PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 67
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 67
Karya Singgih Hadi Mintardja
Perempuan itu memang terkejut. Demikian pula suaminya. Pamannya telah datang bersama kelima orang kawannya. Namun telah ikut datang pula dua orang yang belum dikenalnya.
“Kemarilah,” berkata Laki-laki yang mengetahui tentang harta karun itu serba sedikit, “ketiga orang anak muda itu ingin berbicara denganmu.”
“Tentang apa paman?” bertanya perempuan itu.
“Aku tidak tahu. Biarlah kau jawab pertanyaan mereka langsung saja,” berkata pamannya.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian duduk di hadapan ketiga orang anak muda itu dengan kepala tunduk. Perempuan itu tahu, bahwa orang-orang itu tentu akan bertanya tentang harta karun sebagaimana pernah didengarnya dari ayahnya. Ketiga orang anak muda itu tentu mempunyai hubungan dengan pamannya dan keempat orang kawan pamannya itu.
Tetapi kenapa pamannya telah mengajak orang-orang itu kepadanya adalah sesuatu yang aneh baginya, karena pamannya sendiri berpesan kepadanya, agar ia tidak mengatakan kepada siapa pun juga. Namun perempuan itu tidak mendapat kesempatan untuk berteka-teki terlalu lama.
Mahisa Murti pun kemudian, telah bertanya kepadanya, “Apakah benar, bahwa kau pernah mendapat pesan dari ayahmu tentang harta karun?”
Perempuan itu menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada anak muda itu.
“Sebaiknya kau berkata terus terang,” berkata Mahisa Murti, “pamanmu telah mengatakan, bahwa ayahmu telah terbunuh. Sebelum ayahmu meninggal, maka ia telah menyampaikan pesan kepadamu tentang harta karun itu.”
Perempuan itu memandang pamannya sejenak. Namun pamannya itu pun mengangguk sambil berkata, “Katakan apa yang kau ketahui. Kami tidak akan dapat ingkar lagi.”
Perempuan itu pun kemudian mengangguk pula sambil berdesis, “Ya anak muda. Ayah memang pernah berpesan.”
“Apakah kau tahu tentang ujud dari harta karun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Perempuan itu menggeleng. “Tidak,” desisnya.
“Apakah kau tahu sebab kematian ayahmu itu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perempuan itu menggeleng. Katanya, “Ayah adalah seorang petani yang tidak pernah bermusuhan dengan siapapun. Tetapi pada suatu hari, ayah datang dari sawah dalam keadaan yang sangat payah. Namun ia masih sempat menyampaikan beberapa kata tentang harta karun itu.”
“Apakah ia tidak menyebut sebab kematiannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa ayah telah terkena racun,” jawab perempuan itu.
“Tidak seorang pun sempat mencari sumber dari racun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Perempuan itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang tahu racun apakah yang telah membunuh ayah itu. Sementara itu sama sekali tidak ada bekas gigitan binatang apa pun juga yang mungkin beracun.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian maka ayahmu tentu kena racun lewat makanannya.”
Perempuan itu terkejut. Namun sambil mengingat-ingat ia berkata, “waktu itu, ayah berada di sawah. Aku telah menyampaikan makanan ayah. Aku sendirilah yang memasaknya dan aku pulalah yang menempatkannya pada mangkuk-mangkuk tanah serta aku jugalah yang membawanya ke sawah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Apakah ada orang lain yang tahu tentang harta karun itu?”
Perempuan itu menggeleng. Jawabnya, “Sebelum ayah meninggal, tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Siapakah orang terdekat dengan ayahmu sebelum meninggal?”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada orang yang terlalu dekat dengan ayah, kecuali keluarganya.”
“Siapakah yang kau maksud dengan keluarganya itu?” desak Mahisa Murti.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku dan suamiku.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lagi. Yang justru bertanya adalah Mahisa Pukat, “Apakah ayahmu pernah berusaha untuk mencari benda-benda yang dianggap harta karun itu?”
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
Namun adalah diluar dugaan bahwa ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya kepada suami perempuan itu, ia menjawab, “Aku kira ayah pernah mencobanya.”
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kemudian Mahisa Pukat lah yang berkata, “Kita memang tidak mendapatkan keterangan apa pun yang memungkinkan kita mengetahui sebab kematian ayahmu. Tetapi kita mendapat kesempatan untuk menemukan harta karun itu.”
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pamannya pun bertanya, “Kalian juga menginginkan barang-barang yang ditinggalkan itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “bukankah menarik sekali jika kita bersama-sama dapat menemukan harta karun itu?”
Kelima orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka merasa tidak akan dapat mencegah ketiga orang anak muda itu justru ikut menemukan harta karun yang semula tidak mereka ketahui. Seandainya saja mereka tidak menuduh bahwa ketiga anak muda itu menemukan harta karun, maka mereka bertiga tidak akan mengganggu sama sekali. Tetapi mereka sudah terlanjur menyeret anak-anak muda itu ke dalam persoalan harta karun itu.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “marilah kita berpacu, siapa yang mendapatkan lebih dahulu, maka ialah yang berhak. Mungkin ia berbaik hati untuk memberi serba sedikit kepada yang lain. Tetapi mungkin tidak. Atau bahkan mungkin kita akan saling berebut dengan kekerasan jika barang itu kita ketemukan.”
Kelima orang itu benar-benar menjadi kecewa dan menyesal. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Kami akan pergi ke sungai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan mencarinya sampai ketemu. Siang dan malam.”
“Kami juga akan pergi,” berkata yang tertua di antara kelima orang itu, “kita dapat pergi bersama-sama.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Kita pergi sendiri-sendiri. Kita mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri pula. Karena itu, biarlah kita berusaha sendiri-sendiri.”
Orang tertua dari kelima orang itu tidak berkata sesuatu. Namun menantu petani yang meninggal itulah yang tiba-tiba berkata, “Paman, untuk apa sebenarnya paman bersusah payah mencari harta karun itu. Aku tidak yakin kalau harta karun itu sesungguhnya ada. Biarlah anak-anak muda itu mencarinya. Kita akan menjadi saksi kebenaran dari cerita tentang harta karun itu. Jika anak-anak muda itu menemukannya, kita akan melihat, apa saja yang tersimpan di dalam persembunyian itu. Jika mereka tidak menemukannya, maka biarlah kita pada keyakinan kita bahwa sebenarnya harta karun itu memang tidak ada.”
Kelima orang itu termangu-mangu sejenak, sementara menantu petani yang terbunuh oleh racun itu berkata pula, “Bukankah paman-paman telah terlalu lama meninggalkan tugas paman?”
Orang tertua di antara kelima orang itu mengangguk. Namun katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mencarinya lagi. Kami merasa bahwa kami tidak akan mampu melawan ketiga orang anak muda itu, sehingga siapa pun yang menemukan harta karun itu tentu akan jatuh ke tangan mereka. Tetapi aku masih belum akan tergesa-gesa kembali ke pekerjaan kami. Aku masih ingin menunggu sampai dua hari lagi. Mungkin harta karun itu dapat diketemukan. Meskipun hanya sekedar menyaksikan apa isinya, tetapi rasa-rasanya kami akan ikut merasa puas.”
Menantu petani yang meninggal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya benda-benda di dalam rangkuman harta karun itu dapat mengutuk siapa pun yang bakal menemukannya. Mungkin buruk dan bahkan mungkin mati.”
Kelima orang itu mengangguk-angguk. Yang tertua berkata, “Baiklah. Jika demikian, biarlah aku tinggal di sini dalam dua hari lagi itu.”
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya itu pun telah meninggalkan rumah itu. Mereka telah kembali ke tikungan sungai. Mereka telah kembali sungai. Mereka benar-benar mencari di antara lekuk-lekuk batu padas di tikungan sungai itu. Tempat itu memang jarang sekali didatangi oleh seseorang sehingga tugas mereka sama sekali tidak terganggu.
Namun demikian Mahisa Murti pun berkata kepada Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya, “Kita harus berhati-hati. Aku merasakan bahwa kita berada dalam satu jebakan.”
“Apa yang akan terjadi?” bertanya anak muda itu.
“Kau tentu akan mendapat kawan lagi untuk berlatih. Dengan demikian, pengalamanmu akan cepat bertambah,” berkata Mahisa Pukat.
Anak muda itu tidak segera tahu maksudnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil bergumam, “Ya. Mudah-mudahan latihan yang tidak terlalu berat.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Latihan harus dilakukan setingkat demi setingkat. Semakin lama semakin berat. Jika latihan-latihan dilakukan pada tataran yang sama saja, maka kemampuanmu pun tidak akan meningkat.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Tetapi jika loncatan tataran itu terlampau cepat, maka segalanya akan berhenti.”
“Kenapa berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
“Latihan-latihan pun akan berakhir. Bahkan hidup pun berakhir pula,” jawab anak muda itu.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Mahisa Murti pun tertawa. Tetapi ia telah menemukan sesuatu. Anak muda itu telah berani menyebutnya dengan tatag. Dengan tabah tanpa rasa takut tentang hidup dan mati. Namun demikian Mahisa Murti tidak berkata apa pun juga.
Beberapa saat lamanya mereka mencari-cari. Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada pertanda atau ciri atau apa pun yang dapat dipergunakannya sebagai ancar-ancar. Hal itu ternyata pula, karena kelima orang yang mencari harta karun itu juga tidak mempunyai ancar-ancar sama sekali.
“Kita akan berada di sini untuk waktu yang lama,” berkata Mahisa Murti. “malam nanti kita akan tidur di sini. Selagi sempat kita akan mencari makanan dan sekaligus bekal untuk semalam nanti.”
Mereka memang tidak perlu pergi terlalu lama. Mereka segera mendapatkan sebuah kedai yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Di kedai itu, beberapa orang sama sekali tidak terpancing memperkatakan apa pun juga tentang tikungan sungai yang disebut sebagai tempat untuk menyimpan harta karun itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang yakin, tidak ada orang lain yang pernah mendengar tentang harta karun itu.
Dengan beberapa jenis makanan sebagai bekal, maka ketiga orang anak muda itu kembali ke tikungan sungai yang sepi itu. Mereka pun kemudian mencari tempat mereka masing-masing untuk berbaring. Batu-batu besar memang banyak terdapat di tepian, justru di arah tepi.
“Kita akan beristirahat. Nanti, menjelang senja kita akan mencari lagi sampai saatnya kita tidak dapat melanjutkan karena gelap. Besok kita akan masih mempunyai banyak kesempatan,” berkata Mahisa Murti.
Namun anak muda yang menyertainya itu tiba-tiba bertanya, “Apakah kita memang ingin memiliki harta karun itu? Jika demikian kenapa kalian berdua tidak merampas saja harta orang tuaku yang akan diambil kembali oleh Ki Buyut yang baru? Bukankah kau mempunyai kemampuan untuk melakukannya? Padahal jika kita mendapatkannya, kita tidak tahu arti dari harta karun itu untuk apa sebenarnya. Kekayaan yang melimpah ternyata tidak membuat keluarga kami bahagia.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Selama perjalanan yang pendek, kau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan. Bukan saja dalam hal kewadagan, tetapi juga dalam hal kejiwaan.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” berkata anak muda itu.
“Nanti kau akan mengetahuinya,” jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk. Tetapi dengan demikian ia yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak benar-benar ingin mendapatkan harta karun itu secara wantah.
Untuk beberapa saat mereka beristirahat diatas batu-batu besar. Karena matahari telah condong, maka mereka berada dalam bayangan tebing sungai, sehingga mereka tidak merasakan sengatan panasnya matahari di sore hari.
“Tidurlah,” tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis, “jika saatnya datang, aku bangunkan kau. Kau perlu tidur untuk menghimpun kembali tenagamu.”
“Apakah kau juga akan tidur?” bertanya anak muda itu.
“Tidak. Aku tidak akan dapat tidur,” jawab Mahisa Murti.
“Kau pun tahu bahwa aku tidak terlalu mudah untuk tidur?” sahut anak muda itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun mereka memang beristirahat sambil berbaring diatas batu-batu besar yang berada pada bayangan tebing. Menjelang senja, justru mereka telah bersiap-siap. Sejenak kemudian, mereka mulai lagi memeriksa celah-celah batu-batu padas atau tempat-tempat lain yang akan menarik perhatian mereka. Namun mereka tidak segera menemukan apa yang mereka cari itu.
“Menjemukan,” berkata anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu, “kenapa kita mengurus harta karun yang belum tentu ada itu?”
“Ssst,” desis Mahisa Pukat, “yang penting bukan harta karun itu. Tetapi bukankah kau memang mencari kawan untuk berlatih?”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud Mahisa Pukat itu tanpa ragu-ragu lagi. Ketika hari mulai gelap, maka ketiga orang itu pun telah menghentikan usaha mereka. Mereka pun kemudian telah berada diatas pembaringan mereka kembali. Batu-batu besar di tepian. Namun mereka masih juga sempat makan bekal yang telah mereka beli sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak diperhitungkan, karena ia belum berpengalaman. Namun Mahisa Murti telah berpesan,
“Tetapi kau justru harus bersiap setiap saat. Demikian kau mendapat isyarat, kau harus segera bangun dan siap melindungi dirimu sendiri. Nah, mulailah berlatih berjaga-jaga sedapat mungkin. Pada saatnya kau akan mendapat giliran untuk bergantian berjaga-jaga sebagaimana kami.”
“Aku akan melakukannya,” jawab anak muda itu.
“Nah, baiklah. Sekarang kita beristirahat. Tetapi aku harus tetap tidak memejamkan mata sampai tengah malam,” berkata Mahisa Murti.
“Bagaimana jika kau tertidur?” bertanya anak muda itu.
“Aku sudah terbiasa melakukannya. Berbaring, beristirahat, tetapi tidak tidur,” jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Diamatinya langit yang biru. Bintang-bintang berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Selembar-selembar awan hanyut dibawa angin yang sejuk. Anak muda itu memang merasa dingin. Tetapi ia tidak berdesah. Hanya sekali-sekali tangannya mengusir nyamuk yang menggigit kulitnya.
Namun anak itu sempat berpaling ketika didengarnya nafas Mahisa Pukat mulai mengalir dengan teratur. Ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur nyenyak. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin tidur, ia ingin berjaga-jaga seperti Mahisa Murti sejauh dapat dilakukan. Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang mulai bergeser ke Barat. Sementara angin yang dingin bagaikan menusuk sampai ke tulang.
Anak muda itu mulai memiringkan tubuhnya. Kakinya mulai berkerut oleh dingin malam, menyusup di bawah kain panjangnya. Meskipun sekali-sekali matanya mulai terpejam, tetapi ia berusaha untuk tetap tidak tidur. Namun ternyata sangat sulit untuk melakukannya, sehingga pada suatu saat, maka rasa-rasanya segala-galanya telah hilang dari pengamatan inderanya.
Namun tengah malam, anak muda itu telah terbangun. Rasa-rasanya punggungnya telah dikenai sesuatu yang membuatnya terbangun. Bahkan rasa-rasanya punggungnya memang menjadi sakit oleh sentuhan kerikil yang dilontarkan dengan kuat sekali. Anak muda itu berusaha untuk menahan diri. Ia masih belum tahu apa yang terjadi. Tetapi ia pun kemudian menggeliat sambil menelentangkan tubuhnya. Bahkan di luar sadarnya ia telah meraba hulu pedangnya. Sejenak ia menunggu. Namun akhirnya ia mendengar sesuatu berdesir di pasir tepian yang lembut.
Anak muda itu justru terkejut ketika ia mendengar suara Mahisa Murti, “Selamat malam Ki Sanak. Marilah, silahkan mendekat. Mungkin kami tidak dapat menyambut kalian dengan cara yang lebih baik.”
Orang-orang yang datang itu pun tertegun. Mereka tidak mengira bahwa kedatangan mereka telah diketahui oleh anak-anak muda yang disangkanya tidur itu. Ternyata Mahisa Murti pun kemudian telah bangkit. Demikian pula Mahisa Pukat yang juga sudah terbangun, disusul anak muda yang menyertai mereka itu.
Orang-orang yang datang itu pun dengan serta merta telah bergeser mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Ternyata jumlah mereka lebih banyak dari hanya lima orang yang telah datang kepada mereka di siang hari.
“Siapakah kalian?” bertanya Mahisa Murti kepada orang-orang itu, “siapakah pemimpin kalian di sini?”
Seorang di antara mereka melangkah maju. Orang itu mempergunakan ikat kepalanya untuk menutup sebagian dari wajahnya, sehingga Mahisa Murti tidak dapat mengenalinya.
“Seharusnya kamilah yang bertanya kepada kalian,” berkata orang itu dengan nada suara yang sangat berat dibuat-buat.
“Kami adalah pengembara yang kebetulan kemalaman di sini,” jawab Mahisa Murti.
“Omong kosong,” geram orang yang bertutup wajah itu, “kalian tentu sedang mencari harta karun di sini.”
“Harta karun?” bertanya Mahisa Murti, “apakah di sini ada harta karun?”
“Kau tidak usah berpura-pura,” geram orang itu, “kau tentu sedang mencarinya.”
“Kami sama sekali tidak tahu menahu tentang harta karun,” berkata Mahisa Murti sambil memperhatikan orang-orang yang mengepung mereka. Meskipun digelapnya malam, namun ketajaman pandangan matanya mampu mengenali orang-orang itu, bahwa tidak seorang pun di antara mereka adalah orang-orang yang ditemuinya di siang hari.
“Bohong,” bentak orang itu, “kalian tahu pasti tentang harta karun itu. Jangan berputar-putar.”
“Lalu apakah maksudmu? Apakah kami harus pergi dari tempat ini?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, “begitu enaknya pergi dari tempat ini? Semua orang yang telah mengetahui ada harta karun di sini, tentu akan mati.”
“Jadi kalian akan membunuh kami bertiga karena kalian menduga bahwa kami mengetahui tentang harta karun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu menjawab dengan lantang, “Kami tidak sekedar menduga. Kami tahu pasti bahwa kalian sedang mencari harta karun di sini. Karena itu, maka kalian harus mati seperti juga orang lain yang harus mati jika mereka mengetahui tentang harta karun itu.”
“Apakah ada orang yang pernah mati karena mengetahui bahwa di sini ada harta karun?” bertanya Mahisa Murti.
“Petani itu,” jawab orang bertutup wajah itu.
“Adakah yang lain?” desak Mahisa Murti.
“Kalian bertiga,” jawab orang itu.
“Kenapa anak perempuan petani itu tidak mati? Kenapa kelima orang itu juga tidak mati?” bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Pada saatnya mereka akan mati.”
“Mereka tahu lebih dahulu dari aku, karena aku baru tahu sekarang. Kenapa mereka tidak mati lebih dahulu?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Persetan,” geram orang itu, “itu urusanku. Kau yang telah mengetahui harta karun ini harus mati. Kapan pun aku menghendaki maka kalian tidak akan dapat mengelak lagi.”
Tetapi jawaban Mahisa Murti sangat mengejutkan. Katanya, “Kau sayang membunuh perempuan anak petani itu meskipun kau sampai hati meracun ayahnya?”
“Apa maksudmu,” suara orang itu bergetar.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang orang yang aneh. Coba katakan, kecuali kelima orang itu, anak dan menantu petani yang meninggal, siapa lagi yang mengetahui tentang harta karun itu?”
“Bukan urusanmu,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Sekarang kamilah yang kalian anggap mengetahui harta karun itu. Karena itu, jika kalian juga mengetahui, apalagi mengetahui letaknya, katakan kepada kami agar kami dapat menemukannya.”
“Persetan,” geram orang itu, “apakah kau sudah gila?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Nah, sekarang katakan, di mana harta karun itu kau sembunyikan,” Mahisa Pukat lah yang kemudian berbicara, “jangan menunggu kami marah. Jika kalian bersedia menunjukkan di mana letak harta karun itu, maka kalian tidak akan kami bunuh.”
Orang-orang itu justru menjadi bingung. Bahkan anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi bingung pula. Kenapa Mahisa Pukat lah yang kemudian mengancam orang-orang itu.
Namun sejenak kemudian orang yang wajahnya tersembunyi di belakang ikat kepala itu berteriak, “Kalian telah menjadi gila karena ketakutan. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku akan tetap membunuh kalian.”
“Cepat,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “tunjukkan dimana harta karun itu kau sembunyikan. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu lebih lama di sini. Sebelum lidahmu aku potong.”
Orang bertutup wajah itu masih juga heran melihat sikap Mahisa Pukat. Apalagi ketika Mahisa Pukat membentaknya, “Berlutut dihadapanku dan katakan dengan jelas, di mana harta karun itu kau sembunyikan. Jika ternyata kau tidak berkata sebenarnya, aku akan memotong lidahmu dari pangkalnya.”
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun orang bertutup wajah itu kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang jumlahnya cukup banyak, sepuluh orang, untuk menyerang.
Tetapi mereka tertegun ketika mereka mendengar Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Melawan lima orang kami masih sempat memperhitungkan kemampuan kami, agar kami tidak membunuh seorang pun meskipun kami masih juga melukai mereka. Tetapi melawan sepuluh orang nampaknya kami memang harus membunuh. Sedikitnya kami akan membunuh lima orang di antara kalian, baru kami akan mampu mengendalikan diri.”
“Cukup,” teriak orang bertutup wajah itu. Lalu katanya, “Bunuh mereka.”
Belum lagi mulut orang itu terkatub rapat, mereka telah dikejutkan oleh erang kesakitan salah seorang di antara mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang telah dilakukan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah menangkap seorang di antara orang-orang yang sudah siap menerkamnya. Tangan Mahisa Pukat melingkar di leher orang itu sedangkan tangannya yang lain mengunci lingkaran tangannya itu sambil menekan dagu orang itu. Katanya,
“Aku akan memberikan satu contoh saja. Aku dapat membunuh orang ini dengan mematahkan lehernya. Tetapi aku hanya akan membuatnya pingsan saja.”
Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban. Ia memang tidak memutar leher orang itu dengan hentakkan lingkaran tangannya. Namun tiba-tiba saja orang itu dilepaskan, tetapi sekaligus kedua tangan Mahisa Pukat telah bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata wadag. Dengan ujung-ujung jarinya yang merapat, maka Mahisa Pukat telah menyentuh punggung orang itu di dua tempat. Kemudian sekali di bagian belakang lehernya. Sejenak kemudian maka orang itu pun telah terjatuh di pasir tepian.
“Satu orang telah tidak berdaya. Nah, apa kata kalian?” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu tiba-tiba ia berteriak, “Cepat katakan di mana harta karun itu, atau aku harus membunuh kalian semuanya.”
Ancaman itu sungguh tidak masuk akal orang-orang yang siap menyerang anak-anak muda itu. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Kami tidak boleh menyia-nyiakan kedatangan kalian. Mungkin memang satu kurnia yang tidak kami duga sebelumnya bahwa kami akan mendapatkan harta karun itu.”
Orang yang wajahnya tersembunyi itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Meskipun ia sadar, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang tinggi, tetapi mereka masih mempunyai jumlah orang yang cukup banyak untuk membunuh ketiga orang anak muda itu.
Karena itu, maka orang itu pun berteriak sekali lagi, “Bunuh mereka.”
Mahisa Pukat tidak sempat berbuat dengan tiba-tiba sekali lagi. Orang-orang itu sudah siap sepenuhnya. Sehingga sejenak kemudian mereka pun telah menyergap ketiga orang anak muda itu.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah berbisik di telinga anak muda yang menyertainya itu, “Mereka benar-benar akan membunuh. Karena itu, kau harus menjaga dirimu baik-baik. Tetapi yakinlah bahwa ilmu pedangmu telah mencapai satu tataran yang jarang ada bandingnya. Kau telah menemukan satu ungkapan yang khusus, yang hanya dapat kau lakukan sendiri. Bahkan aku pun tidak.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah menyergap ketiga orang anak muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah saling memberikan isyarat, bahwa mereka akan bertempur bersama-sama. Kepada anak muda yang menyertainya itu Mahisa Pukat berkata, “Kita berada dalam satu kelompok.”
Demikianlah ketiga orang anak muda itu berdiri saling membelakangi. Mereka menghadap ketiga arah untuk menghadapi lawan-lawan mereka yang telah mengepung mereka.
Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Orang-orang yang datang itu benar-benar ingin membunuh, sehingga mereka pun telah langsung mempergunakan senjata mereka. Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang bersamanya itu pun telah menggenggam senjata pula.
Ternyata bahwa sejenak kemudian, pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Ketiga anak muda itu harus bertempur dengan keras untuk melawan ujung-ujung senjata yang menyerang mereka dengan garangnya.
Namun dalam pada itu, anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu benar-benar mampu mengetrapkan ilmu pedangnya dengan baik. Ternyata ia untuk beberapa saat dapat mengimbangi permainan pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi lawan mereka memang terasa terlalu banyak. Orang-orang itu bergerak-gerak dengan cepat saling mengisi dengan serangan-serangan yang datang beruntun. Berurutan seperti datangnya gelombang di pantai. Bagaimanapun juga anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu masih belum cukup berpengalaman. Karena itu, kadang-kadang ia memang menjadi bingung meskipun kemudian ia kembali berhasil menguasai dirinya.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berbuat sesuatu agar kelemahan itu tidak terbaca oleh lawan-lawan mereka. Sekali-sekali Mahisa Murti lah yang harus menunjukkan kelemahan . Di saat lain Mahisa Pukat lah yang hampir saja tersentuh ujung senjata lawan mereka. Namun ujung senjata itu ternyata tidak pernah mampu menyentuh tubuh salah seorang dari ketiga orang anak muda itu.
Tetapi setelah bertempur beberapa lama, maka kekuatan anak muda yang belum berpengalaman itu memang mulai menjadi susut. Meskipun sebenarnya ia mempunyai daya tahan yang tinggi, tetapi karena ia harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya, maka kekuatannya itu pun telah mulai terpengaruh oleh pengerahan tenaganya yang berlebihan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui keadaan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat, bahwa sudah saatnya untuk menghentikan pertempuran itu.
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kemampuannya pula justru untuk menutupi kelemahan anak muda yang belum berpengalaman itu. Mereka sudah tidak mungkin lagi menyembunyikan kelemahannya, sehingga diketahui oleh lawannya. Bahkan orang bertutup wajah itu pun telah berteriak,
“Satu di antara mereka bertiga dapat diselesaikan lebih dahulu.”
Namun demikian mereka mulai mengarahkan serangan-serangan mereka kepada anak muda itu, maka kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berlipat. Kedua anak muda itu bukan saja mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya, tetapi keduanya mulai merambah kepada ilmu mereka yang mendebarkan.
Ternyata mereka telah menyalurkan kemampuan ilmu mereka melalui senjata di tangan mereka. Menurut pertimbangan mereka, cara itu tidak terlalu banyak memancing korban. Jika keduanya melontarkan kekuatan ilmu mereka, maka sasarannya akan tidak mungkin tertolong lagi tanpa perisai ilmu yang memadai.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya menjadi membingungkan bagi lawan-lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setiap kali, meskipun mereka mengarahkan serangan mereka kepada anak muda yang mereka anggap paling lemah, namun yang membentur senjata mereka adalah senjata kedua orang anak muda yang lain. Bahkan rasa-rasanya benturan itu semakin lama menjadi semakin menggelisahkan mereka.
Dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur melawan ketiga orang anak muda itu harus mengerahkan tenaga mereka untuk mengatasi benturan-benturan yang terjadi. Namun orang-orang itu semakin lama menjadi semakin gelisah.
Meskipun mereka yakin bahwa seorang di antara ketiga orang anak muda itu mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dengan yang lain, tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengarahkan serangan-serangan mereka kepadanya. Kedua anak muda yang lain ternyata memiliki ketangkasan dan kekuatan yang luar biasa, sehingga perhatian mereka seakan-akan harus selalu diberikan kepada kedua anak muda itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergerak berputaran. Sekali-sekali mereka telah mendesak anak muda yang menyertainya itu. Namun kemudian mereka berputaran kembali sehingga lawan-lawannya memang tidak akan mungkin memilih lawan dan memilih sasaran serangan.
Bahkan sejenak kemudian, keseimbangan pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Ketiga anak muda itu berhasil mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menentukan, maka dengan isyarat keduanya telah bergerak dengan serentak. Hanya dengan beberapa gerakan, maka beberapa buah senjata dari lawan-lawan mereka pun telah terlepas dari tangan mereka.
Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu menjadi gelisah. Ia mengira bahwa dengan sepuluh orang ia akan dapat mengatasi ketiga orang anak muda itu. Apalagi orang-orang yang dibawanya adalah orang-orang terbaik yang dikenalnya. Namun orang yang wajahnya tersembunyi itu akhirnya tidak dapat menolak satu kenyataan bahwa orang-orangnya benar-benar tidak akan mampu melawan ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali melarikan diri dari arena pertempuran.
Dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya, orang bertutup wajah itu justru telah memanfaatkan orang-orangnya yang masih berusaha untuk bertahan. Orang itu telah berusaha menyelinap keluar dari arena pertempuran. Tetapi ia terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba saja telah terbanting jatuh oleh dorongan yang sangat kuat di punggungnya. Ketika ia bangkit, maka dilihatnya seorang dari ketiga orang anak muda itu telah berdiri di sisinya.
“Kau mau ke mana Ki Sanak,” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menjadi bingung. Ia tidak melawan sama sekali ketika Mahisa Murti membimbingnya kembali kepada orang-orangnya. Sementara itu, ternyata bahwa orang-orangnya yang dianggapnya terbaik itu pun telah menyerah. Mereka telah melepaskan senjata mereka dan berdiri berjajar sambil menundukkan kepala.
Jantung orang yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu terasa berdegup semakin keras. Dengan suara berat Mahisa Murti berkata, “Kawan-kawanmu telah menyerah. Ternyata ada beberapa di antara mereka telah terluka. Sengaja atau tidak sengaja, maka terluka dalam perkelahian itu adalah wajar sekali. Tetapi untunglah bahwa tidak ada di antara mereka yang terluka parah. Mungkin jika ada yang menjadi sangat lemah, karena mereka telah mengucurkan darah terlalu banyak. Karena itu, maka luka-luka itu harus segera diobati.”
Kata-kata itu terasa bagaikan getaran-getaran guruh yang menghentak-hentak di dada orang yang menyembunyikan wajahnya itu. Apalagi kemudian ketika salah seorang di antara anak muda itu bertanya, “Siapakah kau sebenarnya? Untuk apa kau sembunyikan wajahmu? Apakah kau mengira bahwa kami akan dapat mengenalimu?”
Orang itu termangu-mangu. Namun kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Sebaiknya kau berterus terang,” desak Mahisa Murti, “aku dapat berbuat apa saja di sini. Tidak ada orang yang dapat mencegahku untuk membunuhmu, melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidup. Jika nanti ada di antara kalian sempat melaporkannya kepada Ki Buyut yang memerintah daerah ini, maka aku tentu sudah pergi sejauh-jauhnya sehingga kalian tidak akan dapat menemukan kami kembali. Sementara itu, kami sama sekali tidak berminat untuk mendapatkan harta karun berapa pun banyaknya. Sebaiknya harta karun itu jika memang ada, harus diserahkan kepada Ki Buyut atau orang lain yang memang mempunyai hak.”
Tetapi orang itu masih saja berdiam diri.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian semakin keras, “jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran. Kau kira kami tidak dapat memaksa orang-orangmu untuk berbicara tentang dirimu. Kami akan dapat menyeret seorang di antara mereka dan menindih tubuhnya dengan batang kayu yang berat sampai ia mau berbicara tentang kau. Batang kayu itu tidak akan disingkirkan sampai orang itu menyebut namamu atau kedudukanmu.”
Orang itu memang menjadi sangat gelisah. Tetapi orang itu tetap berdiam diri. Ternyata Mahisa Pukat lah yang tidak sabar. Katanya, “Kami dapat membuka tutup wajahmu dengan paksa tanpa dapat kau cegah. Tetapi kami ingin pengakuanmu. Jika kau tidak mau menyebut dirimu sebelum kami membuka kedokmu, maka kau akan mengalami perlakuan yang buruk sekali. Kepalamu akan kami rendam di dalam air itu. Hanya wajahmu sajalah yang akan nampak di permukaan tanpa tutup wajah lagi. Jika sekali-sekali air sungai itu masuk ke dalam hidung dan mulutmu, itu bukan salah kami.”
Orang yang bertutup wajah itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia yakin bahwa anak-anak muda itu tidak benar-benar akan memperlakukannya sebagaimana dikatakannya. Menurut penilaiannya, bahwa anak-anak muda itu tidak berusaha membunuh orang-orangnya adalah pertanda bahwa anak-anak muda itu memang bukan pembunuh, sementara mereka memang mempunyai keyakinan pada diri sendiri yang sangat kuat. Karena itu, maka perlahan-lahan, betapa pun sakitnya hati orang itu, maka orang itu telah membuka tutup wajahnya.
Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Orang itu adalah menantu petani yang telah terbunuh oleh racun itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terkejut lagi. Mereka memang sudah memperhitungkan bahwa orang itulah yang telah melakukannya. Orang itu pulalah yang telah membunuh ayah mertuanya dengan racun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mendekatinya. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Katakan yang sesungguhnya, bukankah kau yang telah meracuni mertuamu, justru karena mertuamu mengetahui rahasia harta karun itu?”
Orang itu hanya menundukkan kepalanya. Sementara itu Mahisa Murti berkata pula, “Kau memang tidak membunuh pamanmu yang juga mengetahui tentang adanya harta karun itu, justru karena kau ingin memanfaatkan mereka. Tetapi jika mereka pada suatu saat menemukannya, maka mereka pun akan mati karena racun pula. Kau dapat memperalat isterimu untuk melakukannya, karena pamanmu itu tentu tidak akan mencurigai isterimu, karena isterimu pulalah yang telah memberitahukan tentang harta karun itu.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Sementara Mahisa Murti pun bertanya, “Ki Sanak. Kau akan kami serahkan kepada Ki Buyut. Katakan kepada kami, apakah kalian akan minta diri kepada isterimu? Tentu isterimu tidak akan menduga sama sekali, bahwa kaulah yang telah membunuh ayahnya.”
Orang itu masih berdiri membeku di tempatnya. Bahkan kemudian nampak betapa kegelisahan benar-benar mencengkamnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Jangan bawa aku kepada isteriku. Aku tidak akan sanggup menentang matanya. Bawa aku kepada Ki Buyut saja.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti. Lalu ia pun berpaling ke arah mereka yang menyerah, “dua orang di antara kalian kemari. Dua orang yang berdiri di kedua ujung.”
Dua orang yang kebetulan berada di ujung dari sederet orang-orang yang menyerah itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu maksud anak-anak muda itu. Namun keduanya telah melangkah mendekat.
Ketika keduanya berdiri termangu-mangu, Mahisa Murti-pun berkata, “Pergilah kepada Ki Buyut.”
Kedua orang itu segera dapat menangkap maksud Mahisa Murti. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak berani lagi bertanya. Mahisa Murti yang melihat kegelisahan kedua orang itu pun kemudian menjelaskan,
“Pergilah kepada Ki Buyut, dan laporkan apa yang telah terjadi di sini. Aku tidak perlu mengajari kalian. Kalian telah melihat sendiri, bahkan kalian telah terlibat langsung,” Mahisa Murti berhenti sejenak. Ketika ia melihat luka di pundaknya salah seorang dari keduanya, maka ia pun berkata, “Obati lukamu dan tunjukkan kepada Ki Buyut, bahwa kau telah terluka.”
“Aku tidak mempunyai obatnya,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak sampai hati membiarkan orang itu kehilangan terlalu banyak darah, sehingga mungkin akan dapat pingsan di perjalanan. Karena itu, maka ia pun kemudian telah mengobati orang itu yang dapat memberikan pertolongan setidak-tidaknya untuk sementara, dengan menaburkan obat pada luka orang itu.
“Jangan kau gosok. Dan jangan kau gerakkan tanganmu agar pundakmu tidak bergerak pula,” berkata Mahisa Murti, “berjalanlah dengan kakimu. Kau tidak perlu melenggangkan tanganmu selama berjalan.”
Orang itu mengangguk.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku tidak perlu mengajarimu apa yang perlu kau katakan. Kau tentu akan melakukannya dengan jujur, karena kau tahu, aku dapat berbuat apa saja atasmu dan bahkan keluargamu.”
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah memang tidak terkilas sedikit pun niatnya untuk berbuat tidak jujur, karena keduanya mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.
Sepeninggal orang itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menaburkan obat kepada mereka yang telah terluka. Agaknya menurut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang tidak sepatutnya mati karena kehabisan darah. Mereka tidak bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di tikungan sungai itu.
“Kita harus menunggu di sini,” berkata Mahisa Murti, “silahkan duduk. Aku yakin bahwa kalian tidak akan melakukan hal-hal yang akan dapat merugikan diri kalian sendiri.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Namun mereka pun kemudian telah duduk diatas pasir tepian, sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertai mereka duduk diatas batu yang basah oleh embun.
“Mudah-mudahan kita tidak menunggu terlalu lama,” berkata Mahisa Pukat, “jika Ki Buyut tidak mempercayai kedua orang itu, mungkin ia tidak akan datang kemari.”
“Mudah-mudahan Ki Buyut mempercayainya,” desis Mahisa Murti
Mahisa Pukat yang kurang telaten menunggu justru telah berbaring diatas sebuah batu yang besar, sementara Mahisa Murti dan anak muda yang menyertainya duduk sebelah menyebelah. Namun anak muda itu pun berdesis,
“Tetapi apakah Ki Buyut akan mempercayainya. Mungkin kedua orang itu akan mengatakan lain dari yang sebenarnya. Atau bahkan Ki Buyut datang dengan sepasukan pengawal untuk menangkap kita karena kedua orang itu telah mengatakan yang tidak sebenarnya.”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku yakin, mereka tidak akan berbuat demikian. Mereka akan mengatakan apa adanya. Dan aku yakin Ki Buyut akan datang kemari.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia pun menduga demikian. Sementara itu, Mahisa Pukat yang berbaring diatas batu itu pun justru telah hampir tertidur karenanya, ketika ia mendengar beberapa orang yang berjalan tergesa-gesa mendekati mereka. Bahkan mereka pun telah berbicara dengan ributnya.
Mahisa Pukat yang hampir tertidur itu pun telah meloncat bangkit. Demikian pula Mahisa Murti dan anak muda yang menyertainya itu pun telah menyongsong kedatangan orang-orang itu.
“Apa yang terjadi,” orang yang sudah separuh baya, yang berdiri di paling depan bertanya kepada orang-orang yang ada ditikungan sungai itu.
Seorang di antara kedua orang yang memanggil Ki Buyut itu pun berkata kepada Mahisa Murti, “Inilah Ki Buyut.”
Mahisa Murti mengangguk hormat. Katanya, “Selamat malam Ki Buyut. Agaknya kedua orang itu sudah melaporkan apa yang terjadi di sini.”
“Ya. Tetapi haruskah aku percaya begitu saja?” bertanya Ki Buyut.
“Sekarang Ki Buyut berhadapan dengan kami semuanya. Silahkan bertanya kepada setiap orang di antara kami. Bahkan orang yang telah memimpin beberapa orang pengikutnya itu,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan menyelidiki peristiwa ini.”
“Silahkan Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “adalah kewajiban Ki Buyut untuk menentukan sikap setelah mengadakan penelitian seperlunya.”
“Aku sudah tahu,” jawab Ki Buyut, “kalian semuanya harus ikut bersama kami.”
“Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “aku kira kami bertiga akan tinggal di sini. Jika tikungan ini ditinggal dalam keadaan seperti ini, maka kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi. Kesempatan seperti ini akan dapat dipergunakan oleh orang-orang yang berniat buruk untuk mengambil harta karun jika memang ada.”
“Aku ulangi, kalian semuanya harus ikut bersama kami ke banjar. Aku akan menyelidiki keadaan ini sampai tuntas,” berkata Ki Buyut.
“Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti pula, “kami tidak berkeberatan. Tetapi kami mohon diijinkan untuk tinggal di sini malam ini. Besok pagi-pagi aku mohon sekelompok orang untuk membantuku mencari harta karun itu. Jika harta itu memang ada, maka harta karun itu akan menjadi milik Kabuyutan.”
Tetapi agaknya Ki Buyut tidak mau mendengarkannya. Karena itu, maka ia pun telah membentak, “Jangan membantah! Aku perintahkan kalian semuanya pergi ke banjar.”
“Tetapi harta karun ini akan dapat hilang,” Mahisa Pukat lah yang menjawab.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kami harus pergi ke banjar, maka kami harap Ki Buyut menugaskan sekelompok pengawal untuk tinggal di sini sampai besok.”
“Kau tidak usah memerintah aku, kau dengar?” Ki Buyut itu justru berteriak, “apakah aku akan memerintahkan orang tinggal di sini atau tidak, itu tergantung kepada kebijaksanaanku. Sekarang, cepat, kita pergi.”
Orang-orang yang datang menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat, termasuk orang yang semula menutup wajahnya itu. Namun agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertai mereka berkeberatan untuk memenuhinya.
Bahkan Mahisa Murti pun berkata, “Ki Buyut. Jika Ki Buyut tidak memerintahkan untuk menunggui tempat ini, maka Ki Buyut mungkin akan menyesal.”
“Tutup mulutmu anak bengal,” geram Ki Buyut.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjawab, “Kami tidak akan ikut Ki Buyut.”
Wajah Ki Buyut terasa menjadi panas. Bahkan untuk beberapa saat ia justru bagaikan membeku. Ia tidak menduga sama sekali bahwa seseorang telah berani membantah perintahnya, bahkan langsung dihadapannya.
Mahisa Pukat yang sudah sejak semula merasa kecewa karena beberapa peristiwa yang beruntun itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Katanya selanjutnya, “Jika kalian mau pergi, pergilah.”
Ki Buyut pun ternyata sudah menjadi sangat marah. Karena itu maka katanya mengancam, “Aku dapat menghukummu dengan cara apa pun juga. Aku pun akan dapat membunuhmu jika aku mau.”
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia pun bertanya kepada orang-orang yang telah dikalahkannya itu, “He, apakah kalian ingin melihat pertempuran lagi terjadi di sini?” Lalu kepada orang yang menghadap Ki Buyut itu pun ia bertanya, “Apakah kalian tidak melaporkan, siapa kami?”
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kami sudah mengatakan apa yang telah terjadi di sini. Kami juga mengatakan apa yang telah kalian lakukan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Ki Buyut sudah mengetahui tentang kami bertiga? Jika demikian Ki Buyut juga telah menantang kami.”
“Anak setan,” geram Ki Buyut.
“Kami sudah terlanjur melangkah,” berkata Mahisa Pukat, “apa boleh buat. Jika Ki Buyut menantang kami, kami akan melayaninya. Kami sudah mengalahkan lima orang. Kemudian sepuluh orang namun terpaksa kami melukai beberapa orang di antara mereka. Jika Ki Buyut menganggap bahwa semakin banyak orang akan menjadi semakin kuat dan ingin memaksakan kemauannya kepada kami, maka kami pun akan melawannya. Tetapi kami tidak hanya akan melukai seseorang. Tetapi kami benar-benar membunuh. Ki Buyut lah yang akan bertanggung jawab.”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Ia memang sudah mendengar laporan tentang ketiga orang anak muda itu. Tetapi Ki Buyut ingin menunjukkan kekuasaannya betapa pun ia merasa gentar menghadapi sikap anak-anak muda itu. Dan ia pun tidak menduga, bahwa anak-anak muda itu langsung menentang perintahnya dihadapan orang-orangnya, meskipun mereka melihat Ki Buyut itu datang dengan jumlah orang yang terlalu banyak bagi tiga orang itu. Namun nampaknya ketiga orang anak muda itu sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh jumlah orang yang banyak itu.
Tetapi Ki Buyut sudah terlanjur mengeluarkan perintah. Karena itu, maka ia tidak dapat mencabutnya. Dengan demikian maka harga dirinya dihadapan orang-orangnya akan jatuh. Karena itu, maka ia pun ingin mengancam sebagaimana anak-anak muda itu mengancam. Katanya, “Cepat lakukan perintahku. Jika pada saat aku kehilangan kesabaran kau masih belum melangkah ke banjar, maka kau akan benar-benar menyesal.”
Dan Ki Buyut itu tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat justru berteriak, “Cukup. Aku sudah menjadi pening karena harta karun yang semula tidak aku ketahui ujung pangkalnya itu. Sekarang aku ingin tidak diganggu lagi. Pergilah jika kalian mau pergi. Tetapi jika kalian berusaha mengganggu kami, maka kami tidak akan mengampuni kalian lagi. Aku sudah menjadi jemu. Aku ingin beristirahat tanpa diganggu.”
Ki Buyut memang menjadi sangat marah. Tetapi nampaknya anak-anak muda itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka Ki Buyut memang harus mengambil langkah. Ia memang tidak ingin mengorbankan harga dirinya, tetapi ia pun tidak ingin mengorbankan orang-orangnya. Karena itu maka katanya,
“Aku masih sempat mengendalikan perasaanku sekarang ini. Aku memang tidak ingin terjadi kekerasan meskipun aku mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. Aku dapat menghukummu dan bahkan membunuhmu. Tetapi aku masih ingat kedudukanku bukan saja menguasai, tetapi juga pelindung. Aku ampuni sikapmu. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa malam ini selain berada di tempat ini. Aku tugaskan para pengawalku untuk mengawasi kalian. Tetapi jika kalian masih juga berbuat kasar, maka kalian akan menyesal karena aku tidak akan mengendalikan diri lagi.”
Mahisa Pukat masih akan menjawab. Tetapi Mahisa Murti menggamitnya sambil berbisik, “Sudahlah. Biarlah mereka segera pergi dan kita mendapat kesempatan untuk tidur. Sebentar lagi fajar tentu menyingsing. Tetapi jika kau ribut saja, mereka- pun akan tetap ribut juga di situ.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berusaha menekan kejengkelan yang tertimbun di dalam dirinya.
Karena Mahisa Pukat tidak lagi menjawab, maka Ki Buyut pun kemudian telah mulai bergerak. Namun ia masih juga meneriakkan perintah, “Awasi mereka. Jangan sampai mereka meninggalkan tempat itu.”
Sekali lagi Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat. “Kita akan mempergunakan sisa malam ini,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat memang terdiam. Sementara itu, Ki Buyut- pun telah bergerak meninggalkan tepian sambil membawa orang-orang yang telah menyerang ketiga anak muda itu. Namun bagaimanapun juga Ki Buyut itu memang merasa tersinggung oleh sikap Mahisa Pukat. Tetapi ia pun percaya, jika terjadi kekerasan, maka tentu akan jatuh korban. Ketiga orang anak muda yang nampaknya memang sudah sangat letih itu akan dapat membunuh lebih dari jumlah mereka itu. Bahkan dapat dua tiga kali lipat.
Sepeninggal Ki Buyut dan sebagian pengiringnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi para pengawal yang tinggal untuk mengawasinya. Mereka pun tidak lagi memikirkan, bahwa seandainya Ki Buyut bersikap lebih lunak, ia tidak akan mengalami sentuhan pada harga dirinya. Tetapi justru karena ia ingin menunjukkan kekuasaannya, maka ia justru telah tersinggung karenanya.
“Aku akan tidur,” berkata Mahisa Murti, “kaulah yang sekarang yang berjaga-jaga. Malam tinggal di ujung kecil,” berkata Mahisa Murti.
“Tidurlah. Aku sudah terlalu lama tidur. Apalagi jantungku rasa-rasanya masih panas, sehingga aku tidak mungkin lagi dapat tidur,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Ia memang berbaring diatas batu yang meskipun agak basah oleh embun. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti memang dapat tidur di sisa malam yang pendek.
Anak muda yang menyertainya itu pun telah mencoba untuk dapat tidur pula. Justru karena di sekitarnya terdapat banyak pengawal dan Mahisa Pukat yang marah itu sudah berjanji akan berjaga-jaga.
Tetapi batu yang basah oleh embun itu rasa-rasanya terlalu dingin di kulitnya. Sehingga karena itu, maka ia pun telah berpindah tempat. Justru duduk diatas pasir yang telah disisihkan permukaannya yang basah oleh embun, bersandar batu. Batu itu memang terasa dingin, tetapi tidak sedingin permukaannya yang menghadap langit, yang basah karena embun. Ternyata anak muda itu sempat pula memejamkan matanya karena sebenarnya ia memang letih dan mengantuk.
Tetapi keduanya tidak sempat tidur cukup lama. Beberapa saat kemudian cahaya merah sudah memancar di langit, sehingga mereka harus bangun dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Jika kemudian matahari terbit, maka banyak hal yang dapat terjadi. Ki Buyut itu dapat berbuat baik tetapi juga dapat berbuat kasar. Karena itulah maka ketiga anak muda itu pun harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, para pengawal yang tersebar di sekitar tempat itu pun telah bersiap-siap pula. Mereka tidak tahu perintah apakah yang akan mereka terima dari Ki Buyut. Namun seperti ketiga anak muda itu, maka mereka pun menyadari, bahwa pada hari itu tentu ada sesuatu yang akan terjadi.
Di banjar, Ki Buyut sama sekali tidak sempat tidur sama sekali. Berturut-turut ia sudah memeriksa orang-orang yang ditangkapnya. Bahkan Ki Buyut pun telah memerintahkan untuk menangkap lima orang, termasuk saudara petani yang telah terbunuh oleh racun itu dan anak petani itu, isteri dari orang yang telah berusaha membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu.
Dengan demikian maka Ki Buyut pun telah mendapat gambaran yang sebenarnya tentang peristiwa yang terjadi di pinggir sungai itu. Bahkan dari perempuan yang ditinggal mati ayahnya karena racun itu, Ki Buyut mendapat beberapa petunjuk yang lebih meyakinkan tentang adanya harta karun di tikungan sungai itu.
Karena itu, maka Ki Buyut pun tidak mau menunda-nunda waktu lagi. Begitu ia merasa cukup memeriksa orang-orang yang dibawa ke banjar serta orang-orang lain yang ditangkapnya, maka ia pun telah bersiap untuk pergi ke tikungan sungai.
“Kita akan menggali tebing di tikungan sungai itu,” berkata Ki Buyut, “bawa alat-alat secukupnya.”
Dengan demikian maka para pengawalnya telah mempersiapkan beberapa jenis alat yang mungkin akan dipergunakan. Sementara itu Ki Buyut pun telah minta agar perempuan yang mendapat pesan langsung dari ayahnya yang meninggal itu ikut pula bersamanya. Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka Ki Buyut pun telah pergi ke tikungan sungai, betapa pun tubuhnya merasa letih.
Ternyata matahari telah mulai memanjat langit. Karena itu Ki Buyut pun menjadi tergesa-gesa. Agaknya yang dilakukan di banjar cukup lama dan melelahkan. Ketika Ki Buyut sampai di tikungan bersama-sama dengan beberapa orang pengawalnya serta membawa alat-alat yang cukup, para pengawalnya yang telah berada di pinggir sungai itu- pun telah menyambutnya.
“Apa yang harus kita lakukan Ki Buyut?” bertanya pemimpin pengawal yang ada di sekitar tikungan sungai itu.
“Di mana anak-anak muda itu?” bertanya Ki Buyut.
“Mereka masih berada di bawah tebing di tikungan sungai itu,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Aku akan menemui mereka,” berkata Ki Buyut.
“Apakah kami harus bersiap-siap menghadapi mereka bertiga?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut itu menggeleng sambil berkata, “Tidak. Aku akan menemui mereka seorang diri.”
“Tetapi bagaimanakah sekiranya mereka berbuat jahat terhadap Ki Buyut?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut seakan-akan tidak mendengarnya. Ia pun kemudian melangkah ke tebing. Kemudian melintasi tanggul dan turun ke tepian. Tidak seorang pun dibawanya, meskipun para pengawal itu mengawasi dari kejauhan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya itu pun dapat mengenali Ki Buyut itu, meskipun semalam mereka bertemu di dalam gelap. Karena itu, maka ketiga orang anak muda itu telah bersiap-siap. Bahkan mereka menjadi heran, bahwa justru Ki Buyut telah datang menemui mereka seorang diri. Seakan-akan Ki Buyut itu yakin bahwa ia akan dapat menyelesaikan mereka bertiga.
Tetapi sikap Ki Buyut ternyata tidak seperti yang mereka duga. Ki Buyut agaknya tidak ingin melakukan kekerasan, sehingga karena itu, maka sikap anak-anak muda itu pun tidak lagi menunjukkan permusuhan.
“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “aku datang untuk minta maaf atas sikapku. Setelah aku berbicara dengan banyak orang, maka ternyata bahwa kalian memang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan harta karun itu.”
Ketiga anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Mahisa Murti pun menyahut, “Kami juga minta maaf Ki Buyut. Mungkin kami telah berlaku kasar. Tetapi hal itu didorong oleh keletihan kami menanggapi peristiwa demi peristiwa yang menyakitkan hati.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan sikap seorang pemimpin ia berkata, “Lupakan semuanya. Kita akan mulai dengan satu kerja. Aku sudah membawa alat-alat untuk menggali harta karun itu jika memang ada. Kita tidak tahu, apa yang kita cari. Seandainya memang ada harta karun itu, kita tidak tahu seberapa besarnya dan apakah ujudnya. Mungkin setelah kita kerja keras, yang kita ketemukan tidak berarti. Tetapi kita telah mendapatkan satu kepuasan lain. Kita tidak lagi merasa dikejar-kejar oleh satu perasaan yang selalu menggelitik tentang harta karun. Setiap saat kita tidak akan dapat melupakannya. Di saat makan, minum, menjelang tidur, bahkan didalam tidur- pun kita akan selalu bermimpi. Karena itu kita harus mencari sampai ketemu, sehingga mimpi yang mengejar kita di setiap saat itu akan berhenti.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka menghargai sikap Ki Buyut itu. Agaknya Ki Buyut pun tidak terlalu bernafsu untuk menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya. Tetapi Ki Buyut melakukan pencarian itu karena didorong oleh desakan perasaannya, sehingga Ki Buyut merasa perlu untuk menemukannya sehingga ia tidak akan menjadi gelisah lagi.
“Jadi, kapan Ki Buyut akan melakukan pencaharian itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Sekarang anak muda,” jawab Ki Buyut, “aku minta kalian sempat menyaksikannya. Apa pun yang akan kita ketemukan. Bahkan seandainya yang kita ketemukan hanya sebuah peti yang berisi mayat sekalipun.”
“Baiklah Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti, “kami akan menunggui, apa yang akan didapatkan oleh Ki Buyut.”
“Kami akan segera mulai, mumpung matahari belum terlalu tinggi. Aku akan menggali sampai ketemu atau sampai pada satu keyakinan bahwa tidak ada harta karun di sini,” jawab Ki Buyut.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, di tikungan sungai itu telah terjadi kesibukan. Perempuan, anak petani yang malang, yang meninggal diracun oleh menantunya sendiri itu telah mengatakan apa yang pernah didengarnya. Seluruhnya, tanpa ada yang tersisa.
Ki Buyut, justru mengajak ketiga orang anak muda itu meneliti tebing itu dengan segala lekuk-lekuknya. Setiap kemungkinan, Ki Buyut telah memerintahkan orang-orangnya untuk menggali. Bukan hanya di satu sisi, tetapi di kedua sisi. Orang-orangnya telah membuat lubang-lubang di tebing yang tidak terlalu tinggi itu. Menggali tanah liat dan batu-batu padas.
Namun sampai saat matahari melewati puncak langit, mereka belum menemukan tanda-tanda adanya barang-barang yang berharga atau tidak berharga yang disimpan di tebing itu.
Dengan keringat yang masih membasahi tubuh, orang-orang yang sibuk bekerja itu telah beristirahat untuk makan. Sebenarnya mereka mulai menjadi jemu dengan kerja yang nampaknya tidak akan berujung itu. Tetapi Ki Buyut agaknya masih berniat untuk meyakinkan dirinya, bahwa di tebing itu memang tidak ada harta karun yang dicarinya atau bahwa mereka dapat menemukannya.
Sementara itu, selagi mereka beristirahat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berbicara sekali lagi dengan perempuan yang telah membuka rahasia tentang harta karun kepada pamannya itu, sehingga rahasia itu tersebar di seluruh Kabuyutan.
“Apa yang kau dengar dari ayahmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Seperti yang sudah aku katakan,” jawab perempuan itu.
“Coba katakan sekali lagi ancar-ancar itu,” minta Mahisa Murti.
“Ayah sendiri belum pernah tahu dengan pasti tempat itu. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh orang yang berpesan kepadanya, bahwa harta karun itu ada di bawah bayangan pohon preh di tikungan sungai yang ditandai dengan sepasang batu raksasa di atasnya dan beberapa batu besar di tepian di bawah tanggul,” jawab perempuan itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Di sana ada pohon preh yang besar itu. Di tanggul itu ada dua buah batu raksasa dan di tepian ini terdapat batu-batu besar berserakan. Aku kira memang tidak salah lagi, bahwa kita mencari harta karun itu di sekitar tikungan sungai ini. Tetapi apakah tidak ada pesan yang lain?”
“Waktu itu ayah sudah sangat lemah. Tidak ada pesan yang lain yang dikatakannya,” jawab perempuan itu.
“Di saat terakhir apakah ia mengucapkan kata-kata?” bertanya Mahisa Murti pula.
Perempuan itu mengingat-ingat. Namun kemudian katanya, “Ia memang berpesan agar aku berhati-hati dan menjaga diriku sendiri sebaik-baiknya.”
Anak-anak muda itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perempuan itu berkata, “Ayah juga berpesan sesuatu yang kurang aku mengerti. Mungkin karena ayah sudah terlalu lemah waktu itu.”
“Apa pesannya?” desak Mahisa Murti.
“Ayah berpesan, jika banjir datang, maka kedua batu raksasa itu tidak akan dapat hanyut. Demikian pula pohon preh itu meskipun air naik keatas tanggul. Karena itu, di antara batu itu seseorang dapat berpegangan,” berkata perempuan itu menirukan. Lalu katanya pula, “Tetapi rasa-rasanya ayah sudah seperti orang bermimpi. Ayah tahu, jika aku tidak berada di sungai ini, apalagi di saat banjir datang.”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang sesaat. Dengan nada rendah ia berkata, “Coba ulangi.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah mengulanginya. Perlahan-lahan seperti yang diminta oleh kedua anak muda itu.
“Kenapa justru di antara?” bertanya Mahisa Murti, “bagaimana mungkin dapat berpegangan pada batu-batu raksasa itu jika kita justru berada di tengah-tengah?”
“Di antaranya. Tidak harus di tengah-tengah,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita temui Ki Bekel.”
Ketiga anak muda itu pun kemudian telah menemui Ki Bekel. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu kurang tahu apa yang akan dilakukan oleh keduanya. Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta agar jika mereka akan mulai lagi mencari harta karun itu, dua atau tiga orang mencari bersamanya.
“Baik,” berkata Ki Bekel.
“Kami minta bersama Ki Bekel pula,” desis Mahisa Murti.
Ki Bekel yang melihat kesungguhan pada anak-anak muda itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan pergi bersama-sama.”
Demikianlah setelah beristirahat, Ki Bekel telah mengajak tiga orang bersamanya dengan membawa alat-alat yang cukup. Bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, anak muda yang menyertainya serta Ki Bekel sendiri, mereka telah mengenali tanah pada jarak antara kedua batu raksasa itu.
Tanah itu memang berpadas. Namun ketika Mahisa Murti yang kebetulan menggali di tengah mengayunkan dandangnya beberapa kali, maka ditemuinya padas yang telah menjadi gembur. Dengan isyarat maka ia telah memanggil Mahisa Pukat dan bersama-sama keduanya telah menggali di tempat itu.
Sebenarnyalah bahwa mereka telah menggali pada batu-batu padas yang lebih lunak dari batu-batu padas di sekitarnya. Agaknya batu padas di tempat itu memang pernah digali sebelumnya.
“Ki Bekel,” desis Mahisa Murti, “mudah-mudahan kita berhasil di sini.”
Ki Bekel mendekati kedua anak muda itu. Ia pun kemudian berpengharapan bahwa sesuatu akan dapat diketemukan sehingga dengan demikian maka kegelisahan orang tentang harta karun itu akan berakhir.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel pun kemudian telah bekerja semakin keras. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah membantunya. Demikian pula orang-orang yang telah dibawa oleh Ki Bekel telah menggali di tempat yang lingkungannya semakin sempit.
Ternyata bahwa usaha mereka akhirnya berhasil. Namun yang mereka ketemukan memang tidak seperti yang digambarkan oleh banyak orang. Ki Bekel memang menemukan sebuah peti. Tetapi peti itu tidak terlalu besar. Panjang dan lebarnya tidak lebih dari dua jengkal, sementara dalamnya pun hanya sekitar satu jengkal saja. Apalagi ketika peti itu diangkat, ternyata peti itu terlalu ringan.
Namun demikian peti itu diketemukan, maka telah terdengar beberapa orang berteriak. Yang lain pun menjadi ribut, sehingga akhirnya terdengar orang-orang Kabuyutan yang ikut berada di sekitar tikungan sungai untuk menggali harta karun serta para pengawal yang berjaga-jaga itu bersorak bagaikan akan meruntuhkan langit.
Tetapi ketika suara mereka telah mereda, maka Ki Buyut lah yang berbicara lantang sambil berdiri diatas salah satu batu raksasa itu, “Kita telah menemukan sebuah peti. Tentu peti ini tidak sebagaimana kita duga. Peti ini terlalu kecil untuk menyimpan harta karun sebagaimana kita inginkan. Harta karun itu hendaknya ditempatkan dalam sebuah peti sebesar perahu. Tetapi inilah yang telah kita ketemukan.”
Orang-orang Kabuyutan yang bersorak gemuruh itu pun telah termangu-mangu.
“Saudara-saudaraku,” berkata Ki Buyut itu pula, “aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu dihadapan kalian. Karena itu, maka peti ini akan aku buka. Kalian akan dapat melihat, apakah isinya.”
Suasana pun menjadi tegang. Ki Buyut yang berdiri diatas batu itu perlahan-lahan telah membuka peti yang terasa terlalu ringan. Bahkan di beberapa bagian peti itu telah mulai lapuk.
Ketika peti itu terbuka, maka wajah Ki Buyut pun telah menegang sejenak. Namun kemudian kesan kecewa di wajahnya itu pun telah hilang. Sejak semula Ki Buyut memang tidak memburu harta benda yang banyak sekali sebagaimana dimimpikan orang. Bahkan telah terjadi pembunuhan justru karena harta karun itu. Dan kini harta karun itu telah ada di tangannya.
Di bagian dalam peti itu memang dilapisi lempeng baja yang tipis, sehingga karena itu, maka peti masih tetap terasa ringan. Apalagi peti itu memang tidak berisi apa pun kecuali sebuah kitab. Orang-orang Kabuyutan itu memang merasa kecewa. Meskipun mereka belum pernah merasa memiliki, namun tiba-tiba saja mereka merasa seakan-akan mereka telah kehilangan.
Tetapi Ki Buyut itu pun berkata, “Pantaslah bahwa harta karun itu sangat dirahasiakan. Nilai dari isinya memang tidak dapat ditukar. Kitab ini tentu kitab yang sangat berarti.”
Orang-orang yang mendengar penjelasan Ki Buyut itu menjadi bingung. Mereka tidak mengerti nilai dari kitab yang diketemukan oleh Ki Buyut itu. Bahkan mereka sama sekali tidak mengerti nilai dari sebuah kitab.
Namun Ki Buyut itu berkata, “Saudara-saudaraku. Jika kita menemukan harta benda, maka harta benda itu pada suatu saat akan habis. Dan jika harta benda itu habis, maka habislah semuanya. Tidak akan ada bekasnya lagi. Tetapi isi kitab ini tidak akan dapat habis jika kita tahu memanfaatkannya.”
Sejenak Ki Buyut telah melihat-lihat isi kitab itu. Tentu saja ia tidak dapat membaca keseluruhannya. Apalagi kitab yang sudah tua itu sudah menjadi sangat mudah rusak.
Sejenak kemudian maka berkatalah Ki Buyut, “Kitab ini berisi pengetahuan tentang ilmu bintang, tentang ilmu bertani, tentang ilmu berternak dan tentang mantra-mantra pengobatan serta jenis dedaunan, akar-akaran dan buah-buahan yang dapat dipergunakan sebagai obat. Beberapa pengetahuan yang lain yang berhubungan dengan pengetahuan kewadagan dan kejiwan.”
Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu, “berbahagialah kita yang mendapatkan kitab ini. Kita akan dapat mempergunakan ilmu yang akan kita dapat dari kitab ini untuk membangun Kabuyutan kita.”
Orang-orang Kabuyutan itu masih saja termangu-mangu. Sementara Ki Buyut berbicara selanjutnya, “Nah, marilah kita syukuri penemuan ini. Bahkan kita telah menemukan ilmu yang lebih berharga dari harta benda.” Ki Buyut itu pun terdiam.
Namun kemudian katanya, “Tetapi di bagian kedua ini, yang kitabnya lebih tipis, isinya agak berbeda. Isinya adalah tentang olah kanuragan dan jaya kasantikan. Kitab itu berisi pengetahuan tentang ilmu yang berhubungan dengan kemampuan dan kekuatan seseorang. Karena kita tidak sendiri menemukan harta karun ini, maka kita pun harus bertindak adil. Buku kedua akan kita serahkan kepada anak-anak muda yang telah menemukan tempat harta karun ini disembunyikan. Karena mereka adalah anak-anak muda yang sedang pengembara untuk menemukan kepribadian mereka serta pengalaman yang akan dipergunakan bagi bekal hidupnya, maka ilmu kanuragan dan jaya kasantikan akan lebih berarti dari pengetahuan tentang bercocok tanam, tentang perbintangan dan lain-lain. Karena itu, maka kitab kedua ini akan aku serahkan kepada mereka.”
Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Bagi mereka kedua kitab itu sangat penting isinya. Tetapi mereka tidak ingin membuat Ki Buyut kecewa. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak akan memilih. Kitab yang mana pun yang akan diberikan kepada mereka akan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Saudara-saudaraku. Dengan penemuan yang sangat berharga ini, maka kita harus mengakhiri kegelisahan rakyat Kabuyutan ini karena desas-desus tentang harta karun itu. Yang ternyata memang ada dan sudah kita ketemukan.”
Orang-orang Kabuyutan itu mengangguk-angguk. Tetapi sebagian dari mereka tidak dapat mengerti sepenuhnya keterangan Ki Buyut. Bagi mereka, harta karun yang berwujud harta benda berharga atau uang tentu lebih berarti daripada hanya sebuah kitab apa pun isinya. Namun sebagian dari mereka memang dapat mengerti bahwa ilmu itu nilainya lebih tinggi dari harta benda yang berapa pun harganya.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Kabuyutan serta memerintahkan para bebahunya untuk membubarkan kesibukan di tikungan sungai itu. Yang terakhir Ki Buyut berkata, “Aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian.”
Demikianlah, sepeninggal Ki Buyut membawa peti berisi kitab itu, maka orang-orang yang ada di tikungan sungai pun berkemas untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka yang membawa alat-alat pun segera dikemasinya. Beberapa orang masih saja memperbincangkan harta karun itu. Namun seorang di antara para bebahu yang dapat memahami keterangan Ki Buyut itu pun berkata,
“Betapa pun banyaknya harta karun itu, maka jika dibagi seluruh rakyat Kabuyutan ini, maka setiap orang akan menerima bagiannya yang terbatas. Barangkali dalam satu dua tahun kita dapat hidup dengan baik. Tetapi harta benda itu akan semakin susut sehingga akhirnya kita akan kembali jatuh miskin seperti sekarang. Tetapi jika kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi peningkatan kehidupan kita, maka ilmu itu justru akan berkembang. Anak cucu kita akan dapat memanfaatkan ilmu itu. Terutama ilmu bercocok tanah dan ilmu beternak. Dengan demikian maka kita akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup justru semakin lama semakin tinggi.”
Beberapa orang memang mampu memahami keterangan itu. Tetapi yang lain tetap tidak dapat menangkap maksudnya. Tetapi tidak seorang pun yang menyatakan kekecewaannya itu.
Ki Buyut yang kembali ke Kabuyutan itu ternyata telah mengajak ketiga anak muda yang telah ikut membantu menemukan peti yang berisi dua buah kitab itu. Ki Buyut ternyata telah memperhitungkan beberapa hal yang tidak sesederhana sebagaimana yang dikatakannya dihadapan orang-orangnya. Ketika mereka sudah berada di Kabuyutan dan duduk di ruang dalam, maka Ki Buyut telah berbincang dengan ketiga anak muda itu serta beberapa orang bebahu yang paling dipercaya.
“Kita tahu, bahwa persoalan kitab itu bukan persoalan sederhana yang begitu saja selesai,” berkata Ki Buyut.
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Mahisa Murti- pun kemudian berkata, “Harta karun itu akan dapat menjadi rebutan.”
Sejenak kemudian, ruang itu sudah dicengkam oleh ketegangan. Ternyata mereka mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.
“Jika kitab itu demikian dirahasiakan, maka tentu ada sebab-sebabnya,” berkata Mahisa Pukat pula, “karena itu, maka harus diperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi itu.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Itulah yang kami cemaskan kemudian. Orang-orang yang pernah merusak padepokan kecil itu, tentu akan mendengar dan memburu harta karun yang mereka inginkan itu. Bahkan mereka telah membunuh pula. Apakah orang-orang yang demikian itu tidak akan melakukannya pula atas Kabuyutan ini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Menilik ceritera yang didengarnya, maka ada sekelompok orang yang memang memburu harta karun itu, yang barangkali mereka memang sudah mengetahui bahwa isi dari harta karun itu adalah kitab yang sangat berharga.
“Apakah Ki Buyut tidak berkeberatan jika aku melihat kitab-kitab itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu tidak. Silahkan,” berkata Ki Buyut sambil menyerahkan kedua kitab itu.
Sebenarnyalah, sebuah dari kitab itu berisi pengetahuan tentang berbagai ilmu. Ilmu perbintangan, Ilmu bercocok tanam dan beberapa macam ilmu yang lain. Bahkan meskipun tidak terlalu mendalam berisi juga ilmu tentang kesusastraan. Sedangkan kitab yang lain memang membuat Mahisa Murti berdebar-debar. Demikian pula Mahisa Pukat yang kemudian mengamati isi kitab itu.
Kitab itu memang berisi beberapa jenis ilmu kanuragan jaya kasantikan. Pengetahuan tentang tubuh dan bagian-bagian dari tubuh. Jalur-jalur urat dan nadi. Simpul-simpul pada benang syaraf di seluruh tubuh. Serta bagian-bagian yang paling lemah pada manusia pada tingkatan-tingkatannya. Pada bagian pertama dari kitab itu memuat bagaimana seseorang mampu menguasai tubuhnya sendiri secara mutlak. Mengenali isyarat perasaan dan nalurinya.
“Kedua kitab ini memang sangat berharga,” berkata Mahisa Murti.
“Ya,” berkata Ki Buyut, “bukankah hal itu dapat membuat kami di sini selalu cemas.”
“Tetapi menurut perhitunganku, yang diburu oleh orang-orang itu tentu kitab yang kedua,” berkata Mahisa Murti, “bukan berarti bahwa kitab yang pertama tidak penting. Tetapi nampaknya bagian kedua itu dianggap lebih berarti bagi kehidupan orang-orang yang terbiasa mengembara dan bertualang. Sedangkan kitab yang pertama tentu lebih berarti bagi mereka yang menetap dan memiliki lingkungan kehidupan seperti di Kabuyutan ini.”
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga berpikir demikian. Karena itu, maka dihadapan banyak orang aku berkata bahwa buku kedua itu aku serahkan kepada kalian. Aku minta maaf. Mudah-mudahan kalian tidak berkeberatan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami mengerti Ki Buyut. Kami tidak berkeberatan sama sekali. Biarlah orang yang memburu kitab kedua itu mengejar kami. Tetapi bagaimana jika mereka datang kepada Ki Buyut justru karena mereka menginginkan kitab pertama?”
“Kami tidak akan berkeberatan. Jika kami bertahan yang terjadi tentu hanya kerusakan,” jawab Ki Buyut.
“Mudah-mudahan sepeninggalku tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan ini,” jawab Mahisa Murti.
“Kami tidak akan bertanya kemana kalian akan pergi,” berkata Ki Buyut, “dengan demikian maka kami tidak akan dapat menjawab setiap pertanyaan tentang kalian.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ki Buyut benar. Sebaiknya Ki Buyut tidak bertanya kemana kami akan pergi.”
“Tetapi berhati-hatilah anak muda. Aku mempunyai dugaan bahwa persoalannya tidak semudah yang kita duga. Jika orang-orang yang memburu kitab-kitab itu pada suatu saat menemukan kalian, maka itu bukan salah kami.”
“Aku tahu bahwa Ki Buyut tidak akan berbuat seperti itu,” berkata Mahisa Murti, “tetapi bahwa setiap orang di padukuhan ini akan berbicara tentang kitab-kitab itu, maka orang-orang yang memburu harta benda terutama kitab itu pun tentu akan percaya bahwa akulah yang membawa kitab kedua.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu pun kemudian telah mohon diri. Ketiga anak muda itu menolak pemberian apa pun juga dari Ki Buyut, karena sebenarnya ketiganya telah membawa bekal uang cukup.
Namun sebagaimana dipesan oleh Ki Buyut, maka mereka memang harus berhati-hati. Orang-orang yang memburu kitab itu tentu mempunyai seribu telinga dan seribu mata. Apa pun caranya, mereka memang mungkin pada suatu saat menemukan mereka bertiga.
Beberapa saat kemudian, setelah hidangan bagi mereka yang terakhir disuguhkan, maka mereka pun meninggalkan Kabuyutan itu menuju ke arah yang tidak diketahui oleh semua orang di Kabuyutan itu. Meskipun dengan cara itu, perjalanan ketiganya tidak akan ditemukan, setidak-tidaknya untuk waktu yang lama, namun ketiganya tetap berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang barangkali tidak terduga-duga.
Tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan orang-orang yang menghendaki merampas kitab itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap, seandainya mereka harus berhadapan dengan sekelompok orang yang mengejar kitab itu, mereka sudah meningkatkan kemampuan anak muda yang mengikutinya itu.
Demikianlah mereka mempergunakan sisa hari itu untuk berjalan. Tetapi mereka memang tidak dapat mencapai jarak yang terlalu jauh, karena beberapa saat kemudian senja telah turun.
“Dimana kita bermalam?” bertanya Mahisa Pukat, “di banjar atau di tempat terbuka?”
Anak muda yang menyertainya itu tidak berkata sesuatu. Ia menyerahkan saja kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena keduanya tentu memiliki pengenalan yang lebih dalam. Sementara itu, ia sendiri tidak lagi terlalu terpengaruh oleh tempat bermalam. Ia sudah mulai terbiasa tidur di tempat terbuka.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memilih bermalam di tempat terbuka. Mereka masih ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang memburu kitab itu. Jika orang-orang itu mendengar dari orang-orang Kabuyutan bahwa kitab itu ada pada mereka, maka sekelompok orang yang memburu kitab itu tentu akan mencari mereka.
Ternyata malam itu ketiga anak muda itu justru sempat beristirahat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seperti biasa harus tidur bergantian. Namun rasa-rasanya mereka dapat tidur dengan puas tanpa terusik.
Anak muda yang menyertainya itu pun sempat tidur pulas pula. Ia tidak lagi merasa terganggu oleh dinginnya udara atau embun yang menitik. Dengan kemauan yang besar ia berusaha untuk dapat menyesuaikan cara hidupnya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengembara itu.
Ketika matahari kemudian terbit, setelah berbenah diri di-sebuah parit yang berair bening, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka telah memilih jalan yang berkelok-kelok, mempunyai banyak simpangan dan kemungkinan. Sambil, berjalan, Mahisa Murti sempat serba sedikit mengamati isi kitab yang dibawanya itu. Ia telah membaca bagian-bagian depan dengan sekilas. Namun dalam sekilas itu, ia dapat mengetahui, bahwa kitab itu memang kitab yang sangat berharga bagi seseorang yang memang ingin mempelajari olah kanuragan.
Pada bagian pertama dari kitab itu, tercantum petunjuk-petunjuk yang bersifat umum. Bagian pertama masih belum memasuki unsur-unsur yang khusus dari satu aliran didalam olah kanuragan sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Sedangkan untuk melihat-lihat bagian berikutnya Mahisa Murti memerlukan waktu yang khusus.
Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menunjukkan kitab itu kepada orang lain sehingga ia pun cukup berhati-hati. Ia tidak melihat isi kitab itu di sembarang tempat, karena dengan demikian tentu akan dapat menarik perhatian. Apalagi jika seseorang dapat mengenali bahwa kitab itu adalah kitab yang memuat pengetahuan dan ilmu tentang kanuragan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti itu pun berkata kepada anak muda yang mengikutinya, “Kau akan mendapat alas yang dapat kau pelajari sendiri dari kitab ini.”
“Apakah bermanfaat bagiku?” bertanya anak muda itu.
“Tentu. Pada bagian pertama dari kitab ini, dapat dipergunakan oleh siapa pun dan dari aliran yang manapun, karena belum memuat kekhususan. Sementara menurut pendapatku, dapat dipergunakan oleh setiap orang termasuk kau. Namun pada satu kesempatan aku ingin mempelajarinya lebih mendalam, karena kadang-kadang tuntunan olah kanuragan yang kurang baik justru akan berpengaruh sangat buruk.”
“Namun menilik bahwa kitab itu menjadi rebutan, maka isinya tentu sangat berharga,” berkata Mahisa Pukat.
“Agaknya memang demikian,” berkata Mahisa Murti, “jika kita sudah berjalan cukup jauh, maka kita akan mempelajari isi kitab ini dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada yang dapat kita serap dan dapat kita manfaatkan untuk melengkapi ilmu kita sendiri."
“Mungkin sekali,” jawab Mahisa Murti, “namun sudah barang tentu harus kita saring melalui tahap-tahap yang sangat teliti.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, maka mereka bertiga pun telah menjalani jarak yang semakin jauh. Ketika mereka melewati sebuah kedai, maka mereka bertiga telah singgah untuk minum dan makan. Tetapi ketiga orang anak muda itu terkejut, ketika beberapa orang didalam kedai itu menyebut-nyebut peristiwa yang terjadi di Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan.
“Jadi harta karun itu ternyata tidak ada?” bertanya yang seorang.
“Tidak. Harta karun itu tidak ada. Yang diketemukan oleh Ki Buyut hanya dua buah kitab.” sahut kawannya.
Tiba-tiba saja yang lain bertanya, “Darimana kalian dengar ceritera itu?”
“Semua orang memperbincangkannya,” jawab yang pertama, “peristiwa itu disaksikan oleh hampir semua orang Kabuyutan. Jika kau tidak percaya, pergilah ke pasar. Masih banyak orang yang membicarakannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ternyata mereka belum berjalan cukup jauh dari tempat kejadian itu. Bahkan perjalanan ketiga anak muda itu ternyata masih belum keluar dari lingkaran pembicaraan tentang harta karun di tikungan sungai itu. Berita tentang harta karun itu justru telah menjalar mendahului perjalanan mereka.
Demikianlah ketika mereka bertiga keluar dari kedai itu, maka mereka memutuskan untuk berjalan semakin jauh. Sebagai pengembara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak takut tersesat. Mereka pada suatu saat yang diinginkan tentu akan dapat kembali ke tempat yang mereka kehendaki. Ke padepokan mereka yang telah terlalu lama mereka tinggalkan.
Sehari itu, mereka bertiga ternyata berjalan cukup jauh. Mereka hanya berhenti untuk makan di kedai. Kemudian berjalan lagi menyusuri jalan-jalan yang belum pernah mereka lalui. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya kepada seseorang, puncak-puncak Gunung yang nampak dari tempat mereka berjalan, maka mereka pun segera mengetahui, arah manakah yang harus mereka tempuh jika mereka ingin kembali ke padepokan.
Malam berikutnya, mereka pun bermalam di tempat terbuka. Mereka masih belum berniat bermalam di banjar-banjar padukuhan, karena mereka tidak mau dikenali oleh orang-orang yang mungkin mencari tiga orang pengembara yang membawa kitab yang ditemukan sebagai harta karun di tikungan sebuah sungai.
Sementara itu, yang ditinggalkan, Ki Buyut dan bebahu Kabuyutan yang lain, benar-benar telah didatangi oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Berita tentang ditemukannya kitab itu demikian cepatnya sampai ke telinga orang-orang yang memang sedang memburu kitab itu. Tetapi ketajaman penglihatan Ki Buyut serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah menyelamatkan Kabuyutan itu.
Lima orang yang garang telah datang kepada Ki Buyut untuk mendapat keterangan tentang kitab-kitab yang diketemukannya.
“Kita menemukan dua buah kitab Ki Sanak,” berkata Ki Buyut. Lalu “Karena ada beberapa orang anak muda yang membantu kami menemukan kitab-kitab itu, maka penemuan kami telah kami bagi dua. Aku memilih kitab yang sangat berguna bagi Kabuyutan ini. Kitab yang berisi antara lain ilmu bercocok tanam.”
“Kau memang dungu Ki Buyut,” geram salah seorang dari kelima orang itu, “buat apa kitab yang sama sekali tidak bernilai itu? Seharusnya Ki Buyut mengambil kedua-duanya. Atau justru mengambil kitab yang berisi ilmu kanuragan. Kitab itu adalah kitab yang sangat berguna.”
Ki Buyut termangu-mangu. Katanya, “Aku dan seisi Kabuyutan ini tidak memerlukannya. Menurut pikiran kami waktu itu, kami tidak akan pernah mempergunakan kitab itu. Tetapi pengetahuan tentang bercocok tanam akan sangat berarti bagi kami.”
Kelima orang itu memang harus mempercayainya. Ki Buyut yang cerdik itu telah membagi penemuannya di hadapan orang banyak, sehingga setiap orang pun kemudian tahu, bahwa Ki Buyut memang hanya mengambil satu di antara kedua kitab yang ditemukannya.
Dalam pada itu kelima orang itu pun kemudian bertanya, “Ke mana perginya ketiga orang anak muda itu Ki Buyut?”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Mereka adalah pengembara. Tidak seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi. Mereka meninggalkan padukuhan ini ke arah Barat. Namun untuk selanjutnya kami tidak tahu ke mana mereka melanjutkan perjalanan mereka.”
Kelima orang itu mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat menolak keterangan Ki Buyut itu. Semua orang juga mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu. Namun kelima orang itu sama sekali tidak memerlukan kitab yang ada di tangan Ki Buyut, yang telah ditunjukkan kepada mereka. Yang mereka perlukan adalah kitab yang satu lagi.
Yang berisi ilmu kanuragan yang sangat mereka perlukan. Jika mereka berhasil mendapatkan kitab itu, maka mereka tentu akan menjadi kelompok yang ditakuti oleh kelompok-kelompok dan padepokan-padepokan yang mana pun juga. Tetapi kitab itu telah jatuh ke tangan tiga orang pengembara.
“Jika ketiga orang itu tahu benar akan arti kitab itu, mungkin mereka akan menjadi orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” berkata salah seorang dari kelima orang itu.
Namun Ki Buyut berkata, “Tetapi nampaknya mereka bukan anak-anak muda yang cerdas. Tanpa tuntunan apakah mereka kira-kira dapat mempelajari isi kitab itu?”
“Bagi mereka yang pernah mengenali ilmu kanuragan, maka mereka akan dapat berlatih tanpa guru. Tetapi mereka yang belum mengenalinya sama sekali, serta berotak tumpul, maka mereka memang memerlukan seorang yang harus memberikan beberapa petunjuk. Tetapi anak-anak muda yang sudah berani mengembara itu, tentu sudah memiliki bekal betapa pun kecilnya,” jawab salah seorang dari kelima orang itu.
Namun orang-orang itu kemudian telah meninggalkan Ki Buyut serta kitab yang berisi ilmu bercocok tanam serta beberapa ilmu yang lain itu. Karena bagi mereka ilmu-ilmu semacam itu tidak akan berarti sama sekali. Yang mereka cari adalah ilmu yang berarti bagi mereka serta berhubungan dengan pekerjaan mereka.
“Kita harus menemukan ketiga orang anak muda itu,” berkata pemimpin dari kelima orang itu.
“Tetapi ke mana kita harus mencari mereka?” desis salah seorang kawannya.
“Kita dapat bertanya di sepanjang jalan. Mungkin di kedai-kedai atau di manapun. Mungkin mereka melihat arah perjalanan tiga orang anak muda. Kita tidak akan berhenti mencari sampai kita menemukan kitab yang sangat kita perlukan itu,” jawab pemimpinnya.
Tetapi ketiga anak muda yang membawa kitab yang mereka inginkan itu sudah jauh. Bagi orang-orang yang memburu kitab itu, akan banyak menjumpai kesulitan untuk dapat menemukan mereka. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi lengah. Mereka menyadari, betapa bersungguh-sungguh orang-orang itu berusaha, sehingga yang sudah memencilkan diri pun dapat diketemukannya.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah merasa cukup jauh dari Kabuyutan yang mereka tinggalkan, maka mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempelajari isi kitab yang mereka ketemukan itu. Di siang hari, kadang-kadang mereka lebih banyak berhenti di tempat yang terasing untuk mendapat kesempatan mempelajari isi kitab itu dengan tenang.
Meskipun demikian, mereka bertiga masih juga selalu berusaha untuk berjalan semakin jauh dari Kabuyutan itu. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghabiskan waktu mereka sehari-hari untuk mempelajari isi kitab itu dan berjalan menyusuri jalan-jalan yang sangat panjang.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendapatkan kesimpulan dari isi kitab itu. Pada bagian pertama, memang tidak ada keberatannya bagi anak muda yang menyertai mereka untuk mempelajarinya. Pada bagian pertama memang terdapat pengetahuan dasar olah kanuragan.
“Jika kau mampu menyadap isi dari bagian pertama, maka kau sudah memiliki bekal yang cukup bagiku untuk menjelajahi dunia olah kanuragan. Untuk bagian kedua, kau masih harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Bagian kedua sudah memuat unsur-unsur yang rumit dan merupakan dasar dari satu aliran tertentu dalam olah kanuragan. Sedangkan bagian ketiga dari isi kitab itu adalah inti kekuatan dan kemampuan dari satu aliran olah kanuragan yang cukup berbobot. Namun masih berdasarkan pada kekuatan kewadagan termasuk ungkapan kekuatan cadangan. Namun jika kau mampu menguasai bagian ini, maka kau bukan lagi kau sekarang. Orang-orang yang memburu kitab ini pun tidak akan mampu merebutnya dari tanganmu,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi, apakah kitab itu juga berarti bagimu?” bertanya anak muda itu.
“Sampai pada bagian ketiga, ilmu yang tersirat pada kitab ini masih belum lebih tinggi dari ilmu yang telah kami pelajari dan kami kuasai,” jawab Mahisa Murti. Lalu “Aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi karena kau sekarang sudah menjadi bagian dari kita sekelompok kecil ini, maka aku ingin berkata berterus terang. Sementara itu, masih ada bagian keempat dari kitab ini. Kami belum dapat membuat perbandingan, karena menurut pengamatan kami, bagian keempat memang sudah merambah ke kedalaman kekuatan inti dari kekuatan yang ada pada diri kita, sedangkan bagian kelima adalah petunjuk bahwa diri kita adalah bagian dari alam yang besar. Dan betapa alam yang besar ini telah terjadi. Sehingga akhirnya, semuanya akan menguncup pada sumber dari segala sumber. Yang Maha Pencipta.”
Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengangguk-angguk. Ia mengerti urutan yang dikatakan oleh Mahisa Murti itu. Dan ia pun mengerti pula ketika Mahisa Murti berkata,
“Dengan demikian, maka seseorang harus mempelajari isi kitab ini dengan tuntas. Jika seseorang mempelajarinya dan terputus pada bagian pertama, kedua, ketiga bahkan keempat, maka ia tidak akan sampai kepada tahap pencapaian alas hidupnya yang justru paling mendasar. Karena itu, maka aku masih menganggap bahwa penulis kitab ini adalah seorang yang lebih mementingkan kemampuan ilmu kanuragan daripada sumber keberadaannya. Seharusnya, justru pada permulaan penulisan ilmu kanuragan, seseorang harus sudah mendasari langkah-langkahnya pada dasar keberadaannya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berkata, “beruntunglah kau, bahwa kami sempat mendampingimu di saat kau mendapatkan satu kitab tuntunan. Tetapi kami masih harus memperingatkan bahwa yang sebaiknya kau pelajari untuk tahap pertama adalah bagian pertama. Kami akan menentukan kemudian, apakah kau akan mempelajari bagian kedua atau kamilah yang akan menuntunmu memasuki kemampuan olah kanuragan sesuai dengan jalur kami sendiri. Karena seperti yang sudah kami katakan, bahwa sampai pada tahap ketiga, kami belum melihat kelebihan dari ilmu yang tertulis di kitab ini. Sementara bagian keempatnya kami kira juga tidak akan lebih tinggi dari puncak perkembangan ilmu kami, yang masih harus kami capai bagian terakhirnya. Sedangkan bagian kelima, merupakan sandaran hidup kami justru pada segala tahap kehidupan.”
Anak muda itu masih mengangguk-angguk. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Nah, kami akan menyerahkan kitab ini kepadamu. Sebenarnya dengan atau tidak dengan kitab ini, kau akan dapat mencapai tataran pertama. Tetapi dengan kitab ini, kau akan dapat berlatih dengan tuntunan yang terperinci, sehingga segalanya akan berlangsung lebih cepat.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika Mahisa Murti kemudian memberikan kitab itu kepadanya, maka ia pun berkata, “Terima kasih atas kepercayaan ini. Aku akan melakukan semua pesan kalian dengan sebaik-baiknya.”
“Kau tidak usah menunggu sampai ke tataran terakhir untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Pencipta. Sejak kau mulai, maka kau harus sudah mengucap syukur atas kesempatan itu,” berkata Mahisa Murti.
“Aku mengerti, “desis anak muda itu.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sejak saat ini, kau dapat mulai berlatih. Kita berjalan melanjutkan pengembaraan kita sambil mencari kesempatan untukmu. Tempat seperti ini adalah tempat yang paling baik. Namun dalam perjalanan kami, maka kami akan selalu menjumpainya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia harus mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sebelum ia membaca isi kitab itu, ia memang sudah berlatih dalam tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan ia pun telah mempelajari ilmu pedang. Betapa pun sederhananya, namun ilmu yang dimilikinya itu telah dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya. Karena itu, maka anak muda itu tidak menjumpai kesulitan ketika ia mulai mempelajari ilmu kanuragan pada tataran pertama.
Pada satu kesempatan mereka berhenti di kaki sebuah bukit kecil, di sebuah lapangan perdu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberi kesempatan kepada anak muda yang menyertainya itu untuk berlatih.
“Jika kau tidak letih, lakukanlah,” berkata Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk. Ia memang ingin mencoba unsur-unsur gerak dari kitab di bagian pertama itu. Meskipun banyak yang sudah dikenalinya, namun susunannyalah yang kadang-kadang agak berbeda. Namun masih belum merupakan aliran dari perguruan tertentu.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah memusatkan nalar budinya. Dilukiskannya gerak itu di dalam angan-angannya sehingga nampak jelas, seolah-olah seseorang telah melakukannya. Bahkan seakan-akan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka hampir di luar sadarnya, anak muda itu bangkit perlahan-lahan. Kaki dan tangannya pun mulai bergerak mengikuti tata gerak bayangan yang nampak di angan-angannya itu. Semakin lama semakin cepat sesuai dengan urutan yang tertulis di dalam kitab itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia melihat anak muda itu bergerak seakan-akan di luar sadarnya. Ia memang sekedar mengikuti bayangan yang ditimbulkannya sendiri oleh kekuatan pemusatan nalar budinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengganggunya. Dibiarkannya anak itu bergerak terus sampai pada batas unsur gerak yang kesepuluh dari bagian pertama itu.
“Cukup,” berkata Mahisa Murti.
Ternyata bahwa dalam pemusatan nalar budi, anak muda itu masih juga mendengar suara Mahisa Murti, yang seakan-akan tidak menyusup lewat telinganya, tetapi justru mencuat dari dalam dadanya.
Mahisa Murti memang mempergunakan tenaga cadangannya untuk melontarkan suaranya karena ia cemas, bahwa suara wajarnya tidak dapat didengar oleh anak muda itu. Ketika anak muda itu berdiri tegak memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Apa yang telah kau lakukan tadi?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia mulai menilai gerakan-gerakan yang dilakukannya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku telah melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan petunjuk pada bagian pertama dari isi kitab itu.”
“Kau telah melakukannya dengan baik sekali,” berkata Mahisa Murti, “tetapi apakah kau tahu apa yang kau lakukan?”
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Yang dilakukan bukannya latihan dan mendalami setiap unsur gerak. Tetapi yang dilakukan semata-mata adalah pemusatan nalar budinya sehingga yang tampil di angan-angannya adalah bayangan dari angan-angannya itu yang mengendap, sehingga menjadi sangat jelas baginya. Dengan mudah ia dapat menirukan setiap unsur gerak tanpa membuat kesalahan, karena yang ditirukannya adalah apa yang telah ditangkapnya dari pengenalan atas isi kitab itu. Namun dengan demikian anak muda itu tidak mengenal satu demi satu dari gerakan-gerakannya serta mendalami watak dari setiap gerak itu.
Akhirnya anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti kesalahannya.”
“Bukan kesalahan, tetapi kekurangan,” sahut Mahisa Pukat.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Coba sekali lagi.”
Anak muda itu mengangguk sambil menjawab, “Baik. Aku akan melakukannya lagi.”
Demikianlah anak muda itu telah berdiri tegak. Kemudian diingatnya setiap kata yang tertulis di dalam kitab itu. Terutama permulaan dari bagian pertama yang telah sempat dibaca dan dipelajarinya. Beberapa saat kemudian ia pun mulai bergerak. Tetapi ia sempat memperhatikan setiap gerak itu sendiri. Ia tahu pasti, apa yang dilakukan oleh tangan dan kakinya.
Ia pun menyadari apakah arti dari setiap gerak dan apakah gunanya. Bahkan sekali-sekali ia berhenti dan mengulanginya. Jika tidak puas dengan mengulangi satu kali, maka diulanginya sampai dua tiga kali. Sehingga anak muda itu pun menjadi sangat mengenali setiap unsur gerak yang terdapat didalamnya.
Dengan demikian, maka anak muda itu pun menyadari, bahwa apa yang dipelajari itu memang pernah dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun agak lain ujudnya, namun maksud dan nilainya sama dengan apa yang pernah dipelajarinya. Kecerdasannya langsung telah memperbandingkan unsur-unsur gerak itu dan dengan cepat pula ia mengambil kesimpulan, bahwa ia memang akan dapat mempelajari bagian pertama kitab itu dengan cepat.
“Kau harus mengulangi dan mengulangi setiap saat,” berkata Mahisa Murti, “pada bagian pertama itu, seseorang belum ditunjukkan pada laku. Tetapi bagian berikutnya kau akan menjumpainya jika kami mengambil keputusan bahwa kau akan mempelajari bab berikutnya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sementara itu biarlah ia mematangkan ilmu sejauh dikuasainya. Dengan demikian maka ia akan dapat dengan lebih mudah mempelajari ilmu pada tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat mengangguk pula. Sambil berpaling kepada anak muda yang menyertainya yang berlatih tidak terlalu jauh dari mereka ia bergumam, “Tetapi kita tidak dapat menunggu sampai ia menjadi jenuh.”
“Kita harus selalu memberikan pengalaman baru kepadanya. Dengan kecerdasan nalarnya, ia akan mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya. Bahkan sengaja atau tidak sengaja ia sudah merambah dengan sendirinya ke tataran yang lebih tinggi,” sahut Mahisa Murti.
“Kita akan melihat perkembangannya dalam beberapa hari ini,” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah kedua anak muda itu masih belum menentukan langkah yang akan mereka ambil. Jika mereka membiarkan anak muda itu menyadap ilmu dari kitab yang mereka dapatkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat memberikan tuntunan dan perbandingan. Anak muda itu harus mencari semua persoalan dari kitab itu sendiri. Mungkin dalam beberapa hal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat memberikan petunjuk. Namun jalur itu bukan jalur ilmu kedua anak muda itu, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak menguasainya sampai ke bagian-bagian kecilnya.
Karena itulah, maka anak muda itu tentu memerlukan waktu lebih banyak dan lebih panjang dari jika mereka mempelajari ilmu yang telah dikuasai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya dapat langsung menuntun anak muda itu dengan penuh tanggung jawab.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih digelitik oleh pertanyaan dari dalam diri mereka sendiri, “Apakah kami dapat menyelesaikan tugas ini sampai tuntas.”
Jika mereka tidak sempat menyelesaikan tuntunan itu sampai selesai, maka keduanya tentu akan merasa bersalah. Dengan demikian maka anak muda yang menyertai mereka itu pun masih harus menunggu. Namun anak muda itu memang tidak mendesak agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengambil keputusan dan berbuat sesuatu. Apalagi anak muda itu masih merasa bahwa ia masih harus mematangkan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil satu keputusan. Anak muda itu adalah anak muda yang cerdas dan memiliki kesungguhan serta bertanggung jawab atas langkah-langkah yang dilakukannya. Karena itu, maka anak muda itu adalah anak muda yang dicarinya selama ini. Anak muda yang akan dapat menjadi seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak kecewa, karena anak muda itu umurnya tidak terpaut banyak dari keduanya, namun ia masih lebih muda serta masih mempunyai masa depan yang sangat panjang. Karena itu, maka keduanya berketetapan hati untuk menentukan, bahwa anak muda itu akan menjadi kawan mereka memimpin padepokan mereka.
“Kita jadikan anak muda itu murid kita,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Apakah pantas bahwa kita mengangkat seseorang menjadi murid kita? Kita masih dianggap kanak-kanak oleh beberapa orang yang pernah mengenali masa kanak-kanak kita.”
“Apa salahnya kita mengangkat seorang murid,” desis Mahisa Murti, “pantas atau tidak pantas. Tetapi apakah kau mempunyai nama lain yang pantas untuk menyebut hubungan kita dengan anak muda itu selain hubungan guru dan murid?”
Mahisa Pukat menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab. Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu berkata, “Kita jadikan anak itu adik kita.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita angkat anak itu menjadi adik kita.”
“Kita sesuaikan namanya dengan nama kita,” berkata Mahisa Pukat pula.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita namai anak itu Mahisa Semu,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Jadi hanya semu. Bukan sebenarnya.”
Demikianlah, maka ketika malam datang, terjadilah upacara kecil dibawah sebatang pohon gayam. Mahisa Murti telah meniup ubun-ubun anak muda yang menyertainya dan kemudian berkata,
“Kau telah dilahirkan kembali dengan nama Mahisa Semu. Kau telah dilahirkan kembali sebagai adik kami yang bungsu. Karena itu maka kau harus patuh kepada kami, saudara-saudara tuamu.”
Anak muda itu mengangguk sambil menyahut, “Aku akan patuh kepada kalian. Karena kalian bukan saja saudara-saudara tuaku, tetapi juga guruku.”
“He,” potong Mahisa Murti, “kenapa kau berkata begitu. Bukankah kita telah merencanakan kata-kata yang akan kita ucapkan. Dan kau tidak kami minta untuk menyebut kami gurumu.”
“Memang tidak,” jawab anak muda itu, “tetapi aku merasa bahwa kalian telah menjadi guruku. Kalian telah memberikan ilmu kepadaku.”
Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi untuk selanjutnya sebut saja kami kakak-kakakmu. Kami mengajarimu sebagaimana seorang kakak mengajari adiknya. Kau patuh kepada kami sebagaimana seorang saudara muda patuh kepada kakak-kakaknya.”
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah jika itu yang kalian kehendaki.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Di luar sadar, mereka berdua justru telah tertawa. Anak muda yang disebutnya Mahisa Semu itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun telah tertawa pula.
Demikianlah, mereka bertiga telah merasa benar-benar sebagai saudara kandung. Dalam perjalanan selanjutnya, mereka bertiga selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan ilmu Mahisa Semu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai meningkatkan ilmu Mahisa Semu pada tataran yang lebih tinggi.
Namun dengan demikian maka Mahisa Semu tidak memerlukan kitab itu lagi. Ia lebih dekat dengan latihan-latihan yang diberikan oleh kedua saudara angkatnya itu daripada unsur-unsur gerak yang terdapat dalam kitab yang mereka ketemukan itu.
Tetapi bukan berarti bahwa kitab itu telah dilupakan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru telah mendalami isi kitab itu. Meskipun sampai pada tataran ketiga, ilmu yang terdapat dalam kitab itu masih belum melampaui kemampuan ilmu kedua anak muda itu, namun dengan mempelajari isi kitab itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membuat perbandingan dengan ilmu mereka sendiri.
Beberapa saat keadaan itu berlangsung. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai mengambil arah. Dengan berpedoman pada puncak-puncak Gunung, maka mereka telah mulai menentukan arah perjalanan mereka ke padepokan kecil yang sudah cukup lama mereka tinggalkan. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sepakat, bahwa mereka harus menemukan seseorang pada satu tataran umur yang lebih muda lagi. Satu atau dua orang.
Namun ketika mereka bertiga berada dalam sebuah kedai, maka mereka mulai dibayangi oleh kemungkinan buruk. Tanpa menyadari kehadiran ketiga anak muda itu, maka seseorang telah berbicara tentang beberapa orang yang lewat di padukuhannya.
“Apa anehnya orang lewat?” bertanya seorang kawannya.
“Mereka bertanya kepada setiap orang, apakah orang-orang itu melihat tiga orang anak muda lewat sebelum mereka,” jawab orang yang pertama.
“Mungkin saudara-saudaranya,” desis yang lain.
“Tetapi nampaknya mereka mempunyai kepentingan yang khusus,” jawab orang yang pertama.
Seorang di antara mereka tiba-tiba saja termangu-mangu. Ia mulai memperhatikan ketiga orang anak muda yang ada di dalam kedai itu. Untuk beberapa saat orang itu justru termenung. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Ada tiga orang anak muda di sini. Apakah anak muda itu yang mereka cari?”
Semua orang tiba-tiba telah berpaling kepadanya. Namun mereka pun kemudian telah berpaling pula ke arah pandangan mata orang itu. Sebenarnyalah mereka melihat tiga orang anak muda duduk di sudut kedai itu. Anak-anak muda yang nampaknya memang sebagai pengembara yang telah menempuh perjalanan jauh.
Namun orang-orang itu justru telah terbungkam. Mereka tidak lagi berbicara tentang orang-orang yang menelusuri setiap padukuhan dan bertanya tentang tiga orang anak muda. Mungkin di gardu-gardu. Banjar-banjar padukuhan atau di kedai-kedai. Bahkan beberapa saat kemudian, seorang demi seorang mereka telah meninggalkan kedai itu setelah membayar tanpa mengatakan sesuatu.
“Kenapa dengan mereka?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka merasa ketakutan,” jawab Mahisa Murti.
“Apa yang mereka takutkan? Apakah tampang kita memang menakutkan?” desis Mahisa Semu pula.
“Mereka takut kepada orang-orang yang mencari ketiga orang anak muda itu. Jika orang-orang itu tidak berhasil menemukan ketiga anak muda itu, maka orang-orang itu akan marah dan menganggap mereka yang ada di dalam kedai itu telah memberikan isyarat kepada kita untuk bersembunyi,” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi bukankah mereka tidak bersalah?” bertanya Mahisa Semu.
“Kadang-kadang orang itu tidak mau tahu, apakah seseorang bersalah atau tidak. Tetapi orang-orang yang menemui kegagalan dapat saja mencari sasaran itu untuk memikul beban kesalahan dari kegagalan itu, meskipun mereka sama sekali tidak tahu menahu,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kita lalu mau apa?”
Mahisa Murti memandang pemilik kedai itu sekilas. Ternyata pemilik kedai itu juga nampak ketakutan. Bersama seorang pembantunya ia duduk di sudut di belakang geledeg dagangannya. Bermacam-macam makanan.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kami belum selesai. Kami masih ingin memesan makanan lagi.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berkata, “Semua orang telah meninggalkan kedaiku ini Ki Sanak. Memang sudah waktunya aku menutup kedai ini.”
Mahisa Murti mengerutkan dahinya Katanya, “Masih belum tengah hari. Sedangkan barang daganganmu masih terlalu banyak.”
“Tetapi aku berpegang pada waktu. Pada saat-saat seperti ini, habis atau tidak habis daganganku, aku menutup kedaiku,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-mengangguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan dapat memaksa seseorang yang sedang ketakutan untuk tetap tabah.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab. Anak muda itu dapat menebak dengan benar apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia memang tidak mau menyaksikan kekerasan itu terjadi di dalam kedainya jika orang-orang yang sedang mencari ketiga anak muda itu menemukan mereka di kedainya.
Namun sambil membayar Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak. Kami bertiga akan menelusuri jalan di depan kedaimu ini. Kami tidak akan berbelok sampai padukuhan di depan. Baru kami akan mempertimbangkan kemungkinan untuk memilih jalan. Tetapi kami akan berusaha agar ada orang yang melihat kami.”
“Apa maksudmu anak muda?” bertanya pemilik kedai itu.
“Kau tidak usah berusaha melindungi kami. Bukankah kau menjadi ketakutan karenanya? Katakan sebagaimana kami katakan. Jika orang-orang itu tidak menemukan kami bertiga, maka mereka akan menyangka bahwa kau telah membohonginya. Kau akan dapat dituduh berusaha melindungi kami,” berkata Mahisa Murti kemudian. Lalu katanya pula, “Dan kau tahu apa artinya jika mereka menjadi marah.”
“Tetapi aku tidak tahu menahu persoalan kalian,” berkata pemilik kedai yang menjadi semakin ketakutan.
“Pokoknya, jangan berusaha melindungi kami. Katakan apa yang kau ketahui tentang kami,” berkata Mahisa Murti.
Orang itu memang menjadi bingung. Tetapi ketiga anak muda itu kemudian telah berlalu. Sepeninggal ketiga orang anak muda itu, maka pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu. Dilihatnya pembantunya yang juga ketakutan duduk diatas dingklik kayu yang rendah.
“Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya kita lakukan,” berkata pemilik kedai itu kepada pembantunya.
“Jangan. Justru kita akan membuka kedai ini sampai malam,” berkata pemilik kedai itu, “dengan demikian maka tidak akan ada seorang pun yang dapat menuduh kita telah terlibat dalam persoalan anak-anak muda itu. Kita berlaku seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Seakan-akan kita tidak tahu menahu tentang mereka yang sedang mencari ketiga orang anak muda itu.”
“Tetapi aku takut,” berkata pembantunya.
“Aku lebih takut meninggalkan kedai ini sebelum mereka datang,” berkata pemilik kedai itu, “aku memang tidak ingin bertemu dengan mereka. Tetapi seandainya mereka datang dan kedai ini terdapat kosong, maka mereka akan dapat mempunyai dugaan yang tidak sewajarnya atas kita. Tetapi mereka menemukan kedai ini terbuka seperti biasa, maka mereka tentu tidak akan menyangka kita berusaha untuk menyembunyikan diri dan bahkan melindungi anak-anak muda itu.”
“Tetapi bukankah mereka belum tentu datang?” bertanya pembantunya.
“Itulah yang kita harapkan. Tetapi jika mereka tidak datang, apa pula yang kita takuti?” bertanya pemilik kedai itu.
Pembantunya termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kedai itu. Tetapi ternyata yang mereka tunggu hari itu tidak datang. Tetapi justru karena itu, maka kedai ini dibuka sampai saat-saat sepi uwong.
Di hari berikutnya, pemilik kedai itu membuka kedainya seperti biasa. Ia pun merasa ketakutan untuk tidak berjualan pada hari itu. Orang-orang itu akan dapat mencurigainya dan mencarinya di rumahnya. Ternyata orang-orang yang ditunggunya itu datang. Sehari setelah ketiga orang anak muda itu singgah di kedainya. Pemilik kedai itu telah menjadi gemetar ketika mereka melihat beberapa orang berwajah garang memasuki kedainya itu.
Tetapi ternyata seorang di antara mereka telah bertanya dengan ramah, “Ki Sanak. Apakah Ki Sanak pemilik kedai ini?”
Pemilik kedai itu termangu-mangu melihat sikap orang itu. Sikap yang benar-benar tidak diduganya menilik ujud mereka.
“Benarkah demikian?” orang itu mendesaknya.
“Ya, ya Ki Sanak,” jawab pemilik kedai itu, “marilah. Silahkan duduk.”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab orang itu sambil mengangguk-angguk hormat, “aku hanya bertanya sedikit kepada Ki Sanak.”
“Oo,” pemilik kedai itu termangu-mangu.
“Apakah Ki Sanak melihat tiga orang anak muda lewat atau bahkan singgah di kedai Ki Sanak?” bertanya orang itu pula.
Pemilik kedai itu yang ketakutan itu tidak merasa perlu untuk berbelit-belit. Ketiga orang anak muda itu sendiri telah menganjurkan kepadanya untuk berkata apa saja sesuai dengan yang diketahuinya. Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Kemarin memang ada tiga orang anak muda yang singgah di kedai ini Ki Sanak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ketiga anak muda itulah yang kalian maksudkan.”
“Mungkin. Mungkin sekali,” desis orang itu, “tetapi apakah Ki Sanak tahu, ke mana mereka pergi?”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Anak-anak muda itu memang memberi tahu arah yang mereka tempuh. Namun tiba-tiba saja ia merasa berdosa jika ia berkata sebenarnya. Apalagi jika kemudian didengarnya berita, bahwa ketiga anak muda itu mengalami bencana. Karena itu, maka hampir diluar sadarnya, bersumber dari nuraninya maka ia pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Sayang sekali aku tidak bertanya ke mana mereka akan pergi. Saat itu, aku sedang melayani beberapa orang pembeli yang lain.”
“Oo,” orang itu mengangguk-angguk, “memang masuk akal. Ki Sanak tentu sedang sibuk dan tidak merasa perlu untuk bertanya kepada setiap pembeli. Tetapi tolong barangkali Ki Sanak tahu, demikian ia keluar, apakah mereka berjalan ke kanan atau ke kiri?”
Pemilik warung itu berpikir sejenak. Namun dengan pertimbangan bahwa ketiga orang anak muda itu telah berjalan jauh, maka ia pun berkata menurut penglihatannya, “Rasa-rasanya ia berjalan ke kanan. Tetapi aku tidak yakin.”
Ternyata orang-orang itu tidak berbuat sesuatu. Mereka justru mengangguk hormat. Seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih. Aku akan meneruskan perjalanan.”
Pemilik kedai itu menjadi heran. Ia mengira bahwa orang-orang itu tentu orang-orang yang kasar menilik ujudnya. Tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang bersikap baik dan sopan. Tapi belum lagi keheranannya itu mengendap, seorang diantara mereka berkata masih dalam sikap yang lembut,
“Ki Sanak. Kami akan berjalan ke kanan. Mungkin besok atau lusa aku akan lewat jalan ini lagi. Kami akan mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak jika kami menemukan mereka. Tetapi jika ternyata Ki Sanak membohongi aku, maka aku juga akan menunjukkan kekesalan hati kami. Mungkin kami akan membunuh Ki Sanak.”
Wajah pemilik kedai itu tiba-tiba menjadi merah. Namun orang itu mengangguk penuh hormat sambil berkata, “Kami mohon diri. Semoga Yang Maha Agung melindungimu.”
Ketika orang-orang itu berjalan menjauh, pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu di depan pintu. Namun ia pun kemudian telah terhuyung-huyung surut dan jatuh terduduk di amben panjang. Pembantunya yang melihatnya dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Orang-orang itu,” desis pemilik kedai itu.
“Bukankah mereka berbuat sopan dan baik?” bertanya pembantunya pula.
“Ya. Mereka berkata dengan lembut dan hormat. Tetapi kau tahu apa yang dikatakannya?” pemilik kedai itu ganti bertanya.
Pembantunya itu menggeleng. Sementara pemilik kedai itu berkata lebih lanjut, “besok atau lusa mereka akan kembali. Jika mereka tidak menemukan ketiga anak muda itu, maka mereka akan membunuhku.”
“Oo,” wajah pembantunya itu pun menjadi tegang. Lalu katanya, “Kalau begitu, kita harus bersembunyi. Keadaan tentu menjadi sangat gawat.”
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berdesis, “Tetapi apakah mungkin kita bersembunyi lagi? Ingat, mereka mencari, ketiga anak muda itu yang agaknya sampai kapan pun tidak akan berhenti.”
“Jadi?” bertanya pembantunya.
Pembantunya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar jawaban pemilik kedai itu. Katanya, “Aku tidak akan lari ke mana-mana. Tidak akan ada artinya. Jika saat yang sangat menakutkan itu memang harus datang dengan cepat, maka aku sudah pasrah.”
Pembantunya tidak dapat memberikan tanggapan apa pun juga. Tetapi ia pun merasa bahwa agaknya melarikan diri dan bersembunyi tidak akan ada artinya. Bahkan hanya akan menambah kemarahan mereka dan perlakuan yang semakin menyiksa. Karena itu, maka seperti pemilik kedai itu sendiri, akhirnya ia pun pasrah kepada sumber hidup mereka, apa pun yang akan terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menjadi semakin jauh. Tetapi sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja selalu berpesan kepada Mahisa Semu agar ia tetap berhati-hati. Naluri mereka sebagai pengembara telah memberikan peringatan bahwa mereka masih belum terlepas dari perhatian orang-orang yang memburu kitab itu.
Namun sementara itu, Mahisa Semu pun tidak lupa meningkatkan dirinya menurut jalur perguruan kedua saudara angkatnya. Seperti yang diperhitungkan oleh kedua saudara angkatnya itu, maka peningkatan ilmu Mahisa Semu akan lebih cepat jika ditempuh cara itu daripada mempelajarinya dari kitab yang mereka ketemukan. Tetapi sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri berusaha menemukan arti dari kitab itu bagi mereka.
“Memang sulit untuk langsung mempelajari isi dari tataran keempat meskipun kita memiliki kemampuan pada tingkat sedikit lebih tinggi dari tingkat ketiga. Tetapi kita memang tidak memasuki tingkat keempat dari ilmu itu. Bahkan juga tingkat-tingkat sebelumnya,” berkata Mahisa Murti.
“Kita bisa memulainya dari tingkat-tingkat sebelumnya. Selain untuk merintis memasuki tingkat keempat dari ilmu itu, maka kita akan dapat melengkapi dan menyempurnakan ilmu kita sendiri. Sudah barang tentu harus dicari upaya untuk meluluhkan pada satu jalur yang lebih meningkat dari yang pernah ada,” sahut Mahisa Pukat. “Sehingga tidak akan terjadi benturan-benturan kekuatan di dalam diri kita.”
“Ya. Dengan demikian maka Mahisa Semu pada saatnya tidak usah bersusah payah melakukannya. Ia akan mendapatkannya setelah kita berhasil dan menurunkan kepadanya, meskipun barangkali masih harus terbilang tahun yang akan datang,” sahut Mahisa Pukat...
“Kemarilah,” berkata Laki-laki yang mengetahui tentang harta karun itu serba sedikit, “ketiga orang anak muda itu ingin berbicara denganmu.”
“Tentang apa paman?” bertanya perempuan itu.
“Aku tidak tahu. Biarlah kau jawab pertanyaan mereka langsung saja,” berkata pamannya.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian duduk di hadapan ketiga orang anak muda itu dengan kepala tunduk. Perempuan itu tahu, bahwa orang-orang itu tentu akan bertanya tentang harta karun sebagaimana pernah didengarnya dari ayahnya. Ketiga orang anak muda itu tentu mempunyai hubungan dengan pamannya dan keempat orang kawan pamannya itu.
Tetapi kenapa pamannya telah mengajak orang-orang itu kepadanya adalah sesuatu yang aneh baginya, karena pamannya sendiri berpesan kepadanya, agar ia tidak mengatakan kepada siapa pun juga. Namun perempuan itu tidak mendapat kesempatan untuk berteka-teki terlalu lama.
Mahisa Murti pun kemudian, telah bertanya kepadanya, “Apakah benar, bahwa kau pernah mendapat pesan dari ayahmu tentang harta karun?”
Perempuan itu menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada anak muda itu.
“Sebaiknya kau berkata terus terang,” berkata Mahisa Murti, “pamanmu telah mengatakan, bahwa ayahmu telah terbunuh. Sebelum ayahmu meninggal, maka ia telah menyampaikan pesan kepadamu tentang harta karun itu.”
Perempuan itu memandang pamannya sejenak. Namun pamannya itu pun mengangguk sambil berkata, “Katakan apa yang kau ketahui. Kami tidak akan dapat ingkar lagi.”
Perempuan itu pun kemudian mengangguk pula sambil berdesis, “Ya anak muda. Ayah memang pernah berpesan.”
“Apakah kau tahu tentang ujud dari harta karun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Perempuan itu menggeleng. “Tidak,” desisnya.
“Apakah kau tahu sebab kematian ayahmu itu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perempuan itu menggeleng. Katanya, “Ayah adalah seorang petani yang tidak pernah bermusuhan dengan siapapun. Tetapi pada suatu hari, ayah datang dari sawah dalam keadaan yang sangat payah. Namun ia masih sempat menyampaikan beberapa kata tentang harta karun itu.”
“Apakah ia tidak menyebut sebab kematiannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa ayah telah terkena racun,” jawab perempuan itu.
“Tidak seorang pun sempat mencari sumber dari racun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Perempuan itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang tahu racun apakah yang telah membunuh ayah itu. Sementara itu sama sekali tidak ada bekas gigitan binatang apa pun juga yang mungkin beracun.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian maka ayahmu tentu kena racun lewat makanannya.”
Perempuan itu terkejut. Namun sambil mengingat-ingat ia berkata, “waktu itu, ayah berada di sawah. Aku telah menyampaikan makanan ayah. Aku sendirilah yang memasaknya dan aku pulalah yang menempatkannya pada mangkuk-mangkuk tanah serta aku jugalah yang membawanya ke sawah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Apakah ada orang lain yang tahu tentang harta karun itu?”
Perempuan itu menggeleng. Jawabnya, “Sebelum ayah meninggal, tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Siapakah orang terdekat dengan ayahmu sebelum meninggal?”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada orang yang terlalu dekat dengan ayah, kecuali keluarganya.”
“Siapakah yang kau maksud dengan keluarganya itu?” desak Mahisa Murti.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku dan suamiku.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lagi. Yang justru bertanya adalah Mahisa Pukat, “Apakah ayahmu pernah berusaha untuk mencari benda-benda yang dianggap harta karun itu?”
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
Namun adalah diluar dugaan bahwa ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya kepada suami perempuan itu, ia menjawab, “Aku kira ayah pernah mencobanya.”
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kemudian Mahisa Pukat lah yang berkata, “Kita memang tidak mendapatkan keterangan apa pun yang memungkinkan kita mengetahui sebab kematian ayahmu. Tetapi kita mendapat kesempatan untuk menemukan harta karun itu.”
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pamannya pun bertanya, “Kalian juga menginginkan barang-barang yang ditinggalkan itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “bukankah menarik sekali jika kita bersama-sama dapat menemukan harta karun itu?”
Kelima orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka merasa tidak akan dapat mencegah ketiga orang anak muda itu justru ikut menemukan harta karun yang semula tidak mereka ketahui. Seandainya saja mereka tidak menuduh bahwa ketiga anak muda itu menemukan harta karun, maka mereka bertiga tidak akan mengganggu sama sekali. Tetapi mereka sudah terlanjur menyeret anak-anak muda itu ke dalam persoalan harta karun itu.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “marilah kita berpacu, siapa yang mendapatkan lebih dahulu, maka ialah yang berhak. Mungkin ia berbaik hati untuk memberi serba sedikit kepada yang lain. Tetapi mungkin tidak. Atau bahkan mungkin kita akan saling berebut dengan kekerasan jika barang itu kita ketemukan.”
Kelima orang itu benar-benar menjadi kecewa dan menyesal. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Kami akan pergi ke sungai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan mencarinya sampai ketemu. Siang dan malam.”
“Kami juga akan pergi,” berkata yang tertua di antara kelima orang itu, “kita dapat pergi bersama-sama.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Kita pergi sendiri-sendiri. Kita mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri pula. Karena itu, biarlah kita berusaha sendiri-sendiri.”
Orang tertua dari kelima orang itu tidak berkata sesuatu. Namun menantu petani yang meninggal itulah yang tiba-tiba berkata, “Paman, untuk apa sebenarnya paman bersusah payah mencari harta karun itu. Aku tidak yakin kalau harta karun itu sesungguhnya ada. Biarlah anak-anak muda itu mencarinya. Kita akan menjadi saksi kebenaran dari cerita tentang harta karun itu. Jika anak-anak muda itu menemukannya, kita akan melihat, apa saja yang tersimpan di dalam persembunyian itu. Jika mereka tidak menemukannya, maka biarlah kita pada keyakinan kita bahwa sebenarnya harta karun itu memang tidak ada.”
Kelima orang itu termangu-mangu sejenak, sementara menantu petani yang terbunuh oleh racun itu berkata pula, “Bukankah paman-paman telah terlalu lama meninggalkan tugas paman?”
Orang tertua di antara kelima orang itu mengangguk. Namun katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mencarinya lagi. Kami merasa bahwa kami tidak akan mampu melawan ketiga orang anak muda itu, sehingga siapa pun yang menemukan harta karun itu tentu akan jatuh ke tangan mereka. Tetapi aku masih belum akan tergesa-gesa kembali ke pekerjaan kami. Aku masih ingin menunggu sampai dua hari lagi. Mungkin harta karun itu dapat diketemukan. Meskipun hanya sekedar menyaksikan apa isinya, tetapi rasa-rasanya kami akan ikut merasa puas.”
Menantu petani yang meninggal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya benda-benda di dalam rangkuman harta karun itu dapat mengutuk siapa pun yang bakal menemukannya. Mungkin buruk dan bahkan mungkin mati.”
Kelima orang itu mengangguk-angguk. Yang tertua berkata, “Baiklah. Jika demikian, biarlah aku tinggal di sini dalam dua hari lagi itu.”
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya itu pun telah meninggalkan rumah itu. Mereka telah kembali ke tikungan sungai. Mereka telah kembali sungai. Mereka benar-benar mencari di antara lekuk-lekuk batu padas di tikungan sungai itu. Tempat itu memang jarang sekali didatangi oleh seseorang sehingga tugas mereka sama sekali tidak terganggu.
Namun demikian Mahisa Murti pun berkata kepada Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya, “Kita harus berhati-hati. Aku merasakan bahwa kita berada dalam satu jebakan.”
“Apa yang akan terjadi?” bertanya anak muda itu.
“Kau tentu akan mendapat kawan lagi untuk berlatih. Dengan demikian, pengalamanmu akan cepat bertambah,” berkata Mahisa Pukat.
Anak muda itu tidak segera tahu maksudnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil bergumam, “Ya. Mudah-mudahan latihan yang tidak terlalu berat.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Latihan harus dilakukan setingkat demi setingkat. Semakin lama semakin berat. Jika latihan-latihan dilakukan pada tataran yang sama saja, maka kemampuanmu pun tidak akan meningkat.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Tetapi jika loncatan tataran itu terlampau cepat, maka segalanya akan berhenti.”
“Kenapa berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
“Latihan-latihan pun akan berakhir. Bahkan hidup pun berakhir pula,” jawab anak muda itu.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Mahisa Murti pun tertawa. Tetapi ia telah menemukan sesuatu. Anak muda itu telah berani menyebutnya dengan tatag. Dengan tabah tanpa rasa takut tentang hidup dan mati. Namun demikian Mahisa Murti tidak berkata apa pun juga.
Beberapa saat lamanya mereka mencari-cari. Tetapi mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada pertanda atau ciri atau apa pun yang dapat dipergunakannya sebagai ancar-ancar. Hal itu ternyata pula, karena kelima orang yang mencari harta karun itu juga tidak mempunyai ancar-ancar sama sekali.
“Kita akan berada di sini untuk waktu yang lama,” berkata Mahisa Murti. “malam nanti kita akan tidur di sini. Selagi sempat kita akan mencari makanan dan sekaligus bekal untuk semalam nanti.”
Mereka memang tidak perlu pergi terlalu lama. Mereka segera mendapatkan sebuah kedai yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Di kedai itu, beberapa orang sama sekali tidak terpancing memperkatakan apa pun juga tentang tikungan sungai yang disebut sebagai tempat untuk menyimpan harta karun itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang yakin, tidak ada orang lain yang pernah mendengar tentang harta karun itu.
Dengan beberapa jenis makanan sebagai bekal, maka ketiga orang anak muda itu kembali ke tikungan sungai yang sepi itu. Mereka pun kemudian mencari tempat mereka masing-masing untuk berbaring. Batu-batu besar memang banyak terdapat di tepian, justru di arah tepi.
“Kita akan beristirahat. Nanti, menjelang senja kita akan mencari lagi sampai saatnya kita tidak dapat melanjutkan karena gelap. Besok kita akan masih mempunyai banyak kesempatan,” berkata Mahisa Murti.
Namun anak muda yang menyertainya itu tiba-tiba bertanya, “Apakah kita memang ingin memiliki harta karun itu? Jika demikian kenapa kalian berdua tidak merampas saja harta orang tuaku yang akan diambil kembali oleh Ki Buyut yang baru? Bukankah kau mempunyai kemampuan untuk melakukannya? Padahal jika kita mendapatkannya, kita tidak tahu arti dari harta karun itu untuk apa sebenarnya. Kekayaan yang melimpah ternyata tidak membuat keluarga kami bahagia.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Selama perjalanan yang pendek, kau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan. Bukan saja dalam hal kewadagan, tetapi juga dalam hal kejiwaan.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” berkata anak muda itu.
“Nanti kau akan mengetahuinya,” jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk. Tetapi dengan demikian ia yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak benar-benar ingin mendapatkan harta karun itu secara wantah.
Untuk beberapa saat mereka beristirahat diatas batu-batu besar. Karena matahari telah condong, maka mereka berada dalam bayangan tebing sungai, sehingga mereka tidak merasakan sengatan panasnya matahari di sore hari.
“Tidurlah,” tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis, “jika saatnya datang, aku bangunkan kau. Kau perlu tidur untuk menghimpun kembali tenagamu.”
“Apakah kau juga akan tidur?” bertanya anak muda itu.
“Tidak. Aku tidak akan dapat tidur,” jawab Mahisa Murti.
“Kau pun tahu bahwa aku tidak terlalu mudah untuk tidur?” sahut anak muda itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun mereka memang beristirahat sambil berbaring diatas batu-batu besar yang berada pada bayangan tebing. Menjelang senja, justru mereka telah bersiap-siap. Sejenak kemudian, mereka mulai lagi memeriksa celah-celah batu-batu padas atau tempat-tempat lain yang akan menarik perhatian mereka. Namun mereka tidak segera menemukan apa yang mereka cari itu.
“Menjemukan,” berkata anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu, “kenapa kita mengurus harta karun yang belum tentu ada itu?”
“Ssst,” desis Mahisa Pukat, “yang penting bukan harta karun itu. Tetapi bukankah kau memang mencari kawan untuk berlatih?”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud Mahisa Pukat itu tanpa ragu-ragu lagi. Ketika hari mulai gelap, maka ketiga orang itu pun telah menghentikan usaha mereka. Mereka pun kemudian telah berada diatas pembaringan mereka kembali. Batu-batu besar di tepian. Namun mereka masih juga sempat makan bekal yang telah mereka beli sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak diperhitungkan, karena ia belum berpengalaman. Namun Mahisa Murti telah berpesan,
“Tetapi kau justru harus bersiap setiap saat. Demikian kau mendapat isyarat, kau harus segera bangun dan siap melindungi dirimu sendiri. Nah, mulailah berlatih berjaga-jaga sedapat mungkin. Pada saatnya kau akan mendapat giliran untuk bergantian berjaga-jaga sebagaimana kami.”
“Aku akan melakukannya,” jawab anak muda itu.
“Nah, baiklah. Sekarang kita beristirahat. Tetapi aku harus tetap tidak memejamkan mata sampai tengah malam,” berkata Mahisa Murti.
“Bagaimana jika kau tertidur?” bertanya anak muda itu.
“Aku sudah terbiasa melakukannya. Berbaring, beristirahat, tetapi tidak tidur,” jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Diamatinya langit yang biru. Bintang-bintang berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Selembar-selembar awan hanyut dibawa angin yang sejuk. Anak muda itu memang merasa dingin. Tetapi ia tidak berdesah. Hanya sekali-sekali tangannya mengusir nyamuk yang menggigit kulitnya.
Namun anak itu sempat berpaling ketika didengarnya nafas Mahisa Pukat mulai mengalir dengan teratur. Ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur nyenyak. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin tidur, ia ingin berjaga-jaga seperti Mahisa Murti sejauh dapat dilakukan. Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang mulai bergeser ke Barat. Sementara angin yang dingin bagaikan menusuk sampai ke tulang.
Anak muda itu mulai memiringkan tubuhnya. Kakinya mulai berkerut oleh dingin malam, menyusup di bawah kain panjangnya. Meskipun sekali-sekali matanya mulai terpejam, tetapi ia berusaha untuk tetap tidak tidur. Namun ternyata sangat sulit untuk melakukannya, sehingga pada suatu saat, maka rasa-rasanya segala-galanya telah hilang dari pengamatan inderanya.
Namun tengah malam, anak muda itu telah terbangun. Rasa-rasanya punggungnya telah dikenai sesuatu yang membuatnya terbangun. Bahkan rasa-rasanya punggungnya memang menjadi sakit oleh sentuhan kerikil yang dilontarkan dengan kuat sekali. Anak muda itu berusaha untuk menahan diri. Ia masih belum tahu apa yang terjadi. Tetapi ia pun kemudian menggeliat sambil menelentangkan tubuhnya. Bahkan di luar sadarnya ia telah meraba hulu pedangnya. Sejenak ia menunggu. Namun akhirnya ia mendengar sesuatu berdesir di pasir tepian yang lembut.
Anak muda itu justru terkejut ketika ia mendengar suara Mahisa Murti, “Selamat malam Ki Sanak. Marilah, silahkan mendekat. Mungkin kami tidak dapat menyambut kalian dengan cara yang lebih baik.”
Orang-orang yang datang itu pun tertegun. Mereka tidak mengira bahwa kedatangan mereka telah diketahui oleh anak-anak muda yang disangkanya tidur itu. Ternyata Mahisa Murti pun kemudian telah bangkit. Demikian pula Mahisa Pukat yang juga sudah terbangun, disusul anak muda yang menyertai mereka itu.
Orang-orang yang datang itu pun dengan serta merta telah bergeser mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Ternyata jumlah mereka lebih banyak dari hanya lima orang yang telah datang kepada mereka di siang hari.
“Siapakah kalian?” bertanya Mahisa Murti kepada orang-orang itu, “siapakah pemimpin kalian di sini?”
Seorang di antara mereka melangkah maju. Orang itu mempergunakan ikat kepalanya untuk menutup sebagian dari wajahnya, sehingga Mahisa Murti tidak dapat mengenalinya.
“Seharusnya kamilah yang bertanya kepada kalian,” berkata orang itu dengan nada suara yang sangat berat dibuat-buat.
“Kami adalah pengembara yang kebetulan kemalaman di sini,” jawab Mahisa Murti.
“Omong kosong,” geram orang yang bertutup wajah itu, “kalian tentu sedang mencari harta karun di sini.”
“Harta karun?” bertanya Mahisa Murti, “apakah di sini ada harta karun?”
“Kau tidak usah berpura-pura,” geram orang itu, “kau tentu sedang mencarinya.”
“Kami sama sekali tidak tahu menahu tentang harta karun,” berkata Mahisa Murti sambil memperhatikan orang-orang yang mengepung mereka. Meskipun digelapnya malam, namun ketajaman pandangan matanya mampu mengenali orang-orang itu, bahwa tidak seorang pun di antara mereka adalah orang-orang yang ditemuinya di siang hari.
“Bohong,” bentak orang itu, “kalian tahu pasti tentang harta karun itu. Jangan berputar-putar.”
“Lalu apakah maksudmu? Apakah kami harus pergi dari tempat ini?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, “begitu enaknya pergi dari tempat ini? Semua orang yang telah mengetahui ada harta karun di sini, tentu akan mati.”
“Jadi kalian akan membunuh kami bertiga karena kalian menduga bahwa kami mengetahui tentang harta karun itu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu menjawab dengan lantang, “Kami tidak sekedar menduga. Kami tahu pasti bahwa kalian sedang mencari harta karun di sini. Karena itu, maka kalian harus mati seperti juga orang lain yang harus mati jika mereka mengetahui tentang harta karun itu.”
“Apakah ada orang yang pernah mati karena mengetahui bahwa di sini ada harta karun?” bertanya Mahisa Murti.
“Petani itu,” jawab orang bertutup wajah itu.
“Adakah yang lain?” desak Mahisa Murti.
“Kalian bertiga,” jawab orang itu.
“Kenapa anak perempuan petani itu tidak mati? Kenapa kelima orang itu juga tidak mati?” bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Pada saatnya mereka akan mati.”
“Mereka tahu lebih dahulu dari aku, karena aku baru tahu sekarang. Kenapa mereka tidak mati lebih dahulu?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Persetan,” geram orang itu, “itu urusanku. Kau yang telah mengetahui harta karun ini harus mati. Kapan pun aku menghendaki maka kalian tidak akan dapat mengelak lagi.”
Tetapi jawaban Mahisa Murti sangat mengejutkan. Katanya, “Kau sayang membunuh perempuan anak petani itu meskipun kau sampai hati meracun ayahnya?”
“Apa maksudmu,” suara orang itu bergetar.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang orang yang aneh. Coba katakan, kecuali kelima orang itu, anak dan menantu petani yang meninggal, siapa lagi yang mengetahui tentang harta karun itu?”
“Bukan urusanmu,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Sekarang kamilah yang kalian anggap mengetahui harta karun itu. Karena itu, jika kalian juga mengetahui, apalagi mengetahui letaknya, katakan kepada kami agar kami dapat menemukannya.”
“Persetan,” geram orang itu, “apakah kau sudah gila?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Nah, sekarang katakan, di mana harta karun itu kau sembunyikan,” Mahisa Pukat lah yang kemudian berbicara, “jangan menunggu kami marah. Jika kalian bersedia menunjukkan di mana letak harta karun itu, maka kalian tidak akan kami bunuh.”
Orang-orang itu justru menjadi bingung. Bahkan anak muda yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi bingung pula. Kenapa Mahisa Pukat lah yang kemudian mengancam orang-orang itu.
Namun sejenak kemudian orang yang wajahnya tersembunyi di belakang ikat kepala itu berteriak, “Kalian telah menjadi gila karena ketakutan. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku akan tetap membunuh kalian.”
“Cepat,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “tunjukkan dimana harta karun itu kau sembunyikan. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu lebih lama di sini. Sebelum lidahmu aku potong.”
Orang bertutup wajah itu masih juga heran melihat sikap Mahisa Pukat. Apalagi ketika Mahisa Pukat membentaknya, “Berlutut dihadapanku dan katakan dengan jelas, di mana harta karun itu kau sembunyikan. Jika ternyata kau tidak berkata sebenarnya, aku akan memotong lidahmu dari pangkalnya.”
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun orang bertutup wajah itu kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang jumlahnya cukup banyak, sepuluh orang, untuk menyerang.
Tetapi mereka tertegun ketika mereka mendengar Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Melawan lima orang kami masih sempat memperhitungkan kemampuan kami, agar kami tidak membunuh seorang pun meskipun kami masih juga melukai mereka. Tetapi melawan sepuluh orang nampaknya kami memang harus membunuh. Sedikitnya kami akan membunuh lima orang di antara kalian, baru kami akan mampu mengendalikan diri.”
“Cukup,” teriak orang bertutup wajah itu. Lalu katanya, “Bunuh mereka.”
Belum lagi mulut orang itu terkatub rapat, mereka telah dikejutkan oleh erang kesakitan salah seorang di antara mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang telah dilakukan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah menangkap seorang di antara orang-orang yang sudah siap menerkamnya. Tangan Mahisa Pukat melingkar di leher orang itu sedangkan tangannya yang lain mengunci lingkaran tangannya itu sambil menekan dagu orang itu. Katanya,
“Aku akan memberikan satu contoh saja. Aku dapat membunuh orang ini dengan mematahkan lehernya. Tetapi aku hanya akan membuatnya pingsan saja.”
Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban. Ia memang tidak memutar leher orang itu dengan hentakkan lingkaran tangannya. Namun tiba-tiba saja orang itu dilepaskan, tetapi sekaligus kedua tangan Mahisa Pukat telah bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata wadag. Dengan ujung-ujung jarinya yang merapat, maka Mahisa Pukat telah menyentuh punggung orang itu di dua tempat. Kemudian sekali di bagian belakang lehernya. Sejenak kemudian maka orang itu pun telah terjatuh di pasir tepian.
“Satu orang telah tidak berdaya. Nah, apa kata kalian?” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu tiba-tiba ia berteriak, “Cepat katakan di mana harta karun itu, atau aku harus membunuh kalian semuanya.”
Ancaman itu sungguh tidak masuk akal orang-orang yang siap menyerang anak-anak muda itu. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Kami tidak boleh menyia-nyiakan kedatangan kalian. Mungkin memang satu kurnia yang tidak kami duga sebelumnya bahwa kami akan mendapatkan harta karun itu.”
Orang yang wajahnya tersembunyi itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Meskipun ia sadar, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang tinggi, tetapi mereka masih mempunyai jumlah orang yang cukup banyak untuk membunuh ketiga orang anak muda itu.
Karena itu, maka orang itu pun berteriak sekali lagi, “Bunuh mereka.”
Mahisa Pukat tidak sempat berbuat dengan tiba-tiba sekali lagi. Orang-orang itu sudah siap sepenuhnya. Sehingga sejenak kemudian mereka pun telah menyergap ketiga orang anak muda itu.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah berbisik di telinga anak muda yang menyertainya itu, “Mereka benar-benar akan membunuh. Karena itu, kau harus menjaga dirimu baik-baik. Tetapi yakinlah bahwa ilmu pedangmu telah mencapai satu tataran yang jarang ada bandingnya. Kau telah menemukan satu ungkapan yang khusus, yang hanya dapat kau lakukan sendiri. Bahkan aku pun tidak.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah menyergap ketiga orang anak muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah saling memberikan isyarat, bahwa mereka akan bertempur bersama-sama. Kepada anak muda yang menyertainya itu Mahisa Pukat berkata, “Kita berada dalam satu kelompok.”
Demikianlah ketiga orang anak muda itu berdiri saling membelakangi. Mereka menghadap ketiga arah untuk menghadapi lawan-lawan mereka yang telah mengepung mereka.
Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Orang-orang yang datang itu benar-benar ingin membunuh, sehingga mereka pun telah langsung mempergunakan senjata mereka. Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang bersamanya itu pun telah menggenggam senjata pula.
Ternyata bahwa sejenak kemudian, pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Ketiga anak muda itu harus bertempur dengan keras untuk melawan ujung-ujung senjata yang menyerang mereka dengan garangnya.
Namun dalam pada itu, anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu benar-benar mampu mengetrapkan ilmu pedangnya dengan baik. Ternyata ia untuk beberapa saat dapat mengimbangi permainan pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi lawan mereka memang terasa terlalu banyak. Orang-orang itu bergerak-gerak dengan cepat saling mengisi dengan serangan-serangan yang datang beruntun. Berurutan seperti datangnya gelombang di pantai. Bagaimanapun juga anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu masih belum cukup berpengalaman. Karena itu, kadang-kadang ia memang menjadi bingung meskipun kemudian ia kembali berhasil menguasai dirinya.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berbuat sesuatu agar kelemahan itu tidak terbaca oleh lawan-lawan mereka. Sekali-sekali Mahisa Murti lah yang harus menunjukkan kelemahan . Di saat lain Mahisa Pukat lah yang hampir saja tersentuh ujung senjata lawan mereka. Namun ujung senjata itu ternyata tidak pernah mampu menyentuh tubuh salah seorang dari ketiga orang anak muda itu.
Tetapi setelah bertempur beberapa lama, maka kekuatan anak muda yang belum berpengalaman itu memang mulai menjadi susut. Meskipun sebenarnya ia mempunyai daya tahan yang tinggi, tetapi karena ia harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya, maka kekuatannya itu pun telah mulai terpengaruh oleh pengerahan tenaganya yang berlebihan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui keadaan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat, bahwa sudah saatnya untuk menghentikan pertempuran itu.
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kemampuannya pula justru untuk menutupi kelemahan anak muda yang belum berpengalaman itu. Mereka sudah tidak mungkin lagi menyembunyikan kelemahannya, sehingga diketahui oleh lawannya. Bahkan orang bertutup wajah itu pun telah berteriak,
“Satu di antara mereka bertiga dapat diselesaikan lebih dahulu.”
Namun demikian mereka mulai mengarahkan serangan-serangan mereka kepada anak muda itu, maka kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berlipat. Kedua anak muda itu bukan saja mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya, tetapi keduanya mulai merambah kepada ilmu mereka yang mendebarkan.
Ternyata mereka telah menyalurkan kemampuan ilmu mereka melalui senjata di tangan mereka. Menurut pertimbangan mereka, cara itu tidak terlalu banyak memancing korban. Jika keduanya melontarkan kekuatan ilmu mereka, maka sasarannya akan tidak mungkin tertolong lagi tanpa perisai ilmu yang memadai.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya menjadi membingungkan bagi lawan-lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setiap kali, meskipun mereka mengarahkan serangan mereka kepada anak muda yang mereka anggap paling lemah, namun yang membentur senjata mereka adalah senjata kedua orang anak muda yang lain. Bahkan rasa-rasanya benturan itu semakin lama menjadi semakin menggelisahkan mereka.
Dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur melawan ketiga orang anak muda itu harus mengerahkan tenaga mereka untuk mengatasi benturan-benturan yang terjadi. Namun orang-orang itu semakin lama menjadi semakin gelisah.
Meskipun mereka yakin bahwa seorang di antara ketiga orang anak muda itu mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dengan yang lain, tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengarahkan serangan-serangan mereka kepadanya. Kedua anak muda yang lain ternyata memiliki ketangkasan dan kekuatan yang luar biasa, sehingga perhatian mereka seakan-akan harus selalu diberikan kepada kedua anak muda itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergerak berputaran. Sekali-sekali mereka telah mendesak anak muda yang menyertainya itu. Namun kemudian mereka berputaran kembali sehingga lawan-lawannya memang tidak akan mungkin memilih lawan dan memilih sasaran serangan.
Bahkan sejenak kemudian, keseimbangan pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Ketiga anak muda itu berhasil mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menentukan, maka dengan isyarat keduanya telah bergerak dengan serentak. Hanya dengan beberapa gerakan, maka beberapa buah senjata dari lawan-lawan mereka pun telah terlepas dari tangan mereka.
Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu menjadi gelisah. Ia mengira bahwa dengan sepuluh orang ia akan dapat mengatasi ketiga orang anak muda itu. Apalagi orang-orang yang dibawanya adalah orang-orang terbaik yang dikenalnya. Namun orang yang wajahnya tersembunyi itu akhirnya tidak dapat menolak satu kenyataan bahwa orang-orangnya benar-benar tidak akan mampu melawan ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali melarikan diri dari arena pertempuran.
Dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya, orang bertutup wajah itu justru telah memanfaatkan orang-orangnya yang masih berusaha untuk bertahan. Orang itu telah berusaha menyelinap keluar dari arena pertempuran. Tetapi ia terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba saja telah terbanting jatuh oleh dorongan yang sangat kuat di punggungnya. Ketika ia bangkit, maka dilihatnya seorang dari ketiga orang anak muda itu telah berdiri di sisinya.
“Kau mau ke mana Ki Sanak,” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menjadi bingung. Ia tidak melawan sama sekali ketika Mahisa Murti membimbingnya kembali kepada orang-orangnya. Sementara itu, ternyata bahwa orang-orangnya yang dianggapnya terbaik itu pun telah menyerah. Mereka telah melepaskan senjata mereka dan berdiri berjajar sambil menundukkan kepala.
Jantung orang yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu terasa berdegup semakin keras. Dengan suara berat Mahisa Murti berkata, “Kawan-kawanmu telah menyerah. Ternyata ada beberapa di antara mereka telah terluka. Sengaja atau tidak sengaja, maka terluka dalam perkelahian itu adalah wajar sekali. Tetapi untunglah bahwa tidak ada di antara mereka yang terluka parah. Mungkin jika ada yang menjadi sangat lemah, karena mereka telah mengucurkan darah terlalu banyak. Karena itu, maka luka-luka itu harus segera diobati.”
Kata-kata itu terasa bagaikan getaran-getaran guruh yang menghentak-hentak di dada orang yang menyembunyikan wajahnya itu. Apalagi kemudian ketika salah seorang di antara anak muda itu bertanya, “Siapakah kau sebenarnya? Untuk apa kau sembunyikan wajahmu? Apakah kau mengira bahwa kami akan dapat mengenalimu?”
Orang itu termangu-mangu. Namun kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Sebaiknya kau berterus terang,” desak Mahisa Murti, “aku dapat berbuat apa saja di sini. Tidak ada orang yang dapat mencegahku untuk membunuhmu, melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidup. Jika nanti ada di antara kalian sempat melaporkannya kepada Ki Buyut yang memerintah daerah ini, maka aku tentu sudah pergi sejauh-jauhnya sehingga kalian tidak akan dapat menemukan kami kembali. Sementara itu, kami sama sekali tidak berminat untuk mendapatkan harta karun berapa pun banyaknya. Sebaiknya harta karun itu jika memang ada, harus diserahkan kepada Ki Buyut atau orang lain yang memang mempunyai hak.”
Tetapi orang itu masih saja berdiam diri.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian semakin keras, “jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran. Kau kira kami tidak dapat memaksa orang-orangmu untuk berbicara tentang dirimu. Kami akan dapat menyeret seorang di antara mereka dan menindih tubuhnya dengan batang kayu yang berat sampai ia mau berbicara tentang kau. Batang kayu itu tidak akan disingkirkan sampai orang itu menyebut namamu atau kedudukanmu.”
Orang itu memang menjadi sangat gelisah. Tetapi orang itu tetap berdiam diri. Ternyata Mahisa Pukat lah yang tidak sabar. Katanya, “Kami dapat membuka tutup wajahmu dengan paksa tanpa dapat kau cegah. Tetapi kami ingin pengakuanmu. Jika kau tidak mau menyebut dirimu sebelum kami membuka kedokmu, maka kau akan mengalami perlakuan yang buruk sekali. Kepalamu akan kami rendam di dalam air itu. Hanya wajahmu sajalah yang akan nampak di permukaan tanpa tutup wajah lagi. Jika sekali-sekali air sungai itu masuk ke dalam hidung dan mulutmu, itu bukan salah kami.”
Orang yang bertutup wajah itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia yakin bahwa anak-anak muda itu tidak benar-benar akan memperlakukannya sebagaimana dikatakannya. Menurut penilaiannya, bahwa anak-anak muda itu tidak berusaha membunuh orang-orangnya adalah pertanda bahwa anak-anak muda itu memang bukan pembunuh, sementara mereka memang mempunyai keyakinan pada diri sendiri yang sangat kuat. Karena itu, maka perlahan-lahan, betapa pun sakitnya hati orang itu, maka orang itu telah membuka tutup wajahnya.
Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Orang itu adalah menantu petani yang telah terbunuh oleh racun itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terkejut lagi. Mereka memang sudah memperhitungkan bahwa orang itulah yang telah melakukannya. Orang itu pulalah yang telah membunuh ayah mertuanya dengan racun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mendekatinya. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Katakan yang sesungguhnya, bukankah kau yang telah meracuni mertuamu, justru karena mertuamu mengetahui rahasia harta karun itu?”
Orang itu hanya menundukkan kepalanya. Sementara itu Mahisa Murti berkata pula, “Kau memang tidak membunuh pamanmu yang juga mengetahui tentang adanya harta karun itu, justru karena kau ingin memanfaatkan mereka. Tetapi jika mereka pada suatu saat menemukannya, maka mereka pun akan mati karena racun pula. Kau dapat memperalat isterimu untuk melakukannya, karena pamanmu itu tentu tidak akan mencurigai isterimu, karena isterimu pulalah yang telah memberitahukan tentang harta karun itu.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Sementara Mahisa Murti pun bertanya, “Ki Sanak. Kau akan kami serahkan kepada Ki Buyut. Katakan kepada kami, apakah kalian akan minta diri kepada isterimu? Tentu isterimu tidak akan menduga sama sekali, bahwa kaulah yang telah membunuh ayahnya.”
Orang itu masih berdiri membeku di tempatnya. Bahkan kemudian nampak betapa kegelisahan benar-benar mencengkamnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Jangan bawa aku kepada isteriku. Aku tidak akan sanggup menentang matanya. Bawa aku kepada Ki Buyut saja.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti. Lalu ia pun berpaling ke arah mereka yang menyerah, “dua orang di antara kalian kemari. Dua orang yang berdiri di kedua ujung.”
Dua orang yang kebetulan berada di ujung dari sederet orang-orang yang menyerah itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu maksud anak-anak muda itu. Namun keduanya telah melangkah mendekat.
Ketika keduanya berdiri termangu-mangu, Mahisa Murti-pun berkata, “Pergilah kepada Ki Buyut.”
Kedua orang itu segera dapat menangkap maksud Mahisa Murti. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak berani lagi bertanya. Mahisa Murti yang melihat kegelisahan kedua orang itu pun kemudian menjelaskan,
“Pergilah kepada Ki Buyut, dan laporkan apa yang telah terjadi di sini. Aku tidak perlu mengajari kalian. Kalian telah melihat sendiri, bahkan kalian telah terlibat langsung,” Mahisa Murti berhenti sejenak. Ketika ia melihat luka di pundaknya salah seorang dari keduanya, maka ia pun berkata, “Obati lukamu dan tunjukkan kepada Ki Buyut, bahwa kau telah terluka.”
“Aku tidak mempunyai obatnya,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak sampai hati membiarkan orang itu kehilangan terlalu banyak darah, sehingga mungkin akan dapat pingsan di perjalanan. Karena itu, maka ia pun kemudian telah mengobati orang itu yang dapat memberikan pertolongan setidak-tidaknya untuk sementara, dengan menaburkan obat pada luka orang itu.
“Jangan kau gosok. Dan jangan kau gerakkan tanganmu agar pundakmu tidak bergerak pula,” berkata Mahisa Murti, “berjalanlah dengan kakimu. Kau tidak perlu melenggangkan tanganmu selama berjalan.”
Orang itu mengangguk.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku tidak perlu mengajarimu apa yang perlu kau katakan. Kau tentu akan melakukannya dengan jujur, karena kau tahu, aku dapat berbuat apa saja atasmu dan bahkan keluargamu.”
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah memang tidak terkilas sedikit pun niatnya untuk berbuat tidak jujur, karena keduanya mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.
Sepeninggal orang itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menaburkan obat kepada mereka yang telah terluka. Agaknya menurut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka memang tidak sepatutnya mati karena kehabisan darah. Mereka tidak bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di tikungan sungai itu.
“Kita harus menunggu di sini,” berkata Mahisa Murti, “silahkan duduk. Aku yakin bahwa kalian tidak akan melakukan hal-hal yang akan dapat merugikan diri kalian sendiri.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Namun mereka pun kemudian telah duduk diatas pasir tepian, sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertai mereka duduk diatas batu yang basah oleh embun.
“Mudah-mudahan kita tidak menunggu terlalu lama,” berkata Mahisa Pukat, “jika Ki Buyut tidak mempercayai kedua orang itu, mungkin ia tidak akan datang kemari.”
“Mudah-mudahan Ki Buyut mempercayainya,” desis Mahisa Murti
Mahisa Pukat yang kurang telaten menunggu justru telah berbaring diatas sebuah batu yang besar, sementara Mahisa Murti dan anak muda yang menyertainya duduk sebelah menyebelah. Namun anak muda itu pun berdesis,
“Tetapi apakah Ki Buyut akan mempercayainya. Mungkin kedua orang itu akan mengatakan lain dari yang sebenarnya. Atau bahkan Ki Buyut datang dengan sepasukan pengawal untuk menangkap kita karena kedua orang itu telah mengatakan yang tidak sebenarnya.”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku yakin, mereka tidak akan berbuat demikian. Mereka akan mengatakan apa adanya. Dan aku yakin Ki Buyut akan datang kemari.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia pun menduga demikian. Sementara itu, Mahisa Pukat yang berbaring diatas batu itu pun justru telah hampir tertidur karenanya, ketika ia mendengar beberapa orang yang berjalan tergesa-gesa mendekati mereka. Bahkan mereka pun telah berbicara dengan ributnya.
Mahisa Pukat yang hampir tertidur itu pun telah meloncat bangkit. Demikian pula Mahisa Murti dan anak muda yang menyertainya itu pun telah menyongsong kedatangan orang-orang itu.
“Apa yang terjadi,” orang yang sudah separuh baya, yang berdiri di paling depan bertanya kepada orang-orang yang ada ditikungan sungai itu.
Seorang di antara kedua orang yang memanggil Ki Buyut itu pun berkata kepada Mahisa Murti, “Inilah Ki Buyut.”
Mahisa Murti mengangguk hormat. Katanya, “Selamat malam Ki Buyut. Agaknya kedua orang itu sudah melaporkan apa yang terjadi di sini.”
“Ya. Tetapi haruskah aku percaya begitu saja?” bertanya Ki Buyut.
“Sekarang Ki Buyut berhadapan dengan kami semuanya. Silahkan bertanya kepada setiap orang di antara kami. Bahkan orang yang telah memimpin beberapa orang pengikutnya itu,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan menyelidiki peristiwa ini.”
“Silahkan Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “adalah kewajiban Ki Buyut untuk menentukan sikap setelah mengadakan penelitian seperlunya.”
“Aku sudah tahu,” jawab Ki Buyut, “kalian semuanya harus ikut bersama kami.”
“Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “aku kira kami bertiga akan tinggal di sini. Jika tikungan ini ditinggal dalam keadaan seperti ini, maka kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi. Kesempatan seperti ini akan dapat dipergunakan oleh orang-orang yang berniat buruk untuk mengambil harta karun jika memang ada.”
“Aku ulangi, kalian semuanya harus ikut bersama kami ke banjar. Aku akan menyelidiki keadaan ini sampai tuntas,” berkata Ki Buyut.
“Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti pula, “kami tidak berkeberatan. Tetapi kami mohon diijinkan untuk tinggal di sini malam ini. Besok pagi-pagi aku mohon sekelompok orang untuk membantuku mencari harta karun itu. Jika harta itu memang ada, maka harta karun itu akan menjadi milik Kabuyutan.”
Tetapi agaknya Ki Buyut tidak mau mendengarkannya. Karena itu, maka ia pun telah membentak, “Jangan membantah! Aku perintahkan kalian semuanya pergi ke banjar.”
“Tetapi harta karun ini akan dapat hilang,” Mahisa Pukat lah yang menjawab.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kami harus pergi ke banjar, maka kami harap Ki Buyut menugaskan sekelompok pengawal untuk tinggal di sini sampai besok.”
“Kau tidak usah memerintah aku, kau dengar?” Ki Buyut itu justru berteriak, “apakah aku akan memerintahkan orang tinggal di sini atau tidak, itu tergantung kepada kebijaksanaanku. Sekarang, cepat, kita pergi.”
Orang-orang yang datang menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat, termasuk orang yang semula menutup wajahnya itu. Namun agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertai mereka berkeberatan untuk memenuhinya.
Bahkan Mahisa Murti pun berkata, “Ki Buyut. Jika Ki Buyut tidak memerintahkan untuk menunggui tempat ini, maka Ki Buyut mungkin akan menyesal.”
“Tutup mulutmu anak bengal,” geram Ki Buyut.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjawab, “Kami tidak akan ikut Ki Buyut.”
Wajah Ki Buyut terasa menjadi panas. Bahkan untuk beberapa saat ia justru bagaikan membeku. Ia tidak menduga sama sekali bahwa seseorang telah berani membantah perintahnya, bahkan langsung dihadapannya.
Mahisa Pukat yang sudah sejak semula merasa kecewa karena beberapa peristiwa yang beruntun itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Katanya selanjutnya, “Jika kalian mau pergi, pergilah.”
Ki Buyut pun ternyata sudah menjadi sangat marah. Karena itu maka katanya mengancam, “Aku dapat menghukummu dengan cara apa pun juga. Aku pun akan dapat membunuhmu jika aku mau.”
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia pun bertanya kepada orang-orang yang telah dikalahkannya itu, “He, apakah kalian ingin melihat pertempuran lagi terjadi di sini?” Lalu kepada orang yang menghadap Ki Buyut itu pun ia bertanya, “Apakah kalian tidak melaporkan, siapa kami?”
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kami sudah mengatakan apa yang telah terjadi di sini. Kami juga mengatakan apa yang telah kalian lakukan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Ki Buyut sudah mengetahui tentang kami bertiga? Jika demikian Ki Buyut juga telah menantang kami.”
“Anak setan,” geram Ki Buyut.
“Kami sudah terlanjur melangkah,” berkata Mahisa Pukat, “apa boleh buat. Jika Ki Buyut menantang kami, kami akan melayaninya. Kami sudah mengalahkan lima orang. Kemudian sepuluh orang namun terpaksa kami melukai beberapa orang di antara mereka. Jika Ki Buyut menganggap bahwa semakin banyak orang akan menjadi semakin kuat dan ingin memaksakan kemauannya kepada kami, maka kami pun akan melawannya. Tetapi kami tidak hanya akan melukai seseorang. Tetapi kami benar-benar membunuh. Ki Buyut lah yang akan bertanggung jawab.”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Ia memang sudah mendengar laporan tentang ketiga orang anak muda itu. Tetapi Ki Buyut ingin menunjukkan kekuasaannya betapa pun ia merasa gentar menghadapi sikap anak-anak muda itu. Dan ia pun tidak menduga, bahwa anak-anak muda itu langsung menentang perintahnya dihadapan orang-orangnya, meskipun mereka melihat Ki Buyut itu datang dengan jumlah orang yang terlalu banyak bagi tiga orang itu. Namun nampaknya ketiga orang anak muda itu sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh jumlah orang yang banyak itu.
Tetapi Ki Buyut sudah terlanjur mengeluarkan perintah. Karena itu, maka ia tidak dapat mencabutnya. Dengan demikian maka harga dirinya dihadapan orang-orangnya akan jatuh. Karena itu, maka ia pun ingin mengancam sebagaimana anak-anak muda itu mengancam. Katanya, “Cepat lakukan perintahku. Jika pada saat aku kehilangan kesabaran kau masih belum melangkah ke banjar, maka kau akan benar-benar menyesal.”
Dan Ki Buyut itu tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat justru berteriak, “Cukup. Aku sudah menjadi pening karena harta karun yang semula tidak aku ketahui ujung pangkalnya itu. Sekarang aku ingin tidak diganggu lagi. Pergilah jika kalian mau pergi. Tetapi jika kalian berusaha mengganggu kami, maka kami tidak akan mengampuni kalian lagi. Aku sudah menjadi jemu. Aku ingin beristirahat tanpa diganggu.”
Ki Buyut memang menjadi sangat marah. Tetapi nampaknya anak-anak muda itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka Ki Buyut memang harus mengambil langkah. Ia memang tidak ingin mengorbankan harga dirinya, tetapi ia pun tidak ingin mengorbankan orang-orangnya. Karena itu maka katanya,
“Aku masih sempat mengendalikan perasaanku sekarang ini. Aku memang tidak ingin terjadi kekerasan meskipun aku mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. Aku dapat menghukummu dan bahkan membunuhmu. Tetapi aku masih ingat kedudukanku bukan saja menguasai, tetapi juga pelindung. Aku ampuni sikapmu. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa malam ini selain berada di tempat ini. Aku tugaskan para pengawalku untuk mengawasi kalian. Tetapi jika kalian masih juga berbuat kasar, maka kalian akan menyesal karena aku tidak akan mengendalikan diri lagi.”
Mahisa Pukat masih akan menjawab. Tetapi Mahisa Murti menggamitnya sambil berbisik, “Sudahlah. Biarlah mereka segera pergi dan kita mendapat kesempatan untuk tidur. Sebentar lagi fajar tentu menyingsing. Tetapi jika kau ribut saja, mereka- pun akan tetap ribut juga di situ.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berusaha menekan kejengkelan yang tertimbun di dalam dirinya.
Karena Mahisa Pukat tidak lagi menjawab, maka Ki Buyut pun kemudian telah mulai bergerak. Namun ia masih juga meneriakkan perintah, “Awasi mereka. Jangan sampai mereka meninggalkan tempat itu.”
Sekali lagi Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat. “Kita akan mempergunakan sisa malam ini,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat memang terdiam. Sementara itu, Ki Buyut- pun telah bergerak meninggalkan tepian sambil membawa orang-orang yang telah menyerang ketiga anak muda itu. Namun bagaimanapun juga Ki Buyut itu memang merasa tersinggung oleh sikap Mahisa Pukat. Tetapi ia pun percaya, jika terjadi kekerasan, maka tentu akan jatuh korban. Ketiga orang anak muda yang nampaknya memang sudah sangat letih itu akan dapat membunuh lebih dari jumlah mereka itu. Bahkan dapat dua tiga kali lipat.
Sepeninggal Ki Buyut dan sebagian pengiringnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi para pengawal yang tinggal untuk mengawasinya. Mereka pun tidak lagi memikirkan, bahwa seandainya Ki Buyut bersikap lebih lunak, ia tidak akan mengalami sentuhan pada harga dirinya. Tetapi justru karena ia ingin menunjukkan kekuasaannya, maka ia justru telah tersinggung karenanya.
“Aku akan tidur,” berkata Mahisa Murti, “kaulah yang sekarang yang berjaga-jaga. Malam tinggal di ujung kecil,” berkata Mahisa Murti.
“Tidurlah. Aku sudah terlalu lama tidur. Apalagi jantungku rasa-rasanya masih panas, sehingga aku tidak mungkin lagi dapat tidur,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Ia memang berbaring diatas batu yang meskipun agak basah oleh embun. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti memang dapat tidur di sisa malam yang pendek.
Anak muda yang menyertainya itu pun telah mencoba untuk dapat tidur pula. Justru karena di sekitarnya terdapat banyak pengawal dan Mahisa Pukat yang marah itu sudah berjanji akan berjaga-jaga.
Tetapi batu yang basah oleh embun itu rasa-rasanya terlalu dingin di kulitnya. Sehingga karena itu, maka ia pun telah berpindah tempat. Justru duduk diatas pasir yang telah disisihkan permukaannya yang basah oleh embun, bersandar batu. Batu itu memang terasa dingin, tetapi tidak sedingin permukaannya yang menghadap langit, yang basah karena embun. Ternyata anak muda itu sempat pula memejamkan matanya karena sebenarnya ia memang letih dan mengantuk.
Tetapi keduanya tidak sempat tidur cukup lama. Beberapa saat kemudian cahaya merah sudah memancar di langit, sehingga mereka harus bangun dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Jika kemudian matahari terbit, maka banyak hal yang dapat terjadi. Ki Buyut itu dapat berbuat baik tetapi juga dapat berbuat kasar. Karena itulah maka ketiga anak muda itu pun harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, para pengawal yang tersebar di sekitar tempat itu pun telah bersiap-siap pula. Mereka tidak tahu perintah apakah yang akan mereka terima dari Ki Buyut. Namun seperti ketiga anak muda itu, maka mereka pun menyadari, bahwa pada hari itu tentu ada sesuatu yang akan terjadi.
Di banjar, Ki Buyut sama sekali tidak sempat tidur sama sekali. Berturut-turut ia sudah memeriksa orang-orang yang ditangkapnya. Bahkan Ki Buyut pun telah memerintahkan untuk menangkap lima orang, termasuk saudara petani yang telah terbunuh oleh racun itu dan anak petani itu, isteri dari orang yang telah berusaha membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu.
Dengan demikian maka Ki Buyut pun telah mendapat gambaran yang sebenarnya tentang peristiwa yang terjadi di pinggir sungai itu. Bahkan dari perempuan yang ditinggal mati ayahnya karena racun itu, Ki Buyut mendapat beberapa petunjuk yang lebih meyakinkan tentang adanya harta karun di tikungan sungai itu.
Karena itu, maka Ki Buyut pun tidak mau menunda-nunda waktu lagi. Begitu ia merasa cukup memeriksa orang-orang yang dibawa ke banjar serta orang-orang lain yang ditangkapnya, maka ia pun telah bersiap untuk pergi ke tikungan sungai.
“Kita akan menggali tebing di tikungan sungai itu,” berkata Ki Buyut, “bawa alat-alat secukupnya.”
Dengan demikian maka para pengawalnya telah mempersiapkan beberapa jenis alat yang mungkin akan dipergunakan. Sementara itu Ki Buyut pun telah minta agar perempuan yang mendapat pesan langsung dari ayahnya yang meninggal itu ikut pula bersamanya. Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka Ki Buyut pun telah pergi ke tikungan sungai, betapa pun tubuhnya merasa letih.
Ternyata matahari telah mulai memanjat langit. Karena itu Ki Buyut pun menjadi tergesa-gesa. Agaknya yang dilakukan di banjar cukup lama dan melelahkan. Ketika Ki Buyut sampai di tikungan bersama-sama dengan beberapa orang pengawalnya serta membawa alat-alat yang cukup, para pengawalnya yang telah berada di pinggir sungai itu- pun telah menyambutnya.
“Apa yang harus kita lakukan Ki Buyut?” bertanya pemimpin pengawal yang ada di sekitar tikungan sungai itu.
“Di mana anak-anak muda itu?” bertanya Ki Buyut.
“Mereka masih berada di bawah tebing di tikungan sungai itu,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Aku akan menemui mereka,” berkata Ki Buyut.
“Apakah kami harus bersiap-siap menghadapi mereka bertiga?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut itu menggeleng sambil berkata, “Tidak. Aku akan menemui mereka seorang diri.”
“Tetapi bagaimanakah sekiranya mereka berbuat jahat terhadap Ki Buyut?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut seakan-akan tidak mendengarnya. Ia pun kemudian melangkah ke tebing. Kemudian melintasi tanggul dan turun ke tepian. Tidak seorang pun dibawanya, meskipun para pengawal itu mengawasi dari kejauhan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang menyertainya itu pun dapat mengenali Ki Buyut itu, meskipun semalam mereka bertemu di dalam gelap. Karena itu, maka ketiga orang anak muda itu telah bersiap-siap. Bahkan mereka menjadi heran, bahwa justru Ki Buyut telah datang menemui mereka seorang diri. Seakan-akan Ki Buyut itu yakin bahwa ia akan dapat menyelesaikan mereka bertiga.
Tetapi sikap Ki Buyut ternyata tidak seperti yang mereka duga. Ki Buyut agaknya tidak ingin melakukan kekerasan, sehingga karena itu, maka sikap anak-anak muda itu pun tidak lagi menunjukkan permusuhan.
“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “aku datang untuk minta maaf atas sikapku. Setelah aku berbicara dengan banyak orang, maka ternyata bahwa kalian memang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan harta karun itu.”
Ketiga anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Mahisa Murti pun menyahut, “Kami juga minta maaf Ki Buyut. Mungkin kami telah berlaku kasar. Tetapi hal itu didorong oleh keletihan kami menanggapi peristiwa demi peristiwa yang menyakitkan hati.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan sikap seorang pemimpin ia berkata, “Lupakan semuanya. Kita akan mulai dengan satu kerja. Aku sudah membawa alat-alat untuk menggali harta karun itu jika memang ada. Kita tidak tahu, apa yang kita cari. Seandainya memang ada harta karun itu, kita tidak tahu seberapa besarnya dan apakah ujudnya. Mungkin setelah kita kerja keras, yang kita ketemukan tidak berarti. Tetapi kita telah mendapatkan satu kepuasan lain. Kita tidak lagi merasa dikejar-kejar oleh satu perasaan yang selalu menggelitik tentang harta karun. Setiap saat kita tidak akan dapat melupakannya. Di saat makan, minum, menjelang tidur, bahkan didalam tidur- pun kita akan selalu bermimpi. Karena itu kita harus mencari sampai ketemu, sehingga mimpi yang mengejar kita di setiap saat itu akan berhenti.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka menghargai sikap Ki Buyut itu. Agaknya Ki Buyut pun tidak terlalu bernafsu untuk menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya. Tetapi Ki Buyut melakukan pencarian itu karena didorong oleh desakan perasaannya, sehingga Ki Buyut merasa perlu untuk menemukannya sehingga ia tidak akan menjadi gelisah lagi.
“Jadi, kapan Ki Buyut akan melakukan pencaharian itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Sekarang anak muda,” jawab Ki Buyut, “aku minta kalian sempat menyaksikannya. Apa pun yang akan kita ketemukan. Bahkan seandainya yang kita ketemukan hanya sebuah peti yang berisi mayat sekalipun.”
“Baiklah Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti, “kami akan menunggui, apa yang akan didapatkan oleh Ki Buyut.”
“Kami akan segera mulai, mumpung matahari belum terlalu tinggi. Aku akan menggali sampai ketemu atau sampai pada satu keyakinan bahwa tidak ada harta karun di sini,” jawab Ki Buyut.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, di tikungan sungai itu telah terjadi kesibukan. Perempuan, anak petani yang malang, yang meninggal diracun oleh menantunya sendiri itu telah mengatakan apa yang pernah didengarnya. Seluruhnya, tanpa ada yang tersisa.
Ki Buyut, justru mengajak ketiga orang anak muda itu meneliti tebing itu dengan segala lekuk-lekuknya. Setiap kemungkinan, Ki Buyut telah memerintahkan orang-orangnya untuk menggali. Bukan hanya di satu sisi, tetapi di kedua sisi. Orang-orangnya telah membuat lubang-lubang di tebing yang tidak terlalu tinggi itu. Menggali tanah liat dan batu-batu padas.
Namun sampai saat matahari melewati puncak langit, mereka belum menemukan tanda-tanda adanya barang-barang yang berharga atau tidak berharga yang disimpan di tebing itu.
Dengan keringat yang masih membasahi tubuh, orang-orang yang sibuk bekerja itu telah beristirahat untuk makan. Sebenarnya mereka mulai menjadi jemu dengan kerja yang nampaknya tidak akan berujung itu. Tetapi Ki Buyut agaknya masih berniat untuk meyakinkan dirinya, bahwa di tebing itu memang tidak ada harta karun yang dicarinya atau bahwa mereka dapat menemukannya.
Sementara itu, selagi mereka beristirahat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berbicara sekali lagi dengan perempuan yang telah membuka rahasia tentang harta karun kepada pamannya itu, sehingga rahasia itu tersebar di seluruh Kabuyutan.
“Apa yang kau dengar dari ayahmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Seperti yang sudah aku katakan,” jawab perempuan itu.
“Coba katakan sekali lagi ancar-ancar itu,” minta Mahisa Murti.
“Ayah sendiri belum pernah tahu dengan pasti tempat itu. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh orang yang berpesan kepadanya, bahwa harta karun itu ada di bawah bayangan pohon preh di tikungan sungai yang ditandai dengan sepasang batu raksasa di atasnya dan beberapa batu besar di tepian di bawah tanggul,” jawab perempuan itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Di sana ada pohon preh yang besar itu. Di tanggul itu ada dua buah batu raksasa dan di tepian ini terdapat batu-batu besar berserakan. Aku kira memang tidak salah lagi, bahwa kita mencari harta karun itu di sekitar tikungan sungai ini. Tetapi apakah tidak ada pesan yang lain?”
“Waktu itu ayah sudah sangat lemah. Tidak ada pesan yang lain yang dikatakannya,” jawab perempuan itu.
“Di saat terakhir apakah ia mengucapkan kata-kata?” bertanya Mahisa Murti pula.
Perempuan itu mengingat-ingat. Namun kemudian katanya, “Ia memang berpesan agar aku berhati-hati dan menjaga diriku sendiri sebaik-baiknya.”
Anak-anak muda itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perempuan itu berkata, “Ayah juga berpesan sesuatu yang kurang aku mengerti. Mungkin karena ayah sudah terlalu lemah waktu itu.”
“Apa pesannya?” desak Mahisa Murti.
“Ayah berpesan, jika banjir datang, maka kedua batu raksasa itu tidak akan dapat hanyut. Demikian pula pohon preh itu meskipun air naik keatas tanggul. Karena itu, di antara batu itu seseorang dapat berpegangan,” berkata perempuan itu menirukan. Lalu katanya pula, “Tetapi rasa-rasanya ayah sudah seperti orang bermimpi. Ayah tahu, jika aku tidak berada di sungai ini, apalagi di saat banjir datang.”
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang sesaat. Dengan nada rendah ia berkata, “Coba ulangi.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah mengulanginya. Perlahan-lahan seperti yang diminta oleh kedua anak muda itu.
“Kenapa justru di antara?” bertanya Mahisa Murti, “bagaimana mungkin dapat berpegangan pada batu-batu raksasa itu jika kita justru berada di tengah-tengah?”
“Di antaranya. Tidak harus di tengah-tengah,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita temui Ki Bekel.”
Ketiga anak muda itu pun kemudian telah menemui Ki Bekel. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu kurang tahu apa yang akan dilakukan oleh keduanya. Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta agar jika mereka akan mulai lagi mencari harta karun itu, dua atau tiga orang mencari bersamanya.
“Baik,” berkata Ki Bekel.
“Kami minta bersama Ki Bekel pula,” desis Mahisa Murti.
Ki Bekel yang melihat kesungguhan pada anak-anak muda itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan pergi bersama-sama.”
Demikianlah setelah beristirahat, Ki Bekel telah mengajak tiga orang bersamanya dengan membawa alat-alat yang cukup. Bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, anak muda yang menyertainya serta Ki Bekel sendiri, mereka telah mengenali tanah pada jarak antara kedua batu raksasa itu.
Tanah itu memang berpadas. Namun ketika Mahisa Murti yang kebetulan menggali di tengah mengayunkan dandangnya beberapa kali, maka ditemuinya padas yang telah menjadi gembur. Dengan isyarat maka ia telah memanggil Mahisa Pukat dan bersama-sama keduanya telah menggali di tempat itu.
Sebenarnyalah bahwa mereka telah menggali pada batu-batu padas yang lebih lunak dari batu-batu padas di sekitarnya. Agaknya batu padas di tempat itu memang pernah digali sebelumnya.
“Ki Bekel,” desis Mahisa Murti, “mudah-mudahan kita berhasil di sini.”
Ki Bekel mendekati kedua anak muda itu. Ia pun kemudian berpengharapan bahwa sesuatu akan dapat diketemukan sehingga dengan demikian maka kegelisahan orang tentang harta karun itu akan berakhir.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel pun kemudian telah bekerja semakin keras. Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah membantunya. Demikian pula orang-orang yang telah dibawa oleh Ki Bekel telah menggali di tempat yang lingkungannya semakin sempit.
Ternyata bahwa usaha mereka akhirnya berhasil. Namun yang mereka ketemukan memang tidak seperti yang digambarkan oleh banyak orang. Ki Bekel memang menemukan sebuah peti. Tetapi peti itu tidak terlalu besar. Panjang dan lebarnya tidak lebih dari dua jengkal, sementara dalamnya pun hanya sekitar satu jengkal saja. Apalagi ketika peti itu diangkat, ternyata peti itu terlalu ringan.
Namun demikian peti itu diketemukan, maka telah terdengar beberapa orang berteriak. Yang lain pun menjadi ribut, sehingga akhirnya terdengar orang-orang Kabuyutan yang ikut berada di sekitar tikungan sungai untuk menggali harta karun serta para pengawal yang berjaga-jaga itu bersorak bagaikan akan meruntuhkan langit.
Tetapi ketika suara mereka telah mereda, maka Ki Buyut lah yang berbicara lantang sambil berdiri diatas salah satu batu raksasa itu, “Kita telah menemukan sebuah peti. Tentu peti ini tidak sebagaimana kita duga. Peti ini terlalu kecil untuk menyimpan harta karun sebagaimana kita inginkan. Harta karun itu hendaknya ditempatkan dalam sebuah peti sebesar perahu. Tetapi inilah yang telah kita ketemukan.”
Orang-orang Kabuyutan yang bersorak gemuruh itu pun telah termangu-mangu.
“Saudara-saudaraku,” berkata Ki Buyut itu pula, “aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu dihadapan kalian. Karena itu, maka peti ini akan aku buka. Kalian akan dapat melihat, apakah isinya.”
Suasana pun menjadi tegang. Ki Buyut yang berdiri diatas batu itu perlahan-lahan telah membuka peti yang terasa terlalu ringan. Bahkan di beberapa bagian peti itu telah mulai lapuk.
Ketika peti itu terbuka, maka wajah Ki Buyut pun telah menegang sejenak. Namun kemudian kesan kecewa di wajahnya itu pun telah hilang. Sejak semula Ki Buyut memang tidak memburu harta benda yang banyak sekali sebagaimana dimimpikan orang. Bahkan telah terjadi pembunuhan justru karena harta karun itu. Dan kini harta karun itu telah ada di tangannya.
Di bagian dalam peti itu memang dilapisi lempeng baja yang tipis, sehingga karena itu, maka peti masih tetap terasa ringan. Apalagi peti itu memang tidak berisi apa pun kecuali sebuah kitab. Orang-orang Kabuyutan itu memang merasa kecewa. Meskipun mereka belum pernah merasa memiliki, namun tiba-tiba saja mereka merasa seakan-akan mereka telah kehilangan.
Tetapi Ki Buyut itu pun berkata, “Pantaslah bahwa harta karun itu sangat dirahasiakan. Nilai dari isinya memang tidak dapat ditukar. Kitab ini tentu kitab yang sangat berarti.”
Orang-orang yang mendengar penjelasan Ki Buyut itu menjadi bingung. Mereka tidak mengerti nilai dari kitab yang diketemukan oleh Ki Buyut itu. Bahkan mereka sama sekali tidak mengerti nilai dari sebuah kitab.
Namun Ki Buyut itu berkata, “Saudara-saudaraku. Jika kita menemukan harta benda, maka harta benda itu pada suatu saat akan habis. Dan jika harta benda itu habis, maka habislah semuanya. Tidak akan ada bekasnya lagi. Tetapi isi kitab ini tidak akan dapat habis jika kita tahu memanfaatkannya.”
Sejenak Ki Buyut telah melihat-lihat isi kitab itu. Tentu saja ia tidak dapat membaca keseluruhannya. Apalagi kitab yang sudah tua itu sudah menjadi sangat mudah rusak.
Sejenak kemudian maka berkatalah Ki Buyut, “Kitab ini berisi pengetahuan tentang ilmu bintang, tentang ilmu bertani, tentang ilmu berternak dan tentang mantra-mantra pengobatan serta jenis dedaunan, akar-akaran dan buah-buahan yang dapat dipergunakan sebagai obat. Beberapa pengetahuan yang lain yang berhubungan dengan pengetahuan kewadagan dan kejiwan.”
Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu, “berbahagialah kita yang mendapatkan kitab ini. Kita akan dapat mempergunakan ilmu yang akan kita dapat dari kitab ini untuk membangun Kabuyutan kita.”
Orang-orang Kabuyutan itu masih saja termangu-mangu. Sementara Ki Buyut berbicara selanjutnya, “Nah, marilah kita syukuri penemuan ini. Bahkan kita telah menemukan ilmu yang lebih berharga dari harta benda.” Ki Buyut itu pun terdiam.
Namun kemudian katanya, “Tetapi di bagian kedua ini, yang kitabnya lebih tipis, isinya agak berbeda. Isinya adalah tentang olah kanuragan dan jaya kasantikan. Kitab itu berisi pengetahuan tentang ilmu yang berhubungan dengan kemampuan dan kekuatan seseorang. Karena kita tidak sendiri menemukan harta karun ini, maka kita pun harus bertindak adil. Buku kedua akan kita serahkan kepada anak-anak muda yang telah menemukan tempat harta karun ini disembunyikan. Karena mereka adalah anak-anak muda yang sedang pengembara untuk menemukan kepribadian mereka serta pengalaman yang akan dipergunakan bagi bekal hidupnya, maka ilmu kanuragan dan jaya kasantikan akan lebih berarti dari pengetahuan tentang bercocok tanam, tentang perbintangan dan lain-lain. Karena itu, maka kitab kedua ini akan aku serahkan kepada mereka.”
Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Bagi mereka kedua kitab itu sangat penting isinya. Tetapi mereka tidak ingin membuat Ki Buyut kecewa. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak akan memilih. Kitab yang mana pun yang akan diberikan kepada mereka akan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Saudara-saudaraku. Dengan penemuan yang sangat berharga ini, maka kita harus mengakhiri kegelisahan rakyat Kabuyutan ini karena desas-desus tentang harta karun itu. Yang ternyata memang ada dan sudah kita ketemukan.”
Orang-orang Kabuyutan itu mengangguk-angguk. Tetapi sebagian dari mereka tidak dapat mengerti sepenuhnya keterangan Ki Buyut. Bagi mereka, harta karun yang berwujud harta benda berharga atau uang tentu lebih berarti daripada hanya sebuah kitab apa pun isinya. Namun sebagian dari mereka memang dapat mengerti bahwa ilmu itu nilainya lebih tinggi dari harta benda yang berapa pun harganya.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Kabuyutan serta memerintahkan para bebahunya untuk membubarkan kesibukan di tikungan sungai itu. Yang terakhir Ki Buyut berkata, “Aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian.”
Demikianlah, sepeninggal Ki Buyut membawa peti berisi kitab itu, maka orang-orang yang ada di tikungan sungai pun berkemas untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka yang membawa alat-alat pun segera dikemasinya. Beberapa orang masih saja memperbincangkan harta karun itu. Namun seorang di antara para bebahu yang dapat memahami keterangan Ki Buyut itu pun berkata,
“Betapa pun banyaknya harta karun itu, maka jika dibagi seluruh rakyat Kabuyutan ini, maka setiap orang akan menerima bagiannya yang terbatas. Barangkali dalam satu dua tahun kita dapat hidup dengan baik. Tetapi harta benda itu akan semakin susut sehingga akhirnya kita akan kembali jatuh miskin seperti sekarang. Tetapi jika kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi peningkatan kehidupan kita, maka ilmu itu justru akan berkembang. Anak cucu kita akan dapat memanfaatkan ilmu itu. Terutama ilmu bercocok tanah dan ilmu beternak. Dengan demikian maka kita akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup justru semakin lama semakin tinggi.”
Beberapa orang memang mampu memahami keterangan itu. Tetapi yang lain tetap tidak dapat menangkap maksudnya. Tetapi tidak seorang pun yang menyatakan kekecewaannya itu.
Ki Buyut yang kembali ke Kabuyutan itu ternyata telah mengajak ketiga anak muda yang telah ikut membantu menemukan peti yang berisi dua buah kitab itu. Ki Buyut ternyata telah memperhitungkan beberapa hal yang tidak sesederhana sebagaimana yang dikatakannya dihadapan orang-orangnya. Ketika mereka sudah berada di Kabuyutan dan duduk di ruang dalam, maka Ki Buyut telah berbincang dengan ketiga anak muda itu serta beberapa orang bebahu yang paling dipercaya.
“Kita tahu, bahwa persoalan kitab itu bukan persoalan sederhana yang begitu saja selesai,” berkata Ki Buyut.
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Mahisa Murti- pun kemudian berkata, “Harta karun itu akan dapat menjadi rebutan.”
Sejenak kemudian, ruang itu sudah dicengkam oleh ketegangan. Ternyata mereka mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.
“Jika kitab itu demikian dirahasiakan, maka tentu ada sebab-sebabnya,” berkata Mahisa Pukat pula, “karena itu, maka harus diperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi itu.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Itulah yang kami cemaskan kemudian. Orang-orang yang pernah merusak padepokan kecil itu, tentu akan mendengar dan memburu harta karun yang mereka inginkan itu. Bahkan mereka telah membunuh pula. Apakah orang-orang yang demikian itu tidak akan melakukannya pula atas Kabuyutan ini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Menilik ceritera yang didengarnya, maka ada sekelompok orang yang memang memburu harta karun itu, yang barangkali mereka memang sudah mengetahui bahwa isi dari harta karun itu adalah kitab yang sangat berharga.
“Apakah Ki Buyut tidak berkeberatan jika aku melihat kitab-kitab itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu tidak. Silahkan,” berkata Ki Buyut sambil menyerahkan kedua kitab itu.
Sebenarnyalah, sebuah dari kitab itu berisi pengetahuan tentang berbagai ilmu. Ilmu perbintangan, Ilmu bercocok tanam dan beberapa macam ilmu yang lain. Bahkan meskipun tidak terlalu mendalam berisi juga ilmu tentang kesusastraan. Sedangkan kitab yang lain memang membuat Mahisa Murti berdebar-debar. Demikian pula Mahisa Pukat yang kemudian mengamati isi kitab itu.
Kitab itu memang berisi beberapa jenis ilmu kanuragan jaya kasantikan. Pengetahuan tentang tubuh dan bagian-bagian dari tubuh. Jalur-jalur urat dan nadi. Simpul-simpul pada benang syaraf di seluruh tubuh. Serta bagian-bagian yang paling lemah pada manusia pada tingkatan-tingkatannya. Pada bagian pertama dari kitab itu memuat bagaimana seseorang mampu menguasai tubuhnya sendiri secara mutlak. Mengenali isyarat perasaan dan nalurinya.
“Kedua kitab ini memang sangat berharga,” berkata Mahisa Murti.
“Ya,” berkata Ki Buyut, “bukankah hal itu dapat membuat kami di sini selalu cemas.”
“Tetapi menurut perhitunganku, yang diburu oleh orang-orang itu tentu kitab yang kedua,” berkata Mahisa Murti, “bukan berarti bahwa kitab yang pertama tidak penting. Tetapi nampaknya bagian kedua itu dianggap lebih berarti bagi kehidupan orang-orang yang terbiasa mengembara dan bertualang. Sedangkan kitab yang pertama tentu lebih berarti bagi mereka yang menetap dan memiliki lingkungan kehidupan seperti di Kabuyutan ini.”
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga berpikir demikian. Karena itu, maka dihadapan banyak orang aku berkata bahwa buku kedua itu aku serahkan kepada kalian. Aku minta maaf. Mudah-mudahan kalian tidak berkeberatan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kami mengerti Ki Buyut. Kami tidak berkeberatan sama sekali. Biarlah orang yang memburu kitab kedua itu mengejar kami. Tetapi bagaimana jika mereka datang kepada Ki Buyut justru karena mereka menginginkan kitab pertama?”
“Kami tidak akan berkeberatan. Jika kami bertahan yang terjadi tentu hanya kerusakan,” jawab Ki Buyut.
“Mudah-mudahan sepeninggalku tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan ini,” jawab Mahisa Murti.
“Kami tidak akan bertanya kemana kalian akan pergi,” berkata Ki Buyut, “dengan demikian maka kami tidak akan dapat menjawab setiap pertanyaan tentang kalian.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ki Buyut benar. Sebaiknya Ki Buyut tidak bertanya kemana kami akan pergi.”
“Tetapi berhati-hatilah anak muda. Aku mempunyai dugaan bahwa persoalannya tidak semudah yang kita duga. Jika orang-orang yang memburu kitab-kitab itu pada suatu saat menemukan kalian, maka itu bukan salah kami.”
“Aku tahu bahwa Ki Buyut tidak akan berbuat seperti itu,” berkata Mahisa Murti, “tetapi bahwa setiap orang di padukuhan ini akan berbicara tentang kitab-kitab itu, maka orang-orang yang memburu harta benda terutama kitab itu pun tentu akan percaya bahwa akulah yang membawa kitab kedua.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu pun kemudian telah mohon diri. Ketiga anak muda itu menolak pemberian apa pun juga dari Ki Buyut, karena sebenarnya ketiganya telah membawa bekal uang cukup.
Namun sebagaimana dipesan oleh Ki Buyut, maka mereka memang harus berhati-hati. Orang-orang yang memburu kitab itu tentu mempunyai seribu telinga dan seribu mata. Apa pun caranya, mereka memang mungkin pada suatu saat menemukan mereka bertiga.
Beberapa saat kemudian, setelah hidangan bagi mereka yang terakhir disuguhkan, maka mereka pun meninggalkan Kabuyutan itu menuju ke arah yang tidak diketahui oleh semua orang di Kabuyutan itu. Meskipun dengan cara itu, perjalanan ketiganya tidak akan ditemukan, setidak-tidaknya untuk waktu yang lama, namun ketiganya tetap berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang barangkali tidak terduga-duga.
Tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan orang-orang yang menghendaki merampas kitab itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap, seandainya mereka harus berhadapan dengan sekelompok orang yang mengejar kitab itu, mereka sudah meningkatkan kemampuan anak muda yang mengikutinya itu.
Demikianlah mereka mempergunakan sisa hari itu untuk berjalan. Tetapi mereka memang tidak dapat mencapai jarak yang terlalu jauh, karena beberapa saat kemudian senja telah turun.
“Dimana kita bermalam?” bertanya Mahisa Pukat, “di banjar atau di tempat terbuka?”
Anak muda yang menyertainya itu tidak berkata sesuatu. Ia menyerahkan saja kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena keduanya tentu memiliki pengenalan yang lebih dalam. Sementara itu, ia sendiri tidak lagi terlalu terpengaruh oleh tempat bermalam. Ia sudah mulai terbiasa tidur di tempat terbuka.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memilih bermalam di tempat terbuka. Mereka masih ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang memburu kitab itu. Jika orang-orang itu mendengar dari orang-orang Kabuyutan bahwa kitab itu ada pada mereka, maka sekelompok orang yang memburu kitab itu tentu akan mencari mereka.
Ternyata malam itu ketiga anak muda itu justru sempat beristirahat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seperti biasa harus tidur bergantian. Namun rasa-rasanya mereka dapat tidur dengan puas tanpa terusik.
Anak muda yang menyertainya itu pun sempat tidur pulas pula. Ia tidak lagi merasa terganggu oleh dinginnya udara atau embun yang menitik. Dengan kemauan yang besar ia berusaha untuk dapat menyesuaikan cara hidupnya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengembara itu.
Ketika matahari kemudian terbit, setelah berbenah diri di-sebuah parit yang berair bening, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka telah memilih jalan yang berkelok-kelok, mempunyai banyak simpangan dan kemungkinan. Sambil, berjalan, Mahisa Murti sempat serba sedikit mengamati isi kitab yang dibawanya itu. Ia telah membaca bagian-bagian depan dengan sekilas. Namun dalam sekilas itu, ia dapat mengetahui, bahwa kitab itu memang kitab yang sangat berharga bagi seseorang yang memang ingin mempelajari olah kanuragan.
Pada bagian pertama dari kitab itu, tercantum petunjuk-petunjuk yang bersifat umum. Bagian pertama masih belum memasuki unsur-unsur yang khusus dari satu aliran didalam olah kanuragan sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Sedangkan untuk melihat-lihat bagian berikutnya Mahisa Murti memerlukan waktu yang khusus.
Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menunjukkan kitab itu kepada orang lain sehingga ia pun cukup berhati-hati. Ia tidak melihat isi kitab itu di sembarang tempat, karena dengan demikian tentu akan dapat menarik perhatian. Apalagi jika seseorang dapat mengenali bahwa kitab itu adalah kitab yang memuat pengetahuan dan ilmu tentang kanuragan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti itu pun berkata kepada anak muda yang mengikutinya, “Kau akan mendapat alas yang dapat kau pelajari sendiri dari kitab ini.”
“Apakah bermanfaat bagiku?” bertanya anak muda itu.
“Tentu. Pada bagian pertama dari kitab ini, dapat dipergunakan oleh siapa pun dan dari aliran yang manapun, karena belum memuat kekhususan. Sementara menurut pendapatku, dapat dipergunakan oleh setiap orang termasuk kau. Namun pada satu kesempatan aku ingin mempelajarinya lebih mendalam, karena kadang-kadang tuntunan olah kanuragan yang kurang baik justru akan berpengaruh sangat buruk.”
“Namun menilik bahwa kitab itu menjadi rebutan, maka isinya tentu sangat berharga,” berkata Mahisa Pukat.
“Agaknya memang demikian,” berkata Mahisa Murti, “jika kita sudah berjalan cukup jauh, maka kita akan mempelajari isi kitab ini dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada yang dapat kita serap dan dapat kita manfaatkan untuk melengkapi ilmu kita sendiri."
“Mungkin sekali,” jawab Mahisa Murti, “namun sudah barang tentu harus kita saring melalui tahap-tahap yang sangat teliti.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, maka mereka bertiga pun telah menjalani jarak yang semakin jauh. Ketika mereka melewati sebuah kedai, maka mereka bertiga telah singgah untuk minum dan makan. Tetapi ketiga orang anak muda itu terkejut, ketika beberapa orang didalam kedai itu menyebut-nyebut peristiwa yang terjadi di Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan.
“Jadi harta karun itu ternyata tidak ada?” bertanya yang seorang.
“Tidak. Harta karun itu tidak ada. Yang diketemukan oleh Ki Buyut hanya dua buah kitab.” sahut kawannya.
Tiba-tiba saja yang lain bertanya, “Darimana kalian dengar ceritera itu?”
“Semua orang memperbincangkannya,” jawab yang pertama, “peristiwa itu disaksikan oleh hampir semua orang Kabuyutan. Jika kau tidak percaya, pergilah ke pasar. Masih banyak orang yang membicarakannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ternyata mereka belum berjalan cukup jauh dari tempat kejadian itu. Bahkan perjalanan ketiga anak muda itu ternyata masih belum keluar dari lingkaran pembicaraan tentang harta karun di tikungan sungai itu. Berita tentang harta karun itu justru telah menjalar mendahului perjalanan mereka.
Demikianlah ketika mereka bertiga keluar dari kedai itu, maka mereka memutuskan untuk berjalan semakin jauh. Sebagai pengembara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak takut tersesat. Mereka pada suatu saat yang diinginkan tentu akan dapat kembali ke tempat yang mereka kehendaki. Ke padepokan mereka yang telah terlalu lama mereka tinggalkan.
Sehari itu, mereka bertiga ternyata berjalan cukup jauh. Mereka hanya berhenti untuk makan di kedai. Kemudian berjalan lagi menyusuri jalan-jalan yang belum pernah mereka lalui. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertanya kepada seseorang, puncak-puncak Gunung yang nampak dari tempat mereka berjalan, maka mereka pun segera mengetahui, arah manakah yang harus mereka tempuh jika mereka ingin kembali ke padepokan.
Malam berikutnya, mereka pun bermalam di tempat terbuka. Mereka masih belum berniat bermalam di banjar-banjar padukuhan, karena mereka tidak mau dikenali oleh orang-orang yang mungkin mencari tiga orang pengembara yang membawa kitab yang ditemukan sebagai harta karun di tikungan sebuah sungai.
Sementara itu, yang ditinggalkan, Ki Buyut dan bebahu Kabuyutan yang lain, benar-benar telah didatangi oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Berita tentang ditemukannya kitab itu demikian cepatnya sampai ke telinga orang-orang yang memang sedang memburu kitab itu. Tetapi ketajaman penglihatan Ki Buyut serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah menyelamatkan Kabuyutan itu.
Lima orang yang garang telah datang kepada Ki Buyut untuk mendapat keterangan tentang kitab-kitab yang diketemukannya.
“Kita menemukan dua buah kitab Ki Sanak,” berkata Ki Buyut. Lalu “Karena ada beberapa orang anak muda yang membantu kami menemukan kitab-kitab itu, maka penemuan kami telah kami bagi dua. Aku memilih kitab yang sangat berguna bagi Kabuyutan ini. Kitab yang berisi antara lain ilmu bercocok tanam.”
“Kau memang dungu Ki Buyut,” geram salah seorang dari kelima orang itu, “buat apa kitab yang sama sekali tidak bernilai itu? Seharusnya Ki Buyut mengambil kedua-duanya. Atau justru mengambil kitab yang berisi ilmu kanuragan. Kitab itu adalah kitab yang sangat berguna.”
Ki Buyut termangu-mangu. Katanya, “Aku dan seisi Kabuyutan ini tidak memerlukannya. Menurut pikiran kami waktu itu, kami tidak akan pernah mempergunakan kitab itu. Tetapi pengetahuan tentang bercocok tanam akan sangat berarti bagi kami.”
Kelima orang itu memang harus mempercayainya. Ki Buyut yang cerdik itu telah membagi penemuannya di hadapan orang banyak, sehingga setiap orang pun kemudian tahu, bahwa Ki Buyut memang hanya mengambil satu di antara kedua kitab yang ditemukannya.
Dalam pada itu kelima orang itu pun kemudian bertanya, “Ke mana perginya ketiga orang anak muda itu Ki Buyut?”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Mereka adalah pengembara. Tidak seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi. Mereka meninggalkan padukuhan ini ke arah Barat. Namun untuk selanjutnya kami tidak tahu ke mana mereka melanjutkan perjalanan mereka.”
Kelima orang itu mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat menolak keterangan Ki Buyut itu. Semua orang juga mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu. Namun kelima orang itu sama sekali tidak memerlukan kitab yang ada di tangan Ki Buyut, yang telah ditunjukkan kepada mereka. Yang mereka perlukan adalah kitab yang satu lagi.
Yang berisi ilmu kanuragan yang sangat mereka perlukan. Jika mereka berhasil mendapatkan kitab itu, maka mereka tentu akan menjadi kelompok yang ditakuti oleh kelompok-kelompok dan padepokan-padepokan yang mana pun juga. Tetapi kitab itu telah jatuh ke tangan tiga orang pengembara.
“Jika ketiga orang itu tahu benar akan arti kitab itu, mungkin mereka akan menjadi orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” berkata salah seorang dari kelima orang itu.
Namun Ki Buyut berkata, “Tetapi nampaknya mereka bukan anak-anak muda yang cerdas. Tanpa tuntunan apakah mereka kira-kira dapat mempelajari isi kitab itu?”
“Bagi mereka yang pernah mengenali ilmu kanuragan, maka mereka akan dapat berlatih tanpa guru. Tetapi mereka yang belum mengenalinya sama sekali, serta berotak tumpul, maka mereka memang memerlukan seorang yang harus memberikan beberapa petunjuk. Tetapi anak-anak muda yang sudah berani mengembara itu, tentu sudah memiliki bekal betapa pun kecilnya,” jawab salah seorang dari kelima orang itu.
Namun orang-orang itu kemudian telah meninggalkan Ki Buyut serta kitab yang berisi ilmu bercocok tanam serta beberapa ilmu yang lain itu. Karena bagi mereka ilmu-ilmu semacam itu tidak akan berarti sama sekali. Yang mereka cari adalah ilmu yang berarti bagi mereka serta berhubungan dengan pekerjaan mereka.
“Kita harus menemukan ketiga orang anak muda itu,” berkata pemimpin dari kelima orang itu.
“Tetapi ke mana kita harus mencari mereka?” desis salah seorang kawannya.
“Kita dapat bertanya di sepanjang jalan. Mungkin di kedai-kedai atau di manapun. Mungkin mereka melihat arah perjalanan tiga orang anak muda. Kita tidak akan berhenti mencari sampai kita menemukan kitab yang sangat kita perlukan itu,” jawab pemimpinnya.
Tetapi ketiga anak muda yang membawa kitab yang mereka inginkan itu sudah jauh. Bagi orang-orang yang memburu kitab itu, akan banyak menjumpai kesulitan untuk dapat menemukan mereka. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi lengah. Mereka menyadari, betapa bersungguh-sungguh orang-orang itu berusaha, sehingga yang sudah memencilkan diri pun dapat diketemukannya.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah merasa cukup jauh dari Kabuyutan yang mereka tinggalkan, maka mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempelajari isi kitab yang mereka ketemukan itu. Di siang hari, kadang-kadang mereka lebih banyak berhenti di tempat yang terasing untuk mendapat kesempatan mempelajari isi kitab itu dengan tenang.
Meskipun demikian, mereka bertiga masih juga selalu berusaha untuk berjalan semakin jauh dari Kabuyutan itu. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghabiskan waktu mereka sehari-hari untuk mempelajari isi kitab itu dan berjalan menyusuri jalan-jalan yang sangat panjang.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendapatkan kesimpulan dari isi kitab itu. Pada bagian pertama, memang tidak ada keberatannya bagi anak muda yang menyertai mereka untuk mempelajarinya. Pada bagian pertama memang terdapat pengetahuan dasar olah kanuragan.
“Jika kau mampu menyadap isi dari bagian pertama, maka kau sudah memiliki bekal yang cukup bagiku untuk menjelajahi dunia olah kanuragan. Untuk bagian kedua, kau masih harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Bagian kedua sudah memuat unsur-unsur yang rumit dan merupakan dasar dari satu aliran tertentu dalam olah kanuragan. Sedangkan bagian ketiga dari isi kitab itu adalah inti kekuatan dan kemampuan dari satu aliran olah kanuragan yang cukup berbobot. Namun masih berdasarkan pada kekuatan kewadagan termasuk ungkapan kekuatan cadangan. Namun jika kau mampu menguasai bagian ini, maka kau bukan lagi kau sekarang. Orang-orang yang memburu kitab ini pun tidak akan mampu merebutnya dari tanganmu,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi, apakah kitab itu juga berarti bagimu?” bertanya anak muda itu.
“Sampai pada bagian ketiga, ilmu yang tersirat pada kitab ini masih belum lebih tinggi dari ilmu yang telah kami pelajari dan kami kuasai,” jawab Mahisa Murti. Lalu “Aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi karena kau sekarang sudah menjadi bagian dari kita sekelompok kecil ini, maka aku ingin berkata berterus terang. Sementara itu, masih ada bagian keempat dari kitab ini. Kami belum dapat membuat perbandingan, karena menurut pengamatan kami, bagian keempat memang sudah merambah ke kedalaman kekuatan inti dari kekuatan yang ada pada diri kita, sedangkan bagian kelima adalah petunjuk bahwa diri kita adalah bagian dari alam yang besar. Dan betapa alam yang besar ini telah terjadi. Sehingga akhirnya, semuanya akan menguncup pada sumber dari segala sumber. Yang Maha Pencipta.”
Anak muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengangguk-angguk. Ia mengerti urutan yang dikatakan oleh Mahisa Murti itu. Dan ia pun mengerti pula ketika Mahisa Murti berkata,
“Dengan demikian, maka seseorang harus mempelajari isi kitab ini dengan tuntas. Jika seseorang mempelajarinya dan terputus pada bagian pertama, kedua, ketiga bahkan keempat, maka ia tidak akan sampai kepada tahap pencapaian alas hidupnya yang justru paling mendasar. Karena itu, maka aku masih menganggap bahwa penulis kitab ini adalah seorang yang lebih mementingkan kemampuan ilmu kanuragan daripada sumber keberadaannya. Seharusnya, justru pada permulaan penulisan ilmu kanuragan, seseorang harus sudah mendasari langkah-langkahnya pada dasar keberadaannya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berkata, “beruntunglah kau, bahwa kami sempat mendampingimu di saat kau mendapatkan satu kitab tuntunan. Tetapi kami masih harus memperingatkan bahwa yang sebaiknya kau pelajari untuk tahap pertama adalah bagian pertama. Kami akan menentukan kemudian, apakah kau akan mempelajari bagian kedua atau kamilah yang akan menuntunmu memasuki kemampuan olah kanuragan sesuai dengan jalur kami sendiri. Karena seperti yang sudah kami katakan, bahwa sampai pada tahap ketiga, kami belum melihat kelebihan dari ilmu yang tertulis di kitab ini. Sementara bagian keempatnya kami kira juga tidak akan lebih tinggi dari puncak perkembangan ilmu kami, yang masih harus kami capai bagian terakhirnya. Sedangkan bagian kelima, merupakan sandaran hidup kami justru pada segala tahap kehidupan.”
Anak muda itu masih mengangguk-angguk. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Nah, kami akan menyerahkan kitab ini kepadamu. Sebenarnya dengan atau tidak dengan kitab ini, kau akan dapat mencapai tataran pertama. Tetapi dengan kitab ini, kau akan dapat berlatih dengan tuntunan yang terperinci, sehingga segalanya akan berlangsung lebih cepat.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika Mahisa Murti kemudian memberikan kitab itu kepadanya, maka ia pun berkata, “Terima kasih atas kepercayaan ini. Aku akan melakukan semua pesan kalian dengan sebaik-baiknya.”
“Kau tidak usah menunggu sampai ke tataran terakhir untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Pencipta. Sejak kau mulai, maka kau harus sudah mengucap syukur atas kesempatan itu,” berkata Mahisa Murti.
“Aku mengerti, “desis anak muda itu.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sejak saat ini, kau dapat mulai berlatih. Kita berjalan melanjutkan pengembaraan kita sambil mencari kesempatan untukmu. Tempat seperti ini adalah tempat yang paling baik. Namun dalam perjalanan kami, maka kami akan selalu menjumpainya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia harus mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sebelum ia membaca isi kitab itu, ia memang sudah berlatih dalam tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan ia pun telah mempelajari ilmu pedang. Betapa pun sederhananya, namun ilmu yang dimilikinya itu telah dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya. Karena itu, maka anak muda itu tidak menjumpai kesulitan ketika ia mulai mempelajari ilmu kanuragan pada tataran pertama.
Pada satu kesempatan mereka berhenti di kaki sebuah bukit kecil, di sebuah lapangan perdu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberi kesempatan kepada anak muda yang menyertainya itu untuk berlatih.
“Jika kau tidak letih, lakukanlah,” berkata Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk. Ia memang ingin mencoba unsur-unsur gerak dari kitab di bagian pertama itu. Meskipun banyak yang sudah dikenalinya, namun susunannyalah yang kadang-kadang agak berbeda. Namun masih belum merupakan aliran dari perguruan tertentu.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah memusatkan nalar budinya. Dilukiskannya gerak itu di dalam angan-angannya sehingga nampak jelas, seolah-olah seseorang telah melakukannya. Bahkan seakan-akan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka hampir di luar sadarnya, anak muda itu bangkit perlahan-lahan. Kaki dan tangannya pun mulai bergerak mengikuti tata gerak bayangan yang nampak di angan-angannya itu. Semakin lama semakin cepat sesuai dengan urutan yang tertulis di dalam kitab itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia melihat anak muda itu bergerak seakan-akan di luar sadarnya. Ia memang sekedar mengikuti bayangan yang ditimbulkannya sendiri oleh kekuatan pemusatan nalar budinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengganggunya. Dibiarkannya anak itu bergerak terus sampai pada batas unsur gerak yang kesepuluh dari bagian pertama itu.
“Cukup,” berkata Mahisa Murti.
Ternyata bahwa dalam pemusatan nalar budi, anak muda itu masih juga mendengar suara Mahisa Murti, yang seakan-akan tidak menyusup lewat telinganya, tetapi justru mencuat dari dalam dadanya.
Mahisa Murti memang mempergunakan tenaga cadangannya untuk melontarkan suaranya karena ia cemas, bahwa suara wajarnya tidak dapat didengar oleh anak muda itu. Ketika anak muda itu berdiri tegak memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Apa yang telah kau lakukan tadi?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia mulai menilai gerakan-gerakan yang dilakukannya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku telah melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan petunjuk pada bagian pertama dari isi kitab itu.”
“Kau telah melakukannya dengan baik sekali,” berkata Mahisa Murti, “tetapi apakah kau tahu apa yang kau lakukan?”
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Yang dilakukan bukannya latihan dan mendalami setiap unsur gerak. Tetapi yang dilakukan semata-mata adalah pemusatan nalar budinya sehingga yang tampil di angan-angannya adalah bayangan dari angan-angannya itu yang mengendap, sehingga menjadi sangat jelas baginya. Dengan mudah ia dapat menirukan setiap unsur gerak tanpa membuat kesalahan, karena yang ditirukannya adalah apa yang telah ditangkapnya dari pengenalan atas isi kitab itu. Namun dengan demikian anak muda itu tidak mengenal satu demi satu dari gerakan-gerakannya serta mendalami watak dari setiap gerak itu.
Akhirnya anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti kesalahannya.”
“Bukan kesalahan, tetapi kekurangan,” sahut Mahisa Pukat.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Coba sekali lagi.”
Anak muda itu mengangguk sambil menjawab, “Baik. Aku akan melakukannya lagi.”
Demikianlah anak muda itu telah berdiri tegak. Kemudian diingatnya setiap kata yang tertulis di dalam kitab itu. Terutama permulaan dari bagian pertama yang telah sempat dibaca dan dipelajarinya. Beberapa saat kemudian ia pun mulai bergerak. Tetapi ia sempat memperhatikan setiap gerak itu sendiri. Ia tahu pasti, apa yang dilakukan oleh tangan dan kakinya.
Ia pun menyadari apakah arti dari setiap gerak dan apakah gunanya. Bahkan sekali-sekali ia berhenti dan mengulanginya. Jika tidak puas dengan mengulangi satu kali, maka diulanginya sampai dua tiga kali. Sehingga anak muda itu pun menjadi sangat mengenali setiap unsur gerak yang terdapat didalamnya.
Dengan demikian, maka anak muda itu pun menyadari, bahwa apa yang dipelajari itu memang pernah dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun agak lain ujudnya, namun maksud dan nilainya sama dengan apa yang pernah dipelajarinya. Kecerdasannya langsung telah memperbandingkan unsur-unsur gerak itu dan dengan cepat pula ia mengambil kesimpulan, bahwa ia memang akan dapat mempelajari bagian pertama kitab itu dengan cepat.
“Kau harus mengulangi dan mengulangi setiap saat,” berkata Mahisa Murti, “pada bagian pertama itu, seseorang belum ditunjukkan pada laku. Tetapi bagian berikutnya kau akan menjumpainya jika kami mengambil keputusan bahwa kau akan mempelajari bab berikutnya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sementara itu biarlah ia mematangkan ilmu sejauh dikuasainya. Dengan demikian maka ia akan dapat dengan lebih mudah mempelajari ilmu pada tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat mengangguk pula. Sambil berpaling kepada anak muda yang menyertainya yang berlatih tidak terlalu jauh dari mereka ia bergumam, “Tetapi kita tidak dapat menunggu sampai ia menjadi jenuh.”
“Kita harus selalu memberikan pengalaman baru kepadanya. Dengan kecerdasan nalarnya, ia akan mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya. Bahkan sengaja atau tidak sengaja ia sudah merambah dengan sendirinya ke tataran yang lebih tinggi,” sahut Mahisa Murti.
“Kita akan melihat perkembangannya dalam beberapa hari ini,” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah kedua anak muda itu masih belum menentukan langkah yang akan mereka ambil. Jika mereka membiarkan anak muda itu menyadap ilmu dari kitab yang mereka dapatkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat memberikan tuntunan dan perbandingan. Anak muda itu harus mencari semua persoalan dari kitab itu sendiri. Mungkin dalam beberapa hal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat memberikan petunjuk. Namun jalur itu bukan jalur ilmu kedua anak muda itu, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak menguasainya sampai ke bagian-bagian kecilnya.
Karena itulah, maka anak muda itu tentu memerlukan waktu lebih banyak dan lebih panjang dari jika mereka mempelajari ilmu yang telah dikuasai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya dapat langsung menuntun anak muda itu dengan penuh tanggung jawab.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih digelitik oleh pertanyaan dari dalam diri mereka sendiri, “Apakah kami dapat menyelesaikan tugas ini sampai tuntas.”
Jika mereka tidak sempat menyelesaikan tuntunan itu sampai selesai, maka keduanya tentu akan merasa bersalah. Dengan demikian maka anak muda yang menyertai mereka itu pun masih harus menunggu. Namun anak muda itu memang tidak mendesak agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengambil keputusan dan berbuat sesuatu. Apalagi anak muda itu masih merasa bahwa ia masih harus mematangkan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil satu keputusan. Anak muda itu adalah anak muda yang cerdas dan memiliki kesungguhan serta bertanggung jawab atas langkah-langkah yang dilakukannya. Karena itu, maka anak muda itu adalah anak muda yang dicarinya selama ini. Anak muda yang akan dapat menjadi seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak kecewa, karena anak muda itu umurnya tidak terpaut banyak dari keduanya, namun ia masih lebih muda serta masih mempunyai masa depan yang sangat panjang. Karena itu, maka keduanya berketetapan hati untuk menentukan, bahwa anak muda itu akan menjadi kawan mereka memimpin padepokan mereka.
“Kita jadikan anak muda itu murid kita,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Apakah pantas bahwa kita mengangkat seseorang menjadi murid kita? Kita masih dianggap kanak-kanak oleh beberapa orang yang pernah mengenali masa kanak-kanak kita.”
“Apa salahnya kita mengangkat seorang murid,” desis Mahisa Murti, “pantas atau tidak pantas. Tetapi apakah kau mempunyai nama lain yang pantas untuk menyebut hubungan kita dengan anak muda itu selain hubungan guru dan murid?”
Mahisa Pukat menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab. Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu berkata, “Kita jadikan anak itu adik kita.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita angkat anak itu menjadi adik kita.”
“Kita sesuaikan namanya dengan nama kita,” berkata Mahisa Pukat pula.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita namai anak itu Mahisa Semu,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Jadi hanya semu. Bukan sebenarnya.”
Demikianlah, maka ketika malam datang, terjadilah upacara kecil dibawah sebatang pohon gayam. Mahisa Murti telah meniup ubun-ubun anak muda yang menyertainya dan kemudian berkata,
“Kau telah dilahirkan kembali dengan nama Mahisa Semu. Kau telah dilahirkan kembali sebagai adik kami yang bungsu. Karena itu maka kau harus patuh kepada kami, saudara-saudara tuamu.”
Anak muda itu mengangguk sambil menyahut, “Aku akan patuh kepada kalian. Karena kalian bukan saja saudara-saudara tuaku, tetapi juga guruku.”
“He,” potong Mahisa Murti, “kenapa kau berkata begitu. Bukankah kita telah merencanakan kata-kata yang akan kita ucapkan. Dan kau tidak kami minta untuk menyebut kami gurumu.”
“Memang tidak,” jawab anak muda itu, “tetapi aku merasa bahwa kalian telah menjadi guruku. Kalian telah memberikan ilmu kepadaku.”
Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi untuk selanjutnya sebut saja kami kakak-kakakmu. Kami mengajarimu sebagaimana seorang kakak mengajari adiknya. Kau patuh kepada kami sebagaimana seorang saudara muda patuh kepada kakak-kakaknya.”
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah jika itu yang kalian kehendaki.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Di luar sadar, mereka berdua justru telah tertawa. Anak muda yang disebutnya Mahisa Semu itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun telah tertawa pula.
Demikianlah, mereka bertiga telah merasa benar-benar sebagai saudara kandung. Dalam perjalanan selanjutnya, mereka bertiga selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan ilmu Mahisa Semu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai meningkatkan ilmu Mahisa Semu pada tataran yang lebih tinggi.
Namun dengan demikian maka Mahisa Semu tidak memerlukan kitab itu lagi. Ia lebih dekat dengan latihan-latihan yang diberikan oleh kedua saudara angkatnya itu daripada unsur-unsur gerak yang terdapat dalam kitab yang mereka ketemukan itu.
Tetapi bukan berarti bahwa kitab itu telah dilupakan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru telah mendalami isi kitab itu. Meskipun sampai pada tataran ketiga, ilmu yang terdapat dalam kitab itu masih belum melampaui kemampuan ilmu kedua anak muda itu, namun dengan mempelajari isi kitab itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membuat perbandingan dengan ilmu mereka sendiri.
Beberapa saat keadaan itu berlangsung. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai mengambil arah. Dengan berpedoman pada puncak-puncak Gunung, maka mereka telah mulai menentukan arah perjalanan mereka ke padepokan kecil yang sudah cukup lama mereka tinggalkan. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sepakat, bahwa mereka harus menemukan seseorang pada satu tataran umur yang lebih muda lagi. Satu atau dua orang.
Namun ketika mereka bertiga berada dalam sebuah kedai, maka mereka mulai dibayangi oleh kemungkinan buruk. Tanpa menyadari kehadiran ketiga anak muda itu, maka seseorang telah berbicara tentang beberapa orang yang lewat di padukuhannya.
“Apa anehnya orang lewat?” bertanya seorang kawannya.
“Mereka bertanya kepada setiap orang, apakah orang-orang itu melihat tiga orang anak muda lewat sebelum mereka,” jawab orang yang pertama.
“Mungkin saudara-saudaranya,” desis yang lain.
“Tetapi nampaknya mereka mempunyai kepentingan yang khusus,” jawab orang yang pertama.
Seorang di antara mereka tiba-tiba saja termangu-mangu. Ia mulai memperhatikan ketiga orang anak muda yang ada di dalam kedai itu. Untuk beberapa saat orang itu justru termenung. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Ada tiga orang anak muda di sini. Apakah anak muda itu yang mereka cari?”
Semua orang tiba-tiba telah berpaling kepadanya. Namun mereka pun kemudian telah berpaling pula ke arah pandangan mata orang itu. Sebenarnyalah mereka melihat tiga orang anak muda duduk di sudut kedai itu. Anak-anak muda yang nampaknya memang sebagai pengembara yang telah menempuh perjalanan jauh.
Namun orang-orang itu justru telah terbungkam. Mereka tidak lagi berbicara tentang orang-orang yang menelusuri setiap padukuhan dan bertanya tentang tiga orang anak muda. Mungkin di gardu-gardu. Banjar-banjar padukuhan atau di kedai-kedai. Bahkan beberapa saat kemudian, seorang demi seorang mereka telah meninggalkan kedai itu setelah membayar tanpa mengatakan sesuatu.
“Kenapa dengan mereka?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka merasa ketakutan,” jawab Mahisa Murti.
“Apa yang mereka takutkan? Apakah tampang kita memang menakutkan?” desis Mahisa Semu pula.
“Mereka takut kepada orang-orang yang mencari ketiga orang anak muda itu. Jika orang-orang itu tidak berhasil menemukan ketiga anak muda itu, maka orang-orang itu akan marah dan menganggap mereka yang ada di dalam kedai itu telah memberikan isyarat kepada kita untuk bersembunyi,” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi bukankah mereka tidak bersalah?” bertanya Mahisa Semu.
“Kadang-kadang orang itu tidak mau tahu, apakah seseorang bersalah atau tidak. Tetapi orang-orang yang menemui kegagalan dapat saja mencari sasaran itu untuk memikul beban kesalahan dari kegagalan itu, meskipun mereka sama sekali tidak tahu menahu,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kita lalu mau apa?”
Mahisa Murti memandang pemilik kedai itu sekilas. Ternyata pemilik kedai itu juga nampak ketakutan. Bersama seorang pembantunya ia duduk di sudut di belakang geledeg dagangannya. Bermacam-macam makanan.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kami belum selesai. Kami masih ingin memesan makanan lagi.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berkata, “Semua orang telah meninggalkan kedaiku ini Ki Sanak. Memang sudah waktunya aku menutup kedai ini.”
Mahisa Murti mengerutkan dahinya Katanya, “Masih belum tengah hari. Sedangkan barang daganganmu masih terlalu banyak.”
“Tetapi aku berpegang pada waktu. Pada saat-saat seperti ini, habis atau tidak habis daganganku, aku menutup kedaiku,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-mengangguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan dapat memaksa seseorang yang sedang ketakutan untuk tetap tabah.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab. Anak muda itu dapat menebak dengan benar apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia memang tidak mau menyaksikan kekerasan itu terjadi di dalam kedainya jika orang-orang yang sedang mencari ketiga anak muda itu menemukan mereka di kedainya.
Namun sambil membayar Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak. Kami bertiga akan menelusuri jalan di depan kedaimu ini. Kami tidak akan berbelok sampai padukuhan di depan. Baru kami akan mempertimbangkan kemungkinan untuk memilih jalan. Tetapi kami akan berusaha agar ada orang yang melihat kami.”
“Apa maksudmu anak muda?” bertanya pemilik kedai itu.
“Kau tidak usah berusaha melindungi kami. Bukankah kau menjadi ketakutan karenanya? Katakan sebagaimana kami katakan. Jika orang-orang itu tidak menemukan kami bertiga, maka mereka akan menyangka bahwa kau telah membohonginya. Kau akan dapat dituduh berusaha melindungi kami,” berkata Mahisa Murti kemudian. Lalu katanya pula, “Dan kau tahu apa artinya jika mereka menjadi marah.”
“Tetapi aku tidak tahu menahu persoalan kalian,” berkata pemilik kedai yang menjadi semakin ketakutan.
“Pokoknya, jangan berusaha melindungi kami. Katakan apa yang kau ketahui tentang kami,” berkata Mahisa Murti.
Orang itu memang menjadi bingung. Tetapi ketiga anak muda itu kemudian telah berlalu. Sepeninggal ketiga orang anak muda itu, maka pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu. Dilihatnya pembantunya yang juga ketakutan duduk diatas dingklik kayu yang rendah.
“Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya kita lakukan,” berkata pemilik kedai itu kepada pembantunya.
“Jangan. Justru kita akan membuka kedai ini sampai malam,” berkata pemilik kedai itu, “dengan demikian maka tidak akan ada seorang pun yang dapat menuduh kita telah terlibat dalam persoalan anak-anak muda itu. Kita berlaku seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Seakan-akan kita tidak tahu menahu tentang mereka yang sedang mencari ketiga orang anak muda itu.”
“Tetapi aku takut,” berkata pembantunya.
“Aku lebih takut meninggalkan kedai ini sebelum mereka datang,” berkata pemilik kedai itu, “aku memang tidak ingin bertemu dengan mereka. Tetapi seandainya mereka datang dan kedai ini terdapat kosong, maka mereka akan dapat mempunyai dugaan yang tidak sewajarnya atas kita. Tetapi mereka menemukan kedai ini terbuka seperti biasa, maka mereka tentu tidak akan menyangka kita berusaha untuk menyembunyikan diri dan bahkan melindungi anak-anak muda itu.”
“Tetapi bukankah mereka belum tentu datang?” bertanya pembantunya.
“Itulah yang kita harapkan. Tetapi jika mereka tidak datang, apa pula yang kita takuti?” bertanya pemilik kedai itu.
Pembantunya termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kedai itu. Tetapi ternyata yang mereka tunggu hari itu tidak datang. Tetapi justru karena itu, maka kedai ini dibuka sampai saat-saat sepi uwong.
Di hari berikutnya, pemilik kedai itu membuka kedainya seperti biasa. Ia pun merasa ketakutan untuk tidak berjualan pada hari itu. Orang-orang itu akan dapat mencurigainya dan mencarinya di rumahnya. Ternyata orang-orang yang ditunggunya itu datang. Sehari setelah ketiga orang anak muda itu singgah di kedainya. Pemilik kedai itu telah menjadi gemetar ketika mereka melihat beberapa orang berwajah garang memasuki kedainya itu.
Tetapi ternyata seorang di antara mereka telah bertanya dengan ramah, “Ki Sanak. Apakah Ki Sanak pemilik kedai ini?”
Pemilik kedai itu termangu-mangu melihat sikap orang itu. Sikap yang benar-benar tidak diduganya menilik ujud mereka.
“Benarkah demikian?” orang itu mendesaknya.
“Ya, ya Ki Sanak,” jawab pemilik kedai itu, “marilah. Silahkan duduk.”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab orang itu sambil mengangguk-angguk hormat, “aku hanya bertanya sedikit kepada Ki Sanak.”
“Oo,” pemilik kedai itu termangu-mangu.
“Apakah Ki Sanak melihat tiga orang anak muda lewat atau bahkan singgah di kedai Ki Sanak?” bertanya orang itu pula.
Pemilik kedai itu yang ketakutan itu tidak merasa perlu untuk berbelit-belit. Ketiga orang anak muda itu sendiri telah menganjurkan kepadanya untuk berkata apa saja sesuai dengan yang diketahuinya. Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Kemarin memang ada tiga orang anak muda yang singgah di kedai ini Ki Sanak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ketiga anak muda itulah yang kalian maksudkan.”
“Mungkin. Mungkin sekali,” desis orang itu, “tetapi apakah Ki Sanak tahu, ke mana mereka pergi?”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Anak-anak muda itu memang memberi tahu arah yang mereka tempuh. Namun tiba-tiba saja ia merasa berdosa jika ia berkata sebenarnya. Apalagi jika kemudian didengarnya berita, bahwa ketiga anak muda itu mengalami bencana. Karena itu, maka hampir diluar sadarnya, bersumber dari nuraninya maka ia pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Sayang sekali aku tidak bertanya ke mana mereka akan pergi. Saat itu, aku sedang melayani beberapa orang pembeli yang lain.”
“Oo,” orang itu mengangguk-angguk, “memang masuk akal. Ki Sanak tentu sedang sibuk dan tidak merasa perlu untuk bertanya kepada setiap pembeli. Tetapi tolong barangkali Ki Sanak tahu, demikian ia keluar, apakah mereka berjalan ke kanan atau ke kiri?”
Pemilik warung itu berpikir sejenak. Namun dengan pertimbangan bahwa ketiga orang anak muda itu telah berjalan jauh, maka ia pun berkata menurut penglihatannya, “Rasa-rasanya ia berjalan ke kanan. Tetapi aku tidak yakin.”
Ternyata orang-orang itu tidak berbuat sesuatu. Mereka justru mengangguk hormat. Seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih. Aku akan meneruskan perjalanan.”
Pemilik kedai itu menjadi heran. Ia mengira bahwa orang-orang itu tentu orang-orang yang kasar menilik ujudnya. Tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang bersikap baik dan sopan. Tapi belum lagi keheranannya itu mengendap, seorang diantara mereka berkata masih dalam sikap yang lembut,
“Ki Sanak. Kami akan berjalan ke kanan. Mungkin besok atau lusa aku akan lewat jalan ini lagi. Kami akan mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak jika kami menemukan mereka. Tetapi jika ternyata Ki Sanak membohongi aku, maka aku juga akan menunjukkan kekesalan hati kami. Mungkin kami akan membunuh Ki Sanak.”
Wajah pemilik kedai itu tiba-tiba menjadi merah. Namun orang itu mengangguk penuh hormat sambil berkata, “Kami mohon diri. Semoga Yang Maha Agung melindungimu.”
Ketika orang-orang itu berjalan menjauh, pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu di depan pintu. Namun ia pun kemudian telah terhuyung-huyung surut dan jatuh terduduk di amben panjang. Pembantunya yang melihatnya dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Orang-orang itu,” desis pemilik kedai itu.
“Bukankah mereka berbuat sopan dan baik?” bertanya pembantunya pula.
“Ya. Mereka berkata dengan lembut dan hormat. Tetapi kau tahu apa yang dikatakannya?” pemilik kedai itu ganti bertanya.
Pembantunya itu menggeleng. Sementara pemilik kedai itu berkata lebih lanjut, “besok atau lusa mereka akan kembali. Jika mereka tidak menemukan ketiga anak muda itu, maka mereka akan membunuhku.”
“Oo,” wajah pembantunya itu pun menjadi tegang. Lalu katanya, “Kalau begitu, kita harus bersembunyi. Keadaan tentu menjadi sangat gawat.”
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berdesis, “Tetapi apakah mungkin kita bersembunyi lagi? Ingat, mereka mencari, ketiga anak muda itu yang agaknya sampai kapan pun tidak akan berhenti.”
“Jadi?” bertanya pembantunya.
Pembantunya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar jawaban pemilik kedai itu. Katanya, “Aku tidak akan lari ke mana-mana. Tidak akan ada artinya. Jika saat yang sangat menakutkan itu memang harus datang dengan cepat, maka aku sudah pasrah.”
Pembantunya tidak dapat memberikan tanggapan apa pun juga. Tetapi ia pun merasa bahwa agaknya melarikan diri dan bersembunyi tidak akan ada artinya. Bahkan hanya akan menambah kemarahan mereka dan perlakuan yang semakin menyiksa. Karena itu, maka seperti pemilik kedai itu sendiri, akhirnya ia pun pasrah kepada sumber hidup mereka, apa pun yang akan terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menjadi semakin jauh. Tetapi sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja selalu berpesan kepada Mahisa Semu agar ia tetap berhati-hati. Naluri mereka sebagai pengembara telah memberikan peringatan bahwa mereka masih belum terlepas dari perhatian orang-orang yang memburu kitab itu.
Namun sementara itu, Mahisa Semu pun tidak lupa meningkatkan dirinya menurut jalur perguruan kedua saudara angkatnya. Seperti yang diperhitungkan oleh kedua saudara angkatnya itu, maka peningkatan ilmu Mahisa Semu akan lebih cepat jika ditempuh cara itu daripada mempelajarinya dari kitab yang mereka ketemukan. Tetapi sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri berusaha menemukan arti dari kitab itu bagi mereka.
“Memang sulit untuk langsung mempelajari isi dari tataran keempat meskipun kita memiliki kemampuan pada tingkat sedikit lebih tinggi dari tingkat ketiga. Tetapi kita memang tidak memasuki tingkat keempat dari ilmu itu. Bahkan juga tingkat-tingkat sebelumnya,” berkata Mahisa Murti.
“Kita bisa memulainya dari tingkat-tingkat sebelumnya. Selain untuk merintis memasuki tingkat keempat dari ilmu itu, maka kita akan dapat melengkapi dan menyempurnakan ilmu kita sendiri. Sudah barang tentu harus dicari upaya untuk meluluhkan pada satu jalur yang lebih meningkat dari yang pernah ada,” sahut Mahisa Pukat. “Sehingga tidak akan terjadi benturan-benturan kekuatan di dalam diri kita.”
“Ya. Dengan demikian maka Mahisa Semu pada saatnya tidak usah bersusah payah melakukannya. Ia akan mendapatkannya setelah kita berhasil dan menurunkan kepadanya, meskipun barangkali masih harus terbilang tahun yang akan datang,” sahut Mahisa Pukat...