PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 61
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 61
Karya Singgih Hadi Mintardja
KI SARDAPA termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi, apakah sebenarnya yang akan Paman katakan?”
“Sardapa,” berkata Pamannya yang tertua, “sejak kau meninggalkan kami, maka kami mulai berpikir tentang persoalan yang sedang kita hadapi. Ternyata bahwa jalan pikiran kami telah berkembang,” pamannya itu berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana Ki Panonjaya?”
“Paman Panonjaya sedang keluar sebentar Paman. Ke pasar. Ada sesuatu yang hendak dibelinya,” jawab Ki Sardapa.
“Tetapi ia masih berada di padukuhan ini?” bertanya pamannya itu.
“Ya. Aku mohon Paman Panonjaya tinggal disini untuk beberapa lama. Rasa-rasanya aku memerlukannya. Di dekat paman Panonjaya aku merasa di dekat ayahku sendiri,” jawab Sardapa.
Paman tertuanya mengangguk-angguk. Sementara itu pamannya yang lain berkata, “Ki Panonjaya adalah adik ayahmu. Sepantasnya kau merasa dekat dengannya.”
Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin memang demikian,” namun dalam pada itu, ia pun segera bertanya, “Tetapi apakah maksud paman datang kemari?”
Paman tertuanya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada baiknya hal yang ingin aku katakan kepadamu didengar oleh Ki Panonjaya. Tetapi jika tidak, maka ada dua orang saksi yang lain yang ada di sini.”
Ki Sardapa di luar sadarnya telah berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Jadi Paman memerlukan saksi?”
“Bukan saksi, maksudku biarlah ada orang lain yang ikut mendengarkan pernyataan kami,” jawab pamannya yang tertua.
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia sudah dapat meraba, apa yang ingin dikatakan oleh pamannya. Sebenarnyalah paman-pamannya itu telah menyatakan penyesalan mereka atas tingkah laku mereka. Dengan suara serak pamannya yang tertua berkata,
“Sardapa. Kami datang untuk minta maaf. Sebenarnyalah bahwa kami tahu apa yang telah terjadi sebagaimana kau katakan. Kamilah yang telah membuat ceritera bagi kepentingan kami sendiri agar kami dapat berbuat sesuatu atasmu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku juga sudah mengira Paman. Tetapi seperti yang Paman ketahui, bahwa aku masih mempunyai kepercayaan bahwa Paman pada suatu saat akan menyadari bahwa apa yang telah terjadi bukannya cara yang terbaik untuk mencari penyelesaian.”
“Kau benar Sardapa. Dan apa yang kau duga itu memang telah terjadi pada diri kami. Kami memang telah menyadari apa yang terjadi. Dan kami datang atas nama saudara-saudaraku, paman-pamanmu, untuk minta maaf,” berkata pamannya yang tertua.
Ki Sardapa memandang ketiga pamannya seorang demi seorang. Ternyata wajah mereka yang semula tegang, telah berubah. Kerut di dahi tidak lagi nampak terlalu dalam. Rasa-rasanya sebagian beban yang menyesak didalam dada mereka telah diletakkan.
“Paman,” berkata Ki Sardapa kemudian, “kedua anak muda ini memang pantas disebut saksi. Jika paman-paman dengan ikhlas menyatakan penyesalan, maka bagiku pernyataan itu merupakan satu kurnia bagiku. Dengan demikian persoalan kita akan selesai dengan cara sebagaimana aku inginkan.”
“Kami berkata sebenarnya Sardapa,” berkata yang tertua, “jika niat ini tidak lahir dari keikhlasan hati kami, maka kami tidak akan datang kemari. Jika hal ini semata-mata karena perasaan takut, maka itu tidak akan kami lakukan. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut sampai batas mati sekalipun. Tetapi yang kami lakukan adalah karena perkembangan kesadaran kami menghadapi persoalan yang telah terjadi. Dengan demikian maka kami telah datang kepadamu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Suaranya pun kemudian merendah, “Terima kasih Paman. Dengan demikian maka persoalan di antara kita sudah dapat kita anggap selesai. Hubungan kita akan tetap sebagaimana sebelumnya. Meskipun aku kemudian mengetahui bahwa orang yang aku anggap ibuku itu adalah seorang ibu tiri, namun aku tidak pernah menganggap paman-paman semuanya bukan pamanku sendiri.”
“Aku pun berterima kasih kepadamu jika kau masih tetap menganggap kami sebagai paman-pamanmu Sardapa. Kami akan melupakan apa yang pernah terjadi. Kami pun tidak akan pernah menganggap bahwa kau bukan anak saudara perempuanku. Kau akan kami anggap sebagai kemanakan kami sepenuhnya.”
“Mudah-mudahan sikap kami masing-masing tidak akan berubah. Selama ini kami telah dipisahkan justru karena sikap ibu dan pandangan paman-paman yang salah terhadap keadaan,” berkata Ki Sardapa.
“Aku mengerti,” jawab pamannya yang tertua, “aku pun berharap bahwa di hari-hari mendatang hubungan kita menjadi semakin baik.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan penuh harap ia berkata, “Hanya kitalah yang dapat memperbaiki keadaan ini. Dan kita masing-masing telah berniat berbuat demikian.”
Namun dalam pada itu, Ki Sardapa masih melihat sesuatu yang belum terucapkan pada paman-pamannya. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun keragu-raguan masih saja membayang di wajah mereka. Karena itu maka Ki Sardapa pun kemudian bertanya,
“Paman. Apakah masih ada sesuatu yang belum terkatakan? Aku kira jika kita memang ingin memperbaiki hubungan kita sepenuhnya, maka kita akan lebih terbuka. Bahwa Paman masih nampak ragu-ragu agaknya membuat aku ragu-ragu pula.”
Pamannya yang tertua menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Memang masih ada keragu-raguan yang terselip di dalam hatiku. Betapa pun kami benar-benar berniat untuk membuka diri dalam hubungan kita, tetapi ternyata bahwa masih harus ada persoalan yang perlu mendapat perhatian kita.”
“Jika memang penting, aku persilahkan paman mengatakannya,” minta Ki Sardapa.
Ketiga orang pamannya itu masih saja nampak ragu-ragu. Beberapa kali mereka saling berpandangan. Namun kemudian yang tertua itu pun beringsut sejengkal, seakan-akan ingin mencari kekuatan di tempat duduknya untuk mengatakan persoalan yang masih tersisa di dalam dirinya.
“Sardapa,” berkata pamannya yang tertua dengan nada datar, “betapa pun kami berusaha untuk mengakhiri pertentangan yang ada di antara kami, keluarga ibumu yang ternyata adalah ibu tirimu dengan kau, namun kami tidak dapat berhasil sepenuhnya.”
“Apakah yang Paman maksudkan?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu agaknya tidak sejalan dengan pikiran kami. Kami sudah berusaha untuk menjelaskan beberapa masalah yang selama ini telah membuat jarak di antara kita. Kami pun telah berusaha untuk melihat kedalam diri kami sendiri, bahwa apa yang kami tuduhkan kepadamu semata-mata karena khayalan yang kami bangunkan sendiri. Namun pamanmu yang bungsu itu telah terlanjur terpancang pada khayalan itu sendiri. Ia tidak dapat bergerak surut untuk mengakui kebenaran. Tetapi ia tetap pada sikapnya. Khayalan yang berhasil kita bangunkan itu, merupakan kenyataan baginya. Kenyataan yang telah disusunnya sendiri dan kemudian diyakininya,” berkata saudaranya yang tertua.
“Jadi Paman masih tetap mendendam?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu,” jawab pamannya yang lain, “memang ada beberapa kemungkinan yang memaksanya untuk tetap pada pendiriannya. Demikian tajamnya ia mengukir khayalan itu di dalam hatinya sehingga khayalan yang kita susun bersama itu merupakan satu kenyataan baginya, atau memang ada pamrih lain yang membayanginya. Mungkin harta benda peninggalan kakakmu yang masih ada di rumah ini, atau barangkali dendamnya kepada ayahmu yang masih belum terhapuskan.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi masih saja ada kabut yang meliputi kehidupan kami disini.”
“Itulah yang mengusik hati kami,” berkata pamannya yang lain, “karena itu, maka kami perlukan untuk dengan segera datang kepadamu. Demikian tenaga kami perlahan-lahan tumbuh kembali, maka kami telah sepakat untuk menemuimu dan menyampaikan pesan ini kepadamu.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga, Paman itu akan dapat berbuat banyak. Tentu ia tidak akan berdiri sendiri. Sebagaimana itu telah mengupah beberapa orang untuk membunuhku, maka paman bungsu itu akan dapat melakukannya pula.”
“Itulah agaknya yang akan dilakukannya,” berkata pamannya yang tertua, “pamanmu itu sendiri masih belum banyak mendalami ilmu. Bahkan kami semua tidak berdaya melawan anak-anak muda itu, sehingga justru kekuatan kami telah dihisapnya sampai habis. Tetapi aku berpendapat, sebagaimana pamanmu yang bungsu bahwa anak-anak muda itu tidak akan berada di padukuhan ini untuk seterusnya. Saat-saat itulah yang ditunggu oleh pamanmu itu.”
“Terima kasih paman,” berkata Ki Sardapa, “aku akan memperhatikannya. Aku kira masih ada waktu bagiku untuk mempersiapkan diri.”
Saudara tertua di antara ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Apakah Ki Panonjaya akan bermalam di pasar? Kenapa ia masih belum kembali?”
“Paman menunggui pesanannya pada pande besi yang nampaknya akan diselesaikan pada hari ini sampai tengah malam sekalipun,” jawab Ki Sardapa.
Paman tertuanya mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya pula, “Apakah yang dipesannya?”
Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Di sudut pasar itu terdapat seorang pande besi. Bukan saja pande besi seperti kebanyakan. Tetapi pande besi itu memiliki kemampuan membuat senjata. Paman Panonjaya sedang membuat sebuah luwuk yang dikerjakannya sendiri bersama-sama dengan pande besi itu.”
Saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Ternyata ia masih juga seorang yang sibuk dengan berbagai jenis senjata, ia mempunyai banyak persamaan dengan ayahmu Sardapa.”
“Agaknya memang demikian,” jawab Ki Sardapa.
“Karena itu Sardapa,” berkata pamannya yang tertua, “aku tidak dapat menunggunya. Aku tidak tahu kapan ia pulang.”
Sardapa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi Paman akan segera kembali?”
“Ya. Kami harus segera kembali,” jawab pamannya itu, “mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk membujuk pamanmu yang bungsu.”
“Aku mohon paman bertiga bermalam barang semalam. Besok paman bertiga dapat berangkat pagi-pagi di saat matahari terbit.” minta Ki Sardapa.
Tetapi pamannya tertua tersenyum. Katanya, “Terima kasih Sardapa. Kami masih tetap petualang-petualang yang lebih senang berjalan malam. Masih terbiasa bagi kami, betapa tenangnya melangkah dalam kegelapan. Seakan-akan terjauh dari segala mara bahaya, kecuali jika kami dengan sengaja datang menggapainya.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya ketiga pamannya itu tidak lagi dapat dicegahnya. Mereka benar-benar minta diri. Bahkan makan pun mereka tidak bersedia menunggu, selain hanya meneguk air panas dan beberapa potong makanan.
Di regol halaman paman tertua itu masih berpesan, “Hati-hatilah dengan paman bungsu. Secara pribadi ia masih belum terlalu berbahaya. Ilmunya masih belum berkembang sama sekali, kecuali sedikit pengalaman benturan-benturan kekerasan yang kasar. Hanya bersama-sama dengan kami, pamanmu dapat ikut bermain dalam pusaran. Tetapi landasan ilmu itu hampir tidak ada padanya. Meskipun demikian, ia dapat mengupah orang untuk kepentingan itu.”
“Aku akan selalu mengingatnya Paman,” jawab Ki Sardapa.
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka menyusup masuk ke dalam kegelapan. Agaknya ketiganya segan untuk berjalan melalui gardu-gardu penjagaan, karena mereka sadar, bahwa dengan demikian mereka harus menjawab segala macam pertanyaan yang dapat menghambatnya.
Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan lain. Sebagai petualang maka mereka dapat menyusup dari halaman ke halaman yang gelap. Kemudian meloncati dinding keluar dari padukuhan itu.
Sementara itu maka Ki Sardapa yang ditinggalkan oleh ketiga orang pamannya dengan berbagai pesan itu memang menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak menjadi ketakutan seandainya pamannya itu mengupah orang selama Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ada di padukuhan itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan untuk seterusnya berada di padukuhan itu.
Namun demikian Ki Sardapa tidak mengatakan kegelisahannya itu. Ia berusaha untuk tetap bersikap tenang dan tidak gugup menghadapi persoalan yang dapat berkembang semakin gawat baginya justru saat-saat paman-pamannya menyadari keadaan.
Ketika mereka kembali ke pendapa, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk meyakinkan kepada Ki Sardapa, bahwa mereka tentu akan dapat mengatasinya seandainya pamannya yang bungsu itu benar-benar akan melakukan tindakan yang licik terhadapnya.
Tetapi dengan jujur Ki Sardapa kemudian berkata, “Anak-anak muda. Mungkin aku akan dapat mengatasi kesulitan yang bakal datang dengan bantuan kalian dan Kiai Patah. Tetapi orang yang licik itu akan menunggu dengan kesabaran seekor harimau menunggui buruannya yang memanjat sebatang pohon.”
Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Jangan risaukan itu sekarang Ki Bekel. Mungkin besok atau lusa kita akan menemukan cara yang paling baik.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan beristirahat. Sementara itu, aku sadari bahwa aku tidak akan dapat menggantungkan diri kepada kalian dan Kiai Patah yang pada suatu saat akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Mudah-mudahan kita menemukan jalan,” berkata Mahisa Murti, “namun sudah barang tentu bahwa pada saat kami akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Kami pun harus mampu mencapai satu keadaan, bahwa kami dapat berdiri tegak sendiri tanpa perlindungan orang lain,” berkata Ki Sardapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Mereka pun sependapat, bahwa sebagai seorang Bekel, maka Ki Sardapa tidak akan dapat menggantungkan diri dalam perlindungan orang lain terus-menerus. Namun demikian, maka mereka pun akhirnya telah masuk ke dalam bilik mereka masing-masing untuk beristirahat.
Tetapi sebelum mereka sempat tertidur, maka pintu pringgitan rumah Ki Sardapa itu telah diketuk orang dengan keras. Terasa betapa orang yang mengetuk pintu itu tergesa-gesa dan gelisah.
“Siapa?” bertanya Ki Sardapa yang terbangun.
“Aku Ki Bekel,” jawab seseorang, “peronda.”
“Ada apa kau membangunkan aku malam-malam begini?” bertanya Ki Sardapa pula.
Peronda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia berpaling dan dilihatnya keadaan yang gawat dan seseorang yang terluka parah, maka ia pun menjawab, “Ada sesuatu yang penting Ki Bekel. Ada tamu yang dalam keadaan gawat.”
Ki Bekel memang menjadi berdebar-debar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun pula oleh suara itu. Mereka pun kemudian telah keluar pula dari bilik dan menghampiri pintu bersama-sama dengan Ki Bekel. Dalam keragu-raguan Ki Bekel memandang kedua anak muda itu berganti-ganti. Hampir bersamaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Ki Bekel mengerti, bahwa keduanya sependapat, agar pintu memang sebaiknya dibuka. Dengan hati-hati Ki Bekel pun kemudian telah mengangkat selarak. Dengan cepat ia bergeser mundur, sementara itu, pintu pun telah terbuka perlahan-lahan didorong dari luar.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bekel setelah ia melihat bahwa seorang peronda berdiri dengan gelisah di depan pintu.
Peronda itu pun kemudian menunjuk ke pendapa, sehingga Ki Bekel, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah beringsut ke luar pintu. Ternyata mereka terkejut bukan kepalang. Mereka melihat Ki Panonjaya berjongkok sambil memegangi tubuh yang lemah dan bersandar pada Ki Panonjaya itu.
“Paman,” Ki Sardapa hampir berteriak.
Tubuh yang lemah dan terluka di tangan Ki Panonjaya itu adalah adik ibu tiri Ki Sardapa yang telah datang sebelumnya untuk memberitahukan keadaan saudara-saudaranya yang lain yang sedang marah dan mendendam Ki Sardapa pada waktu itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Sardapa, “apakah ketiga orang paman yang lain telah melakukan hal ini atas paman?”
Orang yang terluka itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Panonjaya berkata, “Aku menemukannya di jalan di luar regol padukuhan ini.”
“Tetapi apa yang telah terjadi atasnya?” bertanya Mahisa Pukat bertanya dengan cemas.
Ki Panonjaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku sedang berjalan kembali ke rumah ini dari rumah pande besi yang membantuku membuat luwuk itu. Aku menemukannya dalam keadaan sangat letih.”
Dalam pada itu, Ki Sardapa telah memerintahkan seorang peronda untuk mengambil air bersih di dapur. Dengan hati-hati maka orang yang terluka itu telah dibaringkan diatas tikar pandan. Dengan cermat Ki Sardapa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengamati luka-luka di tubuh orang itu. Agaknya luka-lukanya tidak disebabkan oleh senjata tajam, tetapi oleh senjata tumpul. Bahkan mungkin hanya dengan sepotong kayu atau alat pemukul yang lain. Setelah minum seteguk, maka orang itu agaknya menjadi lebih tenang. Nafasnya pun menjadi lebih teratur sehingga ia mulai dapat diajak berbicara.
“Paman,” desis Ki Sardapa, “apa yang telah terjadi? Apakah tiga orang paman termasuk paman tertua telah melakukannya hal ini?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian masih sambil menyeringai menahan sakit ia bertanya, “Di mana kau bertemu dengan pamanmu tertua?”
“Baru saja paman bertiga datang kemari,” jawab Sardapa.
“Apa yang mereka katakan?” bertanya pamannya yang terluka itu pula.
“Paman tertua dan dua orang paman yang lain menyatakan penyesalannya. Tetapi apakah hal itu benar-benar diucapkan dengan jujur atau sekedar mengelabui kami. Aku tidak tahu pasti. Apalagi jika Paman tertua itu telah melakukan hal ini atas paman,” berkata Ki Sardapa dengan nada berat.
Tetapi pamannya yang terluka itu menggeleng lemah. Katanya, “Bukan mereka. Sardapa.”
“Lalu siapa?” bertanya Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu,” desis orang yang terluka itu.
“Paman yang bungsu?” ulang Sardapa dengan nada tinggi.
“Ya. Pamanmu yang bungsu telah mengambil aku dari rumahku. Aku kira ia tidak akan dapat memaksaku jika ia datang seorang diri. Tetapi ia membawa lebih dari lima orang kawan yang tidak aku kenal. Mereka memaksaku untuk pergi ke padukuhan ini. Tetapi mereka telah menyakiti aku di luar padukuhan,” jawab pamannya yang terluka itu.
“Jadi Paman yang bungsu telah menyakiti Paman dengan cara yang licik itu?” bertanya Ki Sardapa.
“Ya. Sudah tentu dengan harapan, bahwa kau atau orang-orangmu akan menemukan aku dan membawa aku kepadamu. Ternyata bahwa pamanmu yang bungsu itu telah memberikan pesan kepadaku,” berkata pamannya yang terluka.
“Pesan apa?” bertanya Ki Sardapa.
“Pada suatu saat, pamanmu yang bungsu itu akan datang kepadamu. Pamanmu yang bungsu ingin membunuhmu. Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki,” berkata pamannya yang terluka.
“Lalu apa maksudnya?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu akan menantangmu dalam perang tanding,” berkata pamannya yang terluka itu.
Ki Sardapa menggeram. Katanya, “Kenapa ia tidak datang sendiri? Kenapa ia harus menyakiti paman dengan cara yang licik seperti ini?”
“Pamanmu yang bungsu juga menjadi sakit hati karena aku telah mengunjungimu,” jawab pamannya itu.
Ki Bekel menggeretakkan giginya. Kemarahan telah menyala semakin besar didalam dadanya. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Kapan paman yang bungsu itu akan datang? Aku menjadi tidak sabar lagi.”
“Aku tidak tahu kapan ia datang Sardapa,” jawab pamannya yang terluka, “tetapi menurut pendengaranku yang mulai kabur waktu itu, ia akan mematangkan ilmunya sebelum ia akan turun ke gelanggang.”
“Baik,” geram Sardapa, “aku akan menunggu, kapan ia akan datang. Aku bukan betina yang akan menjadi ketakutan mendengar tantangannya.”
“Tenanglah,” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian justru Ki Bekel masih mempunyai waktu.”
Tetapi kemarahan di jantung Ki Sardapa bagaikan akan meledakkan dadanya. Namun Mahisa Pukat kemudian berkata, “Tidak ada gunanya Ki Bekel sekarang menyakiti hati sendiri. Orang itu baru akan datang kemudian. Yang dapat Ki Bekel lakukan adalah menunggu. Jika Ki Bekel bersedia, maka ki Bekel dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebagaimana dilakukan oleh paman bungsu Ki Bekel itu.”
Wajah Ki Sardapa tiba-tiba berkerut dalam. Ketegangan benar-benar telah mencengkam jantungnya. Tetapi kemudian terdengar suaranya yang masih saja bergetar, “Aku akan melakukannya.”
Demikianlah, maka mereka pun kemudian disibukkan oleh luka-luka di tubuh paman Ki Bekel itu. Seorang tabib yang dianggap memiliki kepandaian yang tinggi telah diundang untuk mengobatinya. Ketika orang yang terluka itu telah dibaringkan di sebuah bilik di rumah Ki Bekel itu. maka Ki Bekel telah berbicara dengan sungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat disaksikan oleh pamannya Ki Panonjaya.
“Besok kita temui Kiai Patah,” berkata Mahisa Murti, “kita akan menceritakan persoalan yang akan Ki Bekel hadapi.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi paman itu berniat untuk menantang aku berperang tanding. Dalam perang tanding, tidak ada orang lain yang akan dapat membantu. Aku sendiri harus berhadapan dengan paman. Kecuali sekedar menjadi saksi.”
“Aku mengerti Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “tetapi Kiai Patah akan dapat memberikan petunjuk, apa yang seharusnya Ki Bekel lakukan.”
Ki Bekel yang mengenal Kiai Patah dengan baik mengangguk-angguk mengiakan. Katanya, “Besok kita menemuinya.”
Demikianlah, maka mereka pun telah kembali kedalam bilik masing-masing. Namun Ki Sardapa tidak lagi dapat memejamkan matanya, ia selalu berangan-angan tentang perang tanding yang pada satu saat akan dilakukannya melawan pamannya yang bungsu itu.
Karena itu maka Ki Sardapa itu menjelang dini hari telah berada di pakiwan. Ia telah mandi dan membenahi pakaiannya sebelum matahari terbit, ia ingin segera pergi menemui Kiai Patah untuk berbicara tentang rencana perang tanding itu.
Betapapun ia berniat untuk menerima tantangan itu, namun ada juga semacam kegelisahan didalam hatinya karena pamannya tentu berusaha untuk mendalami ilmunya. Namun seperti yang dikatakan oleh pamannya yang tertua, pamannya yang bungsu itu masih belum menguasai dasar ilmu pusaran sebagaimana yang pernah dilihatnya di rumah pamannya tertua itu. Pamannya yang bungsu itu hanya ikut saja berlari berkeliling. Ia memang memiliki ketrampilan bermain pedang. Demikian pula di saat-saat mereka lari berputaran. Tetapi belum menguasai ilmu yang lebih dalam meskipun hanya dasarnya.
Ki Sardapa rasa-rasanya tidak sabar menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersiap. Dengan gelisah Ki Sardapa hilir mudik di halaman, sementara beberapa orang peronda menjadi heran menyaksikannya. Tetapi para peronda itu tidak bertanya apa pun juga. Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun pula ke halaman. Sementara Ki Panonjaya akan tinggal menunggui paman Ki Bekel yang terluka.
Demikianlah, ketika matahari naik mereka telah berada diperjalanan menuju ke rumah Kiai Patah di sudut padukuhan itu. Sebuah rumah yang sederhana, yang sama sekali tidak mencerminkan rumah seorang yang berilmu dan bahkan memiliki bekal yang cukup seandainya ia ingin membuat rumah yang lebih baik dari yang dihuninya itu.
Ketika Kiai Patah mendengar keterangan Ki Bekel tentang pamannya yang dilukai oleh pamannya yang bungsu serta rencana tantangannya untuk berperang tanding, maka Kiai Patah pun dengan serta merta berkata, “Ki Sardapa harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika memang berniat untuk menerima tantangan itu.”
“Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian,” sahut Ki Bekel.
“Biarlah angger berdua menempa Ki Bekel dengan mempergunakan waktu yang ada sebaik-baiknya. Ki Sardapa harus bersedia bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan Ki Bekel sebelum saat itu tiba. Kita tidak tahu, kapan paman Ki Bekel yang bungsu itu akan datang,” berkata Kiai Patah.
“Kami akan melakukannya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi sudah tentu kami memerlukan petunjuk-petunjuk Kiai. Waktunya sudah terlalu sempit, sehingga kami harus mendapat petunjuk dari Kiai yang sudah jauh berpengalaman tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam perang tanding itu.”
Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ki Bekel jangan menyia-nyiakan waktu. Kita akan mulai pagi ini.”
Ki Sardapa termangu-mangu. Namun kemudian katanya dengan nada agak gugup, “Aku belum mempersiapkan diri.”
“Jika kita memulainya hari ini, maka kita akan mulai dengan mempersiapkan diri,” berkata Kiai Patah. Lalu “Silahkan Ki Sardapa kembali dan masuk sanggar bersama kedua anak muda itu. Baru kemudian aku akan ikut pula. Besok atau lusa. Tetapi Ki Sardapa jangan membuang waktu.”
Ki Sardapa tidak dapat menolak, ia pun kemudian kembali ke rumahnya untuk selanjutnya mereka pun mulai mempersiapkan diri untuk menjalani satu latihan yang berat. Sanggar di rumah Ki Sardapa bukan sanggar yang memenuhi syarat sebagaimana sanggar Mahendra di rumah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi untuk kepentingan yang khusus itu, maka sanggar itu pun telah memadai.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dengan serta merta membawa Ki Sardapa dalam satu latihan yang berat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu berusaha untuk mengetahui dengan jelas, apa saja yang pernah dikuasai dan dipelajari oleh Ki Sardapa dalam olah kanuragan. Meskipun masih terlalu sedikit, tetapi hal itu masih perlu diperhitungkan oleh kedua anak muda itu.
Dengan demikian, maka pada tahap pertama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mempersilahkan saja Ki Sardapa untuk berlatih sendiri. Dengan cermat keduanya memperhatikan setiap unsur gerak yang ditunjukkan oleh Ki Sardapa.
Semakin lama tata gerak Ki Sardapa pun menjadi semakin cepat. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kuat. Sekali ia meloncat ke depan, kemudian meloncat ke samping dan ke belakang. Tangannya kadang-kadang bersilang di dada, kadang-kadang terangkat membuka, namun kemudian sebelah tangannya dengan cepat bergerak melingkar, sementara tangan yang lain ditariknya dan langsung menghantam lurus ke depan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tata gerak yang dasar sekali sudah dikuasai oleh Ki Sardapa. Ia mampu mengerahkan tenaga dan memusatkan nalar budinya pada latihan yang sedang dilakukannya, sehingga ia pun akan dapat berbuat serupa di saat-saat ia bertempur menghadapi lawannya.
Dengan demikian, ternyata Ki Sardapa sudah mempunyai modal yang memadai sehingga keduanya akan dapat menyesuaikan dengan kepentingan latihan-latihan yang akan mereka berikan yang pada dasarnya juga sekedar mematangkan gerak dasar untuk menghadapi pamannya yang bungsu, yang agaknya juga masih berlandaskan pada tata gerak dasar ilmu kewadagan semata-mata.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkan Ki Bekel untuk berlatih beberapa lama. Keduanya juga ingin tenaga dan kekuatannya yang menurut penilaian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pengerahan tenaga itu sudah hampir mencapai puncak kemampuannya.
Demikianlah, maka setelah beberapa lama Ki Bekel berloncatan dan mengayun-ayunkan tangan dan kakinya, maka mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa batas yang ditunggunya itu sudah sampai. Tenaga Ki Bekel mulai susut meskipun perlahan-lahan. Hanya orang-orang yang mempunyai ketajaman pengamatan atas tata gerak dalam olah kanuragan sajalah yang sempat melihat batas itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membiarkannya beberapa saat. Baru setelah semakin lama kekuatan itu menjadi semakin susut, keduanya saling berpandangan. Ketika. Mahisa Pukat mengangguk kecil, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata sambil melangkah mendekat. “Sudah Ki Bekel. Agaknya latihan ini sudah cukup lama.”
Ki Bekel pun kemudian sedikit demi sedikit mengendorkan latihan-latihan, sehingga akhirnya telah berhenti sama sekali. Namun kemudian Ki Bekel pun dengan lemah telah menjatuhkan dirinya dengan nafas yang terengah-engah, duduk dengan kaki yang menjelujur dan bertumpu pada kedua tangannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika Ki Bekel menghadapi musuh, maka Ki Bekel akan terpaksa bergerak lebih banyak. Karena itu maka Ki Bekel harus berusaha meningkatkan daya tahan tubuh dengan latihan-latihan yang teratur. Tidak dengan tiba-tiba mengadakan latihan sehari semalam yang justru akan dapat merusak kemungkinan yang ada di dalam diri Ki Bekel sendiri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Nafasnya masih memburu lewat lubang hidungnya. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Nah. sekarang Ki Bekel harus membiasakan diri dan berlatih mengatur pernafasan. Marilah, kita mencobanya agar nafas kita tidak mengalir tidak beraturan sehingga kita memerlukan waktu yang terlalu lama untuk memulihkan pernafasan kita kembali.”
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memberikan beberapa petunjuk kepada Ki Bekel, bagaimana ia harus mengatur pernafasannya. Mahisa Pukat pun kemudian duduk bersila di hadapan Ki Bekel. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya dengan mengendorkan segala urat nadinya. Dengan teratur Mahisa Pukat pun kemudian menarik nafas dalam-dalam dan dilepaskannya perlahan-lahan. Diulanginya beberapa kali sambil mempersiapkan seluruh tubuhnya agar tidak menjadi tegang.
Namun kedua anak muda itu pun telah mengajarkan bahwa dalam mengatur pernafasan pun diperlukan pemusatan nalar budi agar jalan pernafasannya itu menjadi cepat teratur dan tidak terasa mengganggu lagi. Kedua anak muda itu pun telah memberi tahukan pula kepada Ki Sardapa, bahwa semakin jauh ia mendalami persoalan pernafasannya, maka banyak hal yang akan dapat dipetiknya. Dengan mengatur pernafasannya pada tataran yang lebih tinggi, akan dapat membuatnya mampu mengendalikan yang benar-benar akan dapat dikuasainya, tetapi juga saluran tenaga cadangannya yang akan dapat memberikan kekuatan yang sangat tinggi.
Karena itu maka kedua anak muda itu pun telah memberikan pesan kepada Ki Sardapa dalam saat-saat ia menempa diri, maka yang harus dilakukannya, bangun di dini hari, kemudian melatih diri mengatur pernafasannya sebaik-baiknya.
“Kami akan memberikan petunjuk sesuai dengan pengetahuan kami tentang hal itu, yang kami pelajari dari orang-orang yang pernah berbaik hati membimbing kami.” berkata Mahisa Murti.
Ki Sardapa itu mengangguk sambil menjawab, “Aku akan melakukan apa saja yang kalian perintahkan. Aku benar-benar ingin mempersiapkan diri menghadapi paman yang bungsu yang telah memperlakukan saudaranya sendiri dengan semena-mena. Jika ia tidak lagi menghormati saudara tuanya, maka ia tentu benar-benar ingin membunuhku. Karena itu aku harus bersiap sepenuhnya untuk bertalian agar aku tidak mati karenanya. Kecuali jika memang harus demikian yang terjadi.”
Niat dan kesediaan yang tinggi dari Ki Sardapa itu tentu akan banyak menolongnya, karena dengan demikian maka Ki Sardapa tentu akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan Ki Sardapa beristirahat setelah pernafasannya pulih kembali. Bahkan dipersilahkan Ki Sardapa untuk keluar dari sanggar menghirup udara yang cerah di luar, atau barangkali ada pekerjaan lain yang harus dilakukannya sebagai seorang bekel.
“Menjelang tengah hari kita akan mulai,” berkata Mahisa Murti.
“Baiklah,” jawab Ki Sardapa, “aku benar-benar menjadi lelah sekarang ini. Tetapi dengan kesempatan beristirahat ini, aku akan menjadi segar kembali.”
“Silahkan Ki Bekel melakukan apa saja,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kami berdua juga ingin berbuat sesuatu didalam sanggar. Mungkin mempersiapkan sanggar itu agar sesuai dengan tingkat latihan-latihan yang harus Ki Bekel lakukan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan bertemu dengan para bebahu padukuhan ini.”
Sementara Ki Bekel memanggil para bebahu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersiapkan sanggar yang sederhana itu untuk menempa Ki Bekel dalam olah kanuragan. Beberapa jenis senjata yang ada akan dimanfaatkannya sementara peralatan pun telah diatur sebaik-baiknya. Beberapa buah patok, kayu telah dibenahi agar tidak menjadi berbahaya. Palang-palang bambu dan kayu yang silang menyilang pun telah diatur sebaik-baiknya. Tali temali yang kendur telah dikuatkan sehingga tidak akan dapat terlepas.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi menjelang sampai ke puncak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap. Mereka pun kemudian menjenguk Ki Bekel di pendapa. Ternyata masih ada beberapa orang bebahu yang berbincang dengan Ki Bekel. Tetapi itu tidak lama. Sejenak kemudian maka pertemuan itu pun telah selesai.
Ketika para bebahu telah meninggalkan rumahnya, maka Ki Bekel pun kemudian bertanya, “Apakah kita akan mulai sekarang?”
“Jika Ki Bekel telah merasa cukup beristirahat, maka kita akan dapat mulai sekarang,” jawab Mahisa Murti.
“Aku sudah cukup beristirahat. Aku sudah minum dan makan beberapa potong makanan bersama para bebahu. Sekarang aku siap untuk mulai lagi dengan latihan-latihan yang betapa pun beratnya,” berkata Ki Bekel mantap.
“Baiklah,” sahut Mahisa Murti, “marilah. Kita akan pergi ke sanggar.”
Demikianlah mereka bertiga pun telah kembali masuk ke dalam sanggar. Beberapa saat lamanya Ki Bekel dipersilahkan untuk mempersiapkan diri dengan gerakan-gerakan ringan. Baru kemudian Mahisa Murti telah memberikan beberapa petunjuk khusus tentang berbagai macam unsur gerak. Mula-mula Ki Bekel memang masih harus menirukan dengan landasan kemampuannya sendiri. Mahisa Murti pun harus menyesuaikan diri dengan unsur-unsur gerak yang sudah dikuasai oleh Ki Bekel sehingga tidak akan menimbulkan benturan kekuatan di dalam tubuh Ki Bekel itu.
Satu dua langkah Ki Bekel mulai menirukan tata gerak yang khusus diatas landasan unsur-unsur gerak yang lebih umum. Beberapa kali Ki Bekel mengulanginya sehingga unsur itu dapat dilakukannya dengan baik. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Bekel telah menguasainya benar-benar. Setiap kali Mahisa Murti masih harus memberikan penjelasan tentang unsur-unsur gerak itu. Gunanya, wataknya dan kekuatan yang tersimpan didalamnya.
Jika satu unsur telah dikuasainya, maka Mahisa Murti memberikan unsur berikutnya beruntun sesuai dengan urutan yang sudah mantap. Baru setelah beberapa unsur gerak dapat dikuasainya, maka Mahisa Murti pun mempersilahkan Mahisa Pukat untuk memberikan petunjuk penggunaannya dihadapkan pada perlawanan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian maka Ki Bekel bukan saja mampu menirukan unsur-unsur gerak yang diberitahukan oleh Mahisa Murti, tetapi ia kemudian mampu mengenalinya sampai kepada watak dan sifat-sifatnya. Dengan Mahisa Pukat, Ki Bekel telah mempergunakan unsur-unsur gerak itu untuk mengatasi serangan-serangan yang datang dengan unsur gerak yang mana pun juga, bahkan dengan unsur-unsur gerak yang belum pernah dikenalnya sebelumnya dari keturunan perguruan lain. Bahkan untuk mencari kesempatan, menyusup pada pertahanan lawannya.
Demikianlah, setapak demi setapak Ki Bekel mendapatkan kemajuan dalam ilmu kanuragan. Ia juga telah berhasil meningkatkan daya tahan tubuhnya. Setiap pagi, Ki Bekel dengan teratur telah melatih pernafasannya. Kemudian berlari-lari menempuh jarak yang semakin hari semakin jauh meskipun tidak dengan memaksa diri. Kemudian untuk menenangkan jantungnya yang berdegub semakin cepat, maka setelah berlari-lari di dini hari. Ki Bekel telah kembali mengatur pernafasannya pula.
Setelah beristirahat dan membenahi diri, kemudian menyelesaikan tugas-tugasnya dengan memberikan pesan-pesan dan perintah kepada para bebahu padukuhan dan para pengawal, maka Ki Bekel pun telah bersiap kembali memasuki sanggarnya. Menempa diri dengan segenap hati dan wadagnya.
Ki Bekel berhenti berlatih, setelah matahari mulai turun ke Barat. Sambil beristirahat, maka Ki Bekel menyelesaikan tugas-tugasnya yang tersisa setelah makan dan minum. Kadang-kadang ia pergi melihat keadaan padukuhannya yang mendesak. Menjelang senja, maka Ki Bekel telah menekuni kembali ilmu kanuragan bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai saatnya malam menjadi sepi.
Demikianlah yang dilakukan Ki Bekel hampir setiap hari. Hanya jika tugas-tugasnya memaksa, maka saat-saat latihan itu-pun mengalami perubahan. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi.
Ternyata paman bungsunya itu tidak segera datang kepadanya. Beberapa lama Ki Bekel menunggu menempa diri. Bahkan Ki Bekel pun telah sempat mempelajari ilmu pedang dan mengenali beberapa jenis senjata yang lain. Senjata tajam, senjata tumpul dan senjata lentur.
“Senjata apakah yang sering dipergunakan oleh paman bungsu ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya keadaan dan kemampuan lawan yang bakal dihadapi oleh Ki Bekel itu masih gelap. Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apalagi Ki Bekel menjadi gelisah, justru karena Kiai Patah telah meninggalkan padukuhan itu. Kiai Patah sama sekali masih belum memberikan latihan-latihan kepada Ki Bekel, bahkan menengok pun belum.
Sehari setelah Ki Bekel mulai dengan latihan-latihannya, maka Kiai Patah telah minta diri meninggalkan padukuhan itu untuk beberapa hari. Tetapi sampai saat-saat yang semakin menegangkan. Kiai Patah masih belum kembali. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi gelisah meskipun mereka berusaha untuk menenangkan kegelisahan Ki Sardapa.
“Jangan hiraukan orang lain,” berkata Mahisa Murti kepada Ki Sardapa, “yang penting bagi Ki Bekel adalah menempa diri dengan sungguh-sungguh agar Ki Bekel berhasil meningkatkan kemampuan Ki Bekel. Beberapa langkah Ki Bekel sudah menjadi semakin maju. Tetapi jika perhatian Ki Bekel terlepas dari latihan-latihan yang Ki Bekel lakukan, maka latihan-latihan itu tidak akan ada gunanya lagi.”
Ki Bekel memang berusaha untuk memusatkan perhatiannya kepada latihan-latihannya. Ia berusaha pula untuk tidak menghiraukan, apakah Kiai Patah akan kembali atau tidak. Namun ternyata pada suatu hari, ketiga orang yang sedang berada di dalam sanggar itu telah dikejutkan oleh kehadiran Kiai Patah. Karena itu maka dengan serta merta ketiganya telah menyongsongnya dan mempersilahkan Kiai Patah untuk masuk.
“Kiai membuat kami menjadi gelisah,” berkata Ki Bekel.
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf. Aku agaknya telah pergi terlalu lama. Namun akhirnya aku berhasil.”
“Berhasil tentang apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berusaha untuk mencari paman bungsu Ki Bekel. Memang agak sulit. Tetapi dengan petunjuk beberapa orang saudaranya akhirnya aku ketemukan juga. Untunglah bahwa aku berhasil merahasiakan diriku sehingga paman bungsu Ki Bekel itu tidak mengenali aku. Aku berhasil menemuinya di malam hari dalam kegelapan. Aku berhasil menjajagi ilmunya, sehingga dengan demikian aku dapat mengenal meskipun tidak tepat sekali, ukuran kemampuannya,” jawab Kiai Patah.
Ki Bekel mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti-pun berkata, “Tetapi ia sedang dalam keadaan membajakan dirinya. Karena itu pengenalan Kiai beberapa waktu yang lalu akan berbeda dengan kemampuan dari Paman Ki Bekel itu beberapa hari yang akan datang.”
“Aku mengerti. Tetapi aku pun dapat memperkirakan seberapa jauh peningkatan kemampuan seseorang hanya dalam beberapa hari. Sementara itu Ki Bekel pun setiap hari masih juga menyempurnakan ilmu kanuragan yang ada dalam dirinya,” jawab Kiai Patah.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Patah pun berkata, “Adalah kewajibanku berikutnya untuk menjajagi kemampuan Ki Bekel.”
“Silahkan Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah Kiai tidak merasa letih dari perjalanan.”
“Aku sudah singgah di rumah. Aku sudah beristirahat, bahkan minum dan makan. Sebentar berbaring sambil mengendorkan ketegangan urat-urat kakiku,” sahut Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, silahkan Kiai.”
Demikianlah maka Ki Bekel pun kemudian telah bersiap. Kiai Patah yang ingin menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri di tepi arena untuk menyaksikan hasil latihan-latihan Ki Bekel selama ia menempa diri mempersiapkan perang tanding melawan pamannya yang bungsu.
Sesaat kemudian, maka terdengar Kiai Patah berkata, “Bersiaplah Ki Bekel. Aku akan mulai.”
Ki Bekel bergeser setapak. Sementara itu Kiai Patah pun telah mulai menyerang. Dengan cepat Ki Bekel menghindar. Sekaligus berputar sambil mengayunkan kakinya. Tetapi kaki itu sama sekali tidak mengenai sasarannya, karena Kiai Patah telah bergeser surut.
Tetapi ternyata Kiai Patah pun bergerak dengan cepat. Sebelum ayunan kaki yang berputar itu menyentuh tanah. Kiai Patah telah melenting menyerang dengan ujung jari-jarinya yang merapat lurus mengarah ke dada. Namun Ki Bekel lah yang kemudian meloncat sambil memiringkan tubuhnya sehingga tangan Kiai Patah itu tidak mengenainya.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kiai Patah semakin meningkatkan serangan-serangannya sehingga Ki Bekel pun harus bekerja lebih keras untuk mengimbanginya. Pertempuran itu kemudian telah berlangsung beberapa lama. Setingkat demi setingkat Kiai Patah menambah tataran ilmu kanuragan yang dipergunakannya untuk menjajagi kemampuan Ki Bekel. Sehingga akhirnya Kiai Patah sampai pada batas kemampuan Ki Bekel itu.
Beberapa kali tangan Kiai Patah berhasil menyentuh tubuh Ki Bekel, sementara Ki Bekel telah berjuang sejauh dapat dilakukannya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri dari sentuhan-sentuhan tangan Kiai Patah. Ketika sentuhan-sentuhan itu terasa semakin menyakitinya, maka Ki Bekel telah berjuang semakin keras. Namun kemampuan Ki Bekel memang masih terbatas.
Beberapa saat kemudian, maka Kiai Patah yang telah berhasil menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah mengendurkan serangan-serangannya. Sambil meloncat surut, maka Kiai Patah pun kemudian berdesis, “Cukup Ki Bekel. Ternyata aku telah dapat menilai tataran kemampuan Ki Bekel.”
Ki Bekel yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu pun telah bergeser pula. Ternyata bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya, maka Ki Bekel harus mengatur pernafasannya sebagaimana petunjuk yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar ia tidak menjadi terengah-engah kelelahan. Karena itu. maka Ki Bekel memerlukan waktu beberapa saat sehingga akhirnya nafasnya menjadi lancar kembali.
Kiai Patah yang menyaksikan cara Ki Bekel mengatur pernafasannya itu pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Ternyata sudah banyak kemajuan yang didapat oleh Ki Bekel. Bukan saja tentang olah kanuragan, namun juga cara untuk menenangkan diri. Bukan sekedar menunggu sampai pernafasannya pulih kembali, tetapi Ki Bekel sudah tahu cara untuk mengatur pernafasannya dengan baik.”
Ki Bekel yang nafasnya mulai teratur kembali telah menjawab pula, “Jangan terlalu memuji Kiai. Aku belum apa-apa. Namun yang penting ingin aku ketahui adalah apa yang ingin Kiai katakan tentang ilmu yang aku pelajari dengan yang Kiai jajagi pada paman bungsu itu.”
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Itulah yang ingin aku bicarakan dengan kalian.”
“Apakah Kiai sudah dapat mengambil satu kesimpulan?” bertanya Mahisa Pukat.
Kiai Patah menggelengkan kepalanya. Dengan nada datar ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakan atau menduga-duga apa yang akan terjadi.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku telah melihat kemajuan yang pesat pada ilmu Ki Bekel. Dan itu telah membesarkan hatiku, ternyata bahwa paman bungsu Ki Bekel itu juga telah meningkatkan ilmunya pula Menurut pengamatanku, sulit untuk diperhitungkan sebelumnya, ilmu siapakah di antara keduanya yang lebih mapan. Tetapi satu hal yang dapat aku katakan, bahwa sampai hari ini, kemungkinan yang dapat terjadi pada keduanya adalah sama besarnya,” berkata Kiai Patah kemudian dengan sungguh-sungguh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sementara itu Kiai Patah berkata pula, “Tetapi seandainya pada saatnya keduanya masih juga memiliki keseimbangan yang setingkat, maka itu adalah jauh lebih baik daripada Ki Bekel tidak meningkatkan ilmunya sama sekali. Dengan demikian Ki Bekel akan ketinggalan jauh, sehingga kemungkinan mengalami kesulitan jauh lebih besar ada pada Ki Bekel daripada paman bungsunya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan ingkar jika paman bungsu itu benar-benar datang menantang aku untuk berperang tanding. Sekarang pun aku sudah siap. Mati bukan lagi masalah bagiku. Tetapi aku harus menghadapinya sebagai seorang laki-laki.”
“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “aku memang sudah menduga. Namun dengan demikian. Ki Bekel harus mempergunakan saat-saat terakhir ini lebih baik lagi. Paman bungsu Ki Bekel itu meskipun hanya selapis tipis, namun agaknya juga telah meningkat pula.”
“Aku akan melakukannya Kiai,” jawab Ki Bekel.
“Tetapi ingat, bahwa Ki Bekel jangan menghabiskan semua tenaga pada latihan-latihan yang Ki Bekel lakukan. Jika demikian, maka jika saat itu datang. Ki Bekel benar-benar telah kehabisan tenaga,” berkata Kiai Patah pula.
Ki Bekel mengangguk lemah. Namun kehadiran Kiai Patah membuatnya semakin mantap. Apalagi di saat-saat berikutnya Kiai Patah telah ikut serta berada dalam sanggar. Dengan berbagai macam ilmu yang dikuasainya. Kiai Patah telah memberikan pengalaman kepada Ki Bekel mempergunakan ilmu yang sudah dikuasainya, serta memberikan beberapa kemungkinan untuk mengembangkannya. Latihan-latihan yang berat telah membuka penglihatan Ki Bekel semakin luas atas olah kanuragan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian bertugas untuk menuntun agar tingkat ilmu kanuragan Ki Bekel meningkat. Sementara Kiai Patah memberikan pengalaman-pengalaman dalam benturan-benturan ilmu, sehingga dengan demikian maka meskipun hanya di dalam sanggar, tetapi Ki Bekel seolah-olah telah pernah mengembara dan bertemu dengan berbagai macam lawan dengan jenis-jenis ilmunya masing-masing. Termasuk penggunaan beberapa jenis senjata.
Demikianlah, maka Ki Bekel telah menunggu kedatangan paman bungsunya dengan persiapan yang mapan. Sementara itu, ternyata kedua pamannya yang lain telah bertekad untuk tidak meninggalkan Ki Bekel. Pamannya yang terluka yang kemudian telah menjadi sembuh, ingin melihat apakah yang akan terjadi. Apakah adiknya yang bungsu benar-benar akan datang untuk menantang Ki Bekel.
Ternyata bahwa yang pernah dikatakan oleh pamannya yang bungsu itu untuk menantang Ki Sardapa, benar-benar terjadi. Adalah tidak diduga-duga, bahwa pamannya yang bungsu itu telah datang ke rumah Ki Sardapa seorang diri.
“Marilah paman,” Ki Sardapa mempersilahkan.
“Tidak,” jawab pamannya yang bungsu itu, “aku hanya ingin berbicara beberapa patah kata kepadamu.”
“Tentang apa?” bertanya Ki Sardapa.
“Apakah salah seorang pamanmu tidak ada yang datang kemari?” bertanya pamannya yang bungsu.
“Ya Paman. Seorang yang terluka parah, yang mengatakan apa yang telah paman bungsu lakukan dan apa pula yang akan paman lakukan kemudian,” jawab Ki Sardapa.
“Jadi kau sudah tahu?” bertanya pamannya yang bungsu.
“Jika benar yang paman katakan tentang paman bungsu,” jawab Ki Bekel.
“Apa yang dikatakannya?” bertanya paman bungsu.
“Itu persoalanku. Tetapi apa yang akan paman lakukan sekarang di sini?” bertanya Ki Sardapa.
“Baik. Aku tidak usah berputar-putar. Aku ingin menantangmu menyelesaikan persoalan kita sebagai laki-laki. Aku tidak mau lagi bekerja dengan orang lain yang pengecut dan tidak tahu diri. Nah, sekarang terserah kepadamu, apakah kau menerima tantanganku untuk berperang tanding,” berkata paman bungsu itu.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hal itu benar dilakukan oleh pamannya yang bungsu itu. Tetapi Ki Sardapa memang sudah siap. Karena itu maka ia pun berkata, “Aku memang sudah menunggu paman.”
Dahi pamannya itu berkerut. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi kau tidak gentar menghadapi aku?”
“Kenapa aku harus gentar? Bukankah aku juga laki-laki seperti paman? Aku tidak mengatakan bahwa aku akan dapat memenangkan perang tanding itu. Tetapi aku pun tidak mengatakan bahwa aku sekedar akan membunuh diri,” jawab Ki Sardapa.
“Bagus,” geram pamannya yang bungsu, “aku tidak mengira bahwa kau akan dengan serta merta menerima tantanganku. Aku kira kau akan merengek minta bantuan kawan-kawanmu itu.”
“Paman terlalu menghina aku,” jawab Sardapa, “lalu apa yang paman syaratkan dalam perang tanding itu.”
“Aku akan datang tengah bulan ini. Aku akan berada di pinggir hutan dekat dengan bukit karang. Kita akan berperang tanding di bawah pohon randu alas. Meskipun aku tidak menaruh kepercayaan lagi kepada saudara-saudaraku, tetapi mereka akan menjadi saksi. Mereka akan melihat, bagaimana caraku membunuhmu,” berkata pamannya yang bungsu itu dengan penuh kebencian.
“Bagus,” jawab Ki Bekel, “aku juga akan membawa saksi. Selain paman yang kau lukai, paman Panonjaya, adalah juga tiga orang yang telah membantuku selama ini. Mereka tidak akan mengganggu perang tanding itu, karena mereka menghargai aku, bahwa aku adalah seorang laki-laki.”
“Masih ada waktu bagimu untuk meratapi nasibmu. Tengah bulan itu akan ditandai oleh bulan purnama. Masih ada waktu sepuluh hari lagi sejak sekarang,” berkata pamannya yang bungsu itu pula.
“Waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri. Dalam sepuluh hari, aku akan mampu meningkatkan ilmuku sejajar dengan kemampuan paman,” sahut Ki Sardapa.
Pamannya yang bungsu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Semakin lama semakin keras. Lalu katanya, “Kau memang terlalu dungu Sardapa. Aku sudah mengira. Kenapa kau tidak mempersiapkan dirimu sejak pamanmu yang aku lukai itu mengatakan kepadamu? Bukankah aku telah memberimu waktu cukup panjang agar aku mendapat melawan yang pantas? Aku akan sangat kecewa, jika dalam satu dua kejap kau sudah akan kehilangan kemampuan untuk melawan dan mengalami kematian dengan cara yang paling pahit. Tetapi itu tentu akan terjadi atasmu dihadapan paman-pamanmu yang pengecut itu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman sudah mulai berusaha mengecilkan hatiku. Tetapi ingat paman. Aku sudah mantap. Apa pun yang akan terjadi. Aku akan datang ke bukit karang di pinggir hutan. Aku akan berada di bawah randu alas itu demikian bulan ada di langit.”
Melihat sikap Ki Sardapa yang mantap dan sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan, maka justru pamannya yang bungsu itu menjadi heran. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang mendorong Sardapa bersikap demikian.
“Apakah Sardapa akan menjadi curang dengan menjebak aku?“ pertanyaan itu yang justru timbul didalam hatinya. Namun paman bungsu itu berkata pula didalam hatinya, “Aku-pun tidak sendiri. Jika ia menjebakku, maka orang itu akan menyesal.”
Paman Ki Sardapa itu pun tidak berbicara terlalu banyak. Sejenak kemudian ia pun berkata dengan nada berat, “Aku akan pergi sekarang. Mudah-mudahan kau benar-benar seorang laki-laki, sehingga kau benar-benar akan datang ke tempat itu.”
“Paman tidak usah ragu-ragu,” berkata Ki Sardapa, “bahkan akulah yang berharap agar paman benar-benar datang.”
“Persetan kau. Siapa yang mengajarimu menjadi sombong begitu?” geram pamannya.
“Paman. Sikap dan tingkah laku paman telah memberikan dorongan kepadaku untuk sedikit mengimbangi kesombongan paman,” jawab Ki Sardapa.
“Anak iblis,” suara Ki Sardapa menjadi bergetar oleh kemarahan, “jika aku tidak terikat pada janjiku menunggumu di bukit karang itu, maka kau sudah aku bunuh sekarang.”
“Kenapa paman tidak melakukannya. Hanya karena aku menghormati paman sajalah maka aku tidak membunuh paman sekarang,” jawab Sardapa.
Gigi Ki Sardapa menjadi gemeretak. Tetapi ia masih menahan diri. Dengan serta merta maka ia pun telah meninggalkan tempat itu agar darahnya tidak terlanjur mendidih.
Demikian orang itu pergi, maka Ki Sardapa pun telah menemui orang-orang yang sedang berada di rumahnya dan memberikan tuntunan ilmu kanuragan kepadanya. Ki Sardapa pun telah menceriterakan pembicaraannya dengan pamannya, bahwa mereka benar-benar akan berperang tanding.
“Ki Bekel harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,” berkata Kiai Patah.
“Aku sudah siap lahir dan batin. Apa pun yang terjadi tidak akan dapat mengguncangkan tekadku ini,” jawab Ki Sardapa, “betapa hormatku kepada orang-orang yang dalam hubungan keluarga lebih tua dari aku, meskipun barangkali umurnya tidak. Namun terhadap paman bungsu aku benar-benar tidak lagi dapat berbuat lain kecuali berlaku kasar.”
“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “ternyata pamanmu masih berbaik hati memberikan waktu sepuluh hari kepadamu. Waktu akan menjadi sangat berharga Ki Bekel. Tetapi ingat, jangan kau peras tenagamu sekarang sampai habis, sehingga jika saat itu datang, maka kau telah benar-benar kehabisan tenaga dan tidak mampu lagi mengimbangi ilmu kanuragan pamanmu itu.”
Demikianlah, maka saat-saat yang menegangkan itu bagaikan melangkah setapak demi setapak mendekat. Jika hari lewat satu-satu maka rasa-rasanya ketegangan pun bertambah-tambah pula mencengkam jantung.
Ki Bekel ternyata telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, ia berlatih dengan teratur, namun tidak menyiksa diri serta menguras tenaga. Waktu yang ada dipergunakannya untuk mendalami watak dan sifat setiap unsur gerak yang dikuasainya. Dengan tekun Ki Bekel berusaha untuk mengetrapkan kemampuannya menghadapi jenis-jenis ilmu yang lain. Namun semakin dekat dengan saat yang dijanjikan, maka Ki Bekel pun menjadi semakin banyak beristirahat untuk menyimpan tenaga sehingga pada saatnya ia akan dapat turun ke arena dengan kekuatan yang bulat.
Sehari sebelum hari yang ditentukan, maka Ki Bekel telah mempersiapkan diri sebulat-bulatnya. Senjatanya pun telah disiapkannya pula. Bahkan Ki Bekel pun telah menghentikan segala kegiatannya, selain justru mendalami cara pengaturan nafas yang sebaik-baiknya. Karena itu maka ketika saat itu datang, keadaan Ki Bekel benar-benar pada puncak kesegarannya.
Menjelang senja, Ki Bekel pun telah bersiap. Kiai Patah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Panonjaya dan seorang pamannya yang pernah dilukai oleh paman bungsunya telah bersiap pula. Tanpa memberitahukan kepada para bebahu dan apalagi para pengawal padukuhan, maka Ki Bekel pun telah meninggalkan padukuhannya.
Seperti yang dijanjikan oleh Ki Bekel, maka pada saat bulan naik. ia sudah berada dibawah pohon randu alas. Tempat yang dijanjikan bersama untuk mengadakan perang tanding. Namun ternyata paman bungsu Ki Sardapa itu masih belum ada ditempat itu. Tetapi Ki Sardapa tidak perlu terlalu lama menunggu. Ketika bulan mulai memanjat langit, maka mereka yang telah berada di bawah randu alas itu telah dikejutkan oleh suara tertawa yang menghentak-hentak jantung.
Orang-orang yang berada dibawah randu alas itu pun segera menyadari, bahwa lawan Ki Sardapa telah datang. Sebelum muncul dihadapan Ki Sardapa, maka agaknya ia telah berusaha untuk menunjukkan kelebihannya. Tetapi Ki Sardapa yang telah melatih diri lahir dan batin itu sama sekali tidak tergetar karenanya. Ia pun telah meningkatkan daya tahannya dan mengatur pernafasannya baik-baik sehingga suara tertawa itu tidak mengguncangkan isi dadanya.
Kiai Patah lah yang kemudian mengajak orang-orang yang datang bersamanya untuk melangkah surut menjauhi Ki Sardapa yang kemudian berdiri seorang diri dibawah pohon randu alas itu. Namun demikian Kiai Patah dan yang lain memang tidak berada terlalu jauh daripadanya, sehingga jika terjadi kecurangan, maka mereka masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Sardapa masih berdiri tegak sambil mendengarkan suara tertawa yang mengumandang terpantul oleh bukit karang. Namun akhirnya Ki Sardapa itu pun menjadi muak mendengar suara tertawa itu. Katanya, “Jangan bermain-main dengan cara yang tidak pantas itu. Kemarilah. Kita sudah terlalu tua untuk bermain-main dengan caramu itu.”
Suara tertawa itu pun tiba-tiba telah berhenti. Yang terdengar kemudian suara orang itu, “Kau terlalu sombong Sardapa. Tetapi lakukanlah pada saat-saat terakhir jika itu dapat memberimu kepuasan.”
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia hampir tidak sabar menunggu. Baru beberapa saat kemudian seseorang telah melangkah dari balik bukit karang. Dengan langkah yang mantap orang itu berjalan ke pohon randu alas. Sementara Ki Sardapa telah menunggunya dengan tegang.
Baru sejenak kemudian maka beberapa orang yang lain, yang akan menjadi saksi dari perang tanding itu telah muncul pula dari balik batu karang itu. Saudara-saudara laki-laki dari ibu tiri Ki Sardapa. Namun sebagaimana dikatakan oleh pamannya yang bungsu, mereka sebenarnya menentang rencana perang tanding itu. Karena mereka mengharap bahwa persoalan di antara Ki Sardapa dengan paman-pamannya itu sudah dapat dianggap selesai.
Meskipun demikian, mereka telah memenuhi permintaan adik mereka yang bungsu untuk menyaksikan perang tanding itu. Tetapi mereka tidak lagi dibekali dengan perasaan dendam di dalam hati. Mereka justru ingin melihat perang tanding itu berlangsung dengan jujur, meskipun mereka merasa cemas akan nasib Ki Sardapa. Menurut pengenalan mereka. Ki Sardapa bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup untuk mengimbangi adik mereka yang bungsu yang telah menempa diri untuk beberapa lama.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Ki Sardapa dan pamannya yang bungsu telah berdiri berhadapan di bawah sebatang pohon randu alas yang besar. Sementara itu. langit pun menjadi semakin cerah karena bulan yang bulat memanjat semakin tinggi.
“Aku kira kau tidak akan berani datang Sardapa,” berkata pamannya yang bungsu itu.
“Paman memang terlalu merendahkan aku. Aku sadari itu. Tetapi aku tidak akan merasa rendah diri karenanya atau merasa bahwa cara yang paman pergunakan untuk mengguncang perasaanku itu akan berhasil,” jawab Ki Sardapa.
“Anak iblis,” geram paman bungsu itu, “sebentar lagi kau akan mati. Nah, sebelumnya masih ada kesempatan bagimu. Barangkali ada beberapa pesanmu. Kau dapat menyampaikannya kepada saksi-saksimu.”
Ki Sardapa menggeleng. Katanya, “Aku sudah meninggalkan pesan kepada mereka, agar mereka tidak usah mengganggu perang tanding ini. Baru jika paman sudah mati, mereka aku pesankan untuk membantuku mengubur paman di bawah randu alas ini.”
“Tutup mulutmu,” paman bungsunya membentak, “aku koyak mulutmu.”
“Paman tidak usah berteriak-teriak begitu. Jika paman ingin melakukan, maka tidak akan ada orang yang dapat menghalangi. Itu jika paman mampu, karena aku tentu akan membela diri,” jawab Ki Bekel.
Pamannya yang bungsu itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam mulut Sardapa. Tetapi Sardapa yang memang dengan sengaja membakar hati pamannya itu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ia sengaja membuat penalaran pamannya menjadi kabur oleh kemarahannya.
Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Sardapa dengan sedikit bergeser telah mampu membebaskan dirinya dari serangan itu. Bahkan dengan serta merta, Ki Sardapa telah membalas menyerang dengan garang pula. Pamannya yang bungsu itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Sardapa akan mampu bergerak secepat itu, sehingga hampir saja kaki Sardapa mengenai pelipisnya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera telah meningkat. Pamannya yang bungsu ingin membanggakan kemampuannya dihadapan saudara-saudaranya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan Sardapa dan membunuhnya dengan caranya. Dengan demikian maka ia telah membuktikan bahwa ia dapat melakukan pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan siapa pun juga.
Tetapi ternyata bahwa paman bungsu itu tidak dapat melakukan rencananya itu sebaik-baiknya. Sardapa ternyata tidak terlalu mudah untuk diselesaikan. Bahkan semakin cepat ia bergerak. Sardapa pun bergerak secepat yang dilakukannya pula.
“Dari mana iblis ini mendapatkan kemampuannya itu?” geram paman bungsu itu didalam hatinya.
Namun ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa Ki Sardapa itu pun ternyata benar-benar mampu mengimbanginya. Bukan saja kecepatan geraknya, tetapi juga kekuatan dan kemampuannya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah meningkat semakin sengit. Ki Sardapa yang telah menempa dirinya dengan bersungguh-sungguh itu telah menempatkan dirinya sebagai lawan yang sangat tangguh dihadapan paman bungsunya.
Dengan latihan-latihan yang berat, maka Ki Sardapa tidak terkejut lagi menghadapi kemampuan ilmu kanuragan paman bungsunya itu. Berbagai jenis ilmu telah dihadapinya meskipun ilmu-ilmu itu dilepaskan hanya oleh orang-orang yang bersamanya berada di banjar. Namun rasa-rasanya Ki Sardapa telah menempuh pengembaraan yang panjang dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai perguruan.
Dengan demikian, maka Ki Sardapa itu pun dapat menghadapi ilmu paman bungsunya dengan tenang. Ia sudah terlatih untuk mengambil sikap dengan cepat jika ia menghadapi unsur-unsur gerak yang belum pernah dijumpainya sebelumnya.
Paman bungsu Ki Sardapa itu benar-benar menjadi heran. Sardapa masih juga mampu meningkatkan kemampuannya di saat-saat pamannya berusaha untuk menyelesaikannya. Bahkan ketika mereka cukup lama bertempur, Ki Sardapa lah yang mulai menekan paman bungsunya itu. Paman bungsunya mengumpat kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantung ia berusaha untuk mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Namun ia tidak berhasil mendesak dan apalagi menguasai Ki Sardapa.
Bahkan ketika ia mencoba memaksa menyerang ke arah kening Ki Sardapa pada kesempatan yang kurang menguntungkan, maka Ki Sardapa sempat mengelak dengan bergeser setapak ke samping. Namun kemudian kakinyalah yang terayun mendatar.
Satu hempasan yang keras sekali telah mengenai dadanya. Justru pada saat paman bungsunya itu berusaha untuk mengambil jarak setelah serangannya tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya sehingga paman bungsu Ki Sardapa itu terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun dengan susah payah ia telah berhasil bertahan untuk tidak jatuh tertelentang.
Ki Sardapa ternyata memberinya kesempatan untuk memperbaiki keseimbangannya. Bahkan dengan nada rendah Ki Sardapa berkata, “Silahkan paman mencoba untuk tegak lebih dahulu.”
“Anak iblis,” geram paman bungsunya, “kau memang terlalu sombong. Kau sama sekali tidak merasa, betapa dengan belas kasihan aku masih memberi kesempatan untuk memperpanjang umurmu barang sesaat. Ternyata kau mengartikan seolah-olah kau mampu mengimbangi ilmuku.”
Ki Sardapa mulai muak mendengar kata-kata pamannya itu. Karena itu maka sebelum pamannya itu selesai berbicara, maka Ki Sardapa telah meloncat dengan garangnya menyerang pamannya itu. Satu kakinya terjulur ke samping sementara tubuhnya yang seakan-akan mendatar itu bagaikan terbang meluncur dengan derasnya. Paman bungsunya tidak sempat mengelakkan dirinya. Kaki Ki Sardapa itu seakan-akan tiba-tiba saja telah terjulur menggapai dadanya begitu ia selesai berbicara.
Terdengar keluhan tertahan. Paman bungsu Ki Sardapa itu merasa seakan-akan segumpal batu padas telah menghantam dadanya sehingga karena itu, maka pamannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Betapa pun ia berusaha namun ternyata bahwa ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Karena itu maka paman bungsu Ki Sardapa itu justru telah menjatuhkan dirinya. Namun secepat itu pula ia telah melenting berdiri.
Ki Sardapa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demikian paman bungsu itu tegak, maka Ki Sardapa pun telah meloncat menyerang pula. Tangannya terjulur lurus ke dadanya ketika kakinya meloncat maju selangkah panjang. Sekali lagi dada paman Ki Sardapa bagaikan pecah karenanya. Sekali lagi pula paman bungsu itu telah terlempar beberapa langkah surut.
Namun paman bungsu itu tidak mau mengalami nasib yang sama. Karena itu maka ia pun telah menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Baru kemudian ia telah berusaha untuk meloncat bangkit, namun dalam kesiagaan sepenuhnya. Ki Sardapa tidak memburunya. Dibiarkannya pamannya tegak berdiri. Namun ternyata bahwa dadanya benar-benar bagaikan akan pecah.
“Setan kau. Sardapa,” geram paman bungsunya.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu paman bungsunya tidak lagi dapat mengingkari kenyataan. Ternyata Sardapa bukannya orang yang lemah sebagaimana diduga. Dalam benturan kekerasan yang terjadi, paman bungsu itu sama sekali tidak berhasil mengalahkan Ki Sardapa. Apalagi membunuhnya dengan cara yang sudah direncanakannya.
Karena itu maka paman bungsu itu telah mempergunakan kemungkinan yang terakhir. Dengan kemarahan yang bagaikan membakar jantung, maka ia telah menarik senjatanya. Sebuah pedang yang menggetarkan jantung. Pedang yang punggungnya ternyata bergerigi tajam.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mencoba ilmu pedangnya untuk melawan berbagai macam senjata. Tetapi di sanggarnya tidak terdapat senjata seperti yang kemudian digenggam oleh paman bungsunya itu. Namun latihan-latihannya yang berat serta usahanya untuk melatih diri menanggapi keadaan dengan cepat, telah memantapkannya untuk menghadapi senjata pamannya yang mengerikan itu.
“Kau tahu apa artinya senjata yang telah aku tarik dari sarungnya ini?” geram paman bungsu itu.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia melangkah maju.
“Dengar Sardapa,” berkata paman bungsunya itu, “kau lebih baik mengetahui bagaimana kau akan mati. Aku akan mempergunakan punggung pedangku ini untuk memotong lehermu.”
Ki Sardapa menggeram. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu, orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat dengan jelas jenis senjata paman bungsu Ki Sardapa itu. Namun ketika senjata itu sempat memantulkan cahaya bulan yang menyusup dedaunan, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Punggung pedang itu agak lain dengan punggung pedang kebanyakan.
Sementara itu Ki Sardapa telah menggenggam pedang pula di tangannya. Ia telah meyakini bahwa ilmu pedangnya tentu akan dapat melawan ilmu pamannya dengan senjata jenis apa pun yang akan dipergunakannya. Bahkan betapa pun bentuknya, namun senjata yang dibawa pamannya itu penggunaannya tidak akan jauh berbeda dengan pedang biasa, meskipun ujudnya lebih menggetarkan jantung.
“Paman,” berkata Sardapa kemudian, “seperti kepada paman-paman yang lain, aku menawarkan penyelesaian yang lebih baik daripada saling membunuh.”
Tetapi paman bungsunya itu tertawa. Semakin lama semakin keras, sehingga daun-daun randu alas itu pun telah berguncang. Yang telah menguning ternyata tidak lagi dapat tetap bergayut pada cabang dan ranting-ranting sehingga jatuh berguguran. “Kau mulai ketakutan,” berkata pamannya.
“Tidak,” jawab Sardapa, “kenapa aku takut? Paman tidak dapat menipu diri sendiri, bahwa ilmuku ternyata mampu mengimbangi kemampuan paman. Paman tidak dapat dengan semudah yang paman duga untuk membunuhku.”
“Tetapi kau tentu ngeri melihat punggung pedangku. Kau merasa lehermu seakan-akan telah menjadi nyeri, pedih dan sakit bukan buatan,” sahut paman bungsunya. Lalu “Jika demikian Sardapa. Untuk mengurangi penderitaanmu, maka letakkan senjatamu. Berjongkoklah, dan serahkan lehermu. Aku akan menebas lehermu dengan tajam pedangku. Tidak dengan punggungnya.”
Tetapi Ki Sardapa lah yang tertawa. Meskipun tidak meruntuhkan dedaunan, namun suara tertawanya sangat menyakitkan hati paman bungsunya. Di sela-sela suara tertawanya. Ki Sardapa berkata, “Ternyata keberanianmu tidak sebagaimana besar kata-katamu. Kau harus memenangkan perang tanding ini dengan ilmu kanuragan. Tidak sekedar bermain dengan kata-kata untuk mempengaruhi perasaanku, sehingga akhirnya aku berlutut menyerah dihadapan kakimu. Bukankah cara itu adalah cara yang sangat licik?”
Kemarahan paman bungsunya telah naik ke kepala. Karena itu tanpa menjawab ia telah meloncat mengayunkan pedangnya. Ki Sardapa telah bersiap. Dengan tangkasnya ia mengelak ke samping Namun ternyata paman bungsunya telah menarik pedangnya, tetapi dengan cepat bergeser ke arah lengan Ki Sardapa.
Untunglah punggung pedang yang bergerigi itu tidak menyentuh lengannya, karena dengan cepat Ki Sardapa telah bergeser sekali lagi. Jika punggung pedang yang ditarik itu menyentuh kulitnya, maka kulitnya itu tentu akan koyak dan dagingnya tercabik-cabik. Namun dalam pada itu Ki Sardapa pun telah bergerak dengan cepat dan tangkas. Tiba-tiba saja pedangnya telah terjulur mengarah ke lambung paman bungsu di saat pedang paman bungsunya itu berputar di sisi tubuhnya.
Paman bungsu itu telah berusaha untuk menghindari. Dengan loncatan panjang ia bergeser surut. Namun Ki Sardapa tidak melepaskannya, ia pun telah meloncat memburu dengan pedangnya yang terjulur. Dengan tergesa-gesa pamannya telah menangkis dan memukul pedang Ki Sardapa ke samping. Tetapi Ki Sardapa cepat menarik pedangnya. Begitu pedang pamannya terayun, maka sekali lagi pedang Ki Sardapa terjulur pula.
Paman bungsunya itu pun terkejut. Dengan serta merta ia-pun telah meloncat jauh-jauh mengambil jarak untuk memperbaiki keadaannya. Ki Sardapa tidak memburunya, ia memang menjadi ragu-ragu. Mungkin pamannya ingin membuat satu jebakan baginya. Karena itu ia memang harus berhati-hati.
Tetapi ternyata tidak demikian. Pamannya tidak menjebaknya. Tetapi ia benar-benar telah terdesak oleh serangan Ki Sardapa yang datang beruntun. Karena itu maka Ki Sardapa kemudian berkata, “Apakah dalam keadaan seperti ini aku harus menyerahkan leherku. Paman, marilah kita bersungguh-sungguh. Jangan sekedar bermain-main. Biarlah perang tanding ini cepat selesai, siapa yang akan mati biarlah cepat mati.”
“Anak iblis,” paman bungsunya mengumpat, “kau kira kau akan dapat menang.”
“Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi bagiku, semakin cepat akan semakin baik.”
Paman bungsunya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan putaran yang mendebarkan. Namun sekali-sekali paman bungsunya itu juga berusaha untuk mengenai kulit lawannya dengan punggung pedangnya yang mengerikan. Tetapi Sardapa cukup tangkas. Usaha paman bungsunya sama sekali belum berhasil.
Dalam pada itu para saksi pun menjadi berdebar-debar. Di luar sadar, mereka telah bergeser semakin dekat. Semuanya ingin melihat dengan jelas, apakah yang sebenarnya sedang terjadi. Tetapi ternyata bahwa semua saksi, baik yang datang bersama-sama dengan Ki Sardapa, maupun yang datang bersama paman bungsu Ki Sardapa itu agaknya condong untuk memilih Ki Sardapa agar memenangkan perang tanding itu.
Saudara-saudaranya sendiri yang meskipun disebut pengkhianat, tetapi diajaknya menyaksikan perang tanding itu ternyata tidak berdoa untuknya. Tetapi justru untuk kemenangan Ki Sardapa, jika jalan lain memang tidak dapat ditempuh. Apalagi para saksi yang datang bersama Ki Sardapa itu.
Dalam pada itu Kiai Patah memang merasa kagum kepada Ki Sardapa yang dalam waktu yang terhitung singkat, telah mampu meningkatkan ilmunya cukup jauh. Dengan demikian maka Ki Sardapa itu sama sekali tidak mengecewakan ketika mereka harus beradu ilmu pedang. Meskipun pedang paman bungsunya itu lebih berbahaya, tetapi kemampuan Sardapa mampu melindunginya sehingga kulitnya tidak terkoyak karenanya. Bahkan beberapa saat kemudian, ilmu pedang Ki Sardapa mampu membuat paman bungsunya kadang-kadang kehilangan langkah.
Namun demikian pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu masih belum dapat menduga, siapakah di antara mereka yang akan menang. Bahkan orang-orang berilmu tinggi seperti Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih belum dapat meyakinkan diri mereka bahwa Ki Sardapa akan berhasil. Karena jika ia telah melakukan kesalahan yang kecil saja, maka akibatnya akan sangat parah baginya.
Dengan demikian maka pertempuran itu masih saja berlangsung dengan sengitnya. Keduanya saling menyerang, saling menghindar dan saling mendesak. Sekali-sekali Ki Sardapa harus meloncat mundur beberapa langkah untuk memperbaiki keadaannya, sementara itu pada kesempatan lain, paman bungsunyalah yang harus mengambil jarak karena mengalami tekanan yang sangat berat dari lawannya.
Namun dalam benturan-benturan senjata yang terjadi kemudian, paman bungsunya telah memanfaatkan gerigi-gerigi tajam yang ada pada punggung pedangnya. Sekali-sekali paman bungsunya telah mempergunakan gerigi-gerigi di punggung pedangnya untuk mengguncang pegangan tangan Ki Sardapa, kemudian dengan putaran yang cepat, paman bungsunya berusaha untuk mengoyak kulit lawannya. Tetapi usahanya masih selalu gagal, karena Ki Sardapa mampu bergerak dengan cepat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dari waktu ke waktu, bulan di langit pun bergeser semakin ke Barat. Bayangan randu alas itu pun seakan-akan telah bergerak pula. Dalam perang tanding yang sengit itu, kadang-kadang keduanya telah terlempar pula keluar dari bayangan pohon randu alas. Ternyata bahwa di bawah sinar bulan yang bulat, keduanya merasa lebih jelas dan pasti. Itulah sebabnya, maka keduanya pun kemudian telah berusaha untuk bertempur langsung di bawah cahaya bulan.
Paman bungsu Ki Sardapa dengan sengaja telah menggerak-gerakkan pedangnya yang mengkilap untuk mempengaruhi ketahanan jiwa Sardapa. Setiap kilatan pantulan cahaya bulan, rasa-rasanya memang membuat jantungnya berdesir. Sementara pedang Ki Sardapa sendiri bukannya pedang yang berkilat-kilat seperti pedang pamannya. Tetapi justru pedang yang berwarna kehitam-hitaman. Pedang yang dibuat secara khusus, sebagaimana seseorang membuat sebuah keris yang besar dan tebal.
Namun demikian, sekali-sekali pedang Ki Sardapa itu juga berkilau memantulkan cahaya jika sinar bulan tepat mengenai butir-butir logam pilihan yang dibuat bagi pamor pedangnya itu. Justru pantulan cahayanya yang tidak selalu nampak itu kadang-kadang justru mengejutkan. Apalagi cahaya yang terpantul itu kadang-kadang berwarna hijau, kadang-kadang merah dan kadang-kadang biru.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang berperang tanding itu ternyata telah mengerahkan segenap kemampuannya dan tenaganya, sehingga betapa pun mereka memiliki ketahanan tubuh, namun setelah keringat mereka membasahi seluruh tubuh dan pakaian mereka, maka perlahan-lahan tenaga mereka pun menjadi susut.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika melihat batas kekuatan Ki Sardapa telah terlampaui. Namun, demikian pula terjadi pada lawannya. Tenaganya pun mulai nampak susut pula. Bahkan ternyata latihan-latihan yang berat dan teratur yang dilakukan oleh Ki Sardapa telah banyak menolongnya. Meskipun tenaganya memang mulai susut, tetapi tidak secepat susutnya tenaga paman bungsunya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berpengharapan. Latihan-latihan yang dilakukan oleh Ki Sardapa dengan bangun pagi, berlari-lari dan latihan pernafasan agaknya telah menolongnya. Nafasnya menjadi lebih panjang dari nafas pamannya. Tetapi untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu masih nampak berbahaya bagi kedua belah pihak. Justru tenaga mereka mulai susut, maka benturan-benturan senjata mulai menjadi kurang terkendali.
Karena itu, maka justru kemudian, ujung pedang kedua orang yang sedang bertempur itu telah mampu menggapai tubuh lawannya. Meskipun paman bungsu itu tidak berhasil menyentuh kulit Ki Sardapa dengan punggung pedangnya, namun tajam pedangnya benar-benar telah mampu melukai kulit pamannya. Namun dalam pada itu, ujung pedang Ki Sardapa pun telah menggores lengan paman bungsunya. Tetapi ternyata bahwa titik-titik darah itu seakan-akan telah memacu kembali pertempuran yang mulai mengendor itu.
Namun betapa kemarahan menghentak-hentak di dalam dada mereka, mereka tetap berada dalam keterbatasan tenaga mereka. Itulah sebabnya, maka untuk beberapa saat kemudian, senjata-senjata itu telah beberapa kali mengenai sasaran. Lukapun menjadi semakin banyak tergores di kulit dan mengoyakkan daging. Paman bungsu Ki Sardapa itu menggeram ketika justru dadanya telah tergores senjata pula. Namun demikian, lambung Ki Sardapa pun sudah mulai berdarah meskipun lukanya tidak begitu dalam.
Darah yang menitik itu membuat tenaga mereka berdua menjadi semakin susut. Tetapi ternyata bahwa kecepatan gerak Ki Sardapa yang didukung dengan daya tahannya yang lebih baik, mampu menggoreskan luka lebih banyak di tubuh paman bungsunya. Darah pun lebih banyak mengalir dari tubuh paman bungsunya itu. Tetapi kobaran api kemarahan pun lebih besar pula menyala di dadanya. Namun karena itu, maka paman bungsu itu telah memaksa diri dan bergerak lebih banyak untuk mengimbangi tenaga Ki Sardapa yang masih lebih baik daripadanya. Tetapi dengan demikian, maka darah pun menjadi semakin banyak mengalir dari tubuhnya.
Ki Sardapa yang melihat keadaan paman bungsunya itu pun kemudian berkata, “Paman, apakah kita yang sudah terluka parah seperti ini masih akan melanjutkan perang tanding?”
“Pengecut,” geram pamannya, “aku kira kau laki-laki sejati yang menghargai diri sendiri. Ternyata kau takut melihat kematianmu yang sudah membayang.”
“Apakah kematian itu ada artinya?” bertanya Ki Sardapa.
“Perang tanding harus berlangsung sampai tuntas,” berkata pamannya sambil meloncat menyerang sejadi-jadinya.
Ki Sardapa mulai memperhitungkan keadaan tubuhnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak terlalu banyak membuang tenaganya. Ia hanya berusaha untuk menangkis dan menghindari serangan. Hanya pada saat-saat yang meyakinkan sajalah ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa untuk menyerang. Tetapi Ki Sardapa tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus melawan serangan-serangan pamannya yang datang seperti banjir bandang, betapa pun kadang-kadang tidak dengan perhitungan yang matang.
Namun akhirnya, pamannya yang telah mengeluarkan darah terlalu banyak itu menjadi sangat lemah. Luka-luka yang silang menyilang telah mengalirkan darah seperti diperas dari tubuhnya. Tetapi betapa dendam telah membakar jantungnya. Ia sama sekali tidak mau menghentikan serangan-serangannya. Ki Sardapa masih mempunyai perhitungan yang mapan. Darahnya pun mengalir dari luka-lukanya. Tetapi tidak sebanyak darah paman bungsunya itu.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mereka menyadari betapa keadaan paman bungsu Sardapa itu menjadi sangat parah. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak mau mengakui akan keadaan dirinya yang sebenarnya.
Pada hentakkan-hentakkan yang dilakukan kemudian oleh paman bungsu itu, seakan-akan telah memeras titik-titik darahnya yang terakhir. Karena itu, ketika ia masih memaksa diri untuk menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya telah kehilangan keseimbangan. Mata paman bungsu Ki Sardapa itu menjadi kabur. Cahaya bulan yang bulat itu telah menjadi buram. Tubuhnya bagaikan menggigil kedinginan.
Beberapa saat ia masih bertahan. Tetapi ketika sekali lagi ia mencoba untuk melangkah mendekati Sardapa yang menjadi tidak jelas lagi dalam tangkapan matanya yang kabur, maka orang itu menjadi terhuyung-huyung. Bahkan akhirnya ia tidak dapat bertahan lagi dan akhirnya jatuh terjerembab. Paman bungsu Sardapa itu masih menggeliat. Tetapi tubuhnya telah menjadi sangat lemah.
Dalam pada itu, beberapa orang saudaranya berlari-lari mendekatinya. Mereka berjongkok mengitarinya. Yang tertua di antara mereka pun telah mengangkat kepala adik bungsunya itu sambil berdesis, “Bagaimana keadaanmu?”
Saudaranya yang bungsu itu pun berdesis, “Apakah Sardapa sudah mati?”
Saudaranya yang sulung menjadi ragu-ragu. Tetapi seorang di antara saudaranya menyahut, “Ya. Sardapa sudah mati.”
“Ooo,” yang bungsu itu menarik nafas dalam-dalam, “tugasku sudah selesai.”
“Kau akan diobati,” berkata yang tertua.
“Tidak ada gunanya,” desisnya. Nafasnya menjadi semakin terengah-engah, “anak iblis itu sudah melukai aku. Tetapi akhirnya aku berhasil membunuhnya pula.”
“Ya. kau berhasil,” jawab salah seorang saudaranya.
Nafas saudaranya yang bungsu itu menjadi semakin sendat. Namun akhirnya ia menghentakkan tenaganya yang penghabisan untuk berteriak, “Sardapa sudah mati. Lihat, aku telah membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Suara itu pun kemudian lenyap. Suasana pun menjadi hening diam.
Saudara tertua di antara mereka itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sardapa, maka dilihatnya Ki Sardapa masih berdiri tegak. Di belakangnya berdiri orang-orang yang datang sebagai saksinya dalam perang tanding itu. Perlahan-lahan saudara tertua itu bangkit berdiri setelah meletakkan kepala adiknya yang bungsu. Selangkah demi selangkah ia mendekati Ki Sardapa yang masih berdiri tegak.
“Kaulah yang telah menyelesaikan pekerjaanmu Sardapa,” berkata pamannya tertua, “ternyata aku tidak berhasil mencegahnya. Untunglah bahwa kau telah berhasil meningkatkan ilmumu pula, sehingga kau tidak menjadi korban karenanya.”
“Sebenarnya bukan niatku untuk membunuhnya,” desis Sardapa.
“Aku tahu. Kau sudah berusaha. Kau berkali-kali menawarkan untuk menghentikan perang tanding ini. Tetapi adikku yang bungsu ini tidak mau mendengarkannya. Apa boleh buat,” paman sulungnya itu berhenti sejenak, namun kemudian katanya, “Perhatikan luka-lukamu. Kau akan dapat kehabisan darah seperti paman bungsumu itu.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panonjaya pun berkata pula, “Marilah, kita obati luka-lukamu.”
Ki Sardapa pun kemudian telah bergeser menjauh dan duduk diatas sebuah batu yang besar. Dengan hati-hati Kiai Patah telah memberikan pengobatan untuk sementara, agar darahnya tidak terperas habis dari tubuhnya.
Dalam pada itu, saudara-saudara ibu tiri Ki Sardapa itu pun telah mengerumuni adik bungsunya yang telah mengorbankan nyawanya untuk memuaskan gejolak perasaannya yang mendendam. “Seharusnya ia menyadari, bahwa tidak sepantasnya ia mendendam karena Sardapa tidak pernah melakukan kesalahan,” berkata saudaranya yang sulung.
“Dendam itu agaknya telah didesakkannya sendiri ke dalam perasaannya tanpa sebab, ia pulalah yang mengangankan kesalahan Ki Sardapa itu, dan yang kemudian dinyatakannya sebagai satu kenyataan. Kemudian ia pun mendendam karena kenyataan yang dibuatnya sendiri itu. Dan kesalahan Sardapa yang semu itu telah menyeretnya ke dalam maut,” berkata saudaranya yang lain.
Yang tertua itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Bagaimanapun juga, ia adalah adik kita. Kita wajib menyelenggarakannya dengan sebaik-baiknya.”
“Kita akan membawanya pulang. Kita akan minta diri kepada Sardapa dan kawan-kawannya itu,” berkata saudaranya yang lain.
Demikianlah maka saudara-saudara ibu tiri Sardapa itu pun telah minta diri serta memberitahukan bahwa tubuh adik bungsunya akan dibawanya pulang.
Sardapa yang telah diobati luka-lukanya itu pun berkata dengan nada rendah, “Aku mohon maaf paman. Sekali lagi aku nyatakan, bahwa aku tidak sengaja membunuh.”
“Kami mengerti,” jawab pamannya yang tertua, “kami memang tidak menyalahkanmu. Agaknya hidupnya memang telah sampai ke garis batas. Dan sebab kematiannya telah dibuatnya sendiri.”
Demikianlah beberapa orang paman Sardapa itu pun telah meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh adiknya yang bungsu. Namun dengan demikian yang masih tinggal hidup itu-pun telah melepaskan sengketa di antara mereka. Beberapa orang yang semula seakan-akan terpisah, justru karena tidak mau hidup dan melakukan pekerjaan sebagaimana dilakukan oleh saudara-saudaranya, ternyata telah bersatu kembali. Bukan mereka yang menceburkan diri ke dalam tata cara kehidupan yang suram, tetapi yang lainlah yang seakan-akan telah melihat kembali jalan yang terang.
Namun Sardapa masih sempat minta maaf kepada mereka, bahwa sebagai orang yang lebih muda, seharusnya ia menghormati paman-pamannya itu. Sepeninggal paman-pamannya membawa tubuh paman bungsunya yang terbunuh dalam perang tanding itu, maka Ki Sardapa pun telah bersiap-siap untuk kembali ke padukuhannya. Tetapi ia masih menunggu beberapa saat sehingga keadaan tubuhnya menjadi berangsur semakin baik.
Baru ketika darahnya telah pampat serta tubuhnya tidak lagi terasa lemah sekali, maka Ki Sardapa diiringi oleh beberapa orang telah kembali ke padukuhan. Sebagaimana mereka berangkat, maka mereka pun berusaha untuk tidak banyak diketahui orang. Apalagi karena tubuhnya menjadi lemah dan noda-noda darah yang melekat pada pakaiannya.
Namun Ki Sardapa tidak dapat menyembunyikan keadaannya itu sepenuhnya. Ternyata bahwa para pengawal di halaman rumahnya telah melihatnya, sehingga mereka pun telah mengerumuninya. Mereka pun telah bertanya seperti sungai yang banjir, tanpa ada henti-hentinya. Bahkan sebelum pertanyaan yang terdahulu dijawab, telah diajukan pertanyaan yang lain berturut-turut.
“Biarlah Ki Bekel beristirahat,” berkata Kiai Patah, “ia sangat memerlukannya agar keadaannya berangsur baik.”
“Tetapi apa yang telah terjadi?” bertanya para pengawal.
“Besok Ki Bekel akan menceriterakannya,” jawab Kiai Patah.
Para pengawal itu tidak puas mendengar jawaban Kiai Patah, tetapi mereka tidak dapat mendesak. Mereka hanya melihat dengan termangu-mangu ketika Ki Bekel itu dibawa masuk ke dalam rumahnya. Namun justru karena tidak mendapat jawaban yang pasti, para pengawal telah membuat dugaan-dugaan yang bermacam-macam. Tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa keadaan telah menjadi gawat. Karena itu, maka dua orang di antara mereka telah mengelilingi gardu-gardu di padukuhan itu dan memberitahukan agar mereka meningkatkan kesiagaan mereka.
“Apa yang terjadi?” bertanya para peronda di gardu-gardu.
“Ki Bekel terluka parah,” jawab para pengawal itu, “agaknya hanya karena pertolongan Kiai Patah dan anak-anak muda yang berilmu tinggi itu sajalah maka Ki Bekel telah lepas dari malapetaka.”
“Sudah berapa kali ada usaha untuk membunuh Ki Bekel,” desis salah seorang peronda.
“Nah, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengamankan padukuhan ini? Termasuk Ki Bekel?” berkata salah seorang pengawal, “karena itu, maka kesiagaan perlu ditingkatkan. Jangan memberi kesempatan padukuhan ini mengalami bencana tanpa kita lakukan pencegahan. Kecuali jika kita semuanya sudah berbuat sejauh dapat kita lakukan, bahkan telah kita berikan korban yang terbesar dari milik kita, maka apa boleh buat.”
“Kami akan melakukannya disini,” berkata salah seorang peronda.
“Terima kasih. Tetapi kalian pun harus meronda berkeliling pula untuk mengamati keadaan. Tetapi jangan hanya berdua. Dalam keadaan gawat, segala kemungkinan dapat terjadi. Jangan lupa, siapa yang meronda berkeliling, sebaiknya membawa kentongan kecil yang dapat dipergunakan untuk memberikan isyarat yang dapat didengar dari gardunya masing-masing,” berkata salah seorang di antara para pengawal.
Dengan demikian maka seluruh padukuhan itu pun telah bersiaga menghadapi kemungkinan yang manapun. Anak-anak muda telah meronda berkeliling padukuhan. Bukan saja mereka yang sedang bertugas, tetapi anak-anak muda yang ada di rumah pun telah dibangunkan dan dipanggil untuk datang ke gardu.
Dengan demikian, maka berita tentang keadaan Ki Bekel- pun segera tersebar. Sekelompok anak-anak muda yang dianggap memiliki kelebihan telah dipanggil untuk berjaga-jaga di banjar, karena di banjar telah disimpan harta kekayaan yang besar dari padukuhan itu. Sebagian dari mereka berada di luar banjar, sebagian lagi berada di dalam banjar, sementara yang bertugas ronda malam itu justru berada di luar halaman banjar.
Setiap kali mereka berganti-ganti mengelilingi banjar itu. Baik mereka yang meronda di luar halaman, di halaman dan bahkan yang ada di dalam pun setiap kali telah mengamati setiap sudut dari banjar itu. Setiap ruangan dan bahkan beberapa kali mereka telah menjenguk ke dalam bilik penyimpanan harta benda dan kekayaan padukuhan itu.
Namun sampai fajar menyingsing, tidak terjadi sesuatu yang menggetarkan padukuhan itu. Namun demikian, kegelisahan ternyata sudah mencengkam setiap orang. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga keluarga mereka yang mendengar berita tentang Ki Bekel, namun yang tidak jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.
Itulah sebabnya, maka ketika matahari tertib, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang keluar dari halaman rumah Ki Bekel telah terkejut melihat kesiagaan yang sangat tinggi. Dari anak-anak muda itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat keterangan, bahwa mereka telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, karena ada di antara mereka yang melihat Ki Bekel yang terluka parah, tanpa mendapat keterangan tentang sebab musababnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa agaknya lebih baik untuk memberikan penjelasan tentang satu peristiwa yang dianggap penting daripada menunda-nundanya. Dengan demikian tidak akan mudah timbul salah paham yang barangkali akan dapat mengganggu bagi ketertiban selanjutnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian masih memerlukan kepastian dari Ki Bekel yang berbaring di pembaringannya, apakah mereka dibenarkan untuk memberikan keterangan tentang keadaan ki bekel itu.
“Apakah itu perlu?” bertanya Ki Bekel.
“Ya Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “jika tidak diberikan keterangan tentang yang sebenarnya, maka orang-orang padukuhan ini akan mengarang sendiri, menurut penalaran mereka masing-masing sehingga keterangannya pun kemudian akan menjadi simpang siur.”
Ki Bekel yang masih dalam keadaan yang gawat itu pun memandang Kiai Patah yang termangu-mangu. Namun akhirnya Kiai Patah itu pun berkata, “Sebaiknya memang demikian Ki Bekel. Agar tidak timbul berita yang simpang siur tentang Ki Bekel.”
Ki Bekel itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Berikan penjelasan sebaik-baiknya agar berita yang simpang siur itu tidak membuat penghuni padukuhan ini menjadi gelisah.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan rumah itu. Mereka akan pergi ke banjar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga orang-orang terutama anak-anak muda yang ada di banjar tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan.
Sebenarnyalah ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai di banjar, maka anak-anak muda segera mengerumuninya, termasuk beberapa orang pengawal yang mengikutinya dari halaman rumah Ki Sardapa sendiri, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan memberikan keterangan tentang Ki Bekel di banjar saja.
“Kami tidak ingin membuat rumah Ki Bekel menjadi gaduh, karena Ki Bekel sangat memerlukan kesempatan untuk beristirahat,” jawab Mahisa Murti ketika seorang pengawal menanyakan kepadanya, kenapa keterangan itu tidak diberikan saja di halaman rumah Ki Bekel.
Di banjar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan keterangan kepada orang-orang yang berkumpul di halaman. Keduanya berdiri di pendapa menghadap ke halaman yang penuh dengan orang-orang yang hampir tidak sabar menunggu.
“Ki Bekel telah menyelesaikan perang tanding,” berkata Mahisa Murti yang kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di arena perang tanding dibawah pohon randu alas itu.
“Kenapa Ki Bekel tidak memberitahukan kepada kami sebelum berangkat,” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Ki Bekel tidak ingin membuat padukuhan ini gelisah,” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi jika terjadi sesuatu atas Ki Bekel, kami tidak dapat membantunya,” berteriak seorang anak muda.
“Kalian memang tidak akan dapat membantu,” jawab Mahisa Pukat, “dalam perang tanding yang sudah disepakati, tidak seorang pun yang dibenarkan untuk membantu. Para saksi hanya akan menyaksikan apa yang terjadi. Kedua orang yang telah sepakat untuk berperang tanding, akan menanggung akibat apa pun yang dapat terjadi atas dirinya, kecuali jika ia bukan seorang yang jantan, yang mungkin dengan sengaja ingin menjebak lawannya.”
Beberapa orang termangu-mangu karenanya. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Namun Ki Bekel bukannya turun ke arena perang tanding tanpa perhitungan. Karena itu, maka kita semua wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung, bahwa Ki Bekel telah mendapat kemenangan. Meskipun Ki Bekel terluka parah, namun tidak membahayakan jiwanya. Karena itu, maka Ki Bekel mohon bantuan kalian untuk tetap tenang, agar Ki Bekel pun dapat tenang beristirahat.”
“Orang-orang yang berada di halaman itu pun mengangguk-angguk. Mereka baru jelas atas apa yang telah terjadi dengan Ki Bekel. Agaknya mereka memang tidak perlu mengadakan kesiagaan yang berlebihan. Tetapi tidak ada jeleknya, apabila sekali-sekali mereka mencoba melihat kesiagaan anak-anak muda padukuhan itu.
Dalam pada itu, Ki Bekel pun selalu berada di bawah perawatan Kiai Patah yang juga serba sedikit mengetahui tentang pengobatan. Dengan demikian maka perlahan-lahan keadaannya pun berangsur baik. Luka-lukanya mulai menjadi pampat dan bahkan perasaan sakit tidak lagi terlalu mencengkamnya.
Sementara itu, Ki Bekel telah memerintahkan dua orang bebahu padukuhan itu untuk menghadap Ki Buyut. Para bebahu itu harus melaporkan apa yang telah terjadi atas diri Ki Bekel, agar Ki Buyut tidak menganggapnya bersalah karena Ki Bekel untuk beberapa lama tidak menghadap.
Ki Buyut terkejut mendengar laporan itu. Karena itu, maka ia pun telah memerlukan untuk menengok Ki Bekel yang masih berbaring di pembaringannya.
“Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Buyut,” berkata Ki Bekel ketika Ki Buyut menengoknya.
“Kau tidak memberitahukan sebelumnya kepadaku,” berkata Ki Buyut.
“Aku berjanji untuk berperang tanding. Karena itu, maka aku tidak memberitahukan kepada siapa pun kecuali kepada mereka yang selama ini telah melindungi aku. Kiai Patah dan kedua orang anak muda itu, di samping dua orang pamanku,” jawab Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah Ki Bekel. Satu pengalaman yang sangat berharga bagi Ki Bekel. Jika dalam waktu singkat Ki Bekel mampu meningkatkan ilmu sedemikian jauh, maka untuk waktu yang lama, maka Ki Bekel akan menjadi seorang yang berilmu tinggi.”
Tetapi Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Ada batas yang tidak akan dapat aku tembus. Dan aku bukan seorang yang pantas untuk memiliki ilmu yang tinggi.”
“Kau adalah seorang Bekel,” berkata Ki Buyut, “sudah sepantasnya jika kau menempa diri terus-menerus. Jika kau tidak memerlukannya bagi dirimu sendiri, maka kau harus melindungi rakyatmu dari segala kemungkinan yang buruk. Apalagi di padukuhan ini terdapat sesuatu yang bernilai untuk dipertahankan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut. “Ya Ki Buyut. Aku pun menyadari, bahwa ternyata rakyat padukuhan ini memerlukan perlindungan.”
“Nah, jika Ki Bekel memiliki kemampuan yang tinggi, maka tugasku pun akan menjadi semakin ringan. Aku kira padukuhan-padukuhan lain pun harus berusaha untuk mengalami perbaikan sebagaimana terjadi disini, khusus bagi pemimpin padukuhannya. Kecuali para Bekel yang sudah terlalu tua untuk meningkatkan kemampuannya,” berkata Ki Buyut.
Ki Bekel pun mengangguk-angguk kecil. Ia menyadari, bahwa Ki Buyut adalah bekas seorang prajurit, sehingga perhatiannya memang cukup banyak ditujukan kepada peningkatan kemampuan yang akan banyak berpengaruh terhadap ketahanan padukuhan di dalam lingkungan Kabuyutannya.
Untuk beberapa saat Ki Buyut menunggui Ki Bekel yang masih terbaring. Beberapa lama ia berbincang-bincang dengan orang-orang yang untuk sementara ada di sekeliling Ki Bekel. Sehingga akhirnya Ki Buyut itu pun minta diri. Namun sebelumnya ia masih juga berpesan kepada Kiai Patah, “Aku menitipkan padukuhan ini.”
Kiai Patah tersenyum. Sementara itu Ki Buyut berkata, “Aku memang tidak menitipkannya kepada anak-anak muda itu, karena aku tahu bahwa lambat atau cepat, mereka akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Aku juga,” berkata Kiai Patah.
“Tetapi tidak akan secepat anak-anak muda itu,” sahut Ki Buyut sambil tersenyum.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami mempunyai tugas lain yang segera harus kami tangani. Kami tidak dapat terlalu lama berada di sini.”
Namun Mahisa Pukat telah menyambung, “Kami telah meninggalkan padepokan kami terlalu lama.”
Ki Buyut masih tersenyum. Katanya, “Tetapi satu ketika kalian akan datang lagi ke Kabuyutan ini.”
“Mudah-mudahan Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Tetapi pada saatnya kalian meninggalkan padukuhan ini, aku mohon kalian singgah di rumahku,” berkata Ki Buyut pula.
“Tentu,” jawab Mahisa Murti, “kami akan mohon diri.”
Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke padukuhan induk. Sementara itu, harapannya pun telah tumbuh, bahwa padukuhan-padukuhan di lingkungan Kabuyutannya hendaknya akan mampu dikembangkan. Ki Sardapa akan dapat menjadi contoh, betapa dengan niat yang tinggi, ia mampu meningkatkan kemampuannya. Sementara itu, sejalan dengan peningkatan kemampuannya, kesejahteraan padukuhannya pun telah meningkat pula.
Ternyata bahwa anak-anak muda di padukuhan yang dipimpin oleh Ki Sardapa itu mempunyai gairah kerja yang lebih baik dari padukuhan-padukuhan yang lain. Mungkin hal itu terjadi karena pengaruh keadaan. Justru karena peristiwa yang bergejolak di padukuhan itu, atau mungkin karena kehadiran orang-orang tertentu di padukuhan itu. Namun yang terjadi di padukuhan Ki Sardapa itu tentu akan dapat dikembangkan di padukuhan-padukuhan lain meskipun dengan kadar yang berbeda.
Untuk beberapa hari ternyata Ki Bekel masih harus berbaring di pembaringannya. Sekali-sekali Ki Bekel itu juga turun ke halaman untuk berjalan-jalan agar tubuhnya perlahan-lahan menjadi pulih kembali kekuatannya. Bahkan dalam keadaan sakit pun Ki Bekel masih juga menerima beberapa orang bebahu untuk mengadakan pembicaraan tentang perkembangan padukuhannya.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap pula untuk meninggalkan padukuhan itu. Mereka hanya menunggu sampai keadaan Ki Bekel menjadi baik dan kesehatannya pulih kembali.
Tetapi untuk beberapa lama Kiai Patah memang masih akan tinggal. Kiai Patah yang hampir tidak mempunyai sanak kadang lagi itu, telah menjadi kerasan tinggal di sebuah padukuhan yang pernah menimbulkan malapetaka bagi keluarganya. Namun Kiai Patah rasa-rasanya telah mendapatkan tuntunan untuk menghukum mereka yang bersalah. Ternyata beberapa pihak telah membantunya, bahkan Ki Buyut pun telah mengambil langkah-langkah yang ikut menentukan.
Dalam satu pembicaraan, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menceriterakan tentang rencananya untuk melanjutkan perjalanan, serta keinginannya untuk menyusun kekuatan pada sebuah perguruan baru yang tinggal di sebuah padepokan kecil, maka Kiai Patah pun berkata, “Kau persiapkan perguruanmu pada tataran pertama dengan tujuan kekerasan anak muda.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar kata-kata Kiai Patah itu. Hampir bersamaan keduanya bertanya, “Kenapa Kiai?”
“Rencana kalian yang pertama-tama adalah menyusun kekuatan. Bukan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin para penghuni padepokan itu serta menyusun tata kehidupan yang wajar,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Bukankah aku serba sedikit juga pernah mengutarakan rencana ini kepada Kiai?”
“Ya. Tetapi aku belum merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan tanggapanku atas rencana kalian itu,” jawab Kiai Patah, “tetapi sekarang, ketika suasana sudah menjadi jernih, aku baru dapat menyebutkannya.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kiai. Kami bukan manusia-manusia linuwih yang memiliki derajad melampaui orang kebanyakan. Karena itu, maka kami masih berpijak pada naluri bahwa kita berhak untuk mempertahankan diri dan bahkan merupakan bagian dari usaha mempertahankan jenis mahluk yang disebut manusia. Itulah sebabnya, maka kami masih juga memperhitungkan kekuatan bagi padepokan kami. Menurut pengalaman kami, tanpa kekuatan itu, maka padepokan kami akan dapat hapus dari tanah ini.”
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah menyusun kekuatan bukan berarti salah satu wajah dari pertentangan dan kekerasan?”
“Sebagaimana Kiai alami, demikian pula pengalaman kami. Seandainya Kiai tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri, maka Kiai sudah tidak ada lagi sekarang ini. Atau barangkali Ki Bekel yang lama masih tetap memegang pimpinan dan memiliki kekayaan yang tidak sah,” berkata Mahisa Pukat.
“Sementara itu, ternyata bahwa kemampuan Kiai menjadi sangat berarti pada saat-saat Ki Sardapa menegakkan kedudukannya di padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti pula.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Kiai. Sebenarnya kami memerlukan satu cara untuk mempertahankan diri.”
“Apakah dengan kekuatan kalian tidak berniat untuk memperluas kekuasaan kalian?” bertanya Kiai Patah.
“Kiai,” jawab Mahisa Murti, “ternyata meskipun Kiai Patah mampu melakukannya, ternyata Kiai Patah tidak tergoda untuk memiliki kembali harta kekayaan yang telah ada di padukuhan ini. Kiai yang mampu melakukannya, ternyata juga tidak bernafsu untuk menguasai dan bertindak semena-mena atas orang-orang padukuhan ini. Bukankah dengan demikian ada perbedaan antara seseorang yang satu dan lainnya, meskipun keduanya memiliki kekuatan? Ki Bekel yang lama dengan kekuatannya telah membunuh dan merampok. Tetapi Kiai Patah dengan kekuatannya telah membangun kembali padukuhan ini menjadi padukuhan yang jernih.”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Patah.
“Semuanya tergantung kepada manusianya, Kiai. Ilmu adalah kekuatan. Yang mempergunakan kekuatan itu adalah manusia. Karena itu, manusia di belakang kekuatan itulah yang akan menentukan segala-galanya,” jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Bagus. Jawaban itulah yang aku tunggu. Sebenarnya aku tidak menentang rencana kalian. Tetapi aku ingin mendengar apakah yang melandasi usaha kalian untuk menyusun jenjang kekuatan di padepokanmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun keduanya pun kemudian mengangguk-angguk kecil.
“Anak-anak muda,” berkata Kiai Patah, “landasan kejiwaan itulah yang memang harus disusun kuat-kuat lebih dahulu didalam diri manusia yang akan membina kekuatan itu. Karena pada dasarnya adalah manusia itulah yang akan mempergunakan kekuatan menurut niatnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menjawab.
“Nah, jika demikian, maka pantaslah apa yang akan kalian lakukan. Ternyata bahwa kalian adalah anak Mahendra yang mewarisi bukan saja kemampuan dan ilmu ayahnya, tetapi juga landasan kejiwaannya itu,” berkata Kiai Patah selanjutnya. Kemudian katanya dengan nada perlahan-lahan, “Aku akan berusaha untuk membantu kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dipandanginya wajah Kiai Patah dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang bertanya, “Bantuan apa yang dapat Kiai berikan kepada kami untuk menemukan orang yang pantas kami percayai untuk mengisi jenjang kepemimpinan di padepokan kami? Untuk beberapa lama kami telah mencari. Baik di antara orang-orang kami sendiri, maupun orang-orang yang pernah kami jumpai, bahkan anak-anak muda, remaja atau kanak-kanak sekalipun. Namun kami belum merasa pernah menemukannya.”
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku memang akan membantu. Sekedar membantumu. Tetapi aku pun tidak pasti, bahwa dengan bantuanku itu kalian benar-benar dapat berhasil.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Patah berkata, “Kalian masih muda. Kalian berdua masih mempunyai banyak kesempatan untuk meningkatkan ilmu kalian yang bersumber dari banyak perguruan. Kau menyadap ilmu Mahendra, Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan mungkin beberapa orang lagi. Jika kemudian kalian ingin menyusun jenjang kepemimpinan di padepokan kalian sejak awal, maka kau harus mengambil anak-anak muda atau remaja yang lebih muda lagi dari kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyahut, “Ya Kiai Kami ingin menemukan anak-anak muda seumur adik kami. Kami akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk membinanya.”
“Nah,” berkata Kiai Patah, “jika demikian bertanyalah kepada ayahmu.”
“Kepada ayah?“ Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya hampir berbareng.
Kiai Patah pun kemudian tertawa. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Waktu kami berangkat, kami telah minta diri kepada ayah. Tetapi ayah tidak pernah mengatakan apa-apa.”
Kiai Patah masih saja tertawa. Katanya kemudian, “Tentu ayah kalian melepaskan kalian tanpa memberikan pesan apa-apa. Aku kenal sifat Mahendra. Ia tentu ingin mencoba sejauh mana kalian mampu melakukan tugas yang kalian bebankan atas pundak kalian sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, maka tidak sebaiknya kami kembali dan justru bertanya kepada ayah, apa yang sebaiknya harus kami lakukan.”
“Kami akan kembali jika kami telah berhasil menemukan apa yang kami cari,” sambung Mahisa Pukat.
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku yakin bahwa ayah kalian akan dapat menentukan, kepada siapa kalian harus datang untuk menemukan orang-orang yang kalian cari itu.”
Tetapi kedua orang anak muda itu justru menggeleng. Sementara Mahisa Murti berkata, “Terima kasih Kiai. Kami akan meneruskan pengembaraan kami.”
“Tetapi bagaimana dengan padepokan dan perguruan kalian yang sampai saat ini justru ditunggui oleh ayah kalian? Bukankah dengan demikian ayah kalian tidak sempat untuk melakukan tugasnya?” berkata Kiai Patah.
“Ayah sudah terlalu tua untuk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa batu-batu berharga dan wesi aji. Karena itu, maka ayah perlu banyak beristirahat. Di padepokan itu, ayah mendapat kesempatan beristirahat,” sambung Mahisa Murti.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah pula ia bertanya, “Kalian akan pergi ke mana?”
“Kami tidak dapat mengatakan, kami akan pergi ke mana?” jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah termenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Jika kalian baru akan kembali setelah kalian berhasil, maka jika kalian bersedia singgahlah barang sejenak ke Banyusasak. Bukan apa-apa. Aku hanya akan berpesan agar kalian sampaikan berita keselamatanku.”
“Banyusasak,” desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbareng.
Sementara Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Di manakah letak Banyusasak itu?”
“Di sebelah padang Karautan. Kau akan menjumpai sebuah padukuhan yang terhitung baru. Jika kalian menempuh jalan dari padang Karautan ke Singasari, maka sebuah padukuhan baru namun telah berkembang bernama Banyusasak. Kau dapat bertemu dengan seorang yang telah berusia lanjut, seorang yang cikal bakal padukuhan itu. Namanya Kiai Nagateleng,” berkata Kiai Patah.
“Apa yang harus aku katakan kepada Kiai Nagateleng?” bertanya Mahisa Pukat.
“Katakan kepadanya, bahwa kalian telah bertemu dengan aku. Aku tidak mengalami sesuatu. Tetapi aku masih kerasan di perantauan. Aku baru akan kembali jika langit menjadi masak,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya, “Apakah yang Kiai maksud dengan langit menjadi masak? Istilah itu tidak sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari.”
“Jangan lupa. Ucapkan ungkapan itu. Jika kau tidak mengatakannya, maka Kiai Nagateleng tidak akan percaya bahwa kau memang pernah bertemu dengan aku dalam pengembaraan kalian,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka yang pernah bekerja dalam tugas sandi itu pun segera mengetahui, bahwa mereka harus mengucapkan kata-kata sandi.
“Baiklah Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami akan singgah ke rumah Kiai Nagateleng. Seandainya kami tidak berniat pergi ke padang Karautan, maka kami akan memerlukannya. Padang Karautan sekarang sudah tidak segarang beberapa tahun yang lalu.”
Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Padang Karautan sudah mengalami banyak sekali perubahan. Usaha beberapa orang untuk menaikkan air ternyata besar sekali manfaatnya. Orang-orang yang tergeser dari padukuhan Panawijen sebagian telah membuka daerah di padang ini menjadi daerah persawahan yang subur. Usaha itu telah berkembang dan beberapa orang dari padukuhan lain pun telah melakukan hal yang sama di bagian-bagian yang terpisah. Meskipun padang Karautan masih cukup luas, tetapi padang Karautan akan segera berubah menjadi taman yang ramai.”
“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan pengembaraan kami. Disini ternyata kami telah berhenti terlalu lama.”
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tetapi kalian berdua telah menyelamatkan padukuhan ini dari kehancuran.”
“Bukan aku, tetapi Kiai sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
Kiai Patah justru tertawa. Katanya, “Sudahlah. Siapa pun yang melakukannya. Padukuhan ini sekarang harus membenahi dirinya. Ki Buyut menganggap padukuhan ini justru akan dapat menjadi contoh bagi padukuhan yang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Pada kesempatan lain kami akan datang lagi ke padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap. Mereka telah menemui Ki Buyut untuk minta diri.
“Kami minta kalian tidak melupakan Kabuyutan ini,” minta Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Kami masih ingin singgah lagi di Kabuyutan ini. Pada suatu saat tentu kami lakukan.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Kami selalu mengharapkan kehadiran kalian pada suatu saat.”
Demikianlah, pada satu pagi yang cerah, kedua anak muda itu telah meninggalkan padukuhan yang pernah mengalami goncangan yang hampir meruntuhkan sendi-sendi martabat kemanusiaan itu.
“Sardapa,” berkata Pamannya yang tertua, “sejak kau meninggalkan kami, maka kami mulai berpikir tentang persoalan yang sedang kita hadapi. Ternyata bahwa jalan pikiran kami telah berkembang,” pamannya itu berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana Ki Panonjaya?”
“Paman Panonjaya sedang keluar sebentar Paman. Ke pasar. Ada sesuatu yang hendak dibelinya,” jawab Ki Sardapa.
“Tetapi ia masih berada di padukuhan ini?” bertanya pamannya itu.
“Ya. Aku mohon Paman Panonjaya tinggal disini untuk beberapa lama. Rasa-rasanya aku memerlukannya. Di dekat paman Panonjaya aku merasa di dekat ayahku sendiri,” jawab Sardapa.
Paman tertuanya mengangguk-angguk. Sementara itu pamannya yang lain berkata, “Ki Panonjaya adalah adik ayahmu. Sepantasnya kau merasa dekat dengannya.”
Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin memang demikian,” namun dalam pada itu, ia pun segera bertanya, “Tetapi apakah maksud paman datang kemari?”
Paman tertuanya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada baiknya hal yang ingin aku katakan kepadamu didengar oleh Ki Panonjaya. Tetapi jika tidak, maka ada dua orang saksi yang lain yang ada di sini.”
Ki Sardapa di luar sadarnya telah berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Jadi Paman memerlukan saksi?”
“Bukan saksi, maksudku biarlah ada orang lain yang ikut mendengarkan pernyataan kami,” jawab pamannya yang tertua.
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia sudah dapat meraba, apa yang ingin dikatakan oleh pamannya. Sebenarnyalah paman-pamannya itu telah menyatakan penyesalan mereka atas tingkah laku mereka. Dengan suara serak pamannya yang tertua berkata,
“Sardapa. Kami datang untuk minta maaf. Sebenarnyalah bahwa kami tahu apa yang telah terjadi sebagaimana kau katakan. Kamilah yang telah membuat ceritera bagi kepentingan kami sendiri agar kami dapat berbuat sesuatu atasmu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku juga sudah mengira Paman. Tetapi seperti yang Paman ketahui, bahwa aku masih mempunyai kepercayaan bahwa Paman pada suatu saat akan menyadari bahwa apa yang telah terjadi bukannya cara yang terbaik untuk mencari penyelesaian.”
“Kau benar Sardapa. Dan apa yang kau duga itu memang telah terjadi pada diri kami. Kami memang telah menyadari apa yang terjadi. Dan kami datang atas nama saudara-saudaraku, paman-pamanmu, untuk minta maaf,” berkata pamannya yang tertua.
Ki Sardapa memandang ketiga pamannya seorang demi seorang. Ternyata wajah mereka yang semula tegang, telah berubah. Kerut di dahi tidak lagi nampak terlalu dalam. Rasa-rasanya sebagian beban yang menyesak didalam dada mereka telah diletakkan.
“Paman,” berkata Ki Sardapa kemudian, “kedua anak muda ini memang pantas disebut saksi. Jika paman-paman dengan ikhlas menyatakan penyesalan, maka bagiku pernyataan itu merupakan satu kurnia bagiku. Dengan demikian persoalan kita akan selesai dengan cara sebagaimana aku inginkan.”
“Kami berkata sebenarnya Sardapa,” berkata yang tertua, “jika niat ini tidak lahir dari keikhlasan hati kami, maka kami tidak akan datang kemari. Jika hal ini semata-mata karena perasaan takut, maka itu tidak akan kami lakukan. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut sampai batas mati sekalipun. Tetapi yang kami lakukan adalah karena perkembangan kesadaran kami menghadapi persoalan yang telah terjadi. Dengan demikian maka kami telah datang kepadamu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Suaranya pun kemudian merendah, “Terima kasih Paman. Dengan demikian maka persoalan di antara kita sudah dapat kita anggap selesai. Hubungan kita akan tetap sebagaimana sebelumnya. Meskipun aku kemudian mengetahui bahwa orang yang aku anggap ibuku itu adalah seorang ibu tiri, namun aku tidak pernah menganggap paman-paman semuanya bukan pamanku sendiri.”
“Aku pun berterima kasih kepadamu jika kau masih tetap menganggap kami sebagai paman-pamanmu Sardapa. Kami akan melupakan apa yang pernah terjadi. Kami pun tidak akan pernah menganggap bahwa kau bukan anak saudara perempuanku. Kau akan kami anggap sebagai kemanakan kami sepenuhnya.”
“Mudah-mudahan sikap kami masing-masing tidak akan berubah. Selama ini kami telah dipisahkan justru karena sikap ibu dan pandangan paman-paman yang salah terhadap keadaan,” berkata Ki Sardapa.
“Aku mengerti,” jawab pamannya yang tertua, “aku pun berharap bahwa di hari-hari mendatang hubungan kita menjadi semakin baik.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan penuh harap ia berkata, “Hanya kitalah yang dapat memperbaiki keadaan ini. Dan kita masing-masing telah berniat berbuat demikian.”
Namun dalam pada itu, Ki Sardapa masih melihat sesuatu yang belum terucapkan pada paman-pamannya. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun keragu-raguan masih saja membayang di wajah mereka. Karena itu maka Ki Sardapa pun kemudian bertanya,
“Paman. Apakah masih ada sesuatu yang belum terkatakan? Aku kira jika kita memang ingin memperbaiki hubungan kita sepenuhnya, maka kita akan lebih terbuka. Bahwa Paman masih nampak ragu-ragu agaknya membuat aku ragu-ragu pula.”
Pamannya yang tertua menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Memang masih ada keragu-raguan yang terselip di dalam hatiku. Betapa pun kami benar-benar berniat untuk membuka diri dalam hubungan kita, tetapi ternyata bahwa masih harus ada persoalan yang perlu mendapat perhatian kita.”
“Jika memang penting, aku persilahkan paman mengatakannya,” minta Ki Sardapa.
Ketiga orang pamannya itu masih saja nampak ragu-ragu. Beberapa kali mereka saling berpandangan. Namun kemudian yang tertua itu pun beringsut sejengkal, seakan-akan ingin mencari kekuatan di tempat duduknya untuk mengatakan persoalan yang masih tersisa di dalam dirinya.
“Sardapa,” berkata pamannya yang tertua dengan nada datar, “betapa pun kami berusaha untuk mengakhiri pertentangan yang ada di antara kami, keluarga ibumu yang ternyata adalah ibu tirimu dengan kau, namun kami tidak dapat berhasil sepenuhnya.”
“Apakah yang Paman maksudkan?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu agaknya tidak sejalan dengan pikiran kami. Kami sudah berusaha untuk menjelaskan beberapa masalah yang selama ini telah membuat jarak di antara kita. Kami pun telah berusaha untuk melihat kedalam diri kami sendiri, bahwa apa yang kami tuduhkan kepadamu semata-mata karena khayalan yang kami bangunkan sendiri. Namun pamanmu yang bungsu itu telah terlanjur terpancang pada khayalan itu sendiri. Ia tidak dapat bergerak surut untuk mengakui kebenaran. Tetapi ia tetap pada sikapnya. Khayalan yang berhasil kita bangunkan itu, merupakan kenyataan baginya. Kenyataan yang telah disusunnya sendiri dan kemudian diyakininya,” berkata saudaranya yang tertua.
“Jadi Paman masih tetap mendendam?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu,” jawab pamannya yang lain, “memang ada beberapa kemungkinan yang memaksanya untuk tetap pada pendiriannya. Demikian tajamnya ia mengukir khayalan itu di dalam hatinya sehingga khayalan yang kita susun bersama itu merupakan satu kenyataan baginya, atau memang ada pamrih lain yang membayanginya. Mungkin harta benda peninggalan kakakmu yang masih ada di rumah ini, atau barangkali dendamnya kepada ayahmu yang masih belum terhapuskan.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi masih saja ada kabut yang meliputi kehidupan kami disini.”
“Itulah yang mengusik hati kami,” berkata pamannya yang lain, “karena itu, maka kami perlukan untuk dengan segera datang kepadamu. Demikian tenaga kami perlahan-lahan tumbuh kembali, maka kami telah sepakat untuk menemuimu dan menyampaikan pesan ini kepadamu.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga, Paman itu akan dapat berbuat banyak. Tentu ia tidak akan berdiri sendiri. Sebagaimana itu telah mengupah beberapa orang untuk membunuhku, maka paman bungsu itu akan dapat melakukannya pula.”
“Itulah agaknya yang akan dilakukannya,” berkata pamannya yang tertua, “pamanmu itu sendiri masih belum banyak mendalami ilmu. Bahkan kami semua tidak berdaya melawan anak-anak muda itu, sehingga justru kekuatan kami telah dihisapnya sampai habis. Tetapi aku berpendapat, sebagaimana pamanmu yang bungsu bahwa anak-anak muda itu tidak akan berada di padukuhan ini untuk seterusnya. Saat-saat itulah yang ditunggu oleh pamanmu itu.”
“Terima kasih paman,” berkata Ki Sardapa, “aku akan memperhatikannya. Aku kira masih ada waktu bagiku untuk mempersiapkan diri.”
Saudara tertua di antara ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Apakah Ki Panonjaya akan bermalam di pasar? Kenapa ia masih belum kembali?”
“Paman menunggui pesanannya pada pande besi yang nampaknya akan diselesaikan pada hari ini sampai tengah malam sekalipun,” jawab Ki Sardapa.
Paman tertuanya mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya pula, “Apakah yang dipesannya?”
Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Di sudut pasar itu terdapat seorang pande besi. Bukan saja pande besi seperti kebanyakan. Tetapi pande besi itu memiliki kemampuan membuat senjata. Paman Panonjaya sedang membuat sebuah luwuk yang dikerjakannya sendiri bersama-sama dengan pande besi itu.”
Saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Ternyata ia masih juga seorang yang sibuk dengan berbagai jenis senjata, ia mempunyai banyak persamaan dengan ayahmu Sardapa.”
“Agaknya memang demikian,” jawab Ki Sardapa.
“Karena itu Sardapa,” berkata pamannya yang tertua, “aku tidak dapat menunggunya. Aku tidak tahu kapan ia pulang.”
Sardapa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi Paman akan segera kembali?”
“Ya. Kami harus segera kembali,” jawab pamannya itu, “mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk membujuk pamanmu yang bungsu.”
“Aku mohon paman bertiga bermalam barang semalam. Besok paman bertiga dapat berangkat pagi-pagi di saat matahari terbit.” minta Ki Sardapa.
Tetapi pamannya tertua tersenyum. Katanya, “Terima kasih Sardapa. Kami masih tetap petualang-petualang yang lebih senang berjalan malam. Masih terbiasa bagi kami, betapa tenangnya melangkah dalam kegelapan. Seakan-akan terjauh dari segala mara bahaya, kecuali jika kami dengan sengaja datang menggapainya.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya ketiga pamannya itu tidak lagi dapat dicegahnya. Mereka benar-benar minta diri. Bahkan makan pun mereka tidak bersedia menunggu, selain hanya meneguk air panas dan beberapa potong makanan.
Di regol halaman paman tertua itu masih berpesan, “Hati-hatilah dengan paman bungsu. Secara pribadi ia masih belum terlalu berbahaya. Ilmunya masih belum berkembang sama sekali, kecuali sedikit pengalaman benturan-benturan kekerasan yang kasar. Hanya bersama-sama dengan kami, pamanmu dapat ikut bermain dalam pusaran. Tetapi landasan ilmu itu hampir tidak ada padanya. Meskipun demikian, ia dapat mengupah orang untuk kepentingan itu.”
“Aku akan selalu mengingatnya Paman,” jawab Ki Sardapa.
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka menyusup masuk ke dalam kegelapan. Agaknya ketiganya segan untuk berjalan melalui gardu-gardu penjagaan, karena mereka sadar, bahwa dengan demikian mereka harus menjawab segala macam pertanyaan yang dapat menghambatnya.
Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan lain. Sebagai petualang maka mereka dapat menyusup dari halaman ke halaman yang gelap. Kemudian meloncati dinding keluar dari padukuhan itu.
Sementara itu maka Ki Sardapa yang ditinggalkan oleh ketiga orang pamannya dengan berbagai pesan itu memang menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak menjadi ketakutan seandainya pamannya itu mengupah orang selama Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ada di padukuhan itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan untuk seterusnya berada di padukuhan itu.
Namun demikian Ki Sardapa tidak mengatakan kegelisahannya itu. Ia berusaha untuk tetap bersikap tenang dan tidak gugup menghadapi persoalan yang dapat berkembang semakin gawat baginya justru saat-saat paman-pamannya menyadari keadaan.
Ketika mereka kembali ke pendapa, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk meyakinkan kepada Ki Sardapa, bahwa mereka tentu akan dapat mengatasinya seandainya pamannya yang bungsu itu benar-benar akan melakukan tindakan yang licik terhadapnya.
Tetapi dengan jujur Ki Sardapa kemudian berkata, “Anak-anak muda. Mungkin aku akan dapat mengatasi kesulitan yang bakal datang dengan bantuan kalian dan Kiai Patah. Tetapi orang yang licik itu akan menunggu dengan kesabaran seekor harimau menunggui buruannya yang memanjat sebatang pohon.”
Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Jangan risaukan itu sekarang Ki Bekel. Mungkin besok atau lusa kita akan menemukan cara yang paling baik.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan beristirahat. Sementara itu, aku sadari bahwa aku tidak akan dapat menggantungkan diri kepada kalian dan Kiai Patah yang pada suatu saat akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Mudah-mudahan kita menemukan jalan,” berkata Mahisa Murti, “namun sudah barang tentu bahwa pada saat kami akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Kami pun harus mampu mencapai satu keadaan, bahwa kami dapat berdiri tegak sendiri tanpa perlindungan orang lain,” berkata Ki Sardapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Mereka pun sependapat, bahwa sebagai seorang Bekel, maka Ki Sardapa tidak akan dapat menggantungkan diri dalam perlindungan orang lain terus-menerus. Namun demikian, maka mereka pun akhirnya telah masuk ke dalam bilik mereka masing-masing untuk beristirahat.
Tetapi sebelum mereka sempat tertidur, maka pintu pringgitan rumah Ki Sardapa itu telah diketuk orang dengan keras. Terasa betapa orang yang mengetuk pintu itu tergesa-gesa dan gelisah.
“Siapa?” bertanya Ki Sardapa yang terbangun.
“Aku Ki Bekel,” jawab seseorang, “peronda.”
“Ada apa kau membangunkan aku malam-malam begini?” bertanya Ki Sardapa pula.
Peronda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia berpaling dan dilihatnya keadaan yang gawat dan seseorang yang terluka parah, maka ia pun menjawab, “Ada sesuatu yang penting Ki Bekel. Ada tamu yang dalam keadaan gawat.”
Ki Bekel memang menjadi berdebar-debar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun pula oleh suara itu. Mereka pun kemudian telah keluar pula dari bilik dan menghampiri pintu bersama-sama dengan Ki Bekel. Dalam keragu-raguan Ki Bekel memandang kedua anak muda itu berganti-ganti. Hampir bersamaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Ki Bekel mengerti, bahwa keduanya sependapat, agar pintu memang sebaiknya dibuka. Dengan hati-hati Ki Bekel pun kemudian telah mengangkat selarak. Dengan cepat ia bergeser mundur, sementara itu, pintu pun telah terbuka perlahan-lahan didorong dari luar.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bekel setelah ia melihat bahwa seorang peronda berdiri dengan gelisah di depan pintu.
Peronda itu pun kemudian menunjuk ke pendapa, sehingga Ki Bekel, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah beringsut ke luar pintu. Ternyata mereka terkejut bukan kepalang. Mereka melihat Ki Panonjaya berjongkok sambil memegangi tubuh yang lemah dan bersandar pada Ki Panonjaya itu.
“Paman,” Ki Sardapa hampir berteriak.
Tubuh yang lemah dan terluka di tangan Ki Panonjaya itu adalah adik ibu tiri Ki Sardapa yang telah datang sebelumnya untuk memberitahukan keadaan saudara-saudaranya yang lain yang sedang marah dan mendendam Ki Sardapa pada waktu itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Sardapa, “apakah ketiga orang paman yang lain telah melakukan hal ini atas paman?”
Orang yang terluka itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Panonjaya berkata, “Aku menemukannya di jalan di luar regol padukuhan ini.”
“Tetapi apa yang telah terjadi atasnya?” bertanya Mahisa Pukat bertanya dengan cemas.
Ki Panonjaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku sedang berjalan kembali ke rumah ini dari rumah pande besi yang membantuku membuat luwuk itu. Aku menemukannya dalam keadaan sangat letih.”
Dalam pada itu, Ki Sardapa telah memerintahkan seorang peronda untuk mengambil air bersih di dapur. Dengan hati-hati maka orang yang terluka itu telah dibaringkan diatas tikar pandan. Dengan cermat Ki Sardapa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengamati luka-luka di tubuh orang itu. Agaknya luka-lukanya tidak disebabkan oleh senjata tajam, tetapi oleh senjata tumpul. Bahkan mungkin hanya dengan sepotong kayu atau alat pemukul yang lain. Setelah minum seteguk, maka orang itu agaknya menjadi lebih tenang. Nafasnya pun menjadi lebih teratur sehingga ia mulai dapat diajak berbicara.
“Paman,” desis Ki Sardapa, “apa yang telah terjadi? Apakah tiga orang paman termasuk paman tertua telah melakukannya hal ini?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian masih sambil menyeringai menahan sakit ia bertanya, “Di mana kau bertemu dengan pamanmu tertua?”
“Baru saja paman bertiga datang kemari,” jawab Sardapa.
“Apa yang mereka katakan?” bertanya pamannya yang terluka itu pula.
“Paman tertua dan dua orang paman yang lain menyatakan penyesalannya. Tetapi apakah hal itu benar-benar diucapkan dengan jujur atau sekedar mengelabui kami. Aku tidak tahu pasti. Apalagi jika Paman tertua itu telah melakukan hal ini atas paman,” berkata Ki Sardapa dengan nada berat.
Tetapi pamannya yang terluka itu menggeleng lemah. Katanya, “Bukan mereka. Sardapa.”
“Lalu siapa?” bertanya Sardapa.
“Pamanmu yang bungsu,” desis orang yang terluka itu.
“Paman yang bungsu?” ulang Sardapa dengan nada tinggi.
“Ya. Pamanmu yang bungsu telah mengambil aku dari rumahku. Aku kira ia tidak akan dapat memaksaku jika ia datang seorang diri. Tetapi ia membawa lebih dari lima orang kawan yang tidak aku kenal. Mereka memaksaku untuk pergi ke padukuhan ini. Tetapi mereka telah menyakiti aku di luar padukuhan,” jawab pamannya yang terluka itu.
“Jadi Paman yang bungsu telah menyakiti Paman dengan cara yang licik itu?” bertanya Ki Sardapa.
“Ya. Sudah tentu dengan harapan, bahwa kau atau orang-orangmu akan menemukan aku dan membawa aku kepadamu. Ternyata bahwa pamanmu yang bungsu itu telah memberikan pesan kepadaku,” berkata pamannya yang terluka.
“Pesan apa?” bertanya Ki Sardapa.
“Pada suatu saat, pamanmu yang bungsu itu akan datang kepadamu. Pamanmu yang bungsu ingin membunuhmu. Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki,” berkata pamannya yang terluka.
“Lalu apa maksudnya?” bertanya Ki Sardapa.
“Pamanmu akan menantangmu dalam perang tanding,” berkata pamannya yang terluka itu.
Ki Sardapa menggeram. Katanya, “Kenapa ia tidak datang sendiri? Kenapa ia harus menyakiti paman dengan cara yang licik seperti ini?”
“Pamanmu yang bungsu juga menjadi sakit hati karena aku telah mengunjungimu,” jawab pamannya itu.
Ki Bekel menggeretakkan giginya. Kemarahan telah menyala semakin besar didalam dadanya. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Kapan paman yang bungsu itu akan datang? Aku menjadi tidak sabar lagi.”
“Aku tidak tahu kapan ia datang Sardapa,” jawab pamannya yang terluka, “tetapi menurut pendengaranku yang mulai kabur waktu itu, ia akan mematangkan ilmunya sebelum ia akan turun ke gelanggang.”
“Baik,” geram Sardapa, “aku akan menunggu, kapan ia akan datang. Aku bukan betina yang akan menjadi ketakutan mendengar tantangannya.”
“Tenanglah,” berkata Mahisa Murti, “dengan demikian justru Ki Bekel masih mempunyai waktu.”
Tetapi kemarahan di jantung Ki Sardapa bagaikan akan meledakkan dadanya. Namun Mahisa Pukat kemudian berkata, “Tidak ada gunanya Ki Bekel sekarang menyakiti hati sendiri. Orang itu baru akan datang kemudian. Yang dapat Ki Bekel lakukan adalah menunggu. Jika Ki Bekel bersedia, maka ki Bekel dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebagaimana dilakukan oleh paman bungsu Ki Bekel itu.”
Wajah Ki Sardapa tiba-tiba berkerut dalam. Ketegangan benar-benar telah mencengkam jantungnya. Tetapi kemudian terdengar suaranya yang masih saja bergetar, “Aku akan melakukannya.”
Demikianlah, maka mereka pun kemudian disibukkan oleh luka-luka di tubuh paman Ki Bekel itu. Seorang tabib yang dianggap memiliki kepandaian yang tinggi telah diundang untuk mengobatinya. Ketika orang yang terluka itu telah dibaringkan di sebuah bilik di rumah Ki Bekel itu. maka Ki Bekel telah berbicara dengan sungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat disaksikan oleh pamannya Ki Panonjaya.
“Besok kita temui Kiai Patah,” berkata Mahisa Murti, “kita akan menceritakan persoalan yang akan Ki Bekel hadapi.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi paman itu berniat untuk menantang aku berperang tanding. Dalam perang tanding, tidak ada orang lain yang akan dapat membantu. Aku sendiri harus berhadapan dengan paman. Kecuali sekedar menjadi saksi.”
“Aku mengerti Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “tetapi Kiai Patah akan dapat memberikan petunjuk, apa yang seharusnya Ki Bekel lakukan.”
Ki Bekel yang mengenal Kiai Patah dengan baik mengangguk-angguk mengiakan. Katanya, “Besok kita menemuinya.”
Demikianlah, maka mereka pun telah kembali kedalam bilik masing-masing. Namun Ki Sardapa tidak lagi dapat memejamkan matanya, ia selalu berangan-angan tentang perang tanding yang pada satu saat akan dilakukannya melawan pamannya yang bungsu itu.
Karena itu maka Ki Sardapa itu menjelang dini hari telah berada di pakiwan. Ia telah mandi dan membenahi pakaiannya sebelum matahari terbit, ia ingin segera pergi menemui Kiai Patah untuk berbicara tentang rencana perang tanding itu.
Betapapun ia berniat untuk menerima tantangan itu, namun ada juga semacam kegelisahan didalam hatinya karena pamannya tentu berusaha untuk mendalami ilmunya. Namun seperti yang dikatakan oleh pamannya yang tertua, pamannya yang bungsu itu masih belum menguasai dasar ilmu pusaran sebagaimana yang pernah dilihatnya di rumah pamannya tertua itu. Pamannya yang bungsu itu hanya ikut saja berlari berkeliling. Ia memang memiliki ketrampilan bermain pedang. Demikian pula di saat-saat mereka lari berputaran. Tetapi belum menguasai ilmu yang lebih dalam meskipun hanya dasarnya.
Ki Sardapa rasa-rasanya tidak sabar menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersiap. Dengan gelisah Ki Sardapa hilir mudik di halaman, sementara beberapa orang peronda menjadi heran menyaksikannya. Tetapi para peronda itu tidak bertanya apa pun juga. Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun pula ke halaman. Sementara Ki Panonjaya akan tinggal menunggui paman Ki Bekel yang terluka.
Demikianlah, ketika matahari naik mereka telah berada diperjalanan menuju ke rumah Kiai Patah di sudut padukuhan itu. Sebuah rumah yang sederhana, yang sama sekali tidak mencerminkan rumah seorang yang berilmu dan bahkan memiliki bekal yang cukup seandainya ia ingin membuat rumah yang lebih baik dari yang dihuninya itu.
Ketika Kiai Patah mendengar keterangan Ki Bekel tentang pamannya yang dilukai oleh pamannya yang bungsu serta rencana tantangannya untuk berperang tanding, maka Kiai Patah pun dengan serta merta berkata, “Ki Sardapa harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika memang berniat untuk menerima tantangan itu.”
“Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian,” sahut Ki Bekel.
“Biarlah angger berdua menempa Ki Bekel dengan mempergunakan waktu yang ada sebaik-baiknya. Ki Sardapa harus bersedia bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan Ki Bekel sebelum saat itu tiba. Kita tidak tahu, kapan paman Ki Bekel yang bungsu itu akan datang,” berkata Kiai Patah.
“Kami akan melakukannya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi sudah tentu kami memerlukan petunjuk-petunjuk Kiai. Waktunya sudah terlalu sempit, sehingga kami harus mendapat petunjuk dari Kiai yang sudah jauh berpengalaman tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam perang tanding itu.”
Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ki Bekel jangan menyia-nyiakan waktu. Kita akan mulai pagi ini.”
Ki Sardapa termangu-mangu. Namun kemudian katanya dengan nada agak gugup, “Aku belum mempersiapkan diri.”
“Jika kita memulainya hari ini, maka kita akan mulai dengan mempersiapkan diri,” berkata Kiai Patah. Lalu “Silahkan Ki Sardapa kembali dan masuk sanggar bersama kedua anak muda itu. Baru kemudian aku akan ikut pula. Besok atau lusa. Tetapi Ki Sardapa jangan membuang waktu.”
Ki Sardapa tidak dapat menolak, ia pun kemudian kembali ke rumahnya untuk selanjutnya mereka pun mulai mempersiapkan diri untuk menjalani satu latihan yang berat. Sanggar di rumah Ki Sardapa bukan sanggar yang memenuhi syarat sebagaimana sanggar Mahendra di rumah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi untuk kepentingan yang khusus itu, maka sanggar itu pun telah memadai.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dengan serta merta membawa Ki Sardapa dalam satu latihan yang berat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu berusaha untuk mengetahui dengan jelas, apa saja yang pernah dikuasai dan dipelajari oleh Ki Sardapa dalam olah kanuragan. Meskipun masih terlalu sedikit, tetapi hal itu masih perlu diperhitungkan oleh kedua anak muda itu.
Dengan demikian, maka pada tahap pertama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mempersilahkan saja Ki Sardapa untuk berlatih sendiri. Dengan cermat keduanya memperhatikan setiap unsur gerak yang ditunjukkan oleh Ki Sardapa.
Semakin lama tata gerak Ki Sardapa pun menjadi semakin cepat. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kuat. Sekali ia meloncat ke depan, kemudian meloncat ke samping dan ke belakang. Tangannya kadang-kadang bersilang di dada, kadang-kadang terangkat membuka, namun kemudian sebelah tangannya dengan cepat bergerak melingkar, sementara tangan yang lain ditariknya dan langsung menghantam lurus ke depan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tata gerak yang dasar sekali sudah dikuasai oleh Ki Sardapa. Ia mampu mengerahkan tenaga dan memusatkan nalar budinya pada latihan yang sedang dilakukannya, sehingga ia pun akan dapat berbuat serupa di saat-saat ia bertempur menghadapi lawannya.
Dengan demikian, ternyata Ki Sardapa sudah mempunyai modal yang memadai sehingga keduanya akan dapat menyesuaikan dengan kepentingan latihan-latihan yang akan mereka berikan yang pada dasarnya juga sekedar mematangkan gerak dasar untuk menghadapi pamannya yang bungsu, yang agaknya juga masih berlandaskan pada tata gerak dasar ilmu kewadagan semata-mata.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkan Ki Bekel untuk berlatih beberapa lama. Keduanya juga ingin tenaga dan kekuatannya yang menurut penilaian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pengerahan tenaga itu sudah hampir mencapai puncak kemampuannya.
Demikianlah, maka setelah beberapa lama Ki Bekel berloncatan dan mengayun-ayunkan tangan dan kakinya, maka mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa batas yang ditunggunya itu sudah sampai. Tenaga Ki Bekel mulai susut meskipun perlahan-lahan. Hanya orang-orang yang mempunyai ketajaman pengamatan atas tata gerak dalam olah kanuragan sajalah yang sempat melihat batas itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membiarkannya beberapa saat. Baru setelah semakin lama kekuatan itu menjadi semakin susut, keduanya saling berpandangan. Ketika. Mahisa Pukat mengangguk kecil, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata sambil melangkah mendekat. “Sudah Ki Bekel. Agaknya latihan ini sudah cukup lama.”
Ki Bekel pun kemudian sedikit demi sedikit mengendorkan latihan-latihan, sehingga akhirnya telah berhenti sama sekali. Namun kemudian Ki Bekel pun dengan lemah telah menjatuhkan dirinya dengan nafas yang terengah-engah, duduk dengan kaki yang menjelujur dan bertumpu pada kedua tangannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika Ki Bekel menghadapi musuh, maka Ki Bekel akan terpaksa bergerak lebih banyak. Karena itu maka Ki Bekel harus berusaha meningkatkan daya tahan tubuh dengan latihan-latihan yang teratur. Tidak dengan tiba-tiba mengadakan latihan sehari semalam yang justru akan dapat merusak kemungkinan yang ada di dalam diri Ki Bekel sendiri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Nafasnya masih memburu lewat lubang hidungnya. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Nah. sekarang Ki Bekel harus membiasakan diri dan berlatih mengatur pernafasan. Marilah, kita mencobanya agar nafas kita tidak mengalir tidak beraturan sehingga kita memerlukan waktu yang terlalu lama untuk memulihkan pernafasan kita kembali.”
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memberikan beberapa petunjuk kepada Ki Bekel, bagaimana ia harus mengatur pernafasannya. Mahisa Pukat pun kemudian duduk bersila di hadapan Ki Bekel. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya dengan mengendorkan segala urat nadinya. Dengan teratur Mahisa Pukat pun kemudian menarik nafas dalam-dalam dan dilepaskannya perlahan-lahan. Diulanginya beberapa kali sambil mempersiapkan seluruh tubuhnya agar tidak menjadi tegang.
Namun kedua anak muda itu pun telah mengajarkan bahwa dalam mengatur pernafasan pun diperlukan pemusatan nalar budi agar jalan pernafasannya itu menjadi cepat teratur dan tidak terasa mengganggu lagi. Kedua anak muda itu pun telah memberi tahukan pula kepada Ki Sardapa, bahwa semakin jauh ia mendalami persoalan pernafasannya, maka banyak hal yang akan dapat dipetiknya. Dengan mengatur pernafasannya pada tataran yang lebih tinggi, akan dapat membuatnya mampu mengendalikan yang benar-benar akan dapat dikuasainya, tetapi juga saluran tenaga cadangannya yang akan dapat memberikan kekuatan yang sangat tinggi.
Karena itu maka kedua anak muda itu pun telah memberikan pesan kepada Ki Sardapa dalam saat-saat ia menempa diri, maka yang harus dilakukannya, bangun di dini hari, kemudian melatih diri mengatur pernafasannya sebaik-baiknya.
“Kami akan memberikan petunjuk sesuai dengan pengetahuan kami tentang hal itu, yang kami pelajari dari orang-orang yang pernah berbaik hati membimbing kami.” berkata Mahisa Murti.
Ki Sardapa itu mengangguk sambil menjawab, “Aku akan melakukan apa saja yang kalian perintahkan. Aku benar-benar ingin mempersiapkan diri menghadapi paman yang bungsu yang telah memperlakukan saudaranya sendiri dengan semena-mena. Jika ia tidak lagi menghormati saudara tuanya, maka ia tentu benar-benar ingin membunuhku. Karena itu aku harus bersiap sepenuhnya untuk bertalian agar aku tidak mati karenanya. Kecuali jika memang harus demikian yang terjadi.”
Niat dan kesediaan yang tinggi dari Ki Sardapa itu tentu akan banyak menolongnya, karena dengan demikian maka Ki Sardapa tentu akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan Ki Sardapa beristirahat setelah pernafasannya pulih kembali. Bahkan dipersilahkan Ki Sardapa untuk keluar dari sanggar menghirup udara yang cerah di luar, atau barangkali ada pekerjaan lain yang harus dilakukannya sebagai seorang bekel.
“Menjelang tengah hari kita akan mulai,” berkata Mahisa Murti.
“Baiklah,” jawab Ki Sardapa, “aku benar-benar menjadi lelah sekarang ini. Tetapi dengan kesempatan beristirahat ini, aku akan menjadi segar kembali.”
“Silahkan Ki Bekel melakukan apa saja,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kami berdua juga ingin berbuat sesuatu didalam sanggar. Mungkin mempersiapkan sanggar itu agar sesuai dengan tingkat latihan-latihan yang harus Ki Bekel lakukan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan bertemu dengan para bebahu padukuhan ini.”
Sementara Ki Bekel memanggil para bebahu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersiapkan sanggar yang sederhana itu untuk menempa Ki Bekel dalam olah kanuragan. Beberapa jenis senjata yang ada akan dimanfaatkannya sementara peralatan pun telah diatur sebaik-baiknya. Beberapa buah patok, kayu telah dibenahi agar tidak menjadi berbahaya. Palang-palang bambu dan kayu yang silang menyilang pun telah diatur sebaik-baiknya. Tali temali yang kendur telah dikuatkan sehingga tidak akan dapat terlepas.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi menjelang sampai ke puncak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap. Mereka pun kemudian menjenguk Ki Bekel di pendapa. Ternyata masih ada beberapa orang bebahu yang berbincang dengan Ki Bekel. Tetapi itu tidak lama. Sejenak kemudian maka pertemuan itu pun telah selesai.
Ketika para bebahu telah meninggalkan rumahnya, maka Ki Bekel pun kemudian bertanya, “Apakah kita akan mulai sekarang?”
“Jika Ki Bekel telah merasa cukup beristirahat, maka kita akan dapat mulai sekarang,” jawab Mahisa Murti.
“Aku sudah cukup beristirahat. Aku sudah minum dan makan beberapa potong makanan bersama para bebahu. Sekarang aku siap untuk mulai lagi dengan latihan-latihan yang betapa pun beratnya,” berkata Ki Bekel mantap.
“Baiklah,” sahut Mahisa Murti, “marilah. Kita akan pergi ke sanggar.”
Demikianlah mereka bertiga pun telah kembali masuk ke dalam sanggar. Beberapa saat lamanya Ki Bekel dipersilahkan untuk mempersiapkan diri dengan gerakan-gerakan ringan. Baru kemudian Mahisa Murti telah memberikan beberapa petunjuk khusus tentang berbagai macam unsur gerak. Mula-mula Ki Bekel memang masih harus menirukan dengan landasan kemampuannya sendiri. Mahisa Murti pun harus menyesuaikan diri dengan unsur-unsur gerak yang sudah dikuasai oleh Ki Bekel sehingga tidak akan menimbulkan benturan kekuatan di dalam tubuh Ki Bekel itu.
Satu dua langkah Ki Bekel mulai menirukan tata gerak yang khusus diatas landasan unsur-unsur gerak yang lebih umum. Beberapa kali Ki Bekel mengulanginya sehingga unsur itu dapat dilakukannya dengan baik. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Bekel telah menguasainya benar-benar. Setiap kali Mahisa Murti masih harus memberikan penjelasan tentang unsur-unsur gerak itu. Gunanya, wataknya dan kekuatan yang tersimpan didalamnya.
Jika satu unsur telah dikuasainya, maka Mahisa Murti memberikan unsur berikutnya beruntun sesuai dengan urutan yang sudah mantap. Baru setelah beberapa unsur gerak dapat dikuasainya, maka Mahisa Murti pun mempersilahkan Mahisa Pukat untuk memberikan petunjuk penggunaannya dihadapkan pada perlawanan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian maka Ki Bekel bukan saja mampu menirukan unsur-unsur gerak yang diberitahukan oleh Mahisa Murti, tetapi ia kemudian mampu mengenalinya sampai kepada watak dan sifat-sifatnya. Dengan Mahisa Pukat, Ki Bekel telah mempergunakan unsur-unsur gerak itu untuk mengatasi serangan-serangan yang datang dengan unsur gerak yang mana pun juga, bahkan dengan unsur-unsur gerak yang belum pernah dikenalnya sebelumnya dari keturunan perguruan lain. Bahkan untuk mencari kesempatan, menyusup pada pertahanan lawannya.
Demikianlah, setapak demi setapak Ki Bekel mendapatkan kemajuan dalam ilmu kanuragan. Ia juga telah berhasil meningkatkan daya tahan tubuhnya. Setiap pagi, Ki Bekel dengan teratur telah melatih pernafasannya. Kemudian berlari-lari menempuh jarak yang semakin hari semakin jauh meskipun tidak dengan memaksa diri. Kemudian untuk menenangkan jantungnya yang berdegub semakin cepat, maka setelah berlari-lari di dini hari. Ki Bekel telah kembali mengatur pernafasannya pula.
Setelah beristirahat dan membenahi diri, kemudian menyelesaikan tugas-tugasnya dengan memberikan pesan-pesan dan perintah kepada para bebahu padukuhan dan para pengawal, maka Ki Bekel pun telah bersiap kembali memasuki sanggarnya. Menempa diri dengan segenap hati dan wadagnya.
Ki Bekel berhenti berlatih, setelah matahari mulai turun ke Barat. Sambil beristirahat, maka Ki Bekel menyelesaikan tugas-tugasnya yang tersisa setelah makan dan minum. Kadang-kadang ia pergi melihat keadaan padukuhannya yang mendesak. Menjelang senja, maka Ki Bekel telah menekuni kembali ilmu kanuragan bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai saatnya malam menjadi sepi.
Demikianlah yang dilakukan Ki Bekel hampir setiap hari. Hanya jika tugas-tugasnya memaksa, maka saat-saat latihan itu-pun mengalami perubahan. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi.
Ternyata paman bungsunya itu tidak segera datang kepadanya. Beberapa lama Ki Bekel menunggu menempa diri. Bahkan Ki Bekel pun telah sempat mempelajari ilmu pedang dan mengenali beberapa jenis senjata yang lain. Senjata tajam, senjata tumpul dan senjata lentur.
“Senjata apakah yang sering dipergunakan oleh paman bungsu ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya keadaan dan kemampuan lawan yang bakal dihadapi oleh Ki Bekel itu masih gelap. Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apalagi Ki Bekel menjadi gelisah, justru karena Kiai Patah telah meninggalkan padukuhan itu. Kiai Patah sama sekali masih belum memberikan latihan-latihan kepada Ki Bekel, bahkan menengok pun belum.
Sehari setelah Ki Bekel mulai dengan latihan-latihannya, maka Kiai Patah telah minta diri meninggalkan padukuhan itu untuk beberapa hari. Tetapi sampai saat-saat yang semakin menegangkan. Kiai Patah masih belum kembali. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi gelisah meskipun mereka berusaha untuk menenangkan kegelisahan Ki Sardapa.
“Jangan hiraukan orang lain,” berkata Mahisa Murti kepada Ki Sardapa, “yang penting bagi Ki Bekel adalah menempa diri dengan sungguh-sungguh agar Ki Bekel berhasil meningkatkan kemampuan Ki Bekel. Beberapa langkah Ki Bekel sudah menjadi semakin maju. Tetapi jika perhatian Ki Bekel terlepas dari latihan-latihan yang Ki Bekel lakukan, maka latihan-latihan itu tidak akan ada gunanya lagi.”
Ki Bekel memang berusaha untuk memusatkan perhatiannya kepada latihan-latihannya. Ia berusaha pula untuk tidak menghiraukan, apakah Kiai Patah akan kembali atau tidak. Namun ternyata pada suatu hari, ketiga orang yang sedang berada di dalam sanggar itu telah dikejutkan oleh kehadiran Kiai Patah. Karena itu maka dengan serta merta ketiganya telah menyongsongnya dan mempersilahkan Kiai Patah untuk masuk.
“Kiai membuat kami menjadi gelisah,” berkata Ki Bekel.
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf. Aku agaknya telah pergi terlalu lama. Namun akhirnya aku berhasil.”
“Berhasil tentang apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berusaha untuk mencari paman bungsu Ki Bekel. Memang agak sulit. Tetapi dengan petunjuk beberapa orang saudaranya akhirnya aku ketemukan juga. Untunglah bahwa aku berhasil merahasiakan diriku sehingga paman bungsu Ki Bekel itu tidak mengenali aku. Aku berhasil menemuinya di malam hari dalam kegelapan. Aku berhasil menjajagi ilmunya, sehingga dengan demikian aku dapat mengenal meskipun tidak tepat sekali, ukuran kemampuannya,” jawab Kiai Patah.
Ki Bekel mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti-pun berkata, “Tetapi ia sedang dalam keadaan membajakan dirinya. Karena itu pengenalan Kiai beberapa waktu yang lalu akan berbeda dengan kemampuan dari Paman Ki Bekel itu beberapa hari yang akan datang.”
“Aku mengerti. Tetapi aku pun dapat memperkirakan seberapa jauh peningkatan kemampuan seseorang hanya dalam beberapa hari. Sementara itu Ki Bekel pun setiap hari masih juga menyempurnakan ilmu kanuragan yang ada dalam dirinya,” jawab Kiai Patah.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Patah pun berkata, “Adalah kewajibanku berikutnya untuk menjajagi kemampuan Ki Bekel.”
“Silahkan Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah Kiai tidak merasa letih dari perjalanan.”
“Aku sudah singgah di rumah. Aku sudah beristirahat, bahkan minum dan makan. Sebentar berbaring sambil mengendorkan ketegangan urat-urat kakiku,” sahut Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, silahkan Kiai.”
Demikianlah maka Ki Bekel pun kemudian telah bersiap. Kiai Patah yang ingin menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri di tepi arena untuk menyaksikan hasil latihan-latihan Ki Bekel selama ia menempa diri mempersiapkan perang tanding melawan pamannya yang bungsu.
Sesaat kemudian, maka terdengar Kiai Patah berkata, “Bersiaplah Ki Bekel. Aku akan mulai.”
Ki Bekel bergeser setapak. Sementara itu Kiai Patah pun telah mulai menyerang. Dengan cepat Ki Bekel menghindar. Sekaligus berputar sambil mengayunkan kakinya. Tetapi kaki itu sama sekali tidak mengenai sasarannya, karena Kiai Patah telah bergeser surut.
Tetapi ternyata Kiai Patah pun bergerak dengan cepat. Sebelum ayunan kaki yang berputar itu menyentuh tanah. Kiai Patah telah melenting menyerang dengan ujung jari-jarinya yang merapat lurus mengarah ke dada. Namun Ki Bekel lah yang kemudian meloncat sambil memiringkan tubuhnya sehingga tangan Kiai Patah itu tidak mengenainya.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kiai Patah semakin meningkatkan serangan-serangannya sehingga Ki Bekel pun harus bekerja lebih keras untuk mengimbanginya. Pertempuran itu kemudian telah berlangsung beberapa lama. Setingkat demi setingkat Kiai Patah menambah tataran ilmu kanuragan yang dipergunakannya untuk menjajagi kemampuan Ki Bekel. Sehingga akhirnya Kiai Patah sampai pada batas kemampuan Ki Bekel itu.
Beberapa kali tangan Kiai Patah berhasil menyentuh tubuh Ki Bekel, sementara Ki Bekel telah berjuang sejauh dapat dilakukannya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri dari sentuhan-sentuhan tangan Kiai Patah. Ketika sentuhan-sentuhan itu terasa semakin menyakitinya, maka Ki Bekel telah berjuang semakin keras. Namun kemampuan Ki Bekel memang masih terbatas.
Beberapa saat kemudian, maka Kiai Patah yang telah berhasil menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah mengendurkan serangan-serangannya. Sambil meloncat surut, maka Kiai Patah pun kemudian berdesis, “Cukup Ki Bekel. Ternyata aku telah dapat menilai tataran kemampuan Ki Bekel.”
Ki Bekel yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu pun telah bergeser pula. Ternyata bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya, maka Ki Bekel harus mengatur pernafasannya sebagaimana petunjuk yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar ia tidak menjadi terengah-engah kelelahan. Karena itu. maka Ki Bekel memerlukan waktu beberapa saat sehingga akhirnya nafasnya menjadi lancar kembali.
Kiai Patah yang menyaksikan cara Ki Bekel mengatur pernafasannya itu pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Ternyata sudah banyak kemajuan yang didapat oleh Ki Bekel. Bukan saja tentang olah kanuragan, namun juga cara untuk menenangkan diri. Bukan sekedar menunggu sampai pernafasannya pulih kembali, tetapi Ki Bekel sudah tahu cara untuk mengatur pernafasannya dengan baik.”
Ki Bekel yang nafasnya mulai teratur kembali telah menjawab pula, “Jangan terlalu memuji Kiai. Aku belum apa-apa. Namun yang penting ingin aku ketahui adalah apa yang ingin Kiai katakan tentang ilmu yang aku pelajari dengan yang Kiai jajagi pada paman bungsu itu.”
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Itulah yang ingin aku bicarakan dengan kalian.”
“Apakah Kiai sudah dapat mengambil satu kesimpulan?” bertanya Mahisa Pukat.
Kiai Patah menggelengkan kepalanya. Dengan nada datar ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakan atau menduga-duga apa yang akan terjadi.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku telah melihat kemajuan yang pesat pada ilmu Ki Bekel. Dan itu telah membesarkan hatiku, ternyata bahwa paman bungsu Ki Bekel itu juga telah meningkatkan ilmunya pula Menurut pengamatanku, sulit untuk diperhitungkan sebelumnya, ilmu siapakah di antara keduanya yang lebih mapan. Tetapi satu hal yang dapat aku katakan, bahwa sampai hari ini, kemungkinan yang dapat terjadi pada keduanya adalah sama besarnya,” berkata Kiai Patah kemudian dengan sungguh-sungguh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sementara itu Kiai Patah berkata pula, “Tetapi seandainya pada saatnya keduanya masih juga memiliki keseimbangan yang setingkat, maka itu adalah jauh lebih baik daripada Ki Bekel tidak meningkatkan ilmunya sama sekali. Dengan demikian Ki Bekel akan ketinggalan jauh, sehingga kemungkinan mengalami kesulitan jauh lebih besar ada pada Ki Bekel daripada paman bungsunya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan ingkar jika paman bungsu itu benar-benar datang menantang aku untuk berperang tanding. Sekarang pun aku sudah siap. Mati bukan lagi masalah bagiku. Tetapi aku harus menghadapinya sebagai seorang laki-laki.”
“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “aku memang sudah menduga. Namun dengan demikian. Ki Bekel harus mempergunakan saat-saat terakhir ini lebih baik lagi. Paman bungsu Ki Bekel itu meskipun hanya selapis tipis, namun agaknya juga telah meningkat pula.”
“Aku akan melakukannya Kiai,” jawab Ki Bekel.
“Tetapi ingat, bahwa Ki Bekel jangan menghabiskan semua tenaga pada latihan-latihan yang Ki Bekel lakukan. Jika demikian, maka jika saat itu datang. Ki Bekel benar-benar telah kehabisan tenaga,” berkata Kiai Patah pula.
Ki Bekel mengangguk lemah. Namun kehadiran Kiai Patah membuatnya semakin mantap. Apalagi di saat-saat berikutnya Kiai Patah telah ikut serta berada dalam sanggar. Dengan berbagai macam ilmu yang dikuasainya. Kiai Patah telah memberikan pengalaman kepada Ki Bekel mempergunakan ilmu yang sudah dikuasainya, serta memberikan beberapa kemungkinan untuk mengembangkannya. Latihan-latihan yang berat telah membuka penglihatan Ki Bekel semakin luas atas olah kanuragan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian bertugas untuk menuntun agar tingkat ilmu kanuragan Ki Bekel meningkat. Sementara Kiai Patah memberikan pengalaman-pengalaman dalam benturan-benturan ilmu, sehingga dengan demikian maka meskipun hanya di dalam sanggar, tetapi Ki Bekel seolah-olah telah pernah mengembara dan bertemu dengan berbagai macam lawan dengan jenis-jenis ilmunya masing-masing. Termasuk penggunaan beberapa jenis senjata.
Demikianlah, maka Ki Bekel telah menunggu kedatangan paman bungsunya dengan persiapan yang mapan. Sementara itu, ternyata kedua pamannya yang lain telah bertekad untuk tidak meninggalkan Ki Bekel. Pamannya yang terluka yang kemudian telah menjadi sembuh, ingin melihat apakah yang akan terjadi. Apakah adiknya yang bungsu benar-benar akan datang untuk menantang Ki Bekel.
Ternyata bahwa yang pernah dikatakan oleh pamannya yang bungsu itu untuk menantang Ki Sardapa, benar-benar terjadi. Adalah tidak diduga-duga, bahwa pamannya yang bungsu itu telah datang ke rumah Ki Sardapa seorang diri.
“Marilah paman,” Ki Sardapa mempersilahkan.
“Tidak,” jawab pamannya yang bungsu itu, “aku hanya ingin berbicara beberapa patah kata kepadamu.”
“Tentang apa?” bertanya Ki Sardapa.
“Apakah salah seorang pamanmu tidak ada yang datang kemari?” bertanya pamannya yang bungsu.
“Ya Paman. Seorang yang terluka parah, yang mengatakan apa yang telah paman bungsu lakukan dan apa pula yang akan paman lakukan kemudian,” jawab Ki Sardapa.
“Jadi kau sudah tahu?” bertanya pamannya yang bungsu.
“Jika benar yang paman katakan tentang paman bungsu,” jawab Ki Bekel.
“Apa yang dikatakannya?” bertanya paman bungsu.
“Itu persoalanku. Tetapi apa yang akan paman lakukan sekarang di sini?” bertanya Ki Sardapa.
“Baik. Aku tidak usah berputar-putar. Aku ingin menantangmu menyelesaikan persoalan kita sebagai laki-laki. Aku tidak mau lagi bekerja dengan orang lain yang pengecut dan tidak tahu diri. Nah, sekarang terserah kepadamu, apakah kau menerima tantanganku untuk berperang tanding,” berkata paman bungsu itu.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hal itu benar dilakukan oleh pamannya yang bungsu itu. Tetapi Ki Sardapa memang sudah siap. Karena itu maka ia pun berkata, “Aku memang sudah menunggu paman.”
Dahi pamannya itu berkerut. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi kau tidak gentar menghadapi aku?”
“Kenapa aku harus gentar? Bukankah aku juga laki-laki seperti paman? Aku tidak mengatakan bahwa aku akan dapat memenangkan perang tanding itu. Tetapi aku pun tidak mengatakan bahwa aku sekedar akan membunuh diri,” jawab Ki Sardapa.
“Bagus,” geram pamannya yang bungsu, “aku tidak mengira bahwa kau akan dengan serta merta menerima tantanganku. Aku kira kau akan merengek minta bantuan kawan-kawanmu itu.”
“Paman terlalu menghina aku,” jawab Sardapa, “lalu apa yang paman syaratkan dalam perang tanding itu.”
“Aku akan datang tengah bulan ini. Aku akan berada di pinggir hutan dekat dengan bukit karang. Kita akan berperang tanding di bawah pohon randu alas. Meskipun aku tidak menaruh kepercayaan lagi kepada saudara-saudaraku, tetapi mereka akan menjadi saksi. Mereka akan melihat, bagaimana caraku membunuhmu,” berkata pamannya yang bungsu itu dengan penuh kebencian.
“Bagus,” jawab Ki Bekel, “aku juga akan membawa saksi. Selain paman yang kau lukai, paman Panonjaya, adalah juga tiga orang yang telah membantuku selama ini. Mereka tidak akan mengganggu perang tanding itu, karena mereka menghargai aku, bahwa aku adalah seorang laki-laki.”
“Masih ada waktu bagimu untuk meratapi nasibmu. Tengah bulan itu akan ditandai oleh bulan purnama. Masih ada waktu sepuluh hari lagi sejak sekarang,” berkata pamannya yang bungsu itu pula.
“Waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri. Dalam sepuluh hari, aku akan mampu meningkatkan ilmuku sejajar dengan kemampuan paman,” sahut Ki Sardapa.
Pamannya yang bungsu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Semakin lama semakin keras. Lalu katanya, “Kau memang terlalu dungu Sardapa. Aku sudah mengira. Kenapa kau tidak mempersiapkan dirimu sejak pamanmu yang aku lukai itu mengatakan kepadamu? Bukankah aku telah memberimu waktu cukup panjang agar aku mendapat melawan yang pantas? Aku akan sangat kecewa, jika dalam satu dua kejap kau sudah akan kehilangan kemampuan untuk melawan dan mengalami kematian dengan cara yang paling pahit. Tetapi itu tentu akan terjadi atasmu dihadapan paman-pamanmu yang pengecut itu.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman sudah mulai berusaha mengecilkan hatiku. Tetapi ingat paman. Aku sudah mantap. Apa pun yang akan terjadi. Aku akan datang ke bukit karang di pinggir hutan. Aku akan berada di bawah randu alas itu demikian bulan ada di langit.”
Melihat sikap Ki Sardapa yang mantap dan sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan, maka justru pamannya yang bungsu itu menjadi heran. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang mendorong Sardapa bersikap demikian.
“Apakah Sardapa akan menjadi curang dengan menjebak aku?“ pertanyaan itu yang justru timbul didalam hatinya. Namun paman bungsu itu berkata pula didalam hatinya, “Aku-pun tidak sendiri. Jika ia menjebakku, maka orang itu akan menyesal.”
Paman Ki Sardapa itu pun tidak berbicara terlalu banyak. Sejenak kemudian ia pun berkata dengan nada berat, “Aku akan pergi sekarang. Mudah-mudahan kau benar-benar seorang laki-laki, sehingga kau benar-benar akan datang ke tempat itu.”
“Paman tidak usah ragu-ragu,” berkata Ki Sardapa, “bahkan akulah yang berharap agar paman benar-benar datang.”
“Persetan kau. Siapa yang mengajarimu menjadi sombong begitu?” geram pamannya.
“Paman. Sikap dan tingkah laku paman telah memberikan dorongan kepadaku untuk sedikit mengimbangi kesombongan paman,” jawab Ki Sardapa.
“Anak iblis,” suara Ki Sardapa menjadi bergetar oleh kemarahan, “jika aku tidak terikat pada janjiku menunggumu di bukit karang itu, maka kau sudah aku bunuh sekarang.”
“Kenapa paman tidak melakukannya. Hanya karena aku menghormati paman sajalah maka aku tidak membunuh paman sekarang,” jawab Sardapa.
Gigi Ki Sardapa menjadi gemeretak. Tetapi ia masih menahan diri. Dengan serta merta maka ia pun telah meninggalkan tempat itu agar darahnya tidak terlanjur mendidih.
Demikian orang itu pergi, maka Ki Sardapa pun telah menemui orang-orang yang sedang berada di rumahnya dan memberikan tuntunan ilmu kanuragan kepadanya. Ki Sardapa pun telah menceriterakan pembicaraannya dengan pamannya, bahwa mereka benar-benar akan berperang tanding.
“Ki Bekel harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,” berkata Kiai Patah.
“Aku sudah siap lahir dan batin. Apa pun yang terjadi tidak akan dapat mengguncangkan tekadku ini,” jawab Ki Sardapa, “betapa hormatku kepada orang-orang yang dalam hubungan keluarga lebih tua dari aku, meskipun barangkali umurnya tidak. Namun terhadap paman bungsu aku benar-benar tidak lagi dapat berbuat lain kecuali berlaku kasar.”
“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “ternyata pamanmu masih berbaik hati memberikan waktu sepuluh hari kepadamu. Waktu akan menjadi sangat berharga Ki Bekel. Tetapi ingat, jangan kau peras tenagamu sekarang sampai habis, sehingga jika saat itu datang, maka kau telah benar-benar kehabisan tenaga dan tidak mampu lagi mengimbangi ilmu kanuragan pamanmu itu.”
Demikianlah, maka saat-saat yang menegangkan itu bagaikan melangkah setapak demi setapak mendekat. Jika hari lewat satu-satu maka rasa-rasanya ketegangan pun bertambah-tambah pula mencengkam jantung.
Ki Bekel ternyata telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, ia berlatih dengan teratur, namun tidak menyiksa diri serta menguras tenaga. Waktu yang ada dipergunakannya untuk mendalami watak dan sifat setiap unsur gerak yang dikuasainya. Dengan tekun Ki Bekel berusaha untuk mengetrapkan kemampuannya menghadapi jenis-jenis ilmu yang lain. Namun semakin dekat dengan saat yang dijanjikan, maka Ki Bekel pun menjadi semakin banyak beristirahat untuk menyimpan tenaga sehingga pada saatnya ia akan dapat turun ke arena dengan kekuatan yang bulat.
Sehari sebelum hari yang ditentukan, maka Ki Bekel telah mempersiapkan diri sebulat-bulatnya. Senjatanya pun telah disiapkannya pula. Bahkan Ki Bekel pun telah menghentikan segala kegiatannya, selain justru mendalami cara pengaturan nafas yang sebaik-baiknya. Karena itu maka ketika saat itu datang, keadaan Ki Bekel benar-benar pada puncak kesegarannya.
Menjelang senja, Ki Bekel pun telah bersiap. Kiai Patah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Panonjaya dan seorang pamannya yang pernah dilukai oleh paman bungsunya telah bersiap pula. Tanpa memberitahukan kepada para bebahu dan apalagi para pengawal padukuhan, maka Ki Bekel pun telah meninggalkan padukuhannya.
Seperti yang dijanjikan oleh Ki Bekel, maka pada saat bulan naik. ia sudah berada dibawah pohon randu alas. Tempat yang dijanjikan bersama untuk mengadakan perang tanding. Namun ternyata paman bungsu Ki Sardapa itu masih belum ada ditempat itu. Tetapi Ki Sardapa tidak perlu terlalu lama menunggu. Ketika bulan mulai memanjat langit, maka mereka yang telah berada di bawah randu alas itu telah dikejutkan oleh suara tertawa yang menghentak-hentak jantung.
Orang-orang yang berada dibawah randu alas itu pun segera menyadari, bahwa lawan Ki Sardapa telah datang. Sebelum muncul dihadapan Ki Sardapa, maka agaknya ia telah berusaha untuk menunjukkan kelebihannya. Tetapi Ki Sardapa yang telah melatih diri lahir dan batin itu sama sekali tidak tergetar karenanya. Ia pun telah meningkatkan daya tahannya dan mengatur pernafasannya baik-baik sehingga suara tertawa itu tidak mengguncangkan isi dadanya.
Kiai Patah lah yang kemudian mengajak orang-orang yang datang bersamanya untuk melangkah surut menjauhi Ki Sardapa yang kemudian berdiri seorang diri dibawah pohon randu alas itu. Namun demikian Kiai Patah dan yang lain memang tidak berada terlalu jauh daripadanya, sehingga jika terjadi kecurangan, maka mereka masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Sardapa masih berdiri tegak sambil mendengarkan suara tertawa yang mengumandang terpantul oleh bukit karang. Namun akhirnya Ki Sardapa itu pun menjadi muak mendengar suara tertawa itu. Katanya, “Jangan bermain-main dengan cara yang tidak pantas itu. Kemarilah. Kita sudah terlalu tua untuk bermain-main dengan caramu itu.”
Suara tertawa itu pun tiba-tiba telah berhenti. Yang terdengar kemudian suara orang itu, “Kau terlalu sombong Sardapa. Tetapi lakukanlah pada saat-saat terakhir jika itu dapat memberimu kepuasan.”
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia hampir tidak sabar menunggu. Baru beberapa saat kemudian seseorang telah melangkah dari balik bukit karang. Dengan langkah yang mantap orang itu berjalan ke pohon randu alas. Sementara Ki Sardapa telah menunggunya dengan tegang.
Baru sejenak kemudian maka beberapa orang yang lain, yang akan menjadi saksi dari perang tanding itu telah muncul pula dari balik batu karang itu. Saudara-saudara laki-laki dari ibu tiri Ki Sardapa. Namun sebagaimana dikatakan oleh pamannya yang bungsu, mereka sebenarnya menentang rencana perang tanding itu. Karena mereka mengharap bahwa persoalan di antara Ki Sardapa dengan paman-pamannya itu sudah dapat dianggap selesai.
Meskipun demikian, mereka telah memenuhi permintaan adik mereka yang bungsu untuk menyaksikan perang tanding itu. Tetapi mereka tidak lagi dibekali dengan perasaan dendam di dalam hati. Mereka justru ingin melihat perang tanding itu berlangsung dengan jujur, meskipun mereka merasa cemas akan nasib Ki Sardapa. Menurut pengenalan mereka. Ki Sardapa bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup untuk mengimbangi adik mereka yang bungsu yang telah menempa diri untuk beberapa lama.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Ki Sardapa dan pamannya yang bungsu telah berdiri berhadapan di bawah sebatang pohon randu alas yang besar. Sementara itu. langit pun menjadi semakin cerah karena bulan yang bulat memanjat semakin tinggi.
“Aku kira kau tidak akan berani datang Sardapa,” berkata pamannya yang bungsu itu.
“Paman memang terlalu merendahkan aku. Aku sadari itu. Tetapi aku tidak akan merasa rendah diri karenanya atau merasa bahwa cara yang paman pergunakan untuk mengguncang perasaanku itu akan berhasil,” jawab Ki Sardapa.
“Anak iblis,” geram paman bungsu itu, “sebentar lagi kau akan mati. Nah, sebelumnya masih ada kesempatan bagimu. Barangkali ada beberapa pesanmu. Kau dapat menyampaikannya kepada saksi-saksimu.”
Ki Sardapa menggeleng. Katanya, “Aku sudah meninggalkan pesan kepada mereka, agar mereka tidak usah mengganggu perang tanding ini. Baru jika paman sudah mati, mereka aku pesankan untuk membantuku mengubur paman di bawah randu alas ini.”
“Tutup mulutmu,” paman bungsunya membentak, “aku koyak mulutmu.”
“Paman tidak usah berteriak-teriak begitu. Jika paman ingin melakukan, maka tidak akan ada orang yang dapat menghalangi. Itu jika paman mampu, karena aku tentu akan membela diri,” jawab Ki Bekel.
Pamannya yang bungsu itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam mulut Sardapa. Tetapi Sardapa yang memang dengan sengaja membakar hati pamannya itu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ia sengaja membuat penalaran pamannya menjadi kabur oleh kemarahannya.
Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Sardapa dengan sedikit bergeser telah mampu membebaskan dirinya dari serangan itu. Bahkan dengan serta merta, Ki Sardapa telah membalas menyerang dengan garang pula. Pamannya yang bungsu itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Sardapa akan mampu bergerak secepat itu, sehingga hampir saja kaki Sardapa mengenai pelipisnya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera telah meningkat. Pamannya yang bungsu ingin membanggakan kemampuannya dihadapan saudara-saudaranya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan Sardapa dan membunuhnya dengan caranya. Dengan demikian maka ia telah membuktikan bahwa ia dapat melakukan pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan siapa pun juga.
Tetapi ternyata bahwa paman bungsu itu tidak dapat melakukan rencananya itu sebaik-baiknya. Sardapa ternyata tidak terlalu mudah untuk diselesaikan. Bahkan semakin cepat ia bergerak. Sardapa pun bergerak secepat yang dilakukannya pula.
“Dari mana iblis ini mendapatkan kemampuannya itu?” geram paman bungsu itu didalam hatinya.
Namun ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa Ki Sardapa itu pun ternyata benar-benar mampu mengimbanginya. Bukan saja kecepatan geraknya, tetapi juga kekuatan dan kemampuannya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah meningkat semakin sengit. Ki Sardapa yang telah menempa dirinya dengan bersungguh-sungguh itu telah menempatkan dirinya sebagai lawan yang sangat tangguh dihadapan paman bungsunya.
Dengan latihan-latihan yang berat, maka Ki Sardapa tidak terkejut lagi menghadapi kemampuan ilmu kanuragan paman bungsunya itu. Berbagai jenis ilmu telah dihadapinya meskipun ilmu-ilmu itu dilepaskan hanya oleh orang-orang yang bersamanya berada di banjar. Namun rasa-rasanya Ki Sardapa telah menempuh pengembaraan yang panjang dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai perguruan.
Dengan demikian, maka Ki Sardapa itu pun dapat menghadapi ilmu paman bungsunya dengan tenang. Ia sudah terlatih untuk mengambil sikap dengan cepat jika ia menghadapi unsur-unsur gerak yang belum pernah dijumpainya sebelumnya.
Paman bungsu Ki Sardapa itu benar-benar menjadi heran. Sardapa masih juga mampu meningkatkan kemampuannya di saat-saat pamannya berusaha untuk menyelesaikannya. Bahkan ketika mereka cukup lama bertempur, Ki Sardapa lah yang mulai menekan paman bungsunya itu. Paman bungsunya mengumpat kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantung ia berusaha untuk mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Namun ia tidak berhasil mendesak dan apalagi menguasai Ki Sardapa.
Bahkan ketika ia mencoba memaksa menyerang ke arah kening Ki Sardapa pada kesempatan yang kurang menguntungkan, maka Ki Sardapa sempat mengelak dengan bergeser setapak ke samping. Namun kemudian kakinyalah yang terayun mendatar.
Satu hempasan yang keras sekali telah mengenai dadanya. Justru pada saat paman bungsunya itu berusaha untuk mengambil jarak setelah serangannya tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya sehingga paman bungsu Ki Sardapa itu terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun dengan susah payah ia telah berhasil bertahan untuk tidak jatuh tertelentang.
Ki Sardapa ternyata memberinya kesempatan untuk memperbaiki keseimbangannya. Bahkan dengan nada rendah Ki Sardapa berkata, “Silahkan paman mencoba untuk tegak lebih dahulu.”
“Anak iblis,” geram paman bungsunya, “kau memang terlalu sombong. Kau sama sekali tidak merasa, betapa dengan belas kasihan aku masih memberi kesempatan untuk memperpanjang umurmu barang sesaat. Ternyata kau mengartikan seolah-olah kau mampu mengimbangi ilmuku.”
Ki Sardapa mulai muak mendengar kata-kata pamannya itu. Karena itu maka sebelum pamannya itu selesai berbicara, maka Ki Sardapa telah meloncat dengan garangnya menyerang pamannya itu. Satu kakinya terjulur ke samping sementara tubuhnya yang seakan-akan mendatar itu bagaikan terbang meluncur dengan derasnya. Paman bungsunya tidak sempat mengelakkan dirinya. Kaki Ki Sardapa itu seakan-akan tiba-tiba saja telah terjulur menggapai dadanya begitu ia selesai berbicara.
Terdengar keluhan tertahan. Paman bungsu Ki Sardapa itu merasa seakan-akan segumpal batu padas telah menghantam dadanya sehingga karena itu, maka pamannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Betapa pun ia berusaha namun ternyata bahwa ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Karena itu maka paman bungsu Ki Sardapa itu justru telah menjatuhkan dirinya. Namun secepat itu pula ia telah melenting berdiri.
Ki Sardapa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demikian paman bungsu itu tegak, maka Ki Sardapa pun telah meloncat menyerang pula. Tangannya terjulur lurus ke dadanya ketika kakinya meloncat maju selangkah panjang. Sekali lagi dada paman Ki Sardapa bagaikan pecah karenanya. Sekali lagi pula paman bungsu itu telah terlempar beberapa langkah surut.
Namun paman bungsu itu tidak mau mengalami nasib yang sama. Karena itu maka ia pun telah menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Baru kemudian ia telah berusaha untuk meloncat bangkit, namun dalam kesiagaan sepenuhnya. Ki Sardapa tidak memburunya. Dibiarkannya pamannya tegak berdiri. Namun ternyata bahwa dadanya benar-benar bagaikan akan pecah.
“Setan kau. Sardapa,” geram paman bungsunya.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu paman bungsunya tidak lagi dapat mengingkari kenyataan. Ternyata Sardapa bukannya orang yang lemah sebagaimana diduga. Dalam benturan kekerasan yang terjadi, paman bungsu itu sama sekali tidak berhasil mengalahkan Ki Sardapa. Apalagi membunuhnya dengan cara yang sudah direncanakannya.
Karena itu maka paman bungsu itu telah mempergunakan kemungkinan yang terakhir. Dengan kemarahan yang bagaikan membakar jantung, maka ia telah menarik senjatanya. Sebuah pedang yang menggetarkan jantung. Pedang yang punggungnya ternyata bergerigi tajam.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mencoba ilmu pedangnya untuk melawan berbagai macam senjata. Tetapi di sanggarnya tidak terdapat senjata seperti yang kemudian digenggam oleh paman bungsunya itu. Namun latihan-latihannya yang berat serta usahanya untuk melatih diri menanggapi keadaan dengan cepat, telah memantapkannya untuk menghadapi senjata pamannya yang mengerikan itu.
“Kau tahu apa artinya senjata yang telah aku tarik dari sarungnya ini?” geram paman bungsu itu.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia melangkah maju.
“Dengar Sardapa,” berkata paman bungsunya itu, “kau lebih baik mengetahui bagaimana kau akan mati. Aku akan mempergunakan punggung pedangku ini untuk memotong lehermu.”
Ki Sardapa menggeram. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu, orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat dengan jelas jenis senjata paman bungsu Ki Sardapa itu. Namun ketika senjata itu sempat memantulkan cahaya bulan yang menyusup dedaunan, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Punggung pedang itu agak lain dengan punggung pedang kebanyakan.
Sementara itu Ki Sardapa telah menggenggam pedang pula di tangannya. Ia telah meyakini bahwa ilmu pedangnya tentu akan dapat melawan ilmu pamannya dengan senjata jenis apa pun yang akan dipergunakannya. Bahkan betapa pun bentuknya, namun senjata yang dibawa pamannya itu penggunaannya tidak akan jauh berbeda dengan pedang biasa, meskipun ujudnya lebih menggetarkan jantung.
“Paman,” berkata Sardapa kemudian, “seperti kepada paman-paman yang lain, aku menawarkan penyelesaian yang lebih baik daripada saling membunuh.”
Tetapi paman bungsunya itu tertawa. Semakin lama semakin keras, sehingga daun-daun randu alas itu pun telah berguncang. Yang telah menguning ternyata tidak lagi dapat tetap bergayut pada cabang dan ranting-ranting sehingga jatuh berguguran. “Kau mulai ketakutan,” berkata pamannya.
“Tidak,” jawab Sardapa, “kenapa aku takut? Paman tidak dapat menipu diri sendiri, bahwa ilmuku ternyata mampu mengimbangi kemampuan paman. Paman tidak dapat dengan semudah yang paman duga untuk membunuhku.”
“Tetapi kau tentu ngeri melihat punggung pedangku. Kau merasa lehermu seakan-akan telah menjadi nyeri, pedih dan sakit bukan buatan,” sahut paman bungsunya. Lalu “Jika demikian Sardapa. Untuk mengurangi penderitaanmu, maka letakkan senjatamu. Berjongkoklah, dan serahkan lehermu. Aku akan menebas lehermu dengan tajam pedangku. Tidak dengan punggungnya.”
Tetapi Ki Sardapa lah yang tertawa. Meskipun tidak meruntuhkan dedaunan, namun suara tertawanya sangat menyakitkan hati paman bungsunya. Di sela-sela suara tertawanya. Ki Sardapa berkata, “Ternyata keberanianmu tidak sebagaimana besar kata-katamu. Kau harus memenangkan perang tanding ini dengan ilmu kanuragan. Tidak sekedar bermain dengan kata-kata untuk mempengaruhi perasaanku, sehingga akhirnya aku berlutut menyerah dihadapan kakimu. Bukankah cara itu adalah cara yang sangat licik?”
Kemarahan paman bungsunya telah naik ke kepala. Karena itu tanpa menjawab ia telah meloncat mengayunkan pedangnya. Ki Sardapa telah bersiap. Dengan tangkasnya ia mengelak ke samping Namun ternyata paman bungsunya telah menarik pedangnya, tetapi dengan cepat bergeser ke arah lengan Ki Sardapa.
Untunglah punggung pedang yang bergerigi itu tidak menyentuh lengannya, karena dengan cepat Ki Sardapa telah bergeser sekali lagi. Jika punggung pedang yang ditarik itu menyentuh kulitnya, maka kulitnya itu tentu akan koyak dan dagingnya tercabik-cabik. Namun dalam pada itu Ki Sardapa pun telah bergerak dengan cepat dan tangkas. Tiba-tiba saja pedangnya telah terjulur mengarah ke lambung paman bungsu di saat pedang paman bungsunya itu berputar di sisi tubuhnya.
Paman bungsu itu telah berusaha untuk menghindari. Dengan loncatan panjang ia bergeser surut. Namun Ki Sardapa tidak melepaskannya, ia pun telah meloncat memburu dengan pedangnya yang terjulur. Dengan tergesa-gesa pamannya telah menangkis dan memukul pedang Ki Sardapa ke samping. Tetapi Ki Sardapa cepat menarik pedangnya. Begitu pedang pamannya terayun, maka sekali lagi pedang Ki Sardapa terjulur pula.
Paman bungsunya itu pun terkejut. Dengan serta merta ia-pun telah meloncat jauh-jauh mengambil jarak untuk memperbaiki keadaannya. Ki Sardapa tidak memburunya, ia memang menjadi ragu-ragu. Mungkin pamannya ingin membuat satu jebakan baginya. Karena itu ia memang harus berhati-hati.
Tetapi ternyata tidak demikian. Pamannya tidak menjebaknya. Tetapi ia benar-benar telah terdesak oleh serangan Ki Sardapa yang datang beruntun. Karena itu maka Ki Sardapa kemudian berkata, “Apakah dalam keadaan seperti ini aku harus menyerahkan leherku. Paman, marilah kita bersungguh-sungguh. Jangan sekedar bermain-main. Biarlah perang tanding ini cepat selesai, siapa yang akan mati biarlah cepat mati.”
“Anak iblis,” paman bungsunya mengumpat, “kau kira kau akan dapat menang.”
“Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi bagiku, semakin cepat akan semakin baik.”
Paman bungsunya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan putaran yang mendebarkan. Namun sekali-sekali paman bungsunya itu juga berusaha untuk mengenai kulit lawannya dengan punggung pedangnya yang mengerikan. Tetapi Sardapa cukup tangkas. Usaha paman bungsunya sama sekali belum berhasil.
Dalam pada itu para saksi pun menjadi berdebar-debar. Di luar sadar, mereka telah bergeser semakin dekat. Semuanya ingin melihat dengan jelas, apakah yang sebenarnya sedang terjadi. Tetapi ternyata bahwa semua saksi, baik yang datang bersama-sama dengan Ki Sardapa, maupun yang datang bersama paman bungsu Ki Sardapa itu agaknya condong untuk memilih Ki Sardapa agar memenangkan perang tanding itu.
Saudara-saudaranya sendiri yang meskipun disebut pengkhianat, tetapi diajaknya menyaksikan perang tanding itu ternyata tidak berdoa untuknya. Tetapi justru untuk kemenangan Ki Sardapa, jika jalan lain memang tidak dapat ditempuh. Apalagi para saksi yang datang bersama Ki Sardapa itu.
Dalam pada itu Kiai Patah memang merasa kagum kepada Ki Sardapa yang dalam waktu yang terhitung singkat, telah mampu meningkatkan ilmunya cukup jauh. Dengan demikian maka Ki Sardapa itu sama sekali tidak mengecewakan ketika mereka harus beradu ilmu pedang. Meskipun pedang paman bungsunya itu lebih berbahaya, tetapi kemampuan Sardapa mampu melindunginya sehingga kulitnya tidak terkoyak karenanya. Bahkan beberapa saat kemudian, ilmu pedang Ki Sardapa mampu membuat paman bungsunya kadang-kadang kehilangan langkah.
Namun demikian pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu masih belum dapat menduga, siapakah di antara mereka yang akan menang. Bahkan orang-orang berilmu tinggi seperti Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih belum dapat meyakinkan diri mereka bahwa Ki Sardapa akan berhasil. Karena jika ia telah melakukan kesalahan yang kecil saja, maka akibatnya akan sangat parah baginya.
Dengan demikian maka pertempuran itu masih saja berlangsung dengan sengitnya. Keduanya saling menyerang, saling menghindar dan saling mendesak. Sekali-sekali Ki Sardapa harus meloncat mundur beberapa langkah untuk memperbaiki keadaannya, sementara itu pada kesempatan lain, paman bungsunyalah yang harus mengambil jarak karena mengalami tekanan yang sangat berat dari lawannya.
Namun dalam benturan-benturan senjata yang terjadi kemudian, paman bungsunya telah memanfaatkan gerigi-gerigi tajam yang ada pada punggung pedangnya. Sekali-sekali paman bungsunya telah mempergunakan gerigi-gerigi di punggung pedangnya untuk mengguncang pegangan tangan Ki Sardapa, kemudian dengan putaran yang cepat, paman bungsunya berusaha untuk mengoyak kulit lawannya. Tetapi usahanya masih selalu gagal, karena Ki Sardapa mampu bergerak dengan cepat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dari waktu ke waktu, bulan di langit pun bergeser semakin ke Barat. Bayangan randu alas itu pun seakan-akan telah bergerak pula. Dalam perang tanding yang sengit itu, kadang-kadang keduanya telah terlempar pula keluar dari bayangan pohon randu alas. Ternyata bahwa di bawah sinar bulan yang bulat, keduanya merasa lebih jelas dan pasti. Itulah sebabnya, maka keduanya pun kemudian telah berusaha untuk bertempur langsung di bawah cahaya bulan.
Paman bungsu Ki Sardapa dengan sengaja telah menggerak-gerakkan pedangnya yang mengkilap untuk mempengaruhi ketahanan jiwa Sardapa. Setiap kilatan pantulan cahaya bulan, rasa-rasanya memang membuat jantungnya berdesir. Sementara pedang Ki Sardapa sendiri bukannya pedang yang berkilat-kilat seperti pedang pamannya. Tetapi justru pedang yang berwarna kehitam-hitaman. Pedang yang dibuat secara khusus, sebagaimana seseorang membuat sebuah keris yang besar dan tebal.
Namun demikian, sekali-sekali pedang Ki Sardapa itu juga berkilau memantulkan cahaya jika sinar bulan tepat mengenai butir-butir logam pilihan yang dibuat bagi pamor pedangnya itu. Justru pantulan cahayanya yang tidak selalu nampak itu kadang-kadang justru mengejutkan. Apalagi cahaya yang terpantul itu kadang-kadang berwarna hijau, kadang-kadang merah dan kadang-kadang biru.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang berperang tanding itu ternyata telah mengerahkan segenap kemampuannya dan tenaganya, sehingga betapa pun mereka memiliki ketahanan tubuh, namun setelah keringat mereka membasahi seluruh tubuh dan pakaian mereka, maka perlahan-lahan tenaga mereka pun menjadi susut.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika melihat batas kekuatan Ki Sardapa telah terlampaui. Namun, demikian pula terjadi pada lawannya. Tenaganya pun mulai nampak susut pula. Bahkan ternyata latihan-latihan yang berat dan teratur yang dilakukan oleh Ki Sardapa telah banyak menolongnya. Meskipun tenaganya memang mulai susut, tetapi tidak secepat susutnya tenaga paman bungsunya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berpengharapan. Latihan-latihan yang dilakukan oleh Ki Sardapa dengan bangun pagi, berlari-lari dan latihan pernafasan agaknya telah menolongnya. Nafasnya menjadi lebih panjang dari nafas pamannya. Tetapi untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu masih nampak berbahaya bagi kedua belah pihak. Justru tenaga mereka mulai susut, maka benturan-benturan senjata mulai menjadi kurang terkendali.
Karena itu, maka justru kemudian, ujung pedang kedua orang yang sedang bertempur itu telah mampu menggapai tubuh lawannya. Meskipun paman bungsu itu tidak berhasil menyentuh kulit Ki Sardapa dengan punggung pedangnya, namun tajam pedangnya benar-benar telah mampu melukai kulit pamannya. Namun dalam pada itu, ujung pedang Ki Sardapa pun telah menggores lengan paman bungsunya. Tetapi ternyata bahwa titik-titik darah itu seakan-akan telah memacu kembali pertempuran yang mulai mengendor itu.
Namun betapa kemarahan menghentak-hentak di dalam dada mereka, mereka tetap berada dalam keterbatasan tenaga mereka. Itulah sebabnya, maka untuk beberapa saat kemudian, senjata-senjata itu telah beberapa kali mengenai sasaran. Lukapun menjadi semakin banyak tergores di kulit dan mengoyakkan daging. Paman bungsu Ki Sardapa itu menggeram ketika justru dadanya telah tergores senjata pula. Namun demikian, lambung Ki Sardapa pun sudah mulai berdarah meskipun lukanya tidak begitu dalam.
Darah yang menitik itu membuat tenaga mereka berdua menjadi semakin susut. Tetapi ternyata bahwa kecepatan gerak Ki Sardapa yang didukung dengan daya tahannya yang lebih baik, mampu menggoreskan luka lebih banyak di tubuh paman bungsunya. Darah pun lebih banyak mengalir dari tubuh paman bungsunya itu. Tetapi kobaran api kemarahan pun lebih besar pula menyala di dadanya. Namun karena itu, maka paman bungsu itu telah memaksa diri dan bergerak lebih banyak untuk mengimbangi tenaga Ki Sardapa yang masih lebih baik daripadanya. Tetapi dengan demikian, maka darah pun menjadi semakin banyak mengalir dari tubuhnya.
Ki Sardapa yang melihat keadaan paman bungsunya itu pun kemudian berkata, “Paman, apakah kita yang sudah terluka parah seperti ini masih akan melanjutkan perang tanding?”
“Pengecut,” geram pamannya, “aku kira kau laki-laki sejati yang menghargai diri sendiri. Ternyata kau takut melihat kematianmu yang sudah membayang.”
“Apakah kematian itu ada artinya?” bertanya Ki Sardapa.
“Perang tanding harus berlangsung sampai tuntas,” berkata pamannya sambil meloncat menyerang sejadi-jadinya.
Ki Sardapa mulai memperhitungkan keadaan tubuhnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak terlalu banyak membuang tenaganya. Ia hanya berusaha untuk menangkis dan menghindari serangan. Hanya pada saat-saat yang meyakinkan sajalah ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa untuk menyerang. Tetapi Ki Sardapa tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus melawan serangan-serangan pamannya yang datang seperti banjir bandang, betapa pun kadang-kadang tidak dengan perhitungan yang matang.
Namun akhirnya, pamannya yang telah mengeluarkan darah terlalu banyak itu menjadi sangat lemah. Luka-luka yang silang menyilang telah mengalirkan darah seperti diperas dari tubuhnya. Tetapi betapa dendam telah membakar jantungnya. Ia sama sekali tidak mau menghentikan serangan-serangannya. Ki Sardapa masih mempunyai perhitungan yang mapan. Darahnya pun mengalir dari luka-lukanya. Tetapi tidak sebanyak darah paman bungsunya itu.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mereka menyadari betapa keadaan paman bungsu Sardapa itu menjadi sangat parah. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak mau mengakui akan keadaan dirinya yang sebenarnya.
Pada hentakkan-hentakkan yang dilakukan kemudian oleh paman bungsu itu, seakan-akan telah memeras titik-titik darahnya yang terakhir. Karena itu, ketika ia masih memaksa diri untuk menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya telah kehilangan keseimbangan. Mata paman bungsu Ki Sardapa itu menjadi kabur. Cahaya bulan yang bulat itu telah menjadi buram. Tubuhnya bagaikan menggigil kedinginan.
Beberapa saat ia masih bertahan. Tetapi ketika sekali lagi ia mencoba untuk melangkah mendekati Sardapa yang menjadi tidak jelas lagi dalam tangkapan matanya yang kabur, maka orang itu menjadi terhuyung-huyung. Bahkan akhirnya ia tidak dapat bertahan lagi dan akhirnya jatuh terjerembab. Paman bungsu Sardapa itu masih menggeliat. Tetapi tubuhnya telah menjadi sangat lemah.
Dalam pada itu, beberapa orang saudaranya berlari-lari mendekatinya. Mereka berjongkok mengitarinya. Yang tertua di antara mereka pun telah mengangkat kepala adik bungsunya itu sambil berdesis, “Bagaimana keadaanmu?”
Saudaranya yang bungsu itu pun berdesis, “Apakah Sardapa sudah mati?”
Saudaranya yang sulung menjadi ragu-ragu. Tetapi seorang di antara saudaranya menyahut, “Ya. Sardapa sudah mati.”
“Ooo,” yang bungsu itu menarik nafas dalam-dalam, “tugasku sudah selesai.”
“Kau akan diobati,” berkata yang tertua.
“Tidak ada gunanya,” desisnya. Nafasnya menjadi semakin terengah-engah, “anak iblis itu sudah melukai aku. Tetapi akhirnya aku berhasil membunuhnya pula.”
“Ya. kau berhasil,” jawab salah seorang saudaranya.
Nafas saudaranya yang bungsu itu menjadi semakin sendat. Namun akhirnya ia menghentakkan tenaganya yang penghabisan untuk berteriak, “Sardapa sudah mati. Lihat, aku telah membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Suara itu pun kemudian lenyap. Suasana pun menjadi hening diam.
Saudara tertua di antara mereka itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sardapa, maka dilihatnya Ki Sardapa masih berdiri tegak. Di belakangnya berdiri orang-orang yang datang sebagai saksinya dalam perang tanding itu. Perlahan-lahan saudara tertua itu bangkit berdiri setelah meletakkan kepala adiknya yang bungsu. Selangkah demi selangkah ia mendekati Ki Sardapa yang masih berdiri tegak.
“Kaulah yang telah menyelesaikan pekerjaanmu Sardapa,” berkata pamannya tertua, “ternyata aku tidak berhasil mencegahnya. Untunglah bahwa kau telah berhasil meningkatkan ilmumu pula, sehingga kau tidak menjadi korban karenanya.”
“Sebenarnya bukan niatku untuk membunuhnya,” desis Sardapa.
“Aku tahu. Kau sudah berusaha. Kau berkali-kali menawarkan untuk menghentikan perang tanding ini. Tetapi adikku yang bungsu ini tidak mau mendengarkannya. Apa boleh buat,” paman sulungnya itu berhenti sejenak, namun kemudian katanya, “Perhatikan luka-lukamu. Kau akan dapat kehabisan darah seperti paman bungsumu itu.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panonjaya pun berkata pula, “Marilah, kita obati luka-lukamu.”
Ki Sardapa pun kemudian telah bergeser menjauh dan duduk diatas sebuah batu yang besar. Dengan hati-hati Kiai Patah telah memberikan pengobatan untuk sementara, agar darahnya tidak terperas habis dari tubuhnya.
Dalam pada itu, saudara-saudara ibu tiri Ki Sardapa itu pun telah mengerumuni adik bungsunya yang telah mengorbankan nyawanya untuk memuaskan gejolak perasaannya yang mendendam. “Seharusnya ia menyadari, bahwa tidak sepantasnya ia mendendam karena Sardapa tidak pernah melakukan kesalahan,” berkata saudaranya yang sulung.
“Dendam itu agaknya telah didesakkannya sendiri ke dalam perasaannya tanpa sebab, ia pulalah yang mengangankan kesalahan Ki Sardapa itu, dan yang kemudian dinyatakannya sebagai satu kenyataan. Kemudian ia pun mendendam karena kenyataan yang dibuatnya sendiri itu. Dan kesalahan Sardapa yang semu itu telah menyeretnya ke dalam maut,” berkata saudaranya yang lain.
Yang tertua itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Bagaimanapun juga, ia adalah adik kita. Kita wajib menyelenggarakannya dengan sebaik-baiknya.”
“Kita akan membawanya pulang. Kita akan minta diri kepada Sardapa dan kawan-kawannya itu,” berkata saudaranya yang lain.
Demikianlah maka saudara-saudara ibu tiri Sardapa itu pun telah minta diri serta memberitahukan bahwa tubuh adik bungsunya akan dibawanya pulang.
Sardapa yang telah diobati luka-lukanya itu pun berkata dengan nada rendah, “Aku mohon maaf paman. Sekali lagi aku nyatakan, bahwa aku tidak sengaja membunuh.”
“Kami mengerti,” jawab pamannya yang tertua, “kami memang tidak menyalahkanmu. Agaknya hidupnya memang telah sampai ke garis batas. Dan sebab kematiannya telah dibuatnya sendiri.”
Demikianlah beberapa orang paman Sardapa itu pun telah meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh adiknya yang bungsu. Namun dengan demikian yang masih tinggal hidup itu-pun telah melepaskan sengketa di antara mereka. Beberapa orang yang semula seakan-akan terpisah, justru karena tidak mau hidup dan melakukan pekerjaan sebagaimana dilakukan oleh saudara-saudaranya, ternyata telah bersatu kembali. Bukan mereka yang menceburkan diri ke dalam tata cara kehidupan yang suram, tetapi yang lainlah yang seakan-akan telah melihat kembali jalan yang terang.
Namun Sardapa masih sempat minta maaf kepada mereka, bahwa sebagai orang yang lebih muda, seharusnya ia menghormati paman-pamannya itu. Sepeninggal paman-pamannya membawa tubuh paman bungsunya yang terbunuh dalam perang tanding itu, maka Ki Sardapa pun telah bersiap-siap untuk kembali ke padukuhannya. Tetapi ia masih menunggu beberapa saat sehingga keadaan tubuhnya menjadi berangsur semakin baik.
Baru ketika darahnya telah pampat serta tubuhnya tidak lagi terasa lemah sekali, maka Ki Sardapa diiringi oleh beberapa orang telah kembali ke padukuhan. Sebagaimana mereka berangkat, maka mereka pun berusaha untuk tidak banyak diketahui orang. Apalagi karena tubuhnya menjadi lemah dan noda-noda darah yang melekat pada pakaiannya.
Namun Ki Sardapa tidak dapat menyembunyikan keadaannya itu sepenuhnya. Ternyata bahwa para pengawal di halaman rumahnya telah melihatnya, sehingga mereka pun telah mengerumuninya. Mereka pun telah bertanya seperti sungai yang banjir, tanpa ada henti-hentinya. Bahkan sebelum pertanyaan yang terdahulu dijawab, telah diajukan pertanyaan yang lain berturut-turut.
“Biarlah Ki Bekel beristirahat,” berkata Kiai Patah, “ia sangat memerlukannya agar keadaannya berangsur baik.”
“Tetapi apa yang telah terjadi?” bertanya para pengawal.
“Besok Ki Bekel akan menceriterakannya,” jawab Kiai Patah.
Para pengawal itu tidak puas mendengar jawaban Kiai Patah, tetapi mereka tidak dapat mendesak. Mereka hanya melihat dengan termangu-mangu ketika Ki Bekel itu dibawa masuk ke dalam rumahnya. Namun justru karena tidak mendapat jawaban yang pasti, para pengawal telah membuat dugaan-dugaan yang bermacam-macam. Tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa keadaan telah menjadi gawat. Karena itu, maka dua orang di antara mereka telah mengelilingi gardu-gardu di padukuhan itu dan memberitahukan agar mereka meningkatkan kesiagaan mereka.
“Apa yang terjadi?” bertanya para peronda di gardu-gardu.
“Ki Bekel terluka parah,” jawab para pengawal itu, “agaknya hanya karena pertolongan Kiai Patah dan anak-anak muda yang berilmu tinggi itu sajalah maka Ki Bekel telah lepas dari malapetaka.”
“Sudah berapa kali ada usaha untuk membunuh Ki Bekel,” desis salah seorang peronda.
“Nah, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk mengamankan padukuhan ini? Termasuk Ki Bekel?” berkata salah seorang pengawal, “karena itu, maka kesiagaan perlu ditingkatkan. Jangan memberi kesempatan padukuhan ini mengalami bencana tanpa kita lakukan pencegahan. Kecuali jika kita semuanya sudah berbuat sejauh dapat kita lakukan, bahkan telah kita berikan korban yang terbesar dari milik kita, maka apa boleh buat.”
“Kami akan melakukannya disini,” berkata salah seorang peronda.
“Terima kasih. Tetapi kalian pun harus meronda berkeliling pula untuk mengamati keadaan. Tetapi jangan hanya berdua. Dalam keadaan gawat, segala kemungkinan dapat terjadi. Jangan lupa, siapa yang meronda berkeliling, sebaiknya membawa kentongan kecil yang dapat dipergunakan untuk memberikan isyarat yang dapat didengar dari gardunya masing-masing,” berkata salah seorang di antara para pengawal.
Dengan demikian maka seluruh padukuhan itu pun telah bersiaga menghadapi kemungkinan yang manapun. Anak-anak muda telah meronda berkeliling padukuhan. Bukan saja mereka yang sedang bertugas, tetapi anak-anak muda yang ada di rumah pun telah dibangunkan dan dipanggil untuk datang ke gardu.
Dengan demikian, maka berita tentang keadaan Ki Bekel- pun segera tersebar. Sekelompok anak-anak muda yang dianggap memiliki kelebihan telah dipanggil untuk berjaga-jaga di banjar, karena di banjar telah disimpan harta kekayaan yang besar dari padukuhan itu. Sebagian dari mereka berada di luar banjar, sebagian lagi berada di dalam banjar, sementara yang bertugas ronda malam itu justru berada di luar halaman banjar.
Setiap kali mereka berganti-ganti mengelilingi banjar itu. Baik mereka yang meronda di luar halaman, di halaman dan bahkan yang ada di dalam pun setiap kali telah mengamati setiap sudut dari banjar itu. Setiap ruangan dan bahkan beberapa kali mereka telah menjenguk ke dalam bilik penyimpanan harta benda dan kekayaan padukuhan itu.
Namun sampai fajar menyingsing, tidak terjadi sesuatu yang menggetarkan padukuhan itu. Namun demikian, kegelisahan ternyata sudah mencengkam setiap orang. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga keluarga mereka yang mendengar berita tentang Ki Bekel, namun yang tidak jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.
Itulah sebabnya, maka ketika matahari tertib, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang keluar dari halaman rumah Ki Bekel telah terkejut melihat kesiagaan yang sangat tinggi. Dari anak-anak muda itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat keterangan, bahwa mereka telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, karena ada di antara mereka yang melihat Ki Bekel yang terluka parah, tanpa mendapat keterangan tentang sebab musababnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa agaknya lebih baik untuk memberikan penjelasan tentang satu peristiwa yang dianggap penting daripada menunda-nundanya. Dengan demikian tidak akan mudah timbul salah paham yang barangkali akan dapat mengganggu bagi ketertiban selanjutnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian masih memerlukan kepastian dari Ki Bekel yang berbaring di pembaringannya, apakah mereka dibenarkan untuk memberikan keterangan tentang keadaan ki bekel itu.
“Apakah itu perlu?” bertanya Ki Bekel.
“Ya Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “jika tidak diberikan keterangan tentang yang sebenarnya, maka orang-orang padukuhan ini akan mengarang sendiri, menurut penalaran mereka masing-masing sehingga keterangannya pun kemudian akan menjadi simpang siur.”
Ki Bekel yang masih dalam keadaan yang gawat itu pun memandang Kiai Patah yang termangu-mangu. Namun akhirnya Kiai Patah itu pun berkata, “Sebaiknya memang demikian Ki Bekel. Agar tidak timbul berita yang simpang siur tentang Ki Bekel.”
Ki Bekel itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Berikan penjelasan sebaik-baiknya agar berita yang simpang siur itu tidak membuat penghuni padukuhan ini menjadi gelisah.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan rumah itu. Mereka akan pergi ke banjar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga orang-orang terutama anak-anak muda yang ada di banjar tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan.
Sebenarnyalah ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai di banjar, maka anak-anak muda segera mengerumuninya, termasuk beberapa orang pengawal yang mengikutinya dari halaman rumah Ki Sardapa sendiri, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan memberikan keterangan tentang Ki Bekel di banjar saja.
“Kami tidak ingin membuat rumah Ki Bekel menjadi gaduh, karena Ki Bekel sangat memerlukan kesempatan untuk beristirahat,” jawab Mahisa Murti ketika seorang pengawal menanyakan kepadanya, kenapa keterangan itu tidak diberikan saja di halaman rumah Ki Bekel.
Di banjar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan keterangan kepada orang-orang yang berkumpul di halaman. Keduanya berdiri di pendapa menghadap ke halaman yang penuh dengan orang-orang yang hampir tidak sabar menunggu.
“Ki Bekel telah menyelesaikan perang tanding,” berkata Mahisa Murti yang kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di arena perang tanding dibawah pohon randu alas itu.
“Kenapa Ki Bekel tidak memberitahukan kepada kami sebelum berangkat,” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Ki Bekel tidak ingin membuat padukuhan ini gelisah,” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi jika terjadi sesuatu atas Ki Bekel, kami tidak dapat membantunya,” berteriak seorang anak muda.
“Kalian memang tidak akan dapat membantu,” jawab Mahisa Pukat, “dalam perang tanding yang sudah disepakati, tidak seorang pun yang dibenarkan untuk membantu. Para saksi hanya akan menyaksikan apa yang terjadi. Kedua orang yang telah sepakat untuk berperang tanding, akan menanggung akibat apa pun yang dapat terjadi atas dirinya, kecuali jika ia bukan seorang yang jantan, yang mungkin dengan sengaja ingin menjebak lawannya.”
Beberapa orang termangu-mangu karenanya. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Namun Ki Bekel bukannya turun ke arena perang tanding tanpa perhitungan. Karena itu, maka kita semua wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung, bahwa Ki Bekel telah mendapat kemenangan. Meskipun Ki Bekel terluka parah, namun tidak membahayakan jiwanya. Karena itu, maka Ki Bekel mohon bantuan kalian untuk tetap tenang, agar Ki Bekel pun dapat tenang beristirahat.”
“Orang-orang yang berada di halaman itu pun mengangguk-angguk. Mereka baru jelas atas apa yang telah terjadi dengan Ki Bekel. Agaknya mereka memang tidak perlu mengadakan kesiagaan yang berlebihan. Tetapi tidak ada jeleknya, apabila sekali-sekali mereka mencoba melihat kesiagaan anak-anak muda padukuhan itu.
Dalam pada itu, Ki Bekel pun selalu berada di bawah perawatan Kiai Patah yang juga serba sedikit mengetahui tentang pengobatan. Dengan demikian maka perlahan-lahan keadaannya pun berangsur baik. Luka-lukanya mulai menjadi pampat dan bahkan perasaan sakit tidak lagi terlalu mencengkamnya.
Sementara itu, Ki Bekel telah memerintahkan dua orang bebahu padukuhan itu untuk menghadap Ki Buyut. Para bebahu itu harus melaporkan apa yang telah terjadi atas diri Ki Bekel, agar Ki Buyut tidak menganggapnya bersalah karena Ki Bekel untuk beberapa lama tidak menghadap.
Ki Buyut terkejut mendengar laporan itu. Karena itu, maka ia pun telah memerlukan untuk menengok Ki Bekel yang masih berbaring di pembaringannya.
“Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Buyut,” berkata Ki Bekel ketika Ki Buyut menengoknya.
“Kau tidak memberitahukan sebelumnya kepadaku,” berkata Ki Buyut.
“Aku berjanji untuk berperang tanding. Karena itu, maka aku tidak memberitahukan kepada siapa pun kecuali kepada mereka yang selama ini telah melindungi aku. Kiai Patah dan kedua orang anak muda itu, di samping dua orang pamanku,” jawab Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah Ki Bekel. Satu pengalaman yang sangat berharga bagi Ki Bekel. Jika dalam waktu singkat Ki Bekel mampu meningkatkan ilmu sedemikian jauh, maka untuk waktu yang lama, maka Ki Bekel akan menjadi seorang yang berilmu tinggi.”
Tetapi Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Ada batas yang tidak akan dapat aku tembus. Dan aku bukan seorang yang pantas untuk memiliki ilmu yang tinggi.”
“Kau adalah seorang Bekel,” berkata Ki Buyut, “sudah sepantasnya jika kau menempa diri terus-menerus. Jika kau tidak memerlukannya bagi dirimu sendiri, maka kau harus melindungi rakyatmu dari segala kemungkinan yang buruk. Apalagi di padukuhan ini terdapat sesuatu yang bernilai untuk dipertahankan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut. “Ya Ki Buyut. Aku pun menyadari, bahwa ternyata rakyat padukuhan ini memerlukan perlindungan.”
“Nah, jika Ki Bekel memiliki kemampuan yang tinggi, maka tugasku pun akan menjadi semakin ringan. Aku kira padukuhan-padukuhan lain pun harus berusaha untuk mengalami perbaikan sebagaimana terjadi disini, khusus bagi pemimpin padukuhannya. Kecuali para Bekel yang sudah terlalu tua untuk meningkatkan kemampuannya,” berkata Ki Buyut.
Ki Bekel pun mengangguk-angguk kecil. Ia menyadari, bahwa Ki Buyut adalah bekas seorang prajurit, sehingga perhatiannya memang cukup banyak ditujukan kepada peningkatan kemampuan yang akan banyak berpengaruh terhadap ketahanan padukuhan di dalam lingkungan Kabuyutannya.
Untuk beberapa saat Ki Buyut menunggui Ki Bekel yang masih terbaring. Beberapa lama ia berbincang-bincang dengan orang-orang yang untuk sementara ada di sekeliling Ki Bekel. Sehingga akhirnya Ki Buyut itu pun minta diri. Namun sebelumnya ia masih juga berpesan kepada Kiai Patah, “Aku menitipkan padukuhan ini.”
Kiai Patah tersenyum. Sementara itu Ki Buyut berkata, “Aku memang tidak menitipkannya kepada anak-anak muda itu, karena aku tahu bahwa lambat atau cepat, mereka akan meninggalkan padukuhan ini.”
“Aku juga,” berkata Kiai Patah.
“Tetapi tidak akan secepat anak-anak muda itu,” sahut Ki Buyut sambil tersenyum.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami mempunyai tugas lain yang segera harus kami tangani. Kami tidak dapat terlalu lama berada di sini.”
Namun Mahisa Pukat telah menyambung, “Kami telah meninggalkan padepokan kami terlalu lama.”
Ki Buyut masih tersenyum. Katanya, “Tetapi satu ketika kalian akan datang lagi ke Kabuyutan ini.”
“Mudah-mudahan Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Tetapi pada saatnya kalian meninggalkan padukuhan ini, aku mohon kalian singgah di rumahku,” berkata Ki Buyut pula.
“Tentu,” jawab Mahisa Murti, “kami akan mohon diri.”
Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke padukuhan induk. Sementara itu, harapannya pun telah tumbuh, bahwa padukuhan-padukuhan di lingkungan Kabuyutannya hendaknya akan mampu dikembangkan. Ki Sardapa akan dapat menjadi contoh, betapa dengan niat yang tinggi, ia mampu meningkatkan kemampuannya. Sementara itu, sejalan dengan peningkatan kemampuannya, kesejahteraan padukuhannya pun telah meningkat pula.
Ternyata bahwa anak-anak muda di padukuhan yang dipimpin oleh Ki Sardapa itu mempunyai gairah kerja yang lebih baik dari padukuhan-padukuhan yang lain. Mungkin hal itu terjadi karena pengaruh keadaan. Justru karena peristiwa yang bergejolak di padukuhan itu, atau mungkin karena kehadiran orang-orang tertentu di padukuhan itu. Namun yang terjadi di padukuhan Ki Sardapa itu tentu akan dapat dikembangkan di padukuhan-padukuhan lain meskipun dengan kadar yang berbeda.
Untuk beberapa hari ternyata Ki Bekel masih harus berbaring di pembaringannya. Sekali-sekali Ki Bekel itu juga turun ke halaman untuk berjalan-jalan agar tubuhnya perlahan-lahan menjadi pulih kembali kekuatannya. Bahkan dalam keadaan sakit pun Ki Bekel masih juga menerima beberapa orang bebahu untuk mengadakan pembicaraan tentang perkembangan padukuhannya.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap pula untuk meninggalkan padukuhan itu. Mereka hanya menunggu sampai keadaan Ki Bekel menjadi baik dan kesehatannya pulih kembali.
Tetapi untuk beberapa lama Kiai Patah memang masih akan tinggal. Kiai Patah yang hampir tidak mempunyai sanak kadang lagi itu, telah menjadi kerasan tinggal di sebuah padukuhan yang pernah menimbulkan malapetaka bagi keluarganya. Namun Kiai Patah rasa-rasanya telah mendapatkan tuntunan untuk menghukum mereka yang bersalah. Ternyata beberapa pihak telah membantunya, bahkan Ki Buyut pun telah mengambil langkah-langkah yang ikut menentukan.
Dalam satu pembicaraan, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menceriterakan tentang rencananya untuk melanjutkan perjalanan, serta keinginannya untuk menyusun kekuatan pada sebuah perguruan baru yang tinggal di sebuah padepokan kecil, maka Kiai Patah pun berkata, “Kau persiapkan perguruanmu pada tataran pertama dengan tujuan kekerasan anak muda.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar kata-kata Kiai Patah itu. Hampir bersamaan keduanya bertanya, “Kenapa Kiai?”
“Rencana kalian yang pertama-tama adalah menyusun kekuatan. Bukan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin para penghuni padepokan itu serta menyusun tata kehidupan yang wajar,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Bukankah aku serba sedikit juga pernah mengutarakan rencana ini kepada Kiai?”
“Ya. Tetapi aku belum merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan tanggapanku atas rencana kalian itu,” jawab Kiai Patah, “tetapi sekarang, ketika suasana sudah menjadi jernih, aku baru dapat menyebutkannya.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kiai. Kami bukan manusia-manusia linuwih yang memiliki derajad melampaui orang kebanyakan. Karena itu, maka kami masih berpijak pada naluri bahwa kita berhak untuk mempertahankan diri dan bahkan merupakan bagian dari usaha mempertahankan jenis mahluk yang disebut manusia. Itulah sebabnya, maka kami masih juga memperhitungkan kekuatan bagi padepokan kami. Menurut pengalaman kami, tanpa kekuatan itu, maka padepokan kami akan dapat hapus dari tanah ini.”
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah menyusun kekuatan bukan berarti salah satu wajah dari pertentangan dan kekerasan?”
“Sebagaimana Kiai alami, demikian pula pengalaman kami. Seandainya Kiai tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri, maka Kiai sudah tidak ada lagi sekarang ini. Atau barangkali Ki Bekel yang lama masih tetap memegang pimpinan dan memiliki kekayaan yang tidak sah,” berkata Mahisa Pukat.
“Sementara itu, ternyata bahwa kemampuan Kiai menjadi sangat berarti pada saat-saat Ki Sardapa menegakkan kedudukannya di padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti pula.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Kiai. Sebenarnya kami memerlukan satu cara untuk mempertahankan diri.”
“Apakah dengan kekuatan kalian tidak berniat untuk memperluas kekuasaan kalian?” bertanya Kiai Patah.
“Kiai,” jawab Mahisa Murti, “ternyata meskipun Kiai Patah mampu melakukannya, ternyata Kiai Patah tidak tergoda untuk memiliki kembali harta kekayaan yang telah ada di padukuhan ini. Kiai yang mampu melakukannya, ternyata juga tidak bernafsu untuk menguasai dan bertindak semena-mena atas orang-orang padukuhan ini. Bukankah dengan demikian ada perbedaan antara seseorang yang satu dan lainnya, meskipun keduanya memiliki kekuatan? Ki Bekel yang lama dengan kekuatannya telah membunuh dan merampok. Tetapi Kiai Patah dengan kekuatannya telah membangun kembali padukuhan ini menjadi padukuhan yang jernih.”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Patah.
“Semuanya tergantung kepada manusianya, Kiai. Ilmu adalah kekuatan. Yang mempergunakan kekuatan itu adalah manusia. Karena itu, manusia di belakang kekuatan itulah yang akan menentukan segala-galanya,” jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Bagus. Jawaban itulah yang aku tunggu. Sebenarnya aku tidak menentang rencana kalian. Tetapi aku ingin mendengar apakah yang melandasi usaha kalian untuk menyusun jenjang kekuatan di padepokanmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun keduanya pun kemudian mengangguk-angguk kecil.
“Anak-anak muda,” berkata Kiai Patah, “landasan kejiwaan itulah yang memang harus disusun kuat-kuat lebih dahulu didalam diri manusia yang akan membina kekuatan itu. Karena pada dasarnya adalah manusia itulah yang akan mempergunakan kekuatan menurut niatnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum menjawab.
“Nah, jika demikian, maka pantaslah apa yang akan kalian lakukan. Ternyata bahwa kalian adalah anak Mahendra yang mewarisi bukan saja kemampuan dan ilmu ayahnya, tetapi juga landasan kejiwaannya itu,” berkata Kiai Patah selanjutnya. Kemudian katanya dengan nada perlahan-lahan, “Aku akan berusaha untuk membantu kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dipandanginya wajah Kiai Patah dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang bertanya, “Bantuan apa yang dapat Kiai berikan kepada kami untuk menemukan orang yang pantas kami percayai untuk mengisi jenjang kepemimpinan di padepokan kami? Untuk beberapa lama kami telah mencari. Baik di antara orang-orang kami sendiri, maupun orang-orang yang pernah kami jumpai, bahkan anak-anak muda, remaja atau kanak-kanak sekalipun. Namun kami belum merasa pernah menemukannya.”
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku memang akan membantu. Sekedar membantumu. Tetapi aku pun tidak pasti, bahwa dengan bantuanku itu kalian benar-benar dapat berhasil.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Patah berkata, “Kalian masih muda. Kalian berdua masih mempunyai banyak kesempatan untuk meningkatkan ilmu kalian yang bersumber dari banyak perguruan. Kau menyadap ilmu Mahendra, Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan mungkin beberapa orang lagi. Jika kemudian kalian ingin menyusun jenjang kepemimpinan di padepokan kalian sejak awal, maka kau harus mengambil anak-anak muda atau remaja yang lebih muda lagi dari kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyahut, “Ya Kiai Kami ingin menemukan anak-anak muda seumur adik kami. Kami akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk membinanya.”
“Nah,” berkata Kiai Patah, “jika demikian bertanyalah kepada ayahmu.”
“Kepada ayah?“ Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya hampir berbareng.
Kiai Patah pun kemudian tertawa. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Waktu kami berangkat, kami telah minta diri kepada ayah. Tetapi ayah tidak pernah mengatakan apa-apa.”
Kiai Patah masih saja tertawa. Katanya kemudian, “Tentu ayah kalian melepaskan kalian tanpa memberikan pesan apa-apa. Aku kenal sifat Mahendra. Ia tentu ingin mencoba sejauh mana kalian mampu melakukan tugas yang kalian bebankan atas pundak kalian sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, maka tidak sebaiknya kami kembali dan justru bertanya kepada ayah, apa yang sebaiknya harus kami lakukan.”
“Kami akan kembali jika kami telah berhasil menemukan apa yang kami cari,” sambung Mahisa Pukat.
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku yakin bahwa ayah kalian akan dapat menentukan, kepada siapa kalian harus datang untuk menemukan orang-orang yang kalian cari itu.”
Tetapi kedua orang anak muda itu justru menggeleng. Sementara Mahisa Murti berkata, “Terima kasih Kiai. Kami akan meneruskan pengembaraan kami.”
“Tetapi bagaimana dengan padepokan dan perguruan kalian yang sampai saat ini justru ditunggui oleh ayah kalian? Bukankah dengan demikian ayah kalian tidak sempat untuk melakukan tugasnya?” berkata Kiai Patah.
“Ayah sudah terlalu tua untuk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa batu-batu berharga dan wesi aji. Karena itu, maka ayah perlu banyak beristirahat. Di padepokan itu, ayah mendapat kesempatan beristirahat,” sambung Mahisa Murti.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah pula ia bertanya, “Kalian akan pergi ke mana?”
“Kami tidak dapat mengatakan, kami akan pergi ke mana?” jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah termenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Jika kalian baru akan kembali setelah kalian berhasil, maka jika kalian bersedia singgahlah barang sejenak ke Banyusasak. Bukan apa-apa. Aku hanya akan berpesan agar kalian sampaikan berita keselamatanku.”
“Banyusasak,” desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbareng.
Sementara Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Di manakah letak Banyusasak itu?”
“Di sebelah padang Karautan. Kau akan menjumpai sebuah padukuhan yang terhitung baru. Jika kalian menempuh jalan dari padang Karautan ke Singasari, maka sebuah padukuhan baru namun telah berkembang bernama Banyusasak. Kau dapat bertemu dengan seorang yang telah berusia lanjut, seorang yang cikal bakal padukuhan itu. Namanya Kiai Nagateleng,” berkata Kiai Patah.
“Apa yang harus aku katakan kepada Kiai Nagateleng?” bertanya Mahisa Pukat.
“Katakan kepadanya, bahwa kalian telah bertemu dengan aku. Aku tidak mengalami sesuatu. Tetapi aku masih kerasan di perantauan. Aku baru akan kembali jika langit menjadi masak,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya, “Apakah yang Kiai maksud dengan langit menjadi masak? Istilah itu tidak sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari.”
“Jangan lupa. Ucapkan ungkapan itu. Jika kau tidak mengatakannya, maka Kiai Nagateleng tidak akan percaya bahwa kau memang pernah bertemu dengan aku dalam pengembaraan kalian,” berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka yang pernah bekerja dalam tugas sandi itu pun segera mengetahui, bahwa mereka harus mengucapkan kata-kata sandi.
“Baiklah Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami akan singgah ke rumah Kiai Nagateleng. Seandainya kami tidak berniat pergi ke padang Karautan, maka kami akan memerlukannya. Padang Karautan sekarang sudah tidak segarang beberapa tahun yang lalu.”
Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Padang Karautan sudah mengalami banyak sekali perubahan. Usaha beberapa orang untuk menaikkan air ternyata besar sekali manfaatnya. Orang-orang yang tergeser dari padukuhan Panawijen sebagian telah membuka daerah di padang ini menjadi daerah persawahan yang subur. Usaha itu telah berkembang dan beberapa orang dari padukuhan lain pun telah melakukan hal yang sama di bagian-bagian yang terpisah. Meskipun padang Karautan masih cukup luas, tetapi padang Karautan akan segera berubah menjadi taman yang ramai.”
“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan pengembaraan kami. Disini ternyata kami telah berhenti terlalu lama.”
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tetapi kalian berdua telah menyelamatkan padukuhan ini dari kehancuran.”
“Bukan aku, tetapi Kiai sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
Kiai Patah justru tertawa. Katanya, “Sudahlah. Siapa pun yang melakukannya. Padukuhan ini sekarang harus membenahi dirinya. Ki Buyut menganggap padukuhan ini justru akan dapat menjadi contoh bagi padukuhan yang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Pada kesempatan lain kami akan datang lagi ke padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap. Mereka telah menemui Ki Buyut untuk minta diri.
“Kami minta kalian tidak melupakan Kabuyutan ini,” minta Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Kami masih ingin singgah lagi di Kabuyutan ini. Pada suatu saat tentu kami lakukan.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Kami selalu mengharapkan kehadiran kalian pada suatu saat.”
Demikianlah, pada satu pagi yang cerah, kedua anak muda itu telah meninggalkan padukuhan yang pernah mengalami goncangan yang hampir meruntuhkan sendi-sendi martabat kemanusiaan itu.
Ki Bekel yang sudah menjadi semakin baik dan hampir sembuh kembali telah melepaskan kedua anak muda itu bersama paman-pamannya. Sementara Kiai Patah dan beberapa orang padukuhan itu telah mengantar anak muda itu sampai ke ujung lorong padukuhan.
“Jangan lupa, langit telah masak,” berkata Kiai Patah...
“Jangan lupa, langit telah masak,” berkata Kiai Patah...