PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 68
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 68
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI mengangguk-angguk. Ia sependapat meskipun dengan demikian mereka berdua memerlukan waktu untuk menelusuri jalur ilmu itu. Tetapi kedua anak muda itu telah berbekal ilmu yang sangat tinggi, sehingga karena itu, mereka tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Ilmu mereka sendiri memang sudah berada pada tataran yang lebih tinggi dari bagian ketiga dari kitab itu. Karena itu, maka mereka berharap bahwa kerja mereka akan dapat mereka selesaikan untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah melupakan tugas-tugas mereka membimbing adik angkat mereka untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi yang terasa mencuat menurut naluri pengembara mereka itu pun akhirnya datang juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih saja merasa bahwa mereka akan menuntun sekelompok orang untuk menyusul mereka, ternyata merasa segan untuk bermalam di banjar-banjar padukuhan. Mereka merasa cemas. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka, maka akan menyangkut pula penghuni padukuhan itu yang sebenarnya tak tahu menahu ujung pangkalnya.
Karena itu maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah memilih bermalam di mana saja. Sekaligus mereka menjalani laku prihatin untuk memberi tekanan kepada usaha mereka mendalami ilmu. Mahisa Semu juga merasa lebih banyak memiliki waktu untuk berlatih jika mereka bermalam di tempat-tempat yang terpencil. Jika mereka berada di banjar, maka Mahisa Semu tidak akan dapat memanfaatkan waktu di saat malam mulai turun untuk berlatih, jika ia tidak ingin mengganggu orang lain.
Tetapi, ternyata bahwa beberapa orang yang menghendaki kitab itu, akhirnya sempat menyusul mereka pula. Demikian ketiga orang itu meninggalkan sebuah kedai, maka beberapa orang itu telah bertanya kepada pemilik kedai itu. Pemilik kedai itu memang tidak berani berbohong untuk menjaga keselamatannya. Karena itu, maka ia pun telah memberitahukan ke mana arah ketiga orang anak muda itu pergi.
“Belum terlalu lama” berkata pemilik kedai itu.
“Terima kasih” jawab salah seorang di antara beberapa orang itu.
Demikianlah maka dua orang di antara mereka telah lebih dahulu menyusul tiga orang anak muda yang dikatakan belum terlalu lama. Dengan demikian maka kehadiran mereka tentu tidak akan sangat mencurigakan. Sebenarnyalah, ketika dua orang yang berjalan tergesa-gesa itu keluar dari padukuhan, mereka melihat dihadapan mereka, tiga orang berjalan di bulak panjang.
“Tentu mereka,” berkata orang itu, “nampaknya mereka tidak terlalu tergesa-gesa.”
“Kita sudah berhari-hari mengikuti jejak perjalanan mereka. Nampaknya kita sudah cukup sabar, sehingga kita tidak akan memberi mereka kesempatan lagi” sahut yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Kau katakan kepada kawan-kawan kita, bahwa sebentar lagi, usaha kita yang sudah bertahun-tahun kita lakukan untuk memiliki kitab itu, akhirnya akan dapat terpenuhi beberapa saat lagi. Aku akan mengawasi mereka.”
Yang lain mengangguk. Ketika yang lain melangkah meneruskan tugasnya mengamati ketiga orang anak muda itu, maka kawannya tidak beranjak dari tempatnya. Ia telah menunggu beberapa orang kawannya yang masih berada di belakang. Tetapi, ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebentar kemudian maka kawan-kawannya itu pun telah datang menghampirinya.
“Kau ketemukan orang itu?” bertanya pemimpin dari sekelompok orang yang memburu kitab itu.
“Yaa,” jawab orang yang memang menunggu itu. “mereka berada di bulak dihadapan kita. Kawan kita masih tetap mengikutinya.”
“Bagus,” sahut pemimpinnya, “kita akan berjalan terus. Aku tidak sabar lagi agar ketiga anak muda itu tidak lepas dari tangan kita.”
“Selama ini mereka tentu sudah membaca isi kitab itu” berkata salah seorang di antara mereka.
“Mereka nampaknya memang bernasib buruk. Kita akan menyelesaikan mereka, agar rahasia isi kitab itu tidak akan diketahui oleh siapa pun juga kecuali mereka yang telah terbunuh” jawab pemimpinnya.
“Apakah mereka akan mati?” bertanya yang lain.
“Ya,” jawab pemimpinnya, “mereka bertiga akan mati.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka pun berpendapat demikian pula. Orang-orang yang telah melihat rahasia yang tercantum di dalam kitab itu akan mati. Demikianlah, maka sekelompok orang itu telah berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mereka tidak mau kehilangan buruannya lagi.
Ketika mereka sampai di tikungan, maka mereka pun segera melihat bahwa seorang di antara mereka, yang mengikuti ketiga orang anak muda itu telah menghentikan mereka di simpang empat, di tengah-tengah bulak yang panjang itu. Orang itu telah berusaha untuk berbicara dengan ketiga orang anak muda itu, agar dengan demikian mereka bertiga sempat menunggu pula kehadiran kawan-kawan orang yang menghentikannya itu.
Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat sekelompok orang mendekatinya, maka mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang mereka tunggu-tunggu itu telah datang. Agaknya bukan hanya beberapa orang, tetapi setelah mereka berkumpul, maka jumlahnya cukup banyak. Lebih dari sepuluh orang.
Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak lagi merasa perlu untuk menghindari mereka yang semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu, langit pun menjadi kemerah-merahan oleh warna senja yang semakin buram.
“Berhati-hatilah,” bisik Mahisa Murti kepada Mahisa Semu, “kau baru memanjat pada tingkat yang sedikit lebih tinggi dari tingkat dasar. Namun, kau mempunyai kekhususan. Ternyata kau memiliki ilmu pedang yang sangat kuat. Kau harus memanfaatkan kemampuanmu itu untuk melawan orang-orang itu. Ilmu pedangmu telah melonjak begitu cepat dibandingkan dengan kemampuanmu yang lain dalam olah kanuragan.”
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi, ia menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka seorang yang telah menghentikannya itu pun telah mengetahui bahwa kawan-kawannya telah mendekat. Karena itu, maka ia tidak lagi merasa perlu untuk berpura-pura. Katanya, “Nasibmu buruk anak-anak muda. Mereka memerlukanmu.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun, orang itu tersenyum sambil berkata, “Usaha kami yang bertahun-tahun akhirnya dapat berhasil sekarang.”
“Apa yang kau maksud Ki Sanak?” sahut Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, “Tunggulah sebentar. Kawan-kawanku itu akan berbicara dengan kalian.”
Namun, Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata, “Kami sudah tahu apa yang kalian inginkan. Jadi aku bertanya, aku hanya berpura-pura saja.”
Orang itulah yang kemudian menjadi tegang. Bahkan ialah yang kemudian bertanya, “Apa maksudmu?”
“Bukankah kau ingin mendapatkan kitab yang aku temukan bersama kitab yang sebuah lagi yang aku tinggalkan di padukuhan itu?” berkata Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, kemudian katanya, “jadi kau sudah tahu?”
“Tentu” jawab Mahisa Murti.
Sedangkan Mahisa Pukat menyambung, “bertahun-tahun kitab ini menjadi persoalan. Berapa korban yang telah jatuh. Terakhir seorang petani yang tidak tahu menahu tentang isi kitab ini yang mati terbunuh karena racun.”
Orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Bukan kau yang membunuh. Tetapi, menantunya sendiri yang secara kebetulan mengetahui tentang harta karun yang tersimpan di lereng di tepian sungai itu. Tetapi, agaknya ia tidak mengetahui bahwa yang disebut harta karun itu tidak lebih hanya sebuah buku yang tidak bernilai sama sekali.”
“Tutup mulutmu,” orang itu membentak. Sementara itu ia pun telah berpaling beberapa kali. Iring-iringan yang ditunggunya menjadi semakin dekat. Lalu katanya kemudian, “Kau hinakan kitab itu.”
“Aku sudah membacanya. Jika kitab itu memang mempunyai arti bagi orang yang memilikinya, maka tidak ada gunanya kau mencarinya. Aku yang sudah membaca isi kitab itu tentu telah menjadi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, katanya, “Isinya tentu sangat rumit. Seseorang tidak akan mampu mempelajarinya hanya dalam waktu satu tahun. Apalagi hanya dalam waktu satu bulan.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Mungkin bagi orang yang otaknya tumpul. Tetapi, bagi mereka yang kemampuannya cemerlang, maka mereka akan dapat mempelajari isi kitab itu dalam sepekan, karena isinya memang tidak mempunyai bobot olah kanuragan.”
Wajah orang itu benar-benar tegang. Namun, ia masih belum dapat menilai betapa pun kemarahan menghentak-hentak di dadanya. Ia masih harus menunggu kawan-kawannya yang sudah menjadi dekat sekali. Sebenarnyalah sejenak kemudian kawan-kawannya pun telah menghampirinya. Pemimpinnya telah melangkah di paling depan. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah mereka yang kita cari?”
“Ya,” Mahisa Pukat lah yang menyahut sebelum orang yang ditanya itu menjawab. Katanya lebih lanjut, “Kau tentu mencari kami bertiga, karena kami bertiga membawa kitab yang menurut kalian sangat berharga. Tetapi, yang menurut kami ternyata tidak banyak berarti.”
“Persetan,” geram pemimpin dari sekelompok orang itu, “kalian yang merendahkan nilai kitab itu.”
“Bukan kami yang merendahkan. Tetapi nilainya memang rendah, karena agaknya kitab itu ditulis oleh seorang guru yang ilmunya memang belum tinggi.”
“Tutup mulutmu,” bentak orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang panjang, “kau harus dihukum karena sikapmu itu.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “betapa pun rendahnya bobot kitab itu, namun setelah kami mempelajarinya, ternyata ilmu kami memang meningkat. Karena itu, maka kami akan mempertahankan buku itu. Meskipun tidak bernilai, tetapi sudah barang tentu ada gunanya bagi kami.”
Wajah pemimpin kelompok itu menjadi merah. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah kalian merasa sudah mampu menguasai isi kitab itu?”
“Tentu,” jawab Mahisa Pukat, “nah, siapakah di antara kalian yang ingin mencoba kemampuan kami bertiga? Jika kalian tahu isi kitab itu, cocokanlah, apakah yang kami pergunakan ilmu yang tertera dalam kitab itu atau bukan.” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi, apakah kalian sudah pernah membaca ilmu dari kitab itu?”
“Kitab itu peninggalan guruku” geram pemimpin kelompok itu.
“Oo,” Mahisa Pukat mengangguk-angguk, “jadi itukah alasanmu kenapa kawanmu marah kepadaku ketika aku mengatakan bahwa kitab itu ditulis oleh seorang guru yang bodoh.”
“Sekali lagi kau ucapkan itu, maka kami akan membunuh kalian sekarang juga” geram pemimpin kelompok itu.
“Baiklah. Tetapi, nampaknya yang ingin kau katakan belum seluruhnya terungkap” sahut Mahisa Pukat.
“Kitab itu adalah milik guruku yang dicuri oleh salah seorang muridnya. Jadi saudara seperguruan kami. Kami telah mencarinya bertahun-tahun. Namun, belum dapat kami ketemukan” berkata orang itu.
“Tetapi, kau menemukan saudara seperguruanmu. Orang itu telah kau bunuh meskipun ia sempat memberitahukan kepada seorang petani yang kebetulan lewat” berkata Mahisa Pukat.
“Persetan,” geram seorang yang bertubuh gemuk, “dari mana kau tahu?”
Mahisa Murti yang kemudian menyahut mendahului Mahisa Pukat, “Sudahlah. Lebih baik kita berbicara tentang yang lain. Kita lupakan saja persoalan kitab itu.”
“Kau gila,” geram orang itu, “kau kira siapa aku, he? Kau bersikap seperti terhadap kanak-kanak. Kau telah menghina aku dan kawan-kawanku, setelah kau menghina guruku dan kitab itu.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Sejak tadi kau hanya marah-marah saja. Tetapi, kau tidak mau menyadari bahwa kami telah mengatakan yang sebenarnya. Kau, gurumu dan kitab itu memang jelek sekali.”
Orang itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menyerang. Dengan serentak kawan-kawannya telah berloncatan menyerang. Namun, ketiga orang anak muda itu memang sudah menunggu. Dengan tangkas pula mereka berloncatan menghindar. Namun, kemudian seperti badai mereka telah berganti menyerang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang dahsyat. Orang-orang yang mencari kitab itu telah bertempur dengan kemarahan yang membakar jantung. Sementara ketiga anak muda itu menyadari, bahwa mereka harus berhati-hati melawan orang-orang itu. Mereka sampai hati membunuh saudara seperguruannya. Apalagi orang lain.
Karena itu, jika mereka tidak mau terbunuh dalam pertempuran itu maka mereka harus bertempur sebaik-baiknya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya, karena orang-orang itu pun ternyata orang-orang yang berbekal ilmu pula.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu agaknya merasa lebih baik menghadapi lawan-lawannya dengan bertempur berpasangan. Kelemahan Mahisa Semu dapat ditutup oleh kelebihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa diketahui oleh lawan-lawan mereka.
Tetapi, ternyata lawan-lawan mereka itu pun telah menyimpan pengalaman yang luas. Untuk menghadapi tiga orang anak muda itu, maka mereka pun telah membuat lingkaran mengelilingi ketiganya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berdiri di tengah-tengah simpang empat itu pun benar-benar telah bertempur dengan tangkasnya. Mereka tidak segera terpengaruh oleh sikap lawan-lawan mereka yang berdiri pada sebuah lingkaran.
Lingkaran yang bergerak bagaikan gelombang. Seorang demi seorang telah meloncat menyerang. Sekali-sekali dengan tangan namun pada kesempatan yang lain dengan kaki mereka. Tetapi, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata tidak menjadi bingung. Mereka dengan tangkasnya telah mengimbangi serangan-serangan itu. Dengan tangkasnya mereka menangkis dan menghindar.
Sekali-sekali jarak di antara mereka bertiga merenggang. Namun kemudian merapat kembali, bahkan sekali-sekali di antara ketiga orang anak muda itu telah melenting menyerang dengan cepatnya. Namun, kemudian meloncat kembali ke tempatnya. Sehingga ketiganya seakan-akan telah menjadi kesatuan yang utuh lagi.
Orang-orang yang ingin merampas kitab itu ternyata menjadi semakin marah. Serentak mereka telah meningkatkan kemampuan mereka. Gelombang serangan mereka pun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Seakan-akan angin dari lautan semakin keras bertiup. Bahkan kemudian menjadi taufan dan angin prahara.
Ketiga anak muda itu pun harus bekerja semakin keras untuk mempertahankan diri. Nampaknya orang-orang itu masih berusaha untuk mendapatkan kepuasan tertinggi, membunuh ketiga anak muda itu tanpa senjata. Sementara itu, ketiga anak muda itu pun masih juga menganggap belum perlu untuk mempergunakan senjata apapun.
Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan gelombang serangan dari orang-orang yang memburu kitab itu menjadi semakin garang. Tidak saja serangan datang beruntun dari segala arah, tetapi lingkaran itu mulai bergerak berputar. Ayunan-ayunan mulai nampak bergerak ke kiri selangkah demi selangkah. Semakin lama menjadi semakin cepat.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berusaha untuk tidak terpengaruh oleh putaran itu. Mereka memperhatikan setiap orang yang bergerak mendekat. Meskipun serangan kadang-kadang justru dilakukan dari arah yang lain, namun anak-anak muda itu ternyata tidak pernah menjadi lengah dan membiarkan lawan-lawannya mencuri serangan.
Ketika putaran itu menjadi semakin cepat, maka Mahisa Semu nampaknya mulai terpengaruh. Tetapi, karena ia berada dalam satu kesatuan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kelemahan itu memang tidak nampak pada pengamatan lawan-lawannya. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasakan pengaruh itu pada adik angkatnya itu.
“Kau mulai terpengaruh,” berkata Mahisa Murti sambil berbisik, “sadari kelemahanmu. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Biar saja mereka berputaran. Ambil seorang di antara mereka. Jadikan sasaran yang baik dan pada saat yang memungkinkan, kau harus meloncat menyerang. Tetapi, kau tidak boleh mengabaikan kemungkinan yang dilakukan oleh orang-orang di sebelah menyebelahnya.”
“Aku mengerti” desis Mahisa Semu.
“Perhatikan. Aku akan melakukannya” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat pun kemudian mempersiapkan dirinya. Sambil menghindar dan menangkis serangan lawan-lawannya yang datang, ia telah mempersiapkan serangannya pula. Karena itu, demikian serangan lawannya gagal mengenai tubuhnya dan meloncat kembali memasuki putaran, maka tanpa memberikan waktu, Mahisa Pukat telah meloncat, menyusulnya dan menyerangnya dengan cepat sekali.
Serangan itu memang terduga sama sekali. Karena itu, maka sasarannya tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia berusaha melindungi dadanya, maka kaki Mahisa Pukat telah menghantamnya dengan kekuatan yang sangat besar. Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Pukat itu telah melemparkan lawan yang menjadi sasarannya keluar putaran. Demikian kerasnya sehingga orang itu telah berguling beberapa kali.
Namun, ternyata ketika orang itu mencoba untuk melenting berdiri, ia justru menyeringai kesakitan, sehingga karena itu, maka ia pun telah berjongkok sambil memegangi dadanya. Nafasnya terasa mulai menjadi sesak. Karena itu, maka ia pun tidak dapat dengan tergesa-gesa berdiri. Bahkan orang itu pun segera duduk untuk mencoba mengatasi kesulitan nafasnya. Tangannya pun kemudian bersilang di dadanya.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berada di sebelah-menyebelahnya dengan cepat telah mengisi kekosongan itu. Namun bagaimanapun juga,, serangan itu telah mempengaruhi putaran lawan-lawannya, sehingga untuk beberapa saat, gelombang yang terayun-ayun mengelilingi anak-anak muda itu dan yang sekali-sekali menempuh dengan dahsyatnya, menjadi agak terganggu.
Pemimpin dari orang-orang itu berusaha untuk mengatasi keadaan. Beberapa kali ia meneriakkan aba-aba. Ternyata bahwa orang-orang yang berada dalam putaran itu dengan cepat telah mampu menyesuaikan dirinya, sehingga putaran itu telah berjalan lagi seperti semula. Tetapi, jumlah mereka telah berkurang satu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat telah membuka satu kemungkinan berikutnya.
Beberapa saat, maka serangan-serangan orang-orang yang berputar dalam lingkaran itu menjadi semakin cepat. Putaran itu pun menjadi semakin cepat pula. Bahkan orang-orang yang berada dalam lingkaran itu mulai bergumam. Semakin lama semakin keras sehingga akhirnya suara mereka menjadi menghentak-hentak menyakitkan telinga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengalami banyak gangguan. Mereka mampu mengatasinya dengan daya tahan mereka yang tinggi. Namun, Mahisa Semu benar-benar telah mulai terpengaruh.
“Isilah setiap relung di dalam dadamu dengan pengerahan kemampuan. Kau harus berani melakukan seperti yang baru saja aku lakukan” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk. Ia pun mulai bersiap-siap. Ia harus mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Tetapi, karena putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat, serta pengaruh suara hentakkan-hentakkan dan teriakan-teriakan, maka Mahisa Semu justru menjadi semakin ragu-ragu. Kepalanya menjadi semakin pening dan jantungnya bagaikan berderak-derak.
Dalam keadaan yang demikian, maka pertahannya pun menjadi semakin lemah. Ketika serangan-serangan datang beruntun, hampir saja Mahisa Semu tidak lagi mampu menangkis atau menghindarinya dengan cepat.
Namun pada saat yang demikian, Mahisa Murti lah yang mulai bergerak. Di saat-saat serangan datang beruntung, maka Mahisa Murti mulai menjadi muak. Karena itu, maka ketika seorang di antara lawannya yang berputar itu melenting menyerangnya, Mahisa Murti masih mengelak. Tetapi, serangan berikutnya dengan cepat menyusul, justru dari orang yang telah berputar lewat beberapa langkah daripadanya, yang meloncat surut dan menyerangnya.
Serangan yang agaknya memang tidak terduga-duga sebagaimana beberapa kali terjadi. Tetapi, Mahisa Murti justru telah menanggapinya dengan caranya. Namun, ia justru telah dengan sengaja membentur serangan yang datang itu. Lawannya yang menyerangnya nampaknya memang kurang mempersiapkannya dengan baik. Ia hanya sempat memperhitungkan waktu yang paling tepat baginya serta kesempatan yang menurut perhitungannya terbuka. Tetapi, ia tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Murti mengatasi keadaan yang paling gawat sekalipun.
Dengan demikian maka benturan yang keras pun telah terjadi. Mahisa Murti memang bergetar. Tetapi, ia sengaja meloncat kembali ke tempatnya, di antara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Namun sementara itu, lawannya bagaikan telah terlempar dengan derasnya. Justru karena ia berada di dalam lingkaran, maka tubuhnya yang terlempar itu telah menimpa kawannya yang lain, sehingga sekaligus maka tiga orang telah terlempar dari lingkaran.
Ternyata bahwa peristiwa itu telah menimbulkan persoalan bagi lawan-lawannya. Pemimpinnya pun tidak segera mampu mengatasinya. Namun, orang-orang yang ada di sebelah menyebelah lubang-lubang pada lingkaran itu berusaha untuk menutupnya meskipun tidak terlalu rapat, sementara lingkaran itu- pun menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dengan cepat telah memanfaatkan keadaan. Lingkaran yang berputar itu memang hampir berhenti karenanya meskipun masih bergerak terus. Pemimpin mereka telah berteriak kepada orang-orang yang terlempar itu untuk segera kembali mengisi tempatnya. Pemimpinnya juga telah memanggil orang yang pertama sekali terlempar dari lingkaran oleh serangan Mahisa Pukat.
Orang-orang itu memang berusaha untuk dengan cepat mengatasi, keadaannya. Namun, sebelum mereka berhasil, Mahisa Pukat telah lebih dahulu melenting menyerang orang yang berdiri justru agak jauh darinya. Orang itu telah terlempar pula dengan derasnya. Justru menimpa kawannya yang sudah hampir tegak lagi. Karena itu, maka keduanya telah berguling-guling beberapa langkah.
Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu mengumpat kasar. Dengan marah ia membentak, “Cepat bangkit dan kita bunuh orang-orang itu.”
Yang lain yang telah berhasil berdiri tegak, dengan cepat telah memasuki lingkaran itu kembali. Namun, tenaga dan kemampuan mereka ternyata telah susut. Mereka tidak akan sempat lagi bertempur sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian maka lingkaran yang masih saja berputaran itu sudah tidak lagi segarang semula. Meskipun mereka masih juga berteriak-teriak dan menghentak-hentak, namun mereka sudah tidak segarang sebelumnya.
Karena itu, maka kesulitan di dalam diri Mahisa Semu pun telah berkurang. Apalagi setelah ia melihat apa yang dilakukan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang ternyata berhasil. Pada kesempatan mendatang, maka kedua orang anak muda yang menganggapnya sebagai adiknya itu tentu tidak akan sulit untuk menyelesaikan pertempuran yang tersisa.
Sementara itu dua orang yang masih berada diluar lingkaran itu pun telah berusaha untuk memasuki lingkaran kembali. Sehingga dengan demikian maka lingkaran itu telah menjadi utuh. Namun, yang ternyata utuh hanyalah jumlahnya saja. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat kelemahan itu. Beberapa saat lagi, maka mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran itu.
Namun agaknya mereka melupakan, bahwa masih ada kemungkinan lain yang dapat terjadi. Ternyata orang-orang itu telah mendapat perintah dari pemimpinnya untuk mempergunakan kesempatan yang masih ada itu dengan mempergunakan senjata mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berada dalam lingkaran itu telah menarik senjata mereka masing-masing.
Dengan demikian, maka ketiga anak muda itu pun merasa perlu untuk mempergunakan senjata mereka pula. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran bersenjata. Orang-orang yang berada di lingkaran itu sebagian terbesar memang bersenjata pedang. Namun, ada di antara mereka yang bersenjata semacam tongkat baja yang runcing ujungnya. Ada pula yang mempergunakan sebuah kapak bertangkai lebih panjang dari kapak kebanyakan. Sedangkan seorang lagi membawa sebuah senjata yang runcing di kedua ujungnya.
Dengan demikian maka pertempuran pun telah menjadi garang kembali. Bukan saja sekedar dengan tangan mereka, tetapi telah dipergunakan senjata yang sentuhannya akan dapat mengoyakkan kulit.
“Gila,” geram Mahisa Pukat, “aku hampir saja kehilangan kewaspadaan. Aku mengira bahwa pertempuran ini sudah hampir selesai. Ternyata kita harus mulai lagi dengan permainan yang baru.”
“Menyerahlah,” geram pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu, “serahkan kitab itu dan pergilah.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “jangan bohongi kami. Jika kau telah berhasil mengambil kitab itu, maka kau tentu akan membunuh kami, yang kau anggap telah melihat isi kitab itu dan yang barangkali kau anggap telah menodainya.”
“Persetan,” geram pemimpin kelompok itu, “apa pun yang kalian lakukan, kalian memang akan mati.”
“Karena itu, biarlah kami sempat menunjukkan kepada kalian bahwa kami sudah menguasai ilmu yang tersimpan di dalam kitab itu” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong” pemimpin dari sekelompok orang itu telah membentak.
Mahisa Pukat justru tertawa. Namun, dengan tiba-tiba saja suara tertawanya telah terputus. Dengan satu loncatan panjang Mahisa Pukat telah menyerang. Pedangnya terjulur lurus, bahkan langsung menghunjam lambung salah seorang lawannya.
Orang itu menyeringai kesakitan. Namun, ternyata ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri. Ketika Mahisa Pukat menarik pedangnya, maka ia pun telah terhuyung-huyung keluar lingkaran dan jatuh di tanah. Beberapa kali ia masih dapat berguling perlahan-lahan menepi sambil berdesis menahan pedih di lukanya itu.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “satu demi satu, gigi lingkaran itu akan aku habiskan.”
“Anak iblis. Aku bunuh kau dengan caraku” geram seorang yang berkumis tebal.
Tetapi begitu mulutnya terkatub, maka sekali lagi, dengan tidak diduga-duga, Mahisa Pukat telah meloncat lagi. Senjatanya tidak terjulur lurus. Tetapi terayun mendatar. Sekali lagi seorang di antara lawannya itu terdorong keluar dari lingkaran. Dadanyalah yang terkoyak oleh ujung pedang Mahisa Pukat.
“Licik,” geram pemimpin kelompok itu, “kau menyerang dengan tiba-tiba justru di saat lawanmu tidak mengira akan terjadi. Jika kau jantan, maka kau tentu akan menyerang saat lawanmu siap menerima serangan itu.”
“Siapakah yang licik?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah bertempur dalam jumlah yang jauh lebih besar seperti yang kalian lakukan itu bukannya satu kelicikan?”
“Tutup mulutmu,” bentak pemimpinnya itu, “kau akan mati dengan penuh penyesalan.”
Tetapi, pemimpinnya itulah yang kemudian terkejut. Ternyata perhatiannya lebih banyak tertuju pada Mahisa Pukat daripada Mahisa Murti. Karena itu, pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu tidak bersiap untuk menghadapi serangan Mahisa Murti yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Tetapi, Mahisa Murti ternyata tidak bersungguh-sungguh berniat membunuhnya. Karena itu, maka senjatanya tidak langsung menghunjam ke dadanya. Ujung pedang Mahisa Murti memang menyambarnya, tetapi sekedar mengoyakkan kulit di pundaknya. Orang itu meloncat surut, keluar dari lingkaran. Sementara itu, dari lukanya telah mengalir darah.
Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Mahisa Murti yang telah kembali ke tempatnya tertawa sambil berkata lantang, “nah, biarlah kalian menyadari, bahwa bukan kalian yang berhak menentukan akhir dari pertempuran ini. Kami pun berhak menuntut penyelesaian yang paling baik bagi kami dari pertempuran ini.”
“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu, “kita akan membuktikan, bahwa tidak ada orang yang dapat mencegah kehendakku untuk membunuh siapapun.”
“Kau ternyata sangat sombong. Sudah aku katakan, kau tidak akan dapat berbuat apa pun sekarang di sini” sahut Mahisa Murti.
Dalam pada itu, demikian pemimpinnya terlempar, maka pertempuran itu seakan-akan memang berhenti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat beserta adik angkatnya itu sebenarnya dapat memanfaatkan keadaan itu, selagi orang-orang yang sedang memburu kitab itu merasa kehilangan pemimpin. Tetapi, ternyata pemimpinnya itu sangat tahan mengalami guncangan-guncangan yang bagaimanapun juga. Karena itu, maka luka di puncaknya itu seakan-akan tidak dirasakannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Kalian akan menyesali perbuatan kalian.”
Dengan tangkasnya orang itu telah meloncat memasuki lingkaran lagi tanpa menghiraukan darah yang mengalir di pundaknya. Namun, saat-saat yang rawan itu telah dipergunakan Mahisa Pukat sekali lagi. Demikian perhatian orang-orang itu tertuju kepada pemimpinnya yang kembali memasuki arena, maka seorang lagi di antara mereka berteriak tertahan. Pedang Mahisa Pukat telah melukai lambung orang itu. Luka yang cukup dalam dan parah.
Sejenak orang itu terhuyung-huyung, namun ia pun kemudian terjatuh di tanah. Darah memang terlalu banyak mengalir dari tubuhnya sehingga ia tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri. Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “Bunuh mereka. Kita sudah kehilangan gairah dengan putaran ini. Karena itu bunuh mereka dengan cara apa pun juga.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu justru termangu-mangu. Mereka sudah memperhitungkan bahwa sejenak kemudian lingkaran itu telah terurai. Orang-orang itu telah menebar dan mereka pun siap menyerang dari segala arah. Tetapi, yang mereka lakukan tidak lagi merupakan satu kesatuan sebagaimana mereka berada dalam lingkaran. Setelah menebar, maka mereka harus mengambil sikap mereka masing-masing.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun segera mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang baru itu. Namun bagi mereka, agaknya perlawanan yang akan dilakukan oleh orang-orang yang memburu kitab itu tidak lagi terlalu berat.
Sejenak kemudian, maka pemimpin dari orang-orang itu telah memberikan isyarat, sehingga sejenak kemudian orang-orang itu pun telah mulai bergeser dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Seorang yang bersenjata kapak, bertubuh tinggi tegap dan berjambang panjang telah meloncat menyerang Mahisa Semu.
Namun, Mahisa Semu sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Apalagi ia tidak lagi merasa pening diganggu oleh putaran yang mengelilingnya serta umpatan-umpatan dan teriakan-teriakan yang mengitarinya. Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar. Bahkan senjatanya telah terayun mendatar demikian kapak lawannya berputar di tangan lawannya itu.
Tetapi, ternyata lawannya yang besar itu masih mampu menghindar dengan cepat. Dengan loncatan panjang orang bersenjata kapak itu melenting surut. Namun, sekali ia memutar kapaknya, kemudian terayun ke samping. Satu putaran lagi diatas kepalanya bersamaan dengan ayunan kakinya yang meloncat menyerang. Kemudian dengan derasnya kapak itu terayun mengarah ke ubun-ubun Mahisa Semu.
Tetapi, Mahisa Semu cukup tangkas. Ia bergeser selangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dengan tangkas pula ia telah memukul kapak lawannya itu. Ternyata orang bertubuh tinggi dan berjambang panjang itu terkejut. Kapaknya hampir saja terlepas dari tangannya. Anak muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Sambil meloncat menghindari kemungkinan yang lebih buruk, maka orang bertubuh tinggi itu berusaha memperbaiki pegangannya atas senjatanya. Ketika ia berdiri tegak menghadapi lawannya, senjata itu telah digenggamnya kuat-kuat. Tetapi, Mahisa Semu tidak sempat mengejarnya. Orang lain yang bersenjata pedang telah menyerangnya, sehingga Mahisa Semu harus melayaninya dan melepaskan orang bersenjata kapak itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus bertempur melawan beberapa orang pula. Dengan kemampuan mereka bermain pedang, maka keduanya mampu mengatasi serangan-serangan yang datang beruntun dari orang-orang yang memburu kitab itu. Tetapi, ketangkasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membuat mereka menjadi heran. Mereka sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh anak-anak muda itu dengan ujung-ujung senjata mereka.
Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah menjadi jemu. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan mengerahkan tenaga cadangan, maka kedua anak muda itu telah berhasil mendesak lawan-lawannya. Tanpa mempergunakan beberapa kemampuan ilmu yang tinggi, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah dapat mengatasi kemampuan orang-orang yang menyerangnya itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian sekelompok orang-orang itu benar-benar tidak berdaya menghadapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat membentak mereka agar menyerah maka mereka tidak mempunyai pilihan lain. Dengan jantung yang bagaikan berhenti berdegup, maka beberapa orang yang tersisa itu telah meletakkan senjata mereka, sementara beberapa orang kawannya telah terbaring diam.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apa yang ingin kalian lakukan sekarang? Apakah setiap orang yang sempat melihat isi kitab itu akan kau bunuh?”
“Anak muda,” berkata pemimpin dari kelompok orang-orang yang memburu kitab itu, yang ternyata telah terluka, “kalian telah menguasai kami. Kami menyadari, bahwa apa pun yang kami lakukan, kami tidak akan dapat memenangkan perkelahian ini. Karena itu lebih baik kami menyerah. Kami sudah berjanji, jika kami tidak dapat mengambil kitab itu kapan pun juga, maka kami akan memilih jalan terakhir, kematian. Kami memang dapat bertempur sampai mati. Tetapi, itu tidak akan ada artinya, karena ilmu kami berada di bawah tataran ilmu kalian, sehingga aku menganggap hal itu tidak berarti sama sekali. Nah, sekarang, apa pun yang akan kalian lakukan terhadap kami, lakukanlah.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya, “berapa orang yang sudah kau bunuh di saat kau memburu kitab itu.”
Pemimpin dari kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak pernah membunuh seorang pun.”
Tetapi, Mahisa Pukat tiba-tiba saja membentak, “jangan berbohong. Kau bunuh saudara seperguruanmu. Kau bunuh orang-orang yang kau anggap menghalangi usahamu mencari kitab itu dan kau sudah mengancam untuk membunuh kami karena kami telah melihat isi kitab itu.”
“Kami memang ingin berbuat demikian. Tetapi, kami tidak pernah sempat melakukan” jawab pemimpinnya.
“Bohong” bentak Mahisa Pukat.
“Memang di antara kamilah yang melakukan. Tetapi, bukan dengan tanganku dan tangan orang-orang yang kebetulan bersamaku sekarang” jawab orang itu.
“Aku tidak tahu maksudmu” berkata Mahisa Murti.
“Kami memang seakan-akan saling berebut dahulu. Tetapi, di saat kami datang bersama-sama, maka kematian itu tidak dapat dihindari lagi,” jawab pemimpin itu, “Tetapi, jika dengan demikian kau anggap kami telah ikut membunuh korban-korban itu, maka kami memang tidak mengelak.”
“Aku tidak mengerti bedanya. Yang kami ketahui kalian telah membunuh. Dan kalian tahu, apakah hukuman bagi seorang pembunuh” geram Mahisa Pukat.
“Sudah aku katakan, bahwa kami semua ini tidak akan ingkar. Apalagi kami sudah bertekad, jika kami tidak mendapatkan kitab itu, maka kami memang lebih baik mati” berkata pemimpin kelompok itu.
Mahisa Murti justru menjadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ada perbedaan antara kalian dan kami. Kami memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berperasaan. Meskipun aku tidak tahu pasti, bahwa apa yang kau katakan itu benar, namun kami memang tidak akan bersedia kau jadikan alat untuk membunuh diri. Kecuali jika kau tidak berhenti bertempur, maka mungkin kalian akan terbunuh atau terluka parah.”
“Kami tidak ingin mengalami kesulitan menuju ke jalan kematian,” berkata pemimpin sekelompok orang-orang yang memburu kitab itu, “karena itu, bunuhlah dengan langsung menembus jantungku. Aku akan berterima kasih kepada kalian.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Lakukanlah jika kalian mempunyai niat untuk melakukan sendiri. Tetapi ingat, bahwa pengecut yang paling buruk adalah seseorang yang membunuh dirinya. Seorang yang menyadari akan kegagalannya, tentu akan dapat mencari jalan lain. Sedangkan orang yang menyadari kesalahannya, akan mencari jalan kebenaran. Aku tidak tahu, apakah kalian ingin membunuh diri karena kalian merasa gagal dan tidak akan mampu lagi memenuhi janji kalian kepada diri sendiri atau karena kalian merasa bahwa kalian telah melakukan kesalahan yang tidak terhitung lagi jumlahnya.”
“Apa pun yang kau sebut, kami tidak akan menolak” berkata pemimpin kelompok itu.
“Baiklah. Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka. Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan kalian. Aku akan tetap membawa kitab itu dan tidak akan pernah aku serahkan kepada kalian. Tetapi kalian boleh mengetahuinya, bahwa kitab itu memang bukan kitab yang pantas dikagumi atau ditebus dengan nyawa. Ilmuku sudah jauh lebih tinggi dari isi kitab itu. Karena itu, kitab itu tidak berarti apa-apa lagi bagiku, kecuali untuk memusnahkannya sehingga tidak akan menimbulkan persoalan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi…“ pemimpin kelompok itu menjadi pucat, “kau membuat aku cemas, melampaui kecemasan seorang yang akan dihukum mati. Jangan musnahkan kitab itu.”
“Itu lebih baik daripada kitab itu akan selalu menimbulkan persoalan” jawab Mahisa Murti.
Wajah orang itu memang benar-benar menjadi pucat. Keringat dingin telah membasahi punggungnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kalau kau ingin membunuh aku, bunuhlah. Tetapi aku mohon, jangan musnahkan kitab itu. Jika kau tidak memerlukannya karena kau mampu meniti jalur lain untuk mencapai ilmu yang tinggi, berikan kepada orang lain. Tetapi jangan dimusnahkan. Karena kitab itu menyangkut kelangsungan hidup sebuah perguruan.”
Tetapi, Mahisa Pukat lah yang menjawab, “jadi kau belum puas dengan kematian-kematian yang telah terjadi karena kitab itu? Agaknya kau masih ingin terjadi lagi kematian demi kematian.”
“Bukan maksudku. Tetapi kitab itu” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Mahisa Murti. Namun, sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Pukat berdesis kepada Mahisa Semu, “berhati-hatilah. Kita akan mendapat kawan latihan yang baru. Namun, agaknya orang-orang ini mempunyai kelebihan dari sekelompok orang dungu ini.”
Mahisa Semu termangu-mangu. Ia mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tetapi, ia tidak melihat seseorang. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Marilah Ki Sanak. Agaknya lebih baik kita berbicara berhadapan daripada sekedar bersembunyi dan mengintip di balik gerumbul-gerumbul perdu.”
Terdengar umpatan kasar. Namun kemudian dua orang telah meloncat dari balik gerumbul-gerumbul liar. “Luar biasa,” berkata salah seorang dari mereka, “kalian dapat mengetahui kehadiran kami.”
Namun Mahisa Murti menyahut, “Luar biasa, bahwa kalian berhasil mendekati arena tanpa kami ketahui.”
Sekali lagi orang itu mengumpat. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sudah menjadi pucat itu justru semakin pucat. Di luar sadarnya ia berdesis, “Kau.”
Kedua orang itu tertawa. Didekatinya pemimpin sekelompok orang yang memburu kitab itu sambil berkata, “Ternyata kau tetap dungu.”
Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu menyahut, “Aku sudah berusaha cukup jauh.”
“Tutup mulutmu,” bentak salah seorang di antara kedua orang yang baru datang, “kau tidak usah berbicara apa-apa. Aku sudah tahu kau terluka dan sama sekali tidak berdaya. Orang-orangmu ada sudah hampir mati atau bahkan sudah mati.”
Pemimpin dari sekelompok orang yang memburu kitab itu terdiam. Ia memang tidak mempunyai keberanian untuk menentang kedua orang yang dianggapnya berilmu sangat tinggi itu. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu berkata, “Nah. Sekarang serahkan kitab itu kepadaku. Kau tidak akan dapat menghancurkannya. Kitab itu adalah lambang kelangsungan sebuah perguruan. Bukankah kau sudah mendengarnya?”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kau tentu tahu arti dari kitab ini. Kematian. Nah, apakah kau ingin mempertahankannya?”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata apa pun juga. Tetapi, serahkan kitab itu kepadaku.”
“Jika kitab itu kami serahkan?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi, keduanya justru tertawa bersama-sama. Semakin keras. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Nah, aku tahu maksud kalian. Akhirnya akan sama saja. Kau akan membunuh kami jika kitab ini sudah aku serahkan. Karena itu, biarlah kita balik saja. Bunuh aku dulu jika kalian mampu. Baru kitab ini akan sampai ke tanganmu.”
Kedua orang itu masih tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ternyata kalian memang sudah gila. Kalian merasa bahwa kalian telah berhasil mengalahkan tikus-tikus ini akan dapat mengalahkan kami berdua. Sayang anak muda. Kau agaknya salah melihat lawan.”
Sementara itu yang lain berkata, “Sudahlah. Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau akan mati dan kitab itu akan sampai ke tangan kami.”
“Nah, agaknya yang terakhir itulah yang lebih singkat. Marilah. Kami akan melayani tantangan kalian. Karena kalian hanya berdua, maka kami pun turun berdua ke arena” jawab Mahisa Murti.
Kedua orang itu tertawa pula. Katanya, “jangan menyiksa diri. Marilah. Kalian akan dapat maju bertiga.”
“Tidak perlu. Kami sudah mempelajari isi kitab itu, sehingga kami sudah memiliki ilmu yang tinggi,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut.
Kedua orang itu masih saja tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ternyata kau senang bergurau anak muda. Tetapi kami tahu, bahwa untuk mempelajari kitab itu diperlukan waktu.”
Mahisa Pukat tiba-tiba saja juga tertawa. Katanya, “Aku memang berbohong. Kami bertiga hanya melihat sepintas. Tetapi, ternyata ilmu kami sudah lebih tinggi dari isi kitab itu, sehingga kami tidak memerlukannya lagi.”
“Kalian merasa bahwa ilmu kalian lebih tinggi dari isi kitab itu?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu. Bahkan keduanya tertawa semakin keras. Orang itu pun kemudian melanjutkan, “Dengan mengalahkan cucurut-cucurut itu kau merasa bahwa ilmumu sudah lebih tinggi dari isi kitab itu.”
“Tentu. Apakah kalian ingin meyakinkan? Nah, sampai tataran keberapa kalian mempelajari ilmu yang sejalan dengan isi kitab itu? Ketiga atau ke empat?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi kedua orang itu tidak menanggapinya. Bahkan salah seorang di antara mereka berkata, “Sudahlah. Jika kalian memang ingin mati marilah. Aku antarkan kalian ke neraka.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “jadi kalian ingin membunuh kami, sementara kami telah membebaskan kawan-kawanmu?”
“Salahmu sendiri” geram salah seorang dari kedua orang itu.
“Kami tidak mau membunuh mereka, karena mereka justru ingin membunuh diri,” berkata Mahisa Murti, “tetapi sekarang, kalian justru ingin memanfaatkan keadaan yang serupa? Seandainya kami ingin membunuh diri, kalian tidak berkeberatan melakukannya?”
“Tentu tidak. Kami memang suka menolong orang lain” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Jika kalian memang senang menolong orang lain, bagaimana jika kami ingin pergi saja tetapi dengan membawa kitab itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Terlambat. Pintu sudah tertutup sementara kau masih ada di dalam,” jawab orang itu, “tetapi sudahlah. Jangan berbicara saja. Aku tahu kau sengaja mengulur waktu kematianmu. Sekarang, bersiap-siaplah untuk mati. Marilah, kalian bertiga maju atau kalian ingin mengambil jalan pintas dengan menundukkan kepala dan membiarkan kami menebasnya.”
Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, “satu permainan yang menyenangkan. Bagaimana jika kau saja yang menunduk dan membiarkan aku memukuli kepalamu sampai kau mati?”
Orang itu terkejut mendengar jawaban dan sikap Mahisa Murti. Bahkan kemudian Mahisa Pukat yang juga tertawa berkata, “Kau ingin mati atau tidak? Jika tidak, kau harus bersikap baik seperti kawan-kawanmu yang terdahulu. Tetapi jika kau mau mati, berbuatlah kasar sehingga kami marah dan membunuh kalian.”
Kedua orang itu tidak dapat lagi menahan diri. Karena itu, maka seorang di antara mereka menggeram, “Bunuh mereka dengan cara yang paling menyakitkan.”
Kedua orang itu pun melangkah untuk berpencar. Namun Mahisa Pukat masih sempat berkata, “Bunuhlah mereka hingga setengah mati saja, supaya mereka dapat menikmati hari-hari kematian mereka. Baru kemudian jika mati itu datang sendiri, bukan salah kami.”
“Cukup,” teriak salah seorang di antara kedua orang itu, “kami sudah muak mendengar kata-kata kalian.”
Mahisa Murti tertawa semakin keras. Katanya, “jangan marah. Kau akan mengalami kesulitan jika kau bertempur sambil marah.”
Orang itu tidak menahan dirinya lagi. Dengan tangkasnya ia segera meloncat menyerang Mahisa Murti. Mahisa Murti meloncat mundur. Namun, ia sudah bersiap sepenuhnya. Namun, karena lawannya masih belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun tidak mempergunakan senjata pula. Mereka bertempur atas dasar kemampuan mereka tanpa mengandalkan kelebihan senjata-senjata mereka.
Namun, salah seorang dari kedua orang itu masih sempat berteriak, “bertempurlah bertiga.”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Tidak. Adikku masih terlalu letih. Ia baru saja membunuh tujuh orang di dekat pasar. Ia telah bertempur seorang diri melawan sekelompok orang yang ingin membunuhnya.”
“Pasar yang mana?” bertanya orang itu.
“Aku tidak tahu. Di sini kami menjadi bingung. Tetapi pokoknya dekat pasar.”
Lawan Mahisa Murti itu justru meloncat menjauh. Katanya sambil tertawa, “Kau selalu berbohong untuk menutupi kekuranganmu. Kami tahu perjalanan yang baru saja kalian tempuh. Tidak ada perkelahian kecuali kalian melawan tikus-tikus kecil ini.”
“Terserah kepadamu. Kau dapat ingkar atau dapat memutar balikkan kenyataan. Tetapi, jika kau ingin terjun lepaskanlah segala mimpimu tentang kitab itu, karena kau akan mati.”
Orang itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia pun telah menyerang kembali Mahisa Murti yang menempatkan diri untuk melawannya, sementara yang lain masih saja bertempur melawan Mahisa Pukat dengan garangnya. Dengan kekuatannya yang sangat besar, lawan Mahisa Pukat itu berusaha untuk meremukkan tulang-tulang Mahisa Pukat.
Karena itu, maka orang itu hampir tidak pernah menghindari serangan-serangan lawannya. Tubuhnya yang besar, tinggi dan kekar itu merupakan jaminan bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi dan memiliki kekuatan yang sangat besar.
Namun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Meskipun setiap serangannya membentur kekuatan lawannya. Mahisa Pukat sendiri memang belum mengerahkan ilmunya. Ia masih mempergunakan kemampuan tenaga cadangannya yang memang sangat besar.
Lawannya pun menjadi heran. Ia merasa bahwa kekuatannya tidak akan dapat diimbangi oleh siapa pun juga. Ia berharap bahwa dengan satu pukulan anak muda itu akan jatuh terjerembab dan dengan kakinya ia akan dapat membuat anak muda itu kehilangan kemampuan melawan karena tulang punggung nya patah. Seandainya ia masih akan tertolong, tetapi untuk selanjutnya ia tidak akan mengganggu lagi. Namun kemudian katanya di dalam hati, “Tidak akan pernah ada orang yang dapat lolos dari tanganku. Juga orang itu. Ia akan mati dan terkapar di tanggul parit.”
Tetapi, ketika mereka bertempur semakin sengit, ternyata bahwa orang itu tidak segera mampu menguasai Mahisa Pukat. Bahkan dalam benturan-benturan berikutnya, orang itu merasa semakin sulit. Demikian pula lawan Mahisa Murti. Dalam keseluruhan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru semakin mendesak lawannya. Kedua orang itu memang merasa heran. Kedua orang lawan mereka itu masih muda. Namun, keduanya ternyata memiliki kemampuan dan ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka kedua orang yang merasa diri mereka tidak terkalahkan itu telah merambah ke tataran ilmu yang lebih tinggi. Mereka mulai menunjukkan kemampuan mereka diatas kemampuan wajar seseorang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasakan perbedaan pada tingkat kemampuan ilmu lawannya. Rasa-rasanya lawan mereka itu mampu bergerak lebih cepat, sehingga sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tersentuh serangan mereka.
Mahisa Semu yang ada di luar arena memperhatikan pertempuran itu dengan tegang. Mula-mula ia masih mampu menilai kemampuan masing-masing. Mahisa Semu masih mampu melihat unsur-unsur gerak pada ilmu yang dipergunakan oleh kedua belah pihak. Namun kemudian tata gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan tubuh-tubuh mereka pun menjadi seakan-akan semakin ringan.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka Mahisa Murti pun harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi tata gerak lawannya. Sementara itu Mahisa Murti masih harus menjajagi pula kekuatan lawannya. Jika lawannya mulai merambah ke ilmunya, yang dapat membuat kekuatannya berlipat ganda, maka Mahisa Murti harus memperhitungkan sebaik-baiknya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat pun harus mengerahkan kemampuannya. Lawannya juga mampu bergerak lebih cepat. Semakin lama semakin cepat. Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Pukat dengan lawannya itu berlangsung semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga kaki mereka pun seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat yang memiliki landasan berbagai ilmu di dalam dirinya itu, telah berusaha untuk tidak berada pada tataran dibawah tataran ilmu lawannya. Karena itu, betapa cepatnya lawannya bergerak, Mahisa Pukat selalu mampu mengimbanginya. Bahkan sekali-sekali dengan mengejutkan lawannya, Mahisa Pukat menyerang dengan kekuatan yang sangat besar, dari arah yang tidak terduga.
Tetapi, lawannya ternyata tidak mudah untuk dapat ditundukkannya. Setiap kali Mahisa Pukat masih saja gagal menyentuh tubuh lawannya itu. Namun, lawannya pun tidak sempat pula mengenainya betapa pun ia mengerahkn kemampuannya. Dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan sangat cepat dan dengan kekuatan yang sangat besar.
Mereka berloncatan menyambar-nyambar. Tangan mereka bergerak-gerak melontarkan serangan yang keras. Kaki mereka pun sekali-sekali terayun menyambar ke arah tubuh lawannya. Tetapi, mereka masing-masing tidak segera berhasil mengenai sasarannya.
Mahisa Semu menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa dirinya masih jauh ketinggalan sehingga ia tidak dapat mengerti, apa yang sedang terjadi. Meskipun sekali-sekali ia menjadi cemas dan bahkan ngeri melihat pertempuran itu, namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Di arena pertempuran yang lain, ternyata lawan Mahisa Murti lebih cepat kehilangan kesabaran. Karena Mahisa Murti tidak segera dapat dikalahkannya, maka orang itu benar-benar sudah tidak membuang-buang waktu lagi. Ia tidak saja meningkatkan kekuatan dan kecepatan geraknya, tetapi orang itu benar-benar telah memasuki ilmunya yang garang.
Ketika ia terdesak oleh serangan Mahisa Murti yang datang beruntun, yang hampir saja dapat mengenainya, maka orang itu telah meloncat menjauh. Ia memerlukan waktu sekejap untuk memusatkan nalar budinya, membangunkan ilmunya yang dahsyat. Mahisa Murti yang siap memburunya, justru tertegun. Ia tidak ingin membentur kekuatan di luar kemampuannya jika lawannya telah mempergunakan ilmu yang tinggi.
Sejenak Mahisa Murti melihat lawannya itu mengatupkan telapak tangannya. Kemudian menggosok-nggosokannya. Ketajaman penglihatan Mahisa Murti menangkap seakan-akan tangan itu telah membara, sehingga tangan itu tentu akan dapat memancarkan panas yang tinggi.
“Apakah hanya telapak tangannya atau seluruh tubuhnya” bertanya Mahisa Murti di dalam hatinya. Namun Mahisa Murti memang ingin mencobanya.
Beberapa saat kemudian, orang itu telah menyerang pula dengan garangnya. Dengan telapak tangannya ia berusaha mengenai tubuh Mahisa Murti. Bahkan di saat-saat Mahisa Murti menyerang pun orang itu selalu berusaha untuk menangkis dengan telapak tangannya.
Tetapi, akhirnya Mahisa Murti dapat mengetahui, bahwa yang membara hanyalah pada telapak tangannya. Pada bagian tubuhnya yang lain sama sekali tidak terpancarkan udara panas. Sehingga karena itu, maka ia harus menjaga agar tubuhnya tidak tersentuh telapak tangan itu. Namun, lawannya itu ternyata semakin lama semakin berbahaya bagi Mahisa Murti, karena seakan-akan ia mampu bergerak semakin cepat, sehingga Mahisa Murti menjadi semakin sulit menghindari serangan-serangannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak dapat membiarkan dirinya menjadi korban kegarangan orang itu. Ilmu yang dipilihnya untuk melawan ilmu lawannya itu adalah ilmunya yang disadapnya dari ayahnya. Tetapi, karena Mahisa Murti menyadari kedahsyatan ilmu itu, maka ia tidak berniat untuk mempergunakan dalam tataran tertinggi.
Demikianlah, maka dalam pertempuran selanjutnya Mahisa Murti yang selalu menghindari sentuhan tangan lawannya, suatu saat telah meloncat untuk mengambil jarak. Dalam saat yang singkat, ia telah berusaha untuk mempersiapkan ilmunya.
Ketika lawannya itu menyerang, maka Mahisa Murti telah meloncat sambil mengayunkan tangannya. Namun, sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti merasa ragu-ragu untuk membentur lawannya dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya, meskipun hanya dengan mempergunakan sebagian dari tangannya. Ternyata keragu-raguannya itu telah menimbulkan kesulitan pada dirinya. Karena keragu-raguan itu telah mengekangnya di saat ia benar-benar telah siap mengayunkan tangannya sambil meloncat.
Karena keragu-raguan itu, maka lawannya yang sedang menyerangnya itu sempat menggeliat. Dengan demikian, maka ia telah terlepas dari garis serangan Mahisa Murti. Sementara itu ketika Mahisa Murti menyadari kesalahannya, orang itu justru telah menyerangnya dari sisi lain. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelak. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah menangkis serangan yang datang dengan tiba-tiba itu dengan lengannya.
Satu benturan keras telah terjadi. Lawan Mahisa Murti itu bergetar. Beberapa langkah ia surut. Sesaat ia memang terhuyung karena kehilangan keseimbangan. Tetapi, ternyata bahwa ia mampu memperbaiki keadaannya, sehingga ia tidak jatuh terlentang. Namun dalam pada itu, sentuhan telapak tangan yang membara itu telah mengenai lengan Mahisa Murti. Panasnya justru melebihi bara sehingga kulit Mahisa Murti telah terkelupas karenanya. Betapa perasaan pedih telah menggigit tangannya itu.
Tetapi, gigitan pedih di lengannya yang terkelupas itu ternyata telah membuat Mahisa Murti menjadi sangat marah. Dengan meningkatkan tenaga cadangannya Mahisa Murti telah meningkatkan pula daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit. Tetapi, perasaan sakit pada kulitnya yang terkelupas itu ternyata masih saja terasa menyengat. Karena itulah, maka keragu-raguannya itu pun telah lenyap sama sekali. Apalagi ketika ia melihat lawannya itu telah bersiap lagi. Nampaknya lawannya benar-benar ingin membinasakannya.
Tetapi, Mahisa Murti yang kesakitan itu tidak ingin mengalaminya lagi. Karena itu, maka ia pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia harus membalas tanpa dapat dilukai lagi. Mahisa Murti yang telah bersiap itu memang telah menunggu serangan lawannya.
Orang itu telah meloncat dan mengayunkan kedua tangannya mengarah ke leher Mahisa Murti. Rasa-rasa-nya dengan tangan yang membara itu, lawan Mahisa Murti itu akan mencekiknya sampai mati. Menghentikan pernafasannya dan sekaligus membakar leher itu.
Kemarahan Mahisa Murti serta bayangan kematian yang mengerikan itu, telah mendorong Mahisa Murti untuk melepaskan ilmunya tanpa ragu-ragu meskipun tidak dengan sepenuh tenaga. Ketika tangan itu menyambarnya, maka dengan tangkasnya Mahisa Murti telah merendah sambil bergeser ke samping, sehingga tangan yang rasa-rasanya telah yakin akan menggapai kemenangan itu, sama sekali tidak menyentuhnya. Lawannya itu memang menggeliat sambil menggapai tubuhnya yang mana pun yang dapat disentuhnya. Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan jarak itu.
Tetapi, ia tidak membiarkan lawannya itu terlepas dari tangannya. Karena itu, demikian kedua kaki lawannya itu menginjak tanah, maka Mahisa Murti telah meloncat menyerangnya dengan kemarahan yang membakar jantung. Namun, ilmu yang dipersiapkan memang bukan memuat seluruh kekuatan yang ada. Karena itu, maka yang terlontar pun hanyalah sebagian saja dari bobot ilmunya itu.
Namun, yang tidak sepenuhnya itu ternyata tidak terduga sama sekali oleh lawannya. Ketika Mahisa Murti meluncur dengan ilmunya, maka lawannya itu pun berusaha untuk menangkis serangan itu dengan telapak tangannya. Namun ternyata ia terlambat. Demikian tangannya bergerak, serangan Mahisa Murti telah menimpanya. Demikian kerasnya, sehingga rasa-rasanya tubuh orang itu bagaikan tertimpa gunung. Orang itu telah terpelanting bukan hanya satu dua langkah. Tetapi, beberapa langkah lebih jauh. Bahkan untuk selanjutnya, orang itu tidak bangkit sama sekali.
Mahisa Murti kemudian berdiri termangu-mangu memandang lawannya yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia melangkah mendekatinya. Namun selangkah dari tubuh yang terkapar itu ia berhenti. Ternyata menurut penglihatannya orang itu telah kehilangan segala kemungkinan untuk diselamatkan. Agaknya Mahisa Murti benar-benar telah mengenainya di tempat yang paling gawat.
Di luar sadarnya, kemarahan Mahisa Murti telah berpengaruh kepada ilmunya, Karena itu, meskipun tidak dikehendakinya, namun pukulan Mahisa Murti itu telah mematahkan tulang punggung dan beberapa tulang iga yang berpatahan pula. Memang ada penyesalan di hati Mahisa Murti. Tetapi, ia tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi di saat ia benar-benar sedang marah.
Sementara itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih bertempur. Ternyata kedua belah pihak telah mempergunakan senjata mereka. Pedang. Namun, pedang Mahisa Pukat memang tidak sebaik pedang lawannya. Pedang Mahisa Pukat terbuat dari baja, tetapi tidak mengalami penyempurnaan seperti pedang lawan Mahisa Pukat itu yang buatannya memang mirip dengan sebuah keris yang besar.
Lawan Mahisa Pukat itu nampaknya terlalu percaya kepada senjatanya. Itulah sebabnya maka ia telah menyerang Mahisa Pukat dengan garangnya. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali senjata itu mematuk ke arah dada. Apalagi ketika dilihatnya senjata Mahisa Pukat yang tidak lebih dari sebilah pedang buatan pandai besi di pasar-pasar. Tetapi, orang itu lupa menilai kemampuan Mahisa Pukat itu.
Sejenak kemudian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Lawan Mahisa Pukat itu juga melihat, bahwa kawannya yang seorang itu sudah dapat dikalahkan. Namun, ketika hal itu disinggung oleh Mahisa Pukat, orang itu justru membentak,
“Aku tidak peduli dengan orang yang bodoh itu sehingga ia telah terbunuh sendiri.”
“Sebaiknya kau menyerah” berkata Mahisa Pukat.
“Nilai kitab itu sama dengan nilai nyawaku” geram orang itu.
Mahisa Pukat menjadi marah. Apalagi ketika ujung pedang itu hampir saja menyentuh tubuhnya. Demikianlah, maka kedua orang itu bertempur semakin sengit. Dalam keadaan yang mulai terdesak, maka lawan Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan ia pun telah mengerahkan ilmunya pula.
Mahisa Pukat termangu-mangu ketika ia melihat pedang lawannya itu menjadi merah membara. Sementara itu, udara panas pun seakan-akan telah disebarkan di sekeliling pedang itu. Karena itulah, maka rasa-rasanya Mahisa Pukat itu telah dihembus oleh panas yang semakin lama semakin terasa.
Mahisa Murti yang telah menyelesaikan lawannya serta Mahisa Semu mulai menjadi cemas melihat Mahisa Pukat yang selangkah demi selangkah bergeser surut.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Namun, ia pun telah melangkah semakin lama semakin dekat. Beberapa langkah dari arena itu, maka ia melihat pertanda, betapa Mahisa Pukat itu merasa dirinya terpanggang diatas api. Keringatnya mengalir dengan derasnya, sementara kulitnya bagaikan menjadi kering. Mahisa Murti memang menjadi cemas. Karena itu, maka ia pun justru menjadi semakin mendekat.
Lawan Mahisa Pukat itu tiba-tiba saja telah berteriak, “Ayo. Jika kau ingin bertempur berpasangan, aku tidak berkeberatan. Majulah kalian bertiga.”
Orang itu mulai menggerakkan senjatanya. Sebenarnyalah bahwa terasa udara panas telah menghembus ke arah Mahisa Murti. Karena itulah maka ia sadari kesulitan yang dialami oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu kemarahan Mahisa Pukat telah menjadi semakin membakar jantungnya. Lebih panas dari udara yang dipancarkan di seputar ujung pedang lawannya itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Ketika udara panas itu memburunya kemana pun ia beranjak, maka ia mulai menjadi muak.
“Kau telah memancing kematianmu sendiri,” geram Mahisa Pukat, “tetapi mudah-mudahan ilmumu cukup tinggi untuk menghindari kematian itu.”
Sesaat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat mengambil jarak. Ia tidak lagi memegang senjatanya di tangannya. Karena pedangnya memang pedang kebanyakan, maka diletakkannya saja pedangnya itu di tanah.
Lawannya termangu-mangu sejenak. Ia melihat Mahisa Pukat bersiap. Namun, segala sesuatunya telah terlambat. Mahisa Pukat telah siap melepaskan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang dapat dipergunakan untuk melontarkan kekuatan yang dahsyat dari dalam dirinya serta menyadap kekuatan dari alas di sekitarnya.
Ketika lawannya dengan pedangnya itu meloncat menyerang, maka Mahisa Pukat telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya yang telah mengacukan pedangnya yang mampu melepaskan udara panas itu. Demikianlah, maka dari telapak tangan Mahisa Pukat itu seakan-akan telah memancar cahaya yang berkilat meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, menyambar dada lawannya itu.
Yang terdengar adalah jerit kesakitan. Tubuh orang itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Sejenak suasana menjadi tegang. Namun, orang itu telah terbaring diam tanpa bergerak sama sekali.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu justru menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa kakak angkatnya itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. “Agaknya yang dikatakan bukan sekedar kebohongan atau sekedar menakuti-nakuti lawan, bahwa ilmunya telah setingkat dengan isi kitab itu, sehingga ia memang tidak memerlukan kitab itu sama sekali.”
Demikianlah maka kedua orang itu telah terbunuh. Keduanya mati oleh ilmu yang memang sangat sulit untuk dilawan.
Dalam pada itu, orang-orang yang datang terdahulu memang menjadi sangat berdebar-debar. Kemarahan anak-anak muda itu akan dapat diarahkan kepada mereka sepeninggal kedua orang yang ingin merampas kitab itu pula.
Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun, Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati Mahisa Pukat yang tertegun melihat sasarannya.
“Aku telah membunuhnya” berkata Mahisa Pukat.
“Apa boleh buat,” desis Mahisa Murti, “aku pun telah melakukan hal yang sama.”
Mahisa Semu termangu-mangu-pula. Ia melihat kedua saudara angkatnya itu menyesal atas pembunuhan yang mereka lakukan. Bagi Mahisa Semu, membunuh dalam pertempuran seperti itu adalah wajar. Pada saat-Saat jiwanya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan, rasa-rasanya setiap orang yang menang merasa berhak membunuh yang kalah. Menurut penglihatannya, maka yang menang selalu mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja.
Tetapi, ternyata ada perasaan lain pada kedua saudara angkatnya itu. Membunuh bukanlah sesuatu yang dapat menyenangkan mereka. Bahkan mereka menyesal karena mereka telah membunuh, meskipun yang dibunuh itu orang-orang yang hendak membunuh mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Semu sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, sejenak kemudian Mahisa Murti telah berpaling kepada orang-orang yang memburu kitab itu, yang datang lebih dahulu dari kedua orang yang terbunuh itu. Bahkan Mahisa Murti pun telah melangkah maju perlahan-lahan mendekati mereka.
Orang-orang itu menjadi tegang. Mereka sebenarnya tidak takut mati. Namun melihat sikap Mahisa Murti, rasa-rasanya jantung mereka berdegup semakin keras. Namun, mereka justru menjadi heran ketika mereka mendengar Mahisa Murti itu berkata,
“Ki Sanak. Kalian adalah kawan-kawan kedua orang itu. Meskipun nampaknya hubungan kalian tidak begitu akrab, namun kalian telah mengenal mereka. Karena itu, maka kami serahkan sosok tubuh mereka kepada kalian. Apakah kalian akan menguburkannya atau tidak. Sementara itu kami akan meneruskan perjalanan kami, menjelajahi hutan dan ngarai,” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi ingat. Jangan sekali-sekali berusaha menemukan kitab itu. Apalagi berusaha merampas kitab itu dari tanganku. Penulis kitab itu pun tidak akan dapat mengalahkan aku. Seandainya ia mampu melakukannya, tetapi orang itu tidak akan dapat mengalahkan guruku. Siapa pun yang berani menentang aku, harus bersiap-siap menentang seluruh perguruanku. Kau dengar?”
Orang-orang itu mengangguk dalam-dalam. Sementara itu pemimpinnya berkata, “Kami mengerti. Kami sekarang percaya bahwa isi kitab itu bukan segala-galanya. Kalian yang mempergunakan ilmu dari jalur lain, ternyata memiliki tataran yang sangat tinggi. Seandainya jika bukan kalian sendiri, maka guru kalian tentu akan dapat mengalahkan orang yang menulis kitab itu. Puncak dari jalur ilmu yang tertulis di kitab itu tidak akan dapat disejajarkan dengan puncak ilmu pada jalur perguruan kalian.”
“Nah, jika demikian maka kalian tentu tidak akan heran jika kami akan membinasakan kitab itu. Kitab yang tidak banyak berarti, tetapi sudah banyak merenggut jiwa. Dengan demikian maka kitab itu merupakan pertanda yang tidak baik.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka memang tidak lagi dapat mencegah atau berbuat apa pun tentang kitab itu. Karena itu maka pemimpinnya berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Sanak.”
“Baiklah. Sekarang lakukan sesuatu atas kedua orang itu. Kami akan melanjutkan perjalanan. Kami berpisah dan selanjutnya tidak akan bertemu lagi. Jika kita bertemu lagi, mungkin kami sudah berubah pendirian dan menganggap bahwa sudah sepantasnya kalian dibunuh” berkata Mahisa Murti.
Orang-orang itu masih berdiam diri. Meskipun mereka tidak takut menghadapi kematian, namun terasa tengkuk mereka meremang. Mereka pun menyadari, bahwa anak-anak muda itu tidak akan sungguh-sungguh mengancam mereka untuk membunuhnya, tetapi yang dikatakan itu adalah ungkapan kesungguhan mereka untuk tidak mau bertemu lagi. Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah meninggalkan orang-orang yang termangu-mangu itu.
Sambil memandangi ketiga orang anak muda yang berjalan semakin jauh itu, pemimpinnya berdesis, “Mereka adalah orang-orang yang aneh. Ternyata mereka tidak mendapat kepuasan dengan membunuh. Jarang kita bertemu dengan orang-orang seperti mereka, apalagi yang memiliki ilmu yang tinggi.”
Seorang di antara mereka menyahut, “Mereka tentu murid-murid dari perguruan putih. Mereka menyadap bagi satu kepentingan yang luas.”
Pemimpinnya itu mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian segera teringat kepada kedua orang yang terbunuh. “Kuburkan mereka,” berkata pemimpinnya, “aku akan merawat kawan-kawan kita yang terluka.”
Orang-orang yang masih mempunyai kekuatan untuk melakukan pekerjaan itu pun segera melakukannya. Mereka tidak merasa perlu mencari kuburan. Tetapi, mereka telah membawa dua sosok mayat itu ke sebuah gumuk kecil yang berada di bulak itu.
Dengan alat apa saja yang ada, maka mereka telah menggali batu-batu padas yang keras. Kemudian membaringkan kedua orang itu serta menimbuninya. Karena lubang kubur itu terlalu dangkal, maka mereka telah menimbuninya pula dengan bebatuan, agar kuburan itu tidak digali oleh binatang liar.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah meninggalkan tempat itu semakin jauh. Namun dengan demikian mereka menyadari, bahwa kitab yang dibawanya itu menjadi rebutan dari sekelompok murid di satu perguruan. Meskipun kitab itu tidak terlalu mengagumkan, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengakui, bahwa ada beberapa hal yang barangkali akan dapat sangat berarti bagi mereka jika mereka sempat mempelajarinya.
Demikianlah dalam perjalanan selanjutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha mengenali isi kitab itu lebih banyak lagi. Sementara itu, maka keduanya pun tidak melupakan kesediaan mereka untuk menempa Mahisa Semu.
“Kau ikuti dahulu jalur perguruanku,” berkata Mahisa Murti, “kelak, jika kau sudah mampu memilahkan unsur-unsur yang ada di dalam ilmu yang satu dengan yang lain, kau dapat mempelajari isi kitab itu pula.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kedua saudara angkatnya. Sementara itu, ia pun mengerti bahwa kedua saudara angkatnya itu telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk membimbingnya.
“Aku dapat mencapai separuh saja dari kemampuan kedua saudara angkatku, aku sudah dapat dengan dada tengadah kembali kepada ibu dan berkata kepada paman bahwa aku dapat juga menjadi seorang laki-laki,” berkata Mahisa Semu kepada diri sendiri. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi aku tidak akan tinggal bersama mereka. Aku akan mengikut saja ke mana kedua orang saudara angkatku ini pergi. Rasa-rasanya keduanyalah yang telah berhasil melahirkan aku kembali setelah menguburkan cara hidupku yang lama.”
Dalam pada itu, dengan ancar-ancar dan arah, puncak-puncak gunung dan pengenalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagai pengembara dan lebih dari itu, sebagai petugas sandi dari Kediri, maka mereka segera tahu, arah manakah yang harus mereka tempuh. Betapa pun jauhnya, namun mereka tidak akan takut tersesat.
Sementara itu, mereka bertiga dapat saja tidur di mana pun juga. Hanya jika langit nampak sangat gelap oleh awan yang basah, maka ketiga anak muda itu berusaha untuk dapat bermalam di banjar-banjar padukuhan. Namun, mereka juga dapat bermalam di gubug-gubug kecil di sawah. Meskipun kadang-kadang mereka juga berdebar-debar melihat dan mendengar guntur yang meledak di langit.
“Tidak ada ilmu yang dapat melawan Petir dan guntur di langit” berkata Mahisa Murti.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Semu berkata, “Alangkah dahsyatnya jika kita dapat menciptakan ilmu yang mampu menyerap inti kekuatan guntur dan petir.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada tinggi Mahisa Murti berkata, “Seandainya ada seseorang yang dapat menyerap dan kemudian melontarkan kekuatan petir, maka agaknya sulit dibayangkan bahwa orang itu tidak akan menjadi congkak, dan bahkan barangkali akan lupa sangkan paraning dumadi. Meskipun Kuasa Yang Tertinggi akan dengan mudah dapat memadamkan kemampuan itu dalam waktu sekejap, namun jika orang itu dapat mempergunakan kesempatan sebelum kemampuan itu padam, maka dunia ini akan rusak karenanya.”
Mahisa Semu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kemungkinan itulah yang dapat terjadi. Jarang sekali orang yang memiliki kelebihan sempat mempergunakan kelebihannya untuk kepentingan yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Apalagi mempunyai arti bagi hubungan mereka dengan Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sikap itu ternyata mempunyai arti tersendiri bagi kedua orang anak muda itu. Bagi mereka, ternyata Mahisa Semu telah memiliki pembawaan sifat yang baik, sehingga mereka tinggal memupuknya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Tetapi di samping memupuk ilmu Mahisa Semu, mereka pun berkewajiban memupuk sikapnya yang baik itu. Karena bagaimanapun juga, sikap seseorang menghadapi gejolak kehidupan ini akan mungkin dapat berubah.
Sebagaimana sebelumnya, maka dalam perjalanan itu, Mahisa Semu masih terus berlatih. Kadang-kadang mereka dengan sengaja memilih jalan yang berat, yang terjal dan rumit. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari naik ke punggung bukit. Dengan demikian maka mereka telah melatih daya tahan tubuh mereka.
Di saat-saat tertentu mereka pun telah melatih jalan pernafasan mereka. Bukan saja bagi kepentingan jalur pernafasan serta irama pernafasan itu sendiri, tetapi dalam hubungannya dengan peredaran darah serta getar jantung di dada mereka. Dengan demikian maka peningkatan kemampuan Mahisa Semu itu pun berlangsung dan berkelanjutan di setiap hari. Selapis demi selapis. Meskipun tidak terlalu cepat, tetapi meyakinkan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga menyempatkan diri mempelajari ilmu yang tertulis di dalam kitab itu. Menurut pendapat kedua anak muda itu, sebenarnya tidak ada tanda-tanda bahwa ilmu yang tertulis di kitab itu cenderung mendorong untuk melakukan kekasaran dan apalagi penindasan. Terlebih-lebih lagi jika orang-orang yang mengikuti jalur ilmu sebagaimana tertulis dalam kitab itu sempat mempelajari bagian ke lima yang merupakan bagian terakhir.
“Sejak semula aku sudah berpendapat bahwa seharusnya sejak bagian pertama, orang-orang yang mempelajari isi kitab ini harus sudah mempunyai pijakan sebagaimana tertulis di bagian terakhir” berkata Mahisa Murti.
“Nampaknya akibat dari kesalahan orang yang menulis kitab ini, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Orang-orang yang sudah mempelajari ilmu sampai kepada tingkat yang sejajar dengan bagian yang kedua, namun tidak disertai landasan sebagaimana tersebut dalam bagian kelima, maka mereka telah tersesat jalan. Mereka lebih dahulu merasa menjadi seorang yang tidak ada tandingnya sehingga merasa paling berkuasa di dalam kehidupan sesama ini, dari pada merasa betapa dirinya tidak lebih dari debu yang tidak berarti di hadapan Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun, ia pun kemudian berkata, “Nampaknya yang menulis kitab ini, meskipun ia sendiri tidak meninggalkan kehidupan yang tetap terikat pada hubungannya dengan Yang Maha Agung, namun ia bukan seorang yang di setiap saat merasa dirinya dekat dengan yang Maha Agung itu. Karena itu maka hubungannya dengan Yang Maha Agung tidak terasa terdapat di setiap tarikan nafasnya. Pada bagian terakhir dari kerja besarnya menyelesaikan kitab itu, barulah ia teringat kepada Yang Maha Agung itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Karena itu bagi keduanya kitab itu susunannya memang kurang baik, sehingga menurut keduanya sebaiknya kitab itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin menolong mempertahankan jalur perguruan itu, maka mereka harus bersedia menulis isi kitab itu kembali.
Sejak pada bagian pertama, maka orang yang mempelajari isi kitab itu harus sudah selalu merasa dirinya berada dibawah perlindungan dari Yang Maha Agung, sehingga pendekatan itu terjadi sejak awal sekali. Orang yang mempelajari ilmu itu, betapa pun mereka semakin tinggi kemampuannya, namun mereka tidak akan dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Penciptanya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar bertekad untuk mempertahankan kitab itu agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Meskipun ia tidak benar-benar ingin membinasakan kitab itu, tetapi tidak akan ada orang lain yang akan sempat membaca isinya sebagaimana yang tertulis di dalam kitab itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun semakin lama semakin menunjukkan kelebihannya. Ternyata di masa remajanya, anak itu telah menyimpan sesuatu yang berharga di dalam dirinya, namun yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk diungkapkannya.
Ternyata ketika kesempatan itu datang, maka segera nampak bahwa kemampuan yang tersimpan itu ternyata terlalu besar sehingga dengan cepat dapat dikembangkannya dengan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih muda, tetapi sudah memiliki pengalaman yang luas serta ilmu yang sangat tinggi.
Di setiap hari, ketiga orang itu selalu berusaha untuk berada di tempat yang terasing agar Mahisa Semu sempat berlatih. Sehingga dengan demikian maka saat-saat peningkatan ilmu itu tetap teratur dan mapan.
Di saat-saat seperti itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu dengan sungguh-sungguh memberikan persoalan-persoalan baru kepada adik angkatnya itu. Selain unsur-unsur gerak yang semakin meningkat, juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapinya jika ia benar-benar bertemu dengan lawan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjukkan kepada adik angkatnya itu, berbagai unsur gerak yang akan dapat ditemuinya dalam pertempuran. Lawannya tentu tidak akan mempergunakan unsur gerak yang sama sebagaimana dilakukannya, sehingga kadang-kadang yang terjadi di medan adalah sesuatu yang tidak diduga sebelumnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukan saja memberikan unsur-unsur gerak pada jalur ilmunya, tetapi mereka telah memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkannya, terutama jika ia berhadapan dengan orang-orang berilmu dalam pertempuran yang sebenarnya. Mahisa Semu dapat memberikan beberapa macam gerak yang melengkapi setiap unsur sesuai dengan pembawaan dan kebiasaannya.
Mungkin ada bagian-bagian tubuh Mahisa Semu yang paling dikuasainya, namun ada yang agak sulit, sehingga dengan demikian Mahisa Semu harus menyesuaikan unsur-unsur itu dengan kemungkinan yang ada di dalam dirinya.
Ternyata kecerdasan Mahisa Semu memungkinkannya. Ia tidak dengan membuta saja mempergunakan unsur-unsur gerak sebagaimana diajarkan oleh kedua saudara angkatnya. Tetapi, dalam latihan-latihan yang dilakukan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kadang-kadang harus memperagakan ilmu yang lain dengan unsur gerak yang lain pula dari ilmu mereka, telah memberikan pandangan yang lebih luas pada Mahisa Semu tentang ilmu yang sedang dipelajarinya.
Demikianlah dari hari ke hari, kemampuan Mahisa Semu semakin bertambah-tambah. Ia pun menjadi semakin cepat berpikir dan semakin cerdik menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tiba-tiba muncul. Dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat yakin bahwa pada suatu saat Mahisa Semu akan menjadi seorang yang pilih tanding.
Karena itu, maka mereka tidak menyesal, bahwa mereka telah membawa anak muda itu bersama mereka untuk disiapkan menjadi pimpinan padepokan, membantu mereka berdua. Namun, sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mendapat sedikitnya dua orang yang lebih muda dari Mahisa Semu. Tetapi, kehadiran Mahisa Semu telah memberikan separuh jawaban yang diperlukannya tentang kepemimpinan masa depan, meskipun dengan selisih waktu yang kecil.
Dalam pada itu, ketiga orang anak muda itu telah menempuh jalan yang panjang. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Ayah tentu akan marah jika kita terlalu lama pergi. Ayah tidak sempat menengok rumah kita di Singasari, serta melakukan pekerjaannya. Meskipun ayah telah tua, tetapi nampaknya ayah masih segan untuk meninggalkan pekerjaannya sama sekali. Meskipun kadang-kadang ayah mengangguk-angguk jika kita minta, tetapi suatu ketika ayah masih juga mengunjungi kawan-kawannya untuk menawarkan barang-barang dagangannya itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “ayah memang aneh. Meskipun sudah tua, tetapi rasa-rasanya ia masih mampu berbuat banyak. Ia masih mampu menunjukkan kepada orang lain bahwa ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sementara itu, tenaganya memang masih utuh, atau setidak-tidaknya sebagian besar masih ada.”
“Ya,” sahut Mahisa Murti, “jika kita paksa agar ayah beristirahat saja atau sebagaimana diminta oleh kakang Mahisa Bungalan untuk berada di Sangling, ayah selalu mengatakan bahwa jika tidak berbuat apa-apa, maka pertanda kematian sudah mendekat.”
“Mahisa Pukat tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Ayah memang tidak akan mungkin diam.”
Meskipun demikian kedua orang anak muda itu memang telah berjalan ke arah padepokan mereka. Meskipun masih terlalu jauh. Namun, anak-anak muda itu telah bertekad untuk sambil berjalan kembali ke padepokan, mereka telah Tapa Ngrame. Satu laku untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada sesama. Tapa Ngrame adalah satu laku yang diujudkan dengan kesediaan mereka memberikan pertolongan kepada orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan mereka dalam tujuan yang baik.
Mereka tidak saja menolong orang-orang tua yang terlalu berat memanggul beban di pundaknya, tetapi mereka juga menolong orang-orang yang sakit, sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan sedikit pengetahuan tentang obat-obatan sebagaimana mereka pelajari dari ayah mereka, maka mereka berusaha membantu orang-orang yang memerlukan.
Ketiga orang anak muda itu dengan kesungguhan hati telah membantu seorang yang kebetulan mendapat kesulitan dengan pedatinya yang tiba-tiba saja rodanya terlepas di jalan yang berlumpur. Dengan bantuan ketiga anak muda itu, maka pemilik pedati itu dapat mempergunakan pedatinya kembali meskipun harus berhati-hati.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata seorang laki-laki separuh baya yang membawa pedati itu, “jika tidak kalian tolong maka lembuku itu akan dapat mati terhimpit.”
“Kami sekedar melakukannya Ki Sanak” jawab Mahisa Murti.
“Siapakah kalian anak-anak muda. Satu kebetulan bahwa anak-anak muda lewat jalan ini. Jika aku harus berlari-lari ke padukuhan minta pertolongan, agaknya aku akan terlambat.”
“Kami tiga orang bersaudara yang memang sedang mengembara Ki Sanak. Kami tidak mempunyai tujuan selain sekedar mengikuti langkah kaki” jawab Mahisa Murti.
“Jika demikian, apakah Ki Sanak bersedia singgah di rumah kami betapa pun jeleknya,” minta orang itu. Lalu katanya pula, “Lihat langit mulai mendung. Matahari telah turun. Sebentar lagi senja akan datang, sementara hujan turun. Kalian bermalam di rumahku malam ini. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia telah menengadahkan wajahnya ke langit. Memang awan yang hitam telah membayangi langit. Rasa-rasanya hari terlalu cepat sampai ke ujungnya. Karena itu, maka katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Agaknya memang lebih baik menerima ajakanmu daripada basah kuyup oleh hujan semalam suntuk.”
Pemilik pedati itu tertawa. Katanya, “Jika demikian marilah.”
Ternyata bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun sependapat. Sekali-sekali mereka sempat tidur di ruangan yang hangat dan tidak basah oleh embun, apalagi hujan yang lebat. Demikianlah, maka ketiga anak muda telah mengikuti pedati yang berjalan perlahan-lahan. Pemilik pedati itu juga tidak naik diatas pedatinya. Ia harus menjadi lebih berhati-hati agar rodanya tidak terlepas lagi dari porosnya.
Namun, ketika mereka sampai di rumah orang yang mempersilahkan ketiga anak muda itu singgah, mereka terkejut. Dilihatnya seorang perempuan yang menangis di serambi rumah itu. Rumah yang memang tidak begitu besar. Bahkan rumah yang nampak kotor dan tidak terawat.
“Kenapa orang itu” desis pemilik pedati itu demikian mereka memasuki regol halaman rumahnya.
“Siapa orang itu?” bertanya Mahisa Murti diluar sadarnya.
“Bekas isteriku” jawab orang itu.
“Oo” Mahisa Murti tidak bertanya lebih panjang lagi.
Dengan tergesa-gesa pemilik pedati itu mendekati perempuan yang sedang menangis itu. “Ada apa?” bertanya pemilik pedati itu.
“Aku minta maaf. Anakmu terjerat oleh orang yang selama ini bersikap sangat baik kepadaku” jawab perempuan itu.
Wajah pemilik pedati itu menjadi merah. Katanya dengan nada marah, “Aku mengerti sudah. Tetapi, apakah kau membiarkannya saja? Kau harus bertanggung jawab. Dahulu, ketika kau meninggalkan rumah ini, aku berusaha untuk menahan anak itu agar ia tinggal bersamaku. Kau berkeras untuk membawanya.”
“Aku memang bersalah. Tetapi sekarang bagaimana?” perempuan itu menangis semakin keras.
“Maksudmu bagaimana?” bertanya pemilik pedati itu.
“Ambil anak itu.” jawab bekas isterinya.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya pemilik pedati itu.
“Jika aku berkeberatan laki-laki itu mengambil anakmu, ia akan membunuhku.” berkata perempuan itu.
“Keparat,” geram pemilik pedati itu, “ketika ia membujukmu dan mengambilmu aku masih dapat menyabarkan diri. Tetapi, kini ia akan mengambil pula anakku dengan paksa setelah ia jemu memilikimu.”
“Ia memang bukan manusia wajar.” tangis perempuan itu.
Pemilik pedati itu menggeretakkan giginya. Tiba-tiba saja ia meloncat ke pintu rumahnya. Mendorong pintu yang tidak diselarak. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah masuk. Beberapa saat kemudian ia telah keluar lagi dengan membawa sebilah keris yang besar. “Aku atau orang itu yang akan mati.” berkata pemilik pedati itu.
“Tetapi hati-hatilah. Ada beberapa orang laki-laki di rumah itu. Nampaknya bukan orang baik-baik. Sejak tiga hari yang lalu mereka datang dan bermalam di rumahku. Karena laki-laki yang membawaku pergi tidak lagi berminat kepadaku, nampaknya aku justru akan diserahkan kepada laki-laki yang ada di rumahku itu, sementara ia menghendaki anak kita.” tangis perempuan itu.
“Kenapa tidak kau bawa anakmu sekarang?” bertanya pemilik pedati itu.
“Tidak mungkin. Anak itu telah disekap dalam sebuah bilik yang diselarak dari luar,” jawab perempuan itu di sela-sela isaknya. Lalu katanya, “Aku takut anak itu bunuh diri di dalam biliknya.”
“Setan alas,” pemilik pedati itu menjadi marah sekali. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Maafkan aku. Aku telah mengajak kalian datang ke rumah ini agar kalian tidak terganggu oleh hujan. Tetapi, ternyata kalian mendapat gangguan yang lebih buruk lagi. Silahkan anak-anak muda duduk di dalam. Aku tidak lama. Atau aku tidak akan kembali lagi.”
“Tunggu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “meskipun sekilas, aku dapat menangkap persoalan yang kalian hadapi. Nampaknya beberapa saat yang lalu isterimu telah diambil orang. Namun kemudian laki-laki yang mengambil isterimu itu justru akan mengambil anak perempuanmu. Sementara itu, isterimu yang telah diambilnya itu akan dicampakkannya kepada laki-laki yang sekarang ada di rumahnya.”
“Ya. Itulah yang terjadi.” geram laki-laki itu.
“Jika demikian, aku dan saudara-saudaraku akan ikut.” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Untuk apa? Aku akan memasuki sarang serigala. Seperti yang dikatakan oleh bekas isteriku, di sana ada beberapa orang laki-laki yang garang. Mereka akan dapat melukai kalian,” berkata pemilik pedati itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Aku adalah pengembara yang pernah menjelajahi padang-padang yang luas, hutan yang lebat dan ngarai yang panjang. Kau sebaiknya mempercayai kami, bahwa kami akan dapat membantumu sebagaimana kami membantu membetulkan pedatimu yang rusak itu.”
Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun, Mahisa Pukat lah yang berbicara kemudian, “Marilah, sebelum terlambat. Apakah rumahnya, tidak terlalu jauh?”
“Tidak terlalu jauh.” jawab pemilik pedati itu.
Namun, bekas isterinya itu berkata, “Laki-laki itu sangat berbahaya.”
“Kami akan pergi ke sana,” berkata Mahisa Murti kepada perempuan itu, “tolong, kau pergi ke rumah Ki Bekel.”
“Tidak ada gunanya,” sahut laki-laki pemilik pedati itu, “orang itu sangat ditakuti di sini. Karena kedudukannya itu pulalah isteriku tergila-gila di sini. Dikiranya ia akan menjadi perempuan yang terhormat dan disegani di padukuhan ini, bahkan di Kabuyutan ini. Tetapi kau lihat, akhirnya ia dicampakkan seperti sampah kering.”
“Kenapa tidak ada gunanya? Bukankah penguasa tertinggi di padukuhan ini adalah Ki Bekel?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sudah aku katakan. Orang itu sangat ditakuti.” jawab laki-laki pemilik pedati itu.
“Jika demikian, marilah. Jangan kehilangan banyak waktu.” berkata Mahisa Pukat.
Laki-laki pemilik pedati itu termangu-mangu. Namun, justru anak-anak muda itulah yang bergerak lebih dahulu. Mereka melangkah ke gerbang halaman yang tidak terlalu luas itu.
“Baiklah, jika itu atas kemauan kalian sendiri.” berkata pemilik pedati itu selanjutnya.
Ia pun kemudian melangkah pula ke pintu gerbang yang sudah condong dan hampir roboh itu. Namun ia sempat berkata kepada bekas isterinya, “Tunggulah di sini. Tetapi jika aku gagal membebaskan anakku, maka aku tidak akan pulang selama-lamanya. Meskipun laki-laki itu ditakuti, tetapi aku pun tidak takut mati.”
Demikianlah, mereka pun telah dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah yang sempit dan kotor itu menuju ke rumah seorang laki-laki yang ditakuti. Beberapa orang yang melihat kepergian laki-laki pemilik pedati itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang melihat bekas isterinya menangis di sepanjang jalan menuju ke rumahnya.
“Sesuatu nampaknya akan terjadi.” desis seseorang.
“Siapakah ketiga orang anak muda itu?” bertanya yang lain.
“Mungkin keluarganya yang datang dari jauh. Tetapi, laki-laki itu agaknya sudah merelakan isterinya. Kenapa tiba-tiba saja ia marah sambil membawa keris? Apakah isterinya yang menangis itu telah mengalami perlakuan buruk?” berkata yang lain lagi.
Laki-laki yang pertama berkata, “perempuan itu tidak setia. Sebaiknya dibiarkan saja apa yang terjadi atasnya. Tidak perlu dibela dengan cara apa pun juga. Apalagi dengan kekerasan. Laki-laki itu berilmu sangat tinggi. Kedatangannya akan sama saja dengan mengantarkan nyawanya yang hanya satu itu.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi, tidak seorang pun yang berani menghentikannya.
Sementara itu, pemilik pedati yang berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh ketiga orang anak muda itu pun menjadi semakin dekat. Rasa-rasanya bagi pemilik pedati itu, jalan menjadi sangat jauh dan langkah mereka menjadi sendat. Namun, akhirnya mereka menjadi semakin dekat pula dengan rumah laki-laki yang pernah mengambil istrinya dan yang kemudian telah menahan anak gadisnya.
Tetapi, tiba-tiba saja Mahisa Murti menggamitnya dan berkata, “Tunggu. Kita harus membicarakan cara yang paling baik untuk membebaskan anakmu.”
“Ya. Aku akan masuk dan menghancurkan rumah itu. Aku akan membunuh semua orang laki-laki yang ada di rumah itu, atau aku yang akan mati di tangan mereka.” berkata pemilik pedati itu.
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Kau masuk lewat regol depan bersama kedua saudaraku ini.”
Orang itu mengangguk. Tetapi, agaknya ia tidak sabar menunggu terlalu lama. Ia ingin segera menyelesaikan persoalannya, meskipun akhirnya ia harus terbunuh, karena di rumah itu terdapat banyak laki-laki yang garang.
“Dengar pendapatku,” berkata Mahisa Murti, “lebih baik kita bekerja dengan cermat tetapi berhasil daripada tergesa-gesa tetapi gagal. Mungkin kau tidak takut mati. Tetapi jika kau mati, anakmu akan menjadi semakin menderita, bahkan mungkin bekas isterimu itu. Ia harus kembali ke rumah itu dengan ancaman terhadap anak perempuannya, sementara di rumah itu ia akan dilemparkan kepada beberapa orang laki-laki yang liar dan buas.”
Pemilik pedati itu mengerutkan keningnya. Namun, akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dengarkan pendapatmu.”
Demikianlah maka Mahisa Murti pun telah memisahkan diri. Meskipun ia belum pernah memasuki halaman rumah itu. Tetapi, ketajaman penggraitanya telah menuntunnya, sehingga tidak seorang yang melihatnya ketika ia meloncati dinding halaman masuk ke dalam.
Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah memasuki regol halaman. Sementara malam mulai menyelimuti halaman itu. Obor-obor pun telah terpasang di beberapa sudut dan di regol halaman.
Kedatangan pemilik pedati itu memang agak mengejutkan. Dua orang laki-laki yang ada di gandok, berlari-lari mendapatkannya sambil bertanya, “Siapa kau?”
Pemilik pedati yang diikuti oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu telah berdiri di tengah-tengah halaman. Dengan nada tinggi pemilik pedati itu menjawab, “Aku akan bertemu dengan pemilik rumah ini.”
“Siapa kau?” bentak orang itu.
“Jangan membentak-bentak,” pemilik pedati itu berteriak, “aku akan bertemu orang gila pemilik rumah ini. Jika kau masih saja mengganggu aku, aku bunuh kau paling dahulu.”
“Setan,” geram orang itu, “kau kira kau ini siapa he? Kau kira aku tikus clurut yang takut melihat tampangmu yang buruk itu.”
Pemilik pedati itu hampir saja meloncat menyerang. Tetapi Mahisa Pukat sempat menggamitnya dan berkata, “Tunggu. Jangan tergesa-gesa.”
Laki-laki itu menggeram. Namun kemudian ia berusaha untuk menahan diri. Katanya, “berkatalah kepada pemilik rumah ini. Aku datang untuk mengambil anakku yang disembunyikannya setelah ia jemu dengan ibunya.”
“Oo, jadi dalam hubungan itu kau datang kemari? Siapa kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Apakah kau tuli? Sudah aku katakan, aku ayah gadis itu.” jawab pemilik pedati itu.
Orang itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Kau tidak usah menemui orang lain. Kau sudah menemui aku. Sekarang pulanglah. Agar anakmu itu tidak mengalami kesulitan, bawa perempuan itu kemari. Perempuan, ibu anakmu itu tentu isterimu. Nah, jika isterimu ada di sini, maka anak gadismu tidak akan mengalami sesuatu.”
“Untuk apa isteriku harus datang kemari?” bertanya pemilik pedati itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Di sini ada beberapa orang laki-laki. Kami memerlukannya.”
“Setan.” sekali lagi Mahisa Pukat harus menggamitnya. Hampir saja Mahisa Pukat gagal mencegah orang itu.
Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang berbicara, “Ki Sanak. Apakah kau memerlukan seorang juru masak? Jika demikian, maka kau tidak usah memanggil perempuan itu. Aku adalah juru masak yang paling baik sepadukuhanku. Karena itu jika kau memerlukannya, maka kau dapat memanggil aku saja.”
“Anak iblis.” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan mengumpat. Tenagaku tetap lebih kuat dari tenaga seorang perempuan. Bukan saja untuk menyembelih seekor ayam. Tetapi seekor sapi sekalipun.”
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah mendengar jawaban itu. Namun sebelum ia berbuat apa-apa, dari dalam rumah itu telah keluar dua orang laki-laki. Mereka melintasi pendapa langsung ke halaman. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekar, berjambang panjang dan berkumis lebat.
“Setan itu.” geram pemilik pedati yang melihat kehadiran orang berjambang lebat itu.
“Kenapa kau kemari?” bertanya orang berjambang lebat itu.
“Kau atau aku yang mati. Atau kau lepaskan anakku.” geram pemilik pedati itu.
Orang itu tertawa. Katanya, “Kau harus berterima kasih. Aku, orang yang terpandang dan berpengaruh serta mempunyai kekayaan yang tidak terhitung telah mengambil anakmu. Kau akan menjadi mertua seorang yang terpandang."
“Kau lebih jahat dari yang aku duga. Sifatmu seperti sifat seekor binatang. Kau ambil ibunya. Kemudian kau ambil pula anaknya.” geram pemilik pedati itu.
“Sudahlah,” berkata orang berjambang itu, “jangan merajuk. Justru aku minta bawa bekas istrimu itu kemari. Hidupnya akan jauh lebih senang daripada menjadi isterimu. Melarat dan menderita. Bukankah isterimu pulang ke rumahmu dan melaporkan bahwa anaknya telah mendesak kedudukannya? Aku tidak dapat mengelak ketika anak perempuanmu itu mengatakan kepadaku, bahwa ia mencintaiku. Ia minta ibunya disisihkan untuk memberikan tempatnya kepada gadis itu."
“Cukup,” teriak pemilik pedati itu, “kau jangan omong kosong. Aku tantang kau bertempur. Salah seorang di antara kita harus mati.”
Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau bukan lawanku. Biarlah orang-orangku membunuhmu. Aku tidak pantas mengotori tanganku dengan darahnya.”
“Aku tantang kau berperang tanding,” geram pemilik pedati itu. Lalu, “Kau tidak dapat menunjuk orang lain. Katakan saja, kau berani atau tidak?”
Orang berjambang lebat itu adalah orang berilmu. Tetapi melihat bara kemarahan yang memancar di sorot mata orang yang menantangnya itu, terasa hatinya berdebar-debar juga. Rasa-rasanya orang itu sudah tidak lagi menyadari apa yang telah dilakukannya, sehingga orang itu akan menjadi jauh lebih berbahaya dari keadaannya sehari-hari.
Namun orang berjambang lebat itu berkata, “Anak gadismu ada padaku. Kau tidak dapat berbuat apa-apa di sini. Seandainya kau berani berperang tanding melawan aku, maka kau tidak akan dapat menolong anak gadismu itu.”
“Tetapi aku sudah membunuhmu.” teriak pemilik pedati itu.
Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Seekor tikus tidak akan pernah dapat mengalahkan seekor kucing.”
“Marilah. Jangan hanya membual.” tantang pemilik pedati itu.
“Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di sini,” berkata orang itu. Lalu katanya kepada orang-orang yang ada di halaman itu, “jaga pintu gerbang. Jangan biarkan orang-orang ini keluar. Kita akan membunuh mereka dan tengah malam nanti melemparkan mayat mereka di sungai.”
“Persetan,” teriak pemilik kedai itu, “serahkan anakku.”
“Anakmu akan menjadi isteriku. Ia tergila-gila kepadaku, meskipun ia tahu, aku sudah mengambil ibunya.”
Namun, tiba-tiba saja mereka yang ada di halaman itu terkejut ketika terdengar suara dari belakang seketheng. Suara seorang perempuan, “Omong kosong. Aku telah dimasukkan ke dalam bilik tertutup itu.”
Semua orang berpaling. Ternyata mereka melihat seorang gadis berdiri di seketheng. Anak pemilik pedati itu.
“Gila. Bagaimana kau dapat keluar?” bertanya orang berjambang itu.
“Apa pun yang kau lakukan. Aku sudah bebas.” jawab gadis itu.
“Tidak. Kau tidak akan dapat keluar dari halaman ini.”
“Kenapa tidak?” jawab perempuan itu.
Orang berjambang itu menjadi kebingungan ketika tiba-tiba saja gadis itu hilang di balik seketheng. “Tangkap anak itu,” teriak orang berjambang lebat itu sambil meloncat selangkah. Tetapi ia pun segera berhenti. Ia menjadi bingung, karena ia juga tidak ingin melepaskan laki-laki yang mencari anak gadisnya itu. Karena itu, maka katanya, “jaga pintu regol itu, agar laki-laki gila ini tidak keluar.”
“Tunggu,” berkata pemilik pedati itu, “ia adalah anakku. Ia sudah bebas. Sekarang kita dapat bertempur. Aku tidak takut mati.”
Tetapi, orang berjambang itu tidak menghiraukannya. Ia pun segera berlari sambil bersuit nyaring. Beberapa laki-laki telah keluar dari dalam rumah itu. Dua orang mengikutinya, sementara yang lain ada di halaman. Laki-laki yang sudah berada di halaman itu lebih dahulu telah bergeser ke regol serta menutup pintunya.
Ketika pemilik pedati itu berniat untuk bertempur melawan siapa saja. Mahisa Pukat dengan sareh berkata, “jangan tergesa-gesa. Kita mempunyai banyak waktu. Kita harus berhasil dengan baik, tanpa mengorbankan nyawa kita.”
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat yang seakan-akan tidak menghiraukan keadaan itu berkata, “Kita menunggu. Kita tidak perlu gelisah.”
Pemilik pedati itu memandang wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, “Apa sebenarnya yang kau maui? Anakku telah bebas. Dan sekarang ia sedang melarikan diri. Aku harus membantunya menyelamatkan dirinya.”
“Kau tentu tahu siapa yang membebaskan anakmu itu. Saudaraku telah memisahkan diri dari kita dan bukankah ia berjanji untuk menemukan anak gadismu?” bertanya Mahisa Pukat.
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia sempat menilai apa yang telah terjadi. Ia mulai dapat menelusuri peristiwa demi peristiwa, sehingga akhirnya ia mengangguk-angguk.
“Percayakan anakmu itu kepada saudaraku.” berkata Mahisa Pukat.
“Ya. Mudah-mudahan anakku itu selamat.” desis pemilik pedati itu.
Namun dalam pada itu, terdengar pintu regol yang sudah tertutup itu pun diketuk orang. Tidak sekedar memakai tangan. Tetapi agaknya memakai sebongkah batu, sehingga suaranya menghentak-hentak mengejutkan. Dengan gerak naluriah, maka orang yang berdiri di depan pintu itu telah membuka selaraknya dan sedikit membuka daun pintunya.
Namun mereka terkejut. Dibawah sinar obor di regol, ia melihat seorang anak muda membawa seorang gadis. Gadis yang disangka telah melarikan diri itu. Sebenarnyalah Mahisa Murti lah yang berdiri di luar regol bersama anak perempuan pemilik pedati itu. Sambil tertawa Mahisa Murti berkata, “Ini anakmu. Marilah kita pulang.”
Pemilik pedati itu memang berlari ke regol. Namun, dengan tergesa-gesa orang yang berada di regol itu telah menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu itu diselarak, maka tiba-tiba hentakkan yang sangat keras dari luar telah bukan saja membuka pintu itu kembali. Tetapi, pintu itu telah berderak pecah dan terlempar menimpa orang yang sedang menutup itu sehingga jatuh terguling di tanah.
“Setan alas,” geram orang itu sambil berusaha menyibak pecahan pintu yang menimpanya. Namun kemudian tertatih-tatih ia berusaha untuk bangkit.
Dua orang kawannya ternyata telah berdiri di pintu itu pula, sementara yang lain telah memanggil orang berjambang panjang itu. “Gadis itu ada di sini.” teriak orang itu.
Orang berjambang itu dengan tergesa-gesa telah berlari ke halaman depan. Sementara itu Mahisa Murti justru menggandeng gadis memasuki regol dan berkata lantang, “Kami mohon diri. Bukankah kami tidak kalian perlukan di sini?”
“Siapa kau iblis? Apa hubunganmu dengan gadis itu, sehingga kau berusaha untuk membebaskannya?” bertanya orang berjambang itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau telah melanggar kebebasan dan hak seseorang. Semua orang berkepentingan untuk menegakkan hak seseorang atas dirinya sendiri. Gadis itu berhak memilih, apakah ia ingin tinggal atau tidak di rumah ini. Karena itu, maka aku telah membantunya untuk memberikan kebebasan yang memang menjadi hak itu.”
“Agaknya kau memang mencari persoalan anak muda,” berkata orang berjambang itu, “apalagi kesombonganmu yang tidak ada taranya. Seandainya kau merasa berhasil membebaskan gadis itu, kenapa kau bawa gadis itu kembali memasuki halaman ini?”
“Ayah gadis itu ada di sini,” berkata Mahisa Murti, “Aku harus mengembalikan kepadanya. Biarlah ayahnya membawanya pulang kepada ibunya. Meskipun kau telah memperlakukan ibunya dengan kasar dan sangat menyakitkan hati, namun baiklah, semuanya itu akan dilupakan. Sekarang, kami akan minta diri.”
Wajah orang itu menjadi merah. Dengan suara bergetar oleh kemarahannya, ia menggeram, “Kau ini siapa? Kau anggap aku ini apa he? Begitu enaknya kau mengambil gadis itu dan kemudian akan pergi begitu saja.”
“Habis, apa lagi? Kami hanya memerlukan gadis ini. Dan gadis ini telah ada pada kami. Lalu apa lagi? Apakah kau ingin aku membunuhmu? Aku kira itu masih belum perlu sekarang ini. Kecuali jika kau menghalangi kami pergi.”
Kemarahan bagaikan telah menyala sampai ke ubun-ubun. Orang itu sadar, bahwa anak-anak muda itu dengan sengaja menantangnya. Karena itu, maka ia pun berteriak kepada orang-orangnya, “Kita tidak perlu mengekang diri. Bunuh saja mereka itu.”
Setiap laki-laki di halaman itu pun segera berpencar dan mengepung pemilik pedati itu, anak perempuannya dan ketiga orang anak muda yang menyertainya. Namun, Mahisa Murti sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata,
“Kau jangan main-main Ki Sanak. Apalagi yang akan kau lakukan? Aku sudah berkata, bahwa aku mohon diri bersama gadis itu, orang tuanya dan saudara-saudaraku. Itu sudah cukup. Tetapi agaknya kau memang ingin memaksa kami untuk membunuh.”
“Cukup,” teriak orang berjambang panjang itu. Lalu sekali lagi ia berkata, “Bunuh mereka.”
Mahisa Murti pun kemudian telah menarik gadis itu dan berdiri di seputarnya bersama-sama dengan kedua saudara dan saudara angkatnya. Kepada pemilik pedati itu ia berkata, “jaga anakmu.”
Pemilik pedati itu memang bingung sesaat. Tetapi, ia pun kemudian menyadari keadaan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun telah menarik kerisnya dan menarik anaknya untuk mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berdiri tegak menghadapi kepungan. Mereka menghadap ketiga arah sementara pemilik pedati itu berdiri sambil mendekap anaknya yang ketakutan.
“Jangan takut,” berkata ayahnya yang merasakan tubuh gadis itu gemetar, “di sini ada ayah dan ada anak-anak muda itu.”
“Siapa mereka ayah?” bertanya gadis itu.
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Pertanyaan anaknya itu ternyata telah menyentuh hatinya. Ia memang harus bertanya sebagaimana anaknya itu. Siapakah mereka agar tidak terjadi satu peristiwa yang justru lebih buruk atas anaknya itu kemudian karena mereka berdua tidak mengenali ketiga orang anak muda itu. Namun menilik sikap mereka, pemilik pedati itu menduga, bahwa mereka bukanlah orang yang pantas ditakuti. Berbeda dengan orang berjambang panjang itu, yang tabiatnya jauh dari tingkat martabat seseorang.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mengepung kelima orang itu telah mulai bergerak. Mereka langsung mempergunakan senjata-senjata yang ada pada mereka. Seorang telah membawa tombak pendek yang tidak banyak dipergunakan orang, karena mata tombak itu berkait di satu sisinya. Yang lain membawa kapak bertangkai agak panjang. Bindi dan golok yang besar. Sedangkan seorang yang umurnya terhitung masih muda membawa sebilah pedang lurus yang tajam di kedua sisinya.
Demikianlah, maka di halaman itu telah terjadi pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Orang berjambang itu sendiri masih belum turun ke arena. Ia justru telah naik ke tangga pendapa rumahnya untuk dapat melihat lebih jelas, apa yang terjadi di halaman itu.
Orang itu berdiri dengan jantung yang berdebaran. Ternyata dibawah cahaya obor di beberapa tempat di halaman itu, ia melihat betapa anak-anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Mereka berloncatan sambil memutar senjata mereka. Menangkis, menghindar, namun juga meloncat menyerang dengan garang.
Ternyata jumlah yang jauh lebih banyak di sekitar anak-anak muda itu tidak dapat segera menentukan keseimbangan pertempuran itu. Orang-orang yang garang dengan senjata-senjata mereka yang beraneka itu, mulai merasa betapa beratnya ilmu pedang anak-anak muda yang berada di dalam kepungan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian menjadi cemas akan ketahanan Mahisa Semu. Jika ia harus mengerahkan kemampuannya, maka pada suatu saat tenaganya tentu akan susut.
Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus lebih banyak memancing tenaga orang-orang yang mengepungnya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berloncatan lebih tangkas lagi. Ia tidak saja menghindari serangan. Tetapi, ia justru lebih banyak meloncat menyerang. Bukan saja orang-orang yang ada di sekitarnya, tetapi juga orang-orang yang nampaknya di luar jangkauan ujung senjata mereka.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mampu membuat beberapa orang kebingungan. Sementara itu Mahisa Semu yang masih memerlukan banyak pengalaman, bertempur dengan sengitnya. Meskipun sekali-sekali ia harus menghindari serangan dua tiga orang sekaligus, tetapi perhatian orang-orang yang mengepung mereka memang lebih banyak tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka Mahisa Semu rasa-rasanya mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertempur melawan seorang lawan yang kebetulan menyerangnya. Untuk menghadapi orang-orang itu, ilmu pedang Mahisa Semu benar-benar telah menggetarkan jantung mereka. Apalagi jika mereka harus berhadapan seorang lawan seorang.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi jemu. Mahisa Semu memang tidak, karena ia justru sedang mencari pengalaman yang sebanyak-banyaknya. Namun, ketika Mahisa Pukat sempat mendekatinya, ia pun berbisik, “Pengalaman yang tidak begitu menarik bagimu. Ilmu mereka masih terlalu rendah. Entahlah orang berjambang itu. Mungkin kau akan dapat memanfaatkannya nanti jika ia turun ke arena.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian bertanya, “Apa yang sebaiknya aku lakukan dengan orang-orang ini?”
“Kita hentikan saja perlawanan mereka. Tetapi, nampaknya kita tidak perlu terlalu bersikap keras terhadap mereka. Kecuali jika mereka memang keras kepala, atau bahkan berbahaya bagi kita.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia memang merasa, bahwa pertempuran itu baginya tidak banyak memberikan pengalaman. Selain bertempur melawan lebih dari seorang lawan. Namun, bagi Mahisa Semu pengalaman itu juga akan memberikan arti di samping pengalaman-pengalaman bertempur melawan sekelompok orang dalam satu putaran atau melawan unsur-unsur gerak dari ilmu yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Melawan orang-orang yang demikian, Mahisa Semu juga melatih ketabahan jiwani menghadapi bukan saja ilmu kanuragan, tetapi sikap yang liar, keras dan bahkan buas. Umpatan-umpatan yang paling kotor yang belum pernah didengarnya, serta sikap yang sangat tidak mengenal paugeran sama sekali.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempercepat tata gerak mereka. Pedang mereka yang tidak lebih dari pedang kebanyakan itu berputaran mengerikan. Bahkan tiba-tiba saja senjata lawannya telah terloncat dari tangannya. Beberapa orang memang telah kehilangan senjata mereka. Namun karena yang lain sempat mengambil alih pertempuran itu, maka orang-orang yang kehilangan senjata itu telah sempat memungutnya kembali. Namun, hal yang serupa telah terjadi pula. Senjata-senjata yang terlepas dari genggaman.
Di pendapa, orang berjambang itu memperhatikan semuanya yang terjadi dengan hati yang bergejolak. Karena itu, maka ia pun menjadi tidak sabar lagi untuk membiarkan orang-orangnya bertempur tanpa berkesudahan. “Anak iblis,” geram orang berjambang itu. “Nampaknya aku harus melibatkan diri agar segalanya dapat diselesaikan dengan cepat. Aku sudah jemu melihat permainan kalian yang buruk itu.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun, orang berjambang lebat itu benar-benar telah turun dari pendapa mendekati arena pertempuran yang semakin seru itu. “Aku akan membunuh mereka, termasuk ayah gadis itu, dan kemudian mengambil gadis itu kembali.” geram orang berjambang panjang itu.
Hampir di luar sadarnya gadis itu berteriak, “Aku tidak mau. Aku tidak mau.”
Ayahnya yang kemudian memeluknya berkata, “jangan takut. Aku ada di sini.”
Gadis itu memang menjadi agak tenang, sementara pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya. Apalagi ketika orang berjambang itu telah turun ke arena.
Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah terlanjur jemu menghadapi orang-orang itu. Meskipun demikian, Mahisa Pukat masih sempat berkata kepada Mahisa Semu, “Jika kau ingin mendapat pengalaman yang sedikit berharga, kau dapat melawan laki-laki berjambang itu.”
Mahisa Semu mengangguk. Katanya, “Aku akan mencoba.”
“Orang itu merasa dirinya orang terkuat di dunia ini. Kau dapat menunjukkan betapa piciknya pengenalannya tentang olah kanuragan.” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun, ia pun kemudian telah menempatkan diri menghadapi orang berkumis tebal dan berjambang panjang itu. “Apakah kau masih menghendaki gadis itu?“ tiba-tiba saja Mahisa Semu bertanya.
Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehingga keduanya telah tersenyum serta saling berpandangan.
Orang berjambang itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Kesalahanmu tidak dapat dimaafkan. Pertanyaanmu itu telah mempercepat kematianmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun tidak dapat saling berbicara karena mereka berada di tempat yang agak jauh, namun keduanya menilai bahwa Mahisa Semu menjadi semakin dewasa sikap jiwanya.
Ternyata bahwa Mahisa Semu tidak segera berkerut mendengar ancaman itu. Bahkan dengan lantang ia menjawab, “jangan berbicara tentang kematian. Tidak seorang pun dapat menentukan kematian itu. Bukankah kau percaya dengan kuasa Yang Maha Agung.”
“Anak iblis,” geram orang berjambang, “mulutmu yang harus aku koyak.”
Orang berjambang itu tidak menunggu lama lagi. Ia pun segera menyerang dengan garangnya, sementara kawan-kawannya yang lain, yang seakan-akan telah terhisap seluruhnya ke halaman itu harus berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, pemilik pedati yang berdiri di tengah-tengah, mendekap anaknya dengan keris di tangan.
Meskipun orang berjambang itu tidak banyak berpikir, tetapi ia memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, yang dilakukannya seakan-akan begitu saja mengalir dari dalam dirinya melalui unsur-unsur gerak ilmunya. Dengan demikian pertempuran antara keduanya itu menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur sambil berloncatan itu, tidak melepaskan Mahisa Semu sepenuhnya, karena mereka tahu, anak muda itu masih jauh dari pengalaman.
Tetapi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menghadapi beberapa lawan sekaligus, karena itu, maka mereka telah memutuskan untuk mengurangi jumlah lawannya seorang demi seorang. Dengan melemparkan senjata mereka saja, ternyata bahwa orang-orang itu tidak menarik diri dari arena. Karena itu, maka mereka harus dihentikan dengan kekerasan. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur lebih keras lagi. Mereka bergerak lebih cepat, sementara pedang mereka berputaran semakin mendebarkan.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat lah yang telah mulai mengurangi lawan. Pedangnya telah menggores di dada salah seorang di antara mereka yang bertempur melawannya. Justru orang itu berusaha untuk menyusup dan menyerang laki-laki pemilik pedati yang sedang melindungi anaknya. Namun, sebelum senjatanya menyentuh sasaran, terasa senjatanya itu bagaikan membentur selapis baja. Kemudian terputar dengan cepat dan terlempar dari tangannya.
Ketika ia kemudian berputar menghadap ke arah orang yang melemparkan senjatanya itu, tiba-tiba saja dadanya telah tergores ujung pedang. Orang itu mengaduh kesakitan. Selangkah ia terdorong surut. Namun kemudian ia pun telah terjatuh di tanah.
Kawan-kawannya yang menyaksikannya segera membantunya, membawanya menepi. Namun demikian orang itu diletakkan di tangga pendapa, maka seorang yang lain telah terlempar pula dari arena. Seorang yang bersenjata bindi. Bindinya yang besar yang terayun-ayun mengerikan itu telah membentur pedang Mahisa Murti yang jauh lebih ringan. Tetapi, kekuatan yang tersalur pada pedang itu telah mendorong bindi yang besar itu terpental dan ayunannya bahkan telah menyeret pemiliknya sehingga jatuh terkapar.
Ketika orang itu tertatih-tatih bangun, maka seorang kawannya justru telah terdorong dan jatuh menimpanya. Bukan saja ia kehilangan senjatanya, sebilah golok yang besar, namun ternyata bahwa lambungnya telah terluka.
Demikianlah, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mulai berkurang. Namun dengan demikian yang lain justru menjadi bertambah marah. Beberapa kali di antara mereka telah mencoba menyusup menyerang pemilik pedati dan anak perempuannya itu. Tetapi usaha mereka tidak pernah berhasil. Mereka tidak pernah dapat menjulurkan pedang sampai menyentuh ujung keris pemilik pedati itu, apalagi menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, orang yang bersenjatakan kapak bertangkai agak panjang yang bertempur bersama beberapa orang kawannya melawan Mahisa Murti telah berusaha melumpuhkan senjatanya. Orang itu tahu pasti, bahwa pedang Mahisa Murti bukannya pedang yang baik, sehingga karena itu, maka orang itu telah berani mengayunkan kapaknya dengan sepenuh kekuatan. Ia sadar bahwa jika terjadi benturan senjata, maka tajam kapaknya yang terbuat dari baja pilihan itu akan dapat mematahkan pedang lawannya...
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah melupakan tugas-tugas mereka membimbing adik angkat mereka untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi yang terasa mencuat menurut naluri pengembara mereka itu pun akhirnya datang juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih saja merasa bahwa mereka akan menuntun sekelompok orang untuk menyusul mereka, ternyata merasa segan untuk bermalam di banjar-banjar padukuhan. Mereka merasa cemas. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka, maka akan menyangkut pula penghuni padukuhan itu yang sebenarnya tak tahu menahu ujung pangkalnya.
Karena itu maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah memilih bermalam di mana saja. Sekaligus mereka menjalani laku prihatin untuk memberi tekanan kepada usaha mereka mendalami ilmu. Mahisa Semu juga merasa lebih banyak memiliki waktu untuk berlatih jika mereka bermalam di tempat-tempat yang terpencil. Jika mereka berada di banjar, maka Mahisa Semu tidak akan dapat memanfaatkan waktu di saat malam mulai turun untuk berlatih, jika ia tidak ingin mengganggu orang lain.
Tetapi, ternyata bahwa beberapa orang yang menghendaki kitab itu, akhirnya sempat menyusul mereka pula. Demikian ketiga orang itu meninggalkan sebuah kedai, maka beberapa orang itu telah bertanya kepada pemilik kedai itu. Pemilik kedai itu memang tidak berani berbohong untuk menjaga keselamatannya. Karena itu, maka ia pun telah memberitahukan ke mana arah ketiga orang anak muda itu pergi.
“Belum terlalu lama” berkata pemilik kedai itu.
“Terima kasih” jawab salah seorang di antara beberapa orang itu.
Demikianlah maka dua orang di antara mereka telah lebih dahulu menyusul tiga orang anak muda yang dikatakan belum terlalu lama. Dengan demikian maka kehadiran mereka tentu tidak akan sangat mencurigakan. Sebenarnyalah, ketika dua orang yang berjalan tergesa-gesa itu keluar dari padukuhan, mereka melihat dihadapan mereka, tiga orang berjalan di bulak panjang.
“Tentu mereka,” berkata orang itu, “nampaknya mereka tidak terlalu tergesa-gesa.”
“Kita sudah berhari-hari mengikuti jejak perjalanan mereka. Nampaknya kita sudah cukup sabar, sehingga kita tidak akan memberi mereka kesempatan lagi” sahut yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Kau katakan kepada kawan-kawan kita, bahwa sebentar lagi, usaha kita yang sudah bertahun-tahun kita lakukan untuk memiliki kitab itu, akhirnya akan dapat terpenuhi beberapa saat lagi. Aku akan mengawasi mereka.”
Yang lain mengangguk. Ketika yang lain melangkah meneruskan tugasnya mengamati ketiga orang anak muda itu, maka kawannya tidak beranjak dari tempatnya. Ia telah menunggu beberapa orang kawannya yang masih berada di belakang. Tetapi, ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebentar kemudian maka kawan-kawannya itu pun telah datang menghampirinya.
“Kau ketemukan orang itu?” bertanya pemimpin dari sekelompok orang yang memburu kitab itu.
“Yaa,” jawab orang yang memang menunggu itu. “mereka berada di bulak dihadapan kita. Kawan kita masih tetap mengikutinya.”
“Bagus,” sahut pemimpinnya, “kita akan berjalan terus. Aku tidak sabar lagi agar ketiga anak muda itu tidak lepas dari tangan kita.”
“Selama ini mereka tentu sudah membaca isi kitab itu” berkata salah seorang di antara mereka.
“Mereka nampaknya memang bernasib buruk. Kita akan menyelesaikan mereka, agar rahasia isi kitab itu tidak akan diketahui oleh siapa pun juga kecuali mereka yang telah terbunuh” jawab pemimpinnya.
“Apakah mereka akan mati?” bertanya yang lain.
“Ya,” jawab pemimpinnya, “mereka bertiga akan mati.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka pun berpendapat demikian pula. Orang-orang yang telah melihat rahasia yang tercantum di dalam kitab itu akan mati. Demikianlah, maka sekelompok orang itu telah berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mereka tidak mau kehilangan buruannya lagi.
Ketika mereka sampai di tikungan, maka mereka pun segera melihat bahwa seorang di antara mereka, yang mengikuti ketiga orang anak muda itu telah menghentikan mereka di simpang empat, di tengah-tengah bulak yang panjang itu. Orang itu telah berusaha untuk berbicara dengan ketiga orang anak muda itu, agar dengan demikian mereka bertiga sempat menunggu pula kehadiran kawan-kawan orang yang menghentikannya itu.
Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat sekelompok orang mendekatinya, maka mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang mereka tunggu-tunggu itu telah datang. Agaknya bukan hanya beberapa orang, tetapi setelah mereka berkumpul, maka jumlahnya cukup banyak. Lebih dari sepuluh orang.
Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak lagi merasa perlu untuk menghindari mereka yang semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu, langit pun menjadi kemerah-merahan oleh warna senja yang semakin buram.
“Berhati-hatilah,” bisik Mahisa Murti kepada Mahisa Semu, “kau baru memanjat pada tingkat yang sedikit lebih tinggi dari tingkat dasar. Namun, kau mempunyai kekhususan. Ternyata kau memiliki ilmu pedang yang sangat kuat. Kau harus memanfaatkan kemampuanmu itu untuk melawan orang-orang itu. Ilmu pedangmu telah melonjak begitu cepat dibandingkan dengan kemampuanmu yang lain dalam olah kanuragan.”
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi, ia menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka seorang yang telah menghentikannya itu pun telah mengetahui bahwa kawan-kawannya telah mendekat. Karena itu, maka ia tidak lagi merasa perlu untuk berpura-pura. Katanya, “Nasibmu buruk anak-anak muda. Mereka memerlukanmu.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun, orang itu tersenyum sambil berkata, “Usaha kami yang bertahun-tahun akhirnya dapat berhasil sekarang.”
“Apa yang kau maksud Ki Sanak?” sahut Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, “Tunggulah sebentar. Kawan-kawanku itu akan berbicara dengan kalian.”
Namun, Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata, “Kami sudah tahu apa yang kalian inginkan. Jadi aku bertanya, aku hanya berpura-pura saja.”
Orang itulah yang kemudian menjadi tegang. Bahkan ialah yang kemudian bertanya, “Apa maksudmu?”
“Bukankah kau ingin mendapatkan kitab yang aku temukan bersama kitab yang sebuah lagi yang aku tinggalkan di padukuhan itu?” berkata Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, kemudian katanya, “jadi kau sudah tahu?”
“Tentu” jawab Mahisa Murti.
Sedangkan Mahisa Pukat menyambung, “bertahun-tahun kitab ini menjadi persoalan. Berapa korban yang telah jatuh. Terakhir seorang petani yang tidak tahu menahu tentang isi kitab ini yang mati terbunuh karena racun.”
Orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Bukan kau yang membunuh. Tetapi, menantunya sendiri yang secara kebetulan mengetahui tentang harta karun yang tersimpan di lereng di tepian sungai itu. Tetapi, agaknya ia tidak mengetahui bahwa yang disebut harta karun itu tidak lebih hanya sebuah buku yang tidak bernilai sama sekali.”
“Tutup mulutmu,” orang itu membentak. Sementara itu ia pun telah berpaling beberapa kali. Iring-iringan yang ditunggunya menjadi semakin dekat. Lalu katanya kemudian, “Kau hinakan kitab itu.”
“Aku sudah membacanya. Jika kitab itu memang mempunyai arti bagi orang yang memilikinya, maka tidak ada gunanya kau mencarinya. Aku yang sudah membaca isi kitab itu tentu telah menjadi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, katanya, “Isinya tentu sangat rumit. Seseorang tidak akan mampu mempelajarinya hanya dalam waktu satu tahun. Apalagi hanya dalam waktu satu bulan.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Mungkin bagi orang yang otaknya tumpul. Tetapi, bagi mereka yang kemampuannya cemerlang, maka mereka akan dapat mempelajari isi kitab itu dalam sepekan, karena isinya memang tidak mempunyai bobot olah kanuragan.”
Wajah orang itu benar-benar tegang. Namun, ia masih belum dapat menilai betapa pun kemarahan menghentak-hentak di dadanya. Ia masih harus menunggu kawan-kawannya yang sudah menjadi dekat sekali. Sebenarnyalah sejenak kemudian kawan-kawannya pun telah menghampirinya. Pemimpinnya telah melangkah di paling depan. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah mereka yang kita cari?”
“Ya,” Mahisa Pukat lah yang menyahut sebelum orang yang ditanya itu menjawab. Katanya lebih lanjut, “Kau tentu mencari kami bertiga, karena kami bertiga membawa kitab yang menurut kalian sangat berharga. Tetapi, yang menurut kami ternyata tidak banyak berarti.”
“Persetan,” geram pemimpin dari sekelompok orang itu, “kalian yang merendahkan nilai kitab itu.”
“Bukan kami yang merendahkan. Tetapi nilainya memang rendah, karena agaknya kitab itu ditulis oleh seorang guru yang ilmunya memang belum tinggi.”
“Tutup mulutmu,” bentak orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang panjang, “kau harus dihukum karena sikapmu itu.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “betapa pun rendahnya bobot kitab itu, namun setelah kami mempelajarinya, ternyata ilmu kami memang meningkat. Karena itu, maka kami akan mempertahankan buku itu. Meskipun tidak bernilai, tetapi sudah barang tentu ada gunanya bagi kami.”
Wajah pemimpin kelompok itu menjadi merah. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah kalian merasa sudah mampu menguasai isi kitab itu?”
“Tentu,” jawab Mahisa Pukat, “nah, siapakah di antara kalian yang ingin mencoba kemampuan kami bertiga? Jika kalian tahu isi kitab itu, cocokanlah, apakah yang kami pergunakan ilmu yang tertera dalam kitab itu atau bukan.” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi, apakah kalian sudah pernah membaca ilmu dari kitab itu?”
“Kitab itu peninggalan guruku” geram pemimpin kelompok itu.
“Oo,” Mahisa Pukat mengangguk-angguk, “jadi itukah alasanmu kenapa kawanmu marah kepadaku ketika aku mengatakan bahwa kitab itu ditulis oleh seorang guru yang bodoh.”
“Sekali lagi kau ucapkan itu, maka kami akan membunuh kalian sekarang juga” geram pemimpin kelompok itu.
“Baiklah. Tetapi, nampaknya yang ingin kau katakan belum seluruhnya terungkap” sahut Mahisa Pukat.
“Kitab itu adalah milik guruku yang dicuri oleh salah seorang muridnya. Jadi saudara seperguruan kami. Kami telah mencarinya bertahun-tahun. Namun, belum dapat kami ketemukan” berkata orang itu.
“Tetapi, kau menemukan saudara seperguruanmu. Orang itu telah kau bunuh meskipun ia sempat memberitahukan kepada seorang petani yang kebetulan lewat” berkata Mahisa Pukat.
“Persetan,” geram seorang yang bertubuh gemuk, “dari mana kau tahu?”
Mahisa Murti yang kemudian menyahut mendahului Mahisa Pukat, “Sudahlah. Lebih baik kita berbicara tentang yang lain. Kita lupakan saja persoalan kitab itu.”
“Kau gila,” geram orang itu, “kau kira siapa aku, he? Kau bersikap seperti terhadap kanak-kanak. Kau telah menghina aku dan kawan-kawanku, setelah kau menghina guruku dan kitab itu.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Sejak tadi kau hanya marah-marah saja. Tetapi, kau tidak mau menyadari bahwa kami telah mengatakan yang sebenarnya. Kau, gurumu dan kitab itu memang jelek sekali.”
Orang itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menyerang. Dengan serentak kawan-kawannya telah berloncatan menyerang. Namun, ketiga orang anak muda itu memang sudah menunggu. Dengan tangkas pula mereka berloncatan menghindar. Namun, kemudian seperti badai mereka telah berganti menyerang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang dahsyat. Orang-orang yang mencari kitab itu telah bertempur dengan kemarahan yang membakar jantung. Sementara ketiga anak muda itu menyadari, bahwa mereka harus berhati-hati melawan orang-orang itu. Mereka sampai hati membunuh saudara seperguruannya. Apalagi orang lain.
Karena itu, jika mereka tidak mau terbunuh dalam pertempuran itu maka mereka harus bertempur sebaik-baiknya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya, karena orang-orang itu pun ternyata orang-orang yang berbekal ilmu pula.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu agaknya merasa lebih baik menghadapi lawan-lawannya dengan bertempur berpasangan. Kelemahan Mahisa Semu dapat ditutup oleh kelebihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa diketahui oleh lawan-lawan mereka.
Tetapi, ternyata lawan-lawan mereka itu pun telah menyimpan pengalaman yang luas. Untuk menghadapi tiga orang anak muda itu, maka mereka pun telah membuat lingkaran mengelilingi ketiganya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berdiri di tengah-tengah simpang empat itu pun benar-benar telah bertempur dengan tangkasnya. Mereka tidak segera terpengaruh oleh sikap lawan-lawan mereka yang berdiri pada sebuah lingkaran.
Lingkaran yang bergerak bagaikan gelombang. Seorang demi seorang telah meloncat menyerang. Sekali-sekali dengan tangan namun pada kesempatan yang lain dengan kaki mereka. Tetapi, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata tidak menjadi bingung. Mereka dengan tangkasnya telah mengimbangi serangan-serangan itu. Dengan tangkasnya mereka menangkis dan menghindar.
Sekali-sekali jarak di antara mereka bertiga merenggang. Namun kemudian merapat kembali, bahkan sekali-sekali di antara ketiga orang anak muda itu telah melenting menyerang dengan cepatnya. Namun, kemudian meloncat kembali ke tempatnya. Sehingga ketiganya seakan-akan telah menjadi kesatuan yang utuh lagi.
Orang-orang yang ingin merampas kitab itu ternyata menjadi semakin marah. Serentak mereka telah meningkatkan kemampuan mereka. Gelombang serangan mereka pun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Seakan-akan angin dari lautan semakin keras bertiup. Bahkan kemudian menjadi taufan dan angin prahara.
Ketiga anak muda itu pun harus bekerja semakin keras untuk mempertahankan diri. Nampaknya orang-orang itu masih berusaha untuk mendapatkan kepuasan tertinggi, membunuh ketiga anak muda itu tanpa senjata. Sementara itu, ketiga anak muda itu pun masih juga menganggap belum perlu untuk mempergunakan senjata apapun.
Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan gelombang serangan dari orang-orang yang memburu kitab itu menjadi semakin garang. Tidak saja serangan datang beruntun dari segala arah, tetapi lingkaran itu mulai bergerak berputar. Ayunan-ayunan mulai nampak bergerak ke kiri selangkah demi selangkah. Semakin lama menjadi semakin cepat.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berusaha untuk tidak terpengaruh oleh putaran itu. Mereka memperhatikan setiap orang yang bergerak mendekat. Meskipun serangan kadang-kadang justru dilakukan dari arah yang lain, namun anak-anak muda itu ternyata tidak pernah menjadi lengah dan membiarkan lawan-lawannya mencuri serangan.
Ketika putaran itu menjadi semakin cepat, maka Mahisa Semu nampaknya mulai terpengaruh. Tetapi, karena ia berada dalam satu kesatuan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kelemahan itu memang tidak nampak pada pengamatan lawan-lawannya. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasakan pengaruh itu pada adik angkatnya itu.
“Kau mulai terpengaruh,” berkata Mahisa Murti sambil berbisik, “sadari kelemahanmu. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Biar saja mereka berputaran. Ambil seorang di antara mereka. Jadikan sasaran yang baik dan pada saat yang memungkinkan, kau harus meloncat menyerang. Tetapi, kau tidak boleh mengabaikan kemungkinan yang dilakukan oleh orang-orang di sebelah menyebelahnya.”
“Aku mengerti” desis Mahisa Semu.
“Perhatikan. Aku akan melakukannya” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat pun kemudian mempersiapkan dirinya. Sambil menghindar dan menangkis serangan lawan-lawannya yang datang, ia telah mempersiapkan serangannya pula. Karena itu, demikian serangan lawannya gagal mengenai tubuhnya dan meloncat kembali memasuki putaran, maka tanpa memberikan waktu, Mahisa Pukat telah meloncat, menyusulnya dan menyerangnya dengan cepat sekali.
Serangan itu memang terduga sama sekali. Karena itu, maka sasarannya tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia berusaha melindungi dadanya, maka kaki Mahisa Pukat telah menghantamnya dengan kekuatan yang sangat besar. Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Pukat itu telah melemparkan lawan yang menjadi sasarannya keluar putaran. Demikian kerasnya sehingga orang itu telah berguling beberapa kali.
Namun, ternyata ketika orang itu mencoba untuk melenting berdiri, ia justru menyeringai kesakitan, sehingga karena itu, maka ia pun telah berjongkok sambil memegangi dadanya. Nafasnya terasa mulai menjadi sesak. Karena itu, maka ia pun tidak dapat dengan tergesa-gesa berdiri. Bahkan orang itu pun segera duduk untuk mencoba mengatasi kesulitan nafasnya. Tangannya pun kemudian bersilang di dadanya.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berada di sebelah-menyebelahnya dengan cepat telah mengisi kekosongan itu. Namun bagaimanapun juga,, serangan itu telah mempengaruhi putaran lawan-lawannya, sehingga untuk beberapa saat, gelombang yang terayun-ayun mengelilingi anak-anak muda itu dan yang sekali-sekali menempuh dengan dahsyatnya, menjadi agak terganggu.
Pemimpin dari orang-orang itu berusaha untuk mengatasi keadaan. Beberapa kali ia meneriakkan aba-aba. Ternyata bahwa orang-orang yang berada dalam putaran itu dengan cepat telah mampu menyesuaikan dirinya, sehingga putaran itu telah berjalan lagi seperti semula. Tetapi, jumlah mereka telah berkurang satu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat telah membuka satu kemungkinan berikutnya.
Beberapa saat, maka serangan-serangan orang-orang yang berputar dalam lingkaran itu menjadi semakin cepat. Putaran itu pun menjadi semakin cepat pula. Bahkan orang-orang yang berada dalam lingkaran itu mulai bergumam. Semakin lama semakin keras sehingga akhirnya suara mereka menjadi menghentak-hentak menyakitkan telinga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengalami banyak gangguan. Mereka mampu mengatasinya dengan daya tahan mereka yang tinggi. Namun, Mahisa Semu benar-benar telah mulai terpengaruh.
“Isilah setiap relung di dalam dadamu dengan pengerahan kemampuan. Kau harus berani melakukan seperti yang baru saja aku lakukan” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk. Ia pun mulai bersiap-siap. Ia harus mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Tetapi, karena putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat, serta pengaruh suara hentakkan-hentakkan dan teriakan-teriakan, maka Mahisa Semu justru menjadi semakin ragu-ragu. Kepalanya menjadi semakin pening dan jantungnya bagaikan berderak-derak.
Dalam keadaan yang demikian, maka pertahannya pun menjadi semakin lemah. Ketika serangan-serangan datang beruntun, hampir saja Mahisa Semu tidak lagi mampu menangkis atau menghindarinya dengan cepat.
Namun pada saat yang demikian, Mahisa Murti lah yang mulai bergerak. Di saat-saat serangan datang beruntung, maka Mahisa Murti mulai menjadi muak. Karena itu, maka ketika seorang di antara lawannya yang berputar itu melenting menyerangnya, Mahisa Murti masih mengelak. Tetapi, serangan berikutnya dengan cepat menyusul, justru dari orang yang telah berputar lewat beberapa langkah daripadanya, yang meloncat surut dan menyerangnya.
Serangan yang agaknya memang tidak terduga-duga sebagaimana beberapa kali terjadi. Tetapi, Mahisa Murti justru telah menanggapinya dengan caranya. Namun, ia justru telah dengan sengaja membentur serangan yang datang itu. Lawannya yang menyerangnya nampaknya memang kurang mempersiapkannya dengan baik. Ia hanya sempat memperhitungkan waktu yang paling tepat baginya serta kesempatan yang menurut perhitungannya terbuka. Tetapi, ia tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Murti mengatasi keadaan yang paling gawat sekalipun.
Dengan demikian maka benturan yang keras pun telah terjadi. Mahisa Murti memang bergetar. Tetapi, ia sengaja meloncat kembali ke tempatnya, di antara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Namun sementara itu, lawannya bagaikan telah terlempar dengan derasnya. Justru karena ia berada di dalam lingkaran, maka tubuhnya yang terlempar itu telah menimpa kawannya yang lain, sehingga sekaligus maka tiga orang telah terlempar dari lingkaran.
Ternyata bahwa peristiwa itu telah menimbulkan persoalan bagi lawan-lawannya. Pemimpinnya pun tidak segera mampu mengatasinya. Namun, orang-orang yang ada di sebelah menyebelah lubang-lubang pada lingkaran itu berusaha untuk menutupnya meskipun tidak terlalu rapat, sementara lingkaran itu- pun menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dengan cepat telah memanfaatkan keadaan. Lingkaran yang berputar itu memang hampir berhenti karenanya meskipun masih bergerak terus. Pemimpin mereka telah berteriak kepada orang-orang yang terlempar itu untuk segera kembali mengisi tempatnya. Pemimpinnya juga telah memanggil orang yang pertama sekali terlempar dari lingkaran oleh serangan Mahisa Pukat.
Orang-orang itu memang berusaha untuk dengan cepat mengatasi, keadaannya. Namun, sebelum mereka berhasil, Mahisa Pukat telah lebih dahulu melenting menyerang orang yang berdiri justru agak jauh darinya. Orang itu telah terlempar pula dengan derasnya. Justru menimpa kawannya yang sudah hampir tegak lagi. Karena itu, maka keduanya telah berguling-guling beberapa langkah.
Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu mengumpat kasar. Dengan marah ia membentak, “Cepat bangkit dan kita bunuh orang-orang itu.”
Yang lain yang telah berhasil berdiri tegak, dengan cepat telah memasuki lingkaran itu kembali. Namun, tenaga dan kemampuan mereka ternyata telah susut. Mereka tidak akan sempat lagi bertempur sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian maka lingkaran yang masih saja berputaran itu sudah tidak lagi segarang semula. Meskipun mereka masih juga berteriak-teriak dan menghentak-hentak, namun mereka sudah tidak segarang sebelumnya.
Karena itu, maka kesulitan di dalam diri Mahisa Semu pun telah berkurang. Apalagi setelah ia melihat apa yang dilakukan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang ternyata berhasil. Pada kesempatan mendatang, maka kedua orang anak muda yang menganggapnya sebagai adiknya itu tentu tidak akan sulit untuk menyelesaikan pertempuran yang tersisa.
Sementara itu dua orang yang masih berada diluar lingkaran itu pun telah berusaha untuk memasuki lingkaran kembali. Sehingga dengan demikian maka lingkaran itu telah menjadi utuh. Namun, yang ternyata utuh hanyalah jumlahnya saja. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat kelemahan itu. Beberapa saat lagi, maka mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran itu.
Namun agaknya mereka melupakan, bahwa masih ada kemungkinan lain yang dapat terjadi. Ternyata orang-orang itu telah mendapat perintah dari pemimpinnya untuk mempergunakan kesempatan yang masih ada itu dengan mempergunakan senjata mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berada dalam lingkaran itu telah menarik senjata mereka masing-masing.
Dengan demikian, maka ketiga anak muda itu pun merasa perlu untuk mempergunakan senjata mereka pula. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran bersenjata. Orang-orang yang berada di lingkaran itu sebagian terbesar memang bersenjata pedang. Namun, ada di antara mereka yang bersenjata semacam tongkat baja yang runcing ujungnya. Ada pula yang mempergunakan sebuah kapak bertangkai lebih panjang dari kapak kebanyakan. Sedangkan seorang lagi membawa sebuah senjata yang runcing di kedua ujungnya.
Dengan demikian maka pertempuran pun telah menjadi garang kembali. Bukan saja sekedar dengan tangan mereka, tetapi telah dipergunakan senjata yang sentuhannya akan dapat mengoyakkan kulit.
“Gila,” geram Mahisa Pukat, “aku hampir saja kehilangan kewaspadaan. Aku mengira bahwa pertempuran ini sudah hampir selesai. Ternyata kita harus mulai lagi dengan permainan yang baru.”
“Menyerahlah,” geram pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu, “serahkan kitab itu dan pergilah.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “jangan bohongi kami. Jika kau telah berhasil mengambil kitab itu, maka kau tentu akan membunuh kami, yang kau anggap telah melihat isi kitab itu dan yang barangkali kau anggap telah menodainya.”
“Persetan,” geram pemimpin kelompok itu, “apa pun yang kalian lakukan, kalian memang akan mati.”
“Karena itu, biarlah kami sempat menunjukkan kepada kalian bahwa kami sudah menguasai ilmu yang tersimpan di dalam kitab itu” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong” pemimpin dari sekelompok orang itu telah membentak.
Mahisa Pukat justru tertawa. Namun, dengan tiba-tiba saja suara tertawanya telah terputus. Dengan satu loncatan panjang Mahisa Pukat telah menyerang. Pedangnya terjulur lurus, bahkan langsung menghunjam lambung salah seorang lawannya.
Orang itu menyeringai kesakitan. Namun, ternyata ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri. Ketika Mahisa Pukat menarik pedangnya, maka ia pun telah terhuyung-huyung keluar lingkaran dan jatuh di tanah. Beberapa kali ia masih dapat berguling perlahan-lahan menepi sambil berdesis menahan pedih di lukanya itu.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “satu demi satu, gigi lingkaran itu akan aku habiskan.”
“Anak iblis. Aku bunuh kau dengan caraku” geram seorang yang berkumis tebal.
Tetapi begitu mulutnya terkatub, maka sekali lagi, dengan tidak diduga-duga, Mahisa Pukat telah meloncat lagi. Senjatanya tidak terjulur lurus. Tetapi terayun mendatar. Sekali lagi seorang di antara lawannya itu terdorong keluar dari lingkaran. Dadanyalah yang terkoyak oleh ujung pedang Mahisa Pukat.
“Licik,” geram pemimpin kelompok itu, “kau menyerang dengan tiba-tiba justru di saat lawanmu tidak mengira akan terjadi. Jika kau jantan, maka kau tentu akan menyerang saat lawanmu siap menerima serangan itu.”
“Siapakah yang licik?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah bertempur dalam jumlah yang jauh lebih besar seperti yang kalian lakukan itu bukannya satu kelicikan?”
“Tutup mulutmu,” bentak pemimpinnya itu, “kau akan mati dengan penuh penyesalan.”
Tetapi, pemimpinnya itulah yang kemudian terkejut. Ternyata perhatiannya lebih banyak tertuju pada Mahisa Pukat daripada Mahisa Murti. Karena itu, pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu tidak bersiap untuk menghadapi serangan Mahisa Murti yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Tetapi, Mahisa Murti ternyata tidak bersungguh-sungguh berniat membunuhnya. Karena itu, maka senjatanya tidak langsung menghunjam ke dadanya. Ujung pedang Mahisa Murti memang menyambarnya, tetapi sekedar mengoyakkan kulit di pundaknya. Orang itu meloncat surut, keluar dari lingkaran. Sementara itu, dari lukanya telah mengalir darah.
Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Mahisa Murti yang telah kembali ke tempatnya tertawa sambil berkata lantang, “nah, biarlah kalian menyadari, bahwa bukan kalian yang berhak menentukan akhir dari pertempuran ini. Kami pun berhak menuntut penyelesaian yang paling baik bagi kami dari pertempuran ini.”
“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu, “kita akan membuktikan, bahwa tidak ada orang yang dapat mencegah kehendakku untuk membunuh siapapun.”
“Kau ternyata sangat sombong. Sudah aku katakan, kau tidak akan dapat berbuat apa pun sekarang di sini” sahut Mahisa Murti.
Dalam pada itu, demikian pemimpinnya terlempar, maka pertempuran itu seakan-akan memang berhenti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat beserta adik angkatnya itu sebenarnya dapat memanfaatkan keadaan itu, selagi orang-orang yang sedang memburu kitab itu merasa kehilangan pemimpin. Tetapi, ternyata pemimpinnya itu sangat tahan mengalami guncangan-guncangan yang bagaimanapun juga. Karena itu, maka luka di puncaknya itu seakan-akan tidak dirasakannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Kalian akan menyesali perbuatan kalian.”
Dengan tangkasnya orang itu telah meloncat memasuki lingkaran lagi tanpa menghiraukan darah yang mengalir di pundaknya. Namun, saat-saat yang rawan itu telah dipergunakan Mahisa Pukat sekali lagi. Demikian perhatian orang-orang itu tertuju kepada pemimpinnya yang kembali memasuki arena, maka seorang lagi di antara mereka berteriak tertahan. Pedang Mahisa Pukat telah melukai lambung orang itu. Luka yang cukup dalam dan parah.
Sejenak orang itu terhuyung-huyung, namun ia pun kemudian terjatuh di tanah. Darah memang terlalu banyak mengalir dari tubuhnya sehingga ia tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri. Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “Bunuh mereka. Kita sudah kehilangan gairah dengan putaran ini. Karena itu bunuh mereka dengan cara apa pun juga.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu justru termangu-mangu. Mereka sudah memperhitungkan bahwa sejenak kemudian lingkaran itu telah terurai. Orang-orang itu telah menebar dan mereka pun siap menyerang dari segala arah. Tetapi, yang mereka lakukan tidak lagi merupakan satu kesatuan sebagaimana mereka berada dalam lingkaran. Setelah menebar, maka mereka harus mengambil sikap mereka masing-masing.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun segera mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang baru itu. Namun bagi mereka, agaknya perlawanan yang akan dilakukan oleh orang-orang yang memburu kitab itu tidak lagi terlalu berat.
Sejenak kemudian, maka pemimpin dari orang-orang itu telah memberikan isyarat, sehingga sejenak kemudian orang-orang itu pun telah mulai bergeser dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Seorang yang bersenjata kapak, bertubuh tinggi tegap dan berjambang panjang telah meloncat menyerang Mahisa Semu.
Namun, Mahisa Semu sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Apalagi ia tidak lagi merasa pening diganggu oleh putaran yang mengelilingnya serta umpatan-umpatan dan teriakan-teriakan yang mengitarinya. Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar. Bahkan senjatanya telah terayun mendatar demikian kapak lawannya berputar di tangan lawannya itu.
Tetapi, ternyata lawannya yang besar itu masih mampu menghindar dengan cepat. Dengan loncatan panjang orang bersenjata kapak itu melenting surut. Namun, sekali ia memutar kapaknya, kemudian terayun ke samping. Satu putaran lagi diatas kepalanya bersamaan dengan ayunan kakinya yang meloncat menyerang. Kemudian dengan derasnya kapak itu terayun mengarah ke ubun-ubun Mahisa Semu.
Tetapi, Mahisa Semu cukup tangkas. Ia bergeser selangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dengan tangkas pula ia telah memukul kapak lawannya itu. Ternyata orang bertubuh tinggi dan berjambang panjang itu terkejut. Kapaknya hampir saja terlepas dari tangannya. Anak muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar.
Sambil meloncat menghindari kemungkinan yang lebih buruk, maka orang bertubuh tinggi itu berusaha memperbaiki pegangannya atas senjatanya. Ketika ia berdiri tegak menghadapi lawannya, senjata itu telah digenggamnya kuat-kuat. Tetapi, Mahisa Semu tidak sempat mengejarnya. Orang lain yang bersenjata pedang telah menyerangnya, sehingga Mahisa Semu harus melayaninya dan melepaskan orang bersenjata kapak itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus bertempur melawan beberapa orang pula. Dengan kemampuan mereka bermain pedang, maka keduanya mampu mengatasi serangan-serangan yang datang beruntun dari orang-orang yang memburu kitab itu. Tetapi, ketangkasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membuat mereka menjadi heran. Mereka sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh anak-anak muda itu dengan ujung-ujung senjata mereka.
Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah menjadi jemu. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan mengerahkan tenaga cadangan, maka kedua anak muda itu telah berhasil mendesak lawan-lawannya. Tanpa mempergunakan beberapa kemampuan ilmu yang tinggi, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah dapat mengatasi kemampuan orang-orang yang menyerangnya itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian sekelompok orang-orang itu benar-benar tidak berdaya menghadapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat membentak mereka agar menyerah maka mereka tidak mempunyai pilihan lain. Dengan jantung yang bagaikan berhenti berdegup, maka beberapa orang yang tersisa itu telah meletakkan senjata mereka, sementara beberapa orang kawannya telah terbaring diam.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apa yang ingin kalian lakukan sekarang? Apakah setiap orang yang sempat melihat isi kitab itu akan kau bunuh?”
“Anak muda,” berkata pemimpin dari kelompok orang-orang yang memburu kitab itu, yang ternyata telah terluka, “kalian telah menguasai kami. Kami menyadari, bahwa apa pun yang kami lakukan, kami tidak akan dapat memenangkan perkelahian ini. Karena itu lebih baik kami menyerah. Kami sudah berjanji, jika kami tidak dapat mengambil kitab itu kapan pun juga, maka kami akan memilih jalan terakhir, kematian. Kami memang dapat bertempur sampai mati. Tetapi, itu tidak akan ada artinya, karena ilmu kami berada di bawah tataran ilmu kalian, sehingga aku menganggap hal itu tidak berarti sama sekali. Nah, sekarang, apa pun yang akan kalian lakukan terhadap kami, lakukanlah.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya, “berapa orang yang sudah kau bunuh di saat kau memburu kitab itu.”
Pemimpin dari kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak pernah membunuh seorang pun.”
Tetapi, Mahisa Pukat tiba-tiba saja membentak, “jangan berbohong. Kau bunuh saudara seperguruanmu. Kau bunuh orang-orang yang kau anggap menghalangi usahamu mencari kitab itu dan kau sudah mengancam untuk membunuh kami karena kami telah melihat isi kitab itu.”
“Kami memang ingin berbuat demikian. Tetapi, kami tidak pernah sempat melakukan” jawab pemimpinnya.
“Bohong” bentak Mahisa Pukat.
“Memang di antara kamilah yang melakukan. Tetapi, bukan dengan tanganku dan tangan orang-orang yang kebetulan bersamaku sekarang” jawab orang itu.
“Aku tidak tahu maksudmu” berkata Mahisa Murti.
“Kami memang seakan-akan saling berebut dahulu. Tetapi, di saat kami datang bersama-sama, maka kematian itu tidak dapat dihindari lagi,” jawab pemimpin itu, “Tetapi, jika dengan demikian kau anggap kami telah ikut membunuh korban-korban itu, maka kami memang tidak mengelak.”
“Aku tidak mengerti bedanya. Yang kami ketahui kalian telah membunuh. Dan kalian tahu, apakah hukuman bagi seorang pembunuh” geram Mahisa Pukat.
“Sudah aku katakan, bahwa kami semua ini tidak akan ingkar. Apalagi kami sudah bertekad, jika kami tidak mendapatkan kitab itu, maka kami memang lebih baik mati” berkata pemimpin kelompok itu.
Mahisa Murti justru menjadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ada perbedaan antara kalian dan kami. Kami memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berperasaan. Meskipun aku tidak tahu pasti, bahwa apa yang kau katakan itu benar, namun kami memang tidak akan bersedia kau jadikan alat untuk membunuh diri. Kecuali jika kau tidak berhenti bertempur, maka mungkin kalian akan terbunuh atau terluka parah.”
“Kami tidak ingin mengalami kesulitan menuju ke jalan kematian,” berkata pemimpin sekelompok orang-orang yang memburu kitab itu, “karena itu, bunuhlah dengan langsung menembus jantungku. Aku akan berterima kasih kepada kalian.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Lakukanlah jika kalian mempunyai niat untuk melakukan sendiri. Tetapi ingat, bahwa pengecut yang paling buruk adalah seseorang yang membunuh dirinya. Seorang yang menyadari akan kegagalannya, tentu akan dapat mencari jalan lain. Sedangkan orang yang menyadari kesalahannya, akan mencari jalan kebenaran. Aku tidak tahu, apakah kalian ingin membunuh diri karena kalian merasa gagal dan tidak akan mampu lagi memenuhi janji kalian kepada diri sendiri atau karena kalian merasa bahwa kalian telah melakukan kesalahan yang tidak terhitung lagi jumlahnya.”
“Apa pun yang kau sebut, kami tidak akan menolak” berkata pemimpin kelompok itu.
“Baiklah. Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka. Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan kalian. Aku akan tetap membawa kitab itu dan tidak akan pernah aku serahkan kepada kalian. Tetapi kalian boleh mengetahuinya, bahwa kitab itu memang bukan kitab yang pantas dikagumi atau ditebus dengan nyawa. Ilmuku sudah jauh lebih tinggi dari isi kitab itu. Karena itu, kitab itu tidak berarti apa-apa lagi bagiku, kecuali untuk memusnahkannya sehingga tidak akan menimbulkan persoalan lagi” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi…“ pemimpin kelompok itu menjadi pucat, “kau membuat aku cemas, melampaui kecemasan seorang yang akan dihukum mati. Jangan musnahkan kitab itu.”
“Itu lebih baik daripada kitab itu akan selalu menimbulkan persoalan” jawab Mahisa Murti.
Wajah orang itu memang benar-benar menjadi pucat. Keringat dingin telah membasahi punggungnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kalau kau ingin membunuh aku, bunuhlah. Tetapi aku mohon, jangan musnahkan kitab itu. Jika kau tidak memerlukannya karena kau mampu meniti jalur lain untuk mencapai ilmu yang tinggi, berikan kepada orang lain. Tetapi jangan dimusnahkan. Karena kitab itu menyangkut kelangsungan hidup sebuah perguruan.”
Tetapi, Mahisa Pukat lah yang menjawab, “jadi kau belum puas dengan kematian-kematian yang telah terjadi karena kitab itu? Agaknya kau masih ingin terjadi lagi kematian demi kematian.”
“Bukan maksudku. Tetapi kitab itu” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Mahisa Murti. Namun, sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Pukat berdesis kepada Mahisa Semu, “berhati-hatilah. Kita akan mendapat kawan latihan yang baru. Namun, agaknya orang-orang ini mempunyai kelebihan dari sekelompok orang dungu ini.”
Mahisa Semu termangu-mangu. Ia mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tetapi, ia tidak melihat seseorang. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Marilah Ki Sanak. Agaknya lebih baik kita berbicara berhadapan daripada sekedar bersembunyi dan mengintip di balik gerumbul-gerumbul perdu.”
Terdengar umpatan kasar. Namun kemudian dua orang telah meloncat dari balik gerumbul-gerumbul liar. “Luar biasa,” berkata salah seorang dari mereka, “kalian dapat mengetahui kehadiran kami.”
Namun Mahisa Murti menyahut, “Luar biasa, bahwa kalian berhasil mendekati arena tanpa kami ketahui.”
Sekali lagi orang itu mengumpat. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sudah menjadi pucat itu justru semakin pucat. Di luar sadarnya ia berdesis, “Kau.”
Kedua orang itu tertawa. Didekatinya pemimpin sekelompok orang yang memburu kitab itu sambil berkata, “Ternyata kau tetap dungu.”
Pemimpin dari orang-orang yang memburu kitab itu menyahut, “Aku sudah berusaha cukup jauh.”
“Tutup mulutmu,” bentak salah seorang di antara kedua orang yang baru datang, “kau tidak usah berbicara apa-apa. Aku sudah tahu kau terluka dan sama sekali tidak berdaya. Orang-orangmu ada sudah hampir mati atau bahkan sudah mati.”
Pemimpin dari sekelompok orang yang memburu kitab itu terdiam. Ia memang tidak mempunyai keberanian untuk menentang kedua orang yang dianggapnya berilmu sangat tinggi itu. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu berkata, “Nah. Sekarang serahkan kitab itu kepadaku. Kau tidak akan dapat menghancurkannya. Kitab itu adalah lambang kelangsungan sebuah perguruan. Bukankah kau sudah mendengarnya?”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kau tentu tahu arti dari kitab ini. Kematian. Nah, apakah kau ingin mempertahankannya?”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata apa pun juga. Tetapi, serahkan kitab itu kepadaku.”
“Jika kitab itu kami serahkan?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi, keduanya justru tertawa bersama-sama. Semakin keras. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Nah, aku tahu maksud kalian. Akhirnya akan sama saja. Kau akan membunuh kami jika kitab ini sudah aku serahkan. Karena itu, biarlah kita balik saja. Bunuh aku dulu jika kalian mampu. Baru kitab ini akan sampai ke tanganmu.”
Kedua orang itu masih tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ternyata kalian memang sudah gila. Kalian merasa bahwa kalian telah berhasil mengalahkan tikus-tikus ini akan dapat mengalahkan kami berdua. Sayang anak muda. Kau agaknya salah melihat lawan.”
Sementara itu yang lain berkata, “Sudahlah. Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau akan mati dan kitab itu akan sampai ke tangan kami.”
“Nah, agaknya yang terakhir itulah yang lebih singkat. Marilah. Kami akan melayani tantangan kalian. Karena kalian hanya berdua, maka kami pun turun berdua ke arena” jawab Mahisa Murti.
Kedua orang itu tertawa pula. Katanya, “jangan menyiksa diri. Marilah. Kalian akan dapat maju bertiga.”
“Tidak perlu. Kami sudah mempelajari isi kitab itu, sehingga kami sudah memiliki ilmu yang tinggi,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut.
Kedua orang itu masih saja tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ternyata kau senang bergurau anak muda. Tetapi kami tahu, bahwa untuk mempelajari kitab itu diperlukan waktu.”
Mahisa Pukat tiba-tiba saja juga tertawa. Katanya, “Aku memang berbohong. Kami bertiga hanya melihat sepintas. Tetapi, ternyata ilmu kami sudah lebih tinggi dari isi kitab itu, sehingga kami tidak memerlukannya lagi.”
“Kalian merasa bahwa ilmu kalian lebih tinggi dari isi kitab itu?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu. Bahkan keduanya tertawa semakin keras. Orang itu pun kemudian melanjutkan, “Dengan mengalahkan cucurut-cucurut itu kau merasa bahwa ilmumu sudah lebih tinggi dari isi kitab itu.”
“Tentu. Apakah kalian ingin meyakinkan? Nah, sampai tataran keberapa kalian mempelajari ilmu yang sejalan dengan isi kitab itu? Ketiga atau ke empat?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi kedua orang itu tidak menanggapinya. Bahkan salah seorang di antara mereka berkata, “Sudahlah. Jika kalian memang ingin mati marilah. Aku antarkan kalian ke neraka.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “jadi kalian ingin membunuh kami, sementara kami telah membebaskan kawan-kawanmu?”
“Salahmu sendiri” geram salah seorang dari kedua orang itu.
“Kami tidak mau membunuh mereka, karena mereka justru ingin membunuh diri,” berkata Mahisa Murti, “tetapi sekarang, kalian justru ingin memanfaatkan keadaan yang serupa? Seandainya kami ingin membunuh diri, kalian tidak berkeberatan melakukannya?”
“Tentu tidak. Kami memang suka menolong orang lain” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Jika kalian memang senang menolong orang lain, bagaimana jika kami ingin pergi saja tetapi dengan membawa kitab itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Terlambat. Pintu sudah tertutup sementara kau masih ada di dalam,” jawab orang itu, “tetapi sudahlah. Jangan berbicara saja. Aku tahu kau sengaja mengulur waktu kematianmu. Sekarang, bersiap-siaplah untuk mati. Marilah, kalian bertiga maju atau kalian ingin mengambil jalan pintas dengan menundukkan kepala dan membiarkan kami menebasnya.”
Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, “satu permainan yang menyenangkan. Bagaimana jika kau saja yang menunduk dan membiarkan aku memukuli kepalamu sampai kau mati?”
Orang itu terkejut mendengar jawaban dan sikap Mahisa Murti. Bahkan kemudian Mahisa Pukat yang juga tertawa berkata, “Kau ingin mati atau tidak? Jika tidak, kau harus bersikap baik seperti kawan-kawanmu yang terdahulu. Tetapi jika kau mau mati, berbuatlah kasar sehingga kami marah dan membunuh kalian.”
Kedua orang itu tidak dapat lagi menahan diri. Karena itu, maka seorang di antara mereka menggeram, “Bunuh mereka dengan cara yang paling menyakitkan.”
Kedua orang itu pun melangkah untuk berpencar. Namun Mahisa Pukat masih sempat berkata, “Bunuhlah mereka hingga setengah mati saja, supaya mereka dapat menikmati hari-hari kematian mereka. Baru kemudian jika mati itu datang sendiri, bukan salah kami.”
“Cukup,” teriak salah seorang di antara kedua orang itu, “kami sudah muak mendengar kata-kata kalian.”
Mahisa Murti tertawa semakin keras. Katanya, “jangan marah. Kau akan mengalami kesulitan jika kau bertempur sambil marah.”
Orang itu tidak menahan dirinya lagi. Dengan tangkasnya ia segera meloncat menyerang Mahisa Murti. Mahisa Murti meloncat mundur. Namun, ia sudah bersiap sepenuhnya. Namun, karena lawannya masih belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun tidak mempergunakan senjata pula. Mereka bertempur atas dasar kemampuan mereka tanpa mengandalkan kelebihan senjata-senjata mereka.
Namun, salah seorang dari kedua orang itu masih sempat berteriak, “bertempurlah bertiga.”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Tidak. Adikku masih terlalu letih. Ia baru saja membunuh tujuh orang di dekat pasar. Ia telah bertempur seorang diri melawan sekelompok orang yang ingin membunuhnya.”
“Pasar yang mana?” bertanya orang itu.
“Aku tidak tahu. Di sini kami menjadi bingung. Tetapi pokoknya dekat pasar.”
Lawan Mahisa Murti itu justru meloncat menjauh. Katanya sambil tertawa, “Kau selalu berbohong untuk menutupi kekuranganmu. Kami tahu perjalanan yang baru saja kalian tempuh. Tidak ada perkelahian kecuali kalian melawan tikus-tikus kecil ini.”
“Terserah kepadamu. Kau dapat ingkar atau dapat memutar balikkan kenyataan. Tetapi, jika kau ingin terjun lepaskanlah segala mimpimu tentang kitab itu, karena kau akan mati.”
Orang itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia pun telah menyerang kembali Mahisa Murti yang menempatkan diri untuk melawannya, sementara yang lain masih saja bertempur melawan Mahisa Pukat dengan garangnya. Dengan kekuatannya yang sangat besar, lawan Mahisa Pukat itu berusaha untuk meremukkan tulang-tulang Mahisa Pukat.
Karena itu, maka orang itu hampir tidak pernah menghindari serangan-serangan lawannya. Tubuhnya yang besar, tinggi dan kekar itu merupakan jaminan bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi dan memiliki kekuatan yang sangat besar.
Namun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Meskipun setiap serangannya membentur kekuatan lawannya. Mahisa Pukat sendiri memang belum mengerahkan ilmunya. Ia masih mempergunakan kemampuan tenaga cadangannya yang memang sangat besar.
Lawannya pun menjadi heran. Ia merasa bahwa kekuatannya tidak akan dapat diimbangi oleh siapa pun juga. Ia berharap bahwa dengan satu pukulan anak muda itu akan jatuh terjerembab dan dengan kakinya ia akan dapat membuat anak muda itu kehilangan kemampuan melawan karena tulang punggung nya patah. Seandainya ia masih akan tertolong, tetapi untuk selanjutnya ia tidak akan mengganggu lagi. Namun kemudian katanya di dalam hati, “Tidak akan pernah ada orang yang dapat lolos dari tanganku. Juga orang itu. Ia akan mati dan terkapar di tanggul parit.”
Tetapi, ketika mereka bertempur semakin sengit, ternyata bahwa orang itu tidak segera mampu menguasai Mahisa Pukat. Bahkan dalam benturan-benturan berikutnya, orang itu merasa semakin sulit. Demikian pula lawan Mahisa Murti. Dalam keseluruhan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru semakin mendesak lawannya. Kedua orang itu memang merasa heran. Kedua orang lawan mereka itu masih muda. Namun, keduanya ternyata memiliki kemampuan dan ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka kedua orang yang merasa diri mereka tidak terkalahkan itu telah merambah ke tataran ilmu yang lebih tinggi. Mereka mulai menunjukkan kemampuan mereka diatas kemampuan wajar seseorang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasakan perbedaan pada tingkat kemampuan ilmu lawannya. Rasa-rasanya lawan mereka itu mampu bergerak lebih cepat, sehingga sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tersentuh serangan mereka.
Mahisa Semu yang ada di luar arena memperhatikan pertempuran itu dengan tegang. Mula-mula ia masih mampu menilai kemampuan masing-masing. Mahisa Semu masih mampu melihat unsur-unsur gerak pada ilmu yang dipergunakan oleh kedua belah pihak. Namun kemudian tata gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan tubuh-tubuh mereka pun menjadi seakan-akan semakin ringan.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka Mahisa Murti pun harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi tata gerak lawannya. Sementara itu Mahisa Murti masih harus menjajagi pula kekuatan lawannya. Jika lawannya mulai merambah ke ilmunya, yang dapat membuat kekuatannya berlipat ganda, maka Mahisa Murti harus memperhitungkan sebaik-baiknya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat pun harus mengerahkan kemampuannya. Lawannya juga mampu bergerak lebih cepat. Semakin lama semakin cepat. Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Pukat dengan lawannya itu berlangsung semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga kaki mereka pun seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat yang memiliki landasan berbagai ilmu di dalam dirinya itu, telah berusaha untuk tidak berada pada tataran dibawah tataran ilmu lawannya. Karena itu, betapa cepatnya lawannya bergerak, Mahisa Pukat selalu mampu mengimbanginya. Bahkan sekali-sekali dengan mengejutkan lawannya, Mahisa Pukat menyerang dengan kekuatan yang sangat besar, dari arah yang tidak terduga.
Tetapi, lawannya ternyata tidak mudah untuk dapat ditundukkannya. Setiap kali Mahisa Pukat masih saja gagal menyentuh tubuh lawannya itu. Namun, lawannya pun tidak sempat pula mengenainya betapa pun ia mengerahkn kemampuannya. Dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan sangat cepat dan dengan kekuatan yang sangat besar.
Mereka berloncatan menyambar-nyambar. Tangan mereka bergerak-gerak melontarkan serangan yang keras. Kaki mereka pun sekali-sekali terayun menyambar ke arah tubuh lawannya. Tetapi, mereka masing-masing tidak segera berhasil mengenai sasarannya.
Mahisa Semu menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa dirinya masih jauh ketinggalan sehingga ia tidak dapat mengerti, apa yang sedang terjadi. Meskipun sekali-sekali ia menjadi cemas dan bahkan ngeri melihat pertempuran itu, namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Di arena pertempuran yang lain, ternyata lawan Mahisa Murti lebih cepat kehilangan kesabaran. Karena Mahisa Murti tidak segera dapat dikalahkannya, maka orang itu benar-benar sudah tidak membuang-buang waktu lagi. Ia tidak saja meningkatkan kekuatan dan kecepatan geraknya, tetapi orang itu benar-benar telah memasuki ilmunya yang garang.
Ketika ia terdesak oleh serangan Mahisa Murti yang datang beruntun, yang hampir saja dapat mengenainya, maka orang itu telah meloncat menjauh. Ia memerlukan waktu sekejap untuk memusatkan nalar budinya, membangunkan ilmunya yang dahsyat. Mahisa Murti yang siap memburunya, justru tertegun. Ia tidak ingin membentur kekuatan di luar kemampuannya jika lawannya telah mempergunakan ilmu yang tinggi.
Sejenak Mahisa Murti melihat lawannya itu mengatupkan telapak tangannya. Kemudian menggosok-nggosokannya. Ketajaman penglihatan Mahisa Murti menangkap seakan-akan tangan itu telah membara, sehingga tangan itu tentu akan dapat memancarkan panas yang tinggi.
“Apakah hanya telapak tangannya atau seluruh tubuhnya” bertanya Mahisa Murti di dalam hatinya. Namun Mahisa Murti memang ingin mencobanya.
Beberapa saat kemudian, orang itu telah menyerang pula dengan garangnya. Dengan telapak tangannya ia berusaha mengenai tubuh Mahisa Murti. Bahkan di saat-saat Mahisa Murti menyerang pun orang itu selalu berusaha untuk menangkis dengan telapak tangannya.
Tetapi, akhirnya Mahisa Murti dapat mengetahui, bahwa yang membara hanyalah pada telapak tangannya. Pada bagian tubuhnya yang lain sama sekali tidak terpancarkan udara panas. Sehingga karena itu, maka ia harus menjaga agar tubuhnya tidak tersentuh telapak tangan itu. Namun, lawannya itu ternyata semakin lama semakin berbahaya bagi Mahisa Murti, karena seakan-akan ia mampu bergerak semakin cepat, sehingga Mahisa Murti menjadi semakin sulit menghindari serangan-serangannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak dapat membiarkan dirinya menjadi korban kegarangan orang itu. Ilmu yang dipilihnya untuk melawan ilmu lawannya itu adalah ilmunya yang disadapnya dari ayahnya. Tetapi, karena Mahisa Murti menyadari kedahsyatan ilmu itu, maka ia tidak berniat untuk mempergunakan dalam tataran tertinggi.
Demikianlah, maka dalam pertempuran selanjutnya Mahisa Murti yang selalu menghindari sentuhan tangan lawannya, suatu saat telah meloncat untuk mengambil jarak. Dalam saat yang singkat, ia telah berusaha untuk mempersiapkan ilmunya.
Ketika lawannya itu menyerang, maka Mahisa Murti telah meloncat sambil mengayunkan tangannya. Namun, sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti merasa ragu-ragu untuk membentur lawannya dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya, meskipun hanya dengan mempergunakan sebagian dari tangannya. Ternyata keragu-raguannya itu telah menimbulkan kesulitan pada dirinya. Karena keragu-raguan itu telah mengekangnya di saat ia benar-benar telah siap mengayunkan tangannya sambil meloncat.
Karena keragu-raguan itu, maka lawannya yang sedang menyerangnya itu sempat menggeliat. Dengan demikian, maka ia telah terlepas dari garis serangan Mahisa Murti. Sementara itu ketika Mahisa Murti menyadari kesalahannya, orang itu justru telah menyerangnya dari sisi lain. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelak. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah menangkis serangan yang datang dengan tiba-tiba itu dengan lengannya.
Satu benturan keras telah terjadi. Lawan Mahisa Murti itu bergetar. Beberapa langkah ia surut. Sesaat ia memang terhuyung karena kehilangan keseimbangan. Tetapi, ternyata bahwa ia mampu memperbaiki keadaannya, sehingga ia tidak jatuh terlentang. Namun dalam pada itu, sentuhan telapak tangan yang membara itu telah mengenai lengan Mahisa Murti. Panasnya justru melebihi bara sehingga kulit Mahisa Murti telah terkelupas karenanya. Betapa perasaan pedih telah menggigit tangannya itu.
Tetapi, gigitan pedih di lengannya yang terkelupas itu ternyata telah membuat Mahisa Murti menjadi sangat marah. Dengan meningkatkan tenaga cadangannya Mahisa Murti telah meningkatkan pula daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit. Tetapi, perasaan sakit pada kulitnya yang terkelupas itu ternyata masih saja terasa menyengat. Karena itulah, maka keragu-raguannya itu pun telah lenyap sama sekali. Apalagi ketika ia melihat lawannya itu telah bersiap lagi. Nampaknya lawannya benar-benar ingin membinasakannya.
Tetapi, Mahisa Murti yang kesakitan itu tidak ingin mengalaminya lagi. Karena itu, maka ia pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia harus membalas tanpa dapat dilukai lagi. Mahisa Murti yang telah bersiap itu memang telah menunggu serangan lawannya.
Orang itu telah meloncat dan mengayunkan kedua tangannya mengarah ke leher Mahisa Murti. Rasa-rasa-nya dengan tangan yang membara itu, lawan Mahisa Murti itu akan mencekiknya sampai mati. Menghentikan pernafasannya dan sekaligus membakar leher itu.
Kemarahan Mahisa Murti serta bayangan kematian yang mengerikan itu, telah mendorong Mahisa Murti untuk melepaskan ilmunya tanpa ragu-ragu meskipun tidak dengan sepenuh tenaga. Ketika tangan itu menyambarnya, maka dengan tangkasnya Mahisa Murti telah merendah sambil bergeser ke samping, sehingga tangan yang rasa-rasanya telah yakin akan menggapai kemenangan itu, sama sekali tidak menyentuhnya. Lawannya itu memang menggeliat sambil menggapai tubuhnya yang mana pun yang dapat disentuhnya. Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan jarak itu.
Tetapi, ia tidak membiarkan lawannya itu terlepas dari tangannya. Karena itu, demikian kedua kaki lawannya itu menginjak tanah, maka Mahisa Murti telah meloncat menyerangnya dengan kemarahan yang membakar jantung. Namun, ilmu yang dipersiapkan memang bukan memuat seluruh kekuatan yang ada. Karena itu, maka yang terlontar pun hanyalah sebagian saja dari bobot ilmunya itu.
Namun, yang tidak sepenuhnya itu ternyata tidak terduga sama sekali oleh lawannya. Ketika Mahisa Murti meluncur dengan ilmunya, maka lawannya itu pun berusaha untuk menangkis serangan itu dengan telapak tangannya. Namun ternyata ia terlambat. Demikian tangannya bergerak, serangan Mahisa Murti telah menimpanya. Demikian kerasnya, sehingga rasa-rasanya tubuh orang itu bagaikan tertimpa gunung. Orang itu telah terpelanting bukan hanya satu dua langkah. Tetapi, beberapa langkah lebih jauh. Bahkan untuk selanjutnya, orang itu tidak bangkit sama sekali.
Mahisa Murti kemudian berdiri termangu-mangu memandang lawannya yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia melangkah mendekatinya. Namun selangkah dari tubuh yang terkapar itu ia berhenti. Ternyata menurut penglihatannya orang itu telah kehilangan segala kemungkinan untuk diselamatkan. Agaknya Mahisa Murti benar-benar telah mengenainya di tempat yang paling gawat.
Di luar sadarnya, kemarahan Mahisa Murti telah berpengaruh kepada ilmunya, Karena itu, meskipun tidak dikehendakinya, namun pukulan Mahisa Murti itu telah mematahkan tulang punggung dan beberapa tulang iga yang berpatahan pula. Memang ada penyesalan di hati Mahisa Murti. Tetapi, ia tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi di saat ia benar-benar sedang marah.
Sementara itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih bertempur. Ternyata kedua belah pihak telah mempergunakan senjata mereka. Pedang. Namun, pedang Mahisa Pukat memang tidak sebaik pedang lawannya. Pedang Mahisa Pukat terbuat dari baja, tetapi tidak mengalami penyempurnaan seperti pedang lawan Mahisa Pukat itu yang buatannya memang mirip dengan sebuah keris yang besar.
Lawan Mahisa Pukat itu nampaknya terlalu percaya kepada senjatanya. Itulah sebabnya maka ia telah menyerang Mahisa Pukat dengan garangnya. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali senjata itu mematuk ke arah dada. Apalagi ketika dilihatnya senjata Mahisa Pukat yang tidak lebih dari sebilah pedang buatan pandai besi di pasar-pasar. Tetapi, orang itu lupa menilai kemampuan Mahisa Pukat itu.
Sejenak kemudian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Lawan Mahisa Pukat itu juga melihat, bahwa kawannya yang seorang itu sudah dapat dikalahkan. Namun, ketika hal itu disinggung oleh Mahisa Pukat, orang itu justru membentak,
“Aku tidak peduli dengan orang yang bodoh itu sehingga ia telah terbunuh sendiri.”
“Sebaiknya kau menyerah” berkata Mahisa Pukat.
“Nilai kitab itu sama dengan nilai nyawaku” geram orang itu.
Mahisa Pukat menjadi marah. Apalagi ketika ujung pedang itu hampir saja menyentuh tubuhnya. Demikianlah, maka kedua orang itu bertempur semakin sengit. Dalam keadaan yang mulai terdesak, maka lawan Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan ia pun telah mengerahkan ilmunya pula.
Mahisa Pukat termangu-mangu ketika ia melihat pedang lawannya itu menjadi merah membara. Sementara itu, udara panas pun seakan-akan telah disebarkan di sekeliling pedang itu. Karena itulah, maka rasa-rasanya Mahisa Pukat itu telah dihembus oleh panas yang semakin lama semakin terasa.
Mahisa Murti yang telah menyelesaikan lawannya serta Mahisa Semu mulai menjadi cemas melihat Mahisa Pukat yang selangkah demi selangkah bergeser surut.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Namun, ia pun telah melangkah semakin lama semakin dekat. Beberapa langkah dari arena itu, maka ia melihat pertanda, betapa Mahisa Pukat itu merasa dirinya terpanggang diatas api. Keringatnya mengalir dengan derasnya, sementara kulitnya bagaikan menjadi kering. Mahisa Murti memang menjadi cemas. Karena itu, maka ia pun justru menjadi semakin mendekat.
Lawan Mahisa Pukat itu tiba-tiba saja telah berteriak, “Ayo. Jika kau ingin bertempur berpasangan, aku tidak berkeberatan. Majulah kalian bertiga.”
Orang itu mulai menggerakkan senjatanya. Sebenarnyalah bahwa terasa udara panas telah menghembus ke arah Mahisa Murti. Karena itulah maka ia sadari kesulitan yang dialami oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu kemarahan Mahisa Pukat telah menjadi semakin membakar jantungnya. Lebih panas dari udara yang dipancarkan di seputar ujung pedang lawannya itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Ketika udara panas itu memburunya kemana pun ia beranjak, maka ia mulai menjadi muak.
“Kau telah memancing kematianmu sendiri,” geram Mahisa Pukat, “tetapi mudah-mudahan ilmumu cukup tinggi untuk menghindari kematian itu.”
Sesaat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat mengambil jarak. Ia tidak lagi memegang senjatanya di tangannya. Karena pedangnya memang pedang kebanyakan, maka diletakkannya saja pedangnya itu di tanah.
Lawannya termangu-mangu sejenak. Ia melihat Mahisa Pukat bersiap. Namun, segala sesuatunya telah terlambat. Mahisa Pukat telah siap melepaskan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang dapat dipergunakan untuk melontarkan kekuatan yang dahsyat dari dalam dirinya serta menyadap kekuatan dari alas di sekitarnya.
Ketika lawannya dengan pedangnya itu meloncat menyerang, maka Mahisa Pukat telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya yang telah mengacukan pedangnya yang mampu melepaskan udara panas itu. Demikianlah, maka dari telapak tangan Mahisa Pukat itu seakan-akan telah memancar cahaya yang berkilat meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, menyambar dada lawannya itu.
Yang terdengar adalah jerit kesakitan. Tubuh orang itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Sejenak suasana menjadi tegang. Namun, orang itu telah terbaring diam tanpa bergerak sama sekali.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu justru menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa kakak angkatnya itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. “Agaknya yang dikatakan bukan sekedar kebohongan atau sekedar menakuti-nakuti lawan, bahwa ilmunya telah setingkat dengan isi kitab itu, sehingga ia memang tidak memerlukan kitab itu sama sekali.”
Demikianlah maka kedua orang itu telah terbunuh. Keduanya mati oleh ilmu yang memang sangat sulit untuk dilawan.
Dalam pada itu, orang-orang yang datang terdahulu memang menjadi sangat berdebar-debar. Kemarahan anak-anak muda itu akan dapat diarahkan kepada mereka sepeninggal kedua orang yang ingin merampas kitab itu pula.
Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun, Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati Mahisa Pukat yang tertegun melihat sasarannya.
“Aku telah membunuhnya” berkata Mahisa Pukat.
“Apa boleh buat,” desis Mahisa Murti, “aku pun telah melakukan hal yang sama.”
Mahisa Semu termangu-mangu-pula. Ia melihat kedua saudara angkatnya itu menyesal atas pembunuhan yang mereka lakukan. Bagi Mahisa Semu, membunuh dalam pertempuran seperti itu adalah wajar. Pada saat-Saat jiwanya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan, rasa-rasanya setiap orang yang menang merasa berhak membunuh yang kalah. Menurut penglihatannya, maka yang menang selalu mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja.
Tetapi, ternyata ada perasaan lain pada kedua saudara angkatnya itu. Membunuh bukanlah sesuatu yang dapat menyenangkan mereka. Bahkan mereka menyesal karena mereka telah membunuh, meskipun yang dibunuh itu orang-orang yang hendak membunuh mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Semu sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, sejenak kemudian Mahisa Murti telah berpaling kepada orang-orang yang memburu kitab itu, yang datang lebih dahulu dari kedua orang yang terbunuh itu. Bahkan Mahisa Murti pun telah melangkah maju perlahan-lahan mendekati mereka.
Orang-orang itu menjadi tegang. Mereka sebenarnya tidak takut mati. Namun melihat sikap Mahisa Murti, rasa-rasanya jantung mereka berdegup semakin keras. Namun, mereka justru menjadi heran ketika mereka mendengar Mahisa Murti itu berkata,
“Ki Sanak. Kalian adalah kawan-kawan kedua orang itu. Meskipun nampaknya hubungan kalian tidak begitu akrab, namun kalian telah mengenal mereka. Karena itu, maka kami serahkan sosok tubuh mereka kepada kalian. Apakah kalian akan menguburkannya atau tidak. Sementara itu kami akan meneruskan perjalanan kami, menjelajahi hutan dan ngarai,” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi ingat. Jangan sekali-sekali berusaha menemukan kitab itu. Apalagi berusaha merampas kitab itu dari tanganku. Penulis kitab itu pun tidak akan dapat mengalahkan aku. Seandainya ia mampu melakukannya, tetapi orang itu tidak akan dapat mengalahkan guruku. Siapa pun yang berani menentang aku, harus bersiap-siap menentang seluruh perguruanku. Kau dengar?”
Orang-orang itu mengangguk dalam-dalam. Sementara itu pemimpinnya berkata, “Kami mengerti. Kami sekarang percaya bahwa isi kitab itu bukan segala-galanya. Kalian yang mempergunakan ilmu dari jalur lain, ternyata memiliki tataran yang sangat tinggi. Seandainya jika bukan kalian sendiri, maka guru kalian tentu akan dapat mengalahkan orang yang menulis kitab itu. Puncak dari jalur ilmu yang tertulis di kitab itu tidak akan dapat disejajarkan dengan puncak ilmu pada jalur perguruan kalian.”
“Nah, jika demikian maka kalian tentu tidak akan heran jika kami akan membinasakan kitab itu. Kitab yang tidak banyak berarti, tetapi sudah banyak merenggut jiwa. Dengan demikian maka kitab itu merupakan pertanda yang tidak baik.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka memang tidak lagi dapat mencegah atau berbuat apa pun tentang kitab itu. Karena itu maka pemimpinnya berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Sanak.”
“Baiklah. Sekarang lakukan sesuatu atas kedua orang itu. Kami akan melanjutkan perjalanan. Kami berpisah dan selanjutnya tidak akan bertemu lagi. Jika kita bertemu lagi, mungkin kami sudah berubah pendirian dan menganggap bahwa sudah sepantasnya kalian dibunuh” berkata Mahisa Murti.
Orang-orang itu masih berdiam diri. Meskipun mereka tidak takut menghadapi kematian, namun terasa tengkuk mereka meremang. Mereka pun menyadari, bahwa anak-anak muda itu tidak akan sungguh-sungguh mengancam mereka untuk membunuhnya, tetapi yang dikatakan itu adalah ungkapan kesungguhan mereka untuk tidak mau bertemu lagi. Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah meninggalkan orang-orang yang termangu-mangu itu.
Sambil memandangi ketiga orang anak muda yang berjalan semakin jauh itu, pemimpinnya berdesis, “Mereka adalah orang-orang yang aneh. Ternyata mereka tidak mendapat kepuasan dengan membunuh. Jarang kita bertemu dengan orang-orang seperti mereka, apalagi yang memiliki ilmu yang tinggi.”
Seorang di antara mereka menyahut, “Mereka tentu murid-murid dari perguruan putih. Mereka menyadap bagi satu kepentingan yang luas.”
Pemimpinnya itu mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian segera teringat kepada kedua orang yang terbunuh. “Kuburkan mereka,” berkata pemimpinnya, “aku akan merawat kawan-kawan kita yang terluka.”
Orang-orang yang masih mempunyai kekuatan untuk melakukan pekerjaan itu pun segera melakukannya. Mereka tidak merasa perlu mencari kuburan. Tetapi, mereka telah membawa dua sosok mayat itu ke sebuah gumuk kecil yang berada di bulak itu.
Dengan alat apa saja yang ada, maka mereka telah menggali batu-batu padas yang keras. Kemudian membaringkan kedua orang itu serta menimbuninya. Karena lubang kubur itu terlalu dangkal, maka mereka telah menimbuninya pula dengan bebatuan, agar kuburan itu tidak digali oleh binatang liar.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah meninggalkan tempat itu semakin jauh. Namun dengan demikian mereka menyadari, bahwa kitab yang dibawanya itu menjadi rebutan dari sekelompok murid di satu perguruan. Meskipun kitab itu tidak terlalu mengagumkan, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengakui, bahwa ada beberapa hal yang barangkali akan dapat sangat berarti bagi mereka jika mereka sempat mempelajarinya.
Demikianlah dalam perjalanan selanjutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha mengenali isi kitab itu lebih banyak lagi. Sementara itu, maka keduanya pun tidak melupakan kesediaan mereka untuk menempa Mahisa Semu.
“Kau ikuti dahulu jalur perguruanku,” berkata Mahisa Murti, “kelak, jika kau sudah mampu memilahkan unsur-unsur yang ada di dalam ilmu yang satu dengan yang lain, kau dapat mempelajari isi kitab itu pula.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kedua saudara angkatnya. Sementara itu, ia pun mengerti bahwa kedua saudara angkatnya itu telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk membimbingnya.
“Aku dapat mencapai separuh saja dari kemampuan kedua saudara angkatku, aku sudah dapat dengan dada tengadah kembali kepada ibu dan berkata kepada paman bahwa aku dapat juga menjadi seorang laki-laki,” berkata Mahisa Semu kepada diri sendiri. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi aku tidak akan tinggal bersama mereka. Aku akan mengikut saja ke mana kedua orang saudara angkatku ini pergi. Rasa-rasanya keduanyalah yang telah berhasil melahirkan aku kembali setelah menguburkan cara hidupku yang lama.”
Dalam pada itu, dengan ancar-ancar dan arah, puncak-puncak gunung dan pengenalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagai pengembara dan lebih dari itu, sebagai petugas sandi dari Kediri, maka mereka segera tahu, arah manakah yang harus mereka tempuh. Betapa pun jauhnya, namun mereka tidak akan takut tersesat.
Sementara itu, mereka bertiga dapat saja tidur di mana pun juga. Hanya jika langit nampak sangat gelap oleh awan yang basah, maka ketiga anak muda itu berusaha untuk dapat bermalam di banjar-banjar padukuhan. Namun, mereka juga dapat bermalam di gubug-gubug kecil di sawah. Meskipun kadang-kadang mereka juga berdebar-debar melihat dan mendengar guntur yang meledak di langit.
“Tidak ada ilmu yang dapat melawan Petir dan guntur di langit” berkata Mahisa Murti.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Semu berkata, “Alangkah dahsyatnya jika kita dapat menciptakan ilmu yang mampu menyerap inti kekuatan guntur dan petir.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada tinggi Mahisa Murti berkata, “Seandainya ada seseorang yang dapat menyerap dan kemudian melontarkan kekuatan petir, maka agaknya sulit dibayangkan bahwa orang itu tidak akan menjadi congkak, dan bahkan barangkali akan lupa sangkan paraning dumadi. Meskipun Kuasa Yang Tertinggi akan dengan mudah dapat memadamkan kemampuan itu dalam waktu sekejap, namun jika orang itu dapat mempergunakan kesempatan sebelum kemampuan itu padam, maka dunia ini akan rusak karenanya.”
Mahisa Semu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kemungkinan itulah yang dapat terjadi. Jarang sekali orang yang memiliki kelebihan sempat mempergunakan kelebihannya untuk kepentingan yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Apalagi mempunyai arti bagi hubungan mereka dengan Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sikap itu ternyata mempunyai arti tersendiri bagi kedua orang anak muda itu. Bagi mereka, ternyata Mahisa Semu telah memiliki pembawaan sifat yang baik, sehingga mereka tinggal memupuknya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Tetapi di samping memupuk ilmu Mahisa Semu, mereka pun berkewajiban memupuk sikapnya yang baik itu. Karena bagaimanapun juga, sikap seseorang menghadapi gejolak kehidupan ini akan mungkin dapat berubah.
Sebagaimana sebelumnya, maka dalam perjalanan itu, Mahisa Semu masih terus berlatih. Kadang-kadang mereka dengan sengaja memilih jalan yang berat, yang terjal dan rumit. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari naik ke punggung bukit. Dengan demikian maka mereka telah melatih daya tahan tubuh mereka.
Di saat-saat tertentu mereka pun telah melatih jalan pernafasan mereka. Bukan saja bagi kepentingan jalur pernafasan serta irama pernafasan itu sendiri, tetapi dalam hubungannya dengan peredaran darah serta getar jantung di dada mereka. Dengan demikian maka peningkatan kemampuan Mahisa Semu itu pun berlangsung dan berkelanjutan di setiap hari. Selapis demi selapis. Meskipun tidak terlalu cepat, tetapi meyakinkan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga menyempatkan diri mempelajari ilmu yang tertulis di dalam kitab itu. Menurut pendapat kedua anak muda itu, sebenarnya tidak ada tanda-tanda bahwa ilmu yang tertulis di kitab itu cenderung mendorong untuk melakukan kekasaran dan apalagi penindasan. Terlebih-lebih lagi jika orang-orang yang mengikuti jalur ilmu sebagaimana tertulis dalam kitab itu sempat mempelajari bagian ke lima yang merupakan bagian terakhir.
“Sejak semula aku sudah berpendapat bahwa seharusnya sejak bagian pertama, orang-orang yang mempelajari isi kitab ini harus sudah mempunyai pijakan sebagaimana tertulis di bagian terakhir” berkata Mahisa Murti.
“Nampaknya akibat dari kesalahan orang yang menulis kitab ini, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Orang-orang yang sudah mempelajari ilmu sampai kepada tingkat yang sejajar dengan bagian yang kedua, namun tidak disertai landasan sebagaimana tersebut dalam bagian kelima, maka mereka telah tersesat jalan. Mereka lebih dahulu merasa menjadi seorang yang tidak ada tandingnya sehingga merasa paling berkuasa di dalam kehidupan sesama ini, dari pada merasa betapa dirinya tidak lebih dari debu yang tidak berarti di hadapan Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun, ia pun kemudian berkata, “Nampaknya yang menulis kitab ini, meskipun ia sendiri tidak meninggalkan kehidupan yang tetap terikat pada hubungannya dengan Yang Maha Agung, namun ia bukan seorang yang di setiap saat merasa dirinya dekat dengan yang Maha Agung itu. Karena itu maka hubungannya dengan Yang Maha Agung tidak terasa terdapat di setiap tarikan nafasnya. Pada bagian terakhir dari kerja besarnya menyelesaikan kitab itu, barulah ia teringat kepada Yang Maha Agung itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Karena itu bagi keduanya kitab itu susunannya memang kurang baik, sehingga menurut keduanya sebaiknya kitab itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin menolong mempertahankan jalur perguruan itu, maka mereka harus bersedia menulis isi kitab itu kembali.
Sejak pada bagian pertama, maka orang yang mempelajari isi kitab itu harus sudah selalu merasa dirinya berada dibawah perlindungan dari Yang Maha Agung, sehingga pendekatan itu terjadi sejak awal sekali. Orang yang mempelajari ilmu itu, betapa pun mereka semakin tinggi kemampuannya, namun mereka tidak akan dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Penciptanya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar bertekad untuk mempertahankan kitab itu agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Meskipun ia tidak benar-benar ingin membinasakan kitab itu, tetapi tidak akan ada orang lain yang akan sempat membaca isinya sebagaimana yang tertulis di dalam kitab itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun semakin lama semakin menunjukkan kelebihannya. Ternyata di masa remajanya, anak itu telah menyimpan sesuatu yang berharga di dalam dirinya, namun yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk diungkapkannya.
Ternyata ketika kesempatan itu datang, maka segera nampak bahwa kemampuan yang tersimpan itu ternyata terlalu besar sehingga dengan cepat dapat dikembangkannya dengan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih muda, tetapi sudah memiliki pengalaman yang luas serta ilmu yang sangat tinggi.
Di setiap hari, ketiga orang itu selalu berusaha untuk berada di tempat yang terasing agar Mahisa Semu sempat berlatih. Sehingga dengan demikian maka saat-saat peningkatan ilmu itu tetap teratur dan mapan.
Di saat-saat seperti itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu dengan sungguh-sungguh memberikan persoalan-persoalan baru kepada adik angkatnya itu. Selain unsur-unsur gerak yang semakin meningkat, juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapinya jika ia benar-benar bertemu dengan lawan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjukkan kepada adik angkatnya itu, berbagai unsur gerak yang akan dapat ditemuinya dalam pertempuran. Lawannya tentu tidak akan mempergunakan unsur gerak yang sama sebagaimana dilakukannya, sehingga kadang-kadang yang terjadi di medan adalah sesuatu yang tidak diduga sebelumnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukan saja memberikan unsur-unsur gerak pada jalur ilmunya, tetapi mereka telah memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkannya, terutama jika ia berhadapan dengan orang-orang berilmu dalam pertempuran yang sebenarnya. Mahisa Semu dapat memberikan beberapa macam gerak yang melengkapi setiap unsur sesuai dengan pembawaan dan kebiasaannya.
Mungkin ada bagian-bagian tubuh Mahisa Semu yang paling dikuasainya, namun ada yang agak sulit, sehingga dengan demikian Mahisa Semu harus menyesuaikan unsur-unsur itu dengan kemungkinan yang ada di dalam dirinya.
Ternyata kecerdasan Mahisa Semu memungkinkannya. Ia tidak dengan membuta saja mempergunakan unsur-unsur gerak sebagaimana diajarkan oleh kedua saudara angkatnya. Tetapi, dalam latihan-latihan yang dilakukan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kadang-kadang harus memperagakan ilmu yang lain dengan unsur gerak yang lain pula dari ilmu mereka, telah memberikan pandangan yang lebih luas pada Mahisa Semu tentang ilmu yang sedang dipelajarinya.
Demikianlah dari hari ke hari, kemampuan Mahisa Semu semakin bertambah-tambah. Ia pun menjadi semakin cepat berpikir dan semakin cerdik menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tiba-tiba muncul. Dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat yakin bahwa pada suatu saat Mahisa Semu akan menjadi seorang yang pilih tanding.
Karena itu, maka mereka tidak menyesal, bahwa mereka telah membawa anak muda itu bersama mereka untuk disiapkan menjadi pimpinan padepokan, membantu mereka berdua. Namun, sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mendapat sedikitnya dua orang yang lebih muda dari Mahisa Semu. Tetapi, kehadiran Mahisa Semu telah memberikan separuh jawaban yang diperlukannya tentang kepemimpinan masa depan, meskipun dengan selisih waktu yang kecil.
Dalam pada itu, ketiga orang anak muda itu telah menempuh jalan yang panjang. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Ayah tentu akan marah jika kita terlalu lama pergi. Ayah tidak sempat menengok rumah kita di Singasari, serta melakukan pekerjaannya. Meskipun ayah telah tua, tetapi nampaknya ayah masih segan untuk meninggalkan pekerjaannya sama sekali. Meskipun kadang-kadang ayah mengangguk-angguk jika kita minta, tetapi suatu ketika ayah masih juga mengunjungi kawan-kawannya untuk menawarkan barang-barang dagangannya itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “ayah memang aneh. Meskipun sudah tua, tetapi rasa-rasanya ia masih mampu berbuat banyak. Ia masih mampu menunjukkan kepada orang lain bahwa ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sementara itu, tenaganya memang masih utuh, atau setidak-tidaknya sebagian besar masih ada.”
“Ya,” sahut Mahisa Murti, “jika kita paksa agar ayah beristirahat saja atau sebagaimana diminta oleh kakang Mahisa Bungalan untuk berada di Sangling, ayah selalu mengatakan bahwa jika tidak berbuat apa-apa, maka pertanda kematian sudah mendekat.”
“Mahisa Pukat tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Ayah memang tidak akan mungkin diam.”
Meskipun demikian kedua orang anak muda itu memang telah berjalan ke arah padepokan mereka. Meskipun masih terlalu jauh. Namun, anak-anak muda itu telah bertekad untuk sambil berjalan kembali ke padepokan, mereka telah Tapa Ngrame. Satu laku untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada sesama. Tapa Ngrame adalah satu laku yang diujudkan dengan kesediaan mereka memberikan pertolongan kepada orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan mereka dalam tujuan yang baik.
Mereka tidak saja menolong orang-orang tua yang terlalu berat memanggul beban di pundaknya, tetapi mereka juga menolong orang-orang yang sakit, sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan sedikit pengetahuan tentang obat-obatan sebagaimana mereka pelajari dari ayah mereka, maka mereka berusaha membantu orang-orang yang memerlukan.
Ketiga orang anak muda itu dengan kesungguhan hati telah membantu seorang yang kebetulan mendapat kesulitan dengan pedatinya yang tiba-tiba saja rodanya terlepas di jalan yang berlumpur. Dengan bantuan ketiga anak muda itu, maka pemilik pedati itu dapat mempergunakan pedatinya kembali meskipun harus berhati-hati.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata seorang laki-laki separuh baya yang membawa pedati itu, “jika tidak kalian tolong maka lembuku itu akan dapat mati terhimpit.”
“Kami sekedar melakukannya Ki Sanak” jawab Mahisa Murti.
“Siapakah kalian anak-anak muda. Satu kebetulan bahwa anak-anak muda lewat jalan ini. Jika aku harus berlari-lari ke padukuhan minta pertolongan, agaknya aku akan terlambat.”
“Kami tiga orang bersaudara yang memang sedang mengembara Ki Sanak. Kami tidak mempunyai tujuan selain sekedar mengikuti langkah kaki” jawab Mahisa Murti.
“Jika demikian, apakah Ki Sanak bersedia singgah di rumah kami betapa pun jeleknya,” minta orang itu. Lalu katanya pula, “Lihat langit mulai mendung. Matahari telah turun. Sebentar lagi senja akan datang, sementara hujan turun. Kalian bermalam di rumahku malam ini. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia telah menengadahkan wajahnya ke langit. Memang awan yang hitam telah membayangi langit. Rasa-rasanya hari terlalu cepat sampai ke ujungnya. Karena itu, maka katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Agaknya memang lebih baik menerima ajakanmu daripada basah kuyup oleh hujan semalam suntuk.”
Pemilik pedati itu tertawa. Katanya, “Jika demikian marilah.”
Ternyata bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun sependapat. Sekali-sekali mereka sempat tidur di ruangan yang hangat dan tidak basah oleh embun, apalagi hujan yang lebat. Demikianlah, maka ketiga anak muda telah mengikuti pedati yang berjalan perlahan-lahan. Pemilik pedati itu juga tidak naik diatas pedatinya. Ia harus menjadi lebih berhati-hati agar rodanya tidak terlepas lagi dari porosnya.
Namun, ketika mereka sampai di rumah orang yang mempersilahkan ketiga anak muda itu singgah, mereka terkejut. Dilihatnya seorang perempuan yang menangis di serambi rumah itu. Rumah yang memang tidak begitu besar. Bahkan rumah yang nampak kotor dan tidak terawat.
“Kenapa orang itu” desis pemilik pedati itu demikian mereka memasuki regol halaman rumahnya.
“Siapa orang itu?” bertanya Mahisa Murti diluar sadarnya.
“Bekas isteriku” jawab orang itu.
“Oo” Mahisa Murti tidak bertanya lebih panjang lagi.
Dengan tergesa-gesa pemilik pedati itu mendekati perempuan yang sedang menangis itu. “Ada apa?” bertanya pemilik pedati itu.
“Aku minta maaf. Anakmu terjerat oleh orang yang selama ini bersikap sangat baik kepadaku” jawab perempuan itu.
Wajah pemilik pedati itu menjadi merah. Katanya dengan nada marah, “Aku mengerti sudah. Tetapi, apakah kau membiarkannya saja? Kau harus bertanggung jawab. Dahulu, ketika kau meninggalkan rumah ini, aku berusaha untuk menahan anak itu agar ia tinggal bersamaku. Kau berkeras untuk membawanya.”
“Aku memang bersalah. Tetapi sekarang bagaimana?” perempuan itu menangis semakin keras.
“Maksudmu bagaimana?” bertanya pemilik pedati itu.
“Ambil anak itu.” jawab bekas isterinya.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya pemilik pedati itu.
“Jika aku berkeberatan laki-laki itu mengambil anakmu, ia akan membunuhku.” berkata perempuan itu.
“Keparat,” geram pemilik pedati itu, “ketika ia membujukmu dan mengambilmu aku masih dapat menyabarkan diri. Tetapi, kini ia akan mengambil pula anakku dengan paksa setelah ia jemu memilikimu.”
“Ia memang bukan manusia wajar.” tangis perempuan itu.
Pemilik pedati itu menggeretakkan giginya. Tiba-tiba saja ia meloncat ke pintu rumahnya. Mendorong pintu yang tidak diselarak. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah masuk. Beberapa saat kemudian ia telah keluar lagi dengan membawa sebilah keris yang besar. “Aku atau orang itu yang akan mati.” berkata pemilik pedati itu.
“Tetapi hati-hatilah. Ada beberapa orang laki-laki di rumah itu. Nampaknya bukan orang baik-baik. Sejak tiga hari yang lalu mereka datang dan bermalam di rumahku. Karena laki-laki yang membawaku pergi tidak lagi berminat kepadaku, nampaknya aku justru akan diserahkan kepada laki-laki yang ada di rumahku itu, sementara ia menghendaki anak kita.” tangis perempuan itu.
“Kenapa tidak kau bawa anakmu sekarang?” bertanya pemilik pedati itu.
“Tidak mungkin. Anak itu telah disekap dalam sebuah bilik yang diselarak dari luar,” jawab perempuan itu di sela-sela isaknya. Lalu katanya, “Aku takut anak itu bunuh diri di dalam biliknya.”
“Setan alas,” pemilik pedati itu menjadi marah sekali. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Maafkan aku. Aku telah mengajak kalian datang ke rumah ini agar kalian tidak terganggu oleh hujan. Tetapi, ternyata kalian mendapat gangguan yang lebih buruk lagi. Silahkan anak-anak muda duduk di dalam. Aku tidak lama. Atau aku tidak akan kembali lagi.”
“Tunggu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “meskipun sekilas, aku dapat menangkap persoalan yang kalian hadapi. Nampaknya beberapa saat yang lalu isterimu telah diambil orang. Namun kemudian laki-laki yang mengambil isterimu itu justru akan mengambil anak perempuanmu. Sementara itu, isterimu yang telah diambilnya itu akan dicampakkannya kepada laki-laki yang sekarang ada di rumahnya.”
“Ya. Itulah yang terjadi.” geram laki-laki itu.
“Jika demikian, aku dan saudara-saudaraku akan ikut.” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Untuk apa? Aku akan memasuki sarang serigala. Seperti yang dikatakan oleh bekas isteriku, di sana ada beberapa orang laki-laki yang garang. Mereka akan dapat melukai kalian,” berkata pemilik pedati itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Aku adalah pengembara yang pernah menjelajahi padang-padang yang luas, hutan yang lebat dan ngarai yang panjang. Kau sebaiknya mempercayai kami, bahwa kami akan dapat membantumu sebagaimana kami membantu membetulkan pedatimu yang rusak itu.”
Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun, Mahisa Pukat lah yang berbicara kemudian, “Marilah, sebelum terlambat. Apakah rumahnya, tidak terlalu jauh?”
“Tidak terlalu jauh.” jawab pemilik pedati itu.
Namun, bekas isterinya itu berkata, “Laki-laki itu sangat berbahaya.”
“Kami akan pergi ke sana,” berkata Mahisa Murti kepada perempuan itu, “tolong, kau pergi ke rumah Ki Bekel.”
“Tidak ada gunanya,” sahut laki-laki pemilik pedati itu, “orang itu sangat ditakuti di sini. Karena kedudukannya itu pulalah isteriku tergila-gila di sini. Dikiranya ia akan menjadi perempuan yang terhormat dan disegani di padukuhan ini, bahkan di Kabuyutan ini. Tetapi kau lihat, akhirnya ia dicampakkan seperti sampah kering.”
“Kenapa tidak ada gunanya? Bukankah penguasa tertinggi di padukuhan ini adalah Ki Bekel?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sudah aku katakan. Orang itu sangat ditakuti.” jawab laki-laki pemilik pedati itu.
“Jika demikian, marilah. Jangan kehilangan banyak waktu.” berkata Mahisa Pukat.
Laki-laki pemilik pedati itu termangu-mangu. Namun, justru anak-anak muda itulah yang bergerak lebih dahulu. Mereka melangkah ke gerbang halaman yang tidak terlalu luas itu.
“Baiklah, jika itu atas kemauan kalian sendiri.” berkata pemilik pedati itu selanjutnya.
Ia pun kemudian melangkah pula ke pintu gerbang yang sudah condong dan hampir roboh itu. Namun ia sempat berkata kepada bekas isterinya, “Tunggulah di sini. Tetapi jika aku gagal membebaskan anakku, maka aku tidak akan pulang selama-lamanya. Meskipun laki-laki itu ditakuti, tetapi aku pun tidak takut mati.”
Demikianlah, mereka pun telah dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah yang sempit dan kotor itu menuju ke rumah seorang laki-laki yang ditakuti. Beberapa orang yang melihat kepergian laki-laki pemilik pedati itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang melihat bekas isterinya menangis di sepanjang jalan menuju ke rumahnya.
“Sesuatu nampaknya akan terjadi.” desis seseorang.
“Siapakah ketiga orang anak muda itu?” bertanya yang lain.
“Mungkin keluarganya yang datang dari jauh. Tetapi, laki-laki itu agaknya sudah merelakan isterinya. Kenapa tiba-tiba saja ia marah sambil membawa keris? Apakah isterinya yang menangis itu telah mengalami perlakuan buruk?” berkata yang lain lagi.
Laki-laki yang pertama berkata, “perempuan itu tidak setia. Sebaiknya dibiarkan saja apa yang terjadi atasnya. Tidak perlu dibela dengan cara apa pun juga. Apalagi dengan kekerasan. Laki-laki itu berilmu sangat tinggi. Kedatangannya akan sama saja dengan mengantarkan nyawanya yang hanya satu itu.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi, tidak seorang pun yang berani menghentikannya.
Sementara itu, pemilik pedati yang berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh ketiga orang anak muda itu pun menjadi semakin dekat. Rasa-rasanya bagi pemilik pedati itu, jalan menjadi sangat jauh dan langkah mereka menjadi sendat. Namun, akhirnya mereka menjadi semakin dekat pula dengan rumah laki-laki yang pernah mengambil istrinya dan yang kemudian telah menahan anak gadisnya.
Tetapi, tiba-tiba saja Mahisa Murti menggamitnya dan berkata, “Tunggu. Kita harus membicarakan cara yang paling baik untuk membebaskan anakmu.”
“Ya. Aku akan masuk dan menghancurkan rumah itu. Aku akan membunuh semua orang laki-laki yang ada di rumah itu, atau aku yang akan mati di tangan mereka.” berkata pemilik pedati itu.
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Kau masuk lewat regol depan bersama kedua saudaraku ini.”
Orang itu mengangguk. Tetapi, agaknya ia tidak sabar menunggu terlalu lama. Ia ingin segera menyelesaikan persoalannya, meskipun akhirnya ia harus terbunuh, karena di rumah itu terdapat banyak laki-laki yang garang.
“Dengar pendapatku,” berkata Mahisa Murti, “lebih baik kita bekerja dengan cermat tetapi berhasil daripada tergesa-gesa tetapi gagal. Mungkin kau tidak takut mati. Tetapi jika kau mati, anakmu akan menjadi semakin menderita, bahkan mungkin bekas isterimu itu. Ia harus kembali ke rumah itu dengan ancaman terhadap anak perempuannya, sementara di rumah itu ia akan dilemparkan kepada beberapa orang laki-laki yang liar dan buas.”
Pemilik pedati itu mengerutkan keningnya. Namun, akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dengarkan pendapatmu.”
Demikianlah maka Mahisa Murti pun telah memisahkan diri. Meskipun ia belum pernah memasuki halaman rumah itu. Tetapi, ketajaman penggraitanya telah menuntunnya, sehingga tidak seorang yang melihatnya ketika ia meloncati dinding halaman masuk ke dalam.
Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah memasuki regol halaman. Sementara malam mulai menyelimuti halaman itu. Obor-obor pun telah terpasang di beberapa sudut dan di regol halaman.
Kedatangan pemilik pedati itu memang agak mengejutkan. Dua orang laki-laki yang ada di gandok, berlari-lari mendapatkannya sambil bertanya, “Siapa kau?”
Pemilik pedati yang diikuti oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu telah berdiri di tengah-tengah halaman. Dengan nada tinggi pemilik pedati itu menjawab, “Aku akan bertemu dengan pemilik rumah ini.”
“Siapa kau?” bentak orang itu.
“Jangan membentak-bentak,” pemilik pedati itu berteriak, “aku akan bertemu orang gila pemilik rumah ini. Jika kau masih saja mengganggu aku, aku bunuh kau paling dahulu.”
“Setan,” geram orang itu, “kau kira kau ini siapa he? Kau kira aku tikus clurut yang takut melihat tampangmu yang buruk itu.”
Pemilik pedati itu hampir saja meloncat menyerang. Tetapi Mahisa Pukat sempat menggamitnya dan berkata, “Tunggu. Jangan tergesa-gesa.”
Laki-laki itu menggeram. Namun kemudian ia berusaha untuk menahan diri. Katanya, “berkatalah kepada pemilik rumah ini. Aku datang untuk mengambil anakku yang disembunyikannya setelah ia jemu dengan ibunya.”
“Oo, jadi dalam hubungan itu kau datang kemari? Siapa kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Apakah kau tuli? Sudah aku katakan, aku ayah gadis itu.” jawab pemilik pedati itu.
Orang itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Kau tidak usah menemui orang lain. Kau sudah menemui aku. Sekarang pulanglah. Agar anakmu itu tidak mengalami kesulitan, bawa perempuan itu kemari. Perempuan, ibu anakmu itu tentu isterimu. Nah, jika isterimu ada di sini, maka anak gadismu tidak akan mengalami sesuatu.”
“Untuk apa isteriku harus datang kemari?” bertanya pemilik pedati itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Di sini ada beberapa orang laki-laki. Kami memerlukannya.”
“Setan.” sekali lagi Mahisa Pukat harus menggamitnya. Hampir saja Mahisa Pukat gagal mencegah orang itu.
Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang berbicara, “Ki Sanak. Apakah kau memerlukan seorang juru masak? Jika demikian, maka kau tidak usah memanggil perempuan itu. Aku adalah juru masak yang paling baik sepadukuhanku. Karena itu jika kau memerlukannya, maka kau dapat memanggil aku saja.”
“Anak iblis.” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan mengumpat. Tenagaku tetap lebih kuat dari tenaga seorang perempuan. Bukan saja untuk menyembelih seekor ayam. Tetapi seekor sapi sekalipun.”
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah mendengar jawaban itu. Namun sebelum ia berbuat apa-apa, dari dalam rumah itu telah keluar dua orang laki-laki. Mereka melintasi pendapa langsung ke halaman. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekar, berjambang panjang dan berkumis lebat.
“Setan itu.” geram pemilik pedati yang melihat kehadiran orang berjambang lebat itu.
“Kenapa kau kemari?” bertanya orang berjambang lebat itu.
“Kau atau aku yang mati. Atau kau lepaskan anakku.” geram pemilik pedati itu.
Orang itu tertawa. Katanya, “Kau harus berterima kasih. Aku, orang yang terpandang dan berpengaruh serta mempunyai kekayaan yang tidak terhitung telah mengambil anakmu. Kau akan menjadi mertua seorang yang terpandang."
“Kau lebih jahat dari yang aku duga. Sifatmu seperti sifat seekor binatang. Kau ambil ibunya. Kemudian kau ambil pula anaknya.” geram pemilik pedati itu.
“Sudahlah,” berkata orang berjambang itu, “jangan merajuk. Justru aku minta bawa bekas istrimu itu kemari. Hidupnya akan jauh lebih senang daripada menjadi isterimu. Melarat dan menderita. Bukankah isterimu pulang ke rumahmu dan melaporkan bahwa anaknya telah mendesak kedudukannya? Aku tidak dapat mengelak ketika anak perempuanmu itu mengatakan kepadaku, bahwa ia mencintaiku. Ia minta ibunya disisihkan untuk memberikan tempatnya kepada gadis itu."
“Cukup,” teriak pemilik pedati itu, “kau jangan omong kosong. Aku tantang kau bertempur. Salah seorang di antara kita harus mati.”
Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau bukan lawanku. Biarlah orang-orangku membunuhmu. Aku tidak pantas mengotori tanganku dengan darahnya.”
“Aku tantang kau berperang tanding,” geram pemilik pedati itu. Lalu, “Kau tidak dapat menunjuk orang lain. Katakan saja, kau berani atau tidak?”
Orang berjambang lebat itu adalah orang berilmu. Tetapi melihat bara kemarahan yang memancar di sorot mata orang yang menantangnya itu, terasa hatinya berdebar-debar juga. Rasa-rasanya orang itu sudah tidak lagi menyadari apa yang telah dilakukannya, sehingga orang itu akan menjadi jauh lebih berbahaya dari keadaannya sehari-hari.
Namun orang berjambang lebat itu berkata, “Anak gadismu ada padaku. Kau tidak dapat berbuat apa-apa di sini. Seandainya kau berani berperang tanding melawan aku, maka kau tidak akan dapat menolong anak gadismu itu.”
“Tetapi aku sudah membunuhmu.” teriak pemilik pedati itu.
Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Seekor tikus tidak akan pernah dapat mengalahkan seekor kucing.”
“Marilah. Jangan hanya membual.” tantang pemilik pedati itu.
“Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di sini,” berkata orang itu. Lalu katanya kepada orang-orang yang ada di halaman itu, “jaga pintu gerbang. Jangan biarkan orang-orang ini keluar. Kita akan membunuh mereka dan tengah malam nanti melemparkan mayat mereka di sungai.”
“Persetan,” teriak pemilik kedai itu, “serahkan anakku.”
“Anakmu akan menjadi isteriku. Ia tergila-gila kepadaku, meskipun ia tahu, aku sudah mengambil ibunya.”
Namun, tiba-tiba saja mereka yang ada di halaman itu terkejut ketika terdengar suara dari belakang seketheng. Suara seorang perempuan, “Omong kosong. Aku telah dimasukkan ke dalam bilik tertutup itu.”
Semua orang berpaling. Ternyata mereka melihat seorang gadis berdiri di seketheng. Anak pemilik pedati itu.
“Gila. Bagaimana kau dapat keluar?” bertanya orang berjambang itu.
“Apa pun yang kau lakukan. Aku sudah bebas.” jawab gadis itu.
“Tidak. Kau tidak akan dapat keluar dari halaman ini.”
“Kenapa tidak?” jawab perempuan itu.
Orang berjambang itu menjadi kebingungan ketika tiba-tiba saja gadis itu hilang di balik seketheng. “Tangkap anak itu,” teriak orang berjambang lebat itu sambil meloncat selangkah. Tetapi ia pun segera berhenti. Ia menjadi bingung, karena ia juga tidak ingin melepaskan laki-laki yang mencari anak gadisnya itu. Karena itu, maka katanya, “jaga pintu regol itu, agar laki-laki gila ini tidak keluar.”
“Tunggu,” berkata pemilik pedati itu, “ia adalah anakku. Ia sudah bebas. Sekarang kita dapat bertempur. Aku tidak takut mati.”
Tetapi, orang berjambang itu tidak menghiraukannya. Ia pun segera berlari sambil bersuit nyaring. Beberapa laki-laki telah keluar dari dalam rumah itu. Dua orang mengikutinya, sementara yang lain ada di halaman. Laki-laki yang sudah berada di halaman itu lebih dahulu telah bergeser ke regol serta menutup pintunya.
Ketika pemilik pedati itu berniat untuk bertempur melawan siapa saja. Mahisa Pukat dengan sareh berkata, “jangan tergesa-gesa. Kita mempunyai banyak waktu. Kita harus berhasil dengan baik, tanpa mengorbankan nyawa kita.”
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat yang seakan-akan tidak menghiraukan keadaan itu berkata, “Kita menunggu. Kita tidak perlu gelisah.”
Pemilik pedati itu memandang wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, “Apa sebenarnya yang kau maui? Anakku telah bebas. Dan sekarang ia sedang melarikan diri. Aku harus membantunya menyelamatkan dirinya.”
“Kau tentu tahu siapa yang membebaskan anakmu itu. Saudaraku telah memisahkan diri dari kita dan bukankah ia berjanji untuk menemukan anak gadismu?” bertanya Mahisa Pukat.
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia sempat menilai apa yang telah terjadi. Ia mulai dapat menelusuri peristiwa demi peristiwa, sehingga akhirnya ia mengangguk-angguk.
“Percayakan anakmu itu kepada saudaraku.” berkata Mahisa Pukat.
“Ya. Mudah-mudahan anakku itu selamat.” desis pemilik pedati itu.
Namun dalam pada itu, terdengar pintu regol yang sudah tertutup itu pun diketuk orang. Tidak sekedar memakai tangan. Tetapi agaknya memakai sebongkah batu, sehingga suaranya menghentak-hentak mengejutkan. Dengan gerak naluriah, maka orang yang berdiri di depan pintu itu telah membuka selaraknya dan sedikit membuka daun pintunya.
Namun mereka terkejut. Dibawah sinar obor di regol, ia melihat seorang anak muda membawa seorang gadis. Gadis yang disangka telah melarikan diri itu. Sebenarnyalah Mahisa Murti lah yang berdiri di luar regol bersama anak perempuan pemilik pedati itu. Sambil tertawa Mahisa Murti berkata, “Ini anakmu. Marilah kita pulang.”
Pemilik pedati itu memang berlari ke regol. Namun, dengan tergesa-gesa orang yang berada di regol itu telah menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu itu diselarak, maka tiba-tiba hentakkan yang sangat keras dari luar telah bukan saja membuka pintu itu kembali. Tetapi, pintu itu telah berderak pecah dan terlempar menimpa orang yang sedang menutup itu sehingga jatuh terguling di tanah.
“Setan alas,” geram orang itu sambil berusaha menyibak pecahan pintu yang menimpanya. Namun kemudian tertatih-tatih ia berusaha untuk bangkit.
Dua orang kawannya ternyata telah berdiri di pintu itu pula, sementara yang lain telah memanggil orang berjambang panjang itu. “Gadis itu ada di sini.” teriak orang itu.
Orang berjambang itu dengan tergesa-gesa telah berlari ke halaman depan. Sementara itu Mahisa Murti justru menggandeng gadis memasuki regol dan berkata lantang, “Kami mohon diri. Bukankah kami tidak kalian perlukan di sini?”
“Siapa kau iblis? Apa hubunganmu dengan gadis itu, sehingga kau berusaha untuk membebaskannya?” bertanya orang berjambang itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau telah melanggar kebebasan dan hak seseorang. Semua orang berkepentingan untuk menegakkan hak seseorang atas dirinya sendiri. Gadis itu berhak memilih, apakah ia ingin tinggal atau tidak di rumah ini. Karena itu, maka aku telah membantunya untuk memberikan kebebasan yang memang menjadi hak itu.”
“Agaknya kau memang mencari persoalan anak muda,” berkata orang berjambang itu, “apalagi kesombonganmu yang tidak ada taranya. Seandainya kau merasa berhasil membebaskan gadis itu, kenapa kau bawa gadis itu kembali memasuki halaman ini?”
“Ayah gadis itu ada di sini,” berkata Mahisa Murti, “Aku harus mengembalikan kepadanya. Biarlah ayahnya membawanya pulang kepada ibunya. Meskipun kau telah memperlakukan ibunya dengan kasar dan sangat menyakitkan hati, namun baiklah, semuanya itu akan dilupakan. Sekarang, kami akan minta diri.”
Wajah orang itu menjadi merah. Dengan suara bergetar oleh kemarahannya, ia menggeram, “Kau ini siapa? Kau anggap aku ini apa he? Begitu enaknya kau mengambil gadis itu dan kemudian akan pergi begitu saja.”
“Habis, apa lagi? Kami hanya memerlukan gadis ini. Dan gadis ini telah ada pada kami. Lalu apa lagi? Apakah kau ingin aku membunuhmu? Aku kira itu masih belum perlu sekarang ini. Kecuali jika kau menghalangi kami pergi.”
Kemarahan bagaikan telah menyala sampai ke ubun-ubun. Orang itu sadar, bahwa anak-anak muda itu dengan sengaja menantangnya. Karena itu, maka ia pun berteriak kepada orang-orangnya, “Kita tidak perlu mengekang diri. Bunuh saja mereka itu.”
Setiap laki-laki di halaman itu pun segera berpencar dan mengepung pemilik pedati itu, anak perempuannya dan ketiga orang anak muda yang menyertainya. Namun, Mahisa Murti sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata,
“Kau jangan main-main Ki Sanak. Apalagi yang akan kau lakukan? Aku sudah berkata, bahwa aku mohon diri bersama gadis itu, orang tuanya dan saudara-saudaraku. Itu sudah cukup. Tetapi agaknya kau memang ingin memaksa kami untuk membunuh.”
“Cukup,” teriak orang berjambang panjang itu. Lalu sekali lagi ia berkata, “Bunuh mereka.”
Mahisa Murti pun kemudian telah menarik gadis itu dan berdiri di seputarnya bersama-sama dengan kedua saudara dan saudara angkatnya. Kepada pemilik pedati itu ia berkata, “jaga anakmu.”
Pemilik pedati itu memang bingung sesaat. Tetapi, ia pun kemudian menyadari keadaan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun telah menarik kerisnya dan menarik anaknya untuk mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berdiri tegak menghadapi kepungan. Mereka menghadap ketiga arah sementara pemilik pedati itu berdiri sambil mendekap anaknya yang ketakutan.
“Jangan takut,” berkata ayahnya yang merasakan tubuh gadis itu gemetar, “di sini ada ayah dan ada anak-anak muda itu.”
“Siapa mereka ayah?” bertanya gadis itu.
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Pertanyaan anaknya itu ternyata telah menyentuh hatinya. Ia memang harus bertanya sebagaimana anaknya itu. Siapakah mereka agar tidak terjadi satu peristiwa yang justru lebih buruk atas anaknya itu kemudian karena mereka berdua tidak mengenali ketiga orang anak muda itu. Namun menilik sikap mereka, pemilik pedati itu menduga, bahwa mereka bukanlah orang yang pantas ditakuti. Berbeda dengan orang berjambang panjang itu, yang tabiatnya jauh dari tingkat martabat seseorang.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mengepung kelima orang itu telah mulai bergerak. Mereka langsung mempergunakan senjata-senjata yang ada pada mereka. Seorang telah membawa tombak pendek yang tidak banyak dipergunakan orang, karena mata tombak itu berkait di satu sisinya. Yang lain membawa kapak bertangkai agak panjang. Bindi dan golok yang besar. Sedangkan seorang yang umurnya terhitung masih muda membawa sebilah pedang lurus yang tajam di kedua sisinya.
Demikianlah, maka di halaman itu telah terjadi pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Orang berjambang itu sendiri masih belum turun ke arena. Ia justru telah naik ke tangga pendapa rumahnya untuk dapat melihat lebih jelas, apa yang terjadi di halaman itu.
Orang itu berdiri dengan jantung yang berdebaran. Ternyata dibawah cahaya obor di beberapa tempat di halaman itu, ia melihat betapa anak-anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Mereka berloncatan sambil memutar senjata mereka. Menangkis, menghindar, namun juga meloncat menyerang dengan garang.
Ternyata jumlah yang jauh lebih banyak di sekitar anak-anak muda itu tidak dapat segera menentukan keseimbangan pertempuran itu. Orang-orang yang garang dengan senjata-senjata mereka yang beraneka itu, mulai merasa betapa beratnya ilmu pedang anak-anak muda yang berada di dalam kepungan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian menjadi cemas akan ketahanan Mahisa Semu. Jika ia harus mengerahkan kemampuannya, maka pada suatu saat tenaganya tentu akan susut.
Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus lebih banyak memancing tenaga orang-orang yang mengepungnya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berloncatan lebih tangkas lagi. Ia tidak saja menghindari serangan. Tetapi, ia justru lebih banyak meloncat menyerang. Bukan saja orang-orang yang ada di sekitarnya, tetapi juga orang-orang yang nampaknya di luar jangkauan ujung senjata mereka.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mampu membuat beberapa orang kebingungan. Sementara itu Mahisa Semu yang masih memerlukan banyak pengalaman, bertempur dengan sengitnya. Meskipun sekali-sekali ia harus menghindari serangan dua tiga orang sekaligus, tetapi perhatian orang-orang yang mengepung mereka memang lebih banyak tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka Mahisa Semu rasa-rasanya mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertempur melawan seorang lawan yang kebetulan menyerangnya. Untuk menghadapi orang-orang itu, ilmu pedang Mahisa Semu benar-benar telah menggetarkan jantung mereka. Apalagi jika mereka harus berhadapan seorang lawan seorang.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi jemu. Mahisa Semu memang tidak, karena ia justru sedang mencari pengalaman yang sebanyak-banyaknya. Namun, ketika Mahisa Pukat sempat mendekatinya, ia pun berbisik, “Pengalaman yang tidak begitu menarik bagimu. Ilmu mereka masih terlalu rendah. Entahlah orang berjambang itu. Mungkin kau akan dapat memanfaatkannya nanti jika ia turun ke arena.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian bertanya, “Apa yang sebaiknya aku lakukan dengan orang-orang ini?”
“Kita hentikan saja perlawanan mereka. Tetapi, nampaknya kita tidak perlu terlalu bersikap keras terhadap mereka. Kecuali jika mereka memang keras kepala, atau bahkan berbahaya bagi kita.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia memang merasa, bahwa pertempuran itu baginya tidak banyak memberikan pengalaman. Selain bertempur melawan lebih dari seorang lawan. Namun, bagi Mahisa Semu pengalaman itu juga akan memberikan arti di samping pengalaman-pengalaman bertempur melawan sekelompok orang dalam satu putaran atau melawan unsur-unsur gerak dari ilmu yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Melawan orang-orang yang demikian, Mahisa Semu juga melatih ketabahan jiwani menghadapi bukan saja ilmu kanuragan, tetapi sikap yang liar, keras dan bahkan buas. Umpatan-umpatan yang paling kotor yang belum pernah didengarnya, serta sikap yang sangat tidak mengenal paugeran sama sekali.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempercepat tata gerak mereka. Pedang mereka yang tidak lebih dari pedang kebanyakan itu berputaran mengerikan. Bahkan tiba-tiba saja senjata lawannya telah terloncat dari tangannya. Beberapa orang memang telah kehilangan senjata mereka. Namun karena yang lain sempat mengambil alih pertempuran itu, maka orang-orang yang kehilangan senjata itu telah sempat memungutnya kembali. Namun, hal yang serupa telah terjadi pula. Senjata-senjata yang terlepas dari genggaman.
Di pendapa, orang berjambang itu memperhatikan semuanya yang terjadi dengan hati yang bergejolak. Karena itu, maka ia pun menjadi tidak sabar lagi untuk membiarkan orang-orangnya bertempur tanpa berkesudahan. “Anak iblis,” geram orang berjambang itu. “Nampaknya aku harus melibatkan diri agar segalanya dapat diselesaikan dengan cepat. Aku sudah jemu melihat permainan kalian yang buruk itu.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun, orang berjambang lebat itu benar-benar telah turun dari pendapa mendekati arena pertempuran yang semakin seru itu. “Aku akan membunuh mereka, termasuk ayah gadis itu, dan kemudian mengambil gadis itu kembali.” geram orang berjambang panjang itu.
Hampir di luar sadarnya gadis itu berteriak, “Aku tidak mau. Aku tidak mau.”
Ayahnya yang kemudian memeluknya berkata, “jangan takut. Aku ada di sini.”
Gadis itu memang menjadi agak tenang, sementara pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya. Apalagi ketika orang berjambang itu telah turun ke arena.
Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah terlanjur jemu menghadapi orang-orang itu. Meskipun demikian, Mahisa Pukat masih sempat berkata kepada Mahisa Semu, “Jika kau ingin mendapat pengalaman yang sedikit berharga, kau dapat melawan laki-laki berjambang itu.”
Mahisa Semu mengangguk. Katanya, “Aku akan mencoba.”
“Orang itu merasa dirinya orang terkuat di dunia ini. Kau dapat menunjukkan betapa piciknya pengenalannya tentang olah kanuragan.” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun, ia pun kemudian telah menempatkan diri menghadapi orang berkumis tebal dan berjambang panjang itu. “Apakah kau masih menghendaki gadis itu?“ tiba-tiba saja Mahisa Semu bertanya.
Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehingga keduanya telah tersenyum serta saling berpandangan.
Orang berjambang itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Kesalahanmu tidak dapat dimaafkan. Pertanyaanmu itu telah mempercepat kematianmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun tidak dapat saling berbicara karena mereka berada di tempat yang agak jauh, namun keduanya menilai bahwa Mahisa Semu menjadi semakin dewasa sikap jiwanya.
Ternyata bahwa Mahisa Semu tidak segera berkerut mendengar ancaman itu. Bahkan dengan lantang ia menjawab, “jangan berbicara tentang kematian. Tidak seorang pun dapat menentukan kematian itu. Bukankah kau percaya dengan kuasa Yang Maha Agung.”
“Anak iblis,” geram orang berjambang, “mulutmu yang harus aku koyak.”
Orang berjambang itu tidak menunggu lama lagi. Ia pun segera menyerang dengan garangnya, sementara kawan-kawannya yang lain, yang seakan-akan telah terhisap seluruhnya ke halaman itu harus berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, pemilik pedati yang berdiri di tengah-tengah, mendekap anaknya dengan keris di tangan.
Meskipun orang berjambang itu tidak banyak berpikir, tetapi ia memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, yang dilakukannya seakan-akan begitu saja mengalir dari dalam dirinya melalui unsur-unsur gerak ilmunya. Dengan demikian pertempuran antara keduanya itu menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur sambil berloncatan itu, tidak melepaskan Mahisa Semu sepenuhnya, karena mereka tahu, anak muda itu masih jauh dari pengalaman.
Tetapi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menghadapi beberapa lawan sekaligus, karena itu, maka mereka telah memutuskan untuk mengurangi jumlah lawannya seorang demi seorang. Dengan melemparkan senjata mereka saja, ternyata bahwa orang-orang itu tidak menarik diri dari arena. Karena itu, maka mereka harus dihentikan dengan kekerasan. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur lebih keras lagi. Mereka bergerak lebih cepat, sementara pedang mereka berputaran semakin mendebarkan.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat lah yang telah mulai mengurangi lawan. Pedangnya telah menggores di dada salah seorang di antara mereka yang bertempur melawannya. Justru orang itu berusaha untuk menyusup dan menyerang laki-laki pemilik pedati yang sedang melindungi anaknya. Namun, sebelum senjatanya menyentuh sasaran, terasa senjatanya itu bagaikan membentur selapis baja. Kemudian terputar dengan cepat dan terlempar dari tangannya.
Ketika ia kemudian berputar menghadap ke arah orang yang melemparkan senjatanya itu, tiba-tiba saja dadanya telah tergores ujung pedang. Orang itu mengaduh kesakitan. Selangkah ia terdorong surut. Namun kemudian ia pun telah terjatuh di tanah.
Kawan-kawannya yang menyaksikannya segera membantunya, membawanya menepi. Namun demikian orang itu diletakkan di tangga pendapa, maka seorang yang lain telah terlempar pula dari arena. Seorang yang bersenjata bindi. Bindinya yang besar yang terayun-ayun mengerikan itu telah membentur pedang Mahisa Murti yang jauh lebih ringan. Tetapi, kekuatan yang tersalur pada pedang itu telah mendorong bindi yang besar itu terpental dan ayunannya bahkan telah menyeret pemiliknya sehingga jatuh terkapar.
Ketika orang itu tertatih-tatih bangun, maka seorang kawannya justru telah terdorong dan jatuh menimpanya. Bukan saja ia kehilangan senjatanya, sebilah golok yang besar, namun ternyata bahwa lambungnya telah terluka.
Demikianlah, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mulai berkurang. Namun dengan demikian yang lain justru menjadi bertambah marah. Beberapa kali di antara mereka telah mencoba menyusup menyerang pemilik pedati dan anak perempuannya itu. Tetapi usaha mereka tidak pernah berhasil. Mereka tidak pernah dapat menjulurkan pedang sampai menyentuh ujung keris pemilik pedati itu, apalagi menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, orang yang bersenjatakan kapak bertangkai agak panjang yang bertempur bersama beberapa orang kawannya melawan Mahisa Murti telah berusaha melumpuhkan senjatanya. Orang itu tahu pasti, bahwa pedang Mahisa Murti bukannya pedang yang baik, sehingga karena itu, maka orang itu telah berani mengayunkan kapaknya dengan sepenuh kekuatan. Ia sadar bahwa jika terjadi benturan senjata, maka tajam kapaknya yang terbuat dari baja pilihan itu akan dapat mematahkan pedang lawannya...
HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN JILID 69