PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 78
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 78
Karya Singgih Hadi Mintardja
WANTILAN lah yang justru terdiam sejenak. Ketika ia memandangi wajah bibinya, maka nampak wajah itu mengeras bagaikan batu-batu padas yang tidak lagi dapat lekang oleh hujan panas. Tetapi Nyi Sarpada itu masih berdesis, “Ia dapat membakar rumahku. Tetapi mereka tidak akan dapat membakar mata air itu.”
“Ya bibi,” desis Wantilan.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Sarpa Wereng itu masih belum puas meskipun api telah membakar semua bagian rumah Nyi Sarpada. Meskipun ia melihat lidah api itu menjilat awan yang mengalir didorong angin malam. Karena itu, maka ia pun berteriak dengan penuh dendam, apalagi beberapa orang kawannya telah terbunuh pula, “Bunuh semua orang.”
Tetapi beberapa orang pengikutnya merasa ragu. Bahkan seorang di antara mereka berbisik, “Orang itu mempunyai ilmu iblis. Tiga orang kawan kita tidak sempat bangkit lagi tanpa disentuhnya.”
“Ilmu sihir. Jangan hiraukan. Ketiga orang kawan kita itu tidak apa-apa. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka mati atau pingsan. Bangunkan mereka dan perintahkan mereka untuk bertempur,” geram pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang merasa ragu-ragu. Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya, termasuk Wantilan dan Nyi Sarpada telah menjauhi rumahnya yang telah menjadi seonggok api.
“Lihat dan bangunkan kawan-kawanmu yang dungu itu,” perintah pemimpin gerombolan itu.
Dengan sangat berhati-hati beberapa orang sudah melangkah mendekati ketiga orang kawannya yang terbaring diam. Ketika mereka memutar dan menelentangkan tubuh itu, maka mereka melihat bahwa tubuh itu seakan-akan menjadi hangus.
“Mereka benar-benar mati,” desis salah seorang kawannya.
Pemimpin gerombolan itu menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Murti sudah berkata, “Menyerahlah kalian. Kalian akan menjadi tawanan kami.”
“Persetan,” geram pemimpin gerombolan itu, “kami akan membunuh kalian.”
“Siapa yang tidak mau mendengarkan perintah kami, akan mengalami nasib seperti ketiga orang itu atau kedua orang lainnya yang agaknya kini telah menjadi abu di dalam api itu,” geram Mahisa Pukat.
Pemimpin gerombolan itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak mudah untuk menyerah menghadapi keadaan. Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat kepada seluruh pengikutnya untuk berkumpul.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari apa yang akan terjadi. Namun Mahisa Murti masih memperingatkan, “Semakin banyak orang di sini, maka semakin banyak orang yang akan mati.”
Pemimpin gerombolan itu tidak menjawab. Sementara itu, beberapa orang pengikutnya telah berlari-lari melingkari api yang menyala itu dan berkumpul didekat pemimpinnya. Namun mereka memang menjadi heran, bahwa beberapa orang kawan mereka telah terbaring diam tidak jauh dari seonggok api yang menggapai langit itu.
“Apa yang terjadi,” desis seseorang. Tetapi pemimpinnya berteriak. “Kita harus memencar dan menyerang orang-orang itu dari segala penjuru. Kalian harus dengan cepat meloncat mendekat dan membunuh mereka semuanya. Berhati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa pemimpin segerombolan orang itu memiliki pengalaman yang cukup luas, sehingga ia dapat dengan cepat mengambil sikap menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sangat berbahaya itu.
Namun Mahisa Murti pun dengan cepat tanggap pula. Karena itu, maka ia pun berkata, “Mahisa Semu dan paman Wantilan. Hati-hati dengan Nyi Sarpada. Mereka akan menyerang dari segala arah. Amping, kau harus menyesuaikan dirimu.”
Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat perkembangan keadaan. Yang mengherankan bagi Wantilan, bibinya pun nampak tetap tabah. Bahkan nampaknya Nyi Sarpada sudah pasrah, sehingga karena itu, maka sama sekali tidak terbayang lagi ketakutan di matanya.
Adalah diluar dugaan Wantilan ketika bibinya berkata, “Berhati-hatilah anak-anak muda. Jangan hiraukan aku. Sepeninggal pamanmu, Ki Sarpada, maka hidup tidak penting lagi bagiku. Karena itu, maka kalian harus lebih memperhatikan diri kalian masing-masing.”
Wantilan tidak sempat menjawab. Sementara itu, pemimpin gerombolan itu pun berteriak, “Cepat. Lakukan, sekarang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia memang dapat mengurangi lawannya dengan melontarkan serangan ke arah mereka yang sedang berlari-lari itu. Tetapi itu tidak banyak berarti, karena dalam waktu singkat, yang lain telah mencapai mereka berdua, bahkan Mahisa Semu dan Wantilan.
Karena itu, maka keduanya justru lebih senang menunggu mereka dengan mengetrapkan kekuatan ilmu mereka yang lain. Dalam setiap sentuhan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang dalam gerombolan itu akan kehilangan sebagian dari tenaga mereka. Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pula mempersiapkan diri untuk memberikan pukulan terakhir kepada orang-orang yang benar-benar telah menjadi liar itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang itu telah berloncatan menyerang. Mahisa Semu telah siap menunggu mereka dengan pedang di tangan. Demikian pula Wantilan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menggenggam pedang pula yang bukan saja dipergunakan sebagai senjata, tetapi lewat pedang itu, keduanya mampu mengetrapkan ilmunya, sehingga benturan senjatanya akan memiliki akibat yang sama sebagaimana sentuhan-sentuhan wadagnya sendiri. Menghisap sebagian dari kekuatan lawannya.
Sejenak kemudian, telah terjadi benturan yang sengit antara kekuatan segerombolan orang itu melawan anak-anak muda yang menyebut dirinya pengembara itu. Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menyongsong orang-orang yang datang menyerang itu. Pedangnya berputaran menggapai senjata-senjata lawannya. Dalam setiap sentuhan maka telah terjadi getaran-getaran aneh yang bagaikan menghisap arus darah lawannya.
Tetapi lawan-lawan kedua orang anak muda itu tidak segera menyadari keadaan mereka. Bahkan mereka telah bergerak berputar-putar dengan cepat. Mahisa Semu dengan cepat pula mengalami kesulitan menghadapi beberapa orang. Demikian pula Wantilan. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memang telah menjadi marah sekali setelah orang-orang itu membakar rumah Ki Sarpada, telah memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, keduanya tidak lagi hanya berusaha menghisap kekuatan lawan dan membiarkan mereka terjatuh karena kehabisan tenaga, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan pedang mereka untuk mengoyak kulit lawan-lawan mereka.
Demikianlah, sejenak kemudian, beberapa orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mengalami benturan-benturan senjata yang sangat keras. Dua orang sekaligus telah kehilangan senjata mereka, karena terlempar beberapa langkah daripadanya.
“Dungu kau,” geram pemimpin gerombolan itu, “ambil senjatamu. Aku akan melindungimu.”
Kedua orang itu memang terlampau percaya kepada pemimpinnya. Karena itu, maka keduanya pun telah meloncat memungut senjata-senjata mereka yang terlepas. Namun ketika mereka membungkuk, maka terasa ujung pedang lawannya telah menghunjam ke lambung mereka.
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan kedua orang itu memungut senjata mereka. Dengan tangkas ia meloncat dan dengan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata wadag, maka ujung pedangnya telah menghunjam bukan saja pada salah seorang di antara mereka. Tetapi kedua-duanya, hanya dalam waktu sekejap.
Pemimpin gerombolan itu terlambat mencegahnya. Ketika ia meloncat menyerang Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti lah yang meloncat maju. Dengan kuatnya Mahisa Murti telah mengangkat pedang yang terjulur lurus ke arah leher Mahisa Pukat. Hampir saja pemimpin gerombolan itu kehilangan pedangnya. Namun sentuhan yang terjadi, telah berpengaruh atas kekuatannya meskipun tidak terlalu cepat.
Adalah diluar perhitungan pemimpin gerombolan itu, bahwa api yang menyala dirumah Nyi Sarpada itu telah memanggil beberapa orang tetangga yang ternyata cukup memiliki keberanian. Mereka berlari-larian keluar rumah mereka dan mendatangi rumah yang terbakar itu. Tetapi api sudah mencekam seluruh rumah itu, sehingga sulit bagi mereka untuk berusaha memadamkannya.
“Nyi Sarpada tidak membunyikan tanda bahaya,” desis salah seorang tetangganya.
“Tetapi bukan kebakaran biasa,” sahut yang lain.
Mereka tertegun ketika mereka kemudian melihat pertempuran di halaman sebelah rumah Nyi Sarpada itu. Ternyata ampat orang yang sedang melindungi Nyi Sarpada dan seorang anak kecil harus bertempur melawan segerombolan orang yang agaknya cukup garang.
Karena itu, maka tetangga-tetangga Nyi Sarpada itu pun telah dengan hati-hati mendekati mereka yang sedang bertempur dengan membawa senjata apa saja yang dapat mereka bawa, sebagaimana ketika mereka pergi ke mata air di hutan kecil ditengah-tengah tanah milik Nyi Sarpada itu.
Kedatangan mereka ternyata telah memperingan tugas Mahisa Semu dan Wantilan. Tetangga-tetangga yang berdatangan itu, telah turun pula ke medan pertempuran yang sengit itu. Tetapi orang-orang itu memang menjadi agak bingung. Pertempuran itu tiba-tiba saja telah menjadi kacau. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berputaran di seluruh arena pertempuran. Namun dengan demikian, maka keadaan Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin baik.
Tetapi kedatangan orang-orang padukuhan itu telah membuat sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak berubah. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehadiran orang-orang itu.
Namun ternyata gerombolan orang-orang yang membakar rumah Nyi Sarpada dan dengan serta merta telah ingin membunuh semua orang, bukan sekedar untuk menakut-nakuti itu, telah mengalami nasib yang buruk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang berloncatan berkeliling serta memutar pedangnya menyambar-nyambar telah bersentuhan hampir dengan semua senjata lawannya. Bahkan ada yang harus menangkis serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat beberapa kali. Sedangkan dua orang yang lengah ternyata tidak mampu lagi menghindari goresan senjata kedua orang anak muda itu.
Keadaan itu diperburuk dengan campur tangan tetangga-tetangga yang jumlahnya semakin lama semakin banyak. Mereka yang merasa tidak berarti lagi jika mereka berusaha untuk memadamkan api yang telah menyelimuti seluruh bangunan rumah Nyi Sarpada itu, yang bahkan satu dua batang kayu telah mulai runtuh, telah menumpahkan kemarahan mereka kepada orang-orang yang bertemur itu. Mereka menduga, bahwa orang-orang itulah yang telah membakar rumah Nyi Sarpada.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata kapak pembelah kayu yang tidak terlalu besar, tetapi bertangkai agak panjang, telah berteriak, ”Wantilan, siapakah orang-orang ini?”
“Mereka telah membakar rumah bibi Sarpada dan berusaha untuk membunuh kami semua,” jawab Wantilan. Namun suaranya terputus ketika senjata lawannya hampir saja menyambar keningnya.
Namun sementara itu, orang-orang padukuhan itu telah banyak yang melibatkan diri sehingga sebagian dari gerombolan itu harus menahan mereka. Meskipun tetangga-tetangga Nyi Sarpada itu bukan orang-orang berilmu, tetapi jumlah mereka cukup banyak, sementara anak-anak muda yang mengaku pengembara itu masih tetap merupakan kekuatan yang ternyata sulit untuk diimbangi.
Pemimpin gerombolan itu sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orangnya begitu cepat susut. Tidak hanya terluka, tetapi mereka benar-benar telah terbunuh. Bahkan ada di antara mereka yang berada di dalam api dan tidak sempat diselamatkan lagi.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu benar-benar telah mengacaukan semua rencananya. Orang-orang itu dengan garangnya telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil menghadapi para pengikut gerombolan itu. Apalagi di antara gerombolan itu ada yang telah kehilangan sebagian dari kekuatan mereka setelah senjata mereka beberapa kali bersentuhan dengan senjata Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu tidak mempunyai pilihan lain daripada melarikan diri dari arena pertempuran. Ia sadar, bahwa semakin lama mereka bertempur, maka korban akan menjadi semakin banyak jatuh.
Beberapa saat kemudian pemimpin gerombolan itu masih berusaha untuk mempertahankan dirinya. Namun kemudian, ketika tenaganya dirasa mulai menyusut, ia pun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Selain kenyataan yang dihadapinya, juga karena ia merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Dalam waktu yang pendek, maka orang-orang yang tersisa dari gerombolan itu telah berusaha untuk mengacaukan arena. Mereka berloncatan silang menyilang bercampur baur dalam usaha mereka untuk meninggalkan medan itu.
Pertempuran itu memang menjadi kacau. Orang-orang padukuhan itu seakan-akan telah kehilangan sasaran. Lawan dari kawan-kawan mereka saling berbaur dan bahkan dalam kesempatan itu gerombolan yang datang membakar rumah Nyi Sarpada itu masih sempat melukai beberapa orang.
Mahisa Semu dan Wantilan justru menjadi semakin sulit untuk melindungi Nyi Sarpada. Namun keduanya ternyata berhasil menghalau setiap orang yang berusaha mendekati Nyi Sarpada itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang tersisa dari gerombolan itu telah berloncatan memasuki bayangan pepohonan yang ada di halaman itu.
Api yang berkobar menelan rumah Nyi Sarpada memang menerangi seluruh halaman depan, samping dan kebun di belakang. Tetapi pohon-pohon perdu dan bahkan pohon buah-buahan di kebun telah membuat bayangan yang kegelapan.
Namun berbeda dengan orang-orang padukuhan yang menjadi bingung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka ketika beberapa orang yang tersisa itu melarikan diri, maka Mahisa Pukat sempat menghentikan seorang di antaranya dan dengan sekali hentak, maka orang itu telah terlempar jatuh berguling di tanah. Mahisa Pukat memang tidak mempergunakan senjatanya, tetapi dengan tangannya Mahisa Pukat telah membuatnya tidak berdaya sama sekali.
Namun dalam pada itu, pemimpin gerombolan yang selalu diawasi oleh Mahisa Murti sempat berlari menyusup ke dalam bayangan pepohonan. Mahisa Murti yang menganggap orang itu bertanggung jawab, tidak melepaskannya. Ia pun meloncat mengejarnya ke kebun belakang. Tetapi orang itu ternyata telah sempat berlari mendekati dinding halaman, sehingga menurut perhitungan Mahisa Murti, ia tidak akan sempat mencapai orang itu sebelum orang itu meloncat keluar.
Karena itu, daripada kehilangan orang itu, maka Mahisa Murti telah berhenti berlari. Memusatkan nalar budinya dan mengetrapkan ilmunya. Sesaat pemimpin gerombolan itu meloncat dengan tangkasnya, maka Mahisa Murti telah mengangkat tangannya dengan membuka telapak tangannya menghadap ke arah pemimpin gerombolan yang melarikan diri itu.
Sebuah kilatan cahaya telah meloncat dari telapak tangannya dan menyambar pemimpin gerombolan itu di arah kakinya tepat pada saat pemimpin gerombolan itu menyentuh bibir dinding halaman.
Terdengar pemimpin gerombolan itu berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, maka ia tidak lagi mampu berdiri di atas dinding itu. Karena itu, maka ia pun telah terjatuh keluar dinding halaman. Tetapi malang baginya. Bukan saja kakinya yang telah dihancurkan oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti, tetapi bibir dinding halaman yang terbuat dari batu itu telah pecah pula dan jatuh menimpanya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti berlari pula menyusulnya. Ia pun telah meloncati dinding itu pula. Namun ketika ia berjongkok disisi pemimpin gerombolan yang jatuh dan tertipa bibir dinding batu itu, ia pun melihat bahwa pemimpin gerombolan itu sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Batu yang runtuh itu telah membunuhnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah kehilangan orang yang akan dapat memberikan keterangan tentang niat gerombolan itu yang sebenarnya. Meskipun seandainya ada satu dua orang pengikutnya yang dapat ditangkapnya, tetapi orang itu tentu tidak akan dapat memberikan keterangan selengkap orang yang menyebut dirinya Sarpa Wereng itu.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah melangkah kembali ke halaman samping. Ternyata hanya ada satu dua orang saja yang berhasil lolos. Mahisa Pukat sempat menangkap beberapa orang, hidup atau mati. Orang-orang padukuhan itu pun berhasil menggagalkan orang yang tersisa sehingga mereka tidak sempat meninggalkan halaman itu.
Ternyata beberapa orang telah tertangkap. Yang lain telah terluka dan tidak dapat melarikan diri lagi. Bahkan beberapa orang kawan mereka telah terbunuh pula, termasuk pemimpin gerombolan itu.
Mahisa Pukat yang sempat memaksa salah seorang yang ditangkapnya untuk berbicara, mendapat keterangan bahwa yang mereka lakukan adalah semata-mata karena dendam atas kematian beberapa orang yang telah diupah untuk merampas tanah dan mata air di tengah-tengahnya bersama dengan Ki Bekel dan beberapa orang-orangnya.
“Kita kumpulkan mereka yang terluka, yang terbunuh dan yang masih hidup,” berkata Mahisa Murti. Namun ia pun berkata pula, “Rawat kawan-kawan kita sendiri. Jangan sampai justru dilupakan.”
Tetangga-tetangga Nyi Sarpada telah melakukannya dengan cepat. Sementara Wantilan telah menuntun Nyi Sarpada dan membawanya ke bawah sebatang pohon yang rimbun.
“Duduklah bibi, beristirahatlah,” berkata Wantilan.
“Aku tidak apa-apa, Wantilan,” jawab bibinya.
“Tetapi bibi perlu beristirahat,” desak Wantilan yang melihat bibinya terlalu letih.
Tetapi Nyi Sarpada mencoba untuk mengelak. Katanya, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak mengalami kejutan jiwani maupun badani. Peristiwa ini tidak menggoncangkan perasaanku. Sudah aku katakan, sepeninggal pamanmu, perasaanku pun telah mati.”
“Bibi tidak boleh berkata begitu,” desis Wantilan, “bibi harus bangkit dan tetap tegar untuk menggantikan kedudukan paman.”
Tetapi pandangan Nyi Sarpada yang kosong menatap lidah api yang melonjak-lonjak mencengkam sisa-sisa rumahnya yang semakin lama justru menjadi semakin surut. Atap rumah Nyi Sarpada dari pendapa sampai ke dapur sudah runtuh sama sekali.
Dalam pada itu, selagi orang-orang padukuhan itu sibuk mengumpulkan orang-orang-orangnya yang menjadi korban usaha untuk membalas dendam, Ki Buyut sedang berpacu menuju ke tempat itu.
Malam itu, beberapa orang peronda di rumahnya telah mendapat pemberitahuan dari para peronda di mulut lorong, bahwa mereka telah melihat api yang menyala di padukuhan yang agak jauh. Api yang tentu berasal dari kebakaran yang besar sehingga nyalanya tampak memerah di langit.
Dua orang peronda di rumah Ki Buyut itu telah membuktikannya. Dan mereka mengambil kesimpulan, bahwa ada rumah yang terbakar. Tetapi mereka memang menjadi heran, bahwa mereka tidak mendengar isyarat apapun juga.
“Ada yang tidak wajar,” berkata peronda itu.
“Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut,” sahut yang lain.
Sebenarnyalah, maka para peronda itu telah memberanikan diri untuk membangunkan Ki Buyut, sebagaimana pesan Ki Buyut sendiri. Jika keadaan yang khusus memerlukannya, maka ia harus dibangunkannya. Ki Buyut yang mendapat keterangan dari para peronda itu-pun telah pergi ke gardu di mulut lorong. Ternyata ia pun melihat api itu. Tetapi tanpa isyarat apapun juga.
“Kita akan pergi ke sana,” berkata Ki Buyut.
Para peronda itu memang menjadi cemas. Mereka bukan orang-orang yang terlatih baik untuk menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi seperti di dekat mata air yang sedang diperebutkan itu. Tetapi mereka tidak dapat menolak ketika Ki Buyut memerintahkan mereka untuk bersiap.
“Kita akan berkuda menuju ke api itu. Nampaknya di padukuhan tempat tinggal Nyi Sarpada,” berkata Ki Buyut.
Beberapa orangpun telah bersiap. Gamel yang melayani kuda-kuda Ki Buyut pun telah dibangunkan untuk menyiapkan tiga ekor kuda dibantu oleh para peronda. Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah berpacu menuju ke tempat api yang justru mulai susut diiringi oleh dua orang peronda yang bersenjata. Mereka berpacu di tengah-tengah bulak di gelapnya malam.
Namun karena jalan-jalan itu sudah sering mereka lalui, maka mereka dapat mengenalinya dengan baik, di mana mereka harus menyusut kecepatan, di mana mereka dapat berpacu dengan kecepatan penuh karena jalan lurus dan rata. Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki padukuhan yang mereka tuju. Ki Buyut pun segera mengenali tempat itu meskipun ia belum sampai ke tujuan.
“Tentu rumah Nyi Sarpada,” desis Ki Buyut.
Kedua peronda itu tidak menjawab. Tetapi mereka menjadisemakin tegang. Tentu sudah terjadi sesuatu di rumah itu. Jika tidak, maka tentu sudah terdengar isyarat. Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki halaman rumah itu, maka yang mereka ketemukan justru adalah orang-orang yang sedang mengumpulkan mereka yang menjadi korban dalam pertempuran itu dari kedua belah pihak.
Dengan serta merta Ki Buyut pun telah meloncat turun. Ternyata beberapa orang masih saja sibuk di halaman samping, sementara Wantilan masih saja menunggui Nyi Sarpada yang berdiri tegak memandangi api yang mulai susut.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Buyut,” desis Wantilan.
“Ya,” jawab Ki Buyut, “ketika aku mendapat laporan bahwa ada kebakaran, maka aku sudah curiga.”
“Beberapa orang datang untuk membalas dendam kematian kawan-kawannya,” jawab Wantilan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “Di manakah anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.”
Wantilan pun melayangkan tatapan matanya sambil menjawab, “Mereka ada di sebelah pohon pucang itu. Di sebelah orang-orang yang terluka dan terbunuh dibaringkan.”
Ki Buyut pun telah melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula. Kemudian agak menepi Mahisa Semu berdiri bersama Mahisa Amping yang termangu-mangu.
“Syukurlah jika mereka masih ada di sini,” desis Ki Buyut.
“Hampir saja mereka meninggalkan tempat ini. Untunglah mereka masih bersedia aku tahan untuk sehari lagi, menunggu kesediaan Ki Buyut untuk datang,” jawab Wantilan.
Ketika Ki Buyut melangkah mendekatinya, maka Ki Demang pun telah berada di tempat itu pula. Seperti Ki Buyut, maka mereka pun telah menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Sejenak kemudian, ketika api menjadi semakin menyusut, maka Ki Buyut telah duduk bersama Ki Demang, anak-anak muda yang mengaku pengembara itu bersama Nyi Sarpada dan Wantilan.
Namun seperti yang pernah diucapkan, Nyi Sarpada itu seakan-akan sudah tidak peduli apa saja yang telah terjadi atas rumahnya.
“Tanah dan mata air itu telah diselamatkan. Wantilan, rasa-rasanya tidak ada lagi yang penting bagiku menghadapi masa depan. Kau telah datang dan tanah dan mata air itu masih tetap menjadi hak kita. Hakmu. Apalagi? Sisa hidupku sudah tidak penting lagi,” berkata Nyi Sarpada.
“Tidak,” Wantilan berkata lantang, “bibi harus tetap hidup. Bibilah yang akan menggantikan paman di sini. Ki Buyut akan mengatur segala-galanya.”
Tetapi Nyi Sarpada tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan sebagaimana dikatakan oleh pamanmu. Kau adalah pewaris tanah itu. Kau akan meneruskan tugas pamanmu. Bukan saja membasahi tanah kita sendiri, tetapi sejauh kemungkinan yang dapat kau lakukan, maka kau akan membasahi tanah di sekitarmu.”
“Bibi,” Wantilan memotong dengan serta merta, “dengar bibi. Aku besok akan meninggalkan tempat ini.”
Nyi Sarpada terkejut. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi suram. Dipandanginya Wantilan dengan tatapan mata redup. “Kenapa kau akan pergi Wantilan. Apakah kau menolak pesan pamanmu itu?” bertanya Nyi Sarpada.
“Tidak bibi. Sama sekali tidak. Aku junjung tinggi pesan paman Sarpada. Karena itu, aku harus mendapatkan bekal untuk mempertahankan tanah itu. Bukankah yang terjadi merupakan satu pengalaman yang pahit?” jawab Wantilan.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya bibinya.
“Aku akan berguru bibi,” jawab Wantilan.
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Kemudian hampir diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Ki Buyut untuk minta pertimbangan.
“Berguru adalah satu kewajiban bagi setiap orang Nyi. Mungkin Wantilan merasa dirinya belum cukup bekal untuk menerima tugas yang dilimpahkan oleh pamannya. Karena itu, maka ia ingin minta waktu,” berkata Ki Buyut.
“Selama ini aku akan mohon Ki Buyut untuk membantu bibi sampai saatnya aku kembali untuk mengemban tugas ini,” berkata Wantilan.
Nyi Sarpada masih tetap berdiam diri. Dipandanginya api yang telah hampir padam sama sekali. Di sana-sini masih ada potongan-potongan kayu yang menyala. Tetapi nyalanya tidak lagi melonjak tinggi.
Namun kemudian Nyi Sarpada itu justru bertanya kepada Ki Buyut, “Ki Buyut, apakah yang harus aku lakukan? Rumahku sudah terbakar. Tidak ada lagi tempat untuk berteduh. Jika Wantilan pergi, maka aku akan kehilangan semuanya meskipun tanah dan mata air itu masih tetap menjadi milikku.”
“Tidak bibi,” berkata Wantilan, “aku tidak akan meninggalkan bibi. Aku hanya mohon bibi memberikan waktu kepadaku untuk menuntut ilmu. Itu saja. Pada saatnya aku akan kembali kepada bibi dan melakukan tugas sebagaimana dipesankan oleh paman.”
“Kapan kau akan kembali Wantilan? Kau tahu, umurku tinggal sepanjang umur jagung,” berkata Nyi Sarpada.
“Jangan merasa begitu bibi. Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung. Semuanya akan terjadi sebagaimana harus terjadi. Apapun yang kita duga, tetapi kehendak Yang Maha Agung lah yang akan terjadi,” sahut Wantilan.
Nyi Sarpadapun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.”
“Nyi,” berkata Ki Buyut, “aku tahu apa yang telah dilakukan oleh Ki Sarpada selama ini. Sudah barang tentu, aku harus berterima kasih kepadanya. Ia telah memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk ikut menikmati miliknya. Bukan hanya para tetangga yang mempunyai tanah di sekitar tanah Ki Sarpada sajalah yang ikut menikmati hasilnya. Tetapi juga mereka yang berkesempatan ikut menggarap sawah, mendapat upah dari kerja di sawah itu. Juga mereka yang ikut menuai padi dengan mendapatkan bawon yang cukup untuk membantu meringankan beban banyak keluarga. Karena itu Nyi Sarpada tidak usah bingung. Aku berjanji bahwa dalam waktu sebulan rumah Nyi Sarpada sudah berdiri lagi meskipun barangkali tidak sebesar yang telah terbakar. Sementara itu Nyi Sarpada dapat tinggal di banjar. Atau jika Nyi Sarpada keberatan. Nyi Sarpada dapat tinggal di rumahku yang cukup luas untuk menerima kehadiranmu.”
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Diluar sadarnya, titik-titik air mata telah membasahi pipinya yang sudah dilukisi oleh garis-garis umur. Wantilan menjadi berdebar-debar. Ia menunggu keputusan bibinya yang ternyta tidak usah menunggu sampai besok.
Sementara itu, beberapa orang tengah sibuk merawat orang-orang yang terluka dan memisahkan mereka telah terbunuh di peperangan. Untunglah bahwa orang-orang padukuhan itu tidak ada yang terbunuh, meskipun ada di antara mereka yang terluka. Bahkan seorang agak parah. Tetapi tidak mengancam keselamatan jiwanya.
Nyi Sarpada masih duduk berdiam diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi bimbang. Tetapi mereka tidak dapat tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu. Apalagi tinggal bersama Wantilan untuk menuntunnya mencapai satu tataran yang memadai. Keduanya tidak berkeberatan jika Wantilan mengikuti mereka, tetapi dengan demikian maka Nyi Sarpada akan mengalami kepedihan perasaan. Ia akan hidup sendiri dalam keadaan yang dibayangi oleh kesepian dan tanpa harapan apapun juga.
Namun tiba-tiba Nyi Sarpada itu berkata, “Baiklah Wantilan. Aku dan pamanmu tidak boleh menutup cita-citamu bagi bekal hari depanmu. Meskipun aku sebenarnya sangat berkeberatan, tetapi aku tidak boleh terlalu mementingkan diri sendiri. Hari depanmu ada ditanganmu. Karena itu, jika kau memang berkeras untuk pergi, aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan kembali. Sementara itu, sebelum kau benar-benar kembali dan tinggal di sini, maka kau harus sering datang untuk menengokku. Bahkan seandainya kau tinggal di tempat yang sangat jauh sekalipun. Meskipun rumah kita terbakar, tetapi aku masih mempunyai beberapa perhiasan yang melekat ditubuhku. Bukan karena aku masih senang memakai perhiasan-perhiasan itu tanpa menyebut jumlah umurku, tetapi semata-mata karena aku tidak mau kehilangan barang-barangku itu. Bawalah, tukarkan dengan seekor kuda, kau mempunyai kesempatan menempuh jarak yang panjang sekalipun, untuk mengunjungi aku.”
Wajah Wantilan justru menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Jangan bibi. Biarlah sisa kekayaan bibi itu ada pada bibi. Mungkin pada suatu saat bibi memerlukannya. Aku akan berusaha dengan caraku untuk mendapatkan seekor kuda. Aku akan datang untuk waktu-waktu tertentu mengunjungi bibi.”
“Bawalah. Aku tidak akan menyulitkanmu,” berkata Nyi Sarpada.
“Aku telah membawa bekal. Saudara-saudaraku yang menyebut dirinya pengembara telah membawa bekal pula. Bibi jangan cemas tentang seekor kuda itu,” berkata Wantilan. Lalu katanya, “Jika anak-anak yang mengaku pengembara itu tidak menunggang kuda dalam pengembaraannya, maka itu adalah laku yang memang harus mereka jalani.”
Nyi Sarpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika demikian perhiasan itu akan aku serahkan kepada Ki Buyut untuk beaya membangun kembali rumahku.”
Tetapi Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, “Tidak Nyi. Sudah aku katakan bahwa rumah itu akan berdiri pada saatnya. Biarlah perhiasan itu tetap menyadi milikmu. Tetapi aku tidak berkeberatan jika perhiasan itu kau titipkan kepadaku, justru karena sudah banyak orang yang kemudian mendengar bahwa Nyi Sarpada masih menyimpan perhiasan. Itu sangat berbahaya bagi Nyi Sarpada, karena perhiasan itu dapat membuat orang lupa diri. Tetapi perhiasan itu akan aman tersimpan dirumahku bersama Nyi Sarpada yang aku persilahkan tinggal dirumahku untuk sementara. Perhiasan itu akan aku kembalikan kapan saja Nyi Sarpada memerlukan, atau jika Nyi Sarpada tidak memerlukan, aku kembalikan pada saat Wantilan kelak kembali.”
“Terima kasih Ki Buyut,” Wantilan lah yang menyahut, “Ki Buyut telah memberikan kemungkinan persoalan ini terpecahkan. Karena itu, biarlah aku menitipkan bibiku,” Lalu, Wantilan pun berpaling kepada orang-orang padukuhan yang ada di tempat itu, “juga kepada mereka aku menitipkan bibiku. Jika rumah ini sudah jadi kelak, dan bibi kembali tinggal di rumah ini, maka biarlah para tetangga ikut menjaganya.”
“Tentu,” berkata Ki Buyut, “mereka akan membantu Nyi Sarpada dalam segala hal. Menggarap sawah sampai ke mengisi pakiwan. Menggarap sawah Nyi Sarpada sama halnya dengan memelihara sumber mata air yang dapat mengairi sawah berpuluh-puluh kotak itu tanpa susut meskipun di musim kemarau.”
Nyi Sarpada tidak dapat menjawab. Tetapi kembali wajahnya menunduk. Titik-titik air matanya menjadi semakin banyak membasahi garis-garis umur di wajahnya.
Demikianlah, maka malam itu tetangga-tetangga Nyi Sarpada menjadi sangat sibuk. Ki Buyut dan Ki Demang masih harus memberikan beberapa petunjuk. Namun ternyata mereka tidak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit. Hampir semua orang tidak tertidur sekejappun. Mereka sibuk semalam suntuk.
Ketika matahari terbit, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Api memang sudah padam dengan sendirinya, tetapi di sana-sini masih nampak asap mengepul memanjat ke langit.
Atas persetujuan Nyi Sarpada dan Wantilan, maka Nyi Sarpada itu pergi ke Kabuyutan sekaligus menitipkan perhiasan-perhiasan yang masih diselamatkan karena perhiasan-perhiasan itu melekat ditubuh Nyi Sarpada, dibawah lembar-lembar pakaiannya. Sementara itu Wantilan pun sekaligus telah minta diri. Baik kepada Ki Buyut, Ki Demang serta para bebahu yang datang kemudian, juga kepada para tetangga.
“Kita akan menempuh perjalanan kita masing-masing,” berkata Wantilan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ketika anak-anak muda yang mengaku pengembara itu mohon diri, maka para pemimpin Kabuyutan itu telah mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada mereka.
Tetapi yang meninggalkan halaman rumah yang terbakar itu lebih dahulu adalah Ki Buyut bersama Nyi Sarpada dan para pengawalnya. Sementara Wantilan masih sempat melihat-lihat abu dari bekas rumah paman dan bibinya yang sudah menjadi abu.
“Seharusnya kau tidak usah pergi Wantilan,” berkata seorang tetangganya.
“Aku tahu,” berkata Wantilan, “tetapi jika aku tidak pergi, maka aku lima bahkan sepuluh tahun mendatang tidak akan berubah seperti aku sekarang. Jika ada orang-orang jahat yang datang kepadaku, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Adalah kebetulan bahwa saat ini anak-anak muda yang mengaku pengembara itu ada di sini, sehingga ia mampu menyelamatkan nyawaku, nyawa bibi dan tetangga-tetangga di sekitar tempat ini yang justru ingin menolong bibi. Tanpa mereka maka aku tidak akan mampu berbuat apa-apa selain pasrah.”
“Kita minta mereka tinggal bersama kita di sini,” berkata salah seorang dari tetangga-tetanganya.
“Mereka sudah menyebut diri mereka pengembara dalam laku tapa ngrame,” jawab Wantilan, “mereka memang mengembara sambil menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan mereka. Tetapi dalam waktu dekat, mereka telah berniat kembali ke padepokan mereka. Kecuali karena mereka sudah terlalu lama mengembara, ayah mereka pun telah menjadi semakin tua. Rasa-rasanya mereka sudah begitu merindukan ayah mereka. Sementara itu menurut ceritera mereka, paman mereka lebih tua lagi dari ayah mereka. Dua orang yang sudah sangat tua meskipun masih mempunyai penalaran yang terang dan ingatan yang kuat. Tetapi mereka adalah manusia biasa yang pada suatu saat akan kembali kepada Penciptanya. Agaknya umur mereka sudah berada di sekitar seratusan tahun.”
“Kakekku berumur seratus duapuluh lima tahun sekarang ini,” berkata salah seorang tetangganya, “ia masih cukup terang penglihatan dan pendengarannya, ingatan dan penalarannya masih utuh. Namun tubuhnyalah yang semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun begitu, kakek masih juga berjemur di matahari pagi sambil berjalan hilir mudik di halaman. Bahkan kadang-kadang masih juga menyapu halaman itu.”
“Apakah kakekmu tidak salah menghitung tahun?” bertanya kawannya.
“Tidak,” jawab orang itu, “kakek masih sempat mengingat bagaimana Tumapel bangkit dan Kediri tenggelam. Bahkan sebelum itu.”
Kawannya tidak bertanya lagi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar pembicaraan itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang pernah berceritera tentang beberapa orang yang dikenalnya dengan baik meskipun tidak menyebut nama dan kedudukannya. Tetapi pembicaraan itu telah mengingatkan mereka dengan orang-orang yang pernah sangat dekat dengan mereka. Tiba-tiba saja terbersit satu pertanyaan, “Apakah mereka masih sehat-sehat saja betapapun tuanya?”
Namun tumbuh pula pertanyaan, “Apakah mereka masih hidup?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah cukup lama meninggalkan Singasari. Mengembara dan segala macam perjalanan untuk mendapatkan pengalaman dan memenuhi beberapa keinginan pribadi mereka. Sekarang, ayahnya, kakaknya dan keluarganya yang lain tidak tahu, di mana mereka berada. Jika terjadi sesuatu, tidak akan ada seorang pun yang dapat memberitahukan kepada mereka.”
Ingatan tentang orang-orang tua itu, telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin ingin sampai ke padepokan mereka.
Dalam pada itu, maka hari pun menjadi semakin panas oleh matahari yang menjadi semakin tinggi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Wantilan yang masih berbicara dengan tetangga-tetangganya, “Apakah kita sudah dapat berangkat?”
Wantilan mengangguk. Namun kemudian katanya, “Memang berat sekali perasaan ini untuk meninggalkan padukuhan ini. Tetapi apa boleh buat.”
Wantilan pun kemudian telah menitipkan tanah dan mata air yang cukup besar yang memancar di tengah-tengah sawahnya itu, yang bahkan telah dapat mengairi beberapa kotak sawah di sekitarnya, kepada tetangga-tetangga bibinya. “Mudah-mudahan aku cepat kembali,” berkata Wantilan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun sekali lagi telah minta diri pula kepada para tetangga yang baik itu. Beriringan dengan Wantilan, mereka pun telah melangkah keluar dari regol halaman yang tidak ikut terbakar turun ke jalan dan kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka telah menyerahkan orang-orang padukuhan yang terluka kepada tetangga-tetangganya. Namun kemudian tetangga-tetangga itu pun harus mengurus para tawanan yang akan dibawa ke Kabuyutan, disatukan dengan para tawanan terdahulu. Juga mengurusi mereka yang terluka dan terbunuh.
Ketika mereka keluar dari mulut lorong padukuhan itu, rasa-rasanya mereka telah keluar dari sebuah bilik yang sempit dan pengab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun telah berlari-lari mendahului. Namun kemudian menunggu di pinggir jalan sambil bermain-main dengan batu-batu.
Wantilan yang berjalan di sebelah Mahisa Semu melihat anak yang menjadi gembira itu. Namun Mahisa Semu itu pun berkata, “Kasihan anak itu.”
“Kenapa?” bertanya Wantilan.
“Ia tidak mempunyai kesempatan untuk bermain dengan kawan-kawan yang sebayanya seperti kebanyakan anak-anak,” jawab Mahisa Semu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa anak itu ikut melakukan pengembaraan bersama kalian?”
“Satu cerita yang panjang,” jawab Mahisa Semu. Namun kemudian Mahisa Semu itu pun telah menceriterakan asal mulanya, bahwa anak itu ikut dalam pengembaraan yang panjang itu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bergumam. “Memang kasihan. Hidupnya menjadi kurang lengkap. Hal itu akan dapat mempengaruhi sifat dan wataknya di kemudian hari. Tetapi jika pengembaraan ini berakhir, maka ia akan mendapatkan kesempatan itu. Di padepokannya yang baru, ia tentu tidak akan mengalami perlakuan sebagaimana ia berada di padepokannya yang lama, saat ia dipersiapkan untuk menjadi manusia yang kehilangan pribadinya.”
“Ya. Agaknya ia akan mendapatkan tempat yang lebih baik kelak,” jawab Mahisa Semu.
Wantilan tidak bertanya lagi. Ia melihat Mahisa Amping mengambil sebuah batu sebesar telur. Kemudian dilemparkannya batu itu ke tengah-tengah sawah. Wantilan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis, “Luar biasa. Lihat. Anak sebesar itu telah mampu melemparkan batu hingga mencapai jarak yang sekian jauhnya.”
“Ia memang memiliki kelebihan,” jawab Mahisa Semu, “anak itu memiliki kemampuan memanjat melampaui aku.”
“Ia akan menjadi seorang anak muda yang berkemampuan tinggi kelak jika memiliki ketekunan menjalani laku,” berkata Wantilan.
“Itulah agaknya yang menarik perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kecuali karena anak itu memang tidak ada lagi yang memelihara. Jika ia dilepaskan begitu saja, dengan bekal racun yang pernah disusupkan didalam dirinya di padepokannya yang lama, maka ia akan menjadi orang yang berbahaya,” berkata Mahisa Semu.
“Yang dicemaskannya adalah, jika apa yang terjadi di padepokan itu masih membekas,” berkata Wantilan.
“Agaknya sekarang tidak. Dalam ujud kewadagan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melenyapkan ilmu yang pernah diterima oleh anak itu di padepokannya yang lama. Dengan demikian, maka diharapkan bahwa akibat yang lain pun dapat ikut punah bersama dengan ilmunya pula.”
“Jadi anak itu pernah menyadap ilmu kanuragan pada umurnya yang masih sangat muda?” bertanya Wantilan.
“Ya. Ia sudah mempelajari beberapa unsur gerak. Jika ia sempat dewasa di padepokan itu, maka ia akan menjadi manusia yang sangat berbahaya, ia memiliki ilmu yang tinggi, tetapi sama sekali tidak berpribadi,” jawab Mahisa Semu.
“Untunglah, ia sempat diselamatkan,” desis Wantilan.
Demikianlah mereka berjalan semakin lama semakin jauhdari tempat tinggal Nyi Sarpada. Sekali-sekali Wantilan masihjuga berpaling. Memang ada keberatannya untuk meninggalkan bibinya dalam keadaannya. Tetapi jika ia tinggal, maka ia memang tidak akan dapat berkembang. Sehingga untuk seterusnya ia akan tetap sebagaimana adanya sekarang.
Beberapa saat mereka berjalan menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Sehingga ketika matahari mencapai puncak langit, Mahisa Amping mulai nampak lelah. Bahkan haus dan barangkali lapar, karena ia belum makan apapun juga ketika ia mulai dengan perjalanan itu.
“Kau lapar?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping mengangguk. Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah memberitahukannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan, bahwa Mahisa Amping merasa lapar dan haus.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “di depan ada padukuhan, yang agaknya mempunyai satu dua buah kedai.”
Mahisa Amping hanya mengangguk saja. Jarak padukuhan itu memang sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun ketika mereka mendekati padukuhan itu, perjalanan mereka terhambat beberapa saat, karena Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan harus melerai sekelompok gembala yang berkelahi dengan kelompok lainnya yang agaknya datang dari padukuhan yang lain.
Untunglah tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Meskipun ada di antara anak-anak gembala itu yang terluka dan mencucurkan darah, karena lawannya telah memukulnya dengan batu.
“Mereka pengecut,” tiba-tiba saja Mahisa Amping bergeramang.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka tidak berani berkelahi seorang lawan seorang,” jawab Mahisa Amping.
“Belum tentu mereka dapat disebut pengecut. Jika persoalan yang timbul itu adalah persoalan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, maka yang terjadi adalah perkelahian kelompok seperti itu.”
Ketika sekelompok gembala yang datang dari padukuhan lain itu sudah pergi, maka kelompok gembala yang tinggal telah mencuci tubuhnya di sebuah parit di pinggir sawah. Seorang yang keningnya terluka karena pukulan batu dan berdarah, telah dicuci pula. Namun agaknya darahnya tidak segera menjadi pampat.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih belum meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah mendekati anak yang mengeluarkan darah dari keningnya itu sambil memberikan obat pada luka itu.
“Mudah-mudahan lukamu segera pampat,” berkata Mahisa Murti.
“Terima kasih,” desis anak itu yang masih saja menyeringai menahan sakit. Namun darahnya sudah tidak lagi mengalir dari luka yang memang agak dalam.
“Kau jangan mandi hari ini sampai besok,” pesan Mahisa Murti, “mudah-mudahan besok pagi lukamu sudah sembuh dan kau dapat mandi seperti biasa. Tetapi ingat, bekas luka itu jangan kau gosok karena akan dapat terjadi luka lagi.”
“Terima kasih paman,” jawab anak itu sambil mengusap matanya.
Namun sebelum anak itu sempat mengusap dan membersihkan darahnya yang memerah di dadanya bercampur dengan air yang membasahi tubuhnya saat ia membersihkan luka yang tidak juga mau pampat itu, serta keringat yang masih saja mengalir, tiba-tiba saja seorang laki-laki yang berjalan sambil membawa kapak telah berhenti. Perhatiannya tertuju kepada anak yang terluka itu yang tidak lain adalah anaknya.
“He, kenapa kau?” bertanya ayahnya.
Anak itu belum sempat menjawab, ketika laki-laki yang berjalan sambil membawa kapak itu berteriak, “Kau apakan anakku he? Kenapa kau ganggu anak-anak? Kalau kau memang seorang laki-laki, ayo lawan aku, bapaknya.”
Orang itu nampaknya memang seorang yang darahnya cepat mendidih. Dengan wajah yang bagaikan membara, ia sudah memutar kapaknya yang besar. Tetapi anak laki-lakinya itu berteriak, “Bukan orang itu ayah. Orang itu yang justru telah menolong aku.”
Dahi laki-laki itu berkerut. Kapaknyapun segera diletakkannya. Betapapun kasarnya, namun laki-laki itu kemudian bertanya kepada anaknya, “Jadi, apakah yang telah terjadi.”
Anak itu menceriterakan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi atas dirinya. Justru orang-orang itulah yang telah melerai dan menolongnya memampatkan darahnya. Dengan kepala tunduk orang itu kemudian berkata, “Aku minta maaf Ki Sanak. Aku telah salah duga.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Sudahlah. Setiap orang dapat menjadi khilaf. Tetapi yang kemudian penting adalah persoalan anak-anak itu. Anak-anak itu tidak boleh bermusuhan terus-menerus. Karena itu, dituntut campur tangan orang tuanya.”
“Aku akan mencari orang tua anak itu. Aku akan menyelesaikannya dengan cara seorang laki-laki,” jawab orang itu.
“Maksudku tidak demikian Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sebaiknya Ki Sanak menghubungi Ki Bekel. Orang-orang tua harus membicarakan agar perkelahian semacam ini tidak terulang lagi. Bukan justru melibatkan diri kedalamnya. Dengan demikian maka anak-anak itu akan dapat melakukan pekerjaan mereka dengan tenang. Mereka dapat menggembala ternaknya sambil berdendang atau sambil meniup seruling mereka. Suasana di padang rumput akan menjadi tenang dan terasa damai.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan mencobanya. Aku akan berhubungan dengan Ki Bekel, agar Ki Bekel dapat membicarakannya dengan mereka yang berkepentingan. Maksudku orang tua anak-anak itu dan orang tua dari anak-anak yang telah berkelahi dengan anak-anak kami di sini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pengertian Ki Sanak. Sekarang, kami mohon diri untuk meneruskan perjalanan kami.”
Orang itu mempersilahkan anak-anak muda yang melerai perkelahian itu untuk singgah. Tetapi Mahisa Murti terpaksa minta maaf karena ia harus meneruskan perjalanan. Beberapa langkah dari tempat kejadian itu, maka Mahisa Amping masih mengulangi pernyataannya, “Kenapa mereka hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti para pengecut.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukankah sudah aku katakan bahwa hal itu sangat tergantung pada keadaannya. Sepasukan prajurit yang bertempur dalam satu kesatuan bukanlah pengecut. Kelompok mereka justru terlalu besar. Mereka tidak akan dapat menyelesaikan persoalan mereka dengan sikap sebagaimana kau bayangkan.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti.
Sementara itu mereka telah melangkah terus. Namun setelah berjalan beberapa patok memasuki padukuhan itu, mereka masih belum berjumpa dengan sebuah kedaipun. Nampaknya padukuhan yang besar itu tidak mempunyai cukup kedai sehingga untuk membeli sesuatu para penghuninya harus berjalan beberapa patok, meskipun hanya membutuhkan sepotong lauk, karena sedang tidak sempat masak.
Tetapi ketika mereka sampai diujung jalan justru ketika mereka sudah siap meninggalkan padukuhan itu untuk melintasi bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya, mereka telah melihat bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya, mereka telah melihat sebuah kedai di sudut jalan di sebelah regol.
“Ha,” hampir di luar sadarnya Mahisa Amping berseru, “kedai itu.”
Yang lain tersenyum. Namun tidak seorang pun yang segera menjawab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun kemudian termangu-mangu. Dipandanginya saudara-saudara angkatnya itu seorang demi seorang. Tetapi semuanya diam, bahkan seolah-olah telah mentertawakannya.
“O,” desisnya, “aku tidak lapar.”
Mahisa Semu lah yang pertama-tama menanggapinya, “Bukankah kita memang sedang mencari sebuah kedai untuk membeli minuman dan makanan?”
Mahisa Amping menunduk. Katanya, “Terserah saja. Aku tidak haus dan tidak lapar.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Seorang laki-laki tidak akan merajuk.”
Mahisa Amping mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian berpaling memandangi regol padukuhan, bulak yang membujur didepannya serta pintu kedai yang terbuka disebelahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak mengatakan sesuatu.
Ketika mereka mendekati kedai itu, maka mereka melihat beberapa orang yang ada di dalamnya. Dua ekor kuda tertambat di dekat pintu. Semakin dekat mereka dengan regol jalan padukuhan itu maka mereka semakin menyadari, bahwa di luar dinding padukuhan beberapa orang hilir mudik. Suasananya justru lebih rumai daripada didalam padukuhan. Namun satu dua orang sempat memasuki regol dan singgah di kedai itu.
“Kita akan singgah di kedai itu,” berkata Mahisa Murti.
Tidak ada seorang pun yang menyahut, Mahisa Amping puntidak. Namun sejenak kemudian, mereka telah berada di dalam kedai itu. Beberapa orang telah berada di dalamnya. Bahkan kedai itu ternyata cukup ramai. Dua orang pergi, yang lain datang bergantian.
Dari pemilik kedai itu, Mahisa Murti mengetahui bahwa ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar yang sengaja dibuat menghadap keluar padukuhan dengan menyesuaikan dinding padukuhan, sehingga pasar itu merupakan pasar yang seolah-olah terbuka. Orang-orang dari padukuhan lain dengan leluasa dapat masuk keluar pasar itu tanpa lebih dahulu memasuki padukuhan lewat regolnya.
Beberapa saat lamanya para pengembara itu berada di dalam kedai. Ternyata Mahisa Ampinglah yang paling cepat selesai. Sambil menunggu yang lain, Mahisa Amping yang berkeringat karena kepedasan dan kepanasan itu nampak gelisah.
“Kenapa kau?” bertanya Mahisa Pukat.
“Udaranya panas sekali,” jawab Mahisa Amping.
“Carilah angin di luar,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi jangan jauh-jauh. Jika kami selesai dan kau tidak kami ketemukan, maka kau akan kami tinggalkan di sini.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi dipandanginya saudara-saudara angkatnya yang lain.
“Pergilah,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Amping pun kemudian telah keluar dari kedai itu dan berdiri termangu-mangu diregol. Namun ketika dilihatnya bulir-bulir padi disawah yang mulai menguning di sentuh angin, sehingga di permukaan wajah tanaman padi itu seakan-akan telah mengalir gelombang lembut, maka ia pun telah melangkah keluar regol.
Di panasnya matahari bulir-bulir padi itu seakan-akan menjadi berkilat. Di atas hamparan tanaman padi itu nampak seperti getaran yang tembus pandang. nDeg pengamun-amun. Hampir diluar sadarnya, Mahisa Amping melangkah menyeberangi jalan menyilang diluar regol. Di sepanjang jalan bulak yang membujur lurus dengan jalan padukuhan, terdapat berjajar pohon turi yang menaungi sisi jalan yang terdiri dari tanggul berumput di sebelah parit yang mengalirkan air yang jernih.
Beberapa orang gembala tengah duduk pula dibawah pohon turi sambil menunggu ternak mereka yang tengah merumput ditanggul. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping melihat gelagat yang kurang baik. Ia melihat para gembala itu menunjuk ke arahnya. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, beberapa orang gembala itu telah berlari mendekatinya.
“Ya anak ini yang tadi datang bersama dengan beberapa orang melerai perkelahian kita,” berkata salah seorang di antara mereka, para gembala yang sebaya dengan Mahisa Amping. Namun ada seorang di antara mereka yang agak lebih besar, yang nampaknya memimpin sekelompok gembala itu.
Mahisa Amping berdiri termangu-mangu. Gembala yang lebih besar dari kawan-kawannya itu kemudian bertanya, “Kenapa kau ganggu kami? Kau tidak perlu mencampuri persoalan kami dengan anak-anak sombong itu.”
“Kakakku tidak senang melihat orang berkelahi,” jawab Mahisa Amping.
“Bukan kewajiban kami untuk menyenangkan hati kakak-kakakmu. He, jadi orang-orang yang melerai kami itu kakak-kakakmu?” bertanya anak yang agak lebih besar dari kawan-kawannya itu.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa orang gembala itu seorang demi seorang. Pada umumnya sebaya dengan umurnya. Meskipun Mahisa Amping masih sangat muda, tetapi ia sudah dapat melihat gelagat yang kurang baik. Nampaknya gembala-gembala itu berniat buruk kepadanya. Mereka kecewa karena saudara-saudara angkat Mahisa Amping itu telah melerai mereka, ketika mereka sedang berkelahi. Sedangkan perhitungan mereka kelompok mereka akan memenangkan perkelahian itu.
Ternyata bahwa dugaan Mahisa Amping itu benar. Gembala yang terbesar di antara mereka itu pun maju selangkah sambil berkata, “Biarlah saudara-saudaramu itu menyesali perbuatannya, bahwa mereka telah turut mencampuri persoalan kami.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau harus dipukuli sebagai ganti gembala-gembala yang tadi sudah kami kalahkan,” jawab anak yang terbesar di antara gembala-gembala itu.
Tetapi benar-benar tidak diduga. Sebelum gembala itu mengatupkan bibirnya, Mahisa Amping telah menyerangnya. Satu tendangan tepat mengenai dadanya sehingga gembala itu terdorong beberapa langkah surut, kemudian jatuh terlentang di tengah-tengah jalan. Yang lain pun serentak melangkah surut. Mereka menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Amping maju selangkah, mereka pun telah surut selangkah.
“Mari pengecut,” geram Mahisa Amping, “sejak semula aku sudah menduga bahwa kalian adalah pengecut yang hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti ini. Meskipun demikian aku tidak gentar sama sekali. Majulah bersama-sama. Kalian tidak usah bermimpi membuat saudara-saudaraku itu menyesal, karena kalianlah yang akan menyesal.”
Gembala yang terjatuh itu pun kemudian dengan susah payah telah bangkit. Dua orang kawannya membantunya. Wajahnya menjadi merah. Sementara dadanya masih terasa sakit.
“Ayo,” geram Mahisa Amping, “aku sudah siap.”
Gembala yang terbesar itu kemudian berteriak memberikan aba-aba, “Selesaikan anak itu. Kita pukuli beramai-ramai sampai ia menjadi jera.”
Yang lain memang masih saja ragu-ragu. Tetapi yang terbesar itu telah melangkah maju meskipun dadanya masih terasa sakit.
“Kau licik,” katanya, “aku belum siap. Sekarang, kau tidak akan dapat berbuat seperti itu.”
Tetapi sekali lagi yang tidak diduga itu terjadi. Kaki Mahisa Amping telah terjulur sekali lagi langsung mengenai dada anak yang terbesar itu. Sekali lagi ia terdorong beberapa langkah surut dan kehilangan keseimbangannya, sehingga ia jatuh untuk kedua kalinya. Punggungnya terasa bagaikan patah, sementara dadanya menjadi sesak bagaikan dihimpit sebongkah batu padas.
Dua orang kawannya telah menolongnya pula. Demikian anak itu berdiri tegak, sekali lagi berteriak, “Kepung anak itu. Pukuli sampai tulang punggungnya patah.”
Meskipun ragu-ragu tetapi beberapa orang gembala itu telah mengepung Mahisa Amping. Dengan demikian maka Mahisa Amping harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus melawan beberapa orang sekaligus.
Tetapi Mahisa Amping sudah mendapat tuntunan serba sedikit dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sejak ilmunya dilenyapkan, maka Mahisa Amping harus belajar sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, ketika ia harus menghadapi beberapa orang gembala, maka ia sama sekali tidak gentar.
“Bukan salahku jika hidung kalian berdarah,” berkata Mahisa Amping mengancam.
Namun anak yang terbesar itu menjawab, “jangan takut. Ia hanya mengancam.”
Beberapa orang anak yang ragu-ragu itu akhirnya bergerak juga. Mereka mengacu-acukan tinju mereka. Bahkan ada di antara mereka yang berteriak-teriak dan mengumpat kasar. Namun Mahisa Amping memang tangkas. Kecuali ia sudah berlatih serba sedikit, ia sama sekali tidak merasa ragu-ragu sebagaimana para gembala yang melihat tendangan kaki Mahisa Amping itu. Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Amping telah mendapat kesempatan untuk menyerang lebih dahulu.
Seperti yang telah dilakukannya, maka kakinya telah terjulur menyerang salah seorang dari anak-anak yang mengepungnya. Cukup cepat, sehingga anak itu tidak sempat mengelak. Tetapi dalam pada itu, anak yang terbesar itu telah mendorong seorang anak yang lain justru membentur Mahisa Amping. Keduanya memang hampir saja jatuh.
Dalam kesempatan itulah, seorang anak lagi telah menyerang Mahisa Amping. Pukulannya tepat mengenai lambungnya, sehingga Mahisa Amping menyeringai menahan sakit. Tetapi dengan cepat Mahisa Amping bersiap menghadapi kemungkinan yang lain, tepat pada saat seorang gembala berusaha menangkap tangannya.
Tetapi Mahisa Amping justru menjatuhkan dirinya dan berguling sekali. Namun kakinya sempat menyapu kaki seorang yang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak itu memang jatuh terbanting, sementara Mahisa Amping telah bangkit berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ternyata para gembala itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun bekal olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka mereka berkelahi dengan cara mereka sendiri.
Namun dengan demikian bekal yang sedikit yang dimiliki oleh Mahisa Amping serta usaha untuk meningkatkan ketahanan tubuh yang selalu dilakukannya, telah cukup berarti untuk menghadapi gembala-gembala yang mencoba untuk mengganggunya itu.
Dengan demikian meskipun seorang diri namun Mahisa Amping telah berloncatan menyerang dari seorang ke orang yang lain dengan tangkasnya. Sementara itu, anak-anak gembala itu menjadi kebingungan. Ternyata anak yang ingin mereka jadikan sasaran kemarahan mereka itu memiliki kemampuan diluar perhitungan mereka.Sehingga justru merekalah yang mengalami merah biru di tubuh mereka.
Ternyata perkelahian itu telah dilihat oleh beberapa orang lewat. Semula mereka tidak mengira bahwa yang terjadi itu benar-benar perkelahian. Mereka mengira bahwa para gembala itu justru sedang bermain-main. Tetapi ketika mereka melihat anak-anak yang kesakitan dan bahkan menangis, maka mereka baru menyadari, bahwa yang terjadi adalah justru perkelahian.
Seorang yang baru keluar dari kedai itu telah dapat mengenali Mahisa Amping ketika anak itu berada di dalam kedai. Karena itu, maka ia pun segera berlari-lari kembali ke kedai justru pada saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya keluar dari kedai itu.
“Ki Sanak,” berkata orang itu dengan serta merta, “anak yang bersama Ki Sanak tadi berkelahi di luar gerbang padukuhan.”
“He?” Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun serentak mereka telah berlari-lari menyusulnya.
Ketika Mahisa Murti sampai di luar pintu gerbang, maka ia melihat beberapa orang berusaha melerainya. Tetapi Mahisa Amping masih saja berusaha menyerang lawan-lawannya. Dua orang telah menangis. Seorang kesakitan, justru yang terbesar di antara mereka. Punggungnya serasa patah dan pelipisnya menjadi merah biru.
“Amping,” panggil Mahisa Pukat sambil berlari-lari. Ialah yang kemudian menangkap anak yang meronta-ronta itu.
“Merekalah yang memulainya,” teriak Mahisa Amping.
“Kau tidak boleh berkelahi begitu. Bukankah kau melihat tadi kami melerai perkelahian? Sekarang justru kau sendiri yang berkelahi?” sahut Mahisa Pukat.
“Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi mereka menyerangku justru karena kakang melerai perkelahian itu. Anak-anak itu merasa bahwa mereka akan menang ketika kakang melerai mereka, sehingga mereka merasa kecewa,” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah benar demikian?”
Anak-anak gembala itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang menjadi ketakutan. Jika anak sebesar Mahisa Amping itu saja tidak dapat mereka kalahkan, apalagi orang-orang tua dan anak-anak muda itu. Tetapi tidak nampak pada sikap anak-anak muda itu, bahwa mereka akan melibatkan diri.
Bahkan Mahisa Murti telah mendekati anak yang menangis itu sambil bertanya lembut, “Kenapa kau menangis?”
“Perutku sakit,” jawab anak itu.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Anak itu menendang perutku,” jawab anak itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak melihat perkelahian itu, tetapi ia dapat membayangkan bahwa Mahisa Amping telah berkelahi dengan garang. Ia telah menyakiti hampir semua lawannya. Dua orang yang menangis itu tentu mendapat serangan yang sangat kuat, sedangkan gembala yang terbesar di antara mereka benar-benar menjadi kesakitan.
“Sudahlah, diamlah,” berkata Mahisa Murti, “lain kali sebaiknya kalian tidak berkelahi lagi. Adikku nanti akan mendapat hukumannya karena ia telah berkelahi. Bukankah tidak ada untungnya seseorang berkelahi? Yang kalah kesakitan, yang menang akan mendapat hukumannya?”
Anak itu mengangguk lemah.
“Nah, jika demikian diamlah,” berkata Mahisa Murti pula.
Anak itu memang berusaha untuk menahan tangisnya. Tetapi dengan demikian ia justru telah terisak-isak. Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping untuk meninggalkan tempat itu.
Namun seorang dengan wajah cemas mencoba untuk berbisik di telinga Mahisa Murti, “Bukankah yang terbesar di antara anak-anak gembala itu adalah anak Kebo Gremeng?”
“Siapakah yang bernama Kebo Gremeng?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau belum pernah mendengar namanya?” orang itu menjadi heran.
Mahisa Murti menggeleng lemah. Katanya, “Aku memang belum pernah mendengarnya.”
“Kau tentu orang yang datang dari jauh. Setiap orang di sini tentu tahu siapakah Kebo Gremeng itu. Seorang gegedug yang sangat ditakuti di sini,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka persoalannya akan dapat berkembang. Namun Mahisa Murti masih berharap bahwa ia mempunyai kesempatan untuk menyingkir. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata Mahisa Amping, “Marilah. Lebih baik kita menyingkir daripada timbul persoalan yang lebih rumit. Baru saja kita keluar dari lingkaran yang mengikat kita beberapa hari. Sekarang kita sudah akan memasuki persoalan baru.”
Mahisa Amping pun membenahi pakaiannya. Ia tidak membantah. Sementara itu Mahisa Semu telah menggandengnya sambil berkata, “Jika kita masih harus berhenti di setiap simpang empat bahkan sampai sehari dua hari, maka kita akan sampai ke tujuan setelah kau tua.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia menyahut, “Bukan salahku kakang.”
“Aku tahu,” jawab Mahisa Semu, “tetapi apa salahnya jika kita menghindari perkelahian.”
Mahisa Amping menjadi heran. Ia sudah melihat saudara-saudaranya angkatnya itu berkelahi bukan hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Tetapi kenapa mereka semuanya seakan-akan menyalahkannya meskipun ia baru sekali berkelahi.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya pun telah mulai melangkah pergi. Beberapa orang masih saja berkerumun. Namun sebagian besar dari mereka tahu, bahwa anak yang berusaha menyingkir itu tidak bersalah. Orang-orang di sekitar padukuhan itu mengenal bahwa sekelompok gembala itu memang terdiri dari anak-anak nakal. Mereka sudah sering berkelahi di antara anak-anak gembala. Setiap kali mereka menang dan menyakiti lawan-lawannya, maka mereka merasa bahwa mereka menjadi semakin bangga. Jika orang-orang tua anak-anak yang disakitinya turut campur, maka Kebo Gremeng itu mendapat alasan untuk memukuli orang.
Itulah sebabnya, ketika orang tua gembala-gembala yang baru saja dilerai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya mengetahui bahwa yang menyakiti anaknya adalah sekelompok gembala yang di antaranya adalah anak Kebo Gremeng, maka orang-orang tua mereka pun harus berpikir dua kali. Ketika mereka menemui Ki Bekel, maka Ki Bekel pun menjadi ragu-ragu.
“Apakah kita akan membiarkannya untuk seterusnya, Ki Bekel,” bertanya orang tua dari anak yang terluka.
“Aku memang menjadi sangat berprihatin,” jawab Ki Bekel.
“Jadi?” bertanya orang itu.
“Aku minta waktu,” jawab Ki Bekel.
Orang-orang itu pun menyadari, bahwa sulit untuk dapat mengatasi Kebo Gremeng. Tetapi mereka pun ingin bahwa apa yang selalu terjadi itu tidak akan terjadi lagi. Namun dalam pada itu, seorang telah singgah pula di rumah Ki Bekel, memberitahukan, bahwa anak-anak itu telah berkelahi lagi. Lawannya hanya seorang. Tetapi ternyata yang seorang itu memiliki kelebihan. Beberapa orang gembala yang mengeroyoknya telah dikalahkannya. Termasuk anak Ki Kebo Gremeng.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Jika anak Kebo Gremeng tersangkut di dalamnya, apalagi jika anak itu dikalahkan, maka tentu akan timbul persoalan tersendiri.”
Karena itu maka Ki Bekel akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat perkelahian itu. Katanya, “Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa.”
Bersama beberapa orang bebahu serta orang yang memberikan laporan tentang perkelahian itu serta beberapa orang tua dari gembala-gembala yang disakiti oleh kelompok anak Ki Kebo Gremeng, Ki Bekel telah pergi ke pintu gerbang padukuhannya dekat kedai yang baru saja ditinggalkan oleh Mahisa Murti bersama saudara-saudara angkatnya.
Ketika Ki Bekel sampai ke tempat itu, maka ia sudah tidak menjumpai orang-orang yang terlibat dalam perkelahian itu. Tetapi seorang di antara mereka yang masih berkerumun di tempat itu berkata kepada Ki Bekel, “Ki Kebo Gremeng juga telah sampai kemari.”
“Di mana ia sekarang?” bertanya Ki Bekel.
“Ia pergi menyusul anak yang dikatakan menang meskipun dikeroyok oleh beberapa orang gembala,” berkata orang itu.
“Mereka pergi ke arah mana?” bertanya Ki Bekel pula.
Orang itu telah menunjuk ke arah Mahisa Murti membawa Mahisa Amping menyingkir yang kemudian disusul oleh Kebo Gremeng.
“Orang-orang itu agaknya sudah berusaha menghindari persoalan,” berkata orang itu, “tetapi…”
“Tetapi apa?” bertanya Ki Bekel.
Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Lalu katanya, “Entahlah. Tetapi mereka pergi ke sana.”
Ki Bekel mengetahui bahwa orang itu tidak berani menyatakan pendapatnya. Jika pendapatnya itu didengar oleh pengikut Kebo Gremeng, maka ia akan mendapatkan kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel tidak bertanya lagi. Sebuah iring-iringan kecil telah mengikutinya menyusul Kebo Gremeng yang tentu juga tidak sendiri.
Sebenarnyalah saat itu Kebo Gremeng bersama dengan tiga orang kawannya tengah menyusul Mahisa Murti. Mereka berjalan tergesa-gesa, bahkan sekali-sekali berlari-larian. Disamping ketiga orang pengikutnya, lima orang gembala ikut pula bersama mereka. Lima orang anak-anak yang masih sangat muda, sebaya dengan Mahisa Amping. Tiga di antara mereka adalah para gembala yang telah ikut berkelahi termasuk anak Kebo Gremeng itu sendiri.
Dengan wajah yang tegang oleh kemarahan di dalam dadanya, Kebo Gremeng berusaha untuk dapat menemukan orang yang telah berani menghinanya dengan mengganggu anaknya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah berjalan semakin jauh. Mereka berharap bahwa persoalan anak-anak itu tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Karena itu, maka karena mereka benar-benar berusaha untuk menghindarinya. Mereka telah memilih jalan yang tidak banyak dilalui orang agar seandainya ada orang yang menyusulnya tidak akan dapat menemukannya.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih juga memikirkan kemungkinan bahwa gegedug yang bernama Kebo Gremeng itu akan menyusulnya.
Namun pada itu, Kebo Gremeng memang cukup cerdik. Di setiap simpangan ia telah berusaha untuk mengetahui arah perjalanan orang-orang yang dicarinya. Orang-orang yang ditanyainya tidak ada yang berani berbohong kepadanya. Semua orang menunjukkan arah yang sebenarnya dari orang-orang yang disusulnya.
Dengan demikian, meskipun Mahisa Murti telah mengambil jalan-jalan sempit, namun akhirnya Kebo Gremeng telah berhasil menyusulnya. Bahkan dari kejauhan Kebo Gremeng telah melihat sekelompok kecil yang berjalan menyusuri jalan sempit menembus sebuah bulak yang cukup panjang.
Mahisa Murti yang menyadari, bahwa perjalanannya telah disusul oleh orang yang tidak diharapkannya itu, berkata kepada Mahisa Amping, “Jika mereka datang menyusul kita, maka kau jangan ikut berbicara. Biar kakang saja yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Kau tidak usah ikut memberi penjelasan apapun.”
Mahisa Amping mengangguk kecil.
“Nah, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali menunggu mereka,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan seperti juga Mahisa Murti merasa sangat terganggu dengan orang-orang yang menyusulnya itu. Tetapi mereka memang harus melayaninya apapun yang dikehendaki. Bahkan mungkin kekerasan.
Namun Mahisa Murti memang harus menunggu. Ia pun kemudian berdiri bersandar sebatang pohon dadap di pinggir jalan. Adalah tidak biasa bahwa sebatang pohon dadap serep ditanam di tanggul di tengah-tengah bulak. Biasanya sebatang pohon dadap serep ditanam di dekat sumur di halaman samping.
Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan duduk di tanggul yang berbatu-batu bersama dengan Mahisa Amping. Dengan berdebar-debar mereka menunggu iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan serta merta mereka langsung dapat mengetahui, yang manakah yang bernama Kebo Gremeng menilik sikap dan pakaiannya. Sebuah golok yang besar terselip di lambungnya. Tangkainya mencuat di depan perutnya yang membesar.
Namun dalam pada itu, Kebo Gremeng sama sekali tidak senang melihat sikap orang-orang yang menunggunya dengan tenang. Ia membayangkan bahwa jika ia berhasil menyusul orang-orang itu, mereka akan segera berlari-larian. Tetapi karena di antara mereka terdapat seorang anak kecil, maka mereka tentu tidak akan dapat berlari terlalu cepat. Tetapi ternyata tidak demikian. Orang-orang itu tidak berlari-lari ketakutan. Tetapi mereka menunggunya dengan tenang.
“Iblis itu memang harus dibuat jera,” geram Kebo Gremeng
Mahisa Murti yang melihat iring-iringan itu mendekat, melangkah menyongsongnya. Sementara itu yang lain masih tetap duduk dengan tenang tanpa menghiraukan kehadiran orang yang paling ditakuti di daerah itu.
“Iblis kalian,” geram Kebo Gremeng setelah ia menjadi semakin dekat.
“Ada apa Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Jangan pura-pura. Kau harus bertanggung jawab. Kau sakiti anak-anak kami. Maksudmu anakku dan anak tetangga-tetanggaku. Apa salah mereka he?” teriak Kebo Gremeng.
“Siapa yang menyakiti anakmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku bawa anakku sekarang. Biarlah ia menjawab pertanyaanmu,” sahut Kebo Gremeng.
Mahisa Murti mengangguk-angguk,sementara Kebo Gremeng berkata kepada anaknya, “Katakan apa yang terjadi.”
“Ayah. Anak kecil itu berusaha untuk mengganggu kawan-kawan gembala. Aku berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah menantangku berkelahi. Tetapi ketika ia mulai kalah dan menangis, kakaknya telah ikut campur. Tidak hanya seorang. Tetapi semuanya telah ikut menyakiti aku,” jawab anak Kebo Gremeng.
“Nah,” geram Kebo Gremeng, “kau dengar.”
Mahisa Murti sama sekali tidak menunjukkan kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Aku sudah menduga, bahwa anakmu memiliki kemampuan berbohong. Tetapi tidak apa-apa. Barangkali bakat itu menurun dari ayahnya.”
“Setan kau,” bentak Kebo Gremeng, “kau tahu siapa aku?”
“Baru sekarang aku melihat orang yang bernama Kebo Gremeng,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Jika kau ingin anakmu memiliki kemampuan seorang gegedug, ajari anakmu dengan ilmu kanuragan. Bukan kau ajari cara untuk berbohong.”
Kebo Gremeng menggeretakkan giginya. Dipandanginya Mahisa Murti dengan tajamnya. Ia tidak mengira bahwa di dalam hidupnya ia pernah bertemu dengan seseorang yang telah berani menghinanya. Namun justru karena kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, untuk sejenak ia justru bagaikan terbungkam.
Kawannyalah yang melangkah maju sambil berkata, “Kita tidak perlu berbicara lagi.”
Kebo Gremeng mengangguk kecil. Tetapi Mahisa Murti masih berkata, “Apakah kau ingin membuktikan kebenaran kata-kata anakmu. Di sini adikku masih ada. Jika benar anakmu menang atas adikku seperti yang dikatakannya, maka perkelahian itu dapat diulanginya sekarang.”
Tetapi nampaknya Kebo Gremeng telah memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, maka seorang di antara anak-anak yang mengikutinya telah melangkah maju sambil berkata, ”Biar aku saja yang mencobanya. Jika anak paman Kebo Gremeng yang turun ke arena, maka anak itu akan dapat mati.”
Kebo Gremeng termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, ”Nampaknya memang sudah diatur begitu.”
“Diam kau,” bentak Kebo Gremeng, “atau aku bunuh kau.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Baiklah. Biarlah adikku berkelahi dengan pahlawan yang kau anggap dapat menyelamatkan anakmu itu.”
Tangan Kebo Gremeng menjadi gemetar. Biasanya ia tidak menunggu lagi. Tetapi ia masih mencoba menahan diri untuk membuktikan, bahwa yang dikatakan oleh anaknya itu benar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, agaknya memang sudah diatur bahwa yang akan berkelahi bukan anak Kebo Gremeng yang memang sudah dikalahkan oleh Mahisa Amping. Bahkan bukan seorang lawan seorang, tetapi anak Kebo Gremeng bertempur bersama kawan-kawannya.
Dalam pada itu, seorang di antara para gembala yang ikut bersama Kebo Gremeng itu melangkah maju sambil bertolak pinggang. Dengan garang anak itu berkata, “Kita akan berperang tanding.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Darimana kau mendapat istilah itu? Jangan sebut perang tanding. Berkelahi begitu saja akan lebih sesuai dengan kalian.”
“Tutup mulutmu,” Kebo Gremenglah yang membentak.
Tetapi Wantilan dan Mahisa Semu justru ikut tertawa. Dengan nada tinggi di sela-sela tertawanya Mahisa Semu berkata, “Jangan terlalu garang. Semua orang sudah tahu, bahwa kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Berbuat wajar sajalah.”
Hampir saja Kebo Gremeng meloncat menerkam Mahisa Semu. Tetapi gembala itu telah berteriak, “beri aku kesempatan mematahkan leher anak yang sombong itu.”
Kebo Gremeng memang mengurungkan niatnya. Namun sekali lagi jantungnya bagaikan meledak ketika Mahisa Pukat berkata, “Anak itu sudah dapat mengucapkan istilah-istilah yang dapat mendirikan bulu tengkuk.”
Namun sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah. Ia ingin menerima tantangan itu. Tetapi ia menunggu isyarat Mahisa Murti. Mahisa Murti yang dapat melihat kegelisahan Mahisa Amping itu pun kemudian bertanya kepadanya, “Apakah kau bersedia berperang tanding?”
Mahisa Amping mengangguk sambil menjawab pendek, “Ya.”
“Bagus,” desis Mahisa Murti, “lakukan. Kau ditantang oleh gembala itu.”
Mahisa Amping pun tersenyum. Dengan langkah yang tetap ia pun maju mendekati gembala yang sudah berdiri dalam kesiapan. Namun Mahisa Amping memang harus berhati-hati. Gembala itu tidak lebih besar dari anak Kebo Gremeng. Tetapi nampaknya anak itu memiliki kelebihan dari anak Gebo Gremeng itu sendiri.
“Kita akan menjadi saksi,” berkata Mahisa Murti, “anak-anak itu akan membuktikan, apakah yang dikatakan oleh anak Kebo Gremeng itu benar. Sebenarnya aku tidak senang melihat anak-anak berkelahi. Tetapi apa boleh buat.”
“Aku tidak akan sekedar berkelahi,” sahut gembala itu, “tetapi aku akan berperang tanding.”
“Baiklah. Lakukan perang tanding itu. Kami yang tua-tua akan menjadi saksi yang baik, yang tidak akan mengganggu jalannya permainan yang tidak wajar ini.”
Sejenak kemudian kedua orang anak itu sudah berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk berkelahi yang menurut istilah gembala itu berperang tanding. Sejenak kemudian, gembala yang memiliki kelebihan dari anak Kebo Gremeng itu mulai meloncat menyerang. Tetapi Mahisa Amping sudah siap menghindari serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping. Namun tiba-tiba saja lawannya telah berputar dengan ayunan kaki mendatar. Mahisa Amping sama sekali tidak menduga. Karena itu pada serangan kedua Mahisa Amping telah dikenai oleh kaki lawannya sehingga Mahisa Amping itu jatuh berguling.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun dengan demikian mereka mengetahui bahwa gembala itu tentu pernah mempelajari olah kanuragan serba sedikit.
Sementara itu Kebo Gremeng yang menjadi tegang oleh kemarahan yang tertahan, tiba-tiba saja dapat tertawa, justru semakin lama semakin keras. Dengan perut yang terguncang-guncang Kebo Gremeng berkata di sela-sela dari tertawanya, “Itukah anak yang kau banggakan? Jika terbukti bahwa anakmu telah bersalah kemudian kalian bersalah pula terhadap anakku dan kawan-kawannya, maka jangan menyesali nasib buruk kalian.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak menjawab. Namun mereka menyaksikan Mahisa Amping dengan tangkasnya meloncat bangkit dan berdiri tegak menghadapi segala kemungkinan.
Kebo Gremeng pun kemudian telah berhenti tertawa. Ia bahkan menjadi tegang kembali ketika ia melihat bagaimana Mahisa Amping itu bangkit. Sejenak kemudian gembala itu telah mulai menyerang lagi. Demikian Mahisa Amping meloncat menghindar, maka gembala itu telah berputar dengan kaki mendatar.
“Serangan itu ternyata telah diulang kembali,” berkata Mahisa Amping di dalam hatinya disaat ia meloncat menghindarinya. Serangan yang kedua itu sama sekali tidak berhasil sebagaimana serangannya terdahulu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menarik nafas panjang. Apalagi ketika kemudian justru Mahisa Amping lah yang sempat menjajagi kemampuan lawannya. Ketika sekali lagi lawannya menyerang, kemudian berputar dengan ayunan kaki mendatar, maka tahulah Mahisa Amping, bahwa unsur gerak itu merupakan unsur gerak yang setidak-tidaknya paling dikuasai oleh lawannya seandainya ia memiliki kemampuan melakukan unsur-unsur gerak yang lain.
Dengan demikian maka Mahisa Amping telah mampu menempatkan diri ketika lawannya sekali lagi menyerang. Ia tidak menghindar sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi ia menghindar ke arah yang berbeda meskipun Mahisa Amping menyadari bahwa cara yang dilakukan itu berbahaya.
Sebenarnyalah bahwa demikian Mahisa Amping meloncat, maka gembala itu telah menyusul dengan serangannya berikutnya. Satu tendangan yang keras sambil membelakangi Mahisa Amping dengan membungkukkan badannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang menyentuh tanah.
Sekali lagi Mahisa Amping telah dikenai serangan itu. Hampir saja Mahisa Amping terjatuh terlentang. Tetapi ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia masih tetap tegak terdiri.
Yang kemudian diketahui oleh Mahisa Amping adalah cara lawannya menyerang. Jika ia menghindari dengan arah yang pertama, maka lawannya itu akan berputar dengan kaki terayun mendatar. Tetapi jika ia menghindar ke arah yang sebaliknya, maka ia akan membelakanginya, kemudian membungkuk dan bertumpu pada kedua tangannya sementara kakinya terjulur lurus ke belakang.
Dengan demikian maka Mahisa Amping yang tangkas itu mulai mempermainkannya. Ternyata gembala itu lebih banyak mempergunakan kedua unsur gerak rangkap itu. Meskipun ia mampu melakukan yang lain, tetapi tidak setangkas jika ia melakukan kedua unsur itu sehingga Mahisa Amping mampu mengimbanginya.
Karena itu, maka perkelahian di antara kedua orang anak itu semakin lama semakin sengit. Jika Mahisa Amping yang serba sedikit pernah diberi petunjuk oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejak ilmunya yang diterima di padepokan yang beraliran hitam itu dimusnahkan, maka lawannya pun memang pernah juga mengenali ilmu kanuragan serba sedikit, meskipun ilmu yang kasar.
Dengan dasar-dasar olah kanuragan itulah kedua anak itu saling menyerang dan bertahan. Namun ternyata daya tahan tubuh Mahisa Amping masih lebih baik dari lawannya. Mahisa Amping yang terbiasa menjalani laku yang berat bahkan setiap hari, mampu mengatasi kekuatan daya tahan lawannya mulai susut.
Dengan demikian, maka keseimbangan perkelahian itu pun mulai berubah. Gembala itu tidak lagi mampu menyerang dan bertahan dengan kekuatannya sepenuhnya. Keringatnya bahkan seakan-akan telah terperas dari tubuhnya. Nafasnya mulai berkejaran di lubang hidungnya.
Kebo Gremeng mulai menjadi cemas. Gembala kebanggaannya itu ternyata mengalami kesulitan. Bahkan kemudian serangan Mahisa Amping pun telah mulai mengenai tubuhnya. Ketika anak itu berusaha menyerang Mahisa Amping, maka Mahisa Amping telah menghindar ke arah pola unsur gerak gembala itu yang pertama.
Karena itu, ketika gembala itu berputar dengan kaki terayun mendatar, Mahisa Amping justru telah menjatuhkan diri dan merendah sehingga ayunan kaki itu lewat di atas kepalanya. Namun pada saat yang bersamaan, Mahisa Amping telah berguling sambil menjulurkan kakinya menyilang menyapu kaki lawannya tempat bertumpu pada putarannya.
Sapuan kedua kaki Mahisa Amping yang menyilang dan kemudian diputar itu akibatnya memang pahit bagi lawannya. Kakinya bagaikan dihentakkan dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga gembala itu jatuh terbanting di tanah. Dengan gerak naluriah tangan gembala itu berusaha untuk menahan tubuhnya, namun justru karena itu, maka pergelangan tangannya itu bagaikan menjadi retak.
Ketika gembala itu berusaha untuk bangkit dan bertumpu pada tangannya itu, maka ia pun telah menjerit. Bahkan kemudian gembala itu telah mengaduh kesakitan. Tertatih-tatih anak itu bangkit. Tetapi ia tidak mampu bertahan lagi, sehingga akhirnya anak itu menangis sambil memegangi pergelangan tangannya itu.
Kebo Gremeng menjadi tegang. Ternyata gembala itu sama sekali tidak mampu mengalahkan Mahisa Amping. Bahkan gembala itu telah menangis kesakitan meskipun ia berusaha untuk bertahan. Tetapi titik-titik air matanya mengalir semakin deras. Bahkan gembala itu pun kemudian terisak.
“Kelinci cengeng,” geram Kebo Gremeng, “kenapa kau menangis seperti itu? Bukankah kau mengaku tidak terkalahkan di antara anak-anak sebayamu. Bahkan kau menang atas anakku?”
Anak itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi tangannya yang bagaikan patah itu memang terasa sakit sekali, sehingga anak itu tidak mungkin lagi untuk meneruskan perkelahian.
“Nah,” tiba-tiba Mahisa Murti berkata, “apa yang akan kau katakan sekarang tentang gembala-gembala itu? Apakah kau masih menganggap bahwa adikku itu dengan mudah akan dapat dikalahkan? Apakah kau masih menganggap bahwa aku harus membantunya dan aku serta saudara-saudaraku telah ikut menyakiti anak-anak?”
“Persetan,” geram Kebo Gremeng, “aku tidak peduli apa yang sudah dilakukan anak-anak. Aku tidak terbiasa menunggu dan menahan diri seperti sekarang ini. Karena itu, maka jangan menyesal jika aku melakukan kebiasaanku.”
“Apa kebiasaanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Memukuli orang sampai setengah mati. Bahkan jika perlu membunuh,” jawab Kebo Gremeng.
Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab dengan jawaban yang mengejutkan, “Ternyata kita mempunyai kebiasaan yang sama. Sudah sepekan aku tidak memukuli orang. Tetapi jangan kau kira bahwa karena itu aku lalu memukuli anak-anak.”
“Cukup,” bentak Kebo Gremeng, “agaknya kau benar-benar belum mengenal aku.”
“Benar. Aku baru tahu tentang kau hari ini. Menurut kata orang kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Nah, orang seperti kau inilah yang kami tunggu. Dengan demikian, maka kami akan sedikit mendapat kepuasan,” jawab Mahisa Pukat.
“Iblis kau,” Kebo Gremeng itu berteriak, “aku koyak mulutmu.” Kebo Gremeng itu pun telah meloncat menerkam Mahisa Pukat. Ia tidak mampu menahan diri sebagaimana telah dilakukannya yang menyimpang dari kebiasaannya.
Sebagai seorang gegedug yang ditakuti, maka Kebo Gremeng terbiasa untuk memukuli orang lain. Dengan sekali pukul orang itu telah menjadi pingsan. Ia pun berniat untuk memukul Mahisa Pukat sehingga membuatnya pingsan. Tetapi gegedug itu terkejut. Tangannya tidak menggapai apapun juga. Mahisa Pukat begitu cepatnya meloncat menghindar sehingga luput dari serangannya.
Bahkan sebelum ia menyadari keadaannya sepenuhnya, terasa tangan yang sangat kuat telah mendorongnya sehingga Kebo Gremeng itu jatuh terjerembab. Mulutnya telah membentur tanah yang keras sehingga bibirnya diluar sadarnya terjepit di antara giginya dan berdarah. Dengan cepat Kebo Gremeng bangkit. Ia menjadi semakin marah ketika ia menyadari, bahwa mulutnya telah berdarah.
Ketika ia mengusap dengan punggung telapak tangannya, maka ia melihat warna merah itu membasahi kulitnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah memberikan isyarat kepada tiga orang kawannya untuk menyerang bersama-sama.
Namun ketika ketiga orang kawannya itu bergerak, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bergerak pula bersama-sama.
“Apakah secara kebetulan jumlah kita sama, atau kalian memang dengan sengaja menyamakan jumlah itu?” bertanya Mahisa Pukat sambil bertolak pinggang.
“Persetan,” geram Kebo Gremeng, “aku akan benar-benar membunuh.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun menurut perhitungannya, maka kawan Kebo Gremeng itu tentu tidak setangkas gegedung itu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat mengharap bahwa Mahisa Semu dan Wantilan akan dapat mengatasi lawan-lawannya. Bahkan jika perlu, Mahisa Pukat dan menghadapi dua di antara mereka dan Mahisa Murti akan dapat membantu Mahisa Semu dan Wantilan. Namun semuanya masih harus dijajagi lebih dahulu agar Mahisa Semu dan Wantilan tidak merasa direndahkan kemampuannya.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu pun telah mendapat lawannya masing-masing. Sementara itu Mahisa Murti berpesan kepada Mahisa Amping, “Kau tidak boleh berkelahi. Kecuali jika kau harus membela diri karena kau diserang.”
“Tetapi kakang akan berkelahi,” desis Mahisa Amping.
“Aku pun tidak akan berkelahi jika aku tidak diserang,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Namun sekali-sekali ia memperhatikan gembala-gembala yang dengan tegang memperhatikan perkelahian itu. Biasanya Kebo Gremeng hanya membutuhkan waktu sekejap untuk mengalahkan lawannya.
Mahisa Amping yang masih marah itu rasa-rasanya ingin meloncat menerkam para gembala itu. Lebih-lebih anak Kebo Gremeng yang telah mereka-reka ceritera yang bohong sama sekali, meskipun agaknya ia hanya dituntun oleh ayahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak berani melanggar pesan kakak angkatnya. Agaknya kakak angkatnya bersungguh-sungguh melarangnya untuk berkelahi jika tidak diserang. Karena itu, bahkan Mahisa Amping mengharap agar gembala-gembala itu menyerangnya.
Ketika salah seorang dari gembala itu kebetulan memandanginya maka ia pun telah menjulurkan lidahnya agar gembala itu menjadi marah. Tetapi gembala itu dengan serta merta telah berpaling. Mahisa Amping hanya dapat menggeram, tetapi ia tidak menyerang.
Sementara itu Mahisa Murti telah bertempur dengan salah seorang kawan Kebo Gremeng. Tidak ada kesulitan sama sekali. Seandainya ia langsung mengakhiri pertempuran pun agaknya akan dapat dilakukannya. Tetapi Mahisa Murti tidak melakukannya. Ia masih ingin melihat apa yang terjadi dengan Wantilan dan Mahisa Semu.
Namun keduanya pun ternyata memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Mahisa Semu bertempur tanpa mempergunakan senjatanya, karena lawannya pun tidak bersenjata. Lawannya memang tidak menduga bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang memang berilmu.
Ternyata berbeda dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan tidak membiarkan lawannya mendapat hati. Mereka telah menekan lawannya secepatnya, sehingga dalam waktu yang singkat maka kedua orang kawan Kebo Gremeng itu sudah terdesak. Karena itu, maka tidak ada kemungkirian lain yang dapat mereka lakukan kecuali menarik senjata-senjata mereka.
Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa dengan demikian mereka justru telah menjerumuskan diri mereka sendiri kedalam kesulitan. Karena mereka mempergunakan senjata, maka dengan demikian maka Mahisa Semu dan Wantilan pun telah menggenggam senjata pula ditangan mereka.
Bahkan Mahisa Semu sempat berkata, “Kalian telah mempercepat nasib buruk yang akan menimpa kalian.”
“Persetan,” geram lawan Mahisa Semu, “jangan menyesal jika perutmu akan terkoyak.”
Mahisa Semu justru tertawa pendek. Katanya, “Orang-orang seperti kalian memang harus dibuat jera.”
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mereka telah melibat Mahisa Semu dan Wantilan dengan serangan-serangan yang cepat dan langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuhnya.
Tetapi justru kemampuan Mahisa Semu adalah pada ilmu pedangnya. Meskipun belum mencapai tataran yang tinggi, namun ternyata cukup memadai sebagai bekal menghadapi orang-orang yang semula merasa diri mereka tidak terkalahkan. Bahkan dalam waktu yang singkat Mahisa Semu telah berhasil menekan lawannya sehingga seakan-akan kehilangan ruang gerak.
Wantilan memang tidak mendorong lawannya dengan kemampuannya. Ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidak bertempur dengan bersungguh-sungguh, maka Wantilan pun telah berusaha untuk menahan diri.
Beberapa saat kemudian, maka Kebo Gremeng telah menyadari bahwa anak muda itu memang bukan lawannya. Meskipun anak muda itu tidak dengan serta merta menghancurkannya, tetapi Kebo Gremeng merasa bahwa pada satu saat ia akan dipaksa untuk berlutut di hadapannya disaat-saat nafasnya akan putus.
Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali melihat kenyataan itu. Apalagi ketika sekali dua kali Mahisa Pukat mulai menyentuh tubuhnya meskipun tidak lebih hanya dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi ketika ujung ibu jarinya menyentuh pangkal lehernya, maka rasa-rasanya nafasnya telah tersumbat. Karena itu, maka ia pun telah meloncat mengambil jarak, sementara lawannya tidak mengejarnya, Mahisa Pukat telah memberinya kesempatan untuk bernafas.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Kebo Gremeng yang tidak pernah direndahkan itu memang sulit untuk menerima kenyataan itu. Tetapi ketika sekali lagi ujung tiga jari tangan Mahisa Pukat yang merapat mengenai bagian bawah dadanya, maka Kebo Gremeng tidak dapat mengelak lagi. Ia tidak ingin menarik senjatanya, karena hal itu akan berakibat sangat buruk bagi dirinya sebagaimana kemudian dilihatnya pada lawan Mahisa Semu. Meskipun Mahisa Semu tidak berniat untuk membunuh, tetapi ujung senjatanya ternyata telah tergores di kulit lawannya sehingga darah pun telah mengalir dari luka itu.
Sambil menyeringai menahan pedih orang itu meloncat menjauh. Selangkah demi selangkah Mahisa Semu maju mendekatinya sambil berkata, “Senjatamu telah membuatmu mengalami banyak kesulitan. Lemparkan senjatamu, maka aku pun akan menyarungkan senjataku pula.”
Orang itu masih saja ragu-ragu. Ujung senjatanya masih teracu ke arah dada Mahisa Semu. Namun ketika sekali lagi Mahisa Semu membentak, maka orang itu telah melemparkan senjatanya.
“Bagus,” desis Mahisa Semu sambil menyarungkan senjatanya, “dengan demikian kau selamat.”
Orang-orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali harus menyerah. Kebo Gremeng dan kawan-kawannya ternyata harus menghadapi satu kenyataan bahwa mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Adalah diluar dugaan mereka bahwa anak-anak muda itu akhirnya mampu merendahkannya dan membenturkan mereka pada satu kenyataan, betapa luasnya dunia ini.
Kebo Gremeng mengira bahwa didunianya yang sempit, ia adalah orang yang paling kuat, yang tidak ada duanya. Namun pada suatu saat telah datang diluar dugaan, orang-orang yang menunjukkan didepan hidupnya, bahwa ia bukannya segala-galanya. Bahwa orang yang bernama Kebo Gremeng itu adalah sangat kecil dan tidak berarti apa-apa.
“Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhku,” berkata Kebo Gremeng di dalam hatinya.
Namun yang dikatakan Mahisa Murti kemudian adalah, “Ingat-ingatlah bahwa kau pernah mengalami sebagaimana kau alami hari ini. Padahal aku bukan orang-orang berilmu tinggi yang dapat melampaui ilmu kami. Ingat itu. Jika kau bertemu dengan mereka, apalagi yang berwatak kejam, maka kau benar-benar akan menjadi cacing di telapak kaki mereka.”
Kebo Gremeng mengerutkan keningnya. Tetapi ia mampu mengerti apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti sehingga kata-kata Mahisa Murti itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka Kebo Gremeng itu akhirnya berkata, “Aku mohon maaf anak-anak muda. Aku merasa betapa dungunya aku selama ini. Betapa sempitnya penglihatanku atas isi dunia ini. Aku kira aku adalah orang yang tidak terkalahkan.”
“Itu memang terjadi di daerah sempit ini. Daerah yang sekedar sebuah kerikil kecil dari sebuah tepian yang sangat luas. Karena itu, kau harus menyadari bahwa di dunia ini terdapat rahasia yang sama sekali tidak pernah kau kenali,” berkata Mahisa Murti, “bahkan seandainya kau adalah orang berilmu tinggi sekalipun, maka kemampuan itu tentu ada batasnya. Setiap orang mempunyai kelemahannya masing-masing. Yang ilmunya setinggi langit pun akhirnya akan bertemu dengan orang yang ilmunya lebih tinggi lagi. Bahkan orang yang ilmunya tidak terjangkau, dapat saja suatu ketika mengalami nasib buruk di tangan orang yang tidak berilmu sama sekali.”
Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”
“Apakah akibat dari pengertianmu itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku akan membuktikannya dalam tingkah laku,” berkata Kebo Gremeng.
“Nah. Katakan kepada gembala-gembala kecil itu, bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini salah.”
Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan mengatakan kepada mereka.”
“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti, “masa depan mereka masih panjang. Jika mereka terlanjur memasuki dunia yang kau ciptakan bagi mereka, maka seperti kau maka mereka akan melihat dunia ini begitu sempitnya. Mereka akan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja atas orang lain seperti yang selalu kau lakukan.”
Kebo Gremeng mengangguk. “Nah,” berkata Mahisa Murti, “jika demikian maka kita tidak mempunyai persoalan lagi. Ajak gembala-gembala kecil itu kembali dan kau harus mengajari dan mengawasi mereka.”
Kebo Gremeng mengangguk kecil sambil berdesis, “Baik anak-anak muda.”
Namun sebelum Mahisa Murti meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja mereka melihat beberapa orang datang mendekat. “Siapakah mereka?” bertanya Mahisa Murti.
Kebo Gremeng tiba-tiba menggeram, “Ki Bekel.”
“Ki Bekel?” ulang Mahisa Murti, “apa yang akan kau lakukan?”
“O,” suara Kebo Gremeng merendah, “aku harus menahan diri. Aku harus berubah. Tetapi berubah dengan tiba-tiba adalah sulit sekali.”
“Aku tahu. Tetapi kau harus melakukannya,” desis Mahisa Murti.
Sementara itu Ki Bekel melangkah semakin dekat. Namun nampaknya ia memang ragu-ragu. Ki Bekel sadar, dengan siapa ia berhadapan. Kebo Gremeng dengan kawan-kawannya. Tetapi Ki Bekel memang menjadi heran. Nampaknya tidak terjadi sesuatu antara Kebo Gremeng dengan anak-anak muda itu. Anak-anak muda yang menurut keterangan beberapa orang telah menyingkirkan adiknya yang berkelahi dengan anak Kebo Gremeng.
Sementara Ki Bekel ragu-ragu, maka tiba-tiba saja Kebo Gremeng berkata, “Marilah Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel mempunyai satu keperluan.”
Pertanyaan Kebo Gremeng itu sudah membuatnya menjadi keheranan. Nampaknya Kebo Gremeng itu begitu ramah. Namun Ki Bekel masih juga menduga, bahwa sikap itu adalah sikap yang dibuat-buat. Namun kemudian orang itu akan menerkamnya dan meremasnya sampai lumat.
Tetapi selain Kebo Gremeng ternyata Mahisa Murti pun juga mempersilahkan, “Marilah Ki Bekel.”
Meskipun masih juga ragu-ragu namun Ki Bekel telah melangkah mendekat. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan telah bergeser beberapa langkah. Mahisa Amping yang termangu mangu masih berdiri ditempatnya. Sementara Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun Ki Bekel pun kemudian melihat beberapa buah senjata yang terletak di tanah, serta bekas-bekas yang menunjukkan bahwa baru saja telah terjadi pertempuran. Karena itu, maka Ki Bekel pun segera mengetahui, bahwa bukannya tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
“Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti, “Ki Bekel tentu mengetahui apa yang telah terjadi di sini.”
“Ya. Aku sudah menduga. Karena itu, kami menyusul kemari,” berkata Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel itu melanjutkan, “tetapi kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat banyak berbuat. Meskipun demikian, karena tugasku, maka aku pun datang kemari bersama beberapa orang ini.”
Kebo Gremeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berbicara karena Mahisa Murti sudah mendahului, “Ki Bekel. Apakah mereka bertekad untuk menangkap Kebo Gremeng?”
“Tentu tidak akan sekasar itu. Kami tahu, siapakah Kebo Gremeng itu. Yang ingin kami lakukan adalah, agar tidak terjadi salah paham, bahwa anak-anak telah berkelahi. Orang tua gembala-gembala yang tahu bahwa anak mereka telah berkelahi dengan anak Kebo Gremeng ingin memberikan penjelasan. Aku adalah saksi karena tugasku,” berkata Ki Bekel.
“Apakah yang akan mereka sampaikan?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel masih juga ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti, akhir dari perkelahian itu. Menilik anak-anak muda itu, maka mereka tentu belum dikalahkan oleh Kebo Gremeng karena biasanya orang yang berani berkelahi dengan Kebo Gremeng tidak akan mampu untuk bangkit dari pembaringan setidak-tidaknya satu bulan. Bahkan ada orang yang ternyata menjadi cacat dan tidak dapat ditolong lagi jiwanya. Meskipun Kebo Gremeng tidak berniat membunuh, tetapi ia sudah membunuh.
“Kenapa kalian ragu-ragu. Katakan apa yang telah terjadi dan apa keinginan kalian. Kebo Gremeng sekarang sudah berubah. Ia tidak akan berbuat liar lagi, kecuali ia sendiri memang sudah jemu untuk hidup,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel dan orang-orang yang mengikutinya hampir tidak percaya mendengar kata-kata itu. Apalagi Kebo Gremeng memang tidak memberikan tanggapan apa-apa. Bahkan kepalanya justru telah menunduk.
Orang-orang itu masing-masing bertanya didalam hatinya, “Apakah Kebo Gremeng memang sudah dikalahkan oleh anak-anak ingusan itu?” Tetapi tidak seorang pun yang berani menanyakannya.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah mendesak lagi, “Katakan. Apa yang tersimpan di dalam hati kalian.”
Ki Bekel berpaling, dipandanginya orang-orang yang menyertainya itu. Ternyata mereka hanya terbungkam saja. “Katakanlah,” desis Ki Bekel yang masih saja bernada ragu-ragu.
Namun akhirnya ada juga di antara orang tua anak-anak itu. Orang yang sebelumnya telah bertemu dengan anak-anak muda yang menyatakan diri mereka sebagai pengembara, yang telah melerai anak-anak itu berkelahi. Dengan sedikit gemetar orang itu berkata, “Kami hanya ingin menyatakan, bahwa anak-anak kami tidak ingin berkelahi. Kami juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga.”
Wajah Kebo Gremeng memang menegang. Tetapi ia benar-benar berusaha mengekang dirinya. Bukan karena masih ada anak-anak muda yang tidak terkalahkan itu, tetapi ia memang ingin mencoba hidup seperti kebanyakan orang. Bertetangga dengan baik. Berbincang-bincang di sudut padukuhan menjelang senja setelah kerja di sawah selesai.
Dalam keadaan terjepit itu, ia baru menyadari, betapa miskinnya hidup yang pernah ditempuhnya. Bukan karena ia kekurangan uang dan tidak dapat mencukupi kebutuhan. Tetapi ia seakan-akan hidup terpisah dari orang lain. Jika ia hadir di manapun, maka orang-orang pun bagaikan menyibak menjauhinya. Demikian pula isteri dan anak-anaknya. Hanya orang-orang tertentu yang mau berhubungan dengan dirinya, istrinya dan anaknya. Gembala-gembala kecil yang menjadi kawan anak-anaknya adalah anak-anak pengikutnya atau orang-orang yang justru sangat takut kepadanya yang tinggal di sekitar rumahnya.
Karena Kebo Gremeng tidak segera menanggapi pernyataan orang tua dari gembala yang berkelahi dengan anak Kebo Gremeng itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, apa yang akan kau katakan tentang pernyataan itu?”
Kebo Gremeng termangu-mangu. Seperti yang dikatakan, untuk berubah dengan tiba-tiba memang sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Aku juga akan mengatakan hal seperti itu.”
Ki Bekel dan orang-orang itu menjadi heran. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Telah terjadi perubahan di dalam diri orang ini. Ia akan menyatakan satu janji di hadapan Ki Bekel sebagai pemimpin yang harus dipatuhi di padukuhan ini.”
“Janji?” justru Ki Bekel menjadi heran.
“Ya, janji yang akan ditepatinya, karena jika janji itu tidak ditepati, maka akibatnya akan memukul dirinya sendiri,” jawab Mahisa Murti.
Ki Bekel masih saja merasa heran. Namun sedikit banyak ia sudah dapat meraba apa yang telah terjadi. Anak-anak muda itu tentu sudah berhasil menguasai Kebo Gremeng, sehingga di hadapan anak-anak muda itu Kebo Gremeng tidak berani berbuat sesuatu. Tetapi bahwa anak-anak muda itu dapat mengalahkan Kebo Gremeng tentu merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Namun mereka melihat kenyataan itu. Kebo Gremeng yang tidak mau berteka-teki lebih lama lagi telah mengaku. “Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini,” berkata Kebo Gremeng, “tetapi apa yang terjadi telah benar-benar merubah pendirianku selama ini. Ternyata anak-anak muda itu mampu mengalahkan aku.”
“Tetapi…?” Ki Bekel tidak melanjutkan pertanyaannya.
Namun Kebo Gremeng mengetahui ke mana arah pertanyaan itu. Karena itu, maka ia pun telah menjawab, “Aku tidak berpura-pura sekarang. Dan bila anak-anak muda itu pergi aku akan kembali ke tabiatku semula. Tidak. Aku sudah berjanji untuk meninggalkan cara hidupku yang tidak pantas itu. Bukan hanya di hadapan anak-anak muda itu, tetapi untuk seterusnya. Anak-anak muda itu tidak sekedar mengalahkan aku dan kawan-kawanku, tetapi mereka telah menunjukkan sesuatu yang selama ini belum aku lihat.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Selama ini pemerintahannya selalu dibayangi oleh kecemasan akan tingkah laku Kebo Gremeng dan kawan-kawannya, sementara ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatasinya. Jika benar Kebo Gremeng itu berubah, maka padukuhannya tentu akan mengalami satu masa yang tenang. Namun melihat sikap dan sorot mata Kebo Gremeng, maka orang itu tentu akan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Mudah-mudahan untuk selanjutnya, kita di sini tidak akan selalu diganggu oleh kegelisahan.”
“Aku yakin bahwa Kebo Gremeng kali ini berkata benar. Sebagai seorang gegedug ia tidak akan mengatakannya seandainya ia benar-benar tidak ingin berubah. Lidahnya dan tingkah laku seorang gegedug biasanya akan menyatu sebagaimana ia selama ini berbuat sebagaimana dikatakannya,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas perubahan ini. Pengaruhnya akan dirasakan bukan saja oleh aku dan para bebahu, tetapi sudah tentu orang-orang di sekitar kami-pun akan ikut merasakannya pula.”
Namun Kebo Gremeng itu sendirilah yang melanjutkannya, “Kami menyadari sepenuhnya akan hal itu sekarang setelah mata kami seakan-akan terbuka.”
“Nah,” berkata Ki Bekel kemudian kepada anak-anak muda itu, “marilah. Kita akan berbicara di padukuhanku. Aku persilahkan kalian singgah.”
Tetapi Mahisa Murti tersenyum dan menjawab, “Terima kasih Ki Bekel. Kami berharap bahwa Ki Bekel dan Kebo Gremeng akan dapat menyelesaikan masalah kalian sendiri. Aku sudah yakin akan kemauan baik kedua belah pihak. Jika kemudian Kebo Gremeng benar-benar berniat untuk merubah jalan hidupnya, berikan kesempatan. Jangan mendendam atas tingkah lakunya yang lalu, karena dendam hanya akan berbalas dendam saja.”
“Apakah kalian tidak dapat singgah barang sebentar?” bertanya Ki Bekel.
“Kami mohon,” minta orang tua yang anaknya berkelahi dan berdarah.
“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti, “kami masih akan meneruskan pengembaraan kami sampai saatnya kami mencapai padepokan kami. Jika kami terlalu sering singgah dan berhenti, maka aku takut bahwa kami tidak akan pernah sampai, sementara orang tua kami telah menunggu dengan tegang dan cemas.”
Ki Bekel, Kebo Gremeng dan orang-orang padukuhan itu tidak dapat memaksa Mahisa Murti yang justru telah minta diri. Demikian pula saudara-saudaranya sampai kepada Mahisa Amping. Kebo Gremeng sempat menepuk pundak anak itu sambil berkata, “Kau akan menjadi seorang yang perkasa kelak. Di umurmu yang masih belum seberapa banyak itu, kau sudah menunjukkan bekal kemampuanmu yang mengherankan.”
Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja, sementara Mahisa Murti berkata, “Ia belum mulai.”
Tetapi Kebo Gremeng justru menjawab, “Apalagi belum mulai. Jika anak itu mulai sehari dua hari, maka ia akan semakin meyakinkan.”
Mahisa Murti tersenyum. Namun ia pun mengulangi permintaannya untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah meneruskan perjalanannya. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan persoalan Mahisa Amping sehingga perjalanan mereka telah terhambat.
Namun di sepanjang perjalanan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memikirkan kemungkinan baru untuk Mahisa Amping. Anak itu baru mulai dari dasarnya sama sekali. Ketahanan tubuh dan latihan-latihan yang berhubungan dengan daya tahan itu. Anak itu memang sudah mulai dengan dasar-dasar olah kanuragan, tetapi masih pada latihan-latihan yang dasar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya memutuskan bahwa anak itu harus mulai ditingkatkan kemampuannya, ia telah memiliki landasan yang cukup kuat untuk melakukan latihan-latihan yang agak berat. Karena itu, maka di sore hari ketika mereka beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di pinggir jalan, Mahisa Murti bertanya kepadanya,
“Amping. Apakah kau benar-benar sudah siap untuk menjalani laku yang berat, berlatih dengan ikatan paugeran yang tidak boleh kau langgar?”
“Tentu,” jawab anak itu, “sudah lama aku siap menjalani laku. Di padepokan itu pun aku telah menjalani laku yang berat dan bahkan kadang-kadang aku menjadi pingsan karenanya.”
“Tetapi aku tidak ingin kau mengalaminya lagi,” berkata Mahisa Murti, “kau harus tumbuh dengan wajar sesuai dengan umur, kekuatan wadagmu dan perkembangan jiwamu.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Yang pernah dilakukannya adalah satu kerja yang memaksa sehingga terjadi ketidak wajaran di dalam dirinya. Dengan nalar kecilnya, Mahisa Amping sudah dapat mengetahui bahwa yang terjadi itu adalah laku yang dipaksakan untuk kepentingan tertentu justru dari mereka yang berilmu hitam. Jika ia tidak dibebaskan oleh Mahisa Murti, maka perkembangan jiwanya akan mengalami kelainan sehingga ia bukan lagi dirinya sendiri, meskipun wadagnya adalah wadag itu juga.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata pula, “Mahisa Amping. Jika kemudian aku memberikan latihan-latihan kepadamu yang tentu semakin lama menjadi semakin berat, bukan berarti bahwa kau harus menjadi semakin sering berkelahi. Hari ini kau telah berkelahi. Kau merasa bahwa kau tidak memulainya. Jika kau kelak sedikit demi sedikit menyadap ilmu kanuragan, kau tidak boleh mencari-cari alasan untuk berkelahi. Selama ini kau tentu melihat bahwa jika aku, kakangmu Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan paman Wantilan berkelahi, itu bukan karena kami ingin berkelahi.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk.
“Kau mengerti?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku mengerti kakang,” jawab Mahisa Amping.
“Selama ini aku telah memberikan latihan-latihan yang dasar kepadamu. Tetapi mulai besok ilmumu memang akan meningkat perlahan-lahan. Tetapi laku yang harus kau jalani tentu berat. Bukankah kau melihat bagaimana kakangmu Mahisa Semu dan paman Wantilan berlatih setiap hari di perjalanan? Setiap hari kita memerlukan berlatih beberapa saat, justru disaat kita beristirahat. Kita adalah pengembara. Kesempatan kita berlatih adalah di sela-sela perjalanan yang sangat panjang,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang membayangkan kerja yang berat di hari-hari mendatang jika ia benar-benar ingin memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Namun ia pun mengerti bahwa ia tidak akan melakukannya sendiri. Mahisa Semu, Wantilan dan dirinya akan mempergunakan kesempatan-kesempatan seperti itu.
“Kita tidak mempunyai sanggar yang memadai,” berkata Mahisa Murti, “sanggar kita adalah alam di mana kita berhenti dari perjalanan kita yang kita tempuh dari hari ke hari.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia tiba-tiba saja berkata, “Bukankah hal seperti itu sudah kita lakukan?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Yang kau lakukan belum apa-apa. Dari hari ke hari akan menjadi semakin berat.”
“Aku akan melakukannya,” sahut Mahisa Amping.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Untuk selanjutnya kau harus menepati segala ketentuan yang dibuat untukmu. Kau tidak boleh lagi merajuk. Tidak boleh lagi manja dan menurut kehendakmu sendiri. Kau mengerti?”
Mahisa Amping mengangguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Ya. Aku mengerti.”
“Bagus. Jika demikian kita akan segera dapat mulai,” berkata Mahisa Pukat.
Tiba-tiba saja Mahisa Amping itu pun telah bangkit berdiri dan berkata, “Aku sudah siap.”
“Tidak sekarang,” berkata Mahisa Pukat dengan serta merta. Sambil tersenyum ia berkata selanjutnya, “Duduklah. Maksudku segera dapat kita mulai tentu diwaktu yang pendek setelah ini. Mungkin besok, mungkin lusa.”
Mahisa Amping nampak menjadi kecewa. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kau memerlukan waktu beberapa tahun. Tidak hanya satu dua hari. Untuk waktu yang bertahun-tahun itu, maka yang sehari dua hari ini tidak akan terlalu banyak berpengaruh.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia duduk kembali Mahisa Semu yang tertawa berkata, “Kenapa kau begitu tergesa-gesa? Apakah besok kau akan berkelahi lagi dengan gembala-gembala yang kau jumpai di perjalanan?”
Mahisa Amping menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak kakang. Tetapi rasa-rasanya aku sudah terlalu lama mempersiapkan diri untuk itu.”
“Terlalu lama? Sejak kapan?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping menundukkan kepalanya. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Sudahlah. Besok kita akan mulai di samping latihan-latihan daya tahan sebagaimana kita lakukan setiap hari sebelum hari ini.”
Mahisa Amping mengangguk sambil menjawab, “Baik kakang. Aku sudah siap kapan saja aku harus mulai.”
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mulai memberikan latihan-latihan pada hari itu. Dibiarkannya Mahisa Amping berangan-angan agar dengan demikian, maka ia sempat mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Terutama persiapan jiwani, karena sebenarnya secara wadag Mahisa Amping memang sudah siap.
Hari itu telah dihabiskan oleh anak-anak muda yang mengaku pengembara itu untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata mereka memang harus berjalan jauh karena perjalanan yang mereka tempuh memang sudah jauh.
Malam itu, ke empat orang itu memilih bermalam di tempat terbuka. Mahisa Amping yang menyertai mereka sama sekali tidak pernah merasa berkeberatan, di manapun mereka bermalam. Daya tahan tubuhnya pun telah memungkinkannya untuk tidur di tempat terbuka tanpa selimut kecuali pakaian yang dipakainya.
Namun malam itu Mahisa Amping merasa sulit untuk dapat tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun dan angan-angannya selalu tersangkut pada hari-hari mendatang, saat-saat ia mendapat kesempatan untuk menjalani laku dan meningkatkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh dan berlatih untuk sebenarnya mendapatkan ilmu kanuragan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan yang berganti-ganti berjaga-jaga melihat betapa Mahisa Amping menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak bertanya kepada anak itu, karena dengan demikian anak itu akan menjadi semakin sulit untuk tidur. Tetapi akhirnya, anak itu tertidur juga sampai menjelang fajar.
Sebelum matahari terbit, keempat orang itu bersama Mahisa Amping telah siap untuk berangkat. Mereka sempat mencuci wajah mereka di sebuah parit yang berair bening. Kemudian seperti biasanya mereka telah berlari-lari menyusuri jalan-jalan kecil dan sepi agar tidak menarik perhatian orang. Bahkan mereka telah menuruni lereng-lereng dan tebing sungai, kemudian memanjat lagi ke atas tanggul.
Namun mereka pun berhenti ketika hari menjadi terang. Di saat matahari terbit, maka mereka telah melakukan latihan-latihan khusus di sebuah tikungan sungai yang nampaknya jarang dilalui orang. Mahisa Amping berusaha untuk selalu menirukan unsur-unsur gerak yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya telah melakukan unsur gerak yang berbeda, maka Mahisa Amping harus memilih salah satu di antaranya.
Baru setelah matahari memanjat naik, mereka berhenti. Beristirahat sebentar. Kemudian mandi di sungai itu juga. Setelah membenahi pakaian mereka, maka mereka pun naik dan melanjutkan perjalanan. Mahisa Amping memang menjadi kecewa. Ia mengira bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mulai dengan memberikan latihan-latihan kepadanya. Namun ternyata sama sekali belum. Meskipun demikian Mahisa Amping tidak berani menanyakannya. Ia menyimpan kekecewaannya itu di dalam hatinya.
Keempat orang itu pun kemudian memasuki jalan yang lebih ramai. Memang tidak ada orang yang secara khusus memperhatikan mereka. Keempat orang yang membawa seorang anak itu berjalan di antara orang-orang lain yang hilir mudik. Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Kita memasuki jalan yang menuju ke pasar.”
“Atau membelakangi pasar,” sahut Wantilan.
“Tidak. Orang yang menuju searah dengan kita membawa barang-barang dagangan. Sedangkan mereka yang berjalan ke arah yang berlawanan membawa barang-barang yang mereka beli di pasar itu. Tentu dapat dibedakan,” jawab Mahisa Murti.
Wantilan mengangguk-angguk. Memang ia pun kemudian sependapat bahwa jalan itu memang menuju ke pasar. Di luar pasar yang ramai itu, kelima orang itu telah singgah di sebuah kedai. Mereka dapat memilih berbagai jenis makanan yang tersedia. Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah meneruskan perjalanan mereka meninggalkan keramaian pasar itu dan bahkan kemudian meninggalkan padukuhan yang cukup besar dan ramai.
Tidak ada persoalan yang mereka hadapi di padukuhan itu. Karena itu, maka mereka dapat berjalan terus. Mahisa Murti berharap bahwa mereka tidak akan menjumpai persoalan-persoalan baru diperjalanan mereka. Karena mereka telah bertekad sejak semula untuk tapa ngrame, sehingga dalam hal tertentu mereka memang tidak dapat menutup mata dan begitu saja mengabaikannya, betapapun perjalanan mereka menjadi semakin terhambat.
Menjelang tengah hari, kelima orang itu justru telah mendekati sebuah daerah yang nampaknya agak terasing. Namun justru mereka telah memilih berbelok memasuki jalan sempit yang menuju ke sebuah hutan yang nampaknya masih lebat.
Seorang petani yang bertemu di bulak itu telah bertanya, “Kalian akan pergi ke mana anak-anak muda?”
“Kami pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang Ki Sanak. Apakah jalan ini menuju ke hutan yang nampak lamat-lamat itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Justru karena itu aku bertanya, “sahut petani itu, “jalan ini adalah jalan mati, karena jalan ini hanya akan mencapai hutan itu saja. Hutan yang masih termasuk lebat dan dihuni binatang-binatang buas.”
Mahisa Murti mengangguk sambil berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami memang ingin melihat hutan lebat itu.”
Petani itu menjadi heran. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apa yang akan kalian cari di hutan yang lebat itu?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kami tidak mencari apa-apa Ki Sanak. Kami justru menghindari persoalan-persoalan yang mungkin timbul jika kami berjalan melalui padukuhan-padukuhan. Karena sebenarnyalah kami berjalan jauh. Ancar-ancar perjalanan kami adalah Gunung-gunung, matahari terbit dan terbenam serta bintang-bintang di malam hari.”
Petan itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak tahu maksud anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata asal saja terloncat dari bibirnya, “berhati-hatilah anak muda.”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
Ketika petani itu meninggalkan mereka, Mahisa Murti menjadi termangu-mangu. Ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Kita menuju ke hutan lebat. Mungkin kita harus menempuh jalan ini kembali.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kita akan berjalan terus?” Mahisa Murti justru bertanya. Lalu katanya, “Agaknya tidak ada jalan tembus ke seberang hutan itu. Kecuali jika kita berniat untuk menerobos hutan itu.”
Mahisa Pukat memang nampak ragu-ragu. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping berkata, “Menarik sekali. Kita dapat melihat-lihat satu lingkungan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.”
Semua orang berpaling kepada anak itu. Tetapi justru karena itu Mahisa Amping merasa heran. Seakan-akan semuanya bertanya kepadanya, kenapa ia ingin melakukannya. Karena itu, Mahisa Amping justru menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Marilah. Kita melihat isi hutan itu. Jika kita tidak mungkin menerobosnya, maka kita akan kembali menempuh jalan ini dan turun di jalan sebelah.
Ternyata yang lain pun tidak menolak. Sehingga sejenak kemudian maka mereka telah menyusuri jalan itu menuju ke hutan yang ditunjuk dan dikatakan oleh petani itu. Mereka menyusuri bulak yang tidak begitu panjang. Kemudian memasuki padang perdu yang memisahkan daerah persawahan dengan hutan yang masih lebat itu.
Baru kemudian mereka melihat dinding yang membentang di hadapan mereka. Dinding yang nampak perkasa dan seakan-akan tidak akan tertembus oleh kekerdilan diri mereka. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan diikuti oleh Mahisa Amping berjalan
“Ya bibi,” desis Wantilan.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Sarpa Wereng itu masih belum puas meskipun api telah membakar semua bagian rumah Nyi Sarpada. Meskipun ia melihat lidah api itu menjilat awan yang mengalir didorong angin malam. Karena itu, maka ia pun berteriak dengan penuh dendam, apalagi beberapa orang kawannya telah terbunuh pula, “Bunuh semua orang.”
Tetapi beberapa orang pengikutnya merasa ragu. Bahkan seorang di antara mereka berbisik, “Orang itu mempunyai ilmu iblis. Tiga orang kawan kita tidak sempat bangkit lagi tanpa disentuhnya.”
“Ilmu sihir. Jangan hiraukan. Ketiga orang kawan kita itu tidak apa-apa. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka mati atau pingsan. Bangunkan mereka dan perintahkan mereka untuk bertempur,” geram pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang merasa ragu-ragu. Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya, termasuk Wantilan dan Nyi Sarpada telah menjauhi rumahnya yang telah menjadi seonggok api.
“Lihat dan bangunkan kawan-kawanmu yang dungu itu,” perintah pemimpin gerombolan itu.
Dengan sangat berhati-hati beberapa orang sudah melangkah mendekati ketiga orang kawannya yang terbaring diam. Ketika mereka memutar dan menelentangkan tubuh itu, maka mereka melihat bahwa tubuh itu seakan-akan menjadi hangus.
“Mereka benar-benar mati,” desis salah seorang kawannya.
Pemimpin gerombolan itu menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Murti sudah berkata, “Menyerahlah kalian. Kalian akan menjadi tawanan kami.”
“Persetan,” geram pemimpin gerombolan itu, “kami akan membunuh kalian.”
“Siapa yang tidak mau mendengarkan perintah kami, akan mengalami nasib seperti ketiga orang itu atau kedua orang lainnya yang agaknya kini telah menjadi abu di dalam api itu,” geram Mahisa Pukat.
Pemimpin gerombolan itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak mudah untuk menyerah menghadapi keadaan. Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat kepada seluruh pengikutnya untuk berkumpul.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari apa yang akan terjadi. Namun Mahisa Murti masih memperingatkan, “Semakin banyak orang di sini, maka semakin banyak orang yang akan mati.”
Pemimpin gerombolan itu tidak menjawab. Sementara itu, beberapa orang pengikutnya telah berlari-lari melingkari api yang menyala itu dan berkumpul didekat pemimpinnya. Namun mereka memang menjadi heran, bahwa beberapa orang kawan mereka telah terbaring diam tidak jauh dari seonggok api yang menggapai langit itu.
“Apa yang terjadi,” desis seseorang. Tetapi pemimpinnya berteriak. “Kita harus memencar dan menyerang orang-orang itu dari segala penjuru. Kalian harus dengan cepat meloncat mendekat dan membunuh mereka semuanya. Berhati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa pemimpin segerombolan orang itu memiliki pengalaman yang cukup luas, sehingga ia dapat dengan cepat mengambil sikap menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sangat berbahaya itu.
Namun Mahisa Murti pun dengan cepat tanggap pula. Karena itu, maka ia pun berkata, “Mahisa Semu dan paman Wantilan. Hati-hati dengan Nyi Sarpada. Mereka akan menyerang dari segala arah. Amping, kau harus menyesuaikan dirimu.”
Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat perkembangan keadaan. Yang mengherankan bagi Wantilan, bibinya pun nampak tetap tabah. Bahkan nampaknya Nyi Sarpada sudah pasrah, sehingga karena itu, maka sama sekali tidak terbayang lagi ketakutan di matanya.
Adalah diluar dugaan Wantilan ketika bibinya berkata, “Berhati-hatilah anak-anak muda. Jangan hiraukan aku. Sepeninggal pamanmu, Ki Sarpada, maka hidup tidak penting lagi bagiku. Karena itu, maka kalian harus lebih memperhatikan diri kalian masing-masing.”
Wantilan tidak sempat menjawab. Sementara itu, pemimpin gerombolan itu pun berteriak, “Cepat. Lakukan, sekarang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia memang dapat mengurangi lawannya dengan melontarkan serangan ke arah mereka yang sedang berlari-lari itu. Tetapi itu tidak banyak berarti, karena dalam waktu singkat, yang lain telah mencapai mereka berdua, bahkan Mahisa Semu dan Wantilan.
Karena itu, maka keduanya justru lebih senang menunggu mereka dengan mengetrapkan kekuatan ilmu mereka yang lain. Dalam setiap sentuhan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang dalam gerombolan itu akan kehilangan sebagian dari tenaga mereka. Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pula mempersiapkan diri untuk memberikan pukulan terakhir kepada orang-orang yang benar-benar telah menjadi liar itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang itu telah berloncatan menyerang. Mahisa Semu telah siap menunggu mereka dengan pedang di tangan. Demikian pula Wantilan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menggenggam pedang pula yang bukan saja dipergunakan sebagai senjata, tetapi lewat pedang itu, keduanya mampu mengetrapkan ilmunya, sehingga benturan senjatanya akan memiliki akibat yang sama sebagaimana sentuhan-sentuhan wadagnya sendiri. Menghisap sebagian dari kekuatan lawannya.
Sejenak kemudian, telah terjadi benturan yang sengit antara kekuatan segerombolan orang itu melawan anak-anak muda yang menyebut dirinya pengembara itu. Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menyongsong orang-orang yang datang menyerang itu. Pedangnya berputaran menggapai senjata-senjata lawannya. Dalam setiap sentuhan maka telah terjadi getaran-getaran aneh yang bagaikan menghisap arus darah lawannya.
Tetapi lawan-lawan kedua orang anak muda itu tidak segera menyadari keadaan mereka. Bahkan mereka telah bergerak berputar-putar dengan cepat. Mahisa Semu dengan cepat pula mengalami kesulitan menghadapi beberapa orang. Demikian pula Wantilan. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memang telah menjadi marah sekali setelah orang-orang itu membakar rumah Ki Sarpada, telah memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, keduanya tidak lagi hanya berusaha menghisap kekuatan lawan dan membiarkan mereka terjatuh karena kehabisan tenaga, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan pedang mereka untuk mengoyak kulit lawan-lawan mereka.
Demikianlah, sejenak kemudian, beberapa orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mengalami benturan-benturan senjata yang sangat keras. Dua orang sekaligus telah kehilangan senjata mereka, karena terlempar beberapa langkah daripadanya.
“Dungu kau,” geram pemimpin gerombolan itu, “ambil senjatamu. Aku akan melindungimu.”
Kedua orang itu memang terlampau percaya kepada pemimpinnya. Karena itu, maka keduanya pun telah meloncat memungut senjata-senjata mereka yang terlepas. Namun ketika mereka membungkuk, maka terasa ujung pedang lawannya telah menghunjam ke lambung mereka.
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan kedua orang itu memungut senjata mereka. Dengan tangkas ia meloncat dan dengan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata wadag, maka ujung pedangnya telah menghunjam bukan saja pada salah seorang di antara mereka. Tetapi kedua-duanya, hanya dalam waktu sekejap.
Pemimpin gerombolan itu terlambat mencegahnya. Ketika ia meloncat menyerang Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti lah yang meloncat maju. Dengan kuatnya Mahisa Murti telah mengangkat pedang yang terjulur lurus ke arah leher Mahisa Pukat. Hampir saja pemimpin gerombolan itu kehilangan pedangnya. Namun sentuhan yang terjadi, telah berpengaruh atas kekuatannya meskipun tidak terlalu cepat.
Adalah diluar perhitungan pemimpin gerombolan itu, bahwa api yang menyala dirumah Nyi Sarpada itu telah memanggil beberapa orang tetangga yang ternyata cukup memiliki keberanian. Mereka berlari-larian keluar rumah mereka dan mendatangi rumah yang terbakar itu. Tetapi api sudah mencekam seluruh rumah itu, sehingga sulit bagi mereka untuk berusaha memadamkannya.
“Nyi Sarpada tidak membunyikan tanda bahaya,” desis salah seorang tetangganya.
“Tetapi bukan kebakaran biasa,” sahut yang lain.
Mereka tertegun ketika mereka kemudian melihat pertempuran di halaman sebelah rumah Nyi Sarpada itu. Ternyata ampat orang yang sedang melindungi Nyi Sarpada dan seorang anak kecil harus bertempur melawan segerombolan orang yang agaknya cukup garang.
Karena itu, maka tetangga-tetangga Nyi Sarpada itu pun telah dengan hati-hati mendekati mereka yang sedang bertempur dengan membawa senjata apa saja yang dapat mereka bawa, sebagaimana ketika mereka pergi ke mata air di hutan kecil ditengah-tengah tanah milik Nyi Sarpada itu.
Kedatangan mereka ternyata telah memperingan tugas Mahisa Semu dan Wantilan. Tetangga-tetangga yang berdatangan itu, telah turun pula ke medan pertempuran yang sengit itu. Tetapi orang-orang itu memang menjadi agak bingung. Pertempuran itu tiba-tiba saja telah menjadi kacau. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berputaran di seluruh arena pertempuran. Namun dengan demikian, maka keadaan Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin baik.
Tetapi kedatangan orang-orang padukuhan itu telah membuat sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak berubah. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehadiran orang-orang itu.
Namun ternyata gerombolan orang-orang yang membakar rumah Nyi Sarpada dan dengan serta merta telah ingin membunuh semua orang, bukan sekedar untuk menakut-nakuti itu, telah mengalami nasib yang buruk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang berloncatan berkeliling serta memutar pedangnya menyambar-nyambar telah bersentuhan hampir dengan semua senjata lawannya. Bahkan ada yang harus menangkis serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat beberapa kali. Sedangkan dua orang yang lengah ternyata tidak mampu lagi menghindari goresan senjata kedua orang anak muda itu.
Keadaan itu diperburuk dengan campur tangan tetangga-tetangga yang jumlahnya semakin lama semakin banyak. Mereka yang merasa tidak berarti lagi jika mereka berusaha untuk memadamkan api yang telah menyelimuti seluruh bangunan rumah Nyi Sarpada itu, yang bahkan satu dua batang kayu telah mulai runtuh, telah menumpahkan kemarahan mereka kepada orang-orang yang bertemur itu. Mereka menduga, bahwa orang-orang itulah yang telah membakar rumah Nyi Sarpada.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata kapak pembelah kayu yang tidak terlalu besar, tetapi bertangkai agak panjang, telah berteriak, ”Wantilan, siapakah orang-orang ini?”
“Mereka telah membakar rumah bibi Sarpada dan berusaha untuk membunuh kami semua,” jawab Wantilan. Namun suaranya terputus ketika senjata lawannya hampir saja menyambar keningnya.
Namun sementara itu, orang-orang padukuhan itu telah banyak yang melibatkan diri sehingga sebagian dari gerombolan itu harus menahan mereka. Meskipun tetangga-tetangga Nyi Sarpada itu bukan orang-orang berilmu, tetapi jumlah mereka cukup banyak, sementara anak-anak muda yang mengaku pengembara itu masih tetap merupakan kekuatan yang ternyata sulit untuk diimbangi.
Pemimpin gerombolan itu sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orangnya begitu cepat susut. Tidak hanya terluka, tetapi mereka benar-benar telah terbunuh. Bahkan ada di antara mereka yang berada di dalam api dan tidak sempat diselamatkan lagi.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu benar-benar telah mengacaukan semua rencananya. Orang-orang itu dengan garangnya telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil menghadapi para pengikut gerombolan itu. Apalagi di antara gerombolan itu ada yang telah kehilangan sebagian dari kekuatan mereka setelah senjata mereka beberapa kali bersentuhan dengan senjata Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu tidak mempunyai pilihan lain daripada melarikan diri dari arena pertempuran. Ia sadar, bahwa semakin lama mereka bertempur, maka korban akan menjadi semakin banyak jatuh.
Beberapa saat kemudian pemimpin gerombolan itu masih berusaha untuk mempertahankan dirinya. Namun kemudian, ketika tenaganya dirasa mulai menyusut, ia pun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Selain kenyataan yang dihadapinya, juga karena ia merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Dalam waktu yang pendek, maka orang-orang yang tersisa dari gerombolan itu telah berusaha untuk mengacaukan arena. Mereka berloncatan silang menyilang bercampur baur dalam usaha mereka untuk meninggalkan medan itu.
Pertempuran itu memang menjadi kacau. Orang-orang padukuhan itu seakan-akan telah kehilangan sasaran. Lawan dari kawan-kawan mereka saling berbaur dan bahkan dalam kesempatan itu gerombolan yang datang membakar rumah Nyi Sarpada itu masih sempat melukai beberapa orang.
Mahisa Semu dan Wantilan justru menjadi semakin sulit untuk melindungi Nyi Sarpada. Namun keduanya ternyata berhasil menghalau setiap orang yang berusaha mendekati Nyi Sarpada itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang tersisa dari gerombolan itu telah berloncatan memasuki bayangan pepohonan yang ada di halaman itu.
Api yang berkobar menelan rumah Nyi Sarpada memang menerangi seluruh halaman depan, samping dan kebun di belakang. Tetapi pohon-pohon perdu dan bahkan pohon buah-buahan di kebun telah membuat bayangan yang kegelapan.
Namun berbeda dengan orang-orang padukuhan yang menjadi bingung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka ketika beberapa orang yang tersisa itu melarikan diri, maka Mahisa Pukat sempat menghentikan seorang di antaranya dan dengan sekali hentak, maka orang itu telah terlempar jatuh berguling di tanah. Mahisa Pukat memang tidak mempergunakan senjatanya, tetapi dengan tangannya Mahisa Pukat telah membuatnya tidak berdaya sama sekali.
Namun dalam pada itu, pemimpin gerombolan yang selalu diawasi oleh Mahisa Murti sempat berlari menyusup ke dalam bayangan pepohonan. Mahisa Murti yang menganggap orang itu bertanggung jawab, tidak melepaskannya. Ia pun meloncat mengejarnya ke kebun belakang. Tetapi orang itu ternyata telah sempat berlari mendekati dinding halaman, sehingga menurut perhitungan Mahisa Murti, ia tidak akan sempat mencapai orang itu sebelum orang itu meloncat keluar.
Karena itu, daripada kehilangan orang itu, maka Mahisa Murti telah berhenti berlari. Memusatkan nalar budinya dan mengetrapkan ilmunya. Sesaat pemimpin gerombolan itu meloncat dengan tangkasnya, maka Mahisa Murti telah mengangkat tangannya dengan membuka telapak tangannya menghadap ke arah pemimpin gerombolan yang melarikan diri itu.
Sebuah kilatan cahaya telah meloncat dari telapak tangannya dan menyambar pemimpin gerombolan itu di arah kakinya tepat pada saat pemimpin gerombolan itu menyentuh bibir dinding halaman.
Terdengar pemimpin gerombolan itu berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, maka ia tidak lagi mampu berdiri di atas dinding itu. Karena itu, maka ia pun telah terjatuh keluar dinding halaman. Tetapi malang baginya. Bukan saja kakinya yang telah dihancurkan oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti, tetapi bibir dinding halaman yang terbuat dari batu itu telah pecah pula dan jatuh menimpanya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti berlari pula menyusulnya. Ia pun telah meloncati dinding itu pula. Namun ketika ia berjongkok disisi pemimpin gerombolan yang jatuh dan tertipa bibir dinding batu itu, ia pun melihat bahwa pemimpin gerombolan itu sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Batu yang runtuh itu telah membunuhnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah kehilangan orang yang akan dapat memberikan keterangan tentang niat gerombolan itu yang sebenarnya. Meskipun seandainya ada satu dua orang pengikutnya yang dapat ditangkapnya, tetapi orang itu tentu tidak akan dapat memberikan keterangan selengkap orang yang menyebut dirinya Sarpa Wereng itu.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah melangkah kembali ke halaman samping. Ternyata hanya ada satu dua orang saja yang berhasil lolos. Mahisa Pukat sempat menangkap beberapa orang, hidup atau mati. Orang-orang padukuhan itu pun berhasil menggagalkan orang yang tersisa sehingga mereka tidak sempat meninggalkan halaman itu.
Ternyata beberapa orang telah tertangkap. Yang lain telah terluka dan tidak dapat melarikan diri lagi. Bahkan beberapa orang kawan mereka telah terbunuh pula, termasuk pemimpin gerombolan itu.
Mahisa Pukat yang sempat memaksa salah seorang yang ditangkapnya untuk berbicara, mendapat keterangan bahwa yang mereka lakukan adalah semata-mata karena dendam atas kematian beberapa orang yang telah diupah untuk merampas tanah dan mata air di tengah-tengahnya bersama dengan Ki Bekel dan beberapa orang-orangnya.
“Kita kumpulkan mereka yang terluka, yang terbunuh dan yang masih hidup,” berkata Mahisa Murti. Namun ia pun berkata pula, “Rawat kawan-kawan kita sendiri. Jangan sampai justru dilupakan.”
Tetangga-tetangga Nyi Sarpada telah melakukannya dengan cepat. Sementara Wantilan telah menuntun Nyi Sarpada dan membawanya ke bawah sebatang pohon yang rimbun.
“Duduklah bibi, beristirahatlah,” berkata Wantilan.
“Aku tidak apa-apa, Wantilan,” jawab bibinya.
“Tetapi bibi perlu beristirahat,” desak Wantilan yang melihat bibinya terlalu letih.
Tetapi Nyi Sarpada mencoba untuk mengelak. Katanya, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak mengalami kejutan jiwani maupun badani. Peristiwa ini tidak menggoncangkan perasaanku. Sudah aku katakan, sepeninggal pamanmu, perasaanku pun telah mati.”
“Bibi tidak boleh berkata begitu,” desis Wantilan, “bibi harus bangkit dan tetap tegar untuk menggantikan kedudukan paman.”
Tetapi pandangan Nyi Sarpada yang kosong menatap lidah api yang melonjak-lonjak mencengkam sisa-sisa rumahnya yang semakin lama justru menjadi semakin surut. Atap rumah Nyi Sarpada dari pendapa sampai ke dapur sudah runtuh sama sekali.
Dalam pada itu, selagi orang-orang padukuhan itu sibuk mengumpulkan orang-orang-orangnya yang menjadi korban usaha untuk membalas dendam, Ki Buyut sedang berpacu menuju ke tempat itu.
Malam itu, beberapa orang peronda di rumahnya telah mendapat pemberitahuan dari para peronda di mulut lorong, bahwa mereka telah melihat api yang menyala di padukuhan yang agak jauh. Api yang tentu berasal dari kebakaran yang besar sehingga nyalanya tampak memerah di langit.
Dua orang peronda di rumah Ki Buyut itu telah membuktikannya. Dan mereka mengambil kesimpulan, bahwa ada rumah yang terbakar. Tetapi mereka memang menjadi heran, bahwa mereka tidak mendengar isyarat apapun juga.
“Ada yang tidak wajar,” berkata peronda itu.
“Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut,” sahut yang lain.
Sebenarnyalah, maka para peronda itu telah memberanikan diri untuk membangunkan Ki Buyut, sebagaimana pesan Ki Buyut sendiri. Jika keadaan yang khusus memerlukannya, maka ia harus dibangunkannya. Ki Buyut yang mendapat keterangan dari para peronda itu-pun telah pergi ke gardu di mulut lorong. Ternyata ia pun melihat api itu. Tetapi tanpa isyarat apapun juga.
“Kita akan pergi ke sana,” berkata Ki Buyut.
Para peronda itu memang menjadi cemas. Mereka bukan orang-orang yang terlatih baik untuk menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi seperti di dekat mata air yang sedang diperebutkan itu. Tetapi mereka tidak dapat menolak ketika Ki Buyut memerintahkan mereka untuk bersiap.
“Kita akan berkuda menuju ke api itu. Nampaknya di padukuhan tempat tinggal Nyi Sarpada,” berkata Ki Buyut.
Beberapa orangpun telah bersiap. Gamel yang melayani kuda-kuda Ki Buyut pun telah dibangunkan untuk menyiapkan tiga ekor kuda dibantu oleh para peronda. Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah berpacu menuju ke tempat api yang justru mulai susut diiringi oleh dua orang peronda yang bersenjata. Mereka berpacu di tengah-tengah bulak di gelapnya malam.
Namun karena jalan-jalan itu sudah sering mereka lalui, maka mereka dapat mengenalinya dengan baik, di mana mereka harus menyusut kecepatan, di mana mereka dapat berpacu dengan kecepatan penuh karena jalan lurus dan rata. Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki padukuhan yang mereka tuju. Ki Buyut pun segera mengenali tempat itu meskipun ia belum sampai ke tujuan.
“Tentu rumah Nyi Sarpada,” desis Ki Buyut.
Kedua peronda itu tidak menjawab. Tetapi mereka menjadisemakin tegang. Tentu sudah terjadi sesuatu di rumah itu. Jika tidak, maka tentu sudah terdengar isyarat. Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki halaman rumah itu, maka yang mereka ketemukan justru adalah orang-orang yang sedang mengumpulkan mereka yang menjadi korban dalam pertempuran itu dari kedua belah pihak.
Dengan serta merta Ki Buyut pun telah meloncat turun. Ternyata beberapa orang masih saja sibuk di halaman samping, sementara Wantilan masih saja menunggui Nyi Sarpada yang berdiri tegak memandangi api yang mulai susut.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Buyut,” desis Wantilan.
“Ya,” jawab Ki Buyut, “ketika aku mendapat laporan bahwa ada kebakaran, maka aku sudah curiga.”
“Beberapa orang datang untuk membalas dendam kematian kawan-kawannya,” jawab Wantilan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “Di manakah anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.”
Wantilan pun melayangkan tatapan matanya sambil menjawab, “Mereka ada di sebelah pohon pucang itu. Di sebelah orang-orang yang terluka dan terbunuh dibaringkan.”
Ki Buyut pun telah melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula. Kemudian agak menepi Mahisa Semu berdiri bersama Mahisa Amping yang termangu-mangu.
“Syukurlah jika mereka masih ada di sini,” desis Ki Buyut.
“Hampir saja mereka meninggalkan tempat ini. Untunglah mereka masih bersedia aku tahan untuk sehari lagi, menunggu kesediaan Ki Buyut untuk datang,” jawab Wantilan.
Ketika Ki Buyut melangkah mendekatinya, maka Ki Demang pun telah berada di tempat itu pula. Seperti Ki Buyut, maka mereka pun telah menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Sejenak kemudian, ketika api menjadi semakin menyusut, maka Ki Buyut telah duduk bersama Ki Demang, anak-anak muda yang mengaku pengembara itu bersama Nyi Sarpada dan Wantilan.
Namun seperti yang pernah diucapkan, Nyi Sarpada itu seakan-akan sudah tidak peduli apa saja yang telah terjadi atas rumahnya.
“Tanah dan mata air itu telah diselamatkan. Wantilan, rasa-rasanya tidak ada lagi yang penting bagiku menghadapi masa depan. Kau telah datang dan tanah dan mata air itu masih tetap menjadi hak kita. Hakmu. Apalagi? Sisa hidupku sudah tidak penting lagi,” berkata Nyi Sarpada.
“Tidak,” Wantilan berkata lantang, “bibi harus tetap hidup. Bibilah yang akan menggantikan paman di sini. Ki Buyut akan mengatur segala-galanya.”
Tetapi Nyi Sarpada tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan sebagaimana dikatakan oleh pamanmu. Kau adalah pewaris tanah itu. Kau akan meneruskan tugas pamanmu. Bukan saja membasahi tanah kita sendiri, tetapi sejauh kemungkinan yang dapat kau lakukan, maka kau akan membasahi tanah di sekitarmu.”
“Bibi,” Wantilan memotong dengan serta merta, “dengar bibi. Aku besok akan meninggalkan tempat ini.”
Nyi Sarpada terkejut. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi suram. Dipandanginya Wantilan dengan tatapan mata redup. “Kenapa kau akan pergi Wantilan. Apakah kau menolak pesan pamanmu itu?” bertanya Nyi Sarpada.
“Tidak bibi. Sama sekali tidak. Aku junjung tinggi pesan paman Sarpada. Karena itu, aku harus mendapatkan bekal untuk mempertahankan tanah itu. Bukankah yang terjadi merupakan satu pengalaman yang pahit?” jawab Wantilan.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya bibinya.
“Aku akan berguru bibi,” jawab Wantilan.
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Kemudian hampir diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Ki Buyut untuk minta pertimbangan.
“Berguru adalah satu kewajiban bagi setiap orang Nyi. Mungkin Wantilan merasa dirinya belum cukup bekal untuk menerima tugas yang dilimpahkan oleh pamannya. Karena itu, maka ia ingin minta waktu,” berkata Ki Buyut.
“Selama ini aku akan mohon Ki Buyut untuk membantu bibi sampai saatnya aku kembali untuk mengemban tugas ini,” berkata Wantilan.
Nyi Sarpada masih tetap berdiam diri. Dipandanginya api yang telah hampir padam sama sekali. Di sana-sini masih ada potongan-potongan kayu yang menyala. Tetapi nyalanya tidak lagi melonjak tinggi.
Namun kemudian Nyi Sarpada itu justru bertanya kepada Ki Buyut, “Ki Buyut, apakah yang harus aku lakukan? Rumahku sudah terbakar. Tidak ada lagi tempat untuk berteduh. Jika Wantilan pergi, maka aku akan kehilangan semuanya meskipun tanah dan mata air itu masih tetap menjadi milikku.”
“Tidak bibi,” berkata Wantilan, “aku tidak akan meninggalkan bibi. Aku hanya mohon bibi memberikan waktu kepadaku untuk menuntut ilmu. Itu saja. Pada saatnya aku akan kembali kepada bibi dan melakukan tugas sebagaimana dipesankan oleh paman.”
“Kapan kau akan kembali Wantilan? Kau tahu, umurku tinggal sepanjang umur jagung,” berkata Nyi Sarpada.
“Jangan merasa begitu bibi. Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung. Semuanya akan terjadi sebagaimana harus terjadi. Apapun yang kita duga, tetapi kehendak Yang Maha Agung lah yang akan terjadi,” sahut Wantilan.
Nyi Sarpadapun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.”
“Nyi,” berkata Ki Buyut, “aku tahu apa yang telah dilakukan oleh Ki Sarpada selama ini. Sudah barang tentu, aku harus berterima kasih kepadanya. Ia telah memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk ikut menikmati miliknya. Bukan hanya para tetangga yang mempunyai tanah di sekitar tanah Ki Sarpada sajalah yang ikut menikmati hasilnya. Tetapi juga mereka yang berkesempatan ikut menggarap sawah, mendapat upah dari kerja di sawah itu. Juga mereka yang ikut menuai padi dengan mendapatkan bawon yang cukup untuk membantu meringankan beban banyak keluarga. Karena itu Nyi Sarpada tidak usah bingung. Aku berjanji bahwa dalam waktu sebulan rumah Nyi Sarpada sudah berdiri lagi meskipun barangkali tidak sebesar yang telah terbakar. Sementara itu Nyi Sarpada dapat tinggal di banjar. Atau jika Nyi Sarpada keberatan. Nyi Sarpada dapat tinggal di rumahku yang cukup luas untuk menerima kehadiranmu.”
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Diluar sadarnya, titik-titik air mata telah membasahi pipinya yang sudah dilukisi oleh garis-garis umur. Wantilan menjadi berdebar-debar. Ia menunggu keputusan bibinya yang ternyta tidak usah menunggu sampai besok.
Sementara itu, beberapa orang tengah sibuk merawat orang-orang yang terluka dan memisahkan mereka telah terbunuh di peperangan. Untunglah bahwa orang-orang padukuhan itu tidak ada yang terbunuh, meskipun ada di antara mereka yang terluka. Bahkan seorang agak parah. Tetapi tidak mengancam keselamatan jiwanya.
Nyi Sarpada masih duduk berdiam diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi bimbang. Tetapi mereka tidak dapat tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu. Apalagi tinggal bersama Wantilan untuk menuntunnya mencapai satu tataran yang memadai. Keduanya tidak berkeberatan jika Wantilan mengikuti mereka, tetapi dengan demikian maka Nyi Sarpada akan mengalami kepedihan perasaan. Ia akan hidup sendiri dalam keadaan yang dibayangi oleh kesepian dan tanpa harapan apapun juga.
Namun tiba-tiba Nyi Sarpada itu berkata, “Baiklah Wantilan. Aku dan pamanmu tidak boleh menutup cita-citamu bagi bekal hari depanmu. Meskipun aku sebenarnya sangat berkeberatan, tetapi aku tidak boleh terlalu mementingkan diri sendiri. Hari depanmu ada ditanganmu. Karena itu, jika kau memang berkeras untuk pergi, aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan kembali. Sementara itu, sebelum kau benar-benar kembali dan tinggal di sini, maka kau harus sering datang untuk menengokku. Bahkan seandainya kau tinggal di tempat yang sangat jauh sekalipun. Meskipun rumah kita terbakar, tetapi aku masih mempunyai beberapa perhiasan yang melekat ditubuhku. Bukan karena aku masih senang memakai perhiasan-perhiasan itu tanpa menyebut jumlah umurku, tetapi semata-mata karena aku tidak mau kehilangan barang-barangku itu. Bawalah, tukarkan dengan seekor kuda, kau mempunyai kesempatan menempuh jarak yang panjang sekalipun, untuk mengunjungi aku.”
Wajah Wantilan justru menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Jangan bibi. Biarlah sisa kekayaan bibi itu ada pada bibi. Mungkin pada suatu saat bibi memerlukannya. Aku akan berusaha dengan caraku untuk mendapatkan seekor kuda. Aku akan datang untuk waktu-waktu tertentu mengunjungi bibi.”
“Bawalah. Aku tidak akan menyulitkanmu,” berkata Nyi Sarpada.
“Aku telah membawa bekal. Saudara-saudaraku yang menyebut dirinya pengembara telah membawa bekal pula. Bibi jangan cemas tentang seekor kuda itu,” berkata Wantilan. Lalu katanya, “Jika anak-anak yang mengaku pengembara itu tidak menunggang kuda dalam pengembaraannya, maka itu adalah laku yang memang harus mereka jalani.”
Nyi Sarpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika demikian perhiasan itu akan aku serahkan kepada Ki Buyut untuk beaya membangun kembali rumahku.”
Tetapi Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, “Tidak Nyi. Sudah aku katakan bahwa rumah itu akan berdiri pada saatnya. Biarlah perhiasan itu tetap menyadi milikmu. Tetapi aku tidak berkeberatan jika perhiasan itu kau titipkan kepadaku, justru karena sudah banyak orang yang kemudian mendengar bahwa Nyi Sarpada masih menyimpan perhiasan. Itu sangat berbahaya bagi Nyi Sarpada, karena perhiasan itu dapat membuat orang lupa diri. Tetapi perhiasan itu akan aman tersimpan dirumahku bersama Nyi Sarpada yang aku persilahkan tinggal dirumahku untuk sementara. Perhiasan itu akan aku kembalikan kapan saja Nyi Sarpada memerlukan, atau jika Nyi Sarpada tidak memerlukan, aku kembalikan pada saat Wantilan kelak kembali.”
“Terima kasih Ki Buyut,” Wantilan lah yang menyahut, “Ki Buyut telah memberikan kemungkinan persoalan ini terpecahkan. Karena itu, biarlah aku menitipkan bibiku,” Lalu, Wantilan pun berpaling kepada orang-orang padukuhan yang ada di tempat itu, “juga kepada mereka aku menitipkan bibiku. Jika rumah ini sudah jadi kelak, dan bibi kembali tinggal di rumah ini, maka biarlah para tetangga ikut menjaganya.”
“Tentu,” berkata Ki Buyut, “mereka akan membantu Nyi Sarpada dalam segala hal. Menggarap sawah sampai ke mengisi pakiwan. Menggarap sawah Nyi Sarpada sama halnya dengan memelihara sumber mata air yang dapat mengairi sawah berpuluh-puluh kotak itu tanpa susut meskipun di musim kemarau.”
Nyi Sarpada tidak dapat menjawab. Tetapi kembali wajahnya menunduk. Titik-titik air matanya menjadi semakin banyak membasahi garis-garis umur di wajahnya.
Demikianlah, maka malam itu tetangga-tetangga Nyi Sarpada menjadi sangat sibuk. Ki Buyut dan Ki Demang masih harus memberikan beberapa petunjuk. Namun ternyata mereka tidak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit. Hampir semua orang tidak tertidur sekejappun. Mereka sibuk semalam suntuk.
Ketika matahari terbit, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Api memang sudah padam dengan sendirinya, tetapi di sana-sini masih nampak asap mengepul memanjat ke langit.
Atas persetujuan Nyi Sarpada dan Wantilan, maka Nyi Sarpada itu pergi ke Kabuyutan sekaligus menitipkan perhiasan-perhiasan yang masih diselamatkan karena perhiasan-perhiasan itu melekat ditubuh Nyi Sarpada, dibawah lembar-lembar pakaiannya. Sementara itu Wantilan pun sekaligus telah minta diri. Baik kepada Ki Buyut, Ki Demang serta para bebahu yang datang kemudian, juga kepada para tetangga.
“Kita akan menempuh perjalanan kita masing-masing,” berkata Wantilan.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ketika anak-anak muda yang mengaku pengembara itu mohon diri, maka para pemimpin Kabuyutan itu telah mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada mereka.
Tetapi yang meninggalkan halaman rumah yang terbakar itu lebih dahulu adalah Ki Buyut bersama Nyi Sarpada dan para pengawalnya. Sementara Wantilan masih sempat melihat-lihat abu dari bekas rumah paman dan bibinya yang sudah menjadi abu.
“Seharusnya kau tidak usah pergi Wantilan,” berkata seorang tetangganya.
“Aku tahu,” berkata Wantilan, “tetapi jika aku tidak pergi, maka aku lima bahkan sepuluh tahun mendatang tidak akan berubah seperti aku sekarang. Jika ada orang-orang jahat yang datang kepadaku, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Adalah kebetulan bahwa saat ini anak-anak muda yang mengaku pengembara itu ada di sini, sehingga ia mampu menyelamatkan nyawaku, nyawa bibi dan tetangga-tetangga di sekitar tempat ini yang justru ingin menolong bibi. Tanpa mereka maka aku tidak akan mampu berbuat apa-apa selain pasrah.”
“Kita minta mereka tinggal bersama kita di sini,” berkata salah seorang dari tetangga-tetanganya.
“Mereka sudah menyebut diri mereka pengembara dalam laku tapa ngrame,” jawab Wantilan, “mereka memang mengembara sambil menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan mereka. Tetapi dalam waktu dekat, mereka telah berniat kembali ke padepokan mereka. Kecuali karena mereka sudah terlalu lama mengembara, ayah mereka pun telah menjadi semakin tua. Rasa-rasanya mereka sudah begitu merindukan ayah mereka. Sementara itu menurut ceritera mereka, paman mereka lebih tua lagi dari ayah mereka. Dua orang yang sudah sangat tua meskipun masih mempunyai penalaran yang terang dan ingatan yang kuat. Tetapi mereka adalah manusia biasa yang pada suatu saat akan kembali kepada Penciptanya. Agaknya umur mereka sudah berada di sekitar seratusan tahun.”
“Kakekku berumur seratus duapuluh lima tahun sekarang ini,” berkata salah seorang tetangganya, “ia masih cukup terang penglihatan dan pendengarannya, ingatan dan penalarannya masih utuh. Namun tubuhnyalah yang semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun begitu, kakek masih juga berjemur di matahari pagi sambil berjalan hilir mudik di halaman. Bahkan kadang-kadang masih juga menyapu halaman itu.”
“Apakah kakekmu tidak salah menghitung tahun?” bertanya kawannya.
“Tidak,” jawab orang itu, “kakek masih sempat mengingat bagaimana Tumapel bangkit dan Kediri tenggelam. Bahkan sebelum itu.”
Kawannya tidak bertanya lagi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar pembicaraan itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang pernah berceritera tentang beberapa orang yang dikenalnya dengan baik meskipun tidak menyebut nama dan kedudukannya. Tetapi pembicaraan itu telah mengingatkan mereka dengan orang-orang yang pernah sangat dekat dengan mereka. Tiba-tiba saja terbersit satu pertanyaan, “Apakah mereka masih sehat-sehat saja betapapun tuanya?”
Namun tumbuh pula pertanyaan, “Apakah mereka masih hidup?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah cukup lama meninggalkan Singasari. Mengembara dan segala macam perjalanan untuk mendapatkan pengalaman dan memenuhi beberapa keinginan pribadi mereka. Sekarang, ayahnya, kakaknya dan keluarganya yang lain tidak tahu, di mana mereka berada. Jika terjadi sesuatu, tidak akan ada seorang pun yang dapat memberitahukan kepada mereka.”
Ingatan tentang orang-orang tua itu, telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin ingin sampai ke padepokan mereka.
Dalam pada itu, maka hari pun menjadi semakin panas oleh matahari yang menjadi semakin tinggi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Wantilan yang masih berbicara dengan tetangga-tetangganya, “Apakah kita sudah dapat berangkat?”
Wantilan mengangguk. Namun kemudian katanya, “Memang berat sekali perasaan ini untuk meninggalkan padukuhan ini. Tetapi apa boleh buat.”
Wantilan pun kemudian telah menitipkan tanah dan mata air yang cukup besar yang memancar di tengah-tengah sawahnya itu, yang bahkan telah dapat mengairi beberapa kotak sawah di sekitarnya, kepada tetangga-tetangga bibinya. “Mudah-mudahan aku cepat kembali,” berkata Wantilan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun sekali lagi telah minta diri pula kepada para tetangga yang baik itu. Beriringan dengan Wantilan, mereka pun telah melangkah keluar dari regol halaman yang tidak ikut terbakar turun ke jalan dan kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka telah menyerahkan orang-orang padukuhan yang terluka kepada tetangga-tetangganya. Namun kemudian tetangga-tetangga itu pun harus mengurus para tawanan yang akan dibawa ke Kabuyutan, disatukan dengan para tawanan terdahulu. Juga mengurusi mereka yang terluka dan terbunuh.
Ketika mereka keluar dari mulut lorong padukuhan itu, rasa-rasanya mereka telah keluar dari sebuah bilik yang sempit dan pengab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun telah berlari-lari mendahului. Namun kemudian menunggu di pinggir jalan sambil bermain-main dengan batu-batu.
Wantilan yang berjalan di sebelah Mahisa Semu melihat anak yang menjadi gembira itu. Namun Mahisa Semu itu pun berkata, “Kasihan anak itu.”
“Kenapa?” bertanya Wantilan.
“Ia tidak mempunyai kesempatan untuk bermain dengan kawan-kawan yang sebayanya seperti kebanyakan anak-anak,” jawab Mahisa Semu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa anak itu ikut melakukan pengembaraan bersama kalian?”
“Satu cerita yang panjang,” jawab Mahisa Semu. Namun kemudian Mahisa Semu itu pun telah menceriterakan asal mulanya, bahwa anak itu ikut dalam pengembaraan yang panjang itu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bergumam. “Memang kasihan. Hidupnya menjadi kurang lengkap. Hal itu akan dapat mempengaruhi sifat dan wataknya di kemudian hari. Tetapi jika pengembaraan ini berakhir, maka ia akan mendapatkan kesempatan itu. Di padepokannya yang baru, ia tentu tidak akan mengalami perlakuan sebagaimana ia berada di padepokannya yang lama, saat ia dipersiapkan untuk menjadi manusia yang kehilangan pribadinya.”
“Ya. Agaknya ia akan mendapatkan tempat yang lebih baik kelak,” jawab Mahisa Semu.
Wantilan tidak bertanya lagi. Ia melihat Mahisa Amping mengambil sebuah batu sebesar telur. Kemudian dilemparkannya batu itu ke tengah-tengah sawah. Wantilan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis, “Luar biasa. Lihat. Anak sebesar itu telah mampu melemparkan batu hingga mencapai jarak yang sekian jauhnya.”
“Ia memang memiliki kelebihan,” jawab Mahisa Semu, “anak itu memiliki kemampuan memanjat melampaui aku.”
“Ia akan menjadi seorang anak muda yang berkemampuan tinggi kelak jika memiliki ketekunan menjalani laku,” berkata Wantilan.
“Itulah agaknya yang menarik perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kecuali karena anak itu memang tidak ada lagi yang memelihara. Jika ia dilepaskan begitu saja, dengan bekal racun yang pernah disusupkan didalam dirinya di padepokannya yang lama, maka ia akan menjadi orang yang berbahaya,” berkata Mahisa Semu.
“Yang dicemaskannya adalah, jika apa yang terjadi di padepokan itu masih membekas,” berkata Wantilan.
“Agaknya sekarang tidak. Dalam ujud kewadagan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melenyapkan ilmu yang pernah diterima oleh anak itu di padepokannya yang lama. Dengan demikian, maka diharapkan bahwa akibat yang lain pun dapat ikut punah bersama dengan ilmunya pula.”
“Jadi anak itu pernah menyadap ilmu kanuragan pada umurnya yang masih sangat muda?” bertanya Wantilan.
“Ya. Ia sudah mempelajari beberapa unsur gerak. Jika ia sempat dewasa di padepokan itu, maka ia akan menjadi manusia yang sangat berbahaya, ia memiliki ilmu yang tinggi, tetapi sama sekali tidak berpribadi,” jawab Mahisa Semu.
“Untunglah, ia sempat diselamatkan,” desis Wantilan.
Demikianlah mereka berjalan semakin lama semakin jauhdari tempat tinggal Nyi Sarpada. Sekali-sekali Wantilan masihjuga berpaling. Memang ada keberatannya untuk meninggalkan bibinya dalam keadaannya. Tetapi jika ia tinggal, maka ia memang tidak akan dapat berkembang. Sehingga untuk seterusnya ia akan tetap sebagaimana adanya sekarang.
Beberapa saat mereka berjalan menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Sehingga ketika matahari mencapai puncak langit, Mahisa Amping mulai nampak lelah. Bahkan haus dan barangkali lapar, karena ia belum makan apapun juga ketika ia mulai dengan perjalanan itu.
“Kau lapar?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping mengangguk. Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah memberitahukannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan, bahwa Mahisa Amping merasa lapar dan haus.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “di depan ada padukuhan, yang agaknya mempunyai satu dua buah kedai.”
Mahisa Amping hanya mengangguk saja. Jarak padukuhan itu memang sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun ketika mereka mendekati padukuhan itu, perjalanan mereka terhambat beberapa saat, karena Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan harus melerai sekelompok gembala yang berkelahi dengan kelompok lainnya yang agaknya datang dari padukuhan yang lain.
Untunglah tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Meskipun ada di antara anak-anak gembala itu yang terluka dan mencucurkan darah, karena lawannya telah memukulnya dengan batu.
“Mereka pengecut,” tiba-tiba saja Mahisa Amping bergeramang.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka tidak berani berkelahi seorang lawan seorang,” jawab Mahisa Amping.
“Belum tentu mereka dapat disebut pengecut. Jika persoalan yang timbul itu adalah persoalan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, maka yang terjadi adalah perkelahian kelompok seperti itu.”
Ketika sekelompok gembala yang datang dari padukuhan lain itu sudah pergi, maka kelompok gembala yang tinggal telah mencuci tubuhnya di sebuah parit di pinggir sawah. Seorang yang keningnya terluka karena pukulan batu dan berdarah, telah dicuci pula. Namun agaknya darahnya tidak segera menjadi pampat.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih belum meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah mendekati anak yang mengeluarkan darah dari keningnya itu sambil memberikan obat pada luka itu.
“Mudah-mudahan lukamu segera pampat,” berkata Mahisa Murti.
“Terima kasih,” desis anak itu yang masih saja menyeringai menahan sakit. Namun darahnya sudah tidak lagi mengalir dari luka yang memang agak dalam.
“Kau jangan mandi hari ini sampai besok,” pesan Mahisa Murti, “mudah-mudahan besok pagi lukamu sudah sembuh dan kau dapat mandi seperti biasa. Tetapi ingat, bekas luka itu jangan kau gosok karena akan dapat terjadi luka lagi.”
“Terima kasih paman,” jawab anak itu sambil mengusap matanya.
Namun sebelum anak itu sempat mengusap dan membersihkan darahnya yang memerah di dadanya bercampur dengan air yang membasahi tubuhnya saat ia membersihkan luka yang tidak juga mau pampat itu, serta keringat yang masih saja mengalir, tiba-tiba saja seorang laki-laki yang berjalan sambil membawa kapak telah berhenti. Perhatiannya tertuju kepada anak yang terluka itu yang tidak lain adalah anaknya.
“He, kenapa kau?” bertanya ayahnya.
Anak itu belum sempat menjawab, ketika laki-laki yang berjalan sambil membawa kapak itu berteriak, “Kau apakan anakku he? Kenapa kau ganggu anak-anak? Kalau kau memang seorang laki-laki, ayo lawan aku, bapaknya.”
Orang itu nampaknya memang seorang yang darahnya cepat mendidih. Dengan wajah yang bagaikan membara, ia sudah memutar kapaknya yang besar. Tetapi anak laki-lakinya itu berteriak, “Bukan orang itu ayah. Orang itu yang justru telah menolong aku.”
Dahi laki-laki itu berkerut. Kapaknyapun segera diletakkannya. Betapapun kasarnya, namun laki-laki itu kemudian bertanya kepada anaknya, “Jadi, apakah yang telah terjadi.”
Anak itu menceriterakan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi atas dirinya. Justru orang-orang itulah yang telah melerai dan menolongnya memampatkan darahnya. Dengan kepala tunduk orang itu kemudian berkata, “Aku minta maaf Ki Sanak. Aku telah salah duga.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Sudahlah. Setiap orang dapat menjadi khilaf. Tetapi yang kemudian penting adalah persoalan anak-anak itu. Anak-anak itu tidak boleh bermusuhan terus-menerus. Karena itu, dituntut campur tangan orang tuanya.”
“Aku akan mencari orang tua anak itu. Aku akan menyelesaikannya dengan cara seorang laki-laki,” jawab orang itu.
“Maksudku tidak demikian Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sebaiknya Ki Sanak menghubungi Ki Bekel. Orang-orang tua harus membicarakan agar perkelahian semacam ini tidak terulang lagi. Bukan justru melibatkan diri kedalamnya. Dengan demikian maka anak-anak itu akan dapat melakukan pekerjaan mereka dengan tenang. Mereka dapat menggembala ternaknya sambil berdendang atau sambil meniup seruling mereka. Suasana di padang rumput akan menjadi tenang dan terasa damai.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan mencobanya. Aku akan berhubungan dengan Ki Bekel, agar Ki Bekel dapat membicarakannya dengan mereka yang berkepentingan. Maksudku orang tua anak-anak itu dan orang tua dari anak-anak yang telah berkelahi dengan anak-anak kami di sini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pengertian Ki Sanak. Sekarang, kami mohon diri untuk meneruskan perjalanan kami.”
Orang itu mempersilahkan anak-anak muda yang melerai perkelahian itu untuk singgah. Tetapi Mahisa Murti terpaksa minta maaf karena ia harus meneruskan perjalanan. Beberapa langkah dari tempat kejadian itu, maka Mahisa Amping masih mengulangi pernyataannya, “Kenapa mereka hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti para pengecut.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukankah sudah aku katakan bahwa hal itu sangat tergantung pada keadaannya. Sepasukan prajurit yang bertempur dalam satu kesatuan bukanlah pengecut. Kelompok mereka justru terlalu besar. Mereka tidak akan dapat menyelesaikan persoalan mereka dengan sikap sebagaimana kau bayangkan.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti.
Sementara itu mereka telah melangkah terus. Namun setelah berjalan beberapa patok memasuki padukuhan itu, mereka masih belum berjumpa dengan sebuah kedaipun. Nampaknya padukuhan yang besar itu tidak mempunyai cukup kedai sehingga untuk membeli sesuatu para penghuninya harus berjalan beberapa patok, meskipun hanya membutuhkan sepotong lauk, karena sedang tidak sempat masak.
Tetapi ketika mereka sampai diujung jalan justru ketika mereka sudah siap meninggalkan padukuhan itu untuk melintasi bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya, mereka telah melihat bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya, mereka telah melihat sebuah kedai di sudut jalan di sebelah regol.
“Ha,” hampir di luar sadarnya Mahisa Amping berseru, “kedai itu.”
Yang lain tersenyum. Namun tidak seorang pun yang segera menjawab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun kemudian termangu-mangu. Dipandanginya saudara-saudara angkatnya itu seorang demi seorang. Tetapi semuanya diam, bahkan seolah-olah telah mentertawakannya.
“O,” desisnya, “aku tidak lapar.”
Mahisa Semu lah yang pertama-tama menanggapinya, “Bukankah kita memang sedang mencari sebuah kedai untuk membeli minuman dan makanan?”
Mahisa Amping menunduk. Katanya, “Terserah saja. Aku tidak haus dan tidak lapar.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Seorang laki-laki tidak akan merajuk.”
Mahisa Amping mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian berpaling memandangi regol padukuhan, bulak yang membujur didepannya serta pintu kedai yang terbuka disebelahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak mengatakan sesuatu.
Ketika mereka mendekati kedai itu, maka mereka melihat beberapa orang yang ada di dalamnya. Dua ekor kuda tertambat di dekat pintu. Semakin dekat mereka dengan regol jalan padukuhan itu maka mereka semakin menyadari, bahwa di luar dinding padukuhan beberapa orang hilir mudik. Suasananya justru lebih rumai daripada didalam padukuhan. Namun satu dua orang sempat memasuki regol dan singgah di kedai itu.
“Kita akan singgah di kedai itu,” berkata Mahisa Murti.
Tidak ada seorang pun yang menyahut, Mahisa Amping puntidak. Namun sejenak kemudian, mereka telah berada di dalam kedai itu. Beberapa orang telah berada di dalamnya. Bahkan kedai itu ternyata cukup ramai. Dua orang pergi, yang lain datang bergantian.
Dari pemilik kedai itu, Mahisa Murti mengetahui bahwa ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar yang sengaja dibuat menghadap keluar padukuhan dengan menyesuaikan dinding padukuhan, sehingga pasar itu merupakan pasar yang seolah-olah terbuka. Orang-orang dari padukuhan lain dengan leluasa dapat masuk keluar pasar itu tanpa lebih dahulu memasuki padukuhan lewat regolnya.
Beberapa saat lamanya para pengembara itu berada di dalam kedai. Ternyata Mahisa Ampinglah yang paling cepat selesai. Sambil menunggu yang lain, Mahisa Amping yang berkeringat karena kepedasan dan kepanasan itu nampak gelisah.
“Kenapa kau?” bertanya Mahisa Pukat.
“Udaranya panas sekali,” jawab Mahisa Amping.
“Carilah angin di luar,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi jangan jauh-jauh. Jika kami selesai dan kau tidak kami ketemukan, maka kau akan kami tinggalkan di sini.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi dipandanginya saudara-saudara angkatnya yang lain.
“Pergilah,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Amping pun kemudian telah keluar dari kedai itu dan berdiri termangu-mangu diregol. Namun ketika dilihatnya bulir-bulir padi disawah yang mulai menguning di sentuh angin, sehingga di permukaan wajah tanaman padi itu seakan-akan telah mengalir gelombang lembut, maka ia pun telah melangkah keluar regol.
Di panasnya matahari bulir-bulir padi itu seakan-akan menjadi berkilat. Di atas hamparan tanaman padi itu nampak seperti getaran yang tembus pandang. nDeg pengamun-amun. Hampir diluar sadarnya, Mahisa Amping melangkah menyeberangi jalan menyilang diluar regol. Di sepanjang jalan bulak yang membujur lurus dengan jalan padukuhan, terdapat berjajar pohon turi yang menaungi sisi jalan yang terdiri dari tanggul berumput di sebelah parit yang mengalirkan air yang jernih.
Beberapa orang gembala tengah duduk pula dibawah pohon turi sambil menunggu ternak mereka yang tengah merumput ditanggul. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping melihat gelagat yang kurang baik. Ia melihat para gembala itu menunjuk ke arahnya. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, beberapa orang gembala itu telah berlari mendekatinya.
“Ya anak ini yang tadi datang bersama dengan beberapa orang melerai perkelahian kita,” berkata salah seorang di antara mereka, para gembala yang sebaya dengan Mahisa Amping. Namun ada seorang di antara mereka yang agak lebih besar, yang nampaknya memimpin sekelompok gembala itu.
Mahisa Amping berdiri termangu-mangu. Gembala yang lebih besar dari kawan-kawannya itu kemudian bertanya, “Kenapa kau ganggu kami? Kau tidak perlu mencampuri persoalan kami dengan anak-anak sombong itu.”
“Kakakku tidak senang melihat orang berkelahi,” jawab Mahisa Amping.
“Bukan kewajiban kami untuk menyenangkan hati kakak-kakakmu. He, jadi orang-orang yang melerai kami itu kakak-kakakmu?” bertanya anak yang agak lebih besar dari kawan-kawannya itu.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa orang gembala itu seorang demi seorang. Pada umumnya sebaya dengan umurnya. Meskipun Mahisa Amping masih sangat muda, tetapi ia sudah dapat melihat gelagat yang kurang baik. Nampaknya gembala-gembala itu berniat buruk kepadanya. Mereka kecewa karena saudara-saudara angkat Mahisa Amping itu telah melerai mereka, ketika mereka sedang berkelahi. Sedangkan perhitungan mereka kelompok mereka akan memenangkan perkelahian itu.
Ternyata bahwa dugaan Mahisa Amping itu benar. Gembala yang terbesar di antara mereka itu pun maju selangkah sambil berkata, “Biarlah saudara-saudaramu itu menyesali perbuatannya, bahwa mereka telah turut mencampuri persoalan kami.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau harus dipukuli sebagai ganti gembala-gembala yang tadi sudah kami kalahkan,” jawab anak yang terbesar di antara gembala-gembala itu.
Tetapi benar-benar tidak diduga. Sebelum gembala itu mengatupkan bibirnya, Mahisa Amping telah menyerangnya. Satu tendangan tepat mengenai dadanya sehingga gembala itu terdorong beberapa langkah surut, kemudian jatuh terlentang di tengah-tengah jalan. Yang lain pun serentak melangkah surut. Mereka menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Amping maju selangkah, mereka pun telah surut selangkah.
“Mari pengecut,” geram Mahisa Amping, “sejak semula aku sudah menduga bahwa kalian adalah pengecut yang hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti ini. Meskipun demikian aku tidak gentar sama sekali. Majulah bersama-sama. Kalian tidak usah bermimpi membuat saudara-saudaraku itu menyesal, karena kalianlah yang akan menyesal.”
Gembala yang terjatuh itu pun kemudian dengan susah payah telah bangkit. Dua orang kawannya membantunya. Wajahnya menjadi merah. Sementara dadanya masih terasa sakit.
“Ayo,” geram Mahisa Amping, “aku sudah siap.”
Gembala yang terbesar itu kemudian berteriak memberikan aba-aba, “Selesaikan anak itu. Kita pukuli beramai-ramai sampai ia menjadi jera.”
Yang lain memang masih saja ragu-ragu. Tetapi yang terbesar itu telah melangkah maju meskipun dadanya masih terasa sakit.
“Kau licik,” katanya, “aku belum siap. Sekarang, kau tidak akan dapat berbuat seperti itu.”
Tetapi sekali lagi yang tidak diduga itu terjadi. Kaki Mahisa Amping telah terjulur sekali lagi langsung mengenai dada anak yang terbesar itu. Sekali lagi ia terdorong beberapa langkah surut dan kehilangan keseimbangannya, sehingga ia jatuh untuk kedua kalinya. Punggungnya terasa bagaikan patah, sementara dadanya menjadi sesak bagaikan dihimpit sebongkah batu padas.
Dua orang kawannya telah menolongnya pula. Demikian anak itu berdiri tegak, sekali lagi berteriak, “Kepung anak itu. Pukuli sampai tulang punggungnya patah.”
Meskipun ragu-ragu tetapi beberapa orang gembala itu telah mengepung Mahisa Amping. Dengan demikian maka Mahisa Amping harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus melawan beberapa orang sekaligus.
Tetapi Mahisa Amping sudah mendapat tuntunan serba sedikit dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sejak ilmunya dilenyapkan, maka Mahisa Amping harus belajar sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, ketika ia harus menghadapi beberapa orang gembala, maka ia sama sekali tidak gentar.
“Bukan salahku jika hidung kalian berdarah,” berkata Mahisa Amping mengancam.
Namun anak yang terbesar itu menjawab, “jangan takut. Ia hanya mengancam.”
Beberapa orang anak yang ragu-ragu itu akhirnya bergerak juga. Mereka mengacu-acukan tinju mereka. Bahkan ada di antara mereka yang berteriak-teriak dan mengumpat kasar. Namun Mahisa Amping memang tangkas. Kecuali ia sudah berlatih serba sedikit, ia sama sekali tidak merasa ragu-ragu sebagaimana para gembala yang melihat tendangan kaki Mahisa Amping itu. Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Amping telah mendapat kesempatan untuk menyerang lebih dahulu.
Seperti yang telah dilakukannya, maka kakinya telah terjulur menyerang salah seorang dari anak-anak yang mengepungnya. Cukup cepat, sehingga anak itu tidak sempat mengelak. Tetapi dalam pada itu, anak yang terbesar itu telah mendorong seorang anak yang lain justru membentur Mahisa Amping. Keduanya memang hampir saja jatuh.
Dalam kesempatan itulah, seorang anak lagi telah menyerang Mahisa Amping. Pukulannya tepat mengenai lambungnya, sehingga Mahisa Amping menyeringai menahan sakit. Tetapi dengan cepat Mahisa Amping bersiap menghadapi kemungkinan yang lain, tepat pada saat seorang gembala berusaha menangkap tangannya.
Tetapi Mahisa Amping justru menjatuhkan dirinya dan berguling sekali. Namun kakinya sempat menyapu kaki seorang yang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak itu memang jatuh terbanting, sementara Mahisa Amping telah bangkit berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ternyata para gembala itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun bekal olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka mereka berkelahi dengan cara mereka sendiri.
Namun dengan demikian bekal yang sedikit yang dimiliki oleh Mahisa Amping serta usaha untuk meningkatkan ketahanan tubuh yang selalu dilakukannya, telah cukup berarti untuk menghadapi gembala-gembala yang mencoba untuk mengganggunya itu.
Dengan demikian meskipun seorang diri namun Mahisa Amping telah berloncatan menyerang dari seorang ke orang yang lain dengan tangkasnya. Sementara itu, anak-anak gembala itu menjadi kebingungan. Ternyata anak yang ingin mereka jadikan sasaran kemarahan mereka itu memiliki kemampuan diluar perhitungan mereka.Sehingga justru merekalah yang mengalami merah biru di tubuh mereka.
Ternyata perkelahian itu telah dilihat oleh beberapa orang lewat. Semula mereka tidak mengira bahwa yang terjadi itu benar-benar perkelahian. Mereka mengira bahwa para gembala itu justru sedang bermain-main. Tetapi ketika mereka melihat anak-anak yang kesakitan dan bahkan menangis, maka mereka baru menyadari, bahwa yang terjadi adalah justru perkelahian.
Seorang yang baru keluar dari kedai itu telah dapat mengenali Mahisa Amping ketika anak itu berada di dalam kedai. Karena itu, maka ia pun segera berlari-lari kembali ke kedai justru pada saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya keluar dari kedai itu.
“Ki Sanak,” berkata orang itu dengan serta merta, “anak yang bersama Ki Sanak tadi berkelahi di luar gerbang padukuhan.”
“He?” Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun serentak mereka telah berlari-lari menyusulnya.
Ketika Mahisa Murti sampai di luar pintu gerbang, maka ia melihat beberapa orang berusaha melerainya. Tetapi Mahisa Amping masih saja berusaha menyerang lawan-lawannya. Dua orang telah menangis. Seorang kesakitan, justru yang terbesar di antara mereka. Punggungnya serasa patah dan pelipisnya menjadi merah biru.
“Amping,” panggil Mahisa Pukat sambil berlari-lari. Ialah yang kemudian menangkap anak yang meronta-ronta itu.
“Merekalah yang memulainya,” teriak Mahisa Amping.
“Kau tidak boleh berkelahi begitu. Bukankah kau melihat tadi kami melerai perkelahian? Sekarang justru kau sendiri yang berkelahi?” sahut Mahisa Pukat.
“Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi mereka menyerangku justru karena kakang melerai perkelahian itu. Anak-anak itu merasa bahwa mereka akan menang ketika kakang melerai mereka, sehingga mereka merasa kecewa,” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah benar demikian?”
Anak-anak gembala itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang menjadi ketakutan. Jika anak sebesar Mahisa Amping itu saja tidak dapat mereka kalahkan, apalagi orang-orang tua dan anak-anak muda itu. Tetapi tidak nampak pada sikap anak-anak muda itu, bahwa mereka akan melibatkan diri.
Bahkan Mahisa Murti telah mendekati anak yang menangis itu sambil bertanya lembut, “Kenapa kau menangis?”
“Perutku sakit,” jawab anak itu.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Anak itu menendang perutku,” jawab anak itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak melihat perkelahian itu, tetapi ia dapat membayangkan bahwa Mahisa Amping telah berkelahi dengan garang. Ia telah menyakiti hampir semua lawannya. Dua orang yang menangis itu tentu mendapat serangan yang sangat kuat, sedangkan gembala yang terbesar di antara mereka benar-benar menjadi kesakitan.
“Sudahlah, diamlah,” berkata Mahisa Murti, “lain kali sebaiknya kalian tidak berkelahi lagi. Adikku nanti akan mendapat hukumannya karena ia telah berkelahi. Bukankah tidak ada untungnya seseorang berkelahi? Yang kalah kesakitan, yang menang akan mendapat hukumannya?”
Anak itu mengangguk lemah.
“Nah, jika demikian diamlah,” berkata Mahisa Murti pula.
Anak itu memang berusaha untuk menahan tangisnya. Tetapi dengan demikian ia justru telah terisak-isak. Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping untuk meninggalkan tempat itu.
Namun seorang dengan wajah cemas mencoba untuk berbisik di telinga Mahisa Murti, “Bukankah yang terbesar di antara anak-anak gembala itu adalah anak Kebo Gremeng?”
“Siapakah yang bernama Kebo Gremeng?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau belum pernah mendengar namanya?” orang itu menjadi heran.
Mahisa Murti menggeleng lemah. Katanya, “Aku memang belum pernah mendengarnya.”
“Kau tentu orang yang datang dari jauh. Setiap orang di sini tentu tahu siapakah Kebo Gremeng itu. Seorang gegedug yang sangat ditakuti di sini,” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka persoalannya akan dapat berkembang. Namun Mahisa Murti masih berharap bahwa ia mempunyai kesempatan untuk menyingkir. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata Mahisa Amping, “Marilah. Lebih baik kita menyingkir daripada timbul persoalan yang lebih rumit. Baru saja kita keluar dari lingkaran yang mengikat kita beberapa hari. Sekarang kita sudah akan memasuki persoalan baru.”
Mahisa Amping pun membenahi pakaiannya. Ia tidak membantah. Sementara itu Mahisa Semu telah menggandengnya sambil berkata, “Jika kita masih harus berhenti di setiap simpang empat bahkan sampai sehari dua hari, maka kita akan sampai ke tujuan setelah kau tua.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia menyahut, “Bukan salahku kakang.”
“Aku tahu,” jawab Mahisa Semu, “tetapi apa salahnya jika kita menghindari perkelahian.”
Mahisa Amping menjadi heran. Ia sudah melihat saudara-saudaranya angkatnya itu berkelahi bukan hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Tetapi kenapa mereka semuanya seakan-akan menyalahkannya meskipun ia baru sekali berkelahi.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya pun telah mulai melangkah pergi. Beberapa orang masih saja berkerumun. Namun sebagian besar dari mereka tahu, bahwa anak yang berusaha menyingkir itu tidak bersalah. Orang-orang di sekitar padukuhan itu mengenal bahwa sekelompok gembala itu memang terdiri dari anak-anak nakal. Mereka sudah sering berkelahi di antara anak-anak gembala. Setiap kali mereka menang dan menyakiti lawan-lawannya, maka mereka merasa bahwa mereka menjadi semakin bangga. Jika orang-orang tua anak-anak yang disakitinya turut campur, maka Kebo Gremeng itu mendapat alasan untuk memukuli orang.
Itulah sebabnya, ketika orang tua gembala-gembala yang baru saja dilerai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudara angkatnya mengetahui bahwa yang menyakiti anaknya adalah sekelompok gembala yang di antaranya adalah anak Kebo Gremeng, maka orang-orang tua mereka pun harus berpikir dua kali. Ketika mereka menemui Ki Bekel, maka Ki Bekel pun menjadi ragu-ragu.
“Apakah kita akan membiarkannya untuk seterusnya, Ki Bekel,” bertanya orang tua dari anak yang terluka.
“Aku memang menjadi sangat berprihatin,” jawab Ki Bekel.
“Jadi?” bertanya orang itu.
“Aku minta waktu,” jawab Ki Bekel.
Orang-orang itu pun menyadari, bahwa sulit untuk dapat mengatasi Kebo Gremeng. Tetapi mereka pun ingin bahwa apa yang selalu terjadi itu tidak akan terjadi lagi. Namun dalam pada itu, seorang telah singgah pula di rumah Ki Bekel, memberitahukan, bahwa anak-anak itu telah berkelahi lagi. Lawannya hanya seorang. Tetapi ternyata yang seorang itu memiliki kelebihan. Beberapa orang gembala yang mengeroyoknya telah dikalahkannya. Termasuk anak Ki Kebo Gremeng.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Jika anak Kebo Gremeng tersangkut di dalamnya, apalagi jika anak itu dikalahkan, maka tentu akan timbul persoalan tersendiri.”
Karena itu maka Ki Bekel akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat perkelahian itu. Katanya, “Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa.”
Bersama beberapa orang bebahu serta orang yang memberikan laporan tentang perkelahian itu serta beberapa orang tua dari gembala-gembala yang disakiti oleh kelompok anak Ki Kebo Gremeng, Ki Bekel telah pergi ke pintu gerbang padukuhannya dekat kedai yang baru saja ditinggalkan oleh Mahisa Murti bersama saudara-saudara angkatnya.
Ketika Ki Bekel sampai ke tempat itu, maka ia sudah tidak menjumpai orang-orang yang terlibat dalam perkelahian itu. Tetapi seorang di antara mereka yang masih berkerumun di tempat itu berkata kepada Ki Bekel, “Ki Kebo Gremeng juga telah sampai kemari.”
“Di mana ia sekarang?” bertanya Ki Bekel.
“Ia pergi menyusul anak yang dikatakan menang meskipun dikeroyok oleh beberapa orang gembala,” berkata orang itu.
“Mereka pergi ke arah mana?” bertanya Ki Bekel pula.
Orang itu telah menunjuk ke arah Mahisa Murti membawa Mahisa Amping menyingkir yang kemudian disusul oleh Kebo Gremeng.
“Orang-orang itu agaknya sudah berusaha menghindari persoalan,” berkata orang itu, “tetapi…”
“Tetapi apa?” bertanya Ki Bekel.
Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Lalu katanya, “Entahlah. Tetapi mereka pergi ke sana.”
Ki Bekel mengetahui bahwa orang itu tidak berani menyatakan pendapatnya. Jika pendapatnya itu didengar oleh pengikut Kebo Gremeng, maka ia akan mendapatkan kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel tidak bertanya lagi. Sebuah iring-iringan kecil telah mengikutinya menyusul Kebo Gremeng yang tentu juga tidak sendiri.
Sebenarnyalah saat itu Kebo Gremeng bersama dengan tiga orang kawannya tengah menyusul Mahisa Murti. Mereka berjalan tergesa-gesa, bahkan sekali-sekali berlari-larian. Disamping ketiga orang pengikutnya, lima orang gembala ikut pula bersama mereka. Lima orang anak-anak yang masih sangat muda, sebaya dengan Mahisa Amping. Tiga di antara mereka adalah para gembala yang telah ikut berkelahi termasuk anak Kebo Gremeng itu sendiri.
Dengan wajah yang tegang oleh kemarahan di dalam dadanya, Kebo Gremeng berusaha untuk dapat menemukan orang yang telah berani menghinanya dengan mengganggu anaknya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah berjalan semakin jauh. Mereka berharap bahwa persoalan anak-anak itu tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Karena itu, maka karena mereka benar-benar berusaha untuk menghindarinya. Mereka telah memilih jalan yang tidak banyak dilalui orang agar seandainya ada orang yang menyusulnya tidak akan dapat menemukannya.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih juga memikirkan kemungkinan bahwa gegedug yang bernama Kebo Gremeng itu akan menyusulnya.
Namun pada itu, Kebo Gremeng memang cukup cerdik. Di setiap simpangan ia telah berusaha untuk mengetahui arah perjalanan orang-orang yang dicarinya. Orang-orang yang ditanyainya tidak ada yang berani berbohong kepadanya. Semua orang menunjukkan arah yang sebenarnya dari orang-orang yang disusulnya.
Dengan demikian, meskipun Mahisa Murti telah mengambil jalan-jalan sempit, namun akhirnya Kebo Gremeng telah berhasil menyusulnya. Bahkan dari kejauhan Kebo Gremeng telah melihat sekelompok kecil yang berjalan menyusuri jalan sempit menembus sebuah bulak yang cukup panjang.
Mahisa Murti yang menyadari, bahwa perjalanannya telah disusul oleh orang yang tidak diharapkannya itu, berkata kepada Mahisa Amping, “Jika mereka datang menyusul kita, maka kau jangan ikut berbicara. Biar kakang saja yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Kau tidak usah ikut memberi penjelasan apapun.”
Mahisa Amping mengangguk kecil.
“Nah, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali menunggu mereka,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan seperti juga Mahisa Murti merasa sangat terganggu dengan orang-orang yang menyusulnya itu. Tetapi mereka memang harus melayaninya apapun yang dikehendaki. Bahkan mungkin kekerasan.
Namun Mahisa Murti memang harus menunggu. Ia pun kemudian berdiri bersandar sebatang pohon dadap di pinggir jalan. Adalah tidak biasa bahwa sebatang pohon dadap serep ditanam di tanggul di tengah-tengah bulak. Biasanya sebatang pohon dadap serep ditanam di dekat sumur di halaman samping.
Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan duduk di tanggul yang berbatu-batu bersama dengan Mahisa Amping. Dengan berdebar-debar mereka menunggu iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan serta merta mereka langsung dapat mengetahui, yang manakah yang bernama Kebo Gremeng menilik sikap dan pakaiannya. Sebuah golok yang besar terselip di lambungnya. Tangkainya mencuat di depan perutnya yang membesar.
Namun dalam pada itu, Kebo Gremeng sama sekali tidak senang melihat sikap orang-orang yang menunggunya dengan tenang. Ia membayangkan bahwa jika ia berhasil menyusul orang-orang itu, mereka akan segera berlari-larian. Tetapi karena di antara mereka terdapat seorang anak kecil, maka mereka tentu tidak akan dapat berlari terlalu cepat. Tetapi ternyata tidak demikian. Orang-orang itu tidak berlari-lari ketakutan. Tetapi mereka menunggunya dengan tenang.
“Iblis itu memang harus dibuat jera,” geram Kebo Gremeng
Mahisa Murti yang melihat iring-iringan itu mendekat, melangkah menyongsongnya. Sementara itu yang lain masih tetap duduk dengan tenang tanpa menghiraukan kehadiran orang yang paling ditakuti di daerah itu.
“Iblis kalian,” geram Kebo Gremeng setelah ia menjadi semakin dekat.
“Ada apa Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Jangan pura-pura. Kau harus bertanggung jawab. Kau sakiti anak-anak kami. Maksudmu anakku dan anak tetangga-tetanggaku. Apa salah mereka he?” teriak Kebo Gremeng.
“Siapa yang menyakiti anakmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku bawa anakku sekarang. Biarlah ia menjawab pertanyaanmu,” sahut Kebo Gremeng.
Mahisa Murti mengangguk-angguk,sementara Kebo Gremeng berkata kepada anaknya, “Katakan apa yang terjadi.”
“Ayah. Anak kecil itu berusaha untuk mengganggu kawan-kawan gembala. Aku berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah menantangku berkelahi. Tetapi ketika ia mulai kalah dan menangis, kakaknya telah ikut campur. Tidak hanya seorang. Tetapi semuanya telah ikut menyakiti aku,” jawab anak Kebo Gremeng.
“Nah,” geram Kebo Gremeng, “kau dengar.”
Mahisa Murti sama sekali tidak menunjukkan kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Aku sudah menduga, bahwa anakmu memiliki kemampuan berbohong. Tetapi tidak apa-apa. Barangkali bakat itu menurun dari ayahnya.”
“Setan kau,” bentak Kebo Gremeng, “kau tahu siapa aku?”
“Baru sekarang aku melihat orang yang bernama Kebo Gremeng,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Jika kau ingin anakmu memiliki kemampuan seorang gegedug, ajari anakmu dengan ilmu kanuragan. Bukan kau ajari cara untuk berbohong.”
Kebo Gremeng menggeretakkan giginya. Dipandanginya Mahisa Murti dengan tajamnya. Ia tidak mengira bahwa di dalam hidupnya ia pernah bertemu dengan seseorang yang telah berani menghinanya. Namun justru karena kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, untuk sejenak ia justru bagaikan terbungkam.
Kawannyalah yang melangkah maju sambil berkata, “Kita tidak perlu berbicara lagi.”
Kebo Gremeng mengangguk kecil. Tetapi Mahisa Murti masih berkata, “Apakah kau ingin membuktikan kebenaran kata-kata anakmu. Di sini adikku masih ada. Jika benar anakmu menang atas adikku seperti yang dikatakannya, maka perkelahian itu dapat diulanginya sekarang.”
Tetapi nampaknya Kebo Gremeng telah memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, maka seorang di antara anak-anak yang mengikutinya telah melangkah maju sambil berkata, ”Biar aku saja yang mencobanya. Jika anak paman Kebo Gremeng yang turun ke arena, maka anak itu akan dapat mati.”
Kebo Gremeng termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, ”Nampaknya memang sudah diatur begitu.”
“Diam kau,” bentak Kebo Gremeng, “atau aku bunuh kau.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Baiklah. Biarlah adikku berkelahi dengan pahlawan yang kau anggap dapat menyelamatkan anakmu itu.”
Tangan Kebo Gremeng menjadi gemetar. Biasanya ia tidak menunggu lagi. Tetapi ia masih mencoba menahan diri untuk membuktikan, bahwa yang dikatakan oleh anaknya itu benar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, agaknya memang sudah diatur bahwa yang akan berkelahi bukan anak Kebo Gremeng yang memang sudah dikalahkan oleh Mahisa Amping. Bahkan bukan seorang lawan seorang, tetapi anak Kebo Gremeng bertempur bersama kawan-kawannya.
Dalam pada itu, seorang di antara para gembala yang ikut bersama Kebo Gremeng itu melangkah maju sambil bertolak pinggang. Dengan garang anak itu berkata, “Kita akan berperang tanding.”
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Darimana kau mendapat istilah itu? Jangan sebut perang tanding. Berkelahi begitu saja akan lebih sesuai dengan kalian.”
“Tutup mulutmu,” Kebo Gremenglah yang membentak.
Tetapi Wantilan dan Mahisa Semu justru ikut tertawa. Dengan nada tinggi di sela-sela tertawanya Mahisa Semu berkata, “Jangan terlalu garang. Semua orang sudah tahu, bahwa kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Berbuat wajar sajalah.”
Hampir saja Kebo Gremeng meloncat menerkam Mahisa Semu. Tetapi gembala itu telah berteriak, “beri aku kesempatan mematahkan leher anak yang sombong itu.”
Kebo Gremeng memang mengurungkan niatnya. Namun sekali lagi jantungnya bagaikan meledak ketika Mahisa Pukat berkata, “Anak itu sudah dapat mengucapkan istilah-istilah yang dapat mendirikan bulu tengkuk.”
Namun sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah. Ia ingin menerima tantangan itu. Tetapi ia menunggu isyarat Mahisa Murti. Mahisa Murti yang dapat melihat kegelisahan Mahisa Amping itu pun kemudian bertanya kepadanya, “Apakah kau bersedia berperang tanding?”
Mahisa Amping mengangguk sambil menjawab pendek, “Ya.”
“Bagus,” desis Mahisa Murti, “lakukan. Kau ditantang oleh gembala itu.”
Mahisa Amping pun tersenyum. Dengan langkah yang tetap ia pun maju mendekati gembala yang sudah berdiri dalam kesiapan. Namun Mahisa Amping memang harus berhati-hati. Gembala itu tidak lebih besar dari anak Kebo Gremeng. Tetapi nampaknya anak itu memiliki kelebihan dari anak Gebo Gremeng itu sendiri.
“Kita akan menjadi saksi,” berkata Mahisa Murti, “anak-anak itu akan membuktikan, apakah yang dikatakan oleh anak Kebo Gremeng itu benar. Sebenarnya aku tidak senang melihat anak-anak berkelahi. Tetapi apa boleh buat.”
“Aku tidak akan sekedar berkelahi,” sahut gembala itu, “tetapi aku akan berperang tanding.”
“Baiklah. Lakukan perang tanding itu. Kami yang tua-tua akan menjadi saksi yang baik, yang tidak akan mengganggu jalannya permainan yang tidak wajar ini.”
Sejenak kemudian kedua orang anak itu sudah berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk berkelahi yang menurut istilah gembala itu berperang tanding. Sejenak kemudian, gembala yang memiliki kelebihan dari anak Kebo Gremeng itu mulai meloncat menyerang. Tetapi Mahisa Amping sudah siap menghindari serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping. Namun tiba-tiba saja lawannya telah berputar dengan ayunan kaki mendatar. Mahisa Amping sama sekali tidak menduga. Karena itu pada serangan kedua Mahisa Amping telah dikenai oleh kaki lawannya sehingga Mahisa Amping itu jatuh berguling.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun dengan demikian mereka mengetahui bahwa gembala itu tentu pernah mempelajari olah kanuragan serba sedikit.
Sementara itu Kebo Gremeng yang menjadi tegang oleh kemarahan yang tertahan, tiba-tiba saja dapat tertawa, justru semakin lama semakin keras. Dengan perut yang terguncang-guncang Kebo Gremeng berkata di sela-sela dari tertawanya, “Itukah anak yang kau banggakan? Jika terbukti bahwa anakmu telah bersalah kemudian kalian bersalah pula terhadap anakku dan kawan-kawannya, maka jangan menyesali nasib buruk kalian.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak menjawab. Namun mereka menyaksikan Mahisa Amping dengan tangkasnya meloncat bangkit dan berdiri tegak menghadapi segala kemungkinan.
Kebo Gremeng pun kemudian telah berhenti tertawa. Ia bahkan menjadi tegang kembali ketika ia melihat bagaimana Mahisa Amping itu bangkit. Sejenak kemudian gembala itu telah mulai menyerang lagi. Demikian Mahisa Amping meloncat menghindar, maka gembala itu telah berputar dengan kaki mendatar.
“Serangan itu ternyata telah diulang kembali,” berkata Mahisa Amping di dalam hatinya disaat ia meloncat menghindarinya. Serangan yang kedua itu sama sekali tidak berhasil sebagaimana serangannya terdahulu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menarik nafas panjang. Apalagi ketika kemudian justru Mahisa Amping lah yang sempat menjajagi kemampuan lawannya. Ketika sekali lagi lawannya menyerang, kemudian berputar dengan ayunan kaki mendatar, maka tahulah Mahisa Amping, bahwa unsur gerak itu merupakan unsur gerak yang setidak-tidaknya paling dikuasai oleh lawannya seandainya ia memiliki kemampuan melakukan unsur-unsur gerak yang lain.
Dengan demikian maka Mahisa Amping telah mampu menempatkan diri ketika lawannya sekali lagi menyerang. Ia tidak menghindar sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi ia menghindar ke arah yang berbeda meskipun Mahisa Amping menyadari bahwa cara yang dilakukan itu berbahaya.
Sebenarnyalah bahwa demikian Mahisa Amping meloncat, maka gembala itu telah menyusul dengan serangannya berikutnya. Satu tendangan yang keras sambil membelakangi Mahisa Amping dengan membungkukkan badannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang menyentuh tanah.
Sekali lagi Mahisa Amping telah dikenai serangan itu. Hampir saja Mahisa Amping terjatuh terlentang. Tetapi ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia masih tetap tegak terdiri.
Yang kemudian diketahui oleh Mahisa Amping adalah cara lawannya menyerang. Jika ia menghindari dengan arah yang pertama, maka lawannya itu akan berputar dengan kaki terayun mendatar. Tetapi jika ia menghindar ke arah yang sebaliknya, maka ia akan membelakanginya, kemudian membungkuk dan bertumpu pada kedua tangannya sementara kakinya terjulur lurus ke belakang.
Dengan demikian maka Mahisa Amping yang tangkas itu mulai mempermainkannya. Ternyata gembala itu lebih banyak mempergunakan kedua unsur gerak rangkap itu. Meskipun ia mampu melakukan yang lain, tetapi tidak setangkas jika ia melakukan kedua unsur itu sehingga Mahisa Amping mampu mengimbanginya.
Karena itu, maka perkelahian di antara kedua orang anak itu semakin lama semakin sengit. Jika Mahisa Amping yang serba sedikit pernah diberi petunjuk oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejak ilmunya yang diterima di padepokan yang beraliran hitam itu dimusnahkan, maka lawannya pun memang pernah juga mengenali ilmu kanuragan serba sedikit, meskipun ilmu yang kasar.
Dengan dasar-dasar olah kanuragan itulah kedua anak itu saling menyerang dan bertahan. Namun ternyata daya tahan tubuh Mahisa Amping masih lebih baik dari lawannya. Mahisa Amping yang terbiasa menjalani laku yang berat bahkan setiap hari, mampu mengatasi kekuatan daya tahan lawannya mulai susut.
Dengan demikian, maka keseimbangan perkelahian itu pun mulai berubah. Gembala itu tidak lagi mampu menyerang dan bertahan dengan kekuatannya sepenuhnya. Keringatnya bahkan seakan-akan telah terperas dari tubuhnya. Nafasnya mulai berkejaran di lubang hidungnya.
Kebo Gremeng mulai menjadi cemas. Gembala kebanggaannya itu ternyata mengalami kesulitan. Bahkan kemudian serangan Mahisa Amping pun telah mulai mengenai tubuhnya. Ketika anak itu berusaha menyerang Mahisa Amping, maka Mahisa Amping telah menghindar ke arah pola unsur gerak gembala itu yang pertama.
Karena itu, ketika gembala itu berputar dengan kaki terayun mendatar, Mahisa Amping justru telah menjatuhkan diri dan merendah sehingga ayunan kaki itu lewat di atas kepalanya. Namun pada saat yang bersamaan, Mahisa Amping telah berguling sambil menjulurkan kakinya menyilang menyapu kaki lawannya tempat bertumpu pada putarannya.
Sapuan kedua kaki Mahisa Amping yang menyilang dan kemudian diputar itu akibatnya memang pahit bagi lawannya. Kakinya bagaikan dihentakkan dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga gembala itu jatuh terbanting di tanah. Dengan gerak naluriah tangan gembala itu berusaha untuk menahan tubuhnya, namun justru karena itu, maka pergelangan tangannya itu bagaikan menjadi retak.
Ketika gembala itu berusaha untuk bangkit dan bertumpu pada tangannya itu, maka ia pun telah menjerit. Bahkan kemudian gembala itu telah mengaduh kesakitan. Tertatih-tatih anak itu bangkit. Tetapi ia tidak mampu bertahan lagi, sehingga akhirnya anak itu menangis sambil memegangi pergelangan tangannya itu.
Kebo Gremeng menjadi tegang. Ternyata gembala itu sama sekali tidak mampu mengalahkan Mahisa Amping. Bahkan gembala itu telah menangis kesakitan meskipun ia berusaha untuk bertahan. Tetapi titik-titik air matanya mengalir semakin deras. Bahkan gembala itu pun kemudian terisak.
“Kelinci cengeng,” geram Kebo Gremeng, “kenapa kau menangis seperti itu? Bukankah kau mengaku tidak terkalahkan di antara anak-anak sebayamu. Bahkan kau menang atas anakku?”
Anak itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi tangannya yang bagaikan patah itu memang terasa sakit sekali, sehingga anak itu tidak mungkin lagi untuk meneruskan perkelahian.
“Nah,” tiba-tiba Mahisa Murti berkata, “apa yang akan kau katakan sekarang tentang gembala-gembala itu? Apakah kau masih menganggap bahwa adikku itu dengan mudah akan dapat dikalahkan? Apakah kau masih menganggap bahwa aku harus membantunya dan aku serta saudara-saudaraku telah ikut menyakiti anak-anak?”
“Persetan,” geram Kebo Gremeng, “aku tidak peduli apa yang sudah dilakukan anak-anak. Aku tidak terbiasa menunggu dan menahan diri seperti sekarang ini. Karena itu, maka jangan menyesal jika aku melakukan kebiasaanku.”
“Apa kebiasaanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Memukuli orang sampai setengah mati. Bahkan jika perlu membunuh,” jawab Kebo Gremeng.
Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab dengan jawaban yang mengejutkan, “Ternyata kita mempunyai kebiasaan yang sama. Sudah sepekan aku tidak memukuli orang. Tetapi jangan kau kira bahwa karena itu aku lalu memukuli anak-anak.”
“Cukup,” bentak Kebo Gremeng, “agaknya kau benar-benar belum mengenal aku.”
“Benar. Aku baru tahu tentang kau hari ini. Menurut kata orang kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Nah, orang seperti kau inilah yang kami tunggu. Dengan demikian, maka kami akan sedikit mendapat kepuasan,” jawab Mahisa Pukat.
“Iblis kau,” Kebo Gremeng itu berteriak, “aku koyak mulutmu.” Kebo Gremeng itu pun telah meloncat menerkam Mahisa Pukat. Ia tidak mampu menahan diri sebagaimana telah dilakukannya yang menyimpang dari kebiasaannya.
Sebagai seorang gegedug yang ditakuti, maka Kebo Gremeng terbiasa untuk memukuli orang lain. Dengan sekali pukul orang itu telah menjadi pingsan. Ia pun berniat untuk memukul Mahisa Pukat sehingga membuatnya pingsan. Tetapi gegedug itu terkejut. Tangannya tidak menggapai apapun juga. Mahisa Pukat begitu cepatnya meloncat menghindar sehingga luput dari serangannya.
Bahkan sebelum ia menyadari keadaannya sepenuhnya, terasa tangan yang sangat kuat telah mendorongnya sehingga Kebo Gremeng itu jatuh terjerembab. Mulutnya telah membentur tanah yang keras sehingga bibirnya diluar sadarnya terjepit di antara giginya dan berdarah. Dengan cepat Kebo Gremeng bangkit. Ia menjadi semakin marah ketika ia menyadari, bahwa mulutnya telah berdarah.
Ketika ia mengusap dengan punggung telapak tangannya, maka ia melihat warna merah itu membasahi kulitnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah memberikan isyarat kepada tiga orang kawannya untuk menyerang bersama-sama.
Namun ketika ketiga orang kawannya itu bergerak, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bergerak pula bersama-sama.
“Apakah secara kebetulan jumlah kita sama, atau kalian memang dengan sengaja menyamakan jumlah itu?” bertanya Mahisa Pukat sambil bertolak pinggang.
“Persetan,” geram Kebo Gremeng, “aku akan benar-benar membunuh.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun menurut perhitungannya, maka kawan Kebo Gremeng itu tentu tidak setangkas gegedung itu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat mengharap bahwa Mahisa Semu dan Wantilan akan dapat mengatasi lawan-lawannya. Bahkan jika perlu, Mahisa Pukat dan menghadapi dua di antara mereka dan Mahisa Murti akan dapat membantu Mahisa Semu dan Wantilan. Namun semuanya masih harus dijajagi lebih dahulu agar Mahisa Semu dan Wantilan tidak merasa direndahkan kemampuannya.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu pun telah mendapat lawannya masing-masing. Sementara itu Mahisa Murti berpesan kepada Mahisa Amping, “Kau tidak boleh berkelahi. Kecuali jika kau harus membela diri karena kau diserang.”
“Tetapi kakang akan berkelahi,” desis Mahisa Amping.
“Aku pun tidak akan berkelahi jika aku tidak diserang,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Namun sekali-sekali ia memperhatikan gembala-gembala yang dengan tegang memperhatikan perkelahian itu. Biasanya Kebo Gremeng hanya membutuhkan waktu sekejap untuk mengalahkan lawannya.
Mahisa Amping yang masih marah itu rasa-rasanya ingin meloncat menerkam para gembala itu. Lebih-lebih anak Kebo Gremeng yang telah mereka-reka ceritera yang bohong sama sekali, meskipun agaknya ia hanya dituntun oleh ayahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak berani melanggar pesan kakak angkatnya. Agaknya kakak angkatnya bersungguh-sungguh melarangnya untuk berkelahi jika tidak diserang. Karena itu, bahkan Mahisa Amping mengharap agar gembala-gembala itu menyerangnya.
Ketika salah seorang dari gembala itu kebetulan memandanginya maka ia pun telah menjulurkan lidahnya agar gembala itu menjadi marah. Tetapi gembala itu dengan serta merta telah berpaling. Mahisa Amping hanya dapat menggeram, tetapi ia tidak menyerang.
Sementara itu Mahisa Murti telah bertempur dengan salah seorang kawan Kebo Gremeng. Tidak ada kesulitan sama sekali. Seandainya ia langsung mengakhiri pertempuran pun agaknya akan dapat dilakukannya. Tetapi Mahisa Murti tidak melakukannya. Ia masih ingin melihat apa yang terjadi dengan Wantilan dan Mahisa Semu.
Namun keduanya pun ternyata memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Mahisa Semu bertempur tanpa mempergunakan senjatanya, karena lawannya pun tidak bersenjata. Lawannya memang tidak menduga bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang memang berilmu.
Ternyata berbeda dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan tidak membiarkan lawannya mendapat hati. Mereka telah menekan lawannya secepatnya, sehingga dalam waktu yang singkat maka kedua orang kawan Kebo Gremeng itu sudah terdesak. Karena itu, maka tidak ada kemungkirian lain yang dapat mereka lakukan kecuali menarik senjata-senjata mereka.
Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa dengan demikian mereka justru telah menjerumuskan diri mereka sendiri kedalam kesulitan. Karena mereka mempergunakan senjata, maka dengan demikian maka Mahisa Semu dan Wantilan pun telah menggenggam senjata pula ditangan mereka.
Bahkan Mahisa Semu sempat berkata, “Kalian telah mempercepat nasib buruk yang akan menimpa kalian.”
“Persetan,” geram lawan Mahisa Semu, “jangan menyesal jika perutmu akan terkoyak.”
Mahisa Semu justru tertawa pendek. Katanya, “Orang-orang seperti kalian memang harus dibuat jera.”
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mereka telah melibat Mahisa Semu dan Wantilan dengan serangan-serangan yang cepat dan langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuhnya.
Tetapi justru kemampuan Mahisa Semu adalah pada ilmu pedangnya. Meskipun belum mencapai tataran yang tinggi, namun ternyata cukup memadai sebagai bekal menghadapi orang-orang yang semula merasa diri mereka tidak terkalahkan. Bahkan dalam waktu yang singkat Mahisa Semu telah berhasil menekan lawannya sehingga seakan-akan kehilangan ruang gerak.
Wantilan memang tidak mendorong lawannya dengan kemampuannya. Ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidak bertempur dengan bersungguh-sungguh, maka Wantilan pun telah berusaha untuk menahan diri.
Beberapa saat kemudian, maka Kebo Gremeng telah menyadari bahwa anak muda itu memang bukan lawannya. Meskipun anak muda itu tidak dengan serta merta menghancurkannya, tetapi Kebo Gremeng merasa bahwa pada satu saat ia akan dipaksa untuk berlutut di hadapannya disaat-saat nafasnya akan putus.
Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali melihat kenyataan itu. Apalagi ketika sekali dua kali Mahisa Pukat mulai menyentuh tubuhnya meskipun tidak lebih hanya dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi ketika ujung ibu jarinya menyentuh pangkal lehernya, maka rasa-rasanya nafasnya telah tersumbat. Karena itu, maka ia pun telah meloncat mengambil jarak, sementara lawannya tidak mengejarnya, Mahisa Pukat telah memberinya kesempatan untuk bernafas.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, “Menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Kebo Gremeng yang tidak pernah direndahkan itu memang sulit untuk menerima kenyataan itu. Tetapi ketika sekali lagi ujung tiga jari tangan Mahisa Pukat yang merapat mengenai bagian bawah dadanya, maka Kebo Gremeng tidak dapat mengelak lagi. Ia tidak ingin menarik senjatanya, karena hal itu akan berakibat sangat buruk bagi dirinya sebagaimana kemudian dilihatnya pada lawan Mahisa Semu. Meskipun Mahisa Semu tidak berniat untuk membunuh, tetapi ujung senjatanya ternyata telah tergores di kulit lawannya sehingga darah pun telah mengalir dari luka itu.
Sambil menyeringai menahan pedih orang itu meloncat menjauh. Selangkah demi selangkah Mahisa Semu maju mendekatinya sambil berkata, “Senjatamu telah membuatmu mengalami banyak kesulitan. Lemparkan senjatamu, maka aku pun akan menyarungkan senjataku pula.”
Orang itu masih saja ragu-ragu. Ujung senjatanya masih teracu ke arah dada Mahisa Semu. Namun ketika sekali lagi Mahisa Semu membentak, maka orang itu telah melemparkan senjatanya.
“Bagus,” desis Mahisa Semu sambil menyarungkan senjatanya, “dengan demikian kau selamat.”
Orang-orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali harus menyerah. Kebo Gremeng dan kawan-kawannya ternyata harus menghadapi satu kenyataan bahwa mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Adalah diluar dugaan mereka bahwa anak-anak muda itu akhirnya mampu merendahkannya dan membenturkan mereka pada satu kenyataan, betapa luasnya dunia ini.
Kebo Gremeng mengira bahwa didunianya yang sempit, ia adalah orang yang paling kuat, yang tidak ada duanya. Namun pada suatu saat telah datang diluar dugaan, orang-orang yang menunjukkan didepan hidupnya, bahwa ia bukannya segala-galanya. Bahwa orang yang bernama Kebo Gremeng itu adalah sangat kecil dan tidak berarti apa-apa.
“Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhku,” berkata Kebo Gremeng di dalam hatinya.
Namun yang dikatakan Mahisa Murti kemudian adalah, “Ingat-ingatlah bahwa kau pernah mengalami sebagaimana kau alami hari ini. Padahal aku bukan orang-orang berilmu tinggi yang dapat melampaui ilmu kami. Ingat itu. Jika kau bertemu dengan mereka, apalagi yang berwatak kejam, maka kau benar-benar akan menjadi cacing di telapak kaki mereka.”
Kebo Gremeng mengerutkan keningnya. Tetapi ia mampu mengerti apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti sehingga kata-kata Mahisa Murti itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka Kebo Gremeng itu akhirnya berkata, “Aku mohon maaf anak-anak muda. Aku merasa betapa dungunya aku selama ini. Betapa sempitnya penglihatanku atas isi dunia ini. Aku kira aku adalah orang yang tidak terkalahkan.”
“Itu memang terjadi di daerah sempit ini. Daerah yang sekedar sebuah kerikil kecil dari sebuah tepian yang sangat luas. Karena itu, kau harus menyadari bahwa di dunia ini terdapat rahasia yang sama sekali tidak pernah kau kenali,” berkata Mahisa Murti, “bahkan seandainya kau adalah orang berilmu tinggi sekalipun, maka kemampuan itu tentu ada batasnya. Setiap orang mempunyai kelemahannya masing-masing. Yang ilmunya setinggi langit pun akhirnya akan bertemu dengan orang yang ilmunya lebih tinggi lagi. Bahkan orang yang ilmunya tidak terjangkau, dapat saja suatu ketika mengalami nasib buruk di tangan orang yang tidak berilmu sama sekali.”
Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”
“Apakah akibat dari pengertianmu itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku akan membuktikannya dalam tingkah laku,” berkata Kebo Gremeng.
“Nah. Katakan kepada gembala-gembala kecil itu, bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini salah.”
Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan mengatakan kepada mereka.”
“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti, “masa depan mereka masih panjang. Jika mereka terlanjur memasuki dunia yang kau ciptakan bagi mereka, maka seperti kau maka mereka akan melihat dunia ini begitu sempitnya. Mereka akan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja atas orang lain seperti yang selalu kau lakukan.”
Kebo Gremeng mengangguk. “Nah,” berkata Mahisa Murti, “jika demikian maka kita tidak mempunyai persoalan lagi. Ajak gembala-gembala kecil itu kembali dan kau harus mengajari dan mengawasi mereka.”
Kebo Gremeng mengangguk kecil sambil berdesis, “Baik anak-anak muda.”
Namun sebelum Mahisa Murti meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja mereka melihat beberapa orang datang mendekat. “Siapakah mereka?” bertanya Mahisa Murti.
Kebo Gremeng tiba-tiba menggeram, “Ki Bekel.”
“Ki Bekel?” ulang Mahisa Murti, “apa yang akan kau lakukan?”
“O,” suara Kebo Gremeng merendah, “aku harus menahan diri. Aku harus berubah. Tetapi berubah dengan tiba-tiba adalah sulit sekali.”
“Aku tahu. Tetapi kau harus melakukannya,” desis Mahisa Murti.
Sementara itu Ki Bekel melangkah semakin dekat. Namun nampaknya ia memang ragu-ragu. Ki Bekel sadar, dengan siapa ia berhadapan. Kebo Gremeng dengan kawan-kawannya. Tetapi Ki Bekel memang menjadi heran. Nampaknya tidak terjadi sesuatu antara Kebo Gremeng dengan anak-anak muda itu. Anak-anak muda yang menurut keterangan beberapa orang telah menyingkirkan adiknya yang berkelahi dengan anak Kebo Gremeng.
Sementara Ki Bekel ragu-ragu, maka tiba-tiba saja Kebo Gremeng berkata, “Marilah Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel mempunyai satu keperluan.”
Pertanyaan Kebo Gremeng itu sudah membuatnya menjadi keheranan. Nampaknya Kebo Gremeng itu begitu ramah. Namun Ki Bekel masih juga menduga, bahwa sikap itu adalah sikap yang dibuat-buat. Namun kemudian orang itu akan menerkamnya dan meremasnya sampai lumat.
Tetapi selain Kebo Gremeng ternyata Mahisa Murti pun juga mempersilahkan, “Marilah Ki Bekel.”
Meskipun masih juga ragu-ragu namun Ki Bekel telah melangkah mendekat. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan telah bergeser beberapa langkah. Mahisa Amping yang termangu mangu masih berdiri ditempatnya. Sementara Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun Ki Bekel pun kemudian melihat beberapa buah senjata yang terletak di tanah, serta bekas-bekas yang menunjukkan bahwa baru saja telah terjadi pertempuran. Karena itu, maka Ki Bekel pun segera mengetahui, bahwa bukannya tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
“Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti, “Ki Bekel tentu mengetahui apa yang telah terjadi di sini.”
“Ya. Aku sudah menduga. Karena itu, kami menyusul kemari,” berkata Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel itu melanjutkan, “tetapi kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat banyak berbuat. Meskipun demikian, karena tugasku, maka aku pun datang kemari bersama beberapa orang ini.”
Kebo Gremeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berbicara karena Mahisa Murti sudah mendahului, “Ki Bekel. Apakah mereka bertekad untuk menangkap Kebo Gremeng?”
“Tentu tidak akan sekasar itu. Kami tahu, siapakah Kebo Gremeng itu. Yang ingin kami lakukan adalah, agar tidak terjadi salah paham, bahwa anak-anak telah berkelahi. Orang tua gembala-gembala yang tahu bahwa anak mereka telah berkelahi dengan anak Kebo Gremeng ingin memberikan penjelasan. Aku adalah saksi karena tugasku,” berkata Ki Bekel.
“Apakah yang akan mereka sampaikan?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel masih juga ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti, akhir dari perkelahian itu. Menilik anak-anak muda itu, maka mereka tentu belum dikalahkan oleh Kebo Gremeng karena biasanya orang yang berani berkelahi dengan Kebo Gremeng tidak akan mampu untuk bangkit dari pembaringan setidak-tidaknya satu bulan. Bahkan ada orang yang ternyata menjadi cacat dan tidak dapat ditolong lagi jiwanya. Meskipun Kebo Gremeng tidak berniat membunuh, tetapi ia sudah membunuh.
“Kenapa kalian ragu-ragu. Katakan apa yang telah terjadi dan apa keinginan kalian. Kebo Gremeng sekarang sudah berubah. Ia tidak akan berbuat liar lagi, kecuali ia sendiri memang sudah jemu untuk hidup,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel dan orang-orang yang mengikutinya hampir tidak percaya mendengar kata-kata itu. Apalagi Kebo Gremeng memang tidak memberikan tanggapan apa-apa. Bahkan kepalanya justru telah menunduk.
Orang-orang itu masing-masing bertanya didalam hatinya, “Apakah Kebo Gremeng memang sudah dikalahkan oleh anak-anak ingusan itu?” Tetapi tidak seorang pun yang berani menanyakannya.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah mendesak lagi, “Katakan. Apa yang tersimpan di dalam hati kalian.”
Ki Bekel berpaling, dipandanginya orang-orang yang menyertainya itu. Ternyata mereka hanya terbungkam saja. “Katakanlah,” desis Ki Bekel yang masih saja bernada ragu-ragu.
Namun akhirnya ada juga di antara orang tua anak-anak itu. Orang yang sebelumnya telah bertemu dengan anak-anak muda yang menyatakan diri mereka sebagai pengembara, yang telah melerai anak-anak itu berkelahi. Dengan sedikit gemetar orang itu berkata, “Kami hanya ingin menyatakan, bahwa anak-anak kami tidak ingin berkelahi. Kami juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga.”
Wajah Kebo Gremeng memang menegang. Tetapi ia benar-benar berusaha mengekang dirinya. Bukan karena masih ada anak-anak muda yang tidak terkalahkan itu, tetapi ia memang ingin mencoba hidup seperti kebanyakan orang. Bertetangga dengan baik. Berbincang-bincang di sudut padukuhan menjelang senja setelah kerja di sawah selesai.
Dalam keadaan terjepit itu, ia baru menyadari, betapa miskinnya hidup yang pernah ditempuhnya. Bukan karena ia kekurangan uang dan tidak dapat mencukupi kebutuhan. Tetapi ia seakan-akan hidup terpisah dari orang lain. Jika ia hadir di manapun, maka orang-orang pun bagaikan menyibak menjauhinya. Demikian pula isteri dan anak-anaknya. Hanya orang-orang tertentu yang mau berhubungan dengan dirinya, istrinya dan anaknya. Gembala-gembala kecil yang menjadi kawan anak-anaknya adalah anak-anak pengikutnya atau orang-orang yang justru sangat takut kepadanya yang tinggal di sekitar rumahnya.
Karena Kebo Gremeng tidak segera menanggapi pernyataan orang tua dari gembala yang berkelahi dengan anak Kebo Gremeng itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, apa yang akan kau katakan tentang pernyataan itu?”
Kebo Gremeng termangu-mangu. Seperti yang dikatakan, untuk berubah dengan tiba-tiba memang sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Aku juga akan mengatakan hal seperti itu.”
Ki Bekel dan orang-orang itu menjadi heran. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Telah terjadi perubahan di dalam diri orang ini. Ia akan menyatakan satu janji di hadapan Ki Bekel sebagai pemimpin yang harus dipatuhi di padukuhan ini.”
“Janji?” justru Ki Bekel menjadi heran.
“Ya, janji yang akan ditepatinya, karena jika janji itu tidak ditepati, maka akibatnya akan memukul dirinya sendiri,” jawab Mahisa Murti.
Ki Bekel masih saja merasa heran. Namun sedikit banyak ia sudah dapat meraba apa yang telah terjadi. Anak-anak muda itu tentu sudah berhasil menguasai Kebo Gremeng, sehingga di hadapan anak-anak muda itu Kebo Gremeng tidak berani berbuat sesuatu. Tetapi bahwa anak-anak muda itu dapat mengalahkan Kebo Gremeng tentu merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Namun mereka melihat kenyataan itu. Kebo Gremeng yang tidak mau berteka-teki lebih lama lagi telah mengaku. “Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini,” berkata Kebo Gremeng, “tetapi apa yang terjadi telah benar-benar merubah pendirianku selama ini. Ternyata anak-anak muda itu mampu mengalahkan aku.”
“Tetapi…?” Ki Bekel tidak melanjutkan pertanyaannya.
Namun Kebo Gremeng mengetahui ke mana arah pertanyaan itu. Karena itu, maka ia pun telah menjawab, “Aku tidak berpura-pura sekarang. Dan bila anak-anak muda itu pergi aku akan kembali ke tabiatku semula. Tidak. Aku sudah berjanji untuk meninggalkan cara hidupku yang tidak pantas itu. Bukan hanya di hadapan anak-anak muda itu, tetapi untuk seterusnya. Anak-anak muda itu tidak sekedar mengalahkan aku dan kawan-kawanku, tetapi mereka telah menunjukkan sesuatu yang selama ini belum aku lihat.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Selama ini pemerintahannya selalu dibayangi oleh kecemasan akan tingkah laku Kebo Gremeng dan kawan-kawannya, sementara ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatasinya. Jika benar Kebo Gremeng itu berubah, maka padukuhannya tentu akan mengalami satu masa yang tenang. Namun melihat sikap dan sorot mata Kebo Gremeng, maka orang itu tentu akan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Mudah-mudahan untuk selanjutnya, kita di sini tidak akan selalu diganggu oleh kegelisahan.”
“Aku yakin bahwa Kebo Gremeng kali ini berkata benar. Sebagai seorang gegedug ia tidak akan mengatakannya seandainya ia benar-benar tidak ingin berubah. Lidahnya dan tingkah laku seorang gegedug biasanya akan menyatu sebagaimana ia selama ini berbuat sebagaimana dikatakannya,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas perubahan ini. Pengaruhnya akan dirasakan bukan saja oleh aku dan para bebahu, tetapi sudah tentu orang-orang di sekitar kami-pun akan ikut merasakannya pula.”
Namun Kebo Gremeng itu sendirilah yang melanjutkannya, “Kami menyadari sepenuhnya akan hal itu sekarang setelah mata kami seakan-akan terbuka.”
“Nah,” berkata Ki Bekel kemudian kepada anak-anak muda itu, “marilah. Kita akan berbicara di padukuhanku. Aku persilahkan kalian singgah.”
Tetapi Mahisa Murti tersenyum dan menjawab, “Terima kasih Ki Bekel. Kami berharap bahwa Ki Bekel dan Kebo Gremeng akan dapat menyelesaikan masalah kalian sendiri. Aku sudah yakin akan kemauan baik kedua belah pihak. Jika kemudian Kebo Gremeng benar-benar berniat untuk merubah jalan hidupnya, berikan kesempatan. Jangan mendendam atas tingkah lakunya yang lalu, karena dendam hanya akan berbalas dendam saja.”
“Apakah kalian tidak dapat singgah barang sebentar?” bertanya Ki Bekel.
“Kami mohon,” minta orang tua yang anaknya berkelahi dan berdarah.
“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti, “kami masih akan meneruskan pengembaraan kami sampai saatnya kami mencapai padepokan kami. Jika kami terlalu sering singgah dan berhenti, maka aku takut bahwa kami tidak akan pernah sampai, sementara orang tua kami telah menunggu dengan tegang dan cemas.”
Ki Bekel, Kebo Gremeng dan orang-orang padukuhan itu tidak dapat memaksa Mahisa Murti yang justru telah minta diri. Demikian pula saudara-saudaranya sampai kepada Mahisa Amping. Kebo Gremeng sempat menepuk pundak anak itu sambil berkata, “Kau akan menjadi seorang yang perkasa kelak. Di umurmu yang masih belum seberapa banyak itu, kau sudah menunjukkan bekal kemampuanmu yang mengherankan.”
Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja, sementara Mahisa Murti berkata, “Ia belum mulai.”
Tetapi Kebo Gremeng justru menjawab, “Apalagi belum mulai. Jika anak itu mulai sehari dua hari, maka ia akan semakin meyakinkan.”
Mahisa Murti tersenyum. Namun ia pun mengulangi permintaannya untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah meneruskan perjalanannya. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan persoalan Mahisa Amping sehingga perjalanan mereka telah terhambat.
Namun di sepanjang perjalanan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memikirkan kemungkinan baru untuk Mahisa Amping. Anak itu baru mulai dari dasarnya sama sekali. Ketahanan tubuh dan latihan-latihan yang berhubungan dengan daya tahan itu. Anak itu memang sudah mulai dengan dasar-dasar olah kanuragan, tetapi masih pada latihan-latihan yang dasar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya memutuskan bahwa anak itu harus mulai ditingkatkan kemampuannya, ia telah memiliki landasan yang cukup kuat untuk melakukan latihan-latihan yang agak berat. Karena itu, maka di sore hari ketika mereka beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di pinggir jalan, Mahisa Murti bertanya kepadanya,
“Amping. Apakah kau benar-benar sudah siap untuk menjalani laku yang berat, berlatih dengan ikatan paugeran yang tidak boleh kau langgar?”
“Tentu,” jawab anak itu, “sudah lama aku siap menjalani laku. Di padepokan itu pun aku telah menjalani laku yang berat dan bahkan kadang-kadang aku menjadi pingsan karenanya.”
“Tetapi aku tidak ingin kau mengalaminya lagi,” berkata Mahisa Murti, “kau harus tumbuh dengan wajar sesuai dengan umur, kekuatan wadagmu dan perkembangan jiwamu.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Yang pernah dilakukannya adalah satu kerja yang memaksa sehingga terjadi ketidak wajaran di dalam dirinya. Dengan nalar kecilnya, Mahisa Amping sudah dapat mengetahui bahwa yang terjadi itu adalah laku yang dipaksakan untuk kepentingan tertentu justru dari mereka yang berilmu hitam. Jika ia tidak dibebaskan oleh Mahisa Murti, maka perkembangan jiwanya akan mengalami kelainan sehingga ia bukan lagi dirinya sendiri, meskipun wadagnya adalah wadag itu juga.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata pula, “Mahisa Amping. Jika kemudian aku memberikan latihan-latihan kepadamu yang tentu semakin lama menjadi semakin berat, bukan berarti bahwa kau harus menjadi semakin sering berkelahi. Hari ini kau telah berkelahi. Kau merasa bahwa kau tidak memulainya. Jika kau kelak sedikit demi sedikit menyadap ilmu kanuragan, kau tidak boleh mencari-cari alasan untuk berkelahi. Selama ini kau tentu melihat bahwa jika aku, kakangmu Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan paman Wantilan berkelahi, itu bukan karena kami ingin berkelahi.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk.
“Kau mengerti?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku mengerti kakang,” jawab Mahisa Amping.
“Selama ini aku telah memberikan latihan-latihan yang dasar kepadamu. Tetapi mulai besok ilmumu memang akan meningkat perlahan-lahan. Tetapi laku yang harus kau jalani tentu berat. Bukankah kau melihat bagaimana kakangmu Mahisa Semu dan paman Wantilan berlatih setiap hari di perjalanan? Setiap hari kita memerlukan berlatih beberapa saat, justru disaat kita beristirahat. Kita adalah pengembara. Kesempatan kita berlatih adalah di sela-sela perjalanan yang sangat panjang,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang membayangkan kerja yang berat di hari-hari mendatang jika ia benar-benar ingin memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Namun ia pun mengerti bahwa ia tidak akan melakukannya sendiri. Mahisa Semu, Wantilan dan dirinya akan mempergunakan kesempatan-kesempatan seperti itu.
“Kita tidak mempunyai sanggar yang memadai,” berkata Mahisa Murti, “sanggar kita adalah alam di mana kita berhenti dari perjalanan kita yang kita tempuh dari hari ke hari.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia tiba-tiba saja berkata, “Bukankah hal seperti itu sudah kita lakukan?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Yang kau lakukan belum apa-apa. Dari hari ke hari akan menjadi semakin berat.”
“Aku akan melakukannya,” sahut Mahisa Amping.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Untuk selanjutnya kau harus menepati segala ketentuan yang dibuat untukmu. Kau tidak boleh lagi merajuk. Tidak boleh lagi manja dan menurut kehendakmu sendiri. Kau mengerti?”
Mahisa Amping mengangguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Ya. Aku mengerti.”
“Bagus. Jika demikian kita akan segera dapat mulai,” berkata Mahisa Pukat.
Tiba-tiba saja Mahisa Amping itu pun telah bangkit berdiri dan berkata, “Aku sudah siap.”
“Tidak sekarang,” berkata Mahisa Pukat dengan serta merta. Sambil tersenyum ia berkata selanjutnya, “Duduklah. Maksudku segera dapat kita mulai tentu diwaktu yang pendek setelah ini. Mungkin besok, mungkin lusa.”
Mahisa Amping nampak menjadi kecewa. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kau memerlukan waktu beberapa tahun. Tidak hanya satu dua hari. Untuk waktu yang bertahun-tahun itu, maka yang sehari dua hari ini tidak akan terlalu banyak berpengaruh.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia duduk kembali Mahisa Semu yang tertawa berkata, “Kenapa kau begitu tergesa-gesa? Apakah besok kau akan berkelahi lagi dengan gembala-gembala yang kau jumpai di perjalanan?”
Mahisa Amping menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak kakang. Tetapi rasa-rasanya aku sudah terlalu lama mempersiapkan diri untuk itu.”
“Terlalu lama? Sejak kapan?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping menundukkan kepalanya. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Sudahlah. Besok kita akan mulai di samping latihan-latihan daya tahan sebagaimana kita lakukan setiap hari sebelum hari ini.”
Mahisa Amping mengangguk sambil menjawab, “Baik kakang. Aku sudah siap kapan saja aku harus mulai.”
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mulai memberikan latihan-latihan pada hari itu. Dibiarkannya Mahisa Amping berangan-angan agar dengan demikian, maka ia sempat mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Terutama persiapan jiwani, karena sebenarnya secara wadag Mahisa Amping memang sudah siap.
Hari itu telah dihabiskan oleh anak-anak muda yang mengaku pengembara itu untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata mereka memang harus berjalan jauh karena perjalanan yang mereka tempuh memang sudah jauh.
Malam itu, ke empat orang itu memilih bermalam di tempat terbuka. Mahisa Amping yang menyertai mereka sama sekali tidak pernah merasa berkeberatan, di manapun mereka bermalam. Daya tahan tubuhnya pun telah memungkinkannya untuk tidur di tempat terbuka tanpa selimut kecuali pakaian yang dipakainya.
Namun malam itu Mahisa Amping merasa sulit untuk dapat tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun dan angan-angannya selalu tersangkut pada hari-hari mendatang, saat-saat ia mendapat kesempatan untuk menjalani laku dan meningkatkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh dan berlatih untuk sebenarnya mendapatkan ilmu kanuragan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan yang berganti-ganti berjaga-jaga melihat betapa Mahisa Amping menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak bertanya kepada anak itu, karena dengan demikian anak itu akan menjadi semakin sulit untuk tidur. Tetapi akhirnya, anak itu tertidur juga sampai menjelang fajar.
Sebelum matahari terbit, keempat orang itu bersama Mahisa Amping telah siap untuk berangkat. Mereka sempat mencuci wajah mereka di sebuah parit yang berair bening. Kemudian seperti biasanya mereka telah berlari-lari menyusuri jalan-jalan kecil dan sepi agar tidak menarik perhatian orang. Bahkan mereka telah menuruni lereng-lereng dan tebing sungai, kemudian memanjat lagi ke atas tanggul.
Namun mereka pun berhenti ketika hari menjadi terang. Di saat matahari terbit, maka mereka telah melakukan latihan-latihan khusus di sebuah tikungan sungai yang nampaknya jarang dilalui orang. Mahisa Amping berusaha untuk selalu menirukan unsur-unsur gerak yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya telah melakukan unsur gerak yang berbeda, maka Mahisa Amping harus memilih salah satu di antaranya.
Baru setelah matahari memanjat naik, mereka berhenti. Beristirahat sebentar. Kemudian mandi di sungai itu juga. Setelah membenahi pakaian mereka, maka mereka pun naik dan melanjutkan perjalanan. Mahisa Amping memang menjadi kecewa. Ia mengira bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mulai dengan memberikan latihan-latihan kepadanya. Namun ternyata sama sekali belum. Meskipun demikian Mahisa Amping tidak berani menanyakannya. Ia menyimpan kekecewaannya itu di dalam hatinya.
Keempat orang itu pun kemudian memasuki jalan yang lebih ramai. Memang tidak ada orang yang secara khusus memperhatikan mereka. Keempat orang yang membawa seorang anak itu berjalan di antara orang-orang lain yang hilir mudik. Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Kita memasuki jalan yang menuju ke pasar.”
“Atau membelakangi pasar,” sahut Wantilan.
“Tidak. Orang yang menuju searah dengan kita membawa barang-barang dagangan. Sedangkan mereka yang berjalan ke arah yang berlawanan membawa barang-barang yang mereka beli di pasar itu. Tentu dapat dibedakan,” jawab Mahisa Murti.
Wantilan mengangguk-angguk. Memang ia pun kemudian sependapat bahwa jalan itu memang menuju ke pasar. Di luar pasar yang ramai itu, kelima orang itu telah singgah di sebuah kedai. Mereka dapat memilih berbagai jenis makanan yang tersedia. Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah meneruskan perjalanan mereka meninggalkan keramaian pasar itu dan bahkan kemudian meninggalkan padukuhan yang cukup besar dan ramai.
Tidak ada persoalan yang mereka hadapi di padukuhan itu. Karena itu, maka mereka dapat berjalan terus. Mahisa Murti berharap bahwa mereka tidak akan menjumpai persoalan-persoalan baru diperjalanan mereka. Karena mereka telah bertekad sejak semula untuk tapa ngrame, sehingga dalam hal tertentu mereka memang tidak dapat menutup mata dan begitu saja mengabaikannya, betapapun perjalanan mereka menjadi semakin terhambat.
Menjelang tengah hari, kelima orang itu justru telah mendekati sebuah daerah yang nampaknya agak terasing. Namun justru mereka telah memilih berbelok memasuki jalan sempit yang menuju ke sebuah hutan yang nampaknya masih lebat.
Seorang petani yang bertemu di bulak itu telah bertanya, “Kalian akan pergi ke mana anak-anak muda?”
“Kami pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang Ki Sanak. Apakah jalan ini menuju ke hutan yang nampak lamat-lamat itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Justru karena itu aku bertanya, “sahut petani itu, “jalan ini adalah jalan mati, karena jalan ini hanya akan mencapai hutan itu saja. Hutan yang masih termasuk lebat dan dihuni binatang-binatang buas.”
Mahisa Murti mengangguk sambil berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami memang ingin melihat hutan lebat itu.”
Petani itu menjadi heran. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apa yang akan kalian cari di hutan yang lebat itu?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kami tidak mencari apa-apa Ki Sanak. Kami justru menghindari persoalan-persoalan yang mungkin timbul jika kami berjalan melalui padukuhan-padukuhan. Karena sebenarnyalah kami berjalan jauh. Ancar-ancar perjalanan kami adalah Gunung-gunung, matahari terbit dan terbenam serta bintang-bintang di malam hari.”
Petan itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak tahu maksud anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata asal saja terloncat dari bibirnya, “berhati-hatilah anak muda.”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
Ketika petani itu meninggalkan mereka, Mahisa Murti menjadi termangu-mangu. Ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Kita menuju ke hutan lebat. Mungkin kita harus menempuh jalan ini kembali.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kita akan berjalan terus?” Mahisa Murti justru bertanya. Lalu katanya, “Agaknya tidak ada jalan tembus ke seberang hutan itu. Kecuali jika kita berniat untuk menerobos hutan itu.”
Mahisa Pukat memang nampak ragu-ragu. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping berkata, “Menarik sekali. Kita dapat melihat-lihat satu lingkungan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.”
Semua orang berpaling kepada anak itu. Tetapi justru karena itu Mahisa Amping merasa heran. Seakan-akan semuanya bertanya kepadanya, kenapa ia ingin melakukannya. Karena itu, Mahisa Amping justru menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Marilah. Kita melihat isi hutan itu. Jika kita tidak mungkin menerobosnya, maka kita akan kembali menempuh jalan ini dan turun di jalan sebelah.
Ternyata yang lain pun tidak menolak. Sehingga sejenak kemudian maka mereka telah menyusuri jalan itu menuju ke hutan yang ditunjuk dan dikatakan oleh petani itu. Mereka menyusuri bulak yang tidak begitu panjang. Kemudian memasuki padang perdu yang memisahkan daerah persawahan dengan hutan yang masih lebat itu.
Baru kemudian mereka melihat dinding yang membentang di hadapan mereka. Dinding yang nampak perkasa dan seakan-akan tidak akan tertembus oleh kekerdilan diri mereka. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan diikuti oleh Mahisa Amping berjalan
Semakin lama semakin mendekati hutan yang lebat itu. Baru beberapa puluh langkah di depan hutan itu mereka berhenti. Dengan ragu-ragu mereka memandangi pohon-pohon raksasa yang berdiri tegak di hadapan mereka.
“Hutan ini benar-benar hutan yang belum pernah dijamah,” berkata Mahisa Murti...
“Hutan ini benar-benar hutan yang belum pernah dijamah,” berkata Mahisa Murti...