Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 46

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 46 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 46
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KEDUA orang prajurit itu sendiri telah terkejut pula karenanya. Tetapi mereka tidak dapat mengelak. Ketika pemimpin kelompok itu bertanya untuk apa mereka dipanggil, prajurit Lemah Warah itu menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Aku tidak tahu.”

Dengan jantung yang berdebar-debar maka keduanya telah mengikuti kedua prajurit Lemah Warah itu untuk menghadap Akuwu. Apalagi ketika mereka melihat Akuwu telah menunggunya bersama Senapatinya. Demikian keduanya mengangguk hormat, maka Akuwu Lemah Warah pun telah memerintahkan kepada Senapati dari pasukan Ketiga dari Sangling itu,

“Katakan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan.”

Kedua orang prajurit itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun Senapati itu pun kemudian telah menjelaskan tugas yang dibebankan kepada mereka. Seperti Senapati itu pada saat pertama kali ia mendengar rencana itu, maka rasa-rasanya kedua orang prajurit itu tidak yakin akan pendengarannya. Namun Senapati itu agaknya dapat menangkap kebimbangan di hati kedua prajurit itu. Karena itu maka ia pun dengan hati-hati telah menjelaskan maksud Akuwu Lemah Warah.

Keduanya telah menarik nafas dalam-dalam. Perwira yang memimpin kelompok itu kemudian berdesis, “Hampir tidak dapat dipercaya, bahwa kami akan mendapatkan kebebasan.”

“Tetapi hal ini masih merupakan rahasia sebelum segalanya siap dilakukan,” berkata Senapati itu.

“Kami mengerti,” jawab pemimpin kelompok itu.

“Nah, bersiaplah. Kita akan berangkat sekarang,” berkata Senapati itu.

“Sekarang?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Ya sekarang,” jawab Senapati dari pasukan ketiga itu.

“Tetapi, aku tidak lagi mempunyai pakaian yang memadai untuk pergi ke Sangling. Pakaianku ini telah koyak. Perlengkapan keprajuritanku pun telah rusak.”

“Di sini kalian akan mendapat pakaian. Kalian tidak usah kembali lagi memasuki barak,” berkata Akuwu Lemah Warah.

Kedua orang prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya seperti sebuah mimpi. Namun mereka yakin bahwa mereka memang akan melakukannya. Akuwu Lemah Warah pun kemudian memberikan perlengkapan kepada ketiga orang yang akan pergi ke Sangling itu, bahkan tiga ekor kuda pula.

“Nah,” berkata Akuwu Lemah Warah setelah mereka benar-benar bersiap, “Kalian adalah prajurit dengan kelengkapan prajurit pula.”

“Terima kasih Akuwu,” jawab Senapati yang akan memimpin kelompok kecil itu.

“Kalian bukan lagi tawanan. Di lambung kalian tergantung pedang. Karena itu, maka kalian akan dapat bertindak sebagai prajurit yang bebas untuk menjalankan tugas sebagaimana aku perintahkan. Meskipun demikian kalian tetap prajurid Sangling,” berkata Akuwu Lemah Warah.

“Akuwu,” berkata Senopati itu, “kami telah siap menjalankan perintah Akuwu. Siapa pun kami, namun bagi kami perintah Akuwu akan kami junjung tinggi.”

“Pergilah. Bicarakan dengan para pemimpin yang ada di Sangling, bahwa aku, Akuwu Lemah Warah akan menyerahkan semua tawanan dari Sangling kecuali Ki Buyut Bapang,” berkata Akuwu Lemah Warah.

Demikianlah maka ketiga orang prajurit Sangling itu pun telah meninggalkan padepokan. Para prajurit Lemah Warah yang bertugas serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melepaskan mereka di pintu gerbang. Di atas punggung kuda mereka memang nampak sebagai prajurit yang utuh. Apalagi dilengkapi dengan senjata di lambung.

Senapati dan kedua orang pengawalnya itu masih sempat berpaling. Mereka melihat Akuwu Lemah Warah masih berada di pintu gerbang padepokan. Namun sejenak kemudian, maka kuda mereka pun telah berpacu meninggalkan lingkungan yang telah merampas kebebasannya untuk beberapa saat lamanya.

Ketika mereka kemudian menyusup di bawah pepohonan dan kemudian melintasi padang perdu dan apalagi kemudian memasuki daerah persawahan, maka mereka benar-benar merasa bebas sepenuhnya. Mereka tidak lagi terkungkung di dalam barak yang pepat, dijaga oleh prajurit Lemah Warah.

Namun Senapati yang memimpin kelompok kecil itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa meskipun ia telah bebas dari kungkungan dinding barak dan pintu-pintu regol padepokan serta pengawasan orang-orang Lemah Warah, namun ia telah terjerat oleh ikatan yang lain.

Kebesaran jiwa Akuwu Lemah Warah ternyata telah mengikatnya, sehingga ia tidak dapat berbuat lain kecuali menjalankan perintahnya, meskipun seandainya ia mau, ia dan kedua orang prajurit yang menyertainya itu dapat berbuat lain. Mereka dapat dengan leluasa melarikan diri. Mereka dapat menempuh perjalanan ke arah lain dan tidak menuju ke Sangling. Tetapi rasa-rasanya itu hanya akan membuatnya hidup tidak tenteram karena ia akan selalu merasa dikejar-kejar oleh prajurit Lemah Warah.

Tetapi jika ia bersama kedua pengawalnya menuju ke Sangling dan benar-benar mendapat kebebasan seperti yang dijanjikan oleh Akuwu Lemah Warah, maka hutangnya seakan-akan telah terbayar. Namun ada juga sepercik pertanyaan, apakah Akuwu Lemah Warah benar-benar akan membebaskan mereka begitu saja tanpa syarat apa pun juga?

Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak pantas dicurigai. Karena itu, bagaimanapun juga mereka harus yakin, bahwa Akuwu akan memenuhi janjinya. Dalam pada itu, ketika berpacu semakin cepat. Rasa-rasa-nya mereka ingin segera memasuki Pakuwon Sangling meskipun mereka sadar bahwa jaraknya masih terlalu jauh. Sementara itu, Senapati yang memimpin kelompok kecil itu sama sekali tidak menyampaikan persoalan yang bergejolak di dalam hatinya kepada kedua prajurit yang mengiringinya itu.

Demikianlah maka ketiga orang itu telah menelusuri jalan yang panjang. Sementara itu Akuwu Lemah Warah masih tetap berhati-hati. Pasukan Lemah Warah dan para penghuni padepokan Suriantal masih tetap bersiaga sepenuhnya. Setelah tubuh Akuwu Sangling dibawa mungkin ada perubahan sikap para pemimpin Sangling yang masih ada. Mungkin juga Senapati dan kedua orang pengawalnya membawa pemikiran baru pula.

Setelah menempuh jalan panjang maka akhirnya ketiga orang itu telah memasuki dinding kota. Ketika mereka mendekati istana Pakuwon, maka jantung mereka memang merasa berdebar-debar. Ketiganya terpaksa berhenti di beberapa pintu yang bersusun sebelum mereka masuk ke dalam istana. Beberapa orang prajurit Sangling yang pernah mengenalinya menjadi heran karena menurut pendengaran mereka, Senapati itu telah tertawan. Namun kini ia datang dengan senjata di lambung.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya para prajurit Sangling yang telah mengenalnya itu.

“Aku akan memberikan laporan kepada Akuwu,” jawab Senapati itu, “karena itu, aku belum dapat memberikan keterangan kepada kalian.”

“Maksud kami tentang dirimu sendiri,” berkata para prajurit itu.

Senapati itu tersenyum. Katanya, “Sebagaimana kalian lihat. Aku selamat kembali ke Sangling sekarang ini.”

Para prajurit yang bertanya kepadanya itu termangu-mangu. Namun sebenarnya Senapati itu kembali dengan selamat. Kedatangan Senapati itu memang mengejutkan. Ketika kedatangannya dilaporkan kepada Senapati tertinggi yang masih ada di Sangling Senapati itu pun terkejut.

“Siapa?” bertanya Senapati itu.

“Senapati dari pasukan ketiga,” jawab prajurit yang menghadap.

Senapati itu termangu-mangu. Menurut pengetahuannya, Senapati dari pasukan ketiga itu telah tertawan. Namun kini Senapati itu datang menghadap. Karena itu, maka katanya, “Biarlah ia masuk.”

Prajurit itu pun kemudian telah memberitahukan kepada Senapati dari pasukan ketiga bahwa ia akan diterima oleh Senapati tertinggi yang untuk sementara memegang pimpinan di Sangling. Demikianlah, maka sejenak kemudian Senapati pasukan ketiga itu telah menghadap Senapati tertinggi di Sangling bersama dua orang prajurit pengawalnya.

“Silahkan,” berkata Senapati tertinggi itu, “aku baru saja datang dengan membawa tubuh Akuwu. Demikian cepat kau menyusul. Apakah ada sesuatu yang salah.”

Senapati dari pasukan ketiga itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Akuwu Lemah Warah juga memberitahukan kepadaku, bahwa tubuh Akuwu baru saja dibawa kembali ke Sangling. Sementara itu, aku telah diperintahkan pula untuk kembali ke Sangling dalam persoalan terpisah.”

“Oo,” Senapati yang membawa tubuh Akuwu itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi berdebar-debar. Sementara tubuh Akuwu masih berada di ruang tengah istana, sedangkan segala persiapan untuk upacara sedang dilakukan.”

Senapati dari pasukan ketiga itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Persoalan ini menyangkut semua tawanan.”

Senapati tertinggi di Sangling itu mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah ada soal yang penting tentang para prajurit Sangling yang tertawan?”

Senapati dari pasukan ketiga itu pun kemudian menjawab, “Sebaiknya aku langsung mengatakannya. Nanti setelah semuanya jelas, aku akan sempat beristirahat.”

“Baiklah. Katakan,” desis Senapati tertinggi yang untuk sementara memimpin Pakuwon Sangling itu.

Senapati dari pasukan ketiga itu pun kemudian telah menyampaikan keinginan Akuwu Lemah Warah untuk menyerahkan para tawanan kembali kepada Sangling. Berita itu ternyata memang sangat mengejutkan. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah benar demikian?”

“Ya. Untuk membicarakan hal itulah maka aku telah dibebaskan lebih dahulu bersama dua orang prajuritku,” jawab Senapati dari pasukan ketiga itu.

Senapati tertinggi itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang masuk akal. Kita masing-masing akan mendapat keuntungan. Kita akan mendapatkan kekuatan kita kembali, sementara Akuwu Lemah Warah tidak dibebani oleh kebutuhan dari para tawanan itu. Setidak-tidaknya Lemah Warah tidak usah mengadakan beras yang cukup banyak di setiap harinya.”

“Nah, segala sesuatunya terserah kepada Senapati. Apakah para tawanan itu akan kita terima atau tidak,” desis Senapati dari pasukan ketiga.

“Tentu. Setidak-tidaknya aku pribadi sangat menghargai sikap Akuwu itu,” sahut Senapati yang untuk sementara mengambil alih pemerintahan di Sangling itu.

“Jika demikian, maka tidak ada persoalan lagi di antara Sangling dan Lemah Warah. Besok aku akan kembali ke padepokan Suriantal membawa keputusan para pemimpin Sangling. Bukankah hari ini hal itu dapat dibicarakan? Aku yakin bahwa pendapat Senapati itu akan merupakan pendapat para pemimpin yang lain pula,” berkata Senapati dari pasukan ketiga itu.

“Mudah-mudahan. Tetapi aku kira memang demikian,” jawab Senapati itu. Lalu, “Nah, jika demikian silahkan kalian beristirahat. Aku akan mengadakan pembicaraan malam ini. Kami mengharap bahwa kalian akan dapat datang sebelum wayah sirep bocah.”

“Baiklah. Jika demikian kami sempat mengunjungi keluarga kami yang tentu masih diliputi oleh kegelisahan,” berkata Senapati itu.

Demikianlah, maka Senapati dari pasukan ketiga itu telah minta diri untuk mengunjungi keluarganya. Pada saat sirep bocah ia harus sudah berada kembali di istana Pakuwon Sangling untuk berbicara dengan para pemimpin Sangling yang lain tentang usaha Akuwu Lemah Warah mengembalikan para tawanan prajurit Sangling di padepokan Suriantal.

Bersama Senapati dari pasukan ketiga itu, kedua prajurit yang menyertainya pun telah mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka pula. Kedatangan mereka di rumah masing-masing ternyata sangat mengejutkan. Keluarga mereka menganggap bahwa mereka seakan-akan telah hilang. Harapan untuk dapat bertemu kembali sangat tipis. Namun tiba-tiba saja mereka telah kembali di tengah-tengah keluarga mereka.

Yang terdengar kemudian adalah tangis keharuan dari keluarga para prajurit itu. Baru kemudian mereka mendengarkan ceritera tentang para prajurit yang tiba-tiba telah berada di tengah-tengah keluarganya itu.

“Kita bersyukur kepada Yang Maha Agung dan berterima kasih kepada Akuwu Lemah Warah,” berkata Senapati dari pasukan ketiga itu kepada keluarganya.

Demikianlah, ketika saatnya datang, maka Senapati dari pasukan ketiga dan kedua orang prajurit yang mengawalnya itu pun telah berada di istana Akuwu.

Seperti yang direncanakan oleh Senapati tertinggi dari Sangling yang masih ada dan untuk sementara mengambil alih pemerintahan, maka pada saat sirep bocah, para pemimpin yang tersisa di Sangling itu pun telah mengadakan pertemuan. Yang terpenting yang mereka bicarakan adalah pesan Akuwu Lemah Warah untuk menyerahkan kembali para prajurit yang tertawan di padepokan Suriantal.

“Apakah ada keberatannya jika mereka kita terima kembali?” bertanya Senapati yang tertinggi yang masih ada itu.

Hampir semuanya telah menyahut bersama-sama, “Tidak.”

Sementara ada juga di antara mereka yang berdiam diri. Tetapi bukan berarti bahwa orang yang berdiam diri itu tidak sependapat. Ternyata tidak seorang pun yang telah menolak usul Akuwu Lemah Warah untuk menyerahkan kembali para tawanannya.

“Jika kita sepakat, maka aku akan segera kembali ke padepokan Suriantal itu,” berkata Senapati dari pasukan ketiga, “aku akan menyampaikan keputusan ini kepada Akuwu Lemah Warah.”

Demikianlah maka pertemuan itu memang mengutus Senapati dari pasukan ketiga itu untuk kembali ke padepokan Suriantal dan menyampaikan kepada Akuwu, bahwa keinginan Akuwu itu sepantasnya diterima dengan ucapan terima kasih.

“Jika demikian pendapat kalian, maka aku akan pergi dan membawakan keputusan kalian itu kepada Akuwu,” jawab Senapati tertinggi dari pasukan ketiga itu.

Demikianlah, maka para pemimpin di Sangling itu telah sependapat. Karena itu, maka mereka pun akan menerima penyerahan itu, kapan dan di mana pun juga. Segala sesuatu terserah kepada Akuwu Lemah Warah.

“Baik. Besok aku akan berangkat,” berkata Senapati dari pasukan ketiga itu.

Ternyata pembicaraan itu tidak berlangsung lama. Dengan demikian, maka setelah keputusan jatuh, maka pertemuan itu-pun segera dibubarkan. Para prajurit Sangling yang mendapat kebebasannya itu-pun telah diijinkan kembali ke rumah masing-masing. Tetapi besok jika mereka akan berangkat ke Suriantal, maka mereka harus menemui para pemimpin Sangling lebih dahulu.

Malam itu, ketiga orang prajurit yang untuk beberapa lama menjadi tawanan di Suriantal itu benar-benar merasakan kebebasannya. Semalam mereka sempat berada bersama keluarga mereka. Namun di hari berikutnya mereka akan kembali ke padepokan Suriantal.

Namun memang terbersit kecemasan di hati ketiga orang prajurit itu. Jika yang dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah itu bukan yang sebenarnya, mereka bertiga akan mengalami kesulitan. Demikianlah di hari berikutnya mereka bertiga telah meninggalkan Pakuwon Sangling kembali ke Padepokan Suriantal.

Perjalanan itu adalah perjalanan yang panjang, sebagaimana mereka tempuh sebelumnya. Bahkan masih dengan jantung yang berdebar-debar. Namun mereka yakin bahwa yang mereka lakukan merupakan pengabdian bagi sesamanya, khususnya bagi para prajurit Sangling.

Betapapun jauhnya jarak yang memisahkan Sangling dan Padepokan Suriantal, namun akhirnya mereka sampai juga di padepokan itu. Dengan jantung yang telah berdebar-debar mereka memasuki pintu gerbang padepokan yang telah dibuka bagi mereka.

Kedatangan mereka dengan cepat telah diketahui oleh Akuwu Lemah Warah dari laporan seorang prajurit. Karena itulah, maka Akuwu pun telah memanggil ketiga orang prajurit Sangling yang baru saja datang itu. Bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Akuwu Lemah Warah menerima Senapati dari pasukan ketiga bersama dua orang pengawalnya. Mereka pun menyampaikan laporan sebagaimana mereka ketahui dari para pemimpin Sangling tentang kawan-kawan mereka yang tertawan.

“Jadi tidak ada persoalan yang dapat menghambat penyerahan ini?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Tentu saja tidak,” jawab Senapati dari pasukan ketiga itu.

“Pada umumnya kami menyambut kebijaksanaan Akuwu itu dengan gembira.”

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Jika demikian kita tinggal membicarakan pelaksanaan dari keputusan itu.”

“Semuanya terserah kepada Akuwu,” berkata Senapati dari pasukan ketiga itu.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sekali lagi kau harus pergi ke Sangling. Aku menghendaki orang-orang yang mendapat kepercayaan dari pemimpin pemerintahan di Sangling dengan pertanda kuasanya datang bersama beberapa orang prajurit untuk menerima penyerahan itu. Sampai saat ini, biarlah kawan-kawanmu tidak mengetahui rencana ini.”

Akhirnya Senapati dari pasukan ketiga itu yakin bahwa yang akan terjadi adalah sebenarnya demikian. Akuwu Lemah Warah tidak akan berbuat licik dengan menjebak beberapa orang prajurit Sangling yang tersisa dengan cara itu. Karena itu, maka setelah beristirahat semalam di padepokan Suriantal, maka ketiga orang itu telah kembali lagi ke Pakuwon Sangling, untuk menyampaikan perintah terakhir dari Akuwu Lemah Warah tentang penyerahan kawan-kawan mereka yang tertawan di padepokan Suriantal.

Namun dalam pada itu, pada saat Senapati dari pasukan ketiga serta kedua pengiringnya mondar-mandir dari padepokan Suriantal ke Sangling dan sebaliknya, para tawanan yang ada di dalam barak itu masih belum tahu bahwa mereka akan segera mendapatkan kebebasan. Karena itu, maka mereka masih saja merasa diri mereka berada dalam kungkungan dinding barak itu tanpa batas waktu.

Karena itulah, maka seorang perwira muda yang memang sudah menunjukkan keinginan untuk melarikan diri itu masih saja tetap dalam usahanya. Tetapi rasa-rasanya kesempatan itu masih belum datang. Para prajurit Lemah Warah menjaga dan mengamati mereka dengan ketatnya. Setiap pintu barak selalu dijaga setiap saat dan di sekitar barak itu hampir tidak pernah terputus selalu dikelilingi oleh para prajurit Lemah Warah yang bersenjata.

Karena itu, maka seandainya perwira muda itu dapat memecahkan dinding, namun ia tidak akan dapat lari tanpa dilihat oleh para prajurit Lemah Warah atau penghuni padepokan itu yang lain, yang selalu bersiaga sepenuhnya. Bahkan jika seseorang dapat menembus pengawasan di sekitar barak itu, maka sulitlah baginya untuk dapat keluar dari padepokan.

Tetapi perwira muda yang merasa tidak betah berada dalam tahanan itu, seakan-akan tidak mau tahu, kesulitan-kesulitan yang bakal dihadapinya apabila ia memaksa diri untuk melarikan diri. Beberapa orang telah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi perwira muda itu nampaknya sulit untuk dapat dikendalikan, baginya hanya ada dua pilihan. Bebas atau mati. Meskipun demikian, perwira itu memang tidak ingin membunuh diri. Karena itu maka masih harus menunggu.

Sementara itu, Senapati dari pasukan ketiga sedang menuju ke Sangling membawa perintah Akuwu Lemah Warah agar sekelompok prajurit Sangling serta orang yang untuk sementara memegang pimpinan di Sangling datang ke padepokan itu untuk menerima sekelompok prajuritnya yang tertawan. Kelompok yang besar.

Para pemimpin di Sangling memang sudah menduga. Jika Akuwu Lemah Warah bersungguh-sungguh, maka ia tentu minta sekelompok prajurit serta para pemimpin Sangling untuk datang mengambil prajurit-prajuritnya yang tertawan itu.

Namun dalam pada itu, maka keberangkatan sekelompok prajurit Sangling dan para pemimpinnya agak tertahan karena mereka sedang menyelenggarakan tubuh Akuwu Sangling yang gugur di padepokan Suriantal.

Baru setelah segalanya selesai, maka Senapati yang untuk sementara memegang kepemimpinan di Sangling telah menyiapkan sekelompok kecil prajurit yang akan pergi ke padepokan Suriantal menjemput kawan-kawan mereka yang tertawan.

Dengan sedikit upacara kecil pasukan itu telah dilepas oleh para pemimpin Sangling yang tidak ikut menjemput para prajurit yang telah tertawan itu.

Beberapa saat kemudian, maka pasukan itu telah berderap membelah jalan-jalan bulak yang panjang dan memasuki padukuhan-padukuhan. Beberapa orang terkejut menyaksikan pasukan yang lewat itu. Rasa-rasanya pasukan itu akan berangkat berperang. Namun jumlahnya ternyata tidak begitu banyak.

“Ke mana mereka?” bertanya beberapa orang yang menyaksikan pasukan itu lewat.

Namun yang lain hanya dapat menggelengkan kepalanya saja. Karena memang tidak banyak yang tahu, apa yang akan dilakukan oleh pasukan berkuda itu.

Dalam jumlah yang lebih banyak, maka pasukan itu tidak dapat berpacu secepat perjalanan Senapati dari pasukan ketiga yang hanya bertiga. Dalam pasukan yang jumlahnya lebih banyak itu ternyata terdapat beberapa hambatan. Jika seekor kuda saja diantara seluruh pasukan itu menjadi agak lamban, maka seluruh pasukan pun menjadi lamban pula.

Senapati dari pasukan ketiga berada di ujung pasukan bersama Senapati tertinggi yang masih ada dan yang untuk sementara telah memimpin Sangling. Perjalanan mereka memang terhambat oleh datangnya malam. Meskipun mereka hanya beristirahat sedikit sekali, tetapi iring-iringan itu tidak dapat mencapai padepokan Suriantal sebelum gelap.

Menurut pertimbangan Senapati dari pasukan ketiga, mereka tidak perlu berhenti dan bermalam di jalan. Mereka hanya memerlukan istirahat beberapa saat, terutama untuk kuda-kuda mereka. Karena itu, maka meskipun malam menjadi gelap, tetapi iring-iringan itu tetap berjalan terus.

Tetapi ketika mereka mendekati padepokan, maka mereka pun berhenti tidak terlalu dekat dengan pintu gerbang agar tidak menimbulkan salah paham. Senapati dari pasukan ketiga dan dua orang pengiringnya sajalah yang mendekati pintu gerbang.

Namun mereka terkejut ketika mereka mendapat sambut¬an yang agak lain dari para prajurit Lemah Warah yang berada di pintu gerbang. Demikian mereka mendekat, maka seorang pemimpin kelompok yang bertugas di regol telah meneriakkan aba-aba, “Berhenti di situ.”

Senapati itu pun menarik kendali kudanya dan berhenti be¬berapa langkah dari regol. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kami datang bersama pasukan yang dikehendaki oleh Akuwu.”

“Jangan mendekat,” perintah petugas di regol itu, “tunggu sampai Akuwu datang.”

Senapati itu menjadi heran. Apakah memang ada perubah¬an sikap Akuwu atau seperti yang dicemaskannya, semua ini sekedar jebakan untuk memusnahkan seluruh kekuatan Sangling sehingga tidak tersisa sama sekali?

Senapati itu memang ragu-ragu. Tetapi ia mematuhi perintah untuk menunggu sampai Akuwu datang. Ia memang ingin mendengar apa yang dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah itu. Untuk beberapa saat lamanya Senapati dari pasukan ke¬tiga itu menunggu. Baru kemudian Akuwu Lemah Warah diiri¬ngi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat naik ke atas panggungan di sebelah regol.

Sejenak Akuwu itu memandang Senapati dari pasukan ke¬tiga itu. Baru kemudian ia berkata, “Masuklah. Di mana kawan-kawanmu?”

“Kawan-kawan kami menunggu beberapa puluh tonggak dari pintu gerbang ini. Hamba cemas bahwa akan terjadi salah paham jika kawan-kawan hamba sekaligus datang bersama hamba,” jawab Senapati itu.

“Bawalah mereka masuk,” perintah Akuwu sekali lagi.

Senapati itu memang digelitik oleh kecurigaan tentang sikap Akuwu. Tetapi ia sudah berada di pintu gerbang padepokan itu. Karena itu maka ia tidak akan melangkah surut. Jika Akuwu kemudian ternyata mengingkari janji, maka ia tidak akan membiarkan pedangnya tergantung di lambung. Ia akan meneriakkan aba-aba untuk bertempur sampai orang terakhir. Bagaimanapun juga, mereka harus mempertahankan martabat prajurit Sangling.

Demikianlah maka Senapati dari pasukan ketiga itu telah memerintahkan kedua orang pengiringnya untuk memanggil seluruh pasukan kecil yang datang bersamanya, agar mereka masuk ke dalam padepokan.

Sejenak kemudian, maka pintu gerbang itu pun telah terbuka. Sebuah iring-iringan kecil memasuki pintu gerbang itu tanpa kecurigaan apapun. Namun Senapati dari pasukan ketiga yang berada di paling depan itu pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki padepokan. Senapati itu melihat pasukan Lemah Warah dalam kesiagaan penuh. Bahkan di beberapa tempat ia melihat prajurit yang membawa senjata telanjang.

“Persetan,” Senapati dari pasukan ketiga itu berdesis perlahan, “apakah Akuwu benar-benar akan menjebak kami untuk menghancurkan sama sekali sisa pasukan Sangling?”

Tidak ada yang mendengar kata-katanya. Tetapi Senapati itu benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun sejenak kemudian, Akuwu Lemah Warah diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah turun dari panggungan dan menyongsongnya. Dengan wajah yang sedikit buram Akuwu itu berkata, “Satu gejolak kecil telah terjadi, justru pada saat kalian datang.”

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Senapati dari pasukan ketiga itu.

“Marilah. Kami akan menerima pimpinan pasukan ini,” berkata Akuwu Lemah Warah kemudian.

Senapati dari pasukan ketiga itu masih tetap ragu-ragu. Namun demikian, bersama dengan Senapati tertinggi dari Sangling yang untuk sementara memegang pemerintahan bersama tiga orang pengawalnya telah diterima di pendapa barak induk padepokan Suriantal. Baru kemudian para Senapati dari Sangling itu mengetahui apa yang telah terjadi.

“Enam orang prajurit Sangling berusaha melarikan diri,” berkata Akuwu Lemah Warah, “mereka mengoyak dinding, kemudian menyergap tiga orang peronda. Dua orang langsung jatuh tak sadarkan diri. Untunglah yang seorang sempat berteriak. Dengan cepat mereka dikepung. Namun mereka berenam ternyata tidak menyerah. Karena itu, maka mereka berenam harus ditangkap dengan kekerasan, sementara pasukan Lemah Warah dan penghuni padepokan ini telah berjaga-jaga dan mengawasi tawanan yang lain. Dalam keadaan tertentu, maka para tawanan itu dapat menjadi bagaikan minyak yang setiap saat dapat menyala.”

Senapati tertinggi dari Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Justru pada saat mereka siap untuk menerima penyerahan, beberapa orang tawanan telah berusaha melarikan diri. “Bagaimana dengan keenam orang itu?” bertanya Senapati Sangling yang memimpin pemerintahan itu.

Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia berkata, “Dua orang telah terbunuh.”

“Oo,” Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian bertanya pula, “Bagaimana dengan dua orang prajurit Lemah Warah yang telah disergap itu?”

“Mereka dalam keadaan parah. Tetapi mereka masih tetap hidup,” jawab Akuwu.

Senapati tertinggi dari Sangling itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Dengan peristiwa itu, apakah ada perubahan dari rencana Akuwu?”

Akuwu termenung sejenak. Namun kemudian jawabnya sambil menggeleng, “Tidak. Tidak ada perubahan apa-apa. Aku tetap pada rencanaku. Aku akan menyerahkan semua tawanan selain Ki Buyut Bapang.”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih Akuwu. Kami datang untuk memenuhi perintah Akuwu, menerima para tawanan itu. Namun apakah kami boleh bertanya, kenapa Ki Buyut Bapang tidak termasuk di antara mereka yang akan diserahkan?”

“Mungkin kalian belum mengenal Ki Buyut Bapang sampai ke pusat jantungnya. Ki Buyut Bapang semula adalah penghuni Pakuwon Lemah Warah yang banyak berbuat kesalahan. Kemudian ia hilang dan tidak pernah kita temukan lagi. Baru kemudian ia datang sendiri ke padepokan ini. Namun sebagai seorang Buyut di Bapang. Tetapi meskipun ia sudah disebut Ki Buyut di Bapang, tetapi wataknya masih tetap sebagaimana aku kenal di Lemah Warah.”

Senapati tertinggi di Sangling serta beberapa perwira yang lain itu mengangguk-angguk, meskipun mereka kurang yakin akan kebenaran keterangan Akuwu Lemah Warah itu. Meskipun demikian mereka tidak akan dapat memaksa Akuwu Lemah Warah untuk menyerahkan yang seorang itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang. Mereka menentukan waktu yang terbaik untuk menerima kembali para tawanan itu.

“Kalian dapat bermalam semalam lagi di sini. Meskipun tidak ada lagi tempat yang memadai, tetapi pendapa ini dan barangkali juga serambi samping dapat dipergunakan untuk semalam,” berkata Akuwu, “dengan demikian semua pembicaraan akan dapat dilakukan dengan tidak tergesa-gesa bersama para tawanan sendiri.”

Senapati tertinggi dari Sangling itu telah menerima tawaran itu tanpa perasaan curiga. Karena itu, maka Akuwu pun telah memerintahkan untuk membersihkan serambi samping sebelah menyebelah dan membentangkan tikar pandan.

Demikianlah maka para prajurit Sangling itu sempat beristirahat. Mereka sempat mandi makan pun telah disediakan bagi mereka. Di hari berikutnya mereka akan dapat mengatur para tawanan dan merencanakan jalan kembali ke Sangling. Setelah kesempatan bermalam semalaman lagi di padepokan itu, maka mereka di hari berikutnya akan kembali ke Sangling bersama para tawanan.

Seperti yang direncanakan, ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka Akuwu telah memerintahkan semua pemimpin kelompok dari pasukan Sangling yang ada di dalam barak para tawanan untuk berkumpul. Mereka mengira bahwa perintah itu dikeluarkan setelah beberapa orang kawan mereka mencoba untuk melarikan diri.

Tetapi para pemimpin kelompok itu terkejut ketika mereka kemudian ternyata melihat sepasukan kecil prajurit Sangling berada di halaman padepokan itu. Prajurit Sangling dalam kelengkapan yang utuh serta senjata di lambung. Mereka sama sekali bukan tawanan. Bahkan mereka melihat Senapati dari pasukan ketiga serta dua orang prajurit yang lebih dahulu meninggalkan barak itu berada bersama mereka.

“Jangan terkejut,” berkata Akuwu Lemah Warah, “ada sesuatu yang penting yang perlu kalian dengar.”

Para pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian Akuwu Lemah Warah pun telah menjelaskan maksudnya untuk menyerahkan mereka kembali kepada para pemimpin Sangling yang masih ada.

Ketika mereka mendengar Akuwu mengucapkannya pertama kali, mereka seakan-akan tidak mempercayai pendengaran mereka sendiri. Namun ketika Akuwu Lemah Warah mengulanginya, maka mereka serentak di luar sadar telah bersorak penuh kegembiraan.

Sorak itu memang mengejutkan kawan-kawan mereka yang ada di dalam barak. Ada beberapa macam dugaan karena mereka tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan ada di antara mereka yang menyangka bahwa orang-orang Lemah Warah lah yang bersorak-sorak itu menyaksikan hukuman yang mengerikan yang dijatuhkan kepada para pemimpin kelompok setelah peristiwa beberapa orang di antara mereka melarikan diri.

Namun dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu benar-benar terlempar ke dalam kegembiraan yang meledak. Satu hal yang sama sekali tidak mereka duga. Dengan demikian maka mereka akan dapat kembali ke Sangling dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang tentu telah menunggu-nunggu dan bahkan mungkin menjadi putus asa karenanya.

Sementara itu Akuwu pun telah memerintahkan kepada Senapati tertinggi dari Sangling untuk memberikan petunjuk kepada mereka, bagaimana mereka akan diterima kembali oleh pasukan Sangling yang telah berada di padepokan itu.

Demikianlah maka para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah diperintahkan kembali ke kelompok masing-masing. Mereka harus memimpin kelompoknya agar segalanya dapat berjalan dengan tertib.

“Kalian mempunyai waktu hari ini dan malam nanti,” berkata Akuwu, “besok kalian akan berangkat pagi-pagi.”

Ketika para pemimpin kelompok itu kembali memasuki barak, maka barak itu bagaikan meledak. Kegembiraan para prajurit Sangling itu rasa-rasanya tidak dapat tertahankan lagi. Namun mereka tidak lagi ingin memecahkan dinding barak itu sebagaimana pernah dilakukan oleh beberapa orang kawan mereka, sehingga ada diantara mereka yang gugur karenanya.

Hari itu seisi barak telah membenahi diri. Mereka memang menjadi bersedih jika mereka mengingat pakaian mereka yang tidak lengkap lagi. Namun apa artinya pakaian mereka, jika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke sanak kadang mereka.

Menjelang sore hari, maka Akuwu telah memberikan kesempatan kepada semua tawanan untuk hadir di halaman. Mereka akan mendengar langsung keterangan dari Senapati tertinggi yang untuk sementara telah memerintah Sangling. Apa yang harus mereka lakukan.

“Kita akan bersama-sama mengucapkan terima kasih kepada Akuwu Lemah Warah,” berkata Senapati tertinggi itu.

Malam yang kemudian datang, rasa-rasanya terlalu lamban beredar. Para prajurit Sangling yang tertawan itu, seakan-akan tidak sabar lagi menunggu pagi. Hampir semua orang dalam barak itu tidak sempat tidur. Mereka dengan jantung yang berdebar-debar menunggu saat pembebasan mereka. Jika ada yang tertidur rasa-rasanya hanya sekejap-kejap terlena saja.

Pagi-pagi benar semuanya sudah bersiap. Pintu barak telah terbuka sepenuhnya. Tidak ada lagi prajurit Lemah Warah yang berjaga-jaga di depan pintu. Para prajurit Sangling itu dapat bebas pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri.

Namun mereka pun melihat prajurit Lemah Warah berdiri berjajar rapat di sekitar padepokan itu dengan senjata siap di tangan. Sedangkan di sebelah menyebelah regol yang masih tertutup, para penghuni padepokan Suriantal itu pun berbaris tertib dengan senjata yang telah disiapkan pula.

Senapati dari pasukan ketiga menjadi ngeri juga melihat kesiagaan pasukan Lemah Warah. Jika mereka serentak bergerak, maka tumpaslah prajurit Sangling seluruhnya. Tetapi Senapati dari pasukan ketiga itu mengerti juga bahwa Lemah Warah memang harus bersiaga sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan karena jumlah tawanan yang cukup banyak.

Sementara itu Akuwu Lemah Warah telah memberikan pesan pendek kepada prajurit Sangling yang akan meninggalkan padepokan itu. Mereka setelah keluar dari pintu gerbang padepokan itu akan menjadi orang-orang yang bebas sebagaimana mereka datang. Tetapi Akuwu Lemah Warah minta agar mereka menghentikan permusuhan. Bukan saja dalam sikap dan tingkah laku, tetapi juga rasa dan pikir.

Setelah Akuwu Lemah Warah, maka Senapati itu pun telah berbicara pula. Selain beberapa pesan bagi para prajurit yang dibebaskan itu, maka ia pun telah mengucapkan terima kasih kepada Akuwu Lemah Warah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Akuwu Lemah Warah memberikan isyarat, bahwa mereka dapat meninggalkan padepokan itu. Sedangkan isyarat itu juga merupakan perintah kepada para penjaga gerbang untuk membukakan pintu bagi mereka yang akan meninggalkan padepokan itu.

Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah keluar dari pintu gerbang itu. Iring-iringan yang cukup panjang dari para prajurit Sangling. Namun mereka tidak lagi bersenjata selain prajurit Sangling yang menjemput mereka.

Ketika pasukan itu melintas di pintu gerbang, maka Senapati tertinggi dari Sangling itu serta Senapati dari pasukan ketiga berdiri di sebelah menyebelah pintu gerbang menunggu sampai orang terakhir keluar dari padepokan. Demikian ujung dari pasukan itu melintasi pintu, maka pintu itu pun perlahan-lahan telah tertutup kembali.

Kedua orang Senapati itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba mereka mendengar seseorang berkata dari atas panggungan, “Selamat jalan.”

Kedua orang Senapati itu mengangkat kepalanya. Mereka melihat Akuwu Lemah Warah didampingi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta beberapa orang Senapati dari Lemah Warah berdiri tegak memandangi mereka berdua. Namun keduanya masih dapat melihat senyum di bibir Akuwu.

“Hamba mohon diri Akuwu,” teriak Senapati tertinggi dari Sangling itu.

Akuwu menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Hati-hatilah. Perjalanan kalian cukup panjang.”

“Kami akan berhati-hati Akuwu,” jawab Senapati itu.

Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu kedua Senapati itu pun telah menyusul pasukannya yang telah berjalan beberapa puluh langkah menjauh.

Akuwu Lemah Warah dan beberapa orang yang lain masih berdiri diatas panggungan. Mereka melihat iring-iringan itu berjalan menjauh. Di antara mereka yang berjalan dalam barisan, beberapa ekor kuda berderap perlahan-lahan di ujung-ujungnya. Meskipun iring-iringan itu adalah bekas tawanan, namun mereka adalah prajurit sehingga bagaimanapun juga sikap keprajuritan itu masih tetap nampak pada mereka.

Namun, melihat ujud dan pakaian mereka, maka mereka memang bukan sepasukan prajurit. Apalagi sebagian besar mereka tidak bersenjata. Tetapi kegembiraan nampak terbersit di setiap wajah. Mereka yang mengira bahwa mereka tidak akan sempat lagi keluar dari padepokan itu, ternyata dugaan itu keliru.

“Kasihan perwira muda itu,” desis seorang diantara mereka yang berbaris meninggalkan padepokan itu.

“Ia terlalu tergesa-gesa,” jawab kawannya, “justru pada saat Senapati sedang membicarakan pembebasan.

“Tetapi kenapa kami tidak mendapat penjelasan sebelumnya? Jika hal ini diberitahukan kepada kita sebelumnya, maka perwira muda itu tidak akan berusaha melarikan diri dan bahkan terbunuh,” berkata orang yang pertama.

“Tentu mereka menunggu semuanya menjadi jelas,” sahut kawannya, “jika para Senapati terlanjur memberitahukan kepada kita, sementara itu persoalannya ternyata tidak terpecahkan, maka tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri.”

Kawannya yang lain yang mendengar pembicaraan itu pun mengangguk-angguk pula.

Demikianlah maka iring-iringan itu berjalan semakin jauh. Namun ketika mereka mulai melintasi padukuhan, para bekas tawanan itu mulai melihat kepada diri mereka sendiri. Mereka tidak mengenakan kelengkapan seorang prajurit yang utuh. Pakaian mereka tidak lagi lengkap dan bahkan ada yang tidak utuh. Ternyata hal itu menjadi perhatian pula bagi para Senapati. Karena itu maka mereka pun telah berbicara dengan beberapa orang pemimpin kelompok.

“Kita harus menghindari padukuhan,” jawab seorang perwira yang memimpin sebuah kelompok, “aku sendiri merasa seakan-akan kita adalah tontonan yang lewat di padukuhan-padukuhan. Meskipun tidak terucapkan, tetapi mereka tentu merasa heran melihat barisan ini dengan pakaian yang aneh-aneh. Sementara sepasukan kecil prajurit dalam kelengkapan yang utuh serta senjata di lambung mengawal kita. Orang-orang yang tidak mengenal kita akan tetap menganggap kita tawanan yang sedang digiring oleh sekelompok prajurit Sangling.”

Namun seorang perwira yang lain menyahut, “Kita tidak hiraukan anggapan itu. Setelah kita sampai di Sangling, maka segalanya akan berubah.”

Untuk sementara para prajurit itu memang tidak mempersoalkan keadaan mereka. Bahkan sebagian besar dari mereka menganggap bahwa mereka berada di daerah yang tidak dikenal dan tidak mengenal mereka. Karena itu, bagaimanapun juga keadaan mereka, maka besok atau pada kesempatan lain jika mereka bertemu dengan orang-orang yang berdiri di sepanjang jalan itu, maka orang-orang itu tidak akan mengenalinya sama sekali.

Dengan demikian maka iring-iringan itu berjalan saja terus tanpa menghiraukan orang-orang di sepanjang jalan. Apalagi ketika malam mulai turun. Untuk beberapa lama pasukan itu berjalan terus dalam kegelapan. Tetapi akhirnya mereka menjadi letih juga. Dengan demikian maka Senapati yang memimpin seluruh pasukan itu-pun telah memerintahkan iring-iringan itu untuk beristirahat.

Namun sebagaimana sepasukan prajurit yang beristirahat, maka mereka telah mengatur penjagaan. Bergantian pada setiap kelompok, maka seorang di antara mereka harus tetap berjaga-jaga. Di samping itu, maka para prajurit yang berpakaian dan bersenjata di lambung, telah mengatur saat-saat bertugas tersendiri.

Ternyata bahwa malam itu telah mereka lalui dengan tenang. Tidak ada gangguan sama sekali yang dapat menimbulkan persoalan. Menjelang fajar, maka mereka telah membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di sela-sela hutan perdu yang telah mereka pilih menjadi tempat untuk bermalam. Sebelum matahari mulai memanjat langit, maka iring-iringan itu sudah mempersiapkan diri.

Tetapi mereka sempat menunggu sekelompok petugas yang mempersiapkan makan bagi mereka. Akuwu Lemah Warah telah memberikan bekal untuk itu, karena menurut perhitungan maka mereka memang akan berhenti dan bermalam di perjalanan. Setelah makan betapapun sederhananya, namun terasa tubuh mereka menjadi segar kembali. Karena itu, maka mereka-pun telah melanjutkan perjalanan menuju ke Pakuwon Sangling.

Namun semakin dekat dengan Pakuwon Sangling, maka setiap orang merasa diri mereka tidak berpakaian dengan baik dan lengkap. Mereka tidak lagi dalam keadaan yang pantas, apalagi bagi seorang prajurit. Meskipun sebagian besar dari mereka masih tetap berdiam diri, namun sekali-sekali mereka telah memperhatikan diri mereka masing-masing.

Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Pakuwon Sangling, maka seorang perwira yang memimpin sebuah kelompok mulai bertanya kepada seorang prajurit, “He, bagaimana dengan ujud pakaianku? Apakah aku masih pantas disebut seorang prajurit?”

Prajurit itu termangu-mangu. Pakaian perwira itu masih jauh lebih baik dari pakaiannya. Ketika ia bertempur di padepokan Suriantal, pedang lawannya telah melukainya. Namun dengan demikian pakaiannya telah terkoyak pula. Ketika luka itu sudah sembuh, maka luka pada pakaiannya justru menjadi semakin lebar, sementara itu para prajurit Lemah Warah tidak dapat memberikan pakaian apapun kepada mereka.

“Jika kita memasuki Pakuwon dengan pakaian seperti ini, bagaimana tanggapan orang-orang Sangling?” berkata pemimpin kelompok itu.

Seorang prajurit muda yang pakaiannya juga sudah koyak di beberapa tempat berbisik kepada kawannya, “Bagaimana jika bakal isteriku melihat aku seperti ini berjalan di sepanjang jalan?”

Ternyata tidak hanya seorang dua orang yang merasa segan memasuki Pakuwon dengan keadaan mereka. Memang beberapa orang prajurit yang tidak terhitung muda lagi tidak begitu menghiraukan keadaan mereka. Tetapi sebagian besar dari pasukan itu, rasa-rasanya tidak sampai hati melakukannya.

Semula para prajurit yang mengawal mereka tidak begitu menghiraukan keadaan itu. Namun lambat laun seorang pemimpin kelompok menggamit seorang prajurit yang mengawal mereka sambil berkata, “He, kita bertukar pakaian?”

“Kenapa?” bertanya prajurit itu.

“Pakaianku kotor dan koyak,” jawab pemimpin kelompok itu.

“Jadi maksudmu, biar aku yang memakai pakaian kotor dan koyak?” bertanya prajurit yang mengawal itu.

“Ya. Aku sudah bertempur dengan keras dan kemudian menjadi tawanan. Sementara itu kau datang menjemput kami dengan pakaian dan kelengkapan seorang prajurit, sementara pakaian kami, tidak lebih baik dari budak-budak yang hina,” berkata pemimpin kelompok itu.

Tetapi prajurit itu menjawab, “Bukankah kau juga seorang prajurit, bahkan seorang pemimpin kelompok sehingga kau pun tahu, bahwa apa yang melekat pada seorang prajurit adalah bagian dari dirinya? Karena itu, bagian dari seorang prajurit tidak akan dapat diserahkan kepada orang lain.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kau benar. Tetapi bagaimana dengan kami? Jika dalam keadaan ini kami memasuki Pakuwon, apakah kami tidak akan menjadi tontonan anak-anak kecil dan barangkali mereka akan melempari dengan batu?”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi katanya, “Sampaikan persoalanmu kepada Senapati.”

Pemimpin kelompok itu terdiam. Untuk beberapa lama ia tidak mengatakan apa-apa. Tetapi kawannya berdesis, “Tentu orang yang melihat kami, mereka menganggap bahwa kami adalah tawanan. Atau barangkali, kami dianggap tidak berharga karena kami tidak dapat menundukkan padepokan Suriantal.”

“Aku akan melaporkan kepada Senapati dari pasukan ketiga. Ia agak lebih dekat dengan kami daripada Senapati yang kini memimpin Sangling itu.”

Sebenarnyalah bahwa pemimpin kelompok itu pun telah berusaha menemui Senapati dari pasukan ketiga. Meskipun ia harus menyusup melewati beberapa kelompok namun akhirnya ia sempat juga bertemu dengan Senapati pasukan Ketiga itu.

“Ada apa?” bertanya Senapati itu.

Pemimpin kelompok itu pun kemudian menceriterakan tentang keadaan pasukan itu. Para prajurit yang merasa dirinya telah melakukan tugas dengan sepenuh kemampuan, namun kini mereka harus memasuki Pakuwonnya dengan keadaan yang sangat buruk.

“Apakah kami akan menjadi tontonan rakyat Sangling?” bertanya pemimpin kelompok itu.

Senapati dari pasukan ketiga yang pernah ikut serta menjadi tawanan pula dapat mengerti perasaan para prajurit Sangling itu. Bahkan ia menyesal bahwa persoalan yang dapat dianggap kecil itu tidak terpikirkan sebelumnya, sehingga pada saat pasukan Sangling menjemput para prajurit itu, mereka tidak membawa perlengkapan termasuk pakaian para prajurit itu.

Karena itu, maka Senapati itu berkata, “Baiklah. Aku akan membicarakannya. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan kembali ke padepokan itu.”

Ketika kedua Senapati itu kemudian membicarakannya, maka akhirnya mereka mencapai satu kesepakatan, bahwa mereka tidak akan memasuki Pakuwon Sangling di siang hari.

Karena itu, maka meskipun baru lewat tengah hari, namun ketika pasukan itu menjadi semakin dekat dengan batas Pakuwon Sangling, maka Senapati yang memimpin seluruh pasukan itu pun kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti di tepi sebuah hutan perdu yang tidak terlalu besar.

Senapati itu pun kemudian telah memanggil semua pemimpin kelompok yang ada di pasukan itu. Dengan singkat, Senapati itu pun kemudian memberikan beberapa penjelasan, kenapa mereka harus berhenti, meskipun masih ada waktu seandainya mereka akan meneruskan perjalanan.

“Kita akan memasuki Pakuwon di malam hari agar tidak banyak orang, setidak-tidaknya dapat dibatasi, yang akan melihat keadaan kita,” berkata Senapati tertinggi itu.

Ternyata keterangan Senapati itu disambut baik oleh prajurit Sangling yang dalam keadaan yang kurang mapan itu. Mereka menganggap bahwa langkah yang diambil oleh Senapati itu cukup baik bagi para prajurit, agar mereka tidak menjadi tontonan yang pahit bagi rakyat Sangling sendiri.

Karena itu, maka pasukan itu pun segera mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat. Mereka akan berada di tempat itu sampai senja. Justru setelah senja mereka baru akan melanjutkan perjalanan. Mereka telah mengenal jalan yang akan mereka lalui dengan baik, karena beberapa ratus tonggak lagi, mereka akan memasuki batas Pakuwon Sangling.

Di Padang perdu itu, para prajurit Sangling tidak sempat menyediakan makan bagi mereka sendiri. Selain mereka sudah tidak mempunyai bekal lagi, mereka pun tidak mau menarik perhatian dengan asap yang mengepul. Karena itu, mereka memang harus menahan diri untuk tidak merasakan lapar, karena mereka baru makan sekali di saat mereka meninggalkan tempat mereka bermalam semalam.

Tetapi para prajurit itu memang sudah terlatih untuk menahan haus dan lapar. Jika mereka terlibat dalam pertempuran sehari penuh maka mereka tidak boleh menyerah karena lapar dan haus.

Namun seorang prajurit yang berbaring di bawah sebatang pohon perdu berdesis, “Ada bedanya. Dalam pertempuran kita tidak sempat merasakan lapar dan haus. Tetapi justru karena kita hanya terbaring sambil merenung seperti ini, maka rasa-rasanya perutku tidak dapat lagi menahan pedih.”

“Jika demikian, coba saja membuat perkara dengan seseorang. Lalu kalian berkelahi. Maka perasaan laparmu akan hilang,” desis kawannya.

“Jangan begitu,” geram prajurit yang lapar itu, “kau menghina aku. Kau kira aku senang membuat perkara.”

“Sudahlah,” desis kawannya.

“Apa?” sahut prajurit yang lapar itu, “cukup begitu? Sudahlah. Dan kau dapat menghinaku sesukamu.”

“Lalu bagaimana?” bertanya kawannya.

“Minta maaf kepadaku. Aku akan mencoba melupakannya,” berkata prajurit yang lapar itu.

“Jangan aneh-aneh,” sahut kawannya, “tidur sajalah.”

“Kau belum minta maaf,” geram prajurit itu.

“Aku tidak akan minta maaf,” jawab kawannya.

“Kalau begitu, maka kita selesaikan dengan cara lain,” prajurit yang lapar itu bangkit berdiri.

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia pun tertawa. Katanya, “Oo, jadi kau sedang membuat perkara itu ya? Sekedar untuk melupakan laparmu?”

“Anak setan,” prajurit yang lapar itu mengumpat. Tetapi ia pun kemudian melangkah menjauhi kawannya yang masih saja tertawa itu sambil bergeremang, “Orang gila.”

Tetapi suara tertawa kawannya itu masih didengarnya. Demikianlah maka para prajurit itu telah mengisi waktunya dengan berbagai cara. Ada yang berusaha untuk tidur di bawah bayangan pohon perdu, sementara langit bagaikan dibakar oleh terik matahari, sedangkan yang lain mengisi waktunya dengan bermain macanan atau berkelakar atau kegiatan-kegiatan kecil yang lain.

Betapapun lambatnya, namun matahari pun semakin jauh bergeser ke Barat. Perlahan-lahan matahari itu turun dan semakin mendekati punggung bukit. Para prajurit Sangling itu mulai bersiap-siap. Meskipun belum ada perintah, namun rasa-rasanya mereka memang sudah sangat lama menunggu. Ketika kemudian gelap mulai turun, maka pasukan itu-pun telah bersiap untuk melanjutkan perjalanannya memasuki daerah Pakuwon Sangling.

Memang tidak banyak orang yang mengetahui ketika pasukan itu memasuki pintu gerbang Pakuwon Sangling. Justru pada saat malam sudah menjadi semakin dalam. Pasukan itu sendiri berusaha agar tidak menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian, sehingga membangunkan orang-orang Sangling yang sudah tertidur.

Meskipun demikian, seandainya orang-orang itu terbangun, mereka tidak akan dapat melihat dengan jelas, apa yang sedang lewat. Pasukan itu sengaja tidak membawa sebuah obor-pun untuk menghindari agar pakaian mereka yang koyak tidak nampak oleh orang-orang yang kebetulan masih berada di jalan-jalan.

Dengan demikian maka diam-diam pasukan Sangling itu memasuki Pakuwon semakin dalam, sehingga pasukan itu pun telah mendekati Istana Akuwu yang tidak lagi dihuni oleh Akuwu Sangling. Mereka pun kemudian telah berkumpul di alun-alun yang luas di depan istana. Ternyata rencana mereka berhasil dengan baik. Tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa pasukan Sangling telah datang dalam keadaan yang memprihatinkan itu.

Di alun-alun itu masih diadakan beberapa kata penyambutan. Namun para pemimpin Sangling itu benar-benar menyadari keadaan sehingga mereka tidak berbicara berkepanjangan. Namun Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling itu sempat berkata,

“Saudara-saudaraku. Sangling ternyata minta maaf yang sebesar-besarnya, bahwa Sangling belum dapat menyediakan kelengkapan yang pantas untuk dibagikan sekarang. Mudah-mudahan dalam waktu yang dekat, Sangling akan dapat menyediakan pakaian keprajuritan yang lebih baik. Tetapi untuk sementara kalian akan dipersilahkan pulang dan berganti pakaian di rumah masing-masing.”

“Kenapa kami memilih jalan itu,” berkata Senapati Sangling.

“selain kami memang belum dapat menyediakan pakaian itu sekarang, kami pun yakin bahwa kalian telah terlalu lama terpisah dari keluarga kalian, sehingga kalian akan disambut gembira oleh keluarga kalian.”

Sebenarnyalah para prajurit Sangling yang pernah menjadi tawanan di padepokan Suriantal itu memang gembira dengan kesempatan itu, meskipun pakaian mereka tidak pantas lagi untuk disebut pakaian seorang prajurit. Namun keluarga mereka-pun tentu akan memaklumi, bahwa mereka adalah prajurit yang telah mengalami kekalahan di peperangan.

Sejenak kemudian, pasukan itu pun telah dibubarkan. Pasukan Sangling yang berpakaian lengkap telah memasuki halaman istana Akuwu, sementara bekas tawanan yang kembali itu pun telah bertebaran kembali ke rumah masing-masing.

Karena kedatangan pasukan itu tidak banyak dilihat orang, maka kedatangan para prajurit itu di rumah masing-masing memang sangat mengejutkan. Ketika pintu rumah yang sudah tertutup itu diketuk orang, maka penghuninya merasa ragu-ragu untuk membukakannya. Tetapi tiba-tiba saja mereka mendengar suara yang mereka kenal dengan baik yang sudah cukup lama tidak pernah menyentuh telinganya.

Meskipun ragu-ragu. Namun keluarga mereka pun akhirnya telah membuka pintu rumahnya. Maka sesaat kemudian di Pakuwon Sangling itu telah terdengar banyak suara tangis. Meskipun bukan tangis kesedihan. Rumah-rumah yang telah diketuk pintunya dan menerima kembali salah seorang keluarganya yang dianggap sudah hilang itu pun menjadi sibuk. Dapur pun mulai berasap lagi dan di pakiwan pun terdengar senggot timba berderit.

Demikian orang-orang yang pulang itu selesai mandi dan berpakaian lebih baik dari yang dikenakannya, maka makanan dan minuman panas pun telah tersedia. Sambil makan dan minum, maka orang-orang yang baru pulang itu pun telah berceritera tentang pengalamannya selama berada di padepokan Suriantal.

“Sebenarnya sikap Akuwu Lemah Warah cukup baik,” berkata orang-orang itu, “tetapi prajurit Lemah Warah adalah prajurit yang keras.”

Suasana yang gembira itu berlangsung sampai menjelang matahari terbit. Baru kemudian prajurit yang pernah ditawan di padepokan Suriantal itu merasa kantuk oleh kelebihan yang menekannya. Namun ada di antara mereka yang berpesan kepada keluarganya agar pakaiannya yang kotor dan koyak itu jangan dibuang.

“Besok aku akan mencucinya dan menyimpannya sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah menjadi tawanan di padepokan Suriantal,” berkata para bekas tawanan itu.

Namun ada juga di antara mereka yang menjadi sangat benci dengan pakaiannya itu sehingga malam itu juga mereka telah membakarnya.

Sementara itu di istana Akuwu telah terjadi kesibukan tersendiri. Para Senapati sedang menyusun daftar nama mereka yang tidak dapat pulang kembali ke Sangling. Namun ternyata bahwa mereka memerlukan para pemimpin kelompok untuk melengkapi nama-nama prajurit Sangling yang gugur di padepokan Suriantal.

Tetapi para pemimpin itu menyadari, bahwa mereka tidak pada tempatnya mendendam Akuwu Lemah Warah. Tetapi mereka memang harus menyalahkan diri sendiri. Sedangkan yang bertanggung jawab telah gugur pula di peperangan. Akuwu Sangling.

Ketika matahari terbit, maka para prajurit yang sudah sempat berkunjung kepada keluarganya itu pun telah berkumpul lagi. Para pemimpin kelompok langsung dipanggil oleh Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling. Ia harus mengumpulkan nama-nama mereka yang menjadi korban dalam pertempuran-pertemuan yang terjadi di padepokan Suriantal.

Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh para pemimpin Sangling. Ketika orang-orang Sangling mengetahui bahwa para prajurit sudah datang, maka mereka yang merasa mempunyai keluarga yang ikut serta dalam pasukan Sangling menuju ke padepokan itu dan masih belum kembali, dengan gelisah telah datang ke istana Akuwu. Namun para prajurit telah menahan mereka untuk menunggu di luar.

“Senapati akan mengumumkan sesuatu yang penting kita ketahui bersama,” berkata para prajurit.

Sebenarnyalah, ketika sudah berkumpul banyak keluarga yang ingin mendapat penjelasan, maka Senapati dari pasukan ketigalah yang berdiri dihadapan mereka dan memberikan penjelasan tentang perjalanan pasukan Sangling ke padepokan Suriantal. Ia pulalah yang harus menyebut nama-nama dari mereka yang tidak dapat kembali lagi ke Sangling.

Setiap Senapati dari pasukan ketiga itu menyebutkan sebuah nama, maka terdengar tangis yang tertahan. Bahkan ada diantara mereka yang tiba-tiba saja tanpa dapat menahan diri telah menjerit dengan keras. Bahkan beberapa orang laki-laki yang anaknya termasuk diantara mereka yang tidak kembali telah berteriak. “Hancurkan Lemah Warah!”

Ternyata teriakan itu telah disahut oleh beberapa orang lain yang juga telah kehilangan keluarganya. Semakin lama semakin keras. Bahkan orang-orang lain yang tidak kehilangan pun telah ikut pula berteriak nyaring. “Hancurkan Lemah Warah!”

Senapati dari pasukan ketiga menjadi bingung. Seharusnya ia dapat mengendalikan perasaan semacam itu. Bahkan Sangling harus mengucapkan terima kasih kepada Akuwu Lemah Warah. Namun ia merasa tidak pada tempatnya jika ia dengan serta merta menentang pendapat orang-orang yang marah dan kecewa itu. Sehingga karena itu maka Senapati dari pasukan ketiga itu sama sekali tidak menanggapinya.

Ketika ia sudah selesai dengan menyebut nama-nama mereka yang menjadi korban, maka Senapati itu pun telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling.

Sebenarnya Senapati itu juga merasa gelisah menghadapi sikap orang-orang Sangling. Jika ia membiarkannya, maka pengaruhnya akan kurang baik bagi hubungan antara Sangling dan Lemah Warah. Bahkan mungkin sekali lingkungan keprajuritan Sangling pun ada yang akan terpengaruh oleh sikap itu. Karena itu, maka Senapati itu pun merasa perlu untuk memberikan penjelasan yang akan mempengaruhi jalan pikiran orang-orang Sangling yang marah itu. Tetapi ia harus menelusuri cara yang paling bijaksana.

Karena itu, maka Senapati itu pun telah mulai dengan persoalan yang timbul antara Sangling dan Lemah Warah. Persoalan itu bermula karena sikap seorang Buyut di Sangling yang ternyata telah menghendaki sesuatu yang telah menjadi milik padepokan Suriantal. Dengan susah payah orang-orang padepokan Suriantal telah mengambil sebuah batu yang besar yang berwarna kehijau-hijauan.

Usaha Ki Buyut itu tentu saja mendapat perlawanan dari orang-orang Suriantal. Adalah kebetulan bahwa pemimpin di padepokan Suriantal adalah kemanakan Akuwu Lemah Warah. Senapati itu pun menceriterakan pula bahwa Buyut itu adalah Buyut dari Bapang.

“Sementara itu,” berkata Senapati itu, “Akuwu Lemah Warah ternyata dapat mengenali pula Buyut dari Bapang itu sebagai seorang penjahat yang telah melarikan diri dari Lemah Warah.”

Orang-orang Sangling ternyata mendengarkan ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Dengan hati-hati Senapati itu meneruskan keterangannya,

“Adalah satu langkah yang keliru bahwa Sangling telah membela Ki Buyut di Bapang yang kemudian ternyata tertangkap oleh orang-orang padepokan Suriantal. Sebelum pertentangan yang gawat antara Sangling dan Suriantal terjadi, Akuwu Lemah Warah pernah datang ke Sangling, tentunya kita ingat betul, untuk berbicara khusus tentang pokal Ki Buyut dari Bapang. Tetapi Akuwu Sangling tidak mau mendengarkannya. Akibatnya, pasukan Sangling telah terjerumus ke dalam keadaan yang sangat pahit. Perang yang besar tidak dapat dihindari lagi, justru karena Akuwu Sangling ingin membebaskan Ki Buyut di Bapang. Seorang itu telah mengambil nyawa beberapa orang yang tadi disebut namanya oleh Senapati dari pasukan ketiga."

“Tetapi mereka telah dibunuh oleh orang-orang Lemah Warah,” teriak seseorang.

“Tetapi kita tidak boleh melupakan sebabnya,” berkata Senapati itu, “Sangling lah yang menyerang, sehingga Lemah Warah harus bertahan. Tetapi ternyata bahwa kita semuanya menjadi korban. Akuwu sendiri terbunuh, karena Akuwu terlalu memanjakan Ki Buyut Bapang yang ternyata bukan orang baik-baik. Saudara seperguruan Akuwu pun terluka parah. Namun sekarang telah diambil oleh gurunya yang juga guru Akuwu Sangling. Ternyata guru Akuwu Sangling tidak berusaha untuk membalas sakit hati muridnya. Ia justru menyesali sikap Akuwu Sangling itu.”

Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun seorang yang lain berteriak, “Kenapa tiba-tiba kita berniat untuk berkhianat terhadap Akuwu?”

Senapati yang untuk sementara memimpin Pakuwon Sangling itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah kita mencoba melihat kebenaran. Selama ini kita memang berusaha untuk menjadi rakyat Sangling yang setia. Kita telah melakukan segala perintah Akuwu dengan baik. Tetapi ketika kami mengetahui siapakah sebenarnya Akuwu Sangling dan apa pula yang pernah dilakukannya, apakah kita harus menutup mata terhadap kenyataan itu?”

“Kenyataan yang mana?” bertanya seseorang, “Akuwu telah gugur untuk kita semua. Dan kita membiarkannya hilang bahkan juga namanya.”

“Siapa yang gugur untuk kita?” bertanya Senapati itu, “apakah Akuwu memang gugur untuk kita? Tidak. Akuwu gugur untuk Ki Buyut Bapang. Sementara Ki Buyut Bapang adalah seorang yang dapat dianggap sebagai seorang penjahat. Aku tidak akan dapat mengatakan, kenapa Akuwu demikian besar perhatiannya kepada Ki Buyut Bapang itu. Sementara Akuwu Lemah Warah sampai saat ini tidak mau melepaskan Buyut Bapang itu.”

Suasana jadi hening. Namun seorang yang kecewa berkata, “jadi kau menuduh, bahwa gugurnya Akuwu adalah sia-sia? Demikian juga kematian anakku juga sia-sia?”

Senapati itu menjadi berdebar-debar. Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawabnya. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara lantang. Bukan sekedar menggetarkan selaput telinga, tetapi suara itu rasa-rasanya bagaikan menggeletarkan udara, menerpa isi dada setiap orang.

“Ya. Kematian itu memang sia-sia!”

Semua orang berpaling ke arah yang tidak sama. Mereka tidak tahu pasti, dari mana arah suara itu. Namun kemudian mereka melihat seorang yang berjalan dengan langkah tetap ke arah Senapati yang untuk sementara memimpin Pakuwon Sangling.

Orang itu pun kemudian berdiri tegak di sebelah Senapati ini. Sekali lagi ia berkata, “Seperti aku katakan, kematian Akuwu adalah sia-sia. Kematian prajurit Sangling yang lain juga sia-sia.”

“Persetan,” seorang ayah yang marah tiba-tiba saja telah melangkah maju, “kau katakan kematian anakku sia-sia?”

“Ya. sia-sia. Sekali lagi, kematian prajurit Sangling sia-sia,” berkata orang itu.

Seorang ayah yang marah tiba-tiba telah menyerang orang itu. Ternyata ia membawa pisau belati yang tajam. Dengan garangnya ia telah mengayunkan pisaunya ke arah dada orang itu. Demikian cepatnya sehingga tidak sempat dicegah oleh siapa-pun, karena tidak seorang pun menduga bahwa hal seperti itu akan terjadi.

Beberapa orang memang meloncat untuk berusaha mencegah. Tetapi mereka agaknya telah terlambat. Demikian juga Senapati yang sedang berbicara kepada orang-orang Sangling itu.

Namun yang terjadi memang sulit untuk dimengerti. Ketika orang-orang itu menyadari keadaan, maka mereka melihat orang yang diserang itu tengah menolong ayah prajurit yang gugur itu untuk berdiri. Sementara pisau belatinya telah berada di tangannya.

“Berdirilah,” berkata orang itu.

Ayah dari prajurit yang gugur itu pun tidak mengerti apa yang telah terjadi. Ia hanya merasakan seakan-akan semuanya menjadi gelap. Hanya untuk sesaat. Kemudian ketika ia menyadari keadaannya orang itu telah menolongnya berdiri. Pisaunya telah berada di tangan orang itu.

Semua orang tercengang karenanya. Bahkan Senapati dari pasukan ketiga serta Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling itu pun menjadi heran.

“Pergilah,” berkata orang itu sambil menyerahkan pisau itu kembali.

Tanpa sadar, maka orang itu telah menerima pisaunya. Kemudian melangkah dengan kepala tunduk meninggalkan orang yang aneh itu. Sementara itu ia mendengar suara orang itu bergulung-gulung menggetarkan udara, “Aku adalah guru Akuwu Sangling.”

Semua orang terkejut karenanya. Itulah sebabnya maka ia mampu membuat pengeram-eram. Sementara itu semua orang-pun merasakan getaran yang bahkan mengguncang dada mereka.

“Nah, dengar,” berkata orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu, “kematian Akuwu Sangling dan para prajurit memang sia-sia. Mereka tidak memberikan arti apa-apa bagi Tanah ini, karena sebenarnyalah Akuwu berperang tidak untuk kepentingan Ki Buyut di Bapang. Tetapi meskipun kematian para prajurit itu sia-sia, tetapi bukan karena kesalahan mereka. Tanggung jawabnya terletak di pundak Akuwu. Para prajurit yang mati dalam kesia-siaan itu merupakan korban dari ketamakan Akuwu Sangling. Ia merasa memiliki ilmu yang sulit diimbangi. Karena itu maka ia pun merasa dirinya tidak terkalahkan. Namun ternyata Akuwu Lemah Warah pun memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga akhirnya Akuwu Lemah Warah telah berhasil membunuhnya.”

Semua orang mendengarkannya dengan saksama. Sementara guru Akuwu itu berkata, “Itulah sebabnya aku sama sekali tidak menuntut balas. Biarlah muridku yang tamak itu dihancurkan oleh ketamakannya sendiri, sehingga dengan demikian, maka akan tumbuh kekuatan baru yang lebih baik di Tanah ini.”

Para prajurit dan orang-orang Sangling mendengarkannya dengan saksama. Namun mereka mengerti maksud dari apa yang dikatakan oleh orang itu. Karena itu, maka orang-orang yang semula menjadi marah karena sikap para prajurit terhadap Akuwu Sangling, apalagi mereka telah terlanjur mengorbankan salah seorang keluarganya, menjadi mengerti persoalan yang sebenarnya.

Bahkan orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu pun berkata, “Dalam peristiwa ini hampir saja Akuwu Sangling menyeret pula saudara seperguruannya. Untunglah bahwa saudara seperguruan Akuwu itu masih dapat diselamatkan dan kini aku rawat di padepokanku. Jika orang itu mati pula, maka aku telah kehilangan dua orang muridku.”

Orang-orang Sangling yang telah kehilangan seorang keluarganya itu pun kemudian menjadi pasrah dan tidak lagi berusaha untuk menuntut. Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Terima kasih atas kehadiran Ki Sanak.”

Orang itu berpaling kepada Senapati itu. Katanya, “Aku memang guru Akuwu Sangling, aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi. Sebenarnyalah kalian harus berterima kasih kepada Akuwu Lemah Warah.”

“Ya,” jawab Senapati itu, “kami memang harus berterima kasih kepada Akuwu Lemah Warah.”

“Sudahlah,” berkata orang itu, “semoga tidak terjadi sesuatu di Sangling. Namun dalam hubungan dengan meninggalnya Akuwu, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan memberikan laporan selengkap-lengkapnya ke Kediri,” jawab Senapati itu.

“Satu langkah yang tepat,” berkata orang itu, “lakukanlah. Jika kau terlambat, mungkin kau dapat dianggap bersalah. Mungkin Akuwu Lemah Warah pun akan memberikan laporan pula, sehingga laporan kalian akan diperbandingkan dengan laporan Akuwu Lemah Warah.”

“Mudah-mudahan laporan Akuwu Lemah Warah tidak bergeser dari kenyataan yang telah terjadi,” berkata Senapati itu, “sehingga laporannya tidak akan berselisih dengan laporan yang akan aku berikan.”

“Menurut perhitunganku, laporan Akuwu Lemah Warah akan memuat kenyataan yang telah terjadi menurut penglihatannya. Jika ada yang berbeda itu bukan karena Akuwu ingin memalsukan kenyataan. Tetapi agaknya memang tanggapan Akuwu terhadap peristiwa yang dilaporkannya itu berbeda dengan tanggapanmu,” berkata orang itu.

Senapati itu mengangguk kecil sambil berkata, “Ya. Agaknya memang demikian.”

“Tetapi apa pun juga yang terjadi, maka kau segera harus melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri,” berkata orang itu.

“Besok aku akan pergi ke Kediri,” jawab Senapati itu, “hari ini aku akan menyusun laporan itu selengkap-lengkapnya.”

“Bagus,” berkata orang itu, “lakukanlah. Sekarang aku minta diri.”

Orang itu pun kemudian telah berkata kepada orang-orang Sangling dan para prajurit, “Tenanglah kalian. Lakukan kewajiban kalian masing-masing. Kediri akan menentukan kebijaksanaan yang paling baik bagi Sangling.”

Orang itu pun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Ia berjalan tanpa berpaling lagi, menyusuri jalan yang panjang di tengah-tengah kota Sangling.

Di alun-alun Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling itu pun kemudian berkata kepada para prajurit Sangling, “Kalian masih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Bagi kalian akan disiapkan kelengkapan keprajuritan yang baru, karena apa yang ada pada kalian sekarang, terutama pakaian, adalah pakaian yang kalian ambil dari rumah kalian masing-masing. Mungkin masih ada juga ciri-ciri keprajuritan, tetapi ciri-ciri itu tidak lengkap lagi. Dalam waktu dua pekan maka semuanya akan siap, dan kalian akan kembali ke barak-barak kalian.”

Demikianlah maka pertemuan itu pun kemudian telah dibubarkan. Para prajurit yang baru saja dibebaskan dari tawanan itu mendapat kesempatan untuk beristirahat. Namun demikian kepada mereka telah dipesankan, dalam keadaan yang penting, mereka akan dapat dipanggil setiap saat.

Sementara itu, ketika para prajurit yang baru saja dibebaskan dari tawanan itu telah meninggalkan alun-alun Sangling, maka para Senapati telah berkumpul untuk menyusun laporan yang akan disampaikan kepada para pemimpin di Kediri. Jika mungkin utusan mereka akan menghadap Sri Baginda langsung.

Dengan teliti para Senapati itu telah menyusun laporan yang akan dibawa oleh utusan mereka, sehingga laporan mereka itu benar-benar merupakan laporan yang tidak dibuat-buat dan apalagi dapat dituduh sebagai laporan palsu.

Di hari berikutnya, maka tiga orang Senapati telah meninggalkan Sangling menuju ke Kediri. Ternyata permohonan mereka untuk menghadap Sri Baginda dikabulkan. Tetapi mereka harus menunggu semalam lagi, karena baru di hari kemudian Sri Baginda mempunyai waktu untuk menerima mereka.

Namun para Senapati itu terkejut, ketika di hari berikutnya, ketika mereka menghadap, Akuwu Lemah Warah telah menghadap pula. Tetapi Akuwu datang sendiri tanpa kedua orang kemanakannya yang disebutnya bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Akuwu Lemah Warah hanya menarik nafas saja ketika dilihatnya utusan dari Sangling itu pun telah datang. Namun bagaimanapun juga terbersit pertanyaan di hatinya, “Apakah orang-orang Sangling akan memberikan laporan dengan jujur sebagaimana peristiwa itu terjadi?”

Sri Baginda yang duduk diatas Singgasananya memandangi mereka yang menghadap. Dihadapannya duduk pula Pangeran Singa Narpada di samping beberapa orang pemimpin Kediri yang lain. Dengan nada rendah Sri Baginda pun kemudian memberitahukan bahwa pertemuan itu, terutama adalah untuk mendengarkan laporan dari dua pihak yang baru saja terlibat dalam permusuhan.

“Agaknya Akuwu Lemah Warah telah memberikan laporan lebih dahulu,” berkata para Senapati itu di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, maka Sri Baginda telah memberikan kesempatan lebih dahulu kepada para utusan dari Sangling untuk memberikan laporannya.

Dengan hati-hati Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling itu pun telah bergeser setapak maju. Ialah yang kemudian memberikan laporan selengkapnya tentang peristiwa yang terjadi di padepokan Suriantal. Senapati itu pun melaporkan sikap seorang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling itu sendiri, di saat orang-orang Sangling yang telah kehilangan keluarganya di medan hampir saja marah dan tidak terbendung lagi.

Sri Baginda mendengarkan laporan itu dengan saksama. Demikian juga orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk Akuwu Lemah Warah. Namun ketika Senapati itu sampai pada akhir dari laporannya ternyata Sri Baginda tidak menanggapinya sendiri. Ternyata Sri Baginda telah bertanya kepada Akuwu Lemah Warah, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Akuwu Lemah Warah itu pun menyembah sambil menjawab, “Ampun Baginda. Menurut pengetahuan hamba serta pendengaran atas laporan itu, maka hamba menganggap bahwa Senapati itu telah memberikan laporan dengan jujur. Agaknya ia menanggapi peristiwa yang terjadi itu dengan sikap yang wajar, ia tidak semata-mata dipengaruhi oleh perasaannya, tetapi penalarannya telah menuntunnya untuk menyusun laporan yang sebenarnya.”

Sri Baginda termangu-mangu. Sejenak dipandanginya Senapati itu. Namun kemudian katanya kepada Senapati itu, “Laporanmu dibenarkan.”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi. Untuk beberapa saat Senapati itu hanya menunduk saja, sementara Sri Baginda telah minta pendapat Pangeran Singa Narpada apakah yang sebaiknya dilakukan atas Pakuwon Sangling.

“Kita wajib memikirkannya Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “biarlah Sri Baginda menetapkan untuk sementara Senapati itu memimpin Sangling sampai saatnya akan ditunjuk orang lain yang akan menggantikan kedudukan Akuwu Sangling yang terbunuh itu.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku telah menetapkan Senapati yang untuk sementara memimpin Pakuwon itu untuk tetap dalam tugasnya sampai ada ketentuan lain.”

Senapati itu menyembah sambil membungkuk hormat. Katanya, “Hamba akan menjunjung segala titah Sri Baginda.”

Dengan demikian, maka ketiga orang Senapati itu sudah tidak mempunyai kepentingan lain dengan pertemuan itu. Karena itu maka Sri Baginda pun kemudian telah memperkenankan mereka meninggalkan paseban.

Ketika ketiga orang Senapati itu berpacu kembali ke Sangling, seorang diantara mereka berkata, “Sri Baginda nampaknya agak berbeda dengan Sri Baginda beberapa saat yang lampau.”

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Nampaknya Sri Baginda tidak lagi bergairah dalam pemerintahan. Segala sesuatunya tergantung kepada Pangeran Singa Narpada,” sahut yang pertama.

Kawannya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Nampaknya memang demikian. Mungkin sesuatu telah terjadi, atau barangkali hari ini Sri Baginda dalam keadaan yang tidak begitu gembira.”

Para Senapati itu menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja seorang diantara mereka berkata, “Ternyata Akuwu Lemah Warah benar-benar jujur terhadap kita.”

“Ya,” sahut kawannya, “ternyata kecemasan kita tidak beralasan sama sekali.”

“Aku malu terhadap dugaan-dugaan atas Akuwu Lemah Warah sebelumnya,” berkata yang seorang lagi.

“Sudahlah,” berkata yang pertama, “sekali lagi kita mengucapkan terima kasih kepadanya.”

Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja, sementara kuda mereka berpacu semakin jauh dari Kota Raja. Di paseban, Sri Baginda telah menugaskan kepada Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada untuk mengamati dengan saksama keadaan di Sangling. Merekalah yang kemudian diminta untuk memberikan pendapatnya tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat diterapkan bagi Pakuwon yang kosong itu.

“Sri Baginda,” mohon Pangeran Singa Narpada, “jika demikian maka hamba akan mohon ijin untuk pergi ke Sangling. Hamba ingin melihat sendiri, apa yang telah terjadi dan apa pula yang kini berkembang di Sangling. Dengan demikian maka pendapat hamba tidak sekedar berdasarkan kepada dugaan atau barangkali perhitungan saja. Tetapi juga atas dasar penglihatan dan pengamatan hamba atas daerah itu.”

Sri Baginda tcrmangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi kau jangan terlalu lama meninggalkan Kediri.”

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun telah mohon diri untuk melakukan tugas mereka. Namun Pangeran Singa Narpada tidak akan langsung ke Sangling. Tetapi lebih dahulu singgah di Lemah Warah. Untuk melakukan tugasnya, maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah memang harus berada di Sangling untuk beberapa lama. Atau setidak-tidaknya berada di dekat Pakuwon Sangling. Karena itu, maka Akuwu Lemah Warah memang harus meninggalkan Pakuwonnya lagi.

Tetapi Akuwu Lemah Warah telah mengajak Pangeran Singa Narpada untuk singgah di padepokan Suriantal. Di padepokan itu Pangeran Singa Narpada telah bertemu lagi dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang telah beberapa lama tidak bertemu.

“Kami harus pergi ke Sangling,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Bersama Akuwu Lemah Warah?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Mengemban perintah Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Tetapi kami tidak akan lama berada di Sangling,” berkata Akuwu Lemah Warah, “kami hanya akan mempelajari keadaan. Kemudian kami harus mengusulkan kepada Sri Baginda, apa yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan Sangling.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksudnya. Karena itu keduanya mengangguk-angguk. Bahkan hampir di luar sadarnya Mahisa Pukat berdesis, “Untuk mencari pengganti Akuwu?”

“Antara lain,” desis Akuwu Lemah Warah. “Namun kami sadari, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit meskipun kita tinggal menentukan pilihan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan Pangeran Singa Narpada tinggal beberapa lama di padepokan itu. Barangkali tugas itu dapat dilakukan dari padepokan Suriantal.

“Mungkin kita akan dapat melihat lebih jelas dari tempat yang dipisahkan oleh jarak daripada kita harus berada di tempat itu,” berkata Mahisa Murti.

“Kau benar Mahisa Murti,” berkata Akuwu Lemah Warah, “tetapi untuk beberapa saat, meskipun tidak lama, kami memang harus berada di Pakuwon Sangling untuk berbicara dengan beberapa orang di sana. Kami memang memerlukan bahan-bahan yang cukup. Jika Akuwu Sangling mempunyai anak, maka persoalannya akan berbeda. Ada calon yang langsung dapat ditunjuk meskipun memang mungkin terjadi, bahwa anak seorang Akuwu tidak disetujui oleh Sri Baginda untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Tetapi Akuwu tidak mempunyai anak."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya keduanya memang harus pergi ke Sangling. Namun dengan demikian, kapan keduanya akan pergi untuk mencari seorang pemahat yang pandai untuk dapat membuat sebuah patung dari batu yang berwarna kehijauan itu.

Akuwu Lemah Warah yang melihat sikap kedua orang anak muda itu tiba-tiba saja teringat janjinya, bahwa ia akan menunggu padepokan itu dan memberi kesempatan kepada kedua orang anak muda itu untuk pergi ke Singasari. Akuwu Lemah Warah seakan-akan dapat membaca isi hati kedua orang anak itu sehingga ia pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tugasku tidak akan memakan waktu yang berkepanjangan. Aku akan segera dapat menepati janjiku.”

“Apa janji Akuwu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku sudah menyatakan kesediaanku menunggui padepokan ini untuk waktu tertentu Pangeran, sementara keduanya pergi ke Singasari untuk mencari seorang pemahat yang bersedia memahat batu yang berwarna kehijauan itu.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “jadi kau memang sudah merencanakan untuk tinggal di sini dalam jangka waktu tertentu?”

“Ya Pangeran” jawab Akuwu Lemah Warah.

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “benar kata Akuwu Lemah Warah, kami tidak akan lama berada di Sangling.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun Pangeran Singa Narpada pun kemudian ingin melihat batu itu dari dekat. Diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat maka Pangeran Singa Narpada diiringi Akuwu Lemah Warah telah melihat batu yang berwarna kehijauan yang berada di tengah-tengah padepokan Suriantal, dipagari dengan bambu yang rapat. Ketika mereka berdiri di batas pagar bambu itu. Pangeran Singa Narpada dapat melihat beberapa ekor binatang yang berbisa berada di celah-celah retak batu itu.

“Itulah sebabnya maka batu itu dianggap keramat,” berkata Akuwu Lemah Warah, “siapa yang menyentuh batu itu akan mati.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Apalagi ketika semakin lama seakan-akan binatang berbisa itu tumbuh semakin banyak. “Apakah retak-retak batu itu tidak dalam?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kami harap tidak,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “dengan demikian maka bagian dalam dari batu itu akan dapat dibuat sebuah patung yang cukup besar dari sepasang naga di satu sarang.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Dalam waktu dekat, kau akan mendapatkan kesempatan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Hampir tidak terdengar Mahisa Murti berdesis, “Terima kasih Akuwu serta Pangeran Singa Narpada. Mudah-mudahan kami berhasil.”

Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, “Kami akan pergi ke Sangling secepatnya, agar kami pun dapat kembali secepatnya pula.”

“Semoga tugas Akuwu serta Pangeran dapat dilaksanakan dengan baik,” sahut Mahisa Murti.

Demikianlah, maka seperti yang direncanakan, Akuwu Lemah Warah telah menyertai Pangeran Singa Narpada untuk pergi ke Sangling. Mereka harus mampu melakukan sebagaimana diperintahkan oleh Sri Baginda di Kediri. Menemukan seseorang yang akan mampu memegang kendali pemerintahan di Sangling.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah diserahi pimpinan untuk sementara di padepokan Suriantal. Termasuk para prajurit Lemah Warah yang masih berada di padepokan itu. Pasukan yang kuat dari Lemah Warah memang masih tetap berada di padepokan itu sejak mereka datang untuk membantu orang-orang padepokan itu menahan serangan orang-orang Sangling.

Pasukan itu akan tetap berada di padepokan itu sambil menunggu tugas Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada selesai. Namun ternyata memilih seorang di antara banyak orang calon bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Karena itu maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak segera kembali ke Suriantal.

Tetapi agaknya memang tidak ada pekerjaan yang tidak teratasi jika dilakukan dengan tekun dan tidak mengenal putus-asa. Ternyata akhirnya Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada menemukan juga seorang yang pantas untuk ditunjuk menjadi Akuwu Sangling.

Meskipun melalui pembicaraan-pembicaraan yang panjang, serta memberi dan menerima, bahkan kadang-kadang harus bertegang dengan beberapa orang Senapati dari Sangling yang merasa menjadi tulang punggung kekuatan Pakuwon itu, maka akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk seorang yang sama sekali justru berasal dari luar Sangling untuk menghindarkan perasaan iri dan saling berebut di antara orang dalam.

“Tetapi kami orang-orang Sangling harus yakin akan kemampuannya,” berkata Senapati dari pasukan ketiga.

“Jika kemampuannya tidak melampaui kemampuan kami, maka tidak pantas ia memimpin kami,” berkata Senapati tertinggi di Sangling.

“Kita akan membuktikannya kelak,” berkata Pangeran Singa Narpada, namun sekali lagi aku katakan, aku belum tahu sikap orang yang berkepentingan. Apakah ia bersedia atau tidak, ia sekarang adalah Senapati besar di Singasari.”

“Jadi bagaimana sebaiknya menurut Pangeran?” bertanya Senapati Sangling itu.

“Kami akan menghubunginya dan minta agar orang itu bersedia datang ke Sangling. Ia harus disetujui pula oleh Sri Baginda di Kediri dan Senapati tertinggi di Singasari, seandainya orang itu bersedia.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Akuwu, asal itu akan membawa kebaikan atas Pakuwon Sangling ini,” sahut Senapati tertinggi di Sangling itu.

“Baiklah,” berkata Akuwu Sangling, “Pangeran Singa Narpada dan aku akan menemuinya dalam waktu dekat. Kemudian kami akan datang lagi kemari untuk memberitahukan hasil dari perjalanan kami.”

“Tetapi siapakah nama orang itu?” bertanya para Senapati Sangling.

Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian Pangeran Singa Narpada pun bertanya, “Apakah nama itu perlu sekali bagi kalian?”

“Tentu,” jawab Senapati itu.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Singa Narpada menjawab, “Namanya Mahisa Bungalan.”

“Mahisa Bungalan,” desis beberapa orang Senapati.

“Ya. Selain ia masih muda, mempunyai wawasan yang luas dan memiliki kemampuan yang cukup,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Para Senapati itu termangu-mangu. Tetapi memang nampak pada wajah mereka, bahwa mereka akan dapat menerima orang asing itu, asal orang itu mampu mengalahkan semua Senapati yang ada di Sangling.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada yang seakan-akan mengerti perasaan mereka pun berkata, “Jika orang itu bersedia, akan dilakukan semacam sayembara. Jika ternyata di antara orang-orang Sangling dapat mengalahkan Mahisa Bungalan dalam perang seorang lawan seorang, maka orang itulah yang akan menjadi Akuwu di Sangling.”

“Baiklah Pangeran,” berkata Senapati tertinggi, “kami akan menunggu.”

Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun kemudian minta diri kepada orang-orang Sangling setelah beberapa hari ia berada di Pakuwon itu untuk mendapat bahan serta keinginan-keinginan orang-orang Sangling tentang persyaratan untuk diangkat menjadi seorang Akuwu. Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun telah langsung menuju ke padepokan Suriantal untuk menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kau sajalah yang menyampaikannya kepada kedua orang adik Mahisa Bungalan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Akuwu Lemah Warah.

“Aku memang akrab dengan anak-anak itu. Tetapi dalam hal ini apakah tidak sebaiknya Pangeran saja yang mengatakannya?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

Akhirnya Pangeran Singa Narpada menjawab, “Sama saja. siapa pun yang akan menyampaikannya. Yang penting anak-anak itu mengerti dan menyampaikannya kepada kakaknya dalam waktu dekat sekaligus dengan rencananya untuk dapat berhubungan dengan seorang pemahat yang baik.”

Ternyata Pangeran Singa Narpada ingin menitipkan pesan tentang rencana Kediri untuk mengusulkan Mahisa Bungalan menjadi Akuwu di Sangling. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk membicarakan kemungkinan pembuatan patung dari batunya yang berwarna kehijauan. Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah telah berada di padepokan Suriantal. Sebagaimana mereka rencanakan, maka mereka pun telah ber¬bicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Kepada kedua orang anak muda itu Akuwu Lemah Warah bertanya, “Apakah kau masih berniat untuk mencari seorang pematung?“

“Ya Akuwu,” jawab Mahisa Murti, “kami ingin pergi ke Singasari untuk menemui seorang pemahat yang baik, tetapi ju¬ga yang bersedia bekerja di tempat yang terpencil dan sepi ini untuk waktu yang cukup lama.”

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kau dapat pergi untuk waktu tertentu. Aku akan menunggu padepokan ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti bertanya, “Jadi benar Akuwu akan memberi kesempatan kepada kami dalam waktu dekat ini?”

“Ya. Aku tidak akan ke Lemah Warah lebih dahulu. Kau dapat berangkat kapan saja,” berkata Akuwu Lemah Warah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun Pangeran itu pun mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Akuwu Lemah Warah benar. Kau dapat berangkat kapan saja kau kehendaki. Akuwu Lemah Warah akan berada di sini. Aku pun pada waktu tertentu akan datang lagi kemari, karena tugasku bersama Akuwu Lemah Warah tentang Akuwu Sangling masih harus aku selesaikan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Akuwu Lemah Warah berkata, “Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian telah aku anggap seba¬gai kemanakanku sendiri. Karena itu, maka aku pun tidak segan-segan memberikan pesan dan bahkan pekerjaan kepada kalian. Bukankah kalian bersedia membantu kami?“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Akuwu Lemah Warah dengan ragu-ragu. Sementara itu Akuwu pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Aku ingin berpesan kepada kalian untuk kalian sampaikan kepada kakak kalian, Mahisa Bungalan.”

“Apa?“ bertanya Mahisa Murti, “Akuwu mengenalnya?“

“Sudahlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Siapa tidak mengenal Senapati besar dari Singasari itu.” Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak. Lalu, “nah, sampaikan pesan kami. Kediri mengusulkan, maksudku, aku yang mendapat tugas dari Kediri, agar Mahisa Bungalan bersedia mengisi kekosongan jabatan di Sangling.”

“Maksud Pangeran, kakang Mahisa Bungalan akan dicalonkan menjadi seorang Akuwu di Sangling?” bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya pula, “Tetapi kakang Mahisa Bungalan bukan orang Sangling. Bagaimana mungkin kakang Mahisa Bungalan dapat dicalonkan menjadi Akuwu. Apakah hal itu tidak akan menimbulkan persoalan di Sangling? Keluarga dekat Akuwu Sangling akan dapat menuntut haknya.”

Akuwu Sangling tidak mempunyai anak. Ia tidak mempunyai saudara pula. Sementara itu, ia telah melakukan satu kesalahan yang dapat dianggap menentang kekuasaan Kediri dan sudah barang tentu kekuasaan Singasari. Karena itu maka Kediri tidak memerlukan lagi, demikian pula kerabatnya. Sangling akan dipegang oleh garis keturunan baru yang mungkin akan menjadi lebih baik dari garis keturunan Akuwu Sangling itu.”

“Tetapi apakah kakang Mahisa Bungalan akan bersedia?” bertanya Mahisa Murti.

“Karena itu, sampaikan pesan kami. Ia bersedia atau tidak bersedia, kami mengundangnya ke padepokan ini. Kami ingin berbicara sementara kau dapat bekerja dengan ahli pahat itu untuk membuat patung yang kau kehendaki,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Kenapa Pangeran tidak mencari calon dari Sangling sendiri?”

“Sangling telah kehilangan kekuatannya. Tidak seorang-pun yang pantas untuk memegang jabatan itu ditilik dari segi kemampuan ilmunya. Karena itu seorang Akuwu bukan saja pemimpin pemerintahan, tetapi juga seorang Senapati perang, maka untuk itu harus dipilih orang yang tepat,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Tetapi bukankah Akuwu mempunyai saudara seperguruan yang juga memiliki ilmu yang tinggi.” bertanya Mahisa Pukat.

“Kami belum mengenalnya. Apakah ia mampu memimpin pemerintahan atau memimpin pasukan. Secara pribadi ia memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi belum tentu, orang-orang yang secara pribadi memiliki kemampuan yang tinggi, akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik. Berbeda dengan Mahisa Bungalan. Kedudukannya sudah jelas, bahwa ia mampu memimpin pasukan dan tentu juga memimpin pemerintahan,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengangguk-angguk saja. Ia hanya mendapat pesan untuk disampaikan kepada kakaknya. Persoalan yang timbul kemudian, terserah kepada kakaknya itu sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mempersiapkan diri. Mereka telah bersepakat untuk segera pergi ke Singasari.

“Lusa, menjelang matahari terbit, kami akan berangkat,” berkata Mahisa Murti.

Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada ternyata tidak berkeberatan. “Kau dapat membawa pengawal jika kau perlukan,” berkata Akuwu Lemah Warah.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng. “Kami akan pergi berdua saja,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, di hari berikutnya, kedua anak muda itu telah mempersiapkan diri. Mereka telah mempersiapkan bekal yang akan mereka bawa di perjalanan. Mereka pun telah mempersiapkan kuda yang akan mereka pergunakan.

Sebenarnyalah, di hari berikutnya pula, menjelang matahari terbit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap. Mereka akan pergi menempuh perjalanan panjang. Singasari. Tetapi keduanya memang sudah mempunyai pengalaman yang cukup. Keduanya adalah pengembara yang pernah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan mengalami berbagai macam kesulitan dan mengatasi banyak bahaya di perjalanan.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan perjalanannya pula. Tetapi ternyata bahwa perjalanan yang ditempuhnya kali ini tidak banyak mengalami rintangan. Meskipun jaraknya cukup panjang, namun perjalanan itu ditempuhnya dengan lancar. Namun demikian, keduanya terpaksa harus bermalam di perjalanan pula.

Tetapi kedua anak muda itu tidak langsung pergi ke istana Singasari untuk menemui kakaknya yang bertugas di sana. Tetapi keduanya lebih dahulu telah pulang untuk menemui ayah mereka lebih dahulu. Mereka ingin menceritakan keinginan mereka sendiri, tentang seorang pemahat yang baik serta batu yang kehijau-hijauan itu sekaligus ingin minta pertimbangan ayahnya tentang rencana Pangeran Singa Narpada yang akan mencalonkan kakaknya menjadi Akuwu di Sangling.

Ternyata kedatangan kedua anak laki-lakinya itu mengejutkan Mahendra. Tetapi kedatangan mereka juga sangat menggembirakan hatinya. Sudah agak lama ia tidak mendengar kabarnya. Namun Mahendra yakin bahwa kedua anaknya tentu selamat. Jika tidak, maka ia tentu akan mendapat berita, mungkin dari Lemah Warah, mungkin dari Kediri. Karena itu, maka disambutnya kedua anak dengan pernyataan syukur kepada Yang Maha Agung.

“Beristirahatlah,” berkata Mahendra, “nanti sajalah kau berceritera tentang perjalananmu dan mungkin peristiwa-peristiwa yang menarik untuk kau ceriterakan kepadaku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menurut. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, maka keduanya pun telah beristirahat. Mereka sempat makan dan minum, serta kemudian duduk-duduk di serambi. Ayahnya memang memberikan kesempatan kepada keduanya untuk beristirahat. Apalagi nampaknya pada keduanya memang tidak ada sesuatu yang mendesak.

Baru ketika mereka sempat duduk-duduk di ruang tengah di malam hari, setelah mereka makan dan minum minuman panas, ayahnya bertanya, “Apakah kau mendapat pengalaman yang baru yang lebih menarik daripada yang pernah aku ketahui sebelumnya?”

“Tidak ayah,” jawab Mahisa Murti, “tetapi meskipun demikian ada juga yang patut aku ceriterakan.”

“Apakah kau menganggap bahwa kau sudah cukup mendapat pengalaman dari pengembaraanmu, sehingga kau menganggap sudah waktunya untuk kembali?” bertanya ayahnya.

Mahisa Murti menggeleng. Ia pun kemudian menceritakan keinginannya untuk mencari seorang pemahat yang bukan saja mampu memahat batu yang berwarna kehijauan itu, tetapi juga yang bersedia untuk tinggal di daerah terpencil, jauh dan sepi untuk waktu yang agak lama. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata, “Tetapi ada persoalan lain yang lebih penting dari itu ayah.”

“Tentang apa?” bertanya ayahnya.

“Sebetulnya persoalan yang aku sebut lebih penting itu justru persoalan yang datang kemudian. Karena sebelumnya aku memang sudah merencanakan pulang untuk menghubungi pemahat itu,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah persoalan yang kau anggap lebih penting itu?” desak ayahnya.

Mahisa Murti pun kemudian menceriterakan pesan Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah, bahwa kakaknya Mahisa Bungalan telah dicalonkan menjadi seorang Akuwu di Sangling.

“Bersedia atau tidak bersedia kakang Mahisa Bungalan telah diundang ke padepokan Suriantal. Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada ingin berbicara dengan kakang Mahisa Bungalan.”

“Mereka mungkin akan memberikan beberapa penjelasan tentang pencalonannya itu,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi kenapa yang dicalonkan adalah kakakmu?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti pun kemudian telah menceriterakan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah, kenapa mereka telah mencalonkan Mahisa Bungalan.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “jadi seorang calon Akuwu harus datang ke padepokan Suriantal bersedia atau tidak bersedia. Kenapa Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak datang kemari?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berpikir. Jika Mahisa Bungalan memang akan dicalonkan menjadi Akuwu, maka apakah tidak sebaiknya Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah datang untuk merundingkannya?”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian teringat, bahwa Akuwu Lemah Warah memang ingin memberi kesempatan kepadanya untuk meninggalkan padepokan dan kembali ke Singasari, sementara itu Akuwu Lemah Warah akan menunggui padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “ayah, agaknya hal itu dilakukan untuk kepentinganku.”

Mahendra mengerutkan keningnya, sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menceriterakan keinginan mereka untuk meninggalkan padepokan itu, untuk menemui seorang pemahat yang bersedia bekerja di tempat terpencil.

Agaknya Mahendra pun dapat mengerti. Tetapi katanya, “Aku harap kakakmu Mahisa Bungalan pun dapat mengerti pula.”

“Apakah ayah bersedia mengantarkan kami menemui kakang Mahisa Bungalan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Sementara itu, barangkali kakangmu Mahisa Bungalan juga mengenal seorang pemahat yang memiliki kemampuan yang tinggi dan bersedia bekerja bersama kalian di padepokan itu,” berkata Mahendra.

Tetapi Mahendra tidak tergesa-gesa membawa kedua anaknya ke Kota Raja. Dibiarkannya anaknya beristirahat barang satu dua hari di rumah, sebelum mereka menemui Mahisa Bungalan di istana Singasari. Di rumahnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat benar-benar beristirahat tanpa kegelisahan apapun. Mereka dapat tidur nyenyak sepanjang malam.

Namun setelah dua hari beristirahat di rumahnya, maka Mahendra pun telah mengajak kedua anaknya pergi ke Singasari untuk menemui kakak mereka, Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan pun merasa sangat bergembira telah bertemu dengan kedua adiknya yang telah melakukan pengembaraan yang lama dan berbahaya.

Beberapa saat mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing. Mereka pun kemudian berceritera tentang pengalaman yang pernah mereka sandang selama dalam pengembaraan. Sehingga akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah berceritera tentang padepokan Suriantal, batu yang kehijau-hijauan.

“Aku memerlukan seorang pemahat yang pandai,” berkata Mahisa Murti.

“Yang berkemampuan tinggi dan bersedia bekerja di tempat yang terpencil untuk waktu yang cukup lama,” berkata Mahisa Pukat pula.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Batu yang akan dijadikan patung sepasang ular naga dalam satu sarang itu batu yang cukup keras. Namun belum ia menanggapinya, maka Mahisa Murti sudah menyambungnya dengan persoalan yang bagi Mahisa Bungalan lebih penting. Yaitu pesan Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan memang terkejut mendengar pesan itu. Sebelum ia menanyakan kenapa Pangeran Singa Narpada atau Akuwu Lemah Warah tidak datang, Mahisa Murti sudah menjelaskan, bahwa Akuwu Lemah Warah memang sedang menunggui padepokan Suriantal atas permintaannya.

“Jika kakang tidak berkeberatan, kakang diminta untuk pergi ke padepokan itu,” berkata Mahisa Murti. Lalu, “Di padepokan itu akan dapat dibicarakan tentang rencana Pangeran Singa Narpada. Bahkan Pangeran Singa Narpada berpesan, bersedia atau tidak, kakang diminta datang.”

Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia nampak merenungi tawaran itu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan berbicara dahulu dengan Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada. Apakah ada syarat-syarat tertentu atau mungkin jika aku bersedia aku tidak akan merampas hak orang lain. Karena itu aku ingin tahu lebih dahulu persoalan yang ada di Sangling itu sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka pun sependapat, bahwa tanpa mengetahui persoalan-persoalan yang ada di Sangling, maka mungkin sekali akan dapat timbul benturan-benturan yang tidak diinginkan.

“Jadi kakang akan pergi ke Sangling?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku akan pergi ke Suriantal,” jawab Mahisa Bungalan.

“Kebetulan sekali,” jawab Mahisa Pukat, “kita pergi bersama-sama. Aku dan Mahisa Murti ingin membawa seorang pemahat yang berkemampuan tinggi.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan membantumu menghubungi seorang pemahat yang bersedia bekerja di tempat terpencil itu.”

“Bagaimana dengan ayah?” tiba-tiba Mahisa Murti bertanya.

“Kenapa dengan aku?” bertanya Mahendra.

“Apakah ayah juga akan pergi ke Suriantal?” bertanya Mahisa Murti.

Mahendra tersenyum. Katanya, “Aku kira aku tidak perlu ikut bersama kalian. Biarlah Mahisa Bungalan menyelesaikan persoalannya lebih dahulu. Baru kelak aku akan datang, jika ada kesempatan.”

“Aku sependapat ayah,” berkata Mahisa Bungalan, “dalam persoalan ini biarlah kami yang menyelesaikannya.”

Dengan demikian maka ketiga kakak beradik itu telah sepakat untuk pergi bertiga ke padepokan Suriantal. Tetapi sebelum mereka pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan lebih dahulu berusaha menghubungi seorang pemahat yang diperlukan.

Dengan kesepakatan itu, maka Mahendra pun merasa tidak perlu terlalu lama lagi berada di Singasari. Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak-anaknya, maka Mahendra pun telah minta diri untuk kembali pulang.

“Jika akhirnya kau terima kedudukan itu Mahisa Bungalan, maka kau jangan lupa pada sangkan paraning dumadi. Kedudukan itu tidak lebih daripada pakaian yang pada suatu saat dikenakan, namun pada saat lain harus dilepas kembali,” pesan Mahendra.

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan melihat dari beberapa sisi ayah. Jika aku harus mengorbankan kepentingan orang lain, maka aku tidak akan menerimanya. Bagiku kedudukan dan jabatan apa pun dapat aku pergunakan sebagai jembatan pengabdian. Karena itu, apakah aku menerima pencalonan itu atau tidak bagiku tidak akan ada bedanya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Hati-hatilah. Tentu kau akan menghadapi beberapa hambatan. Mungkin percobaan yang cukup berat. Karena itu, kau harus benar-benar mempersiapkan dirimu lahir dan batin.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, sementara ayahnya berkata, “Hubungi kedua pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Meskipun mereka sudah tua lebih tua dari aku, namun pengalaman mereka yang sangat luas akan dapat memberikan banyak petunjuk kepadamu.”

Demikianlah, maka Mahendra pun telah meninggalkan istana Singasari dengan meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada kakaknya. Mahisa Bungalan akan membantu mencari seorang pemahat yang pandai dan berkemampuan tinggi dalam ilmu yang diperlukan.

Ternyata Mahisa Bungalan tidak terlalu mudah untuk menemukan orang yang dimaksudkan. Jika ia menemui seorang pemahat yang mulai tertarik akan pekerjaan itu, maka soal tempat dan waktu pada umumnya merupakan hambatan yang menentukan.

“Sulit bagiku untuk tinggal di tempat yang jauh dan untuk waktu yang lama. Bagaimana dengan anak dan isteriku. Siapakah yang akan menjaga mereka sehari-hari di rumah tanpa aku,” jawab mereka.

Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat mengerti. Seorang diantara mereka, bahkan tidak dapat melakukannya karena isterinya sedang mengandung tua.

“Kita cari seorang pemahat muda,” berkata Mahisa Pukat.

“Sejak semula kita sudah mencarinya, jika kita menemukannya, “sahut Mahisa Bungalan.

Mahisa Pukat hanya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Betapapun sulitnya, tetapi karena ketiga orang bersaudara itu mencari dengan tekun dan tidak jemu-jemunya, maka akhirnya mereka menemukan seorang yang masih terhitung muda yang memiliki kemampuan yang memadai. Justru adalah kawan Mahisa Bungalan sendiri. Juga seorang prajurit.

“Kenapa kau tidak mempunyai tanda-tanda sebelumnya bahwa kau adalah seorang pemahat?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kau tidak pernah pergi ke pondokku,” berkata prajurit itu, “jika sekali kau pernah datang ke rumahku, maka kau akan melihat, bahwa aku adalah seorang pemahat.”

“Sekarang aku akan datang ke rumahmu bersama dua orang adikku,” berkata Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah hari itu, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah mengunjungi rumah seorang perwira bawahan Mahisa Bungalan. Mereka memang menyaksikan, di rumah itu banyak sekali patung-patung yang terbuat dari berbagai macam bahan. Batu, batu padas, bahkan juga kayu. Namun yang terbanyak adalah patung batu.

Ada yang besar ada yang kecil dan satu diantaranya, yang diletakkan di muka rumahnya adalah sebuah patung dari batu yang cukup besar. Patung seorang ibu yang sedang bermain-main dengan dua orang anaknya.

“Kau buat ini dari batu yang utuh?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. Sebagaimana kau lihat,” jawab perwira itu.

“Dari mana kau dapatkan batu sebesar ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Di mana-mana banyak batu berserakan,” jawab orang itu, “batu adalah bahan yang paling mudah dicari.”

“Bagaimana kau membawanya kemari? Dan kenapa aku tidak mengetahuinya?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku membawanya dengan sebuah pedati khusus. Aku jual dua ekor kuda peninggalan ayahku dan dua ekor kambing. Aku membuat pedati yang cukup kuat untuk membawanya kemari. Aku pahat batu itu di situ. Tetapi pada saat itu, aku belum berada di dalam kesatuanmu,” berkata perwira itu.

Mahisa Bungalan pun mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Patung siapakah yang kau buat itu? Isteri dan anak-anakmu?”

“Ah, mana mungkin,” jawab perwira itu, “aku tidak beristeri. Tidak ada seorang perempuan yang mau menjadi isteriku. Perempuan itu adalah ibuku yang mengasihiku dan adikku.”

“Adikmu?” bertanya Mahisa Bungalan, “di mana adikmu sekarang?”

“Ia juga menjadi seorang prajurit,” jawab perwira itu, “tetapi ia terlalu malas, sehingga pangkatnya tidak pernah dinaikkan.”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Apa kau kira kau tidak terlalu malas? Jika kau pada satu saat naik pangkat itu hanya karena kebaikan hatiku saja. Apakah hal itu tidak kau sadari?”

Perwira itu pun tertawa. Katanya, “Terima kasih Senapati. Mudah-mudahan kenaikan pangkatku dapat menjadi semakin cepat, karena Senapatiku menjadi semakin berbaik hati kepadaku.”

“Tetapi jangan kau anggap bahwa jika aku memerlukan pahatanmu itu dapat kau pergunakan untuk menyuapku,” desis Mahisa Bungalan.

Prajurit itu tertawa berkepanjangan. Demikianlah Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengamati dengan teliti hasil karya perwira itu. Menurut pendapat mereka, karya perwira itu cukup baik. Garis-garis yang tegas mengungkapkan getaran dari dalam dirinya pada saat pahatannya bermain diatas bahan patungnya, membentuk ujud yang tertuang dari dalam dunia angannya.

“Nah, apa katamu?” bertanya prajurit itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Sementara itu kakaknya berkata, “berterus-teranglah. Jika kau setuju, maka aku akan menanyakan kepadanya, apakah ia bersedia bekerjasama dengan kita.”

“Tetapi apakah ia akan dapat meninggalkan tugasnya?” bertanya Mahisa Murti.

“Itu tergantung kepadaku,” jawab Mahisa Bungalan.

“Apa yang kalian bicarakan?” bertanya perwira itu.

“Baiklah,” desis Mahisa Murti tanpa menjawab pertanyaan itu, “silahkan kakang menanyakannya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada perwira itu, “Kami menganggap bahwa kau telah berhasil dengan karyamu. Namun kemudian apakah kau dapat menerima sebuah tawaran untuk bekerja bersama kami atau tidak, itu terserah kepadamu.”

“Untuk apa?” bertanya orang itu.

“Sudah beberapa orang pemahat yang kami hubungi. Namun jawabnya hampir sama. Mereka tidak bersedia terlalu lama meninggalkan rumah mereka,” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku kurang mengerti,” desis perwira itu.

Mahisa Bungalan pun kemudian mengatakan kepada prajurit itu tentang keinginan kedua adiknya untuk mengajak seorang pemahat, memasuki daerah terpencil di sebuah padepokan yang jauh. Dikatakannya pula bahwa di padepokan itu terdapat sebuah batu yang kerasnya melampaui kebanyakan batu.

“Aku tahu,” potong orang itu, “kalian ingin aku memahat batu itu untuk dijadikan sebuah patung?”

“Benar,” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi pada umumnya para pemahat tidak mau melakukan karena pekerjaan itu tentu akan makan waktu lama. Nah, bagaimana dengan kau?”

“Aku bersedia. Dengan senang hati jika aku diijinkan,” berkata prajurit itu.

“Jika demikian, kita akan membicarakannya dengan sungguh-sungguh. Bukan kau bersedia hanya karena kau menjawab dengan serta merta. Tetapi masih ada kesempatan untuk merenunginya,” berkata Mahisa Bungalan.

“Tidak,” jawab prajurit itu, “bukan karena aku menjawab dengan serta merta. Tetapi aku benar-benar bersedia. Aku senang dengan pekerjaan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Jika aku harus terus menerus gladi perang-perangan atau bermain watangan di alun-alun, aku menjadi jemu. Bahkan menjadi seorang prajurit tugasnya tentu bukan hanya gladi perang. Juga di bidang seperti yang akan aku lakukan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun akhirnya mereka pun duduk pula untuk berbicara lebih bersungguh-sungguh. Akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa prajurit itu akan berangkat bersama Mahisa Bungalan. Mereka akan bersama-sama mohon ijin kepada Panglima untuk meninggalkan tugas mereka beberapa lama.

“Tetapi ajak adikku,” berkata prajurit itu tiba-tiba, “mintakan ijin untuknya. Ia juga memiliki kemampuan memahat meskipun barangkali masih harus dituntun. Tetapi ia akan dapat membantuku, setidak-tidaknya menyediakan peralatanku.”

Mahisa Bungalan memandangi kedua adiknya berganti-ganti. Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kita tidak berkeberatan jika memang orang itu mendapat ijin untuk pergi.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengurusnya. Jika semuanya sudah selesai, maka kita akan segera berangkat.”

Sebenarnyalah, di hari berikutnya maka Mahisa Bungalan telah menghadap Panglimanya. Ia minta ijin bagi dirinya sendiri, bagi perwira bawahannya dan adiknya yang berada dalam kesatuan yang lain.

Meskipun Mahisa Bungalan masih belum mengatakan alasan yang sebenarnya tentang kepergiannya, namun ia menyinggung serba sedikit, bahwa dalam rangka kepergiannya itu, agaknya menyangkut juga kepentingan pemerintahan Singasari dan Kediri.

Ternyata Mahisa Bungalan tidak menemui banyak kesulitan. Sebagai seorang Senapati Besar yang penuh tanggung jawab, maka ia sepenuhnya dipercaya oleh Panglimanya, bahwa ia tidak akan melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan martabatnya sebagai seorang prajurit dan menyimpang dari watak seorang kesatria Singasari. Namun Panglima itu berpesan juga, agar Mahisa Bungalan segera kembali kepada tugasnya.

Persoalan yang terpenting telah terpecahkan oleh Mahisa Bungalan. Maka menjelang keberangkatannya, maka ia pun telah membenahi diri dan keluarganya yang akan ditinggalkan untuk waktu yang mungkin agak lama. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mencemaskan keluarganya, karena ia tinggal di dalam barak khusus dalam lingkungan istana Singasari! Sehingga keamanannya agak lebih baik daripada jika mereka tinggal di luar lingkungan istana.

Sebelum berangkat, maka Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemui pula Mahisa Agni dan Witantra. Kepada keduanya Mahisa Bungalan berterus terang, bahwa Pangeran Singa Narpada telah menyebut-nyebut satu kemungkinan pencalonan baginya untuk memegang jabatan Akuwu di Sangling.

“Apakah kau sudah pernah mengunjungi Sangling?” bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya, “belum paman. Aku belum mengenal daerah itu dengan baik. Apalagi watak dan sifat orang-orangnya.”

“Kau harus mempelajarinya dengan baik,” berkata Witantra, “dengan demikian kau tidak akan menjadi kecewa karenanya. Mungkin kau melihat sesuatu di permukaannya yang menarik. Tetapi ketika kau selami, maka kau temukan keadaan yang sebaliknya.”

“Baik paman,” jawab Mahisa Bungalan, “aku akan melihat keadaan Sangling secara sepintas. Jika aku mendapat kesempatan untuk mengenali watak rakyatnya, maka aku akan mendapat bahan yang sangat berarti bagiku untuk menentukan keputusan.”

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bercerita pula tentang Ki Buyut Bapang, yang masih tetap berada di padepokan. “Nampaknya Ki Buyut Bapang lah yang telah merusakkan wajah orang-orang Sangling termasuk Akuwu,” berkata Mahisa Murti.

“Atau keduanya memang memiliki jalan yang sama dan secara kebetulan dapat berjalan seiring,” sahut Mahisa Bungalan.

“Mungkin juga seperti itu,” desis Mahisa Pukat.

“Karena itu,” berkata Mahisa Agni, “berhati-hatilah. Kau harus melihat ujud yang sebenarnya dari masyarakat Sangling. Bukan hanya sekilas.”

“Aku akan berusaha paman,” berkata Mahisa Bungalan.

Namun karena itulah, maka timbul satu niat di hati Mahisa Bungalan untuk menempuh jalan yang berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya,

“Jika demikian, maka kita akan mengambil jalan kita masing-masing. Kalian semuanya langsung ke padepokan itu. Aku akan mengambil jalan lewat Pakuwon Sangling...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.