya pun telah mengalir semakin lancar dan wajar.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun mendekatinya. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara itu Tatas Lintang telah mengangkat tongkatnya sambil berdesis, “Lihat, tongkat ini retak. Orang itu memang mempunyai kekuatan yang luar biasa.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengamati tongkat kayu yang dicabut dari pagar pasar itu. Tongkat itu memang retak. Namun Mahisa Murti berkata, “Kami tahu, kau belum mempergunakan ilmumu yang kau tularkan kepadaku, menyerang dari jarak tertentu. Dan sekarang kami menyaksikan tongkat kayu yang kau cabut dari pagar itu hanya retak dan tidak patah dalam benturan yang demikian kerasnya. Bahkan tongkat ini telah mampu memecahkan kekuatan dan kemampuan ilmu lawanmu yang tersalur pada rantai besinya yang jauh lebih kuat dari sekedar sebatang kayu pagar saja.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab, “Tetapi ingat. Orang itupun tentu bukan orang terbaik dari kelompoknya. Namun aku yakin, bahwa kalian bertiga akan mampu bertahan melawan orang-orang yang memiliki kemampuan setataran dengan orang itu. Seandainya orang itu memilih salah seorang di antara kalian untuk melawannya, aku yakin bahwa kalian akan mampu memenangkannya.”
“Kecuali aku,“ desis Mahisa Ura.
“Jangan merasa diri terlalu kecil,“ jawab Tatas Lintang.
Sementara itu, kedua orang kawan dari orang yang pingsan itu berusaha untuk membangunkan kawannya. Namun untuk beberapa saat orang itu masih tetap diam dengan mata terpejam.
“Cari air,“ desis Tatas Lintang tiba-tiba, “ia akan sadar, meskipun barangkali ia akan mengalami kesulitan.”
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka telah melangkah ke warung yang mereka tinggalkan sebelumnya. Ketika ia keluar maka ia telah membawa air di dalam mangkuk kecil. Sambil berjongkok di samping kawannya yang pingsan itu, maka iapun telah menitikkan air ke dalam mulutnya. Setetes-setetes. Sehingga beberapa saat kemudian, iapun mulai berdesah.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itupun melangkah mendekat. Namun kawan-kawan orang yang pingsan itu telah bersiaga sepenuhnya untuk melawan mereka.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa,“ berkata Tatas Lintang, “jika kalian berbuat bodoh, maka nasib kalian semuanya akan sama seperti kawanmu itu. Bahkan mungkin menjadi lebih parah. Karena itu jangan berbuat apa-apa.”
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun menyadari, bahwa yang dikatakan orang bertongkat sebatang kayu yang dicabutnya dari pagar pasar itu bukan sekedar menakut-nakutinya. Kawan mereka yang mereka anggap memiliki kemampuan tertinggi di antara mereka pun tidak mampu melawannya. Apalagi mereka berempat.
Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu benar-benar telah sadar. Matanya mulai terbuka. Namun yang terdengar adalah keluhan yang tertahan-tahan. Punggung orang itu serasa patah. Isi dadanya yang terguncang itupun terasa betapa sakitnya. Darahnya tidak mengalir sewajarnya sebagaimana pernafasannya. Karena itu, maka tubuhnya masih tetap terbaring dengan lemahnya. Bahkan untuk menggerakkan ujung jarinya pun rasa rasanya ia masih belum mampu.
Tatas Lintang berdiri tegak beberapa langkah dari keempat orang yang sedang menunggui kawannya yang terluka parah itu. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak akan melanjutkan permusuhan saat ini. Aku tidak tahu, mungkin pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi. Aku tahu bahwa kalian tentu mendendam, sementara kalian tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan pondokku. Namun aku sudah siap menunggu jika kalian memang bermaksud untuk datang. Karena sebenarnyalah aku ingin berkenalan lebih akrab dengan kalian. Sampai saat ini aku masih belum tahu siapakah kalian, karena kalian tidak mau berterus terang.”
“Tidak ada gunanya,“ geram salah seorang di antara keempat orang itu.
“Aku sudah mengira. Karena itu, aku tidak bertanya tentang kalian lebih jauh. Sekarang, aku minta diri. Demikian, juga ketiga orang kemanakanku ini.“ berkata Tatas Lintang kemudian, “sekali lagi aku katakan, bahwa kami sudah siap menunggu kehadiran kalian yang tentu mendendam. Tetapi jika kalian sekali lagi menjumpai aku, maka sikapku akan berubah. Aku bukan lagi orang yang baik hati yang mengampuni kalian seperti yang aku lakukan kali ini. Tetapi jika kalian datang lagi kepadaku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk, karena kami akan membunuh kalian.”
“Persetan,“ geram salah seorang dari keempat orang itu.
“Jangan terlalu kasar Ki Sanak,“ Mahisa Pukat lah yang menyahut, “jika kau tidak menjaga mulutmu, maka kau akan kembali tanpa mulut.”
Wajah orang itu menjadi merah padam. Tetapi melihat sikap Mahisa Pukat yang bersungguh-sungguh, maka orang itu tidak mengatakan sepatah katapun lagi. Namun tangannyalah yang meraba pedang di lambungnya.
Sejenak kemudian, maka Tatas Lintang pun telah meninggalkan kelima orang itu. Sekilas Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih berpaling ke arah orang-orang yang mereka tinggalkan. Orang yang terbaring sambil mengaduh tertahan itu masih juga dalam keadaannya, sementara yang lain pun kemudian telah mengerumuninya.
Beberapa langkah dari mereka berlima, Tatas Lintang berkata, “senjata orang itu memang luar biasa. Ia menganggap bahwa rantainya jauh lebih berbobot dari pedang di lambungnya. Pedang itu hanya untuk menakut-nakuti orang saja. Namun dalam keadaan yang gawat, ternyata ia mempergunakan rantainya.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sebenarnyalah orang yang pingsan itu sebagaimana kawan-kawannya membawa pedang di lambung. Namun agaknya ia lebih percaya kepada rantainya yang lentur, yang memiliki kemungkinan yang lebih banyak dari sebilah pedang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata, “Kau ternyata memiliki kemampuan bermain tongkat yang sangat tinggi. Bahkan kau telah mampu menjadikan tongkatmu menjadi senjata yang mampu mengimbangi kekuatan rantai baja yang dilambari pula dengan ilmu yang tinggi.”
Tatas Lintang memperhatikan tongkatnya. Namun kemudian katanya, “Kau pun akan mampu melakukannya.”
Namun Tatas Lintang itupun tiba-tiba telah menyandarkan tongkat yang telah retak itu pada pagar pasar. Sementara itu, ia-pun berkata sambil memandang warung yang masih terbuka namun sudah menjadi benar-benar sepi.
“Kita memberi bantuan kepada pemilik warung itu jika terjadi kerusakan. Karena kerusakan itu antara lain disebabkan karena kehadiran kita di warung itu. Dindingnya yang pecah dan setambir makanan tertumpah. Bahkan mungkin lebih banyak lagi.“ berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikutinya saja di belakang, ketika Tatas Lintang kemudian berbelok menuju ke kedai yang masih tetap terbuka, ditunggui oleh pemiliknya yang gemetar. Sebenarnyalah bahwa bukan maksudnya untuk tidak menutup warungnya. Tetapi karena kebingungan dan ketakutan, maka ia tidak lagi mampu berlaku dan berbuat sesuatu. Karena itulah maka pintu warungnya tetap terbuka.
Di pintu warung, Tatas Lintang berhenti. Dipanggilnya pemilik itu mendekat. Tubuh pemilik warung yang sudah gemetar itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa takut mendekati Tatas Lintang. Pemilik warung itu merasa bersalah telah dengan sengaja menyeret Tatas Lintang ke dalam keadaan yang sulit.
“Kenapa tidak kau tutup warungmu?“ bertanya Tatas Lintang.
Orang itu tergagap. Dengan suara sendat ia menjawab, “Ya. Ya. Aku akan menutupnya.”
Namun di luar dugaan orang itu, maka tiba-tiba saja Tatas Lintang telah menjulurkan beberapa keping uang sambil berkata, “Kau dapat memperbaiki dinding warungmu.”
“Oo,“ orang itu tidak segera menerima uang itu justru karena kebingungan.
Namun Tatas Lintang telah mendesaknya, “Cepat, atau aku mengurungkan niatku untuk membantu kerusakan pada warungmu?”
“Oo, terima kasih,“ orang itu tergagap. Tetapi ia menerima uang itu dari Tatas Lintang.
“Nah, aku minta diri. Kau tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi,“ berkata Tatas Lintang, “jika orang-orang itu menanyakan tempat tinggalku. Kau tidak usah merahasiakannya. Aku sudah siap menerimanya. Katakan saja di mana aku tinggal bersama ketiga orang kemanakanku ini. Aku dan tiga kemenakanku memang sudah siap menerimanya.”
Wajah pemilik kedai itu menjadi bingung. Namun Tatas Lintang menjelaskan, “Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kau tidak mau menunjukkan, maka kau akan mengalami banyak kesulitan.”
Pemilik kedai itu masih belum menjawab, sementara Tatas Lintang berkata lebih lanjut, “Orang-orang itu agaknya akan mendendam. Mereka akan mencari aku. Sementara itu kau sudah mengatakan bahwa kau tinggal sepedukuhan dengan aku. Karena itu maka mereka tentu akan menanyakannya kepadamu.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun iapun telah mengerti maksud Tatas Lintang. Karena itu, maka iapun telah mengangguk kecil tanpa mengucapkan kata-kata sepatah pun.
“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “sekarang kami akan pulang ke pondokku. Setiap saat aku dapat menerima siapa saja yang akan menjumpai aku.”
Pemilik warung itu nasih tetap diam. Namun sorot matanya menunjukkan campur baur perasaan di dalam hatinya. Antara menyesal, kecemasan dan ketakutan.
Tatas Lintang tidak menungguinya terlalu lama. Tapi ia kemudian meninggalkan pemilik warung itu diikuti oleh ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu, keempat orang yang masih menunggui kawannya yang baru saja sadar dari pingsannya, namun masih terlalu lemah untuk dapat bangkit itu, memandangi keempat orang yang berjalan semakin lama semakin jauh. Sebenarnyalah dendam memang telah membakar jantung mereka. Tetapi mereka juga merasa heran, bahwa keempat orang itu pergi begitu saja setelah kawannya itu menjadi pingsan.
“Tetapi itu adalah ujud dari kesombongan yang tidak ada taranya,“ berkata salah seorang di antara mereka.
Kawannya mengangguk-angguk, sedang orang yang berbicara itu berbicara terus, “Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka. Mereka tentu bermaksud untuk memancing orang, yang lebih baik dari kita untuk datang ke pondok mereka.”
“Kita akan melakukannya,“ sahut kawannya, “kita akan melaporkan semua yang telah terjadi. Maka orang itu tentu akan dihukum, sesuai dengan kesombongan mereka.”
Tetapi yang lain menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Kita akan menilai dengan wajar kemampuan orang itu.”
“Aku mengerti,“ jawab kawannya, “tetapi kita yakin bahwa orang itu akan dapat dihukum.”
Pembicaraan itupun terhenti ketika mereka mendengar kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu merintih. Perhatian mereka pun kemudian tertuju kepada kawannya yang pingsan itu.
Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya seperti kemanakannya itupun telah menuju ki pondok mereka. Sementara itu Mahisa Murti masih juga bertanya kepada Tatas Lintang,
“Apakah kau memang terbiasa mempergunakan tongkat sebagai senjata? Dengan tongkat yang kau ambil dari pagar kau sudah mampu mengalahkan lawanmu yang berilmu tinggi. Apalagi jika kau mempergunakan tongkat yang khusus, yang memang dibuat sebagai senjata.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia mengerti arah bicara Mahisa Murti. Karena itu, maka katanya, "Mahisa Murti, aku tidak terbiasa bersenjatakan tongkat. Tetapi aku memang dapat mempergunakan segala macam senjata. Senjata yang memang disediakan buat senjata, atau apapun yang aku dapatkan di arena jika lawanku memang bersenjata. Aku dapat bersenjata tongkat, maksudku sepotong kayu, mungkin dahan yang harus aku patahkan dari pepohonan, kayu pagar seperti yang telah aku pergunakan, atau sulur-sulur pepohonan, tambang atau apapun juga. Bahkan batu dan pasir. Aku kira bukan aku saja yang dapat melakukan hal yang demikian jika perlu. Kalian pun akan dapat melakukannya.”
“Tetapi caramu memutar tongkat memang menakjubkan sekali,“ desak Mahisa Murti.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti apa yang tersirat pada kata-katamu. Kau menghubungkan tongkat yang kebetulan saja aku ambil dari pagar itu dengan tongkat yang selalu dibawa oleh sekelompok orang dari salah satu padepokan. Tegasnya, kau cemas bahwa aku adalah satu di antara orang-orang bertongkat di padepokan itu.”
Mahisa Murti lah yang kemudian menarik nafas. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Nampaknya masih ada kesangsian di hati kalian. Tetapi hal itu dapat dimengerti, meskipun aku ingin memperingatkan, bahwa aku telah berusaha untuk membantu kalian, menemukan satu cara untuk melontarkan serangan ilmu kalian yang luar biasa dalam jarak tertentu. Aku memang bermaksud agar dengan demikian kalian tidak mencurigai aku lagi, sehingga kita akar dapat bekerja bersama-sama. Jika aku termasuk orang yang akan berdiri berseberangan dengan kalian, maka apakah artinya aku berusaha membantu kalian meningkatkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk di luar sadarnya. Namun mereka pun merasa bahwa Tatas Lintang telah berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan mereka. Karena itu, maka untuk sementara mereka akan dapat menghapus perasaan curiga itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun tidak bertanya apapun lagi. Sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian berjalan saja dengan kepala tunduk di sebelah Mahisa Murti.
Keempat orang itupun kemudian berjalan dengan tanpa mengucapkan kata-kata. Mereka semakin mendekati padukuhan mereka. Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun telah berada di pondok kecil Tatas Lintang. Untuk menghilangkan kekakuan suasana, maka Tatas Lintang pun berkata, “Marilah kita membuat sebuah amben bambu untuk mengganti amben kita yang rusak.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah sibuk memotong dan membelah bambu untuk membuat amben dan sebuah lincak yang akan diletakkan di serambi pondok kecil itu. Hampir sehari mereka bekerja keras. Namun akhirnya mereka telah dapat menyelesaikan sebuah amben besar dan lincak bambu yang mereka letakkan di serambi.
“Besok kita tinggal membuat galarnya,“ berkata Tatas Lintang, “namun dengan demikian malam nanti kita belum dapat mempergunakannya.”
Namun adalah di luar dugaan, ketika seseorang lewat di depan rumah kecil mereka, maka sikap orang itu jauh berbeda dengan sikap yang sebelumnya. Orang itu mengangguk sambil menyapa dengan ramah, “Marilah Ki Sanak. Apakah kalian tidak keluar?”
“Kami sedang menyiapkan sebuah amben,“ jawab Tatas Lintang.
“Oo.“ orang itu berkata selanjutnya, “di halamanku ada pring tutul. Mungkin dapat kalian buat lincak yang akan menjadi lebih baik dari pring wulung.”
“Terima kasih,“ berkata Tatas Lintang, “ini sudah cukup buat kami.”
Orang itu mengangguk hormat sambil berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Aku minta diri.”
Sepeninggal orang itu, Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ceritera tentang kita tentu sudah tersebar. Orang-orang padukuhan ini sebagian tentu sudah mendengar. Mungkin tentang orang-orang yang memeras para petani yang tidak mempunyai sawah seperti kita. Tetapi mungkin juga peristiwa yang terjadi di pasar.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang, bahwa mereka harus benar-benar telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika kemudian senja turun, keempat orang itu sudah membenahi dirinya. Mereka mulai menyalakan lampu minyak di dalam pondok mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti yang menyalakan sebuah lampu minyak di regol pagar halaman terkejut ketika dilihatnya dua orang lewat dengan tergesa-gesa. Semula Mahisa Murti tidak begitu memperhatikan keduanya. Apalagi senja telah menjadi semakin suram. Namun iapun kemudian menjadi berdebar-debar. Dua orang itu menurut penglihatannya adalah dua orang yang dilihatnya juga berada di warung pada saat perselisihan terjadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Ternyata di daerah ini terdapat banyak kekuatan yang diliputi oleh rahasia. Mungkin karena padepokan itu mengundang banyak pihak untuk mengetahuinya lebih dalam. Tetapi mungkin juga dalam hubungannya dengan batu yang berwarna itu.”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berdiri di regol. Namun kemudian iapun tidak melihat lagi kedua orang yang berjalan tergesa-gesa itu, setelah keduanya berbelok pada sebuah tikungan. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah kembali masuk ke dalam pondok kecil yang dihuninya bersama dengan tiga orang lainnya. Ketika mereka kemudian berkumpul, maka Mahisa Murti-pun telah mengatakan apa yang dilihatnya.
“Dua orang yang berada di warung bersama kita?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa keduanya bukan orang kebanyakan. Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka mempunyai landasan yang kuat sehingga mereka tetap tenang.”
“Agaknya mereka pun menaruh perhatian atas kita,“ berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Aku menduga, bahwa keduanya mengamati saat-saat kita berhadapan dengan kelima orang itu. Tetapi kita tidak mengetahuinya, di mana mereka berada waktu itu.”
“Aku sependapat,“ sahut Mahisa Pukat, “karena itu maka kita harus lebih berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Agaknya di tempat ini berkeliaran orang-orang dari banyak pihak. Termasuk kita.”
Ketika Mahisa Pukat berpaling ke arah Tatas Lintang, maka Tatas Lintang itupun menyahut, “Ya. Di sini sudah ada dua pihak yang berbeda. Tetapi mudah-mudahan kita dapat bekerja bersama untuk seterusnya, sedangkan pihak-pihak yang lain tidak dapat bekerja bersama sebagaimana kita lakukan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Kita memang harus berhati-hati menghadapi keadaan apapun juga. Saat-saat yang paling gawat itu akan segera datang. Bukankah kita tidak akan terlalu lama menunggu?”
“Ya,“ jawab Tatas Lintang, “kita tidak akan membiarkan diri kita membeku di sini. Apalagi aku. Aku sudah cukup lama tinggal di sini.”
“Kau kira aku belum cukup lama mengembara,” sahut Mahisa Pukat, “tetapi kami mempunyai kerja sambilan. Sesekali kami sempat menjual barang-barang dagangan kami.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita harus mulai merencanakan mengamati padepokan itu lagi sebagaimana pernah kita lakukan. Tetapi kemudian aku tidak akan sendiri lagi.”
“Kita akan melakukannya segera,“ berkata Mahisa Murti, “jika kita terlalu lama mungkin sesuatu telah terjadi di Singasari atau di Kediri.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita akan bersiap mulai besok. Kita akan merencanakan kapan kita akan mulai bergerak mengamati padepokan itu. Apakah kita harus pergi bersama-sama, atau kita akan bergiliran.”
Tetapi Mahisa Pukat menyahut, “Mungkin kita sempat bergerak. Tetapi mungkin justru orang-orang dari padepokan itulah yang datang kemari.”
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun iapun berkata, “Memang mungkin sekali. Jika kelima orang itu berasal dari padepokan itu maka mungkin sekali merekalah yang datang mencari kita di sini.”
Ketiga orang yang disebut kemenakan Tatas Lintang itu-pun mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti lah yang berkata, “Kita sudah siap sejak semula. Apakah kita yang datang, atau mereka yang datang kepada kita. Tetapi satu keinginan yang harus terpenuhi, melihat padepokan itu dan mengetahui isinya.”
Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Namun tidak lagi berbicara dengan sungguh-sungguh, karena Tatas Lintang pun berkata, “Aku menjerang air. Tentu sudah mendidih.”
Mahisa Pukat pun kemudian membantu Tatas Lintang membuat minuman panas. Wedang sere dengan gula kelapa. Namun ketika mereka duduk kembali bersama-sama. Tatas Lintang pun berkata,
“Sudah waktunya kita mengatur diri. Setiap saat bahaya dapat mengancam kita. Nah, karena itu, maka kita harus bergantian berjaga-jaga. Setiap saat di antara kita harus ada yang tidak sedang tidur di malam hari. Sepanjang malam.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menyahut, “Aku sependapat. Kita berempat di rumah ini. Jika semalam berdua di antara kita berjaga-jaga bergantian, maka kita akan mendapat giliran setengah malam dalam dua hari.”
“Kau tentu memilih hari kedua,“ berkata Mahisa Pukat.
“Kenapa dengan hari kedua,“ bertanya Mahisa Murti.
“Malam ini kita masih berada di pondok ini. Mungkin besok malam kita semuanya sudah berada di sekitar padepokan.“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Namun yang lain pun kemudian tertawa pula. Dengan demikian, maka mereka pun kemudian mengambil keputusan lain. Setiap malam mereka akan membagi diri. Dua orang di belahan malam pertama dan dua orang di bagian kedua setelah lewat tengah malam. Mahisa Murti akan berjaga-jaga bersama Tatas Lintang, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura akan berjaga-jaga menjelang dini hari.
“Dua orang yang lewat setelah senja itu harus menjadi perhatian,“ berkata Mahisa Murti, “mungkin ia hanya sekedar ingin melihat pondok ini. Tetapi mungkin mereka mempunyai maksud tertentu. Apalagi jika kedua orang itu sebenarnya merupakan satu kelompok dengan kelima orang yang kita hadapi itu.”
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “banyak kemungkinan dapat terjadi. Kita memang harus berhati-hati.”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian, “Nah. kalian dapat tidur sekarang. Biarlah kami berdua berjaga-jaga, mumpung masih ada minuman tersisa. Wedang sere ini akan membuat tubuh kami hangat.”
“Nanti, kami pun akan menjerang air dan membuat wedang sere pula.“ jawab Mahisa Pukat, yang kemudian berkata kepada Mahisa Ura, “marilah. Kita akan tidur lebih dahulu.”
Demikianlah, seperti yang sudah mereka sepakati, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang di bagian pertama malam itu mendapat giliran untuk tidur lebih dahulu. Merekapun ternyata dapat menyisihkan segala macam persoalan sehingga mereka, segera dapat tidur dengan tenang. Apalagi Mahisa Murti dan Tatas Lintang akan tetap berjaga-jaga.
Untuk menghilangkan kantuk dan kejemuan, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang masih juga berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Namun mereka pun kemudian telah bermain macanan. Permainan yang ternyata dapat melupakan kejemuan yang kadang-kadang terasa mencengkam.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti pun berkata, “udara panas sekali. Aku akan keluar sebentar.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “berhati-hatilah.”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan iapun bangkit dan melangkah ke pintu. Namun ketika pintu berderit, ternyata Mahisa Pukat telah terbangun. Sambil menggeliat iapun bertanya, “Kau akan ke mana?”
“Udara panas sekali,“ jawab Mahisa Murti, “mungkin pengaruh wedang sere itu.”
Tatas Lintang yang melihat Mahisa Pukat terbangun itupun berkata, “Aku juga akan keluar sebentar. Jangan tidur dahulu sebelum kami berdua masuk kembali.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit dan duduk sambil menjawab, “Aku akan menunggu. Tetapi waktunya harus diperhitungkan.”
Tatas Lintang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika Mahisa Murti dan Tatas Lintang sudah berada di luar, maka mereka pun telah menutup pintu kembali, sementara Mahisa Pukat pun justru telah menepi dan duduk di bibir pembaringan. Sekali ia masih menguap. Namun kemudian ia merasa telah sadar sepenuhnya.
Seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang, maka iapun menunggu sampai keduanya masuk kembali. Mahisa Pukat pun sebenarnya juga merasa panas. Tetapi ia tidak menyusul keduanya keluar. Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah tertarik oleh suara yang asing di telinganya. Bukan desah nafas seseorang. Bukan pula langkah yang berdesir di tanah.
Perlahan-lahan terdengar dinding di bagian belakang pondok itu bergetar. Kemudian seolah-olah gesekan yang halus menelusuri dinding bambu yang tidak terlalu kuat itu. Mahisa Pukat telah memusatkan perhatiannya kepada bunyi yang tidak segera diketahui itu. Namun kemudian nafasnya bagaikan terhenti ketika ia mendengar derik kuku-kuku yang tajam berusaha untuk mengoyak dinding.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan berdebar-debar iapun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia sadar, bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh seekor binatang buas yang berusaha untuk mencari jalan memasuki pondok kecil itu.
“Seekor harimau,“ berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.
Menurut perhitungannya tidak ada jenis binatang lain yang akan berbuat seperti yang sedang dilakukan di belakang rumah itu. Tetapi ternyata binatang itu tidak segera memecah dinding dan meloncat masuk. Namun ketika terdengar binatang itu menggeram, Mahisa Pukat pun menjadi semakin yakin, bahwa di belakang rumah itu terdapat seekor harimau.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat telah menunggu. Iapun telah mempersiapkan diri dengan kekuatan Aji Pamungkasnya. Jika harimau itu muncul, maka ia akan membakarnya dengan pukulan Aji Bajra Geni nya. Sekali pukul Mahisa Pukat yakin, bahwa harimau itu tentu akan mati.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Tatas Lintang yang berada di halaman di depan pondok kecil itu memang merasa tubuh mereka menjadi sejuk. Sentuhan angin malam dan embun yang menitik dari dedaunan terasa sangat segar. Namun keduanya pun tiba-tiba telah terkejut. Mereka melihat sesuatu bergerak di luar pagar. Merangkak dan hilang di kegelapan. Namun keduanya pun segera mengetahui, bahwa yang lewat itu adalah seekor harimau.
“Tidak hanya seekor,“ desis Mahisa Murti sambil memberikan isyarat, bahwa di samping pondok mereka pun nampak seekor harimau yang melintas.
“Kita sudah melihat dua ekor,“ berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk. Katanya, “Mereka masih saja mempergunakan harimau jadi-jadian.”
“Mungkin bukan jadi-jadian,“ sahut Mahisa Murti perlahan-lahan, “harimau itu adalah harimau sebenarnya, tetapi sudah dikuasai ilmu gendam yang dapat mengatur perilaku harimau-harimau itu.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Tetapi kita sudah siap siapapun dan apapun yang akan kita hadapi.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita biarkan saja harimau-harimau itu jika mereka tidak menyerang. Sebaiknya kita beritahu Mahisa Pukat dan Mahisa Ura agar mereka bersiap-siap.”
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pondok. Namun mereka terkejut melihat sikap Mahisa Pukat. Dengan nada ragu Mahisa Murti pun bertanya, “Ada apa Pukat?”
Mahisa Pukat meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. Tetapi iapun kemudian menjadi kecewa ketika ia mendengar desir langkah harimau itu berlari menjauh.
“Apa yang sedang kau lakukan?“ bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Pukat menarik dalam-dalam. Katanya dengan nada kecewa, “Aku sedang menunggu sesuatu.”
“Apa?“ Mahisa Ura yang sudah terbangun pula bertanya.
“Ternyata ada seekor harimau yang ingin mengoyak dinding bambu yang lemah ini,“ desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berkata, “Agaknya ada tiga ekor harimau di sekitar pondok ini.”
“Tiga?“ Mahisa Pukat lah yang bertanya.
“Ya. Di depan pondok ini, di samping dan kau dengar di belakang pondok ini ada pula seekor.“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka telah duduk bersama dan menyelarak pintu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Agaknya harimau itu bukan harimau sewajarnya.”
“Harimau itu mungkin harimau sewajarnya. Tetapi yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan pribadi seseorang, sehingga harimau itu dapat diperalat sesuai dengan keinginan orang yang mempengaruhinya,“ sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pernah bertemu dengan harimau yang diliputi oleh rahasia yang belum terpecahkan. Bahkan ketika mereka ingin mengambil bangkai harimau yang terbunuh untuk diambil kulitnya, ternyata bangkai itu sudah tidak ada di tempatnya dan tidak diketahui ke mana perginya.
Karena itu katanya, “Kita akan berhadapan lagi dengan harimau-harimau itu.” “Satu permainan yang menjemukan,“ berkata Mahisa Murti, “kita harus membunuhnya dengan cepat pada perjumpaan kita di kemudian. Aku benar-benar sudah muak dengan permainan itu.” “Aku setuju,“ desis Mahisa Murti, “Itulah sebabnya aku sudah bersiap untuk memukul pecah kepala harimau itu pada ayunan pertama. Dengan demikian maka orang gila itu akan menghentikan permainannya yang menjemukan itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan menghadapinya dengan sungguh-sungguh. Sekarang, kita akan melanjutkan waktu istirahat kita. Bukankah sudah lewat tengah malam dan kita mendapat giliran untuk tidur?”
“Aku terbangun sebelum saatnya,“ sahut Mahisa Pukat.
“Aku pun belum tidur lewat saatnya,“ jawab Mahisa Murti.
Yang lain pun tertawa pula.
“Baiklah,“ berkata Mahisa Pukat kemudian. Lalu, “Sekarang datang giliran kita Mahisa Ura.”
Mahisa Ura pun mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku pun sudah merasa terlalu lama tidur.”
“Hati-hatilah dengan harimau-harimau itu,“ pesan Tatas Lintang, “sebaiknya kalian tidak pergi keluar. Seandainya harimau itu ingin menyerang kita, biarlah mereka berusaha masuk.”
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “demikian kepalanya tersembul, maka kepala itu akan kita pecahkan.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun membaringkan dirinya, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat giliran untuk berjaga-jaga.
“Minuman itu sudah habis,“ desis Mahisa Murti sambil memejamkan matanya.
“Aku akan merebusnya,“ berkata Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian bersama-sama berada di sebuah bilik kecil yang dipergunakan oleh Tatas Lintang sebagai dapur.
“Kita merebus air,“ desis Mahisa Pukat, “masih ada sere dan gula kelapa.”
Dengan demikian maka keduanya telah mendapat kesibukan untuk mencegah kantuk. Namun demikian mereka selalu berhati-hati menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dengan kehadiran beberapa ekor harimau. Namun sampai dini hari, harimau itu tidak datang lagi ke halaman pondok mereka. Tidak lagi terdengar dengus nafasnya atau suara kuku-kukunya yang tajam mengorek dinding.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura sempat menikmati minuman yang mereka buat sendiri. Segar sekali di dinginnya malam. Bahkan ketika cahaya fajar mulai membayang, minuman mereka masih terasa hangat. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun ternyata terbangun sebelum matahari terbit. Mereka melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih saja duduk di dapur bersandar tiang.
“Apa yang kalian lakukan di situ?“ bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun diteguknya minumannya yang segar sambil berdesah. Mahisa Murti hanya menarik nafas saja sambil melangkah keluar dan pergi ke pakiwan. Sejenak kemudian maka Tatas Lintang pun telah pergi keluar pula. Keduanya telah menghirup udara pagi yang segar. Sementara itu langit pun menjadi semakin terang.
“Kita lihat, apakah ada bekas-bekas harimau itu,“ desis Tatas Lintang kemudian.
Ternyata mereka memang menemukan bekas kaki dan kuku harimau di belakang rumah kecil itu. Dinding pun nampak membekas kuku-kuku yang tajam. Dengan demikian, maka mereka pun telah mendapat kepastian ada usaha untuk menyerang mereka dengan cara seperti yang pernah terjadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Memang menjemukan. Cara itu pernah ditempuhnya dan tidak berhasil. Seharusnya mereka menyadari, bahwa kami pernah mengalahkan harimau-harimau itu.”
“Apakah mereka sudah mengetahui, bahwa yang ada di sini adalah aku dan kalian yang pernah mengalahkan harimau-harimau itu?” bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka tidak menyadari, bahwa yang berada di sini adalah aku dan Mahisa Pukat.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tahu atau tidak tahu siapakah kita di sini, kita memang harus sangat berhati-hati.”
Belum lagi mulut Tatas Lintang terkatub rapat, mereka terkejut atas kedatangan beberapa orang memasuki halaman rumah mereka. Tatas Lintang dan Mahisa Murti yang berada di belakang rumah kecil itu bergegas pergi ke halaman depan. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ternyata telah menerima orang-orang yang datang itu.
“Kami mohon pertolongan,“ berkata salah seorang di antara mereka.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kami harus membantu mengerjakan sawah?”
“Kami tahu, bahwa ternyata kalian bukan orang kebanyakan. Apa yang terjadi di rumah ini atas orang yang sewenang-wenang terhadap sesama kami yang menjual tenaga mengerjakan sawah orang lain, serta apa yang terjadi di pasar, telah mengatakan kepada kami bahwa kalian bukannya orang kebanyakan seperti yang kami duga semula.“ berkata orang yang datang itu.
“Lalu bantuan apa yang kau kehendaki?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tiga ekor kambing dari padukuhan ini sudah dimakan harimau. Yang tersisa hanya bagian-bagian yang tidak berarti.“ jawab orang itu.
“Tiga ekor kambing?” bertanya Mahisa Pukat yang terkejut.
“Ya. Tiga ekor. Milikku satu, milik orang tua itu satu dan milik Ki Bekel satu.“ jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemenakannya itu untuk melihat-lihat apa yang terjadi. Mereka memang melihat sisa bangkai kambing yang sebagian besar tubuhnya telah dimakan oleh harimau yang memasuki padukuhan itu.
“Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya,“ berkata Ki Bekel ketika mereka sampai ke rumah Ki Bekel, “memang dahulu, beberapa waktu yang lalu, ada seekor harimau nampak memasuki padukuhan. Tetapi harimau itu tidak banyak menimbulkan kerugian. Seekor kambing pernah menjadi korban. Tetapi bekasnya tidak terlalu mengerikan seperti kali ini. Apalagi sekaligus tiga ekor kambing.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Yang terjadi itu memang mendebarkan. Tentu ada hubungannya dengan tiga ekor harimau yang datang ke pondok mereka.
“Memang sangat memprihatinkan,“ berkata Tatas Lintang kemudian.
“Apakah pendapat Ki Sanak tentang hal ini? Mungkin Ki Sanak melihat jalan keluar untuk mengatasinya?“ bertanya Ki Bekel.
Tatas Lintang merenung sejenak. Namun Tatas Lintang tidak dapat menyebut apa yang pernah terjadi di pondok mereka sebelum mereka meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi. Agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tidak mendahului Tatas Lintang sehingga mereka pun hanya berdiam diri saja.
Karena Tatas Lintang tidak segera menjawab, maka Ki Bekel itupun mendesaknya, “Ki Sanak. Agaknya di seluruh padukuhan ini tidak ada orang yang dapat menolong kami. Kami tidak tahu apakah maksud sebenarnya Ki Sanak tinggal di padukuhan kami setelah kami mengetahui kelebihan Ki Sanak. Namun justru karena kelebihan itulah maka kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat menolong kami.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun tatapan mata Ki Bekel mempunyai nada yang mendebarkan. Meskipun ia minta agar Tatas Lintang menolongnya, namun agaknya ada juga semacam kecurigaan. Karena itu, untuk menghilangkan segala prasangka yang kurang baik dalam hubungannya dengan orang-orang padukuhan itu, Tatas Lintang pun berkata,
“Ki Bekel. Baiklah, Kami akan mempelajari dan mengamati apa yang terjadi. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu mengatasi persoalan yang kini timbul di padukuhan ini. Agaknya harimau-harimau itu bukannya secara kebetulan memasuki padukuhan ini. Biasanya hanya harimau yang telah menjadi tua dan tersisih dari pergaulan di antara sesama harimau sajalah yang memasuki padukuhan untuk mencari mangsanya. Tetapi sudah tentu tidak sampai tiga ekor sekaligus.”
“Ya Ki Sanak,“ jawab Ki Bekel, “memang ada tiga ekor kambing yang diterkamnya. Tetapi apakah dengan demikian harimau yang menerkamnya juga berjumlah tiga ekor?”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Yang diketahuinya memang tiga ekor harimau yang datang ke pondoknya. Meskipun demikian ia menjawab, “Maksudku korbannya adalah tiga ekor kambing. Memang aku menduga bahwa harimaunya tentu tidak hanya seekor. Betapa besar dan rakusnya harimau itu tetapi harimau itu tentu tidak akan menerkam tiga ekor kambing sekaligus dalam satu malam.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Tatas Lintang, bahwa seekor harimau tidak akan menerkam tiga ekor kambing dalam satu malam.
Sementara itu maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Ki Sanak serta ketiga orang kemanakan Ki Sanak. Seperti sudah kami katakan, kami mengetahui bahwa Ki Sanak memiliki kelebihan. Meskipun agaknya kami agak terlambat menyadari hal itu. Kami mengira bahwa Ki Sanak bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Ki Sanak perlihatkan dalam perkelahian di dekat pasar itu. Sebagai penghuni padukuhan ini maka Ki Sanak tentu tidak akan berkeberatan.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Baiklah ki Bekel. Kami akan berusaha. Tetapi kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa kami akan berhasil.”
“Kami tidak dapat memaksakan sesuatu terhadap ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “sudah tentu kami tidak akan dapat menentukan keberhasilan usaha Ki Sanak. Tetapi jika Ki Sanak bersedia berusaha, berhasil atau tidak berhasil, kami akan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Bekel. Untuk melakukan pekerjaan ini aku akan mohon bantuan seluruh penghuni padukuhan ini. Bergantian kita semuanya akan berjaga-jaga, tegasnya para peronda mendapat tugas tambahan, mengawasi kandang-kandang kambing di seluruh padukuhan. Sudah barang tentu kami tidak akan dapat melihat seluruh padukuhan ini pada satu saat. Karena itu maka kami mohon setiap orang yang mendapat giliran meronda, jika melihat kedatangan harimau itu harus memberikan isyarat. Dengan demikian kami akan dapat segera datang. Jika mungkin kami akan berusaha untuk membunuh harimau itu. Meskipun aku sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mungkin bukan aku yang membunuh harimau itu, tetapi nasibku tidak lebih baik dari seekor kambing yang telah dikoyak-koyak oleh harimau itu.”
“Kalian memiliki kelebihan. Meskipun segala kemungkinan dapat terjadi, namun aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kalian akan berhasil, sementara itu kami semuanya akan membantu sesuai dengan kemampuan kami.“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih,“ jawab Tatas Lintang, “tanpa aku pun seluruh laki-laki di padukuhan ini tentu akan mampu membunuh seekor, bahkan dua ekor harimau. Tetapi karena kita sudah mendapat kesan tentang kegarangan seekor harimau, maka kita pada umumnya telah menjadi ketakutan demikian kita mendengar aumnya atau melihat taringnya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Jawabnya, “Karena itu agaknya mereka memerlukan satu dua orang yang dapat membangkitkan keberanian mereka.”
Sekali lagi Tatas Lintang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Dan kami pun percaya bahwa semua laki-laki di padukuhan ini akan membantu kami sebaik-baiknya.”
“Baiklah. Sejak nanti malam, kami semuanya akan berjaga-jaga. Mudah-mudahan Ki Sanak pun akan dapat bersama kami malam nanti,“ berkata Ki Bekel.
“Kami akan berada di pondok kami,“ berkata Tatas Lintang, “dari pondok kami, kami akan mengamati padukuhan ini. Mungkin kami akan mengintai di satu tempat tertentu. Mungkin kami berempat akan berada di satu tempat. Tetapi mungkin kami akan berpencar. Sekali lagi kami pesan, jika peronda atau siapapun yang melihat harimau memasuki padukuhan ini. kami harap dapat memberikan isyarat dengan kentongan. Kami akan segera datang. Sudah tentu dengan ciri-ciri khusus yang dapat menunjukkan tempat harimau itu."
Akhirnya Ki Bekel tidak berkeberatan. Merekapun telah membicarakan tanda-tanda yang khusus sehingga Tatas Lintang akan dapat dengan segera tahu arah harimau yang memasuki padukuhan itu.
Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan kepada semua laki-laki untuk ikut merasa bertanggung jawab atas ketenteraman padukuhan mereka. Bergiliran mereka telah mengatur diri untuk berjaga-jaga. Di setiap sudut, simpang tiga dan simpang empat, bahkan tempat-tempat yang dianggap dapat menjadi jalur jalan yang ditempuh oleh harimau-harimau untuk memasuki padukuhan itu telah mendapat pengawasan.
Tetapi di malam berikutnya, ternyata di padukuhan itu tidak terdapat seekor harimau pun. Para peronda tidak menemukan yang mereka cari. Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang di tengah malam berjalan berkeliling padukuhan, serta singgah di antara orang-orang yang meronda, juga tidak melihat apapun juga.
Namun Tatas Lintang tidak segera mengambil keputusan. Katanya kemudian, “Mungkin di malam berikutnya.”
“Dan kita terus menunggu pagi sampai kita dapat menangkap atau membunuh harimau itu?“ bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit bagi kita untuk menolak permintaan Ki Bekel itu. Namun demikian, kita akan melakukan pengamatan sekaligus melihat apakah ada hubungan antara harimau itu dengan padepokan yang ingin kita lihat. Menilik keterangan yang kalian berikan kepadaku sebelumnya, maka agaknya memang ada hubungan antara harimau itu dengan padepokan dari yang kau sebut orang-orang bertongkat itu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti bahwa sulit untuk menolak permintaan Ki Bekel. Meskipun mereka dapat saja pergi dan tidak kembali ke padukuhan itu tetapi mereka, terutama Tatas Lintang yang sudah lebih lama tinggal di padukuhan itu. akan merasa sangat berat. Ia tidak akan sampai hati membiarkan padukuhan itu dalam kecemasan.
Karena itu, maka ketiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang itupun akhirnya harus menyesuaikan diri. Dengan berbagai pertimbangan mereka pun harus menunggu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Tetapi jika benar harimau-harimau itu adalah harimau-harimau sebagaimana pernah menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka penantian mereka itupun agaknya akan ada gunanya.
Demikianlah, di malam berikutnya, bukan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang ikut bersama-sama dengan orang-orang padukuhan itu, tetapi Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun telah keluar pula dari pondok mereka dan bersama-sama dengan yang lain pergi meronda di seluruh padukuhan itu.
Namun seperti malam yang lewat, mereka tidak menjumpai apapun juga, sehingga menjelang fajar, Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itupun minta diri kepada Ki Bekel dan kembali ke pondok mereka yang kosong. Tetapi Tatas Lintang tidak perlu cemas, karena ia tidak memiliki apapun yang berharga yang dapat menjadi sasaran pencurian atau perampokan. Ia memang mempunyai bekal yang cukup.
Tetapi Tatas Lintang telah menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah diketahui orang. Sedangkan bekal Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, selalu dibawanya pada kantong ikat pinggangnya dan pada kampil kecil yang selalu tergantung di lambung.
Namun bagaimanapun juga, ketika mereka memasuki pondok kecil mereka, jantung mereka pun menjadi berdebaran. Ternyata isi pondok kecil itu telah menjadi berserakan.
“Gila,“ geram Tatas Lintang, “baru berapa hari ini kita membenahi isi rumah kita. Kini keadaan itu telah terulang.”
Tetapi Mahisa Murti melihat keadaan yang berbeda. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku kira kita menghadapi keadaan yang berbeda.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Sementara itu Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Lihat. Jalan inilah yang dipergunakan oleh mereka yang merusak isi rumah kita.”
Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah mendekati sebuah lubang yang besar pada dinding bambu yang tidak terlalu kuat di bagian belakang dari pondok kecil itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa bekas-bekasnya menunjukkan bahwa yang telah memasuki pondok kecil itu adalah bukan manusia, tetapi harimau. Mungkin seekor, mungkin lebih.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang kitalah yang menjadi sasaran. Jika harimau-harimau itu membunuh kambing, itu hanyalah salah satu cara untuk mengganggu kita juga.”
Mahisa Pukat pun menggeram. Katanya, “Kita memang harus menemukannya. Kita harus menunjukkan, bahwa harimau-harimau itu tidak banyak berarti jika kita sempat menemukannya.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Ia pun berkata dalam nada rendah, “Kita akan mencari sampai ketemu. Karena itu. maka biarlah kita tidak bersama-sama meninggalkan pondok ini. Besok kita beritahukan kepada orang-orang padukuhan tentang pondok ini. Jika hanya dua orang diantara kita yang keluar rumah, bukan karena kita tidak bersungguh-sungguh membantu mereka. Tetapi karena justru rumah kitalah yang menjadi sasaran.”
“Ya. Tetapi kita pun harus mempunyai alat untuk mengirimkan isyarat, sehingga dalam keadaan tertentu kita akan berkumpul menghadapi harimau-harimau itu. Mereka harus dihabiskan tanpa ampun, karena dengan demikian maka kita akan dapat membangkitkan kesan kepada orang-orang yang menggerakkan harimau itu bahwa kita siap menghadapinya.“ berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk-angguk, ia sadar bahwa sikap itu justru didorong oleh kemarahan yang telah mengguncang isi dadanya. Tatas Lintang serta ketiga orang yang disebut kemanakannya itu sama sekali tidak membenahi isi rumah yang berserakan itu. Dinding yang koyak oleh kuku-kuku yang tajam. Ajug-ajug yang roboh dan amben mereka yang baru itupun telah rusak pula.
Keempat orang itu melihat seakan-akan harimau yang merusak isi rumah mereka itupun mampu melakukannya sebagaimana seseorang melakukannya. Seolah-olah harimau-harimau itu tahu yang manakah yang harus mereka rusakkan dari isi rumah yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian pagi turun serta matahari mulai naik, beberapa orang telah menyaksikan apa yang terjadi di pondok kecil itu. Ki Bekel yang mendapat pemberitahuan itupun segera telah datang pula. Iapun melihat isi rumah Tatas Lintang yang tidak berarti itu telah berserakan.
“Kita akan menggantinya,“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih Ki Bekel,” berkata Tatas Lintang, “Jika ada yang harus diganti. Kami akan memperbaiki barang-barang kami yang rusak ini. Kami pun akan dapat menutup dinding bambu yang berlubang karena dikoyak oleh kuku-kuku harimau itu.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Aku kira kami memang tidak perlu menggantinya, karena yang kita lihat ini bukanlah yang sebenarnya.”
“Apa maksud Ki Bekel?“ bertanya Tatas Lintang.
Ki Bekel itu tersenyum. Jawabnya, “Tidak apa-apa.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengerti maksud Ki Bekel, sebagaimana ketiga orang yang disebut kemenakannya itu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, “Ki Bekel, dengan peristiwa ini kami akan memohon bahwa di malam-malam berikutnya, hanya dua orang sajalah di antara kami yang akan membantu Ki Bekel mencari harimau itu di setiap sudut padukuhan ini, sedangkan dua di antara kami akan tetap berada di rumah ini.”
“Kami mengerti,“ jawab Ki Bekel, “dan kami pun tidak akan berkeberatan.”
Ki Bekel pun kemudian minta diri. Beberapa orang masih tinggal di sekitar pondok itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kalian mengungsi saja ke banjar daripada kalian akan dikoyak oleh harimau itu sebagaimana dinding rumahmu itu.”
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, “Biarlah aku menunggu gubugku ini. Mudah-mudahan harimau itu dapat aku jinakkan.”
“Betapapun kuatnya seseorang, namun melawan seekor harimau liar tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu, bukankah rumahmu itu tidak berisi barang-barang berharga? Karena itu, tinggalkan saja dan tinggallah di banjar. Jika harimau itu datang lagi ke rumah ini, ia tidak akan menjumpai apa-apa sebagaimana semalam. Jika dua tiga kali terjadi seperti itu, maka harimau itu tentu akan menjadi jemu dan tidak akan datang lagi ke pondok ini. Nah, jika demikian maka kalian akan dapat kembali lagi.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia menjawab, “Kami akan mencoba mempertahankan rumah ini. Bukan karena harta benda yang ada di dalamnya. Tetapi kami akan belajar mempertahankan hak kami. Mungkin seekor harimau akan dapat membunuh seseorang. Tetapi seseorang mempunyai kesempatan lebih banyak dari seekor harimau, karena seseorang mampu mempergunakan akalnya untuk melawan seekor harimau, sedang seekor harimau tidak mampu mempergunakan akal serta nalarnya.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi seandainya aku menjadi kalian, maka aku tidak akan mencari kesulitan dengan menunggu seekor harimau. Lebih baik kalian berada di antara kami jika kalian tidak mau berada di banjar.”
Tatas Lintang tidak menjawab lagi meskipun ia masih saja tersenyum. Namun orang-orang itupun akhirnya meninggalkan rumah Tatas Lintang. Orang yang menasehatkan agar ia pergi ke banjar itupun bergumam di antara kawan-kawannya, “Orang itu memang sombong.”
“Kenapa?“ bertanya kawannya.
“Aku sarankan agar ia tidur saja di banjar,“ jawab orang itu, “tetapi ia menolak. Ia merasa mampu melawan seekor harimau.”
“Ia orang yang berilmu,“ desis kawannya, “ia sudah menunjukkan bahwa ia mampu mengalahkan orang-orang yang ditakuti di padukuhan ini serta orang yang garang di dekat pasar.”
“Tetapi orang-orang itu bukan harimau,“ berkata orang itu.
Kawannya tidak menjawab lagi. Memang menurut gambarannya harimau jauh lebih menakutkan daripada seseorang betapapun besar tenaganya. Ketika orang-orang yang datang ke rumahnya sudah pulang semuanya, maka Tatas Lintang pun berkata, “Kita akan memperbaiki isi rumah kita yang rusak.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah bekerja untuk membenahi isi rumah itu, sementara Tatas Lintang memperbaiki dinding yang telah koyak dengan menutupnya dengan belahan-belahan bambu.
“Kita tidak akan membiarkan siapapun merusak isi rumah ini lagi,“ berkata Mahisa Pukat, “agar kita tidak usah memperbaikinya lagi.”
Tatas Lintang yang mendengarnya pun tertawa. Namun kemudian katanya, “Kita akan menjaganya. Kita tidak akan meninggalkan pondok ini lagi di malam hari. Dua orang di antara kita akan berada di rumah, jika yang lain ikut meronda bersama anak-anak muda padukuhan ini.”
Sebenarnyalah ketika kemudian malam turun, maka yang keluar dari pondok itu hanyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berdua telah ikut bersama-sama anak-anak muda padukuhan itu mengamati keadaan di seputar padukuhan. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai seekor harimau pun. Namun Tatas Lintang dan Mahisa Ura yang tinggal di rumah, ternyata telah mendengar dengus harimau di belakang pondok itu.
Dengan isyarat Tatas Lintang minta Mahisa Ura bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Jika harimau itu sekali lagi mengoyak dinding dan memasuki rumah itu, maka mereka harus membinasakannya tanpa ampun. Bukan saja karena harimau itu pernah merusakkan pondok mereka. Tetapi mereka harus memberikan kesan bahwa harimau-harimau itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tatas Lintang dan Mahisa Ura berusaha untuk tidak mengejutkan dan mengusir harimau itu. Mereka dengan hati-hati telah berada di bagian belakang pondok mereka. Dari tempat mereka menunggu, mereka dapat mendengar dengan jelas dengus harimau yang kemudian mencoba untuk mengorek dinding yang baru saja diperbaiki itu.
Tatas Lintang bergeser mendekat. Namun ternyata bahwa hidung harimau itu cukup tajam. Agaknya harimau itu telah mencium bau seseorang di dalam pondok itu, sehingga karena itu, maka harimau itu telah menggeram. Tatas Lintang sadar, bahwa kehadirannya telah diketahui oleh harimau itu. Karena itu, maka iapun tidak lagi mengendap-endap.
Demikian Tatas Lintang berdiri, iapun telah memberikan isyarat agar Mahisa Ura pun tidak perlu lagi menahan nafasnya. Tetapi sejenak kemudian tiba-tiba mereka mendengar harimau itu mengaum. Suaranya memang tidak begitu keras. Namun auman harimau itu seakan-akan pertanda sesuatu bagi kawan-kawannya atau bagi seseorang.
Sejenak Mahisa Ura dan Tatas Lintang menunggu. Namun agaknya Mahisa Ura tidak sabar, sehingga iapun berdesis, “Aku akan keluar. Kita tidak dapat menunggu terlalu lama.”
Tetapi ketika Mahisa Ura benar-benar melangkah, maka Tatas Lintang telah menahannya sambil berdesis, “Kita tidak tahu, apa yang ada di luar. Karena itu, biarlah kita menunggu.”
“Tetapi kita akan kehilangan harimau-harimau itu lagi,“ jawab Mahisa Ura.
Tetapi Tatas Lintang berkata, “Harimau-harimau itulah yang merunduk kita. Karena itu, mereka tidak akan pergi. Mereka akan masuk dan akan menerkam kita , Namun apakah benar bahwa yang datang itu hanya seekor atau dua ekor atau tiga ekor harimau saja.”
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan jika harimau itu benar-benar akan menerobos masuk ke dalam pondok itu. Sebenarnyalah yang terdengar dari dalam rumah itu telah mendebarkan jantung. Ternyata sejenak kemudian mereka mendengar dengus bukan hanya seekor. Tetapi lebih dari dua ekor. Seekor sedang mengorek-ngorek sudut pondok itu, yang lain telah mendorong-dorong pintu butulan, sementara seekor lagi terdengar menggoreskan kukunya di dinding. Namun selain itu, masih juga terdengar seekor mengaum di depan pondok kecil itu.
“Memang beberapa ekor harimau,“ berkata Tatas Lintang, “kita akan menerkam tamu kita dengan meriah. ”
“Apakah kita tidak mengundang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk ikut dalam permainan yang menyenangkan ini?” bertanya Mahisa Ura, “bukankah mereka telah berpesan?”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Bagaimana cara kita memanggil mereka? Jika kita memukul kentongan, maka mungkin seisi padukuhan akan datang. Dengan demikian maka harimau-harimau itu akan pergi, atau yang terjadi justru sebaliknya. Akan jatuh korban karena harimau itu dengan liar dan kasar menyerang mereka.”
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencari mereka.“
“Itu berbahaya sekali,“ berkata Tatas Lintang, “sekali lagi aku peringatkan.”
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan mencobanya dengan Aji Pameling. Mudah-mudahan ia dapat menangkapnya.”
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan Aji Pameling. Ketajaman perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diharapkannya akan dapat tersentuh oleh getaran ilmunya.
Ternyata bahwa tingkat ilmu Tatas Lintang cukup tinggi. Aji Pamelingnya dengan tajam telah memancarkan getaran yang akan dapat memanggil mereka kembali ke pondok kecil itu. Ternyata bahwa perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup peka untuk menerima sentuhan getaran Aji Pameling. Karena itulah maka tiba-tiba saja keduanya merasa bahwa mereka harus segera kembali.
“Ada semacam kekuatan yang memanggil kita kembali ke pondok kecil itu,“ berkata Mahisa Murti yang sedang berada di sebuah simpang tiga di pinggir padukuhan.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga merasakannya. Tentu bukan sekedar kebetulan.”
“Aku mendapat isyarat yang cukup jelas bagiku. Kita memang harus segera kembali,“ sahut Mahisa Murti.
“Tentu Tatas Lintang yang memiliki bermacam-macam ilmu telah memanggil kita,“ desis Mahisa Pukat.
“Aku juga menduga demikian,“ sahut Mahisa Murti.
Dengan demikian maka keduanya pun segera menemui orang yang cukup berpengaruh di tempat itu. Dengan hati-hati keduanya menjelaskan bahwa keduanya ingin melihat pondok mereka.
“Kenapa dengan pondok kalian? Bukankah pamanmu dan kakakmu ada?“ jawab orang yang berpengaruh itu.
“Ya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu terjadi,“ jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami berdua sajalah yang melihatnya.”
“Baiklah,“ berkata orang itu, “tetapi segera saja kembali kemari.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tergesa-gesa menuju ke pondok kecilnya. Mereka sengaja berusaha untuk tidak melewati gardu-gardu pengawas, agar mereka tidak tertahan oleh anak-anak muda dan orang-orang yang berada di gardu-gardu.
Sementara itu, Tatas Lintang yang telah melepaskan Aji Pameling itu menjadi berdebar-debar. Ia masih belum yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menangkapnya. Namun apapun yang terjadi, maka mereka yang ada di pondok itu harus menghadapi harimau-harimau yang agaknya memang berusaha untuk memasuki rumah itu.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Ura yang memperhatikan gerak harimau-harimau itu selama Tatas Lintang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan Aji Pamelingnya, melihat dinding di sudut rumah itu sudah mulai bergetar. Ketika sepotong bambu patah, maka Mahisa Ura itupun segera mempersiapkan diri untuk dengan pukulan pertama menghancurkan harimau itu.
Namun Mahisa Ura itu terkejut ketika ia mendengar derak di sisi pondok itu. Ternyata seekor di antara harimau-harimau itu berusaha untuk memasuki rumah kecil itu lewat tutup keyong yang memang agak lemah. Dinding rumah di sebelah sisi itu bergetar ketika seekor di antara harimau-harimau itu memanjat. Mahisa Ura memang agak bingung. Yang manakah di antara kedua harimau itu yang lebih dahulu akan memasuki pondok kecil itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah selesai. Dengan nada rendah ia berkata, “Biarlah yang memanjat dinding itu aku selesaikan.”
Mahisa Ura menarik nafas-nafas dalam-dalam. Yang dihadapinya kemudian adalah harimau yang akan merusak dinding di sudut rumah itu. Tetapi ternyata di bagian lain, dinding pun mulai koyak. Bahkan ketika Mahisa Ura berpaling, dilihatnya kuku-kuku harimau itu mematahkan bambu-bambu yang dianyam menjadi dinding, dan sebelah kaki depannya pun telah menembus masuk menggapai-gapai.
Mahisa Ura menggeram. Tetapi ia telah bergeser. Ia berdiri di tengah-tengah di antara dua ekor harimau yang berebut dahulu memasuki rumah kecil itu. Sementara itu Tatas Lintang sudah siap menerima jika harimau yang memanjat dinding itu akan menembus memasuki tutup keyong.
Pada saat yang demikian itulah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki halaman pondok kecil itu. Keduanya terkejut melihat seekor harimau berkeliaran di halaman.
“Apakah hanya seekor?“ bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun bergerak mendekati harimau itu sambil berdesis, “Lihat di bagian lain dari halaman ini.”
Mahisa Pukat pun kemudian bergeser ke samping. Ketika harimau di halaman itu berpaling ke arahnya, Mahisa Murti telah mendekatinya sambil berdesis, “Lawan aku, he?”
Harimau itu tiba-tiba mengaum tidak terlalu keras. Dihadapinya Mahisa Murti dengan mata yang menyala. Yang ada di dalam rumah itu mendengar suara di halaman. Dengan serta merta Mahisa Ura bertanya dengan lantang, “Siapa di halaman depan?”
“Aku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Di sini ada seekor harimau.”
“Di belakang ada beberapa ekor yang sudah siap untuk menerobos dinding,“ berkata Mahisa Ura.
“Pukat akan melihatnya,“ jawab Mahisa Murti.
”Berhati-hatilah,“ tiba-tiba terdengar suara Tatas Lintang, “ada yang memanjat.”
Sejenak suasana menjadi tegang. Mahisa Pukat yang telah berada di halaman samping tertegun melihat beberapa ekor harimau di belakang rumah itu. Bahkan seekor di antaranya telah memanjat dinding dan siap meloncat masuk ke dalam rumah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Tatas Lintang telah memberikan isyarat kepada Mahisa Ura. Justru ketika seekor harimau dapat memecah dinding dan menerobos masuk, serta yang menembus tutup keyong pun telah meloncat turun di dalam pondok kecil itu, Tatas Lintang dan Mahisa Ura telah meloncat keluar lewat pintu depan.
“Kau Mahisa Murti,“ sapa Mahisa Ura.
Mahisa Murti bergeser ke samping. Harimau dihadapannya telah merunduk dan siap untuk menerkam. Tetapi ketika Mahisa Ura dan Tatas Lintang meloncat keluar, maka harimau itu telah berpaling. Tetapi hanya sesaat. Kemudian iapun telah kembali memandang Mahisa Murti dengan sorot matanya yang membara.
Mahisa Pukat yang berada di sisi rumah itu agak ke belakang, telah bergeser pula ke halaman depan. Dengan demikian maka keempat orang itupun telah lengkap berada di depan pondok kecilnya.
Harimau yang telah berada di dalam rumah itu menjadi sangat marah. Mereka sempat merusak isi rumah itu. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Ternyata kita tidak mencegah harimau-harimau itu merusak rumah kita.”
“Kita akan menyambutnya di sini,“ berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua ekor harimau telah keluar lewat pintu dengan marahnya. Sementara yang lain berlari melingkari rumah itu. karena harimau itu belum berhasil masuk. Namun ternyata ketika harimau-harimau itu telah berada di halaman, maka jumlahnya adalah lima ekor.
“Lima ekor,“ berkata Tatas Lintang.
“Aku akan menghancurkan mereka,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya,“ sahut Tatas Lintang dengan suara yang lebih keras, “kita harus menunjukkan bahwa harimau-harimau ini tidak berarti apa-apa.”
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun segera menyadari, bahwa Tatas Lintang telah mengatakannya dengan suara lantang bukannya tanpa maksud.
“Tentu ada orang lain yang mendengarnya,“ berkata ketiganya di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka kata-kata Tatas Lintang itu merupakan perintah untuk membunuh harimau-harimau itu dengan segera.
Mahisa Murti lah yang telah bersiap lebih dahulu. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku sudah siap. Minggirlah.”
Dalam pada itu, maka harimau yang berhadapan dengan Mahisa Murti telah siap untuk menerkam. Harimau itu bergeser sambil merunduk, sehingga perutnya hampir melekat di tanah.
Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang pun telah bergeser. Harimau-harimau yang lain pun telah mengikuti mereka. Dua ekor harimau telah merangkak dengan hati-hati ke arah Tatas Lintang. Yang lain pun telah mulai merunduk sambil menggeram pula. Mereka nampaknya digerakkan oleh satu perintah untuk menyerang lawannya bersama-sama.
Mahisa Murti sebagaimana yang lain memang ingin menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar siap. Karena itu, maka ketika harimau yang merunduk Mahisa Murti itu meloncat menyerang, maka Mahisa Murti telah siap menerimanya dengan ilmunya yang dahsyat dalam bentuknya yang keras.
Demikianlah, maka harimau yang tidak menduga bahwa ia akan membentur satu ilmu yang dahsyat itu telah mengaum dan menerkam Mahisa Murti. Kuku-kukunya terjulur ke depan siap mengoyak tubuh sasarannya. Bahkan taring-taringnya yang tajam pun telah siap pula dipergunakannya.
Namun yang terjadi kemudian telah mengakhiri kegarangan harimau itu. Sebelum kuku-kuku harimau itu menyentuh kulit Mahisa Murti, maka Mahisa Murti telah mengayunkan tangannya menyongsong tubuh harimau yang menerkamnya itu.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Kekuatan ilmu puncak yang dilambari Aji Pamungkas yang terpusat di tangan Mahisa Murti bagaikan hentakan kekuatan yang memancar dari letusan Gunung Merapi yang meledak.
Demikian besar kekuatan yang terpancar pada benturan tangan Mahisa Murti yang telah mengenai kepala Harimau itu, maka harimau yang perkasa serta ditakuti oleh penghuni hutan yang lain itu tidak berdaya untuk bertahan.
Yang terdengar kemudian adalah harimau itu mengaum keras sekali. Jauh berbeda dengan auman sebelumnya yang hanya terdengar dari jarak yang dekat. Namun ketika kepalanya membentur kekuatan ilmu Mahisa Murti, maka harimau itu telah berteriak sekeras-kerasnya. Demikian harimau itu jatuh di tanah, maka tubuhnya tidak lagi bergerak sama sekali. Mati. Tulang kepalanya telah retak dan otaknya pun telah terguncang.
Suara harimau itu memang mengejutkan. Yang mendengar suara itu bukan saja orang-orang yang berada di halaman itu. Tetapi orang-orang yang berada di padukuhan pun telah mendengarnya pula. Beberapa orang yang mendengar aum yang dahsyat itu terkejut. Terkejut kulit mereka meremang. Meskipun mereka mengharap Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu bersedia untuk membantu mereka, tetapi jantung mereka telah berdebaran juga mendengar aum yang menggetarkan itu.
“Di mana anak-anak muda itu?“ bertanya seseorang.
“Entahlah,“ jawab yang lain, “mungkin mereka baru berkeliling.”
Tetapi seorang yang lain menyahut, “Aku dari regol. Anak itu baru menengok pondoknya.”
Orang yang pertama itupun berkata pula, “Pada saat kita mendengar aum harimau itu, anak-anak itu tidak ada di antara kita.”
“Tetapi mereka tentu mendengarnya juga,“ jawab yang lain, “bahkan menurut pendengaranku, suara harimau itu berasal justru dari arah pondok kecil itu, atau sekitarnya.”
“Mudah-mudahan, bagaimanapun juga mereka mempunyai kelebihan.”
Namun seorang yang berjambang lebat berkata, “Ada atau tidak ada, kita semuanya akan membunuh harimau itu beramai-ramai.”
Yang lain-lain pun mengangguk-angguk pula. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita akan mencari harimau itu.”
Tetapi orang berjambang lebat itu termangu-mangu. Katanya kemudian, “Kenapa kita harus mencarinya? Kita tunggu saja di sini.”
“Jika harimau itu tidak kemari?“ bertanya kawannya.
“Kita mendapat tugas di sini,“ berkata orang berjambang lebat itu, “karena itu kita jangan pergi ke mana-mana.”
Kawannya tersenyum. Karena ia sudah mengetahui sifat-sifat orang berjambang itu, maka katanya, “Marilah. Kita berdua melihatnya lebih dahulu. Jika kita bertemu, maka kita akan memukul isyarat dengan kentongan.”
Orang berjambang itu menjadi tegang. Beberapa orang yang lain yang sudah mengenalinya pula menyahut hampir bersamaan, “Pergilah. Kita menunggu di sini.”
Orang berjambang lebat dan bertampang seram itu menjadi pucat. Orang yang mengajaknya itu telah berdiri dan melangkah. Katanya, “Marilah.”
Tetapi orang yang berjambang lebat itu berkata gagap, “Tidak ada gunanya. Harimau itu tentu sudah lari. Aku menunggu di sini saja. Mungkin harimau itu justru akan lari kemari.”
Namun belum lagi kawannya menjawab, tiba-tiba telah terdengar lagi seekor harimau mengaum sekeras yang pernah mereka dengar. Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Pukat pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika seekor harimau menerkamnya, maka Mahisa Pukat telah melakukan hal yang sama, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti.
Tetapi agaknya Mahisa Ura ingin berbuat lain. Ia tidak menunggu harimau itu menerkamnya. Tetapi Mahisa Ura lah yang lebih dahulu menyerang. Justru pada saat harimau itu merunduk, maka Mahisa Ura telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyerang harimau itu dari jarak beberapa langkah. Mahisa Ura ingin membuktikan apakah ia benar-benar telah memiliki warisan ilmu dari Tatas Lintang.
Karena itu, menyusul aum harimau yang terbunuh oleh Mahisa Pukat, maka Mahisa Ura pun telah menyerang harimau yang merunduknya. Harimau yang sedang merunduk itu terkejut bukan buatan ketika sekilas sinar menyambarnya. Harimau itu mengaum dan melonjak tinggi sekali. Namun ketika harimau itu terjatuh di tanah, maka harimau itu justru menjadi seakan-akan gila. Ia tidak merunduk lagi untuk menerkam, tetapi harimau itu dengan serta merta telah berlari untuk menggapai tubuh Mahisa Ura.
Namun Mahisa Ura sempat mengelak dengan loncatan panjang menyamping. Sekali lagi ia sempat melontarkan pukulan itu dari jarak yang lebih dekat. Sekali lagi harimau itu mengaum. Tetapi pukulan dari samping yang langsung mengenai kepalanya itu agaknya telah menentukan. Harimau itu menggeliat kesakitan. Serangan Mahisa Ura yang bagaikan sinar menyambarnya dari samping itu terasa bagaikan sentuhan segumpal batu padas yang menimpa kepalanya.
Ternyata bahwa serangan itu telah menentukan. Harimau itu tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali harimau itu berguling. Namun kemudian harimau itupun diam. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun serangannya tidak mematikan seketika sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun ia merasa bangga juga, bahwa ia telah mewarisi sejenis ilmu yang jarang ada bandingnya sesuai dengan alas kekuatan ilmunya sendiri.
“Jika aku sempat kembali ke tugasku, maka ilmu ini akan sangat berarti,“ berkata Mahisa Ura didalam hatinya. Sebagai prajurit dalam tugas sandi, maka ilmu kanuragan dan kelengkapannya merupakan modal yang sangat penting baginya.
Aum harimau yang berurutan terdengar oleh orang-orang padukuhan itu memang sangat mendebarkan jantung. Orang-orang yang berjaga-jaga di padukuhan itupun menjadi berdebar-debar. Mereka telah mempersiapkan senjata mereka masing-masing. Orang-orang yang tidak terlalu berani, menjadi gemetar meskipun di tangannya tergenggam senjata. Bahkan ada orang yang menjadi hampir pingsan dan keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.
“Apa yang harus kita lakukan,“ bertanya seseorang.
Kawan-kawannya tidak tahu juga apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka seorang di antara mereka menjawab. “Kita menunggu perintah Ki Bekel.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel pun menjadi bingung. Beberapa orang bebahu telah dipanggilnya di gardu di ujung lorong. Dengan gelisah Ki Bekel itupun telah minta pendapat para bebahu itu.
“Anak-anak muda itu baru pulang sebentar untuk melihat pondok mereka yang pernah dirusak oleh harimau-harimau itu,“ berkata salah seorang bebahu.
“Suara itu berasal dari pondok kecil itu. Agaknya pondok kecil itu memang menjadi sasaran harimau,“ berkata bebahu yang lain.
“Tetapi harimau itu tentu tidak hanya seekor,“ berkata Ki Bekel, “sebenarnya kita harus menengoknya. Anak-anak itu sudah bersedia membantu kita. Jika mereka sendiri mengalami kesulitan, apakah kita tidak datang membantunya?”
Para bebahu itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita beramai-ramai melihatnya.”
Ki Bekel itupun kemudian berkata kepada sejumlah laki-laki dan anak-anak muda yang ada di sekitar gardu itu, “Saudara-saudaraku. Marilah kita pergi ke pondok kecil itu.”
Beberapa orang nampak termangu-mangu. Karena itu maka Ki Bekel pun berkata, “Hanya mereka yang tidak merasa ketakutan. Kita wajib melihat apa yang terjadi. Kita sudah mendengar aum beberapa ekor harimau. Sementara di pondok itu hanya tinggal Tatas Lintang dengan ketiga orang kemanakannya. Sekali lagi, hanya mereka yang memiliki keberanian. Sementara itu, kita yakin bahwa kita memiliki kelebihan dari seekor harimau, karena kita mempunyai akal. Kita akan dapat membunuh seekor harimau. Dengan sepuluh ujung pedang, harimau itu akan dapat kita bunuh.”
Beberapa orang termangu-mangu. Namun akhirnya ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak, sejumlah laki-laki dan anak-anak muda pun mengikutinya. Bahkan di sepanjang jalan yang mereka lalui, maka kelompok itu jumlahnya bertambah-tambah. Namun seorang di antara mereka berbisik kepada kawannya, “Harimau itu lebih dari seekor.”
“Ya, Aumnya menunjukkan kepada kita,“ jawab yang lain.
Tetapi mereka tidak berhenti. Mereka tetap mengikuti Ki Bekel yang berjalan menuju ke pategalan di sisi padukuhan.
Sementara itu, orang yang memiliki tanah itupun telah pergi bersama Ki Bekel itu. Pemilik tanah itupun sudah mendengar apa yang pernah terjadi dan dilakukan oleh Tatas Lintang. Baik terhadap yang dengan serakah ingin merampas kerja yang sudah diterimanya dari pemilik tanah itu, maupun apa yang telah terjadi di dekat pasar. Namun ketika tiba-tiba terdengar harimau itu mengaum sekali lagi, lebih keras, maka iring-iringan itupun berhenti.
“Dua ekor harimau,“ gumam seorang bebahu.
“Ya, kita mendengar aum dua ekor harimau. Tetapi dengan demikian tentu lebih dari dua ekor yang berada di pondok itu,“ sahut Ki Bekel, “betapapun kuatnya keempat orang itu, namun jiwa mereka ada dalam bahaya.”
Meskipun jantung mereka menjadi semakin cepat berdebar, tetapi mereka pun kemudian melanjutkan langkah mereka menuju ke pondok kecil di sudut pategalan di luar dinding padukuhan itu.
Dalam pada itu, setelah ketiga harimau yang lain terbunuh, dua di antaranya yang merunduk bersama untuk menerkam Tatas Lintang, harus berhadapan dengan keempat orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Dua ekor harimau itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum keduanya meloncat menerkam Tatas Lintang, maka keduanya telah mengalami nasib buruk. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang telah mendahului menyerang keduanya.
Namun Justru pada saat kedua ekor harimau itu mengaum sambil menggeliat sebelum mati, Tatas Lintang telah berlari ke arah yang berlawanan dari arah harimau itu merunduk. Dengan satu hentakkan ia telah melepaskan serangannya dari jarak jauh ke arah sudut lawannya. Serangan itu memang dahsyat sekali. Sekilat sinar memancar dari telapak tangannya yang mengembang menyambar sasaran.
Namun yang terdengar adalah sebatang pohon yang berderak dan kemudian terguncang keras sekali. Sejenak kemudian pohon yang tidak terlalu besar itupun telah roboh dengan suara gemeresak.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dari Mahisa Ura kemudian melangkah pula cepat-cepat ke arah Tatas Lintang yang berdiri termangu-mangu.
“Siapa?“ bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku gagal, setidak-tidaknya mengikatnya dalam perkelahian.”
“Tetapi siapa?“ desak Mahisa Ura.
“Aku tidak yakin, siapakah orang itu. Tetapi aku merasakan kehadirannya di tempat itu. Ketika aku melepaskan serangan, aku memang melihat bayangan yang lenyap dalam kegelapan.”
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menegang. Keduanya lebih memperhatikan dua ekor harimau yang merunduk dan hampir menerkam Tatas Lintang. Kemudian keduanya telah membunuh harimau itu bersama Mahisa Ura. Karena itu mereka tidak memperhatikan bayangan yang dilihat oleh Tatas Lintang.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun semakin menyadari kelebihan Tatas Lintang dalam beberapa segi daripada mereka.
“Sudahlah,“ berkata Tatas Lintang, “Aku kira orang itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu.”
“Tetapi harimau-harimau itu semula tidak seluruhnya berada di satu pihak dari pondok kita,“ jawab Mahisa Pukat.
“Itu tidak perlu,“ berkata Tatas Lintang kemudian, “orang itu dapat mengendalikan harimau-harimau itu tanpa melihatnya. Tetapi mengetahui tempatnya.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, maka mereka pun telah mendengar suara gemeresak. Sejenak kemudian mereka pun menjadi jelas, suara itu adalah suara sekelompok orang yang datang ke pondok itu.
“Siapa?“ bertanya Mahisa Ura.
“Entahlah. Tetapi mungkin orang-orang padukuhan yang mendengar aum harimau itu,“ jawab Tatas Lintang.
Ternyata dugaan itu benar. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun melihat beberapa orang mendatangi halaman rumah itu. Ada di antara mereka yang membawa obor. Tatas Lintang lah yang kemudian menyongsong mereka di pagar halaman. Sambil membungkuk hormat ia berkata, “Marilah Ki Bekel. Silahkan.”
Beberapa orang telah memasuki halaman, sementara yang lain menunggu di luar. Namun seorang di antara mereka yang membawa obor berteriak sambil meloncat ke arah Ki Bekel.
“Ada apa?“ bertanya Ki Bekel.
“Harimau,“ jawab orang itu dengan suara gemetar.
Beberapa orang pun kemudian melihat, lima bangkai harimau terkapar di halaman itu.
“Lima ekor harimau,“ teriak seseorang dengan mata terbelalak.
Sebenarnyalah di halaman rumah itu bertebaran lima bangkai harimau yang besar. Harimau loreng. Justru karena itu maka orang-orang yang berada di luar-pun telah berlari-larian masuk. Mereka ingin melihat, apakah benar ada lima ekor harimau terbunuh di halaman itu.
“Siapakah yang membunuh?“ bertanya Ki Bekel.
“Kami,“ jawab Tatas Lintang singkat.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira. Namun aku pun merasa cemas sebelumnya oleh auman harimau-harimau itu, sehingga aku mengajak beberapa orang kemari. Tetapi seandainya kelima harimau itu masih hidup, maka tidak seorang pun yang akan berani memasuki halaman.”
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana mungkin kalian berempat mampu membunuh lima ekor harimau.”
Tatas Lintang tertawa. Katanya, “Biasa saja. Kami mempunyai kesempatan lebih baik daripada harimau itu, karena kami memiliki akal dan kemampuan memperhitungkan sesuatu. Sedangkan harimau tidak.”
“Tentu bukan karena itu,“ jawab seseorang, “kalian tentu mempunyai ilmu yang tidak kami ketahui.”
“Salah satu kecerdikan manusia adalah mempelajari ilmu. Itu memang termasuk kelebihan kita seperti yang sudah aku katakan, karena harimau tidak akan mampu mempelajari ilmu apapun juga.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu maka Tatas Lintang pun telah bertanya kepada Ki Bekel, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan dengan harimau-harimau itu?”
“Apa rencanamu?“ bertanya Ki Bekel pula.
“Terserah kepada Ki Bekel,“ jawab Tatas Lintang, “kami tidak memerlukan harimau-harimau itu. Mungkin Ki Bekel atau orang-orang padukuhan ini memerlukan kulitnya.”
“Menarik sekali,“ desis seseorang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Apakah kira-kira harimau ini tidak ada yang lain lagi?”
“Seandainya ada lagi sudah aku katakan, kita memiliki banyak kelebihan dari harimau-harimau itu. Kita dapat mempergunakan tombak, pedang atau senjata-senjata yang lain. Apalagi kita melawannya dalam kelompok yang besar. Maka harimau itu tentu tidak berarti apa-apa. “jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bawalah ke banjar. Besok kita akan mengulitinya. Kulit harimau termasuk barang yang mahal harganya.”
Beberapa orang pun kemudian telah membawa harimau itu ke banjar. Karena harimau itu berat, maka mereka telah mencari batang-batang bambu untuk menggotong harimau-harimau itu.
Namun demikian sepanjang jalan, orang-orang itupun masih saja berdebar-debar. Mereka berada di jalan di luar dinding padukuhan. Jika masih ada kawanan harimau itu, maka mereka tentu akan datang menyerang karena mereka mencium bau bangkai. Bangkai harimau yang mereka bahwa ke banjar itu.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang. Mereka berjumlah banyak. Apalagi karena orang-orang yang berada di tempat-tempat lain di padukuhan itu telah datang pula untuk melihat harimau-harimau yang mati itu.
“Luar biasa,“ desis seseorang, “hampir tidak masuk akal. Empat orang mampu membunuh lima ekor harimau sebesar itu.”
“Tetapi itu sudah terjadi,“ sahut yang lain.
“Ya. Mungkin akalku lah yang terlalu pendek.“ jawab yang pertama.
Merekapun terdiam. Namun mereka ikut pula dalam iring-iringan menuju ke banjar itu. Ketika mereka memasuki regol padukuhan, maka mereka pun menjadi agak tenang. Meskipun harimau-harimau itu ternyata dengan mudah dapat memasuki dinding padukuhan, namun rasa-rasanya masih ada batas yang melindungi mereka dari harimau-harimau itu.
Demikian mereka sampai di banjar, maka harimau itupun telah mereka letakkan begitu saja di halaman banjar. Orang-orang yang membawa harimau-harimau itu meskipun bergantian, merasa letih juga karena harimau itu memang berat.
“Tinggalkan saja di situ,“ berkata Ki Bekel, “besok kita akan mengulitinya. Sekarang kalian dapat kembali dengan tenang. Malam ini tidak akan ada harimau yang menerkam kambing. Meskipun begitu, penjagaan di gardu-gardu serta pengawasan di regol-regol butulan padukuhan harus tetap dilakukan.”
Orang-orang yang berkerumun di banjar itupun seorang demi seorang telah pergi. Bahkan kemudian kelompok-kelompok kecil telah keluar dari banjar itu dengan penuh kekaguman.
“Besok, harimau-harimau itu akan menjadi tontonan anak-anak yang sangat menarik,“ berkata salah seorang di antara mereka.
“Kita akan dapat menunjukkan kepada anak-anak kita bahaya di luar dinding padukuhan. Jika mereka bermain di terang bulan, jangan bersembunyi di luar dinding padukuhan, karena harimau-harimau itu akan dapat mengintai mereka. Bukan hanya seekor. Malam ini lima ekor sekaligus. “Jawab yang lain.
Perlahan-lahan halaman banjar itupun menjadi kosong. Ki Bekel lah yang kemudian meninggalkan halaman itu terakhir bersama dua orang bebahu. Karena itulah, maka banjar itupun telah menjadi kosong. Yang terisi kemudian ada gardu di luar regol banjar itu, meskipun pintu regol itu tidak pernah ditutup dan diselarak.
“Berjagalah baik-baik,“ berkata Ki Bekel ketika ia melalui pintu regol itu. “Mungkin masih ada harimau yang ingin mencari kawan-kawannya dan menuju ke banjar ini.”
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu itu menjadi berdebar-debar. Tetapi beberapa orang hampir berbareng menjawab, “Baik Ki Bekel.”
Namun sepeninggal Ki Bekel seorang di antara mereka berkata, “Apakah mungkin masih ada harimau yang lain?”
“Tentu tidak,“ jawab kawannya, “semuanya sudah terbunuh.”
“Apakah di hutan itu hanya ada lima ekor harimau?“ bertanya yang pertama pula.
Kawannya tidak menjawab. Namun ketegangan membayang di wajah anak itu. Jika benar seekor saja harimau sebesar itu datang ke regol banjar, apakah yang dapat mereka lakukan? Meskipun mereka tidak hanya dua atau tiga orang, tetapi lebih banyak lagi. Namun menghadapi seekor harimau tentu akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di dalam pondok mereka yang telah berserakan pula. Namun amben mereka ternyata tidak rusak seperti yang pernah terjadi. Mereka masih dapat tidur di atas amben itu, meskipun mereka sepakat untuk bergantian.
“Mungkin tidak akan ada harimau lagi datang kemari. Setidak-tidaknya untuk malam ini,“ berkata Tatas Lintang, “tetapi bayangan yang aku rasakan kehadirannya itu rasa-rasanya selalu mengganggu saja. Mungkin ia masih berada di sekitar pondok ini. Mungkin ia akan datang mendekat dan membakar pondok ini. Jika tidak dengan api akan dapat dilakukannya dengan ilmunya.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka sepakat untuk mempergunakan sisa malam itu bergantian. Karena itu, waktu mereka memang sangat pendek. Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat giliran beristirahat tidur nyenyak, Mahisa Murti dan Tatas Lintang tidak membangunkannya, karena sisa malam tinggal terlalu pendek.
Baru ketika matahari membayang, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah terbangun sendiri. Sementara itu Tatas Lintang-pun berkata, “Kita tidak mempunyai kerja apa-apa hari ini.”
“Besok kita baru akan mulai bekerja di sawah di ujung padukuhan ini. Karena itu, aku akan tidur pagi ini. Mungkin Mahisa Murti pun akan tidur juga.”
“Ya,“ jawab Mahisa Murti, “meskipun tidur di saat matahari sudah terbit, rasa-rasanya tidak menyegarkan badan. Tetapi aku memang letih.”
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang itu-pun justru pergi tidur sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah merebus air. Namun sejenak kemudian, mereka pun telah dikejutkan oleh beberapa orang yang datang berlari-lari ke pondok itu. Sebelum mereka memasuki halaman, mereka sudah berteriak-teriak memanggil nama Tatas lintang.
Tatas Lintang yang sudah berbaring di amben besar di dalam pondoknya terkejut. Dengan serta merta iapun telah meloncat turun disusul oleh Mahisa Murti. Ketika mereka berdua keluar dari pondoknya, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah berlarian pula ke halaman depan. Tatas Lintang yang menyongsong mereka pun menjadi berdebar-debar. Sementara itu. seorang di antara mereka yang berlari di paling depan berhenti dua langkah dihadapan Tatas Lintang.
Dengan nafas yang memburu, orang itu berkata terbata-bata, “Harimau itu.”
“Harimau itu kenapa?“ bertanya Tatas Lintang.
“Yang di banjar,“ orang itu masih saja nampak bingung.
“Tenanglah,“ berkata Tatas Lintang, “katakan dengan jelas apa yang telah terjadi.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya. Kemudian katanya meskipun masih juga dengan suara bergetar, “Bangkai-bangkai harimau itu hilang.”
“Hilang?“ Tatas Lintang benar-benar terkejut. Demikian pula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. “Bagaimana mungkin bangkai-bangkai harimau itu dapat hilang? Bukankah ada beberapa orang yang berjaga-jaga di banjar?“ bertanya Tatas Lintang.
“Ya. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga di gardu di depan regol banjar,“ jawab orang itu.
“Jadi, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak mampu mencegah orang yang mengambil bangkai-bangkai harimau itu atau mereka memang tidak tahu, bagaimana bangkai-bangkai harimau itu hilang. Apakah para penjaga itu mengalami cidera?“ bertanya Tatas Lintang pula.
“Mereka tidak apa-apa,“ jawab orang itu dengan nafas yang masih terengah-engah.
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun kemudian katanya kepada ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, “Marilah kita pergi ke banjar.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun dengan tergesa-gesa membenahi diri. Tetapi mereka tidak sempat mandi. Dengan tergesa-gesa keempat orang itu telah pergi ke banjar diikuti oleh-beberapa orang yang datang ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak sempat berbicara apapun di perjalanan. Rasanya jantung mereka telah menjadi tegang. Ketika mereka sampai di halaman banjar, maka Ki Bekel dan beberapa orang bebahu telah berada di banjar itu pula. Merekapun nampak tegang dan gelisah.
“Siapakah yang semalam bertugas di banjar?“ bertanya Tatas Lintang kepada Ki Bekel.
Ki Bekel kemudian memanggil seorang anak muda yang semalam bertanggung jawab atas penjagaan banjar padukuhan itu. “Katakanlah, apa yang telah terjadi,“ berkata Ki Bekel kepada anak muda itu.
Anak muda itupun kemudian telah menceriterakan kepada Tatas Lintang, apa yang dialaminya bersama kawan-kawannya semalam. “Kami tidak tahu apa yang telah membuat kami semuanya kehilangan penguasaan diri,“ berkata anak muda itu, “ketika kami sadar, ternyata bahwa kami semuanya telah tertidur di gardu. Dua orang awan kami yang sedang berada di banjar pun telah tidur pula dengan nyenyak sekali. Baru ketika kami dibangunkan oleh orang yang lewat di depan regol banjar, kami baru terbangun dan menyadari apa yang telah terjadi.”
“Sirep,“ terdengar Mahisa Pukat berdesis.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata kepada Ki Bekel, “Sirep, Ki Bekel. Sirep yang sangat tajam, sehingga anak-anak itu tertidur sampai matahari terbit.”
“Sementara itu mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di halaman banjar. Mereka tidak tahu, bahwa bangkai-bangkai harimau itu sudah dicuri orang.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Luar biasa. Berapa orang yang telah datang mencuri di banjar itu. Lima ekor harimau yang cukup besar. Bagaimana mereka membawa kelima ekor harimau itu? Bagaimana mereka membawa keluar dari padukuhan ini, sementara di regol-regol padukuhan pun telah dijaga? Anak-anak yang berjaga-jaga di regol-regol padukuhan itu tidak terkena sirep. Mereka tetap berjaga-jaga semalam suntuk.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang pernah mendapat pengalaman yang sama masih tetap berdiam diri. Keduanya pernah meninggalkan bangkai harimau di dekat batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Ketika mereka bersama-sama dengan orang-orang padukuhan akan mengambilnya, ternyata bangkai harimau itupun telah hilang pula.
Namun bangkai harimau itu berada di tempat terbuka, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengambilnya dan membawanya pergi. Tidak banyak orang yang sampai ke tempat itu, sehingga karena itu, kecil sekali kemungkinannya untuk diketahui atau dilihat orang. Berbeda dengan bangkai-bangkai harimau yang berada di banjar itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menduga bahwa orang yang mengambil bangkai harimau itu berapa pun jumlahnya, adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat masih belum mengatakannya dalam hubungannya dengan hilangnya lima bangkai harimau di halaman banjar itu.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun berkata, “Ki Bekel. Ternyata bahwa harimau itu mempunyai hubungan dengan peristiwa-peristiwa yang masih terselubung. Karena itu, biarlah kami berusaha untuk memecahkannya. Meskipun mungkin kami benar-benar akan kehilangan jejak. Tetapi kami akan tetap berusaha. Namun tidak mustahil bahwa kami akan mengalami kegagalan.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Aku percaya Ki Sanak. Kalian telah berbuat sejauh-jauh dapat kalian lakukan. Kalian pun telah membuat pangeram-eram di sini. Menurut perhitungan kami mustahil bahwa empat orang akan dapat membunuh lima ekor harimau sebesar itu.”
“Sudah berkali-kali aku katakan, bahkan kita seharusnya mempunyai lebih banyak kesempatan dari harimau-harimau itu, karena kita mempunyai akal.“ jawab Tatas Lintang. Namun kemudian katanya, “Meskipun demikian, kita tidak boleh mengingkari bahwa harimau memang memiliki kekuatan yang luar biasa.”
“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “kami minta kalian untuk tetap berada di padukuhan ini. Mungkin masih akan ada bencana yang akan menerkam padukuhan ini. Seandainya bukan berujud harimau, mungkin dalam ujud yang lain.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada datar ia berkata, “Ada sesuatu yang akan aku katakan kepada Ki Bekel.”
“Apa?“ bertanya Ki Bekel.
“Aku akan mengatakannya pada kesempatan lain,“ jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti, bahwa yang akan dikatakan oleh Tatas Lintang itu tidak perlu didengar oleh banyak orang. Karena itu, maka katanya, “Marilah, kita pergi ke rumahku.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya Ki Bekel memberikan pesan kepada para petugas di banjar ini. Mereka harus mempunyai pegangan, meskipun menurut perhitunganku, harimau itu tidak akan datang di siang hari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka pernah mengalami, bahwa harimau itu datang di siang hari. Namun mereka tidak dengan tergesa-gesa menyahut. Mereka akan mengatakan pengalaman mereka jika mereka mendapat kesempatan untuk berbicara khusus dengan Ki Bekel.
Ki Bekel pun kemudian memberikan pesan, agar penjagaan dilakukan meskipun di siang hari. Jika mereka merasakan sesuatu yang asing, apapun juga, agar mereka membunyikan isyarat. Sejenak kemudian Ki Bekel pun kembali ke rumahnya diiringi oleh Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakuinya sebagai kemanakannya, sementara dua orang bebahu telah tinggal di banjar bersama orang-orang yang masih diganggu oleh perasaan heran, karena peristiwa yang baru saja terjadi.
Di rumah Ki Bekel, maka Tatas Lintang pun telah berkata, “Ki Bekel. Sebenarnya kami tidak berkeberatan untuk tetap berada di padukuhan ini. Tetapi sebagaimana Ki Bekel ketahui, agaknya kamilah yang menjadi sasaran dari kelima ekor harimau itu. Bukan padukuhan ini. Karena itu, selama kami masih berada di padukuhan ini, maka justru padukuhan ini masih akan selalu diganggu oleh harimau-harimau. Atau mungkin justru oleh peristiwa-peristiwa lain yang akan dapat menyulitkan rakyat padukuhan ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah kau sudah cukup lama berada di padukuhan ini? Jika benar kaulah yang menyebabkannya, kenapa baru sekarang? Bukankah sejalan dengan pikiranmu, maka yang menyebabkan kehadiran harimau-harimau itu tentu ketiga orang kemanakanmu itu.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Mungkin benar Ki Bekel. Sebelum kami datang agaknya paman Tatas Lintang tidak pernah diganggu oleh siapapun atau oleh apapun. Namun setelah kami berada di sini, maka harimau-harimau itupun telah berdatangan.“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah bahwa kami pun pernah mengalami gangguan harimau seperti ini. Justru di siang hari, di tepi hutan.”
“Tetapi di tepi hutan,“ jawab Ki Bekel, “bukankah itu wajar sekali. Namun sebenarnyalah kami tidak ingin menyalahkan kalian karena kehadiran harimau-harimau itu.”
“Aku mengerti,“ jawab Mahisa Murti, “tetapi aku ingin mencoba mencari sebab sebenarnya dari kehadiran harimau-harimau ini. Ketika kami berhasil membunuh harimau-harimau yang datang mengganggu kami, maka di sore harinya, ketika kami berusaha mengambil bangkai harimau itu untuk dikuliti, harimau-harimau itupun telah hilang pula.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Mungkin kau benar. Harimau-harimau itu memang mencarimu.”
“Mungkin Ki Bekel,“ berkata Tatas Lintang. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebelumnya, tidak seorang pun yang memperhatikan kehadiranku di sini. Tetapi setelah kami kehilangan kesabaran dan mulai berkelahi, maka kehadiran kami di sini sangat menarik perhatian banyak orang. Banyak orang yang menyangka bahwa kami memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mungkin sekelompok orang menganggap perlu menjajagi kemampuan kami dengan harimau-harimau itu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Namun katanya, “Ki Sanak. Kau sudah aku anggap keluarga sendiri di sini. Demikian pula ketiga orang kemanakanmu itu. Karena itu biarlah kalian tinggal di sini. Apapun yang akan terjadi. Bahkan ternyata aku telah dapat mengatasi kesulitanmu sendiri.”
“Tetapi tiga ekor kambing sudah dikorbankan.“ jawab Tatas Lintang.
“Apa artinya tiga ekor kambing dari satu persahabatan yang akrab. Jangan hiraukan.“ jawab Ki Bekel, “pemilik kambing itu pun telah melupakannya.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami mengucapkan terima kasih Ki Bekel. Tetapi sebenarnyalah bahwa pada suatu saat kami harus meninggalkan pondok kami. Tetapi kami tidak tahu, apakah kami akan kembali akan kembali atau tidak.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku mengerti Ki Sanak. Sejak semula aku memang sudah menduga, bahwa padukuhan ini hanya sekedar tempat untuk singgah bagi Ki Sanak. Aku pun sudah menduga, bahwa apa yang kami lihat, bukanlah sebenarnya.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak akan ingkar Ki Bekel. Karena itulah maka aku harus mohon diri meskipun mungkin aku dapat menyesuaikan diri. Tidak sekarang atau besok. Mungkin dua tiga hari lagi. Aku masih akan menanam beberapa jenis pepohonan buah-buah di pategalan yang terletak di ujung padukuhan. Aku sudah berjanji.”
“Masihkah itu perlu kau lakukan?“ bertanya Ki Bekel.
“Aku kira aku masih akan melakukannya. Sekaligus untuk mengamati keadaan setelah kami membunuh lima ekor harimau itu.“ berkata Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia tentu akan kehilangan Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu. Agaknya bagaimanapun juga ia menahan, tetapi keempat orang itu tentu akan pergi juga dari padukuhannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang pun telah minta diri kepada Ki Bekel. Dengan nada dalam ia berkata, “Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan Ki Bekel.”
“Ya. Aku mengerti,“ jawab Ki Bekel.
Tatas Lintang hanya menarik nafas dalam-dalam tanpa mengatakan sesuatu lagi. Mereka berempat pun kemudian telah meninggalkan rumah Ki Bekel itu. Di jalan kembali ke pondok kecil mereka, Mahisa Pukat berkata, “Kita jangan dihambat lagi. Kami sudah terlalu lama pergi dan ingin segera melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Berhasil atau tidak berhasil.”
“Aku mengerti,“ jawab Tatas Lintang, “Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa.”
“Aku tidak tergesa-gesa,“ jawab Mahisa Pukat, “tetapi waktuku sudah terlalu lama terbuang.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melakukannya. Tetapi apakah kita tidak ingin mengetahui serba sedikit rahasia di dalam dinding padepokan itu? Mereka sudah mulai datang kepada kita, meskipun baru harimau-harimaunya. Aku gagal berhubungan dengan salah seorang di antara mereka. Agaknya orang itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi ingat, langkah kita masih belum sampai ke tujuan meskipun kita sudah mendekat.”
“Sebenarnyalah kita mempunyai kepentingan yang sama dan dalam keadaan yang sama pula. Aku pun merasa bahwa aku telah terlalu lama berada di sini. Karena itu, maka kita akan berusaha untuk secepatnya melakukan tugas kita,“ berkata Tatas Lintang.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi justru terbersit satu pertanyaan di hatinya, “Apakah ada kesengajaan orang ini untuk menghambat tugas kami?”
Mahisa Murti tidak menyambung. Tetapi ia justru mulai mengenang pangeran Singa Narpada. Apakah Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa tugasnya sudah gagal. Bahkan ia-pun mulai memikirkan ayahnya. Mungkin ayahnya sudah mulai menjadi gelisah karena ia sudah terlalu lama pergi. Bahkan kakaknya pun tentu memikirkannya pula.
“Tetapi kakang Mahisa Bungalan pada waktu pengembaraannya kadang-kadang juga memerlukan waktu yang cukup lama,“ berkata Mahisa Murti di dalam hati.
Mahisa Ura pun tidak berkata apa-apa. Tetapi sebenarnyalah iapun sudah memikirkan, bahwa ia sudah pergi terlalu lama. Dengan demikian iapun telah terlalu lama meninggalkan tugas-tugasnya. Namun yang dilakukannya itu juga termasuk salah satu tugas dari kedudukannya sebagai petugas sandi Singasari.
Ketika keempat orang itu sampai ke pondoknya, sama sekali tidak terjadi perubahan apapun juga. Tidak ada orang yang mengganggu rumah kecilnya dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun demikian, agaknya Tatas Lintang masih juga menunggu. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menanyakannya, agaknya ada firasat bahwa orang yang sedang ditunggunya itu akan datang.
“Jika sikap Tatas Lintang jujur, agaknya ia masih menunggu orang yang pernah datang bersama harimau-harimaunya itu,“ berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak mempunyai kepentingan lain. Atau sekedar berhati-hati karena umurnya yang sudah mendekati masa-masa tuanya.”
Senja yang kemudian datang, setelah keempat orang itu-sempat beristirahat dan menyiapkan makan dan minum, membuat pondok kecil itu menjadi lengang. Mahisa Murti dan Tatas Lintang merasa bahwa merekalah yang harus berjaga-jaga di belahan malam yang pertama, telah menyiapkan minuman hangat dan jagung bakar.
“Jika kalian nanti memerlukan, siapkan perapian yang akan kau nyalakan malam nanti,“ berkata Tatas Lintang kepada Mahisa Pukat.
Tetapi jawab Mahisa Pukat, “sisakan saja minuman dan makanan kalian.”
Tatas Lintang hanya tertawa kecil. Tetapi Mahisa Murti lah yang menjawab, “Bukan salah kami jika semuanya sudah habis sebelum kalian terbangun.”
Tetapi Mahisa Pukat tetap saja duduk di amben bersama Mahisa Ura, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang telah keluar dari pondok mereka dan duduk di lincak di serambi depan. Malam yang turun perlahan-lahan rasa-rasanya memang sangat sepi. Gelap menjadi semakin pekat, karena di langit tidak ada bulan.
Tatas Lintang dan Mahisa Murti pun kemudian bangkit dan berpindah tempat duduk. Mereka tidak lagi berada di serambi, karena dengan demikian mereka akan menempatkan diri mereka sebagai sasaran yang mapan jika ada orang yang dengan licik menyerang mereka dari jarak yang agak jauh.
“Lebih baik kita duduk di dalam,“ berkata Tatas Lintang.
“Ya. Udara mulai dingin. Minuman kita pun akan segera menjadi dingin jika tidak segera kita minum,“ berkata Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Ura dan Mahisa Pukat masih sempat menjawab, “Biarlah kami sajalah yang minum. Kalian berjaga-jaga di luar.”
“Tidur, cepat. Nanti jika waktunya kalian dibangunkan, kalian hanya menggeliat saja. Tetapi segera tertidur lagi.“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia membalikkan badannya menghadap dinding. Mahisa Murti dan Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka pun hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Beberapa saat mereka duduk sambil meneguk minuman mereka.
Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Apakah menurut pendapatmu, orang itu akan datang kembali menemui kita?”
“Ya,” jawab Tatas Lintang, “aku yakin mereka akan kembali. Namun aku tidak tahu, dengan cara apa mereka akan datang lagi. Mungkin tidak dengan harimau-harimau itu.”
“Akhirnya bukan kita yang datang kepada mereka, tetapi merekalah yang datang kepada kita.“ berkata Mahisa Murti.
“Itu lebih baik daripada kita berselisih jalan. Kita datang kepada mereka, sementara mereka datang kepada kita,“ jawab Tatas Lintang.
“Agaknya mereka memang berkeberatan untuk menerima tamu di padepokan mereka,“ berkata Mahisa Murti, “sebenarnya terserah kepada kita. Apakah kita memang benar-benar memasuki padepokan itu atau tidak. Jika kita memang ingin masuk, kita tidak perlu memikirkannya, apakah kita akan berselisih jalan atau tidak.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin pikiranku sudah terlalu tua bagi kalian. Tetapi aku ingin berbuat dengan hati-hati. Jika satu dua orang datang kepada kita, maka kita akan dapat menjajagi kemampuan mereka sebelum kita terjerumus ke dalam satu lingkungan yang akan dapat menjerat kita.”
“Tetapi bukankah kita pernah datang ke tempat itu?”
“Kami pernah, dan kau pun pernah,“ berkata Mahisa Murti, “bukankah kita bertemu di dekat padepokan itu pula.”
“Ya,“ jawab Tatas Lintang, “tetapi aku sekedar mengamat-amati keadaan dan melihat kemungkinan-kemungkinannya. Waktu itu aku memang belum siap untuk meloncat masuk. Itulah sebabnya kita bertemu dan aku pun berusaha menjajagi kemampuan kalian meskipun sejak semula aku yakin bahwa kalian mengemban satu tugas tertentu. Bukan hanya sekedar dendam di antara padepokan. Di antara orang-orang berilmu yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbenturan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun terdiam. Di lihatnya Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi gelisah. Agaknya mereka ingin untuk tidur barang sebentar, namun mereka pun ingin mendengarkan pembicaraan itu.
Tatas Lintang pun agaknya mengerti juga. Karena itu maka iapun tidak berbicara lagi. Namun iapun justru bangkit dan pergi ke bagian belakang pondok kecilnya yang dipergunakannya untuk dapur.
Tetapi Tatas Lintang itupun tertegun. Ia mendengar sesuatu di belakang pondok kecil itu. Sebuah desir lembut. Tatas Lintang tidak dengan serta merta menanggapinya. Iapun justru melanjutkan langkahnya dengan hati-hati dan duduk di depan perapian meskipun perapian itu tidak menyala.
Demikian juga lampu minyak di dapur itupun memang tidak dinyatakannya sejak hari menjadi gelap. Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun duduk di dalam kegelapan. Justru dari tempat itu Tatas Lintang ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dengan mempergunakan kemampuannya, maka Tatas Lintang itupun telah berusaha untuk menyerap bunyi pernafasannya serta sentuhan-sentuhan tubuhnya. Ia berharap bahwa jika ada seseorang di luar tidak mengetahuinya bahwa ia berada di dapur.
“Jika ia berada didekat dinding sejak semula, maka ia tentu mendengar langkahku masuk ke dapur ini, meskipun ia tidak sempat melihat,“ berkata Tatas Lintang di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa kehadiran Tatas Lintang ke dapur itu tidak diketahui. Ternyata Tatas Lintang masih mendengar langkah-langkah di bagian belakang pondok kecilnya. Bahkan kemudian ia juga mendengar geseran pada dinding pondok kecil itu. Tatas Lintang termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah orang-orang yang ada di amben besar di ruang dalam itu juga mendengarnya. Namun demikian Tatas Lintang masih tetap duduk di tempatnya.
Pada saat yang demikian, seseorang tengah merunduk di belakang pondok kecil itu. Tetapi kemudian orang itu telah bergeser ke samping. Orang itu ternyata tidak mengetahui bahwa Tatas Lintang telah pergi ke dapur. Ia memang mendengar desir langkah Tatas Lintang. Namun ketika ia berusaha untuk mengintip, justru Tatas Lintang pun mendengar kehadirannya dan mengatur langkah-langkahnya sehingga orang di luar dinding itu telah kehilangan pengamatannya.
Namun orang di luar dinding pondok itu telah mengetahui, bahwa orang di dalam pondok itu telah bergeser dari tempatnya semula meskipun ia tidak mengetahui, dimanakah orang-orang di dalam pondok itu kemudian berada.
Untuk beberapa saat orang di luar dinding itu berusaha untuk mendengar suara-suara di dalam pondok. Namun yang didengarnya kemudian adalah justru dengkur Mahisa Ura dan Mahisa Pukat yang telah tertidur nyenyak...
“Apakah yang Ki Sanak inginkan? Minuman panas? Wedang sere atau wedang jahe? Masih ada beberapa jenis makanan yang sengaja kami simpan, karena kami sudah menduga bahwa kalian akan datang ke warung kami,” berkata pemilik kedai itu.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu justru menjadi canggung. Namun mereka pun kemudian duduk juga di amben panjang itu. Ternyata sebagaimana yang dikatakan, pemilik kedai itu sudah mengambil beberapa jenis makanan yang disimpannya. Kemudian dihidangkannya kepada keempat orang yang baru saja duduk di amben panjang itu.
Memang merupakan satu sikap yang terasa asing bagi keempat orang itu. Sehingga karena itu maka mereka berempat terpaksa menduga-duga apakah sebabnya. Tetapi minuman hangat memang telah menggoda mereka. Karena itu maka Mahisa Pukat tidak memikirkannya lebih lanjut. Iapun kemudian berpesan, “Beri kami wedang jahe saja.”
“Baik Ki Sanak. Kami akan menyediakannya,“ jawab pemilik kedai itu.
Namun pemilik kedai itu, maupun Tatas Lintang beserta ketiga orang kemanakannya itu terkejut ketika tiba-tiba saja seorang di antara para tamu itu telah bertindak kasar. Sebelum pemilik kedai itu sempat melangkah menyediakan minuman panas, maka seorang di antara para tamu telah bangkit berdiri dan mengambil makanan yang disediakan bagi Tatas Lintang dan ketiga orang kemanakannya.
“Ki Sanak,“ berkata pemilik kedai itu, “makanan itu memang kami sediakan bagi keempat tamuku itu.”
“Persetan,“ geram tamu yang mengambil makanan itu, “kau sangka derajatnya lebih tinggi dari derajatku. Kenapa bukan aku yang kau tunggu dan makanan itu tidak kau sediakan untuk aku.”
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ki Sanak. Aku tidak tahu bahwa Ki Sanak akan datang kemari, sehingga karena itu, maka aku tidak menyediakannya untuk Ki Sanak.”
“Persetan,“ bentak orang itu, “tetapi kau lihat bahwa aku sekarang sudah ada di sini. Aku datang lebih dahulu dari orang itu.”
Pemilik kedai itu memandang wajah Tatas Lintang sejenak. Namun Tatas Lintang masih belum berbuat apa-apa. Karena itu, pemilik kedai itu dengan sengaja telah memancing agar Tatas Lintang melibatkan dirinya ke dalam persoalan itu. Katanya,
“Ki Sanak. Jika aku menyediakan hidangan untuk keempat orang ini karena keempat orang ini adalah orang-orang yang paling terhormat di padukuhan kami. Kebetulan bahwa aku tinggal sepadukuhan dengan keempat orang itu. Setelah kedai ini tutup, maka aku pun telah pulang ke padukuhan yang sama dengan padukuhan mereka.”
“Kenapa orang itu paling terhormat di padukuhanmu? Apakah salah seorang di antara mereka, atau yang tertua di antara mereka itu Bekel dari padukuhanmu.”
“Bukan,“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”
Tatas Lintang terkejut. Dengan serta merta ia menyahut, “Siapa yang mengatakan kepadamu tentang hal itu?”
“Orang yang bertubuh tinggi kekar yang selalu mengaku menggarap tanah orang.“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi ia mengeluh bahwa ia telah terbentur kepada kelebihan kalian berempat, sehingga orang itu sudah menyatakan tidak akan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya itu.”
Tamu yang kasar itu mengangguk-angguk sambil mengeram, “O, jadi keempat orang ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga kau menjadi ketakutan dan memperlakukan mereka sebagai tamu yang paling terhormat he?”
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Sementara itu Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu duduk termangu-mangu.
“Baik,“ berkata tamu itu, “jika demikian maka aku akan mengembalikan makanan ini.”
Hampir di luar dugaan. Tiba-tiba saja orang itu telah melemparkan tambir kecil tempat makanan itu ke arah Tatas Lintang yang duduk termangu-mangu. Namun Tatas Lintang yang melihat tambir itu terlontar ke arahnya dengan tangkas telah bergeser ke samping. Sementara itu Mahisa Murti yang duduk di sebelah Tatas Lintang pun bergeser pula mendesak Mahisa Pukat, sehingga Mahisa Pukat-pun telah mendesak Mahisa Ura.
Sebenarnyalah orang-orang yang berada di dalam kedai itu terkejut. Ternyata tambir yang berisi makanan itu berdesing seperti gasing. Karena tambir yang berputar dan melayang itu tidak menyentuh Tatas Lintang, maka tambir itu telah mengenai dinding warung itu.
Jantung pemilik kedai itu rasa-rasanya telah berhenti berdenyut ketika ia melihat tambir itu telah membentur dinding warungnya yang terbuat dari kayu, memecahkannya dan meluncur keluar membentur sebatang pohon. Betapa kecut hati pemilik warung itu, ketika ternyata pohon itupun telah terguncang meskipun tambir itu tertahan karenanya. Namun adalah di luar nalar, bahwa tambir yang terbuat dari anyaman bambu itu telah menancap dan mengiris hampir seperempat dari batang-batang pohon itu.
Tatas Lintang pun kemudian menyadari, bahwa orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus berhati-hati menghadapinya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, maka mereka pun telah bersiaga sepenuhnya. Hampir serentak mereka bangkit berdiri menghadap ke arah orang yang telah melemparkan tambir bambu itu.
“Luar biasa,“ desis Tatas Lintang, “kau telah melakukan satu permainan yang luar biasa. Dengan anyaman bambu kau mampu menebang sebatang pohon yang besar.”
“Persetan,“ geram orang itu, “ternyata kalian pun telah menyombongkan diri dengan tingkah lakumu. Kau menunjukkan kemampuanmu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.“
“Jadi, apakah aku harus berdiam diri dan membiarkan leherku patah karena permainanmu itu,“ bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak peduli apa alasanmu,“ berkata orang itu, “tetapi sikapmu menyatakan, bahwa kau telah menantang aku.”
“Bukan maksudku Ki Sanak,“ jawab Tatas Lintang, “bukankah aku hanya berdiam diri saja, tetapi kau yang telah mendahului menyerang aku? Yang kau lakukan memang sangat berbahaya. Jika aku tidak sempat mengelak, atau yang kau serang adalah orang kebanyakan, maka seranganmu tentu telah membunuh.”
“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu, “seandainya aku telah membunuh, tidak ada orang yang akan dapat menghukumku. Orang-orang padukuhan tidak akan mampu menangkap aku.”
“Bagaimana jika Ki Buyut atau mungkin Sang Akuwu?“ bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak peduli dengan siapapun juga. Jika kau merasa terganggu dengan tingkah lakuku, kau mau apa?“ geram orang itu.
“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?“ bertanya Tatas Lintang.
“Untuk apa kau mengetahuinya?“ bertanya orang itu, ”jika kau ingin berbuat sesuatu dengan bekal ilmumu, lakukan?”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang lain yang ada di warung itu. Menilik sikapnya, ternyata mereka adalah kawan-kawan dari orang yang marah itu. Hampir di luar sadarnya Tatas Lintang pun menghitung mereka.
“Lima orang,“ desis Tatas Lintang. Namun masih ada dua orang yang duduk terpisah. Tatas Lintang tidak dapat menebak, apakah kedua orang itu termasuk kawan orang yang marah itu atau bukan. Namun keduanya nampak menjadi tegang. Sementara sebelumnya Tatas Lintang juga tidak melihat kedua orang itu berbicara atau berkelakar dengan kelima orang yang duduk berjajar itu.
“Kau menghitung jumlah kami?“ bertanya orang yang melempar itu, “kami memang berlima. Sementara itu kalian hanya berempat. Jika seorang di antara kami mampu membunuh dua orang sekaligus, maka hanya dua orang di antara kami yang diperlukan untuk turun ke arena jika kalian mencoba untuk melawan. Sementara tiga orang kawan kami masih akan sempat makan dan minum.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengamati mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang bertongkat. Ketika di luar sadarnya keduanya memandang dua orang duduk terpisah itu, maka mereka pun tidak melihat tongkat di antara mereka. Dengan demikian untuk sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak berhadapan dengan orang-orang dari padepokan yang menjadi sasaran pengamatan mereka.
“Tetapi siapa?“ pertanyaan itu tidak segera dapat dijawab, karena orang-orang itu tentu tidak akan mudah menyebut nama dan kedudukan mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari bahwa di padepokan itu telah hadir kekuatan lain di samping orang-orang yang sejak lama menghuni padepokan itu.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun dalam pada itu, orang yang telah melemparkan tambir anyaman bambu serta makanan yang ada di dalamnya membentak, “cepat. Apa yang akan kalian lakukan? Kalian mau marah? Mau menuntut karena perlakuanku atasmu? Atau mau apa?”
Tetapi jawaban Tatas Lintang mengejutkan, “Kami tidak ingin berbuat apa-apa.”
“Pengecut,“ orang itu hampir berteriak, “kenapa kalian tidak ingin berbuat apa-apa?”
“Memang kami tidak ingin berbuat apa-apa.“ jawab Tatas Lintang pula.
Ternyata orang itu menjadi semakin marah. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka iapun telah menepuk bibir mangkuknya sehingga minumannya menjadi tumpah. Tetapi ternyata bahwa kelebihan orang itu telah menyebabkan minuman yang memercik dari mangkuknya mengarah kepada Tatas Lintang.
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun cepat bertindak. Dengan kemampuannya pula maka iapun telah menghembus minuman yang memercik ke arahnya. Akibatnya memang luar biasa. Minuman itu seakan-akan telah didorong dan memercik kembali ke arah orang yang marah itu. Orang itu agaknya sama sekali tidak menduganya. Karena itu maka ia tidak sempat melawan percikan minuman itu. Yang dapat dilakukannya adalah bergeser menghindarinya.
Tetapi kawannya yang masih duduk di sampingnya sambil memperhatikan apa yang terjadi itu agaknya kurang bersiap. Karena itu, maka percikan minuman yang masih hangat dan mengandung gula itu telah terpercik ke arahnya membasahi pakaiannya.
“Gila,“ orang itupun telah meloncat bangkit dan bahkan berdiri di atas lincak tempatnya duduk. Dengan mata yang hampir meloncat dari pelupuknya ia memandangi Tatas Lintang yang berdiri termangu-mangu.
“Kau tantang aku he? Kau salah menilai Ki Sanak. Kau kira aku cucurut yang tidak berani menghancurkan kepalamu yang dungu itu? Aku memang tidak ikut campur sebelumnya. Tetapi kau sudah menyerang aku pula.”
Tatas Lintang memperhatikan orang itu. Kemudian katanya, “Maaf Ki Sanak. Jangan marah kepadaku. Kau dapat marah kepada kawanmu sendiri.”
“Persetan,“ geramnya, “kita memang tidak dapat sekedar marah kepada mereka. Kita harus berbuat sesuatu.”
Kawannya yang telah marah lebih dahulu itupun menyahut, “Kita hancurkan mereka.”
Kelima orang itupun telah bangkit. Kemudian orang yang marah pertama kali itupun menggeram, “Kami menunggu di luar, atau warung ini akan kami bakar.”
Kelima orang itu tidak menunggu jawaban. Merekapun kemudian melangkah keluar sambil mengumpat-umpat. Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka bahwa persoalan itu akan berkembang menjadi demikian tajamnya, bahkan mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat tidak diharapkan. Jika Tatas Lintang mampu mengalahkan orang bertubuh tinggi kekar, namun mereka tidak lebih dari petani-petani, maka belum tentu ia akan dapat berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Apalagi ternyata kelima orang itu telah membawa pedang di lambung.
Sejenak kemudian Tatas Lintang itupun termangu-mangu. Ketika ia berpaling ke arah ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu, maka iapun melihat sorot mata yang mulai menyala pada mereka. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Anak-anak muda itu benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak lagi membiarkan diri mereka menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu.”
Karena itu, maka Tatas Lintang pun kemudian bertanya, “Apakah kita akan melayani mereka?”
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Satu cara pemanasan yang barangkali bermanfaat.”
Tatas Lintang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kita akan keluar agar kedai ini tidak dibakar.”
Lalu katanya kepada pemilik kedai itu, “Bukan salah kami. Kami sama sekali tidak menghendaki keributan seperti ini. Tetapi apa boleh buat. Kami tidak dapat mengelak.”
Pemilik kedai itu hanya berdiam diri saja. Tetapi jantungnya bergejolak semakin keras. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya telah terjadi dan siapakah yang dapat dianggap bersalah. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu keluar dari warung, maka dua orang yang lain, yang ada di warung itupun telah keluar pula. Tetapi seorang di antara mereka sempat bertanya kepada pemilik warung itu, berapa mereka harus membayar.
“Aku akan pergi. Aku tidak mau terlibat dalam persoalan yang tidak kami ketahui. Menjadi saksi pun kami tidak ingin,“ berkata orang yang bertanya berapa ia harus membayar itu.
Tetapi pemilik warung yang bingung itu tidak dapat menghitung dengan benar. Karena itu, mulutnya seakan-akan asal saja mengucapkan angka. Tetapi orang yang membeli makanan dan minuman itupun tidak bertanya lebih banyak. Iapun kemudian segera membayar dan kemudian keduanya benar-benar telah meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, kelima orang yang telah berada di luar itu-pun telah bersiap. Sementara itu, orang yang tersisa di pasar, yang memang sudah tidak terlalu banyak itupun telah berlarian meninggalkan tempat mereka berjualan. Sambil membawa sisa barang-barang mereka dan uang hasil dari penjualan barang-barang mereka, orang-orang di pasar itupun merasa lebih baik menghindar daripada terlibat dalam pertikaian itu.
Sejenak kemudian maka Tatas Lintang pun telah berdiri berhadapan dengan orang yang telah melemparnya di dalam warung. Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemenakannya itupun berdiri berjajar di belakangnya. Sementara itu kelima orang yang menunggunya berdiri tegak dalam kesiagaan sepenuhnya.
“Kalian merasa diri kalian orang-orang berilmu tinggi,“ geram orang yang telah melempar Tatas Lintang, “tetapi dihadapan kami kalian tidak akan dapat berlagak apapun juga. Kami akan dengan tanpa belas kasihan menghancurkan kesombongan kalian itu.”
“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “bukan maksudku mencari lawan. Tetapi jika lawan itu datang, kami pantang menepi. Tetapi perkenankan aku bertanya, siapakah Ki Sanak berlima dan mungkin Ki Sanak datang dari sebuah padepokan atau pertapaan atau tempat-tempat untuk menempa diri lahir batin yang lain.”
“Jangan pedulikan siapa kami,“ jawab orang itu, “sekarang lakukan perintah kami. Berjongkok dan ciumlah telapak kaki kami. Dengan demikian maka kesalahan kalian kami ampuni. Kalian akan boleh pergi kemana kalian suka.“
Tetapi Tatas Lintang tersenyum sambil menjawab, “Kalian boleh merendahkan kami. Tetapi jangan menghina kami terlalu tajam. Betapa dungunya kami, tetapi kami masih juga mempunyai harga diri. Coba bayangkan, bagaimanakah perasaanmu jika akulah yang berkata kepadamu, berjongkoklah dan cium kakiku agar aku memaafkan kesalahanmu.”
“Aku bunuh orang yang menghinaku,“ jawab orang yang marah itu.
“Bagus,“ jawab Tatas Lintang, “aku pun akan melakukan hal yang sama.”
“Persetan,“ geram orang itu, “kenapa tidak kau lakukan jika kau mampu he? Orang-orang yang tidak tahu diri. Apa yang telah kalian lakukan bukan apa-apa. Dan kalian sudah merasa bangga, bahkan berani menantang aku?”
“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “kami tidak akan berjongkok dan mencium kaki kalian. Bahkan kamilah yang menuntut kalian melakukannya, karena kalian yang telah mendahului menimbulkan pertengkaran di warung itu.”
Orang yang marah itu agaknya memang tidak dapat mengekang dirinya. Tetapi ia masih berpesan kepada kawan-kawannya, “Jangan ganggu aku. Aku akan menyelesaikan persoalan ini sendiri.”
“Aku juga terhina. Justru akulah yang telah terpercik minuman panas itu,“ sahut kawannya.
“Tunggulah pada kesempatan lain,“ jawab kawannya, “jika mereka akan bertempur mengeroyokku berempat, biar saja. Baru jika aku memberikan isyarat, kau boleh ikut campur. Atau aku akan menyisakan seorang jika kau benar-benar ingin berkelahi untuk menumpahkan kemarahanmu atas penghinaan itu.”
Orang itu menggeram. Tetapi agaknya kawannya yang marah itu memiliki pengaruh yang besar atas keempat kawan-kawannya. Karena itu, maka iapun tidak mendesaknya lagi.
Tetapi Tatas Lintang memang memiliki harga diri yang tinggi pula. Ketika hanya seorang diantara lawan-lawannya yang melangkah maju, maka iapun berkata kepada ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya, “Tunggu sajalah di luar arena. Jika aku mati, maka singkirkan mayatku. Baru kemudian kalian boleh berbuat sesuatu.”
“Setan,“ geram orang yang marah, “kau akan menghadapi aku seorang lawan seorang?”
“Bukankah itu lebih baik? Dengan demikian akan menjadi jelas siapakah di antara kita yang lebih baik. Kau atau aku?“ bertanya Tatas Lintang.
Orang itu benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun menggeram, “Baiklah. Marilah. Aku antar kau ke pelukan maut. Mungkin kau akan mendapat tempat yang lebih baik dari tempatmu sekarang.”
Tatas Lintang tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedua orang itupun kemudian melangkah semakin mendekat. Empat orang kawan dari orang yang marah itu berdiri termangu-mangu. Tetapi seperti pesan kawannya yang akan menghadapi Tatas Lintang itu, maka mereka tidak turun ke arena sebagaimana Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Dengan demikian maka Tatas Lintang telah terlibat dalam perang tanding melawan orang yang tidak dikenalnya.
Namun seperti juga ketiga orang yang diakuinya sebagai kemenakannya itu, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Tetapi agaknya ia tidak dapat mengekang dirinya sehingga ia telah melibatkan diri ke dalam pertentangan dengan orang yang dijumpainya di jalan tanpa mengkaitkannya dengan kepentingannya.
Tatas Lintang pun menghadapi lawannya dengan bersungguh-sungguh. Ia belum mengenal sama sekali keadaan lawannya. Yang dilihatnya baru kekuatan lawannya yang mengejutkan, ketika ia melemparkan tambir bambu ke arahnya dan yang ternyata mampu memecahkan dinding dan hinggap pada sebatang pohon sebagaimana sebilah parang yang tajam.
Namun menilik bahwa orang itu begitu saja melontarkan tambir itu, sehingga orang itu masih belum mengerahkan segenap kemampuannya, maka tentu orang itu memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Karena itu maka Tatas Lintang pun harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati.
Sejenak keduanya masih mencari kesempatan. Mereka melangkah semakin dekat. Ketika tangan mereka mulai bergerak, maka tiba-tiba saja orang yang marah itu telah meloncat menyerang dengan kakinya mengarah ke dada Tatas Lintang.
Tetapi Tatas Lintang sudah bersiap sepenuhnya. Dengan bergeser ke samping ia telah membebaskan diri dari garis serangan itu. Bahkan Tatas Lintang sempat mengayunkan tangannya memukul kaki lawannya. Namun lawannya pun dengan cepat memutar kakinya, sehingga Tatas Lintang pun mengurungkan serangannya pula.
Serangan pertama orang itu telah membuka pertempuran yang menjadi seru sekali. Keduanya memang memiliki kemampuan yang tinggi. Pada gerakan-gerakan pertama keduanya memang berusaha menjajagi kemampuan lawannya masing-masing. Dengan hati-hati Tatas Lintang mencoba untuk menyentuh kekuatan lawannya pada tataran yang masih belum sampai ke puncak. Dengan demikian maka Tatas Lintang mempunyai sedikit takaran atas kekuatan lawannya itu.
Namun ternyata bahwa sedikit demi sedikit keduanya telah meningkatkan kemampuannya, sehingga pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin keras. Mereka bergerak semakin cepat dan sekali-sekali terdengar orang yang marah itu menggeram dan bahkan berteriak.
Tatas Lintang lebih banyak melayani tata gerak lawannya meskipun tidak semata-mata, karena iapun telah berusaha untuk menyerang pula. Namun Tatas Lintang yang tidak diburu oleh gejolak perasaannya dapat berpikir lebih bening dari lawannya. Karena itu, maka Tatas Lintang menjadi lebih banyak mendapat kesempatan untuk mengamati tata gerak lawannya.
Untuk beberapa saat Tatas Lintang berusaha untuk mengambil jarak dari lawannya. Ia berusaha untuk dapat mengamatinya lebih cermat lagi. Namun dalam keadaan yang demikian lawannya menganggap bahwa Tatas Lintang mulai terdepak. Sehingga karena itu maka lawannya pun telah berusaha untuk semakin mendesaknya dan bahkan berusaha untuk menguasainya.
Keempat kawan orang itupun menganggap demikian pula. Karena itu maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Jika kawannya mampu mengalahkan orang tertua di antara keempat orang itu, maka akan datang giliran mereka mendapat kesempatan untuk melawan ketiga orang yang diakuinya sebagai kemenakan orang yang dikalahkan itu.
“Tanganku sudah gatal,“ berkata seorang di antara mereka.
Yang lain pun menggeretakkan giginya. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi untuk menunggu kesempatan itu.
Untuk sesaat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menjadi berdebar-debar. Merekapun semula menduga bahwa Tatas Lintang mulai terdesak. Namun ketika mereka sempat berpikir, maka mereka pun mulai mengerti apa yang terjadi.
Mereka bertiga yang mengetahui tingkat kemampuan Tatas Lintang masih belum melihat ilmu puncak yang nggegirisi itu. Karena itulah mereka mengetahui bahwa sebenarnya Tatas Lintang masih belum terdesak. Jika Tatas Lintang mengambil jarak dari lawannya, tentu ia mempunyai perhitungan yang lain.
Sebenarnyalah, maka ketika lawannya mendesaknya terus, maka Tatas Lintang pun mulai meningkatkan lagi kemampuannya. Ia bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan gerak lawannya. Dengan demikian, maka kesan bahwa keempat kawan orang yang bertempur melawan Tatas Lintang itu terkejut melihat perubahan keseimbangan yang tiba-tiba saja terjadi.
Tatas Lintang yang bergerak semakin cepat itu telah semakin sering pula membalas setiap serangan dengan serangan, dengan penuh kesadaran bahwa lawannya adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan untuk menyalurkan ilmu pada benda-benda yang disentuhnya.
Namun demikian, Tatas Lintang pun bukannya tidak memiliki kekuatan yang tinggi. Itulah sebabnya, maka setelah menjajagi kemampuan ilmu lawannya dengan sentuhan-sentuhan yang tidak langsung, maka Tatas Lintang pun telah bertekad untuk membenturkan kekuatannya. Itulah sebabnya, iapun telah bersiap untuk menerima serangan lawannya.
Tatas Lintang telah mempersiapkan diri dengan sebagian besar dari kekuatan tenaga cadangannya didasari dengan kemampuan ilmunya ketika ia melihat lawannya telah bersiap untuk menyerangnya dengan garangnya.
Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang benar-benar telah bersiap untuk menyerang dengan kekuatannya yang sangat besar. Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka iapun telah meloncat menerkam lawannya. Tangan kanannya yang terayun mengarah ke kepala Tatas Lintang merupakan himpunan kekuatannya yang telah terpusat.
Tetapi Tatas Lintang tidak membiarkan kepalanya dikenai oleh serangan lawannya yang terpusat pada tangannya, namun Tatas Lintang pun tidak ingin menghindari serangan itu. Karena itulah, maka Tatas Lintang pun telah menyilangkan kedua tangannya di atas kepalanya untuk menangkis serangan lawannya itu.
Lawannya yang marah itu melihat Tatas Lintang tetap berdiri di tempatnya. Karena itulah maka ia menduga bahwa Tatas Lintang memang tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga ia terpaksa melindungi kepalanya dengan menyilangkan tangannya.
Lawannya yang telah meloncat itu sempat menggeram sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Kau akan hancur sekarang orang dungu. Tidak ada orang yang dapat melawan kekuatanku.”
Sebenarnyalah sesaat kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat. Kekuatan orang yang marah itu benar-benar kekuatan yang luar biasa besarnya. Ketika tangannya menghantam tangan Tatas Lintang yang bersilang, maka terasa tangan Tatas Lintang bagaikan akan patah. Iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Tatas Lintang harus berusaha untuk bertahan karena keseimbangannya telah terguncang. Untunglah bahwa meskipun Tatas Lintang terhuyung-huyung, namun ia tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Tetapi akibat yang gawat itu tidak hanya terjadi atas Tatas Lintang. Lawannya yang telah menghantam tangan Tatas Lintang yang bersilang itupun telah tergetar. Tangan lawannya itu terasa bagaikan hancur membentur sekeping baja pilihan. Sementara itu oleh kekuatannya sendiri yang terpantul pada benturan yang dahsyat itu, maka lawan Tatas Lintang itupun telah terlempar beberapa langkah. Kepalanya terasa berputar dan pandangannya menjadi berputaran. Tubuhnya yang kekar telah terbanting jatuh dan berguling di tanah.
Untuk sekejap orang itu bagaikan kehilangan nalar. Namun nalurinya sebagai seorang yang berilmu tinggi telah mendorongnya untuk meloncat bangkit. Tetapi iapun telah terhuyung-huyung pula. Bahkan ternyata orang itu tampak tidak mampu bertahan karena pandangannya yang berputar-putar. Sehingga sejenak kemudian, maka orang itupun telah jatuh berlutut. Namun kedua tangannya sempat bertelekan di tanah sehingga tubuhnya tidak berguling lagi.
Untuk sesaat ia berusaha memperbaiki keadaannya. Dengan memusatkan nalar budinya, maka orang itu berjuang untuk memulihkan keadaannya. Orang itu telah mengatur pernafasannya sambil berlutut dan bertelekan dengan tangannya.
Ternyata Tatas Lintang berhasil menguasai dirinya lebih cepat dari lawannya. Ketika ia sudah berdiri tegak, maka dilihatnya lawannya masih tetap berlutut dan bertelekan kedua tangannya. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lawannya. Ia ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki keadaannya. Kemudian terserah kepada lawannya, apa yang akan dilakukannya.
Dalam pada itu kedua orang kawan dari orang yang jatuh berlutut itu dengan tergesa-gesa mendekatinya, sementara dua orang yang lain berdiri tegak dalam kesiagaan penuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Tatas Lintang tidak berbuat apa-apa. Justru ia berkata, “Nah, selanjutnya terserah kepada Ki Sanak.”
Orang yang berlutut itupun menggeram. Perlahan-lahan keadaannya menjadi semakin baik. Ketika pernafasannya pulih kembali, maka rasa-rasanya kekuatannya pun telah pulih pula. Karena itu ketika kedua orang kawannya akan menolongnya, ia mengibaskan tangannya sambil membentak, “Aku dapat berdiri sendiri.”
Sebenarnyalah orang itupun telah tegak kembali. Dengan mata yang menyala ia memandang Tatas Lintang yang telah berdiri tegak.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah mempersiapkan diri pula. Jika keempat orang kawan orang yang marah itu melibatkan diri, maka mereka pun akan melibatkan diri pula.
Tetapi orang yang terbanting jatuh itu benar-benar telah merasa mampu untuk meneruskan perlawanannya. Bahkan kemudian iapun menggeram, “Ternyata aku harus benar-benar berusaha membunuhmu. Benturan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kau mempunyai kelebihan dari aku. Sementara itu, aku telah dipengaruhi oleh perasaan belas kasihanku kepadamu. Sekarang, kau akan menyesali kesombonganmu itu.”
Orang itu tiba-tiba saja telah mempersiapkan diri untuk mulai bertempur kembali. Tatas Lintang pun telah mempersiapkan dirinya pula. Akibat benturan yang terjadi itupun seakan-akan telah tidak terasa. Apalagi Tatas Lintang masih belum mengerahkan segenap kekuatannya.
“Jika orang itu telah mempergunakan segenap kekuatannya, maka aku masih mempunyai kelebihan,“ berkata Tatas Lintang di dalam hatinya, “tetapi aku harus melihat apa yang akan dilakukannya kemudian.”
Bahkan Tatas Lintang pun bersiap-siap jika ia harus mempergunakan ilmunya yang masih tersimpan sebagaimana pernah ditularkan kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Namun ia masih harus menunggu perkembangan ilmu lawannya, karena Tatas Lintang tidak ingin dengan serta merta mengalahkan lawannya yang masih belum diketahui asal usulnya itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap lagi. Lawan Tatas Lintang itupun maju beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba saja ia telah mengurai senjatanya seutas rantai besi yang tidak begitu panjang dari balik ikat pinggangnya.
Tatas Lintang termangu-mangu. Ia sadar, bahwa rantai di tangan orang itu tentu akan menjadi senjata yang sangat berbahaya. Sebuah tambir yang dianyam dari bambu telah mampu menancap pada sebatang pohon. Apalagi yang dipegang oleh orang itu adalah seutas rantai besi. Lawan Tatas Lintang itu tidak menunggu lebih lama. Iapun segera memutar rantainya sambil melangkah mendekat.
Sejenak Tatas Lintang berdiri tegang. Namun ketika lawannya mulai menyerang, maka iapun harus berloncatan menghindar. Rantai itupun ternyata telah menimbulkan desing yang memekakkan telinga. Suaranya menjadi seolah-olah menderu melampaui kewajaran.
Tatas Lintang menjadi berdebar-debar. Seperti yang diduganya bahwa rantai itu tidak saja merupakan senjata lentur yang berbahaya sekali, tetapi dengan memusatkan kekuatan dan kemampuan ilmunya, rantai itu dapat berubah bagaikan sepotong tongkat besi baja dan bahkan dengan rantai itu lawannya seakan-akan telah menusuk mengarah ke lambungnya.
“Gila,“ geram Tatas Lintang. Meskipun Tatas Lintang sudah menduga, tetapi kemampuan orang itu mempermainkan senjatanya telah mendebarkan jantung.
Karena itu, beberapa saat kemudian Tatas Lintang pun benar-benar mulai terdesak. Kecepatan geraknya kadang-kadang memang mengejutkan lawannya dan bahkan mampu menerobos memasuki putaran senjatanya. Namun langkah-langkah yang demikian akan menjadi sangat berbahaya jika diulanginya beberapa kali.
Karena itu, maka ketika Tatas Lintang itu benar-benar terdesak, ia telah meloncat ke pagar pasar yang sudah menjadi sepi itu. Dengan cepat ia telah mencabut sebuah tiang pagar yang terbuat dari kayu utuh yang tidak begitu besar, tidak lebih dari lengan Tatas Lintang itu sendiri. Sedangkan tingginya pun tidak lebih dari tubuh Tatas Lintang itu pula. Dengan kayu itu Tatas Lintang pun kemudian siap menghadapi lawannya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ternyata telah terkejut melihat Tatas Lintang bersenjata tongkat. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Tatas Lintang itu menggerakkan tongkatnya.
“Kemampuannya mempermainkan tongkat sangat mengagumkan,“ desis Mahisa Murti.
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “namun juga mendebarkan. Meskipun ia tidak membawa tongkat, tetapi ia benar-benar menguasai permainan tongkat.”
“Apakah ia sebenarnya seorang di antara orang-orang bertongkat dari padepokan itu?“ bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam karenanya. Namun mereka telah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun kemudian Mahisa Pukat itu berdesis. "Kenapa ia tidak mempergunakan ilmunya yang sudah ditangkarkan kepada kita? Ia justru telah mempergunakan sebatang tongkat. Jika ia mempergunakan kemampuannya menyerang pada jarak tertentu, maka lawannya pun akan mengalami kesulitan."
Mahisa Murti termangu-mangu. Jawabnya, “Semuanya masih terasa asing dan rahasia. Kita memang harus berhati-hati.”
Dalam pada itu, pertempuran antara Tatas Lintang dengan lawannya itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Rantai itupun berputar semakin cepat, sementara itu kadang-kadang rantai itu mematuk dengan cepat. Tetapi kemudian berubah terayun mendatar bagaikan tongkat baja.
Namun tongkat kayu yang dicabutnya dari pagar pasar di tangan Tatas Lintang itupun tidak kalah berbahaya. Meskipun tongkat itu tidak lebih dari sebatang kayu sebesar lengan, namun tongkat itu agaknya menjadi sangat berbahaya. Tongkat itu terayun-ayun cepat sekali. Suaranya telah mengimbangi deru putaran rantai lawannya. Seperti juga rantai lawannya itu, maka tongkat Tatas Lintang pun sekali terayun menyambar kepala, namun kemudian menjelujur mematuk ke arah dada.
Namun ketangkasan keduanya mampu saling menghindari setiap serangan. Baik tongkat Tatas Lintang maupun rantai di tangan lawannya masih belum berhasil menyentuh sasaran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Tatas Lintang yang masih belum mempergunakan kemampuan puncaknya ternyata mulai diganggu oleh kejemuannya melayani lawannya.
Ketika sekilas ia melihat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang berwajah tegang, maka Tatas Lintang pun menjadi berdebar-debar. Barulah kemudian ia sadar, bahwa ia telah mempergunakan tongkat sebagai senjatanya, sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura sedang sibuk dengan orang-orang yang disebutnya bertongkat.
Tetapi Tatas Lintang tidak melepaskan senjatanya. Iapun justru telah meningkatkan kemampuan ilmunya untuk mulai dengan sungguh-sungguh menekan lawannya. Dengan demikian maka tongkat Tatas Lintang pun telah berputar semakin cepat. Melampaui kecepatan putaran rantai lawannya.
Dalam gerak yang cepat dan saling mengarah ke tubuh lawan, maka kadang-kadang kedua jenis senjata itu memang bersentuhan. Meskipun tidak langsung, namun keduanya mampu mendapat kesan dari kekuatan masing-masing. Bahkan ketika keduanya bergerak semakin cepat, maka benturan-benturan pun tidak dapat dihindarinya lagi.
Namun akhirnya orang yang bersenjata rantai itupun menjadi jemu pula. Rasa-rasanya tenaganya justru mulai menjadi susut. Apalagi setelah terjadi benturan kekuatan sehingga ia telah jatuh terguling di tanah.
Dengan demikian maka lawan Tatas Lintang itupun telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya dilambari dengan kemampuan ilmu puncaknya, sehingga iapun telah siap untuk menghancurkan Tatas Lintang yang bersenjata tongkat kayu yang hanya diambilnya dari pagar pasar. Karena itu, selagi kekuatan dan kemampuan ilmunya masih dapat dianggap utuh, maka iapun akan mempergunakannya.
Tatas Lintang yang melihat lawannya mempersiapkan hentakkan terakhir dari ilmunya itupun telah bersiap pula. Ia tidak mau dihancurkan oleh kekuatan lawannya meskipun ia masih belum mempergunakan ilmunya yang nggegirisi. Yang akan dilakukan adalah membentur ilmu lawannya dengan lambaran kekuatan dan ilmunya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka lawannya itupun telah mengambil jarak. Memutar rantai di tangannya sambil menggeram dan siap untuk meloncat, ia lebih percaya kepada rantainya sebagai senjatanya yang khusus daripada pedangnya yang tergantung di lambung.
Tatas Lintang telah mempersiapkan tongkatnya pula. Ia sadar, bahwa tongkat kayu itu secara wajar tidak akan mampu menahan benturan kekuatan dengan rantai yang juga akan dilandasi dengan kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya. Karena itu, maka Tatas Lintang telah menyalurkan getaran kekuatannya pada tongkatnya, sehingga tongkat itu akan mampu menahan benturan yang sangat kuat.
Pada saat Tatas Lintang sampai kepada puncak kekuatan dan kemampuan ilmunya, maka lawannya pun telah meloncat sambil mengayunkan rantainya yang seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat besi baja yang kuat dan berat.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Benturan kekuatan dan kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Rantai yang seakan-akan berubah menjadi besi baja yang kokoh kuat telah berbenturan dengan sebatang tongkat kayu yang dialiri oleh getaran kekuatan dan kemampuan ilmu yang jarang ada bandingnya, sehingga tongkat kayu itupun bagaikan telah berubah pula menjadi wesi gligen.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa Tatas Lintang tentu tidak akan membenturkan tongkatnya dalam keadaan wajarnya. Meskipun demikian, melihat ayunan rantai di tangan lawannya itu, ketiganya menjadi cemas.
Benturan yang terjadi ternyata benar-benar dahsyat. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa yang berbenturan itu adalah seutas rantai dan sebatang tongkat kayu yang dicabut dari pagar pasar. Yang berbenturan seolah-olah dua batang tongkat baja yang kuat dan berat dalam ayunan yang sangat besar.
Akibatnya pun dahsyat pula. Tatas Lintang terdorong beberapa langkah surut. Tongkatnya menjadi retak meskipun belum patah. Sekali lagi ia terhuyung-huyung. Namun iapun masih mampu bertahan meskipun harus bertelekan pada tongkat kayunya.
Namun akibat yang terjadi pada lawannya ternyata jauh lebih parah. Ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan ilmu Tatas Lintang benar-benar melampaui lawannya. Kekuatan dari ilmu lawan Tatas Lintang yang kemudian bagaikan telah dipusatkan pada rantai besinya yang terayun bagaikan sebatang tongkat baja ternyata dipecahkan oleh kekuatan dari ilmu Tatas Lintang dalam benturan yang terjadi.
Rantai besi yang terayun dengan kekuatan sebatang tongkat baja itu telah kehilangan kekuatannya sehingga karena itu, maka rantai besi itu tidak lagi dapat tegak sebagai batang tongkat baja, tetapi kekuatannya dan kemampuan ilmu yang pecah itu telah menjadi rantai itu sebagaimana seutas rantai.
Karena itu, maka rantai itu telah membelit tongkat kayu Tatas Lintang yang retak pada benturan itu meskipun tidak patah. Pada saat Tatas Lintang menghentakkan tongkatnya, maka rantai yang membelit itu telah terlepas dari tangan lawannya dan yang kemudian telah terurai pula dari belitannya dan jatuh di tanah.
Sementara itu, kekuatan dan ilmunya yang telah dipecahkan oleh Tatas Lintang itu seakan-akan telah berbalik menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri sehingga terasa seolah-seolah isi dadanya telah dirontokkan karenanya. Terdengar sebuah keluhan tertahan, sementara tubuh lawan Tatas Lintang itu telah terlempar oleh kekuatannya sendiri yang memantul pada benturan yang dahsyat yang justru telah memecahkan kekuatan dari ilmunya itu.
Sekali lagi orang itu terbanting jatuh tidak saja berguling sebagaimana yang pernah terjadi, tetapi tubuhnya benar-benar bagaikan dihentakkan dengan kuat. Karena itulah, maka orang itu tidak sempat bangkit sama sekali sebagaimana dilakukan sebelumnya. Matanya bukan saja terasa berputar, tetapi kesadarannya pun telah terenggut oleh benturan itu. Orang itu ternyata telah menjadi pingsan sementara bagian dalamnya telah terluka parah.
Keempat kawannya dengan serentak meloncat mendekatinya. Seperti yang mereka lakukan sebelumnya, dua orang telah berjongkok di sisi tubuh yang terbaring itu, sementara dua orang yang lain telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ternyata orang itu tidak bergerak. Kedua kawannya telah mengguncang-guncang tubuh yang pingsan itu. Namun untuk beberapa lamanya mata orang itu tetap terpejam.
Tatas Lintang yang masih bertelekan pada tongkatnya itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali sehingga nafasnya pun telah mengalir semakin lancar dan wajar.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun mendekatinya. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara itu Tatas Lintang telah mengangkat tongkatnya sambil berdesis, “Lihat, tongkat ini retak. Orang itu memang mempunyai kekuatan yang luar biasa.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengamati tongkat kayu yang dicabut dari pagar pasar itu. Tongkat itu memang retak. Namun Mahisa Murti berkata, “Kami tahu, kau belum mempergunakan ilmumu yang kau tularkan kepadaku, menyerang dari jarak tertentu. Dan sekarang kami menyaksikan tongkat kayu yang kau cabut dari pagar itu hanya retak dan tidak patah dalam benturan yang demikian kerasnya. Bahkan tongkat ini telah mampu memecahkan kekuatan dan kemampuan ilmu lawanmu yang tersalur pada rantai besinya yang jauh lebih kuat dari sekedar sebatang kayu pagar saja.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab, “Tetapi ingat. Orang itupun tentu bukan orang terbaik dari kelompoknya. Namun aku yakin, bahwa kalian bertiga akan mampu bertahan melawan orang-orang yang memiliki kemampuan setataran dengan orang itu. Seandainya orang itu memilih salah seorang di antara kalian untuk melawannya, aku yakin bahwa kalian akan mampu memenangkannya.”
“Kecuali aku,“ desis Mahisa Ura.
“Jangan merasa diri terlalu kecil,“ jawab Tatas Lintang.
Sementara itu, kedua orang kawan dari orang yang pingsan itu berusaha untuk membangunkan kawannya. Namun untuk beberapa saat orang itu masih tetap diam dengan mata terpejam.
“Cari air,“ desis Tatas Lintang tiba-tiba, “ia akan sadar, meskipun barangkali ia akan mengalami kesulitan.”
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka telah melangkah ke warung yang mereka tinggalkan sebelumnya. Ketika ia keluar maka ia telah membawa air di dalam mangkuk kecil. Sambil berjongkok di samping kawannya yang pingsan itu, maka iapun telah menitikkan air ke dalam mulutnya. Setetes-setetes. Sehingga beberapa saat kemudian, iapun mulai berdesah.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itupun melangkah mendekat. Namun kawan-kawan orang yang pingsan itu telah bersiaga sepenuhnya untuk melawan mereka.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa,“ berkata Tatas Lintang, “jika kalian berbuat bodoh, maka nasib kalian semuanya akan sama seperti kawanmu itu. Bahkan mungkin menjadi lebih parah. Karena itu jangan berbuat apa-apa.”
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun menyadari, bahwa yang dikatakan orang bertongkat sebatang kayu yang dicabutnya dari pagar pasar itu bukan sekedar menakut-nakutinya. Kawan mereka yang mereka anggap memiliki kemampuan tertinggi di antara mereka pun tidak mampu melawannya. Apalagi mereka berempat.
Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu benar-benar telah sadar. Matanya mulai terbuka. Namun yang terdengar adalah keluhan yang tertahan-tahan. Punggung orang itu serasa patah. Isi dadanya yang terguncang itupun terasa betapa sakitnya. Darahnya tidak mengalir sewajarnya sebagaimana pernafasannya. Karena itu, maka tubuhnya masih tetap terbaring dengan lemahnya. Bahkan untuk menggerakkan ujung jarinya pun rasa rasanya ia masih belum mampu.
Tatas Lintang berdiri tegak beberapa langkah dari keempat orang yang sedang menunggui kawannya yang terluka parah itu. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak akan melanjutkan permusuhan saat ini. Aku tidak tahu, mungkin pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi. Aku tahu bahwa kalian tentu mendendam, sementara kalian tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan pondokku. Namun aku sudah siap menunggu jika kalian memang bermaksud untuk datang. Karena sebenarnyalah aku ingin berkenalan lebih akrab dengan kalian. Sampai saat ini aku masih belum tahu siapakah kalian, karena kalian tidak mau berterus terang.”
“Tidak ada gunanya,“ geram salah seorang di antara keempat orang itu.
“Aku sudah mengira. Karena itu, aku tidak bertanya tentang kalian lebih jauh. Sekarang, aku minta diri. Demikian, juga ketiga orang kemanakanku ini.“ berkata Tatas Lintang kemudian, “sekali lagi aku katakan, bahwa kami sudah siap menunggu kehadiran kalian yang tentu mendendam. Tetapi jika kalian sekali lagi menjumpai aku, maka sikapku akan berubah. Aku bukan lagi orang yang baik hati yang mengampuni kalian seperti yang aku lakukan kali ini. Tetapi jika kalian datang lagi kepadaku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk, karena kami akan membunuh kalian.”
“Persetan,“ geram salah seorang dari keempat orang itu.
“Jangan terlalu kasar Ki Sanak,“ Mahisa Pukat lah yang menyahut, “jika kau tidak menjaga mulutmu, maka kau akan kembali tanpa mulut.”
Wajah orang itu menjadi merah padam. Tetapi melihat sikap Mahisa Pukat yang bersungguh-sungguh, maka orang itu tidak mengatakan sepatah katapun lagi. Namun tangannyalah yang meraba pedang di lambungnya.
Sejenak kemudian, maka Tatas Lintang pun telah meninggalkan kelima orang itu. Sekilas Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih berpaling ke arah orang-orang yang mereka tinggalkan. Orang yang terbaring sambil mengaduh tertahan itu masih juga dalam keadaannya, sementara yang lain pun kemudian telah mengerumuninya.
Beberapa langkah dari mereka berlima, Tatas Lintang berkata, “senjata orang itu memang luar biasa. Ia menganggap bahwa rantainya jauh lebih berbobot dari pedang di lambungnya. Pedang itu hanya untuk menakut-nakuti orang saja. Namun dalam keadaan yang gawat, ternyata ia mempergunakan rantainya.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sebenarnyalah orang yang pingsan itu sebagaimana kawan-kawannya membawa pedang di lambung. Namun agaknya ia lebih percaya kepada rantainya yang lentur, yang memiliki kemungkinan yang lebih banyak dari sebilah pedang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata, “Kau ternyata memiliki kemampuan bermain tongkat yang sangat tinggi. Bahkan kau telah mampu menjadikan tongkatmu menjadi senjata yang mampu mengimbangi kekuatan rantai baja yang dilambari pula dengan ilmu yang tinggi.”
Tatas Lintang memperhatikan tongkatnya. Namun kemudian katanya, “Kau pun akan mampu melakukannya.”
Namun Tatas Lintang itupun tiba-tiba telah menyandarkan tongkat yang telah retak itu pada pagar pasar. Sementara itu, ia-pun berkata sambil memandang warung yang masih terbuka namun sudah menjadi benar-benar sepi.
“Kita memberi bantuan kepada pemilik warung itu jika terjadi kerusakan. Karena kerusakan itu antara lain disebabkan karena kehadiran kita di warung itu. Dindingnya yang pecah dan setambir makanan tertumpah. Bahkan mungkin lebih banyak lagi.“ berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikutinya saja di belakang, ketika Tatas Lintang kemudian berbelok menuju ke kedai yang masih tetap terbuka, ditunggui oleh pemiliknya yang gemetar. Sebenarnyalah bahwa bukan maksudnya untuk tidak menutup warungnya. Tetapi karena kebingungan dan ketakutan, maka ia tidak lagi mampu berlaku dan berbuat sesuatu. Karena itulah maka pintu warungnya tetap terbuka.
Di pintu warung, Tatas Lintang berhenti. Dipanggilnya pemilik itu mendekat. Tubuh pemilik warung yang sudah gemetar itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa takut mendekati Tatas Lintang. Pemilik warung itu merasa bersalah telah dengan sengaja menyeret Tatas Lintang ke dalam keadaan yang sulit.
“Kenapa tidak kau tutup warungmu?“ bertanya Tatas Lintang.
Orang itu tergagap. Dengan suara sendat ia menjawab, “Ya. Ya. Aku akan menutupnya.”
Namun di luar dugaan orang itu, maka tiba-tiba saja Tatas Lintang telah menjulurkan beberapa keping uang sambil berkata, “Kau dapat memperbaiki dinding warungmu.”
“Oo,“ orang itu tidak segera menerima uang itu justru karena kebingungan.
Namun Tatas Lintang telah mendesaknya, “Cepat, atau aku mengurungkan niatku untuk membantu kerusakan pada warungmu?”
“Oo, terima kasih,“ orang itu tergagap. Tetapi ia menerima uang itu dari Tatas Lintang.
“Nah, aku minta diri. Kau tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi,“ berkata Tatas Lintang, “jika orang-orang itu menanyakan tempat tinggalku. Kau tidak usah merahasiakannya. Aku sudah siap menerimanya. Katakan saja di mana aku tinggal bersama ketiga orang kemanakanku ini. Aku dan tiga kemenakanku memang sudah siap menerimanya.”
Wajah pemilik kedai itu menjadi bingung. Namun Tatas Lintang menjelaskan, “Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kau tidak mau menunjukkan, maka kau akan mengalami banyak kesulitan.”
Pemilik kedai itu masih belum menjawab, sementara Tatas Lintang berkata lebih lanjut, “Orang-orang itu agaknya akan mendendam. Mereka akan mencari aku. Sementara itu kau sudah mengatakan bahwa kau tinggal sepedukuhan dengan aku. Karena itu maka mereka tentu akan menanyakannya kepadamu.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun iapun telah mengerti maksud Tatas Lintang. Karena itu, maka iapun telah mengangguk kecil tanpa mengucapkan kata-kata sepatah pun.
“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “sekarang kami akan pulang ke pondokku. Setiap saat aku dapat menerima siapa saja yang akan menjumpai aku.”
Pemilik warung itu nasih tetap diam. Namun sorot matanya menunjukkan campur baur perasaan di dalam hatinya. Antara menyesal, kecemasan dan ketakutan.
Tatas Lintang tidak menungguinya terlalu lama. Tapi ia kemudian meninggalkan pemilik warung itu diikuti oleh ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu, keempat orang yang masih menunggui kawannya yang baru saja sadar dari pingsannya, namun masih terlalu lemah untuk dapat bangkit itu, memandangi keempat orang yang berjalan semakin lama semakin jauh. Sebenarnyalah dendam memang telah membakar jantung mereka. Tetapi mereka juga merasa heran, bahwa keempat orang itu pergi begitu saja setelah kawannya itu menjadi pingsan.
“Tetapi itu adalah ujud dari kesombongan yang tidak ada taranya,“ berkata salah seorang di antara mereka.
Kawannya mengangguk-angguk, sedang orang yang berbicara itu berbicara terus, “Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka. Mereka tentu bermaksud untuk memancing orang, yang lebih baik dari kita untuk datang ke pondok mereka.”
“Kita akan melakukannya,“ sahut kawannya, “kita akan melaporkan semua yang telah terjadi. Maka orang itu tentu akan dihukum, sesuai dengan kesombongan mereka.”
Tetapi yang lain menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Kita akan menilai dengan wajar kemampuan orang itu.”
“Aku mengerti,“ jawab kawannya, “tetapi kita yakin bahwa orang itu akan dapat dihukum.”
Pembicaraan itupun terhenti ketika mereka mendengar kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu merintih. Perhatian mereka pun kemudian tertuju kepada kawannya yang pingsan itu.
Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya seperti kemanakannya itupun telah menuju ki pondok mereka. Sementara itu Mahisa Murti masih juga bertanya kepada Tatas Lintang,
“Apakah kau memang terbiasa mempergunakan tongkat sebagai senjata? Dengan tongkat yang kau ambil dari pagar kau sudah mampu mengalahkan lawanmu yang berilmu tinggi. Apalagi jika kau mempergunakan tongkat yang khusus, yang memang dibuat sebagai senjata.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia mengerti arah bicara Mahisa Murti. Karena itu, maka katanya, "Mahisa Murti, aku tidak terbiasa bersenjatakan tongkat. Tetapi aku memang dapat mempergunakan segala macam senjata. Senjata yang memang disediakan buat senjata, atau apapun yang aku dapatkan di arena jika lawanku memang bersenjata. Aku dapat bersenjata tongkat, maksudku sepotong kayu, mungkin dahan yang harus aku patahkan dari pepohonan, kayu pagar seperti yang telah aku pergunakan, atau sulur-sulur pepohonan, tambang atau apapun juga. Bahkan batu dan pasir. Aku kira bukan aku saja yang dapat melakukan hal yang demikian jika perlu. Kalian pun akan dapat melakukannya.”
“Tetapi caramu memutar tongkat memang menakjubkan sekali,“ desak Mahisa Murti.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti apa yang tersirat pada kata-katamu. Kau menghubungkan tongkat yang kebetulan saja aku ambil dari pagar itu dengan tongkat yang selalu dibawa oleh sekelompok orang dari salah satu padepokan. Tegasnya, kau cemas bahwa aku adalah satu di antara orang-orang bertongkat di padepokan itu.”
Mahisa Murti lah yang kemudian menarik nafas. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Nampaknya masih ada kesangsian di hati kalian. Tetapi hal itu dapat dimengerti, meskipun aku ingin memperingatkan, bahwa aku telah berusaha untuk membantu kalian, menemukan satu cara untuk melontarkan serangan ilmu kalian yang luar biasa dalam jarak tertentu. Aku memang bermaksud agar dengan demikian kalian tidak mencurigai aku lagi, sehingga kita akar dapat bekerja bersama-sama. Jika aku termasuk orang yang akan berdiri berseberangan dengan kalian, maka apakah artinya aku berusaha membantu kalian meningkatkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk di luar sadarnya. Namun mereka pun merasa bahwa Tatas Lintang telah berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan mereka. Karena itu, maka untuk sementara mereka akan dapat menghapus perasaan curiga itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun tidak bertanya apapun lagi. Sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian berjalan saja dengan kepala tunduk di sebelah Mahisa Murti.
Keempat orang itupun kemudian berjalan dengan tanpa mengucapkan kata-kata. Mereka semakin mendekati padukuhan mereka. Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun telah berada di pondok kecil Tatas Lintang. Untuk menghilangkan kekakuan suasana, maka Tatas Lintang pun berkata, “Marilah kita membuat sebuah amben bambu untuk mengganti amben kita yang rusak.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah sibuk memotong dan membelah bambu untuk membuat amben dan sebuah lincak yang akan diletakkan di serambi pondok kecil itu. Hampir sehari mereka bekerja keras. Namun akhirnya mereka telah dapat menyelesaikan sebuah amben besar dan lincak bambu yang mereka letakkan di serambi.
“Besok kita tinggal membuat galarnya,“ berkata Tatas Lintang, “namun dengan demikian malam nanti kita belum dapat mempergunakannya.”
Namun adalah di luar dugaan, ketika seseorang lewat di depan rumah kecil mereka, maka sikap orang itu jauh berbeda dengan sikap yang sebelumnya. Orang itu mengangguk sambil menyapa dengan ramah, “Marilah Ki Sanak. Apakah kalian tidak keluar?”
“Kami sedang menyiapkan sebuah amben,“ jawab Tatas Lintang.
“Oo.“ orang itu berkata selanjutnya, “di halamanku ada pring tutul. Mungkin dapat kalian buat lincak yang akan menjadi lebih baik dari pring wulung.”
“Terima kasih,“ berkata Tatas Lintang, “ini sudah cukup buat kami.”
Orang itu mengangguk hormat sambil berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Aku minta diri.”
Sepeninggal orang itu, Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ceritera tentang kita tentu sudah tersebar. Orang-orang padukuhan ini sebagian tentu sudah mendengar. Mungkin tentang orang-orang yang memeras para petani yang tidak mempunyai sawah seperti kita. Tetapi mungkin juga peristiwa yang terjadi di pasar.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang, bahwa mereka harus benar-benar telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika kemudian senja turun, keempat orang itu sudah membenahi dirinya. Mereka mulai menyalakan lampu minyak di dalam pondok mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti yang menyalakan sebuah lampu minyak di regol pagar halaman terkejut ketika dilihatnya dua orang lewat dengan tergesa-gesa. Semula Mahisa Murti tidak begitu memperhatikan keduanya. Apalagi senja telah menjadi semakin suram. Namun iapun kemudian menjadi berdebar-debar. Dua orang itu menurut penglihatannya adalah dua orang yang dilihatnya juga berada di warung pada saat perselisihan terjadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Ternyata di daerah ini terdapat banyak kekuatan yang diliputi oleh rahasia. Mungkin karena padepokan itu mengundang banyak pihak untuk mengetahuinya lebih dalam. Tetapi mungkin juga dalam hubungannya dengan batu yang berwarna itu.”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berdiri di regol. Namun kemudian iapun tidak melihat lagi kedua orang yang berjalan tergesa-gesa itu, setelah keduanya berbelok pada sebuah tikungan. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah kembali masuk ke dalam pondok kecil yang dihuninya bersama dengan tiga orang lainnya. Ketika mereka kemudian berkumpul, maka Mahisa Murti-pun telah mengatakan apa yang dilihatnya.
“Dua orang yang berada di warung bersama kita?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa keduanya bukan orang kebanyakan. Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka mempunyai landasan yang kuat sehingga mereka tetap tenang.”
“Agaknya mereka pun menaruh perhatian atas kita,“ berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Aku menduga, bahwa keduanya mengamati saat-saat kita berhadapan dengan kelima orang itu. Tetapi kita tidak mengetahuinya, di mana mereka berada waktu itu.”
“Aku sependapat,“ sahut Mahisa Pukat, “karena itu maka kita harus lebih berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Agaknya di tempat ini berkeliaran orang-orang dari banyak pihak. Termasuk kita.”
Ketika Mahisa Pukat berpaling ke arah Tatas Lintang, maka Tatas Lintang itupun menyahut, “Ya. Di sini sudah ada dua pihak yang berbeda. Tetapi mudah-mudahan kita dapat bekerja bersama untuk seterusnya, sedangkan pihak-pihak yang lain tidak dapat bekerja bersama sebagaimana kita lakukan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Kita memang harus berhati-hati menghadapi keadaan apapun juga. Saat-saat yang paling gawat itu akan segera datang. Bukankah kita tidak akan terlalu lama menunggu?”
“Ya,“ jawab Tatas Lintang, “kita tidak akan membiarkan diri kita membeku di sini. Apalagi aku. Aku sudah cukup lama tinggal di sini.”
“Kau kira aku belum cukup lama mengembara,” sahut Mahisa Pukat, “tetapi kami mempunyai kerja sambilan. Sesekali kami sempat menjual barang-barang dagangan kami.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita harus mulai merencanakan mengamati padepokan itu lagi sebagaimana pernah kita lakukan. Tetapi kemudian aku tidak akan sendiri lagi.”
“Kita akan melakukannya segera,“ berkata Mahisa Murti, “jika kita terlalu lama mungkin sesuatu telah terjadi di Singasari atau di Kediri.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita akan bersiap mulai besok. Kita akan merencanakan kapan kita akan mulai bergerak mengamati padepokan itu. Apakah kita harus pergi bersama-sama, atau kita akan bergiliran.”
Tetapi Mahisa Pukat menyahut, “Mungkin kita sempat bergerak. Tetapi mungkin justru orang-orang dari padepokan itulah yang datang kemari.”
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun iapun berkata, “Memang mungkin sekali. Jika kelima orang itu berasal dari padepokan itu maka mungkin sekali merekalah yang datang mencari kita di sini.”
Ketiga orang yang disebut kemenakan Tatas Lintang itu-pun mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti lah yang berkata, “Kita sudah siap sejak semula. Apakah kita yang datang, atau mereka yang datang kepada kita. Tetapi satu keinginan yang harus terpenuhi, melihat padepokan itu dan mengetahui isinya.”
Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Namun tidak lagi berbicara dengan sungguh-sungguh, karena Tatas Lintang pun berkata, “Aku menjerang air. Tentu sudah mendidih.”
Mahisa Pukat pun kemudian membantu Tatas Lintang membuat minuman panas. Wedang sere dengan gula kelapa. Namun ketika mereka duduk kembali bersama-sama. Tatas Lintang pun berkata,
“Sudah waktunya kita mengatur diri. Setiap saat bahaya dapat mengancam kita. Nah, karena itu, maka kita harus bergantian berjaga-jaga. Setiap saat di antara kita harus ada yang tidak sedang tidur di malam hari. Sepanjang malam.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menyahut, “Aku sependapat. Kita berempat di rumah ini. Jika semalam berdua di antara kita berjaga-jaga bergantian, maka kita akan mendapat giliran setengah malam dalam dua hari.”
“Kau tentu memilih hari kedua,“ berkata Mahisa Pukat.
“Kenapa dengan hari kedua,“ bertanya Mahisa Murti.
“Malam ini kita masih berada di pondok ini. Mungkin besok malam kita semuanya sudah berada di sekitar padepokan.“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Namun yang lain pun kemudian tertawa pula. Dengan demikian, maka mereka pun kemudian mengambil keputusan lain. Setiap malam mereka akan membagi diri. Dua orang di belahan malam pertama dan dua orang di bagian kedua setelah lewat tengah malam. Mahisa Murti akan berjaga-jaga bersama Tatas Lintang, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura akan berjaga-jaga menjelang dini hari.
“Dua orang yang lewat setelah senja itu harus menjadi perhatian,“ berkata Mahisa Murti, “mungkin ia hanya sekedar ingin melihat pondok ini. Tetapi mungkin mereka mempunyai maksud tertentu. Apalagi jika kedua orang itu sebenarnya merupakan satu kelompok dengan kelima orang yang kita hadapi itu.”
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “banyak kemungkinan dapat terjadi. Kita memang harus berhati-hati.”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian, “Nah. kalian dapat tidur sekarang. Biarlah kami berdua berjaga-jaga, mumpung masih ada minuman tersisa. Wedang sere ini akan membuat tubuh kami hangat.”
“Nanti, kami pun akan menjerang air dan membuat wedang sere pula.“ jawab Mahisa Pukat, yang kemudian berkata kepada Mahisa Ura, “marilah. Kita akan tidur lebih dahulu.”
Demikianlah, seperti yang sudah mereka sepakati, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang di bagian pertama malam itu mendapat giliran untuk tidur lebih dahulu. Merekapun ternyata dapat menyisihkan segala macam persoalan sehingga mereka, segera dapat tidur dengan tenang. Apalagi Mahisa Murti dan Tatas Lintang akan tetap berjaga-jaga.
Untuk menghilangkan kantuk dan kejemuan, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang masih juga berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Namun mereka pun kemudian telah bermain macanan. Permainan yang ternyata dapat melupakan kejemuan yang kadang-kadang terasa mencengkam.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti pun berkata, “udara panas sekali. Aku akan keluar sebentar.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “berhati-hatilah.”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan iapun bangkit dan melangkah ke pintu. Namun ketika pintu berderit, ternyata Mahisa Pukat telah terbangun. Sambil menggeliat iapun bertanya, “Kau akan ke mana?”
“Udara panas sekali,“ jawab Mahisa Murti, “mungkin pengaruh wedang sere itu.”
Tatas Lintang yang melihat Mahisa Pukat terbangun itupun berkata, “Aku juga akan keluar sebentar. Jangan tidur dahulu sebelum kami berdua masuk kembali.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit dan duduk sambil menjawab, “Aku akan menunggu. Tetapi waktunya harus diperhitungkan.”
Tatas Lintang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika Mahisa Murti dan Tatas Lintang sudah berada di luar, maka mereka pun telah menutup pintu kembali, sementara Mahisa Pukat pun justru telah menepi dan duduk di bibir pembaringan. Sekali ia masih menguap. Namun kemudian ia merasa telah sadar sepenuhnya.
Seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang, maka iapun menunggu sampai keduanya masuk kembali. Mahisa Pukat pun sebenarnya juga merasa panas. Tetapi ia tidak menyusul keduanya keluar. Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah tertarik oleh suara yang asing di telinganya. Bukan desah nafas seseorang. Bukan pula langkah yang berdesir di tanah.
Perlahan-lahan terdengar dinding di bagian belakang pondok itu bergetar. Kemudian seolah-olah gesekan yang halus menelusuri dinding bambu yang tidak terlalu kuat itu. Mahisa Pukat telah memusatkan perhatiannya kepada bunyi yang tidak segera diketahui itu. Namun kemudian nafasnya bagaikan terhenti ketika ia mendengar derik kuku-kuku yang tajam berusaha untuk mengoyak dinding.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan berdebar-debar iapun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia sadar, bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh seekor binatang buas yang berusaha untuk mencari jalan memasuki pondok kecil itu.
“Seekor harimau,“ berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.
Menurut perhitungannya tidak ada jenis binatang lain yang akan berbuat seperti yang sedang dilakukan di belakang rumah itu. Tetapi ternyata binatang itu tidak segera memecah dinding dan meloncat masuk. Namun ketika terdengar binatang itu menggeram, Mahisa Pukat pun menjadi semakin yakin, bahwa di belakang rumah itu terdapat seekor harimau.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat telah menunggu. Iapun telah mempersiapkan diri dengan kekuatan Aji Pamungkasnya. Jika harimau itu muncul, maka ia akan membakarnya dengan pukulan Aji Bajra Geni nya. Sekali pukul Mahisa Pukat yakin, bahwa harimau itu tentu akan mati.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Tatas Lintang yang berada di halaman di depan pondok kecil itu memang merasa tubuh mereka menjadi sejuk. Sentuhan angin malam dan embun yang menitik dari dedaunan terasa sangat segar. Namun keduanya pun tiba-tiba telah terkejut. Mereka melihat sesuatu bergerak di luar pagar. Merangkak dan hilang di kegelapan. Namun keduanya pun segera mengetahui, bahwa yang lewat itu adalah seekor harimau.
“Tidak hanya seekor,“ desis Mahisa Murti sambil memberikan isyarat, bahwa di samping pondok mereka pun nampak seekor harimau yang melintas.
“Kita sudah melihat dua ekor,“ berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk. Katanya, “Mereka masih saja mempergunakan harimau jadi-jadian.”
“Mungkin bukan jadi-jadian,“ sahut Mahisa Murti perlahan-lahan, “harimau itu adalah harimau sebenarnya, tetapi sudah dikuasai ilmu gendam yang dapat mengatur perilaku harimau-harimau itu.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Tetapi kita sudah siap siapapun dan apapun yang akan kita hadapi.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita biarkan saja harimau-harimau itu jika mereka tidak menyerang. Sebaiknya kita beritahu Mahisa Pukat dan Mahisa Ura agar mereka bersiap-siap.”
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pondok. Namun mereka terkejut melihat sikap Mahisa Pukat. Dengan nada ragu Mahisa Murti pun bertanya, “Ada apa Pukat?”
Mahisa Pukat meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. Tetapi iapun kemudian menjadi kecewa ketika ia mendengar desir langkah harimau itu berlari menjauh.
“Apa yang sedang kau lakukan?“ bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Pukat menarik dalam-dalam. Katanya dengan nada kecewa, “Aku sedang menunggu sesuatu.”
“Apa?“ Mahisa Ura yang sudah terbangun pula bertanya.
“Ternyata ada seekor harimau yang ingin mengoyak dinding bambu yang lemah ini,“ desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berkata, “Agaknya ada tiga ekor harimau di sekitar pondok ini.”
“Tiga?“ Mahisa Pukat lah yang bertanya.
“Ya. Di depan pondok ini, di samping dan kau dengar di belakang pondok ini ada pula seekor.“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka telah duduk bersama dan menyelarak pintu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Agaknya harimau itu bukan harimau sewajarnya.”
“Harimau itu mungkin harimau sewajarnya. Tetapi yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan pribadi seseorang, sehingga harimau itu dapat diperalat sesuai dengan keinginan orang yang mempengaruhinya,“ sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pernah bertemu dengan harimau yang diliputi oleh rahasia yang belum terpecahkan. Bahkan ketika mereka ingin mengambil bangkai harimau yang terbunuh untuk diambil kulitnya, ternyata bangkai itu sudah tidak ada di tempatnya dan tidak diketahui ke mana perginya.
Karena itu katanya, “Kita akan berhadapan lagi dengan harimau-harimau itu.” “Satu permainan yang menjemukan,“ berkata Mahisa Murti, “kita harus membunuhnya dengan cepat pada perjumpaan kita di kemudian. Aku benar-benar sudah muak dengan permainan itu.” “Aku setuju,“ desis Mahisa Murti, “Itulah sebabnya aku sudah bersiap untuk memukul pecah kepala harimau itu pada ayunan pertama. Dengan demikian maka orang gila itu akan menghentikan permainannya yang menjemukan itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan menghadapinya dengan sungguh-sungguh. Sekarang, kita akan melanjutkan waktu istirahat kita. Bukankah sudah lewat tengah malam dan kita mendapat giliran untuk tidur?”
“Aku terbangun sebelum saatnya,“ sahut Mahisa Pukat.
“Aku pun belum tidur lewat saatnya,“ jawab Mahisa Murti.
Yang lain pun tertawa pula.
“Baiklah,“ berkata Mahisa Pukat kemudian. Lalu, “Sekarang datang giliran kita Mahisa Ura.”
Mahisa Ura pun mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku pun sudah merasa terlalu lama tidur.”
“Hati-hatilah dengan harimau-harimau itu,“ pesan Tatas Lintang, “sebaiknya kalian tidak pergi keluar. Seandainya harimau itu ingin menyerang kita, biarlah mereka berusaha masuk.”
“Ya,“ sahut Mahisa Pukat, “demikian kepalanya tersembul, maka kepala itu akan kita pecahkan.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun membaringkan dirinya, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat giliran untuk berjaga-jaga.
“Minuman itu sudah habis,“ desis Mahisa Murti sambil memejamkan matanya.
“Aku akan merebusnya,“ berkata Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian bersama-sama berada di sebuah bilik kecil yang dipergunakan oleh Tatas Lintang sebagai dapur.
“Kita merebus air,“ desis Mahisa Pukat, “masih ada sere dan gula kelapa.”
Dengan demikian maka keduanya telah mendapat kesibukan untuk mencegah kantuk. Namun demikian mereka selalu berhati-hati menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dengan kehadiran beberapa ekor harimau. Namun sampai dini hari, harimau itu tidak datang lagi ke halaman pondok mereka. Tidak lagi terdengar dengus nafasnya atau suara kuku-kukunya yang tajam mengorek dinding.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura sempat menikmati minuman yang mereka buat sendiri. Segar sekali di dinginnya malam. Bahkan ketika cahaya fajar mulai membayang, minuman mereka masih terasa hangat. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun ternyata terbangun sebelum matahari terbit. Mereka melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih saja duduk di dapur bersandar tiang.
“Apa yang kalian lakukan di situ?“ bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun diteguknya minumannya yang segar sambil berdesah. Mahisa Murti hanya menarik nafas saja sambil melangkah keluar dan pergi ke pakiwan. Sejenak kemudian maka Tatas Lintang pun telah pergi keluar pula. Keduanya telah menghirup udara pagi yang segar. Sementara itu langit pun menjadi semakin terang.
“Kita lihat, apakah ada bekas-bekas harimau itu,“ desis Tatas Lintang kemudian.
Ternyata mereka memang menemukan bekas kaki dan kuku harimau di belakang rumah kecil itu. Dinding pun nampak membekas kuku-kuku yang tajam. Dengan demikian, maka mereka pun telah mendapat kepastian ada usaha untuk menyerang mereka dengan cara seperti yang pernah terjadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Memang menjemukan. Cara itu pernah ditempuhnya dan tidak berhasil. Seharusnya mereka menyadari, bahwa kami pernah mengalahkan harimau-harimau itu.”
“Apakah mereka sudah mengetahui, bahwa yang ada di sini adalah aku dan kalian yang pernah mengalahkan harimau-harimau itu?” bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka tidak menyadari, bahwa yang berada di sini adalah aku dan Mahisa Pukat.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tahu atau tidak tahu siapakah kita di sini, kita memang harus sangat berhati-hati.”
Belum lagi mulut Tatas Lintang terkatub rapat, mereka terkejut atas kedatangan beberapa orang memasuki halaman rumah mereka. Tatas Lintang dan Mahisa Murti yang berada di belakang rumah kecil itu bergegas pergi ke halaman depan. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ternyata telah menerima orang-orang yang datang itu.
“Kami mohon pertolongan,“ berkata salah seorang di antara mereka.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kami harus membantu mengerjakan sawah?”
“Kami tahu, bahwa ternyata kalian bukan orang kebanyakan. Apa yang terjadi di rumah ini atas orang yang sewenang-wenang terhadap sesama kami yang menjual tenaga mengerjakan sawah orang lain, serta apa yang terjadi di pasar, telah mengatakan kepada kami bahwa kalian bukannya orang kebanyakan seperti yang kami duga semula.“ berkata orang yang datang itu.
“Lalu bantuan apa yang kau kehendaki?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tiga ekor kambing dari padukuhan ini sudah dimakan harimau. Yang tersisa hanya bagian-bagian yang tidak berarti.“ jawab orang itu.
“Tiga ekor kambing?” bertanya Mahisa Pukat yang terkejut.
“Ya. Tiga ekor. Milikku satu, milik orang tua itu satu dan milik Ki Bekel satu.“ jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemenakannya itu untuk melihat-lihat apa yang terjadi. Mereka memang melihat sisa bangkai kambing yang sebagian besar tubuhnya telah dimakan oleh harimau yang memasuki padukuhan itu.
“Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya,“ berkata Ki Bekel ketika mereka sampai ke rumah Ki Bekel, “memang dahulu, beberapa waktu yang lalu, ada seekor harimau nampak memasuki padukuhan. Tetapi harimau itu tidak banyak menimbulkan kerugian. Seekor kambing pernah menjadi korban. Tetapi bekasnya tidak terlalu mengerikan seperti kali ini. Apalagi sekaligus tiga ekor kambing.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Yang terjadi itu memang mendebarkan. Tentu ada hubungannya dengan tiga ekor harimau yang datang ke pondok mereka.
“Memang sangat memprihatinkan,“ berkata Tatas Lintang kemudian.
“Apakah pendapat Ki Sanak tentang hal ini? Mungkin Ki Sanak melihat jalan keluar untuk mengatasinya?“ bertanya Ki Bekel.
Tatas Lintang merenung sejenak. Namun Tatas Lintang tidak dapat menyebut apa yang pernah terjadi di pondok mereka sebelum mereka meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi. Agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tidak mendahului Tatas Lintang sehingga mereka pun hanya berdiam diri saja.
Karena Tatas Lintang tidak segera menjawab, maka Ki Bekel itupun mendesaknya, “Ki Sanak. Agaknya di seluruh padukuhan ini tidak ada orang yang dapat menolong kami. Kami tidak tahu apakah maksud sebenarnya Ki Sanak tinggal di padukuhan kami setelah kami mengetahui kelebihan Ki Sanak. Namun justru karena kelebihan itulah maka kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat menolong kami.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun tatapan mata Ki Bekel mempunyai nada yang mendebarkan. Meskipun ia minta agar Tatas Lintang menolongnya, namun agaknya ada juga semacam kecurigaan. Karena itu, untuk menghilangkan segala prasangka yang kurang baik dalam hubungannya dengan orang-orang padukuhan itu, Tatas Lintang pun berkata,
“Ki Bekel. Baiklah, Kami akan mempelajari dan mengamati apa yang terjadi. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu mengatasi persoalan yang kini timbul di padukuhan ini. Agaknya harimau-harimau itu bukannya secara kebetulan memasuki padukuhan ini. Biasanya hanya harimau yang telah menjadi tua dan tersisih dari pergaulan di antara sesama harimau sajalah yang memasuki padukuhan untuk mencari mangsanya. Tetapi sudah tentu tidak sampai tiga ekor sekaligus.”
“Ya Ki Sanak,“ jawab Ki Bekel, “memang ada tiga ekor kambing yang diterkamnya. Tetapi apakah dengan demikian harimau yang menerkamnya juga berjumlah tiga ekor?”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Yang diketahuinya memang tiga ekor harimau yang datang ke pondoknya. Meskipun demikian ia menjawab, “Maksudku korbannya adalah tiga ekor kambing. Memang aku menduga bahwa harimaunya tentu tidak hanya seekor. Betapa besar dan rakusnya harimau itu tetapi harimau itu tentu tidak akan menerkam tiga ekor kambing sekaligus dalam satu malam.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Tatas Lintang, bahwa seekor harimau tidak akan menerkam tiga ekor kambing dalam satu malam.
Sementara itu maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Ki Sanak serta ketiga orang kemanakan Ki Sanak. Seperti sudah kami katakan, kami mengetahui bahwa Ki Sanak memiliki kelebihan. Meskipun agaknya kami agak terlambat menyadari hal itu. Kami mengira bahwa Ki Sanak bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Ki Sanak perlihatkan dalam perkelahian di dekat pasar itu. Sebagai penghuni padukuhan ini maka Ki Sanak tentu tidak akan berkeberatan.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Baiklah ki Bekel. Kami akan berusaha. Tetapi kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa kami akan berhasil.”
“Kami tidak dapat memaksakan sesuatu terhadap ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “sudah tentu kami tidak akan dapat menentukan keberhasilan usaha Ki Sanak. Tetapi jika Ki Sanak bersedia berusaha, berhasil atau tidak berhasil, kami akan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Bekel. Untuk melakukan pekerjaan ini aku akan mohon bantuan seluruh penghuni padukuhan ini. Bergantian kita semuanya akan berjaga-jaga, tegasnya para peronda mendapat tugas tambahan, mengawasi kandang-kandang kambing di seluruh padukuhan. Sudah barang tentu kami tidak akan dapat melihat seluruh padukuhan ini pada satu saat. Karena itu maka kami mohon setiap orang yang mendapat giliran meronda, jika melihat kedatangan harimau itu harus memberikan isyarat. Dengan demikian kami akan dapat segera datang. Jika mungkin kami akan berusaha untuk membunuh harimau itu. Meskipun aku sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mungkin bukan aku yang membunuh harimau itu, tetapi nasibku tidak lebih baik dari seekor kambing yang telah dikoyak-koyak oleh harimau itu.”
“Kalian memiliki kelebihan. Meskipun segala kemungkinan dapat terjadi, namun aku mempunyai satu keyakinan, bahwa kalian akan berhasil, sementara itu kami semuanya akan membantu sesuai dengan kemampuan kami.“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih,“ jawab Tatas Lintang, “tanpa aku pun seluruh laki-laki di padukuhan ini tentu akan mampu membunuh seekor, bahkan dua ekor harimau. Tetapi karena kita sudah mendapat kesan tentang kegarangan seekor harimau, maka kita pada umumnya telah menjadi ketakutan demikian kita mendengar aumnya atau melihat taringnya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Jawabnya, “Karena itu agaknya mereka memerlukan satu dua orang yang dapat membangkitkan keberanian mereka.”
Sekali lagi Tatas Lintang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Dan kami pun percaya bahwa semua laki-laki di padukuhan ini akan membantu kami sebaik-baiknya.”
“Baiklah. Sejak nanti malam, kami semuanya akan berjaga-jaga. Mudah-mudahan Ki Sanak pun akan dapat bersama kami malam nanti,“ berkata Ki Bekel.
“Kami akan berada di pondok kami,“ berkata Tatas Lintang, “dari pondok kami, kami akan mengamati padukuhan ini. Mungkin kami akan mengintai di satu tempat tertentu. Mungkin kami berempat akan berada di satu tempat. Tetapi mungkin kami akan berpencar. Sekali lagi kami pesan, jika peronda atau siapapun yang melihat harimau memasuki padukuhan ini. kami harap dapat memberikan isyarat dengan kentongan. Kami akan segera datang. Sudah tentu dengan ciri-ciri khusus yang dapat menunjukkan tempat harimau itu."
Akhirnya Ki Bekel tidak berkeberatan. Merekapun telah membicarakan tanda-tanda yang khusus sehingga Tatas Lintang akan dapat dengan segera tahu arah harimau yang memasuki padukuhan itu.
Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan kepada semua laki-laki untuk ikut merasa bertanggung jawab atas ketenteraman padukuhan mereka. Bergiliran mereka telah mengatur diri untuk berjaga-jaga. Di setiap sudut, simpang tiga dan simpang empat, bahkan tempat-tempat yang dianggap dapat menjadi jalur jalan yang ditempuh oleh harimau-harimau untuk memasuki padukuhan itu telah mendapat pengawasan.
Tetapi di malam berikutnya, ternyata di padukuhan itu tidak terdapat seekor harimau pun. Para peronda tidak menemukan yang mereka cari. Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang di tengah malam berjalan berkeliling padukuhan, serta singgah di antara orang-orang yang meronda, juga tidak melihat apapun juga.
Namun Tatas Lintang tidak segera mengambil keputusan. Katanya kemudian, “Mungkin di malam berikutnya.”
“Dan kita terus menunggu pagi sampai kita dapat menangkap atau membunuh harimau itu?“ bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit bagi kita untuk menolak permintaan Ki Bekel itu. Namun demikian, kita akan melakukan pengamatan sekaligus melihat apakah ada hubungan antara harimau itu dengan padepokan yang ingin kita lihat. Menilik keterangan yang kalian berikan kepadaku sebelumnya, maka agaknya memang ada hubungan antara harimau itu dengan padepokan dari yang kau sebut orang-orang bertongkat itu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti bahwa sulit untuk menolak permintaan Ki Bekel. Meskipun mereka dapat saja pergi dan tidak kembali ke padukuhan itu tetapi mereka, terutama Tatas Lintang yang sudah lebih lama tinggal di padukuhan itu. akan merasa sangat berat. Ia tidak akan sampai hati membiarkan padukuhan itu dalam kecemasan.
Karena itu, maka ketiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang itupun akhirnya harus menyesuaikan diri. Dengan berbagai pertimbangan mereka pun harus menunggu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Tetapi jika benar harimau-harimau itu adalah harimau-harimau sebagaimana pernah menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka penantian mereka itupun agaknya akan ada gunanya.
Demikianlah, di malam berikutnya, bukan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang ikut bersama-sama dengan orang-orang padukuhan itu, tetapi Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun telah keluar pula dari pondok mereka dan bersama-sama dengan yang lain pergi meronda di seluruh padukuhan itu.
Namun seperti malam yang lewat, mereka tidak menjumpai apapun juga, sehingga menjelang fajar, Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itupun minta diri kepada Ki Bekel dan kembali ke pondok mereka yang kosong. Tetapi Tatas Lintang tidak perlu cemas, karena ia tidak memiliki apapun yang berharga yang dapat menjadi sasaran pencurian atau perampokan. Ia memang mempunyai bekal yang cukup.
Tetapi Tatas Lintang telah menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah diketahui orang. Sedangkan bekal Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, selalu dibawanya pada kantong ikat pinggangnya dan pada kampil kecil yang selalu tergantung di lambung.
Namun bagaimanapun juga, ketika mereka memasuki pondok kecil mereka, jantung mereka pun menjadi berdebaran. Ternyata isi pondok kecil itu telah menjadi berserakan.
“Gila,“ geram Tatas Lintang, “baru berapa hari ini kita membenahi isi rumah kita. Kini keadaan itu telah terulang.”
Tetapi Mahisa Murti melihat keadaan yang berbeda. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku kira kita menghadapi keadaan yang berbeda.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Sementara itu Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Lihat. Jalan inilah yang dipergunakan oleh mereka yang merusak isi rumah kita.”
Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah mendekati sebuah lubang yang besar pada dinding bambu yang tidak terlalu kuat di bagian belakang dari pondok kecil itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa bekas-bekasnya menunjukkan bahwa yang telah memasuki pondok kecil itu adalah bukan manusia, tetapi harimau. Mungkin seekor, mungkin lebih.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang kitalah yang menjadi sasaran. Jika harimau-harimau itu membunuh kambing, itu hanyalah salah satu cara untuk mengganggu kita juga.”
Mahisa Pukat pun menggeram. Katanya, “Kita memang harus menemukannya. Kita harus menunjukkan, bahwa harimau-harimau itu tidak banyak berarti jika kita sempat menemukannya.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Ia pun berkata dalam nada rendah, “Kita akan mencari sampai ketemu. Karena itu. maka biarlah kita tidak bersama-sama meninggalkan pondok ini. Besok kita beritahukan kepada orang-orang padukuhan tentang pondok ini. Jika hanya dua orang diantara kita yang keluar rumah, bukan karena kita tidak bersungguh-sungguh membantu mereka. Tetapi karena justru rumah kitalah yang menjadi sasaran.”
“Ya. Tetapi kita pun harus mempunyai alat untuk mengirimkan isyarat, sehingga dalam keadaan tertentu kita akan berkumpul menghadapi harimau-harimau itu. Mereka harus dihabiskan tanpa ampun, karena dengan demikian maka kita akan dapat membangkitkan kesan kepada orang-orang yang menggerakkan harimau itu bahwa kita siap menghadapinya.“ berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk-angguk, ia sadar bahwa sikap itu justru didorong oleh kemarahan yang telah mengguncang isi dadanya. Tatas Lintang serta ketiga orang yang disebut kemanakannya itu sama sekali tidak membenahi isi rumah yang berserakan itu. Dinding yang koyak oleh kuku-kuku yang tajam. Ajug-ajug yang roboh dan amben mereka yang baru itupun telah rusak pula.
Keempat orang itu melihat seakan-akan harimau yang merusak isi rumah mereka itupun mampu melakukannya sebagaimana seseorang melakukannya. Seolah-olah harimau-harimau itu tahu yang manakah yang harus mereka rusakkan dari isi rumah yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian pagi turun serta matahari mulai naik, beberapa orang telah menyaksikan apa yang terjadi di pondok kecil itu. Ki Bekel yang mendapat pemberitahuan itupun segera telah datang pula. Iapun melihat isi rumah Tatas Lintang yang tidak berarti itu telah berserakan.
“Kita akan menggantinya,“ berkata Ki Bekel.
“Terima kasih Ki Bekel,” berkata Tatas Lintang, “Jika ada yang harus diganti. Kami akan memperbaiki barang-barang kami yang rusak ini. Kami pun akan dapat menutup dinding bambu yang berlubang karena dikoyak oleh kuku-kuku harimau itu.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Aku kira kami memang tidak perlu menggantinya, karena yang kita lihat ini bukanlah yang sebenarnya.”
“Apa maksud Ki Bekel?“ bertanya Tatas Lintang.
Ki Bekel itu tersenyum. Jawabnya, “Tidak apa-apa.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengerti maksud Ki Bekel, sebagaimana ketiga orang yang disebut kemenakannya itu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, “Ki Bekel, dengan peristiwa ini kami akan memohon bahwa di malam-malam berikutnya, hanya dua orang sajalah di antara kami yang akan membantu Ki Bekel mencari harimau itu di setiap sudut padukuhan ini, sedangkan dua di antara kami akan tetap berada di rumah ini.”
“Kami mengerti,“ jawab Ki Bekel, “dan kami pun tidak akan berkeberatan.”
Ki Bekel pun kemudian minta diri. Beberapa orang masih tinggal di sekitar pondok itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kalian mengungsi saja ke banjar daripada kalian akan dikoyak oleh harimau itu sebagaimana dinding rumahmu itu.”
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, “Biarlah aku menunggu gubugku ini. Mudah-mudahan harimau itu dapat aku jinakkan.”
“Betapapun kuatnya seseorang, namun melawan seekor harimau liar tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu, bukankah rumahmu itu tidak berisi barang-barang berharga? Karena itu, tinggalkan saja dan tinggallah di banjar. Jika harimau itu datang lagi ke rumah ini, ia tidak akan menjumpai apa-apa sebagaimana semalam. Jika dua tiga kali terjadi seperti itu, maka harimau itu tentu akan menjadi jemu dan tidak akan datang lagi ke pondok ini. Nah, jika demikian maka kalian akan dapat kembali lagi.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia menjawab, “Kami akan mencoba mempertahankan rumah ini. Bukan karena harta benda yang ada di dalamnya. Tetapi kami akan belajar mempertahankan hak kami. Mungkin seekor harimau akan dapat membunuh seseorang. Tetapi seseorang mempunyai kesempatan lebih banyak dari seekor harimau, karena seseorang mampu mempergunakan akalnya untuk melawan seekor harimau, sedang seekor harimau tidak mampu mempergunakan akal serta nalarnya.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi seandainya aku menjadi kalian, maka aku tidak akan mencari kesulitan dengan menunggu seekor harimau. Lebih baik kalian berada di antara kami jika kalian tidak mau berada di banjar.”
Tatas Lintang tidak menjawab lagi meskipun ia masih saja tersenyum. Namun orang-orang itupun akhirnya meninggalkan rumah Tatas Lintang. Orang yang menasehatkan agar ia pergi ke banjar itupun bergumam di antara kawan-kawannya, “Orang itu memang sombong.”
“Kenapa?“ bertanya kawannya.
“Aku sarankan agar ia tidur saja di banjar,“ jawab orang itu, “tetapi ia menolak. Ia merasa mampu melawan seekor harimau.”
“Ia orang yang berilmu,“ desis kawannya, “ia sudah menunjukkan bahwa ia mampu mengalahkan orang-orang yang ditakuti di padukuhan ini serta orang yang garang di dekat pasar.”
“Tetapi orang-orang itu bukan harimau,“ berkata orang itu.
Kawannya tidak menjawab lagi. Memang menurut gambarannya harimau jauh lebih menakutkan daripada seseorang betapapun besar tenaganya. Ketika orang-orang yang datang ke rumahnya sudah pulang semuanya, maka Tatas Lintang pun berkata, “Kita akan memperbaiki isi rumah kita yang rusak.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah bekerja untuk membenahi isi rumah itu, sementara Tatas Lintang memperbaiki dinding yang telah koyak dengan menutupnya dengan belahan-belahan bambu.
“Kita tidak akan membiarkan siapapun merusak isi rumah ini lagi,“ berkata Mahisa Pukat, “agar kita tidak usah memperbaikinya lagi.”
Tatas Lintang yang mendengarnya pun tertawa. Namun kemudian katanya, “Kita akan menjaganya. Kita tidak akan meninggalkan pondok ini lagi di malam hari. Dua orang di antara kita akan berada di rumah, jika yang lain ikut meronda bersama anak-anak muda padukuhan ini.”
Sebenarnyalah ketika kemudian malam turun, maka yang keluar dari pondok itu hanyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berdua telah ikut bersama-sama anak-anak muda padukuhan itu mengamati keadaan di seputar padukuhan. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai seekor harimau pun. Namun Tatas Lintang dan Mahisa Ura yang tinggal di rumah, ternyata telah mendengar dengus harimau di belakang pondok itu.
Dengan isyarat Tatas Lintang minta Mahisa Ura bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Jika harimau itu sekali lagi mengoyak dinding dan memasuki rumah itu, maka mereka harus membinasakannya tanpa ampun. Bukan saja karena harimau itu pernah merusakkan pondok mereka. Tetapi mereka harus memberikan kesan bahwa harimau-harimau itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tatas Lintang dan Mahisa Ura berusaha untuk tidak mengejutkan dan mengusir harimau itu. Mereka dengan hati-hati telah berada di bagian belakang pondok mereka. Dari tempat mereka menunggu, mereka dapat mendengar dengan jelas dengus harimau yang kemudian mencoba untuk mengorek dinding yang baru saja diperbaiki itu.
Tatas Lintang bergeser mendekat. Namun ternyata bahwa hidung harimau itu cukup tajam. Agaknya harimau itu telah mencium bau seseorang di dalam pondok itu, sehingga karena itu, maka harimau itu telah menggeram. Tatas Lintang sadar, bahwa kehadirannya telah diketahui oleh harimau itu. Karena itu, maka iapun tidak lagi mengendap-endap.
Demikian Tatas Lintang berdiri, iapun telah memberikan isyarat agar Mahisa Ura pun tidak perlu lagi menahan nafasnya. Tetapi sejenak kemudian tiba-tiba mereka mendengar harimau itu mengaum. Suaranya memang tidak begitu keras. Namun auman harimau itu seakan-akan pertanda sesuatu bagi kawan-kawannya atau bagi seseorang.
Sejenak Mahisa Ura dan Tatas Lintang menunggu. Namun agaknya Mahisa Ura tidak sabar, sehingga iapun berdesis, “Aku akan keluar. Kita tidak dapat menunggu terlalu lama.”
Tetapi ketika Mahisa Ura benar-benar melangkah, maka Tatas Lintang telah menahannya sambil berdesis, “Kita tidak tahu, apa yang ada di luar. Karena itu, biarlah kita menunggu.”
“Tetapi kita akan kehilangan harimau-harimau itu lagi,“ jawab Mahisa Ura.
Tetapi Tatas Lintang berkata, “Harimau-harimau itulah yang merunduk kita. Karena itu, mereka tidak akan pergi. Mereka akan masuk dan akan menerkam kita , Namun apakah benar bahwa yang datang itu hanya seekor atau dua ekor atau tiga ekor harimau saja.”
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan jika harimau itu benar-benar akan menerobos masuk ke dalam pondok itu. Sebenarnyalah yang terdengar dari dalam rumah itu telah mendebarkan jantung. Ternyata sejenak kemudian mereka mendengar dengus bukan hanya seekor. Tetapi lebih dari dua ekor. Seekor sedang mengorek-ngorek sudut pondok itu, yang lain telah mendorong-dorong pintu butulan, sementara seekor lagi terdengar menggoreskan kukunya di dinding. Namun selain itu, masih juga terdengar seekor mengaum di depan pondok kecil itu.
“Memang beberapa ekor harimau,“ berkata Tatas Lintang, “kita akan menerkam tamu kita dengan meriah. ”
“Apakah kita tidak mengundang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk ikut dalam permainan yang menyenangkan ini?” bertanya Mahisa Ura, “bukankah mereka telah berpesan?”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Bagaimana cara kita memanggil mereka? Jika kita memukul kentongan, maka mungkin seisi padukuhan akan datang. Dengan demikian maka harimau-harimau itu akan pergi, atau yang terjadi justru sebaliknya. Akan jatuh korban karena harimau itu dengan liar dan kasar menyerang mereka.”
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencari mereka.“
“Itu berbahaya sekali,“ berkata Tatas Lintang, “sekali lagi aku peringatkan.”
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan mencobanya dengan Aji Pameling. Mudah-mudahan ia dapat menangkapnya.”
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan Aji Pameling. Ketajaman perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diharapkannya akan dapat tersentuh oleh getaran ilmunya.
Ternyata bahwa tingkat ilmu Tatas Lintang cukup tinggi. Aji Pamelingnya dengan tajam telah memancarkan getaran yang akan dapat memanggil mereka kembali ke pondok kecil itu. Ternyata bahwa perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup peka untuk menerima sentuhan getaran Aji Pameling. Karena itulah maka tiba-tiba saja keduanya merasa bahwa mereka harus segera kembali.
“Ada semacam kekuatan yang memanggil kita kembali ke pondok kecil itu,“ berkata Mahisa Murti yang sedang berada di sebuah simpang tiga di pinggir padukuhan.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga merasakannya. Tentu bukan sekedar kebetulan.”
“Aku mendapat isyarat yang cukup jelas bagiku. Kita memang harus segera kembali,“ sahut Mahisa Murti.
“Tentu Tatas Lintang yang memiliki bermacam-macam ilmu telah memanggil kita,“ desis Mahisa Pukat.
“Aku juga menduga demikian,“ sahut Mahisa Murti.
Dengan demikian maka keduanya pun segera menemui orang yang cukup berpengaruh di tempat itu. Dengan hati-hati keduanya menjelaskan bahwa keduanya ingin melihat pondok mereka.
“Kenapa dengan pondok kalian? Bukankah pamanmu dan kakakmu ada?“ jawab orang yang berpengaruh itu.
“Ya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu terjadi,“ jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami berdua sajalah yang melihatnya.”
“Baiklah,“ berkata orang itu, “tetapi segera saja kembali kemari.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tergesa-gesa menuju ke pondok kecilnya. Mereka sengaja berusaha untuk tidak melewati gardu-gardu pengawas, agar mereka tidak tertahan oleh anak-anak muda dan orang-orang yang berada di gardu-gardu.
Sementara itu, Tatas Lintang yang telah melepaskan Aji Pameling itu menjadi berdebar-debar. Ia masih belum yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menangkapnya. Namun apapun yang terjadi, maka mereka yang ada di pondok itu harus menghadapi harimau-harimau yang agaknya memang berusaha untuk memasuki rumah itu.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Ura yang memperhatikan gerak harimau-harimau itu selama Tatas Lintang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan Aji Pamelingnya, melihat dinding di sudut rumah itu sudah mulai bergetar. Ketika sepotong bambu patah, maka Mahisa Ura itupun segera mempersiapkan diri untuk dengan pukulan pertama menghancurkan harimau itu.
Namun Mahisa Ura itu terkejut ketika ia mendengar derak di sisi pondok itu. Ternyata seekor di antara harimau-harimau itu berusaha untuk memasuki rumah kecil itu lewat tutup keyong yang memang agak lemah. Dinding rumah di sebelah sisi itu bergetar ketika seekor di antara harimau-harimau itu memanjat. Mahisa Ura memang agak bingung. Yang manakah di antara kedua harimau itu yang lebih dahulu akan memasuki pondok kecil itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah selesai. Dengan nada rendah ia berkata, “Biarlah yang memanjat dinding itu aku selesaikan.”
Mahisa Ura menarik nafas-nafas dalam-dalam. Yang dihadapinya kemudian adalah harimau yang akan merusak dinding di sudut rumah itu. Tetapi ternyata di bagian lain, dinding pun mulai koyak. Bahkan ketika Mahisa Ura berpaling, dilihatnya kuku-kuku harimau itu mematahkan bambu-bambu yang dianyam menjadi dinding, dan sebelah kaki depannya pun telah menembus masuk menggapai-gapai.
Mahisa Ura menggeram. Tetapi ia telah bergeser. Ia berdiri di tengah-tengah di antara dua ekor harimau yang berebut dahulu memasuki rumah kecil itu. Sementara itu Tatas Lintang sudah siap menerima jika harimau yang memanjat dinding itu akan menembus memasuki tutup keyong.
Pada saat yang demikian itulah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki halaman pondok kecil itu. Keduanya terkejut melihat seekor harimau berkeliaran di halaman.
“Apakah hanya seekor?“ bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun bergerak mendekati harimau itu sambil berdesis, “Lihat di bagian lain dari halaman ini.”
Mahisa Pukat pun kemudian bergeser ke samping. Ketika harimau di halaman itu berpaling ke arahnya, Mahisa Murti telah mendekatinya sambil berdesis, “Lawan aku, he?”
Harimau itu tiba-tiba mengaum tidak terlalu keras. Dihadapinya Mahisa Murti dengan mata yang menyala. Yang ada di dalam rumah itu mendengar suara di halaman. Dengan serta merta Mahisa Ura bertanya dengan lantang, “Siapa di halaman depan?”
“Aku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Di sini ada seekor harimau.”
“Di belakang ada beberapa ekor yang sudah siap untuk menerobos dinding,“ berkata Mahisa Ura.
“Pukat akan melihatnya,“ jawab Mahisa Murti.
”Berhati-hatilah,“ tiba-tiba terdengar suara Tatas Lintang, “ada yang memanjat.”
Sejenak suasana menjadi tegang. Mahisa Pukat yang telah berada di halaman samping tertegun melihat beberapa ekor harimau di belakang rumah itu. Bahkan seekor di antaranya telah memanjat dinding dan siap meloncat masuk ke dalam rumah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Tatas Lintang telah memberikan isyarat kepada Mahisa Ura. Justru ketika seekor harimau dapat memecah dinding dan menerobos masuk, serta yang menembus tutup keyong pun telah meloncat turun di dalam pondok kecil itu, Tatas Lintang dan Mahisa Ura telah meloncat keluar lewat pintu depan.
“Kau Mahisa Murti,“ sapa Mahisa Ura.
Mahisa Murti bergeser ke samping. Harimau dihadapannya telah merunduk dan siap untuk menerkam. Tetapi ketika Mahisa Ura dan Tatas Lintang meloncat keluar, maka harimau itu telah berpaling. Tetapi hanya sesaat. Kemudian iapun telah kembali memandang Mahisa Murti dengan sorot matanya yang membara.
Mahisa Pukat yang berada di sisi rumah itu agak ke belakang, telah bergeser pula ke halaman depan. Dengan demikian maka keempat orang itupun telah lengkap berada di depan pondok kecilnya.
Harimau yang telah berada di dalam rumah itu menjadi sangat marah. Mereka sempat merusak isi rumah itu. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Ternyata kita tidak mencegah harimau-harimau itu merusak rumah kita.”
“Kita akan menyambutnya di sini,“ berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua ekor harimau telah keluar lewat pintu dengan marahnya. Sementara yang lain berlari melingkari rumah itu. karena harimau itu belum berhasil masuk. Namun ternyata ketika harimau-harimau itu telah berada di halaman, maka jumlahnya adalah lima ekor.
“Lima ekor,“ berkata Tatas Lintang.
“Aku akan menghancurkan mereka,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya,“ sahut Tatas Lintang dengan suara yang lebih keras, “kita harus menunjukkan bahwa harimau-harimau ini tidak berarti apa-apa.”
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun segera menyadari, bahwa Tatas Lintang telah mengatakannya dengan suara lantang bukannya tanpa maksud.
“Tentu ada orang lain yang mendengarnya,“ berkata ketiganya di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka kata-kata Tatas Lintang itu merupakan perintah untuk membunuh harimau-harimau itu dengan segera.
Mahisa Murti lah yang telah bersiap lebih dahulu. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku sudah siap. Minggirlah.”
Dalam pada itu, maka harimau yang berhadapan dengan Mahisa Murti telah siap untuk menerkam. Harimau itu bergeser sambil merunduk, sehingga perutnya hampir melekat di tanah.
Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang pun telah bergeser. Harimau-harimau yang lain pun telah mengikuti mereka. Dua ekor harimau telah merangkak dengan hati-hati ke arah Tatas Lintang. Yang lain pun telah mulai merunduk sambil menggeram pula. Mereka nampaknya digerakkan oleh satu perintah untuk menyerang lawannya bersama-sama.
Mahisa Murti sebagaimana yang lain memang ingin menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar siap. Karena itu, maka ketika harimau yang merunduk Mahisa Murti itu meloncat menyerang, maka Mahisa Murti telah siap menerimanya dengan ilmunya yang dahsyat dalam bentuknya yang keras.
Demikianlah, maka harimau yang tidak menduga bahwa ia akan membentur satu ilmu yang dahsyat itu telah mengaum dan menerkam Mahisa Murti. Kuku-kukunya terjulur ke depan siap mengoyak tubuh sasarannya. Bahkan taring-taringnya yang tajam pun telah siap pula dipergunakannya.
Namun yang terjadi kemudian telah mengakhiri kegarangan harimau itu. Sebelum kuku-kuku harimau itu menyentuh kulit Mahisa Murti, maka Mahisa Murti telah mengayunkan tangannya menyongsong tubuh harimau yang menerkamnya itu.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Kekuatan ilmu puncak yang dilambari Aji Pamungkas yang terpusat di tangan Mahisa Murti bagaikan hentakan kekuatan yang memancar dari letusan Gunung Merapi yang meledak.
Demikian besar kekuatan yang terpancar pada benturan tangan Mahisa Murti yang telah mengenai kepala Harimau itu, maka harimau yang perkasa serta ditakuti oleh penghuni hutan yang lain itu tidak berdaya untuk bertahan.
Yang terdengar kemudian adalah harimau itu mengaum keras sekali. Jauh berbeda dengan auman sebelumnya yang hanya terdengar dari jarak yang dekat. Namun ketika kepalanya membentur kekuatan ilmu Mahisa Murti, maka harimau itu telah berteriak sekeras-kerasnya. Demikian harimau itu jatuh di tanah, maka tubuhnya tidak lagi bergerak sama sekali. Mati. Tulang kepalanya telah retak dan otaknya pun telah terguncang.
Suara harimau itu memang mengejutkan. Yang mendengar suara itu bukan saja orang-orang yang berada di halaman itu. Tetapi orang-orang yang berada di padukuhan pun telah mendengarnya pula. Beberapa orang yang mendengar aum yang dahsyat itu terkejut. Terkejut kulit mereka meremang. Meskipun mereka mengharap Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu bersedia untuk membantu mereka, tetapi jantung mereka telah berdebaran juga mendengar aum yang menggetarkan itu.
“Di mana anak-anak muda itu?“ bertanya seseorang.
“Entahlah,“ jawab yang lain, “mungkin mereka baru berkeliling.”
Tetapi seorang yang lain menyahut, “Aku dari regol. Anak itu baru menengok pondoknya.”
Orang yang pertama itupun berkata pula, “Pada saat kita mendengar aum harimau itu, anak-anak itu tidak ada di antara kita.”
“Tetapi mereka tentu mendengarnya juga,“ jawab yang lain, “bahkan menurut pendengaranku, suara harimau itu berasal justru dari arah pondok kecil itu, atau sekitarnya.”
“Mudah-mudahan, bagaimanapun juga mereka mempunyai kelebihan.”
Namun seorang yang berjambang lebat berkata, “Ada atau tidak ada, kita semuanya akan membunuh harimau itu beramai-ramai.”
Yang lain-lain pun mengangguk-angguk pula. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita akan mencari harimau itu.”
Tetapi orang berjambang lebat itu termangu-mangu. Katanya kemudian, “Kenapa kita harus mencarinya? Kita tunggu saja di sini.”
“Jika harimau itu tidak kemari?“ bertanya kawannya.
“Kita mendapat tugas di sini,“ berkata orang berjambang lebat itu, “karena itu kita jangan pergi ke mana-mana.”
Kawannya tersenyum. Karena ia sudah mengetahui sifat-sifat orang berjambang itu, maka katanya, “Marilah. Kita berdua melihatnya lebih dahulu. Jika kita bertemu, maka kita akan memukul isyarat dengan kentongan.”
Orang berjambang itu menjadi tegang. Beberapa orang yang lain yang sudah mengenalinya pula menyahut hampir bersamaan, “Pergilah. Kita menunggu di sini.”
Orang berjambang lebat dan bertampang seram itu menjadi pucat. Orang yang mengajaknya itu telah berdiri dan melangkah. Katanya, “Marilah.”
Tetapi orang yang berjambang lebat itu berkata gagap, “Tidak ada gunanya. Harimau itu tentu sudah lari. Aku menunggu di sini saja. Mungkin harimau itu justru akan lari kemari.”
Namun belum lagi kawannya menjawab, tiba-tiba telah terdengar lagi seekor harimau mengaum sekeras yang pernah mereka dengar. Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Pukat pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika seekor harimau menerkamnya, maka Mahisa Pukat telah melakukan hal yang sama, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti.
Tetapi agaknya Mahisa Ura ingin berbuat lain. Ia tidak menunggu harimau itu menerkamnya. Tetapi Mahisa Ura lah yang lebih dahulu menyerang. Justru pada saat harimau itu merunduk, maka Mahisa Ura telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyerang harimau itu dari jarak beberapa langkah. Mahisa Ura ingin membuktikan apakah ia benar-benar telah memiliki warisan ilmu dari Tatas Lintang.
Karena itu, menyusul aum harimau yang terbunuh oleh Mahisa Pukat, maka Mahisa Ura pun telah menyerang harimau yang merunduknya. Harimau yang sedang merunduk itu terkejut bukan buatan ketika sekilas sinar menyambarnya. Harimau itu mengaum dan melonjak tinggi sekali. Namun ketika harimau itu terjatuh di tanah, maka harimau itu justru menjadi seakan-akan gila. Ia tidak merunduk lagi untuk menerkam, tetapi harimau itu dengan serta merta telah berlari untuk menggapai tubuh Mahisa Ura.
Namun Mahisa Ura sempat mengelak dengan loncatan panjang menyamping. Sekali lagi ia sempat melontarkan pukulan itu dari jarak yang lebih dekat. Sekali lagi harimau itu mengaum. Tetapi pukulan dari samping yang langsung mengenai kepalanya itu agaknya telah menentukan. Harimau itu menggeliat kesakitan. Serangan Mahisa Ura yang bagaikan sinar menyambarnya dari samping itu terasa bagaikan sentuhan segumpal batu padas yang menimpa kepalanya.
Ternyata bahwa serangan itu telah menentukan. Harimau itu tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali harimau itu berguling. Namun kemudian harimau itupun diam. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun serangannya tidak mematikan seketika sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun ia merasa bangga juga, bahwa ia telah mewarisi sejenis ilmu yang jarang ada bandingnya sesuai dengan alas kekuatan ilmunya sendiri.
“Jika aku sempat kembali ke tugasku, maka ilmu ini akan sangat berarti,“ berkata Mahisa Ura didalam hatinya. Sebagai prajurit dalam tugas sandi, maka ilmu kanuragan dan kelengkapannya merupakan modal yang sangat penting baginya.
Aum harimau yang berurutan terdengar oleh orang-orang padukuhan itu memang sangat mendebarkan jantung. Orang-orang yang berjaga-jaga di padukuhan itupun menjadi berdebar-debar. Mereka telah mempersiapkan senjata mereka masing-masing. Orang-orang yang tidak terlalu berani, menjadi gemetar meskipun di tangannya tergenggam senjata. Bahkan ada orang yang menjadi hampir pingsan dan keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.
“Apa yang harus kita lakukan,“ bertanya seseorang.
Kawan-kawannya tidak tahu juga apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka seorang di antara mereka menjawab. “Kita menunggu perintah Ki Bekel.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel pun menjadi bingung. Beberapa orang bebahu telah dipanggilnya di gardu di ujung lorong. Dengan gelisah Ki Bekel itupun telah minta pendapat para bebahu itu.
“Anak-anak muda itu baru pulang sebentar untuk melihat pondok mereka yang pernah dirusak oleh harimau-harimau itu,“ berkata salah seorang bebahu.
“Suara itu berasal dari pondok kecil itu. Agaknya pondok kecil itu memang menjadi sasaran harimau,“ berkata bebahu yang lain.
“Tetapi harimau itu tentu tidak hanya seekor,“ berkata Ki Bekel, “sebenarnya kita harus menengoknya. Anak-anak itu sudah bersedia membantu kita. Jika mereka sendiri mengalami kesulitan, apakah kita tidak datang membantunya?”
Para bebahu itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita beramai-ramai melihatnya.”
Ki Bekel itupun kemudian berkata kepada sejumlah laki-laki dan anak-anak muda yang ada di sekitar gardu itu, “Saudara-saudaraku. Marilah kita pergi ke pondok kecil itu.”
Beberapa orang nampak termangu-mangu. Karena itu maka Ki Bekel pun berkata, “Hanya mereka yang tidak merasa ketakutan. Kita wajib melihat apa yang terjadi. Kita sudah mendengar aum beberapa ekor harimau. Sementara di pondok itu hanya tinggal Tatas Lintang dengan ketiga orang kemanakannya. Sekali lagi, hanya mereka yang memiliki keberanian. Sementara itu, kita yakin bahwa kita memiliki kelebihan dari seekor harimau, karena kita mempunyai akal. Kita akan dapat membunuh seekor harimau. Dengan sepuluh ujung pedang, harimau itu akan dapat kita bunuh.”
Beberapa orang termangu-mangu. Namun akhirnya ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak, sejumlah laki-laki dan anak-anak muda pun mengikutinya. Bahkan di sepanjang jalan yang mereka lalui, maka kelompok itu jumlahnya bertambah-tambah. Namun seorang di antara mereka berbisik kepada kawannya, “Harimau itu lebih dari seekor.”
“Ya, Aumnya menunjukkan kepada kita,“ jawab yang lain.
Tetapi mereka tidak berhenti. Mereka tetap mengikuti Ki Bekel yang berjalan menuju ke pategalan di sisi padukuhan.
Sementara itu, orang yang memiliki tanah itupun telah pergi bersama Ki Bekel itu. Pemilik tanah itupun sudah mendengar apa yang pernah terjadi dan dilakukan oleh Tatas Lintang. Baik terhadap yang dengan serakah ingin merampas kerja yang sudah diterimanya dari pemilik tanah itu, maupun apa yang telah terjadi di dekat pasar. Namun ketika tiba-tiba terdengar harimau itu mengaum sekali lagi, lebih keras, maka iring-iringan itupun berhenti.
“Dua ekor harimau,“ gumam seorang bebahu.
“Ya, kita mendengar aum dua ekor harimau. Tetapi dengan demikian tentu lebih dari dua ekor yang berada di pondok itu,“ sahut Ki Bekel, “betapapun kuatnya keempat orang itu, namun jiwa mereka ada dalam bahaya.”
Meskipun jantung mereka menjadi semakin cepat berdebar, tetapi mereka pun kemudian melanjutkan langkah mereka menuju ke pondok kecil di sudut pategalan di luar dinding padukuhan itu.
Dalam pada itu, setelah ketiga harimau yang lain terbunuh, dua di antaranya yang merunduk bersama untuk menerkam Tatas Lintang, harus berhadapan dengan keempat orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Dua ekor harimau itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum keduanya meloncat menerkam Tatas Lintang, maka keduanya telah mengalami nasib buruk. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang telah mendahului menyerang keduanya.
Namun Justru pada saat kedua ekor harimau itu mengaum sambil menggeliat sebelum mati, Tatas Lintang telah berlari ke arah yang berlawanan dari arah harimau itu merunduk. Dengan satu hentakkan ia telah melepaskan serangannya dari jarak jauh ke arah sudut lawannya. Serangan itu memang dahsyat sekali. Sekilat sinar memancar dari telapak tangannya yang mengembang menyambar sasaran.
Namun yang terdengar adalah sebatang pohon yang berderak dan kemudian terguncang keras sekali. Sejenak kemudian pohon yang tidak terlalu besar itupun telah roboh dengan suara gemeresak.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dari Mahisa Ura kemudian melangkah pula cepat-cepat ke arah Tatas Lintang yang berdiri termangu-mangu.
“Siapa?“ bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku gagal, setidak-tidaknya mengikatnya dalam perkelahian.”
“Tetapi siapa?“ desak Mahisa Ura.
“Aku tidak yakin, siapakah orang itu. Tetapi aku merasakan kehadirannya di tempat itu. Ketika aku melepaskan serangan, aku memang melihat bayangan yang lenyap dalam kegelapan.”
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menegang. Keduanya lebih memperhatikan dua ekor harimau yang merunduk dan hampir menerkam Tatas Lintang. Kemudian keduanya telah membunuh harimau itu bersama Mahisa Ura. Karena itu mereka tidak memperhatikan bayangan yang dilihat oleh Tatas Lintang.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun semakin menyadari kelebihan Tatas Lintang dalam beberapa segi daripada mereka.
“Sudahlah,“ berkata Tatas Lintang, “Aku kira orang itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu.”
“Tetapi harimau-harimau itu semula tidak seluruhnya berada di satu pihak dari pondok kita,“ jawab Mahisa Pukat.
“Itu tidak perlu,“ berkata Tatas Lintang kemudian, “orang itu dapat mengendalikan harimau-harimau itu tanpa melihatnya. Tetapi mengetahui tempatnya.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, maka mereka pun telah mendengar suara gemeresak. Sejenak kemudian mereka pun menjadi jelas, suara itu adalah suara sekelompok orang yang datang ke pondok itu.
“Siapa?“ bertanya Mahisa Ura.
“Entahlah. Tetapi mungkin orang-orang padukuhan yang mendengar aum harimau itu,“ jawab Tatas Lintang.
Ternyata dugaan itu benar. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun melihat beberapa orang mendatangi halaman rumah itu. Ada di antara mereka yang membawa obor. Tatas Lintang lah yang kemudian menyongsong mereka di pagar halaman. Sambil membungkuk hormat ia berkata, “Marilah Ki Bekel. Silahkan.”
Beberapa orang telah memasuki halaman, sementara yang lain menunggu di luar. Namun seorang di antara mereka yang membawa obor berteriak sambil meloncat ke arah Ki Bekel.
“Ada apa?“ bertanya Ki Bekel.
“Harimau,“ jawab orang itu dengan suara gemetar.
Beberapa orang pun kemudian melihat, lima bangkai harimau terkapar di halaman itu.
“Lima ekor harimau,“ teriak seseorang dengan mata terbelalak.
Sebenarnyalah di halaman rumah itu bertebaran lima bangkai harimau yang besar. Harimau loreng. Justru karena itu maka orang-orang yang berada di luar-pun telah berlari-larian masuk. Mereka ingin melihat, apakah benar ada lima ekor harimau terbunuh di halaman itu.
“Siapakah yang membunuh?“ bertanya Ki Bekel.
“Kami,“ jawab Tatas Lintang singkat.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira. Namun aku pun merasa cemas sebelumnya oleh auman harimau-harimau itu, sehingga aku mengajak beberapa orang kemari. Tetapi seandainya kelima harimau itu masih hidup, maka tidak seorang pun yang akan berani memasuki halaman.”
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana mungkin kalian berempat mampu membunuh lima ekor harimau.”
Tatas Lintang tertawa. Katanya, “Biasa saja. Kami mempunyai kesempatan lebih baik daripada harimau itu, karena kami memiliki akal dan kemampuan memperhitungkan sesuatu. Sedangkan harimau tidak.”
“Tentu bukan karena itu,“ jawab seseorang, “kalian tentu mempunyai ilmu yang tidak kami ketahui.”
“Salah satu kecerdikan manusia adalah mempelajari ilmu. Itu memang termasuk kelebihan kita seperti yang sudah aku katakan, karena harimau tidak akan mampu mempelajari ilmu apapun juga.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu maka Tatas Lintang pun telah bertanya kepada Ki Bekel, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan dengan harimau-harimau itu?”
“Apa rencanamu?“ bertanya Ki Bekel pula.
“Terserah kepada Ki Bekel,“ jawab Tatas Lintang, “kami tidak memerlukan harimau-harimau itu. Mungkin Ki Bekel atau orang-orang padukuhan ini memerlukan kulitnya.”
“Menarik sekali,“ desis seseorang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Apakah kira-kira harimau ini tidak ada yang lain lagi?”
“Seandainya ada lagi sudah aku katakan, kita memiliki banyak kelebihan dari harimau-harimau itu. Kita dapat mempergunakan tombak, pedang atau senjata-senjata yang lain. Apalagi kita melawannya dalam kelompok yang besar. Maka harimau itu tentu tidak berarti apa-apa. “jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bawalah ke banjar. Besok kita akan mengulitinya. Kulit harimau termasuk barang yang mahal harganya.”
Beberapa orang pun kemudian telah membawa harimau itu ke banjar. Karena harimau itu berat, maka mereka telah mencari batang-batang bambu untuk menggotong harimau-harimau itu.
Namun demikian sepanjang jalan, orang-orang itupun masih saja berdebar-debar. Mereka berada di jalan di luar dinding padukuhan. Jika masih ada kawanan harimau itu, maka mereka tentu akan datang menyerang karena mereka mencium bau bangkai. Bangkai harimau yang mereka bahwa ke banjar itu.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang. Mereka berjumlah banyak. Apalagi karena orang-orang yang berada di tempat-tempat lain di padukuhan itu telah datang pula untuk melihat harimau-harimau yang mati itu.
“Luar biasa,“ desis seseorang, “hampir tidak masuk akal. Empat orang mampu membunuh lima ekor harimau sebesar itu.”
“Tetapi itu sudah terjadi,“ sahut yang lain.
“Ya. Mungkin akalku lah yang terlalu pendek.“ jawab yang pertama.
Merekapun terdiam. Namun mereka ikut pula dalam iring-iringan menuju ke banjar itu. Ketika mereka memasuki regol padukuhan, maka mereka pun menjadi agak tenang. Meskipun harimau-harimau itu ternyata dengan mudah dapat memasuki dinding padukuhan, namun rasa-rasanya masih ada batas yang melindungi mereka dari harimau-harimau itu.
Demikian mereka sampai di banjar, maka harimau itupun telah mereka letakkan begitu saja di halaman banjar. Orang-orang yang membawa harimau-harimau itu meskipun bergantian, merasa letih juga karena harimau itu memang berat.
“Tinggalkan saja di situ,“ berkata Ki Bekel, “besok kita akan mengulitinya. Sekarang kalian dapat kembali dengan tenang. Malam ini tidak akan ada harimau yang menerkam kambing. Meskipun begitu, penjagaan di gardu-gardu serta pengawasan di regol-regol butulan padukuhan harus tetap dilakukan.”
Orang-orang yang berkerumun di banjar itupun seorang demi seorang telah pergi. Bahkan kemudian kelompok-kelompok kecil telah keluar dari banjar itu dengan penuh kekaguman.
“Besok, harimau-harimau itu akan menjadi tontonan anak-anak yang sangat menarik,“ berkata salah seorang di antara mereka.
“Kita akan dapat menunjukkan kepada anak-anak kita bahaya di luar dinding padukuhan. Jika mereka bermain di terang bulan, jangan bersembunyi di luar dinding padukuhan, karena harimau-harimau itu akan dapat mengintai mereka. Bukan hanya seekor. Malam ini lima ekor sekaligus. “Jawab yang lain.
Perlahan-lahan halaman banjar itupun menjadi kosong. Ki Bekel lah yang kemudian meninggalkan halaman itu terakhir bersama dua orang bebahu. Karena itulah, maka banjar itupun telah menjadi kosong. Yang terisi kemudian ada gardu di luar regol banjar itu, meskipun pintu regol itu tidak pernah ditutup dan diselarak.
“Berjagalah baik-baik,“ berkata Ki Bekel ketika ia melalui pintu regol itu. “Mungkin masih ada harimau yang ingin mencari kawan-kawannya dan menuju ke banjar ini.”
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu itu menjadi berdebar-debar. Tetapi beberapa orang hampir berbareng menjawab, “Baik Ki Bekel.”
Namun sepeninggal Ki Bekel seorang di antara mereka berkata, “Apakah mungkin masih ada harimau yang lain?”
“Tentu tidak,“ jawab kawannya, “semuanya sudah terbunuh.”
“Apakah di hutan itu hanya ada lima ekor harimau?“ bertanya yang pertama pula.
Kawannya tidak menjawab. Namun ketegangan membayang di wajah anak itu. Jika benar seekor saja harimau sebesar itu datang ke regol banjar, apakah yang dapat mereka lakukan? Meskipun mereka tidak hanya dua atau tiga orang, tetapi lebih banyak lagi. Namun menghadapi seekor harimau tentu akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di dalam pondok mereka yang telah berserakan pula. Namun amben mereka ternyata tidak rusak seperti yang pernah terjadi. Mereka masih dapat tidur di atas amben itu, meskipun mereka sepakat untuk bergantian.
“Mungkin tidak akan ada harimau lagi datang kemari. Setidak-tidaknya untuk malam ini,“ berkata Tatas Lintang, “tetapi bayangan yang aku rasakan kehadirannya itu rasa-rasanya selalu mengganggu saja. Mungkin ia masih berada di sekitar pondok ini. Mungkin ia akan datang mendekat dan membakar pondok ini. Jika tidak dengan api akan dapat dilakukannya dengan ilmunya.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka sepakat untuk mempergunakan sisa malam itu bergantian. Karena itu, waktu mereka memang sangat pendek. Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat giliran beristirahat tidur nyenyak, Mahisa Murti dan Tatas Lintang tidak membangunkannya, karena sisa malam tinggal terlalu pendek.
Baru ketika matahari membayang, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah terbangun sendiri. Sementara itu Tatas Lintang-pun berkata, “Kita tidak mempunyai kerja apa-apa hari ini.”
“Besok kita baru akan mulai bekerja di sawah di ujung padukuhan ini. Karena itu, aku akan tidur pagi ini. Mungkin Mahisa Murti pun akan tidur juga.”
“Ya,“ jawab Mahisa Murti, “meskipun tidur di saat matahari sudah terbit, rasa-rasanya tidak menyegarkan badan. Tetapi aku memang letih.”
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang itu-pun justru pergi tidur sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah merebus air. Namun sejenak kemudian, mereka pun telah dikejutkan oleh beberapa orang yang datang berlari-lari ke pondok itu. Sebelum mereka memasuki halaman, mereka sudah berteriak-teriak memanggil nama Tatas lintang.
Tatas Lintang yang sudah berbaring di amben besar di dalam pondoknya terkejut. Dengan serta merta iapun telah meloncat turun disusul oleh Mahisa Murti. Ketika mereka berdua keluar dari pondoknya, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah berlarian pula ke halaman depan. Tatas Lintang yang menyongsong mereka pun menjadi berdebar-debar. Sementara itu. seorang di antara mereka yang berlari di paling depan berhenti dua langkah dihadapan Tatas Lintang.
Dengan nafas yang memburu, orang itu berkata terbata-bata, “Harimau itu.”
“Harimau itu kenapa?“ bertanya Tatas Lintang.
“Yang di banjar,“ orang itu masih saja nampak bingung.
“Tenanglah,“ berkata Tatas Lintang, “katakan dengan jelas apa yang telah terjadi.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya. Kemudian katanya meskipun masih juga dengan suara bergetar, “Bangkai-bangkai harimau itu hilang.”
“Hilang?“ Tatas Lintang benar-benar terkejut. Demikian pula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. “Bagaimana mungkin bangkai-bangkai harimau itu dapat hilang? Bukankah ada beberapa orang yang berjaga-jaga di banjar?“ bertanya Tatas Lintang.
“Ya. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga di gardu di depan regol banjar,“ jawab orang itu.
“Jadi, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak mampu mencegah orang yang mengambil bangkai-bangkai harimau itu atau mereka memang tidak tahu, bagaimana bangkai-bangkai harimau itu hilang. Apakah para penjaga itu mengalami cidera?“ bertanya Tatas Lintang pula.
“Mereka tidak apa-apa,“ jawab orang itu dengan nafas yang masih terengah-engah.
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun kemudian katanya kepada ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, “Marilah kita pergi ke banjar.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun dengan tergesa-gesa membenahi diri. Tetapi mereka tidak sempat mandi. Dengan tergesa-gesa keempat orang itu telah pergi ke banjar diikuti oleh-beberapa orang yang datang ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak sempat berbicara apapun di perjalanan. Rasanya jantung mereka telah menjadi tegang. Ketika mereka sampai di halaman banjar, maka Ki Bekel dan beberapa orang bebahu telah berada di banjar itu pula. Merekapun nampak tegang dan gelisah.
“Siapakah yang semalam bertugas di banjar?“ bertanya Tatas Lintang kepada Ki Bekel.
Ki Bekel kemudian memanggil seorang anak muda yang semalam bertanggung jawab atas penjagaan banjar padukuhan itu. “Katakanlah, apa yang telah terjadi,“ berkata Ki Bekel kepada anak muda itu.
Anak muda itupun kemudian telah menceriterakan kepada Tatas Lintang, apa yang dialaminya bersama kawan-kawannya semalam. “Kami tidak tahu apa yang telah membuat kami semuanya kehilangan penguasaan diri,“ berkata anak muda itu, “ketika kami sadar, ternyata bahwa kami semuanya telah tertidur di gardu. Dua orang awan kami yang sedang berada di banjar pun telah tidur pula dengan nyenyak sekali. Baru ketika kami dibangunkan oleh orang yang lewat di depan regol banjar, kami baru terbangun dan menyadari apa yang telah terjadi.”
“Sirep,“ terdengar Mahisa Pukat berdesis.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata kepada Ki Bekel, “Sirep, Ki Bekel. Sirep yang sangat tajam, sehingga anak-anak itu tertidur sampai matahari terbit.”
“Sementara itu mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di halaman banjar. Mereka tidak tahu, bahwa bangkai-bangkai harimau itu sudah dicuri orang.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Luar biasa. Berapa orang yang telah datang mencuri di banjar itu. Lima ekor harimau yang cukup besar. Bagaimana mereka membawa kelima ekor harimau itu? Bagaimana mereka membawa keluar dari padukuhan ini, sementara di regol-regol padukuhan pun telah dijaga? Anak-anak yang berjaga-jaga di regol-regol padukuhan itu tidak terkena sirep. Mereka tetap berjaga-jaga semalam suntuk.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang pernah mendapat pengalaman yang sama masih tetap berdiam diri. Keduanya pernah meninggalkan bangkai harimau di dekat batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Ketika mereka bersama-sama dengan orang-orang padukuhan akan mengambilnya, ternyata bangkai harimau itupun telah hilang pula.
Namun bangkai harimau itu berada di tempat terbuka, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengambilnya dan membawanya pergi. Tidak banyak orang yang sampai ke tempat itu, sehingga karena itu, kecil sekali kemungkinannya untuk diketahui atau dilihat orang. Berbeda dengan bangkai-bangkai harimau yang berada di banjar itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menduga bahwa orang yang mengambil bangkai harimau itu berapa pun jumlahnya, adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat masih belum mengatakannya dalam hubungannya dengan hilangnya lima bangkai harimau di halaman banjar itu.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun berkata, “Ki Bekel. Ternyata bahwa harimau itu mempunyai hubungan dengan peristiwa-peristiwa yang masih terselubung. Karena itu, biarlah kami berusaha untuk memecahkannya. Meskipun mungkin kami benar-benar akan kehilangan jejak. Tetapi kami akan tetap berusaha. Namun tidak mustahil bahwa kami akan mengalami kegagalan.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Aku percaya Ki Sanak. Kalian telah berbuat sejauh-jauh dapat kalian lakukan. Kalian pun telah membuat pangeram-eram di sini. Menurut perhitungan kami mustahil bahwa empat orang akan dapat membunuh lima ekor harimau sebesar itu.”
“Sudah berkali-kali aku katakan, bahkan kita seharusnya mempunyai lebih banyak kesempatan dari harimau-harimau itu, karena kita mempunyai akal.“ jawab Tatas Lintang. Namun kemudian katanya, “Meskipun demikian, kita tidak boleh mengingkari bahwa harimau memang memiliki kekuatan yang luar biasa.”
“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “kami minta kalian untuk tetap berada di padukuhan ini. Mungkin masih akan ada bencana yang akan menerkam padukuhan ini. Seandainya bukan berujud harimau, mungkin dalam ujud yang lain.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada datar ia berkata, “Ada sesuatu yang akan aku katakan kepada Ki Bekel.”
“Apa?“ bertanya Ki Bekel.
“Aku akan mengatakannya pada kesempatan lain,“ jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti, bahwa yang akan dikatakan oleh Tatas Lintang itu tidak perlu didengar oleh banyak orang. Karena itu, maka katanya, “Marilah, kita pergi ke rumahku.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya Ki Bekel memberikan pesan kepada para petugas di banjar ini. Mereka harus mempunyai pegangan, meskipun menurut perhitunganku, harimau itu tidak akan datang di siang hari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka pernah mengalami, bahwa harimau itu datang di siang hari. Namun mereka tidak dengan tergesa-gesa menyahut. Mereka akan mengatakan pengalaman mereka jika mereka mendapat kesempatan untuk berbicara khusus dengan Ki Bekel.
Ki Bekel pun kemudian memberikan pesan, agar penjagaan dilakukan meskipun di siang hari. Jika mereka merasakan sesuatu yang asing, apapun juga, agar mereka membunyikan isyarat. Sejenak kemudian Ki Bekel pun kembali ke rumahnya diiringi oleh Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakuinya sebagai kemanakannya, sementara dua orang bebahu telah tinggal di banjar bersama orang-orang yang masih diganggu oleh perasaan heran, karena peristiwa yang baru saja terjadi.
Di rumah Ki Bekel, maka Tatas Lintang pun telah berkata, “Ki Bekel. Sebenarnya kami tidak berkeberatan untuk tetap berada di padukuhan ini. Tetapi sebagaimana Ki Bekel ketahui, agaknya kamilah yang menjadi sasaran dari kelima ekor harimau itu. Bukan padukuhan ini. Karena itu, selama kami masih berada di padukuhan ini, maka justru padukuhan ini masih akan selalu diganggu oleh harimau-harimau. Atau mungkin justru oleh peristiwa-peristiwa lain yang akan dapat menyulitkan rakyat padukuhan ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah kau sudah cukup lama berada di padukuhan ini? Jika benar kaulah yang menyebabkannya, kenapa baru sekarang? Bukankah sejalan dengan pikiranmu, maka yang menyebabkan kehadiran harimau-harimau itu tentu ketiga orang kemanakanmu itu.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Mungkin benar Ki Bekel. Sebelum kami datang agaknya paman Tatas Lintang tidak pernah diganggu oleh siapapun atau oleh apapun. Namun setelah kami berada di sini, maka harimau-harimau itupun telah berdatangan.“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah bahwa kami pun pernah mengalami gangguan harimau seperti ini. Justru di siang hari, di tepi hutan.”
“Tetapi di tepi hutan,“ jawab Ki Bekel, “bukankah itu wajar sekali. Namun sebenarnyalah kami tidak ingin menyalahkan kalian karena kehadiran harimau-harimau itu.”
“Aku mengerti,“ jawab Mahisa Murti, “tetapi aku ingin mencoba mencari sebab sebenarnya dari kehadiran harimau-harimau ini. Ketika kami berhasil membunuh harimau-harimau yang datang mengganggu kami, maka di sore harinya, ketika kami berusaha mengambil bangkai harimau itu untuk dikuliti, harimau-harimau itupun telah hilang pula.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Mungkin kau benar. Harimau-harimau itu memang mencarimu.”
“Mungkin Ki Bekel,“ berkata Tatas Lintang. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebelumnya, tidak seorang pun yang memperhatikan kehadiranku di sini. Tetapi setelah kami kehilangan kesabaran dan mulai berkelahi, maka kehadiran kami di sini sangat menarik perhatian banyak orang. Banyak orang yang menyangka bahwa kami memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mungkin sekelompok orang menganggap perlu menjajagi kemampuan kami dengan harimau-harimau itu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Namun katanya, “Ki Sanak. Kau sudah aku anggap keluarga sendiri di sini. Demikian pula ketiga orang kemanakanmu itu. Karena itu biarlah kalian tinggal di sini. Apapun yang akan terjadi. Bahkan ternyata aku telah dapat mengatasi kesulitanmu sendiri.”
“Tetapi tiga ekor kambing sudah dikorbankan.“ jawab Tatas Lintang.
“Apa artinya tiga ekor kambing dari satu persahabatan yang akrab. Jangan hiraukan.“ jawab Ki Bekel, “pemilik kambing itu pun telah melupakannya.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami mengucapkan terima kasih Ki Bekel. Tetapi sebenarnyalah bahwa pada suatu saat kami harus meninggalkan pondok kami. Tetapi kami tidak tahu, apakah kami akan kembali akan kembali atau tidak.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku mengerti Ki Sanak. Sejak semula aku memang sudah menduga, bahwa padukuhan ini hanya sekedar tempat untuk singgah bagi Ki Sanak. Aku pun sudah menduga, bahwa apa yang kami lihat, bukanlah sebenarnya.”
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak akan ingkar Ki Bekel. Karena itulah maka aku harus mohon diri meskipun mungkin aku dapat menyesuaikan diri. Tidak sekarang atau besok. Mungkin dua tiga hari lagi. Aku masih akan menanam beberapa jenis pepohonan buah-buah di pategalan yang terletak di ujung padukuhan. Aku sudah berjanji.”
“Masihkah itu perlu kau lakukan?“ bertanya Ki Bekel.
“Aku kira aku masih akan melakukannya. Sekaligus untuk mengamati keadaan setelah kami membunuh lima ekor harimau itu.“ berkata Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia tentu akan kehilangan Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu. Agaknya bagaimanapun juga ia menahan, tetapi keempat orang itu tentu akan pergi juga dari padukuhannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang pun telah minta diri kepada Ki Bekel. Dengan nada dalam ia berkata, “Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan Ki Bekel.”
“Ya. Aku mengerti,“ jawab Ki Bekel.
Tatas Lintang hanya menarik nafas dalam-dalam tanpa mengatakan sesuatu lagi. Mereka berempat pun kemudian telah meninggalkan rumah Ki Bekel itu. Di jalan kembali ke pondok kecil mereka, Mahisa Pukat berkata, “Kita jangan dihambat lagi. Kami sudah terlalu lama pergi dan ingin segera melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Berhasil atau tidak berhasil.”
“Aku mengerti,“ jawab Tatas Lintang, “Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa.”
“Aku tidak tergesa-gesa,“ jawab Mahisa Pukat, “tetapi waktuku sudah terlalu lama terbuang.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melakukannya. Tetapi apakah kita tidak ingin mengetahui serba sedikit rahasia di dalam dinding padepokan itu? Mereka sudah mulai datang kepada kita, meskipun baru harimau-harimaunya. Aku gagal berhubungan dengan salah seorang di antara mereka. Agaknya orang itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi ingat, langkah kita masih belum sampai ke tujuan meskipun kita sudah mendekat.”
“Sebenarnyalah kita mempunyai kepentingan yang sama dan dalam keadaan yang sama pula. Aku pun merasa bahwa aku telah terlalu lama berada di sini. Karena itu, maka kita akan berusaha untuk secepatnya melakukan tugas kita,“ berkata Tatas Lintang.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi justru terbersit satu pertanyaan di hatinya, “Apakah ada kesengajaan orang ini untuk menghambat tugas kami?”
Mahisa Murti tidak menyambung. Tetapi ia justru mulai mengenang pangeran Singa Narpada. Apakah Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa tugasnya sudah gagal. Bahkan ia-pun mulai memikirkan ayahnya. Mungkin ayahnya sudah mulai menjadi gelisah karena ia sudah terlalu lama pergi. Bahkan kakaknya pun tentu memikirkannya pula.
“Tetapi kakang Mahisa Bungalan pada waktu pengembaraannya kadang-kadang juga memerlukan waktu yang cukup lama,“ berkata Mahisa Murti di dalam hati.
Mahisa Ura pun tidak berkata apa-apa. Tetapi sebenarnyalah iapun sudah memikirkan, bahwa ia sudah pergi terlalu lama. Dengan demikian iapun telah terlalu lama meninggalkan tugas-tugasnya. Namun yang dilakukannya itu juga termasuk salah satu tugas dari kedudukannya sebagai petugas sandi Singasari.
Ketika keempat orang itu sampai ke pondoknya, sama sekali tidak terjadi perubahan apapun juga. Tidak ada orang yang mengganggu rumah kecilnya dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun demikian, agaknya Tatas Lintang masih juga menunggu. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menanyakannya, agaknya ada firasat bahwa orang yang sedang ditunggunya itu akan datang.
“Jika sikap Tatas Lintang jujur, agaknya ia masih menunggu orang yang pernah datang bersama harimau-harimaunya itu,“ berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak mempunyai kepentingan lain. Atau sekedar berhati-hati karena umurnya yang sudah mendekati masa-masa tuanya.”
Senja yang kemudian datang, setelah keempat orang itu-sempat beristirahat dan menyiapkan makan dan minum, membuat pondok kecil itu menjadi lengang. Mahisa Murti dan Tatas Lintang merasa bahwa merekalah yang harus berjaga-jaga di belahan malam yang pertama, telah menyiapkan minuman hangat dan jagung bakar.
“Jika kalian nanti memerlukan, siapkan perapian yang akan kau nyalakan malam nanti,“ berkata Tatas Lintang kepada Mahisa Pukat.
Tetapi jawab Mahisa Pukat, “sisakan saja minuman dan makanan kalian.”
Tatas Lintang hanya tertawa kecil. Tetapi Mahisa Murti lah yang menjawab, “Bukan salah kami jika semuanya sudah habis sebelum kalian terbangun.”
Tetapi Mahisa Pukat tetap saja duduk di amben bersama Mahisa Ura, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang telah keluar dari pondok mereka dan duduk di lincak di serambi depan. Malam yang turun perlahan-lahan rasa-rasanya memang sangat sepi. Gelap menjadi semakin pekat, karena di langit tidak ada bulan.
Tatas Lintang dan Mahisa Murti pun kemudian bangkit dan berpindah tempat duduk. Mereka tidak lagi berada di serambi, karena dengan demikian mereka akan menempatkan diri mereka sebagai sasaran yang mapan jika ada orang yang dengan licik menyerang mereka dari jarak yang agak jauh.
“Lebih baik kita duduk di dalam,“ berkata Tatas Lintang.
“Ya. Udara mulai dingin. Minuman kita pun akan segera menjadi dingin jika tidak segera kita minum,“ berkata Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Ura dan Mahisa Pukat masih sempat menjawab, “Biarlah kami sajalah yang minum. Kalian berjaga-jaga di luar.”
“Tidur, cepat. Nanti jika waktunya kalian dibangunkan, kalian hanya menggeliat saja. Tetapi segera tertidur lagi.“ jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia membalikkan badannya menghadap dinding. Mahisa Murti dan Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka pun hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Beberapa saat mereka duduk sambil meneguk minuman mereka.
Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Apakah menurut pendapatmu, orang itu akan datang kembali menemui kita?”
“Ya,” jawab Tatas Lintang, “aku yakin mereka akan kembali. Namun aku tidak tahu, dengan cara apa mereka akan datang lagi. Mungkin tidak dengan harimau-harimau itu.”
“Akhirnya bukan kita yang datang kepada mereka, tetapi merekalah yang datang kepada kita.“ berkata Mahisa Murti.
“Itu lebih baik daripada kita berselisih jalan. Kita datang kepada mereka, sementara mereka datang kepada kita,“ jawab Tatas Lintang.
“Agaknya mereka memang berkeberatan untuk menerima tamu di padepokan mereka,“ berkata Mahisa Murti, “sebenarnya terserah kepada kita. Apakah kita memang benar-benar memasuki padepokan itu atau tidak. Jika kita memang ingin masuk, kita tidak perlu memikirkannya, apakah kita akan berselisih jalan atau tidak.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin pikiranku sudah terlalu tua bagi kalian. Tetapi aku ingin berbuat dengan hati-hati. Jika satu dua orang datang kepada kita, maka kita akan dapat menjajagi kemampuan mereka sebelum kita terjerumus ke dalam satu lingkungan yang akan dapat menjerat kita.”
“Tetapi bukankah kita pernah datang ke tempat itu?”
“Kami pernah, dan kau pun pernah,“ berkata Mahisa Murti, “bukankah kita bertemu di dekat padepokan itu pula.”
“Ya,“ jawab Tatas Lintang, “tetapi aku sekedar mengamat-amati keadaan dan melihat kemungkinan-kemungkinannya. Waktu itu aku memang belum siap untuk meloncat masuk. Itulah sebabnya kita bertemu dan aku pun berusaha menjajagi kemampuan kalian meskipun sejak semula aku yakin bahwa kalian mengemban satu tugas tertentu. Bukan hanya sekedar dendam di antara padepokan. Di antara orang-orang berilmu yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbenturan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun terdiam. Di lihatnya Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi gelisah. Agaknya mereka ingin untuk tidur barang sebentar, namun mereka pun ingin mendengarkan pembicaraan itu.
Tatas Lintang pun agaknya mengerti juga. Karena itu maka iapun tidak berbicara lagi. Namun iapun justru bangkit dan pergi ke bagian belakang pondok kecilnya yang dipergunakannya untuk dapur.
Tetapi Tatas Lintang itupun tertegun. Ia mendengar sesuatu di belakang pondok kecil itu. Sebuah desir lembut. Tatas Lintang tidak dengan serta merta menanggapinya. Iapun justru melanjutkan langkahnya dengan hati-hati dan duduk di depan perapian meskipun perapian itu tidak menyala.
Demikian juga lampu minyak di dapur itupun memang tidak dinyatakannya sejak hari menjadi gelap. Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun duduk di dalam kegelapan. Justru dari tempat itu Tatas Lintang ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dengan mempergunakan kemampuannya, maka Tatas Lintang itupun telah berusaha untuk menyerap bunyi pernafasannya serta sentuhan-sentuhan tubuhnya. Ia berharap bahwa jika ada seseorang di luar tidak mengetahuinya bahwa ia berada di dapur.
“Jika ia berada didekat dinding sejak semula, maka ia tentu mendengar langkahku masuk ke dapur ini, meskipun ia tidak sempat melihat,“ berkata Tatas Lintang di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa kehadiran Tatas Lintang ke dapur itu tidak diketahui. Ternyata Tatas Lintang masih mendengar langkah-langkah di bagian belakang pondok kecilnya. Bahkan kemudian ia juga mendengar geseran pada dinding pondok kecil itu. Tatas Lintang termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah orang-orang yang ada di amben besar di ruang dalam itu juga mendengarnya. Namun demikian Tatas Lintang masih tetap duduk di tempatnya.
Pada saat yang demikian, seseorang tengah merunduk di belakang pondok kecil itu. Tetapi kemudian orang itu telah bergeser ke samping. Orang itu ternyata tidak mengetahui bahwa Tatas Lintang telah pergi ke dapur. Ia memang mendengar desir langkah Tatas Lintang. Namun ketika ia berusaha untuk mengintip, justru Tatas Lintang pun mendengar kehadirannya dan mengatur langkah-langkahnya sehingga orang di luar dinding itu telah kehilangan pengamatannya.
Namun orang di luar dinding pondok itu telah mengetahui, bahwa orang di dalam pondok itu telah bergeser dari tempatnya semula meskipun ia tidak mengetahui, dimanakah orang-orang di dalam pondok itu kemudian berada.
Untuk beberapa saat orang di luar dinding itu berusaha untuk mendengar suara-suara di dalam pondok. Namun yang didengarnya kemudian adalah justru dengkur Mahisa Ura dan Mahisa Pukat yang telah tertidur nyenyak...