Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 63

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 63 Karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 63
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG-ORANG itu seakan-akan baru sadar, bahwa Mahisa Murti itu juga merupakan lawan bagi para penghuni padukuhan itu, karena pemimpinnya telah bertempur dengan seorang anak muda yang lain. Karena itu, tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang yang berkerumun itu tiba-tiba berteriak, “He, kita apakan kawannya yang seorang itu?”

“Kita tangkap saja anak itu,” teriak yang lain. Lalu yang lain lagi menyahut, “Kita ikat saja di halaman banjar.”

Beberapa orang telah berteriak-teriak pula. Demikian gelora yang membakar jantung mereka, sehingga beberapa orang yang pernah berkelahi sebelumnya seakan-akan telah melupakan kemampuan anak muda itu.

Namun ketika orang-orang itu mulai bergerak, pemimpinnya pun berteriak, “jangan. Jangan berlaku bodoh. Bukankah kalian tidak mampu berbuat apa-apa atas anak muda itu? Biarkan aku sendiri menyelesaikan mereka. Apakah mereka akan bersama-sama bertempur melawan aku, atau mereka akan maju seorang demi seorang.”

Orang-orang itu telah mengurungkan niatnya. Mereka yang sudah bergerak mendekat, telah menarik diri lagi. Seakan-akan mereka telah diingatkan, apa yang telah terjadi sebelumnya, ketika mereka menghadapi anak-anak muda itu. Beberapa orang justru menjadi hampir pingsan karenanya.

Dengan demikian maka perhatian mereka telah tertuju lagi kepada pemimpinnya yang sedang bertempur itu. Rasa-rasanya gerak mereka berdua semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga beberapa saat kemudian, gerak mereka tidak lagi dapat diikuti oleh orang-orang yang berkerumun itu.

Dengan demikian maka orang-orang itu tak lagi memperhatikan Mahisa Murti yang berdiri di antara mereka, karena perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada kedua orang yang sedang bertempur itu.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti merasa kagum juga atas pemimpin padukuhan itu, yang bertempur dengan kemampuan yang tinggi. Sudah beberapa lama ia bertempur melawan Mahisa Pukat. Namun ia masih tetap bertahan, meskipun Mahisa Murti pun mengetahui bahwa Mahisa Pukat memang belum mengerahkan kemampuannya. Namun mereka telah bertempur dalam tataran yang tinggi.

Tetapi agaknya Mahisa Pukat memang ingin mengetahui, sampai seberapa jauh tingkat kemampuan orang yang menyebut dirinya sebagai pemimpin dari padukuhan, dan bahkan Kabuyutan itu. Karena itu, maka ia telah memancing lawannya agar meningkatkan kemampuannya sampai tataran yang paling tinggi yang dikuasainya.

Ternyata usaha Mahisa Pukat itu pun berhasil. Beberapa saat kemudian, maka orang yang bertubuh tinggi itu pun merasa bahwa ia sudah terlalu lama bertempur. Karena itu, maka ia berniat untuk mengakhiri pertempuran itu. Dengan demikian maka orang bertubuh tinggi itu pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke tingkat yang paling tinggi yang dikuasainya. Tetapi ternyata bahwa ia telah salah hitung. Ketika ia sudah sampai ke puncak ilmunya, ternyata bahwa ia tidak segera dapat mengalahkan anak muda itu.

“Anak iblis” geram orang bertubuh tinggi itu sambil menyambar kening Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat mengelak dengan memiringkan kepalanya sambil bergeser surut. Namun dengan cepat ia menyusul ayunan tangan lawannya dengan sisi telapak tangannya. Orang bertubuh tinggi itu berdesah tertahan. Pergelangan tangannya terasa bagaikan akan patah ketika sisi telapak tangan Mahisa Pukat mengenainya.

Kemarahan itu benar-benar telah sampai ke puncak. Karena itu maka dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Dengan tangkasnya ia telah meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping mengarah ke dada Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat mengelak, maka orang itu dengan cepat pula merubah serangannya. Tangannyalah yang kemudian terayun mendatar sejalan dengan tubuhnya yang berputar.

Tetapi Mahisa Pukat yang sudah memiliki perbendaharaan pengalaman itu tidak terkejut dan tidak menjadi bingung. Dengan cepat pula ia merendahkan diri, sehingga ayunan tangan itu tidak menyentuhnya. Bahkan ketika lawannya itu kemudian berusaha untuk menyerangnya dengan kakinya lagi, maka Mahisa Pukat berhasil mendahuluinya. Ia memotong serangan kaki itu dengan membenturkan kakinya pula.

Namun Mahisa Pukat memiliki kesempatan ancang-ancang lebih mapan. Karena itu, maka Mahisa Pukat berhasil membentur kaki lawannya dengan kakinya dalam keadaan lebih mapan, sehingga lawannya justru terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Tetapi orang bertubuh tinggi itu tidak terjatuh. Ia masih mampu mempertahankan keseimbangan, meskipun ia harus menyeringai kesakitan.

Mahisa Pukat memang tidak memburunya. Ia ingin mengetahui sikap lawannya itu untuk seterusnya. Karena itu, ia pun seakan-akan justru memberikan kesempatan kepada lawannya yang bertubuh tinggi itu.

Namun ternyata bahwa lawannya tidak mengingkari kenyataan. Dengan dada tengadah maka ia pun berkata, “Kau menang anak muda. Jika perkelahian ini diteruskan, aku kira tidak akan ada gunanya. Nah, sekarang kau mau apa?”

“Bukankah sudah aku katakan,” jawab Mahisa Pukat, “kami ingin mengetahui kenapa padukuhan ini telah terbagi. Justru pada saat Singasari bekerja keras untuk mewujudkan satu kesatuan yang besar dan utuh. Bukankah perpecahan-perpecahan kecil seperti ini akan dapat menjalar? Seperti sudah aku katakan, seperti api yang tersembunyi di dalam jerami. Menjalar dan menimbulkan keresahan.”

“Juga sudah aku katakan, jangan mencampuri persoalan kami” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Jangan terlalu sombong,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “aku dapat berbuat apa saja di sini tanpa ada orang yang akan mampu mencegahnya.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnyalah bahwa ia tidak akan mampu berbuat apa-apa jika kedua orang anak muda itu akan berbuat sesuatu, sesuai atau tidak sesuai dengan kemauannya.

Mahisa Pukat yang melihat orang bertubuh tinggi itu ragu-ragu maka ia pun berkata, “Ki Sanak. Apakah sebenarnya keuntungan yang kalian dapatkan dengan membagi padukuhan ini? Di belahan ini seorang telah mengaku pemimpin atas padukuhan ini. Sementara di belahan lain, seseorang juga telah mengaku demikian. Apakah artinya itu? Apakah dengan kepemimpinan kalian yang tidak menentu itu, akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat kalian? Apakah keuntungan orang-orang padukuhan ini dengan kegairahan kalian berebut menjadi pemimpin?”

“Aku akan dapat menentukan kebijaksanaan yang paling tepat bagi padukuhan ini,” jawab orang bertubuh tinggi itu. Lalu “selebihnya aku memang satu-satunya orang yang berhak menjadi seorang pemimpin.”

“Apakah sebenarnya tujuanmu berebut menjadi pemimpin? Semata-mata bagi kepentinganmu sendiri atau bagi kesejahteraan rakyatmu?” desak Mahisa Pukat.

Orang yang bertubuh tinggi itu memandang Mahisa Pukat dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Pukat sudah mendahuluinya, “Kau jadikan rakyatmu sebagai batu landasan. Kau sebut-sebut bahwa kau telah berjuang bagi mereka. Tetapi kau sadari atau tidak kau sadari, bahwa justru merekalah yang kini mengalami kesulitan paling besar. Orang-orang yang mendukungmu di sini dan orang-orang yang mendukung orang lain di belahan padukuhanmu ini. Kau tidak berjuang untuk mereka, tetapi mereka harus berjuang dan berkorban untukmu.”

“Cukup,” geram orang itu, “sekarang apa maumu. Membunuh aku? Lakukanlah. Kau memang dapat berbuat apa saja dini tanpa ada yang mampu menghalangi.”

“Aku tidak ingin apa pun juga. Tetapi aku berharap bahwa kau dan orang-orang di sisi sebelah akan berbicara. Kalian akan berusaha untuk memecahkan persoalan kalian dengan baik. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan. Jika kalian sempat berbicara, maka kalian akan dapat benar-benar membicarakan nasib rakyat kalian. Tetapi jika kalian hanya saling berebut kedudukan, maka kapan kalian akan dapat mencari jalan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan di padukuhan ini?” berkata Mahisa Pukat.

Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Apa yang dapat aku lakukan? Bicara sama sekali tidak akan memberikan arti bagi penyelesaian yang adil di tempat ini. Betapa pun aku ingin berbicara, tetapi jika di dada ini ditekankan ujung pedang, maka agaknya suaraku tidak akan dapat didengar oleh siapapun.”

Mahisa Pukat termenung sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berpaling kepada Mahisa Murti dan berkata, “Kita ke belahan padukuhan ini.”

Mahisa Murti tidak membantah. Ia hanya mengikut saja rencana saudaranya. Karena itu, maka ketika Mahisa Pukat melangkah meninggalkan tempat itu, Mahisa Murti telah mengikutinya pula. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah melangkahi pagar yang menutup jalan simpang di padukuhan itu. Mereka pun langsung meloncati pagar yang menutup jalan yang memasuki lingkungan sebelah.

Seperti yang telah terjadi sebelumnya, demikian kedua anak muda itu berada di lingkungan sebelah, maka beberapa orang laki-laki telah mengerumuninya meskipun dari jarak yang agak jauh, karena mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat menghentikan kedua anak muda itu.

Kepada orang-orang yang termangu-mangu dikejauhan itu Mahisa Pukat pun telah berteriak, “He, siapakah pemimpinmu. Laporkan kepadanya, bahwa aku akan berbicara.”

“Apakah kau telah diupah oleh orang-orang sebelah?” bertanya seseorang yang juga berteriak dari kejauhan.

Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Sekali lagi ia berteriak, “Mana pemimpinmu.”

Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika dari sebuah pintu regol halaman rumah di pinggir jalan itu terdengar jawaban, “Aku di sini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh sedang, tetapi berkumis lebat melangkah mendekati keduanya sambil menjinjing pedang. Sementara itu lima orang pengawal bersenjata telah mengikutinya. Mereka adalah laki-laki yang bertubuh tinggi, kekar dan berwajah garang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka memang mendapat kesan yang berbeda dengan orang bertubuh tinggi di belahan padukuhan itu yang sebelah. Nampaknya orang bertubuh sedang dan berkumis telah itu mempunyai watak yang berbeda pula dengan orang yang bertubuh tinggi di sebelah.

“Anak-anak muda,” suara orang berkumis lebat itu bernada berat, “Aku sudah mendengar laporan tentang kalian. Dan kalian merasa bahwa kalian adalah laki-laki yang paling kuat di dunia ini. Begitu?”

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat dengan serta merta, “sebaiknya kita tidak berbicara tentang kekerasan.”

“Apa maksudmu? Kalian adalah anak-anak muda yang terlalu sombong dan keras kepala. Kami di sini selalu mengikuti apa yang terjadi di sebelah. Nampaknya kalian juga menunjukkan bahwa kalian berilmu tinggi. Mungkin kalian dapat mengalahkan orang-orang di padukuhan sebelah. Tetapi kalian tidak akan dapat melakukannya di sini.”

“Aku tidak berniat melakukannya,” berkata Mahisa Pukat, “di sebelah pun juga tidak. Tetapi ternyata bahwa aku telah dipaksa untuk berbuat demikian.”

“Tetapi apakah yang sebenarnya kau kehendaki?” bertanya orang berkumis lebat itu.

“Aku merasa aneh tentang padukuhan yang terbelah ini. Sementara kalian di belahan ini dan di belahan yang lain menjadi saling bermusuhan. Berusaha untuk menunjukkan kelebihan masing-masing dan bahkan saling bertindak kasar” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan mencampuri persoalan kami” bentak orang itu.

“Kalimat yang sudah berpuluh kali aku dengar,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Tetapi Ki Sanak. Seperti kepada orang-orang di sebelah aku berkata, kenapa kalian tidak menyelesaikan masalah kalian dengan berbicara. Berbincang dengan hati terbuka. Saling memberi dan menerima. Benar-benar berbicara tentang kesejahteraan para penghuni padukuhan ini. Bukan sekedar saling berebut kedudukan yang justru telah mengorbankan para penghuni padukuhan ini.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun telah tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang pandai berbicara. Apakah kau tahu apa yang kau katakan?”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Pertanyaanmu aneh Ki Sanak. Tetapi aku kira kau mempunyai maksud tertentu dengan pertanyaanmu itu.”

“Sudahlah. Pergilah. Tinggalkan padukuhan ini. Kami akan menyelesaikan persoalan kami sendiri. Bagi kami tidak cara yang lebih baik daripada menghancurkan kekuatan lawan sampai tuntas. Hal itu hanya dapat kami lakukan dengan kekerasan” berkata orang berkumis lebat itu.

“Itulah yang ingin aku cegah. Kekerasan bukan pilihan yang baik,” berkata Mahisa Pukat, “dalam tindak kekerasan maka korban akan berjatuhan. Menang atau kalah, kalian telah kehilangan. Sementara kalian dapat mencari jalan yang lebih baik.”

“Ki Sanak,” berkata orang berkumis lebat itu, “sudah aku katakan. Pergilah. Kau dapat menakut-nakuti orang-orangku. Tetapi kau tidak akan dapat menakuti aku. Mungkin kau memang belum mengenal aku. Tetapi jika kau menolak permintaanku ini, maka kau akan menyesal.”

“Aku tidak akan menyesal Ki Sanak. Aku tetap pada sikapku. Cobalah berbicara dengan orang yang mengaku pemimpin padukuhan ini di belahan yang lain” berkata Mahisa Pukat.

“Tidak,” orang itu mulai bersikap keras, “jika kau tidak mau pergi, maka aku akan memaksamu.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Agaknya orang itu memang tidak akan dapat diajak berbicara. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus berusaha untuk memaksanya. Katanya kemudian, “Ki Sanak. Dengan menyesal aku tidak akan pergi sebelum ada kepastian bahwa kau akan berbicara dengan pemimpin di belahan yang lain dari padukuhan ini.”

Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya dengan kasar, “Pergi, atau kami akan melemparkan kalian keluar. Mungkin di belahan yang lain dari padukuhan ini, yang untuk sementara masih dikuasai oleh orang-orang gila itu, kau memang tidak terkalahkan. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat demikian di sini.”

Mahisa Pukat pun menggeram pula. Katanya, “Tidak ada orang yang dapat menghalangi aku.”

Orang berkumis lebat itu sudah tidak sabar lagi. Ia pun segera memberikan isyarat kepada kelima orang pengawalnya yang garang sambil berkata, “Aku muak terhadap mereka.”

Kelima orang itu tahu apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka pun segera mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada datar orang berkumis lebat itu berkata, “Jangan kau samakan mereka dengan orang-orang lain di padukuhan ini. Kau dapat mengalahkan beberapa puluh orang sekaligus. Tetapi kau tidak akan dapat menandingi mereka seorang lawan seorang. Apalagi mereka berlima. Mereka memang bukan orang padukuhan ini. Tetapi mereka bersedia bekerja bersama kami. Mereka mempunyai kemampuan yang tinggi dan kami mempunyai uang. Apa salahnya jika mereka memberikan kemampuan mereka dan kami memberikan uang kami sehingga kami tidak menjadi saling dirugikan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka mengerti, bahwa kelima orang itu adalah orang-orang upahan. Namun dengan demikian, maka agaknya mereka memang orang-orang yang berilmu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak dapat sekedar menonton dan mendengarkan sesorah saudaranya. Ketika kelima orang itu benar-benar mulai bergerak, maka ia pun telah bergerak pula. Tetapi justru bergeser menjauhi Mahisa Pukat.

“Jangan menyesal,” berkata orang berkumis itu, “kalian tentu tidak mengira bahwa di sini kalian akan bertemu dengan lawan yang berilmu tinggi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Sementara itu kelima orang itu telah membagi diri. Tiga orang di antara mereka ternyata telah memilih Mahisa Pukat. Anak muda itulah yang terlalu banyak berbicara, sehingga mereka berniat untuk menyelesaikannya lebih cepat dari yang lain. Sedangkan dua orang yang lain selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Murti.

Mahisa Murti pun telah mempersiapkan diri. Ia tidak mau menganggap kedua orang itu terlalu lemah. Jika ia menjadi lengah, maka akibatnya akan sangat merugikannya. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berdiri berseberangan. Mereka bersiap menyerang Mahisa Murti dari dua arah. Sejenak kemudian, maka hampir bersamaan kedua orang itu telah meloncat menyerang.

Tetapi Mahisa Murti pun telah benar-benar bersiap. Karena itu maka dengan tangkasnya ia bergeser menghindari serangan seorang di antara mereka, namun dengan cepat pula ia menggeliat karena serangan yang lain telah datang pula mengarah ke dadanya. Tetapi agaknya kedua orang itu pun mampu bergerak cepat. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah menyapu kakinya, sementara yang lain menyerang lambung.

Mahisa Murti harus menghindari kedua serangan itu. Karena itu, maka ia pun telah melenting tinggi. Kemudian berputar di udara dan dengan lunak kedua kakinya turun menyentuh tanah. Kedua orang lawannya tercenung sejenak. Namun mereka pun kemudian telah mengumpat kasar. Dengan serta merta keduanya telah meloncat menyerang kembali dengan sengitnya.

Tetapi Mahisa Murti yang benar-benar telah bersiap, dengan sigapnya selalu berhasil menghindari serangan-serangan itu. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun telah menyerang pula. Meskipun Mahisa Murti masih harus menjajagi kemampuan lawan-lawannya, tetapi kedua lawannya telah dibuatnya menjadi berdebar-debar.

Sementara itu Mahisa Pukat harus bertempur melawan tiga orang yang garang. Agaknya terhadap Mahisa Pukat, orang-orang itu bertindak lebih keras. Menurut anggapan mereka, Mahisa Pukat ternyata lebih berperan dari Mahisa Murti. Ia lebih banyak menentukan, sehingga karena itu, maka ialah yang harus mendapat hukuman yang lebih berat.

Tetapi Mahisa Pukat yang muda itu pun sudah siap menghadapi kemungkinan apapun. Ia juga dapat bersikap keras terhadap lawan-lawannya, jika lawan-lawannya itu bersikap keras kepadanya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat-pun telah bertempur dengan sengitnya. Ketiga orang lawannya telah menyerang dengan garangnya. Beruntun dari arah yang berbeda.

Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak tergetar jantungnya. Ia tidak menjadi gentar melihat sikap ketiga orang yang garang itu. Semakin keras ketiganya menekannya, maka sikap Mahisa Pukat pun menjadi semakin keras pula. Bahkan Mahisa Pukat tidak lagi sekedar menghindari serangan-serangan. Tetapi serangan yang keras dan kasar, bahkan telah dibentur pula dengan kekuatannya.

Ketika seorang di antara ketiga orang itu melihat kekosongan pada lambung Mahisa Pukat yang baru saja menghindari serangan lawannya yang lain, maka orang itu berusaha untuk memanfaatkannya. Dengan cepat dan keras ia telah menjulurkan kakinya mengarah ke lambung anak muda itu.

Tetapi Mahisa Pukat tidak berusaha menghindar. Meskipun ia akan mampu melakukannya, meskipun dengan tergesa-gesa, namun ia memilih cara lain untuk melawannya. Mahisa Pukat justru berusaha menangkis serangan itu. Sambil merendahkan dirinya, maka ia telah membentur kaki yang terjulur itu dengan sikunya.

Tetapi Mahisa Murti tidak mengabaikan kemungkinan yang dapat terjadi pada benturan itu. Ia sama sekali tidak merendahkan lawannya, meskipun dalam beberapa saat sebelumnya ia sudah berusaha menjajaginya. Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mempersiapkan kekuatan yang cukup untuk melawan serangan lawannya, agar ia tidak mengalami kesulitan.

Benturan itu ternyata mempunyai akibat yang mengejutkan. Mahisa Pukat sendiri ternyata telah tergetar karenanya. Kekuatan lawannya telah mampu menggoyahkan keseimbangannya. Namun dengan cepat Mahisa Pukat berusaha untuk memperbaikinya. Dengan selangkah ke samping, maka Mahisa Pukat pun telah berdiri dengan kokohnya menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, lawannya yang sama sekali tidak memperhitungkan benturan itu, telah terlempar beberapa langkah surut. Kakinya yang terjulur dan membentur siku Mahisa Pukat itu rasa-rasanya bagaikan akan patah. Karena itu, maka sambil berdesah menahan sakit, orang itu telah menjatuhkan dirinya dan berguling dua kali. Ketika ia kemudian berusaha untuk berdiri, maka untuk beberapa saat ia telah tertatih-tatih sambil memegangi kakinya yang terasa bagaikan patah itu.

Namun kedua kawannya yang lain justru telah berloncatan menyerang Mahisa Pukat, untuk melindungi kawannya yang kesakitan itu, agar dengan demikian Mahisa Pukat tidak dapat memburunya. Namun agaknya orang yang kakinya mengalami kesakitan itu telah berusaha untuk menerjunkan diri lagi ke dalam pertempuran meskipun ia masih nampak sedikit timpang. Namun dengan kemampuannya maka ia telah berusaha mengatasi perasaan sakitnya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah menghadapi ketiga orang lawannya lagi. Seorang demi seorang mereka menyerang. Namun sekali-sekali, tiga serangan telah datang hampir berbareng. Tetapi Mahisa Pukat yang bukan sekedar bermain-main dengan rencananya itu, ternyata telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia harus segera menunjukkan bahwa ia dapat mengatasi ketiga orang upahan itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun dapat menilai apa yang telah dilakukan oleh kedua belahan dari padukuhan itu. Bagaimanapun juga orang yang bertubuh tinggi itu masih berusaha menyelesaikan persoalan mereka tanpa menyeret orang lain dalam persoalan itu.

Tetapi orang berkumis tebal itu agak berbeda. Meskipun ia juga berkata, agar orang lain tidak’ mencampuri persoalannya, tetapi ternyata ia telah mengupah orang lain yang bukan keluarga padukuhan itu untuk mencampuri langsung persoalan yang terjadi di padukuhan itu. Bahkan ia telah mengundang orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan tentu dengan maksud-maksud tertentu yang bersifat kekerasan.

Karena itu, maka bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, orang berkumis itu agaknya memang tidak mempunyai keinginan untuk membuat penyelesaian yang lebih baik dari mempergunakan kekerasan itu. Dengan demikian maka pertempuran pun segera telah meningkat semakin keras. Mahisa Pukat pun telah menjadi semakin keras pula menanggapi serangan-serangan ketiga lawannya. Bahkan Mahisa Pukat itu pun telah berloncatan menyerang lawannya berganti-ganti.

Orang berkumis yang telah mengupah kelima orang itu memang menjadi berdebar-debar. Ternyata yang terjadi tidak seperti yang dibayangkannya. Ia menyangka, bahwa dalam waktu singkat orang-orang upahannya dianggapnya memiliki ilmu yang tinggi itu, akan dapat dengan cepat melemparkan kedua orang anak muda itu keluar pagar. Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain. Kedua orang anak muda itu mampu bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan yang bertempur melawan tiga orang itu pun masih juga tidak bergetar sama sekali.

Untuk beberapa saat orang berkumis itu masih menyabarkan diri. Ia masih menunggu beberapa saat, dan berharap melihat kedua anak muda itu menjadi babak belur dan dilemparkan keluar pagar. Tetapi ia sudah menunggu terlalu lama. Bahkan yang mulai menjadi bengkak bukan wajah-wajah anak-anak muda itu.

Tetapi justru tangan-tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang telah lebih dahulu mengenai orang-orang itu. Bahkan di wajah mereka. Seorang di antara mereka, matanya menjadi bengkak karena pukulan Mahisa Murti yang mapan. Sementara lawan Mahisa Pukat pun mulai menjadi gelisah. Ketika seorang di antara mereka tersentuh keningnya, maka kulitnya telah terkelupas. Darah mulai menitik meskipun tidak deras.

Orang berkumis itu mengumpat kasar. Ia menjadi tidak sabar lagi menunggu saat-saat yang tidak kunjung datang. Orang-orang yang telah diupah mahal itu ternyata tidak mampu dengan cepat menyelesaikan kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ia pun telah turun sendiri. Ia akan menjadi orang ketiga yang berhadapan dengan Mahisa Murti.

Mahisa Murti meloncat surut untuk mengambil jarak ketika orang itu mendekatinya. Dengan tajam dipandanginya orang berkumis itu, sementara orang itu tertawa sambil berkata, “Jangan takut anak manis. Aku tidak akan benar-benar membunuhmu. Aku hanya akan melemparkanmu keluar dari lingkungan ini. Tetapi jika kau berkeras kepala dan melawan, apalagi membuatku kehilangan kesabaran, maka kematian akan dapat datang menjemputmu.”

Mahisa Murti menggeram. Katanya, “Jika kau sudah berpikir untuk membunuh, maka aku pun mulai mempertimbangkannya.”

“Anak setan,” orang itu berteriak, “ternyata kau terlalu sombong.”

Dengan garang orang itu memang mulai menyerang. Tetapi ia nampak cukup berhati-hati. Sementara itu kedua orang upahannya nampak gelisah. Agaknya mereka merasa bahwa orang yang mengupahnya menjadi kecewa, sehingga ia sendiri harus turun ke arena. Karena itu, maka mereka berusaha untuk menutup kesalahan mereka itu. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka keduanya berusaha untuk menguasai anak muda itu.

Tetapi apa pun yang mereka lakukan, ternyata mereka tidak berhasil. Setiap kali mereka berusaha, maka justru merekalah yang telah dikenai oleh serangan Mahisa Murti. Namun ternyata orang berkumis itu memiliki bekal yang melampaui orang-orang upahannya. Ia berhasil mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya ketika kedua orang upahannya itu tengah menyerang Mahisa Murti berbareng.

Selagi Mahisa Murti menangkis keduanya, maka orang berkumis itu telah menyerangnya pula dari arah yang berbeda. Mahisa Murti memang sempat melihat serangan itu. Ia pun telah berusaha menggeliat menghindar. Tetapi ternyata tangan orang berkumis itu masih sempat menyentuh bahunya.

Mahisa Murti meloncat surut. Bahunya terasa betapa sakitnya. Dengan mengerahkan kemampuannya ia berusaha untuk mengatasi perasaan sakit itu. Namun satu hal yang kurang diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Justru Mahisa Murti telah disakiti, maka ia telah menjadi semakin garang karenanya. Sebenarnyalah, maka Mahisa Murti pun telah meningkatkan kemampuannya. Ia tidak mau kesakitan lagi. Bahkan perkelahian itu pun kemudian telah menjemukannya.

Ketiga orang lawannya pun terkejut melihat perubahan tata gerak Mahisa Murti yang menjadi semakin cepat. Bahkan tangannya bagaikan menyambar-nyambar di segala arah. Dengan kemampuan yang sangat tinggi Mahisa Murti telah menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Demikian cepatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk menghindari.

Karena itulah, maka tangan dan kaki Mahisa Murti menjadi semakin sering mengenai lawannya. Bahkan orang yang wajahnya menjadi bengkak telah menjadi semakin bengkak. Sebelah matanya sama sekali tidak lagi dapat melihat. Sementara keningnya, dahinya dan tengkuknya rasa-rasanya menjadi memar.

Kawannya yang lain, tangannya bagaikan terasa patah. Sedangkan perutnya yang telah dikenai kaki Mahisa Murti menjadi mual. Seakan-akan semua isinya akan tumpah kembali. Namun ia masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan keseimbangannya, sehingga karena itu, maka ia berhasil tegak berdiri dengan kesiagaan penuh.

Orang berkumis itu pun ternyata tidak mampu menghindari kemungkinan buruk itu. Ketika Mahisa Murti sempat meloncat ke sisi orang itu, maka ia telah memutar tubuhnya sambil mengayunkan sebelah kakinya. Demikian kerasnya sehingga kaki yang mengenai punggung orang berkumis itu telah mendorongnya beberapa langkah sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup.

Bahkan ketika ternyata Mahisa Murti masih harus menghindari serangan salah seorang lawannya, maka orang berkumis itu telah berusaha untuk mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia meloncat ke arah Mahisa Murti. Kemudian dengan sekuat tenaga ia telah menyerangnya dengan kakinya ke arah lambung.

Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak. Dengan serta merta, maka ia telah menyapu kaki lawannya yang satu lagi tempat orang itu bertumpu. Ternyata orang itu tidak sempat menghindar. Karena itu, maka demikian kakinya itu terhempas, maka ia pun telah terhempas pula jatuh di tanah.

Sambil mengumpat kasar, maka orang itu pun telah meloncat berdiri. Tetapi Mahisa Murti mampu berbuat lebih cepat. Apalagi perasaan sakit di bahunya yang membuatnya menjadi sangat marah. Karena itu, maka demikian orang itu berdiri, maka kedua telapak tangan Mahisa Murti telah mengenai dada orang itu, sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.

Tetapi Mahisa Murti tidak sempat memburunya. Kedua lawannya yang lain, meskipun sambil menahan sakit, masih sempat menyerang anak muda itu, sehingga perhatian Mahisa Murti lebih tertuju kepada mereka. Dengan demikian, maka orang berkumis itu pun telah mendapat kesempatan untuk bangkit dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan meskipun dadanya serasa menjadi sesak. Nafasnya menjadi sulit untuk mengalir dengan wajar. Karena itu, ia memerlukan kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah bertempur dengan keras sebagaimana ketiga orang lawannya. Bahkan ketiga orang lawannya telah benar-benar sampai ke puncak kemampuan mereka. Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi di antara Mahisa Pukat dan ketiga lawannya pun menjadi semakin cepat.

Mahisa Pukat sendiri telah berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Serangan-serangannya datang dengan cepat menyambar-nyambar. Seperti seekor burung menyambar bilalang. Namun kadang-kadang geraknya menjadi lamban tetapi berat. Dengan kemampuan dan kekuatannya, maka Mahisa Pukat mampu menghalau setiap serangan tanpa bergeser dari tempatnya, seperti batu karang yang tegak tidak tergoyahkan oleh gelombang.

Ketiga orang lawannya memang menjadi bingung. Bahkan mereka seakan-akan telah kehabisan akal, bagaimana caranya untuk dapat mengalahkan anak muda itu. Jika tubuh mereka menjadi semakin banyak disakiti, maka mereka tidak akan dapat membiarkannya terjadi untuk selanjutnya. Apalagi dengan kemungkinan yang buruk bagi mereka. Jika mereka dikalahkan, maka orang berkumis itu tentu akan berpikir lagi, apakah ia masih akan tetap mengupahnya.

Karena itu, maka tidak ada cara lain bagi ketiga orang itu untuk menyelesaikan persoalannya dengan anak muda yang berilmu tinggi itu kecuali menggunakan senjata. Ketika ketiga orang itu sempat membuat jarak dari Mahisa Pukat, maka salah seorang di antara mereka telah memberi isyarat. Dengan demikian, maka sejenak kemudian ketiga orang itu telah menggenggam senjata di tangan mereka.

“Satu kesalahan yang sangat besar” geram Mahisa Pukat.

“Kesalahan apa?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Bahwa kalian telah bersenjata” jawab Mahisa Pukat.

“Kau menjadi ketakutan dan mencari cara untuk mengelak dari pertempuran bersenjata?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

“Aku memang menjadi ketakutan” sahut Mahisa Pukat.

“Jika demikian menyerahlah” berkata salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Aku tidak menjadi ketakutan karena diriku sendiri, tetapi aku merasa ngeri bahwa aku harus membunuh kalian. Jika aku juga menarik pedangku, maka kematian bagi kalian sudah berada di depan hidung kalian.”

“Persetan,” geram orang yang paling tinggi di antara mereka bertiga, “ternyata kau memang pantas untuk dibunuh.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi diperhatikannya lawan-lawannya yang memang sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu tanpa mencoba mempergunakan senjata. Tubuh mereka yang sudah menjadi sakit-sakit dan bahkan memar di beberapa tempat memang sudah menjadi goyah. Karena itu, mereka mencoba untuk mendapat sandaran baru, senjata.

Ketiga orang lawannya telah mengacukan senjata mereka masing-masing, maka Mahisa Pukat pun bergeser surut. Diperhatikannya ketiga macam senjata yang dibawa oleh ketiga orang itu. Seorang di antara mereka membawa pedang yang tidak terlalu panjang. Seorang lagi membawa sebuah trisula bertangkai pendek. Seorang yang lain membawa sebuah golok yang besar.

Mahisa Pukat yang memiliki pengalaman yang luas itu telah mengenali tabiat dan watak dari jenis-jenis senjata itu. Ia sendiri sudah terbiasa mempergunakan pedang, sehingga ia mengenal pedang dengan baik. Sedangkan trisula mempunyai watak yang khusus justru karena ujungnya yang tiga. la tidak boleh lengah dan membiarkan daun pedangnya menyusup di antara mata trisula itu. Jika lawannya cukup trampil mempergunakan senjatanya itu, maka dengan satu putaran, senjatanya akan terlepas atau patah.

Sedangkan golok di tangan orang ketiga, penggunaannya tidak jauh berbeda dari pedang, meskipun biasanya golok yang lebih besar dan tebal itu mempunyai kekuatan ayunan yang lebih besar pula dari pedang. Hanya tangan-tangan yang kokoh kuat sajalah yang dapat mempergunakan golok dengan ketrampilan sebilah pedang. Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah menggenggam pedangnya pula.

“Tanganku menjadi gemetar dan jantungku menjadi berdebar-debar. Ketika aku memasuki lingkungan ini, sama sekali tidak ada niatku untuk membunuh. Tetapi kalian telah memancing kemungkinan itu,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya selanjutnya, “Aku minta kalian menyadari akan hal ini sebelum terlambat.”

Tetapi ketiga orang itu memang mengira bahwa Mahisa Pukat menjadi ketakutan. Karena itu, maka seorang di antara mereka menggeram, “Sebut ibu bapamu untuk yang terakhir sebelum tubuhmu dicincang di sini. Mungkin kau menyesal. Tetapi sudah terlambat. Belahan ini memang tidak sama dengan belahan yang lain yang dihuni oleh orang-orang cengeng yang tidak berarti.”

“Kalian orang-orang upahan yang tidak tahu diri,” geram Mahisa Pukat, “jika kalian keras kepala, maka kematian kalian tidak akan disesali oleh siapa pun juga di padukuhan ini. Kematian kalian sudah dibayar dengan upah yang pernah kalian terima. Tidak akan ada tangis yang mengantar kalian ke kerajaan maut.”

Kemarahan ketiga orang itu sudah sampai ke puncak ubun-ubun. Mereka memang mulai meragukan bahwa Mahisa Pukat sekedar berusaha mengelak. Namun ketiga orang itu memang memiliki keyakinan akan kemampuan mereka mempergunakan senjata. Bahkan mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan akan datangnya kematian. Lebih baik membunuh anak muda itu daripada mereka kehilangan kepercayaan dari orang yang menganggap dirinya pemimpin di padukuhan itu.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah mulai menggerakkan senjata mereka. Pedang yang berkilat-kilat memantulkan cahaya ketika diputar bagaikan baling-baling, sedangkan golok yang besar dan berat itu pun mulai terayun-ayun, sementara orang yang memegang trisula itu pun mulai mempermainkan trisulanya dengan tangkas dan cepat.

Mahisa Pukat pun telah bersiap pula dengan pedangnya. Ketika ketiga lawannya mulai bergerak, Mahisa Pukat pun mulai bergeser, sementara ujung pedangnya pun telah bergetar. Menilik sikap Mahisa Pukat, maka ketiga lawannya pun dapat memperhitungkan bahwa anak muda itu memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Demikianlah sejenak kemudian, justru Mahisa Pukat lah yang mulai menyerang. Dengan loncatan panjang, Mahisa Pukat bagaikan terbang sambil mengembangkan tangannya yang menggenggam pedang, menyambar lawannya yang mengayun-ayunkan goloknya.

Orang itu terkejut. Dengan serta merta maka ia pun telah menangkis serangan itu. Tetapi orang itu memang tidak menduga, betapa besarnya tenaga Mahisa Pukat yang sedang marah. Karena itu, maka betapa terkejutnya orang itu. Ketika benturan itu terjadi, maka tangannya bagaikan tersayat. Golok yang berada di dalam genggamannya pun telah terlepas dan jatuh di tanah.

Kedua orang kawannya pun terkejut pula. Pada sentuhan pertama golok kawannya yang mereka anggap memiliki kekuatan yang besar itu telah terlepas. Namun mereka menganggap, bahwa hal itu terjadi karena orang itu sama sekali tidak menduga bahwa anak muda itu dengan tiba-tiba saja telah menyerang.

Mahisa Pukat yang berhasil menjatuhkan senjata salah seorang lawannya tidak sempat memanfaatkan kesempatan itu lebih jauh. Ketika Mahisa Pukat berdiri tegak dengan pedang menyilang di dada, maka kedua orang lawannya yang lain telah menyerangnya. Pedang lawannya telah mematuk ke arah dadanya. Namun, demikian ia bergeser ke samping, maka ujung trisula lawannya yang seorang lagi telah menyambarnya keras sekali, sehingga udara pun telah bergaung seperti sendaren.

Tetapi kedua ujung senjata itu sama sekali tidak menyentuh kulit anak muda itu. Meskipun demikian serangan-serangan itu telah memberi kesempatan kepada kawannya yang kehilangan goloknya untuk mengambilnya. Dengan demikian maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat- pun sudah harus melawan tiga orang yang sudah bersenjata itu. Tetapi Mahisa Pukat pun telah menggenggam senjatanya pula.

Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketiga orang itu telah mempertunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Namun ternyata bahwa kemampuan mereka dalam ilmu senjata sama sekali tidak menggetarkan seujung rambut pun bagi Mahisa Pukat. Bahkan dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah menunjukkan kemampuannya yang sulit untuk diimbangi. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat-loncat bagaikan berterbangan mengitari ketiga lawannya. Namun tiba-tiba saja ia telah menembus di antara mereka bertiga. Senjatanya sulit untuk ditebak arah geraknya.

Sementara itu, Mahisa Murti pun masih bertempur dengan sengitnya pula. Ketika ketiga lawannya melihat kawan-kawannya yang lain telah bersenjata, maka orang berkumis itu pun menggeram, “Kita pun akan membinasakan orang ini.”

Justru orang berkumis yang menganggap dirinya pemimpin di padukuhan itu, serta yang telah mengupah kelima orang yang garang itulah yang lebih dahulu menarik pedangnya. Namun dengan demikian maka kedua orang upahannya pun telah bersenjata pula.

Ternyata tanggapan Mahisa Murti tidak berbeda dengan tanggapan Mahisa Pukat. Ia pun telah mencoba memperingatkan, bahwa justru dengan senjata, maka bahaya yang sebenarnya akan mengancam mereka bertiga.

Tetapi orang berkumis itu pun berkata, “Nasibmulah yang sangat buruk anak muda. Mungkin di belahan padukuhan ini kalian diperlakukan dengan lemah lembut. Tetapi watak kami memang perlu bertindak tegas. Jika perlu justru kami tidak akan segan-segan membunuh sebagaimana akan kami lakukan sekarang ini.”

“Kalian telah mengundang bencana bagi diri kalian sendiri” berkata Mahisa Murti.

Orang berkumis itu ternyata tidak menunggu lagi. Ialah yang telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya deras sekali. Mahisa Murti belum menangkis pedang itu. Ia justru meloncat surut selangkah menghindari serangan lawannya. Namun kedua orang yang lain telah menyerangnya pula. Dua orang yang juga bersenjata pedang meskipun bentuknya berbeda.

Seorang di antara mereka telah mempergunakan pedang yang melengkung, sementara yang lain mempergunakan pedang yang lurus dan meruncing ke ujungnya. Sedangkan tajamnya terdapat di kedua sisi batang pedangnya. Sedangkan orang berkumis itu telah mempergunakan pedang yang justru agak besar pada ujungnya. Namun yang kemudian menjadi runcing pula. Namun tajamnya hanya terdapat satu sisi saja.

Mahisa Murti masih berdiri tegak sambil menjulurkan pedangnya yang bergetar. Dipandanginya ketiga orang lawannya berganti-ganti. Namun kemudian, ia telah bergerak pula selangkah ke samping. Dua orang dari lawannya telah meloncat menyerangnya. Dengan tangkas Mahisa Murti berloncatan menghindari kedua serangan itu sekaligus. Sementara itu, orang yang ketiga telah meloncat pula sambil mengayunkan pedang dengan derasnya.

Mahisa Murti memang tidak sempat mengelak lagi. Namun ia masih sempat menangkis serangan itu. Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Murti benar-benar di luar dugaan lawan-lawannya. Ketika benturan terjadi, orang yang menyerangnya itu telah berloncatan surut. Tangannya menjadi panas bagaikan menggenggam api. Untunglah bahwa ia masih dapat mempertahankan pedangnya sehingga tidak terloncat jatuh.

Namun Mahisa Murti itu masih juga menggeram, “Aku minta kalian mempertimbangkan lagi sikap kalian. Aku masih dapat mengerti sikap orang padukuhan ini. Tetapi aku benar-benar tidak dapat menerima sikap orang-orang di belahan ini. Karena itu, maka aku harap kalian menghentikan pertempuran ini dan berbicara dengan baik. Jika kalian sependapat, aku akan berbicara pula dengan Ki Buyut.”

“Persetan dengan Ki Buyut. Persetan dengan orang sebelah dan persetan dengan kalian,” geram orang berkumis itu, “aku akan membunuh mereka yang akan menghalangi niatku.”

“Kau ternyata terlalu tamak Ki Sanak,” sahut Mahisa Murti, “bahwa kau telah mengupah orang-orang yang kau anggap memiliki ilmu yang tinggi, yang akan dapat membantumu mendapatkan apa yang kau ingini adalah keliru. Orang-orang itu tidak sepantasnya kau libatkan dalam permainan ini. Adalah tidak sejalan dengan igauanmu setiap kali, agar orang lain tidak ikut campur dalam persoalan yang timbul di padukuhan ini. Karena itu aku peringatkan, agar orang-orang itu kalian singkirkan dari padukuhan ini. Jika kau tidak melakukannya, maka akulah dan saudarakulah yang akan melakukannya. Bukan saja disingkirkan dari padukuhan ini, tetapi jika mereka keras kepala, maka mereka akan tersingkir dari dunia ini.”

“Omong kosong,” geram salah seorang dari orang-orang upahan itu, “kau tidak akan mampu melakukannya. Cara yang licik itu tidak pantas lagi kau lakukan di sini, karena kau tidak akan dapat mengelabuhi kami dengan cara itu lagi.”

“Aku telah mencoba memperingatkan kalian,” berkata Mahisa Murti, “tetapi jika kalian tidak mau mendengarkan, apa boleh buat.”

Orang berkumis itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Murti bergeser surut. Pedangnya memang terjulur ke arah orang berkumis itu. Tetapi Mahisa Murti masih mengekang diri untuk tidak melukainya. Namun ketika orang-orang upahan itu mulai menyerangnya, maka Mahisa Murti justru berusaha untuk membuktikan kepada mereka, bahwa ia tidak hanya sekedar membual.

Karena itu, ketika dua orang lawannya yang terdiri dari orang-orang upahan itu mulai menyerangnya lagi, maka Mahisa Murti benar-benar telah berusaha untuk menghentikan perlawanan mereka itu. Apalagi seorang di antaranya, wajahnya telah menjadi pengab-pengab dan satu matanya tidak lagi dapat melihat dengan jelas, sementara yang lain pun telah menjadi kesakitan hampir di seluruh tubuhnya. Karena itu, maka kerja Mahisa Murti tidak akan terlalu berat lagi. Sementara itu, orang berkumis itu pun akan dapat diatasinya dengan cepat.

Dalam keadaan yang demikian, maka gerak Mahisa Murti yang semakin cepat memang tidak dapat diikuti oleh kedua orang lawannya. Kemarahan Mahisa Murti telah terungkapkan dalam getar pedangnya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka ujung pedangnya telah menyambar kedua lawannya itu. Seorang di antara mereka telah tergores di pundaknya sedangkan yang lain lengannya telah dikoyakkannya.

Betapa pun dadanya bergejolak, namun Mahisa Murti masih dapat menahan diri untuk tidak membunuh kedua orang itu. Apalagi karena keduanya tiba-tiba saja telah kehilangan keberaniannya untuk bertempur terus, setelah tubuhnya dilukai meskipun tidak terlalu parah. Sementara itu orang berkumis itu termangu-mangu menghadapi kenyataan itu. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Namun pedangnya masih tetap bergetar.

Di putaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat pun telah menjadi jemu menghadapi ketiga orang lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun telah mempercepat tata geraknya. Bagaikan bayangan, maka Mahisa Pukat telah melayang di antara mereka bertiga. Namun sejenak kemudian, ketika Mahisa Pukat telah berdiri tegak dengan pedang yang tegak pula di depan dadanya, maka ketiga orang lawannya itu pun telah terhuyung-huyung sambil menahan sakit.

Dengan geram Mahisa Pukat berkata, “Kalian memang sangat memuakkan. Tetapi kali ini aku belum membunuh kalian. Aku memberi kesempatan kepada kalian untuk mengobati luka-luka kalian jika kalian membawa obat itu.”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun darah memang telah mengalir dari luka-luka di tubuh mereka. Karena itu, maka mereka pun tidak lagi bersikap terlalu garang. Anak muda itu benar-benar akan dapat membunuh mereka jika dikehendakinya Lima orang upahan itu telah dilukai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara orang berkumis itu pun berdiri termangu-mangu. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi dihadapan hidungnya.

Lima orang yang dibanggakan itu seluruhnya telah terluka. Meskipun luka itu belum terlalu parah. Namun sebelum tubuh mereka tergores luka, maka kulit mereka telah menjadi memar di beberapa bagian. Bahkan seorang di antara mereka, sebelah matanya telah menjadi bengkak dan tidak dapat melihat lagi, sementara yang lain tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak, sementara noda-noda merah biru terdapat di beberapa bagian dari tubuh mereka. Terakhir, kulit daging mereka tidak sekedar memar, tetapi benar-benar telah terkoyak oleh senjata.

Dalam ketegangan itu, maka Mahisa Murti pun berkata dengan nada berat, “Nah, kami telah melukai orang-orang upahan di tempat ini. Agar upah yang kalian terima tidak hilang sia-sia, maka biarlah kalian sedikit merasakan akibat yang dapat terjadi dengan pekerjaan yang kalian bebankan di pundak kalian. Orang-orang upahan seperti kalian sekali-sekali memang harus mengalami luka-luka dalam perkelahian. Bahkan sebaiknya agak berat atau hampir mati. Lebih baik jika mereka menjadi jera dan tidak lagi memilih bekerja sebagai orang upahan dalam dunia kekerasan seperti kalian. Lebih baik menerima upah untuk bekerja di sawah atau pekerjaan lain daripada menakut-nakuti orang.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Kelima orang upahan itu melihat bahwa kedua orang anak muda itu sikapnya memang sudah berubah. Mereka menjadi semakin garang sehingga ancamannya itu tentu benar-benar akan dilakukan. Sementara itu mereka pun harus mengakui bahwa mereka berlima memang tidak akan mampu melawan kedua orang anak muda itu.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun menyahut, “Nah, masih ada kesempatan untuk berkelahi. Siapa yang masih belum puas dengan keadaan ini, marilah. Kita akan menyelesaikan sampai tuntas, karena orang-orang upahan seperti kalian memang harus dihadapkan pada kekerasan pula.”

Kelima orang itu masih saja berdiam diri. Sementara orang berkumis yang mengupah mereka pun menjadi berdebar-debar. Pedangnya sudah tidak lagi bergetar, tetapi perlahan-lahan ujungnya pun telah menunduk.

“Apa sebenarnya yang kau kehendaki?” bertanya orang berkumis itu, “apakah kau bukan orang upahan dari orang-orang sebelah itu?”

“Jika kami orang upahan, maka kami tidak hanya akan melukai orang-orangmu. Kami tentu akan membunuh mereka” jawab Mahisa Murti.

“Jadi apa?” desak orang berkumis itu.

“Sudah aku katakan, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan padukuhan ini. Tetapi aku tidak senang melihat bahwa padukuhan ini terbagi” jawab Mahisa Pukat.

“Apa pedulimu? Kami memang tidak ada kewajiban untuk membuat orang-orang yang melihat keadaan padukuhan ini menjadi senang” jawab orang berkumis itu.

“Kau ingat, dengan siapa kau berbicara? Apakah kau ingin aku menunjukkan kepada orang-orangmu, bahwa kau tidak berarti apa-apa bagiku. Apalagi setelah orang-orang upahanmu terluka?” tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak.

Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang tidak dapat berbuat lebih banyak lagi menghadapi kedua orang anak muda itu. Bahkan seandainya ia mengerahkan semua orang laki-laki di belahan padukuhan itu, maka ia tidak akan dapat mengusir kedua anak muda itu.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari orang berkumis itu daripada mendengarkan salah seorang dari kedua orang anak muda itu berkata, “Nah, ingat. Kami berdua ingin kalian berbicara yang satu dengan yang lain. Berbicara tentang padukuhan ini. Tentang para penghuninya, tentang masa depannya dan tentang persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan kesejahteraan seisi padukuhan ini.”

Orang berkumis itu tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat berbicara pula, “Nah. Apa katamu? Apakah kau masih saja terpancang pada keinginanmu yang melonjak-lonjak untuk mendapatkan satu jabatan yang kalian inginkan dengan tanpa menghiraukan korban apa pun yang kau berikan.”

Orang berkumis itu menjadi semakin bingung. Apa yang sebaiknya dikatakannya. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, “Aku akan menemui Ki Buyut dari padukuhan ini. Aku akan minta Ki Buyut untuk mengatur pertemuan antara kalian berdua.”

Tetapi orang berkumis itu berkata, “Jika hal itu diserahkan kepada Ki Buyut, tentu tidak ada gunanya.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ki Buyut hanya dapat membatasi persoalan yang timbul di antara kami. Ki Buyut hanya berhasil memberikan bingkai pada padukuhan ini agar pertentangan di antara kami tidak meluas. Tetapi Ki Buyut tidak dapat berbuat lebih banyak. Ki Buyut telah membiarkan saja kami menarik batas. Dan bahkan Ki Buyut pun harus memperhitungkan bahwa aku atau yang berkuasa di sebelah akan dapat menggeser kedudukannya sebagai Buyut di Kabuyutan ini” berkata orang berkumis itu.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bertanyalah kepada Ki Buyut” jawab orang berkumis itu.

“Baiklah. Aku akan menemui Ki Buyut. Tetapi kebijaksanaannya harus diterima” geram Mahisa Pukat.

Orang berkumis itu menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan tatapan mata yang tajam. Bahkan kemudian katanya, “Kenapa kami harus menerima kebijaksanaan Ki Buyut?”

“Ki Buyut adalah orang yang memimpin seluruh Kabuyutan ini,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu kalian di seluruh padukuhan ini harus mendukung kebijaksanaannya. Jika kalian di sini selalu menentang kebijaksanaannya, maka keadaan tidak akan pernah tenang.”

Orang berkumis itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bertanyalah kepada orang-orang sebelah. Apakah mereka akan bersedia menerima kebijaksanaan Ki Buyut?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemui Ki Buyut.”

“Silahkan. Tetapi aku tidak berjanji untuk mentaati kebijaksanaannya. Kecuali jika kebijaksanaannya benar-benar akan memecahkan persoalan” berkata orang berkumis itu.

Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti, “Kita pergi kepada Ki Buyut.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Keduanya pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Dengan tangkasnya keduanya meloncati pagar yang membelah padukuhan itu. Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kelima orang upahan itu telah mendapat perawatan atas luka-lukanya.

Namun dengan demikian, maka mereka berlima tidak lagi selalu menengadahkan wajah mereka, karena mereka merasa orang-orang terkuat di antara semua penghuni di belahan padukuhan itu. Ternyata dua orang anak muda telah menghancurkan kesombongan mereka berlima.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang singgah di belahan yang lain. Mahisa Pukat telah mengatakan kepada orang yang bertubuh agak tinggi, yang juga mengaku pemimpin padukuhan itu. Seperti kepada orang berkumis itu, maka ia pun telah mengatakan bahwa mereka akan pergi kepada Ki Buyut untuk mengusahakan penyelesaian persoalan padukuhan itu.

Tetapi tanggapan orang bertubuh tinggi itu pun mengejutkan, “Apa artinya kebijaksanaan Ki Buyut? Sepantasnya bahwa Ki Buyut itu dilempar saja keluar dari Kabuyutan ini.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti, “bukankah Ki Buyut telah memimpin seluruh Kabuyutan ini?”

“Apa saja yang dilakukan adalah tanggung jawabnya,” berkata orang bertubuh tinggi itu, “pada satu saat ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya itu kepada seluruh isi Kabuyutan ini.”

“Ada apa sebenarnya dengan Ki Buyut?” desak Mahisa Murti.

Tetapi orang bertubuh tinggi itu berkata, “Pergilah kepada Ki Buyut, kemudian katakan kepada kami, kebijaksanaan apakah yang akan diambil Ki Buyut atas padukuhan ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya keduanya telah meninggalkan padukuhan itu, menuju ke padukuhan induk. Dari orang bertubuh tinggi itu keduanya telah mendapatkan ancar-ancar ke mana mereka harus pergi.

Padukuhan demi padukuhan telah mereka lewati. Ternyata bahwa kesan yang mereka dapat pada padukuhan-padukuhan itu, bukannya kesan yang cerah. Kabuyutan itu memang bukan Kabuyutan yang kaya. Karena itu, maka di padukuhan-padukuhan itu lebih banyak tersebar rumah-rumah yang kecil dan nampak miskin, meskipun ada juga satu dua rumah yang agak besar di antara rumah-rumah yang miskin itu.

Setelah beberapa padukuhan kecil mereka lewati, maka mereka pun telah memasuki sebuah bulak yang panjang. Di seberang bulak itu terdapat sebuah padukuhan banjar panjang membujur dari Utara ke Selatan. Padukuhan yang terhitung besar dibanding dengan padukuhan-padukuhan yang lain.

“Kita hampir sampai” berkata Mahisa Pukat.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Demikian pula Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Pukat lah yang mempunyai niat untuk memecahkan persoalan yang timbul di padukuhan itu, namun akhirnya Mahisa Murti pun ikut bertanggung jawab pula.

Ketika mereka mendekati padukuhan induk, maka mereka mulai melihat sesuatu yang agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan lain. Beberapa puluh tonggak dari padukuhan induk, di pinggir jalan di bawah sebatang pohon munggur yang besar, terdapat sebuah gardu. Dari jauh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyangka, bahwa di bawah pohon munggur itu terdapat sebuah gubug yang dibuat untuk beristirahat orang-orang yang bekerja di sawah. Ternyata bangunan itu terlalu besar bagi sebuah gubug.

Di dalam gardu itu terdapat beberapa orang pengawal yang bertugas meskipun di siang hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa berhenti di depan gardu itu karena beberapa orang yang bertugas di gardu itu telah menghentikannya.

“Kalian akan pergi ke mana dan dari mana?” bertanya pemimpin pengawal.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Kami ingin berbicara dengan Ki Buyut.”

“Siapakah kalian?” bertanya orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang agak bingung menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian mereka terpaksa menjawab juga, “Kami mempunyai persoalan yang harus kami sampaikan kepada Ki Buyut.”

Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Namun pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Tidak mudah untuk bertemu dengan Ki Buyut. Kalian harus dapat menunjukkan kenyataan tentang diri kalian. Itu pun kalian tidak akan dapat langsung bertemu dengan Ki Buyut. Kalian harus bertemu dahulu dengan Ki Bekel. Baru kemudian kalian dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut jika Ki Bekel menganggap perlu serta Ki Buyut sendiri tidak berkeberatan.”

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kami memang mempunyai persoalan dengan Ki Buyut. Sebenarnya kami tidak mempunyai kepentingan secara pribadi. Tetapi dalam pengembaraan kami, kami telah melewati satu padukuhan yang terbagi. Padukuhan yang terletak dalam wilayah Kabuyutan ini. Adalah tidak sepantasnya bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana Singasari sedang bekerja keras untuk menciptakan persatuan yang utuh, maka di padukuhan itu telah terjadi perpecahan yang menyolok. Padukuhan itu telah dibelah menjadi dua bagian yang masing-masing saling bermusuhan. Padahal padukuhan merupakan bagian terkecil dari alas persatuan yang utuh di Singasari. Jika di padukuhan-padukuhan itu terjadi perpecahan, maka Singasari rasa-rasanya telah menyimpan api di dalam timbunan jerami kering yang setiap saat akan dapat menimbulkan keresahan.”

“Aku tidak tahu apa yang kalian katakan. Persoalan padukuhan yang dibelah itu telah diketahui oleh Ki Buyut. Dan persoalan itu adalah persoalan Kabuyutan kami. Kenapa kau ikut campur?” bertanya pemimpin pengawal itu.

Pertanyaan seperti itu telah didengarnya berpuluh kali. Nampaknya orang-orang Kabuyutan itu memang tidak senang persoalan mereka dicampuri oleh orang lain. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti pun telah tertarik pula untuk mengetahui persoalannya lebih mendalam lagi sebagaimana Mahisa Pukat.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “berilah kesempatan kepada kami untuk bertemu dengan Ki Buyut.”

“Kau tahu bahwa justru di Kabuyutan ini sedang terjadi perpecahan seperti yang kau katakan sendiri? Karena itu, tidak mudah untuk berbicara dengan Ki Buyut. Siapa tahu, bahwa kau adalah orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk maksud-maksud tertentu yang sudah barang tentu bukan maksud yang baik” berkata pemimpin pengawal itu.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak berkeberatan jika kau atau beberapa orang pengawal mengantarkan kami dan mendengarkan pembicaraan kami.”

Tetapi pemimpin pengawal itu justru menjadi semakin curiga. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak berniat menangkap kalian. Tetapi karena sikap kalian, maka kami merasa perlu untuk menangkap kalian dan memeriksa kalian.”

Mahisa Pukat bergeser setapak. Hampir saja ia berteriak marah. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti telah menggamitnya sambil berkata, “Baiklah. Kami tidak akan mengelak. Bukankah dengan demikian kami akan dapat bertemu dengan pemimpin Kabuyutan ini.”

“Itu tergantung sekali pada keadaan” jawab pemimpin pengawal itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Sebaiknya kita memang tidak mengelak.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah diiringi oleh empat orang pengawal menuju ke padukuhan induk. Di gardu yang terletak di regol padukuhan induk itu terdapat juga beberapa orang pengawal. Dengan serta merta, beberapa orang telah berloncatan ke tengah jalan.

“Siapakah mereka?” bertanya pemimpin pengawal di regol padukuhan induk itu.

Salah seorang pengawal yang membawa kedua anak muda itu pun telah menceriterakan dengan singkat, siapakah kedua orang anak muda itu. Pemimpin pengawal di regol padukuhan induk itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita tidak tahu, apakah Ki Bekel dapat menerima mereka. Karena itu serahkan saja kedua orang itu kepadaku. Akulah yang akan memeriksa mereka.”

Pengawal yang membawa kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kami ingin berbicara dengan Ki Buyut, Ki Sanak. Kami ingin membicarakan masalah padukuhan yang terbagi itu.”

“Itu persoalan kami. Kalian tidak usah turut campur” jawab pemimpin pengawal itu.

Rasa-rasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi muak mendengar jawaban itu. Namun pemimpin pengawal itu berkata selanjutnya, “Atau kau yang sengaja mencari persoalan?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sementara itu, pemimpin pengawal di regol padukuhan induk itu berkata kepada pengawal yang membawa mereka berdua, “Tinggalkan kedua anak muda ini. Biarlah aku yang menangani mereka.”

Pengawal itu tidak membantah. Mereka pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke gardu mereka. Sepeninggal pengawal-pengawal itu, maka pemimpin pengawal di regol itu pun berkata, “Kau dapat mengelabui mereka. Tetapi kau tidak akan dapat mengelabui aku. Kalian memang harus diperiksa dengan saksama. Apakah maksud kalian sebenarnya.”

Jantung kedua anak muda itu menjadi berdebaran. Dengan menahan perasaannya Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak. Sekali lagi aku minta dipertemukan dengan Ki Buyut.”

Orang itu tertawa. Ia pun justru bertanya, “Kau kira kau ini siapa he? Begitu mudahnya bertemu dengan Ki Buyut?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Jawaban pemimpin pengawal itu memang terasa aneh. Dengan ragu Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Apa salahnya seseorang menemui Ki Buyut untuk satu keperluan penting. Di beberapa Kabuyutan, kami juga dapat bertemu dengan Ki Buyut tanpa kesulitan. Bahkan kadang-kadang kami mendapat sambutan yang sangat baik.”

“Pergilah kepada seorang Buyut yang mau menyambutmu dengan baik. Tetapi kau tidak dapat melakukannya di sini,” jawab pemimpin pengawal itu. Bahkan katanya, “Apalagi perhatianmu justru tertuju kepada padukuhan yang sedang bergejolak itu. Dengan susah payah Ki Buyut berusaha untuk membatasi agar persoalannya tidak berkembang. Sekarang nampaknya kau akan membuat persoalan dalam hubungannya dengan padukuhan yang terbelah itu.”

“Aku tidak tahu yang kau katakan,” berkata Mahisa Murti, “tetapi jika kami sempat bertemu dengan Ki Buyut, maka kami akan dapat menjelaskan persoalannya.”

“Jangan mengigau lagi,” berkata pemimpin pengawal itu, “aku yang akan memeriksamu berdua.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjawab. Tetapi pemimpin pengawal itu berkata, “Sediakan bilik pemeriksaan itu.”

Beberapa orang pengawal menjadi termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin pengawal itu kemudian membentak, “Cepat. Sediakan bilik itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera mengerti apa yang akan dilakukan oleh pemimpin pengawal itu. Namun kedua anak muda itu melihat beberapa orang pengawal telah pergi ke sebuah bangunan yang tidak begitu besar, tetapi nampak kokoh sekali. Bukan bagian dari rumah yang terdekat dengan pintu gerbang padukuhan induk itu, karena letaknya diluar dinding halaman.

Dengan senyum yang aneh, pemimpin pengawal itu berkata kepada kedua anak muda itu, “Marilah. Kami mempersilahkan kalian singgah di gubug itu. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Orang-orang di padukuhan itu telah menunggu.”

Tetapi pemimpin pengawal itu menggeleng. Senyumnya yang aneh masih nampak dibibirnya. Katanya, “Kalian tidak mempunyai pilihan lain.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak mempunyai pilihan lain. Beberapa orang pengawal tiba-tiba saja telah mengacukan senjata mereka kepada kedua anak muda itu.

Sekali lagi terdengar pemimpin pengawal itu berkata dengan nada tinggi pula, “Marilah Ki Sanak. Waktu pun tidak banyak. Kita akan berbicara dengan cepat agar aku segera dapat menangani tugas-tugas lain.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus melangkah menuju ke bangunan kecil itu. Ketika mereka melangkahi pintu, maka mereka memasuki ruang yang tidak begitu terang, karena lubang-lubang udara yang tidak cukup besar. Namun demikian mereka memperhatikan keadaan di sekitar mereka, maka keduanya pun telah terkejut karenanya. Bilik itu sebenarnyalah memang bilik pemeriksaan.

Beberapa orang pengawal yang bersenjata telanjang berada di dalam bilik itu. Empat orang berdiri di empat sudut. Dua orang yang lain berdiri di sebelah menyebelah pintu, sedangkan dua orang lainnya berdiri di tengah-tengah ruangan. Di dalam ruang itu terdapat beberapa macam alat yang dapat dipergunakan untuk memeras keterangan. Sebuah amben rendah dengan beberapa potong tali ijuk untuk mengikat orang yang terbaring diatasnya. Beberapa jenis cambuk tersangkut di dinding.

Agak ke tepi terdapat beberapa batang patok kayu yang besar dan kokoh dengan palang yang berat tersandar di dinding. Palang akan dapat diletakkan diatas bahu seseorang yang terikat pada patok-patok kayu itu yang kemudian diikat dengan ijuk yang kasar. Sedangkan di sudut yang lain terdapat sebuah perapian yang masih belum menyala. Beberapa potong besi tersangkut pada sebuah gantungan. Besi yang dapat dipanasi sampai merah di perapian itu. Yang kemudian dapat dipergunakan untuk memaksa seseorang berbicara.

“Duduklah Ki Sanak,” pemimpin pengawal itu mempersilahkan, “aku kira kami tidak perlu menyalakan perapian itu. Tidak pula perlu mengurai tali-tali ijuk yang kasar dan dapat menjerat leher.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi didalam hati mereka telah terucapkan tekad untuk melindungi diri mereka sendiri.

“Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu sambil tersenyum, “katakan, siapakah Ki Sanak sebenarnya, dan kenapa Ki Sanak begitu tertarik kepada persoalan di padukuhan yang terbelah itu.”

“Sudah aku katakan,” jawab Mahisa Murti, “kami adalah pengembara. Kami tertarik pada padukuhan itu, justru pada saat Singasari sedang berusaha mempersatukan seisi wilayahnya yang luas.”

Pemimpin pengawal itu tertawa. Tetapi ia bertanya pula, “sebut nama kalian.”

Mahisa Murti tidak merasa perlu untuk merahasiakan namanya sendiri. Karena itu maka katanya, “Namaku Mahisa Murti.”

“Oo,” orang itu mengangguk-angguk, “nama yang bagus sekali. Yang seorang?”

“Mahisa Pukat” jawab Mahisa Pukat singkat.

“Nama yang memang bagus sekali. Sesuai dengan ujud kalian berdua” desis pemimpin pengawal itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Namun mereka memang mencurigai sikap pemimpin pengawal yang tersenyum-senyum itu. Orang yang demikian itu pada satu saat akan dapat bersikap keras sekali. Karena itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab, maka pemimpin pengawal itu bertanya pula,

“Nah, sekarang katakan. Untuk siapa kalian bekerja. Untuk belahan yang mana atau justru kalian telah diupah oleh orang di luar Kabuyutan ini untuk membuat keadaan menjadi semakin keruh. Dengan demikian orang yang mengupahmu itu akan mendapat keuntungan dari kekeruhan itu.”

“Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat, “sudah aku katakan. Tidak ada yang mengupahku. Aku justru merasa sayang bahwa di Kabuyutan ini telah terjadi perpecahan. Aku telah bertemu dan berbicara dengan kedua orang yang mengaku pemimpin pada kedua belahan padukuhan itu. Dengan sedikit kesulitan kami telah berhasil menggiring mereka untuk bersedia berbicara jika hal itu dikehendaki oleh Ki Buyut. Karena itu, maka aku ingin bertemu dengan Ki Buyut.”

Pemimpin pengawal itu tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah ada orang yang dapat mempercayaimu Ki Sanak.”

Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, bertanyalah kepada kedua orang yang berselisih di kedua belahan padukuhan itu. Bertanyalah kepada mereka, apakah yang telah kami lakukan.”

“Kami tidak terlalu bodoh sebagaimana kau sangka Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu, “kau tentu telah sepakat dengan mereka. Kau dan mereka tentu sudah mempersiapkan jawaban yang paling baik jika kami benar-benar datang kepada mereka dan bertanya tentang kalian.”

Mahisa Pukat menjadi marah. Namun ia masih berusaha menahan diri. Sementara itu Mahisa Murti pun bertanya, “jadi apakah yang sebaiknya kami lakukan sekarang Ki Sanak, agar kami dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut?”

“Kalian harus mengaku, siapakah kalian dan siapakah yang telah mengupah kalian menyusup ke dalam padukuhan induk ini.” pemimpin pengawal itu pun mulai menggeram.

“Jika kami ingin dengan sengaja menyusup, apakah kami akan berjalan melalui jalan induk yang dijaga dengan ketat itu?” Mahisa Murti lah yang kemudian bertanya.

“Itu terjadi karena kau salah hitung. Kau kira tidak ada penjagaan di sepanjang jalan induk dan di pintu gerbang padukuhan induk ini” jawab pemimpin pengawal itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah menggeram, “Kalian jangan mempersulit persoalan yang sebenarnya hanya sederhana ini Ki Sanak.”

“Apa?” wajah pemimpin pengawal itu menjadi merah. Ternyata ia tidak dapat mempertahankan sikapnya yang pura-pura itu. Senyumnya tiba-tiba saja telah lenyap dari bibirnya.

“Orang-orang muda,” geram pemimpin pengawal itu, “kesabaranku telah sampai ke ubun-ubun. Sekarang jawab pertanyaanku. Siapa yang telah mengupahmu he?”

“Tidak ada,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak. Sehingga semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut. Pemimpin pengawal yang marah itu pun terkejut. Bahkan Mahisa Murti pun telah terkejut pula.

Namun sejenak kemudian pemimpin pengawal itu berkata lantang, “Nyalakan perapian.”

Dua orang di antara para pengawal yang ada di dalam ruangan itu telah berlari mendekati perapian dan kemudian dengan tergesa-gesa menyalakannya. Sementara itu pemimpin pengawal itu pun berkata, “Ikat keduanya pada patok-patok kayu itu. Aku akan memaksa mereka berbicara. Masukkan beberapa potong besi ke dalam api. Jika mereka tidak mau berbicara, mereka tidak akan dapat berbicara untuk selama-lamanya.”

“Gila” Mahisa Pukat berteriak pula dengan kerasnya.

“Tutup mulutmu,” bentak pemimpin pengawal itu, “kau tidak dapat menyesali nasibmu yang buruk.”

Mahisa Pukat justru menjadi bergetar oleh kemarahan yang tertahan. Namun Mahisa Murti masih dapat berbicara lebih terkendali, “Ki Sanak. Jangan melakukan tindakan yang dapat mencelakaimu sendiri.”

“Persetan” geram pemimpin pengawal itu.

Dalam pada itu, dua orang telah mendekati Mahisa Murti sementara dua orang yang lain berlari-lari mendekati Mahisa Pukat. Mereka telah menangkap tangan kedua orang anak muda itu dan menyeret mereka ke patok-patok kayu.

Mahisa Pukat hampir saja telah meronta. Namun ketika ia melihat Mahisa Murti membiarkan dirinya diseret ke patok kayu, Mahisa Pukat pun tidak dengan serta merta melawannya. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Murti.

Ternyata Mahisa Murti membiarkan dirinya diikat dengan tali ijuk yang kasar pada sebatang patok kayu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah membiarkan pula dirinya diikat sebagaimana Mahisa Murti.

Sementara perapian mulai menyala, maka pemimpin pengawal itu telah mengambil sebuah cambuk yang pendek yang tersangkut pada dinding ruangan itu. Perlahan-lahan ia mendekati kedua anak muda yang terikat itu sambil berkata, “Sebelum aku mempergunakan api, jawablah pertanyaanku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu pemimpin pengawal itu bertanya pula dengan kasar, “jawab pertanyaanku. Untuk siapa kalian bekerja?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Betapa pun kasarnya orang itu membentak, namun keduanya masih tetap berdiam diri.

Ternyata bahwa orang itu benar-benar menjadi marah. Yang ditunggu oleh Mahisa Murti ternyata telah terjadi. Orang yang membentak-bentak itu benar-benar telah mencambuk tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Kedua anak muda itu memang menyeringai menahan sakit. Mereka bukan seseorang yang memiliki ilmu kebal. Namun demikian, mereka memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, sehingga mereka pun kemudian telah berusaha untuk mengatasi rasa sakit. Namun jalur yang merah telah membekas di kulit mereka.

“Cepat jawab, sebelum kalian kehilangan kesadaran kalian,” teriak pemimpin pengawal itu. Tiba-tiba pula ia telah berteriak pula kepada pengawal yang berdiri di dekat perapian. “Panggang dua potong besi yang akan dapat membuat keduanya bisu selama hidup mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri. Namun cambuk itu telah meledak pula. Sebuah goresan panjang telah menyilang pula di tubuh kedua anak muda itu. Ternyata beberapa kali pemimpin pengawal itu telah pula mencambuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun keduanya merasakan kepedihan yang sangat, keduanya masih berusaha bertahan.

Mahisa Pukat lah yang tidak sabar lagi menahan diri. Ia tidak begitu mengerti maksud Mahisa Murti. Ia hanya dapat menduga, bahwa Mahisa Murti ingin mendapatkan bahan yang dapat dipakainya alasan untuk bertindak lebih tegas kepada pemimpin pengawal itu.

Karena kedua anak muda itu masih saja tetap membisu, maka pemimpin pengawal itu benar-benar kehilangan kesabaran. Katanya, “Aku dapat membuat kalian cacat. Aku dapat memotong telinga kalian, atau hidung kalian atau mematahkan tangan atau kaki kalian. Tetapi karena mulut kalian yang membisu, maka aku akan menghukum mulut kalian lebih dahulu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Ternyata orang itu berkata lantang, “Bawa kedua besi itu kemari jika sudah menjadi merah.”

Sebenarnyalah para pengawal telah membawa dua potong besi panjang. Ujung-ujungnya memang sudah menjadi merah. Betapa panasnya ujung-ujung besi itu jika menyentuh kulit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “Apakah benar-benar akan menyentuh tubuhku dengan api?”

“Ya,” geram pemimpin pengawal itu, “bahkan lidahmu. Dengan demikian maka kalian benar-benar akan menjadi bisu. Kecuali jika kalian mau menjawab, untuk siapa kalian bekerja.”

“Kami sudah menjawab” suara Mahisa Murti menjadi semakin keras pula.

“Cukup,” pemimpin pengawal itu membentak. Selangkah demi selangkah ia maju. Kedua potong besi yang ujungnya telah menjadi merah itu, “kalian harus membuka mulut kalian. Jika tidak, maka besi yang membara ini akan mematuk kedua biji mata kalian. Meskipun kalian tidak menjadi bisu, tetapi kalian akan menjadi buta.”

“Gila,” Mahisa Pukat lah yang tidak sabar, “kau kira kau mampu melakukannya.”

Orang itu terkejut mendengar jawaban Mahisa Pukat. Bagaimana mungkin orang yang terikat dengan tali ijuk itu masih berani membentaknya.

Sementara itu Mahisa Murti pun berkata dengan lantang, “Permainan ini sudah selesai Ki Sanak. Kami sudah meyakini bahwa kau ternyata bukan orang baik-baik. Karena itu, maka sepantasnya bahwa kaulah yang harus mendapat hukuman.”

“Agaknya kalian telah menjadi gila karena ketakutan” orang itu tiba-tiba saja tertawa.

Tetapi suara tertawanya yang berkepanjangan, tiba-tiba telah patah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meyakini niat jahat pemimpin pengawal itu, telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sebagai anak Mahendra, mereka mewarisi Aji Bajra Geni yang luar biasa. Mereka tidak menyalurkan kekuatan itu pada telapak tangannya yang akan dapat menghancurkan benda yang disentuhnya, tetapi mereka menyalurkan kekuatan itu pada bagian-bagian tubuhnya yang terikat oleh tali ijuk yang kasar itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka tubuh kedua anak muda itu bagaikan meledak. Tali temali yang mengikat keduanya menjadi rantas terputus-putus dan terlempar berserakan. Sementara itu kedua anak muda itu telah meloncat berdiri tegak dihadapan pemimpin pengawal yang memegangi dua potong besi yang membara itu.

Untuk sesaat pemimpin pengawal itu bagaikan membeku. Satu kejadian yang tidak pernah diduganya telah terjadi. Ternyata bahwa kedua orang anak muda itu telah melakukan satu langkah yang tidak masuk di akalnya. Tetapi sejenak kemudian, maka ia pun telah menyadari keadaan. Karena itu, maka dengan serta merta, ia pun telah menyerang Mahisa Murti dengan besi yang telah membara itu.

Namun serangan itu tidak berarti apa-apa. Mahisa Murti-pun telah meloncat ke samping menghindari sentuhan besi yang membara itu. Bahkan sebelum pemimpin pengawal itu menyadari keadaan sepenuhnya, Mahisa Pukat telah meloncat memukul tangan pemimpin pengawal itu. Keduanya berganti-ganti, sehingga kedua potong besi di tangannya itu telah terloncat jatuh.

Pemimpin pengawal itu sekali lagi terkejut. Kedua anak muda itu telah melakukan satu tindakan yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya akan dapat mereka lakukan. Pemimpin pengawal itu pun segera meloncat mundur. Dengan lantang ia pun segera berteriak, “Bunuh mereka.”

Para pengawal pun segera bergerak. Delapan orang pengawal segera mengepung kedua anak muda itu.

“Ki Sanak,” geram Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian tidak ikut campur. Kami akan menghukum orang yang telah memperlakukan kami dengan tidak adil.”

Namun pemimpin pengawal itu segera berteriak, “Cepat. Bunuh saja kedua orang itu. Jangan biarkan mereka mengigau lebih panjang lagi.”

Para pengawal yang memang telah bersenjata itu pun segera menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masing-masing telah memungut potongan besi yang ujungnya semula membara. Tetapi bara itu mulai pudar, meskipun panasnya masih akan dapat mengelupas kulit. Dengan bersenjatakan tongkat yang semakin lama menjadi semakin dingin itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melawan delapan orang pengawal yang bertempur melingkari mereka.

Namun dalam waktu yang pendek, kedelapan orang itu telah terdesak. Beberapa orang telah tersentuh oleh potongan besi di tangan kedua anak muda itu. Meskipun panasnya tidak lagi menyakiti mereka, tetapi ayunannyalah yang serasa telah memecahkan tulang.

Pemimpin pengawal itu melihat kemungkinan yang buruk pada para pengawal. Karena itu, maka ia pun telah berlari ke pintu dan berteriak memanggil beberapa orang pengawal yang masih berada di luar. Lima orang pengawal telah masuk ke dalam bilik pemeriksaan itu. Mereka langsung terjun ke arena bersama pemimpinnya yang sangat marah itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berloncatan mengambil jarak. Keduanya telah berpencar dan bertempur dalam dua lingkaran. Sementara itu besi di tangan mereka telah berputaran dengan cepat sekali. Beberapa senjata telah terlempar dari tangan para pengawal. Namun dengan tergesa-gesa mereka yang kehilangan senjata itu telah memungutnya sementara kawannya yang lain melindunginya. Tetapi demikian mereka menggapai senjatanya kembali, maka yang lainlah yang telah kehilangan senjatanya pula.

Beberapa kali hal yang sama terjadi. Bahkan semakin lama para pengawal yang kesakitan pun menjadi semakin banyak. Mereka yang dapat mempertahankan senjata di tangan, tulang lengannya bagaikan telah patah. Sementara yang lain pundaknyalah yang menjadi retak.

Dengan demikian, maka para pengawal itu pun semakin lama memang menjadi semakin terdesak. Beberapa orang benar-benar telah kehilangan keberanian untuk bertempur, sehingga mereka berusaha untuk berdiri di paling belakang dari kepungan atas kedua orang anak muda itu.

Beberapa saat pertempuran masih berlangsung. Namun para pengawal seakan-akan telah menjadi putus asa. Beberapa orang bahkan telah terbanting jatuh dan tidak mampu untuk bangkit kembali. Meskipun ada juga di antara mereka yang berpura-pura menjadi parah dan tetap terbaring di tempatnya tanpa ada niat untuk bangun lagi meskipun hal itu dapat dilakukannya.

Pemimpin pengawal yang berniat menghukum kedua anak muda itu masih saja berteriak-teriak memberikan aba-aba. Tetapi para pengawal pun semakin lama justru semakin sedikit yang masih mencoba untuk bertempur. Dengan kenyataan itu, maka tidak ada jalan yang lebih baik bagi pemimpin pengawal itu daripada menyelamatkan diri. Karena itu, selagi masih ada beberapa orang yang bertempur, ia pun berusaha untuk berlari ke pintu yang tidak diselarak.

Tetapi, ketika tangannya menggapai daun pintu, kekuatan yang sangat besar telah merengutnya sehingga pemimpin pengawal itu telah terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan jatuh terduduk. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya Mahisa Murti berdiri di sampingnya. Tongkat besi yang hampir saja dipergunakan untuk membuatnya cacat, terayun-ayun di muka hidungnya.

“Tongkat ini sudah dingin,” berkata Mahisa Murti, “tetapi meskipun demikian, akan masih mampu membuatmu bisu atau tuli atau buta, atau ketiga-tiganya.”

“Ampun” tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu bersimpuh dihadapannya.

Mahisa Murti menggeram. Sementara itu, para pengawal yang lain pun telah menghentikan perlawanan mereka yang sia-sia, sementara beberapa orang di antara mereka telah terluka. Mahisa Murti tiba-tiba saja berkata, “Ikat orang ini pada tonggak itu.”

“Jangan” teriak pemimpin pengawal itu.

Namun Mahisa Murti berteriak sekali lagi kepada para pengawal, “Ikat orang ini, atau kami akan membunuh kalian semua?”

Para pengawal menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja ujung tongkat besi Mahisa Pukat telah menyentuh beberapa orang pengawal sambil menggeram, “Aku akan menghitung sampai tiga. Jika tidak, besi ini akan aku panasi. Kalianlah yang akan menjadi bisu, tuli dan buta.”

Para pengawal itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka- pun kemudian telah bangkit. Meskipun dengan ragu-ragu, namun mereka pun telah mendekati pemimpin mereka yang berteriak-teriak, “jangan. Jangan.”

Para pengawal itu tertegun. Apalagi ketika pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Siapa menyentuh tubuhku, akan aku bunuh kelak.”

Mahisa Pukat ternyata tidak sabar lagi. Ia pun kemudian menggeram, “Kau akan mati. Kau tidak akan dapat membunuh siapapun.”

Tetapi karena para pengawal masih saja ragu-ragu, maka Mahisa Pukat lah yang telah menyeret orang itu. Kemudian memaksanya berdiri bersandar pada tonggak yang kokoh dan mengikatnya pula dengan tali ijuk yang kasar. Pemimpin pengawal itu berteriak kesakitan ketika Mahisa Pukat menarik tali itu terlalu keras.

“Salahmu. Jika orang-orangmu yang mengikatmu, tentu kau tidak akan mengalami kesakitan seperti itu” geram Mahisa Pukat.

Namun pemimpin pengawal itu masih saja mengaduh, sehingga Mahisa Pukat yang marah justru telah menampar pipinya sambil berkata, “Jika kau masih ribut, aku koyak mulutmu.”

Ternyata sentuhan tangan Mahisa Pukat telah menyakitinya. Rasa-rasanya pipinya telah tersentuh api. Karena itu, maka ia pun telah terdiam.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “sekarang kaulah yang harus menjawab pertanyaanku.”

“Aku tidak tahu apa-apa” teriak pemimpin pengawal itu.

Mahisa Murti yang berdiri saja termangu-mangu, tiba-tiba telah memungut dua potong besi yang semula dipergunakannya sebagai senjata. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Aku akan memanasi dua potong besi ini.”

“Jangan, jangan” teriak pemimpin pengawal itu pula.

Mahisa Murti tertegun. Namun ia memang menghentikan langkahnya. Ia tidak jadi pergi ke perapian dan kedua potong besi itu telah dilemparkannya.

Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Untuk sementara ia merasa terbebas dari kemungkinan yang paling buruk. Jika kedua potong besi itu dibakar dalam perapian dan menjadi merah, maka sentuhannya akan dapat membakar kulit daging.

Mahisa Murti yang telah melemparkan kedua potong besi itu telah mendekatinya. Kemudian dengan nada tinggi pula ia bertanya, “Katakan, apa perananmu di Kabuyutan ini he?”

“Aku adalah pemimpin pengawal yang bertugas hari ini” jawab pemimpin pengawal itu.

“Omong kosong,” berkata Mahisa Murti, “aku tidak percaya.”

“Bertanyalah kepada para pengawal?” minta pemimpin pengawal yang terikat kaki dan tangannya pada tonggak yang kuat itu.

“Oo,” desis Mahisa Pukat, “kami tidak terlalu bodoh sebagaimana yang kau sangka Ki Sanak. Kau tentu telah sepakat dengan mereka. Orang-orangmu tentu sudah kau ajari bagaimana menjawab pertanyaan orang lain tentang kau.”

Telinga pemimpin pengawal itu bagaikan disengat api. Tetapi ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak muda itu terlalu perkasa bagi para pengawal. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu hanya dapat menundukkan kepalanya.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian dengan nada keras, “kau belum menjawab.”

Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh pemimpin pengawal itu. Sementara itu Mahisa Pukat telah membentaknya.

“Cepat. Jawab pertanyaan kami. Apa perananmu di Kabuyutan ini? Kaukah yang telah menumbuhkan sengketa di antara para pemimpinnya? Jika demikian, apakah keuntunganmu? Barangkali kau ingin semua pemimpin di padukuhan ini saling membunuh sehingga kau akan mendapat kesempatan untuk menggantikannya, mengambil jabatan Buyut di Kabuyutan ini. Atau keuntungan-keuntungan lain yang lebih besar dari kedudukan seorang Buyut.”

Tiba-tiba saja orang itu berteriak, “Tidak. Tidak.”

Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “jangan merajuk begitu Ki Sanak. Lihat, tubuhku sudah menjadi babak belur. Ujung cambuk itu telah tergores di kulit kami, malang melintang. Kau kira kami tidak kesakitan. Barangkali kau ingin mencobanya?”

“Jangan, jangan” orang itu menjadi gemetar.

Mahisa Murti justru mulai memungut sebuah cambuk dengan juntainya yang pendek. Ketika ujung juntai cambuk itu menyentuh kulit pemimpin pengawal itu, maka ia pun telah berteriak, “jangan sakiti aku.”

Mahisa Murti tertawa semakin keras. Bahkan Mahisa Pukat pun tertawa pula. Katanya, “Ujung cambuk itu baru menyentuh dan mengusap kulitmu yang kasar, melampaui kasarnya ijuk pengikatmu itu.”

Tubuh pemimpin pengawal itu memang menjadi semakin gemetar. Ujung cambuk itu memang belum dilecutkannya. Tetapi sentuhan yang lunak dikulitnya itu telah mengejutkannya, sehingga seakan-akan cambuk itu sudah meledak dan mengoyak kulit dagingnya.

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun bertanya lagi, “Apa perananmu sebenarnya he? Kau harus menjawab. Jika tidak, maka aku akan membuatmu menjadi bisu untuk selama-lamanya meskipun aku tidak memanasi potongan besi itu di perapian.”

Wajah pemimpin pengawal itu memang menjadi sangat pucat. Sementara para pengawal yang ada di dalam ruangan itu- pun telah menjadi gemetar pula. Tidak mustahil bahwa pada gilirannya, merekalah yang diperlakukan seperti itu.

Karena pemimpin pengawal itu tidak menjawab, maka Mahisa Pukat telah mendekatinya. Ia tidak membawa sepotong besi yang membara. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah menunjukkan jari-jarinya sambil berkata, “Kau jawab pertanyaanku atau tidak.”

Pemimpin pengawal itu menjadi bingung, sementara para pengawal memandanginya dengan termangu-mangu. Pemimpin pengawal yang terikat itu pun menjadi ragu-ragu. Apakah maksud kedua anak muda itu sebenarnya? Apakah mereka memang sekedar ingin menyakitinya dengan cara yang belum diketahuinya atau sekedar menakut-nakuti atau tujuan-tujuan lain yang belum dapat diduganya?

Sementara itu Mahisa Pukat masih juga bertanya, “He, apakah perananmu sebenarnya? Kau belum menyebutnya. Jika aku kehilangan kesabaran, maka lidahmu akan terbakar dan kau akan kehilangan kesempatan untuk berbicara selama-lamanya.”

Pemimpin pengawal itu memang tidak tahu, bagaimana anak muda itu akan melaksanakan ancamannya itu tanpa memanasi potongan-potongan besi yang biasanya memang dipergunakan untuk membakar kulit dan daging.

“Cepat jawab” Mahisa Pukat membentaknya tiba-tiba.

Pemimpin pengawal itu terkejut. Namun ia memang tidak dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu, maka ia hanya berdiam diri saja, meskipun jantungnya serasa berdetak semakin cepat.

Karena orang itu tidak menjawab, maka Mahisa Pukat pun tiba-tiba telah berdiam diri sejenak. Kepalanya tertunduk sementara kedua telapak tangannya terkatup rapat. Mahisa Murti melihat sikap itu. Ia pun menarik nafas dalam-dalam. Jika bukan Mahisa Pukat, maka ia sendirilah yang akan melakukannya. Tetapi karena Mahisa Pukat telah mempersiapkan diri, maka Mahisa Murti pun tinggal menunggu saja, apa yang bakal terjadi.

Sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah mengangkat wajahnya. Dipandanginya pemimpin pengawal itu dengan tajamnya. Dengan nada berat ia berkata, “Jadi kau benar-benar tidak mau mengatakan sesuatu?”

Pemimpin pengawal itu tidak tahu lagi, apa yang sebaiknya dilakukannya. Namun justru dalam kebingungan itu tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah menyentuh lengannya dengan ujung jarinya. Pemimpin pengawal itu berteriak kesakitan, ujung jari Mahisa Pukat yang menyentuh lengannya itu panasnya bagaikan ujung besi yang membara. Bahkan di lengannya itu pun telah membekas luka bakar seujung jari Mahisa Pukat.

Ternyata Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya. Ia dapat melontarkan panasnya api dari telapak tangannya menuju ke sasaran. Namun saat itu Mahisa Pukat telah berbuat lain. Ia tidak melontarkan panasnya api itu dari telapak tangannya, tetapi lewat ujung jarinya. Bahkan seluruh telapak tangannya itu bagaikan bara. Dalam pertempuran yang garang, maka sentuhan tangannya itu akan membakar kulit lawannya. Namun Mahisa Pukat tidak berbuat demikian. Ia hanya menyentuh kulit lawannya dengan ujung jarinya. Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu telah merasa seakan-akan seluruh tangannya telah terbakar.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “kau kira aku tidak dapat berbuat sebagaimana akan kau lakukan? Bahkan aku tidak memerlukan sepotong besi yang dipanaskan di perapian.”

Pemimpin pengawal itu memang menggigil ketakutan. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua orang anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang tidak masuk di akalnya. Sementara itu, para pengawal yang berada di bilik itu pun telah menjadi ketakutan. Justru karena itu, maka mereka seakan-akan telah mematung di tempatnya. Kaki mereka bagaikan menjadi kayu dan tidak mampu lagi digerakkan.

Dalam ketegangan itu terdengar Mahisa Pukat berkata, “Baiklah. Jika kau tidak mau berbicara, bawa aku kepada Ki Buyut.”

“Baik. Baik anak-anak muda,” berkata pemimpin pengawal itu dengan suara gemetar, “kami akan mengantar Ki Sanak menghadap Ki Buyut.”

Mahisa Pukat pun kemudian surut beberapa langkah. Katanya kepada para pengawal, “Lepaskan ikatan pemimpinmu.”

Beberapa orang pengawal termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat pun membentak, “Cepat. Lepaskan, atau kalian juga akan kami ikat di tonggak-tonggak itu.”

Beberapa orang pun kemudian telah berlari-lari mendapatkan pemimpinnya yang terikat pada sebuah tonggak di tengah-tengah bilik pemeriksaan itu. Dengan tergesa-gesa mereka berusaha untuk melepaskan tali ijuk yang mengikat pemimpin pengawal itu pada tonggak yang kuat.

Karena tali itu tidak mudah dilepas, maka Mahisa Pukat yang tidak telaten itu pun berkata, “Potong saja tali itu dengan salah satu senjata kalian.”

Salah seorang pengawal memang telah memotong tali ijuk itu dengan pedangnya.

“Marilah,” berkata Mahisa Pukat, “jangan bertindak bodoh. Jika kau mencoba berbuat sesuatu di luar pengetahuanku, maka aku tidak segan-segan membunuhmu.”

Pemimpin pengawal itu tidak menyahut. Namun kemudian Mahisa Pukat menggeram, “Cepat, berjalan.”

Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal itu melangkah. Mereka pun kemudian keluar dari bilik yang pengab itu menuju ke jalan induk di padukuhan itu. “Kita susuri jalan ini” berkata pemimpin pengawal itu.

“Aku sudah menduga, bahwa rumah Ki Buyut tentu ada di pinggir jalan induk ini,” desis Mahisa Murti. Lalu katanya kepada pemimpin pengawal itu, “jika kau tidak menggangguku, aku akan dapat mencari rumahnya itu tanpa kalian.”

Pemimpin pengawal itu sama sekali tidak menyahut. Beberapa saat mereka berjalan, sementara beberapa orang pengawal mengamati mereka dengan jantung yang berdebaran. Mereka belum pernah melihat seseorang yang memiliki kemampuan sebagaimana kedua orang anak muda itu. Apalagi hanya dengan jarinya, anak muda itu mampu membakar kulit sebagaimana sebatang besi yang membara.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang diantar oleh pemimpin pengawal telah memasuki regol halaman rumah Ki Buyut. Di regol maupun di gandok rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat petugas itu agaknya memang terlalu banyak, seakan-akan Kabuyutan itu sedang terancam oleh bahaya pertempuran.

Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu masih harus berbicara dahulu dengan beberapa orang yang bertugas. Pemimpin pengawal itu mencoba memberikan penjelasan bahwa kedua anak muda itu ingin berbicara dengan Ki Buyut.

“Bukankah kau tahu peraturan yang berlaku di sini?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi kekar.

“Ya. Aku mengerti” jawab pemimpin pengawal yang bertugas di regol padukuhan induk itu.

“Jadi kenapa kau bawa kedua orang itu kemari?” bertanya orang yang bertubuh kekar itu.

“Mereka memaksa” jawab pemimpin pengawal di regol padukuhan.

Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan. Dipandanginya kedua anak muda itu sejenak. Lalu katanya, “jadi kalian telah memaksa untuk menghadap Ki Buyut, he?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia menunggu pemimpin pengawal di regol padukuhan induk itu menjawab. Sebenarnyalah orang itu menjawab, “Kami tidak mampu mencegah mereka.”

Orang yang bertubuh kekar itu tertawa semakin keras. Tiba-tiba saja ia berkata kepada seseorang yang usianya sudah separuh baya, tetapi tubuhnya masih nampak kokoh kuat, bahkan meyakinkan. Katanya, “Ki Bekel. Kau ingin melihat dua orang anak muda yang memaksa untuk menghadap Ki Buyut?”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Sambil melangkah mendekat ia bertanya, “Siapa mereka?”

“Bertanyalah kepada pemimpin pengawal di ujung lorong itu” jawab orang yang bertubuh kekar.

“Siapa mereka?” bertanya Ki Bekel pula.

“Ki Bekel dapat bertanya sendiri kepada mereka” jawab pemimpin pengawal di mulut lorong induk itu.

Tetapi tiba-tiba Ki Bekel membentak, “Aku bertanya kepadamu he?”

Pemimpin pengawal itu menjadi gagap. Namun ia pun menjawab terbata-bata, “Namanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

“Aku tidak bertanya namanya,” bentak Ki Bekel, “Aku bertanya tentang keduanya.”

“Menurut pengakuan mereka, mereka adalah pengembara” jawab pemimpin pengawal yang bertugas di regol padukuhan induk itu.

“Pengembara?” bertanya Ki Bekel.

Pemimpin pengawal itu mengangguk. Sementara Ki Bekel membentak, “Barangkali mereka hanya ingin mengemis nasi atau selembar pakaian? Kenapa kau bawa mereka untuk menghadap Ki Buyut? Kau tahu siapa Ki Buyut? Dan kau tahu arti seorang pengembara yang tidak lebih dari pengemis?”

Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Sementara itu jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbakar. Hampir saja keduanya tidak mampu lagi mengendalikan diri. Namun demikian masih juga terloncat kata-kata dari mulut Mahisa Pukat, “Ki Bekel. Beri kesempatan aku bertemu dengan Ki Buyut.”

“Tutup mulutmu,” bentak Ki Bekel, “apa hakmu untuk berbicara dengan Ki Buyut? Bahkan aku pun segan menerimamu dan berbicara denganmu.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “jika tidak seorang di antara kalian yang bersedia membawaku menghadapi Ki Buyut, biarlah kami berdua pergi sendiri.”

Ketika Mahisa Pukat menggamit Mahisa Murti, maka keduanya telah melangkah menuju ke pendapa.

“Berhenti,” bentak Ki Bekel sambil melangkah mendekat, “apakah kau berdua sudah gila, sehingga kalian tidak dapat mengekang diri lagi?”

“Barangkali,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu, jangan hiraukan kami.”

“Cukup” Ki Bekel berteriak semakin keras, sementara orang yang bertubuh kekar itu pun melangkah mendekat pula.

“Jangan cegah kami,” geram Mahisa Pukat, “kami sedang berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di Kabuyutan ini.”

“Kau? Para pengembara akan mencampuri persoalan yang ada di Kabuyutan ini?” orang bertubuh kekar itu tertawa berkepanjangan. Ki Bekel pun tertawa, sementara beberapa orang yang lain pun tertawa pula.

Tetapi suara tertawa itu terputus ketika tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak, “Ki Buyut. Keluarlah! Kami ingin bertemu. Ada persoalan yang penting yang perlu kami bicarakan.”

Ki Bekel benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta ia pun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya ke mulut Mahisa Pukat. Demikian kerasnya, sehingga Ki Bekel mengira bahwa untuk selanjutnya anak muda itu tidak akan dapat berteriak lagi. Tetapi Ki Buyut itu terkejut. Orang-orang yang menyaksikan pun terkejut pula. Ternyata tangan Ki Bekel tidak menyentuh apa pun juga.

Mahisa Pukat masih tetap berdiri di tempatnya. Ia hanya memiringkan kepalanya saja tanpa bergeser dari tempatnya. Namun tangan Ki Bekel itu sama sekali tidak mengenainya. Kemarahan Ki Bekel semakin memuncak karenanya. Dengan lantang ia berkata, “Anak setan. Ternyata kau tidak dapat dimaafkan lagi.”

“Ki Bekel,” berkata Mahisa Pukat, “aku hormati kau sebagai orang tua. Tetapi jika kau telah merendahkan martabatmu sendiri apa boleh buat.”

Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Pengemis yang tidak tahu diri. Sadari derajatmu, he? Kau tidak pantas duduk dibawah kaki Ki Buyut sekalipun. Apalagi menghadap dan berbicara dengannya.”

Kesabaran Mahisa Pukat pun telah habis. Karena itu ia pun berteriak, “Kau kira dengan kedudukanmu sebagai Bekel, apa pula yang harus disegani pada seorang Buyut? Aku minta Ki Buyut keluar untuk menemui aku. Jika tidak, maka aku akan masuk ke dalam rumahnya. Aku tidak silau melihat kedudukan seorang Buyut apalagi seorang Bekel. Bukan maksudku merendahkan pangkat itu. Tetapi seharusnya seorang Buyut dan seorang Bekel tidak memisahkan diri dari orang lain.”

Ki Bekel pun tidak mengekang diri lagi. Dengan lantang ia berteriak kepada para pengawal, “Kepung orang ini. Jangan biarkan lari. Mereka harus mendapat hukuman yang pantas atas tingkah lakunya yang deksura itu.”

Para pengawal pun mulai bergerak. Sementara itu, pemimpin pengawal yang bertugas di pintu gerbang padukuhan induk menjadi termangu-mangu. Ia sudah melihat dan bahkan mengalami kemampuan kedua anak muda itu. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memberi peringatan kepada orang-orang di halaman rumah Ki Buyut itu.

Mahisa Murti pun telah menjadi marah pula. Bahkan dengan lantang ia pun berteriak, “Ki Buyut. Kau dengar suaraku. Keluar sebelum aku membunuh orang-orangmu. Ingat, jika kau tidak mau keluar, maka Akuwu Sangling atau Lemah Warah atau mana pun yang membawahi Kabuyutan ini akan menilai tingkah lakumu.”

Tetapi Ki Bekel lah yang berteriak kepada para pengawal, “Bungkam mulut kedua anak itu.”

Beberapa pengawal tiba-tiba saja telah berusaha menyergap kedua anak muda itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menduga, bahwa beberapa orang di antara mereka segera terlempar dari arena. Tiga orang terbanting jatuh. Seorang di antaranya langsung menjadi pingsan. Sementara dua orang yang lain tidak lagi dapat bangkit, apalagi berkelahi melawan kedua orang anak muda itu. Bahkan beberapa saat kemudian dua orang lagi terlempar dengan darah segar mengalir dari mulut mereka. Keduanya telah mengalami pendarahan karena beberapa buah gigi mereka telah patah.

Dengan demikian, maka para pengawal yang lain pun menjadi ragu-ragu. Justru dalam keadaan yang demikian, beberapa orang lagi telah jatuh. Dalam keadaan yang kalut itu, maka Ki Bekel sendiri serta orang yang bertubuh kekar itu telah turun ke arena.

“Ternyata kalian bukan orang kebanyakan. Jika demikian maka kami berdua akan menyelesaikan kalian. Tetapi jangan menyesal, jika kami telah turun ke arena, maka kami akan menyelesaikan semuanya dengan tuntas” berkata Bekel.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Bagi mereka, maka yang terbaik adalah bertemu dengan Ki Buyut. Namun dalam pada itu, dengan nada marah Mahisa Pukat berkata, “Kami menjadi curiga, bahwa kalianlah yang sebenarnya telah memagari Ki Buyut. Bahkan kalianlah yang agaknya dengan sengaja telah membuat Kabuyutan ini menjadi kacau. He, apakah keuntunganmu membuat suasana jadi begini buruk di Kabuyutan ini?”

“Tutup mulutmu,” geram Ki Bekel, “kau memang harus mati.”

Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Dengan garangnya Ki Bekel itu telah menyerangnya. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap menghadapinya. Karena itu, maka ia pun segera mengelakkan serangan Ki Bekel yang datang langsung dengan sepenuh kekuatannya itu. Bahkan Mahisa Pukat yang sudah marah itu pula, tidak membiarkan waktunya lebih lama lagi terbuang. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berusaha dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Di sisi yang lain, orang yang bertubuh kekar itu pun telah menyerang Mahisa Murti pula. Tangannya bergerak dengan sangat cepat mengarah ke dada Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak. Seperti juga Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun tidak ingin pertempuran itu terjadi berkepanjangan. Ia pun merasa bahwa waktu telah sangat mendesak.

Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan tenaga cadangannya, Mahisa Murti sebagaimana juga Mahisa Pukat tidak merasa perlu mempergunakan ilmunya, karena dengan kekuatan tenaga cadangan didalam dirinya, keduanya akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat.

Sebenarnyalah, Ki Bekel maupun orang-orang yang bertubuh kekar itu sama sekali tidak mampu mengimbangi kedua anak muda itu. Dalam beberapa saat saja keduanya telah terlempar jatuh. Ki Bekel yang berusaha untuk bangkit lagi, ternyata sudah tidak memiliki kekuatan cukup. Demikian ia tertatih-tatih berdiri, maka ia pun telah terjatuh lagi sambil mengerang kesakitan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berdiri di halaman. Sejenak mereka sempat memandang berkeliling. Namun para pengawal sama sekali tidak ada yang berani mendekat mereka lagi. Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah berteriak pula, “Ki Buyut. Cepat keluar. Atau aku akan mencarimu ke dalam?”

Halaman rumah Ki Buyut itu menjadi tegang. Ternyata tidak ada orang yang dapat mencegah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pemimpin pengawal yang bertugas di ujung lorong induk itu pun menjadi semakin yakin bahwa kedua anak itu benar-benar memiliki ilmu yang perkasa.

Karena Ki Buyut masih juga belum keluar dari ruang dalam, maka sekali lagi Mahisa Pukat berteriak, “Ki Buyut. Keluarlah. Kami ingin tahu, apakah Ki Buyut sendiri yang menghendaki atau orang-orang di sekelilingmulah yang telah memisahkan kau dari orang banyak, seolah-olah kau adalah orang yang tidak boleh dipandangi wajahnya.”

Beberapa saat mereka menunggu. Sementara itu, orang-orang yang ada di halaman memang menjadi berdebar-debar. Memang tidak mudah untuk dapat bertemu dan apalagi berbicara dengan Ki Buyut. Sementara itu, oleh dorongan perasaan yang tidak diketahui, pemimpin pengawal di gerbang padukuhan induk itu telah mendekati kedua anak muda itu dengan ragu-ragu. Dengan ragu-ragu pula ia berkata,

“Berhati-hatilah. Ki Buyut memang tidak mudah untuk menerima siapa pun juga. Itulah sebabnya terdapat susunan yang berlapis. Tetapi kalian sudah mematahkan

lapisan Ki Bekel dengan cara kalian. Namun Ki Buyut mempunyai beberapa orang pengawal khusus.”

“Siapakah pengawal khusus itu? Kawan-kawanmu yang terpilih dan memiliki ilmu yang tinggi?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Bukan orang-orang dari padukuhan ini. Mereka adalah orang-orang upahan yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Aku tahu, kalian berdua juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Aku belum pernah melihat para pengawal Ki Buyut dapat melakukan seperti apa yang kau lakukan. Tetapi jumlah mereka cukup banyak.”

“Jika kau tahu, berapa orang jumlah mereka?” bertanya Mahisa Murti.

“Yang aku ketahui lima orang,” jawab pemimpin pengawal di ujung lorong itu, “sementara Ki Buyut pun termasuk orang yang berilmu tinggi pula, karena ia pernah berguru untuk beberapa tahun sebelum ia menjadi menantu Ki Buyut tua yang telah meninggal.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi kami harus bertemu dengan Ki Buyut.”

Pemimpin pengawal di pintu gerbang itu tidak menyahut. Ia memang tidak ingin berbuat apa pun juga. Bahkan ia sendiri tidak tahu, untuk apa ia memberikan peringatan kepada kedua anak muda itu.

Dalam pada itu, karena Ki Buyut masih juga belum keluar, Mahisa Pukat pun berteriak sekali lagi, “Ki Buyut. Keluarlah. Apakah kau telah ditahan oleh orang-orangmu sendiri atau kau menjadi ketakutan?”

Beberapa saat Mahisa Pukat menunggu. Namun agaknya kemarahan Ki Buyut sudah tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia kemudian mendapat laporan bahwa Ki Bekel dan pemimpin pengawal Kabuyutannya yang berkumis itu telah dilumpuhkan. Sementara para pengawal yang lain tidak berani lagi mendekati dua orang anak muda yang berteriak-teriak itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Buyut bersama lima orang pengawal khususnya telah keluar dari ruang dalam dan berdiri tegak di pendapa. Orang-orang yang ada di halaman telah tergerak memandang ke arahnya dan menjadi sangat cemas. Dari sikapnya nampak bahwa Ki Buyut itu telah menjadi marah karena peristiwa yang telah terjadi di halaman rumahnya. Sementara itu, betapa pun sulitnya, Ki Bekel dan pemimpin pengawal Kabuyutan yang mulai sadar dari pingsannya itu tertatih-tatih bangkit dan merangkak menepi.

Sambil berdiri di bibir pendapa, Ki Buyut memandang berkeliling. Kemudian tatapan matanya berhenti kepada dua orang anak muda yang berdiri di halaman. “Kaliankah yang berteriak-teriak serta tidak mengenal sopan santun itu?” suara Ki Buyut bergetar, menahan kemarahan.

“Kau terlalu lama Ki Buyut,” jawab Mahisa Pukat, “seandainya kau bersikap wajar, maka tidak akan terjadi peristiwa seperti ini. Seandainya kau terima semua orang yang berkepentingan denganmu, maka keadaan akan menjadi lain.”

“Anak setan,” geram Ki Buyut, “kau sadari dengan siapa kau berbicara?”

“Bukankah aku berbicara dengan Ki Buyut? Atau keliru?” Mahisa Pukat justru bertanya.

“Aku adalah Ki Buyut di Kabuyutan ini. Aku adalah orang yang paling dihormati di sini. Siapakah kau yang berani langsung menatap wajahku dan berusaha untuk berbicara dengan aku?” suara Ki Buyut menjadi keras.

Tetapi Mahisa Pukat pun telah kehilangan kesabaran. Katanya, “Kau jangan merasa dirimu besar. Kau hanya seorang Buyut dari sebuah Kabuyutan. Apa artinya seorang Buyut bagiku?”

Wajah Ki Buyut menjadi merah. Dengan geram ia berkata, “Kau sadari bahwa kau akan mendapat hukuman yang sangat berat dengan sikapmu itu? Bukankah kau hanya seorang pengemis yang derajadnya tidak lebih tinggi dari seekor cacing? Aku sudah mendapat laporan selengkapnya tentang kalian berdua. Kalian tidak akan dapat berpura-pura lagi.”

“Kau mencoba menghina kami Ki Buyut. Sedangkan bagiku seorang Buyut tidak lebih dan tidak kurang sebagaimana orang-orang lain yang ada di halaman ini. Jika kau masih menghina kami lagi, maka kami akan memukulimu” teriak Mahisa Pukat.

Wajah Ki Buyut bagaikan disengat bara. Untuk sesaat ia justru menjadi gagap oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Anak muda itu benar-benar tidak tahu diri dan bahkan telah berani menghinanya.

Tetapi Mahisa Pukat yang sudah kehabisan kesabaran itu dengan sengaja telah membuat Ki Buyut marah. Rasa-rasanya ia sudah tidak dapat memaafkannya lagi. Ia ingin segera persoalannya selesai, apa pun yang terjadi. Dalam pada itu, kelima pengawal upahan Ki Buyut itu pun telah turun dari pendapa. Kemarahan Ki Buyut berarti kemarahan pula bagi mereka. Tetapi justru itulah yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat.

“Anak muda,” geram salah seorang pengawal upahan Ki Buyut itu, “siapakah sebenarnya kalian berdua? Kalian telah melakukan satu perbuatan yang keterlaluan di sini. Belum ada seorang pun yang pernah menghina Ki Buyut. Apalagi sebagaimana kau katakan. Karena itu, maka tidak ada hukuman yang pantas kami berikan kepada kalian selain hukuman yang paling berat yang dapat dilakukan atas seseorang.”

“Kau akan menghukum mati kami?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kau menjadi ketakutan?” bertanya orang itu.

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “kami akan melakukan hal yang sama sebagaimana kau katakan. Jika kau ingin membunuh kami, maka kamilah yang akan membunuh kalian. Jika kalian akan mengetrapkan hukuman lain, maka kami akan melakukannya pula atas kalian.”

Pengawal itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapinya. Karena itu maka ia pun telah dengan tangkasnya mengelakkan serangan itu. Dengan demikian maka serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

Tetapi justru karena itu, maka pengawal upahan yang merasa berilmu tinggi itu menjadi semakin marah. Dengan garangnya ia telah memburu dengan serangan-serangannya. Sejenak kemudian, maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Tetapi tidak terlalu lama. Mahisa Pukat dengan cepat telah mendesak lawannya sehingga tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.

Ki Buyut melihat tekanan yang berat itu. Karena itulah maka ia pun segera memberi isyarat, agar para pengawalnya segera menangkap kedua anak muda itu. “Mereka pantas dihukum seberat-beratnya” geram Ki Buyut.

Ternyata Mahisa Murti lah yang menyahut, “Bagus. Kalian memang harus dihukum seberat-beratnya.”

“Tutup mulutmu,” bentak Ki Buyut, “mulutmu juga harus dikoyak.”

“Hal itu akan terjadi atasmu Ki Buyut, jika kau tidak mau mohon am pun kepada kami.”

“Anak-anak iblis. Kesombonganmu benar-benar tidak dapat dimaafkan” geram Ki Buyut.

Ternyata bahwa Ki Buyut yang marah itu tidak hanya sekedar memberikan perintah kepada para pengawalnya. Karena Ki Buyut sendiri merasa memiliki kemampuan, maka ia pun telah turun pula ke halaman.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti- pun sejenak kemudian telah bertempur melawan enam orang. Kedua anak muda itu memang tidak bertempur berpasangan. Tetapi mereka lebih banyak mempunyai kesempatan dengan bertempur sendiri-sendiri. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, masing-masing telah bertempur melawan tiga orang.

Ternyata mereka memang memiliki bekal yang cukup untuk menakut-nakuti para penghuni Kabuyutan itu. Ki Buyut dan kelima orang pengawal upahannya memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus berhati-hati menghadapi keenam orang itu.

Dengan tangkasnya keenam orang itu telah menunjukkan, betapa mereka dibekali dengan kekuatan yang sangat besar, kemampuan bergerak cepat dan pengenalan yang tepat atas kelemahan-kelemahan seseorang. Sehingga dengan demikian, maka keenam orang itu telah dengan yakin akan dapat mengalahkan dan kemudian menghukum anak-anak muda yang sombong itu.

Ki Buyut dan dua orang pengawalnya justru telah bertempur melawan Mahisa Murti. Ki Buyut menganggap bahwa anak muda yang lebih sedikit berbicara itu, akan lebih mudah ditundukkan. Tetapi ternyata Ki Buyut salah hitung. Mahisa Murti pun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga mampu mengimbangi ketiga orang lawannya. Betapa pun cepat mereka bergerak, namun tidak mudah bagi mereka untuk menyentuh anak muda itu.

Bahkan Mahisa Murti yang marah itu, telah menghentakkan serangannya, sehingga ketiga orang lawannya serentak telah meloncat surut. Namun Mahisa Murti memang ingin menunjukkan kelebihannya. Karena itu, demikian Ki Buyut menginjakkan kakinya di atas tanah, tiba-tiba saja Mahisa Murti bagaikan meluncur dengan derasnya menyusulnya. Kedua tangannya dengan kuatnya telah terjulur lurus mengarah ke dadanya. Namun Ki Buyut tanggap akan serangan itu. Dengan tangkas pula ia meloncat ke samping sambil menebas serangan itu.

Tetapi Mahisa Murti memang tidak ingin mengenai lawannya dengan kedua tangannya. Demikian Ki Buyut ke samping, Mahisa Murti pun telah memutar tubuhnya. Kakinyalah yang kemudian menyerang mendatar dalam putaran yang kuat dan keras. Kaki Mahisa Murti itu ternyata berhasil mengenai punggung Ki Buyut. Demikian kerasnya sehingga Ki Buyut terdorong beberapa langkah justru ke depan. Hampir saja ia jatuh terjerembab jika salah seorang pengawalnya tidak menahannya, sementara pengawal yang lain telah berusaha menahan serangan Mahisa Murti berikutnya.

Hampir saja orang itu kehilangan kesempatan untuk bertahan. Untunglah kawannya serta Ki Buyut yang berhasil menguasai kembali keseimbanganya itu sempat membantunya. Namun dalam pada itu kemarahan Ki Buyut tidak dapat tertahankan lagi. Tulang punggungnya rasa-rasanya hampir menjadi patah karenanya. Sementara nafasnya menjadi agak sesak.

Karena itu, maka ia pun telah meneriakkan perintah, “Bunuh saja mereka.”

Para pengawal Ki Buyut serta Ki Buyut itu sendiri telah mengacukan senjata mereka. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah berkata lantang, “Senjata-senjata di tangan kalian hanya akan mempercepat kematian kalian...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.