PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 57
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 57
Karya Singgih Hadi Mintardja
KETIKA Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyusuri sebuah padukuhan yang besar, keduanya melihat beberapa rumah yang berhalaman luas, dan terdiri dari beberapa bagian yang dipisah-pisahkan oleh longkangan, sehingga memberikan kesan rumah orang berada. Dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggap bahwa padukuhan itu adalah padukuhan yang ramai yang mungkin akan banyak dijumpainya remaja dan anak-anak muda.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk bermalam di padukuhan itu. Mungkin mereka akan bertemu dengan seseorang yang menarik perhatian mereka. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki halaman banjar. Dengan merendah, keduanya mohon kepada penunggu banjar itu untuk bermalam karena mereka telah kemalaman dalam perjalanan. Tetapi yang mereka jumpai agak berbeda dengan sebelumnya.
Penunggu banjar itu memandangi mereka dengan penuh curiga. Bahkan dengan kasar ia berkata, “He, kalian sangka banjar padukuhan kami ini penginapan buat pengembara seperti kalian? Kami tidak akan membiarkan pemalas-pemalas seperti kalian hidup senang menghisap keringat orang lain yang bekerja keras.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut mengalami perlakuan itu. Biasanya para penunggu banjar adalah orang-orang yang ramah dan baik. Di beberapa padukuhan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu diberi kesempatan dan bahkan kadang-kadang makan dan minum.
Namun keduanya tidak memberikan kesan yang kurang baik. Dengan nada berat Mahisa Murti menyahut, “Kami hanya mohon tempat untuk bermalam Ki Sanak. Tidak lebih. Itu-pun jika kami tidak dianggap mengganggu.”
“Tidak ada tempat yang dapat aku berikan kepadamu,“ jawab penunggu banjar itu, “bahkan agaknya di seluruh padukuhan ini tidak ada tempat untuk orang-orang malas seperti kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Nampaknya padukuhan yang cukup besar dan kaya ini mempunyai watak dan khusus. Dengan demikian maka padukuhan itu justru telah menarik perhatian mereka. Tetapi keduanya benar-benar telah ditolak untuk bermalam di banjar.
Bahkan ketika penunggu banjar itu sedang mengusir mereka, dua orang anak muda, pengawal padukuhan itu, telah datang pula ke banjar. Mereka adalah anak-anak muda yang bertugas malam itu bersama kawan-kawannya yang masih belum datang. Ketika mereka mendengar suara penunggu banjar itu lantang, maka keduanya pun telah pergi ke bagian belakang banjar itu.
“Ada apa?“ bertanya salah seorang diantara kedua anak muda itu.
“Kedua pemalas ini tanpa segan minta untuk bermalam di banjar ini. Apa dikiranya banjar ini merupakan penginapan bagi orang-orang malas seperti mereka. Banjar ini dibangun dengan beaya yang besar yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari penghuni padukuhan ini,“ jawab penunggu banjar itu.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan wajah yang tegang, keduanya mengamati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seakan-akan mereka telah melihat orang-orang aneh yang begitu saja hadir di banjar mereka.
“Anak-anak muda yang tidak tahu malu,“ geram salah seorang diantara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Kami mohon diri Ki Sanak.”
“Jangan kalian biasakan bermalas-malas seperti itu, “geram anak muda, pengawal padukuhan itu yang lain, “beberapa padukuhan lain telah melakukan kesalahan terhadap orang-orang seperti kalian. Mereka dapat menerima pemalas-pemalas dengan senang hati, bahkan ada beberapa penunggu banjar yang telah memberi makan dan minum. Dengan demikian maka pemalas-pemalas itu akan mempergunakan segala macam cara agar mereka mendapat belas kasihan dan perlakuan yang berlebihan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan kepala. Sementara para pengawal padukuhan itu masih mengumpati mereka dengan kata-kata yang menusuk. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menanggapinya justru karena mereka menyadari penyamaran mereka. Apa pun yang dikatakan oleh anak-anak muda pengawal padukuhan itu sama sekali tidak membuat keduanya sakit hati.
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan banjar itu ternyata ada dua tiga orang yang lain yang berdatangan. Setelah mereka mendengar keterangan tentang kedua orang anak muda pengembara itu, maka yang lain pun telah melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tersenyum di dalam hati.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan banjar itu. Ditelusurinya jalan padukuhan. Namun terngiang kata-kata orang-orang di banjar bahwa padukuhan itu sama sekali tidak akan menerima kehadiran mereka yang disebutnya para pemalas.
“Sebenarnyalah padukuhan ini cukup menarik,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya. Tentu ada beberapa kelainan dengan padukuhan yang lain. Tetapi seandainya kelainan itu satu kelebihan, maka kelebihan itu telah dilandasi dengan kesombongan,“ sahut Mahisa Pukat.
“Mungkin kesombongan, tetapi mungkin juga kecurigaan,“ jawab Mahisa Murti pula, “jika pernah terjadi sesuatu di padukuhan ini maka perasaan curiga itu wajar sekali adanya.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bergumam, “Kita sebaiknya mengetahui lebih banyak tentang padukuhan ini.”
Sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti melangkah di dalam gelapnya malam yang menjadi semakin kelam. Ketika Mahisa Murti menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya langit cerah. Bintang-bintang bergayutan di sela-sela dedaunan. Angin yang lembut berhembus mengusapkan kulit mereka yang berkeringat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu ketika mereka kemudian melihat seseorang yang berjongkok di depan sebuah regol halaman yang tidak terlalu luas. Justru halaman sebuah rumah yang kecil dibanding dengan rumah-rumah lain di padukuhan itu.
Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser minggir di seberang lain. Mereka tidak mau membuat persoalan dengan orang-orang dari padukuhan itu. Jika mereka membuat persoalan yang dapat menimbulkan kekerasan, maka mereka tidak akan mungkin lagi mengenali isi padukuhan itu dengan kesempatan yang masih tersisa. Mereka akan menjadi semakin dibenci dan barangkali akan dapat timbul korban karenanya jika para pengawal menjadi semakin marah kepada mereka.
Tetapi keduanya terkejut ketika orang itu menyapanya dengan ramah, “Ki Sanak. Siapakah kalian dan apa yang kalian lakukan malam-malam begini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan orang itu. Dalam cahaya obor di regol seberang jalan, keduanya melihat bahwa orang itu sudah tua. Dengan merendah pula Mahisa Murti menjawab, “Kami adalah dua orang pengembara Kiai.”
“Oo,“ orang tua itu mengangguk-angguk, “kenapa kalian tidak berhenti berjalan di malam hari?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berhenti. Namun Mahisa Murti menjawab, “Kami memang ingin berhenti Kiai. Kami sudah datang ke banjar. Tetapi tidak ada tempat yang dapat diberikan kepada kami.”
“Kenapa?“ bertanya orang tua itu.
“Kami tidak mengetahui kenapa Kiai. Tetapi kami telah diusir dari banjar dan bahkan dari padukuhan ini,“ jawab Mahisa Pukat.
Orang itu telah bangkit berdiri. Kemudian katanya, “Jika demikian, marilah. Jika kalian tidak mempunyai tempat di banjar, maka kalian akan bermalam di rumahku. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih Kiai. Tetapi apakah dengan demikian kami tidak akan menyulitkan Kiai?”
Orang tua itu tertawa. Katanya, “jangan pikirkan aku. Tidak akan ada orang yang memperhatikan aku di padukuhan ini. Aku termasuk orang yang terbuang di sini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Cepat, kemarilah. Masuklah.”
Keduanya tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih panjang. Keduanya pun kemudian mengikuti orang tua itu masuk ke halaman dan kemudian regol yang sudah tua itu pun telah tertutup. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengikuti orang tua itu masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang sudah tua, setua regol halamannya.
Ketika mereka menyusup pintu lereg yang rendah, maka mereka telah berada di dalam sebuah ruang yang tidak terlalu luas. Sebuah lampu minyak yang berada diatas ajug-ajug di sisi tiang bambu bergetar ditutup angin yang menyusup lewat lubang-lubang dinding.
“Duduklah anak-anak muda,“ orang tua itu mempersilahkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di sebuah amben bambu yang besar, satu-satunya perabot yang ada di dalam ruangan itu.
Orang tua itu pun kemudian telah duduk pula di amben itu. Sambil tersenyum ia bertanya, “Siapakah nama kalian berdua?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti telah menjawab, “Namaku Mirta, sedang saudaraku ini namanya Paksi.”
Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bergumam, “Nama yang baik. Nama itu mirip dengan nama yang pernah aku dengar sebelumnya.”
“Nama siapa?“ bertanya Mahisa Murti.
“Aku juga seorang pengembara yang pernah menjelajahi kota dan padukuhan. Mengenal beberapa padepokan dan perguruan,“ berkata orang tua itu. Kemudian katanya, “ketika aku melihat kalian berdua, maka aku telah teringat akan orang-orang yang pernah aku kenal meskipun tidak secara pribadi.”
“Siapakah yang kau ingat?,“ desak Mahisa Pukat.
“Dua orang bersaudara, adik-adik dari Akuwu Sangling yang sekarang. Namanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menurut penglihatanku, keduanya mirip sekali dengan kalian berdua. Sedangkan nama kalian ada juga sentuhannya dengan nama-nama itu,“ jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Kiai. Kami tidak akan ingkar. Jika Kiai telah mengenal kami, maka perkenankan kami bertanya, siapakah Kiai sebenarnya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Hanya satu kebetulan bahwa aku telah mengenal kalian berdua di Sangling. Tetapi kebetulan pula kami pun mengenal kalian di Singasari. Bukankah kalian anak Mahendra?”
“Kiai mengenal ayahku?“ bertanya Mahisa Murti.
“Jika kau bertemu dengan ayahmu, salamku kepadanya. Aku adalah sahabat ayahmu yang kebetulan mempunyai pekerjaan yang sama. Aku juga pedagang wesi aji dan batu-batu berharga,“ jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan ragu Mahisa Pukat bertanya, “Nama Kiai?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Namaku Sabawa. Tetapi di padukuhan ini aku dikenal dengan nama Patah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Tetapi kenapa Kiai kemudian berada di tempat ini dan hidup dalam kemiskinan? Ayah yang juga bekerja seperti Kiai sempat membuat rumah meskipun tidak terlalu baik. Mempunyai sawah dan pategalan yang juga tidak begitu luas. Tetapi ayahku tidak nampak terlalu miskin.”
Orang yang menyebut dirinya bernama Sabawa itu tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang hidup seperti ini di padukuhan yang aneh ini. Sejak aku kehilangan isteri dan anakku, maka aku tidak lagi memandang hidupku terlalu penting. Disini aku hidup sendiri dan terasing. Adalah satu kebetulan bahwa kalian telah lewat dan bersedia memasuki rumahku ini. Rasa-rasanya aku telah mendapat kunjungan dari keluarga yang terdekat. Kehadiran kalian memberikan kesegaran baru dalam hidupku yang kering.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bahwa kami telah diperkenankan untuk bermalam di rumah Kiai.”
Orang yang bernama Sabawa itu tersenyum. Katanya, “Rumahku memang terbuka bagi siapapun. Yang masuk malam ini ternyata dua orang bersaudara yang pernah aku kenal meskipun kalian belum mengenal aku.”
“Sebenarnyalah bahwa kami telah tertarik oleh sifat anak-anak muda dan para pengawal di padukuhan ini. Agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan lain yang ramah, maka padukuhan ini telah menolak kami dan bahkan mengusir kami untuk keluar dari padukuhan ini,“ berkata Mahisa Murti.
Sementara itu Mahisa Pukat pun bertanya, “Tetapi apakah sesuatu pernah terjadi di padukuhan ini sehingga para penghuninya selalu mencurigai orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.”
Orang tua yang menyebut dirinya Sabawa itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang anak-anak muda. Hal itu terjadi karena sesuatu hal.”
“Apakah padukuhan ini pernah didatangi segerombolan perampok atau serupa dengan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu menggeleng. Katanya kemudian, “Yang terjadi justru sebaliknya.”
“Sebaliknya bagaimana Kiai?“ bertanya Mahisa Murti.
“Di padukuhan ini pernah lewat sekelompok orang-orang yang mengantarkan harta benda yang tidak terhitung banyaknya,“ berkata orang tua itu. Lalu “Semula tidak ada orang yang tahu, siapakah mereka dan apa yang mereka bawa. Namun ketika orang-orang itu minta bermalam di banjar, maka orang-orang padukuhan ini mengetahui bahwa mereka adalah sekelompok utusan dari seorang yang tidak terhitung kekayaannya yang pergi untuk menyerahkan kekayaan itu sebagai pemberian pelengkap lamaran yang akan disampaikan oleh anak orang yang kaya raya itu. Entah siapakah yang memulainya, namun ternyata para pengawal harta benda yang sangat besar jumlahnya itu telah terbunuh oleh racun. Mereka yang ingin membunuh itu tidak akan dapat melakukannya dengan kekerasan, karena pengawal itu adalah orang-orang yang berilmu. Namun mereka ternyata tidak mampu melawan racun. Semua pengawal telah terbunuh dan harta benda pun telah dirampas. Untuk waktu yang lama hal itu tetap merupakan rahasia. Namun bahwa orang-orang padukuhan ini kemudian menjadi kaya, maka ceritera tentang penyamunan yang licik itu lambat laun didengar orang juga. Tetapi sudah lama berlalu dan agaknya orang-orang yang mendengarnya kemudian menganggap tidak perlu untuk mengusutnya lagi. Karena jika rahasia itu merembes keluar, akibatnya akan tidak baik bagi padukuhan ini sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya, “jadi orang-orang itu telah diracun tanpa pertimbangan perikemanusiaan sama sekali?”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan wajah yang buram ia berkata, “Orang-orang padukuhan ini telah memberikan hidangan kepada para pengawal yang bermalam di banjar itu. Para pengawal itu sama sekali tidak menduga bahwa keramahan orang-orang padukuhan ini, khususnya yang berada di banjar pada malam itu, ternyata adalah iblis yang berhati hitam. Hidangan yang diberikan malam itu telah dicampurinya dengan racun yang tajam. Tidak seorang pun diantara para pengawal yang mampu bertahan. Semua terbunuh. Sementara beberapa orang padukuhan ini telah bersiap menghadapi kenyataan itu. Mereka dengan sigapnya telah mengubur mayat-mayat itu. Bukan hanya mayat-mayat. Tetapi juga harta benda yang ada. Ternyata semua itu berjalan dan lancar.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak berbicara sama sekali. Orang tua itu pun kemudian melanjutkannya, “Anak-anak muda. Satu diantara orang-orang yang terbunuh oleh racun itu adalah kakakku. Kakak kandungku.”
“Kakak kandung Kiai?“ bertanya Mahisa Murti.
Orang tua itu mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Kakak kandungku. Ia memang diminta untuk ikut mengawal barang-barang berharga itu.”
“Kiai akan membalas dendam? Dan karena itu Kiai berada di sini?“ bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya. Buat apa aku membalas dendam sementara kakak kandungku telah meninggal beberapa tahun yang lalu? Namun yang membuat hatiku tersayat adalah akibat dari peristiwa itu buat keluarga kedua belah pihak. Tidak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi, sehingga telah timbul salah paham yang tajam. Keluarga gadis yang seharusnya menerima barang-barang itu merasa telah tertipu karena janji dari keluarga anak muda yang akan mengawininya itu tidak terpenuhi. Bukan karena harta benda itu. Bahkan tanpa harta benda itu pun perkawinan akan dapat berlangsung, karena gadis itu sama sekali tidak menginginkan harta benda itu. Tetapi bahwa tidak seorang pun yang datang pada saat yang sudah ditunggu, merupakan satu penghinaan bagi keluarga itu. Dan ternyata yang dianggap penghinaan itu telah diselesaikan dengan cara yang salah.”
“Pertempuran?“ bertanya Mahisa Pukat tidak sabar.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ya. Yang terjadi adalah pembantaian yang paling buruk diantara kedua keluarga itu. Kedua keluarga itu memiliki orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga hampir semua orang yang terlibat dalam pertempuran antara kedua keluarga itu terbunuh atau terluka berat yang akhirnya meninggal pula.”
“Dan Kiai termasuk yang lolos dari maut dalam benturan itu?“ bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Aku menyaksikan peristiwa itu. Dan hal itu tidak diketahui oleh orang-orang padukuhan ini. Mereka dengan tanpa merasa bersalah telah memiliki harta benda itu. Kematian para pengawal segera dilupakannya. Tetapi di samping para pengawal masih ada orang-orang lain yang mati karena ulah orang-orang padukuhan ini.”
“Terlalu sekali,“ desis Mahisa Murti, “tetapi apakah ayahku tidak mengetahuinya sehingga ayah tidak pernah berceritera tentang peristiwa itu?”
“Tidak,“ jawab orang tua itu, “ayahmu tidak mengetahuinya. Ayahmu juga tidak mengetahui bahwa beberapa orang yang telah dikenalnya terbunuh pula. Orang-orang yang sudah dikenalnya itu ada di kedua belah pihak diantara kami yang bertempur itu. Dan diantara mereka yang terbunuh adalah anakku laki-laki yang masih terlalu muda untuk mati. Aku tidak tahu, apakah kematian anakku itu ada pengaruhnya terhadap kesehatan ibunya. Ternyata dalam waktu setahun, kesehatan ibunya tidak lagi dapat diselamatkan. Ibunya meninggal di pembaringan karena sakit yang dideritanya,“ orang itu berhenti sejenak, lalu “Dengan demikian maka aku merasa tidak ada lagi gunanya untuk menikmati hidup ini dengan cara yang telah aku lakukan sebelumnya. Aku telah memilih cara lain untuk menghabiskan sisa-sisa hidupku itu.”
“Tetapi kenapa Kiai memilih tempat ini, justru tempat yang akan dapat selalu memberikan kenangan buram bagi Kiai,“ bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak pasti, kenapa aku berada disini,“ jawab orang tua itu.
“Kiai agaknya memang menyimpan dendam,“ desis Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin membalas dendam. Menuntut kematian ditebus dengan kematian. Yang ingin aku lakukan adalah sekedar memberitahu kepada orang-orang padukuhan ini, terutama yang terlibat dalam pembunuhan dengan racun terhadap para pengawal itu, bahwa akibat dari perbuatan mereka adalah bahwa dua keluarga telah musnah. Dua alur darah telah terputus tanpa kelanjutan. Meskipun aku masih hidup, tetapi anakku satu-satunya mati. Ibunya juga menyusulnya. Dan aku tidak akan mungkin mempunyai keturunan lagi yang dapat menyambung darah keluargaku. Kepahitan ini harus mereka ketahui. Terserah, apakah mereka akan menyesal atau tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Itulah sebabnya, sampai saat ini mereka masih dibayangi ketakutan bahwa yang mereka lakukan itu akan diketahui oleh orang lain. Karena itu, maka mereka selalu mengusir orang-orang yang akan bermalam di banjar itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti kenapa orang-orang padukuhan itu tidak merasa senang bahwa ada seseorang yang bermalam di banjar. Meskipun peristiwa itu sudah berlalu, namun agaknya mereka masih selalu dibayangi oleh perbuatan licik mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti bertanya, “Tetapi Kiai, yang ada di banjar dan mengusir kami adalah anak-anak yang terhitung masih muda. Apakah memang mereka yang telah melakukan perbuatan licik itu?”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Mereka memang tidak tahu apa-apa. Mungkin mereka memang telah mendengar serba sedikit tentang peristiwa yang diusahakan tetap menjadi rahasia padukuhan ini. Namun seandainya belum, orang-orang tua mereka mengajarkan kepada mereka, bahwa setiap orang asing, harus diusir dari padukuhan ini jika orang asing itu ingin bermalam. Dengan alasan apapun.”
“Alasan yang mereka berikan memang masuk akal,“ berkata Mahisa Pukat, “mereka tidak membiarkan banjar itu dipergunakan oleh para pemalas. Jika hal serupa itu dibiarkannya, maka padukuhan ini seakan-akan telah membantu lahirnya para pemalas-pemalas yang hanya tahu minta belas kasihan orang lain.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Anak-anak muda. Apakah yang sebenarnya kalian cari, sehingga kalian sampai ke padukuhan ini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi karena orang tua itu baru saja dikenalnya, maka mereka masih juga membuat jarak diantara mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Kami tidak mencari sesuatu. Tetapi kami dalam perjalanan dari Sangling ke Lemah Warah. Ada semacam kerinduan untuk melakukan pengembaraan seperti ini setelah beberapa lama kami tinggal di sebuah padepokan.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Pengembaraan memang dapat menimbulkan kerinduan. Tetapi jika kalian pergi dari Sangling menuju ke Lemah Warah, kenapa kalian melalui padukuhan ini? Agaknya perjalanan kalian telah melingkar terlalu jauh.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Seperti sudah aku katakan Kiai. Kami ingin sekedar melakukan pengembaraan. Hanya karena kerinduan itu saja.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia tidak memaksa untuk bertanya lebih terperinci. Bagi orang tua itu, keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah cukup.
Namun sementara itu Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Kiai. Jika demikian, apakah kehadiranku disini tidak akan menimbulkan persoalan bagi Kiai?”
“Jika persoalan itu timbul, aku kira ada juga manfaatnya. Aku akan mendapat kesempatan untuk mengatakan sebagaimana yang aku inginkan, agar orang-orang padukuhan ini mengetahui, bahwa akibat perbuatan mereka, maka kematian tidak saja terjadi disini. Tetapi juga di tempat lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja mereka pun ingin melihat, akibat apakah yang akan timbul jika rahasia itu disebut secara terbuka. Karena bagaimanapun juga tindakan yang licik itu tidak boleh dibiarkan. Meskipun sudah agak lama berlalu, namun para pelakunya memang harus mendapat hukuman.
Karena itu, maka hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, biarlah kami disini.”
“Aku tidak berkeberatan,“ jawab orang itu, “jika besok matahari terbit, maka biarlah mereka melihat kalian berada di pondokku ini. Mudah-mudahan mereka terpancing untuk membuat persoalan.”
Demikianlah, maka kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru akan dijadikan alasan jika persoalan memang timbul kemudian. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bermalam di rumah kecil itu. Namun meskipun mereka tidak berunding sebelumnya, mereka telah dengan sendirinya mengatur diri. Meskipun keduanya berbaring tetapi mereka tidur bergantian. Bagaimanapun juga tempat dan pemiliknya, adalah asing bagi mereka, meskipun orang itu agaknya telah mengenal mereka dengan baik.
Namun tidak terjadi sesuatu atas mereka berdua di malam itu. Menjelang matahari terbit, keduanya telah bangun. Seperti yang biasa mereka lakukan, maka mereka pun telah mengisi jambangan sebelum mereka mandi di pakiwan. Sebelum jalan-jalan mulai ramai, maka orang tua pemilik rumah itu telah selesai menyapu halaman. Kemudian membenahi kebun dan menyirami batang-batang sirih yang merambat di beberapa batang pohon kelor.
“Daun sirih ini mempunyai banyak manfaat,“ berkata orang tua itu, “banyak penyakit yang dapat diobati dengan daun sirih. Dari penyakit kulit sampai sakit syarat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian membantunya mengangguk-angguk. Ternyata di kebun orang tua itu bukan saja terdapat pohon sirih yang merambat. Tetapi juga tanaman-tanaman lain yang dapat diramu menjadi obat-obatan yang baik.
“Kiai seorang tabib?“ bertanya Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan anak muda. Tetapi aku berusaha untuk menekuni bidang pengobatan. Aku baru mulai, sehingga karena itu, apa yang dapat aku lakukan belum banyak berarti.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang tua itu berkata sebenarnya, karena ia memang belum lama berada di padukuhan itu. Tanaman-tanamannya-pun masih ada yang nampak baru meskipun sebagian yang lain telah menjadi rimbun.
“Satu kesenangan yang mengasyikkan,“ berkata orang tua itu kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengagumi tanaman di kebun Kiai Sabawa yang juga dikenal bernama Kiai Patah itu. Namun sejenak kemudian, orang tua itu pun berkata, “Nah, sebaiknya kau berada di halaman. Bukalah regol halaman rumah ini lebar-lebar, agar ada orang yang melihat bahwa kau ada disini. Adalah lebih baik jika yang melihatmu adalah orang-orang yang telah mengusirmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Meskipun orang itu mengaku tidak mendendam, namun kedua anak muda itu melihat sepercik api di sorot mata orang tua yang telah kehilangan kakak kandungnya di banjar padukuhan itu karena racun, kehilangan anak laki-lakinya yang meningkat dewasa dan kehilangan isterinya yang meratapi kematian anak laki-lakinya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang percaya akan ceritera orang tua itu, ternyata tidak berkeberatan melakukannya. Keduanya pun kemudian telah berada di halaman rumah itu dan membuka pintu regol lebar-lebar. Bahkan kedua orang anak muda itu telah berdiri bersandar dinding di luar regol, melihat orang-orang yang lewat hilir mudik di jalan yang terhitung ramai itu. Keduanya memang berharap bahwa orang-orang yang mengusirnya atau salah seorang diantara mereka dapat melihat keduanya yang ternyata tidak meninggalkan padukuhan itu.
Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Namun akhirnya, yang mereka harapkan itu telah terjadi. Seorang laki-laki muda dan seorang yang lebih tua tertegun ketika melihat keduanya. Mereka berpandangan sejenak, sementara yang muda bertanya, “Apakah kedua orang anak muda itu bukan orang-orang yang kita usir semalam dari banjar?“
Yang lebih tua itu pun menjawab, “Agaknya kau benar. Tetapi sebaiknya kita bertanya kepada mereka.”
Keduanya pun telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang juga tidak segera dapat mengenalinya. Namun keduanya segera menyadari dengan siapa mereka berhadapan ketika salah seorang dari kedua orang itu bertanya, “He, bukankah kalian yang semalam datang ke banjar dan mohon untuk bermalam?”
Mahisa Murti lah yang menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami semalam memang mohon untuk bermalam di banjar. Tetapi kami justru telah diusir. Untunglah, bahwa Kiai Patah, pemilik rumah ini telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bermalam, sehingga kami tidak kedinginan di bulak panjang.”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun tiba-tiba seorang yang lebih tua diantara mereka berkata, “jadi orang tua itu telah berani memberi tempat di padukuhan ini?”
“Ya. Orang yang murah hati,“ desis Mahisa Pukat.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun telah dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Ke mana mereka?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka akan segera kembali dengan membawa banyak orang. Kita harus segera memberitahukan kepada Kiai Sabawa,“ berkata Mahisa Murti.
Ketika Kiai Sabawa mendengar keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun berkata, “Baiklah. Kita akan menunggu kedatangan mereka. Kedatangan kalian memberikan banyak keuntungan kepadaku. Itu jika kalian setuju.”
“Apa saja?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Kesempatan untuk memberitahukan bahwa tingkah laku orang-orang padukuhan ini sudah menghancurkan dua keluarga besar beserta sanak kadangnya selain orang-orang yang mereka bunuh dengan racun disini. Kemudian, jika terjadi benturan meskipun itu tidak aku kehendaki, maka kalian akan dapat membantuku. Bertiga kita akan lebih mudah melarikan diri daripada jika aku sendiri,“ berkata Kiai Sabawa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk kecil. Sementara itu Kiai Sabawa berkata, “Aku tidak ingin melakukan pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di padukuhan ini. Karena itu, jika terjadi kerusuhan, kita harus melarikan diri. Mungkin kita akan berbuat sesuatu untuk melindungi diri. Tetapi tanpa niat untuk membunuh.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud Kiai Sabawa. Sebenarnyalah mereka memang tidak perlu membunuh. Jika rahasia itu diketahui oleh banyak orang, terutama anak-anak mudanya, maka mereka telah menghukum diri mereka sendiri. Tentu ada golongan yang tidak senang dengan tingkah laku orang-orang tua mereka. Sementara itu, orang-orang tua mereka yang sudah terlanjur menjadi kaya karena mampu mengembangkan modal yang dapat mereka rampas dan mereka bagikan untuk banyak orang di padukuhan itu, akan berusaha untuk mempertahankan kebenaran langkah mereka, atau bahkan ingkar sama sekali, bahwa hal itu pernah mereka lakukan.
Demikianlah, seperti yang mereka duga, maka sebentar kemudian, sekelompok orang telah datang ke rumah Kiai Sabawa. Orang-orang itu dengan garang telah memasuki halaman rumah Kiai Sabawa yang menerima mereka di serambi rumahnya yang kecil.
“He, kau Kiai Patah,“ berkata salah seorang diantara mereka yang datang. Seorang yang bertubuh tinggi tegar dan berwajah garang, “kau telah menyalahi ketentuan yang dibuat oleh orang-orang padukuhan ini. Aku tahu, kau bukan orang yang memang berasal dari padukuhan ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau boleh tidak tunduk kepada peraturan yang berlaku disini.”
Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu pun bertanya dengan nada rendah, “Apa yang telah aku lakukan?”
“Jangan berpura-pura,“ bentak orang bertubuh tinggi itu, “siapa kedua orang anak muda itu?”
“Mereka adalah pengembara,“ jawab Kiai Patah, “aku merasa kasihan kepada mereka, karena mereka telah kemalaman di jalan.”
Wajah-wajah orang-orang padukuhan itu menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi tegar dan berwajah garang itu berkata, “Nah, kau tidak akan dapat ingkar. Kau memang harus mengaku, bahwa kau telah menyalahi ketentuan yang dibuat bagi padukuhan ini.”
“Ketentuan yang mana?“ bertanya Kiai Sabawa.
“Kau memang berlagak bodoh,“ berkata orang itu, “kau tentu sudah mendengar, bahwa kita, penghuni padukuhan ini, telah bersepakat untuk tidak membantu tumbuhnya para pemalas, pengembara yang menjual belas kasihan dan pengemis yang kadang-kadang juga tidak segan-segan untuk mencuri.”
“Aku sudah mendengar ketentuan itu. Dan aku merasa tidak melanggarnya,“ berkata Kiai Sabawa.
“Kau jangan membuat kami semakin marah,“ geram orang itu, “jika kau tidak melanggar ketentuan itu, lalu kenapa kau biarkan kedua orang pemalas itu menginap di rumahmu? Ia akan menjadi terbiasa mencari penginapan di rumah-rumah orang yang dengan mudah berbelas kasihan. Namun yang sama sekali tidak memberikan akibat yang baik. Hal itu tentu sudah kau ketahui, sehingga seharusnya kau tidak memberikan tempat kepada kedua orang pengemis malas itu.”
“Oo,“ Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti sekarang. Kalian tentu mengira kedua orang anak muda itu mencari penginapan dan barangkali mendapat suguhan minum, apalagi makan. Begitu?“ Kiai Sabawa berhenti sejenak. Lalu ”Tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang dapat aku berikan kepada mereka. Aku tidak mempunyai beras yang dapat aku tanak. Atau ketela untuk direbus. Aku hanya dapat menyuguhkan air hangat dengan batang sere yang direndam didalamnya dan sepotong gula kelapa. Tidak lebih.”
“Itu sudah cukup membuatnya menjadi semakin malas,“ orang yang bertubuh tinggi itu berteriak, “kau harus tahu itu.”
Kiai Patah itu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Kedua anak muda itu sama sekali bukan pengembara yang minta-minta makan dan minum. Ternyata mereka sedang dalam penyamaran karena mereka mengemban tugas yang berbahaya. Kedua anak muda itu sedang melakukan perjalanan sambil membawa harta benda yang tidak ternilai harganya.”
Orang bertubuh tinggi itu terkejut. Namun segera ia berusaha menguasai perasaannya. Dengan nada yang merendah ia berkata, “Kau mulai berbohong. Buat apa anak-anak itu membawa harta benda yang tidak ternilai harganya?”
“Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah seorang perempuan yang akan menjadi isteri kakaknya. Keduanya harus menyampaikan harta benda itu sebagai syarat peresmian ikatan antara keduanya. Ayah dan ibu kedua anak muda itu sudah berjalan mendahului mereka,“ jawab Kiai Sabawa. Lalu “Bukankah keduanya semalam telah datang ke banjar? Mereka menganggap bahwa mereka akan mendapat perlindungan sehingga harta benda yang dibawanya menjadi aman. Bukankah di banjar ada beberapa orang pengawal yang bertugas ronda di malam hari?”
Orang-orang itu menjadi tegang. Terutama beberapa orang yang sudah menjelang separuh baya yang beberapa saat yang lalu ikut mengalami peristiwa yang masih saja membayangi padukuhan itu.
“Bukankah begitu?“ bertanya Kiai Sabawa, “keduanya ternyata gagal mencari perlindungan. Sehingga akhirnya keduanya minta bermalam di rumah ini. Karena aku yakin bahwa aku tidak akan ikut menyuburkan kemalasan, karena keduanya memang bukan benar-benar pengembara, maka aku terima keduanya disini, meskipun tanpa perlindungan atas harta benda yang mereka bawa.”
“Kau berkata sebenarnya?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.
“Aku berkata sebenarnya,“ jawab Kiai Sabawa, “keduanya tidak mau mengalami peristiwa pahit sebagaimana pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Ketika kakaknya itu akan kawin, maka harta benda yang seharusnya diserahkan kepada calon isterinya telah hilang lenyap. Mula-mula keluarganya mengira bahwa uang dan barang-barang berharga itu dilarikan oleh mereka yang dipercaya untuk mengantarkannya. Tetapi ternyata tidak. Dan akibatnya menjadi sangat parah.”
Beberapa orang benar-benar menjadi tegang. Namun tiba-tiba orang bertubuh tinggi itu berteriak, “Tentu dilarikan oleh orang-orang yang mendapat tugas itu.”
“Tidak Ki Sanak. Kenyataannya memang tidak,“ jawab Kiai Sabawa, “orang-orang itu telah bermalam di satu tempat. Mereka telah dikhianati oleh orang-orang yang nampaknya terlalu ramah menerima mereka di sebuah banjar padukuhan. Namun para pengawal barang-barang berharga itu telah diracun oleh orang-orang padukuhan itu dan harta bendanya dirampas.”
“Sebuah dongeng yang menyesatkan,“ teriak orang bertubuh tinggi itu.
“Tidak. Bukan dongeng. Bertanyalah kepada kedua orang itu. Mereka bukan saja kehilangan orang-orang kepercayaan mereka. Tetapi lebih dari itu, mereka telah kehilangan seluruh keluarga mereka,“ jawab Kiai Sabawa itu, dan yang kemudian menceriterakan apa yang telah dialami oleh kedua kelompok keluarga yang hampir tertumpas habis.
Kemudian katanya, “Nah, itulah yang terjadi. Yang terbunuh bukan saja yang menginap di banjar padukuhan sebagaimana sudah aku katakan. Tetapi seluruh keluarga dari kedua belah pihak. Bukankah itu sangat mengerikan? Bukankah tingkah laku orang-orang padukuhan yang meracunnya itu benar-benar tindakan biadab. Mereka telah menumpas semua pengawal dan dua kelompok besar keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.”
Suasana benar-benar menjadi tegang. Sejenak semua orang diam mematung. Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun terdiam pula. Namun beberapa orang diantara mereka, jantungnya bagaikan dibakar dengan bara api. Mereka seakan-akan telah dihadapkan di muka sebuah cermin raksasa, sehingga mereka dapat melihat kembali apakah yang pernah mereka lakukan beberapa tahun yang lalu, bahkan mereka telah melihat pula akibat yang sangat luas dari perbuatan mereka, sehingga dua kelompok keluarga besar menjadi musnah karena salah paham yang tidak terpecahkan.
Tetapi sementara itu, orang yang bertubuh tinggi itu berkata, “Kiai Patah. Kau adalah seorang yang sudah tua. Seharusnya kau dapat mengendalikan kata-katamu. Apa yang sebenarnya kau maksud dengan ceriteramu yang mengandung pengertian yang saling bertentangan. Kau menganggap bahwa kedua anak muda itu akan bermalam di banjar untuk mendapat perlindungan. Tetapi kemudian kau katakan bahwa orang-orang yang bermalam di banjar justru telah diracun oleh orang-orang padukuhan. Apa sebenarnya maksudmu? Mendapat perlindungan atau justru dimusnahkan?”
Kiai Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Perlindungan adalah satu harapan. Tetapi jika kenyataannya terjadi sebaliknya, memang sangat memilukan. Sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah justru pembunuhan-pembunuhan itu, sehingga apa yang aku katakan itu benar-benar telah terjadi.”
“Bohong,“ bentak seorang yang rambutnya sudah berwarna dua, namun masih menunjukkan sikap seorang laki-laki yang garang, “apakah maksudmu menuduh orang-orang padukuhan ini sebagai pembunuh?”
“Siapa yang menuduh?“ Kiai Sabawa justru bertanya, “Aku hanya mengatakan bahwa hal seperti itu pernah terjadi. Tetapi apakah di padukuhan ini?”
“Kau jangan menyindir, he?“ tiba-tiba seorang yang bertubuh agak gemuk melangkah maju. Di lambungnya tergantung sebilah pedang panjang. Dengan nada berat ia berkata, “apa pun yang kau katakan, kau telah menghina orang-orang padukuhan ini. Dengan lancang kau mengatakan, bahwa kami, orang-orang padukuhan ini telah membunuh sekelompok orang dengan racun. Apa pun yang kau ucapkan, tetapi yang tersirat adalah seperti itu.”
Kiai Sabawa tersenyum. Katanya, “Ki Sanak. Kenapa kau merasa bahwa aku telah menyindir kalian. Aku hanya menceriterakan bahwa pernah terjadi peristiwa seperti yang aku katakan. Selebihnya terserah penilaian kalian atas keteranganku itu.”
“Kau telah menghina kami. Sepantasnya bahwa kau mendapat hukuman yang paling berat dari kami, seisi padukuhan ini,“ berkata orang yang agak gemuk itu.
Tiba-tiba seorang yang lain pun telah melangkah maju pula. Katanya, “Biarlah kita selesaikan saja orang-orang itu. Bagaimanapun juga mereka merupakan orang-orang yang berbahaya bagi kita.”
Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Anak-anak muda di padukuhan itu menjadi bingung. Apalagi mereka yang tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi seutuhnya. Jika mereka mendengar serba sedikit, maka mereka telah mendapat ceritera yang sudah dibumbui dengan peristiwa-peristiwa yang tidak sebenarnya terjadi. Sehingga mereka mendapat gambaran yang lain dari peristiwa yang sebenarnya. Sementara itu, yang mereka dengar sebagian-sebagian itu-pun harus mereka rahasiakan agar orang lain tidak mengetahuinya, sehingga nama baik padukuhan mereka tidak tercemar.
“Ki Sanak,“ berkata Kiai Sabawa kemudian, “seharusnya kalian tidak cepat menjadi marah. Lihatlah, anak-anak muda di padukuhan ini tidak segera menjadi marah sebagaimana kalian lakukan. Bukankah hal ini tidak biasa? Biasanya anak-anak mudalah yang marah lebih dahulu. Orang-orang tua biasanya mencegahnya dan minta agar mereka menjadi sabar.”
Ternyata beberapa orang justru bergerak maju. Seorang yang bertubuh tegap telah berada di paling depan. Katanya, “Kalian bertiga benar-benar telah menghina padukuhan kami. Kau orang tua yang tidak tahu diri, yang dengan sengaja melanggar ketentuan dari padukuhan ini. Sedangkan kau anak muda. Kau tidak melakukan perintah yang sudah diberikan oleh para pengawal di banjar untuk meninggalkan padukuhan ini. Sekarang, kalian harus menerima hukuman kami, kalian bertiga harus tunduk kepada perintah kami. Kalian akan kami bahwa ke banjar. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menggantung kalian bertiga daripada di halaman banjar, disaksikan oleh orang-orang padukuhan ini seluruhnya. Biarlah orang-orang padukuhan ini mengabarkan kepada setiap orang, siapakah yang telah melanggar ketentuan kami, mereka akan dihukum paling berat.”
Suasana memang menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “satu sikap yang aneh. Jika kami telah melanggar perintah kalian, apakah kami harus dihukum mati? Hanya karena kami bermalam di padukuhan ini? Nah, renungkan. Apakah hukuman mati itu setimpal dengan kesalahan kami?“
Mahisa Pukat justru melangkah maju. Beberapa langkah dihadapan orang-orang padukuhan itu, “Coba pikirkan. He, kalian para pengawal, anak-anak muda padukuhan ini? Amatilah. Kenapa orang-orang tua di padukuhan ini tiba-tiba menjadi ketakutan seperti melihat hantu? Kami bukan hantu, karena kami tidak ikut terbantai pada saat pembunuhan yang licik itu terjadi.”
“Apakah yang sebenarnya kalian katakan?“ bertanya seorang anak muda sebaya dengan Mahisa Pukat.
Namun sebelum Mahisa Pukat menjawab, orang yang bertubuh tegap itu berkata, “Persetan. Bunuh mereka sekarang juga jika mereka mencoba melawan. Kita tidak punya waktu.”
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Katanya, “Persoalannya menjadi semakin jelas.”
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Orang-orang padukuhan itu nampaknya menjadi semakin garang. Anak-anak muda yang baru saja memasuki usia dewasanya menjadi bingung. Namun yang telah lebih tua dari mereka dan mengetahui dengan pasti keadaannya, apalagi menyangkut orang tua mereka sendiri, telah ikut serta mengambil sikap yang keras.
Mereka yang lebih tua itu telah ikut serta bertanggung jawab atas apa yang terjadi di padukuhan mereka. Karena itu, maka bagi mereka, orang-orang asing yang akan dapat membuka rahasia mereka itu pun harus disingkirkan.
Tetapi anak-anak yang lebih muda memang heran mendengar keputusan itu, bahwa orang-orang yang hanya sekedar bermalam di padukuhan itu harus dihukum mati. Sementara itu, ceritera orang yang mereka kenal bernama Kiai Patah, sikap orang-orang yang lebih tua, serta apa yang telah mereka dengar tentang peristiwa yang terjadi di banjar namun yang telah berubah susunannya, membuat mereka menjadi semakin bingung.
Mereka pun merasakan tuduhan yang dilontarkan oleh Kiai Patah meskipun tidak berterus terang, seakan-akan tanggung jawab atas kematian beberapa orang yang membawa barang-barang berharga itu terletak pada orang-orang padukuhan itu.
Kiai Sabawa melihat kebimbangan di hati anak-anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Nah, sekarang bertanyalah kepada kakak-kakak serta orang tua kalian. Apakah yang sebenarnya pernah terjadi di padukuhan ini. Perampokan, pembantaian atau peristiwa lain. Kalian yang muda-muda yang baru berangkat dewasa, yang beberapa tahun yang lalu masih kanak-kanak, tentu pernah juga mendengarnya peristiwa yang terjadi di banjar padukuhan. Tetapi kalian tentu mendapat ceritera yang salah tentang peristiwa itu.”
Beberapa orang anak muda memang telah bertanya-tanya di dalam hati. Apakah sebenarnya yang pernah terjadi. Menurut pendengaran mereka dari apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang tua untuk menjelaskan peristiwa di banjar itu yang justru dibenarkan dan bahkan sering pula dikatakan oleh Ki Bekel adalah, bahwa memang pernah ada sekelompok orang yang membawa barang-barang berharga bermalam di banjar.
Tetapi ternyata mereka telah bertengkar dan saling membunuh. Justru memperebutkan barang-barang berharga dan uang yang mereka bawa. Yang masih hidup kemudian telah membawa barang-barang berharga itu lari tanpa bekas. Dengan demikian, maka mayat-mayat yang tertinggal justru menjadi beban orang-orang di padukuhan itu untuk menguburkannya.
Ceritera itu memang mengandung beberapa kecanggungan. Tetapi anak-anak yang baru memasuki usia dewasa dan terlibat dalam kegiatan anak-anak muda telah menerima ceritera itu tanpa menghubungkan dengan orang-orang tua di padukuhan itu yang mendapatkan modal usaha sehingga mereka menjadi kaya. Baru ketika mereka mendengar keterangan dari orang yang bernama Kiai Patah itu, mereka mulai berpikir.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja beberapa orang telah menyibak. Seorang yang berambut putih yang terjurai selembar-lembar menyusup diantara orang-orang yang berada di halaman itu.
“Ki Bekel,“ berkata orang yang bertubuh tinggi.
“Aku sudah mendengar laporan tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Patah. Agaknya ia dengan sengaja telah membuat onar di padukuhan kita. Demikian pula kedua orang anak muda yang berpura-pura untuk bermalam di banjar,“ berkata Ki Bekel lantang.
Namun Mahisa Pukat yang berdiri dihadapan orang-orang itu tersenyum sambil berkata, “jadi Ki Sanaklah yang memegang kendali di padukuhan ini.”
“Aku bekel disini,“ jawab orang itu, “aku berhak menghukum kalian. Tidak ada hukuman yang paling baik daripada hukuman mati atas kalian yang dengan sengaja menginjak-injak kewibawaan padukuhan ini.”
“Terserah saja kepada Ki Bekel,“ jawab Mahisa Pukat, “tetapi jawab dahulu pertanyaanku. Apakah Ki Bekel juga terlibat dalam peristiwa yang memalukan itu? Apakah orang yang memberikan laporan kepada Ki Bekel juga mengatakan, bahwa akibat pembantaian yang terjadi di banjar ini, telah terjadi salah paham antara dua kelompok keluarga tanpa ada pemecahan karena tidak seorang pun diantara para pengawal barang-barang berharga itu hidup? Apakah Ki Bekel tahu, selain pembantaian yang terjadi, dua kelompok besar keluarga calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan hampir tumpas tapis tanpa bekas?”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Tetapi ia pun tiba-tiba telah meneriakkan aba-aba, “Tangkap ketiga orang ini dan kita akan membawanya ke banjar. Hukuman yang paling baik bagi mereka adalah hukum gantung atau kita serahkan ketiganya kepada rakyat padukuhan ini untuk dihabisi dengan cara yang dikehendaki oleh rakyat itu sendiri.”
“Jangan bermimpi menghukum kami,“ berkata Mahisa Pukat yang justru melangkah mendekati Ki Bekel, “mungkin Ki Bekel orang yang berilmu tinggi. Tetapi tidak dengan orang-orang padukuhan ini. Karena itu, maka jika Ki Bekel menghendaki menghukum kami, berarti Ki Bekel telah menyorongkan rakyat Ki Bekel ke dalam api. Dengar, api yang sebenarnya api. Karena kami akan membakar mereka dalam panasnya api.”
“Kau sudah gila,“ geram Ki Bekel.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun telah melangkah mendekati Kiai Sabawa sambil berkata, “Bukankah kita tidak akan menyerahkan leher kita untuk digantung?”
Kiai Patah menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin kekerasan terjadi disini. Aku hanya ingin berbicara dengan rakyat padukuhan ini.”
Tetapi Ki Bekel agaknya tidak ingin memberi kesempatan lebih banyak lagi kepada ketiga orang itu untuk berbicara. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Kita sudah cukup banyak bicara. Sekarang kita harus bertindak.”
“Tunggu Ki Bekel,“ berkata Kiai Sabawa yang dikenal dengan nama Kiai Patah itu, “sebenarnya aku belum selesai. Aku ingin menegaskan sekali lagi, akibat yang parah dari tingkah laku kalian disini. Kematian dan kematian. Aku pun sebenarnya ingin bertanya, apakah anak-anak muda membiarkan kebohongan ini terjadi tanpa kesan apa pun juga? Tanpa ada usaha untuk meluruskannya?”
“Cukup,“ Ki Bekel hampir berteriak, “jangan beri kesempatan orang itu mengigau. Kita harus segera membawanya ke banjar.”
Beberapa orang tua pun sudah tidak sabar lagi. Mereka segera bergerak ke arah tiga orang yang harus mereka tangkap itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat berkata lantang, “Aku peringatkan kalian sekali lagi. Jangan menyulitkan diri sendiri. Jika kalian memaksa kami untuk membela diri, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian sendiri.”
“Persetan,“ jawab Ki Bekel lantang, “lakukan sekarang. Apalagi yang kalian tunggu?”
Kata-kata Ki Bekel itu merupakan perintah. Orang-orang yang sudah berada di halaman itu pun menebar dan mengepung ketiga orang yang mereka anggap sangat berbahaya. Bahkan beberapa orang telah melingkari rumah itu dan masuk lewat pintu dapur. Mereka mencari ke setiap sudut rumah, jika saja ada orang lain di dalam rumah itu. Tetapi ternyata rumah itu kosong. Rumah itu hanya dihuni oleh orang yang mereka kenal dengan nama Kiai Patah itu.
Sementara itu Kiai Patah bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap di halaman. Mereka juga telah menebar menghadap ketiga arah pula. Mereka memang harus menghadapi lawan yang telah mengepung mereka. Namun dalam saat-saat terakhir Kiai Sabawa masih berkata, “Kita tidak akan menjadi pembunuh disini. Hanya jika hal itu terjadi di luar kehendak kita, apa boleh buat. Namun kita harus mencegah sejauh dapat kita usahakan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak sempat menjawab, karena beberapa orang telah datang menyerang. Mau tidak mau, ketiga orang itu memang harus berkelahi. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka akan diikat dan diseret ke halaman banjar dan tidak mustahil bahwa mereka benar-benar akan dibunuh oleh orang-orang yang ketakutan karena rahasia mereka yang telah mereka sembunyikan beberapa tahun itu akan terbongkar sehingga hal itu akan dapat menimbulkan persoalan diantara keluarga sendiri.
Ternyata bahwa Kiai Sabawa, kawan Mahendra itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun ia tidak mempergunakan kekuatan dan kemampuannya yang dapat membahayakan lawan-lawannya, namun ia telah mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya untuk mendorong tata geraknya sehingga menjadi semakin cepat. Karena itulah, maka ia telah membingungkan lawan-lawannya. Beberapa orang yang datang bersamaan, tiba-tiba saja telah terdorong surut dan bahkan beberapa orang telah jatuh terpelanting di tanah.
Orang-orang padukuhan itu tidak tahu, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang tua itu. Namun mereka benar-benar tidak dapat mendekatinya. Ketika dengan marah yang sangat mereka menyerang orang itu, maka justru merekalah yang telah terlempar jatuh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang serupa. Tetapi anak-anak muda itu ternyata lebih garang dari Kiai Sabawa sendiri. Baik Mahisa Murti mau pun Mahisa Pukat telah melemparkan pula beberapa orang lawan. Namun orang-orang itu menjadi kesakitan. Punggung mereka terasa menjadi retak dan bahkan diantara mereka yang sulit untuk dapat bangkit kembali. Beberapa orang kawan mereka telah mencoba mengangkat dan membawa mereka menepi. Tetapi satu dua orang yang lain telah terjatuh pula.
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk melindungi diri mereka sendiri. Karena terlalu banyak orang yang datang menyerang, bergelombang mengalir tidak putus-putusnya, maka semakin banyak pula orang yang telah terlempar dan mengerang kesakitan. Sementara itu, serangan mereka yang meskipun mengenai anak-anak muda itu, tetapi seakan-akan mereka tersentuh pun tidak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mendapatkan latihan-latihan yang tuntas, ternyata mampu meningkatkan daya tahan tubuh mereka sehingga pukulan-pukulan wadag dengan alas kekuatan yang sewajarnya tidak dapat menyakitinya.
Tetapi ternyata jumlah orang-orang padukuhan itu terlalu banyak. Sehingga semakin lama, serangan-serangan yang mengenai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin mengganggunya. Bahkan ada diantara mereka yang mempunyai kekuatan yang mampu menyakiti anak-anak muda itu.
Karena itu, maka ketiga orang itu, terutama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah meningkatkan kecepatan gerak mereka pula. Namun hal itu agaknya juga sangat berpengaruh terhadap lontaran kekuatan tenaga mereka yang telah dilambari dengan kekuatan cadangan.
“Tanpa menyakiti mereka, maka mereka tidak akan menjadi jera,“ berkata Mahisa Pukat didalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah bertindak lebih keras. Ia benar-benar telah menyakiti orang-orang yang telah menyerangnya itu. Dengan keras Mahisa Pukat telah memukul dan membanting orang-orang padukuhan yang tidak tahu diri itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa yang telah mulai menyerang Kiai Sabaya yang dikenal oleh orang-orang padukuhan itu dengan nama Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah justru orang-orang kebanyakan sebagai satu cara untuk menjajagi kemampuan ketiga orang itu.
Namun, ternyata bahwa ketiga orang itu benar-benar orang yang memiliki kelebihan. Seberapa banyak orang yang datang, maka mereka pun telah terlempar dan terdorong surut. Bahkan terbanting jatuh dan berguling-guling di tanah.
“Iblis manakah yang telah merasuk kedalam tubuh mereka, sehingga mereka mampu mengatasi orang sekian banyaknya,“ geram Ki Bekel.
Orang yang bertubuh tinggi dan berjambang lebat itu pun menggeram, “Biarlah kami yang menyelesaikan mereka.”
Ki Bekel mengangguk kecil. Katanya, “Memang kitalah yang harus menyelesaikan mereka. Semakin lama mereka justru semakin menarik perhatian orang-orang banyak. Orang-orang itu akan menganggap ketiganya orang yang baik, yang tidak mau melukai mereka meskipun harus melawan sekian banyak orang.”
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk pula. Namun kemudian ia pun berkata kepada beberapa orang yang ada di sekitarnya, “Marilah. Kitalah yang harus menyelesaikan mereka.”
“Kita tidak akan sempat membawanya ke banjar. Kita selesaikan saja mereka disini,“ berkata orang yang agak gemuk itu sambil menarik goloknya.
Beberapa orang yang lain pun tiba-tiba saja telah mengacukan senjata mereka pula. Ada yang membawa pedang, keris, tombak pendek, trisula, bindi dan jenis-jenis senjata apa pun yang dapat mereka ketemukan. Bahkan ada yang membawa parang dan kapak pembelah kayu. Orang-orang itulah yang kemudian telah bergerak maju.
Sementara itu, orang-orang yang lain, yang telah mendahului menyerang ketiga orang itu, telah menjadi jera untuk bergerak lagi. Mereka yang sudah terbanting dan terdorong jatuh, rasa-rasanya tulang mereka telah berpatahan, sehingga mereka tidak sanggup lagi untuk berkelahi.
Karena itu, maka orang-orang bersenjata yang termasuk orang-orang yang disegani di padukuhan itulah yang kemudian telah bergerak. Dengan senjata di tangan mereka mulai bergeser mendekati ketiga orang itu. Beberapa orang telah mendekati Kiai Sabawa sedangkan yang lain telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu maka orang yang bertubuh tinggi, yang telah berdiri dihadapan Kiai Sabawa itu berkata,
“Orang tua yang tidak tahu diri. Kau kira dengan mengusir orang-orang yang tidak berdaya itu kau merasa memiliki kemampuan yang dapat menggetarkan bulu-bulu kami?”
“Siapa yang mengira begitu?“ bertanya Kiai Sabawa, “bukankah aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka. Jika kau terpaksa mengusir mereka, karena mereka akan menyakitimu. Bukankah itu wajar?”
“Aku tidak peduli. Kau sudah banyak membuat onar disini. Karena itu, maka kau memang harus mati,“ geram orang itu.
Ki Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Bekel telah berteriak, “jangan beri kesempatan. Kepung mereka dan selesaikan mereka disini. Sekarang.”
Orang-orang yang telah bersiap dengan senjata mereka itu memang tidak menunggu terlalu lama. Mereka pun segera telah menyergap ketiga orang itu. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekejap memang bimbang. Apakah yang harus mereka lakukan melawan orang-orang bersenjata itu. Keduanya merasa tidak pantas untuk melawan mereka dengan tingkat ilmu mereka yang tinggi untuk mengalahkan lawan-lawan mereka itu. Namun mereka pun akan mengalami kesulitan pula melawan sekian banyak orang bersenjata.
Seandainya mereka tidak terikat pada niat Kiai Sabawa yang agaknya masih ingin memberikan penjelasan kepada orang-orang padukuhan itu, maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri saja. Bukan karena mereka tidak mampu menghadapi orang-orang itu. Tetapi semata-mata menghindari pembunuhan. Tetapi jika mereka harus bertahan, maka kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa satu dua orang diantara lawan anak-anak muda itu akan terbunuh.
Namun mereka memang harus bertahan. Apalagi ketika Kiai Sabawa kemudian berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak ingin terjadi benturan kekerasan seperti ini. Aku hanya ingin memberitahukan apa yang sebenarnya telah terjadi disini. Tetapi karena kalian memaksa, maka kami akan melayani. Tetapi jika terjadi sesuatu atas kalian atau beberapa orang diantara kalian, sama sekali bukan tanggung jawab kami.”
“Jangan biarkan ia mengigau,“ teriak Ki Bekel, “selesaikan secepatnya.”
Ketika orang-orang bersenjata itu menyerang semakin garang, maka Kiai Sabawa berkata lantang, “Anak-anak muda. Jika kalian ingin senjata, bukankah kalian dapat mengambil satu diantara senjata lawan kalian itu?”
Kata-kata itu merupakan isyarat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa mereka memang harus bertahan. Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Kiai Sabawa, maka mereka pun berusaha untuk merampas satu diantara senjata lawan. Memang agak sulit dilakukan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi itu ternyata mampu melakukannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti telah menggenggam sebilah pedang, sementara Mahisa Pukat membawa sebatang tombak bertangkai pendek.
Dengan senjata di tangan kedua orang anak muda itu, maka keduanya menjadi semakin garang. Namun bagi Kiai Sabawa, justru dengan senjata di tangan, maka keduanya akan membatasi gerak mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu yang sangat tinggi bagi orang-orang padukuhan itu, justru akan sangat berbahaya jika mereka tidak membawa senjata di tangan. Karena dari tangannya akan dapat memancar kekuatan yang tidak terjangkau oleh nalar orang-orang padukuhan itu.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang seru dengan senjata. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas telah menangkis semua ujung senjata yang mematuk ke arahnya. Dengan sigap keduanya menghindari ayunan pedang dan bahkan kapak. Bahkan lembing yang dilontarkan ke arah mereka, sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi garang. Senjata mereka berputaran. Pedang Mahisa Murti yang berputar seperti baling-baling dengan rapat melindunginya. Putaran pedang itu bagaikan kabut putih yang bergulung-gulung menyeliputi tubuhnya. Bahkan seakan-akan demikian rapatnya, sehingga tidak seujung duri pun yang dapat menyusup kedalamnya.
Dengan demikian maka orang-orang yang mengerumuni Mahisa Murti itu menjadi bingung. Bahkan seseorang yang mencoba menusukkan tombaknya, benar-benar telah membentur putaran pedang Mahisa Murti yang mempunyai kekuatan tidak tertahan sehingga tombaknya justru telah terlempar ke udara. Ketika tombak itu meluncur jatuh, hampir saja tajamnya justru melukai kawannya sendiri.
Rasa-rasanya memang tidak ada cara untuk dapat mengenai anak muda itu dengan senjata apapun. Sementara itu tidak ada kekuatan yang akan dapat menghentikan putaran pedangnya. Sekali-sekali jika ada yang mencobanya, maka justru senjata mereka sendirilah yang akan terlempar jatuh.
Demikian pula dengan Mahisa Pukat yang membawa sebatang tombak pendek. Tombak itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan tombak yang bergerak bersama-sama dalam genggaman puluhan tangan yang tangkas dan cekatan. Dengan demikian tidak ada jenis senjata apa pun yang dapat lolos dari tangkisan tombak yang menggetarkan itu. Bahkan tombak itu justru sekali-sekali telah mematuk mereka yang berdiri terdekat. Meskipun tombak itu tidak benar-benar mengenai tubuh mereka, namun rasa-rasanya ujungnya telah terayun di depan hidung. Sehingga jantung mereka rasa-rasanya telah berhenti berdetak.
Di lingkungan pertempuran yang lain. Kiai Sabawa masih juga menghadapi beberapa orang bersenjata yang marah. Tanpa senjata Kiai Sabawa bergerak berloncatan. Namun ternyata bahwa kulitnya tidak tersentuh senjata lawan bukan semata-mata karena ia memiliki kecepatan menghindar yang luar biasa. Tetapi agaknya Kiai Sabawa memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang mampu melindungi kulitnya sehingga senjata dan jenis serangan lawan yang mana pun tidak dapat menyentuhnya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Sabawa telah mengetrapkan ilmu lembu sekilan. Ilmu yang memang dapat menjadi perisai sehingga setiap serangan akan terbentur pada ilmunya itu sejengkal dari kulitnya. Ilmu yang biasa disebut Lembu Sekilan. Apalagi serangan-serangan orang-orang padukuhan itu bagi ilmu Lembu Sekilan tidak banyak berarti. Hanya dengan kekuatan ilmu yang tinggi pula ilmu Lembu Sekilan itu dapat dipecahkan dan ditembus sehingga menyentuh kulitnya.
Karena itu maka Kiai Sabawa sama sekali tidak mengalami kesulitan mengatasi serangan orang-orang padukuhan itu meskipun orang-orang padukuhan itu membawa berbagai macam senjata. Meskipun ujung-ujung senjata bagaikan berebut menusuk ke arah tubuhnya, namun tidak satu pun yang dapat melukainya.
Ternyata yang terjadi itu benar-benar telah membuat orang-orang padukuhan itu bingung. Kedua anak muda yang berniat bermalam di banjar dan yang justru telah diusir itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ternyata mereka mampu melawan sekelompok orang bersenjata tanpa mengalami kesulitan. Apalagi orang yang dikenal bernama Kiai Patah itu. Dengan demikian, setelah mereka bertempur untuk waktu yang lama tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ketiga orang itu akan dapat ditangkap. Apalagi di bawa ke banjar.
Bahkan semakin lama semakin banyak orang yang kesakitan. Tanpa dapat menghindari kemungkinan buruk, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempertahankan dirinya. Dalam pertempuran yang kadang-kadang berlangsung cepat, maka ujung-ujung senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah tergores di tubuh satu dua orang lawan mereka. Satu dua orang padukuhan itu telah terlempar dari arena dengan darah yang bercucuran dari lukanya yang menganga.
Demikian pula tangan dan kaki Kiai Sabawa. Kadang-kadang dengan tidak sengaja tangannya telah membentur lawannya. Benturan itu memang tidak terlalu keras. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki daya tahan yang cukup, maka benturan itu telah membuat mereka menjadi pingsan.
Ki Bekel menyaksikan semuanya itu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi ia masih mempunyai harapan. Orang-orang padukuhan itu mengalir seakan-akan tanpa ada hentinya. Satu dua orang terlempar keluar arena, tiga orang yang lain telah memasuki arena sehingga orang-orang yang bertempur itu tidak menjadi semakin berkurang, tetapi semakin bertambah.
“Mereka pada satu saat tentu akan kelelahan,“ berkata Ki Bekel kepada diri sendiri.
Ternyata bukan hanya Ki Bekel yang memperhitungkan hal itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga merasa bahwa jika hal seperti itu terjadi terus-menerus, sedangkan jumlah orang padukuhan itu terlalu banyak, maka pada saat mereka akan kelelahan.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus dapat memecahkan persoalan yang dihadapinya itu. Namun keduanya tetap tidak akan dapat membunuh mereka sebanyak-banyaknya, karena sebagian dari orang-orang padukuhan itu, terutama anak-anak yang masih sedang meningkat dewasa, justru tidak ikut bersalah. Tetapi arus itu memang terlalu deras untuk dibiarkan melandanya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain. Ia harus benar-benar mengurangi jumlah lawan meskipun tidak asal saja membunuh mereka. Namun jika mereka menjadi luka bahkan parah, apalagi terbunuh, itu sama sekali bukan maksudnya.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun tanpa berjanji, namun karena mereka mengalami keadaan yang sama, maka mereka pun telah mengambil jalan pemecahan yang sama pula. Dengan garangnya maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Senjata mereka telah berputar semakin cepat pula. Sementara itu, maka ujung senjata mereka tiba-tiba saja telah mematuk satu dua orang yang berada di paling depan.
Terdengar teriakan kesakitan. Bukan sekedar terlempar dan terbanting jatuh serta merasakan tulang punggungnya bagaikan retak, atau tergores luka di pundak dan menitikkan darah. Tetapi dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin memaksa lawan-lawan mereka berpikir tentang kemungkinan yang lebih buruk itu.
Karena itu, maka senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah menusuk lebih dalam lagi ke dalam tubuh lawan-lawannya. Luka pun menjadi semakin parah dan darah menjadi semakin banyak mengalir. Dengan sikap yang lebih keras, maka semakin banyak orang yang terluka, bahkan semakin parah. Orang-orang yang terluka itu telah diangkat ke pinggir halaman dan dibaringkan berjajar. Semakin lama semakin banyak.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti telah berteriak nyaring, “Nah, yakinkanlah diri kalian, bahwa korban akan menjadi semakin banyak. Aku tidak tahu, apakah ada diantara mereka yang tertusuk senjata itu terbunuh. Seandainya ada, maka itu adalah akibat yang wajar dari satu pertempuran bersenjata, meskipun aku tidak menghendakinya. Karena itu, pertimbangkan sekali lagi. Jika kalian masih juga berniat untuk menangkapku dan apalagi membunuhku, maka aku pun tidak akan mengendalikan diriku lagi. Aku pun akan membunuh kalian pula sebanyak orang yang menyerang aku.”
Ternyata suara Mahisa Murti itu berpengaruh juga pada lawan-lawannya. Beberapa orang nampak menjadi ragu. Demikian pula mereka yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan Kiai Sabawa.
Namun Ki Bekel pun telah berteriak pula, “jangan dengarkan kata-kata orang itu. Ia sudah mulai menjadi ketakutan menghadapi perjuangan kalian yang tidak mengenal surut. Apa pun yang terjadi.”
Namun terdengar Mahisa Pukat menyahut lantang, “Ki Bekel. Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja? Kenapa kau tidak ikut dalam pertempuran ini? Kau dapat memuji dan membujuk orang-orangmu untuk bertempur, karena dengan demikian, orang-orangmulah yang akan terluka bahkan terbunuh? Kau tidak akan tersentuh senjata sama sekali karena kau berperisai orang-orangmu yang jumlahnya tidak terhitung. Tetapi untuk membela diri, maka aku terpaksa membunuh.”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Namun ia sempat berteriak, “Apakah harus aku sendiri yang melawan tikus-tikus kecil seperti kalian. Dalam waktu yang singkat, orang-orangku akan dapat menghancurkan kalian.”
“Yang lewat sudah bukan waktu yang singkat Ki Bekel,“ jawab Mahisa Pukat, “bahkan korban pun akan menjadi semakin banyak. Seandainya pertempuran ini dapat kau menangkan dengan membunuh kami bertiga, maka orang-orang yang akan mati sebelumnya tidak akan bangkit lagi. Anak-anak mereka, adik-adik mereka dan ibu-ibu mereka akan meratap, sementara kau akan tetap menikmati harta benda yang kau rampas dengan cara yang sangat keji. Jauh lebih kaji dari cara yang dipergunakan oleh para perampok di saat mereka merampok korbannya. Para perampok masih mempergunakan kemampuan dan keberaniannya melawan korban-korbannya. Tetapi kau tidak. Kau racuni orang yang tidak bersalah tanpa pertimbangan perikemanusiaan sama sekali. Kemudian korban yang lain pun berjatuhan. Dua keluarga hancur karenanya.”
“Cukup. Cukup. Bungkam mulutnya itu,“ teriak Ki Bekel.
Tetapi tidak seorang pun mampu melakukannya. Bahkan orang-orang yang jatuh karena luka-luka yang parah menjadi semakin banyak.
Dalam pada itu, Ki Sabawa lah yang berkata, “Karena itu Ki Bekel, hentikan perbuatan gilamu ini.“ Lalu katanya kepada orang-orang padukuhan itu, “He, orang-orang padukuhan. Apakah kalian memang ingin mati sementara pemimpinmu akan tetap menikmati dosa-dosanya? Anak-anak muda, sebaiknya kalian berpaling ke belakang untuk melihat kelicikan orang-orang yang lebih tua dari kalian meskipun selisihnya tidak terlalu banyak. Jika kalian mau berhenti, maka aku akan dapat menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi. Tetapi jika tidak, maka kalian yang tidak bersalahlah yang akan mati lebih dahulu. Karena dengan licik kalian memang sengaja diumpankannya.”
Kata-kata Ki Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memang dapat membuat mereka ragu. Sementara itu, darah yang semakin banyak mengalir dan membasahi halaman rumah Kiai Sabawa itu pun telah membuat mereka ngeri. Karena itu, maka beberapa orang yang justru berdiri di paling depan menjadi ragu-ragu.
Kiai Sabawa ingin memanfaatkan kesempatan itu. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Kenapa kalian tidak memilih cara yang lebih baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Biarlah Ki Bekel bertempur melawan aku seorang dengan seorang. Dengan demikian maka kalian tidak akan sekedar mati tetapi tanpa arti sama sekali.”
Orang-orang yang mendengarkan teriakan Kiai Sabawa itu menjadi semakin ragu-ragu. Beberapa orang justru telah berpaling kepada Ki Bekel. Di saat orang-orang padukuhan itu menjadi ragu-ragu, tanpa perintah, maka Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghentikan gerak senjata mereka. Bahkan mereka telah meloncat surut selangkah untuk memberi kesempatan lawan mereka berpikir.
Melihat orang-orangnya menjadi ragu-ragu, maka Ki Bekel pun berteriak, “Kenapa kalian menjadi ragu-ragu? Kita harus menyelesaikan mereka. Membungkam mulut mereka untuk selama-lamanya. Kita semuanya bertanggung jawab atas keselamatan padukuhan kita dari fitnah yang keji.”
Orang-orang yang memang merasa bersalah tidak mempunyai pilihan. Mereka memang harus membungkam orang-orang itu. Tetapi mereka yang tidak tahu dengan pasti persoalannya, memang menjadi ragu-ragu untuk bertempur. Karena itu, orang-orang yang memang merasa bersalah, yang semula sekedar mengumpankan orang lain terutama anak-anak yang masih terlalu muda, namun yang berdarah panas, harus melakukannya sendiri. Mereka tidak lagi dapat memaksa beberapa orang yang memang menjadi ragu-ragu, bukan saja karena pikiran mereka mulai terbuka, tetapi juga karena darah yang semakin deras mengalir dari puluhan luka di tubuh kawan-kawan mereka.
Orang-orang yang merasa bersalah itu ternyata adalah orang-orang yang memang garang. Orang-orang yang takut rahasianya akan terbuka oleh seisi padukuhan. Yang takut diketahui bahwa ceritera mereka tentang orang-orang yang berebut harta di padukuhan mereka itu adalah ceritera yang bohong saja.
Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Jika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Sabawa menghendaki lawan mereka menjadi susut, yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan bukan sekedar anak-anak muda yang belum banyak pengalaman. Tetapi orang-orang yang lebih tua.
“Jadi kalian tidak mempergunakan kesempatan yang telah kami berikan?“ bertanya Kiai Sabawa yang harus mulai bertempur lagi. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang justru telah menyibak anak-anak muda yang ragu-ragu itu.
“Persetan,“ geram seorang yang bertubuh agak pendek dibanding dengan kawan-kawannya, namun berwajah keras, “mulutmulah yang pertama-tama harus disumbat.”
Bagaimanapun sabarnya Kiai Sabawa, namun ia adalah seorang yang memiliki perasaan dan harga diri. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata, “Kami sudah cukup mengekang diri sampai sekarang. Karena itu, kami tidak akan memberi kesempatan lagi. Sebelum kami terbunuh di arena ini, maka kami harus membunuh lebih dahulu sepuluh kali lipat dari jumlah kami selain yang telah kami lukai sebelumnya.”
Tetapi orang-orang yang ketakutan bahwa rahasia mereka akan terbongkar itu tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Ki Bekel berkata, “hanya ada dua pilihan bagi kalian. Membunuh orang-orang itu, atau kalianlah yang akan dibunuh dan bahkan difitnah.”
Dengan demikian orang-orang yang menyimpan rahasia itu telah bertempur lebih keras lagi. Namun ternyata bahwa kesabaran Kiai Sabawa telah mulai berkurang. Karena itu, maka ia pun menggeram,
“Nah, ternyata dengan tidak sengaja telah terjadi penyaringan disini. Mereka yang merasa tidak berdosa, telah mengakhiri pertempuran yang tidak berarti sama sekali bagi mereka. Karena itu, menurut pendapatku, mereka yang takut terbuka rahasianya sajalah yang masih tetap bertempur dengan kasarnya dan benar-benar bernafsu untuk membunuh kami. Karena itu, maka jangan menyesal, bahwa kalian pun akan terbunuh disini.”
Orang-orang itu memang tidak dapat berbuat lain. Mereka tidak ingin membiarkan ketiga orang itu membuka rahasia mereka, sehingga anak-anak muda mengetahuinya, meskipun anak muda itu anak mereka sendiri. Jika demikian, maka kedudukan mereka termasuk Ki Bekel sebagai orang-orang yang berpengaruh karena kekayaan mereka akan hancur di mata anak-anak muda padukuhan mereka sendiri.
Tetapi mereka benar-benar berdiri di simpang jalan yang sulit untuk dipilih. Jika mereka memilih untuk menghindari pertempuran, maka rahasia mereka akan terbongkar. Sebaliknya jika mereka bertempur terus, maka kemungkinan besar mereka tidak akan dapat lagi keluar dari halaman itu.
Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, maka seorang telah terbanting jatuh dengan kerasnya. Kiai Sabawa yang memiliki ilmu lembu sekilan itu telah memukul orang yang bertubuh pendek itu tepat di keningnya. Justru ketika orang bertubuh pendek itu berusaha untuk menusukkan senjatanya ke arah jantung. Pukulan itu demikian kerasnya, sehingga orang bertubuh pendek itu bukan saja terpelanting, tetapi benar-benar telah terlempar dan menimpa beberapa orang kawannya yang sedang bergerak maju dengan senjata telanjang di tangan.
Adalah di luar kehendak mereka, bahwa ujung-ujung senjata itu ternyata telah menggores tubuh orang yang terlempar itu. Demikian kerasnya ia terlempar, sehingga luka-luka pun agaknya cukup dalam. Ketika kawan-kawannya terkejut dan berloncatan mundur, maka orang itu telah terjatuh di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Kecuali keningnya serasa remuk, maka tubuhnya menjadi arang kranjang oleh luka-luka karena ujung senjata kawan-kawannya sendiri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang membantu Kiai Sabawa, dan yang sebenarnya telah terlalu lama menahan diri, seakan-akan telah mendapat isyarat, bahwa mereka dapat berbuat lebih banyak lagi dari yang telah mereka lakukan. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang sebenarnya bersalah. Yang membunuh dengan racun tanpa perikemanusiaan sama sekali.
Karena itu, maka senjata anak-anak muda itu benar-benar telah terhunjam ke dalam dada lawan-lawannya. Dua orang terkapar ditembus ujung senjata anak muda itu. Perubahan sikap yang semakin keras dari Kiai Sabawa dan anak-anak muda itu memang mempengaruhi lawan-lawan mereka. Ternyata mereka bertiga tidak hanya berbicara saja, tetapi benar-benar sudah mengambil langkah-langkah yang sebagaimana dikatakannya. Dan kematian itu benar-benar telah terjadi. Karena itu keragu-raguan orang-orang padukuhan itu menjadi semakin mencengkam. Beberapa orang tidak lagi berdesakan maju. Tetapi mereka justru bergeser surut.
Sekali lagi Kiai Sabawa berkata, “Nah, saudara-saudaraku. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak ingin terjadi seperti disini. Meskipun mungkin aku sudah melakukannya. Karena itu, minggirlah. Biarlah aku berurusan dengan Ki Bekel.”
Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu telah benar-benar yakin akan kemampuan ketiga orang itu. Karena itu, maka ketika kemudian Kiai Sabawa melangkah menuju ke arah Ki Bekel yang berdiri sambil sekali-sekali meneriakkan perintah, maka orang-orang itu justru telah menyibak. Demikian pula mereka yang telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tanpa ada yang memberikan aba-aba, mereka telah menarik diri dan pertempuran pun telah terhenti.
Semua mata kini tertuju kepada Kiai Sabawa yang selangkah demi selangkah mendekati Ki Bekel yang semakin lama menjadi semakin pucat. Bahkan kemudian diluar sadarnya, ia-pun telah bergerak surut. Selangkah Kiai Sabawa maju, maka Ki Bekel pun surut setapak.
“Nah Ki Bekel,“ berkata Kiai Sabawa, “kau harus bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Kau adalah seorang Bekel. Seorang pemimpin tertinggi di padukuhan ini. Seharusnya kau berusaha untuk mencegah hal itu terjadi. Tetapi kau telah ikut serta. Justru kau ikut mengatur pembunuhan yang paling keji itu. Sekelompok orang yang membawa barang-barang berharga itu telah dibunuh dengan racun.”
“Omong kosong,“ teriak Ki Bekel.
“Kau masih mengelak?“ bertanya Kiai Sabawa, “sekian lama aku mengadakan penyelidikan. Beberapa puluh orang sudah aku ajak berbicara dan yang terpenting dari keberhasilanku menyelidiki persoalan ini adalah karena telah berapa keping uang yang aku habiskan untuk membuka beberapa buah mulut yang semula terbungkam.”
“Pengkhianat,“ geram Ki Bekel.
“Tidak Ki Bekel. Justru karena kau tidak membagi hasil rampasan dengan merata. Ada orang-orang yang merasa kecewa dengan ketamakanmu itulah sebabnya, maka langkahmu yang keji itu dapat aku ketahui. Cara apa pun yang aku tempuh, namun akhirnya aku tahu apa yang terjadi disini.”
“Tidak. Kau telah memfitnahku,“ teriak Ki Bekel. Namun wajahnya memang menjadi semakin pucat.
“Aku dapat mengajukan beberapa saksi disini. Orang-orang yang tentu kau anggap berkhianat,“ berkata Kiai Sabawa, “tetapi jika kau tidak menyangkalnya terus-terusan, maka agar tidak menambah berat bebanmu, aku dapat mengesampingkannya. Namun kau harus sadar, berapa orang yang telah mati karena ulahmu itu. Sekelompok pengawal yang kau racun, kemudian dua kelompok keluarga besar yang memiliki orang-orang berilmu yang hampir tumpas karenanya. Dan sekarang, orang-orangmu sendiri kau umpankan sebagai perisai bagi keselamatanmu. Nah, kau dapat menghitung seberapa besar dosa yang telah kau buat.”
“Tidak. Tidak,“ Ki Bekel menjadi ketakutan.
Namun tiba-tiba terdengar seorang anak muda bertanya, ”Apakah yang terjadi benar demikian?”
Ki Bekel menjadi semakin pucat. Juga beberapa orang tua. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, karena senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah siap menukik ke tubuh mereka yang masih ingin bertempur lebih lama lagi. Tetapi Ki Bekel itu masih sempat berteriak dengan suara bergetar, “Fitnah yang paling jahat. Jangan percaya.”
“Baik,“ berkata Kiai Sabawa, “Jika tidak demikian, maka kita selesaikan persoalan kita. Sekarang kita akan bertempur terus. Kami bertiga merasa terhina karena sikap kalian. Kami tidak pernah merasa bersalah, tetapi kalian akan menghukum mati kami bertiga di banjar. Karena itu, maka marilah kita bersama-sama mati. Kita semua akan mati. Marilah, siapa yang akan mati lebih dahulu?”
Tidak seorang pun bergerak. Bahkan Mahisa Pukat lah yang kemudian menantang, “Sekarang kamilah yang akan membunuh kalian semuanya. Kalian tentu yakin, bahwa kami mampu melakukannya.”
Sementara itu Mahisa Murti menyambung, “Kalian dapat memilih. Mengakui semua perbuatan kalian, atau mati di tangan kami. Jika kalian semua mati dan kami tinggalkan padukuhan ini, maka tidak ada lagi yang sempat menyelenggarakan mayat kalian. Mungkin perempuan atau anak-anak sambil meratapi mayat kalian itu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Sementara itu orang-orang yang ada di halaman itu pun menjadi semakin cemas, bahwa ketiga orang itu benar-benar akan mengamuk dengan membunuh mereka semuanya, karena menilik apa yang telah terjadi, maka hal itu mungkin sekali mereka lakukan.
Karena itu, maka beberapa orang memang telah menjadi bimbang. Sementara itu Kiai Sabawa berkata, “Nah, aku akan memberi kalian waktu sampai hitungan kesepuluh untuk mengaku.”
Ancaman itu benar-benar menegangkan. Sementara itu Kiai Sabawa memang telah mulai menghitung,“ satu, dua, tiga…”
Orang-orang yang merasa bersalah, tetapi tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi itu, memang menjadi bingung. Namun ketika Kiai Sabawa sampai hitungan kedelapan dan kesembilan, maka beberapa orang benar-benar menjadi gemetar. Jantung mereka bagaikan telah berhenti berdenyut.
Sementara itu, beberapa orang hampir bersamaan tiba-tiba saja telah berteriak, “Kami akan mengaku.”
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah mereka yang berteriak itu Kiai Sabawa berkata, “Terima Kasih. Kalian akan menjernihkan suasana. Dengan demikian tidak akan ada lagi kematian diantara orang-orang yang tidak bersalah.” Kiai Sabawa berhenti sejenak, kemudian kepada salah seorang yang berteriak itu ia berkata, “Kau termasuk orang-orang yang berani mempertanggungjawabkan kesalahan yang pernah kalian lakukan dengan sebuah pengakuan. Demikian pula beberapa orang yang lain. Nah, sekarang aku ingin bertanya kepada Ki Bekel. Apakah kau masih juga memilih berperang tanding melawan aku dari pada memberikan pengakuan dihadapan rakyatmu yang kebetulan berkumpul disini?”
Ki Bekel memang menjadi semakin pucat. Diluar sadarnya ia memandang berkeliling. Rasa-rasanya semua mata telah memandang ke arahnya dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu pun berteriak, “Tidak. Tidak.”
“Ki Bekel,“ panggil Kiai Sabawa.
Namun Ki Bekel itu mencoba melarikan diri ke arah regol halaman rumah Kiai Sabawa sambil masih saja berteriak, “Tidak. Tidak.”
Tetapi ternyata beberapa orang anak muda yang tidak tahu pasti apa yang pernah terjadi sesungguhnya, telah bergeser menutup jalan. Apa yang dikatakan oleh Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menimbulkan berbagai persoalan didalam diri mereka. Karena itu, maka mereka pun telah berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa hubungan mereka dengan Ki Bekel untuk sementara dapat berubah sifatnya. Ki Bekel yang terpaksa berhenti berlari mencoba untuk mencari jalan lain. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain telah berdiri pula dihadapanya.
“Minggir, minggir,“ teriaknya.
Tetapi tidak seorang pun yang berkisar. Tidak seperti saat Ki Bekel itu memasuki halaman. Dalam pada itu, seorang anak yang masih terlalu muda telah melangkah maju dan mendekatinya sambil bertanya, “Katakanlah Ki Bekel. Apakah benar yang dikatakan orang itu?”
“Tidak. Tidak,“ Ki Bekel berteriak-teriak tidak menentu.
Namun tiba-tiba seorang yang hampir seumur Ki Bekel melangkah mendekati. Dipandanginya anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sementara anak muda itu dengan ragu-ragu bertanya kepada orang tua itu, “Benarkah yang dikatakan oleh Kiai Patah itu ayah?”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling ke arah Ki Bekel, maka Ki Bekel berteriak semakin keras, “Tidak. Tidak.”
Tetapi orang itu melangkah mendekat sambil berdesis, “Tenanglah Ki Bekel. Kita tidak mempunyai pilihan lain sekarang ini. Berkatalah terus terang. Agaknya memang sudah waktunya.”
“Pengkhianat. Kau juga akan berkhianat?“ Ki Bekel masih berteriak.
“Tidak Ki Bekel. Aku tidak akan berkhianat. Apalagi hal itu akan menyangkut diriku sendiri,“ berkata orang itu.
“Kalau kau mau ikut memfitnah aku, lakukanlah. Aku sudah siap menghadapi fitnah semua orang padukuhan ini,“ jawab Ki Bekel.
“Kau keraskan hatimu dalam kesalahanmu,“ berkata orang tua itu. Lalu katanya kepada anak muda yang memanggilnya ayah, “Sebenarnyalah seperti yang mereka katakan anakku. Selama ini, kami telah berbohong kepada kalian. Tidak pernah terjadi sebagaimana tersebar di padukuhan ini ceritera tentang orang-orang yang saling berebut harta dan kemudian saling membunuh. Yang hidup telah melarikan harta itu sementara mereka meninggalkan mayat-mayat untuk kita kuburkan.”
“Jadi yang benar Ki Bekel telah meracun mereka?“ bertanya anak muda itu.
Orang tua itu mengangguk.
“Setan tua,“ teriak anak muda itu sambil mengacukan pedangnya. Namun ayahnya telah menghalanginya. Katanya, “Bukan hanya Ki Bekel. Tetapi kami, beberapa orang telah sepakat melakukannya.”
Anak muda itu mundur beberapa langkah. Wajahnya menjadi sangat tegang. Ia tidak tahu apa yang pantas dilakukan terhadap ayahnya sendiri. Namun tiba-tiba dari arah yang lain terdengar seorang anak muda berteriak, “Kita selesaikan mereka.”
“Ya. Kita bersihkan nama baik padukuhan kita,“ teriak yang lain.
Beberapa orang mulai bergerak. Namun Kiai Patah kemudian telah berkata lantang, “Kita tidak dapat melakukannya sendiri. Kalian, anak-anak muda, tidak akan pantas menghukum ayah kalian atau kakak-kakak kalian sendiri.”
Beberapa orang anak muda menjadi bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun Kiai Patah pun berkata, “Bukankah padukuhan ini masuk satu lingkungan yang lebih luas? Nah, biarlah Ki Bekel kita serahkan saja kepada Ki Buyut bersama beberapa orang yang bersalah. Jika mereka telah mengaku bersalah, maka sebagian dari kesalahan mereka telah diperbaiki. Karena itu, biarlah kita bawa mereka kepada Ki Buyut.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan mereka. Pada saat anak-anak muda itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Ki Bekel telah menarik keris di pinggangnya. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Sabawa yang dikenalnya sebagai Kiai Patah. Demikian tiba-tiba sehingga tidak seorang pun sempat mencegahnya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri agak jauh tidak mampu berbuat sesuatu.
Kiai Sabawa sendiri tidak berbuat sesuatu. Beberapa orang memang menjadi sangat terkejut, bahkan ada diantara anak-anak muda yang berteriak. Namun keris itu sudah terayun mengarah ke dada Kiai Sabawa.
Sambil mengayunkan kerisnya Ki Bekel berteriak, “Kau sumber dari kekacauan ini. Kau memang pantas dibunuh.”
Beberapa orang yang melihat ayunan keris itu, jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Rasa-rasanya dada mereka sendirilah yang telah dikenai oleh keris Ki Bekel yang menjadi bagaikan gila itu. Namun sekali lagi orang-orang itu terkejut. Mereka melihat keris Ki Bekel itu bagaikan membentur tirai baja yang keras, namun tidak kasat mata. Ujung keris yang terayun deras itu sama sekali tidak menyentuh kulit Kiai Sabawa yang berdiri tegak tanpa berbuat sesuatu.
Wajah Ki Bekel yang pucat itu menjadi semakin pucat. Selangkah ia surut. Dengan gemetar bibirnya pun bergerak sehingga terdengar kata-katanya, “Kau anak iblis atau hantu dari antara orang-orang yang telah mati itu?”
Kiai Sabawa tertawa. Adalah tidak direncanakannya lebih dahulu jika ia kemudian menjawab, “Kau benar Ki Bekel. Aku adalah hantu dari salah satu diantara orang-orang yang telah kau bunuh dengan racun itu.”
Ki Bekel benar-benar tidak dapat lagi mempergunakan nalarnya. Yang dilakukannya kemudian adalah justru mengangkat keris itu tinggi-tinggi. Namun sebelum keris itu terayun ke dadanya sendiri, Kiai Sabawa telah sempat menerkamnya. Satu putaran yang kuat telah memilin tangan Ki Bekel itu sehingga kerisnya terlepas dari tangannya.
“Sayang Ki Bekel. Itu bukan satu penyelesaian yang baik. Kau akan menjadi pengecut untuk kedua kalinya setelah dengan sikap pengecut pula kau bunuh orang-orang yang menginap di banjar itu dengan racun. Namun sekarang berbicaralah kepada orang-orangmu, apa yang terjadi sebenarnya,“ geram Kiai Sabawa, “sekarang aku tidak main-main lagi Ki Bekel. Pengakuanmu mempunyai arti yang penting sebelum kau akan kami bawa menghadap Ki Buyut.”
“Bunuh aku,“ geram Ki Bekel.
“Jika itu yang kau kehendaki, maka aku akan melakukannya. Tetapi dengan caraku. Aku akan menarik lidahmu sampai terlepas dari mulutmu, karena lidahmu itu tidak kau pergunakan sebagaimana seharusnya,“ jawab Kiai Sabawa.
“Kau gila,“ teriak Ki Bekel.
“Tidak,“ berkata Kiai Sabawa. Lalu katanya kepada Mahisa Murti, “ambilkan sepotong bambu. Aku akan menjepit lidahnya dan menariknya sampai terlepas.”
“Tidak. Kau tidak boleh melakukan tindakan gila itu,“ teriak Ki Bekel.
“Siapa yang tidak memperbolehkan? Kau? Bekel yang tidak tahu diri,“ jawab Kiai Sabawa, “nah, sekarang kau tinggal pilih. Mengatakan yang sebenarnya atau kau tidak akan mempunyai lidah lagi.”
Agaknya Ki Bekel memang tidak mempunyai pilihan apa pun juga. Karena itu dengan tangan yang masih terpilin di belakang, maka ia pun kemudian berkata, “Aku tidak akan dapat ingkar lagi.”
“Katakan yang jelas,“ bentak Kiai Sabawa.
Agaknya hati Ki Bekel benar-benar telah terguncang. Sehingga karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Aku akui semua perbuatanku bersama beberapa orang dari padukuhan ini.”
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Jika demikian, kita akan pergi ke padukuhan induk Kabuyutan ini. Kita akan menghadap Ki Buyut.”
“Serahkan kepada kami,“ tiba-tiba seorang anak muda maju selangkah, “kami akan menentukan apa yang sebaiknya kami lakukan terhadap Ki Demang dan orang-orang tua kami yang telah berbuat licik dan menodai nama baik padukuhan ini.”
“Sudahlah,“ berkata Kiai Sabawa, “kita tempuh saluran yang seharusnya. Biarkanlah Ki Buyut mengambil kebijaksanaan. Sementara itu, kalianlah, anak-anak muda padukuhan ini harus membuktikan bahwa kalian akan dapat membersihkan nama padukuhan ini. Adapun rahasia padukuhan ini sebenarnya masih belum tersebar kemanapun juga. Jika satu dua orang diluar padukuhan mendengar ceritera tentang beberapa orang yang harus dikubur di padukuhan ini beberapa tahun yang lalu, maka ceritera itu tentu sebagaimana pernah diceritakan oleh Ki Bekel dan orang-orang tua kalian.”
Anak-anak muda itu mulai berpikir lagi. Ternyata bahwa sebagian besar dari mereka mengerti, apa yang paling baik mereka lakukan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Nah, kalian dapat mengumpulkan senjata dari orang-orang tua kalian yang bersalah. Kita akan pergi ke rumah Ki Buyut, sementara yang lain harus segera menghubungi orang-orang yang mampu mengatasi luka-luka dengan ilmu pengobatan. Seberapa banyak orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, cepat dipanggil kemari.”
Demikianlah, maka anak-anak muda padukuhan itu pun mulai bergerak. Sebagian telah mengumpulkan senjata, yang lain berlari-larian ke rumah orang-orang yang dianggap mampu mengobati luka-luka. Satu dua orang memang telah berada di halaman rumah itu. Mereka telah melakukan usaha-usaha sementara, karena mereka tidak membawa reramuan obat sama sekali. Namun agaknya Kiai Sabawa lah yang telah memberikan obat yang mungkin dapat menolong mereka. Tetapi tidak terlalu banyak.
Dalam kesibukan itu, maka Kiai Sabawa telah mengajak sebagian diantara mereka untuk pergi ke rumah Ki Buyut. Memang tidak terlalu dekat, sehingga karena itu, maka mereka-pun harus bersiap-siap seperlunya. Beberapa orang ingin pulang lebih dahulu untuk minta diri kepada keluarganya, terutama kepada ibu atau saudara perempuan mereka. Namun Kiai Sabawa pun telah memberikan kesempatan kepada mereka yang terlibat kedalam pembunuhan dengan racun untuk minta diri kepada isteri mereka dan keluarga mereka yang ada di rumah.
“Aku percaya bahwa kalian tidak akan melarikan diri,“ berkata Kiai Sabawa, “jika kalian melakukannya, akibatnya akan pahit sekali bagi kalian. Mungkin kalian akan menjadi buruan yang diburu oleh sanak kadang kalian sendiri. Bahkan mungkin oleh anak-anak kalian. Nah, sekarang pulanglah. Beritahu keluargamu bahwa kalian akan melakukan perjalanan. Mungkin kalian tidak akan kembali dalam satu dua hari. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ki Buyut atas kalian.”
Orang-orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun tidak berniat untuk melarikan diri, karena dengan demikian hanya akan menambah kesulitan mereka dan keluarga mereka saja. Sementara itu, tanggungjawab terbesar memang terletak pada Ki Bekel yang terlibat dalam tindakan yang keji itu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian segalanya telah siap. Sementara itu mereka yang memiliki kemampuan pengobatan telah berada di halaman rumah Kiai Sabawa untuk merawat orang-orang yang terluka. Namun dalam pada itu, adalah di luar kemauan Kiai Sabawa, maupun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lima orang ternyata tidak tertolong lagi.
Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengekang diri sama sekali, justru karena mereka merasa bersalah. Demikian besar keinginannya untuk membunuh orang yang dianggap dapat membuka rahasia itu, sehingga justru karena itu, maka mereka sendirilah yang telah terbunuh karenanya.
Betapapun hal itu disesali, tetapi tidak seorang pun yang dapat menyalahkan Kiai Sabawa yang mereka kenal bernama Kiai Patah maupun kedua orang anak muda pengembara itu. Pengembara yang memiliki kemampuan jauh diluar dugaan. Seandainya kedua anak muda itu marah dan berbuat sesuatu semalam di banjar, maka agaknya mereka akan mampu membuat padukuhan itu menjadi karang abang. Mereka akan mampu membakar banjar dan rumah-rumah tanpa dapat dicegah.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah berangkat dari padukuhan itu menuju ke padukuhan induk Kademangan. Perjalanan yang memang sangat menarik perhatian. Orang-orang padukuhan sebelah yang mengenal semua orang dalam iring-iringan itu termasuk Kiai Patah, telah bertanya-tanya apakah yang akan mereka lakukan. Karena diantara mereka terdapat Ki Bekel, maka orang-orang itu pada umumnya telah bertanya kepada Ki Bekel itu. Tetapi Ki Bekel tidak dapat memberi jawaban. Bahkan wajahnya yang gelap itu telah membuat orang-orang yang melihat iring-iringan itu menjadi heran.
“Ada apa dengan padukuhan itu?“ bertanya seseorang kepada kawannya yang berdiri disebelahnya.
Kawannya menggeleng. Dengan nada rendah ia menyahut, “Tentu ada sesuatu yang tidak wajar.”
“Mungkin,“ jawab yang lain, “agaknya dua orang anak muda yang tidak dikenal itu telah dibawa ke padukuhan induk. He, mereka tentu menghadap Ki Buyut di padukuhan induk. Tetapi sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa kedua anak muda yang tidak dikenal itu merupakan tawanan atau setidak-tidaknya orang yang tidak dikehendaki dan akan dihadapkan kepada Ki Buyut,“ berkata orang yang pertama.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya memang bukan dua orang anak muda yang asing bagi orang-orang yang melihat iring-iringan itu berjalan. Tetapi mereka tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Namun bahwa justru Ki Bekel yang berjalan di tengah-tengah iring-iringan itu memang agak menarik perhatian. Biasanya Ki Buyut berjalan di depan atau di belakang atau di samping jika ia berada dalam satu iring-iringan. Tetapi tidak didalamnya. Justru anak-anak muda yang berada di sebelah-menyebelah dan di belakang serta di depannya. Diantara mereka terdapat juga beberapa orang yang lebih tua dengan sikap yang nampaknya asing. Demikianlah maka iring-iringan itu memang mengundang pertanyaan di sepanjang jalan. Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terjawab.
Di padukuhan induk, iring-iringan itu memang mengejutkan pula. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda di padukuhan induk itu justru telah bersiap-siap. Kedatangan Ki Bekel dan orang-orangnya telah mengundang berbagai tanggapan. Dan bahkan ada diantara anak-anak muda di padukuhan induk itu yang menyangka, bahwa Ki Bekel dan orang-orangnya ingin menyatakan sesuatu bahkan menuntut sesuatu kepada Ki Buyut.
“Jika mereka ingin berbuat kasar, maka kita akan menghalau mereka,“ berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal.
Ternyata bahwa berita kedatangan Ki Bekel dari padukuhan di ujung Kabuyutan itu telah didengar oleh anak-anak muda dan pengawal di seluruh padukuhan induk itu, sehingga mereka pun telah berkumpul di halaman rumah Ki Bekel dan sekitarnya. Namun adalah mengherankan, bahwa yang kemudian berdiri di paling depan justru bukan Ki Bekel, tetapi seorang laki-laki tua yang dikenal bernama Kiai Patah. Seorang laki-laki miskin yang sama sekali tidak berpengaruh di padukuhannya.
“Kami ingin menghadap Ki Buyut,“ berkata Kiai Patah kepada pemimpin pengawal yang bertugas saat itu.
Seperti orang-orang lain, maka pemimpin pengawal yang bertugas saat itu dan yang menerima sekelompok orang dari padukuhan di ujung Kabuyutan itu pun menjadi heran. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah yang akan bertemu dengan Ki Buyut? Ki Bekel atau siapa?”
“Kami semuanya,“ jawab Kiai Patah, “aku akan mewakili kami semua untuk menyampaikan satu persoalan kepada Ki Buyut.”
“Disini ada Ki Bekel,“ jawab pemimpin kelompok itu, “kenapa kau yang akan mewakili sekelompok kawan-kawanmu itu?”
“Aku sudah mendapat limpahan kekuasaan dari Ki Bekel,“ berkata Kiai Patah.
Namun ternyata langkah yang diambil Ki Bekel sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja ia keluar dari kelompok itu dan langsung berdiri di sisi pemimpin pengawal itu. “Mereka telah memaksa aku untuk satu tindakan yang salah. Sebenarnya aku tidak memberi limpahan kekuasaan apa pun juga kepada orang itu. Tetapi ia telah bersepakat dengan beberapa orang untuk memfitnah aku dan beberapa bebahuku yang setia, yang sekarang juga ada disini.”
Sikap Ki Bekel yang tiba-tiba itu memang telah menimbulkan kegoncangan diantara mereka yang merasa bersalah. Dengan cepat mereka tanggap akan sikap Ki Bekel yang ingin mendapat perlindungan dari pengawal. Ada diantara mereka yang tiba-tiba saja berniat untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan Ki Bekel. Karena itu maka didalam kelompok orang-orang yang datang dari padukuhan itu nampak gejolak yang gelisah.
Dalam pada itu pemimpin pengawal itu bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi Ki Bekel?”
“Fitnah dan semacam perebutan kekuasaan,“ berkata Ki Bekel, “tetapi mereka terlalu bodoh untuk datang kemari, karena Ki Buyut tentu akan mengambil kebijaksanaan yang paling baik bagi padukuhan kami. Disini ada pengawal cukup, sehingga orang-orang yang telah menghancurkan tata nilai dan pimpinan pemerintahan di padukuhanku itu akan dapat diatur disini.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Bekel berkata selanjutnya, “Sekarang terserah kepada kalian, para pengawal yang memang bertugas untuk melindungi kami, orang-orang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin rakyat padukuhan kami. Apa yang dapat kalian lakukan terhadap orang-orang yang telah menghasut dengan fitnah dan bahkan mengaku mendapat limpahan kekuasaanku? Aku ada disini sekarang, dan orang itu sudah berani berbohong tanpa malu-malu dan mengatakan bahwa ia telah mendapat limpahan kekuasaanku.”
Suasana memang menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang memang menjadi gelisah. Namun Kiai Patah itu pun kemudian berkata kepada orang-orang padukuhan yang datang bersamanya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan berpihak kepadanya. Silahkan, siapakah yang akan mengatakan bahwa aku dan anak-anak muda padukuhan ini telah memfitnah Ki Bekel. Siapa yang berpendirian demikian, aku persilahkan keluar dari kelompok ini dan bergabung kepada Ki Bekel.”
Tetapi Ki Bekel justru menyahut, “Lihat. Bagaimana ia sudah berhasil mempengaruhi orang-orangku.”
“Ki Sanak,“ berkata Kiai Patah kepada pemimpin pengawal, “aku mohon, sampaikan permohonan kami untuk menghadap Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut yang menimbang salah dan benar. Beri kesempatan kami berbicara terbuka dengan Ki Buyut yang tentu cukup bijaksana.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Sampai saat ini, Ki Bekel adalah pemimpin yang sah atas kalian. Karena itu, maka yang paling berhak berbicara disini adalah Ki Bekel.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba mendesak maju. Tetapi Kiai Patah dengan cepat menggamit mereka sambil berdesis, “Tahanlah diri kalian sedikit.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka ingin mengendapkan kembali gejolak didalam dada mereka melihat sikap Ki Bekel yang licik itu.
Dalam pada itu Ki Bekel pun berkata kepada orang-orang padukuhannya, “Nah, dengarlah keterangan dari pemimpin pengawal ini. Aku adalah orang yang paling berkuasa di padukuhan. Wewenang dan kekuasaan itu masih ada padaku. Karena itu, maka kalian dapat memilih. Aku atau pemberontak dan pemfitnah itu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya menjadi semakin tidak sabar lagi. Namun yang tidak sabar bukannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja. Tiba-tiba seorang anak muda berkata lantang,
“Kami sudah tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel. Jika ada diantara orang-orang tua kami yang berpihak kepadanya, maka pada saatnya orang itu akan ikut memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi. Tetapi mereka yang tidak ingkar akan kesalahan mereka, justru tanggung jawabnya akan menjadi ringan, karena beban terberat adalah justru pada Ki Bekel itu sendiri.”
Beberapa orang memang terombang-ambing dalam kebimbangan. Jika mereka melepaskan kesempatan berlindung pada para pengawal, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk selanjutnya. Tetapi jika mereka berbalik lagi, maka anak-anak muda yang telah terlanjur menjadi saksi atas perbuatan mereka, tentu akan memusuhi mereka untuk selanjutnya. Padahal, padukuhan tanpa anak-anak muda akan tidak berarti sama sekali. Apalagi bagi masa depan. Karena masa depan itu berada di tangan anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat, beberapa orang masih dibayangi oleh keragu-raguan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap apa pun juga.
Sementara itu, pemimpin pengawal itu pun menjadi bingung. Ternyata ada diantara orang-orang padukuhan itu yang memang tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel. Tetapi itu bukan satu ketentuan bahwa kekuasaan Ki Bekel itu memang tidak diakui lagi. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu berkata, “Sebelum Ki Buyut menetapkan lain, maka pemimpin kalian adalah Ki Bekel. Karena itu, maka kalian masih harus tunduk kepada perintahnya.”
“Nah, ternyata akal yang sehat akan menentukan kebenaran,“ berkata Ki Bekel. Lalu katanya, “sebenarnya orang-orangku adalah orang-orang yang baik. Tetapi tiga orang telah menghasut mereka, sehingga orang-orangku telah kehilangan kepercayaannya kepadaku. Namun demikian aku akan memaafkan mereka semuanya, kecuali ketiga orang itu.”
“Siapakah mereka?“ bertanya pemimpin pengawal itu.
“Kiai Patah dan dua orang pengikutnya yang tidak kami kenal namanya. Keduanya merupakan orang asing bagi kami. Keduanya datang ke padukuhan kami sekedar untuk mengacaukan suasana. Dan nampaknya mereka berhasil.“ Ki Bekel menjadi semakin mantap. “Sementara itu, Kiai Patah itu pun merupakan orang baru di padukuhan kami. Baru satu atau dua tahun berada diantara kami. Kehadirannya ternyata bukannya tanpa maksud. Karena kesuburan dan kesejahteraan padukuhan kami melimpah, maka Kiai Patah agaknya telah berniat untuk menguasainya dengan cara apa pun juga. Bahkan tanpa malu-malu, telah dirusaknya pula kepercayaan anak-anak muda kepadaku.”
“Omong kosong,“ sahut Mahisa Pukat yang sudah kehabisan kesabaran, “sebenarnya kami ingin berbicara dengan Ki Buyut.”
Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu justru telah tersinggung. Katanya, “Aku bertanggung jawab atas ketenangan dan ketenteraman lingkungan ini. Siapa pun yang dapat menimbulkan kekacauan akan ditindak berdasarkan paugeran.”
“Baiklah,“ berkata Kiai Patah, “kami akan mengikuti paugeran itu. Tetapi kami mohon bertemu dengan Ki Buyut. Itu saja.”
“Apa hakmu. Atas dasar apa maka kau mengajukan permohonan itu. Biarlah Ki Bekel yang menentukan, apakah ia akan menghadap Ki Buyut atau tidak,“ jawab pemimpin pengawal itu.
“Jangan menunggu suasana menjadi semakin buruk,“ berkata Kiai Patah, “anak-anak muda padukuhan kami akan menjadi saksi.”
“Hanya orang-orang yang telah kau suap sajalah yang membenarkan kata-katamu. Yang lain benar-benar terpengaruh oleh kata-katamu yang memang memiliki pesona luar biasa. Seandainya persoalannya tidak menyangkut pribadiku sendiri, maka agaknya aku pun percaya bahwa Ki Bekel di padukuhan itu telah berbuat curang. Tetapi Bekel di padukuhan itu adalah aku. Dan aku tahu pasti, apa yang pernah aku lakukan bagi padukuhanku, sehingga kesejahteraan rakyatnya meningkat dengan cepat,“ berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada orang-orang padukuhan, “Nah, siapa yang menyadari kesalahannya akan kami ampuni.”
Memang telah terjadi lagi pergolakan di dalam jiwa orang-orang padukuhan itu. Terutama orang-orang yang memang terlibat. Seandainya mereka akan mendapatkan pelindung maka pelindung itu tentu Ki Buyut sendiri. Dan siapakah yang akan berani menentang Ki Buyut?
Namun dalam keragu-raguan itu seorang anak muda berkata lantang, “Tetapi kami perlu penjelasan. Kami perlu keterangan tentang kebenaran dari peristiwa tersebut. Jika benar yang terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Patah, maka terkutuklah Ki Bekel dan beberapa orang tua kami. Tetapi jika itu sekedar fitnah, maka terkutuklah mereka yang memfitnah.”
“Bertanyalah kepada nurani orang-orang tua kalian,“ berkata Kiai Patah, “hanya orang yang sudah kehilangan jejer dan pribadinya serta martabat kemanusiaannya sajalah yang akan membantahnya. Memang kebohongan yang tegas, kadang-kadang akan memberikan kepercayaan kepada orang lain seolah-olah kebohongan itu merupakan kebenaran. Tetapi siapa yang berani mengkhianati nuraninya sendiri, adalah mereka yang memang telah kehilangan martabat kemanusiaannya itu.”
Keragu-raguan pun menjadi semakin mencengkam. Namun sementara itu, pemimpin pengawal itu pun berkata, “Aku akan membawa Ki Bekel menghadap Ki Buyut. Biarlah Ki Bekel memberikan penjelasan tentang peristiwa ini.”
“Itu tidak adil,“ sahut Mahisa Murti, “kalian harus membawa kedua belah pihak yang bersengketa untuk menghadap, agar Ki Buyut mendapat keterangan yang lengkap sebelum mengambil satu keputusan tentang hal ini.“
“Tidak,“ jawab pemimpin pengawal itu tegas. Lalu katanya pula, “Hanya Ki Bekel yang berhak menghadap Ki Buyut.”
“Apakah kami harus mengulangi peristiwa yang terjadi di padukuhan?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Apa yang terjadi?“ bertanya pemimpin pengawal itu.
“Kerusuhan dan bahkan pembunuhan,“ ternyata Ki Bekel lah yang telah menyahut. Ketiga orang itu telah menakut-nakuti orang-orang dengan melukai dan membunuh.”
“Anak iblis,“ geram pemimpin pengawal, “kau tidak mungkin melakukannya disini.”
Pemimpin pengawal itu tidak menunggu jawaban. Tiba-tiba saja ia pun telah mengangkat kedua tangannya yang menjadi isyarat kepada para pengawal untuk bersiaga sepenuhnya. Memang nampak kelompok-kelompok pengawal bergerak. Mereka adalah anak-anak muda yang bersenjata. Bahkan rasa-rasanya mereka yang bukan pengawal pun telah bersiaga pula.
“Jangan mencoba menyombongkan diri disini,“ berkata pemimpin pengawal itu, “kami tidak segan-segan membantai mereka yang menentang paugeran disini.”
Kesiagaan para pengawal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh atas Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan sikap itu telah menimbulkan kemarahan di hati Mahisa Pukat yang harus dengan susah payah menahan diri.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal itu pun telah berkata selanjutnya kepada para pengawal, “Amati mereka. Biarlah aku akan membawa Ki Bekel menghadap dan memberikan laporan kepada Ki Buyut. Ki Buyut tidak akan mudah menerima ketidakpuasan beberapa orang di satu padukuhan sebagai satu isyarat untuk menggantikan seorang pemimpin. Dengan demikian maka seorang Bekel yang merupakan kedudukan turun temurun itu akan dengan mudah diganti setiap hari lima kali. Bahkan Ki Buyut akan menghukum mereka yang telah memberontak kepada kekuasaan yang sah di setiap padukuhan.”
“Persetan,“ geram Mahisa Pukat.
“Biarlah, kita akan menunggu hasil pertemuan Ki Bekel dengan Ki Buyut, “berkata Kiai Patah.
“Jika hasilnya tidak seperti yang kita harapkan?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Barulah kita mengambil langkah-langkah yang perlu,“ jawab Kiai Sabawa.
Mahisa Pukat hampir tidak telaten mengikuti sikap Ki Sabawa. Namun ia memang tidak berbuat mendahului perintahnya, karena yang terjadi itu sebenarnyalah persoalan Kiai Sabawa yang kebetulan adalah kawan Mahendra, ayah kedua orang anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel pun telah mengikuti pemimpin pengawal itu menuju ke serambi di sayap rumah itu, menghadap ke longkangan yang memisahkan serambi itu dengan gandok. Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut masih berada di dalam rumah. Karena itu, maka dipersilahkan Ki Bekel untuk menunggu. Sementara di tangga serambi dua orang pengawal nampak berjaga-jaga.
“Silahkan duduk Ki Bekel, biarlah aku menghadap Ki Buyut untuk menyampaikan niat Ki Bekel menghadap,“ berkata pemimpin pengawal yang bertugas itu.
Ki Bekel pun kemudian duduk di amben bambu di serambi itu. Sejenak ia menunggu sambil mengamati kesiagaan para pengawal. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di hatinya,
“Akhirnya aku dapat mengatasi persoalan ini. Para pengawal yang sigap dari Kabuyutan ini akan dapat menyelesaikan mereka. Mereka yang dapat menyombongkan diri di padukuhan, bahkan telah membunuh pula, tentu akan ditangkap dan dihukum oleh Ki Buyut. Apalagi Ki Buyut yang baru saja menggantikan kedudukan ayahnya yang meninggal ini masih agak muda, bekas seorang prajurit di Kediri, sehingga ia tentu akan dapat mengambil tindakan yang tegas. Sikap keprajuritannya tentu masih melekat di dirinya.”
Demikianlah, setelah menunggu beberapa saat, maka Ki Buyut pun telah keluar dari pintu samping. Ki Bekel dengan tergesa-gesa bangkit berdiri sambil membungkuk hormat.
“Silahkan duduk Ki Bekel,” Ki Buyut yang masih lebih muda dari Ki Bekel itu mempersilahkan.
“Terima kasih Ki Buyut,“ desis Ki Bekel yang kemudian telah duduk pula bersama-sama Ki Buyut.
“Nah, katakan, apakah keperluan Ki Bekel,“ berkata Ki Buyut.
Ki Bekel pun kemudian telah menceriterakan apa yang dialaminya, namun menurut gagasannya sendiri. Seolah-olah Kiai Sabawa bersama kedua orang anak muda itu telah berontak melawannya.
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, “jadi Ki Bekel menolak tuduhan itu?”
“Ya Ki Buyut. Sudah tentu. Fitnah itu bagiku sangat keji,“ berkata Ki Bekel, “apalagi ternyata mereka telah membunuh pula di padukuhanku.”
“Berapa orang yang terbunuh?“ bertanya Ki Buyut.
“Banyak Ki Buyut. Belum lagi yang luka-luka. Aku belum sempat menghitung ketika aku dipaksa untuk ikut bersama mereka,“ berkata Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Ada berapa orang menurut perkiraan Ki Bekel, mereka yang telah memberontak melawan Ki Bekel? Sepertiga, atau seperempat atau bahkan separuh?”
“Separuh apa Ki Buyut?“ bertanya Ki Bekel.
“Maksudku, yang kemudian terpengaruh oleh orang-orang yang memberontak itu, apakah ada separuh dari seluruh penduduk padukuhanmu?“ bertanya Ki Buyut pula.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, ”Sebanyak-banyaknya separuh Ki Buyut. Tetapi aku kira tidak sampai sekian banyak.”
“Kenapa Ki Bekel tidak mengambil tindakan atas orang-orang itu? Bukankah mereka dapat ditangkap?“ bertanya Ki Buyut.
“Terus terang Ki Buyut. Mereka memiliki kelebihan. Seperti yang sudah aku katakan, justru mereka telah membunuh orang-orang yang berusaha untuk menangkap mereka,“ sahut Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya,“ jadi orang-orang itu berilmu tinggi? Setidak-tidaknya orang-orang yang mempengaruhi orang-orangmu?“ bertanya Ki Buyut.
“Ya Ki Buyut. Tiga orang itu,“ jawab Ki Bekel.
“Baiklah. Aku ingin berbicara dengan mereka,“ berkata Ki Buyut.
“Tidak ada gunanya berbicara dengan mereka Ki Buyut. Kenapa Ki Buyut tidak menangkap mereka saja dan menghukumnya?“ bertanya Ki Bekel. Lalu, “Kesalahan mereka sudah jelas.”
“Ya,“ jawab Ki Buyut, “tetapi aku harus mendengar alasan mereka sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan latar belakang dari tindakan mereka yang melanggar paugeran itu.”
Wajah Ki Bekel menjadi pucat. Namun ternyata ia tidak dapat mencegat niat Ki Buyut. Karena itu, ketika Ki Buyut kemudian berdiri dan melangkah keluar, Ki Bekel mengikutinya saja.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal yang melihat Ki Buyut melangkah keluar dari serambi menuju ke pendapa telah mendekatinya sambil bertanya, “Ki Buyut akan pergi ke mana?”
“Aku akan berbicara dengan ketiga orang itu,“ jawab Ki Buyut.
“Perintahkan kami menangkapnya. Kami akan membawa mereka menghadap Ki Buyut. Ki Buyut tidak perlu datang kepada mereka,“ berkata pemimpin pengawal itu.
Namun Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku lebih senang berbicara dengan mereka di halaman.”
Pemimpin pengawal itu pun tidak dapat mencegahnya. Ia-pun kemudian telah mengikuti Ki Buyut bersama dengan Ki Bekel...
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk bermalam di padukuhan itu. Mungkin mereka akan bertemu dengan seseorang yang menarik perhatian mereka. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki halaman banjar. Dengan merendah, keduanya mohon kepada penunggu banjar itu untuk bermalam karena mereka telah kemalaman dalam perjalanan. Tetapi yang mereka jumpai agak berbeda dengan sebelumnya.
Penunggu banjar itu memandangi mereka dengan penuh curiga. Bahkan dengan kasar ia berkata, “He, kalian sangka banjar padukuhan kami ini penginapan buat pengembara seperti kalian? Kami tidak akan membiarkan pemalas-pemalas seperti kalian hidup senang menghisap keringat orang lain yang bekerja keras.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut mengalami perlakuan itu. Biasanya para penunggu banjar adalah orang-orang yang ramah dan baik. Di beberapa padukuhan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu diberi kesempatan dan bahkan kadang-kadang makan dan minum.
Namun keduanya tidak memberikan kesan yang kurang baik. Dengan nada berat Mahisa Murti menyahut, “Kami hanya mohon tempat untuk bermalam Ki Sanak. Tidak lebih. Itu-pun jika kami tidak dianggap mengganggu.”
“Tidak ada tempat yang dapat aku berikan kepadamu,“ jawab penunggu banjar itu, “bahkan agaknya di seluruh padukuhan ini tidak ada tempat untuk orang-orang malas seperti kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Nampaknya padukuhan yang cukup besar dan kaya ini mempunyai watak dan khusus. Dengan demikian maka padukuhan itu justru telah menarik perhatian mereka. Tetapi keduanya benar-benar telah ditolak untuk bermalam di banjar.
Bahkan ketika penunggu banjar itu sedang mengusir mereka, dua orang anak muda, pengawal padukuhan itu, telah datang pula ke banjar. Mereka adalah anak-anak muda yang bertugas malam itu bersama kawan-kawannya yang masih belum datang. Ketika mereka mendengar suara penunggu banjar itu lantang, maka keduanya pun telah pergi ke bagian belakang banjar itu.
“Ada apa?“ bertanya salah seorang diantara kedua anak muda itu.
“Kedua pemalas ini tanpa segan minta untuk bermalam di banjar ini. Apa dikiranya banjar ini merupakan penginapan bagi orang-orang malas seperti mereka. Banjar ini dibangun dengan beaya yang besar yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari penghuni padukuhan ini,“ jawab penunggu banjar itu.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan wajah yang tegang, keduanya mengamati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seakan-akan mereka telah melihat orang-orang aneh yang begitu saja hadir di banjar mereka.
“Anak-anak muda yang tidak tahu malu,“ geram salah seorang diantara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Kami mohon diri Ki Sanak.”
“Jangan kalian biasakan bermalas-malas seperti itu, “geram anak muda, pengawal padukuhan itu yang lain, “beberapa padukuhan lain telah melakukan kesalahan terhadap orang-orang seperti kalian. Mereka dapat menerima pemalas-pemalas dengan senang hati, bahkan ada beberapa penunggu banjar yang telah memberi makan dan minum. Dengan demikian maka pemalas-pemalas itu akan mempergunakan segala macam cara agar mereka mendapat belas kasihan dan perlakuan yang berlebihan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan kepala. Sementara para pengawal padukuhan itu masih mengumpati mereka dengan kata-kata yang menusuk. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menanggapinya justru karena mereka menyadari penyamaran mereka. Apa pun yang dikatakan oleh anak-anak muda pengawal padukuhan itu sama sekali tidak membuat keduanya sakit hati.
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan banjar itu ternyata ada dua tiga orang yang lain yang berdatangan. Setelah mereka mendengar keterangan tentang kedua orang anak muda pengembara itu, maka yang lain pun telah melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tersenyum di dalam hati.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan banjar itu. Ditelusurinya jalan padukuhan. Namun terngiang kata-kata orang-orang di banjar bahwa padukuhan itu sama sekali tidak akan menerima kehadiran mereka yang disebutnya para pemalas.
“Sebenarnyalah padukuhan ini cukup menarik,“ berkata Mahisa Murti.
“Ya. Tentu ada beberapa kelainan dengan padukuhan yang lain. Tetapi seandainya kelainan itu satu kelebihan, maka kelebihan itu telah dilandasi dengan kesombongan,“ sahut Mahisa Pukat.
“Mungkin kesombongan, tetapi mungkin juga kecurigaan,“ jawab Mahisa Murti pula, “jika pernah terjadi sesuatu di padukuhan ini maka perasaan curiga itu wajar sekali adanya.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bergumam, “Kita sebaiknya mengetahui lebih banyak tentang padukuhan ini.”
Sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti melangkah di dalam gelapnya malam yang menjadi semakin kelam. Ketika Mahisa Murti menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya langit cerah. Bintang-bintang bergayutan di sela-sela dedaunan. Angin yang lembut berhembus mengusapkan kulit mereka yang berkeringat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu ketika mereka kemudian melihat seseorang yang berjongkok di depan sebuah regol halaman yang tidak terlalu luas. Justru halaman sebuah rumah yang kecil dibanding dengan rumah-rumah lain di padukuhan itu.
Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser minggir di seberang lain. Mereka tidak mau membuat persoalan dengan orang-orang dari padukuhan itu. Jika mereka membuat persoalan yang dapat menimbulkan kekerasan, maka mereka tidak akan mungkin lagi mengenali isi padukuhan itu dengan kesempatan yang masih tersisa. Mereka akan menjadi semakin dibenci dan barangkali akan dapat timbul korban karenanya jika para pengawal menjadi semakin marah kepada mereka.
Tetapi keduanya terkejut ketika orang itu menyapanya dengan ramah, “Ki Sanak. Siapakah kalian dan apa yang kalian lakukan malam-malam begini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan orang itu. Dalam cahaya obor di regol seberang jalan, keduanya melihat bahwa orang itu sudah tua. Dengan merendah pula Mahisa Murti menjawab, “Kami adalah dua orang pengembara Kiai.”
“Oo,“ orang tua itu mengangguk-angguk, “kenapa kalian tidak berhenti berjalan di malam hari?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berhenti. Namun Mahisa Murti menjawab, “Kami memang ingin berhenti Kiai. Kami sudah datang ke banjar. Tetapi tidak ada tempat yang dapat diberikan kepada kami.”
“Kenapa?“ bertanya orang tua itu.
“Kami tidak mengetahui kenapa Kiai. Tetapi kami telah diusir dari banjar dan bahkan dari padukuhan ini,“ jawab Mahisa Pukat.
Orang itu telah bangkit berdiri. Kemudian katanya, “Jika demikian, marilah. Jika kalian tidak mempunyai tempat di banjar, maka kalian akan bermalam di rumahku. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih Kiai. Tetapi apakah dengan demikian kami tidak akan menyulitkan Kiai?”
Orang tua itu tertawa. Katanya, “jangan pikirkan aku. Tidak akan ada orang yang memperhatikan aku di padukuhan ini. Aku termasuk orang yang terbuang di sini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Cepat, kemarilah. Masuklah.”
Keduanya tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih panjang. Keduanya pun kemudian mengikuti orang tua itu masuk ke halaman dan kemudian regol yang sudah tua itu pun telah tertutup. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengikuti orang tua itu masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang sudah tua, setua regol halamannya.
Ketika mereka menyusup pintu lereg yang rendah, maka mereka telah berada di dalam sebuah ruang yang tidak terlalu luas. Sebuah lampu minyak yang berada diatas ajug-ajug di sisi tiang bambu bergetar ditutup angin yang menyusup lewat lubang-lubang dinding.
“Duduklah anak-anak muda,“ orang tua itu mempersilahkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di sebuah amben bambu yang besar, satu-satunya perabot yang ada di dalam ruangan itu.
Orang tua itu pun kemudian telah duduk pula di amben itu. Sambil tersenyum ia bertanya, “Siapakah nama kalian berdua?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti telah menjawab, “Namaku Mirta, sedang saudaraku ini namanya Paksi.”
Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bergumam, “Nama yang baik. Nama itu mirip dengan nama yang pernah aku dengar sebelumnya.”
“Nama siapa?“ bertanya Mahisa Murti.
“Aku juga seorang pengembara yang pernah menjelajahi kota dan padukuhan. Mengenal beberapa padepokan dan perguruan,“ berkata orang tua itu. Kemudian katanya, “ketika aku melihat kalian berdua, maka aku telah teringat akan orang-orang yang pernah aku kenal meskipun tidak secara pribadi.”
“Siapakah yang kau ingat?,“ desak Mahisa Pukat.
“Dua orang bersaudara, adik-adik dari Akuwu Sangling yang sekarang. Namanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menurut penglihatanku, keduanya mirip sekali dengan kalian berdua. Sedangkan nama kalian ada juga sentuhannya dengan nama-nama itu,“ jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Kiai. Kami tidak akan ingkar. Jika Kiai telah mengenal kami, maka perkenankan kami bertanya, siapakah Kiai sebenarnya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Hanya satu kebetulan bahwa aku telah mengenal kalian berdua di Sangling. Tetapi kebetulan pula kami pun mengenal kalian di Singasari. Bukankah kalian anak Mahendra?”
“Kiai mengenal ayahku?“ bertanya Mahisa Murti.
“Jika kau bertemu dengan ayahmu, salamku kepadanya. Aku adalah sahabat ayahmu yang kebetulan mempunyai pekerjaan yang sama. Aku juga pedagang wesi aji dan batu-batu berharga,“ jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan ragu Mahisa Pukat bertanya, “Nama Kiai?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Namaku Sabawa. Tetapi di padukuhan ini aku dikenal dengan nama Patah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Tetapi kenapa Kiai kemudian berada di tempat ini dan hidup dalam kemiskinan? Ayah yang juga bekerja seperti Kiai sempat membuat rumah meskipun tidak terlalu baik. Mempunyai sawah dan pategalan yang juga tidak begitu luas. Tetapi ayahku tidak nampak terlalu miskin.”
Orang yang menyebut dirinya bernama Sabawa itu tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang hidup seperti ini di padukuhan yang aneh ini. Sejak aku kehilangan isteri dan anakku, maka aku tidak lagi memandang hidupku terlalu penting. Disini aku hidup sendiri dan terasing. Adalah satu kebetulan bahwa kalian telah lewat dan bersedia memasuki rumahku ini. Rasa-rasanya aku telah mendapat kunjungan dari keluarga yang terdekat. Kehadiran kalian memberikan kesegaran baru dalam hidupku yang kering.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bahwa kami telah diperkenankan untuk bermalam di rumah Kiai.”
Orang yang bernama Sabawa itu tersenyum. Katanya, “Rumahku memang terbuka bagi siapapun. Yang masuk malam ini ternyata dua orang bersaudara yang pernah aku kenal meskipun kalian belum mengenal aku.”
“Sebenarnyalah bahwa kami telah tertarik oleh sifat anak-anak muda dan para pengawal di padukuhan ini. Agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan lain yang ramah, maka padukuhan ini telah menolak kami dan bahkan mengusir kami untuk keluar dari padukuhan ini,“ berkata Mahisa Murti.
Sementara itu Mahisa Pukat pun bertanya, “Tetapi apakah sesuatu pernah terjadi di padukuhan ini sehingga para penghuninya selalu mencurigai orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.”
Orang tua yang menyebut dirinya Sabawa itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang anak-anak muda. Hal itu terjadi karena sesuatu hal.”
“Apakah padukuhan ini pernah didatangi segerombolan perampok atau serupa dengan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu menggeleng. Katanya kemudian, “Yang terjadi justru sebaliknya.”
“Sebaliknya bagaimana Kiai?“ bertanya Mahisa Murti.
“Di padukuhan ini pernah lewat sekelompok orang-orang yang mengantarkan harta benda yang tidak terhitung banyaknya,“ berkata orang tua itu. Lalu “Semula tidak ada orang yang tahu, siapakah mereka dan apa yang mereka bawa. Namun ketika orang-orang itu minta bermalam di banjar, maka orang-orang padukuhan ini mengetahui bahwa mereka adalah sekelompok utusan dari seorang yang tidak terhitung kekayaannya yang pergi untuk menyerahkan kekayaan itu sebagai pemberian pelengkap lamaran yang akan disampaikan oleh anak orang yang kaya raya itu. Entah siapakah yang memulainya, namun ternyata para pengawal harta benda yang sangat besar jumlahnya itu telah terbunuh oleh racun. Mereka yang ingin membunuh itu tidak akan dapat melakukannya dengan kekerasan, karena pengawal itu adalah orang-orang yang berilmu. Namun mereka ternyata tidak mampu melawan racun. Semua pengawal telah terbunuh dan harta benda pun telah dirampas. Untuk waktu yang lama hal itu tetap merupakan rahasia. Namun bahwa orang-orang padukuhan ini kemudian menjadi kaya, maka ceritera tentang penyamunan yang licik itu lambat laun didengar orang juga. Tetapi sudah lama berlalu dan agaknya orang-orang yang mendengarnya kemudian menganggap tidak perlu untuk mengusutnya lagi. Karena jika rahasia itu merembes keluar, akibatnya akan tidak baik bagi padukuhan ini sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya, “jadi orang-orang itu telah diracun tanpa pertimbangan perikemanusiaan sama sekali?”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan wajah yang buram ia berkata, “Orang-orang padukuhan ini telah memberikan hidangan kepada para pengawal yang bermalam di banjar itu. Para pengawal itu sama sekali tidak menduga bahwa keramahan orang-orang padukuhan ini, khususnya yang berada di banjar pada malam itu, ternyata adalah iblis yang berhati hitam. Hidangan yang diberikan malam itu telah dicampurinya dengan racun yang tajam. Tidak seorang pun diantara para pengawal yang mampu bertahan. Semua terbunuh. Sementara beberapa orang padukuhan ini telah bersiap menghadapi kenyataan itu. Mereka dengan sigapnya telah mengubur mayat-mayat itu. Bukan hanya mayat-mayat. Tetapi juga harta benda yang ada. Ternyata semua itu berjalan dan lancar.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak berbicara sama sekali. Orang tua itu pun kemudian melanjutkannya, “Anak-anak muda. Satu diantara orang-orang yang terbunuh oleh racun itu adalah kakakku. Kakak kandungku.”
“Kakak kandung Kiai?“ bertanya Mahisa Murti.
Orang tua itu mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Kakak kandungku. Ia memang diminta untuk ikut mengawal barang-barang berharga itu.”
“Kiai akan membalas dendam? Dan karena itu Kiai berada di sini?“ bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya. Buat apa aku membalas dendam sementara kakak kandungku telah meninggal beberapa tahun yang lalu? Namun yang membuat hatiku tersayat adalah akibat dari peristiwa itu buat keluarga kedua belah pihak. Tidak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi, sehingga telah timbul salah paham yang tajam. Keluarga gadis yang seharusnya menerima barang-barang itu merasa telah tertipu karena janji dari keluarga anak muda yang akan mengawininya itu tidak terpenuhi. Bukan karena harta benda itu. Bahkan tanpa harta benda itu pun perkawinan akan dapat berlangsung, karena gadis itu sama sekali tidak menginginkan harta benda itu. Tetapi bahwa tidak seorang pun yang datang pada saat yang sudah ditunggu, merupakan satu penghinaan bagi keluarga itu. Dan ternyata yang dianggap penghinaan itu telah diselesaikan dengan cara yang salah.”
“Pertempuran?“ bertanya Mahisa Pukat tidak sabar.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ya. Yang terjadi adalah pembantaian yang paling buruk diantara kedua keluarga itu. Kedua keluarga itu memiliki orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga hampir semua orang yang terlibat dalam pertempuran antara kedua keluarga itu terbunuh atau terluka berat yang akhirnya meninggal pula.”
“Dan Kiai termasuk yang lolos dari maut dalam benturan itu?“ bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Aku menyaksikan peristiwa itu. Dan hal itu tidak diketahui oleh orang-orang padukuhan ini. Mereka dengan tanpa merasa bersalah telah memiliki harta benda itu. Kematian para pengawal segera dilupakannya. Tetapi di samping para pengawal masih ada orang-orang lain yang mati karena ulah orang-orang padukuhan ini.”
“Terlalu sekali,“ desis Mahisa Murti, “tetapi apakah ayahku tidak mengetahuinya sehingga ayah tidak pernah berceritera tentang peristiwa itu?”
“Tidak,“ jawab orang tua itu, “ayahmu tidak mengetahuinya. Ayahmu juga tidak mengetahui bahwa beberapa orang yang telah dikenalnya terbunuh pula. Orang-orang yang sudah dikenalnya itu ada di kedua belah pihak diantara kami yang bertempur itu. Dan diantara mereka yang terbunuh adalah anakku laki-laki yang masih terlalu muda untuk mati. Aku tidak tahu, apakah kematian anakku itu ada pengaruhnya terhadap kesehatan ibunya. Ternyata dalam waktu setahun, kesehatan ibunya tidak lagi dapat diselamatkan. Ibunya meninggal di pembaringan karena sakit yang dideritanya,“ orang itu berhenti sejenak, lalu “Dengan demikian maka aku merasa tidak ada lagi gunanya untuk menikmati hidup ini dengan cara yang telah aku lakukan sebelumnya. Aku telah memilih cara lain untuk menghabiskan sisa-sisa hidupku itu.”
“Tetapi kenapa Kiai memilih tempat ini, justru tempat yang akan dapat selalu memberikan kenangan buram bagi Kiai,“ bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak pasti, kenapa aku berada disini,“ jawab orang tua itu.
“Kiai agaknya memang menyimpan dendam,“ desis Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin membalas dendam. Menuntut kematian ditebus dengan kematian. Yang ingin aku lakukan adalah sekedar memberitahu kepada orang-orang padukuhan ini, terutama yang terlibat dalam pembunuhan dengan racun terhadap para pengawal itu, bahwa akibat dari perbuatan mereka adalah bahwa dua keluarga telah musnah. Dua alur darah telah terputus tanpa kelanjutan. Meskipun aku masih hidup, tetapi anakku satu-satunya mati. Ibunya juga menyusulnya. Dan aku tidak akan mungkin mempunyai keturunan lagi yang dapat menyambung darah keluargaku. Kepahitan ini harus mereka ketahui. Terserah, apakah mereka akan menyesal atau tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Itulah sebabnya, sampai saat ini mereka masih dibayangi ketakutan bahwa yang mereka lakukan itu akan diketahui oleh orang lain. Karena itu, maka mereka selalu mengusir orang-orang yang akan bermalam di banjar itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti kenapa orang-orang padukuhan itu tidak merasa senang bahwa ada seseorang yang bermalam di banjar. Meskipun peristiwa itu sudah berlalu, namun agaknya mereka masih selalu dibayangi oleh perbuatan licik mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti bertanya, “Tetapi Kiai, yang ada di banjar dan mengusir kami adalah anak-anak yang terhitung masih muda. Apakah memang mereka yang telah melakukan perbuatan licik itu?”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Mereka memang tidak tahu apa-apa. Mungkin mereka memang telah mendengar serba sedikit tentang peristiwa yang diusahakan tetap menjadi rahasia padukuhan ini. Namun seandainya belum, orang-orang tua mereka mengajarkan kepada mereka, bahwa setiap orang asing, harus diusir dari padukuhan ini jika orang asing itu ingin bermalam. Dengan alasan apapun.”
“Alasan yang mereka berikan memang masuk akal,“ berkata Mahisa Pukat, “mereka tidak membiarkan banjar itu dipergunakan oleh para pemalas. Jika hal serupa itu dibiarkannya, maka padukuhan ini seakan-akan telah membantu lahirnya para pemalas-pemalas yang hanya tahu minta belas kasihan orang lain.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Anak-anak muda. Apakah yang sebenarnya kalian cari, sehingga kalian sampai ke padukuhan ini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi karena orang tua itu baru saja dikenalnya, maka mereka masih juga membuat jarak diantara mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Kami tidak mencari sesuatu. Tetapi kami dalam perjalanan dari Sangling ke Lemah Warah. Ada semacam kerinduan untuk melakukan pengembaraan seperti ini setelah beberapa lama kami tinggal di sebuah padepokan.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Pengembaraan memang dapat menimbulkan kerinduan. Tetapi jika kalian pergi dari Sangling menuju ke Lemah Warah, kenapa kalian melalui padukuhan ini? Agaknya perjalanan kalian telah melingkar terlalu jauh.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Seperti sudah aku katakan Kiai. Kami ingin sekedar melakukan pengembaraan. Hanya karena kerinduan itu saja.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia tidak memaksa untuk bertanya lebih terperinci. Bagi orang tua itu, keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah cukup.
Namun sementara itu Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Kiai. Jika demikian, apakah kehadiranku disini tidak akan menimbulkan persoalan bagi Kiai?”
“Jika persoalan itu timbul, aku kira ada juga manfaatnya. Aku akan mendapat kesempatan untuk mengatakan sebagaimana yang aku inginkan, agar orang-orang padukuhan ini mengetahui, bahwa akibat perbuatan mereka, maka kematian tidak saja terjadi disini. Tetapi juga di tempat lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja mereka pun ingin melihat, akibat apakah yang akan timbul jika rahasia itu disebut secara terbuka. Karena bagaimanapun juga tindakan yang licik itu tidak boleh dibiarkan. Meskipun sudah agak lama berlalu, namun para pelakunya memang harus mendapat hukuman.
Karena itu, maka hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, biarlah kami disini.”
“Aku tidak berkeberatan,“ jawab orang itu, “jika besok matahari terbit, maka biarlah mereka melihat kalian berada di pondokku ini. Mudah-mudahan mereka terpancing untuk membuat persoalan.”
Demikianlah, maka kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru akan dijadikan alasan jika persoalan memang timbul kemudian. Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bermalam di rumah kecil itu. Namun meskipun mereka tidak berunding sebelumnya, mereka telah dengan sendirinya mengatur diri. Meskipun keduanya berbaring tetapi mereka tidur bergantian. Bagaimanapun juga tempat dan pemiliknya, adalah asing bagi mereka, meskipun orang itu agaknya telah mengenal mereka dengan baik.
Namun tidak terjadi sesuatu atas mereka berdua di malam itu. Menjelang matahari terbit, keduanya telah bangun. Seperti yang biasa mereka lakukan, maka mereka pun telah mengisi jambangan sebelum mereka mandi di pakiwan. Sebelum jalan-jalan mulai ramai, maka orang tua pemilik rumah itu telah selesai menyapu halaman. Kemudian membenahi kebun dan menyirami batang-batang sirih yang merambat di beberapa batang pohon kelor.
“Daun sirih ini mempunyai banyak manfaat,“ berkata orang tua itu, “banyak penyakit yang dapat diobati dengan daun sirih. Dari penyakit kulit sampai sakit syarat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian membantunya mengangguk-angguk. Ternyata di kebun orang tua itu bukan saja terdapat pohon sirih yang merambat. Tetapi juga tanaman-tanaman lain yang dapat diramu menjadi obat-obatan yang baik.
“Kiai seorang tabib?“ bertanya Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan anak muda. Tetapi aku berusaha untuk menekuni bidang pengobatan. Aku baru mulai, sehingga karena itu, apa yang dapat aku lakukan belum banyak berarti.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang tua itu berkata sebenarnya, karena ia memang belum lama berada di padukuhan itu. Tanaman-tanamannya-pun masih ada yang nampak baru meskipun sebagian yang lain telah menjadi rimbun.
“Satu kesenangan yang mengasyikkan,“ berkata orang tua itu kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengagumi tanaman di kebun Kiai Sabawa yang juga dikenal bernama Kiai Patah itu. Namun sejenak kemudian, orang tua itu pun berkata, “Nah, sebaiknya kau berada di halaman. Bukalah regol halaman rumah ini lebar-lebar, agar ada orang yang melihat bahwa kau ada disini. Adalah lebih baik jika yang melihatmu adalah orang-orang yang telah mengusirmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Meskipun orang itu mengaku tidak mendendam, namun kedua anak muda itu melihat sepercik api di sorot mata orang tua yang telah kehilangan kakak kandungnya di banjar padukuhan itu karena racun, kehilangan anak laki-lakinya yang meningkat dewasa dan kehilangan isterinya yang meratapi kematian anak laki-lakinya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang percaya akan ceritera orang tua itu, ternyata tidak berkeberatan melakukannya. Keduanya pun kemudian telah berada di halaman rumah itu dan membuka pintu regol lebar-lebar. Bahkan kedua orang anak muda itu telah berdiri bersandar dinding di luar regol, melihat orang-orang yang lewat hilir mudik di jalan yang terhitung ramai itu. Keduanya memang berharap bahwa orang-orang yang mengusirnya atau salah seorang diantara mereka dapat melihat keduanya yang ternyata tidak meninggalkan padukuhan itu.
Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Namun akhirnya, yang mereka harapkan itu telah terjadi. Seorang laki-laki muda dan seorang yang lebih tua tertegun ketika melihat keduanya. Mereka berpandangan sejenak, sementara yang muda bertanya, “Apakah kedua orang anak muda itu bukan orang-orang yang kita usir semalam dari banjar?“
Yang lebih tua itu pun menjawab, “Agaknya kau benar. Tetapi sebaiknya kita bertanya kepada mereka.”
Keduanya pun telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang juga tidak segera dapat mengenalinya. Namun keduanya segera menyadari dengan siapa mereka berhadapan ketika salah seorang dari kedua orang itu bertanya, “He, bukankah kalian yang semalam datang ke banjar dan mohon untuk bermalam?”
Mahisa Murti lah yang menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami semalam memang mohon untuk bermalam di banjar. Tetapi kami justru telah diusir. Untunglah, bahwa Kiai Patah, pemilik rumah ini telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bermalam, sehingga kami tidak kedinginan di bulak panjang.”
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun tiba-tiba seorang yang lebih tua diantara mereka berkata, “jadi orang tua itu telah berani memberi tempat di padukuhan ini?”
“Ya. Orang yang murah hati,“ desis Mahisa Pukat.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun telah dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Ke mana mereka?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka akan segera kembali dengan membawa banyak orang. Kita harus segera memberitahukan kepada Kiai Sabawa,“ berkata Mahisa Murti.
Ketika Kiai Sabawa mendengar keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun berkata, “Baiklah. Kita akan menunggu kedatangan mereka. Kedatangan kalian memberikan banyak keuntungan kepadaku. Itu jika kalian setuju.”
“Apa saja?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Kesempatan untuk memberitahukan bahwa tingkah laku orang-orang padukuhan ini sudah menghancurkan dua keluarga besar beserta sanak kadangnya selain orang-orang yang mereka bunuh dengan racun disini. Kemudian, jika terjadi benturan meskipun itu tidak aku kehendaki, maka kalian akan dapat membantuku. Bertiga kita akan lebih mudah melarikan diri daripada jika aku sendiri,“ berkata Kiai Sabawa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk kecil. Sementara itu Kiai Sabawa berkata, “Aku tidak ingin melakukan pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di padukuhan ini. Karena itu, jika terjadi kerusuhan, kita harus melarikan diri. Mungkin kita akan berbuat sesuatu untuk melindungi diri. Tetapi tanpa niat untuk membunuh.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud Kiai Sabawa. Sebenarnyalah mereka memang tidak perlu membunuh. Jika rahasia itu diketahui oleh banyak orang, terutama anak-anak mudanya, maka mereka telah menghukum diri mereka sendiri. Tentu ada golongan yang tidak senang dengan tingkah laku orang-orang tua mereka. Sementara itu, orang-orang tua mereka yang sudah terlanjur menjadi kaya karena mampu mengembangkan modal yang dapat mereka rampas dan mereka bagikan untuk banyak orang di padukuhan itu, akan berusaha untuk mempertahankan kebenaran langkah mereka, atau bahkan ingkar sama sekali, bahwa hal itu pernah mereka lakukan.
Demikianlah, seperti yang mereka duga, maka sebentar kemudian, sekelompok orang telah datang ke rumah Kiai Sabawa. Orang-orang itu dengan garang telah memasuki halaman rumah Kiai Sabawa yang menerima mereka di serambi rumahnya yang kecil.
“He, kau Kiai Patah,“ berkata salah seorang diantara mereka yang datang. Seorang yang bertubuh tinggi tegar dan berwajah garang, “kau telah menyalahi ketentuan yang dibuat oleh orang-orang padukuhan ini. Aku tahu, kau bukan orang yang memang berasal dari padukuhan ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau boleh tidak tunduk kepada peraturan yang berlaku disini.”
Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu pun bertanya dengan nada rendah, “Apa yang telah aku lakukan?”
“Jangan berpura-pura,“ bentak orang bertubuh tinggi itu, “siapa kedua orang anak muda itu?”
“Mereka adalah pengembara,“ jawab Kiai Patah, “aku merasa kasihan kepada mereka, karena mereka telah kemalaman di jalan.”
Wajah-wajah orang-orang padukuhan itu menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi tegar dan berwajah garang itu berkata, “Nah, kau tidak akan dapat ingkar. Kau memang harus mengaku, bahwa kau telah menyalahi ketentuan yang dibuat bagi padukuhan ini.”
“Ketentuan yang mana?“ bertanya Kiai Sabawa.
“Kau memang berlagak bodoh,“ berkata orang itu, “kau tentu sudah mendengar, bahwa kita, penghuni padukuhan ini, telah bersepakat untuk tidak membantu tumbuhnya para pemalas, pengembara yang menjual belas kasihan dan pengemis yang kadang-kadang juga tidak segan-segan untuk mencuri.”
“Aku sudah mendengar ketentuan itu. Dan aku merasa tidak melanggarnya,“ berkata Kiai Sabawa.
“Kau jangan membuat kami semakin marah,“ geram orang itu, “jika kau tidak melanggar ketentuan itu, lalu kenapa kau biarkan kedua orang pemalas itu menginap di rumahmu? Ia akan menjadi terbiasa mencari penginapan di rumah-rumah orang yang dengan mudah berbelas kasihan. Namun yang sama sekali tidak memberikan akibat yang baik. Hal itu tentu sudah kau ketahui, sehingga seharusnya kau tidak memberikan tempat kepada kedua orang pengemis malas itu.”
“Oo,“ Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti sekarang. Kalian tentu mengira kedua orang anak muda itu mencari penginapan dan barangkali mendapat suguhan minum, apalagi makan. Begitu?“ Kiai Sabawa berhenti sejenak. Lalu ”Tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang dapat aku berikan kepada mereka. Aku tidak mempunyai beras yang dapat aku tanak. Atau ketela untuk direbus. Aku hanya dapat menyuguhkan air hangat dengan batang sere yang direndam didalamnya dan sepotong gula kelapa. Tidak lebih.”
“Itu sudah cukup membuatnya menjadi semakin malas,“ orang yang bertubuh tinggi itu berteriak, “kau harus tahu itu.”
Kiai Patah itu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Kedua anak muda itu sama sekali bukan pengembara yang minta-minta makan dan minum. Ternyata mereka sedang dalam penyamaran karena mereka mengemban tugas yang berbahaya. Kedua anak muda itu sedang melakukan perjalanan sambil membawa harta benda yang tidak ternilai harganya.”
Orang bertubuh tinggi itu terkejut. Namun segera ia berusaha menguasai perasaannya. Dengan nada yang merendah ia berkata, “Kau mulai berbohong. Buat apa anak-anak itu membawa harta benda yang tidak ternilai harganya?”
“Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah seorang perempuan yang akan menjadi isteri kakaknya. Keduanya harus menyampaikan harta benda itu sebagai syarat peresmian ikatan antara keduanya. Ayah dan ibu kedua anak muda itu sudah berjalan mendahului mereka,“ jawab Kiai Sabawa. Lalu “Bukankah keduanya semalam telah datang ke banjar? Mereka menganggap bahwa mereka akan mendapat perlindungan sehingga harta benda yang dibawanya menjadi aman. Bukankah di banjar ada beberapa orang pengawal yang bertugas ronda di malam hari?”
Orang-orang itu menjadi tegang. Terutama beberapa orang yang sudah menjelang separuh baya yang beberapa saat yang lalu ikut mengalami peristiwa yang masih saja membayangi padukuhan itu.
“Bukankah begitu?“ bertanya Kiai Sabawa, “keduanya ternyata gagal mencari perlindungan. Sehingga akhirnya keduanya minta bermalam di rumah ini. Karena aku yakin bahwa aku tidak akan ikut menyuburkan kemalasan, karena keduanya memang bukan benar-benar pengembara, maka aku terima keduanya disini, meskipun tanpa perlindungan atas harta benda yang mereka bawa.”
“Kau berkata sebenarnya?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.
“Aku berkata sebenarnya,“ jawab Kiai Sabawa, “keduanya tidak mau mengalami peristiwa pahit sebagaimana pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Ketika kakaknya itu akan kawin, maka harta benda yang seharusnya diserahkan kepada calon isterinya telah hilang lenyap. Mula-mula keluarganya mengira bahwa uang dan barang-barang berharga itu dilarikan oleh mereka yang dipercaya untuk mengantarkannya. Tetapi ternyata tidak. Dan akibatnya menjadi sangat parah.”
Beberapa orang benar-benar menjadi tegang. Namun tiba-tiba orang bertubuh tinggi itu berteriak, “Tentu dilarikan oleh orang-orang yang mendapat tugas itu.”
“Tidak Ki Sanak. Kenyataannya memang tidak,“ jawab Kiai Sabawa, “orang-orang itu telah bermalam di satu tempat. Mereka telah dikhianati oleh orang-orang yang nampaknya terlalu ramah menerima mereka di sebuah banjar padukuhan. Namun para pengawal barang-barang berharga itu telah diracun oleh orang-orang padukuhan itu dan harta bendanya dirampas.”
“Sebuah dongeng yang menyesatkan,“ teriak orang bertubuh tinggi itu.
“Tidak. Bukan dongeng. Bertanyalah kepada kedua orang itu. Mereka bukan saja kehilangan orang-orang kepercayaan mereka. Tetapi lebih dari itu, mereka telah kehilangan seluruh keluarga mereka,“ jawab Kiai Sabawa itu, dan yang kemudian menceriterakan apa yang telah dialami oleh kedua kelompok keluarga yang hampir tertumpas habis.
Kemudian katanya, “Nah, itulah yang terjadi. Yang terbunuh bukan saja yang menginap di banjar padukuhan sebagaimana sudah aku katakan. Tetapi seluruh keluarga dari kedua belah pihak. Bukankah itu sangat mengerikan? Bukankah tingkah laku orang-orang padukuhan yang meracunnya itu benar-benar tindakan biadab. Mereka telah menumpas semua pengawal dan dua kelompok besar keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.”
Suasana benar-benar menjadi tegang. Sejenak semua orang diam mematung. Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun terdiam pula. Namun beberapa orang diantara mereka, jantungnya bagaikan dibakar dengan bara api. Mereka seakan-akan telah dihadapkan di muka sebuah cermin raksasa, sehingga mereka dapat melihat kembali apakah yang pernah mereka lakukan beberapa tahun yang lalu, bahkan mereka telah melihat pula akibat yang sangat luas dari perbuatan mereka, sehingga dua kelompok keluarga besar menjadi musnah karena salah paham yang tidak terpecahkan.
Tetapi sementara itu, orang yang bertubuh tinggi itu berkata, “Kiai Patah. Kau adalah seorang yang sudah tua. Seharusnya kau dapat mengendalikan kata-katamu. Apa yang sebenarnya kau maksud dengan ceriteramu yang mengandung pengertian yang saling bertentangan. Kau menganggap bahwa kedua anak muda itu akan bermalam di banjar untuk mendapat perlindungan. Tetapi kemudian kau katakan bahwa orang-orang yang bermalam di banjar justru telah diracun oleh orang-orang padukuhan. Apa sebenarnya maksudmu? Mendapat perlindungan atau justru dimusnahkan?”
Kiai Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Perlindungan adalah satu harapan. Tetapi jika kenyataannya terjadi sebaliknya, memang sangat memilukan. Sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah justru pembunuhan-pembunuhan itu, sehingga apa yang aku katakan itu benar-benar telah terjadi.”
“Bohong,“ bentak seorang yang rambutnya sudah berwarna dua, namun masih menunjukkan sikap seorang laki-laki yang garang, “apakah maksudmu menuduh orang-orang padukuhan ini sebagai pembunuh?”
“Siapa yang menuduh?“ Kiai Sabawa justru bertanya, “Aku hanya mengatakan bahwa hal seperti itu pernah terjadi. Tetapi apakah di padukuhan ini?”
“Kau jangan menyindir, he?“ tiba-tiba seorang yang bertubuh agak gemuk melangkah maju. Di lambungnya tergantung sebilah pedang panjang. Dengan nada berat ia berkata, “apa pun yang kau katakan, kau telah menghina orang-orang padukuhan ini. Dengan lancang kau mengatakan, bahwa kami, orang-orang padukuhan ini telah membunuh sekelompok orang dengan racun. Apa pun yang kau ucapkan, tetapi yang tersirat adalah seperti itu.”
Kiai Sabawa tersenyum. Katanya, “Ki Sanak. Kenapa kau merasa bahwa aku telah menyindir kalian. Aku hanya menceriterakan bahwa pernah terjadi peristiwa seperti yang aku katakan. Selebihnya terserah penilaian kalian atas keteranganku itu.”
“Kau telah menghina kami. Sepantasnya bahwa kau mendapat hukuman yang paling berat dari kami, seisi padukuhan ini,“ berkata orang yang agak gemuk itu.
Tiba-tiba seorang yang lain pun telah melangkah maju pula. Katanya, “Biarlah kita selesaikan saja orang-orang itu. Bagaimanapun juga mereka merupakan orang-orang yang berbahaya bagi kita.”
Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Anak-anak muda di padukuhan itu menjadi bingung. Apalagi mereka yang tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi seutuhnya. Jika mereka mendengar serba sedikit, maka mereka telah mendapat ceritera yang sudah dibumbui dengan peristiwa-peristiwa yang tidak sebenarnya terjadi. Sehingga mereka mendapat gambaran yang lain dari peristiwa yang sebenarnya. Sementara itu, yang mereka dengar sebagian-sebagian itu-pun harus mereka rahasiakan agar orang lain tidak mengetahuinya, sehingga nama baik padukuhan mereka tidak tercemar.
“Ki Sanak,“ berkata Kiai Sabawa kemudian, “seharusnya kalian tidak cepat menjadi marah. Lihatlah, anak-anak muda di padukuhan ini tidak segera menjadi marah sebagaimana kalian lakukan. Bukankah hal ini tidak biasa? Biasanya anak-anak mudalah yang marah lebih dahulu. Orang-orang tua biasanya mencegahnya dan minta agar mereka menjadi sabar.”
Ternyata beberapa orang justru bergerak maju. Seorang yang bertubuh tegap telah berada di paling depan. Katanya, “Kalian bertiga benar-benar telah menghina padukuhan kami. Kau orang tua yang tidak tahu diri, yang dengan sengaja melanggar ketentuan dari padukuhan ini. Sedangkan kau anak muda. Kau tidak melakukan perintah yang sudah diberikan oleh para pengawal di banjar untuk meninggalkan padukuhan ini. Sekarang, kalian harus menerima hukuman kami, kalian bertiga harus tunduk kepada perintah kami. Kalian akan kami bahwa ke banjar. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menggantung kalian bertiga daripada di halaman banjar, disaksikan oleh orang-orang padukuhan ini seluruhnya. Biarlah orang-orang padukuhan ini mengabarkan kepada setiap orang, siapakah yang telah melanggar ketentuan kami, mereka akan dihukum paling berat.”
Suasana memang menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “satu sikap yang aneh. Jika kami telah melanggar perintah kalian, apakah kami harus dihukum mati? Hanya karena kami bermalam di padukuhan ini? Nah, renungkan. Apakah hukuman mati itu setimpal dengan kesalahan kami?“
Mahisa Pukat justru melangkah maju. Beberapa langkah dihadapan orang-orang padukuhan itu, “Coba pikirkan. He, kalian para pengawal, anak-anak muda padukuhan ini? Amatilah. Kenapa orang-orang tua di padukuhan ini tiba-tiba menjadi ketakutan seperti melihat hantu? Kami bukan hantu, karena kami tidak ikut terbantai pada saat pembunuhan yang licik itu terjadi.”
“Apakah yang sebenarnya kalian katakan?“ bertanya seorang anak muda sebaya dengan Mahisa Pukat.
Namun sebelum Mahisa Pukat menjawab, orang yang bertubuh tegap itu berkata, “Persetan. Bunuh mereka sekarang juga jika mereka mencoba melawan. Kita tidak punya waktu.”
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Katanya, “Persoalannya menjadi semakin jelas.”
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Orang-orang padukuhan itu nampaknya menjadi semakin garang. Anak-anak muda yang baru saja memasuki usia dewasanya menjadi bingung. Namun yang telah lebih tua dari mereka dan mengetahui dengan pasti keadaannya, apalagi menyangkut orang tua mereka sendiri, telah ikut serta mengambil sikap yang keras.
Mereka yang lebih tua itu telah ikut serta bertanggung jawab atas apa yang terjadi di padukuhan mereka. Karena itu, maka bagi mereka, orang-orang asing yang akan dapat membuka rahasia mereka itu pun harus disingkirkan.
Tetapi anak-anak yang lebih muda memang heran mendengar keputusan itu, bahwa orang-orang yang hanya sekedar bermalam di padukuhan itu harus dihukum mati. Sementara itu, ceritera orang yang mereka kenal bernama Kiai Patah, sikap orang-orang yang lebih tua, serta apa yang telah mereka dengar tentang peristiwa yang terjadi di banjar namun yang telah berubah susunannya, membuat mereka menjadi semakin bingung.
Mereka pun merasakan tuduhan yang dilontarkan oleh Kiai Patah meskipun tidak berterus terang, seakan-akan tanggung jawab atas kematian beberapa orang yang membawa barang-barang berharga itu terletak pada orang-orang padukuhan itu.
Kiai Sabawa melihat kebimbangan di hati anak-anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Nah, sekarang bertanyalah kepada kakak-kakak serta orang tua kalian. Apakah yang sebenarnya pernah terjadi di padukuhan ini. Perampokan, pembantaian atau peristiwa lain. Kalian yang muda-muda yang baru berangkat dewasa, yang beberapa tahun yang lalu masih kanak-kanak, tentu pernah juga mendengarnya peristiwa yang terjadi di banjar padukuhan. Tetapi kalian tentu mendapat ceritera yang salah tentang peristiwa itu.”
Beberapa orang anak muda memang telah bertanya-tanya di dalam hati. Apakah sebenarnya yang pernah terjadi. Menurut pendengaran mereka dari apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang tua untuk menjelaskan peristiwa di banjar itu yang justru dibenarkan dan bahkan sering pula dikatakan oleh Ki Bekel adalah, bahwa memang pernah ada sekelompok orang yang membawa barang-barang berharga bermalam di banjar.
Tetapi ternyata mereka telah bertengkar dan saling membunuh. Justru memperebutkan barang-barang berharga dan uang yang mereka bawa. Yang masih hidup kemudian telah membawa barang-barang berharga itu lari tanpa bekas. Dengan demikian, maka mayat-mayat yang tertinggal justru menjadi beban orang-orang di padukuhan itu untuk menguburkannya.
Ceritera itu memang mengandung beberapa kecanggungan. Tetapi anak-anak yang baru memasuki usia dewasa dan terlibat dalam kegiatan anak-anak muda telah menerima ceritera itu tanpa menghubungkan dengan orang-orang tua di padukuhan itu yang mendapatkan modal usaha sehingga mereka menjadi kaya. Baru ketika mereka mendengar keterangan dari orang yang bernama Kiai Patah itu, mereka mulai berpikir.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja beberapa orang telah menyibak. Seorang yang berambut putih yang terjurai selembar-lembar menyusup diantara orang-orang yang berada di halaman itu.
“Ki Bekel,“ berkata orang yang bertubuh tinggi.
“Aku sudah mendengar laporan tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Patah. Agaknya ia dengan sengaja telah membuat onar di padukuhan kita. Demikian pula kedua orang anak muda yang berpura-pura untuk bermalam di banjar,“ berkata Ki Bekel lantang.
Namun Mahisa Pukat yang berdiri dihadapan orang-orang itu tersenyum sambil berkata, “jadi Ki Sanaklah yang memegang kendali di padukuhan ini.”
“Aku bekel disini,“ jawab orang itu, “aku berhak menghukum kalian. Tidak ada hukuman yang paling baik daripada hukuman mati atas kalian yang dengan sengaja menginjak-injak kewibawaan padukuhan ini.”
“Terserah saja kepada Ki Bekel,“ jawab Mahisa Pukat, “tetapi jawab dahulu pertanyaanku. Apakah Ki Bekel juga terlibat dalam peristiwa yang memalukan itu? Apakah orang yang memberikan laporan kepada Ki Bekel juga mengatakan, bahwa akibat pembantaian yang terjadi di banjar ini, telah terjadi salah paham antara dua kelompok keluarga tanpa ada pemecahan karena tidak seorang pun diantara para pengawal barang-barang berharga itu hidup? Apakah Ki Bekel tahu, selain pembantaian yang terjadi, dua kelompok besar keluarga calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan hampir tumpas tapis tanpa bekas?”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Tetapi ia pun tiba-tiba telah meneriakkan aba-aba, “Tangkap ketiga orang ini dan kita akan membawanya ke banjar. Hukuman yang paling baik bagi mereka adalah hukum gantung atau kita serahkan ketiganya kepada rakyat padukuhan ini untuk dihabisi dengan cara yang dikehendaki oleh rakyat itu sendiri.”
“Jangan bermimpi menghukum kami,“ berkata Mahisa Pukat yang justru melangkah mendekati Ki Bekel, “mungkin Ki Bekel orang yang berilmu tinggi. Tetapi tidak dengan orang-orang padukuhan ini. Karena itu, maka jika Ki Bekel menghendaki menghukum kami, berarti Ki Bekel telah menyorongkan rakyat Ki Bekel ke dalam api. Dengar, api yang sebenarnya api. Karena kami akan membakar mereka dalam panasnya api.”
“Kau sudah gila,“ geram Ki Bekel.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun telah melangkah mendekati Kiai Sabawa sambil berkata, “Bukankah kita tidak akan menyerahkan leher kita untuk digantung?”
Kiai Patah menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin kekerasan terjadi disini. Aku hanya ingin berbicara dengan rakyat padukuhan ini.”
Tetapi Ki Bekel agaknya tidak ingin memberi kesempatan lebih banyak lagi kepada ketiga orang itu untuk berbicara. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Kita sudah cukup banyak bicara. Sekarang kita harus bertindak.”
“Tunggu Ki Bekel,“ berkata Kiai Sabawa yang dikenal dengan nama Kiai Patah itu, “sebenarnya aku belum selesai. Aku ingin menegaskan sekali lagi, akibat yang parah dari tingkah laku kalian disini. Kematian dan kematian. Aku pun sebenarnya ingin bertanya, apakah anak-anak muda membiarkan kebohongan ini terjadi tanpa kesan apa pun juga? Tanpa ada usaha untuk meluruskannya?”
“Cukup,“ Ki Bekel hampir berteriak, “jangan beri kesempatan orang itu mengigau. Kita harus segera membawanya ke banjar.”
Beberapa orang tua pun sudah tidak sabar lagi. Mereka segera bergerak ke arah tiga orang yang harus mereka tangkap itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat berkata lantang, “Aku peringatkan kalian sekali lagi. Jangan menyulitkan diri sendiri. Jika kalian memaksa kami untuk membela diri, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian sendiri.”
“Persetan,“ jawab Ki Bekel lantang, “lakukan sekarang. Apalagi yang kalian tunggu?”
Kata-kata Ki Bekel itu merupakan perintah. Orang-orang yang sudah berada di halaman itu pun menebar dan mengepung ketiga orang yang mereka anggap sangat berbahaya. Bahkan beberapa orang telah melingkari rumah itu dan masuk lewat pintu dapur. Mereka mencari ke setiap sudut rumah, jika saja ada orang lain di dalam rumah itu. Tetapi ternyata rumah itu kosong. Rumah itu hanya dihuni oleh orang yang mereka kenal dengan nama Kiai Patah itu.
Sementara itu Kiai Patah bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap di halaman. Mereka juga telah menebar menghadap ketiga arah pula. Mereka memang harus menghadapi lawan yang telah mengepung mereka. Namun dalam saat-saat terakhir Kiai Sabawa masih berkata, “Kita tidak akan menjadi pembunuh disini. Hanya jika hal itu terjadi di luar kehendak kita, apa boleh buat. Namun kita harus mencegah sejauh dapat kita usahakan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak sempat menjawab, karena beberapa orang telah datang menyerang. Mau tidak mau, ketiga orang itu memang harus berkelahi. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka akan diikat dan diseret ke halaman banjar dan tidak mustahil bahwa mereka benar-benar akan dibunuh oleh orang-orang yang ketakutan karena rahasia mereka yang telah mereka sembunyikan beberapa tahun itu akan terbongkar sehingga hal itu akan dapat menimbulkan persoalan diantara keluarga sendiri.
Ternyata bahwa Kiai Sabawa, kawan Mahendra itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun ia tidak mempergunakan kekuatan dan kemampuannya yang dapat membahayakan lawan-lawannya, namun ia telah mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya untuk mendorong tata geraknya sehingga menjadi semakin cepat. Karena itulah, maka ia telah membingungkan lawan-lawannya. Beberapa orang yang datang bersamaan, tiba-tiba saja telah terdorong surut dan bahkan beberapa orang telah jatuh terpelanting di tanah.
Orang-orang padukuhan itu tidak tahu, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang tua itu. Namun mereka benar-benar tidak dapat mendekatinya. Ketika dengan marah yang sangat mereka menyerang orang itu, maka justru merekalah yang telah terlempar jatuh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang serupa. Tetapi anak-anak muda itu ternyata lebih garang dari Kiai Sabawa sendiri. Baik Mahisa Murti mau pun Mahisa Pukat telah melemparkan pula beberapa orang lawan. Namun orang-orang itu menjadi kesakitan. Punggung mereka terasa menjadi retak dan bahkan diantara mereka yang sulit untuk dapat bangkit kembali. Beberapa orang kawan mereka telah mencoba mengangkat dan membawa mereka menepi. Tetapi satu dua orang yang lain telah terjatuh pula.
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk melindungi diri mereka sendiri. Karena terlalu banyak orang yang datang menyerang, bergelombang mengalir tidak putus-putusnya, maka semakin banyak pula orang yang telah terlempar dan mengerang kesakitan. Sementara itu, serangan mereka yang meskipun mengenai anak-anak muda itu, tetapi seakan-akan mereka tersentuh pun tidak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mendapatkan latihan-latihan yang tuntas, ternyata mampu meningkatkan daya tahan tubuh mereka sehingga pukulan-pukulan wadag dengan alas kekuatan yang sewajarnya tidak dapat menyakitinya.
Tetapi ternyata jumlah orang-orang padukuhan itu terlalu banyak. Sehingga semakin lama, serangan-serangan yang mengenai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin mengganggunya. Bahkan ada diantara mereka yang mempunyai kekuatan yang mampu menyakiti anak-anak muda itu.
Karena itu, maka ketiga orang itu, terutama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah meningkatkan kecepatan gerak mereka pula. Namun hal itu agaknya juga sangat berpengaruh terhadap lontaran kekuatan tenaga mereka yang telah dilambari dengan kekuatan cadangan.
“Tanpa menyakiti mereka, maka mereka tidak akan menjadi jera,“ berkata Mahisa Pukat didalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah bertindak lebih keras. Ia benar-benar telah menyakiti orang-orang yang telah menyerangnya itu. Dengan keras Mahisa Pukat telah memukul dan membanting orang-orang padukuhan yang tidak tahu diri itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa yang telah mulai menyerang Kiai Sabaya yang dikenal oleh orang-orang padukuhan itu dengan nama Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah justru orang-orang kebanyakan sebagai satu cara untuk menjajagi kemampuan ketiga orang itu.
Namun, ternyata bahwa ketiga orang itu benar-benar orang yang memiliki kelebihan. Seberapa banyak orang yang datang, maka mereka pun telah terlempar dan terdorong surut. Bahkan terbanting jatuh dan berguling-guling di tanah.
“Iblis manakah yang telah merasuk kedalam tubuh mereka, sehingga mereka mampu mengatasi orang sekian banyaknya,“ geram Ki Bekel.
Orang yang bertubuh tinggi dan berjambang lebat itu pun menggeram, “Biarlah kami yang menyelesaikan mereka.”
Ki Bekel mengangguk kecil. Katanya, “Memang kitalah yang harus menyelesaikan mereka. Semakin lama mereka justru semakin menarik perhatian orang-orang banyak. Orang-orang itu akan menganggap ketiganya orang yang baik, yang tidak mau melukai mereka meskipun harus melawan sekian banyak orang.”
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk pula. Namun kemudian ia pun berkata kepada beberapa orang yang ada di sekitarnya, “Marilah. Kitalah yang harus menyelesaikan mereka.”
“Kita tidak akan sempat membawanya ke banjar. Kita selesaikan saja mereka disini,“ berkata orang yang agak gemuk itu sambil menarik goloknya.
Beberapa orang yang lain pun tiba-tiba saja telah mengacukan senjata mereka pula. Ada yang membawa pedang, keris, tombak pendek, trisula, bindi dan jenis-jenis senjata apa pun yang dapat mereka ketemukan. Bahkan ada yang membawa parang dan kapak pembelah kayu. Orang-orang itulah yang kemudian telah bergerak maju.
Sementara itu, orang-orang yang lain, yang telah mendahului menyerang ketiga orang itu, telah menjadi jera untuk bergerak lagi. Mereka yang sudah terbanting dan terdorong jatuh, rasa-rasanya tulang mereka telah berpatahan, sehingga mereka tidak sanggup lagi untuk berkelahi.
Karena itu, maka orang-orang bersenjata yang termasuk orang-orang yang disegani di padukuhan itulah yang kemudian telah bergerak. Dengan senjata di tangan mereka mulai bergeser mendekati ketiga orang itu. Beberapa orang telah mendekati Kiai Sabawa sedangkan yang lain telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu maka orang yang bertubuh tinggi, yang telah berdiri dihadapan Kiai Sabawa itu berkata,
“Orang tua yang tidak tahu diri. Kau kira dengan mengusir orang-orang yang tidak berdaya itu kau merasa memiliki kemampuan yang dapat menggetarkan bulu-bulu kami?”
“Siapa yang mengira begitu?“ bertanya Kiai Sabawa, “bukankah aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka. Jika kau terpaksa mengusir mereka, karena mereka akan menyakitimu. Bukankah itu wajar?”
“Aku tidak peduli. Kau sudah banyak membuat onar disini. Karena itu, maka kau memang harus mati,“ geram orang itu.
Ki Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Bekel telah berteriak, “jangan beri kesempatan. Kepung mereka dan selesaikan mereka disini. Sekarang.”
Orang-orang yang telah bersiap dengan senjata mereka itu memang tidak menunggu terlalu lama. Mereka pun segera telah menyergap ketiga orang itu. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekejap memang bimbang. Apakah yang harus mereka lakukan melawan orang-orang bersenjata itu. Keduanya merasa tidak pantas untuk melawan mereka dengan tingkat ilmu mereka yang tinggi untuk mengalahkan lawan-lawan mereka itu. Namun mereka pun akan mengalami kesulitan pula melawan sekian banyak orang bersenjata.
Seandainya mereka tidak terikat pada niat Kiai Sabawa yang agaknya masih ingin memberikan penjelasan kepada orang-orang padukuhan itu, maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri saja. Bukan karena mereka tidak mampu menghadapi orang-orang itu. Tetapi semata-mata menghindari pembunuhan. Tetapi jika mereka harus bertahan, maka kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa satu dua orang diantara lawan anak-anak muda itu akan terbunuh.
Namun mereka memang harus bertahan. Apalagi ketika Kiai Sabawa kemudian berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak ingin terjadi benturan kekerasan seperti ini. Aku hanya ingin memberitahukan apa yang sebenarnya telah terjadi disini. Tetapi karena kalian memaksa, maka kami akan melayani. Tetapi jika terjadi sesuatu atas kalian atau beberapa orang diantara kalian, sama sekali bukan tanggung jawab kami.”
“Jangan biarkan ia mengigau,“ teriak Ki Bekel, “selesaikan secepatnya.”
Ketika orang-orang bersenjata itu menyerang semakin garang, maka Kiai Sabawa berkata lantang, “Anak-anak muda. Jika kalian ingin senjata, bukankah kalian dapat mengambil satu diantara senjata lawan kalian itu?”
Kata-kata itu merupakan isyarat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa mereka memang harus bertahan. Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Kiai Sabawa, maka mereka pun berusaha untuk merampas satu diantara senjata lawan. Memang agak sulit dilakukan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi itu ternyata mampu melakukannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti telah menggenggam sebilah pedang, sementara Mahisa Pukat membawa sebatang tombak bertangkai pendek.
Dengan senjata di tangan kedua orang anak muda itu, maka keduanya menjadi semakin garang. Namun bagi Kiai Sabawa, justru dengan senjata di tangan, maka keduanya akan membatasi gerak mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu yang sangat tinggi bagi orang-orang padukuhan itu, justru akan sangat berbahaya jika mereka tidak membawa senjata di tangan. Karena dari tangannya akan dapat memancar kekuatan yang tidak terjangkau oleh nalar orang-orang padukuhan itu.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang seru dengan senjata. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas telah menangkis semua ujung senjata yang mematuk ke arahnya. Dengan sigap keduanya menghindari ayunan pedang dan bahkan kapak. Bahkan lembing yang dilontarkan ke arah mereka, sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi garang. Senjata mereka berputaran. Pedang Mahisa Murti yang berputar seperti baling-baling dengan rapat melindunginya. Putaran pedang itu bagaikan kabut putih yang bergulung-gulung menyeliputi tubuhnya. Bahkan seakan-akan demikian rapatnya, sehingga tidak seujung duri pun yang dapat menyusup kedalamnya.
Dengan demikian maka orang-orang yang mengerumuni Mahisa Murti itu menjadi bingung. Bahkan seseorang yang mencoba menusukkan tombaknya, benar-benar telah membentur putaran pedang Mahisa Murti yang mempunyai kekuatan tidak tertahan sehingga tombaknya justru telah terlempar ke udara. Ketika tombak itu meluncur jatuh, hampir saja tajamnya justru melukai kawannya sendiri.
Rasa-rasanya memang tidak ada cara untuk dapat mengenai anak muda itu dengan senjata apapun. Sementara itu tidak ada kekuatan yang akan dapat menghentikan putaran pedangnya. Sekali-sekali jika ada yang mencobanya, maka justru senjata mereka sendirilah yang akan terlempar jatuh.
Demikian pula dengan Mahisa Pukat yang membawa sebatang tombak pendek. Tombak itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan tombak yang bergerak bersama-sama dalam genggaman puluhan tangan yang tangkas dan cekatan. Dengan demikian tidak ada jenis senjata apa pun yang dapat lolos dari tangkisan tombak yang menggetarkan itu. Bahkan tombak itu justru sekali-sekali telah mematuk mereka yang berdiri terdekat. Meskipun tombak itu tidak benar-benar mengenai tubuh mereka, namun rasa-rasanya ujungnya telah terayun di depan hidung. Sehingga jantung mereka rasa-rasanya telah berhenti berdetak.
Di lingkungan pertempuran yang lain. Kiai Sabawa masih juga menghadapi beberapa orang bersenjata yang marah. Tanpa senjata Kiai Sabawa bergerak berloncatan. Namun ternyata bahwa kulitnya tidak tersentuh senjata lawan bukan semata-mata karena ia memiliki kecepatan menghindar yang luar biasa. Tetapi agaknya Kiai Sabawa memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang mampu melindungi kulitnya sehingga senjata dan jenis serangan lawan yang mana pun tidak dapat menyentuhnya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Sabawa telah mengetrapkan ilmu lembu sekilan. Ilmu yang memang dapat menjadi perisai sehingga setiap serangan akan terbentur pada ilmunya itu sejengkal dari kulitnya. Ilmu yang biasa disebut Lembu Sekilan. Apalagi serangan-serangan orang-orang padukuhan itu bagi ilmu Lembu Sekilan tidak banyak berarti. Hanya dengan kekuatan ilmu yang tinggi pula ilmu Lembu Sekilan itu dapat dipecahkan dan ditembus sehingga menyentuh kulitnya.
Karena itu maka Kiai Sabawa sama sekali tidak mengalami kesulitan mengatasi serangan orang-orang padukuhan itu meskipun orang-orang padukuhan itu membawa berbagai macam senjata. Meskipun ujung-ujung senjata bagaikan berebut menusuk ke arah tubuhnya, namun tidak satu pun yang dapat melukainya.
Ternyata yang terjadi itu benar-benar telah membuat orang-orang padukuhan itu bingung. Kedua anak muda yang berniat bermalam di banjar dan yang justru telah diusir itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ternyata mereka mampu melawan sekelompok orang bersenjata tanpa mengalami kesulitan. Apalagi orang yang dikenal bernama Kiai Patah itu. Dengan demikian, setelah mereka bertempur untuk waktu yang lama tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ketiga orang itu akan dapat ditangkap. Apalagi di bawa ke banjar.
Bahkan semakin lama semakin banyak orang yang kesakitan. Tanpa dapat menghindari kemungkinan buruk, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempertahankan dirinya. Dalam pertempuran yang kadang-kadang berlangsung cepat, maka ujung-ujung senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah tergores di tubuh satu dua orang lawan mereka. Satu dua orang padukuhan itu telah terlempar dari arena dengan darah yang bercucuran dari lukanya yang menganga.
Demikian pula tangan dan kaki Kiai Sabawa. Kadang-kadang dengan tidak sengaja tangannya telah membentur lawannya. Benturan itu memang tidak terlalu keras. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki daya tahan yang cukup, maka benturan itu telah membuat mereka menjadi pingsan.
Ki Bekel menyaksikan semuanya itu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi ia masih mempunyai harapan. Orang-orang padukuhan itu mengalir seakan-akan tanpa ada hentinya. Satu dua orang terlempar keluar arena, tiga orang yang lain telah memasuki arena sehingga orang-orang yang bertempur itu tidak menjadi semakin berkurang, tetapi semakin bertambah.
“Mereka pada satu saat tentu akan kelelahan,“ berkata Ki Bekel kepada diri sendiri.
Ternyata bukan hanya Ki Bekel yang memperhitungkan hal itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga merasa bahwa jika hal seperti itu terjadi terus-menerus, sedangkan jumlah orang padukuhan itu terlalu banyak, maka pada saat mereka akan kelelahan.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus dapat memecahkan persoalan yang dihadapinya itu. Namun keduanya tetap tidak akan dapat membunuh mereka sebanyak-banyaknya, karena sebagian dari orang-orang padukuhan itu, terutama anak-anak yang masih sedang meningkat dewasa, justru tidak ikut bersalah. Tetapi arus itu memang terlalu deras untuk dibiarkan melandanya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain. Ia harus benar-benar mengurangi jumlah lawan meskipun tidak asal saja membunuh mereka. Namun jika mereka menjadi luka bahkan parah, apalagi terbunuh, itu sama sekali bukan maksudnya.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun tanpa berjanji, namun karena mereka mengalami keadaan yang sama, maka mereka pun telah mengambil jalan pemecahan yang sama pula. Dengan garangnya maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Senjata mereka telah berputar semakin cepat pula. Sementara itu, maka ujung senjata mereka tiba-tiba saja telah mematuk satu dua orang yang berada di paling depan.
Terdengar teriakan kesakitan. Bukan sekedar terlempar dan terbanting jatuh serta merasakan tulang punggungnya bagaikan retak, atau tergores luka di pundak dan menitikkan darah. Tetapi dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin memaksa lawan-lawan mereka berpikir tentang kemungkinan yang lebih buruk itu.
Karena itu, maka senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah menusuk lebih dalam lagi ke dalam tubuh lawan-lawannya. Luka pun menjadi semakin parah dan darah menjadi semakin banyak mengalir. Dengan sikap yang lebih keras, maka semakin banyak orang yang terluka, bahkan semakin parah. Orang-orang yang terluka itu telah diangkat ke pinggir halaman dan dibaringkan berjajar. Semakin lama semakin banyak.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti telah berteriak nyaring, “Nah, yakinkanlah diri kalian, bahwa korban akan menjadi semakin banyak. Aku tidak tahu, apakah ada diantara mereka yang tertusuk senjata itu terbunuh. Seandainya ada, maka itu adalah akibat yang wajar dari satu pertempuran bersenjata, meskipun aku tidak menghendakinya. Karena itu, pertimbangkan sekali lagi. Jika kalian masih juga berniat untuk menangkapku dan apalagi membunuhku, maka aku pun tidak akan mengendalikan diriku lagi. Aku pun akan membunuh kalian pula sebanyak orang yang menyerang aku.”
Ternyata suara Mahisa Murti itu berpengaruh juga pada lawan-lawannya. Beberapa orang nampak menjadi ragu. Demikian pula mereka yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan Kiai Sabawa.
Namun Ki Bekel pun telah berteriak pula, “jangan dengarkan kata-kata orang itu. Ia sudah mulai menjadi ketakutan menghadapi perjuangan kalian yang tidak mengenal surut. Apa pun yang terjadi.”
Namun terdengar Mahisa Pukat menyahut lantang, “Ki Bekel. Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja? Kenapa kau tidak ikut dalam pertempuran ini? Kau dapat memuji dan membujuk orang-orangmu untuk bertempur, karena dengan demikian, orang-orangmulah yang akan terluka bahkan terbunuh? Kau tidak akan tersentuh senjata sama sekali karena kau berperisai orang-orangmu yang jumlahnya tidak terhitung. Tetapi untuk membela diri, maka aku terpaksa membunuh.”
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Namun ia sempat berteriak, “Apakah harus aku sendiri yang melawan tikus-tikus kecil seperti kalian. Dalam waktu yang singkat, orang-orangku akan dapat menghancurkan kalian.”
“Yang lewat sudah bukan waktu yang singkat Ki Bekel,“ jawab Mahisa Pukat, “bahkan korban pun akan menjadi semakin banyak. Seandainya pertempuran ini dapat kau menangkan dengan membunuh kami bertiga, maka orang-orang yang akan mati sebelumnya tidak akan bangkit lagi. Anak-anak mereka, adik-adik mereka dan ibu-ibu mereka akan meratap, sementara kau akan tetap menikmati harta benda yang kau rampas dengan cara yang sangat keji. Jauh lebih kaji dari cara yang dipergunakan oleh para perampok di saat mereka merampok korbannya. Para perampok masih mempergunakan kemampuan dan keberaniannya melawan korban-korbannya. Tetapi kau tidak. Kau racuni orang yang tidak bersalah tanpa pertimbangan perikemanusiaan sama sekali. Kemudian korban yang lain pun berjatuhan. Dua keluarga hancur karenanya.”
“Cukup. Cukup. Bungkam mulutnya itu,“ teriak Ki Bekel.
Tetapi tidak seorang pun mampu melakukannya. Bahkan orang-orang yang jatuh karena luka-luka yang parah menjadi semakin banyak.
Dalam pada itu, Ki Sabawa lah yang berkata, “Karena itu Ki Bekel, hentikan perbuatan gilamu ini.“ Lalu katanya kepada orang-orang padukuhan itu, “He, orang-orang padukuhan. Apakah kalian memang ingin mati sementara pemimpinmu akan tetap menikmati dosa-dosanya? Anak-anak muda, sebaiknya kalian berpaling ke belakang untuk melihat kelicikan orang-orang yang lebih tua dari kalian meskipun selisihnya tidak terlalu banyak. Jika kalian mau berhenti, maka aku akan dapat menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi. Tetapi jika tidak, maka kalian yang tidak bersalahlah yang akan mati lebih dahulu. Karena dengan licik kalian memang sengaja diumpankannya.”
Kata-kata Ki Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memang dapat membuat mereka ragu. Sementara itu, darah yang semakin banyak mengalir dan membasahi halaman rumah Kiai Sabawa itu pun telah membuat mereka ngeri. Karena itu, maka beberapa orang yang justru berdiri di paling depan menjadi ragu-ragu.
Kiai Sabawa ingin memanfaatkan kesempatan itu. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Kenapa kalian tidak memilih cara yang lebih baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Biarlah Ki Bekel bertempur melawan aku seorang dengan seorang. Dengan demikian maka kalian tidak akan sekedar mati tetapi tanpa arti sama sekali.”
Orang-orang yang mendengarkan teriakan Kiai Sabawa itu menjadi semakin ragu-ragu. Beberapa orang justru telah berpaling kepada Ki Bekel. Di saat orang-orang padukuhan itu menjadi ragu-ragu, tanpa perintah, maka Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghentikan gerak senjata mereka. Bahkan mereka telah meloncat surut selangkah untuk memberi kesempatan lawan mereka berpikir.
Melihat orang-orangnya menjadi ragu-ragu, maka Ki Bekel pun berteriak, “Kenapa kalian menjadi ragu-ragu? Kita harus menyelesaikan mereka. Membungkam mulut mereka untuk selama-lamanya. Kita semuanya bertanggung jawab atas keselamatan padukuhan kita dari fitnah yang keji.”
Orang-orang yang memang merasa bersalah tidak mempunyai pilihan. Mereka memang harus membungkam orang-orang itu. Tetapi mereka yang tidak tahu dengan pasti persoalannya, memang menjadi ragu-ragu untuk bertempur. Karena itu, orang-orang yang memang merasa bersalah, yang semula sekedar mengumpankan orang lain terutama anak-anak yang masih terlalu muda, namun yang berdarah panas, harus melakukannya sendiri. Mereka tidak lagi dapat memaksa beberapa orang yang memang menjadi ragu-ragu, bukan saja karena pikiran mereka mulai terbuka, tetapi juga karena darah yang semakin deras mengalir dari puluhan luka di tubuh kawan-kawan mereka.
Orang-orang yang merasa bersalah itu ternyata adalah orang-orang yang memang garang. Orang-orang yang takut rahasianya akan terbuka oleh seisi padukuhan. Yang takut diketahui bahwa ceritera mereka tentang orang-orang yang berebut harta di padukuhan mereka itu adalah ceritera yang bohong saja.
Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Jika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Sabawa menghendaki lawan mereka menjadi susut, yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan bukan sekedar anak-anak muda yang belum banyak pengalaman. Tetapi orang-orang yang lebih tua.
“Jadi kalian tidak mempergunakan kesempatan yang telah kami berikan?“ bertanya Kiai Sabawa yang harus mulai bertempur lagi. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang justru telah menyibak anak-anak muda yang ragu-ragu itu.
“Persetan,“ geram seorang yang bertubuh agak pendek dibanding dengan kawan-kawannya, namun berwajah keras, “mulutmulah yang pertama-tama harus disumbat.”
Bagaimanapun sabarnya Kiai Sabawa, namun ia adalah seorang yang memiliki perasaan dan harga diri. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata, “Kami sudah cukup mengekang diri sampai sekarang. Karena itu, kami tidak akan memberi kesempatan lagi. Sebelum kami terbunuh di arena ini, maka kami harus membunuh lebih dahulu sepuluh kali lipat dari jumlah kami selain yang telah kami lukai sebelumnya.”
Tetapi orang-orang yang ketakutan bahwa rahasia mereka akan terbongkar itu tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Ki Bekel berkata, “hanya ada dua pilihan bagi kalian. Membunuh orang-orang itu, atau kalianlah yang akan dibunuh dan bahkan difitnah.”
Dengan demikian orang-orang yang menyimpan rahasia itu telah bertempur lebih keras lagi. Namun ternyata bahwa kesabaran Kiai Sabawa telah mulai berkurang. Karena itu, maka ia pun menggeram,
“Nah, ternyata dengan tidak sengaja telah terjadi penyaringan disini. Mereka yang merasa tidak berdosa, telah mengakhiri pertempuran yang tidak berarti sama sekali bagi mereka. Karena itu, menurut pendapatku, mereka yang takut terbuka rahasianya sajalah yang masih tetap bertempur dengan kasarnya dan benar-benar bernafsu untuk membunuh kami. Karena itu, maka jangan menyesal, bahwa kalian pun akan terbunuh disini.”
Orang-orang itu memang tidak dapat berbuat lain. Mereka tidak ingin membiarkan ketiga orang itu membuka rahasia mereka, sehingga anak-anak muda mengetahuinya, meskipun anak muda itu anak mereka sendiri. Jika demikian, maka kedudukan mereka termasuk Ki Bekel sebagai orang-orang yang berpengaruh karena kekayaan mereka akan hancur di mata anak-anak muda padukuhan mereka sendiri.
Tetapi mereka benar-benar berdiri di simpang jalan yang sulit untuk dipilih. Jika mereka memilih untuk menghindari pertempuran, maka rahasia mereka akan terbongkar. Sebaliknya jika mereka bertempur terus, maka kemungkinan besar mereka tidak akan dapat lagi keluar dari halaman itu.
Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, maka seorang telah terbanting jatuh dengan kerasnya. Kiai Sabawa yang memiliki ilmu lembu sekilan itu telah memukul orang yang bertubuh pendek itu tepat di keningnya. Justru ketika orang bertubuh pendek itu berusaha untuk menusukkan senjatanya ke arah jantung. Pukulan itu demikian kerasnya, sehingga orang bertubuh pendek itu bukan saja terpelanting, tetapi benar-benar telah terlempar dan menimpa beberapa orang kawannya yang sedang bergerak maju dengan senjata telanjang di tangan.
Adalah di luar kehendak mereka, bahwa ujung-ujung senjata itu ternyata telah menggores tubuh orang yang terlempar itu. Demikian kerasnya ia terlempar, sehingga luka-luka pun agaknya cukup dalam. Ketika kawan-kawannya terkejut dan berloncatan mundur, maka orang itu telah terjatuh di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Kecuali keningnya serasa remuk, maka tubuhnya menjadi arang kranjang oleh luka-luka karena ujung senjata kawan-kawannya sendiri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang membantu Kiai Sabawa, dan yang sebenarnya telah terlalu lama menahan diri, seakan-akan telah mendapat isyarat, bahwa mereka dapat berbuat lebih banyak lagi dari yang telah mereka lakukan. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang sebenarnya bersalah. Yang membunuh dengan racun tanpa perikemanusiaan sama sekali.
Karena itu, maka senjata anak-anak muda itu benar-benar telah terhunjam ke dalam dada lawan-lawannya. Dua orang terkapar ditembus ujung senjata anak muda itu. Perubahan sikap yang semakin keras dari Kiai Sabawa dan anak-anak muda itu memang mempengaruhi lawan-lawan mereka. Ternyata mereka bertiga tidak hanya berbicara saja, tetapi benar-benar sudah mengambil langkah-langkah yang sebagaimana dikatakannya. Dan kematian itu benar-benar telah terjadi. Karena itu keragu-raguan orang-orang padukuhan itu menjadi semakin mencengkam. Beberapa orang tidak lagi berdesakan maju. Tetapi mereka justru bergeser surut.
Sekali lagi Kiai Sabawa berkata, “Nah, saudara-saudaraku. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak ingin terjadi seperti disini. Meskipun mungkin aku sudah melakukannya. Karena itu, minggirlah. Biarlah aku berurusan dengan Ki Bekel.”
Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu telah benar-benar yakin akan kemampuan ketiga orang itu. Karena itu, maka ketika kemudian Kiai Sabawa melangkah menuju ke arah Ki Bekel yang berdiri sambil sekali-sekali meneriakkan perintah, maka orang-orang itu justru telah menyibak. Demikian pula mereka yang telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tanpa ada yang memberikan aba-aba, mereka telah menarik diri dan pertempuran pun telah terhenti.
Semua mata kini tertuju kepada Kiai Sabawa yang selangkah demi selangkah mendekati Ki Bekel yang semakin lama menjadi semakin pucat. Bahkan kemudian diluar sadarnya, ia-pun telah bergerak surut. Selangkah Kiai Sabawa maju, maka Ki Bekel pun surut setapak.
“Nah Ki Bekel,“ berkata Kiai Sabawa, “kau harus bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Kau adalah seorang Bekel. Seorang pemimpin tertinggi di padukuhan ini. Seharusnya kau berusaha untuk mencegah hal itu terjadi. Tetapi kau telah ikut serta. Justru kau ikut mengatur pembunuhan yang paling keji itu. Sekelompok orang yang membawa barang-barang berharga itu telah dibunuh dengan racun.”
“Omong kosong,“ teriak Ki Bekel.
“Kau masih mengelak?“ bertanya Kiai Sabawa, “sekian lama aku mengadakan penyelidikan. Beberapa puluh orang sudah aku ajak berbicara dan yang terpenting dari keberhasilanku menyelidiki persoalan ini adalah karena telah berapa keping uang yang aku habiskan untuk membuka beberapa buah mulut yang semula terbungkam.”
“Pengkhianat,“ geram Ki Bekel.
“Tidak Ki Bekel. Justru karena kau tidak membagi hasil rampasan dengan merata. Ada orang-orang yang merasa kecewa dengan ketamakanmu itulah sebabnya, maka langkahmu yang keji itu dapat aku ketahui. Cara apa pun yang aku tempuh, namun akhirnya aku tahu apa yang terjadi disini.”
“Tidak. Kau telah memfitnahku,“ teriak Ki Bekel. Namun wajahnya memang menjadi semakin pucat.
“Aku dapat mengajukan beberapa saksi disini. Orang-orang yang tentu kau anggap berkhianat,“ berkata Kiai Sabawa, “tetapi jika kau tidak menyangkalnya terus-terusan, maka agar tidak menambah berat bebanmu, aku dapat mengesampingkannya. Namun kau harus sadar, berapa orang yang telah mati karena ulahmu itu. Sekelompok pengawal yang kau racun, kemudian dua kelompok keluarga besar yang memiliki orang-orang berilmu yang hampir tumpas karenanya. Dan sekarang, orang-orangmu sendiri kau umpankan sebagai perisai bagi keselamatanmu. Nah, kau dapat menghitung seberapa besar dosa yang telah kau buat.”
“Tidak. Tidak,“ Ki Bekel menjadi ketakutan.
Namun tiba-tiba terdengar seorang anak muda bertanya, ”Apakah yang terjadi benar demikian?”
Ki Bekel menjadi semakin pucat. Juga beberapa orang tua. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, karena senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah siap menukik ke tubuh mereka yang masih ingin bertempur lebih lama lagi. Tetapi Ki Bekel itu masih sempat berteriak dengan suara bergetar, “Fitnah yang paling jahat. Jangan percaya.”
“Baik,“ berkata Kiai Sabawa, “Jika tidak demikian, maka kita selesaikan persoalan kita. Sekarang kita akan bertempur terus. Kami bertiga merasa terhina karena sikap kalian. Kami tidak pernah merasa bersalah, tetapi kalian akan menghukum mati kami bertiga di banjar. Karena itu, maka marilah kita bersama-sama mati. Kita semua akan mati. Marilah, siapa yang akan mati lebih dahulu?”
Tidak seorang pun bergerak. Bahkan Mahisa Pukat lah yang kemudian menantang, “Sekarang kamilah yang akan membunuh kalian semuanya. Kalian tentu yakin, bahwa kami mampu melakukannya.”
Sementara itu Mahisa Murti menyambung, “Kalian dapat memilih. Mengakui semua perbuatan kalian, atau mati di tangan kami. Jika kalian semua mati dan kami tinggalkan padukuhan ini, maka tidak ada lagi yang sempat menyelenggarakan mayat kalian. Mungkin perempuan atau anak-anak sambil meratapi mayat kalian itu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Sementara itu orang-orang yang ada di halaman itu pun menjadi semakin cemas, bahwa ketiga orang itu benar-benar akan mengamuk dengan membunuh mereka semuanya, karena menilik apa yang telah terjadi, maka hal itu mungkin sekali mereka lakukan.
Karena itu, maka beberapa orang memang telah menjadi bimbang. Sementara itu Kiai Sabawa berkata, “Nah, aku akan memberi kalian waktu sampai hitungan kesepuluh untuk mengaku.”
Ancaman itu benar-benar menegangkan. Sementara itu Kiai Sabawa memang telah mulai menghitung,“ satu, dua, tiga…”
Orang-orang yang merasa bersalah, tetapi tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi itu, memang menjadi bingung. Namun ketika Kiai Sabawa sampai hitungan kedelapan dan kesembilan, maka beberapa orang benar-benar menjadi gemetar. Jantung mereka bagaikan telah berhenti berdenyut.
Sementara itu, beberapa orang hampir bersamaan tiba-tiba saja telah berteriak, “Kami akan mengaku.”
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah mereka yang berteriak itu Kiai Sabawa berkata, “Terima Kasih. Kalian akan menjernihkan suasana. Dengan demikian tidak akan ada lagi kematian diantara orang-orang yang tidak bersalah.” Kiai Sabawa berhenti sejenak, kemudian kepada salah seorang yang berteriak itu ia berkata, “Kau termasuk orang-orang yang berani mempertanggungjawabkan kesalahan yang pernah kalian lakukan dengan sebuah pengakuan. Demikian pula beberapa orang yang lain. Nah, sekarang aku ingin bertanya kepada Ki Bekel. Apakah kau masih juga memilih berperang tanding melawan aku dari pada memberikan pengakuan dihadapan rakyatmu yang kebetulan berkumpul disini?”
Ki Bekel memang menjadi semakin pucat. Diluar sadarnya ia memandang berkeliling. Rasa-rasanya semua mata telah memandang ke arahnya dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu pun berteriak, “Tidak. Tidak.”
“Ki Bekel,“ panggil Kiai Sabawa.
Namun Ki Bekel itu mencoba melarikan diri ke arah regol halaman rumah Kiai Sabawa sambil masih saja berteriak, “Tidak. Tidak.”
Tetapi ternyata beberapa orang anak muda yang tidak tahu pasti apa yang pernah terjadi sesungguhnya, telah bergeser menutup jalan. Apa yang dikatakan oleh Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menimbulkan berbagai persoalan didalam diri mereka. Karena itu, maka mereka pun telah berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa hubungan mereka dengan Ki Bekel untuk sementara dapat berubah sifatnya. Ki Bekel yang terpaksa berhenti berlari mencoba untuk mencari jalan lain. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain telah berdiri pula dihadapanya.
“Minggir, minggir,“ teriaknya.
Tetapi tidak seorang pun yang berkisar. Tidak seperti saat Ki Bekel itu memasuki halaman. Dalam pada itu, seorang anak yang masih terlalu muda telah melangkah maju dan mendekatinya sambil bertanya, “Katakanlah Ki Bekel. Apakah benar yang dikatakan orang itu?”
“Tidak. Tidak,“ Ki Bekel berteriak-teriak tidak menentu.
Namun tiba-tiba seorang yang hampir seumur Ki Bekel melangkah mendekati. Dipandanginya anak muda itu dengan tatapan mata yang redup. Sementara anak muda itu dengan ragu-ragu bertanya kepada orang tua itu, “Benarkah yang dikatakan oleh Kiai Patah itu ayah?”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling ke arah Ki Bekel, maka Ki Bekel berteriak semakin keras, “Tidak. Tidak.”
Tetapi orang itu melangkah mendekat sambil berdesis, “Tenanglah Ki Bekel. Kita tidak mempunyai pilihan lain sekarang ini. Berkatalah terus terang. Agaknya memang sudah waktunya.”
“Pengkhianat. Kau juga akan berkhianat?“ Ki Bekel masih berteriak.
“Tidak Ki Bekel. Aku tidak akan berkhianat. Apalagi hal itu akan menyangkut diriku sendiri,“ berkata orang itu.
“Kalau kau mau ikut memfitnah aku, lakukanlah. Aku sudah siap menghadapi fitnah semua orang padukuhan ini,“ jawab Ki Bekel.
“Kau keraskan hatimu dalam kesalahanmu,“ berkata orang tua itu. Lalu katanya kepada anak muda yang memanggilnya ayah, “Sebenarnyalah seperti yang mereka katakan anakku. Selama ini, kami telah berbohong kepada kalian. Tidak pernah terjadi sebagaimana tersebar di padukuhan ini ceritera tentang orang-orang yang saling berebut harta dan kemudian saling membunuh. Yang hidup telah melarikan harta itu sementara mereka meninggalkan mayat-mayat untuk kita kuburkan.”
“Jadi yang benar Ki Bekel telah meracun mereka?“ bertanya anak muda itu.
Orang tua itu mengangguk.
“Setan tua,“ teriak anak muda itu sambil mengacukan pedangnya. Namun ayahnya telah menghalanginya. Katanya, “Bukan hanya Ki Bekel. Tetapi kami, beberapa orang telah sepakat melakukannya.”
Anak muda itu mundur beberapa langkah. Wajahnya menjadi sangat tegang. Ia tidak tahu apa yang pantas dilakukan terhadap ayahnya sendiri. Namun tiba-tiba dari arah yang lain terdengar seorang anak muda berteriak, “Kita selesaikan mereka.”
“Ya. Kita bersihkan nama baik padukuhan kita,“ teriak yang lain.
Beberapa orang mulai bergerak. Namun Kiai Patah kemudian telah berkata lantang, “Kita tidak dapat melakukannya sendiri. Kalian, anak-anak muda, tidak akan pantas menghukum ayah kalian atau kakak-kakak kalian sendiri.”
Beberapa orang anak muda menjadi bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun Kiai Patah pun berkata, “Bukankah padukuhan ini masuk satu lingkungan yang lebih luas? Nah, biarlah Ki Bekel kita serahkan saja kepada Ki Buyut bersama beberapa orang yang bersalah. Jika mereka telah mengaku bersalah, maka sebagian dari kesalahan mereka telah diperbaiki. Karena itu, biarlah kita bawa mereka kepada Ki Buyut.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan mereka. Pada saat anak-anak muda itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Ki Bekel telah menarik keris di pinggangnya. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Sabawa yang dikenalnya sebagai Kiai Patah. Demikian tiba-tiba sehingga tidak seorang pun sempat mencegahnya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri agak jauh tidak mampu berbuat sesuatu.
Kiai Sabawa sendiri tidak berbuat sesuatu. Beberapa orang memang menjadi sangat terkejut, bahkan ada diantara anak-anak muda yang berteriak. Namun keris itu sudah terayun mengarah ke dada Kiai Sabawa.
Sambil mengayunkan kerisnya Ki Bekel berteriak, “Kau sumber dari kekacauan ini. Kau memang pantas dibunuh.”
Beberapa orang yang melihat ayunan keris itu, jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Rasa-rasanya dada mereka sendirilah yang telah dikenai oleh keris Ki Bekel yang menjadi bagaikan gila itu. Namun sekali lagi orang-orang itu terkejut. Mereka melihat keris Ki Bekel itu bagaikan membentur tirai baja yang keras, namun tidak kasat mata. Ujung keris yang terayun deras itu sama sekali tidak menyentuh kulit Kiai Sabawa yang berdiri tegak tanpa berbuat sesuatu.
Wajah Ki Bekel yang pucat itu menjadi semakin pucat. Selangkah ia surut. Dengan gemetar bibirnya pun bergerak sehingga terdengar kata-katanya, “Kau anak iblis atau hantu dari antara orang-orang yang telah mati itu?”
Kiai Sabawa tertawa. Adalah tidak direncanakannya lebih dahulu jika ia kemudian menjawab, “Kau benar Ki Bekel. Aku adalah hantu dari salah satu diantara orang-orang yang telah kau bunuh dengan racun itu.”
Ki Bekel benar-benar tidak dapat lagi mempergunakan nalarnya. Yang dilakukannya kemudian adalah justru mengangkat keris itu tinggi-tinggi. Namun sebelum keris itu terayun ke dadanya sendiri, Kiai Sabawa telah sempat menerkamnya. Satu putaran yang kuat telah memilin tangan Ki Bekel itu sehingga kerisnya terlepas dari tangannya.
“Sayang Ki Bekel. Itu bukan satu penyelesaian yang baik. Kau akan menjadi pengecut untuk kedua kalinya setelah dengan sikap pengecut pula kau bunuh orang-orang yang menginap di banjar itu dengan racun. Namun sekarang berbicaralah kepada orang-orangmu, apa yang terjadi sebenarnya,“ geram Kiai Sabawa, “sekarang aku tidak main-main lagi Ki Bekel. Pengakuanmu mempunyai arti yang penting sebelum kau akan kami bawa menghadap Ki Buyut.”
“Bunuh aku,“ geram Ki Bekel.
“Jika itu yang kau kehendaki, maka aku akan melakukannya. Tetapi dengan caraku. Aku akan menarik lidahmu sampai terlepas dari mulutmu, karena lidahmu itu tidak kau pergunakan sebagaimana seharusnya,“ jawab Kiai Sabawa.
“Kau gila,“ teriak Ki Bekel.
“Tidak,“ berkata Kiai Sabawa. Lalu katanya kepada Mahisa Murti, “ambilkan sepotong bambu. Aku akan menjepit lidahnya dan menariknya sampai terlepas.”
“Tidak. Kau tidak boleh melakukan tindakan gila itu,“ teriak Ki Bekel.
“Siapa yang tidak memperbolehkan? Kau? Bekel yang tidak tahu diri,“ jawab Kiai Sabawa, “nah, sekarang kau tinggal pilih. Mengatakan yang sebenarnya atau kau tidak akan mempunyai lidah lagi.”
Agaknya Ki Bekel memang tidak mempunyai pilihan apa pun juga. Karena itu dengan tangan yang masih terpilin di belakang, maka ia pun kemudian berkata, “Aku tidak akan dapat ingkar lagi.”
“Katakan yang jelas,“ bentak Kiai Sabawa.
Agaknya hati Ki Bekel benar-benar telah terguncang. Sehingga karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Aku akui semua perbuatanku bersama beberapa orang dari padukuhan ini.”
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Jika demikian, kita akan pergi ke padukuhan induk Kabuyutan ini. Kita akan menghadap Ki Buyut.”
“Serahkan kepada kami,“ tiba-tiba seorang anak muda maju selangkah, “kami akan menentukan apa yang sebaiknya kami lakukan terhadap Ki Demang dan orang-orang tua kami yang telah berbuat licik dan menodai nama baik padukuhan ini.”
“Sudahlah,“ berkata Kiai Sabawa, “kita tempuh saluran yang seharusnya. Biarkanlah Ki Buyut mengambil kebijaksanaan. Sementara itu, kalianlah, anak-anak muda padukuhan ini harus membuktikan bahwa kalian akan dapat membersihkan nama padukuhan ini. Adapun rahasia padukuhan ini sebenarnya masih belum tersebar kemanapun juga. Jika satu dua orang diluar padukuhan mendengar ceritera tentang beberapa orang yang harus dikubur di padukuhan ini beberapa tahun yang lalu, maka ceritera itu tentu sebagaimana pernah diceritakan oleh Ki Bekel dan orang-orang tua kalian.”
Anak-anak muda itu mulai berpikir lagi. Ternyata bahwa sebagian besar dari mereka mengerti, apa yang paling baik mereka lakukan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Nah, kalian dapat mengumpulkan senjata dari orang-orang tua kalian yang bersalah. Kita akan pergi ke rumah Ki Buyut, sementara yang lain harus segera menghubungi orang-orang yang mampu mengatasi luka-luka dengan ilmu pengobatan. Seberapa banyak orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, cepat dipanggil kemari.”
Demikianlah, maka anak-anak muda padukuhan itu pun mulai bergerak. Sebagian telah mengumpulkan senjata, yang lain berlari-larian ke rumah orang-orang yang dianggap mampu mengobati luka-luka. Satu dua orang memang telah berada di halaman rumah itu. Mereka telah melakukan usaha-usaha sementara, karena mereka tidak membawa reramuan obat sama sekali. Namun agaknya Kiai Sabawa lah yang telah memberikan obat yang mungkin dapat menolong mereka. Tetapi tidak terlalu banyak.
Dalam kesibukan itu, maka Kiai Sabawa telah mengajak sebagian diantara mereka untuk pergi ke rumah Ki Buyut. Memang tidak terlalu dekat, sehingga karena itu, maka mereka-pun harus bersiap-siap seperlunya. Beberapa orang ingin pulang lebih dahulu untuk minta diri kepada keluarganya, terutama kepada ibu atau saudara perempuan mereka. Namun Kiai Sabawa pun telah memberikan kesempatan kepada mereka yang terlibat kedalam pembunuhan dengan racun untuk minta diri kepada isteri mereka dan keluarga mereka yang ada di rumah.
“Aku percaya bahwa kalian tidak akan melarikan diri,“ berkata Kiai Sabawa, “jika kalian melakukannya, akibatnya akan pahit sekali bagi kalian. Mungkin kalian akan menjadi buruan yang diburu oleh sanak kadang kalian sendiri. Bahkan mungkin oleh anak-anak kalian. Nah, sekarang pulanglah. Beritahu keluargamu bahwa kalian akan melakukan perjalanan. Mungkin kalian tidak akan kembali dalam satu dua hari. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ki Buyut atas kalian.”
Orang-orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun tidak berniat untuk melarikan diri, karena dengan demikian hanya akan menambah kesulitan mereka dan keluarga mereka saja. Sementara itu, tanggungjawab terbesar memang terletak pada Ki Bekel yang terlibat dalam tindakan yang keji itu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian segalanya telah siap. Sementara itu mereka yang memiliki kemampuan pengobatan telah berada di halaman rumah Kiai Sabawa untuk merawat orang-orang yang terluka. Namun dalam pada itu, adalah di luar kemauan Kiai Sabawa, maupun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lima orang ternyata tidak tertolong lagi.
Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengekang diri sama sekali, justru karena mereka merasa bersalah. Demikian besar keinginannya untuk membunuh orang yang dianggap dapat membuka rahasia itu, sehingga justru karena itu, maka mereka sendirilah yang telah terbunuh karenanya.
Betapapun hal itu disesali, tetapi tidak seorang pun yang dapat menyalahkan Kiai Sabawa yang mereka kenal bernama Kiai Patah maupun kedua orang anak muda pengembara itu. Pengembara yang memiliki kemampuan jauh diluar dugaan. Seandainya kedua anak muda itu marah dan berbuat sesuatu semalam di banjar, maka agaknya mereka akan mampu membuat padukuhan itu menjadi karang abang. Mereka akan mampu membakar banjar dan rumah-rumah tanpa dapat dicegah.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah berangkat dari padukuhan itu menuju ke padukuhan induk Kademangan. Perjalanan yang memang sangat menarik perhatian. Orang-orang padukuhan sebelah yang mengenal semua orang dalam iring-iringan itu termasuk Kiai Patah, telah bertanya-tanya apakah yang akan mereka lakukan. Karena diantara mereka terdapat Ki Bekel, maka orang-orang itu pada umumnya telah bertanya kepada Ki Bekel itu. Tetapi Ki Bekel tidak dapat memberi jawaban. Bahkan wajahnya yang gelap itu telah membuat orang-orang yang melihat iring-iringan itu menjadi heran.
“Ada apa dengan padukuhan itu?“ bertanya seseorang kepada kawannya yang berdiri disebelahnya.
Kawannya menggeleng. Dengan nada rendah ia menyahut, “Tentu ada sesuatu yang tidak wajar.”
“Mungkin,“ jawab yang lain, “agaknya dua orang anak muda yang tidak dikenal itu telah dibawa ke padukuhan induk. He, mereka tentu menghadap Ki Buyut di padukuhan induk. Tetapi sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa kedua anak muda yang tidak dikenal itu merupakan tawanan atau setidak-tidaknya orang yang tidak dikehendaki dan akan dihadapkan kepada Ki Buyut,“ berkata orang yang pertama.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya memang bukan dua orang anak muda yang asing bagi orang-orang yang melihat iring-iringan itu berjalan. Tetapi mereka tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Namun bahwa justru Ki Bekel yang berjalan di tengah-tengah iring-iringan itu memang agak menarik perhatian. Biasanya Ki Buyut berjalan di depan atau di belakang atau di samping jika ia berada dalam satu iring-iringan. Tetapi tidak didalamnya. Justru anak-anak muda yang berada di sebelah-menyebelah dan di belakang serta di depannya. Diantara mereka terdapat juga beberapa orang yang lebih tua dengan sikap yang nampaknya asing. Demikianlah maka iring-iringan itu memang mengundang pertanyaan di sepanjang jalan. Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terjawab.
Di padukuhan induk, iring-iringan itu memang mengejutkan pula. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda di padukuhan induk itu justru telah bersiap-siap. Kedatangan Ki Bekel dan orang-orangnya telah mengundang berbagai tanggapan. Dan bahkan ada diantara anak-anak muda di padukuhan induk itu yang menyangka, bahwa Ki Bekel dan orang-orangnya ingin menyatakan sesuatu bahkan menuntut sesuatu kepada Ki Buyut.
“Jika mereka ingin berbuat kasar, maka kita akan menghalau mereka,“ berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal.
Ternyata bahwa berita kedatangan Ki Bekel dari padukuhan di ujung Kabuyutan itu telah didengar oleh anak-anak muda dan pengawal di seluruh padukuhan induk itu, sehingga mereka pun telah berkumpul di halaman rumah Ki Bekel dan sekitarnya. Namun adalah mengherankan, bahwa yang kemudian berdiri di paling depan justru bukan Ki Bekel, tetapi seorang laki-laki tua yang dikenal bernama Kiai Patah. Seorang laki-laki miskin yang sama sekali tidak berpengaruh di padukuhannya.
“Kami ingin menghadap Ki Buyut,“ berkata Kiai Patah kepada pemimpin pengawal yang bertugas saat itu.
Seperti orang-orang lain, maka pemimpin pengawal yang bertugas saat itu dan yang menerima sekelompok orang dari padukuhan di ujung Kabuyutan itu pun menjadi heran. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah yang akan bertemu dengan Ki Buyut? Ki Bekel atau siapa?”
“Kami semuanya,“ jawab Kiai Patah, “aku akan mewakili kami semua untuk menyampaikan satu persoalan kepada Ki Buyut.”
“Disini ada Ki Bekel,“ jawab pemimpin kelompok itu, “kenapa kau yang akan mewakili sekelompok kawan-kawanmu itu?”
“Aku sudah mendapat limpahan kekuasaan dari Ki Bekel,“ berkata Kiai Patah.
Namun ternyata langkah yang diambil Ki Bekel sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja ia keluar dari kelompok itu dan langsung berdiri di sisi pemimpin pengawal itu. “Mereka telah memaksa aku untuk satu tindakan yang salah. Sebenarnya aku tidak memberi limpahan kekuasaan apa pun juga kepada orang itu. Tetapi ia telah bersepakat dengan beberapa orang untuk memfitnah aku dan beberapa bebahuku yang setia, yang sekarang juga ada disini.”
Sikap Ki Bekel yang tiba-tiba itu memang telah menimbulkan kegoncangan diantara mereka yang merasa bersalah. Dengan cepat mereka tanggap akan sikap Ki Bekel yang ingin mendapat perlindungan dari pengawal. Ada diantara mereka yang tiba-tiba saja berniat untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan Ki Bekel. Karena itu maka didalam kelompok orang-orang yang datang dari padukuhan itu nampak gejolak yang gelisah.
Dalam pada itu pemimpin pengawal itu bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi Ki Bekel?”
“Fitnah dan semacam perebutan kekuasaan,“ berkata Ki Bekel, “tetapi mereka terlalu bodoh untuk datang kemari, karena Ki Buyut tentu akan mengambil kebijaksanaan yang paling baik bagi padukuhan kami. Disini ada pengawal cukup, sehingga orang-orang yang telah menghancurkan tata nilai dan pimpinan pemerintahan di padukuhanku itu akan dapat diatur disini.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Bekel berkata selanjutnya, “Sekarang terserah kepada kalian, para pengawal yang memang bertugas untuk melindungi kami, orang-orang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin rakyat padukuhan kami. Apa yang dapat kalian lakukan terhadap orang-orang yang telah menghasut dengan fitnah dan bahkan mengaku mendapat limpahan kekuasaanku? Aku ada disini sekarang, dan orang itu sudah berani berbohong tanpa malu-malu dan mengatakan bahwa ia telah mendapat limpahan kekuasaanku.”
Suasana memang menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang memang menjadi gelisah. Namun Kiai Patah itu pun kemudian berkata kepada orang-orang padukuhan yang datang bersamanya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan berpihak kepadanya. Silahkan, siapakah yang akan mengatakan bahwa aku dan anak-anak muda padukuhan ini telah memfitnah Ki Bekel. Siapa yang berpendirian demikian, aku persilahkan keluar dari kelompok ini dan bergabung kepada Ki Bekel.”
Tetapi Ki Bekel justru menyahut, “Lihat. Bagaimana ia sudah berhasil mempengaruhi orang-orangku.”
“Ki Sanak,“ berkata Kiai Patah kepada pemimpin pengawal, “aku mohon, sampaikan permohonan kami untuk menghadap Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut yang menimbang salah dan benar. Beri kesempatan kami berbicara terbuka dengan Ki Buyut yang tentu cukup bijaksana.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Sampai saat ini, Ki Bekel adalah pemimpin yang sah atas kalian. Karena itu, maka yang paling berhak berbicara disini adalah Ki Bekel.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba mendesak maju. Tetapi Kiai Patah dengan cepat menggamit mereka sambil berdesis, “Tahanlah diri kalian sedikit.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka ingin mengendapkan kembali gejolak didalam dada mereka melihat sikap Ki Bekel yang licik itu.
Dalam pada itu Ki Bekel pun berkata kepada orang-orang padukuhannya, “Nah, dengarlah keterangan dari pemimpin pengawal ini. Aku adalah orang yang paling berkuasa di padukuhan. Wewenang dan kekuasaan itu masih ada padaku. Karena itu, maka kalian dapat memilih. Aku atau pemberontak dan pemfitnah itu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya menjadi semakin tidak sabar lagi. Namun yang tidak sabar bukannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja. Tiba-tiba seorang anak muda berkata lantang,
“Kami sudah tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel. Jika ada diantara orang-orang tua kami yang berpihak kepadanya, maka pada saatnya orang itu akan ikut memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi. Tetapi mereka yang tidak ingkar akan kesalahan mereka, justru tanggung jawabnya akan menjadi ringan, karena beban terberat adalah justru pada Ki Bekel itu sendiri.”
Beberapa orang memang terombang-ambing dalam kebimbangan. Jika mereka melepaskan kesempatan berlindung pada para pengawal, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk selanjutnya. Tetapi jika mereka berbalik lagi, maka anak-anak muda yang telah terlanjur menjadi saksi atas perbuatan mereka, tentu akan memusuhi mereka untuk selanjutnya. Padahal, padukuhan tanpa anak-anak muda akan tidak berarti sama sekali. Apalagi bagi masa depan. Karena masa depan itu berada di tangan anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat, beberapa orang masih dibayangi oleh keragu-raguan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap apa pun juga.
Sementara itu, pemimpin pengawal itu pun menjadi bingung. Ternyata ada diantara orang-orang padukuhan itu yang memang tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel. Tetapi itu bukan satu ketentuan bahwa kekuasaan Ki Bekel itu memang tidak diakui lagi. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu berkata, “Sebelum Ki Buyut menetapkan lain, maka pemimpin kalian adalah Ki Bekel. Karena itu, maka kalian masih harus tunduk kepada perintahnya.”
“Nah, ternyata akal yang sehat akan menentukan kebenaran,“ berkata Ki Bekel. Lalu katanya, “sebenarnya orang-orangku adalah orang-orang yang baik. Tetapi tiga orang telah menghasut mereka, sehingga orang-orangku telah kehilangan kepercayaannya kepadaku. Namun demikian aku akan memaafkan mereka semuanya, kecuali ketiga orang itu.”
“Siapakah mereka?“ bertanya pemimpin pengawal itu.
“Kiai Patah dan dua orang pengikutnya yang tidak kami kenal namanya. Keduanya merupakan orang asing bagi kami. Keduanya datang ke padukuhan kami sekedar untuk mengacaukan suasana. Dan nampaknya mereka berhasil.“ Ki Bekel menjadi semakin mantap. “Sementara itu, Kiai Patah itu pun merupakan orang baru di padukuhan kami. Baru satu atau dua tahun berada diantara kami. Kehadirannya ternyata bukannya tanpa maksud. Karena kesuburan dan kesejahteraan padukuhan kami melimpah, maka Kiai Patah agaknya telah berniat untuk menguasainya dengan cara apa pun juga. Bahkan tanpa malu-malu, telah dirusaknya pula kepercayaan anak-anak muda kepadaku.”
“Omong kosong,“ sahut Mahisa Pukat yang sudah kehabisan kesabaran, “sebenarnya kami ingin berbicara dengan Ki Buyut.”
Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu justru telah tersinggung. Katanya, “Aku bertanggung jawab atas ketenangan dan ketenteraman lingkungan ini. Siapa pun yang dapat menimbulkan kekacauan akan ditindak berdasarkan paugeran.”
“Baiklah,“ berkata Kiai Patah, “kami akan mengikuti paugeran itu. Tetapi kami mohon bertemu dengan Ki Buyut. Itu saja.”
“Apa hakmu. Atas dasar apa maka kau mengajukan permohonan itu. Biarlah Ki Bekel yang menentukan, apakah ia akan menghadap Ki Buyut atau tidak,“ jawab pemimpin pengawal itu.
“Jangan menunggu suasana menjadi semakin buruk,“ berkata Kiai Patah, “anak-anak muda padukuhan kami akan menjadi saksi.”
“Hanya orang-orang yang telah kau suap sajalah yang membenarkan kata-katamu. Yang lain benar-benar terpengaruh oleh kata-katamu yang memang memiliki pesona luar biasa. Seandainya persoalannya tidak menyangkut pribadiku sendiri, maka agaknya aku pun percaya bahwa Ki Bekel di padukuhan itu telah berbuat curang. Tetapi Bekel di padukuhan itu adalah aku. Dan aku tahu pasti, apa yang pernah aku lakukan bagi padukuhanku, sehingga kesejahteraan rakyatnya meningkat dengan cepat,“ berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada orang-orang padukuhan, “Nah, siapa yang menyadari kesalahannya akan kami ampuni.”
Memang telah terjadi lagi pergolakan di dalam jiwa orang-orang padukuhan itu. Terutama orang-orang yang memang terlibat. Seandainya mereka akan mendapatkan pelindung maka pelindung itu tentu Ki Buyut sendiri. Dan siapakah yang akan berani menentang Ki Buyut?
Namun dalam keragu-raguan itu seorang anak muda berkata lantang, “Tetapi kami perlu penjelasan. Kami perlu keterangan tentang kebenaran dari peristiwa tersebut. Jika benar yang terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Patah, maka terkutuklah Ki Bekel dan beberapa orang tua kami. Tetapi jika itu sekedar fitnah, maka terkutuklah mereka yang memfitnah.”
“Bertanyalah kepada nurani orang-orang tua kalian,“ berkata Kiai Patah, “hanya orang yang sudah kehilangan jejer dan pribadinya serta martabat kemanusiaannya sajalah yang akan membantahnya. Memang kebohongan yang tegas, kadang-kadang akan memberikan kepercayaan kepada orang lain seolah-olah kebohongan itu merupakan kebenaran. Tetapi siapa yang berani mengkhianati nuraninya sendiri, adalah mereka yang memang telah kehilangan martabat kemanusiaannya itu.”
Keragu-raguan pun menjadi semakin mencengkam. Namun sementara itu, pemimpin pengawal itu pun berkata, “Aku akan membawa Ki Bekel menghadap Ki Buyut. Biarlah Ki Bekel memberikan penjelasan tentang peristiwa ini.”
“Itu tidak adil,“ sahut Mahisa Murti, “kalian harus membawa kedua belah pihak yang bersengketa untuk menghadap, agar Ki Buyut mendapat keterangan yang lengkap sebelum mengambil satu keputusan tentang hal ini.“
“Tidak,“ jawab pemimpin pengawal itu tegas. Lalu katanya pula, “Hanya Ki Bekel yang berhak menghadap Ki Buyut.”
“Apakah kami harus mengulangi peristiwa yang terjadi di padukuhan?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Apa yang terjadi?“ bertanya pemimpin pengawal itu.
“Kerusuhan dan bahkan pembunuhan,“ ternyata Ki Bekel lah yang telah menyahut. Ketiga orang itu telah menakut-nakuti orang-orang dengan melukai dan membunuh.”
“Anak iblis,“ geram pemimpin pengawal, “kau tidak mungkin melakukannya disini.”
Pemimpin pengawal itu tidak menunggu jawaban. Tiba-tiba saja ia pun telah mengangkat kedua tangannya yang menjadi isyarat kepada para pengawal untuk bersiaga sepenuhnya. Memang nampak kelompok-kelompok pengawal bergerak. Mereka adalah anak-anak muda yang bersenjata. Bahkan rasa-rasanya mereka yang bukan pengawal pun telah bersiaga pula.
“Jangan mencoba menyombongkan diri disini,“ berkata pemimpin pengawal itu, “kami tidak segan-segan membantai mereka yang menentang paugeran disini.”
Kesiagaan para pengawal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh atas Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan sikap itu telah menimbulkan kemarahan di hati Mahisa Pukat yang harus dengan susah payah menahan diri.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal itu pun telah berkata selanjutnya kepada para pengawal, “Amati mereka. Biarlah aku akan membawa Ki Bekel menghadap dan memberikan laporan kepada Ki Buyut. Ki Buyut tidak akan mudah menerima ketidakpuasan beberapa orang di satu padukuhan sebagai satu isyarat untuk menggantikan seorang pemimpin. Dengan demikian maka seorang Bekel yang merupakan kedudukan turun temurun itu akan dengan mudah diganti setiap hari lima kali. Bahkan Ki Buyut akan menghukum mereka yang telah memberontak kepada kekuasaan yang sah di setiap padukuhan.”
“Persetan,“ geram Mahisa Pukat.
“Biarlah, kita akan menunggu hasil pertemuan Ki Bekel dengan Ki Buyut, “berkata Kiai Patah.
“Jika hasilnya tidak seperti yang kita harapkan?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Barulah kita mengambil langkah-langkah yang perlu,“ jawab Kiai Sabawa.
Mahisa Pukat hampir tidak telaten mengikuti sikap Ki Sabawa. Namun ia memang tidak berbuat mendahului perintahnya, karena yang terjadi itu sebenarnyalah persoalan Kiai Sabawa yang kebetulan adalah kawan Mahendra, ayah kedua orang anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel pun telah mengikuti pemimpin pengawal itu menuju ke serambi di sayap rumah itu, menghadap ke longkangan yang memisahkan serambi itu dengan gandok. Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut masih berada di dalam rumah. Karena itu, maka dipersilahkan Ki Bekel untuk menunggu. Sementara di tangga serambi dua orang pengawal nampak berjaga-jaga.
“Silahkan duduk Ki Bekel, biarlah aku menghadap Ki Buyut untuk menyampaikan niat Ki Bekel menghadap,“ berkata pemimpin pengawal yang bertugas itu.
Ki Bekel pun kemudian duduk di amben bambu di serambi itu. Sejenak ia menunggu sambil mengamati kesiagaan para pengawal. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di hatinya,
“Akhirnya aku dapat mengatasi persoalan ini. Para pengawal yang sigap dari Kabuyutan ini akan dapat menyelesaikan mereka. Mereka yang dapat menyombongkan diri di padukuhan, bahkan telah membunuh pula, tentu akan ditangkap dan dihukum oleh Ki Buyut. Apalagi Ki Buyut yang baru saja menggantikan kedudukan ayahnya yang meninggal ini masih agak muda, bekas seorang prajurit di Kediri, sehingga ia tentu akan dapat mengambil tindakan yang tegas. Sikap keprajuritannya tentu masih melekat di dirinya.”
Demikianlah, setelah menunggu beberapa saat, maka Ki Buyut pun telah keluar dari pintu samping. Ki Bekel dengan tergesa-gesa bangkit berdiri sambil membungkuk hormat.
“Silahkan duduk Ki Bekel,” Ki Buyut yang masih lebih muda dari Ki Bekel itu mempersilahkan.
“Terima kasih Ki Buyut,“ desis Ki Bekel yang kemudian telah duduk pula bersama-sama Ki Buyut.
“Nah, katakan, apakah keperluan Ki Bekel,“ berkata Ki Buyut.
Ki Bekel pun kemudian telah menceriterakan apa yang dialaminya, namun menurut gagasannya sendiri. Seolah-olah Kiai Sabawa bersama kedua orang anak muda itu telah berontak melawannya.
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, “jadi Ki Bekel menolak tuduhan itu?”
“Ya Ki Buyut. Sudah tentu. Fitnah itu bagiku sangat keji,“ berkata Ki Bekel, “apalagi ternyata mereka telah membunuh pula di padukuhanku.”
“Berapa orang yang terbunuh?“ bertanya Ki Buyut.
“Banyak Ki Buyut. Belum lagi yang luka-luka. Aku belum sempat menghitung ketika aku dipaksa untuk ikut bersama mereka,“ berkata Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Ada berapa orang menurut perkiraan Ki Bekel, mereka yang telah memberontak melawan Ki Bekel? Sepertiga, atau seperempat atau bahkan separuh?”
“Separuh apa Ki Buyut?“ bertanya Ki Bekel.
“Maksudku, yang kemudian terpengaruh oleh orang-orang yang memberontak itu, apakah ada separuh dari seluruh penduduk padukuhanmu?“ bertanya Ki Buyut pula.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, ”Sebanyak-banyaknya separuh Ki Buyut. Tetapi aku kira tidak sampai sekian banyak.”
“Kenapa Ki Bekel tidak mengambil tindakan atas orang-orang itu? Bukankah mereka dapat ditangkap?“ bertanya Ki Buyut.
“Terus terang Ki Buyut. Mereka memiliki kelebihan. Seperti yang sudah aku katakan, justru mereka telah membunuh orang-orang yang berusaha untuk menangkap mereka,“ sahut Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya,“ jadi orang-orang itu berilmu tinggi? Setidak-tidaknya orang-orang yang mempengaruhi orang-orangmu?“ bertanya Ki Buyut.
“Ya Ki Buyut. Tiga orang itu,“ jawab Ki Bekel.
“Baiklah. Aku ingin berbicara dengan mereka,“ berkata Ki Buyut.
“Tidak ada gunanya berbicara dengan mereka Ki Buyut. Kenapa Ki Buyut tidak menangkap mereka saja dan menghukumnya?“ bertanya Ki Bekel. Lalu, “Kesalahan mereka sudah jelas.”
“Ya,“ jawab Ki Buyut, “tetapi aku harus mendengar alasan mereka sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan latar belakang dari tindakan mereka yang melanggar paugeran itu.”
Wajah Ki Bekel menjadi pucat. Namun ternyata ia tidak dapat mencegat niat Ki Buyut. Karena itu, ketika Ki Buyut kemudian berdiri dan melangkah keluar, Ki Bekel mengikutinya saja.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal yang melihat Ki Buyut melangkah keluar dari serambi menuju ke pendapa telah mendekatinya sambil bertanya, “Ki Buyut akan pergi ke mana?”
“Aku akan berbicara dengan ketiga orang itu,“ jawab Ki Buyut.
“Perintahkan kami menangkapnya. Kami akan membawa mereka menghadap Ki Buyut. Ki Buyut tidak perlu datang kepada mereka,“ berkata pemimpin pengawal itu.
Namun Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku lebih senang berbicara dengan mereka di halaman.”
Pemimpin pengawal itu pun tidak dapat mencegahnya. Ia-pun kemudian telah mengikuti Ki Buyut bersama dengan Ki Bekel...