Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 49

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 49 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 49
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat memang tidak dapat menolak permintaan kakak mereka itu. Meskipun hal itu dapat dilakukan sendiri oleh Mahisa Bungalan, tetapi yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu dalam sepekan secara khusus dan tidak terputus, akan sama hasilnya dengan apa yang dilakukan oleh Akuwu dalam waktu lebih dari dua bulan, karena Akuwu tidak akan mungkin dapat menyisihkan waktunya terlalu banyak.

Jika dalam sehari Akuwu hanya dapat menyisihkan waktunya setelah senja turun sampai saatnya sirep uwong, maka waktu yang sempit itu tidak akan banyak memberikan arti. Sementara itu Akuwu sendiri tentu sudah merasa letih oleh tugas-tugasnya, sehingga ia tidak akan dapat memusatkan perhatiannya kepada pembajaan diri bagi para Senapati itu.

Demikianlah, maka tanpa tenggang waktu, dua puluh orang Senapati telah berada di dalam barak khusus. Mereka harus bersiap lahir dan batin untuk ditempa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu.

Mula-mula memang timbul perasaan janggal dari para Senapati itu. Namun mereka tidak dapat melupakan apa yang pernah dilakukan oleh kedua orang anak muda itu di padepokan Suriantal. Beberapa orang di antara para Senapati itu adalah mereka yang terlibat dalam penyerbuan padepokan itu yang dipimpin langsung oleh Akuwu Sangling yang lama. Merekalah saksi yang bukan saja berada di arena yang sama, tetapi yang menyaksikan betapa tinggi ilmu kedua orang anak muda itu.

Tapi ternyata ada dua orang Senapati yang belum pernah mengenal sendiri kemampuan kedua anak muda itu, sementara mereka tidak terlalu percaya kepada ceritera kawan-kawannya, ia pun justru menyalahkan kawan-kawannya yang tidak melihat sendiri, tetapi justru yakin akan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Bagaimana aku dapat percaya kepada anak-anak itu” berkata salah seorang Senapati itu.

“Aku melihat sendiri,” berkata seorang Senapati, “betapa tinggi ilmunya. Aku pun pernah ditawan di padepokan itu dan atas kemurahan para pemimpin padepokan itu, aku dan para tawanan yang lain telah dibebaskan.”

“Kau ingin menjilat, justru karena kedua anak muda itu adalah adik Akuwu yang sekarang” berkata kedua Senapati itu.

“Apakah kau tidak percaya kepada Akuwu?” bertanya kawannya yang pernah menyaksikan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Bukan begitu. Aku adalah prajurit yang setia. Aku yakin akan kepemimpinan Akuwu yang sekarang. Tetapi kedua anak muda itu adalah adik-adik Akuwu. Mereka bukan Akuwu itu sendiri” jawab prajurit itu.

“Tetapi yang menempatkan mereka di sini adalah Akuwu. Kebijaksanaannya dilakukan atas nama Akuwu itu sendiri” jawab Senapati yang pernah menyaksikan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Baiklah. Terus terang aku ragu-ragu. Betapapun tingginya kebijaksanaan seseorang, tetapi terhadap saudaranya sendiri kadang-kadang ada sedikit kekaburan. Mungkin kedua anak muda itu memang berilmu tinggi. Tetapi aku belum pernah menyaksikannya” jawab Senapati itu.

“Jadi kau meragukannya?” bertanya kawannya yang pernah menyaksikan kemampuan kedua adik Akuwu itu.

“Ya” jawabnya.

“Baiklah. Aku akan mengusahakan agar mereka membuktikan kemampuannya dengan memijit keningmu. Hanya memijit. Sebab jika ia memukul, apalagi dengan lambaran ilmunya, kau tentu akan mati dengan satu ayunan.”

Senapati yang meragukan kemampuan kedua adik Akuwu itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan katanya, “Kita akan melihat, apa yang akan dilakukan selama sepekan.”

Demikianlah maka dua puluh orang itu telah memasuki latihan-latihan khusus yang berat. Sepuluh orang di bawah bimbingan Mahisa Murti dan sepuluh orang di bawah bimbingan Mahisa Pukat.

Namun kedua orang itu menyadari, bahwa membimbing latihan-latihan bagi orang lain adalah tugas yang berat. Mungkin seseorang memang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi belum tentu orang itu mampu menularkan kemampuannya kepada orang lain.

Meskipun demikian, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah berusaha sebaik-baiknya untuk memberikan petunjuk-petunjuk tentang ilmu kanuragan kepada para Senapati Sangling itu. Di samping petunjuk-petunjuk yang diperlukan, maka mereka pun telah mengadakan latihan-latihan yang berat.

Mereka setiap pagi telah dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat keluar dari kota Sangling. Menjelang terang tanah mereka telah berlari-lari menuruni tebing-tebing sungai dan naik keatas tanggul dan menyusuri lereng-lereng pegunungan.

Para Senapati itu tidak dapat mengelak. Mereka memang mengeluh oleh latihan-latihan yang berat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri selalu ikut pula bersama mereka, sehingga para Senapati itu merasa segan untuk berhenti di tengah jalan betapapun mereka merasa letih.

Jika kemudian matahari terbit dan mereka telah berada di barak khusus yang disediakan bagi para Senapati itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa sepuluh orang masing-masing untuk memanaskan badan sebelum mereka memasuki latihan-latihan yang sebenarnya. Mereka kemudian memang mendapat istirahat sejenak. Namun kemudian akan segera mulai dengan latihan-latihan kanuragan yang berat.

“Yang aku minta kalian lakukan sekarang adalah kemungkinan-kemungkinan. Kalian harus mengembangkannya sendiri kelak, sehingga mudah-mudahan akan berarti” berkata anak-anak muda itu kepada para Senapati.

Para Senapati itu telah mengikuti latihan-latihan dengan sungguh-sungguh. Pada hari pertama mereka masih belum tahu pasti, hubungan latihan-latihan yang mereka jalani dengan memeras keringat itu dengan kemampuan ilmu mereka. Namun pada hari kedua mereka mulai mengerti, bahwa yang mereka lakukan itu sangat berarti bagi tubuh mereka.

Di hari berikutnya mereka memang merasakan bahwa mereka sedang mematangkan landasan ilmu yang justru telah mereka miliki. Dengan landasan yang matang, maka mereka pun akan dapat mematangkan ilmu mereka masing-masing.

“Itulah yang penting bagi kalian,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada para Senapati, “aku memang tidak akan memberikan unsur-unsur gerak yang rumit bagi kalian untuk memahami ilmu yang aku miliki. Tetapi dengan mematangkan landasannya, maka kalian akan lebih memahami ilmu yang telah kalian miliki masing-masing untuk kelak dapat kalian kembangkan.”

Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka memang merasakan keuntungan itu, meskipun tubuh mereka di hari ketiga itu sudah bagaikan remuk. Tetapi tekad dan kemauan merekalah yang membuat mereka masih tetap bertahan.

Pada hari berikutnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan beberapa peragaan ilmu kepada para Senapati. Kedua orang anak muda itu telah bertempur disaksikan oleh para Senapati. Mereka seakan-akan benar-benar terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Mereka benar-benar telah mengenai tubuh lawan masing-masing.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mempergunakan tenaga wadag sewajarnya didukung oleh sedikit peningkatan tenaga cadangan, namun dengan demikian maka sentuhan-sentuhannya tidak terlalu berbahaya. Sedangkan rasa sakit yang ditimbulkannya masih mampu diatasinya.

Pada hari yang keempat itu pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan petunjuk-petunjuk untuk membuka kemungkinan para Senapati itu mempergunakan tenaga cadangannya. Untuk pertama kali mereka memang harus mengadakan latihan-latihan pernafasan. Namun kemudian menguasai urat-urat nadi dan otot-otot yang menjalar di seluruh tubuh adalah permulaan dari usaha untuk membuka tenaga cadangan di dalam diri.

Latihan-latihan di hari keempat memang merupakan latihan yang sangat berat. Di saat malam turun dan melewati wayah sirep uwong, mereka masih tetap melakukan latihan-latihan sehingga menjelang tengah malam. Namun pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menghentikan latihan itu, maka para Senapati itu rasa-rasanya tidak lagi dapat beranjak dari tempatnya.

“Kalian mendapat kesempatan untuk mandi,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kemudian, “Setelah makan, kalian harus berkumpul kembali. Waktu kita tinggal sehari besok. Karena itu kita akan mempergunakannya sebaik-baiknya.”

Para Senapati itu saling berpandangan. Namun tidak seorang pun yang berani mengelak. Apalagi mereka telah menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan itu sangat berarti bagi diri mereka selaku seorang Senapati. Karena itu seperti yang diperintahkan oleh anak-anak muda itu. Setelah mereka makan, maka mereka pun telah berkumpul kembali betapapun punggung mereka serasa patah.

Dalam kesempatan itu, Senapati yang meragukan kemampuan kedua anak muda itu digamit oleh kawannya sambil bertanya, “Apakah kau masih ingin mencoba kemampuannya?”

Senapati yang meragukan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berkata, “Aku mengagumi caranya menempa diri. Tetapi keduanya belum menunjukkan sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdenyut, sebagaimana pernah diperlihatkan oleh kakaknya, Mahisa Bungalan.”

“Apakah itu perlu?” bertanya kawannya.

Senapati yang ragu-ragu itu merenung sejenak. Namun ia-pun kemudian menggeleng. Katanya, “Tidak. Bagaimanapun juga yang dilakukan ini sangat berarti bagi kita semuanya.”

“Tetapi agaknya kau ingin sejenis pangeram-eram” bertanya Senapati yang meragukan itu tidak menjawab.

Tetapi Senapati itu menjawab, “Tidak.”

Kawannya tersenyum. Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat belum menunjukkan bahwa ilmu mereka benar-benar berada di luar jangkauan nalar. Namun kawannya itu memang sudah melihat betapa tingginya ilmu kedua anak muda itu.

Ternyata bahwa lewat tengah malam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada kembali diantara para Senapati itu. Para Senapati dan Mahisa Murti serta Mahisa Pukat sendiri, malam itu sama sekali tidak akan tidur barang sekejap pun. Mereka akan bertahan dengan latihan-latihan yang berat.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah menyatukan rencana latihan-latihan mereka berkata kepada para Senapati di kelompok masing-masing. “Kita tidak akan tidur malam ini, besok dan malam besok.”

Wajah-wajah menjadi tegang. Namun para Senapati yang telah merasakan manfaat dari latihan-latihan yang telah mereka lakukan itu berkata di didalam hati, “Jika kedua anak muda itu dapat tahan, aku pun harus dapat.”

Karena itu, maka para Senapati itu tidak mengeluh. Mereka justru telah mempersiapkan lahir batin mereka untuk menghadapi saat-saat latihan terakhir yang berat. Namun dengan latihan-latihan yang telah mereka lakukan, maka hati mereka memang seolah-olah terbuka. Mereka mulai melihat makna tata gerak yang pernah mereka pelajari.

Jika sebelumnya mereka seakan-akan hanya sekedar menirukan dari orang-orang yang memberikan latihan kepada mereka, maka kemudian mereka dapat mengerti kenapa hal itu dilakukan. Sehingga dengan demikian meskipun mereka belum sempat berpikir dengan sungguh-sungguh, namun mereka pun seakan-akan melihat satu kemungkinan bahwa yang mereka lakukan itu dapat mereka kembangkan untuk tujuan dan alasan yang berbeda-beda.

Dalam pada itu, di sisa malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa kelompok masing-masing untuk menempuh perjalanan di malam hari. Tidak dengan mengerahkan kekuatan. Mereka berjalan saja seperti mereka sedang melihat-lihat lingkungan Pakuwon Sangling yang baru itu, meskipun dalam gelapnya malam.

Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang ingin menghabiskan sisa malam itu. Mereka berjalan memutar-mutar, melalui bulak-bulak panjang, melintasi pategalan dan lereng-lereng pegunungan. Menyeberangi sungai-sungai dan menuruni lembah.

Betapapun letihnya para Senapati itu, namun mereka terpaksa berjalan terus. Meskipun ada diantara mereka yang berjalan dengan mata terpejam oleh kantuk yang hampir tidak tertahankan. Namun jika mereka harus melintasi pematang yang sempit atau menuruni lereng batu padas yang terjal, maka mata mereka pun harus terbuka.

Ketika matahari kemudian terbit, betapapun besarnya daya tahan para prajurit itu, namun rasa-rasanya kaki mereka tidak dapat melangkah lagi. Meskipun demikian mereka harus berjalan sampai ke barak. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian memerintahkan agar para Senapati itu tidak masuk ke dalam barak. Mereka harus tetap berada di halaman.

“Ingat,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada kelompok-kelompok Senapati yang menjadi tanggung jawab masing-masing, “kita tidak akan tidur semalam, hari ini dan nanti malam.”

Para Senapati tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah tersebar di halaman dan serambi barak mereka. Ketika juru masak menghidangkan air panas, maka rasa-rasanya para Senapati itu mendapatkan titik-titik kekuatan untuk mengisi kekosongan tenaga di dalam diri mereka.

Namun oleh kelelahan yang sangat, maka meskipun para Senapati itu tidak masuk ke dalam bilik mereka masing-masing, namun ada juga diantara mereka yang tertidur sambil bersandar dinding. Ketika minuman panas di tangannya tumpah sedikit di kakinya, maka ia pun telah terkejut.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mempersilahkan para Senapati itu untuk mandi dan berbenah diri. Setelah makan pagi dan beristirahat sejenak, mereka akan melakukan latihan-latihan berikutnya.

“Apakah anak-anak itu tidak mempunyai jantung” desis seorang Senapati yang sangat kelelahan.

“Mungkin mereka mengalami latihan-latihan seberat ini ketika mereka menempa diri” berkata Senapati yang lain sambil matanya separuh terpejam.

Mereka memang menjadi agak segar ketika mereka kemudian makan pagi. Namun sejenak kemudian kantuk pun semakin menjadi-jadi. Pada saat mereka beristirahat setelah makan pagi, hampir semua orang telah tertidur sambil duduk di serambi atau bersandar tiang barak, karena mereka tetap tidak boleh masuk ke dalamnya. Meskipun mereka diperbolehkan mandi, tetapi pakaian mereka sama sekali tidak boleh berganti.

Ketika matahari mulai memanjat langit, maka latihan-latihan pun akan segera dimulai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan membawa para Senapati itu ke tempat yang sepi di luar lingkungan padukuhan-padukuhan di Sangling.

“Kita akan memasuki hutan” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Untuk apa?” tiba-tiba di luar sadar seorang Senapati yang masih mengantuk bertanya.

Semua orang berpaling kepadanya. Sementara Senapati itu sendiri terkejut mendengar pertanyaannya. Namun Mahisa Murti menjawab, “Kita akan memanfaatkan hari terakhir ini sebaik-baiknya.” jawaban itu membuat para Senapati semakin berdebar-debar.

Namun mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Mereka pun segera berangkat meninggalkan barak itu menuju ke daerah yang berhutan lebat. Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar. Hutan yang mereka tuju adalah hutan yang jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.

Mereka tidak tahu apa yang terdapat didalam hutan itu. Mungkin binatang buas, mungkin jenis-jenis binatang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Yang paling mengerikan adalah bukan harimau atau serigala yang dapat mereka lawan dengan pedang atau menghindar memanjat pepohonan. Tetapi yang paling mereka cemaskan adalah ular-ular yang beracun tajam.

Namun ketika mereka berada di tepi hutan yang besar dan lebat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhenti. Demikian pula para Senapati yang datang bersamanya. Di tepi hutan itu di atas semak-semak dan ilalang yang tumbuh hampir setinggi tubuh mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunjuk ke arah hutan yang lebat itu.

Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Tatap hutan itu. Hutan itu adalah satu ujud yang besar dan mengerikan. Apalagi hutan ini agaknya memang belum pernah ditempuh oleh manusia. Dihadapan hutan yang besar ini, kita akan merasa terlalu kecil untuk menaklukkannya. Tetapi kita harus meyakini diri kita sendiri. Kita adalah manusia yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta sebagai makhluk yang berderajad paling tinggi. Kita diberi wewenang untuk menguasai dan memanfaatkan alam. termasuk hutan ini. Kita harus dapat menaklukkannya, meskipun kita tidak boleh bertindak sewenang-wenang, karena hutan ini merupakan salah satu jari-jari perputaran roda kehidupan. Jari-jari ini tidak boleh terputus, sebagaimana kehidupan binatang dari segala jenis."

Memang terasa kengerian menyentuh jantung para Senapati itu. Pepohonan raksasa, sulur-sulur yang bergayutan, batang-batang pohon yang roboh silang melintang, dahan-dahan yang merunduk rendah serta akar-akar yang bergelantung dari dahan-dahan yang berduri.

“Kita akan memasuki hutan itu,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “kita harus dapat menunjukkan, bahwa kita adalah orang-orang yang mampu mengatasi segala kesulitan dihadapan kita. Di lambung kita ada pedang. Seandainya kita bertemu dengan binatang buas, maka kita akan dapat membunuhnya. Dua atau tiga ekor harimau tidak akan menggetarkan bulu tengkuk kita. Jika kita menghadapi lawan yang tidak akan dapat kita atasi, misalnya sekelompok banteng yang jumlahnya lebih dari jumlah kita, maka kita akan dapat memanjat pepohonan yang tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas.”

Para Senapati itu saling berpandangan. Bahkan seorang Senapati berkata, “Apa hubungannya dengan peningkatan ilmu kita?”

“Apakah keduanya memberikan tuntutan tata gerak dan unsur-unsur baru selama ini? Tetapi kita merasakan manfaatnya” desis yang lain.

“Ya,” jawab yang pertama, “Aku memang merasakannya. Tetapi rasa-rasanya memang segan memasuki hutan yang demikian lebatnya.”

Percakapan mereka pun terputus ketika Mahisa Murti berkata, “Marilah, kita menguji ketabahan hati kita. Hutan ini bukan hutan yang asing bagi kalian, karena hutan ini sudah ada disini sejak kalian belum dilahirkan. Hanya karena kesombongan kalian, maka kalian tidak mau memperkenalkan diri kepada hutan ini. Nah, sekarang kita akan memasukinya dan berusaha untuk menjadi akrab dengan hutan ini.”

Memang ada kecemasan diantara para Senapati itu jika mereka dipatuk ular berbisa. Tetapi mereka tidak mengatakannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian maka para Senapati itu pun mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki hutan yang lebat itu. Dengan menyibakkan batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu mereka melangkah dengan ragu-ragu. Namun karena mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak bimbang, maka mereka pun telah mengikuti mereka pula.

Pada langkah-langkah pertama mereka memang sudah merasakan kesulitan. Mereka harus meloncati batang-batang raksasa yang roboh. Kemudian merunduk karena sulur-sulur yang pepat. Seorang Senapati terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ia melihat kepala seekor ular terjulur hampir di wajahnya. Dengan pekik tertahan Senapati itu bergeser mundur.

Namun ular itu agaknya menjadi terkejut dan marah. Hampir saja ular itu mematuk wajahnya. Namun dengan tangkas Senapati itu ternyata sempat mencabut pedangnya. Satu sabetan pedang telah memutuskan leher ular yang sebesar pergelangan tangannya dan bergayut pada sulur-sulur pepohonan.

Semua orang berpaling ke arahnya. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata keduanya tersenyum, ia melihat bahwa para Senapati itu agaknya menjadi semakin cepat mengambil sikap menghadapi bahaya yang tiba-tiba. Namun keringat dingin telah membasahi tubuh Senapati itu. Tetapi ia pun bersyukur, bahwa ternyata ular itu tidak mematuk hidungnya.

Demikianlah maka mereka pun telah berjalan terus diantara lebatnya pepohonan hutan. Gerumbul-gerumbul liar yang berduri tajam, serta binatang-binatang berbisa yang membuat mereka berdebar-debar.

Perjuangan yang paling berat diantara mereka adalah keadaan alam itu sendiri. Bukan jenis-jenis binatang yang terdapat di hutan itu. Sekali-sekali mereka memang melihat sekelompok binatang yang berlari-larian di gerumbul-gerumbul yang pepat yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Tiga orang Senapati yang berjalan di paling belakang, tiba-tiba terkejut mendengar aum seekor harimau. Mereka pun telah tertegun yang memandang di sekeliling mereka. Tetapi mereka tidak segera dapat melihat harimau itu. Namun tiba-tiba mereka mendengar gemerasak di atas kepala mereka. Ketika mereka sempat mengangkat wajah mereka, maka dilihatnya seekor harimau kumbang yang hitam legam meloncat menerkam salah seorang dari ketiga Senapati itu.

Tetapi Senapati itu cepat meloncat pula menghindar. Dengan tangkasnya ia menyusup di bawah dahan yang besar, yang tumbang melintang, sehingga harimau itu tidak berhasil menerkam kepalanya. Namun justru harimau itulah yang malang. Demikian harimau itu menjejakkan kakinya di atas tanah, maka hampir berbareng dua ujung pedang telah menusuk lambungnya.

Harimau itu meronta dan meloncat tinggi. Sebuah diantara kedua pedang itu tidak tercabut. Sehingga pedang itu ikut melenting pada tubuh harimau yang marah itu. Namun ketika harimau itu jatuh ke tanah. Senapati yang sempat berlindung itu telah menggenggam pedang pula. Satu tikaman yang tepat menusuk pada harimau itu. Terdengar aum yang dahsyat sekali. Harimau itu hanya sempat menggeliat. Namun harimau itu pun kemudian mati.

Ketiga orang Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Yang kehilangan pedangnya telah memungut pedangnya kembali. Ternyata ia menusuk terlalu dalam pada lambung harimau itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan beberapa Senapati yang lain tidak sempat berbuat sesuatu. Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga mereka hanya dapat menyaksikan, bagaimana ketiga orang Senapati itu membunuh harimau kumbang yang hampir saja menerkam kepala itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Meskipun demikian ada juga kecemasan di hati mereka. Agaknya di hutan itu memang banyak sekali bahaya yang harus diperhitungkan.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian sepakat untuk berada di depan dan di belakang iring-iringan dari duapuluh orang Senapati itu. Mereka merasa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu atas para Senapati yang sedang menempa diri itu.

Sebenarnyalah, di sepanjang perjalanan mereka bermacam-macam kejadian telah menggetarkan jantung mereka. Bahkan kadang-kadang membuat darah mereka bagaikan berhenti. Namun ternyata para Senapati itu mampu mengatasi segala kesulitan.

Dalam keadaan yang demikian, maka perasaan letih dan kantuk bagaikan telah dilupakan. Para Senapati itu dengan penuh kewaspadaan menelusuri pepatnya hutan yang tidak pernah diambah kaki manusia. Bahkan sekali-sekali terasa kaki mereka terperosok ke dalam lumpur.

“Kita agaknya sudah dekat dengan rawa-rawa” berkata salah seorang Senapati.

Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Dalam pada itu di paling depan Mahisa Murti tiba-tiba memberikan isyarat bagi iring-iringan itu untuk berhenti. Ternyata mereka sampai kepada sebuah sungai yang tidak begitu besar, meskipun tebingnya agak terlalu dalam. “Jangan terperosok masuk kedalamnya” berkata Mahisa Murti.

Tetapi mereka memang ingin melihat apa yang terdapat di sungai itu. Ketika para Senapati itu termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjengukkan kepalanya, maka mereka melihat agak baur diantara tetumbuhan di tebing sungai itu. Tubuh-tubuh yang bergerak didalam air yang tergenang. Agaknya air sungai itu mengalir lamban sekali.

“Buaya” desis Mahisa Murti.

Bulu-bulu tengkuk para Senapati itu meremang. Di bawah mereka memang melihat beberapa ekor buaya yang mondar-mandir didalam sungai yang membentuk sebuah kedung. Bahkan di tepian yang berbatu-batu pun mereka melihat beberapa ekor buaya yang nampaknya sedang berjemur, meskipun panas matahari sebagian terhalang oleh dedaunan.

“Kita tidak usah menguji ketrampilan kita bermain pedang dengan terjun ke dalam kedung itu” berkata Mahisa Murti sambil tersenyum.

Para Senapati itu tidak menjawab. Memang ada juga diantara mereka yang tersenyum. Tetapi senyumnya membayangkan kekhawatiran di dalam hati. Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mendapatkan sebatang pohon yang roboh menyilang sungai yang bertebing agak dalam itu. maka Mahisa Murti pun telah melintas.

Beberapa orang Senapati memang merasa ragu. Tetapi karena Mahisa Murti sudah lebih dahulu melintas, maka mereka-pun mengikutinya pula. Jantung mereka memang berdebaran ketika mereka tahu, bahwa di bawah batang kayu yang melintang itu juga terdapat beberapa ekor buaya. Namun akhirnya, kelompok para Senapati itu telah melintasi sungai yang bertebing agak tinggi dan dihuni oleh buaya-buaya liar yang mendebarkan.

Demikianlah, para Senapati yang dipimpin oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki hutan yang lebat itu semakin dalam. Ternyata bahwa perjalanan itu mempunyai arti yang sangat penting bagi para Senapati. Mereka telah mendapat tempaan lahir dan batin. Sementara itu mereka pun telah melatih diri untuk menahan lapar dan haus, karena ternyata mereka tidak membawa bekal.

Lewat tengah hari, menjelang matahari turun, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk berhenti sejenak. Mereka beristirahat di bawah pohon-pohon raksasa diantara lebatnya pohon-pohon perdu. Nyamuk hutan yang garang telah membuat kulit mereka menjadi gatal. Bahkan beberapa jenis binatang kecil terasa sangat mengganggu.

Namun tiba-tiba saja seorang Senapati menjadi pucat. Dengan gemetar ia melangkah tergesa-gesa mendekati Mahisa Murti sambil mengacungkan tangannya. Mahisa Murti memang terkejut. Demikian pula Mahisa Pukat. Ternyata Senapati itu telah digigit oleh seekor laba-laba biru, laba-laba yang beracun dan dapat membunuh.

“Jangan kau kibaskan” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi, bagaimana?” suaranya menjadi gemetar.

Mahisa Pukat lah yang kemudian memungut dua potong dahan kering. Dengan dahan kering itu Ia telah menjepit dan membunuh laba-laba biru itu.

Tetapi Senapati itu dengan jantung yang berdeguban bertanya, “Bagaimana dengan racunnya.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “jangan cemas.”

Senapati itu tidak mengerti. Tetapi kemudian ia pun telah menyadari, bahwa baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat mempunyai kemampuan untuk menawarkan racun yang betapapun kuatnya. Karena itu, maka racun laba-laba biru itu tidak akan membunuh Senapati yang digigitnya. Dengan demikian maka para Senapati itu pun menjadi semakin tenang. Mereka tidak lagi merasa ngeri terhadap binatang-binatang berbisa.

Bahkan seorang Senapati mengatakan, bahwa kedua anak muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bisa sejumlah binatang beracun yang berada di dalam batu yang telah dibawa ke padepokan Suriantal.

Dalam pada itu, maka setelah matahari turun semakin rendah, mereka pun telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke Sangling. Namun para Senapati menjadi cemas, bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tepi hutan sebelum senja.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dengan sengaja memperhitungkan waktu, bahwa mereka akan kemalaman di hutan. Tetapi tidak berjarak terlalu jauh dari tepi hutan itu. Ternyata perjalanan kembali itu pun tidak kalah beratnya dengan saat-saat mereka berangkat. Apalagi perasaan haus bagaikan mencekik leher.

Namun agaknya sulit untuk mendapatkan air yang bersih di dalam hutan itu. Meskipun mereka melintasi sebuah sungai, tetapi air sungai itu mengandung lumpur dan apalagi banyak dihuni oleh buaya-buaya yang buas.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mula-mula tidak memperhatikan hal itu. Namun akhirnya, mereka pun mengerti, bahwa para Senapati itu hampir tidak tahan lagi melawan haus. Mungkin mereka akan dapat mengatasi perasaan lapar. Tetapi agak berbeda halnya dengan perasaan haus.

Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menunjukkan satu cara untuk mendapatkan air yang bersih. Para Senapati itu diminta untuk memotong batang rotan yang terdapat di hutan itu melilit pepohonan. Ternyata dari batang rotan itu menitik air yang dapat diminum.

“Jika kita dapat menemukan ujungnya, maka dengan memotong ujungnya air itu akan mengalir lebih deras” berkata Mahisa Pukat.

Ternyata bahwa pedang di lambung para Senapati itu bukan sekedar senjata untuk berkelahi. Tetapi juga dapat memberikan titik-titik air kepada mereka, sehingga dengan demikian, maka perasaan haus pun dapat dikurangi.

Sebenarnyalah ketika mereka meniti batang pohon yang menyilang diatas sebuah sungai yang berbahaya itu, langit sudah dibayangi oleh warna merah. Hutan pun sudah menjadi samar-samar, sehingga mereka harus sangat berhati-hati. Jika seorang diantara mereka tergelincir masuk ke dalam sungai itu, maka agaknya sulit untuk dapat ditolong.

Ketika malam menjadi gelap, maka yang tidak terduga pun telah terjadi. Kelompok itu telah bertemu dengan gerombolan anjing hutan yang tidak terhitung jumlahnya. Meskipun para Senapati itu berpedang, namun agaknya sulit bagi mereka untuk melawan sejumlah besar anjing hutan di malam hari.

Anjing yang hidupnya memang bergerombol itu, seakan-akan tidak dapat dibendung sama sekali. Mereka dapat menyerang dari segala arah tanpa diduga sebelumnya. Apalagi jumlahnya memang tidak terhitung. Dalam kegelapan maka tiba-tiba saja anjing-anjing hutan akan dapat menerkam tengkuk. Untuk menghadapi bahaya yang melampaui kemampuan para Senapati itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus bertindak.

Untuk menghindarkan bahaya yang gawat bagi para Senapati, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta para Senapati itu untuk membentuk lingkaran dan berdiri menghadap keluar. Mereka harus berusaha mempertajam penglihatan mereka di dalam gelapnya hutan lebat. Ujung-ujung pedang mereka akan menyambut setiap anjing hutan yang datang menyerang. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berdiri di luar lingkaran, justru agak terpisah.

Sejenak kemudian anjing-anjing liar itu mulai menggonggong. Yang lain menyalak dan mengelilingi lingkaran itu. Mulut anjing-anjing hutan itu menyeringai memperlihatkan taring-taring yang tajam runcing. Namun dalam gelap yang pekat, betapapun para Senapati itu mempertajam penglihatan mereka, namun mereka tidak dapat melihat terlalu jelas.

Tetapi para Senapati itu melihat ketika seekor anjing tiba-tiba meloncat menyerang. Dengan garang anjing itu menerkam ke arah seorang Senapati yang bertubuh tinggi. Namun Senapati itu sudah siap. Ujung pedangnyalah yang menyambut terkaman anjing hutan itu. Karena kakinya yang terjulur ke depan, maka seolah-olah anjing hutan itu telah membuka perut dan dadanya. Karena itu maka sambil merendah. Senapati itu telah menikam dada anjing yang meloncat menerkam itu.

Ketika pedang itu menembus dada anjing hutan itu, maka anjing itu pun berteriak kesakitan. Tubuhnya terdorong oleh kekuatan tusukan pedang dan terlempar jatuh ke depan kaki Senapati itu.

Namun agaknya para Senapati itu pun mengerti sifat binatang liar itu. Darah akan dapat membuat mereka semakin liar. Karena itu maka dengan serta merta, anjing yang terjatuh di depan kaki Senapati itu telah dilontarkan sekuat-kuatnya, sehingga terlempar ke arah gerombolan itu kembali.

Ternyata darah anjing hutan itu telah memanggil kawan-kawannya. Sebagian dari binatang itu telah berebut bangkai kawannya sendiri. Namun yang lain masih juga berusaha menyerang para Senapati. Karena itu telah terjadi pertarungan yang tidak sewajarnya antara sekelompok Senapati Sangling melawan gerombolan yang besar dari anjing-anjing hutan.

Ternyata bahwa jumlah yang sangat banyak itu telah membuat para Senapati menjadi sangat sibuk. Meskipun para Senapati itu berusaha untuk membuang bangkai-bangkai anjing itu kepada gerombolannya untuk menghambat gerak gerombolan anjing itu sendiri.

Yang berdiri terpisah adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berusaha menarik perhatian anjing-anjing hutan itu. Dengan demikian maka mereka akan mengurangi jumlah anjing yang akan menyerang para Senapati yang berdiri dalam lingkaran itu.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun berhasil. Segerombolan dari anjing-anjing hutan itu telah mengepung mereka. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri saling membelakangi.

Meskipun gerombolan yang kemudian menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup banyak, namun keduanya sama sekali tidak menjadi cemas. Demikian anjing-anjing itu bergerak mendekat sambil menyalak, maka kedua orang anak muda itu telah mempergunakan ilmunya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mempergunakan ilmunya dengan ujudnya yang keras atau ujudnya yang lunak. Namun untuk menghadapi anjing-anjing hutan itu, maka keduanya telah memilih mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang keras.

Itulah sebabnya, maka ketika anjing-anjing itu mulai menyerang, tiba-tiba saja terdengar lengking yang mengerikan dari sejumlah anjing hutan yang terbakar oleh panasnya ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebagian dari anjing-anjing itu mati terbakar. Yang lain sempat melarikan diri karena sengatan panas yang tidak tertahankan.

Lengking anjing-anjing liar yang kepanasan itu ternyata mempengaruhi kawan-kawannya yang sedang bergerombol menyerang para Senapati. Apalagi ketika sebagian dari anjing-anjing itu telah terkapar mati. Ayunan pedang yang berputaran sama sekali tidak memberi kesempatan anjing-anjing itu menyentuh tubuh para Senapati. Banyak diantara anjing-anjing liar itu yang terluka dan berlari menjauh, sehingga akhirnya beberapa ekor anjing yang tinggal tidak lagi berani menyalak.

Dengan demikian, maka anjing-anjing liar itu pun akhirnya telah berlari meninggalkan sekelompok Senapati yang semula disangka mangsa yang lunak dan segar. Sebagian dari kawanan itu pun telah tergolek mati. Ada yang tubuhnya dikoyak pedang, namun ada yang hangus terbakar oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika kemudian anjing-anjing hutan itu telah melarikan diri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan pasukan kecil itu. Tidak seorang pun yang mengalami cidera karena serangan anjing hutan itu, meskipun mereka merasa kengerian yang mencengkam.

“Kita meneruskan perjalanan. Kita akan segera keluar dari hutan” berkata Mahisa Murti.

Dengan susah payah, maka para Senapati itu pun telah meninggalkan bangkai anjing yang terserak itu semakin jauh. Dalam kelamnya malam mereka berusaha untuk dapat keluar dari hutan.

“Jangan ada yang tertinggal” pesan Mahisa Pukat, “usahakan agar kita semuanya tidak terpisah.”

Para Senapati itu memang berusaha untuk tidak terpisah yang satu dengan yang lain. Dengan segenap kemampuan yang ada pada diri mereka, maka mereka berusaha untuk dapat mengamati keadaan di sekitar mereka. Kekayuan yang tumbang, pepohonan raksasa yang bagaikan hantu-hantu malam berdiri mengerikan dihadapan mereka, pepohonan yang silang melintang, serta sulur-sulur berdiri tajam.

Namun betapa mereka menempuh perjalanan itu dengan susah payah, akhirnya mereka menguak pohon-pohon perdu terakhir di bagian hutan itu. Terasa betapa nafas mereka bagaikan terbebas dari himpitan yang menyesakkan. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka ke langit dan melihat udara yang terbuka serta bintang-bintang yang tidak terlindung oleh dedaunan, maka para Senapati itu pun telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan udara di seluruh padang perdu di luar hutan itu akan dihirupnya seluruhnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberi kesempatan kepada para Senapati itu untuk menghitung diri. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat.

“Jika kita beristirahat sekarang, maka kita akan lelap dan kehilangan niat untuk menyelesaikan sisa kesempatan yang ada” berkata Mahisa Murti.

Para Senapati itu tidak dapat membantah. Mereka pun kemudian membenahi diri untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Sangling. Seorang diantara para Senapati yang keletihan itu masih sempat mengganggu kawannya, “Kau masih meragukan kemampuan kedua anak-anak itu?”

“Persetan” desisnya.

Senapati yang mengganggu itu tertawa. Mereka semua harus mengakui betapa tinggi ilmu kedua anak muda itu, sehingga mereka berdua tanpa senjata tidak lumat dikoyak-koyak oleh segerombolan anjing hutan.

Ketika kemudian angin malam menyentuh tubuh-tubuh yang basah oleh keringat itu, terasa betapa kulit mereka menjadi pedih. Luka-luka yang tergores di kulit mereka karena ujung-ujung duri yang tajam, atau kekayuan yang patah, mulai terasa nyerinya menggigit sampai ke tulang. Tetapi para Senapati itu berjalan terus.

Lewat tengah malam iring-iringan itu baru memasuki kota Sangling. Satu perjalanan yang lambat. Bahkan hampir tidak tercapai oleh beberapa orang diantara para Senapati itu. Hati para Senapati itu menjadi sejuk bagaikan tersentuh embun yang menitik di malam yang dingin itu ketika mereka memasuki halaman barak. Namun sebelum mereka memasuki bilik-bilik mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun memanggil mereka untuk duduk di halaman belakang barak itu berjajar.

“Kita masih mempunyai waktu” berkata Mahisa Murti.

Para Senapati itu saling berpandangan. Mereka telah bertanya di dalam hati, “Apalagi yang harus kami kerjakan?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan selangkah demi selangkah di seputar para Senapati yang duduk itu. Baru kemudian Mahisa Murti itu pun berkata, “Marilah kita mengucap syukur, bahwa kita dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing dengan baik dan rancak. Kemudian kita mempergunakan kesempatan ini untuk melihat ke dalam diri kita, seberapa jauh ilmu yang telah kita miliki. Unsur-unsur apa yang ada di dalam ilmu kita dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat kita lakukan. Kita pun akan melihat manfaat dari latihan-latihan dan penempaan diri yang telah kita jalani sepekan. Mungkinkah kita membuka kemungkinan yang lebih luas dari ilmu yang telah kita miliki untuk dikembangkan?”

Para Senapati itu mengerutkan keningnya. Kelelahan yang sangat telah mencengkam diri mereka. Bahkan kemudian terasa perut mereka menjadi lapar dan leher mereka terasa kering. Namun mereka tidak menolak.

Demikianlah, maka mereka pun telah duduk dengan tangan bersilang di dada. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata bahwa setiap orang memang merasa wajib untuk bersyukur kepada Yang Maha Agung. Mereka telah menyelesaikan satu kerja besar yang akan sangat berarti bagi masa depan mereka dalam kedudukan mereka sebagai prajurit.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Para Senapati yang sempat mengingat kembali apa yang terjadi, terlebih-lebih saat-saat mereka bertemu dengan segerombolan anjing hutan, benar-benar telah merasa bersyukur kepada Yang Maha Agung, bahwa mereka masih sempat meninggalkan hutan yang lebat itu dan selamat sampai ke barak mereka.

Para Senapati itu pun kemudian sebagaimana diminta oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan saat-saat yang masih tetap diliputi oleh keheningan untuk melihat kembali ke dalam diri masing-masing. Melihat kembali tataran ilmu mereka, unsur-unsur yang dimiliki serta kemungkinan di masa datang.

Ternyata bahwa para Senapati itu seakan-akan telah melihat pintu yang terbuka. Bukan hanya selaraknya. Tetapi mereka melihat kesempatan untuk memperluas dan mengembangkan ilmu mereka itu telah terbuka. Mereka sudah memahami setiap unsur gerak yang ada pada ilmu mereka, maknanya, gunanya dan bentuk kewadagannya.

Pada saat-saat keheningan itu, ternyata para Senapati telah melupakan segala-galanya. Mereka dengan sepenuh hati menghayati hubungan mereka dengan sumbernya dan hubungan mereka dengan keberadaan mereka dalam rangkuman sesamanya. Sehingga tanpa disadari maka mereka pun kemudian telah merasakan sentuhan sinar matahari pagi.

Para Senapati itu pun terbangun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian memberikan isyarat, agar mereka menutup masa-masa latihan yang berat. Mereka masih mendapat kesempatan untuk mengendorkan segala ketegangan dan kekerasan suasana yang mereka alami selama sepekan.

Dengan mengatur pernafasan maka rasa-rasanya para Senapati itu telah melepaskan diri dari suasana yang mencengkam selama sepekan. Namun dengan demikian, maka segala perasaan letih, lelah dan pedih-pedih karena goresan-goresan duri dan kekayuan, lapar dan haus, bagaikan mulai merayapi diri mereka. Semakin lama semakin mencengkam menggantikan segala macam perasaan yang terutama di saat-saat terakhir menguasai diri mereka ketika mereka memasuki hutan yang lebat.

“Nah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “segala sesuatunya sudah selesai. Kalian dapat menutup masa-masa pembajaan diri dengan mandi keramas. Kemudian, kalian dapat pergi ke dapur untuk menyegarkan tubuh kalian yang tentu akan menjadi lemah.”

Para Senapati itu dengan tertatih-tatih telah bangkit berdiri. Dengan sisa tenaga yang ada mereka pun telah mengambil pakaian di dalam bilik masing-masing. Bergantian mereka pun pergi ke pakiwan untuk mandi keramas. Agaknya Mahisa Murti sudah mengatur segala-galanya. Di bak telah disediakan air abu merang yang biasanya dipergunakan untuk keramas. Cukup untuk dua puluh orang. Sementara itu di dapur pun telah tersedia minuman panas.

Beberapa orang yang menunggu pakiwan yang masih terpakai tidak membiarkan dirinya lebih lama lagi kehausan. Mereka pun telah berada di dapur dan meneguk minuman hangat yang memang sudah tersedia. Rasa-rasanya darah mereka yang hampir membeku itu pun telah mengalir kembali di seluruh tubuh ketika minuman hangat itu mulai menyentuh bibir mereka.

Setelah semuanya mandi keramas, maka telah disediakan pula makan yang hangat pula. Beberapa ekor ayam telah disembelih khusus bagi duapuluh orang Senapati itu. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berpesan agar mereka tidak kehilangan pertimbangan nalar.

“Jika kalian makan dan minum terlalu banyak, maka akibatnya akan kurang baik meskipun kalian merasa lapar dan haus sekali. Agaknya juga masih merupakan pendadaran, apakah kalian dapat menguasai diri atau tidak.”

Sebenarnyalah bahwa para Senapati itu pun mengerti, justru dalam keadaan sangat lapar dan haus mereka tidak boleh makan dan minum terlalu banyak. Demikian para Senapati itu selesai makan dan minum, maka semuanya, dua puluh orang yang ikut dalam pembajaan diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah berada di dalam bilik mereka. Ternyata mereka tidak lagi dapat bertahan terlalu lama. Justru setelah mandi keramas, makan dan minum, mata mereka menjadi semakin lekat.

Meskipun demikian, ada juga diantara mereka yang tidak segera dapat tertidur. Mereka masih sempat merenungkan apa yang telah mereka lakukan. Namun akhirnya mereka pun telah kehilangan kesadaran diri ketika mata mereka terpejam. Desah nafas yang teratur menyatakan bahwa mereka telah tertidur pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah ikut mandi dan keramas pula, tidak segera tertidur seperti para Senapati. Mereka mempergunakan kesempatan untuk menghadap Akuwu Sangling untuk memberikan laporan tentang kedua puluh Senapati yang telah menempa diri itu.

“Terima kasih,” berkata Mahisa Bungalan, “jika aku sendiri yang harus melakukannya, mungkin aku memerlukan waktu yang berlipat ganda. Mungkin jika keadaan Pakuwon ini sudah mapan seperti Sangling, aku mempunyai banyak kesempatan. Tetapi dalam keadaan sekarang, waktuku rasa-rasanya sangat sempit.”

“Sekaligus untuk menguji ketahanan tubuh kami berdua kakang” berkata Mahisa Pukat.

Akuwu Sangling itu tersenyum. Katanya kemudian, “Lewat tengah hari aku akan pergi ke barak itu. Aku akan melihat keadaan para Senapati yang mengalami keletihan yang sangat itu.”

“Silahkan,” berkata Mahisa Murti, “sekarang, biarlah mereka beristirahat. Agaknya mereka telah memaksa diri untuk dapat sampai pada bagian terakhir dari latihan-latihan ini.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin kalian berdua juga memerlukan istirahat. Beristirahatlah di sini.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng. “Biarlah kami berada di barak bersama mereka” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia-pun sependapat dengan kedua adiknya, bahwa mereka sebaiknya memang berada di barak, diantara para Senapati yang kelelahan itu.

Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah kembali lagi ke barak dan seperti para Senapati, maka keduanya pun telah berbaring pula. Sebenarnyalah bahwa keduanya pun merasa letih seperti para Senapati. Tetapi karena keduanya telah mengalami latihan-latihan dan pembajaan diri yang sangat berat, maka keduanya tidak nampak terlalu letih seperti para Senapati yang untuk pertama kalinya mengalami.

Meskipun mereka telah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat sebagai prajurit, namun latihan itu sama sekali tidak sebanding dengan latihan-latihan yang baru saja mereka jalani bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika matahari melewati puncaknya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbangun. Meskipun mereka belum cukup lama beristirahat, tetapi bagi keduanya, waktu yang sedikit itupun-telah memadai. Setelah keduanya membenahi diri, maka mereka mulai membangunkan para Senapati, karena menurut pesan Akuwu Sangling, lewat tengah hari Akuwu akan pergi ke barak.

Sebenarnya para Senapati itu masih merasa sangat segan untuk bangun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberitahukan kepada mereka, bahwa Akuwu akan datang ke barak itu. Sebenarnyalah bahwa Akuwu telah datang ke barak itu, justru pada saat para Senapati masih belum siap seluruhnya. Karena itu, maka para Senapati itu pun dengan tergesa-gesa telah mempersiapkan diri untuk menerima kehadiran Akuwu.

Para Senapati itu pun kemudian telah bersiap di halaman barak, sementara Akuwu berada di ruang khusus bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang pengawal yang datang bersama Akuwu menunggu di regol halaman barak itu. Ketika para Senapati sudah siap, maka Akuwu pun telah menemui mereka di halaman barak.

Sekilas Akuwu melihat kelesuan di wajah para Senapati itu. Agaknya sebagian dari mereka masih merasa sangat letih, sehingga mata mereka masih terasa berat. Namun sikap mereka sebagai prajurit telah membuat mereka berdiri tegap ketika Akuwu mendekati mereka seorang demi seorang.

Dengan sikap seorang Senapati besar Akuwu Sangling memperhatikan para Senapati itu. Sekali-sekali ia menyentuh bahu seorang diantara para Senapati itu. Sekali-sekali mengguncangnya dan bahkan sekali-sekali ia mendorongnya.

Namun Akuwu pun itu pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata kepada para Senapati itu, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang paling pantas untuk menjadi benteng bagi Sangling. Apa yang telah kalian lakukan telah memberikan kebanggaan bagi seluruh rakyat Sangling.”

Para Senapati itu menjadi semakin mantap. Pujian itu rasa-rasanya telah meningkatkan hasrat pengabdian. Meskipun sebenarnya mereka tidak menginginkan pujian atas tugas-tugas yang mereka selesaikan, karena itu memang sudah menjadi kewajiban mereka. Namun pujian yang tulus memang dapat menyentuh perasaan mereka.

Akuwu Sangling itu pun kemudian masih memberikan beberapa pesan kepada para Senapati yang baru saja menyelesaikan tugas mereka itu. “Aku sengaja tidak sekedar menunggu kalian datang melaporkan diri. Tetapi aku datang kepada kalian untuk melihat sendiri keadaan kalian yang sangat letih setelah mengalami pembajaan diri yang berat” berkata Akuwu.

Para Senapati itu mendengarkan semua pesan dengan kesungguhan hati. Dalam pada itu Akuwu pun berkata pula, “Hari ini kalian masih berada di sini bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian masih akan dapat memperbincangkan beberapa masalah dengan mereka. Namun keduanya besok akan meninggalkan Sangling dan kembali ke padepokan kecilnya yang sepi itu.”

Para Senapati itu telah berpaling ke arah kedua anak muda itu tanpa sadar. Rasa-rasanya hati mereka memang berat untuk melepaskan mereka pergi.

“Nah,” berkata Mahisa Bungalan, “hari ini adalah kesempatan bagi kalian untuk yang terakhir. Meskipun bukan berarti bahwa keduanya tidak akan pernah datang lagi ke Sangling. Pada saat-saat yang senggang, maka kita semuanya berharap keduanya akan sempat berada di antara kita lagi.”

Para Senapati itu mengangguk kecil. Tetapi rasa-rasanya kedua anak muda itu telah menjadi keluarga bagi mereka.

Akuwu masih berbicara beberapa lama lagi, sehingga akhirnya Akuwu pun berkata, “Nah, kalian tentu masih lelah. Aku kira aku sudah cukup melihat keadaan kalian dekat dengan saat-saat kalian selesai menempa diri. Kalian semuanya memang nampak agak kurus dan pucat. Tetapi dari sorot mata kalian, aku melihat bahwa kalian memiliki kemungkinan yang jauh lebih baik bagi masa depan. Demikian pula Sangling.”

Siang itu Akuwu telah makan bersama-sama dengan para Senapati. Tidak seperti saat-saat para Senapati itu makan setelah mereka menjadi sangat haus dan lapar, sehingga justru sangat dibatasi. Tetapi siang itu mereka mendapat kesempatan untuk makan seberapa mereka inginkan.

“Semakin banyak kalian makan, maka kekuatan kalian akan semakin pulih kembali,” berkata para pelayan di dapur, karena itu, kalian harus menghabiskan semua makanan dan minuman yang kami sediakan.”

“Sst,” desis seorang Senapati, “Akuwu makan bersama kita. Mana mungkin kami akan makan sekehendak kami.”

“Akuwu tidak memperhatikan kalian,” jawab pelayan itu, “Akuwu agaknya sedang menikmati masakanku yang memang jarang ada tandingannya.”

Senapati itu tersenyum. Katanya, “Masakanmu memang jarang ada tandingannya. He, kau buat sayur apa hari ini? Mirip dengan jamu cabe puyang.”

Pelayan itu membelalakkan matanya. Tetapi Senapati itu cepat berkata, “jangan marah. Bukan rasanya. Tetapi akibatnya pada tubuhku yang letih. Hangat dan segar.”

Tetapi pelayan itu tidak menjawab lagi. Sambil mengerutkan dahinya ia pun meninggalkan Senapati itu. Demikianlah Akuwu berusaha untuk meyakinkan kepada para Senapatinya, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu akan memberikan banyak arti.

Setelah beberapa lama Akuwu berada di barak itu, maka Akuwu Sangling pun telah minta diri. Namun ia berpesan kepada kedua adiknya, bahwa sebelum mereka meninggalkan Sangling, maka mereka diminta untuk datang ke istana Akuwu.

“Malam ini biarlah kami berada di barak,” berkata Mahisa Murti kepada kakaknya, “kami masih minta agar para Senapati itu tetap berada di barak malam ini. Meskipun saat-saat menempa diri itu sudah lewat, namun mungkin masih ada yang perlu kami bicarakan. Sementara itu, biarlah para Senapati mendapat kesempatan untuk menyesuaikan diri mereka kembali dengan suasana sehari-hari mereka.”

Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Datang sajalah besok pagi-pagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka Akuwu Sangling itu pun telah meninggalkan barak para Senapati itu diikuti oleh beberapa orang pengawalnya kembali ke istana.

Sepeninggal Akuwu Sangling, para Senapati pun kembali mendapat waktu beristirahat. Namun beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah bergantian pergi ke pakiwan yang terdapat di beberapa tempat di halaman belakang barak itu. Setelah mereka mandi maka tubuh mereka pun menjadi segar.

Menjelang senja para Senapati itu masih berkumpul di halaman barak. Mereka memang masih merasakan suasana pembajaan diri yang berat. Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sikapnya sudah jauh berbeda dengan saat-saat mereka mendapat tugas untuk menempa para Senapati itu, maka para Senapati pun telah menyesuaikan diri pula.

“Kita masih sempat berbincang-bincang,” berkata Mahisa Murti, “meskipun kita tidak usah bersikap tegang.”

Para Senapati menarik nafas dalam-dalam. Memang ada beberapa hal yang akan mereka tanyakan. Namun para Senapati itu harus menyesuaikan diri dengan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

Meskipun demikian, suasana itu tidak mengurangi bobot pembicaraan mereka. Justru sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah memberikan keleluasaan dan kebebasan para Senapati untuk berbincang tentang banyak hal. Terutama tentang kerja keras yang baru saja mereka lakukan.

“Kami mengharap bahwa dengan demikian kerja itu akan ada gunanya” berkata Mahisa Murti.

“Tentu,” sahut seorang Senapati yang kemudian bertanya, “namun apakah untuk selanjutnya kami dapat mengembangkan ilmu kami tanpa batas?”

“Apa maksudmu tanpa batas? Bukankah ilmu yang kau kuasai itu sangat terbatas? Jika yang kau maksud tanpa batas adalah kemungkinan-kemungkinan yang dapat kau jangkau kemudian dengan perkembangan penalaranmu terhadap ilmunya, memang demikian. Tetapi tentu ada batasnya. Bukankah pada dasarnya nalar budi kita itu sangat terbatas?” sahut Mahisa Murti.

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin angan-anganku yang melambung terlalu tinggi. Aku mengerti.”

Mahisa Murti tersenyum, sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Pada dasarnya ilmu kalian tentu mempunyai landasan yang berbeda-beda sebelum kalian menjadi seorang prajurit. Namun dalam lingkungan keprajuritan kalian mendapat pengetahuan baru tentang olah kanuragan. Mungkin dalam hal perang gelar, kesatuan sikap dan penalaran serta hal-hal yang harus diketahui bersama-sama, sehingga setiap kesatuan prajurit dapat bergerak serempak. Namun bukan berarti bahwa secara pribadi kalian tidak diperkenankan memiliki bekal. Karena itu, maka yang kita lakukan selama ini adalah mencari kemungkinan itu. Baik secara pribadi maupun dalam kelompok dan kesatuan kita masing-masing. Secara pribadi kalian akan mengenali kembali unsur-unsur gerak yang pernah kalian kenal. Kalian akan menilainya kembali. Bukan sekedar bentuk dan ujudnya, tetapi isi dan makna dari setiap unsur gerak itu. Kemudian berusaha menemukan perpanjangan dan pengembangan dari makna yang ada di dalamnya untuk menemukan unsur-unsur baru yang memiliki makna yang serupa namun memiliki tingkat kekuatan yang lebih besar.”

Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka pun menjadi semakin jelas. Bahkan beberapa orang Senapati telah berhasil melihat kembali apa yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Kemudian mulai membayangkan nilai-nilai baru yang akan dicapainya. Meskipun seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa mereka bukannya dapat berbuat tanpa batas, karena pada dasarnya setiap orang penalaran dan budinya justru sangat terbatas.

Ternyata bahwa pembicaraan itu telah berkembang pula. Para Senapati telah mengemukakan persoalan-persoalan yang belum dapat dipecahkannya sendiri dalam renungan-renungan yang mereka lakukan sebelumnya. Dengan demikian maka para Senapati itu pun telah memanfaatkan kesempatan terakhir mereka berada bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Bahkan para Senapati itu pun telah memerintahkan para pelayan di barak itu untuk memasang obor, agar mereka tidak perlu berpindah tempat. Bahkan makan malam pun mereka tetap berada di halaman. Namun dengan demikian, mereka benar-benar merasa bahwa kesempatan terakhir itu pun sangat berarti bagi mereka.

Dalam pembicaraan yang terasa lebih bebas daripada saat-saat mereka melakukan penempaan diri itu ternyata sangat menarik bagi para Senapati, sehingga mereka telah melupakan waktu dan keletihan yang mereka alami. Bahkan malam pun terasa berlangsung sangat cepat. Sehingga para Senapati itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan di tengah malam.

“Malam telah larut” berkata Mahisa Murti.

“Sayang sekali,” berkata seorang Senapati, “ternyata bahwa masih banyak yang akan kita tanyakan.”

“Kalian dapat membicarakan diantara kalian,” sahut Mahisa Murti, “Tanpa kami, bukan berarti bahwa kalian tidak akan mampu menemukan jawabnya.”

Para Senapati itu pun kemudian mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Sebaiknya kita beristirahat.”

“Sekaligus kami mohon diri,” berkata Mahisa Pukat pula, “besok kami akan meninggalkan barak ini dan bahkan meninggalkan Sangling. Kami akan kembali ke padepokan kecil kami, karena kami masih mempunyai tugas yang harus kami lakukan di padepokan itu.”

“Apakah sangat penting?” bertanya seorang Senapati.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Sama pentingnya sebagaimana Kakang Akuwu berada di Sangling.”

Para Senapati itu mengangguk-angguk. Sebagian dari para Senapati itu memang pernah melihat padepokan Suriantal. Karena itu maka mereka dapat membayangkan, kenapa kedua anak muda itu ingin segera kembali ke padepokan. Batu yang kehijau-hijauan itu memang dapat mengundang orang-orang yang tamak untuk berusaha memilikinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan para Senapati untuk kembali memasuki bilik mereka.

“Beristirahatlah, agar kalian besok sudah tidak merasa letih lagi. Bukankah besok kalian sudah diperkenankan kembali pulang? Dengan kehadiran Akuwu ke barak ini, maka kalian telah dibebaskan dari kewajiban untuk melaporkan diri setelah kalian menjalani penempaan diri. Sehingga dengan demikian, maka kalian mulai besok dapat menikmati hari-hari yang bebas dari segala tugas. Bukankah kalian mendapat istirahat selama tiga hari?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab salah seorang diantara para Senapati itu, “Tetapi kami tentu tidak akan sempat mempergunakan waktu yang tiga hari itu untuk beristirahat.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Rasa-rasanya kami tidak mau kehilangan hubungan dengan saat-saat yang sangat berharga ini” jawab Senapati itu.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan kalian berhasil.”

Para Senapati itu hanya dapat menarik nafas. Namun mereka memang ingin berbuat sesuatu terhadap ilmu yang sudah mereka miliki. Dengan demikian, maka pertemuan itu pun segera diakhiri. Para Senapati itu pun segera kembali ke dalam bilik mereka masing-masing. Namun ternyata para Senapati itu tidak segera dapat tertidur. Meskipun tubuh mereka masih terasa letih, tetapi gejolak didalam jiwa mereka mampu mengatasi keletihan itu.

Bahkan hampir semuanya telah menemukan satu kesadaran yang sebenarnya bukan kesadaran baru karena sebelumnya me-reka pun sudah mengetahui, bahwa dorongan kejiwaan mereka akan sangat berpengaruh atas daya dan kekuatan wadag mereka. Namun yang telah terjadi atas diri mereka itu pun rasa-rasa-nya merupakan peringatan atas mereka tentang kesadaran itu.

Namun demikian, tidak seorang pun dapat menolak keterbatasan diri masing-masing. Baik kewadagan maupun kejiwaan . Sehingga karena itu, maka para Senapati itu pun akhirnya telah tertidur pula.

Pagi-pagi benar para Senapati itu sudah bangun. Mereka tidak mau ketinggalan tanpa dapat melihat kepergian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun keduanya masih sangat muda, bahkan diantara para Senapati itu tidak ada lagi yang semuda keduanya, namun keduanya telah dianggap sebagai guru oleh para Senapati itu.

Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pagi itu meninggalkan barak para Senapati yang selama sepekan mengalami penempaan diri yang berat. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka yang dilakukan itu bukan saja memberikan arti bagi para Senapati sebagaimana diinginkan oleh kakaknya, tetapi juga berarti bagi diri mereka sendiri.

Para Senapati yang telah mengikuti penempaan diri itu telah mengantar keduanya sampai ke regol halaman barak mereka. Bahkan ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan pintu barak itu, mereka masih berdiri sambil melambaikan tangan mereka.

Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berpaling. Mereka pun merasa berat pula meninggalkan para Senapati yang seakan-akan merupakan kawan berlatih yang sangat baik, meskipun dengan cara yang khusus. Namun mereka pun kemudian melangkah semakin jauh dan hilang di kelok jalan.

Para Senapati yang ditinggalkan itu pun menarik nafas dalam-dalam. Satu-satu mereka bergerak masuk kembali ke halaman barak dan bahkan ke dalam bilik masing-masing. Barak itu menjadi tidak menarik lagi bagi mereka, sehingga mereka pun segera berkemas karena mereka pun akan meninggalkan barak itu pula.

Hari itu para Senapati yang mengikuti penempaan diri itu pun kembali ke rumah masing-masing. Rasa-rasanya mereka seperti kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Mereka melakukan penempaan diri itu hanya sepekan. Tetapi rasa-rasanya mereka telah mempergunakan waktu yang berlipat. Yang sepekan itu ternyata dapat mereka manfaatkan sebaik-baiknya.

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang tidak mempelajari unsur-unsur gerak dari perguruan manapun juga selain beberapa contoh yang diberikan oleh kedua anak muda itu. Atau pengenalan ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunjukkan kepada mereka satu peragaan pertempuran dalam tataran ilmu yang tinggi. Namun yang mereka lakukan telah membuka kemungkinan yang jauh lebih luas lagi bagi para Senapati itu berlandaskan ilmu mereka masing-masing.

Ketika para Senapati itu sampai di rumah, maka para keluarga mereka pun rasa-rasanya melihat perubahan pada para Senapati itu dilihat dari ujud kewadagannya. Sebagian besar dari mereka kulitnya nampak jauh lebih hitam dibakar terik matahari. Sebagian besar pula diantara mereka menjadi agak kurus. Tetapi setelah mereka beristirahat semalam, maka mereka tidak kelihatan pucat lagi. Bahkan keluarga mereka pun dapat melihat keletihan yang membebani para Senapati itu.

Keluarga para Senapati itu pun ternyata telah menyambut mereka sebagaimana mereka pulang dari medan pertempuran. Isteri-isteri mereka pun telah menyediakan minuman hangat dan menyiapkan makan yang paling baik bagi suami-suami mereka yang pulang dari masa penempaan diri yang sangat berat.

Namun ketika mereka kemudian makan siang, para Senapati itu sempat menceriterakan dengan senyum di bibir mereka, apa yang telah mereka dapatkan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan masih juga terdapat kecemasan bahwa ada beberapa pihak yang masih menginginkan batu yang memang jarang diketemukan itu. Apalagi setelah menjadi sebuah patung yang menarik.

“Kedua adik akuwu itu masih sangat muda,” berkata seorang Senapati kepada isterinya, “namun ternyata bahwa mereka telah memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya telah menguasai dan mampu menyerap dan mempergunakan kekuatan yang terdapat di dalam alam sekitarnya. Tenaga cadangan yang tidak terhitung besarnya dan kecerdasan berpikir yang sangat tinggi.”

Isteri-isteri mereka pun mengangguk-angguk keheranan. Karena dengan demikian maka mereka pun menganggap bahwa Akuwu tentu memiliki kemampuan ilmu yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian maka Sangling benar-benar telah diperintah oleh seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di istana Akuwu Sangling. Mereka minta diri untuk kembali ke padepokan mereka yang terpencil. Keduanya merasa bahwa mereka telah terlalu lama meninggalkan Suriantal. Rasa-rasanya mereka ingin segera melihat, sejauh mana para pemahat menyelesaikan patung batu hijau itu.

Akuwu Sangling tidak berhasil menahan keduanya untuk tinggal lebih lama lagi di Sangling. Karena itu, maka kedua adiknya itu pun kemudian telah dilepaskan untuk pergi. Namun Mahisa Bungalan itu pun masih juga berpesan, “Tetapi aku minta sekali-sekali kau datang kembali. Jika usahamu kali ini menunjukkan hasil yang sangat baik, maka aku kira beberapa orang Senapati yang lain akan dapat melakukan penempaan diri dengan cara yang sama.”

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku akan dapat datang lagi” berkata Mahisa Murti.

“Patung itu tidak lama lagi akan selesai. Kami akan memberitahukan kepada kedua orang Akuwu yang banyak berhubungan dengan kami. Akuwu Sangling dan Akuwu Lemah Warah.” sambung Mahisa Pukat.

Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Jika kalian memerlukan sesuatu, katakanlah, sebagaimana aku memerlukan bantuanmu menempa para Senapati itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Sementara itu matahari pun menjadi semakin tinggi, sehingga kedua anak muda itu segera mohon diri untuk meninggalkan Sangling. Bagaimanapun juga, waktu yang sepekan itu berkesan di hati kedua anak muda itu. Ketika mereka berkuda menelusuri jalan-jalan yang menjadi semakin rapi, maka mereka pun masih juga membicarakan usaha mereka untuk membuka kemungkinan para Senapati meningkatkan kemampuan mereka.

Sebenarnyalah bahwa para Senapati yang mendapat kesempatan bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menempa diri itu tidak dapat mempergunakan hari-hari istirahat mereka sepenuhnya. Mereka masih dipengaruhi oleh usaha yang keras yang mereka lakukan selama menempa diri. Rasa-rasanya mereka tidak ingin pintu yang telah terbuka itu tertutup kembali.

Karena itu justru selama waktu-waktu istirahat itu telah dipergunakan oleh para Senapati itu untuk mempertegas ujud dari ilmu mereka masing-masing. Memberikan arti dari setiap unsur gerak sesuai dengan perhitungan dan pertimbangan yang lebih masak. Hubungan antara gerak dan dorongan dari dalam diri mereka. Mereka tidak lagi bergerak karena mereka telah diperkenalkan kepada gerak itu tanpa mengetahui maknanya.

Karena itulah, maka dalam saat-saat beristirahat itu, sebagian besar waktu dari para Senapati itu justru dipergunakan untuk berada di dalam sanggar. Namun usaha itu bukannya tidak ada hasilnya. Para Senapati yang memanfaatkan saat-saat pintu pengembangan ilmu mereka terbuka, maka mereka telah mempergunakan sebaik-baiknya.

Dengan demikian, maka kemampuan para Senapati itu-pun telah meningkat dengan cepat. Usaha mereka untuk membangunkan tenaga cadangan dan kemudian meningkatkannya, serta kemampuan mereka bermain senjata. Ketrampilan mereka memang menjadi sangat mengagumkan dibandingkan dengan saat-saat mereka belum menempa diri dengan keras.

“Aku tidak mau membiarkan pintu yang terbuka itu tertutup kembali sebelum aku lewati” berkata seorang Senapati kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah mendekati padepokan mereka pun tiba-tiba terpikir pula untuk melakukan hal yang sama sebagaimana mereka lakukan di Sangling atas para penghuni padepokan kecilnya, sehingga dengan demikian maka padepokan Suriantal itu akan menjadi padepokan yang kuat. Meskipun yang menghuni padepokan itu bukan lagi orang-orang Suriantal yang utuh.

“Kita dapat mencobanya” berkata Mahisa Murti.

“Tempat di sekitar padepokan itu mempunyai kemungkinan yang lebih baik daripada Sangling “ sahut Mahisa Pukat.

“Kita akan mencobanya. Kita akan memilih duapuluh orang terbaik diantara mereka. Tidak hanya sepekan, tetapi kita mempunyai waktu yang lebih luas” berkata Mahisa Murti pula.

“Tetapi kita harus berbuat sesuatu sehingga terjadi semacam pacuan yang berat atas mereka yang menempa diri itu” desis Mahisa Pukat kemudian.

“Aku setuju. Kita akan menempa mereka dengan keras selama sepekan. Kemudian setelah sepuluh hari beristirahat dan berusaha meningkatkan kemampuan mereka masing-masing sesuai dengan tangkapan mereka atas penempaan diri itu, kita akan mulai lagi dengan usaha berikutnya atas orang yang sama,” sahut Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “Jika kita sempat mengulanginya sampai tiga kali, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat membantu kita mempertahankan padepokan ini jika terjadi sesuatu kelak.”

Keduanya pun kemudian mengangguk-angguk. Ternyata apa yang mereka lakukan di Sangling akan dapat memberikan arti pula bagi padepokan mereka.

Demikianlah, maka ketika keduanya memasuki regol padepokan, terasa bahwa mereka memang kembali ke rumah mereka sendiri setelah mereka berada di Sangling untuk beberapa hari. Apa yang mereka lihat, memang jauh berbeda dari apa yang nampak di istana kakaknya. Tetapi yang jauh lebih sederhana itu rasa-rasanya telah membuat hati keduanya menjadi sejuk. Apalagi karena sambutan yang ramah dan cerah dari seisi padepokan itu.

“He, aku kira kau tidak kembali lagi kemari dan meninggalkan batu itu bersama kami yang jauh-jauh kau panggil kemari.”

Mahisa Murti dan. Mahisa Pukat tersenyum. Namun senyum itu menjadi semakin lebar ketika mereka melihat patung yang benar-benar sudah hampir siap itu.

“Bagus sekali” di luar sadarnya Mahisa Pukat memuji.

“Apa yang bagus?” bertanya prajurit Singasari yang juga pemahat itu.

“Patungmu” jawab Mahisa Pukat.

“Terima kasih atas pujian itu,” desis pemahat itu sambil berpaling kepada kawan-kawannya yang mengerjakan patung itu, “Kita mendapat pujian. Namun sebenarnya bagi kita akan lebih berarti menyembelih empat ekor ayam dan masing-masing kita mendapat seekor.”

“Hanya itu?” bertanya Mahisa Murti.

Pemahat itu tiba-tiba berpikir. Lalu katanya, “Bukan hanya itu. Kami memang terlalu mementingkan diri sendiri. Lebih baik menyembelih seekor lembu. Kita seisi padepokan ini akan ikut andrawina.”

“Bukan satu hal yang mustahil,” berkata Mahisa Murti, “jika nanti patung itu siap, kita akan menyembelih seekor lembu.”

“Kau berkata sesungguhnya?” bertanya pemahat itu.

“Aku berkata sesungguhnya” jawab Mahisa Murti.

Pemahat itu tiba-tiba bertepuk tangan. Kawan-kawannya yang ikut memahat itu pun bertepuk tangan pula. Bahkan kemudian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu pun bertepuk tangan pula.

Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah kembali ke dalam kehidupan padepokan yang sepi namun terasa lebih tenang daripada di Sangling yang riuh. Keduanya telah merencanakan untuk benar-benar mewujudkan pikiran mereka tentang penempaan diri yang akan memberikan banyak arti bagi padepokan itu.

“Setidak-tidaknya bagi kita berdua” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita sendiri memerlukan latihan-latihan seperti itu.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa melakukannya. Mereka menunggu barang dua tiga pekan setelah mereka berdua beristirahat dan kembali menghayati kehidupan yang tenang di padepokan itu.

Namun dalam pada itu, kehidupan keprajuritan di Sangling pun menjadi semakin bergelora. Duapuluh orang yang pernah melakukan penempaan diri itu adalah Senapati-senapati terbaik di Sangling yang memegang jabatan-jabatan tertinggi. Dengan demikian maka mereka akan mendapat kesempatan untuk membimbing para prajurit Sangling dengan laku yang keras meskipun tidak sepenuhnya sebagaimana mereka lakukan.

Di samping tugas-tugas yang dilakukannya dengan bersungguh-sungguh, maka para Senapati itu masih selalu berusaha untuk meningkatkan diri. Mereka telah membuat satu lingkaran latihan diantara mereka. Sehingga dengan demikian maka kemampuan dan ketrampilan mereka pun menjadi semakin meningkat. Sementara itu ketika mereka dipanggil menghadap Akuwu Sangling, mereka pun telah mendapat perintah untuk menyempurnakan diri sejauh dapat mereka lakukan.

“Memang tidak ada yang sempurna di permukaan bumi yang terbentang ini,” berkata Akuwu Sangling, “tetapi setidak-tidaknya kita dapat berusaha membuat lebih baik dari yang sudah ada pada diri kita.”

Para Senapati itu menundukkan kepala. Tetapi mereka mendengarkan setiap kata Akuwu itu dengan bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu Akuwu itu pun berkata selanjutnya, “agaknya kalian sudah menyadari, bahwa peningkatan kemampuan kalian itu tidak akan kalian miliki sendiri. Kalian yang bertugas untuk membina susunan keprajuritan serta peningkatan kemampuan para prajurit itu secara pribadi, mempunyai kewajiban untuk melimpahkan kemampuan dan ketrampilan kalian kepada para prajurit meskipun dengan cara berjenjang. Tetapi aku tidak akan memerintahkan kalian untuk melakukannya dengan tergesa-gesa. Kalian mempunyai waktu untuk mencapai satu kesepakatan, apa yang sebaiknya kalian lakukan, agar apa yang kemudian ditentukan benar-benar akan berarti dan tidak simpang siur. Setiap langkah yang kalian ambil harus sejalan, sehingga tidak menumbuhkan kebingungan diantara para prajurit. Karena itu, kalian mempunyai waktu untuk menyusun satu rancangan langkah-langkah yang akan kalian ambil bagi pembinaan kekuatan di Sangling. Jika perencanaan itu kalian susun sebaik-baiknya dan cukup masak, maka pelaksanaannya pun akan berlangsung dengan baik, sementara itu, kalian masih dapat mematangkan pula bahan-bahan yang kalian perlukan.”

Para Senapati itu pun menyadari, bahwa perintah itu adalah cara yang paling baik untuk meningkatkan kemampuan para prajurit di Sangling dengan teratur dan berencana. Sehingga dengan demikian maka tahap-tahapnya akan dapat jelas diamati dan dipertimbangkan hasilnya. Dengan demikian maka para Senapati itu berusaha dengan sebaik-baiknya untuk melakukan tugas yang dibebankan kepada mereka, sejalan dengan kedudukan mereka.

Dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati, di sela-sela tugas mereka, maka para Senapati itu selalu berkumpul. Mereka mencoba menilai hasil kerja keras mereka bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan usaha mereka untuk menyusun rencana pembenahan pasukan Sangling dalam keseluruhan.

Setelah bekerja keras dan memerlukan waktu yang cukup, maka para Senapati itu telah berhasil menyusun rancangan yang masak untuk melakukan pembinaan bagi para prajurit Sangling dari segala tataran, menurut jenjang yang bersusun.

Ketika rencana itu kemudian diajukan kepada Akuwu, maka Akuwu tidak terlalu banyak membenahinya. Rencana yang disusun oleh para Senapati itu ternyata cukup cermat, apalagi karena para Senapati itu menyusun didasari dengan pengalaman mereka yang cukup luas serta kerja keras meskipun hanya sepekan.

Dengan perintah Akuwu, maka rencana itu telah dapat di-trapkan di Sangling. Dengan demikian, maka mulailah satu babak baru bagi tata keprajuritan di Sangling. Latihan-latihan telah dilakukan dengan lebih keras dan keterikatan yang lebih ketat. Meskipun tidak sekeras yang dilakukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun para Senapati itu mempunyai waktu yang lebih banyak, sehingga dengan demikian maka usaha Sangling untuk meningkatkan kemampuan para prajuritnya, perlahan-lahan dapat dilakukannya.

Namun ada di luar perhitungan Akuwu Sangling, bahwa di satu tempat, sekelompok orang telah menyusun kekuatan pula. Keluarga Akuwu Sangling yang lama, ternyata benar-benar tidak dapat menerima kenyataan tentang pergeseran kekuasaan dari darah keturunan sampai kepada Akuwu yang telah kehilangan haknya dan bahkan nyawanya itu.

Karena itu, maka mereka berusaha untuk membalas sakit hati karena kekuasaan Akuwu telah berpindah kepada aliran darah yang berbeda. Dengan mempergunakan sisa pengaruh yang ada, maka mereka dengan sengaja mengobarkan kebencian terhadap pimpinan pemerintahan yang baru.

Betapapun juga usaha Akuwu Sangling yang baru untuk memperbaiki tata cara pemerintahan, kesejahteraan rakyatnya dan kerja keras bagi kebesaran Pakuwon Sangling, namun mereka yang ingin membalas dendam itu pun masih saja mendapat bahan untuk mencela dan mengobarkan kebencian. Ada saja yang dapat disebut lebih buruk dari masa pemerintahan akuwu yang lama.

Dengan demikian, maka orang-orang yang dibakar oleh dendam itu masih juga berhasil mengumpulkan sekelompok orang Sangling sendiri untuk melawan Akuwu yang baru. Namun mereka ternyata dapat juga berhubungan dengan gerombolan-gerombolan di luar Pakuwon.

Ternyata bahwa diantara keluarga Akuwu Sangling yang lama itu, ada juga yang mampu mengatur kelompok yang berhasil mereka pengaruhi itu. Orang-orang itu dengan cermat tengah mengatur satu gerakan yang akan dapat mengguncangkan ketenangan Sangling yang sedang tumbuh itu. Namun yang tidak disadari oleh orang-orang yang menentang kenyataan yang terjadi di Sangling itu adalah, bahwa Sangling telah berhasil membenahi diri.

Meskipun orang-orang itu mendengar dan bahkan pernah melihat latihan-latihan yang diadakan oleh Sangling, namun mereka menganggap bahwa yang dilakukan itu sekedar menetapi kewajiban. Demikianlah, maka orang yang mengendalikan gerakan itu benar-benar yakin bahwa pada saatnya ia akan dapat merebut kembali kedudukan yang terlepas dari darah keturunannya.

“Aku adalah sepupu Akuwu Sangling dari darah keturunan laki-laki” setiap kali orang itu menggeram.

Sementara itu, beberapa orang-memang masih percaya kepada Ki Jayaraja. Seorang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi, pengetahuan yang dalam, dan wawasan yang jauh. Sementara itu hubungannya yang luas telah memungkinkannya untuk berhubungan dengan beberapa pihak.

Ternyata bahwa kawan-kawannya telah bersedia membantunya, menegakkan kembali kekuasaan darah Akuwu Sangling. Apalagi mereka yang merasa pernah berhubungan dan mendapat keuntungan daripadanya.

Ternyata bahwa kumpulan kelompok-kelompok yang dapat dipengaruhinya itu semakin lama memang menjadi semakin kuat. Apalagi ketika pengaruhnya berhasil menyusup ke Kabuyutan Bapang. Ternyata orang-orang Kabuyutan Bapang terlalu mudah untuk dibakar hatinya. Meskipun sebelumnya mereka menganggap bahwa sikap Akuwu yang baru terlalu baik terhadap mereka, tetapi ketika api dinyalakan diatas sekam yang masih teronggok di dalam hati mereka, maka api itu pun dengan cepat membakar.

Sampai beberapa lama rencana yang disusun dengan tertib itu tidak tercium oleh prajurit Sangling. Namun beruntunglah, bahwa Jayaraja pun tidak menyadari, bahwa para Senapati baru saja melakukan penempaan diri. Seandainya Jayaraja bergerak pada saat para Senapati itu bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di hutan, maka mungkin Sangling akan mengalami kesulitan.

Namun setelah itu, Sangling justru menjadi semakin kokoh. Dengan tertib dan berencana Sangling meningkatkan kemampuan para prajurit. Meskipun cara yang ditempuh oleh para prajurit Sangling tidak terlalu menarik perhatian, namun hasilnya cukup memuaskan.

Tetapi betapapun cermatnya Jayaraja mengatur gerakannya, namun akhirnya, serba sedikit telah tercium pula oleh para petugas sandi bahwa telah timbul satu gerakan yang perlu mendapat perhatian.

“Bukan sekedar sebuah gerombolan yang melakukan perampokan dan membuat kerusuhan sebagaimana yang selama ini telah kita bersihkan. Tetapi satu kekuatan yang tersusun rapi untuk melawan kekuatan Akuwu Sangling” berkata seorang petugas sandi kepada seorang perwira yang menjadi pimpinan langsung para petugas sandi itu.

“Kau yakin?” bertanya perwira itu.

“Kami, beberapa orang, sedang berusaha meyakinkan,” jawab petugas sandi itu, “dalam waktu dekat, kami berusaha untuk dapat menyampaikan laporan selengkapnya.”

Perwira yang ditugaskan untuk memimpin pasukan sandi itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Hati-hati. Jangan sampai terjebak ke dalam lingkungan mereka.”

Petugas itu pun kemudian mohon diri untuk melakukan penyelidikan lebih jauh.

Dalam pada itu, maka perwira yang menjadi Panglima dari pasukan sandi itu pun telah menyampaikan laporan itu kepada Akuwu Sangling, yang terkejut karenanya.

“Kenapa mereka berusaha untuk menyingkirkan aku?” bertanya Akuwu Sangling, “apakah yang aku lakukan selama ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat Sangling?”

“Kami belum dapat memberikan laporan terperinci Akuwu. Para petugas sandi sedang berusaha untuk mendapatkan kepastian” jawab Panglima pasukan sandi itu.

“Baiklah,” berkata Akuwu Sangling, “ikuti perkembangan keadaan. Tetapi usahakan agar rakyat Sangling tidak menjadi gelisah.”

“Hamba Akuwu” jawab Panglima itu.

“Siapkan jaringan pengamatan serapi-rapinya,” berkata Akuwu kemudian, “jangan sampai terjadi, justru karena kelengahan kita, maka mereka berhasil membuat kekacauan. Karena betapapun juga, goncangan yang terjadi akan sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Sangling.”

Panglima pasukan sandi itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba tuanku. Hamba akan berusaha.”

Sementara itu maka Akuwu pun telah memerintahkan para Senapati untuk bersiaga sepenuhnya. Kepada Panglima pasukan Sangling Akuwu memberikan perintah, “Siapkan pasukan yang dapat digerakkan dengan cepat. Tetapi juga jangan menimbulkan kegelisahan. Mungkin sebagian pasukan berkuda dapat dipusatkan di barak khusus.”

“Hamba Akuwu,” sahut Panglima prajurit Sangling, lalu, “bagaimana dengan rencana yang sudah tersusun?”

“Rencana itu dapat dilaksanakan terus,” jawab Akuwu, “justru mereka yang sedang mendapat giliran latihan itu akan dapat digerakkan dengan secepatnya di samping pasukan berkuda.”

Panglima itu mengangguk hormat pula sambil menjawab, “Hamba Akuwu. Hamba mengerti.”

Demikianlah, maka Sangling pun telah bersiap-siap menghadapi sikap yang keras dari keluarga Akuwu yang lama, yang dipimpin oleh sepupu Akuwu yang lama itu yang merasa masih keturunan darah dari jalur laki-laki.

Sementara itu, persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Jayaraja pun menjadi semakin masak. Dengan cermat pula gerakan itu menempatkan orang-orangnya pada tempat-tempat yang penting. Ternyata banyak pula orang-orang masih dapat dipengaruhi untuk ikut terlibat dalam gerakan itu dengan membiarkan halaman dan rumahnya menjadi gardu-gardu pengamatan oleh Jayaraja dan para pengikutnya.

Apalagi mereka yang merasa bahwa pada masa kekuasaan Akuwu yang lama mereka mendapat banyak kesempatan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Agaknya mereka masih berharap bahwa saat-saat seperti itu akan dapat mereka alami kembali. Dengan janji-janji yang memberikan harapan tentang keadaan seperti itu, maka mereka telah rela membantu kegiatan gerakan yang dipimpin oleh Jayaraja itu.

Pada saat kekuatan Jayaraja telah terhimpun, maka mere-ka pun telah mematangkan rencana mereka. Mereka akan mulai dengan membuat Sangling diliputi suasana yang tidak menentu. Dalam kegelisahan itulah, maka pasukannya akan bergerak untuk menghancurkan Sangling dan memaksa rakyat Sangling berpihak kepada mereka.

“Diantara para prajurit Sangling, tentu masih banyak yang akan dapat mengenang kebesaran Akuwu yang lama,” berkata Jayaraja, “mereka tentu akan segera berpaling dan membantu gerakan kita.”

Memang sebenarnyalah Jayaraja berusaha untuk membuat hubungan dengan prajurit Sangling di tempat-tempat terpencil. Memang masih ada beberapa orang prajurit yang kadang-kadang ingin mengenang kembali saat-saat kekuasaan Akuwu yang lama. Mereka seakan-akan dapat berbuat sekehendak hati mereka. Namun di bawah kekuasaan Akuwu yang baru, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk bergerak sama sekali. Semua paugeran diberlakukan, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah sangat terbatas.

Hubungan dan sentuhan-sentuhan kecil dengan para prajurit di tempat-tempat terpencil itu telah meyakinkan Jayaraja, bahwa ia akan berhasil dengan usahanya untuk mengusir Akuwu yang baru itu.

“Didalam masa pendadaran aku memang tidak dapat mengalahkannya. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak mempunyai kemampuan untuk menghancurkannya. Aku akan dapat mengatur satu cara yang akan dapat menghancurkan Akuwu yang sombong itu. Dengan dua atau tiga orang terpilih aku akan membunuhnya dalam pertempuran yang bakal terjadi kelak” berkata Jayaraja.

Namun kemudian ternyata bahwa Jayaraja itu, mendapat juga laporan dari para petugas sandinya bahwa nampaknya Sangling pun telah bersiap-siap. “Kenapa kau dapat mengatakan hal itu?” bertanya Jayaraja.

“Di mana-mana diadakan latihan-latihan yang keras,” jawab petugas sandi itu, “nampaknya penjagaan di Sudut-sudut Pakuwon ini pun menjadi semakin ditingkatkan pula.”

“Itu belum menunjukkan bahwa Sangling memang sudah bersiap. Tetapi kita pun tidak boleh mengabaikan tanda-tanda yang mungkin akan menghambat gerakan kita. Karena itu, lakukan pengamatanmu lebih baik. Menurut perhitunganku, Sangling sedang berusaha untuk memperkuat dirinya, karena Akuwu yang baru itu selalu merasa ketakutan. Tetapi memang tidak mustahil bahwa rencana kita sudah tercium oleh petugas sandi Sangling. Tetapi seandainya demikian tidak mengapa. Kita benar-benar sudah siap. Dengan sekali berteriak mengucapkan aba-aba, maka aku akan dapat menggerakkan kekuatan yang sudah kita persiapan.”

Petugas sandi itu pun berkata, “Segalanya memang sudah siap. Karena itu, kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Kita akan segera bergerak. Bagaimanapun juga kita akan memperoleh apa yang kita inginkan.”

Jayaraja mengangguk-angguk. Katanya, “Memang, kita harus segera bergerak. Kita harus mengejutkan Sangling.”

Demikianlah, maka Jayaraja telah memanggil beberapa orang pengikutnya yang terpilih. Mereka pun telah membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Ternyata bahwa semua orang yang diajaknya berbincang menyetujui untuk bergerak secepatnya. Seorang diantara mereka berkata, “Selagi Sangling belum benar-benar bersiap.”

“Baik,” berkata Jayaraja, “aku akan bersiap dalam waktu dekat dan akan menyerang Sangling dari beberapa jurusan. Kita akan mengerahkan semua kekuatan yang kita miliki untuk mengejutkan rakyat Sangling. Kemudian kita akan melakukan pendekatan dengan rakyat agar mereka bersedia berpihak kepada kita. Beberapa tempat kita yakin akan dukungan yang kuat. Namun di tempat lain kita masih harus mempertanyakannya.”

“Kapan kita akan bergerak?” bertanya seseorang.

“Aku akan memberikan perintah pada saatnya. Semua harus bersiap sejak besok malam. Kita akan membenahi persiapan itu dalam waktu sehari berikutnya. Menjelang fajar di hari ketiga, akan terdengar suara panah sendaren yang akan mengaum di seluruh langit Sangling. Nah, saat itu kita bergerak sesuai dengan rencana. Tetapi sebelum terdengar panah sendaren, maka kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Meskipun di hari ketiga, jika isyarat itu belum terdengar, maka berarti serangan akan ditunda berhubung dengan sesuatu alasan tertentu.”

Semua pengikutnya yang ikut dalam pembicaraan itu mengangguk-angguk. Sementara itu Jayaraja berkata, “Hanya kita yang boleh tahu rencana ini. Para pengikut yang tersusun dalam kelompok-kelompok pasukan tidak perlu diberi tahu lebih dahulu. Asal mereka sudah dipersiapkan maka setiap saat mereka akan dapat kita gerakkan.”

Demikianlah, maka para pengikutnya itu pun telah memahami semua pesannya. Karena itu, maka ketika mereka kembali kepada kelompok-kelompoknya, maka mereka pun segera bersiap-siap meskipun tidak semata-mata. Dengan demikian, maka dua kekuatan telah bersiap. Seperti bumbung-bumbung bambu yang terbakar di dalam nyala api, maka pada saatnya tentu akan terjadi ledakan.

Saat-saat yang ditentukan itu merupakan saat yang sangat tegang bagi orang-orang yang menentang kebijaksanaan Akuwu Sangling itu. Mereka berusaha mempersiapkan pasukan mereka sebaik-baiknya tanpa menarik perhatian didalam lingkungan yang nampaknya tetap tenang.

Namun dalam pada itu, pasukan sandi Sangling telah bekerja dengan cermat pula. Mereka berhasil menyadap rencana yang dibuat dengan sangat rahasia itu, meskipun tidak seluruhnya. Kesalahan Jayaraja adalah justru karena ia menyangka, bahwa ia akan dapat mempergunakan sebagian prajurit Sangling untuk kepentingannya.

Ternyata bahwa diantara orang-orang yang dianggap dapat dipengaruhi oleh Jayaraja dan para pengikutnya, terdapat juga para petugas sandi itu sendiri. Dengan demikian maka para petugas sandi itu dapat memberikan laporan-laporan yang sangat berarti. Satu hal yang dapat diketahui oleh pimpinan petugas sandi Sangling adalah, bahwa Jayaraja telah menyiapkan kekuatan bukan saja di tempat tertentu. Tetapi Jayaraja telah mempersiapkan kekuatan di beberapa tempat.

“Mereka sudah siap untuk menunggu perintah” Panglima pasukan sandi itu memberikan laporan kepada Panglima prajurit Sangling.

“Kita siapkan semua kekuatan,” berkata Panglima prajurit Sangling itu. Lalu, “Kita tempatkan pasukan Sangling di tempat-tempat yang memungkinkan mereka berada di segala tempat terutama pada garis-garis utama untuk memasuki kota.”

“Semua sudah pada tempatnya menurut pengamatan kami. Namun kami sudah belum mendapat kepastian saat-saat mereka mulai bergerak” berkata pimpinan pasukan sandi itu.

“Baiklah. Aku akan mengatur segalanya. Kapan pun mereka bergerak, pasukan Sangling siap untuk menghadapinya. Para prajurit akan melakukan latihan yang memungkinkan mereka untuk berbuat cepat” berkata Panglima prajurit itu.

Ternyata rencana Panglima itu disetujui oleh Akuwu Sangling. Bahkan Akuwu itu pun memerintahkan “ Siapkan sekelompok pasukan berkuda. Aku akan memimpin pasukan Sangling yang langsung akan menghadapi pimpinan mereka. Demikian kita mendapat keterangan dimana pimpinan pasukan itu berada, maka aku dan pasukan berkuda yang dipersiapkan itu akan langsung menuju ke medan.

“Hamba Akuwu,” jawab Panglima prajurit Sangling, “hamba akan berusaha berbuat sebaik-baiknya.”

Sebagaimana dikatakannya, maka Panglima itu telah berusaha keras untuk menyiapkan pertahanan sebaik-baiknya. Di hari berikutnya, pasukan Sangling memang mengadakan latihan beberapa ratus tonggak di luar kota. Namun yang mengadakan latihan itu adalah pasukan yang benar-benar siap untuk bertempur kapan pun juga. Jumlah mereka yang sedikit, namun bergerak dalam jaringan medan yang luas, nampak seakan-akan pasukan Sangling telah keluar semua ke medan latihan, sehingga di bagian lain menjadi kosong.

Jayaraja telah menugaskan petugas-petugas sandinya untuk mengikuti latihan itu. Esok sebagaimana telah direncanakan, mereka akan bergerak.

“Satu kebetulan,” berkata Jayaraja, “orang-orang Sangling memang bodoh. Nampaknya mereka sudah mencium gerakan kita. Tetapi satu kesalahan besar telah dilakukan. Mereka mengadakan latihan di satu tempat.”

“Mereka berusaha menakuti-nakuti kita,” berkata seorang pengikutnya yang dipercaya, “dengan latihan itu, mereka ingin menunjukkan kekuatan pasukan Sangling. Namun dengan demikian mereka telah membuka beberapa jalur penyerangan ke dalam kota dan menduduki istana. Kita harus berusaha dapat menangkap Akuwu yang bernama Mahisa Bungalan itu hidup atau mati.”

“Jika pasukan yang sedang latihan itu mendengar, mereka tentu akan segera mengambil peranan” pengikutnya itu menjawab.

“Harus kita perhitungkan,” jawab Jayaraja, “kita akan menjebak mereka di gerbang masuk.”

Pengikutnya yang terpercaya itu mengangguk-angguk. Nampaknya mereka memang yakin akan dapat menduduki kota dan istana, serta membunuh Akuwu Sangling. Jika demikian, maka pengaruhnya akan sangat besar. Jika Akuwu terbunuh, maka para prajurit Sangling akan kehilangan gairah perjuangan untuk melawannya, sehingga mereka pun akan segera tunduk kepadanya, sebagai Akuwu yang baru, namun merupakan darah keturunan yang sama dengan Akuwu Sangling yang lama dari garis keturunan laki-laki.

Malam menjelang hari yang ditetapkan, orang-orang yang sudah dipersiapkan oleh para pengikut Jayaraja menjadi semakin tegang. Menjelang pagi mereka akan mendengar isyarat. Namun jika panah sendaren itu tidak mereka dengar, maka serangan dibatalkan. Sementara itu kesempatan telah terbuka seluas-luasnya karena para prajurit Sangling berada di luar kota.

Namun lewat tengah malam, seorang petugas sandi telah berpacu diatas punggung kuda. Ternyata prajurit sandi itu telah mendapat petunjuk bahwa Jayaraja akan bergerak menjelang matahari terbit dengan sergapan dari banyak arah. Dengan tergesa-gesa petugas itu menemui Panglima pasukan sandi untuk memberikan laporan. Malam itu juga, Panglima pasukan sandi itu telah menghubungi Panglima prajurit Sangling dan bersama-sama menghadap Akuwu.

“Jika demikian gerakkan pasukan. Siapkan pasukan yang berada di luar kota untuk menjebak pasukan yang berusaha memasuki kota. Mereka akan menyerang pasukan yang berusaha memasuki kota itu dari belakang. Namun mereka pun harus berada di beberapa arah agar pertempuran menjadi seimbang. Sementara itu pasukan didalam kota harus mulai mendekati pintu-pintu gerbang.” perintah Akuwu.

Para pemimpin prajurit Sangling itu pun telah bergerak dengan cepat. Akuwu yang terbangun dilewat tengah malam itu, telah memerintahkan pasukan pengawal pribadinya untuk menyiapkan kuda. Para pengawal itu pun akan ikut serta ke mana Akuwu pergi dengan berkuda pula. Sekelompok pasukan berkuda yang terpilih telah berada di halaman belakang istana dan siap ikut pula mengawal Akuwu jika Akuwu memasuki medan.

Namun Akuwu memang memperhitungkan bahwa gerakan itu akan dilakukan menjelang fajar. Sehingga karena itu, maka Akuwu sama sekali tidak merasa tergesa-gesa. Bahkan Akuwu itu masih sempat kembali ke pembaringan untuk berbaring beberapa saat tanpa menunjukkan kegelisahan sama sekali. Para Senapatinya pun menjadi tenang pula seperti Akuwu. Mereka memang bergerak cepat. Tetapi tidak dengan gelisah dan apalagi dengan kecemasan.

Menjelang dini hari, memang belum ada pertanda apa pun yang menarik perhatian. Namun seorang petugas sandi telah datang menghadap Akuwu untuk meyakinkan, bahwa pasukan yang akan memberontak itu memang mulai bergerak.

Akuwu yang diberitahu akan kehadiran petugas sandi itu pun berkata, “Baiklah. Nampaknya kita pun sudah siap menghadapi keadaan.”

“Nampaknya gerakan mereka memang merata Akuwu” bertanya Akuwu.

“Para penghubung telah ditugaskan menebar” jawab petugas sandi itu.

Akuwu pun kemudian telah berbenah diri. Ia pun memanggil Senapati yang memimpin pasukan pengawal pribadinya dan Senapati yang memimpin pasukan berkuda, yang disiapkan untuk menyertai Akuwu jika ia turun ke medan.

“Kita bersiap-siap,” berkata Akuwu, “menurut perhitunganku, jika mereka mulai bergerak, maka mereka akan bergerak menjelang pagi hari.”

“Hamba Akuwu” kedua Senapati itu menjawab hampir berbareng.

“Kuda-kuda pun harus siap. Setiap saat kita akan bergerak. Kita menunggu laporan, di mana pemimpin pemberontak itu berada. Aku harus menemuinya.”

“Kami, seluruh pasukan sudah siap,” jawab Senapati pengawal pribadi Akuwu Sangling itu.

Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah orang-orang yang mendapat kesempatan melakukan latihan-latihan di bawah pengawasan para Senapati yang telah melakukan pembajaan diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, pasukan berkuda Sangling pun merupakan pasukan pilihan pula. Sejak sebelum dilakukan peningkatan sejak tataran pertama, pasukan berkuda Sangling memang merupakan pasukan pilihan.

Menjelang pagi hari, Akuwu sudah berada di tangga pendapa istananya dengan kesiagaan penuh untuk turun ke medan perang. Akuwu memang nampak membawa pedang yang tergantung di lambungnya. Namun ilmu yang ada di dalam dirinya kekuatannya memang melampaui pedangnya itu.

Sementara itu, di seluruh pusat pemerintahan Pakuwon Sangling telah bertebaran pasukan Sangling yang kuat. Sedangkan di luar kota, pasukan Sangling yang sedang mengadakan latihan itu pun telah bergerak dengan diam-diam. Mereka membagi diri ke jurusan yang berbeda-beda. Mereka mempunyai tugas-tugas tertentu yang sudah diperintahkan oleh Senapati yang memimpin langsung latihan itu.

Di lain pihak, pasukan yang dihimpun oleh Jayaraja pun telah bersiap pula. Seorang petugas sandi memang memberikan laporan, bahwa nampaknya kesiagaan di Sangling ditingkatkan. Ia melihat beberapa kelompok prajurit bergerak ke jurusan yang tidak diketahui.

“Apa pun yang mereka persiapkan, kita tidak akan gentar. Kita akan dengan cepat menguasai kota. Pada saat pasukan yang ada di dalam kota menyadari kelengahannya, maka kita sudah mapan dan Akuwu telah terbunuh. Kematian Akuwu akan melumpuhkan perlawanan para prajurit Sangling. Sementara itu sebagian dari para prajurit memang sudah dapat kita kendalikan” berkata Jayaraja.

Petugas sandi itu pun kemudian melaporkan juga, “Ki Jayaraja. Kita telah kehilangan hubungan dengan beberapa orang prajurit yang ternyata tidak berada lagi di tempatnya. Agaknya para prajurit Sangling telah mengalami pergeseran. Namun yang lain masih sempat memberitahukan, bahwa prajurit Sangling memang disiagakan.”

“Tidak peduli di manapun prajurit itu dipindahkan,” berkata Jayaraja, “namun mereka akan tetap berpihak kepada kita. Dalam setiap kesempatan mereka akan melakukan gerakan yang menghambat perlawanan para prajurit Sangling. Sehingga dengan demikian maka kita akan mendapat kesempatan untuk menghancurkan mereka.”

Pengikutnya yang paling terpercaya yang selalu dekat dengan Jayaraja itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bagaimanapun juga kita harus berhati-hati.”

“Kita sudah sangat berhati-hati,” berkata Jayaraja, “tetapi kita cukup kuat. Di samping orang-orang Sangling sendiri, maka kita mendapat bantuan dari sahabat-sahabatku di luar Sangling. Apalagi yang harus kita cemaskan dengan gerakan ini?”

Pengikutnya itu masih mengangguk-angguk. Sementara Jayaraja itu pun berkata, “Nah, fajar hampir menyingsing. Siapkan para petugas yang akan melontarkan panah sendaren dan panah api. Langit Sangling akan penuh dengan anak-anak panah yang bersambaran. Api akan melonjak-lonjak mengabarkan berita kematian bagi mereka yang tidak tunduk kepadaku.”

Demikianlah, maka mereka yang ditugaskan untuk melontarkan isyarat itu pun telah bersiap. Panah sendaren telah berada di busurnya. Karena itu, ketika perintah jatuh, dalam waktu sekejap, maka panah-panah sendaren itu telah meluncur ke langit. Suaranya meraung-raung memenuhi udara Sangling. Bahkan kemudian disusul dengan panah api yang bagaikan membakar langit.

Isyarat itu merupakan perintah bagi para pengikut Jayaraja. Baik mereka orang Sangling sendiri, terutama dari Kabuyutan Bapang, maupun orang-orang dari luar Sangling yang bekerja sama dengan janji yang telah menggetarkan harapan mereka.

Namun sebenarnyalah bahwa panah sendaren dan panah api itu telah pula membangunkan semua prajurit Sangling di manapun mereka berada. Bahkan mereka yang berada di luar kota pun telah melihat api yang meloncat-loncat di atas kota Sangling.

Para prajurit yang masih beristirahat pun segera disiapkan. Mereka memang sudah berada dalam persiapan yang matang. Karena itu, dengan cepat mereka berada dalam barisan. Setelah mendapat pengarahan sejenak dari setiap pemimpin kelompok, maka setiap pasukan yang telah terbagi di luar kota pun telah bergerak.

Demikian pula para prajurit yang ada di dalam kota. Mere-ka pun telah bersiap pula. Ketika sendaren dan panah api terbang di udara, maka bagi para prajurit Sangling merupakan isyarat pula bahwa mereka harus bersiap. Prajurit yang duduk terkantuk-kantuk di bawah teritisan, bahkan mereka yang masih tempat tidur bersandar tiang, telah dengan cepat memasuki barisan masing-masing.

“Kita harus segera bersiap di tempat-tempat yang telah ditentukan” berkata para pemimpin kelompok.

Para Senapati pun segera menghimpun prajurit-prajuritnya. Kemudian memerintahkan para pemimpin kelompok untuk bergerak sebagaimana telah direncanakan. Para Senapati itu masih belum mendapat keterangan yang pasti tentang jalur gerakan lawan. Namun setiap pintu gerbang dan butulan telah dijaga dengan ketat.

Tetapi hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Jayaraja. Karena itu, maka orang-orangnya memang tidak akan memasuki kota lewat pintu gerbang maupun pintu-pintu butulan dari dinding kota.

Demikian perintah jatuh, maka orang-orang mereka yang memang sudah berada di tempat-tempat yang ditentukan di dalam kota mulai bergerak. Sementara itu, yang berada di luar kota pun telah memasuki kota dengan meloncati dinding. Ternyata mereka telah mempersiapkan tangga-tangga bambu yang mampu menjangkau tingginya dinding kota. Dengan beberapa tangga yang disandarkan pada dinding kota di beberapa arah dari kota Sangling, maka mereka pun telah berloncatan memasuki kota.

Ketika pasukan yang meronda melihat, maka dengan serta merta mereka pun telah memberikan isyarat. Bukan dengan panah sendaren, tetapi di gardu terdekat peronda itu telah memukul kentongan dengan nada titir. Suara kentongan itu memang menarik. Namun ketika orang-orang padukuhan itu terbangun, maka prajurit itu pun justru memerintahkan mereka masuk kembali ke dalam rumahnya.

“Cepat, masuk kembali. Beritahu semua orang. Yang datang bukan perampok. Tetapi sebuah pemberontakan” teriak prajurit peronda itu.

Namun demikian ada juga yang sempat memukul kentongan pula di gardu yang lain dengan nada yang sama. Suara titir itu memang memanggil para prajurit yang berada di tempat terdekat. Sehingga dengan cepat pula cara yang ditempuh oleh para pengikut Ki Jayaraja itu diketahui.

Dalam waktu sekejap, para penghubung telah berlarian ke semua pemusatan pasukan dan memberitahukan bahwa pasukan lawan tidak akan melalui pintu gerbang, tetapi mereka akan memasuki kota lewat dinding dengan tangga-tangga yang sudah terpasang.

Para prajurit pun segera menebar. Mereka memang tidak mengira bahwa para pemberontak itu akan meloncati dinding. Mereka mengira bahwa para pemberontak itu akan menyerang dan memecahkan pintu-pintu gerbang, sementara yang lain memang sudah diketahui akan bergerak dari dalam kota.

Dengan demikian maka pertempuran pun segera menyala di seluruh kota dan dinding-dinding kota. Para prajurit Sangling yang berloncatan melewati dinding telah ditunggu oleh para prajurit Sangling yang bersiap.

Sementara itu, maka pasukan yang berada di luar kota pun mulai bergerak mendekati kota. Setiap pasukan telah berusaha untuk mengamati keadaan dengan seksama. Bahkan pasukan-pasukan itu telah memerintahkan petugas-petugasnya untuk melihat, di manakah pertempuran terjadi. Apakah di pintu-pintu gerbang, atau di pintu butulan. Tetapi mereka tidak melihat pertempuran di pintu gerbang atau di pintu butulan.

Namun akhirnya beberapa petugas melihat juga bahwa pasukan pemberontak itu telah berada di bayangan dinding kota, justru yang paling jauh dari pintu gerbang dan butulan. Mereka berusaha memanjat naik dinding dan meloncat masuk.

Tetapi beberapa orang Senapati telah menahan pasukannya untuk tidak tergesa-gesa menyerang. Bahkan mereka pun dapat menduga bahwa suara kentongan di dalam dinding kota itu merupakan isyarat bahwa para pengikut Jayaraja telah memasuki kota dengan meloncati dinding.

“Biarlah jumlah mereka berkurang. Jangan cemas, bahwa di dalam kota, prajurit Sangling akan mengalami kesulitan. Jumlah mereka cukup banyak. Kita akan bergerak jika jumlah para pemberontak yang tinggal, seimbang dengan jumlah kita.”

Para prajurit itu ternyata mampu mengendalikan diri. Mereka sempat membuat perhitungan-perhitungan, sehingga mereka tidak terjebak dalam langkah-langkah yang tergesa-gesa namun tidak menguntungkan.

Karena itu maka untuk beberapa saat kelompok-kelompok prajurit yang terbagi di beberapa sisi kota itu pun dengan sabar menunggu saat-saat yang paling tepat untuk bergerak. Para Senapati yang memimpin kelompok-kelompok itu dapat menduga bahwa orang-orang datang menyerang itu tentu memiliki bekal yang memadai.

Dalam pada itu, maka bersamaan dengan gerak para pengikut Jayaraja pasukan yang telah bersiap di dalam kota pun telah bergerak pula, Dengan cepat para-prajurit itu mengambil tempat sebagaimana telah diperhitungkan. Namun sebagian yang lain telah bergeser menyongsong para pengikut Jayaraja yang telah meloncati dinding, sebagaimana diberitahukan oleh para penghubung.

Memang tidak semua tempat yang dipergunakan oleh para pengikut Jayaraja untuk memasuki kota segera diketahui oleh para Senapati. Beberapa kelompok pengikut Jayaraja telah berhasil menyusup ke dalam padukuhan-padukuhan di dalam kota.

Namun demikian, ternyata prajurit Sangling yang tersebar itu pun segera mengetahuinya. Kelompok-kelompok kecil yang meronda itu pun segera membunyikan isyarat, sehingga para prajurit yang ditempatkan di tempat-tempat tertentu segera berdatangan. Dengan demikian maka hampir di seluruh kota telah terjadi pertempuran. Bahkan pada jarak yang tidak terlalu jauh dari istana pun telah terjadi pertempuran pula.

Karena itulah, maka para pengawal khusus Akuwu Sang-ling pun telah berjaga-jaga sepenuhnya. Sementara itu sekelompok pasukan berkuda telah berada di halaman istana pula. Di pendapa, Akuwu Sangling memang menjadi gelisah. Bukan karena ia cemas akan dirinya sendiri. Tetapi ia mendapat laporan bahwa memang terjadi di mana-mana. Ternyata Jayaraja masih mampu memanfaatkan para pengikut Akuwu yang lama serta gerombolan-gerombolan di luar Pakuwon Sangling untuk berusaha menghancurkan pemerintahan Mahisa Bungalan.

Sementara itu, ternyata Jayaraja telah menyusun sekelompok pasukan terpilih. Dengan cermat ia telah memperhitungkan satu gerakan yang tiba-tiba untuk menembus semua pertahanan menusuk langsung ke istana Akuwu Sangling. Menurut perhitungan Jayaraja, maka betapa pun ketatnya penjagaan atas istana Sangling, namun kemampuan pasukannya yang dipilihnya sebagai pasukan khusus itu tentu akan dapat memasuki istana dan sekaligus menangkap Akuwu Sangling, hidup atau mati.

Dengan kelompok khususnya Jayaraja telah menyelinap langsung menuju ke istana. Dendam yang membakar jantungnya, serta nafsunya untuk menguasai Sangling benar-benar telah membuatnya bergelora. Sebenarnyalah pasukan Jayaraja adalah pasukan yang sangat kuat. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun orang-orang yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang memang benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi.

Ketika pasukannya bertemu dengan sekelompok prajurit Sangling maka dengan kekuatan yang mengejutkan, pasukan itu mampu menerobosnya. Pasukan itu memang tidak terpancang untuk bertempur pada garis perang. Tetapi pasukan itu telah dengan sengaja membuat gerakan yang dapat mengelabui lawan mereka. Dalam keadaan yang kalut itu, maka pasukan khusus itu telah menerobos membelah pasukan lawan.

Pasukan Sangling memang terkejut melihat gerak sekelompok pasukan khusus dari antara para pengikut Jayaraja itu. Mereka seakan-akan baru sadar, ketika pasukan khusus itu telah menghilang lepas dari kejaran mereka. Bahkan beberapa orang diantara prajurit Sangling itu justru telah terluka.

“Ke mana mereka?” bertanya Senapati yang memimpin pasukan Sangling yang menerobos prajurit-prajuritnya itu.

“Entahlah” jawab seorang pemimpin kelompok.

“Kita harus menyusul mereka” berkata Senapati itu.

“Mereka akan bertemu dengan pasukan Sangling yang lain” jawab pemimpin kelompok itu.

“Tetapi yang terjadi adalah sebagaimana telah terjadi atas pasukan kita,” berkata Senapati itu, “bahkan mungkin mereka akan menuju ke istana.”

“Mereka tidak berjalan ke arah istana” desis pemimpin kelompok yang ragu-ragu.

Senapati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia memutuskan untuk melacak pasukan yang menerobos pasukannya itu. “Kita harus menemukan mereka,” berkata Senapati itu, “Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan cara yang licik seperti itu.”

Tetapi orang-orang Sangling kurang menyadari, bahwa pasukan itu telah dipimpin langsung oleh Jayaraja, yang pernah memasuki arena pendadaran, tetapi telah dikalahkan oleh Akuwu, meskipun ia tidak mau mengakui.

Sekelompok pasukan khusus dari para pengikut Jayaraja itu memang dengan sengaja memberikan kesan bahwa mereka tidak menuju ke istana. Tetapi beberapa orang yang tahu dengan baik jalan-jalan dalam kota, telah membawa pasukan itu menembus jalan-jalan sempit yang memang menuju ke istana Akuwu Sangling. Beberapa saat kemudian, maka pasukan khusus itu memang menjadi semakin dekat dengan istana. Karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.

Jayaraja yang mempunyai pengamatan tajam itu pun sudah memperhitungkan, bahwa untuk memasuki istana agaknya pasukan khususnya itu harus bertempur dengan keras. Pasukan pengawal istana tentu tidak akan dapat ditembus dengan mudah sebagaimana ia menembus sepasukan prajurit Sangling di perjalanan.

Karena itu, maka ketika mereka mendekati alun-alun di hadapan istana, maka Jayaraja memperingatkan pasukannya sekali lagi, bahwa tugas yang mereka pikul adalah tugas yang sangat berat.

“Kita tidak boleh ragu-ragu,” berkata Ki Jayaraja. “Kita tidak boleh gentar melihat darah. Berapa pun kita membunuh, itu adalah karena panggilan tugas dan perjuangan kita. Sebaliknya, berapa banyak diantara kita yang gugur, tidak akan menggoyahkan tekad kita untuk menghancurkan kedudukan Akuwu Sangling yang sekarang. Tujuan kita adalah memasuki istana dan menangkap Akuwu hidup atau mati.”

Dengan singkat Jayaraja pun kemudian memberikan petunjuk arah kepada pasukannya. Ia menegaskan kembali jalur yang harus ditempuh. Mereka akan memasuki istana lewat beberapa jalan.

“Sekelompok pasukan terpilih akan siap di belakang istana. Beberapa kelompok akan menyerang lewat pintu gerbang. Jika perhatian para prajurit Sangling sudah sepenuhnya tertuju ke pintu gerbang, maka pasukan terpilih itu akan memasuki halaman istana dari belakang. Aku sendiri akan memimpin pasukan itu untuk dapat berhadapan sekali lagi dengan Akuwu Sangling” berkata Jayaraja.

Demikianlah, maka Jayaraja telah memisahkan sekelompok pasukan terpilihnya. Sementara itu, yang lain akan mendekati istana dari depan. Mereka akan memancing perhatian para pengawal Akuwu. Namun yang datang dari depan itu pun harus berusaha benar-benar memecahkan pintu gerbang dan memasuki halaman istana. Setelah para pemimpin kelompok memahami perintah Jayaraja, maka pasukan itu pun mulai bergerak. Yang sebagian memisahkan diri untuk melingkari sasaran dan mendekati istana dari belakang.

Sementara itu, pertempuran pun telah menjadi semakin sengit hampir di seluruh kota. Rakyat Sangling yang tidak begitu mengerti apa yang terjadi telah menutup pintu rumah mereka dan berlindung di dalamnya. Namun mereka menjadi tenang jika mereka mendengar di jalan-jalan pedukuhan para prajurit Sangling meneriakkan perintah agar mereka tidak menjadi kebingungan.

“Kami, prajurit Sangling siap melindungi kalian. Jangan takut dan jangan kebingungan“ terdengar setiap kali orang berteriak di jalan-jalan.

Meskipun demikian, orang-orang Sangling pun mengetahui, bahwa pertempuran telah berkorbar di mana-mana. Pasukan Sangling yang berada di luar kota pun telah mulai bergerak pula. Ketika sebagian dari para pengikut Jayaraja telah memasuki dinding kota, maka mereka pun telah menyergap dengan garangnya.

Mereka yang semula berusaha untuk berlindung di balik pepohonan di pategalan-pategalan atau di padukuhan-padukuhan kecil, dengan tangkasnya telah berlari sambil mengayun-ayunkan senjata mereka, demikian mereka mendapat perintah atau isyarat untuk menyerang...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.