PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 53
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 53
Karya Singgih Hadi Mintardja
NAMPAKNYA perguruan itu tidak ingin membuang waktu terlalu banyak. Mereka memang tidak sekedar ingin memperluas pengaruh mereka dengan menduduki padepokan Suriantal, namun mereka juga memerlukan orang-orang yang cukup banyak untuk memperkuat barisan mereka. Jika padepokan Suriantal benar-benar dapat dihancurkan maka orang-orangnya mau tidak mau akan menjadi tawanan mereka. Dalam keadaan yang demikian, maka tawaran untuk menyatukan diri dengan kedudukan yang lebih baik dari seorang tawanan tentu akan diterima.
Persiapan-persiapan yang sungguh-sungguh pun telah dipersiapkan. Latihan-latihan yang melampaui kebiasaan serta hubungan yang terus menerus diantara ketiga padepokan itu. Namun sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan. Karena kemudaan mereka, ia ternyata dapat bergerak cepat dan keras sehingga kemajuan-kemajuan pun dapat dicapai dengan segera.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggap bahwa kehadiran sekelompok orang ke padepokannya itu bukan sekedar bermain-main. Kedua anak muda itu merasa bahwa tanpa seorang yang dianggap pemimpin tertinggi yang memiliki kemampuan mumpuni dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, maka padepokan itu dapat dianggap sebagai padepokan yang tidak mempunyai pelindung yang berarti.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin padepokannya menjadi korban. Jika benar orang-orang berilmu tinggi yang memimpin tiga buah padepokan akan datang, maka diperlukan tiga orang untuk mengimbangi mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan dapat mengharapkan kakak mereka, Mahisa Bungalan untuk ikut bersama mereka karena tugas-tugasnya. Karena itu, maka kedua orang anak muda itu sepakat untuk menghubungi Mahendra.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat meninggalkan padepokan itu. Keduanya cemas bahwa justru pada saat mereka pergi, orang-orang yang menganggap padepokan itu sebagai padepokan yang kurang genap itu datang kembali dengan maksud buruk.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan dua orang terbaik dari padepokan itu untuk pergi ke Singasari. Dengan ancar-ancar yang jelas keduanya diminta datang ke rumah Mahendra dan mohon agar ayahnya itu bersedia datang ke padepokannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja tidak memberitahukan persoalan itu kepada paman-pamannya Mahisa Agni dan Witantra yang sudah terlalu tua, sehingga mereka sudah tidak pantas lagi untuk melakukan perjalanan yang terlalu jauh.
“Hati-hatilah,“ pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua orang padepokan Suriantal itu pun meninggalkan padepokan di pagi-pagi benar di hari berikutnya. Keduanya menempuh perjalanan panjang dan berpacu dengan waktu. Tetapi agaknya orang-orang perguruan Windu Putih tidak segera bertindak. Mereka masih menghimpun kekuatan dan pertimbangan-pertimbangan lain sehingga mereka masih belum mulai bergerak.
Ternyata bahwa kedua orang padepokan Suriantal itu berhasil mendahului gerakan orang-orang Windu Putih. Keduanya telah kembali bersama dengan Mahendra setelah menempuh perjalanan yang melelahkan.
“Silahkan beristirahat,“ berkata Mahisa Murti kepada kedua orang yang kelelahan itu. Namun sementara itu Mahendra yang tua itu agaknya tidak nampak terlalu letih seperti kedua orang yang menjemputnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menceriterakan kehadiran sekelompok orang yang mengaku berasal dari tiga perguruan. Mereka merasa tersinggung justru karena di padepokan itu tidak ada seorang yang dianggap sebagai pemimpin tertinggi.
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, “Jadi kalian sudah bertekad untuk mendirikan sebuah perguruan?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab sambil menundukkan kepalanya, “Ya ayah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan mengangguk kecil Mahendra berkata, “Kalian masih terlalu muda. Tetapi jika itu memang sudah menjadi keputusan kalian apa boleh buat. Aku kira orang-orang yang datang itu menyimpan di dalam hati mereka, pengertian bahwa di padepokan ini tidak ada orang tua yang menjadi pelindungnya. Mereka akan datang untuk mengambil alih, apapun tujuan mereka yang sebenarnya. Mereka akan segera menyebut padepokan ini dengan nama padepokan mereka dan menjadikan tempat ini sebagai landasan bagi gerakan-gerakan mereka berikutnya.”
“Kami juga memperhitungkan kemungkinan itu ayah,“ sahut Mahisa Pukat, “karena itulah maka kami mohon ayah datang. Jika benar yang datang itu tiga buah padepokan, maka berarti bahwa harus ada orang sedikitnya tiga untuk mengimbangi kekuatan mereka.”
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di padepokan ini. Tetapi aku bukan pemimpin dari padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah mereka yang telah bersedia berada di padepokan itu.
Namun di satu pagi, ketika cahaya matahari mulai menguak kelamnya sisa malam, seseorang telah berdiri di depan regol padepokan Suriantal. Dengan sikap yang tidak dimengerti orang itu berdiri saja tanpa berbuat sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendapat laporan itu pun segera pergi ke regol, justru bersama ayah mereka Mahendra.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya pernah melihat orang itu. Karena itu, maka keduanya pun telah melangkah mendekatinya diikuti oleh Mahendra. Bagaimanapun juga ketiganya telah bersiaga sepenuhnya, karena mereka tidak tahu, siapakah dan untuk apakah ia datang.
Ketika mereka bertiga telah menjadi semakin dekat, maka orang itu pun berkata, “Apakah kalian tidak ingat lagi kepadaku. Aku adalah guru dari Akuwu Sangling yang lama, yang digantikan oleh Akuwu yang sekarang, Mahisa Bungalan.”
“Oo,“ Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dengan nada ragu Mahisa Murti berkata, “Untuk apa kau kemari?”
“Aku ingin mengunjungi kalian. Apakah kalian berkeberatan?“ bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak segera dapat menjawab. Namun Mahendra lah yang menjawab, “Marilah. Silahkan Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih atas penerimaan yang baik dari kalian semuanya.”
Demikianlah Mahendra diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan tamu mereka memasuki bangunan induk padepokan Suriantal. Mereka duduk di pendapa, sementara di regol beberapa orang sedang membicarakan tamu yang agaknya menarik perhatian itu.
“Aku harap kalian tidak lupa kepadaku,“ berkata orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Aku ingat itu.”
“Baiklah,“ berkata orang itu, “jika demikian maka kedatanganku tidak akan sia-sia.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara itu Mahendra pun bertanya, “Apakah keperluan Ki Sanak datang ke padepokan ini?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dahulu sebuah batu yang berwarna kehijauan sangat menarik perhatian orang. Namun sekarang, setelah batu itu tidak ada di sini, maka padepokan yang tumbuh dan berkembang ini pun tetap menarik perhatian orang lain.”
“Apakah maksud Ki Sanak?“ bertanya Mahendra.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah orang yang telah menyatakan diri untuk membantu setiap kesulitan yang terjadi di Sangling dibawah perintah Akuwu yang sekarang ini, sebagai tebusan kesalahan anak muridku yang memerintah sebelumnya. Tentu saja sejauh kemampuan yang ada padaku. Namun ketika aku mendengar bahaya yang mengancam padepokan ini, yang dipimpin oleh dua orang anak muda adik Mahisa Bungalan yang menjadi Akuwu di Sangling sekarang, ternyata aku juga tidak sampai hati untuk hanya berdiam diri saja.”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bahaya yang mana yang Ki Sanak maksudkan?”
Orang itu merenung sejenak, namun kemudian katanya, “Anak-anak muda yang memimpin padepokan ini. Menurut pendengaranku, maka perguruan Windu Putih telah bersiap-siap untuk menebarkan sayapnya, yang akan meliputi padepokan yang sedang berkembang ini. Perguruan Windu Putih adalah perguruan yang besar yang telah membagi diri menjadi tiga perguruan. Meskipun semuanya masih juga menyebut perguruan mereka dengan nama yang sama, tetapi masing-masing seakan-akan telah berdiri sendiri. Ketiga perguruan itu telah siap untuk datang ke padepokan ini dan berusaha untuk menghancurkannya dan merampas segala isinya termasuk mereka yang akan menyerah.”
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Jadi perhitunganmu benar, anak-anak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Mahendra berkata kepada tamunya, “Sekelompok orang yang mengaku datang dari tiga padepokan telah datang kemari tanpa menyebut nama padepokannya.”
Orang yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Mereka tidak bermain-main. Apa yang mereka lakukan disini?”
Mahisa Murti sempat menceritakan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang mengaku datang dari tiga padepokan itu.
“Mereka memang sedang mencari keterangan,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu, “mereka pun kemudian yakin, bahwa padepokan ini hanya ditunggui oleh anak-anak muda saja.”
“Itulah sebabnya aku mengundang ayah kemari,“ berkata Mahisa Pukat.
“Syukurlah,“ berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Aku sebenarnya ingin menyatakan niatku untuk membantu kalian. Karena semula aku tidak tahu bahwa ayah anak-anak muda telah berada disini pula.”
“Kami mengucapkan terima kasih,” berkata Mahendra, “jika aku ada disini sebenarnyalah aku hanya sekedar membesarkan hati anak-anakku. Kami akan sangat senang jika Ki Sanak tetap berada disini sebagaimana Ki Sanak rencanakan.”
Orang itu tersenyum kecil. Katanya, “Siapa yang tidak mengenal kemampuan ilmu ayah Mahisa Bungalan,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu, “namun demikian jika kalian berkenan, aku memang ingin berada disini. Selain aku memang ingin membantu sejauh dapat aku lakukan, aku pun sebenarnya telah lama sekali mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Kiai Windu Putih secara pribadi.”
“Kiai Windu Putih?“ bertanya Mahendra.
“Orang menyebutnya Kiai Windu Putih. Tetapi nama sebenarnya adalah Kuda Santaka,“ jawab orang itu.
“Kuda Santaka,“ ulang Mahendra, “rasa-rasanya aku sudah mendengar nama itu. Sebagai seorang yang berkeliling untuk menjajakan barang-barang daganganku, maka pada suatu saat aku memang pernah berhubungan dengan orang yang menyebut dirinya Kuda Santaka. Tetapi ternyata bahwa hubungan kami sebagai penjual dan pembeli tidak dapat berpaut.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berterima kasih jika aku diperkenankan membuat perhitungan dengan orang yang bernama Kuda Santaka itu. Mungkin anak-anak muda dan Ki Mahendra akan menuduhku memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadiku. Mungkin memang demikian. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat saling membantu. Sudah tentu aku seorang diri akan mengalami kesulitan berhadapan dengan Kuda Santaka yang telah mampu mengembangkan padepokannya menjadi tiga buah padepokan. Sementara itu, barangkali disini tenagaku akan dapat berarti bagi padepokan ini meskipun hanya seorang diri.”
Mahendra ternyata telah mendahului anak-anaknya, “Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak bergabung dengan kami. Mudah-mudahan kami dengan kekuatan yang ada akan dapat mempertahankan diri dan mempertahankan padepokan ini.”
Orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu-pun kemudian berkata dengan nada berat, “Aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan ini. Karena itu, maka aku berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya dalam persoalan yang menyangkut padepokan Windu Putih itu. Namun perlu kami beritahukan bahwa padepokan Windu Putih yang sudah menjadi tiga bagian itu, memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga untuk itu, maka padepokan ini harus benar-benar sudah siap menghadapinya.”
“Kami sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Para penghuni padepokan ini sudah melatih diri hampir di setiap saat untuk meningkatkan kemampuan kami,“ berkata Mahisa Murti, “namun bagaimanapun juga kemampuan kami memang sangat terbatas.”
“Bagaimanapun juga kita usaha sejauh mungkin sudah dilakukan, maka hasilnya tentu akan berarti,“ berkata orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.
Demikianlah, sejak saat itu, orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu berada di padepokan yang masih saja disebut Suriantal. Sementara itu, latihan-latihan di padepokan itu berlangsung semakin keras. Para pemimpin kelompok telah mendapat penjelasan, bahwa perguruan yang besar berusaha untuk menguasai padepokan ini, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga padepokan itu harus dipertahankan.
Dalam pada itu, maka rencana perguruan Windu Putih pun menjadi semakin matang. Padepokan yang semula bernama Suriantal itu tidak boleh tumbuh dan berkembang sehingga akan dapat mempersempit pengaruh perguruan Windu Putih.
“Kami agaknya memang sudah terlambat,“ berkata orang yang disebut Windu Putih, yang sebenarnya bernama Kuda Santaka itu.
“Kenapa terlambat?“ bertanya salah seorang muridnya yang juga telah diserahi tanggung jawab atas sebuah padepokan.
“Seharusnya kami membuat persoalan dengan padepokan itu di saat batu yang berwarna kehijauan itu belum diserahkan ke Singasari. Tetapi kini batu itu telah menjadi sebuah patung sehingga kedua anak muda yang memimpin padepokan itu mendapat penghargaan yang tinggi dari Sri Maharaja di Singasari,“ berkata Kiai Windu Putih.
“Biarlah,“ sahut seorang muridnya yang lain, yang juga memimpin sebuah padepokan, “sekarang kita datang ke padepokan itu dan mengambil segala isinya, termasuk orang-orang yang tersisa.”
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Windu Putih berkata, “Terlambat atau tidak, kita akan memasuki padepokan itu. Kedua anak muda itu tidak akan banyak berarti bagi kita, sehingga tugas ini bukanlah tugas yang terlalu berat. Sementara itu kita akan membawa pasukan yang cukup besar untuk menghancurkan padepokan itu. Namun kita harus berusaha sebanyak mungkin untuk menawan penghuni padepokan itu, sehingga mereka akan dapat kita jadikan budak-budak yang sangat berarti bagi kita, karena mereka akan mampu menjadi tenaga yang baik bukan saja di dalam kerja di padepokan, tetapi juga membantu di peperangan. Asal mereka kita tebarkan di ketiga padepokan dan kita pecah menjadi kelompok-kelompok kecil, maka mereka tidak akan berbahaya lagi. Setiap hari kita makan membuat jiwa mereka semakin kecil dan kerdil, sehingga mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.”
Para pemimpin di padepokan itu mengangguk-angguk. Mereka merasa bahwa mereka akan segera dapat menyelesaikan tugas mereka tanpa mengalami kesulitan. Pada saat yang sudah ditentukan, maka para pemimpin di ketiga padepokan itu telah menyiapkan pasukan mereka. Dua diantara padepokan itu telah membawa pasukannya berkumpul di padepokan yang dipimpin oleh murid Kiai Windu Putih yang tertua. Dari padepokan itu, mereka akan bersama-sama pergi ke padepokan Suriantal.
Jarak yang akan ditempuh memang cukup jauh. Namun jika padepokan itu jatuh, maka padepokan itu akan dapat dikembangkan menjadi satu diantara padepokan dari perguruan Windu Putih. Satu diantaranya akan dipimpin oleh Kiai Windu Putih sendiri, yang akan menjadi padepokan induk, sementara tiga yang lain akan dipimpin oleh ketiga muridnya.
Iring-iringan pasukan itu memang menempuh jalan yang tidak sering dilalui oleh orang-orang padukuhan. Mereka menempuh jalan melalui pinggir-pinggir hutan, kaki pegunungan dan jika mereka harus menempuh perjalanan di jalan yang ramai, maka mereka terpaksa menunggu sampai malam hari.
Pasukan itu ternyata berhasil lepas dari penglihatan prajurit peronda Sangling, meskipun iring-iringan itu melalui daerah Sangling. Tetapi ternyata pasukan itu tidak terlepas dari penglihatan petugas sandinya. Dua orang petugas sandi berhasil mengikuti dari jarak yang jauh. Namun ketika mereka yakin akan arah perjalanan pasukan itu, maka keduanya menjadi cemas.
“Nampaknya mereka menuju ke padepokan Suriantal,“ berkata seorang diantara mereka.
“Satu pasukan yang besar dari perguruan Windu Putih,“ sahut yang lain.
“Jika mereka benar-benar menuju ke padepokan Suriantal, maka padepokan itu akan terancam,“ berkata yang pertama, “kekuatan itu tidak akan terlawan. Agaknya ketiga pecahan perguruan Windu Putih terlibat di dalamnya.”
“Kau ikuti terus pasukan itu. Amati apa yang mereka lakukan. Aku akan melaporkannya kepada Akuwu Sangling.” berkata yang seorang diantara kedua petugas sandi itu.
“Terlambat,“ sahut kawannya, “kapan kau akan sampai ke Sangling, sementara padepokan Suriantal tinggal abunya saja.”
“Aku akan berusaha mendapatkan seekor kuda dari manapun,“ jawab kawannya pula.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kecuali jika kau berhasil mendapatkan kuda sementara Sangling juga menggerakkan pasukan berkuda.”
Kawan termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Ya. Aku akan mencari seekor kuda, dan mohon Akuwu Sangling untuk menggerakkan pasukan berkuda berapa pun jumlahnya.”
“Tetapi apakah ada juga orang yang dapat mempercayaimu dan meminjamkan seekor kuda? Kita sama sekali tidak dikenal di sini,“ jawab yang lain.
“Entahlah,“ berkata kawannya. “Aku belum tahu bagaimana caranya. Tetapi aku harus mendapatkannya.”
Ketika kawannya masih akan berbicara lagi, ia berkata, “Jika kita berbicara saja, maka aku tidak akan segera pergi.”
Kawannya hanya menarik nafas dalam-dalam, sementara yang lain telah meloncat pergi ke padukuhan terdekat. Memang tidak mudah untuk dapat meminjam seekor kuda. Apalagi kuda yang baik. Karena itu, maka petugas sandi itu bertekad untuk mengambil saja seekor kuda dan akan diperhitungkan kemudian.
“Tetapi jika terjadi persoalan dengan orang-orang padukuhan maka akibatnya justru akan menghambat perjalanan ini,“ berkata orang itu kepada diri sendiri.
Akhirnya orang itu telah memutuskan untuk pergi ke rumah Ki Bekel di padukuhan yang terdekat. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat menunjukkan ciri kesatuannya sebagai pasukan sandi. Agar persoalannya dapat menjadi cepat, maka orang itu telah melepas timangnya yang terbuat dari emas. Katanya, “Aku tinggalkan timang emasku ini. Jika kuda itu kelak sudah selesai, maka aku akan mengembalikannya.”
Ki Bekel sebenarnya ingin lebih banyak bertanya. Tetapi ternyata orang yang memerlukan seekor kuda itu begitu tergesa-gesa, sehingga ia menunda pertanyaan sampai orang itu mengembalikan kudanya itu. Demikianlah, maka petugas sandi itu telah berpacu menuju ke Sangling. Untunglah bahwa kuda Ki Bekel itu adalah kuda yang baik sehingga ia dapat berpacu cepat sekali.
Betapapun petugas itu tergesa-gesa, tetapi ia tidak dapat memaksa kudanya berpacu tanpa beristirahat. Karena itu, maka dalam saat-saat tertentu ia sudah berhenti di tempat yang teduh. Di pinggir parit yang berair jernih dan berumput subur atau di tepian sungai yang tidak terlalu besar. Tetapi ia sudah berusaha sejauh dapat dilakukan.
Ketika ia sampai di istana Akuwu Sangling, maka ia sudah menempuh perjalanan hampir sehari penuh. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, sedangkan nafasnya terengah-engah.
“Ada apa?“ bertanya seorang perwira yang bertugas.
“Aku mohon menghadap Akuwu,“ jawab petugas itu.
“Untuk apa? Tidak semudah itu menghadap Akuwu. Tidak setiap orang yang datang dengan tergesa-gesa langsung dapat diterima oleh akuwu. Kau siapa, dari mana dan apa keperluanmu?“ bertanya perwira yang bertugas.
Petugas sandi itu tidak sabar. Segalanya harus berlangsung cepat. Karena itu, maka ia pun telah menunjukkan ciri dari seorang perwira petugas sandi. Perwira yang menghentikannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, bahwa petugas sandi memang mempunyai kesempatan yang khusus karena persoalan yang dibawanya mungkin sekali merupakan persoalan yang sangat penting.
Sebenarnyalah, bahwa perwira yang bertugas itu sudah mengusahakan menghubungi pelayan dalam, sehingga secara khusus petugas itu dapat diterima oleh Akuwu Sangling. Dengan singkat, perwira dari petugas sandi itu segera menceriterakan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka Akuwu pun dengan cepat pula telah mengambil keputusan.
“Pasukan berkuda yang bertugas, siap untuk berangkat sekarang juga,“ perintah Akuwu dengan suara berat.
Sejenak kemudian, perwira pasukan berkuda yang sedang bertugas itu pun telah menghadap. Perintah Akuwu pun telah jatuh, bahwa pada saat itu juga sekelompok pasukan berkuda yang bertugas supaya berangkat. Tidak ada waktu untuk menghimpun prajurit-prajurit berkuda yang lain.
“Berapa orang?“ bertanya Akuwu.
“Tiga puluh orang,“ jawab perwira pasukan berkuda, “mereka bertugas di empat tempat.”
“Kumpulkan dan segera berangkat. Aku tidak memberi perintah lagi. Pergilah bersama prajurit sandi ini,“ berkata Akuwu.
Ternyata pasukan berkuda Sangling itu benar-benar pasukan yang terlatih. Dalam waktu yang singkat, mereka telah berkumpul dengan kelengkapan perang yang memadai. Seperti yang diperintahkan Akuwu mereka tidak menunggu perintah berikutnya. Demikian mereka siap, maka mereka pun segera berangkat.
Ternyata yang kemudian berpacu diatas punggung kuda tidak hanya tigapuluh orang, tetapi tigapuluh empat orang ditambah dengan perwira dari pasukan berkuda dan perwira dari petugas sandi sehingga semuanya berjumlah tigapuluh enam orang. Derap kaki-kaki kuda itu memang mengejutkan orang-orang Sangling. Namun mereka tidak sempat bertanya. Kuda-kuda itu berlari seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Sementara itu, pasukan perguruan Windu Putih yang besar telah menjadi semakin dekat. Untunglah bahwa mereka berusaha untuk tidak banyak diketahui orang, sehingga perjalanan mereka menjadi agak lamban.
Seorang dari prajurit sandi telah dengan sangat berhati-hati mengikutinya dari jauh. Ketika ia yakin bahwa arah pasukan itu memang menuju ke padepokan Suriantal, maka ia pun telah berusaha untuk memotong jalan, mendahului pasukan yang berjalan dengan lamban itu.
Prajurit Sandi itu memang berhasil mendahului pasukan yang cukup besar dari ketiga perguruan yang masih disebut dengan nama yang sama itu. Dengan berlari-lari kecil, melintasi pematang-pematang sawah dan pategalan, menyeberangi sungai dan meloncati parit-parit, maka akhirnya petugas sandi itu sampai ke jalan yang lurus menuju ke padepokan yang semula disebut padepokan Suriantal itu.
Ia memang menjadi ragu-ragu karena sama sekali tidak dikenal oleh para penghuni padepokan itu. Namun ia tidak dapat membiarkan padepokan itu disergap tanpa sempat melawan, karena ia tahu bahwa yang memimpin padepokan itu adalah dua orang Adik Akuwu Sangling. Bagaimanapun juga, Sangling tentu tidak akan rela hal itu terjadi.
Ketika orang itu kemudian mendekati regol padepokan yang di siang hari memang terbuka, maka para petugas di regol itu pun telah menyapanya dengan ramah.
“Siapakah kau Ki Sanak? Dan apakah kau mempunyai keperluan dengan isi padepokan ini?”
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku ingin menghadap kedua orang adik Akuwu Sangling.”
“Untuk apa?“ bertanya petugas regol itu.
“Ada sesuatu yang penting yang ingin aku sampaikan,“ jawab orang itu.
“Siapakah kau sebenarnya?“ bertanya petugas di regol itu pula.
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun kemudian untuk tidak memperpanjang persoalan maka ia pun menjawab, “Aku adalah prajurit sandi dari Sangling.“
Petugas itu memang terkejut. Namun prajurit sandi itu telah menunjukkan pertanda tentang dirinya, bahwa ia adalah memang seorang prajurit sandi. Meskipun petugas di regol itu belum mengenal pertanda prajurit sandi dari Sangling, tetapi ia pun kemudian berkata,
”Baiklah. Silahkan duduk di pendapa. Kami akan menyampaikannya kepada kedua orang pemimpin kami.”
Petugas sandi dari Sangling itu mengangguk kecil. Oleh seorang petugas ia pun telah dibawa naik ke pendapa bangunan induk, sementara yang lain telah melaporkannya kepada dua orang yang menyebut dirinya Putut di padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka menduga bahwa orang itu telah mendapat perintah dari kakaknya untuk satu keperluan yang penting, sementara itu mereka sendiri sedang menunggu perkembangan keadaan antara padepokan itu dengan padepokan yang dipimpin oleh Kiai Windu Putih. Tetapi kejelasannya adalah apabila orang itu sudah mengatakan sendirinya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun segera telah menemui orang yang mengaku prajurit sandi dari Sangling itu.
Ketika orang itu kemudian menyampaikan keperluannya serta menceriterakan apa yang dilihatnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengangguk-angguk. Mereka memang harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh berita yang dibawa oleh prajurit sandi itu. Namun mereka pun tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan yang lain tentang kakak mereka yang berada di Sangling.
“Terima kasih Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “semula aku merasa cemas bahwa berita yang Ki Sanak bawa menyangkut kakang Mahisa Bungalan. Apalagi jika kakang memerlukan kami datang, sementara padepokan ini memang sedang dalam bahaya.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan tentang Sangling. Namun justru pasukan yang besar itu telah mendekati padepokan ini,“ berkata prajurit sandi dari Sangling itu.
“Terima kasih,“ berkata Mahisa Murti sekali lagi, “kami akan segera mempersiapkan pasukan.”
“Silahkan,“ berkata petugas sandi itu, “mereka memang sedang mendekati padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok yang ada di padepokan itu. Mereka harus dengan cepat mempersiapkan pasukan yang ada untuk menghadapi orang-orang dari ketiga padepokan yang tergabung dalam perguruan Windu Putih yang telah bergerak menuju ke padepokan yang masih disebut padepokan Suriantal itu.
Ternyata petugas sandi itu menjadi ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa seorang kawannya telah menuju ke Pakuwon Sangling untuk minta dikirimkan bantuan segera. Jika usaha itu gagal, sementara orang-orang Suriantal sangat mengharapkannya, maka mereka akan menjadi kecewa sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi perlawanan mereka.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan berkuda yang berjumlah tidak lebih dari tiga puluh enam orang itu sudah berangkat, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan untuk menghimpun lagi pasukan berkuda yang dapat dengan cepat digerakkan menuju padepokan Suriantal. Sehingga dengan demikian, maka pada gelombang kedua itu, dua puluh dua orang prajurit berkuda telah berpacu menyusul pasukan yang terdahulu menuju ke padepokan Suriantal, dipimpin langsung oleh para perwira pilihan dari Sangling.
Sementara itu Akuwu Sangling sendiri telah mempersiapkan diri pula. Namun ia masih harus memberikan beberapa pesan, petunjuk dan perintah-perintah, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat bergerak secepat kedua gelombang pasukannya. Tetapi beberapa saat kemudian, maka Akuwu Sangling pun telah berangkat pula menyusul dengan dua puluh lima orang pengawal pilihan, dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan karena Akuwu dan pengawalnya mempergunakan kuda-kuda pilihan pula, jarak antara pasukan gelombang kedua dengan pasukan yang dipimpin oleh Akuwu itu sendiri tidak menjadi semakin jauh, justru menjadi semakin dekat.
Seorang penghubung yang terampil dan berkuda di paling depan, telah melepaskan isyarat dengan panah sendaren yang melambung tinggi di udara. Suara panah sendaren itu bergaung di udara. Ternyata pasukan berkuda yang bertolak pada gelombang kedua sempat menangkap suara bergaung itu, sehingga dengan demikian mereka pun mengerti, bahwa Akuwu Sangling berada tidak terlalu jauh di belakang mereka.
Demikianlah tiga gelombang pasukan berkuda telah berpacu menuju padepokan yang disebut semula padepokan Suriantal. Namun jarak antara Sangling dan padepokan itu bukannya jarak yang dekat. Sehingga karena itu, maka perjalanan yang mereka tempuh pun merupakan perjalanan yang panjang. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti, karena kuda-kuda mereka tidak akan dapat dipaksa berpacu terus menerus sampai mereka sampai ke tujuan.
Jumlah seluruh prajurit dari pasukan berkuda itu memang tidak terlalu banyak. Tetapi bagi padepokan Suriantal akan memberikan arti yang besar, sehingga akan dapat menumbuhkan harapan untuk dapat mengatasi kesulitan yang datang. Namun pasukan dari ketiga perguruan yang disebut perguruan Windu Putih itu cukup besar.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah memperhitungkan bahwa serangan dari perguruan Windu Putih itu akan datang menjelang fajar. Mereka akan bergerak dan mengepung padepokan itu di dini hari, sehingga demikian matahari terbit, maka pasukan itu akan menyerang. Atau bahkan menjelang cahaya matahari mulai dilemparkan keatas padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memerintahkan untuk bersiap-siap sesuai dengan perhitungannya. Meskipun demikian Mahisa Murti telah memerintahkan untuk berhati-hati bahwa kemungkinan lain dapat terjadi. Karena itu, maka penjagaan di malam hari harus diperkuat. Namun mereka harus mampu mengatur diri, sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang cukup untuk beristirahat, karena besok kemungkinan yang gawat akan dapat terjadi.
Dengan demikian, maka malam itu juga, semua persiapan telah dilakukan. Beberapa onggok lembing telah diletakkan di-atas panggungan di dalam dinding padepokan. Busur dan anak panah yang tidak terhitung jumlahnya telah disiapkan pula, sehingga setiap saat akan dapat dipergunakan.
Di beberapa tempat, para petugas dengan cermat mengamati keadaan. Namun di samping para peronda yang memang ditempatkan di gardu-gardu penjagaan di atas panggungan, maka beberapa orang yang lain, justru berjaga-jaga di belakang dinding tanpa dapat dilihat oleh orang-orang yang berada di luar.
Sebenarnyalah bahwa perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak salah. Para pemimpin perguruan Windu Putih memang berniat untuk menyerang padepokan itu di saat matahari terbit. Karena itu maka mereka pun telah menyiapkan pasukan mereka di malam hari. Mereka telah meletakkan pasukannya di tempat-tempat yang dianggapnya paling baik untuk mulai dengan serangan-serangannya ketika matahari mulai melemparkan cahayanya.
“Kita perkuat pasukan kita di sebelah Timur,“ berkata pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu.
“Apakah kita tidak menyerang dari Utara dengan memecahkan pintu gerbang?“ bertanya salah seorang pemimpin perguruan itu yang lain.
“Kita memang akan berusaha untuk memecahkan pintu gerbang. Tetapi matahari akan terbit di arah Timur. Mereka akan menjadi silau jika mereka menentang matahari, sementara kita akan mendapat kesempatan lebih baik,“ berkata pemimpin tertinggi itu.
Para pemimpin yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat untuk memanfaatkan cahaya matahari pagi. Namun dengan demikian, maka mereka harus mempersiapkan kemungkinan lain daripada memecahkan pintu gerbang. Jika mereka mendapat kesempatan karena keuntungan mereka di saat matahari terbit, maka mereka harus mempersiapkan tangga sebanyak-banyaknya.
Hal itu sudah dipikirkan oleh para pemimpin perguruan Windu Putih. Meskipun mereka tidak mempersiapkan tangga, tetapi mereka telah terlatih mempergunakan alat lain. Dengan tongkat-tongkat yang disandarkan pada dinding, maka mereka akan berloncatan naik, sementara kawan-kawannya akan melindungi mereka dengan serangan anak panah.
Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih itu pun telah memperingatkan pada para pemimpin yang lain, bahwa perhitungan mereka tentu sama dengan perhitungan para pemimpin padepokan Suriantal. Karena itu maka pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu pun telah berkata,
“Kalian menang harus berhati-hati. Para pemimpin dari Suriantal itu tentu sudah menebak, bahwa kita akan bergerak menjelang fajar. Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka juga memperhitungkan bahwa tekanan serangan kita justru akan datang dari arah Timur. Tidak dari arah depan padepokan yang menghadap ke Utara."
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk, sementara pemimpin tertingginya pun telah memerintahkan pula untuk beristirahat sebanyak-banyaknya.
“Kita tidak tahu, berapa lama kita akan bertempur esok. Mungkin sehari penuh kita belum dapat memecahkan dinding dan pintu gerbang. Namun kita yakin, bahwa kita akan dapat menghancurkan padepokan yang kecil dan sombong ini,“ berkata pemimpin tertinggi padepokan itu.
“Bukan padepokan yang kecil,“ desis yang lain, “padepokan ini termasuk sebuah padepokan yang besar. Ditinjau dari jumlah orang yang ada di dalamnya.”
“Tetapi mereka berasal dari sumber yang berbeda-beda sehingga kekuatan mereka tentu tidak akan utuh,” jawab pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka percaya akan perhitungan pemimpin tertinggi mereka. Apalagi berdasarkan laporan pengamatan yang sebelumnya dilakukan serta keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkan, maka isi padepokan itu tidak akan cukup banyak untuk melawan tiga padepokan dari satu perguruan yang sangat besar sebagaimana perguruan Windu Putih itu. Bahkan separuh-pun tidak.
Karena itu, maka para pemimpin padepokan Windu Putih memang sudah memastikan, bahwa mereka akan dapat mematahkan tunas yang nampaknya akan tumbuh menjadi sebuah perguruan baru diatas reruntuhan perguruan Suriantal, yang bagi mereka agaknya akan lebih baik daripada perguruan itu tumbuh dan menjadi subur. Bahkan dengan demikian, maka padepokan itu akan dapat dijadikan padepokan keempat dari perguruan Windu Putih. Meskipun jaraknya dari padepokan-padepokan yang lain cukup jauh, namun agaknya tidak akan banyak perguruan lain yang akan berani mengganggu, karena dengan demikian mereka akan berhadapan dengan seluruh perguruan Windu Putih yang akan menjadi semakin besar.
Orang-orang yang ada di dalam padepokan itu, tentu akan dengan senang hati atau pun tidak, bersedia masuk ke dalam lingkungan perguruan Windu Putih. Setidak-tidaknya mereka akan dapat menjadi budak-budak yang pada saat-saat tertentu justru dapat dipaksa untuk bertempur asal mereka tidak terikat dalam kelompok-kelompok. Apalagi yang memimpin padepokan itu tidak lebih dari dua orang anak muda yang mengaku diri mereka Putut di padepokan itu. Demikianlah, maka kedua belah pihak agaknya telah mempergunakan kesempatan yang tersisa di malam itu untuk beristirahat sebaik-baiknya.
Ketika malam mendekati dini, maka sebagian dari pasukan di kedua belah pihak telah terbangun. Mereka yang bertugas pun segera menyalakan perapian dan menyiapkan makan bagi seluruh pasukan. Mereka tidak boleh kehabisan tenaga di medan pertempuran, seandainya pertempuran itu berlangsung sampai petang dan apalagi tertunda dikeesokan harinya.
Sementara itu, yang lain pun seorang demi seorang telah terbangun pula. Mereka tidak membuang waktu yang memang tidak terlalu banyak. Demikian nasi masak, maka mereka yang lebih dahulu bersiap telah mendapat kesempatan untuk makan seberapa dapat mereka makan. Sebelum mereka benar-benar turun ke medan, mereka telah mendapat waktu beberapa saat untuk mengendapkan makanan dan minuman di dalam perut mereka.
Ketika saatnya cahaya langit menjadi merah, serta tanah mulai menjadi nampak semakin terang, maka ternyata kedua belah pihak telah menyusun pasukan mereka masing-masing. Para pengamat diatas dinding padepokan agaknya melihat, bahwa kekuatan lawan justru dipusatkan tidak di depan padepokan, tetapi justru di arah Timur.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya segera mengetahui, bahwa orang-orang dari Windu Putih itu berusaha untuk memanfaatkan sinar matahari agar orang-orang padepokan Suriantal itu terpaksa melawan dengan mata yang silau.
“Beritahukan kepada semua orang yang berada di sisi Timur,“ berkata Mahisa Murti, “jika mereka menyadari akan hal ini, maka mereka akan menempatkan diri. Mereka tidak membidik lawan di arah yang silau. Tetapi mereka akan menyerang lawan tanpa menghadap lurus ke matahari. Memang dengan demikian mungkin serangan kita tidak lurus mengarah lawan yang dihadapan kita langsung, tetapi serangan itu akan menjadi akan condong dan bahkan mungkin bersilang.”
Perintah itu pun segera telah tersebar diantara mereka yang bertugas di sisi sebelah Timur. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menarik beberapa orang di sisi yang lain untuk juga berada di sisi Timur. Demikianlah, sebelum matahari terbit, kedua belah pihak memang sudah bersiap. Mereka hanya tinggal menunggu perintah untuk bergerak.
Dalam pada itu, di dalam padepokan, Mahendra dan orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu pun telah bersiap pula. Namun kedua orang tua sempat juga menilai keadaan yang mereka hadapi.
“Pasukan mereka terlalu besar untuk orang-orang di padepokan ini,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan penghuni padepokan ini sempat memanfaatkan apa yang mereka miliki disini untuk menahan arus yang akan melanda.”
“Kita yang tua-tua tidak dapat berpangku tangan,“ berkata orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu, “tetapi aku akan segera terikat pertempuran dengan Kiai Windu Putih. Aku memang ingin membuat perhitungan dengan orang itu. Namun sebelum aku bertemu dengan Kiai Windu Putih aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu menahan arus itu.”
Mahendra mengangguk-angguk. Melihat gelar dan jumlah lawan memang sulit bagi padepokan itu untuk bertahan. Hanya dengan tekad yang menyala serta kemampuan dan ketrampilan mempermainkan senjata, maka arus itu akan dapat dihambat. Namun Mahendra tidak akan dapat menyalahkan kedua anaknya jika mereka terpaksa mempergunakan kemampuan ilmu mereka untuk menyerang lawannya pada jarak jauh, sebelum mereka mencapai pintu gerbang. Tetapi Mahendra pun menyadari, bahwa perguruan Windu Putih pun tentu memiliki orang-orang yang menguasai ilmu yang tinggi pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, telah terdengar isyarat dari antara pasukan perguruan Windu Putih, bahwa pasukan mereka mulai menyerang. Suara bende yang dipukul dengan irama datar terus-menerus disahut oleh bende di sisi yang lain.
Sejenak kemudian, maka suara bende itu pun terdengar di seputar padepokan Suriantal. Rasa-rasanya padepokan itu memang sudah dikepung rapat, sehingga tidak ada lagi lubang seujung duri sekalipun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah naik pula ke panggung di sebelah regol padepokan yang tertutup rapat. Mahendra dan orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama-pun telah ikut naik pula mengamati keadaan.
“Kekuatan mereka tidak berada di bagian depan padepokan ini,“ berkata Mahendra.
“Ya ayah,“ jawab Mahisa Murti, “mereka ingin memanfaatkan cahaya matahari pagi. Tetapi kami sudah memberikan beberapa petunjuk kepada mereka yang berada di sisi Timur.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun memang terbersit, perasaan cemas di hatinya. Lawan agaknya memang terlalu banyak. Hanya karena Mahendra tahu bahwa penghuni padepokan itu telah menempa diri dengan sekuat tenaga yang ada, bukan hanya satu dua hari menghadapi serangan itu, tetapi sudah sejak jauh sebelumnya, maka masih tetap ada harapan pada Mahendra, bahwa penghuni padepokan itu akan mampu bertahan.
“Tidak ada pilihan lain kecuali mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya,“ berkata Mahendra di dalam hatinya.
Dalam pada itu, dengan derap yang tetap dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, orang-orang Windu Putih bergerak maju. Sebagian dari mereka telah mempersiapkan tongkat-tongkat yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding. Sedangkan yang lain telah mempersiapkan perisai untuk berlindung dari patukan anak panah dan lembing yang tentu akan terlontar dari dinding padepokan.
Orang-orang padepokan itu memang melihat persiapan yang matang dari orang-orang Windu Putih. Namun sebagai penghuni padepokan itu, maka mereka harus mempertahankan mati-matian. Apalagi mereka pun merasa bahwa mereka telah berlatih sebaik-baiknya untuk waktu yang lama, sehingga mereka yakin akan mampu mengimbangi orang-orang Windu Putih.
Tetapi di setiap dada orang-orang padepokan Suriantal itu terdengar desah, “Jumlah mereka terlalu banyak.”
Dalam pada itu, maka orang-orang Windu Putih itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya mereka tidak langsung menggempur pertahanan padepokan Suriantal. Tetapi pemimpin tertinggi padepokan Windu Putih itu diiringi oleh tiga orang muridnya yang masing-masing sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah padepokan, telah mendekati regol. Beberapa pengawal terpilih memencar di sebelah menyebelahnya dengan senjata siap di tangan. Bahkan beberapa diantara mereka telah siap dengan anak panah di busurnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak segera memberikan perintah untuk melontarkan anak panah dan lembing. Ketika terdengar isyarat suara bende tiga kali ganda, maka pasukan Windu Putih itu pun berhenti beberapa puluh langkah dari dinding padepokan Suriantal.
Dalam pada itu, ternyata orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama itu tidak segera mau menampakkan diri kepada pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih. Kepada Mahendra ia berkata, “Aku akan mengejutkannya di saat yang tepat.”
Mahendra mengangguk. Tetapi ia pun tidak berdiri diantara anak-anaknya. Tetapi berada diantara para pemimpin padepokan yang lain.
Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih yang juga disebut Kiai Windu Putih itu berdiri di depan regol sambil menengadahkan wajahnya memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri diatas regol padepokannya.
“He, siapakah diantara kalian yang mengaku Putut yang memimpin padepokan ini?“ bertanya Kiai Windu Putih.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser maju setapak. Dengan lantang Mahisa Murti menyahut, “Kami berdua. Kami adalah Putut yang memimpin padepokan ini. Nah, Ki Sanak. Siapakah kau dan kenapa tiba-tiba saja kau bawa pasukan mengepung padepokan ini?”
“Seharusnya kau sudah mengetahui jawabnya. Aku sudah pernah mengirimkan sekelompok orang yang mewakili tiga padepokan untuk datang kemari. Kau ternyata telah menyakiti hati mereka, sehingga kami datang untuk menghukum kalian,“ jawab Kiai Windu Putih.
“Begitu sederhana persoalannya,“ berkata Mahisa Murti, “begitu mudahnya kau mengambil keputusan untuk menghukum kami. Aku percaya, karena aku telah melihat sendiri, betapa besarnya perguruanmu. Kau sempat membawa orang sekian banyaknya untuk mengepung padepokanku. Nah, apakah hal itu bukan tidak sewenang-wenang? Karena kau merasa terlalu kuat, maka kau berbuat apa saja menurut keinginan kalian tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.”
“Ternyata kau pandai berbicara anak muda,“ jawab Kiai Windu, “tetapi sayang, bahwa kata-katamu itu sama sekali tidak menarik bagiku. Karena itu, kata-katamu itu seperti tidak pernah aku dengar,“ orang itu berhenti sejenak, lalu “Anak-anak muda yang menyebut dirinya Putut. Aku masih memberi kesempatan kepadamu. Menyerahlah tanpa syarat. Ikat semua senjata yang ada di padepokan ini. Maka kalian semuanya akan aku ampuni. Tetapi jika kau berkeras kepala, maka akibatnya akan terasa sangat pahit bagi kalian. Nah, kalian boleh memilih Para pemimpin yang lain pun boleh memilih.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menggeram, “Kau lihat, bahwa kami sudah siap?”
“Tentu,“ jawab Kiai Windu Putih, “tetapi karena kau berdua memerintahkan semua penghuni padepokan ini bersiap. Tetapi aku ingin berbicara langsung kepada mereka, siapa yang mau menyerah, aku akan mengampuni mereka. Mereka yang melihat kenyataan, bahwa pasukan kami jauh lebih kuat dari pasukan yang ada di padepokan ini tentu sudah memperhitungkan bahwa seisi padepokan ini tentu akan hancur. Dengan demikian, mereka yang berpandangan jauh dan melihat kenyataan, tentu akan memilih menyerah kepada kami dan bahkan ikut membantu kami menghancurkan pemimpin-pemimpin padepokan ini yang telah menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan. Nah, siapa yang akan menyerah, pintu masih terbuka. Atau barang kali mereka akan menunggu pertempuran segera dimulai dan bahkan berpihak kepada kami, karena kemungkinan yang lebih baik tentu akan mereka dapatkan dari kami."
“Kau licik,“ geram Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu pun berteriak, “Nah, para penghuni padepokan ini. Kalian sudah mendengar keterangan dari pemimpin perguruan Windu Putih itu? Nah, siapakah diantara kalian yang akan berkhianat, akan mendapat pengampunan dan barangkali tempat yang baik diantara orang-orang perguruan Windu Putih.”
Suasana justru menjadi tegang, sementara Mahisa Pukat mengulanginya lagi, “Cepat. Aku pun memberi kesempatan. Kalian boleh meloncat turun meninggalkan padepokan ini, atau memang benar-benar akan menunggu jika pertempuran sudah mulai dan berbalik menyerang kami, para pemimpin padepokan?”
Orang-orang padepokan Suriantal itu menjadi tegang. Namun Mahisa Pukat berteriak lagi, “jawab. Apakah kalian akan berkhianat atau tidak?”
Terdengar sorak yang gemuruh. Orang-orang Suriantal itu mengacu-acukan senjatanya dengan gejolak kemarahan didalam hati.
“Nah, Kiai Windu Putih,“ berkata Mahisa Pukat, “kau dengar suara mereka yang gemuruh? Atau barangkali kau masih belum yakin? Marilah kita mulai. Apakah mereka akan berkhianat atau tidak.”
Kiai Windu Putih itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baiklah. Jika demikian, maka kami harus membantai kalian seperti menebas hutan ilalang. Mayat kalian pun akan terbujur lintang di padepokan ini.”
“Bukankah itu lebih baik daripada kami harus dipenggal kepala kami dengan tangan kuncup terikat?“ geram Mahisa Pukat pula.
“Persetan,“ geram Kiai Windu Putih, “kita akan menghancurkan mereka.”
Sejenak Kiai Windu Putih memandang orang-orang yang berada di atas pintu gerbang itu. Kemudian ia menengadah ke langit yang cerah. Matahari memang sudah mulai merambat naik. Kiai Windu Putih tidak mau kehilangan kesempatan sebagaimana diperhitungkan. Jika orang-orangnya menyerang dari arah Timur, maka orang-orang padepokan Suriantal itu tentu akan menjadi silau. Karena itu, maka ia pun segera memberikan isyarat. Sejenak kemudian maka telah terdengar suara bende dalam nada datar mengumandang di sekitar padepokan tersebut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi menunggu. Ia pun telah memberikan isyarat kepada beberapa orang yang siap dengan panah sendaren di halaman, di belakang regol. Sesaat kemudian, maka beberapa anak panah telah terlepas ke segala penjuru. Suaranya berdesing di udara. Sahut menyahut meninggalkan gema yang panjang. Dengan demikian, maka setiap busur pun kemudian telah dilekati oleh anak panah. Lembing pun telah tergenggam dan setiap ujung senjata mulai bergetar.
Orang-orang dari perguruan Windu Putih pun menjadi semakin dekat. Di paling depan adalah mereka yang melindungi diri dengan perisai. Kemudian di belakangnya, adalah mereka yang siap untuk melontarkan anak panah, menyerang orang-orang yang berada diatas panggungan di belakang dinding.
Sejenak kemudian, ketika orang-orang Windu Putih telah sampai pada jarak jangkau anak-anak panah orang-orang padepokan Suriantal itu, maka mereka tidak menunggu perintah lagi. Suara panah sendaren itu sudah merupakan perintah yang tidak perlu diulang lagi.
Dengan demikian, maka anak panah pun telah meluncur dari kedua belah pihak. Seperti pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang yang menghadap ke arah Timur telah berusaha untuk tidak menghadap ke arah matahari. Mereka telah menyerang ke arah yang condong dan bahkan bersilang.
Cara yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh orang-orang Windu Putih. Mereka semula mengharap agar orang-orang padepokan itu menjadi silau. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Serangan dari atas dinding padepokan itu telah meluncur dari samping dan bahkan dari kedua sisi, sehingga mereka untuk sesaat menjadi agak kebingungan. Di mana mereka harus menaruh perisai mereka.
Dengan demikian, langkah orang-orang Windu Putih itu justru telah dihambat. Mereka harus berusaha untuk mengimbangi cara yang dipergunakan oleh orang-orang padepokan Suriantal. Namun dalam kekalutan itu, beberapa anak panah dan lembing ternyata telah sempat mengoyak kulit orang-orang Windu Putih yang sedang mencari bentuk perlawanan. Beberapa orang pemimpin kelompok dari orang-orang Windu Putih itu mengumpat. Beberapa orang kawan mereka telah jatuh dan tidak dapat meneruskan tugas mereka.
Dengan kemarahan yang membakar jantung, maka orang-orang Windu Putih itu pun telah berusaha membalas. Mereka telah melontarkan anak panah pula sebanyak-banyaknya ke atas dinding padepokan. Namun orang-orang Suriantal telah membuat dinding padepokan mereka sedemikian, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk berlindung pada tonggak-tonggak kayu papan-papan yang telah dipersiapkan. Sementara itu, ujung-ujung anak panah mereka meluncur dengan cepat menyusup diantara papan-papan pelindung itu.
Dengan demikian maka pertempuran anak panah diantara kedua belah pihak itu pun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah berusaha untuk melontarkan anak panah sebanyak-banyaknya. Bahkan kemudian dari balik papan-papan pelindung pada dinding padepokan, lembing-lembing pun telah terlontar. Mereka yang melemparkan lembing ke pasukan Windu Putih itu pun sama sekali tidak membidik lagi. Yang penting bagi mereka adalah ketrampilan melemparkan lembing itu, sehingga lembing itu dapat menukik pada sasaran.
Meskipun dari pasukan Windu Putih, anak panah pun juga dilemparkan, namun ternyata mereka banyak mengalami hambatan karena anak panah yang menghujan serta lembing yang jatuh beruntun tanpa henti-hentinya. Para pemimpin kelompok dari pasukan Windu Putih pun menjadi semakin marah melihat perlawanan yang sengit dari orang-orang padepokan Suriantal. Mereka tidak mengira, bahwa orang-orang padepokan yang dianggap terdiri dari berbagai sumber ilmu itu akan mampu bekerja sama dengan baik. Bahkan mereka telah menunjukkan kemampuan dan ketrampilan yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang padepokan telah mengalami latihan yang sangat berat. Mereka telah membentuk diri dan merasa diri mereka satu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di dekat orang tua yang banyak memberikan pendapatnya kepada keduanya itu pun melihat betapa perlawanan dari orang-orang Suriantal itu dapat dibanggakan.
“Untunglah bahwa mereka tidak datang pada saat-saat orang-orang padepokan ini sedang membersihkan diri dari ilmu mereka yang lama,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya. Pada saat kekuatan padepokan ini jauh susut,“ sahut Mahisa Pukat, “Jika mereka datang pada saat itu, maka semuanya akan hancur jadi debu.”
“Karena itu, maka kita wajib mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa mereka datang pada saat kita sudah siap menghadapinya, “desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, maka pertempuran berjarak itu menjadi semakin sengit. Anak panah pun menjadi semakin deras meluncur dari kedua belah pihak. Sedangkan orang-orang Suriantal yang mempunyai kedudukan yang lebih baik, telah memanfaatkannya dengan melontarkan lembing-lembing bambu yang berat.
Kadang-kadang orang-orang Windu Putih memang mengalami kesulitan. Anak panah itu meluncur lurus dari busurnya, sementara lontaran lembing bambu yang berujung besi baja yang tajam, meluncur dari arah yang lebih tinggi. Sehingga dengan demikian, maka mereka harus memanfaatkan perisai mereka dengan tepat. Namun dengan demikian, maka kemajuan pasukan Windu Putih itu pun telah terhambat.
Para pemimpin perguruan Windu Putih memperhatikan gerak pasukan mereka dengan dahi yang berkerut. Namun mereka masih belum berbuat sesuatu. Mereka ingin melihat sejauh mana orang-orang padepokan Suriantal mampu mempertahankan dirinya dari serbuan pasukan yang jauh lebih besar dari jumlah mereka. Tetapi pada benturan itu, orang-orang Windu Putih segera melihat bahwa orang-orang padepokan Suriantal adalah orang-orang yang memiliki keberanian dan tekad baja. Mereka sama sekali tidak menjadi gentar.
Sekelompok orang-orang Windu Putih telah dipersiapkan untuk memecahkan dinding padepokan. Meskipun serangan terbesar datang dari arah timur, namun yang berada di depan padepokan itu pun cukup besar untuk mendesak maju. Orang-orang yang dipersiapkan untuk memecahkan regol padepokan itu pun telah bersiap dengan sebuah balok kayu yang panjang, yang akan dapat mereka pergunakan untuk membentur pintu itu sehingga pecah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Ia tidak yakin bahwa orang-orang Windu Putih benar-benar akan mempergunakan balok-balok kayu untuk memecahkan regol. Jika saatnya datang, maka agaknya para pemimpinnya tentu akan mempergunakan cara lain untuk membuka pintu itu.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung terus. Orang-orang Windu Putih memang menjadi semakin lama semakin dekat. Tetapi mereka tidak maju secepat mereka duga. Orang-orang yang berada di bagian depan padepokan itu-pun telah berusaha untuk mendekati pintu gerbang. Dilindungi oleh perisai-perisai yang kuat, maka orang-orang yang memang sudah disiapkan, telah mengangkat sebuah balok kayu yang cukup besar dan panjang, yang telah dipersiapkan sebelumnya. Beberapa pasak telah dipasang untuk mengikat balok itu dengan tali-tali, sehingga dengan demikian, balok itu dapat diangkat lebih mudah dengan pikulan-pikulan oleh sekelompok orang.
Ketika pasukan Windu Putih menjadi semakin dekat, maka sekelompok orang yang mengangkat balok itu dengan beberapa cara, segera telah bersiap. Sepasukan khusus telah melindungi mereka bukan saja dengan perisai, tetapi dengan lontaran anak panah. Seorang diantara para pemimpin dari perguruan Windu Putih itu telah bersiap untuk memberikan aba-aba. Dengan tegap orang itu berdiri menghadap ke arah pintu gerbang, seolah-olah ingin mengetahui, seberapa tebalnya pintu gerbang itu.
Sejenak kemudian, ia pun telah mengangkat pedangnya, sementara orang-orang yang akan memanggul dan mendorong kayu itu pun telah siap pula. Mereka yang membawa perisai untuk melindungi kawan-kawannya yang mengusung kayu itu pun telah bersiap sedangkan yang lain akan melindungi mereka dengan anak panah.
Ketika pedang salah seorang pemimpin perguruan Windu Putih itu terangkat, maka semuanya sudah bersiap. Perlahan-lahan pedang itu mulai bergerak. Namun kemudian dengan gerak yang menghentak, pedang itu terayun turun. Terdengar teriakan serentak beberapa orang yang memanggul kayu itu. Dengan serta merta mereka pun telah berlari sekencang-kencangnya menuju ke pintu gerbang. Sementara itu, anak panah bagaikan semburan air meluncur dari busurnya menyiram orang-orang padepokan Suriantal yang berada di atas pintu gerbang.
Tetapi dengan tangkas orang-orang padepokan Suriantal itu pun telah berusaha berlindung di balik batang-batang kayu yang memang telah dipasang dan papan-papan yang tebal. Sedangkan yang lain telah berusaha menangkis anak panah itu dengan perisai dan pedang.
Namun bukan berarti bahwa orang-orang Suriantal membiarkan saja orang-orang Windu Putih itu membongkar pintu gerbang mereka tanpa dicegah sama sekali. Karena itu, maka justru mereka yang berada beberapa langkah di panggungan di samping pintu gerbang itulah yang telah menyerang orang-orang yang berusaha untuk memecahkan pintu gerbang itu.
Anak panah bagaikan hujan yang ditumpahkan dari langit, sementara itu lembing-lembing pun meluncur dengan derasnya. Meskipun lembing itu terbuat dari bambu, namun ujungnya dipasang mata lembing yang terbuat dari besi baja. Dengan demikian maka perhatian mereka yang melindungi orang-orang yang memanggul batang kayu yang panjang itu pun terbagi. Mereka harus menangkis serangan-serangan itu dan membalas menyerangnya. Namun dengan demikian maka orang-orang yang berada di panggungan diatas pintu gerbang-pun mendapat kesempatan pula.
Namun balok kayu itu sudah meluncur deras. Karena itu, maka sejenak kemudian, terdengar benturan yang keras. Balok kayu yang dipanggul dan kemudian didorong membentur gerbang itu telah mengguncang bukan saja daun pintunya yang tebal, tetapi juga tulang-tulang pintu gerbang itu.
Pintu gerbang itu telah beberapa kali pecah dengan berbagai cara. Antara lain dengan cara seperti itu juga. Setiap kali pintu gerbang itu diperbaiki, maka tulang-tulangnya telah diperkuat dengan kayu yang baru dari jenis yang lebih baik dan lebih besar. Demikian papan daun pintu regol itu. Selaraknya pun dibuat dari balok yang lebih kuat pula.
Tetapi ketika beberapa kali benturan masih juga belum berhasil memecahkan pintu regol atau mematahkan selaraknya, maka pemimpin perguruan Windu Putih yang memimpin orang-orangnya untuk memecahkan pintu regol itu pun telah memerintahkan menarik balok kayu yang panjang itu mundur untuk mengambil ancang-ancang lagi. Namun dalam pada itu, beberapa orang diantara mereka harus ditinggalkan di pintu gerbang, karena luka-luka mereka yang parah. Anak panah dan lembing masih nampak menancap di tubuh mereka yang terbaring diam.
Dalam pada itu, pemimpin perguruan Windu Putih itu pun telah berteriak, “Jika sekali lagi usaha ini gagal, maka aku akan mempergunakan cara lain, meskipun akan membuat seisi padepokan itu gemetar dan kehilangan gairah perlawanan mereka, sehingga dengan demikian pertempuran ini akan menjadi hambar. Tidak ada alasan untuk membunuh mereka, jika mereka tiba-tiba saja menyerah sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar teriakan itu hampir saja kehilangan kendali. Untunglah, bahwa orang tua yang banyak memberikan pendapatnya itu berada di dekatnya. Katanya, “Biarkan saja, apa yang dikatakannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Di luar sadar mereka telah berpaling ke arah Mahendra yang berada diantara para pemimpin kelompok di padepokan itu. Namun Mahendra pun condong untuk membiarkan saja apa yang akan mereka perbuat. Sebenarnyalah, maka orang-orang Windu Putih itu telah bersiap untuk kedua kalinya membentur pintu gerbang dengan balok mereka yang panjang itu.
Namun dalam pada itu, di belakang pintu gerbang, para penghuni padepokan Suriantal telah sempat membuat congkok-congkok kayu dan bambu untuk menahan selarak pintu gerbang itu agar tidak menjadi retak dan patah. Demikian pula orang-orang padepokan Suriantal telah membuat congkok-congkok untuk menahan papan pintu agar tidak menjadi pecah. Sementara itu, anak panah dan lembing pun meluncur dari kedua belah pihak dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, maka balok kayu yang dipanggul oleh orang-orang Windu Putih itu telah meluncur pula dengan derasnya. Sekali lagi telah terjadi benturan yang sangat kuat. Pintu gerbang itu bergetar keras sekali, sehingga beberapa buah congkok di belakang pintu gerbang justru telah terlepas. Namun dengan sigap orang-orang padepokan itu telah memasangnya kembali.
Beberapa kali benturan yang keras memang telah terjadi. Orang-orang Windu Putih memang ingin memecahkan pintu gerbang dengan cara yang terbanyak dilakukan oleh mereka yang berusaha memasuki lingkungan lawan. Tetapi usaha itu memang tidak mudah. Beberapa kali benturan telah terjadi. Satu-satu orang-orang Windu Putih itu jatuh. Anak panah dan lembing orang-orang Suriantal telah membunuh mereka, sementara pintu gerbang itu belum terbuka.
Namun setiap benturan yang terjadi telah menghentak selarak regol yang besar itu. Semakin lama hentakan-hentakan itu ternyata telah meretakkan selarak yang besar itu, meskipun telah dicongkok dengan beberapa batang kayu.
Orang-orang Suriantal pun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Jika pintu gerbang itu pecah, maka orang-orang Windu Putih yang jumlahnya jauh lebih besar dari orang-orang dari padepokan Suriantal itu tentu akan menyerbu masuk. Dengan demikian, satu kenyataan tidak akan dapat diingkari, bahwa orang-orang dari padepokan Suriantal itu akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, mereka yang datang dari arah Timur pun telah menjadi semakin dekat. Namun ternyata bahwa usaha mereka untuk memasuki padepokan Suriantal tidak semudah yang mereka duga. Usaha mereka memanfaatkan cahaya matahari yang sedang terbit, tidak banyak berarti, karena hal itu ternyata telah mampu diatasi oleh orang-orang dari padepokan Suriantal.
Tetapi meskipun demikian, jika pintu gerbang itu pecah, maka yang berada di semua sisi padepokan itu akan mengalami kesulitan. Orang-orang Windu Putih akan mengalir seperti banjir yang melanda setiap sudut dan relung dari padepokan Suriantal itu. Namun kenyataan itu tidak akan menggetarkan tekad orang-orang Suriantal untuk mempertahankan padepokannya. Bahkan sampai orang yang terakhir, mereka memang berniat untuk tetap bertahan.
“Jika orang-orang Windu Putih berhasil menduduki padepokan ini, berarti bahwa orang terakhir di padepokan ini sudah mati,“ berkata orang-orang padepokan Suriantal itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka ketegangan pun memuncak ketika selarak pintu gerbang yang retak itu pun tiba-tiba telah menjadi patah pada hentakkan yang terakhir, justru tepat pada saat orang-orang Windu Putih tidak lagi kuat mengangkat balok yang panjang itu karena semakin sedikit orang yang masih tinggal ikut memanggul balok itu. Yang lain telah terkapar jatuh. Balok yang membentur pintu gerbang itu telah terlempar pula jatuh. Bahkan beberapa orang justru telah tertindih oleh balok itu. Namun pintu gerbang dengan demikian telah terbuka.
Pada saat yang demikian, maka sepasukan orang-orang dari padepokan Suriantal telah bersiap menunggu arus yang akan melanda padepokan itu seperti banjir bandang. Namun pasukan dari perguruan Windu Putih ternyata masih belum mengalir dengan derasnya memasuki pintu gerbang. Yang kemudian berdiri di pintu gerbang adalah para pemimpin perguruan itu. Yang berdiri di tengah adalah Kiai Windu Putih itu sendiri. Kemudian di sebelah menyebelah adalah ketiga orang muridnya yang telah memegang padepokan mereka masing-masing. Namun mereka masih tetap terikat dengan perguruan induk, Windu Putih.
Dengan nada tinggi, Kiai Windu Putih itu pun kemudian berkata lantang, “He, orang-orang padepokan Suriantal. Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi, agar kalian tidak menyesal. Nah, menyerahlah.”
Tetapi orang-orang dari padepokan Suriantal itu tidak bergeser dari tempatnya. Justru senjata mereka telah teracu. Mereka siap untuk bertahan sampai batas terakhir dari hidup mereka. Namun tiba-tiba orang-orang padepokan Suriantal itu menyibak. Beberapa orang menyusup diantara mereka dan kemudian berdiri di depan orang-orang padepokan Suriantal yang siap itu.
Ternyata kehadiran mereka telah mengejutkan orang-orang dari perguruan Windu Putih itu. Terutama orang yang berdiri di paling depan. Orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling itu.
“Kau,“ desis Kiai Windu Putih.
Orang yang mengaku dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu tersenyum. Katanya, “Kau masih ingat kepadaku?”
“Tentu. Seumurku aku tidak akan melupakanmu,“ jawab Kiai Windu Putih.
“Terlebih-lebih aku,“ jawab guru Akuwu Sangling itu, “aku tidak akan dapat melupakan bukan saja kau, tetapi apa yang telah kau lakukan.”
Kiai Windu Putih tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau masih menyesali peristiwa itu? Itu bukan salahku. Kenapa kau biarkan perempuan itu sendiri di rumah, sehingga aku sempat mengambilnya. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa isterimu itu memang mengharapkan aku datang.”
“Aku sudah mengerti,“ jawab guru Akuwu Sangling itu, “sebenarnya aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Tetapi ketika kemudian aku tahu, bahwa anakku yang dikandung oleh perempuan yang mengkhianatiku itu kemudian kau singkirkan untuk selama-lamanya, maka dendam itu telah membakar hatiku.”
Kiai Windu Putih itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Itu pun bukan salahku. Apa yang dapat aku lakukan, jika ia menjadi sakit dan mati? Semua usaha sudah dilakukan. Semua tabib dan dukun telah aku panggil. Tetapi anak itu mati juga meskipun umurnya sudah menjadi semakin mendekati remaja."
“Aku sudah menunggu kesempatan seperti ini,“ berkata orang yang disebut guru Akuwu Sangling itu, “sekarang kita bertemu dalam keadaan yang pantas. Aku sudah minta kepada para pemimpin dari padepokan Suriantal, bahwa aku ingin mendapat kesempatan membuat perhitungan dengan Kiai Windu Putih.”
“Bagus,“ berkata Kiai Windu Putih, “disini aku memang merasa bahwa kedatanganku tidak lebih dari sekedar menyaksikan ketiga orang muridku membantai orang-orang padepokan Suriantal.”
Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari pula bahwa jumlah orang-orang Windu Putih memang jauh lebih banyak dari orang-orang padepokan Suriantal. Meskipun orang-orang Suriantal berhasil mengurangi jumlah orang-orang Windu Putih sebelum mereka memasuki pintu gerbang, namun jumlah mereka masih tetap terlalu banyak.
Tetapi bahwa ia akan mengikat Kiai Windu Putih dalam persoalan tersendiri, tentu akan dapat mengurangi beban orang-orang dari padepokan Suriantal, meskipun beban itu akan tetap merupakan beban yang sangat berat.
Dalam pada itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian berkata, “Nah, sekarang apa yang kau inginkan?”
“Kita mencari tempat tersendiri. Marilah, kita akan berada di halaman dalam padepokan ini. Agaknya kita tidak akan banyak terganggu, karena pertempuran akan terjadi di batas dinding padepokan,“ jawab guru Akuwu Sangling yang lama itu.
“Terserah kepadamu. Tetapi ketahuilah, bahwa pertempuran akan segera memenuhi seluruh padepokan. Semua orang padepokan ini yang tidak mau menyerah akan mati, sementara yang lain akan menjadi budak-budak kami. Meskipun demikian mungkin masih ada kesempatan hidup bagi mereka yang menyerah itu,“ berkata Kiai Windu Putih.
Guru Akuwu Sangling itu pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Anak-anak muda. Jangan hiraukan kami yang tua-tua ini. Kami akan membuat permainan sendiri, yang barangkali tidak menarik bagi kalian. Namun mudah-mudahan dengan demikian aku sudah membantu mengurangi kekuatan lawan meskipun hanya satu orang.”
“Terima kasih Kiai,“ berkata Mahisa Murti, “silahkanlah. Biarlah kami bertiga yang akan menghadapi ketiga orang pemimpin yang lain. Mudah-mudahan orang-orang kami akan mampu bertahan sampai kami dapat menyelesaikan para pemimpin mereka.”
Guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih dari yang akan dilakukannya. Demikianlah, maka kedua orang tua itu telah memisahkan diri untuk membuat perhitungan tersendiri, sementara kedua pasukan dari padepokan Windu Putih dan padepokan Suriantal telah bersiap untuk mulai dengan pertempuran brubuh.
Para pemimpin perguruan Windu Putih yang lain, mula-mula merasa heran akan sikap gurunya. Tetapi gurunya itu pun berkata, “Aku akan membuat perhitungan dengan orang ini lebih dahulu. Selesaikan orang-orang padepokan ini, apa pun yang kalian kehendaki. Jumlah kita jauh lebih banyak dari mereka. Aku berharap bahwa kalian akan dapat menyelesaikan dalam waktu singkat.”
Yang tertua diantara ketiga muridnya mengangguk. Katanya, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya guru.”
Demikianlah, sepeninggalan Kiai Windu Putih, maka yang tertua diantara ketiga orang muridnya itu pun telah memerintahkan untuk membunyikan isyarat. Mereka akan segera menyerang dan menghancurkan padepokan Suriantal. Demikianlah, sejenak kemudian, sekali lagi terdengar suara bende. Iramanya datar, namun semakin lama semakin cepat sebagai pertanda bahwa pasukan dari perguruan Windu Putih itu harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka.
Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah bersiap pula. Mereka menyadari, bahwa ketiga murid Kiai Windu Putih itu pun tentu merupakan orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sementara pasukannya jauh lebih besar dari pasukan yang ada.
Pada saat suara bende itu terdengar, maka seluruh pasukan Windu Putih pun mulai bergerak. Mereka yang mengepung padepokan itu, terutama yang berada di sisi Timur, berusaha untuk lebih cepat, mencapai dinding. Namun dari atas dinding, perlawanannya datang dengan kekuatan penuh dari sepasukan orang yang terlatih.
Yang mendebarkan adalah mereka yang berada di depan pintu gerbang padepokan. Demikian isyarat itu terdengar, maka mereka pun mulai bergerak, seperti air yang akan memecahkan bendungan. Ketika ketiga orang pemimpin mereka memasuki gerbang, maka sebenarnyalah bendungan itu bagaikan pecah. Pasukan Windu Putih telah dengan gegap gempita memasuki padepokan dan mengalir ke segala arah.
Namun pasukan dari padepokan Suriantal telah memperhitungkannya. Karena itu, maka anak panah pun telah dilepaskan oleh mereka yang telah menunggu di arah pintu gerbang itu. Sementara mereka yang ada di panggungan, diatas pintu gerbang, telah mengarahkan serangan mereka kepada orang-orang Windu Putih yang telah berada di dalam.
Sergapan pertama itu memang telah menjatuhkan banyak korban. Orang-orang Windu Putih yang tergesa-gesa ingin menguasai padepokan itu telah kehilangan kewaspadaan sehingga ujung-ujung anak panah telah mengoyak dada mereka. Namun para pemimpin kelompok cepat menguasai keadaan. Perisai pun mulai dipergunakan sebaik-baiknya menghadapi serangan itu. Mereka pun bahkan telah siap untuk membalas menyerang.
Bahkan terdengar seorang pemimpin kelompok meneriakkan aba-aba dengan marah, “Hancurkan mereka. Mereka telah membunuh kawan-kawan kita.”
Kemarahan memang membakar jantung orang-orang Windu Putih, sehingga mereka benar-benar ingin menghancurkan padepokan itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Bahkan tidak ada lagi seorang pun diantara orang-orang Windu Putih yang berniat untuk membiarkan lawan-lawan mereka untuk tetap hidup.
“Kami tidak memerlukan budak-budak. Kami akan membunuh mereka semuanya, sebagaimana mereka membunuh kawan-kawan kami,“ geram seorang pemimpin kelompok.
Dengan demikian, maka ketika ujung pasukan Windu Putih mulai bersentuhan dengan pasukan dari padepokan Suriantal, maka pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindari lagi. Namun dengan demikian, maka kehancuran pasukan padepokan Suriantal mulai terbayang. Namun ternyata benturan dari ujung kedua pasukan itu telah mengejutkan. Terutama bagi orang-orang Windu Putih.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orang dari padepokan yang disebut Suriantal itu memiliki kemampuan, ketrampilan dan kekuatan yang patut dibanggakan. Mereka mampu mempergunakan senjata di tangan masing-masing dengan tangkas dan sangat berbahaya. Bahkan orang-orang Windu Putih itu tidak lagi melihat orang-orang Suriantal yang menurut pengetahuan mereka bersenjata tongkat panjang. Yang kemudian mereka lihat di pertempuran itu adalah pedang yang tajam, yang terbuat dari besi baja pilihan, tombak pendek berlandaskan kayu berlian, canggah dan trisula, bahkan senjata-senjata dari jenis yang jarang sekali pernah dilihat oleh orang-orang Windu Putih.
Sebenarnyalah orang-orang padepokan Suriantal, yang telah menempa diri dalam kesatuan ilmu yang utuh, telah mengembangkan kemampuan mereka atas jenis senjata yang berbeda-beda. Senjata yang mereka terima dari Singasari. Sehingga karena itu, maka sebagian besar dari orang-orang padepokan Suriantal itu telah mempergunakan senjata pilihan.
Karena itulah, maka setiap orang padepokan Suriantal sama sekali tidak ragu-ragu mempergunakan senjata mereka. Mereka yakin bahwa senjata yang mereka terima dari Singasari tentu lebih baik dari senjata orang-orang Windu Putih yang sebagian besar telah mereka buat sendiri. Hanya satu dua orang sajalah yang memiliki senjata yang baik, yang berhasil mereka rampas dari lawan-lawan mereka sebelumnya.
Ternyata kepercayaan orang-orang padepokan Suriantal atas senjata mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam pertempuran itu. Mereka yang membawa pedang telah mengayun-ayunkan pedang mereka dengan kekuatan penuh tanpa mencemaskan mata pedangnya akan patah. Bahkan sebenarnyalah jika lawan mereka dengan kekuatan yang besar pula membenturkan pedang mereka yang dibuat oleh orang-orang Windu Putih sendiri, maka ada diantara senjata mereka yang patah di tengah.
Dengan demikian, meskipun jumlah orang-orang padepokan Suriantal jauh lebih sedikit, tetapi kepercayaan diri mereka ternyata jauh lebih besar dari orang-orang Windu Putih. Namun arus yang mengalir memasuki padepokan memang sulit untuk dibendung. Orang-orang yang mengepung padepokan itu, ternyata telah ikut pula mengalir melalui pintu gerbang. Mereka tidak perlu berusaha untuk meloncati dinding dengan kemungkinan yang buruk.
Dengan demikian, maka orang-orang padepokan Suriantal yang ada diatas panggungan pada dinding-dinding yang mengitari padepokan itu pun telah mengalir pula menuju ke halaman depan. Mereka ikut menahan arus orang-orang Windu Putih yang agaknya akan mengalir ke seluruh padepokan.
Dengan demikian, maka pertempuran seakan-akan berpusat di sekitar pintu gerbang, justru di bagian dalam. Namun bagaimanapun juga, arus yang sangat deras telah mendorong orang-orang padepokan Suriantal untuk menarik diri perlahan-lahan. Tetapi seakan-akan hampir di setiap langkah mundur, mereka telah meninggalkan tubuh orang-orang Windu Putih yang terkapar.
Ketiga orang pemimpin padepokan Windu Putih, ternyata belum memasuki halaman semakin dalam. Mereka justru bergeser menepi dan membiarkan orang-orangnya membanjiri padepokan itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diiringi oleh Mahendra masih juga belum langsung turun ke medan. Mereka mengikuti gerak mundur orang-orang padepokannya. Mereka ingin melihat suasana pertempuran itu dalam keseluruhan, agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat.
Demikianlah pertempuran yang semakin melebar itu pun berlangsung semakin sengit. Ternyata secara pribadi Orang-orang padepokan Suriantal memang memiliki kelebihan dari orang-orang Windu Putih. Demikian pula jenis senjata yang mereka pergunakan. Namun jumlah orang-orang Windu Putih yang jauh lebih banyak, telah berhasil mendesak orang-orang padepokan Suriantal semakin surut.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang padepokan Suriantal berjuang tanpa mengenal gentar mempertahankan hak mereka atas padepokan mereka, di luar padepokan telah terjadi kegemparan. Beberapa orang yang masih tinggal untuk mengawasi keadaan di atas panggungan diatas dinding di sebelah regol yang pecah, tiba-tiba saja berteriak, “Pasukan berkuda.”
Namun orang-orang Windu Putih tidak sempat berbuat sesuatu. Pasukan berkuda yang berderap dengan cepat, tiba-tiba saja telah menyambar pasukan Windu Putih yang masih berada di luar padepokan dan sedang berdesakan untuk masuk lewat regol yang runtuh.
Ternyata bahwa pasukan berkuda dari Sangling gelombang pertama telah datang. Serangan pasukan berkuda itu benar-benar mengejutkan orang-orang Windu Putih. Mereka hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung-ujung pedang dan tombak telah terjulur mematuk dada dan leher mereka.
Sejenak kemudian maka debu pun telah berhamburan. Dalam waktu yang singkat, kuda-kuda itu pun telah berputar. Mereka telah berlari kembali ke arah pasukan Windu Putih. Kembali kuda-kuda yang menebar itu menyambar dengan dahsyatnya.
Korban pun telah berjatuhan. Para pemimpin kelompok yang berada di bagian belakang itu pun segera mengatur diri. Dengan tergesa-gesa mereka menyusun orang-orangnya untuk menghadapi pasukan berkuda yang tidak terlalu banyak jumlahnya itu. Namun yang ternyata bagaikan sekelompok burung sikatan menyambar bilalang.
Kedatangan pasukan berkuda itu benar-benar telah mengguncang keseimbangan pertempuran itu. Orang-orang Windu Putih yang semula merasa bahwa mereka akan dengan mudah menghancurkan lawannya, mereka harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Jika semula dengan sewenang-wenang mereka akan dapat menentukan apa pun yang mereka inginkan atas lawan mereka, ternyata persoalannya telah berubah sama sekali.
Para prajurit Sangling yang memang terlatih itu benar-benar menggetarkan jantung orang-orang Windu Putih. Pasukan berkuda itu benar-benar pasukan yang perkasa. Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, namun orang-orang Windu Putih telah berhasil diporak-porandakan pada bagian belakang. Sementara mereka yang telah berhasil memasuki regol telah menghadapi perlawanan yang keras pula dari orang-orang Suriantal yang terlatih.
Dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih tidak lagi dapat berbuat menurut keinginan mereka. Korban telah berjatuhan, sehingga jumlah mereka pun telah cepat menjadi susut. Para pemimpin perguruan Windu Putih itu pun telah mengumpat sejadi-jadinya. Dengan garang salah seorang diantara mereka berkata,
“Kita hancurkan saja lebih dahulu pasukan berkuda itu. Baru kemudian kita akan dapat berbuat apa saja terhadap padepokan ini. Kita dapat menuangkan sakit hati kita karena korban yang jatuh itu atas orang-orang padepokan ini. Sehingga karena itu, maka sebagian dari orang-orang padepokan ini memang harus tertangkap hidup-hidup agar kita mendapat kepuasan karenanya.“
Seorang yang lain pun kemudian menyahut, “Ya. Kita hancurkan orang-orang berkuda itu lebih dahulu dengan kemampuan tertinggi kita.”
Namun ketika ketiga orang itu siap untuk bergerak, maka dua orang penghubung telah datang kepada mereka. Seorang diantara mereka telah melaporkan, “beberapa orang telah membunuh orang-orang kita dengan semena-mena.”
“Siapa?“ bertanya murid Kiai Windu Putih yang tertua.
“Antara lain kedua orang anak muda yang disebut Putut itu,“ jawab penghubung itu.
“Apakah sekelompok-sekelompok tidak mampu menahan mereka?“ bertanya murid-murid Kiai Windu.
“Sudah dicoba. Tetapi selalu gagal,“ jawab penghubung itu.
“Lihatlah,“ berkata yang tertua, “Aku akan melihat orang-orang berkuda itu.”
Kedua orang saudara seperguruannya mengangguk. Mereka pun kemudian menyusup diantara pasukannya untuk melihat apa yang telah dilakukan oleh kedua orang Putut muda itu. Dan bahkan seorang lagi yang belum dikenal sebelumnya.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang padepokan Suriantal itu bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kelebihan dari orang-orang Suriantal pada benturan pertama. Tetapi jika pertempuran itu berlangsung lama, maka orang-orang Suriantal tentu akan kehabisan tenaga, karena mereka telah mengerahkan segenap tenaga mereka sejak benturan pertama terjadi.
Demikian banyaknya lawan, maka mereka memang tidak dapat berbuat lain kecuali mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan. Namun dengan demikian mereka tidak akan dapat bertahan pada tingkat kemampuan mereka sampai matahari terbenam.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun pula ke medan. Namun mereka tidak sampai hati untuk membakar lawan-lawan mereka dengan kekejaman yang tidak terbatas meskipun mereka mampu melakukannya. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan mengerahkan ilmu mereka memasuki lingkungan lawan, maka ia akan dapat membunuh lawan tanpa hitungan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terjun ke pertempuran dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kedua belah pihak yang sedang bertempur. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan pedang di tangan mereka. Dengan pedang itu, keduanya telah bertempur dan satu-satu melumpuhkan lawannya. Tetapi bukan berarti bahwa ia telah membunuh dan menghancurkan lawannya yang tidak memiliki ilmu yang seimbang menjadi abu.
Meskipun dengan pedang di tangan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar menggetarkan lawan-lawan mereka. Setiap ayunan pedang telah melemparkan seorang diantara lawannya, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan telah menjadi hantu di riuhnya pertempuran.
Dalam pada itu, dua orang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin padepokan tersendiri itu akhirnya sampai juga di medan yang garang itu. Mereka melihat bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur bagaikan banteng yang terluka.
“Anak-anak gila,“ desis salah seorang murid Windu Putih itu. Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka berdua telah melangkah semakin dekat.
“He, siapakah kalian sebenarnya?“ bertanya salah seorang dari kedua orang murid Windu Putih itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar sapaan itu. Mereka pun kemudian telah bergeser masuk ke dalam lingkungan pertahanan pasukan padepokan Suriantal.
“Kalian murid-murid perguruan Windu Putih yang terpercaya itu?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Tetapi kalian belum menjawab pertanyaanku,“ sahut orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menempatkan diri, sementara kedua orang itu pun telah berada dihadapan mereka. Dengan demikian maka orang-orang mereka dari kedua belah pihak pun telah menyibak pula.
“Aku Putut Mahisa Murti dan Putut Mahisa Pukat,“ jawab Mahisa Murti.
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu pun mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Bagus. Jadi aku berhadapan dengan pemimpin padepokan Suriantal. Tetapi aku ingin tahu, dari perguruan manakah sebenarnya kalian berdua. Seorang Putut adalah seorang pemimpin dari sekelompok cantrik dari sebuah perguruan. Nah, sebut perguruanmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sulit untuk menyebut sebuah perguruan. Mereka bukan benar-benar Putut yang pernah menjadi pemimpin sekelompok cantrik dari sebuah perguruan. Tetapi mereka menyebut diri mereka Putut karena mereka tidak mau mendapat sebutan lain.
“He, sebut perguruanmu dan siapakah gurumu?” bentak murid Windu Putih itu.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami adalah Putut dari perguruan Suriantal.”
Kedua orang murid terpercaya dari Windu Putih itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Jangan mengigau. Orang-orang Suriantal mempunyai ciri orang-orang bertongkat yang ke mana-mana membawa tongkat panjang. Bukan saja untuk bertempur dan melindungi diri, tetapi sekali-sekali dapat juga untuk mencuri jambu air di perjalanan.”
“Tepat,“ jawab Mahisa Pukat, “tongkat-tongkat itu mempunyai arti ganda. Sebagai senjata dan sekaligus untuk dijadikan galah yang dapat untuk merontokkan bukan saja jambu air, tetapi juga kepala kalian.”
“Setan,“ geram salah seorang dari murid Windu Putih, “jangan mencoba menghina kami. Kami mempunyai kebiasaan menghukum berat, siapa pun yang berani menghina kami.”
“Ingat Ki Sanak. Kita berada di medan pertempuran,“ berkata Mahisa Pukat, “kita tidak berhak saling menghukum. Tetapi kita justru berhak saling membunuh.”
Kedua orang itu menggeram. Mereka benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka keduanya pun kemudian telah melangkah merenggang. Sementara itu, pertempuran di padepokan itu telah merambat semakin dalam. Di beberapa tempat orang-orang dari padepokan Suriantal telah terdesak. Beberapa orang yang berada diatas panggungan telah berloncatan turun untuk membantu kawan-kawannya. Namun orang-orang Windu Putih masih saja selalu mendesak.
Tetapi dengan kehadiran orang-orang berkuda, maka orang-orang Windu Putih yang berada di luar padepokan tidak lagi dengan tergesa-gesa berusaha memasuki pintu gerbang. Mereka telah berusaha untuk mengerahkan kemampuan mereka menghadapi orang-orang berkuda yang garang. Yang ternyata adalah prajurit berkuda dari Sangling.
Dengan demikian maka arus pasukan Windu Putih yang memasuki padepokan Suriantal itu pun bagaikan terbendung. Bukan karena kekuatan dari dalam lingkungan padepokan, tetapi justru terhisap dari luar. Namun para pemimpin kelompok orang-orang Windu Putih pun segera berusaha mengatasi keadaan. Mereka segera menempatkan diri dalam gelar yang mapan untuk bertempur menghadapi sekelompok pasukan berkuda. Dengan demikian, maka pasukan berkuda dari Sangling itu pun mulai mendapat perlawanan yang sebenarnya. Namun mereka sudah terlanjur menjatuhkan banyak korban.
Dalam pada itu, kedua orang pemimpin dari perguruan Windu Putih itu pun sudah siap menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya merasa mempunyai kemampuan dan ilmu yang tinggi sehingga mereka memang terlalu yakin bahwa dalam waktu dekat, mereka akan dapat menyelesaikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka pun tidak mau membunuh lawannya dengan serta merta, apalagi keduanya merasa yakin pula bahwa orang-orangnya akan dapat segera menghancurkan isi padepokan itu.
Namun dalam pada itu, di sisi lain, seorang tua telah bertempur melampaui garangnya burung alap-alap diantara sekumpulan burung merpati. Mahendra yang juga bersenjata pedang, telah melemparkan setiap orang yang menyerangnya. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih yang ada di sekitarnya menjadi demikian cepatnya susut. Bahkan orang-orang dari padepokan Suriantal yang bertempur bersamanya menjadi heran pula, sehingga kadang-kadang mereka tidak tahu apa yang telah terjadi.
Sementara itu, orang-orang Windu Putih tidak lagi dapat mendesak orang-orang padepokan Suriantal seperti sebelumnya. Orang-orang Suriantal yang jumlahnya lebih sedikit, namun memiliki kemampuan secara pribadi lebih besar dari orang-orang Windu Putih, memang mampu menahan lawan.
Namun para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu mempertahankan daya tahan mereka sampai matahari terbenam. Sehingga karena itu, jika tidak ada perubahan yang terjadi, maka pada saat matahari turun ke Barat, orang-orang Suriantal yang telah memeras segenap kekuatan dan kemampuannya akan tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh tenaga.
Di luar padepokan, para prajurit berkuda dari Sangling masih saja bertempur dengan garangnya. Kuda-kuda mereka berlari-larian hilir mudik. Debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki-kaki kuda, sementara mata pedang dan tombak-pun berkilat-kilat diterpa sinar matahari.
Pertempuran baik di dalam maupun di luar padepokan menjadi semakin sengit. Namun sebenarnyalah jumlah pasukan memang sangat berpengaruh. Meskipun para prajurit berkuda dari Sangling telah bertempur dengan cara yang paling baik dilakukan oleh sekelompok pasukan yang kecil berhadapan dengan pasukan yang lebih besar, dengan menyerang dan berlari, namun mereka mulai merasakan perlawanan yang berat dari orang-orang Windu Putih yang jumlahnya lebih banyak itu.
Untuk beberapa saat pertempuran itu nampaknya memang berimbang. Namun kemudian ternyata yang sudah terlanjur mengerahkan segenap kekuatannya telah mulai menjadi susut. Karena itu, perlahan-lahan orang-orang Windu Putih mulai merambat maju lagi betapapun lambatnya.
Sementara itu, dua orang murid perguruan Windu Putih yang telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyerang lawan masing-masing. Namun kedua orang murid perguruan Windu Putih itu pun telah menggenggam senjata di tangan. Ternyata keduanya telah membawa sebatang tombak pendek. Yang lebih tua dari kedua orang itu berkata,
“Biasanya orang-orang Suriantal lah yang membawa tongkat panjang. Sekarang justru akulah yang bertongkat. Biarlah kalian menilai, siapakah yang lebih baik mempergunakan tongkat. Kami atau kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian telah bersiap untuk bertempur menghadapi kedua murid terpilih dari perguruan Windu Putih itu. Karena itu, ketika ujung-ujung tombak mulai berbicara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera berloncatan bukan saja sekedar menghindar, tetapi juga menyerang.
Kedua orang murid terpilih dari perguruan Windu Putih memang menjadi heran melihat kemampuan kedua orang anak muda yang mengaku sebagai Putut itu dalam ilmu pedang. Meskipun keduanya tidak membawa perisai, tetapi keduanya mampu mengimbangi putaran tombak lawan-lawan mereka.
Sementara itu, seorang murid Kiai Windu Putih yang tidak melibatkan diri melawan kedua orang Putut di padepokan Suriantal itu telah berada di luar padepokan. Dengan tajamnya diamatinya para prajurit Sangling dari pasukan berkuda yang menyambar-nyambar. Beberapa saat ia berdiri tegak. Namun kemudian ia pun menggeretakkan giginya sambil berdesis, “Mereka harus dibunuh.”
Namun ketika orang itu mulai bergerak, tiba-tiba terdengar sorak yang menggelegak dari para prajurit Sangling. Ternyata mereka telah melihat pasukan berkuda yang menyusul mereka. Pasukan berkuda dari gelombang kedua itu pun ternyata tidak membuang banyak waktu. Dengan serta merta mereka telah turun ke medan dari sisi yang lain.
Orang-orang Windu Putih kembali bagaikan diguncang. Kuda-kuda yang baru datang itu menyambar-nyambar segarang pasukan yang datang lebih dahulu. Agaknya mereka pun tidak mau menyia-nyiakan saat-saat yang penting di kala orang-orang Windu Putih terkejut melihat kehadiran mereka.
Namun dalam goncangan-goncangan itu, murid terpercaya dari pasukan Windu Putih itu mulai menggeram. Dengan langkah tetap ia berjalan, menguak para pengikutnya dan menuju ke garis benturan antara orang-orangnya dengan pasukan berkuda dari Sangling itu.
Kehadiran pasukan berkuda pada gelombang kedua itu telah membuat goncangan-goncangan baru pada seluruh pertempuran itu. Para pengikut Windu Putih diluar padepokan susut dengan cepat, sehingga beberapa kelompok memang harus ditarik dari dalam padepokan. Mereka yang sudah terlanjur berdesakan memasuki padepokan harus ditarik kembali untuk menghadapi pasukan berkuda yang jumlahnya semakin banyak.
“Gila,“ geram murid terpercaya dari Windu Putih itu, “aku harus membunuh mereka.”
Selangkah demi selangkah murid terpercaya dari Windu Putih itu maju terus, sehingga akhirnya ia muncul di garis benturan.
“Setan-setan dari Sangling,“ tiba-tiba orang itu berteriak, “jangan terlalu besar kepala. Sebentar lagi, kalian semua akan terbunuh di sini.”
Seorang prajurit berkuda melihat orang yang berdiri bertolak pinggang itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja kudanya telah berlari dengan serta merta ke arah orang yang berdiri dengan dada tengadah itu.
Namun yang terjadi sangat mengejutkannya. Orang yang berdiri itu nampaknya tidak berbuat sesuatu. Namun demikian kuda itu meluncur dihadapannya, maka penunggangnya telah terpelanting jatuh dan untuk seterusnya tidak pernah bangun lagi. Beberapa orang kawan prajurit berkuda itu terkejut. Namun mereka segera menyadari, bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dengan demikian maka para prajurit dari pasukan berkuda itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka pun kemudian seakan-akan telah menjauhi orang berilmu tinggi itu. Mereka menyerang orang-orang Windu Putih yang berjarak agak jauh dari orang berilmu tinggi itu.
Orang itu agaknya menyadari, bahwa para prajurit berkuda itu dengan cerdik mencari sasaran yang paling lemah dari orang-orang Windu Putih. Karena itu, maka ia pun kemudian telah meloncat maju. Dengan tangkasnya ia bersiap menghadapi orang-orang berkuda yang berkeliaran di luar padepokan.
Ternyata para prajurit berkuda tidak membiarkannya. Dua orang prajurit berkuda bersama-sama telah menyerangnya. Namun keduanya pun telah terpelanting jatuh dari atas punggung kudanya. Seperti yang terdahulu, maka keduanya-pun tidak bangkit pula untuk seterusnya.
Para prajurit berkuda semakin yakin akan kemampuan orang itu. Karena itulah maka mereka telah menjadi semakin berhati-hati lagi. Mereka berputaran dalam beberapa lingkaran menyambar pasukan Windu Putih yang tersebar. Tetapi tidak mendekati orang yang berilmu tinggi itu.
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu menjadi semakin sangat marah. Dengan lantang ia berteriak, “Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku sekarang ini.”
Tetapi para prajurit dari pasukan berkuda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka masih sempat mempergunakan penalaran yang jernih. Dengan demikian mereka tidak terpancing untuk menyerang orang yang berilmu sangat tinggi itu.
Sementara itu dengan marah orang yang berilmu tinggi itu berusaha untuk mendapatkan lawan. Sambil mengumpat-umpat ia menantang prajurit-prajurit berkuda itu untuk mendekat. Tetapi kuda-kuda mereka setiap kali sempat membawa setiap prajurit untuk menghindarinya.
Dengan demikian kemarahan menjadi semakin menghentak-hentak. Tetapi ia tidak berhasil mendapatkan seorang lawan pun. Dalam kemarahan itu, jantungnya menjadi semakin cepat berdegub. Bahkan rasa-rasanya dadanya hampir meledak. Namun ia tidak dapat berlari-lari mengejar kuda-kuda yang menyambar-nyambar.
Kemarahannya menjadi semakin memuncak, ketika ia melihat pasukan berkuda yang datang pada gelombang ketiga. Pasukan berkuda yang justru datang bersama Akuwu Sangling sendiri. Dengan demikian maka kekuatan pasukan berkuda itu pun menjadi semakin besar, sementara orang-orang Windu Putih, terutama yang berada di luar padepokan itu pun menjadi semakin cemas menghadapi kenyataan seperti itu.
Kedatangan pasukan yang baru itu benar-benar telah mengacaukan pertahanan orang-orang Windu Putih. Sementara itu, mereka yang telah berada di dalam lingkungan padepokan pun telah terhisap semakin banyak keluar, sehingga beban orang-orang padepokan Suriantal pun menjadi semakin ringan.
Mereka tidak perlu lagi mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan mereka tanpa memikirkan kemungkinan pertempuran yang akan memerlukan waktu yang lama. Mereka menumpahkan segenap kemampuan mereka untuk bertahan agar mereka tetap hidup, meskipun jika tidak terjadi perubahan, mereka hanya sekedar mampu memperpanjang saat-saat menjelang kematian.
Tetapi perubahan itu memang terjadi. Pasukan berkuda dari Sangling telah menyelamatkan mereka. Orang-orang Windu Putih yang jumlahnya terlalu banyak itu, sebagian harus berhadapan dengan pasukan berkuda yang mampu bergerak cepat. Mereka sengaja bertempur diatas punggung kuda, agar mereka dapat mempergunakan cara yang menyulitkan lawan. Memukul dan menghindar.
Dalam pada itu, para prajurit berkuda yang telah datang lebih dahulu di arena, tidak sempat memperingatkan para prajurit baru yang datang kemudian. Dua orang prajurit berkuda yang melihat seseorang berdiri di arena, telah menyerang bersama-sama dari dua arah. Namun seperti yang pernah terjadi, maka keduanya telah terlempar dari punggung kuda mereka untuk seterusnya tidak pernah terbangun lagi.
Seorang pemimpin kelompok dari pasukan berkuda itu kemudian berkata, “Hindari orang itu.”
“Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku,“ tantang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu.
Para prajurit memang tidak menghiraukannya. Tetapi seorang diantara mereka yang datang berkuda itu telah mendekatinya. Ia tidak menyerang dengan serta merta. Tetapi ketika ia berada beberapa langkah dihadapan orang itu, maka orang berkuda itu justru meloncat turun.
“Kau siapa?“ bertanya orang yang marah itu.
“Mahisa Bungalan,“ jawab orang berkuda itu, “Akuwu Sangling.”
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kaulah Akuwu Sangling?”
“Ya. Aku Akuwu Sangling yang baru,“ jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Kau sudah mengacaukan rencanaku dengan kedatangan prajurit-prajuritmu. Karena itu, maka kau harus menanggung akibatnya. Kau harus mati.”
Tetapi Akuwu Sangling itu menjawab, “Marilah. Kita akan melihat siapakah yang akan mati. Aku memang merasa tersinggung atas tingkah lakumu yang sewenang-wenang. Karena kau merasa kuat, maka tanpa sebab, kau serang padepokan yang lebih kecil ini.”
“Persetan,“ jawab murid tertua Windu Putih itu, “apa pedulimu. Aku berhak untuk menghancurkan siapa pun yang akan dapat mengganggu kedudukanku.”
“Itulah yang aku sebut sewenang-wenang. Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri dan perguruanmu,“ jawab Akuwu Sangling, “sebagai Akuwu di Sangling, aku memang mempunyai kewajiban untuk melindungi orang-orang yang lemah, yang akan menjadi korban ketamakanmu.”
“Kenapa kau yang ikut campur di lingkungan ini? Kenapa tidak Akuwu Lemah Warah?“ geram orang itu.
“Siapa pun yang mengetahui tingkah lakumu itu, berhak untuk mencegahnya. Termasuk Sangling yang memerintah atas nama Kediri sebagai kepanjangan jalur pemerintahan Singasari.”
“Omong kosong,“ geram orang itu, “Kediri bukan Singasari.”
“Bukan waktunya untuk berbicara tentang Kediri dan Singasari. Sekarang menyerahlah. Tarik semua orang-orangmu yang menjadi semakin susut, sebelum mereka binasa seluruhnya.”
“Orang-orangku jauh lebih banyak,“ geram orang itu.
“Mungkin semula begitu,“ jawab Akuwu Sangling, “tetapi sekarang tidak lagi. Orang-orangmu telah banyak sekali yang tidak berdaya lagi. Mungkin terluka parah, bahkan mungkin terbunuh di peperangan ini.”
“Karena itu, kau harus menjadi tebusannya. Kau harus mati,“ geram orang itu.
Akuwu Sangling tidak menjawab lagi. Ketika orang itu bergeser, maka Mahisa Bungalan yang memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi itu pun telah bersiap. Demikianlah keduanya telah bersiaga. Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu mulai bergeser. Sementara Akuwu Sangling pun mulai berputar pula menghadap ke arah lawannya bergerak.
Sementara itu, para prajurit Sangling menjadi semakin leluasa bergerak. Tidak ada lagi orang yang harus diperhitungkan. Mereka bergerak semakin cepat dengan kuda-kuda mereka. Menyambar dengan pedang, kemudian berpacu menjauh sebelum mereka memutar kuda mereka dan menyerang kembali ke arah lain. Korban diantara orang-orang Windu Putih menjadi semakin banyak. Namun para pemimpin kelompok diantara mereka-pun berusaha untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Mereka merapat dalam kelompok-kelompok. Dengan kemampuan yang ada pada mereka, maka kelompok-kelompok itu berusaha untuk melawan setiap prajurit Sangling yang menyambar dengan kuda-kuda mereka. Ujung-ujung pedang dan tombak telah teracu sehingga tidak ada seujung duri pun lubang yang akan dapat ditembus oleh senjata orang-orang berkuda itu.
Tetapi orang-orang Sangling pun menyadari bahaya yang mereka hadapi. Karena itu, maka mereka telah mengambil sikap pula. Mereka tidak lagi menyambar-nyambar sebagaimana telah mereka lakukan seorang demi seorang. Namun mereka-pun kemudian telah menyerang dalam kelompok-kelompok pula, sehingga dengan demikian, maka kelompok-kelompok orang Windu Putih tergetar karenanya.
Dalam perang gelar dan kelompok, prajurit Sangling memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka mereka benar-benar telah menghisap para pengikut dari perguruan Windu Putih justru keluar dari padepokan. Dengan demikian maka orang-orang dari padepokan Suriantal seakan-akan telah mendapat kesempatan untuk mengurangi ketegangan. Jantung mereka tidak lagi berdegup terlalu keras. Meskipun ada juga di antara mereka yang jatuh oleh tusukan senjata lawan, namun jumlah orang-orang Windu Putih yang susut dengan cepat, telah membuat tugas mereka semakin ringan.
Sebenarnyalah, di dalam lingkungan padepokan Suriantal itu sendiri, seorang telah ikut bertempur diantara orang-orang padepokan itu. Dengan kemampuannya yang luar biasa, ternyata ia pun berhasil mengurangi jumlah lawan dengan cepat. Hampir setiap kejap mata, ia telah menyingkirkan seorang lawan. Meskipun pedangnya tidak selalu menghunjam ke jantung, tetapi luka di pundak, di lambung dan di bagian-bagian tubuh yang lain, telah melumpuhkan lawan-lawannya itu pula.
Orang itu memang sudah tua. Ujudnya tidak lebih berbahaya dari orang-orang padepokan Suriantal. Namun ternyata bahwa senjatanya benar-benar sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Orang itu adalah Mahendra.
Ia tidak sempat menghadapi seorang lawan yang berilmu tinggi. Sehingga karena itu, maka ia bertempur sebagaimana orang-orang padepokan Suriantal itu bertempur. Namun karena Mahendra memang memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka yang dilakukannya benar-benar telah mengacaukan gelar orang-orang perguruan Windu Putih.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur melawan dua orang murid terpercaya dari Windu Putih, telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata bahwa kedua orang murid Windu Putih itu telah membentur kekuatan dua orang anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian, maka lambat laun, keduanya mulai merasa betapa beratnya harus melayani kedua Putut yang masih muda itu.
Sementara hiruk pikuk pertempuran terjadi di dalam dan di luar padepokan, dua orang telah mengambil tempat yang khusus. Kiai Windu Putih dan orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama. Kedua orang itu ternyata telah menyimpan persoalan yang tumbuh sejak lama. Tidak hanya satu dua tahun. Tetapi di saat-saat mereka masih terjerat oleh persoalan seorang perempuan.
Namun yang paling menyakitkan hati bagi orang yang menyatakan dirinya guru Akuwu Sangling itu adalah kematian anaknya yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang kemudian mengkhianatinya, karena ia memilih Kiai Windu Putih. Keduanya adalah orang-orang yang sudah kenyang makan asin pahitnya kehidupan. Karena itu, cara mereka mengatasi persoalan mereka pun mereka lakukan dengan cara tersendiri. Untuk beberapa saat keduanya berdiri berhadapan diantara barak-barak padepokan.
Dengan nada tinggi Kiai Windu Putih masih juga berkata, “Jadi kau masih juga menuntut kematian anakmu?”
“Ya. Aku tidak peduli tentang perempuan jahanam itu. Tetapi anakku adalah keturunanku,“ berkata guru Akuwu Sangling itu, “karena itu, maka nilainya sama dengan jiwaku sendiri.”
“Bagus,“ berkata Kiai Windu Putih, “bersiaplah. Kita sudah sama-sama tua sekarang. Kita sudah cukup berpengalaman, sehingga kita tidak perlu lagi berbasi-basi.”
“Aku mengerti. Marilah,“ jawab guru Akuwu Sangling.
Kiai Windu Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah bersiap. Demikian juga guru Akuwu Sangling yang lama itu telah berdiri tegak menghadap ke arah Kiai Windu Putih. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan. Namun ternyata mereka benar-benar tidak memerlukan waktu untuk saling menjajagi.
Ternyata bahwa pandangan mata keduanya semakin lama semakin menjadi semakin tajam. Keduanya ternyata telah melepaskan ilmu mereka masing-masing. Dengan sorot mata, keduanya berusaha untuk saling mempengaruhi. Keduanya berusaha untuk mengangkat dan membanting lawannya. Pertempuran yang aneh itu berlangsung untuk beberapa lamanya. Namun ternyata keduanya tidak segera berhasil mengatasi lawannya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi keduanya masih tetap berdiri dan berjejak diatas tanah. Demikian dahsyatnya kedua orang itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka masing-masing, sehingga dari ubun-ubun mereka nampak asap putih yang mengepul.
Namun akhirnya mereka menganggap bahwa yang mereka lakukan itu akan sia-sia. Mereka akan dapat bersama-sama jatuh terkapar dan mungkin justru mati dibunuh oleh orang-orang yang tidak berilmu sama sekali. Karena itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian telah memberikan isyarat, agar pertempuran yang tidak akan dapat membuat penyelesaian itu dihentikan saja.
Lawannya ternyata menanggapinya. Perlahan-lahan keduanya telah menurunkan kadar kemampuan mereka, sehingga akhirnya terlepas sama sekali. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Nafas mereka terengah-engah sedangkan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka.
Namun ketika nafas mereka mulai teratur kembali, maka mereka pun segera bersiap pula. Mereka akan mulai dengan pertempuran-pertempuran dengan cara lain yang tidak kalah dahsyatnya. Kedua orang yang berdiri berjarak beberapa langkah itu-pun kemudian saling mendekat. Keduanya pun kemudian bersiap dan mulai bertempur sebagaimana dua orang yang bertempur secara wadag.
Tetapi gerak keduanya agaknya nampak sangat lamban. Keduanya hanya mengayun-ayunkan tangannya sekali-sekali. Sedangkan yang lain bergeser menghindar dengan gerak yang lamban pula.
Dalam pada itu, Mahendra yang kemudian berkisar dari arena pertempuran telah melihat kedua orang yang bertempur itu. Sejenak ia termangu-mangu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi pula. Maka Mahendra pun segera mengetahui tentang keduanya. Karena itu ia pun kemudian berdesis dengan suara berat, “Ternyata keduanya adalah saudara seperguruan.”
Pengakuan itu belum pernah disebut-sebut oleh orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu. Namun menilik ilmu yang mereka tumpahkan dalam perang tanding itu, maka agaknya kesimpulan Mahendra tidak keliru.
Sebenarnyalah bahwa keduanya adalah saudara seperguruan, Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu lebih dahulu berguru dari pada Kiai Windu Putih. Namun dalam pada itu, di saat-saat mereka mencapai usia dewasa, seorang perempuan telah mengacaukan persaudaraan mereka. Perempuan itu ternyata juga seorang perempuan yang berjiwa rendah, sehingga yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap kesetiaan seorang suami.
Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya. Meskipun keduanya bergerak lamban sekali, tetapi ternyata tenaga yang terlontar dari gerakan-gerakan yang lamban itu memang sangat besar. Bahkan bukan sentuhan wadag itu sendiri, tetapi angin yang terayun pun bagaikan prahara yang menerpa dinding-dinding barak di sebelah menyebelahnya.
Sebenarnyalah barak-barak itu menjadi retak. Dinding-dinding pun telah terhempas dan bahkan kemudian tiang-tiangnya pun telah berpatahan pula. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua orang itu justru lebih besar dari kerusakan yang timbul karena pertempuran yang seakan-akan telah merata di seluruh padepokan.
Namun akhirnya Mahendra mengambil keputusan untuk tidak mencampuri pertempuran yang dahsyat itu. Ia sadar, jika ia berpihak, maka orang yang harus melawan dua orang sekaligus itu tentu akan kalah. Tetapi yang menang pun mungkin justru akan merasa terhina, sehingga justru akan dapat timbul persoalan yang lain.
Karena itu, untuk sementara Mahendra telah kembali untuk menyusut jumlah lawan. Tetapi Mahendra tidak bertempur di satu tempat. Ia bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Di setiap garis pertempuran Mahendra telah meninggalkan tubuh lawan yang berserakan. Dengan demikian maka Mahendra telah benar-benar menjadi hantu tua di medan perang itu. Sebenarnyalah, bahwa orang-orang Windu Putih telah menjadi semakin susut. Di luar padepokan, keadaan mereka lebih parah daripada di dalam padepokan.
Namun pertempuran antara Akuwu Sangling dan murid terpercaya Kiai Windu Putih itu pun menjadi semakin dahsyat. Ilmu Mahisa Bungalan yang diterima dari Mahisa Agni dan Witantra yang telah dimatangkannya, benar-benar merupakan ilmu yang sulit dicari bandingnya. Sementara itu, murid tertua dari perguruan Windu Putih itu pun merupakan murid yang telah tuntas menyadap ilmu dari perguruannya, meskipun masih harus dibentuk dan dikembangkan.
Karena itu, maka keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Kekuatan ilmu mereka masing-masing yang tidak dikenal oleh orang lain benar-benar telah membuat pertempuran di-antara mereka menjadi sangat seru. Namun dalam pada itu, mau tidak mau murid tertua Perguruan Windu Putih itu telah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Jika Satu dua orang Windu Putih terlempar jatuh, maka jantungnya ikut pula tergetar...
Persiapan-persiapan yang sungguh-sungguh pun telah dipersiapkan. Latihan-latihan yang melampaui kebiasaan serta hubungan yang terus menerus diantara ketiga padepokan itu. Namun sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan. Karena kemudaan mereka, ia ternyata dapat bergerak cepat dan keras sehingga kemajuan-kemajuan pun dapat dicapai dengan segera.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggap bahwa kehadiran sekelompok orang ke padepokannya itu bukan sekedar bermain-main. Kedua anak muda itu merasa bahwa tanpa seorang yang dianggap pemimpin tertinggi yang memiliki kemampuan mumpuni dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, maka padepokan itu dapat dianggap sebagai padepokan yang tidak mempunyai pelindung yang berarti.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin padepokannya menjadi korban. Jika benar orang-orang berilmu tinggi yang memimpin tiga buah padepokan akan datang, maka diperlukan tiga orang untuk mengimbangi mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan dapat mengharapkan kakak mereka, Mahisa Bungalan untuk ikut bersama mereka karena tugas-tugasnya. Karena itu, maka kedua orang anak muda itu sepakat untuk menghubungi Mahendra.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat meninggalkan padepokan itu. Keduanya cemas bahwa justru pada saat mereka pergi, orang-orang yang menganggap padepokan itu sebagai padepokan yang kurang genap itu datang kembali dengan maksud buruk.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan dua orang terbaik dari padepokan itu untuk pergi ke Singasari. Dengan ancar-ancar yang jelas keduanya diminta datang ke rumah Mahendra dan mohon agar ayahnya itu bersedia datang ke padepokannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja tidak memberitahukan persoalan itu kepada paman-pamannya Mahisa Agni dan Witantra yang sudah terlalu tua, sehingga mereka sudah tidak pantas lagi untuk melakukan perjalanan yang terlalu jauh.
“Hati-hatilah,“ pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua orang padepokan Suriantal itu pun meninggalkan padepokan di pagi-pagi benar di hari berikutnya. Keduanya menempuh perjalanan panjang dan berpacu dengan waktu. Tetapi agaknya orang-orang perguruan Windu Putih tidak segera bertindak. Mereka masih menghimpun kekuatan dan pertimbangan-pertimbangan lain sehingga mereka masih belum mulai bergerak.
Ternyata bahwa kedua orang padepokan Suriantal itu berhasil mendahului gerakan orang-orang Windu Putih. Keduanya telah kembali bersama dengan Mahendra setelah menempuh perjalanan yang melelahkan.
“Silahkan beristirahat,“ berkata Mahisa Murti kepada kedua orang yang kelelahan itu. Namun sementara itu Mahendra yang tua itu agaknya tidak nampak terlalu letih seperti kedua orang yang menjemputnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menceriterakan kehadiran sekelompok orang yang mengaku berasal dari tiga perguruan. Mereka merasa tersinggung justru karena di padepokan itu tidak ada seorang yang dianggap sebagai pemimpin tertinggi.
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, “Jadi kalian sudah bertekad untuk mendirikan sebuah perguruan?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab sambil menundukkan kepalanya, “Ya ayah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan mengangguk kecil Mahendra berkata, “Kalian masih terlalu muda. Tetapi jika itu memang sudah menjadi keputusan kalian apa boleh buat. Aku kira orang-orang yang datang itu menyimpan di dalam hati mereka, pengertian bahwa di padepokan ini tidak ada orang tua yang menjadi pelindungnya. Mereka akan datang untuk mengambil alih, apapun tujuan mereka yang sebenarnya. Mereka akan segera menyebut padepokan ini dengan nama padepokan mereka dan menjadikan tempat ini sebagai landasan bagi gerakan-gerakan mereka berikutnya.”
“Kami juga memperhitungkan kemungkinan itu ayah,“ sahut Mahisa Pukat, “karena itulah maka kami mohon ayah datang. Jika benar yang datang itu tiga buah padepokan, maka berarti bahwa harus ada orang sedikitnya tiga untuk mengimbangi kekuatan mereka.”
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di padepokan ini. Tetapi aku bukan pemimpin dari padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah mereka yang telah bersedia berada di padepokan itu.
Namun di satu pagi, ketika cahaya matahari mulai menguak kelamnya sisa malam, seseorang telah berdiri di depan regol padepokan Suriantal. Dengan sikap yang tidak dimengerti orang itu berdiri saja tanpa berbuat sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendapat laporan itu pun segera pergi ke regol, justru bersama ayah mereka Mahendra.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya pernah melihat orang itu. Karena itu, maka keduanya pun telah melangkah mendekatinya diikuti oleh Mahendra. Bagaimanapun juga ketiganya telah bersiaga sepenuhnya, karena mereka tidak tahu, siapakah dan untuk apakah ia datang.
Ketika mereka bertiga telah menjadi semakin dekat, maka orang itu pun berkata, “Apakah kalian tidak ingat lagi kepadaku. Aku adalah guru dari Akuwu Sangling yang lama, yang digantikan oleh Akuwu yang sekarang, Mahisa Bungalan.”
“Oo,“ Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dengan nada ragu Mahisa Murti berkata, “Untuk apa kau kemari?”
“Aku ingin mengunjungi kalian. Apakah kalian berkeberatan?“ bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak segera dapat menjawab. Namun Mahendra lah yang menjawab, “Marilah. Silahkan Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih atas penerimaan yang baik dari kalian semuanya.”
Demikianlah Mahendra diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan tamu mereka memasuki bangunan induk padepokan Suriantal. Mereka duduk di pendapa, sementara di regol beberapa orang sedang membicarakan tamu yang agaknya menarik perhatian itu.
“Aku harap kalian tidak lupa kepadaku,“ berkata orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Aku ingat itu.”
“Baiklah,“ berkata orang itu, “jika demikian maka kedatanganku tidak akan sia-sia.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara itu Mahendra pun bertanya, “Apakah keperluan Ki Sanak datang ke padepokan ini?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dahulu sebuah batu yang berwarna kehijauan sangat menarik perhatian orang. Namun sekarang, setelah batu itu tidak ada di sini, maka padepokan yang tumbuh dan berkembang ini pun tetap menarik perhatian orang lain.”
“Apakah maksud Ki Sanak?“ bertanya Mahendra.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah orang yang telah menyatakan diri untuk membantu setiap kesulitan yang terjadi di Sangling dibawah perintah Akuwu yang sekarang ini, sebagai tebusan kesalahan anak muridku yang memerintah sebelumnya. Tentu saja sejauh kemampuan yang ada padaku. Namun ketika aku mendengar bahaya yang mengancam padepokan ini, yang dipimpin oleh dua orang anak muda adik Mahisa Bungalan yang menjadi Akuwu di Sangling sekarang, ternyata aku juga tidak sampai hati untuk hanya berdiam diri saja.”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bahaya yang mana yang Ki Sanak maksudkan?”
Orang itu merenung sejenak, namun kemudian katanya, “Anak-anak muda yang memimpin padepokan ini. Menurut pendengaranku, maka perguruan Windu Putih telah bersiap-siap untuk menebarkan sayapnya, yang akan meliputi padepokan yang sedang berkembang ini. Perguruan Windu Putih adalah perguruan yang besar yang telah membagi diri menjadi tiga perguruan. Meskipun semuanya masih juga menyebut perguruan mereka dengan nama yang sama, tetapi masing-masing seakan-akan telah berdiri sendiri. Ketiga perguruan itu telah siap untuk datang ke padepokan ini dan berusaha untuk menghancurkannya dan merampas segala isinya termasuk mereka yang akan menyerah.”
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Jadi perhitunganmu benar, anak-anak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Mahendra berkata kepada tamunya, “Sekelompok orang yang mengaku datang dari tiga padepokan telah datang kemari tanpa menyebut nama padepokannya.”
Orang yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, ”Mereka tidak bermain-main. Apa yang mereka lakukan disini?”
Mahisa Murti sempat menceritakan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang mengaku datang dari tiga padepokan itu.
“Mereka memang sedang mencari keterangan,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu, “mereka pun kemudian yakin, bahwa padepokan ini hanya ditunggui oleh anak-anak muda saja.”
“Itulah sebabnya aku mengundang ayah kemari,“ berkata Mahisa Pukat.
“Syukurlah,“ berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Aku sebenarnya ingin menyatakan niatku untuk membantu kalian. Karena semula aku tidak tahu bahwa ayah anak-anak muda telah berada disini pula.”
“Kami mengucapkan terima kasih,” berkata Mahendra, “jika aku ada disini sebenarnyalah aku hanya sekedar membesarkan hati anak-anakku. Kami akan sangat senang jika Ki Sanak tetap berada disini sebagaimana Ki Sanak rencanakan.”
Orang itu tersenyum kecil. Katanya, “Siapa yang tidak mengenal kemampuan ilmu ayah Mahisa Bungalan,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu, “namun demikian jika kalian berkenan, aku memang ingin berada disini. Selain aku memang ingin membantu sejauh dapat aku lakukan, aku pun sebenarnya telah lama sekali mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Kiai Windu Putih secara pribadi.”
“Kiai Windu Putih?“ bertanya Mahendra.
“Orang menyebutnya Kiai Windu Putih. Tetapi nama sebenarnya adalah Kuda Santaka,“ jawab orang itu.
“Kuda Santaka,“ ulang Mahendra, “rasa-rasanya aku sudah mendengar nama itu. Sebagai seorang yang berkeliling untuk menjajakan barang-barang daganganku, maka pada suatu saat aku memang pernah berhubungan dengan orang yang menyebut dirinya Kuda Santaka. Tetapi ternyata bahwa hubungan kami sebagai penjual dan pembeli tidak dapat berpaut.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berterima kasih jika aku diperkenankan membuat perhitungan dengan orang yang bernama Kuda Santaka itu. Mungkin anak-anak muda dan Ki Mahendra akan menuduhku memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadiku. Mungkin memang demikian. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat saling membantu. Sudah tentu aku seorang diri akan mengalami kesulitan berhadapan dengan Kuda Santaka yang telah mampu mengembangkan padepokannya menjadi tiga buah padepokan. Sementara itu, barangkali disini tenagaku akan dapat berarti bagi padepokan ini meskipun hanya seorang diri.”
Mahendra ternyata telah mendahului anak-anaknya, “Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak bergabung dengan kami. Mudah-mudahan kami dengan kekuatan yang ada akan dapat mempertahankan diri dan mempertahankan padepokan ini.”
Orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu-pun kemudian berkata dengan nada berat, “Aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan ini. Karena itu, maka aku berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya dalam persoalan yang menyangkut padepokan Windu Putih itu. Namun perlu kami beritahukan bahwa padepokan Windu Putih yang sudah menjadi tiga bagian itu, memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga untuk itu, maka padepokan ini harus benar-benar sudah siap menghadapinya.”
“Kami sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Para penghuni padepokan ini sudah melatih diri hampir di setiap saat untuk meningkatkan kemampuan kami,“ berkata Mahisa Murti, “namun bagaimanapun juga kemampuan kami memang sangat terbatas.”
“Bagaimanapun juga kita usaha sejauh mungkin sudah dilakukan, maka hasilnya tentu akan berarti,“ berkata orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.
Demikianlah, sejak saat itu, orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu berada di padepokan yang masih saja disebut Suriantal. Sementara itu, latihan-latihan di padepokan itu berlangsung semakin keras. Para pemimpin kelompok telah mendapat penjelasan, bahwa perguruan yang besar berusaha untuk menguasai padepokan ini, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga padepokan itu harus dipertahankan.
Dalam pada itu, maka rencana perguruan Windu Putih pun menjadi semakin matang. Padepokan yang semula bernama Suriantal itu tidak boleh tumbuh dan berkembang sehingga akan dapat mempersempit pengaruh perguruan Windu Putih.
“Kami agaknya memang sudah terlambat,“ berkata orang yang disebut Windu Putih, yang sebenarnya bernama Kuda Santaka itu.
“Kenapa terlambat?“ bertanya salah seorang muridnya yang juga telah diserahi tanggung jawab atas sebuah padepokan.
“Seharusnya kami membuat persoalan dengan padepokan itu di saat batu yang berwarna kehijauan itu belum diserahkan ke Singasari. Tetapi kini batu itu telah menjadi sebuah patung sehingga kedua anak muda yang memimpin padepokan itu mendapat penghargaan yang tinggi dari Sri Maharaja di Singasari,“ berkata Kiai Windu Putih.
“Biarlah,“ sahut seorang muridnya yang lain, yang juga memimpin sebuah padepokan, “sekarang kita datang ke padepokan itu dan mengambil segala isinya, termasuk orang-orang yang tersisa.”
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Windu Putih berkata, “Terlambat atau tidak, kita akan memasuki padepokan itu. Kedua anak muda itu tidak akan banyak berarti bagi kita, sehingga tugas ini bukanlah tugas yang terlalu berat. Sementara itu kita akan membawa pasukan yang cukup besar untuk menghancurkan padepokan itu. Namun kita harus berusaha sebanyak mungkin untuk menawan penghuni padepokan itu, sehingga mereka akan dapat kita jadikan budak-budak yang sangat berarti bagi kita, karena mereka akan mampu menjadi tenaga yang baik bukan saja di dalam kerja di padepokan, tetapi juga membantu di peperangan. Asal mereka kita tebarkan di ketiga padepokan dan kita pecah menjadi kelompok-kelompok kecil, maka mereka tidak akan berbahaya lagi. Setiap hari kita makan membuat jiwa mereka semakin kecil dan kerdil, sehingga mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.”
Para pemimpin di padepokan itu mengangguk-angguk. Mereka merasa bahwa mereka akan segera dapat menyelesaikan tugas mereka tanpa mengalami kesulitan. Pada saat yang sudah ditentukan, maka para pemimpin di ketiga padepokan itu telah menyiapkan pasukan mereka. Dua diantara padepokan itu telah membawa pasukannya berkumpul di padepokan yang dipimpin oleh murid Kiai Windu Putih yang tertua. Dari padepokan itu, mereka akan bersama-sama pergi ke padepokan Suriantal.
Jarak yang akan ditempuh memang cukup jauh. Namun jika padepokan itu jatuh, maka padepokan itu akan dapat dikembangkan menjadi satu diantara padepokan dari perguruan Windu Putih. Satu diantaranya akan dipimpin oleh Kiai Windu Putih sendiri, yang akan menjadi padepokan induk, sementara tiga yang lain akan dipimpin oleh ketiga muridnya.
Iring-iringan pasukan itu memang menempuh jalan yang tidak sering dilalui oleh orang-orang padukuhan. Mereka menempuh jalan melalui pinggir-pinggir hutan, kaki pegunungan dan jika mereka harus menempuh perjalanan di jalan yang ramai, maka mereka terpaksa menunggu sampai malam hari.
Pasukan itu ternyata berhasil lepas dari penglihatan prajurit peronda Sangling, meskipun iring-iringan itu melalui daerah Sangling. Tetapi ternyata pasukan itu tidak terlepas dari penglihatan petugas sandinya. Dua orang petugas sandi berhasil mengikuti dari jarak yang jauh. Namun ketika mereka yakin akan arah perjalanan pasukan itu, maka keduanya menjadi cemas.
“Nampaknya mereka menuju ke padepokan Suriantal,“ berkata seorang diantara mereka.
“Satu pasukan yang besar dari perguruan Windu Putih,“ sahut yang lain.
“Jika mereka benar-benar menuju ke padepokan Suriantal, maka padepokan itu akan terancam,“ berkata yang pertama, “kekuatan itu tidak akan terlawan. Agaknya ketiga pecahan perguruan Windu Putih terlibat di dalamnya.”
“Kau ikuti terus pasukan itu. Amati apa yang mereka lakukan. Aku akan melaporkannya kepada Akuwu Sangling.” berkata yang seorang diantara kedua petugas sandi itu.
“Terlambat,“ sahut kawannya, “kapan kau akan sampai ke Sangling, sementara padepokan Suriantal tinggal abunya saja.”
“Aku akan berusaha mendapatkan seekor kuda dari manapun,“ jawab kawannya pula.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kecuali jika kau berhasil mendapatkan kuda sementara Sangling juga menggerakkan pasukan berkuda.”
Kawan termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Ya. Aku akan mencari seekor kuda, dan mohon Akuwu Sangling untuk menggerakkan pasukan berkuda berapa pun jumlahnya.”
“Tetapi apakah ada juga orang yang dapat mempercayaimu dan meminjamkan seekor kuda? Kita sama sekali tidak dikenal di sini,“ jawab yang lain.
“Entahlah,“ berkata kawannya. “Aku belum tahu bagaimana caranya. Tetapi aku harus mendapatkannya.”
Ketika kawannya masih akan berbicara lagi, ia berkata, “Jika kita berbicara saja, maka aku tidak akan segera pergi.”
Kawannya hanya menarik nafas dalam-dalam, sementara yang lain telah meloncat pergi ke padukuhan terdekat. Memang tidak mudah untuk dapat meminjam seekor kuda. Apalagi kuda yang baik. Karena itu, maka petugas sandi itu bertekad untuk mengambil saja seekor kuda dan akan diperhitungkan kemudian.
“Tetapi jika terjadi persoalan dengan orang-orang padukuhan maka akibatnya justru akan menghambat perjalanan ini,“ berkata orang itu kepada diri sendiri.
Akhirnya orang itu telah memutuskan untuk pergi ke rumah Ki Bekel di padukuhan yang terdekat. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat menunjukkan ciri kesatuannya sebagai pasukan sandi. Agar persoalannya dapat menjadi cepat, maka orang itu telah melepas timangnya yang terbuat dari emas. Katanya, “Aku tinggalkan timang emasku ini. Jika kuda itu kelak sudah selesai, maka aku akan mengembalikannya.”
Ki Bekel sebenarnya ingin lebih banyak bertanya. Tetapi ternyata orang yang memerlukan seekor kuda itu begitu tergesa-gesa, sehingga ia menunda pertanyaan sampai orang itu mengembalikan kudanya itu. Demikianlah, maka petugas sandi itu telah berpacu menuju ke Sangling. Untunglah bahwa kuda Ki Bekel itu adalah kuda yang baik sehingga ia dapat berpacu cepat sekali.
Betapapun petugas itu tergesa-gesa, tetapi ia tidak dapat memaksa kudanya berpacu tanpa beristirahat. Karena itu, maka dalam saat-saat tertentu ia sudah berhenti di tempat yang teduh. Di pinggir parit yang berair jernih dan berumput subur atau di tepian sungai yang tidak terlalu besar. Tetapi ia sudah berusaha sejauh dapat dilakukan.
Ketika ia sampai di istana Akuwu Sangling, maka ia sudah menempuh perjalanan hampir sehari penuh. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, sedangkan nafasnya terengah-engah.
“Ada apa?“ bertanya seorang perwira yang bertugas.
“Aku mohon menghadap Akuwu,“ jawab petugas itu.
“Untuk apa? Tidak semudah itu menghadap Akuwu. Tidak setiap orang yang datang dengan tergesa-gesa langsung dapat diterima oleh akuwu. Kau siapa, dari mana dan apa keperluanmu?“ bertanya perwira yang bertugas.
Petugas sandi itu tidak sabar. Segalanya harus berlangsung cepat. Karena itu, maka ia pun telah menunjukkan ciri dari seorang perwira petugas sandi. Perwira yang menghentikannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, bahwa petugas sandi memang mempunyai kesempatan yang khusus karena persoalan yang dibawanya mungkin sekali merupakan persoalan yang sangat penting.
Sebenarnyalah, bahwa perwira yang bertugas itu sudah mengusahakan menghubungi pelayan dalam, sehingga secara khusus petugas itu dapat diterima oleh Akuwu Sangling. Dengan singkat, perwira dari petugas sandi itu segera menceriterakan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka Akuwu pun dengan cepat pula telah mengambil keputusan.
“Pasukan berkuda yang bertugas, siap untuk berangkat sekarang juga,“ perintah Akuwu dengan suara berat.
Sejenak kemudian, perwira pasukan berkuda yang sedang bertugas itu pun telah menghadap. Perintah Akuwu pun telah jatuh, bahwa pada saat itu juga sekelompok pasukan berkuda yang bertugas supaya berangkat. Tidak ada waktu untuk menghimpun prajurit-prajurit berkuda yang lain.
“Berapa orang?“ bertanya Akuwu.
“Tiga puluh orang,“ jawab perwira pasukan berkuda, “mereka bertugas di empat tempat.”
“Kumpulkan dan segera berangkat. Aku tidak memberi perintah lagi. Pergilah bersama prajurit sandi ini,“ berkata Akuwu.
Ternyata pasukan berkuda Sangling itu benar-benar pasukan yang terlatih. Dalam waktu yang singkat, mereka telah berkumpul dengan kelengkapan perang yang memadai. Seperti yang diperintahkan Akuwu mereka tidak menunggu perintah berikutnya. Demikian mereka siap, maka mereka pun segera berangkat.
Ternyata yang kemudian berpacu diatas punggung kuda tidak hanya tigapuluh orang, tetapi tigapuluh empat orang ditambah dengan perwira dari pasukan berkuda dan perwira dari petugas sandi sehingga semuanya berjumlah tigapuluh enam orang. Derap kaki-kaki kuda itu memang mengejutkan orang-orang Sangling. Namun mereka tidak sempat bertanya. Kuda-kuda itu berlari seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Sementara itu, pasukan perguruan Windu Putih yang besar telah menjadi semakin dekat. Untunglah bahwa mereka berusaha untuk tidak banyak diketahui orang, sehingga perjalanan mereka menjadi agak lamban.
Seorang dari prajurit sandi telah dengan sangat berhati-hati mengikutinya dari jauh. Ketika ia yakin bahwa arah pasukan itu memang menuju ke padepokan Suriantal, maka ia pun telah berusaha untuk memotong jalan, mendahului pasukan yang berjalan dengan lamban itu.
Prajurit Sandi itu memang berhasil mendahului pasukan yang cukup besar dari ketiga perguruan yang masih disebut dengan nama yang sama itu. Dengan berlari-lari kecil, melintasi pematang-pematang sawah dan pategalan, menyeberangi sungai dan meloncati parit-parit, maka akhirnya petugas sandi itu sampai ke jalan yang lurus menuju ke padepokan yang semula disebut padepokan Suriantal itu.
Ia memang menjadi ragu-ragu karena sama sekali tidak dikenal oleh para penghuni padepokan itu. Namun ia tidak dapat membiarkan padepokan itu disergap tanpa sempat melawan, karena ia tahu bahwa yang memimpin padepokan itu adalah dua orang Adik Akuwu Sangling. Bagaimanapun juga, Sangling tentu tidak akan rela hal itu terjadi.
Ketika orang itu kemudian mendekati regol padepokan yang di siang hari memang terbuka, maka para petugas di regol itu pun telah menyapanya dengan ramah.
“Siapakah kau Ki Sanak? Dan apakah kau mempunyai keperluan dengan isi padepokan ini?”
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku ingin menghadap kedua orang adik Akuwu Sangling.”
“Untuk apa?“ bertanya petugas regol itu.
“Ada sesuatu yang penting yang ingin aku sampaikan,“ jawab orang itu.
“Siapakah kau sebenarnya?“ bertanya petugas di regol itu pula.
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun kemudian untuk tidak memperpanjang persoalan maka ia pun menjawab, “Aku adalah prajurit sandi dari Sangling.“
Petugas itu memang terkejut. Namun prajurit sandi itu telah menunjukkan pertanda tentang dirinya, bahwa ia adalah memang seorang prajurit sandi. Meskipun petugas di regol itu belum mengenal pertanda prajurit sandi dari Sangling, tetapi ia pun kemudian berkata,
”Baiklah. Silahkan duduk di pendapa. Kami akan menyampaikannya kepada kedua orang pemimpin kami.”
Petugas sandi dari Sangling itu mengangguk kecil. Oleh seorang petugas ia pun telah dibawa naik ke pendapa bangunan induk, sementara yang lain telah melaporkannya kepada dua orang yang menyebut dirinya Putut di padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka menduga bahwa orang itu telah mendapat perintah dari kakaknya untuk satu keperluan yang penting, sementara itu mereka sendiri sedang menunggu perkembangan keadaan antara padepokan itu dengan padepokan yang dipimpin oleh Kiai Windu Putih. Tetapi kejelasannya adalah apabila orang itu sudah mengatakan sendirinya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun segera telah menemui orang yang mengaku prajurit sandi dari Sangling itu.
Ketika orang itu kemudian menyampaikan keperluannya serta menceriterakan apa yang dilihatnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengangguk-angguk. Mereka memang harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh berita yang dibawa oleh prajurit sandi itu. Namun mereka pun tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan yang lain tentang kakak mereka yang berada di Sangling.
“Terima kasih Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “semula aku merasa cemas bahwa berita yang Ki Sanak bawa menyangkut kakang Mahisa Bungalan. Apalagi jika kakang memerlukan kami datang, sementara padepokan ini memang sedang dalam bahaya.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan tentang Sangling. Namun justru pasukan yang besar itu telah mendekati padepokan ini,“ berkata prajurit sandi dari Sangling itu.
“Terima kasih,“ berkata Mahisa Murti sekali lagi, “kami akan segera mempersiapkan pasukan.”
“Silahkan,“ berkata petugas sandi itu, “mereka memang sedang mendekati padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok yang ada di padepokan itu. Mereka harus dengan cepat mempersiapkan pasukan yang ada untuk menghadapi orang-orang dari ketiga padepokan yang tergabung dalam perguruan Windu Putih yang telah bergerak menuju ke padepokan yang masih disebut padepokan Suriantal itu.
Ternyata petugas sandi itu menjadi ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa seorang kawannya telah menuju ke Pakuwon Sangling untuk minta dikirimkan bantuan segera. Jika usaha itu gagal, sementara orang-orang Suriantal sangat mengharapkannya, maka mereka akan menjadi kecewa sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi perlawanan mereka.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan berkuda yang berjumlah tidak lebih dari tiga puluh enam orang itu sudah berangkat, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan untuk menghimpun lagi pasukan berkuda yang dapat dengan cepat digerakkan menuju padepokan Suriantal. Sehingga dengan demikian, maka pada gelombang kedua itu, dua puluh dua orang prajurit berkuda telah berpacu menyusul pasukan yang terdahulu menuju ke padepokan Suriantal, dipimpin langsung oleh para perwira pilihan dari Sangling.
Sementara itu Akuwu Sangling sendiri telah mempersiapkan diri pula. Namun ia masih harus memberikan beberapa pesan, petunjuk dan perintah-perintah, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat bergerak secepat kedua gelombang pasukannya. Tetapi beberapa saat kemudian, maka Akuwu Sangling pun telah berangkat pula menyusul dengan dua puluh lima orang pengawal pilihan, dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan karena Akuwu dan pengawalnya mempergunakan kuda-kuda pilihan pula, jarak antara pasukan gelombang kedua dengan pasukan yang dipimpin oleh Akuwu itu sendiri tidak menjadi semakin jauh, justru menjadi semakin dekat.
Seorang penghubung yang terampil dan berkuda di paling depan, telah melepaskan isyarat dengan panah sendaren yang melambung tinggi di udara. Suara panah sendaren itu bergaung di udara. Ternyata pasukan berkuda yang bertolak pada gelombang kedua sempat menangkap suara bergaung itu, sehingga dengan demikian mereka pun mengerti, bahwa Akuwu Sangling berada tidak terlalu jauh di belakang mereka.
Demikianlah tiga gelombang pasukan berkuda telah berpacu menuju padepokan yang disebut semula padepokan Suriantal. Namun jarak antara Sangling dan padepokan itu bukannya jarak yang dekat. Sehingga karena itu, maka perjalanan yang mereka tempuh pun merupakan perjalanan yang panjang. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti, karena kuda-kuda mereka tidak akan dapat dipaksa berpacu terus menerus sampai mereka sampai ke tujuan.
Jumlah seluruh prajurit dari pasukan berkuda itu memang tidak terlalu banyak. Tetapi bagi padepokan Suriantal akan memberikan arti yang besar, sehingga akan dapat menumbuhkan harapan untuk dapat mengatasi kesulitan yang datang. Namun pasukan dari ketiga perguruan yang disebut perguruan Windu Putih itu cukup besar.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah memperhitungkan bahwa serangan dari perguruan Windu Putih itu akan datang menjelang fajar. Mereka akan bergerak dan mengepung padepokan itu di dini hari, sehingga demikian matahari terbit, maka pasukan itu akan menyerang. Atau bahkan menjelang cahaya matahari mulai dilemparkan keatas padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memerintahkan untuk bersiap-siap sesuai dengan perhitungannya. Meskipun demikian Mahisa Murti telah memerintahkan untuk berhati-hati bahwa kemungkinan lain dapat terjadi. Karena itu, maka penjagaan di malam hari harus diperkuat. Namun mereka harus mampu mengatur diri, sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang cukup untuk beristirahat, karena besok kemungkinan yang gawat akan dapat terjadi.
Dengan demikian, maka malam itu juga, semua persiapan telah dilakukan. Beberapa onggok lembing telah diletakkan di-atas panggungan di dalam dinding padepokan. Busur dan anak panah yang tidak terhitung jumlahnya telah disiapkan pula, sehingga setiap saat akan dapat dipergunakan.
Di beberapa tempat, para petugas dengan cermat mengamati keadaan. Namun di samping para peronda yang memang ditempatkan di gardu-gardu penjagaan di atas panggungan, maka beberapa orang yang lain, justru berjaga-jaga di belakang dinding tanpa dapat dilihat oleh orang-orang yang berada di luar.
Sebenarnyalah bahwa perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak salah. Para pemimpin perguruan Windu Putih memang berniat untuk menyerang padepokan itu di saat matahari terbit. Karena itu maka mereka pun telah menyiapkan pasukan mereka di malam hari. Mereka telah meletakkan pasukannya di tempat-tempat yang dianggapnya paling baik untuk mulai dengan serangan-serangannya ketika matahari mulai melemparkan cahayanya.
“Kita perkuat pasukan kita di sebelah Timur,“ berkata pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu.
“Apakah kita tidak menyerang dari Utara dengan memecahkan pintu gerbang?“ bertanya salah seorang pemimpin perguruan itu yang lain.
“Kita memang akan berusaha untuk memecahkan pintu gerbang. Tetapi matahari akan terbit di arah Timur. Mereka akan menjadi silau jika mereka menentang matahari, sementara kita akan mendapat kesempatan lebih baik,“ berkata pemimpin tertinggi itu.
Para pemimpin yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat untuk memanfaatkan cahaya matahari pagi. Namun dengan demikian, maka mereka harus mempersiapkan kemungkinan lain daripada memecahkan pintu gerbang. Jika mereka mendapat kesempatan karena keuntungan mereka di saat matahari terbit, maka mereka harus mempersiapkan tangga sebanyak-banyaknya.
Hal itu sudah dipikirkan oleh para pemimpin perguruan Windu Putih. Meskipun mereka tidak mempersiapkan tangga, tetapi mereka telah terlatih mempergunakan alat lain. Dengan tongkat-tongkat yang disandarkan pada dinding, maka mereka akan berloncatan naik, sementara kawan-kawannya akan melindungi mereka dengan serangan anak panah.
Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih itu pun telah memperingatkan pada para pemimpin yang lain, bahwa perhitungan mereka tentu sama dengan perhitungan para pemimpin padepokan Suriantal. Karena itu maka pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih itu pun telah berkata,
“Kalian menang harus berhati-hati. Para pemimpin dari Suriantal itu tentu sudah menebak, bahwa kita akan bergerak menjelang fajar. Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka juga memperhitungkan bahwa tekanan serangan kita justru akan datang dari arah Timur. Tidak dari arah depan padepokan yang menghadap ke Utara."
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk, sementara pemimpin tertingginya pun telah memerintahkan pula untuk beristirahat sebanyak-banyaknya.
“Kita tidak tahu, berapa lama kita akan bertempur esok. Mungkin sehari penuh kita belum dapat memecahkan dinding dan pintu gerbang. Namun kita yakin, bahwa kita akan dapat menghancurkan padepokan yang kecil dan sombong ini,“ berkata pemimpin tertinggi padepokan itu.
“Bukan padepokan yang kecil,“ desis yang lain, “padepokan ini termasuk sebuah padepokan yang besar. Ditinjau dari jumlah orang yang ada di dalamnya.”
“Tetapi mereka berasal dari sumber yang berbeda-beda sehingga kekuatan mereka tentu tidak akan utuh,” jawab pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka percaya akan perhitungan pemimpin tertinggi mereka. Apalagi berdasarkan laporan pengamatan yang sebelumnya dilakukan serta keterangan-keterangan yang berhasil dikumpulkan, maka isi padepokan itu tidak akan cukup banyak untuk melawan tiga padepokan dari satu perguruan yang sangat besar sebagaimana perguruan Windu Putih itu. Bahkan separuh-pun tidak.
Karena itu, maka para pemimpin padepokan Windu Putih memang sudah memastikan, bahwa mereka akan dapat mematahkan tunas yang nampaknya akan tumbuh menjadi sebuah perguruan baru diatas reruntuhan perguruan Suriantal, yang bagi mereka agaknya akan lebih baik daripada perguruan itu tumbuh dan menjadi subur. Bahkan dengan demikian, maka padepokan itu akan dapat dijadikan padepokan keempat dari perguruan Windu Putih. Meskipun jaraknya dari padepokan-padepokan yang lain cukup jauh, namun agaknya tidak akan banyak perguruan lain yang akan berani mengganggu, karena dengan demikian mereka akan berhadapan dengan seluruh perguruan Windu Putih yang akan menjadi semakin besar.
Orang-orang yang ada di dalam padepokan itu, tentu akan dengan senang hati atau pun tidak, bersedia masuk ke dalam lingkungan perguruan Windu Putih. Setidak-tidaknya mereka akan dapat menjadi budak-budak yang pada saat-saat tertentu justru dapat dipaksa untuk bertempur asal mereka tidak terikat dalam kelompok-kelompok. Apalagi yang memimpin padepokan itu tidak lebih dari dua orang anak muda yang mengaku diri mereka Putut di padepokan itu. Demikianlah, maka kedua belah pihak agaknya telah mempergunakan kesempatan yang tersisa di malam itu untuk beristirahat sebaik-baiknya.
Ketika malam mendekati dini, maka sebagian dari pasukan di kedua belah pihak telah terbangun. Mereka yang bertugas pun segera menyalakan perapian dan menyiapkan makan bagi seluruh pasukan. Mereka tidak boleh kehabisan tenaga di medan pertempuran, seandainya pertempuran itu berlangsung sampai petang dan apalagi tertunda dikeesokan harinya.
Sementara itu, yang lain pun seorang demi seorang telah terbangun pula. Mereka tidak membuang waktu yang memang tidak terlalu banyak. Demikian nasi masak, maka mereka yang lebih dahulu bersiap telah mendapat kesempatan untuk makan seberapa dapat mereka makan. Sebelum mereka benar-benar turun ke medan, mereka telah mendapat waktu beberapa saat untuk mengendapkan makanan dan minuman di dalam perut mereka.
Ketika saatnya cahaya langit menjadi merah, serta tanah mulai menjadi nampak semakin terang, maka ternyata kedua belah pihak telah menyusun pasukan mereka masing-masing. Para pengamat diatas dinding padepokan agaknya melihat, bahwa kekuatan lawan justru dipusatkan tidak di depan padepokan, tetapi justru di arah Timur.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya segera mengetahui, bahwa orang-orang dari Windu Putih itu berusaha untuk memanfaatkan sinar matahari agar orang-orang padepokan Suriantal itu terpaksa melawan dengan mata yang silau.
“Beritahukan kepada semua orang yang berada di sisi Timur,“ berkata Mahisa Murti, “jika mereka menyadari akan hal ini, maka mereka akan menempatkan diri. Mereka tidak membidik lawan di arah yang silau. Tetapi mereka akan menyerang lawan tanpa menghadap lurus ke matahari. Memang dengan demikian mungkin serangan kita tidak lurus mengarah lawan yang dihadapan kita langsung, tetapi serangan itu akan menjadi akan condong dan bahkan mungkin bersilang.”
Perintah itu pun segera telah tersebar diantara mereka yang bertugas di sisi sebelah Timur. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menarik beberapa orang di sisi yang lain untuk juga berada di sisi Timur. Demikianlah, sebelum matahari terbit, kedua belah pihak memang sudah bersiap. Mereka hanya tinggal menunggu perintah untuk bergerak.
Dalam pada itu, di dalam padepokan, Mahendra dan orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu pun telah bersiap pula. Namun kedua orang tua sempat juga menilai keadaan yang mereka hadapi.
“Pasukan mereka terlalu besar untuk orang-orang di padepokan ini,“ berkata guru Akuwu Sangling yang lama itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan penghuni padepokan ini sempat memanfaatkan apa yang mereka miliki disini untuk menahan arus yang akan melanda.”
“Kita yang tua-tua tidak dapat berpangku tangan,“ berkata orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu, “tetapi aku akan segera terikat pertempuran dengan Kiai Windu Putih. Aku memang ingin membuat perhitungan dengan orang itu. Namun sebelum aku bertemu dengan Kiai Windu Putih aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu menahan arus itu.”
Mahendra mengangguk-angguk. Melihat gelar dan jumlah lawan memang sulit bagi padepokan itu untuk bertahan. Hanya dengan tekad yang menyala serta kemampuan dan ketrampilan mempermainkan senjata, maka arus itu akan dapat dihambat. Namun Mahendra tidak akan dapat menyalahkan kedua anaknya jika mereka terpaksa mempergunakan kemampuan ilmu mereka untuk menyerang lawannya pada jarak jauh, sebelum mereka mencapai pintu gerbang. Tetapi Mahendra pun menyadari, bahwa perguruan Windu Putih pun tentu memiliki orang-orang yang menguasai ilmu yang tinggi pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, telah terdengar isyarat dari antara pasukan perguruan Windu Putih, bahwa pasukan mereka mulai menyerang. Suara bende yang dipukul dengan irama datar terus-menerus disahut oleh bende di sisi yang lain.
Sejenak kemudian, maka suara bende itu pun terdengar di seputar padepokan Suriantal. Rasa-rasanya padepokan itu memang sudah dikepung rapat, sehingga tidak ada lagi lubang seujung duri sekalipun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah naik pula ke panggung di sebelah regol padepokan yang tertutup rapat. Mahendra dan orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama-pun telah ikut naik pula mengamati keadaan.
“Kekuatan mereka tidak berada di bagian depan padepokan ini,“ berkata Mahendra.
“Ya ayah,“ jawab Mahisa Murti, “mereka ingin memanfaatkan cahaya matahari pagi. Tetapi kami sudah memberikan beberapa petunjuk kepada mereka yang berada di sisi Timur.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun memang terbersit, perasaan cemas di hatinya. Lawan agaknya memang terlalu banyak. Hanya karena Mahendra tahu bahwa penghuni padepokan itu telah menempa diri dengan sekuat tenaga yang ada, bukan hanya satu dua hari menghadapi serangan itu, tetapi sudah sejak jauh sebelumnya, maka masih tetap ada harapan pada Mahendra, bahwa penghuni padepokan itu akan mampu bertahan.
“Tidak ada pilihan lain kecuali mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya,“ berkata Mahendra di dalam hatinya.
Dalam pada itu, dengan derap yang tetap dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, orang-orang Windu Putih bergerak maju. Sebagian dari mereka telah mempersiapkan tongkat-tongkat yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding. Sedangkan yang lain telah mempersiapkan perisai untuk berlindung dari patukan anak panah dan lembing yang tentu akan terlontar dari dinding padepokan.
Orang-orang padepokan itu memang melihat persiapan yang matang dari orang-orang Windu Putih. Namun sebagai penghuni padepokan itu, maka mereka harus mempertahankan mati-matian. Apalagi mereka pun merasa bahwa mereka telah berlatih sebaik-baiknya untuk waktu yang lama, sehingga mereka yakin akan mampu mengimbangi orang-orang Windu Putih.
Tetapi di setiap dada orang-orang padepokan Suriantal itu terdengar desah, “Jumlah mereka terlalu banyak.”
Dalam pada itu, maka orang-orang Windu Putih itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya mereka tidak langsung menggempur pertahanan padepokan Suriantal. Tetapi pemimpin tertinggi padepokan Windu Putih itu diiringi oleh tiga orang muridnya yang masing-masing sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah padepokan, telah mendekati regol. Beberapa pengawal terpilih memencar di sebelah menyebelahnya dengan senjata siap di tangan. Bahkan beberapa diantara mereka telah siap dengan anak panah di busurnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak segera memberikan perintah untuk melontarkan anak panah dan lembing. Ketika terdengar isyarat suara bende tiga kali ganda, maka pasukan Windu Putih itu pun berhenti beberapa puluh langkah dari dinding padepokan Suriantal.
Dalam pada itu, ternyata orang yang menyebut guru Akuwu Sangling yang lama itu tidak segera mau menampakkan diri kepada pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih. Kepada Mahendra ia berkata, “Aku akan mengejutkannya di saat yang tepat.”
Mahendra mengangguk. Tetapi ia pun tidak berdiri diantara anak-anaknya. Tetapi berada diantara para pemimpin padepokan yang lain.
Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu Putih yang juga disebut Kiai Windu Putih itu berdiri di depan regol sambil menengadahkan wajahnya memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri diatas regol padepokannya.
“He, siapakah diantara kalian yang mengaku Putut yang memimpin padepokan ini?“ bertanya Kiai Windu Putih.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser maju setapak. Dengan lantang Mahisa Murti menyahut, “Kami berdua. Kami adalah Putut yang memimpin padepokan ini. Nah, Ki Sanak. Siapakah kau dan kenapa tiba-tiba saja kau bawa pasukan mengepung padepokan ini?”
“Seharusnya kau sudah mengetahui jawabnya. Aku sudah pernah mengirimkan sekelompok orang yang mewakili tiga padepokan untuk datang kemari. Kau ternyata telah menyakiti hati mereka, sehingga kami datang untuk menghukum kalian,“ jawab Kiai Windu Putih.
“Begitu sederhana persoalannya,“ berkata Mahisa Murti, “begitu mudahnya kau mengambil keputusan untuk menghukum kami. Aku percaya, karena aku telah melihat sendiri, betapa besarnya perguruanmu. Kau sempat membawa orang sekian banyaknya untuk mengepung padepokanku. Nah, apakah hal itu bukan tidak sewenang-wenang? Karena kau merasa terlalu kuat, maka kau berbuat apa saja menurut keinginan kalian tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.”
“Ternyata kau pandai berbicara anak muda,“ jawab Kiai Windu, “tetapi sayang, bahwa kata-katamu itu sama sekali tidak menarik bagiku. Karena itu, kata-katamu itu seperti tidak pernah aku dengar,“ orang itu berhenti sejenak, lalu “Anak-anak muda yang menyebut dirinya Putut. Aku masih memberi kesempatan kepadamu. Menyerahlah tanpa syarat. Ikat semua senjata yang ada di padepokan ini. Maka kalian semuanya akan aku ampuni. Tetapi jika kau berkeras kepala, maka akibatnya akan terasa sangat pahit bagi kalian. Nah, kalian boleh memilih Para pemimpin yang lain pun boleh memilih.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menggeram, “Kau lihat, bahwa kami sudah siap?”
“Tentu,“ jawab Kiai Windu Putih, “tetapi karena kau berdua memerintahkan semua penghuni padepokan ini bersiap. Tetapi aku ingin berbicara langsung kepada mereka, siapa yang mau menyerah, aku akan mengampuni mereka. Mereka yang melihat kenyataan, bahwa pasukan kami jauh lebih kuat dari pasukan yang ada di padepokan ini tentu sudah memperhitungkan bahwa seisi padepokan ini tentu akan hancur. Dengan demikian, mereka yang berpandangan jauh dan melihat kenyataan, tentu akan memilih menyerah kepada kami dan bahkan ikut membantu kami menghancurkan pemimpin-pemimpin padepokan ini yang telah menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan. Nah, siapa yang akan menyerah, pintu masih terbuka. Atau barang kali mereka akan menunggu pertempuran segera dimulai dan bahkan berpihak kepada kami, karena kemungkinan yang lebih baik tentu akan mereka dapatkan dari kami."
“Kau licik,“ geram Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu pun berteriak, “Nah, para penghuni padepokan ini. Kalian sudah mendengar keterangan dari pemimpin perguruan Windu Putih itu? Nah, siapakah diantara kalian yang akan berkhianat, akan mendapat pengampunan dan barangkali tempat yang baik diantara orang-orang perguruan Windu Putih.”
Suasana justru menjadi tegang, sementara Mahisa Pukat mengulanginya lagi, “Cepat. Aku pun memberi kesempatan. Kalian boleh meloncat turun meninggalkan padepokan ini, atau memang benar-benar akan menunggu jika pertempuran sudah mulai dan berbalik menyerang kami, para pemimpin padepokan?”
Orang-orang padepokan Suriantal itu menjadi tegang. Namun Mahisa Pukat berteriak lagi, “jawab. Apakah kalian akan berkhianat atau tidak?”
Terdengar sorak yang gemuruh. Orang-orang Suriantal itu mengacu-acukan senjatanya dengan gejolak kemarahan didalam hati.
“Nah, Kiai Windu Putih,“ berkata Mahisa Pukat, “kau dengar suara mereka yang gemuruh? Atau barangkali kau masih belum yakin? Marilah kita mulai. Apakah mereka akan berkhianat atau tidak.”
Kiai Windu Putih itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baiklah. Jika demikian, maka kami harus membantai kalian seperti menebas hutan ilalang. Mayat kalian pun akan terbujur lintang di padepokan ini.”
“Bukankah itu lebih baik daripada kami harus dipenggal kepala kami dengan tangan kuncup terikat?“ geram Mahisa Pukat pula.
“Persetan,“ geram Kiai Windu Putih, “kita akan menghancurkan mereka.”
Sejenak Kiai Windu Putih memandang orang-orang yang berada di atas pintu gerbang itu. Kemudian ia menengadah ke langit yang cerah. Matahari memang sudah mulai merambat naik. Kiai Windu Putih tidak mau kehilangan kesempatan sebagaimana diperhitungkan. Jika orang-orangnya menyerang dari arah Timur, maka orang-orang padepokan Suriantal itu tentu akan menjadi silau. Karena itu, maka ia pun segera memberikan isyarat. Sejenak kemudian maka telah terdengar suara bende dalam nada datar mengumandang di sekitar padepokan tersebut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi menunggu. Ia pun telah memberikan isyarat kepada beberapa orang yang siap dengan panah sendaren di halaman, di belakang regol. Sesaat kemudian, maka beberapa anak panah telah terlepas ke segala penjuru. Suaranya berdesing di udara. Sahut menyahut meninggalkan gema yang panjang. Dengan demikian, maka setiap busur pun kemudian telah dilekati oleh anak panah. Lembing pun telah tergenggam dan setiap ujung senjata mulai bergetar.
Orang-orang dari perguruan Windu Putih pun menjadi semakin dekat. Di paling depan adalah mereka yang melindungi diri dengan perisai. Kemudian di belakangnya, adalah mereka yang siap untuk melontarkan anak panah, menyerang orang-orang yang berada diatas panggungan di belakang dinding.
Sejenak kemudian, ketika orang-orang Windu Putih telah sampai pada jarak jangkau anak-anak panah orang-orang padepokan Suriantal itu, maka mereka tidak menunggu perintah lagi. Suara panah sendaren itu sudah merupakan perintah yang tidak perlu diulang lagi.
Dengan demikian, maka anak panah pun telah meluncur dari kedua belah pihak. Seperti pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang yang menghadap ke arah Timur telah berusaha untuk tidak menghadap ke arah matahari. Mereka telah menyerang ke arah yang condong dan bahkan bersilang.
Cara yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh orang-orang Windu Putih. Mereka semula mengharap agar orang-orang padepokan itu menjadi silau. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Serangan dari atas dinding padepokan itu telah meluncur dari samping dan bahkan dari kedua sisi, sehingga mereka untuk sesaat menjadi agak kebingungan. Di mana mereka harus menaruh perisai mereka.
Dengan demikian, langkah orang-orang Windu Putih itu justru telah dihambat. Mereka harus berusaha untuk mengimbangi cara yang dipergunakan oleh orang-orang padepokan Suriantal. Namun dalam kekalutan itu, beberapa anak panah dan lembing ternyata telah sempat mengoyak kulit orang-orang Windu Putih yang sedang mencari bentuk perlawanan. Beberapa orang pemimpin kelompok dari orang-orang Windu Putih itu mengumpat. Beberapa orang kawan mereka telah jatuh dan tidak dapat meneruskan tugas mereka.
Dengan kemarahan yang membakar jantung, maka orang-orang Windu Putih itu pun telah berusaha membalas. Mereka telah melontarkan anak panah pula sebanyak-banyaknya ke atas dinding padepokan. Namun orang-orang Suriantal telah membuat dinding padepokan mereka sedemikian, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk berlindung pada tonggak-tonggak kayu papan-papan yang telah dipersiapkan. Sementara itu, ujung-ujung anak panah mereka meluncur dengan cepat menyusup diantara papan-papan pelindung itu.
Dengan demikian maka pertempuran anak panah diantara kedua belah pihak itu pun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah berusaha untuk melontarkan anak panah sebanyak-banyaknya. Bahkan kemudian dari balik papan-papan pelindung pada dinding padepokan, lembing-lembing pun telah terlontar. Mereka yang melemparkan lembing ke pasukan Windu Putih itu pun sama sekali tidak membidik lagi. Yang penting bagi mereka adalah ketrampilan melemparkan lembing itu, sehingga lembing itu dapat menukik pada sasaran.
Meskipun dari pasukan Windu Putih, anak panah pun juga dilemparkan, namun ternyata mereka banyak mengalami hambatan karena anak panah yang menghujan serta lembing yang jatuh beruntun tanpa henti-hentinya. Para pemimpin kelompok dari pasukan Windu Putih pun menjadi semakin marah melihat perlawanan yang sengit dari orang-orang padepokan Suriantal. Mereka tidak mengira, bahwa orang-orang padepokan yang dianggap terdiri dari berbagai sumber ilmu itu akan mampu bekerja sama dengan baik. Bahkan mereka telah menunjukkan kemampuan dan ketrampilan yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang padepokan telah mengalami latihan yang sangat berat. Mereka telah membentuk diri dan merasa diri mereka satu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di dekat orang tua yang banyak memberikan pendapatnya kepada keduanya itu pun melihat betapa perlawanan dari orang-orang Suriantal itu dapat dibanggakan.
“Untunglah bahwa mereka tidak datang pada saat-saat orang-orang padepokan ini sedang membersihkan diri dari ilmu mereka yang lama,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya. Pada saat kekuatan padepokan ini jauh susut,“ sahut Mahisa Pukat, “Jika mereka datang pada saat itu, maka semuanya akan hancur jadi debu.”
“Karena itu, maka kita wajib mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa mereka datang pada saat kita sudah siap menghadapinya, “desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, maka pertempuran berjarak itu menjadi semakin sengit. Anak panah pun menjadi semakin deras meluncur dari kedua belah pihak. Sedangkan orang-orang Suriantal yang mempunyai kedudukan yang lebih baik, telah memanfaatkannya dengan melontarkan lembing-lembing bambu yang berat.
Kadang-kadang orang-orang Windu Putih memang mengalami kesulitan. Anak panah itu meluncur lurus dari busurnya, sementara lontaran lembing bambu yang berujung besi baja yang tajam, meluncur dari arah yang lebih tinggi. Sehingga dengan demikian, maka mereka harus memanfaatkan perisai mereka dengan tepat. Namun dengan demikian, maka kemajuan pasukan Windu Putih itu pun telah terhambat.
Para pemimpin perguruan Windu Putih memperhatikan gerak pasukan mereka dengan dahi yang berkerut. Namun mereka masih belum berbuat sesuatu. Mereka ingin melihat sejauh mana orang-orang padepokan Suriantal mampu mempertahankan dirinya dari serbuan pasukan yang jauh lebih besar dari jumlah mereka. Tetapi pada benturan itu, orang-orang Windu Putih segera melihat bahwa orang-orang padepokan Suriantal adalah orang-orang yang memiliki keberanian dan tekad baja. Mereka sama sekali tidak menjadi gentar.
Sekelompok orang-orang Windu Putih telah dipersiapkan untuk memecahkan dinding padepokan. Meskipun serangan terbesar datang dari arah timur, namun yang berada di depan padepokan itu pun cukup besar untuk mendesak maju. Orang-orang yang dipersiapkan untuk memecahkan regol padepokan itu pun telah bersiap dengan sebuah balok kayu yang panjang, yang akan dapat mereka pergunakan untuk membentur pintu itu sehingga pecah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Ia tidak yakin bahwa orang-orang Windu Putih benar-benar akan mempergunakan balok-balok kayu untuk memecahkan regol. Jika saatnya datang, maka agaknya para pemimpinnya tentu akan mempergunakan cara lain untuk membuka pintu itu.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung terus. Orang-orang Windu Putih memang menjadi semakin lama semakin dekat. Tetapi mereka tidak maju secepat mereka duga. Orang-orang yang berada di bagian depan padepokan itu-pun telah berusaha untuk mendekati pintu gerbang. Dilindungi oleh perisai-perisai yang kuat, maka orang-orang yang memang sudah disiapkan, telah mengangkat sebuah balok kayu yang cukup besar dan panjang, yang telah dipersiapkan sebelumnya. Beberapa pasak telah dipasang untuk mengikat balok itu dengan tali-tali, sehingga dengan demikian, balok itu dapat diangkat lebih mudah dengan pikulan-pikulan oleh sekelompok orang.
Ketika pasukan Windu Putih menjadi semakin dekat, maka sekelompok orang yang mengangkat balok itu dengan beberapa cara, segera telah bersiap. Sepasukan khusus telah melindungi mereka bukan saja dengan perisai, tetapi dengan lontaran anak panah. Seorang diantara para pemimpin dari perguruan Windu Putih itu telah bersiap untuk memberikan aba-aba. Dengan tegap orang itu berdiri menghadap ke arah pintu gerbang, seolah-olah ingin mengetahui, seberapa tebalnya pintu gerbang itu.
Sejenak kemudian, ia pun telah mengangkat pedangnya, sementara orang-orang yang akan memanggul dan mendorong kayu itu pun telah siap pula. Mereka yang membawa perisai untuk melindungi kawan-kawannya yang mengusung kayu itu pun telah bersiap sedangkan yang lain akan melindungi mereka dengan anak panah.
Ketika pedang salah seorang pemimpin perguruan Windu Putih itu terangkat, maka semuanya sudah bersiap. Perlahan-lahan pedang itu mulai bergerak. Namun kemudian dengan gerak yang menghentak, pedang itu terayun turun. Terdengar teriakan serentak beberapa orang yang memanggul kayu itu. Dengan serta merta mereka pun telah berlari sekencang-kencangnya menuju ke pintu gerbang. Sementara itu, anak panah bagaikan semburan air meluncur dari busurnya menyiram orang-orang padepokan Suriantal yang berada di atas pintu gerbang.
Tetapi dengan tangkas orang-orang padepokan Suriantal itu pun telah berusaha berlindung di balik batang-batang kayu yang memang telah dipasang dan papan-papan yang tebal. Sedangkan yang lain telah berusaha menangkis anak panah itu dengan perisai dan pedang.
Namun bukan berarti bahwa orang-orang Suriantal membiarkan saja orang-orang Windu Putih itu membongkar pintu gerbang mereka tanpa dicegah sama sekali. Karena itu, maka justru mereka yang berada beberapa langkah di panggungan di samping pintu gerbang itulah yang telah menyerang orang-orang yang berusaha untuk memecahkan pintu gerbang itu.
Anak panah bagaikan hujan yang ditumpahkan dari langit, sementara itu lembing-lembing pun meluncur dengan derasnya. Meskipun lembing itu terbuat dari bambu, namun ujungnya dipasang mata lembing yang terbuat dari besi baja. Dengan demikian maka perhatian mereka yang melindungi orang-orang yang memanggul batang kayu yang panjang itu pun terbagi. Mereka harus menangkis serangan-serangan itu dan membalas menyerangnya. Namun dengan demikian maka orang-orang yang berada di panggungan diatas pintu gerbang-pun mendapat kesempatan pula.
Namun balok kayu itu sudah meluncur deras. Karena itu, maka sejenak kemudian, terdengar benturan yang keras. Balok kayu yang dipanggul dan kemudian didorong membentur gerbang itu telah mengguncang bukan saja daun pintunya yang tebal, tetapi juga tulang-tulang pintu gerbang itu.
Pintu gerbang itu telah beberapa kali pecah dengan berbagai cara. Antara lain dengan cara seperti itu juga. Setiap kali pintu gerbang itu diperbaiki, maka tulang-tulangnya telah diperkuat dengan kayu yang baru dari jenis yang lebih baik dan lebih besar. Demikian papan daun pintu regol itu. Selaraknya pun dibuat dari balok yang lebih kuat pula.
Tetapi ketika beberapa kali benturan masih juga belum berhasil memecahkan pintu regol atau mematahkan selaraknya, maka pemimpin perguruan Windu Putih yang memimpin orang-orangnya untuk memecahkan pintu regol itu pun telah memerintahkan menarik balok kayu yang panjang itu mundur untuk mengambil ancang-ancang lagi. Namun dalam pada itu, beberapa orang diantara mereka harus ditinggalkan di pintu gerbang, karena luka-luka mereka yang parah. Anak panah dan lembing masih nampak menancap di tubuh mereka yang terbaring diam.
Dalam pada itu, pemimpin perguruan Windu Putih itu pun telah berteriak, “Jika sekali lagi usaha ini gagal, maka aku akan mempergunakan cara lain, meskipun akan membuat seisi padepokan itu gemetar dan kehilangan gairah perlawanan mereka, sehingga dengan demikian pertempuran ini akan menjadi hambar. Tidak ada alasan untuk membunuh mereka, jika mereka tiba-tiba saja menyerah sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar teriakan itu hampir saja kehilangan kendali. Untunglah, bahwa orang tua yang banyak memberikan pendapatnya itu berada di dekatnya. Katanya, “Biarkan saja, apa yang dikatakannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Di luar sadar mereka telah berpaling ke arah Mahendra yang berada diantara para pemimpin kelompok di padepokan itu. Namun Mahendra pun condong untuk membiarkan saja apa yang akan mereka perbuat. Sebenarnyalah, maka orang-orang Windu Putih itu telah bersiap untuk kedua kalinya membentur pintu gerbang dengan balok mereka yang panjang itu.
Namun dalam pada itu, di belakang pintu gerbang, para penghuni padepokan Suriantal telah sempat membuat congkok-congkok kayu dan bambu untuk menahan selarak pintu gerbang itu agar tidak menjadi retak dan patah. Demikian pula orang-orang padepokan Suriantal telah membuat congkok-congkok untuk menahan papan pintu agar tidak menjadi pecah. Sementara itu, anak panah dan lembing pun meluncur dari kedua belah pihak dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, maka balok kayu yang dipanggul oleh orang-orang Windu Putih itu telah meluncur pula dengan derasnya. Sekali lagi telah terjadi benturan yang sangat kuat. Pintu gerbang itu bergetar keras sekali, sehingga beberapa buah congkok di belakang pintu gerbang justru telah terlepas. Namun dengan sigap orang-orang padepokan itu telah memasangnya kembali.
Beberapa kali benturan yang keras memang telah terjadi. Orang-orang Windu Putih memang ingin memecahkan pintu gerbang dengan cara yang terbanyak dilakukan oleh mereka yang berusaha memasuki lingkungan lawan. Tetapi usaha itu memang tidak mudah. Beberapa kali benturan telah terjadi. Satu-satu orang-orang Windu Putih itu jatuh. Anak panah dan lembing orang-orang Suriantal telah membunuh mereka, sementara pintu gerbang itu belum terbuka.
Namun setiap benturan yang terjadi telah menghentak selarak regol yang besar itu. Semakin lama hentakan-hentakan itu ternyata telah meretakkan selarak yang besar itu, meskipun telah dicongkok dengan beberapa batang kayu.
Orang-orang Suriantal pun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Jika pintu gerbang itu pecah, maka orang-orang Windu Putih yang jumlahnya jauh lebih besar dari orang-orang dari padepokan Suriantal itu tentu akan menyerbu masuk. Dengan demikian, satu kenyataan tidak akan dapat diingkari, bahwa orang-orang dari padepokan Suriantal itu akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, mereka yang datang dari arah Timur pun telah menjadi semakin dekat. Namun ternyata bahwa usaha mereka untuk memasuki padepokan Suriantal tidak semudah yang mereka duga. Usaha mereka memanfaatkan cahaya matahari yang sedang terbit, tidak banyak berarti, karena hal itu ternyata telah mampu diatasi oleh orang-orang dari padepokan Suriantal.
Tetapi meskipun demikian, jika pintu gerbang itu pecah, maka yang berada di semua sisi padepokan itu akan mengalami kesulitan. Orang-orang Windu Putih akan mengalir seperti banjir yang melanda setiap sudut dan relung dari padepokan Suriantal itu. Namun kenyataan itu tidak akan menggetarkan tekad orang-orang Suriantal untuk mempertahankan padepokannya. Bahkan sampai orang yang terakhir, mereka memang berniat untuk tetap bertahan.
“Jika orang-orang Windu Putih berhasil menduduki padepokan ini, berarti bahwa orang terakhir di padepokan ini sudah mati,“ berkata orang-orang padepokan Suriantal itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka ketegangan pun memuncak ketika selarak pintu gerbang yang retak itu pun tiba-tiba telah menjadi patah pada hentakkan yang terakhir, justru tepat pada saat orang-orang Windu Putih tidak lagi kuat mengangkat balok yang panjang itu karena semakin sedikit orang yang masih tinggal ikut memanggul balok itu. Yang lain telah terkapar jatuh. Balok yang membentur pintu gerbang itu telah terlempar pula jatuh. Bahkan beberapa orang justru telah tertindih oleh balok itu. Namun pintu gerbang dengan demikian telah terbuka.
Pada saat yang demikian, maka sepasukan orang-orang dari padepokan Suriantal telah bersiap menunggu arus yang akan melanda padepokan itu seperti banjir bandang. Namun pasukan dari perguruan Windu Putih ternyata masih belum mengalir dengan derasnya memasuki pintu gerbang. Yang kemudian berdiri di pintu gerbang adalah para pemimpin perguruan itu. Yang berdiri di tengah adalah Kiai Windu Putih itu sendiri. Kemudian di sebelah menyebelah adalah ketiga orang muridnya yang telah memegang padepokan mereka masing-masing. Namun mereka masih tetap terikat dengan perguruan induk, Windu Putih.
Dengan nada tinggi, Kiai Windu Putih itu pun kemudian berkata lantang, “He, orang-orang padepokan Suriantal. Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi, agar kalian tidak menyesal. Nah, menyerahlah.”
Tetapi orang-orang dari padepokan Suriantal itu tidak bergeser dari tempatnya. Justru senjata mereka telah teracu. Mereka siap untuk bertahan sampai batas terakhir dari hidup mereka. Namun tiba-tiba orang-orang padepokan Suriantal itu menyibak. Beberapa orang menyusup diantara mereka dan kemudian berdiri di depan orang-orang padepokan Suriantal yang siap itu.
Ternyata kehadiran mereka telah mengejutkan orang-orang dari perguruan Windu Putih itu. Terutama orang yang berdiri di paling depan. Orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling itu.
“Kau,“ desis Kiai Windu Putih.
Orang yang mengaku dirinya guru Akuwu Sangling yang lama itu tersenyum. Katanya, “Kau masih ingat kepadaku?”
“Tentu. Seumurku aku tidak akan melupakanmu,“ jawab Kiai Windu Putih.
“Terlebih-lebih aku,“ jawab guru Akuwu Sangling itu, “aku tidak akan dapat melupakan bukan saja kau, tetapi apa yang telah kau lakukan.”
Kiai Windu Putih tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau masih menyesali peristiwa itu? Itu bukan salahku. Kenapa kau biarkan perempuan itu sendiri di rumah, sehingga aku sempat mengambilnya. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa isterimu itu memang mengharapkan aku datang.”
“Aku sudah mengerti,“ jawab guru Akuwu Sangling itu, “sebenarnya aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Tetapi ketika kemudian aku tahu, bahwa anakku yang dikandung oleh perempuan yang mengkhianatiku itu kemudian kau singkirkan untuk selama-lamanya, maka dendam itu telah membakar hatiku.”
Kiai Windu Putih itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Itu pun bukan salahku. Apa yang dapat aku lakukan, jika ia menjadi sakit dan mati? Semua usaha sudah dilakukan. Semua tabib dan dukun telah aku panggil. Tetapi anak itu mati juga meskipun umurnya sudah menjadi semakin mendekati remaja."
“Aku sudah menunggu kesempatan seperti ini,“ berkata orang yang disebut guru Akuwu Sangling itu, “sekarang kita bertemu dalam keadaan yang pantas. Aku sudah minta kepada para pemimpin dari padepokan Suriantal, bahwa aku ingin mendapat kesempatan membuat perhitungan dengan Kiai Windu Putih.”
“Bagus,“ berkata Kiai Windu Putih, “disini aku memang merasa bahwa kedatanganku tidak lebih dari sekedar menyaksikan ketiga orang muridku membantai orang-orang padepokan Suriantal.”
Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari pula bahwa jumlah orang-orang Windu Putih memang jauh lebih banyak dari orang-orang padepokan Suriantal. Meskipun orang-orang Suriantal berhasil mengurangi jumlah orang-orang Windu Putih sebelum mereka memasuki pintu gerbang, namun jumlah mereka masih tetap terlalu banyak.
Tetapi bahwa ia akan mengikat Kiai Windu Putih dalam persoalan tersendiri, tentu akan dapat mengurangi beban orang-orang dari padepokan Suriantal, meskipun beban itu akan tetap merupakan beban yang sangat berat.
Dalam pada itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian berkata, “Nah, sekarang apa yang kau inginkan?”
“Kita mencari tempat tersendiri. Marilah, kita akan berada di halaman dalam padepokan ini. Agaknya kita tidak akan banyak terganggu, karena pertempuran akan terjadi di batas dinding padepokan,“ jawab guru Akuwu Sangling yang lama itu.
“Terserah kepadamu. Tetapi ketahuilah, bahwa pertempuran akan segera memenuhi seluruh padepokan. Semua orang padepokan ini yang tidak mau menyerah akan mati, sementara yang lain akan menjadi budak-budak kami. Meskipun demikian mungkin masih ada kesempatan hidup bagi mereka yang menyerah itu,“ berkata Kiai Windu Putih.
Guru Akuwu Sangling itu pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Anak-anak muda. Jangan hiraukan kami yang tua-tua ini. Kami akan membuat permainan sendiri, yang barangkali tidak menarik bagi kalian. Namun mudah-mudahan dengan demikian aku sudah membantu mengurangi kekuatan lawan meskipun hanya satu orang.”
“Terima kasih Kiai,“ berkata Mahisa Murti, “silahkanlah. Biarlah kami bertiga yang akan menghadapi ketiga orang pemimpin yang lain. Mudah-mudahan orang-orang kami akan mampu bertahan sampai kami dapat menyelesaikan para pemimpin mereka.”
Guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih dari yang akan dilakukannya. Demikianlah, maka kedua orang tua itu telah memisahkan diri untuk membuat perhitungan tersendiri, sementara kedua pasukan dari padepokan Windu Putih dan padepokan Suriantal telah bersiap untuk mulai dengan pertempuran brubuh.
Para pemimpin perguruan Windu Putih yang lain, mula-mula merasa heran akan sikap gurunya. Tetapi gurunya itu pun berkata, “Aku akan membuat perhitungan dengan orang ini lebih dahulu. Selesaikan orang-orang padepokan ini, apa pun yang kalian kehendaki. Jumlah kita jauh lebih banyak dari mereka. Aku berharap bahwa kalian akan dapat menyelesaikan dalam waktu singkat.”
Yang tertua diantara ketiga muridnya mengangguk. Katanya, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya guru.”
Demikianlah, sepeninggalan Kiai Windu Putih, maka yang tertua diantara ketiga orang muridnya itu pun telah memerintahkan untuk membunyikan isyarat. Mereka akan segera menyerang dan menghancurkan padepokan Suriantal. Demikianlah, sejenak kemudian, sekali lagi terdengar suara bende. Iramanya datar, namun semakin lama semakin cepat sebagai pertanda bahwa pasukan dari perguruan Windu Putih itu harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka.
Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah bersiap pula. Mereka menyadari, bahwa ketiga murid Kiai Windu Putih itu pun tentu merupakan orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sementara pasukannya jauh lebih besar dari pasukan yang ada.
Pada saat suara bende itu terdengar, maka seluruh pasukan Windu Putih pun mulai bergerak. Mereka yang mengepung padepokan itu, terutama yang berada di sisi Timur, berusaha untuk lebih cepat, mencapai dinding. Namun dari atas dinding, perlawanannya datang dengan kekuatan penuh dari sepasukan orang yang terlatih.
Yang mendebarkan adalah mereka yang berada di depan pintu gerbang padepokan. Demikian isyarat itu terdengar, maka mereka pun mulai bergerak, seperti air yang akan memecahkan bendungan. Ketika ketiga orang pemimpin mereka memasuki gerbang, maka sebenarnyalah bendungan itu bagaikan pecah. Pasukan Windu Putih telah dengan gegap gempita memasuki padepokan dan mengalir ke segala arah.
Namun pasukan dari padepokan Suriantal telah memperhitungkannya. Karena itu, maka anak panah pun telah dilepaskan oleh mereka yang telah menunggu di arah pintu gerbang itu. Sementara mereka yang ada di panggungan, diatas pintu gerbang, telah mengarahkan serangan mereka kepada orang-orang Windu Putih yang telah berada di dalam.
Sergapan pertama itu memang telah menjatuhkan banyak korban. Orang-orang Windu Putih yang tergesa-gesa ingin menguasai padepokan itu telah kehilangan kewaspadaan sehingga ujung-ujung anak panah telah mengoyak dada mereka. Namun para pemimpin kelompok cepat menguasai keadaan. Perisai pun mulai dipergunakan sebaik-baiknya menghadapi serangan itu. Mereka pun bahkan telah siap untuk membalas menyerang.
Bahkan terdengar seorang pemimpin kelompok meneriakkan aba-aba dengan marah, “Hancurkan mereka. Mereka telah membunuh kawan-kawan kita.”
Kemarahan memang membakar jantung orang-orang Windu Putih, sehingga mereka benar-benar ingin menghancurkan padepokan itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Bahkan tidak ada lagi seorang pun diantara orang-orang Windu Putih yang berniat untuk membiarkan lawan-lawan mereka untuk tetap hidup.
“Kami tidak memerlukan budak-budak. Kami akan membunuh mereka semuanya, sebagaimana mereka membunuh kawan-kawan kami,“ geram seorang pemimpin kelompok.
Dengan demikian, maka ketika ujung pasukan Windu Putih mulai bersentuhan dengan pasukan dari padepokan Suriantal, maka pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindari lagi. Namun dengan demikian, maka kehancuran pasukan padepokan Suriantal mulai terbayang. Namun ternyata benturan dari ujung kedua pasukan itu telah mengejutkan. Terutama bagi orang-orang Windu Putih.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orang dari padepokan yang disebut Suriantal itu memiliki kemampuan, ketrampilan dan kekuatan yang patut dibanggakan. Mereka mampu mempergunakan senjata di tangan masing-masing dengan tangkas dan sangat berbahaya. Bahkan orang-orang Windu Putih itu tidak lagi melihat orang-orang Suriantal yang menurut pengetahuan mereka bersenjata tongkat panjang. Yang kemudian mereka lihat di pertempuran itu adalah pedang yang tajam, yang terbuat dari besi baja pilihan, tombak pendek berlandaskan kayu berlian, canggah dan trisula, bahkan senjata-senjata dari jenis yang jarang sekali pernah dilihat oleh orang-orang Windu Putih.
Sebenarnyalah orang-orang padepokan Suriantal, yang telah menempa diri dalam kesatuan ilmu yang utuh, telah mengembangkan kemampuan mereka atas jenis senjata yang berbeda-beda. Senjata yang mereka terima dari Singasari. Sehingga karena itu, maka sebagian besar dari orang-orang padepokan Suriantal itu telah mempergunakan senjata pilihan.
Karena itulah, maka setiap orang padepokan Suriantal sama sekali tidak ragu-ragu mempergunakan senjata mereka. Mereka yakin bahwa senjata yang mereka terima dari Singasari tentu lebih baik dari senjata orang-orang Windu Putih yang sebagian besar telah mereka buat sendiri. Hanya satu dua orang sajalah yang memiliki senjata yang baik, yang berhasil mereka rampas dari lawan-lawan mereka sebelumnya.
Ternyata kepercayaan orang-orang padepokan Suriantal atas senjata mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam pertempuran itu. Mereka yang membawa pedang telah mengayun-ayunkan pedang mereka dengan kekuatan penuh tanpa mencemaskan mata pedangnya akan patah. Bahkan sebenarnyalah jika lawan mereka dengan kekuatan yang besar pula membenturkan pedang mereka yang dibuat oleh orang-orang Windu Putih sendiri, maka ada diantara senjata mereka yang patah di tengah.
Dengan demikian, meskipun jumlah orang-orang padepokan Suriantal jauh lebih sedikit, tetapi kepercayaan diri mereka ternyata jauh lebih besar dari orang-orang Windu Putih. Namun arus yang mengalir memasuki padepokan memang sulit untuk dibendung. Orang-orang yang mengepung padepokan itu, ternyata telah ikut pula mengalir melalui pintu gerbang. Mereka tidak perlu berusaha untuk meloncati dinding dengan kemungkinan yang buruk.
Dengan demikian, maka orang-orang padepokan Suriantal yang ada diatas panggungan pada dinding-dinding yang mengitari padepokan itu pun telah mengalir pula menuju ke halaman depan. Mereka ikut menahan arus orang-orang Windu Putih yang agaknya akan mengalir ke seluruh padepokan.
Dengan demikian, maka pertempuran seakan-akan berpusat di sekitar pintu gerbang, justru di bagian dalam. Namun bagaimanapun juga, arus yang sangat deras telah mendorong orang-orang padepokan Suriantal untuk menarik diri perlahan-lahan. Tetapi seakan-akan hampir di setiap langkah mundur, mereka telah meninggalkan tubuh orang-orang Windu Putih yang terkapar.
Ketiga orang pemimpin padepokan Windu Putih, ternyata belum memasuki halaman semakin dalam. Mereka justru bergeser menepi dan membiarkan orang-orangnya membanjiri padepokan itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diiringi oleh Mahendra masih juga belum langsung turun ke medan. Mereka mengikuti gerak mundur orang-orang padepokannya. Mereka ingin melihat suasana pertempuran itu dalam keseluruhan, agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat.
Demikianlah pertempuran yang semakin melebar itu pun berlangsung semakin sengit. Ternyata secara pribadi Orang-orang padepokan Suriantal memang memiliki kelebihan dari orang-orang Windu Putih. Demikian pula jenis senjata yang mereka pergunakan. Namun jumlah orang-orang Windu Putih yang jauh lebih banyak, telah berhasil mendesak orang-orang padepokan Suriantal semakin surut.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang padepokan Suriantal berjuang tanpa mengenal gentar mempertahankan hak mereka atas padepokan mereka, di luar padepokan telah terjadi kegemparan. Beberapa orang yang masih tinggal untuk mengawasi keadaan di atas panggungan diatas dinding di sebelah regol yang pecah, tiba-tiba saja berteriak, “Pasukan berkuda.”
Namun orang-orang Windu Putih tidak sempat berbuat sesuatu. Pasukan berkuda yang berderap dengan cepat, tiba-tiba saja telah menyambar pasukan Windu Putih yang masih berada di luar padepokan dan sedang berdesakan untuk masuk lewat regol yang runtuh.
Ternyata bahwa pasukan berkuda dari Sangling gelombang pertama telah datang. Serangan pasukan berkuda itu benar-benar mengejutkan orang-orang Windu Putih. Mereka hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung-ujung pedang dan tombak telah terjulur mematuk dada dan leher mereka.
Sejenak kemudian maka debu pun telah berhamburan. Dalam waktu yang singkat, kuda-kuda itu pun telah berputar. Mereka telah berlari kembali ke arah pasukan Windu Putih. Kembali kuda-kuda yang menebar itu menyambar dengan dahsyatnya.
Korban pun telah berjatuhan. Para pemimpin kelompok yang berada di bagian belakang itu pun segera mengatur diri. Dengan tergesa-gesa mereka menyusun orang-orangnya untuk menghadapi pasukan berkuda yang tidak terlalu banyak jumlahnya itu. Namun yang ternyata bagaikan sekelompok burung sikatan menyambar bilalang.
Kedatangan pasukan berkuda itu benar-benar telah mengguncang keseimbangan pertempuran itu. Orang-orang Windu Putih yang semula merasa bahwa mereka akan dengan mudah menghancurkan lawannya, mereka harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Jika semula dengan sewenang-wenang mereka akan dapat menentukan apa pun yang mereka inginkan atas lawan mereka, ternyata persoalannya telah berubah sama sekali.
Para prajurit Sangling yang memang terlatih itu benar-benar menggetarkan jantung orang-orang Windu Putih. Pasukan berkuda itu benar-benar pasukan yang perkasa. Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, namun orang-orang Windu Putih telah berhasil diporak-porandakan pada bagian belakang. Sementara mereka yang telah berhasil memasuki regol telah menghadapi perlawanan yang keras pula dari orang-orang Suriantal yang terlatih.
Dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih tidak lagi dapat berbuat menurut keinginan mereka. Korban telah berjatuhan, sehingga jumlah mereka pun telah cepat menjadi susut. Para pemimpin perguruan Windu Putih itu pun telah mengumpat sejadi-jadinya. Dengan garang salah seorang diantara mereka berkata,
“Kita hancurkan saja lebih dahulu pasukan berkuda itu. Baru kemudian kita akan dapat berbuat apa saja terhadap padepokan ini. Kita dapat menuangkan sakit hati kita karena korban yang jatuh itu atas orang-orang padepokan ini. Sehingga karena itu, maka sebagian dari orang-orang padepokan ini memang harus tertangkap hidup-hidup agar kita mendapat kepuasan karenanya.“
Seorang yang lain pun kemudian menyahut, “Ya. Kita hancurkan orang-orang berkuda itu lebih dahulu dengan kemampuan tertinggi kita.”
Namun ketika ketiga orang itu siap untuk bergerak, maka dua orang penghubung telah datang kepada mereka. Seorang diantara mereka telah melaporkan, “beberapa orang telah membunuh orang-orang kita dengan semena-mena.”
“Siapa?“ bertanya murid Kiai Windu Putih yang tertua.
“Antara lain kedua orang anak muda yang disebut Putut itu,“ jawab penghubung itu.
“Apakah sekelompok-sekelompok tidak mampu menahan mereka?“ bertanya murid-murid Kiai Windu.
“Sudah dicoba. Tetapi selalu gagal,“ jawab penghubung itu.
“Lihatlah,“ berkata yang tertua, “Aku akan melihat orang-orang berkuda itu.”
Kedua orang saudara seperguruannya mengangguk. Mereka pun kemudian menyusup diantara pasukannya untuk melihat apa yang telah dilakukan oleh kedua orang Putut muda itu. Dan bahkan seorang lagi yang belum dikenal sebelumnya.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang padepokan Suriantal itu bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kelebihan dari orang-orang Suriantal pada benturan pertama. Tetapi jika pertempuran itu berlangsung lama, maka orang-orang Suriantal tentu akan kehabisan tenaga, karena mereka telah mengerahkan segenap tenaga mereka sejak benturan pertama terjadi.
Demikian banyaknya lawan, maka mereka memang tidak dapat berbuat lain kecuali mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan. Namun dengan demikian mereka tidak akan dapat bertahan pada tingkat kemampuan mereka sampai matahari terbenam.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun pula ke medan. Namun mereka tidak sampai hati untuk membakar lawan-lawan mereka dengan kekejaman yang tidak terbatas meskipun mereka mampu melakukannya. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan mengerahkan ilmu mereka memasuki lingkungan lawan, maka ia akan dapat membunuh lawan tanpa hitungan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terjun ke pertempuran dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kedua belah pihak yang sedang bertempur. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan pedang di tangan mereka. Dengan pedang itu, keduanya telah bertempur dan satu-satu melumpuhkan lawannya. Tetapi bukan berarti bahwa ia telah membunuh dan menghancurkan lawannya yang tidak memiliki ilmu yang seimbang menjadi abu.
Meskipun dengan pedang di tangan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar menggetarkan lawan-lawan mereka. Setiap ayunan pedang telah melemparkan seorang diantara lawannya, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan telah menjadi hantu di riuhnya pertempuran.
Dalam pada itu, dua orang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin padepokan tersendiri itu akhirnya sampai juga di medan yang garang itu. Mereka melihat bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur bagaikan banteng yang terluka.
“Anak-anak gila,“ desis salah seorang murid Windu Putih itu. Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka berdua telah melangkah semakin dekat.
“He, siapakah kalian sebenarnya?“ bertanya salah seorang dari kedua orang murid Windu Putih itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar sapaan itu. Mereka pun kemudian telah bergeser masuk ke dalam lingkungan pertahanan pasukan padepokan Suriantal.
“Kalian murid-murid perguruan Windu Putih yang terpercaya itu?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Tetapi kalian belum menjawab pertanyaanku,“ sahut orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menempatkan diri, sementara kedua orang itu pun telah berada dihadapan mereka. Dengan demikian maka orang-orang mereka dari kedua belah pihak pun telah menyibak pula.
“Aku Putut Mahisa Murti dan Putut Mahisa Pukat,“ jawab Mahisa Murti.
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu pun mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Bagus. Jadi aku berhadapan dengan pemimpin padepokan Suriantal. Tetapi aku ingin tahu, dari perguruan manakah sebenarnya kalian berdua. Seorang Putut adalah seorang pemimpin dari sekelompok cantrik dari sebuah perguruan. Nah, sebut perguruanmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sulit untuk menyebut sebuah perguruan. Mereka bukan benar-benar Putut yang pernah menjadi pemimpin sekelompok cantrik dari sebuah perguruan. Tetapi mereka menyebut diri mereka Putut karena mereka tidak mau mendapat sebutan lain.
“He, sebut perguruanmu dan siapakah gurumu?” bentak murid Windu Putih itu.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami adalah Putut dari perguruan Suriantal.”
Kedua orang murid terpercaya dari Windu Putih itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Jangan mengigau. Orang-orang Suriantal mempunyai ciri orang-orang bertongkat yang ke mana-mana membawa tongkat panjang. Bukan saja untuk bertempur dan melindungi diri, tetapi sekali-sekali dapat juga untuk mencuri jambu air di perjalanan.”
“Tepat,“ jawab Mahisa Pukat, “tongkat-tongkat itu mempunyai arti ganda. Sebagai senjata dan sekaligus untuk dijadikan galah yang dapat untuk merontokkan bukan saja jambu air, tetapi juga kepala kalian.”
“Setan,“ geram salah seorang dari murid Windu Putih, “jangan mencoba menghina kami. Kami mempunyai kebiasaan menghukum berat, siapa pun yang berani menghina kami.”
“Ingat Ki Sanak. Kita berada di medan pertempuran,“ berkata Mahisa Pukat, “kita tidak berhak saling menghukum. Tetapi kita justru berhak saling membunuh.”
Kedua orang itu menggeram. Mereka benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka keduanya pun kemudian telah melangkah merenggang. Sementara itu, pertempuran di padepokan itu telah merambat semakin dalam. Di beberapa tempat orang-orang dari padepokan Suriantal telah terdesak. Beberapa orang yang berada diatas panggungan telah berloncatan turun untuk membantu kawan-kawannya. Namun orang-orang Windu Putih masih saja selalu mendesak.
Tetapi dengan kehadiran orang-orang berkuda, maka orang-orang Windu Putih yang berada di luar padepokan tidak lagi dengan tergesa-gesa berusaha memasuki pintu gerbang. Mereka telah berusaha untuk mengerahkan kemampuan mereka menghadapi orang-orang berkuda yang garang. Yang ternyata adalah prajurit berkuda dari Sangling.
Dengan demikian maka arus pasukan Windu Putih yang memasuki padepokan Suriantal itu pun bagaikan terbendung. Bukan karena kekuatan dari dalam lingkungan padepokan, tetapi justru terhisap dari luar. Namun para pemimpin kelompok orang-orang Windu Putih pun segera berusaha mengatasi keadaan. Mereka segera menempatkan diri dalam gelar yang mapan untuk bertempur menghadapi sekelompok pasukan berkuda. Dengan demikian, maka pasukan berkuda dari Sangling itu pun mulai mendapat perlawanan yang sebenarnya. Namun mereka sudah terlanjur menjatuhkan banyak korban.
Dalam pada itu, kedua orang pemimpin dari perguruan Windu Putih itu pun sudah siap menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya merasa mempunyai kemampuan dan ilmu yang tinggi sehingga mereka memang terlalu yakin bahwa dalam waktu dekat, mereka akan dapat menyelesaikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka pun tidak mau membunuh lawannya dengan serta merta, apalagi keduanya merasa yakin pula bahwa orang-orangnya akan dapat segera menghancurkan isi padepokan itu.
Namun dalam pada itu, di sisi lain, seorang tua telah bertempur melampaui garangnya burung alap-alap diantara sekumpulan burung merpati. Mahendra yang juga bersenjata pedang, telah melemparkan setiap orang yang menyerangnya. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih yang ada di sekitarnya menjadi demikian cepatnya susut. Bahkan orang-orang dari padepokan Suriantal yang bertempur bersamanya menjadi heran pula, sehingga kadang-kadang mereka tidak tahu apa yang telah terjadi.
Sementara itu, orang-orang Windu Putih tidak lagi dapat mendesak orang-orang padepokan Suriantal seperti sebelumnya. Orang-orang Suriantal yang jumlahnya lebih sedikit, namun memiliki kemampuan secara pribadi lebih besar dari orang-orang Windu Putih, memang mampu menahan lawan.
Namun para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu mempertahankan daya tahan mereka sampai matahari terbenam. Sehingga karena itu, jika tidak ada perubahan yang terjadi, maka pada saat matahari turun ke Barat, orang-orang Suriantal yang telah memeras segenap kekuatan dan kemampuannya akan tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh tenaga.
Di luar padepokan, para prajurit berkuda dari Sangling masih saja bertempur dengan garangnya. Kuda-kuda mereka berlari-larian hilir mudik. Debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki-kaki kuda, sementara mata pedang dan tombak-pun berkilat-kilat diterpa sinar matahari.
Pertempuran baik di dalam maupun di luar padepokan menjadi semakin sengit. Namun sebenarnyalah jumlah pasukan memang sangat berpengaruh. Meskipun para prajurit berkuda dari Sangling telah bertempur dengan cara yang paling baik dilakukan oleh sekelompok pasukan yang kecil berhadapan dengan pasukan yang lebih besar, dengan menyerang dan berlari, namun mereka mulai merasakan perlawanan yang berat dari orang-orang Windu Putih yang jumlahnya lebih banyak itu.
Untuk beberapa saat pertempuran itu nampaknya memang berimbang. Namun kemudian ternyata yang sudah terlanjur mengerahkan segenap kekuatannya telah mulai menjadi susut. Karena itu, perlahan-lahan orang-orang Windu Putih mulai merambat maju lagi betapapun lambatnya.
Sementara itu, dua orang murid perguruan Windu Putih yang telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyerang lawan masing-masing. Namun kedua orang murid perguruan Windu Putih itu pun telah menggenggam senjata di tangan. Ternyata keduanya telah membawa sebatang tombak pendek. Yang lebih tua dari kedua orang itu berkata,
“Biasanya orang-orang Suriantal lah yang membawa tongkat panjang. Sekarang justru akulah yang bertongkat. Biarlah kalian menilai, siapakah yang lebih baik mempergunakan tongkat. Kami atau kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian telah bersiap untuk bertempur menghadapi kedua murid terpilih dari perguruan Windu Putih itu. Karena itu, ketika ujung-ujung tombak mulai berbicara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera berloncatan bukan saja sekedar menghindar, tetapi juga menyerang.
Kedua orang murid terpilih dari perguruan Windu Putih memang menjadi heran melihat kemampuan kedua orang anak muda yang mengaku sebagai Putut itu dalam ilmu pedang. Meskipun keduanya tidak membawa perisai, tetapi keduanya mampu mengimbangi putaran tombak lawan-lawan mereka.
Sementara itu, seorang murid Kiai Windu Putih yang tidak melibatkan diri melawan kedua orang Putut di padepokan Suriantal itu telah berada di luar padepokan. Dengan tajamnya diamatinya para prajurit Sangling dari pasukan berkuda yang menyambar-nyambar. Beberapa saat ia berdiri tegak. Namun kemudian ia pun menggeretakkan giginya sambil berdesis, “Mereka harus dibunuh.”
Namun ketika orang itu mulai bergerak, tiba-tiba terdengar sorak yang menggelegak dari para prajurit Sangling. Ternyata mereka telah melihat pasukan berkuda yang menyusul mereka. Pasukan berkuda dari gelombang kedua itu pun ternyata tidak membuang banyak waktu. Dengan serta merta mereka telah turun ke medan dari sisi yang lain.
Orang-orang Windu Putih kembali bagaikan diguncang. Kuda-kuda yang baru datang itu menyambar-nyambar segarang pasukan yang datang lebih dahulu. Agaknya mereka pun tidak mau menyia-nyiakan saat-saat yang penting di kala orang-orang Windu Putih terkejut melihat kehadiran mereka.
Namun dalam goncangan-goncangan itu, murid terpercaya dari pasukan Windu Putih itu mulai menggeram. Dengan langkah tetap ia berjalan, menguak para pengikutnya dan menuju ke garis benturan antara orang-orangnya dengan pasukan berkuda dari Sangling itu.
Kehadiran pasukan berkuda pada gelombang kedua itu telah membuat goncangan-goncangan baru pada seluruh pertempuran itu. Para pengikut Windu Putih diluar padepokan susut dengan cepat, sehingga beberapa kelompok memang harus ditarik dari dalam padepokan. Mereka yang sudah terlanjur berdesakan memasuki padepokan harus ditarik kembali untuk menghadapi pasukan berkuda yang jumlahnya semakin banyak.
“Gila,“ geram murid terpercaya dari Windu Putih itu, “aku harus membunuh mereka.”
Selangkah demi selangkah murid terpercaya dari Windu Putih itu maju terus, sehingga akhirnya ia muncul di garis benturan.
“Setan-setan dari Sangling,“ tiba-tiba orang itu berteriak, “jangan terlalu besar kepala. Sebentar lagi, kalian semua akan terbunuh di sini.”
Seorang prajurit berkuda melihat orang yang berdiri bertolak pinggang itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja kudanya telah berlari dengan serta merta ke arah orang yang berdiri dengan dada tengadah itu.
Namun yang terjadi sangat mengejutkannya. Orang yang berdiri itu nampaknya tidak berbuat sesuatu. Namun demikian kuda itu meluncur dihadapannya, maka penunggangnya telah terpelanting jatuh dan untuk seterusnya tidak pernah bangun lagi. Beberapa orang kawan prajurit berkuda itu terkejut. Namun mereka segera menyadari, bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dengan demikian maka para prajurit dari pasukan berkuda itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka pun kemudian seakan-akan telah menjauhi orang berilmu tinggi itu. Mereka menyerang orang-orang Windu Putih yang berjarak agak jauh dari orang berilmu tinggi itu.
Orang itu agaknya menyadari, bahwa para prajurit berkuda itu dengan cerdik mencari sasaran yang paling lemah dari orang-orang Windu Putih. Karena itu, maka ia pun kemudian telah meloncat maju. Dengan tangkasnya ia bersiap menghadapi orang-orang berkuda yang berkeliaran di luar padepokan.
Ternyata para prajurit berkuda tidak membiarkannya. Dua orang prajurit berkuda bersama-sama telah menyerangnya. Namun keduanya pun telah terpelanting jatuh dari atas punggung kudanya. Seperti yang terdahulu, maka keduanya-pun tidak bangkit pula untuk seterusnya.
Para prajurit berkuda semakin yakin akan kemampuan orang itu. Karena itulah maka mereka telah menjadi semakin berhati-hati lagi. Mereka berputaran dalam beberapa lingkaran menyambar pasukan Windu Putih yang tersebar. Tetapi tidak mendekati orang yang berilmu tinggi itu.
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu menjadi semakin sangat marah. Dengan lantang ia berteriak, “Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku sekarang ini.”
Tetapi para prajurit dari pasukan berkuda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka masih sempat mempergunakan penalaran yang jernih. Dengan demikian mereka tidak terpancing untuk menyerang orang yang berilmu sangat tinggi itu.
Sementara itu dengan marah orang yang berilmu tinggi itu berusaha untuk mendapatkan lawan. Sambil mengumpat-umpat ia menantang prajurit-prajurit berkuda itu untuk mendekat. Tetapi kuda-kuda mereka setiap kali sempat membawa setiap prajurit untuk menghindarinya.
Dengan demikian kemarahan menjadi semakin menghentak-hentak. Tetapi ia tidak berhasil mendapatkan seorang lawan pun. Dalam kemarahan itu, jantungnya menjadi semakin cepat berdegub. Bahkan rasa-rasanya dadanya hampir meledak. Namun ia tidak dapat berlari-lari mengejar kuda-kuda yang menyambar-nyambar.
Kemarahannya menjadi semakin memuncak, ketika ia melihat pasukan berkuda yang datang pada gelombang ketiga. Pasukan berkuda yang justru datang bersama Akuwu Sangling sendiri. Dengan demikian maka kekuatan pasukan berkuda itu pun menjadi semakin besar, sementara orang-orang Windu Putih, terutama yang berada di luar padepokan itu pun menjadi semakin cemas menghadapi kenyataan seperti itu.
Kedatangan pasukan yang baru itu benar-benar telah mengacaukan pertahanan orang-orang Windu Putih. Sementara itu, mereka yang telah berada di dalam lingkungan padepokan pun telah terhisap semakin banyak keluar, sehingga beban orang-orang padepokan Suriantal pun menjadi semakin ringan.
Mereka tidak perlu lagi mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan mereka tanpa memikirkan kemungkinan pertempuran yang akan memerlukan waktu yang lama. Mereka menumpahkan segenap kemampuan mereka untuk bertahan agar mereka tetap hidup, meskipun jika tidak terjadi perubahan, mereka hanya sekedar mampu memperpanjang saat-saat menjelang kematian.
Tetapi perubahan itu memang terjadi. Pasukan berkuda dari Sangling telah menyelamatkan mereka. Orang-orang Windu Putih yang jumlahnya terlalu banyak itu, sebagian harus berhadapan dengan pasukan berkuda yang mampu bergerak cepat. Mereka sengaja bertempur diatas punggung kuda, agar mereka dapat mempergunakan cara yang menyulitkan lawan. Memukul dan menghindar.
Dalam pada itu, para prajurit berkuda yang telah datang lebih dahulu di arena, tidak sempat memperingatkan para prajurit baru yang datang kemudian. Dua orang prajurit berkuda yang melihat seseorang berdiri di arena, telah menyerang bersama-sama dari dua arah. Namun seperti yang pernah terjadi, maka keduanya telah terlempar dari punggung kuda mereka untuk seterusnya tidak pernah terbangun lagi.
Seorang pemimpin kelompok dari pasukan berkuda itu kemudian berkata, “Hindari orang itu.”
“Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku,“ tantang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu.
Para prajurit memang tidak menghiraukannya. Tetapi seorang diantara mereka yang datang berkuda itu telah mendekatinya. Ia tidak menyerang dengan serta merta. Tetapi ketika ia berada beberapa langkah dihadapan orang itu, maka orang berkuda itu justru meloncat turun.
“Kau siapa?“ bertanya orang yang marah itu.
“Mahisa Bungalan,“ jawab orang berkuda itu, “Akuwu Sangling.”
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kaulah Akuwu Sangling?”
“Ya. Aku Akuwu Sangling yang baru,“ jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Kau sudah mengacaukan rencanaku dengan kedatangan prajurit-prajuritmu. Karena itu, maka kau harus menanggung akibatnya. Kau harus mati.”
Tetapi Akuwu Sangling itu menjawab, “Marilah. Kita akan melihat siapakah yang akan mati. Aku memang merasa tersinggung atas tingkah lakumu yang sewenang-wenang. Karena kau merasa kuat, maka tanpa sebab, kau serang padepokan yang lebih kecil ini.”
“Persetan,“ jawab murid tertua Windu Putih itu, “apa pedulimu. Aku berhak untuk menghancurkan siapa pun yang akan dapat mengganggu kedudukanku.”
“Itulah yang aku sebut sewenang-wenang. Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri dan perguruanmu,“ jawab Akuwu Sangling, “sebagai Akuwu di Sangling, aku memang mempunyai kewajiban untuk melindungi orang-orang yang lemah, yang akan menjadi korban ketamakanmu.”
“Kenapa kau yang ikut campur di lingkungan ini? Kenapa tidak Akuwu Lemah Warah?“ geram orang itu.
“Siapa pun yang mengetahui tingkah lakumu itu, berhak untuk mencegahnya. Termasuk Sangling yang memerintah atas nama Kediri sebagai kepanjangan jalur pemerintahan Singasari.”
“Omong kosong,“ geram orang itu, “Kediri bukan Singasari.”
“Bukan waktunya untuk berbicara tentang Kediri dan Singasari. Sekarang menyerahlah. Tarik semua orang-orangmu yang menjadi semakin susut, sebelum mereka binasa seluruhnya.”
“Orang-orangku jauh lebih banyak,“ geram orang itu.
“Mungkin semula begitu,“ jawab Akuwu Sangling, “tetapi sekarang tidak lagi. Orang-orangmu telah banyak sekali yang tidak berdaya lagi. Mungkin terluka parah, bahkan mungkin terbunuh di peperangan ini.”
“Karena itu, kau harus menjadi tebusannya. Kau harus mati,“ geram orang itu.
Akuwu Sangling tidak menjawab lagi. Ketika orang itu bergeser, maka Mahisa Bungalan yang memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi itu pun telah bersiap. Demikianlah keduanya telah bersiaga. Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu mulai bergeser. Sementara Akuwu Sangling pun mulai berputar pula menghadap ke arah lawannya bergerak.
Sementara itu, para prajurit Sangling menjadi semakin leluasa bergerak. Tidak ada lagi orang yang harus diperhitungkan. Mereka bergerak semakin cepat dengan kuda-kuda mereka. Menyambar dengan pedang, kemudian berpacu menjauh sebelum mereka memutar kuda mereka dan menyerang kembali ke arah lain. Korban diantara orang-orang Windu Putih menjadi semakin banyak. Namun para pemimpin kelompok diantara mereka-pun berusaha untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Mereka merapat dalam kelompok-kelompok. Dengan kemampuan yang ada pada mereka, maka kelompok-kelompok itu berusaha untuk melawan setiap prajurit Sangling yang menyambar dengan kuda-kuda mereka. Ujung-ujung pedang dan tombak telah teracu sehingga tidak ada seujung duri pun lubang yang akan dapat ditembus oleh senjata orang-orang berkuda itu.
Tetapi orang-orang Sangling pun menyadari bahaya yang mereka hadapi. Karena itu, maka mereka telah mengambil sikap pula. Mereka tidak lagi menyambar-nyambar sebagaimana telah mereka lakukan seorang demi seorang. Namun mereka-pun kemudian telah menyerang dalam kelompok-kelompok pula, sehingga dengan demikian, maka kelompok-kelompok orang Windu Putih tergetar karenanya.
Dalam perang gelar dan kelompok, prajurit Sangling memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka mereka benar-benar telah menghisap para pengikut dari perguruan Windu Putih justru keluar dari padepokan. Dengan demikian maka orang-orang dari padepokan Suriantal seakan-akan telah mendapat kesempatan untuk mengurangi ketegangan. Jantung mereka tidak lagi berdegup terlalu keras. Meskipun ada juga di antara mereka yang jatuh oleh tusukan senjata lawan, namun jumlah orang-orang Windu Putih yang susut dengan cepat, telah membuat tugas mereka semakin ringan.
Sebenarnyalah, di dalam lingkungan padepokan Suriantal itu sendiri, seorang telah ikut bertempur diantara orang-orang padepokan itu. Dengan kemampuannya yang luar biasa, ternyata ia pun berhasil mengurangi jumlah lawan dengan cepat. Hampir setiap kejap mata, ia telah menyingkirkan seorang lawan. Meskipun pedangnya tidak selalu menghunjam ke jantung, tetapi luka di pundak, di lambung dan di bagian-bagian tubuh yang lain, telah melumpuhkan lawan-lawannya itu pula.
Orang itu memang sudah tua. Ujudnya tidak lebih berbahaya dari orang-orang padepokan Suriantal. Namun ternyata bahwa senjatanya benar-benar sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Orang itu adalah Mahendra.
Ia tidak sempat menghadapi seorang lawan yang berilmu tinggi. Sehingga karena itu, maka ia bertempur sebagaimana orang-orang padepokan Suriantal itu bertempur. Namun karena Mahendra memang memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka yang dilakukannya benar-benar telah mengacaukan gelar orang-orang perguruan Windu Putih.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur melawan dua orang murid terpercaya dari Windu Putih, telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata bahwa kedua orang murid Windu Putih itu telah membentur kekuatan dua orang anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian, maka lambat laun, keduanya mulai merasa betapa beratnya harus melayani kedua Putut yang masih muda itu.
Sementara hiruk pikuk pertempuran terjadi di dalam dan di luar padepokan, dua orang telah mengambil tempat yang khusus. Kiai Windu Putih dan orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama. Kedua orang itu ternyata telah menyimpan persoalan yang tumbuh sejak lama. Tidak hanya satu dua tahun. Tetapi di saat-saat mereka masih terjerat oleh persoalan seorang perempuan.
Namun yang paling menyakitkan hati bagi orang yang menyatakan dirinya guru Akuwu Sangling itu adalah kematian anaknya yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang kemudian mengkhianatinya, karena ia memilih Kiai Windu Putih. Keduanya adalah orang-orang yang sudah kenyang makan asin pahitnya kehidupan. Karena itu, cara mereka mengatasi persoalan mereka pun mereka lakukan dengan cara tersendiri. Untuk beberapa saat keduanya berdiri berhadapan diantara barak-barak padepokan.
Dengan nada tinggi Kiai Windu Putih masih juga berkata, “Jadi kau masih juga menuntut kematian anakmu?”
“Ya. Aku tidak peduli tentang perempuan jahanam itu. Tetapi anakku adalah keturunanku,“ berkata guru Akuwu Sangling itu, “karena itu, maka nilainya sama dengan jiwaku sendiri.”
“Bagus,“ berkata Kiai Windu Putih, “bersiaplah. Kita sudah sama-sama tua sekarang. Kita sudah cukup berpengalaman, sehingga kita tidak perlu lagi berbasi-basi.”
“Aku mengerti. Marilah,“ jawab guru Akuwu Sangling.
Kiai Windu Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah bersiap. Demikian juga guru Akuwu Sangling yang lama itu telah berdiri tegak menghadap ke arah Kiai Windu Putih. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan. Namun ternyata mereka benar-benar tidak memerlukan waktu untuk saling menjajagi.
Ternyata bahwa pandangan mata keduanya semakin lama semakin menjadi semakin tajam. Keduanya ternyata telah melepaskan ilmu mereka masing-masing. Dengan sorot mata, keduanya berusaha untuk saling mempengaruhi. Keduanya berusaha untuk mengangkat dan membanting lawannya. Pertempuran yang aneh itu berlangsung untuk beberapa lamanya. Namun ternyata keduanya tidak segera berhasil mengatasi lawannya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi keduanya masih tetap berdiri dan berjejak diatas tanah. Demikian dahsyatnya kedua orang itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka masing-masing, sehingga dari ubun-ubun mereka nampak asap putih yang mengepul.
Namun akhirnya mereka menganggap bahwa yang mereka lakukan itu akan sia-sia. Mereka akan dapat bersama-sama jatuh terkapar dan mungkin justru mati dibunuh oleh orang-orang yang tidak berilmu sama sekali. Karena itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian telah memberikan isyarat, agar pertempuran yang tidak akan dapat membuat penyelesaian itu dihentikan saja.
Lawannya ternyata menanggapinya. Perlahan-lahan keduanya telah menurunkan kadar kemampuan mereka, sehingga akhirnya terlepas sama sekali. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Nafas mereka terengah-engah sedangkan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka.
Namun ketika nafas mereka mulai teratur kembali, maka mereka pun segera bersiap pula. Mereka akan mulai dengan pertempuran-pertempuran dengan cara lain yang tidak kalah dahsyatnya. Kedua orang yang berdiri berjarak beberapa langkah itu-pun kemudian saling mendekat. Keduanya pun kemudian bersiap dan mulai bertempur sebagaimana dua orang yang bertempur secara wadag.
Tetapi gerak keduanya agaknya nampak sangat lamban. Keduanya hanya mengayun-ayunkan tangannya sekali-sekali. Sedangkan yang lain bergeser menghindar dengan gerak yang lamban pula.
Dalam pada itu, Mahendra yang kemudian berkisar dari arena pertempuran telah melihat kedua orang yang bertempur itu. Sejenak ia termangu-mangu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi pula. Maka Mahendra pun segera mengetahui tentang keduanya. Karena itu ia pun kemudian berdesis dengan suara berat, “Ternyata keduanya adalah saudara seperguruan.”
Pengakuan itu belum pernah disebut-sebut oleh orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu. Namun menilik ilmu yang mereka tumpahkan dalam perang tanding itu, maka agaknya kesimpulan Mahendra tidak keliru.
Sebenarnyalah bahwa keduanya adalah saudara seperguruan, Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu lebih dahulu berguru dari pada Kiai Windu Putih. Namun dalam pada itu, di saat-saat mereka mencapai usia dewasa, seorang perempuan telah mengacaukan persaudaraan mereka. Perempuan itu ternyata juga seorang perempuan yang berjiwa rendah, sehingga yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap kesetiaan seorang suami.
Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya. Meskipun keduanya bergerak lamban sekali, tetapi ternyata tenaga yang terlontar dari gerakan-gerakan yang lamban itu memang sangat besar. Bahkan bukan sentuhan wadag itu sendiri, tetapi angin yang terayun pun bagaikan prahara yang menerpa dinding-dinding barak di sebelah menyebelahnya.
Sebenarnyalah barak-barak itu menjadi retak. Dinding-dinding pun telah terhempas dan bahkan kemudian tiang-tiangnya pun telah berpatahan pula. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua orang itu justru lebih besar dari kerusakan yang timbul karena pertempuran yang seakan-akan telah merata di seluruh padepokan.
Namun akhirnya Mahendra mengambil keputusan untuk tidak mencampuri pertempuran yang dahsyat itu. Ia sadar, jika ia berpihak, maka orang yang harus melawan dua orang sekaligus itu tentu akan kalah. Tetapi yang menang pun mungkin justru akan merasa terhina, sehingga justru akan dapat timbul persoalan yang lain.
Karena itu, untuk sementara Mahendra telah kembali untuk menyusut jumlah lawan. Tetapi Mahendra tidak bertempur di satu tempat. Ia bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Di setiap garis pertempuran Mahendra telah meninggalkan tubuh lawan yang berserakan. Dengan demikian maka Mahendra telah benar-benar menjadi hantu tua di medan perang itu. Sebenarnyalah, bahwa orang-orang Windu Putih telah menjadi semakin susut. Di luar padepokan, keadaan mereka lebih parah daripada di dalam padepokan.
Namun pertempuran antara Akuwu Sangling dan murid terpercaya Kiai Windu Putih itu pun menjadi semakin dahsyat. Ilmu Mahisa Bungalan yang diterima dari Mahisa Agni dan Witantra yang telah dimatangkannya, benar-benar merupakan ilmu yang sulit dicari bandingnya. Sementara itu, murid tertua dari perguruan Windu Putih itu pun merupakan murid yang telah tuntas menyadap ilmu dari perguruannya, meskipun masih harus dibentuk dan dikembangkan.
Karena itu, maka keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Kekuatan ilmu mereka masing-masing yang tidak dikenal oleh orang lain benar-benar telah membuat pertempuran di-antara mereka menjadi sangat seru. Namun dalam pada itu, mau tidak mau murid tertua Perguruan Windu Putih itu telah terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Jika Satu dua orang Windu Putih terlempar jatuh, maka jantungnya ikut pula tergetar...