PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 47
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 47
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Witantra berkata, “Ada juga baiknya. Tetapi kau harus berhati-hati. Kau tidak boleh terjebak ke dalam satu keadaan yang akan dapat merugikan kedudukanmu sendiri kelak jika akhirnya pencalonan itu kau terima.”
Mahisa Bungalan mengerti maksud pamannya. Karena itu, maka sambil mengangguk ia berkata, “Ya paman. Aku akan berhati-hati.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “lakukanlah semuanya dengan hati-hati, semoga Yang Maha Agung melindungi kalian.”
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berjalan kaki memang telah memasuki Pakuwon Sangling. Secara sengaja Mahisa Bungalan telah mengenakan pakaian orang kebanyakan sehingga orang tidak akan mengenalinya sebagai seorang Senapati Besar dari Singasari. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mendengarkan pembicaraan orang di kedai-kedai atau di pasar-pasar atau di tempat-tempat yang ramai lainnya.
Ternyata orang-orang Sangling memang sedang membicarakan, kemungkinan terpilihnya seorang Akuwu bagi mereka. Dalam pembicaraan dengan seorang pemilik kedai nasi, Mahisa Bungalan berkesimpulan, bahwa orang-orang Sangling tidak lagi mengharapkan keluarga Akuwu yang lama menggantikannya.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tidak ada lagi keluarga dekat Akuwu,” jawab orang itu, “seandainya ada, maka nama Akuwu telah tercemar. Nama itu harus dihapuskan sama sekali agar darah keturunan Akuwu Sangling menjadi bersih kembali.”
“Jika bukan darah keturunan Akuwu, apakah tidak ada orang lain di Sangling yang akan dapat menggantikannya?” bertanya Mahisa Bungalan.
Ternyata jawaban orang itu tidak pasti. Katanya, “Aku tidak tahu. apakah di antara para Senapati ada yang pantas dan mampu menggantikan kedudukan Akuwu.”
“Bagaimana menurut perasaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tidak ada nama yang menonjol di Sangling. Mungkin justru karena banyak orang yang pantas menjadi Akuwu,” berkata pemilik kedai itu. Namun kemudian, “Tetapi aku dengar ada calon dari luar Pakuwon Sangling.”
“Oo,” Mahisa Bungalan berpura-pura heran, “justru dari luar? Bagaimana kesan orang Sangling tentang pencalonan itu?”
“Jika ia memang memiliki kelebihan, apa salahnya? Apalagi menurut pendengaranku, ia adalah seorang Senapati Besar dari Singasari,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak banyak lagi bertanya. Ketika ada orang lain datang membeli di kedai itu, dan kebetulan berbicara pula tentang calon Akuwu mereka, maka pembicaraan mereka tidak jauh berbeda dengan pendapat pemilik warung itu. Demikian pula di tempat lain, maka menurut pengamatan Mahisa Bungalan, orang-orang Sangling tidak berpendirian, bahwa yang menggantikan Akuwu Sangling harus orang Sangling.
Sementara itu menurut pengamatan Mahisa Bungalan, orang-orang Sangling bukanlah orang-orang yang sukar didekati. Mereka agaknya terbuka untuk menerima perkembangan baru bagi kampung halamannya. Namun pada suatu saat Mahisa Bungalan telah memasuki lingkungan Kabuyutan Bapang. Mahisa Bungalan berusaha dengan sangat berhati-hati mendengar pendapat orang-orang Bapang tentang Buyutnya yang masih belum kembali.
“Salahnya sendiri,” berkata seseorang yang ditemuinya didalam kedai pula, “jika ia tidak melakukan sesuatu yang ternyata melanggar paugeran, maka ia tidak akan mengalami nasib yang sangat buruk.”
Sementara orang lain lagi berkata, “Ki Buyut bukan orang Bapang. Hanya karena Akuwu sajalah maka ia-dapat menjadi seorang Buyut di sini.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mendapat gambaran yang luas tentang sikap orang-orang Sangling, sehingga nampaknya ia tidak akan mengalami kesulitan karena ia bukan orang Sangling.
“Mungkin ada beberapa kekuranganku, tetapi orang-orang Sangling nampaknya bersikap baik,” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Rasa-rasanya tidak ada yang menentang kehadiran Mahisa Bungalan di Sangling meskipun mereka belum mengenal siapakah yang akan menjadi pemimpin mereka. Agaknya masih akan ada pendadaran-pendadaran lain yang harus dilakukan.
Dalam waktu yang singkat, Mahisa Bungalan telah merambah banyak daerah di Sangling. Agaknya orang-orang yang untuk sementara memimpin Sangling telah memberitahukan kepada rakyatnya dengan jujur apa yang telah terjadi, sehingga orang-orang Sangling mendapat gambaran yang benar tentang keadaan kampung halamannya itu.
Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah meninggalkan Sangling menuju ke padepokan Suriantal. Ia tidak menutup mata, bahwa masih juga ada satu dua orang yang agaknya para pengikut Ki Buyut di Bapang yang masih berkeras kepala. Tetapi jumlah mereka tidak berarti dibanding dengan sikap keseluruhan rakyat Sangling.
Perjalanan ke padepokan Suriantal memang merupakan perjalanan yang panjang. Mahisa Bungalan masih harus bermalam di perjalanan. Namun di hari berikutnya ternyata ia telah berada di padepokan Suriantal meskipun sudah menjelang senja.
Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara, maka tanda-tanda dan ancar-ancar yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa Mahisa Bungalan datang ke arah yang benar.
Kedatangannya di padepokan Suriantal telah disambut dengan gembira oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Agaknya kedatangannya memang sudah ditunggu-tunggu oleh mereka yang berada di padepokan, termasuk dua orang prajurit yang kebetulan adalah pemahat itu.
Beberapa saat mereka sempat mempertanyakan tentang keselamatan masing-masing. Kemudian sebelum mereka memasuki pembicaraan yang penting, Pangeran Singa Narpada mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
“Bukankah kita tidak tergesa-gesa. Besok kita mempunyai waktu yang panjang,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Terima kasih,” berkata Mahisa Bungalan, “aku memang agak letih.”
Setelah makan malam, maka Mahisa Bungalan pun telah dipersilahkan untuk memasuki biliknya. Meskipun bukan bilik yang terlalu baik, tetapi cukup untuk beristirahat dengan baik semalam suntuk. Jauh lebih baik daripada Mahisa Bungalan bermalam di pategalan atau di padang perdu, atau barangkali di dahan sebatang pohon yang besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawaninya beberapa lama. Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah kembali ke baraknya sendiri. Mereka berada dalam sebuah bilik bersama dua orang prajurit yang akan membantunya membuat sebuah patung dari batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Pagi-pagi benar, seperti biasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbangun. Demikian pula kedua orang prajurit Singasari yang tidur bersama mereka. Namun ketika mereka keluar, maka mereka telah melihat Mahisa Bungalan pun telah berada di luar biliknya. Bahkan ternyata Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun telah terbangun pula.
Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang akan memahat batu yang berwarna kehijauan itu telah menemui Mahisa Bungalan. Dengan lantang perwira bawahannya itu pun bertanya, “Apakah Senapati pernah melihat batu itu?”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara pemahat itu pun berkata, “Marilah. Kita akan melihatnya bersama-sama.”
Mahisa Bungalan mengikutinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi pula bersama mereka diikuti oleh adik pemahat itu pula. Sementara itu langit menjadi semakin terang. Matahari mulai melemparkan sinarnya yang kekuning-kuningan di sela-sela dedaunan.
Merekapun kemudian telah mengerumuni batu yang berwarna kehijauan itu, yang dipagari dengan anyaman bambu yang kuat. Namun prajurit yang akan memahat batu mulai meraba tengkuknya sambil berkata,
“Nah, kau lihat? Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu jenis binatang berbisa yang ada di dalam batu itu. Bagaimana mungkin aku akan dapat memahatnya. Setiap sengatan dari satu saja binatang berbisa itu telah membuat aku tidak akan dapat meneruskannya untuk selama-lamanya.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun melihat di sela-sela retak batu-batu itu, terdapat ratusan binatang berbisa dari berbagai jenis. Bahkan terdapat juga jenis ular-ular kecil namun mempunyai bisa yang sangat tajamnya. Di samping itu beberapa jenis kala, laba-laba biru dan hijau, binatang berkaki seribu dan seratus, kelabang dan masih banyak lagi jenisnya.
Ketika Mahisa Bungalan memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka sebelum ia menanyakan sesuatu. Mahisa Murti lah yang berkata, “Aku akan membersihkan batu itu. Dengan reramuan yang akan dapat menawarkan bisa binatang-binatang itu atau bahkan sekaligus membunuh binatang-binatang itu. Tetapi hal itu baru akan aku lakukan, jika pekerjaan itu benar-benar sudah akan dimulai. Karena dengan membunuh binatang-binatang itu, maka salah satu pengaman dan batu itu telah hilang.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian terserahlah kepadamu. Tetapi kau harus bertanggung jawab atas keselamatan pemahatnya kemudian. Jika masih ada satu dua ekor binatang berbisa yang tertinggal, maka bahaya itu masih selalu mengintainya.”
“Aku akan memohon kepada Akuwu Lemah Warah yang ternyata seorang ahli di bidang racun dan bisa,” berkata Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah yang kemudian telah berada di dekat tempat itu pula bersama Pangeran Singa Narpada hanya tersenyum saja.
“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “kedua pemahat itu telah berada di sini. Semuanya terserah kepada kalian berdua.”
“Kami akan mengaturnya kakang,” sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat mereka masih memperhatikan batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Batu yang ternyata dianggap bertuah karena seseorang yang menyentuhnya tidak akan dapat tetap hidup. Namun yang ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil memindahkannya ke padepokan Suriantal.
Hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai kesibukan sendiri. Keduanya telah membantu kedua pemahat itu untuk mempersiapkan peralatannya. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum membersihkan batu itu dari binatang-binatang berbisa.
Sementara itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta setelah Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan makan pagi, maka mereka pun sempat berbicara tentang Pakuwon Sangling.
Beberapa persoalan telah diajukan oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah berdasarkan pada pembicaraannya dengan orang-orang serta para Senapati Sangling, sementara Mahisa Bungalan telah berusaha mencocokkannya dengan pengamatannya secara langsung di daerah Pakuwon Sangling. Dalam banyak hal keterangan-keterangan mereka sejalan, sehingga tidak banyak timbul pertentangan pendapat diantara mereka.
Dalam pada itu, ternyata prajurit yang kebetulan juga pemahat itu benar-benar telah bersiap untuk melakukan pekerjaannya. Namun ia masih belum akan mulai dengan menyentuhkan pahatnya pada batu itu. Ia harus menemukan sesuatu yang akan dipahatkannya pada batu itu. Ia harus melihat ujud itu bukan di dalam angan-angannya. Baru kemudian ia dapat mulai dengan membentuk ujud itu sebagaimana diinginkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Malam nanti aku akan melakukannya,” berkata pemahat itu kepada adiknya.
“Apa?” bertanya adiknya.
“Aku harus melakukan samadi,” jawab kakaknya, “kau harus membantuku. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar ujud yang dikehendaki itu dapat memuaskannya. Sementara itu pekerjaan yang akan aku lakukan pun akan dapat selesai dengan selamat.”
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba. Tetapi sejauh dapat aku lakukan.”
Kakaknya tersenyum. Katanya, “Kau boleh duduk saja sambil menghadapi makanan dan minuman hangat. Asal kau tidak tidur.”
Demikianlah, maka semua persiapan sudah dilakukan. Semua peralatan sudah disediakan. Mereka hanya menunggu satu malam lagi untuk membulatkan semua rencana yang telah dipersiapkan itu. Pemahat itu harus menemukannya lebih dahulu keutuhan yang dikehendakinya.
Pada saat semua persiapan sudah dilakukan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menemui Akuwu Lemah Warah. Keduanya mohon pertimbangan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas binatang-binatang berbisa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membersihkannya tanpa merasa cemas karena tusukan bisa dan racun, meskipun pekerjaan itu tentu agak lama. Namun jika Akuwu bersedia memberikan reramuan obat yang dapat membunuh binatang-binatang itu dan menawarkan bisanya, maka agaknya akan lebih cepat dapat diselesaikan.
“Baiklah,” berkata Akuwu, “aku akan menyediakan ramuan itu beberapa jambangan. Kalianlah yang harus menyiramkannya pada retak-retak batu itu, sehingga cairan itu akan dapat masuk sampai ke celah-celahnya. Binatang itu akan mati dan sekaligus racun dan bisa yang ada pada binatang-binatang itu akan menjadi tawar. Tetapi ingat, kalianlah yang harus menyiramkannya. Jika ada satu dua ekor binatang yang luput dari cairan itu, dan sempat menggigit, maka kalian telah tawar oleh racun bisa itu.”
“Terima kasih Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “besok, setelah pemahat itu selesai dengan samadinya, aku akan melakukannya.”
Hari itu, menjelang senja, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan reramuan obat dari Akuwu Lemah Warah yang kemudian dicairkannya dalam tiga buah jambangan yang besar. Keduanyalah yang esok harus memandikan batu itu sehingga titik-titik cairan itu masuk ke dalam retak-retak batu itu.
Meskipun keduanya yakin, bahwa mereka tidak akan dapat membersihkan sampai binatang yang terakhir. Tetapi sebagian besar binatang itu akan mati. Sementara itu Akuwu akan dapat memberikan obat yang dapat menawarkan seseorang dari racun yang tajam meskipun hanya berlaku untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Namun sebelum mereka memasuki suasana hening itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mendengar dari kakaknya, bahwa dalam pembicaraan antara Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah, telah dicapai satu kesepakatan, bahwa Mahisa Bungalan bersedia dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu di Sangling. Tetapi masih dengan syarat, apabila Sri Baginda di Kediri tidak berkeberatan, serta mendapat ijin dari Sri Maharaja di Singasari.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan segalanya akan dapat berlangsung dengan baik.”
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun bertanya, “Pencalonan itu berlangsung begitu saja?”
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Seperti setiap gegayuhan. Aku tentu akan menempuh beberapa pendadaran. Itu aku sadari. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya. Jika aku gagal menempuh pendadaran itu, maka ternyata bahwa aku memang belum cukup masak untuk jabatan itu.”
“Apakah ujud dari pendadaran itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Bungalan, “hal itu akan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang Sangling, termasuk para pemimpin dan orang-orang tua.”
“Kanuragan? Atau pengetahuan tentang pemerintahan?” bertanya Mahisa Murti.
“Mungkin kedua-duanya,” jawab Mahisa Bungalan.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun masih bertanya, “Kapan kakang akan pergi ke Sangling?”
“Aku akan pergi ke Sangling bersama-sama dengan Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Kami akan berangkat setelah kau mulai dengan kerjamu. Setelah pahat dari pemahat itu mulai dikenakannya pada batu itu,” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Hampir berbareng keduanya berdesis, “Terima kasih.”
“Akuwu Lemah Warah lah yang menghendaki demikian. Mungkin masih diperlukan bantuannya tentang penawaran racun dan sebagainya,” jawab Mahisa Bungalan.
“Oo,” kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa Akuwu Lemah Warah memang sangat memperhatikan mereka.
Ketika kemudian hari mulai gelap, maka perwira yang juga seorang pemahat itu mulai menempatkan diri. Duduk di atas sehelai tikar pandan, diluar pagar bambu yang mengelilingi batu yang berwarna kehijauan itu. Adiknya ikut pula duduk di atas tikar itu pula, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun ikut menunggui keduanya. Jika satu dua ekor binatang berbisa meninggalkan batu itu dan merayap keluar pagar, maka adalah menjadi kewajiban Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengembalikannya.
Tetapi pemahat dan adiknya itu memang duduk tidak terlalu dekat, sehingga kemungkinan untuk disentuh oleh binatang-binatang berbisa itu kecil sekali. Beberapa orang prajurit Kediri dan penghuni padepokan itu melihat mereka dari kejauhan. Mereka hanya mengikuti dengan berbagai macam pertanyaan didalam hati. Namun sebagian dari mereka sudah mengerti, bahwa batu itu akan dibuat menjadi sebuah patung.
Pada saatnya, maka perwira yang kebetulan juga pemahat itu pun telah mulai dengan samadinya diikuti oleh adiknya. Seperti yang direncanakan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menungguinya pula, meskipun mereka tidak terikat pada samadi itu sendiri. Sementara itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun menaruh perhatian yang besar sekali atas usaha itu.
Ternyata bahwa pemahat itu telah berusaha melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak hanya mempercayakan diri kepada kemampuan dan ketrampilannya saja. Tetapi ia pun telah melambari kerja besarnya dengan pemusatan nalar budi. Kecuali untuk melihat keutuhan ujud dari patung yang akan dibuatnya, maka pemahat itu pun telah memohon kepada Yang Maha Agung, agar pekerjaannya dapat diselesaikan dengan rancak.
Meskipun para prajurit Kediri dan para penghuni padepokan itu tidak ikut serta terlibat dalam pemusatan nalar budi oleh perwira yang akan memahat batu itu, tetapi ternyata bahwa mereka berusaha untuk dapat membentuk suasana yang membantu. Para prajurit yang bertugas, telah menahan diri dengan tidak bergurau berlebihan sebagaimana sering mereka lakukan untuk mengatasi perasaan kantuk. Demikian pula para petugas yang berada di panggungan di atas dinding padepokan. Sehingga suasana di seluruh padepokan itu memang menjadi hening.
Sebuah lampu minyak yang kecil telah dinyalakan, tepat di luar pagar bambu dihadapan pemahat yang sedang samadi itu, berjarak beberapa langkah. Ternyata segalanya dapat berlangsung dengan baik. Tidak ada gangguan yang berarti malam itu. Para prajurit dan penghuni padepokan itu benar-benar memberikan bantuan yang sangat berarti dengan membentuk suasana yang hening, sehingga rasa-rasanya padepokan Suriantal itu telah dicengkam oleh suasana yang belum pernah dialami.
Suasana menjadi kian menegang ketika malam semakin dalam. Bahkan ketika tengah malam telah lewat dan berturut-turut ayam jantan berkokok untuk yang pertama, kedua dan ketiga kalinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melayani kedua orang kakak beradik yang sedang bersamadi itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat langit mulai dibayangi oleh cahaya dini hari. Bukan hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun menyaksikannya meskipun dari kejauhan.
Ketika fajar kemudian menyingsing, maka terasa betapa sejuknya titik-titik embun yang membasahi tubuh mereka yang sedang bersamadi itu. Perlahan-lahan pemahat itu mengangkat tangannya. Menengadahkannya ke langit dan kemudian mengusapkannya pada wajahnya.
Demikianlah maka samadi itu pun telah berakhir. Kedua orang kakak beradik itu telah menyelesaikan satu penerawangan yang berhasil. Pemahat itu telah melihat satu ujud yang bulat, bagaimana ia harus menuangkan bentuk sepasang ular naga di satu sarang. Ketika pemahat itu kemudian bangkit dari samadinya bersama adiknya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga menungguinya.
Demikianlah maka beberapa orang pun telah memberikan ucapan selamat kepada kedua kakak beradik itu. Sementara pemahat itu berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Kita akan membicarakannya kemudian. Pagi ini aku akan beristirahat. Siang nanti kau dapat memandikan batu itu. Sebelum matahari turun, aku benar-benar akan mulai, tentu saja setelah kau pun mendapat gambaran yang lengkap tentang patung itu.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.
Kedua kakak beradik itu pun kemudian telah dipersilahkan untuk beristirahat, setelah semalam suntuk bersamadi di dekat batu yang berwarna kehijauan itu untuk mendapatkan ujud yang dikehendaki serta memohon kepada Yang Maha Agung agar pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang telah bersiap-siap untuk memandikan batu itu. Para prajurit Kediri dan para penghuni padepokan itu memang tertarik untuk menyaksikannya. Mereka tahu, bahwa di celah-celah retak itu terdapat banyak sekali binatang berbisa dari berbagai jenis.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya agak menjadi ragu-ragu juga. Meskipun binatang-binatang itu dapat membunuh, tetapi untuk menumpas seluruhnya tanpa ampun rasa-rasanya jantungnya tergetar juga.
Tetapi Akuwu Lemah Warah pun kemudian berkata, “Jika kau tidak memulainya, maka kau tidak akan dapat menyelesaikannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka jika mereka tidak memulainya, maka mereka tidak akan pernah menyelesaikannya. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap. Reramuan yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah adalah sejenis racun untuk membunuh binatang-binatang berbisa. Tetapi juga mengandung reramuan yang dapat melarutkan racun binatang-binatang berbisa itu.
Meskipun agak ragu-ragu, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mulai melakukannya. Mereka sadar, bahwa akan rontok ratusan bahkan ribuan binatang berbisa dari celah-celah retak batu yang kehijau-hijauan itu, yang menurut pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya terdapat di bagian luarnya saja. Di bagian dalam batu itu utuh, sehingga akan dapat dibuat sebuah patung yang baik.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiram batu itu dengan reramuan racun pembunuh binatang berbisa yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di atas bancik bambu telah menyiramkan air reramuan itu dengan siwur ke atas batu yang akan dibuat menjadi patung itu.
Sebenarnyalah seperti yang diduga, maka binatang-binatang berbisa yang ada di celah-celah batu itu mulai rontok. Ketika air reramuan itu mulai menyusup ke retak-retak batu itu, maka binatang berbisa itu pun mulai berlari-larian berpencaran. Mereka saling mengamuk, menggigit dan menyengat.
Namun semua tingkahnya itu sama sekali tidak menolong mereka. Satu-satu binatang itu jatuh di tanah. Apalagi air yang disiramkan diatas batu mulai menggenang di bawah batu itu. Sehingga binatang-binatang yang berjatuhan itu pun langsung jatuh ke dalam air larutan reramuan yang tergenang itu dan mati.
Demikian banyaknya binatang yang kemudian mati, membuat bulu tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meremang. Sementara itu pekerjaannya itu pun masih belum selesai. Ia masih harus menyiramkan air reramuan itu terus-menerus, agar setiap lekuk dan retak dapat dimasuki cairan reramuan itu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan waktu cukup lama untuk melakukannya. Beberapa orang yang mengawasinya dari kejauhan merasa ngeri melihat betapa banyaknya binatang yang telah terbunuh itu.
Akuwu Lemah Warah sendiri pun kulitnya serasa meremang melihat betapa banyaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus membunuh, meskipun binatang-binatang berbisa.
Demikianlah, maka hari itu, batu yang berwarna kehijauan itu telah dibersihkan dari binatang berbisa meskipun semua orang yakin, bahwa ada beberapa diantaranya yang masih tetap hidup di dalam batu itu. Tetapi jumlah yang sedikit tidak akan terlalu mengganggu. Pemahat itu tentu akan dapat membunuhnya. Sementara itu pemahat itu dapat menelan reramuan obat yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah yang dapat menawarkan seseorang untuk waktu tertentu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan bangkai binatang berbisa yang telah terbunuh itu dan yang kemudian telah dibakarnya. Asap yang mengepul melemparkan bau yang tidak sedap. Namun tidak berlangsung terlalu lama. Akhirnya binatang-binatang berbisa yang telah berada di celah batu yang berwarna kehijauan itu untuk waktu yang lama sehingga batu itu disebut batu bertuah, berakhir juga.
Seperti yang dikatakan, maka sebelum senja, kedua kakak beradik pemahat itu telah memahatkan pahatnya untuk yang pertama kali. Tetapi karena hari kemudian menjadi gelap, maka pekerjaan yang sebenarnya akan dilakukan di keesokan harinya.
Malam itu seisi padepokan itu telah bersuka ria. Sedikit upacara dari kegiatan pembuatan patung yang dilakukan oleh kakak beradik prajurit Singasari itu. Orang-orang yang bertugas di dapur telah membuat makanan dan minuman khusus bagi para penghuni padepokan itu. Lebih baik dari yang biasa mereka buat sebelumnya. Bahkan mereka telah memotong lembu dan kambing. Ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah memerintahkan para petugas di dapur untuk membeli seekor lembu khusus untuk makan bersama malam itu. Sementara itu padepokan itu memang ada beberapa ekor kambing yang dipelihara.
Di hari berikutnya, maka pekerjaan yang sebenarnya telah dimulai. Kedua pemahat kakak beradik itu benar-benar telah bekerja untuk mewujudkan patung yang telah disepakati oleh para pemahat serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Batu ini keras sekali,” berkata perwira prajurit yang kebetulan juga pemahat itu, “jika aku sudah membentuk ujudnya, maka ada baiknya aku memanggil dua tiga orang kawan untuk menyelesaikannya.”
“Apa itu perlu?” bertanya Mahisa Murti.
“Jika kau sependapat. Jika tidak demikian, maka pekerjaan ini akan memakan waktu yang sangat lama,” jawab pemahat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kita akan membicarakannya kemudian jika kau benar-benar telah memerlukannya.”
“Ya,” jawab pemahat itu, “kelak aku akan mengatakannya lagi.”
Dalam pada itu maka kedua kakak beradik itu telah bekerja dengan sungguh-sungguh. Seperti dikehendaki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pecahan batu yang rontok pun telah dikumpulkan. Batu-batu pecahan itu cukup besar diasah menjadi sebuah batu akik yang cukup baik. Sehingga dengan demikian, di samping sebuah patung akan didapatkan berbagai jenis batu perhiasan dari bahan yang sama.
Demikianlah, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai dengan pekerjaan besarnya, yang dilakukan oleh dua orang prajurit Singasari yang kebetulan juga pemahat, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun telah bersiap untuk pergi ke Sangling. Mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan mereka bawa ke Sangling.
Kali ini Pangeran Singa Narpada akan datang ke Sangling dalam upacara kebesaran yang dipersiapkan oleh Akuwu Lemah Warah, meskipun Akuwu Lemah Warah tidak mengambil pasukan baru dari Lemah Warah. tetapi dipergunakannya pasukan yang sudah ada di padepokan Suriantal.
Di hari berikutnya, maka persiapan pun telah dilakukan. Pasukan yang akan ikut pergi ke Sangling memang tidak terlalu banyak, tetapi sudah menggambarkan satu kelengkapan kebesaran yang diperlukan.
Mahisa Bungalan pun telah bersiap lahir dan batin, ia akan menghadapi segala jenis pendadaran yang mungkin akan dialaminya di Sangling. Mungkin kewadagan, mungkin ilmu kanuragan, mungkin kemampuan olah pemerintahan.
“Seperti sebatang pohon,” berkata Mahisa Bungalan, “tunasnya akan selalu tumbuh keatas, mencapai tataran yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuannya. Asal semua itu dilakukan dengan lambaran yang baik serta penyerahan tulus kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Hati-hatilah kakang.”
“Aku akan berhati-hati,” jawab Mahisa Bungalan.
“Mungkin akan kau hadapi persoalan-persoalan yang tidak pernah kau pikirkan sebelumnya,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum sambil menepuk bahu adiknya. Jawabnya, “Mudah-mudahan semua dapat berlangsung dengan baik. Tetapi aku tidak terpancang pada keharusan untuk menggapai jabatan itu. Seandainya ternyata aku masih belum cukup pantas untuk jabatan itu, maka aku akan menarik diri dengan senang hati. Aku tidak akan kecewa, apalagi sakit hati.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga terasa jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia harus melepaskan Mahisa Bungalan itu pergi.
Demikianlah, maka hampir seisi padepokan itu telah mengantarkan Mahisa Bungalan sampai ke regol. Sepasukan yang tidak terlalu besar akan menyertainya, mengiringi sampai ke Sangling.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah berangkat meninggalkan Padepokan Suriantal. Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan diiringi pasukan berkuda dalam kelengkapan keprajuritan, menuju ke Sangling.
Sebagaimana sebelumnya, maka perjalanan yang mereka tempuh itu pun merupakan perjalanan yang panjang. Tetapi karena mereka tidak terlalu banyak, maka perjalanan mereka justru terasa menjadi lebih cepat.
Kedatangan mereka di Sangling diterima oleh para pemimpin yang ada di Sangling dengan kehormatan. Bagaimanapun juga yang datang adalah salah seorang calon Akuwu Sangling. Meskipun seandainya karena sesuatu hal pencalonan itu batal, namun kedatangannya sudah sepantasnya diterima dengan sebaik-baiknya.
Di Sangling mereka telah ditempatkan di tempat yang paling pantas. Pangeran Singa Narpada datang mewakili Kediri, sementara Akuwu Lemah Warah datang sebagai seorang Akuwu, sementara seorang lagi adalah calon Akuwu Sangling sendiri. Para tamu itu mendapat waktu beristirahat secukupnya. Baru di hari berikutnya mereka mulai membicarakan tentang pencalonan Akuwu Sangling.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku sudah memohon Senopati Besar Mahisa Bungalan dari Singasari untuk menjadi seorang calon Akuwu di Sangling sebagaimana sudah kita bicarakan. Ternyata bahwa Senopati Besar Mahisa Bungalan telah menyatakan kesediaannya untuk pencalonan itu. Nah, untuk selanjutnya terserah kepada para pemimpin di Sangling. Apakah pencalonan itu dianggap memenuhi keinginan kalian atau belum, karena sebelumnya kalian hanya mengenal Mahisa Bungalan dari namanya.”
Para pemimpin Sangling mengangguk-angguk. Tetapi tidak seorang pun yang mengatakan sesuatu. Menurut penglihatan mereka, Mahisa Bungalan adalah seorang yang mempunyai ujud dan memancarkan wibawa yang cukup. Untuk meyakinkan orang-orang Sangling maka Pangeran Singa Narpada pun telah diberi kesempatan untuk berbicara dengan para Senapati dan para pemimpin yang menghadap.
Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati besar. Ia sudah terbiasa menghadapi para prajurit Singasari yang besar. Karena itu menghadapi para Senapati di Sangling, bagi Mahisa Bungalan sama sekali tidak mengalami kecanggungan.
“Aku telah menerima tawaran Pangeran Singa Narpada,” berkata Mahisa Bungalan, “bukan karena aku merasa memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi semata-mata karena aku ingin berbuat sesuatu yang berarti bagi Tanah ini. Sebagai prajurit aku memang telah mendapat lapangan pengabdian yang cukup. Tetapi jika kesempatan yang lebih luas terbuka, maka apa salahnya aku berusaha memasukinya. Nah, aku datang untuk pasrah. Mungkin ada sesuatu yang perlu aku lakukan, agar kalian dapat meyakini, apakah aku pantas atau tidak untuk memegang jabatan yang sekarang kosong di Sangling ini.”
Para Senapati di Sangling termangu-mangu. Sementara itu Akuwu Lemah Warah berkata kepada Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling, “Senapati, Mahisa Bungalan siap memasuki pendadaran.”
Namun setelah melihat ujud Mahisa Bungalan, Senapati itu berkata, “Kami percayakan segalanya kepada Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah yang tentu telah mengenal Senapati Mahisa Bungalan dengan baik.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ujud Mahisa Bungalan memang cukup meyakinkan, sehingga karena itu, maka para Senapati di Sangling menganggap bahwa mereka tidak perlu lagi untuk mencoba kemampuan Mahisa Bungalan.
Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Senapati Mahisa Bungalan tidak hanya akan menjadi Akuwu sehari ini. Tetapi jika ia disetujui, maka ia akan memasuki satu tatanan urutan darah baru bagi pemimpin Sangling yang terputus saat ini karena sesuatu hal.”
Para Senapati dan para pemimpin di Sangling tidak ada yang menjawab. Memang ada keinginan bagi para pemimpin Sangling untuk menyaksikan kemampuan Mahisa Bungalan. Tetapi tidak seorang pun yang merasa memiliki kemampuan yang memadai sepeninggal Akuwu Sangling yang lama.
Namun dalam keheningan itu, tiba-tiba seseorang telah memasuki bangsal itu. Sehingga seorang Senapati Sangling telah bertanya kepadanya, “Kenapa kau memasuki bangsal ini.”
“Seseorang ingin menghadap, apakah diperkenankan?” bertanya orang itu.
“Tunggu,” desis Senapati itu.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian beringsut Sambil menghormat, memberikan isyarat untuk berbicara. Pangeran Singa Narpada melihat Senapati itu. Maka iapun segera tanggap. Senapati itu telah berbicara dengan seorang pengawal yang memasuki bangsal itu. Karena itu maka katanya, “Silahkan. Mungkin ada sesuatu yang penting disampaikan oleh pengawal itu.”
“Ampun Pangeran,” berkata Senapati itu, “ada seseorang yang ingin menghadap.”
“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Apakah pengawal itu diperkenankan menyampaikannya?” bertanya Senapati itu pula.
“Silahkan,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Senapati itupun memberikan isyarat kepada pengawal itu untuk bergeser maju. Kemudian Pengawal itupun berkata kepada Pangeran Singa Narpada, “Ampun Pangeran, seseorang ingin menghadap. Apakah diperkenankan?”
“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Hamba kurang tahu Pangeran,” jawab orang itu, “tetapi ada hubungannya dengan pencalonan Akuwu Sangling.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah orang itu menghadap.”
“Terima kasih Pangeran,” sahut pengawal itu.
Sejenak kemudian maka pengawal itupun telah beringsut keluar. Hanya sebentar. Iapun kemudian telah masuk lagi bersama seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Ketika orang itu kemudian sudah duduk diantara para pemimpin dari Sangling, maka Pangeran Singa Narpada pun telah bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak, dan ada persoalan apa dengan Ki Sanak, sehingga Ki Sanak memasuki pertemuan yang secara khusus sedang membicarakan pencalonan Akuwu Sangling ini?”
“Apakah aku berbicara dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada sambil mengerutkan keningnya, “aku adalah Pangeran Singa Narpada.”
“Pangeran,” berkata orang itu, “aku adalah Jayaraja. Saudara sepupu Akuwu Sangling yang terbunuh oleh Akuwu Lemah Warah. Sebenarnya Kediri tidak berhak mencari calon pengganti Akuwu Sangling, karena masih ada keluarga Akuwu Sangling dari keturunan darah laki-laki. Karena itu, maka aku mohon pencalonan itu dibatalkan. Sebaiknya Kediri menelusur kembali aliran keturunan darah itu, sehingga akhirnya menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi Akuwu di Sangling. Namun sebelumnya aku dapat memberitahukan, bahwa saudara dari Akuwu Sangling dari keturunan darah laki-laki tinggal aku seorang diri. Karena itu, maka akhirnya jabatan Akuwu Sangling itu akan jatuh ke tanganku.”
“Atas dasar paugeran apa maka kau dapat mengatakan demikian itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Atas dasar paugeran yang berlaku turun temurun. Akuwu adalah jabatan keturunan. Bukan jabatan pilihan,” jawab yang menyebut dirinya Jayaraja itu.
“Seandainya kau benar, bagaimana dengan kedudukan seorang Akuwu yang telah menentang paugeran dan melanggar tugas yang seharusnya diembannya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Akuwu itu harus diganti oleh orang yang mempunyai darah keturunan lurus dan laki-laki. Seandainya Akuwu itu mempunyai saudara laki-laki, maka tidak ada persoalan. Tetapi tanpa saudara laki-laki, maka sepupu laki-laki dari jalur keturunan darah yang sama, akan dapat menggantikannya pula,” berkata orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “untuk mengangkat kedudukan seorang Akuwu itu ada dasarnya yang tertulis diatas rontal di Kediri. Bukan hanya sekedar paugeran yang dapat diucapkan dari ingatan seperti itu. Diantaranya disebutkan, bahwa seorang Akuwu akan kehilangan haknya, termasuk keturunannya dan saudaranya dalam garis keturunan sedarah laki-laki, apabila Akuwu itu menentang kekuasaan Kediri. Nah, hal ini telah dilakukan oleh Akuwu Sangling. Ia melawan Akuwu Lemah Warah yang bertindak dan ternyata dibenarkan oleh Kediri.”
“Kesimpulan itu ditentukan atas dasar selera pribadi,” sahut orang itu, “namun seharusnya justru Akuwu Lemah Warah lah yang harus dihukum karena membunuh Akuwu Sangling. Keduanya mempunyai kedudukan sah yang sama.”
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan nada keras ia bertanya, “Itukah penilaianmu terhadap kebijaksanaan Kediri? Kau kira para pemimpin di Kediri sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah? Atau kau ingin mendengar pengakuan para saksi yang mengetahui tingkah laku Akuwu Sangling? Satu diantaranya adalah Ki Buyut di Bapang? Aku kira mustahil jika kau tidak mengetahuinya. Mungkin kau salah seorang dari pendukungnya. Ingat, bahwa aku adalah Pangeran Singa Narpada yang mempunyai wewenang untuk mengusut lebih jauh mengenai tingkah laku Akuwu Sangling. Aku masih dapat berbicara dengan saksi-saksi.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Agaknya sikap Pangeran Singa Narpada itu berpengaruh pula atas orang itu. Meskipun demikian ia masih juga berkata, “Pangeran. Tetapi pada saat persetujuan dibuat dengan orang-orang Sangling menjelang pencalonan, maka ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon Akuwu.”
“Syarat yang manakah yang kau maksudkan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Jika masih ada orang Sangling yang mampu mengatasi kemampuan ilmunya, maka ia tidak akan mungkin menjadi Akuwu di Sangling. Karena jika demikian maka Sangling tidak akan menjadi tenang. Justru keributan akan selalu terjadi karena Akuwu yang memegang pemerintahan dan pimpinan keprajuritan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasinya,” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “jadi itukah yang kau maksud? Apakah menurut pendapatmu hal itu perlu dilakukan?”
“Perlu sekali Pangeran,” jawab orang yang menyebut dirinya bernama Jayaraja itu. “Tanpa pendadaran ilmu, maka sia-sialah segala macam pilihan yang dijatuhkan atas seseorang.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan, maka sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, “Baiklah Pangeran. Aku kira persyaratan itu wajar sekali. Aku sama sekali tidak berkeberatan melakukannya.”
“Nah, kau dengar jawaban Senapati Mahisa Bungalan yang telah dicalonkan menjadi Akuwu Sangling itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Nah, sekarang, siapakah yang akan melakukannya. Apakah kau mempunyai seorang saudara, kawan atau kadang yang akan melakukannya?”
“Aku sendiri,” jawab orang yang menyebut dirinya Jayaraja.
“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “hari ini kita menyimpan sebuah nama dari seorang yang merasa dirinya terganggu oleh pencalonan ini dan siap melakukan pendadaran. Semuanya akan dilakukan dua hari lagi. Senapati Mahisa Bungalan menunggu sampai esok orang-orang yang ingin melakukan pendadaran serupa. Semuanya akan dilakukannya esok pula. Kecuali jika pada pendadaran pertama Mahisa Bungalan sudah gagal.”
“Kenapa menunggu sampai waktu yang berlarut-larut? Kenapa tidak sekarang saja? Jika kemudian datang orang lain, biarlah mereka melakukannya esok atau lusa,” bertanya orang itu.
“Kita bukan orang-orang yang kehilangan nalar,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kita menentukan paugeran dalam permainan ini. Jika kau tidak mau mengikuti paugeran, silahkan.”
“Tetapi bukankah ini hanya satu cara?” bertanya Jayaraja.
“Satu cara untuk menghindar? Bukankah begitu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi matanya tetap menyala.
“Kau tidak usah tergesa-gesa Ki Sanak. Akuwu Sangling tidak akan diangkat esok pagi. Semuanya masih harus melalui jalur yang panjang yang mungkin baru akan selesai dalam waktu satu atau bahkan dua bulan lagi. Kemudian masih harus menunggu ketetapan hari wisuda yang akan ditentukan oleh para pemimpin di Kediri seandainya pencalonan ini diterima oleh Sri Baginda dan Sri Maharaja di Singasari,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.
Orang itu tidak berkata sesuatu lagi. Sementara itu Pangeran Singa Narpada mengatakan, “besok lusa, arena akan dibuat di alun-alun. Saksi yang akan hadir tidak akan dibatasi jumlahnya. Tetapi tentu akan ada saksi yang ditunjuk. Nah, silahkan datang pagi-pagi. Kau adalah orang pertama yang akan memasuki arena.”
“Terima kasih Pangeran,” jawab orang itu, yang kemudian mohon diri, “aku akan datang dua hari lagi. Aku akan meyakinkan Pangeran bahwa tidak ada orang lain yang seharusnya memegang jabatan Akuwu Sangling kecuali orang yang masih mempunyai jalur keturunan darahnya.”
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian tidak menjawab. Dibiarkannya orang itu kemudian meninggalkan ruangan. Para Senapati Sangling menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ada juga orang ingin menjajagi kemampuan Mahisa Bungalan. Hal itu memang sangat penting artinya. Mereka akan dapat melihat seberapa jauh kemampuan calon Akuwu mereka. Meskipun ujud lahiriahnya cukup meyakinkan, namun belum tentu bahwa ilmu yang dimilikinya memang benar-benar ilmu yang berarti bagi seorang Akuwu.
Dalam pada itu, pertemuan itu pun kemudian dibubarkan. Seluruh Sangling pun kemudian menunggu dengan berdebar-debar dua hari lagi, saat-saat akan dilakukan semacam pendadaran bagi calon Akuwu. Pendadaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menyangsikan kemampuan calon Akuwu yang datang dari Singasari itu.
Namun di hari berikutnya, tidak seorang pun yang datang untuk menyatakan dirinya melakukan pendadaran atas Mahisa Bungalan. Sehingga dengan demikian maka Jayaraja adalah satu-satunya orang yang akan turun ke arena untuk melakukannya.
Sampai saat yang ditentukan, ternyata orang itu dianggap mewakili keraguan orang-orang Sangling. Para Senapati Sangling hanya akan menilai sampai batas manakah kemampuan Mahisa Bungalan yang telah dicalonkan untuk menjadi Akuwu di Sangling. Apakah itu juga memiliki kemampuan dan tingkat ilmu sebagaimana Akuwu Sangling sebelumnya. Atau dibawahnya.
Namun sikap dan pembawaan Mahisa Bungalan yang pada dasarnya adalah seorang Senapati Besar telah cukup meyakinkan para Senapati Sangling, meskipun mereka merasa beruntung karena dapat menyaksikan serba sedikit kemampuan calon Akuwu itu.
Dalam pada itu, di alun-alun Sangling telah disiapkan arena yang akan dipergunakan untuk melakukan pendadaran. Arena yang disekat dengan gawar, persegi empat dan cukup luas untuk bertempur dengan landasan ilmu yang tinggi.
Pada saat yang sudah ditentukan, maka alun-alun itu telah penuh dengan orang-orang Sangling yang ingin menyaksikan pendadaran itu. Sementara itu, di pinggir arena berdiri Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan tiga orang Senapati Sangling yang akan menjadi saksi dari pendadaran itu. Mereka akan berada di luar gawar arena pendadaran. Tetapi mereka akan dapat mencampuri pendadaran yang terjadi di dalam gawar apabila diperlukan.
Demikianlah, maka ketika saatnya telah tiba, maka orang yang menyebut dirinya bernama Jayaraja telah berdiri di sebelah arena dengan wajah tengadah. Sekali-sekali dilontarkan pandangan matanya berkeliling arena. Tubuhnya yang tinggi besar dan wajahnya yang garang, ternyata telah memanggil perhatian orang-orang di sekitar arena itu. Tidak banyak upacara yang dilakukan. Yang penting bagi semua pihak adalah pendadaran itu sendiri.
Setelah kedua belah pihak siap di arena, serta diucapkan paugeran yang harus ditaati sebagaimana berlaku bagi sebuah pendadaran yang dibedakan dengan perang tanding, maka kedua orang yang berada di arena itu pun telah bersiap.
Pangeran Singa Narpada ternyata masih memberikan keterangan lebih lanjut, “Pendadaran ini dilakukan tanpa batas waktu. Jika sehari ini masih belum dapat ditentukan siapa yang kalah dan yang menang, maka pendadaran dapat dilanjutkan di hari berikutnya.”
Orang yang bernama Jayaraja itu tersenyum. Katanya, “Tidak sampai matahari sepenggalah, semuanya akan menjadi jelas.”
“Apapun yang terjadi, paugeran itu tetap berlaku,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Jayaraja justru tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah kedua orang yang tidak bersenjata itu sudah saling berhadapan. Sikap Mahisa Bungalan tetap sikap seorang Senapati Besar. Ia tidak terlalu banyak melakukan gerakan di arena sebelum pendadaran itu mulai. Ia lebih banyak diam. Namun dengan sikap yang meyakinkan. Ketika Pangeran Singa Narpada kemudian memberikan isyarat, maka pendadaran itu pun resmi dimulai.
Mahisa Bungalan masih saja bersikap tenang. Sementara Jayaraja dengan cepat bergeser mendekat. Ternyata Jayaraja tidak menunggu terlalu lama. Dengan tiba-tiba saja ia telah mulai menyerang. Mahisa Bungalan bergerak ke samping untuk menghindari serangan yang tiba-tiba namun sama sekali tidak berbahaya itu.
Jayaraja sendiri menyadari, bahwa serangan yang demikian memang tidak banyak berarti. Tetapi orang itu berdesis, “Jika kita tidak segera mulai, maka aku tidak akan berhasil sebelum matahari sepenggalah.”
Kata-kata itu memang menyinggung perasaan Mahisa Bungalan. Tetapi ia justru tersenyum. Dengan sepenuhnya Mahisa Bungalan menguasai dirinya. Ia sadar bahwa ia sedang menjalani pendadaran. Yang penting dalam pendadaran itu bukan sekedar memenangkannya. Tetapi sikapnya pun harus menunjukkan sikap yang besar dan terhormat.
Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya menunjukkan kecepatan dan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Namun Mahisa Bungalan yang sedang menjajagi kemampuan lawannya itu nampaknya masih saja mengikuti tingkat dan tataran kemampuan lawannya, sehingga dengan demikian, pertempuran itu seakan-akan menjadi seimbang.
Namun sebenarnyalah orang yang bernama Jayaraja itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Seperti Mahisa Bungalan, maka ia pun masih berusaha untuk mengetahui sampai di mana tingkat kemampuan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan yang dicalonkan menjadi Akuwu di Sangling itu.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Namun rasa-rasanya bagi mereka, pertempuran itu terlalu lamban. Keduanya tidak segera meningkatkan ilmu mereka dan berusaha dengan cepat menyelesaikan pertempuran. Tetapi keduanya maju setapak demi setapak.
“Mereka terlalu berhati-hati,” berkata Akuwu Lemah Warah di dalam hatinya.
Namun Pangeran Singa Narpada berkata kepada dirinya sendiri, “Mahisa Bungalan tidak mau tergesa-gesa. Ia berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”
Namun betapapun lambatnya, pertempuran itu pun telah meningkat semakin cepat. Jayaraja yang berniat untuk mengalahkan calon Akuwu itu sebelum matahari sepenggalah mulai mengarahkan pertempuran itu. Mahisa Bungalan pun merasakannya. Dengan demikian ia pun harus mempersiapkan diri untuk memasuki pertempuran yang tentu akan menjadi semakin sengit. Jayaraja tentu akan segera memasuki kemampuan ilmunya yang dibanggakannya.
Para saksi yang berada di luar gawar memperhatikan perkembangan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Apalagi mereka yang mendengar, bahwa orang itu berniat mengalahkan Mahisa Bungalan sebelum matahari sepenggalah. Sementara itu matahari pun sudah naik semakin tinggi.
Karena itu, maka menurut perhitungan Pangeran Singa Narpada, maka orang yang bernama Jayaraja itu pun akan segera berusaha menyelesaikan pendadaran itu untuk memenuhi apa yang dikatakannya. Sebenarnyalah bahwa ketika orang itu melihat matahari naik semakin tinggi, orang itu seakan-akan telah dikejar oleh sesumbarnya sendiri. Karena itu, maka ia pun tidak lagi membuang banyak waktu.
Dengan cepat ditingkatkannya kemampuannya, sehingga tata geraknya pun telah berubah pula. Tangannya tiba-tiba saja menyilang di dadanya. Hanya sejenak. Namun kemudian tangan itu mengembang. Juga hanya sejenak. Tetapi yang sejenak itu bagi mahisa Bungalan merupakan satu isyarat, bahwa orang itu telah memasuki satu tataran ilmu tertentu.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun harus berhati-hati. Ia tidak tahu sampai dimana tingkat kekuatan dan kecepatan gerak lawannya. Namun karena itu maka Mahisa Bungalan pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Dalam saat yang pendek, Mahisa Bungalan telah mulai menjajagi kemampuan lawannya itu. Ketika dengan cepat lawannya meloncat menyerangnya. Tangannya terayun deras sekali langsung mengarah ke dadanya.
Mahisa Bungalan merasakan bahwa kecepatan gerak orang itu meningkat dengan tajamnya. Meskipun demikian, karena Mahisa Bungalan sudah berada dalam kesiagaan tertinggi, ia pun sempat menghindarinya. Mula-mula Mahisa Bungalan tidak begitu tertarik kepada cara lawannya menyerang. Meskipun setiap serangan masih dapat dihindarinya, namun Mahisa Bungalan menganggap serangan lawannya itu tidak memiliki kekhususan selain kecepatan dan kekuatannya.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan mengetahui, bahwa setiap serangan dilakukan dengan ayunan tangan mendatar. Tangan itu mula-mula mengembang, kemudian terayun dengan deras sekali. Mendatar setinggi dada. Atau sebaliknya. Tangan itu bersilang di dada. Kemudian tangan itu terayun ke arah terbuka. Sisi telapak tangan mengarah ke dada lawannya. Tetapi selain serangan tangannya, agaknya kaki orang itu telah melengkapi gerak tangannya yang agaknya memang terlalu miskin bagi ketrampilan olah kanuragan.
Tetapi Mahisa Bungalan yakin, bahwa kemiskinan gerak itu tentu ada imbangannya. Agaknya kekuatan ayunan tangan itu demikian besarya, sehingga angin yang menyertainya, bagaikan hembusan prahara yang menampar tubuh Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan mulai menilai gerak lawannya. Kakinya mampu bergerak cepat dan ke segala arah. Sekali-sekali kaki itu berputar, kemudian mematuk menyamping. Tetapi sekali-sekali terayun deras sekali ke depan.
Tetapi kekuatan kaki orang itu tidak sebesar kekuatan tangannya. Jika tangannya mulai terayun, maka Mahisa Bungalan akan merasakan sambaran angin yang keras meskipun tangan itu tidak menyentuhnya. Dengan demikian maka pertempuran di arena pendadaran itu menjadi semakin dahsyat. Kedua orang yang bertanding itu sudah mencapai tataran ilmu mereka yang tertinggi.
Arena yang luas itu ternyata serasa menjadi sempit. Kedua orang yang bertempur itu berloncatan dengan cepat, menyerang bagaikan burung sikatan menyambar bilalang. Namun kemudian mematuk seperti seekor ular naga yang menyerang mangsanya. Untuk beberapa saat keduanya masih berhasil menghindari setiap serangan lawannya. Namun ketika serangan-serangan itu datang semakin cepat silih berganti, maka mereka pun mulai saling bersentuhan.
Ternyata bahwa kekuatan tangan lawan Mahisa Bungalan itu besar sekali. Ketika Mahisa Bungalan melenting menghindari kaki Jayaraja yang terjulur lurus ke samping, maka tiba-tiba saja kakinya yang lain telah berputar dengan cepatnya. Hampir saja tumit Jayaraja menyambar lambung Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan masih sempat bergeser dengan tergesa-gesa menghindari sentuhan tumit lawannya.
Pada saat yang demikian itulah, Jayaraja mendapat kesempatan untuk mengayunkan tangannya. Tangannya yang memang sudah menyilang di dada itu tiba-tiba mengembang. Satu ayunan yang dahsyat sekali. Mahisa Bungalan tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia pun telah melindungi dadanya dengan kedua tangannya.
Satu benturan yang dahsyat memang telah terjadi. Ternyata bahwa kekuatan orang itu luar biasa sekali. Mahisa Bungalan telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ia telah kehilangan keseimbangannya sehingga Mahisa Bungalan justru telah menjatuhkan dirinya, berputar mundur dan kemudian melenting berdiri. Pada saat yang demikian, lawannya yang berjanji untuk mengakhiri pendadaran itu menjelang matahari sepenggalah telah memburunya.
Sekali lagi ayunan mendatar dengan arah sebaliknya. Tangan orang itu mengembang lurus dan tidak bergerak pada sikunya, tetapi pada bahunya. Namun Mahisa Bungalan tidak mau terlempar sekali lagi. Ia ternyata sempat merendahkan dirinya, sehingga tangan orang itu tidak menyambarnya. Tetapi ketika Jayaraja menyadari bahwa tangannya tidak menyentuh lawannya, maka kakinyalah yang sekali lagi berputar cepat sekali menyerang Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan memang tidak sempat mengelak. Karena itu maka Mahisa Bungalan telah membentur kekuatan kaki orang itu dengan kedua tangannya. Berbeda dengan benturan tangannya, maka kaki orang itu memang tidak terlalu kuat. Karena itu, maka ketika kakinya membentur tangan Mahisa Bungalan yang mendorongnya dengan kekuatan yang besar, maka orang itu telah terputar sekali dan justru hampir saja jatuh. Namun ia masih berhasil menyelamatkan keseimbangannya sehingga ia masih tetap berdiri tegak.
Tetapi ia sedang berada dalam pertempuran yang sengit. Sementara ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, maka Mahisa Bungalan lah yang telah menyerangnya. Dengan kaki yang terjulur lurus menyamping, Mahisa Bungalan telah menyerang dada orang itu. Jayaraja berusaha untuk mengelak. Ia bergeser selangkah surut. Tangannyalah yang kemudian terjulur, menghantam ke arah dadanya pula. Orang itu tidak sempat mengelak. Namun dalam keseimbangan yang goyah dengan tergesa-gesa ia melindungi dadanya.
Ternyata serangan Mahisa Bungalan cukup keras, sehingga keseimbangan orang itu benar-benar telah terguncang. Ketika tangannya yang bersilang di dada dikenai pukulan Mahisa Bungalan yang keras, maka orang itu telah terdorong surut. Jayaraja lah yang kemudian jatuh terlentang. Ia harus cepat berguling karena Mahisa Bungalan telah memburunya pula. Namun ia sempat melenting berdiri ketika serangan Mahisa Bungalan datang pula bagaikan badai.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin lama semakin seru. Orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar yang tersalur pada gerak tangannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan selalu menghindari serangan tangannya. Berbeda dengan kakinya. Kaki orang itu memang sangat lincah. Kakinya mampu bergerak cepat dan tidak terduga. Tetapi orang itu ternyata tidak mampu menyalurkan kekuatan ilmunya pada serangan-serangan kakinya, sehingga karena itu, maka seakan-akan kekuatan kakinya tidak lebih dari kekuatan kewadagannya saja, dengan sedikit dukungan tenaga cadangannya.
Namun ternyata ilmu yang tersalur lewat tangannya itu menjadi semakin lama semakin berbahaya. Didukung dengan kecepatan gerak kakinya, maka ayunan tangannya itu setiap kali hampir saja meremukkan tulang-tulang Mahisa Bungalan. Sentuhan yang sekali-sekali mengenainya, meskipun hanya pada kulitnya, rasa-rasanya telah mememarkan dagingnya. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang selalu berusaha menghindari sentuhan tangannya itu seakan-akan telah terdesak. Setiap kali ia berloncatan ke samping dan bergeser surut.
Jayaraja menjadi semakin bernafsu untuk segera menghancurkan lawannya. Matahari memang sudah naik sepenggalah. Sebagaimana dijanjikannya, maka jika matahari sepenggalah, maka ia akan mengalahkan Mahisa Bungalan yang sedang dalam pendadaran itu.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan pada saat-saat matahari sepenggalah masih belum dapat dijatuhkannya, maka Jayaraja tidak saja berpijak pada ilmunya yang tertinggi. Tetapi ia benar-benar telah memasuki puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu andalan yang jarang sekali dipergunakannya. Namun untuk dapat memenuhi janjinya, maka katanya di dalam hati, “Apa boleh buat. Jika calon Akuwu ini menjadi lumat, maka sama sekali bukan salahku.”
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu pun tiba-tiba justru telah mengambil jarak. Dikatupkannya telapak tangannya. Beberapa kali ia menggosokkan telapak tangan itu, sehingga dari telapak tangan yang terkatup itu seakan-akan telah keluar asap yang kelabu. Meskipun asap itu hanya tipis saja, namun ketajaman penglihatan Mahisa Bungalan telah menangkapnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Orang ini agaknya ingin bersungguh-sungguh. Kekuatan tangannya yang tidak terukur itu akan menjadi semakin besar dan semakin berbahaya. Sentuhan tangan itu akan dapat membuat tubuhku lumat jika aku tidak mengimbanginya.”
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan memiliki kemampuan ilmu Mahisa Agni. Bahkan ia telah berhasil mengembangkannya sampai pada tataran yang lebih baik. Mula-mula Mahisa Bungalan memang menjadi ragu-ragu. Jika ia mengetrapkan ilmunya itu, apakah tidak akan berakibat sangat buruk bagi lawannya.
Tetapi ketika ia melihat tangan lawannya itu berasap, maka ia pun yakin bahwa lawannya memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Jika ia tidak mempergunakan puncak ilmunya, maka Mahisa Bungalan menjadi cemas, bahwa dirinyalah yang akan terkapar di arena. Yang membuatnya menyesal bukannya kedudukan Akuwu itu akan terlepas dari tangannya, tetapi bahwa ia telah gagal karena kelengahannya.
Karena itu, ketika orang itu telah bersiap dengan kekuatan ilmu puncak yang jarang dipergunakannya itu, Mahisa Bungalan pun telah bersiap pula. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak berniat menyerang. Ia akan bertahan meskipun sudah bulat tekadnya untuk membentur ilmu lawannya. Jika ia gagal, maka sepantasnyalah bahwa ia menarik diri dari pencalonan itu atau bahkan ia tidak sempat lagi melakukannya.
Demikianlah, maka kedua orang yang berada di arena itu benar-benar sudah sampai ke puncak kemampuan mereka. Jayaraja yang telah melewati janjinya itu menjadi gelisah, sementara Mahisa Bungalan lebih banyak menunggu dan bertahan. Sejenak kemudian, maka orang yang bernama Jayaraja itu benar-benar sudah siap. Tangannya yang berasap itu mulai bergerak dengan ayunan yang berbeda pula. Tangan itu tidak lagi bergerak mendatar, tetapi tangan itu pun kemudian terangkat tinggi-tinggi.
Mahisa Bungalan memang menunggu. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun melihat bahwa Mahisa Bungalan sedang menunggu. Demikian pula para Senapati Sangling. Bukan saja yang menjadi saksi dalam pertempuran itu, tetapi para Senapati dan juga prajurit yang berada di seputar arena, diantara rakyat Sangling yang ingin melihat, apakah calon Akuwu yang disediakan bagi mereka benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah memang bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Mahisa Bungalan hanya sekedar menunggu. Kenapa ia tidak meloncat dan menyerang dengan garang. Namun sikap Mahisa Bungalan itu menumbuhkan kekaguman pada para Senapati. Mahisa Bungalan nampak sebagai seorang yang sabar dan tidak dengan hati yang panas menghadapi lawannya.
Memang sikap Mahisa Bungalan itu agak berbeda dengan sikap Akuwu Lemah Warah dan lebih-lebih adalah Pangeran Singa Narpada di peperangan. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati perang yang tegas dan keras. Menghadapi lawan seperti orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu, Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat bersabar dan menunggu.
Dalam pada itu, maka Jayaraja itulah tidak sabar lagi. Apalagi batas yang ditentukan telah lewat. Matahari telah jauh melampaui batas sepenggalah. Karena itu, ketika kekuatan ilmu puncaknya telah terungkap pada telapak tangannya, serta tangan itu telah terangkat tinggi-tinggi, maka Jayaraja tidak lagi memperhitungkan apa pun juga. Ia yang merasa memiliki kekuatan ilmu tidak terlawan, menganggap bahwa ilmunya itu tidak akan tertahankan lagi. Ilmunya itu akan menghantam Mahisa Bungalan dan akan menghancurkannya.
Mahisa Bungalan melihat sikap dan langkah lawannya. Dalam sekilas Mahisa Bungalan melihat, bahwa lawannya benar-benar telah berada pada puncak kemampuannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun tidak mau membiarkan dirinya dilumatkan oleh lawannya itu, sehingga ia pun benar-benar telah bersiap sepenuhnya. Bahkan kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Mahisa Agni pun telah dipersiapkannya. Dalam sikapnya yang bertahan, maka Mahisa Bungalan telah menyilangkan tangannya. Namun daya tahannya yang dilandasi dengan ilmunya, bagaikan tegaknya batu karang yang tidak tergoyahkan oleh benturan gelombang dan prahara.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menahan nafas mereka. Ketegangan benar-benar mencengkam ketika orang-orang yang menyaksikan itu melihat, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berusaha untuk menghindar, tetapi langsung membentur serangan lawannya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka benturan yang dahsyat itu akan terjadi. Tangan Jayaraja terayun dengan derasnya langsung mengarah ke dahi Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan pun telah mengangkat tangannya yang bersilang.
Dengan demikian, maka tangan Jayaraja yang terayun itu telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang. Dengan sengaja Jayaraja tidak menggeser arah serangannya, meskipun ia melihat tangan Mahisa Bungalan yang bersilang itu melindungi dahinya. Menurut perhitungan Jayaraja, maka serangannya itu akan dapat menghancurkan tangan yang bersilang itu dan sekaligus dahi Mahisa Bungalan.
Di dalam hatinya ia berkata, “Bukan salahku jika tulang tengkorakmu pecah. Kau sudah berani mencalonkan dirimu menjadi Akuwu Sangling dan membuka sayembara bagi pendadaranmu. Karena itu kau harus sudah memperhitungkan akibat seperti ini.”
Demikianlah maka sejenak kemudian, benturan yang dahsyat itu telah terjadi. Tangan Jayaraja yang diayunkan itu benar-benar telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang.
Namun yang tidak diduga oleh Jayaraja adalah alas ilmu yang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan adalah ilmu Gundala Sasra. Meskipun Mahisa Bungalan tidak meloncat dan mengayunkan ilmu itu, namun dalam ungkapannya yang lain, ilmu itu telah menjadi perisai yang tidak tertembus oleh kekuatan ilmu Jayaraja. Bahkan tangan Jayaraja yang membentur kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang telah dilepaskan lewat tangannya yang bersilang itu bagaikan membentur dinding baja. Kekuatan yang tersalur lewat ayunan tangannya itu bagaikan berbalik memukul bagian dalam tubuh Jayaraja sendiri.
Terdengar keluhan tertahan, Mahisa Bungalan memang berguncang dan terdorong surut. Tetapi keadaannya tidak menyulitkannya. Meskipun ia harus berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya dan berusaha mengatasi rasa sakit yang menghentak sampai ke dada. Namun Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Sementara itu lawan Mahisa Bungalan itu bagaikan terlempar dan terbanting jatuh ke tanah. Kekuatan yang memental di dalam dirinya benar-benar menghentak di dalam dadanya, serasa meruntuhkan jantungnya. Jika ia memang melenting surut, maka Jayaraja memang berusaha untuk mengurangi akibat benturan yang terjadi, meskipun agak terlambat. Namun demikian, ia masih juga tidak dapat mempertahankan keseimbangannya dan jatuh di tanah. Perasaan sakit di dalam dadanya bagaikan tidak tertahankan. Bagaimanapun juga ia berusaha mengatasi rasa sakitnya, namun dari bibir Jayaraja itu akhirnya meleleh juga darah yang merah.
Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ia melihat Jayaraja menggeliat. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia bertahan dari rasa sakit yang mencengkam. Beberapa saat Mahisa Bungalan menunggu. Ia sendiri perlahan-lahan telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya. Sementara itu Jayaraja dengan susah payah berusaha untuk bangkit. Namun ia hanya mampu berdiri pada lututnya. Tubuhnya rasa-rasanya tidak kuat lagi untuk berdiri tegak pada kedua kakinya.
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan para Senapati yang menjadi saksi dari pendadaran itu telah memasuki arena. Dengan nada rendah Pangeran Singa Narpada berkata, “Ki Sanak. Menurut pengamatan para saksi, pertempuran ini sudah dianggap selesai.”
“Tidak,” jawab Ki Jayaraja, “aku masih mampu mengalahkannya. Aku akan memilin lehernya sampai patah.”
“Apakah kau tidak mengakui kenyataan ini?” bertanya Akuwu Lemah Warah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan masih tetap berdiri tegak bahkan sempat tersenyum dan berkata, “Ki Sanak. Apakah pendadaran ini sudah selesai?”
“Persetan.” geram orang itu. Tetapi ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Mahisa Bungalan nampaknya masih tetap tegar. Sementara itu senyumnya membuat hatinya semakin panas.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Menurut penilaian kami, Ki Sanak ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Mahisa Bungalan. Jika kalian melakukan perang tanding, maka Mahisa Bungalan masih mempunyai kesempatan untuk menyelesaikannya justru pada saat kau tidak berdaya. Karena ia mempunyai hak untuk menentukan, apakah lawannya akan mati atau dibiarkan hidup. Tetapi karena kali ini kalian tidak sedang melakukan perang tanding, maka kau akan tetap hidup meskipun kau sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Berpegangan pada tiang gawar maka ia pun telah bangkit berdiri. Namun rasa-rasanya dadanya memang bagaikan retak. Sementara itu, di sudut bibirnya nampak titik-titik darah yang merah.
“Luka dalammu berdarah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kau harus segera mendapat pengobatan. Jika tidak, maka keadaanmu mungkin akan dapat menjadi semakin berbahaya.”
Orang itu memang merasakan titik-titik hangat di mulutnya. Ketika mengusap dengan punggung telapak tangannya, maka ia memang melihat darah.
“Nah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “apakah kau masih belum yakin akan kemenangan Senapati Mahisa Bungalan?”
Orang itu termangu-mangu. Karena ia tidak segera menjawab, maka Akuwu Lemah Warah yang mulai tidak sabar berkata, “Kami menentukan Ki Sanak telah kalah. Senapati Mahisa Bungalan memenangkan pertempuran dalam rangka pendadaran ini. Namun jika Ki Sanak tidak mengakui kekalahan ini dan masih akan meneruskan pertempuran, maka yang terjadi adalah tanggung jawab Ki Sanak sendiri. Nah, aku tidak mempunyai waktu untuk menjadi saksi dari kelanjutan pendadaran ini yang akan menjadi perang tanding.”
Jayaraja termangu-mangu. Namun kemudian akui Lemah Warah berkata, “Sebelum kekuatanmu pulih kembali. Sri Baginda di Kediri sudah mengambil keputusan. Jika Akuwu yang baru sudah diwisuda, maka setiap orang yang menentangnya adalah seorang pemberontak.”
Jayaraja tidak segera menjawab. Namun ia memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia berbicara dihadapan saksi-saksi yang telah mengambil keputusan. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan tunduk kepada para saksi yang memimpin pendadaran ini. Namun ingat, bahwa aku tidak pernah mengakui kekalahan ini.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bagi mereka dan para saksi yang lain pendadaran itu sudah selesai.
Para Senapati dan para prajurit menganggap bahwa pendadaran itu memang sudah selesai. Orang yang mengaku Jayaraja itu ternyata tidak mampu membatalkan pencalonan Mahisa Bungalan. Bahkan pada saat terakhir nampak bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu pada tataran yang jauh lebih tinggi dari ilmu Jayaraja, meskipun sebelumnya Mahisa Bungalan sempat membuat orang-orang yang menyaksikan pendadaran itu menjadi berdebar-debar.
“Seorang yang luar biasa,” desis seorang Senapati Sangling, “ia memang pantas untuk menduduki jabatan yang kosong di Sangling meskipun barangkali ia masih harus membentuk dirinya dan menyesuaikan dengan keadaan Sangling yang barangkali berbeda dengan Singasari.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Kelihatannya ia sama sekali tidak kehilangan tenaganya untuk mengalahkan orang yang bernama Jayaraja yang semula cukup mendebarkan jantung.”
Seorang perwira yang lain lagi berkata, “Senapati Mahisa Bungalan ternyata bukan saja seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia pun seorang pemimpin yang berwibawa.”
Dalam pada itu, maka orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu pun telah menyelinap keluar dari arena. Dua orang menyongsongnya dan membawa pergi. Sepeninggal orang itu, maka Pangeran Singa Narpada pun menyatakan bahwa pendadaran sudah selesai, karena tidak ada orang lain yang menolak pencalonan Mahisa Bungalan dengan cara seperti yang baru saja terjadi.
Orang-orang Sangling, termasuk para prajurit dan para Senopati memang sudah merasa puas dengan sikap Mahisa Bungalan, selain ilmunya yang tinggi. Pendadaran yang meskipun hanya satu kali itu cukup membuktikan, bahwa Mahisa Bungalan pantas untuk menjadi Akuwu Sangling.
Namun dalam pada itu selagi orang-orang Sangling termasuk para prajurit dan Senapati mengagumi Mahisa Bungalan, maka seseorang telah hadir pula di pinggir arena itu. Seorang yang membuat para prajurit dan Senapati Sangling menjadi berdebar-debar. Bahkan Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Sangling pun menjadi berdebar-debar pula.
“Sang Akuwu,” berkata orang itu, “apakah Sang Akuwu mengenal aku?”
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Sementara orang itu berkata, “Aku adalah guru Akuwu Sangling yang telah terbunuh di padepokan Suriantal. Aku adalah orang yang telah mengambil saudara seperguruannya. Ingat?”
Akuwu Lemah Warah menjadi berdebar-debar. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Kaulah yang mengaku guru Akuwu Sangling. Sekarang, apakah kepentinganmu datang kemari justru pada saat ini?”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “jangan cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan memasuki arena yang membatalkan pencalonan ini. Aku melihat orang yang dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu Sangling itu memiliki ilmu Gundala Sasra. Karena itu maka ia adalah orang yang pantas sekali menjadi Akuwu di Sangling. Karena menurut pengamatanku, orang-orang yang memiliki ilmu itu adalah orang-orang yang memiliki landasan bukan saja kewadagan, tetapi juga kejiwaan yang pantas bagi seorang pemimpin. Karena itu maka aku guru Akuwu Sangling yang telah terbunuh itu ikut serta mendukung keputusan pendadaran ini, bahwa Mahisa Bungalan Senapati Besar dari Singasari ditetapkan menjadi Akuwu di Sangling. Namun segala sesuatunya tergantung kepada penguasa di Kediri dan Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan masih cukup muda, sehingga aku yakin bahwa ilmu dan kemampuannya akan dapat berkembang jauh.”
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat membantu kami, ikut serta menegakkan pemerintahan di Sangling untuk selanjutnya.”
“Aku mengerti Akuwu,” berkata orang itu, “tetapi aku berkata dengan tulus, bahwa aku akan berusaha membantu Akuwu Sangling yang baru. Syukurlah jika Mahisa Bungalan yang memiliki jalur ilmu Gundala Sasra itu akan benar-benar diangkat menjadi Akuwu Sangling. Aku akan membantunya jauh lebih besar daripada saat muridku menjadi Akuwu, karena aku tahu, bahwa sebenarnya secara jiwani muridku masih belum pantas untuk menduduki jabatan itu. Hanya karena jalur keturunan sajalah maka ia dapat mencapai jenjang kedudukan yang seharusnya tidak dijabatnya.”
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sangat berharap kebenaran kata-kata Ki Sanak.”
“Aku bukan orang yang bercabang lidah,” berkata orang itu, “karena itu, kalian akan melihat kebenaran kata-kataku.”
Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja, sementara orang itu berkata kepada Mahisa Bungalan, “Orang muda. Mudah-mudahan kau mendapatkan kesempatan itu.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu pun kemudian berkata, “Aku minta diri. Segala sesuatunya terserah kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada Pangeran Singa Narpada yang bertindak atas nama pemerintahan di Kediri.”
Dengan demikian, maka orang itu pun segera meninggalkan alun-alun Sangling yang masih dipenuhi oleh rakyat Sangling serta para prajurit dan para Senapati.
Sepeninggal orang itu. maka Akuwu Lemah Warah pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bergumam, “Aku percaya kepadanya. Ia tentu benar-benar akan membantu tegaknya pemerintahan di Sangling. Orang itu, yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama memang memiliki ilmu yang luar biasa.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian maka upacara ini dapat diakhiri.”
“Ya Pangeran,” berkata Akuwu Sangling, “pertemuan khusus ini memang sudah dapat diakhiri.”
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun telah memerintahkan para Senapati Sangling untuk membubarkan upacara itu. Agaknya pencalonan Mahisa Bungalan sudah berhasil melangkahi satu tahap. Selanjutnya persoalannya akan ditentukan di Kediri dan di Singasari. Jika Sri Baginda Kediri tidak berkeberatan, maka persoalannya akan menjadi lebih rancak. Sri Baginda di Singasari tentu tidak akan berkeberatan jika Mahisa Bungalan memohon kesempatan untuk menduduki jabatan itu. Sedangkan Sri Baginda di Kediri sebagian terbesar tergantung kepada Pangeran Singa Narpada.
Ketika para pemimpin dari Kediri, dari Lemah Warah dan Mahisa Bungalan kembali ke istana Akuwu Sangling, maka sambutannya pun menjadi semakin baik. Tahap yang sudah dilalui oleh Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah cukup menentukan. Karena itu hampir pasti bahwa Mahisa Bungalan akan menjadi Akuwu di Sangling.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin tinggal di Sangling terlalu lama. Ia masih harus kembali ke Singasari. Tetapi ia masih akan singgah di padepokan Suriantal, melihat kedua adiknya yang sedang sibuk dengan batunya yang kehijau-hijauan itu.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan ikut bergembira mendengar keputusan itu,” berkata Mahisa Bungalan.
“Ya,” jawab Akuwu Lemah Warah, “namun agaknya mereka masih saja asyik dengan batunya itu.”
Dalam pada itu ternyata rakyat Sangling telah mendapatkan calon pemimpinnya yang baru, yang menurut pengamatan mereka cukup meyakinkan. Bahkan guru Akuwu Sangling yang lama pun menyatakan bahwa Senapati Mahisa Bungalan adalah calon yang tepat. Orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu justru berjanji untuk membantu Mahisa Bungalan jika ia berada dalam kesulitan.
Dengan demikian, maka menurut dugaan orang-orang Sangling termasuk para prajurit dan Senapatinya, bahwa masa depan Sangling akan menjadi lebih baik. Menurut dugaan mereka. Senapati Mahisa Bungalan bukan seorang yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Bahkan nampak pada sorot matanya dan tingkah lakunya, bahwa ia memiliki kesabaran.
Dalam pada itu setelah bermalam di Sangling semalam lagi, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan minta diri kepada Senapati yang untuk sementara memerintah di Sangling. Mereka akan pergi ke Kediri. Namun mereka akan singgah di padepokan Suriantal.
Dengan para pengawal yang dibawa oleh Akuwu Lemah Warah dari padepokan, maka mereka telah meninggalkan Pakuwon Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang. Tetapi mereka menempuh jarak itu dengan berkuda, sehingga waktu yang diperlukannya memang tidak sepanjang jika mereka berjalan kaki, meskipun kadang-kadang kuda-kuda mereka pun harus merangkak tidak lebih cepat dari orang-orang yang berjalan kaki. Namun pada kesempatan lain kuda mereka sempat berpacu dengan cepat.
Kedatangan mereka di padepokan telah disambut dengan gembira oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebelum Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang terjadi di Sangling. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak Mahisa Bungalan dan bahkan bersama Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah untuk melihat batu hijaunya.
Untuk tidak mengecewakan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ketiganya, bahkan beberapa orang prajurit pengawalnya telah mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke tengah-tengah padepokan, tempat mereka meletakkan batu yang sedang digarap untuk menjadi sebuah patung yang besar dan baik, yang menggambarkan sepasang ular naga di satu sarang.
Sebenarnyalah Mahisa Bungalan menjadi kagum. Demikian pula Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Dalam waktu yang pendek, kerja itu sudah nampak memberikan batasan bentuk.
“Kakak beradik itu memang luar biasa,” berkata Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Murti berkata, “Mereka dibantu oleh dua orang penghuni padepokan ini. Meskipun mereka tidak setrampil kedua orang prajurit itu, namun kerja mereka cukup dapat membantu kedua orang prajurit itu. Sebelumnya tidak ada yang pernah mengatakan kemampuan kedua orang itu. Namun ketika keduanya melihat kedua pemahat itu bekerja, maka mereka menyatakan kesediaan mereka untuk membantu."
Ketika Mahisa Bungalan mendekat, maka memang dilihatnya di samping dua orang pemahat dari Singasari, dua orang lain telah membantunya meskipun hanya sekedar melakukan sebagaimana bentuk yang telah ditentukan oleh perwira Singasari yang kebetulan juga seorang pemahat.
“Mudah-mudahan dengan demikian patungmu akan lebih cepat selesai,” berkata Mahisa Bungalan.
“Ya. Kakang,” jawab Mahisa Murti, “aku segera ingin membawa ke Singasari dan mempersembahkannya kepada Sri Maharaja.”
Mahisa Bungalan tertawa. Namun kemudian katanya, “Apakah kami tidak kau persilahkan duduk? Demikian kami datang, maka kami langsung kau bawa kemari.”
“O…,” kedua anak muda itu tiba-tiba menyadari. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, silahkan duduk di pendapa.”
Baru kemudian, ketika telah dihidangkan minuman panas bagi mereka yang baru datang dari Sangling, kedua anak itu bertanya tentang pendadaran bagi Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Yang Maha Agung telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mengatasi pendadaran itu.”
“Jadi kakang ditetapkan sebagai calon itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “namun seterusnya tergantung kepada Kediri dan Singasari.”
Namun Mahisa Pukat bergumam hampir di luar sadarnya, “Semuanya akan teratasi. Kediri akan tergantung kepada Pangeran Singa Narpada, sementara Singasari dapat berbicara dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra.”
“Kau kira semudah itu?” bertanya Mahisa Bungalan, “bagaimanapun juga Pangeran Singa Narpada harus menunggu keputusan Sri Baginda di Kediri, sedangkan paman Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai wewenang menentukan apa-apa, meskipun keduanya wenang menyampaikan pendapatnya.”
“Ya. ya,” dengan serta merta Mahisa Pukat menyahut, “maksudku juga demikian.”
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Mudah-mudahan pendapatku akan mempunyai arti dihadapan Sri Baginda di Kediri.”
“Ya Pangeran,” desis Mahisa Pukat sambil menganggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan.”
Pangeran Singa Narpada tertawa pendek. Tetapi ia tiba-tiba saja bertanya, “berapa pekan patungmu akan siap.”
“Aku tidak tahu Pangeran,” jawab Mahisa Murti, “tergantung sekali kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada saat mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Jika tidak ada hambatan dan kesulitan, maka patung itu akan selesai dalam waktu satu bulan lebih sedikit.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Nampaknya para pemahat itu telah bekerja tanpa mengenal waktu. Bahkan kadang-kadang mereka bekerja sampai malam dengan mempergunakan lampu-lampu obor.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memperingatkan mereka, agar tidak perlu bekerja terlalu keras. Mereka tidak dikejar oleh waktu, karena yang mereka kerjakan itu tergantung sekali kepada mereka sendiri.
“Aku ingin mencapai bentuknya lebih dahulu,” berkata perwira prajurit Singasari yang memimpin pembuatan patung itu, “baru kemudian aku akan dapat bekerja lebih lamban.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mencegahnya. Para pemahat yang lain pun nampaknya bekerja pula dengan mantap tanpa mengenal lelah. Agaknya mereka memang ingin mencapai satu bentuk dasar dari pembuatan patung itu lebih dahulu.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran itu menyahut, “Kadang-kadang kita memang tidak dapat mengekang kemauan mereka menumpahkan gejolak yang ada didalam diri mereka. Namun pada saatnya mereka akan mengatur diri mereka sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya ia pun memperlakukan para pemahat itu sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah menyatakan pula maksudnya untuk membawa sebagian prajurit Lemah Warah yang masih ada di padepokan itu kembali. Meskipun demikian, di padepokan itu akan ditinggalkan sekelompok prajurit yang akan dapat membantu isi padepokan itu termasuk pengamanan batu yang sedang dipahat untuk dijadikan patung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menyerahkan segalanya kepada Akuwu Lemah Warah. Namun agaknya di padepokan itu memang terdapat cukup banyak prajurit Lemah Warah. Terutama untuk menghadapi sikap Sangling, pada waktu itu.
“Sementara itu, Ki Buyut Bapang akan aku bawa. Demikian pula beberapa orang tawanan yang lain yang masih tersisa disini,” berkata Akuwu Lemah Warah.
“Terima kasih Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian maka pekerjaan kami disini akan menjadi jauh berkurang.”
“Tetapi kalian masih mempunyai tanggungan,” berkata Akuwu Lemah Warah, “kita tidak tahu, apakah orang-orang yang mengingini batu itu masih belum membatalkan niatnya.”
“Kami akan tetap berhati-hati,” berkata Mahisa Murti.
Malam itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan sempat memberikan beberapa pesan. Di hari berikutnya mereka memang masih akan berada di padepokan itu sehari. Namun mereka akan sibuk dengan persiapan-persiapan. Sebagian dari prajurit Lemah Warah akan mengikuti Akuwu kembali ke Lemah Warah, sedangkan sekelompok di antara mereka akan tetap ditinggalkan di padepokan itu, untuk membantu jika padepokan kecil itu mendapat kesulitan.
Meskipun orang-orang yang ada dipadepokan itu, yang bukan saja orang Suriantal tetapi agaknya sudah bercampur baur. namun dengan susah payah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatukan mereka menjadi satu keluarga besar, yang bersama-sama bertanggung jawab atas padepokan itu.
Demikianlah, maka seperti yang sudah diperhitungkan sebelumnya, maka di hari berikutnya. Akuwu Lemah Warah telah sibuk mempersiapkan pasukannya. Senapati prajurit Lemah Warah harus membagi pasukannya, dengan meninggalkan sekelompok prajurit di padepokan itu.
Pada hari yang ditentukan, di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan itu diiringi oleh sebagian dari prajurit Lemah Warah yang masih ada di padepokan itu. Menurut rencana prajurit Lemah Warah itu sedikit demi sedikit akan dikurangi.
Pasukan yang akan mengganti pasukan yang telah ada di padepokan akan selalu disusut, sehingga akhirnya padepokan Suriantal itu akan mampu menjaga dirinya sendiri. Apalagi jika batu yang berwarna kehijauan itu sudah tidak lagi berada di padepokan itu, maka padepokan itu agaknya tidak akan diganggu lagi oleh orang lain.
Ketika matahari kemudian mulai memanjat naik, sebuah iring-iringan telah meninggalkan padepokan itu. Dari pintu gerbang yang terbuka, pasukan Lemah Warah beriringan keluar diantar oleh para penghuni sampai diluar pintu gerbang.
Sepeninggal mereka, maka di hati para penghuni padepokan itu justru telah tumbuh rasa tanggung jawab yang lebih besar. Padepokan itu pada satu saat akan ditinggalkan oleh seluruh prajurit Lemah Warah, sehingga semua tanggung jawab berada di pundak mereka masing-masing.
Karena itu maka para penghuni padepokan Suriantal itu harus segera berbenah diri. Mereka harus benar-benar menjadi dewasa dan tidak mempercayakan perlindungan diri kepada orang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berpikir demikian pula. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya, di samping kesibukan dengan patung batu hijaunya, maka ia pun mulai membicarakan kemungkinan untuk menempa isi padepokan itu. Agar jika terjadi sesuatu, mereka akan dapat berbuat lebih baik dari yang pernah mereka lakukan.
“Kalian sudah cukup baik,” berkata Mahisa Murti, “tetapi yang baik itu akan dapat menjadi semakin baik.”
Ternyata para penghuni padepokan itu menyambut sikap itu dengan gairah yang tinggi. Ternyata sebagian besar dari mereka mempunyai landasan berpikir seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah berusaha membantu dengan sekuat-kuat tenaga mereka.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk meningkatkan kemampuan para penghuni padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menghilangkan jarak antara mereka yang satu dengan yang lain, sehingga para penghuni itu semakin merasa satu. Meskipun mereka masih mempergunakan ragam senjata yang berbeda, namun mereka tidak lagi merasa bahwa mereka memang berasal dari banyak perguruan.
Untuk memberikan tuntunan yang semakin mantap, maka Mahisa Murti telah membagi penghuni padepokan itu menjadi kelompok-kelompok yang dengan sengaja telah dicampur baurkan. Setiap kelompok mendapat penilikan secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dibagi menurut urutan, maka mereka setiap hari mendapat kesempatan untuk secara langsung ditangani oleh kedua anak itu, bergantian.
Meskipun tidak dengan serta merta, namun usaha itu menunjukkan hasilnya juga. Perlahan-lahan namun para penghuni itu merasa bahwa kemampuan mereka memang semakin meningkat. Ketrampilan mereka mempergunakan senjata menjadi semakin tinggi pula.
Namun untuk masa depan yang lebih panjang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan orang-orang yang dapat membantunya, menempa para penghuni padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memilih dua puluh lima orang yang mendapat tuntunan secara khusus. Setiap hari mereka ditempa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menjelang matahari terbit kedua puluh lima orang itu harus sudah siap. Mereka harus sudah berada di sanggar terbuka, di bagian belakang padepokan mereka.
Keduapuluh lima orang itu mendapat latihan-latihan yang berat di setiap pagi sejak terang tanah sampai matahari sepenggalah. Sedangkan di sore hari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengadakan latihan-latihan bagi kelompok-kelompok yang ada di padepokan itu.
Perwira prajurit Singasari yang kebetulan juga pemahat itu heran melihat ketrampilan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangani isi padepokan yang semula berasal dari beberapa perguruan. Meskipun keduanya masih muda, namun ternyata bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk mengatur padepokan itu dengan baik, selain keduanya memang berilmu tinggi.
Sementara itu, isi padepokan itu sendiri telah berusaha keras untuk mengikuti petunjuk dan usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena mereka pun merasa ikut bertanggung jawab atas padepokan itu.
“Jika musuh darimana pun asalnya datang, maka kita semuanya bertanggung jawab. Jika mereka berhasil memasuki padepokan ini, sasarannya adalah kita semua. Mereka tidak akan memilih satu dua orang di antara kita. Tetapi semua, karena kita memang menjadi satu keluarga.”
Dengan demikian maka keluarga yang ada di dalam padepokan itu semakin lama menjadi semakin luluh, sehingga mereka tidak lagi merasa berasal dari beberapa perguruan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berniat merubah nama padepokan itu. Agar tidak berkesan bahwa padepokan itu terdiri dari banyak padepokan, maka namanya Suriantal harus tidak dipergunakan lagi. Karena nama itu akan selalu mengingatkan bagian dari seluruh isi padepokan itu.
“Tetapi kita sebaiknya mengadakan pembicaraan dengan Akuwu,” berkata Mahisa Murti kepada penghuni padepokan itu yang setelah sependapat pula untuk mengganti nama padepokan itu dengan nama yang lebih sesuai dengan keadaannya kemudian.
Karena itu, maka mereka tidak tergesa-gesa menetapkan nama baru bagi padepokannya, meskipun ada juga di antara orang-orang padepokan itu yang mulai mereka-reka nama baru.
Sementara para penghuni padepokan itu sibuk dengan usaha mereka menempa diri, empat orang telah sibuk dengan kerja mereka sendiri. Seorang perwira prajurit Singasari yang kebetulan adalah seorang pemahat tengah membentuk ujud dasar dari patungnya dibantu oleh tiga orang lainnya.
Keempat orang itu nampaknya tidak menghiraukan apa yang terjadi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak mempedulikan latihan-latihan yang berat, penempaan diri di setiap hari dan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan yang lain. Mereka telah tenggelam dalam kerja mereka yang memang memerlukan pemusatan nalar budi.
Nampak pada saat-saat senggang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat juga menunggui kerja mereka. Jika satu dua masih juga terdapat binatang berbisa, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang harus membunuh beberapa ekor binatang berbisa yang terdapat di celah-celah batu yang besar itu. Perlahan-lahan namun pasti bentuk yang dikehendaki oleh pematung itu pun mulai nampak.
“Dalam beberapa hari ini, kau akan melihatnya,” berkata pemahat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kami tidak tergesa-gesa. Karena itu kau tidak perlu bekerja terlalu keras.”
Tetapi pemahat itu tersenyum. Katanya, “jangan risaukan kami. Sudah menjadi kebiasaan kami bekerja seperti ini. Selagi hati kami terbuka. Namun jika suatu saat kami ingin berhenti dan tidur, maka kami akan tidur berhari-hari, tanpa menyentuh batu ini sama sekali.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat mengatur apalagi memaksa cara kerja para pemahat itu.
Sementara itu, perjalanan Akuwu Lemah Warah, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah sampai ke Pakuwon Lemah Warah. Mereka masih akan meneruskan perjalanan ke Kediri, untuk menyampaikan pencalonan Mahisa Bungalan kepada Sri Baginda di Kediri.
Namun mereka telah beristirahat di Pakuwon Lemah Warah. Dua malam mereka telah meneruskan perjalanan menuju ke Kediri. Kehadiran mereka di Kediri, telah diterima dengan baik oleh Sri Baginda. Demikian seorang Pelayan Dalam menyampaikan kehadiran Pangeran Singa Narpada, maka Sri Baginda telah memberi kesempatan untuk menghadap. Pangeran Singa Narpada telah menghadap bersama Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan.
“Bagaimana dengan usahamu?” bertanya Sri Baginda.
“Ampun Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “atas restu Sri Baginda, maka usaha hamba sudah berhasil. Hamba telah membawa seorang calon bagi Akuwu Sangling. Bahkan telah kami hubungi pula rakyat Sangling.”
“Kau sudah melangkah begitu jauh?” bertanya Sri Baginda.
Pangeran Singa Narpada pun telah menceriterakan apa yang sudah dilakukan. Sampai batas pendadaran yang dilakukan di Sangling serta kehadiran orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling yang terbunuh itu.
Sri Baginda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya semuanya telah disiapkan dengan baik. Tidak mungkin lagi untuk merubahnya. Satu lagi kekuasaan dari Singasari terhunjam di Kediri. Akuwu Sangling yang akan diangkat adalah seorang Senapati dari Singasari.
Memang menurut penalaran, tidak ada bedanya, apakah ia berasal dari Kediri atau Singasari. Yang penting Sangling akan tumbuh dengan baik serta semakin berkembang. Namun bagaimanapun juga, ketika ditetapkan bahwa Akuwu Sangling adalah seorang Senapati dari Singasari, rasa-rasanya Sri Baginda telah kehilangan lagi sebuah daerah yang menjadi alas kebesaran kerajaan Kediri.
Pangeran Singa Narpada yang menganggap Kediri bagian dari keluarga besar Singasari, tidak memperhitungkannya. Pangeran Singa Narpada adalah seorang yang menganggap luluhnya Kediri dalam Singasari adalah wajar. Meskipun Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa banyak sentuhan-sentuhan perasaan yang harus dihadapinya. Namun baginya, Sri Baginda di Kediri selama ini telah membenarkan sikapnya. Bahkan merestui usahanya untuk menyingkirkan saudara-saudaranya yang menentang kebijaksanaan itu, bahkan telah memberontak melawan Kediri.
Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak dapat menghapuskan perasaan itu sampai ke hati nurani saudara-saudaranya meskipun kelihatannya Kediri memang menjadi tenang. Bahkan Pangeran Singa Narpada tidak berhasil menerawang memasuki lubuk hati Sri Baginda di Kediri. Yang dibaca oleh Pangeran Singa Narpada adalah sikap Sri Baginda tentang usahanya menumpas setiap pemberontakan, yang kadang-kadang harus dilakukannya dengan keras. Beberapa orang Pangeran harus disingkirkan.
Meskipun sekali-sekali terasa sikap janggal Sri Baginda atas saudara-saudaranya yang dianggapnya telah memberontak, namun Pangeran Singa Narpada tidak melihat cukup jauh tentang isi hati Sri Baginda.
Sementara itu, Sri Baginda memang tidak dapat banyak berbuat. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati yang terlalu kuat baginya. Mau tidak mau, ia harus mengikuti jalan pikiran Pangeran Singa Narpada.
Demikian pula dalam hubungannya dengan pencalonan Akuwu Sangling. Ketika Pangeran Singa Narpada memberikan beberapa keterangan yang bernada keputusan, maka Sri Baginda pun tidak dapat menolaknya.
Namun demikian Sri Baginda masih juga bertanya, “Apakah Mahisa Bungalan telah mendapat ijin dari Sri Maharaja di Singasari?”
“Belum Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi hamba sendiri akan menghadap Sri Maharaja di Singasari, memohon agar Mahisa Bungalan diperkenankan memegang jabatan Akuwu di Sangling. Apalagi Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra dan murid Mahisa Agni dan Witantra. Kedua orang tua itu adalah orang yang berpengaruh di Singasari. Bukan saja karena umurnya yang sudah terlalu banyak, tetapi karena keduanya memang orang-orang pilihan. Bukankah keduanya pernah berada di Kediri sebagai wakil Sri Maharaja Singasari?”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat menolak pendapat Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka Sri Baginda pun telah memberikan restu dengan syarat, apabila Sri Maharaja di Singasari mengijinkan.
Demikianlah Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan telah bermalam di istana Pangeran Singa Narpada selama mereka berada di Kediri. Pada saatnya, setelah bermalam dua malam, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka tidak saja diiringi oleh sekelompok prajurit Lemah Warah, tetapi Pangeran Singa Narpada telah membawa beberapa orang prajurit Kediri, sementara sebagian prajurit Lemah Warah telah ditinggalkan di Kediri.
Mereka telah diperintahkan untuk menunggu Akuwu kembali ke Kediri. Dengan ciri-ciri kebesaran dan pertanda keprajuritan Kediri maka kelompok itu pun telah berangkat menuju ke Singasari untuk menyelesaikan pencalonan Akuwu di Sangling.
Kedatangan sekelompok prajurit Kediri dan Lemah Warah dengan tanda-tanda kebesaran memang telah mengejutkan Singasari. Tetapi karena yang datang itu hanya sekelompok kecil, maka para petugas di Singasari tidak mempunyai prasangka buruk terhadap pasukan yang datang itu. Apalagi di dalam kelompok kecil itu terdapat seorang Senapati dari Singasari, Mahisa Bungalan.
Ketika kelompok itu sampai di pintu gerbang istana, maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengurus segala-galanya, sehingga Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah serta para pengiringnya mendapat tempat untuk beristirahat. Mereka telah ditempatkan di sebuah bangsal yang memang disediakan bagi tamu-tamu terhormat yang datang mengunjungi Singasari.
Ketika Sri Maharaja di Singasari mendengar permohonan Pangeran Singa Narpada dari Kediri serta Akuwu Lemah Warah untuk menghadap, maka Sri Maharaja pun telah menentukan waktu untuk menerima mereka.
Sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah menunggu, maka Mahisa Bungalan telah sempat menemui Mahisa Agni dan Witantra.
“Baru besok Pangeran Singa Narpada diterima oleh Sri Maharaja,” berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Agni pun bertanya tentang pencalonan Mahisa Bungalan, “Apakah semuanya berjalan lancar?”
Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang sudah terjadi atas dirinya. Memang ada seorang yang agaknya menolak pencalonannya. Namun orang yang menyebut guru Akuwu Sangling telah datang pula justru untuk memberikan dukungan kepadanya. Menurut Akuwu Lemah Warah, orang yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi.”
“Siapakah namanya?” bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak seorang pun yang pernah mendengarnya. Orang-orang Sangling pun agaknya masih belum mengenalnya dengan baik.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra-pun bertanya, “Apakah tidak seorang pun yang mengenal ciri perguruannya?”
“Tidak paman. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak menyebut ciri-cirinya. Nampaknya mereka juga tidak mengenal ciri perguruan Akuwu Sangling yang lama itu,” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa pencalonan Mahisa Bungalan telah mendapat dukungan yang cukup kuat. Baik oleh Kediri, maupun oleh orang-orang Sangling sendiri. Bahkan guru Akuwu Sangling yang lama yang mampu menilik sifat muridnya telah menyatakan dukungannya pula. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata,
“Mahisa Bungalan. Agaknya kau memang mendapat kesempatan yang cukup baik. Karena itu, maka kau harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Jika Sri Maharaja di Singasari tidak berkeberatan, maka kau akan dapat mulai dengan satu babak baru dalam kehidupanmu.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan mencobanya paman. Mudah-mudahan aku berhasil. Kesempatan ini merupakan satu kurnia bagiku, yang sudah tentu tidak akan aku sia-siakan.”
“Bagus Mahisa Bungalan,” berkata Witantra, “namun bukan sekedar kau jalani. Tetapi kau harus mampu membawa diri. Sudah barang tentu, pendadaran yang sebenarnya akan terjadi justru setelah kau menjadi Akuwu di Sangling. Karena pendadaran yang akan terjadi kemudian akan jauh lebih berat dari pendadaran yang sudah kau jalani di alun-alun Sangling itu.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengerti paman. Yang paman maksud bukan saja di bidang pemerintahan, tetapi juga dalam olah kanuragan. Aku harus mematangkan ilmuku dan mengembangkannya, sehingga aku akan benar-benar menjadi seorang pemimpin dan sekaligus pelindung bagi Sangling,”
“Ya,” jawab Witantra, “jika itu sudah kau sadari, maka kau telah menempuh jalan yang benar.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mohon doa paman berdua.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kami akan selalu berdoa buat kau dan keluargamu.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Meskipun kedua orang itu rasa-rasanya sudah menjadi semakin tua, namun keduanya adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya di samping ayahnya sendiri.
Dalam pada itu, ketika saat-saat yang ditunggu telah datang, maka Sri Maharaja di Singasari telah berkenan menerima Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan untuk menghadap.
Ternyata bahwa Sri Maharaja di Singasari telah mengadakan paseban khusus untuk menerima tamu dari Kediri. Karena itu, maka tidak semua pemimpin dan Senapati prajurit Singasari hadir di paseban.
Ketika Sri Maharaja Singasari sudah memperkenankan Pangeran Singa Narpada untuk menyampaikan kepentingannya, maka Pangeran Singa Narpada pun segera mengatakan rencana Kediri untuk mengangkat Mahisa Bungalan menjadi Akuwu di Sangling jika Sri Maharaja tidak berkeberatan. Baik karena Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati Besar di Singasari, maupun tentang pencalonannya itu.
Sri Maharaja di Singasari memang belum pernah mendengar rencana itu sebelumnya, karena itu maka dimintanya Pangeran Singa Narpada menjelaskan segalanya. Pangeran Singa Narpada pun telah menceritakan apa yang sudah terjadi di Sangling. Kemudian bagaimana ia merintis seorang calon yang akan mampu mengisi kekosongan itu.
Akhirnya pilihannya telah jatuh kepada seorang Senapati dari Singasari yang bernama Mahisa Bungalan. Segala sesuatunya telah dilakukan. Langkah demi langkah telah dilewatinya, sehingga akhirnya langkah terakhir adalah mohon ijin dan restu kepada Sri Maharaja di Singasari.
Sri Maharaja di Singasari mengangguk-angguk. Ia tidak melihat keberatan apapun juga jika ia mengijinkan Mahisa Bungalan untuk meninggalkan tugas keprajuritannya dan kemudian berada di Sangling sebagai Akuwu. Namun demikian ternyata Sri Maharaja masih juga berbicara dengan para pemimpin Singasari yang ada di paseban.
“Ternyata tidak seorang pun yang mempunyai keberatan,” berkata Sri Maharaja kemudian. Lalu, “Karena itu, maka aku pun tidak berkeberatan pula. Aku ijinkan Mahisa Bungalan meninggalkan tugasnya dan kemudian menerima jabatan Akuwu di Sangling.”
Dengan demikian, maka tidak ada hambatan lagi yang berarti bagi Mahisa Bungalan. Segala jalan sudah dilewatinya tanpa kesulitan karena pencalonan Mahisa Bungalan memang didukung oleh unsur-unsur yang memadai.
Ketika Sri Maharaja kemudian berkenan menutup pertemuan khusus itu maka Pangeran Singa Narpada telah menyampaikan terima kasihnya yang tidak terhingga kepada Sri Maharaja atas ijinnya dan restunya kepada Mahisa Bungalan.
Demikianlah, maka di hari berikutnya. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah telah menemui beberapa pihak yang berhubungan dengan rencana Mahisa Bungalan meninggalkan kota Raja Singasari. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah telah menemui Mahisa Agni dan Witantra. Mereka telah menyampaikan rencana pengangkatan Mahisa Bungalan menjadi Akuwu Sangling.
“Semua pihak telah memberikan persetujuan. Rakyat Sangling, Sri Baginda di Kediri dan Sri Maharaja di Singasari,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Agni, “semoga semuanya dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Kami yang tua-tua tentu ikut bergembira atas kesempatan bagi Mahisa Bungalan tersebut.”
“Aku mohon doa dan restu paman,” berkata Mahisa Bungalan, “semoga Yang Maha Agung selalu melimpahkan perlindungan dan tuntunannya kepadaku. Aku merasa jika aku benar-benar diwisuda menjadi Akuwu di Sangling, maka aku akan menyandang beban yang sangat berat. Satu tugas yang akan menyangkut satu lingkungan yang cukup luas.”
“Tetapi kau harus berani melangkah ke jenjang yang lebih tinggi,” berkata Witantra, “kesempatan itu tidak boleh kau sia-siakan. Tetapi bukan untuk diterima dengan semena-mena.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra sempat memberikan banyak petunjuk kepada Mahisa Bungalan, yang dapat dipergunakannya sebagai bekal. Bahkan akhirnya Mahisa Bungalan merasa dirinya cukup kuat untuk menerima jabatan itu.
“Mahisa Bungalan,” berkata Mahisa Agni, “untuk hari-hari pertama, maka aku dan pamanmu Witantra tentu tidak berkeberatan untuk berada di Sangling. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu meskipun mungkin hanya sekedar petunjuk-petunjuk. Orang-orang tua seperti kami memang tidak mempunyai apapun yang dapat aku berikan kepadamu selain petunjuk-petunjuk.”
“Apakah yang lebih berharga dari nasehat dan petunjuk serta ilmu yang pernah paman berikan?” berkata Mahisa Bungalan, “Harta benda akan dengan mudah dapat hilang. Mungkin dicuri orang, mungkin dalam peristiwa yang lain. Tetapi ilmu yang telah dimiliki seseorang, akan sulit hilang daripadanya.”
Demikianlah maka kesediaan Mahisa Agni dan Witantra untuk berada di Sangling pada hari-hari pertama telah membuat Mahisa Bungalan semakin mantap.
“Beritahukan kepada kami, kapan kau akan berada di Sangling. Setelah kau benar-benar diwisuda, maka aku akan berada di Sangling bersama pamanmu Witantra. Aku tidak tahu, apakah kelak ayahmu juga akan berada di Sangling untuk sementara,” berkata Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya, “Mungkin ayah tidak akan berada di Sangling. Justru karena akulah yang akan menjadi Akuwu Sangling.”
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum, sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Keduanya mengerti arti kata-kata Mahisa Bungalan. Kesempatan berikutnya, selagi Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah berada di Singasari, telah menemui Mahendra pula.
Mahendra dengan rendah hati berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenan Pangeran dan Akuwu Lemah Warah memilih anakku untuk dicalonkan menjadi Akuwu.”
“Satu pilihan yang tepat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “ternyata semua pihak menyetujuinya. Terakhir, Sri Maharaja di Singasari telah memberikan restunya.”
“Syukurlah,” berkata Mahendra, “tetapi anakku masih memerlukan tuntunan. Pengalamannya masih terlalu sempit. Apalagi jabatan yang harus dipegangnya adalah jabatan yang besar dan berat.”
“Ki Mahendra terlalu merendahkan diri,” sahut Akuwu Lemah Warah. “Ki Mahendra dapat berbangga bahwa anak Ki Mahendra telah menjadi orang yang berilmu tinggi. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu pun memiliki ilmu yang mengagumkan pula.”
“Akuwu bercanda,” berkata Mahendra, “bukankah sebagian dari padanya adalah atas kemurahan Akuwu.”
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun berkata, “Yang aku lakukan adalah sekedar membantunya untuk melepaskan lontaran ilmu yang memang sudah ada padanya. Ilmu yang tinggi dan memiliki kekuatan yang luar biasa.”
Mahendra tertawa kecil. Katanya, “Satu peningkatan yang luar biasa.”
Akuwu Lemah Warah tertawa pula. Tetapi katanya, “Jika keduanya tidak mempunyai bekal yang cukup, maka penggandaan berapa pun akan tidak berarti apa-apa.”
“Agaknya memang demikian,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kedua anak-anak Ki Mahendra yang muda itu memang mempunyai bekal yang cukup.”
“Kepada Pangeran pun aku harus mengucapkan terima kasih yang sangat besar. Pangeran sudah memberikan terlalu banyak kepada anak-anakku itu, sehingga anakku itu dapat disebut namanya diantara orang-orang berilmu,” berkata Mahendra.
Sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang yang sudah sangat banyak memberikan tuntunan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah mohon restu kepada ayahnya. Ternyata jalan yang akan ditempuhnya masih sangat panjang. Jika ia nanti diwisuda menjadi Akuwu Sangling, maka itu-berarti kesulitan-kesulitan yang sesungguhnya baru akan mulai.
Setelah beberapa hari Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah serta para pengawal mereka berada di Singasari, maka mereka pun telah menghadap Sri Maharaja sekali lagi untuk mohon diri.
Menjelang matahari terbit di keesokan harinya, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan yang sudah mendapat ijin dan restu dari Sri Maharaja itu, meninggalkan Singasari. Seperti pada saat mereka datang, maka pada saat mereka meninggalkan Singasari, maka mereka pun telah ditandai dengan pertanda kelengkapan prajurit Kediri dan Lemah Warah.
Karena itu, meskipun pengawal Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak terlalu banyak, namun pertanda kebesarannya telah memberikan kesan kemampuan yang tinggi pada pasukan kecil itu. Seperti yang direncanakan semula, maka pasukan itu langsung menuju ke Kediri. Mereka langsung menyampaikan hasil perjalanan mereka ke Singasari kepada Sri Baginda dan memohon agar wisuda bagi Mahisa Bungalan segera dilaksanakan.
Ternyata Sri Baginda di Kediri pun tidak mau menunda-nunda pekerjaan yang memang harus dilakukan. Betapapun keragu-raguan masih tetap membayangi perasaannya, namun Sri Baginda telah menetapkan bahwa wisuda akan segera dilakukan.
“Jika semua persiapan sudah selesai, maka aku akan melantik Akuwu Sangling itu,” berkata Sri Baginda, “pelantikan itu akan aku lakukan di sini, di istana Kediri.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah terkejut. Hal seperti itu tidak pernah dilakukan oleh Sri Baginda sebelumnya. Sri Baginda selalu melantik para Akuwu di tempat para Akuwu itu akan menjalankan tugasnya, memimpin sebuah Pakuwon. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun bertanya, “Kenapa Sri Baginda tidak melakukannya di Sangling?”
“Kesehatanku tidak mengijinkan Singa Narpada,” jawab Sri Baginda, “kecuali jika kalian bersedia menunggu sampai aku menjadi benar-benar sehat. Padahal untuk kali ini agaknya kalian sangat tergesa-gesa.”
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu.
“Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kami tidak tergesa-gesa. Saat ini pun di Sangling telah ada orang yang untuk sementara melakukan tugas seorang Akuwu.”
Tetapi Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mau digelisahkan oleh tugas-tugas yang tertunda. Karena itu aku akan melantiknya disini. Bagiku, tempat tidak menjadi rintangan dan juga tidak akan mengurangi kewibawaan.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Sri Baginda. Mereka hanya akan mempersiapkan keputusan Baginda untuk mewisuda Mahisa Bungalan sebagai Akuwu Sangling di Kediri.
Pada saat yang ditentukan, serta setelah segala persiapan selesai, maka saat wisuda pun ditetapkan. Segala macam upacara dilakukan sebagaimana jika wisuda itu dilakukan di Sangling sendiri.
Ternyata yang bertanya-tanya didalam diri bukan hanya para pemimpin di istana Kediri. Para Senapati Sangling pun merasa heran bahwa kali ini upacara wisuda itu dilakukan tidak di tempat Akuwu itu akan menjalankan tugasnya. Namun penjelasan yang diberikan kepada mereka adalah sebagaimana dikatakan oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, justru pada saat wisuda, para Senapati dan para pemimpin Sangling lah yang datang ke Kediri. Mereka untuk pertama kalinya menghadiri Wisuda yang dilakukan di istana Kediri.
Ternyata pada saat wisuda dilakukan, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah datang pula ke Kediri. Namun mereka bukan sekedar mengunjungi wisuda itu. Tetapi mereka telah membawa pertanyaan dari Sri Maharaja di Singasari. Karena itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra yang pernah bertugas di Kediri sebagai penghubung dan mengalirkan kuasa Singasari, segera menyampaikan pertanyaan itu kepada Sri Baginda.
“Sri Baginda,” berkata Mahisa Agni, “apakah maksud Sri Baginda melakukan wisuda di istana Kediri? Bukankah hal ini bukan kebiasaan Sri Baginda.”
Pertanyaan itu memang telah mengguncang jantung Sri Baginda di Kediri. Sri Baginda tidak mengira, bahwa perhatian Sri Maharaja di Singasari akan sampai pada persoalan yang dianggap tidak menentukan itu. Namun justru itu, maka Sri Baginda merasa bahwa Singasari telah semakin banyak mencampuri persoalan Kediri.
“Aku sudah menduga,” berkata Sri Baginda di dalam hatinya, “calon Akuwu Sangling itu adalah orang Singasari. Ini tentu merupakan satu lagi kuku kekuasaan Singasari yang menghunjam menusuk bumi Kediri.”
Tetapi Sri Baginda tidak dapat ingkar, bahwa memang Singasari telah pernah menaklukkan Kediri. Justru ketika Ken Arok masih memegang jabatan Akuwu di Tumapel. Akuwu Tumapel lah yang telah menaklukkan Kediri dan kemudian mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari dan bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.
Namun Sri Baginda masih saja berpegang pada keterangan yang sudah dikatakan kepada orang-orang yang sebelumnya sudah bertanya kepadanya. Katanya, “Aku minta disampaikan kepada Sri Maharaja di Singasari. Aku sama sekali tidak berniat melakukan perubahan-perubahan atau perbedaan langkah dalam upacara semacam ini. Tetapi karena aku memang sedang sakit, sementara aku tidak mau menunda wisuda ini. Sangling harus segera mendapat seorang yang pantas untuk memerintah. Karena itu, maka aku telah mengambil satu, kebijaksanaan. Aku akan mewisuda Akuwu Sangling itu disini. Justru di istanaku. Istana Kediri.”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Meskipun bagi keduanya, alasan itu agaknya kurang wajar, namun keduanya tidak akan mempersoalkannya lagi. Yang penting wisuda itu berlangsung dengan tertib dan baik. Tidak ada hambatan-hambatan yang berarti. Apalagi yang dapat mengurungkan pengangkatan itu sendiri.
Demikianlah, ketika semua persiapan sudah dilakukan, maka upacara itu pun telah dilangsungkan pada hari yang sudah dipilih. Namun tidak banyak orang Sangling yang dapat menyaksikan, kecuali hanya beberapa orang Senapati dan beberapa orang pemimpin Sangling saja.
Namun begitu, ternyata bahwa wisuda itu berlangsung dengan lancar dan bahkan khidmat. Orang-orang yang menghadiri upacara itu merasa tercengkam. Sikap Mahisa Bungalan ternyata memang meyakinkan. Ia tidak bersikap berlebih-lebihan, meskipun tetap menunjukkan sosok seorang pemimpin yang mumpuni.
Para Senapati Sangling merasa bahwa Sangling akan mendapat seorang pemimpin yang mungkin akan lebih baik dari Akuwu yang lama. Akuwu yang baru kemudian dapat mereka nilai.
“Mudah-mudahan apa yang nampak ini bukan sekedar bayangan semu karena kerinduan kami untuk mendapatkan seorang pemimpin yang baik,” berkata para Senapati itu di dalam hati...
Mahisa Bungalan mengerti maksud pamannya. Karena itu, maka sambil mengangguk ia berkata, “Ya paman. Aku akan berhati-hati.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “lakukanlah semuanya dengan hati-hati, semoga Yang Maha Agung melindungi kalian.”
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berjalan kaki memang telah memasuki Pakuwon Sangling. Secara sengaja Mahisa Bungalan telah mengenakan pakaian orang kebanyakan sehingga orang tidak akan mengenalinya sebagai seorang Senapati Besar dari Singasari. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mendengarkan pembicaraan orang di kedai-kedai atau di pasar-pasar atau di tempat-tempat yang ramai lainnya.
Ternyata orang-orang Sangling memang sedang membicarakan, kemungkinan terpilihnya seorang Akuwu bagi mereka. Dalam pembicaraan dengan seorang pemilik kedai nasi, Mahisa Bungalan berkesimpulan, bahwa orang-orang Sangling tidak lagi mengharapkan keluarga Akuwu yang lama menggantikannya.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tidak ada lagi keluarga dekat Akuwu,” jawab orang itu, “seandainya ada, maka nama Akuwu telah tercemar. Nama itu harus dihapuskan sama sekali agar darah keturunan Akuwu Sangling menjadi bersih kembali.”
“Jika bukan darah keturunan Akuwu, apakah tidak ada orang lain di Sangling yang akan dapat menggantikannya?” bertanya Mahisa Bungalan.
Ternyata jawaban orang itu tidak pasti. Katanya, “Aku tidak tahu. apakah di antara para Senapati ada yang pantas dan mampu menggantikan kedudukan Akuwu.”
“Bagaimana menurut perasaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tidak ada nama yang menonjol di Sangling. Mungkin justru karena banyak orang yang pantas menjadi Akuwu,” berkata pemilik kedai itu. Namun kemudian, “Tetapi aku dengar ada calon dari luar Pakuwon Sangling.”
“Oo,” Mahisa Bungalan berpura-pura heran, “justru dari luar? Bagaimana kesan orang Sangling tentang pencalonan itu?”
“Jika ia memang memiliki kelebihan, apa salahnya? Apalagi menurut pendengaranku, ia adalah seorang Senapati Besar dari Singasari,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak banyak lagi bertanya. Ketika ada orang lain datang membeli di kedai itu, dan kebetulan berbicara pula tentang calon Akuwu mereka, maka pembicaraan mereka tidak jauh berbeda dengan pendapat pemilik warung itu. Demikian pula di tempat lain, maka menurut pengamatan Mahisa Bungalan, orang-orang Sangling tidak berpendirian, bahwa yang menggantikan Akuwu Sangling harus orang Sangling.
Sementara itu menurut pengamatan Mahisa Bungalan, orang-orang Sangling bukanlah orang-orang yang sukar didekati. Mereka agaknya terbuka untuk menerima perkembangan baru bagi kampung halamannya. Namun pada suatu saat Mahisa Bungalan telah memasuki lingkungan Kabuyutan Bapang. Mahisa Bungalan berusaha dengan sangat berhati-hati mendengar pendapat orang-orang Bapang tentang Buyutnya yang masih belum kembali.
“Salahnya sendiri,” berkata seseorang yang ditemuinya didalam kedai pula, “jika ia tidak melakukan sesuatu yang ternyata melanggar paugeran, maka ia tidak akan mengalami nasib yang sangat buruk.”
Sementara orang lain lagi berkata, “Ki Buyut bukan orang Bapang. Hanya karena Akuwu sajalah maka ia-dapat menjadi seorang Buyut di sini.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mendapat gambaran yang luas tentang sikap orang-orang Sangling, sehingga nampaknya ia tidak akan mengalami kesulitan karena ia bukan orang Sangling.
“Mungkin ada beberapa kekuranganku, tetapi orang-orang Sangling nampaknya bersikap baik,” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Rasa-rasanya tidak ada yang menentang kehadiran Mahisa Bungalan di Sangling meskipun mereka belum mengenal siapakah yang akan menjadi pemimpin mereka. Agaknya masih akan ada pendadaran-pendadaran lain yang harus dilakukan.
Dalam waktu yang singkat, Mahisa Bungalan telah merambah banyak daerah di Sangling. Agaknya orang-orang yang untuk sementara memimpin Sangling telah memberitahukan kepada rakyatnya dengan jujur apa yang telah terjadi, sehingga orang-orang Sangling mendapat gambaran yang benar tentang keadaan kampung halamannya itu.
Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah meninggalkan Sangling menuju ke padepokan Suriantal. Ia tidak menutup mata, bahwa masih juga ada satu dua orang yang agaknya para pengikut Ki Buyut di Bapang yang masih berkeras kepala. Tetapi jumlah mereka tidak berarti dibanding dengan sikap keseluruhan rakyat Sangling.
Perjalanan ke padepokan Suriantal memang merupakan perjalanan yang panjang. Mahisa Bungalan masih harus bermalam di perjalanan. Namun di hari berikutnya ternyata ia telah berada di padepokan Suriantal meskipun sudah menjelang senja.
Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara, maka tanda-tanda dan ancar-ancar yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa Mahisa Bungalan datang ke arah yang benar.
Kedatangannya di padepokan Suriantal telah disambut dengan gembira oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Agaknya kedatangannya memang sudah ditunggu-tunggu oleh mereka yang berada di padepokan, termasuk dua orang prajurit yang kebetulan adalah pemahat itu.
Beberapa saat mereka sempat mempertanyakan tentang keselamatan masing-masing. Kemudian sebelum mereka memasuki pembicaraan yang penting, Pangeran Singa Narpada mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
“Bukankah kita tidak tergesa-gesa. Besok kita mempunyai waktu yang panjang,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Terima kasih,” berkata Mahisa Bungalan, “aku memang agak letih.”
Setelah makan malam, maka Mahisa Bungalan pun telah dipersilahkan untuk memasuki biliknya. Meskipun bukan bilik yang terlalu baik, tetapi cukup untuk beristirahat dengan baik semalam suntuk. Jauh lebih baik daripada Mahisa Bungalan bermalam di pategalan atau di padang perdu, atau barangkali di dahan sebatang pohon yang besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawaninya beberapa lama. Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah kembali ke baraknya sendiri. Mereka berada dalam sebuah bilik bersama dua orang prajurit yang akan membantunya membuat sebuah patung dari batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Pagi-pagi benar, seperti biasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbangun. Demikian pula kedua orang prajurit Singasari yang tidur bersama mereka. Namun ketika mereka keluar, maka mereka telah melihat Mahisa Bungalan pun telah berada di luar biliknya. Bahkan ternyata Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun telah terbangun pula.
Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang akan memahat batu yang berwarna kehijauan itu telah menemui Mahisa Bungalan. Dengan lantang perwira bawahannya itu pun bertanya, “Apakah Senapati pernah melihat batu itu?”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara pemahat itu pun berkata, “Marilah. Kita akan melihatnya bersama-sama.”
Mahisa Bungalan mengikutinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi pula bersama mereka diikuti oleh adik pemahat itu pula. Sementara itu langit menjadi semakin terang. Matahari mulai melemparkan sinarnya yang kekuning-kuningan di sela-sela dedaunan.
Merekapun kemudian telah mengerumuni batu yang berwarna kehijauan itu, yang dipagari dengan anyaman bambu yang kuat. Namun prajurit yang akan memahat batu mulai meraba tengkuknya sambil berkata,
“Nah, kau lihat? Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu jenis binatang berbisa yang ada di dalam batu itu. Bagaimana mungkin aku akan dapat memahatnya. Setiap sengatan dari satu saja binatang berbisa itu telah membuat aku tidak akan dapat meneruskannya untuk selama-lamanya.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun melihat di sela-sela retak batu-batu itu, terdapat ratusan binatang berbisa dari berbagai jenis. Bahkan terdapat juga jenis ular-ular kecil namun mempunyai bisa yang sangat tajamnya. Di samping itu beberapa jenis kala, laba-laba biru dan hijau, binatang berkaki seribu dan seratus, kelabang dan masih banyak lagi jenisnya.
Ketika Mahisa Bungalan memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka sebelum ia menanyakan sesuatu. Mahisa Murti lah yang berkata, “Aku akan membersihkan batu itu. Dengan reramuan yang akan dapat menawarkan bisa binatang-binatang itu atau bahkan sekaligus membunuh binatang-binatang itu. Tetapi hal itu baru akan aku lakukan, jika pekerjaan itu benar-benar sudah akan dimulai. Karena dengan membunuh binatang-binatang itu, maka salah satu pengaman dan batu itu telah hilang.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian terserahlah kepadamu. Tetapi kau harus bertanggung jawab atas keselamatan pemahatnya kemudian. Jika masih ada satu dua ekor binatang berbisa yang tertinggal, maka bahaya itu masih selalu mengintainya.”
“Aku akan memohon kepada Akuwu Lemah Warah yang ternyata seorang ahli di bidang racun dan bisa,” berkata Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah yang kemudian telah berada di dekat tempat itu pula bersama Pangeran Singa Narpada hanya tersenyum saja.
“Baiklah,” berkata Mahisa Bungalan, “kedua pemahat itu telah berada di sini. Semuanya terserah kepada kalian berdua.”
“Kami akan mengaturnya kakang,” sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat mereka masih memperhatikan batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Batu yang ternyata dianggap bertuah karena seseorang yang menyentuhnya tidak akan dapat tetap hidup. Namun yang ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil memindahkannya ke padepokan Suriantal.
Hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai kesibukan sendiri. Keduanya telah membantu kedua pemahat itu untuk mempersiapkan peralatannya. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum membersihkan batu itu dari binatang-binatang berbisa.
Sementara itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta setelah Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan makan pagi, maka mereka pun sempat berbicara tentang Pakuwon Sangling.
Beberapa persoalan telah diajukan oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah berdasarkan pada pembicaraannya dengan orang-orang serta para Senapati Sangling, sementara Mahisa Bungalan telah berusaha mencocokkannya dengan pengamatannya secara langsung di daerah Pakuwon Sangling. Dalam banyak hal keterangan-keterangan mereka sejalan, sehingga tidak banyak timbul pertentangan pendapat diantara mereka.
Dalam pada itu, ternyata prajurit yang kebetulan juga pemahat itu benar-benar telah bersiap untuk melakukan pekerjaannya. Namun ia masih belum akan mulai dengan menyentuhkan pahatnya pada batu itu. Ia harus menemukan sesuatu yang akan dipahatkannya pada batu itu. Ia harus melihat ujud itu bukan di dalam angan-angannya. Baru kemudian ia dapat mulai dengan membentuk ujud itu sebagaimana diinginkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Malam nanti aku akan melakukannya,” berkata pemahat itu kepada adiknya.
“Apa?” bertanya adiknya.
“Aku harus melakukan samadi,” jawab kakaknya, “kau harus membantuku. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar ujud yang dikehendaki itu dapat memuaskannya. Sementara itu pekerjaan yang akan aku lakukan pun akan dapat selesai dengan selamat.”
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba. Tetapi sejauh dapat aku lakukan.”
Kakaknya tersenyum. Katanya, “Kau boleh duduk saja sambil menghadapi makanan dan minuman hangat. Asal kau tidak tidur.”
Demikianlah, maka semua persiapan sudah dilakukan. Semua peralatan sudah disediakan. Mereka hanya menunggu satu malam lagi untuk membulatkan semua rencana yang telah dipersiapkan itu. Pemahat itu harus menemukannya lebih dahulu keutuhan yang dikehendakinya.
Pada saat semua persiapan sudah dilakukan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menemui Akuwu Lemah Warah. Keduanya mohon pertimbangan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas binatang-binatang berbisa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membersihkannya tanpa merasa cemas karena tusukan bisa dan racun, meskipun pekerjaan itu tentu agak lama. Namun jika Akuwu bersedia memberikan reramuan obat yang dapat membunuh binatang-binatang itu dan menawarkan bisanya, maka agaknya akan lebih cepat dapat diselesaikan.
“Baiklah,” berkata Akuwu, “aku akan menyediakan ramuan itu beberapa jambangan. Kalianlah yang harus menyiramkannya pada retak-retak batu itu, sehingga cairan itu akan dapat masuk sampai ke celah-celahnya. Binatang itu akan mati dan sekaligus racun dan bisa yang ada pada binatang-binatang itu akan menjadi tawar. Tetapi ingat, kalianlah yang harus menyiramkannya. Jika ada satu dua ekor binatang yang luput dari cairan itu, dan sempat menggigit, maka kalian telah tawar oleh racun bisa itu.”
“Terima kasih Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “besok, setelah pemahat itu selesai dengan samadinya, aku akan melakukannya.”
Hari itu, menjelang senja, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan reramuan obat dari Akuwu Lemah Warah yang kemudian dicairkannya dalam tiga buah jambangan yang besar. Keduanyalah yang esok harus memandikan batu itu sehingga titik-titik cairan itu masuk ke dalam retak-retak batu itu.
Meskipun keduanya yakin, bahwa mereka tidak akan dapat membersihkan sampai binatang yang terakhir. Tetapi sebagian besar binatang itu akan mati. Sementara itu Akuwu akan dapat memberikan obat yang dapat menawarkan seseorang dari racun yang tajam meskipun hanya berlaku untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Namun sebelum mereka memasuki suasana hening itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mendengar dari kakaknya, bahwa dalam pembicaraan antara Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah, telah dicapai satu kesepakatan, bahwa Mahisa Bungalan bersedia dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu di Sangling. Tetapi masih dengan syarat, apabila Sri Baginda di Kediri tidak berkeberatan, serta mendapat ijin dari Sri Maharaja di Singasari.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan segalanya akan dapat berlangsung dengan baik.”
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun bertanya, “Pencalonan itu berlangsung begitu saja?”
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Seperti setiap gegayuhan. Aku tentu akan menempuh beberapa pendadaran. Itu aku sadari. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya. Jika aku gagal menempuh pendadaran itu, maka ternyata bahwa aku memang belum cukup masak untuk jabatan itu.”
“Apakah ujud dari pendadaran itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Bungalan, “hal itu akan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang Sangling, termasuk para pemimpin dan orang-orang tua.”
“Kanuragan? Atau pengetahuan tentang pemerintahan?” bertanya Mahisa Murti.
“Mungkin kedua-duanya,” jawab Mahisa Bungalan.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun masih bertanya, “Kapan kakang akan pergi ke Sangling?”
“Aku akan pergi ke Sangling bersama-sama dengan Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Kami akan berangkat setelah kau mulai dengan kerjamu. Setelah pahat dari pemahat itu mulai dikenakannya pada batu itu,” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Hampir berbareng keduanya berdesis, “Terima kasih.”
“Akuwu Lemah Warah lah yang menghendaki demikian. Mungkin masih diperlukan bantuannya tentang penawaran racun dan sebagainya,” jawab Mahisa Bungalan.
“Oo,” kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa Akuwu Lemah Warah memang sangat memperhatikan mereka.
Ketika kemudian hari mulai gelap, maka perwira yang juga seorang pemahat itu mulai menempatkan diri. Duduk di atas sehelai tikar pandan, diluar pagar bambu yang mengelilingi batu yang berwarna kehijauan itu. Adiknya ikut pula duduk di atas tikar itu pula, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun ikut menunggui keduanya. Jika satu dua ekor binatang berbisa meninggalkan batu itu dan merayap keluar pagar, maka adalah menjadi kewajiban Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengembalikannya.
Tetapi pemahat dan adiknya itu memang duduk tidak terlalu dekat, sehingga kemungkinan untuk disentuh oleh binatang-binatang berbisa itu kecil sekali. Beberapa orang prajurit Kediri dan penghuni padepokan itu melihat mereka dari kejauhan. Mereka hanya mengikuti dengan berbagai macam pertanyaan didalam hati. Namun sebagian dari mereka sudah mengerti, bahwa batu itu akan dibuat menjadi sebuah patung.
Pada saatnya, maka perwira yang kebetulan juga pemahat itu pun telah mulai dengan samadinya diikuti oleh adiknya. Seperti yang direncanakan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menungguinya pula, meskipun mereka tidak terikat pada samadi itu sendiri. Sementara itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun menaruh perhatian yang besar sekali atas usaha itu.
Ternyata bahwa pemahat itu telah berusaha melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak hanya mempercayakan diri kepada kemampuan dan ketrampilannya saja. Tetapi ia pun telah melambari kerja besarnya dengan pemusatan nalar budi. Kecuali untuk melihat keutuhan ujud dari patung yang akan dibuatnya, maka pemahat itu pun telah memohon kepada Yang Maha Agung, agar pekerjaannya dapat diselesaikan dengan rancak.
Meskipun para prajurit Kediri dan para penghuni padepokan itu tidak ikut serta terlibat dalam pemusatan nalar budi oleh perwira yang akan memahat batu itu, tetapi ternyata bahwa mereka berusaha untuk dapat membentuk suasana yang membantu. Para prajurit yang bertugas, telah menahan diri dengan tidak bergurau berlebihan sebagaimana sering mereka lakukan untuk mengatasi perasaan kantuk. Demikian pula para petugas yang berada di panggungan di atas dinding padepokan. Sehingga suasana di seluruh padepokan itu memang menjadi hening.
Sebuah lampu minyak yang kecil telah dinyalakan, tepat di luar pagar bambu dihadapan pemahat yang sedang samadi itu, berjarak beberapa langkah. Ternyata segalanya dapat berlangsung dengan baik. Tidak ada gangguan yang berarti malam itu. Para prajurit dan penghuni padepokan itu benar-benar memberikan bantuan yang sangat berarti dengan membentuk suasana yang hening, sehingga rasa-rasanya padepokan Suriantal itu telah dicengkam oleh suasana yang belum pernah dialami.
Suasana menjadi kian menegang ketika malam semakin dalam. Bahkan ketika tengah malam telah lewat dan berturut-turut ayam jantan berkokok untuk yang pertama, kedua dan ketiga kalinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melayani kedua orang kakak beradik yang sedang bersamadi itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat langit mulai dibayangi oleh cahaya dini hari. Bukan hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun menyaksikannya meskipun dari kejauhan.
Ketika fajar kemudian menyingsing, maka terasa betapa sejuknya titik-titik embun yang membasahi tubuh mereka yang sedang bersamadi itu. Perlahan-lahan pemahat itu mengangkat tangannya. Menengadahkannya ke langit dan kemudian mengusapkannya pada wajahnya.
Demikianlah maka samadi itu pun telah berakhir. Kedua orang kakak beradik itu telah menyelesaikan satu penerawangan yang berhasil. Pemahat itu telah melihat satu ujud yang bulat, bagaimana ia harus menuangkan bentuk sepasang ular naga di satu sarang. Ketika pemahat itu kemudian bangkit dari samadinya bersama adiknya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga menungguinya.
Demikianlah maka beberapa orang pun telah memberikan ucapan selamat kepada kedua kakak beradik itu. Sementara pemahat itu berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Kita akan membicarakannya kemudian. Pagi ini aku akan beristirahat. Siang nanti kau dapat memandikan batu itu. Sebelum matahari turun, aku benar-benar akan mulai, tentu saja setelah kau pun mendapat gambaran yang lengkap tentang patung itu.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.
Kedua kakak beradik itu pun kemudian telah dipersilahkan untuk beristirahat, setelah semalam suntuk bersamadi di dekat batu yang berwarna kehijauan itu untuk mendapatkan ujud yang dikehendaki serta memohon kepada Yang Maha Agung agar pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang telah bersiap-siap untuk memandikan batu itu. Para prajurit Kediri dan para penghuni padepokan itu memang tertarik untuk menyaksikannya. Mereka tahu, bahwa di celah-celah retak itu terdapat banyak sekali binatang berbisa dari berbagai jenis.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya agak menjadi ragu-ragu juga. Meskipun binatang-binatang itu dapat membunuh, tetapi untuk menumpas seluruhnya tanpa ampun rasa-rasanya jantungnya tergetar juga.
Tetapi Akuwu Lemah Warah pun kemudian berkata, “Jika kau tidak memulainya, maka kau tidak akan dapat menyelesaikannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka jika mereka tidak memulainya, maka mereka tidak akan pernah menyelesaikannya. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap. Reramuan yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah adalah sejenis racun untuk membunuh binatang-binatang berbisa. Tetapi juga mengandung reramuan yang dapat melarutkan racun binatang-binatang berbisa itu.
Meskipun agak ragu-ragu, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mulai melakukannya. Mereka sadar, bahwa akan rontok ratusan bahkan ribuan binatang berbisa dari celah-celah retak batu yang kehijau-hijauan itu, yang menurut pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya terdapat di bagian luarnya saja. Di bagian dalam batu itu utuh, sehingga akan dapat dibuat sebuah patung yang baik.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiram batu itu dengan reramuan racun pembunuh binatang berbisa yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di atas bancik bambu telah menyiramkan air reramuan itu dengan siwur ke atas batu yang akan dibuat menjadi patung itu.
Sebenarnyalah seperti yang diduga, maka binatang-binatang berbisa yang ada di celah-celah batu itu mulai rontok. Ketika air reramuan itu mulai menyusup ke retak-retak batu itu, maka binatang berbisa itu pun mulai berlari-larian berpencaran. Mereka saling mengamuk, menggigit dan menyengat.
Namun semua tingkahnya itu sama sekali tidak menolong mereka. Satu-satu binatang itu jatuh di tanah. Apalagi air yang disiramkan diatas batu mulai menggenang di bawah batu itu. Sehingga binatang-binatang yang berjatuhan itu pun langsung jatuh ke dalam air larutan reramuan yang tergenang itu dan mati.
Demikian banyaknya binatang yang kemudian mati, membuat bulu tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meremang. Sementara itu pekerjaannya itu pun masih belum selesai. Ia masih harus menyiramkan air reramuan itu terus-menerus, agar setiap lekuk dan retak dapat dimasuki cairan reramuan itu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan waktu cukup lama untuk melakukannya. Beberapa orang yang mengawasinya dari kejauhan merasa ngeri melihat betapa banyaknya binatang yang telah terbunuh itu.
Akuwu Lemah Warah sendiri pun kulitnya serasa meremang melihat betapa banyaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus membunuh, meskipun binatang-binatang berbisa.
Demikianlah, maka hari itu, batu yang berwarna kehijauan itu telah dibersihkan dari binatang berbisa meskipun semua orang yakin, bahwa ada beberapa diantaranya yang masih tetap hidup di dalam batu itu. Tetapi jumlah yang sedikit tidak akan terlalu mengganggu. Pemahat itu tentu akan dapat membunuhnya. Sementara itu pemahat itu dapat menelan reramuan obat yang dibuat oleh Akuwu Lemah Warah yang dapat menawarkan seseorang untuk waktu tertentu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan bangkai binatang berbisa yang telah terbunuh itu dan yang kemudian telah dibakarnya. Asap yang mengepul melemparkan bau yang tidak sedap. Namun tidak berlangsung terlalu lama. Akhirnya binatang-binatang berbisa yang telah berada di celah batu yang berwarna kehijauan itu untuk waktu yang lama sehingga batu itu disebut batu bertuah, berakhir juga.
Seperti yang dikatakan, maka sebelum senja, kedua kakak beradik pemahat itu telah memahatkan pahatnya untuk yang pertama kali. Tetapi karena hari kemudian menjadi gelap, maka pekerjaan yang sebenarnya akan dilakukan di keesokan harinya.
Malam itu seisi padepokan itu telah bersuka ria. Sedikit upacara dari kegiatan pembuatan patung yang dilakukan oleh kakak beradik prajurit Singasari itu. Orang-orang yang bertugas di dapur telah membuat makanan dan minuman khusus bagi para penghuni padepokan itu. Lebih baik dari yang biasa mereka buat sebelumnya. Bahkan mereka telah memotong lembu dan kambing. Ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah memerintahkan para petugas di dapur untuk membeli seekor lembu khusus untuk makan bersama malam itu. Sementara itu padepokan itu memang ada beberapa ekor kambing yang dipelihara.
Di hari berikutnya, maka pekerjaan yang sebenarnya telah dimulai. Kedua pemahat kakak beradik itu benar-benar telah bekerja untuk mewujudkan patung yang telah disepakati oleh para pemahat serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Batu ini keras sekali,” berkata perwira prajurit yang kebetulan juga pemahat itu, “jika aku sudah membentuk ujudnya, maka ada baiknya aku memanggil dua tiga orang kawan untuk menyelesaikannya.”
“Apa itu perlu?” bertanya Mahisa Murti.
“Jika kau sependapat. Jika tidak demikian, maka pekerjaan ini akan memakan waktu yang sangat lama,” jawab pemahat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kita akan membicarakannya kemudian jika kau benar-benar telah memerlukannya.”
“Ya,” jawab pemahat itu, “kelak aku akan mengatakannya lagi.”
Dalam pada itu maka kedua kakak beradik itu telah bekerja dengan sungguh-sungguh. Seperti dikehendaki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pecahan batu yang rontok pun telah dikumpulkan. Batu-batu pecahan itu cukup besar diasah menjadi sebuah batu akik yang cukup baik. Sehingga dengan demikian, di samping sebuah patung akan didapatkan berbagai jenis batu perhiasan dari bahan yang sama.
Demikianlah, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai dengan pekerjaan besarnya, yang dilakukan oleh dua orang prajurit Singasari yang kebetulan juga pemahat, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan pun telah bersiap untuk pergi ke Sangling. Mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan mereka bawa ke Sangling.
Kali ini Pangeran Singa Narpada akan datang ke Sangling dalam upacara kebesaran yang dipersiapkan oleh Akuwu Lemah Warah, meskipun Akuwu Lemah Warah tidak mengambil pasukan baru dari Lemah Warah. tetapi dipergunakannya pasukan yang sudah ada di padepokan Suriantal.
Di hari berikutnya, maka persiapan pun telah dilakukan. Pasukan yang akan ikut pergi ke Sangling memang tidak terlalu banyak, tetapi sudah menggambarkan satu kelengkapan kebesaran yang diperlukan.
Mahisa Bungalan pun telah bersiap lahir dan batin, ia akan menghadapi segala jenis pendadaran yang mungkin akan dialaminya di Sangling. Mungkin kewadagan, mungkin ilmu kanuragan, mungkin kemampuan olah pemerintahan.
“Seperti sebatang pohon,” berkata Mahisa Bungalan, “tunasnya akan selalu tumbuh keatas, mencapai tataran yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuannya. Asal semua itu dilakukan dengan lambaran yang baik serta penyerahan tulus kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Hati-hatilah kakang.”
“Aku akan berhati-hati,” jawab Mahisa Bungalan.
“Mungkin akan kau hadapi persoalan-persoalan yang tidak pernah kau pikirkan sebelumnya,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum sambil menepuk bahu adiknya. Jawabnya, “Mudah-mudahan semua dapat berlangsung dengan baik. Tetapi aku tidak terpancang pada keharusan untuk menggapai jabatan itu. Seandainya ternyata aku masih belum cukup pantas untuk jabatan itu, maka aku akan menarik diri dengan senang hati. Aku tidak akan kecewa, apalagi sakit hati.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga terasa jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia harus melepaskan Mahisa Bungalan itu pergi.
Demikianlah, maka hampir seisi padepokan itu telah mengantarkan Mahisa Bungalan sampai ke regol. Sepasukan yang tidak terlalu besar akan menyertainya, mengiringi sampai ke Sangling.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah berangkat meninggalkan Padepokan Suriantal. Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan diiringi pasukan berkuda dalam kelengkapan keprajuritan, menuju ke Sangling.
Sebagaimana sebelumnya, maka perjalanan yang mereka tempuh itu pun merupakan perjalanan yang panjang. Tetapi karena mereka tidak terlalu banyak, maka perjalanan mereka justru terasa menjadi lebih cepat.
Kedatangan mereka di Sangling diterima oleh para pemimpin yang ada di Sangling dengan kehormatan. Bagaimanapun juga yang datang adalah salah seorang calon Akuwu Sangling. Meskipun seandainya karena sesuatu hal pencalonan itu batal, namun kedatangannya sudah sepantasnya diterima dengan sebaik-baiknya.
Di Sangling mereka telah ditempatkan di tempat yang paling pantas. Pangeran Singa Narpada datang mewakili Kediri, sementara Akuwu Lemah Warah datang sebagai seorang Akuwu, sementara seorang lagi adalah calon Akuwu Sangling sendiri. Para tamu itu mendapat waktu beristirahat secukupnya. Baru di hari berikutnya mereka mulai membicarakan tentang pencalonan Akuwu Sangling.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku sudah memohon Senopati Besar Mahisa Bungalan dari Singasari untuk menjadi seorang calon Akuwu di Sangling sebagaimana sudah kita bicarakan. Ternyata bahwa Senopati Besar Mahisa Bungalan telah menyatakan kesediaannya untuk pencalonan itu. Nah, untuk selanjutnya terserah kepada para pemimpin di Sangling. Apakah pencalonan itu dianggap memenuhi keinginan kalian atau belum, karena sebelumnya kalian hanya mengenal Mahisa Bungalan dari namanya.”
Para pemimpin Sangling mengangguk-angguk. Tetapi tidak seorang pun yang mengatakan sesuatu. Menurut penglihatan mereka, Mahisa Bungalan adalah seorang yang mempunyai ujud dan memancarkan wibawa yang cukup. Untuk meyakinkan orang-orang Sangling maka Pangeran Singa Narpada pun telah diberi kesempatan untuk berbicara dengan para Senapati dan para pemimpin yang menghadap.
Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati besar. Ia sudah terbiasa menghadapi para prajurit Singasari yang besar. Karena itu menghadapi para Senapati di Sangling, bagi Mahisa Bungalan sama sekali tidak mengalami kecanggungan.
“Aku telah menerima tawaran Pangeran Singa Narpada,” berkata Mahisa Bungalan, “bukan karena aku merasa memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi semata-mata karena aku ingin berbuat sesuatu yang berarti bagi Tanah ini. Sebagai prajurit aku memang telah mendapat lapangan pengabdian yang cukup. Tetapi jika kesempatan yang lebih luas terbuka, maka apa salahnya aku berusaha memasukinya. Nah, aku datang untuk pasrah. Mungkin ada sesuatu yang perlu aku lakukan, agar kalian dapat meyakini, apakah aku pantas atau tidak untuk memegang jabatan yang sekarang kosong di Sangling ini.”
Para Senapati di Sangling termangu-mangu. Sementara itu Akuwu Lemah Warah berkata kepada Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling, “Senapati, Mahisa Bungalan siap memasuki pendadaran.”
Namun setelah melihat ujud Mahisa Bungalan, Senapati itu berkata, “Kami percayakan segalanya kepada Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah yang tentu telah mengenal Senapati Mahisa Bungalan dengan baik.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ujud Mahisa Bungalan memang cukup meyakinkan, sehingga karena itu, maka para Senapati di Sangling menganggap bahwa mereka tidak perlu lagi untuk mencoba kemampuan Mahisa Bungalan.
Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Senapati Mahisa Bungalan tidak hanya akan menjadi Akuwu sehari ini. Tetapi jika ia disetujui, maka ia akan memasuki satu tatanan urutan darah baru bagi pemimpin Sangling yang terputus saat ini karena sesuatu hal.”
Para Senapati dan para pemimpin di Sangling tidak ada yang menjawab. Memang ada keinginan bagi para pemimpin Sangling untuk menyaksikan kemampuan Mahisa Bungalan. Tetapi tidak seorang pun yang merasa memiliki kemampuan yang memadai sepeninggal Akuwu Sangling yang lama.
Namun dalam keheningan itu, tiba-tiba seseorang telah memasuki bangsal itu. Sehingga seorang Senapati Sangling telah bertanya kepadanya, “Kenapa kau memasuki bangsal ini.”
“Seseorang ingin menghadap, apakah diperkenankan?” bertanya orang itu.
“Tunggu,” desis Senapati itu.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian beringsut Sambil menghormat, memberikan isyarat untuk berbicara. Pangeran Singa Narpada melihat Senapati itu. Maka iapun segera tanggap. Senapati itu telah berbicara dengan seorang pengawal yang memasuki bangsal itu. Karena itu maka katanya, “Silahkan. Mungkin ada sesuatu yang penting disampaikan oleh pengawal itu.”
“Ampun Pangeran,” berkata Senapati itu, “ada seseorang yang ingin menghadap.”
“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Apakah pengawal itu diperkenankan menyampaikannya?” bertanya Senapati itu pula.
“Silahkan,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Senapati itupun memberikan isyarat kepada pengawal itu untuk bergeser maju. Kemudian Pengawal itupun berkata kepada Pangeran Singa Narpada, “Ampun Pangeran, seseorang ingin menghadap. Apakah diperkenankan?”
“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Hamba kurang tahu Pangeran,” jawab orang itu, “tetapi ada hubungannya dengan pencalonan Akuwu Sangling.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah orang itu menghadap.”
“Terima kasih Pangeran,” sahut pengawal itu.
Sejenak kemudian maka pengawal itupun telah beringsut keluar. Hanya sebentar. Iapun kemudian telah masuk lagi bersama seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Ketika orang itu kemudian sudah duduk diantara para pemimpin dari Sangling, maka Pangeran Singa Narpada pun telah bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak, dan ada persoalan apa dengan Ki Sanak, sehingga Ki Sanak memasuki pertemuan yang secara khusus sedang membicarakan pencalonan Akuwu Sangling ini?”
“Apakah aku berbicara dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada sambil mengerutkan keningnya, “aku adalah Pangeran Singa Narpada.”
“Pangeran,” berkata orang itu, “aku adalah Jayaraja. Saudara sepupu Akuwu Sangling yang terbunuh oleh Akuwu Lemah Warah. Sebenarnya Kediri tidak berhak mencari calon pengganti Akuwu Sangling, karena masih ada keluarga Akuwu Sangling dari keturunan darah laki-laki. Karena itu, maka aku mohon pencalonan itu dibatalkan. Sebaiknya Kediri menelusur kembali aliran keturunan darah itu, sehingga akhirnya menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi Akuwu di Sangling. Namun sebelumnya aku dapat memberitahukan, bahwa saudara dari Akuwu Sangling dari keturunan darah laki-laki tinggal aku seorang diri. Karena itu, maka akhirnya jabatan Akuwu Sangling itu akan jatuh ke tanganku.”
“Atas dasar paugeran apa maka kau dapat mengatakan demikian itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Atas dasar paugeran yang berlaku turun temurun. Akuwu adalah jabatan keturunan. Bukan jabatan pilihan,” jawab yang menyebut dirinya Jayaraja itu.
“Seandainya kau benar, bagaimana dengan kedudukan seorang Akuwu yang telah menentang paugeran dan melanggar tugas yang seharusnya diembannya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Akuwu itu harus diganti oleh orang yang mempunyai darah keturunan lurus dan laki-laki. Seandainya Akuwu itu mempunyai saudara laki-laki, maka tidak ada persoalan. Tetapi tanpa saudara laki-laki, maka sepupu laki-laki dari jalur keturunan darah yang sama, akan dapat menggantikannya pula,” berkata orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “untuk mengangkat kedudukan seorang Akuwu itu ada dasarnya yang tertulis diatas rontal di Kediri. Bukan hanya sekedar paugeran yang dapat diucapkan dari ingatan seperti itu. Diantaranya disebutkan, bahwa seorang Akuwu akan kehilangan haknya, termasuk keturunannya dan saudaranya dalam garis keturunan sedarah laki-laki, apabila Akuwu itu menentang kekuasaan Kediri. Nah, hal ini telah dilakukan oleh Akuwu Sangling. Ia melawan Akuwu Lemah Warah yang bertindak dan ternyata dibenarkan oleh Kediri.”
“Kesimpulan itu ditentukan atas dasar selera pribadi,” sahut orang itu, “namun seharusnya justru Akuwu Lemah Warah lah yang harus dihukum karena membunuh Akuwu Sangling. Keduanya mempunyai kedudukan sah yang sama.”
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan nada keras ia bertanya, “Itukah penilaianmu terhadap kebijaksanaan Kediri? Kau kira para pemimpin di Kediri sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah? Atau kau ingin mendengar pengakuan para saksi yang mengetahui tingkah laku Akuwu Sangling? Satu diantaranya adalah Ki Buyut di Bapang? Aku kira mustahil jika kau tidak mengetahuinya. Mungkin kau salah seorang dari pendukungnya. Ingat, bahwa aku adalah Pangeran Singa Narpada yang mempunyai wewenang untuk mengusut lebih jauh mengenai tingkah laku Akuwu Sangling. Aku masih dapat berbicara dengan saksi-saksi.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Agaknya sikap Pangeran Singa Narpada itu berpengaruh pula atas orang itu. Meskipun demikian ia masih juga berkata, “Pangeran. Tetapi pada saat persetujuan dibuat dengan orang-orang Sangling menjelang pencalonan, maka ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon Akuwu.”
“Syarat yang manakah yang kau maksudkan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Jika masih ada orang Sangling yang mampu mengatasi kemampuan ilmunya, maka ia tidak akan mungkin menjadi Akuwu di Sangling. Karena jika demikian maka Sangling tidak akan menjadi tenang. Justru keributan akan selalu terjadi karena Akuwu yang memegang pemerintahan dan pimpinan keprajuritan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasinya,” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “jadi itukah yang kau maksud? Apakah menurut pendapatmu hal itu perlu dilakukan?”
“Perlu sekali Pangeran,” jawab orang yang menyebut dirinya bernama Jayaraja itu. “Tanpa pendadaran ilmu, maka sia-sialah segala macam pilihan yang dijatuhkan atas seseorang.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan, maka sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, “Baiklah Pangeran. Aku kira persyaratan itu wajar sekali. Aku sama sekali tidak berkeberatan melakukannya.”
“Nah, kau dengar jawaban Senapati Mahisa Bungalan yang telah dicalonkan menjadi Akuwu Sangling itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Nah, sekarang, siapakah yang akan melakukannya. Apakah kau mempunyai seorang saudara, kawan atau kadang yang akan melakukannya?”
“Aku sendiri,” jawab orang yang menyebut dirinya Jayaraja.
“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “hari ini kita menyimpan sebuah nama dari seorang yang merasa dirinya terganggu oleh pencalonan ini dan siap melakukan pendadaran. Semuanya akan dilakukan dua hari lagi. Senapati Mahisa Bungalan menunggu sampai esok orang-orang yang ingin melakukan pendadaran serupa. Semuanya akan dilakukannya esok pula. Kecuali jika pada pendadaran pertama Mahisa Bungalan sudah gagal.”
“Kenapa menunggu sampai waktu yang berlarut-larut? Kenapa tidak sekarang saja? Jika kemudian datang orang lain, biarlah mereka melakukannya esok atau lusa,” bertanya orang itu.
“Kita bukan orang-orang yang kehilangan nalar,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kita menentukan paugeran dalam permainan ini. Jika kau tidak mau mengikuti paugeran, silahkan.”
“Tetapi bukankah ini hanya satu cara?” bertanya Jayaraja.
“Satu cara untuk menghindar? Bukankah begitu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi matanya tetap menyala.
“Kau tidak usah tergesa-gesa Ki Sanak. Akuwu Sangling tidak akan diangkat esok pagi. Semuanya masih harus melalui jalur yang panjang yang mungkin baru akan selesai dalam waktu satu atau bahkan dua bulan lagi. Kemudian masih harus menunggu ketetapan hari wisuda yang akan ditentukan oleh para pemimpin di Kediri seandainya pencalonan ini diterima oleh Sri Baginda dan Sri Maharaja di Singasari,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.
Orang itu tidak berkata sesuatu lagi. Sementara itu Pangeran Singa Narpada mengatakan, “besok lusa, arena akan dibuat di alun-alun. Saksi yang akan hadir tidak akan dibatasi jumlahnya. Tetapi tentu akan ada saksi yang ditunjuk. Nah, silahkan datang pagi-pagi. Kau adalah orang pertama yang akan memasuki arena.”
“Terima kasih Pangeran,” jawab orang itu, yang kemudian mohon diri, “aku akan datang dua hari lagi. Aku akan meyakinkan Pangeran bahwa tidak ada orang lain yang seharusnya memegang jabatan Akuwu Sangling kecuali orang yang masih mempunyai jalur keturunan darahnya.”
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian tidak menjawab. Dibiarkannya orang itu kemudian meninggalkan ruangan. Para Senapati Sangling menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ada juga orang ingin menjajagi kemampuan Mahisa Bungalan. Hal itu memang sangat penting artinya. Mereka akan dapat melihat seberapa jauh kemampuan calon Akuwu mereka. Meskipun ujud lahiriahnya cukup meyakinkan, namun belum tentu bahwa ilmu yang dimilikinya memang benar-benar ilmu yang berarti bagi seorang Akuwu.
Dalam pada itu, pertemuan itu pun kemudian dibubarkan. Seluruh Sangling pun kemudian menunggu dengan berdebar-debar dua hari lagi, saat-saat akan dilakukan semacam pendadaran bagi calon Akuwu. Pendadaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menyangsikan kemampuan calon Akuwu yang datang dari Singasari itu.
Namun di hari berikutnya, tidak seorang pun yang datang untuk menyatakan dirinya melakukan pendadaran atas Mahisa Bungalan. Sehingga dengan demikian maka Jayaraja adalah satu-satunya orang yang akan turun ke arena untuk melakukannya.
Sampai saat yang ditentukan, ternyata orang itu dianggap mewakili keraguan orang-orang Sangling. Para Senapati Sangling hanya akan menilai sampai batas manakah kemampuan Mahisa Bungalan yang telah dicalonkan untuk menjadi Akuwu di Sangling. Apakah itu juga memiliki kemampuan dan tingkat ilmu sebagaimana Akuwu Sangling sebelumnya. Atau dibawahnya.
Namun sikap dan pembawaan Mahisa Bungalan yang pada dasarnya adalah seorang Senapati Besar telah cukup meyakinkan para Senapati Sangling, meskipun mereka merasa beruntung karena dapat menyaksikan serba sedikit kemampuan calon Akuwu itu.
Dalam pada itu, di alun-alun Sangling telah disiapkan arena yang akan dipergunakan untuk melakukan pendadaran. Arena yang disekat dengan gawar, persegi empat dan cukup luas untuk bertempur dengan landasan ilmu yang tinggi.
Pada saat yang sudah ditentukan, maka alun-alun itu telah penuh dengan orang-orang Sangling yang ingin menyaksikan pendadaran itu. Sementara itu, di pinggir arena berdiri Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan tiga orang Senapati Sangling yang akan menjadi saksi dari pendadaran itu. Mereka akan berada di luar gawar arena pendadaran. Tetapi mereka akan dapat mencampuri pendadaran yang terjadi di dalam gawar apabila diperlukan.
Demikianlah, maka ketika saatnya telah tiba, maka orang yang menyebut dirinya bernama Jayaraja telah berdiri di sebelah arena dengan wajah tengadah. Sekali-sekali dilontarkan pandangan matanya berkeliling arena. Tubuhnya yang tinggi besar dan wajahnya yang garang, ternyata telah memanggil perhatian orang-orang di sekitar arena itu. Tidak banyak upacara yang dilakukan. Yang penting bagi semua pihak adalah pendadaran itu sendiri.
Setelah kedua belah pihak siap di arena, serta diucapkan paugeran yang harus ditaati sebagaimana berlaku bagi sebuah pendadaran yang dibedakan dengan perang tanding, maka kedua orang yang berada di arena itu pun telah bersiap.
Pangeran Singa Narpada ternyata masih memberikan keterangan lebih lanjut, “Pendadaran ini dilakukan tanpa batas waktu. Jika sehari ini masih belum dapat ditentukan siapa yang kalah dan yang menang, maka pendadaran dapat dilanjutkan di hari berikutnya.”
Orang yang bernama Jayaraja itu tersenyum. Katanya, “Tidak sampai matahari sepenggalah, semuanya akan menjadi jelas.”
“Apapun yang terjadi, paugeran itu tetap berlaku,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Jayaraja justru tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah kedua orang yang tidak bersenjata itu sudah saling berhadapan. Sikap Mahisa Bungalan tetap sikap seorang Senapati Besar. Ia tidak terlalu banyak melakukan gerakan di arena sebelum pendadaran itu mulai. Ia lebih banyak diam. Namun dengan sikap yang meyakinkan. Ketika Pangeran Singa Narpada kemudian memberikan isyarat, maka pendadaran itu pun resmi dimulai.
Mahisa Bungalan masih saja bersikap tenang. Sementara Jayaraja dengan cepat bergeser mendekat. Ternyata Jayaraja tidak menunggu terlalu lama. Dengan tiba-tiba saja ia telah mulai menyerang. Mahisa Bungalan bergerak ke samping untuk menghindari serangan yang tiba-tiba namun sama sekali tidak berbahaya itu.
Jayaraja sendiri menyadari, bahwa serangan yang demikian memang tidak banyak berarti. Tetapi orang itu berdesis, “Jika kita tidak segera mulai, maka aku tidak akan berhasil sebelum matahari sepenggalah.”
Kata-kata itu memang menyinggung perasaan Mahisa Bungalan. Tetapi ia justru tersenyum. Dengan sepenuhnya Mahisa Bungalan menguasai dirinya. Ia sadar bahwa ia sedang menjalani pendadaran. Yang penting dalam pendadaran itu bukan sekedar memenangkannya. Tetapi sikapnya pun harus menunjukkan sikap yang besar dan terhormat.
Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya menunjukkan kecepatan dan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Namun Mahisa Bungalan yang sedang menjajagi kemampuan lawannya itu nampaknya masih saja mengikuti tingkat dan tataran kemampuan lawannya, sehingga dengan demikian, pertempuran itu seakan-akan menjadi seimbang.
Namun sebenarnyalah orang yang bernama Jayaraja itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Seperti Mahisa Bungalan, maka ia pun masih berusaha untuk mengetahui sampai di mana tingkat kemampuan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan yang dicalonkan menjadi Akuwu di Sangling itu.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Namun rasa-rasanya bagi mereka, pertempuran itu terlalu lamban. Keduanya tidak segera meningkatkan ilmu mereka dan berusaha dengan cepat menyelesaikan pertempuran. Tetapi keduanya maju setapak demi setapak.
“Mereka terlalu berhati-hati,” berkata Akuwu Lemah Warah di dalam hatinya.
Namun Pangeran Singa Narpada berkata kepada dirinya sendiri, “Mahisa Bungalan tidak mau tergesa-gesa. Ia berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”
Namun betapapun lambatnya, pertempuran itu pun telah meningkat semakin cepat. Jayaraja yang berniat untuk mengalahkan calon Akuwu itu sebelum matahari sepenggalah mulai mengarahkan pertempuran itu. Mahisa Bungalan pun merasakannya. Dengan demikian ia pun harus mempersiapkan diri untuk memasuki pertempuran yang tentu akan menjadi semakin sengit. Jayaraja tentu akan segera memasuki kemampuan ilmunya yang dibanggakannya.
Para saksi yang berada di luar gawar memperhatikan perkembangan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Apalagi mereka yang mendengar, bahwa orang itu berniat mengalahkan Mahisa Bungalan sebelum matahari sepenggalah. Sementara itu matahari pun sudah naik semakin tinggi.
Karena itu, maka menurut perhitungan Pangeran Singa Narpada, maka orang yang bernama Jayaraja itu pun akan segera berusaha menyelesaikan pendadaran itu untuk memenuhi apa yang dikatakannya. Sebenarnyalah bahwa ketika orang itu melihat matahari naik semakin tinggi, orang itu seakan-akan telah dikejar oleh sesumbarnya sendiri. Karena itu, maka ia pun tidak lagi membuang banyak waktu.
Dengan cepat ditingkatkannya kemampuannya, sehingga tata geraknya pun telah berubah pula. Tangannya tiba-tiba saja menyilang di dadanya. Hanya sejenak. Namun kemudian tangan itu mengembang. Juga hanya sejenak. Tetapi yang sejenak itu bagi mahisa Bungalan merupakan satu isyarat, bahwa orang itu telah memasuki satu tataran ilmu tertentu.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun harus berhati-hati. Ia tidak tahu sampai dimana tingkat kekuatan dan kecepatan gerak lawannya. Namun karena itu maka Mahisa Bungalan pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Dalam saat yang pendek, Mahisa Bungalan telah mulai menjajagi kemampuan lawannya itu. Ketika dengan cepat lawannya meloncat menyerangnya. Tangannya terayun deras sekali langsung mengarah ke dadanya.
Mahisa Bungalan merasakan bahwa kecepatan gerak orang itu meningkat dengan tajamnya. Meskipun demikian, karena Mahisa Bungalan sudah berada dalam kesiagaan tertinggi, ia pun sempat menghindarinya. Mula-mula Mahisa Bungalan tidak begitu tertarik kepada cara lawannya menyerang. Meskipun setiap serangan masih dapat dihindarinya, namun Mahisa Bungalan menganggap serangan lawannya itu tidak memiliki kekhususan selain kecepatan dan kekuatannya.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan mengetahui, bahwa setiap serangan dilakukan dengan ayunan tangan mendatar. Tangan itu mula-mula mengembang, kemudian terayun dengan deras sekali. Mendatar setinggi dada. Atau sebaliknya. Tangan itu bersilang di dada. Kemudian tangan itu terayun ke arah terbuka. Sisi telapak tangan mengarah ke dada lawannya. Tetapi selain serangan tangannya, agaknya kaki orang itu telah melengkapi gerak tangannya yang agaknya memang terlalu miskin bagi ketrampilan olah kanuragan.
Tetapi Mahisa Bungalan yakin, bahwa kemiskinan gerak itu tentu ada imbangannya. Agaknya kekuatan ayunan tangan itu demikian besarya, sehingga angin yang menyertainya, bagaikan hembusan prahara yang menampar tubuh Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan mulai menilai gerak lawannya. Kakinya mampu bergerak cepat dan ke segala arah. Sekali-sekali kaki itu berputar, kemudian mematuk menyamping. Tetapi sekali-sekali terayun deras sekali ke depan.
Tetapi kekuatan kaki orang itu tidak sebesar kekuatan tangannya. Jika tangannya mulai terayun, maka Mahisa Bungalan akan merasakan sambaran angin yang keras meskipun tangan itu tidak menyentuhnya. Dengan demikian maka pertempuran di arena pendadaran itu menjadi semakin dahsyat. Kedua orang yang bertanding itu sudah mencapai tataran ilmu mereka yang tertinggi.
Arena yang luas itu ternyata serasa menjadi sempit. Kedua orang yang bertempur itu berloncatan dengan cepat, menyerang bagaikan burung sikatan menyambar bilalang. Namun kemudian mematuk seperti seekor ular naga yang menyerang mangsanya. Untuk beberapa saat keduanya masih berhasil menghindari setiap serangan lawannya. Namun ketika serangan-serangan itu datang semakin cepat silih berganti, maka mereka pun mulai saling bersentuhan.
Ternyata bahwa kekuatan tangan lawan Mahisa Bungalan itu besar sekali. Ketika Mahisa Bungalan melenting menghindari kaki Jayaraja yang terjulur lurus ke samping, maka tiba-tiba saja kakinya yang lain telah berputar dengan cepatnya. Hampir saja tumit Jayaraja menyambar lambung Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan masih sempat bergeser dengan tergesa-gesa menghindari sentuhan tumit lawannya.
Pada saat yang demikian itulah, Jayaraja mendapat kesempatan untuk mengayunkan tangannya. Tangannya yang memang sudah menyilang di dada itu tiba-tiba mengembang. Satu ayunan yang dahsyat sekali. Mahisa Bungalan tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia pun telah melindungi dadanya dengan kedua tangannya.
Satu benturan yang dahsyat memang telah terjadi. Ternyata bahwa kekuatan orang itu luar biasa sekali. Mahisa Bungalan telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ia telah kehilangan keseimbangannya sehingga Mahisa Bungalan justru telah menjatuhkan dirinya, berputar mundur dan kemudian melenting berdiri. Pada saat yang demikian, lawannya yang berjanji untuk mengakhiri pendadaran itu menjelang matahari sepenggalah telah memburunya.
Sekali lagi ayunan mendatar dengan arah sebaliknya. Tangan orang itu mengembang lurus dan tidak bergerak pada sikunya, tetapi pada bahunya. Namun Mahisa Bungalan tidak mau terlempar sekali lagi. Ia ternyata sempat merendahkan dirinya, sehingga tangan orang itu tidak menyambarnya. Tetapi ketika Jayaraja menyadari bahwa tangannya tidak menyentuh lawannya, maka kakinyalah yang sekali lagi berputar cepat sekali menyerang Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan memang tidak sempat mengelak. Karena itu maka Mahisa Bungalan telah membentur kekuatan kaki orang itu dengan kedua tangannya. Berbeda dengan benturan tangannya, maka kaki orang itu memang tidak terlalu kuat. Karena itu, maka ketika kakinya membentur tangan Mahisa Bungalan yang mendorongnya dengan kekuatan yang besar, maka orang itu telah terputar sekali dan justru hampir saja jatuh. Namun ia masih berhasil menyelamatkan keseimbangannya sehingga ia masih tetap berdiri tegak.
Tetapi ia sedang berada dalam pertempuran yang sengit. Sementara ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, maka Mahisa Bungalan lah yang telah menyerangnya. Dengan kaki yang terjulur lurus menyamping, Mahisa Bungalan telah menyerang dada orang itu. Jayaraja berusaha untuk mengelak. Ia bergeser selangkah surut. Tangannyalah yang kemudian terjulur, menghantam ke arah dadanya pula. Orang itu tidak sempat mengelak. Namun dalam keseimbangan yang goyah dengan tergesa-gesa ia melindungi dadanya.
Ternyata serangan Mahisa Bungalan cukup keras, sehingga keseimbangan orang itu benar-benar telah terguncang. Ketika tangannya yang bersilang di dada dikenai pukulan Mahisa Bungalan yang keras, maka orang itu telah terdorong surut. Jayaraja lah yang kemudian jatuh terlentang. Ia harus cepat berguling karena Mahisa Bungalan telah memburunya pula. Namun ia sempat melenting berdiri ketika serangan Mahisa Bungalan datang pula bagaikan badai.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin lama semakin seru. Orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar yang tersalur pada gerak tangannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan selalu menghindari serangan tangannya. Berbeda dengan kakinya. Kaki orang itu memang sangat lincah. Kakinya mampu bergerak cepat dan tidak terduga. Tetapi orang itu ternyata tidak mampu menyalurkan kekuatan ilmunya pada serangan-serangan kakinya, sehingga karena itu, maka seakan-akan kekuatan kakinya tidak lebih dari kekuatan kewadagannya saja, dengan sedikit dukungan tenaga cadangannya.
Namun ternyata ilmu yang tersalur lewat tangannya itu menjadi semakin lama semakin berbahaya. Didukung dengan kecepatan gerak kakinya, maka ayunan tangannya itu setiap kali hampir saja meremukkan tulang-tulang Mahisa Bungalan. Sentuhan yang sekali-sekali mengenainya, meskipun hanya pada kulitnya, rasa-rasanya telah mememarkan dagingnya. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang selalu berusaha menghindari sentuhan tangannya itu seakan-akan telah terdesak. Setiap kali ia berloncatan ke samping dan bergeser surut.
Jayaraja menjadi semakin bernafsu untuk segera menghancurkan lawannya. Matahari memang sudah naik sepenggalah. Sebagaimana dijanjikannya, maka jika matahari sepenggalah, maka ia akan mengalahkan Mahisa Bungalan yang sedang dalam pendadaran itu.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan pada saat-saat matahari sepenggalah masih belum dapat dijatuhkannya, maka Jayaraja tidak saja berpijak pada ilmunya yang tertinggi. Tetapi ia benar-benar telah memasuki puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu andalan yang jarang sekali dipergunakannya. Namun untuk dapat memenuhi janjinya, maka katanya di dalam hati, “Apa boleh buat. Jika calon Akuwu ini menjadi lumat, maka sama sekali bukan salahku.”
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu pun tiba-tiba justru telah mengambil jarak. Dikatupkannya telapak tangannya. Beberapa kali ia menggosokkan telapak tangan itu, sehingga dari telapak tangan yang terkatup itu seakan-akan telah keluar asap yang kelabu. Meskipun asap itu hanya tipis saja, namun ketajaman penglihatan Mahisa Bungalan telah menangkapnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Orang ini agaknya ingin bersungguh-sungguh. Kekuatan tangannya yang tidak terukur itu akan menjadi semakin besar dan semakin berbahaya. Sentuhan tangan itu akan dapat membuat tubuhku lumat jika aku tidak mengimbanginya.”
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan memiliki kemampuan ilmu Mahisa Agni. Bahkan ia telah berhasil mengembangkannya sampai pada tataran yang lebih baik. Mula-mula Mahisa Bungalan memang menjadi ragu-ragu. Jika ia mengetrapkan ilmunya itu, apakah tidak akan berakibat sangat buruk bagi lawannya.
Tetapi ketika ia melihat tangan lawannya itu berasap, maka ia pun yakin bahwa lawannya memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Jika ia tidak mempergunakan puncak ilmunya, maka Mahisa Bungalan menjadi cemas, bahwa dirinyalah yang akan terkapar di arena. Yang membuatnya menyesal bukannya kedudukan Akuwu itu akan terlepas dari tangannya, tetapi bahwa ia telah gagal karena kelengahannya.
Karena itu, ketika orang itu telah bersiap dengan kekuatan ilmu puncak yang jarang dipergunakannya itu, Mahisa Bungalan pun telah bersiap pula. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak berniat menyerang. Ia akan bertahan meskipun sudah bulat tekadnya untuk membentur ilmu lawannya. Jika ia gagal, maka sepantasnyalah bahwa ia menarik diri dari pencalonan itu atau bahkan ia tidak sempat lagi melakukannya.
Demikianlah, maka kedua orang yang berada di arena itu benar-benar sudah sampai ke puncak kemampuan mereka. Jayaraja yang telah melewati janjinya itu menjadi gelisah, sementara Mahisa Bungalan lebih banyak menunggu dan bertahan. Sejenak kemudian, maka orang yang bernama Jayaraja itu benar-benar sudah siap. Tangannya yang berasap itu mulai bergerak dengan ayunan yang berbeda pula. Tangan itu tidak lagi bergerak mendatar, tetapi tangan itu pun kemudian terangkat tinggi-tinggi.
Mahisa Bungalan memang menunggu. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun melihat bahwa Mahisa Bungalan sedang menunggu. Demikian pula para Senapati Sangling. Bukan saja yang menjadi saksi dalam pertempuran itu, tetapi para Senapati dan juga prajurit yang berada di seputar arena, diantara rakyat Sangling yang ingin melihat, apakah calon Akuwu yang disediakan bagi mereka benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah memang bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Mahisa Bungalan hanya sekedar menunggu. Kenapa ia tidak meloncat dan menyerang dengan garang. Namun sikap Mahisa Bungalan itu menumbuhkan kekaguman pada para Senapati. Mahisa Bungalan nampak sebagai seorang yang sabar dan tidak dengan hati yang panas menghadapi lawannya.
Memang sikap Mahisa Bungalan itu agak berbeda dengan sikap Akuwu Lemah Warah dan lebih-lebih adalah Pangeran Singa Narpada di peperangan. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati perang yang tegas dan keras. Menghadapi lawan seperti orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu, Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat bersabar dan menunggu.
Dalam pada itu, maka Jayaraja itulah tidak sabar lagi. Apalagi batas yang ditentukan telah lewat. Matahari telah jauh melampaui batas sepenggalah. Karena itu, ketika kekuatan ilmu puncaknya telah terungkap pada telapak tangannya, serta tangan itu telah terangkat tinggi-tinggi, maka Jayaraja tidak lagi memperhitungkan apa pun juga. Ia yang merasa memiliki kekuatan ilmu tidak terlawan, menganggap bahwa ilmunya itu tidak akan tertahankan lagi. Ilmunya itu akan menghantam Mahisa Bungalan dan akan menghancurkannya.
Mahisa Bungalan melihat sikap dan langkah lawannya. Dalam sekilas Mahisa Bungalan melihat, bahwa lawannya benar-benar telah berada pada puncak kemampuannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun tidak mau membiarkan dirinya dilumatkan oleh lawannya itu, sehingga ia pun benar-benar telah bersiap sepenuhnya. Bahkan kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Mahisa Agni pun telah dipersiapkannya. Dalam sikapnya yang bertahan, maka Mahisa Bungalan telah menyilangkan tangannya. Namun daya tahannya yang dilandasi dengan ilmunya, bagaikan tegaknya batu karang yang tidak tergoyahkan oleh benturan gelombang dan prahara.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menahan nafas mereka. Ketegangan benar-benar mencengkam ketika orang-orang yang menyaksikan itu melihat, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berusaha untuk menghindar, tetapi langsung membentur serangan lawannya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka benturan yang dahsyat itu akan terjadi. Tangan Jayaraja terayun dengan derasnya langsung mengarah ke dahi Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan pun telah mengangkat tangannya yang bersilang.
Dengan demikian, maka tangan Jayaraja yang terayun itu telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang. Dengan sengaja Jayaraja tidak menggeser arah serangannya, meskipun ia melihat tangan Mahisa Bungalan yang bersilang itu melindungi dahinya. Menurut perhitungan Jayaraja, maka serangannya itu akan dapat menghancurkan tangan yang bersilang itu dan sekaligus dahi Mahisa Bungalan.
Di dalam hatinya ia berkata, “Bukan salahku jika tulang tengkorakmu pecah. Kau sudah berani mencalonkan dirimu menjadi Akuwu Sangling dan membuka sayembara bagi pendadaranmu. Karena itu kau harus sudah memperhitungkan akibat seperti ini.”
Demikianlah maka sejenak kemudian, benturan yang dahsyat itu telah terjadi. Tangan Jayaraja yang diayunkan itu benar-benar telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang.
Namun yang tidak diduga oleh Jayaraja adalah alas ilmu yang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan adalah ilmu Gundala Sasra. Meskipun Mahisa Bungalan tidak meloncat dan mengayunkan ilmu itu, namun dalam ungkapannya yang lain, ilmu itu telah menjadi perisai yang tidak tertembus oleh kekuatan ilmu Jayaraja. Bahkan tangan Jayaraja yang membentur kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang telah dilepaskan lewat tangannya yang bersilang itu bagaikan membentur dinding baja. Kekuatan yang tersalur lewat ayunan tangannya itu bagaikan berbalik memukul bagian dalam tubuh Jayaraja sendiri.
Terdengar keluhan tertahan, Mahisa Bungalan memang berguncang dan terdorong surut. Tetapi keadaannya tidak menyulitkannya. Meskipun ia harus berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya dan berusaha mengatasi rasa sakit yang menghentak sampai ke dada. Namun Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Sementara itu lawan Mahisa Bungalan itu bagaikan terlempar dan terbanting jatuh ke tanah. Kekuatan yang memental di dalam dirinya benar-benar menghentak di dalam dadanya, serasa meruntuhkan jantungnya. Jika ia memang melenting surut, maka Jayaraja memang berusaha untuk mengurangi akibat benturan yang terjadi, meskipun agak terlambat. Namun demikian, ia masih juga tidak dapat mempertahankan keseimbangannya dan jatuh di tanah. Perasaan sakit di dalam dadanya bagaikan tidak tertahankan. Bagaimanapun juga ia berusaha mengatasi rasa sakitnya, namun dari bibir Jayaraja itu akhirnya meleleh juga darah yang merah.
Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ia melihat Jayaraja menggeliat. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia bertahan dari rasa sakit yang mencengkam. Beberapa saat Mahisa Bungalan menunggu. Ia sendiri perlahan-lahan telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya. Sementara itu Jayaraja dengan susah payah berusaha untuk bangkit. Namun ia hanya mampu berdiri pada lututnya. Tubuhnya rasa-rasanya tidak kuat lagi untuk berdiri tegak pada kedua kakinya.
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan para Senapati yang menjadi saksi dari pendadaran itu telah memasuki arena. Dengan nada rendah Pangeran Singa Narpada berkata, “Ki Sanak. Menurut pengamatan para saksi, pertempuran ini sudah dianggap selesai.”
“Tidak,” jawab Ki Jayaraja, “aku masih mampu mengalahkannya. Aku akan memilin lehernya sampai patah.”
“Apakah kau tidak mengakui kenyataan ini?” bertanya Akuwu Lemah Warah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan masih tetap berdiri tegak bahkan sempat tersenyum dan berkata, “Ki Sanak. Apakah pendadaran ini sudah selesai?”
“Persetan.” geram orang itu. Tetapi ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Mahisa Bungalan nampaknya masih tetap tegar. Sementara itu senyumnya membuat hatinya semakin panas.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Menurut penilaian kami, Ki Sanak ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Mahisa Bungalan. Jika kalian melakukan perang tanding, maka Mahisa Bungalan masih mempunyai kesempatan untuk menyelesaikannya justru pada saat kau tidak berdaya. Karena ia mempunyai hak untuk menentukan, apakah lawannya akan mati atau dibiarkan hidup. Tetapi karena kali ini kalian tidak sedang melakukan perang tanding, maka kau akan tetap hidup meskipun kau sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Berpegangan pada tiang gawar maka ia pun telah bangkit berdiri. Namun rasa-rasanya dadanya memang bagaikan retak. Sementara itu, di sudut bibirnya nampak titik-titik darah yang merah.
“Luka dalammu berdarah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kau harus segera mendapat pengobatan. Jika tidak, maka keadaanmu mungkin akan dapat menjadi semakin berbahaya.”
Orang itu memang merasakan titik-titik hangat di mulutnya. Ketika mengusap dengan punggung telapak tangannya, maka ia memang melihat darah.
“Nah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “apakah kau masih belum yakin akan kemenangan Senapati Mahisa Bungalan?”
Orang itu termangu-mangu. Karena ia tidak segera menjawab, maka Akuwu Lemah Warah yang mulai tidak sabar berkata, “Kami menentukan Ki Sanak telah kalah. Senapati Mahisa Bungalan memenangkan pertempuran dalam rangka pendadaran ini. Namun jika Ki Sanak tidak mengakui kekalahan ini dan masih akan meneruskan pertempuran, maka yang terjadi adalah tanggung jawab Ki Sanak sendiri. Nah, aku tidak mempunyai waktu untuk menjadi saksi dari kelanjutan pendadaran ini yang akan menjadi perang tanding.”
Jayaraja termangu-mangu. Namun kemudian akui Lemah Warah berkata, “Sebelum kekuatanmu pulih kembali. Sri Baginda di Kediri sudah mengambil keputusan. Jika Akuwu yang baru sudah diwisuda, maka setiap orang yang menentangnya adalah seorang pemberontak.”
Jayaraja tidak segera menjawab. Namun ia memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia berbicara dihadapan saksi-saksi yang telah mengambil keputusan. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan tunduk kepada para saksi yang memimpin pendadaran ini. Namun ingat, bahwa aku tidak pernah mengakui kekalahan ini.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bagi mereka dan para saksi yang lain pendadaran itu sudah selesai.
Para Senapati dan para prajurit menganggap bahwa pendadaran itu memang sudah selesai. Orang yang mengaku Jayaraja itu ternyata tidak mampu membatalkan pencalonan Mahisa Bungalan. Bahkan pada saat terakhir nampak bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu pada tataran yang jauh lebih tinggi dari ilmu Jayaraja, meskipun sebelumnya Mahisa Bungalan sempat membuat orang-orang yang menyaksikan pendadaran itu menjadi berdebar-debar.
“Seorang yang luar biasa,” desis seorang Senapati Sangling, “ia memang pantas untuk menduduki jabatan yang kosong di Sangling meskipun barangkali ia masih harus membentuk dirinya dan menyesuaikan dengan keadaan Sangling yang barangkali berbeda dengan Singasari.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Kelihatannya ia sama sekali tidak kehilangan tenaganya untuk mengalahkan orang yang bernama Jayaraja yang semula cukup mendebarkan jantung.”
Seorang perwira yang lain lagi berkata, “Senapati Mahisa Bungalan ternyata bukan saja seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia pun seorang pemimpin yang berwibawa.”
Dalam pada itu, maka orang yang menyebut dirinya Jayaraja itu pun telah menyelinap keluar dari arena. Dua orang menyongsongnya dan membawa pergi. Sepeninggal orang itu, maka Pangeran Singa Narpada pun menyatakan bahwa pendadaran sudah selesai, karena tidak ada orang lain yang menolak pencalonan Mahisa Bungalan dengan cara seperti yang baru saja terjadi.
Orang-orang Sangling, termasuk para prajurit dan para Senopati memang sudah merasa puas dengan sikap Mahisa Bungalan, selain ilmunya yang tinggi. Pendadaran yang meskipun hanya satu kali itu cukup membuktikan, bahwa Mahisa Bungalan pantas untuk menjadi Akuwu Sangling.
Namun dalam pada itu selagi orang-orang Sangling termasuk para prajurit dan Senapati mengagumi Mahisa Bungalan, maka seseorang telah hadir pula di pinggir arena itu. Seorang yang membuat para prajurit dan Senapati Sangling menjadi berdebar-debar. Bahkan Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Sangling pun menjadi berdebar-debar pula.
“Sang Akuwu,” berkata orang itu, “apakah Sang Akuwu mengenal aku?”
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Sementara orang itu berkata, “Aku adalah guru Akuwu Sangling yang telah terbunuh di padepokan Suriantal. Aku adalah orang yang telah mengambil saudara seperguruannya. Ingat?”
Akuwu Lemah Warah menjadi berdebar-debar. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Kaulah yang mengaku guru Akuwu Sangling. Sekarang, apakah kepentinganmu datang kemari justru pada saat ini?”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “jangan cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan memasuki arena yang membatalkan pencalonan ini. Aku melihat orang yang dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu Sangling itu memiliki ilmu Gundala Sasra. Karena itu maka ia adalah orang yang pantas sekali menjadi Akuwu di Sangling. Karena menurut pengamatanku, orang-orang yang memiliki ilmu itu adalah orang-orang yang memiliki landasan bukan saja kewadagan, tetapi juga kejiwaan yang pantas bagi seorang pemimpin. Karena itu maka aku guru Akuwu Sangling yang telah terbunuh itu ikut serta mendukung keputusan pendadaran ini, bahwa Mahisa Bungalan Senapati Besar dari Singasari ditetapkan menjadi Akuwu di Sangling. Namun segala sesuatunya tergantung kepada penguasa di Kediri dan Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan masih cukup muda, sehingga aku yakin bahwa ilmu dan kemampuannya akan dapat berkembang jauh.”
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat membantu kami, ikut serta menegakkan pemerintahan di Sangling untuk selanjutnya.”
“Aku mengerti Akuwu,” berkata orang itu, “tetapi aku berkata dengan tulus, bahwa aku akan berusaha membantu Akuwu Sangling yang baru. Syukurlah jika Mahisa Bungalan yang memiliki jalur ilmu Gundala Sasra itu akan benar-benar diangkat menjadi Akuwu Sangling. Aku akan membantunya jauh lebih besar daripada saat muridku menjadi Akuwu, karena aku tahu, bahwa sebenarnya secara jiwani muridku masih belum pantas untuk menduduki jabatan itu. Hanya karena jalur keturunan sajalah maka ia dapat mencapai jenjang kedudukan yang seharusnya tidak dijabatnya.”
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sangat berharap kebenaran kata-kata Ki Sanak.”
“Aku bukan orang yang bercabang lidah,” berkata orang itu, “karena itu, kalian akan melihat kebenaran kata-kataku.”
Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja, sementara orang itu berkata kepada Mahisa Bungalan, “Orang muda. Mudah-mudahan kau mendapatkan kesempatan itu.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu pun kemudian berkata, “Aku minta diri. Segala sesuatunya terserah kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada Pangeran Singa Narpada yang bertindak atas nama pemerintahan di Kediri.”
Dengan demikian, maka orang itu pun segera meninggalkan alun-alun Sangling yang masih dipenuhi oleh rakyat Sangling serta para prajurit dan para Senapati.
Sepeninggal orang itu. maka Akuwu Lemah Warah pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bergumam, “Aku percaya kepadanya. Ia tentu benar-benar akan membantu tegaknya pemerintahan di Sangling. Orang itu, yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama memang memiliki ilmu yang luar biasa.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian maka upacara ini dapat diakhiri.”
“Ya Pangeran,” berkata Akuwu Sangling, “pertemuan khusus ini memang sudah dapat diakhiri.”
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun telah memerintahkan para Senapati Sangling untuk membubarkan upacara itu. Agaknya pencalonan Mahisa Bungalan sudah berhasil melangkahi satu tahap. Selanjutnya persoalannya akan ditentukan di Kediri dan di Singasari. Jika Sri Baginda Kediri tidak berkeberatan, maka persoalannya akan menjadi lebih rancak. Sri Baginda di Singasari tentu tidak akan berkeberatan jika Mahisa Bungalan memohon kesempatan untuk menduduki jabatan itu. Sedangkan Sri Baginda di Kediri sebagian terbesar tergantung kepada Pangeran Singa Narpada.
Ketika para pemimpin dari Kediri, dari Lemah Warah dan Mahisa Bungalan kembali ke istana Akuwu Sangling, maka sambutannya pun menjadi semakin baik. Tahap yang sudah dilalui oleh Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah cukup menentukan. Karena itu hampir pasti bahwa Mahisa Bungalan akan menjadi Akuwu di Sangling.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin tinggal di Sangling terlalu lama. Ia masih harus kembali ke Singasari. Tetapi ia masih akan singgah di padepokan Suriantal, melihat kedua adiknya yang sedang sibuk dengan batunya yang kehijau-hijauan itu.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan ikut bergembira mendengar keputusan itu,” berkata Mahisa Bungalan.
“Ya,” jawab Akuwu Lemah Warah, “namun agaknya mereka masih saja asyik dengan batunya itu.”
Dalam pada itu ternyata rakyat Sangling telah mendapatkan calon pemimpinnya yang baru, yang menurut pengamatan mereka cukup meyakinkan. Bahkan guru Akuwu Sangling yang lama pun menyatakan bahwa Senapati Mahisa Bungalan adalah calon yang tepat. Orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu justru berjanji untuk membantu Mahisa Bungalan jika ia berada dalam kesulitan.
Dengan demikian, maka menurut dugaan orang-orang Sangling termasuk para prajurit dan Senapatinya, bahwa masa depan Sangling akan menjadi lebih baik. Menurut dugaan mereka. Senapati Mahisa Bungalan bukan seorang yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Bahkan nampak pada sorot matanya dan tingkah lakunya, bahwa ia memiliki kesabaran.
Dalam pada itu setelah bermalam di Sangling semalam lagi, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan minta diri kepada Senapati yang untuk sementara memerintah di Sangling. Mereka akan pergi ke Kediri. Namun mereka akan singgah di padepokan Suriantal.
Dengan para pengawal yang dibawa oleh Akuwu Lemah Warah dari padepokan, maka mereka telah meninggalkan Pakuwon Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang. Tetapi mereka menempuh jarak itu dengan berkuda, sehingga waktu yang diperlukannya memang tidak sepanjang jika mereka berjalan kaki, meskipun kadang-kadang kuda-kuda mereka pun harus merangkak tidak lebih cepat dari orang-orang yang berjalan kaki. Namun pada kesempatan lain kuda mereka sempat berpacu dengan cepat.
Kedatangan mereka di padepokan telah disambut dengan gembira oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebelum Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang terjadi di Sangling. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak Mahisa Bungalan dan bahkan bersama Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah untuk melihat batu hijaunya.
Untuk tidak mengecewakan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ketiganya, bahkan beberapa orang prajurit pengawalnya telah mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke tengah-tengah padepokan, tempat mereka meletakkan batu yang sedang digarap untuk menjadi sebuah patung yang besar dan baik, yang menggambarkan sepasang ular naga di satu sarang.
Sebenarnyalah Mahisa Bungalan menjadi kagum. Demikian pula Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Dalam waktu yang pendek, kerja itu sudah nampak memberikan batasan bentuk.
“Kakak beradik itu memang luar biasa,” berkata Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Murti berkata, “Mereka dibantu oleh dua orang penghuni padepokan ini. Meskipun mereka tidak setrampil kedua orang prajurit itu, namun kerja mereka cukup dapat membantu kedua orang prajurit itu. Sebelumnya tidak ada yang pernah mengatakan kemampuan kedua orang itu. Namun ketika keduanya melihat kedua pemahat itu bekerja, maka mereka menyatakan kesediaan mereka untuk membantu."
Ketika Mahisa Bungalan mendekat, maka memang dilihatnya di samping dua orang pemahat dari Singasari, dua orang lain telah membantunya meskipun hanya sekedar melakukan sebagaimana bentuk yang telah ditentukan oleh perwira Singasari yang kebetulan juga seorang pemahat.
“Mudah-mudahan dengan demikian patungmu akan lebih cepat selesai,” berkata Mahisa Bungalan.
“Ya. Kakang,” jawab Mahisa Murti, “aku segera ingin membawa ke Singasari dan mempersembahkannya kepada Sri Maharaja.”
Mahisa Bungalan tertawa. Namun kemudian katanya, “Apakah kami tidak kau persilahkan duduk? Demikian kami datang, maka kami langsung kau bawa kemari.”
“O…,” kedua anak muda itu tiba-tiba menyadari. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, silahkan duduk di pendapa.”
Baru kemudian, ketika telah dihidangkan minuman panas bagi mereka yang baru datang dari Sangling, kedua anak itu bertanya tentang pendadaran bagi Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Yang Maha Agung telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mengatasi pendadaran itu.”
“Jadi kakang ditetapkan sebagai calon itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “namun seterusnya tergantung kepada Kediri dan Singasari.”
Namun Mahisa Pukat bergumam hampir di luar sadarnya, “Semuanya akan teratasi. Kediri akan tergantung kepada Pangeran Singa Narpada, sementara Singasari dapat berbicara dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra.”
“Kau kira semudah itu?” bertanya Mahisa Bungalan, “bagaimanapun juga Pangeran Singa Narpada harus menunggu keputusan Sri Baginda di Kediri, sedangkan paman Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai wewenang menentukan apa-apa, meskipun keduanya wenang menyampaikan pendapatnya.”
“Ya. ya,” dengan serta merta Mahisa Pukat menyahut, “maksudku juga demikian.”
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Mudah-mudahan pendapatku akan mempunyai arti dihadapan Sri Baginda di Kediri.”
“Ya Pangeran,” desis Mahisa Pukat sambil menganggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan.”
Pangeran Singa Narpada tertawa pendek. Tetapi ia tiba-tiba saja bertanya, “berapa pekan patungmu akan siap.”
“Aku tidak tahu Pangeran,” jawab Mahisa Murti, “tergantung sekali kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada saat mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Jika tidak ada hambatan dan kesulitan, maka patung itu akan selesai dalam waktu satu bulan lebih sedikit.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Nampaknya para pemahat itu telah bekerja tanpa mengenal waktu. Bahkan kadang-kadang mereka bekerja sampai malam dengan mempergunakan lampu-lampu obor.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memperingatkan mereka, agar tidak perlu bekerja terlalu keras. Mereka tidak dikejar oleh waktu, karena yang mereka kerjakan itu tergantung sekali kepada mereka sendiri.
“Aku ingin mencapai bentuknya lebih dahulu,” berkata perwira prajurit Singasari yang memimpin pembuatan patung itu, “baru kemudian aku akan dapat bekerja lebih lamban.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mencegahnya. Para pemahat yang lain pun nampaknya bekerja pula dengan mantap tanpa mengenal lelah. Agaknya mereka memang ingin mencapai satu bentuk dasar dari pembuatan patung itu lebih dahulu.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran itu menyahut, “Kadang-kadang kita memang tidak dapat mengekang kemauan mereka menumpahkan gejolak yang ada didalam diri mereka. Namun pada saatnya mereka akan mengatur diri mereka sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya ia pun memperlakukan para pemahat itu sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah menyatakan pula maksudnya untuk membawa sebagian prajurit Lemah Warah yang masih ada di padepokan itu kembali. Meskipun demikian, di padepokan itu akan ditinggalkan sekelompok prajurit yang akan dapat membantu isi padepokan itu termasuk pengamanan batu yang sedang dipahat untuk dijadikan patung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menyerahkan segalanya kepada Akuwu Lemah Warah. Namun agaknya di padepokan itu memang terdapat cukup banyak prajurit Lemah Warah. Terutama untuk menghadapi sikap Sangling, pada waktu itu.
“Sementara itu, Ki Buyut Bapang akan aku bawa. Demikian pula beberapa orang tawanan yang lain yang masih tersisa disini,” berkata Akuwu Lemah Warah.
“Terima kasih Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian maka pekerjaan kami disini akan menjadi jauh berkurang.”
“Tetapi kalian masih mempunyai tanggungan,” berkata Akuwu Lemah Warah, “kita tidak tahu, apakah orang-orang yang mengingini batu itu masih belum membatalkan niatnya.”
“Kami akan tetap berhati-hati,” berkata Mahisa Murti.
Malam itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan sempat memberikan beberapa pesan. Di hari berikutnya mereka memang masih akan berada di padepokan itu sehari. Namun mereka akan sibuk dengan persiapan-persiapan. Sebagian dari prajurit Lemah Warah akan mengikuti Akuwu kembali ke Lemah Warah, sedangkan sekelompok di antara mereka akan tetap ditinggalkan di padepokan itu, untuk membantu jika padepokan kecil itu mendapat kesulitan.
Meskipun orang-orang yang ada dipadepokan itu, yang bukan saja orang Suriantal tetapi agaknya sudah bercampur baur. namun dengan susah payah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatukan mereka menjadi satu keluarga besar, yang bersama-sama bertanggung jawab atas padepokan itu.
Demikianlah, maka seperti yang sudah diperhitungkan sebelumnya, maka di hari berikutnya. Akuwu Lemah Warah telah sibuk mempersiapkan pasukannya. Senapati prajurit Lemah Warah harus membagi pasukannya, dengan meninggalkan sekelompok prajurit di padepokan itu.
Pada hari yang ditentukan, di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan itu diiringi oleh sebagian dari prajurit Lemah Warah yang masih ada di padepokan itu. Menurut rencana prajurit Lemah Warah itu sedikit demi sedikit akan dikurangi.
Pasukan yang akan mengganti pasukan yang telah ada di padepokan akan selalu disusut, sehingga akhirnya padepokan Suriantal itu akan mampu menjaga dirinya sendiri. Apalagi jika batu yang berwarna kehijauan itu sudah tidak lagi berada di padepokan itu, maka padepokan itu agaknya tidak akan diganggu lagi oleh orang lain.
Ketika matahari kemudian mulai memanjat naik, sebuah iring-iringan telah meninggalkan padepokan itu. Dari pintu gerbang yang terbuka, pasukan Lemah Warah beriringan keluar diantar oleh para penghuni sampai diluar pintu gerbang.
Sepeninggal mereka, maka di hati para penghuni padepokan itu justru telah tumbuh rasa tanggung jawab yang lebih besar. Padepokan itu pada satu saat akan ditinggalkan oleh seluruh prajurit Lemah Warah, sehingga semua tanggung jawab berada di pundak mereka masing-masing.
Karena itu maka para penghuni padepokan Suriantal itu harus segera berbenah diri. Mereka harus benar-benar menjadi dewasa dan tidak mempercayakan perlindungan diri kepada orang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berpikir demikian pula. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya, di samping kesibukan dengan patung batu hijaunya, maka ia pun mulai membicarakan kemungkinan untuk menempa isi padepokan itu. Agar jika terjadi sesuatu, mereka akan dapat berbuat lebih baik dari yang pernah mereka lakukan.
“Kalian sudah cukup baik,” berkata Mahisa Murti, “tetapi yang baik itu akan dapat menjadi semakin baik.”
Ternyata para penghuni padepokan itu menyambut sikap itu dengan gairah yang tinggi. Ternyata sebagian besar dari mereka mempunyai landasan berpikir seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah berusaha membantu dengan sekuat-kuat tenaga mereka.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk meningkatkan kemampuan para penghuni padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menghilangkan jarak antara mereka yang satu dengan yang lain, sehingga para penghuni itu semakin merasa satu. Meskipun mereka masih mempergunakan ragam senjata yang berbeda, namun mereka tidak lagi merasa bahwa mereka memang berasal dari banyak perguruan.
Untuk memberikan tuntunan yang semakin mantap, maka Mahisa Murti telah membagi penghuni padepokan itu menjadi kelompok-kelompok yang dengan sengaja telah dicampur baurkan. Setiap kelompok mendapat penilikan secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dibagi menurut urutan, maka mereka setiap hari mendapat kesempatan untuk secara langsung ditangani oleh kedua anak itu, bergantian.
Meskipun tidak dengan serta merta, namun usaha itu menunjukkan hasilnya juga. Perlahan-lahan namun para penghuni itu merasa bahwa kemampuan mereka memang semakin meningkat. Ketrampilan mereka mempergunakan senjata menjadi semakin tinggi pula.
Namun untuk masa depan yang lebih panjang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan orang-orang yang dapat membantunya, menempa para penghuni padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memilih dua puluh lima orang yang mendapat tuntunan secara khusus. Setiap hari mereka ditempa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menjelang matahari terbit kedua puluh lima orang itu harus sudah siap. Mereka harus sudah berada di sanggar terbuka, di bagian belakang padepokan mereka.
Keduapuluh lima orang itu mendapat latihan-latihan yang berat di setiap pagi sejak terang tanah sampai matahari sepenggalah. Sedangkan di sore hari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengadakan latihan-latihan bagi kelompok-kelompok yang ada di padepokan itu.
Perwira prajurit Singasari yang kebetulan juga pemahat itu heran melihat ketrampilan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangani isi padepokan yang semula berasal dari beberapa perguruan. Meskipun keduanya masih muda, namun ternyata bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk mengatur padepokan itu dengan baik, selain keduanya memang berilmu tinggi.
Sementara itu, isi padepokan itu sendiri telah berusaha keras untuk mengikuti petunjuk dan usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena mereka pun merasa ikut bertanggung jawab atas padepokan itu.
“Jika musuh darimana pun asalnya datang, maka kita semuanya bertanggung jawab. Jika mereka berhasil memasuki padepokan ini, sasarannya adalah kita semua. Mereka tidak akan memilih satu dua orang di antara kita. Tetapi semua, karena kita memang menjadi satu keluarga.”
Dengan demikian maka keluarga yang ada di dalam padepokan itu semakin lama menjadi semakin luluh, sehingga mereka tidak lagi merasa berasal dari beberapa perguruan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berniat merubah nama padepokan itu. Agar tidak berkesan bahwa padepokan itu terdiri dari banyak padepokan, maka namanya Suriantal harus tidak dipergunakan lagi. Karena nama itu akan selalu mengingatkan bagian dari seluruh isi padepokan itu.
“Tetapi kita sebaiknya mengadakan pembicaraan dengan Akuwu,” berkata Mahisa Murti kepada penghuni padepokan itu yang setelah sependapat pula untuk mengganti nama padepokan itu dengan nama yang lebih sesuai dengan keadaannya kemudian.
Karena itu, maka mereka tidak tergesa-gesa menetapkan nama baru bagi padepokannya, meskipun ada juga di antara orang-orang padepokan itu yang mulai mereka-reka nama baru.
Sementara para penghuni padepokan itu sibuk dengan usaha mereka menempa diri, empat orang telah sibuk dengan kerja mereka sendiri. Seorang perwira prajurit Singasari yang kebetulan adalah seorang pemahat tengah membentuk ujud dasar dari patungnya dibantu oleh tiga orang lainnya.
Keempat orang itu nampaknya tidak menghiraukan apa yang terjadi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak mempedulikan latihan-latihan yang berat, penempaan diri di setiap hari dan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan yang lain. Mereka telah tenggelam dalam kerja mereka yang memang memerlukan pemusatan nalar budi.
Nampak pada saat-saat senggang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat juga menunggui kerja mereka. Jika satu dua masih juga terdapat binatang berbisa, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang harus membunuh beberapa ekor binatang berbisa yang terdapat di celah-celah batu yang besar itu. Perlahan-lahan namun pasti bentuk yang dikehendaki oleh pematung itu pun mulai nampak.
“Dalam beberapa hari ini, kau akan melihatnya,” berkata pemahat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kami tidak tergesa-gesa. Karena itu kau tidak perlu bekerja terlalu keras.”
Tetapi pemahat itu tersenyum. Katanya, “jangan risaukan kami. Sudah menjadi kebiasaan kami bekerja seperti ini. Selagi hati kami terbuka. Namun jika suatu saat kami ingin berhenti dan tidur, maka kami akan tidur berhari-hari, tanpa menyentuh batu ini sama sekali.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat mengatur apalagi memaksa cara kerja para pemahat itu.
Sementara itu, perjalanan Akuwu Lemah Warah, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah sampai ke Pakuwon Lemah Warah. Mereka masih akan meneruskan perjalanan ke Kediri, untuk menyampaikan pencalonan Mahisa Bungalan kepada Sri Baginda di Kediri.
Namun mereka telah beristirahat di Pakuwon Lemah Warah. Dua malam mereka telah meneruskan perjalanan menuju ke Kediri. Kehadiran mereka di Kediri, telah diterima dengan baik oleh Sri Baginda. Demikian seorang Pelayan Dalam menyampaikan kehadiran Pangeran Singa Narpada, maka Sri Baginda telah memberi kesempatan untuk menghadap. Pangeran Singa Narpada telah menghadap bersama Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan.
“Bagaimana dengan usahamu?” bertanya Sri Baginda.
“Ampun Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “atas restu Sri Baginda, maka usaha hamba sudah berhasil. Hamba telah membawa seorang calon bagi Akuwu Sangling. Bahkan telah kami hubungi pula rakyat Sangling.”
“Kau sudah melangkah begitu jauh?” bertanya Sri Baginda.
Pangeran Singa Narpada pun telah menceriterakan apa yang sudah dilakukan. Sampai batas pendadaran yang dilakukan di Sangling serta kehadiran orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling yang terbunuh itu.
Sri Baginda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya semuanya telah disiapkan dengan baik. Tidak mungkin lagi untuk merubahnya. Satu lagi kekuasaan dari Singasari terhunjam di Kediri. Akuwu Sangling yang akan diangkat adalah seorang Senapati dari Singasari.
Memang menurut penalaran, tidak ada bedanya, apakah ia berasal dari Kediri atau Singasari. Yang penting Sangling akan tumbuh dengan baik serta semakin berkembang. Namun bagaimanapun juga, ketika ditetapkan bahwa Akuwu Sangling adalah seorang Senapati dari Singasari, rasa-rasanya Sri Baginda telah kehilangan lagi sebuah daerah yang menjadi alas kebesaran kerajaan Kediri.
Pangeran Singa Narpada yang menganggap Kediri bagian dari keluarga besar Singasari, tidak memperhitungkannya. Pangeran Singa Narpada adalah seorang yang menganggap luluhnya Kediri dalam Singasari adalah wajar. Meskipun Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa banyak sentuhan-sentuhan perasaan yang harus dihadapinya. Namun baginya, Sri Baginda di Kediri selama ini telah membenarkan sikapnya. Bahkan merestui usahanya untuk menyingkirkan saudara-saudaranya yang menentang kebijaksanaan itu, bahkan telah memberontak melawan Kediri.
Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak dapat menghapuskan perasaan itu sampai ke hati nurani saudara-saudaranya meskipun kelihatannya Kediri memang menjadi tenang. Bahkan Pangeran Singa Narpada tidak berhasil menerawang memasuki lubuk hati Sri Baginda di Kediri. Yang dibaca oleh Pangeran Singa Narpada adalah sikap Sri Baginda tentang usahanya menumpas setiap pemberontakan, yang kadang-kadang harus dilakukannya dengan keras. Beberapa orang Pangeran harus disingkirkan.
Meskipun sekali-sekali terasa sikap janggal Sri Baginda atas saudara-saudaranya yang dianggapnya telah memberontak, namun Pangeran Singa Narpada tidak melihat cukup jauh tentang isi hati Sri Baginda.
Sementara itu, Sri Baginda memang tidak dapat banyak berbuat. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati yang terlalu kuat baginya. Mau tidak mau, ia harus mengikuti jalan pikiran Pangeran Singa Narpada.
Demikian pula dalam hubungannya dengan pencalonan Akuwu Sangling. Ketika Pangeran Singa Narpada memberikan beberapa keterangan yang bernada keputusan, maka Sri Baginda pun tidak dapat menolaknya.
Namun demikian Sri Baginda masih juga bertanya, “Apakah Mahisa Bungalan telah mendapat ijin dari Sri Maharaja di Singasari?”
“Belum Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi hamba sendiri akan menghadap Sri Maharaja di Singasari, memohon agar Mahisa Bungalan diperkenankan memegang jabatan Akuwu di Sangling. Apalagi Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra dan murid Mahisa Agni dan Witantra. Kedua orang tua itu adalah orang yang berpengaruh di Singasari. Bukan saja karena umurnya yang sudah terlalu banyak, tetapi karena keduanya memang orang-orang pilihan. Bukankah keduanya pernah berada di Kediri sebagai wakil Sri Maharaja Singasari?”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat menolak pendapat Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka Sri Baginda pun telah memberikan restu dengan syarat, apabila Sri Maharaja di Singasari mengijinkan.
Demikianlah Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan telah bermalam di istana Pangeran Singa Narpada selama mereka berada di Kediri. Pada saatnya, setelah bermalam dua malam, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka tidak saja diiringi oleh sekelompok prajurit Lemah Warah, tetapi Pangeran Singa Narpada telah membawa beberapa orang prajurit Kediri, sementara sebagian prajurit Lemah Warah telah ditinggalkan di Kediri.
Mereka telah diperintahkan untuk menunggu Akuwu kembali ke Kediri. Dengan ciri-ciri kebesaran dan pertanda keprajuritan Kediri maka kelompok itu pun telah berangkat menuju ke Singasari untuk menyelesaikan pencalonan Akuwu di Sangling.
Kedatangan sekelompok prajurit Kediri dan Lemah Warah dengan tanda-tanda kebesaran memang telah mengejutkan Singasari. Tetapi karena yang datang itu hanya sekelompok kecil, maka para petugas di Singasari tidak mempunyai prasangka buruk terhadap pasukan yang datang itu. Apalagi di dalam kelompok kecil itu terdapat seorang Senapati dari Singasari, Mahisa Bungalan.
Ketika kelompok itu sampai di pintu gerbang istana, maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengurus segala-galanya, sehingga Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah serta para pengiringnya mendapat tempat untuk beristirahat. Mereka telah ditempatkan di sebuah bangsal yang memang disediakan bagi tamu-tamu terhormat yang datang mengunjungi Singasari.
Ketika Sri Maharaja di Singasari mendengar permohonan Pangeran Singa Narpada dari Kediri serta Akuwu Lemah Warah untuk menghadap, maka Sri Maharaja pun telah menentukan waktu untuk menerima mereka.
Sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah menunggu, maka Mahisa Bungalan telah sempat menemui Mahisa Agni dan Witantra.
“Baru besok Pangeran Singa Narpada diterima oleh Sri Maharaja,” berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Agni pun bertanya tentang pencalonan Mahisa Bungalan, “Apakah semuanya berjalan lancar?”
Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang sudah terjadi atas dirinya. Memang ada seorang yang agaknya menolak pencalonannya. Namun orang yang menyebut guru Akuwu Sangling telah datang pula justru untuk memberikan dukungan kepadanya. Menurut Akuwu Lemah Warah, orang yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi.”
“Siapakah namanya?” bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak seorang pun yang pernah mendengarnya. Orang-orang Sangling pun agaknya masih belum mengenalnya dengan baik.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra-pun bertanya, “Apakah tidak seorang pun yang mengenal ciri perguruannya?”
“Tidak paman. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak menyebut ciri-cirinya. Nampaknya mereka juga tidak mengenal ciri perguruan Akuwu Sangling yang lama itu,” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa pencalonan Mahisa Bungalan telah mendapat dukungan yang cukup kuat. Baik oleh Kediri, maupun oleh orang-orang Sangling sendiri. Bahkan guru Akuwu Sangling yang lama yang mampu menilik sifat muridnya telah menyatakan dukungannya pula. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata,
“Mahisa Bungalan. Agaknya kau memang mendapat kesempatan yang cukup baik. Karena itu, maka kau harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Jika Sri Maharaja di Singasari tidak berkeberatan, maka kau akan dapat mulai dengan satu babak baru dalam kehidupanmu.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan mencobanya paman. Mudah-mudahan aku berhasil. Kesempatan ini merupakan satu kurnia bagiku, yang sudah tentu tidak akan aku sia-siakan.”
“Bagus Mahisa Bungalan,” berkata Witantra, “namun bukan sekedar kau jalani. Tetapi kau harus mampu membawa diri. Sudah barang tentu, pendadaran yang sebenarnya akan terjadi justru setelah kau menjadi Akuwu di Sangling. Karena pendadaran yang akan terjadi kemudian akan jauh lebih berat dari pendadaran yang sudah kau jalani di alun-alun Sangling itu.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengerti paman. Yang paman maksud bukan saja di bidang pemerintahan, tetapi juga dalam olah kanuragan. Aku harus mematangkan ilmuku dan mengembangkannya, sehingga aku akan benar-benar menjadi seorang pemimpin dan sekaligus pelindung bagi Sangling,”
“Ya,” jawab Witantra, “jika itu sudah kau sadari, maka kau telah menempuh jalan yang benar.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mohon doa paman berdua.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kami akan selalu berdoa buat kau dan keluargamu.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Meskipun kedua orang itu rasa-rasanya sudah menjadi semakin tua, namun keduanya adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya di samping ayahnya sendiri.
Dalam pada itu, ketika saat-saat yang ditunggu telah datang, maka Sri Maharaja di Singasari telah berkenan menerima Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan untuk menghadap.
Ternyata bahwa Sri Maharaja di Singasari telah mengadakan paseban khusus untuk menerima tamu dari Kediri. Karena itu, maka tidak semua pemimpin dan Senapati prajurit Singasari hadir di paseban.
Ketika Sri Maharaja Singasari sudah memperkenankan Pangeran Singa Narpada untuk menyampaikan kepentingannya, maka Pangeran Singa Narpada pun segera mengatakan rencana Kediri untuk mengangkat Mahisa Bungalan menjadi Akuwu di Sangling jika Sri Maharaja tidak berkeberatan. Baik karena Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati Besar di Singasari, maupun tentang pencalonannya itu.
Sri Maharaja di Singasari memang belum pernah mendengar rencana itu sebelumnya, karena itu maka dimintanya Pangeran Singa Narpada menjelaskan segalanya. Pangeran Singa Narpada pun telah menceritakan apa yang sudah terjadi di Sangling. Kemudian bagaimana ia merintis seorang calon yang akan mampu mengisi kekosongan itu.
Akhirnya pilihannya telah jatuh kepada seorang Senapati dari Singasari yang bernama Mahisa Bungalan. Segala sesuatunya telah dilakukan. Langkah demi langkah telah dilewatinya, sehingga akhirnya langkah terakhir adalah mohon ijin dan restu kepada Sri Maharaja di Singasari.
Sri Maharaja di Singasari mengangguk-angguk. Ia tidak melihat keberatan apapun juga jika ia mengijinkan Mahisa Bungalan untuk meninggalkan tugas keprajuritannya dan kemudian berada di Sangling sebagai Akuwu. Namun demikian ternyata Sri Maharaja masih juga berbicara dengan para pemimpin Singasari yang ada di paseban.
“Ternyata tidak seorang pun yang mempunyai keberatan,” berkata Sri Maharaja kemudian. Lalu, “Karena itu, maka aku pun tidak berkeberatan pula. Aku ijinkan Mahisa Bungalan meninggalkan tugasnya dan kemudian menerima jabatan Akuwu di Sangling.”
Dengan demikian, maka tidak ada hambatan lagi yang berarti bagi Mahisa Bungalan. Segala jalan sudah dilewatinya tanpa kesulitan karena pencalonan Mahisa Bungalan memang didukung oleh unsur-unsur yang memadai.
Ketika Sri Maharaja kemudian berkenan menutup pertemuan khusus itu maka Pangeran Singa Narpada telah menyampaikan terima kasihnya yang tidak terhingga kepada Sri Maharaja atas ijinnya dan restunya kepada Mahisa Bungalan.
Demikianlah, maka di hari berikutnya. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah telah menemui beberapa pihak yang berhubungan dengan rencana Mahisa Bungalan meninggalkan kota Raja Singasari. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah telah menemui Mahisa Agni dan Witantra. Mereka telah menyampaikan rencana pengangkatan Mahisa Bungalan menjadi Akuwu Sangling.
“Semua pihak telah memberikan persetujuan. Rakyat Sangling, Sri Baginda di Kediri dan Sri Maharaja di Singasari,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Agni, “semoga semuanya dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Kami yang tua-tua tentu ikut bergembira atas kesempatan bagi Mahisa Bungalan tersebut.”
“Aku mohon doa dan restu paman,” berkata Mahisa Bungalan, “semoga Yang Maha Agung selalu melimpahkan perlindungan dan tuntunannya kepadaku. Aku merasa jika aku benar-benar diwisuda menjadi Akuwu di Sangling, maka aku akan menyandang beban yang sangat berat. Satu tugas yang akan menyangkut satu lingkungan yang cukup luas.”
“Tetapi kau harus berani melangkah ke jenjang yang lebih tinggi,” berkata Witantra, “kesempatan itu tidak boleh kau sia-siakan. Tetapi bukan untuk diterima dengan semena-mena.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra sempat memberikan banyak petunjuk kepada Mahisa Bungalan, yang dapat dipergunakannya sebagai bekal. Bahkan akhirnya Mahisa Bungalan merasa dirinya cukup kuat untuk menerima jabatan itu.
“Mahisa Bungalan,” berkata Mahisa Agni, “untuk hari-hari pertama, maka aku dan pamanmu Witantra tentu tidak berkeberatan untuk berada di Sangling. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu meskipun mungkin hanya sekedar petunjuk-petunjuk. Orang-orang tua seperti kami memang tidak mempunyai apapun yang dapat aku berikan kepadamu selain petunjuk-petunjuk.”
“Apakah yang lebih berharga dari nasehat dan petunjuk serta ilmu yang pernah paman berikan?” berkata Mahisa Bungalan, “Harta benda akan dengan mudah dapat hilang. Mungkin dicuri orang, mungkin dalam peristiwa yang lain. Tetapi ilmu yang telah dimiliki seseorang, akan sulit hilang daripadanya.”
Demikianlah maka kesediaan Mahisa Agni dan Witantra untuk berada di Sangling pada hari-hari pertama telah membuat Mahisa Bungalan semakin mantap.
“Beritahukan kepada kami, kapan kau akan berada di Sangling. Setelah kau benar-benar diwisuda, maka aku akan berada di Sangling bersama pamanmu Witantra. Aku tidak tahu, apakah kelak ayahmu juga akan berada di Sangling untuk sementara,” berkata Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya, “Mungkin ayah tidak akan berada di Sangling. Justru karena akulah yang akan menjadi Akuwu Sangling.”
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum, sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Keduanya mengerti arti kata-kata Mahisa Bungalan. Kesempatan berikutnya, selagi Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah berada di Singasari, telah menemui Mahendra pula.
Mahendra dengan rendah hati berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenan Pangeran dan Akuwu Lemah Warah memilih anakku untuk dicalonkan menjadi Akuwu.”
“Satu pilihan yang tepat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “ternyata semua pihak menyetujuinya. Terakhir, Sri Maharaja di Singasari telah memberikan restunya.”
“Syukurlah,” berkata Mahendra, “tetapi anakku masih memerlukan tuntunan. Pengalamannya masih terlalu sempit. Apalagi jabatan yang harus dipegangnya adalah jabatan yang besar dan berat.”
“Ki Mahendra terlalu merendahkan diri,” sahut Akuwu Lemah Warah. “Ki Mahendra dapat berbangga bahwa anak Ki Mahendra telah menjadi orang yang berilmu tinggi. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu pun memiliki ilmu yang mengagumkan pula.”
“Akuwu bercanda,” berkata Mahendra, “bukankah sebagian dari padanya adalah atas kemurahan Akuwu.”
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun berkata, “Yang aku lakukan adalah sekedar membantunya untuk melepaskan lontaran ilmu yang memang sudah ada padanya. Ilmu yang tinggi dan memiliki kekuatan yang luar biasa.”
Mahendra tertawa kecil. Katanya, “Satu peningkatan yang luar biasa.”
Akuwu Lemah Warah tertawa pula. Tetapi katanya, “Jika keduanya tidak mempunyai bekal yang cukup, maka penggandaan berapa pun akan tidak berarti apa-apa.”
“Agaknya memang demikian,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kedua anak-anak Ki Mahendra yang muda itu memang mempunyai bekal yang cukup.”
“Kepada Pangeran pun aku harus mengucapkan terima kasih yang sangat besar. Pangeran sudah memberikan terlalu banyak kepada anak-anakku itu, sehingga anakku itu dapat disebut namanya diantara orang-orang berilmu,” berkata Mahendra.
Sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang yang sudah sangat banyak memberikan tuntunan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah mohon restu kepada ayahnya. Ternyata jalan yang akan ditempuhnya masih sangat panjang. Jika ia nanti diwisuda menjadi Akuwu Sangling, maka itu-berarti kesulitan-kesulitan yang sesungguhnya baru akan mulai.
Setelah beberapa hari Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah serta para pengawal mereka berada di Singasari, maka mereka pun telah menghadap Sri Maharaja sekali lagi untuk mohon diri.
Menjelang matahari terbit di keesokan harinya, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan yang sudah mendapat ijin dan restu dari Sri Maharaja itu, meninggalkan Singasari. Seperti pada saat mereka datang, maka pada saat mereka meninggalkan Singasari, maka mereka pun telah ditandai dengan pertanda kelengkapan prajurit Kediri dan Lemah Warah.
Karena itu, meskipun pengawal Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak terlalu banyak, namun pertanda kebesarannya telah memberikan kesan kemampuan yang tinggi pada pasukan kecil itu. Seperti yang direncanakan semula, maka pasukan itu langsung menuju ke Kediri. Mereka langsung menyampaikan hasil perjalanan mereka ke Singasari kepada Sri Baginda dan memohon agar wisuda bagi Mahisa Bungalan segera dilaksanakan.
Ternyata Sri Baginda di Kediri pun tidak mau menunda-nunda pekerjaan yang memang harus dilakukan. Betapapun keragu-raguan masih tetap membayangi perasaannya, namun Sri Baginda telah menetapkan bahwa wisuda akan segera dilakukan.
“Jika semua persiapan sudah selesai, maka aku akan melantik Akuwu Sangling itu,” berkata Sri Baginda, “pelantikan itu akan aku lakukan di sini, di istana Kediri.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah terkejut. Hal seperti itu tidak pernah dilakukan oleh Sri Baginda sebelumnya. Sri Baginda selalu melantik para Akuwu di tempat para Akuwu itu akan menjalankan tugasnya, memimpin sebuah Pakuwon. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun bertanya, “Kenapa Sri Baginda tidak melakukannya di Sangling?”
“Kesehatanku tidak mengijinkan Singa Narpada,” jawab Sri Baginda, “kecuali jika kalian bersedia menunggu sampai aku menjadi benar-benar sehat. Padahal untuk kali ini agaknya kalian sangat tergesa-gesa.”
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu.
“Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kami tidak tergesa-gesa. Saat ini pun di Sangling telah ada orang yang untuk sementara melakukan tugas seorang Akuwu.”
Tetapi Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mau digelisahkan oleh tugas-tugas yang tertunda. Karena itu aku akan melantiknya disini. Bagiku, tempat tidak menjadi rintangan dan juga tidak akan mengurangi kewibawaan.”
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Sri Baginda. Mereka hanya akan mempersiapkan keputusan Baginda untuk mewisuda Mahisa Bungalan sebagai Akuwu Sangling di Kediri.
Pada saat yang ditentukan, serta setelah segala persiapan selesai, maka saat wisuda pun ditetapkan. Segala macam upacara dilakukan sebagaimana jika wisuda itu dilakukan di Sangling sendiri.
Ternyata yang bertanya-tanya didalam diri bukan hanya para pemimpin di istana Kediri. Para Senapati Sangling pun merasa heran bahwa kali ini upacara wisuda itu dilakukan tidak di tempat Akuwu itu akan menjalankan tugasnya. Namun penjelasan yang diberikan kepada mereka adalah sebagaimana dikatakan oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, justru pada saat wisuda, para Senapati dan para pemimpin Sangling lah yang datang ke Kediri. Mereka untuk pertama kalinya menghadiri Wisuda yang dilakukan di istana Kediri.
Ternyata pada saat wisuda dilakukan, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah datang pula ke Kediri. Namun mereka bukan sekedar mengunjungi wisuda itu. Tetapi mereka telah membawa pertanyaan dari Sri Maharaja di Singasari. Karena itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra yang pernah bertugas di Kediri sebagai penghubung dan mengalirkan kuasa Singasari, segera menyampaikan pertanyaan itu kepada Sri Baginda.
“Sri Baginda,” berkata Mahisa Agni, “apakah maksud Sri Baginda melakukan wisuda di istana Kediri? Bukankah hal ini bukan kebiasaan Sri Baginda.”
Pertanyaan itu memang telah mengguncang jantung Sri Baginda di Kediri. Sri Baginda tidak mengira, bahwa perhatian Sri Maharaja di Singasari akan sampai pada persoalan yang dianggap tidak menentukan itu. Namun justru itu, maka Sri Baginda merasa bahwa Singasari telah semakin banyak mencampuri persoalan Kediri.
“Aku sudah menduga,” berkata Sri Baginda di dalam hatinya, “calon Akuwu Sangling itu adalah orang Singasari. Ini tentu merupakan satu lagi kuku kekuasaan Singasari yang menghunjam menusuk bumi Kediri.”
Tetapi Sri Baginda tidak dapat ingkar, bahwa memang Singasari telah pernah menaklukkan Kediri. Justru ketika Ken Arok masih memegang jabatan Akuwu di Tumapel. Akuwu Tumapel lah yang telah menaklukkan Kediri dan kemudian mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari dan bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.
Namun Sri Baginda masih saja berpegang pada keterangan yang sudah dikatakan kepada orang-orang yang sebelumnya sudah bertanya kepadanya. Katanya, “Aku minta disampaikan kepada Sri Maharaja di Singasari. Aku sama sekali tidak berniat melakukan perubahan-perubahan atau perbedaan langkah dalam upacara semacam ini. Tetapi karena aku memang sedang sakit, sementara aku tidak mau menunda wisuda ini. Sangling harus segera mendapat seorang yang pantas untuk memerintah. Karena itu, maka aku telah mengambil satu, kebijaksanaan. Aku akan mewisuda Akuwu Sangling itu disini. Justru di istanaku. Istana Kediri.”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Meskipun bagi keduanya, alasan itu agaknya kurang wajar, namun keduanya tidak akan mempersoalkannya lagi. Yang penting wisuda itu berlangsung dengan tertib dan baik. Tidak ada hambatan-hambatan yang berarti. Apalagi yang dapat mengurungkan pengangkatan itu sendiri.
Demikianlah, ketika semua persiapan sudah dilakukan, maka upacara itu pun telah dilangsungkan pada hari yang sudah dipilih. Namun tidak banyak orang Sangling yang dapat menyaksikan, kecuali hanya beberapa orang Senapati dan beberapa orang pemimpin Sangling saja.
Namun begitu, ternyata bahwa wisuda itu berlangsung dengan lancar dan bahkan khidmat. Orang-orang yang menghadiri upacara itu merasa tercengkam. Sikap Mahisa Bungalan ternyata memang meyakinkan. Ia tidak bersikap berlebih-lebihan, meskipun tetap menunjukkan sosok seorang pemimpin yang mumpuni.
Para Senapati Sangling merasa bahwa Sangling akan mendapat seorang pemimpin yang mungkin akan lebih baik dari Akuwu yang lama. Akuwu yang baru kemudian dapat mereka nilai.
“Mudah-mudahan apa yang nampak ini bukan sekedar bayangan semu karena kerinduan kami untuk mendapatkan seorang pemimpin yang baik,” berkata para Senapati itu di dalam hati...