PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 56
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 56
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka tinggal mempunyai waktu sedikit. Orang-orangnya harus dengan segera menyebar di luar padepokan. Demikian malam turun, maka orang-orangnya harus segera berada di tempat yang akan ditentukan. Karena itu, maka dengan singkat Mahisa Murti pun berkata, “Kami akan melakukannya ayah.”
“Berhati-hatilah. Yang akan kalian lakukan adalah satu perjuangan tentang hidup dan mati. Taruhannya adalah padepokanmu dan umur segenap penghuninya,” berkata Mahendra. Lalu “Karena itu, maka kalian dalam hal ini tidak dapat sekedar bermain-main.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan semua orang-orangnya. Mereka telah membaginya dalam beberapa kelompok besar yang terdiri dari beberapa kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka akan tetap berada di dalam padepokan, sementara yang lain akan keluar dari padepokan dan justru akan menyergap lawan yang jumlahnya lebih besar dari orang-orang padepokan Bajra Seta.
“Kita telah berhasil mengurangi jumlah mereka lebih banyak dari yang kita harapkan dapat kita lakukan di Lemah Warah. Namun ternyata jumlah mereka memang terlalu besar. Dua padepokan besar dan kuat akan mengepung padepokan ini. Sama sekali bukan empat padepokan dari keluarga perguruan Suriantal seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang datang itu,“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Karena itu, kita harus menempuh satu cara yang tidak mereka duga sebelumnya. Kita akan keluar dari padepokan ini dan justru kitalah yang akan menyergap mereka. Kita harus memanfaatkan kesempatan di malam hari nanti untuk menyelamatkan hidup kita.”
Hidup perguruan dan padepokan kita, serta hidup kita sendiri,“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Meskipun cara itu tidak berarti bahwa kita tidak akan mengalami kesulitan sama sekali. Mungkin justru akan memungut korban yang cukup banyak diantara kita. Kita yang sekarang berbicara disini, mungkin akan berkurang separuh diantaranya. Dengan demikian, maka kemungkinan untuk hidup dan mati bagi kita sama besarnya. Tetapi jika kita keluar dari padepokan ini, maka kemungkinan untuk hidup bagi kita tentu lebih besar daripada mati itu asal kita mampu mengendalikan diri kita.”
Orang-orang Bajra Seta yang berkumpul itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak lagi membuang waktu. Mereka pun segera membagi orang-orangnya dalam kelompok-kelompok besar yang terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka akan tetap berada di padepokan. Mereka harus mempertahankan padepokan itu jika sebagian dari lawan mereka berusaha untuk menyerang padepokan itu.
Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjelaskan apa yang mereka hadapi dalam keseluruhan. Kemudian membagi seluruh penghuni padepokan itu menjadi dua. Masing-masing akan mendapat penjelasan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sesuai dengan sifatnya, maka keterangan Mahisa Pukat kedengarannya memang lebih keras dari Mahisa Murti. Namun jiwa dari keterangan mereka sama sekali tidak berbeda. Keduanya telah menunjukkan cara yang paling baik bagi mereka di saat-saat mereka menyergap lawan yang akan mengadakan perkemahan di sekitar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan kesempatan yang singkat itu untuk memberikan penjelasan dan bahkan memberikan peragaan apa yang harus mereka lakukan. Mereka telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang timbul berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh pada saat-saat mereka melakukan penyergapan di Lemah Warah.
Meskipun yang dapat mereka berikan sebagai bekal tidak sebesar yang dapat mereka berikan kepada sekelompok yang besar yang telah mereka bawa ke Lemah Warah, namun apa yang dapat dijelaskan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu-pun cukup memadai.
Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah diatur sebaik-baiknya. Dengan pengertian, bahwa mereka harus memenuhi segala ketentuan sehingga rencana mereka tidak akan gagal.
Ketika malam turun, maka seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, orang-orang yang datang dari perguruan Manik Wungu dan Randu Papak telah membawa seluruh pasukannya mendekati padepokan. Mereka telah mengadakan perkemahan di sekitar padepokan itu. Dengan demikian maka mereka telah memamerkan kekuatan mereka kepada orang-orang padepokan Bajra Seta.
Namun dalam pada itu, dengan diam-diam orang-orang Bajra Seta sebagian besar telah berada di luar padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan orang-orang yang telah mengalami sergapan di malam hari diantara kelompok-kelompok yang ada untuk memberikan kesan tentang pengalaman mereka. Namun dalam pada itu, kelompok yang khusus diantara mereka dan para petugas sandi dari Lemah Warah, masih diperlukan. Mereka merupakan kekuatan pokok yang akan menusuk ke pusat perkemahan lawan dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan. Namun mereka memang harus menghindari orang-orang terpenting dari kedua perguruan itu, karena mereka tentu orang-orang berilmu tinggi.
Kepada orang-orang Bajra Seta yang berada di luar padepokan itu telah dipesankan, bahwa mereka akan bergerak serentak setelah terdengar isyarat. Agar isyarat itu tidak dapat segera diketahui oleh orang-orang yang sedang memamerkan kekuatan mereka di luar padepokan, maka isyarat itu akan diberikan di dalam padepokan. Pada saat yang sudah ditentukan, di tengah malam, di padepokan Bajra Seta akan terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk yang biasanya memang dibunyikan di tengah malam. Namun suara kentongan itu merupakan isyarat, bahwa pada saat itu, bersamaan orang-orang Bajra Seta yang berada di luar padepokan akan menyerang orang-orang yang diharapkan akan menjadi lengah.
Dengan cermat, beberapa orang pengamat telah mengamati perkemahan orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak itu dari atas dinding. Menurut pengamatan dari jarak yang agak jauh itu maka nampaknya orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu, memang agak kurang berhati-hati. Meskipun di beberapa tempat telah dinyalakan obor, perapian dan lampu minyak. Namun para petugas yang berjaga-jaga agaknya menganggap bahwa orang-orang padepokan Bajra Seta itu tidak berbahaya.
Sementara itu orang-orang Bajra Seta memang memberikan kesan kesiagaan di dalam dinding padepokan. Orang-orang yang tersisa di padepokan itu, seakan-akan merupakan kekuatan yang dikerahkan diatas dinding. Beberapa orang telah mengangkut tombak dan anak panah ke panggungan, seakan-akan akan dipergunakan di keesokan harinya untuk menahan serangan dari luar.
Dengan demikian, maka orang-orang di perkemahan itu memang menganggap, bahwa padepokan Bajra Seta benar-benar telah mempersiapkan diri untuk bertempur jika orang-orang yang mengepung padepokannya itu datang menyerang.
Karena itulah maka orang-orang yang berada di perkemahan di luar padepokan itu merasa diri mereka sama sekali tidak dalam bahaya. Orang-orang di padepokan Bajra Seta tentu akan menunggu dengan busur dan anak panah. Mereka akan bertempur mati-matian untuk mempertahankan padepokannya Namun bagi orang-orang yang mengepung padepokan itu, kekuatan Bajra Seta tidak akan mampu menahan sejumlah orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak jauh lebih banyak dari orang-orang Bajra Seta meskipun jumlah itu sudah berkurang di perjalanan.
Beberapa orang Manik Wungu dan Randu Papak masih sempat tersenyum ketika mereka melihat kesibukan diatas dinding padepokan sebelum mereka tertidur nyenyak. Seorang diantara mereka sempat bergumam, Tunggulah sampai matahari terbit. Kalian tidak akan sempat melihat lagi matahari itu terbenam.
Menjelang tengah malam, maka sebagian besar dari orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu telah-teratur. Beberapa orang memang berjaga-jaga, namun mereka menganggap bahwa keadaan tidak membahayakan bagi mereka.
Namun dalam pada itu, orang-orang Bajra Setelah yang menjadi tegang. Menjelang tengah malam mereka telah bersiap-siap. Mereka yang berada diluar padepokan, diantara semak-semak dan hutan perdu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi tugas yang akan mereka lakukan. Mereka akan menyerang dengan tiba-tiba orang-orang yang sedang tidur itu. Namun jika mereka kemudian bersiap dan mapan untuk melawan, mereka harus ditinggalkan.
Orang-orang yang menyerang lawan dengan diam-diam itu harus menghilang di tempat-tempat tersembunyi di sekitar arena. Namun mereka harus berusaha untuk merayap kembali masuk ke dalam dinding padepokan. Hanya jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka mereka akan bertempur di keesokan harinya di luar dinding.
Demikianlah maka malam pun merambat semakin dalam. Ketika tengah malam tiba, maka semua orang telah bersiap. Petunjuk-petunjuk terakhir telah diberikan. Jika terdengar isyarat, maka mereka harus segera bertindak.
Ternyata sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk. Bunyi kentongan sebagaimana biasa terdengar di tengah malam. Beberapa orang yang berada di luar padepokan juga mendengar suara kentongan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Mereka bahkan telah menarik kain panjangnya untuk mengusir dingin, sehingga beberapa saat kemudian mereka telah tertidur lagi.
Pada saat yang demikianlah orang-orang Bajra Seta bergerak dari tempat mereka bersembunyi. Mereka tidak boleh merayap seperti siput. Tetapi mereka harus bergerak seperti burung sikatan menyambar bilalang. Demikianlah, maka sejenak kemudian dengan diam-diam beberapa puluh anak panah telah terlepas dari busurnya. Langsung dibidikkan kepada orang-orang yang sedang berjaga-jaga.
Beberapa orang sama sekali tidak sempat menyadari apa yang terjadi. Namun beberapa orang yang lain memang sempat mengaduh. Namun suaranya bagaikan hilang di tenggorokannya.
Sekelompok orang-orang terpilih telah berusaha merayap mendekat. Mereka tidak membunuh para penjaga dengan anak panah dan busur. Tetapi pada kesempatan yang menentukan, mereka telah melempar dengan pisau-pisau belati. Bahkan beberapa orang tidak melemparkan pisaunya, tetapi sempat meloncat menerkam dan menikam ke arah jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukannya. Namun keduanya tertegun ketika melihat orang-orang yang masih tidur berserakan. Memang ada semacam hambatan didalam diri mereka untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu. Tetapi jika mereka tidak melakukannya, maka padepokannya besok akan dihancurkan oleh orang-orang itu.
Mereka hanya mempunyai waktu sekejap untuk menentukan sikap. Namun mereka tidak dapat berbuat lain, justru karena orang-orang Bajra Seta yang lain telah melakukannya. Mereka benar-benar bergerak seperti seekor burung sikatan menyambar bilalang.
Memang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus melakukannya betapapun hati mereka bergejolak. Jika mereka terpaksa melakukannya, maka itu terdorong oleh tanggung jawab mereka terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai pemimpin perguruan dan padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu telah melakukan tugas mereka. Sejenak kemudian, maka perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah menjadi gempar.
Peristiwa yang pernah terjadi itu telah terulang kembali. Justru di muka hidung padepokan yang akan dihancurkannya. Bahkan orang-orang yang menyergap mereka yang lengah itu menjadi semakin berlipat ganda.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak sempat menghindar ketika anak panah bagaikan hujan menikam setiap jantung. Mereka yang terkejut dan bangkit berdiri, tanpa mengaduh lagi, telah roboh kembali dengan anak panah yang tertancap di dada. Bahkan di perkemahan itu berloncatan orang-orang Bajra Seta dengan senjata telanjang di tangan.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak hampir tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Dari ujung sampai ke ujung perkemahan di sekitar padepokan Bajra Seta bagaikan telah menjadi merah karena darah yang mengalir dari tubuh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Para pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak yang sedang beristirahat pun terkejut mendengar keributan yang terjadi. Dengan cepat mereka menyadari, bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sama sebagaimana terjadi di Lemah Warah. Orang-orang yang tidak dikenal telah menyerang mereka justru pada saat mereka sedang beristirahat.
Dengan tangkas para pemimpin dari kedua padepokan itu meloncat bangkit. Terdengar mereka meneriakkan aba-aba sambil mengacukan senjata mereka. Ketika beberapa anak panah meluncur dari kegelapan mengarah kepada para pemimpin itu, maka dengan tangkasnya mereka berloncatan sambil menangkis serangan itu.
“Licik kalian,“ teriak pemimpin tertinggi dari padepokan Manik Wungu, “marilah, siapakah orang yang memimpin kalian berbuat curang seperti ini.”
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan dari kegelapan itu sama sekali tidak mereda. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sedang tertidur nyenyak itu pun telah terbangun seluruhnya. Yang sempat memperhitungkan keadaan, telah bangkit sambil memutar pedang mereka untuk melindungi diri dari sergapan anak panah. Bahkan pisau-pisau belati yang terbang ke arah dada.
Perkemahan itu benar-benar telah diliputi oleh kegemparan yang luar biasa. Namun lambat laun, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Namun sudah terlambat. Yang terjadi itu hanya memerlukan waktu yang sangat singkat. Justru ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu bersiap untuk melakukan perlawanan, orang-orang yang menyergap mereka dari kegelapan itu telah berhamburan meninggalkan mereka. Memang masih ada anak panah yang meluncur berurutan dari kegelapan, namun semakin lama menjadi semakin jarang.
Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak yang marah tidak menyerah begitu saja. Dengan lantang pemimpin-pemimpin mereka itu telah meneriakkan aba-aba, “Kejar mereka sampai dapat. Jangan ampuni lagi, siapapun yang kalian ketemukan.”
Orang-orang kedua padepokan yang marah itu tidak menunggu perintah berikutnya. Dengan senjata yang teracu mereka berlari ke arah anak panah yang terakhir meluncur dari kegelapan. Mereka merasa diri mereka mempunyai pengalaman yang luas di segala macam medan betapapun beratnya. Di siang hari maupun di malam hari. Karena itu maka mereka sama sekali tidak ragu-ragu memburu orang-orang yang telah menyergap mereka dari kegelapan itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah memperhitungkannya. Sebagian dari pasukan Bajra Seta, justru yang terpilih, tidak meninggalkan medan itu. Mereka justru menunggu di dalam kegelapan dengan busur dan anak panah. Demikian orang-orang Bajra Seta memburu ke arah para penyerang mereka lari ke kegelapan, maka tiba-tiba saja mereka telah disergap pula oleh anak panah yang bagaikan ditaburkan ke arah mereka.
Terdengar umpatan-umpatan kasar. Beberapa orang sempat menangkis serangan itu. Namun ada juga diantara mereka yang terguling jatuh tanpa sempat mengaduh. Yang kemudian meluncur ke arah mereka bukan saja anak panah yang jumlahnya tidak terhitung, namun tiba-tiba saja beberapa orang bagaikan menyergap mereka dengan melontarkan pisau-pisau kecil dari jarak yang lebih dekat.
Untuk sesaat orang-orang yang memburu kegelapan itu memang menjadi bingung. Namun dalam waktu singkat mereka telah mampu mengatasi kebingungan mereka. Dengan sigapnya mereka menghadapi lawan yang bersembunyi dalam kegelapan.
Mereka yang berpengalaman bertempur di gelapnya malam, seakan-akan mempunyai penglihatan yang mampu menembus gelap. Dengan tangkas mereka menangkis anak-anak panah yang meluncur ke arah mereka. Namun dalam waktu yang singkat itu, beberapa orang telah terbanting jatuh. Korban ternyata telah bertambah lagi.
Dengan pasukan pilihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghambat mereka. Ternyata mereka telah memperhitungkan setiap kemungkinan. Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun telah menarik diri ke arah yang berbeda dengan pasukan Bajra Seta yang lain.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar mengalami kesulitan menghadapi sergapan yang tiba-tiba itu. Ternyata korban yang jatuh karena kesalahan mereka yang telah diulang sampai dua kali itu cukup banyak. Bahkan terlalu banyak.
Beberapa saat kemudian, maka medan pertempuran itu menjadi sepi. Orang-orang Bajra Seta telah menarik pasukannya ke dalam gelap, bersembunyi ke balik gerumbul-gerumbul perdu dan pepohonan. Sementara itu orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah menahan diri untuk tidak mengejar mereka. Betapapun jantung mereka bergejolak, apalagi mereka yang disebut siluman-siluman yang mengerikan, namun mereka tidak dapat menolak kenyataan, bahwa mereka justru berhadapan dengan iblis-iblis yang lebih nggegirisi.
Pemimpin kedua padepokan itu dengan segera telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok yang masih tersisa. Namun ternyata laporan mereka benar-benar membuat jantung kedua pemimpin itu hampir meledak. Korban yang jatuh ternyata melampaui dugaan mereka. Hampir separuh dari orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah terbunuh atau luka-luka berat sehingga mereka tidak lagi mampu membantu apa pun lagi.
“Kita adalah siluman-siluman dungu. Padepokan kita disebut sebagai sarang siluman karena kita ditakuti oleh siapapun. Namun disini, dihadapan padepokan yang baru saja dibentuk serta perguruan yang baru saja lahir, kita telah dibantai tanpa dapat berbuat apa pun juga. Jumlah kita sekarang kurang dari separuh dari saat kita berangkat. Dua kali kita mengalami perlakuan yang sangat licik. Semula kita mengira, bahwa yang melakukannya adalah petugas-petugas sandi dari Lemah Warah yang tidak mau menyerang dengan terang-terangan. Namun ternyata dugaan itu keliru. Yang melakukan tentu orang-orang padepokan Bajra Seta menilik cara dan kesempatan yang mereka pergunakan."
“Ternyata mereka lebih liar dari kita. Mereka sanggup menyergap kita pada jangkauan yang sangat jauh. Mereka telah menyongsong kita masuk jauh ke dalam wilayah Lemah Warah,“ berkata pemimpin padepokan Randu Papak.
“Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat menghitung waktu yang tepat?“ bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.
Ternyata orang bertongkat yang mengaku dari perguruan Suriantal itulah yang menjawab, “Bukankah kita dengan sombong mengatakan, bahwa kita akan datang pada saat bulan purnama di bulan berikutnya. Dan itulah yang benar-benar kita lakukan. Kita terlalu menganggap ringan padepokan Bajra Seta yang baru saja lahir itu. Namun yang lahir itu benar-benar anak iblis yang licik.”
“Sekarang, apa yang dapat kita lakukan?“ bertanya seorang pemimpin kelompok.
Di luar kehendak mereka, maka mereka telah memandangi dinding padepokan. Bahkan seorang diantara mereka bergumam hampir di luar sadarnya, “Kita memasuki padepokan itu sekarang?”
Sejenak orang-orang yang mendengarnya telah terpukau oleh gumam itu. Tetapi akhirnya pemimpin padepokan Manik Wungu itu pun berkata, “Kita tidak mempunyai kekuatan cukup.”
“Tetapi mereka masih tersebar,“ jawab pemimpin kelompok yang kehilangan lebih dari separuh orang-orangnya.
“Justru karena itu. Mereka akan dengan cepat menyergap kita yang sedang sibuk menghindari serangan anak panah dari atas dinding. Jangan kau kira bahwa padepokan itu benar-benar kosong. Kau lihat, beberapa orang yang diatas dinding itu telah menyiapkan busur dan anak panah. Bahkan lembing-lembing yang besar dan panjang. Sementara itu kita baru saja dicengkam oleh kebingungan yang sangat, serta kehilangan separuh dari kekuatan kita,“ berkata pemimpin perguruan Manik Wungu.
Pemimpin padepokan Randu Papak pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat esok pagi. Apakah kita masih memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Apalagi memasuki padepokan Bajra Seta itu.”
Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan. Namun dalam pada itu pemimpin padepokan Manik Wungu pun berkata dengan suara lantang yang dibebani oleh perasaannya yang sakit, “Tidak seorang pun diantara kita yang boleh tidur malam ini. Kita semua akan berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Iblis itu akan dapat merayap lagi mendekati perkemahan kita ini. Jika kita mendapatkan seorang diantara kita yang tertidur apa pun alasannya, maka orang itu akan kita bunuh tanpa ampun.”
“Aku sependapat,“ sahut pemimpin padepokan Randu Papak, “kita harus belajar dari pengalaman.”
Demikianlah, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang tersisa itu pun seluruhnya telah berjaga-jaga. Mereka berada di tempat-tempat yang agak terlindung dalam kegelapan. Mereka mengamati semua penjuru dengan ketajaman penglihatan mereka. Namun orang-orang Bajra Seta tidak berlaku bodoh. Mereka tidak lagi mendekati perkemahan itu, apalagi menyerang.
Mereka mengerti bahwa orang-orang yang marah itu tentu akan bersiaga sepenuhnya. Namun yang mereka lakukan itu telah terlambat. Tidak ada cara untuk menolong mereka yang sudah terlanjur luka parah apalagi yang sudah terbunuh. Kematian-kematian yang mendebarkan sehingga goncangan-goncangan perasaan itu membekas sangat dalam di hati mereka. Tetapi di samping perasaan itu, dendam pun bagaikan menyala sampai ke ubun-ubun.
Orang-orang Bajra Seta, sebagaimana direncanakan telah menyusup kembali mendekati dinding padepokan. Mereka harus menghindari penglihatan orang-orang di perkemahan. Satu-satu mereka telah meloncat dinding masuk ke dalam padepokan Bajra Seta. Demikian mereka berkumpul, maka mereka tidak dapat menahan kegembiraan yang bergejolak di dalam hati mereka, karena keberhasilan mereka itu.
Namun dalam pada itu, Mahendra yang melihat kegembiraan yang hampir tidak terkendalikan itu sempat memberi peringatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Kita telah berhasil mengurangi kekuatan mereka dalam saat-saat mereka lengah. Jika kalian sekarang karena kegembiraan ini juga menjadi lengah, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti peringatan ayahnya itu, sehingga karena itu, maka mereka pun telah memerintahkan kepada orang-orangnya untuk mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Mereka memerlukan istirahat meskipun hanya beberapa saat. Mungkin di pagi harinya mereka harus bertempur lagi melawan sisa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Dengan demikian maka orang-orang Bajra Seta itu pun telah mempergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat. Setelah mencuci diri, maka mereka pun telah berbaring di barak-barak mereka masing-masing, sementara mereka yang bertugas pun telah mendapat pesan, agar mereka tidak menjadi lengah. Dalam kelengahan itu, akibatnya akan dapat menjadi buruk sekali. Mereka telah dihadapkan pada satu contoh yang baru mereka saksikan dihadapan hidung mereka.
Di sisa malam itu sama sekali tidak ada gerakan kedua belah pihak. Masing-masing berada di tempatnya. Sementara itu, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak banyak menghiraukan kawan-kawan mereka yang sudah terlanjur mati. Yang terluka tetapi sudah tidak ada lagi kemungkinan untuk ikut berbuat sesuatu dalam gerakan apa pun yang akan mereka lakukan, tidak pula mendapat perhatian.
“Yang mati biarlah mati,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu.
Hanya ada diantara mereka yang mendapat pertolongan dari kawan-kawan dekat mereka. Tetapi sudah barang tentu hanya sekedarnya dan tidak banyak membantu dalam penyembuhan. Namun bagi mereka yang masih mempunyai harapan untuk bertahan, pertolongan yang sederhana sekali pun akan dapat membantu meringankan penderitaan mereka. Tetapi orang-orang Bajra Seta memang tidak dapat beristirahat sepuas-puasnya. Namun yang sedikit itu telah membuat mereka menjadi segar kembali.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memikirkan, bagaimana mereka dapat menyelamatkan orang-orangnya yang tertinggal di luar padepokan. Mungkin terbunuh, mungkin terluka. Agaknya dalam sergapan yang kedua ini, orang-orang Bajra Seta tidak dapat menghindarkan korban sama sekali sebagaimana mereka menyergap di Lemah Warah. Orang-orang yang kurang terlatih, serta mereka yang tidak dapat lagi mengendalikan perasaan yang bergejolak, agaknya telah terjebak ke dalam kesulitan di saat-saat orang Manik Wungu dan Randu Papak menemukan keseimbangan diri setelah kebingungan beberapa saat.
Tetapi untunglah bahwa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak menghiraukan orang-orang terbunuh dan terluka, sehingga mereka tidak menemukan orang-orang Bajra Seta yang sedang berjuang untuk mengatasi rasa sakit. Namun menurut perhitungan setelah orang-orang Bajra Seta itu kembali, korban diantara mereka terhitung kecil sekali. Meskipun demikian yang kecil itu tidak boleh diabaikan begitu saja.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa menunggu kesempatan. Mereka tidak mau justru menambah korban lebih banyak lagi. Jumlah mereka tidak banyak, sehingga karena itu maka mereka harus sangat berhati-hati. Tetapi dengan keberhasilan mereka menyergap lawan, maka jumlah mereka pun telah menjadi seimbang. Bahkan mungkin orang-orang Bajra Setelah yang menjadi lebih banyak dari lawan mereka.
Menjelang matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta telah bersiap menunggu kemungkinan yang bakal terjadi. Namun mereka telah lebih dahulu makan dan minum-secukupnya. Jika mereka harus bertempur sehari penuh, maka mereka tidak akan kehabisan tenaga karena kelaparan.
Dalam pada itu, dendam dan kemarahan di jantung orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar telah mengaburkan perhitungan mereka. Meskipun sebagian diantara mereka telah terbunuh dan terluka, namun mereka tidak berniat mengurungkan serangan mereka.
“Kita yakin akan menang,“ berkata pemimpin-pemimpin padepokan itu, “jumlah orang-orang Bajra Seta tidak terlalu banyak.”
Karena itu, dengan persiapan yang kurang baik, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah bertekad untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Mereka makan seadanya dan minum asal saja membasahi tenggorokan. Namun beberapa orang diantara mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minum telah bekerja keras sejauh dapat mereka lakukan.
Sebelum matahari melontarkan sinarnya yang pertama, maka orang-orang yang berkemah diluar padepokan itu telah mengatur diri. Mereka tidak ingin mengepung padepokan itu selingkaran penuh. Mereka berniat untuk menghancurkan padepokan itu dari depan.
“Kita tidak akan membagi kekuatan. Kita bentur kekuatan Bajra Seta di bagian depan padepokan mereka. Jika mereka menebarkan orang-orangnya di sepanjang dinding padepokannya, maka yang berada di bagian depan tentu hanya sebagian saja dari seluruh kekuatan yang ada. Namun kita memang harus memberikan kesan seakan-akan kita menyerang dari segala penjuru,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang dibakar oleh dendam yang menyala itu tidak sempat berpikir panjang. Mereka pun dengan serta merta telah menganggap rencana itu sebagai satu rencana yang matang. Beberapa orang diantara mereka memang telah berusaha untuk berada di segala sisi dari padepokan itu. Sebelum matahari terbit, maka mereka telah benar-benar merayap mendekati padepokan itu.
Namun ketika cahaya fajar menerangi embun di tanah-tanah yang lembab, maka orang-orang diatas panggungan di dinding padepokan itu melihat apa yang mereka hadapi. Mula-mula mereka memang menyangka bahwa padepokan mereka telah terkepung. Namun akhirnya mereka pun mengetahui, bahwa sebagian terbesar dari kekuatan lawan berada di depan.
Beberapa penghubung telah datang kepada para pemimpin kelompok untuk memberitahukan keadaan yang sebenarnya di seluruh medan. Dengan diam-diam, maka orang-orang Bajra Seta pun telah menyusun kekuatan mereka pula. Sebagian terbesar dari seluruh kekuatan Bajra Seta juga diletakkan di bagian depan dari padepokan mereka.
Ketika matahari kemudian mulai menjenguk di cakrawala, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu mulai menyerang. Mereka memang berusaha untuk memecahkan pintu gerbang. Dua orang pemimpin tertinggi dari kedua padepokan itu telah menggabungkan kekuatan ilmu mereka. Keduanya yakin bahwa keduanya akan dapat memecahkan pintu gerbang padepokan itu.
Dengan segenap kekuatan ilmu yang ada, maka keduanya telah meloncat dan menghantam pintu gerbang itu. Keduanya sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada di atas pintu gerbang. Namun para pengikut merekalah yang dengan sendirinya telah berusaha melindungi mereka. Para pengikutnya pun telah menyerang orang-orang yang berada diatas pintu gerbang itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung jumlahnya.
Ternyata bahwa kedua orang itu telah luput dari tikaman anak panah orang-orang Bajra Seta. Keduanya berlari dengan kecepatan yang sulit diikuti. Kemudian hampir bersamaan keduanya meloncat dan menghantam pintu gerbang itu dengan kaki mereka. Kekuatan ilmu yang besar telah mengguncang pintu gerbang itu. Namun pintu gerbang itu tidak pecah karenanya. Namun demikian, beberapa ikatannya telah menjadi retak.
Karena itu, maka kedua orang itu telah mengulanginya. Mereka sekali lagi mengambil ancang-ancang. Kemudian dibawah lindungan orang-orangnya keduanya telah menyusup diantara serangan orang-orang Bajra Seta yang harus memperhitungkan pula serangan lawan-lawan mereka yang ada di bawah.
Ternyata pada serangan yang kedua, pintu gerbang itu bukan saja telah terguncang. Tali-talinya tidak lagi sekedar retak. Tetapi beberapa diantaranya telah terputus, sehingga pintu itu-pun telah pecah berserakan.
Dengan demikian maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang tersisa telah menghambur berlari menuju ke pintu gerbang. Namun betapapun liarnya mereka, namun mereka masih juga sempat memperhitungkan anak panah yang menghambur dari atas pintu gerbang itu. Mereka telah menangkis serangan-serangan itu dengan senjata mereka, sementara yang lain masih juga melepaskan anak panah ke arah mereka yang berada diatas pintu gerbang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan oleh orang-orang Bajra Seta. Karena itu demikian pintu gerbang terbuka dan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang liar itu berlari-larian masuk, maka didalam pintu gerbang yang pecah itu telah menunggu orang-orang Bajra Seta. Bahkan ketika mereka menyusup pintu gerbang, betapapun mereka berusaha melindungi diri , namun ada juga satu dua diantara mereka yang tertusuk anak panah. Tetapi orang-orang Bajra Seta pun ada juga yang ternyata telah tertikam anak panah orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi antara orang-orang Bajra Seta melawan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Namun jumlah kedua belah pihak tidak lagi berselisih terlalu banyak. Bahkan orang-orang Bajra Seta agaknya yang lebih banyak dari lawan-lawannya.
Namun dalam pertempuran terbuka seperti itu, barulah orang-orang Bajra Seta mengetahui dengan jelas, kenapa lawan-lawan mereka disegani oleh banyak perguruan. Perguruan dan padepokan mereka dikenal sebagai sarang siluman.
Dalam pertempuran terbuka itu ternyata betapa kasar dan liarnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Mereka sama sekali tidak menganggap ketentuan apa pun yang dapat mengikat mereka. Mereka bertempur sesuai dengan kemauan mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak menghargai kebiasaan dan paugeran yang berlaku di medan perang. Yang mereka lakukan adalah membunuh dan membunuh. Selain mereka benar-benar buas dan liar, maka dendam di hati mereka membuat mereka semakin tidak terkendali.
Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang yang terlatih baik. Sebagian dari mereka pernah juga mengalami hidup tanpa paugeran. Mereka pernah juga menjadi orang-orang liar seperti lawan-lawan mereka itu. Karena itu, maka mereka mampu memperhitungkan beberapa langkah yang akan diambil oleh orang-orang liar itu.
Namun ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu bertempur dengan kasar dan liar, maka orang-orang Bajra Seta pun telah menjadi semakin keras pula. Mereka memang harus melawan sikap yang keras dengan cara yang keras pula. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Semakin cepat dan semakin keras. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain dalam pertempuran yang demikian.
Namun ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta yang telah mendapat latihan-latihan yang teratur, agaknya mampu berbuat lebih baik. Dalam sikap yang kasar, bekal yang dimiliki oleh orang-orang Bajra Seta ternyata lebih banyak dari lawan-lawan mereka.
Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang sudah kehilangan banyak pengikutnya, sulit untuk mengimbangi orang-orang Bajra Seta yang mampu juga bertempur lebih keras, namun lebih mapan.
Hanya beberapa orang yang ternyata tidak tahan melihat sikap lawan-lawan mereka yang buas dan liar. Yang bertempur sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor dan kasar. Sehingga mereka berusaha untuk menemukan lawan yang lain.
Dalam pada itu, para pemimpin kedua padepokan yang telah menyerang Bajra Seta itu pun telah melihat bahwa orang-orangnya telah terdesak. Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Keduanya ingin menuntut balas kematian orang-orang mereka yang telah disergap selagi mereka lengah.
Dengan garang keduanya berloncatan ke sana kemari. Setiap sentuhan tangan mereka akan berarti maut. Kemarahan yang menyesak didalam dada mereka telah tertumpah lewat kemampuan ilmunya. Ternyata mereka sama sekali tidak memilih korban. Siapa pun juga yang ditemuinya di medan telah dihancurkannya. Namun tiba-tiba mereka tertegun. Dua orang anak muda telah dengan tergesa-gesa turun pula diantara mereka yang sedang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Mahisa Murti ternyata telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Manik Wungu, sementara Mahisa Pukat telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Dalam pada itu Mahendra pun telah berada di medan pula untuk mengamati kedua anaknya yang bertempur dengan iblis-iblis dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Namun mau tidak mau, maka ia pun harus pula ikut bertempur. Ia harus melindungi dirinya jika siluman-siluman yang kasar itu telah menyerangnya. Bukan sekedar bermain-main. Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh. Tetapi Mahendra sendiri bukan seorang pembunuh yang garang. Karena itu, maka ia berada di medan sebagaimana orang-orang lain berada di medan itu pula.
Dalam pada itu, pemimpin padepokan Manik Wungu yang bertemu dengan Mahisa Murti telah bertanya, “Kaukah salah seorang dari kedua orang yang mengaku Putut dan memimpin perguruan ini?”
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku adalah Putut Mahisa Murti. Aku adalah satu dari dua orang Putut yang memimpin padepokan ini. Karena itu, maka aku peringatkan agar kau menarik diri dari padepokan ini.”
“Kau jangan mengigau,“ geram pemimpin dari padepokan Manik Wungu itu, “aku datang untuk menghancurkan padepokanmu. Kau telah dengan licik membunuh kawan-kawanku. Satu cara yang tidak akan dilakukan oleh seorang laki-laki.”
“Omong kosong,“ sahut Mahisa Murti, “apakah yang kau lakukan juga pantas dilakukan oleh laki-laki? Kau datang ke padepokanku dengan jumlah orang yang jauh lebih banyak dari orang-orangku. Yang aku lakukan adalah sekedar mengurangi jumlah orang-orangmu sehingga jumlah kita seimbang. Nah, jika jumlah kita sudah seimbang, barulah kita bertempur sebagaimana terjadi sekarang ini. Siapakah yang menang, ia benar-benar menang. Bukan karena jumlah yang banyak.”
“Persetan,“ geram pemimpin padepokan Manik Wungu itu, “kau harus menghargai kebesaran padepokanku.”
“Jika demikian maka kau juga harus menghargai kecerdikan kami menghadapi kalian,“ berkata Mahisa Murti.
“Anak setan,“ geram orang itu.
“Bukankah padepokanmu yang dikenal dengan sarang Siluman ? Agaknya kaulah iblis itu. Bahkan pemimpin dari segala macam iblis,“ berkata Mahisa Murti.
“Aku tidak peduli,“ sahut orang yang selama ini berbangga bahwa padepokannya disebut sarang siluman, “sekarang kau harus mati. Kemudian orang-orangmu pun akan mati. Aku akan membunuh mereka seperti menebas batang ilalang.”
Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Kita telah berhadapan. Marilah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah meloncat menerkam Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti telah bersiap. Karena itu, maka dengan sigapnya ia telah mengelak. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti menyadari bahwa lawannya selama pertempuran itu berlangsung sama sekali tidak mempergunakan senjata. Ia menyusup diantara senjata yang silang menyilang. Ia membunuh orang-orang Bajra Seta yang mengacu-acukan pedangnya. Namun ia hanya dengan tangannya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat menduga, bahwa orang itu memang berilmu tinggi. Ternyata pula bahwa dengan kakinya orang itu bersama seorang kawannya telah memecahkan pintu gerbang padepokannya itu.
Demikianlah maka sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun telah menghadapi lawannya yang tidak bersenjata itu juga tidak dengan senjata. Pertempuran antara kedua orang pemimpin padepokan itu ternyata merupakan pertempuran yang sangat dahsyat.
Di bagian lain Mahisa Pukat telah berhadapan pula dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Seperti pemimpin padepokan Manik Wungu maka pemimpin Randu Papak itu pun belum mempergunakan senjatanya pula untuk membunuh lawan-lawannya. Namun akhirnya ia telah membentur kekuatan Mahisa Pukat. Kekuatan seorang anak muda yang perkasa. Sehingga dengan demikian maka ia pun harus menjadi sangat berhati-hati. Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan ilmunya, maka ia berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan Mahisa Pukat, agar dengan demikian ia mendapat banyak kesempatan untuk menghancurkan para pengikut dari perguruan Bajra Seta.
Tetapi ternyata bahwa tidak mudah bagi pemimpin padepokan Randu Papak itu untuk mengalahkan Mahisa⁰⁰0 Pukat. Setiap ia meningkatkan selapis kemampuannya, maka anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya. Bahkan ternyata bahwa di saat-saat yang paling gawat, anak muda itulah yang lebih banyak menentukan keseimbangan.
“Benar-benar anak iblis,“ geram pemimpin padepokan Randu Papak.
Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ia bahkan telah mempercepat serangannya sehingga lawannya justru semakin terdesak. Tangannya yang berputaran telah membingungkan lawannya. Serangannya seolah-olah datang dari beberapa arah mematuk dengan garang.
Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain dari pemimpin padepokan Randu Papak itu daripada mempergunakan puncak dari ilmunya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakannya jika ia tidak merasa memerlukan sekali karena ia telah terlibat kedalam kesulitan. Ilmu yang sangat nggegirisi itu memang tidak dapat dipergunakan sekehendak hati.
Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus memperhitungkan setiap kemungkinan didalam dirinya. Jika ia terlalu sering melepaskan ilmu puncaknya, maka wadagnyalah yang akan cepat menjadi aus, sehingga pada suatu saat, wadagnyalah yang tidak akan mampu lagi mendukung kemampuan ilmunya itu. Ketika ia merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya yang masih muda itu dengan ilmu-ilmunya yang lain, maka ia pun telah merambah ke ilmu puncaknya itu.
Mahisa Pukat yang sedang bertempur itu tidak segera menyadari niat lawannya. Namun ketika dalam saat-saat yang mendesak, lawannya itu meloncat mengambil jarak, maka Mahisa Pukat pun seakan-akan mendapat isyarat bahwa lawannya akan melepaskan ilmunya yang paling tinggi. Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa menyerangnya. Ia pun telah mempersiapkan dirinya pula dan mulai merambah kedalam lindungan kemampuan ilmu-ilmunya.
Namun Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Meskipun ia telah bersiap dengan segenap kemampuan puncaknya, tetapi ia tidak mau menjadi lengah karenanya. Menurut petunjuk ayahnya dan orang-orang tua yang pernah berhubungan dengan dirinya, maka seseorang tidak boleh merendahkan orang lain dan terlalu yakin akan kebesaran dirinya, sehingga menjadi sombong karenanya.
Sejenak kemudian, orang-orang yang telah berada didalam puncak ilmu masing-masing itu, telah bersiap kembali untuk bertempur antara hidup dan mati. Mahisa Pukat yang masih muda itu telah bergerak mendekati lawannya yang memandanginya dengan tajam. Namun lawannya itu pun menyadari, bahwa anak muda yang mengaku sebagai pemimpin perguruan Bajra Seta itu telah pula mempersiapkan ilmu puncaknya.
Masing-masing yang telah sampai ke ilmu puncak itu masih tetap berhati-hati. Namun pertempuran yang terjadi kemudian terasa menjadi lebih berat. Pemimpin perguruan Randu Papak itu seakan-akan tidak lagi bergerak diatas tanah. Kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah ketika ia berloncatan mengelilingi Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak terpancing dengan gerak yang terlampau cepat itu. Ia justru berusaha untuk tetap berada di tempatnya. Sekali-kali saja ia berputar ke arah lawannya bergerak. Sehingga setiap saat Mahisa Pukat itu tetap menghadap ke arah pemimpin padepokan Randu Papak.
Betapapun cepatnya lawannya bergerak, namun Mahisa Pukat tetap menghadap kemarahnya. Namun kekuatan ilmu puncak lawannya itu pun mulai terasa oleh Mahisa Pukat. Ternyata tangan lawannya itu seakan-akan mampu memuntahkan dorongan angin yang kuat sekali.
Dalam pukulan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya, maka kekuatan yang sangat besar telah melanda tubuh anak muda itu. Mahisa Pukat seakan-akan telah diguncang oleh kekuatan angin yang sangat besar sebagaimana prahara mengguncang pepohonan raksasa di hutan-hutan yang pepat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun harus mengerahkan kekuatannya untuk bertahan, agar ia tidak terlempar dari tempatnya berdiri.
Namun setiap kali lawannya meloncat maju, merendah sambil menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah tergeser. Kekuatan angin yang sangat besar terasa sulit ditahannya. Namun sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Mahisa Pukat tidak terangkat dan terlempar jatuh terlentang diatas tanah.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu menjadi heran, bahwa anak muda itu mampu bertahan. Namun ia tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga ia dapat tetap berdiri di tempatnya ketika kekuatan prahara itu mendorongnya. Kakinya yang mampu tetap tegak diatas tanah itu bagaikan telah menghisap kekuatan bumi yang dilekatinya, sehingga kaki Mahisa Pukat seakan-akan memang melekat pada tanah tempat ia berpijak.
Tetapi jika serangan itu datang beruntun, maka Mahisa Pukat memang telah tergetar dan bergeser dari tempatnya. Betapapun kuat kakinya, namun kekuatan ilmu prahara itu benar-benar mendebarkan. Namun lawannya justru menjadi gelisah. Jika ia tidak mampu melemparkan dan membanting lawannya, maka ilmu itu tidak akan banyak berarti. Menurut pengalamannya, tidak ada orang yang mampu bertahan sebagaimana anak muda itu.
Tetapi ketika sekali Mahisa Pukat tergeser oleh desakan angin prahara yang terlontar dari kekuatan ilmunya, maka ia telah berpengharapan bahwa ia akan dapat melemparkannya lebih jauh lagi. Sebenarnyalah bahwa dengan mengerahkan kekuatan ilmunya, maka pemimpin padepokan Randu Papak itu benar-benar mampu mengguncang pertahanan Mahisa Pukat.
Dengan hembusan badai yang keras, Mahisa Pukat yang tergetar itu telah berusaha untuk tidak terlempar. Namun dengan tiba-tiba saja badai itu lenyap. Tetapi sebelum Mahisa Pukat mampu berbuat sesuatu, maka serangan yang dahsyat telah melanda Mahisa Pukat. Bukan sekedar serangan badai yang terlontar dari ilmu pemimpin padepokan Randu Papak. Tetapi dengan telapak tangannya, orang itu telah menghantam tubuh Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat yang masih saja berusaha untuk bertahan dari dorongan angin yang keras, terkejut mengalami serangan yang lain, sehingga ia telah terlambat menghindar. Bahkan usaha untuk menangkis serangan itu pun telah gagal. Dengan memutar tangannya, lawannya berhasil menyusup di sela-sela pertahanan Mahisa Pukat. Telapak tangan orang itu benar-benar telah mengenai dada anak muda itu.
Terasa dada Mahisa Pukat bagaikan terhimpit batu padas yang runtuh dari tebing pegunungan. Nafasnya terasa sesak. Sementara itu ia telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan untuk menghindari serangan berikutnya yang menerkamnya, maka Mahisa Pukat justru telah menjatuhkan dirinya, berguling dan berusaha untuk berdiri tegak.
Namun demikian ia tegak, maka serangan badai itu pun telah datang lagi menghembusnya dengan kekuatan raksasa. Justru pada saat Mahisa Pukat belum tegak benar, maka ia pun telah terdorong dan terlempar jatuh. Terdengar orang itu tertawa. Sekali ia berhasil menjatuhkannya, maka ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertempuran itu.
Mahisa Pukat memang berguling beberapa kali. Ia sadar, bahwa jika ia meloncat berdiri, maka orang itu tentu akan menyerangnya dengan serta merta. Apakah dengan ilmunya atau dengan tangan dan kakinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi semakin berhati-hati. Ia telah berguling beberapa kali untuk menunda saat-saat yang ditunggu oleh lawannya. Namun kemudian dengan tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah melenting berdiri.
Tetapi ia tidak mau sekedar menjadi sasaran. Ia telah mempersiapkan ilmunya pula, justru pada saat-saat ia berguling. Demikian ia meloncat berdiri, maka dalam waktu sekejap ia telah bersiap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat itu.
Lawannya yang memang menunggunya, semula mengumpat kasar justru karena Mahisa Pukat tidak segera melenting berdiri. Namun justru ketika Mahisa Pukat benar-benar berdiri tegak, maka ia telah bersiap untuk melontarkan kekuatan praharanya untuk melemparkan dan membanting jatuh sasarannya.
Namun ketika pemimpin padepokan Randu Papak itu menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah menghentakkan tangannya pula. Satu benturan ilmu telah terjadi. Dorongan prahara yang berhembus deras ke arah Mahisa Pukat telah membentur kekuatan ilmu anak muda itu.
Ternyata ilmu Mahisa Pukat telah mengejutkan lawannya. Anak yang masih muda dan mengaku sebagai seorang Putut dari padepokan Bajra Seta itu telah mampu melontarkan kekuatan ilmu yang luar biasa. Ternyata bahwa dorongan angin yang dilontarkan dengan alas ilmu pemimpin padepokan Randu Papak tidak mampu mengatasi kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Pukat. Bahkan terasa oleh pemimpin padepokan Randu Papak itu, kekuatan ilmu Mahisa Pukat telah menyusup menembus ilmunya dalam benturan yang dahsyat, sehingga udara terasa menjadi panas.
“Gila,“ geram pemimpin padepokan Randu Papak, “iblis kecil ini ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.”
Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu masih belum yakin, bahwa ilmunya tidak mampu mendesak dan memecahkan kemampuan ilmu lawannya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Dengan serta merta ia pun telah berlutut diatas satu lututnya. Kedua tangannya dengan hentakkan yang keras telah terjulur ke depan dengan telapak tangan menghadap ke arah Mahisa Pukat.
Tetapi pada saat yang sama Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula. Melontarkan kekuatan ilmunya. Justru dengan kekuatan yang lebih besar. Ketika kedua ilmu itu berbenturan, sekali lagi terasa kelebihan ilmu Mahisa Pukat. Udara yang panas telah menyusup di antara letupan benturan yang terjadi. Justru lebih panas dari yang pertama.
Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus bergeser surut ketika udara panas itu menjamah tubuhnya. Mahisa Pukat yang menyaksikan akibat benturan itu dapat menilai kekuatan ilmunya yang melampaui kekuatan ilmu lawannya. Karena itu, maka ia pun telah bersiap untuk membentur sekali lagi ilmu lawannya apabila ia melontarkannya.
Tetapi pemimpin padepokan Randu Papak itu tidak lagi melepaskan ilmunya. Ia menganggap bahwa cara yang demikian tidak akan menyelesaikan persoalan. Tetapi ia harus berhati-hati menghadapi ilmu lawannya. Karena itu ia pun dengan hati-hati justru telah melangkah mendekat. Jika lawannya berusaha melepaskan ilmunya, maka ia pun harus melakukannya pula. Apalagi ketika ia sadari, bahwa yang terlontar dari ilmu anak muda itu bukan sekedar dorongan angin yang keras, tetapi justru panasnya api.
Mahisa Pukat menjadi semakin berhati-hati melihat sikap lawannya itu. Sementara pemimpin padepokan Randu Papak itu melangkah semakin dekat. Mahisa Pukat yang ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu tidak segera berbuat sesuatu. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati, karena mungkin lawannya akan mempergunakan ilmunya yang lain untuk mengalahkannya.
Sebenarnyalah bahwa pemimpin perguruan Randu Papak itu tidak lagi ingin menghentakkan ilmunya. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja tangannyalah yang bergerak cepat sekali. Sebuah pisau belati yang kecil meluncur dengan cepat menyambar Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah melenting menghindar. Pisau itu memang tidak mengenainya. Namun cukup memberi waktu kepada lawannya untuk meloncat dan menyerangnya.
Dengan demikian maka keduanya telah bertempur pada jarak jangkau serangan wadag mereka. Keduanya telah berloncatan sambar-menyambar. Namun dengan demikian keduanya tidak mempunyai waktu untuk melepaskan ilmu mereka tanpa mengambil jarak. Sementara itu sulit bagi Mahisa Murti untuk melepaskan diri dari belitan lawannya dan mengambil jarak, karena ketika Mahisa Pukat mencoba melakukannya, maka sebuah pisau belati telah menyambarnya pula, sehingga pertempuran berjarak pendek itu harus terjadi lagi.
Mahisa Pukat pun akhirnya tidak berniat lagi mengambil jarak dan mencoba melepaskan ilmunya. Dilayaninya lawannya bertempur sebagaimana dikehendaki. Apalagi Mahisa Pukat yakin, bahwa orang-orangnya akan segera berhasil menyapu lawan-lawan mereka sehingga ia sama sekali tidak tergesa-gesa. Namun Mahisa Pukat memang harus berhati-hati. Ia tidak dapat menebak apalagi yang akan dilakukan oleh lawannya itu. Pisau, angin prahara, kecepatan gerak dan tenaga yang kuat seperti kerbau.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin padepokan Manik Wungu. Ternyata pemimpin padepokan Manik Wungu adalah orang yang berilmu sangat tinggi pula. Dalam benturan-benturan kekuatan terasa bahwa kekuatannya melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan ketika pemimpin padepokan Manik Wungu itu melihat orang-orangnya dalam kesulitan, maka sebagaimana dilakukan oleh pemimpin padepokan Randu Papak, maka ia pun telah mengambil keputusan untuk dengan cepat menghancurkan lawannya.
Karena itu, maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu-pun segera meningkatkan kemampuannya sampai pada batas tertinggi, sehingga dengan demikian maka ia berharap untuk dapat dengan segera menghancurkan lawannya. Dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti memang terkejut ketika lawannya itu seakan-akan sama sekali tidak merasakan sentuhan serangannya. Ketika ia berhasil menghantam dada lawannya dengan kakinya, lawannya itu memang tergetar surut. Namun seakan-akan ia tidak merasakan benturan itu. Dalam waktu sekejap lawannya itu telah bersiap kembali bahkan menyerangnya.
Ketika beberapa kali hal itu terjadi, maka Mahisa Murti pun mulai menduga bahwa lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga kulitnya tidak akan terluka oleh serangan yang manapun juga. Bahkan kulitnya yang dilapisi ilmu kebal itu akan dapat melindungi bagian dalam tubuhnya dari benturan kekuatan. Dengan demikian maka Mahisa Murti harus berhati-hati. Jika benar lawannya memiliki ilmu kebal, maka ia harus berusaha untuk dapat memecahkannya.
Namun beberapa kali Mahisa Murti benar-benar telah membentur sebuah lapisan kekuatan yang tidak terpecahkan. Sehingga akhirnya ia pun menjadi yakin bahwa lawannya memang memiliki ilmu kebal. Agaknya tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain ilmunya yang jarang ada duanya. Dengan alas kemampuannya yang tinggi, maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Kemudian dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya, maka Mahisa Murti telah melontarkan serangan ke arah lawannya.
Hembusan udara panas serta hentakkan ilmu yang dahsyat telah menerpa pemimpin padepokan Manik Wungu itu. Dengan kekuatan yang besar maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu telah tergetar dan bahkan terlempar selangkah surut. Namun dengan cepat ia melenting dan tegak berdiri. Untuk beberapa saat ia memang terganggu keseimbangannya. Namun dengan cepat pula ia berhasil memperbaiki kedudukannya.
Mahisa Murti benar-benar tergetar melihat kekuatan ilmu kebal lawannya. Kemampuan ilmunya yang dilandasi dengan kekuatan yang sangat besar tidak mampu menembus perisai ilmu kebalnya. Meskipun ia mampu mengguncangnya, namun lawannya itu sama sekali tidak terluka karenanya.
Dalam pada itu, lawannya itu pun tertawa berkepanjangan. Katanya dalam nada tinggi, “Apalagi yang akan kau lakukan anak manis. Kau kira bahwa kau adalah orang yang berilmu paling tinggi di dunia ini, sehingga kau berani mendirikan sebuah perguruan dan mengambil alih padepokan Suriantal dengan semena-mena?”
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Sementara itu lawannya telah berdiri sambil bertolak pinggang menghadapnya.
“Apakah kau berminat untuk mencobanya? Aku tadi memang terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu. Aku kira kau tidak mampu melakukannya. Namun sekarang aku sudah bersiap. Karena itu jangan bermimpi untuk dapat menjatuhkan aku lagi,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu itu.
Mahisa Murti menjadi termangu-mangu. Tetapi ia pun telah mengambil keputusan untuk tidak lagi mempergunakan ilmunya yang mampu melontarkan serangan dari jarak tertentu. Namun ia berniat untuk bertempur dengan membenturkan wadagnya. Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang itu telah berlangsung semakin sengit. Mereka saling berloncatan, menyerang dan menghindar.
Namun betapapun Mahisa Murti bergerak dengan tangkas dan cepat, namun serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menggoyahkan ilmu kebal lawannya, sehingga yang terjadi justru pengerahan tenaga anak muda itu tanpa arti. Bahkan semakin lama tenaganya justru menjadi semakin susut.
Di tempat lain Mahisa Pukat telah bertempur pula melawan pemimpin padepokan Randu Papak. Ternyata anak muda itu harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Sekali-sekali, jika ia dengan ketangkasannya mulai mendesak lawannya, maka dua atau tiga buah pisau-pisau kecil terbang menyergapnya, sehingga ia harus berloncatan menghindar, sehingga kedudukan lawannya menjadi kuat kembali. Bahkan serangannya pun kemudian telah datang beruntun sehingga sekali-sekali Mahisa Pukat tidak mampu menghindar.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Jika orang-orang Bajra Seta mampu mendesak lawannya, maka yang terjadi atas pemimpin-pemimpin mereka agak berbeda. Baik Mahisa Murti yang melawan seorang yang berilmu kebal, mau pun Mahisa Pukat yang bertempur melawan seorang yang mampu bergerak sangat cepat, sementara pisau-pisaunya merupakan senjata yang mendebarkan. Namun hampir berbareng pula keduanya telah mengerahkan ilmunya yang lain, yang hampir tidak ada duanya pula.
Mahisa Murti yang bertempur melawan pemimpin padepokan Manik Wungu yang berilmu kebal itu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melampaui kecepatan lawannya. Dengan susah payah Mahisa Murti berusaha untuk tidak dengan langsung dikenai serangan lawannya. Tetapi Mahisa Murti selalu berusaha untuk menangkis serangan-serangan yang datang itu. Ia sangat jarang berusaha menghindarkan diri dari setiap serangan yang dilontarkan oleh lawannya.
Meskipun beberapa kali Mahisa Murti terdorong dan bahkan terlempar jatuh di saat-saat ia menangkis serangan lawannya, namun ia tidak berusaha untuk merubah cara yang sudah dipergunakannya, seolah-olah ia sama sekali tidak mampu mempelajari pengalamannya yang sudah terjadi sebelumnya.
Pertempuran antara Mahisa Pukat dengan pemimpin padepokan Randu Papak pun berlangsung dalam keadaan yang sama. Pertempuran itu berlangsung sebagaimana terjadi sebelumnya. Serang menyerang. Sekali-sekali pisau-pisau kecil meluncur dengan cepat. Namun ternyata pertempuran itu tidak segera dapat diketahui siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah.
Tetapi kedua pemimpin padepokan itu menjadi sangat gelisah ketika orang-orang mereka menjadi semakin terdesak. Ternyata orang-orang Bajra Seta memiliki ilmu yang menggetarkan jantung mereka.
Mahendra yang menyaksikan pertempuran antara kedua anaknya melawan kedua orang pemimpin padepokan itu menjadi berdebar-debar juga. Untuk beberapa lama mereka melihat justru anak-anaknya yang terdesak. Mahisa Murti sama sekali tidak mempunyai kesempatan karena lawannya selalu terlindung dibalik ilmu kebalnya. Sementara Mahisa Pukat beberapa kali harus berloncatan surut untuk menghindari pisau-pisau tajam yang menyambarnya. Namun yang kemudian disusul dengan serangan-serangan wadag yang menggetarkan.
Pertempuran yang demikian itu terjadi beberapa saat lamanya tanpa ada perubahan. Bahkan Mahendra menjadi agak cemas bahwa kedua anaknya memang mengalami kesulitan. Tetapi ketika Mahendra berusaha mendekati arena pertempuran kedua anaknya itu, maka ia pun mulai melihat bahwa satu perubahan telah terjadi. Mahisa Murti yang bertempur dengan lawannya yang berilmu kebal itu, mulai berusaha untuk mendapatkan tempat di arena sehingga ia tidak selalu terdesak surut.
Semakin lama keseimbangan pertempuran itu memang berubah. Jika terjadi benturan-benturan, maka Mahisa Murti justru berusaha untuk memaksakan kekuatan ilmunya menembus ilmu kebal. Mula-mula Mahisa Murti memang tidak pernah berhasil. Ilmu kebal orang itu bagaikan selapis baja yang tebal mengelilingi tubuhnya sehingga setiap serangan Mahisa Murti tidak berarti sama sekali. Namun semakin lama, serangan-serangan Mahisa Murti mulai terasa di kulit daging lawannya. Mahisa Murti dan setiap kali membenturkan kekuatannya itu tidak juga menjadi jera meskipun sekali-sekali ia terdorong, terlempar dan terbanting jatuh.
Lawannya mula-mula tidak segera mengerti, apa yang terjadi atas dirinya. Tetapi ia pun kemudian menyadari, bahwa ternyata lawannya mulai mampu menembus perisai ilmu kebalnya. “Bagaimana mungkin,“ desis pemimpin padepokan Manik Wungu itu diluar sadarnya.
Namun sebenarnyalah. Ketika benturan-benturan itu terjadi lagi, maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu mulai merasa kulitnya menjadi sakit. Bahkan perasaan sakit itu justru serasa merasuk sampai ke tulang sungsum.
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu mulai menjadi gelisah. Jika semula ia memastikan akan dapat membunuh lawannya yang masih muda itu dan kemudian bertempur diantara orang-orangnya untuk melepaskan dendam dan kemarahannya, serta membunuh setiap orang yang menghadapinya tanpa ampun, maka ia mulai meragukan bahwa niatnya itu akan terjadi. Beberapa kali orang itu mencoba. Namun setiap kali justru lawannya semakin berhasil menusuk tembus ilmu kebalnya yang selama ini dibanggakannya.
“Ilmu iblis manakah yang mampu menembus ilmu kebalku,“ geram orang itu.
Dalam pada itu Mahisa Murti memang selalu berusaha untuk menyentuh tubuh lawan. Dalam benturan yang keras, yang dapat membantingnya jatuh, atau sentuhan-sentuhan lembut sekedar menyinggung kulitnya. Namun pada serangan-serangan balasannya, anak muda itu benar-benar telah berhasil menguak ilmu kebal lawannya. Bahkan bukan saja ilmu kebalnya, namun pukulan-pukulan Mahisa Murti kemudian terasa menjadi semakin berlipat-lipat kuat dan kerasnya.
Dengan demikian maka pada benturan-benturan yang kemudian terjadi, bukan Mahisa Murti lah yang terdorong surut atau terlempar jatuh. Tetapi pemimpin padepokan Manik Wungu itulah yang kemudian terbanting jatuh. Kulitnya bagaikan terkoyak dan tulang-tulangnya seakan-akan telah menjadi retak.
“Gila. Apakah yang telah terjadi,“ pemimpin padepokan itu hampir berteriak.
Mahisa Murti sama sekali tidak menjawab. Namun dalam keadaan yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Mahisa Murti benar-benar telah menjadi mapan. Meskipun tubuhnya terasa sakit di setiap sendinya, serta pedih yang menyengat, namun ia mulai yakin bahwa kemenangan akan dapat direbutnya dari lawannya yang berilmu kebal itu. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah. Kemungkinan lain masih dapat saja terjadi.
Sementara itu Mahisa Pukat yang bertempur melawan pemimpin dari padepokan Randu Papak pun telah mulai mendesak lawannya pula. Lawannya yang mampu bergerak cepat dan sekali-sekali melontarkan pisau-pisau kecilnya itu rasa-rasanya telah kehilangan kesempatan. Tetapi benturan ilmu dan sentuhan-sentuhan yang terjadi antara Mahisa Pukat dan lawannya ternyata lebih jarang dari Mahisa Murti, karena lawannya kadang-kadang justru mengambil jarak untuk melontarkan pisaunya.
Meskipun demikian, namun akhirnya lawannya itu pun merasa heran, bahwa ia tidak mampu mempertahankan kekuatan dan kemampuannya lebih lama lagi. Ia sadar, bahwa seseorang yang menjadi letih, tenaganya memang akan menyusut. Tetapi tentu tidak akan secepat yang dialaminya itu. Beberapa kali ia mencoba menghentakkan kekuatan dan kemampuannya untuk menghancurkan lawannya yang muda itu. Tetapi semakin sering terjadi benturan dan sentuhan dengan lawannya itu, maka rasa-rasanya tubuhnya memang menjadi semakin lemah.
Dalam kebingungan itu, maka lawan Mahisa Pukat itu telah berusaha untuk dengan segera mengakhiri pertempuran. Meskipun ia sadar bahwa kekuatan ilmu lawannya yang masih muda itu akan mampu mengimbangi ilmu praharanya, namun ia masih ingin membuktikan bahwa ia masih mempunyai kekuatan puncaknya untuk melawannya. Karena itu, maka pada satu kesempatan, lawan Mahisa Pukat itu telah mengambil jarak.
Mahisa Pukat tidak memburunya. Namun ia sadar, bahwa lawannya tentu akan mengulangi serangannya dengan ilmu puncaknya. Dorongan angin prahara. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan ilmunya pula. Ia meyakini bahwa ilmunya akan dapat mengimbangi angin prahara yang dapat dilontarkan oleh lawannya itu.
Karena itu, demikian lawannya menghentakkan ilmunya sambil berlutut dengan sebelah lututnya dan menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arahnya, maka Mahisa Pukat pun telah melepaskan ilmunya pula. Ilmu yang mampu melontarkan kekuatan yang luar biasa besarnya disertai dengan udara panas membara.
Kedua ilmu itu saling berbenturan. Namun Mahisa Pukat sendiri terkejut akan akibatnya. Ternyata bahwa yang terjadi sama sekali berbeda dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Kedua kekuatan itu memang berbenturan. Tetapi dengan keseimbangan yang jauh berbeda.
Ilmu yang terlontar dari tangan pemimpin Randu Papak itu sama sekali tidak sepadan dengan ilmu yang telah dilontarkan oleh Mahisa Pukat. Jika semula kedua ilmu berbenturan dalam keadaan yang hampir seimbang, maka yang terjadi kemudian sama sekali jauh berbeda. Kekuatan ilmu pemimpin padepokan Randu Papak itu hampir tidak berarti sama sekali. Sehingga dengan demikian maka kekuatan ilmu Mahisa Pukat sama sekali tidak terhambat.
Ilmu yang dahsyat itu langsung meluncur menghantam tubuh pemimpin padepokan Randu Papak itu, hampir tanpa hambatan. Karena itu, maka tubuh itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bagaikan melayang dan jatuh terbanting di tanah. Sementara itu, panasnya bara api bagaikan telah menghanguskan jantung di dalam dadanya. Pemimpin padepokan Randu Papak itu menggeliat. Terdengar ia berdesis tertahan. Namun sejenak kemudian ia pun telah terdiam.
Mahisa Pukat melangkah dengan ragu-ragu mendekat. Namun ia pun kemudian telah yakin bahwa lawannya itu telah terbunuh di luar kehendaknya. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia tidak menyangka, bahwa kekuatan ilmu lawannya sama sekali tidak berarti lagi.
Mahisa Pukat memang telah mempergunakan ilmunya yang jarang ada duanya. Dalam setiap sentuhan, maka ia telah menyusupkan getaran yang mampu memperlemah kekuatan ilmu lawannya itu, atau bahkan seakan-akan telah menghisapnya. Namun Mahisa Pukat sendiri tidak menyangka bahwa ilmu lawannya, pemimpin Padepokan Randu Papak itu, seakan-akan telah habis terhisap. Karena itu, maka perlawanannya atas ilmunya sama sekali tidak berarti dan tidak memberikan perlindungan pada tubuhnya yang kemudian terkapar di tanah.
Orang-orang Bajra Seta yang sempat menyaksikan kekalahan pemimpin padepokan Randu Papak itu telah bersorak kegirangan. Dengan demikian maka mereka pun bertempur semakin seru. Mereka tidak lagi dapat dipengaruhi oleh sikap keras, kasar dan liar dari lawan-lawannya yang berasal dari sarang siluman itu.
Sementara itu, orang-orang dari Padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu pun telah menjadi semakin gelisah menghadapi kenyataan itu. Bahkan mereka telah menunjukkan gejala keputus-asaan. Namun justru keputus-asaan itu merupakan langkah-langkah yang sangat berbahaya. Orang-orang dari kedua padepokan itu bagaikan menjadi gila. Mereka tidak lagi mempunyai pikiran lain daripada mati, sementara sifat dan watak mereka yang benar-benar bagaikan siluman itu telah tertuang sampai tuntas.
Orang-orang Bajra Seta kadang-kadang memang menjadi ngeri melihat sikap lawan-lawan mereka. Bukan saja tingkah laku yang buas dan liar, yang kadang-kadang di luar perikemanusiaan dan tatanan peradaban, tetapi juga kata-kata yang kotor dan liar yang mereka teriakkan tanpa segan.
Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang yang terlatih. Mereka sudah mendapat tempaan lahir dan batin. Dengan demikian mereka berusaha untuk mengatasi keadaan tanpa kehilangan nalar. Sehingga dengan demikian mereka tidak justru digulung oleh keadaan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah hampir menyelesaikan pertempuran. Lawannya benar-benar sudah tidak lagi memiliki pertahanan dengan ilmu kebalnya. Setiap terjadi benturan, maka lawan Mahisa Murti itulah yang kemudian menyeringai menahan sakit.
Dengan demikian, maka lawan Mahisa Murti itu tidak lagi mampu menahan serangan-serangan anak muda yang luar biasa itu. Dalam keadaan yang paling gawat itu, maka ia menyadari, bahwa lawannya tentu memiliki ilmu yang mampu meluluhkan kekuatan ilmu lawannya.
Dengan nada gemetar oleh kemarahan dan dendam, pemimpin padepokan Manik Wungu itu pun telah berteriak, “Kau pengecut anak muda. Aku tidak mengira bahwa seorang yang perkasa dan masih semuda umurmu telah berlaku licik dan curang.”
“Apa yang aku lakukan?“ bertanya Mahisa Murti.
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu menggeram. Dengan nada kasar ia berkata, “Kau curi ilmu dan kemampuanku. Kau tidak berani bertempur beradu dada.”
“Apakah hal itu merupakan kecurangan?“ bertanya Mahisa Murti.
“Sebagaimana kau menyerang kami di malam hari. Kau tidak berani bertempur beradu dada. Setelah kau menyerang dengan diam-diam di malam hari, sekarang kau curi ilmuku dengan licik,“ geram pemimpin padepokan Manik Wungu itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Kau pergunakan ilmu kebalmu. Itu juga satu cara yang licik. Kau bersembunyi di balik tirai ilmumu. Kenapa hal itu kau lakukan?”
“Omong kosong,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu itu, “dengan ilmu kebalku aku bertempur dengan dada tengadah.”
“Apakah aku tidak berbuat demikian?“ bertanya Mahisa Murti, “aku bertempur dengan dada tengadah pula.”
“Tidak. Kau pengecut. Sebagaimana kau lakukan semalam,“ jawab Pemimpin padepokan Manik Wungu.
“Jika demikian penilaianmu tentang kelicikan, kecurangan dan sifat-sifat pengecut agak berbeda dengan penilaianku. Yang aku lakukan adalah justru satu kemampuan yang sangat tinggi untuk memperhitungkan keadaan medan dan mengambil keuntungan daripadanya,“ berkata Mahisa Murti, “jika demikian, maka katakan apa saja tentang kami, aku tidak berkeberatan. Namun sekarang yang pasti, kau tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi.”
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya bergerak, cepat sekali. Mahisa Murti tidak begitu tertarik perhatiannya atas lawannya yang memasukkan tangannya ke dalam sebuah kantong. Namun ternyata kemudian bahwa lawan Mahisa Murti itu telah mengambil sesuatu dari dalamnya dan melemparkannya ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti melihat gerak itu. Ia pun kemudian melihat sesuatu terbang ke arahnya. Dengan sigapnya maka tangannya telah menepis benda yang dilemparkan oleh lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti terkejut. Ternyata seekor ular yang hanya sebesar jari-jarinya telah melekat ditangannya. Benda yang dilemparkan itu ternyata adalah seekor ular.
Sejenak kemudian telah terdengar suara tertawa lawannya. Dengan bertolak pinggang ia berkata, “Nah, anak muda. Ular itu memang terlalu kecil. Tetapi bisanya jauh lebih tajam dari bisa ular yang mana pun juga. Karena itu, betapapun kebanggaanmu atas ilmumu yang licik itu, namun kau akan segera mati.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Ular yang menggigit tangannya itu masih saja melekat. Seakan-akan tidak akan pernah dapat dilepaskannya.
“Pandanglah lama-lama,“ berkata lawannya, “sebentar lagi matamu akan menjadi kabur. Dan kau akan jatuh tersungkur di tanah.”
Mahisa Murti sempat memperhatikan ular yang melekat di tangannya. Namun pada wajahnya sama sekali tidak nampak kecemasan, bahwa bisa ular itu akan membunuhnya. Meskipun gigitan itu terasa pedih, namun Mahisa Murti berhasil mengatasi rasa sakitnya itu.
Lawannya memang menjadi heran melihat sikap Mahisa Murti itu. Karena itu sekali lagi ia mencoba mempengaruhi perasaannya, “Anak muda. Kau kira ular itu hanya semacam ular sihir yang tidak mampu membunuhmu. Ular itu benar-benar ular berbisa. Ular itu benar-benar ada sebagaimana kau lihat. Bukan sekedar ujud semu yang akan hilang dengan sendirinya.”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Aku tidak mengatakan bahwa ular itu sekedar ujud semu. Tetapi aku tidak yakin bahwa ularmu itu cukup berbisa bagi seseorang.”
“Kau boleh membuktikannya,“ berkata orang itu, “sebentar lagi kau akan mati.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun dengan tangannya yang lain, Mahisa Murti tiba-tiba saja telah memijit kepala ular yang tidak terlalu besar itu. Ternyata bahwa dengan mudah Mahisa Murti telah membunuhnya, sehingga gigitannya terlepas dari tangannya. “Ularmu mati Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti.
“Tidak ada bedanya,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu, “bisa ular itu sudah menusuk ke dalam urat darahmu.”
Tetapi Mahisa Murti tersenyum. Sambil melemparkan bangkai ular itu ia berkata, “Bisa ularmu memang sudah masuk ke dalam aliran darahku. Tetapi sayang, ular jenis itu tidak berbahaya sama sekali. Ular yang berkepala merah adalah ular yang jinak dan tidak menyakiti.”
“Bohong,“ teriak pemimpin padepokan Manik Wungu, “ular itu ular Pudak Grama. Ular yang memiliki bisa sangat tajam meskipun tidak setajam ular bandotan.”
“Kenapa kau tidak mempergunakan ular bandotan saja, atau ular gadung yang berwarna hijau. Bahkan ular weling yang loreng-loreng mempunyai racun yang dengan cepat dapat membunuh,“ berkata Mahisa Murti.
“Gila,“ geram orang itu, “ular Pudak Grama mempunyai kekuatan racun melampaui ular gadung. Ular hijau itu mampu membunuh korbannya. Apalagi ular berkepala merah."
“Tetapi ularmu ternyata berbaik hati terhadapku. Ia tidak akan membunuhku,“ sahut Mahisa Murti.
“Anak iblis. Kau mempunyai ilmu kebal terhadap bisa he?“ orang itu hampir berteriak.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Wajah orang yang telah gagal membunuh Mahisa Murti dengan bisa ular itu menjadi semakin marah. Ia tidak ingat lagi akan keadaannya, sehingga dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti.
Mahisa Murti mengerti, bahwa orang itu sudah tidak lagi memiliki kekuatan ilmu yang berbahaya. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak lagi terlalu mencemaskan serangan itu. Namun Mahisa Murti terkejut juga ketika tiba-tiba saja orang itu telah menggenggam sebilah keris kecil ditangannya. Patrem.
Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka orang itu telah menusukkan patremnya ke dada Mahisa Murti. Mahisa Murti yang tidak menduga sebelumnya, telah bergeser selangkah. Namun demikian lawannya itu bergerak mengayunkan patremnya, maka Mahisa Murti telah mendorongnya ke samping.
Ternyata bahwa tenaga dorong Mahisa Murti atas orang yang telah kehilangan kekuatannya itu mempunyai akibat yang parah. Pemimpin padepokan Manik Wungu itu ternyata telah terlempar dan terbanting jatuh. Diluar dugaan Mahisa Murti, maka tenaganya terlalu besar sehingga pemimpin padepokan Manik Wungu yang sudah tidak berdaya itu sama sekali tidak mampu menahan dirinya sehingga telah membentur dinding barak di padepokan Bajra Seta.
Benturan itu sendiri tidak terlalu keras. Tetapi Mahisa Murti menjadi heran, bahwa orang itu kemudian tidak lagi bangkit berdiri. Sekali ia menggeliat, namun kemudian bahkan ia telah tertelungkup. Mahisa Murti perlahan-lahan mendekatinya. Ketika lawannya itu tidak bergerak untuk beberapa lama, maka Mahisa Murti pun telah berjongkok di sampingnya. Namun ia tetap memperhitungkan kemungkinan lawannya itu dengan tiba-tiba telah mengayunkan patremnya itu. Tetapi ternyata lawannya itu tetap tinggal diam. Bahkan ketika Mahisa Murti menyentuhnya, orang itu sama sekali tidak bergerak.
Baru kemudian, ketika Mahisa Murti memutar tubuh orang itu, barulah ia mengetahui. Ketika benturan yang tidak terlalu keras itu terjadi, maka patrem itu telah dengan tidak sengaja menusuk ke dadanya sendiri, sehingga orang itu telah menjadi lemah itu tidak mampu mengatasi kesulitan itu. Daya tahannya sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri dari keadaannya, sehingga pemimpin padepokan Manik Wungu itu telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan sekali. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu keadaan menjadi semakin buruk bagi orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak.
Tetapi orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu benar-benar bagaikan siluman. Dengan kasar, liar dan buas mereka telah menjadi bagaikan gila. Karena keputus-asaan maka mereka justru menjadi semakin mengerikan, sehingga yang mereka lakukan sudah tidak lagi berada di dalam lingkaran peradaban. Namun demikian, mereka memang sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Bagaimanapun juga, namun akhirnya mereka benar-benar telah dikuasai oleh orang-orang Bajra Seta.
Meskipun demikian, ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta tidak mampu menundukkan kekerasan hati mereka. Tidak seorang pun diantara mereka yang membiarkan dirinya tertawan. Mereka telah bertempur benar-benar sampai mati jika mereka tidak berhasil melarikan diri. Dengan demikian, maka orang-orang Bajra Seta telah gagal menawan orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak. Bahkan orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu pun tidak seorang pun yang menyerah. Mereka bertempur sampai kesempatan terakhir, atau berhasil melarikan diri.
Tetapi ternyata ada juga satu dua orang yang dalam keadaan luka parah. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk membunuh diri. Mereka sama sekali sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali untuk melakukannya. Namun agaknya ada juga diantara mereka yang dalam keadaan terluka parah masih sempat memungut butir-butir yang berwarna kehitam-hitaman dari dalam kantung ikat pinggang mereka. Tanpa ragu-ragu mereka telah menelan butir-butir hitam itu.
Hanya dalam beberapa hitungan, orang itu menjadi kejang dan kemudian mati membeku. Ternyata mereka telah menelan butir-butir racun yang memang sudah mereka persiapkan. Racun yang dapat mereka pergunakan untuk membunuh diri, tetapi juga dapat juga membunuh orang lain dengan memaksa menelan butir-butir yang berwarna gelap itu.
Beberapa lama pertempuran masih terjadi di sana-sini. Tetapi pertempuran itu pun segera berakhir. Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah terkapar berserakan. Namun masih juga ada satu dua diantara mereka yang masih hidup. Namun sudah sangat tidak berdaya. Mereka sudah tidak mampu menggerakkan tangan mereka untuk memungut racun yang tersimpan di dalam ikat pinggang mereka untuk membunuh diri.
Dalam pada itu, kengerian yang sangat telah terjadi. Betapapun tabahnya orang-orang Bajra Seta, namun menyaksikan akhir dari pertempuran itu, rasa-rasanya jantung mereka pun berdegup semakin keras. Mayat yang terbujur lintang terkapar di halaman padepokan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata telah menjadi sangat berdebar-debar menyaksikan apa yang telah terjadi.
Bahkan diluar sadar, Mahisa Pukat pun berdesis, “Jika kedua padepokan itu disebut sarang siluman, agaknya memang tidak salah. Orang-orang yang berada di padepokan itu benar-benar berwatak siluman.”
Dengan jantung yang berdegupan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan orang-orangnya yang utuh dan tidak terluka sama sekali untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah sehingga tidak mampu lagi keluar dari timbunan tubuh yang berserakan.
Namun mereka harus juga mengumpulkan lawan mereka yang sudah terbunuh pula. Namun yang ternyata masih juga ada satu dua diantara mereka itu hidup betapapun lemahnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan kepada orang-orang Bajra Seta untuk berusaha merawat mereka sehingga mereka tidak terlanjur mati.
Tetapi seperti kawan-kawannya, maka mereka telah memilih mati daripada menjadi tawanan. Namun mereka tidak segera mendapat kesempatan untuk membunuh diri. Orang-orang Bajra Seta telah mengawasi mereka sebaik-baiknya, agar mereka tidak sempat mendapatkan alat apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk membunuh diri mereka sendiri. Yang mula-mula dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta adalah mengambil ikat pinggang dari orang-orang yang terluka berat itu, agar mereka tidak sempat mengambil racun dan membunuh diri dengan racun itu.
Tetapi tanpa racun itu ada juga diantara mereka yang berhasil membunuh diri. Mereka sama sekali tidak menghiraukan darah mereka yang mengalir dari setiap luka yang tergores di tubuh orang-orang itu, sehingga mereka akan menjadi lemas dan mati karena kehabisan darah. Bahkan dalam keadaan yang demikian, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu masih juga merasa bangga akan gelar bagi padepokan mereka sebagai sarang siluman.
Namun dalam pada itu, ada juga diantara orang-orang yang melarikan diri itu saling bertemu. Tetapi mereka sudah tidak berani lagi menyebut-nyebut nama dari padepokan dan perguruan yang baru itu. Mereka benar-benar telah berupaya untuk lari asal saja semakin jauh dari padepokan Bajra Seta itu.
Dalam pada itu betapapun besar dendam dan kemarahan oleh kegagalan itu, namun justru mereka menjadi merasa senasib sepenanggunggan. Tanpa berani mengganggu padepokan yang menjadi sasaran perampasan mereka, maka sisa-sisa kedua padepokan itu telah meninggalkan medan tanpa perhitungan untuk kembali lagi.
Selain menurut pengamatan mereka orang-orang Bajra Seta pada umumnya mempunyai cara pertahanan yang sangat rapi, ternyata bahwa kebesaran tekad orang-orang dari kedua padepokan itu telah kehilangan warna. Mereka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak, tidak akan dapat lagi berbangga, bahwa mereka berasal dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Dengan lesu orang-orang itu berjalan kembali ke padepokan masing-masing. Namun hanya sebagian kecil sajalah diantara mereka yang berhasil melarikan diri dari medan. Di perjalanan di saat mereka berangkat kawan-kawan mereka telah terbunuh oleh sekelompok orang-orang Bajra Seta yang menyergap ketika mereka baru lengah.
Hal itu diulangi lagi justru setelah mereka berada di hidung padepokan yang akan mereka rebut. Bahkan jauh lebih parah lagi. Selanjutnya dalam pertempuran yang berlangsung kurang seimbang, kedua pemimpin dari kedua padepokan Manik Wungu dan Randu Papak telah terbunuh oleh anak-anak muda yang menyebut diri mereka Putut dan memimpin padepokan Bajra Seta itu.
Diantara mereka yang sempat melarikan diri adalah seorang yang bersenjatakan tongkat dan mengaku orang Suriantal. Betapa menyesalnya orang itu, bahwa ia telah meninggalkan Suriantal yang dianggapnya telah hancur. Justru kehadiran orang-orang dari padepokan lain, betapapun disebut satu kerja sama diantara mereka, namun Suriantal hampir telah lenyap sama sekali.
Namun ternyata bahwa saudara-saudaranya yang berasal dari perguruan Suriantal telah berhasil membentuk satu kesatuan yang bulat, bukan saja pada sikap lahiriah, tetapi juga sikap batin mereka dengan orang-orang yang semula tidak berasal dari perguruan Suriantal. Perguruan yang sudah terkoyak-koyak dan hampir lebur ke dalam satu campur aduk yang keruh, ternyata oleh tangan yang trampil dan berkemampuan tinggi telah berhasil disusun menjadi satu perguruan yang utuh.
Sementara itu, orang-orang Bajra Seta benar-benar sibuk dengan mayat dan orang-orang yang terluka. Pertempuran yang baru saja terjadi benar-benar satu pertempuran yang gila. Kasar dan liar. Namun dengan demikian korban dari orang-orang yang menyerang padepokan itu bagaikan tidak dapat dihitung.
Orang-orang Bajra Seta ternyata tidak saja harus menyelenggarakan korban yang jatuh pada saat-saat pertempuran berlangsung di dalam lingkungan padepokan, tetapi mereka pun harus memperhatikan korban yang jatuh sebelumnya, ketika orang-orang Bajra Seta itu menyerang lawannya yang berkemah di seputar padepokan mereka. Di bekas medan yang garang itu terdapat juga beberapa orang Bajra Seta sendiri. Bahkan mungkin mereka masih belum meninggal pada saat pertempuran itu selesai.
Karena itu, orang-orang Bajra Seta dengan tergesa-gesa demikian pertempuran selesai, mengirimkan orang-orangnya untuk menemukan terutama mereka yang mungkin masih hidup dari kedua belah pihak. Yang diketemukan oleh orang-orang Bajra Seta memang menggetarkan jantung mereka. Orang-orang yang satu dua masih hidup agaknya telah menahan penderitaan cukup lama.
Sejak mereka terluka dan terkapar di tanah, mereka telah menahan sakit dan pedih karena luka mereka. Namun tidak seorang-pun yang datang menghampirinya apalagi untuk melolongnya. Karena itu, ketika orang-orang Bajra Seta datang menyentuhnya, maka rasa-rasanya mereka telah tersentuh oleh titik-titik embun di teriknya matahari.
Seorang diantara mereka yang terkapar dengan luka di lambung berdesis, “Air.”
Dengan cepat seseorang telah mengambil air. Mereka sadar, bahwa banyak diantara orang-orang yang terluka itu tentu kehausan. Beberapa orang memang masih dapat diselamatkan. Namun yang lain agaknya telah terlambat mendapat pertolongan. Darah mereka terlalu banyak mengalir, sehingga mereka tidak dapat lagi bertahan untuk hidup.
Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, orang-orang yang mengenal ilmu pengobatan telah bekerja keras untuk menolong mereka. Yang paling parah telah mendapat perawatan lebih dahulu tanpa memperhitungkan apakah mereka lawan atau kawan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak saja sekedar memberikan perintah. Atas petunjuk ayahnya keduanya telah berusaha untuk ikut pula menolong orang-orang yang terluka. Bahkan keduanya telah mempergunakan penawar racun yang mereka miliki untuk mengobati orang-orang yang terkena bisa. Senjata yang dipergunakan di medan perang itu ada diantaranya adalah senjata yang telah diusap dengan warangan yang mempunyai kekuatan racun yang tajam.
Namun dengan kemenangan yang telah dicapai oleh perguruan Bajra Seta yang muda itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi semakin percaya kepada diri sendiri. Beberapa orang petugas sandi yang diperbantukan kepada mereka oleh Akuwu Lemah Warah, ternyata telah mengagumi pula gelora perjuangan di hati orang-orang Bajra Seta.
Bukan saja karena mereka memang memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka yang hanya berbekal kekasaran dan keliaran yang mendebarkan, namun mereka terbiasa pula mempergunakan penalaran mereka di pertempuran. Mereka tidak sekedar bergerak dan bertempur dengan unsur naluri, tetapi mereka yang karena latihan-latihan yang berat dan pengenalan atas berbagai unsur ilmu kanuragan, maka mereka telah membuat perhitungan-perhitungan. Menyesuaikan diri dengan keadaan medan dan mempergunakan kelemahan lawan itu sendiri.
Tetapi di samping kebanggaan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin yakin, bahwa tidak banyak orang yang dengan senang hati menerima kehadiran mereka. Apalagi mereka yang mengetahui bahwa padepokan itu semula adalah padepokan yang disebut Suriantal. Banyak orang yang dengki yang menganggap bahwa orang-orang Bajra Seta telah merebut padepokan itu dengan kekerasan. Bahkan seandainya mereka tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, mereka dengan sengaja melupakannya.
Di hari-hari berikutnya, orang-orang Bajra Seta masih saja dibayangi oleh kekeruhan pertempuran yang telah terjadi. Orang-orang yang terluka parah masih terbaring di barak-barak yang khusus, serta mendapat perawatan yang sungguh-sungguh.
Jauh di pinggir hutan, tiba-tiba saja telah terdapat sebuah kuburan baru yang luas. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah dikuburkan di tempat itu. Terpisah dari kuburan bagi orang-orang Bajra Seta sendiri yang terbunuh.
Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin padepokan dari perguruan Bajra Seta telah memberikan pertimbangan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memperbesar perguruan mereka. Korban yang telah jatuh itu telah membuat orang Bajra Seta yang memang tidak cukup banyak menjadi semakin berkurang.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat pertimbangan lain. Dari Mahendra mereka mendapat petunjuk, bahwa sebenarnya tidak selalu jumlah yang banyak yang berarti kuat. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tetapi jika setiap pribadi mempunyai kemampuan yang tinggi, maka padepokan Bajra Seta akan manjadi kuat.
Karena itu, maka Mahendra telah memberikan petunjuk kepada kedua anaknya, agar ia memilih lima atau enam orang. Mereka harus membuat orang-orang itu berilmu tinggi. Dengan demikian maka mereka akan dapat dihadapkan masing-masing kepada sekelompok lawan pada tataran prajurit kebanyakan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sependapat dengan ayahnya. Karena itu, maka kepada para pemimpin kelompok ia telah mengatakan rencananya, bahwa untuk meningkatkan kekuatan di perguruan Bajra Seta akan diambil kebijaksanaan lain. Tidak menambah jumlah orang, tetapi meningkatkan kemampuan setiap orang di Padepokan itu meskipun masih harus berjenjang dan bertingkat.
Para pemimpin kelompok mencoba untuk memahami keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka pun telah menyaksikan sendiri bahwa kemampuan yang tinggi akan berarti peningkatan kekuatan. Mereka yang melihat bagaimana pemimpin kedua padepokan yang menyerang perguruan mereka tanpa belas kasihan telah membunuh lawan-lawan mereka.
Meskipun mereka hanya dua orang, tetapi yang dua itu ternyata jauh lebih kuat dari beberapa kelompok orang lain. Seandainya tidak ada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki kemampuan melampaui kedua orang itu sehingga berhasil membunuhnya, maka padepokan Bajra Seta tentu akan menjadi karang abang. Tentu tidak ada seorang pun lagi yang akan dapat bertahan hidup. Karena itu, maka peningkatan ilmu seseorang akan sangat berarti bagi perkembangan padepokan itu sendiri.
Namun untuk memilih lima orang diantara orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu bukannya pekerjaan yang mudah bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul setiap saat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus melakukannya. Mereka harus dengan hati-hati memilih para penghuni padepokan Bajra Seta yang mungkin akan dapat ditempa melampaui yang lain.
Mereka tidak saja harus memilih orang-orang yang memiliki tubuh yang sehat, kemauan keras dan kecerdasan otak untuk menangkap semua petunjuk dan tuntunan dalam olah kanuragan, namun mereka harus memilih orang yang memiliki keteguhan hati untuk tetap berjalan di jalan yang baik bagi sesama. Jika orang yang memiliki kemampuan jasmaniah itu justru tidak memiliki keteguhan hati, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi orang lain. Orang-orang yang memiliki kelebihan, namun justru mempergunakan kelebihannya untuk niat yang buruk, maka orang yang demikian akan menjadi orang yang sangat berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa untuk menentukan, siapakah yang akan mereka jadikan murid yang secara khusus untuk mewarisi ilmu yang lebih baik dari orang-orang yang lain. Tetapi beberapa pekan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menemukan orang yang dicarinya. Mereka belum mendapatkan seseorang yang mereka anggap pantas untuk menerima meskipun hanya bagian saja dari kemampuan mereka berdua sebagai anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Orang-orang dari perguruan Bajra Seta pada umumnya justru lebih tua dari mereka berdua. Dalam hidup mereka, orang-orang Bajra Seta itu telah mempunyai berbagai pengalaman. Berbagai warna kehidupan telah ditempuhnya, sehingga yang terakhir, mereka nampaknya sudah menjadi jauh lebih baik dari langkah-langkah kehidupan yang pernah dilakukannya. Namun demikian setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbicara tentang orang-orang itu untuk menentukan siapakah yang akan dapat mereka warisi ilmu, mereka tidak pernah dapat menyebut nama siapa pun juga.
Kepada Mahendra kedua anaknya telah memberitahukan persoalan yang mereka hadapi. Sementara itu Mahendra pun agaknya dapat mengerti. Karena itu, maka katanya, “Kalian tidak usah tergesa-gesa. Yang dapat kalian lakukan, lakukanlah. Untuk sementara kalian tingkatkan saja ilmu para pemimpin kelompok sejauh dapat kalian lakukan. Di samping itu, kalian harus berusaha untuk menemukan jika tidak lima, dua atau tiga atau empat orang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu hingga pada satu saat keduanya menemukan orang-orang yang mereka yakini akan dapat memenuhi harapan mereka. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata belum merasa puas dengan keadaan perguruan mereka. Meskipun para pemimpin kelompok itu mampu juga meningkatkan ilmunya, namun terlalu terbatas. Namun, untuk menetapkan orang-orang yang akan benar-benar mewarisi ilmunya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menemukannya.
Dalam pada itu, sambil meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok dalam batas-batas yang mungkin, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana yang pernah mereka lakukan selama mereka berada di padepokan itu, berhubungan dengan akrab dengan orang-orang padukuhan. Ternyata sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu banyak memberikan manfaat kepada padepokan Bajra Seta.
Selain bahwa perguruan dan padepokan Bajra Seta tidak menjadi terasing, banyak kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dihasilkan sendiri dapat didapatkannya dari padukuhan-padukuhan itu. Sekali dengan saling tukar menukar, namun kadang-kadang Ki Buyut telah memberikan kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengambil saja sebanyak diperlukan. Justru karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sering berada di padukuhan. Bahkan tanpa keperluan apapun, keduanya kadang-kadang berada juga di banjar.
Namun semakin lama hubungan antara perguruan dan padepokan Bajra Seta dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya itu dirasakan masih juga terlalu sempit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terbiasa mengembara rasa-rasanya ingin juga melihat-lihat lingkungan yang jarang ditemuinya. Lingkungan yang tidak pernah dilihatnya dalam kehidupannya sehari-hari.
Tetapi mereka pun menyadari, bahwa dengan kedudukan mereka, maka mereka tidak dapat leluasa untuk meninggalkan perguruan yang telah mereka dirikan. Namun rasa-rasanya ada saja yang menarik mereka untuk melihat-lihat lingkungan yang lain.
“Mumpung ayah masih disini,“ berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah kadang-kadang seorang pemimpin padepokan dapat juga meninggalkan padepokannya?”
Ternyata Mahendra yang mengenal sifat anak-anaknya tidak mencegahnya. Sementara itu, agaknya keadaan sudah menjadi agak tenang. Beberapa padepokan yang agaknya akan membuat persoalan dengan perguruan baru itu sudah dihancurkannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan padepokan mereka. Salah satu dari rencana mereka adalah untuk menemukan orang yang akan dapat mereka pupuk agar dapat menjadi orang yang berilmu tinggi.
Yang mula-mula menjadi tujuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah Pakuwon Sangling. Mereka ingin mendapat petunjuk dari kakak mereka, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Sementara itu mereka benar-benar memerlukan orang-orang yang akan dapat mewarisi ilmu mereka, sekaligus untuk ikut menegakkan padepokan dan perguruan Bajra Seta jika di-satu saat menghadapi bahaya yang sebenarnya.
Kedatangan mereka di Sangling disambut dengan senang hati oleh Akuwu Sangling. Mereka diterima sebagai dua orang saudara muda yang sudah lama tidak bertemu. Sementara itu orang-orang Sangling, terutama para prajurit, menghormati mereka pula, karena para prajurit itu mengerti, bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika malam tiba, sementara mereka berbincang-bincang, maka sampailah pembicaraan mereka kepada usaha Bajra Seta untuk membentuk satu kekuatan yang tidak bersandarkan kepada jumlah orang yang banyak, tetapi kepada kemampuan seseorang.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa yang memberi petunjuk kepadamu tentang hal itu?”
“Ayah,“ jawab Mahisa Murti.
“Ayah masih akan lama di padepokan kalian?“ bertanya Mahisa Bungalan.
Tetapi kedua anak muda itu menggeleng. Mahisa Pukat-pun kemudian menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi sementara ini nampaknya ayah kerasan juga berada di padepokan.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Memang sulit untuk mendapatkan seorang murid yang baik. Kadang-kadang tidak dapat menentukan. Namun pada suatu saat kadang-kadang kita tertarik kepada seseorang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata, “Ayah kita tidak pernah mengangkat seorang murid pun kecuali anak-anaknya sendiri. Namun paman Mahisa Agni tiba-tiba saja memberikan warisan ilmunya kepadaku. Semuanya itu terjadi dengan tiba-tiba saja.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Bungalan berkata selanjutnya, “Tetapi kalian masih terlalu muda untuk membimbing seorang murid.”
“Mungkin kakang. Tetapi perguruan kami sangat membutuhkan, karena aku sependapat dengan ayah. Aku tidak perlu memanggil banyak pengikut dengan segala macam janji. Yang kami perlukan hanya beberapa orang, namun yang akan memiliki ilmu yang tinggi.“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Tetapi seperti yang aku katakan, murid itu tidak akan dapat kau temukan dengan tergesa-gesa. Kau harus telaten menunggu hingga pada satu saat, kau bertemu dengan satu dua orang yang menarik perhatianmu. Tingkah lakunya, kemampuan dasarnya dan sudah tentu sifat dan wataknya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Aku mengerti kakang.”
“Kau sudah menempuh jalan yang benar. Kau memang harus keluar dari padepokanmu untuk menemukan orang yang kau cari. Kau tentu tidak akan menemukannya jika kau hanya melingkar-lingkar di dalam dinding padepokanmu saja,“ berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Seperti dikatakan oleh kakaknya, mereka harus mengarungi lingkungan yang luas untuk dapat menemukan satu dua orang yang dapat mereka pilih untuk mewarisi ilmu mereka. Seperti dikatakan pula oleh kakaknya, bahwa sulit bagi mereka untuk menemukan seseorang yang mungkin dapat mereka warisi ilmu mereka.
“Jika demikian,“ berkata Mahisa Murti, “kami berdua harus melakukan pengembaraan.”
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Kau dapat melakukannya. Tetapi mungkin terjadi pada sebuah perguruan, seseorang datang untuk berguru kepada kalian. Namun dengan demikian sulit bagi kalian untuk mengerti sifat yang sebenarnya dari orang itu. Dihadapan kalian setiap orang yang ingin berguru tentu akan menunjukkan sifat dan watak yang baik dan terpuji. Namun apa yang sebenarnya tersimpan di dalam hati mereka agaknya sulit untuk dijajagi. Karena itu, yang paling baik bagi kalian adalah berusaha menemukan seseorang. Tidak tergesa-gesa dan dengan hati-hati dan kesungguhan untuk memilih diantara banyak orang yang menarik perhatian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang teringat kepada orang-orang yang telah memberikan warisan ilmu kepada mereka. Antara lain adalah Akuwu Lemah Warah. Nampaknya Akuwu Lemah Warah juga sekedar menemukan mereka, memilih diantara orang-orang lain yang pernah diketemukan dan kemudian mewariskan sebagian ilmunya kepada mereka berdua, bahwa dengan petunjuk yang memungkinkan keduanya membuka pintu lebar-lebar untuk mengembangkan ilmunya dengan alas ilmu yang memang telah ada di dalam diri mereka masing-masing.
“Salah satu contoh bagaimana seseorang mendapatkan seorang murid,“ berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Sementara Mahisa Pukat pun mengerti pula bahwa memilih seorang murid hampir tidak ada bedanya dengan memilih wadah untuk menuangkan kepercayaan.
Karena itu, maka kedua anak muda itu telah bertekad bulat untuk melakukan perjalanan. Mereka akan melihat-lihat daerah yang pernah mereka kenal sebelumnya. Mungkin mereka akan menemukan seseorang yang akan dapat menjadi tempat untuk mempertaruhkan kepercayaannya sehingga orang itu akan dapat menerima ilmu yang ada di dalam diri mereka.
“Pergilah,“ berkata Mahisa Bungalan, “tetapi kalian tidak boleh salah pilih sehingga kalian akan menyalurkan ilmu kalian ke dalam arus yang salah, sehingga justru akan menambah keruhnya bumi kelahiran yang sudah terasa keruh ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Doakan kami kakang. Mudah-mudahan kami menemukan apa yang kami cari.”
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tidak terbiasa anak-anak muda berkeliaran mencari murid untuk mewarisi ilmunya. Seharusnya kalian tidak melakukannya sekarang. Biasanya hanya orang-orang tua yang merasa bahwa dalam beberapa tahun lagi umurnya akan berakhir sementara itu masih belum ada orang yang akan mewarisi dan kemudian melestarikan dan mengembangkan ilmunya. Tetapi umur kalian masih sangat muda, sehingga kesempatan kalian masih cukup banyak.”
“Kakang,“ tiba-tiba Mahisa Murti berdesis, “Mungkin orang-orang yang lebih muda akan mendahului yang tua-tua. Tetapi seandainya tidak demikian, kami lakukan hal ini berdasarkan perhitungan ketahanan bagi perguruan dan padepokan kami.”
Mahisa Bungalan masih tertawa. Katanya, “Baiklah. Bukankah ayah juga menganjurkan hal itu kepada kalian? Dengan demikian maka kalian dapat melakukannya karena kalian menghadapi persoalan yang khusus. Namun, sebenarnyalah bahwa biasanya orang yang menyatakan dirinya seorang guru pada sebuah perguruan, memang orang-orang yang sudah berjanggut putih meskipun tubuhnya masih kuat kekar.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa pula. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Kami memang akan cepat menjadi tua. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh ayah, cara ini lebih baik daripada kami memanggil berpuluh-puluh orang yang hanya akan menghabiskan beras kami.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Memang biasanya perguruan dan padepokan yang hitam yang memerlukan banyak orang. Mereka akan dapat berpencar dan mencari harta benda dengan kekerasan sebanyak-banyaknya. Seperti padepokan yang disebut sarang siluman itu. Tetapi perguruan dan padepokanmu memang tidak pantas jika dipenuhi dengan orang-orang yang hanya dapat dengan kasar menakut-nakuti orang.”
“Ya kakang,“ sahut Mahisa Pukat, “untuk sementara kami meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok. Tetapi rasa-rasanya memang kurang memuaskan. Mereka sudah terlalu tua untuk diperlakukan dengan keras, meskipun pada umumnya mereka tidak menolak dan melakukan dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian kau dapat berada di Sangling untuk satu dua hari dalam rangka usahamu mencari bibit sebagaimana kau kehendaki. Tetapi sekali lagi, kalian tidak perlu tergesa-gesa. Jika kalian salah memilih, kalian akan menyesal.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun sekali-sekali mereka tersenyum sendiri jika mereka membayangkan bahwa mereka telah berjanggut putih, dahi yang berkerut dipenuhi garis-garis umur, serta sebutan yang diberikan kepada mereka sebagaimana memanggil orang-orang tua.
Seperti yang diminta oleh kakaknya, Akuwu di Sangling, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meninggalkan Sangling. Mereka berada di Pakuwon itu untuk menemukan orang atau anak muda atau siapa pun yang menarik perhatian mereka dan memenuhi syarat yang mereka tetapkan.
Pada hari-hari selama mereka berada di Pakuwon Sangling, keduanya telah menelusuri jalan-jalan di kota mau pun di padesan di seputar kota. Namun mereka tidak menjumpai apa yang mereka cari. Jika mereka melihat sekelompok remaja berkumpul, bermain dan kadang-kadang sedang bekerja di sawah, mereka tidak melihat seorang pun diantara mereka yang memiliki kelebihan apapun juga dari yang lain.
Apalagi yang menunjukkan tanda-tanda bahwa orang itu akan dapat menampung ilmu yang tinggi di dalam dirinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk meninggalkan Pakuwon Sangling. Tujuan mereka pertama-tama adalah Pakuwon Lemah Warah.
Namun ketika mereka sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Pakuwon, maka mereka telah melihat anak-anak yang sedang mengadakan permainan yang biasa mereka lakukan di waktu-waktu tertentu di padukuhan mereka. Setiap selesai memetik hasil sawah, maka padukuhan-padukuhan telah mengadakan keramaian sesuai dengan kesenangan para penghuninya.
Diantara permainan anak-anak dan para remajanya adalah berkelahi. Di tengah-tengah arena yang disediakan dikelilingi oleh gawar dan orang-orang yang menonton, maka seorang demi seorang anak-anak dan remaja telah memasukinya. Sepasang-sepasang mereka berkelahi. Yang oleh seorang juru pemisah dinyatakan kalah, harus keluar dari arena dan tidak diperkenankan untuk bertanding lagi. Sementara yang menang masih harus menunggu lawan yang akan ditentukan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tertarik pada permainan itu. Mungkin dari arena permainan itu mereka mendapatkan apa yang mereka cari. Tetapi ternyata dari awal sampai akhir, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak melihat seorang pun diantara mereka yang memiliki kekhususan. Mereka berkelahi saja sebagaimana kebiasaan anak-anak berkelahi. Banting membanting dan sekap-menyekap tanpa ada yang menunjukkan sesuatu yang lain atau bahkan lebih dari yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan arena itu dengan kecewa. Sehingga mereka pun kemudian telah meneruskan niat mereka untuk pergi ke Pakuwon Lemah Warah.
Ketika Akuwu Sangling mendengar ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia pun tersenyum sambil berkata, “Mereka adalah anak-anak padesan yang lugu.”
“Tetapi jika ada kelebihan di dalam diri mereka, maka kelebihan itu biasanya akan segera dapat dilihat,“ berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan bahkan tertawa. Katanya kemudian, “Tetapi bukankah kalian tidak melihatnya?”
Kedua anak muda itu menggeleng. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sambil berdesis, “Memang sulit untuk menemukan orang yang sesuai dengan keinginan kita.”
“Karena itu kakang, kami ingin meneruskan rencana perjalanan kami ke Lemah Warah,“ berkata Mahisa Murti.
“Berhati-hatilah. Orang-orang yang baru saja kau hancurkan, adalah orang-orang yang biasanya berkeliaran di Lemah Warah,“ berkata Akuwu Sangling, “padepokan yang disebut sarang siluman itu, sebagaimana kau katakan, adalah padepokan yang tersembunyi di wilayah Lemah Warah. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dan luput dari maut saat kau hancurkan mereka di padepokanmu, tentu akan kembali ke padepokan mereka masing-masing. Berhati-hatilah jika kau bertemu dengan mereka. Mungkin mereka telah menyusun kembali gerombolan-gerombolan yang kau hancurkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami akan berhati-hati kakang.”
Demikianlah, maka keduanya telah meninggalkan Sangling untuk pergi ke Lemah Warah. Mungkin Akuwu Lemah Warah akan dapat memberikan petunjuk kepada mereka berdua.
Sementara itu, seorang Senapati Sangling telah bertanya kepada Akuwu, “Apakah yang sebenarnya mereka cari?”
Akuwu Sangling tertawa. Katanya, “Adik-adikku memang aneh. Mereka mencari bibit-bibit yang baik bagi padepokannya. Mereka tidak ingin menambah jumlah orang di padepokannya, tetapi mereka ingin padepokannya menjadi kuat, sehingga mereka memerlukan orang-orang yang khusus yang akan dapat menerima ilmu yang tinggi.”
“Ke mana mereka akan mencari?“ bertanya Senapati itu.
“Ayah menasehatkan agar mereka mencari ke mana saja,“ jawab Mahisa Bungalan.
“Ke mana saja?“ bertanya Senapati itu.
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tentu ayah mempunyai maksud ganda. Sebab dengan demikian mereka akan meninggalkan padepokan yang dikungkung oleh dinding batas yang sempit. Tanpa meninggalkan padepokan itu, apa yang akan mereka dapatkan untuk memperluas cakrawala pandangan mereka terhadap kehidupan ini. Baik dari segi kanuragan maupun dari segi kejiwaan.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi mereka bukan sekedar mencari bibit itu saja.”
“Tujuan mereka memang hanya itu,“ jawab Akuwu Sangling, “tetapi akibatnya adalah keberuntungan ganda itu.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu langkah yang baik.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Sangling semakin jauh. Mereka tidak ingin menempuh jalan yang langsung, tetapi mereka memilih jalan-jalan yang menembus padukuhan-padukuhan yang berserakan. Besar dan kecil.
Sebagai orang pengembara, maka mereka telah merendahkan diri agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian banyak orang. Sebagai orang yang pernah melakukan tugas sandi, maka mereka sama sekali tidak merasa canggung untuk melakukan penyamaran itu. Mereka pun sama sekali tidak sakit hati diperlakukan sebagai orang-orang yang berderajad paling rendah sekalipun, sebagaimana memperlakukan para peminta-minta.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak minta-minta. Jika malam tiba, mereka kadang-kadang memang minta kepada para penunggu banjar untuk bermalam. Tetapi tidak lebih dari itu. Namun para penunggu banjar itulah yang kadang-kadang menaruh belas kasihan. Bahkan setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertidur nyenyak, masih juga dibangunkan untuk ikut makan bersama-sama para peronda yang berada di banjar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak kebaikan hati yang demikian. Bahkan kadang-kadang mereka telah ikut duduk-duduk bersama para peronda sampai menjelang pagi.
“Bukankah kau perlu beristirahat?“ bertanya pemimpin peronda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Tetapi jika ia ikut berbincang-bincang dengan para peronda, sebenarnyalah bahwa ia ingin bertemu dengan seseorang yang dapat dianggap memiliki kelebihan dari yang lain.
Tetapi ternyata bahwa setelah berjalan menempuh jarak yang jauh berliku-liku dan melingkar-lingkar, yang mereka cari belum mereka ketemukan. Namun demikian, sepanjang perjalanan, mereka telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru tentang pengenalan mereka atas berjenis-jenis orang dengan sifat dan watak mereka masing-masing...
“Berhati-hatilah. Yang akan kalian lakukan adalah satu perjuangan tentang hidup dan mati. Taruhannya adalah padepokanmu dan umur segenap penghuninya,” berkata Mahendra. Lalu “Karena itu, maka kalian dalam hal ini tidak dapat sekedar bermain-main.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan semua orang-orangnya. Mereka telah membaginya dalam beberapa kelompok besar yang terdiri dari beberapa kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka akan tetap berada di dalam padepokan, sementara yang lain akan keluar dari padepokan dan justru akan menyergap lawan yang jumlahnya lebih besar dari orang-orang padepokan Bajra Seta.
“Kita telah berhasil mengurangi jumlah mereka lebih banyak dari yang kita harapkan dapat kita lakukan di Lemah Warah. Namun ternyata jumlah mereka memang terlalu besar. Dua padepokan besar dan kuat akan mengepung padepokan ini. Sama sekali bukan empat padepokan dari keluarga perguruan Suriantal seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang datang itu,“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Karena itu, kita harus menempuh satu cara yang tidak mereka duga sebelumnya. Kita akan keluar dari padepokan ini dan justru kitalah yang akan menyergap mereka. Kita harus memanfaatkan kesempatan di malam hari nanti untuk menyelamatkan hidup kita.”
Hidup perguruan dan padepokan kita, serta hidup kita sendiri,“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Meskipun cara itu tidak berarti bahwa kita tidak akan mengalami kesulitan sama sekali. Mungkin justru akan memungut korban yang cukup banyak diantara kita. Kita yang sekarang berbicara disini, mungkin akan berkurang separuh diantaranya. Dengan demikian, maka kemungkinan untuk hidup dan mati bagi kita sama besarnya. Tetapi jika kita keluar dari padepokan ini, maka kemungkinan untuk hidup bagi kita tentu lebih besar daripada mati itu asal kita mampu mengendalikan diri kita.”
Orang-orang Bajra Seta yang berkumpul itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak lagi membuang waktu. Mereka pun segera membagi orang-orangnya dalam kelompok-kelompok besar yang terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka akan tetap berada di padepokan. Mereka harus mempertahankan padepokan itu jika sebagian dari lawan mereka berusaha untuk menyerang padepokan itu.
Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjelaskan apa yang mereka hadapi dalam keseluruhan. Kemudian membagi seluruh penghuni padepokan itu menjadi dua. Masing-masing akan mendapat penjelasan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sesuai dengan sifatnya, maka keterangan Mahisa Pukat kedengarannya memang lebih keras dari Mahisa Murti. Namun jiwa dari keterangan mereka sama sekali tidak berbeda. Keduanya telah menunjukkan cara yang paling baik bagi mereka di saat-saat mereka menyergap lawan yang akan mengadakan perkemahan di sekitar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan kesempatan yang singkat itu untuk memberikan penjelasan dan bahkan memberikan peragaan apa yang harus mereka lakukan. Mereka telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang timbul berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh pada saat-saat mereka melakukan penyergapan di Lemah Warah.
Meskipun yang dapat mereka berikan sebagai bekal tidak sebesar yang dapat mereka berikan kepada sekelompok yang besar yang telah mereka bawa ke Lemah Warah, namun apa yang dapat dijelaskan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu-pun cukup memadai.
Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah diatur sebaik-baiknya. Dengan pengertian, bahwa mereka harus memenuhi segala ketentuan sehingga rencana mereka tidak akan gagal.
Ketika malam turun, maka seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, orang-orang yang datang dari perguruan Manik Wungu dan Randu Papak telah membawa seluruh pasukannya mendekati padepokan. Mereka telah mengadakan perkemahan di sekitar padepokan itu. Dengan demikian maka mereka telah memamerkan kekuatan mereka kepada orang-orang padepokan Bajra Seta.
Namun dalam pada itu, dengan diam-diam orang-orang Bajra Seta sebagian besar telah berada di luar padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan orang-orang yang telah mengalami sergapan di malam hari diantara kelompok-kelompok yang ada untuk memberikan kesan tentang pengalaman mereka. Namun dalam pada itu, kelompok yang khusus diantara mereka dan para petugas sandi dari Lemah Warah, masih diperlukan. Mereka merupakan kekuatan pokok yang akan menusuk ke pusat perkemahan lawan dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan. Namun mereka memang harus menghindari orang-orang terpenting dari kedua perguruan itu, karena mereka tentu orang-orang berilmu tinggi.
Kepada orang-orang Bajra Seta yang berada di luar padepokan itu telah dipesankan, bahwa mereka akan bergerak serentak setelah terdengar isyarat. Agar isyarat itu tidak dapat segera diketahui oleh orang-orang yang sedang memamerkan kekuatan mereka di luar padepokan, maka isyarat itu akan diberikan di dalam padepokan. Pada saat yang sudah ditentukan, di tengah malam, di padepokan Bajra Seta akan terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk yang biasanya memang dibunyikan di tengah malam. Namun suara kentongan itu merupakan isyarat, bahwa pada saat itu, bersamaan orang-orang Bajra Seta yang berada di luar padepokan akan menyerang orang-orang yang diharapkan akan menjadi lengah.
Dengan cermat, beberapa orang pengamat telah mengamati perkemahan orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak itu dari atas dinding. Menurut pengamatan dari jarak yang agak jauh itu maka nampaknya orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu, memang agak kurang berhati-hati. Meskipun di beberapa tempat telah dinyalakan obor, perapian dan lampu minyak. Namun para petugas yang berjaga-jaga agaknya menganggap bahwa orang-orang padepokan Bajra Seta itu tidak berbahaya.
Sementara itu orang-orang Bajra Seta memang memberikan kesan kesiagaan di dalam dinding padepokan. Orang-orang yang tersisa di padepokan itu, seakan-akan merupakan kekuatan yang dikerahkan diatas dinding. Beberapa orang telah mengangkut tombak dan anak panah ke panggungan, seakan-akan akan dipergunakan di keesokan harinya untuk menahan serangan dari luar.
Dengan demikian, maka orang-orang di perkemahan itu memang menganggap, bahwa padepokan Bajra Seta benar-benar telah mempersiapkan diri untuk bertempur jika orang-orang yang mengepung padepokannya itu datang menyerang.
Karena itulah maka orang-orang yang berada di perkemahan di luar padepokan itu merasa diri mereka sama sekali tidak dalam bahaya. Orang-orang di padepokan Bajra Seta tentu akan menunggu dengan busur dan anak panah. Mereka akan bertempur mati-matian untuk mempertahankan padepokannya Namun bagi orang-orang yang mengepung padepokan itu, kekuatan Bajra Seta tidak akan mampu menahan sejumlah orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak jauh lebih banyak dari orang-orang Bajra Seta meskipun jumlah itu sudah berkurang di perjalanan.
Beberapa orang Manik Wungu dan Randu Papak masih sempat tersenyum ketika mereka melihat kesibukan diatas dinding padepokan sebelum mereka tertidur nyenyak. Seorang diantara mereka sempat bergumam, Tunggulah sampai matahari terbit. Kalian tidak akan sempat melihat lagi matahari itu terbenam.
Menjelang tengah malam, maka sebagian besar dari orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu telah-teratur. Beberapa orang memang berjaga-jaga, namun mereka menganggap bahwa keadaan tidak membahayakan bagi mereka.
Namun dalam pada itu, orang-orang Bajra Setelah yang menjadi tegang. Menjelang tengah malam mereka telah bersiap-siap. Mereka yang berada diluar padepokan, diantara semak-semak dan hutan perdu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi tugas yang akan mereka lakukan. Mereka akan menyerang dengan tiba-tiba orang-orang yang sedang tidur itu. Namun jika mereka kemudian bersiap dan mapan untuk melawan, mereka harus ditinggalkan.
Orang-orang yang menyerang lawan dengan diam-diam itu harus menghilang di tempat-tempat tersembunyi di sekitar arena. Namun mereka harus berusaha untuk merayap kembali masuk ke dalam dinding padepokan. Hanya jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka mereka akan bertempur di keesokan harinya di luar dinding.
Demikianlah maka malam pun merambat semakin dalam. Ketika tengah malam tiba, maka semua orang telah bersiap. Petunjuk-petunjuk terakhir telah diberikan. Jika terdengar isyarat, maka mereka harus segera bertindak.
Ternyata sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk. Bunyi kentongan sebagaimana biasa terdengar di tengah malam. Beberapa orang yang berada di luar padepokan juga mendengar suara kentongan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Mereka bahkan telah menarik kain panjangnya untuk mengusir dingin, sehingga beberapa saat kemudian mereka telah tertidur lagi.
Pada saat yang demikianlah orang-orang Bajra Seta bergerak dari tempat mereka bersembunyi. Mereka tidak boleh merayap seperti siput. Tetapi mereka harus bergerak seperti burung sikatan menyambar bilalang. Demikianlah, maka sejenak kemudian dengan diam-diam beberapa puluh anak panah telah terlepas dari busurnya. Langsung dibidikkan kepada orang-orang yang sedang berjaga-jaga.
Beberapa orang sama sekali tidak sempat menyadari apa yang terjadi. Namun beberapa orang yang lain memang sempat mengaduh. Namun suaranya bagaikan hilang di tenggorokannya.
Sekelompok orang-orang terpilih telah berusaha merayap mendekat. Mereka tidak membunuh para penjaga dengan anak panah dan busur. Tetapi pada kesempatan yang menentukan, mereka telah melempar dengan pisau-pisau belati. Bahkan beberapa orang tidak melemparkan pisaunya, tetapi sempat meloncat menerkam dan menikam ke arah jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukannya. Namun keduanya tertegun ketika melihat orang-orang yang masih tidur berserakan. Memang ada semacam hambatan didalam diri mereka untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu. Tetapi jika mereka tidak melakukannya, maka padepokannya besok akan dihancurkan oleh orang-orang itu.
Mereka hanya mempunyai waktu sekejap untuk menentukan sikap. Namun mereka tidak dapat berbuat lain, justru karena orang-orang Bajra Seta yang lain telah melakukannya. Mereka benar-benar bergerak seperti seekor burung sikatan menyambar bilalang.
Memang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus melakukannya betapapun hati mereka bergejolak. Jika mereka terpaksa melakukannya, maka itu terdorong oleh tanggung jawab mereka terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai pemimpin perguruan dan padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu telah melakukan tugas mereka. Sejenak kemudian, maka perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah menjadi gempar.
Peristiwa yang pernah terjadi itu telah terulang kembali. Justru di muka hidung padepokan yang akan dihancurkannya. Bahkan orang-orang yang menyergap mereka yang lengah itu menjadi semakin berlipat ganda.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak sempat menghindar ketika anak panah bagaikan hujan menikam setiap jantung. Mereka yang terkejut dan bangkit berdiri, tanpa mengaduh lagi, telah roboh kembali dengan anak panah yang tertancap di dada. Bahkan di perkemahan itu berloncatan orang-orang Bajra Seta dengan senjata telanjang di tangan.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak hampir tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Dari ujung sampai ke ujung perkemahan di sekitar padepokan Bajra Seta bagaikan telah menjadi merah karena darah yang mengalir dari tubuh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Para pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak yang sedang beristirahat pun terkejut mendengar keributan yang terjadi. Dengan cepat mereka menyadari, bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sama sebagaimana terjadi di Lemah Warah. Orang-orang yang tidak dikenal telah menyerang mereka justru pada saat mereka sedang beristirahat.
Dengan tangkas para pemimpin dari kedua padepokan itu meloncat bangkit. Terdengar mereka meneriakkan aba-aba sambil mengacukan senjata mereka. Ketika beberapa anak panah meluncur dari kegelapan mengarah kepada para pemimpin itu, maka dengan tangkasnya mereka berloncatan sambil menangkis serangan itu.
“Licik kalian,“ teriak pemimpin tertinggi dari padepokan Manik Wungu, “marilah, siapakah orang yang memimpin kalian berbuat curang seperti ini.”
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan dari kegelapan itu sama sekali tidak mereda. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sedang tertidur nyenyak itu pun telah terbangun seluruhnya. Yang sempat memperhitungkan keadaan, telah bangkit sambil memutar pedang mereka untuk melindungi diri dari sergapan anak panah. Bahkan pisau-pisau belati yang terbang ke arah dada.
Perkemahan itu benar-benar telah diliputi oleh kegemparan yang luar biasa. Namun lambat laun, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Namun sudah terlambat. Yang terjadi itu hanya memerlukan waktu yang sangat singkat. Justru ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu bersiap untuk melakukan perlawanan, orang-orang yang menyergap mereka dari kegelapan itu telah berhamburan meninggalkan mereka. Memang masih ada anak panah yang meluncur berurutan dari kegelapan, namun semakin lama menjadi semakin jarang.
Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak yang marah tidak menyerah begitu saja. Dengan lantang pemimpin-pemimpin mereka itu telah meneriakkan aba-aba, “Kejar mereka sampai dapat. Jangan ampuni lagi, siapapun yang kalian ketemukan.”
Orang-orang kedua padepokan yang marah itu tidak menunggu perintah berikutnya. Dengan senjata yang teracu mereka berlari ke arah anak panah yang terakhir meluncur dari kegelapan. Mereka merasa diri mereka mempunyai pengalaman yang luas di segala macam medan betapapun beratnya. Di siang hari maupun di malam hari. Karena itu maka mereka sama sekali tidak ragu-ragu memburu orang-orang yang telah menyergap mereka dari kegelapan itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah memperhitungkannya. Sebagian dari pasukan Bajra Seta, justru yang terpilih, tidak meninggalkan medan itu. Mereka justru menunggu di dalam kegelapan dengan busur dan anak panah. Demikian orang-orang Bajra Seta memburu ke arah para penyerang mereka lari ke kegelapan, maka tiba-tiba saja mereka telah disergap pula oleh anak panah yang bagaikan ditaburkan ke arah mereka.
Terdengar umpatan-umpatan kasar. Beberapa orang sempat menangkis serangan itu. Namun ada juga diantara mereka yang terguling jatuh tanpa sempat mengaduh. Yang kemudian meluncur ke arah mereka bukan saja anak panah yang jumlahnya tidak terhitung, namun tiba-tiba saja beberapa orang bagaikan menyergap mereka dengan melontarkan pisau-pisau kecil dari jarak yang lebih dekat.
Untuk sesaat orang-orang yang memburu kegelapan itu memang menjadi bingung. Namun dalam waktu singkat mereka telah mampu mengatasi kebingungan mereka. Dengan sigapnya mereka menghadapi lawan yang bersembunyi dalam kegelapan.
Mereka yang berpengalaman bertempur di gelapnya malam, seakan-akan mempunyai penglihatan yang mampu menembus gelap. Dengan tangkas mereka menangkis anak-anak panah yang meluncur ke arah mereka. Namun dalam waktu yang singkat itu, beberapa orang telah terbanting jatuh. Korban ternyata telah bertambah lagi.
Dengan pasukan pilihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghambat mereka. Ternyata mereka telah memperhitungkan setiap kemungkinan. Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun telah menarik diri ke arah yang berbeda dengan pasukan Bajra Seta yang lain.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar mengalami kesulitan menghadapi sergapan yang tiba-tiba itu. Ternyata korban yang jatuh karena kesalahan mereka yang telah diulang sampai dua kali itu cukup banyak. Bahkan terlalu banyak.
Beberapa saat kemudian, maka medan pertempuran itu menjadi sepi. Orang-orang Bajra Seta telah menarik pasukannya ke dalam gelap, bersembunyi ke balik gerumbul-gerumbul perdu dan pepohonan. Sementara itu orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah menahan diri untuk tidak mengejar mereka. Betapapun jantung mereka bergejolak, apalagi mereka yang disebut siluman-siluman yang mengerikan, namun mereka tidak dapat menolak kenyataan, bahwa mereka justru berhadapan dengan iblis-iblis yang lebih nggegirisi.
Pemimpin kedua padepokan itu dengan segera telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok yang masih tersisa. Namun ternyata laporan mereka benar-benar membuat jantung kedua pemimpin itu hampir meledak. Korban yang jatuh ternyata melampaui dugaan mereka. Hampir separuh dari orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah terbunuh atau luka-luka berat sehingga mereka tidak lagi mampu membantu apa pun lagi.
“Kita adalah siluman-siluman dungu. Padepokan kita disebut sebagai sarang siluman karena kita ditakuti oleh siapapun. Namun disini, dihadapan padepokan yang baru saja dibentuk serta perguruan yang baru saja lahir, kita telah dibantai tanpa dapat berbuat apa pun juga. Jumlah kita sekarang kurang dari separuh dari saat kita berangkat. Dua kali kita mengalami perlakuan yang sangat licik. Semula kita mengira, bahwa yang melakukannya adalah petugas-petugas sandi dari Lemah Warah yang tidak mau menyerang dengan terang-terangan. Namun ternyata dugaan itu keliru. Yang melakukan tentu orang-orang padepokan Bajra Seta menilik cara dan kesempatan yang mereka pergunakan."
“Ternyata mereka lebih liar dari kita. Mereka sanggup menyergap kita pada jangkauan yang sangat jauh. Mereka telah menyongsong kita masuk jauh ke dalam wilayah Lemah Warah,“ berkata pemimpin padepokan Randu Papak.
“Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat menghitung waktu yang tepat?“ bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.
Ternyata orang bertongkat yang mengaku dari perguruan Suriantal itulah yang menjawab, “Bukankah kita dengan sombong mengatakan, bahwa kita akan datang pada saat bulan purnama di bulan berikutnya. Dan itulah yang benar-benar kita lakukan. Kita terlalu menganggap ringan padepokan Bajra Seta yang baru saja lahir itu. Namun yang lahir itu benar-benar anak iblis yang licik.”
“Sekarang, apa yang dapat kita lakukan?“ bertanya seorang pemimpin kelompok.
Di luar kehendak mereka, maka mereka telah memandangi dinding padepokan. Bahkan seorang diantara mereka bergumam hampir di luar sadarnya, “Kita memasuki padepokan itu sekarang?”
Sejenak orang-orang yang mendengarnya telah terpukau oleh gumam itu. Tetapi akhirnya pemimpin padepokan Manik Wungu itu pun berkata, “Kita tidak mempunyai kekuatan cukup.”
“Tetapi mereka masih tersebar,“ jawab pemimpin kelompok yang kehilangan lebih dari separuh orang-orangnya.
“Justru karena itu. Mereka akan dengan cepat menyergap kita yang sedang sibuk menghindari serangan anak panah dari atas dinding. Jangan kau kira bahwa padepokan itu benar-benar kosong. Kau lihat, beberapa orang yang diatas dinding itu telah menyiapkan busur dan anak panah. Bahkan lembing-lembing yang besar dan panjang. Sementara itu kita baru saja dicengkam oleh kebingungan yang sangat, serta kehilangan separuh dari kekuatan kita,“ berkata pemimpin perguruan Manik Wungu.
Pemimpin padepokan Randu Papak pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat esok pagi. Apakah kita masih memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Apalagi memasuki padepokan Bajra Seta itu.”
Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan. Namun dalam pada itu pemimpin padepokan Manik Wungu pun berkata dengan suara lantang yang dibebani oleh perasaannya yang sakit, “Tidak seorang pun diantara kita yang boleh tidur malam ini. Kita semua akan berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Iblis itu akan dapat merayap lagi mendekati perkemahan kita ini. Jika kita mendapatkan seorang diantara kita yang tertidur apa pun alasannya, maka orang itu akan kita bunuh tanpa ampun.”
“Aku sependapat,“ sahut pemimpin padepokan Randu Papak, “kita harus belajar dari pengalaman.”
Demikianlah, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang tersisa itu pun seluruhnya telah berjaga-jaga. Mereka berada di tempat-tempat yang agak terlindung dalam kegelapan. Mereka mengamati semua penjuru dengan ketajaman penglihatan mereka. Namun orang-orang Bajra Seta tidak berlaku bodoh. Mereka tidak lagi mendekati perkemahan itu, apalagi menyerang.
Mereka mengerti bahwa orang-orang yang marah itu tentu akan bersiaga sepenuhnya. Namun yang mereka lakukan itu telah terlambat. Tidak ada cara untuk menolong mereka yang sudah terlanjur luka parah apalagi yang sudah terbunuh. Kematian-kematian yang mendebarkan sehingga goncangan-goncangan perasaan itu membekas sangat dalam di hati mereka. Tetapi di samping perasaan itu, dendam pun bagaikan menyala sampai ke ubun-ubun.
Orang-orang Bajra Seta, sebagaimana direncanakan telah menyusup kembali mendekati dinding padepokan. Mereka harus menghindari penglihatan orang-orang di perkemahan. Satu-satu mereka telah meloncat dinding masuk ke dalam padepokan Bajra Seta. Demikian mereka berkumpul, maka mereka tidak dapat menahan kegembiraan yang bergejolak di dalam hati mereka, karena keberhasilan mereka itu.
Namun dalam pada itu, Mahendra yang melihat kegembiraan yang hampir tidak terkendalikan itu sempat memberi peringatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, “Kita telah berhasil mengurangi kekuatan mereka dalam saat-saat mereka lengah. Jika kalian sekarang karena kegembiraan ini juga menjadi lengah, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti peringatan ayahnya itu, sehingga karena itu, maka mereka pun telah memerintahkan kepada orang-orangnya untuk mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Mereka memerlukan istirahat meskipun hanya beberapa saat. Mungkin di pagi harinya mereka harus bertempur lagi melawan sisa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Dengan demikian maka orang-orang Bajra Seta itu pun telah mempergunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat. Setelah mencuci diri, maka mereka pun telah berbaring di barak-barak mereka masing-masing, sementara mereka yang bertugas pun telah mendapat pesan, agar mereka tidak menjadi lengah. Dalam kelengahan itu, akibatnya akan dapat menjadi buruk sekali. Mereka telah dihadapkan pada satu contoh yang baru mereka saksikan dihadapan hidung mereka.
Di sisa malam itu sama sekali tidak ada gerakan kedua belah pihak. Masing-masing berada di tempatnya. Sementara itu, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak banyak menghiraukan kawan-kawan mereka yang sudah terlanjur mati. Yang terluka tetapi sudah tidak ada lagi kemungkinan untuk ikut berbuat sesuatu dalam gerakan apa pun yang akan mereka lakukan, tidak pula mendapat perhatian.
“Yang mati biarlah mati,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu.
Hanya ada diantara mereka yang mendapat pertolongan dari kawan-kawan dekat mereka. Tetapi sudah barang tentu hanya sekedarnya dan tidak banyak membantu dalam penyembuhan. Namun bagi mereka yang masih mempunyai harapan untuk bertahan, pertolongan yang sederhana sekali pun akan dapat membantu meringankan penderitaan mereka. Tetapi orang-orang Bajra Seta memang tidak dapat beristirahat sepuas-puasnya. Namun yang sedikit itu telah membuat mereka menjadi segar kembali.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memikirkan, bagaimana mereka dapat menyelamatkan orang-orangnya yang tertinggal di luar padepokan. Mungkin terbunuh, mungkin terluka. Agaknya dalam sergapan yang kedua ini, orang-orang Bajra Seta tidak dapat menghindarkan korban sama sekali sebagaimana mereka menyergap di Lemah Warah. Orang-orang yang kurang terlatih, serta mereka yang tidak dapat lagi mengendalikan perasaan yang bergejolak, agaknya telah terjebak ke dalam kesulitan di saat-saat orang Manik Wungu dan Randu Papak menemukan keseimbangan diri setelah kebingungan beberapa saat.
Tetapi untunglah bahwa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak menghiraukan orang-orang terbunuh dan terluka, sehingga mereka tidak menemukan orang-orang Bajra Seta yang sedang berjuang untuk mengatasi rasa sakit. Namun menurut perhitungan setelah orang-orang Bajra Seta itu kembali, korban diantara mereka terhitung kecil sekali. Meskipun demikian yang kecil itu tidak boleh diabaikan begitu saja.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa menunggu kesempatan. Mereka tidak mau justru menambah korban lebih banyak lagi. Jumlah mereka tidak banyak, sehingga karena itu maka mereka harus sangat berhati-hati. Tetapi dengan keberhasilan mereka menyergap lawan, maka jumlah mereka pun telah menjadi seimbang. Bahkan mungkin orang-orang Bajra Setelah yang menjadi lebih banyak dari lawan mereka.
Menjelang matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta telah bersiap menunggu kemungkinan yang bakal terjadi. Namun mereka telah lebih dahulu makan dan minum-secukupnya. Jika mereka harus bertempur sehari penuh, maka mereka tidak akan kehabisan tenaga karena kelaparan.
Dalam pada itu, dendam dan kemarahan di jantung orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar telah mengaburkan perhitungan mereka. Meskipun sebagian diantara mereka telah terbunuh dan terluka, namun mereka tidak berniat mengurungkan serangan mereka.
“Kita yakin akan menang,“ berkata pemimpin-pemimpin padepokan itu, “jumlah orang-orang Bajra Seta tidak terlalu banyak.”
Karena itu, dengan persiapan yang kurang baik, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah bertekad untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Mereka makan seadanya dan minum asal saja membasahi tenggorokan. Namun beberapa orang diantara mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minum telah bekerja keras sejauh dapat mereka lakukan.
Sebelum matahari melontarkan sinarnya yang pertama, maka orang-orang yang berkemah diluar padepokan itu telah mengatur diri. Mereka tidak ingin mengepung padepokan itu selingkaran penuh. Mereka berniat untuk menghancurkan padepokan itu dari depan.
“Kita tidak akan membagi kekuatan. Kita bentur kekuatan Bajra Seta di bagian depan padepokan mereka. Jika mereka menebarkan orang-orangnya di sepanjang dinding padepokannya, maka yang berada di bagian depan tentu hanya sebagian saja dari seluruh kekuatan yang ada. Namun kita memang harus memberikan kesan seakan-akan kita menyerang dari segala penjuru,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang dibakar oleh dendam yang menyala itu tidak sempat berpikir panjang. Mereka pun dengan serta merta telah menganggap rencana itu sebagai satu rencana yang matang. Beberapa orang diantara mereka memang telah berusaha untuk berada di segala sisi dari padepokan itu. Sebelum matahari terbit, maka mereka telah benar-benar merayap mendekati padepokan itu.
Namun ketika cahaya fajar menerangi embun di tanah-tanah yang lembab, maka orang-orang diatas panggungan di dinding padepokan itu melihat apa yang mereka hadapi. Mula-mula mereka memang menyangka bahwa padepokan mereka telah terkepung. Namun akhirnya mereka pun mengetahui, bahwa sebagian terbesar dari kekuatan lawan berada di depan.
Beberapa penghubung telah datang kepada para pemimpin kelompok untuk memberitahukan keadaan yang sebenarnya di seluruh medan. Dengan diam-diam, maka orang-orang Bajra Seta pun telah menyusun kekuatan mereka pula. Sebagian terbesar dari seluruh kekuatan Bajra Seta juga diletakkan di bagian depan dari padepokan mereka.
Ketika matahari kemudian mulai menjenguk di cakrawala, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu mulai menyerang. Mereka memang berusaha untuk memecahkan pintu gerbang. Dua orang pemimpin tertinggi dari kedua padepokan itu telah menggabungkan kekuatan ilmu mereka. Keduanya yakin bahwa keduanya akan dapat memecahkan pintu gerbang padepokan itu.
Dengan segenap kekuatan ilmu yang ada, maka keduanya telah meloncat dan menghantam pintu gerbang itu. Keduanya sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada di atas pintu gerbang. Namun para pengikut merekalah yang dengan sendirinya telah berusaha melindungi mereka. Para pengikutnya pun telah menyerang orang-orang yang berada diatas pintu gerbang itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung jumlahnya.
Ternyata bahwa kedua orang itu telah luput dari tikaman anak panah orang-orang Bajra Seta. Keduanya berlari dengan kecepatan yang sulit diikuti. Kemudian hampir bersamaan keduanya meloncat dan menghantam pintu gerbang itu dengan kaki mereka. Kekuatan ilmu yang besar telah mengguncang pintu gerbang itu. Namun pintu gerbang itu tidak pecah karenanya. Namun demikian, beberapa ikatannya telah menjadi retak.
Karena itu, maka kedua orang itu telah mengulanginya. Mereka sekali lagi mengambil ancang-ancang. Kemudian dibawah lindungan orang-orangnya keduanya telah menyusup diantara serangan orang-orang Bajra Seta yang harus memperhitungkan pula serangan lawan-lawan mereka yang ada di bawah.
Ternyata pada serangan yang kedua, pintu gerbang itu bukan saja telah terguncang. Tali-talinya tidak lagi sekedar retak. Tetapi beberapa diantaranya telah terputus, sehingga pintu itu-pun telah pecah berserakan.
Dengan demikian maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang tersisa telah menghambur berlari menuju ke pintu gerbang. Namun betapapun liarnya mereka, namun mereka masih juga sempat memperhitungkan anak panah yang menghambur dari atas pintu gerbang itu. Mereka telah menangkis serangan-serangan itu dengan senjata mereka, sementara yang lain masih juga melepaskan anak panah ke arah mereka yang berada diatas pintu gerbang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan oleh orang-orang Bajra Seta. Karena itu demikian pintu gerbang terbuka dan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang liar itu berlari-larian masuk, maka didalam pintu gerbang yang pecah itu telah menunggu orang-orang Bajra Seta. Bahkan ketika mereka menyusup pintu gerbang, betapapun mereka berusaha melindungi diri , namun ada juga satu dua diantara mereka yang tertusuk anak panah. Tetapi orang-orang Bajra Seta pun ada juga yang ternyata telah tertikam anak panah orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi antara orang-orang Bajra Seta melawan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Namun jumlah kedua belah pihak tidak lagi berselisih terlalu banyak. Bahkan orang-orang Bajra Seta agaknya yang lebih banyak dari lawan-lawannya.
Namun dalam pertempuran terbuka seperti itu, barulah orang-orang Bajra Seta mengetahui dengan jelas, kenapa lawan-lawan mereka disegani oleh banyak perguruan. Perguruan dan padepokan mereka dikenal sebagai sarang siluman.
Dalam pertempuran terbuka itu ternyata betapa kasar dan liarnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Mereka sama sekali tidak menganggap ketentuan apa pun yang dapat mengikat mereka. Mereka bertempur sesuai dengan kemauan mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak menghargai kebiasaan dan paugeran yang berlaku di medan perang. Yang mereka lakukan adalah membunuh dan membunuh. Selain mereka benar-benar buas dan liar, maka dendam di hati mereka membuat mereka semakin tidak terkendali.
Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang yang terlatih baik. Sebagian dari mereka pernah juga mengalami hidup tanpa paugeran. Mereka pernah juga menjadi orang-orang liar seperti lawan-lawan mereka itu. Karena itu, maka mereka mampu memperhitungkan beberapa langkah yang akan diambil oleh orang-orang liar itu.
Namun ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu bertempur dengan kasar dan liar, maka orang-orang Bajra Seta pun telah menjadi semakin keras pula. Mereka memang harus melawan sikap yang keras dengan cara yang keras pula. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Semakin cepat dan semakin keras. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain dalam pertempuran yang demikian.
Namun ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta yang telah mendapat latihan-latihan yang teratur, agaknya mampu berbuat lebih baik. Dalam sikap yang kasar, bekal yang dimiliki oleh orang-orang Bajra Seta ternyata lebih banyak dari lawan-lawan mereka.
Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak yang sudah kehilangan banyak pengikutnya, sulit untuk mengimbangi orang-orang Bajra Seta yang mampu juga bertempur lebih keras, namun lebih mapan.
Hanya beberapa orang yang ternyata tidak tahan melihat sikap lawan-lawan mereka yang buas dan liar. Yang bertempur sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor dan kasar. Sehingga mereka berusaha untuk menemukan lawan yang lain.
Dalam pada itu, para pemimpin kedua padepokan yang telah menyerang Bajra Seta itu pun telah melihat bahwa orang-orangnya telah terdesak. Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Keduanya ingin menuntut balas kematian orang-orang mereka yang telah disergap selagi mereka lengah.
Dengan garang keduanya berloncatan ke sana kemari. Setiap sentuhan tangan mereka akan berarti maut. Kemarahan yang menyesak didalam dada mereka telah tertumpah lewat kemampuan ilmunya. Ternyata mereka sama sekali tidak memilih korban. Siapa pun juga yang ditemuinya di medan telah dihancurkannya. Namun tiba-tiba mereka tertegun. Dua orang anak muda telah dengan tergesa-gesa turun pula diantara mereka yang sedang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Mahisa Murti ternyata telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Manik Wungu, sementara Mahisa Pukat telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Dalam pada itu Mahendra pun telah berada di medan pula untuk mengamati kedua anaknya yang bertempur dengan iblis-iblis dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Namun mau tidak mau, maka ia pun harus pula ikut bertempur. Ia harus melindungi dirinya jika siluman-siluman yang kasar itu telah menyerangnya. Bukan sekedar bermain-main. Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh. Tetapi Mahendra sendiri bukan seorang pembunuh yang garang. Karena itu, maka ia berada di medan sebagaimana orang-orang lain berada di medan itu pula.
Dalam pada itu, pemimpin padepokan Manik Wungu yang bertemu dengan Mahisa Murti telah bertanya, “Kaukah salah seorang dari kedua orang yang mengaku Putut dan memimpin perguruan ini?”
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku adalah Putut Mahisa Murti. Aku adalah satu dari dua orang Putut yang memimpin padepokan ini. Karena itu, maka aku peringatkan agar kau menarik diri dari padepokan ini.”
“Kau jangan mengigau,“ geram pemimpin dari padepokan Manik Wungu itu, “aku datang untuk menghancurkan padepokanmu. Kau telah dengan licik membunuh kawan-kawanku. Satu cara yang tidak akan dilakukan oleh seorang laki-laki.”
“Omong kosong,“ sahut Mahisa Murti, “apakah yang kau lakukan juga pantas dilakukan oleh laki-laki? Kau datang ke padepokanku dengan jumlah orang yang jauh lebih banyak dari orang-orangku. Yang aku lakukan adalah sekedar mengurangi jumlah orang-orangmu sehingga jumlah kita seimbang. Nah, jika jumlah kita sudah seimbang, barulah kita bertempur sebagaimana terjadi sekarang ini. Siapakah yang menang, ia benar-benar menang. Bukan karena jumlah yang banyak.”
“Persetan,“ geram pemimpin padepokan Manik Wungu itu, “kau harus menghargai kebesaran padepokanku.”
“Jika demikian maka kau juga harus menghargai kecerdikan kami menghadapi kalian,“ berkata Mahisa Murti.
“Anak setan,“ geram orang itu.
“Bukankah padepokanmu yang dikenal dengan sarang Siluman ? Agaknya kaulah iblis itu. Bahkan pemimpin dari segala macam iblis,“ berkata Mahisa Murti.
“Aku tidak peduli,“ sahut orang yang selama ini berbangga bahwa padepokannya disebut sarang siluman, “sekarang kau harus mati. Kemudian orang-orangmu pun akan mati. Aku akan membunuh mereka seperti menebas batang ilalang.”
Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Kita telah berhadapan. Marilah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah meloncat menerkam Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti telah bersiap. Karena itu, maka dengan sigapnya ia telah mengelak. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti menyadari bahwa lawannya selama pertempuran itu berlangsung sama sekali tidak mempergunakan senjata. Ia menyusup diantara senjata yang silang menyilang. Ia membunuh orang-orang Bajra Seta yang mengacu-acukan pedangnya. Namun ia hanya dengan tangannya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat menduga, bahwa orang itu memang berilmu tinggi. Ternyata pula bahwa dengan kakinya orang itu bersama seorang kawannya telah memecahkan pintu gerbang padepokannya itu.
Demikianlah maka sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun telah menghadapi lawannya yang tidak bersenjata itu juga tidak dengan senjata. Pertempuran antara kedua orang pemimpin padepokan itu ternyata merupakan pertempuran yang sangat dahsyat.
Di bagian lain Mahisa Pukat telah berhadapan pula dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Seperti pemimpin padepokan Manik Wungu maka pemimpin Randu Papak itu pun belum mempergunakan senjatanya pula untuk membunuh lawan-lawannya. Namun akhirnya ia telah membentur kekuatan Mahisa Pukat. Kekuatan seorang anak muda yang perkasa. Sehingga dengan demikian maka ia pun harus menjadi sangat berhati-hati. Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan ilmunya, maka ia berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan Mahisa Pukat, agar dengan demikian ia mendapat banyak kesempatan untuk menghancurkan para pengikut dari perguruan Bajra Seta.
Tetapi ternyata bahwa tidak mudah bagi pemimpin padepokan Randu Papak itu untuk mengalahkan Mahisa⁰⁰0 Pukat. Setiap ia meningkatkan selapis kemampuannya, maka anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya. Bahkan ternyata bahwa di saat-saat yang paling gawat, anak muda itulah yang lebih banyak menentukan keseimbangan.
“Benar-benar anak iblis,“ geram pemimpin padepokan Randu Papak.
Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ia bahkan telah mempercepat serangannya sehingga lawannya justru semakin terdesak. Tangannya yang berputaran telah membingungkan lawannya. Serangannya seolah-olah datang dari beberapa arah mematuk dengan garang.
Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain dari pemimpin padepokan Randu Papak itu daripada mempergunakan puncak dari ilmunya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakannya jika ia tidak merasa memerlukan sekali karena ia telah terlibat kedalam kesulitan. Ilmu yang sangat nggegirisi itu memang tidak dapat dipergunakan sekehendak hati.
Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus memperhitungkan setiap kemungkinan didalam dirinya. Jika ia terlalu sering melepaskan ilmu puncaknya, maka wadagnyalah yang akan cepat menjadi aus, sehingga pada suatu saat, wadagnyalah yang tidak akan mampu lagi mendukung kemampuan ilmunya itu. Ketika ia merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya yang masih muda itu dengan ilmu-ilmunya yang lain, maka ia pun telah merambah ke ilmu puncaknya itu.
Mahisa Pukat yang sedang bertempur itu tidak segera menyadari niat lawannya. Namun ketika dalam saat-saat yang mendesak, lawannya itu meloncat mengambil jarak, maka Mahisa Pukat pun seakan-akan mendapat isyarat bahwa lawannya akan melepaskan ilmunya yang paling tinggi. Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa menyerangnya. Ia pun telah mempersiapkan dirinya pula dan mulai merambah kedalam lindungan kemampuan ilmu-ilmunya.
Namun Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Meskipun ia telah bersiap dengan segenap kemampuan puncaknya, tetapi ia tidak mau menjadi lengah karenanya. Menurut petunjuk ayahnya dan orang-orang tua yang pernah berhubungan dengan dirinya, maka seseorang tidak boleh merendahkan orang lain dan terlalu yakin akan kebesaran dirinya, sehingga menjadi sombong karenanya.
Sejenak kemudian, orang-orang yang telah berada didalam puncak ilmu masing-masing itu, telah bersiap kembali untuk bertempur antara hidup dan mati. Mahisa Pukat yang masih muda itu telah bergerak mendekati lawannya yang memandanginya dengan tajam. Namun lawannya itu pun menyadari, bahwa anak muda yang mengaku sebagai pemimpin perguruan Bajra Seta itu telah pula mempersiapkan ilmu puncaknya.
Masing-masing yang telah sampai ke ilmu puncak itu masih tetap berhati-hati. Namun pertempuran yang terjadi kemudian terasa menjadi lebih berat. Pemimpin perguruan Randu Papak itu seakan-akan tidak lagi bergerak diatas tanah. Kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah ketika ia berloncatan mengelilingi Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak terpancing dengan gerak yang terlampau cepat itu. Ia justru berusaha untuk tetap berada di tempatnya. Sekali-kali saja ia berputar ke arah lawannya bergerak. Sehingga setiap saat Mahisa Pukat itu tetap menghadap ke arah pemimpin padepokan Randu Papak.
Betapapun cepatnya lawannya bergerak, namun Mahisa Pukat tetap menghadap kemarahnya. Namun kekuatan ilmu puncak lawannya itu pun mulai terasa oleh Mahisa Pukat. Ternyata tangan lawannya itu seakan-akan mampu memuntahkan dorongan angin yang kuat sekali.
Dalam pukulan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya, maka kekuatan yang sangat besar telah melanda tubuh anak muda itu. Mahisa Pukat seakan-akan telah diguncang oleh kekuatan angin yang sangat besar sebagaimana prahara mengguncang pepohonan raksasa di hutan-hutan yang pepat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun harus mengerahkan kekuatannya untuk bertahan, agar ia tidak terlempar dari tempatnya berdiri.
Namun setiap kali lawannya meloncat maju, merendah sambil menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah tergeser. Kekuatan angin yang sangat besar terasa sulit ditahannya. Namun sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Mahisa Pukat tidak terangkat dan terlempar jatuh terlentang diatas tanah.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu menjadi heran, bahwa anak muda itu mampu bertahan. Namun ia tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga ia dapat tetap berdiri di tempatnya ketika kekuatan prahara itu mendorongnya. Kakinya yang mampu tetap tegak diatas tanah itu bagaikan telah menghisap kekuatan bumi yang dilekatinya, sehingga kaki Mahisa Pukat seakan-akan memang melekat pada tanah tempat ia berpijak.
Tetapi jika serangan itu datang beruntun, maka Mahisa Pukat memang telah tergetar dan bergeser dari tempatnya. Betapapun kuat kakinya, namun kekuatan ilmu prahara itu benar-benar mendebarkan. Namun lawannya justru menjadi gelisah. Jika ia tidak mampu melemparkan dan membanting lawannya, maka ilmu itu tidak akan banyak berarti. Menurut pengalamannya, tidak ada orang yang mampu bertahan sebagaimana anak muda itu.
Tetapi ketika sekali Mahisa Pukat tergeser oleh desakan angin prahara yang terlontar dari kekuatan ilmunya, maka ia telah berpengharapan bahwa ia akan dapat melemparkannya lebih jauh lagi. Sebenarnyalah bahwa dengan mengerahkan kekuatan ilmunya, maka pemimpin padepokan Randu Papak itu benar-benar mampu mengguncang pertahanan Mahisa Pukat.
Dengan hembusan badai yang keras, Mahisa Pukat yang tergetar itu telah berusaha untuk tidak terlempar. Namun dengan tiba-tiba saja badai itu lenyap. Tetapi sebelum Mahisa Pukat mampu berbuat sesuatu, maka serangan yang dahsyat telah melanda Mahisa Pukat. Bukan sekedar serangan badai yang terlontar dari ilmu pemimpin padepokan Randu Papak. Tetapi dengan telapak tangannya, orang itu telah menghantam tubuh Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat yang masih saja berusaha untuk bertahan dari dorongan angin yang keras, terkejut mengalami serangan yang lain, sehingga ia telah terlambat menghindar. Bahkan usaha untuk menangkis serangan itu pun telah gagal. Dengan memutar tangannya, lawannya berhasil menyusup di sela-sela pertahanan Mahisa Pukat. Telapak tangan orang itu benar-benar telah mengenai dada anak muda itu.
Terasa dada Mahisa Pukat bagaikan terhimpit batu padas yang runtuh dari tebing pegunungan. Nafasnya terasa sesak. Sementara itu ia telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan untuk menghindari serangan berikutnya yang menerkamnya, maka Mahisa Pukat justru telah menjatuhkan dirinya, berguling dan berusaha untuk berdiri tegak.
Namun demikian ia tegak, maka serangan badai itu pun telah datang lagi menghembusnya dengan kekuatan raksasa. Justru pada saat Mahisa Pukat belum tegak benar, maka ia pun telah terdorong dan terlempar jatuh. Terdengar orang itu tertawa. Sekali ia berhasil menjatuhkannya, maka ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertempuran itu.
Mahisa Pukat memang berguling beberapa kali. Ia sadar, bahwa jika ia meloncat berdiri, maka orang itu tentu akan menyerangnya dengan serta merta. Apakah dengan ilmunya atau dengan tangan dan kakinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi semakin berhati-hati. Ia telah berguling beberapa kali untuk menunda saat-saat yang ditunggu oleh lawannya. Namun kemudian dengan tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah melenting berdiri.
Tetapi ia tidak mau sekedar menjadi sasaran. Ia telah mempersiapkan ilmunya pula, justru pada saat-saat ia berguling. Demikian ia meloncat berdiri, maka dalam waktu sekejap ia telah bersiap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat itu.
Lawannya yang memang menunggunya, semula mengumpat kasar justru karena Mahisa Pukat tidak segera melenting berdiri. Namun justru ketika Mahisa Pukat benar-benar berdiri tegak, maka ia telah bersiap untuk melontarkan kekuatan praharanya untuk melemparkan dan membanting jatuh sasarannya.
Namun ketika pemimpin padepokan Randu Papak itu menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah menghentakkan tangannya pula. Satu benturan ilmu telah terjadi. Dorongan prahara yang berhembus deras ke arah Mahisa Pukat telah membentur kekuatan ilmu anak muda itu.
Ternyata ilmu Mahisa Pukat telah mengejutkan lawannya. Anak yang masih muda dan mengaku sebagai seorang Putut dari padepokan Bajra Seta itu telah mampu melontarkan kekuatan ilmu yang luar biasa. Ternyata bahwa dorongan angin yang dilontarkan dengan alas ilmu pemimpin padepokan Randu Papak tidak mampu mengatasi kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Pukat. Bahkan terasa oleh pemimpin padepokan Randu Papak itu, kekuatan ilmu Mahisa Pukat telah menyusup menembus ilmunya dalam benturan yang dahsyat, sehingga udara terasa menjadi panas.
“Gila,“ geram pemimpin padepokan Randu Papak, “iblis kecil ini ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.”
Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu masih belum yakin, bahwa ilmunya tidak mampu mendesak dan memecahkan kemampuan ilmu lawannya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Dengan serta merta ia pun telah berlutut diatas satu lututnya. Kedua tangannya dengan hentakkan yang keras telah terjulur ke depan dengan telapak tangan menghadap ke arah Mahisa Pukat.
Tetapi pada saat yang sama Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula. Melontarkan kekuatan ilmunya. Justru dengan kekuatan yang lebih besar. Ketika kedua ilmu itu berbenturan, sekali lagi terasa kelebihan ilmu Mahisa Pukat. Udara yang panas telah menyusup di antara letupan benturan yang terjadi. Justru lebih panas dari yang pertama.
Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus bergeser surut ketika udara panas itu menjamah tubuhnya. Mahisa Pukat yang menyaksikan akibat benturan itu dapat menilai kekuatan ilmunya yang melampaui kekuatan ilmu lawannya. Karena itu, maka ia pun telah bersiap untuk membentur sekali lagi ilmu lawannya apabila ia melontarkannya.
Tetapi pemimpin padepokan Randu Papak itu tidak lagi melepaskan ilmunya. Ia menganggap bahwa cara yang demikian tidak akan menyelesaikan persoalan. Tetapi ia harus berhati-hati menghadapi ilmu lawannya. Karena itu ia pun dengan hati-hati justru telah melangkah mendekat. Jika lawannya berusaha melepaskan ilmunya, maka ia pun harus melakukannya pula. Apalagi ketika ia sadari, bahwa yang terlontar dari ilmu anak muda itu bukan sekedar dorongan angin yang keras, tetapi justru panasnya api.
Mahisa Pukat menjadi semakin berhati-hati melihat sikap lawannya itu. Sementara pemimpin padepokan Randu Papak itu melangkah semakin dekat. Mahisa Pukat yang ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu tidak segera berbuat sesuatu. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati, karena mungkin lawannya akan mempergunakan ilmunya yang lain untuk mengalahkannya.
Sebenarnyalah bahwa pemimpin perguruan Randu Papak itu tidak lagi ingin menghentakkan ilmunya. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja tangannyalah yang bergerak cepat sekali. Sebuah pisau belati yang kecil meluncur dengan cepat menyambar Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah melenting menghindar. Pisau itu memang tidak mengenainya. Namun cukup memberi waktu kepada lawannya untuk meloncat dan menyerangnya.
Dengan demikian maka keduanya telah bertempur pada jarak jangkau serangan wadag mereka. Keduanya telah berloncatan sambar-menyambar. Namun dengan demikian keduanya tidak mempunyai waktu untuk melepaskan ilmu mereka tanpa mengambil jarak. Sementara itu sulit bagi Mahisa Murti untuk melepaskan diri dari belitan lawannya dan mengambil jarak, karena ketika Mahisa Pukat mencoba melakukannya, maka sebuah pisau belati telah menyambarnya pula, sehingga pertempuran berjarak pendek itu harus terjadi lagi.
Mahisa Pukat pun akhirnya tidak berniat lagi mengambil jarak dan mencoba melepaskan ilmunya. Dilayaninya lawannya bertempur sebagaimana dikehendaki. Apalagi Mahisa Pukat yakin, bahwa orang-orangnya akan segera berhasil menyapu lawan-lawan mereka sehingga ia sama sekali tidak tergesa-gesa. Namun Mahisa Pukat memang harus berhati-hati. Ia tidak dapat menebak apalagi yang akan dilakukan oleh lawannya itu. Pisau, angin prahara, kecepatan gerak dan tenaga yang kuat seperti kerbau.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin padepokan Manik Wungu. Ternyata pemimpin padepokan Manik Wungu adalah orang yang berilmu sangat tinggi pula. Dalam benturan-benturan kekuatan terasa bahwa kekuatannya melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan ketika pemimpin padepokan Manik Wungu itu melihat orang-orangnya dalam kesulitan, maka sebagaimana dilakukan oleh pemimpin padepokan Randu Papak, maka ia pun telah mengambil keputusan untuk dengan cepat menghancurkan lawannya.
Karena itu, maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu-pun segera meningkatkan kemampuannya sampai pada batas tertinggi, sehingga dengan demikian maka ia berharap untuk dapat dengan segera menghancurkan lawannya. Dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti memang terkejut ketika lawannya itu seakan-akan sama sekali tidak merasakan sentuhan serangannya. Ketika ia berhasil menghantam dada lawannya dengan kakinya, lawannya itu memang tergetar surut. Namun seakan-akan ia tidak merasakan benturan itu. Dalam waktu sekejap lawannya itu telah bersiap kembali bahkan menyerangnya.
Ketika beberapa kali hal itu terjadi, maka Mahisa Murti pun mulai menduga bahwa lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga kulitnya tidak akan terluka oleh serangan yang manapun juga. Bahkan kulitnya yang dilapisi ilmu kebal itu akan dapat melindungi bagian dalam tubuhnya dari benturan kekuatan. Dengan demikian maka Mahisa Murti harus berhati-hati. Jika benar lawannya memiliki ilmu kebal, maka ia harus berusaha untuk dapat memecahkannya.
Namun beberapa kali Mahisa Murti benar-benar telah membentur sebuah lapisan kekuatan yang tidak terpecahkan. Sehingga akhirnya ia pun menjadi yakin bahwa lawannya memang memiliki ilmu kebal. Agaknya tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain ilmunya yang jarang ada duanya. Dengan alas kemampuannya yang tinggi, maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Kemudian dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya, maka Mahisa Murti telah melontarkan serangan ke arah lawannya.
Hembusan udara panas serta hentakkan ilmu yang dahsyat telah menerpa pemimpin padepokan Manik Wungu itu. Dengan kekuatan yang besar maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu telah tergetar dan bahkan terlempar selangkah surut. Namun dengan cepat ia melenting dan tegak berdiri. Untuk beberapa saat ia memang terganggu keseimbangannya. Namun dengan cepat pula ia berhasil memperbaiki kedudukannya.
Mahisa Murti benar-benar tergetar melihat kekuatan ilmu kebal lawannya. Kemampuan ilmunya yang dilandasi dengan kekuatan yang sangat besar tidak mampu menembus perisai ilmu kebalnya. Meskipun ia mampu mengguncangnya, namun lawannya itu sama sekali tidak terluka karenanya.
Dalam pada itu, lawannya itu pun tertawa berkepanjangan. Katanya dalam nada tinggi, “Apalagi yang akan kau lakukan anak manis. Kau kira bahwa kau adalah orang yang berilmu paling tinggi di dunia ini, sehingga kau berani mendirikan sebuah perguruan dan mengambil alih padepokan Suriantal dengan semena-mena?”
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Sementara itu lawannya telah berdiri sambil bertolak pinggang menghadapnya.
“Apakah kau berminat untuk mencobanya? Aku tadi memang terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu. Aku kira kau tidak mampu melakukannya. Namun sekarang aku sudah bersiap. Karena itu jangan bermimpi untuk dapat menjatuhkan aku lagi,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu itu.
Mahisa Murti menjadi termangu-mangu. Tetapi ia pun telah mengambil keputusan untuk tidak lagi mempergunakan ilmunya yang mampu melontarkan serangan dari jarak tertentu. Namun ia berniat untuk bertempur dengan membenturkan wadagnya. Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang itu telah berlangsung semakin sengit. Mereka saling berloncatan, menyerang dan menghindar.
Namun betapapun Mahisa Murti bergerak dengan tangkas dan cepat, namun serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menggoyahkan ilmu kebal lawannya, sehingga yang terjadi justru pengerahan tenaga anak muda itu tanpa arti. Bahkan semakin lama tenaganya justru menjadi semakin susut.
Di tempat lain Mahisa Pukat telah bertempur pula melawan pemimpin padepokan Randu Papak. Ternyata anak muda itu harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Sekali-sekali, jika ia dengan ketangkasannya mulai mendesak lawannya, maka dua atau tiga buah pisau-pisau kecil terbang menyergapnya, sehingga ia harus berloncatan menghindar, sehingga kedudukan lawannya menjadi kuat kembali. Bahkan serangannya pun kemudian telah datang beruntun sehingga sekali-sekali Mahisa Pukat tidak mampu menghindar.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Jika orang-orang Bajra Seta mampu mendesak lawannya, maka yang terjadi atas pemimpin-pemimpin mereka agak berbeda. Baik Mahisa Murti yang melawan seorang yang berilmu kebal, mau pun Mahisa Pukat yang bertempur melawan seorang yang mampu bergerak sangat cepat, sementara pisau-pisaunya merupakan senjata yang mendebarkan. Namun hampir berbareng pula keduanya telah mengerahkan ilmunya yang lain, yang hampir tidak ada duanya pula.
Mahisa Murti yang bertempur melawan pemimpin padepokan Manik Wungu yang berilmu kebal itu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melampaui kecepatan lawannya. Dengan susah payah Mahisa Murti berusaha untuk tidak dengan langsung dikenai serangan lawannya. Tetapi Mahisa Murti selalu berusaha untuk menangkis serangan-serangan yang datang itu. Ia sangat jarang berusaha menghindarkan diri dari setiap serangan yang dilontarkan oleh lawannya.
Meskipun beberapa kali Mahisa Murti terdorong dan bahkan terlempar jatuh di saat-saat ia menangkis serangan lawannya, namun ia tidak berusaha untuk merubah cara yang sudah dipergunakannya, seolah-olah ia sama sekali tidak mampu mempelajari pengalamannya yang sudah terjadi sebelumnya.
Pertempuran antara Mahisa Pukat dengan pemimpin padepokan Randu Papak pun berlangsung dalam keadaan yang sama. Pertempuran itu berlangsung sebagaimana terjadi sebelumnya. Serang menyerang. Sekali-sekali pisau-pisau kecil meluncur dengan cepat. Namun ternyata pertempuran itu tidak segera dapat diketahui siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah.
Tetapi kedua pemimpin padepokan itu menjadi sangat gelisah ketika orang-orang mereka menjadi semakin terdesak. Ternyata orang-orang Bajra Seta memiliki ilmu yang menggetarkan jantung mereka.
Mahendra yang menyaksikan pertempuran antara kedua anaknya melawan kedua orang pemimpin padepokan itu menjadi berdebar-debar juga. Untuk beberapa lama mereka melihat justru anak-anaknya yang terdesak. Mahisa Murti sama sekali tidak mempunyai kesempatan karena lawannya selalu terlindung dibalik ilmu kebalnya. Sementara Mahisa Pukat beberapa kali harus berloncatan surut untuk menghindari pisau-pisau tajam yang menyambarnya. Namun yang kemudian disusul dengan serangan-serangan wadag yang menggetarkan.
Pertempuran yang demikian itu terjadi beberapa saat lamanya tanpa ada perubahan. Bahkan Mahendra menjadi agak cemas bahwa kedua anaknya memang mengalami kesulitan. Tetapi ketika Mahendra berusaha mendekati arena pertempuran kedua anaknya itu, maka ia pun mulai melihat bahwa satu perubahan telah terjadi. Mahisa Murti yang bertempur dengan lawannya yang berilmu kebal itu, mulai berusaha untuk mendapatkan tempat di arena sehingga ia tidak selalu terdesak surut.
Semakin lama keseimbangan pertempuran itu memang berubah. Jika terjadi benturan-benturan, maka Mahisa Murti justru berusaha untuk memaksakan kekuatan ilmunya menembus ilmu kebal. Mula-mula Mahisa Murti memang tidak pernah berhasil. Ilmu kebal orang itu bagaikan selapis baja yang tebal mengelilingi tubuhnya sehingga setiap serangan Mahisa Murti tidak berarti sama sekali. Namun semakin lama, serangan-serangan Mahisa Murti mulai terasa di kulit daging lawannya. Mahisa Murti dan setiap kali membenturkan kekuatannya itu tidak juga menjadi jera meskipun sekali-sekali ia terdorong, terlempar dan terbanting jatuh.
Lawannya mula-mula tidak segera mengerti, apa yang terjadi atas dirinya. Tetapi ia pun kemudian menyadari, bahwa ternyata lawannya mulai mampu menembus perisai ilmu kebalnya. “Bagaimana mungkin,“ desis pemimpin padepokan Manik Wungu itu diluar sadarnya.
Namun sebenarnyalah. Ketika benturan-benturan itu terjadi lagi, maka pemimpin padepokan Manik Wungu itu mulai merasa kulitnya menjadi sakit. Bahkan perasaan sakit itu justru serasa merasuk sampai ke tulang sungsum.
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu mulai menjadi gelisah. Jika semula ia memastikan akan dapat membunuh lawannya yang masih muda itu dan kemudian bertempur diantara orang-orangnya untuk melepaskan dendam dan kemarahannya, serta membunuh setiap orang yang menghadapinya tanpa ampun, maka ia mulai meragukan bahwa niatnya itu akan terjadi. Beberapa kali orang itu mencoba. Namun setiap kali justru lawannya semakin berhasil menusuk tembus ilmu kebalnya yang selama ini dibanggakannya.
“Ilmu iblis manakah yang mampu menembus ilmu kebalku,“ geram orang itu.
Dalam pada itu Mahisa Murti memang selalu berusaha untuk menyentuh tubuh lawan. Dalam benturan yang keras, yang dapat membantingnya jatuh, atau sentuhan-sentuhan lembut sekedar menyinggung kulitnya. Namun pada serangan-serangan balasannya, anak muda itu benar-benar telah berhasil menguak ilmu kebal lawannya. Bahkan bukan saja ilmu kebalnya, namun pukulan-pukulan Mahisa Murti kemudian terasa menjadi semakin berlipat-lipat kuat dan kerasnya.
Dengan demikian maka pada benturan-benturan yang kemudian terjadi, bukan Mahisa Murti lah yang terdorong surut atau terlempar jatuh. Tetapi pemimpin padepokan Manik Wungu itulah yang kemudian terbanting jatuh. Kulitnya bagaikan terkoyak dan tulang-tulangnya seakan-akan telah menjadi retak.
“Gila. Apakah yang telah terjadi,“ pemimpin padepokan itu hampir berteriak.
Mahisa Murti sama sekali tidak menjawab. Namun dalam keadaan yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Mahisa Murti benar-benar telah menjadi mapan. Meskipun tubuhnya terasa sakit di setiap sendinya, serta pedih yang menyengat, namun ia mulai yakin bahwa kemenangan akan dapat direbutnya dari lawannya yang berilmu kebal itu. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah. Kemungkinan lain masih dapat saja terjadi.
Sementara itu Mahisa Pukat yang bertempur melawan pemimpin dari padepokan Randu Papak pun telah mulai mendesak lawannya pula. Lawannya yang mampu bergerak cepat dan sekali-sekali melontarkan pisau-pisau kecilnya itu rasa-rasanya telah kehilangan kesempatan. Tetapi benturan ilmu dan sentuhan-sentuhan yang terjadi antara Mahisa Pukat dan lawannya ternyata lebih jarang dari Mahisa Murti, karena lawannya kadang-kadang justru mengambil jarak untuk melontarkan pisaunya.
Meskipun demikian, namun akhirnya lawannya itu pun merasa heran, bahwa ia tidak mampu mempertahankan kekuatan dan kemampuannya lebih lama lagi. Ia sadar, bahwa seseorang yang menjadi letih, tenaganya memang akan menyusut. Tetapi tentu tidak akan secepat yang dialaminya itu. Beberapa kali ia mencoba menghentakkan kekuatan dan kemampuannya untuk menghancurkan lawannya yang muda itu. Tetapi semakin sering terjadi benturan dan sentuhan dengan lawannya itu, maka rasa-rasanya tubuhnya memang menjadi semakin lemah.
Dalam kebingungan itu, maka lawan Mahisa Pukat itu telah berusaha untuk dengan segera mengakhiri pertempuran. Meskipun ia sadar bahwa kekuatan ilmu lawannya yang masih muda itu akan mampu mengimbangi ilmu praharanya, namun ia masih ingin membuktikan bahwa ia masih mempunyai kekuatan puncaknya untuk melawannya. Karena itu, maka pada satu kesempatan, lawan Mahisa Pukat itu telah mengambil jarak.
Mahisa Pukat tidak memburunya. Namun ia sadar, bahwa lawannya tentu akan mengulangi serangannya dengan ilmu puncaknya. Dorongan angin prahara. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan ilmunya pula. Ia meyakini bahwa ilmunya akan dapat mengimbangi angin prahara yang dapat dilontarkan oleh lawannya itu.
Karena itu, demikian lawannya menghentakkan ilmunya sambil berlutut dengan sebelah lututnya dan menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arahnya, maka Mahisa Pukat pun telah melepaskan ilmunya pula. Ilmu yang mampu melontarkan kekuatan yang luar biasa besarnya disertai dengan udara panas membara.
Kedua ilmu itu saling berbenturan. Namun Mahisa Pukat sendiri terkejut akan akibatnya. Ternyata bahwa yang terjadi sama sekali berbeda dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Kedua kekuatan itu memang berbenturan. Tetapi dengan keseimbangan yang jauh berbeda.
Ilmu yang terlontar dari tangan pemimpin Randu Papak itu sama sekali tidak sepadan dengan ilmu yang telah dilontarkan oleh Mahisa Pukat. Jika semula kedua ilmu berbenturan dalam keadaan yang hampir seimbang, maka yang terjadi kemudian sama sekali jauh berbeda. Kekuatan ilmu pemimpin padepokan Randu Papak itu hampir tidak berarti sama sekali. Sehingga dengan demikian maka kekuatan ilmu Mahisa Pukat sama sekali tidak terhambat.
Ilmu yang dahsyat itu langsung meluncur menghantam tubuh pemimpin padepokan Randu Papak itu, hampir tanpa hambatan. Karena itu, maka tubuh itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bagaikan melayang dan jatuh terbanting di tanah. Sementara itu, panasnya bara api bagaikan telah menghanguskan jantung di dalam dadanya. Pemimpin padepokan Randu Papak itu menggeliat. Terdengar ia berdesis tertahan. Namun sejenak kemudian ia pun telah terdiam.
Mahisa Pukat melangkah dengan ragu-ragu mendekat. Namun ia pun kemudian telah yakin bahwa lawannya itu telah terbunuh di luar kehendaknya. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia tidak menyangka, bahwa kekuatan ilmu lawannya sama sekali tidak berarti lagi.
Mahisa Pukat memang telah mempergunakan ilmunya yang jarang ada duanya. Dalam setiap sentuhan, maka ia telah menyusupkan getaran yang mampu memperlemah kekuatan ilmu lawannya itu, atau bahkan seakan-akan telah menghisapnya. Namun Mahisa Pukat sendiri tidak menyangka bahwa ilmu lawannya, pemimpin Padepokan Randu Papak itu, seakan-akan telah habis terhisap. Karena itu, maka perlawanannya atas ilmunya sama sekali tidak berarti dan tidak memberikan perlindungan pada tubuhnya yang kemudian terkapar di tanah.
Orang-orang Bajra Seta yang sempat menyaksikan kekalahan pemimpin padepokan Randu Papak itu telah bersorak kegirangan. Dengan demikian maka mereka pun bertempur semakin seru. Mereka tidak lagi dapat dipengaruhi oleh sikap keras, kasar dan liar dari lawan-lawannya yang berasal dari sarang siluman itu.
Sementara itu, orang-orang dari Padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu pun telah menjadi semakin gelisah menghadapi kenyataan itu. Bahkan mereka telah menunjukkan gejala keputus-asaan. Namun justru keputus-asaan itu merupakan langkah-langkah yang sangat berbahaya. Orang-orang dari kedua padepokan itu bagaikan menjadi gila. Mereka tidak lagi mempunyai pikiran lain daripada mati, sementara sifat dan watak mereka yang benar-benar bagaikan siluman itu telah tertuang sampai tuntas.
Orang-orang Bajra Seta kadang-kadang memang menjadi ngeri melihat sikap lawan-lawan mereka. Bukan saja tingkah laku yang buas dan liar, yang kadang-kadang di luar perikemanusiaan dan tatanan peradaban, tetapi juga kata-kata yang kotor dan liar yang mereka teriakkan tanpa segan.
Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang yang terlatih. Mereka sudah mendapat tempaan lahir dan batin. Dengan demikian mereka berusaha untuk mengatasi keadaan tanpa kehilangan nalar. Sehingga dengan demikian mereka tidak justru digulung oleh keadaan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah hampir menyelesaikan pertempuran. Lawannya benar-benar sudah tidak lagi memiliki pertahanan dengan ilmu kebalnya. Setiap terjadi benturan, maka lawan Mahisa Murti itulah yang kemudian menyeringai menahan sakit.
Dengan demikian, maka lawan Mahisa Murti itu tidak lagi mampu menahan serangan-serangan anak muda yang luar biasa itu. Dalam keadaan yang paling gawat itu, maka ia menyadari, bahwa lawannya tentu memiliki ilmu yang mampu meluluhkan kekuatan ilmu lawannya.
Dengan nada gemetar oleh kemarahan dan dendam, pemimpin padepokan Manik Wungu itu pun telah berteriak, “Kau pengecut anak muda. Aku tidak mengira bahwa seorang yang perkasa dan masih semuda umurmu telah berlaku licik dan curang.”
“Apa yang aku lakukan?“ bertanya Mahisa Murti.
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu menggeram. Dengan nada kasar ia berkata, “Kau curi ilmu dan kemampuanku. Kau tidak berani bertempur beradu dada.”
“Apakah hal itu merupakan kecurangan?“ bertanya Mahisa Murti.
“Sebagaimana kau menyerang kami di malam hari. Kau tidak berani bertempur beradu dada. Setelah kau menyerang dengan diam-diam di malam hari, sekarang kau curi ilmuku dengan licik,“ geram pemimpin padepokan Manik Wungu itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Kau pergunakan ilmu kebalmu. Itu juga satu cara yang licik. Kau bersembunyi di balik tirai ilmumu. Kenapa hal itu kau lakukan?”
“Omong kosong,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu itu, “dengan ilmu kebalku aku bertempur dengan dada tengadah.”
“Apakah aku tidak berbuat demikian?“ bertanya Mahisa Murti, “aku bertempur dengan dada tengadah pula.”
“Tidak. Kau pengecut. Sebagaimana kau lakukan semalam,“ jawab Pemimpin padepokan Manik Wungu.
“Jika demikian penilaianmu tentang kelicikan, kecurangan dan sifat-sifat pengecut agak berbeda dengan penilaianku. Yang aku lakukan adalah justru satu kemampuan yang sangat tinggi untuk memperhitungkan keadaan medan dan mengambil keuntungan daripadanya,“ berkata Mahisa Murti, “jika demikian, maka katakan apa saja tentang kami, aku tidak berkeberatan. Namun sekarang yang pasti, kau tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi.”
Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya bergerak, cepat sekali. Mahisa Murti tidak begitu tertarik perhatiannya atas lawannya yang memasukkan tangannya ke dalam sebuah kantong. Namun ternyata kemudian bahwa lawan Mahisa Murti itu telah mengambil sesuatu dari dalamnya dan melemparkannya ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti melihat gerak itu. Ia pun kemudian melihat sesuatu terbang ke arahnya. Dengan sigapnya maka tangannya telah menepis benda yang dilemparkan oleh lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti terkejut. Ternyata seekor ular yang hanya sebesar jari-jarinya telah melekat ditangannya. Benda yang dilemparkan itu ternyata adalah seekor ular.
Sejenak kemudian telah terdengar suara tertawa lawannya. Dengan bertolak pinggang ia berkata, “Nah, anak muda. Ular itu memang terlalu kecil. Tetapi bisanya jauh lebih tajam dari bisa ular yang mana pun juga. Karena itu, betapapun kebanggaanmu atas ilmumu yang licik itu, namun kau akan segera mati.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Ular yang menggigit tangannya itu masih saja melekat. Seakan-akan tidak akan pernah dapat dilepaskannya.
“Pandanglah lama-lama,“ berkata lawannya, “sebentar lagi matamu akan menjadi kabur. Dan kau akan jatuh tersungkur di tanah.”
Mahisa Murti sempat memperhatikan ular yang melekat di tangannya. Namun pada wajahnya sama sekali tidak nampak kecemasan, bahwa bisa ular itu akan membunuhnya. Meskipun gigitan itu terasa pedih, namun Mahisa Murti berhasil mengatasi rasa sakitnya itu.
Lawannya memang menjadi heran melihat sikap Mahisa Murti itu. Karena itu sekali lagi ia mencoba mempengaruhi perasaannya, “Anak muda. Kau kira ular itu hanya semacam ular sihir yang tidak mampu membunuhmu. Ular itu benar-benar ular berbisa. Ular itu benar-benar ada sebagaimana kau lihat. Bukan sekedar ujud semu yang akan hilang dengan sendirinya.”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Aku tidak mengatakan bahwa ular itu sekedar ujud semu. Tetapi aku tidak yakin bahwa ularmu itu cukup berbisa bagi seseorang.”
“Kau boleh membuktikannya,“ berkata orang itu, “sebentar lagi kau akan mati.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun dengan tangannya yang lain, Mahisa Murti tiba-tiba saja telah memijit kepala ular yang tidak terlalu besar itu. Ternyata bahwa dengan mudah Mahisa Murti telah membunuhnya, sehingga gigitannya terlepas dari tangannya. “Ularmu mati Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti.
“Tidak ada bedanya,“ berkata pemimpin padepokan Manik Wungu, “bisa ular itu sudah menusuk ke dalam urat darahmu.”
Tetapi Mahisa Murti tersenyum. Sambil melemparkan bangkai ular itu ia berkata, “Bisa ularmu memang sudah masuk ke dalam aliran darahku. Tetapi sayang, ular jenis itu tidak berbahaya sama sekali. Ular yang berkepala merah adalah ular yang jinak dan tidak menyakiti.”
“Bohong,“ teriak pemimpin padepokan Manik Wungu, “ular itu ular Pudak Grama. Ular yang memiliki bisa sangat tajam meskipun tidak setajam ular bandotan.”
“Kenapa kau tidak mempergunakan ular bandotan saja, atau ular gadung yang berwarna hijau. Bahkan ular weling yang loreng-loreng mempunyai racun yang dengan cepat dapat membunuh,“ berkata Mahisa Murti.
“Gila,“ geram orang itu, “ular Pudak Grama mempunyai kekuatan racun melampaui ular gadung. Ular hijau itu mampu membunuh korbannya. Apalagi ular berkepala merah."
“Tetapi ularmu ternyata berbaik hati terhadapku. Ia tidak akan membunuhku,“ sahut Mahisa Murti.
“Anak iblis. Kau mempunyai ilmu kebal terhadap bisa he?“ orang itu hampir berteriak.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Wajah orang yang telah gagal membunuh Mahisa Murti dengan bisa ular itu menjadi semakin marah. Ia tidak ingat lagi akan keadaannya, sehingga dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti.
Mahisa Murti mengerti, bahwa orang itu sudah tidak lagi memiliki kekuatan ilmu yang berbahaya. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak lagi terlalu mencemaskan serangan itu. Namun Mahisa Murti terkejut juga ketika tiba-tiba saja orang itu telah menggenggam sebilah keris kecil ditangannya. Patrem.
Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka orang itu telah menusukkan patremnya ke dada Mahisa Murti. Mahisa Murti yang tidak menduga sebelumnya, telah bergeser selangkah. Namun demikian lawannya itu bergerak mengayunkan patremnya, maka Mahisa Murti telah mendorongnya ke samping.
Ternyata bahwa tenaga dorong Mahisa Murti atas orang yang telah kehilangan kekuatannya itu mempunyai akibat yang parah. Pemimpin padepokan Manik Wungu itu ternyata telah terlempar dan terbanting jatuh. Diluar dugaan Mahisa Murti, maka tenaganya terlalu besar sehingga pemimpin padepokan Manik Wungu yang sudah tidak berdaya itu sama sekali tidak mampu menahan dirinya sehingga telah membentur dinding barak di padepokan Bajra Seta.
Benturan itu sendiri tidak terlalu keras. Tetapi Mahisa Murti menjadi heran, bahwa orang itu kemudian tidak lagi bangkit berdiri. Sekali ia menggeliat, namun kemudian bahkan ia telah tertelungkup. Mahisa Murti perlahan-lahan mendekatinya. Ketika lawannya itu tidak bergerak untuk beberapa lama, maka Mahisa Murti pun telah berjongkok di sampingnya. Namun ia tetap memperhitungkan kemungkinan lawannya itu dengan tiba-tiba telah mengayunkan patremnya itu. Tetapi ternyata lawannya itu tetap tinggal diam. Bahkan ketika Mahisa Murti menyentuhnya, orang itu sama sekali tidak bergerak.
Baru kemudian, ketika Mahisa Murti memutar tubuh orang itu, barulah ia mengetahui. Ketika benturan yang tidak terlalu keras itu terjadi, maka patrem itu telah dengan tidak sengaja menusuk ke dadanya sendiri, sehingga orang itu telah menjadi lemah itu tidak mampu mengatasi kesulitan itu. Daya tahannya sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri dari keadaannya, sehingga pemimpin padepokan Manik Wungu itu telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan sekali. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu keadaan menjadi semakin buruk bagi orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak.
Tetapi orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu benar-benar bagaikan siluman. Dengan kasar, liar dan buas mereka telah menjadi bagaikan gila. Karena keputus-asaan maka mereka justru menjadi semakin mengerikan, sehingga yang mereka lakukan sudah tidak lagi berada di dalam lingkaran peradaban. Namun demikian, mereka memang sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Bagaimanapun juga, namun akhirnya mereka benar-benar telah dikuasai oleh orang-orang Bajra Seta.
Meskipun demikian, ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta tidak mampu menundukkan kekerasan hati mereka. Tidak seorang pun diantara mereka yang membiarkan dirinya tertawan. Mereka telah bertempur benar-benar sampai mati jika mereka tidak berhasil melarikan diri. Dengan demikian, maka orang-orang Bajra Seta telah gagal menawan orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak. Bahkan orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu pun tidak seorang pun yang menyerah. Mereka bertempur sampai kesempatan terakhir, atau berhasil melarikan diri.
Tetapi ternyata ada juga satu dua orang yang dalam keadaan luka parah. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk membunuh diri. Mereka sama sekali sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali untuk melakukannya. Namun agaknya ada juga diantara mereka yang dalam keadaan terluka parah masih sempat memungut butir-butir yang berwarna kehitam-hitaman dari dalam kantung ikat pinggang mereka. Tanpa ragu-ragu mereka telah menelan butir-butir hitam itu.
Hanya dalam beberapa hitungan, orang itu menjadi kejang dan kemudian mati membeku. Ternyata mereka telah menelan butir-butir racun yang memang sudah mereka persiapkan. Racun yang dapat mereka pergunakan untuk membunuh diri, tetapi juga dapat juga membunuh orang lain dengan memaksa menelan butir-butir yang berwarna gelap itu.
Beberapa lama pertempuran masih terjadi di sana-sini. Tetapi pertempuran itu pun segera berakhir. Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah terkapar berserakan. Namun masih juga ada satu dua diantara mereka yang masih hidup. Namun sudah sangat tidak berdaya. Mereka sudah tidak mampu menggerakkan tangan mereka untuk memungut racun yang tersimpan di dalam ikat pinggang mereka untuk membunuh diri.
Dalam pada itu, kengerian yang sangat telah terjadi. Betapapun tabahnya orang-orang Bajra Seta, namun menyaksikan akhir dari pertempuran itu, rasa-rasanya jantung mereka pun berdegup semakin keras. Mayat yang terbujur lintang terkapar di halaman padepokan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata telah menjadi sangat berdebar-debar menyaksikan apa yang telah terjadi.
Bahkan diluar sadar, Mahisa Pukat pun berdesis, “Jika kedua padepokan itu disebut sarang siluman, agaknya memang tidak salah. Orang-orang yang berada di padepokan itu benar-benar berwatak siluman.”
Dengan jantung yang berdegupan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan orang-orangnya yang utuh dan tidak terluka sama sekali untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah sehingga tidak mampu lagi keluar dari timbunan tubuh yang berserakan.
Namun mereka harus juga mengumpulkan lawan mereka yang sudah terbunuh pula. Namun yang ternyata masih juga ada satu dua diantara mereka itu hidup betapapun lemahnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan kepada orang-orang Bajra Seta untuk berusaha merawat mereka sehingga mereka tidak terlanjur mati.
Tetapi seperti kawan-kawannya, maka mereka telah memilih mati daripada menjadi tawanan. Namun mereka tidak segera mendapat kesempatan untuk membunuh diri. Orang-orang Bajra Seta telah mengawasi mereka sebaik-baiknya, agar mereka tidak sempat mendapatkan alat apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk membunuh diri mereka sendiri. Yang mula-mula dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta adalah mengambil ikat pinggang dari orang-orang yang terluka berat itu, agar mereka tidak sempat mengambil racun dan membunuh diri dengan racun itu.
Tetapi tanpa racun itu ada juga diantara mereka yang berhasil membunuh diri. Mereka sama sekali tidak menghiraukan darah mereka yang mengalir dari setiap luka yang tergores di tubuh orang-orang itu, sehingga mereka akan menjadi lemas dan mati karena kehabisan darah. Bahkan dalam keadaan yang demikian, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu masih juga merasa bangga akan gelar bagi padepokan mereka sebagai sarang siluman.
Namun dalam pada itu, ada juga diantara orang-orang yang melarikan diri itu saling bertemu. Tetapi mereka sudah tidak berani lagi menyebut-nyebut nama dari padepokan dan perguruan yang baru itu. Mereka benar-benar telah berupaya untuk lari asal saja semakin jauh dari padepokan Bajra Seta itu.
Dalam pada itu betapapun besar dendam dan kemarahan oleh kegagalan itu, namun justru mereka menjadi merasa senasib sepenanggunggan. Tanpa berani mengganggu padepokan yang menjadi sasaran perampasan mereka, maka sisa-sisa kedua padepokan itu telah meninggalkan medan tanpa perhitungan untuk kembali lagi.
Selain menurut pengamatan mereka orang-orang Bajra Seta pada umumnya mempunyai cara pertahanan yang sangat rapi, ternyata bahwa kebesaran tekad orang-orang dari kedua padepokan itu telah kehilangan warna. Mereka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak, tidak akan dapat lagi berbangga, bahwa mereka berasal dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Dengan lesu orang-orang itu berjalan kembali ke padepokan masing-masing. Namun hanya sebagian kecil sajalah diantara mereka yang berhasil melarikan diri dari medan. Di perjalanan di saat mereka berangkat kawan-kawan mereka telah terbunuh oleh sekelompok orang-orang Bajra Seta yang menyergap ketika mereka baru lengah.
Hal itu diulangi lagi justru setelah mereka berada di hidung padepokan yang akan mereka rebut. Bahkan jauh lebih parah lagi. Selanjutnya dalam pertempuran yang berlangsung kurang seimbang, kedua pemimpin dari kedua padepokan Manik Wungu dan Randu Papak telah terbunuh oleh anak-anak muda yang menyebut diri mereka Putut dan memimpin padepokan Bajra Seta itu.
Diantara mereka yang sempat melarikan diri adalah seorang yang bersenjatakan tongkat dan mengaku orang Suriantal. Betapa menyesalnya orang itu, bahwa ia telah meninggalkan Suriantal yang dianggapnya telah hancur. Justru kehadiran orang-orang dari padepokan lain, betapapun disebut satu kerja sama diantara mereka, namun Suriantal hampir telah lenyap sama sekali.
Namun ternyata bahwa saudara-saudaranya yang berasal dari perguruan Suriantal telah berhasil membentuk satu kesatuan yang bulat, bukan saja pada sikap lahiriah, tetapi juga sikap batin mereka dengan orang-orang yang semula tidak berasal dari perguruan Suriantal. Perguruan yang sudah terkoyak-koyak dan hampir lebur ke dalam satu campur aduk yang keruh, ternyata oleh tangan yang trampil dan berkemampuan tinggi telah berhasil disusun menjadi satu perguruan yang utuh.
Sementara itu, orang-orang Bajra Seta benar-benar sibuk dengan mayat dan orang-orang yang terluka. Pertempuran yang baru saja terjadi benar-benar satu pertempuran yang gila. Kasar dan liar. Namun dengan demikian korban dari orang-orang yang menyerang padepokan itu bagaikan tidak dapat dihitung.
Orang-orang Bajra Seta ternyata tidak saja harus menyelenggarakan korban yang jatuh pada saat-saat pertempuran berlangsung di dalam lingkungan padepokan, tetapi mereka pun harus memperhatikan korban yang jatuh sebelumnya, ketika orang-orang Bajra Seta itu menyerang lawannya yang berkemah di seputar padepokan mereka. Di bekas medan yang garang itu terdapat juga beberapa orang Bajra Seta sendiri. Bahkan mungkin mereka masih belum meninggal pada saat pertempuran itu selesai.
Karena itu, orang-orang Bajra Seta dengan tergesa-gesa demikian pertempuran selesai, mengirimkan orang-orangnya untuk menemukan terutama mereka yang mungkin masih hidup dari kedua belah pihak. Yang diketemukan oleh orang-orang Bajra Seta memang menggetarkan jantung mereka. Orang-orang yang satu dua masih hidup agaknya telah menahan penderitaan cukup lama.
Sejak mereka terluka dan terkapar di tanah, mereka telah menahan sakit dan pedih karena luka mereka. Namun tidak seorang-pun yang datang menghampirinya apalagi untuk melolongnya. Karena itu, ketika orang-orang Bajra Seta datang menyentuhnya, maka rasa-rasanya mereka telah tersentuh oleh titik-titik embun di teriknya matahari.
Seorang diantara mereka yang terkapar dengan luka di lambung berdesis, “Air.”
Dengan cepat seseorang telah mengambil air. Mereka sadar, bahwa banyak diantara orang-orang yang terluka itu tentu kehausan. Beberapa orang memang masih dapat diselamatkan. Namun yang lain agaknya telah terlambat mendapat pertolongan. Darah mereka terlalu banyak mengalir, sehingga mereka tidak dapat lagi bertahan untuk hidup.
Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, orang-orang yang mengenal ilmu pengobatan telah bekerja keras untuk menolong mereka. Yang paling parah telah mendapat perawatan lebih dahulu tanpa memperhitungkan apakah mereka lawan atau kawan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak saja sekedar memberikan perintah. Atas petunjuk ayahnya keduanya telah berusaha untuk ikut pula menolong orang-orang yang terluka. Bahkan keduanya telah mempergunakan penawar racun yang mereka miliki untuk mengobati orang-orang yang terkena bisa. Senjata yang dipergunakan di medan perang itu ada diantaranya adalah senjata yang telah diusap dengan warangan yang mempunyai kekuatan racun yang tajam.
Namun dengan kemenangan yang telah dicapai oleh perguruan Bajra Seta yang muda itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi semakin percaya kepada diri sendiri. Beberapa orang petugas sandi yang diperbantukan kepada mereka oleh Akuwu Lemah Warah, ternyata telah mengagumi pula gelora perjuangan di hati orang-orang Bajra Seta.
Bukan saja karena mereka memang memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka yang hanya berbekal kekasaran dan keliaran yang mendebarkan, namun mereka terbiasa pula mempergunakan penalaran mereka di pertempuran. Mereka tidak sekedar bergerak dan bertempur dengan unsur naluri, tetapi mereka yang karena latihan-latihan yang berat dan pengenalan atas berbagai unsur ilmu kanuragan, maka mereka telah membuat perhitungan-perhitungan. Menyesuaikan diri dengan keadaan medan dan mempergunakan kelemahan lawan itu sendiri.
Tetapi di samping kebanggaan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin yakin, bahwa tidak banyak orang yang dengan senang hati menerima kehadiran mereka. Apalagi mereka yang mengetahui bahwa padepokan itu semula adalah padepokan yang disebut Suriantal. Banyak orang yang dengki yang menganggap bahwa orang-orang Bajra Seta telah merebut padepokan itu dengan kekerasan. Bahkan seandainya mereka tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, mereka dengan sengaja melupakannya.
Di hari-hari berikutnya, orang-orang Bajra Seta masih saja dibayangi oleh kekeruhan pertempuran yang telah terjadi. Orang-orang yang terluka parah masih terbaring di barak-barak yang khusus, serta mendapat perawatan yang sungguh-sungguh.
Jauh di pinggir hutan, tiba-tiba saja telah terdapat sebuah kuburan baru yang luas. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak telah dikuburkan di tempat itu. Terpisah dari kuburan bagi orang-orang Bajra Seta sendiri yang terbunuh.
Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin padepokan dari perguruan Bajra Seta telah memberikan pertimbangan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memperbesar perguruan mereka. Korban yang telah jatuh itu telah membuat orang Bajra Seta yang memang tidak cukup banyak menjadi semakin berkurang.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat pertimbangan lain. Dari Mahendra mereka mendapat petunjuk, bahwa sebenarnya tidak selalu jumlah yang banyak yang berarti kuat. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tetapi jika setiap pribadi mempunyai kemampuan yang tinggi, maka padepokan Bajra Seta akan manjadi kuat.
Karena itu, maka Mahendra telah memberikan petunjuk kepada kedua anaknya, agar ia memilih lima atau enam orang. Mereka harus membuat orang-orang itu berilmu tinggi. Dengan demikian maka mereka akan dapat dihadapkan masing-masing kepada sekelompok lawan pada tataran prajurit kebanyakan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sependapat dengan ayahnya. Karena itu, maka kepada para pemimpin kelompok ia telah mengatakan rencananya, bahwa untuk meningkatkan kekuatan di perguruan Bajra Seta akan diambil kebijaksanaan lain. Tidak menambah jumlah orang, tetapi meningkatkan kemampuan setiap orang di Padepokan itu meskipun masih harus berjenjang dan bertingkat.
Para pemimpin kelompok mencoba untuk memahami keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka pun telah menyaksikan sendiri bahwa kemampuan yang tinggi akan berarti peningkatan kekuatan. Mereka yang melihat bagaimana pemimpin kedua padepokan yang menyerang perguruan mereka tanpa belas kasihan telah membunuh lawan-lawan mereka.
Meskipun mereka hanya dua orang, tetapi yang dua itu ternyata jauh lebih kuat dari beberapa kelompok orang lain. Seandainya tidak ada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki kemampuan melampaui kedua orang itu sehingga berhasil membunuhnya, maka padepokan Bajra Seta tentu akan menjadi karang abang. Tentu tidak ada seorang pun lagi yang akan dapat bertahan hidup. Karena itu, maka peningkatan ilmu seseorang akan sangat berarti bagi perkembangan padepokan itu sendiri.
Namun untuk memilih lima orang diantara orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu bukannya pekerjaan yang mudah bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul setiap saat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus melakukannya. Mereka harus dengan hati-hati memilih para penghuni padepokan Bajra Seta yang mungkin akan dapat ditempa melampaui yang lain.
Mereka tidak saja harus memilih orang-orang yang memiliki tubuh yang sehat, kemauan keras dan kecerdasan otak untuk menangkap semua petunjuk dan tuntunan dalam olah kanuragan, namun mereka harus memilih orang yang memiliki keteguhan hati untuk tetap berjalan di jalan yang baik bagi sesama. Jika orang yang memiliki kemampuan jasmaniah itu justru tidak memiliki keteguhan hati, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi orang lain. Orang-orang yang memiliki kelebihan, namun justru mempergunakan kelebihannya untuk niat yang buruk, maka orang yang demikian akan menjadi orang yang sangat berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa untuk menentukan, siapakah yang akan mereka jadikan murid yang secara khusus untuk mewarisi ilmu yang lebih baik dari orang-orang yang lain. Tetapi beberapa pekan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menemukan orang yang dicarinya. Mereka belum mendapatkan seseorang yang mereka anggap pantas untuk menerima meskipun hanya bagian saja dari kemampuan mereka berdua sebagai anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Orang-orang dari perguruan Bajra Seta pada umumnya justru lebih tua dari mereka berdua. Dalam hidup mereka, orang-orang Bajra Seta itu telah mempunyai berbagai pengalaman. Berbagai warna kehidupan telah ditempuhnya, sehingga yang terakhir, mereka nampaknya sudah menjadi jauh lebih baik dari langkah-langkah kehidupan yang pernah dilakukannya. Namun demikian setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbicara tentang orang-orang itu untuk menentukan siapakah yang akan dapat mereka warisi ilmu, mereka tidak pernah dapat menyebut nama siapa pun juga.
Kepada Mahendra kedua anaknya telah memberitahukan persoalan yang mereka hadapi. Sementara itu Mahendra pun agaknya dapat mengerti. Karena itu, maka katanya, “Kalian tidak usah tergesa-gesa. Yang dapat kalian lakukan, lakukanlah. Untuk sementara kalian tingkatkan saja ilmu para pemimpin kelompok sejauh dapat kalian lakukan. Di samping itu, kalian harus berusaha untuk menemukan jika tidak lima, dua atau tiga atau empat orang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu hingga pada satu saat keduanya menemukan orang-orang yang mereka yakini akan dapat memenuhi harapan mereka. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata belum merasa puas dengan keadaan perguruan mereka. Meskipun para pemimpin kelompok itu mampu juga meningkatkan ilmunya, namun terlalu terbatas. Namun, untuk menetapkan orang-orang yang akan benar-benar mewarisi ilmunya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menemukannya.
Dalam pada itu, sambil meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok dalam batas-batas yang mungkin, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana yang pernah mereka lakukan selama mereka berada di padepokan itu, berhubungan dengan akrab dengan orang-orang padukuhan. Ternyata sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu banyak memberikan manfaat kepada padepokan Bajra Seta.
Selain bahwa perguruan dan padepokan Bajra Seta tidak menjadi terasing, banyak kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dihasilkan sendiri dapat didapatkannya dari padukuhan-padukuhan itu. Sekali dengan saling tukar menukar, namun kadang-kadang Ki Buyut telah memberikan kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengambil saja sebanyak diperlukan. Justru karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sering berada di padukuhan. Bahkan tanpa keperluan apapun, keduanya kadang-kadang berada juga di banjar.
Namun semakin lama hubungan antara perguruan dan padepokan Bajra Seta dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya itu dirasakan masih juga terlalu sempit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terbiasa mengembara rasa-rasanya ingin juga melihat-lihat lingkungan yang jarang ditemuinya. Lingkungan yang tidak pernah dilihatnya dalam kehidupannya sehari-hari.
Tetapi mereka pun menyadari, bahwa dengan kedudukan mereka, maka mereka tidak dapat leluasa untuk meninggalkan perguruan yang telah mereka dirikan. Namun rasa-rasanya ada saja yang menarik mereka untuk melihat-lihat lingkungan yang lain.
“Mumpung ayah masih disini,“ berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah kadang-kadang seorang pemimpin padepokan dapat juga meninggalkan padepokannya?”
Ternyata Mahendra yang mengenal sifat anak-anaknya tidak mencegahnya. Sementara itu, agaknya keadaan sudah menjadi agak tenang. Beberapa padepokan yang agaknya akan membuat persoalan dengan perguruan baru itu sudah dihancurkannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan padepokan mereka. Salah satu dari rencana mereka adalah untuk menemukan orang yang akan dapat mereka pupuk agar dapat menjadi orang yang berilmu tinggi.
Yang mula-mula menjadi tujuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah Pakuwon Sangling. Mereka ingin mendapat petunjuk dari kakak mereka, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Sementara itu mereka benar-benar memerlukan orang-orang yang akan dapat mewarisi ilmu mereka, sekaligus untuk ikut menegakkan padepokan dan perguruan Bajra Seta jika di-satu saat menghadapi bahaya yang sebenarnya.
Kedatangan mereka di Sangling disambut dengan senang hati oleh Akuwu Sangling. Mereka diterima sebagai dua orang saudara muda yang sudah lama tidak bertemu. Sementara itu orang-orang Sangling, terutama para prajurit, menghormati mereka pula, karena para prajurit itu mengerti, bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika malam tiba, sementara mereka berbincang-bincang, maka sampailah pembicaraan mereka kepada usaha Bajra Seta untuk membentuk satu kekuatan yang tidak bersandarkan kepada jumlah orang yang banyak, tetapi kepada kemampuan seseorang.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa yang memberi petunjuk kepadamu tentang hal itu?”
“Ayah,“ jawab Mahisa Murti.
“Ayah masih akan lama di padepokan kalian?“ bertanya Mahisa Bungalan.
Tetapi kedua anak muda itu menggeleng. Mahisa Pukat-pun kemudian menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi sementara ini nampaknya ayah kerasan juga berada di padepokan.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Memang sulit untuk mendapatkan seorang murid yang baik. Kadang-kadang tidak dapat menentukan. Namun pada suatu saat kadang-kadang kita tertarik kepada seseorang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata, “Ayah kita tidak pernah mengangkat seorang murid pun kecuali anak-anaknya sendiri. Namun paman Mahisa Agni tiba-tiba saja memberikan warisan ilmunya kepadaku. Semuanya itu terjadi dengan tiba-tiba saja.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Bungalan berkata selanjutnya, “Tetapi kalian masih terlalu muda untuk membimbing seorang murid.”
“Mungkin kakang. Tetapi perguruan kami sangat membutuhkan, karena aku sependapat dengan ayah. Aku tidak perlu memanggil banyak pengikut dengan segala macam janji. Yang kami perlukan hanya beberapa orang, namun yang akan memiliki ilmu yang tinggi.“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Tetapi seperti yang aku katakan, murid itu tidak akan dapat kau temukan dengan tergesa-gesa. Kau harus telaten menunggu hingga pada satu saat, kau bertemu dengan satu dua orang yang menarik perhatianmu. Tingkah lakunya, kemampuan dasarnya dan sudah tentu sifat dan wataknya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Aku mengerti kakang.”
“Kau sudah menempuh jalan yang benar. Kau memang harus keluar dari padepokanmu untuk menemukan orang yang kau cari. Kau tentu tidak akan menemukannya jika kau hanya melingkar-lingkar di dalam dinding padepokanmu saja,“ berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Seperti dikatakan oleh kakaknya, mereka harus mengarungi lingkungan yang luas untuk dapat menemukan satu dua orang yang dapat mereka pilih untuk mewarisi ilmu mereka. Seperti dikatakan pula oleh kakaknya, bahwa sulit bagi mereka untuk menemukan seseorang yang mungkin dapat mereka warisi ilmu mereka.
“Jika demikian,“ berkata Mahisa Murti, “kami berdua harus melakukan pengembaraan.”
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Kau dapat melakukannya. Tetapi mungkin terjadi pada sebuah perguruan, seseorang datang untuk berguru kepada kalian. Namun dengan demikian sulit bagi kalian untuk mengerti sifat yang sebenarnya dari orang itu. Dihadapan kalian setiap orang yang ingin berguru tentu akan menunjukkan sifat dan watak yang baik dan terpuji. Namun apa yang sebenarnya tersimpan di dalam hati mereka agaknya sulit untuk dijajagi. Karena itu, yang paling baik bagi kalian adalah berusaha menemukan seseorang. Tidak tergesa-gesa dan dengan hati-hati dan kesungguhan untuk memilih diantara banyak orang yang menarik perhatian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang teringat kepada orang-orang yang telah memberikan warisan ilmu kepada mereka. Antara lain adalah Akuwu Lemah Warah. Nampaknya Akuwu Lemah Warah juga sekedar menemukan mereka, memilih diantara orang-orang lain yang pernah diketemukan dan kemudian mewariskan sebagian ilmunya kepada mereka berdua, bahwa dengan petunjuk yang memungkinkan keduanya membuka pintu lebar-lebar untuk mengembangkan ilmunya dengan alas ilmu yang memang telah ada di dalam diri mereka masing-masing.
“Salah satu contoh bagaimana seseorang mendapatkan seorang murid,“ berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Sementara Mahisa Pukat pun mengerti pula bahwa memilih seorang murid hampir tidak ada bedanya dengan memilih wadah untuk menuangkan kepercayaan.
Karena itu, maka kedua anak muda itu telah bertekad bulat untuk melakukan perjalanan. Mereka akan melihat-lihat daerah yang pernah mereka kenal sebelumnya. Mungkin mereka akan menemukan seseorang yang akan dapat menjadi tempat untuk mempertaruhkan kepercayaannya sehingga orang itu akan dapat menerima ilmu yang ada di dalam diri mereka.
“Pergilah,“ berkata Mahisa Bungalan, “tetapi kalian tidak boleh salah pilih sehingga kalian akan menyalurkan ilmu kalian ke dalam arus yang salah, sehingga justru akan menambah keruhnya bumi kelahiran yang sudah terasa keruh ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Doakan kami kakang. Mudah-mudahan kami menemukan apa yang kami cari.”
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tidak terbiasa anak-anak muda berkeliaran mencari murid untuk mewarisi ilmunya. Seharusnya kalian tidak melakukannya sekarang. Biasanya hanya orang-orang tua yang merasa bahwa dalam beberapa tahun lagi umurnya akan berakhir sementara itu masih belum ada orang yang akan mewarisi dan kemudian melestarikan dan mengembangkan ilmunya. Tetapi umur kalian masih sangat muda, sehingga kesempatan kalian masih cukup banyak.”
“Kakang,“ tiba-tiba Mahisa Murti berdesis, “Mungkin orang-orang yang lebih muda akan mendahului yang tua-tua. Tetapi seandainya tidak demikian, kami lakukan hal ini berdasarkan perhitungan ketahanan bagi perguruan dan padepokan kami.”
Mahisa Bungalan masih tertawa. Katanya, “Baiklah. Bukankah ayah juga menganjurkan hal itu kepada kalian? Dengan demikian maka kalian dapat melakukannya karena kalian menghadapi persoalan yang khusus. Namun, sebenarnyalah bahwa biasanya orang yang menyatakan dirinya seorang guru pada sebuah perguruan, memang orang-orang yang sudah berjanggut putih meskipun tubuhnya masih kuat kekar.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa pula. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Kami memang akan cepat menjadi tua. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh ayah, cara ini lebih baik daripada kami memanggil berpuluh-puluh orang yang hanya akan menghabiskan beras kami.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Memang biasanya perguruan dan padepokan yang hitam yang memerlukan banyak orang. Mereka akan dapat berpencar dan mencari harta benda dengan kekerasan sebanyak-banyaknya. Seperti padepokan yang disebut sarang siluman itu. Tetapi perguruan dan padepokanmu memang tidak pantas jika dipenuhi dengan orang-orang yang hanya dapat dengan kasar menakut-nakuti orang.”
“Ya kakang,“ sahut Mahisa Pukat, “untuk sementara kami meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok. Tetapi rasa-rasanya memang kurang memuaskan. Mereka sudah terlalu tua untuk diperlakukan dengan keras, meskipun pada umumnya mereka tidak menolak dan melakukan dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian kau dapat berada di Sangling untuk satu dua hari dalam rangka usahamu mencari bibit sebagaimana kau kehendaki. Tetapi sekali lagi, kalian tidak perlu tergesa-gesa. Jika kalian salah memilih, kalian akan menyesal.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun sekali-sekali mereka tersenyum sendiri jika mereka membayangkan bahwa mereka telah berjanggut putih, dahi yang berkerut dipenuhi garis-garis umur, serta sebutan yang diberikan kepada mereka sebagaimana memanggil orang-orang tua.
Seperti yang diminta oleh kakaknya, Akuwu di Sangling, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meninggalkan Sangling. Mereka berada di Pakuwon itu untuk menemukan orang atau anak muda atau siapa pun yang menarik perhatian mereka dan memenuhi syarat yang mereka tetapkan.
Pada hari-hari selama mereka berada di Pakuwon Sangling, keduanya telah menelusuri jalan-jalan di kota mau pun di padesan di seputar kota. Namun mereka tidak menjumpai apa yang mereka cari. Jika mereka melihat sekelompok remaja berkumpul, bermain dan kadang-kadang sedang bekerja di sawah, mereka tidak melihat seorang pun diantara mereka yang memiliki kelebihan apapun juga dari yang lain.
Apalagi yang menunjukkan tanda-tanda bahwa orang itu akan dapat menampung ilmu yang tinggi di dalam dirinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk meninggalkan Pakuwon Sangling. Tujuan mereka pertama-tama adalah Pakuwon Lemah Warah.
Namun ketika mereka sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Pakuwon, maka mereka telah melihat anak-anak yang sedang mengadakan permainan yang biasa mereka lakukan di waktu-waktu tertentu di padukuhan mereka. Setiap selesai memetik hasil sawah, maka padukuhan-padukuhan telah mengadakan keramaian sesuai dengan kesenangan para penghuninya.
Diantara permainan anak-anak dan para remajanya adalah berkelahi. Di tengah-tengah arena yang disediakan dikelilingi oleh gawar dan orang-orang yang menonton, maka seorang demi seorang anak-anak dan remaja telah memasukinya. Sepasang-sepasang mereka berkelahi. Yang oleh seorang juru pemisah dinyatakan kalah, harus keluar dari arena dan tidak diperkenankan untuk bertanding lagi. Sementara yang menang masih harus menunggu lawan yang akan ditentukan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tertarik pada permainan itu. Mungkin dari arena permainan itu mereka mendapatkan apa yang mereka cari. Tetapi ternyata dari awal sampai akhir, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak melihat seorang pun diantara mereka yang memiliki kekhususan. Mereka berkelahi saja sebagaimana kebiasaan anak-anak berkelahi. Banting membanting dan sekap-menyekap tanpa ada yang menunjukkan sesuatu yang lain atau bahkan lebih dari yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan arena itu dengan kecewa. Sehingga mereka pun kemudian telah meneruskan niat mereka untuk pergi ke Pakuwon Lemah Warah.
Ketika Akuwu Sangling mendengar ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia pun tersenyum sambil berkata, “Mereka adalah anak-anak padesan yang lugu.”
“Tetapi jika ada kelebihan di dalam diri mereka, maka kelebihan itu biasanya akan segera dapat dilihat,“ berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan bahkan tertawa. Katanya kemudian, “Tetapi bukankah kalian tidak melihatnya?”
Kedua anak muda itu menggeleng. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sambil berdesis, “Memang sulit untuk menemukan orang yang sesuai dengan keinginan kita.”
“Karena itu kakang, kami ingin meneruskan rencana perjalanan kami ke Lemah Warah,“ berkata Mahisa Murti.
“Berhati-hatilah. Orang-orang yang baru saja kau hancurkan, adalah orang-orang yang biasanya berkeliaran di Lemah Warah,“ berkata Akuwu Sangling, “padepokan yang disebut sarang siluman itu, sebagaimana kau katakan, adalah padepokan yang tersembunyi di wilayah Lemah Warah. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dan luput dari maut saat kau hancurkan mereka di padepokanmu, tentu akan kembali ke padepokan mereka masing-masing. Berhati-hatilah jika kau bertemu dengan mereka. Mungkin mereka telah menyusun kembali gerombolan-gerombolan yang kau hancurkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami akan berhati-hati kakang.”
Demikianlah, maka keduanya telah meninggalkan Sangling untuk pergi ke Lemah Warah. Mungkin Akuwu Lemah Warah akan dapat memberikan petunjuk kepada mereka berdua.
Sementara itu, seorang Senapati Sangling telah bertanya kepada Akuwu, “Apakah yang sebenarnya mereka cari?”
Akuwu Sangling tertawa. Katanya, “Adik-adikku memang aneh. Mereka mencari bibit-bibit yang baik bagi padepokannya. Mereka tidak ingin menambah jumlah orang di padepokannya, tetapi mereka ingin padepokannya menjadi kuat, sehingga mereka memerlukan orang-orang yang khusus yang akan dapat menerima ilmu yang tinggi.”
“Ke mana mereka akan mencari?“ bertanya Senapati itu.
“Ayah menasehatkan agar mereka mencari ke mana saja,“ jawab Mahisa Bungalan.
“Ke mana saja?“ bertanya Senapati itu.
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tentu ayah mempunyai maksud ganda. Sebab dengan demikian mereka akan meninggalkan padepokan yang dikungkung oleh dinding batas yang sempit. Tanpa meninggalkan padepokan itu, apa yang akan mereka dapatkan untuk memperluas cakrawala pandangan mereka terhadap kehidupan ini. Baik dari segi kanuragan maupun dari segi kejiwaan.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi mereka bukan sekedar mencari bibit itu saja.”
“Tujuan mereka memang hanya itu,“ jawab Akuwu Sangling, “tetapi akibatnya adalah keberuntungan ganda itu.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu langkah yang baik.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Sangling semakin jauh. Mereka tidak ingin menempuh jalan yang langsung, tetapi mereka memilih jalan-jalan yang menembus padukuhan-padukuhan yang berserakan. Besar dan kecil.
Sebagai orang pengembara, maka mereka telah merendahkan diri agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian banyak orang. Sebagai orang yang pernah melakukan tugas sandi, maka mereka sama sekali tidak merasa canggung untuk melakukan penyamaran itu. Mereka pun sama sekali tidak sakit hati diperlakukan sebagai orang-orang yang berderajad paling rendah sekalipun, sebagaimana memperlakukan para peminta-minta.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak minta-minta. Jika malam tiba, mereka kadang-kadang memang minta kepada para penunggu banjar untuk bermalam. Tetapi tidak lebih dari itu. Namun para penunggu banjar itulah yang kadang-kadang menaruh belas kasihan. Bahkan setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertidur nyenyak, masih juga dibangunkan untuk ikut makan bersama-sama para peronda yang berada di banjar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak kebaikan hati yang demikian. Bahkan kadang-kadang mereka telah ikut duduk-duduk bersama para peronda sampai menjelang pagi.
“Bukankah kau perlu beristirahat?“ bertanya pemimpin peronda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Tetapi jika ia ikut berbincang-bincang dengan para peronda, sebenarnyalah bahwa ia ingin bertemu dengan seseorang yang dapat dianggap memiliki kelebihan dari yang lain.
Tetapi ternyata bahwa setelah berjalan menempuh jarak yang jauh berliku-liku dan melingkar-lingkar, yang mereka cari belum mereka ketemukan. Namun demikian, sepanjang perjalanan, mereka telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru tentang pengenalan mereka atas berjenis-jenis orang dengan sifat dan watak mereka masing-masing...