PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 38
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 38
Karya Singgih Hadi Mintardja
DALAM pada itu Pangeran Singa Narpada menyadari, bahwa agaknya ia telah berhadapan dengan orang yang memegang kemudi dari seluruh gerakan dari isi padepokan itu dari manapun mereka berasal. Apakah mereka orang-orang yang sejak semula penghuni padepokan ini, yang disebut orang-orang dari perguruan Suriantal dan mempunyai ciri senjata yang khusus, sebuah tongkat, atau orang-orang dari perguruan lain yang berdatangan kemudian.
Karena itu, maka bagi Pangeran Singa Narpada orang itu tentu sangat berharga. Namun Pangeran Singa Narpada pun menyadari bahwa orang itu berilmu sangat tinggi, sehingga mungkin justru bukan orang itulah yang ditangkapnya hidup-hidup, tetapi justru Pangeran Singa Narpada sendiri.
Tetapi sebagai seorang prajurit, andai kata Pangeran Singa Narpada harus mati di medan perang pun ia tak akan menyesal. Kemungkinan yang demikian sudah diperhitungkannya sejak ia menyatakan diri sebagai seorang prajurit. Apalagi seorang Senopati. Karena itu, maka ia pun telah bertekad untuk menangkap orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu hidup-hidup, meskipun nampaknya hal itu sangat mustahil.
Di luar sadarnya, dipandanginya Mahendra yang juga sudah bersiap. Meskipun keduanya tidak pernah membicarakannya sebelumnya, namun bagi Mahendra, apabila mereka mampu menangkap orang yang disebut Panembahan itu hidup-hidup, maka banyak hal yang akan dapat diketahui dan banyak teka-teki yang dapat ditebak.
Dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan itu pun memandangi kedua orang lawannya berganti-ganti. Wajah-wajah yang dalam dan memancarkan kepribadian yang mantap. Namun orang yang disebut Panembahan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Sejenak ia mengendapkan gejolak perasaannya, namun sejenak kemudian ia telah siap untuk bertempur lagi.
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian bergerak mendekat. Sementara orang yang disebut Panembahan itu pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seolah-olah ia memang menunggu serangan Pangeran Singa Narpada.
Mahendra pun berdiri termangu-mangu. Tetapi ia sama sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Pangeran Singa Narpada bertempur. Dalam keadaan yang khusus sajalah Mahendra ingin bergerak. Mungkin pada saat yang paling tepat untuk mendesak dan mungkin menangkap orang yang disebut Panembahan itu hidup-hidup.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada telah melenting menyerang. Serangannya datang demikian cepatnya sehingga rasa-rasanya tidak akan mungkin dapat dihindari. Tetapi ternyata orang yang disebut Panembahan itu mampu menghindari serangan itu. Ia pun bergerak secepat gerak Pangeran Singa Narpada, sehingga serangan Pangeran Singa Narpada tidak menyentuh apapun juga.
Namun dengan tangkas orang yang disebut Panembahan itulah yang kemudian menyerang. Tidak kalah cepatnya. Angin yang terayun bersamaan dengan ayunan kakinya menyambar tubuh Pangeran Singa Narpada meskipun serangan kaki itu sendiri tidak mengenainya, karena Pangeran Singa Narpada meskipun sempat bergeser.
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Meskipun ia sudah bersiap sepenuhnya, namun ia tidak segera berbuat sesuatu. Namun di luar sadarnya, ia bergeser jika pertempuran itu telah bergeser pula.
Sejenak kemudian pertempuran antara Pangeran Singa Narpada dan orang yang disebut Panembahan itu semakin menjadi cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka, karena masing-masing ingin lebih cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dalam kesempatan yang tidak terduga, Panembahan itu telah meloncat menyerang Mahendra yang berdiri termangu-mangu. Hampir saja ayunan tangan orang yang disebut Panembahan itu menyentuh kening Mahendra. Namun dengan tangkas Mahendra telah bergerak. Sambil merendahkan diri Mahendra bergeser selangkah, sehingga dengan demikian maka serangan itu tidak menyentuhnya. Namun angin yang bergetar bersama dengan ayunan tangan itu telah menampar wajah Mahendra, sehingga rasa-rasanya nafasnya telah menjadi sesak.
“Bukan main,“ geram Mahendra. Ia tidak sempat mengagumi serangan itu terlalu lama. Sekejap kemudian serangan berikutnya pun telah datang pula. Seperti serangan yang terdahulu, maka angin yang keras telah menyambar tubuhnya meskipun serangan itu sendiri tidak mengenainya.
Mahendra tiba-tiba saja menjadi curiga pada angin yang menerpa tubuhnya itu. Tentu bukan angin biasa yang didorong oleh ayunan tubuhnya betapapun kuatnya. Sebenarnyalah ketika serangan berikutnya datang, maka angin itu rasa-rasanya telah menjadi hangat.
“Inilah tebakan dari teka-teki itu,“ berkata Mahendra di dalam dirinya. Angin yang dengan kuat mengikuti ayunan serangannya itu tentu merupakan bagian dari ilmunya yang luar biasa. Namun Mahendra tidak akan menghindar dari arena. Ia-pun kemudian telah menyerang lawannya dengan dahsyatnya.
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian berdiri tegak memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu. Dengan ketajaman pengamatannya, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian dapat mengetahui pula, bahwa angin yang menyambar berbareng dengan setiap serangan itu bukan sekedar karena besarnya tenaga ayunan serangan Panembahan itu, tetapi sebenarnyalah bahwa angin itu merupakan bagian dari ilmunya yang luar biasa.
Mahendra yang kemudian bertempur dengan Panembahan itu semakin merasakan kekuatan ilmu lawannya. Angin itu pun semakin lama terasa semakin panas. Karena itu, maka Mahendra pun harus berbuat sesuatu. Ia tidak dapat sekedar bertempur dengan tenaga cadangannya. Sekedar melawan benturan kekuatan tenaga cadangan lawan. Atau sekedar meloncat dengan cepat mengimbangi kecepatan gerak orang yang disebut Panembahan itu. Tetapi ia harus mampu melawan kekuatan ilmu Panembahan itu yang mulai dipancarkan pada setiap serangan wadagnya.
Mahendra adalah seorang yang memiliki ilmu yang masak pula. Karena itu, maka untuk melawan ilmu lawannya yang menyerap tenaga api, maka ia tidak membenturnya dengan kekuatan yang memiliki watak yang sama. Tetapi ia mulai membangunkan kekuatan ilmunya dalam ujudnya yang sebaliknya. Mahendra tidak membentur kekuatan lawan dan kemudian saling menolak dan beradu kekuatan. Tetapi Mahendra telah menahan serangan lawannya dengan kekuatannya yang lunak dan justru menyerap kekuatan ilmu lawannya, menggulungnya dan kemudian menghapuskannya dengan kekuatan yang berlawanan itu.
Demikianlah, maka dalam benturan ilmu, Mahendra telah melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang lunak. Dengan ilmu itu, maka Mahendra telah melepaskan satu kekuatan yang mempunyai pengaruh yang sebaliknya. Getaran yang terpancar dari dalam dirinya telah melepaskan udara dingin yang bagaikan bergulung-gulung di sekitarnya.
Memang terjadi benturan dua kekuatan yang saling berlawanan. Ketika orang yang disebut Panembahan itu meloncat menyerang Mahendra dengan hembusan udara panas, maka rasa-rasanya udara itu telah menyusup ke dalam satu gulungan kekuatan yang menghisap panas itu dan justru telah membekukannya.
Orang yang disebut Panembahan itu terkejut. Namun ia mulai merasa udara dingin itu bukan saja telah menghisap dan menawarkan serangan kekuatan ilmunya yang disadapnya dari kekuatan api, namun udara dingin itu telah mempengaruhinya pula. “Gila,“ geram orang disebut Panembahan itu.
Namun dengan demikian ia semakin terperosok ke dalam kekuatan ilmu Mahendra yang membuatnya seakan-akan menjadi kedinginan. Namun orang disebut Panembahan itu tidak mau dikuasai oleh kekuatan ilmu lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah membentak dengan menghentakkan kekuatan ilmunya. Udara di sekitarnya telah menggelepar. Ternyata kekuatan yang disadapnya dari kekuatan api bagaikan menghentak pula dan membakar menjilat ke sekitarnya.
Mahendra yang tiba-tiba merasa terjilat api telah meloncat surut. Tetapi api itu tidak dapat membakarnya. Kekuatan ilmunya benar-benar dahsyat pula, sehingga panasnya api yang bagaikan menjilat ke sekitarnya itu telah tertahan, kemudian justru terhisap dan menjadi tawar sama sekali. Namun bukan berarti bahwa serangan berikutnya tidak dapat menerpanya, dan barangkali justru semakin dahsyat. Karena itu, maka Mahendra pun telah bersiap sepenuhnya. Kekuatan ilmunya masih saja bergulung-gulung mengitarinya sehingga kekuatan api yang betapapun panasnya akan dapat ditawarkannya.
Sementara itu, agaknya Panembahan itu mempunyai perhitungan yang lain. Agaknya ia merasa bahwa ia tidak akan dengan mudah dan cepat mengalahkan lawannya itu. Karena itu. maka tiba-tiba ia telah berpaling lagi kepada Pangeran Singa Narpada. Justru pada saat Pangeran Singa Narpada sedang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama.
Pada saat yang demikian, maka tiba-tiba saja orang-orang disebut Panembahan itu telah melenting menyerang Pangeran Singa Narpada sambil berteriak, “Mari Pangeran. Kenapa kau diam saja. Sudah aku katakan, kalian dapat bertempur berpasangan.”
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun dengan tangkas ia harus menghindari serangan itu. Namun sementara itu, udara panas telah menyambarnya, sehingga terasa seakan-akan kulitnya akan terkelupas. Namun Pangeran Singa Narpada telah meningkatkan daya tahannya sampai ke puncak, sehingga meskipun tubuhnya bagaikan terbakar, namun ia masih mampu menahankannya.
Untuk menghadapi lawannya, maka Pangeran Singa Narpada pun harus mempergunakan ilmunya pula. Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya dibakar oleh panasnya ilmu lawannya. Karena itulah maka betapapun panasnya sentuhan api dari ilmu yang terpancar dari orang yang disebut Panembahan itu, namun Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk membenturkan kekuatan ilmunya yang sangat besar.
Panembahan itu memang merasa heran melihat cara Pangeran Singa Narpada bertempur. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari serangan-serangannya. Bahkan Pangeran Singa Narpada selalu berusaha untuk membenturkan kemampuannya meskipun tubuhnya serasa bagaikan terkelupas oleh panasnya ilmu lawannya.
Semula Penembahan itu tidak merasakan sesuatu pada dirinya selain benturan-benturan. Kadang-kadang memang terasa kulitnya menjadi sakit dalam benturan itu. Namun kemampuan daya tahannya mampu mengatasinya, sehingga orang yang disebut Panembahan itu tidak menghiraukannya. Menurut perhitungannya Pangeran Singa Narpada memang berusaha untuk menyakitinya dengan serangan-serangannya dan benturan-benturan yang sengaja dilakukan.
Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Singa Narpada memang menjadi semakin garang. Langkah-langkahnya yang panjang telah memburu ke mana saja lawannya menghindar. Bahkan jika lawannyalah yang menyerang dibarengi dengan arus angin panas. Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak berusaha untuk mengelakkannya.
Orang yang disebut Panembahan itu memang menjadi heran. Setiap kali ia melihat Pangeran Singa Narpada menyeringai menahan sakit. Tetapi serangan-serangannya yang cepat dan garang, memang dapat juga membuatnya sakit, meskipun dengan cepat orang yang disebut Panembahan itu mampu mengatasinya.
Namun tiba-tiba saja sesuatu telah terjadi didalam dirinya. Panembahan yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu, dengan cepat menyadari, ilmu lawannya yang bernama Pangeran Singa Narpada itu ternyata ilmu yang nggegirisi. Karena itu maka tiba-tiba saja orang yang disebut Panembahan itu meloncat untuk mengambil jarak.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra tidak memburunya. Mereka berdiri beberapa langkah dari orang itu sambil menunggu, apa yang akan dilakukannya.
“Bukan main,“ berkata orang yang disebut Panembahan itu, “kalian berdua memang orang-orang luar biasa. Seorang diantara kalian mampu menjadikan udara ini beku sehingga arus panasku sama sekali tidak berpengaruh atasnya. Sedangkan yang seorang memiliki ilmu hisap yang dahsyat sekali. Meskipun kesannya memang agak licik, tetapi akibatnya bagi lawannya akan terasa menentukan. Untunglah aku cepat menyadari. Jika aku terlambat maka aku akan menjadi seonggok tubuh yang tidak berdaya di pinggir arena ini. Bahkan kemudian menjadi tontonan para prajurit Lemah Warah dan orang-orangku sendiri di padepokan ini."
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apapun yang aku katakan Panembahan. Tetapi kami sudah siap bertempur dengan cara apapun juga.”
“Aku mengerti bahwa kalian memang sudah siap. Tetapi kalian akan kecewa jika kalian menganggap bahwa pertempuran sudah selesai.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Mungkin pertempuran diantara kita belum selesai.”
Orang yang disebut Panembahan itu mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada rendah ia bertanya, “Apa maksudmu?”
“Wajar saja. Pertempuran diantara kita memang belum selesai. Karena itu kami masih selalu siap. Jika kami menganggap bahwa pertempuran sudah selesai, maka kami tidak perlu mempersiapkan diri,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi mungkin yang belum selesai adalah pertempuran diantara kita saja. Sementara itu pertempuran di seputar padepokan ini sudah dapat diselesaikan oleh para prajurit Lemah Warah.”
Orang yang disebut Panembahan itu termangu-mangu sejenak. Namun yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu memang mungkin saja terjadi. Panembahan itu sadar, bahwa kekuatan Lemah Warah memang lebih tinggi dari kekuatan padepokan itu. Sementara para pemimpin dari Lemah Warah pun memiliki ilmu yang lebih mapan. Apalagi Akuwu Lemah Warah itu sendiri.
Tetapi orang yang disebut Panembahan itu memang tidak dapat berbuat terlalu banyak, justru karena kehadiran kedua orang yang berilmu tinggi itu. Untuk beberapa saat orang yang disebut Panembahan itu tercenung. Namun tiba-tiba hatinya telah bergejolak, ia melihat betapa orang-orang padepokan itu mengalami kesulitan dan bahkan kehancuran.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat memberikan pertimbangan dari peristiwa itu selain menghancurkan kedua orang itu. Namun orang yang disebut Panembahan itu sadar, bahwa kedua lawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Tetapi tidak ada pilihan lain. Ia harus melakukannya dengan mengerahkan segenap ilmu yang ada didalam dirinya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Panembahan itu pun telah bersiap untuk menyingkapkan kemampuan puncaknya, ia sadar bahwa setiap sentuhan dengan tubuh Pangeran Singa Narpada akan berarti susutnya kemampuannya. Sementara itu, ia tidak dapat membiarkan dirinya membeku karena ilmu lawannya yang seorang lagi dalam ujudnya yang lunak.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja orang yang disebut Panembahan itu telah bergeser mundur, ia berdiri tegak pada kedua kakinya yang merenggang, sementara tangannya pun telah bersilang di dadanya.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra menyadari, apa yang sebenarnya tengah terjadi. Orang yang disebut Panembahan itu tentu sedang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan ilmu puncaknya. Ada niat Mahendra untuk menyerang lawannya justru pada saat ia belum siap. Namun Mahendra mengurungkannya, ia pun kemudian sadar bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu mampu dengan cepat menguasai diri dan mempersiapkan ilmunya.
Jika ia terlambat barang sekejap maka ialah yang justru akan menjadi korban pada benturan yang mungkin terjadi. Karena itu maka lebih baik bagi Mahendra untuk menunggu, apa yang akan terjadi. Namun Mahendra pun telah mempersiapkan dirinya pada puncak kemampuannya, ia siap melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang keras atau yang lunak.
Demikian pula Pangeran Singa Narpada. Ia siap dengan segenap kemampuan yang ada didalam dirinya. Ia sadar bahwa ia akan menghadapi satu jenis ilmu yang dahsyat yang mungkin dilontarkan oleh orang yang disebut Panembahan itu, karena di samping ilmu kabutnya, sambaran angin yang memancarkan kekuatan apinya, serta sorot matanya yang membakar, maka orang yang disebut Panembahan itu tentu masih menyimpan ilmu pamungkasnya yang dahsyat. Bahkan Pangeran Singa Narpada itu tidak dapat meramalkan, apakah ia akan mampu menghadapi ilmu itu atau tidak. Namun apapun yang terjadi, itu merupakan akibat dan tanggung-jawab yang tidak dapat dihindarinya. Bahkan sampai mati pun ia harus menghadapinya.
Beberapa saat lamanya mereka masih saling berdiam diri. Namun ternyata masing-masing telah membangunkan puncak-puncak kekuatan di dalam diri mereka. Sebenarnyalah, sejenak kemudian orang yang disebut Panembahan itu telah menarik sebelah kakinya. Kedua tangannya yang bersilang-pun telah diurainya. Kedua tangan itu tiba-tiba saja telah terangkat ke depan menghadap ke arah masing-masing seorang lawan.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada telah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ketika mereka melihat sikap orang yang disebut Panembahan itu maka mereka pun telah bersiap pula melepaskan ilmu mereka. Sejenak kemudian, telah terdengar suara gemuruh yang bergulung-gulung tanpa diketahui dari mana asalnya. Namun kemudian Mahendra dan Pangeran Singa Narpada telah melihat getar yang mulai bergerak di seputar tubuh orang yang disebut Panembahan itu.
Getar itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kemudian berputar bergulung-gulung semakin deras. Ketika udara yang terputar oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu mulai bergerak ke arah kedua lawannya, maka kedua lawannya pun menjadi semakin berdebar-debar. Namun ternyata gerak pusaran itu tidak terduga. Semula pusaran itu maju dengan lambat. Namun tiba-tiba saja bagaikan meloncat menerkam kedua orang lawannya.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut. Mereka tidak menduga bahwa gerak pusaran itu akan berubah dan dengan tiba-tiba melibat mereka. Karena itu untuk beberapa saat, kedua orang itu bagaikan terputar oleh kekuatan yang sulit untuk dilawan. Kekuatan yang sangat besar telah menelan mereka dalam cengkaman yang sangat kuat.
Mahendra berusaha untuk menggeliat dan bertahan. Tetapi pusaran itu rasa-rasanya telah memutarnya dan melambungkannya ke udara. Semakin lama semakin cepat dan semakin tinggi. Tetapi Mahendra telah menghentakkan segenap kemampuannya untuk bertahan. Rasa-rasanya kemampuan ilmunya telah dihimpunnya untuk menahan tubuhnya agar tetap melekat di atas tanah. Karena itulah maka rasa-rasanya kakinya yang terangkat itu masih juga sekali-sekali menyentuh tanah. Namun sekali-sekali terlepas dan terlempar meninggi. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia telah mendekati buminya kembali karena bobot ilmunya.
Yang terjadi atas Pangeran Singa Narpada pun tidak berbeda. Untuk sekejap Pangeran Singa Narpada memang merasa kebingungan, sehingga karena itu maka ia pun telah terlempar dengan kerasnya, naik di puncak pusaran yang gemuruh. Namun seperti Mahendra akhirnya Pangeran Singa Narpada mampu memusatkan kekuatan ilmunya untuk memantapkan bobotnya sehingga seperti Mahendra. ia pun telah turun perlahan-lahan diberati oleh ilmu yang ada di dalam dirinya.
Untuk beberapa saat keduanya berjuang menentang kekuatan angin prahara yang memutar dan mengangkat mereka. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa jika mereka tidak mampu menahan dirinya tetap melekat pada bumi. maka mereka akan diangkat dilontarkan tinggi ke udara, kemudian dibanting terhempas di tanah. Untuk beberapa saat mereka beradu tenaga lewat ilmu mereka.
Orang yang disebut Panembahan itu berusaha untuk mengangkat mereka dan menghempaskannya sampai lumat, sementara itu Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bertahan untuk tetap melekat pada bumi sehingga mereka tidak akan dapat dihempaskan oleh kekuatan angin pusaran yang dibangunkan oleh kemampuan ilmu lawan.
Namun akhirnya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak dapat untuk hanya sekedar bertahan. Meskipun mereka tetap berharap bahwa mereka akan memiliki daya tahan melampaui kekuatan orang yang disebut Panembahan itu. Namun ternyata bahwa angin pusaran itu rasa-rasanya menjadi semakin cepat dan keras. Karena itu, maka baik Mahendra, maupun Pangeran Singa Narpada merasa perlu untuk memberikan perlawanan yang lebih berarti daripada sekedar bertahan.
Namun mereka tidak sempat untuk berbicara di antara mereka. Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan pada waktu yang sama. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang memiliki bekal yang tinggi, maka terdapat persamaan perhitungan dalam usaha mengatasi persoalan yang sama.
Dalam pada itu, Mahendra yang memiliki kemampuan ilmu mapan pada tataran yang sangat tinggi, sebagaimana saudara serperguruannya Witantra, telah berusaha untuk memusatkan kemampuannya yang memang sudah tersusun sebelumnya. Sementara ia bertahan untuk tetap berjejak di atas tanah, ia pun telah berusaha menghimpun kekuatan ilmu puncaknya.
Meskipun ia tidak akan mungkin dapat mengenai orang yang disebut Panembahan itu pada jarak yang panjang, tetapi pengalamannya mengangkat kabut telah menuntunnya untuk melakukannya pula atas ilmu yang lain dari orang yang disebut Panembahan itu. Karena itu, maka yang akan langsung dikenainya dengan ilmunya bukan orang yang disebut Panembahan itu sendiri, tetapi justru kekuatan ilmunya yang berupa angin pusaran itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahendra telah menghentakkan kekuatan ilmunya, menghantam angin pusaran yang membelit dirinya dan berusaha mengangkatnya untuk kemudian dihempaskannya sampai lumat. Dengan demikian maka terjadi benturan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat. Angin pusaran yang membelit Mahendra itu telah terguncang dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian, terjadi satu goncangan yang dahsyat. Pusaran yang membelit tubuh Mahendra itu bagaikan pecah oleh kekuatan yang dahsyat yang dilepaskan oleh Mahendra. Dengan demikian maka orang yang disebut Panembahan itu telah memusatkan kekuatannya condong kepada Mahendra yang hampir saja berhasil memecahkan angin pusarannya yang membelit tubuhnya. Perlahan-lahan angin pusaran itu telah menemukan bentuknya kembali, memutar tubuh Mahendra dan berusaha mengangkatnya.
Namun Mahendra yang masih tetap menyadari keadaannya sepenuhnya telah menghimpun kekuatan kembali. Satu hentakkan yang sangat dahsyat telah mengguncang pusaran itu sekali lagi. Sehingga dengan demikian maka perhatian orang yang disebut Panembahan itu seluruhnya hampir tertuju kepada Mahendra untuk mempertahankan kekuatan angin pusarannya.
Pada saat yang demikian itulah, maka Pangeran Singa Narpada telah bertindak. Ia pun telah menghimpun segenap kekuatan ilmunya. Sebagaimana dilakukan oleh Mahendra, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berusaha untuk memecahkan pusaran yang membelitnya dan berusaha melemparkannya ke udara dan menghempaskannya ke tanah. Dengan segenap kekuatan ilmunya, maka Pangeran Singa Narpada itu pun seakan-akan telah meronta dan bagaikan sebuah ledakkan yang dahsyat, maka kemampuan ilmu Pangeran Singa Narpada telah mengoyak pusaran angin yang mengelilinginya.
Karena hampir semua kekuatan ilmu Panembahan itu ditujukan untuk tetap mengikat Mahendra dengan pusarannya, maka ledakan yang terjadi pada angin pusaran yang membelenggu Pangeran Singa Narpada telah mengejutkannya. Dengan tergesa-gesa Panembahan itu berusaha untuk memperbaikinya. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka hentakkan kedua telah dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada sehingga angin pusaran yang seakan-akan mengungkungnya itu pun telah berhasil dikoyakkannya.
Panembahan itu pun menjadi cemas melihat keadaan kedua orang lawannya. Apalagi ketika perhatiannya terhisap oleh hentakkan ilmu Pangeran Singa Narpada. Mahendra telah sekali lagi menghantam sisa-sisa angin yang mengikatnya, sehingga pecahlah kekuatan orang yang disebut Panembahan itu.
Orang yang disebut Panembahan itu menggeram. Dilepaskannya kekuatan ilmunya yang telah dipecahkan oleh kedua lawannya. Sekejap ia telah membangunkan kembali ilmunya itu. Seperti yang dilakukan semula, maka ia pun telah mengangkat dan mengacukan tangannya ke arah kedua orang lawannya.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak mau membiarkan diri mereka dibelit lagi oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu. Karena itu maka mereka pun kemudian telah bersiap untuk menyambut pusaran angin yang datang kepada mereka. Dengan pengenalan mereka atas serangan ilmu itu sebelumnya, maka mereka sadar, bahwa pusaran yang bergerak perlahan-lahan itu pada saatnya akan meloncat menerkam mereka berdua.
Sebenarnyalah yang terjadi kemudian adalah sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Angin pusaran yang kemudian timbul oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu telah meluncur dengan derasnya ke arah Mahendra dan Pangeran Singa Narpada. Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa Narpada telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika angin pusaran itu meluncur cepat ke arah mereka, keduanya tidak menunggu dirinya terputar didalamnya.
Demikian angin pusaran itu menerkam mereka, maha Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bersama-sama telah menghentakkan ilmu mereka menghantam angin pusaran yang datang untuk melibat mereka dan berusaha melemparkan ke udara. Benturan yang dahsyat memang terjadi. Kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu langsung berbenturan dengan kekuatan ilmu Mahendra dan Pangeran Singa Narpada.
Sebenarnyalah bahwa yang kemudian bagaikan meledak dan melontarkan udara yang panas bukan saja pada benturan yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya benturan itu telah terjadi pula di dada ketiga orang itu. Mahendra yang menghantam kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu telah terguncang. Jantungnya bagaikan terhimpit oleh kekuatan yang sangat besar. Dengan demikian maka rasa-rasanya dadanya telah menjadi sesak.
Kesulitan yang timbul bukan saja karena benturan yang terakhir yang terjadi. Tetapi sejak Mahendra berusaha memecahkan angin pusaran yang mengikatnya, telah mulai terasa sentuhan-sentuhan itu di dadanya. Dengan demikian maka benturan yang terakhir terjadi, adalah hentakkan yang telah menjadikan dadanya semakin sesak. Demikian kuatnya benturan itu terjadi, sehingga Mahendra telah terdorong selangkah surut. Keseimbangannya pun ternyata telah terguncang sehingga Mahendra itu pun jatuh terduduk.
Namun ketika Mahendra sempat mengangkat wajahnya, dilihatnya angin pusaran yang datang menyerangnya telah pecah berserakan. Namun itu bukan berarti bahwa ia telah terbebas. Orang yang disebut Panembahan itu akan dapat membangunkan lagi kekuatan ilmunya dan menyerangnya sekali lagi dan sekali lagi.
Karena itu, maka Mahendra pun telah berusaha untuk menguasai dirinya. Dihimpunnya sisa kekuatan yang masih ada didalam dirinya. Dengan sisa kekuatan itu, maka Mahendra pun telah bangkit berdiri.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun telah mengalami nasib yang sama. Pangeran Singa Narpada yang telah membentur kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu pun telah kehilangan keseimbangannya pula. Bahkan Pangeran Singa Narpada itu pun telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Hanya karena ia tersandar pada sebatang pohon yang besar sajalah maka Pangeran Singa Narpada itu tidak terjatuh.
Namun dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan itu pun telah dihentakkan oleh kekuatan raksasa yang seakan-akan telah menghantam dadanya. Pada saat ia melepaskan ilmunya pada puncak kemampuannya, tiba-tiba dua kekuatan raksasa telah membentur kekuatannya itu. Dengan demikian maka seakan-akan hentakkan kekuatannya itu memental dan menghantam jantungnya sendiri.
Orang yang disebut Panembahan itu tidak terlempar surut. Ia tetap berdiri di tempatnya. Untuk beberapa saat ia masih tetap bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan orang yang disebut Panembahan itu menjadi gemetar. Sisa-sisa kekuatannya tidak mampu lagi mendukung kemauannya yang bagaikan tidak pernah surut dalam keadaan yang manapun juga.
Meskipun ia tetap berdiri, tetapi tubuhnya telah menjadi sangat lemah. Tubuhnya yang gemetar itu rasa-rasanya tidak lagi dapat tegak berdiri meskipun orang itu tidak mau mengakui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Pada saat yang demikian, maka orang yang semula membawakan pedangnya dan kemudian bergeser menjauh ketika terjadi pertempuran antara orang itu melawan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada, telah meloncat berlari dan menangkap tubuh yang hampir saja terjatuh itu. “Panembahan,“ desis orang itu.
Tubuh orang yang disebut Panembahan itu memang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka perlahan-lahan tubuh itu pun telah terkulai di tangan orang yang selalu mengikutinya itu. Bahkan kemudian dengan sangat hati-hati tubuh itu telah dibaringkannya di tanah. Dengan wajah yang penuh duka orang itu menatap kedua mata orang yang disebutnya Panembahan itu yang menjadi redup.
“Panembahan,“ desis orang itu pula.
Panembahan itu memandanginya. Wajahnya menjadi sangat pucat, dan seluruh tubuhnya bahkan telah menggigil seperti orang yang kedinginan.
“Panembahan, Panembahan masih mempunyai kesempatan,“ berkata orang itu, “Panembahan dapat memusatkan nalar budi untuk mengatur pernafasan dan peredaran darah Panembahan.”
Panembahan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun telah menyeringai menahan pedih di dadanya. Dengan suara sendat ia berkata, “Dua orang itu benar-benar raksasa yang besar. Mereka mampu menahan ilmuku dan bahkan membenturkannya seakan-akan mendorong ilmuku kembali memental menghantam jantungku sendiri.”
“Panembahan masih mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang berjongkok di sampingnya itu. Lalu katanya, “Marilah, aku bantu Panembahan duduk dan berusaha untuk mengatasi kesulitan di dalam diri Panembahan.”
Panembahan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun menggeleng kecil sambil berkata, “Tidak ada gunanya.”
“Tentu ada gunanya Panembahan,“ berkata orang itu, “aku akan membantu. Dengan demikian maka keadaan Panembahan akan segera pulih kembali selagi kedua orang itu masih belum dapat mengatasi kesulitan di dalam dirinya.”
Tetapi nafas Panembahan itu rasa-rasanya menjadi semakin sulit untuk melalui hidungnya secara wajar. Dadanya bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu karang. Bahkan darahnya pun tidak lagi mengalir ke seluruh bagian tubuhnya karena jantungnya yang menjadi semakin lemah.
Sejenak suasana terasa mencengkam. Masing-masing berada di tempatnya tanpa bergerak. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada benar-benar merasa sangat letih. Bahkan dada mereka pun serasa menjadi sesak dan pedih. Keduanya memang berusaha untuk memperbaiki keadaan diri mereka. Tetapi perkembangan yang terjadi terasa sangat lamban. Benturan itu merupakan benturan yang sangat dahsyat, sehingga rasa-rasanya ada yang rusak di dalam dada mereka.
Namun jantung keduanya menjadi semakin cepat berdetak ketika keduanya melihat orang yang agaknya merupakan pengikut setia dari orang yang disebut Panembahan itu memandang mereka dengan tajamnya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu mempunyai kesempatan yang cukup besar untuk menghancurkannya.
“Seandainya ia berilmu meskipun tidak setinggi orang yang disebut Panembahan itu,“ berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya, “ia akan dapat berbuat banyak.”
Tetapi baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahendra tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan. Meskipun keadaan mereka tidak cukup baik, tetapi mereka tentu akan melawan apapun yang akan dapat terjadi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri. Orang yang semula membawa pedang Panembahan itu kemudian berkata,
“Kalian berdua memang luar biasa. Kalian berdua mampu menghantam isi dada Panembahan sehingga mengalami luka yang tidak akan mungkin disembuhkan lagi. Seandainya Panembahan masih dapat tertolong, namun ilmunya tidak akan lagi dapat pulih kembali sebagaimana dimilikinya sekarang, karena bagian dari pusat kemampuan ilmunya telah terguncang pada saat benturan itu terjadi. Beruntunglah kalian bahwa hal itu tidak terjadi pada kalian, karena kalian berdua bersama-sama ternyata memiliki kekuatan yang lebih besar dari Panembahan,“ orang itu berhenti sejenak lalu, “tetapi aku ingin memperkenalkan diri kepada kalian berdua, meskipun aku adalah hambanya yang setia yang tidak lebih dari derajat seorang budak. Tetapi aku adalah saudara seperguruannya. Dengan demikian aku memiliki ilmu yang sama dengan yang dimiliki oleh Panembahan. Seandainya ada selisihnya, maka selisihnya itu tidak ada seujung rambut.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin tegang. Namun mereka masih belum yakin, bahwa yang dihadapinya itu adalah saudara seperguruan orang yang disebutnya Panembahan itu. Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa Narpada telah dikejutkan sikap orang itu. Sebagaimana orang yang disebutnya Panembahan orang itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kemudian ditariknya sebelah kakinya, sementara tangannya yang bersilang itu pun telah diurainya. Diagungkannya kedua tangannya ke dua arah yang berbeda.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada yang masih dalam keadaan yang sangat lemah, berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mempunyai sisa kekuatan untuk melawan jika serangan datang ke arah mereka. Yang terjadi telah meyakinkan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bahwa orang itu memang saudara seperguruan dari orang yang disebutnya Panembahan itu.
Perlahan-lahan udara pun telah bergetar. Kemudian bergulung-gulung bagaikan angin pusaran. Kemudian pusaran itu pun telah bergerak perlahan-lahan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh orang disebutnya Panembahan.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi berdebar-debar. Jika angin pusaran itu menggulung mereka, maka mereka tidak akan mampu bertahan. Mereka akan terangkat dan terlempar ke udara. Kemudian mereka akan dihempaskan ke tanah sampai lumat.
Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak akan menyerah begitu saja. Meskipun kekuatan mereka masih belum dapat dibangunkan kembali, namun mereka telah menghimpun apa yang tersisa di dalam diri mereka untuk melawan angin pusaran yang dahsyat itu.
Namun keduanya menjadi heran, bahwa angin pusaran itu sama sekali tidak mengarah kepada mereka. Angin pusaran yang terlontar itu telah meluncur beberapa jengkal dari keduanya. Demikian dahsyatnya, maka ketika angin pusaran itu menghantam barak yang berada di garis lintasnya, maka barak itu pun telah menjadi hancur berkeping-keping. Anyaman kayu, bambu dan atap ijuknya telah terputar roboh. Kemudian diremasnya dan sebagian besar telah dilemparkan ke udara.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada memperhatikan pecahan-pecahan barak yang terlempar itu dengan jantung yang berdebaran. Kemudian mereka pun menyaksikan pecahan-pecahan itu terhempas di tanah dan benar-benar menjadi lumat.
“Luar biasa,“ desis Mahendra.
Orang itu pun kemudian berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada yang masih lemah. “Nah, Ki Sanak. Bagaimana jika aku menyerang kalian dengan kekuatan ilmu sebagaimana telah kalian lihat? Ilmu yang sama sebagaimana dipergunakan oleh Panembahan? Dan apakah kalian masih belum yakin bahwa aku adalah saudara seperguruannya?“ bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku percaya Ki Sanak, bahwa kau adalah saudara seperguruannya.”
“Bagaimana jika aku menyerang kalian dengan ilmu itu?“ bertanya orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian Pangeran itu menjawab, “Silahkan Ki Sanak. Itu hakmu. Aku akan melawan dengan sisa kekuatanku. Jika aku hancur oleh ilmumu, itu adalah tanggung jawab yang memang harus aku pikul.”
Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada berganti-ganti. Sementara itu pertempuran di bagian-bagian lain dari padepokan itu pun telah mereda pula. Para prajurit Lemah Warah telah benar-benar menguasai keadaan. Betapa tingginya ilmu orang-orang padepokan itu, namun mereka tidak mampu melawan kemampuan para pemimpin Pakuwon Lemah Warah yang dibantu oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Dalam pada itu, orang yang mampu melepaskan ilmu sebagaimana orang yang disebut Panembahan itu menjadi ragu-ragu. Agaknya orang itu memang mempunyai watak dan pandangan hidup yang berbeda dengan orang yang disebutnya Panembahan itu.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada memang merasa heran. Dua orang saudara seperguruan, namun nampaknya tataran hidup mereka jauh berbeda. Yang seorang nampaknya tidak lebih dari hamba dari yang lain. Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak mempunyai banyak kesempatan. Jika orang itu benar-benar melepaskan ilmunya kepada mereka, maka mereka akan benar-benar tidak mampu melawannya.
Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh ketegangan. Namun tiba-tiba orang yang memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Panembahan itu berkata, “Tidak. Aku tidak berhak membunuh kalian.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada masih termangu-mangu. Mereka masih belum yakin bahwa sikap itu akan tetap dapat dipertahankan. Mungkin pada satu saat, pendirian itu berubah, dan orang itu akan menyerangnya dengan kekuatannya yang sangat dahsyat. Bahkan menurut perhitungan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada, orang itu akan mampu pula melepaskan kabut dan bahkan membakar sasaran dengan sorot matanya.
Untuk beberapa saat orang itu masih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian sekali lagi ia berkata, “Aku tidak berhak membunuh kalian meskipun aku dapat melakukannya.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut, ketika orang itu kemudian memandang kepingan kayu bambu dan ijuk yang teronggok di sebelah mereka berdiri. Pecahan barak yang telah diremasnya dengan angin pusaran, dilontarkannya ke udara dan dibantingnya lagi di tanah. Tiba-tiba saja asap telah mengepul dan api pun segera menjilat. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada harus mengakui bahwa api itu akan dapat membakar mereka jadi dikehendaki. Sementara itu mereka berdua sedang dalam keadaan sangat lemah.
Tetapi orang itu tidak melakukannya. Justru setiap kali orang itu berkata; “ Aku tidak berhak. Aku tidak berhak.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada melihat sesuatu yang sedang bergejolak didalam jiwa orang itu. Karena itu, maka mereka pun perlahan-lahan bergeser saling mendekat.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika orang itu membentak, “Apa yang akan kau lakukan? Kalian akan saling mendekat dan menggabungkan sisa kemampuan yang ada didalam diri kalian? Tidak ada gunanya. Meskipun kalian akan bersama-sama menyerang aku, maka sisa kekuatan kalian tidak akan berarti apa-apa lagi.”
“Kau benar Ki Sanak,“ berkata Mahendra, “sisa kemampuan kami memang tidak akan dapat mengatasi kemampuan Ki Sanak.”
“Jika demikian, apa yang akan kalian lakukan?“ bertanya orang itu.
“Sikap Ki Sanak, sangat menarik perhatian,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “Ki Sanak akan mampu berbuat apa saja atas diri kami. Tetapi Ki Sanak merasa tidak berhak melakukannya, justru dalam pertempuran seperti ini. Apalagi Ki Sanak tahu pasti, bahwa pihak Ki Sanak, orang-orang Padepokan ini dari perguruan manapun asalnya telah mengalami kekalahan. Jika Ki Sanak membunuh kami berdua, maka Ki Sanak akan mendapat kesempatan untuk menolong orang-orang padepokan ini. Ki Sanak akan dapat membinasakan orang-orang Lemah Warah, bahkan termasuk Akuwu dari Lemah Warah dan para pemimpin yang lain.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia telah berpaling ke arah tubuh orang yang disebutnya Panembahan itu, yang terbaring diam. “Hanya orang inilah yang berhak melakukannya atas Pangeran,“ berkata orang itu
“Kenapa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja tanpa menghiraukan kedua orang lawannya, maka orang itu telah berjongkok di sisi orang yang terbaring diam itu. “Kemarilah,“ berkata orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun telah mendekat.
“Lihat,“ berkata orang itu,“ betapa ilmu kalian telah merusakkan jaringan tubuhnya, ia seakan-akan telah kehilangan kesadarannya meskipun ia masih hidup. Namun dengan demikian, maka kalian berdua telah terbebas dari kemungkinan untuk mati di medan perang ini, karena orang yang berhak membunuh kalian sudah tidak akan mampu melakukannya.”
“Aku tidak mengerti,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “semua orang di medan perang seperti ini mempunyai hak yang sama atas lawan-lawan mereka.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Aku hanya seorang hamba yang rendah. Aku tidak patut untuk berdiri berhadapan dengan seorang Pangeran. Apalagi membunuhnya.”
“Kau berpegang pada unggah-ungguh yang kuat. Namun jarang orang yang masih dapat mengingatnya jika ia berada di peperangan,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi kata-katamu menarik perhatian kami sebagaimana ilmumu. Kau sebut dirimu saudara seperguruan dengan orang yang kau panggil Panembahan itu. Namun kemudian kau nyatakan dirimu tidak lebih dari seorang hamba.”
“Aku memang hanya seorang hamba, Pangeran. Hamba yang rendah,“ jawab orang itu, “aku memang dapat menyebut diriku saudara seperguruan dengan Panembahan, karena aku memiliki ilmu yang sama, bahkan tingkat kemampuanku pun hampir sama. Tetapi sebenarnya aku memang hambanya. Aku menjadi saudara seperguruan diluar pengetahuan Panembahan itu sendiri.”
“Bagaimana hal itu mungkin terjadi,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Aku telah mengantar Panembahan itu berguru,“ berkata orang itu, “bahkan demikian besar kepercayaan Panembahan itu serta gurunya, sehingga aku diperkenankan ikut berada didalam sanggar. Aku mendengar setiap kata dari guru Panembahan itu, bagaimana ia mengajarkan ilmu dan menuntun laku. Diluar pengetahuan Panembahan dan gurunya, aku telah mendalaminya. Dalam saat-saat senggang aku telah minta ijin untuk pergi ke sungai atau pergi kemana pun juga. Namun akhirnya aku tidak dapat bersembunyi lagi. Guru Panembahan itu melihat dasar kemampuanku, sehingga akhirnya aku justru telah mendapat bimbingannya pula. Namun karena aku tidak lebih dari seorang hamba, maka aku tidak dapat belajar bersama Panembahan. Bahkan sampai saat berguru berakhir, Panembahan tetap tidak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan hampir menyamainya. Sementara itu guru pun telah berbaik hati untuk tidak mengungkapkan rahasia itu kepada Panembahan, namun dengan janji, bahwa aku harus tetap merupakan seorang hamba yang setia.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Ia sudah memenuhi janjinya. Bahkan sampai saatnya Panembahan itu tidak lagi mampu menilai apa yang terjadi di sekitarnya, orang itu masih tetap seorang hamba yang setia.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun bertanya, “Ki Sanak. Siapakah sebenarnya orang yang kau sebut Panembahan itu? Siapa pula Ki Sanak yang setia mengabdi sampai orang yang kau sebut Panembahan itu kehilangan kesadarannya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan ragu ia berkata, “Sudahlah Pangeran. Apa gunanya Pangeran mengetahui siapakah Panembahan itu dan siapa pula aku ini.”
“Sikapmu menunjukkan sikap seorang hamba dari lingkungan tertentu,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, aku ingin mengetahui, meskipun barangkali aku tidak akan mengenalinya siapakah orang itu dan dari lingkungan yang mana?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Namun kemudian dipandanginya orang yang terbaring diam itu. Sementara itu, orang itu pun berkata, “Pangeran. Pertempuran sudah selesai. Isi padepokan ini telah terbunuh dan yang lain menyerah. Mungkin ada yang sempat melarikan diri dari arena.”
“Akuwu Lemah Warah akan menyelesaikan mereka,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu maka aku kira aku tidak perlu mencampurinya.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak yang seorang itu?”
“Ia adalah Mahendra. Seorang keluarga dari kalangan para pimpinan prajurit Singasari. Tetapi ia sendiri bukan seorang prajurit,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Tetapi kemampuannya melampaui para Senapati,“ berkata orang itu.
“Ia adalah seorang pewaris sebuah perguruan yang besar dan disegani,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku ingin berkata jujur. Panembahan sangat membenci orang-orang Singasari.”
“Kenapa?“ bertanya Mahendra.
“Dalam hubungan Singasari dan Kediri,“ jawab orang itu, “pergolakan yang selalu terjadi sejak orang-orang Singasari merampas kebebasan Kediri.”
“Apakah kau sependapat?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata pula, “Aku juga orang Kediri. Aku juga tidak mau jika kebebasan kami dibelenggu. Tetapi hubungan antara Kediri dan Singasari adalah hubungan antara keluarga. Singasari mencakup keluarga besar di atas Tanah ini termasuk Kediri. Namun dalam kehidupan sehari- hari, Kediri adalah keluarga yang dewasa. Yang hidup karena kemampuan diri. Yang bertanggung jawab atas pakartinya sendiri.”
“Pengertian dari yang Pangeran katakan itu dapat diterjemahkan dalam arti yang berbeda-beda,“ berkata orang itu, “Panembahan ternyata mempunyai pengertian yang berbeda dari Pangeran Singa Narpada. Sebelumnya pun banyak keluarga Pangeran yang mempunyai pengertian yang lain, sehingga pertikaian terjadi tidak henti-hentinya.”
“Itulah yang harus kita atasi,“ berkata Pangeran Singa Narpada. Lalu kemudian katanya, “Tetapi dengan pembicaraan ini aku mempunyai arah dugaan tentang kalian.”
“Kami tidak akan bersembunyi lagi,“ berkata orang itu.
“Jika demikian, katakan,“ desis Pangeran Singa Narpada.
“Aku akan mengatakannya,“ sahut orang itu, “tetapi aku masih ingin mengatakan sikap Panembahan. Bagi Panembahan Singasari adalah kuasa yang bukan seharusnya memimpin Kediri sekarang ini.”
“Dengan alasan yang sudah terlalu sering disebut-sebut,“ potong Mahendra, “bahwa Singasari tidak lebih dari Pakuwon Tumapel. Sedangkan Akuwu Tumapel yang kemudian atas nama Singasari menyatakan Kediri adalah seorang keturunan pidak-pedarakan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar. Bukan sekedar keturunan pidak-pedarakan. Tetapi ia adalah seorang penjahat yang ditakuti di masa mudanya. Dengan kemampuan seorang penyamun dan perampok ulung, ia dapat mendesak kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi orang itu bukan orang kebanyakan. Yang terjadi pada tataran pertama hidupnya bukannya kenyataan tentang dirinya yang dipilih untuk kemudian memimpin. Ciri-ciri kebesaran ada pada dirinya, sehingga pada akhirnya kenyataan itu terjadi, meskipun Ken Arok itu sekedar perantara,“ berkata Mahendra.
“Sebagaimana selalu dikatakan oleh orang-orang Singasari,“ jawab orang itu.
“Sudahlah,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “perbedaan yang ada biarlah kita akui adanya. Tetapi sebut, siapakah Ki Sanak itu, dan siapakah sebenarnya Panembahan itu?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “orang inilah yang seharusnya Pangeran cari untuk menegakkan Kediri.”
“Kau belum menyebutnya,“ sahut Pangeran Singa Narpada.
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Apakah Pangeran benar-benar tidak mengenalnya lagi?”
Pangeran Singa Narpada menjadi bingung. Ia bergeser mendekat. Dipandanginya wajah yang terbaring diam itu. Namun rasa-rasanya wajah itu menjadi lain. Meskipun ia tetap mengenali sebagai orang yang disebut Panembahan, tetapi ada sesuatu yang berbeda padanya. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran, apakah Pangeran juga benar-benar telah melupakan aku?“ bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menjadi semakin bingung. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Namun Pangeran itu kemudian menggeleng sambil berdesis, “Aku belum pernah mengenalimu.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Pangeran. Aku akan menunggu. Jika kemampuan Pangeran dan Ki Mahendra telah pulih kembali, hancurkan simpul pengendali ilmuku sebagaimana Panembahan. Dengan demikian, maka akan terjadi perubahan pada diriku.”
Pangeran Singa Narpada masih dibayangi oleh perasaan bingungnya. Namun orang itu kemudian berkata, “Pangeran. Amati dengan saksama. Pangeran tentu mengenal Panembahan.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun hampir di luar sadarnya ia pun telah bergeser mendekat. Diamatinya wajah orang yang terbaring diam itu dengan saksama. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mendekati mereka. Sementara panglima pasukan khusus Lemah Warah berdiri termangu-mangu beberapa langkah sambil mengamati keadaan.
Pangeran Singa Narpada memandanginya sambil berdesis, “Bagaimana dengan para prajurit dan orang-orang padepokan ini?”
“Kita tidak dapat menghindari korban yang berjatuhan dalam perang yang hampir tidak terkendali, Pangeran. Namun sebagian dari para penghuni padepokan ini telah menyerah,“ sahut Akuwu Lemah Warah.
“Bagaimana dengan para pemimpin mereka?“ bertanya Pangeran itu pula.
“Ternyata para pengikutnya merupakan lingkaran kesetiaan yang sulit untuk ditembus. Dalam keadaan yang paling gawat, maka beberapa orang di antara mereka sempat melepaskan diri. Justru orang-orang terpenting di antara mereka. Selain ilmu mereka yang tinggi, maka para pengikutnya telah mengorbankan diri untuk memberikan kesempatan kepada para pemimpinnya melarikan diri dari medan.“
“Siapakah yang telah berhasil melarikan diri?“ bertanya orang yang menjadi bayangan kemampuan orang yang disebut Panembahan itu.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang itu dengan saksama. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah mereka Pangeran?”
“Yang terbaring itu adalah Panembahan yang memegang pimpinan tertinggi di padepokan ini,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Yang seorang?“ bertanya Akuwu Lemah Warah.
“Saudara seperguruannya,“ jawab Pangeran Singa Narpada pula.
“Apakah ia sudah menyerah?“ bertanya Akuwu itu pula.
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dan Akuwu Lemah Warah berganti-ganti. Namun kemudian terdengar suaranya rendah, “Bukan Akuwu. Orang ini sama sekali tidak menyerah. Tetapi orang ini justru telah menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku dan Mahendra.”
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang. “Apa artinya Pangeran?“ bertanya Akuwu Lemah Warah.
“Orang ini sebenarnya dapat membunuh kami berdua jika ia mau. Tetapi ia tidak melakukannya,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu ia bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi Pangeran?”
Pangeran Singa Narpada memandang orang yang terbaring itu kembali. Namun dengan nada datar ia bertanya, “Apakah orang yang mampu melepaskan diri dari wadagnya dan memasuki wadag orang lain itu sempat melarikan diri?”
“Maaf Pangeran. Dalam benturan ilmu orang itu tidak dapat bertahan. Kami tidak tahu, apakah ia akan dapat bertahan untuk hidup,“ jawab Akuwu Lemah Warah.
“Akuwu,“ berkata Pangeran Singa Narpada kemudian sambil memandangi orang yang terbaring itu, “kami, maksudku aku berdua bersama Mahendra telah dengan untung-untungan membenturkan ilmu kami melawan kemampuan ilmu orang yang disebut Panembahan ini. Akibatnya dapat kalian lihat terjadi pada Panembahan. Namun kami pun telah kehilangan segenap tenaga kami karena kami telah memaksakan menghentakkan ilmu kami dalam benturan itu. Sampai saat ini kemampuan kami masih belum pulih seutuhnya. Pada saat yang demikian, saudara seperguruan Panembahan ini akan mampu menghancurkan kami. Tetapi yang terjadi tidak demikian.”
“Apa sebabnya Pangeran?“ bertanya Akuwu.
“Bertanyalah kepadanya,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Akuwu itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu orang itu pun berkata sekali lagi, “Pangeran. Pandang wajah ini dengan saksama.”
Pangeran Singa Narpada bergeser lebih mendekat. Diamatinya wajah itu dengan saksama. Namun ia menggeleng lemah, “Aku kurang mengenalnya.”
“Pengenalan Pangeran terbatas pada masa-masa dekat. Coba Pangeran mencoba mengenang keluarga terdekat Pangeran di masa yang sudah agak jauh lewat,“ berkata orang itu.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan pamanda Pangeran Gagak Branang.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Ya. Panembahan adalah Pangeran Gagak Branang yang menyingkir dari istana pada saat Tumapel memecah Kediri.”
“Singasari maksudmu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tumapel,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Jadi aku memang berhadapan dengan pamanda Pangeran. Tetapi menurut perhitunganku umur pamanda tentu sudah terlalu tua sekarang ini, sementara Panembahan itu masih mampu bertempur dengan kekuatan yang mengagumkan dan sikapnya pun sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya.”
“Tetapi wajah itu?“ desis orang yang mengaku saudara seperguruan itu.
Ketika Pangeran Singa Narpada memandang wajah itu lagi, maka ia menjadi heran. Orang itu nampaknya memang sudah terlalu tua, jauh lebih tua dari pengenalannya pada saat mereka beradu ilmu. Karena itu maka dengan wajah yang tegang Pangeran Singa Narpada bertanya kepada hamba orang yang disebut Panembahan itu, “Bagaimana mungkin segalanya itu terjadi?“
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran. Hal ini memang akan terjadi pada suatu saat. Juga akan terjadi padaku.”
“Kenapa hal itu akan terjadi padamu,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran,“ berkata orang itu, “selama berguru, kami telah mendapatkan kesempatan yang tidak banyak didapat oleh orang lain.”
“Kesempatan apa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Di dalam tubuh kami mengalir getah pohon yang tidak ada duanya. Getah itu mempunyai pengaruh yang kuat sekali pada wadag kami.”
“Getah pohon apa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak seorang pun tahu,“ jawab orang itu. “kecuali guru.”
“Pengaruhnya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu termangu-mangu pula sejenak. Namun kemudian katanya, “Tidak seorang pun yang tahu bagaimana terjadinya. Namun getah itu seakan-akan telah menahan pertumbuhan wadag kami. Pada saat kami mendapat getah itu, maka seakan-akan kami tidak lagi bertambah tua.”
“Kau juga mendapat kesempatan? Bukankah dengan demikian Pangeran Gagak Branang akan tahu bahwa aku adalah saudara seperguruannya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran Gagak Branang tahu bahwa aku juga mendapat kesempatan minum getah itu. Tetapi tidak sebagai saudara seperguruannya. Tetapi sebagai hambanya yang setia, yang akan mengikutinya ke mana saja Pangeran Gagak Branang pergi,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia bertanya, “Kau tidak dapat mengenali jenis getah itu?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Pangeran Gagak Branang pun tidak.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berkata selanjutnya, “Namun pada saat-saat seperti yang terjadi pada Pangeran Gagal Branang, maka yang tertahan itu akan datang pula. Demikian juga, jika aku tidak lagi mampu menguasai kesadaranku oleh sebab apapun juga, maka aku akan mengalaminya.”
Sejenak Pangeran Singa Narpada terdiam. Mahendra pun mengangguk-angguk pula, sementara yang lain termangu-mangu.
“Sudahlah Pangeran. Agaknya batas itu telah sampai. Pada saat kekuatan Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra pulih kembali, maka antarkan aku menyusul Pangeran Gagak Branang, agar aku pun kembali ke keadaan wajarku,“ berkata orang itu.
“Siapa kau sebenarnya,“ bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berdiri tegak sambil berkata, “Baiklah. Jika kekuatan ilmu Pangeran belum pulih kembali, demikian pula Ki Mahendra, maka biarlah Akuwu Lemah Warah dan ketiga anak muda ini menolongku. Lepaskan ilmu kalian. Biarlah tubuhku mengalami hentakan yang dapat melumpuhkan segenap syarafku, sehingga dengan demikian kalian akan dapat mengenal aku lewat Pangeran Singa Narpada.”
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Ki Sanak,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jangan memaksa melakukan hal yang tidak perlu. Katakan tanpa usaha seperti yang kau katakan dari Akuwu Lemah Warah. Siapakah kau sebenarnya. Jika kau mau menyebut namamu, maka aku akan segera dapat mengenalimu. Seandainya aku memang sudah mengenalmu sebelumnya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran masih teringat benar, siapakah Pangeran Gagak Branang.”
“Ya aku ingat, meskipun umurku terpaut agak banyak,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Nah, Pangeran tentu ingat, siapakah yang selalu berada di belakangnya. Orang itu jarang sekali terpisah dari Pangeran Gagak Branang. Kemana pun Pangeran pergi, maka orang itu ada,“ jawab orang itu.
“Yang umurnya sebaya dengan pamanda Pangeran?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya. Kira-kira demikian meskipun terpaut sedikit,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada mencoba mengingat-ingat. Siapakah orang yang selalu bersama pamandanya, Pangeran Gagak Branang. Sejenak Pangeran Singa Narpada sempat membayangkan pamannya di masa mudanya. Pangeran yang keras, bahkan agak pemarah. Ia pun ingat saat pamandanya meninggalkan Kediri tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya.
Sekilas ia berpaling ke arah Mahendra. Pamandanya itu tentu lebih tua dari Mahendra. Bahkan mungkin terpaut agak banyak. Orang itu pun tentu lebih tua dari Mahendra, meskipun ujudnya sebaliknya. Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada memasuki dunia ingatannya. Namun tiba-tiba saja berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Permita.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya serak, “Ya Pangeran. Hamba yang rendah ini adalah Permita yang tentu sudah Pangeran kenal. Karena itu maka tidak ada pilihan lain bagi hamba ini selain hukuman mati.”
“Ooo,“ Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang yang disebut Ki Permita itu pun telah menjatuhkan dirinya bersimpuh di hadapan Pangeran Singa Narpada.
“Bunuh aku Pangeran. Panembahan pun agaknya tidak akan mampu mengatasi kesulitan di dalam dirinya,“ berkata orang yang disebut Ki Permita itu, “buat apa aku hidup terus?”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian berdiri tegak. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ia tidak lagi mendengar hiruk pikuk pertempuran. Yang dilihatnya adalah sisa-sisa api yang mengepul dari barak yang terbakar oleh kemampuan ilmu Ki Permita yang ternyata adalah saudara seperguruan dari Pangeran Gagak Branang.
Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Di balik pepohonan dan barak-barak yang masih berdiri, seakan-akan dilihatnya prajurit Lemah Warah yang tersisa menawan para penghuni padepokan itu yang terdiri dari beberapa perguruan. Bukan hanya terdiri dari orang-orang bertongkat saja. Memang padepokan ini semula adalah padepokan orang-orang bertongkat itu. Namun agaknya dengan kehadiran Pangeran Gagak Branang, maka padepokan ini telah menjadi tempat penempaan sekelompok orang dari beberapa perguruan yang berbeda.
“Ki Mahendra dan Akuwu Lemah Warah,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “setelah aku mengetahui bahwa yang memimpin padepokan ini adalah pamanda Pangeran Gagak Branang, maka aku tidak memerlukan lagi seorang pun yang akan aku sadap keterangannya. Aku tahu pasti apakah yang telah terjadi. Aku tahu pasti alasan dari orang-orang Suriantal datang ke istana Kediri untuk mengambil benda yang paling berharga yang menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton.”
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Satu perjuangan yang keras dan berat telah dilakukan. Ternyata bahwa yang terjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya. Pangeran Kuda Permati, Pangeran Lembu Sabdata, dan beberapa orang lain dalam sikapnya yang sama.
“Kau telah kehilangan orang-orang terbaik dari Lemah Warah,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Karena itu,“ berkata Ki Permita, “bunuh aku Pangeran. Aku akan menerima beban hukuman dari Kediri karena peristiwa ini.”
“Ki Permita, kau adalah seorang hamba yang setia. Namun menurut ingatanku, kau adalah orang yang banyak diminta nasehat dan petunjukmu oleh pamanda Pangeran Gagak Branang.”
“Pangeran benar. Tetapi tidak semua pendapatku sesuai dengan pendapat Pangeran Gagak Branang. Aku sudah berusaha untuk meyakinkan pamanda Pangeran, bahwa usaha ini adalah sia-sia,“ berkata Ki Permita.
“Jadi kau sependapat dengan pamanda Gagak Branang? Namun kau menganggap bahwa perjuangan pamanda itu sia-sia. Jadi kau mencoba mencegah usaha pamanda Gagak Branang bukan karena kau mempunyai keyakinan yang berbeda,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran. Aku sudah menyerahkan leherku. Bunuhlah aku sebagai hukuman atas pengkhianatanku terhadap Kediri serta kesediaanku untuk memikul hukuman dari isi padepokan ini, terutama mereka yang sempat melarikan diri.”
“Aku bertanya kepadamu Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “bagaimana sikap batinmu terhadap Kediri sekarang ini? Kita masih tetap di arena. Kau belum menyerah dan aku pun belum menyerah meskipun kemampuanku tentu belum pulih kembali.”
“Jangan paksa aku merasa semakin tersiksa Pangeran. Mungkin Pangeran tidak dapat menyiksaku dalam ujud kewadagan. Tetapi pertanyaan Pangeran itu telah menyiksa perasaanku, sebaiknya Pangeran membunuh saja aku. Kematianku akan mengakhiri segala persoalan yang terjadi di padepokan ini.” berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Bukan maksudku Ki Permita. Baiklah. Jika kau tidak mau mendengar pertanyaanku itu. Aku tidak akan memaksamu menjawab.
“Ampun Pangeran,“ desis Ki Permita, “satu-satunya kemungkinan terbaik yang dapat Pangeran lakukan dalam keadaan seperti ini adalah membunuhku.
“Tidak Ki Permita,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “sebagaimana kau tidak merasa berhak membunuhku, dalam perang sekalipun, maka aku pun tidak merasa berhak menghukummu.”
“Pangeran berhak. Aku menyerah,“ berkata Ki Permita, “jika Pangeran menganggap bahwa aku belum menyerah, maka aku menegaskan, sejak aku menyerahkan mati hidupku, aku menyerah. Pangeran berhak membunuh seorang tawanan yang berbahaya, karena sebenarnyalah bahwa aku akan dapat menjadi sangat berbahaya bagi Pangeran dan bahkan bagi Kediri.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian suaranya merendah, “jadi kau menyerah.”
“Ya. Dan Pangeran dapat membunuhku,“ jawab orang itu.
“Baiklah Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jika kau memang menyerah, maka kau tentu merasa berada di bawah kuasaku.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bertanya dengan nada tinggi, “Apa maksud Pangeran.””
“Aku terima penyerahanmu. Tetapi dengan syarat,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Justru dengan syarat?“ bertanya orang itu, “bukankah seharusnya akulah yang mengajukan syarat? Dan bukankah Pangeran seharusnya memerintahkan aku menyerah tanpa syarat?”
“Kali ini tidak,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “aku sudah menghindari pertanyaanku tentang sikapmu terhadap Kediri. Karena itu, sebagai syarat penyerahanmu, aku tuntut kau menangkap orang-orang yang berhasil melarikan diri. Jika kau yang melakukannya tentu akan jauh lebih mudah daripada jika aku atau orang-orang Lemah Warah yang melakukannya. Terutama para pemimpinnya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Yang dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah sudah terlalu banyak. Yang dikorbankannya pun telah terlalu banyak pula justru adalah anak-anaknya yang terbaik.”
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Ki Permita. Bukan karena Akuwu Lemah Warah sudah menjadi putus asa dan tidak akan mampu lagi memburu orang-orang yang melarikan diri itu. Tetapi apakah kita akan dapat mencari jalan lain yang lebih singkat dan korban yang lebih kecil.”
Orang yang disebut Ki Permita itu menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, “Pangeran. Aku selalu berusaha mencegah jika Panembahan berniat untuk mempergunakan ilmunya di dalam setiap pertempuran. Sorot matanya dan juga angin pusaran yang dapat dilontarkan dari dirinya atas dorongan ilmunya.”
“Aku mengerti Ki Permita. Dengan demikian kau berusaha agar pamanda Pangeran Gagak Branang tidak membantai lawannya sebagaimana membabat batang ilalang,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi yang akan terjadi tentu tidak demikian. Orang-orang yang melarikan diri itu hanya disertai dengan beberapa orang pengawal saja. Jika kau harus menghancurkannya, maka jumlahnya tidak terlalu banyak dan bahkan mungkin kau dapat mengambil jalan lain. Bukan jalan kekerasan. Tetapi jika yang datang prajurit Lemah Warah, akan terjadi pertempuran lagi. Dan korban pun akan jatuh dari kedua belah pihak. Tentu jauh lebih banyak daripada jika kau sendiri yang melakukannya. Sementara itu aku yakin bahwa kau akan mampu mengatasi orang-orang yang telah melarikan diri itu. karena betapapun tinggi ilmu mereka, agaknya bukan tandingannya dengan ilmu yang pernah kau pertunjukkan kepadaku.”
Ki Permita masih termangu-mangu. Namun agaknya ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada. Namun bagaimanapun juga ada sesuatu yang masih menghambat perasaannya.
“Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “aku ingin mendengar kesediaanmu.”
Ki Permita mengangkat wajahnya. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tatapan mata yang lesu. Namun kemudian katanya, “Baiklah Pangeran. Aku akan memenuhi syarat penyerahanku. Mudah-mudahan aku dapat menangkap mereka tanpa mempergunakan kekerasan, apalagi jatuhnya korban.”
“Terima kasih. Untuk sementara kami masih akan berada di padepokan ini. Jika selama kami masih berada di padepokan ini Ki Permita dapat memenuhi syarat itu, maka kami akan merasa sangat beruntung,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku hanya dapat berusaha. Tetapi untuk menemukan mereka aku masih memerlukan waktu. Apalagi untuk membawa mereka ke padepokan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku percaya kepadamu Ki Permita. Kau akan melakukan tugasmu dengan baik.“ namun kemudian terdengar suaranya menurun, “dan aku percaya kepadamu, bahwa kau mempunyai keyakinan yang berbeda dengan pamanda Pangeran Gagak Branang. Hanya kesetiaanmu sajalah yang memaksamu untuk mengikutinya dan berbuat seolah-olah kau pun berkeyakinan seperti pamanda Pangeran Gagak Branang.”
Orang itu menunduk dalam-dalam. Sesuatu terasa bergejolak di dalam dadanya. Penilaian Pangeran Singa Narpada membuat darahnya bagaikan mengalir lebih cepat. Sebenarnyalah bahwa ia memang mempunyai keyakinan yang berbeda. Tetapi ia adalah abdi yang setia sehingga ia telah menimbun keyakinannya sendiri dan menempatkan dirinya pada sikap dan keyakinan orang lain.
Namun orang yang diikutinya itu sudah tidak mungkin lagi untuk bersikap dan berkeyakinan. Bahkan agaknya sulit bagi Panembahan itu untuk dapat tetap bertahan hidup. Karena itu, maka ia pun merasa telah terlepas dari ikatan kesetiaannya tentang sikap dan keyakinan, meskipun ia masih merasa bahwa ia adalah hamba dari Panembahan itu, dan bahkan terbersit niatnya untuk ikut mati bersamanya.
Namun Pangeran Singa Narpada ternyata memberikan perintah kepadanya untuk melakukan sesuatu yang barangkali baik juga dilakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa jika ia bersedia melakukannya, maka korban akan dapat dikurangi sekecil-kecilnya. Karena ia akan dapat melakukannya sendiri tanpa pasukan dan para pemimpin dari Lemah Warah, sementara itu, Lemah Warah telah memberikan korban cukup banyak.
“Baiklah,“ berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “kita dapat memikirkan langkah-langkah kita lebih lanjut. Aku akan melihat suasana medan.”
“Silahkan Pangeran. Biarlah aku menunggui Panembahan di sini. Aku tidak tahu, apakah keselamatan Panembahan masih dapat diusahakan. Namun bagaimanapun juga, aku masih akan berusaha.”
“Silahkan,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Aku akan membawanya ke barak sebelah,“ berkata Ki Permita kemudian.
Pangeran Singa Narpada dan para pemimpin Lemah Warah serta yang lain pun kemudian telah meninggalkan Pangeran Gagak Branang yang ditunggui oleh hambanya yang setia.
Seperti dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka pertempuran memang sudah selesai. Namun Pangeran Singa Narpada harus mengelus dadanya melihat jumlah korban yang jatuh. Meskipun Pangeran Singa Narpada adalah seorang prajurit yang keras dan garang, namun melihat korban yang sedang dikumpulkan, baik dari Lemah Warah maupun dari padepokan itu sendiri, rasa-rasanya kulitnya telah meremang.
Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada jalan lain. Tanpa pengorbanan yang besar, maka Kediri tidak akan dapat menyingkap rahasia padepokan itu yang ternyata dipimpin oleh Pangeran Gagak Branang yang tidak kalah kerasnya dari Pangeran Singa Narpada. Akuwu Lemah Warah sendiri setiap kali telah menekan dadanya melihat anak-anaknya terbaik menjadi korban.
Dalam pada itu, Ki Permita telah membawa tubuh Pangeran Gagak Branang ke barak sebelah, barak yang masih terhitung utuh dibanding dengan barak-barak yang lain. Namun ternyata bahwa keadaan tubuh Pangeran Gagak Branang itu sudah demikian lemahnya. Jantungnya tidak lagi berdetak cukup keras untuk mendorong darahnya mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu kekuatan sejenis getah yang telah mempengaruhi wadagnya, seakan-akan mampu menahan pertumbuhannya, tidak lagi berarti, sehingga karena itu, maka perubahan pada wadag itu pun telah terjadi dengan cepat. Namun yang terbaring itu masih tetap Pangeran Gagak Branang.
Hanya karena pertimbangan usia sajalah maka Pangeran Singa Narpada tidak memikirkannya sebagai Pangeran Gagak Branang. Sebenarnya Pangeran Singa Narpada memang mengenali orang yang disebut Panembahan itu adalah seorang yang pernah dikenalnya. Tetapi getah yang diminumnya tentu sudah berselang beberapa puluh tahun dari saat Pangeran Gagak Branang meninggalkan Kediri, sementara itu beberapa tahun berikutnya pertumbuhan wadagnya telah terhenti. Mungkin sepuluh tahun atau lebih.
Ki Permita menunggui tubuh yang terbaring itu dengan wajah yang suram. Pangeran Gagak Branang memang sudah terlalu tua. Usianya sudah mendekati seratus tahun. Namun pertumbuhan wadagnya telah terhenti sekitar seperempat abad sebelumnya. Kini tubuh yang terbaring itu benar-benar tubuh seorang yang berusia seratus tahun. Tua, lemah dan keriput di dahi dan keningnya.
“Panembahan,“ desis Ki Permita.
Panembahan itu membuka matanya. Namun nafasnya seakan-akan sudah tidak lagi mengalir dari lubang hidungnya. Sementara arus darahnya pun serasa sudah berhenti pula.
“Permita,“ suaranya lemah sekali.
“Ya Panembahan,“ jawab Permita.
“Aku kagum akan kemampuan Singa Narpada dan orang yang disebut Mahendra itu,“ desisnya. Suaranya lemah, bahkan gemetar.
“Ya Panembahan,“ jawab Ki Permita, “mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
“Sementara itu, aku juga mendengar pengakuanmu Permita, bahwa kau juga memiliki ilmu sebagaimana aku miliki,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “tetapi itu tidak mengejutkan aku. Yang mengejutkan aku adalah bahwa sebenarnya kau mempunyai keyakinan lain dari keyakinanku.”
“Ampun Panembahan,“ jawab Ki Permita, “aku tidak dapat mengelak lagi dari nuraniku yang sebenarnya. Aku memang tidak ingin menyembunyikan lagi justru pada saat Panembahan telah terlempar ke dalam ujud kewajaran. Kita sudah sama-sama tua. Pada saatnya aku pun akan segera berubah sebagaimana Panembahan. Jika sampai saat terakhir Panembahan tidak mengetahui keadaanku sebenarnya, rasa-rasanya aku masih tetap berhutang kepada Panembahan. Ada kebohongan yang terasa terbawa tanpa pengakuan. Karena itu Panembahan, tanpa mengurangi kesetiaanku kepada Pangeran Gagak Branang, maka aku telah memberikan pengakuan itu. Dengan demikian aku merasa tidak lagi berhutang kepada Panembahan dengan kebohongan yang tidak habis-habisnya.”
Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas kejujuranmu. Dalam saat-saat terakhir ini, sebaiknya aku memang mengetahui segala-galanya. Pengakuanmu atas keyakinanmu yang berbeda, justru memberikan tekanan akan kesetiaanmu. Hanya orang yang setia sepenuhnya sajalah yang dapat menyembunyikan nuraninya untuk waktu yang sekian tahun lamanya. Untuk itu aku harus berterima kasih kepadamu.”
Ki Permita menundukkan wajahnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Pangeran, hamba mohon maaf.”
Panembahan yang terluka parah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit di dadanya. Pada usia yang sudah sangat tua, maka ia tidak akan mampu bertahan lagi, setelah simpul pengendalian ilmunya terguncang setelah membentur kekuatan ilmu Pangeran Singa Narpada dan Mahendra bersama-sama.
Karena itu maka suaranya yang semakin lemah terdengar pula, “Permita. Meskipun sikapku terhadap Kediri tidak sama dengan Pangeran Singa Narpada, namun ia adalah seorang yang luar biasa. Ia adalah seorang kesatria yang teguh memegang martabat kesatriaannya. Karena itu, maka kau akan mendapat tumpuan pengabdian yang baru. Ikutlah anak itu dan justru sikapmu akan sesuai dengan sikapnya.”
“Aku mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada, Panembahan,“ berkata Ki Permita.
“Lakukan. Aku sudah mendengarnya. Kau akan dapat memenuhinya tanpa merenggut korban lagi dari orang-orang Lemah Warah,“ berkata Panembahan itu.
“Tetapi dalam tugas ini, aku ingin menutup lembaran-lembaran ceritera tentang hidup seorang hamba yang setia. Panembahan, umurku pun sudah terlalu tua. Aku sudah terlalu lama hidup tanpa ujung pangkal. Maka sepeninggal Panembahan, maka rasa-rasanya hidup pun tidak akan berarti lagi. Karena itu maka aku memang ingin mengakhiri hidup ini dengan cara sebagai seorang prajurit yang mati di medan perang.”
“Tidak ada orang yang dapat membunuhmu kecuali Pangeran Singa Narpada dan Mahendra itu bersama-sama sebagaimana dilakukan atas diriku,“ berkata Panembahan itu semakin lemah.
Permita tidak menyahut lagi. Tetapi ia bergeser semakin mendekat. Ditatapnya wajah yang menjadi semakin pucat serta nafas yang semakin sendat.
Tetapi ternyata bahwa Pangeran Gagak Branang itu masih belum sampai pada batas terakhir. Ia masih tetap bernafas meskipun keadaannya menjadi sangat parah. Bahkan Permita telah menyangka bahwa sebelumnya Pangeran Gagak Branang itu telah meninggal. Namun ternyata belum.
Namun justru karena itu, maka Pangeran Gagak Branang itu akan menjadi persoalan baginya. Jika ia melakukan tugas Pangeran Singa Narpada, maka ia harus meninggalkan Pangeran Gagak Branang dalam keadaan yang payah. Ki Permita tidak dapat sekedar merenungi keadaan itu. Karena itu ia harus mengatakannya kepada Pangeran Singa Narpada apabila ia sudah siap untuk berangkat.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Pangeran Singa Narpada maka Pangeran Singa Narpada tidak mengabaikannya. Pangeran Gagak Branang memang memerlukan perawatan, sementara itu ia tidak dapat terlalu lama menunggu sehingga orang-orang yang harus mereka cari akan bersembunyi semakin jauh.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun kemudian bertanya kepada Ki Permita, “Bagaimana menurut pertimbanganmu?”
“Memang harus ada orang khusus yang merawatnya,“ berkata Ki Permita, “sebenarnya orang yang paling tepat adalah aku. Tetapi Pangeran telah memerintahkan aku untuk mencari orang-orang yang telah melarikan diri dari padepokan ini.”
“Jadi, bagaimana sebaiknya? Tugasmu diurungkan?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak Pangeran. Biarlah aku bertanya kepada Pangeran Gagak Branang, apa yang dikehendakinya,“ jawab Ki Permita.
“Jika pamanda Gagak Branang menghendaki kau tinggal, maka aku sama sekali tidak berkeberatan kau tinggal,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Mahendra telah berkata, “Pangeran. Jika Pangeran Gagak Branang setuju, aku bersedia merawatnya, selama Ki Permita melakukan tugasnya.”
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjawab, “Aku akan bertanya kepada Pangeran Gagak Branang.”
Seperti yang dikatakannya, maka Ki Permita pun telah menemui Pangeran Gagak Branang yang terbaring di sebuah amben di dalam barak yang tidak lagi dihuni oleh orang lain. Ternyata Pangeran Gagal Branang tidak menolak. Apalagi ketika ia mendapat keterangan bahwa Mahendra adalah salah seorang dari kedua orang yang telah membentur ilmunya.
“Ia adalah orang yang luar biasa sebagaimana Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku akan merasa beruntung sekali jika ia bersedia mengawani aku di sini.”
Demikianlah, maka pada saatnya Ki Permita itu pun telah minta diri untuk melakukan tugasnya. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah serta pasukannya masih tetap berada di padepokan itu untuk beberapa saat lamanya.
Seperti yang disanggupinya, maka Mahendra lah yang kemudian merawat Pangeran Gagak Branang yang tua dan lemah. Yang kadang-kadang menjadi sangat gawat sehingga nampaknya tidak ada lagi harapan baginya untuk bertahan sampai sepenginang. Namun ternyata bahwa segala dugaan telah keliru. Pernafasan Pangeran Gagak Branang menjadi teratur kembali dan keadaannya pun berangsur baik.
Ternyata bahwa Mahendra berusaha untuk merawat Pangeran Gagak Branang sebaik-baiknya. Ia sama sekali tidak memberikan kesan bahwa mereka pernah berhadapan sebagai lawan yang mempertaruhkan hidup mati mereka. Namun sebaliknya Pangeran Gagak Branang pun tidak lagi menganggap Mahendra sebagai musuhnya.
Dalam pergaulan mereka yang semakin akrab, maka Pangeran Gagak Branang telah menganggap Mahendra sebagai sahabatnya. Bahkan Pangeran Gagak Branang itu pun mulai tertarik kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak Mahendra yang memiliki kemampuan yang tinggi pada usianya yang masih muda.
“Aku telah mendengar tentang anak-anakmu itu Mahendra,“ berkata Pangeran Gagak Branang.
“Mereka memang mulai belajar tentang olah kanuragan,“ berkata Mahendra, “tetapi mereka tidak termasuk anak-anak yang cerdas.”
“Kau merendahkan diri,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku tahu, anak-anakmu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Sebelum kau datang, anak-anakmu telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang sebenarnya terlalu berat bagi anak-anak muda sebayanya.”
“Pangeran memuji,“ desis Mahendra.
Pangeran Gagak Branang tersenyum. Namun ia pun kemudian terdiam. Seperti sering dilakukan, maka ia pun kemudian telah merenung. Seakan-akan dipandanginya satu masa yang tidak dapat disebutkan. Mungkin ia sedang menerawangi satu kenangan atau mungkin bahkan ia sedang menyesali keadaannya, atau mengangankan masa depan yang mungkin akan dialaminya.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahendra mampu menempatkan dirinya sebagai sahabat Pangeran Gagak Branang. Sehingga dengan demikian sepeninggal Ki Permita, Pangeran Gagak Branang tidak merasa sendiri, tanpa orang lain.
Sementara itu, Ki Permita telah meninggalkan padepokan itu. Sebenarnya ia pun tidak begitu pasti, ke mana orang-orang itu pergi. Namun ia mempunyai beberapa dugaan, tempat-tempat yang mungkin didatangi oleh para pemimpin padepokan itu yang melarikan diri, sehingga tempat-tempat itu akan dapat dijadikan sasaran utama dalam melaksanakan tugasnya.
Namun demikian, di sepanjang jalan, Ki Permita mencoba untuk mendengarkan pembicaraan orang atau justru ia telah bertanya-tanya apakah ada orang yang sempat melihat kelompok kecil yang lewat di padukuhan mereka atau bahkan kepada para penjual di kedai, mungkin sekelompok orang telah singgah di kedai itu.
Meskipun tidak banyak orang yang bersedia memberikan keterangan, karena takut terlibat dalam satu tindak kekerasan, namun ada juga yang tidak dengan maksud sesuatu, menunjukkan, sekelompok orang yang pernah lewat di padukuhan mereka, atau singgah di kedai mereka. Sehingga dengan demikian, meskipun agak sulit, namun Ki Permita akhirnya yakin bahwa sekelompok kecil orang-orang itu telah menuju ke sebuah padepokan lain yang juga pernah dikenalnya.
Namun Ki Permita itu kadang-kadang menjadi berdebar-debar. Jika ia harus menghadapi orang padepokan, maka ia tentu akan melakukan sesuatu yang dicemaskannya dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang. Tetapi untuk menenangkan hatinya sendiri ia berkata, “Tetapi sasarannya memang berbeda. Pangeran Gagak Branang akan melakukannya atas para prajurit yang sedang mengemban tugas, sedangkan aku jika terpaksa akan melakukannya atas orang-orang yang sedang memberontak terhadap pemerintah.”
Namun Ki Permita tetap berkeinginan bahwa segalanya akan dapat diselesaikan tanpa kekerasan, tanpa korban dan akan dicapainya dengan tuntas.
Sementara Ki Permita menelusuri jalan yang dilalui oleh para pemimpin padepokan yang melarikan diri, maka keadaan Pangeran Gagak Branang menjadi semakin tidak menentu. Kadang-kadang keadaannya nampak sulit sekali. Nafasnya bagaikan tidak dapat lagi mengalir. Namun kadang-kadang keadaannya nampak baik dan bahkan semakin segar. Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Gagak Branang telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan Mahendra. Dengan suara yang bergetar Pangeran itu berkata,
“Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra. Sebagaimana kalian lihat, keadaanku ternyata sangat sulit. Aku seperti berdiri di sebuah pintu. Sekali aku didorong untuk masuk, namun kadang-kadang aku telah terlempar lagi keluar.”
Pangeran Singa Narpada yang duduk dekat dengan Pangeran Gagak Branang itu kemudian berkata, “Bagaimana maksud pamanda. Apakah pamanda ingin melakukan samadi agar keadaan pamanda menjadi semakin baik? Jika memang pamanda kehendaki, maka biarlah aku dan Mahendra menolong pamanda. Keadaanku dan Mahendra sudah berangsur baik, dan bahkan justru telah pulih kembali.”
“Aku memang sudah menduga,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “tetapi nampaknya keadaanku tidak akan menjadi baik. Aku sudah terlalu tua dan wadagku seperti ini tidak akan dapat lagi mendukung ilmuku seandainya aku masih mungkin menyelamatkannya.”
“Jadi bagaimana maksud pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Singa Narpada. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui. Bahwa apapun yang terjadi atas diriku, aku tidak akan mati. Seandainya kalian berdua, dalam kemampuan sepenuhnya seperti sekarang ini menyerang aku, aku memang akan semakin hancur. Tetapi aku tidak akan mati. Bahkan justru semakin tersiksa. Tubuhku menjadi semakin rusak. Namun nyawaku akan tetap berada di dalamnya dengan semua penanggungan.”
“Kenapa Pangeran tidak dapat mati?“ bertanya Mahendra.
“Itulah yang ingin aku pecahkan,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “semula aku merasa bangga akan kekebalan itu. Tetapi pada saat seperti ini, maka kematian adalah satu-satunya jalan yang paling baik bagiku untuk melepaskan diri dari penderitaan ini.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia dapat mengerti, bahwa kematian memang merupakan pelepasan terbaik bagi Pangeran Gagak Branang.
“Singa Narpada, kau jangan merasa segan untuk membenarkan kata-kataku,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku memerlukan pertolonganmu.”
“Apa yang dapat kami lakukan pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Carilah seutas lawe.”
“Lawe?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya, lawe. Kemudian usahakan agar kau dapat melakukan sesuatu untuk melepaskan penderitaan ini,“ berkata Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah memerintahkan kepada Akuwu Lemah Warah untuk mengusahakan seutas lawe. “Jika perlu, pergi ke padukuhan,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Sementara prajurit Lemah Warah mencari seutas lawe, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, “Singa Narpada. Ada sesuatu lagi yang ingin aku beritahukan. Dalam keadaan yang parah ini, masih ada yang dapat aku berikan kepada seseorang. Mungkin kau atau Ki Mahendra atau kedua-duanya. Kalian adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan sisa ilmu yang ada padaku, maka kalian akan memiliki ilmu yang lebih baik lagi.”
“Tetapi dengan akibat, tidak dapat mati sebagaimana pamanda sekarang ini?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak Singa Narpada,“ jawab Pangeran Gagak Branang, “bahwa aku terlepas dari kematian bukan karena ilmu itu. Tetapi karena ilmu yang lain.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bertanya, “Pamanda. Apakah ada syaratnya bagi seseorang yang harus menerima ilmu itu?”
“Memang ada,“ jawab Pangeran Gagak Branang, “yang akan menerima ilmu itu harus orang-orang yang memang sudah berilmu, ia memiliki wadag yang kuat untuk mendukung kemampuan yang timbul karena ilmu itu. Selanjutnya, penilaian tentang watak dan tingkah laku.”
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada lah yang bertanya, “Bagaimanakah dasar penilaian tentang watak dan tingkah laku?”
Pangeran Gagak Branang yang nafasnya terasa menjadi sesak berkata, “Penilaian watak dan tingkah laku tergantung orang yang memiliki ilmu itu untuk menentukan apakah seseorang dianggap pantas untuk menerimanya.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk . Namun kemudian katanya, “Pamanda. Kami berdua sudah menjadi semakin tua. Sebentar lagi kami berdua akan segera menyusul sebagaimana keadaan pamanda sekarang. Karena itu seandainya ilmu itu pamanda berikan kepada kami berdua, maka agaknya tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan.”
“Bukankah kalian akan dapat mewariskannya kepada orang-orang yang kalian percaya?“ berkata Pangeran Singa Narpada. “Sementara itu, kau memiliki syarat yang paling baik untuk menerima ilmu ini. Kau mampu menghisap ilmu orang lain sehingga akan berarti bagi dirimu sendiri.”
“Tidak pamanda. Aku hanya mampu memperlemah ilmu orang lain, tetapi tidak menghisapnya dan memberikan arti bagi kemampuanku,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Kau sudah berdiri di ambang pintu. Kau tinggal melangkah satu langkah lagi untuk sampai pada kemampuan itu,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jika pada saat kau mengetrapkan ilmumu itu kau sertai dengan laku yang lain, maka kau akan sampai pada kemampuan itu.”
“Apakah yang harus aku lakukan seandainya aku bersedia menerima ilmu pamanda,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran. Kau sampai saat ini masih membenturkan kekuatan dan kemampuan ilmumu sekaligus dan bersama-sama. Yang terjadi dalam pergolakan ilmu itu adalah, bahwa ilmumu justru telah menyusup ke dalam tubuh lawanmu, baru terjadi penyusutan kemampuan lawanmu karena getaran ilmumu yang telah membekukan sebagian dari ilmu lawanmu di dalam tubuh mereka. Jadi yang terjadi bukannya satu kemampuan untuk menghisap ilmu lawanmu.“
“Hamba mengerti pamanda. Tetapi istilah yang paling mudah dipergunakan adalah menghisap ilmu lawan sebagaimana dipergunakan oleh banyak orang. Mereka menuduh aku mempergunakan ilmu yang licik, karena aku telah mencuri kemampuan lawan dengan diam-diam.“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Mungkin istilah itu dapat saja dipergunakan, karena yang terjadi memang seolah-olah demikian,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “namun untuk memiliki ilmuku kau dapat berbuat lain. Kau harus benar-benar menghisap. Kau trapkan ilmumu, tetapi tidak dengan kekuatan benturan. Kau justru harus membiarkan kekuatan lawan menusuk ke dalam dirimu, kemudian kau terima dan kau hisap ke dalam ruang penempatan ilmumu yang tidak terbatas. Kau biarkan getaran itu bergejolak di dalam dirimu, namun kau siapkan daya tahanmu untuk melindungi dirimu jika ilmumu itu ternyata kurang mampu mewadahi luap getaran ilmu yang akan kau terima itu. Karena itu, untuk menerima ilmuku, seseorang memang harus sudah memiliki ilmu yang tinggi, sehingga luapan kemampuan ilmu ini dapat di atasi dengan kemampuan daya tahan yang cukup besar.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dipandanginya Mahendra sejenak. Kemudian hampir berbisik Pangeran Singa Narpada berkata, “Bagaimana dengan kedua anakmu. Aku kira itu akan lebih baik daripada jika kita yang tua-tua ini yang akan menerimanya.”
Mahendra nampak ragu-ragu. Namun dalam pada itu Pangeran Gagak Branang mendengar pertanyaan itu betapapun lambatnya. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Siapakah yang kau maksud?”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mendapat laporan tentang kedua anak muda itu. Dan aku pun telah melihat pula meskipun tidak dengan mata wadagku bagaimana ia bertempur. Nampaknya anak-anak itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi, sementara itu aku mempunyai penilaian yang baik bagi watak dan tingkah lakunya. Dalam usianya yang masih sangat muda mereka telah melakukan satu tugas dengan penuh tanggung jawab tanpa menghiraukan taruhannya yang sangat besar, yaitu nyawa mereka sendiri. Bahkan mereka telah mampu mengalahkan orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.”
“Jadi bagaimana menurut pamanda Pangeran, jika aku mengusulkan agar ilmu itu dapat disalurkan kepada kedua anak muda yang masih akan memiliki masa depan yang panjang itu?”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya memang benar-benar sudah menjadi kian parah. Namun ia masih berkata, “Bawa anak itu kemari!”
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberi isyarat kepada Mahendra untuk menghadapkan kedua anak laki-lakinya. Namun bagaimanapun juga terbersit keragu-raguan di hati Mahendra. Yang akan dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jika kedua anaknya tidak mampu menerima dan mengisap dan meluluhkannya di dalam dirinya, serta ternyata daya tahannya tidak dapat mengatasi luapan ilmu itu maka ilmu itu justru akan membahayakannya.
Apalagi apabila dalam keadaan yang gawat itu. Pangeran Gagak Branang sengaja menyeret orang lain untuk menyertainya memasuki dunia langgengnya. Namun ketika Pangeran Singa Narpada memandanginya dengan tatapan mata yang meyakinkan, maka ia pun telah melakukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih belum menentukan sikapnya, apakah ia dapat menerimanya atau tidak. Mereka ingin melihat dan mengalami satu pengalaman batin selama bersentuhan dengan sikap Pangeran Gagak Branang.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di sisinya, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata dengan suara yang bergetar, “Anak-anak muda. Kita bertemu dalam satu arena pertempuran dan kebetulan kita berdiri berseberangan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Gagak Branang berkata selanjutnya, “Tetapi itu bukan merupakan hambatan bagiku untuk melihat watak dan sikap kalian menghadapi keadaan. Menurut penglihatanku, baik penglihatan kewadagan maupun penglihatan khusus, kalian berdua merupakan anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kepercayaan. Kalian berdua telah menjalankan tugas kalian dengan sebaik-baiknya. Penuh tanggung jawab dan mempertaruhkan hidup dan mati meskipun kalian masih sangat muda. Kalian berpegang pada keyakinan dan tanpa mengenal gentar dan takut menghadapi apapun juga. Karena itu, maka aku berpendapat, bahwa kalian adalah orang yang pantas untuk mendapat kesempatan mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi hampir berbareng mereka berpaling kepada ayahnya. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun menilik sikap dan kata-kata Pangeran Gagak Branang, rasa-rasanya Mahendra mempercayainya bahwa ia tidak akan mencelakakan kedua anaknya.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, “Anak-anak muda. Apakah kalian bersedia menolongku?”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Apa yang dapat aku lakukan?”
“Mengurangi bebanku menjelang kematianku,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “ternyata ketamakanku telah menjeratku dalam keadaan seperti ini di saat terakhirku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu. Karena itu Pangeran Gagak Branang masih harus menjelaskan, “Tetapi ilmu ini bukan penghambat utama. Jika aku melepaskannya, maka sekedar akan mengurangi beban. Tanpa ilmu yang menurut dugaanku akan dapat memberikan kebanggaan, kebahagiaan dan kelebihan dari semua orang, maka aku tidak akan mengalami kesulitan seperti ini. Aku dapat melepaskan ilmu yang akan aku wariskan kepada kalian tanpa orang lain. Tetapi yang satu itu tidak. Harus ada orang yang menolongku. Sementara aku dibebani oleh perasaan sayang untuk membuang begitu saja sesuatu yang mungkin akan berarti bagi orang lain. Bahkan akan berarti bagi kehidupan yang lebih luas. Jauh lebih besar artinya daripada semasa ilmu itu ada padaku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka masih saja mengharapkan petunjuk dari ayahnya. Sementara Mahendra pun seolah-olah minta pertimbangan kepada Pangeran Singa Narpada. Baru kemudian Pangeran Singa Narpada mengangguk kecil, sehingga dengan demikian sudah ada isyarat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah sebaiknya yang harus mereka lakukan.
“anak-anak muda,“ berkata Pangeran Gagak Branang dengan suara bergetar, “katakanlah. Apakah kau siap untuk mewarisi ilmuku? Baiklah aku beritahukan, apa yang dapat kau sadap dari aku. Sebenarnya bukan satu ilmu yang terpisah dari diriku dan dari diri mereka yang akan mewarisinya. Ilmu itu adalah satu alas yang akan meningkatkan apa yang sudah ada di dalam diri masing-masing. Kau tidak akan mendapatkan sesuatu yang baru.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka kecemasan mereka pun menjadi semakin susut. Getaran yang akan menyusup ke dalam diri anak-anak muda itu tidak akan mengalami benturan-benturan yang keras dengan apa yang telah ada di dalam diri kedua anak muda itu.
“Nah, katakanlah,“ desis Pangeran Gagak Branang, “apakah kalian bersedia menerimanya, atau jika tidak, biarlah ilmu itu aku tumpahkan dan kehilangan arti sama sekali, meskipun sebenarnya masih akan dapat berarti bagi kehidupan ini sesuai dengan pengabdian mereka yang memilikinya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak ragu-ragu. Namun Pangeran Singa Narpada sekali lagi memberikan isyarat kepada kedua anak itu dan kepada Mahendra. sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berkata hampir bersamaan, “Baiklah Pangeran.”
“Ya Pangeran,“ jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Kalian akan segera mendapatkannya. Ilmu itu sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Ilmu itu adalah ilmu yang mendukung ilmuku yang lain. Tetapi dalam benturan ilmu yang terjadi, maka ilmuku yang didukung oleh alas kekuatan itu tidak lagi memiliki kemampuan. Sehingga betapapun besarnya kekuatan yang mendukungnya sudah tidak akan ada artinya lagi,“ berkata Pangeran Gagak Branang. “namun aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk menyusupkan getaran kekuatan ilmu itu ke dalam tubuh kalian, sehingga kalianlah yang harus menghisapnya daripadaku. Aku sudah mengetahui bahwa kalian berdua telah memiliki ilmu itu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu untuk selanjutnya, biarlah Pangeran Singa Narpada memberikan petunjuk laku kepada kalian.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia-pun kemudian telah memberikan beberapa petunjuk kepada kedua anak muda itu sebagaimana Pangeran Gagak Branang memberikan petunjuk.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang pun berkata, “Kita akan segera mulai jika lawe itu sudah ada.”
Mahendra lah yang kemudian menghubungi Akuwu Lemah Warah. Ternyata bahwa seorang di antara prajuritnya telah mendapatkan lawe itu di padukuhan, meskipun hanya beberapa depa saja.
Ketika kemudian lawe itu dibawa kepada Pangeran Gagak Branang, maka katanya, “Lingkarkan lawe itu pada lambungku.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun ia-pun kemudian mengikuti apa yang dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang. Dilingkarkannya lawe itu di lambung Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Gagak Branang pun kemudian berkata, “Terima kasih. Sekarang, biarlah kedua anak muda itu mengambil ilmu itu daripadaku. Tetapi Pangeran Singa Narpada, kau harus selalu mendengarkan kata-kataku. Pada saatnya kau harus menolongku melepaskan nyawaku yang terikat oleh wadagku yang telah tidak memadai lagi. Ternyata bahwa apa yang aku anggap akan dapat memberikan aku kebahagiaan tanpa batas itu justru telah menyiksaku. Karena ternyata kematian memang tidak akan dapat dihindari oleh siapapun.”
Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat sambil menyahut, “Baiklah pamanda. Aku akan mengikuti segala perintah pamanda. Tetapi pamanda jangan menganggap bahwa aku memang menghendaki kematian pamanda.”
“Tidak Pangeran. Aku sadar sepenuhnya, bahwa aku sendirilah yang menghendakinya. Kau justru akan menolongku untuk melakukannya,“ jawab Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Gagak Branang mengangguk kecil. Kemudian katanya, “sekarang sudah waktunya anak-anak muda itu mengambil ilmu itu.”
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya pun sudah mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu yang tersisa di dalam tubuh Pangeran Gagak Branang yang sudah menjadi sangat lemah. Kedua anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat.
Pangeran Gagak Branang yang lemah itu pun telah mengulurkan kedua tangannya sambil berkata, “Pegang tanganku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tanggap. Keduanya memegang tangan Pangeran Gagak Branang sebelah menyebelah.
“Anak-anak,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “Sekarang pusatkan segala kemampuanmu pada ilmu yang pernah kau miliki sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa Narpada. Lakukan petunjuk yang telah diberikan kepadamu oleh Pangeran Singa Narpada itu. Aku telah siap untuk melepaskannya. Kerahkan semua kemampuan yang ada padamu. Dan kerahkan daya tahan yang kalian miliki, sehingga seandainya kekuatan getaran ilmuku yang terhisap di dalam tubuhmu dan terjadi sengatan pada bagian dalam tubuhmu oleh limpahan kekuatan ilmuku, maka kau tidak akan mengalami sesuatu. Kemudian ilmu yang terhisap ke dalam kekuatan serta kemampuan ilmumu itu akan menjadi landasan peningkatan kemampuan ilmumu selanjutnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka pun telah mempersiapkan segenap kemampuannya daya tahan untuk melindungi isi dada mereka andaikata getaran yang terjadi di dalam dada mereka mengguncangkan isinya, oleh luapan kekuatan yang ternyata terlalu besar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan ilmu mereka. Seperti yang dikatakan dalam petunjuk yang diberikan oleh Pangeran Singa Narpada, maka keduanya dalam mengetrapkan ilmunya tidak mempergunakan kekuatan benturan wadag mereka. Mereka justru berusaha untuk melepaskan getaran yang terjadi menusuk ke dalam tubuh mereka.
Demikianlah telah terjadi gejolak di dalam diri Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka merasakan arus yang deras mengalir ke dalam diri mereka. Arus yang seakan-akan tidak terbendung. Getaran itu semakin lama menjadi semakin keras mengguncang isi dada mereka, sehingga isi-dada kedua anak muda itu pun mulai terasa pedih. Namun kedua anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan daya tahan mereka, sehingga dengan demikian mereka masih mampu mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra yang menyaksikan peristiwa itu menjadi berdebar-debar. Dengan cemas keduanya memandang setiap perubahan pada wajah kedua anak muda itu. Keringat nampaknya mulai membasahi tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan kemudian tubuh mereka pun telah menjadi bergetar pula. Mahendra benar-benar menjadi cemas. Tetapi segalanya sedang berlangsung, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun demikian Mahendra telah bergeser mendekat. Dalam keadaan yang gawat ia akan dapat membantu menyalurkan kekuatan ke dalam tubuh kedua anaknya, untuk ikut serta mendukung beban yang mengalir dari diri Pangeran Gagak Branang ke dalam diri kedua anaknya.
Bahkan Pangeran Singa Narpada pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah bergeser mendekat, siap untuk memberikan bantuan jika ternyata kemampuan kedua anak muda itu tidak dapat menampung ilmu yang ingin mereka warisi dari Pangeran Gagak Branang.
Keduanya semakin berdebar-debar ketika mereka melihat wajah kedua anak muda itu menjadi semakin pucat, sementara keringat mereka telah membasahi tubuh mereka bagaikan orang yang sedang mandi.
Debar di dalam dada Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin memukul-mukul jantung. Namun mereka masih tetap menunggu. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menyaksikan kedua anak muda masih duduk sambil memegangi tangan Pangeran Gagak Branang sebelah menyebelah.
Namun kedua orang itu benar-benar menjadi sangat cemas ketika mereka melihat, kepala Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun tertunduk dalam-dalam, seolah-olah tulang lehernya telah patah. Mahendra bergeser setapak mendekat. Namun kemudian ia mendengar Pangeran Gagak Branang itu berdesis. Bahkan kemudian seakan-akan Pangeran itu telah mengerang.
“Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada kemudian. Erangan itu menjadi semakin jelas. Sementara Pangeran Singa Narpada telah bergeser semakin dekat.
“Singa Narpada,“ terdengar suara Pangeran Gagak Branang lambat sekali.
“Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada.
Wajah Pangeran Gagak Branang pun menjadi sangat pucat pula. Nafasnya terengah-engah dan suaranya menjadi sangat lambat, “Singa Narpada. Anak-anak itu telah berhasil menghisap seluruh kekuatan ilmu itu daripadaku. Bagaimana keadaan mereka sekarang?”
Pangeran Singa Narpada memandang kedua anak muda yang duduk dengan kepala yang terkulai lemah. Bahkan kemudian seakan-akan dari ubun-ubun mereka nampak asap yang tipis menguap perlahan-lahan. “Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada, “aku akan mencoba melihatnya.”
“Lihatlah keadaannya. Bantulah jika mereka memerlukannya,“ desis Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian mendekati Mahisa Pukat, sementara Mahendra berada di dekat Mahisa Murti. Namun meskipun kedua anak muda itu menjadi sangat sulit. Namun keduanya masih mampu berusaha untuk mengatasi kesulitan didalam diri mereka. Dengan segenap kekuatan tenaga cadangan mereka, maka mereka telah mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka oleh luapan ilmu Pangeran Gagak Branang yang mereka hisap itu. Mereka pun telah berusaha mengatur pernafasan mereka untuk meredakan gejolak getaran didalam dada mereka serta untuk mengatur agar peredaran darah mereka menjadi wajar kembali. Meskipun perlahan-lahan agaknya keduanya akan mampu mengatasinya tanpa bantuan orang lain.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun telah bergeser kembali mendekati telinga Pangeran Gagak Branang yang terbaring diam. “Pamanda,“ berkata Pangeran Singa Narpada di telinga pamandanya, “mereka dalam keadaan baik meskipun mengalami kesulitan. Namun agaknya mereka akan mampu mengatasinya.”
“Syukurlah,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku memang sudah menduga, bahwa keduanya akan mampu mengatasinya sendiri.“ Pangeran Gagak Branang berhenti sejenak.
Kemudian, “Dengar Singa Narpada. Kedua anak itu akan menjadi dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu mereka yang memang sudah cukup tinggi, akan terangkat ke atas alas yang dihisapnya daripadaku. Sejenis ilmu yang tidak berdiri sendiri, tetapi menopang ilmu yang telah ada didalam dirinya. Namun pesanku kepadamu, sampaikan kepada anak-anak itu, bahwa mereka harus menyadari kegunaan ilmu itu. Ilmu itu merupakan ungkapan dari keyakinannya yang dapat memberikan arti bagi sesamanya sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha Agung. Kau dapat mengatakan kepada mereka, bahwa aku bukan contoh yang baik dari seseorang yang memiliki ilmu itu, karena aku hanya sekedar berpegang pada keyakinanku sendiri. Sementara itu, ada keyakinan lain yang berbeda dengan keyakinanku. Memang sulit untuk menyebutkan kebenaran yang mutlak sehingga kadang-kadang kita merasa diri kita adalah yang paling benar tanpa menghiraukan kebenaran bagi orang lain.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk sambil berkata, “Aku akan menyampaikannya pamanda. Aku yakin bahwa kedua anak itu pada dasarnya memang berpegang kepada satu keyakinan untuk dapat memberikan arti hidup mereka bagi sesama sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha Agung. Sebagaimana selalu dilakukan oleh ayah mereka serta saudara tua mereka, Mahisa Bungalan. Juga paman-paman mereka, yang dikenal dengan Mahisa Agni dan Witantra.”
Wajah Pangeran Gagak Branang nampak berkerut. Dengan nada lemah ia berkata, “Jadi keduanya mempunyai sangkut paut dengan kedua orang yang pernah berada di Kediri atas nama kuasa Tumapel itu?”
“Maksud pamanda, Singasari?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tumapel,“ ulang Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “benar pamanda, keduanya adalah kemanakan kedua orang itu.”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kagum kepada keduanya meskipun aku tidak sependapat dengan keyakinannya. Dengan demikian, maka aku yakin, bahwa kedua anak muda itu akan dapat memanfaatkannya bagi sesama jika kita dapat melupakan keyakinan pribadi tentang Tanah Tumpah Darah itu.”
“Ya pamanda,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “aku pun berharap demikian.”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dalam sekali. “Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang kemudian, “sekarang telah sampai waktunya. Aku tidak perlu menunggu Permita. Tolong, bantu aku.”
“Apa yang harus aku lakukan pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “waktu itu memang sudah tiba. Wadagku telah tidak lagi mampu mendukung keinginanku yang melonjak menggapai langit. Karena itu, maka aku tidak akan hidup lebih lama lagi.”
Nafas Pangeran Gagak Branang menjadi semakin terengah-engah. Dengan suara yang sendat ia melanjutkan, “Tolonglah aku Singa Narpada. Lingkarkan Lawe itu pada lambungku. Kemudian tarik ujung yang berada di sebelah kiri dari arahku. Perlahan-lahan, jangan sampai putus. Jika lawe itu putus, kau akan semakin menyiksaku.”
“Untuk apa paman?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tolonglah, lakukanlah dengan hati-hati,“ berkata Pangeran Gagak Branang kemudian.
Pangeran Singa Narpada menjadi termangu-mangu. Namun ia pun kemudian telah berdiri, melingkarkan lawe itu pada lambung Pangeran Gagak Branang dalam lingkaran penuh. Kemudian, seperti dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka Pangeran Singa Narpada perlahan-lahan telah menarik tali itu dari arah kiri Pangeran Gagak Branang.
Demikian perhatian Pangeran Singa Narpada sepenuhnya tertuju kepada benang lawe yang ditariknya perlahan-lahan itu, sehingga ia tidak sempat memperhatikan Pangeran Gagak Branang sendiri. Seperti dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka lawe itu jangan sampai putus, karena jika lawe itu putus, maka keadaan Pangeran Gagak Branang akan menjadi semakin buruk.
Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru menahan nafas. Demikian pula Mahendra yang menyaksikannya. Keringat dingin telah mengalir di punggungnya. Bahkan Mahendra tidak lagi memperhatikan kedua anaknya yang sedang berjuang untuk memperbaiki keadaannya. Ujung lawe itu pun mulai bergerak dan hilang di balik punggung. Tangan Pangeran Singa Narpada pun menjadi gemetar. Tetapi karena ia cukup berhati-hati, maka akhirnya ia berhasil menarik lawe itu ke kiri dari arah Pangeran Gagak Branang dengan baik. Benang lawe itu tidak putus sama sekali.
Pangeran Gagak Branang tidak menjawab. Bahkan ketika Pangeran Singa Narpada memperhatikannya, ia pun menjadi berdebar-debar. Kedua tangan Pangeran Gagak Branang itu bersilang di dadanya. Matanya terpejam dan mulutnya sedikit menyungging senyum.
“Pamanda,“ panggil Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang sama sekali tidak menjawab. Mahendra pun telah bergeser mendekat. Namun kemudian dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang termangu-mangu. Dengan nada datar Mahendra berkata, “Pangeran Gagak Branang sudah sampai kepada batas kematiannya. Pangeran Singa Narpada agaknya telah menjadi lantaran.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Pamanda ternyata telah bebas dari penderitaan kewadagannya. Mudah-mudahan pamanda menemukan jalan lurus di dunia abadinya.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Pangeran Gagak Branang terbujur lurus di pembaringannya. Seperti yang dikatakannya ia tidak menunggu hamba setianya yang sedang bertugas untuk menyelesaikan persoalan Kediri dengan para penghuni padepokan itu yang ternyata berada di bawah pengaruh Pangeran Gagak Branang yang dipanggil Panembahan oleh orang-orang padepokan itu.
Dalam pada itu, maka perhatian Mahendra dan Pangeran Singa Narpada kembali kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Nampaknya perlahan-lahan keduanya mampu mengatasi persoalan di dalam diri mereka, sehingga keduanya telah mengangkat kepala mereka yang seakan-akan terkulai pada lehernya tanpa kekuatan sama sekali. Bahkan kedua anak muda itu telah nampak menguasai diri mereka sepenuhnya. Pernafasan mereka telah semakin teratur dan darah pun telah mengalir dengan wajar.
Tetapi untuk beberapa saat Mahendra dan Pangeran Singa Narpada membiarkan kedua orang anak muda itu menyelesaikan laku yang baru mereka jalani. Ternyata beberapa saat kemudian, keduanya telah merasa bahwa mereka telah berhasil. Namun ternyata bahwa keadaan mereka masih terlalu lemah. Urat-urat mereka rasa-rasanya tidak mempunyai tenaga sama sekali, sementara persendian mereka rasa-rasanya telah terlepas satu sama lain.
Namun demikian Mahendra telah menyapa mereka, “Bagaimana keadaan kalian?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Atas doa ayah dan restu Pangeran Singa Narpada, aku telah berhasil.”
“Dan kau?“ bertanya Mahendra kepada Mahisa Pukat.
“Aku juga telah berhasil ayah,“ jawab Mahisa Pukat yang masih sangat lemah.
“Syukurlah,“ berkata Mahendra, “sekarang perhatikan. Inilah keadaan Pangeran Gagak Branang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memperhatikan Pangeran Gagak Branang yang terbaring diam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Apakah karena aku dan Mahisa Pukat berusaha mewarisi ilmunya maka Pangeran Gagak Branang telah meninggal?”
“Tidak. Sama sekali tidak,“ jawab Pangeran Singa Narpada dengan serta merta, “pamanda Pangeran Gagak Branang telah menunjuk sendiri jalan kematiannya.”
Sambil menunjukkan benang lawe di samping tubuh Pangeran Gagak Branang Pangeran Singa Narpada berkata, “benang itulah yang telah membunuhnya. Akulah yang menjadi perantara, mengantar pamanda Pangeran menjelang hari-hari tanpa akhir.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengerti. Namun ayahnya berkata, “Memang sulit bagi kalian untuk mengerti. Apalagi kalian yang sedang menjalani laku. Aku, yang menyaksikan apa yang terjadi tidak juga dapat mengerti dengan jelas apa yang terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak termangu-mangu, sehingga Pangeran Singa Narpada perlu menjelaskan, “Jangan merasa bersalah. Sudah aku katakan, bukan kalian yang telah menyebabkan Pangeran Gagak Branang meninggal.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun wajah mereka masih menunjukkan keragu-raguan.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah menyerahkan tubuh Pangeran Gagak Branang kepada Akuwu Lemah Warah, agar memerintahkan para prajuritnya untuk menyelenggarakannya sebaik-baiknya tanpa menunggu Ki Permita.
“Kita akan memberikan penghormatan yang terakhir,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “lepas dari keyakinan pamanda yang menyimpang menurut penilaian kami, tetapi pamanda adalah seorang prajurit linuwih.”
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah telah menyelenggarakan tubuh Pangeran Gagak Branang yang mendapat penghormatan dari semua orang yang masih berada di padepokan itu. Mereka tidak menunggu kedatangan hamba yang setia, Ki Permita yang sedang menjalankan tugas khususnya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih lemah telah mendapat pengamatan dan perlindungan dari ayahnya, Mahendra dan Pangeran Singa Narpada. Namun ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mengganggu mereka. Setelah segalanya selesai, maka barulah mereka mendapat kesempatan untuk duduk dan menilai apa yang telah terjadi.
Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura yang mengetahui tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berjuang untuk mewarisi ilmu Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk dengan bangga. Dengan tulus Akuwu Lemah Warah berkata, “Kalian akan menjadi anak-anak muda yang jarang ada bandingnya. Berbagai ilmu telah kalian warisi, sehingga dengan demikian maka untuk menghadapi masa depan, kalian telah membawa bekal yang cukup lengkap.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa orang-orang yang berkumpul itu telah pernah memberikan sesuatu kepada mereka berdua. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
Karena itu, maka bagi Pangeran Singa Narpada orang itu tentu sangat berharga. Namun Pangeran Singa Narpada pun menyadari bahwa orang itu berilmu sangat tinggi, sehingga mungkin justru bukan orang itulah yang ditangkapnya hidup-hidup, tetapi justru Pangeran Singa Narpada sendiri.
Tetapi sebagai seorang prajurit, andai kata Pangeran Singa Narpada harus mati di medan perang pun ia tak akan menyesal. Kemungkinan yang demikian sudah diperhitungkannya sejak ia menyatakan diri sebagai seorang prajurit. Apalagi seorang Senopati. Karena itu, maka ia pun telah bertekad untuk menangkap orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu hidup-hidup, meskipun nampaknya hal itu sangat mustahil.
Di luar sadarnya, dipandanginya Mahendra yang juga sudah bersiap. Meskipun keduanya tidak pernah membicarakannya sebelumnya, namun bagi Mahendra, apabila mereka mampu menangkap orang yang disebut Panembahan itu hidup-hidup, maka banyak hal yang akan dapat diketahui dan banyak teka-teki yang dapat ditebak.
Dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan itu pun memandangi kedua orang lawannya berganti-ganti. Wajah-wajah yang dalam dan memancarkan kepribadian yang mantap. Namun orang yang disebut Panembahan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Sejenak ia mengendapkan gejolak perasaannya, namun sejenak kemudian ia telah siap untuk bertempur lagi.
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian bergerak mendekat. Sementara orang yang disebut Panembahan itu pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan seolah-olah ia memang menunggu serangan Pangeran Singa Narpada.
Mahendra pun berdiri termangu-mangu. Tetapi ia sama sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Pangeran Singa Narpada bertempur. Dalam keadaan yang khusus sajalah Mahendra ingin bergerak. Mungkin pada saat yang paling tepat untuk mendesak dan mungkin menangkap orang yang disebut Panembahan itu hidup-hidup.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada telah melenting menyerang. Serangannya datang demikian cepatnya sehingga rasa-rasanya tidak akan mungkin dapat dihindari. Tetapi ternyata orang yang disebut Panembahan itu mampu menghindari serangan itu. Ia pun bergerak secepat gerak Pangeran Singa Narpada, sehingga serangan Pangeran Singa Narpada tidak menyentuh apapun juga.
Namun dengan tangkas orang yang disebut Panembahan itulah yang kemudian menyerang. Tidak kalah cepatnya. Angin yang terayun bersamaan dengan ayunan kakinya menyambar tubuh Pangeran Singa Narpada meskipun serangan kaki itu sendiri tidak mengenainya, karena Pangeran Singa Narpada meskipun sempat bergeser.
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Meskipun ia sudah bersiap sepenuhnya, namun ia tidak segera berbuat sesuatu. Namun di luar sadarnya, ia bergeser jika pertempuran itu telah bergeser pula.
Sejenak kemudian pertempuran antara Pangeran Singa Narpada dan orang yang disebut Panembahan itu semakin menjadi cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka, karena masing-masing ingin lebih cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dalam kesempatan yang tidak terduga, Panembahan itu telah meloncat menyerang Mahendra yang berdiri termangu-mangu. Hampir saja ayunan tangan orang yang disebut Panembahan itu menyentuh kening Mahendra. Namun dengan tangkas Mahendra telah bergerak. Sambil merendahkan diri Mahendra bergeser selangkah, sehingga dengan demikian maka serangan itu tidak menyentuhnya. Namun angin yang bergetar bersama dengan ayunan tangan itu telah menampar wajah Mahendra, sehingga rasa-rasanya nafasnya telah menjadi sesak.
“Bukan main,“ geram Mahendra. Ia tidak sempat mengagumi serangan itu terlalu lama. Sekejap kemudian serangan berikutnya pun telah datang pula. Seperti serangan yang terdahulu, maka angin yang keras telah menyambar tubuhnya meskipun serangan itu sendiri tidak mengenainya.
Mahendra tiba-tiba saja menjadi curiga pada angin yang menerpa tubuhnya itu. Tentu bukan angin biasa yang didorong oleh ayunan tubuhnya betapapun kuatnya. Sebenarnyalah ketika serangan berikutnya datang, maka angin itu rasa-rasanya telah menjadi hangat.
“Inilah tebakan dari teka-teki itu,“ berkata Mahendra di dalam dirinya. Angin yang dengan kuat mengikuti ayunan serangannya itu tentu merupakan bagian dari ilmunya yang luar biasa. Namun Mahendra tidak akan menghindar dari arena. Ia-pun kemudian telah menyerang lawannya dengan dahsyatnya.
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian berdiri tegak memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu. Dengan ketajaman pengamatannya, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian dapat mengetahui pula, bahwa angin yang menyambar berbareng dengan setiap serangan itu bukan sekedar karena besarnya tenaga ayunan serangan Panembahan itu, tetapi sebenarnyalah bahwa angin itu merupakan bagian dari ilmunya yang luar biasa.
Mahendra yang kemudian bertempur dengan Panembahan itu semakin merasakan kekuatan ilmu lawannya. Angin itu pun semakin lama terasa semakin panas. Karena itu, maka Mahendra pun harus berbuat sesuatu. Ia tidak dapat sekedar bertempur dengan tenaga cadangannya. Sekedar melawan benturan kekuatan tenaga cadangan lawan. Atau sekedar meloncat dengan cepat mengimbangi kecepatan gerak orang yang disebut Panembahan itu. Tetapi ia harus mampu melawan kekuatan ilmu Panembahan itu yang mulai dipancarkan pada setiap serangan wadagnya.
Mahendra adalah seorang yang memiliki ilmu yang masak pula. Karena itu, maka untuk melawan ilmu lawannya yang menyerap tenaga api, maka ia tidak membenturnya dengan kekuatan yang memiliki watak yang sama. Tetapi ia mulai membangunkan kekuatan ilmunya dalam ujudnya yang sebaliknya. Mahendra tidak membentur kekuatan lawan dan kemudian saling menolak dan beradu kekuatan. Tetapi Mahendra telah menahan serangan lawannya dengan kekuatannya yang lunak dan justru menyerap kekuatan ilmu lawannya, menggulungnya dan kemudian menghapuskannya dengan kekuatan yang berlawanan itu.
Demikianlah, maka dalam benturan ilmu, Mahendra telah melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang lunak. Dengan ilmu itu, maka Mahendra telah melepaskan satu kekuatan yang mempunyai pengaruh yang sebaliknya. Getaran yang terpancar dari dalam dirinya telah melepaskan udara dingin yang bagaikan bergulung-gulung di sekitarnya.
Memang terjadi benturan dua kekuatan yang saling berlawanan. Ketika orang yang disebut Panembahan itu meloncat menyerang Mahendra dengan hembusan udara panas, maka rasa-rasanya udara itu telah menyusup ke dalam satu gulungan kekuatan yang menghisap panas itu dan justru telah membekukannya.
Orang yang disebut Panembahan itu terkejut. Namun ia mulai merasa udara dingin itu bukan saja telah menghisap dan menawarkan serangan kekuatan ilmunya yang disadapnya dari kekuatan api, namun udara dingin itu telah mempengaruhinya pula. “Gila,“ geram orang disebut Panembahan itu.
Namun dengan demikian ia semakin terperosok ke dalam kekuatan ilmu Mahendra yang membuatnya seakan-akan menjadi kedinginan. Namun orang disebut Panembahan itu tidak mau dikuasai oleh kekuatan ilmu lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah membentak dengan menghentakkan kekuatan ilmunya. Udara di sekitarnya telah menggelepar. Ternyata kekuatan yang disadapnya dari kekuatan api bagaikan menghentak pula dan membakar menjilat ke sekitarnya.
Mahendra yang tiba-tiba merasa terjilat api telah meloncat surut. Tetapi api itu tidak dapat membakarnya. Kekuatan ilmunya benar-benar dahsyat pula, sehingga panasnya api yang bagaikan menjilat ke sekitarnya itu telah tertahan, kemudian justru terhisap dan menjadi tawar sama sekali. Namun bukan berarti bahwa serangan berikutnya tidak dapat menerpanya, dan barangkali justru semakin dahsyat. Karena itu, maka Mahendra pun telah bersiap sepenuhnya. Kekuatan ilmunya masih saja bergulung-gulung mengitarinya sehingga kekuatan api yang betapapun panasnya akan dapat ditawarkannya.
Sementara itu, agaknya Panembahan itu mempunyai perhitungan yang lain. Agaknya ia merasa bahwa ia tidak akan dengan mudah dan cepat mengalahkan lawannya itu. Karena itu. maka tiba-tiba ia telah berpaling lagi kepada Pangeran Singa Narpada. Justru pada saat Pangeran Singa Narpada sedang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama.
Pada saat yang demikian, maka tiba-tiba saja orang-orang disebut Panembahan itu telah melenting menyerang Pangeran Singa Narpada sambil berteriak, “Mari Pangeran. Kenapa kau diam saja. Sudah aku katakan, kalian dapat bertempur berpasangan.”
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun dengan tangkas ia harus menghindari serangan itu. Namun sementara itu, udara panas telah menyambarnya, sehingga terasa seakan-akan kulitnya akan terkelupas. Namun Pangeran Singa Narpada telah meningkatkan daya tahannya sampai ke puncak, sehingga meskipun tubuhnya bagaikan terbakar, namun ia masih mampu menahankannya.
Untuk menghadapi lawannya, maka Pangeran Singa Narpada pun harus mempergunakan ilmunya pula. Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya dibakar oleh panasnya ilmu lawannya. Karena itulah maka betapapun panasnya sentuhan api dari ilmu yang terpancar dari orang yang disebut Panembahan itu, namun Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk membenturkan kekuatan ilmunya yang sangat besar.
Panembahan itu memang merasa heran melihat cara Pangeran Singa Narpada bertempur. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari serangan-serangannya. Bahkan Pangeran Singa Narpada selalu berusaha untuk membenturkan kemampuannya meskipun tubuhnya serasa bagaikan terkelupas oleh panasnya ilmu lawannya.
Semula Penembahan itu tidak merasakan sesuatu pada dirinya selain benturan-benturan. Kadang-kadang memang terasa kulitnya menjadi sakit dalam benturan itu. Namun kemampuan daya tahannya mampu mengatasinya, sehingga orang yang disebut Panembahan itu tidak menghiraukannya. Menurut perhitungannya Pangeran Singa Narpada memang berusaha untuk menyakitinya dengan serangan-serangannya dan benturan-benturan yang sengaja dilakukan.
Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Singa Narpada memang menjadi semakin garang. Langkah-langkahnya yang panjang telah memburu ke mana saja lawannya menghindar. Bahkan jika lawannyalah yang menyerang dibarengi dengan arus angin panas. Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak berusaha untuk mengelakkannya.
Orang yang disebut Panembahan itu memang menjadi heran. Setiap kali ia melihat Pangeran Singa Narpada menyeringai menahan sakit. Tetapi serangan-serangannya yang cepat dan garang, memang dapat juga membuatnya sakit, meskipun dengan cepat orang yang disebut Panembahan itu mampu mengatasinya.
Namun tiba-tiba saja sesuatu telah terjadi didalam dirinya. Panembahan yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu, dengan cepat menyadari, ilmu lawannya yang bernama Pangeran Singa Narpada itu ternyata ilmu yang nggegirisi. Karena itu maka tiba-tiba saja orang yang disebut Panembahan itu meloncat untuk mengambil jarak.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra tidak memburunya. Mereka berdiri beberapa langkah dari orang itu sambil menunggu, apa yang akan dilakukannya.
“Bukan main,“ berkata orang yang disebut Panembahan itu, “kalian berdua memang orang-orang luar biasa. Seorang diantara kalian mampu menjadikan udara ini beku sehingga arus panasku sama sekali tidak berpengaruh atasnya. Sedangkan yang seorang memiliki ilmu hisap yang dahsyat sekali. Meskipun kesannya memang agak licik, tetapi akibatnya bagi lawannya akan terasa menentukan. Untunglah aku cepat menyadari. Jika aku terlambat maka aku akan menjadi seonggok tubuh yang tidak berdaya di pinggir arena ini. Bahkan kemudian menjadi tontonan para prajurit Lemah Warah dan orang-orangku sendiri di padepokan ini."
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apapun yang aku katakan Panembahan. Tetapi kami sudah siap bertempur dengan cara apapun juga.”
“Aku mengerti bahwa kalian memang sudah siap. Tetapi kalian akan kecewa jika kalian menganggap bahwa pertempuran sudah selesai.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Mungkin pertempuran diantara kita belum selesai.”
Orang yang disebut Panembahan itu mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada rendah ia bertanya, “Apa maksudmu?”
“Wajar saja. Pertempuran diantara kita memang belum selesai. Karena itu kami masih selalu siap. Jika kami menganggap bahwa pertempuran sudah selesai, maka kami tidak perlu mempersiapkan diri,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi mungkin yang belum selesai adalah pertempuran diantara kita saja. Sementara itu pertempuran di seputar padepokan ini sudah dapat diselesaikan oleh para prajurit Lemah Warah.”
Orang yang disebut Panembahan itu termangu-mangu sejenak. Namun yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu memang mungkin saja terjadi. Panembahan itu sadar, bahwa kekuatan Lemah Warah memang lebih tinggi dari kekuatan padepokan itu. Sementara para pemimpin dari Lemah Warah pun memiliki ilmu yang lebih mapan. Apalagi Akuwu Lemah Warah itu sendiri.
Tetapi orang yang disebut Panembahan itu memang tidak dapat berbuat terlalu banyak, justru karena kehadiran kedua orang yang berilmu tinggi itu. Untuk beberapa saat orang yang disebut Panembahan itu tercenung. Namun tiba-tiba hatinya telah bergejolak, ia melihat betapa orang-orang padepokan itu mengalami kesulitan dan bahkan kehancuran.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat memberikan pertimbangan dari peristiwa itu selain menghancurkan kedua orang itu. Namun orang yang disebut Panembahan itu sadar, bahwa kedua lawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Tetapi tidak ada pilihan lain. Ia harus melakukannya dengan mengerahkan segenap ilmu yang ada didalam dirinya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Panembahan itu pun telah bersiap untuk menyingkapkan kemampuan puncaknya, ia sadar bahwa setiap sentuhan dengan tubuh Pangeran Singa Narpada akan berarti susutnya kemampuannya. Sementara itu, ia tidak dapat membiarkan dirinya membeku karena ilmu lawannya yang seorang lagi dalam ujudnya yang lunak.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja orang yang disebut Panembahan itu telah bergeser mundur, ia berdiri tegak pada kedua kakinya yang merenggang, sementara tangannya pun telah bersilang di dadanya.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra menyadari, apa yang sebenarnya tengah terjadi. Orang yang disebut Panembahan itu tentu sedang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan ilmu puncaknya. Ada niat Mahendra untuk menyerang lawannya justru pada saat ia belum siap. Namun Mahendra mengurungkannya, ia pun kemudian sadar bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu mampu dengan cepat menguasai diri dan mempersiapkan ilmunya.
Jika ia terlambat barang sekejap maka ialah yang justru akan menjadi korban pada benturan yang mungkin terjadi. Karena itu maka lebih baik bagi Mahendra untuk menunggu, apa yang akan terjadi. Namun Mahendra pun telah mempersiapkan dirinya pada puncak kemampuannya, ia siap melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang keras atau yang lunak.
Demikian pula Pangeran Singa Narpada. Ia siap dengan segenap kemampuan yang ada didalam dirinya. Ia sadar bahwa ia akan menghadapi satu jenis ilmu yang dahsyat yang mungkin dilontarkan oleh orang yang disebut Panembahan itu, karena di samping ilmu kabutnya, sambaran angin yang memancarkan kekuatan apinya, serta sorot matanya yang membakar, maka orang yang disebut Panembahan itu tentu masih menyimpan ilmu pamungkasnya yang dahsyat. Bahkan Pangeran Singa Narpada itu tidak dapat meramalkan, apakah ia akan mampu menghadapi ilmu itu atau tidak. Namun apapun yang terjadi, itu merupakan akibat dan tanggung-jawab yang tidak dapat dihindarinya. Bahkan sampai mati pun ia harus menghadapinya.
Beberapa saat lamanya mereka masih saling berdiam diri. Namun ternyata masing-masing telah membangunkan puncak-puncak kekuatan di dalam diri mereka. Sebenarnyalah, sejenak kemudian orang yang disebut Panembahan itu telah menarik sebelah kakinya. Kedua tangannya yang bersilang-pun telah diurainya. Kedua tangan itu tiba-tiba saja telah terangkat ke depan menghadap ke arah masing-masing seorang lawan.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada telah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ketika mereka melihat sikap orang yang disebut Panembahan itu maka mereka pun telah bersiap pula melepaskan ilmu mereka. Sejenak kemudian, telah terdengar suara gemuruh yang bergulung-gulung tanpa diketahui dari mana asalnya. Namun kemudian Mahendra dan Pangeran Singa Narpada telah melihat getar yang mulai bergerak di seputar tubuh orang yang disebut Panembahan itu.
Getar itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kemudian berputar bergulung-gulung semakin deras. Ketika udara yang terputar oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu mulai bergerak ke arah kedua lawannya, maka kedua lawannya pun menjadi semakin berdebar-debar. Namun ternyata gerak pusaran itu tidak terduga. Semula pusaran itu maju dengan lambat. Namun tiba-tiba saja bagaikan meloncat menerkam kedua orang lawannya.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut. Mereka tidak menduga bahwa gerak pusaran itu akan berubah dan dengan tiba-tiba melibat mereka. Karena itu untuk beberapa saat, kedua orang itu bagaikan terputar oleh kekuatan yang sulit untuk dilawan. Kekuatan yang sangat besar telah menelan mereka dalam cengkaman yang sangat kuat.
Mahendra berusaha untuk menggeliat dan bertahan. Tetapi pusaran itu rasa-rasanya telah memutarnya dan melambungkannya ke udara. Semakin lama semakin cepat dan semakin tinggi. Tetapi Mahendra telah menghentakkan segenap kemampuannya untuk bertahan. Rasa-rasanya kemampuan ilmunya telah dihimpunnya untuk menahan tubuhnya agar tetap melekat di atas tanah. Karena itulah maka rasa-rasanya kakinya yang terangkat itu masih juga sekali-sekali menyentuh tanah. Namun sekali-sekali terlepas dan terlempar meninggi. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia telah mendekati buminya kembali karena bobot ilmunya.
Yang terjadi atas Pangeran Singa Narpada pun tidak berbeda. Untuk sekejap Pangeran Singa Narpada memang merasa kebingungan, sehingga karena itu maka ia pun telah terlempar dengan kerasnya, naik di puncak pusaran yang gemuruh. Namun seperti Mahendra akhirnya Pangeran Singa Narpada mampu memusatkan kekuatan ilmunya untuk memantapkan bobotnya sehingga seperti Mahendra. ia pun telah turun perlahan-lahan diberati oleh ilmu yang ada di dalam dirinya.
Untuk beberapa saat keduanya berjuang menentang kekuatan angin prahara yang memutar dan mengangkat mereka. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa jika mereka tidak mampu menahan dirinya tetap melekat pada bumi. maka mereka akan diangkat dilontarkan tinggi ke udara, kemudian dibanting terhempas di tanah. Untuk beberapa saat mereka beradu tenaga lewat ilmu mereka.
Orang yang disebut Panembahan itu berusaha untuk mengangkat mereka dan menghempaskannya sampai lumat, sementara itu Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bertahan untuk tetap melekat pada bumi sehingga mereka tidak akan dapat dihempaskan oleh kekuatan angin pusaran yang dibangunkan oleh kemampuan ilmu lawan.
Namun akhirnya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak dapat untuk hanya sekedar bertahan. Meskipun mereka tetap berharap bahwa mereka akan memiliki daya tahan melampaui kekuatan orang yang disebut Panembahan itu. Namun ternyata bahwa angin pusaran itu rasa-rasanya menjadi semakin cepat dan keras. Karena itu, maka baik Mahendra, maupun Pangeran Singa Narpada merasa perlu untuk memberikan perlawanan yang lebih berarti daripada sekedar bertahan.
Namun mereka tidak sempat untuk berbicara di antara mereka. Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan pada waktu yang sama. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang memiliki bekal yang tinggi, maka terdapat persamaan perhitungan dalam usaha mengatasi persoalan yang sama.
Dalam pada itu, Mahendra yang memiliki kemampuan ilmu mapan pada tataran yang sangat tinggi, sebagaimana saudara serperguruannya Witantra, telah berusaha untuk memusatkan kemampuannya yang memang sudah tersusun sebelumnya. Sementara ia bertahan untuk tetap berjejak di atas tanah, ia pun telah berusaha menghimpun kekuatan ilmu puncaknya.
Meskipun ia tidak akan mungkin dapat mengenai orang yang disebut Panembahan itu pada jarak yang panjang, tetapi pengalamannya mengangkat kabut telah menuntunnya untuk melakukannya pula atas ilmu yang lain dari orang yang disebut Panembahan itu. Karena itu, maka yang akan langsung dikenainya dengan ilmunya bukan orang yang disebut Panembahan itu sendiri, tetapi justru kekuatan ilmunya yang berupa angin pusaran itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahendra telah menghentakkan kekuatan ilmunya, menghantam angin pusaran yang membelit dirinya dan berusaha mengangkatnya untuk kemudian dihempaskannya sampai lumat. Dengan demikian maka terjadi benturan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat. Angin pusaran yang membelit Mahendra itu telah terguncang dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian, terjadi satu goncangan yang dahsyat. Pusaran yang membelit tubuh Mahendra itu bagaikan pecah oleh kekuatan yang dahsyat yang dilepaskan oleh Mahendra. Dengan demikian maka orang yang disebut Panembahan itu telah memusatkan kekuatannya condong kepada Mahendra yang hampir saja berhasil memecahkan angin pusarannya yang membelit tubuhnya. Perlahan-lahan angin pusaran itu telah menemukan bentuknya kembali, memutar tubuh Mahendra dan berusaha mengangkatnya.
Namun Mahendra yang masih tetap menyadari keadaannya sepenuhnya telah menghimpun kekuatan kembali. Satu hentakkan yang sangat dahsyat telah mengguncang pusaran itu sekali lagi. Sehingga dengan demikian maka perhatian orang yang disebut Panembahan itu seluruhnya hampir tertuju kepada Mahendra untuk mempertahankan kekuatan angin pusarannya.
Pada saat yang demikian itulah, maka Pangeran Singa Narpada telah bertindak. Ia pun telah menghimpun segenap kekuatan ilmunya. Sebagaimana dilakukan oleh Mahendra, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berusaha untuk memecahkan pusaran yang membelitnya dan berusaha melemparkannya ke udara dan menghempaskannya ke tanah. Dengan segenap kekuatan ilmunya, maka Pangeran Singa Narpada itu pun seakan-akan telah meronta dan bagaikan sebuah ledakkan yang dahsyat, maka kemampuan ilmu Pangeran Singa Narpada telah mengoyak pusaran angin yang mengelilinginya.
Karena hampir semua kekuatan ilmu Panembahan itu ditujukan untuk tetap mengikat Mahendra dengan pusarannya, maka ledakan yang terjadi pada angin pusaran yang membelenggu Pangeran Singa Narpada telah mengejutkannya. Dengan tergesa-gesa Panembahan itu berusaha untuk memperbaikinya. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka hentakkan kedua telah dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada sehingga angin pusaran yang seakan-akan mengungkungnya itu pun telah berhasil dikoyakkannya.
Panembahan itu pun menjadi cemas melihat keadaan kedua orang lawannya. Apalagi ketika perhatiannya terhisap oleh hentakkan ilmu Pangeran Singa Narpada. Mahendra telah sekali lagi menghantam sisa-sisa angin yang mengikatnya, sehingga pecahlah kekuatan orang yang disebut Panembahan itu.
Orang yang disebut Panembahan itu menggeram. Dilepaskannya kekuatan ilmunya yang telah dipecahkan oleh kedua lawannya. Sekejap ia telah membangunkan kembali ilmunya itu. Seperti yang dilakukan semula, maka ia pun telah mengangkat dan mengacukan tangannya ke arah kedua orang lawannya.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak mau membiarkan diri mereka dibelit lagi oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu. Karena itu maka mereka pun kemudian telah bersiap untuk menyambut pusaran angin yang datang kepada mereka. Dengan pengenalan mereka atas serangan ilmu itu sebelumnya, maka mereka sadar, bahwa pusaran yang bergerak perlahan-lahan itu pada saatnya akan meloncat menerkam mereka berdua.
Sebenarnyalah yang terjadi kemudian adalah sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Angin pusaran yang kemudian timbul oleh kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu telah meluncur dengan derasnya ke arah Mahendra dan Pangeran Singa Narpada. Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa Narpada telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika angin pusaran itu meluncur cepat ke arah mereka, keduanya tidak menunggu dirinya terputar didalamnya.
Demikian angin pusaran itu menerkam mereka, maha Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bersama-sama telah menghentakkan ilmu mereka menghantam angin pusaran yang datang untuk melibat mereka dan berusaha melemparkan ke udara. Benturan yang dahsyat memang terjadi. Kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu langsung berbenturan dengan kekuatan ilmu Mahendra dan Pangeran Singa Narpada.
Sebenarnyalah bahwa yang kemudian bagaikan meledak dan melontarkan udara yang panas bukan saja pada benturan yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya benturan itu telah terjadi pula di dada ketiga orang itu. Mahendra yang menghantam kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu telah terguncang. Jantungnya bagaikan terhimpit oleh kekuatan yang sangat besar. Dengan demikian maka rasa-rasanya dadanya telah menjadi sesak.
Kesulitan yang timbul bukan saja karena benturan yang terakhir yang terjadi. Tetapi sejak Mahendra berusaha memecahkan angin pusaran yang mengikatnya, telah mulai terasa sentuhan-sentuhan itu di dadanya. Dengan demikian maka benturan yang terakhir terjadi, adalah hentakkan yang telah menjadikan dadanya semakin sesak. Demikian kuatnya benturan itu terjadi, sehingga Mahendra telah terdorong selangkah surut. Keseimbangannya pun ternyata telah terguncang sehingga Mahendra itu pun jatuh terduduk.
Namun ketika Mahendra sempat mengangkat wajahnya, dilihatnya angin pusaran yang datang menyerangnya telah pecah berserakan. Namun itu bukan berarti bahwa ia telah terbebas. Orang yang disebut Panembahan itu akan dapat membangunkan lagi kekuatan ilmunya dan menyerangnya sekali lagi dan sekali lagi.
Karena itu, maka Mahendra pun telah berusaha untuk menguasai dirinya. Dihimpunnya sisa kekuatan yang masih ada didalam dirinya. Dengan sisa kekuatan itu, maka Mahendra pun telah bangkit berdiri.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun telah mengalami nasib yang sama. Pangeran Singa Narpada yang telah membentur kekuatan ilmu orang yang disebut Panembahan itu pun telah kehilangan keseimbangannya pula. Bahkan Pangeran Singa Narpada itu pun telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Hanya karena ia tersandar pada sebatang pohon yang besar sajalah maka Pangeran Singa Narpada itu tidak terjatuh.
Namun dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan itu pun telah dihentakkan oleh kekuatan raksasa yang seakan-akan telah menghantam dadanya. Pada saat ia melepaskan ilmunya pada puncak kemampuannya, tiba-tiba dua kekuatan raksasa telah membentur kekuatannya itu. Dengan demikian maka seakan-akan hentakkan kekuatannya itu memental dan menghantam jantungnya sendiri.
Orang yang disebut Panembahan itu tidak terlempar surut. Ia tetap berdiri di tempatnya. Untuk beberapa saat ia masih tetap bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan orang yang disebut Panembahan itu menjadi gemetar. Sisa-sisa kekuatannya tidak mampu lagi mendukung kemauannya yang bagaikan tidak pernah surut dalam keadaan yang manapun juga.
Meskipun ia tetap berdiri, tetapi tubuhnya telah menjadi sangat lemah. Tubuhnya yang gemetar itu rasa-rasanya tidak lagi dapat tegak berdiri meskipun orang itu tidak mau mengakui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Pada saat yang demikian, maka orang yang semula membawakan pedangnya dan kemudian bergeser menjauh ketika terjadi pertempuran antara orang itu melawan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada, telah meloncat berlari dan menangkap tubuh yang hampir saja terjatuh itu. “Panembahan,“ desis orang itu.
Tubuh orang yang disebut Panembahan itu memang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka perlahan-lahan tubuh itu pun telah terkulai di tangan orang yang selalu mengikutinya itu. Bahkan kemudian dengan sangat hati-hati tubuh itu telah dibaringkannya di tanah. Dengan wajah yang penuh duka orang itu menatap kedua mata orang yang disebutnya Panembahan itu yang menjadi redup.
“Panembahan,“ desis orang itu pula.
Panembahan itu memandanginya. Wajahnya menjadi sangat pucat, dan seluruh tubuhnya bahkan telah menggigil seperti orang yang kedinginan.
“Panembahan, Panembahan masih mempunyai kesempatan,“ berkata orang itu, “Panembahan dapat memusatkan nalar budi untuk mengatur pernafasan dan peredaran darah Panembahan.”
Panembahan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun telah menyeringai menahan pedih di dadanya. Dengan suara sendat ia berkata, “Dua orang itu benar-benar raksasa yang besar. Mereka mampu menahan ilmuku dan bahkan membenturkannya seakan-akan mendorong ilmuku kembali memental menghantam jantungku sendiri.”
“Panembahan masih mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang berjongkok di sampingnya itu. Lalu katanya, “Marilah, aku bantu Panembahan duduk dan berusaha untuk mengatasi kesulitan di dalam diri Panembahan.”
Panembahan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun menggeleng kecil sambil berkata, “Tidak ada gunanya.”
“Tentu ada gunanya Panembahan,“ berkata orang itu, “aku akan membantu. Dengan demikian maka keadaan Panembahan akan segera pulih kembali selagi kedua orang itu masih belum dapat mengatasi kesulitan di dalam dirinya.”
Tetapi nafas Panembahan itu rasa-rasanya menjadi semakin sulit untuk melalui hidungnya secara wajar. Dadanya bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu karang. Bahkan darahnya pun tidak lagi mengalir ke seluruh bagian tubuhnya karena jantungnya yang menjadi semakin lemah.
Sejenak suasana terasa mencengkam. Masing-masing berada di tempatnya tanpa bergerak. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada benar-benar merasa sangat letih. Bahkan dada mereka pun serasa menjadi sesak dan pedih. Keduanya memang berusaha untuk memperbaiki keadaan diri mereka. Tetapi perkembangan yang terjadi terasa sangat lamban. Benturan itu merupakan benturan yang sangat dahsyat, sehingga rasa-rasanya ada yang rusak di dalam dada mereka.
Namun jantung keduanya menjadi semakin cepat berdetak ketika keduanya melihat orang yang agaknya merupakan pengikut setia dari orang yang disebut Panembahan itu memandang mereka dengan tajamnya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu mempunyai kesempatan yang cukup besar untuk menghancurkannya.
“Seandainya ia berilmu meskipun tidak setinggi orang yang disebut Panembahan itu,“ berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya, “ia akan dapat berbuat banyak.”
Tetapi baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahendra tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan. Meskipun keadaan mereka tidak cukup baik, tetapi mereka tentu akan melawan apapun yang akan dapat terjadi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri. Orang yang semula membawa pedang Panembahan itu kemudian berkata,
“Kalian berdua memang luar biasa. Kalian berdua mampu menghantam isi dada Panembahan sehingga mengalami luka yang tidak akan mungkin disembuhkan lagi. Seandainya Panembahan masih dapat tertolong, namun ilmunya tidak akan lagi dapat pulih kembali sebagaimana dimilikinya sekarang, karena bagian dari pusat kemampuan ilmunya telah terguncang pada saat benturan itu terjadi. Beruntunglah kalian bahwa hal itu tidak terjadi pada kalian, karena kalian berdua bersama-sama ternyata memiliki kekuatan yang lebih besar dari Panembahan,“ orang itu berhenti sejenak lalu, “tetapi aku ingin memperkenalkan diri kepada kalian berdua, meskipun aku adalah hambanya yang setia yang tidak lebih dari derajat seorang budak. Tetapi aku adalah saudara seperguruannya. Dengan demikian aku memiliki ilmu yang sama dengan yang dimiliki oleh Panembahan. Seandainya ada selisihnya, maka selisihnya itu tidak ada seujung rambut.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin tegang. Namun mereka masih belum yakin, bahwa yang dihadapinya itu adalah saudara seperguruan orang yang disebutnya Panembahan itu. Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa Narpada telah dikejutkan sikap orang itu. Sebagaimana orang yang disebutnya Panembahan orang itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kemudian ditariknya sebelah kakinya, sementara tangannya yang bersilang itu pun telah diurainya. Diagungkannya kedua tangannya ke dua arah yang berbeda.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada yang masih dalam keadaan yang sangat lemah, berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mempunyai sisa kekuatan untuk melawan jika serangan datang ke arah mereka. Yang terjadi telah meyakinkan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bahwa orang itu memang saudara seperguruan dari orang yang disebutnya Panembahan itu.
Perlahan-lahan udara pun telah bergetar. Kemudian bergulung-gulung bagaikan angin pusaran. Kemudian pusaran itu pun telah bergerak perlahan-lahan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh orang disebutnya Panembahan.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi berdebar-debar. Jika angin pusaran itu menggulung mereka, maka mereka tidak akan mampu bertahan. Mereka akan terangkat dan terlempar ke udara. Kemudian mereka akan dihempaskan ke tanah sampai lumat.
Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak akan menyerah begitu saja. Meskipun kekuatan mereka masih belum dapat dibangunkan kembali, namun mereka telah menghimpun apa yang tersisa di dalam diri mereka untuk melawan angin pusaran yang dahsyat itu.
Namun keduanya menjadi heran, bahwa angin pusaran itu sama sekali tidak mengarah kepada mereka. Angin pusaran yang terlontar itu telah meluncur beberapa jengkal dari keduanya. Demikian dahsyatnya, maka ketika angin pusaran itu menghantam barak yang berada di garis lintasnya, maka barak itu pun telah menjadi hancur berkeping-keping. Anyaman kayu, bambu dan atap ijuknya telah terputar roboh. Kemudian diremasnya dan sebagian besar telah dilemparkan ke udara.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada memperhatikan pecahan-pecahan barak yang terlempar itu dengan jantung yang berdebaran. Kemudian mereka pun menyaksikan pecahan-pecahan itu terhempas di tanah dan benar-benar menjadi lumat.
“Luar biasa,“ desis Mahendra.
Orang itu pun kemudian berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada yang masih lemah. “Nah, Ki Sanak. Bagaimana jika aku menyerang kalian dengan kekuatan ilmu sebagaimana telah kalian lihat? Ilmu yang sama sebagaimana dipergunakan oleh Panembahan? Dan apakah kalian masih belum yakin bahwa aku adalah saudara seperguruannya?“ bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku percaya Ki Sanak, bahwa kau adalah saudara seperguruannya.”
“Bagaimana jika aku menyerang kalian dengan ilmu itu?“ bertanya orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian Pangeran itu menjawab, “Silahkan Ki Sanak. Itu hakmu. Aku akan melawan dengan sisa kekuatanku. Jika aku hancur oleh ilmumu, itu adalah tanggung jawab yang memang harus aku pikul.”
Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada berganti-ganti. Sementara itu pertempuran di bagian-bagian lain dari padepokan itu pun telah mereda pula. Para prajurit Lemah Warah telah benar-benar menguasai keadaan. Betapa tingginya ilmu orang-orang padepokan itu, namun mereka tidak mampu melawan kemampuan para pemimpin Pakuwon Lemah Warah yang dibantu oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Dalam pada itu, orang yang mampu melepaskan ilmu sebagaimana orang yang disebut Panembahan itu menjadi ragu-ragu. Agaknya orang itu memang mempunyai watak dan pandangan hidup yang berbeda dengan orang yang disebutnya Panembahan itu.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada memang merasa heran. Dua orang saudara seperguruan, namun nampaknya tataran hidup mereka jauh berbeda. Yang seorang nampaknya tidak lebih dari hamba dari yang lain. Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak mempunyai banyak kesempatan. Jika orang itu benar-benar melepaskan ilmunya kepada mereka, maka mereka akan benar-benar tidak mampu melawannya.
Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh ketegangan. Namun tiba-tiba orang yang memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Panembahan itu berkata, “Tidak. Aku tidak berhak membunuh kalian.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada masih termangu-mangu. Mereka masih belum yakin bahwa sikap itu akan tetap dapat dipertahankan. Mungkin pada satu saat, pendirian itu berubah, dan orang itu akan menyerangnya dengan kekuatannya yang sangat dahsyat. Bahkan menurut perhitungan Mahendra dan Pangeran Singa Narpada, orang itu akan mampu pula melepaskan kabut dan bahkan membakar sasaran dengan sorot matanya.
Untuk beberapa saat orang itu masih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian sekali lagi ia berkata, “Aku tidak berhak membunuh kalian meskipun aku dapat melakukannya.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut, ketika orang itu kemudian memandang kepingan kayu bambu dan ijuk yang teronggok di sebelah mereka berdiri. Pecahan barak yang telah diremasnya dengan angin pusaran, dilontarkannya ke udara dan dibantingnya lagi di tanah. Tiba-tiba saja asap telah mengepul dan api pun segera menjilat. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada harus mengakui bahwa api itu akan dapat membakar mereka jadi dikehendaki. Sementara itu mereka berdua sedang dalam keadaan sangat lemah.
Tetapi orang itu tidak melakukannya. Justru setiap kali orang itu berkata; “ Aku tidak berhak. Aku tidak berhak.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada melihat sesuatu yang sedang bergejolak didalam jiwa orang itu. Karena itu, maka mereka pun perlahan-lahan bergeser saling mendekat.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika orang itu membentak, “Apa yang akan kau lakukan? Kalian akan saling mendekat dan menggabungkan sisa kemampuan yang ada didalam diri kalian? Tidak ada gunanya. Meskipun kalian akan bersama-sama menyerang aku, maka sisa kekuatan kalian tidak akan berarti apa-apa lagi.”
“Kau benar Ki Sanak,“ berkata Mahendra, “sisa kemampuan kami memang tidak akan dapat mengatasi kemampuan Ki Sanak.”
“Jika demikian, apa yang akan kalian lakukan?“ bertanya orang itu.
“Sikap Ki Sanak, sangat menarik perhatian,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “Ki Sanak akan mampu berbuat apa saja atas diri kami. Tetapi Ki Sanak merasa tidak berhak melakukannya, justru dalam pertempuran seperti ini. Apalagi Ki Sanak tahu pasti, bahwa pihak Ki Sanak, orang-orang Padepokan ini dari perguruan manapun asalnya telah mengalami kekalahan. Jika Ki Sanak membunuh kami berdua, maka Ki Sanak akan mendapat kesempatan untuk menolong orang-orang padepokan ini. Ki Sanak akan dapat membinasakan orang-orang Lemah Warah, bahkan termasuk Akuwu dari Lemah Warah dan para pemimpin yang lain.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia telah berpaling ke arah tubuh orang yang disebutnya Panembahan itu, yang terbaring diam. “Hanya orang inilah yang berhak melakukannya atas Pangeran,“ berkata orang itu
“Kenapa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja tanpa menghiraukan kedua orang lawannya, maka orang itu telah berjongkok di sisi orang yang terbaring diam itu. “Kemarilah,“ berkata orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun telah mendekat.
“Lihat,“ berkata orang itu,“ betapa ilmu kalian telah merusakkan jaringan tubuhnya, ia seakan-akan telah kehilangan kesadarannya meskipun ia masih hidup. Namun dengan demikian, maka kalian berdua telah terbebas dari kemungkinan untuk mati di medan perang ini, karena orang yang berhak membunuh kalian sudah tidak akan mampu melakukannya.”
“Aku tidak mengerti,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “semua orang di medan perang seperti ini mempunyai hak yang sama atas lawan-lawan mereka.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Aku hanya seorang hamba yang rendah. Aku tidak patut untuk berdiri berhadapan dengan seorang Pangeran. Apalagi membunuhnya.”
“Kau berpegang pada unggah-ungguh yang kuat. Namun jarang orang yang masih dapat mengingatnya jika ia berada di peperangan,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi kata-katamu menarik perhatian kami sebagaimana ilmumu. Kau sebut dirimu saudara seperguruan dengan orang yang kau panggil Panembahan itu. Namun kemudian kau nyatakan dirimu tidak lebih dari seorang hamba.”
“Aku memang hanya seorang hamba, Pangeran. Hamba yang rendah,“ jawab orang itu, “aku memang dapat menyebut diriku saudara seperguruan dengan Panembahan, karena aku memiliki ilmu yang sama, bahkan tingkat kemampuanku pun hampir sama. Tetapi sebenarnya aku memang hambanya. Aku menjadi saudara seperguruan diluar pengetahuan Panembahan itu sendiri.”
“Bagaimana hal itu mungkin terjadi,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Aku telah mengantar Panembahan itu berguru,“ berkata orang itu, “bahkan demikian besar kepercayaan Panembahan itu serta gurunya, sehingga aku diperkenankan ikut berada didalam sanggar. Aku mendengar setiap kata dari guru Panembahan itu, bagaimana ia mengajarkan ilmu dan menuntun laku. Diluar pengetahuan Panembahan dan gurunya, aku telah mendalaminya. Dalam saat-saat senggang aku telah minta ijin untuk pergi ke sungai atau pergi kemana pun juga. Namun akhirnya aku tidak dapat bersembunyi lagi. Guru Panembahan itu melihat dasar kemampuanku, sehingga akhirnya aku justru telah mendapat bimbingannya pula. Namun karena aku tidak lebih dari seorang hamba, maka aku tidak dapat belajar bersama Panembahan. Bahkan sampai saat berguru berakhir, Panembahan tetap tidak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan hampir menyamainya. Sementara itu guru pun telah berbaik hati untuk tidak mengungkapkan rahasia itu kepada Panembahan, namun dengan janji, bahwa aku harus tetap merupakan seorang hamba yang setia.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Ia sudah memenuhi janjinya. Bahkan sampai saatnya Panembahan itu tidak lagi mampu menilai apa yang terjadi di sekitarnya, orang itu masih tetap seorang hamba yang setia.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun bertanya, “Ki Sanak. Siapakah sebenarnya orang yang kau sebut Panembahan itu? Siapa pula Ki Sanak yang setia mengabdi sampai orang yang kau sebut Panembahan itu kehilangan kesadarannya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan ragu ia berkata, “Sudahlah Pangeran. Apa gunanya Pangeran mengetahui siapakah Panembahan itu dan siapa pula aku ini.”
“Sikapmu menunjukkan sikap seorang hamba dari lingkungan tertentu,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, aku ingin mengetahui, meskipun barangkali aku tidak akan mengenalinya siapakah orang itu dan dari lingkungan yang mana?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Namun kemudian dipandanginya orang yang terbaring diam itu. Sementara itu, orang itu pun berkata, “Pangeran. Pertempuran sudah selesai. Isi padepokan ini telah terbunuh dan yang lain menyerah. Mungkin ada yang sempat melarikan diri dari arena.”
“Akuwu Lemah Warah akan menyelesaikan mereka,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu maka aku kira aku tidak perlu mencampurinya.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak yang seorang itu?”
“Ia adalah Mahendra. Seorang keluarga dari kalangan para pimpinan prajurit Singasari. Tetapi ia sendiri bukan seorang prajurit,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Tetapi kemampuannya melampaui para Senapati,“ berkata orang itu.
“Ia adalah seorang pewaris sebuah perguruan yang besar dan disegani,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku ingin berkata jujur. Panembahan sangat membenci orang-orang Singasari.”
“Kenapa?“ bertanya Mahendra.
“Dalam hubungan Singasari dan Kediri,“ jawab orang itu, “pergolakan yang selalu terjadi sejak orang-orang Singasari merampas kebebasan Kediri.”
“Apakah kau sependapat?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata pula, “Aku juga orang Kediri. Aku juga tidak mau jika kebebasan kami dibelenggu. Tetapi hubungan antara Kediri dan Singasari adalah hubungan antara keluarga. Singasari mencakup keluarga besar di atas Tanah ini termasuk Kediri. Namun dalam kehidupan sehari- hari, Kediri adalah keluarga yang dewasa. Yang hidup karena kemampuan diri. Yang bertanggung jawab atas pakartinya sendiri.”
“Pengertian dari yang Pangeran katakan itu dapat diterjemahkan dalam arti yang berbeda-beda,“ berkata orang itu, “Panembahan ternyata mempunyai pengertian yang berbeda dari Pangeran Singa Narpada. Sebelumnya pun banyak keluarga Pangeran yang mempunyai pengertian yang lain, sehingga pertikaian terjadi tidak henti-hentinya.”
“Itulah yang harus kita atasi,“ berkata Pangeran Singa Narpada. Lalu kemudian katanya, “Tetapi dengan pembicaraan ini aku mempunyai arah dugaan tentang kalian.”
“Kami tidak akan bersembunyi lagi,“ berkata orang itu.
“Jika demikian, katakan,“ desis Pangeran Singa Narpada.
“Aku akan mengatakannya,“ sahut orang itu, “tetapi aku masih ingin mengatakan sikap Panembahan. Bagi Panembahan Singasari adalah kuasa yang bukan seharusnya memimpin Kediri sekarang ini.”
“Dengan alasan yang sudah terlalu sering disebut-sebut,“ potong Mahendra, “bahwa Singasari tidak lebih dari Pakuwon Tumapel. Sedangkan Akuwu Tumapel yang kemudian atas nama Singasari menyatakan Kediri adalah seorang keturunan pidak-pedarakan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar. Bukan sekedar keturunan pidak-pedarakan. Tetapi ia adalah seorang penjahat yang ditakuti di masa mudanya. Dengan kemampuan seorang penyamun dan perampok ulung, ia dapat mendesak kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi orang itu bukan orang kebanyakan. Yang terjadi pada tataran pertama hidupnya bukannya kenyataan tentang dirinya yang dipilih untuk kemudian memimpin. Ciri-ciri kebesaran ada pada dirinya, sehingga pada akhirnya kenyataan itu terjadi, meskipun Ken Arok itu sekedar perantara,“ berkata Mahendra.
“Sebagaimana selalu dikatakan oleh orang-orang Singasari,“ jawab orang itu.
“Sudahlah,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “perbedaan yang ada biarlah kita akui adanya. Tetapi sebut, siapakah Ki Sanak itu, dan siapakah sebenarnya Panembahan itu?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “orang inilah yang seharusnya Pangeran cari untuk menegakkan Kediri.”
“Kau belum menyebutnya,“ sahut Pangeran Singa Narpada.
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Apakah Pangeran benar-benar tidak mengenalnya lagi?”
Pangeran Singa Narpada menjadi bingung. Ia bergeser mendekat. Dipandanginya wajah yang terbaring diam itu. Namun rasa-rasanya wajah itu menjadi lain. Meskipun ia tetap mengenali sebagai orang yang disebut Panembahan, tetapi ada sesuatu yang berbeda padanya. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran, apakah Pangeran juga benar-benar telah melupakan aku?“ bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menjadi semakin bingung. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Namun Pangeran itu kemudian menggeleng sambil berdesis, “Aku belum pernah mengenalimu.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Pangeran. Aku akan menunggu. Jika kemampuan Pangeran dan Ki Mahendra telah pulih kembali, hancurkan simpul pengendali ilmuku sebagaimana Panembahan. Dengan demikian, maka akan terjadi perubahan pada diriku.”
Pangeran Singa Narpada masih dibayangi oleh perasaan bingungnya. Namun orang itu kemudian berkata, “Pangeran. Amati dengan saksama. Pangeran tentu mengenal Panembahan.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun hampir di luar sadarnya ia pun telah bergeser mendekat. Diamatinya wajah orang yang terbaring diam itu dengan saksama. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mendekati mereka. Sementara panglima pasukan khusus Lemah Warah berdiri termangu-mangu beberapa langkah sambil mengamati keadaan.
Pangeran Singa Narpada memandanginya sambil berdesis, “Bagaimana dengan para prajurit dan orang-orang padepokan ini?”
“Kita tidak dapat menghindari korban yang berjatuhan dalam perang yang hampir tidak terkendali, Pangeran. Namun sebagian dari para penghuni padepokan ini telah menyerah,“ sahut Akuwu Lemah Warah.
“Bagaimana dengan para pemimpin mereka?“ bertanya Pangeran itu pula.
“Ternyata para pengikutnya merupakan lingkaran kesetiaan yang sulit untuk ditembus. Dalam keadaan yang paling gawat, maka beberapa orang di antara mereka sempat melepaskan diri. Justru orang-orang terpenting di antara mereka. Selain ilmu mereka yang tinggi, maka para pengikutnya telah mengorbankan diri untuk memberikan kesempatan kepada para pemimpinnya melarikan diri dari medan.“
“Siapakah yang telah berhasil melarikan diri?“ bertanya orang yang menjadi bayangan kemampuan orang yang disebut Panembahan itu.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang itu dengan saksama. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah mereka Pangeran?”
“Yang terbaring itu adalah Panembahan yang memegang pimpinan tertinggi di padepokan ini,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Yang seorang?“ bertanya Akuwu Lemah Warah.
“Saudara seperguruannya,“ jawab Pangeran Singa Narpada pula.
“Apakah ia sudah menyerah?“ bertanya Akuwu itu pula.
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dan Akuwu Lemah Warah berganti-ganti. Namun kemudian terdengar suaranya rendah, “Bukan Akuwu. Orang ini sama sekali tidak menyerah. Tetapi orang ini justru telah menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku dan Mahendra.”
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang. “Apa artinya Pangeran?“ bertanya Akuwu Lemah Warah.
“Orang ini sebenarnya dapat membunuh kami berdua jika ia mau. Tetapi ia tidak melakukannya,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu ia bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi Pangeran?”
Pangeran Singa Narpada memandang orang yang terbaring itu kembali. Namun dengan nada datar ia bertanya, “Apakah orang yang mampu melepaskan diri dari wadagnya dan memasuki wadag orang lain itu sempat melarikan diri?”
“Maaf Pangeran. Dalam benturan ilmu orang itu tidak dapat bertahan. Kami tidak tahu, apakah ia akan dapat bertahan untuk hidup,“ jawab Akuwu Lemah Warah.
“Akuwu,“ berkata Pangeran Singa Narpada kemudian sambil memandangi orang yang terbaring itu, “kami, maksudku aku berdua bersama Mahendra telah dengan untung-untungan membenturkan ilmu kami melawan kemampuan ilmu orang yang disebut Panembahan ini. Akibatnya dapat kalian lihat terjadi pada Panembahan. Namun kami pun telah kehilangan segenap tenaga kami karena kami telah memaksakan menghentakkan ilmu kami dalam benturan itu. Sampai saat ini kemampuan kami masih belum pulih seutuhnya. Pada saat yang demikian, saudara seperguruan Panembahan ini akan mampu menghancurkan kami. Tetapi yang terjadi tidak demikian.”
“Apa sebabnya Pangeran?“ bertanya Akuwu.
“Bertanyalah kepadanya,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Akuwu itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu orang itu pun berkata sekali lagi, “Pangeran. Pandang wajah ini dengan saksama.”
Pangeran Singa Narpada bergeser lebih mendekat. Diamatinya wajah itu dengan saksama. Namun ia menggeleng lemah, “Aku kurang mengenalnya.”
“Pengenalan Pangeran terbatas pada masa-masa dekat. Coba Pangeran mencoba mengenang keluarga terdekat Pangeran di masa yang sudah agak jauh lewat,“ berkata orang itu.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan pamanda Pangeran Gagak Branang.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Ya. Panembahan adalah Pangeran Gagak Branang yang menyingkir dari istana pada saat Tumapel memecah Kediri.”
“Singasari maksudmu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tumapel,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Jadi aku memang berhadapan dengan pamanda Pangeran. Tetapi menurut perhitunganku umur pamanda tentu sudah terlalu tua sekarang ini, sementara Panembahan itu masih mampu bertempur dengan kekuatan yang mengagumkan dan sikapnya pun sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya.”
“Tetapi wajah itu?“ desis orang yang mengaku saudara seperguruan itu.
Ketika Pangeran Singa Narpada memandang wajah itu lagi, maka ia menjadi heran. Orang itu nampaknya memang sudah terlalu tua, jauh lebih tua dari pengenalannya pada saat mereka beradu ilmu. Karena itu maka dengan wajah yang tegang Pangeran Singa Narpada bertanya kepada hamba orang yang disebut Panembahan itu, “Bagaimana mungkin segalanya itu terjadi?“
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran. Hal ini memang akan terjadi pada suatu saat. Juga akan terjadi padaku.”
“Kenapa hal itu akan terjadi padamu,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran,“ berkata orang itu, “selama berguru, kami telah mendapatkan kesempatan yang tidak banyak didapat oleh orang lain.”
“Kesempatan apa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Di dalam tubuh kami mengalir getah pohon yang tidak ada duanya. Getah itu mempunyai pengaruh yang kuat sekali pada wadag kami.”
“Getah pohon apa?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak seorang pun tahu,“ jawab orang itu. “kecuali guru.”
“Pengaruhnya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu termangu-mangu pula sejenak. Namun kemudian katanya, “Tidak seorang pun yang tahu bagaimana terjadinya. Namun getah itu seakan-akan telah menahan pertumbuhan wadag kami. Pada saat kami mendapat getah itu, maka seakan-akan kami tidak lagi bertambah tua.”
“Kau juga mendapat kesempatan? Bukankah dengan demikian Pangeran Gagak Branang akan tahu bahwa aku adalah saudara seperguruannya?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran Gagak Branang tahu bahwa aku juga mendapat kesempatan minum getah itu. Tetapi tidak sebagai saudara seperguruannya. Tetapi sebagai hambanya yang setia, yang akan mengikutinya ke mana saja Pangeran Gagak Branang pergi,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia bertanya, “Kau tidak dapat mengenali jenis getah itu?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Pangeran Gagak Branang pun tidak.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berkata selanjutnya, “Namun pada saat-saat seperti yang terjadi pada Pangeran Gagal Branang, maka yang tertahan itu akan datang pula. Demikian juga, jika aku tidak lagi mampu menguasai kesadaranku oleh sebab apapun juga, maka aku akan mengalaminya.”
Sejenak Pangeran Singa Narpada terdiam. Mahendra pun mengangguk-angguk pula, sementara yang lain termangu-mangu.
“Sudahlah Pangeran. Agaknya batas itu telah sampai. Pada saat kekuatan Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra pulih kembali, maka antarkan aku menyusul Pangeran Gagak Branang, agar aku pun kembali ke keadaan wajarku,“ berkata orang itu.
“Siapa kau sebenarnya,“ bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berdiri tegak sambil berkata, “Baiklah. Jika kekuatan ilmu Pangeran belum pulih kembali, demikian pula Ki Mahendra, maka biarlah Akuwu Lemah Warah dan ketiga anak muda ini menolongku. Lepaskan ilmu kalian. Biarlah tubuhku mengalami hentakan yang dapat melumpuhkan segenap syarafku, sehingga dengan demikian kalian akan dapat mengenal aku lewat Pangeran Singa Narpada.”
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Ki Sanak,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jangan memaksa melakukan hal yang tidak perlu. Katakan tanpa usaha seperti yang kau katakan dari Akuwu Lemah Warah. Siapakah kau sebenarnya. Jika kau mau menyebut namamu, maka aku akan segera dapat mengenalimu. Seandainya aku memang sudah mengenalmu sebelumnya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran masih teringat benar, siapakah Pangeran Gagak Branang.”
“Ya aku ingat, meskipun umurku terpaut agak banyak,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Nah, Pangeran tentu ingat, siapakah yang selalu berada di belakangnya. Orang itu jarang sekali terpisah dari Pangeran Gagak Branang. Kemana pun Pangeran pergi, maka orang itu ada,“ jawab orang itu.
“Yang umurnya sebaya dengan pamanda Pangeran?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya. Kira-kira demikian meskipun terpaut sedikit,“ jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada mencoba mengingat-ingat. Siapakah orang yang selalu bersama pamandanya, Pangeran Gagak Branang. Sejenak Pangeran Singa Narpada sempat membayangkan pamannya di masa mudanya. Pangeran yang keras, bahkan agak pemarah. Ia pun ingat saat pamandanya meninggalkan Kediri tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya.
Sekilas ia berpaling ke arah Mahendra. Pamandanya itu tentu lebih tua dari Mahendra. Bahkan mungkin terpaut agak banyak. Orang itu pun tentu lebih tua dari Mahendra, meskipun ujudnya sebaliknya. Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada memasuki dunia ingatannya. Namun tiba-tiba saja berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Permita.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya serak, “Ya Pangeran. Hamba yang rendah ini adalah Permita yang tentu sudah Pangeran kenal. Karena itu maka tidak ada pilihan lain bagi hamba ini selain hukuman mati.”
“Ooo,“ Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang yang disebut Ki Permita itu pun telah menjatuhkan dirinya bersimpuh di hadapan Pangeran Singa Narpada.
“Bunuh aku Pangeran. Panembahan pun agaknya tidak akan mampu mengatasi kesulitan di dalam dirinya,“ berkata orang yang disebut Ki Permita itu, “buat apa aku hidup terus?”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian berdiri tegak. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ia tidak lagi mendengar hiruk pikuk pertempuran. Yang dilihatnya adalah sisa-sisa api yang mengepul dari barak yang terbakar oleh kemampuan ilmu Ki Permita yang ternyata adalah saudara seperguruan dari Pangeran Gagak Branang.
Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Di balik pepohonan dan barak-barak yang masih berdiri, seakan-akan dilihatnya prajurit Lemah Warah yang tersisa menawan para penghuni padepokan itu yang terdiri dari beberapa perguruan. Bukan hanya terdiri dari orang-orang bertongkat saja. Memang padepokan ini semula adalah padepokan orang-orang bertongkat itu. Namun agaknya dengan kehadiran Pangeran Gagak Branang, maka padepokan ini telah menjadi tempat penempaan sekelompok orang dari beberapa perguruan yang berbeda.
“Ki Mahendra dan Akuwu Lemah Warah,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “setelah aku mengetahui bahwa yang memimpin padepokan ini adalah pamanda Pangeran Gagak Branang, maka aku tidak memerlukan lagi seorang pun yang akan aku sadap keterangannya. Aku tahu pasti apakah yang telah terjadi. Aku tahu pasti alasan dari orang-orang Suriantal datang ke istana Kediri untuk mengambil benda yang paling berharga yang menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton.”
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Satu perjuangan yang keras dan berat telah dilakukan. Ternyata bahwa yang terjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya. Pangeran Kuda Permati, Pangeran Lembu Sabdata, dan beberapa orang lain dalam sikapnya yang sama.
“Kau telah kehilangan orang-orang terbaik dari Lemah Warah,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Karena itu,“ berkata Ki Permita, “bunuh aku Pangeran. Aku akan menerima beban hukuman dari Kediri karena peristiwa ini.”
“Ki Permita, kau adalah seorang hamba yang setia. Namun menurut ingatanku, kau adalah orang yang banyak diminta nasehat dan petunjukmu oleh pamanda Pangeran Gagak Branang.”
“Pangeran benar. Tetapi tidak semua pendapatku sesuai dengan pendapat Pangeran Gagak Branang. Aku sudah berusaha untuk meyakinkan pamanda Pangeran, bahwa usaha ini adalah sia-sia,“ berkata Ki Permita.
“Jadi kau sependapat dengan pamanda Gagak Branang? Namun kau menganggap bahwa perjuangan pamanda itu sia-sia. Jadi kau mencoba mencegah usaha pamanda Gagak Branang bukan karena kau mempunyai keyakinan yang berbeda,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran. Aku sudah menyerahkan leherku. Bunuhlah aku sebagai hukuman atas pengkhianatanku terhadap Kediri serta kesediaanku untuk memikul hukuman dari isi padepokan ini, terutama mereka yang sempat melarikan diri.”
“Aku bertanya kepadamu Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “bagaimana sikap batinmu terhadap Kediri sekarang ini? Kita masih tetap di arena. Kau belum menyerah dan aku pun belum menyerah meskipun kemampuanku tentu belum pulih kembali.”
“Jangan paksa aku merasa semakin tersiksa Pangeran. Mungkin Pangeran tidak dapat menyiksaku dalam ujud kewadagan. Tetapi pertanyaan Pangeran itu telah menyiksa perasaanku, sebaiknya Pangeran membunuh saja aku. Kematianku akan mengakhiri segala persoalan yang terjadi di padepokan ini.” berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Bukan maksudku Ki Permita. Baiklah. Jika kau tidak mau mendengar pertanyaanku itu. Aku tidak akan memaksamu menjawab.
“Ampun Pangeran,“ desis Ki Permita, “satu-satunya kemungkinan terbaik yang dapat Pangeran lakukan dalam keadaan seperti ini adalah membunuhku.
“Tidak Ki Permita,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “sebagaimana kau tidak merasa berhak membunuhku, dalam perang sekalipun, maka aku pun tidak merasa berhak menghukummu.”
“Pangeran berhak. Aku menyerah,“ berkata Ki Permita, “jika Pangeran menganggap bahwa aku belum menyerah, maka aku menegaskan, sejak aku menyerahkan mati hidupku, aku menyerah. Pangeran berhak membunuh seorang tawanan yang berbahaya, karena sebenarnyalah bahwa aku akan dapat menjadi sangat berbahaya bagi Pangeran dan bahkan bagi Kediri.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian suaranya merendah, “jadi kau menyerah.”
“Ya. Dan Pangeran dapat membunuhku,“ jawab orang itu.
“Baiklah Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jika kau memang menyerah, maka kau tentu merasa berada di bawah kuasaku.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bertanya dengan nada tinggi, “Apa maksud Pangeran.””
“Aku terima penyerahanmu. Tetapi dengan syarat,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Justru dengan syarat?“ bertanya orang itu, “bukankah seharusnya akulah yang mengajukan syarat? Dan bukankah Pangeran seharusnya memerintahkan aku menyerah tanpa syarat?”
“Kali ini tidak,“ jawab Pangeran Singa Narpada, “aku sudah menghindari pertanyaanku tentang sikapmu terhadap Kediri. Karena itu, sebagai syarat penyerahanmu, aku tuntut kau menangkap orang-orang yang berhasil melarikan diri. Jika kau yang melakukannya tentu akan jauh lebih mudah daripada jika aku atau orang-orang Lemah Warah yang melakukannya. Terutama para pemimpinnya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Yang dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah sudah terlalu banyak. Yang dikorbankannya pun telah terlalu banyak pula justru adalah anak-anaknya yang terbaik.”
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Ki Permita. Bukan karena Akuwu Lemah Warah sudah menjadi putus asa dan tidak akan mampu lagi memburu orang-orang yang melarikan diri itu. Tetapi apakah kita akan dapat mencari jalan lain yang lebih singkat dan korban yang lebih kecil.”
Orang yang disebut Ki Permita itu menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, “Pangeran. Aku selalu berusaha mencegah jika Panembahan berniat untuk mempergunakan ilmunya di dalam setiap pertempuran. Sorot matanya dan juga angin pusaran yang dapat dilontarkan dari dirinya atas dorongan ilmunya.”
“Aku mengerti Ki Permita. Dengan demikian kau berusaha agar pamanda Pangeran Gagak Branang tidak membantai lawannya sebagaimana membabat batang ilalang,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi yang akan terjadi tentu tidak demikian. Orang-orang yang melarikan diri itu hanya disertai dengan beberapa orang pengawal saja. Jika kau harus menghancurkannya, maka jumlahnya tidak terlalu banyak dan bahkan mungkin kau dapat mengambil jalan lain. Bukan jalan kekerasan. Tetapi jika yang datang prajurit Lemah Warah, akan terjadi pertempuran lagi. Dan korban pun akan jatuh dari kedua belah pihak. Tentu jauh lebih banyak daripada jika kau sendiri yang melakukannya. Sementara itu aku yakin bahwa kau akan mampu mengatasi orang-orang yang telah melarikan diri itu. karena betapapun tinggi ilmu mereka, agaknya bukan tandingannya dengan ilmu yang pernah kau pertunjukkan kepadaku.”
Ki Permita masih termangu-mangu. Namun agaknya ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada. Namun bagaimanapun juga ada sesuatu yang masih menghambat perasaannya.
“Ki Permita,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “aku ingin mendengar kesediaanmu.”
Ki Permita mengangkat wajahnya. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tatapan mata yang lesu. Namun kemudian katanya, “Baiklah Pangeran. Aku akan memenuhi syarat penyerahanku. Mudah-mudahan aku dapat menangkap mereka tanpa mempergunakan kekerasan, apalagi jatuhnya korban.”
“Terima kasih. Untuk sementara kami masih akan berada di padepokan ini. Jika selama kami masih berada di padepokan ini Ki Permita dapat memenuhi syarat itu, maka kami akan merasa sangat beruntung,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku hanya dapat berusaha. Tetapi untuk menemukan mereka aku masih memerlukan waktu. Apalagi untuk membawa mereka ke padepokan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku percaya kepadamu Ki Permita. Kau akan melakukan tugasmu dengan baik.“ namun kemudian terdengar suaranya menurun, “dan aku percaya kepadamu, bahwa kau mempunyai keyakinan yang berbeda dengan pamanda Pangeran Gagak Branang. Hanya kesetiaanmu sajalah yang memaksamu untuk mengikutinya dan berbuat seolah-olah kau pun berkeyakinan seperti pamanda Pangeran Gagak Branang.”
Orang itu menunduk dalam-dalam. Sesuatu terasa bergejolak di dalam dadanya. Penilaian Pangeran Singa Narpada membuat darahnya bagaikan mengalir lebih cepat. Sebenarnyalah bahwa ia memang mempunyai keyakinan yang berbeda. Tetapi ia adalah abdi yang setia sehingga ia telah menimbun keyakinannya sendiri dan menempatkan dirinya pada sikap dan keyakinan orang lain.
Namun orang yang diikutinya itu sudah tidak mungkin lagi untuk bersikap dan berkeyakinan. Bahkan agaknya sulit bagi Panembahan itu untuk dapat tetap bertahan hidup. Karena itu, maka ia pun merasa telah terlepas dari ikatan kesetiaannya tentang sikap dan keyakinan, meskipun ia masih merasa bahwa ia adalah hamba dari Panembahan itu, dan bahkan terbersit niatnya untuk ikut mati bersamanya.
Namun Pangeran Singa Narpada ternyata memberikan perintah kepadanya untuk melakukan sesuatu yang barangkali baik juga dilakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa jika ia bersedia melakukannya, maka korban akan dapat dikurangi sekecil-kecilnya. Karena ia akan dapat melakukannya sendiri tanpa pasukan dan para pemimpin dari Lemah Warah, sementara itu, Lemah Warah telah memberikan korban cukup banyak.
“Baiklah,“ berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “kita dapat memikirkan langkah-langkah kita lebih lanjut. Aku akan melihat suasana medan.”
“Silahkan Pangeran. Biarlah aku menunggui Panembahan di sini. Aku tidak tahu, apakah keselamatan Panembahan masih dapat diusahakan. Namun bagaimanapun juga, aku masih akan berusaha.”
“Silahkan,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
“Aku akan membawanya ke barak sebelah,“ berkata Ki Permita kemudian.
Pangeran Singa Narpada dan para pemimpin Lemah Warah serta yang lain pun kemudian telah meninggalkan Pangeran Gagak Branang yang ditunggui oleh hambanya yang setia.
Seperti dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka pertempuran memang sudah selesai. Namun Pangeran Singa Narpada harus mengelus dadanya melihat jumlah korban yang jatuh. Meskipun Pangeran Singa Narpada adalah seorang prajurit yang keras dan garang, namun melihat korban yang sedang dikumpulkan, baik dari Lemah Warah maupun dari padepokan itu sendiri, rasa-rasanya kulitnya telah meremang.
Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada jalan lain. Tanpa pengorbanan yang besar, maka Kediri tidak akan dapat menyingkap rahasia padepokan itu yang ternyata dipimpin oleh Pangeran Gagak Branang yang tidak kalah kerasnya dari Pangeran Singa Narpada. Akuwu Lemah Warah sendiri setiap kali telah menekan dadanya melihat anak-anaknya terbaik menjadi korban.
Dalam pada itu, Ki Permita telah membawa tubuh Pangeran Gagak Branang ke barak sebelah, barak yang masih terhitung utuh dibanding dengan barak-barak yang lain. Namun ternyata bahwa keadaan tubuh Pangeran Gagak Branang itu sudah demikian lemahnya. Jantungnya tidak lagi berdetak cukup keras untuk mendorong darahnya mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu kekuatan sejenis getah yang telah mempengaruhi wadagnya, seakan-akan mampu menahan pertumbuhannya, tidak lagi berarti, sehingga karena itu, maka perubahan pada wadag itu pun telah terjadi dengan cepat. Namun yang terbaring itu masih tetap Pangeran Gagak Branang.
Hanya karena pertimbangan usia sajalah maka Pangeran Singa Narpada tidak memikirkannya sebagai Pangeran Gagak Branang. Sebenarnya Pangeran Singa Narpada memang mengenali orang yang disebut Panembahan itu adalah seorang yang pernah dikenalnya. Tetapi getah yang diminumnya tentu sudah berselang beberapa puluh tahun dari saat Pangeran Gagak Branang meninggalkan Kediri, sementara itu beberapa tahun berikutnya pertumbuhan wadagnya telah terhenti. Mungkin sepuluh tahun atau lebih.
Ki Permita menunggui tubuh yang terbaring itu dengan wajah yang suram. Pangeran Gagak Branang memang sudah terlalu tua. Usianya sudah mendekati seratus tahun. Namun pertumbuhan wadagnya telah terhenti sekitar seperempat abad sebelumnya. Kini tubuh yang terbaring itu benar-benar tubuh seorang yang berusia seratus tahun. Tua, lemah dan keriput di dahi dan keningnya.
“Panembahan,“ desis Ki Permita.
Panembahan itu membuka matanya. Namun nafasnya seakan-akan sudah tidak lagi mengalir dari lubang hidungnya. Sementara arus darahnya pun serasa sudah berhenti pula.
“Permita,“ suaranya lemah sekali.
“Ya Panembahan,“ jawab Permita.
“Aku kagum akan kemampuan Singa Narpada dan orang yang disebut Mahendra itu,“ desisnya. Suaranya lemah, bahkan gemetar.
“Ya Panembahan,“ jawab Ki Permita, “mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
“Sementara itu, aku juga mendengar pengakuanmu Permita, bahwa kau juga memiliki ilmu sebagaimana aku miliki,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “tetapi itu tidak mengejutkan aku. Yang mengejutkan aku adalah bahwa sebenarnya kau mempunyai keyakinan lain dari keyakinanku.”
“Ampun Panembahan,“ jawab Ki Permita, “aku tidak dapat mengelak lagi dari nuraniku yang sebenarnya. Aku memang tidak ingin menyembunyikan lagi justru pada saat Panembahan telah terlempar ke dalam ujud kewajaran. Kita sudah sama-sama tua. Pada saatnya aku pun akan segera berubah sebagaimana Panembahan. Jika sampai saat terakhir Panembahan tidak mengetahui keadaanku sebenarnya, rasa-rasanya aku masih tetap berhutang kepada Panembahan. Ada kebohongan yang terasa terbawa tanpa pengakuan. Karena itu Panembahan, tanpa mengurangi kesetiaanku kepada Pangeran Gagak Branang, maka aku telah memberikan pengakuan itu. Dengan demikian aku merasa tidak lagi berhutang kepada Panembahan dengan kebohongan yang tidak habis-habisnya.”
Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas kejujuranmu. Dalam saat-saat terakhir ini, sebaiknya aku memang mengetahui segala-galanya. Pengakuanmu atas keyakinanmu yang berbeda, justru memberikan tekanan akan kesetiaanmu. Hanya orang yang setia sepenuhnya sajalah yang dapat menyembunyikan nuraninya untuk waktu yang sekian tahun lamanya. Untuk itu aku harus berterima kasih kepadamu.”
Ki Permita menundukkan wajahnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Pangeran, hamba mohon maaf.”
Panembahan yang terluka parah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit di dadanya. Pada usia yang sudah sangat tua, maka ia tidak akan mampu bertahan lagi, setelah simpul pengendalian ilmunya terguncang setelah membentur kekuatan ilmu Pangeran Singa Narpada dan Mahendra bersama-sama.
Karena itu maka suaranya yang semakin lemah terdengar pula, “Permita. Meskipun sikapku terhadap Kediri tidak sama dengan Pangeran Singa Narpada, namun ia adalah seorang yang luar biasa. Ia adalah seorang kesatria yang teguh memegang martabat kesatriaannya. Karena itu, maka kau akan mendapat tumpuan pengabdian yang baru. Ikutlah anak itu dan justru sikapmu akan sesuai dengan sikapnya.”
“Aku mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada, Panembahan,“ berkata Ki Permita.
“Lakukan. Aku sudah mendengarnya. Kau akan dapat memenuhinya tanpa merenggut korban lagi dari orang-orang Lemah Warah,“ berkata Panembahan itu.
“Tetapi dalam tugas ini, aku ingin menutup lembaran-lembaran ceritera tentang hidup seorang hamba yang setia. Panembahan, umurku pun sudah terlalu tua. Aku sudah terlalu lama hidup tanpa ujung pangkal. Maka sepeninggal Panembahan, maka rasa-rasanya hidup pun tidak akan berarti lagi. Karena itu maka aku memang ingin mengakhiri hidup ini dengan cara sebagai seorang prajurit yang mati di medan perang.”
“Tidak ada orang yang dapat membunuhmu kecuali Pangeran Singa Narpada dan Mahendra itu bersama-sama sebagaimana dilakukan atas diriku,“ berkata Panembahan itu semakin lemah.
Permita tidak menyahut lagi. Tetapi ia bergeser semakin mendekat. Ditatapnya wajah yang menjadi semakin pucat serta nafas yang semakin sendat.
Tetapi ternyata bahwa Pangeran Gagak Branang itu masih belum sampai pada batas terakhir. Ia masih tetap bernafas meskipun keadaannya menjadi sangat parah. Bahkan Permita telah menyangka bahwa sebelumnya Pangeran Gagak Branang itu telah meninggal. Namun ternyata belum.
Namun justru karena itu, maka Pangeran Gagak Branang itu akan menjadi persoalan baginya. Jika ia melakukan tugas Pangeran Singa Narpada, maka ia harus meninggalkan Pangeran Gagak Branang dalam keadaan yang payah. Ki Permita tidak dapat sekedar merenungi keadaan itu. Karena itu ia harus mengatakannya kepada Pangeran Singa Narpada apabila ia sudah siap untuk berangkat.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Pangeran Singa Narpada maka Pangeran Singa Narpada tidak mengabaikannya. Pangeran Gagak Branang memang memerlukan perawatan, sementara itu ia tidak dapat terlalu lama menunggu sehingga orang-orang yang harus mereka cari akan bersembunyi semakin jauh.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun kemudian bertanya kepada Ki Permita, “Bagaimana menurut pertimbanganmu?”
“Memang harus ada orang khusus yang merawatnya,“ berkata Ki Permita, “sebenarnya orang yang paling tepat adalah aku. Tetapi Pangeran telah memerintahkan aku untuk mencari orang-orang yang telah melarikan diri dari padepokan ini.”
“Jadi, bagaimana sebaiknya? Tugasmu diurungkan?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak Pangeran. Biarlah aku bertanya kepada Pangeran Gagak Branang, apa yang dikehendakinya,“ jawab Ki Permita.
“Jika pamanda Gagak Branang menghendaki kau tinggal, maka aku sama sekali tidak berkeberatan kau tinggal,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Mahendra telah berkata, “Pangeran. Jika Pangeran Gagak Branang setuju, aku bersedia merawatnya, selama Ki Permita melakukan tugasnya.”
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjawab, “Aku akan bertanya kepada Pangeran Gagak Branang.”
Seperti yang dikatakannya, maka Ki Permita pun telah menemui Pangeran Gagak Branang yang terbaring di sebuah amben di dalam barak yang tidak lagi dihuni oleh orang lain. Ternyata Pangeran Gagal Branang tidak menolak. Apalagi ketika ia mendapat keterangan bahwa Mahendra adalah salah seorang dari kedua orang yang telah membentur ilmunya.
“Ia adalah orang yang luar biasa sebagaimana Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku akan merasa beruntung sekali jika ia bersedia mengawani aku di sini.”
Demikianlah, maka pada saatnya Ki Permita itu pun telah minta diri untuk melakukan tugasnya. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah serta pasukannya masih tetap berada di padepokan itu untuk beberapa saat lamanya.
Seperti yang disanggupinya, maka Mahendra lah yang kemudian merawat Pangeran Gagak Branang yang tua dan lemah. Yang kadang-kadang menjadi sangat gawat sehingga nampaknya tidak ada lagi harapan baginya untuk bertahan sampai sepenginang. Namun ternyata bahwa segala dugaan telah keliru. Pernafasan Pangeran Gagak Branang menjadi teratur kembali dan keadaannya pun berangsur baik.
Ternyata bahwa Mahendra berusaha untuk merawat Pangeran Gagak Branang sebaik-baiknya. Ia sama sekali tidak memberikan kesan bahwa mereka pernah berhadapan sebagai lawan yang mempertaruhkan hidup mati mereka. Namun sebaliknya Pangeran Gagak Branang pun tidak lagi menganggap Mahendra sebagai musuhnya.
Dalam pergaulan mereka yang semakin akrab, maka Pangeran Gagak Branang telah menganggap Mahendra sebagai sahabatnya. Bahkan Pangeran Gagak Branang itu pun mulai tertarik kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak Mahendra yang memiliki kemampuan yang tinggi pada usianya yang masih muda.
“Aku telah mendengar tentang anak-anakmu itu Mahendra,“ berkata Pangeran Gagak Branang.
“Mereka memang mulai belajar tentang olah kanuragan,“ berkata Mahendra, “tetapi mereka tidak termasuk anak-anak yang cerdas.”
“Kau merendahkan diri,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku tahu, anak-anakmu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Sebelum kau datang, anak-anakmu telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang sebenarnya terlalu berat bagi anak-anak muda sebayanya.”
“Pangeran memuji,“ desis Mahendra.
Pangeran Gagak Branang tersenyum. Namun ia pun kemudian terdiam. Seperti sering dilakukan, maka ia pun kemudian telah merenung. Seakan-akan dipandanginya satu masa yang tidak dapat disebutkan. Mungkin ia sedang menerawangi satu kenangan atau mungkin bahkan ia sedang menyesali keadaannya, atau mengangankan masa depan yang mungkin akan dialaminya.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahendra mampu menempatkan dirinya sebagai sahabat Pangeran Gagak Branang. Sehingga dengan demikian sepeninggal Ki Permita, Pangeran Gagak Branang tidak merasa sendiri, tanpa orang lain.
Sementara itu, Ki Permita telah meninggalkan padepokan itu. Sebenarnya ia pun tidak begitu pasti, ke mana orang-orang itu pergi. Namun ia mempunyai beberapa dugaan, tempat-tempat yang mungkin didatangi oleh para pemimpin padepokan itu yang melarikan diri, sehingga tempat-tempat itu akan dapat dijadikan sasaran utama dalam melaksanakan tugasnya.
Namun demikian, di sepanjang jalan, Ki Permita mencoba untuk mendengarkan pembicaraan orang atau justru ia telah bertanya-tanya apakah ada orang yang sempat melihat kelompok kecil yang lewat di padukuhan mereka atau bahkan kepada para penjual di kedai, mungkin sekelompok orang telah singgah di kedai itu.
Meskipun tidak banyak orang yang bersedia memberikan keterangan, karena takut terlibat dalam satu tindak kekerasan, namun ada juga yang tidak dengan maksud sesuatu, menunjukkan, sekelompok orang yang pernah lewat di padukuhan mereka, atau singgah di kedai mereka. Sehingga dengan demikian, meskipun agak sulit, namun Ki Permita akhirnya yakin bahwa sekelompok kecil orang-orang itu telah menuju ke sebuah padepokan lain yang juga pernah dikenalnya.
Namun Ki Permita itu kadang-kadang menjadi berdebar-debar. Jika ia harus menghadapi orang padepokan, maka ia tentu akan melakukan sesuatu yang dicemaskannya dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang. Tetapi untuk menenangkan hatinya sendiri ia berkata, “Tetapi sasarannya memang berbeda. Pangeran Gagak Branang akan melakukannya atas para prajurit yang sedang mengemban tugas, sedangkan aku jika terpaksa akan melakukannya atas orang-orang yang sedang memberontak terhadap pemerintah.”
Namun Ki Permita tetap berkeinginan bahwa segalanya akan dapat diselesaikan tanpa kekerasan, tanpa korban dan akan dicapainya dengan tuntas.
Sementara Ki Permita menelusuri jalan yang dilalui oleh para pemimpin padepokan yang melarikan diri, maka keadaan Pangeran Gagak Branang menjadi semakin tidak menentu. Kadang-kadang keadaannya nampak sulit sekali. Nafasnya bagaikan tidak dapat lagi mengalir. Namun kadang-kadang keadaannya nampak baik dan bahkan semakin segar. Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Gagak Branang telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan Mahendra. Dengan suara yang bergetar Pangeran itu berkata,
“Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra. Sebagaimana kalian lihat, keadaanku ternyata sangat sulit. Aku seperti berdiri di sebuah pintu. Sekali aku didorong untuk masuk, namun kadang-kadang aku telah terlempar lagi keluar.”
Pangeran Singa Narpada yang duduk dekat dengan Pangeran Gagak Branang itu kemudian berkata, “Bagaimana maksud pamanda. Apakah pamanda ingin melakukan samadi agar keadaan pamanda menjadi semakin baik? Jika memang pamanda kehendaki, maka biarlah aku dan Mahendra menolong pamanda. Keadaanku dan Mahendra sudah berangsur baik, dan bahkan justru telah pulih kembali.”
“Aku memang sudah menduga,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “tetapi nampaknya keadaanku tidak akan menjadi baik. Aku sudah terlalu tua dan wadagku seperti ini tidak akan dapat lagi mendukung ilmuku seandainya aku masih mungkin menyelamatkannya.”
“Jadi bagaimana maksud pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Singa Narpada. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui. Bahwa apapun yang terjadi atas diriku, aku tidak akan mati. Seandainya kalian berdua, dalam kemampuan sepenuhnya seperti sekarang ini menyerang aku, aku memang akan semakin hancur. Tetapi aku tidak akan mati. Bahkan justru semakin tersiksa. Tubuhku menjadi semakin rusak. Namun nyawaku akan tetap berada di dalamnya dengan semua penanggungan.”
“Kenapa Pangeran tidak dapat mati?“ bertanya Mahendra.
“Itulah yang ingin aku pecahkan,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “semula aku merasa bangga akan kekebalan itu. Tetapi pada saat seperti ini, maka kematian adalah satu-satunya jalan yang paling baik bagiku untuk melepaskan diri dari penderitaan ini.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia dapat mengerti, bahwa kematian memang merupakan pelepasan terbaik bagi Pangeran Gagak Branang.
“Singa Narpada, kau jangan merasa segan untuk membenarkan kata-kataku,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku memerlukan pertolonganmu.”
“Apa yang dapat kami lakukan pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Carilah seutas lawe.”
“Lawe?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya, lawe. Kemudian usahakan agar kau dapat melakukan sesuatu untuk melepaskan penderitaan ini,“ berkata Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah memerintahkan kepada Akuwu Lemah Warah untuk mengusahakan seutas lawe. “Jika perlu, pergi ke padukuhan,“ berkata Pangeran Singa Narpada.
Sementara prajurit Lemah Warah mencari seutas lawe, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, “Singa Narpada. Ada sesuatu lagi yang ingin aku beritahukan. Dalam keadaan yang parah ini, masih ada yang dapat aku berikan kepada seseorang. Mungkin kau atau Ki Mahendra atau kedua-duanya. Kalian adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan sisa ilmu yang ada padaku, maka kalian akan memiliki ilmu yang lebih baik lagi.”
“Tetapi dengan akibat, tidak dapat mati sebagaimana pamanda sekarang ini?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak Singa Narpada,“ jawab Pangeran Gagak Branang, “bahwa aku terlepas dari kematian bukan karena ilmu itu. Tetapi karena ilmu yang lain.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bertanya, “Pamanda. Apakah ada syaratnya bagi seseorang yang harus menerima ilmu itu?”
“Memang ada,“ jawab Pangeran Gagak Branang, “yang akan menerima ilmu itu harus orang-orang yang memang sudah berilmu, ia memiliki wadag yang kuat untuk mendukung kemampuan yang timbul karena ilmu itu. Selanjutnya, penilaian tentang watak dan tingkah laku.”
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada lah yang bertanya, “Bagaimanakah dasar penilaian tentang watak dan tingkah laku?”
Pangeran Gagak Branang yang nafasnya terasa menjadi sesak berkata, “Penilaian watak dan tingkah laku tergantung orang yang memiliki ilmu itu untuk menentukan apakah seseorang dianggap pantas untuk menerimanya.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk . Namun kemudian katanya, “Pamanda. Kami berdua sudah menjadi semakin tua. Sebentar lagi kami berdua akan segera menyusul sebagaimana keadaan pamanda sekarang. Karena itu seandainya ilmu itu pamanda berikan kepada kami berdua, maka agaknya tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan.”
“Bukankah kalian akan dapat mewariskannya kepada orang-orang yang kalian percaya?“ berkata Pangeran Singa Narpada. “Sementara itu, kau memiliki syarat yang paling baik untuk menerima ilmu ini. Kau mampu menghisap ilmu orang lain sehingga akan berarti bagi dirimu sendiri.”
“Tidak pamanda. Aku hanya mampu memperlemah ilmu orang lain, tetapi tidak menghisapnya dan memberikan arti bagi kemampuanku,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Kau sudah berdiri di ambang pintu. Kau tinggal melangkah satu langkah lagi untuk sampai pada kemampuan itu,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “jika pada saat kau mengetrapkan ilmumu itu kau sertai dengan laku yang lain, maka kau akan sampai pada kemampuan itu.”
“Apakah yang harus aku lakukan seandainya aku bersedia menerima ilmu pamanda,“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Pangeran. Kau sampai saat ini masih membenturkan kekuatan dan kemampuan ilmumu sekaligus dan bersama-sama. Yang terjadi dalam pergolakan ilmu itu adalah, bahwa ilmumu justru telah menyusup ke dalam tubuh lawanmu, baru terjadi penyusutan kemampuan lawanmu karena getaran ilmumu yang telah membekukan sebagian dari ilmu lawanmu di dalam tubuh mereka. Jadi yang terjadi bukannya satu kemampuan untuk menghisap ilmu lawanmu.“
“Hamba mengerti pamanda. Tetapi istilah yang paling mudah dipergunakan adalah menghisap ilmu lawan sebagaimana dipergunakan oleh banyak orang. Mereka menuduh aku mempergunakan ilmu yang licik, karena aku telah mencuri kemampuan lawan dengan diam-diam.“ jawab Pangeran Singa Narpada.
“Mungkin istilah itu dapat saja dipergunakan, karena yang terjadi memang seolah-olah demikian,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “namun untuk memiliki ilmuku kau dapat berbuat lain. Kau harus benar-benar menghisap. Kau trapkan ilmumu, tetapi tidak dengan kekuatan benturan. Kau justru harus membiarkan kekuatan lawan menusuk ke dalam dirimu, kemudian kau terima dan kau hisap ke dalam ruang penempatan ilmumu yang tidak terbatas. Kau biarkan getaran itu bergejolak di dalam dirimu, namun kau siapkan daya tahanmu untuk melindungi dirimu jika ilmumu itu ternyata kurang mampu mewadahi luap getaran ilmu yang akan kau terima itu. Karena itu, untuk menerima ilmuku, seseorang memang harus sudah memiliki ilmu yang tinggi, sehingga luapan kemampuan ilmu ini dapat di atasi dengan kemampuan daya tahan yang cukup besar.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dipandanginya Mahendra sejenak. Kemudian hampir berbisik Pangeran Singa Narpada berkata, “Bagaimana dengan kedua anakmu. Aku kira itu akan lebih baik daripada jika kita yang tua-tua ini yang akan menerimanya.”
Mahendra nampak ragu-ragu. Namun dalam pada itu Pangeran Gagak Branang mendengar pertanyaan itu betapapun lambatnya. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Siapakah yang kau maksud?”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mendapat laporan tentang kedua anak muda itu. Dan aku pun telah melihat pula meskipun tidak dengan mata wadagku bagaimana ia bertempur. Nampaknya anak-anak itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi, sementara itu aku mempunyai penilaian yang baik bagi watak dan tingkah lakunya. Dalam usianya yang masih sangat muda mereka telah melakukan satu tugas dengan penuh tanggung jawab tanpa menghiraukan taruhannya yang sangat besar, yaitu nyawa mereka sendiri. Bahkan mereka telah mampu mengalahkan orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.”
“Jadi bagaimana menurut pamanda Pangeran, jika aku mengusulkan agar ilmu itu dapat disalurkan kepada kedua anak muda yang masih akan memiliki masa depan yang panjang itu?”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya memang benar-benar sudah menjadi kian parah. Namun ia masih berkata, “Bawa anak itu kemari!”
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberi isyarat kepada Mahendra untuk menghadapkan kedua anak laki-lakinya. Namun bagaimanapun juga terbersit keragu-raguan di hati Mahendra. Yang akan dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jika kedua anaknya tidak mampu menerima dan mengisap dan meluluhkannya di dalam dirinya, serta ternyata daya tahannya tidak dapat mengatasi luapan ilmu itu maka ilmu itu justru akan membahayakannya.
Apalagi apabila dalam keadaan yang gawat itu. Pangeran Gagak Branang sengaja menyeret orang lain untuk menyertainya memasuki dunia langgengnya. Namun ketika Pangeran Singa Narpada memandanginya dengan tatapan mata yang meyakinkan, maka ia pun telah melakukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih belum menentukan sikapnya, apakah ia dapat menerimanya atau tidak. Mereka ingin melihat dan mengalami satu pengalaman batin selama bersentuhan dengan sikap Pangeran Gagak Branang.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di sisinya, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata dengan suara yang bergetar, “Anak-anak muda. Kita bertemu dalam satu arena pertempuran dan kebetulan kita berdiri berseberangan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Gagak Branang berkata selanjutnya, “Tetapi itu bukan merupakan hambatan bagiku untuk melihat watak dan sikap kalian menghadapi keadaan. Menurut penglihatanku, baik penglihatan kewadagan maupun penglihatan khusus, kalian berdua merupakan anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kepercayaan. Kalian berdua telah menjalankan tugas kalian dengan sebaik-baiknya. Penuh tanggung jawab dan mempertaruhkan hidup dan mati meskipun kalian masih sangat muda. Kalian berpegang pada keyakinan dan tanpa mengenal gentar dan takut menghadapi apapun juga. Karena itu, maka aku berpendapat, bahwa kalian adalah orang yang pantas untuk mendapat kesempatan mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi hampir berbareng mereka berpaling kepada ayahnya. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun menilik sikap dan kata-kata Pangeran Gagak Branang, rasa-rasanya Mahendra mempercayainya bahwa ia tidak akan mencelakakan kedua anaknya.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, “Anak-anak muda. Apakah kalian bersedia menolongku?”
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Apa yang dapat aku lakukan?”
“Mengurangi bebanku menjelang kematianku,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “ternyata ketamakanku telah menjeratku dalam keadaan seperti ini di saat terakhirku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu. Karena itu Pangeran Gagak Branang masih harus menjelaskan, “Tetapi ilmu ini bukan penghambat utama. Jika aku melepaskannya, maka sekedar akan mengurangi beban. Tanpa ilmu yang menurut dugaanku akan dapat memberikan kebanggaan, kebahagiaan dan kelebihan dari semua orang, maka aku tidak akan mengalami kesulitan seperti ini. Aku dapat melepaskan ilmu yang akan aku wariskan kepada kalian tanpa orang lain. Tetapi yang satu itu tidak. Harus ada orang yang menolongku. Sementara aku dibebani oleh perasaan sayang untuk membuang begitu saja sesuatu yang mungkin akan berarti bagi orang lain. Bahkan akan berarti bagi kehidupan yang lebih luas. Jauh lebih besar artinya daripada semasa ilmu itu ada padaku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka masih saja mengharapkan petunjuk dari ayahnya. Sementara Mahendra pun seolah-olah minta pertimbangan kepada Pangeran Singa Narpada. Baru kemudian Pangeran Singa Narpada mengangguk kecil, sehingga dengan demikian sudah ada isyarat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah sebaiknya yang harus mereka lakukan.
“anak-anak muda,“ berkata Pangeran Gagak Branang dengan suara bergetar, “katakanlah. Apakah kau siap untuk mewarisi ilmuku? Baiklah aku beritahukan, apa yang dapat kau sadap dari aku. Sebenarnya bukan satu ilmu yang terpisah dari diriku dan dari diri mereka yang akan mewarisinya. Ilmu itu adalah satu alas yang akan meningkatkan apa yang sudah ada di dalam diri masing-masing. Kau tidak akan mendapatkan sesuatu yang baru.”
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka kecemasan mereka pun menjadi semakin susut. Getaran yang akan menyusup ke dalam diri anak-anak muda itu tidak akan mengalami benturan-benturan yang keras dengan apa yang telah ada di dalam diri kedua anak muda itu.
“Nah, katakanlah,“ desis Pangeran Gagak Branang, “apakah kalian bersedia menerimanya, atau jika tidak, biarlah ilmu itu aku tumpahkan dan kehilangan arti sama sekali, meskipun sebenarnya masih akan dapat berarti bagi kehidupan ini sesuai dengan pengabdian mereka yang memilikinya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak ragu-ragu. Namun Pangeran Singa Narpada sekali lagi memberikan isyarat kepada kedua anak itu dan kepada Mahendra. sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berkata hampir bersamaan, “Baiklah Pangeran.”
“Ya Pangeran,“ jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Kalian akan segera mendapatkannya. Ilmu itu sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Ilmu itu adalah ilmu yang mendukung ilmuku yang lain. Tetapi dalam benturan ilmu yang terjadi, maka ilmuku yang didukung oleh alas kekuatan itu tidak lagi memiliki kemampuan. Sehingga betapapun besarnya kekuatan yang mendukungnya sudah tidak akan ada artinya lagi,“ berkata Pangeran Gagak Branang. “namun aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk menyusupkan getaran kekuatan ilmu itu ke dalam tubuh kalian, sehingga kalianlah yang harus menghisapnya daripadaku. Aku sudah mengetahui bahwa kalian berdua telah memiliki ilmu itu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu untuk selanjutnya, biarlah Pangeran Singa Narpada memberikan petunjuk laku kepada kalian.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia-pun kemudian telah memberikan beberapa petunjuk kepada kedua anak muda itu sebagaimana Pangeran Gagak Branang memberikan petunjuk.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang pun berkata, “Kita akan segera mulai jika lawe itu sudah ada.”
Mahendra lah yang kemudian menghubungi Akuwu Lemah Warah. Ternyata bahwa seorang di antara prajuritnya telah mendapatkan lawe itu di padukuhan, meskipun hanya beberapa depa saja.
Ketika kemudian lawe itu dibawa kepada Pangeran Gagak Branang, maka katanya, “Lingkarkan lawe itu pada lambungku.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun ia-pun kemudian mengikuti apa yang dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang. Dilingkarkannya lawe itu di lambung Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Gagak Branang pun kemudian berkata, “Terima kasih. Sekarang, biarlah kedua anak muda itu mengambil ilmu itu daripadaku. Tetapi Pangeran Singa Narpada, kau harus selalu mendengarkan kata-kataku. Pada saatnya kau harus menolongku melepaskan nyawaku yang terikat oleh wadagku yang telah tidak memadai lagi. Ternyata bahwa apa yang aku anggap akan dapat memberikan aku kebahagiaan tanpa batas itu justru telah menyiksaku. Karena ternyata kematian memang tidak akan dapat dihindari oleh siapapun.”
Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat sambil menyahut, “Baiklah pamanda. Aku akan mengikuti segala perintah pamanda. Tetapi pamanda jangan menganggap bahwa aku memang menghendaki kematian pamanda.”
“Tidak Pangeran. Aku sadar sepenuhnya, bahwa aku sendirilah yang menghendakinya. Kau justru akan menolongku untuk melakukannya,“ jawab Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Gagak Branang mengangguk kecil. Kemudian katanya, “sekarang sudah waktunya anak-anak muda itu mengambil ilmu itu.”
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya pun sudah mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu yang tersisa di dalam tubuh Pangeran Gagak Branang yang sudah menjadi sangat lemah. Kedua anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat.
Pangeran Gagak Branang yang lemah itu pun telah mengulurkan kedua tangannya sambil berkata, “Pegang tanganku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tanggap. Keduanya memegang tangan Pangeran Gagak Branang sebelah menyebelah.
“Anak-anak,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “Sekarang pusatkan segala kemampuanmu pada ilmu yang pernah kau miliki sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa Narpada. Lakukan petunjuk yang telah diberikan kepadamu oleh Pangeran Singa Narpada itu. Aku telah siap untuk melepaskannya. Kerahkan semua kemampuan yang ada padamu. Dan kerahkan daya tahan yang kalian miliki, sehingga seandainya kekuatan getaran ilmuku yang terhisap di dalam tubuhmu dan terjadi sengatan pada bagian dalam tubuhmu oleh limpahan kekuatan ilmuku, maka kau tidak akan mengalami sesuatu. Kemudian ilmu yang terhisap ke dalam kekuatan serta kemampuan ilmumu itu akan menjadi landasan peningkatan kemampuan ilmumu selanjutnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka pun telah mempersiapkan segenap kemampuannya daya tahan untuk melindungi isi dada mereka andaikata getaran yang terjadi di dalam dada mereka mengguncangkan isinya, oleh luapan kekuatan yang ternyata terlalu besar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan ilmu mereka. Seperti yang dikatakan dalam petunjuk yang diberikan oleh Pangeran Singa Narpada, maka keduanya dalam mengetrapkan ilmunya tidak mempergunakan kekuatan benturan wadag mereka. Mereka justru berusaha untuk melepaskan getaran yang terjadi menusuk ke dalam tubuh mereka.
Demikianlah telah terjadi gejolak di dalam diri Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka merasakan arus yang deras mengalir ke dalam diri mereka. Arus yang seakan-akan tidak terbendung. Getaran itu semakin lama menjadi semakin keras mengguncang isi dada mereka, sehingga isi-dada kedua anak muda itu pun mulai terasa pedih. Namun kedua anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan daya tahan mereka, sehingga dengan demikian mereka masih mampu mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra yang menyaksikan peristiwa itu menjadi berdebar-debar. Dengan cemas keduanya memandang setiap perubahan pada wajah kedua anak muda itu. Keringat nampaknya mulai membasahi tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan kemudian tubuh mereka pun telah menjadi bergetar pula. Mahendra benar-benar menjadi cemas. Tetapi segalanya sedang berlangsung, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun demikian Mahendra telah bergeser mendekat. Dalam keadaan yang gawat ia akan dapat membantu menyalurkan kekuatan ke dalam tubuh kedua anaknya, untuk ikut serta mendukung beban yang mengalir dari diri Pangeran Gagak Branang ke dalam diri kedua anaknya.
Bahkan Pangeran Singa Narpada pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah bergeser mendekat, siap untuk memberikan bantuan jika ternyata kemampuan kedua anak muda itu tidak dapat menampung ilmu yang ingin mereka warisi dari Pangeran Gagak Branang.
Keduanya semakin berdebar-debar ketika mereka melihat wajah kedua anak muda itu menjadi semakin pucat, sementara keringat mereka telah membasahi tubuh mereka bagaikan orang yang sedang mandi.
Debar di dalam dada Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin memukul-mukul jantung. Namun mereka masih tetap menunggu. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menyaksikan kedua anak muda masih duduk sambil memegangi tangan Pangeran Gagak Branang sebelah menyebelah.
Namun kedua orang itu benar-benar menjadi sangat cemas ketika mereka melihat, kepala Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun tertunduk dalam-dalam, seolah-olah tulang lehernya telah patah. Mahendra bergeser setapak mendekat. Namun kemudian ia mendengar Pangeran Gagak Branang itu berdesis. Bahkan kemudian seakan-akan Pangeran itu telah mengerang.
“Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada kemudian. Erangan itu menjadi semakin jelas. Sementara Pangeran Singa Narpada telah bergeser semakin dekat.
“Singa Narpada,“ terdengar suara Pangeran Gagak Branang lambat sekali.
“Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada.
Wajah Pangeran Gagak Branang pun menjadi sangat pucat pula. Nafasnya terengah-engah dan suaranya menjadi sangat lambat, “Singa Narpada. Anak-anak itu telah berhasil menghisap seluruh kekuatan ilmu itu daripadaku. Bagaimana keadaan mereka sekarang?”
Pangeran Singa Narpada memandang kedua anak muda yang duduk dengan kepala yang terkulai lemah. Bahkan kemudian seakan-akan dari ubun-ubun mereka nampak asap yang tipis menguap perlahan-lahan. “Pamanda,“ desis Pangeran Singa Narpada, “aku akan mencoba melihatnya.”
“Lihatlah keadaannya. Bantulah jika mereka memerlukannya,“ desis Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian mendekati Mahisa Pukat, sementara Mahendra berada di dekat Mahisa Murti. Namun meskipun kedua anak muda itu menjadi sangat sulit. Namun keduanya masih mampu berusaha untuk mengatasi kesulitan didalam diri mereka. Dengan segenap kekuatan tenaga cadangan mereka, maka mereka telah mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka oleh luapan ilmu Pangeran Gagak Branang yang mereka hisap itu. Mereka pun telah berusaha mengatur pernafasan mereka untuk meredakan gejolak getaran didalam dada mereka serta untuk mengatur agar peredaran darah mereka menjadi wajar kembali. Meskipun perlahan-lahan agaknya keduanya akan mampu mengatasinya tanpa bantuan orang lain.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun telah bergeser kembali mendekati telinga Pangeran Gagak Branang yang terbaring diam. “Pamanda,“ berkata Pangeran Singa Narpada di telinga pamandanya, “mereka dalam keadaan baik meskipun mengalami kesulitan. Namun agaknya mereka akan mampu mengatasinya.”
“Syukurlah,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “aku memang sudah menduga, bahwa keduanya akan mampu mengatasinya sendiri.“ Pangeran Gagak Branang berhenti sejenak.
Kemudian, “Dengar Singa Narpada. Kedua anak itu akan menjadi dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu mereka yang memang sudah cukup tinggi, akan terangkat ke atas alas yang dihisapnya daripadaku. Sejenis ilmu yang tidak berdiri sendiri, tetapi menopang ilmu yang telah ada didalam dirinya. Namun pesanku kepadamu, sampaikan kepada anak-anak itu, bahwa mereka harus menyadari kegunaan ilmu itu. Ilmu itu merupakan ungkapan dari keyakinannya yang dapat memberikan arti bagi sesamanya sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha Agung. Kau dapat mengatakan kepada mereka, bahwa aku bukan contoh yang baik dari seseorang yang memiliki ilmu itu, karena aku hanya sekedar berpegang pada keyakinanku sendiri. Sementara itu, ada keyakinan lain yang berbeda dengan keyakinanku. Memang sulit untuk menyebutkan kebenaran yang mutlak sehingga kadang-kadang kita merasa diri kita adalah yang paling benar tanpa menghiraukan kebenaran bagi orang lain.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk sambil berkata, “Aku akan menyampaikannya pamanda. Aku yakin bahwa kedua anak itu pada dasarnya memang berpegang kepada satu keyakinan untuk dapat memberikan arti hidup mereka bagi sesama sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha Agung. Sebagaimana selalu dilakukan oleh ayah mereka serta saudara tua mereka, Mahisa Bungalan. Juga paman-paman mereka, yang dikenal dengan Mahisa Agni dan Witantra.”
Wajah Pangeran Gagak Branang nampak berkerut. Dengan nada lemah ia berkata, “Jadi keduanya mempunyai sangkut paut dengan kedua orang yang pernah berada di Kediri atas nama kuasa Tumapel itu?”
“Maksud pamanda, Singasari?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tumapel,“ ulang Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “benar pamanda, keduanya adalah kemanakan kedua orang itu.”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kagum kepada keduanya meskipun aku tidak sependapat dengan keyakinannya. Dengan demikian, maka aku yakin, bahwa kedua anak muda itu akan dapat memanfaatkannya bagi sesama jika kita dapat melupakan keyakinan pribadi tentang Tanah Tumpah Darah itu.”
“Ya pamanda,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “aku pun berharap demikian.”
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dalam sekali. “Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang kemudian, “sekarang telah sampai waktunya. Aku tidak perlu menunggu Permita. Tolong, bantu aku.”
“Apa yang harus aku lakukan pamanda?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Singa Narpada,“ berkata Pangeran Gagak Branang, “waktu itu memang sudah tiba. Wadagku telah tidak lagi mampu mendukung keinginanku yang melonjak menggapai langit. Karena itu, maka aku tidak akan hidup lebih lama lagi.”
Nafas Pangeran Gagak Branang menjadi semakin terengah-engah. Dengan suara yang sendat ia melanjutkan, “Tolonglah aku Singa Narpada. Lingkarkan Lawe itu pada lambungku. Kemudian tarik ujung yang berada di sebelah kiri dari arahku. Perlahan-lahan, jangan sampai putus. Jika lawe itu putus, kau akan semakin menyiksaku.”
“Untuk apa paman?“ bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tolonglah, lakukanlah dengan hati-hati,“ berkata Pangeran Gagak Branang kemudian.
Pangeran Singa Narpada menjadi termangu-mangu. Namun ia pun kemudian telah berdiri, melingkarkan lawe itu pada lambung Pangeran Gagak Branang dalam lingkaran penuh. Kemudian, seperti dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka Pangeran Singa Narpada perlahan-lahan telah menarik tali itu dari arah kiri Pangeran Gagak Branang.
Demikian perhatian Pangeran Singa Narpada sepenuhnya tertuju kepada benang lawe yang ditariknya perlahan-lahan itu, sehingga ia tidak sempat memperhatikan Pangeran Gagak Branang sendiri. Seperti dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka lawe itu jangan sampai putus, karena jika lawe itu putus, maka keadaan Pangeran Gagak Branang akan menjadi semakin buruk.
Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru menahan nafas. Demikian pula Mahendra yang menyaksikannya. Keringat dingin telah mengalir di punggungnya. Bahkan Mahendra tidak lagi memperhatikan kedua anaknya yang sedang berjuang untuk memperbaiki keadaannya. Ujung lawe itu pun mulai bergerak dan hilang di balik punggung. Tangan Pangeran Singa Narpada pun menjadi gemetar. Tetapi karena ia cukup berhati-hati, maka akhirnya ia berhasil menarik lawe itu ke kiri dari arah Pangeran Gagak Branang dengan baik. Benang lawe itu tidak putus sama sekali.
Pangeran Gagak Branang tidak menjawab. Bahkan ketika Pangeran Singa Narpada memperhatikannya, ia pun menjadi berdebar-debar. Kedua tangan Pangeran Gagak Branang itu bersilang di dadanya. Matanya terpejam dan mulutnya sedikit menyungging senyum.
“Pamanda,“ panggil Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang sama sekali tidak menjawab. Mahendra pun telah bergeser mendekat. Namun kemudian dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang termangu-mangu. Dengan nada datar Mahendra berkata, “Pangeran Gagak Branang sudah sampai kepada batas kematiannya. Pangeran Singa Narpada agaknya telah menjadi lantaran.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Pamanda ternyata telah bebas dari penderitaan kewadagannya. Mudah-mudahan pamanda menemukan jalan lurus di dunia abadinya.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Pangeran Gagak Branang terbujur lurus di pembaringannya. Seperti yang dikatakannya ia tidak menunggu hamba setianya yang sedang bertugas untuk menyelesaikan persoalan Kediri dengan para penghuni padepokan itu yang ternyata berada di bawah pengaruh Pangeran Gagak Branang yang dipanggil Panembahan oleh orang-orang padepokan itu.
Dalam pada itu, maka perhatian Mahendra dan Pangeran Singa Narpada kembali kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Nampaknya perlahan-lahan keduanya mampu mengatasi persoalan di dalam diri mereka, sehingga keduanya telah mengangkat kepala mereka yang seakan-akan terkulai pada lehernya tanpa kekuatan sama sekali. Bahkan kedua anak muda itu telah nampak menguasai diri mereka sepenuhnya. Pernafasan mereka telah semakin teratur dan darah pun telah mengalir dengan wajar.
Tetapi untuk beberapa saat Mahendra dan Pangeran Singa Narpada membiarkan kedua orang anak muda itu menyelesaikan laku yang baru mereka jalani. Ternyata beberapa saat kemudian, keduanya telah merasa bahwa mereka telah berhasil. Namun ternyata bahwa keadaan mereka masih terlalu lemah. Urat-urat mereka rasa-rasanya tidak mempunyai tenaga sama sekali, sementara persendian mereka rasa-rasanya telah terlepas satu sama lain.
Namun demikian Mahendra telah menyapa mereka, “Bagaimana keadaan kalian?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Atas doa ayah dan restu Pangeran Singa Narpada, aku telah berhasil.”
“Dan kau?“ bertanya Mahendra kepada Mahisa Pukat.
“Aku juga telah berhasil ayah,“ jawab Mahisa Pukat yang masih sangat lemah.
“Syukurlah,“ berkata Mahendra, “sekarang perhatikan. Inilah keadaan Pangeran Gagak Branang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memperhatikan Pangeran Gagak Branang yang terbaring diam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Apakah karena aku dan Mahisa Pukat berusaha mewarisi ilmunya maka Pangeran Gagak Branang telah meninggal?”
“Tidak. Sama sekali tidak,“ jawab Pangeran Singa Narpada dengan serta merta, “pamanda Pangeran Gagak Branang telah menunjuk sendiri jalan kematiannya.”
Sambil menunjukkan benang lawe di samping tubuh Pangeran Gagak Branang Pangeran Singa Narpada berkata, “benang itulah yang telah membunuhnya. Akulah yang menjadi perantara, mengantar pamanda Pangeran menjelang hari-hari tanpa akhir.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengerti. Namun ayahnya berkata, “Memang sulit bagi kalian untuk mengerti. Apalagi kalian yang sedang menjalani laku. Aku, yang menyaksikan apa yang terjadi tidak juga dapat mengerti dengan jelas apa yang terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak termangu-mangu, sehingga Pangeran Singa Narpada perlu menjelaskan, “Jangan merasa bersalah. Sudah aku katakan, bukan kalian yang telah menyebabkan Pangeran Gagak Branang meninggal.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun wajah mereka masih menunjukkan keragu-raguan.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah menyerahkan tubuh Pangeran Gagak Branang kepada Akuwu Lemah Warah, agar memerintahkan para prajuritnya untuk menyelenggarakannya sebaik-baiknya tanpa menunggu Ki Permita.
“Kita akan memberikan penghormatan yang terakhir,“ berkata Pangeran Singa Narpada, “lepas dari keyakinan pamanda yang menyimpang menurut penilaian kami, tetapi pamanda adalah seorang prajurit linuwih.”
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah telah menyelenggarakan tubuh Pangeran Gagak Branang yang mendapat penghormatan dari semua orang yang masih berada di padepokan itu. Mereka tidak menunggu kedatangan hamba yang setia, Ki Permita yang sedang menjalankan tugas khususnya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih lemah telah mendapat pengamatan dan perlindungan dari ayahnya, Mahendra dan Pangeran Singa Narpada. Namun ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mengganggu mereka. Setelah segalanya selesai, maka barulah mereka mendapat kesempatan untuk duduk dan menilai apa yang telah terjadi.
Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura yang mengetahui tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berjuang untuk mewarisi ilmu Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk dengan bangga. Dengan tulus Akuwu Lemah Warah berkata, “Kalian akan menjadi anak-anak muda yang jarang ada bandingnya. Berbagai ilmu telah kalian warisi, sehingga dengan demikian maka untuk menghadapi masa depan, kalian telah membawa bekal yang cukup lengkap.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa orang-orang yang berkumpul itu telah pernah memberikan sesuatu kepada mereka berdua. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
“Kami mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Kami berdua telah mendapat bekal ilmu dari ayah. Kemudian kami mendapat warisan ilmu pula dari Pangeran Singa Narpada. Di daerah yang asing kami telah bertemu dengan Akuwu Lemah Warah yang kami kenal dengan nama Tatas Lintang. Dan yang terakhir kami telah diperkenankan menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang yang disebut Panembahan di padepokan ini.”
“Itu adalah satu kurnia bagimu,“ berkata Akuwu Lemah Warah yang pernah mengaku kedua anak muda itu sebagai kemanakannya, “namun kalian harus mampu menempatkan dirimu sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dari orang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Mereka tidak dengan bernafsu berusaha untuk mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya. Namun agaknya keduanya memang mendapat kurnia untuk memilikinya.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Justru karena kalian memiliki kemampuan yang sangat tinggi, maka tanggung jawab kalian pun menjadi sangat besar pula. Tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin menunduk. Bukan saja kepala mereka, tetapi justru hati mereka. Kurnia itu memang harus disyukuri. Tetapi juga merupakan beban tanggung jawab yang sangat besar, karena jika mereka salah mengetrapkan ilmu yang ada pada diri mereka, maka apa yang mereka peroleh bukannya satu kurnia bagi sesamanya yang melimpah dari kurnia atas mereka berdua, namun justru bencana.
Mahendra yang berbangga atas kemajuan ilmu yang dicapai kedua anaknya itu pun menjadi harap-harap cemas pula. Namun pengenalannya atas kedua anaknya membuatnya agak tenang. Namun demikian Mahendra itu pun berkata,
“Itu adalah satu kurnia bagimu,“ berkata Akuwu Lemah Warah yang pernah mengaku kedua anak muda itu sebagai kemanakannya, “namun kalian harus mampu menempatkan dirimu sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dari orang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Mereka tidak dengan bernafsu berusaha untuk mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya. Namun agaknya keduanya memang mendapat kurnia untuk memilikinya.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Justru karena kalian memiliki kemampuan yang sangat tinggi, maka tanggung jawab kalian pun menjadi sangat besar pula. Tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin menunduk. Bukan saja kepala mereka, tetapi justru hati mereka. Kurnia itu memang harus disyukuri. Tetapi juga merupakan beban tanggung jawab yang sangat besar, karena jika mereka salah mengetrapkan ilmu yang ada pada diri mereka, maka apa yang mereka peroleh bukannya satu kurnia bagi sesamanya yang melimpah dari kurnia atas mereka berdua, namun justru bencana.
Mahendra yang berbangga atas kemajuan ilmu yang dicapai kedua anaknya itu pun menjadi harap-harap cemas pula. Namun pengenalannya atas kedua anaknya membuatnya agak tenang. Namun demikian Mahendra itu pun berkata,
“Apa yang akan kau lakukan kemudian, akan menjadi bukti dan kenyataan tentang kalian berdua. Nilai kalian berdua yang sebenarnya bukan terletak kepada ilmu yang kalian miliki itu saja, tetapi seberapa kau sumbangkan ilmu kalian bagi sesama. Seberapa besar pengabdianmu dan kesediaanmu berkorban bagi sesama.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi semua petunjuk dan nasehat itu telah menghunjam jauh ke dalam lubuk hati mereka. Meskipun yang didengarnya itu sebagaimana pernah mereka dengar sebelumnya, namun tekanan-tekanan yang secara khusus diberikan oleh orang-orang tua itu, membuat jantung kedua anak muda itu semakin bergetar.
Demikianlah maka dalam sehari semalam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha memulihkan keadaan tubuh mereka yang menjadi sangat letih setelah mereka menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran itu sendiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi semua petunjuk dan nasehat itu telah menghunjam jauh ke dalam lubuk hati mereka. Meskipun yang didengarnya itu sebagaimana pernah mereka dengar sebelumnya, namun tekanan-tekanan yang secara khusus diberikan oleh orang-orang tua itu, membuat jantung kedua anak muda itu semakin bergetar.
Demikianlah maka dalam sehari semalam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha memulihkan keadaan tubuh mereka yang menjadi sangat letih setelah mereka menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran itu sendiri.
Dada mereka yang terasa bagaikan tersumbat, sementara tulang belulang mereka yang tidak berdaya sama sekali, berangsur-angsur telah menjadi pulih kembali. Karena itu, setelah sehari semalam mereka berusaha memulihkan keadaan mereka, maka yang terjadi di dalam diri mereka justru telah berubah...