Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 65

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 65 Karya S H Mintardja
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 65
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KI BUYUT yang terkejut bukan buatan, dengan serta merta telah meloncat mundur. Tetapi karena tubuhnya yang masih sangat lemah itu, maka ia pun telah terjatuh di dorong oleh getaran udara di saat kemampuan ilmu Mahisa Murti menghantam tlundak pintu. Rumah yang besar itu seakan-akan telah terguncang oleh gempa. Sementara uger-uger pintu itu sebelah menyebelah telah runtuh pula.

Semua orang yang mendengar ledakan dan menyaksikan pintu yang bagaikan dikoyak-koyak itu pun terkejut bukan buatan. Bahkan ayah Ki Buyut yang berilmu tinggi beserta saudara kembar perempuannya itu pun terkejut bukan buatan. Keduanya telah melenting menjauhi lawan-lawan mereka untuk dapat melihat apa yang telah terjadi. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian ayah dan bibi Ki Buyut itu telah berlari dan kemudian berjongkok di sisi Ki Buyut.

“Bagaimana keadaanmu?” bertanya ayahnya.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak apa-apa selain terlempar jatuh. Tubuhnya memang terasa sakit. Tetapi ia tidak terluka sama sekali selain sedikit pada lututnya yang terkelupas. Dengan lemah Ki Buyut pun telah bangkit dan berusaha untuk berdiri.

“Aku tidak apa-apa,” desis Ki Buyut.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian segera berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih berdiri tegak. Sementara itu, kakek tua dan Ki Bekel pun telah berhenti pula bertempur.

Ternyata ayah Ki Buyut mempunyai tanggapan yang salah terhadap peristiwa itu. Ia menyangka bahwa yang dilakukan oleh Mahisa Murti itu sama sekali tidak akan dapat dengan serta merta berakibat buruk bagi seseorang. Atau setidak-tidaknya, permainan anak muda itu hanya sekedar untuk menakut-nakutinya, atau dengan mudah dapat dihindarinya. Ternyata Ki Buyut itu tidak terluka sama sekali akibat ledakan itu. Jika ia terluka, maka hal itu semata-mata karena ia jatuh terbanting di tanah.

Sementara itu ayah Ki Buyut itu terlalu yakin akan kemampuan mereka bergerak lebih cepat dari serangan-serangan yang akan dilakukan seandainya anak-anak muda itu benar-benar akan mempergunakan ilmu sebagaimana telah ditunjukkan itu. Berbareng keduanya meloncat menyerang lawan masing-masing. Dengan segenap kemampuan, maka kedua orang bersaudara kembar itu telah menyerang lawan-lawan mereka dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sulit untuk mengambil kesempatan melepaskan ilmunya. Namun keduanya memang tidak ingin melepaskan ilmu yang sekaligus dapat menghancurkan lawan-lawannya itu.

Saudara kembar perempuannya itu mengangguk, ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Karena itu, untuk beberapa saat keduanya mempersiapkan diri. Tiba-tiba saja ayah Ki Buyut itu berteriak nyaring. Jika anak muda itu sempat melepaskan serangannya, semata-mata karena ia tidak mengetahuinya lebih dahulu, apa yang akan dilakukannya.

Karena itu, maka ia pun kemudian berbisik kepada saudara kembarnya, “jangan beri ia kesempatan. Kita percepat serangan-serangan kita. Usahakan agar ujung kerismu menyusup di sela-sela pertahanannya. Segores kecil saja dari senjata kita akan dapat membunuhnya karena bisa yang tajam.”

Pada serangan-serangan pertama yang cepat bagaikan loncatan lidah api di udara, ternyata ayah Ki Buyut berhasil menyentuh tubuh Mahisa Murti dengan ujung kerisnya. Karena itu, sambil berloncatan ia pun tertawa panjang.

“Anak muda,” berkata orang itu, “kau akan mati sebentar lagi betapa pun tinggi ilmumu. Ujung kerisku yang berbisa telah menggores kulitmu.”

Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja bertempur sambil membenturkan senjata untuk menangkis serangan-serangan lawannya pada setiap kesempatan. Kekuatan anak muda itu memang luar biasa. Tetapi itu sudah disadari oleh ayah Ki Buyut, sehingga karena itu, maka ia pun telah menggenggam senjatanya erat-erat, agar senjatanya tidak terlepas dari tangannya.

Sementara itu, saudara kembar perempuannya itulah yang berteriak kepada Ki Buyut, “Lakukanlah sekarang. Masuklah dan cari perempuan itu.”

Kakek tua, kakak perempuan yang ada di dalam itu pun tidak mampu mencegahnya, karena Ki Bekel telah menyerangnya pula. Untuk beberapa saat Ki Buyut itu termangu-mangu. Namun ayahnya pun berteriak, “Cepat. Aku akan menjaga agar anak ini tidak mampu melepaskan serangan terhadapmu. Serangan yang hanya mampu sekedar satu permainan yang buruk.”

Ki Buyut mulai menghimpun sisa-sisa kekuatan di dalam dirinya. Namun demikian ia masih juga ragu-ragu. Pintu itu baginya menjadi sangat menakutkan.

“Jika pintu meledak pada saat aku tepat berada di tengah-tengah,” berkata Ki Buyut dalam hatinya sambil memandang pintu yang sudah menjadi berserakan.

Namun ayahnya berteriak sekali lagi, “Cepat. Jangan dungu seperti itu.”

Ki Buyut memang tidak dapat berbuat lain. la pun kemudian melangkah mendekati pintu itu sekali lagi.

Mahisa Murti memang tidak mendapat kesempatan untuk menyerang pintu yang akan dilewati Ki Buyut itu karena ayah Ki Buyut itu telah berusaha menekannya semakin cepat. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat menyadari akan hal itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat lah yang kemudian melakukannya. Ia berusaha untuk menekan lawannya dengan kekuatannya yang lebih besar dari lawannya, kemudian meloncat mengambil jarak.

Mahisa Pukat hanya mengambil waktu sekejap untuk mengetrapkan ilmunya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka yang pernah dilakukan oleh Mahisa Murti itu pun telah terjadi lagi.

Sekali lagi Ki Buyut terkejut bukan buatan ketika pintu yang sudah rusak berserakan itu meledak. Beberapa batang kayu bagaikan dilontarkan ke udara. Sementara rumah itu pun sekali lagi bagaikan diguncang oleh gempa yang keras.

Ki Buyut yang terkejut itu telah didorong oleh getaran udara yang keras di saat ia meloncat. Karena itu, maka tubuh Ki Buyut itu bagaikan telah dilemparkan dan jatuh sekali lagi di tanah tanpa dapat menahan diri sama sekali.

Sekali lagi pertempuran di longkangan itu bagaikan terhenti. Namun tidak terlalu lama, karena ayah Ki Buyut itu ternyata tidak lagi berlari-lari mendekati anaknya yang terbaring. Namun ia telah berteriak kepada saudara kembarnya itu,

“Kita bunuh anak-anak itu. Cepat. Aku sudah melukai lawanku. Lakukanlah atas lawanmu. Segores kecil akan dapat membunuhnya dalam waktu yang singkat.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Kau salah Ki Sanak. Kau memang berhasil mengoyak kulitku meskipun hanya segores kecil, yang menurut dugaanmu akan dapat membunuhku. Tetapi agaknya kau hanya sekedar menakut-nakuti. Ternyata luka itu sama sekali tidak berpengaruh.”

“Anak iblis, “geram orang itu, “sebentar lagi kau tentu akan mati.”

“Apakah kau melihat tanda-tanda bahwa aku akan mati?” bertanya Mahisa Murti.

Ayah Ki Buyut itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia telah mempercepat tata geraknya. Namun seperti yang dikatakan, ternyata anak muda itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh bisa di ujung kerisnya yang kemerah-merahan itu. Untuk beberapa saat lamanya ayah Ki Buyut itu masih berpengharapan. Tetapi ternyata bahwa lawannya benar-benar tidak terbunuh oleh racunnya. Bahkan lawannya itu seakan-akan telah menjadi semakin kuat.

Saudara kembar perempuannya itu pun telah berusaha sejauh dapat dilakukan. Dikerahkannya ilmunya untuk dapat menggoreskan ujung kerisnya di mana pun di bagian tubuh lawannya. Tetapi setiap senjatanya justru telah membentur senjata anak muda itu. Kekuatan anak muda itu setiap kali serasa hampir melemparkan senjatanya. Namun justru karena itu, bibi Ki Buyut telah terganggu kecepatan geraknya karena setiap kali ia harus memperbaiki genggamannya.

Namun dalam pada itu, bibi Ki Buyut itu merasa aneh pada dirinya. Justru pada saat ia berusaha untuk menekan lawannya dan melukainya, kekuatannya terasa terlalu cepat susut. Satu hal yang belum pernah dialaminya. Sudah beberapa ratus kali ia bertempur melawan lawan yang sempat menggetarkan jantungnya. Namun ia tidak pernah mengalami kesusutan tenaga seperti yang dialaminya.

Semula ia mengira bahwa ia telah mengerahkan tenaganya melampaui takaran kekuatannya. Namun perempuan itu tidak yakin akan hal itu, karena terasa susutnya tenaganya terjadi begitu cepatnya. Dengan demikian maka perempuan itu pun tidak lagi mampu bergerak lebih cepat lagi. Bahkan rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi semakin lemah. Karena itu, maka tidak ada lagi yang dapat diharapkan kecuali pertolongan saudara kembarnya yang diharapkan akan dapat dengan cepat mengalahkan lawannya, karena ia telah berhasil melukai anak muda itu.

Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar telah membingungkan. Bukan saja bibi Ki Buyut itu, tetapi juga ayahnya, Ki Bekel dan bahkan kakek tua lawan Ki Bekel itu. Sementara Ki Buyut tulang punggungnya bagaikan telah patah. Dalam keadaan yang lemah ia telah terbanting untuk kedua kalinya.

Ayah Ki Buyut yang mula-mula merasa yakin akan kemenangannya menjadi semakin cemas. Anak muda yang telah tergores ujung kerisnya itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Ia masih saja bertempur dengan kuatnya. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak muda itu akan mati karena racun. Bahkan ternyata semakin lama kekuatan ayah Ki Buyut itu menjadi semakin susut. Jauh lebih ccpat dari keadaan yang wajar, betapa pun ia bertempur dan mengerahkan kekuatannya.

Bahkan melawan dua tiga orang sekaligus. Tetapi bertempur melawan anak muda itu kekuatannya bagaikan terlempar keluar dari dirinya berbareng dengan loncatan-loncatannya yang cepat. Namun yang semakin lama menjadi semakin lambat. Akhirnya, ayah Ki Buyut itu telah kehilangan kemampuannya untuk bertempur. Ia terlambat menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan anak-anak muda yang memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan lawannya.

Dalam pada itu, Ki Buyut yang berusaha untuk bangkit justru menjadi heran melihat suasana pertempuran itu. Demikian pula Ki Bekel yang telah meloncat menjauhi lawannya, kakek tua itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” desis Ki Bekel.

“Iblis yang licik,” terdengar ayah Ki Buyut itu mengumpat, “kau curi kekuatan dan kemampuan ilmuku he? Kenapa kau tidak berlaku jantan dan bertempur sebagaimana seorang laki-laki? Tetapi dengan licik dan pengecut kau hisap ilmu dan kekuatanku sampai habis?”

Mahisa Murti berdiri tegak sambil memegang hulu pedangnya, ketika ayah Ki Buyut itu berdiri tertatih-tatih. Sementara itu saudara kembar perempuannya pun telah kehilangan seluruh kekuatannya pula. Bahkan perempuan tua itu harus mencari sandaran untuk dapat tetap tegak berdiri. Karena itu, maka perempuan tua itu telah berdiri bersandar sebatang pohon di longkangan itu.

“Ayah, bibi, apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut. Dengan lemahnya, ia telah berjalan untuk tidak terjatuh.

“Iblis ini licik sekali,” berkata ayahnya, “yang terjadi atasmu itu terjadi pula atasku. Ternyata ia memiliki ilmu seorang pengecut yang mampu mencuri kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun bertanya, “Tetapi bukankah ayah sudah melukainya? Ujung keris ayah telah meracuninya. Tetapi kenapa ia tidak mati?”

“Ia memang iblis yang licik dan jahanam,” jawab ayahnya yang lemah itu, “ternyata bahwa ia mempunyai penangkal racun yang sangat kuat, sehingga racun di ujung kerisku tidak dapat membunuhnya.”

Ki Buyut benar-benar menjadi cemas. Kedua orang yang tidak dikenal di Kabuyutan itu, benar-benar telah memasuki persoalan yang ada tanpa dapat dicegah. Ayah dan bibinya yang dianggap orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang kebanyakan itu pun tidak dapat melawan kedua anak muda itu. Bahkan keduanya telah mengalami sebagaimana dialaminya. Kekuatan dan kemampuan ilmunya bagaikan lenyap terhisap oleh ilmu lawannya itu.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah berakhir. Kedua saudara kembar dampit itu sama sekali sudah tidak berdaya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak merasa perlu untuk mengawasi mereka, karena mereka tidak akan dapat melarikan diri. Bahkan Mahisa Pukat pun telah mendekati Ki Buyut yang termangu-mangu sambil bertanya, “Ternyata kau sudah mampu berjalan sampai ke tempat ini Ki Buyut?”

“Aku telah memaksa diri,” jawab Ki Buyut.

Mahisa Pukat tersenyum. Sambil menyentuh lengan Ki Buyut dengan jarinya ia berkata, “Apakah kau ingin kehilangan kekuatanmu sepenuhnya.”

“Jangan,” minta Ki Buyut.

Mahisa Pukat menarik tangannya. Tetapi sentuhan kecil itu memang terasa akibatnya. Tubuh Ki Buyut seakan-akan menjadi semakin lemah, meskipun ia masih juga dapat berdiri dan melangkah mendekati ayahnya.

Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati Ki Bekel yang berdiri tegak dengan jantung yang berdegup semakin cepat. Ternyata ia masih belum mampu mengalahkan kakek tua itu. Sementara itu orang-orang yang diandalkannya ternyata sama sekali tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka.

“Ki Bekel,” bertanya Mahisa Pukat, “bagaimana dengan kau sekarang?”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya sekedar melakukan perintah,” jawab Ki Bekel.

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Ketika kami memasuki Kabuyutan, maka kaulah yang nampaknya memegang peranan. Semua orang yang akan bertemu dengan Ki Buyut, harus bertemu lebih dahulu dengan Ki Bekel.”

“Itu pun hanya perintah,” jawab Ki Bekel yang sudah menjadi gemetar. Ketika Mahisa Pukat melangkah mendekat. Ki Bekel itu melangkah surut.

“Kemarilah Ki Bekel,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau tidak lari. Di hari-hari yang ditentukan, maka Ki Buyut akan bertemu dengan kedua cucu Ki Buyut yang tua itu.”

Ki Bekel memang tidak dapat lari dari tangan kedua anak muda itu. Ketika dilihatnya kedua anak muda itu mendekatinya, maka ia pun menjadi hampir pingsan karenanya. Namun kedua anak muda itu memang tidak menyerangnya atau memukulnya, apalagi membunuhnya.

Mahisa Murti yang lebih dahulu mencapainya hanya menyentuh Ki Bekel itu dengan tangannya pada lengannya sambil berkata, “Kau tidak boleh lari Ki Bekel. Kau akan dapat menjadi saksi atau bahkan menjadi orang yang harus diadili oleh rakyat Kabuyutan ini.”

“Jangan,” minta Ki Bekel, “aku tidak pernah berbuat apa-apa. Aku hanya melakukan perintah.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara Mahisa Pukat pun berdiri tegak dihadapannya sambil berkata, “Semuanya akan segera jelas Ki Bekel.”

“Aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu apa-apa,” Ki Bekel itu berteriak.

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ketika ia melepaskan tangannya, Ki Bekel itu pun telah menjadi terhuyung-huyung. Hampir saja ia terjatuh. Hanya dengan susah payah saja ia masih tetap dapat berdiri tegak. “Oo, ilmu iblis manakah yang ada pada kedua anak muda ini?” bertanya Ki Bekel di dalam hatinya. Tetapi ia sama sekali tidak berani mengucapkannya.

Demikianlah, empat orang yang memasuki longkangan itu telah menjadi tidak berdaya. Ki Buyut, ayah dan bibinya serta Ki Bekel bagaikan menjadi orang-orang yang tidak bertenaga sama sekali.

Dengan nada rendah, Mahisa Murti kemudian berkata, “Nah, jika kalian merasa letih, duduklah di serambi itu sambil menunggu siang. Kita akan pergi ke Kabuyutan. Tanpa menunggu hari berikutnya, kita akan berbicara dengan para bebahu Kabuyutan ini dan kedua orang cucu Ki Buyut yang tua itu.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapan kedua anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Ilmu yang dapat membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Bahkan dalam keadaan yang demikian, mereka mulai percaya, seandainya anak-anak muda itu mempergunakan ilmunya yang lain, yang dapat memecahkan pintu butulan rumah itu tanpa menyentuhnya, maka mereka pun akan hancur seperti pintu itu. Di samping kemampuan itu, maka anak-anak muda itu tentu memiliki penangkal racun yang kuat, sehingga mampu menolak kekuatan racun yang masuk ke dalam dirinya.

Keempat orang itu pun kemudian tertatih-tatih merangkak naik ke serambi dan dengan susah payah mencapai amben panjang. Mereka telah menjatuhkan diri dan duduk dengan lemahnya bersandar dinding gandok.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mengajak kakek tua untuk menemui adiknya. Mereka tentu menjadi ketakutan, sementara anak-anaknya tidak akan dapat berbuat apa pun juga.

“Bagaimana dengan orang-orang itu?” bertanya kakek tua itu.

“Biarkan saja mereka duduk di sana. Mereka tidak akan dapat pergi dari tempat duduknya. Seandainya mereka mencoba juga untuk pergi, maka sampai besok menjelang pagi, mereka tentu masih akan berada di sekitar padukuhan ini. Kita akan dapat dengan mudah menemukan mereka, sementara itu tidak akan ada seorang pun yang akan dapat mengobati mereka,” jawab Mahisa Murti.

Kakak tua itu mengangguk-angguk meskipun keragu-raguan masih nampak pada sorot matanya. Tetapi bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mereka telah memasuki rumah itu lewat pintu yang telah dirusakkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sebenarnyalah bahwa perempuan tua, adik kakek tua itu menjadi sangat ketakutan. Kedua anaknya memang sudah terbangun. Tetapi mereka juga menjadi ketakutan seperti ibu mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa heran melihat kedua anak perempuan yang ketakutan itu. Agaknya kedua anaknya benar-benar anak yang sangat manja sehingga mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan bagi diri mereka sendiri. Telah terbiasa bagi mereka untuk selalu mendapat bantuan dalam keadaan apa pun bahkan meskipun pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan yang sangat mudah dilakukan oleh kanak-kanak sekalipun.

“Semua sudah berakhir,” berkata kakek tua itu.

“Apa maksud kakang?” bertanya adiknya.

“Orang-orang yang datang ke rumah ini sudah dilumpuhkan,” jawab kakek tua.

“Siapakah mereka?” bertanya perempuan itu.

“Ki Buyut, Ki Bekel, ayah Ki Buyut dan saudara kembar perempuannya,” jawab kakaknya.

Perempuan itu masih menggigil. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah mereka sudah tidak berbahaya?”

“Mereka sudah benar-benar dilumpuhkan,” jawab kakek tua itu.

“Apakah untuk selanjutnya mereka tidak akan membahayakan hidup kami sekeluarga?” desak perempuan itu.

Kakek tua itu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan adiknya itu, sehingga di luar sadarnya ia telah berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Karena kakek tua itu tidak menjawab, maka Mahisa Murti lah yang menjawab, “Agaknya mereka memang tidak akan melakukannya di kemudian hari.”

“Apakah kalian yakin anak-anak muda?” bertanya perempuan itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Nampak keragu-raguan membayang di wajah mereka. Namun dalam pada itu Mahisa Murti menjawab, “Kita memang tidak akan dapat mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Tetapi kita dapat memperhitungkannya. Mudah-mudahan perhitungan kita itu tepat.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi apakah aku tidak akan terlibat dalam persoalan yang mungkin akan berkembang di Kabuyutan ini?”

Kakek tua itu berkata, “Kau memang tidak akan dapat ingkar. Kau akan menjadi saksi dalam perkara yang menyangkut kedudukan Ki Buyut dengan kemenakan-kemenakannya itu. Tetapi jangan takut. Kau tidak bersalah. Yang bersalah adalah suamimu.”

“Suamiku sudah meninggal. Apakah kesalahan itu tidak akan ditimpakan kepadaku?” bertanya perempuan yang masih saja ketakutan itu. Agaknya ia tidak sekedar menjadi ketakutan karena peristiwa yang terjadi di rumahnya itu. Oleh ledakan yang mengguncang rumahnya bagaikan diguncang gempa.

Tetapi juga tentang kemungkinan-kemungkinan mendatang, jika persoalan kedudukan tertinggi di Kabuyutan itu diperbincangkan. Justru karena ia mengetahui apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukan oleh suaminya.

Namun kakek tua itu berkata, “Mudah-mudahan semuanya akan dapat diletakkan pada kewajarannya, sehingga kau tidak akan memikul beban kesalahan suamimu, meskipun kau telah ikut menikmati hasil kejahatan suamimu. Tetapi kau harus mempersiapkan jiwamu untuk tabah menghadapi kenyataan jika harta benda yang pernah diterima oleh suamimu dan yang kini masih tersisa, harus kau serahkan kembali kepada Kabuyutan ini. Kau harus merelakannya jika kau ingin mendapatkan hari-hari yang tenang kemudian.”

“Aku akan merelakannya kakang. Justru kekayaan ini membuat hidupku tidak tenang. Seakan-akan setiap saat akan datang orang-orang yang akan merampok atau orang-orang yang menuntut karena harta benda ini didapatkan dengan cara yang tidak pantas atau gambaran-gambaran lain yang justru selalu menyiksaku,” berkata perempuan itu.

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Jika demikian maka kau sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu. Besok Ki Buyut itu akan dihadapkan kepada kedua orang kemanakannya serta para bebahu Kabuyutan ini. Mudah-mudahan para bebahu itu tidak lagi dibayangi oleh perasaan takut karena kemampuan ayah Ki Buyut serta saudara kembarnya itu.”

Perempuan itu menundukkan wajahnya, sementara kedua anaknya yang ketakutan pula hanya memandangi ibunya dengan cemas. Mereka benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu untuk membantu ibunya yang berada dalam kesulitan itu. Apalagi membantunya, bahkan keduanya justru menjadi beban bagi ibunya itu. Keduanya yang merengek seperti kanak-kanak membuat ibunya semakin gelisah. Tetapi kakak perempuan itu telah memberikan beberapa petunjuk baginya sehingga perasaannya tidak lagi menjadi terlalu menderita. Namun demikian perempuan itu pun bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang kakang?”

Kakek tua itu pun termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti lah yang kemudian menyahut, “Biarlah kau di sini saja. Kami pun akan berada di sini untuk malam ini. Bahkan Ki Buyut dan ketiga orang yang lain itu pun akan berada di sini pula. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Jika kalian berada di sini, maka kami akan merasa lebih tenang.”

“Nah, jika demikian, maka beristirahatlah. Kau tidak perlu cemas,” berkata kakek tua itu. Lalu katanya kepada kemenakannya, “Lihatlah kedua anak muda itu. Umurnya tentu tidak terpaut banyak dengan umurmu. Kedua anak muda ini mampu berbuat apa saja yang dikehendakinya. Tetapi apa yang dapat kau lakukan? Merengek atau merajuk?”

Kemanakan laki-lakinya itu hanya menundukkan kepalanya saja. Memang wajahnya terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia memang tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dibanding dengan kedua anak muda itu.

“Nah, cobalah kau melihat ke dalam dirimu sendiri,” berkata kakek tua itu.

Anak muda itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.

“Sudahlah,” berkata kakek tua itu, “kau memang tidak perlu menjawab sekarang. Mungkin besok atau kapan saja. Asal saja pertanyaan itu tidak kau lempar dari dalam dirimu.”

Anak muda itu masih saja berdiam diri sementara pamannya berkata pula kepada adik perempuannya, “Sekarang, tidurlah. Tidak akan terjadi apa-apa malam ini. Seperti telah kau dengar sendiri, kami akan berada di sini malam ini bersama Ki Buyut dan ketiga orang lainnya itu.”

“Terima kasih kakang,” jawab perempuan itu, lalu katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Terima kasih anak-anak muda. Tanpa kalian maka kami akan mengalami kesulitan. Bahkan mungkin jiwa kami telah melayang pula.”

“Sudahlah, beristirahatlah,” berkata Mahisa Pukat, “besok kita akan bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan persoalan Kabuyutan ini sampai tuntas. Dengan demikian maka tidak akan tumbuh persoalan lagi di kemudian hari. Meskipun seperti yang kami katakan, bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tetapi kita dapat memperhitungkannya.”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Sudahlah. Aku akan berada di longkangan bersama Ki Buyut.” Lalu katanya kepada kakek tua itu, “Kakek, kawanilah adik kakek itu.”

“Baiklah anak-anak muda. Aku akan berada di sini. Bagaimanapun juga adikku itu tentu masih mengalami tekanan perasaan takut,” berkata kakek tua itu.

“Kami minta ijin untuk mempergunakan gandok di sebelah longkangan itu,” berkata Mahisa Murti.

“Silahkan anak-anak muda. Tetapi gandok itu kotor. Aku masih belum sempat membersihkan,” jawab perempuan itu.

“Biarlah kami membersihkannya,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah keluar melalui pintu yang rusak itu. Mereka memang masih menemukan keempat orang yang lemah itu duduk di serambi bersandar dinding. Sambil melangkah ke gandok, Mahisa Murti pun berkata kepada Ki Buyut, “Silahkan Ki Buyut dan yang lain untuk beristirahat di gandok. Aku sudah mendapat ijin dari pemilik rumah ini untuk mempergunakan gandok itu.”

Ki Buyut tidak menjawab. Namun badannya yang terasa terlalu lemah rasa-rasanya memang ingin diletakkannya dengan berbaring. Karena itu, maka tawaran kedua anak muda itu dengan serta merta telah diterimanya. Berempat Ki Buyut telah masuk ke gandok yang memang masih terasa berdebu. Dengan tebah sapu lidi, Ki Bekel mempergunakan sisa tenaganya yang ada untuk membersihkan amben bambu yang besar, yang terdapat di dalam gandok itu.

Mereka pun kemudian telah membaringkan diri di amben yang besar itu untuk beristirahat. Tubuhnya yang sangat lemah, seakan-akan telah mereka letakkan begitu saja seperti meletakkan batang pohon pisang di halaman. Dengan berbaring, mereka memang merasa lebih baik daripada duduk bersandar dinding. Tetapi tidak mudah bagi mereka untuk melupakan keadaan mereka yang telah kehilangan tenaga dan kemampuan.

Namun memang tidak ada pilihan bagi mereka daripada beristirahat sebaik-baiknya agar serba sedikit mereka akan mendapatkan kembali tenaga mereka yang telah terhisap oleh ilmu kedua anak muda yang jarang ada imbangannya itu.

Karena itu, maka keempat orang itu pun telah mencoba sambil berbaring mengatur pernafasan mereka, serta melepaskan diri dari beban perasaan mereka. Sehingga dengan demikian maka mereka telah berhasil memasuki satu alam yang lengang dari perasaan yang menekan. Sementara suara-suara malam yang mempunyai iramanya sendiri telah membuat mereka semakin cepat menemukan keheningan itu.

Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu pun telah tertidur meskipun tidak terlalu nyenyak, karena keadaan wadag mereka dan keadaan yang sedang mereka alami memang tidak memungkinkan bagi mereka untuk benar-benar dapat menyingkirkan sepenuhnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang berada di amben di serambi. Ternyata mereka pun telah tidur pula sambil bersandar dinding. Mereka tidak perlu cemas, bahwa orang-orang yang ada di dalam bilik di gandok itu akan melarikan diri.

Menjelang pagi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun. Bergantian mereka berdua telah membenahi diri setelah mandi di pakiwan. Kemudian kakek tua yang menunggui adik perempuan serta dua orang kemanakan yang ketakutan itu telah mandi pula. Baru kemudian keempat orang yang berada di gandok itu satu-satu telah terbangun pula.

Setelah tidur sejenak, maka tubuh keempat orang itu memang merasa lebih baik. Namun ketika mereka berusaha untuk bangkit, maka mereka pun menyadari bahwa kekuatan mereka masih belum pulih. Apalagi pulih, rasa-rasanya masih saja seperti saat mereka mulai tertidur meskipun terasa menjadi lebih segar.

Ketika mereka masih saja duduk-duduk dengan lemah di-atas amben besar tempat mereka tidur, maka Mahisa Pukat telah memasuki bilik itu.

“Mandilah,” berkata Mahisa Pukat, “pergilah bergantian ke pakiwan. Aku tahu, kalian tidak dapat menimba air sendiri, karena kalian terlalu lemah. Tetapi aku dan Mahisa Murti telah mengisi pakiwan sampai penuh. Pakailah. Kalian tidak usah merasa segan. Nanti jika airnya sudah menjadi semakin susut, aku dan Mahisa Murti akan mengisinya lagi.”

Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun ayah Ki Buyut lah yang berkata kepada saudara kembar perempuannya, “Pergilah lebih dahulu. Jika kau telah mandi, maka kami akan bergantian mandi. Bahkan tidak mandi pun tidak apa-apa bagi kami.”

Saudara kembar perempuannya tidak menyahut. Tetapi dengan susah payah ia telah membenahi diri dan melangkah tertatih-tatih ke pakiwan yang terletak di belakang gandok. Sementara yang lain masih saja duduk bermalas-malas di amben besar itu. Meskipun sebenarnya mereka lebih senang berlari-lari di lorong-lorong sempit mengejar orang-orang yang melakukan kejahatan di Kabuyutan itu, atau melakukan tugas apa pun daripada duduk-duduk seperti pemalas tanpa berbuat apa-apa.

Tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka hanya dapat menguap, sedikit menggeliat dan kemudian seorang demi seorang pergi ke pakiwan setelah bibi Ki Buyut itu selesai.

“Kita akan pergi ke Kabuyutan,” berkata Mahisa Murti.

Ki Buyut lah yang berdesah, “Apakah aku dapat berjalan sendiri sampai ke rumah? Rasa-rasanya tulang-tulangku masih saja berpatahan.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada tinggi Mahisa Murti pun berkata, “Kau dapat datang sendiri kemari. Kau tentu dapat pula pulang sendiri.”

Ki Buyut tidak menyahut lagi. Ia memang dapat datang ke tempat itu meskipun dengan agak susah payah. Dan ia pun akan kembali pula dengan susah payah. Demikianlah, setelah semua orang berbenah diri, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Buyut.

Perempuan pemilik rumah itu pun akan ikut serta, karena ia dapat menjadi saksi apa yang pernah terjadi di Kabuyutan itu. Ia akan dapat menceriterakan apa yang pernah dilakukan oleh suaminya, sehingga akhirnya, dua orang anak Ki Buyut telah terbunuh. Keduanya mati karena racun, namun dengan racun yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula.

Kedua anak dari perempuan tua itu tidak dapat ditinggalkan di rumahnya. Ke mana ibunya pergi, keduanya juga akan pergi. Karena itu maka keduanya juga akan ikut pergi ke Kabuyutan sebagaimana ibunya.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah perempuan tua itu. Memang mengejutkan. Orang-orang yang melihat iring-iringan itu menjadi terkejut dan heran. Bersama kedua anak muda yang telah mengguncang Kabuyutan itu berjalan Ki Buyut, Ki Bekel, ayah Ki Buyut dan saudara kembarnya. Selain mereka, maka ikut pula kakek tua dengan adik perempuannya serta kedua anak-anaknya.

Orang-orang yang memandang dengan heran itu tidak dapat bertanya kepada siapapun. Mereka merasa segan melihat wajah Ki Buyut yang gelap. Namun demikian beberapa orang telah dengan diam-diam mengikuti iring-iringan kecil itu. Apalagi perjalanan iring-iringan itu ternyata sangat lamban, sehingga perjalanan menuju ke Kabuyutan itu diperlukan waktu yang cukup panjang.

Betapa pun lambatnya perjalanan mereka, namun akhirnya iring-iringan itu telah sampai pula ke Kabuyutan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian telah memerintahkan beberapa orang yang ada di Kabuyutan itu untuk memanggil para bebahu padukuhan itu. Selain para bebahu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga memerintahkan untuk memanggil kedua cucu Ki Buyut tua yang sedang berselisih itu.

Ki Buyut memang tidak dapat menentang semuanya itu. Sebentar lagi ia memang akan berhadapan dengan semacam pengadilan yang akan mengadilinya. Ki Buyut merasa bahwa peranannya di Kabuyutan itu sudah akan berakhir setelah beberapa tahun ia menjabatnya dengan dukungan ayah dan bibinya, pamannya dan beberapa orang pengikutnya serta beberapa orang upahan. Tetapi kehadiran kedua anak muda itu telah memecahkan semuanya itu dan bahkan menghancurkannya.

Tetapi Ki Buyut dan para pendukungnya memang tidak kuasa melawan meskipun mereka hanya berdua. Bahkan kemudian Ki Buyut dan pendukungnya telah dibuat tidak berdaya dalam arti yang sebenarnya. Keduanya benar-benar telah kehilangan tenaga mereka sehingga mereka tidak lebih dari kanak-kanak yang tidak berarti sama sekali.

Beberapa saat kemudian, maka para bebahu di Kabuyutan itu telah nampak hadir. Orang-orang yang jarang nampak pun telah datang pula ke Kabuyutan. Orang-orang yang tidak setuju dengan peranan Ki Buyut, tetapi tidak berani menentangnya, telah ikut pula datang untuk melihat apa yang akan terjadi di Kabuyutan itu.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, kedua orang cucu Ki Demang itu pun telah datang pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berpesan, bahwa mereka tidak perlu membawa pengawal seorang pun. Apalagi pengawal upahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengancam pula jika mereka bertengkar di jalan apabila mereka bertemu, maka keduanya akan digantung bersama-sama.

Ketika semua orang penting telah berkumpul, maka pertemuan itu pun segera akan dimulai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan memimpin pertemuan itu, karena ia bukan orang Kabuyutan itu.

“Kakek tua,” berkata Mahisa Murti, “kakeklah yang akan memimpin pertemuan ini. Kakek pernah menjadi bebahu di sini dan serba sedikit mengetahui apa yang pernah terjadi. Karena itu, maka sebaiknya kakek sajalah yang memimpinnya dan segala keputusan pertemuan ini akan mengikat semua orang, termasuk Ki Buyut serta kedua ayah dan bibinya.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jika itu yang dikehendaki oleh orang banyak, maka aku tidak akan menolak. Sekarang tergantung kepada orang banyak. Apakah mereka akan setuju atau tidak.”

Adalah diluar dugaan ketika beberapa orang kemudian berteriak hampir bersamaan, “Setuju.”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Baiklah. Aku akan memimpin pertemuan ini. Pertemuan yang akan menjernihkan suasana di Kabuyutan ini. Namun aku minta segala pihak dapat menahan diri masing-masing, sehingga tidak akan timbul keributan. Setiap keributan akan merugikan pertemuan ini sendiri, karena kita tidak lagi dapat berpikir dengan tenang. Namun pikiran kita telah menjadi keruh,” kakek tua itu berhenti sejenak, lalu, “berjanjilah untuk berbuat sebaik-baiknya. Semuanya saja. Bersedia?”

Adalah juga di luar dugaannya, jika orang-orang itu tiba-tiba juga menjawab berbareng, “bersedia.”

Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Baiklah. Jika demikian, maka marilah, pembicaraan kita tentang tanah ini kita mulai.”

Suasana pun menjadi hening. Semua orang memperhatikan, apa yang akan dikatakan oleh kakek tua itu tentang Ki Buyut dan kedua orang kemanakannya itu. Namun dalam pada itu, sebelum kakek tua itu mengatakan sesuatu tiba-tiba saja Ki Buyut yang lemah itu berkata, “Cukup. Pembicaraan ini tidak perlu. Aku akan mengakui segala kesalahanku.”

“Tutup mulut kau pengecut,” teriak ayahnya, “kenapa tiba-tiba kau menjadi cengeng seperti itu?”

“Ayah,” berkata Ki Buyut, “semuanya tidak perlu lagi. Aku sudah jemu hidup dalam permainan yang kotor ini.”

“Cukup,” teriak ayahnya.

“Ayah, kau kira aku bahagia selama ini? Selama aku memegang jabatan ini yang dibayangi oleh paman Bekel yang kasar itu?”

“Anak keparat,” geram ayahnya, “jadi itukah yang kau berikan kepadaku setelah aku mengorbankan segala-segalanya untukmu.”

“Sejak semula aku tidak sependapat dengan cara yang ayah tempuh,” jawab Ki Buyut.

Ayah Ki Buyut itu menjadi marah sekali. Tetapi ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa dalam keadaannya. Apalagi ditempat itu ada kedua anak muda yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu.

Dalam pada itu maka kakek tua itu pun berkata, “Sudahlah. Jangan bertengkar sendiri. Namun pembicaraan yang pendek itu agaknya telah membuka pembicaraan kita. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak-anak Ki Buyut yang meninggal itu, sehingga akhirnya menantunyalah yang telah memegang jabatannya.”

Seorang bebahu yang sudah agak lanjut usia meskipun belum setua kakek itu berkata, “Jadi dugaan kami benar?”

“Dugaan apa?” bertanya kakek tua itu.

“Menilik pembicaraan Ki Buyut dengan ayahnya, maka kita tentu dapat mengambil kesimpulan. Dikatakan atau tidak dikatakan.”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Ketika ia memandang wajah-wajah orang-orang tua Kabuyutan itu, maka hampir semuanya telah mengangguk-angguk. Rasa-rasanya sebelum mereka membicarakannya, maka pertemuan itu telah dapat mengambil kesimpulan.

Namun kakek tua itu masih juga berkata, “Saudara-saudaraku. Biarlah adik perempuanku berbicara dihadapan kalian. Meskipun dapat berakibat kurang baik bagi adikku itu. Tetapi ia yakin bahwa yang bersalah adalah suaminya dan bukan ia.”

Wajah-wajah menjadi tegang. Sementara itu, perempuan itu pun telah bergeser maju. Ia memang menunggu kesempatan seperti itu, sehingga dengan mengatakan beban yang dirasakannya sangat berat bagi perasaannya, ia berharap bahwa hidupnya akan menjadi lebih damai didalam hatinya.

Demikianlah, perempuan itu pun telah berceritera hubungan antara suaminya dengan ayah Ki Buyut itu serta Ki Bekel, sehingga suaminya telah membuat racun yang tidak mudah dikenali oleh orang lain untuk membunuh anak Ki Buyut tua. Mula-mula yang tertua sebelum sempat menggantikan kedudukan Buyut di Kabuyutan itu. Kemudian yang muda, yang telah menduduki jabatan itu sebentar. Dengan kematian mereka, maka menantu Ki Buyut lah yang telah diangkat untuk menggantikan kedudukan itu.

“Jadi dengan demikian perempuan itu pun telah terlibat,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Seperti aku katakan, suaminyalah yang terlibat. Dan itu telah menyiksa hidupnya sehingga ia tidak pernah menemukan kedamaian,” jawab kakek tua itu. Lalu “Nah, jika dengan demikian maka kalian menganggap perempuan itu tidak berhak menikmati kekayaannya yang telah diterimanya dengan cara yang tidak sewajarnya, maka ia telah pasrah. Semuanya akan direlakan bagi Kabuyutan ini. Ia akan mulai dengan kehidupan sederhana, namun memberikan kedamaian di hatinya.”

Orang-orang yang mendengarkan pengakuan perempuan itu pun mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja seorang bebahu yang juga sudah separuh baya bertanya, “Apakah pengakuannya itu benar Ki Buyut?”

“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku tidak akan ingkar.”

Ayahnya hanya dapat menggeram. Namun ia pun merasa bahwa ia tidak akan dapat lagi mengelak. Kakek tua itu pun kemudian berpaling kepada kedua orang cucu Ki Buyut tua yang bertengkar. Firasat mereka memang mengatakan bahwa ayah-ayah mereka tentu sudah terbunuh oleh tangan-tangan yang jahat. Tetapi mereka tidak dapat menyebutkan dan tidak tahu siapa yang telah melakukannya.

Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa permusuhan yang terjadi antara mereka berdua adalah justru karena tingkah laku Ki Buyut itu pula. Dengan alasan untuk membatasi daerah yang bertentangan, maka Ki Buyut justru telah membuat pertentangan di antara keduanya itu tidak menemukan penyelesaian.

“Nah,” berkata kakek tua itu, “kalian dapat melihat dengan jelas, apa yang telah terjadi di Kabuyutan ini.”

“Kami menuntut orang-orang yang bersalah,” berkata cucu Ki Buyut tua yang berdarah lebih tua.

Wajah-wajah menjadi tegang. Sementara itu yang muda pun telah berteriak pula, “Ya. Yang bersalah harus dihukum.”

Semua orang memandang ayah Ki Buyut serta saudara kembar perempuannya. Namun ayah Ki Buyut itu pun ternyata tidak mau menjalani hukuman sendiri. Ia juga ingin membuat kakek tua itu menjadi sakit hati. Karena itu, maka katanya,

“Aku tidak akan ingkar. Tetapi bukan hanya aku yang bersalah. Orang yang telah membuat racun itu pun bersalah pula. Karena itu, jika kami dihukum, maka ia pun harus dihukum. Meskipun orang itu sudah mati, tetapi isterinya telah ikut menikmati hasil kejahatannya, sehingga bersama anak-anaknya ia pantas dihukum.”

Adalah diluar dugaan bahwa perempuan itu menjawab, “Kami bersedia dihukum apa pun juga. Hukuman itu tentu akan membebaskan kami dari perasaan ikut bersalah. Meskipun aku tidak membantu suamiku dalam kejahatan yang dilakukannya, namun aku memang telah ikut menikmati hasil kejahatannya untuk menghidupi anak-anaknya.”

“Anak-anakmu,” potong ayah Ki Buyut.

“Ya. Anak-anakku. Tetapi juga anak-anak suamiku yang telah melakukan kejahatan itu,” jawab perempuan itu. Lalu katanya, “Sebenarnyalah selama ini hidupku telah merasa sangat cemas dan gelisah. Kesalahan suamiku menjadi beban yang hampir membuatku gila. Karena itu, maka penyelesaian yang akan diambil hari ini, apa pun hukuman yang akan ditimpakan kepadaku, akan aku terima dengan senang hati.”

“Perempuan iblis, “geram ayah Ki Buyut. Ternyata perempuan itu tidak merasa menderita sama sekali seandainya ia-pun akan dihukum. Yang penting baginya, bukannya hukuman itu sendiri, tetapi penderitaan yang akan dipikul olehnya. Jika hukuman itu tidak membuatnya menderita, maka hukuman itu tidak akan berarti apa-apa lagi baginya. Justru hukuman itu malah akan membuatnya merasa terlepas dari kesalahan.

Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang hampir berbareng berkata lantang, “Yang bersalah memang harus dihukum.”

“Baik,” berkata kakek tua itu, “tetapi siapakah di antara kita yang berwenang menentukan hukuman itu?”

Semuanya terdiam. Pertanyaan itu memang tidak mudah untuk dijawab. Siapakah yang paling tepat untuk menjatuhkan hukuman, karena Ki Buyut yang mempunyai kekuasaan tertinggi justru harus diadili. Beberapa orang tiba-tiba saja telah berpaling kepada kedua anak muda yang menunggui pembicaraan itu. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi rasa-rasanya mereka memang ingin menunjuk kedua orang anak itulah yang akan menentukan hukuman yang akan diberikan kepada mereka yang bersalah.

Namun dalam pada itu, Ki Buyut yang lemah itu pun berkata, “Aku Buyut di sini. Akulah yang menentukan hukuman bagi setiap orang yang bersalah.”

Tetapi kedua cucu Ki Buyut tua yang semula saling berselisih itu hampir bersamaan menjawab, “Tidak.”

Yang muda berkata lebih lanjut, “Paman termasuk yang harus diadili.”

“Tetapi aku masih Buyut di sini,” jawab Ki Buyut.

“Jika demikian,” berkata kakek tua itu, “kita harus menurunkan jabatannya. Kita melepas kedudukannya dan karena itu ia bukan lagi Buyut di sini. Kita tidak mempunyai Buyut lagi sekarang.”

“Tetapi aku sudah dilantik oleh Akuwu,” jawab Ki Buyut itu, “hanya Akuwu yang berhak mencabut jabatanku. Jika kalian melanggarnya, maka kalian akan berhadapan dengan Akuwu.”

Orang-orang Kabuyutan itu memang harus merenungi kata-katanya. Ki Buyut itu memang sudah disahkan kedudukannya oleh Akuwu, sehingga hanya Akuwu lah yang berhak mencabutnya dan menggantinya dengan orang yang disetujuinya.

Dalam keadaan yang hening itu, tiba-tiba Mahisa Murti bertanya, “Aku tidak mencampuri persoalan Kabuyutan ini. Tetapi aku hanya ingin bertanya, Kabuyutan ini termasuk Pakuwon mana?”

“Lemah Warah,” jawab kakek tua itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, “Bukankah tempat ini jaraknya sangat jauh dari Lemah Warah?”

“Ya. Wilayah Lemah Warah memang menjorok sampai ke tempat ini,” jawab kakek tua itu.

Sementara itu seorang bebahu lain yang termasuk tua berkata, “Itulah sebabnya, maka peristiwa yang terjadi di sini tidak dapat diikuti dengan cermat oleh Akuwu atau para pemimpin Lemah Warah lainnya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu kakek tua itu pun bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang persoalan ini? Kami memang tidak ingin menyerahkan persoalan di Kabuyutan kami kepada orang lain, tetapi kami tidak perlu menolak nasehat dan petunjuk yang akan berarti bagi kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Tetapi sebelum mereka menjawab, Ki Buyut berkata, “Bagaimanapun juga, aku adalah pemimpin yang sah. Kalian tidak akan dapat berbuat apa pun juga dengan kedudukan itu.”

“Tentu saja dapat,” jawab Mahisa Pukat. Namun katanya, “Tetapi bukan maksudku untuk ikut campur. Jika Ki Buyut mati, maka kedudukannya akan dengan sendirinya gugur.”

Jantung Ki Buyut bagaikan tersentak. Ia terkejut bukan kepalang. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu telah mengambil satu kesimpulan yang sangat mengerikan baginya. Justru karena itu, maka ia pun menyahut dengan suara bergetar, “Apakah kau juga ingin menjadi pembunuh? Kau kira Akuwu tidak akan bertindak atas pembunuhan terhadap orang yang dipercaya untuk memimpin sebuah Kabuyutan.”

“Kau memang lucu Ki Buyut,” berkata Mahisa Pukat, “jika aku membunuhmu, maka aku akan segera pergi. Kau pun tentu tahu, jika aku membunuhmu, maka aku akan membunuh ayahmu, bibimu dan pamanmu. Nah, setelah itu kami akan pergi tanpa kalian ketahui ke mana? Jika Akuwu ingin menghukum, biarlah Akuwu mencari kami. Sementara itu, Kabuyutan ini akan mengalami perubahan.”

“Pemecahan yang biadab,” geram Ki Buyut.

“Sama biadabnya dengan tingkah laku ayah dan bibimu serta pamanmu,” jawab Mahisa Pukat.

“Cukup,” Ki Buyut berteriak. Namun justru karena itu, maka nafasnya pun menjadi terengah-engah.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kau tidak setuju, maka cara yang manakah yang sebaiknya kita tempuh?”

Ki Buyut justru terdiam. Ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri tanpa mengingat apa pun juga, bahkan paugeran yang berlaku di Pakuwon itu. Menilik apa yang pernah dilakukannya, maka agaknya ia benar-benar dapat berbuat sebagaimana dikatakannya. Karena itu, maka Ki Buyut merasa harus sangat berhati-hati bersikap. Jika anak itu benar-benar telah membunuhnya, maka ia tidak akan dapat merubah sikap yang mana pun juga.

Untuk beberapa saat suasana memang menjadi tegang. Namun adalah diluar dugaan bahwa tiba-tiba saja seseorang berkata, “Bunuh saja.”

Ternyata ada yang menyahut pula, “Bunuh saja.”

Ki Buyut memang menjadi semakin gemetar. Kedudukan Buyut itu baginya memang telah menyiksanya. Ia tidak pernah merasakan sesuatu yang membuatnya berbangga pada diri sendiri. Kekuasaannya selalu dibayangi oleh pamannya yang menyebut dirinya Ki Bekel di padukuhan induk Kabuyutan itu.

Namun Mahisa Pukat pulalah yang kemudian meredakan suara-suara itu, “Tunggu. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Pembunuhan memang satu penyelesaian. Tetapi jika kita tidak menemukan penyelesaian yang lain.”

Orang-orang yang ada di pertemuan itu memang menjadi bingung. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita akan mengambil jalan yang paling baik. Kita akan menyampaikan persoalan ini kepada Akuwu di Lemah Warah.”

Tetapi kakek tua itu pun berkata, “Kita memerlukan beberapa hari perjalanan.”

“Kita akan menunggu beberapa hari perjalanan itu. Kami berdua akan pergi ke Lemah Warah menyampaikan persoalan kalian,” berkata Mahisa Murti.

“Itu tidak adil,” berkata Ki Buyut, “kalian dapat mengatakan yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi hitam. Kalian dapat memberikan laporan palsu dan dengan demikian maka Sang Akuwu pun akan dapat mengambil keputusan yang salah pula.”

“Jadi, kau sendiri akan pergi?” bertanya Mahisa Murti.

“Sayang. Aku tidak mampu lagi berjalan sejauh itu? Bahkan berkuda pun tidak mungkin lagi,” desis Ki Buyut.

“Tidak. Kau tentu mampu berkuda sejauh itu,” berkata Mahisa Pukat, “kau tidak mempunyai pilihan lain. Kita, maksudku beberapa orang di antara kalian dan kami berdua akan pergi ke Lemah Warah. Di sini tentu ada empat atau lima ekor kuda yang baik yang dapat kita pergunakan.”

Kakek tua itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada cara yang lebih baik. Tetapi kita harus bersabar. Ki Buyut pun tentu akan mengalami perlakuan yang lebih baik apabila ia diadili oleh Sang Akuwu sendiri daripada diperlakukan menurut kehendak orang-orang Kabuyutan ini setelah terbukti ia melakukan kesalahan yang berat sekali.”

Ki Buyut memang tidak dapat menolak. Bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Bekel dan kakek tua maka mereka akan menghadap Akuwu Lemah Warah untuk mendapatkan pengadilan. Namun dalam pada itu, beberapa orang menjadi cemas. Pada suatu saat, jika ayah Ki Buyut dan saudara kembarnya sembuh, maka banyak hal yang dapat dilakukannya. Keselamatan perempuan yang telah mengakui kesalahannya itu pun akan terancam pula.

Tetapi Mahisa Murti berkata, “Mereka tidak akan dapat sembuh dalam waktu dekat. Bahkan untuk waktu yang sangat lama.”

Beberapa orang saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti berkata, “Besok pada saatnya kami berangkat, maka kalian akan tahu apa yang akan terjadi atas kedua orang ini.”

Demikianlah, maka pertemuan itu pun telah diakhiri. Kesimpulannya adalah keberangkatan beberapa orang menuju ke Lemah Warah. Di dini hari berikutnya, maka orang-orang yang akan menuju ke Lemah Warah pun telah siap. Beberapa orang bebahu yang mengetahui rencana keberangkatan mereka, telah berada di Kabuyutan pula. Sementara itu keadaan Ki Buyut dan Ki Bekel memang menjadi lebih baik dari hari sebelumnya, meskipun mereka masih juga sangat lemah. Tetapi mereka tentu akan mampu berkuda ke Lemah Warah.

Tetapi berbeda dengan mereka, ayah dan bibi Ki Buyut yang sudah tua itu, keadaannya seakan-akan masih tetap tidak berubah. Mereka masih saja lemah seperti sehari sebelumnya. Bahkan rasa-rasanya mereka justru menjadi semakin tidak berdaya.

Ketika Ki Bekel menengoknya di pembaringan mereka, ayah Ki Buyut itu menggeram, “Iblis itu telah menekan beberapa simpul urat nadiku dan mematikan kerjanya. Untuk beberapa lama urat itu tidak akan terbuka jika tidak ada seseorang yang mampu membukanya. Tanpa bantuan itu, maka gerak membukanya akan berlangsung lama sekali.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu mereka berusaha meyakinkan diri, bahwa selama mereka pergi tidak akan terjadi sesuatu di Kabuyutan ini.”

Ayah dan bibi Ki Buyut itu tidak menyahut. Tetapi mereka pun berpendapat seperti itu pula, sehingga karena itu mereka menyadari, apa yang dilakukan oleh kedua orang anak muda itu atasnya. Bahkan keduanya pun akhirnya terpaksa mengakui, kedua anak muda itu memang mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

Namun demikian ayah Ki Buyut itu pun berpesan, “Pandai-pandailah berbicara dihadapan Akuwu. Kalian harus mampu meyakinkannya, bahwa kedua anak muda itu telah menimbulkan malapetaka di Kabuyutan mereka. Kebetulan sekali kau dan Ki Buyut dibawa serta. Dengan keadaan kalian, maka kalian dapat membuktikan kebengisan kedua anak muda itu. Kau dapat mengatakan bahwa aku dan mbokayumu juga mengalami nasib yang justru lebih buruk dari nasibmu itu.”

Ki Bekel mengangguk. Katanya, “Aku akan melakukannya sebaik-baiknya.”

“Jika kau berhasil, maka Sang Akuwu akan mengambil tindakan justru terhadap kedua anak muda itu,” desis ayah Ki Buyut.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu, maka seseorang telah memanggilnya dan berkata, “Dipersilahkan Ki Bekel makan lebih dahulu. Semua yang akan berangkat telah berkumpul di pringgitan. Sebelum matahari terbit, direncanakan kelompok itu akan berangkat.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah berada di pringgitan. Menjelang matahari terbit, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Kabuyutan itu menuju ke Lemah Warah. Yang kemudian ternyata berangkat adalah Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Buyut, Ki Bekel dan kakek tua yang pernah menduduki jabatan bebahu di Kabuyutan itu.

Namun dalam pada itu, justru di hati Ki Bekel dan Ki Buyut telah tumbuh harapan baru. Jika mereka berhasil menghadap Akuwu, maka Akuwu tentu akan lebih mempercayai mereka dari pada kedua orang yang masih terlalu muda itu.

Karena itulah, maka dalam perjalanan justru Ki Bekel dan Ki Buyut nampak lebih segar dari saat-saat sebelumnya. Meskipun Ki Buyut merasa perlu untuk memperbaharui cara hidupnya yang justru menjadi sulit karena jabatan yang membebaninya itu, namun ia memang ingin lebih dahulu membebaskan dirinya dari kekuasaan kedua anak muda yang berilmu sangat tinggi itu.

“Dihadapan Akuwu ilmunya tidak akan berarti sama sekali,” berkata Ki Buyut.

Bahkan Ki Buyut telah sempat berangan-angan, bahwa setelah ia dapat mempergunakan kekuasaannya pada saat terakhir, tanpa menghiraukan pengaruh ayahnya, bibinya dan pamannya yang mengangkat dirinya menjadi Bekel di padukuhan induk dan selalu membayanginya itu, maka ia akan merasa lebih baik melepaskan jabatannya.

Di perjalanan, justru karena mereka menyadari, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan panjang, maka mereka tidak memacu kuda mereka terlampau cepat. Kecuali kekuatan Ki Buyut dan Ki Bekel masih belum pulih kembali, mereka pun tidak mau memaksa kuda mereka menjadi terlalu letih di perjalanan. Bahkan mereka pun telah memberi kesempatan pada saat-saat tertentu untuk beristirahat. Apalagi mereka yang menunggang kuda pun merasa perlu untuk beristirahat pula.

Beberapa kali mereka telah singgah di kedai-kedai. Beberapa kali mereka berhenti di pinggir-pinggir sungai untuk memberi kesempatan kuda mereka untuk minum dan makan rerumputan segar. Berapa kali mereka telah berhenti beristirahat di pinggir-pinggir hutan dan ternyata meskipun mereka berkuda, mereka memerlukan bermalam dua malam di perjalanan.

Ketika mereka berlima memasuki gerbang Kota Pakuwon Lemah Warah, maka wajah Ki Buyut dan Ki Bekel yang kelelahan itu pun menjadi semakin merah. Mereka tidak lagi merasa berada di ambang pintu neraka. Mereka berharap bahwa Sang Akuwu yang bijaksana akan justru menangkap kedua anak muda yang telah membuat padukuhan-padukuhan mereka bergejolak. Bahkan seluruh Kabuyutan.

Demikianlah beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah menuju ke istana Akuwu Lemah Warah. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang, maka dengan penuh harapan Ki Buyut menyampaikan maksudnya untuk menghadap Akuwu.

“Silahkan menunggu. Kami akan menyampaikannya kepada Akuwu,” berkata seorang prajurit yang masih muda.

Permohonan Ki Buyut itu pun telah disampaikan kepada Akuwu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut, mereka telah menempuh perjalanan selama dua hari, sehingga mohon belas kasihan kepada Akuwu, agar mereka dapat diterima menghadap.

“Apa yang penting yang akan mereka sampaikan?” bertanya Akuwu.

“Mereka tidak menyampaikan kepada hamba. Tetapi mereka mohon dengan sangat, agar mereka diperkenankan untuk menghadap karena persoalan mereka menyangkut kehidupan Kabuyutan mereka,” jawab prajurit yang diantar oleh Pelayan Dalam itu.

Ternyata Akuwu menghargai perjalanan orang-orang yang akan menghadapnya itu. Tetapi Akuwu hanya akan menerima dua orang saja di antara mereka.

“Baiklah. Biarlah yang lain aku terima nanti saja. Sekarang bawa dua orang di antara mereka masuk mewakili kawan-kawannya. Aku tidak dapat menerima mereka berlima sekaligus sekarang, karena waktuku yang sempit. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak akan menerima mereka. Nanti aku akan menerima mereka semuanya. Nah, berilah tempat beristirahat sepantasnya kepada mereka,” berkata Akuwu. Lalu “Jika persoalannya tidak terlalu gawat, maka pembicaraan berikutnya tentu tidak akan tergesa-gesa.”

Demikianlah maka prajurit itu pun telah kembali menemui kelima orang yang ingin menghadap Akuwu itu. Prajurit itu menyampaikan perintah Akuwu, bahwa hanya dua orang sajalah yang saat itu diperkenankan menghadap. Baru nanti, jika Akuwu tidak lagi terlalu sibuk, semuanya akan dapat diterima.

“Biarlah kami yang menghadap,” desis Mahisa Murti.

Tetapi tiba-tiba Ki Buyut berkata, “Akulah Buyut dari Kabuyutan itu. Akulah yang akan menghadap bersama Ki Bekel.”

“Tentu tidak,” desis Mahisa Pukat.

“Kau tidak dapat berbuat apa-apa di sini,” Ki Buyut tersenyum, “jika kalian berkeras, maka para prajurit akan dapat bertindak atas kalian berdua. Apakah kau akan melawan Akuwu?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, biarlah Ki Buyut dan kakek tua itulah yang menghadap.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah. Biarlah aku dan kakek tua menghadap Sang Akuwu.”

Tetapi Ki Bekel dengan serta merta berkata, “Kau dan aku Ki Buyut.”

“Kami berkeberatan,” sahut Mahisa Pukat, “atau kami berdua sama sekali tidak ikut campur, tetapi pada suatu saat kami akan datang lagi ke padukuhan-padukuhan di Kabuyutanmu untuk berbuat apa saja sesuka kami.”

“Kau berada di istana Akuwu sekarang,” ancam Ki Bekel.

“Kau kira kami tidak dapat melarikan diri?” jawab Mahisa Pukat.

“Sudahlah,” berkata Ki Buyut, “biarlah kami menghadap berdua. Kami akan membatasi pembicaraan, sementara kita akan dapat banyak berbicara setelah kita berlima diterima bersama-sama.”

Ki Bekel tidak dapat memaksa. Karena itu, maka akhirnya memang Ki Buyut dan kakek tua itulah yang menghadap. Demikian mereka mendapat kesempatan untuk berbicara, maka Ki Buyut pun telah mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Sang Akuwu. Hambalah Buyut yang rendah, yang mohon menghadap.”

Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, “Aku tidak pernah menganggap seorang Buyut itu berderajad rendah. Nah, katakan apa keperluanmu.”

“Ampun Akuwu. Apakah hamba diperkenankan mengatakannya?” bertanya kakek tua itu.

“Oo, terserah kepada kalian, siapakah yang akan mengatakan keperluan kalian,” jawab Akuwu.

“Biarlah hamba yang mengatakannya Sang Akuwu,” dengan cepat Ki Buyut menyahut.

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu yang tidak wajar pada kedua orang yang menghadapnya itu. Namun Akuwu itu pun berkata, “Kalian akan mendapat kesempatan berganti-ganti. Tetapi biarlah Ki Buyut lebih dahulu yang mengatakan kepentingannya.”

Ki Buyut pun kemudian telah menyampaikan sebuah laporan yang telah disusunnya dengan tertib. Dua orang anak muda telah datang dan mengacaukan kedudukannya di Kabuyutan itu.

Kakek tua itu setiap kali berusaha untuk memotong. Tetapi Akuwu selalu melarangnya. Katanya, “beri kesempatan ia berbicara sampai selesai.”

Kakek tua itu tidak berani melanggar perintah Akuwu, sehingga karena itu, maka ia terpaksa membiarkan saja Ki Buyut mengatakan apa yang tidak sebenarnya. Ki Buyut memang telah menyudutkan kedua anak muda yang dianggap asing itu.

Ternyata Sang Akuwu telah mendengarkan laporan itu dengan sangat bersungguh-sungguh. Keningnya nampak berkerut, sementara setiap kali tangannya mengusap dahinya yang basah oleh keringatnya. Setiap kata diperhatikannya sehingga Akuwu pun kemudian dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Namun sayang, bahwa gambaran yang terbentuk oleh ceritera Ki Buyut itu berbeda dengan kenyataan yang telah terjadi.

Baru setelah Ki Buyut selesai, maka Sang Akuwu yang memang merasakan sesuatu yang aneh pada kedua orang itu telah memberikan kesempatan kepada kakek tua itu untuk memberikan laporannya. Dengan hati-hati kakek tua itu pun telah menceriterakan apa yang memang telah terjadi di padukuhan itu. Dengan demikian maka ceritera mereka dalam beberapa hal bukan saja berlainan, tetapi justru bertentangan.

Akuwu pun memperhatikan laporan kakek tua itu pula sebagaimana ia memperhatikan laporan Ki Buyut. Akuwu tidak terkejut mendengar beberapa hal yang bertentangan dari laporan mereka berdua. Akuwu pun dengan sabar menunggu sampai kakek tua itu selesai, sementara Akuwu pun melarang Ki Buyut memotong laporan kakek tua itu pula.

Ketika kakek tua itu selesai memberikan laporan, maka Akuwu pun berkata, “Nah, laporan kalian bertentangan yang satu dengan yang lain. Aku tahu persoalannya memang sangat gawat. Tentu salah satu pihak telah mengatakan yang bukan sebenarnya. Tetapi bagaimanapun juga aku telah mengakui Ki Buyut sebagai pimpinan di Kabuyutan itu.”

“Ampun Sang Akuwu,” berkata Ki Buyut, “hamba ingin mohon keadilan. Sebenarnya dengan alas kekuasaan yang Tuanku berikan kepada hamba sebagai Buyut di Kabuyutan itu, hamba dapat melakukan langkah-langkah yang perlu. Bahkan menghukum orang-orang yang bersalah. Tetapi karena menurut perhitungan hamba akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang menyangkut ketenangan di Kabuyutan hamba, maka hamba memilih jalan untuk menghadap Akuwu. Namun satu hal yang pantas hamba sampaikan bahwa adik perempuan dari kakek tua ini adalah isteri dari pembunuh itu, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat dianggap jujur dalam pengutaraan persoalannya. Ayah dan bibi hamba dengan sengaja telah disangkutkannya, sementara kakek tua itu mengesampingkan kesalahan kedua orang anak muda itu. Kami sengaja membawa kedua anak muda itu untuk mendapat keadilan dari Sang Akuwu, karena kami dan bahkan seluruh Kabuyutan tidak akan mampu melawan mereka berdua. Dengan alas kemampuannya yang tinggi itulah, maka ia dapat memaksakan keinginannya kepada seisi padukuhan. Ayah dan bibi yang mencoba menempatkan persoalannya pada keadaan yang sewajarnya, telah menjadi korban pula. Sementara itu kakek tua ini telah memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan, terutama keselamatan adik perempuannya itu.”

Akuwu itu ternyata masih belum dapat memahami beberapa hal. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Jika kedua anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, bagaimana mungkin kau dapat membawanya kemari?”

“Kami telah membujuknya. Kami menjanjikan kepada mereka, untuk mempertemukan mereka kepada Akuwu, sehingga mereka akan dapat mengajukan beberapa permintaan bagi kepentingan diri mereka sendiri. Tetapi sebenarnyalah kami mohon, bahwa kedua orang anak muda itu, yang menjadi sumber keributan akan dapat ditangkap di sini. Di sini ada kekuatan dan kemampuan yang akan dapat mengimbangi keduanya meskipun setelah berada di halaman Pakuwon ini pun keduanya masih tetap merasa memiliki kemampuan tidak terkalahkan. Agaknya kedua anak muda itu belum mengetahui kekuatan dan kemampuan ilmu Sang Akuwu,” berkata Ki Buyut.

Akuwu Lemah Warah itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tentu kami tidak akan berkeberatan untuk menangkap keduanya jika keduanya memang bersalah.”

“Keduanya tidak bersalah Sang Akuwu,” sela kakek tua itu.

“Keduanya adalah anak-anak muda yang dapat diperalat oleh kakek tua ini. Tetapi hamba mohon perlindungan atas jabatan hamba dan kewibawaan hamba yang telah ditetapkan dan diwisuda oleh Sang Akuwu,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya, “bersama hamba selain kedua anak muda yang hamba mohon ditangkap bersama kakek tua ini, juga Ki Bekel yang akan dapat menjadi saksi akan kebenaran keterangan hamba itu.”

“Ki Bekel?” bertanya Akuwu.

“Hamba Sang Akuwu,” jawab Ki Buyut.

“Ki Bekel adalah adik ayah Ki Buyut yang pernah hamba katakan Sang Akuwu. Sudah tentu kesaksiannya tidak dapat dipercaya,” berkata kakek itu.

Sang Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Dalam keadaan seperti ini memang harus berhati-hati untuk mempercayai seseorang. Sebagaimana aku pun tidak akan dapat begitu saja percaya kepada Ki Bekel, aku pun tidak akan dapat begitu saja percaya kepadamu.”

Kakek tua itu menjadi berdebar-debar. Dengan mengerahkan keberaniannya ia berkata, “Ampun Akuwu. Hamba mohon, jika Ki Bekel dipanggil menghadap, kedua anak muda itu- pun mohon dipanggil pula menghadap.”

“Untuk apa?” bertanya Ki Buyut, “justru kami mohon kedua orang anak muda itu diadili di sini.”

“Seandainya diadili sekalipun, maka bukankah wajib ia dihadapkan kepada yang mengadili?” bertanya kakek tua itu.

Tetapi ternyata Akuwu berkata, “Aku akan memanggil Ki Bekel lebih dahulu.”

Kakek tua itu memang tidak berani membantah. Akuwu benar-benar telah memanggil Ki Bekel untuk ikut berbicara bersama mereka.

“Nah,” berkata Akuwu, “biarlah Ki Bekel menceriterakan apa yang terjadi.”

“Tetapi ampun Akuwu. Ki Bekel adalah paman Ki Buyut, “kakek tua itu memotong.

“Aku perintahkan orang itu berbicara,” berkata Akuwu.

Kakek tua itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia memang hampir kehilangan harapan. Ia tidak mengira bahwa Ki Buyut itu demikian liciknya memanfaatkan kepercayaan Akuwu kepadanya sebagai seorang Buyut.

Seperti yang diduga oleh Kakek tua itu, maka yang diceriterakan oleh Ki Bekel tidak berbeda dari apa yang dikatakan oleh Ki Buyut. Bahkan dalam beberapa hal Ki Bekel mampu meyakinkan Akuwu, bahwa yang bersalah adalah kedua orang anak muda yang telah menggoncangkan ketenangan Kabuyutan itu dengan menghasut kedua orang cucu Ki Buyut tua, memanfaatkan orang-orang yang kecewa seperti kakek tua itu, yang ternyata telah berbuat banyak kesalahan.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku sudah mendengar tiga orang berbicara. Dua orang di antara mereka bernada sama. Sedangkan yang seorang lagi bukan saja berbeda, tetapi bertentangan sama sekali. Nah, sudah tentu aku tidak akan dapat mengambil kesimpulan dengan pasti. Tetapi aku mulai dapat membayangkan apa yang terjadi.”

“Tetapi Akuwu,” berkata kakek tua itu, “hamba mohon Akuwu dapat melihat sendiri apa yang telah terjadi di Kabuyutan kami.”

Akuwu tersenyum. Katanya, “Yang paling baik bagiku adalah datang ke setiap tempat untuk melihat sendiri keadaan yang sebenarnya di semua lingkungan Lemah Warah. Tetapi terus-terang aku tidak akan mampu melakukannya. Karena itulah, maka di tempat-tempat tertentu telah diangkat seorang yang aku percaya menjalankan tugas atas namaku. Seorang Buyut.”

Kakek tua itu benar-benar telah kehilangan harapan. Sementara itu Ki Buyut berkata, “Bagaimana dengan kedua anak muda itu Sang Akuwu. Hamba mohon keduanya tidak akan pernah datang lagi ke Kabuyutan hamba, karena keduanya benar-benar orang yang berbahaya, sementara tidak seorang pun yang mampu mengatasi kemampuannya. Seakan-akan keduanya terlalu yakin bahwa dengan ilmunya semuanya dapat dilakukannya.”

“Bukan soal yang sulit,” berkata Akuwu, “tetapi biarlah aku juga mendengar apa yang akan dikatakan oleh kedua orang anak muda itu.”

“Yang dikatakannya tentu akan sangat menyimpang Akuwu. Sebagaimana dikatakan oleh kakek tua ini, karena kedua anak muda dan kakek tua ini telah dengan sepakat melakukannya. Jika mereka setuju bahwa aku dan Ki Bekel datang kemari, justru setelah aku mengancam mereka, bahwa Sang Akuwu tidak akan mempercayai siapa saja kecuali orang-orangnya sendiri.”

“Kau benar,” jawab Akuwu, “tetapi biarlah aku bertemu dengan kedua orang anak muda itu. Aku memang ingin mendengar apa saja yang dikatakannya. Tetapi aku sudah mempunyai alas keterangan dari kalian. Aku akan dapat mempertimbangkannya dengan sebaik-baiknya.”

Ternyata Ki Buyut dan Ki Bekel tidak berhasil mencegah niat Akuwu bertemu dengan kedua orang anak muda itu. Bahkan Akuwu itu berkata, “Jika kemudian aku menjadi yakin bahwa keduanya bersalah, aku akan langsung menangkap mereka.”

Demikianlah, maka Akuwu pun telah memerintahkan seorang Pelayan Dalam untuk memanggil kedua anak muda itu. Ketika Ki Buyut memperingatkan Akuwu bahwa keduanya berilmu tinggi, maka Akuwu pun tersenyum sambil bertanya,

“Kau tidak yakin bahwa aku akan dapat menangkapnya? Seandainya ilmuku tidak dapat mengimbangi ilmu mereka, bukankah di dalam istana ini terdapat sekelompok Pelayan Dalam dan sekelompok prajurit pengawal pilihan? Di halaman pun terdapat sekelompok prajurit yang bertugas yang akan dapat memanggil sepasukan prajurit berkuda dalam waktu sekejap.”

“Ampun Akuwu,” jawab Ki Buyut, “bukan maksud hamba tidak percaya. Tetapi hamba hanya ingin memperingatkan bahwa keduanya adalah anak-anak muda yang sangat licik.”

“Terima kasih,” jawab Akuwu, “peringatanmu aku perhatikan.”

Demikianlah sejenak kemudian maka seorang Pelayan Dalam telah memanggil dua orang anak muda yang menunggu di luar, di antara para prajurit yang bertugas. Namun Ki Buyut dan Ki Bekel hampir yakin, bahwa kata-katanya tentu akan lebih dipercaya. Bahkan kakek tua itu pun sudah menjadi lebih banyak duduk terdiam sambil menundukkan kepalanya. Menurut Ki Buyut dan Ki Bekel, kakek tua itu mulai menghitung hukuman apakah yang akan diterimanya dari Akuwu bersama-sama dengan kedua orang anak muda itu.

Sesaat kemudian, ketika pintu ruang itu terbuka, dua orang anak muda telah diantar memasuki ruangan itu oleh seorang Pelayan Dalam yang tinggal di luar pintu yang kemudian telah ditutup kembali. Sebenarnyalah Akuwu terkejut melihat kedua orang anak muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang pernah diakunya sebagai kemanakannya.

“Kaliankah itu?“ suara Akuwu merendah.

“Hamba Akuwu,” jawab keduanya hampir berbareng.

Kedua anak muda itu pun kemudian telah duduk sambil membungkuk hormat. Sementara itu, Ki Buyut, Ki Bekel dan kakek tua itu pun terkejut pula bukan buatan. Ternyata kedua anak muda itu telah mengenal Akuwu Lemah Warah.

“Jadi dua orang anak muda ini yang kalian maksud?” bertanya Akuwu itu kepada Ki Buyut dan Ki Bekel.

“Hamba Sang Akuwu,” jawab Ki Buyut gagap.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang masih akan mendengar keterangan mereka. Meskipun aku sudah mempunyai alas keterangan dari Ki Buyut dan Ki Bekel serta kakek itu.”

“Ampun Akuwu. Kedua anak muda itu memang telah bekerja sama dengan kakek tua ini untuk menyelamatkan orang-orang yang bersalah dan justru telah menjerumuskan orang-orang yang tidak bersalah ke dalam kesulitan,” bertanya Ki Buyut.

“Satu pengalaman bagiku,” berkata Akuwu Lemah Warah, “untuk menghadapi satu persoalan, ternyata aku harus lebih teliti dan cermat. Hampir saja aku mempercayai Ki Buyut dan Ki Bekel. Seandainya yang datang bukan kedua kemanakanku itu, maka aku kira aku mempunyai alas yang salah untuk menangani persoalan ini.”

Sekali lagi orang-orang yang mendengar keterangan Akuwu itu terkejut. Menurut pengakuan Akuwu, ternyata kedua anak muda itu adalah kemanakannya.

Sementara itu Akuwu pun berkata selanjutnya, “Saudara-saudaraku. Sikapku selanjutnya bukan karena aku dipengaruhi oleh hubunganku dengan kedua kemanakanku ini. Meskipun mereka kemanakanku, tetapi jika mereka bersalah, maka biarlah aku bertindak atasnya. Tetapi kedua kemanakanku ini aku kenal dengan baik sifat dan wataknya. Karena itu aku percaya kepadanya. Selebihnya, keduanya adalah petugas yang langsung dikirim oleh Sri Baginda di Kediri untuk menenteramkan keadaan rakyatnya.”

Sekali lagi orang-orang yang mendengar keterangan Akuwu itu terkejut bukan buatan. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri terkejut. Mereka memang pernah memangku tugas sebagai petugas sandi. Namun tugas itu tidak lagi disangkanya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membantahnya.

Dalam pada itu, maka Akuwu itu pun kemudian bertanya kepada kedua anak muda itu, “jadi kau yang menangani persoalannya?”

“Hamba Akuwu,” jawab keduanya hampir berbareng.

“Nah, sekarang ceriterakan, apa yang telah terjadi dan apa pula yang sudah kau lakukan,” bertanya Akuwu.

Ki Buyut dan Ki Bekel yang semula sudah berpengharapan, telah menjadi sangat kecewa. Rasa-rasanya bukan saja mereka kehilangan harapan, tetapi sudah terbayang hukuman apa yang akan diterimanya. Memang sepercik penyesalan telah mencengkam jantungnya. Semula ia memang ingin pasrah kepada rakyatnya, bahwa ia telah melakukan kesalahan. Kedudukannya sama sekali tidak memberikan kebahagiaan kepadanya.

Namun, pada saat-saat mulai dibicarakan siapakah yang harus menjatuhkan hukuman, Ki Buyut itu menjadi ngeri. Keinginannya untuk menghindari hukuman itu telah timbul sehingga ia pun telah berusaha untuk dapat menghadap Akuwu langsung, mengikuti mereka yang datang ke Lemah Warah. Bahkan sebagaimana yang dilakukan, bersama Ki Bekel ia ingin menyingkirkan kedua anak muda itu. Tanpa mereka, maka Kabuyutan itu akan dapat dikuasainya kembali. Namun yang dijumpainya adalah satu kenyataan, Akuwu tentu tidak akan mendengarkan keterangannya lagi.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan keterangan selengkapnya tentang peristiwa yang terjadi di Kabuyutan itu. Tidak ada yang terlampaui. Ketika kedua anak muda itu selesai memberikan keterangan maka Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya kepada Ki Buyut dan Ki Bekel yang termangu-mangu,

“Bagaimana pendapatmu Ki Buyut dan Ki Bekel? Apakah kau masih mempunyai keterangan lain?”

Ki Buyut ternyata benar-benar telah pasrah. Dengan nada lemah dan tidak bertenaga lagi ia pun menjawab, “Ampun Akuwu. Hamba tidak akan mengelak. Sebenarnyalah bahwa hamba memang sudah kehilangan minat untuk tetap mempertahankan kedudukan hamba. Jika hamba masih berusaha sebenarnyalah sekedar untuk menghindarkan diri dari hukuman yang tentu akan sangat berat menimpa hamba, apalagi jika hukuman itu dijatuhkan oleh Rakyat hamba sendiri. Juga ingin melepaskan ayah hamba dari kemungkinan yang paling buruk.”

Akuwu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Yang dikatakan oleh Ki Buyut itu benar Akuwu. Ia memang tidak pernah merasa bahagia dengan kedudukannya itu. Tetapi satu kekuasaan telah menekannya untuk melakukannya. Karena itu, maka tidak adil sekiranya kesalahan ini ditimpakan seluruhnya kepadanya. Menurut pendapatku, justru Ki Bekel lebih banyak bertanggung jawab tentang peristiwa yang terjadi di kabuyutan itu bersama dengan kedua kakak kembarnya.”

Ki Bekel pun tidak dapat membantah lagi. Rasa-rasanya tali gantungan memang telah melingkar di lehernya. Tetapi baginya memang lebih baik dihukum oleh Akuwu daripada jatuh ke tangan orang-orang kabuyutannya sendiri.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya kepada Ki Bekel dan Ki Buyut, “Sekarang semuanya sudah jelas. Untunglah bahwa kalian tinggal di wilayah Lemah Warah. Bukan termasuk wilayah Sangling.”

Ki Buyut termangu-mangu. Ia tidak mengerti maksud kata-kata Akuwu dalam hubungannya dengan Pakuwon Sangling. Namun Akuwu itu meneruskan,

“Jika kau tinggal di wilayah Sangling, maka kau akan mengalami akibat yang lebih buruk, karena kedua anak muda ini adalah adik kandung Akuwu Sangling.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lengkaplah segala macam kekecewaan, kecemasan dan kekagumannya kepada kedua anak muda itu. Anak-anak muda yang menjadi petugas sandi dari Kediri, kemanakan Akuwu Lemah Warah dan adik kandung Akuwu Sangling yang langsung menangani persoalan yang bergejolak di padukuhannya.

Keduanya bukan sekedar dua orang anak muda yang senang melihat keributan terjadi. Tetapi ternyata keduanya memang mempunyai beban tugas untuk melakukannya. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri tidak merasa melakukannya, karena yang mereka lakukan sama sekali tidak berencana. Mereka telah melibatkan diri hanya karena mereka melihat batas yang membagi sebuah padukuhan menjadi dua bagian yang terpisah mutlak.

Dalam pada itu, maka Akuwu pun kemudian berkata, “Baiklah. Justru karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menanganinya, maka ternyata aku tertarik untuk datang ke Kabuyutan itu. Aku ingin menyelesaikannya sekali. Sampai tuntas. Harus diangkat seorang Buyut yang baru atau menempatkan kembali Buyut yang lama jika ia mampu membuktikan dirinya tidak bersalah. Tetapi kedua anak Ki Buyut yang terbunuh itu memang harus mendapat perhatian. Karena itu, nampaknya Kabuyutan itu tidak dapat ditangani tanpa mendekatinya.”

Ki Buyut dan Ki Bekel benar-benar sudah kehilangan harapan. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sang Akuwu Lemah Warah akan langsung menangani Kabuyutan mereka dengan datang sendiri ke Kabuyutan itu.

Demikianlah maka Akuwu pun telah memerintahkan kepada pimpinan Pengawal Khususnya untuk mempersiapkan sekelompok pengawal yang akan mengikutinya besok. Sementara itu, diperintahkannya untuk mengamati Ki Buyut dan Ki Bekel yang telah ditempatkan di tempat yang khusus pula.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang yang datang bersamanya telah bermalam satu malam di Lemah Warah, sementara Akuwu melakukan persiapan-persiapan. Akuwu telah berbicara dengan beberapa orang pemimpin Lemah Warah tentang Kabuyutan yang kalut itu. Beberapa orang yang beberapa waktu yang lalu ikut menangani penempatan Ki Buyut yang ternyata telah menimbulkan persoalan di Kabuyutan itu.

Dengan kesimpulan yang masak, maka dikeesokan harinya Akuwu telah meninggalkan istananya bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, kakek tua serta Ki Bekel dan Ki Buyut diiringi beberapa Pengawal Khusus Akuwu Lemah Warah. Berkuda mereka menuju ke Kabuyutan yang sedang kalut itu. Mereka menyadari, bahwa perjalanan mereka akan memakan waktu panjang, sehingga mereka harus bermalam di perjalanan.

Tetapi mereka tidak mengalami kesulitan sesuatu. Dengan pertanda kebesaran Akuwu Lemah Warah, maka jika mereka singgah di manapun, mereka mendapat kehormatan yang justru berlebihan. Dengan tergesa-gesa banjar-banjar Kabuyutan dibersihkan dan dipersiapkan untuk menerima Akuwu. Sementara itu, rumah Ki Buyut pun segera dikosongkan, untuk memberikan tempat kepada Sang Akuwu untuk beristirahat.

Namun Akuwu Lemah Warah adalah seorang Akuwu yang pernah menjadi pengembara. Bahkan selama menjadi Akuwu- pun pernah juga ia menyamar dan berlaku sebagai orang kebanyakan justru di dalam tugasnya. Karena itu, maka Akuwu pun mampu menyesuaikan dirinya di mana pun ia berhenti. Kadang-kadang Akuwu justru beristirahat di pategalan, atau di mana pun yang dikehendaki.

Demikianlah, maka akhirnya perjalanan Akuwu pun menjadi semakin dekat dengan tujuan. Sementara itu, Ki Buyut dan Ki Bekel yang sebenarnya sudah berangsur baik itu, rasa-rasanya justru menjadi semakin menderita. Beberapa lama kemudian, maka iring-iringan itu telah memasuki Kabuyutan yang sedang kalut itu.

Orang-orang yang melihat bahwa sebuah iring-iringan dengan pertanda Akuwu Lemah Warah, maka mereka pun menjadi terkejut. Ternyata Akuwu sendiri telah datang ke Kabuyutan itu. Seluruh Kabuyutan telah menyambut kedatangan Akuwu. Ayah dan bibi Ki Buyut telah mendengar pula bahwa Akuwu sendiri telah datang bersama Ki Buyut dan Ki Bekel.

“Apakah mereka berhasil?” bertanya ayah Ki Buyut itu didalam hatinya, sebagaimana saudara kembar perempuannya. Namun bahwa kedua anak muda itu ikut pula kembali, telah menimbulkan persoalan di hati ayah Ki Buyut.

Di hari kedatangannya, Akuwu memang belum berbuat sesuatu. Tetapi Akuwu minta di hari berikutnya semua orang yang berkepentingan serta para bebahu Kabuyutan itu harus berkumpul. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha-agar Ki Buyut dan Ki Bekel tidak dapat menemui ayah dan bibi Ki Buyut itu, karena pertemuan di antara mereka akan dapat melahirkan persoalan-persoalan baru.

Ternyata usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dibantu oleh kakek tua itu berhasil. Beberapa bebahu ternyata sependapat, sehingga Ki Buyut tidak berhasil memasuki bilik ayahnya apa pun alasannya. Demikian pula Ki Bekel. Bahkan Ki Buyut dan Ki Bekel telah mendapat pengawasan yang cukup ketat.

Suasana di Kabuyutan itu telah berubah sama sekali. Kehadiran Akuwu telah menata kembali tata nilai yang telah dibangunkan oleh Ki Buyut atas dorongan ayah dan bibinya. Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengguncang kemantapan kedudukan Ki Buyut. Namun kedatangan Akuwu telah merombak segala-galanya yang berlaku selama Ki Buyut berkuasa.

Malam itu Akuwu telah bermalam di banjar Kabuyutan. Beberapa bebahu yang sudah berumur senja, merasa malu bahwa mereka tidak dapat memberikan tempat yang lebih baik. Tetapi bermalam di banjar adalah jauh lebih baik daripada berada di rumah Ki Buyut.

Demikian pula pasukan pengawal Akuwu pun telah ditempatkan di serambi banjar. Meskipun agak berdesakan. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus pengawal Akuwu itu sama sekali tidak berkeberatan. Apalagi Akuwu sendiri terbiasa berada di segala tempat, sehingga mereka dapat bermalam di mana pun juga dan di tempat yang bagaimanapun juga.

Apalagi Pasukan Khusus itu tidak semuanya akan tidur bersama-sama. Di antara mereka ada yang harus bertugas bergantian. Di antara mereka yang bertugas dan yang berada di dalam bilik bersama kawan-kawannya yang beristirahat. Ada yang di ruang dalam, di depan bilik Akuwu, tetapi ada pula yang berada di halaman. Sebagai prajurit yang berpengalaman, maka mereka dengan cepat menyesuaikan diri dengan arena yang mereka hadapi.

Malam itu tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di banjar sampai menjelang tengah malam, saat Akuwu akan beristirahat. Namun mereka berdua segera pergi ke Kabuyutan untuk melihat apakah pesan-pesan mereka tentang Ki Buyut telah dilakukan.

Sebenarnyalah Ki Buyut dan Ki Bekel benar-benar tidak dapat bertemu dengan ayah dan bibi Ki Buyut tua. Betapa pun mereka mencoba memaksa, tetapi orang-orang yang semula tunduk kepada mereka, dengan berani telah menolak keinginan Ki Buyut dan Ki Bekel itu. Apalagi setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ada di Kabuyutan.

Demikianlah, di sana malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat tidur bergantian. Bagaimanapun juga mereka masih harus tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi di Kabuyutan yang masih bergolak itu. Mungkin masih ada pengikut dari ayah Ki Buyut yang ingin menimbulkan persoalan-persoalan baru justru karena Akuwu ada di banjar Kabuyutan itu.

Ketika matahari mulai membayang, maka rasa-rasanya Kabuyutan itu mulai menginjak jaman baru. Mereka menunggu sikap Akuwu bagi Kabuyutan mereka yang sudah lama terasa dibayangi oleh nilai-nilai kehidupan yang tidak wajar.

Dalam pada itu, Akuwu pun telah berbenah diri. Meskipun pakiwan di banjar itu kurang memadai, tetapi Akuwu tidak berkeberatan mempergunakannya. Ia mengerti, bahwa orang-orang Kabuyutan itu telah berbuat sejauh dapat mereka lakukan. Karena itu Akuwu sama sekali tidak menuntut apa yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang-orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.

Dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, hidangan telah disuguhkan pula. Sederhana seperti yang kemarin mereka hidangkan. Namun ternyata Akuwu telah berkenan di hatinya oleh hidangan itu.

“Siapa juru masak di sini?“ Akuwu sempat bertanya.

Isteri salah seorang bebahu justru menjadi ketakutan. Ia mengira bahwa Akuwu menjadi marah karena ia tidak pandai masak.

Namun ternyata Akuwu justru memuji, “Masakanmu ternyata enak sekali.”

Isteri bebahu itu hampir menjadi pingsan kegirangan karena pujian Akuwu itu.

Demikian matahari naik, maka Akuwu pun telah bersiap menerima orang-orang yang akan menghadapnya. Namun agaknya Akuwu tidak akan menerima mereka bersama-sama. Yang mula-mula dipanggilnya menghadap justru ayah dan bibi Ki Buyut, yang dianggapnya sebagai sumber segala persoalan.

“Kenapa kau nampak lemah sekali?” bertanya Akuwu kepada kedua orang saudara kembar itu.

“Ampun Akuwu. Hamba telah terkena ilmu iblis. Kedua anak muda itu telah dengan licik menghisap kekuatan dan kemampuan hamba,” jawab ayah Ki Buyut.

“Ooo. Jadi ilmu itu kau anggap ilmu yang licik?” bertanya Akuwu.

“Hamba Akuwu. Anak muda itu telah melakukannya sebagai seorang pencuri yang melakukan pekerjaannya dengan diam-diam. Tetapi hamba tidak berbuat demikian. Hamba telah bertempur secara jantan,” jawab ayah Ki Buyut.

“Bagus,” berkata Akuwu. Tetapi kemudian katanya, “Seharusnya kau justru berterima kasih kepada anak-anak muda itu, karena mereka tidak mengetrapkan ilmu Bajra Geni-nya. Kau tahu, ilmu Bajra Geni.”

Wajah kedua orang kembar itu menjadi tegang.

“Nah. Kedua anak muda itu memiliki Ilmu Bajra Geni. Bukan hanya dengan sentuhan tangannya. Tetapi ia mampu melontarkannya. Jika ilmu itu menyentuh tubuhmu, maka aku kira kau akan menjadi arang. Karena itu, ternyata ia telah mempergunakan ilmunya yang lunak, yang hanya sekedar melumpuhkan saja,” berkata Akuwu selanjutnya.

Debar jantung kedua orang itu serasa menjadi semakin cepat. Sebagai orang-orang berilmu, maka mereka pernah mengenal ilmu Bajra Geni yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Karena itu ketika Akuwu Lemah Warah menyebutnya, maka rasa-rasanya kulit mereka memang meremang. Jika benar-benar ilmu Bajra Geni itu menyentuh kulitnya, maka seperti yang dikatakan oleh Akuwu, tubuhnya akan menjadi arang.

Karena itu, maka kedua orang itu pun akhirnya menyadari, bahwa apa pun yang akan mereka lakukan, maka mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengalahkan kedua anak muda itu. Apalagi melawan Akuwu Lemah Warah.

Kenyataan tentang kedua anak muda itu telah meyakinkan mereka, bahwa mereka memang harus menyerah. Jika tidak, apa pun yang akan mereka lakukan, maka kemungkinan kekuatan ilmu Bajra Geni itu akan menghanguskan mereka. Seandainya mereka mempunyai kesempatan menghubungi beberapa orang yang akan bersedia membantu mereka lewat siapa pun juga, namun orang-orang yang akan membantu mereka itu pun tidak akan mampu menghadapi kekuatan ilmu Bajra Geni.

Apalagi di saat Akuwu berada di Kabuyutan itu bersama dengan para prajuritnya yang terpilih. Karena itulah, maka kemudian ayah dan bibi Ki Buyut itu tidak dapat ingkar lagi. Semua pertanyaan Akuwu Lemah Warah dijawabnya dengan kenyataan yang telah terjadi sebenarnya di Kabuyutan itu.

“Terima kasih,” berkata Akuwu Lemah Warah kemudian, “aku kira kalian telah menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jujur. Karena itu, maka aku kira untuk sementara pertemuan ini telah cukup.”

Demikianlah, maka Akuwu pun telah memerintahkan membawa ayah dan bibi Ki Buyut keluar dari banjar dan dikembalikan ke tempatnya. Karena keduanya masih sangat lemah, maka keduanya telah mendapat kesempatan untuk naik pedati meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Mereka dibawa kembali ke rumah Ki Buyut dan ditempatkan di bilik khusus diawasi oleh para pengawal yang patut dipercaya bersama beberapa orang bebahu yang mengendalikan mereka.

Para bebahu yang dapat menempatkan diri dalam pergolakan yang tengah terjadi di Kabuyutan itu. Bahkan ternyata bahwa lima orang prajurit pengawal khusus Akuwu Lemah Warah memang telah ditempatkan di rumah Ki Buyut itu, sementara Ki Buyut, Ki Bekel dan orang-orang penting lainnya berada di banjar. Ayah dan bibi Ki Buyut mengetahui akan hal itu. Tetapi mereka benar-benar telah pasrah, apa yang akan terjadi dengan diri mereka.

Sepeninggal ayah dan bibi Ki Buyut, maka Akuwu telah memanggil isteri orang yang disebut-sebut melakukan pembunuhan atas kedua orang anak Ki Bekel tua. Meskipun orang yang melakukan telah meninggal, tetapi isterinya memang dapat memberikan beberapa keterangan yang diperlukan. Perempuan itu juga tidak menyembunyikan sesuatu sesuai dengan yang diketahuinya.

Akuwu mendengarkan keterangan perempuan itu dengan saksama. Sebenarnya ia merasa tersinggung sekali dengan tingkah laku suami perempuan itu yang telah sampai hati membunuh sesama sekedar untuk mendapatkan upah betapa pun besarnya. Tetapi laki-laki itu telah meninggal, sehingga karena itu, maka Akuwu pun tidak dapat berbuat apa-apa.

Sedangkan perempuan itu, rasa-rasanya telah mengungkapkan apa saja yang diketahuinya. Sehingga dengan demikian Akuwu tidak dapat melimpahkan kemarahannya kepada perempuan yang agaknya memang tidak bersalah itu. Keterangan ayah dan bibi Ki Buyut serta perempuan itu agaknya telah memberikan gambaran yang utuh tentang apa yang terjadi. Rasa-rasanya Sang Akuwu telah melihat dengan jelas urutan peristiwa di Kabuyutan itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Akuwu telah memerintahkan untuk memanggil Ki Buyut, Ki Bekel dan dua orang cucu Ki Buyut Tua yang selalu bertengkar dan saling bermusuhan itu. Akuwu memang tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendengarkan semua pengakuan. Termasuk pengakuan Ki Buyut dan Ki Bekel, sehingga keadaan menjadi semakin jelas.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga sudah berada di banjar itu dengan sungguh-sungguh telah mengikuti segala pembicaraan di banjar itu. Mereka pun nampaknya menjadi semakin berharap bahwa akan segera didapatkan penyelesaian yang tuntas di Kabuyutan itu.

Keputusan yang pertama yang diambil oleh Akuwu adalah mengambil kembali kedudukan yang telah diberikannya kepada Ki Buyut dan tidak mengakui kedudukan Ki Bekel yang telah diangkat oleh Ki Buyut. Ki Buyut sama sekali tidak terkejut. Ia sudah memperhitungkan hal itu. Ia sadar bahwa ia memang harus melepaskan jabatan yang memang tidak pernah dengan sungguh-sungguh memberikan kebahagiaan kepadanya.

Sementara itu, Akuwu pun telah melihat usaha yang dengan sengaja menjauhkan kedua orang saudara sepupu itu. Ki Bekel memang selalu menjaga jarak antara keduanya. Jika persoalan mereka dibatasi oleh sebuah padukuhan itu, bukan karena kewibawaan Ki Buyut, tetapi semata-mata karena kelicikan Ki Bekel. Pertentangan itu memang harus dipertahankan, agar mereka tidak sempat mengusik kedudukan Ki Buyut karena mereka selalu dibayangi oleh permusuhan mereka sendiri.

Namun yang kemudian menjadi persoalan bagi Ki Buyut, siapa pun di antara mereka yang lebih baik untuk menggantikan kedudukan Ki Buyut. Dengan hati-hati Akuwu telah menelusuri kehidupan Ki Buyut tua, anak-anaknya dan kemudian cucu-cucunya. Tingkah laku mereka dan apa saja yang pernah mereka lakukan. Namun akhirnya Akuwu telah berbicara langsung kepada keduanya.

“Aku hanya dapat mengangkat seorang Buyut di Kabuyutan ini. Sedangkan kalian berdua merasa berhak untuk menduduki jabatan itu,” berkata Akuwu. Lalu “Aku mengerti. Yang tua merasa bahwa ia berhak seandainya ayahnya tidak dibunuh. Sedangkan yang muda merasa berhak karena ayahnya memang pernah menjabat menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Hal itu sebenarnya bukan salah kalian semata-mata. Kalian juga dapat menyalahkan aku yang pada waktu itu begitu saja percaya dan mensahkan kedudukan Ki Buyut yang sekarang harus aku cabut kembali. Jika saat itu aku berbuat sedikit lebih baik, maka tidak akan terjadi kesalahan yang akibatnya ternyata menjadi sangat panjang.”

Kedua saudara sepupu itu menundukkan kepalanya. Justru Akuwu melihat kesalahan itu kepada dirinya sendiri, maka hati keduanya pun seakan-akan telah mencair. Kekerasan hati mereka untuk merebut kedudukan yang mereka anggap berhak mereka miliki, permainan Ki Buyut dan Ki Bekel yang benar-benar telah memperbodoh keduanya sehingga keduanya tetap saling bermusuhan tanpa berkeputusan.

Dalam pada itu, Sang Akuwu itu pun berkata, “Nah, kalian, cucu Ki Buyut yang lama. Aku ingin bertanya kepada kalian dihadapan para saksi, para tetua dan para bebahu Kabuyutan ini, apakah kalian berdua masih berniat untuk memperebutkan kedudukan kakek kalian itu?”

Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka pun menyadari, Sang akuwu sengaja mempergunakan istilah memperebutkan untuk mempengaruhi sikap mereka. Namun sebenarnyalah keduanya benar-benar telah kehilangan gairah untuk berjuang memperoleh kedudukan itu. Mereka seakan-akan melihat, betapa seseorang telah melakukan kesalahan yang sangat dalam, sekedar untuk berebut kedudukan, sebagaimana dilakukan oleh paman mereka, meskipun karena pengaruh orang lain. Karena itu, maka tiba-tiba saja yang tua di antara kedua sepupu itu berkata,

“Ampun Akuwu. Yang terjadi ini merupakan satu pengalaman yang paling berharga dalam kehidupan hamba yang selama ini bagaikan dibayangi oleh mimpi yang buruk. Untuk waktu yang lama ternyata hamba tidak hidup dalam dunia kewajaran. Karena itu, rasa-rasanya sekarang hamba telah terlempar kembali ke dalam satu kehidupan yang wajar. Dengan demikian Sang Akuwu, biarlah hamba menikmati kehidupan ini tanpa diganggu oleh persoalan-persoalan yang rumit karena kedudukan. Maksud hamba, biarlah hamba tidak lagi berbicara tentang kedudukan kakek itu.”

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Kemudian dipandanginya yang muda di antara kedua sepupu itu. Namun sebelum Akuwu mengatakan sesuatu, yang muda di antara sepupu itu berkata,

“Ampun Sang Akuwu. Hamba merasa betapa hamba kehilangan pribadi hamba selama ini. Karena itu, Sang Akuwu, biarlah hamba kembali kepada diri hamba sendiri. Hamba mohon untuk tidak dibebani tugas-tugas yang tidak dapat hamba lakukan karena kebodohan hamba.”

Akuwu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa kagum terhadap kalian. Tiba-tiba saja kalian telah menyadari apa yang kalian hadapi di Kabuyutan ini. Karena itu, maka aku terima permohonan kalian. Namun kemudian kalian harus mendengarkan perintah yang akan aku berikan kepada salah seorang di antara kalian.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun keduanya pun menyadari, salah seorang di antara mereka harus mengemban tugas yang telah diambil kembali oleh Akuwu dari pamannya. Di luar sadarnya mereka telah berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun Akuwu yang seakan-akan dapat membaca hati mereka telah berkata, “Kedua anak muda itu bukan orang Kabuyutan ini. Kecuali itu, tugas-tugasnya ada di atas kedudukan seorang Buyut. Karena itu, seandainya ada pikiran untuk menahan mereka tinggal di sini, maka aku berpendapat, hal itu tidak akan dapat mereka lakukan.”

Kedua cucu Ki Buyut tua yang telah meninggal itu menundukkan kepala. Mereka memang harus menyadari, bahwa kedua anak muda itu tidak sepantasnya tinggal di Kabuyutan mereka meskipun menjabat pangkat tertinggi sekalipun. Menurut Akuwu kedudukan mereka memang sudah berada di atas kedudukan seorang Buyut. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengatakan sesuatu tentang kedua anak muda itu.

Dalam pada itu, maka Sang Akuwu pun kemudian berkata kepada orang-orang yang ikut dalam pertemuan itu, “Nah, sebenarnya kalianlah yang dapat memilih di antara keduanya. Tetapi aku kira kalian pun akan menjadi kebingungan. Apalagi kalian tidak ingin menyinggung perasaan salah seorang di antara mereka. Mereka tentu merasa direndahkan jika tidak terpilih meskipun mereka tidak menghendaki kedudukan itu. Karena itu, biarlah aku yang menentukan dengan alasan-alasan tertentu.”

Semua orang terdiam menunggu. Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Akuwu seandainya mereka harus memilih, maka mereka akan menjadi bingung. Dengan demikian, maka Akuwu lah yang menentukan pilihan. Dengan hati-hati ia berkata,

“Baiklah. Menurut pendapatku, keduanya mempunyai hak yang sama. Keduanya adalah orang yang gigih dan menghargai hak itu. Meskipun satu kenyataan pahit telah terjadi pula atas keduanya sehingga keduanya dapat disekap ke dalam satu sikap oleh pamannya yang pada waktu itu memegang jabatan sebagai seorang Buyut di Kabuyutan ini, yang kedudukan itu baru saja aku ambil.”

Kedua orang saudara sepupu itu menundukkan kepala. Mereka memang mengakui di dalam hati, bahwa mereka untuk beberapa lama seakan-akan telah kehilangan pribadi mereka, sehingga mereka dengan mudah dapat dijebak oleh pamannya itu.

Sementara itu Akuwu pun berkata lebih lanjut, “Tetapi itu sudah berlalu. Aku minta kalian dan semua orang melupakannya. Kita akan mulai dengan lembaran baru dalam kehidupan Kabuyutan ini.”

Semua orang memang menunggu, siapakah di antara keduanya yang akan ditunjuk oleh Akuwu, sementara keduanya telah menyatakan keberatannya. Namun akhirnya Akuwu pun berkata, “Aku menentukan, yang akan menggantikan kedudukan Ki Buyut adalah cucunya yang tua.”

“Sang Akuwu,” saudara sepupu yang berdarah lebih tua itu dengan serta merta memotong, “ampunkan hamba, Akuwu. Hamba mohon, janganlah hamba mendapat tugas yang tidak akan mampu hamba jalani.”

Akuwu tersenyum. Katanya, “Kau tidak akan melakukan tugasmu seorang diri. Kedudukan Ki Bekel yang secara khusus membantu Ki Buyut di Kabuyutan ini memang sangat menarik. Meskipun di saat yang lewat kedudukan Bekel di padukuhan induk ini dan tugasnya tidak memerintah sebuah padukuhan, tetapi membantu Ki Buyut dalam pengertian yang khusus, dapat dilanjutkan. Tetapi sudah barang tentu dengan tugas yang dibatasi oleh hak dan kewajiban yang mapan. Bukan disalah-artikan sebagaimana kedudukan Ki Bekel pada masa pemerintahan yang lewat.”

Orang-orang yang berada di tempat pertemuan itu sudah menduga, bahwa Akuwu menghendaki saudara sepupu yang muda itulah yang akan diangkat menjadi Bekel dengan tugas membantu kewajiban Ki Buyut. Tidak seorang pun yang merasa berkeberatan. Ketika Sang Akuwu menanyakan, apakah ada pendapat yang akan diajukan oleh para bebahu di Kabuyutan itu, maka nampaknya mereka sudah sependapat sebagaimana diputuskan oleh Akuwu.

“Jika tidak ada yang keberatan, maka aku telah menetapkannya, kedua orang saudara sepupu itu akan bersama-sama memegang kendali pemerintahan di Kabuyutan ini,” berkata Akuwu, “mereka sudah dapat melakukan tugas mereka sebelum diwisuda. Sementara itu aku minta semua bebahu dan bahkan semua orang di Kabuyutan ini membantu tugas-tugas mereka.”

Semua orang mengangguk-angguk. Mereka seakan-akan telah berjanji kepada diri mereka masing-masing, bahwa Kabuyutan mereka harus mereka bangun kembali setelah beberapa lama berada dalam keadaan yang parah.

“Semua terserah kepada kalian,” berkata Akuwu, “betapa pun seorang Buyut bekerja keras bagi kampung halamannya, tetapi jika tidak didukung oleh semua pihak, maka yang dilakukan itu akan sia-sia. Karena itu, aku minta kalian membuktikan dukungan kalian atas pengangkatan ini dengan perbuatan. Bukan sekedar mengangguk-angguk dihadapanku. Pada saat-saat tertentu aku akan datang untuk melihat, apakah Kabuyutan ini telah berkembang atau belum.”

Di luar sadar, semua rasa-rasanya sudah berjanji kepada diri sendiri. Demikianlah, Akuwu sudah memberikan beberapa ketetapan. Kedua orang itu sudah dibenarkan menjalankan tugas mereka sebelum Akuwu sempat mewisuda. Namun menurut Akuwu, wisuda hanyalah sekedar kelengkapan upacara. Tetapi yang penting adalah jiwa dari keputusan yang telah dijatuhkan itu.

Dalam pada itu, maka Akuwu pun telah berniat untuk bermalam satu malam lagi di Kabuyutan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih berada di Kabuyutan itu pula. Di malam hari Akuwu masih ingin berbicara dan memberikan beberapa pesan kepada kedua saudara sepupu itu. Akuwu pun akan minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan pesan-pesan mereka pula sebelum keduanya meninggalkan Kabuyutan itu.

Sementara itu Akuwu sudah berniat pula untuk membawa orang-orang yang bersalah ke Lemah Warah, kecuali perempuan yang telah dengan jujur memberitahukan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh suaminya itu. Namun perempuan itu pun tidak terlepas dari hukuman, meskipun ia tidak langsung melakukan kesalahan. Untuk beberapa lama ia telah menikmati kekayaan yang telah didapat oleh suaminya dengan laku yang tidak baik. Karena itu maka sebagian besar dari kekayaannya itu telah dirampas bagi kepentingan Kabuyutan.

Tetapi perempuan itu sama sekali tidak menyesal. Ketika Akuwu bertanya kepadanya, maka katanya, “Ampun Sang Akuwu. Dengan ikhlas hamba serahkan kekayaan yang tidak memberikan kebahagiaan bagi keluarga hamba itu, sehingga akhirnya suami hamba telah meninggal dengan penuh penyesalan di hati.”

“Baiklah,” berkata Akuwu, “yang akan melaksanakan adalah Buyut yang baru di Kabuyutan ini.”

“Hamba Sang Akuwu,” desis perempuan itu.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Menurut pendapatnya tugas-tugas pokoknya di Kabuyutan itu sudah selesai, sehingga ia tinggal mengamati apa yang akan terjadi kemudian. Kepada para pemimpin di Kabuyutan itu Akuwu sudah memberitahukan, bahwa pada saat-saat tertentu ia akan mengirimkan petugas-petugasnya untuk melihat keadaan.

“Jarak antara Kabuyutan ini sampai ke Lemah Warah memang jauh. Tetapi aku akan tetap mengikuti perkembangannya, karena bagaimanapun juga Kabuyutan ini merupakan bagian dari Pakuwon Lemah Warah, sehingga aku pun akan ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini,” berkata Akuwu.

Demikianlah, di malam sebelum Akuwu berangkat kembali ke Lemah Warah, maka ia pun telah memberikan banyak sekali pesan-pesan. Kedua cucu Ki Buyut yang diserahi tugas memimpin Kabuyutan itu merasa mendapat banyak bekal yang berarti bagi mereka berdua. Keseganan di antara mereka lambat laun menjadi semakin menipis. Apalagi setelah mereka menyadari sepenuhnya, bahwa yang terjadi itu adalah karena kelemahan pribadi mereka masing-masing sehingga mereka dapat dipermainkan oleh pamannya dan orang-orang di seputarnya.

Di hari berikutnya Akuwu pun telah bersiap untuk meninggalkan Kabuyutan itu. Para pengawalnya pun telah bersiap pula. Orang-orang Kabuyutan itu telah mengantar iring-iringan itu sampai keluar Kabuyutan mereka. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kami masih akan tinggal satu dua malam lagi,” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah,” berkata Akuwu Lemah Warah, “pergunakan kesempatan itu baik-baik.” Lalu suaranya menurun sehingga hanya didengar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Kedua cucu Ki Buyut lama itu sudah agak lama saling bermusuhan. Mereka memerlukan bimbingan agar mereka dapat bekerja bersama dengan baik meskipun hal itu sudah mereka sadari sepenuhnya.”

“Baik Akuwu. Kami akan melakukannya,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, ketika Akuwu kemudian meninggalkan kelompok-kelompok orang-orang padukuhan termasuk Ki Buyut dan Ki Bekel yang telah ditetapkan oleh Akuwu serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang Kabuyutan itu telah melepas mereka dengan lambaian tangan.

Sikap Akuwu yang akrab membuat orang-orang padukuhan itu tidak merasa takut lagi kepadanya, namun mereka merasakan kebapaan Akuwu yang lembut itu. Meskipun dalam kelembutan sikapnya terasa bahwa Akuwu itu pun dapat menunjukkan sikap yang pasti sebagaimana seorang Akuwu dan seorang Senapati perang.

Sementara itu, orang-orang yang dianggap bersalah dari Kabuyutan itu telah dibawa pula oleh Akuwu. Ki Buyut, Ki Bekel, serta ayah dan bibi Ki Buyut. Beberapa saat lamanya orang-orang Kabuyutan itu termasuk para pemimpinnya yang baru memandang debu yang mengepul di belakang kaki kuda iring-iringan Akuwu Lemah Warah yang semakin lama menjadi semakin jauh.

Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Mereka telah jauh. Mudah-mudahan mereka selamat sampai tujuan.”

Orang-orang Kabuyutan itu pun kemudian telah melangkah kembali ke Kabuyutan mereka. Sementara itu para pemimpinnya pun masih kembali pula ke padukuhan induk.

“Hari ini kita akan mengatur perasaan kita masing-masing,” berkata Mahisa Murti, “besok kita akan mulai dengan pembicaraan-pembicaraan. Banyak persoalan yang harus kita bicarakan. Kami berdua akan memanfaatkan waktu kami yang pendek untuk mengikuti perkembangan terakhir dari Kabuyutan ini.”

Ternyata pengaruh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mencengkam orang-orang padukuhan itu. Apalagi karena Akuwu Lemah Warah telah menyebut mereka, bahwa kedudukan mereka berada diatas kedudukan seorang Buyut karena tugas mereka sebagai petugas dari Kediri. Ditambah lagi keterangan Akuwu bahwa kedua anak muda itu adalah adik Akuwu Sangling.

Hari itu, orang-orang Kabuyutan itu telah memasuki satu masa baru bagi Kabuyutan mereka. Mereka yang untuk beberapa lama tidak tahu arah kepemimpinan dari para pemimpin di Kabuyutan itu, telah menaruh harapan kepada kedua orang saudara sepupu yang meskipun semula bermusuhan. Namun orang-orang Kabuyutan itu merasa, bahwa pimpinan Kabuyutan itu telah kembali kepada yang berhak.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa di sisa hari itu mereka benar-benar telah beristirahat. Segala persoalan telah diletakkannya. Bersama kakek tua mereka berada di rumah adiknya yang kekayaannya telah disiapkannya untuk diserahkan kepada Ki Buyut yang baru.

Perempuan itu sudah merasa sangat beruntung bahwa Akuwu tidak melimpahkan kesalahan suaminya kepadanya karena suaminya telah meninggal. Sehingga dengan demikian ia masih akan tetap dapat hidup bersama anak-anaknya yang manja dan cengeng itu. Jika kedua anaknya itu terpisah dari kedua orang tuanya, maka mereka benar-benar tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, maka perempuan itu harus mempergunakan sisa-sisa kemungkinan dalam hidupnya untuk berusaha sedikit demi sedikit merubah sifat kedua anak-anaknya itu.

“Waktuku tidak banyak lagi untuk dapat menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka harus menghadapi kehidupan ini dengan wajah tengadah,” berkata perempuan itu kepada dirinya sendiri.

Di rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mencoba untuk bergaul dengan anak janda tua yang merasa, bahwa sebentar lagi ia harus merubah tata hidupnya. Janda tua itu memang sudah menyadari, bahwa mereka tidak akan lagi dapat menikmati kekayaan mereka, karena sesuai dengan cara yang tidak wajar itu, akan diserahkan kembali kepada Ki Buyut yang baru.

Yang akan tinggal padanya adalah sawah sebagaimana dimilikinya sebelum suaminya menerima upah atas kejahatan yang pernah dilakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mencoba untuk menjajagi perasaan dan penalaran anak janda tua itu, terutama anaknya laki-laki.

“Kesalahannya tidak semata-mata terletak pada anak itu,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ayah dan ibunya terlalu memanjakannya di saat-saat terakhir. Selagi anak-anak itu mendekati usia dewasa, maka mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mematangkan dirinya. Mereka tidak diajar bagaimana mereka harus berdiri sendiri. Bagaimana mereka harus mempertanggung jawabkan segala tingkah laku mereka dan bagaimana mereka harus menentukan sikap terhadap buruk dan baiknya.”

“Apakah kita dapat membantunya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Waktu kita tinggal sedikit,” berkata Mahisa Murti, “mungkin kita dapat memberikan beberapa petunjuk kepadanya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba katanya, “Bagaimana jika anak janda tua itu kita bawa?”

“Hee,” Mahisa Murti termangu-mangu, “maksudmu salah seorang dari mereka?”

“Tentu saja. Anak laki-laki itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah ibunya mengijinkannya? Selebihnya, anak itu akan menjadi beban kita. Namun jika kau memang menghendaki, aku pun tidak berkeberatan jika ibunya mengijinkannya,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia memang ragu-ragu. Tetapi katanya, “Aku akan berbicara dengan anak itu dahulu. Jika ia bersedia, maka kita akan berbicara dengan ibunya.”

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus menjelaskan, bahwa perjalanan kita bukan perjalanan tamasya. Kita akan banyak menjumpai persoalan-persoalan yang barangkali rumit dan berbahaya. Jika ia berani menghadapi akibat yang paling pahit dari perjalanan ini, maka kita akan membawa anak itu bersama kita. Tetapi jika tidak, maka sebaiknya kita memang tidak membawanya, karena akibatnya bukan saja akan menjadi beban bagi kita, tetapi anak itu sendiri akan merasa tersiksa.”

Mahisa Pukat mengangguk pula. Katanya, “Dalam waktu yang pendek, aku dapat menangkap sifatnya yang sebenarnya. Jika ia mendapat kesempatan, mungkin akan dapat terjadi perubahan sikap jiwani pada anak itu. Ditambah dengan pengalaman dan barangkali sedikit penempaan diri, maka mudah-mudahan ia tidak lagi menjadi seorang anak muda yang menjadi beban ibunya yang sudah menjadi semakin tua. Sedangkan adik perempuannya, bukan lagi masalah yang sangat berat bagi orang tuanya, karena pada umumnya seorang gadis memang sedikit manja.”

“Mudah-mudahan kau benar-benar dapat menyelami jiwanya,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi dalam kesempatan tertentu, kau pun harus ikut pula mencoba mengerti,” berkata Mahisa Pukat.

“Aku akan membantumu. Tetapi karena kau yang sudah mulai, maka kau lanjutkan saja usahamu untuk mendekatinya dari unsur jiwanya,” berkata Mahisa Murti.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun menjadi semakin bersungguh-sungguh, la menjadi semakin akrab dengan anak muda itu. Bahkan kadang-kadang Mahisa Pukat telah mencoba untuk memancing pendapatnya tentang kebiasaannya yang manja itu.

“Kenapa kau tidak berusaha untuk menentukan sikapmu sendiri. Apa pun yang kau lakukan, kau selalu bersandar kepada ibumu. Bukankah ibumu menjadi semakin tua dan dengan demikian maka kau harus tampil menggantikan kedudukannya. Bukan saja kedudukan ibumu, tetapi kau pun harus menggantikan kedudukan ayahmu,” berkata Mahisa Pukat...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.