PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 75
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 75
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI tertawa. Sambil memutar dua bilah pedang di kedua tangannya ia berkata, “Nah, ternyata aku benar-benar berhasil mendapatkan pedang pilihan ini.”
“Persetan,” geram Ki Buyut, “sekarang, jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Perang tanding ini memang baru berakhir setelah seorang di antara kita mati.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia justru termangu-mangu. Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa di balik gerumbul perdu. Sejenak kemudian, seorang berjanggut putih telah meloncat dari persembunyiannya. Mahisa Murti bergeser surut.
Sementara itu terdengar Ki Buyut berdesis, “Guru. Aku mohon maaf, ternyata aku telah gagal menjunjung tinggi nama perguruanku.”
“Kau kalah?” bertanya orang berjanggut putih itu.
Ki Buyut itu menunduk. Jawabnya, “Aku belum mati Guru. Perang tanding ini akan berakhir jika seorang di antara kami telah terbunuh.”
“Dan kau akan menyerahkan lehermu untuk ditebas dengan tajam pedang yang bergerigi itu?” bertanya gurunya.
Ki Buyut tidak menjawab. Tajam pedang Mahisa Murti yang bergerigi itu memang mengerikan. Tetapi baginya, perang tanding itu harus berakhir. Apalagi di hadapan gurunya, ia tidak boleh menjadi pengecut.
Tetapi di luar dugaan, gurunya berkata, “Kau sudah kalah. Kau tidak perlu membunuh diri.”
Ki Buyut itu termangu-mangu. Sementara itu, orang berjanggut putih itu telah melangkah maju mendekati Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti pun telah bersiaga. Tetapi di tangannya tergenggam sebilah pedang yang baik buatannya dan bahannya yang dirampasnya dari lawannya. Karena itu, maka ia pun telah menyarungkan pedangnya. Sambil memutar pedang pilihan itu ia berkata, “Pedang ini benar-benar pedang luar biasa.”
“Ya,” desis guru Ki Buyut, “nilainya sangat tinggi.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Jadi kau adalah guru Ki Buyut?”
“Ya, ngger. Aku adalah guru Ki Buyut,” jawab orang tua itu.
“Sekarang, apakah kau juga akan menantang aku untuk berperang tanding?” bertanya Mahisa Murti yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Amping berdiri termangu-mangu.
Tetapi orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak ngger. Mana mungkin aku berani berhadapan dengan ilmu Bajra Geni meskipun sudah dalam bentuk pengembangannya.”
Mahisa Murti terkejut. Sementara orang tua itu berkata, “Jika pada saatnya ilmu Bajra Geni itu sampai ke puncaknya, maka siapakah yang akan kuat menahankannya? Apalagi kekuatan ilmu Bajra Geni telah bergabung dengan aliran Pakuwon Lemah Warah. Benar-benar ilmu yang luar biasa.”
“Dari mana kau tahu Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah pengembara seperti angger bertiga dan sekarang berempat dengan seorang kanak-kanak,” jawab orang itu, “aku mengenali banyak sekali jenis ilmu. Dan akupun mampu menilai tingkat dan tataran ilmu itu. Karena itu, aku ingin menasehati muridku, bahwa ia tidak perlu berkecil hati jika ia dikalahkan oleh ilmu Bajra Geni. Muridku harus mengerti, bahwa aku sendiri pun tidak akan mampu menandingi ilmu itu.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi termangu-mangu. Ia belum mengenal orang itu. Dengan terperinci orang itu mencoba menyebut ilmunya.
Namun orang itu telah menjelaskan, “Sebenarnyalah aku belum mengenal anak-anak muda secara pribadi. Justru kami ingin tahu, siapakah kalian yang telah membawa bekal ilmu yang paling dahsyat itu, disamping itu Gundala Sasra, maka ilmu kalian tidak ada tandingnya.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia justru bertanya, “Siapakah namamu dan kau datang dari perguruan yang mana?”
“Namaku tidak penting. Kau tentu belum mengenal aku. Tetapi baiklah aku menyebutnya jika itu kau anggap perlu. Namaku Adyan Akenan. Nama yang sama sekali tidak dikenal. Tetapi karena pengembaraanku yang lama, maka aku justru telah mengenali banyak sekali jenis dan ciri-ciri ilmu,” jawab orang itu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Nah, setelah kau tahu namaku, maka aku ingin dari perguruan manakah kalian datang.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kami adalah orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Sebuah perguruan kecil yang tidak penting sama sekali. Bahkan kau yang pengembara dan banyak sekali mengetahui tentang dunia kanuragan, belum tahu juga tentang perguruan Bajra Putih itu.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar perguruan Bajra Seta atau yang agaknya juga disebut Bajra Putih. Sambil menggeleng ia berkata, “Aneh. Ilmu yang nampak dalam susunan unsur-unsur gerakmu adalah ilmu Bajra Geni. Namun kau sebut perguruanmu dengan nama Bajra Seta. Atau barangkali ada hubungan antara perguruanmu dengan ilmu Bajra Geni?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku adalah cantrik yang tidak banyak tahu tentang asal-usul padepokan dan perguruan kami. Aku termasuk cantrik yang barangkali dianggap sudah cukup tua sehingga mendapat kesempatan untuk melihat-lihat dunia ini.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia memang tidak percaya akan keterangan Mahisa Murti itu. Tetapi sudah tentu sulit baginya untuk memaksa anak muda itu mengatakan sebagaimana dikehendakinya. Tetapi ternyata orang tua itu masih bertanya, “Siapakah nama kalian anak-anak muda?”
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu pula untuk menjawab. Namun karena ia tidak bersiap untuk menyebut nama apapun juga, maka ia telah menyebut namanya sendiri dengan satu keyakinan bahwa namanya pun tidak akan pernah dikenal oleh orang itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti kemudian berdesis, “Namaku Mahisa Murti. Kedua adikku itu bernama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Sedangkan adikku yang paling kecil bernama Mahisa Amping.”
“Apakah kalian bersaudara berada dalam satu perguruan?” bertanya orang itu.
“Ya. Kami berada dalam satu perguruan, meskipun pada tataran yang berbeda. Tetapi kami adalah saudara-saudara yang juga saudara seperguruan. Namun ada di antara kami yang baru memasuki padepokan sementara adikku yang paling kecil masih belum mulai dengan ilmu dasar sekalipun,” berkata Mahisa Murti.
“Sudah tentu. Tetapi jika ia berada di padepokan sejak kanak-kanak, maka pengenalannya tentang ilmunya akan matang di masa mudanya sebagaimana kau lihat pada tata gerakmu. Aku tahu bahwa ilmu yang kau pergunakan untuk melawan muridku belum ada separo dari kemampuanmu. Kau biarkan muridku berbangga dengan pedangnya meskipun akhirnya kau kalahkan juga. Tetapi jika kau kehendaki, maka ia sudah mati sejak pertempuran itu dimulai. Bahkan ketika ia menarik pedangnya, ia tentu sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi hal itu tidak kau lakukan. Kau maafkan muridku sejak awal sehingga ia masih tetap hidup. Tanpa aku, maka ia merasa seakan-akan ia memang mampu bertahan sekian lamanya. Padahal kau tahu bahwa dengan sombong muridku mengatakan bahwa perang tanding akan diakhiri dengan kematian.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Ia tidak pasti dengan orang berjanggut putih itu. Apakah ia mengatakan yang sebenarnya, atau ada niat lain dari tingkah lakunya itu. Namun kemudian orang berjanggut putih itu berkata kepada muridnya, “Kau harus minta maaf kepadanya.”
Ki Buyut yang bagaikan membeku melihat sikap gurunya itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa gurunya terlalu merendahkan diri berhadapan dengan anak-anak muda yang disebutnya berilmu sangat tinggi dari cabang perguruan yang agaknya memang disegani oleh gurunya itu.
“Cepat,” gurunya ternyata mulai membentak.
Ki Buyut itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian melangkah mendekat sambil berkata dengan ragu-ragu, “Aku minta maaf.”
Gurunya tertawa. Katanya, “Aku tahu bahwa hal seperti ini tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Tetapi kali ini kau tidak mempunyai pilihan lain.”
Ki Buyut menundukkan kepalanya. Sementara itu gurunya berkata pula, “Nah, kau harus memperhatikan peringatan yang cukup keras kali ini. Lihat sekali lagi apa yang terjadi di padukuhanmu itu. Dengar sekali lagi apa yang dikatakan orang-orangmu. Kau akan melihat bahwa kau telah salah langkah.”
Ki Buyut tidak menjawab. Meskipun ia masih juga ragu-ragu akan maksud gurunya, tetapi ia merasa wajib untuk melaksanakannya.
“Bawa orang-orangmu pergi jika anak-anak muda itu mengijinkan. Ini adalah satu-satunya jalan yang dapat aku tempuh untuk menyelamatkanmu, karena kali ini aku tidak akan dapat melakukannya dengan kekerasan. Jika aku memaksa, jangankan menyelamatkanmu, aku sendiri pun tentu akan ikut tergilas pula,” berkata guru Ki Buyut yang mengaku bernama Adyan Akenan.
Ki Buyut itu mengangguk hormat. Sementara itu Adyan Akenan itu berkata pula, “Kau harus mohon diri dan mohon ijin. Kau pun harus berterima kasih bahwa sampai sekarang kau masih tetap hidup.”
Meskipun terasa kulit wajahnya menjadi tebal, tetapi Ki Buyut itu pun telah melakukannya. Ia minta maaf kepada Mahisa Murti dengan minta ijin untuk meninggalkan arena itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, bahwa hal itu dilakukan bukan karena Ki Buyut yang muda itu takut mati sebagai janji yang diucapkannya sebelum perang tanding itu dimulai. Tetapi hal itu dilakukan karena ia tidak berani membantah perintah gurunya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Pergilah. Aku tahu bahwa kau telah merasa harus mengorbankan harga dirimu. Karena itu, maka aku akan mengembalikan pedangmu yang bagimu sangat berarti ini.”
Ki Buyut itu sama sekali tidak menyangka. Karena itu ia terkejut ketika Mahisa Murti melontarkan pedang itu ke arahnya. Dengan sigap Ki Buyut itu menangkap pedangnya. Dengan jantung yang berdebaran diperhatikannya pedangnya yang sangat dibanggakannya itu.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti.
Adalah diluar sadarnya, bahwa kemudian Ki Buyut itu telah berdesis, “Terima kasih Ki Sanak.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Ia pun merasa bahwa ucapan itu telah dinyatakannya dengan ikhlas. Tidak seperti ucapannya sebelumnya, yang begitu saja meluncur dari batas bibirnya saja.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Buyut itu telah meninggalkan anak-anak muda yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi itu diikuti oleh para pengawalnya. Namun sesuai pesan gurunya, ia harus kembali ke padukuhan yang telah diguncang oleh kemarahan Mahisa Murti itu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Adyan Akenan itu pun telah mengulangi pernyataan terima kasih muridnya itu. Namun Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak sebenarnya dengan tingkah laku Ki Sanak ini? Aku tidak dapat mengerti bahwa seorang Guru telah berlaku seperti yang kau lakukan terhadap muridmu? Bukankah itu akan menjadi beban yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya. Apakah untuk selanjutnya ia akan dapat percaya lagi kepada dirinya sendiri?”
Tetapi Adyan Akenan itu tidak segera menjawab. Kepalanya justru tertunduk dalam-dalam.
“Apakah pertanyaanku menyinggung perasaanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak,” jawab orang itu, “aku mengerti sepenuhnya dasar dari pertanyaanmu. Tetapi hal ini harus aku lakukan. Muridku itu adalah orang yang terlalu yakin akan kekuatannya. Padahal ia bukan orang yang dapat dianggap terbaik di perguruan. Karena itu, ia memang memerlukan peringatan yang sangat keras, agar dengan demikian ia menyadari, betapa luasnya langit ini dan betapa panasnya dunia olah kanuragan. Ia terlalu yakin akan kemampuannya dan sudah tentu, ia kurang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukan mengatasi satu persoalan.”
“Jadi apa yang kau lakukan itu bersungguh-sungguh?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang melakukannya dengan sungguh-sungguh untuk tujuan tertentu,” berkata orang itu. Lalu katanya, “Aku pun menyadari, bahwa kau menjadi curiga atas sikapku. Itu justru sikap yang sangat bijaksana.”
“Baiklah. Lalu sekarang?” bertanya Mahisa Murti.
“Selamat jalan,” berkata orang itu, “tetapi yakinkan dirimu bahwa aku benar-benar melihat beberapa unsur dari aliran Bajra Geni. Aku tidak tahu apakah kau murid dari perguruan Bajra Seta atau Bajra Geni. Tetapi yakinkan dirimu pula bahwa aku tidak akan dikenal oleh orang-orang yang pernah menggemparkan bumi Singasari dan Kediri.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara Adyan Akenan itu berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Selamat jalan anak-anak muda. Aku akan menemui muridku dan menunjukkan langsung kepadanya akan langkahnya yang keliru itu.”
Namun, ternyata bahwa yang meninggalkan tempat itu adalah Adyan Akenan itu lebih dahulu daripada Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mereka sempat memandangi orang tua itu berjalan tertatih-tatih di tengah bulak yang panjang, menuju sebuah padukuhan yang pernah mereka hancurkan menjadi lingkungan yang berserakan oleh dahan-dahan kayu dan cabang-cabang pepohonan yang patah.
Sejenak anak-anak muda itu berdiri termangu-mangu. Mereka menyadari, bahwa orang tua itu tentu akan menjadi marah kepada muridnya yang menjabat sebagai Buyut di Kabuyutan Tapakgawe itu.
Namun agaknya yang terjadi itu telah memberikan sedikit pengalaman bagi Ki Buyut muda itu. Untuk selanjutnya ia akan menjadi lebih berhati-hati menghadapi persoalan yang terjadi di Kabuyutannya. Ia tidak akan sekedar mendengarkan keterangan orang-orangnya, mempercayainya dan mengambil tindakan. Karena ternyata sebagaimana dilakukan, ia telah salah langkah.
Selain itu, ternyata Ki Buyut itu pun tidak mengetahui apa yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induknya. Ki Buyut itu ternyata tidak tahu, bahwa ada satu kebiasaan yang sangat mengerikan telah dilakukan oleh orang-orang dari salah satu padukuhan di Kabuyutan Tapakgawe. Orang-orang yang merasa dirinya pemburu-pemburu yang tidak pernah gagal.”
Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti berkata, “Kita dapat melanjutkan perjalanan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Tentang akan terjadi perubahan di Kabuyutan itu. Seandainya kita mendapat kesempatan lain kali untuk lewat lagi di Kabuyutan ini, maka kita tentu akan menjumpai keadaan yang sangat berbeda.”
“Ya,” Mahisa Murti mengangguk-angguk. “kita dapat memastikannya.”
Demikianlah maka keempat orang itu pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka masih tetap berpegang pada ancar-ancar arah yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Namun, ketika mereka sempat beristirahat di sebuah gumuk kecil yang sepi di tengah-tengah padang perdu, maka Mahisa Murti itu pun berdesis, “Selama ini kita memang pernah mempergunakan berbagai macam dasar ilmu dan bahkan bersama-sama. Tetapi kita belum pernah secara bersungguh-sungguh mengkaji kemungkinan untuk menyusun satu kekuatan yang tersusun dengan meluluhkan dasar-dasar ilmu itu. Kita pernah mendapatkan dorongan kekuatan untuk meningkatkan alas kemampuan kita. Kita memiliki puncak ilmu yang kita warisi dari ayah dan kita pun mewarisi ilmu yang sangat berarti dari Sang Akuwu Lemah Warah serta beberapa macam ilmu yang lain, termasuk kemampuan menghisap kekuatan ilmu lawan-lawan kita. Selama ini kita memang dapat melepaskan bersama-sama. Namun kita belum pernah membuat satu susunan yang lebih teratur, tataran demi tataran serta mendapatkan satu ungkapan ilmu dasar yang mencakup semuanya itu.”
“Kita memerlukan waktu yang panjang,” berkata Mahisa Pukat.
“Tentu. Tetapi apakah kita tidak dapat memulainya? Yang dikatakan oleh Adyan Akenan memang telah menggerakkan niatku untuk memulainya, sehingga apa yang kita ungkapkan bukan sekedar potongan-potongan ilmu yang saling sambung-menyambung, namun akan merupakan satu kesatuan, meskipun kita tidak perlu menyembunyikan sumber-sumbernya,” berkata Mahisa Murti.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita mempunyai banyak waktu untuk merenung dalam perjalanan kembali. Di saat-saat Mahisa Semu memantapkan ilmu dasar kita dapat serba sedikit mengamati apa yang ada di dalam diri kita,” sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia tidak menentang niat Mahisa Murti, meskipun Mahisa Pukat sudah membayangkan beberapa kesulitan yang akan dihadapinya. Tetapi Mahisa Pukat-pun percaya bahwa kesulitan-kesulitan itu akan sangat bersifat ke kedalaman sehingga lebih tergantung kepada mereka berdua. Namun Mahisa Pukat yakin pula, bahwa kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi.
Bahkan jika mereka berhasil, maka akan tersusun sejenis aliran ilmu yang dahsyat karena unsur-unsur yang akan bergabung dan tersusun kembali itu memang ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagai anak-anak muda, maka keduanya tidak segera menjadi puas. Ternyata perjalanan mereka telah membentuk mereka menjadi orang-orang yang gelisah menilai ilmu mereka sendiri! Ketika mereka mendengar seseorang menyebut berbagai macam sumber, maka hati mereka telah tergerak untuk menyatakan diri mereka.
“Ilmu yang tersusun sebagai ungkapan ilmu dari padepokan Bajra Seta,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Besok kita dapat mulai.”
“Malam nanti pun kita dapat mulai melihat kembali setiap unsur gerak,” berkata Mahisa Murti.
“Jangan malam nanti,” berkata Mahisa Pukat, “aku ingin tidur nyenyak.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Besok, selama kita beristirahat dari perjalanan panjang kita, kita berbicara tentang unsur-unsur itu, sementara Mahisa Semu dapat mempergunakan waktunya untuk berlatih serba sedikit.”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Amping pun bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat Mahisa Semu pun berpaling bersama-sama sambil tersenyum. Dengan Sorot mata yang tajam anak itu memandangi ketiga orang kakak angkatnya itu berganti-ganti. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
“Kau pun akan mulai dengan latihan-latihan untuk menerima ilmu yang mudah-mudahan lebih baik dari ilmu yang pernah kau pelajari dan terpaksa kami musnahkan.”
“Sudah terlalu lama aku menunggu,” berkata anak itu.
“Bukankah sebenarnya kau sudah mulai? Kau sudah mulai dengan latihan-latihan ketahanan tubuh. Penguasaan tubuh dan keseimbangan tubuh. Itu merupakan modal yang sangat penting bagimu,” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi aku pernah berlatih dan menguasai unsur-unsur gerak dari satu ilmu kanuragan,” berkata anak itu, “meskipun kemudian ternyata ilmu itu sesat dan sudah dihilangkan. Namun aku pernah berlatih dengan keras.”
“Bagus,” jawab Mahisa Murti, “aku tahu bahwa Kau pun ingin berlatih dengan keras untuk mencapai satu tataran setidak-tidaknya sama dengan yang pernah kau capai sebelumnya, tetapi yang ladasan ilmu itu sudah kami hapuskan.”
“Ya,” jawab Mahisa Amping.
“Dan sebenarnyalah kau sudah mulai membangun landasan baru. Tetapi ujudnya sajalah yang belum nampak bentuknya,” berkata Mahisa Murti pula.
Anak itu mengangguk-angguk. Ia sempat mengenang masa lalunya sekilas. Ia sempat mengenang bahwa ia pernah memiliki kemampuan ilmu meskipun baru mulai. Tetapi yang ternyata ilmu yang sesat yang apabila diteruskan, akan dapat mempengaruhi bukan saja tatanan dalam tubuhnya, tetapi juga syarafnya, sehingga ia tidak mampu lagi mempergunakan nalar budinyadengan sewajarnya.
Karena anak itu tidak menjawab, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, sambil menempuh perjalanan, kau akan dapat mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak dasar dari ilmu kami. Tetapi kau sudah mendengar bahwa kami ingin menyusun satu ilmu yang utuh, luluh dan bukan sekedar potongan-potongan ilmu yang sekedar disusun begitu saja. Meskipun sebelumnya kami juga sudah mencoba meluluskan dalam satu kesatuan bentuk, tetapi ternyata masih nampak terpisah-pisah sebagaimana dikatakan oleh Adyan Akenan.”
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada kakang.”
“Sebaiknya kau pelajari alasnya yang paling mendasar,” berkata Mahisa Murti, “unsur-unsur gerak yang paling umum dari olah kanuragan, sehingga dapat dilakukan oleh siapapun juga sebagai persiapan untuk memasuki satu aliran ilmu tertentu. Akan lebih baik jika pada saatnya nanti, kau adalah anak yang pertama kali belajar olah kanuragan dengan cara yang paling baru yang akan kami susun sesuai dengan watak dan dasar perguruan kami tanpa meninggalkan sumber-sumber ilmu yang pernah kami pelajari.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Ia kurang memahami kata-kata Mahisa Murti. Tetapi ia menjawab, “Aku akan belajar dengan cara yang kalian tunjukkan kepadaku.”
“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “kau akan mulai dengan membentuk, menguasai dan mampu memanfaatkan bagian-bagian dari tubuhmu.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari sesuatu yang paling baik bagi pertumbuhan ilmu mereka. Dengan demikian maka mereka akan memasuki satu aliran tersendiri tanpa menyembunyikan sumber-sumber ilmu mereka.
Tetapi hari itu Mahisa Pukat benar-benar ingin beristirahat. Ia tidak mau melakukan sesuatu yang dapat membuatnya semakin letih lahir dan batin. Meskipun ia tidak menangani secara langsung, tetapi peristiwa yang terjadi di padukuhan itu benar-benar menyakitkannya. Namun setelah beristirahat secukupnya, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka singgah di sebuah kedai untuk makan dan minum.
Kemudian Mahisa Pukat itu pun berkata, “Kita akan bermalam di sebuah banjar padukuhan. Rasa-rasanya untuk malam ini lebih menyenangkan daripada tidur di tempat terbuka.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kau menjadi manja hari ini.”
Sebenarnyalah, maka mereka pun telah berjalan mengikuti jalan induk sebuah padukuhan yang besar. Mereka yakin, bahwa banjar padukuhan itu akan terletak di pinggir jalan induk yang membelah padukuhan itu. Akhirnya, mereka benar-benar menemukan banjar padukuhan yang cukup megah. Banjar padukuhan yang bukan saja cukup besar sebagaimana padukuhan itu sendiri. Tetapi juga nampak terpelihara rapi.
Ternyata orang yang bertugas memelihara banjar dan bertempat tinggal di belakang banjar itu adalah orang yang ramah. Seorang yang sudah menjelang usia tuanya yang agaknya hidup seorang diri.
“Tidurlah di sini anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “Kalian dapat tidur di serambi tanpa mengganggu kegiatan anak-anak muda di banjar itu.”
“Apa saja kegiatan mereka?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka memanfaatkan kehadiran seorang yang memiliki ilmu yang tinggi,” berkata orang tua itu.
Anak-anak itu tidak bertanya lagi. Sementara itu, maka mereka pun telah duduk di sebuah amben yang besar di serambi belakang banjar.
“Aku benar-benar akan tidur malam ini,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak mau mencampuri persoalan apapun yang dapat saja timbul di sini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Aku kira kita tidak akan menemui persoalan apapun.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka masih belum juga dapat berbaring, karena hari masih terlalu sore untuk dapat tidur. Ternyata bahwa penunggu banjar itu benar-benar orang yang baik. Anak-anak muda itu telah diberinya minuman dan sekedar makanan. Sementara itu, langit pun menjadi semakin gelap.
Setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Sudah pantas untuk tidur sekarang.”
“Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kapan kau akan dibangunkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Menjelang pagi,” jawab Mahisa Pukat sambil bergeser menepi, “aku akan tidur di tepi saja.”
Mahisa Semu lah yang kemudian berkata kepada Mahisa Amping, “Kau tidur sajalah. Hari sudah mulai malam.”
Mahisa Amping agaknya justru belum mengantuk. Meskipun ia pun kemudian berbaring di sebelah Mahisa Pukat, tetapi ia masih belum memejamkan matanya.
Sementara itu, ternyata anak-anak muda mulai berdatangan di banjar. Seperti yang dikatakan oleh penunggu banjar itu, agaknya mereka sedang mempelajari olah kanuragan serba sedikit, justru karena di padukuhan itu sedang hadir seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi anak-anak muda itu memang tidak mau melibatkan diri. Karena itu, mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu di banjar. Namun demikian mereka mendengar juga aba-aba dengan cara yang banyak dipergunakan. Orang yang disebut berilmu tinggi itu mempergunakan cara hitungan untuk memberi aba-aba kepada anak-anak muda yang belajar kepadanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih sempat mendengar seseorang setiap kali menghitung sampai sepuluh. Bukan delapan atau angka-angka lainnya.
“Ia mempunyai cara hitungan tersendiri,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu mengangguk kecil. Sebenarnya ia ingin melihat apa yang dilakukan oleh anak-anak muda di pendapa banjar itu. Tetapi nampaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar tidak ingin terlibat apapun juga malam itu. Karena itu, maka Mahisa Semu pun kemudian lebih baik duduk-duduk saja di serambi itu. Agaknya ia pun belum juga mengantuk seperti Mahisa Amping.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Kau belum mengantuk?”
“Belum,” jawab Mahisa Semu.
“Jika demikian, biarlah aku tidur lebih dahulu. Jika kau sudah mengantuk, bangunkan aku. Aku akan berganti berjaga-jaga. Jika aku mengantuk lagi, maka aku akan membangunkan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Murti.
“Tidurlah,” berkata Mahisa Semu kemudian.
Mahisa Murti pun kemudian telah berbaring di sebelah Mahisa Amping, sehingga Mahisa Amping berada di antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, Mahisa Semu duduk bersandar tiang serambi itu.
Sampai tengah malam ternyata tidak ada yang mengusik mereka. Anak-anak muda yang sempat melihat mereka, ternyata tidak menghiraukan sama sekali. Agaknya memang sudah sering terjadi orang yang kemalaman dalam perjalanan kemudian minta untuk bermalam di banjar padukuhan itu. Tetapi pada tengah malam, penunggu banjar itu telah datang ke serambi untuk mempersilahkan anak-anak muda itu makan.
“Terima kasih,” jawab Mahisa Semu, “kami sudah terlalu banyak makan makanan yang Ki Sanak berikan kepada kami serta minuman hangat itu.”
“Ah, tidak baik menolak rejeki,” berkata orang tua itu.
Mahisa Semu terpaksa membangunkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk makan bersama para peronda di gandok samping. Sedangan Mahisa Amping ternyata masih belum tidur juga.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan terima kasihnya serta mohon maaf karena mereka sudah terlalu kenyang, orang tua itu berkata pula, “Tidak baik menolak rejeki. Aku akan kecewa sekali jika kalian tetap menolak.”
Karena itulah, maka mereka berempat telah diajak pergi ke gandok. Ternyata para peronda agaknya telah selesai makan, sehingga mereka tinggal berempat sajalah yang makan.
Tetapi orang tua itu berkata, “Nanti, setelah latihan itu selesai, mereka juga akan makan. Tetapi tidak di sini karena ini adalah makan yang disediakan bagi para peronda. Mereka, yang sedang berlatih itu akan makan di pendapa.”
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Semu yang makan di gandok itu sempat melihat latihan yang dilakukan oleh anak-anak muda padukuhan itu sampai lewat tengah malam. Latihan yang masih permulaan sekali. Namun demikian anak-anak muda itu memang tertarik pada cara latihan yang agak berbeda yang dilakukan oleh anak-anak muda itu sesuai dengan petunjuk orang yang dianggap berilmu tinggi itu.
“Berapa hari mereka sudah berlatih?” bertanya Mahisa Pukat.
Yang lain tidak menjawab, karena mereka juga tidak mengetahuinya. Namun ketika seorang di antara para peronda mengambil minuman ditempat mereka makan, maka Mahisa Murti menyempatkan diri untuk bertanya, “Ki Sanak. Sudah berapa hari latihan-latihan ini diselenggarakan?”
“Sudah lama,” jawab anak muda yang meronda itu.
“Apakah Ki Sanak juga ikut serta?” bertanya Mahisa Murti selanjutnya.
“Tidak. Hanya beberapa orang terpilih sajalah yang boleh mengikuti. Aku tidak termasuk di antara mereka.”
“Sejak kapan latihan-latihan ini dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Sudah sejak kira-kira sepuluh hari yang lalu,” jawab anak muda itu.
“Apakah mereka yang ikut latihan itu termasuk anak-anak muda yang memang telah memiliki kemampuan dalam olah kanuragan sebelumnya?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Tidak,” jawab peronda itu, “semuanya sama sekali belum pernah berlatih olah kanuragan.”
“Jadi atas dasar apa orang yang berilmu tinggi itu memilih di antara kalian?” bertanya Mahisa Pukat agak mendesak.
“Aku tidak tahu. Orang itu hanya melihat kami seorang demi seorang. Menyuruh kami bergerak-gerak sedikit. Kemudian menentukan siapakah yang boleh ikut dan siapa yang tidak.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun anak muda itulah yang kemudian justru bertanya, “Nampaknya kalian juga tertarik pada olah kanuragan?”
“Ah,” desah Mahisa Pukat, “bagaimanapun juga kami menginginkannya, tetapi kesempatan itu tentu sulit kami dapatkan.
Peronda itu tertawa. Katanya, “Jangankan kau, aku pun tidak mendapatkan kesempatan itu.”
Karena anak-anak muda itu tidak bertanya lagi, maka peronda itu pun kemudian telah kembali ke gardu sambil membawa semangkuk minuman. Namun sejenak kemudian seorang peronda yang lain telah datang lagi. Ternyata ia baru saja datang sehingga belum sempat makan bersama kawan-kawannya. Selagi makanan dan minuman belum disingkirkan oleh penunggu banjar itu, maka ia pun telah memerlukan untuk makan bersama-sama dengan para pengembara itu.
Sambil makan Mahisa Pukat pun sempat bertanya, “Ki Sanak tidak ikut latihan-latihan itu?”
Ternyata jawabnya sama dengan kawannya yang terdahulu. Demikian pula jawaban atas pertanyaan anak-anak muda itu yang lain. Namun yang belum ditanyakan sebelumnya adalah pertanyaan Mahisa Semu, “Siapakah orang yang melatih olah kanuragan itu?”
Peronda itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tidak banyak diketahui. Orang itu juga pengembara seperti kalian. Tetapi ia memiliki ilmu yang tinggi yang dapat disebar luaskan. Ia tidak mengharapkan imbalan apapun juga, kecuali sedikit uang untuk bekal perjalanannya kemudian.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan demikian maka mereka mengerti serba sedikit alasan kenapa orang itu bersedia memberikan latihan-latihan khusus bagi anak-anak muda padukuhan itu.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Darimana kalian tahu bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi sehingga anak-anak muda padukuhan ini belajar kepadanya?”
Peronda itu memandang Mahisa Murti sekilas. Tetapi sambilmengerutkan keningnya ia menjawab, “Orang itu sendiri yang menyatakan diri, memberikan beberapa peragaan tentang ilmunya dan kesediaannya memberikan latihan-latihan.”
Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Mereka tidak mau menarik perhatian orang-orang padukuhan itu, sehingga mungkin dapat melibatkan mereka kedalam satu persoalan yang tidak mereka kehendaki.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terutama memang menjadi cemas melihat latihan yang tidak mapan itu. Jika hal semacam itu dipaksakan dan apalagi ditingkatkan, maka akan dapat berakibat buruk, meskipun tidak selalu. Tubuh anak-anak muda yang mengikuti latihan itu justru akan dapat menjadi kesakitan, bahkan terluka di dalam meskipun perlahan-lahan, sehingga sebelum luka itu menjadi parah, orang itu tentu sudah terpaksa menghentikan latihan-latihannya tanpa berhasil.
Namun meskipun demikian, latihan-latihan itu termasuk cara yang berbahaya. Tetapi anak-anak muda itu memang sudah berniat untuk tidak melibatkan diri ke dalam persoalan di padukuhan itu. Karena itu, maka mereka pun tidak memberikan tanggapan yang akan dapat menarik perhatian.
Sambil menunggu sejenak, mereka sempat memperhatikan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu. Semakin lama jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berdebar-debar. Dalam sepuluh hari sudah mulai nampak ketidak wajaran dalam latihan-latihan itu.
Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu selain sekali-sekali saling berpandangan. Bahkan Mahisa Semu pun kemudian menjadi berdebar-debar juga. Sebagai seorang yang masih berada pada tataran pertama, Mahisa Semu memang belum memiliki kemampuan penilaian sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ia sudah mampu melihat sesuatu yang lain dari yang pernah dilakukannya.
Sementara ketiga orang anak muda itu memperhatikan latihan yang sedang berlangsung, maka Mahisa Amping ternyata tidak dapat menahan kantuknya lagi. Ia pun tanpa disadari justru telah tertidur di belakang Mahisa Murti.
“He,” Mahisa Semu yang melihatnya tidur berusaha untuk membangunkannya. Tetapi Mahisa Murti telah memberi isyarat untuk membiarkannya saja.
Sejenak kemudian, ketika peronda yang makan itu sudah selesai, maka ia pun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah. Aku sudah selesai.”
“Kami juga,” jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami menunggui adik kami yang baru saja tertidur. Nanti, jika tidurnya sudah nyenyak akan kami angkat ke serambi.”
Ketika peronda itu pergi, maka penunggu banjar itu pun telah datang pula untuk menyingkirkan makanan dan minuman yang masih tersisa. Tetapi ketika ia melihat anak-anak muda yang bermalam di banjar itu masih ada di situ, maka ia pun berkata, “Silahkan. Jangan tergesa-gesa.”
“Kami sudah selesai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami menunggu adikku yang tertidur. Baru saja. Jika kami angkat sekarang, ia akan terbangun.”
“Oo,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sambil menyingkirkan makanan dan minuman ia berkata, “Tunggu sajalah sampai ia menjadi nyenyak.”
Ternyata Mahisa Amping dapat dijadikan alat untuk tidak menarik perhatian selama ketiga orang anak muda itu duduk di tempatnya sambil melihat-lihat latihan itu. Latihan itu ternyata masih berlangsung beberapa lama. Ketiga anak muda itu melihat mereka yang berlatih telah menjadi sangat payah. Mereka seperti orang yang justru telah terluka dalam, namun memaksa diri untuk tetap melakukan latihan-latihan yang cukup berat.
Ketika penunggu banjar itu lewat, maka Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Apakah biasanya latihan itu berlangsung sampai pagi?”
“Tidak,” jawab penunggu banjar itu, “sebentar lagi mereka menjadi seperti orang mabuk dan kehabisan tenaga sehingga dengan sendirinya latihan itu berhenti. Aku dan kawan-kawanku akan segera menyediakan makan dan minum bagi mereka yang kelelahan itu. Bahkan kemarin malam, ada ampat orang yang pingsan karena letih dan keringat yang terlalu banyak keluar.”
“Apa kata pelatih itu tentang mereka yang menjadi pingsan itu,” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak apa-apa,” jawab penunggu banjar itu, “menurut pelatih itu, peristiwa seperti itu biasa sekali terjadi pada mereka yang berlatih dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Tetapi ia menjadi berdebar-debar melihat akibat yang dapat terjadi kemudian. Jika latihan itu berlangsung sepuluh hari lagi, maka tentu ada di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi berjalan dan bahkan dapat menjadi lumpuh. Mungkin tangannya, mungkin kakinya tetapi mungkin juga jantungnya. Jika yang menjadi lumpuh itu jantungnya, maka itu berarti bahwa segalanya telah selesai.
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Nampaknya penunggu banjar itu kemudian telah mempersiapkan tempat untuk menyediakan ketiga anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu berharap agar latihan itu cepat selesai. Sebenarnyalah seperti yang diduga, bahwa malam itu pun tentu akan ada lagi yang menjadi pingsan.
Beberapa saat kemudian, maka dua orang anak muda itu telah menjadi pingsan dan dibawa menepi. Sejenak kemudian disusul lagi seorang di antara mereka. Seorang lagi dan seorang lagi, sehingga akhirnya menjadi lima orang. Baru kemudian, pelatih itu menghentikan latihan sambil berkata,
“Kalian memang sudah berlatih dengan bersungguh-sungguh. Lima orang menjadi pingsan. Tetapi ia tidak apa-apa. Dengan demikian berarti bahwa kalian memang telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Jangan dicemaskan mereka yang sedang pingsan. Mereka akan segera sadar kembali. Besok mereka akan dapat memasuki latihan lagi dengan tubuh yang segar.”
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang baru saja mengadakan latihan itu telah beristirahat. Mereka nampak sangat lelah. Satu dua orang masih berjalan-jalan di halaman banjar untuk mengendorkan urat-urat mereka yang terasa menjadi sangat tegang.
“Kita tidak akan ikut campur,” desis Mahisa Pukat tiba-tiba.
Mahisa Murti mengangguk sambil mengulang, “Malam ini kau akan tidur nyenyak. Marilah. Latihan itu sudah selesai.”
Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Ada baiknya kita berbicara dengan pelatih itu.”
“Jangan sekarang. Bukankah kau akan tidur semalam suntuk,” sahut Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat menarik nafas dan berkata, “Jarang sekali aku membatalkan rencanaku. Tetapi kali ini agaknya terpaksa, karena kita tidak mempunyai waktu yang lain. Besok kita harus meninggalkan banjar ini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kita memang tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu, kita agaknya harus melakukannya sekarang.”
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Biarlah aku yang melakukannya. Kau tentu masih mudah menjadi marah karena peristiwa yang baru saja terjadi kemarin.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Kami akan tetap berada di sini.”
Mahisa Pukat pun kemudian beringsut dan turun ke halaman. Ia memang menjadi ragu-ragu ketika kemudian ia melihat satu-satu anak-anak muda itu pergi ke pakiwan, membersihkan diri sebelum mereka makan. Sementara penunggu banjar itu mulai mengatur makan dan minum mereka.
Tetapi demikian Mahisa Pukat melihat anak-anak muda itu makan dengan pandangan yang kuyu dan tubuh yang sangat letih, maka niatnya itu pun telah timbul kembali. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melangkah mendekati mereka.
Ketika ia berdiri di dekat anak-anak muda yang letih itu maka seseorang telah bertanya, “Kau siapa? Dan kau mau apa?”
“Aku akan berbicara dengan pelatih kalian,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau mau berbicara apa?” bertanya anak muda itu.
“Aku ingin ikut berlatih seperti kalian tadi,” berkata Mahisa Pukat.
“He?” anak muda itu heran, “kita sudah sekitar sepuluh hari berlatih. Bagaimana mungkin kau akan ikut? Anak-anak muda padukuhan ini pun tidak semuanya dapat ikut berlatih.”
“Tetapi aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan pelatih itu.”
“Terserah kepadamu,” jawab anak muda itu.
Nampaknya pembicaraan itu memang menarik perhatian pelatihnya yang sedang ikut makan bersama-sama dengan anak-anak muda yang sangat letih itu. Bahkan yang pingsan, yang telah menjadi sadar itu pun telah ikut makan pula. Tetapi mereka makan terlalu sedikit. Tubuh mereka rasa-rasanya sulit merekakuasai lagi.
Guru yang memimpin latihan itu, yang disebutnya orang berilmu tinggi itu memang bangkit dan melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya, “Kau mau apa anak muda?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kebetulan sekali. Aku ingin berbicara denganmu.”
Orang yang disebut berilmu tinggi itu mengerutkan keningnya. Dengan angkuh ia berkata, “He, kau berani bersikap seperti itu kepadaku?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jadi aku harus bersikap bagaimana?”
Orang itu tiba-tiba menjadi marah. Katanya, “Duduk dan berkata dengan baik.”
“Apa salahnya jika aku berdiri saja? Sebenarnya soalnya bukan soal aku ingin ikut berlatih. Tetapi aku ingin bertanya tentang beberapa hal dari latihan-latihan yang telah kau selenggarakan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Apa yang ingin kau tanyakan? Jika kau tidak tahu apa-apa tentang ilmu kanuragan, maka kau tidak usah mencoba-coba mencampurinya,” geram orang itu.
“Apakah kau ada waktu untuk berbicara sebentar?” minta Mahisa Pukat.
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Aku adalah pengembara yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Malam ini kami sampai di padukuhan ini dan mendapat belas kasihan untuk bermalam di banjar. Orang-orang padukuhan ini ternyata terlalu baik kepadaku, sehingga aku tidak mampu sampai hati untuk berdiam diri melihat keadaan ini.”
“Keadaan yang bagaimana? Aku berusaha berbuat baik di sini. Aku tengah melatih anak-anak muda untuk mendapatkan ilmu yang akan berarti bagi hidupnya,” berkata orang itu.
“Itulah yang akan aku bicaranya denganmu,” berkata Mahisa Pukat.
“Apa yang akan kau bicarakan? Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan?” bertanya orang itu.
“Langkah-langkah yang kau ambil untuk memberikan latihan-latihan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Kenapa?” orang itu menggeram.
“Aku ingin berbicara dengan kau sendiri Ki Sanak. Tidak di hadapan anak-anak muda ini, jawab Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menjadi sangat marah dan membentak, “Pergi. Atau aku akan mengusirmu?”
“Jangan begitu,” desis Mahisa Pukat, “beri kesempatan aku berbicara.”
Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan Mahisa Pukat. Tiba-tiba ia berkata kepada anak-anak muda yang letih dan sedang makan itu, “Usir orang-orang itu.”
Mahisa Pukat surut selangkah. Katanya, “Jangan. Biarlah mereka beristirahat. Mereka sangat letih sehingga jika mereka memaksa diri, maka mereka akan dapat mengalami kesulitan dalam tubuh mereka. Mungkin parah sekali.”
Tetapi orang itu berteriak, “Usir orang itu dan orang-orang yang bersamanya.”
Mahisa Pukat memang menjadi bingung sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kenapa kau perintahkan murid-muridmu untuk mengusir aku? Sebenarnya aku bermaksud baik. Jika kau mau mendengarkan aku, maka aku kira kau akan mendapat keuntungan. Bukan saja sekarang, tetapi pada masa-masa mendatang.”
“Aku tidak peduli,” bentak orang itu, “aku tidak mau orang lain mencampuri persoalanku. Apalagi kalian adalah pengembara yang tidak berharga.”
Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Namun beberapa orang anak muda yang sedang makan itu telah bangkit. Betapapun tubuh mereka menjadi sangat letih, namun mereka harus menjalankan perintah pelatih mereka yang bertindak sebagai guru mereka.
Ternyata Mahisa Pukat lah yang tidak sampai hati untuk melawan anak-anak muda yang tidak berdaya lagi itu. Karena itu, maka sebelum anak-anak itu bertindak, Mahisa Pukat telah melangkah meninggalkan mereka dan kembali menemui Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
“Aku tidak dapat melakukannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Langkahmu sudah benar,” berkata Mahisa Murti yang masih saja duduk, “jika anak-anak itu dipaksa untuk bergerak lagi, maka mereka akan mengalami kesulitan. Banyak di antara mereka akan menjadi pingsan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun anak-anak muda yang mengaku pengembara itu terkejut ketika mereka melihat anak-anak muda itu tidak melepaskannya meskipun ia sudah menyingkir. Agaknya pelatih mereka yang mereka sebut sebagai guru mereka itu, masih tetap memerintahkan murid-muridnya untuk mengusir anak-anak muda itu dari banjar.
Dalam pada itu, penunggu banjar yang melayani mereka makan terkejut melihat hal itu. Ketika anak-anak muda yang letih itu mendekati mereka yang mengaku pengembara itu, maka penunggu banjar yang tidak mau tahu persoalannya itu menjadi heran. Apalagi ketika ia melihat wajah-wajah yang memancarkan kebencian dan kemarahan.
“Pergi dari sini,” terdengar salah seorang di antara anak-anak muda yang berlatih itu berteriak.
Tetapi penunggu banjar itulah yang menjawab, “Mereka adalah pengembara yang minta belas kasihan kita untuk memberikan tempat bermalam di banjar ini.”
“Tetapi ia sudah menghina guru,” jawab anak-anak itu.
Penunggu banjar itu berpaling kepada anak-anak muda yangmengaku pengembara itu, “Apa yang telah kalian lakukan?”
Mahisa Pukat memandang penunggu banjar yang baik hatiitu. Ia tidak ingin penunggu banjar itu menyalahkannya pula dan menganggapnya orang yang tidak tahu berterima kasih. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjawab, “Aku ingin berbicara dengan orang yang memberikan latihan-latihan itu. Tetapi ia salah paham. Ia mengira aku telah menghinanya.”
“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya penunggu banjar itu.
“Maksudku baik Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat, “aku ingin memberikan saran kepadanya, karena aku melihat sesuatu yang kurang wajar telah terjadi.”
“Kau? Kau akan memberikan saran?” Penunggu banjar itu mulai menjadi marah juga, “ternyata kau menyalah-gunakan kesempatan yang telah aku berikan kepadamu.”
“Tidak Ki Sanak,” suara Mahisa Pukat memang agak berubah, “dengar. Jika aku berusaha memberikan saran kepada pelatih itu, justru karena aku merasa bahwa aku telah diperlakukan dengan sangat baik di sini. Sebagai pernyataan terima kasih, maka aku berusaha untuk memberikan peringatan kepadanya, barangkali ia sedang lupa atau karena alasan lain, maka ia telah salah langkah.”
“Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan?” bertanya penunggu banjar itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin berbicara langsung dengan pelatih itu tanpa ada orang lain. Maksudku, agar ia tidak merasa berkecil hati. Tetapi ia menolak sehingga jika terpaksa aku akan mengatakannya di muka orang banyak.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu,” jangan beri kesempatan ia mengigau. Usir saja ia dari banjar ini. Ia sudah mencemarkan nama baik padukuhan ini.”
“Terserah kepada kalian,” berkata Mahisa Pukat, “jika kami harus pergi, kami akan pergi. Tetapi niatku baik. Aku melihat ketidak wajaran dalam latihan-latihan ini.”
“Ketidak wajaran yang bagaimana?” bertanya penunggu banjar itu.
“Cukup,” teriak pelatih itu, “usir orang itu. Cepat. Atau aku sendiri harus turun tangan.”
Ternyata anak-anak yang masih kelelahan itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka telah melangkah mendekati anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.
“Tunggu,” penunggu banjar itu ingin mencegah.
Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya. Bahkan seorang di antara anak-anak muda itu telah berusaha untuk mendorongnya menepi. Tetapi karena penunggu banjar itu bertahan, maka orang yang mendorongnya itu telah mengerahkan sisa kekuatannya.
Namun yang terjadi adalah di luar dugaan. Orang tua penunggu banjar itu bagi anak muda yang kehabisan tenaga itu bagaikan dorongan kekuatan yang sangat besar. Sisa tenaga anak muda itu yang memental balik telah memukul bagian dalam tubuhnya yang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka anak muda itu telah terhuyung-huyung sesaat. Kemudian ia telah jatuh terguling di tanah. Pingsan.
Semua orang terkejut karenanya. Mahisa Pukat segera berlari mendekatinya dan berjongkok di sampingnya, disusul oleh Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang meninggalkan Mahisa Amping tertidur di tempatnya. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Pukat menempelkan telinganya di dada anak muda itu. Detak jantungnya masih terdengar. Tetapi sangat lemah. Darahnya pun seakan-akan sudah tidak mampu mengaliri tubuhnya lagi.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kemudian sambil berdiri, “ini adalah salah satu contoh kenapa aku ingin berbicara dengan orang yang kalian anggap sebagai guru kalian itu.”
Beberapa orang memandanginya dengan penuh pertanyaan. Sementara itu orang yang dianggap anak-anak muda itu sebagai gurunya telah berdiri pula di dekatnya.
“Ia tidak apa-apa,” geramnya, “ia anak manja. Ternyata ia tidak pantas menjadi muridku untuk selanjutnya. Nah, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti jejaknya dan meninggalkan latihan-latihan?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka orang itu pun telah berteriak, “Jika tidak ada, maka dengar sekali lagi perintahku. Usir mereka. Sekarang dan semuanya.”
Tetapi dengan cepat Mahisa Pukat menyahut, “Kau tidak melihat apa yang telah terjadi? Apakah kau tidak percaya bahwa kau telah telah melakukan kesalahan pada latihan-latihan yang telah kau lakukan? Itulah yang akan aku katakan kepadamu. Kau telah melakukan kesalahan-kesalahan pokok pada latihan-latihan yang kau lakukan, sehingga justru akan menghambat dan bahkan menganggu peredaran darah mereka. Mereka akan cepat menjadi lelah dan tenaganya akan cepat pula terkuras. Sementara itu, tenaga mereka akan lambat sekali untuk dapat pulih kembali.”
“Omong kosong,” bentak pelatih itu, “jangan dengarkan kata-katanya. Lakukan perintahku, atau latihan-latihan aku hentikan untuk seterusnya. Aku akan meninggalkan padukuhan ini sebelum kalian memiliki kemampuan sebagaimana aku janjikan.”
“Lihatlah kepada diri sendiri,” dengan cepat pula Mahisa Pukat menyahut, “apakah kalian masih merasa mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu?”
“Aku akan menghitung sampai tiga,” teriak orang yang menjadi pelatih itu.
Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu telah mulai menghitung. Ketika Mahisa Semu kemudian bersiap, Mahisa Murti berbisik ditelinganya, “Jangan melawan. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan jika kau menolak tenaga mereka, maka mereka akan dapat terjatuh dan bahkan bagi yang tubuhnya terlalu lemah, akan dapat menjadi pingsan seperti anak itu.”
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian telah mengangguk-angguk. Ia memang selalu percaya kepada keterangan kedua orang anak muda yang menjadi saudara angkatnya itu. Ketika hitungan itu sampai ke tiga, maka anak-anak muda itu benar-benar mulai bergerak. Mereka telah mengepung ketiga orang anak muda yang mengaku pengembara itu dengan mengabaikan anak kecil yang sedang tidur nyenyak.
Sementara itu, anak-anak muda yang meronda, yang tidak ikut dalam latihan-latihan yang melelahkan itu, memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka memang melihat sikap Mahisa Pukat yang mereka anggap terlalu berani. Tetapi juga tidak seharusnya mengalami perlakuan yang terlalu keras seperti itu.
Tetapi Mahisa Pukat sendiri ternyata tidak berbuat apa-apa. Ia berdiri saja tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Kedua tangannya tergantung di sisinya tanpa menunjukkan kesiagaan untuk berkelahi melawan anak-anak muda yang mengepungnya itu.
Namun orang yang menganggap dirinya guru itu berteriak, “Sekarang. Usir mereka.”
Anak-anak muda itu memang mulai melangkah maju dengan tenaga yang masih tersisa. Seorang di antara mereka berkata,”Pergi. Atau kami harus mempergunakan kekerasan.”
“Jangan mempergunakan kekerasan anak muda,” berkata Mahisa Pukat, “jika kau mencoba untuk melepaskan tenaga, maka kaulah yang akan pingsan. Kami akan meninggalkan banjar ini setelah adikku itu kami bangunkan. Kami tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi, karena kami tidak akan sampai hati melihat penderitaan kalian berkepanjangan.”
Anak-anak muda yang merasa cemas bahwa mereka tidak akan mendapat latihan-latihan lagi dan tidak mencapai tataran ilmu sebagaimana dijanjikan itu telah mulai bergerak. Dua orang di antara mereka tiba-tiba telah berusaha untuk mendorong Mahisa Pukat ke arah regol halaman.
Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha menolak kekuatan itu. Ia sudah bergerak searah dengan dorongan anak muda itu. Namun ternyata akibatnya masih sangat buruk bagi kedua orang yang mendorongnya itu. Keduanya pun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terduduk. Rasa-rasanya kaki mereka sudah tidak mempunyai tulang sama sekali.
Beberapa orang kawannya ternyata tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan perintah gurunya yang berteriak lagi, “jangan cengeng. Jika kalian ingin menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, kalian harus mampu mengatasi keletihan itu.”
Karena itu, maka anak-anak muda yang letih itu telah bersama-sama menyerang anak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sama sekali tidak berusaha melawan. Namun demikian, bukan ketiga orang anak muda itu yang kemudian jatuh, tetapi anak-anak muda yang letih itulah yang tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Merekalah yang satu-satu telah jatuh di tanah. Bahkanada di antara mereka yang menjadi pingsan.
Para peronda yang tidak ikut dalam latihan itu pun telah berkerumun pula. Seorang di antara mereka berteriak, “He, apakah kalian tukang sihir? Atau berilmu iblis?”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Kami tidak berbuat apa-apa. Hal inilah yang akan aku katakan sebagaimana aku sebutkan tadi. Anak-anak muda itu telah mendapat latihan yang salah, sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan wadag mereka sendiri, karena simpul-simpul syaraf mereka perlahan-lahan telah dirusakkan. Bahkan urat nadi dan akhirnya akan sampai ke jantung.”
“Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan,” seorang yang lain di antara para peronda itu bertanya.
“Aku tidak tahu apa-apa. Tetapi lihatlah kenyataan ini. Seorang di antara mereka yang mendorong penunggu banjar yang tua itu pun jatuh dan menjadi pingsan. Penunggu banjar yang baik itu tidak berniat mencelakai anak muda itu. Tetapi karena keadaan tubuhnya yang sangat lemah, maka ia telah pingsan dengan sendirinya,” jawab Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu,” bentak orang yang mengaku dirinya guru itu, “kau tidak tahu apa-apa tentang olah kanuragan. Seorang yang memang berniat berlatih olah kanuragan memang harus berlatih dengan sungguh-sungguh, sehingga tubuhnya menjadi sangat letih. Jika tidak demikian, maka seseorang belum dapat disebut berlatih dengan sungguh-sungguh.”
“Apakah ketika kau berlatih juga mengalami hal seperti anak-anak muda itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab orang itu.
“Jangan bohong. Jika kau berlatih sebagaimana anak-anak muda ini, maka pada umurmu itu, kau tentu sudah mengalami kelumpuhan. Jika yang menjadi lumpuh itu merambat ke jantung, maka hidupmu tentu sudah selesai,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu ternyata menjadi sangat marah. Karena anak-anak muda yang berlatih padanya itu sudah tidak berdaya, maka orang itu berniat untuk menyelesaikan persoalannya dengan para pengembara itu sendiri. Dengan wajah tengadah orang itu melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata,
“Kau adalah sumber kerusuhan ini. Karena itu, maka kau adalah orang yang pertama-tama harus menerima hukumanku. Jika kau termasuk muridku, maka aku cukup mengambil keputusan untuk melepasmu dari lingkungan murid-muridku. Tetapi karena kau orang lain, maka kau harus dihukum.”
“Jangan mengada-ada. Aku berharap bahwa kau akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Bukan sebaliknya kau justru malah akan menghukumku,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau telah menghina perguruanku. Kau sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang cara yang aku tempuh dalam latihan-latihan ini. Tetapi kau dengan sombong telah mengambil satu kesimpulan yang sama sekali salah,” berkata orang itu.
“Tidak. Aku tidak mengambil kesimpulan dengan serta merta. Aku telah melihat cara yang kau tempuh. Sementara itu aku pun sudah mendapat keterangan bahwa latihan-latihan ini sudah berlangsung kira-kira sepuluh hari. Jika demikian, maka dalam waktu sepuluh hari lagi, tanpa ada perubahan dari cara yang kau pergunakan maka anak-anak muda itu akan menjadi lumpuh atau terluka dalam sehingga dapat menjadi cacat atau bahwa mati sama sekali,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau gila. Begitu sombongnya kau sehingga aku tidak dapat mengampunimu lagi. Jangan menyesal, bahwa aku harus menghukummu dan mengusirmu dari padukuhan ini,” geram orang itu.
Mahisa Pukat memang sudah bersiap ketika orang itu meloncat menyerangnya. Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara keduanya. Mahisa Pukat yang terpaksa membela dirinya itu bergeser ketempat yang lebih luas. Sementara itu, para perondapun telah melingkari arena itu menyaksikan pertempuran yang tengah terjadi antara orang yang selama ini mereka kagumi karena ilmunya yang tinggi, melawan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Namun sebegitu jauh, Mahisa Murti masih belum melibatkan dirinya. Demikian pula Mahisa Semu.
Sementara itu, anak-anak muda yang mengikuti latihan dan sedang keletihan itu pun telah berusaha menyaksikan pertempuran itu. Sedangkan penunggu banjar itu pun dengan heran melihat apa yang telah terjadi.
Ternyata silirnya angin malam yang segar telah menyegarkan tubuh mereka yang pingsan sehingga seorang demi seorang mereka telah menjadi sadar. Namun tubuh mereka masih terlalu lemah, sehingga mereka rasa-rasanya masih belum sanggup untuk bangkit. Tetapi demikian mereka menyadari bahwa gurunya tengah bertempur, betapapun sulitnya, mereka berusaha untuk bangkit, duduk sambil menyaksikan pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur semakin sengit dengan orang yang menyebut dirinya guru dari anak-anak muda padukuhan itu. Mula-mula Mahisa Pukat memang menduga, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Mahisa Pukat mulai menduga-duga bahwa orang itu dengan sengaja ingin melumpuhkan kekuatan anak-anak muda padukuhan itu karena maksud tertentu.
“Aku harus mengetahui maksudnya yang sebenarnya dengan caranya yang licik itu,” berkata Mahisa Pukat di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat telah bertempur semakin seru, ia mulai melihat sesuatu yang tidak wajar pada lawannya. Tata geraknya mulai menghentak-hentak. Seakan-akan ia masih mengalami kesulitan untuk melepaskan serangannya atau bahkan di saat-saat ia mengelak. Dengan demikian, maka gerak orang itu menjadi semakin lama semakin lamban.
Anak-anak muda padukuhan itu yang sempat melihat pertempuran itu memang menjadi bingung. Para peronda yang belum tahu sama sekali tentang olah kanuragan, maupun anak-anak muda yang telah berlatih untuk sepuluh hari itu, mulai melihat bahwa orang yang mereka kagumi itu mengalami kesulitan. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat, anak muda yang mengaku pengembara itu mulai dapat mengenainya. Tetapi ternyata Mahisa Pukat telah mulai mengendalikan dirinya, justru disaat lawannya meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Tetapi ternyata bahwa kemarahan Mahisa Pukat itu lambat laun telah menjadi susut. Ia justru merasa kasihan kepada lawannya. Agaknya ia sama sekali tidak bermaksud buruk. Ia hanya sekedar ingin mencari bekal dalam pengembaraannya. Di sepanjang jalan ia telah mencoba memberikan tuntunan olah kanuragan untuk sekedar mendapatkan bekal perjalanannya itu.
Orang itu sama sekali tidak berniat memutar balik ilmu yang dikuasainya atau dengan sengaja mengajarkan tata gerak yang salah kepada anak-anak muda itu, karena dalam tataran yang semakin tinggi, orang itu sendiri mulai mengalami kesulitan.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang berilmu tinggi dengan cepat dapat melihat kekurangan itu. Orang itu sejak tataran mula telah melakukan kesalahan. Semakin tinggi ia berusaha meningkatkan ilmunya, maka kesalahan itu menjadi semakin jelas, karena beberapa unsur geraknya rasa-rasanya telah memukul bagian dalam tubuhnya sendiri, sehingga semakin lama terasa semakin sakit, sementara nafasnya menjadi semakin sesak.
Sedangkan dengan demikian maka Mahisa Pukat menjadi semakin mudah untuk dapat mengenai lawannya. Kesempatan semakin banyak terbuka karena lawannya bergerak terlalu lamban. Tetapi Mahisa Pukat tidak mempergunakan kesempatan itu, karena ia tahu, bahwa lawannya telah terperosok ke dalam satu latihan ilmu yang salah atau sengaja dibuat salah oleh salah orang yang melatihnya.
Karena itu, maka ketika orang itu menjadi semakin mengalami kesulitan, Mahisa Pukat telah meloncat mengambil jarak sambil berkata, “Tunggu. Aku akan bicara.”
Ternyata orang itu masih belum menyadari keadaannya. Dengan geram ia berkata, “Kau akan menyerah?”
“Ternyata kau memerlukan bimbingan khusus untuk memperbaiki ilmumu,” berkata Mahisa Pukat.
“Apa? Kau mengguruiku?” bentak orang itu.
“Tidak. Aku tidak mengguruimu. Tetapi sebagaimana kau lihat, aku juga mampu mengimbangimu. Kau harus melihat kenyataan itu, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku. Bahkan kau semakin mengalami kesulitan,” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong. Jika kau ingin menyerah, menyerahlah,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Mulailah jujur terhadap dirimu sendiri. Kau benar-benar dalam kesulitan. Jika kau memaksa untuk bertempur lebih lama lagi, maka kau akan mengalami nasib seperti anak-anak muda itu.”
“Cukup. Jika kau tidak mau menyerah, kau akan menyesal,” teriak orang itu. Tetapi suaranya mulai diwarnai oleh keragu-raguan yang tumbuh di dalam hatinya. Sebenarnyalah ia merasa bahwa keadaan tubuhnya menjadi kurang sewajarnya. Dadanya terasa semakin sakit sedangkan nafasnya terasa menjadi sesak.
Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, “Ki Sanak. Semula aku berprasangka buruk kepadamu. Aku mengira bahwa kau telah dengan sengaja menghancurkan ketahanan, anak-anak muda padukuhan ini untuk maksud-maksud tertentu. Mula-mula aku mengira bahwa karena di padukuhan ini terdapat banyak orang kaya. Namun ternyata aku salah. Kau dengan tidak sengaja telah menghancurkan kemampuan dan daya tahan anak-anak muda itu, karena kau sendiri ternyata tidak memahaminya. Setelah bertempur beberapa saat aku mengetahui, bahwa kau sedang menghancurkan dirimu sendiri.” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu, “sadar atau tidak sadar, kau rusakkan bagian dalam tubuhmu. Nadimu akan dapat pecah dan jaringan tubuhmu akan rusak. Jika nadimu yang pecah itu terjadi di otakmu, maka kau tidak mempunyai harapan lagi, sama seperti jika jantungmulah yang menjadi lumpuh karena serangan yang kau lakukan sendiri atas bagian dalam tubuhmu.”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Jantungnya memang terasa menjadi lemah. Nafasnya yang sesak semakin terasa sesak. Apalagi setelah ia menyadari keadaannya sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya, “Ki Sanak. Aku pun pernah bertempur sampai habis-habisan. Tetapi aku tidak pernah merasa sebagaimana terasa di dalam tubuhmu sekarang ini. Jika kau tidak percaya, maka cobalah besok, jika keadaanmu sudah menjadi baik. Cobalah bekerja keras, mengangkut kayu atau memotong dahan-dahan dan cabang pepohonan atau bekerja apa saja. Asal bukan dalam rangka gerak olah kanuragan. Kau tentu akan letih sekali. Tetapi keadaanmu tentu tidak akan seperti sekarang ini. Meskipun kau merasa letih, tetapi darahmu tidak akan menyumbat nadi di jantungmu atau akan memecahkan urat di kepalamu.”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun ternyata bahwa harga dirinya tidak semudah itu untuk mengakui kenyataan. Karena itu maka ia pun menggeram, “jangan omong kosong. Kau kira ada yang percaya kepada kata-katamu itu?”
“Jangan membohongi dirimu sendiri. Dalam keadaan yang sulit itu harus berbuat jujur agar kau tidak menyesal,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu akhirnya hatinya menjadi lunak juga karena sebenarnya ia tidak dapat menghindari kenyataan tentang dirinya sendiri. Sementara sambil berusaha bertahan maka ia berkata, “Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang ilmuku?”
“Aku ingin berbicara dengan kau tanpa ada orang lain,” berkata Mahisa Pukat.
“Kau akan menjebakku?” bertanya orang itu.
“Untuk apa? Jika aku berniat untuk membunuhmu, maka sudah barang tentu dapat aku lakukan di sini tanpa seorang pun yang dapat menyalahkan aku, karena kita memang sedang bertempur,” jawab Mahisa Pukat.
Nampaknya sikap Mahisa Pukat itu berpengaruh juga. Karena itu, maka orang itu pun berkata, “Marilah. Di mana kita dapat berbicara?”
“Terserah. Aku adalah pengembara yang mendapat belas kasihan bermalam di banjar ini. Karena itu, aku tidak dapat menentukan tempat di manapun juga di banjar ini,” jawab Mahisa Pukat.
Keragu-raguan orang itu menjadi semakin berkurang. Karena itu maka katanya kemudian, “Kita akan berbicara di ruang dalam banjar ini.”
Keduanyapun kemudian telah berjalan melewati pendapa, pringgitan dan kemudian memasuki ruang dalam yang kosong. Dengan singkat Mahisa Pukat menjelaskan, bahwa menurut pengamatannya, orang itu telah melakukan beberapa kesalahan besar dalam tata geraknya. Bahkan Mahisa Pukat telah memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu gerak dan penguasaan tubuh. Pengenalan atas sendi-sendi anggauta badan dan jalur perintah dari kehendak sampai ke tubuh yang melakukan kehendak.
“Lakukan gerakan-gerakan yang kau pahami. Perlahan-lahan saja agar tidak menambah sakit bagian dalam tubuhmu,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak membantah. Perlahan-lahan ia telah menggerakkan anggauta badannya sesuai dengan pengetahuannya tentang olah kanuragan menurut aliran ilmunya.
“Hati-hati. Pergunakan perasaanmu sebaik-baiknya. Kau akan merasakan pada satu gerak tertentu, sesuatu yang tidak wajar didalam dirimu,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Orang itu masih saja bergerak. Seperti dikatakan oleh Mahisa Pukat, maka di saat-saat tertentu. Pada letak tubuhnya dalam satu gerakan memang terdapat sesuatu yang kurang wajar. Sesuatu yang seakan-akan telah menahan geraknya, bahkan serasa sesuatu telah berbenturan pada sendi-sendi tulangnya. Kemudian terasa getaran yang pedih merambat dan menyengat bagian dalam tubuhnya seakan-akan telah mendapat serangan.
“Dalam gerakan yang cepat, kau tidak dapat merasakannya dengan tepat apa yang terjadi di dalam dirimu. Apalagi selagi kau bertempur sehingga perasaanmu sedang tenggelam dalam kemarahan barangkali kebencian atau semacamnya,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun kemudian telah duduk terpekur. Telapak tangannya menahan dahinya yang seakan-akan menjadi terlalu berat. “Guruku telah menyesatkan aku,” berkata orang itu kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terdengar suara tertawa nyaring. Suara yang seakan-akan telah mengguncang-guncang jantung. Tiba-tiba orang itu menjadi pucat. Katanya dengan suara gemetar, “Guru. Itu adalah guruku.”
“Yang telah membuatmu hampir hancur karena ilmu yang kau pelajari dari padanya?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu tidak berani menjawab. Tetapi ia mengangguk. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata lantang, “Nah, sekarang kau sudah mengenali kesalahanmu. Jangan kau ulangi. Kau harus mempelajari ilmu yang baik, yang benar dan tidak merusak tubuh. Hampir saja kau terjerembab ke dalam satu perbuatan tercela atas anak-anak muda padukuhan ini.”
Namun yang terdengar di luar banjar masih saja suara tertawa itu. Bahkan kemudian dengan lantang pula terdengar suara, “beruntunglah kau anak durhaka, bahwa kesalahan di dalam dirimu di ketahui oleh seorang yang baik hati dan bersedia memberimu petunjuk. Tetapi karena kebaikan itu akan menyelamatkanmu dan membebaskan kau dari kematian, maka orang yang telah berbaik hati itulah yang akan menggantikanmu. Mati.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Pukat, “Pergilah. Biarlah akulah yang dibunuhnya. Persoalan antara aku dan guruku adalah persoalan kami berdua. Karena itu, tidak sewajarnyalah jika kau yang akan mengalami bencana karenanya.”
Tetapi Mahisa Pukat itu pun berkata, “Biarlah aku mencoba berbicara dengan gurumu. Mungkin aku akan mengalami kesulitan sebagaimana saat aku akan berbicara denganmu. Tetapi mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan.”
“Sulit bagimu. Persoalannya sangat berbeda,” sahut orangitu.
“Namun aku akan mencobanya,” berkata Mahisa Pukatyang tanpa menghiraukan orang itu telah melangkah keluar banjar.
Orang itu akan meloncat menahannya. Tetapi rasa-rasanya tubuhnya menjadi terlalu lemah seperti yang dikatakan oleh anak muda itu. Namun ia masih sanggup melangkah keluar dari ruangan dalam itu.
Sementara itu, sebuah bayangan bagaikan terbang dari atas sebatang pohon dan melayang turun di halaman banjar itu. Suara tertawanya masih mengumandang seakan-akan telah menggetarkan udara di seluruh halaman banjar.
“Jangan turut campur,” berkata orang itu kepada para peronda yang berlari-lari mengepungnya. “Atau jika memang ada di antara kalian yang ingin membunuh diri atau bersama-sama ingin membunuh diri, baiklah. Aku akan membantu kalian.”
Para peronda itu memang menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Semu bergerak, maka dengan serta Mahisa Murti telah menahannya. Katanya, “Kau tidak akan dapat mengimbangi ilmunya. Ia orang berilmu tinggi.”
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menyadarinya. Karena itu, maka ia pun telah mengurungkan niatnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah keluar dari ruang dalam banjar. Melihat pendapa dan turun ke halaman mendapatkan orang yang mengaku guru dari orang yang telah salah menjalani laku untuk memperoleh ilmu itu.
“Jadi kaukah orang yang telah menyebarkan sumber kehancuran anak-anak muda di padukuhan ini lewat muridmu itu? Atau barangkali juga di padukuhan-padukuhan lain?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukan salahku. Orang itulah yang telah merusak masa depan anak-anak padukuhan ini.”
“Tetapi kesalahannya bersumber dari kesalahanmu. Aku tahu, bahwa kau sengaja melakukannya. Agaknya kau tahu bahwa seharusnya muridmu tidak menyadap ilmu dengan cara yang salah itu.” berkata Mahisa Pukat.
“Aku kagum akan ketajaman penglihatanmu,” berkata orang itu, “sehingga kau dapat melihat kesalahan pada muridku itu.”
“Tidak sulit untuk mengetahui,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi apa keuntunganmu dengan membunuh muridmu sendiri dengan cara yang bengis itu?”
“Ia anak seorang penghianat,” berkata orang yang mengaku gurunya itu, “ayahnya telah berkhianat terhadap perguruan kami. Karena ayahnya mati sebelum mendapat hukuman, maka anaknyalah yang harus menanggung kesalahannya.”
“Tetapi ia tidak bersalah,” berkata Mahisa Pukat.
“Kau tidak usah ikut campur. Kau sama sekali tidak mengetahui paugeran dalam perguruan kami,” jawab orang itu.
Namun dalam pada itu, orang yang mengalami penderitaan karena kesalahannya atas pengenalannya tentang olah kanuragan itu berkata, “Apa salah ayahku? Kalian tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku. Sekarang baru aku tahu, bahwa aku memang sengaja akan dibunuh dengan cara yang sangat keji dan licik.”
Tetapi gurunya itu tertawa. Katanya, “Kau sudah terlambat. Kau akan mati jauh lebih cepat dari seharusnya dengan mengalami penderitaan.”
“Tidak,” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Masih ada kemungkinan untuk membebaskannya dari cengkeraman kesalahan itu. Tetapi nampaknya kau tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Setan kau. Sebaiknya kau minggir anak muda. Jangan ikut campur. Aku akan membunuh muridku itu. Peringatan ini adalah kesempatan terakhir yang aku berikan. Jika kau tidak minggir, maka kau memang sepantasnya untuk menjadi penggantinya. Mati sekarang, sementara muridku akan mati dalam penderitaan.”
Tetapi Mahisa Pukat lah yang tertawa. Katanya, “Kau memang senang bergurau. Caramu membunuh muridmu pun seperti orang yang sedang bergurau dengan taruhan nyawa. Nah aku pun senang bergurau menurut caramu."
Wajah orang itu menjadi tegang.
“Jangan bingung. Apa maumu sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.
Wajah orang itu menjadi merah karena marah yang hampir meledakkan dadanya. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kau memang harus mati seperti yang telah aku katakan kepadamu sebagai pengganti muridku. Tetapi agaknya itu belum cukup. Kawan-kawanmu juga akan mati dan muridku itu pun akan mati juga. Bahkan semua orang yang mencela aku akan mati. Anak-anak muda yang pernah berlatih dan menganggap aku bersalah akan aku bunuh pula.”
Suara orang itu yang bagaikan menggetarkan halaman banjar itu memang mengerikan. Anak-anak muda yang tubuhnya terasa letih itu pun menjadi ketakutan. Bahkan juga para peronda.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia masih saja tertawa dan berkata, “Jangan menakut-nakuti anak-anak muda. Kalau aku kau golongkan juga anak-anak muda itu, maka aku pun telah kau takut-takuti juga. Tetapi sayang, aku tidak takut meskipun kau dianggap seorang yang berilmu tinggi.”
“Anak iblis, “geram orang itu,” bersiaplah untuk mati. Kau terlalu sombong karena kau merasa dirimu berilmu. Dengan kemampuanmu melihat kesalahan dalam latihan yang dilakukan oleh anak-anak padukuhan ini serta unsur-unsur gerak padamuridku, kau jangan merasa dirimu seorang yang mampu menggulung bumi seisinya.”
“Aku tidak pernah merasa bahwa aku seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Namun aku pun bukan orang yang akan membiarkan kesewenang-wenangan dilakukan oleh siapapun juga,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak sabar lagi. Katanya, “Marilah. Kita akan membuktikan, siapakah yang paling benar di sini.”
Mahisa Pukat pun telah bersiap, sementara orang itu berkata, “Jangan hanya kau seorang diri. Biar pekerjaanku cepat selesai, majulah bersama-sama, berapa saja yang merasa mampu menghadapi aku.”
Mahisa Pukat ternyata berpaling juga kepada anak-anak muda yang ada disekitarnya, “Nah, siapakah yang akan maju bersama-sama dengan aku?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, Mahisa Pukat pun berkata, “Ternyata tidak seorang pun. Karena itu, kita akan bertempur seorang lawan seorang.”
Orang yang merasa dirinya berilmu tinggi itu tiba-tiba saja telah memandang Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Dengan suara lantang ia bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
Mahisa Murti lah yang menjawab, “Aku sedang tidak berminat. Biarlah saudaraku menyelesaikanmu.”
Orang itu menggeram dengan marah. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap. Namun demikian ia terkejut juga melihat gerak orang itu yang lebih cepat dari dugaannya. Dengan tangkas pula Mahisa Pukat menghindar sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Orang itu pun merasa heran, bahwa anak muda itu mampu menghindarinya. Namun dengan demikian ia menjadi lebih berhati-hati. Anak muda itu tentu bukan sekedar membual. Jika ia melihat kesalahan pada muridnya, maka ia tentu seorang yang memiliki wawasan yang tinggi terhadap olah kanuragan. Orang yang demikian itu biasanya adalah orang yang berilmu tinggi pula.
Namun, orang itu tidak membiarkan Mahisa Pukat terlepas. Dengan cepat sekali ia memburu. Lebih cepat dari gerakannya yang pertama. Tetapi karena Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh serangan yang pertama itu, maka ia memang menjadi lebih berhati-hati. Demikian serangan berikutnya datang, maka ia pun telah bergeser selangkah. Namun dengan satu putaran yang cepat, kakinya telah menyambar ke arah lambung orang itu.
Tetapi serangan Mahisa Pukat itu pun gagal pula. Kakinya sama sekali tidak menyentuh lawannya, karena lawannya telah meluncur surut dengan kecepatan yang tidak kalah dari kecepatan gerak kaki Mahisa Pukat. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Keduanya telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sempat melihat unsur-unsur gerak yang seharusnya dilakukan oleh murid lawannya itu agar tidak tersesat ke dalam bencana.
Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur sambil berusaha mengamati lawannya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat mengambil jarak sambil berkata kepada murid lawannya yang telah menjadi letih itu, “Perhatikan unsur-unsur gerak gurumu. Apakah sesuai dengan unsur-unsur yang diajarkan kepadamu?”
“Setan kau,” geram lawannya sambil meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi tidak menyerang Mahisa Pukat. Ia telah mencoba menggapai muridnya yang letih itu.
Muridnya yang letih itu terkejut. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Sementara itu gurunya mengharap bahwa muridnya itu akan memaksa diri untuk menghindari serangannya. Jika ia melakukannya, maka hentakkan sisa kekuatannya itu akan berakibat sangat buruk baginya. Bagian dalam tubuhnya akan rusak dan bahkan ia akan dapat mengalami kelumpuhan jantung dan mati.
Tetapi ternyata orang itu tidak berusaha untuk melakukannya. Seakan-akan ia telah menjadi putus-asa. Ia justru telah menghadap ke arah serangan itu dengan dada tengadah. Pasrah. Tetapi yang terjadi kemudian telah mengejutkannya. Bahkan mengejutkan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu. Sebelum serangan orang itu menyentuh tubuh muridnya yang pasrah dan merasa tidak berdaya, telah terjadi benturan yang seru. Benturan kekuatan dari dua orang yang berilmu tinggi.
Mahisa Pukat tidak membiarkan orang yang telah menjadi putus asa itu mati. Karena itu, maka setelah ia menjajagi kemampuan lawannya beberapa saat. Mahisa Pukat telah bertekad untuk membentur kekuatan lawannya yang serba sedikit dapat diperhitungkannya.
Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah membentur kekuatan yang besar, sehingga ia pun telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Mahisa Pukat tidak kehilangan keseimbangannya. Ia tetap tegak pada kedua kakinya meskipun agak terguncang sedikit.
Yang sangat terkejut adalah lawannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang sombong itu memiliki kekuatan demikian besarnya. Orang itu telah terlempar beberapa langkah. Bahkan ia tidak lagi mampu bertahan untuk berdiri tegak. Keseimbangannya tidak saja terguncang, tetapi ia sudah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.
Namun ternyata ia memang seorang yang berilmu tinggi. Demikian ia berguling beberapa kali, maka ia pun telah melenting berdiri. Kakinya memang agak goyah. Tetapi sekejap kemudian ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Mahisa Pukat tidak memburunya. Ia memang memberi kesempatan kepada lawannya untuk sempat merenungi keadaannya. Selangkah demi selangkah Mahisa Pukat mendekati lawannya yang wajahnya bagaikan tersengat bara. Sekali-sekali ia memang sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar arena itu. Bahkan ia pun sempat memandang muridnya yang berdiri termangu-mangu.
“Ternyata kau memang sangat keji terhadap muridmu. Untuk apa kau mencoba membunuhnya? Jika kau mendendam kepada ayahnya, kenapa kau sampai sekarang masih saja memburu anaknya yang tidak bersalah?”
“Ia harus menanggung beban kesalahan orang tuanya,” jawab orang itu.
“Tetapi apa salah orang tuanya sebenarnya? Jika kau menyebutnya berkhianat, apa yang telah dilakukannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Itu adalah persoalan perguruan kami,” jawab orang itu.
“Tetapi menilik ilmu yang kau kuasai, lebih-lebih caramu menghukum muridmu, maka perguruanmu bukan suatu perguruan yang baik. Perguruanmu tentu merupakan perguruan yang bersumber pada ilmu sesat.”
“Tutup mulutmu. Apa yang kau ketahui tentang perguruan-perguruan olah kanuragan? Kau tidak perlu mengigau sekarang ini. Jangan kau kira, bahwa benturan kekuatan itu merupakan ukuran penyelesaian pertempuran di antara kita. Salahku adalah, bahwa aku telah mengendalikan kemampuanku karena aku tidak mau melihat kau lumat. Namun ternyata bahwa kau memang memiliki bekal untuk menyombongkan diri. Namun jangan berharap bahwa kau akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Aku tidak akan mengekang diri lagi, karena kau benar-benar tidak tahu diri,” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat masih saja tertawa. Katanya, “Persoalan kita bukan persoalan tahu atau tidak tahu diri. Persoalan kita ternyata cukup luas, karena menyangkut masa depan anak-anak muda. Tentu bukan hanya anak-anak muda di padukuhan ini.”
“Karena itu, aku akan membunuh muridku. Persoalan dengan anak-anak muda padukuhan ini dan barangkali padukuhan-padukuhan lain akan segera selesai. Aku pun akan membunuhmu agar kau tidak mengembara dengan kesombonganmu itu,” berkata orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ketika Mahisa Pukat melangkah maju, maka lawannya itu pun telah mulai meloncat menyerang. Geraknya tiba-tiba saja menjadi garang. Nampaknya ia sudah meningkatkan lagi ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannya menjadi semakin tinggi.
Tetapi Mahisa Pukat pun belum sampai ke tataran tertinggi dari ilmunya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak cemas dengan sikap lawannya itu. Sejenak kemudian, keduanya telah bertempur kembali. Orang itu nampaknya ingin menyelesaikan anak muda yang mengaku pengembara itu dengan cepat. Karena itu maka ia pun telah melibat Mahisa Pukat dengan ilmunya yang tinggi bagaikan angin pusaran.
Tetapi Mahisa Pukat tetap tegak bagaikan batu karang yang tidak dapat digoyahkan. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat telah membalas menyerang dengan tidak kalah garangnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Keduanya saling menyerang, saling bertahan dan saling mengintai kelemahan lawannya.
Namun akhirnya, beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenainya. Ketika ia menghindari serangan kaki lawannya, tiba-tiba saja ia telah berputar. Tangannya terayun deras, sehingga diluar perhitungan, tangannya telah menyusup di sela-sela pertahanan lawannya itu.
Lawan Mahisa Pukat itu tidak sempat menghindar. Serangan Mahisa Pukat itu telah mengenai rusuknya sehingga orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Dadanya menjadi sesak, sementara tulang rusuknya bagaikan menjadi retak. Dengan demikian kemarahan orang itu benar-benar telah sampai ke puncak. Sementara itu ia menyadari bahwa anak muda yang mengaku pengembara itu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka orang itu merasa perlu untuk menundukkannya dengan ilmunya.
Dalam pada itu, murid lawan Mahisa Pukat yang telah mendapat latihan-latihan yang dengan sengaja disesatkan itu hampir diluar sadarnya telah memperhatikan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh gurunya. Dengan pengamatan yang saksama, maka ia memang melihat beberapa perbedaan dengan unsur-unsur gerak yang diajarkan kepadanya. Gerakan-gerakan yang mula-mula memang mirip sekali.
Namun kemudian semakin rumit unsur-unsur gerak itu, maka perbedaannya pun menjadi semakin jauh. Beberapa bagian dari unsur gerak itu telah terbalik dan bahkan patah-patah. Satu dua bagian sengaja dihilangkan untuk membuat gerakannya tidak mengalir utuh. Pada bagian-bagian yang patah itulah terjadi kelainan pada tubuhnya. Demikian juga bagian dari unsur gerak yang sengaja diputar balik.
Sementara keduanya bertempur semakin sengit, maka Mahisa Pukat masih juga sempat berkata, “Kau lihat kesalahan-kesalahan pada unsur-unsur gerak yang diajarkan kepadamu.”
Hampir diluar sadarnya pula orang itu menjawab, “Ya, Aku melihat.”
“Perhatikan. Kau dapat mengusahakan dengan hati-hati untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Aku akan memancing gurumu untuk bergerak dan mempergunakan unsur gerak lebih banyak,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Terima kasih.”
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu mengumpat. Seandainya ia mempunyai kesempatan, maka muridnya itu benar-benar akan dibunuhnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ia justru mampu melihat kesalahan-kesalahan unsur gerak yang dipelajarinya.
Namun dengan demikian maka lawan Mahisa Pukat itu benar-benar telah mengungkit ilmu kebanggaannya. Kedua tangannya telah disilangkan di depan dadanya. Sambil berdiri tegak setelah ia mengambil jarak, maka kedua tangannya itu pun menjadi bergetar. Kedua tangannya yang bersilang itu seakan-akan telah memancarkan sinar kemarahan meskipun hanya lamat-lamat. Kadang-kadang nampak, kadang-kadang tidak sama sekali. Namun kemudian warna kemerah-merahan itu telah berubah lagi menjadi keputih-putihan.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Semuanya itu terjadi dalam waktu singkat, sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat menyadari keadaan itu, maka lengan lawannya sampai ke ujung jari-jarinya rasa-rasanya telah menjadi keputih-putihan, yang sekali-sekali masih disaput warna tipis kemerah-merahan. Mahisa Pukat telah surut beberapa langkah.
Sementara murid lawan Mahisa Pukat itu berteriak, “Ilmu puncak dari perguruan kami.”
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Tangan itu seakan-akan berubah menjadi timah. Aku pernah mengenali ilmu seperti itu. Tetapi bagiku permainan kanak-kanak seperti itu kurang menarik.”
Lawan Mahisa Pukat itu menjadi marah sekali. Ia dengan garangnya telah meloncat. Tangannya yang seakan-akan menjadi timah itu terayun menyambar kening. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkasnya telah mengelak dengan bergeser kesamping.
Namun lawannya tidak merelakannya. Ia telah meloncat memburu. Namun ia tidak dapat menjangkau Mahisa Pukat dengan tangannya yang menjadi timah itu. Tetapi ia telah menyerang dengan kakinya yang mempunyai jangkauan yang lebih panjang, justru saat Mahisa Pukat berdiri tegak.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menghindar. Ia justru memiringkan tubuhnya dengan kaki renggang. Lututnya sedikit merendah, sementara sikunya melindungi lambungnya yang menjadi sasaran serangan lawannya.
Satu benturan yang keras terjadi. Tetapi kaki orang itu tidak menjadi sekeras timah. Sementara itu kekuatan Mahisa Pukat telah dikerahkan melawan kekuatan tenaga lawannya.
Akibatnya memang mengejutkan. Lawannya itu telah terlempar beberapa langkah. Ia sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangan, sehingga sekali lagi ia jatuh terguling. Sementara Mahisa Pukat tergeser selangkah surut. Namun sekali lagi orang itu dengan tangkasnya melenting berdiri. Kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi timah itu telah terayun-ayun mengerikan.
“Kau benar-benar anak iblis. Sekarang saatnya membunuhmu telah tiba,” geram orang itu.
“Sejak tadi kau hanya berbicara saja. Kenapa tidak kau lakukan sejak tadi?” sahut Mahisa Pukat.
Telinga orang itu bagaikan tersentuh api. Sambil menggeram ia telah benar-benar bersiap untuk menyerang dengan keduatanganya yang mengeras seperti timah itu. Orang itu menggeram. Namun ia masih tetap dicengkam oleh teka-teki yang tidak terjawab. Kenapa tubuhnya tiba-tiba saja menjadi sangat lemah seperti muridnya yang telahsalah melakukan unsur-unsur gerak karena ia memang telah mengajarinya demikian.
Dalam pada itu Mahisa Pukat lah yang berkata kepada murid lawannya, “Gurumu tidak melakukan kesalahan dalam tata geraknya. Ia menguasai benar unsur-unsur gerak sebagaimana ciri perguruanmu. Jika kau cukup tekun mengamatinya, maka kau akan tahu kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan atau yang dengan sengaja telah diajarkan oleh gurumu dan yang kemudian tanpa sadar telah kau sebarkan kepada anak-anak muda di padukuhan ini atau barangkali pernah kau lakukan di padukuhan lain.”
Orang itu sama sekali tidak menyahut. Ia memang melihat sekilas-sekilas unsur-unsur gerak yang berbeda dengan yang dikuasainya. Karena itu, maka ia pun menyadari sepenuhnya bahwa gurunya itu memang benar-benar berniat jahat kepadanya. Namun orang itu pun menjadi heran, kenapa gurunya pun tiba-tiba telah mengalami hal yang sama sebagaimana dialaminya. Gurunya itu menjadi sangat letih dan tenaganya seakan-akan telah terkuras habis.
Mahisa Pukat yang seakan-akan mampu membaca perasaan orang itu berkata, “Tetapi gurumu tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya. Ia hanya letih saja. Benar-benar letih seperti jika kau mengusung batu beberapa gerobag seorang diri. Tidak ada serangan yang dapat merusak bagian dalam dadanya. Jantungnya tidak akan menjadi lumpuh dan otaknya tidak akan mengalami pendarahan.”
“Kenapa?” tiba-tiba saja orang itu bertanya.
“Ia telah memeras tenaganya tanpa perhitungan,” jawab Mahisa Pukat.
“Bohong,” geram orang itu, “aku mampu berkelahi sehari-semalam tanpa berhenti.”
“Kenapa tiba-tiba kau kehilangan tenagamu?” bertanya Mahisa Pukat yang mengetahui bahwa lawannya tidak mengetahui bahwa ia mampu menghisap tenaga lawannya dengan sentuhan-sentuhan.
“Tentu ilmu iblismu,” geram orang itu.
Mahisa Pukat tertawa. Ia melangkah mendekati lawannya. Namun lawannya masih berusaha mengayunkan tangannya. Tetapi Mahisa Pukat merendah sehingga tangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan orang itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya sehingga terseret oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga orang itu telah jatuh tertelungkup.
“Lihat,” berkata Mahisa Pukat kepada murid lawannya, “ia benar-benar sudah tidak berdaya. Bahkan ia tidak lagi mampu mempertahankan kehadiran ilmunya, sehingga tangannya tidak lagi berwarna timah.”
Sebenarnyalah, bukan saja wadag lawan Mahisa Pukat itu sajalah yang menjadi sangat letih. Tetapi juga nalar budinya sehingga ia tidak lagi dapat mempertahankan kekuatan ilmunya yang nampak pada ujud tangannya, sehingga tangannya telah berubah lagi menjadi tangannya sewajarnya.
Beberapa kali Mahisa Pukat dengan sengaja telah menyentuh lawannya yang berusaha untuk bangkit. Namun dengan demikian maka lawannya menjadi semakin lemah, sehingga ia hampir tidak bertenaga sama sekali. Mahisa Pukat yang kemudian juga menanggalkan kekuatan ilmunya telah memapah lawannya yang tidak berdaya itu ke tangga pendapa. Kemudian meletakkannya untuk duduk di tangga sambil berkata, “Nah, apa katamu sekarang?”
“Jika kau ingin membunuhku, lakukanlah,” geram orang itu.
“Dalam keadaan seperti itu kau masih juga garang,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi sebaiknya kau melihat kenyataan itu. Kau tidak perlu memerintah aku untuk membunuhmu. Jika aku ingin melakukannya, aku tentu akan melakukannya nanti. Tetapi tidak sekarang, karena aku belum berminat. Aku masih ingin melihat kau dalam kenyataanmu sekarang. Kehabisan tenaga. Dengan demikian serba sedikit kau dapat merasakan bagaimana keadaan muridmu, meskipun kau masih dalam keadaan yang lebih baik, karena bagian dalam tubuhmu tidak terluka. Tetapi jika perlu aku akan dapat melukai bagian dalam tubuhmu agar kau benar-benar dalam keadaan sebagaimana muridmu.”
Orang itu mengumpat. Katanya, “Bunuh saja aku.”
“Tutup mulutmu,” bentuk Mahisa Pukat, “sudah aku katakan. Jika aku ingin, nanti aku akan membunuhmu. Sekarang biarlah kau merasakan bagaimana yang dirasakan oleh muridmu.”
“Aku tidak peduli,” teriak orang itu, “bunuh saja aku.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja telapak tangannya telah melekat di dada orang itu sehingga orang itu mengaduh perlahan. Bahkan ia pun telah jatuh menelentang karena tenaganya sama sekali tidak mampu lagi untuk bertahan meskipun dorongan tangan Mahisa Pukat tidak dengan sepenuh kekuatannya. Meskipun demikian, dada orang itu telah merasa sesak. Nafasnya menjadi terengah-engah, seakan-akan dadanya telah terhimpit batu hitam.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat membiarkannya. Namun kemudian ia menarik lengannya sambil menghentak, “Duduk.”
Orang itu pun kemudian telah duduk. Tetapi ia benar-benar telah kehilangan seluruh tenaganya, sementara dadanya menjadi sakit karena hentakkan tangan Mahisa Pukat yang menyentuh dadanya. Tidak terlalu keras, karena Mahisa Pukat hanya mempergunakan sebagian saja dari tenaganya.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “muridmu sekarang ini juga merasakan sebagaimana kau rasakan. Mungkin lebih parah. Tetapi yang kau alami agaknya cukup memadai. Dengan demikian maka kau tahu akibat dari apa yang pernah kau lakukan.”
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat berkata pula, “Kau boleh mendendam kepadaku. Aku dan saudara-saudaraku adalah pengembara. Jika kalian memang tidak mau menerima kenyataan ini, kau dapat mencari aku.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah berbicara kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama anak-anak muda yang telah mengalami kesulitan di dalam dirinya karena urutan unsur gerak yang tidak mapan dalam ungkapan ilmu sehingga melukai bagian dalam tubuh mereka sendiri. Katanya,
“Nah, sekarang kalian dapat beristirahat. Kalian harus benar-benar beristirahat sepenuhnya sehingga perlahan-lahan kekuatan kalian dapat pulih kembali.” lalu katanya kepada anak-anak muda yang meronda, “kalian dapat kembali ke tugas kalian. Sementara kami bertiga akan beristirahat juga, meskipun sisa malam nampaknya tinggal sebentar.”
Para peronda itu pun kemudian telah kembali ke gardu. Sementara itu anak-anak muda yang mengalami kesulitan di dalam dirinya itu telah berjalan tertatih-tatih naik ke pendapa.
“Kalian dapat tidur nyenyak. Tidak akan ada orang yang akan mengganggu kalian. Orang yang berhati bengis ini tidak akan dapat berbuat apa-apa sampai esok. Mudah-mudahan selama ini merenungi keadaannya, ia sempat melihat cahaya yang dapat menerangi hatinya, sehingga ia akan mampu melihat bintik-bintik hitam yang melekat di hatinya itu,” berkata Mahisa Pukat.
Anak-anak muda yang dalam keadaan letih itu mempercayainya. Mereka pun telah bersiap-siap untuk menempatkan dirinya di atas tikar yang mereka bentangkan di pendapa. Namun dalam pada itu, penunggu banjar itu pun berkata, “Bukankah kalian belum selesai makan?”
Beberapa orang anak muda termangu-mangu. Tetapi mereka memang belum selesai makan sementara tubuh mereka terasa sangat lemah.
“Selesaikan dahulu,” berkata Mahisa Pukat, “makanan itu sudah dimasak dengan susah payah. Jangan kalian sia-siakan.”
Anak-anak muda itu memang tidak merasa keberatan sama sekali. Mereka memang masih merasa agak lapar. Sehingga karena itu maka mereka pun telah kembali kepada mangkuk mereka masing-masing. Meskipun nasi dan sayur telah menjadi sangat dingin, tetapi rasa-rasanya mereka justru makan dengan nikmat sekali. Bukan saja karena mereka memang belum kenyang, namun seakan-akan mereka merasa terlepas dari satu kungkungan kewajiban yng sangat berat dan ternyata menyesatkan.
Mahisa Pukat sendiri kemudian telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Namun ia sempat bertanya kepada penunggu banjar itu, “apakah kami boleh tidur di situ saja agar kami tidak usah mengangkat adik kami ke serambi belakang.”
“Silahkan, silahkan,” jawab penunggu banjar yang mengetahui kelebihan dari anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, “jika kalian tidur di dalam, aku persilahkan kalian memilih tempat.”
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku di sini saja.”
Penunggu banjar itu tidak minta agar mereka berpindah tempat lagi. Rasa-rasanya anak-anak muda itu bukan lagi anak-anak muda yang datang minta belas kasihan untuk bermalam barang satu malam. Namun bagi penunggu banjar itu dan juga para peronda, anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang perkasa.
Namun sebelum mereka tidur, Mahisa Pukat sempat berpesan, “aku minta anak-anak muda yang ikut berlatih olah kanuragan tidak meninggalkan banjar ini sampai besok.”
Permitaan itu membuat orang yang kehilangan tenaganya karena ilmu Mahisa Pukat itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu telah berbaring di sebuah amben yang besar setelah sisa makan yang dipergunakan di tempat itu disingkirkan.
Nampaknya mereka tidak mencurigai siapapun lagi, sehingga karena itu, maka mereka tidak perlu bergantian berjaga-jaga di sisa malam yang pendek itu. Apalagi setelah lampu dipadamkan, sehingga tempat itu memang menjadi agak terlindung.
Tetapi bagaimanapun juga mereka tetap berhati-hati. Mereka bertiga bersama Mahisa Amping tidur di tengah-tengah amben yang besar, sehingga sentuhan pada amben bambu itu cukup untuk membangunkan mereka bertiga. Apalagi mereka bertiga yakin, bahwa mereka tidak akan mungkin tertidur nyenyak menjelang pagi hari. Sebenarnyalah mereka hampir tidak tidur sama sekali. Mereka memang memejamkan mata. Tetapi Mereka tidak lelap.
Pagi benar Mahisa Amping telah bangun. Perlahan-lahan ia duduk, sementara ketiga orang kakak angkatnya masih berbincang di sebelahnya. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi. Namun ia melihat beberapa orang tidur di pendapa. Namun para peronda tetap berada di tempatnya serta mengamati keadaan di seluruh banjar dan bahkan di padukuhan.
Perlahan-lahan Mahisa Amping turun dari amben. Tetapi ia tidak melangkah pergi. Ia sudah mengerti bagaimana harus berhati-hati menghadapi keadaan yang tidak diketahuinya dengan pasti.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang kelelahan, bahkan orang yang memberikan latihan kepada anak-anak muda di padukuhan, ternyata telah tertidur nyenyak setelah mereka merasa kenyang. Silirnya angin malam, kekuatan yang ditimbulkan oleh makanan yang mereka makan, minuman dan gula kelapa serta istirahat yang cukup telah membuat tubuh anak-anak muda itu menjadi segar kembali.
Demikian mereka terbangun di pagi hari, maka mereka sudah merasa bahwa kekuatan mereka telah tumbuh kembali meskipun masih belum pulih sama sekali. Satu-satu mereka pun telah bangkit dan turun ke halaman. Mereka sudah tahu bahwa mereka diminta untuk tidak meninggalkan banjar.
Orang yang memberikan latihan kepada anak-anak muda itu pun merasa bahwa tubuhnya telah menjadi kuat kembali meskipun belum seutuhnya. Dengan hati-hati ia mulai menggerak-gerakkan anggauta badannya. Namun dengan kesadaran bahwa ia telah mempelajari ilmu dengan cara yang salah, maka ia tidak lagi bergerak menurut tatanan ilmunya. Bahkan ia bergerak asal saja bergerak dan tidak menyakiti tubuhnya.
Tetapi guru orang itulah yang masih duduk dengan lemahnya. Ia belum mendapatkan kekuatannya kembali. Apalagi sepenuhnya. Meskipun ada juga rasa segar menyusup di urat-urat nadinya, serta kekuatan yang mulai tumbuh. Tetapi ia masih terlalu lemah untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, maka ia masih saja duduk sambil memusatkan nalar budi mengatur pernafasannya dan berusaha untuk memulihkan kekuatannya. Tetapi ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Agaknya ilmu yang khusus telah menghisap tenaganya sampai habis dan menghambat tumbuhnya kembali.
Dalam pada itu, ketiga orang anak muda yang menyatakan diri sebagai pengembara itu pun telah bangun pula. Satu-satu mereka telah pergi ke pakiwan termasuk Mahisa Amping. Ketika matahari terbit, maka Mahisa Pukat telah mintaanak-anak muda yang telah mengalami kesulitan ketika mengadakan latihan, bahkan bersama orang yang memberikan latihan kepada mereka, telah diminta untuk berkumpul di halaman.
“Lihat mereka,” berkata Mahisa Pukat kepada orang yang masih lemah duduk di tangga pendapa, “mereka adalah korban dari perasaan dendammu yang tidak dapat kau kuasai. Beranting korban akan menjadi semakin banyak jika tidak segera dibetulkan. Nah, bersiaplah untuk memberikan petunjuk bagaimana seharusnya melakukan tata gerak dari ilmu yang kau sebarkan itu.”
“Aku tidak mampu berdiri,” berkata orang itu.
“Sebagian kekuatanmu telah tumbuh kembali. Kau sudah dapat berdiri dan bergerak,” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak,” jawab orang itu, “aku belum dapat berdiri.”
“Pikirkanlah baik-baik,” berkata Mahisa Pukat, “masih ada kesempatan. Anak-anak muda itu akan menunggu beberapa saat. Mereka telah mendapatkan tenaganya kembali, meskipun belum seluruhnya. Jika kau tetap menolak untuk memberikan petunjuk, maka merekalah yang akan berbuat sesuatu atasmu. Sama sekali tidak mempergunakan ilmumu. Mereka akan menganggap diri mereka sama sekali tidak mengenal olah kanuragan. Mereka akan memukulimu seperti saat mereka berburu tupai.”
Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu. Sementara anak-anak muda yang telah tertidur beberapa saat setelah makan itu, telah mampu berloncat-loncatan dan menggerakkan tangannya berputaran di halaman untuk memanasi tubuh mereka.
“Jawab pertanyaanku,” berkata Mahisa Pukat, “kau bersedia atau tidak. Jika kau bersedia, kau telah menolong anak-anak muda yang sesat itu dan dapat melakukan latihan-latihan yang benar. Mula-mula kau harus memberikan petunjuk kepada mereka, terutama kepada muridmu. Kemudian kau harus mengawasi mereka untuk berlatih dengan cara yang benar. Sebenarnya hari ini aku harus sudah melanjutkan perjalanan. Tetapi aku ingin melihat, apa yang kau lakukan di sini.”
Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata, “Sebenarnya kau tidak perlu membebani dirimu dengan dendam yang berkepanjangan. Kau dapat menempatkan dirimu pada tempat yang wajar sebagai seorang yang berilmu tinggi. Ilmu tangan timahmu adalah ilmu yang jarang dimiliki orang. Namun agaknya ilmumu itu telah kau salah gunakan.”
Orang itu sama sekali tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “Cepat, berdiri sebelum anak-anak itu kehabisan kesabaran.”
Dengan susah payah orang itu pun telah bangkit berdiri. Ternyata ia memang sudah mendapatkan kekuatannya serba sedikit. Tetapi cukup untuk melakukan contoh-contoh gerak dengan perlahan-lahan, tanpa memerlukan dorongan tenaga.
“Nah, kau dapat mulai sekarang. Terutama kau harus dapat memberikan contoh tata gerak yang benar kepada muridmu. Biar muridmu nanti bersama-sama dengan anak-anak itu melakukannya lebih jauh,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu memang tidak dapat membatah lagi. Ia sedang dalam keadaan lemah, sehingga ia merasakan satu tekanan, bahwa ia harus melakukan segala perintah untuk melindungi dirinya dari tindakan yang dapat mencelakainya. Karena itu, maka ia harus memilih jalan yang paling baik bagi dirinya.
Beberapa saat kemudian, maka orang itu telah memberikan beberapa contoh gerak yang telah diputar balikkan sehingga menimbulkan kesesatan. Kemudian orang itu telah melakukannya, apa yang seharusnya. Muridnya memperhatikannya dengan saksama. Sekali-sekali diluar sadarnya tangan dan kakinya telah bergerak. Diperhatikannya kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya unsur-unsur gerak itu dengan benar.
Orang itu langsung dapat merasakan, bahwa ia memang telah melakukan kesalahan untuk waktu yang lama. Namun ia belum pernah bertemu dan bertempur dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi seperti anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu, sehingga ia harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga ia merasakan betapa kesalahan-kesalahan yang disengaja oleh gurunya itu membuatnya terluka dibagian dalam. Untunglah bahwa lawannya bukan seorang yang berniat jahat, yang justru telah memberikan beberapa petunjuk kepadanya, sehingga ia telah terbebas dari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya karena kesesatan ilmunya itu.
Mahisa Pukat mengamati peragaan itu dengan seksama. Ia melihat dengan teliti, apakah orang itu telah melakukannya dengan jujur. Kemampuannya serta pengenalannya atas berbagai macam olah kanuragan serta setelah ia menekuni ilmu kanuragan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan dapat melihat seandainya orang itu masih dengan sengaja memutar balikkan unsur-unsur geraknya.
Tetapi agaknya orang itu merasa, bahwa tidak ada gunanya lagi baginya untuk melakukannya. Setiap kesalahan yang dilakukannya tentu akan dapat segera dikenali oleh anak muda itu, sehingga dengan demikian maka ia memang harus melakukannya dengan jujur.
Muridnya memang dengan segera menemukan kesalahan-kesalahan itu. Dengan kemampuannya mengenali unsur-unsur gerak dari ilmunya yang sesat itu, maka ia pun dengan cepat mengenali apa yang seharusnya dilakukannya.
Mahisa Pukat yang memperhatikan orang itu memperagakan ilmunya akhirnya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata kepada murid orang itu, “Nah. Kau sudah melihat bagian-bagian yang salah dari sebagian unsur gerak, justru unsur gerak dasarnya, sehingga dalam pengembangannya, maka kesalahan-kesalahan itu akan menjadi semakin berbahaya bagimu. Nah, sekarang, selagi gurumu ada di sini, kau harus mendapatkannya. Kau sudah melihat. Lakukan. Gurumu akan menuntunmu sehingga kau akan menemukan kebenaran unsur gerak dari ilmu yang kau tekuni itu. Gurumu harus tinggal di sini sampai kau mampu menguasai ilmu dengan baik dan benar.”
Orang itu nampak ragu-ragu. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kau tentu tidak berani memaksa gurumu melakukannya. Tetapi ia harus melakukannya sebagai tebusan atas kekejaman yang pernah dilakukan. Jika gurumu tidak mau menuruti permintaanmu itu, maka aku akan memaksanya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak berkata apa-apa. Sementara itu gurunya memang merasakan dirinya benar-benar sudah dikuasai oleh anak muda itu, sehingga rasa-rasanya anak muda itu akan dapat berbuat apa saja atasnya.
Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya memang mulai terbersit pengakuan, bahwa ia memang bersalah. Selama ia berkeliaran mengamati muridnya yang memang dijerumuskannya itu, dan bahkan hampir tidak sabar menunggu kapan muridnya itu terpukul oleh ilmunya sendiri. Ia belum pernah bertemu dengan orang yang benar-benar berilmu tinggi dan mampu mengalahkannya, bahkan menguasainya sepenuhnya, sehingga rasa-rasanya untuk membunuh diripun ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Demikianlah, maka orang yang telah mengalami kesesatan itu telah memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Ia telah mencoba dan mencoba, sekali-sekali menirukan gurunya yang harus mengulang dan mengulang pada bagian-bagian yang diputar balikkan itu, sehingga ia menemukan dasar dari kesalahan-kesalahan itu.
Dengan demikian, maka ketika ia melakukan latihan-latihan berikutnya, tubuhnya tidak lagi merasakan hambatan yang dapat menyakiti bagian dalam tubuhnya. Meskipun ia kemudian melakukannya dengan menghentakkan seluruh sisa tenaganya yang memang belum pulih kembali, maka rasa-rasanya bagian dalam tubuhnya tidak lagi terhentak-hentak.
Tetapi agaknya dalam sehari, ia masih belum dapat membersihkan diri seluruhnya dari kesalahan-kesalahan itu. Masih ada bagian-bagian yang harus mendapat perhatian lebih banyak, sehingga karena itu, maka agaknya gurunya pun tidak akan dapat meninggalkan banjar itu.
Sementara itu, anak-anak muda yang juga mengalami kesesatan latihan harus tinggal di banjar itu pula sehari-harian. Tetapi karena mereka menyadari kepentingannya, maka mereka-pun melakukannya dengan telaten.
Ada beberapa orang tua di antara mereka yang datang menyusulnya, karena hati mereka merasa kurang enak karena anaknya sehari-harian tidak pulang. Tetapi setelah mereka mendapatkan penjelasannya seperlunya, maka mereka pun justru membiarkan anak-anak mereka untuk tetap berada dibanjar.
“Untunglah bahwa ada orang yang sempat melihat kesalahan jika tidak, maka anakku tentu akan mati. Lambat atau cepat.”
Namun dalam pada itu, maka perjalanan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu telah terhambat lagi. Mereka harus menunggu sedikitnya sampai esok lagi, sehingga mereka akan bermalam di banjar itu dua malam. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain.
Sementara itu penunggu banjar yang baik itu telah berkata kepada anak-anak muda pengembara itu, “Tinggallah di sini sampai kapan pun. Aku akan menyediakan makan bagi kalian berempat.”
“Terima kasih Ki Sanak,” sahut Mahisa Murti.
Ia percaya bahwa penunggu banjar itu benar-benar memberikan dengan ikhlas. Bahkan anak-anak muda yang sedang berusaha memperbaiki diri mereka itu pun telah mendapat makan dari penunggu banjar itu, meskipun ia harus mengambil beras dari lumbung padukuhan.
Orang yang harus memperbaiki kesalahannya itu hanya mendapat waktu-waktu istirahat yang pendek. Muridnya selalu mempersilahkannya mulai lagi. Ia merasa ingin segera bebas dari belenggu kesalahan yang dapat mematikannya itu.
Orang yang telah memutar balikkan ilmu yang diturunkannya itu tidak dapat menolak meskipun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Namun semakin lama, betapapun ia bergerak terus, namun kekuatannya memang terasa berangsur kembali. Bahkan kemudian ia yakin, bahwa malam berikutnya, ia akan pulih kembali.
Tetapi orang itu masih saja berpura-pura merasa sangat letih. Bahkan ketika ia memberikan beberapa peragaan tentang ilmunya, ia telah terhuyung-huyung. Hampir saja ia terjatuh. Namun dengan susah payah ia dapat menahan dirinya sambil berpegangan sebatang pohon turi.
Muridnya yang menganggap bahwa gurunya benar-benar masih sangat letih, telah menunggunya beberapa saat, sampai gurunya itu mampu berdiri tegak dan kembali menunjukkan peragaan tentang kesalahan-kesalahan dalam urutan unsur-unsur gerak ilmunya.
Tetapi diluar dugaan, Mahisa Pukat mendekatinya dan berbisik sehingga tidak didengar oleh orang lain, “jangan memperbodoh aku. Kau sudah menjadi kuat kembali. Bahkan hampir pulih sama sekali. Kekuatan ilmuku memang tidak sama bagi setiap orang. Ternyata kau memiliki daya tahan yang sangat tinggi, sehingga kekuatanmu telah hampir pulih kembali.”
Orang itu menggeram. Tetapi tangan Mahisa Pukat telah mencengkam lengannya dan menariknya. Adalah diluar
sadarnya bahwa orang itu tidak begitu menurut.
“Nah, aku yakin sekarang,” berkata Mahisa Pukat, “kekuatanmu telah menjadi semakin mendekati utuh. Karena itu, kau harus memberikan beberapa peragaan yang lebih mantap karena kau agaknya tinggal semalam ini berada di banjar ini, meskipun aku dapat menahanmu lebih lama lagi.”
Orang itu mengumpat dalam hati. Tetapi ia tidak membantah. Ia memang berusaha untuk pada suatu saat jika ia berada di luar pengamatan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, ia akan mencoba meninggalkan banjar itu. Ia yakin tidak seorang pun bahkan bersama-sama sekalipun, anak-anak muda dan muridnya itu yang akan dapat mencegahnya. Tetapi ternyata anak muda yang mengaku pengembara itu tahu, bahwa ia sekedar berpura-pura.
Beberapa saat kemudian maka muridnya telah minta kepada orang itu untuk menilik anak-anak muda yang telah terlanjur ikut tersesat itu, agar mereka pun mengerti, apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki diri. Namun bagi Mahisa Pukat, yang terpenting adalah muridnya itu lebih dahulu, karena ia akan dapat membantu anak-anak muda yang lain mengurai kembali ilmu yang terlanjur mereka serap.
Ternyata anak-anak muda itu telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Baru ketika malam turun dan menjadi semakin lama semakin dalam, maka anak-anak muda itu mengakhiri usahanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka.
“Kita dapat beristirahat,” berkata orang yang hampir menjadi korban kekejaman gurunya sendiri itu, “aku minta maaf, bahwa aku telah membuat kalian hampir mengalami nasib buruk seperti aku sendiri. Untunglah bahwa semuanya itu belum terlanjur.”
Gurunya mendengarkan muridnya berbicara di hadapan anak-anak muda itu dengan gelisah. Namun ia pun kemudian telah duduk di tangga pendapa.
Sementara itu Mahisa Pukat yang juga bermalam lagi di banjar itu, telah mendekatinya dan duduk disampingnya. “Kekuatanmu sudah pulih kembali,” berkata Mahisa Pukat. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau akan segera pergi?”
“Tidak,” jawab orang itu, “aku akan menunggui muridku sampai ia benar-benar menjadi baik.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat sambil memijit lengan orang itu. Tidak begitu keras. Namun seakan-akan getaran tenaga orang itu telah mengalir dari segala ujung rambutnya dan lubang-lubang kulitnya ke arah sentuhan tangan anak muda itu. Tetapi Mahisa Pukat segera melepaskannya. Namun orang itu telah menyadari sepenuhnya, bahwa tenaganya tentu sudah disusut kembali oleh anak muda itu.
Dengan demikian maka baginya tidak ada jalan untuk menghindari atau bahkan menolak setiap perintah yang keluar dari mulut anak muda itu. Ia menyadari, bahwa ilmu yang sangat khusus itu, jika dikehendaki, akan dapat menghisap seluruh tenaganya, sehingga ia akan terkapar dengan lemahnya. Demikian lemahnya sehingga jantungnya tidak lagi mampu menekan darahnya untuk mengalir ke segenap tubuhnya, sehingga akhirnya ia-pun aka mati lemas.
Karena itu, maka ia hanya dapat menyesali diri sendiri, kenapa ia telah bertemu dengan orang yang berilmu aneh itu. Ia merasa bahwa ilmu tangan timahnya akan dapat menyelesaikan segala-galanya. Namun ternyata ia tidak mampu menghadapi ilmu orang yang aneh itu.
Sementara itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada orang itu, “beristirahatlah agar besok pagi-pagi kau sudah mendapatkan tenagamu lebih banyak lagi. Kau harus mulai lagi dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan dengan memutar balikkan unsur-unsur gerak yang kau ajarkan kepada muridmu itu. Ternyata ia adalah seorang yang cerdas, sehingga ia hampir dapat memperbaiki semua kesalahannya dalam satu hari. Namun memang mustahil untuk melakukannya.”
Orang itu tidak menjawab. Namun ia pun harus beristirahat serta tidak menolak untuk makan. Anak-anak muda yang sehari-harian berada di banjar itu pun telah mendapat kesempatan untuk pulang. Keadaan mereka sudah menjadi lebih baik. Sehingga mereka dapat berjalan ke rumah masing-masing. Keluarga mereka pada umumnya memang menjadi cemas. Tetapi anak-anak muda itu sempat menerangkan apa yang telah terjadi sehingga keadaan mereka tidak perlu dicemaskan.
“Tetapi seandainya anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu tidak singgah di banjar, entahlah. Mungkin dalam waktu sepuluh hari lagi, kami sudah menjadi lumpuh.”
Orang tua mereka tidak tahu dengan tepat apa yang diterangkan oleh anaknya, karena mereka tidak pernah belajar olah kanuragan. Tetapi mereka dapat menangkap maksud anaknya yang mengatakan bahwa mereka berada dalam bahaya. Namun sudah dibebaskan oleh anak muda yang mengaku sebagai pengembara.
“Besok kami harus kembali ke banjar,” berkata anak-anak muda itu kepada keluarganya.
Keluarganya tidak mencegahnya, karena hal itu akan menambah kebaikan bagi anak-anak mereka. Malam itu semuanya beristirahat dengan tenang. Namun ketiga anak muda yang menompang bermalam di banjar itu telah mengatur diri sehingga ada di antara mereka yang berjaga-jaga setiap saat, meskipun mereka menganggap bahwa malam itu, mereka tidak akan terganggu seperti malam sebelumnya.
Pagi-pagi benar ketiganya sudah bangun. Demikian pula Mahisa Amping. Ketika mereka selesai berbenah diri, maka satu dua anak-anak muda padukuhan itu mulai berdatangan. Mahisa Pukat yang melihat keadaan orang yang telah menyesatkan muridnya itu mendapatkannya duduk di sudut pendapa sambil menyilangkan tangannya di dada. Nampaknya ia sedang memusatkan nalar budinya dan mengatur jalan pernafasannya untuk mendapatkan keadaan yang terbaik bagi wadagnya.
Mahisa Pukat memang menunggu sejenak. Baru kemudian, setelah orang itu selesai dengan samadinya, Mahisa Pukat telah menyapanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang? Nampaknya sudah jauh lebih baik. Dengan samadi kau mendapatkan kejernihan penalaran dan perasaan. Namun juga kesegaran badani. Apakah kekuatanmu sudah hampir pulih kembali?”
Orang itu tidak dapat ingkar. Katanya, “Ya. Hampir pulih. Tetapi belum pulih seutuhnya.”
“Bagus. Jika demikian kau dapat memberikan latihan sebaik-baiknya kepada muridmu. Jika hari ini semuanya dapat dibersihkan, maka tugasmu selesai,” berkata Mahisa Pukat. Namun ia berkata selanjutnya, “Tetapi jika kemudian kau datang lagi untuk berbuat jahat terhadap muridmu, maka kami, bahkan perguruan kami, akan menyatakan perang terhadap perguruanmu. Bagaimanapun kau bersembunyi, tetapi kami akan dengan mudah menemukan perguruan tangan timah, sehingga kami akan dapat menghancurkan perguruanmu. Ada atau tidak ada kau di sana.”
“Satu tantangan yang sangat sombong,” berkata orang itu.
“Aku berkata sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat, “berapapun besarnya perguruanmu, tetapi kau tidak akan mampu bertahan jika kami datang.”
Orang itu tidak menjawab lagi. Ia menyadari kebesaran ilmu anak muda itu. Jika beberapa orang dengan ilmu seperti mereka, apalagi bersama dengan gurunya, maka tentu akan merupakan kekuatan yang tidak akan terlawan oleh perguruannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketika matahari mulai terbit, maka latihan-latihan pun telah dimulai lagi. Orang itu benar-benar telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan demikian, maka muridnya pun benar-benar telah mendapatkan unsur-unsur gerak yang sebenarnya.
Ternyata dua hari itu telah cukup buat muridnya yang sebenarnya cukup cerdas itu. Dengan demikian, maka menjelang malam, maka muridnya itu pun telah dapat berlatih seorang diri dengan mempergunakan unsur-unsur gerak yang benar. Sementara gurunya yang telah menyesatkan itu hanya mengawasinya saja.
“Nah,” berkata orang itu kemudian setelah ia yakin, bahwa ilmunya telah mendapatkan arah yang benar, “giliranmu untuk bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan ini berlatih.”
Tetapi Mahisa Pukat mencegahnya. Katanya, “Kau akan menjadi terlalu letih. Kau dapat mulai besok pagi-pagi bersama anak-anak muda itu. Selama ini mereka telah menyaksikan kau memperbaiki unsur-unsur gerakmu, sehingga mereka telah mendapat gambaran, apa yang akan mereka lakukan. Apalagi mereka adalah anak-anak muda penghuni padukuhan ini, sehingga mereka tidak terlalu tergesa-gesa.”
“Dengan cara ini, aku tidak merasa letih sama sekali. Meskipun keringatku mengalir sehingga seperti baru saja mandi, tetapi aku justru merasa segar,” berkata orang itu.
“Kau jangan memaksa diri. Meskipun akibatnya tidak akan parah sebagaimana sebelum kau temukan unsur-unsur yang benar, namun melepaskan tenaga yang berlebihan tetap kurang baik bagi wadagmu,” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah,” berkata orang itu, “biarlah besok anak-anak muda itu berlatih pagi-pagi sekali bersama aku. Aku bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri mereka. Malam ini biarlah mereka beristirahat di pendapa.”
“Kenapa di pendapa?” bertanya Mahisa Pukat, “biarlah mereka kembali ke rumahnya, masing-masing. Bukankah rumah mereka tidak lebih dari padukuhan ini?”
“Oo,” orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Sebaiknya mereka memang pulang ke rumah masing-masing. Sehari-harian mereka sudah berada di sini. Tetapi besok pagi-pagi mereka harus sudah berada di sini.”
“Mereka tidak sempat bekerja di sawah atau di mana saja mereka biasa bekerja,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi hanya satu dua hari ini. Dengan demikian maka persoalan akan segera selesai, sehingga aku tidak lagi merasa dibebani oleh kesalahan yang sangat mendasar itu,” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata orang itu mempunyai tanggung jawab yang besar atas kesalahan yang pernah dibuatnya. “Terserah kepada kalian,” berkata Mahisa Pukat, “besok pagi-pagi, kami sudah akan meninggalkan banjar ini.”
“Besok pagi-pagi?” orang itu terkejut, “tidak. Kalian masih akan berada di banjar ini untuk satu dua hari lagi.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Kenapa bahwa aku masih harus berada di banjar ini satu dua hari lagi?”
“Aku akan menyelesaikan tanggung jawab dahulu,” jawab orang itu.
“Bukankah kau dapat melakukannya tanpa aku? Kau sudah menemukan unsur-unsur gerak yang benar itu. Untuk apa aku masih harus berada di sini?” bertanya Mahisa Pukat.
Hampir diluar sadarnya orang itu berpaling kepada gurunya yang duduk di pendapa. Katanya, “Orang itu akan dapat berbuat sekehendaknya di sini. Yang sudah aku perbaiki akan dirusaknya kembali. Dan umurku pun tentu hanya akan sampai esok.”
“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ia tidak akan berbuat apa-apa lagi meskipun kekuatan dan kemampuannya nanti pulih sepenuhnya.”
“Seandainya orang itu benar-benar tidak akan berbuat apa-apapun aku minta kalian menunggu aku. Aku ingin ikut bersama kalian. Jika kalian benar-benar pengembara, maka aku ingin menompang untuk mendapatkan pengalaman di perjalanan,” berkata orang itu kemudian.
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak mungkin. Aku sudah berada dalam perjalanan kembali ke padepokan.”
“Aku akan ikut ke padepokanmu. Aku akan memasuki perguruanmu,” jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Aku tidak sendiri. Aku harus berbicara dengan kedua orang saudaraku.”
“Aku mohon,” desis orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau dapat menyuruh anak-anak muda itu kembali ke rumahnya seandainya besok pagi-pagi mereka harus sudah di sini pula. Kau pun harus mengingat tenaga penunggu banjar ini bersama beberapa orang pembantunya yang harus menyiapkan makan sedikitnya dua kali. Jika anak-anak itu bermalam di sini, maka penunggu banjar itu harus menyediakan mereka makan sekali lagi.”
“Para peronda itu juga makan di tengah malam,” jawab orang itu.
“Tetapi jumlah mereka terbatas,” desis Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun telah mengumumkan kepada anak-anak muda yang sudah sehari-harian berada di banjar seperti sehari sebelumnya untuk pulang ke rumah mereka.
“Siapa yang ingin mendapat pembetulan dari unsur-unsur gerak yang sesat itu, aku minta besok datang pagi-pagi,” berkata orang itu...
“Persetan,” geram Ki Buyut, “sekarang, jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Perang tanding ini memang baru berakhir setelah seorang di antara kita mati.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia justru termangu-mangu. Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa di balik gerumbul perdu. Sejenak kemudian, seorang berjanggut putih telah meloncat dari persembunyiannya. Mahisa Murti bergeser surut.
Sementara itu terdengar Ki Buyut berdesis, “Guru. Aku mohon maaf, ternyata aku telah gagal menjunjung tinggi nama perguruanku.”
“Kau kalah?” bertanya orang berjanggut putih itu.
Ki Buyut itu menunduk. Jawabnya, “Aku belum mati Guru. Perang tanding ini akan berakhir jika seorang di antara kami telah terbunuh.”
“Dan kau akan menyerahkan lehermu untuk ditebas dengan tajam pedang yang bergerigi itu?” bertanya gurunya.
Ki Buyut tidak menjawab. Tajam pedang Mahisa Murti yang bergerigi itu memang mengerikan. Tetapi baginya, perang tanding itu harus berakhir. Apalagi di hadapan gurunya, ia tidak boleh menjadi pengecut.
Tetapi di luar dugaan, gurunya berkata, “Kau sudah kalah. Kau tidak perlu membunuh diri.”
Ki Buyut itu termangu-mangu. Sementara itu, orang berjanggut putih itu telah melangkah maju mendekati Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti pun telah bersiaga. Tetapi di tangannya tergenggam sebilah pedang yang baik buatannya dan bahannya yang dirampasnya dari lawannya. Karena itu, maka ia pun telah menyarungkan pedangnya. Sambil memutar pedang pilihan itu ia berkata, “Pedang ini benar-benar pedang luar biasa.”
“Ya,” desis guru Ki Buyut, “nilainya sangat tinggi.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Jadi kau adalah guru Ki Buyut?”
“Ya, ngger. Aku adalah guru Ki Buyut,” jawab orang tua itu.
“Sekarang, apakah kau juga akan menantang aku untuk berperang tanding?” bertanya Mahisa Murti yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Amping berdiri termangu-mangu.
Tetapi orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak ngger. Mana mungkin aku berani berhadapan dengan ilmu Bajra Geni meskipun sudah dalam bentuk pengembangannya.”
Mahisa Murti terkejut. Sementara orang tua itu berkata, “Jika pada saatnya ilmu Bajra Geni itu sampai ke puncaknya, maka siapakah yang akan kuat menahankannya? Apalagi kekuatan ilmu Bajra Geni telah bergabung dengan aliran Pakuwon Lemah Warah. Benar-benar ilmu yang luar biasa.”
“Dari mana kau tahu Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah pengembara seperti angger bertiga dan sekarang berempat dengan seorang kanak-kanak,” jawab orang itu, “aku mengenali banyak sekali jenis ilmu. Dan akupun mampu menilai tingkat dan tataran ilmu itu. Karena itu, aku ingin menasehati muridku, bahwa ia tidak perlu berkecil hati jika ia dikalahkan oleh ilmu Bajra Geni. Muridku harus mengerti, bahwa aku sendiri pun tidak akan mampu menandingi ilmu itu.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi termangu-mangu. Ia belum mengenal orang itu. Dengan terperinci orang itu mencoba menyebut ilmunya.
Namun orang itu telah menjelaskan, “Sebenarnyalah aku belum mengenal anak-anak muda secara pribadi. Justru kami ingin tahu, siapakah kalian yang telah membawa bekal ilmu yang paling dahsyat itu, disamping itu Gundala Sasra, maka ilmu kalian tidak ada tandingnya.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia justru bertanya, “Siapakah namamu dan kau datang dari perguruan yang mana?”
“Namaku tidak penting. Kau tentu belum mengenal aku. Tetapi baiklah aku menyebutnya jika itu kau anggap perlu. Namaku Adyan Akenan. Nama yang sama sekali tidak dikenal. Tetapi karena pengembaraanku yang lama, maka aku justru telah mengenali banyak sekali jenis dan ciri-ciri ilmu,” jawab orang itu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Nah, setelah kau tahu namaku, maka aku ingin dari perguruan manakah kalian datang.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kami adalah orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Sebuah perguruan kecil yang tidak penting sama sekali. Bahkan kau yang pengembara dan banyak sekali mengetahui tentang dunia kanuragan, belum tahu juga tentang perguruan Bajra Putih itu.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar perguruan Bajra Seta atau yang agaknya juga disebut Bajra Putih. Sambil menggeleng ia berkata, “Aneh. Ilmu yang nampak dalam susunan unsur-unsur gerakmu adalah ilmu Bajra Geni. Namun kau sebut perguruanmu dengan nama Bajra Seta. Atau barangkali ada hubungan antara perguruanmu dengan ilmu Bajra Geni?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku adalah cantrik yang tidak banyak tahu tentang asal-usul padepokan dan perguruan kami. Aku termasuk cantrik yang barangkali dianggap sudah cukup tua sehingga mendapat kesempatan untuk melihat-lihat dunia ini.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia memang tidak percaya akan keterangan Mahisa Murti itu. Tetapi sudah tentu sulit baginya untuk memaksa anak muda itu mengatakan sebagaimana dikehendakinya. Tetapi ternyata orang tua itu masih bertanya, “Siapakah nama kalian anak-anak muda?”
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu pula untuk menjawab. Namun karena ia tidak bersiap untuk menyebut nama apapun juga, maka ia telah menyebut namanya sendiri dengan satu keyakinan bahwa namanya pun tidak akan pernah dikenal oleh orang itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti kemudian berdesis, “Namaku Mahisa Murti. Kedua adikku itu bernama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Sedangkan adikku yang paling kecil bernama Mahisa Amping.”
“Apakah kalian bersaudara berada dalam satu perguruan?” bertanya orang itu.
“Ya. Kami berada dalam satu perguruan, meskipun pada tataran yang berbeda. Tetapi kami adalah saudara-saudara yang juga saudara seperguruan. Namun ada di antara kami yang baru memasuki padepokan sementara adikku yang paling kecil masih belum mulai dengan ilmu dasar sekalipun,” berkata Mahisa Murti.
“Sudah tentu. Tetapi jika ia berada di padepokan sejak kanak-kanak, maka pengenalannya tentang ilmunya akan matang di masa mudanya sebagaimana kau lihat pada tata gerakmu. Aku tahu bahwa ilmu yang kau pergunakan untuk melawan muridku belum ada separo dari kemampuanmu. Kau biarkan muridku berbangga dengan pedangnya meskipun akhirnya kau kalahkan juga. Tetapi jika kau kehendaki, maka ia sudah mati sejak pertempuran itu dimulai. Bahkan ketika ia menarik pedangnya, ia tentu sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi hal itu tidak kau lakukan. Kau maafkan muridku sejak awal sehingga ia masih tetap hidup. Tanpa aku, maka ia merasa seakan-akan ia memang mampu bertahan sekian lamanya. Padahal kau tahu bahwa dengan sombong muridku mengatakan bahwa perang tanding akan diakhiri dengan kematian.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Ia tidak pasti dengan orang berjanggut putih itu. Apakah ia mengatakan yang sebenarnya, atau ada niat lain dari tingkah lakunya itu. Namun kemudian orang berjanggut putih itu berkata kepada muridnya, “Kau harus minta maaf kepadanya.”
Ki Buyut yang bagaikan membeku melihat sikap gurunya itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa gurunya terlalu merendahkan diri berhadapan dengan anak-anak muda yang disebutnya berilmu sangat tinggi dari cabang perguruan yang agaknya memang disegani oleh gurunya itu.
“Cepat,” gurunya ternyata mulai membentak.
Ki Buyut itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian melangkah mendekat sambil berkata dengan ragu-ragu, “Aku minta maaf.”
Gurunya tertawa. Katanya, “Aku tahu bahwa hal seperti ini tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Tetapi kali ini kau tidak mempunyai pilihan lain.”
Ki Buyut menundukkan kepalanya. Sementara itu gurunya berkata pula, “Nah, kau harus memperhatikan peringatan yang cukup keras kali ini. Lihat sekali lagi apa yang terjadi di padukuhanmu itu. Dengar sekali lagi apa yang dikatakan orang-orangmu. Kau akan melihat bahwa kau telah salah langkah.”
Ki Buyut tidak menjawab. Meskipun ia masih juga ragu-ragu akan maksud gurunya, tetapi ia merasa wajib untuk melaksanakannya.
“Bawa orang-orangmu pergi jika anak-anak muda itu mengijinkan. Ini adalah satu-satunya jalan yang dapat aku tempuh untuk menyelamatkanmu, karena kali ini aku tidak akan dapat melakukannya dengan kekerasan. Jika aku memaksa, jangankan menyelamatkanmu, aku sendiri pun tentu akan ikut tergilas pula,” berkata guru Ki Buyut yang mengaku bernama Adyan Akenan.
Ki Buyut itu mengangguk hormat. Sementara itu Adyan Akenan itu berkata pula, “Kau harus mohon diri dan mohon ijin. Kau pun harus berterima kasih bahwa sampai sekarang kau masih tetap hidup.”
Meskipun terasa kulit wajahnya menjadi tebal, tetapi Ki Buyut itu pun telah melakukannya. Ia minta maaf kepada Mahisa Murti dengan minta ijin untuk meninggalkan arena itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, bahwa hal itu dilakukan bukan karena Ki Buyut yang muda itu takut mati sebagai janji yang diucapkannya sebelum perang tanding itu dimulai. Tetapi hal itu dilakukan karena ia tidak berani membantah perintah gurunya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Pergilah. Aku tahu bahwa kau telah merasa harus mengorbankan harga dirimu. Karena itu, maka aku akan mengembalikan pedangmu yang bagimu sangat berarti ini.”
Ki Buyut itu sama sekali tidak menyangka. Karena itu ia terkejut ketika Mahisa Murti melontarkan pedang itu ke arahnya. Dengan sigap Ki Buyut itu menangkap pedangnya. Dengan jantung yang berdebaran diperhatikannya pedangnya yang sangat dibanggakannya itu.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti.
Adalah diluar sadarnya, bahwa kemudian Ki Buyut itu telah berdesis, “Terima kasih Ki Sanak.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Ia pun merasa bahwa ucapan itu telah dinyatakannya dengan ikhlas. Tidak seperti ucapannya sebelumnya, yang begitu saja meluncur dari batas bibirnya saja.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Buyut itu telah meninggalkan anak-anak muda yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi itu diikuti oleh para pengawalnya. Namun sesuai pesan gurunya, ia harus kembali ke padukuhan yang telah diguncang oleh kemarahan Mahisa Murti itu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Adyan Akenan itu pun telah mengulangi pernyataan terima kasih muridnya itu. Namun Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak sebenarnya dengan tingkah laku Ki Sanak ini? Aku tidak dapat mengerti bahwa seorang Guru telah berlaku seperti yang kau lakukan terhadap muridmu? Bukankah itu akan menjadi beban yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya. Apakah untuk selanjutnya ia akan dapat percaya lagi kepada dirinya sendiri?”
Tetapi Adyan Akenan itu tidak segera menjawab. Kepalanya justru tertunduk dalam-dalam.
“Apakah pertanyaanku menyinggung perasaanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak,” jawab orang itu, “aku mengerti sepenuhnya dasar dari pertanyaanmu. Tetapi hal ini harus aku lakukan. Muridku itu adalah orang yang terlalu yakin akan kekuatannya. Padahal ia bukan orang yang dapat dianggap terbaik di perguruan. Karena itu, ia memang memerlukan peringatan yang sangat keras, agar dengan demikian ia menyadari, betapa luasnya langit ini dan betapa panasnya dunia olah kanuragan. Ia terlalu yakin akan kemampuannya dan sudah tentu, ia kurang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukan mengatasi satu persoalan.”
“Jadi apa yang kau lakukan itu bersungguh-sungguh?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang melakukannya dengan sungguh-sungguh untuk tujuan tertentu,” berkata orang itu. Lalu katanya, “Aku pun menyadari, bahwa kau menjadi curiga atas sikapku. Itu justru sikap yang sangat bijaksana.”
“Baiklah. Lalu sekarang?” bertanya Mahisa Murti.
“Selamat jalan,” berkata orang itu, “tetapi yakinkan dirimu bahwa aku benar-benar melihat beberapa unsur dari aliran Bajra Geni. Aku tidak tahu apakah kau murid dari perguruan Bajra Seta atau Bajra Geni. Tetapi yakinkan dirimu pula bahwa aku tidak akan dikenal oleh orang-orang yang pernah menggemparkan bumi Singasari dan Kediri.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara Adyan Akenan itu berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Selamat jalan anak-anak muda. Aku akan menemui muridku dan menunjukkan langsung kepadanya akan langkahnya yang keliru itu.”
Namun, ternyata bahwa yang meninggalkan tempat itu adalah Adyan Akenan itu lebih dahulu daripada Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mereka sempat memandangi orang tua itu berjalan tertatih-tatih di tengah bulak yang panjang, menuju sebuah padukuhan yang pernah mereka hancurkan menjadi lingkungan yang berserakan oleh dahan-dahan kayu dan cabang-cabang pepohonan yang patah.
Sejenak anak-anak muda itu berdiri termangu-mangu. Mereka menyadari, bahwa orang tua itu tentu akan menjadi marah kepada muridnya yang menjabat sebagai Buyut di Kabuyutan Tapakgawe itu.
Namun agaknya yang terjadi itu telah memberikan sedikit pengalaman bagi Ki Buyut muda itu. Untuk selanjutnya ia akan menjadi lebih berhati-hati menghadapi persoalan yang terjadi di Kabuyutannya. Ia tidak akan sekedar mendengarkan keterangan orang-orangnya, mempercayainya dan mengambil tindakan. Karena ternyata sebagaimana dilakukan, ia telah salah langkah.
Selain itu, ternyata Ki Buyut itu pun tidak mengetahui apa yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari padukuhan induknya. Ki Buyut itu ternyata tidak tahu, bahwa ada satu kebiasaan yang sangat mengerikan telah dilakukan oleh orang-orang dari salah satu padukuhan di Kabuyutan Tapakgawe. Orang-orang yang merasa dirinya pemburu-pemburu yang tidak pernah gagal.”
Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti berkata, “Kita dapat melanjutkan perjalanan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Tentang akan terjadi perubahan di Kabuyutan itu. Seandainya kita mendapat kesempatan lain kali untuk lewat lagi di Kabuyutan ini, maka kita tentu akan menjumpai keadaan yang sangat berbeda.”
“Ya,” Mahisa Murti mengangguk-angguk. “kita dapat memastikannya.”
Demikianlah maka keempat orang itu pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka masih tetap berpegang pada ancar-ancar arah yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Namun, ketika mereka sempat beristirahat di sebuah gumuk kecil yang sepi di tengah-tengah padang perdu, maka Mahisa Murti itu pun berdesis, “Selama ini kita memang pernah mempergunakan berbagai macam dasar ilmu dan bahkan bersama-sama. Tetapi kita belum pernah secara bersungguh-sungguh mengkaji kemungkinan untuk menyusun satu kekuatan yang tersusun dengan meluluhkan dasar-dasar ilmu itu. Kita pernah mendapatkan dorongan kekuatan untuk meningkatkan alas kemampuan kita. Kita memiliki puncak ilmu yang kita warisi dari ayah dan kita pun mewarisi ilmu yang sangat berarti dari Sang Akuwu Lemah Warah serta beberapa macam ilmu yang lain, termasuk kemampuan menghisap kekuatan ilmu lawan-lawan kita. Selama ini kita memang dapat melepaskan bersama-sama. Namun kita belum pernah membuat satu susunan yang lebih teratur, tataran demi tataran serta mendapatkan satu ungkapan ilmu dasar yang mencakup semuanya itu.”
“Kita memerlukan waktu yang panjang,” berkata Mahisa Pukat.
“Tentu. Tetapi apakah kita tidak dapat memulainya? Yang dikatakan oleh Adyan Akenan memang telah menggerakkan niatku untuk memulainya, sehingga apa yang kita ungkapkan bukan sekedar potongan-potongan ilmu yang saling sambung-menyambung, namun akan merupakan satu kesatuan, meskipun kita tidak perlu menyembunyikan sumber-sumbernya,” berkata Mahisa Murti.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita mempunyai banyak waktu untuk merenung dalam perjalanan kembali. Di saat-saat Mahisa Semu memantapkan ilmu dasar kita dapat serba sedikit mengamati apa yang ada di dalam diri kita,” sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia tidak menentang niat Mahisa Murti, meskipun Mahisa Pukat sudah membayangkan beberapa kesulitan yang akan dihadapinya. Tetapi Mahisa Pukat-pun percaya bahwa kesulitan-kesulitan itu akan sangat bersifat ke kedalaman sehingga lebih tergantung kepada mereka berdua. Namun Mahisa Pukat yakin pula, bahwa kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi.
Bahkan jika mereka berhasil, maka akan tersusun sejenis aliran ilmu yang dahsyat karena unsur-unsur yang akan bergabung dan tersusun kembali itu memang ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagai anak-anak muda, maka keduanya tidak segera menjadi puas. Ternyata perjalanan mereka telah membentuk mereka menjadi orang-orang yang gelisah menilai ilmu mereka sendiri! Ketika mereka mendengar seseorang menyebut berbagai macam sumber, maka hati mereka telah tergerak untuk menyatakan diri mereka.
“Ilmu yang tersusun sebagai ungkapan ilmu dari padepokan Bajra Seta,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Besok kita dapat mulai.”
“Malam nanti pun kita dapat mulai melihat kembali setiap unsur gerak,” berkata Mahisa Murti.
“Jangan malam nanti,” berkata Mahisa Pukat, “aku ingin tidur nyenyak.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Besok, selama kita beristirahat dari perjalanan panjang kita, kita berbicara tentang unsur-unsur itu, sementara Mahisa Semu dapat mempergunakan waktunya untuk berlatih serba sedikit.”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Amping pun bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat Mahisa Semu pun berpaling bersama-sama sambil tersenyum. Dengan Sorot mata yang tajam anak itu memandangi ketiga orang kakak angkatnya itu berganti-ganti. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
“Kau pun akan mulai dengan latihan-latihan untuk menerima ilmu yang mudah-mudahan lebih baik dari ilmu yang pernah kau pelajari dan terpaksa kami musnahkan.”
“Sudah terlalu lama aku menunggu,” berkata anak itu.
“Bukankah sebenarnya kau sudah mulai? Kau sudah mulai dengan latihan-latihan ketahanan tubuh. Penguasaan tubuh dan keseimbangan tubuh. Itu merupakan modal yang sangat penting bagimu,” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi aku pernah berlatih dan menguasai unsur-unsur gerak dari satu ilmu kanuragan,” berkata anak itu, “meskipun kemudian ternyata ilmu itu sesat dan sudah dihilangkan. Namun aku pernah berlatih dengan keras.”
“Bagus,” jawab Mahisa Murti, “aku tahu bahwa Kau pun ingin berlatih dengan keras untuk mencapai satu tataran setidak-tidaknya sama dengan yang pernah kau capai sebelumnya, tetapi yang ladasan ilmu itu sudah kami hapuskan.”
“Ya,” jawab Mahisa Amping.
“Dan sebenarnyalah kau sudah mulai membangun landasan baru. Tetapi ujudnya sajalah yang belum nampak bentuknya,” berkata Mahisa Murti pula.
Anak itu mengangguk-angguk. Ia sempat mengenang masa lalunya sekilas. Ia sempat mengenang bahwa ia pernah memiliki kemampuan ilmu meskipun baru mulai. Tetapi yang ternyata ilmu yang sesat yang apabila diteruskan, akan dapat mempengaruhi bukan saja tatanan dalam tubuhnya, tetapi juga syarafnya, sehingga ia tidak mampu lagi mempergunakan nalar budinyadengan sewajarnya.
Karena anak itu tidak menjawab, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, sambil menempuh perjalanan, kau akan dapat mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak dasar dari ilmu kami. Tetapi kau sudah mendengar bahwa kami ingin menyusun satu ilmu yang utuh, luluh dan bukan sekedar potongan-potongan ilmu yang sekedar disusun begitu saja. Meskipun sebelumnya kami juga sudah mencoba meluluskan dalam satu kesatuan bentuk, tetapi ternyata masih nampak terpisah-pisah sebagaimana dikatakan oleh Adyan Akenan.”
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada kakang.”
“Sebaiknya kau pelajari alasnya yang paling mendasar,” berkata Mahisa Murti, “unsur-unsur gerak yang paling umum dari olah kanuragan, sehingga dapat dilakukan oleh siapapun juga sebagai persiapan untuk memasuki satu aliran ilmu tertentu. Akan lebih baik jika pada saatnya nanti, kau adalah anak yang pertama kali belajar olah kanuragan dengan cara yang paling baru yang akan kami susun sesuai dengan watak dan dasar perguruan kami tanpa meninggalkan sumber-sumber ilmu yang pernah kami pelajari.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Ia kurang memahami kata-kata Mahisa Murti. Tetapi ia menjawab, “Aku akan belajar dengan cara yang kalian tunjukkan kepadaku.”
“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “kau akan mulai dengan membentuk, menguasai dan mampu memanfaatkan bagian-bagian dari tubuhmu.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berniat untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari sesuatu yang paling baik bagi pertumbuhan ilmu mereka. Dengan demikian maka mereka akan memasuki satu aliran tersendiri tanpa menyembunyikan sumber-sumber ilmu mereka.
Tetapi hari itu Mahisa Pukat benar-benar ingin beristirahat. Ia tidak mau melakukan sesuatu yang dapat membuatnya semakin letih lahir dan batin. Meskipun ia tidak menangani secara langsung, tetapi peristiwa yang terjadi di padukuhan itu benar-benar menyakitkannya. Namun setelah beristirahat secukupnya, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka singgah di sebuah kedai untuk makan dan minum.
Kemudian Mahisa Pukat itu pun berkata, “Kita akan bermalam di sebuah banjar padukuhan. Rasa-rasanya untuk malam ini lebih menyenangkan daripada tidur di tempat terbuka.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kau menjadi manja hari ini.”
Sebenarnyalah, maka mereka pun telah berjalan mengikuti jalan induk sebuah padukuhan yang besar. Mereka yakin, bahwa banjar padukuhan itu akan terletak di pinggir jalan induk yang membelah padukuhan itu. Akhirnya, mereka benar-benar menemukan banjar padukuhan yang cukup megah. Banjar padukuhan yang bukan saja cukup besar sebagaimana padukuhan itu sendiri. Tetapi juga nampak terpelihara rapi.
Ternyata orang yang bertugas memelihara banjar dan bertempat tinggal di belakang banjar itu adalah orang yang ramah. Seorang yang sudah menjelang usia tuanya yang agaknya hidup seorang diri.
“Tidurlah di sini anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “Kalian dapat tidur di serambi tanpa mengganggu kegiatan anak-anak muda di banjar itu.”
“Apa saja kegiatan mereka?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka memanfaatkan kehadiran seorang yang memiliki ilmu yang tinggi,” berkata orang tua itu.
Anak-anak itu tidak bertanya lagi. Sementara itu, maka mereka pun telah duduk di sebuah amben yang besar di serambi belakang banjar.
“Aku benar-benar akan tidur malam ini,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak mau mencampuri persoalan apapun yang dapat saja timbul di sini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Aku kira kita tidak akan menemui persoalan apapun.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka masih belum juga dapat berbaring, karena hari masih terlalu sore untuk dapat tidur. Ternyata bahwa penunggu banjar itu benar-benar orang yang baik. Anak-anak muda itu telah diberinya minuman dan sekedar makanan. Sementara itu, langit pun menjadi semakin gelap.
Setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Sudah pantas untuk tidur sekarang.”
“Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kapan kau akan dibangunkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Menjelang pagi,” jawab Mahisa Pukat sambil bergeser menepi, “aku akan tidur di tepi saja.”
Mahisa Semu lah yang kemudian berkata kepada Mahisa Amping, “Kau tidur sajalah. Hari sudah mulai malam.”
Mahisa Amping agaknya justru belum mengantuk. Meskipun ia pun kemudian berbaring di sebelah Mahisa Pukat, tetapi ia masih belum memejamkan matanya.
Sementara itu, ternyata anak-anak muda mulai berdatangan di banjar. Seperti yang dikatakan oleh penunggu banjar itu, agaknya mereka sedang mempelajari olah kanuragan serba sedikit, justru karena di padukuhan itu sedang hadir seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi anak-anak muda itu memang tidak mau melibatkan diri. Karena itu, mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu di banjar. Namun demikian mereka mendengar juga aba-aba dengan cara yang banyak dipergunakan. Orang yang disebut berilmu tinggi itu mempergunakan cara hitungan untuk memberi aba-aba kepada anak-anak muda yang belajar kepadanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih sempat mendengar seseorang setiap kali menghitung sampai sepuluh. Bukan delapan atau angka-angka lainnya.
“Ia mempunyai cara hitungan tersendiri,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu mengangguk kecil. Sebenarnya ia ingin melihat apa yang dilakukan oleh anak-anak muda di pendapa banjar itu. Tetapi nampaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar tidak ingin terlibat apapun juga malam itu. Karena itu, maka Mahisa Semu pun kemudian lebih baik duduk-duduk saja di serambi itu. Agaknya ia pun belum juga mengantuk seperti Mahisa Amping.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Kau belum mengantuk?”
“Belum,” jawab Mahisa Semu.
“Jika demikian, biarlah aku tidur lebih dahulu. Jika kau sudah mengantuk, bangunkan aku. Aku akan berganti berjaga-jaga. Jika aku mengantuk lagi, maka aku akan membangunkan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Murti.
“Tidurlah,” berkata Mahisa Semu kemudian.
Mahisa Murti pun kemudian telah berbaring di sebelah Mahisa Amping, sehingga Mahisa Amping berada di antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, Mahisa Semu duduk bersandar tiang serambi itu.
Sampai tengah malam ternyata tidak ada yang mengusik mereka. Anak-anak muda yang sempat melihat mereka, ternyata tidak menghiraukan sama sekali. Agaknya memang sudah sering terjadi orang yang kemalaman dalam perjalanan kemudian minta untuk bermalam di banjar padukuhan itu. Tetapi pada tengah malam, penunggu banjar itu telah datang ke serambi untuk mempersilahkan anak-anak muda itu makan.
“Terima kasih,” jawab Mahisa Semu, “kami sudah terlalu banyak makan makanan yang Ki Sanak berikan kepada kami serta minuman hangat itu.”
“Ah, tidak baik menolak rejeki,” berkata orang tua itu.
Mahisa Semu terpaksa membangunkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk makan bersama para peronda di gandok samping. Sedangan Mahisa Amping ternyata masih belum tidur juga.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan terima kasihnya serta mohon maaf karena mereka sudah terlalu kenyang, orang tua itu berkata pula, “Tidak baik menolak rejeki. Aku akan kecewa sekali jika kalian tetap menolak.”
Karena itulah, maka mereka berempat telah diajak pergi ke gandok. Ternyata para peronda agaknya telah selesai makan, sehingga mereka tinggal berempat sajalah yang makan.
Tetapi orang tua itu berkata, “Nanti, setelah latihan itu selesai, mereka juga akan makan. Tetapi tidak di sini karena ini adalah makan yang disediakan bagi para peronda. Mereka, yang sedang berlatih itu akan makan di pendapa.”
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Semu yang makan di gandok itu sempat melihat latihan yang dilakukan oleh anak-anak muda padukuhan itu sampai lewat tengah malam. Latihan yang masih permulaan sekali. Namun demikian anak-anak muda itu memang tertarik pada cara latihan yang agak berbeda yang dilakukan oleh anak-anak muda itu sesuai dengan petunjuk orang yang dianggap berilmu tinggi itu.
“Berapa hari mereka sudah berlatih?” bertanya Mahisa Pukat.
Yang lain tidak menjawab, karena mereka juga tidak mengetahuinya. Namun ketika seorang di antara para peronda mengambil minuman ditempat mereka makan, maka Mahisa Murti menyempatkan diri untuk bertanya, “Ki Sanak. Sudah berapa hari latihan-latihan ini diselenggarakan?”
“Sudah lama,” jawab anak muda yang meronda itu.
“Apakah Ki Sanak juga ikut serta?” bertanya Mahisa Murti selanjutnya.
“Tidak. Hanya beberapa orang terpilih sajalah yang boleh mengikuti. Aku tidak termasuk di antara mereka.”
“Sejak kapan latihan-latihan ini dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Sudah sejak kira-kira sepuluh hari yang lalu,” jawab anak muda itu.
“Apakah mereka yang ikut latihan itu termasuk anak-anak muda yang memang telah memiliki kemampuan dalam olah kanuragan sebelumnya?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Tidak,” jawab peronda itu, “semuanya sama sekali belum pernah berlatih olah kanuragan.”
“Jadi atas dasar apa orang yang berilmu tinggi itu memilih di antara kalian?” bertanya Mahisa Pukat agak mendesak.
“Aku tidak tahu. Orang itu hanya melihat kami seorang demi seorang. Menyuruh kami bergerak-gerak sedikit. Kemudian menentukan siapakah yang boleh ikut dan siapa yang tidak.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun anak muda itulah yang kemudian justru bertanya, “Nampaknya kalian juga tertarik pada olah kanuragan?”
“Ah,” desah Mahisa Pukat, “bagaimanapun juga kami menginginkannya, tetapi kesempatan itu tentu sulit kami dapatkan.
Peronda itu tertawa. Katanya, “Jangankan kau, aku pun tidak mendapatkan kesempatan itu.”
Karena anak-anak muda itu tidak bertanya lagi, maka peronda itu pun kemudian telah kembali ke gardu sambil membawa semangkuk minuman. Namun sejenak kemudian seorang peronda yang lain telah datang lagi. Ternyata ia baru saja datang sehingga belum sempat makan bersama kawan-kawannya. Selagi makanan dan minuman belum disingkirkan oleh penunggu banjar itu, maka ia pun telah memerlukan untuk makan bersama-sama dengan para pengembara itu.
Sambil makan Mahisa Pukat pun sempat bertanya, “Ki Sanak tidak ikut latihan-latihan itu?”
Ternyata jawabnya sama dengan kawannya yang terdahulu. Demikian pula jawaban atas pertanyaan anak-anak muda itu yang lain. Namun yang belum ditanyakan sebelumnya adalah pertanyaan Mahisa Semu, “Siapakah orang yang melatih olah kanuragan itu?”
Peronda itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tidak banyak diketahui. Orang itu juga pengembara seperti kalian. Tetapi ia memiliki ilmu yang tinggi yang dapat disebar luaskan. Ia tidak mengharapkan imbalan apapun juga, kecuali sedikit uang untuk bekal perjalanannya kemudian.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan demikian maka mereka mengerti serba sedikit alasan kenapa orang itu bersedia memberikan latihan-latihan khusus bagi anak-anak muda padukuhan itu.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Darimana kalian tahu bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi sehingga anak-anak muda padukuhan ini belajar kepadanya?”
Peronda itu memandang Mahisa Murti sekilas. Tetapi sambilmengerutkan keningnya ia menjawab, “Orang itu sendiri yang menyatakan diri, memberikan beberapa peragaan tentang ilmunya dan kesediaannya memberikan latihan-latihan.”
Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Mereka tidak mau menarik perhatian orang-orang padukuhan itu, sehingga mungkin dapat melibatkan mereka kedalam satu persoalan yang tidak mereka kehendaki.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terutama memang menjadi cemas melihat latihan yang tidak mapan itu. Jika hal semacam itu dipaksakan dan apalagi ditingkatkan, maka akan dapat berakibat buruk, meskipun tidak selalu. Tubuh anak-anak muda yang mengikuti latihan itu justru akan dapat menjadi kesakitan, bahkan terluka di dalam meskipun perlahan-lahan, sehingga sebelum luka itu menjadi parah, orang itu tentu sudah terpaksa menghentikan latihan-latihannya tanpa berhasil.
Namun meskipun demikian, latihan-latihan itu termasuk cara yang berbahaya. Tetapi anak-anak muda itu memang sudah berniat untuk tidak melibatkan diri ke dalam persoalan di padukuhan itu. Karena itu, maka mereka pun tidak memberikan tanggapan yang akan dapat menarik perhatian.
Sambil menunggu sejenak, mereka sempat memperhatikan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu. Semakin lama jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berdebar-debar. Dalam sepuluh hari sudah mulai nampak ketidak wajaran dalam latihan-latihan itu.
Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu selain sekali-sekali saling berpandangan. Bahkan Mahisa Semu pun kemudian menjadi berdebar-debar juga. Sebagai seorang yang masih berada pada tataran pertama, Mahisa Semu memang belum memiliki kemampuan penilaian sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ia sudah mampu melihat sesuatu yang lain dari yang pernah dilakukannya.
Sementara ketiga orang anak muda itu memperhatikan latihan yang sedang berlangsung, maka Mahisa Amping ternyata tidak dapat menahan kantuknya lagi. Ia pun tanpa disadari justru telah tertidur di belakang Mahisa Murti.
“He,” Mahisa Semu yang melihatnya tidur berusaha untuk membangunkannya. Tetapi Mahisa Murti telah memberi isyarat untuk membiarkannya saja.
Sejenak kemudian, ketika peronda yang makan itu sudah selesai, maka ia pun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah. Aku sudah selesai.”
“Kami juga,” jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami menunggui adik kami yang baru saja tertidur. Nanti, jika tidurnya sudah nyenyak akan kami angkat ke serambi.”
Ketika peronda itu pergi, maka penunggu banjar itu pun telah datang pula untuk menyingkirkan makanan dan minuman yang masih tersisa. Tetapi ketika ia melihat anak-anak muda yang bermalam di banjar itu masih ada di situ, maka ia pun berkata, “Silahkan. Jangan tergesa-gesa.”
“Kami sudah selesai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi biarlah kami menunggu adikku yang tertidur. Baru saja. Jika kami angkat sekarang, ia akan terbangun.”
“Oo,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sambil menyingkirkan makanan dan minuman ia berkata, “Tunggu sajalah sampai ia menjadi nyenyak.”
Ternyata Mahisa Amping dapat dijadikan alat untuk tidak menarik perhatian selama ketiga orang anak muda itu duduk di tempatnya sambil melihat-lihat latihan itu. Latihan itu ternyata masih berlangsung beberapa lama. Ketiga anak muda itu melihat mereka yang berlatih telah menjadi sangat payah. Mereka seperti orang yang justru telah terluka dalam, namun memaksa diri untuk tetap melakukan latihan-latihan yang cukup berat.
Ketika penunggu banjar itu lewat, maka Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Apakah biasanya latihan itu berlangsung sampai pagi?”
“Tidak,” jawab penunggu banjar itu, “sebentar lagi mereka menjadi seperti orang mabuk dan kehabisan tenaga sehingga dengan sendirinya latihan itu berhenti. Aku dan kawan-kawanku akan segera menyediakan makan dan minum bagi mereka yang kelelahan itu. Bahkan kemarin malam, ada ampat orang yang pingsan karena letih dan keringat yang terlalu banyak keluar.”
“Apa kata pelatih itu tentang mereka yang menjadi pingsan itu,” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak apa-apa,” jawab penunggu banjar itu, “menurut pelatih itu, peristiwa seperti itu biasa sekali terjadi pada mereka yang berlatih dengan sungguh-sungguh.”
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Tetapi ia menjadi berdebar-debar melihat akibat yang dapat terjadi kemudian. Jika latihan itu berlangsung sepuluh hari lagi, maka tentu ada di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi berjalan dan bahkan dapat menjadi lumpuh. Mungkin tangannya, mungkin kakinya tetapi mungkin juga jantungnya. Jika yang menjadi lumpuh itu jantungnya, maka itu berarti bahwa segalanya telah selesai.
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Nampaknya penunggu banjar itu kemudian telah mempersiapkan tempat untuk menyediakan ketiga anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu berharap agar latihan itu cepat selesai. Sebenarnyalah seperti yang diduga, bahwa malam itu pun tentu akan ada lagi yang menjadi pingsan.
Beberapa saat kemudian, maka dua orang anak muda itu telah menjadi pingsan dan dibawa menepi. Sejenak kemudian disusul lagi seorang di antara mereka. Seorang lagi dan seorang lagi, sehingga akhirnya menjadi lima orang. Baru kemudian, pelatih itu menghentikan latihan sambil berkata,
“Kalian memang sudah berlatih dengan bersungguh-sungguh. Lima orang menjadi pingsan. Tetapi ia tidak apa-apa. Dengan demikian berarti bahwa kalian memang telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Jangan dicemaskan mereka yang sedang pingsan. Mereka akan segera sadar kembali. Besok mereka akan dapat memasuki latihan lagi dengan tubuh yang segar.”
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang baru saja mengadakan latihan itu telah beristirahat. Mereka nampak sangat lelah. Satu dua orang masih berjalan-jalan di halaman banjar untuk mengendorkan urat-urat mereka yang terasa menjadi sangat tegang.
“Kita tidak akan ikut campur,” desis Mahisa Pukat tiba-tiba.
Mahisa Murti mengangguk sambil mengulang, “Malam ini kau akan tidur nyenyak. Marilah. Latihan itu sudah selesai.”
Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Ada baiknya kita berbicara dengan pelatih itu.”
“Jangan sekarang. Bukankah kau akan tidur semalam suntuk,” sahut Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat menarik nafas dan berkata, “Jarang sekali aku membatalkan rencanaku. Tetapi kali ini agaknya terpaksa, karena kita tidak mempunyai waktu yang lain. Besok kita harus meninggalkan banjar ini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kita memang tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu, kita agaknya harus melakukannya sekarang.”
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Biarlah aku yang melakukannya. Kau tentu masih mudah menjadi marah karena peristiwa yang baru saja terjadi kemarin.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Kami akan tetap berada di sini.”
Mahisa Pukat pun kemudian beringsut dan turun ke halaman. Ia memang menjadi ragu-ragu ketika kemudian ia melihat satu-satu anak-anak muda itu pergi ke pakiwan, membersihkan diri sebelum mereka makan. Sementara penunggu banjar itu mulai mengatur makan dan minum mereka.
Tetapi demikian Mahisa Pukat melihat anak-anak muda itu makan dengan pandangan yang kuyu dan tubuh yang sangat letih, maka niatnya itu pun telah timbul kembali. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melangkah mendekati mereka.
Ketika ia berdiri di dekat anak-anak muda yang letih itu maka seseorang telah bertanya, “Kau siapa? Dan kau mau apa?”
“Aku akan berbicara dengan pelatih kalian,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau mau berbicara apa?” bertanya anak muda itu.
“Aku ingin ikut berlatih seperti kalian tadi,” berkata Mahisa Pukat.
“He?” anak muda itu heran, “kita sudah sekitar sepuluh hari berlatih. Bagaimana mungkin kau akan ikut? Anak-anak muda padukuhan ini pun tidak semuanya dapat ikut berlatih.”
“Tetapi aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan pelatih itu.”
“Terserah kepadamu,” jawab anak muda itu.
Nampaknya pembicaraan itu memang menarik perhatian pelatihnya yang sedang ikut makan bersama-sama dengan anak-anak muda yang sangat letih itu. Bahkan yang pingsan, yang telah menjadi sadar itu pun telah ikut makan pula. Tetapi mereka makan terlalu sedikit. Tubuh mereka rasa-rasanya sulit merekakuasai lagi.
Guru yang memimpin latihan itu, yang disebutnya orang berilmu tinggi itu memang bangkit dan melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya, “Kau mau apa anak muda?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kebetulan sekali. Aku ingin berbicara denganmu.”
Orang yang disebut berilmu tinggi itu mengerutkan keningnya. Dengan angkuh ia berkata, “He, kau berani bersikap seperti itu kepadaku?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jadi aku harus bersikap bagaimana?”
Orang itu tiba-tiba menjadi marah. Katanya, “Duduk dan berkata dengan baik.”
“Apa salahnya jika aku berdiri saja? Sebenarnya soalnya bukan soal aku ingin ikut berlatih. Tetapi aku ingin bertanya tentang beberapa hal dari latihan-latihan yang telah kau selenggarakan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Apa yang ingin kau tanyakan? Jika kau tidak tahu apa-apa tentang ilmu kanuragan, maka kau tidak usah mencoba-coba mencampurinya,” geram orang itu.
“Apakah kau ada waktu untuk berbicara sebentar?” minta Mahisa Pukat.
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Aku adalah pengembara yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Malam ini kami sampai di padukuhan ini dan mendapat belas kasihan untuk bermalam di banjar. Orang-orang padukuhan ini ternyata terlalu baik kepadaku, sehingga aku tidak mampu sampai hati untuk berdiam diri melihat keadaan ini.”
“Keadaan yang bagaimana? Aku berusaha berbuat baik di sini. Aku tengah melatih anak-anak muda untuk mendapatkan ilmu yang akan berarti bagi hidupnya,” berkata orang itu.
“Itulah yang akan aku bicaranya denganmu,” berkata Mahisa Pukat.
“Apa yang akan kau bicarakan? Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan?” bertanya orang itu.
“Langkah-langkah yang kau ambil untuk memberikan latihan-latihan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Kenapa?” orang itu menggeram.
“Aku ingin berbicara dengan kau sendiri Ki Sanak. Tidak di hadapan anak-anak muda ini, jawab Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menjadi sangat marah dan membentak, “Pergi. Atau aku akan mengusirmu?”
“Jangan begitu,” desis Mahisa Pukat, “beri kesempatan aku berbicara.”
Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan Mahisa Pukat. Tiba-tiba ia berkata kepada anak-anak muda yang letih dan sedang makan itu, “Usir orang-orang itu.”
Mahisa Pukat surut selangkah. Katanya, “Jangan. Biarlah mereka beristirahat. Mereka sangat letih sehingga jika mereka memaksa diri, maka mereka akan dapat mengalami kesulitan dalam tubuh mereka. Mungkin parah sekali.”
Tetapi orang itu berteriak, “Usir orang itu dan orang-orang yang bersamanya.”
Mahisa Pukat memang menjadi bingung sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kenapa kau perintahkan murid-muridmu untuk mengusir aku? Sebenarnya aku bermaksud baik. Jika kau mau mendengarkan aku, maka aku kira kau akan mendapat keuntungan. Bukan saja sekarang, tetapi pada masa-masa mendatang.”
“Aku tidak peduli,” bentak orang itu, “aku tidak mau orang lain mencampuri persoalanku. Apalagi kalian adalah pengembara yang tidak berharga.”
Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Namun beberapa orang anak muda yang sedang makan itu telah bangkit. Betapapun tubuh mereka menjadi sangat letih, namun mereka harus menjalankan perintah pelatih mereka yang bertindak sebagai guru mereka.
Ternyata Mahisa Pukat lah yang tidak sampai hati untuk melawan anak-anak muda yang tidak berdaya lagi itu. Karena itu, maka sebelum anak-anak itu bertindak, Mahisa Pukat telah melangkah meninggalkan mereka dan kembali menemui Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
“Aku tidak dapat melakukannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Langkahmu sudah benar,” berkata Mahisa Murti yang masih saja duduk, “jika anak-anak itu dipaksa untuk bergerak lagi, maka mereka akan mengalami kesulitan. Banyak di antara mereka akan menjadi pingsan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun anak-anak muda yang mengaku pengembara itu terkejut ketika mereka melihat anak-anak muda itu tidak melepaskannya meskipun ia sudah menyingkir. Agaknya pelatih mereka yang mereka sebut sebagai guru mereka itu, masih tetap memerintahkan murid-muridnya untuk mengusir anak-anak muda itu dari banjar.
Dalam pada itu, penunggu banjar yang melayani mereka makan terkejut melihat hal itu. Ketika anak-anak muda yang letih itu mendekati mereka yang mengaku pengembara itu, maka penunggu banjar yang tidak mau tahu persoalannya itu menjadi heran. Apalagi ketika ia melihat wajah-wajah yang memancarkan kebencian dan kemarahan.
“Pergi dari sini,” terdengar salah seorang di antara anak-anak muda yang berlatih itu berteriak.
Tetapi penunggu banjar itulah yang menjawab, “Mereka adalah pengembara yang minta belas kasihan kita untuk memberikan tempat bermalam di banjar ini.”
“Tetapi ia sudah menghina guru,” jawab anak-anak itu.
Penunggu banjar itu berpaling kepada anak-anak muda yangmengaku pengembara itu, “Apa yang telah kalian lakukan?”
Mahisa Pukat memandang penunggu banjar yang baik hatiitu. Ia tidak ingin penunggu banjar itu menyalahkannya pula dan menganggapnya orang yang tidak tahu berterima kasih. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjawab, “Aku ingin berbicara dengan orang yang memberikan latihan-latihan itu. Tetapi ia salah paham. Ia mengira aku telah menghinanya.”
“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya penunggu banjar itu.
“Maksudku baik Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat, “aku ingin memberikan saran kepadanya, karena aku melihat sesuatu yang kurang wajar telah terjadi.”
“Kau? Kau akan memberikan saran?” Penunggu banjar itu mulai menjadi marah juga, “ternyata kau menyalah-gunakan kesempatan yang telah aku berikan kepadamu.”
“Tidak Ki Sanak,” suara Mahisa Pukat memang agak berubah, “dengar. Jika aku berusaha memberikan saran kepada pelatih itu, justru karena aku merasa bahwa aku telah diperlakukan dengan sangat baik di sini. Sebagai pernyataan terima kasih, maka aku berusaha untuk memberikan peringatan kepadanya, barangkali ia sedang lupa atau karena alasan lain, maka ia telah salah langkah.”
“Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan?” bertanya penunggu banjar itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin berbicara langsung dengan pelatih itu tanpa ada orang lain. Maksudku, agar ia tidak merasa berkecil hati. Tetapi ia menolak sehingga jika terpaksa aku akan mengatakannya di muka orang banyak.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu,” jangan beri kesempatan ia mengigau. Usir saja ia dari banjar ini. Ia sudah mencemarkan nama baik padukuhan ini.”
“Terserah kepada kalian,” berkata Mahisa Pukat, “jika kami harus pergi, kami akan pergi. Tetapi niatku baik. Aku melihat ketidak wajaran dalam latihan-latihan ini.”
“Ketidak wajaran yang bagaimana?” bertanya penunggu banjar itu.
“Cukup,” teriak pelatih itu, “usir orang itu. Cepat. Atau aku sendiri harus turun tangan.”
Ternyata anak-anak yang masih kelelahan itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka telah melangkah mendekati anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.
“Tunggu,” penunggu banjar itu ingin mencegah.
Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya. Bahkan seorang di antara anak-anak muda itu telah berusaha untuk mendorongnya menepi. Tetapi karena penunggu banjar itu bertahan, maka orang yang mendorongnya itu telah mengerahkan sisa kekuatannya.
Namun yang terjadi adalah di luar dugaan. Orang tua penunggu banjar itu bagi anak muda yang kehabisan tenaga itu bagaikan dorongan kekuatan yang sangat besar. Sisa tenaga anak muda itu yang memental balik telah memukul bagian dalam tubuhnya yang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka anak muda itu telah terhuyung-huyung sesaat. Kemudian ia telah jatuh terguling di tanah. Pingsan.
Semua orang terkejut karenanya. Mahisa Pukat segera berlari mendekatinya dan berjongkok di sampingnya, disusul oleh Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang meninggalkan Mahisa Amping tertidur di tempatnya. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Pukat menempelkan telinganya di dada anak muda itu. Detak jantungnya masih terdengar. Tetapi sangat lemah. Darahnya pun seakan-akan sudah tidak mampu mengaliri tubuhnya lagi.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kemudian sambil berdiri, “ini adalah salah satu contoh kenapa aku ingin berbicara dengan orang yang kalian anggap sebagai guru kalian itu.”
Beberapa orang memandanginya dengan penuh pertanyaan. Sementara itu orang yang dianggap anak-anak muda itu sebagai gurunya telah berdiri pula di dekatnya.
“Ia tidak apa-apa,” geramnya, “ia anak manja. Ternyata ia tidak pantas menjadi muridku untuk selanjutnya. Nah, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti jejaknya dan meninggalkan latihan-latihan?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka orang itu pun telah berteriak, “Jika tidak ada, maka dengar sekali lagi perintahku. Usir mereka. Sekarang dan semuanya.”
Tetapi dengan cepat Mahisa Pukat menyahut, “Kau tidak melihat apa yang telah terjadi? Apakah kau tidak percaya bahwa kau telah telah melakukan kesalahan pada latihan-latihan yang telah kau lakukan? Itulah yang akan aku katakan kepadamu. Kau telah melakukan kesalahan-kesalahan pokok pada latihan-latihan yang kau lakukan, sehingga justru akan menghambat dan bahkan menganggu peredaran darah mereka. Mereka akan cepat menjadi lelah dan tenaganya akan cepat pula terkuras. Sementara itu, tenaga mereka akan lambat sekali untuk dapat pulih kembali.”
“Omong kosong,” bentak pelatih itu, “jangan dengarkan kata-katanya. Lakukan perintahku, atau latihan-latihan aku hentikan untuk seterusnya. Aku akan meninggalkan padukuhan ini sebelum kalian memiliki kemampuan sebagaimana aku janjikan.”
“Lihatlah kepada diri sendiri,” dengan cepat pula Mahisa Pukat menyahut, “apakah kalian masih merasa mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu?”
“Aku akan menghitung sampai tiga,” teriak orang yang menjadi pelatih itu.
Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu telah mulai menghitung. Ketika Mahisa Semu kemudian bersiap, Mahisa Murti berbisik ditelinganya, “Jangan melawan. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan jika kau menolak tenaga mereka, maka mereka akan dapat terjatuh dan bahkan bagi yang tubuhnya terlalu lemah, akan dapat menjadi pingsan seperti anak itu.”
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian telah mengangguk-angguk. Ia memang selalu percaya kepada keterangan kedua orang anak muda yang menjadi saudara angkatnya itu. Ketika hitungan itu sampai ke tiga, maka anak-anak muda itu benar-benar mulai bergerak. Mereka telah mengepung ketiga orang anak muda yang mengaku pengembara itu dengan mengabaikan anak kecil yang sedang tidur nyenyak.
Sementara itu, anak-anak muda yang meronda, yang tidak ikut dalam latihan-latihan yang melelahkan itu, memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka memang melihat sikap Mahisa Pukat yang mereka anggap terlalu berani. Tetapi juga tidak seharusnya mengalami perlakuan yang terlalu keras seperti itu.
Tetapi Mahisa Pukat sendiri ternyata tidak berbuat apa-apa. Ia berdiri saja tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Kedua tangannya tergantung di sisinya tanpa menunjukkan kesiagaan untuk berkelahi melawan anak-anak muda yang mengepungnya itu.
Namun orang yang menganggap dirinya guru itu berteriak, “Sekarang. Usir mereka.”
Anak-anak muda itu memang mulai melangkah maju dengan tenaga yang masih tersisa. Seorang di antara mereka berkata,”Pergi. Atau kami harus mempergunakan kekerasan.”
“Jangan mempergunakan kekerasan anak muda,” berkata Mahisa Pukat, “jika kau mencoba untuk melepaskan tenaga, maka kaulah yang akan pingsan. Kami akan meninggalkan banjar ini setelah adikku itu kami bangunkan. Kami tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi, karena kami tidak akan sampai hati melihat penderitaan kalian berkepanjangan.”
Anak-anak muda yang merasa cemas bahwa mereka tidak akan mendapat latihan-latihan lagi dan tidak mencapai tataran ilmu sebagaimana dijanjikan itu telah mulai bergerak. Dua orang di antara mereka tiba-tiba telah berusaha untuk mendorong Mahisa Pukat ke arah regol halaman.
Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha menolak kekuatan itu. Ia sudah bergerak searah dengan dorongan anak muda itu. Namun ternyata akibatnya masih sangat buruk bagi kedua orang yang mendorongnya itu. Keduanya pun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terduduk. Rasa-rasanya kaki mereka sudah tidak mempunyai tulang sama sekali.
Beberapa orang kawannya ternyata tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan perintah gurunya yang berteriak lagi, “jangan cengeng. Jika kalian ingin menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, kalian harus mampu mengatasi keletihan itu.”
Karena itu, maka anak-anak muda yang letih itu telah bersama-sama menyerang anak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sama sekali tidak berusaha melawan. Namun demikian, bukan ketiga orang anak muda itu yang kemudian jatuh, tetapi anak-anak muda yang letih itulah yang tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Merekalah yang satu-satu telah jatuh di tanah. Bahkanada di antara mereka yang menjadi pingsan.
Para peronda yang tidak ikut dalam latihan itu pun telah berkerumun pula. Seorang di antara mereka berteriak, “He, apakah kalian tukang sihir? Atau berilmu iblis?”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Kami tidak berbuat apa-apa. Hal inilah yang akan aku katakan sebagaimana aku sebutkan tadi. Anak-anak muda itu telah mendapat latihan yang salah, sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan wadag mereka sendiri, karena simpul-simpul syaraf mereka perlahan-lahan telah dirusakkan. Bahkan urat nadi dan akhirnya akan sampai ke jantung.”
“Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan,” seorang yang lain di antara para peronda itu bertanya.
“Aku tidak tahu apa-apa. Tetapi lihatlah kenyataan ini. Seorang di antara mereka yang mendorong penunggu banjar yang tua itu pun jatuh dan menjadi pingsan. Penunggu banjar yang baik itu tidak berniat mencelakai anak muda itu. Tetapi karena keadaan tubuhnya yang sangat lemah, maka ia telah pingsan dengan sendirinya,” jawab Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu,” bentak orang yang mengaku dirinya guru itu, “kau tidak tahu apa-apa tentang olah kanuragan. Seorang yang memang berniat berlatih olah kanuragan memang harus berlatih dengan sungguh-sungguh, sehingga tubuhnya menjadi sangat letih. Jika tidak demikian, maka seseorang belum dapat disebut berlatih dengan sungguh-sungguh.”
“Apakah ketika kau berlatih juga mengalami hal seperti anak-anak muda itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab orang itu.
“Jangan bohong. Jika kau berlatih sebagaimana anak-anak muda ini, maka pada umurmu itu, kau tentu sudah mengalami kelumpuhan. Jika yang menjadi lumpuh itu merambat ke jantung, maka hidupmu tentu sudah selesai,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu ternyata menjadi sangat marah. Karena anak-anak muda yang berlatih padanya itu sudah tidak berdaya, maka orang itu berniat untuk menyelesaikan persoalannya dengan para pengembara itu sendiri. Dengan wajah tengadah orang itu melangkah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata,
“Kau adalah sumber kerusuhan ini. Karena itu, maka kau adalah orang yang pertama-tama harus menerima hukumanku. Jika kau termasuk muridku, maka aku cukup mengambil keputusan untuk melepasmu dari lingkungan murid-muridku. Tetapi karena kau orang lain, maka kau harus dihukum.”
“Jangan mengada-ada. Aku berharap bahwa kau akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Bukan sebaliknya kau justru malah akan menghukumku,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau telah menghina perguruanku. Kau sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang cara yang aku tempuh dalam latihan-latihan ini. Tetapi kau dengan sombong telah mengambil satu kesimpulan yang sama sekali salah,” berkata orang itu.
“Tidak. Aku tidak mengambil kesimpulan dengan serta merta. Aku telah melihat cara yang kau tempuh. Sementara itu aku pun sudah mendapat keterangan bahwa latihan-latihan ini sudah berlangsung kira-kira sepuluh hari. Jika demikian, maka dalam waktu sepuluh hari lagi, tanpa ada perubahan dari cara yang kau pergunakan maka anak-anak muda itu akan menjadi lumpuh atau terluka dalam sehingga dapat menjadi cacat atau bahwa mati sama sekali,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau gila. Begitu sombongnya kau sehingga aku tidak dapat mengampunimu lagi. Jangan menyesal, bahwa aku harus menghukummu dan mengusirmu dari padukuhan ini,” geram orang itu.
Mahisa Pukat memang sudah bersiap ketika orang itu meloncat menyerangnya. Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara keduanya. Mahisa Pukat yang terpaksa membela dirinya itu bergeser ketempat yang lebih luas. Sementara itu, para perondapun telah melingkari arena itu menyaksikan pertempuran yang tengah terjadi antara orang yang selama ini mereka kagumi karena ilmunya yang tinggi, melawan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Namun sebegitu jauh, Mahisa Murti masih belum melibatkan dirinya. Demikian pula Mahisa Semu.
Sementara itu, anak-anak muda yang mengikuti latihan dan sedang keletihan itu pun telah berusaha menyaksikan pertempuran itu. Sedangkan penunggu banjar itu pun dengan heran melihat apa yang telah terjadi.
Ternyata silirnya angin malam yang segar telah menyegarkan tubuh mereka yang pingsan sehingga seorang demi seorang mereka telah menjadi sadar. Namun tubuh mereka masih terlalu lemah, sehingga mereka rasa-rasanya masih belum sanggup untuk bangkit. Tetapi demikian mereka menyadari bahwa gurunya tengah bertempur, betapapun sulitnya, mereka berusaha untuk bangkit, duduk sambil menyaksikan pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur semakin sengit dengan orang yang menyebut dirinya guru dari anak-anak muda padukuhan itu. Mula-mula Mahisa Pukat memang menduga, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Mahisa Pukat mulai menduga-duga bahwa orang itu dengan sengaja ingin melumpuhkan kekuatan anak-anak muda padukuhan itu karena maksud tertentu.
“Aku harus mengetahui maksudnya yang sebenarnya dengan caranya yang licik itu,” berkata Mahisa Pukat di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat telah bertempur semakin seru, ia mulai melihat sesuatu yang tidak wajar pada lawannya. Tata geraknya mulai menghentak-hentak. Seakan-akan ia masih mengalami kesulitan untuk melepaskan serangannya atau bahkan di saat-saat ia mengelak. Dengan demikian, maka gerak orang itu menjadi semakin lama semakin lamban.
Anak-anak muda padukuhan itu yang sempat melihat pertempuran itu memang menjadi bingung. Para peronda yang belum tahu sama sekali tentang olah kanuragan, maupun anak-anak muda yang telah berlatih untuk sepuluh hari itu, mulai melihat bahwa orang yang mereka kagumi itu mengalami kesulitan. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat, anak muda yang mengaku pengembara itu mulai dapat mengenainya. Tetapi ternyata Mahisa Pukat telah mulai mengendalikan dirinya, justru disaat lawannya meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Tetapi ternyata bahwa kemarahan Mahisa Pukat itu lambat laun telah menjadi susut. Ia justru merasa kasihan kepada lawannya. Agaknya ia sama sekali tidak bermaksud buruk. Ia hanya sekedar ingin mencari bekal dalam pengembaraannya. Di sepanjang jalan ia telah mencoba memberikan tuntunan olah kanuragan untuk sekedar mendapatkan bekal perjalanannya itu.
Orang itu sama sekali tidak berniat memutar balik ilmu yang dikuasainya atau dengan sengaja mengajarkan tata gerak yang salah kepada anak-anak muda itu, karena dalam tataran yang semakin tinggi, orang itu sendiri mulai mengalami kesulitan.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang berilmu tinggi dengan cepat dapat melihat kekurangan itu. Orang itu sejak tataran mula telah melakukan kesalahan. Semakin tinggi ia berusaha meningkatkan ilmunya, maka kesalahan itu menjadi semakin jelas, karena beberapa unsur geraknya rasa-rasanya telah memukul bagian dalam tubuhnya sendiri, sehingga semakin lama terasa semakin sakit, sementara nafasnya menjadi semakin sesak.
Sedangkan dengan demikian maka Mahisa Pukat menjadi semakin mudah untuk dapat mengenai lawannya. Kesempatan semakin banyak terbuka karena lawannya bergerak terlalu lamban. Tetapi Mahisa Pukat tidak mempergunakan kesempatan itu, karena ia tahu, bahwa lawannya telah terperosok ke dalam satu latihan ilmu yang salah atau sengaja dibuat salah oleh salah orang yang melatihnya.
Karena itu, maka ketika orang itu menjadi semakin mengalami kesulitan, Mahisa Pukat telah meloncat mengambil jarak sambil berkata, “Tunggu. Aku akan bicara.”
Ternyata orang itu masih belum menyadari keadaannya. Dengan geram ia berkata, “Kau akan menyerah?”
“Ternyata kau memerlukan bimbingan khusus untuk memperbaiki ilmumu,” berkata Mahisa Pukat.
“Apa? Kau mengguruiku?” bentak orang itu.
“Tidak. Aku tidak mengguruimu. Tetapi sebagaimana kau lihat, aku juga mampu mengimbangimu. Kau harus melihat kenyataan itu, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku. Bahkan kau semakin mengalami kesulitan,” jawab Mahisa Pukat.
“Omong kosong. Jika kau ingin menyerah, menyerahlah,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Mulailah jujur terhadap dirimu sendiri. Kau benar-benar dalam kesulitan. Jika kau memaksa untuk bertempur lebih lama lagi, maka kau akan mengalami nasib seperti anak-anak muda itu.”
“Cukup. Jika kau tidak mau menyerah, kau akan menyesal,” teriak orang itu. Tetapi suaranya mulai diwarnai oleh keragu-raguan yang tumbuh di dalam hatinya. Sebenarnyalah ia merasa bahwa keadaan tubuhnya menjadi kurang sewajarnya. Dadanya terasa semakin sakit sedangkan nafasnya terasa menjadi sesak.
Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, “Ki Sanak. Semula aku berprasangka buruk kepadamu. Aku mengira bahwa kau telah dengan sengaja menghancurkan ketahanan, anak-anak muda padukuhan ini untuk maksud-maksud tertentu. Mula-mula aku mengira bahwa karena di padukuhan ini terdapat banyak orang kaya. Namun ternyata aku salah. Kau dengan tidak sengaja telah menghancurkan kemampuan dan daya tahan anak-anak muda itu, karena kau sendiri ternyata tidak memahaminya. Setelah bertempur beberapa saat aku mengetahui, bahwa kau sedang menghancurkan dirimu sendiri.” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu, “sadar atau tidak sadar, kau rusakkan bagian dalam tubuhmu. Nadimu akan dapat pecah dan jaringan tubuhmu akan rusak. Jika nadimu yang pecah itu terjadi di otakmu, maka kau tidak mempunyai harapan lagi, sama seperti jika jantungmulah yang menjadi lumpuh karena serangan yang kau lakukan sendiri atas bagian dalam tubuhmu.”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Jantungnya memang terasa menjadi lemah. Nafasnya yang sesak semakin terasa sesak. Apalagi setelah ia menyadari keadaannya sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya, “Ki Sanak. Aku pun pernah bertempur sampai habis-habisan. Tetapi aku tidak pernah merasa sebagaimana terasa di dalam tubuhmu sekarang ini. Jika kau tidak percaya, maka cobalah besok, jika keadaanmu sudah menjadi baik. Cobalah bekerja keras, mengangkut kayu atau memotong dahan-dahan dan cabang pepohonan atau bekerja apa saja. Asal bukan dalam rangka gerak olah kanuragan. Kau tentu akan letih sekali. Tetapi keadaanmu tentu tidak akan seperti sekarang ini. Meskipun kau merasa letih, tetapi darahmu tidak akan menyumbat nadi di jantungmu atau akan memecahkan urat di kepalamu.”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun ternyata bahwa harga dirinya tidak semudah itu untuk mengakui kenyataan. Karena itu maka ia pun menggeram, “jangan omong kosong. Kau kira ada yang percaya kepada kata-katamu itu?”
“Jangan membohongi dirimu sendiri. Dalam keadaan yang sulit itu harus berbuat jujur agar kau tidak menyesal,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu akhirnya hatinya menjadi lunak juga karena sebenarnya ia tidak dapat menghindari kenyataan tentang dirinya sendiri. Sementara sambil berusaha bertahan maka ia berkata, “Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang ilmuku?”
“Aku ingin berbicara dengan kau tanpa ada orang lain,” berkata Mahisa Pukat.
“Kau akan menjebakku?” bertanya orang itu.
“Untuk apa? Jika aku berniat untuk membunuhmu, maka sudah barang tentu dapat aku lakukan di sini tanpa seorang pun yang dapat menyalahkan aku, karena kita memang sedang bertempur,” jawab Mahisa Pukat.
Nampaknya sikap Mahisa Pukat itu berpengaruh juga. Karena itu, maka orang itu pun berkata, “Marilah. Di mana kita dapat berbicara?”
“Terserah. Aku adalah pengembara yang mendapat belas kasihan bermalam di banjar ini. Karena itu, aku tidak dapat menentukan tempat di manapun juga di banjar ini,” jawab Mahisa Pukat.
Keragu-raguan orang itu menjadi semakin berkurang. Karena itu maka katanya kemudian, “Kita akan berbicara di ruang dalam banjar ini.”
Keduanyapun kemudian telah berjalan melewati pendapa, pringgitan dan kemudian memasuki ruang dalam yang kosong. Dengan singkat Mahisa Pukat menjelaskan, bahwa menurut pengamatannya, orang itu telah melakukan beberapa kesalahan besar dalam tata geraknya. Bahkan Mahisa Pukat telah memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu gerak dan penguasaan tubuh. Pengenalan atas sendi-sendi anggauta badan dan jalur perintah dari kehendak sampai ke tubuh yang melakukan kehendak.
“Lakukan gerakan-gerakan yang kau pahami. Perlahan-lahan saja agar tidak menambah sakit bagian dalam tubuhmu,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak membantah. Perlahan-lahan ia telah menggerakkan anggauta badannya sesuai dengan pengetahuannya tentang olah kanuragan menurut aliran ilmunya.
“Hati-hati. Pergunakan perasaanmu sebaik-baiknya. Kau akan merasakan pada satu gerak tertentu, sesuatu yang tidak wajar didalam dirimu,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Orang itu masih saja bergerak. Seperti dikatakan oleh Mahisa Pukat, maka di saat-saat tertentu. Pada letak tubuhnya dalam satu gerakan memang terdapat sesuatu yang kurang wajar. Sesuatu yang seakan-akan telah menahan geraknya, bahkan serasa sesuatu telah berbenturan pada sendi-sendi tulangnya. Kemudian terasa getaran yang pedih merambat dan menyengat bagian dalam tubuhnya seakan-akan telah mendapat serangan.
“Dalam gerakan yang cepat, kau tidak dapat merasakannya dengan tepat apa yang terjadi di dalam dirimu. Apalagi selagi kau bertempur sehingga perasaanmu sedang tenggelam dalam kemarahan barangkali kebencian atau semacamnya,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun kemudian telah duduk terpekur. Telapak tangannya menahan dahinya yang seakan-akan menjadi terlalu berat. “Guruku telah menyesatkan aku,” berkata orang itu kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terdengar suara tertawa nyaring. Suara yang seakan-akan telah mengguncang-guncang jantung. Tiba-tiba orang itu menjadi pucat. Katanya dengan suara gemetar, “Guru. Itu adalah guruku.”
“Yang telah membuatmu hampir hancur karena ilmu yang kau pelajari dari padanya?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu tidak berani menjawab. Tetapi ia mengangguk. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata lantang, “Nah, sekarang kau sudah mengenali kesalahanmu. Jangan kau ulangi. Kau harus mempelajari ilmu yang baik, yang benar dan tidak merusak tubuh. Hampir saja kau terjerembab ke dalam satu perbuatan tercela atas anak-anak muda padukuhan ini.”
Namun yang terdengar di luar banjar masih saja suara tertawa itu. Bahkan kemudian dengan lantang pula terdengar suara, “beruntunglah kau anak durhaka, bahwa kesalahan di dalam dirimu di ketahui oleh seorang yang baik hati dan bersedia memberimu petunjuk. Tetapi karena kebaikan itu akan menyelamatkanmu dan membebaskan kau dari kematian, maka orang yang telah berbaik hati itulah yang akan menggantikanmu. Mati.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Mahisa Pukat, “Pergilah. Biarlah akulah yang dibunuhnya. Persoalan antara aku dan guruku adalah persoalan kami berdua. Karena itu, tidak sewajarnyalah jika kau yang akan mengalami bencana karenanya.”
Tetapi Mahisa Pukat itu pun berkata, “Biarlah aku mencoba berbicara dengan gurumu. Mungkin aku akan mengalami kesulitan sebagaimana saat aku akan berbicara denganmu. Tetapi mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan.”
“Sulit bagimu. Persoalannya sangat berbeda,” sahut orangitu.
“Namun aku akan mencobanya,” berkata Mahisa Pukatyang tanpa menghiraukan orang itu telah melangkah keluar banjar.
Orang itu akan meloncat menahannya. Tetapi rasa-rasanya tubuhnya menjadi terlalu lemah seperti yang dikatakan oleh anak muda itu. Namun ia masih sanggup melangkah keluar dari ruangan dalam itu.
Sementara itu, sebuah bayangan bagaikan terbang dari atas sebatang pohon dan melayang turun di halaman banjar itu. Suara tertawanya masih mengumandang seakan-akan telah menggetarkan udara di seluruh halaman banjar.
“Jangan turut campur,” berkata orang itu kepada para peronda yang berlari-lari mengepungnya. “Atau jika memang ada di antara kalian yang ingin membunuh diri atau bersama-sama ingin membunuh diri, baiklah. Aku akan membantu kalian.”
Para peronda itu memang menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Semu bergerak, maka dengan serta Mahisa Murti telah menahannya. Katanya, “Kau tidak akan dapat mengimbangi ilmunya. Ia orang berilmu tinggi.”
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menyadarinya. Karena itu, maka ia pun telah mengurungkan niatnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah keluar dari ruang dalam banjar. Melihat pendapa dan turun ke halaman mendapatkan orang yang mengaku guru dari orang yang telah salah menjalani laku untuk memperoleh ilmu itu.
“Jadi kaukah orang yang telah menyebarkan sumber kehancuran anak-anak muda di padukuhan ini lewat muridmu itu? Atau barangkali juga di padukuhan-padukuhan lain?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukan salahku. Orang itulah yang telah merusak masa depan anak-anak padukuhan ini.”
“Tetapi kesalahannya bersumber dari kesalahanmu. Aku tahu, bahwa kau sengaja melakukannya. Agaknya kau tahu bahwa seharusnya muridmu tidak menyadap ilmu dengan cara yang salah itu.” berkata Mahisa Pukat.
“Aku kagum akan ketajaman penglihatanmu,” berkata orang itu, “sehingga kau dapat melihat kesalahan pada muridku itu.”
“Tidak sulit untuk mengetahui,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi apa keuntunganmu dengan membunuh muridmu sendiri dengan cara yang bengis itu?”
“Ia anak seorang penghianat,” berkata orang yang mengaku gurunya itu, “ayahnya telah berkhianat terhadap perguruan kami. Karena ayahnya mati sebelum mendapat hukuman, maka anaknyalah yang harus menanggung kesalahannya.”
“Tetapi ia tidak bersalah,” berkata Mahisa Pukat.
“Kau tidak usah ikut campur. Kau sama sekali tidak mengetahui paugeran dalam perguruan kami,” jawab orang itu.
Namun dalam pada itu, orang yang mengalami penderitaan karena kesalahannya atas pengenalannya tentang olah kanuragan itu berkata, “Apa salah ayahku? Kalian tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku. Sekarang baru aku tahu, bahwa aku memang sengaja akan dibunuh dengan cara yang sangat keji dan licik.”
Tetapi gurunya itu tertawa. Katanya, “Kau sudah terlambat. Kau akan mati jauh lebih cepat dari seharusnya dengan mengalami penderitaan.”
“Tidak,” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Masih ada kemungkinan untuk membebaskannya dari cengkeraman kesalahan itu. Tetapi nampaknya kau tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Setan kau. Sebaiknya kau minggir anak muda. Jangan ikut campur. Aku akan membunuh muridku itu. Peringatan ini adalah kesempatan terakhir yang aku berikan. Jika kau tidak minggir, maka kau memang sepantasnya untuk menjadi penggantinya. Mati sekarang, sementara muridku akan mati dalam penderitaan.”
Tetapi Mahisa Pukat lah yang tertawa. Katanya, “Kau memang senang bergurau. Caramu membunuh muridmu pun seperti orang yang sedang bergurau dengan taruhan nyawa. Nah aku pun senang bergurau menurut caramu."
Wajah orang itu menjadi tegang.
“Jangan bingung. Apa maumu sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.
Wajah orang itu menjadi merah karena marah yang hampir meledakkan dadanya. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kau memang harus mati seperti yang telah aku katakan kepadamu sebagai pengganti muridku. Tetapi agaknya itu belum cukup. Kawan-kawanmu juga akan mati dan muridku itu pun akan mati juga. Bahkan semua orang yang mencela aku akan mati. Anak-anak muda yang pernah berlatih dan menganggap aku bersalah akan aku bunuh pula.”
Suara orang itu yang bagaikan menggetarkan halaman banjar itu memang mengerikan. Anak-anak muda yang tubuhnya terasa letih itu pun menjadi ketakutan. Bahkan juga para peronda.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia masih saja tertawa dan berkata, “Jangan menakut-nakuti anak-anak muda. Kalau aku kau golongkan juga anak-anak muda itu, maka aku pun telah kau takut-takuti juga. Tetapi sayang, aku tidak takut meskipun kau dianggap seorang yang berilmu tinggi.”
“Anak iblis, “geram orang itu,” bersiaplah untuk mati. Kau terlalu sombong karena kau merasa dirimu berilmu. Dengan kemampuanmu melihat kesalahan dalam latihan yang dilakukan oleh anak-anak padukuhan ini serta unsur-unsur gerak padamuridku, kau jangan merasa dirimu seorang yang mampu menggulung bumi seisinya.”
“Aku tidak pernah merasa bahwa aku seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Namun aku pun bukan orang yang akan membiarkan kesewenang-wenangan dilakukan oleh siapapun juga,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak sabar lagi. Katanya, “Marilah. Kita akan membuktikan, siapakah yang paling benar di sini.”
Mahisa Pukat pun telah bersiap, sementara orang itu berkata, “Jangan hanya kau seorang diri. Biar pekerjaanku cepat selesai, majulah bersama-sama, berapa saja yang merasa mampu menghadapi aku.”
Mahisa Pukat ternyata berpaling juga kepada anak-anak muda yang ada disekitarnya, “Nah, siapakah yang akan maju bersama-sama dengan aku?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, Mahisa Pukat pun berkata, “Ternyata tidak seorang pun. Karena itu, kita akan bertempur seorang lawan seorang.”
Orang yang merasa dirinya berilmu tinggi itu tiba-tiba saja telah memandang Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Dengan suara lantang ia bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
Mahisa Murti lah yang menjawab, “Aku sedang tidak berminat. Biarlah saudaraku menyelesaikanmu.”
Orang itu menggeram dengan marah. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap. Namun demikian ia terkejut juga melihat gerak orang itu yang lebih cepat dari dugaannya. Dengan tangkas pula Mahisa Pukat menghindar sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Orang itu pun merasa heran, bahwa anak muda itu mampu menghindarinya. Namun dengan demikian ia menjadi lebih berhati-hati. Anak muda itu tentu bukan sekedar membual. Jika ia melihat kesalahan pada muridnya, maka ia tentu seorang yang memiliki wawasan yang tinggi terhadap olah kanuragan. Orang yang demikian itu biasanya adalah orang yang berilmu tinggi pula.
Namun, orang itu tidak membiarkan Mahisa Pukat terlepas. Dengan cepat sekali ia memburu. Lebih cepat dari gerakannya yang pertama. Tetapi karena Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh serangan yang pertama itu, maka ia memang menjadi lebih berhati-hati. Demikian serangan berikutnya datang, maka ia pun telah bergeser selangkah. Namun dengan satu putaran yang cepat, kakinya telah menyambar ke arah lambung orang itu.
Tetapi serangan Mahisa Pukat itu pun gagal pula. Kakinya sama sekali tidak menyentuh lawannya, karena lawannya telah meluncur surut dengan kecepatan yang tidak kalah dari kecepatan gerak kaki Mahisa Pukat. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Keduanya telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sempat melihat unsur-unsur gerak yang seharusnya dilakukan oleh murid lawannya itu agar tidak tersesat ke dalam bencana.
Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur sambil berusaha mengamati lawannya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat mengambil jarak sambil berkata kepada murid lawannya yang telah menjadi letih itu, “Perhatikan unsur-unsur gerak gurumu. Apakah sesuai dengan unsur-unsur yang diajarkan kepadamu?”
“Setan kau,” geram lawannya sambil meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi tidak menyerang Mahisa Pukat. Ia telah mencoba menggapai muridnya yang letih itu.
Muridnya yang letih itu terkejut. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Sementara itu gurunya mengharap bahwa muridnya itu akan memaksa diri untuk menghindari serangannya. Jika ia melakukannya, maka hentakkan sisa kekuatannya itu akan berakibat sangat buruk baginya. Bagian dalam tubuhnya akan rusak dan bahkan ia akan dapat mengalami kelumpuhan jantung dan mati.
Tetapi ternyata orang itu tidak berusaha untuk melakukannya. Seakan-akan ia telah menjadi putus-asa. Ia justru telah menghadap ke arah serangan itu dengan dada tengadah. Pasrah. Tetapi yang terjadi kemudian telah mengejutkannya. Bahkan mengejutkan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu. Sebelum serangan orang itu menyentuh tubuh muridnya yang pasrah dan merasa tidak berdaya, telah terjadi benturan yang seru. Benturan kekuatan dari dua orang yang berilmu tinggi.
Mahisa Pukat tidak membiarkan orang yang telah menjadi putus asa itu mati. Karena itu, maka setelah ia menjajagi kemampuan lawannya beberapa saat. Mahisa Pukat telah bertekad untuk membentur kekuatan lawannya yang serba sedikit dapat diperhitungkannya.
Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah membentur kekuatan yang besar, sehingga ia pun telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Mahisa Pukat tidak kehilangan keseimbangannya. Ia tetap tegak pada kedua kakinya meskipun agak terguncang sedikit.
Yang sangat terkejut adalah lawannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muda yang sombong itu memiliki kekuatan demikian besarnya. Orang itu telah terlempar beberapa langkah. Bahkan ia tidak lagi mampu bertahan untuk berdiri tegak. Keseimbangannya tidak saja terguncang, tetapi ia sudah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.
Namun ternyata ia memang seorang yang berilmu tinggi. Demikian ia berguling beberapa kali, maka ia pun telah melenting berdiri. Kakinya memang agak goyah. Tetapi sekejap kemudian ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Mahisa Pukat tidak memburunya. Ia memang memberi kesempatan kepada lawannya untuk sempat merenungi keadaannya. Selangkah demi selangkah Mahisa Pukat mendekati lawannya yang wajahnya bagaikan tersengat bara. Sekali-sekali ia memang sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar arena itu. Bahkan ia pun sempat memandang muridnya yang berdiri termangu-mangu.
“Ternyata kau memang sangat keji terhadap muridmu. Untuk apa kau mencoba membunuhnya? Jika kau mendendam kepada ayahnya, kenapa kau sampai sekarang masih saja memburu anaknya yang tidak bersalah?”
“Ia harus menanggung beban kesalahan orang tuanya,” jawab orang itu.
“Tetapi apa salah orang tuanya sebenarnya? Jika kau menyebutnya berkhianat, apa yang telah dilakukannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Itu adalah persoalan perguruan kami,” jawab orang itu.
“Tetapi menilik ilmu yang kau kuasai, lebih-lebih caramu menghukum muridmu, maka perguruanmu bukan suatu perguruan yang baik. Perguruanmu tentu merupakan perguruan yang bersumber pada ilmu sesat.”
“Tutup mulutmu. Apa yang kau ketahui tentang perguruan-perguruan olah kanuragan? Kau tidak perlu mengigau sekarang ini. Jangan kau kira, bahwa benturan kekuatan itu merupakan ukuran penyelesaian pertempuran di antara kita. Salahku adalah, bahwa aku telah mengendalikan kemampuanku karena aku tidak mau melihat kau lumat. Namun ternyata bahwa kau memang memiliki bekal untuk menyombongkan diri. Namun jangan berharap bahwa kau akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Aku tidak akan mengekang diri lagi, karena kau benar-benar tidak tahu diri,” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat masih saja tertawa. Katanya, “Persoalan kita bukan persoalan tahu atau tidak tahu diri. Persoalan kita ternyata cukup luas, karena menyangkut masa depan anak-anak muda. Tentu bukan hanya anak-anak muda di padukuhan ini.”
“Karena itu, aku akan membunuh muridku. Persoalan dengan anak-anak muda padukuhan ini dan barangkali padukuhan-padukuhan lain akan segera selesai. Aku pun akan membunuhmu agar kau tidak mengembara dengan kesombonganmu itu,” berkata orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ketika Mahisa Pukat melangkah maju, maka lawannya itu pun telah mulai meloncat menyerang. Geraknya tiba-tiba saja menjadi garang. Nampaknya ia sudah meningkatkan lagi ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannya menjadi semakin tinggi.
Tetapi Mahisa Pukat pun belum sampai ke tataran tertinggi dari ilmunya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak cemas dengan sikap lawannya itu. Sejenak kemudian, keduanya telah bertempur kembali. Orang itu nampaknya ingin menyelesaikan anak muda yang mengaku pengembara itu dengan cepat. Karena itu maka ia pun telah melibat Mahisa Pukat dengan ilmunya yang tinggi bagaikan angin pusaran.
Tetapi Mahisa Pukat tetap tegak bagaikan batu karang yang tidak dapat digoyahkan. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat telah membalas menyerang dengan tidak kalah garangnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Keduanya saling menyerang, saling bertahan dan saling mengintai kelemahan lawannya.
Namun akhirnya, beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenainya. Ketika ia menghindari serangan kaki lawannya, tiba-tiba saja ia telah berputar. Tangannya terayun deras, sehingga diluar perhitungan, tangannya telah menyusup di sela-sela pertahanan lawannya itu.
Lawan Mahisa Pukat itu tidak sempat menghindar. Serangan Mahisa Pukat itu telah mengenai rusuknya sehingga orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Dadanya menjadi sesak, sementara tulang rusuknya bagaikan menjadi retak. Dengan demikian kemarahan orang itu benar-benar telah sampai ke puncak. Sementara itu ia menyadari bahwa anak muda yang mengaku pengembara itu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka orang itu merasa perlu untuk menundukkannya dengan ilmunya.
Dalam pada itu, murid lawan Mahisa Pukat yang telah mendapat latihan-latihan yang dengan sengaja disesatkan itu hampir diluar sadarnya telah memperhatikan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh gurunya. Dengan pengamatan yang saksama, maka ia memang melihat beberapa perbedaan dengan unsur-unsur gerak yang diajarkan kepadanya. Gerakan-gerakan yang mula-mula memang mirip sekali.
Namun kemudian semakin rumit unsur-unsur gerak itu, maka perbedaannya pun menjadi semakin jauh. Beberapa bagian dari unsur gerak itu telah terbalik dan bahkan patah-patah. Satu dua bagian sengaja dihilangkan untuk membuat gerakannya tidak mengalir utuh. Pada bagian-bagian yang patah itulah terjadi kelainan pada tubuhnya. Demikian juga bagian dari unsur gerak yang sengaja diputar balik.
Sementara keduanya bertempur semakin sengit, maka Mahisa Pukat masih juga sempat berkata, “Kau lihat kesalahan-kesalahan pada unsur-unsur gerak yang diajarkan kepadamu.”
Hampir diluar sadarnya pula orang itu menjawab, “Ya, Aku melihat.”
“Perhatikan. Kau dapat mengusahakan dengan hati-hati untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Aku akan memancing gurumu untuk bergerak dan mempergunakan unsur gerak lebih banyak,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Terima kasih.”
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu mengumpat. Seandainya ia mempunyai kesempatan, maka muridnya itu benar-benar akan dibunuhnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ia justru mampu melihat kesalahan-kesalahan unsur gerak yang dipelajarinya.
Namun dengan demikian maka lawan Mahisa Pukat itu benar-benar telah mengungkit ilmu kebanggaannya. Kedua tangannya telah disilangkan di depan dadanya. Sambil berdiri tegak setelah ia mengambil jarak, maka kedua tangannya itu pun menjadi bergetar. Kedua tangannya yang bersilang itu seakan-akan telah memancarkan sinar kemarahan meskipun hanya lamat-lamat. Kadang-kadang nampak, kadang-kadang tidak sama sekali. Namun kemudian warna kemerah-merahan itu telah berubah lagi menjadi keputih-putihan.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Semuanya itu terjadi dalam waktu singkat, sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat menyadari keadaan itu, maka lengan lawannya sampai ke ujung jari-jarinya rasa-rasanya telah menjadi keputih-putihan, yang sekali-sekali masih disaput warna tipis kemerah-merahan. Mahisa Pukat telah surut beberapa langkah.
Sementara murid lawan Mahisa Pukat itu berteriak, “Ilmu puncak dari perguruan kami.”
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Tangan itu seakan-akan berubah menjadi timah. Aku pernah mengenali ilmu seperti itu. Tetapi bagiku permainan kanak-kanak seperti itu kurang menarik.”
Lawan Mahisa Pukat itu menjadi marah sekali. Ia dengan garangnya telah meloncat. Tangannya yang seakan-akan menjadi timah itu terayun menyambar kening. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkasnya telah mengelak dengan bergeser kesamping.
Namun lawannya tidak merelakannya. Ia telah meloncat memburu. Namun ia tidak dapat menjangkau Mahisa Pukat dengan tangannya yang menjadi timah itu. Tetapi ia telah menyerang dengan kakinya yang mempunyai jangkauan yang lebih panjang, justru saat Mahisa Pukat berdiri tegak.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menghindar. Ia justru memiringkan tubuhnya dengan kaki renggang. Lututnya sedikit merendah, sementara sikunya melindungi lambungnya yang menjadi sasaran serangan lawannya.
Satu benturan yang keras terjadi. Tetapi kaki orang itu tidak menjadi sekeras timah. Sementara itu kekuatan Mahisa Pukat telah dikerahkan melawan kekuatan tenaga lawannya.
Akibatnya memang mengejutkan. Lawannya itu telah terlempar beberapa langkah. Ia sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangan, sehingga sekali lagi ia jatuh terguling. Sementara Mahisa Pukat tergeser selangkah surut. Namun sekali lagi orang itu dengan tangkasnya melenting berdiri. Kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi timah itu telah terayun-ayun mengerikan.
“Kau benar-benar anak iblis. Sekarang saatnya membunuhmu telah tiba,” geram orang itu.
“Sejak tadi kau hanya berbicara saja. Kenapa tidak kau lakukan sejak tadi?” sahut Mahisa Pukat.
Telinga orang itu bagaikan tersentuh api. Sambil menggeram ia telah benar-benar bersiap untuk menyerang dengan keduatanganya yang mengeras seperti timah itu. Orang itu menggeram. Namun ia masih tetap dicengkam oleh teka-teki yang tidak terjawab. Kenapa tubuhnya tiba-tiba saja menjadi sangat lemah seperti muridnya yang telahsalah melakukan unsur-unsur gerak karena ia memang telah mengajarinya demikian.
Dalam pada itu Mahisa Pukat lah yang berkata kepada murid lawannya, “Gurumu tidak melakukan kesalahan dalam tata geraknya. Ia menguasai benar unsur-unsur gerak sebagaimana ciri perguruanmu. Jika kau cukup tekun mengamatinya, maka kau akan tahu kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan atau yang dengan sengaja telah diajarkan oleh gurumu dan yang kemudian tanpa sadar telah kau sebarkan kepada anak-anak muda di padukuhan ini atau barangkali pernah kau lakukan di padukuhan lain.”
Orang itu sama sekali tidak menyahut. Ia memang melihat sekilas-sekilas unsur-unsur gerak yang berbeda dengan yang dikuasainya. Karena itu, maka ia pun menyadari sepenuhnya bahwa gurunya itu memang benar-benar berniat jahat kepadanya. Namun orang itu pun menjadi heran, kenapa gurunya pun tiba-tiba telah mengalami hal yang sama sebagaimana dialaminya. Gurunya itu menjadi sangat letih dan tenaganya seakan-akan telah terkuras habis.
Mahisa Pukat yang seakan-akan mampu membaca perasaan orang itu berkata, “Tetapi gurumu tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya. Ia hanya letih saja. Benar-benar letih seperti jika kau mengusung batu beberapa gerobag seorang diri. Tidak ada serangan yang dapat merusak bagian dalam dadanya. Jantungnya tidak akan menjadi lumpuh dan otaknya tidak akan mengalami pendarahan.”
“Kenapa?” tiba-tiba saja orang itu bertanya.
“Ia telah memeras tenaganya tanpa perhitungan,” jawab Mahisa Pukat.
“Bohong,” geram orang itu, “aku mampu berkelahi sehari-semalam tanpa berhenti.”
“Kenapa tiba-tiba kau kehilangan tenagamu?” bertanya Mahisa Pukat yang mengetahui bahwa lawannya tidak mengetahui bahwa ia mampu menghisap tenaga lawannya dengan sentuhan-sentuhan.
“Tentu ilmu iblismu,” geram orang itu.
Mahisa Pukat tertawa. Ia melangkah mendekati lawannya. Namun lawannya masih berusaha mengayunkan tangannya. Tetapi Mahisa Pukat merendah sehingga tangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan orang itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya sehingga terseret oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga orang itu telah jatuh tertelungkup.
“Lihat,” berkata Mahisa Pukat kepada murid lawannya, “ia benar-benar sudah tidak berdaya. Bahkan ia tidak lagi mampu mempertahankan kehadiran ilmunya, sehingga tangannya tidak lagi berwarna timah.”
Sebenarnyalah, bukan saja wadag lawan Mahisa Pukat itu sajalah yang menjadi sangat letih. Tetapi juga nalar budinya sehingga ia tidak lagi dapat mempertahankan kekuatan ilmunya yang nampak pada ujud tangannya, sehingga tangannya telah berubah lagi menjadi tangannya sewajarnya.
Beberapa kali Mahisa Pukat dengan sengaja telah menyentuh lawannya yang berusaha untuk bangkit. Namun dengan demikian maka lawannya menjadi semakin lemah, sehingga ia hampir tidak bertenaga sama sekali. Mahisa Pukat yang kemudian juga menanggalkan kekuatan ilmunya telah memapah lawannya yang tidak berdaya itu ke tangga pendapa. Kemudian meletakkannya untuk duduk di tangga sambil berkata, “Nah, apa katamu sekarang?”
“Jika kau ingin membunuhku, lakukanlah,” geram orang itu.
“Dalam keadaan seperti itu kau masih juga garang,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi sebaiknya kau melihat kenyataan itu. Kau tidak perlu memerintah aku untuk membunuhmu. Jika aku ingin melakukannya, aku tentu akan melakukannya nanti. Tetapi tidak sekarang, karena aku belum berminat. Aku masih ingin melihat kau dalam kenyataanmu sekarang. Kehabisan tenaga. Dengan demikian serba sedikit kau dapat merasakan bagaimana keadaan muridmu, meskipun kau masih dalam keadaan yang lebih baik, karena bagian dalam tubuhmu tidak terluka. Tetapi jika perlu aku akan dapat melukai bagian dalam tubuhmu agar kau benar-benar dalam keadaan sebagaimana muridmu.”
Orang itu mengumpat. Katanya, “Bunuh saja aku.”
“Tutup mulutmu,” bentuk Mahisa Pukat, “sudah aku katakan. Jika aku ingin, nanti aku akan membunuhmu. Sekarang biarlah kau merasakan bagaimana yang dirasakan oleh muridmu.”
“Aku tidak peduli,” teriak orang itu, “bunuh saja aku.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja telapak tangannya telah melekat di dada orang itu sehingga orang itu mengaduh perlahan. Bahkan ia pun telah jatuh menelentang karena tenaganya sama sekali tidak mampu lagi untuk bertahan meskipun dorongan tangan Mahisa Pukat tidak dengan sepenuh kekuatannya. Meskipun demikian, dada orang itu telah merasa sesak. Nafasnya menjadi terengah-engah, seakan-akan dadanya telah terhimpit batu hitam.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat membiarkannya. Namun kemudian ia menarik lengannya sambil menghentak, “Duduk.”
Orang itu pun kemudian telah duduk. Tetapi ia benar-benar telah kehilangan seluruh tenaganya, sementara dadanya menjadi sakit karena hentakkan tangan Mahisa Pukat yang menyentuh dadanya. Tidak terlalu keras, karena Mahisa Pukat hanya mempergunakan sebagian saja dari tenaganya.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “muridmu sekarang ini juga merasakan sebagaimana kau rasakan. Mungkin lebih parah. Tetapi yang kau alami agaknya cukup memadai. Dengan demikian maka kau tahu akibat dari apa yang pernah kau lakukan.”
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat berkata pula, “Kau boleh mendendam kepadaku. Aku dan saudara-saudaraku adalah pengembara. Jika kalian memang tidak mau menerima kenyataan ini, kau dapat mencari aku.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah berbicara kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama anak-anak muda yang telah mengalami kesulitan di dalam dirinya karena urutan unsur gerak yang tidak mapan dalam ungkapan ilmu sehingga melukai bagian dalam tubuh mereka sendiri. Katanya,
“Nah, sekarang kalian dapat beristirahat. Kalian harus benar-benar beristirahat sepenuhnya sehingga perlahan-lahan kekuatan kalian dapat pulih kembali.” lalu katanya kepada anak-anak muda yang meronda, “kalian dapat kembali ke tugas kalian. Sementara kami bertiga akan beristirahat juga, meskipun sisa malam nampaknya tinggal sebentar.”
Para peronda itu pun kemudian telah kembali ke gardu. Sementara itu anak-anak muda yang mengalami kesulitan di dalam dirinya itu telah berjalan tertatih-tatih naik ke pendapa.
“Kalian dapat tidur nyenyak. Tidak akan ada orang yang akan mengganggu kalian. Orang yang berhati bengis ini tidak akan dapat berbuat apa-apa sampai esok. Mudah-mudahan selama ini merenungi keadaannya, ia sempat melihat cahaya yang dapat menerangi hatinya, sehingga ia akan mampu melihat bintik-bintik hitam yang melekat di hatinya itu,” berkata Mahisa Pukat.
Anak-anak muda yang dalam keadaan letih itu mempercayainya. Mereka pun telah bersiap-siap untuk menempatkan dirinya di atas tikar yang mereka bentangkan di pendapa. Namun dalam pada itu, penunggu banjar itu pun berkata, “Bukankah kalian belum selesai makan?”
Beberapa orang anak muda termangu-mangu. Tetapi mereka memang belum selesai makan sementara tubuh mereka terasa sangat lemah.
“Selesaikan dahulu,” berkata Mahisa Pukat, “makanan itu sudah dimasak dengan susah payah. Jangan kalian sia-siakan.”
Anak-anak muda itu memang tidak merasa keberatan sama sekali. Mereka memang masih merasa agak lapar. Sehingga karena itu maka mereka pun telah kembali kepada mangkuk mereka masing-masing. Meskipun nasi dan sayur telah menjadi sangat dingin, tetapi rasa-rasanya mereka justru makan dengan nikmat sekali. Bukan saja karena mereka memang belum kenyang, namun seakan-akan mereka merasa terlepas dari satu kungkungan kewajiban yng sangat berat dan ternyata menyesatkan.
Mahisa Pukat sendiri kemudian telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Namun ia sempat bertanya kepada penunggu banjar itu, “apakah kami boleh tidur di situ saja agar kami tidak usah mengangkat adik kami ke serambi belakang.”
“Silahkan, silahkan,” jawab penunggu banjar yang mengetahui kelebihan dari anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, “jika kalian tidur di dalam, aku persilahkan kalian memilih tempat.”
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku di sini saja.”
Penunggu banjar itu tidak minta agar mereka berpindah tempat lagi. Rasa-rasanya anak-anak muda itu bukan lagi anak-anak muda yang datang minta belas kasihan untuk bermalam barang satu malam. Namun bagi penunggu banjar itu dan juga para peronda, anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang perkasa.
Namun sebelum mereka tidur, Mahisa Pukat sempat berpesan, “aku minta anak-anak muda yang ikut berlatih olah kanuragan tidak meninggalkan banjar ini sampai besok.”
Permitaan itu membuat orang yang kehilangan tenaganya karena ilmu Mahisa Pukat itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu telah berbaring di sebuah amben yang besar setelah sisa makan yang dipergunakan di tempat itu disingkirkan.
Nampaknya mereka tidak mencurigai siapapun lagi, sehingga karena itu, maka mereka tidak perlu bergantian berjaga-jaga di sisa malam yang pendek itu. Apalagi setelah lampu dipadamkan, sehingga tempat itu memang menjadi agak terlindung.
Tetapi bagaimanapun juga mereka tetap berhati-hati. Mereka bertiga bersama Mahisa Amping tidur di tengah-tengah amben yang besar, sehingga sentuhan pada amben bambu itu cukup untuk membangunkan mereka bertiga. Apalagi mereka bertiga yakin, bahwa mereka tidak akan mungkin tertidur nyenyak menjelang pagi hari. Sebenarnyalah mereka hampir tidak tidur sama sekali. Mereka memang memejamkan mata. Tetapi Mereka tidak lelap.
Pagi benar Mahisa Amping telah bangun. Perlahan-lahan ia duduk, sementara ketiga orang kakak angkatnya masih berbincang di sebelahnya. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi. Namun ia melihat beberapa orang tidur di pendapa. Namun para peronda tetap berada di tempatnya serta mengamati keadaan di seluruh banjar dan bahkan di padukuhan.
Perlahan-lahan Mahisa Amping turun dari amben. Tetapi ia tidak melangkah pergi. Ia sudah mengerti bagaimana harus berhati-hati menghadapi keadaan yang tidak diketahuinya dengan pasti.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang kelelahan, bahkan orang yang memberikan latihan kepada anak-anak muda di padukuhan, ternyata telah tertidur nyenyak setelah mereka merasa kenyang. Silirnya angin malam, kekuatan yang ditimbulkan oleh makanan yang mereka makan, minuman dan gula kelapa serta istirahat yang cukup telah membuat tubuh anak-anak muda itu menjadi segar kembali.
Demikian mereka terbangun di pagi hari, maka mereka sudah merasa bahwa kekuatan mereka telah tumbuh kembali meskipun masih belum pulih sama sekali. Satu-satu mereka pun telah bangkit dan turun ke halaman. Mereka sudah tahu bahwa mereka diminta untuk tidak meninggalkan banjar.
Orang yang memberikan latihan kepada anak-anak muda itu pun merasa bahwa tubuhnya telah menjadi kuat kembali meskipun belum seutuhnya. Dengan hati-hati ia mulai menggerak-gerakkan anggauta badannya. Namun dengan kesadaran bahwa ia telah mempelajari ilmu dengan cara yang salah, maka ia tidak lagi bergerak menurut tatanan ilmunya. Bahkan ia bergerak asal saja bergerak dan tidak menyakiti tubuhnya.
Tetapi guru orang itulah yang masih duduk dengan lemahnya. Ia belum mendapatkan kekuatannya kembali. Apalagi sepenuhnya. Meskipun ada juga rasa segar menyusup di urat-urat nadinya, serta kekuatan yang mulai tumbuh. Tetapi ia masih terlalu lemah untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, maka ia masih saja duduk sambil memusatkan nalar budi mengatur pernafasannya dan berusaha untuk memulihkan kekuatannya. Tetapi ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Agaknya ilmu yang khusus telah menghisap tenaganya sampai habis dan menghambat tumbuhnya kembali.
Dalam pada itu, ketiga orang anak muda yang menyatakan diri sebagai pengembara itu pun telah bangun pula. Satu-satu mereka telah pergi ke pakiwan termasuk Mahisa Amping. Ketika matahari terbit, maka Mahisa Pukat telah mintaanak-anak muda yang telah mengalami kesulitan ketika mengadakan latihan, bahkan bersama orang yang memberikan latihan kepada mereka, telah diminta untuk berkumpul di halaman.
“Lihat mereka,” berkata Mahisa Pukat kepada orang yang masih lemah duduk di tangga pendapa, “mereka adalah korban dari perasaan dendammu yang tidak dapat kau kuasai. Beranting korban akan menjadi semakin banyak jika tidak segera dibetulkan. Nah, bersiaplah untuk memberikan petunjuk bagaimana seharusnya melakukan tata gerak dari ilmu yang kau sebarkan itu.”
“Aku tidak mampu berdiri,” berkata orang itu.
“Sebagian kekuatanmu telah tumbuh kembali. Kau sudah dapat berdiri dan bergerak,” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak,” jawab orang itu, “aku belum dapat berdiri.”
“Pikirkanlah baik-baik,” berkata Mahisa Pukat, “masih ada kesempatan. Anak-anak muda itu akan menunggu beberapa saat. Mereka telah mendapatkan tenaganya kembali, meskipun belum seluruhnya. Jika kau tetap menolak untuk memberikan petunjuk, maka merekalah yang akan berbuat sesuatu atasmu. Sama sekali tidak mempergunakan ilmumu. Mereka akan menganggap diri mereka sama sekali tidak mengenal olah kanuragan. Mereka akan memukulimu seperti saat mereka berburu tupai.”
Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu. Sementara anak-anak muda yang telah tertidur beberapa saat setelah makan itu, telah mampu berloncat-loncatan dan menggerakkan tangannya berputaran di halaman untuk memanasi tubuh mereka.
“Jawab pertanyaanku,” berkata Mahisa Pukat, “kau bersedia atau tidak. Jika kau bersedia, kau telah menolong anak-anak muda yang sesat itu dan dapat melakukan latihan-latihan yang benar. Mula-mula kau harus memberikan petunjuk kepada mereka, terutama kepada muridmu. Kemudian kau harus mengawasi mereka untuk berlatih dengan cara yang benar. Sebenarnya hari ini aku harus sudah melanjutkan perjalanan. Tetapi aku ingin melihat, apa yang kau lakukan di sini.”
Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata, “Sebenarnya kau tidak perlu membebani dirimu dengan dendam yang berkepanjangan. Kau dapat menempatkan dirimu pada tempat yang wajar sebagai seorang yang berilmu tinggi. Ilmu tangan timahmu adalah ilmu yang jarang dimiliki orang. Namun agaknya ilmumu itu telah kau salah gunakan.”
Orang itu sama sekali tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “Cepat, berdiri sebelum anak-anak itu kehabisan kesabaran.”
Dengan susah payah orang itu pun telah bangkit berdiri. Ternyata ia memang sudah mendapatkan kekuatannya serba sedikit. Tetapi cukup untuk melakukan contoh-contoh gerak dengan perlahan-lahan, tanpa memerlukan dorongan tenaga.
“Nah, kau dapat mulai sekarang. Terutama kau harus dapat memberikan contoh tata gerak yang benar kepada muridmu. Biar muridmu nanti bersama-sama dengan anak-anak itu melakukannya lebih jauh,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu memang tidak dapat membatah lagi. Ia sedang dalam keadaan lemah, sehingga ia merasakan satu tekanan, bahwa ia harus melakukan segala perintah untuk melindungi dirinya dari tindakan yang dapat mencelakainya. Karena itu, maka ia harus memilih jalan yang paling baik bagi dirinya.
Beberapa saat kemudian, maka orang itu telah memberikan beberapa contoh gerak yang telah diputar balikkan sehingga menimbulkan kesesatan. Kemudian orang itu telah melakukannya, apa yang seharusnya. Muridnya memperhatikannya dengan saksama. Sekali-sekali diluar sadarnya tangan dan kakinya telah bergerak. Diperhatikannya kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya unsur-unsur gerak itu dengan benar.
Orang itu langsung dapat merasakan, bahwa ia memang telah melakukan kesalahan untuk waktu yang lama. Namun ia belum pernah bertemu dan bertempur dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi seperti anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu, sehingga ia harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga ia merasakan betapa kesalahan-kesalahan yang disengaja oleh gurunya itu membuatnya terluka dibagian dalam. Untunglah bahwa lawannya bukan seorang yang berniat jahat, yang justru telah memberikan beberapa petunjuk kepadanya, sehingga ia telah terbebas dari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya karena kesesatan ilmunya itu.
Mahisa Pukat mengamati peragaan itu dengan seksama. Ia melihat dengan teliti, apakah orang itu telah melakukannya dengan jujur. Kemampuannya serta pengenalannya atas berbagai macam olah kanuragan serta setelah ia menekuni ilmu kanuragan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan dapat melihat seandainya orang itu masih dengan sengaja memutar balikkan unsur-unsur geraknya.
Tetapi agaknya orang itu merasa, bahwa tidak ada gunanya lagi baginya untuk melakukannya. Setiap kesalahan yang dilakukannya tentu akan dapat segera dikenali oleh anak muda itu, sehingga dengan demikian maka ia memang harus melakukannya dengan jujur.
Muridnya memang dengan segera menemukan kesalahan-kesalahan itu. Dengan kemampuannya mengenali unsur-unsur gerak dari ilmunya yang sesat itu, maka ia pun dengan cepat mengenali apa yang seharusnya dilakukannya.
Mahisa Pukat yang memperhatikan orang itu memperagakan ilmunya akhirnya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata kepada murid orang itu, “Nah. Kau sudah melihat bagian-bagian yang salah dari sebagian unsur gerak, justru unsur gerak dasarnya, sehingga dalam pengembangannya, maka kesalahan-kesalahan itu akan menjadi semakin berbahaya bagimu. Nah, sekarang, selagi gurumu ada di sini, kau harus mendapatkannya. Kau sudah melihat. Lakukan. Gurumu akan menuntunmu sehingga kau akan menemukan kebenaran unsur gerak dari ilmu yang kau tekuni itu. Gurumu harus tinggal di sini sampai kau mampu menguasai ilmu dengan baik dan benar.”
Orang itu nampak ragu-ragu. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kau tentu tidak berani memaksa gurumu melakukannya. Tetapi ia harus melakukannya sebagai tebusan atas kekejaman yang pernah dilakukan. Jika gurumu tidak mau menuruti permintaanmu itu, maka aku akan memaksanya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak berkata apa-apa. Sementara itu gurunya memang merasakan dirinya benar-benar sudah dikuasai oleh anak muda itu, sehingga rasa-rasanya anak muda itu akan dapat berbuat apa saja atasnya.
Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya memang mulai terbersit pengakuan, bahwa ia memang bersalah. Selama ia berkeliaran mengamati muridnya yang memang dijerumuskannya itu, dan bahkan hampir tidak sabar menunggu kapan muridnya itu terpukul oleh ilmunya sendiri. Ia belum pernah bertemu dengan orang yang benar-benar berilmu tinggi dan mampu mengalahkannya, bahkan menguasainya sepenuhnya, sehingga rasa-rasanya untuk membunuh diripun ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Demikianlah, maka orang yang telah mengalami kesesatan itu telah memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Ia telah mencoba dan mencoba, sekali-sekali menirukan gurunya yang harus mengulang dan mengulang pada bagian-bagian yang diputar balikkan itu, sehingga ia menemukan dasar dari kesalahan-kesalahan itu.
Dengan demikian, maka ketika ia melakukan latihan-latihan berikutnya, tubuhnya tidak lagi merasakan hambatan yang dapat menyakiti bagian dalam tubuhnya. Meskipun ia kemudian melakukannya dengan menghentakkan seluruh sisa tenaganya yang memang belum pulih kembali, maka rasa-rasanya bagian dalam tubuhnya tidak lagi terhentak-hentak.
Tetapi agaknya dalam sehari, ia masih belum dapat membersihkan diri seluruhnya dari kesalahan-kesalahan itu. Masih ada bagian-bagian yang harus mendapat perhatian lebih banyak, sehingga karena itu, maka agaknya gurunya pun tidak akan dapat meninggalkan banjar itu.
Sementara itu, anak-anak muda yang juga mengalami kesesatan latihan harus tinggal di banjar itu pula sehari-harian. Tetapi karena mereka menyadari kepentingannya, maka mereka-pun melakukannya dengan telaten.
Ada beberapa orang tua di antara mereka yang datang menyusulnya, karena hati mereka merasa kurang enak karena anaknya sehari-harian tidak pulang. Tetapi setelah mereka mendapatkan penjelasannya seperlunya, maka mereka pun justru membiarkan anak-anak mereka untuk tetap berada dibanjar.
“Untunglah bahwa ada orang yang sempat melihat kesalahan jika tidak, maka anakku tentu akan mati. Lambat atau cepat.”
Namun dalam pada itu, maka perjalanan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu telah terhambat lagi. Mereka harus menunggu sedikitnya sampai esok lagi, sehingga mereka akan bermalam di banjar itu dua malam. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain.
Sementara itu penunggu banjar yang baik itu telah berkata kepada anak-anak muda pengembara itu, “Tinggallah di sini sampai kapan pun. Aku akan menyediakan makan bagi kalian berempat.”
“Terima kasih Ki Sanak,” sahut Mahisa Murti.
Ia percaya bahwa penunggu banjar itu benar-benar memberikan dengan ikhlas. Bahkan anak-anak muda yang sedang berusaha memperbaiki diri mereka itu pun telah mendapat makan dari penunggu banjar itu, meskipun ia harus mengambil beras dari lumbung padukuhan.
Orang yang harus memperbaiki kesalahannya itu hanya mendapat waktu-waktu istirahat yang pendek. Muridnya selalu mempersilahkannya mulai lagi. Ia merasa ingin segera bebas dari belenggu kesalahan yang dapat mematikannya itu.
Orang yang telah memutar balikkan ilmu yang diturunkannya itu tidak dapat menolak meskipun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Namun semakin lama, betapapun ia bergerak terus, namun kekuatannya memang terasa berangsur kembali. Bahkan kemudian ia yakin, bahwa malam berikutnya, ia akan pulih kembali.
Tetapi orang itu masih saja berpura-pura merasa sangat letih. Bahkan ketika ia memberikan beberapa peragaan tentang ilmunya, ia telah terhuyung-huyung. Hampir saja ia terjatuh. Namun dengan susah payah ia dapat menahan dirinya sambil berpegangan sebatang pohon turi.
Muridnya yang menganggap bahwa gurunya benar-benar masih sangat letih, telah menunggunya beberapa saat, sampai gurunya itu mampu berdiri tegak dan kembali menunjukkan peragaan tentang kesalahan-kesalahan dalam urutan unsur-unsur gerak ilmunya.
Tetapi diluar dugaan, Mahisa Pukat mendekatinya dan berbisik sehingga tidak didengar oleh orang lain, “jangan memperbodoh aku. Kau sudah menjadi kuat kembali. Bahkan hampir pulih sama sekali. Kekuatan ilmuku memang tidak sama bagi setiap orang. Ternyata kau memiliki daya tahan yang sangat tinggi, sehingga kekuatanmu telah hampir pulih kembali.”
Orang itu menggeram. Tetapi tangan Mahisa Pukat telah mencengkam lengannya dan menariknya. Adalah diluar
sadarnya bahwa orang itu tidak begitu menurut.
“Nah, aku yakin sekarang,” berkata Mahisa Pukat, “kekuatanmu telah menjadi semakin mendekati utuh. Karena itu, kau harus memberikan beberapa peragaan yang lebih mantap karena kau agaknya tinggal semalam ini berada di banjar ini, meskipun aku dapat menahanmu lebih lama lagi.”
Orang itu mengumpat dalam hati. Tetapi ia tidak membantah. Ia memang berusaha untuk pada suatu saat jika ia berada di luar pengamatan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, ia akan mencoba meninggalkan banjar itu. Ia yakin tidak seorang pun bahkan bersama-sama sekalipun, anak-anak muda dan muridnya itu yang akan dapat mencegahnya. Tetapi ternyata anak muda yang mengaku pengembara itu tahu, bahwa ia sekedar berpura-pura.
Beberapa saat kemudian maka muridnya telah minta kepada orang itu untuk menilik anak-anak muda yang telah terlanjur ikut tersesat itu, agar mereka pun mengerti, apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki diri. Namun bagi Mahisa Pukat, yang terpenting adalah muridnya itu lebih dahulu, karena ia akan dapat membantu anak-anak muda yang lain mengurai kembali ilmu yang terlanjur mereka serap.
Ternyata anak-anak muda itu telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Baru ketika malam turun dan menjadi semakin lama semakin dalam, maka anak-anak muda itu mengakhiri usahanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka.
“Kita dapat beristirahat,” berkata orang yang hampir menjadi korban kekejaman gurunya sendiri itu, “aku minta maaf, bahwa aku telah membuat kalian hampir mengalami nasib buruk seperti aku sendiri. Untunglah bahwa semuanya itu belum terlanjur.”
Gurunya mendengarkan muridnya berbicara di hadapan anak-anak muda itu dengan gelisah. Namun ia pun kemudian telah duduk di tangga pendapa.
Sementara itu Mahisa Pukat yang juga bermalam lagi di banjar itu, telah mendekatinya dan duduk disampingnya. “Kekuatanmu sudah pulih kembali,” berkata Mahisa Pukat. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau akan segera pergi?”
“Tidak,” jawab orang itu, “aku akan menunggui muridku sampai ia benar-benar menjadi baik.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat sambil memijit lengan orang itu. Tidak begitu keras. Namun seakan-akan getaran tenaga orang itu telah mengalir dari segala ujung rambutnya dan lubang-lubang kulitnya ke arah sentuhan tangan anak muda itu. Tetapi Mahisa Pukat segera melepaskannya. Namun orang itu telah menyadari sepenuhnya, bahwa tenaganya tentu sudah disusut kembali oleh anak muda itu.
Dengan demikian maka baginya tidak ada jalan untuk menghindari atau bahkan menolak setiap perintah yang keluar dari mulut anak muda itu. Ia menyadari, bahwa ilmu yang sangat khusus itu, jika dikehendaki, akan dapat menghisap seluruh tenaganya, sehingga ia akan terkapar dengan lemahnya. Demikian lemahnya sehingga jantungnya tidak lagi mampu menekan darahnya untuk mengalir ke segenap tubuhnya, sehingga akhirnya ia-pun aka mati lemas.
Karena itu, maka ia hanya dapat menyesali diri sendiri, kenapa ia telah bertemu dengan orang yang berilmu aneh itu. Ia merasa bahwa ilmu tangan timahnya akan dapat menyelesaikan segala-galanya. Namun ternyata ia tidak mampu menghadapi ilmu orang yang aneh itu.
Sementara itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada orang itu, “beristirahatlah agar besok pagi-pagi kau sudah mendapatkan tenagamu lebih banyak lagi. Kau harus mulai lagi dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan dengan memutar balikkan unsur-unsur gerak yang kau ajarkan kepada muridmu itu. Ternyata ia adalah seorang yang cerdas, sehingga ia hampir dapat memperbaiki semua kesalahannya dalam satu hari. Namun memang mustahil untuk melakukannya.”
Orang itu tidak menjawab. Namun ia pun harus beristirahat serta tidak menolak untuk makan. Anak-anak muda yang sehari-harian berada di banjar itu pun telah mendapat kesempatan untuk pulang. Keadaan mereka sudah menjadi lebih baik. Sehingga mereka dapat berjalan ke rumah masing-masing. Keluarga mereka pada umumnya memang menjadi cemas. Tetapi anak-anak muda itu sempat menerangkan apa yang telah terjadi sehingga keadaan mereka tidak perlu dicemaskan.
“Tetapi seandainya anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu tidak singgah di banjar, entahlah. Mungkin dalam waktu sepuluh hari lagi, kami sudah menjadi lumpuh.”
Orang tua mereka tidak tahu dengan tepat apa yang diterangkan oleh anaknya, karena mereka tidak pernah belajar olah kanuragan. Tetapi mereka dapat menangkap maksud anaknya yang mengatakan bahwa mereka berada dalam bahaya. Namun sudah dibebaskan oleh anak muda yang mengaku sebagai pengembara.
“Besok kami harus kembali ke banjar,” berkata anak-anak muda itu kepada keluarganya.
Keluarganya tidak mencegahnya, karena hal itu akan menambah kebaikan bagi anak-anak mereka. Malam itu semuanya beristirahat dengan tenang. Namun ketiga anak muda yang menompang bermalam di banjar itu telah mengatur diri sehingga ada di antara mereka yang berjaga-jaga setiap saat, meskipun mereka menganggap bahwa malam itu, mereka tidak akan terganggu seperti malam sebelumnya.
Pagi-pagi benar ketiganya sudah bangun. Demikian pula Mahisa Amping. Ketika mereka selesai berbenah diri, maka satu dua anak-anak muda padukuhan itu mulai berdatangan. Mahisa Pukat yang melihat keadaan orang yang telah menyesatkan muridnya itu mendapatkannya duduk di sudut pendapa sambil menyilangkan tangannya di dada. Nampaknya ia sedang memusatkan nalar budinya dan mengatur jalan pernafasannya untuk mendapatkan keadaan yang terbaik bagi wadagnya.
Mahisa Pukat memang menunggu sejenak. Baru kemudian, setelah orang itu selesai dengan samadinya, Mahisa Pukat telah menyapanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang? Nampaknya sudah jauh lebih baik. Dengan samadi kau mendapatkan kejernihan penalaran dan perasaan. Namun juga kesegaran badani. Apakah kekuatanmu sudah hampir pulih kembali?”
Orang itu tidak dapat ingkar. Katanya, “Ya. Hampir pulih. Tetapi belum pulih seutuhnya.”
“Bagus. Jika demikian kau dapat memberikan latihan sebaik-baiknya kepada muridmu. Jika hari ini semuanya dapat dibersihkan, maka tugasmu selesai,” berkata Mahisa Pukat. Namun ia berkata selanjutnya, “Tetapi jika kemudian kau datang lagi untuk berbuat jahat terhadap muridmu, maka kami, bahkan perguruan kami, akan menyatakan perang terhadap perguruanmu. Bagaimanapun kau bersembunyi, tetapi kami akan dengan mudah menemukan perguruan tangan timah, sehingga kami akan dapat menghancurkan perguruanmu. Ada atau tidak ada kau di sana.”
“Satu tantangan yang sangat sombong,” berkata orang itu.
“Aku berkata sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat, “berapapun besarnya perguruanmu, tetapi kau tidak akan mampu bertahan jika kami datang.”
Orang itu tidak menjawab lagi. Ia menyadari kebesaran ilmu anak muda itu. Jika beberapa orang dengan ilmu seperti mereka, apalagi bersama dengan gurunya, maka tentu akan merupakan kekuatan yang tidak akan terlawan oleh perguruannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketika matahari mulai terbit, maka latihan-latihan pun telah dimulai lagi. Orang itu benar-benar telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan demikian, maka muridnya pun benar-benar telah mendapatkan unsur-unsur gerak yang sebenarnya.
Ternyata dua hari itu telah cukup buat muridnya yang sebenarnya cukup cerdas itu. Dengan demikian, maka menjelang malam, maka muridnya itu pun telah dapat berlatih seorang diri dengan mempergunakan unsur-unsur gerak yang benar. Sementara gurunya yang telah menyesatkan itu hanya mengawasinya saja.
“Nah,” berkata orang itu kemudian setelah ia yakin, bahwa ilmunya telah mendapatkan arah yang benar, “giliranmu untuk bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan ini berlatih.”
Tetapi Mahisa Pukat mencegahnya. Katanya, “Kau akan menjadi terlalu letih. Kau dapat mulai besok pagi-pagi bersama anak-anak muda itu. Selama ini mereka telah menyaksikan kau memperbaiki unsur-unsur gerakmu, sehingga mereka telah mendapat gambaran, apa yang akan mereka lakukan. Apalagi mereka adalah anak-anak muda penghuni padukuhan ini, sehingga mereka tidak terlalu tergesa-gesa.”
“Dengan cara ini, aku tidak merasa letih sama sekali. Meskipun keringatku mengalir sehingga seperti baru saja mandi, tetapi aku justru merasa segar,” berkata orang itu.
“Kau jangan memaksa diri. Meskipun akibatnya tidak akan parah sebagaimana sebelum kau temukan unsur-unsur yang benar, namun melepaskan tenaga yang berlebihan tetap kurang baik bagi wadagmu,” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah,” berkata orang itu, “biarlah besok anak-anak muda itu berlatih pagi-pagi sekali bersama aku. Aku bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri mereka. Malam ini biarlah mereka beristirahat di pendapa.”
“Kenapa di pendapa?” bertanya Mahisa Pukat, “biarlah mereka kembali ke rumahnya, masing-masing. Bukankah rumah mereka tidak lebih dari padukuhan ini?”
“Oo,” orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Sebaiknya mereka memang pulang ke rumah masing-masing. Sehari-harian mereka sudah berada di sini. Tetapi besok pagi-pagi mereka harus sudah berada di sini.”
“Mereka tidak sempat bekerja di sawah atau di mana saja mereka biasa bekerja,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi hanya satu dua hari ini. Dengan demikian maka persoalan akan segera selesai, sehingga aku tidak lagi merasa dibebani oleh kesalahan yang sangat mendasar itu,” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata orang itu mempunyai tanggung jawab yang besar atas kesalahan yang pernah dibuatnya. “Terserah kepada kalian,” berkata Mahisa Pukat, “besok pagi-pagi, kami sudah akan meninggalkan banjar ini.”
“Besok pagi-pagi?” orang itu terkejut, “tidak. Kalian masih akan berada di banjar ini untuk satu dua hari lagi.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Kenapa bahwa aku masih harus berada di banjar ini satu dua hari lagi?”
“Aku akan menyelesaikan tanggung jawab dahulu,” jawab orang itu.
“Bukankah kau dapat melakukannya tanpa aku? Kau sudah menemukan unsur-unsur gerak yang benar itu. Untuk apa aku masih harus berada di sini?” bertanya Mahisa Pukat.
Hampir diluar sadarnya orang itu berpaling kepada gurunya yang duduk di pendapa. Katanya, “Orang itu akan dapat berbuat sekehendaknya di sini. Yang sudah aku perbaiki akan dirusaknya kembali. Dan umurku pun tentu hanya akan sampai esok.”
“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ia tidak akan berbuat apa-apa lagi meskipun kekuatan dan kemampuannya nanti pulih sepenuhnya.”
“Seandainya orang itu benar-benar tidak akan berbuat apa-apapun aku minta kalian menunggu aku. Aku ingin ikut bersama kalian. Jika kalian benar-benar pengembara, maka aku ingin menompang untuk mendapatkan pengalaman di perjalanan,” berkata orang itu kemudian.
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak mungkin. Aku sudah berada dalam perjalanan kembali ke padepokan.”
“Aku akan ikut ke padepokanmu. Aku akan memasuki perguruanmu,” jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Aku tidak sendiri. Aku harus berbicara dengan kedua orang saudaraku.”
“Aku mohon,” desis orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau dapat menyuruh anak-anak muda itu kembali ke rumahnya seandainya besok pagi-pagi mereka harus sudah di sini pula. Kau pun harus mengingat tenaga penunggu banjar ini bersama beberapa orang pembantunya yang harus menyiapkan makan sedikitnya dua kali. Jika anak-anak itu bermalam di sini, maka penunggu banjar itu harus menyediakan mereka makan sekali lagi.”
“Para peronda itu juga makan di tengah malam,” jawab orang itu.
“Tetapi jumlah mereka terbatas,” desis Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun telah mengumumkan kepada anak-anak muda yang sudah sehari-harian berada di banjar seperti sehari sebelumnya untuk pulang ke rumah mereka.
“Siapa yang ingin mendapat pembetulan dari unsur-unsur gerak yang sesat itu, aku minta besok datang pagi-pagi,” berkata orang itu...