PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 82
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 82
Karya Singgih Hadi Mintardja
NAMUN Mahisa Murti cukup berhati-hati, sehingga serangan-serangan lawannya sama sekali tidak lagi mampu menyentuh tubuhnya. Bahkan pedang Mahisa Murti yang berkilauan itu semakin lama terasa semakin dekat dengan kulit lawannya. Bahkan sambaran anginnya yang keras sudah mulai terasa menggapai kulitnya.
Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu menjadi semakin garang. Serangannya menjadi semakin cepat dan keras. Tetapi justru pada benturan-benturan yang terjadi, lawan Mahisa Murti itu merasakan bahwa kekuatan anak muda itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin kuat.
Sementara itu, yang tertua di antara ketiga orang itu masih juga bertempur dengan keras melawan Kiai Liman Serapat. Ternyata mereka masih berusaha menyelesaikan pertempuran itu tanpa senjata. Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagai pedagang gerabah itu memang mempunyai kemampuan yang tinggi. Ia mampu bergerak cepat sebagaimana lawannya. Ia pun memiliki kekuatan dan tenaga yang dapat mengimbangi lawannya.
Dengan demikian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya telah mengerahkan tenaga cadangan mereka sehingga dengan demikian maka kekuatan mereka bukan sekedar kekuatan wantah. Tetapi kekuatan mereka telah menjadi berlipat.
Namun dengan demikian, masih belum ada tanda-tanda siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Sementara itu lawan Kiai Liman Serapat tidak ingin mempergunakan racun-racunnya, karena ternyata sama sekali tidak berarti bagi Kiai Liman Serapat.
Dalam pada itu maka lawan Kiai Liman Serapat itu tidak sabar lagi menunggu kesalahan yang dibuat oleh lawannya sehingga ia dapat mengalahkannya. Lawannya adalah orang yang tangguh. Bahkan kemungkinan yang sebaliknya akan dapat terjadi atas dirinya.
Kiai Liman Serapat sendiri menyadari, bahwa dengan cara itu, maka mereka berdua tidak akan segera sampai kepada akhir dari pertempuran itu. Meskipun demikian Kiai Liman Serapat tidak tergesa-gesa. Ia ingin menjajagi kemampuan lawannya lebih jauh, bahkan sampai ke puncak.
Tetapi lawannyalah yang tidak sabar lagi. Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka lawannya itu pun telah berusaha untuk mendesak Kiai Liman Serapat dengan hentakan-hentakan yang kuat. Namun Kiai Liman Serapat pun tetap bertahan. Bahkan setiap serangan telah dibentur dengan serangan pula.
Karena itulah, maka lawan Kiai Liman Serapat itu justru telah meloncat surut. Ia berusaha untuk mendapatkan waktu untuk mempersiapkan diri melepaskan ilmunya yang dibanggakannya.
Kiai Liman Serapat yang sudah siap memburunya, tiba-tiba telah tertahan. Ia melihat lawannya itu mengatupkan kedua telapak tangannya. Kemudian kedua telapak tangan itu saling digosokkannya. Kiai Liman Serapat melihat pada telapak tangan yang terkatub itu asap yang tipis mengepul. Asap yang berwarna kemerah-merahan.
Karena itulah, maka Kiai Liman Serapat lah yang kemudian meloncat surut mengambil jarak. Sementara itu, maka lawannya telah mengangkat tangannya sambil meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Kiai Liman Serapat tidak boleh lengah sekejap pun. Tangan lawannya itu tidak lagi sekedar mengayunkan kekuatan wajarnya. Tetapi telapak tangannya yang menjadi merah itu tentu menyimpan kekuatan yang sangat tinggi.
Ketika tangan itu diayunkannya, maka Kiai Liman Serapat-pun telah meloncat menghindar. Tangan lawannya memang tidak menyentuhnya, tetapi ayunan anginnya telah menerpa kulitnya. Terasa perasan pedih menyengat-nyengat. Tidak hanya di satu tempat, tetapi angin yang menyentuh kulitnya serasa menaburkan asap yang menggigit kulitnya itu.
Kiai Liman Serapat menggeretakkan giginya. Seakan-akan kepada diri sendiri ia menggeram, “Jadi kita akan bersungguh-sungguh.”
Lawannya menghentakkan serangannya sambil menggeram, “Kau atau aku yang akan mati di sini. Persoalannya kemudian adalah persoalan harga diri.”
Kiai Liman Serapat mengangguk kecil sambil berdesis, “Bagus. Kita sudah menentukan satu sikap. Kau atau aku yang akan mati. Semula aku tidak merasa perlu untuk bersungguh-sungguh seperti itu. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan memilih mati.”
Kiai Liman Serapat pun kemudian telah bersiap menghadap segala kemungkinan. Kedua tangannya terentang menyamping. Kemudian perlahan-lahan telapak tangan keduanya bergerak dan menelakup didepan dadanya. Karena lawannya sudah bersiap untuk menyerang, maka dengan cepat kedua tangan yang menelakup itu telah terangkat tinggi.
Serangan berikutnya datang dengan dahsyatnya. Dengan cepat sekali tangan yang terayun itu berputar. Kemudian mematuk mengarah dada Kiai Liman Serapat. Telapak tangan yang menjadi merah itu terjulur dengan cepat dilambari dengan kekuatan yang sangat besar. Namun Kiai Liman Serapat sempat meloncat menyamping. Bahkan sekali berguling di tanah, kemudian melenting bangkit berdiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih juga bertempur melawan kedua orang saudara seperguruan itu, sempat melihat semacam asap yang berwarna kemerah-merahan yang menyambar Kiai Liman Serapat. Untunglah bahwa orang itu telah menjatuhkan dirinya, sehingga asap itu tidak menyentuhnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa asap itu tentu merupakan bagian dari ilmu yang sangat berbahaya. Sentuhan asap itu bagi Kiai Liman Serapat tentu lebih berbahaya dari racun yang pernah ditusukkan ke dalam tubuhnya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak mendapat kesempatan. Kedua lawannya pun telah meningkatkan serangan-serangannya. Pedang mereka berputaran menyambar-nyambar. Sementara itu ujungnya sekali-sekali masih juga terjulur menggapai tubuh anak-anak muda itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah dapat memahami kelebihan senjata lawannya, tidak lagi dapat dikelabui. Karena itu, maka serangan-serangan lawan-lawan mereka pun selalu dapat dielakkannya atau ditangkisnya dengan senjata mereka yang sedang diperebutkannya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa lawan-lawannya tentu juga memiliki kelebihan sebagaimana orang yang sedang bertempur melawan Kiai Liman Serapat itu.
Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu merasa bahwa mereka tidak akan mampu menundukkan anak-anak muda yang mengaku pengembara serta telah menguasai sepasang keris yang menjadi rebutan orang-orang berilmu tinggi itu dengan pedangnya yang ujungnya dapat terjulur, kedua orang itu telah memutuskan untuk mempergunakan ilmunya yang jarang ada duanya. Jika dengan ilmu puncak itu mereka masih juga tidak mampu mengalahkan lawan-lawan mereka, maka untuk selanjutnya mereka akan mengalami kesulitan. Hanya jika terjadi keajaiban sajalah mereka akan dapat memenangkan pertempuran.
Dalam pada itu, hampir berbareng kedua orang itu telah meloncat mengambil jarak. Keduanya pun kemudian telah berdiri tegak. Pedangnya tegak di depan dadanya, sementara telapak tangan kirinya telah melekat pada pedangnya itu. Ketika telapak tangan itu menggosok-gosok daun pedang, maka nampak asap yang berwarna kemerah-merahan bagaikan mengepul dari daun pedang yang kemudian juga berwarna kemerah-merahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat asap itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak saja harus menghindari serangan pedang lawannya. Tetapi mereka pun harus berhati-hati terhadap asap yang berwarna kemerahan itu.
“Untunglah bahwa asap itu berwarna,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Dengan demikian maka ia akan menjadi lebih mudah menghindarinya daripada asap itu tidak berwarna sama sekali.
Beberapa saat kedua belah pihak masih belum mulai menyerang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum berniat untuk menyerang lawan-lawannya dari jarak jauh dengan ilmunya yang menggetarkan meskipun ia pun menyadari, bahwa orang-orang berilmu tinggi akan dapat sekali dua kali menghindari serangan seperti itu. Bahkan beberapa kali. Untuk beberapa saat Mahisa Murti menunggu. Ia mulai bergeser setapak ketika lawannya mulai menggerakkan pedangnya yang menjadi kemerah-merahan.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, lawan Mahisa Murti itu telah meloncat menyerang dengan garangnya. Ujung pedang itu bukan saja dapat terjulur. Tetapi ujung pedang itu seakan-akan telah menyemburkan asap yang juga berwarna kemerah-kemerahan menyambar Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti dengan sigapnya telah meloncat menghindar. Tetapi ketika tubuhnya tersentuh asap itu, terasa kulitnya seakan-akan telah tersentuh bara api. Bahkan rasa-rasanya kulitnya telah terkelupas karena panas yang menyengat. Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa orang itu memang orang yang berilmu tinggi. Ilmunya benar-benar sangat berbahaya. Asap dari ujung pedangnya itu tersembur dengan derasnya mengarah ke tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak banyak mempunyai kesempatan. Tiba-tiba orang itu telah menyerang lagi. Asap itu pun telah berhamburan dari ujung pedang lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti telah mampu memperhitungkan jarak, seberapa jauh ia harus meloncat menghindar. Dengan demikian, maka untuk melawan ilmu yang jarang ada bandingnya itu, Mahisa Murti mulai merambah ke ilmunya pula.
Pengaruh kekuatan ilmu Mahisa Murti terhadap senjatanya yang memang memiliki kelebihan itu mulai menjadi semakin nyata. Baja pilihan dan pamor yang tidak ada duanya itu menjadi semakin nyata, tetapi pedang itu seakan-akan telah menyala. Lidah api yang berwarna kehijauan itu mulai menjilat-jilat.
Ketika lawan Mahisa Murti melihat keris yang menyala itu, hatinya memang terguncang. Namun ia masih yakin akan kemampuannya serta ilmunya yang nggegirisi itu. Demikianlah, maka orang itu pun telah menyerang semakin garang. Pedangnya telah terayun sekali lagi. Asap yang kemerah-kemerahan telah terhambur. Namun asap itu tidak dapat mengenai Mahisa Murti yang meloncat menyamping.
Tetapi Mahisa Murti tidak sekedar menghindari serangan itu. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka tubuhnya telah terloncat justru menyerang lawannya dengan pedangnya yang menyala itu. Serangan itu datang demikian cepatnya. Lawanya tidak sempat mengambil ancang-ancang untuk menghindari serangan itu. Karena itu, maka lawannya telah berusaha untuk menangkis keris Mahisa Murti yang terjulur.
Benturan kedua senjata itu ternyata telah menimbulkan percikan bunga api yang menggetarkan jantung. Bunga api yang berwarna kemerah-merahan dan kehijau-hijauan. Namun Mahisa Murti telah memutar pedangnya, mengibaskan pedang lawannya dengan sepenuh tenaga, sehingga pedang lawannya itu hampir saja terlepas dari tangannya. Dengan cepat Mahisa Murti meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya itu sehingga hampir saja menyentuh tubuh lawannya.
Dengan tergesa-gesa lawannya sekali lagi telah menangkis serangan Mahisa Murti itu. Demikian kedua pedang itu beradu, maka Mahisa Murti masih saja berusaha memutar pedangnya. Namun lawannyalah yang kemudian meloncat surut beberapa langkah.
Mahisa Murti tidak sempat memburunya. Pedang lawannya telah diayunkannya. Meskipun jaraknya masih terlalu jauh bagi serangan pedang, namun semburan asap yang kemerahan itulah yang sangat berbahaya. Sekali lagi kulit Mahisa Murti terasa terkelupas ketika asap itu sempat menggamit sikunya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah terdesak oleh serangan-serangan lawannya. Asap yang kemerah-merahan itu telah membuat Mahisa Pukat beberapa kali menggeram. Panas dan pedih telah menyengat jika asap yang kemerahan itu sempat menyentuh tubuhnya. Namun seperti Mahisa Murti, beberapa kali mempergunakan setiap sebaik-baiknya untuk menyerang lawannya. Beberapa kali Mahisa Pukat membenturkan pedangnya.
Tetapi kesempatan itu terlalu sedikit. Memang beberapa kali Mahisa Pukat berhasil. Tetapi beberapa kali pula asap lawannya itu telah menyengat kulitnya sehingga rasa-rasanya bagaikan terkelupas. Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sempat memperhatikan kulitnya yang pedih itu, nampak bekas sentuhan itu seperti sentuhan bara api.
Dalam pada itu, Kiai Liman Serapat pun telah bertempur dengan sengitnya. Kiai Liman Serapat memang harus berjuang dengan mengerahkan segenap ilmunya untuk menghindari libatan asap yang kemerah-merahan itu. Namun telah beberapa kali asap itu sempat menyentuh tubuh Kiai Liman Serapat, sehinga kulitnya pun telah menjadi panas dan bagaikan terkelupas.
Lawan Kiai Liman Serapat itu semakin lama menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Ia ingin segera menyelesaikan Kiai Liman Serapat itu. Dengan demikian ia akan tidak kehilangan harga dirinya. Lebih dari itu, maka ia masih akan mempunyai kesempatan untuk menguasai salah satu dari sepasang keris yang sedang diperebutkan itu. Bahkan kemudian ternyata ia menginginkan kedua-duanya. Karena itu, yang akan dibinasakannya bukan saja Kiai Liman Serapat dan kedua orang anak muda pengembara itu. Tetapi juga saudara-saudara seperguruannya.
Namun orang itu berharap bahwa pertempuran antara anak-anak muda yang mengaku pengembara itu dengan saudara-saudara seperguruannya dapat membuat mereka menjadi lemah dan dengan demikian kedua belah pihak, yang menang apalagi yang kalah sudah tidak berdaya lagi untuk melawannya. Sementara itu ia masih memiliki kekuatan yang utuh selain ia berhasil membunuh Kiai Liman Serapat.
Tetapi Kiai Liman Serapat ternyata tidak mudah untuk dibinasakan. Ia masih mampu dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan yang datang beruntun, bahkan kemudian seperti badai yang melibatnya. Kiai Liman Serapat memang telah semakin terdesak. Tetapi sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan hatinya. Karena itu maka lawannya pun menjadi semakin garang dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun Kiai Liman Serapat pun kemudian tidak ingin membiarkan dirinya terdesak terus. Sekali-sekali ia masih sempat memperhatikan pertempuran antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melawan musuh masing-masing. Kiai Liman Serapat pun justru menjadi agak cemas melihat kedua orang lawan dari anak-anak muda itu telah mempergunakan ilmunya, yang mampu menaburkan asap yang ternyata mempunyai kekuatan yang mengantar getaran yang mengandung panasnya api yang dipancarkan oleh ilmunya lawan-lawannya itu, lewat ujung-ujung pedangnya. Sebagaimana dilakukan pula oleh lawannya sendiri, namun langsung dari telapak tangannya.
Kiai Liman Serapat memang melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali-sekali mampu menghindari serangan itu. Bahkan pada saatnya keduanya telah menyerang pula dengan tusukan-tusukan yang berbahaya. Tetapi nampaknya ilmu dan kemampuan lawannya mempunyai kemungkinan yang lebih baik untuk memenangkan pertempuran itu. Dengan demikian maka Kiai Liman Serapat pun merasa perlu untuk mempercepat penyelesaian bagi lawannya itu. Karena itulah, maka kedua belah pihak yang merasa perlu untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran, telah meningkatkan kemampuan ilmu mereka.
Asap yang terhambur pada serangan-serangan lawan Kiai Liman Serapat itu rasa-rasanya menjadi semakin panas dan bahkan menjadi semakin banyak. Setiap helai asap yang berwarna kemerah-merahan itu seakan-akan merupakan sehelai bara api yang akan dapat mengelupas kulitnya dan menusuk dagingnya dengan perasaan panas dan pedih.
Namun dalam keadaan yang rumit itu, Kiai Liman Serapat pun telah menghentakkan ilmu puncaknya. Kedua tangannya yang berada di depan dadanya telah membuat gerakan-gerakan yang khusus. Namun kemudian telapak tangannya yang terbuka dari tangannya sebelah kiri telah menengadah di depan dadanya, sedangkan telapak tangan kanannya menelungkup, sedangkan arah jari-jarinya berlawanan, sementara kaki kanannya terangkat tinggi.
Demikianlah, ketika lawan Kiai Liman Serapat kemudian meloncat menyerangnya, maka Kiai Liman Serapat hampir saja terlambat. Tetapi ia sempat meloncat dan sambil berguling beberapa kali. Tetapi asap yang kemerah-merahan itu rasa-rasanya telah terhambur memburunya. Kiai Liman Serapat dengan cepat melenting berdiri. Ia tahu bahwa lawannya pun telah sampai kepada puncak kemampuan ilmunya, sehingga serangannya menjadi lebih berbahaya.
Namun Kiai Liman Serapat yang telah bersiap itu telah mengangkat kedua tangannya. Kedua telapak tangannya telah dikembangkan menghadap ke arah asap yang hampir saja menggulungnya itu. Akibatnya memang menggetarkan jantung. Dari kedua telapak tangan tangan Kiai Liman Serapat tiba-tiba saja telah berhembus angin yang deras sekali. Demikian derasnya, sehingga asap yang hampir saja menggulungnya dengan getaran panasnya api itu telah terhembus pecah berserakan.
Lawannya telah meloncat menjauh sambil menggeram. Ternyata Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagi pedagang gerabah itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun dalam pada itu, lawan Kiai Liman Serapat yang marah itu, masih berusaha untuk menyerangnya. Dengan garangnya ia telah meloncat mendekati Kiai Liman Serapat.
Tangannya telah ditelungkupkan, kemudian dengan satu hentakkan maka asap yang kemerah-merahan telah terhambur mengarah ke lawannya. Namun Kiai Liman Serapat telah menunggunya. Demikian asap itu mulai menyambar, Kiai Liman Serapat telah menghembuskan kekuatan anginnya sehingga asap yang kemerah-merahan itu telah melibat orang yang melepaskannya itu sendiri.
Tetapi orang itu sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan dengan sadar orang itu berkata, “Kau salah hitung. Kekuatan ilmuku tidak akan aku pergunakan untuk membunuh diriku sendiri. Asap itu tidak berarti apa-apa bagiku.”
Kiai Liman Serapat menggeram. Tetapi ia tidak membiarkan kesempatan itu berlalu. Selagi lawannya sedang berbicara lantang sambil membusungkan dadanya, maka Kiai Liman Serapat telah menyerangnya dengan kekuatan hembusan udara yang keras sekali langsung mengarah ke tubuh lawannya. Ternyata serangan itu telah mengguncangnya. Bahkan kelebihan yang ada pada ilmunya yang tidak dapat membunuh dirinya sendiri itu membuatnya sangat berbesar hati, sehingga ia menjadi sedikit lengah.
Guncangan itu memang mengejutkannya. Seperti orang yang sadar dari sebuah lamunan, maka lawan Kiai Liman Serapat itu berusaha untuk meloncat keluar dari arus angin yang deras itu. Sebenarnyalah orang itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sebuah loncatan yang panjang telah melepaskannya dari arus angin yang deras sekali sambil menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali. Kemudian dengan cepat pula ia telah melenting berdiri.
Kiai Liman Serapat bergeser beberapa langkah mendekat. Namun orang itu telah tegak berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang itu telah berhadapan kembali. Namun keduanya sadar, bahwa mereka masih akan menempuh satu perjuangan yang panjang. Lawan Kiai Liman Serapat menyadari, bahwa serangan asapnya tidak akan berarti lagi. Setiap hamburan asap tentu akan dihembusnya dengan angin yang membadai yang dilontarkan dengan alas ilmu pedagang gerabah itu, sehingga tidak akan dapat menyentuh tubuhnya.
Karena itu, maka keduanya harus bertempur dengan mempergunakan kemampuan unsur-unsur gerak serta kekuatan tenaga cadangan di dalam diri mereka masing-masing. Demikianlah maka pertempuran itu pun berlangsung semakin lama semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat sambil mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka.
Sekali-sekali Kiai Liman Serapat memang telah melepaskan ilmunya, satu hentakkan angin yang memadai. Namun lawannya selalu berhasil melenting keluar dari arus angin itu. Tetapi sebaliknya lawan Kiai Liman Serapat itu sekali-sekali masih juga dengan tiba-tiba menghamburkan asapnya yang kemerah-merahan itu. Orang itu masih mencoba untuk mengatasi kecepatan gerak Kiai Liman Serapat. Namun Kiai Liman Serapat selalu sempat menolaknya dengan angin yang dihembuskannya atas alas ilmunya.
Karena itulah, maka pertempuran di antara kedua orang itu-pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya yang sudah sampai ke puncak kemampuan masing-masing itu masih belum dapat memperhitungkan siapakah di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih juga bertempur dengan serunya. Kedua anak muda itu masih berusaha untuk tidak menghancurkan lawannya dengan ilmu mereka yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh, meskipun mungkin lawan-lawan mereka itu mampu menghindarinya, sekali atau dua kali. Tetapi menurut penilaian anak-anak muda itu, jika mereka menyerang lawan-lawan mereka dengan serangan jarak jauh itu berturutan beberapa kali, maka lawan-lawan mereka itu agaknya akan dapat mereka kalahkan.
Meskipun demikian, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak pernah merendahkan lawan-lawan mereka. Kemungkinan yang lain memang akan dapat terjadi. Karena itu, maka mereka tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Yang telah dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan tenaga lawannya. Karena itu, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat selalu berusaha untuk dapat membenturkan senjatanya yang bagaikan menyala kehijauan itu dengan senjata lawan-lawan mereka yang dapat menyemburkan asap yang berwarna kemerah-merahan.
Sekali dua kali tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga tersentuh oleh asap yang ganas itu. Kulit mereka menjadi bagaikan terkelupas oleh panas yang menggigit. Namun setiap kali benar-benar telah terjadi benturan antara senjata anak-anak muda itu dengan senjata lawannya.
Namun ternyata bahwa lawan Mahisa Pukat lebih garang dari lawan Mahisa Murti. Serangan-serangannya datang lebih keras dan kasar. Senjatanya menyambar-nyambar, sementara asap yang berwarna kemerahan itu berhamburan tidak henti-hentinya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Namun setiap kali pedangnya selalu terjulur dari segala arah menggapai tubuh lawannya. Lidah api yang menyala pada daun pedangnya itu telah membuat pedangnya menjadi semakin berbahaya, karena ternyata sentuhan lidah api itu telah mampu mengoyakkan kulit lawannya.
Karena itu, maka lawan Mahisa Pukat terkejut ketika lengannya telah terkoyak pula. Yang telah menyentuhnya bukan daun pedang yang garang itu. Tetapi lidah api yang seakan-akan menyala pada daun pedangnya. Sentuhan senjata itu ternyata terasa sangat pedih. Apalagi darah telah mengalir dari lukanya itu. Lebih-dari itu, sentuhan pedang itu telah mengisap tenaga dan kemampuan lawan Mahisa Pukat itu pula.
Dalam pada itu, ujung senjata Mahisa Murti pun telah menggamit kulit lawannya pula. Lukapun telah tergores di paha lawan Mahisa Murti itu. Tidak terlalu dalam. Tetapi di luka itu rasa-rasanya sepotong bara telah melekat. Namun lawan Mahisa Murti itu, semakin lama menjadi semakin heran atas dirinya sendiri. Pedang ditangannya itu rasa-rasanya menjadi semakin berat. Bahkan tangan dan kakinya sendiripun menjadi semakin berat pula.
Dengan demikian maka geraknya pun menjadi semakin lama semakin lamban. Ia tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Murti. Dengan demikian maka rasa-rasanya ujung keris Mahisa Murti yang menyala kehijauan itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan rasa-rasanya ujung senjata itu bagaikan memburunya semakin cepat.
Lawannya memang menjadi semakin berdebar-debar. Tangan dan kakinya seakan-akan menjadi semakin berat. Ia tidak lagi mampu berloncatan dengan tangkas dalam kecepatan yang sangat tinggi.
“Apa yang telah terjadi?,” bertanya orang itu kepada diri sendiri.
Namun sebelum ia menemukan jawabnya, ujung keris Mahisa Murti justru telah menyentuh dadanya. Orang itu terdorong beberapa langkah surat. Tetapi ujung keris Mahisa Murti masih saja selalu memburunya. Meskipun ia telah menghamburkan asap berwarna kemerah-merahan itu, namun ia tidak lagi pernah berhasil mengenai Mahisa Murti.
Akhirnya, pertempuran itu memang harus berhenti pada suatu saat apapun yang telah terjadi. Ketika senjata kedua orang yang sedang bertempur itu berbenturan sekali lagi, maka lawan Mahisa Murti memang tidak mampu lagi mempertahankan senjatanya. Dengan keras senjatanya bagaikan terangkat terbang ke langit. Telapak tangannya yang berusaha mempertahankannya bagaikan terkelupas kulitnya.
Tetapi senjata itu jatuh hanya selangkah daripadanya. Karena itu, dengan gerak naluriah, maka orang itu telah meloncat dan kemudian memungut senjatanya. Tetapi ternyata ia tidak mampu mengangkat pedangnya. Baru kemudian ia sadari, bahwa daun pedangnya telah diinjak oleh Mahisa Murti. Adalah satu bencana bahwa orang itu tidak segera melepaskannya. Dipandanginya wajah Mahisa Murti untuk beberapa saat lamanya tanpa melepaskan pegangannya pada hulu pedangnya itu.
Orang itu baru sadar, ketika tubuhnya benar-benar telah menjadi lemah. Tangannya baru terlepas dari hulu pedangnya yang terinjak kaki Mahisa Murti ketika ia tidak lagi mampu berdiri tegak. Tubuhnya justru telah terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan, sehingga akhirnya lawan Mahisa Murti itu telah terjatuh di tanah tanpa dapat bangkit kembali. Tulang-tulangnya seakan-akan bagaikan telah dilepas dari persendiannya.
“Marilah,” tantang Mahisa Murti, “bukankah kita masih mempunyai banyak waktu?”
Orang itu mengumpat. Namun akhirnya ia pun telah jatuh terjerembab di tanah. Ia memang masih mampu menggeliat dan memiringkan tubuhnya yang sangat lemah. Tetapi ia benar-benar sudah tidak mampu untuk bangkit. Lawan Mahisa Pukat pun telah mengalami nasib yang sama. Ia tidak lagi mampu mendesak Mahisa Pukat. Ia bukannya semakin menguasai medan, tetapi justru kekuatannya dengan cepat larut seperti garam di dalam air. Sehingga akhirnya habis sama sekali.
Ketika orang itu berusaha mengayunkan pedangnya sambil menghamburkan asap yang kemerah-merahan itu, Mahisa Pukat telah meloncat menyamping. Asap itu tidak menyentuhnya. Sementara itu sekali lagi Mahisa Pukat meloncat sambil mengayunkan kerisnya.
Lawannya memang masih berusaha untuk menghindar, sekaligus menangkis serangan itu. Namun Mahisa Pukat tidak menekan senjata lawannya sehingga ujung kerisnya mampu menusuk ke tubuh lawannya. Ia justru membiarkan kedua buah pedang itu saling menekan untuk beberapa saat.
Tetapi terasa oleh Mahisa Pukat, bahwa kekuatan terakhir orang itu telah dihisapnya sampai habis. Dengan demikian ketika kemudian Mahisa Pukat menyentuhnya dengan telapak tangannya, maka orang itu pun telah jatuh terbanting di tanah.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu ternyata tidak mampu mengalahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memiliki keris yang telah direlakan kepada kedua orang anak buahnya itu.
Pusat perhatian mereka yang ada di halaman itu kemudian adalah Kiai Liman Serapat melawan saudara tertua dari ketiga orang yang menyebut kesatuan mereka itu sebagai Sangga Langit Kinatelon. Untuk beberapa saat lamanya kekuatan, kecepatan gerak dan kemampuan mereka masih saja berimbang. Mereka masih saja bertempur tanpa senjata.
Dalam pada itu, serangan-serangan mereka yang datang silih berganti telah saling menyentuh dan mengguncangkan tubuh lawan mereka. Namun kedua belah pihak masih belum mampu menentukan siapakah yang akan kalah dan siapakah yang akan, memenangkan pertempuran itu.
Pada saat yang demikian, maka Kiai Liman Serapat dan lawannya telah melihat, bahwa dua orang lawan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu telah terbaring di tanah. Keduanya tidak tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan kedua orang itu.
Namun hal itu telah membuat lawan Kiai Liman Serapat menjadi semakin marah. Ia ingin saudara seperguruannya itu memenangkan pertempuran, tetapi ia sendiri menjadi sangat lemah. Dengan demikian maka ia akan dengan mudah menyelesaikan saudara-saudara seperguruannya itu seorang demi seorang. Ternyata nafsunya untuk memiliki sepasang pusaka itu telah menguburkan kesetiaannya kepada saudara-saudara seperguruannya.
Tetapi ternyata saudara-saudara seperguruannyalah yang telah dikalahkan lebih dahulu. Meskipun anak-anak muda yang memiliki senjata yang diinginkannya itu juga sudah terluka, namun mereka masih nampak tegar menghadapi keadaan. Meskipun demikian, maka niatnya untuk memiliki senjata yang luar biasa itu tidak padam. Apapun yang terjadi, maka niatnya mantap. Dengan demikian maka masalahnya tidak sekedar mengalahkan Kiai Liman Serapat. Tetapi justru sepasang keris serta mengorbankan saudara-saudara seperguruannya.
Karena itu, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang berilmu tinggi itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Asap yang kemerah-merahan dan angin yang bertiup seperti prahara saling menyerang. Kedua orang berilmu tinggi itu pun saling berlompatan menghindar dan kemudian bertempur langsung dengan wadag mereka, beradu kecepatan gerak dan kekuatan tenaga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengalahkan lawan-lawannya termangu-mangu sejenak. Mereka sempat melupakan perasaan pedih pada kulit mereka yang telah tersentuh bukan saja ujung-ujung pedang yang terjulur, tetapi juga asap yang berwarna kemerahan namun memiliki panas seperti bara. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping bagaikan membeku di tempatnya menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit itu, setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jusru telah mengakhiri pertempuran.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Kiai Liman Serapat memiliki daya tahan yang lebih baik dari lawannya. Sementara itu, kekuatan daya hembus angin praharanya telah memaksa lawannya bekerja lebih keras untuk mengatasi dorongan angin itu, agar ia tidak terlempar jatuh. Kemudian lawannya itu juga harus berloncatan menghindari inti kekuatan daya dorong hembusan ilmu Kiai Liman Serapat.
Sementara itu, Kiai Liman Serapat tidak harus bekerja sekeras lawannya. Ia tidak perlu berloncatan, berguling dan berputaran menghadapi asap lawannya. Tetapi Kiai Liman Serapat dapat menghembusnya dengan kekuatan anginnya dan menghanyutkannya naik ke udara. Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Kiai Liman Serapat selanjutnya adalah lebih sering menyerang lawannya dengan ilmunya sekaligus dengan wadagnya.
Sebenarnyalah bahwa lawannya semakin mengalami kesulitan menghadapi ilmu dan kemampuan Kiai Liman Serapat. Namun ketika Kiai Liman Serapat memberinya peringatan agar menyerah, orang itu menggeram,
“Kau kira siapa aku he? Liman Serapat, kau jangan terlalu sombong dengan ilmu yang tidak lebih dari hembusan seorang yang menghidupkan api diperapian. Kau tentu tahu apa yang dapat dilakukan oleh Sangga Langit Kinatelon. Aku yang tertua di antara kami bertiga. Karena itu, kau jangan terjebak oleh kesombonganmu sendiri, sehingga kau akan terkapar mati di arena ini.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Liman Serapat, “dua orang saudaramu telah tidak berdaya. Kenapa kita tidak lebih baik berbicara di antara kita.”
“Liman Serapat. Kau harus mati. Kedua orang anak muda yang ternyata membawa sepasang pusaka yang sedang diperebutkan itu juga harus mati,” geram orang itu.
Kiai Liman Serapat tidak lagi mempunyai kesempatan. Lawannya telah menyerangnya semakin garang. Tetapi dengan demikian, maka lawannya itu pun telah memancing Kiai Liman Serapat untuk bertempur semakin keras pula. Karena itu, maka sejenak kemudian, lawannya itu seakan-akan tidak lagi mendapat kesempatan untuk menyerang. Hembusan angin prahara yang dilontarkan oleh ilmu Kiai Liman Serapat menjadi semakin deras.
Dengan demikian maka tekanan Kiai Liman Serapat atas lawan-lawannya itu pun terasa semakin lama menjadi semakin berat. Namun memang tidak terlintas di hati lawannya itu untuk menyerah. Karena itu, ketika serangan Kiai Liman Serapat menjadi semakin berat, maka lawannya itu pun telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang lain kecuali ilmunya.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka mula-mula orang itu telah menghamburkan asapnya yang kemerahan. Sementara Kiai Liman Serapat menghembus asap itu, maka lawannya telah meloncat berguling keluar dari garis hembusan Kiai Liman Serapat. Tetapi ia tidak begitu saja menghindar. Tiba-tiba saja ia telah melontarkan paser-paser kecil ke arah Kiai Liman Serapat diluar garis hembusan anginnya mengarah lambung.
Kiai Liman Serapat tidak mengira sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan yang demikian. Ia mengira bahwa lawannya meloncat untuk menghindari serangan angin yang mengurai asapnya. Namun ternyata diluar garis hembusan ilmunya, paser-paser kecil telah meluncur dengan cepatnya. Kiai Liman Serapat yang terkejut telah berusaha untuk menghindar. Dua buah paser sempat dihindari. Tetapi paser yang ketiga telah benar-benar mengenai lambungnya.
Kemarahan Kiai Liman Serapat telah memuncak. Karena itu, maka ia pun telah mengkesampingkan kemungkinan penyelesaian yang lebih baik dengan lawannya yang dianggapnya licik itu. Dengan demikian, maka Kiai Liman Serapat tidak memikirkan apapun lagi selain membinasakan lawannya. Paser yang mengenai lambungnya itu tentu beracun. Orang itu tapa ragu-ragu berusaha membunuhnya. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak boleh menjadi ragu-ragu.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, serta menahan sakit di lambungnya, maka Kiai Liman Serapat telah menghentakkan ilmunya. Hembusan prahara yang kuat telah melanda lawannya yang telah berhasil menghunjamkan paser di lambung Kiai Liman Serapat.
Kemenangan kecil itu telah membuat lawan Kiai Liman Serapat itu menjadi semakin garang. Ketika prahara itu datang melandanya, maka dengan tangkas ia telah meloncat. Sekali lagi ia berhasil keluar dari garis serangan lawannya. Sekali lagi ia berusaha untuk meluncurkan serangan dengan paser-pasernya.
Tetapi orang itu terkejut. Ketika ia siap melemparkan paser-paser kecilnya, maka sebuah pisau belati panjang telah meluncur ke arahnya. Demikian cepat dan tiba-tiba diluar dugaannya. Karena itu, maka orang itu tidak sempat mengelak. Ia hanya sempat melontarkan sebuah paser ketika ia terdorong selangkah surut. Terdengar keluhan tertahan.
Kemudian orang itu telah terhuyung-huyung jatuh di tanah. Pisau belati itu benar-benar tertancap di dadanya. Di saat-saat terakhir, orang itu masih juga tidak percaya bahwa pisau yang hanya sebuah itu mampu mengenainya. Sedangkan serangan angin yang berhembus secepat praharapun sempat dihindarinya.
Tetapi orang itu tidak dapat menghindari satu kenyataan, bahwa pisau itu memang sudah tertancap di dadanya. Bahkan menyentuh jantungnya, sehingga orang itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi untuk hidup. Sementara itu sebuah paser yang terlepas dari tangannya, ternyata tidak mengenai sasarannya, meskipun hampir saja menyambar kening. Sejenak Kiai Liman Serapat termangu-mangu. Namun ia masih mendekat dan meyakinkan bahwa lawannya memang sudah mati.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekatinya. Mereka pun saling berpandangan sejenak ketika mereka mendekati tubuh yang terbujur itu. Mati.
“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” desis Kiai Liman Serapat sambil meraba paser yang masih tertanam di lambungnya. “Tolong,” katanya kepada anak-anak muda itu, “cabut paser ini. Paser ini beracun. Untunglah bahwa sejak semula aku telah mengenakan penangkal racun itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak ragu. Tetapi Mahisa Murti terpaksa melakukannya meskipun sebenarnya ia agak segan, karena ia sadar, bahwa Kiai Liman Serapat, tentu akan merasa kesakitan demikian paser itu dicabut. Tetapi Mahisa Murti pun sadar, bahwa hal itu harus dilakukannya.
Sebenarnyalah, demikian paser itu dicabut, maka Kiai Liman Serapat telah menahan kesakitan yang sangat. Tidak saja di bagian tubuhnya yang terluka. Tetapi badannya seakan-akan telah menjadi panas. Darahnya di seluruh tubuhnya rasa-rasanya menjadi mendidih karenanya.
Sebenarnyalah, demikian paser beracun itu dicabut, maka perlawanan di seluruh tubuhnya atas racun itu telah mendesak darah yang beracun untuk memancar keluar. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba saja dari lukanya itu darah telah mengalir. Mula-mula nampak kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu menjadi merah segar.
Sejalan dengan itu, maka rasa sakit di tubuh Kiai Liman Serapat pun telah berkurang. Semakin banyak darahnya mengalir, rasa-rasanya tubuhnya menjadi semakin dingin. Namun Kiai Liman Serapat juga tidak mau kehabisan darah. Karena itu, setelah darahnya menjadi wajar, ia pun telah minta Mahisa Murti menaburkan obat di atas luka itu. Obat yang selalu dibawa oleh Kiai Liman Serapat. Demikian obat itu ditaburkan di atas luka yang tidak terlalu besar itu, maka luka itu pun telah menjadi pampat.
Baru kemudian, Kiai Liman Serapat memperhatikan seluruh medan. Diperhatikan orang-orang yang berada di luar arena, menyaksikan pertempuran itu. Orang-orang yang bagaikan membeku karena sebagian dari mereka tidak mengira bahwa Kiai Liman Serapat, pedagang gerabah itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Namun dua orang yang menemuinya di kedai itu telah mengenalinya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Meskipun demikian, mereka masih heran juga melihat bagaimana Kiai Liman Serapat menghabisi lawannya. Tidak kurang menariknya bagi orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengalahkan lawannya. Meskipun lawan-lawannya terluka, tetapi yang telah membuat mereka tidak berdaya bukan luka-lukanya itu. Tetapi seakan-akan mereka telah kehabisan tenaga dan bahkan tidak berdaya lagi untuk berdiri.
Kiai Liman Serapat yang telah kehilangan lawannya itu pun kemudian sempat melihat kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kiai Liman Serapat masih melihat kemungkinan untuk hidup bagi mereka.
“Tugas kita sudah selesai untuk hari ini,” berkata Kiai Liman Serapat, “sayang, bahwa perjalanan kalian telah terhambat di sini. Tetapi kalian harus memperhatikan luka-luka di tubuh kalian meskipun kalian juga memiliki penangkal racun yang kuat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya, “Lalu bagaimana dengan tubuh yang terkapar itu. Baik yang terbunuh maupun yang masih tetap hidup?”
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita berbicara dengan perempuan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun telah mengikuti Kiai Liman Serapat mencari perempuan yang dianggap telah membuat persoalan di kedai itu.
Ternyata perempuan itu menjadi ketakutan dan bersembunyi di ruang dalam. Meskipun ia mempunyai beberapa orang upahan untuk menjaga dan melindungi rumah serta tempat pemberhentian pedati dan sekaligus penginapan itu, namun tidak seorang pun di antara mereka yang mengganggu ketiga orang itu.
Nyi Rantam menjadi gemetar. Ia tidak pernah merasa ketakutan seperti saat itu. Biasanya ia dengan berani menghardik orang-orang yang tidak patuh kepadanya atau orang yang berniat buruk di rumah itu. Bahkan kadang-kadang Nyi Rantam justru mempunyai tingkah yang aneh-aneh.
Namun saat itu ternyata ia telah berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan seandainya semua orang upahannya dikerahkan, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa atas orang-orang yang berilmu tinggi itu. Karena itu, ketika Kiai Liman Serapat mencarinya, ia telah benar-benar merasa ketakutan. Tubuhnya menjadi dingin hampir membeku meskipun keringatnya membasahi tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat dan darahnya bagaikan berhenti mengalir.
Ketika Kiai Liman Serapat kemudian berdiri dihadapannya, maka perempuan itu telah bersimpuh sambil berkata patah-patah, “Ampun Kiai, ampun.”
Kiai Liman Serapat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau sudah puas? Di halaman rumahmu ini terkapar sesosok mayat. Dua orang masih mungkin dapat hidup. Mereka hanya terlalu lemah. Seleret luka yang tidak terlalu dalam. Kau bertanggung jawab atas semuanya itu. Jika yang masih hidup itu kemudian mati, maka kaulah yang bersalah.”
“Kenapa aku, Kiai?” bertaya perempuan itu.
“Kau yang membuat onar di sini. Kau mengandalkan orang-orang upahanmu. Kau anggap semua orang harus tunduk kepadamu. Kau telah memancing ketiga orang yang tergabung dalam Sangga Langit Kinatelon. Tiga orang saudara seperguruan itu telah kau bantai di sini,” berkata Kiai Liman Serapat.
“Aku tidak sengaja melakukannya Kiai,” berkata Nyi Rantam.
“Persetan dengan alasanmu,” berkta Kiai Liman Serapat, “sekarang aku akan pergi. Aku tidak akan menunggu uang itu. Aku akan minta uang kepadamu sebanyak uang yang harus aku terima itu. Kau besok dapat minta gantinya kepada orang yang berhutang kepadaku.”
“Tetapi...“ Nyi Rantam menjadi semakin berdebar-debar.
“Jangan membantah. Aku dapat menjadi liar karena aku sudah terlanjur membunuh hari ini. Jika aku tetap berada di sini, mungkin aku akan membunuh lagi. Membunuh dan membunuh. Jika hal itu terjadi, maka tempat ini tidak akan dikunjungi orang lagi,” berkata Kiai Liman Serapat.
Nyi Rantam tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian telah mengambil uang simpanannya dan diberikannya kepada Kiai Liman Serapat, seharga barang-barangnya yang terjual.
“Terima kasih,” berkata Kiai Liman Serapat, “kau tidak akan kehilangan. Aku akan berbicara dengan orang yang menyanggupi membayar harga daganganku besok. Jika ia ingkar, maka akulah yang akan membuat perhitungan.”
Nyi Rantam tidak menjawab. Sementara itu Kiai Liman Serapat berkata lebih lanjut, “Di hari-hari mendatang aku akan tetap datang kemari dengan barang-barang daganganku. Gerabah. Mungkin jenis yang baru dan lebih baik. Tetapi ingat, bahwa jika perlu aku tidak segan-segan membunuh. Karena itu, jangan ganggu aku. Aku juga tidak akan mengganggu orang lain. Aku akan berdagang dengan wajar, dan aku tidak akan merampok uang siapapun di sini meskipun hal seperti itu dapat saja aku lakukan.”
Nyi Rantam tidak berani menjawab. Kepalanya menunduk, seluruh tubuhnya masih saja terasa dingin. Sementara itu keringatnya telah membasahi seluruh lapisan pakaiannya.
Sementara itu Kiai Liman Serapat pun berkata, “Baiklah Nyi. Aku minta diri.”
Demikianlah, maka Kiai Liman Serapat pun telah minta diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setelah menghubungi orang yang masih berhutang kepadanya. Kemudian juga Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping. Kiai Liman Serapat telah mempersilahkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk naik ke pedatinya, karena mereka kebetulan menuju ke arah yang sama meskipun hanya untuk beberapa ratus patok. Pada saat-saat, mereka memang harus berpisah.
Dalam pedati Kiai Liman Serapat sempat bertanya kepada Mahisa Murti, “Apakah kalian memerlukan uang untuk bekal di perjalanan?”
Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab, “Kebetulan tidak Kiai. Bekal kami masih cukup, karena kami mempergunakannya dengan hemat. Bahkan hampir tidak pernah, karena kebaikan orang-orang di sepanjang jalan. Jika kami menginap di banjar-banjar, maka kami telah mendapat minuman dan makan secukupnya.”
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berkata, “Aku telah mendapat keuntungan yang cukup dari penjualan gerabah itu. Aku membeli langsung kepada pembuatnya. Di sini aku mendapat pembeli yang cukup baik.”
“Terima kasih, Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami masih mempunyai persediaan.”
Kiai Liman Serapat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian apa boleh buat. Namun sebelum kita berpisah, maka di dalam pedati ini kalian dapat mengurus luka-luka kalian. Jangan kau remehkan luka-luka akibat asap yang kemerah-merahan itu. Racunnya cukup tajam. Meskipun kalian mempunyai penangkal yang kuat, tetapi panasnya api telah membakar kulit kalian. Karena selain racun dan bisa, asap itu membawa getaran panasnya api.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Ternyata ketiga orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Seorang telah terbunuh. Tetapi yang dua orang itu pada suatu saat akan sembuh. Jika mereka mendendam atas kekalahannya, maka mereka akan dapat menumpahkan dendamnya kepada siapa saja.
Kiai Liman Serapat yang melihat kerut dikening anak-anak muda itu dapat menduga, bahwa kedua anak muda itu sedang memikirkan kedua orang yang mereka tinggalkan. Karena itu maka Kiai Liman Serapat pun berkata, “Jangan hiraukan lagi kedua orang itu. Tanpa orang tertua di antara mereka, maka keberanian mereka akan lenyap. Meskipun seandainya saudara mereka yang tertua masih hidup, sedangkan mereka berhasil merebut senjata-senjata kalian, maka ketiga orang itu tentu akan saling bermusuhan. Bahkan mereka tentu akan saling membunuh untuk memperebutkan sepasang pusaka itu. Bahkan jika mereka pada suatu saat masih juga akan membalas dendam di tempat itu, maka aku masih sering datang ke tempat itu. Aku dapat ikut mengawasi mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan ikut mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama. Sedangkan Mahisa Amping sibuk dengan kendali pedati yang ditarik oleh dua ekor lembu itu. Nampaknya Mahisa Amping tertarik untuk bermain-main dengan dua ekor lembu yang menarik pedati itu.
Demikianlah, maka pedati itu berjalan perlahan-lahan. Suaranya berderak di atas bebatuan dijalan-jalan padukuhan. Ternyata Mahisa Murti dan saudara-saudaranya dapat ikut dalam pedati itu untuk waktu yang cukup lama. Namun akhirnya, mereka memang harus berpisah.bKiai Liman Serapat mempersilahkan anak-anak muda itu singgah di rumahnya. Tetapi anak-anak muda yang ingin segera sampai ke padepokannya itu terpaksa menolaknya.
“Maaf Kiai. Kami sudah terlalu lama pergi. Kami ingin segera kembali. Kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Kiai terhadap kami,” berkata Mahisa Murti.
“Siapa yang membantu kalian?” justru Kiai Liman Serapat bertanya, “bukankah justru kalian yang telah menolong kami?”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tertawa. Kiai Liman Serapat pun telah tertawa pula. Demikianlah, maka mereka pun akhirnya berpisah. Kiai Liman Serapat meneruskan perjalanannya kembali ke tempat tinggalnya. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat bersama-sama dengan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping meneruskan perjalanan mereka.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bermalam di sebuah banjar pedesaan. Seperti biasanya, mereka mendapat tempat yang cukup baik. Bahkan juga makan dan minum. Pagi-pagi mereka telah berbenah diri. Setelah mengucapkan terima kasih, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan. Mereka mulai menelusuri jalan-jalan panjang.
Bahkan kadang-kadang pematang. Ternyata perjalanan mereka sudah menyimpang arah yang harus mereka tuju, sehingga mereka harus melingkari sebuah daerah pebukitan sebagaimana yang sering mereka lakukan, sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya perjalanan mereka lama sekali mendekati sasaran.
Tetapi kadang-kadang mereka memang tidak sampai hati untuk membiarkan satu peristiwa terjadi sepanjang mereka mempunyai kesempatan untuk ikut serta membantu memecahkan persoalan yang terjadi. Kesewenang-wenangan dan kebenaran yang mereka lakukan atas sesama adalah pencerminan kasih dari yang Maha Agung.
Demikianlah maka kelima orang itu meneruskan perjalanan mereka. Mahisa Amping mempergunakan setiap kesempatan untuk menempa diri. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai bersungguh-sungguh memberikan tuntunan kepada anak itu. Tetapi mereka juga tidak melupakan Mahisa Semu dan Wantilan yang memperdalam ilmu pedang mereka.
Di perjalanan mereka tidak saja menolong orang-orang yang mengalami kesulitan seorang tua yang mengusung hasil sawahnya pulang. Perempuan tua yang memetik kacang panjang dan lembayung muda ternyata telah membawa hasilnya dalam sebuah bakul yang terlalu berat baginya.
“Kita berjalan searah, nek,” berkata Mahisa Amping. “Biarlah aku membawanya sampai ke sudut desa. Apakah nenek tinggal di desa itu?”
Perempuan tua itu memperhatikan Mahisa Amping dengan wajah yang berkerut. Oleh ketuaannya, tetapi juga oleh keheranannya.
Mahisa Amping tersenyum sambil mengambil alih bakul yang dibawa oleh perempuan tua itu. Katanya,” berikan bakul itu nek.”
“Kau siapa anak manis?” bertanya nenek tua itu.
“Kami semua ini adalah pengembara nek,” jawab Mahisa Amping, “kami mengembara dari satu padukuhan ke padukuhan lain, dari satu kabuyutan ke kabuyutan yang lain.”
“Oo,” nenek tua itu mengangguk-angguk, “apakah kalian tidak mempunyai tempat tinggal?”
Pertanyaan itu membingungkan Mahisa Amping. Namun ia menjawab, “Pengembara tidak memerlukan rumah nek. Kami bermalam di mana saja. Di banjar-banjar padukuhan. Di padang perdu atau di gubug-gubug di tengah sawah.”
“Ah,” nenek tua itu termangu-mangu sehingga langkahnya terhenti, “apakah kalian hidup seperti seekor burung yang hinggap di dahan-dahan kayu di malam hari? Sedangkan seekor burung pun membuat sarangnya di saat tertentu.”
Mahisa Amping menjadi semakin bingung, sehingga ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab, “Kami juga mempunyai tempat tinggal nek. Sebuah padepokan kecil. Tetapi kami memang sedang menjalani laku. Tapa ngrame. Namun kini kami telah berada di perjalanan kembali ke padepokan kami. Laku yang kami jalani sudah cukup lama, sehingga kami telah menemukan banyak pengalaman dalam hidup kami yang masih belum terlalu panjang ini.”
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika kalian mau, marilah, singgah di rumah nenek. Malam nanti kalian dapat tidur di rumah nenek. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan.”
“Nenek tinggal bersama kakek?” tiba-tiba saja Mahisa Amping bertanya.
Nenek itu tertawa. Ia berjalan sedikit bongkok meskipun kakinya masih nampak melangkah dengan ringan. Jawabnya, “Tidak ngger. Kakek sudah lama meninggal. Nenek tinggal sendiri di rumah peninggalan kakek.”
“Nenek tidak mempunyai anak?” bertanya Mahisa Amping.
Nenek tua itu mengusap kepala Mahisa Amping sambil menjawab, “Nenek mempunyai lima orang anak. Tiga orang meninggal ketika dilahirkan. Dua orang menjadi besar. Tetapi seorang meninggal ketika remaja. Seorang sempat menjadi dewasa. Tetapi Yang Maha Agung telah memanggilnya pula.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ia melihat wajah nenek itu menjadi buram. Mahisa Murti lah yang kemudian dengan cepat berkata, “Kami mohon maaf atas pertanyaan itu nek?”
“Oo,” nenek itu mencoba tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan titik air matanya yang jatuh di pipinya yang mulai keriput. Namun nenek itu berkata selanjutnya, “Tetapi aku menerima keadaan ini dengan hati terbuka. Anak-anak itu adalah kurnia Yang Maha Agung. Adalah hak Yang Maha Agung pula untuk mengambilnya kembali.”
Mahisa Murti tidak menyahut lagi. Tetapi ia berkata di dalam hati, “tetapi kelima-limanya.”
Rasa-rasanya memang mustahil bahwa hal seperti itu harus terjadi. Tetapi jika itu merupakan satu kenyataan, maka seseorang tidak dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu nenek itu berkata lagi, “Kakeklah yang nampaknya sulit menerima keadaan. Hatinya sudah semakin rapuh ketika anak kami yang telah menjadi remaja dipanggil oleh Yang Maha Agung. Ketika anak kami yang menjadi dewasa dipanggil pula menghadap-Nya, maka hatinya benar-benar menjadi hancur. Ia kehilangan keseimbangan jiwanya sehingga ia kehilangan kesadarannya. Tetapi tidak lama. Saat itu telah datang. Kakek telah dipanggil pula.”
“Kami semua ikut menyatakan duka cita nek. Meskipun hal itu agaknya sudah agak lama terjadi,” berkata Mahisa Murti.
“Kalian nampaknya anak-anak muda yang berpandangan luas. Barangkali itu adalah hasil dari laku yang kalian jalani,” berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi kepalanya ikut menunduk ketika perempuan tua itu menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam diri. Mahisa Amping membawa bakul berisi kacang panjang dan daun lembayung di dalam bakul di atas kepalanya. Tetapi justru ialah yang berjalan di paling depan.
Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka perempuan tua itu berkata sambil mengangkat wajah, “Itulah padukuhan tempat tinggalku.”
Mahisa Murti dan yang lain pun mengangguk-angguk. Namun wajah orang tua itu tidak terlalu muram lagi. Bahkan ia mencoba tersenyum lagi sambil berkata kepada Mahisa Amping, “Singgah di rumah nenek barang sebentar ngger. Nenek akan menyuguhkan minuman hangat bagimu dan saudara-saudaramu.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berpaling kepada Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata, “Terima kasih nek. Lain kali jika kami lewat lagi di padukuhan ini, kami akan singgah.”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun nampak kekecewaan membayang diwajahnya. Bahkan dengan suara lembut ia berkata kepada Mahisa Amping, “Mampirlah Ngger. Sebentar saja. Aku akan senang sekali jika kau bersedia singgah.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada orang tua itu.
Namun orang tua itu pun kemudian berkata sekali lagi kepada Mahisa Murti, “Ngger. Aku mohon Angger bersedia meskipun hanya sebentar.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah nek.Tetapi kami hanya dapat singgah sebentar karena kami harus melanjutkan perjalanan kami.”
Orang tua itu tersenyum. Katanya dengan wajah yang cerah, “Sebentarpun telah cukup.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka memang tidak sampai hati menyakiti hati orang tua itu sehingga Mahisa Pukat itu pun tidak membantah.
Demikianlah maka iring-iringan itu pun telah mendekati padukuhan di hadapan mereka. Mahisa Amping yang membawa bakul berisi kacang panjang daun daun lembayung muda masih berada di depan.
“Rumahku ada di pinggir jalan ini,” berkata nenek tua itu.
Sebenarnyalah, ketika jalan yang mereka lalui itu memasuki padukuhan di hadapan mereka, maka tidak terlalu jauh dari mulut lorong itu terdapat rumah nenek tua yang mempersilahkan mereka singgah itu.
Anak-anak muda itu memang terkejut. Mereka tidak mengira bahwa rumah nenek tua itu cukup besar dan berhalaman luas. Bahkan terhitung rumah yang baik dan memberikan kesan rumah seorang yang berada.
“Marilah. Ini adalah rumahku peninggalan kakekmu,” berkata perempuan tua itu.
“Nenek hanya sendiri?” Mahisa Amping bertanya lagi.
“Ya. Tetapi kenapa?” perempuan tua itu justru bertanya.
“Nenek tidak takut di malam hari?” Mahisa Amping masih juga bertanya.
Nenek tua itu tersenyum. Pertanyaan itu adalah pertanyaan anak-anak. Jawabnya, “Tentu tidak anak manis. Nenek tidak pernah merasa takut tinggal di rumah ini seorang diri karena rumah ini sudah aku huni sejak rumah ini baru didirikan. Apalagi rumah ini telah dibuat oleh kakekmu sendiri. Orang-orang padukuhan ini hanya membantunya saja. Kakekmulah yang merancang dan melaksanakan sendiri.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Namun keheranan memang tidak dapat mereka sembunyikan lagi. Ukiran yang rumit terdapat pada tiang-tiang yang berjajar di pendapa bagian tengah. Bagian bawah dan atas tiang-tiang itu terdapat ukiran. Demikian pula pada tiang di atas. Bahkan sampai pada tiang-tiang yang paling tepipun terdapat ukiran di bagian atas dan bawahnya.
Demikianlah, maka nenek tua itu telah mempersilahkan anak-anak muda itu untuk duduk di pendapa. Dengan nada rendah ia berkata, “Silahkan anak-anak muda. Aku akan pergi ke dapur sebentar. Hanya merebus air. Aku ingin menjamu kalian dengan minuman panas. Aku memang tidak mempunyai apapun, lagi kecuali air dan gula kelapa.”
“Sebenarnya nenek tidak usah repot sekali. Silahkan nenek duduk saja di sini. Nenek dapat berceritera tentang rumah ini. Itu sudah merupakan suguhan yang menarik,” berkata Mahisa Murti.
“Ah,” nenek tua itu menyahut, “tentu tidak. Apalagi aku memang ingin menjamu kalian dengan minuman hangat.”
Perempuan itu pun kemudian telah melangkah masuk lewat pintu pringgitan sambil membawa bakul yang berisi kacang dan daun lembayung muda itu.
Sementara perempuan tua itu berada di dapur, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat ukiran-ukiran pada gebyok yang memisahkan pringgitan dengan ruang tengah. Gebyok yang juga penuh dengan ukiran yang rumit. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah melihat-lihat ukiran pada tiang tengah dari pendapa itu.
“Prada,” desis Wantilan.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ukiran pada tiang dipendapa itu telah diwarnai dengan prada emas dibagian bawah dan atas. Sehingga memberikan kesan, bahwa rumah itu adalah rumah seorang yang memang kaya raya. Meskipun warna prada-nya sudah mulai memudar. Namun masih memberikan warna yang cerah dan berwibawa.
“Siapakah sebenarnya nenek tua itu,” desis Mahisa Semu.
Wantilan termangu-mangu. Namun ia pun berdesis, “Satu kehidupan yang aneh dari seorang perempuan tua yang pernah mengalami satu masa yang jaya. Rumah ini adalah saksinya.”
Mahisa Semu lah yang kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Mungkin pernah terjadi sesuatu yang mengerikan atas kedua anaknya yang sempat tumbuh menjadi besar namun yang akhirnya harus dipanggil lebih dahulu oleh Yang Maha Agung.”
Wantilan tidak menjawab. Namun ia pun telah melihat-lihat pula ukiran penyekat di pringgitan diikuti oleh Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Melihat ukiran yang rumit itu, baik yang terdapat pada bagian atas dan bagian bawah tiang di pendapa serta ukiran pada sekat di pringgitan itu, maka anak-anak muda itu dapat menduga bahwa nenek tua itu pernah menjadi seorang yang kaya dalam hidupnya. Mungkin di saat suaminya masih hidup. Kemudian sepeninggal suaminya, maka kekayaannya telah menjadi susut, sehingga akhirnya, hampir habis sama sekali. Menilik keadaannya saat itu, maka nenek tua itu adalah orang yang harus menjalani hidup sederhana.
Beberapa saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sempat mengamati gebyok itu. Mereka pun kemudian telah duduk kembali di pendapa ketika perempuan tua itu keluar lagi sambil membawa minuman hangat bagi kelima orang tamunya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengerutkan dahinya ketika mereka melihat mangkuk yang dipergunakan oleh nenekitu untuk menyuguhkan minuman itu. Mangkuk yang mahal dan yang sangat halus buatannya. Namun agaknya mangkuk itu tidak terpelihara dengan baik, sehingga nampak berkerak dan di bibirnya terdapat cacat-cacat kecil karena benturan-benturan disaat mangkuk itu dicuci.
Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak bertanya tentang mangkuk-mangkuk itu. Mereka pun tidak bertanya pula tentang ukiran pada bagian atas dan bawah dari tiang di pendapa serta pada gebyok penyekat pringgitan itu. Mereka takut, bahwa pertanyaan mereka akan dapat mengungkit lagi luka di hati perempuan tua itu.
Namun ternyata perempuan tua itu sendirilah yang berceritera tentang rumah itu dengan segala isinya. Memang satu ceritera yang sangat menarik.
“Kami, maksudku aku dan suamiku semula adalah orang yang sangat miskin. Kami berdua telah menjalani laku untuk dapat menjadi keluarga yang kaya. Kami telah mencari kekayaan dengan cara yang tidak wajar. Kami menemui seorang berilmu hitam yang sanggup membantu kami,” berkata perempuan tua itu. Lalu katanya pula, “Kami telah dibawa ke sebuah goa yang gelap. Kami tidak melihat apapun kecuali hitam semata-mata. Yang kami dengar hanyalah suara seseorang yang bertanya tentang kepentingan kami datang kepadanya. Kami berterus terang bahwa kami ingin menjadi kaya. Dan suara itu kemudian bertanya kepada kami, apakah kami bersedia memberikan anak-anak kami yang bakal lahir kepadanya, karena suara itu menurut pengakuannya sangat merindukan anak. Kami yang terbius oleh keinginan untuk menjadi seorang yang kaya menyatakan tidak berkeberatan,” perempuan itu berhenti sejenak, lalu katanya kemudian dengan nada rendah. “Itu adalah awal dari bencana yang menimpa keluarga kami. Kami memang menjadi kaya raya. Tidak ada orang di padukuhan ini yang dapai menyamai kekayaan kami. Ki Bekelpun tidak. Juragan ternak yang sebelumnya sudah kaya itu, telah tidak mampu lagi mengimbangi kekayaan kami. Kami dapat membuat rumah yang besar dan bagus ini, yang menurut penilaianku adalah rumah yang paling bagus di seluruh padukuhan ini. Namun hidup kami sama sekali tidak berbahagia. Anak-anak kami seorang demi seorang meninggal dunia. Ada yang meninggal disaat dilahirkan. Ada yang meninggal setelah remaja. Bahkan ada yang meninggal ketika sudah dewasa. Peristiwa itu telah mengguncangkan jiwa kami. Suamiku yang merasa sangat bersalah menjadi kehilangan akal warasnya. Bahkan kemudian meninggal dunia, aku masih bertahan untuk tetap hidup memelihara rumah seisinya. Tetapi semakin lama aku menjadi semakin melarat. Akhirnya aku merasa bahwa hidupku adalah hidup yang paling miskin di dunia. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa sama sekali. Anak tidak, kekayaan pun tidak. Yang ada tinggal bekas-bekasnya. Sementara orang-orang lain telah terlanjur menjauhi aku. Tetangga-tetangga menjadi benci kepadaku, karena aku pernah menjadi orang yang sangat sombong di padukuhan ini justru karena aku kaya raya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mendengarkan ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, titik-titik air mata telah mengembun di mata nenek tua itu.
Namun tiba-tiba ia mencoba tersenyum, “Aku terima hukuman ini dengan tabah. Aku berharap bahwa dengan menjalani hukuman ini dosaku akan berkurang. Setidak-tidaknya aku masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki cara hidupku meskipun sudah sangat terlambat. Namun aku telah berusaha untuk berbuat sesuatu yang baik dengan sisa-sisa yang masih ada padaku. Namun agaknya orang-orang di sekelilingku sudah terlanjur tidak percaya lagi kepadaku. Mereka menganggap bahwa disaat aku masih menjadi miskin, maka aku berusaha untuk mendekati tetangga-tetanggaku.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Mereka melihat kesungguhan di mata nenek tua itu, sehingga mereka percaya tentang apa yang telah dikatakannya itu. Selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya termangu-mangu mendengar ceriteranya itu, maka nenek tua itu pun mempersilahkan, “Minumlah. Tentu sudah menjadi dingin.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun telah menghirup minuman hangat itu. Wedang sere dengan gula kelapa. Memang terasa segar sekali. Namun selagi mereka minum minuman hangat itu, nenek tua itu bertanya, “Siapakah anak manis ini? Apakah saudara kalian atau kebetulan saja bersama-sama dengan kalian?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Amping pun menjadi bingung. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang menyahut, “Anak ini adalah adik kami bertiga. Sementara yang seorang itu adalah paman kami. Paman Wantilan.”
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti meneruskan, “Namaku adalah Mahisa Murti. Saudara-saudaraku adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Yang paling kecil adalah Mahisa Amping.”
Sejenak nenek tua itu merenung. Namun kemudian ia pun berkata, “Sebenarnya aku ingin anak manis ini tinggal bersamaku di sini. Aku tidak akan mengambilnya sebagai anak. Karena setiap anakku akan diambilnya meskipun aku sudah menjadi miskin lagi.”
Mahisa Amping bergeser mendekati Mahisa Murti diluar sadarnya. Seakan-akan ia ingin mengatakan, bahwa ia tidak ingin ditinggalkan di rumah itu, meskipun nampaknya perempuan tua itu adalah perempuan yang baik.
Sebelum menjawab, perempuan itu ternyata telah tanggap. Karena itu maka dengan wajah yang muram ia berkata, “Baiklah. Aku menyadari, bahwa sulit bagiku untuk mendapatkan kawan hidup di rumah ini meskipun seorang anak-anak sekalipun.”
“Nenek,” sahut Mahisa Murti, “apakah nenek tidak dapat mengambil salah seorang anak tetangga di padukuhan ini untuk tinggal bersama nenek di sini? Tentu saja juga tidak nenek ambil sebagai anak jika nenek memang mempunyai kepercayaan bahwa anak itu akan diambilnya juga.”
Nenek itu menggeleng. Katanya, “Tidak seorang pun di padukuhan ini yang mau mengenalku lagi. Orang-orang yang melihat aku lewat jalan itu jika aku pergi ke sawah, mereka sama sekali tidak mau menyapa.”
“Jadi siapakah yang mengerjakan sawah dan ladang nenek?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku harus mengupah orang-orang dari padukuhan lain. Itu pun dengan upah yang lebih mahal dari biasaya, sehingga hasil sawahku tinggal tersisa sekedarnya saja,” jawab nenek tua itu.
“Beruntunglah nenek masih mempunyai beberapa kotak sawah,” berkata Mahisa Pukat.
“Seperti rumah ini, maka sawahku telah aku pertahankan,” jawab nenek tua itu, “tetapi juga tidak terlalu luas. Namun cukup untuk makan sehari-hari.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa kasihan kepada perempuan itu. Ia benar-benar hidup sendiri. Jika saat akhir itu tiba, apakah yang dapat dilakukannya? Jika perempuan itu menjadi semakin lemah tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Tidak dapat bangkit dari tempat pembaringannya, dan tidak dapat merebus air dan tidak lagi dapat menanak nasi. Ternyata yang lain juga sedang memikirkannya. Tetapi mereka tidak segera dapat memecahkan persoalan.
Karena tidak ada di antara mereka yang menyahut, makaperempuan itu pun kemudian berkata, “Silahkan, minumlah. Hanya itu yang dapat aku hidangkan. Aku sedang merebus ketela pohon. Mudah-mudahan kalian sempat menunggu sampai masak.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Untuk tidak mengecewakan perempuan tua itu, maka mereka-pun telah menghirup minuman mereka. Mengambil beberapa potong gula kelapa yang dihidangkan sendiri tanpa dimasukkan ke dalam mangkuk minuman.
“Silahkan. Aku akan melihat ketela pohon itu,” berkata perempuan tua itu sambil bangkit.
Sepeninggal perempuan tua itu, Mahisa Murti berkata, “Apa yang dapat kita lakukan atasnya? Disatu saat ia memang memerlukan seseorang.”
“Kita belum bertanya kepadanya, apakah ia tidak mempunyai saudara,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya lebih lanjut, “Namun jika ia memang tidak mempunyai seorang saudara pun, apakah bukan sebaiknya kita berbicara dengan Ki Bekel di padukuhan ini?”
“Kita dapat mencobanya,”sahut Mahisa Pukat, “tetapi jika persoalannya menjadi panjang, apakah tidak semakin menghambat perjalanan kita.”
“Tetapi kita tidak akan sampai hati meninggalkan perempuan itu dalam keadaannya,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia memandang Mahisa Amping yang kebingungan, sehingga Mahisa Amping merasa seakan-akan Mahisa Pukat menyalahkannya, karena ia sudah menolong perempuan tua itu sehingga mereka terpaksa singgah di rumah itu serta mengetahui persoalannya.
Tetapi yang dikatakan oleh Mahisa Pukat justru lain. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Untunglah kita justru singgah barang sebentar, sehingga kita mengetahui kesulitan nenek tua itu. Mudah-mudahan kita dapat menemukan jalan keluar baginya.”
Ketika nenek tua itu kemudian keluar lagi sambil membawa ketela pohon rebus yang masih mengepul, maka anak-anak muda itu telah menyempatkan bertanya apakah nenek tua itu mempunyai seorang atau lebih saudara atau sanak kadang yang bukan saudara kandung sekalipun.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Saudara kandung aku sudah tidak punya lagi.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa perempuan tua itu benar-benar hidup seorang diri. Tidak ada sanak saudara dan tidak ada anak seorang pun yang akan dapat menjadi sandaran di masa-masa yang paling sulit dalam hidupnya. Saat menghadapi hari-hari terakhir.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Maaf nek. Tetapi apakah kami boleh mengetahui, apakah rencana nenek selanjutnya di dalam saat-saat menjelang hari-hari terakhir nenek?”
Orang tua itu memang terkejut mendengar pertanyaan itu. Wajahnya menjadi semakin muram. Bahkan kemudian kepalanya menunduk lesu.
“Maaf nek,” dengan serta merta Mahisa Murti menyambung, “maksud kami, barangkali kami dapat membantu untuk memecahkan persoalan yang nenek hadapi sekarang.”
Tetapi nenek tua itu berkata dengan nada rendah hampir tidak terdengar, “Apa yang dapat kalian lakukan ngger? Aku sudah tersisih. Aku tidak lagi diakui kehadiranku oleh tetangga-tetanggaku. Aku sudah dianggap mati selagi aku masih hidup. Karena itu tidak akan ada orang yang mempedulikan jika kau kemudian benar-benar mati, karena mereka menganggap hal itu sudah terjadi.”
“Tetapi kenyataannya nenek masih hidup,” sahut Mahisa Pukat.
“Bagi tetangga-tetanggaku hal itu tidak berarti apa-apa,” jawab nenek itu.
“Tidak nek,” sahut Mahisa Murti, “tidak seorang pun dapat meniadakan kenyataan ini. Nenek masih hidup. Tetapi nenek memang tidak mempunyai sanak kadang lagi.”
“Lalu apa arti dari hidupku yang tersisih ini bagi orang lain?” bertanya perempuan tua itu.
“Nek,” berkata Mahisa Murti, “jika nenek setuju, apakah aku boleh berhubungan dengan Ki Bekel? Ki Bekel adalah pemimpin dari padukuhan ini. Kita harus menemukan pemecahan. Nenek masih harus tetap dianggap hidup dan sebenarnya hadir dalam padukuhan ini.”
“Tidak akan ada artinya ngger,” jawab nenek tua itu, “aku mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi aku kira kalian tidak usah bersusah payah memikirkan keadaanku. Aku persilahkan angger makan ketela rebus itu. Sisanya dapat angger bawa, barangkali dapat angger jadikan bekal di jalan. Ketela itu adalah ketela yang aku ambil sendiri dari kebun di belakang rumah ini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memberikan penjelasan atas maksudnya itu, “Nek. Kami hanya akan mencoba. Tentu saja dengan kemungkinan berhasil dan kemungkinan gagal. Tetapi, tidak ada salahnya jika kami berusaha untuk berbuat sesuatu bagi hari-hari nenek yang semakin lama tentu menjadi semakin sempit.”
Nenek tua itu menggeleng. Katanya, “Anak-anak muda. Aku sudah tidak mengharapkan sesuatu. Aku sudah mempersiapkan kuburan di longkangan sebelah kiri. Jika saatnya mendekat, aku harus sudah bersiap masuk ke dalam lubang yang sudah aku sediakan. Aku tidak tahu, apakah akan ada orang yang menimbuni mayatku dengan tanah. Tetapi aku juga sudah menyiapkan rencana lain yang mungkin lebih baik. Di ruang tengah aku sudah menyiapkan tempat yang paling baik untuk membakar diri pada saat-saat terakhir.”
“Nenek,” potong Mahisa Murti, “hal itu tidak perlu terjadi. Tetapi perkenankan aku bertanya, jika nenek tidak lagi mempunyai sanak kadang, rumah dan sawah yang nenek miliki akan nenek wariskan kepada siapa?”
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Ambillah. Kalian adalah orang terakhir yang masih berusaha untuk berhubungan dengan baik di rumah ini dengan aku. Tidak ada orang lain yang pantas untuk menerima warisan ini daripada kalian.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih nek. Jika demikian, maka biarlah aku berbicara dengan Ki Bekel. Jika nenek memang sudah merelakan hak nenek ini nenek serahkan kepada kami, maka kami akan menyerahkannya kepada Ki Bekel. Mungkin padukuhan ini sudah mempunyai banjar. Tetapi tentu rumah ini jauh lebih baik dari banjar padukuhan itu.”
“Ngger. Jika demikian apakah aku harus pergi dari rumah ini? Maksudku, warisan akan dimiliki setelah aku mati. Bukan begitu tiba-tiba,” berkata nenek itu.
“Tidak nek. Aku mengerti. Maksudku, aku akan berbicara dengan Ki Bekel, bahwa kelak, sepeninggal nenek, rumah ini akan diserahkan kepada padukuhan ini. Tetapi sudah tentu, bahwa nenek harus diterima kembali sebagai warga padukuhan lainnya. Nenek harus hidup dalam suasana yang sama dengan orang lain di padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti.
Nenek tua itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Nek. Sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami akan berusaha. Mungkin gagal, tetapi kami harap usaha ini berhasil. Dengan demikian maka nenek tidak lagi terasing di sini. Setidak-tidaknya Ki Bekel berjanji untuk merawat nenek pada saat-saat terakhir nanti.”
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ada secercah harapan nampak di sinar matanya. Namun kemudian suaranya menjadi serak, “Apakah masih ada kesempatan?”
...Ada bagian cerita yang hilang di sini...
Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menuju ke seketheng setelah ia mempersilahkan kedua anak muda itu menunggu di serambi gandok. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu. Mereka tidak yakin bahwa mereka akan dapat bertemu dengan Ki Bekel yang sebelumnya memang belum berjanji. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa orang itu telah keluar lagi dari seketheng langsung menemui kedua orang anak muda itu.
“Aku sudah berbicara dengan Ki Bekel,” berkata orang itu.
“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Murti.
“Ki Bekel akan menemui kalian,” jawab orang itu, “tunggu sebentar di pendapa.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah dipersilahkan duduk di pendapa menunggu Ki Bekel yang akan segera menemui mereka.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, seorang yang juga sudah melampaui setengah abad datang menemui mereka. Namun nampaknya tubuh Ki Bekel yang sudah berambut putih itu masih cukup tegar. Ketika Ki Bekel kemudian duduk bersama kedua orang anak muda itu, maka ia pun segera bertanya tentang keperluannya.
Mahisa Murti pun telah menceritakan maksud kedatangannya dalam hubungannya dengan nenek tua itu. Tentang kesediaannya memberikan rumah dan sawahnya sepeninggalnya.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia seakan-akan tidak percaya mendengar keterangan Mahisa Murti itu. Bahkan hampir diluar sadarnya Ki Bekel itu berkata, “Anak muda. Apakah pendengaranku tidak salah? Atau barangkali kau memang tidak mengenalnya sehingga kau begitu mudah mempercayainya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Pukat kemudian menjelaskan, “Ki Bekel. Apa yang akan dilakukan oleh seorang perempuan tua menjelang saat-saat ajalnya? Ia tersisih dan sama sekali tidak dapat berhubungan dengan siapapun di padukuhan ini. Bahkan ia telah menyediakan sebuah lubang untuk mengubur dirinya sendiri atau jika tidak mungkin, ia telah menyediakan setumpuk kayu bakar diruang tengah untuk membakar dirinya sendiri. Jika ia masih mampu menyalakan api, berarti perempuan itu masih hidup. Karena itu, maka ia terpaksa membunuh dirinya untuk mendapatkan kesempurnaan disaat matinya.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Anak anak muda. Ia adalah orang yang paling kikir di seluruh dunia. Selembar daun melinjonya pun tidak boleh diambil oleh tetangganya. Apalagi sebutir kelapanya yang melimpah itu. Ketika seorang tetangganya digigit ular, maka ia bertahan mati-matian untuk tidak memperbolehkan sebutir kelapa hijaunya dipetik untuk tetangganya itu. Untunglah bahwa akhirnya didapatkan juga kelapa hijau di tempat lain meskipun agak jauh, sementara seorang pawang ular sempat mengobatinya. Tetapi peristiwa itu tidak akan pernah dilupakan orang.”
“Ki Bekel. Apakah Ki Bekel bersedia bertemu langsung dengan perempuan itu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Keteranganmu meyakinkan aku, bahwa perempuan itu merasa bahwa hari-hari terakhirnya sudah dekat. Sebagai seorang Bekel maka aku memang berkewajiban untuk memperhatikannya, apapun yang pernah dilakukannya sebelumnya. Tetapi sudah tentu aku tidak akan dapat datang ke rumahnya. Jika demikian, maka aku akan dituduh oleh beberapa orang bahwa aku telah menghindari sikap orang-orang padukuhan ini kepadanya.”
“Ki Bekel jangan pergi seorang diri,” berkata Mahisa Pukat, “Ki bekel dapat berbicara dengan bebahu padukuhan ini. Kemudian Ki Bekel dapat mengajak orang-orang yang berpengaruh untuk membuktikan sikap orang tua itu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Pendapatmu memang masuk akal. Rumah perempuan tua itu adalah rumah yang tidak ada duanya. Bahkan aku belum pernah melihat rumah sebaik itu. Jika rumah itu benar-benar diserahkan kepada padukuhan ini dan kemudian dapat dijadikan banjar padukuhan, maka banjar padukuhan ini akan menjadi banjar padukuhan yang terbaik di seluruh Singasari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti sempat juga bertanya, “Apakah kita sudah berada diluar wilayah Kediri?”
“Tentu anak-anak muda,” jawab orang itu, “kita berada di daerah Singasari. Semula daerah ini adalah daerah Pakuwon Tumapel sebelum Tumapel menjadi besar.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekel-pun berkata, “Dan bukankah Kediri juga sudah dipersatukan dengan Singasari?”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat berkata, “Bahkan membentang meliputi daerah yang lebih luas lagi.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Jadi, apakah Ki Bekel bersedia datang kerumah itu?”
“Sebaiknya aku akan berbicara dengan para bebahu. Besok aku akan mengambil keputusan. Karena itu, datanglah besok pagi-pagi kemari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Itu berarti bahwa mereka harus bermalam lagi. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Besok pagi-pagi aku akan datang lagi.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah minta diri. Mereka berdua kemudian diantar Ki Bekel sampai regol rumahnya. Namun, demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi, beberapa orang telah dengan tergesa-gesa masuk ke halaman rumah Ki Bekel sebelum Ki Bekel sempat naik ke pendapa.
“Ada apa?” bertanya Ki Bekel kepada mereka.
Seorang di antara mereka telah melangkah mendekati Ki Bekel sambil bertanya, “siapakah kedua orang yang datang kemari tadi Ki Bekel?”
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah. Duduklah.”
“Terima kasih Ki Bekel. Kami hanya ingin tahu, siapakah yang baru saja datang kemari. Dua orang anak muda,” desis salah seorang dari orang-orang yang datang itu.
“Mereka adalah dua orang pengembara,” jawab Ki Bekel, “mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, sehingga mereka berjalan saja menelusuri jalan-jalan yang panjang.”
“Apa maksud kedatangan mereka kemari? Bukankah mereka berada di rumah hantu tua itu?” berkata yang lain.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba menahan diri agar kata-katanya tidak justru menjadi membingungkan. “Ya,” berkata Ki Bekel kemudian, “mereka memang berada di rumah perempuan tua itu. Mereka datang kemari justru karena mereka membawa pesan dari perempuan tua itu.”
“Apa yang dikehendaki oleh iblis betina itu?” bertanya seorang yang lain.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Duduklah. Kita akan berbicara. Aku justru ingin para bebahu datang sekarang. Jika tidak berkeberatan, salah satu atau dua orang di antara kalian, panggillah para bebahu yang lain. Aku akan berbicara dengan mereka. Kalian dapat mengikuti pembicaraan kami, karena pembicaraan itu bukan pembicaraan rahasia.”
Orang-orang itu termangu-mangu pula di halaman. Namun kemudian dua orang di antara mereka menyatakan kesediaan mereka untuk memanggil para bebahu. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun segera meninggalkan, halaman rumah Ki Bekel dan dengan tergesa-gesa menuju ke rumah para bebahu.
Ternyata para bebahu padukuhan itu pun tanggap, bahwa tentu ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan oleh Ki Bekel. Karena itu, maka mereka pun telah bersedia untuk segera datang ke rumah Ki Bekel.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, di rumah Ki Bekel itu telah diadakan pertemuan yang tiba-tiba saja. Ki Bekel tidak berkeberatan beberapa orang telah ikut mendengarkannya. Dengan jelas Ki Bekel menerangkan niat nenek tua itu untuk mewariskan rumah dan sawahnya kepada padukuhan jika ia meninggal nanti.
Beberapa orang memang menjadi termangu-mangu. Para bebahu ternyata telah berbeda pendapat. Bahkan seorang di antara mereka bertanya, “Ki Bekel. Apakah rumah itu bukan rumah hantu yang akan dapat membunuh orang-orang yang tinggal atau sering berada di rumah itu?”
“Tentu tidak,” berkata Ki Bekel, “rumah itu adalah rumah biasa. Bukankah yang mula-mula sekali menyebabkan perempuan itu terpisah dari kalian karena perempuan itu sangat kikir? Baru kemudian, setelah kalian semuanya tidak menyukainya, maka timbul dongeng yang aneh-aneh tentang perempuan tua itu.”
“Tetapi anak-anaknya telah mati,” sahut salah seorang bebahu, “perempuan itu dengan suaminya telah mencari kekayaan dengan menghubungi orang berilmu hitam.”
“Ya. Aku juga mendengarnya,” berkata Ki Bekel, “tetapi semuanya itu telah ditebus dengan anak-anaknya. Bahkan suaminya pun telah meninggal agaknya karena sebab lain. Bukan karena ilmu hitam itu. Suaminya menyesali perbuatannya dengan sangat mendalam, sehingga syaraf-syarafnya menjadi terganggu.”
“Dan iblis betina itu sama sekali tidak merasa menyesal,” sahut salah seorang bebahu.
“Ia merasa sangat menyesal. Tetapi ia tidak mempunyai cara untuk menyatakannya,” jawab Ki Bekel.
“Tetapi kenapa ia tidak mati seperti suaminya?” bertanya bebahu yang lain.
“Perempuan ini mempunyai ketabahan hati yang sangat tinggi,” jawab Ki Bekel, “namun akhirnya ia memang tidak dapat mengelak ketika hari-hari tuanya membuatnya semakin rapuh.”
“Apakah Ki Bekel bertanggung jawab jika terjadi sesuatu atas para penghuni padukuhan ini setelah rumah itu kelak kita warisi?” bertanya seorang bebahu.
“Aku yakin, rumah itu tidak akan mengganggu kita. Apalagi kita akan dapat berbicara dengan perempuan tua itu, agar ia menyerahkannya dengan ikhlas atau tidak sama sekali,” jawab Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu memang sedang memikirkan kemungkinan bahwa rumah itu akan dijadikan banjar yang paling baik. Namun pembicaraan itu masih memerlukan waktu. Ki Bekel beberapa kali menyatakan, bahwa ia bersedia bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena rumah itu dianggap sebagai rumah hantu.
“Bagiku, rumah itu tidak ada bedanya dengan rumah yang lain. Jika suami isteri itu pernah mencari kekayaan dengan ilmu hitam, maka yang dihasilkan adalah kekayaan itu. Rumah itu hanya akibat saja bahwa ia telah menjadi sangat kaya. Adapun tebusannya adalah anak-anaknya dan barangkali suami nenek tua itu. Karena itu, maka semuanya telah lunas. Rumah itu adalah rumah biasa. Sawahnya juga sawah biasa. Jika hutang keluarga itu kepada pemilik ilmu hitam itu belum lunas, maka perempuan tua itu mati juga, maka belum tentu kalau hal itu disebabkan karena hutang keluarga itu kepada pemilik ilmu hitam itu. Sementara itu, betapa kuatnya orang memiliki ilmu hitam, namun ilmu itu tidak akan dapat mengalahkan maksud baik orang sepadukuhan. Juga niat baik nenek tua itu,” berkata Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu yang semula ragu-ragu menjadi semakin mantap. Mereka sudah membayangkan bahwa padukuhan mereka akan mempunyai banjar yang terbaik di seluruh negeri.
Dalam pada itu, maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Nah, jika demikian, maka biarlah besok kita berbicara dengan anak-anak muda itu lagi. Sebaiknya kita bertemu langsung dengan nenek tua itu. Kita akan dapat menjajagi isi hatinya yang sesungguhnya. Tidak dibuat-buat, ditambah atau dikurangi oleh anak-anak muda itu.”
“Aku setuju Ki Bekel. Kita harus bertemu langsung dengan perempuan itu. Biarlah orang banyak menjadi saksi pembicaraan kita,” berkata salah seorang bebahu.
“Jika demikian, biarlah besok pagi bukan anak-anak muda itu saja yang datang kemari. Biarlah perempuan itu pula dibawa agar kita dapat berbicara langsung,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi siapakah yang akan berbicara dengan mereka?” bertanya salah seorang dari bebahu itu.
Para bebahu itu saling berpandangan. Ternyata tidak seorang pun yang bersedia datang ke rumah itu untuk bertemu dengan anak-anak muda itu. Sehingga akhirnya Ki Bekel memutuskan, bahwa besok jika anak-anak muda itu datang, biarlah mereka kembali lagi menjemput perempuan tua itu.
“Tetapi aku minta para bebahu dan saudara-saudara yang mendengarkan pembicaraan ini memberitahukan kepada semua orang, agar mereka tidak berbuat sesuatu terhadap perempuan itu. Baik dengan kata-kata apalagi dengan perbuatan. Biarlah ia datang ke rumahku dengan tenang dan mulai meyakini bahwa ia adalah sesama kita,” berkata Ki Bekel.
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang yang mendengarkan pembicaraan itu. Sejenak kemudian maka Ki Bekel telah mengakhiri pertemuan itu. Tetapi Ki Bekel minta di keesokan harinya, mereka agar datang lagi untuk dapat berbicara langsung dengan perempuan tua itu.
Ternyata bahwa rencana itu dapat berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh Ki Bekel. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang pagi itu, maka Ki Bekel minta agar nenek tua itu dibawa serta. Karena para bebahu ingin berbicara langsung dengannya. Semula perempuan tua itu menolak. Ia mengira bahwa kehadirannya di rumah Ki Bekel itu akan merupakan satu peristiwa yang paling pahit dalam hidupnya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan, bahwa mereka berdua akan menyertainya dan akan melakukan apa saja bagi keselamatannya. Bukan saja keselamatan wadagnya, tetapi juga perasaannya.
Akhirnya nenek tua itu benar-benar hadir di rumah Ki Bekel. Demikian pula para bebahu. Sementara itu diluar pendapa, di halaman rumah Ki Bekel, orang-orang padukuhan itu telah berkerumun untuk ikut menyaksikan, apa yang akan dibicarakan oleh Ki Bekel dengan perempuan tua itu. Pembicaraanpun kemudian berlangsung sebagaimana sudah disiapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Perempuan itu akan bersedia menyerahkan rumahnya dan sawahnya kepada padukuhan itu sepeninggalnya.
“Aku tidak akan dapat membawa rumah, halaman dan sawahku,” berkata perempuan tua itu, “bahkan seandainya aku benar-benar membakar diriku diruang tengah, maka rumah itu seluruhnya tentu akan terbakar juga. Karena itu, maka aku akan merelakannya sesudah aku dipanggil kembali oleh Yang Maha Agung.”
“Kau benar-benar ikhlas?” bertanya Ki Bekel.
“Sudah aku katakan Ki Bekel, bahwa aku tidak akan dapat membawanya. Karena itu, aku berkata dengan sesungguhnya,” jawab nenek tua itu.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Agaknya segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Karena itu, maka ia-pun telah menyampaikan keputusan itu kepada para bebahu dan orang-orang yang berada di halaman.
“Kita akan menerima niat baik itu dengan tangan terbuka,” berkata Ki Bekel, “namun kita pun akan menerima kehadirannya di antara kita semuanya.”
Perempuan itu pun telah menyatakan untuk minta maaf kepada Ki Bekel, para bebahu dan para tetangganya, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyakiti hati mereka. “Pada saat terakhir aku baru menyadari. Karena itu aku mohon kalian dapat memaafkannya,” berkata perempuan tua itu.
Ki Bekel dan para bebahu mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang yang mendengarnya. Agaknya mereka pun dapat menerima permintaan maaf itu. Apalagi ketika mereka sempat melihat dengan jelas perempuan tua yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi itu. Berjalan dengan terbongkok-bongkok serta wajah yang pucat. Kerut-merut yang semakin dalam diwajahnya menandakan bahwa umurnya yang menjadi semakin tua sehingga wadagnya tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.
“Baiklah nek,” berkata Ki Bekel kemudian, “kami akan menerima nenek kembali dalam lingkungan keluarga padukuhan ini. Kami mengucapkan terima kasih atas kerelaan nenek untuk memberikan rumah dan sawah nenek bagi padukuhan ini kelak. Tentu saja kami tidak akan pernah merasa tergesa-gesa. Panjang pendek umur nenek tergantung sekali kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar keputusan itu ikut merasa gembira. Perempuan tua itu tidak akan terasing lagi, sehingga di saat terakhir, tetangga-tetangganya akan dapat membantunya.
Setelah semua pembicaraan dianggap selesai, maka nenek tua itu pun telah mohon diri untuk kembali ke rumahnya, sementara Ki Bekel menyatakan kesediaannya untuk setiap kali melihat keadaan nenek tua itu.
“Setidak-tidaknya keluargaku akan memperhatikanmu, nek,” berkata Ki Bekel, “aku atau salah seorang dari keluargaku setiap kali akan datang datang ke rumah nenek. Sementara itu aku akan mencari orang yang akan dapat menggarap sawah nenek, sehingga nenek tidak perlu mengupah orang lain dengan upah yang tinggi.”
“Terima kasih Ki Bekel,” jawab nenek tua itu, “rasa-rasanya kapan saja aku dipanggil menghadap, aku sudah menjadi lebih ikhlas lagi.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian nenek tua itu telah minta diri kembali ke rumahnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengantarnya kembali sampai ke rumahnya. Tetapi sekali lagi perempuan tua itu menahannya. Dengan sungguh-sungguh ia minta Mahisa Murti dan saudara-saudaranya bermalam semalam lagi di rumahnya.
“Aku mohon dengan sungguh-sungguh. Aku tidak pernah membayangkan bahwa anak-anak muda seperti kalian ini. Karena itu jangan menolak,” berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak dapat menolak. Karena itu, maka mereka masih akan bermalam satu malam lagi di rumah nenek tua itu.
“Jangan tidur di gandok,” berkata nenek tua itu, “tidur sajalah di ruang dalam.”
Kelima orang itu pun benar-benar telah tidur di ruang dalam, sementara itu nenek tua itu tidur di bilik kanan. Menjelang tidur, maka nenek tua itu telah sempat menghidangkan makan nasi putih dengan sayur daun lembayung dan kacang panjang.
Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, maka sikap hati-hati kelima orang itu tidak pernah pudar. Meskipun mereka berada di dalam rumah yang rapat, berdinding kayu tebal, namun mereka telah mengatur diri, siapa yang akan berjaga-jaga. Empat orang akan mendapat gilirannya masing-masing. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Sedangkan Mahisa Amping seperti biasanya, dibiarkan saja tidur nyenyak semalaman.
Sampai terdengar suara kentongan di tengah malam, tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Meskipun sebelumnya ada juga sedikit terbersit kegelisahan dalam hubungannya dengan ilmu hitam. Namun ternyata mereka tiak mendapat gangguan apapun juga. Tetapi sedikit lewat tengah malam, mereka telah mendengar pintu samping diketuk orang. Benar-benar suara ketukan yang keras, sehingga perempuan tua yang tidur di bilik kanan itu pun mendengarnya.
Terbongkok-bongkok perempuan itu keluar dari biliknya. Memang ada kesan ketakutan. Dengan suara gagap ia bertanya, “siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini.”
“Entahlah nek,” jawab Mahisa Murti.
Namun suara ketukan itu terdengar lagi, semakin keras. Ketika perempuan tua itu pergi ke pintu, maka Mahisa Murti telah mencegahnya, “Jangan nek. Berbahaya. Tetapi apakah nenek tidak dapat menduga sama sekali, siapakah yang akan datang menghubungi nenek untuk keperluan apapun?”
“Aku sama sekali tidak dapat membayangkan, siapa yang akan datang kemari,” jawab nenek tua itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah aku yang membuka nek.”
Perempuan itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia setuju. Tetapi ia berpesan, “Hati-hati Ngger.”
Mahisa Murti lah yang kemudian membuka selarak. Memang ia sangat berhati-hati. Sementara Mahisa Pukat telah mendekatinya pula, sedangkan yang lain berdiri di sebelah menyebelah nenek tua itu. Demikian selarak pintu itu diangkat, maka pintu itu pun telah didorong keras sehingga terbuka. Beberapa orang telah melangkah memasuki ruang dalam. Mahisa Murti melangkah surut. Ia melihat dari sorot mata orang-orang yang memasuki ruangan itu, agaknya mereka mempunyai persoalan yang penting.
“Kau?” desis perempuan tua itu.
“Ya bibi,” jawab seorang di antara mereka, seorang yang bertubuh tinggi tegap.
“Kenapa kau datang malam-malam begini sehingga mengejutkan kami? Marilah. Duduklah,” berkata nenek tua itu.
Seorang di antara orang-orang yang datang itu telah mengatupkan daun pintu rumah itu. Sedangkan orang bertubuh tinggi tegap itu menjawab, “Terima kasih bibi. Aku tidak akan terlalu lama di sini.”
“Jadi apa keperluanmu?” bertanya perempuan itu.
“Bibi. Selama ini aku tidak pernah mengganggu bibi. Aku telah tinggal di tempat yang cukup jauh. Dengan demikian maka pada bibi seharusnya tidak akan timbul kesan, bahwa aku tidak sabar menunggu saat-saat terakhir dari hidup bibi,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap itu, “namun tiba-tiba saja hari ini aku mendengar bahwa bibi telah menyerahkan rumah dan sawah bibi kepada padukuhan ini.”
“Ya,” jawab perempuan tua itu, “aku memang sudah menyerahkan rumah ini dan sawahku kepada padukuhan ini sepeninggalku nanti.”
“Tetapi apakah bibi sudah memikirkan masak-masak?” bertanya orang itu.
“Sudah. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Menurut pendapatku, pada akhirnya aku memang harus melepaskan rumah dan sawahku. Jika aku meninggal, maka aku tidak akan sempat membawa rumah sawahku,” jawab nenek tua itu.
“Tentu itu bukan berarti bahwa bibi harus menyerahkan rumah ini seisinya serta sawah peninggalan paman itu kepada padukuhan,” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Lalu kepada siapa? Seandainya aku menjualnya, aku juga tidak akan dapat mempergunakan uangnya. Aku tidak memerlukannya lagi,” jawab nenek tua itu.
“Bibi lupa, bahwa paman masih mempunyai kemanakan?” berkata orang itu.
“Oo,” perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau datang untuk menyatakan dirimu bahwa kau adalah kemanakan pamanmu? Sudah tentu dalam hubungannya dengan warisan, begitu?”
“Ya,” jawab orang itu tegas, “aku tidak ingin berbelit-belit. Aku memang datang untuk mengambil warisanku dari pamanku.”
Nenek tua itu melangkah maju. Namun ia pun kemudian terhenti karena Mahisa Pukat justru mendekatinya. “Ngger. Siapakah kau sebenarnya, tentu kau mengetahui. Bahwa kau bukan kemanakanku, pamanmu di sini, itu pun kau ketahui. Kenapa kau masih juga ingin mempersoalkan warisan? Sedangkan rumah ini akan menjadi tempat yang menjadi kebutuhan orang banyak. Tempat ini akan dijadikan banjar padukuhan untuk menggantikan banjar yang lama, yang terlalu kecil dan sudah tidak menampung lagi kegiatan anak-anak muda di padukuhan ini,” berkata nenek tua itu.
“Aku hampir tidak percaya bahwa bibi telah melakukan hal itu. Bibi adalah orang yang sangat kikir. Menurut perhitunganku bibi akan membiarkan semua harta benda ini tetap di tempatnya tanpa dapat disentuh orang lain sampai bibi meninggal. Karena itu aku tidak berusaha untuk dengan cepat-cepat datang mengurusnya, sampai akhirnya ternyata aku salah duga. Ternyata bibi telah berusaha memberikan rumah itu kepada padukuhan untuk dijadikan banjar,” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Karena itu, jangan kau singgung-singgung lagi tentang warisan itu, karena kau memang tidak berhak. Kau adalah anak muda yang memang dekat dengan pamanmu. Tetapi kau bukan kemanakannya. Kau tidak mempunyai saluran darah sama sekali dengan pamanmu,” berkata nenek tua itu.
“Aku adalah anak dari saudara sepupu paman,” berkata anak muda itu.
“Kau anak tirinya. Kau perlakukan ibu tirimu dengan cara yang buruk sekali sehingga sepupu pamanmu itu meninggal karena ia tidak tahan menderita,” berkata nenek tua itu.
“Ia adalah ibu tiri yang buruk pula,” geram anak muda itu.
“Jika kau anggap ibu tirimu itu buruk sekali, kenapa kau masih datang untuk berbicara tentang warisan? Pamanmu, saudara sepupu ibu tirimu yang buruk itu, tentu juga orang yang menurut penilaianmu buruk pula. Karena itu, lupakan saja tentang warisan itu, karena apa-apa yang aku punya sudah aku serahkan kepada Ki Bekel,” berkata nenek tua itu.
“Tidak semudah itu bibi mengusir aku,” berkata anak muda itu, “jika aku tidak dapat mewarisi rumah, halaman dan sawah, maka berikan benda-benda berharga peninggalan paman itu.”
Nenek itu menggeleng. Katanya, “Semua sudah habis. Semua telah dihisap kembali oleh ilmu hitam itu. Tetapi setelah kelima anakku meninggal demikian pula pamanmu, maka agaknya kerja ilmu hitam untuk menghisap kembali kekayaan yang pernah diberikannya telah berhenti. Rumah dan sawah itu masih tetap aku miliki sampai sekarang.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu berkata, “Aku tidak percaya. Bibi mencoba membohongi aku.”
Nenek tua itu menyahut, “Jika kau tidak percaya, silahkan melihat isi rumahku ini. Jika ada sesuatu yang pantas untuk kau bawa, bawalah.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia telah memerintahkan orang-orangnya untuk melihat seluruh bagian dari rumah itu. Ruang-ruangnya dan bilik biliknya, termasuk bilik gandok dan dapur.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan berdiri di sekitar nenek tua yang berada di ruangdalam. Mahisa Amping yang gelisah berdiri di belakang nenek tua itu.
“Tidak ada yang akan mereka ketemukan,” berkata nenek tua itu, “aku benar-benar sudah tidak mempunyai apapun juga.”
Tetapi orang yang mengaku kemanakannya itu menggeram, “Masih harus dibuktikan. Jika mereka tidak mendapat apa-apa, maka kami akan membawa bibi beserta kami sampai bibi mau mengatakan, di mana barang-barang berharga itu bibi simpan.”
“Aku tidak berkeberatan,” jawab nenek tua itu, “bagiku sisa hidup sudah tidak berarti apa-apa lagi. Bawalah aku ke mana kau suka. Aku tahu bahwa akhir dari semua itu adalah kematian. Dan aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian.”
“Kematian memang tidak menakutkan bibi,” jawab orang itu, “tetapi saat-saat menjelang kematian itulah yang harus diperhitungkan.”
Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan dapat menderita sakit apapun juga. Jika rasa sakit sedikit saja aku alami, maka aku akan menjadi pingsan. Tentu tidak akan menyenangkan bagi kalian.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu menggeram. Namun ia pun berkata, “Aku tahu. Bibi telah mengupah orang-orang ini untuk melindungi bibi. Tetapi jangan berharap bibi akan dapat diselamatkan.”
“Jangan kalian libatkan anak-anak muda ini,” berkata nenek tua itu, “mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan persoalan kita. Mereka datang untuk berteduh malam ini. Itu saja.”
“Bibi mencoba menipu aku lagi. Apakah bibi menganggap bahwa aku tidak dapat menilai sikapnya itu?” sahut orang itu.
Tetapi nenek tua itu berkata, “Itu adalah satu sikap yang serta merta dari orang-orang yang berpikir wajar. Mereka melihat sikap kalian yang garang. Maka adalah wajar sekali jika mereka berusaha untuk melindungi seorang nenek yang lemah. Tetapi aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu aku akan minta agar mereka menghindarkan dirinya dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi.”
“Bibi kira bibi dapat menjebak aku?” bertanya orang itu.
“Tidak. Tetapi aku berkata sesungguhnya. Jangan libatkan mereka,” minta nenek tua itu, “kalian dapat berbuat apa saja atasku. Tetapi jangan terhadap anak-anak muda yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini. Mereka telah berbuat baik terhadapku. Karena itu, maka aku tidak boleh menyeret mereka ke dalam kesulitan.”
“Persetan dengan ceritera itu,” jawab orang itu, “siapa-pun mereka, jika menghalangi niatku, aku akan menyingkirkannya. Bahkan untuk selama-lamanya.”
Nenek tua itu menjadi tegang. Katanya, “Kau tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Sudah aku katakan, anak-anak muda itu sama sekali tidak akan menghalangimu.”
Mahisa Murti yang berusaha untuk menahan diri, hampir saja ikut berbicara, memotong kata-kata nenek tua itu. Tetapi sebelum Mahisa Murti berkata sesuatu, orang-orang yang mencari benda-benda berharga di semua ruang yang ada di rumah itu telah berdatangan.
“Apa yang kalian temukan?” bertanya orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Tidak ada,” jawab, salah seorang dari mereka.
Orang bertubuh tinggi tegap itu memandang nenek tua itu dengan sorot mata bagaikan membara. Dengan geram ia berkata, “Jadi bibi benar-benar ingin mempermainkan aku?”
“Sudah aku katakan. Aku sudah tidak mempunyai apapun juga,” berkata nenek tua itu, “selanjutnya terserah kepada kalian. Aku sudah siap untuk mati atau mengalami apa saja.”
“Aku terpaksa membawa bibi. Aku tidak akan segera membunuh bibi. Tetapi sudah aku katakan, bibi akan tinggal bersamaku sampai bibi bersedia menunjukkan simpanan bibi itu,” berkata orang itu. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Jangan ikut campur. Persoalan ini adalah persoalan keluarga. Jika kau sudah terlanjur mendapat upah dari bibi, maka biarlah aku yang mengembalikannya, karena aku akan segera menerima warisan yang tidak terhitung jumlahnya.”
Mahisa Murti tidak dapat menahan getar jantungnya, sehingga karena itu, maka ia pun telah menjawab, “Ki Sanak. Aku belum mengenalmu. Nenek tua ini pun baru aku kenal kemarin. Karena itu, memang bukan sepantasnya aku mencampuri persoalan kalian. Jika benar persoalan ini adalah persoalan keluarga. Tetapi karena persoalannya adalah persoalan perampokan dan penculikan, maka adalah hak setiap orang untuk mencampurinya.”
Wajah orang bertubuh tinggi tegap itu menjadi marah. Kemarahan yang membakar jantungnya hampir saja tidak terkekang sehingga orang itu hampir saja meloncat menerkam Mahisa Murti. Tetapi agaknya ia masih mempunyai pertimbangan lain, sehingga ia hanya beringsut selangkah.
Namun ia menggeram, “Setan. Jadi kau benar-benar orang upahan? Jika demikian, kami tidak akan dapat berbuat lain. Apalagi kalian telah menjadi keras kepala. Meskipun demikian, sekali lagi kami memberimu kesempatan. Tinggalkan tempat ini dan jangan turut campur persoalan keluarga kami.”
Nenek tua itu pun menjadi tegang. Karena itu, maka katanya kepada Mahisa Murti, “Ngger. Sebaiknya kalian memang tidak turut campur. Kalian tidak usah melindungi aku apapun yang terjadi atasku. Aku hanya berpesan, jika aku benar-benar dibawa oleh anak itu. Sampaikan kepada Ki Bekel, bahwa rumah ini harus segera dipergunakan sebagai banjar padukuhan. Ambil semua yang ada. Rumah dan sawah.”
“Tutup mulutmu nenek tua,” bentak orang bertubuh tinggi tegap itu, “jika demikian, maka tidak akan ada pertimbangan lain bagi kalian semuanya. Sebelum kalian sempat bertemu dengan Ki Bekel, maka kalian akan mati.”
“Tidak. Kau tidak boleh menyentuhnya. Mereka tidak tahu menahu persoalan yang sedang kita bicarakan,” berkata nenek tua itu.
“Aku tidak peduli. Tetapi pesan bibi adalah tantangan bagiku. Bibi dengan sengaja ingin berkata kepadaku, bahwa aku tidak akan mempunyai kesempatan apapun juga. Karena itu, maka tantangan itu harus aku jawab. Aku akan membunuh semua orang yang menjadi orang upahan bibi itu,” orang bertubuh tinggi itu hampir berteriak.
“Mereka bukan orang upahan. Bukan,” nenek tua itu pun berteriak.
“Baik. Berteriaklah. Halaman rumah ini terlalu luas, sehingga tidak akan ada orang yang mendengar teriakan bibi di dalam rumah yang besar dan rapat ini,” geram orang itu, “sementara itu, aku akan segera menyelesaikan orang-orang upahan yang tidak tahu diri itu, apapun yang bibi katakan tentang mereka.”
“Tidak. Jangan singgung mereka,” perempuan tua masih berusaha.
Tetapi Mahisa Pukat ternyata sudah tidak sabar lagi. Karena itu maka ia pun menyahut, “Nek. Biarlah mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan atas kami. Tetapi nenek jangan mengira bahwa kami akan membiarkan diri kami diperlakukan seperti itu.”
“Ngger,” potong perempuan tua itu.
Namun Mahisa Pukat cepat menyahut pula, ”beri kami kesempatan untuk bersikap sebagaimana seorang laki-laki, nek. Kami bukan sekedar ingin mencari lawan. Semua usaha untuk mencari penyelesaian dengan baik telah nenek lakukan. Tetapi orang-orang itu tidak mau mendengar semua keterangan nenek tentang keadaan nenek sendiri, juga tentang keadaan kami. Karena itu, jika mereka berkeras untuk membuat penyelesaian dengan caranya, maka kami tidak berkeberatan nek.”
“Tetapi, tetapi...“ nenek itu menjadi gagap.
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap yang mengaku kemanakan suami nenek itu berkata, “Katakan kepada mereka bibi, siapakah aku sebenarnya. Meskipun sudah tidak ada kesempatan lagi bagi mereka, tetapi biarlah mereka mengenal aku sebelum saat mereka mati.”
Nenek tua itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Tidak perlu, nek. Nenek tidak perlu mengatakan kepadanya tentang orang itu. Aku tidak perlu mengetahui siapakah orang yang harus aku selesaikan, jika memang terbukti ia melakukan kesalahan.”
“Persetan,” orang bertubuh tinggi tegap itu hampir saja meloncat menyerang.
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Jangan di sini. Sebaiknya kita berkelahi di luar.”
“Kau ingin bertempur di halaman agar jika ada peronda yang berkeliling padukuhan sempat melihat kalian dan membantu kalian?”
“Kami tidak ingin berkelahi di halaman depan. Tetapi kami dapat saja di halaman belakang untuk menghindari agar tidak ada orang yang turut campur,” jawab Mahisa Murti.
Orang bertubuh tinggi tegap itu memang menjadi semakin marah melihat sikap Mahisa Murti. Namun ia pun harus berpikir melihat sikap lawannya yang nampak meyakinkan itu. “Tetapi demikian itu adalah sikap-sikap orang upahan.” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu dalam hatinya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah berkata, “Marilah. Kita akan pergi ke halaman belakang.”
Namun nenek tua itu segera berkata, “Jangan. Kalian tidak perlu bertempur.”
“Sudahlah nek,” berkata Mahisa Murti, “apapun yang nenek lakukan, kami akan bertempur. Jika kami bertempur melawan orang-orang itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan nenek. Kami muak melihat sikapnya, sehingga kami ingin berkelahi. Itu saja.”
Nenek itu menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Murti telah mempersilahkan, “Marilah.”
...Ada bagian cerita yang hilang di sini...
Bahkan keduanya menjadi semakin lama semakin gelisah. Anak muda yang mengaku pengembara itu ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka keduanya menjadi semakin berhati-hati. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk segera mengakhiri perlawanan anak muda itu. Tetapi semakin tinggi mereka meningkatkan ilmu dan kemampuan mereka, maka anak muda itu pun menjadi semakin garang. Geraknya semakin cepat dan semakin tidak dapat diimbangi oleh kedua orang lawannya.
Tetapi, kedua lawannya itu tidak cepat menyerah. Keduanya kemudian telah berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak anak muda itu dengan senjata mereka. Seorang dari mereka telah mencabut pedangnya yang besar dan panjang, sementara yang seorang lagi telah mengurai seutas rantai baja yang diujungnya diberi bandul baja pula sebesar kepalan tangan dengan duri-duri kecil namun tajam.
Sebentar kemudian, maka kedua orang itu telah bertempur dengan putaran senjata masing-masing. Meskipun senjata keduanya berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya mampu bekerjasama dengan baik dan sangat berbahaya bagi Mahisa Murti.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus berloncatan menghindari serangan-serangan yang semakin berbahaya itu. Ayunan baja berduri sebesar kepalan tangan itu seakan-akan selalu mengejarnya. Sementara setiap kali ia berusaha keluar dari putaran rantai itu, ujung pedang yang panjang telah mematuk menggapainya.
Mahisa Murti memang merasa terdesak oleh senjata-senjata lawannya yang sangat berbahaya itu. Bahkan sekali-sekali sentuhan angin telah menerpa kulitnya, sehingga Mahisa Murti semakin menyadari, bahwa senjata lawan-lawan mereka itu sangat berbahaya. Beberapa kali Mahisa Murti memang harus berloncatan mengambil jarak. Tetapi sepasang senjata yang berbeda itu rasa-rasanya selalu memburunya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus meningkatkan kecepatan geraknya agar senjata-senjata lawannya itu tidak berhasil mengoyakkan kulitnya. Tetapi lawan-lawannya yang merasa telah berhasil mendesaknya itu telah menghentakkan kemampuan mereka pula. Mereka memang berniat untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda itu, agar mereka segera dapat membantu kawan-kawan mereka yang lain, yang harus bertempur seorang melawan seorang.
Namun sementara itu, orang yang bertubuh tinggi tegap yang berhadapan dengan Mahisa Pukat itu pun telah bersenjata pula. Dengan tangkasnya kedua belah tangannya telah mempermainkan sepasang potongan besi baja yang tidak terlalu panjang, yang dihubungkan dengan seutas rantai baja pula. Kedua potongan besi baja itu diputarnya seperti baling-baling. Namun kemudian sebuah di antaranya dipeganginya dengan tangan kirinya, sementara yang lain diputarnya dengan tangan kanan.
Mahisa Pukat menyadari, bahwa jenis senjata itu adalah jenis senjata yang sangat berbahaya. Ketika ia sempat melihat sekilas, maka seorang di antara lawan Mahisa Murti itu pun bersenjata rantai, tetapi dengan bandul yang berbeda. Bukan sebatang tongkat pendek, tetapi besi baja sebesar kepalan tangan.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun mulai berloncatan mundur. Tongkat baja yang sepasang itu berputaran dan sekali-sekali menyambar Mahisa Pukat dengan cepatnya. Namun kemudian rantai itu terjulur lurus, melontarkan sepotong baja itu bagaikan anak panah. Ternyata lawan Mahisa Pukat itu memang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana dikatakan oleh perempuan tua itu.
Tongkat bajanya memang semakin lama menjadi semakin berbahaya bagi Mahisa Pukat. Putaran tongkat itu semakin lama menjadi semakin cepat. Sementara itu sepasang tongkat itu mampu bergerak dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Sekali melayang menyambar kening. Kemudian menebas mendatar mengarah ke leher. Namun kemudian terjulur mematuk dengan cepatnya. Bahkan sekali-sekali kedua ujung rantai itu berputaran menyambar berganti-ganti.
Mahisa Pukat yang mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki lawannya itu pun kemudian merasa perlu pula mempersenjatai diri. Karena itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tanpa berjanji lebih dahulu telah menarik senjata mereka hampir bersama-sama. Lawan Mahisa Pukat dan kedua lawan Mahisa Murti terkejut melihat senjata anak-anak muda itu. Dengan serta merta mereka telah bergeser surut.
Ternyata mereka tidak mengenali senjata itu sebelumnya. Tetapi demikian mereka melihatnya, maka mereka menjadi berdebar-debar. Baja yang seakan-akan berwarna kehijau-hijauan itu sudah merupakan pertanda, bahwa senjata itu adalah senjata pilihan. Apalagi mereka menyadari, anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka mereka memang harus membuat perhitungan yang matang untuk dapat mengakhiri pertempuran dengan baik.
Ketika senjata Mahisa Pukat mulai menyentuh senjata lawannya, maka lawannya telah terkejut karenanya. Orang bertubuh tinggi tegap itu sama sekali tidak menduga, bahwa sentuhan senjata anak muda itu akan berakibat buruk baginya. Tangannya menjadi pedih karena ia harus mempertahankan senjatanya yang hampir terpental menyentuh pedang anak muda itu. Tongkat bajanya yang diayunkannya dengan sekuat tenaganya sama sekali tidak dihindari oleh Mahisa Pukat, tetapi langsung ditangkisnya dengan pedangnya.
Orang bertubuh tinggi tegap itu mengeram. Kemarahan yang bertimbun diubun-ubunnya itu menjadi semakin menekannya. Karena itu, maka orang itu benar-benar hampir kehilangan penalarannya karena perasaannya yang terguncang-guncang. Dengan segenap kemampuannya, serta usahanya untuk mengatasi rasa sakit ditangannya, maka orang itu telah mengayunkan senjatanya berputaran. Dua batang tongkat itu pun saling menyambar di udara, kemudian seolah-olah telah melibat Mahisa Pukat kedalamnya.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan tangkasnya ternyata ia masih mampu memukul, bukan saja menangkis serangan itu. Dengan cepat pedang Mahisa Pukat menyambar kedua batang tongkat baja yang dihubungkan dengan seutas rantai. Ketika kedua potong tongkat besi itu terlempar, maka rasa-rasanya kulit telapak tangan orang bertubuh tinggi tegap itu terkelupas karenanya.
Karena itu, maka dengan serta merta orang itu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Bahkan hampir diluar sadarnya orang itu telah menghembus telapak tangannya untuk mengurangi perasaan pedih yang menyengat.
Sementara itu Mahisa Pukat telah bersiap pula menghadapinya. Dengan langkah satu-satu Mahisa Pukat telah bergerak maju mendekatinya. Pedangnya yang bergetar ditangannya, nampak berkilat-kilat memantulkan samar-samar sinar dari kejauhan yang redup. Justru kehijau-hijauan. Lampu minyak di sudut-sudut rumah memancarkan cahaya yang lemah menjangkau arena pertempuran di kebun belakang itu. Namun tangkapan pandangan mata yang terlatih, mampu menembus kegelapan malam yang menjadi remang-remang itu.
Kedua orang lawan Mahisa Murti pun dengan cepat mengalami kesulitan pula. Mahisa Murti justru bergerak lebih banyak dari Mahisa Pukat, justru karena Mahisa Murti harus menghadapi dua orang lawan. Pedangnya terayun-ayun menggetarkan jantung. Sekali-sekali mematuk ke arah dada. Namun kemudian menebas mendatar. Bahkan memburu lawannya yang berloncatan surut.
Ternyata kedua orang lawan Mahisa Murti itu pun telah terdesak pula. Keduanya sama sekali tidak mendapat kesempatan. Ayunan pedang yang besar, serta putaran bandul baja yang bulat, sebesar kepalan tangan itu, sama sekali tidak mampu menghentikan sambaran pedang Mahisa Murti. jika pedangnya itu sempat berbenturan dengan pedang yang besar dan panjang dari salah seorang lawannya, maka terasa bahwa pedang lawannya bukan saja bergetar, tetapi pegangannya menjadi goyah.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Namun keseimbangannya menjadi semakin jelas pula. Bahkan Mahisa Semu pun telah mendesak lawannya pula, sebagaimana Wantilan. Dengan demikian, maka orang-orang yang datang ke rumah nenek tua itu menjadi bimbang. Apakah mereka akan meneruskan niat mereka untuk mendapatkan apapun juga dari rumah itu, atau meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka masih mempunyai satu kemungkinan. Kemungkinan terakhir.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun telah memberikan isyarat tertentu. Orang yang mengawasi keadaan diluar arena dengan serta merta telah meloncat menempatkan diri bersama orang bertubuh tinggi tegap itu melawan Mahisa Pukat. Sebuah tombak pendek tergenggam di tangannya. Tombak yang pada pangkal mata tombaknya terdapat kait yang tajam. Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Ia masih belum mempergunakan getar kekuatan ilmunya yang dapat membuat pedangnya bagaikan menyala.
Namun dalam pada itu, yang sangat mengejutkan adalah orang yang lain, yang tidak terlibat ke dalam pertempuran. Tiba-tiba saja ia telah meloncat mendekati nenek tua yang berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia telah menarik lengan nenek tua itu sambil berteriak, “Hentikan pertempuran, atau nenek tua ini akan mati terkapar di sini.”
Suara itu cukup lantang, sehingga Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berloncatan mengambil jarak dari lawannya.
“Lemparkan senjata-senjata kalian,” berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar menjadi bingung. Bukan saja ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran selanjutnya. Tetapi pedang yang berharga itu akan dapat jatuh ke tangan lawannya. Karena itu, untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu. Keduanya menemui kesulitan untuk menentukan langkah. Jika mereka menolak untuk meletakkan senjata, maka nenek tua itu mungkin sekali akan benar-benar dibunuh oleh orang yang mengaku kemanakannya, karena perempuan tua itu berkeras untuk tidak mau berbicara tentang kekayaannya.
Karena Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak segera meletakkan senjatanya, maka orang itu sekali lagi berteriak sambil mengacukan senjatanya ke lambung perempuan tua itu, “Cepat. Letakkan senjata kalian, atau aku bunuh perempuan ini.”
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap itu pun tertawa sambil berkata, “Kalian dihadapkan pada satu kenyataan. Bukan sekedar untuk menakut-nakuti saja. Kawanku itu benar-benar akan membunuhnya, karena aku memang tidak memerlukan lagi jika ia tidak mau berbicara tentang benda-benda berharga yang disimpannya. Demikian kikirnya orang tua itu, sehingga ia lebih menyayangi harta bendanya daripada nyawanya.” Lalu katanya kepada perempuan tua itu, “Bibi, apakah bibi mengira bahwa jika bibi terkapar mati, bibi akan dapat memanfaatkan benda-benda berharga yang bibi sembunyikan.”
“Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai apa-apa lagi. Dan justeru karena aku menyadari bahwa jika saat mati itu tiba, aku tidak akan dapat membawa rumah dan sawahku, maka aku sudah menyerahkannya kepada Ki Bekel,” jawab perempuan tua itu tanpa mengenal takut. Bahkan kemudian ia berkata kepada anak-anak muda itu, “jangan menghentikan perlawanan. Bebaskan diri kalian dari tangan mereka. Jangan hiraukan aku.”
Tetapi laki-laki yang mengancamnya telah menariknya dengan kasar, “Aku bunuh perempuan ini perlahan-lahan, atau kalian meletakkan senjata. Cepat, jangan menjawab lagi.” Orang yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa. Ia sudah melihat pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang nampaknya pedang yang sangat baik, yang oleh pembuatnya disebutnya sepasang keris itu. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan mendapatkan sepasang senjata yang tentu sangat berharga.
Tetapi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu, sehingga dengan demikian maka ia masih saja menggenggam senjatanya. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menggenggam senjatanya, maka Mahisa Semu dan Wantilan pun masih belum meletakkan senjatanya pula.
Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka senjata di lambung perempuan tua itu semakin menekan. Sedang orang itu sekali lagi berteriak, “kesabaranku ada batasnya.”
Mahisa Murti yang ragu-ragu itu menarik nafas dalam-dalam. Ujung pedangnya telah mulai menunduk. Sementara itu perempuan tua itu berteriak pula, ”jangan hiraukan aku.”
Tetapi pedang Mahisa Murti menjadi semakin menunduk. Demikian pula pedang Mahisa Pukat.
“Aku akan menghitung sampai tiga,” teriak orang yang mengancam perempuan tua itu, “jika kalian belum meletakkan senjata kalian dan melangkah surut, maka perempuan ini akan mati.”
Dalam keragu-raguan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu orang yang mengancam itu mulai menghitung,”satu, dua…”
Tetapi, sebelum ia sempat ke bilangan berikutnya, sesuatu yang tidak pernah diduga telah terjadi. Semua orang terkejut. Bahkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun terkejut pula. Ketika orang yang mengancam itu mulai menghitung, dan kemudian sampai ke bilangan kedua, maka Mahisa Amping telah meloncat ke punggung orang itu. Keduanya telah jatuh terguling.
Sementara itu, orang yang siap membunuh nenek tua itu berusaha untuk melepaskan pegangan Mahisa Amping. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak. Pisau belati Mahisa Amping tiba-tiba saja telah terhunjam di dadanya...
Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu menjadi semakin garang. Serangannya menjadi semakin cepat dan keras. Tetapi justru pada benturan-benturan yang terjadi, lawan Mahisa Murti itu merasakan bahwa kekuatan anak muda itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin kuat.
Sementara itu, yang tertua di antara ketiga orang itu masih juga bertempur dengan keras melawan Kiai Liman Serapat. Ternyata mereka masih berusaha menyelesaikan pertempuran itu tanpa senjata. Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagai pedagang gerabah itu memang mempunyai kemampuan yang tinggi. Ia mampu bergerak cepat sebagaimana lawannya. Ia pun memiliki kekuatan dan tenaga yang dapat mengimbangi lawannya.
Dengan demikian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya telah mengerahkan tenaga cadangan mereka sehingga dengan demikian maka kekuatan mereka bukan sekedar kekuatan wantah. Tetapi kekuatan mereka telah menjadi berlipat.
Namun dengan demikian, masih belum ada tanda-tanda siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Sementara itu lawan Kiai Liman Serapat tidak ingin mempergunakan racun-racunnya, karena ternyata sama sekali tidak berarti bagi Kiai Liman Serapat.
Dalam pada itu maka lawan Kiai Liman Serapat itu tidak sabar lagi menunggu kesalahan yang dibuat oleh lawannya sehingga ia dapat mengalahkannya. Lawannya adalah orang yang tangguh. Bahkan kemungkinan yang sebaliknya akan dapat terjadi atas dirinya.
Kiai Liman Serapat sendiri menyadari, bahwa dengan cara itu, maka mereka berdua tidak akan segera sampai kepada akhir dari pertempuran itu. Meskipun demikian Kiai Liman Serapat tidak tergesa-gesa. Ia ingin menjajagi kemampuan lawannya lebih jauh, bahkan sampai ke puncak.
Tetapi lawannyalah yang tidak sabar lagi. Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka lawannya itu pun telah berusaha untuk mendesak Kiai Liman Serapat dengan hentakan-hentakan yang kuat. Namun Kiai Liman Serapat pun tetap bertahan. Bahkan setiap serangan telah dibentur dengan serangan pula.
Karena itulah, maka lawan Kiai Liman Serapat itu justru telah meloncat surut. Ia berusaha untuk mendapatkan waktu untuk mempersiapkan diri melepaskan ilmunya yang dibanggakannya.
Kiai Liman Serapat yang sudah siap memburunya, tiba-tiba telah tertahan. Ia melihat lawannya itu mengatupkan kedua telapak tangannya. Kemudian kedua telapak tangan itu saling digosokkannya. Kiai Liman Serapat melihat pada telapak tangan yang terkatub itu asap yang tipis mengepul. Asap yang berwarna kemerah-merahan.
Karena itulah, maka Kiai Liman Serapat lah yang kemudian meloncat surut mengambil jarak. Sementara itu, maka lawannya telah mengangkat tangannya sambil meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Kiai Liman Serapat tidak boleh lengah sekejap pun. Tangan lawannya itu tidak lagi sekedar mengayunkan kekuatan wajarnya. Tetapi telapak tangannya yang menjadi merah itu tentu menyimpan kekuatan yang sangat tinggi.
Ketika tangan itu diayunkannya, maka Kiai Liman Serapat-pun telah meloncat menghindar. Tangan lawannya memang tidak menyentuhnya, tetapi ayunan anginnya telah menerpa kulitnya. Terasa perasan pedih menyengat-nyengat. Tidak hanya di satu tempat, tetapi angin yang menyentuh kulitnya serasa menaburkan asap yang menggigit kulitnya itu.
Kiai Liman Serapat menggeretakkan giginya. Seakan-akan kepada diri sendiri ia menggeram, “Jadi kita akan bersungguh-sungguh.”
Lawannya menghentakkan serangannya sambil menggeram, “Kau atau aku yang akan mati di sini. Persoalannya kemudian adalah persoalan harga diri.”
Kiai Liman Serapat mengangguk kecil sambil berdesis, “Bagus. Kita sudah menentukan satu sikap. Kau atau aku yang akan mati. Semula aku tidak merasa perlu untuk bersungguh-sungguh seperti itu. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan memilih mati.”
Kiai Liman Serapat pun kemudian telah bersiap menghadap segala kemungkinan. Kedua tangannya terentang menyamping. Kemudian perlahan-lahan telapak tangan keduanya bergerak dan menelakup didepan dadanya. Karena lawannya sudah bersiap untuk menyerang, maka dengan cepat kedua tangan yang menelakup itu telah terangkat tinggi.
Serangan berikutnya datang dengan dahsyatnya. Dengan cepat sekali tangan yang terayun itu berputar. Kemudian mematuk mengarah dada Kiai Liman Serapat. Telapak tangan yang menjadi merah itu terjulur dengan cepat dilambari dengan kekuatan yang sangat besar. Namun Kiai Liman Serapat sempat meloncat menyamping. Bahkan sekali berguling di tanah, kemudian melenting bangkit berdiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih juga bertempur melawan kedua orang saudara seperguruan itu, sempat melihat semacam asap yang berwarna kemerah-merahan yang menyambar Kiai Liman Serapat. Untunglah bahwa orang itu telah menjatuhkan dirinya, sehingga asap itu tidak menyentuhnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa asap itu tentu merupakan bagian dari ilmu yang sangat berbahaya. Sentuhan asap itu bagi Kiai Liman Serapat tentu lebih berbahaya dari racun yang pernah ditusukkan ke dalam tubuhnya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak mendapat kesempatan. Kedua lawannya pun telah meningkatkan serangan-serangannya. Pedang mereka berputaran menyambar-nyambar. Sementara itu ujungnya sekali-sekali masih juga terjulur menggapai tubuh anak-anak muda itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah dapat memahami kelebihan senjata lawannya, tidak lagi dapat dikelabui. Karena itu, maka serangan-serangan lawan-lawan mereka pun selalu dapat dielakkannya atau ditangkisnya dengan senjata mereka yang sedang diperebutkannya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa lawan-lawannya tentu juga memiliki kelebihan sebagaimana orang yang sedang bertempur melawan Kiai Liman Serapat itu.
Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu merasa bahwa mereka tidak akan mampu menundukkan anak-anak muda yang mengaku pengembara serta telah menguasai sepasang keris yang menjadi rebutan orang-orang berilmu tinggi itu dengan pedangnya yang ujungnya dapat terjulur, kedua orang itu telah memutuskan untuk mempergunakan ilmunya yang jarang ada duanya. Jika dengan ilmu puncak itu mereka masih juga tidak mampu mengalahkan lawan-lawan mereka, maka untuk selanjutnya mereka akan mengalami kesulitan. Hanya jika terjadi keajaiban sajalah mereka akan dapat memenangkan pertempuran.
Dalam pada itu, hampir berbareng kedua orang itu telah meloncat mengambil jarak. Keduanya pun kemudian telah berdiri tegak. Pedangnya tegak di depan dadanya, sementara telapak tangan kirinya telah melekat pada pedangnya itu. Ketika telapak tangan itu menggosok-gosok daun pedang, maka nampak asap yang berwarna kemerah-merahan bagaikan mengepul dari daun pedang yang kemudian juga berwarna kemerah-merahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat asap itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak saja harus menghindari serangan pedang lawannya. Tetapi mereka pun harus berhati-hati terhadap asap yang berwarna kemerahan itu.
“Untunglah bahwa asap itu berwarna,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Dengan demikian maka ia akan menjadi lebih mudah menghindarinya daripada asap itu tidak berwarna sama sekali.
Beberapa saat kedua belah pihak masih belum mulai menyerang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum berniat untuk menyerang lawan-lawannya dari jarak jauh dengan ilmunya yang menggetarkan meskipun ia pun menyadari, bahwa orang-orang berilmu tinggi akan dapat sekali dua kali menghindari serangan seperti itu. Bahkan beberapa kali. Untuk beberapa saat Mahisa Murti menunggu. Ia mulai bergeser setapak ketika lawannya mulai menggerakkan pedangnya yang menjadi kemerah-merahan.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, lawan Mahisa Murti itu telah meloncat menyerang dengan garangnya. Ujung pedang itu bukan saja dapat terjulur. Tetapi ujung pedang itu seakan-akan telah menyemburkan asap yang juga berwarna kemerah-kemerahan menyambar Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti dengan sigapnya telah meloncat menghindar. Tetapi ketika tubuhnya tersentuh asap itu, terasa kulitnya seakan-akan telah tersentuh bara api. Bahkan rasa-rasanya kulitnya telah terkelupas karena panas yang menyengat. Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa orang itu memang orang yang berilmu tinggi. Ilmunya benar-benar sangat berbahaya. Asap dari ujung pedangnya itu tersembur dengan derasnya mengarah ke tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti tidak banyak mempunyai kesempatan. Tiba-tiba orang itu telah menyerang lagi. Asap itu pun telah berhamburan dari ujung pedang lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti telah mampu memperhitungkan jarak, seberapa jauh ia harus meloncat menghindar. Dengan demikian, maka untuk melawan ilmu yang jarang ada bandingnya itu, Mahisa Murti mulai merambah ke ilmunya pula.
Pengaruh kekuatan ilmu Mahisa Murti terhadap senjatanya yang memang memiliki kelebihan itu mulai menjadi semakin nyata. Baja pilihan dan pamor yang tidak ada duanya itu menjadi semakin nyata, tetapi pedang itu seakan-akan telah menyala. Lidah api yang berwarna kehijauan itu mulai menjilat-jilat.
Ketika lawan Mahisa Murti melihat keris yang menyala itu, hatinya memang terguncang. Namun ia masih yakin akan kemampuannya serta ilmunya yang nggegirisi itu. Demikianlah, maka orang itu pun telah menyerang semakin garang. Pedangnya telah terayun sekali lagi. Asap yang kemerah-kemerahan telah terhambur. Namun asap itu tidak dapat mengenai Mahisa Murti yang meloncat menyamping.
Tetapi Mahisa Murti tidak sekedar menghindari serangan itu. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka tubuhnya telah terloncat justru menyerang lawannya dengan pedangnya yang menyala itu. Serangan itu datang demikian cepatnya. Lawanya tidak sempat mengambil ancang-ancang untuk menghindari serangan itu. Karena itu, maka lawannya telah berusaha untuk menangkis keris Mahisa Murti yang terjulur.
Benturan kedua senjata itu ternyata telah menimbulkan percikan bunga api yang menggetarkan jantung. Bunga api yang berwarna kemerah-merahan dan kehijau-hijauan. Namun Mahisa Murti telah memutar pedangnya, mengibaskan pedang lawannya dengan sepenuh tenaga, sehingga pedang lawannya itu hampir saja terlepas dari tangannya. Dengan cepat Mahisa Murti meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya itu sehingga hampir saja menyentuh tubuh lawannya.
Dengan tergesa-gesa lawannya sekali lagi telah menangkis serangan Mahisa Murti itu. Demikian kedua pedang itu beradu, maka Mahisa Murti masih saja berusaha memutar pedangnya. Namun lawannyalah yang kemudian meloncat surut beberapa langkah.
Mahisa Murti tidak sempat memburunya. Pedang lawannya telah diayunkannya. Meskipun jaraknya masih terlalu jauh bagi serangan pedang, namun semburan asap yang kemerahan itulah yang sangat berbahaya. Sekali lagi kulit Mahisa Murti terasa terkelupas ketika asap itu sempat menggamit sikunya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah terdesak oleh serangan-serangan lawannya. Asap yang kemerah-merahan itu telah membuat Mahisa Pukat beberapa kali menggeram. Panas dan pedih telah menyengat jika asap yang kemerahan itu sempat menyentuh tubuhnya. Namun seperti Mahisa Murti, beberapa kali mempergunakan setiap sebaik-baiknya untuk menyerang lawannya. Beberapa kali Mahisa Pukat membenturkan pedangnya.
Tetapi kesempatan itu terlalu sedikit. Memang beberapa kali Mahisa Pukat berhasil. Tetapi beberapa kali pula asap lawannya itu telah menyengat kulitnya sehingga rasa-rasanya bagaikan terkelupas. Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sempat memperhatikan kulitnya yang pedih itu, nampak bekas sentuhan itu seperti sentuhan bara api.
Dalam pada itu, Kiai Liman Serapat pun telah bertempur dengan sengitnya. Kiai Liman Serapat memang harus berjuang dengan mengerahkan segenap ilmunya untuk menghindari libatan asap yang kemerah-merahan itu. Namun telah beberapa kali asap itu sempat menyentuh tubuh Kiai Liman Serapat, sehinga kulitnya pun telah menjadi panas dan bagaikan terkelupas.
Lawan Kiai Liman Serapat itu semakin lama menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Ia ingin segera menyelesaikan Kiai Liman Serapat itu. Dengan demikian ia akan tidak kehilangan harga dirinya. Lebih dari itu, maka ia masih akan mempunyai kesempatan untuk menguasai salah satu dari sepasang keris yang sedang diperebutkan itu. Bahkan kemudian ternyata ia menginginkan kedua-duanya. Karena itu, yang akan dibinasakannya bukan saja Kiai Liman Serapat dan kedua orang anak muda pengembara itu. Tetapi juga saudara-saudara seperguruannya.
Namun orang itu berharap bahwa pertempuran antara anak-anak muda yang mengaku pengembara itu dengan saudara-saudara seperguruannya dapat membuat mereka menjadi lemah dan dengan demikian kedua belah pihak, yang menang apalagi yang kalah sudah tidak berdaya lagi untuk melawannya. Sementara itu ia masih memiliki kekuatan yang utuh selain ia berhasil membunuh Kiai Liman Serapat.
Tetapi Kiai Liman Serapat ternyata tidak mudah untuk dibinasakan. Ia masih mampu dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan yang datang beruntun, bahkan kemudian seperti badai yang melibatnya. Kiai Liman Serapat memang telah semakin terdesak. Tetapi sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan hatinya. Karena itu maka lawannya pun menjadi semakin garang dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun Kiai Liman Serapat pun kemudian tidak ingin membiarkan dirinya terdesak terus. Sekali-sekali ia masih sempat memperhatikan pertempuran antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melawan musuh masing-masing. Kiai Liman Serapat pun justru menjadi agak cemas melihat kedua orang lawan dari anak-anak muda itu telah mempergunakan ilmunya, yang mampu menaburkan asap yang ternyata mempunyai kekuatan yang mengantar getaran yang mengandung panasnya api yang dipancarkan oleh ilmunya lawan-lawannya itu, lewat ujung-ujung pedangnya. Sebagaimana dilakukan pula oleh lawannya sendiri, namun langsung dari telapak tangannya.
Kiai Liman Serapat memang melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali-sekali mampu menghindari serangan itu. Bahkan pada saatnya keduanya telah menyerang pula dengan tusukan-tusukan yang berbahaya. Tetapi nampaknya ilmu dan kemampuan lawannya mempunyai kemungkinan yang lebih baik untuk memenangkan pertempuran itu. Dengan demikian maka Kiai Liman Serapat pun merasa perlu untuk mempercepat penyelesaian bagi lawannya itu. Karena itulah, maka kedua belah pihak yang merasa perlu untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran, telah meningkatkan kemampuan ilmu mereka.
Asap yang terhambur pada serangan-serangan lawan Kiai Liman Serapat itu rasa-rasanya menjadi semakin panas dan bahkan menjadi semakin banyak. Setiap helai asap yang berwarna kemerah-merahan itu seakan-akan merupakan sehelai bara api yang akan dapat mengelupas kulitnya dan menusuk dagingnya dengan perasaan panas dan pedih.
Namun dalam keadaan yang rumit itu, Kiai Liman Serapat pun telah menghentakkan ilmu puncaknya. Kedua tangannya yang berada di depan dadanya telah membuat gerakan-gerakan yang khusus. Namun kemudian telapak tangannya yang terbuka dari tangannya sebelah kiri telah menengadah di depan dadanya, sedangkan telapak tangan kanannya menelungkup, sedangkan arah jari-jarinya berlawanan, sementara kaki kanannya terangkat tinggi.
Demikianlah, ketika lawan Kiai Liman Serapat kemudian meloncat menyerangnya, maka Kiai Liman Serapat hampir saja terlambat. Tetapi ia sempat meloncat dan sambil berguling beberapa kali. Tetapi asap yang kemerah-merahan itu rasa-rasanya telah terhambur memburunya. Kiai Liman Serapat dengan cepat melenting berdiri. Ia tahu bahwa lawannya pun telah sampai kepada puncak kemampuan ilmunya, sehingga serangannya menjadi lebih berbahaya.
Namun Kiai Liman Serapat yang telah bersiap itu telah mengangkat kedua tangannya. Kedua telapak tangannya telah dikembangkan menghadap ke arah asap yang hampir saja menggulungnya itu. Akibatnya memang menggetarkan jantung. Dari kedua telapak tangan tangan Kiai Liman Serapat tiba-tiba saja telah berhembus angin yang deras sekali. Demikian derasnya, sehingga asap yang hampir saja menggulungnya dengan getaran panasnya api itu telah terhembus pecah berserakan.
Lawannya telah meloncat menjauh sambil menggeram. Ternyata Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagi pedagang gerabah itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun dalam pada itu, lawan Kiai Liman Serapat yang marah itu, masih berusaha untuk menyerangnya. Dengan garangnya ia telah meloncat mendekati Kiai Liman Serapat.
Tangannya telah ditelungkupkan, kemudian dengan satu hentakkan maka asap yang kemerah-merahan telah terhambur mengarah ke lawannya. Namun Kiai Liman Serapat telah menunggunya. Demikian asap itu mulai menyambar, Kiai Liman Serapat telah menghembuskan kekuatan anginnya sehingga asap yang kemerah-merahan itu telah melibat orang yang melepaskannya itu sendiri.
Tetapi orang itu sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan dengan sadar orang itu berkata, “Kau salah hitung. Kekuatan ilmuku tidak akan aku pergunakan untuk membunuh diriku sendiri. Asap itu tidak berarti apa-apa bagiku.”
Kiai Liman Serapat menggeram. Tetapi ia tidak membiarkan kesempatan itu berlalu. Selagi lawannya sedang berbicara lantang sambil membusungkan dadanya, maka Kiai Liman Serapat telah menyerangnya dengan kekuatan hembusan udara yang keras sekali langsung mengarah ke tubuh lawannya. Ternyata serangan itu telah mengguncangnya. Bahkan kelebihan yang ada pada ilmunya yang tidak dapat membunuh dirinya sendiri itu membuatnya sangat berbesar hati, sehingga ia menjadi sedikit lengah.
Guncangan itu memang mengejutkannya. Seperti orang yang sadar dari sebuah lamunan, maka lawan Kiai Liman Serapat itu berusaha untuk meloncat keluar dari arus angin yang deras itu. Sebenarnyalah orang itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sebuah loncatan yang panjang telah melepaskannya dari arus angin yang deras sekali sambil menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali. Kemudian dengan cepat pula ia telah melenting berdiri.
Kiai Liman Serapat bergeser beberapa langkah mendekat. Namun orang itu telah tegak berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang itu telah berhadapan kembali. Namun keduanya sadar, bahwa mereka masih akan menempuh satu perjuangan yang panjang. Lawan Kiai Liman Serapat menyadari, bahwa serangan asapnya tidak akan berarti lagi. Setiap hamburan asap tentu akan dihembusnya dengan angin yang membadai yang dilontarkan dengan alas ilmu pedagang gerabah itu, sehingga tidak akan dapat menyentuh tubuhnya.
Karena itu, maka keduanya harus bertempur dengan mempergunakan kemampuan unsur-unsur gerak serta kekuatan tenaga cadangan di dalam diri mereka masing-masing. Demikianlah maka pertempuran itu pun berlangsung semakin lama semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat sambil mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka.
Sekali-sekali Kiai Liman Serapat memang telah melepaskan ilmunya, satu hentakkan angin yang memadai. Namun lawannya selalu berhasil melenting keluar dari arus angin itu. Tetapi sebaliknya lawan Kiai Liman Serapat itu sekali-sekali masih juga dengan tiba-tiba menghamburkan asapnya yang kemerah-merahan itu. Orang itu masih mencoba untuk mengatasi kecepatan gerak Kiai Liman Serapat. Namun Kiai Liman Serapat selalu sempat menolaknya dengan angin yang dihembuskannya atas alas ilmunya.
Karena itulah, maka pertempuran di antara kedua orang itu-pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya yang sudah sampai ke puncak kemampuan masing-masing itu masih belum dapat memperhitungkan siapakah di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih juga bertempur dengan serunya. Kedua anak muda itu masih berusaha untuk tidak menghancurkan lawannya dengan ilmu mereka yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh, meskipun mungkin lawan-lawan mereka itu mampu menghindarinya, sekali atau dua kali. Tetapi menurut penilaian anak-anak muda itu, jika mereka menyerang lawan-lawan mereka dengan serangan jarak jauh itu berturutan beberapa kali, maka lawan-lawan mereka itu agaknya akan dapat mereka kalahkan.
Meskipun demikian, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak pernah merendahkan lawan-lawan mereka. Kemungkinan yang lain memang akan dapat terjadi. Karena itu, maka mereka tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Yang telah dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan tenaga lawannya. Karena itu, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat selalu berusaha untuk dapat membenturkan senjatanya yang bagaikan menyala kehijauan itu dengan senjata lawan-lawan mereka yang dapat menyemburkan asap yang berwarna kemerah-merahan.
Sekali dua kali tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga tersentuh oleh asap yang ganas itu. Kulit mereka menjadi bagaikan terkelupas oleh panas yang menggigit. Namun setiap kali benar-benar telah terjadi benturan antara senjata anak-anak muda itu dengan senjata lawannya.
Namun ternyata bahwa lawan Mahisa Pukat lebih garang dari lawan Mahisa Murti. Serangan-serangannya datang lebih keras dan kasar. Senjatanya menyambar-nyambar, sementara asap yang berwarna kemerahan itu berhamburan tidak henti-hentinya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Namun setiap kali pedangnya selalu terjulur dari segala arah menggapai tubuh lawannya. Lidah api yang menyala pada daun pedangnya itu telah membuat pedangnya menjadi semakin berbahaya, karena ternyata sentuhan lidah api itu telah mampu mengoyakkan kulit lawannya.
Karena itu, maka lawan Mahisa Pukat terkejut ketika lengannya telah terkoyak pula. Yang telah menyentuhnya bukan daun pedang yang garang itu. Tetapi lidah api yang seakan-akan menyala pada daun pedangnya. Sentuhan senjata itu ternyata terasa sangat pedih. Apalagi darah telah mengalir dari lukanya itu. Lebih-dari itu, sentuhan pedang itu telah mengisap tenaga dan kemampuan lawan Mahisa Pukat itu pula.
Dalam pada itu, ujung senjata Mahisa Murti pun telah menggamit kulit lawannya pula. Lukapun telah tergores di paha lawan Mahisa Murti itu. Tidak terlalu dalam. Tetapi di luka itu rasa-rasanya sepotong bara telah melekat. Namun lawan Mahisa Murti itu, semakin lama menjadi semakin heran atas dirinya sendiri. Pedang ditangannya itu rasa-rasanya menjadi semakin berat. Bahkan tangan dan kakinya sendiripun menjadi semakin berat pula.
Dengan demikian maka geraknya pun menjadi semakin lama semakin lamban. Ia tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Murti. Dengan demikian maka rasa-rasanya ujung keris Mahisa Murti yang menyala kehijauan itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan rasa-rasanya ujung senjata itu bagaikan memburunya semakin cepat.
Lawannya memang menjadi semakin berdebar-debar. Tangan dan kakinya seakan-akan menjadi semakin berat. Ia tidak lagi mampu berloncatan dengan tangkas dalam kecepatan yang sangat tinggi.
“Apa yang telah terjadi?,” bertanya orang itu kepada diri sendiri.
Namun sebelum ia menemukan jawabnya, ujung keris Mahisa Murti justru telah menyentuh dadanya. Orang itu terdorong beberapa langkah surat. Tetapi ujung keris Mahisa Murti masih saja selalu memburunya. Meskipun ia telah menghamburkan asap berwarna kemerah-merahan itu, namun ia tidak lagi pernah berhasil mengenai Mahisa Murti.
Akhirnya, pertempuran itu memang harus berhenti pada suatu saat apapun yang telah terjadi. Ketika senjata kedua orang yang sedang bertempur itu berbenturan sekali lagi, maka lawan Mahisa Murti memang tidak mampu lagi mempertahankan senjatanya. Dengan keras senjatanya bagaikan terangkat terbang ke langit. Telapak tangannya yang berusaha mempertahankannya bagaikan terkelupas kulitnya.
Tetapi senjata itu jatuh hanya selangkah daripadanya. Karena itu, dengan gerak naluriah, maka orang itu telah meloncat dan kemudian memungut senjatanya. Tetapi ternyata ia tidak mampu mengangkat pedangnya. Baru kemudian ia sadari, bahwa daun pedangnya telah diinjak oleh Mahisa Murti. Adalah satu bencana bahwa orang itu tidak segera melepaskannya. Dipandanginya wajah Mahisa Murti untuk beberapa saat lamanya tanpa melepaskan pegangannya pada hulu pedangnya itu.
Orang itu baru sadar, ketika tubuhnya benar-benar telah menjadi lemah. Tangannya baru terlepas dari hulu pedangnya yang terinjak kaki Mahisa Murti ketika ia tidak lagi mampu berdiri tegak. Tubuhnya justru telah terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan, sehingga akhirnya lawan Mahisa Murti itu telah terjatuh di tanah tanpa dapat bangkit kembali. Tulang-tulangnya seakan-akan bagaikan telah dilepas dari persendiannya.
“Marilah,” tantang Mahisa Murti, “bukankah kita masih mempunyai banyak waktu?”
Orang itu mengumpat. Namun akhirnya ia pun telah jatuh terjerembab di tanah. Ia memang masih mampu menggeliat dan memiringkan tubuhnya yang sangat lemah. Tetapi ia benar-benar sudah tidak mampu untuk bangkit. Lawan Mahisa Pukat pun telah mengalami nasib yang sama. Ia tidak lagi mampu mendesak Mahisa Pukat. Ia bukannya semakin menguasai medan, tetapi justru kekuatannya dengan cepat larut seperti garam di dalam air. Sehingga akhirnya habis sama sekali.
Ketika orang itu berusaha mengayunkan pedangnya sambil menghamburkan asap yang kemerah-merahan itu, Mahisa Pukat telah meloncat menyamping. Asap itu tidak menyentuhnya. Sementara itu sekali lagi Mahisa Pukat meloncat sambil mengayunkan kerisnya.
Lawannya memang masih berusaha untuk menghindar, sekaligus menangkis serangan itu. Namun Mahisa Pukat tidak menekan senjata lawannya sehingga ujung kerisnya mampu menusuk ke tubuh lawannya. Ia justru membiarkan kedua buah pedang itu saling menekan untuk beberapa saat.
Tetapi terasa oleh Mahisa Pukat, bahwa kekuatan terakhir orang itu telah dihisapnya sampai habis. Dengan demikian ketika kemudian Mahisa Pukat menyentuhnya dengan telapak tangannya, maka orang itu pun telah jatuh terbanting di tanah.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu ternyata tidak mampu mengalahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memiliki keris yang telah direlakan kepada kedua orang anak buahnya itu.
Pusat perhatian mereka yang ada di halaman itu kemudian adalah Kiai Liman Serapat melawan saudara tertua dari ketiga orang yang menyebut kesatuan mereka itu sebagai Sangga Langit Kinatelon. Untuk beberapa saat lamanya kekuatan, kecepatan gerak dan kemampuan mereka masih saja berimbang. Mereka masih saja bertempur tanpa senjata.
Dalam pada itu, serangan-serangan mereka yang datang silih berganti telah saling menyentuh dan mengguncangkan tubuh lawan mereka. Namun kedua belah pihak masih belum mampu menentukan siapakah yang akan kalah dan siapakah yang akan, memenangkan pertempuran itu.
Pada saat yang demikian, maka Kiai Liman Serapat dan lawannya telah melihat, bahwa dua orang lawan anak-anak muda yang mengaku pengembara itu telah terbaring di tanah. Keduanya tidak tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan kedua orang itu.
Namun hal itu telah membuat lawan Kiai Liman Serapat menjadi semakin marah. Ia ingin saudara seperguruannya itu memenangkan pertempuran, tetapi ia sendiri menjadi sangat lemah. Dengan demikian maka ia akan dengan mudah menyelesaikan saudara-saudara seperguruannya itu seorang demi seorang. Ternyata nafsunya untuk memiliki sepasang pusaka itu telah menguburkan kesetiaannya kepada saudara-saudara seperguruannya.
Tetapi ternyata saudara-saudara seperguruannyalah yang telah dikalahkan lebih dahulu. Meskipun anak-anak muda yang memiliki senjata yang diinginkannya itu juga sudah terluka, namun mereka masih nampak tegar menghadapi keadaan. Meskipun demikian, maka niatnya untuk memiliki senjata yang luar biasa itu tidak padam. Apapun yang terjadi, maka niatnya mantap. Dengan demikian maka masalahnya tidak sekedar mengalahkan Kiai Liman Serapat. Tetapi justru sepasang keris serta mengorbankan saudara-saudara seperguruannya.
Karena itu, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang berilmu tinggi itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Asap yang kemerah-merahan dan angin yang bertiup seperti prahara saling menyerang. Kedua orang berilmu tinggi itu pun saling berlompatan menghindar dan kemudian bertempur langsung dengan wadag mereka, beradu kecepatan gerak dan kekuatan tenaga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengalahkan lawan-lawannya termangu-mangu sejenak. Mereka sempat melupakan perasaan pedih pada kulit mereka yang telah tersentuh bukan saja ujung-ujung pedang yang terjulur, tetapi juga asap yang berwarna kemerahan namun memiliki panas seperti bara. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping bagaikan membeku di tempatnya menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit itu, setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jusru telah mengakhiri pertempuran.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Kiai Liman Serapat memiliki daya tahan yang lebih baik dari lawannya. Sementara itu, kekuatan daya hembus angin praharanya telah memaksa lawannya bekerja lebih keras untuk mengatasi dorongan angin itu, agar ia tidak terlempar jatuh. Kemudian lawannya itu juga harus berloncatan menghindari inti kekuatan daya dorong hembusan ilmu Kiai Liman Serapat.
Sementara itu, Kiai Liman Serapat tidak harus bekerja sekeras lawannya. Ia tidak perlu berloncatan, berguling dan berputaran menghadapi asap lawannya. Tetapi Kiai Liman Serapat dapat menghembusnya dengan kekuatan anginnya dan menghanyutkannya naik ke udara. Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Kiai Liman Serapat selanjutnya adalah lebih sering menyerang lawannya dengan ilmunya sekaligus dengan wadagnya.
Sebenarnyalah bahwa lawannya semakin mengalami kesulitan menghadapi ilmu dan kemampuan Kiai Liman Serapat. Namun ketika Kiai Liman Serapat memberinya peringatan agar menyerah, orang itu menggeram,
“Kau kira siapa aku he? Liman Serapat, kau jangan terlalu sombong dengan ilmu yang tidak lebih dari hembusan seorang yang menghidupkan api diperapian. Kau tentu tahu apa yang dapat dilakukan oleh Sangga Langit Kinatelon. Aku yang tertua di antara kami bertiga. Karena itu, kau jangan terjebak oleh kesombonganmu sendiri, sehingga kau akan terkapar mati di arena ini.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Liman Serapat, “dua orang saudaramu telah tidak berdaya. Kenapa kita tidak lebih baik berbicara di antara kita.”
“Liman Serapat. Kau harus mati. Kedua orang anak muda yang ternyata membawa sepasang pusaka yang sedang diperebutkan itu juga harus mati,” geram orang itu.
Kiai Liman Serapat tidak lagi mempunyai kesempatan. Lawannya telah menyerangnya semakin garang. Tetapi dengan demikian, maka lawannya itu pun telah memancing Kiai Liman Serapat untuk bertempur semakin keras pula. Karena itu, maka sejenak kemudian, lawannya itu seakan-akan tidak lagi mendapat kesempatan untuk menyerang. Hembusan angin prahara yang dilontarkan oleh ilmu Kiai Liman Serapat menjadi semakin deras.
Dengan demikian maka tekanan Kiai Liman Serapat atas lawan-lawannya itu pun terasa semakin lama menjadi semakin berat. Namun memang tidak terlintas di hati lawannya itu untuk menyerah. Karena itu, ketika serangan Kiai Liman Serapat menjadi semakin berat, maka lawannya itu pun telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang lain kecuali ilmunya.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka mula-mula orang itu telah menghamburkan asapnya yang kemerahan. Sementara Kiai Liman Serapat menghembus asap itu, maka lawannya telah meloncat berguling keluar dari garis hembusan Kiai Liman Serapat. Tetapi ia tidak begitu saja menghindar. Tiba-tiba saja ia telah melontarkan paser-paser kecil ke arah Kiai Liman Serapat diluar garis hembusan anginnya mengarah lambung.
Kiai Liman Serapat tidak mengira sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan yang demikian. Ia mengira bahwa lawannya meloncat untuk menghindari serangan angin yang mengurai asapnya. Namun ternyata diluar garis hembusan ilmunya, paser-paser kecil telah meluncur dengan cepatnya. Kiai Liman Serapat yang terkejut telah berusaha untuk menghindar. Dua buah paser sempat dihindari. Tetapi paser yang ketiga telah benar-benar mengenai lambungnya.
Kemarahan Kiai Liman Serapat telah memuncak. Karena itu, maka ia pun telah mengkesampingkan kemungkinan penyelesaian yang lebih baik dengan lawannya yang dianggapnya licik itu. Dengan demikian, maka Kiai Liman Serapat tidak memikirkan apapun lagi selain membinasakan lawannya. Paser yang mengenai lambungnya itu tentu beracun. Orang itu tapa ragu-ragu berusaha membunuhnya. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak boleh menjadi ragu-ragu.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, serta menahan sakit di lambungnya, maka Kiai Liman Serapat telah menghentakkan ilmunya. Hembusan prahara yang kuat telah melanda lawannya yang telah berhasil menghunjamkan paser di lambung Kiai Liman Serapat.
Kemenangan kecil itu telah membuat lawan Kiai Liman Serapat itu menjadi semakin garang. Ketika prahara itu datang melandanya, maka dengan tangkas ia telah meloncat. Sekali lagi ia berhasil keluar dari garis serangan lawannya. Sekali lagi ia berusaha untuk meluncurkan serangan dengan paser-pasernya.
Tetapi orang itu terkejut. Ketika ia siap melemparkan paser-paser kecilnya, maka sebuah pisau belati panjang telah meluncur ke arahnya. Demikian cepat dan tiba-tiba diluar dugaannya. Karena itu, maka orang itu tidak sempat mengelak. Ia hanya sempat melontarkan sebuah paser ketika ia terdorong selangkah surut. Terdengar keluhan tertahan.
Kemudian orang itu telah terhuyung-huyung jatuh di tanah. Pisau belati itu benar-benar tertancap di dadanya. Di saat-saat terakhir, orang itu masih juga tidak percaya bahwa pisau yang hanya sebuah itu mampu mengenainya. Sedangkan serangan angin yang berhembus secepat praharapun sempat dihindarinya.
Tetapi orang itu tidak dapat menghindari satu kenyataan, bahwa pisau itu memang sudah tertancap di dadanya. Bahkan menyentuh jantungnya, sehingga orang itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi untuk hidup. Sementara itu sebuah paser yang terlepas dari tangannya, ternyata tidak mengenai sasarannya, meskipun hampir saja menyambar kening. Sejenak Kiai Liman Serapat termangu-mangu. Namun ia masih mendekat dan meyakinkan bahwa lawannya memang sudah mati.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekatinya. Mereka pun saling berpandangan sejenak ketika mereka mendekati tubuh yang terbujur itu. Mati.
“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” desis Kiai Liman Serapat sambil meraba paser yang masih tertanam di lambungnya. “Tolong,” katanya kepada anak-anak muda itu, “cabut paser ini. Paser ini beracun. Untunglah bahwa sejak semula aku telah mengenakan penangkal racun itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak ragu. Tetapi Mahisa Murti terpaksa melakukannya meskipun sebenarnya ia agak segan, karena ia sadar, bahwa Kiai Liman Serapat, tentu akan merasa kesakitan demikian paser itu dicabut. Tetapi Mahisa Murti pun sadar, bahwa hal itu harus dilakukannya.
Sebenarnyalah, demikian paser itu dicabut, maka Kiai Liman Serapat telah menahan kesakitan yang sangat. Tidak saja di bagian tubuhnya yang terluka. Tetapi badannya seakan-akan telah menjadi panas. Darahnya di seluruh tubuhnya rasa-rasanya menjadi mendidih karenanya.
Sebenarnyalah, demikian paser beracun itu dicabut, maka perlawanan di seluruh tubuhnya atas racun itu telah mendesak darah yang beracun untuk memancar keluar. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba saja dari lukanya itu darah telah mengalir. Mula-mula nampak kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu menjadi merah segar.
Sejalan dengan itu, maka rasa sakit di tubuh Kiai Liman Serapat pun telah berkurang. Semakin banyak darahnya mengalir, rasa-rasanya tubuhnya menjadi semakin dingin. Namun Kiai Liman Serapat juga tidak mau kehabisan darah. Karena itu, setelah darahnya menjadi wajar, ia pun telah minta Mahisa Murti menaburkan obat di atas luka itu. Obat yang selalu dibawa oleh Kiai Liman Serapat. Demikian obat itu ditaburkan di atas luka yang tidak terlalu besar itu, maka luka itu pun telah menjadi pampat.
Baru kemudian, Kiai Liman Serapat memperhatikan seluruh medan. Diperhatikan orang-orang yang berada di luar arena, menyaksikan pertempuran itu. Orang-orang yang bagaikan membeku karena sebagian dari mereka tidak mengira bahwa Kiai Liman Serapat, pedagang gerabah itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Namun dua orang yang menemuinya di kedai itu telah mengenalinya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Meskipun demikian, mereka masih heran juga melihat bagaimana Kiai Liman Serapat menghabisi lawannya. Tidak kurang menariknya bagi orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengalahkan lawannya. Meskipun lawan-lawannya terluka, tetapi yang telah membuat mereka tidak berdaya bukan luka-lukanya itu. Tetapi seakan-akan mereka telah kehabisan tenaga dan bahkan tidak berdaya lagi untuk berdiri.
Kiai Liman Serapat yang telah kehilangan lawannya itu pun kemudian sempat melihat kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kiai Liman Serapat masih melihat kemungkinan untuk hidup bagi mereka.
“Tugas kita sudah selesai untuk hari ini,” berkata Kiai Liman Serapat, “sayang, bahwa perjalanan kalian telah terhambat di sini. Tetapi kalian harus memperhatikan luka-luka di tubuh kalian meskipun kalian juga memiliki penangkal racun yang kuat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya, “Lalu bagaimana dengan tubuh yang terkapar itu. Baik yang terbunuh maupun yang masih tetap hidup?”
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita berbicara dengan perempuan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun telah mengikuti Kiai Liman Serapat mencari perempuan yang dianggap telah membuat persoalan di kedai itu.
Ternyata perempuan itu menjadi ketakutan dan bersembunyi di ruang dalam. Meskipun ia mempunyai beberapa orang upahan untuk menjaga dan melindungi rumah serta tempat pemberhentian pedati dan sekaligus penginapan itu, namun tidak seorang pun di antara mereka yang mengganggu ketiga orang itu.
Nyi Rantam menjadi gemetar. Ia tidak pernah merasa ketakutan seperti saat itu. Biasanya ia dengan berani menghardik orang-orang yang tidak patuh kepadanya atau orang yang berniat buruk di rumah itu. Bahkan kadang-kadang Nyi Rantam justru mempunyai tingkah yang aneh-aneh.
Namun saat itu ternyata ia telah berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan seandainya semua orang upahannya dikerahkan, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa atas orang-orang yang berilmu tinggi itu. Karena itu, ketika Kiai Liman Serapat mencarinya, ia telah benar-benar merasa ketakutan. Tubuhnya menjadi dingin hampir membeku meskipun keringatnya membasahi tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat dan darahnya bagaikan berhenti mengalir.
Ketika Kiai Liman Serapat kemudian berdiri dihadapannya, maka perempuan itu telah bersimpuh sambil berkata patah-patah, “Ampun Kiai, ampun.”
Kiai Liman Serapat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau sudah puas? Di halaman rumahmu ini terkapar sesosok mayat. Dua orang masih mungkin dapat hidup. Mereka hanya terlalu lemah. Seleret luka yang tidak terlalu dalam. Kau bertanggung jawab atas semuanya itu. Jika yang masih hidup itu kemudian mati, maka kaulah yang bersalah.”
“Kenapa aku, Kiai?” bertaya perempuan itu.
“Kau yang membuat onar di sini. Kau mengandalkan orang-orang upahanmu. Kau anggap semua orang harus tunduk kepadamu. Kau telah memancing ketiga orang yang tergabung dalam Sangga Langit Kinatelon. Tiga orang saudara seperguruan itu telah kau bantai di sini,” berkata Kiai Liman Serapat.
“Aku tidak sengaja melakukannya Kiai,” berkata Nyi Rantam.
“Persetan dengan alasanmu,” berkta Kiai Liman Serapat, “sekarang aku akan pergi. Aku tidak akan menunggu uang itu. Aku akan minta uang kepadamu sebanyak uang yang harus aku terima itu. Kau besok dapat minta gantinya kepada orang yang berhutang kepadaku.”
“Tetapi...“ Nyi Rantam menjadi semakin berdebar-debar.
“Jangan membantah. Aku dapat menjadi liar karena aku sudah terlanjur membunuh hari ini. Jika aku tetap berada di sini, mungkin aku akan membunuh lagi. Membunuh dan membunuh. Jika hal itu terjadi, maka tempat ini tidak akan dikunjungi orang lagi,” berkata Kiai Liman Serapat.
Nyi Rantam tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian telah mengambil uang simpanannya dan diberikannya kepada Kiai Liman Serapat, seharga barang-barangnya yang terjual.
“Terima kasih,” berkata Kiai Liman Serapat, “kau tidak akan kehilangan. Aku akan berbicara dengan orang yang menyanggupi membayar harga daganganku besok. Jika ia ingkar, maka akulah yang akan membuat perhitungan.”
Nyi Rantam tidak menjawab. Sementara itu Kiai Liman Serapat berkata lebih lanjut, “Di hari-hari mendatang aku akan tetap datang kemari dengan barang-barang daganganku. Gerabah. Mungkin jenis yang baru dan lebih baik. Tetapi ingat, bahwa jika perlu aku tidak segan-segan membunuh. Karena itu, jangan ganggu aku. Aku juga tidak akan mengganggu orang lain. Aku akan berdagang dengan wajar, dan aku tidak akan merampok uang siapapun di sini meskipun hal seperti itu dapat saja aku lakukan.”
Nyi Rantam tidak berani menjawab. Kepalanya menunduk, seluruh tubuhnya masih saja terasa dingin. Sementara itu keringatnya telah membasahi seluruh lapisan pakaiannya.
Sementara itu Kiai Liman Serapat pun berkata, “Baiklah Nyi. Aku minta diri.”
Demikianlah, maka Kiai Liman Serapat pun telah minta diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Setelah menghubungi orang yang masih berhutang kepadanya. Kemudian juga Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping. Kiai Liman Serapat telah mempersilahkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk naik ke pedatinya, karena mereka kebetulan menuju ke arah yang sama meskipun hanya untuk beberapa ratus patok. Pada saat-saat, mereka memang harus berpisah.
Dalam pedati Kiai Liman Serapat sempat bertanya kepada Mahisa Murti, “Apakah kalian memerlukan uang untuk bekal di perjalanan?”
Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab, “Kebetulan tidak Kiai. Bekal kami masih cukup, karena kami mempergunakannya dengan hemat. Bahkan hampir tidak pernah, karena kebaikan orang-orang di sepanjang jalan. Jika kami menginap di banjar-banjar, maka kami telah mendapat minuman dan makan secukupnya.”
Kiai Liman Serapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berkata, “Aku telah mendapat keuntungan yang cukup dari penjualan gerabah itu. Aku membeli langsung kepada pembuatnya. Di sini aku mendapat pembeli yang cukup baik.”
“Terima kasih, Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami masih mempunyai persediaan.”
Kiai Liman Serapat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian apa boleh buat. Namun sebelum kita berpisah, maka di dalam pedati ini kalian dapat mengurus luka-luka kalian. Jangan kau remehkan luka-luka akibat asap yang kemerah-merahan itu. Racunnya cukup tajam. Meskipun kalian mempunyai penangkal yang kuat, tetapi panasnya api telah membakar kulit kalian. Karena selain racun dan bisa, asap itu membawa getaran panasnya api.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Ternyata ketiga orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Seorang telah terbunuh. Tetapi yang dua orang itu pada suatu saat akan sembuh. Jika mereka mendendam atas kekalahannya, maka mereka akan dapat menumpahkan dendamnya kepada siapa saja.
Kiai Liman Serapat yang melihat kerut dikening anak-anak muda itu dapat menduga, bahwa kedua anak muda itu sedang memikirkan kedua orang yang mereka tinggalkan. Karena itu maka Kiai Liman Serapat pun berkata, “Jangan hiraukan lagi kedua orang itu. Tanpa orang tertua di antara mereka, maka keberanian mereka akan lenyap. Meskipun seandainya saudara mereka yang tertua masih hidup, sedangkan mereka berhasil merebut senjata-senjata kalian, maka ketiga orang itu tentu akan saling bermusuhan. Bahkan mereka tentu akan saling membunuh untuk memperebutkan sepasang pusaka itu. Bahkan jika mereka pada suatu saat masih juga akan membalas dendam di tempat itu, maka aku masih sering datang ke tempat itu. Aku dapat ikut mengawasi mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan ikut mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama. Sedangkan Mahisa Amping sibuk dengan kendali pedati yang ditarik oleh dua ekor lembu itu. Nampaknya Mahisa Amping tertarik untuk bermain-main dengan dua ekor lembu yang menarik pedati itu.
Demikianlah, maka pedati itu berjalan perlahan-lahan. Suaranya berderak di atas bebatuan dijalan-jalan padukuhan. Ternyata Mahisa Murti dan saudara-saudaranya dapat ikut dalam pedati itu untuk waktu yang cukup lama. Namun akhirnya, mereka memang harus berpisah.bKiai Liman Serapat mempersilahkan anak-anak muda itu singgah di rumahnya. Tetapi anak-anak muda yang ingin segera sampai ke padepokannya itu terpaksa menolaknya.
“Maaf Kiai. Kami sudah terlalu lama pergi. Kami ingin segera kembali. Kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Kiai terhadap kami,” berkata Mahisa Murti.
“Siapa yang membantu kalian?” justru Kiai Liman Serapat bertanya, “bukankah justru kalian yang telah menolong kami?”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tertawa. Kiai Liman Serapat pun telah tertawa pula. Demikianlah, maka mereka pun akhirnya berpisah. Kiai Liman Serapat meneruskan perjalanannya kembali ke tempat tinggalnya. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat bersama-sama dengan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping meneruskan perjalanan mereka.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bermalam di sebuah banjar pedesaan. Seperti biasanya, mereka mendapat tempat yang cukup baik. Bahkan juga makan dan minum. Pagi-pagi mereka telah berbenah diri. Setelah mengucapkan terima kasih, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan. Mereka mulai menelusuri jalan-jalan panjang.
Bahkan kadang-kadang pematang. Ternyata perjalanan mereka sudah menyimpang arah yang harus mereka tuju, sehingga mereka harus melingkari sebuah daerah pebukitan sebagaimana yang sering mereka lakukan, sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya perjalanan mereka lama sekali mendekati sasaran.
Tetapi kadang-kadang mereka memang tidak sampai hati untuk membiarkan satu peristiwa terjadi sepanjang mereka mempunyai kesempatan untuk ikut serta membantu memecahkan persoalan yang terjadi. Kesewenang-wenangan dan kebenaran yang mereka lakukan atas sesama adalah pencerminan kasih dari yang Maha Agung.
Demikianlah maka kelima orang itu meneruskan perjalanan mereka. Mahisa Amping mempergunakan setiap kesempatan untuk menempa diri. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai bersungguh-sungguh memberikan tuntunan kepada anak itu. Tetapi mereka juga tidak melupakan Mahisa Semu dan Wantilan yang memperdalam ilmu pedang mereka.
Di perjalanan mereka tidak saja menolong orang-orang yang mengalami kesulitan seorang tua yang mengusung hasil sawahnya pulang. Perempuan tua yang memetik kacang panjang dan lembayung muda ternyata telah membawa hasilnya dalam sebuah bakul yang terlalu berat baginya.
“Kita berjalan searah, nek,” berkata Mahisa Amping. “Biarlah aku membawanya sampai ke sudut desa. Apakah nenek tinggal di desa itu?”
Perempuan tua itu memperhatikan Mahisa Amping dengan wajah yang berkerut. Oleh ketuaannya, tetapi juga oleh keheranannya.
Mahisa Amping tersenyum sambil mengambil alih bakul yang dibawa oleh perempuan tua itu. Katanya,” berikan bakul itu nek.”
“Kau siapa anak manis?” bertanya nenek tua itu.
“Kami semua ini adalah pengembara nek,” jawab Mahisa Amping, “kami mengembara dari satu padukuhan ke padukuhan lain, dari satu kabuyutan ke kabuyutan yang lain.”
“Oo,” nenek tua itu mengangguk-angguk, “apakah kalian tidak mempunyai tempat tinggal?”
Pertanyaan itu membingungkan Mahisa Amping. Namun ia menjawab, “Pengembara tidak memerlukan rumah nek. Kami bermalam di mana saja. Di banjar-banjar padukuhan. Di padang perdu atau di gubug-gubug di tengah sawah.”
“Ah,” nenek tua itu termangu-mangu sehingga langkahnya terhenti, “apakah kalian hidup seperti seekor burung yang hinggap di dahan-dahan kayu di malam hari? Sedangkan seekor burung pun membuat sarangnya di saat tertentu.”
Mahisa Amping menjadi semakin bingung, sehingga ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab, “Kami juga mempunyai tempat tinggal nek. Sebuah padepokan kecil. Tetapi kami memang sedang menjalani laku. Tapa ngrame. Namun kini kami telah berada di perjalanan kembali ke padepokan kami. Laku yang kami jalani sudah cukup lama, sehingga kami telah menemukan banyak pengalaman dalam hidup kami yang masih belum terlalu panjang ini.”
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika kalian mau, marilah, singgah di rumah nenek. Malam nanti kalian dapat tidur di rumah nenek. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan.”
“Nenek tinggal bersama kakek?” tiba-tiba saja Mahisa Amping bertanya.
Nenek itu tertawa. Ia berjalan sedikit bongkok meskipun kakinya masih nampak melangkah dengan ringan. Jawabnya, “Tidak ngger. Kakek sudah lama meninggal. Nenek tinggal sendiri di rumah peninggalan kakek.”
“Nenek tidak mempunyai anak?” bertanya Mahisa Amping.
Nenek tua itu mengusap kepala Mahisa Amping sambil menjawab, “Nenek mempunyai lima orang anak. Tiga orang meninggal ketika dilahirkan. Dua orang menjadi besar. Tetapi seorang meninggal ketika remaja. Seorang sempat menjadi dewasa. Tetapi Yang Maha Agung telah memanggilnya pula.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ia melihat wajah nenek itu menjadi buram. Mahisa Murti lah yang kemudian dengan cepat berkata, “Kami mohon maaf atas pertanyaan itu nek?”
“Oo,” nenek itu mencoba tersenyum. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan titik air matanya yang jatuh di pipinya yang mulai keriput. Namun nenek itu berkata selanjutnya, “Tetapi aku menerima keadaan ini dengan hati terbuka. Anak-anak itu adalah kurnia Yang Maha Agung. Adalah hak Yang Maha Agung pula untuk mengambilnya kembali.”
Mahisa Murti tidak menyahut lagi. Tetapi ia berkata di dalam hati, “tetapi kelima-limanya.”
Rasa-rasanya memang mustahil bahwa hal seperti itu harus terjadi. Tetapi jika itu merupakan satu kenyataan, maka seseorang tidak dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu nenek itu berkata lagi, “Kakeklah yang nampaknya sulit menerima keadaan. Hatinya sudah semakin rapuh ketika anak kami yang telah menjadi remaja dipanggil oleh Yang Maha Agung. Ketika anak kami yang menjadi dewasa dipanggil pula menghadap-Nya, maka hatinya benar-benar menjadi hancur. Ia kehilangan keseimbangan jiwanya sehingga ia kehilangan kesadarannya. Tetapi tidak lama. Saat itu telah datang. Kakek telah dipanggil pula.”
“Kami semua ikut menyatakan duka cita nek. Meskipun hal itu agaknya sudah agak lama terjadi,” berkata Mahisa Murti.
“Kalian nampaknya anak-anak muda yang berpandangan luas. Barangkali itu adalah hasil dari laku yang kalian jalani,” berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi kepalanya ikut menunduk ketika perempuan tua itu menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam diri. Mahisa Amping membawa bakul berisi kacang panjang dan daun lembayung di dalam bakul di atas kepalanya. Tetapi justru ialah yang berjalan di paling depan.
Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka perempuan tua itu berkata sambil mengangkat wajah, “Itulah padukuhan tempat tinggalku.”
Mahisa Murti dan yang lain pun mengangguk-angguk. Namun wajah orang tua itu tidak terlalu muram lagi. Bahkan ia mencoba tersenyum lagi sambil berkata kepada Mahisa Amping, “Singgah di rumah nenek barang sebentar ngger. Nenek akan menyuguhkan minuman hangat bagimu dan saudara-saudaramu.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berpaling kepada Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata, “Terima kasih nek. Lain kali jika kami lewat lagi di padukuhan ini, kami akan singgah.”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun nampak kekecewaan membayang diwajahnya. Bahkan dengan suara lembut ia berkata kepada Mahisa Amping, “Mampirlah Ngger. Sebentar saja. Aku akan senang sekali jika kau bersedia singgah.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada orang tua itu.
Namun orang tua itu pun kemudian berkata sekali lagi kepada Mahisa Murti, “Ngger. Aku mohon Angger bersedia meskipun hanya sebentar.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah nek.Tetapi kami hanya dapat singgah sebentar karena kami harus melanjutkan perjalanan kami.”
Orang tua itu tersenyum. Katanya dengan wajah yang cerah, “Sebentarpun telah cukup.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka memang tidak sampai hati menyakiti hati orang tua itu sehingga Mahisa Pukat itu pun tidak membantah.
Demikianlah maka iring-iringan itu pun telah mendekati padukuhan di hadapan mereka. Mahisa Amping yang membawa bakul berisi kacang panjang daun daun lembayung muda masih berada di depan.
“Rumahku ada di pinggir jalan ini,” berkata nenek tua itu.
Sebenarnyalah, ketika jalan yang mereka lalui itu memasuki padukuhan di hadapan mereka, maka tidak terlalu jauh dari mulut lorong itu terdapat rumah nenek tua yang mempersilahkan mereka singgah itu.
Anak-anak muda itu memang terkejut. Mereka tidak mengira bahwa rumah nenek tua itu cukup besar dan berhalaman luas. Bahkan terhitung rumah yang baik dan memberikan kesan rumah seorang yang berada.
“Marilah. Ini adalah rumahku peninggalan kakekmu,” berkata perempuan tua itu.
“Nenek hanya sendiri?” Mahisa Amping bertanya lagi.
“Ya. Tetapi kenapa?” perempuan tua itu justru bertanya.
“Nenek tidak takut di malam hari?” Mahisa Amping masih juga bertanya.
Nenek tua itu tersenyum. Pertanyaan itu adalah pertanyaan anak-anak. Jawabnya, “Tentu tidak anak manis. Nenek tidak pernah merasa takut tinggal di rumah ini seorang diri karena rumah ini sudah aku huni sejak rumah ini baru didirikan. Apalagi rumah ini telah dibuat oleh kakekmu sendiri. Orang-orang padukuhan ini hanya membantunya saja. Kakekmulah yang merancang dan melaksanakan sendiri.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Namun keheranan memang tidak dapat mereka sembunyikan lagi. Ukiran yang rumit terdapat pada tiang-tiang yang berjajar di pendapa bagian tengah. Bagian bawah dan atas tiang-tiang itu terdapat ukiran. Demikian pula pada tiang di atas. Bahkan sampai pada tiang-tiang yang paling tepipun terdapat ukiran di bagian atas dan bawahnya.
Demikianlah, maka nenek tua itu telah mempersilahkan anak-anak muda itu untuk duduk di pendapa. Dengan nada rendah ia berkata, “Silahkan anak-anak muda. Aku akan pergi ke dapur sebentar. Hanya merebus air. Aku ingin menjamu kalian dengan minuman panas. Aku memang tidak mempunyai apapun, lagi kecuali air dan gula kelapa.”
“Sebenarnya nenek tidak usah repot sekali. Silahkan nenek duduk saja di sini. Nenek dapat berceritera tentang rumah ini. Itu sudah merupakan suguhan yang menarik,” berkata Mahisa Murti.
“Ah,” nenek tua itu menyahut, “tentu tidak. Apalagi aku memang ingin menjamu kalian dengan minuman hangat.”
Perempuan itu pun kemudian telah melangkah masuk lewat pintu pringgitan sambil membawa bakul yang berisi kacang dan daun lembayung muda itu.
Sementara perempuan tua itu berada di dapur, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat ukiran-ukiran pada gebyok yang memisahkan pringgitan dengan ruang tengah. Gebyok yang juga penuh dengan ukiran yang rumit. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah melihat-lihat ukiran pada tiang tengah dari pendapa itu.
“Prada,” desis Wantilan.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ukiran pada tiang dipendapa itu telah diwarnai dengan prada emas dibagian bawah dan atas. Sehingga memberikan kesan, bahwa rumah itu adalah rumah seorang yang memang kaya raya. Meskipun warna prada-nya sudah mulai memudar. Namun masih memberikan warna yang cerah dan berwibawa.
“Siapakah sebenarnya nenek tua itu,” desis Mahisa Semu.
Wantilan termangu-mangu. Namun ia pun berdesis, “Satu kehidupan yang aneh dari seorang perempuan tua yang pernah mengalami satu masa yang jaya. Rumah ini adalah saksinya.”
Mahisa Semu lah yang kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Mungkin pernah terjadi sesuatu yang mengerikan atas kedua anaknya yang sempat tumbuh menjadi besar namun yang akhirnya harus dipanggil lebih dahulu oleh Yang Maha Agung.”
Wantilan tidak menjawab. Namun ia pun telah melihat-lihat pula ukiran penyekat di pringgitan diikuti oleh Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Melihat ukiran yang rumit itu, baik yang terdapat pada bagian atas dan bagian bawah tiang di pendapa serta ukiran pada sekat di pringgitan itu, maka anak-anak muda itu dapat menduga bahwa nenek tua itu pernah menjadi seorang yang kaya dalam hidupnya. Mungkin di saat suaminya masih hidup. Kemudian sepeninggal suaminya, maka kekayaannya telah menjadi susut, sehingga akhirnya, hampir habis sama sekali. Menilik keadaannya saat itu, maka nenek tua itu adalah orang yang harus menjalani hidup sederhana.
Beberapa saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sempat mengamati gebyok itu. Mereka pun kemudian telah duduk kembali di pendapa ketika perempuan tua itu keluar lagi sambil membawa minuman hangat bagi kelima orang tamunya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengerutkan dahinya ketika mereka melihat mangkuk yang dipergunakan oleh nenekitu untuk menyuguhkan minuman itu. Mangkuk yang mahal dan yang sangat halus buatannya. Namun agaknya mangkuk itu tidak terpelihara dengan baik, sehingga nampak berkerak dan di bibirnya terdapat cacat-cacat kecil karena benturan-benturan disaat mangkuk itu dicuci.
Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak bertanya tentang mangkuk-mangkuk itu. Mereka pun tidak bertanya pula tentang ukiran pada bagian atas dan bawah dari tiang di pendapa serta pada gebyok penyekat pringgitan itu. Mereka takut, bahwa pertanyaan mereka akan dapat mengungkit lagi luka di hati perempuan tua itu.
Namun ternyata perempuan tua itu sendirilah yang berceritera tentang rumah itu dengan segala isinya. Memang satu ceritera yang sangat menarik.
“Kami, maksudku aku dan suamiku semula adalah orang yang sangat miskin. Kami berdua telah menjalani laku untuk dapat menjadi keluarga yang kaya. Kami telah mencari kekayaan dengan cara yang tidak wajar. Kami menemui seorang berilmu hitam yang sanggup membantu kami,” berkata perempuan tua itu. Lalu katanya pula, “Kami telah dibawa ke sebuah goa yang gelap. Kami tidak melihat apapun kecuali hitam semata-mata. Yang kami dengar hanyalah suara seseorang yang bertanya tentang kepentingan kami datang kepadanya. Kami berterus terang bahwa kami ingin menjadi kaya. Dan suara itu kemudian bertanya kepada kami, apakah kami bersedia memberikan anak-anak kami yang bakal lahir kepadanya, karena suara itu menurut pengakuannya sangat merindukan anak. Kami yang terbius oleh keinginan untuk menjadi seorang yang kaya menyatakan tidak berkeberatan,” perempuan itu berhenti sejenak, lalu katanya kemudian dengan nada rendah. “Itu adalah awal dari bencana yang menimpa keluarga kami. Kami memang menjadi kaya raya. Tidak ada orang di padukuhan ini yang dapai menyamai kekayaan kami. Ki Bekelpun tidak. Juragan ternak yang sebelumnya sudah kaya itu, telah tidak mampu lagi mengimbangi kekayaan kami. Kami dapat membuat rumah yang besar dan bagus ini, yang menurut penilaianku adalah rumah yang paling bagus di seluruh padukuhan ini. Namun hidup kami sama sekali tidak berbahagia. Anak-anak kami seorang demi seorang meninggal dunia. Ada yang meninggal disaat dilahirkan. Ada yang meninggal setelah remaja. Bahkan ada yang meninggal ketika sudah dewasa. Peristiwa itu telah mengguncangkan jiwa kami. Suamiku yang merasa sangat bersalah menjadi kehilangan akal warasnya. Bahkan kemudian meninggal dunia, aku masih bertahan untuk tetap hidup memelihara rumah seisinya. Tetapi semakin lama aku menjadi semakin melarat. Akhirnya aku merasa bahwa hidupku adalah hidup yang paling miskin di dunia. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa sama sekali. Anak tidak, kekayaan pun tidak. Yang ada tinggal bekas-bekasnya. Sementara orang-orang lain telah terlanjur menjauhi aku. Tetangga-tetangga menjadi benci kepadaku, karena aku pernah menjadi orang yang sangat sombong di padukuhan ini justru karena aku kaya raya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mendengarkan ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, titik-titik air mata telah mengembun di mata nenek tua itu.
Namun tiba-tiba ia mencoba tersenyum, “Aku terima hukuman ini dengan tabah. Aku berharap bahwa dengan menjalani hukuman ini dosaku akan berkurang. Setidak-tidaknya aku masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki cara hidupku meskipun sudah sangat terlambat. Namun aku telah berusaha untuk berbuat sesuatu yang baik dengan sisa-sisa yang masih ada padaku. Namun agaknya orang-orang di sekelilingku sudah terlanjur tidak percaya lagi kepadaku. Mereka menganggap bahwa disaat aku masih menjadi miskin, maka aku berusaha untuk mendekati tetangga-tetanggaku.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Mereka melihat kesungguhan di mata nenek tua itu, sehingga mereka percaya tentang apa yang telah dikatakannya itu. Selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya termangu-mangu mendengar ceriteranya itu, maka nenek tua itu pun mempersilahkan, “Minumlah. Tentu sudah menjadi dingin.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun telah menghirup minuman hangat itu. Wedang sere dengan gula kelapa. Memang terasa segar sekali. Namun selagi mereka minum minuman hangat itu, nenek tua itu bertanya, “Siapakah anak manis ini? Apakah saudara kalian atau kebetulan saja bersama-sama dengan kalian?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Amping pun menjadi bingung. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang menyahut, “Anak ini adalah adik kami bertiga. Sementara yang seorang itu adalah paman kami. Paman Wantilan.”
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti meneruskan, “Namaku adalah Mahisa Murti. Saudara-saudaraku adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Yang paling kecil adalah Mahisa Amping.”
Sejenak nenek tua itu merenung. Namun kemudian ia pun berkata, “Sebenarnya aku ingin anak manis ini tinggal bersamaku di sini. Aku tidak akan mengambilnya sebagai anak. Karena setiap anakku akan diambilnya meskipun aku sudah menjadi miskin lagi.”
Mahisa Amping bergeser mendekati Mahisa Murti diluar sadarnya. Seakan-akan ia ingin mengatakan, bahwa ia tidak ingin ditinggalkan di rumah itu, meskipun nampaknya perempuan tua itu adalah perempuan yang baik.
Sebelum menjawab, perempuan itu ternyata telah tanggap. Karena itu maka dengan wajah yang muram ia berkata, “Baiklah. Aku menyadari, bahwa sulit bagiku untuk mendapatkan kawan hidup di rumah ini meskipun seorang anak-anak sekalipun.”
“Nenek,” sahut Mahisa Murti, “apakah nenek tidak dapat mengambil salah seorang anak tetangga di padukuhan ini untuk tinggal bersama nenek di sini? Tentu saja juga tidak nenek ambil sebagai anak jika nenek memang mempunyai kepercayaan bahwa anak itu akan diambilnya juga.”
Nenek itu menggeleng. Katanya, “Tidak seorang pun di padukuhan ini yang mau mengenalku lagi. Orang-orang yang melihat aku lewat jalan itu jika aku pergi ke sawah, mereka sama sekali tidak mau menyapa.”
“Jadi siapakah yang mengerjakan sawah dan ladang nenek?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku harus mengupah orang-orang dari padukuhan lain. Itu pun dengan upah yang lebih mahal dari biasaya, sehingga hasil sawahku tinggal tersisa sekedarnya saja,” jawab nenek tua itu.
“Beruntunglah nenek masih mempunyai beberapa kotak sawah,” berkata Mahisa Pukat.
“Seperti rumah ini, maka sawahku telah aku pertahankan,” jawab nenek tua itu, “tetapi juga tidak terlalu luas. Namun cukup untuk makan sehari-hari.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa kasihan kepada perempuan itu. Ia benar-benar hidup sendiri. Jika saat akhir itu tiba, apakah yang dapat dilakukannya? Jika perempuan itu menjadi semakin lemah tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Tidak dapat bangkit dari tempat pembaringannya, dan tidak dapat merebus air dan tidak lagi dapat menanak nasi. Ternyata yang lain juga sedang memikirkannya. Tetapi mereka tidak segera dapat memecahkan persoalan.
Karena tidak ada di antara mereka yang menyahut, makaperempuan itu pun kemudian berkata, “Silahkan, minumlah. Hanya itu yang dapat aku hidangkan. Aku sedang merebus ketela pohon. Mudah-mudahan kalian sempat menunggu sampai masak.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Untuk tidak mengecewakan perempuan tua itu, maka mereka-pun telah menghirup minuman mereka. Mengambil beberapa potong gula kelapa yang dihidangkan sendiri tanpa dimasukkan ke dalam mangkuk minuman.
“Silahkan. Aku akan melihat ketela pohon itu,” berkata perempuan tua itu sambil bangkit.
Sepeninggal perempuan tua itu, Mahisa Murti berkata, “Apa yang dapat kita lakukan atasnya? Disatu saat ia memang memerlukan seseorang.”
“Kita belum bertanya kepadanya, apakah ia tidak mempunyai saudara,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya lebih lanjut, “Namun jika ia memang tidak mempunyai seorang saudara pun, apakah bukan sebaiknya kita berbicara dengan Ki Bekel di padukuhan ini?”
“Kita dapat mencobanya,”sahut Mahisa Pukat, “tetapi jika persoalannya menjadi panjang, apakah tidak semakin menghambat perjalanan kita.”
“Tetapi kita tidak akan sampai hati meninggalkan perempuan itu dalam keadaannya,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia memandang Mahisa Amping yang kebingungan, sehingga Mahisa Amping merasa seakan-akan Mahisa Pukat menyalahkannya, karena ia sudah menolong perempuan tua itu sehingga mereka terpaksa singgah di rumah itu serta mengetahui persoalannya.
Tetapi yang dikatakan oleh Mahisa Pukat justru lain. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Untunglah kita justru singgah barang sebentar, sehingga kita mengetahui kesulitan nenek tua itu. Mudah-mudahan kita dapat menemukan jalan keluar baginya.”
Ketika nenek tua itu kemudian keluar lagi sambil membawa ketela pohon rebus yang masih mengepul, maka anak-anak muda itu telah menyempatkan bertanya apakah nenek tua itu mempunyai seorang atau lebih saudara atau sanak kadang yang bukan saudara kandung sekalipun.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Saudara kandung aku sudah tidak punya lagi.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa perempuan tua itu benar-benar hidup seorang diri. Tidak ada sanak saudara dan tidak ada anak seorang pun yang akan dapat menjadi sandaran di masa-masa yang paling sulit dalam hidupnya. Saat menghadapi hari-hari terakhir.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Maaf nek. Tetapi apakah kami boleh mengetahui, apakah rencana nenek selanjutnya di dalam saat-saat menjelang hari-hari terakhir nenek?”
Orang tua itu memang terkejut mendengar pertanyaan itu. Wajahnya menjadi semakin muram. Bahkan kemudian kepalanya menunduk lesu.
“Maaf nek,” dengan serta merta Mahisa Murti menyambung, “maksud kami, barangkali kami dapat membantu untuk memecahkan persoalan yang nenek hadapi sekarang.”
Tetapi nenek tua itu berkata dengan nada rendah hampir tidak terdengar, “Apa yang dapat kalian lakukan ngger? Aku sudah tersisih. Aku tidak lagi diakui kehadiranku oleh tetangga-tetanggaku. Aku sudah dianggap mati selagi aku masih hidup. Karena itu tidak akan ada orang yang mempedulikan jika kau kemudian benar-benar mati, karena mereka menganggap hal itu sudah terjadi.”
“Tetapi kenyataannya nenek masih hidup,” sahut Mahisa Pukat.
“Bagi tetangga-tetanggaku hal itu tidak berarti apa-apa,” jawab nenek itu.
“Tidak nek,” sahut Mahisa Murti, “tidak seorang pun dapat meniadakan kenyataan ini. Nenek masih hidup. Tetapi nenek memang tidak mempunyai sanak kadang lagi.”
“Lalu apa arti dari hidupku yang tersisih ini bagi orang lain?” bertanya perempuan tua itu.
“Nek,” berkata Mahisa Murti, “jika nenek setuju, apakah aku boleh berhubungan dengan Ki Bekel? Ki Bekel adalah pemimpin dari padukuhan ini. Kita harus menemukan pemecahan. Nenek masih harus tetap dianggap hidup dan sebenarnya hadir dalam padukuhan ini.”
“Tidak akan ada artinya ngger,” jawab nenek tua itu, “aku mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi aku kira kalian tidak usah bersusah payah memikirkan keadaanku. Aku persilahkan angger makan ketela rebus itu. Sisanya dapat angger bawa, barangkali dapat angger jadikan bekal di jalan. Ketela itu adalah ketela yang aku ambil sendiri dari kebun di belakang rumah ini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memberikan penjelasan atas maksudnya itu, “Nek. Kami hanya akan mencoba. Tentu saja dengan kemungkinan berhasil dan kemungkinan gagal. Tetapi, tidak ada salahnya jika kami berusaha untuk berbuat sesuatu bagi hari-hari nenek yang semakin lama tentu menjadi semakin sempit.”
Nenek tua itu menggeleng. Katanya, “Anak-anak muda. Aku sudah tidak mengharapkan sesuatu. Aku sudah mempersiapkan kuburan di longkangan sebelah kiri. Jika saatnya mendekat, aku harus sudah bersiap masuk ke dalam lubang yang sudah aku sediakan. Aku tidak tahu, apakah akan ada orang yang menimbuni mayatku dengan tanah. Tetapi aku juga sudah menyiapkan rencana lain yang mungkin lebih baik. Di ruang tengah aku sudah menyiapkan tempat yang paling baik untuk membakar diri pada saat-saat terakhir.”
“Nenek,” potong Mahisa Murti, “hal itu tidak perlu terjadi. Tetapi perkenankan aku bertanya, jika nenek tidak lagi mempunyai sanak kadang, rumah dan sawah yang nenek miliki akan nenek wariskan kepada siapa?”
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Ambillah. Kalian adalah orang terakhir yang masih berusaha untuk berhubungan dengan baik di rumah ini dengan aku. Tidak ada orang lain yang pantas untuk menerima warisan ini daripada kalian.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih nek. Jika demikian, maka biarlah aku berbicara dengan Ki Bekel. Jika nenek memang sudah merelakan hak nenek ini nenek serahkan kepada kami, maka kami akan menyerahkannya kepada Ki Bekel. Mungkin padukuhan ini sudah mempunyai banjar. Tetapi tentu rumah ini jauh lebih baik dari banjar padukuhan itu.”
“Ngger. Jika demikian apakah aku harus pergi dari rumah ini? Maksudku, warisan akan dimiliki setelah aku mati. Bukan begitu tiba-tiba,” berkata nenek itu.
“Tidak nek. Aku mengerti. Maksudku, aku akan berbicara dengan Ki Bekel, bahwa kelak, sepeninggal nenek, rumah ini akan diserahkan kepada padukuhan ini. Tetapi sudah tentu, bahwa nenek harus diterima kembali sebagai warga padukuhan lainnya. Nenek harus hidup dalam suasana yang sama dengan orang lain di padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti.
Nenek tua itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Nek. Sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami akan berusaha. Mungkin gagal, tetapi kami harap usaha ini berhasil. Dengan demikian maka nenek tidak lagi terasing di sini. Setidak-tidaknya Ki Bekel berjanji untuk merawat nenek pada saat-saat terakhir nanti.”
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ada secercah harapan nampak di sinar matanya. Namun kemudian suaranya menjadi serak, “Apakah masih ada kesempatan?”
...Ada bagian cerita yang hilang di sini...
Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menuju ke seketheng setelah ia mempersilahkan kedua anak muda itu menunggu di serambi gandok. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu. Mereka tidak yakin bahwa mereka akan dapat bertemu dengan Ki Bekel yang sebelumnya memang belum berjanji. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa orang itu telah keluar lagi dari seketheng langsung menemui kedua orang anak muda itu.
“Aku sudah berbicara dengan Ki Bekel,” berkata orang itu.
“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Murti.
“Ki Bekel akan menemui kalian,” jawab orang itu, “tunggu sebentar di pendapa.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah dipersilahkan duduk di pendapa menunggu Ki Bekel yang akan segera menemui mereka.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, seorang yang juga sudah melampaui setengah abad datang menemui mereka. Namun nampaknya tubuh Ki Bekel yang sudah berambut putih itu masih cukup tegar. Ketika Ki Bekel kemudian duduk bersama kedua orang anak muda itu, maka ia pun segera bertanya tentang keperluannya.
Mahisa Murti pun telah menceritakan maksud kedatangannya dalam hubungannya dengan nenek tua itu. Tentang kesediaannya memberikan rumah dan sawahnya sepeninggalnya.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia seakan-akan tidak percaya mendengar keterangan Mahisa Murti itu. Bahkan hampir diluar sadarnya Ki Bekel itu berkata, “Anak muda. Apakah pendengaranku tidak salah? Atau barangkali kau memang tidak mengenalnya sehingga kau begitu mudah mempercayainya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Pukat kemudian menjelaskan, “Ki Bekel. Apa yang akan dilakukan oleh seorang perempuan tua menjelang saat-saat ajalnya? Ia tersisih dan sama sekali tidak dapat berhubungan dengan siapapun di padukuhan ini. Bahkan ia telah menyediakan sebuah lubang untuk mengubur dirinya sendiri atau jika tidak mungkin, ia telah menyediakan setumpuk kayu bakar diruang tengah untuk membakar dirinya sendiri. Jika ia masih mampu menyalakan api, berarti perempuan itu masih hidup. Karena itu, maka ia terpaksa membunuh dirinya untuk mendapatkan kesempurnaan disaat matinya.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Anak anak muda. Ia adalah orang yang paling kikir di seluruh dunia. Selembar daun melinjonya pun tidak boleh diambil oleh tetangganya. Apalagi sebutir kelapanya yang melimpah itu. Ketika seorang tetangganya digigit ular, maka ia bertahan mati-matian untuk tidak memperbolehkan sebutir kelapa hijaunya dipetik untuk tetangganya itu. Untunglah bahwa akhirnya didapatkan juga kelapa hijau di tempat lain meskipun agak jauh, sementara seorang pawang ular sempat mengobatinya. Tetapi peristiwa itu tidak akan pernah dilupakan orang.”
“Ki Bekel. Apakah Ki Bekel bersedia bertemu langsung dengan perempuan itu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Keteranganmu meyakinkan aku, bahwa perempuan itu merasa bahwa hari-hari terakhirnya sudah dekat. Sebagai seorang Bekel maka aku memang berkewajiban untuk memperhatikannya, apapun yang pernah dilakukannya sebelumnya. Tetapi sudah tentu aku tidak akan dapat datang ke rumahnya. Jika demikian, maka aku akan dituduh oleh beberapa orang bahwa aku telah menghindari sikap orang-orang padukuhan ini kepadanya.”
“Ki Bekel jangan pergi seorang diri,” berkata Mahisa Pukat, “Ki bekel dapat berbicara dengan bebahu padukuhan ini. Kemudian Ki Bekel dapat mengajak orang-orang yang berpengaruh untuk membuktikan sikap orang tua itu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Pendapatmu memang masuk akal. Rumah perempuan tua itu adalah rumah yang tidak ada duanya. Bahkan aku belum pernah melihat rumah sebaik itu. Jika rumah itu benar-benar diserahkan kepada padukuhan ini dan kemudian dapat dijadikan banjar padukuhan, maka banjar padukuhan ini akan menjadi banjar padukuhan yang terbaik di seluruh Singasari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti sempat juga bertanya, “Apakah kita sudah berada diluar wilayah Kediri?”
“Tentu anak-anak muda,” jawab orang itu, “kita berada di daerah Singasari. Semula daerah ini adalah daerah Pakuwon Tumapel sebelum Tumapel menjadi besar.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekel-pun berkata, “Dan bukankah Kediri juga sudah dipersatukan dengan Singasari?”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat berkata, “Bahkan membentang meliputi daerah yang lebih luas lagi.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Jadi, apakah Ki Bekel bersedia datang kerumah itu?”
“Sebaiknya aku akan berbicara dengan para bebahu. Besok aku akan mengambil keputusan. Karena itu, datanglah besok pagi-pagi kemari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Itu berarti bahwa mereka harus bermalam lagi. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Besok pagi-pagi aku akan datang lagi.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah minta diri. Mereka berdua kemudian diantar Ki Bekel sampai regol rumahnya. Namun, demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi, beberapa orang telah dengan tergesa-gesa masuk ke halaman rumah Ki Bekel sebelum Ki Bekel sempat naik ke pendapa.
“Ada apa?” bertanya Ki Bekel kepada mereka.
Seorang di antara mereka telah melangkah mendekati Ki Bekel sambil bertanya, “siapakah kedua orang yang datang kemari tadi Ki Bekel?”
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah. Duduklah.”
“Terima kasih Ki Bekel. Kami hanya ingin tahu, siapakah yang baru saja datang kemari. Dua orang anak muda,” desis salah seorang dari orang-orang yang datang itu.
“Mereka adalah dua orang pengembara,” jawab Ki Bekel, “mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, sehingga mereka berjalan saja menelusuri jalan-jalan yang panjang.”
“Apa maksud kedatangan mereka kemari? Bukankah mereka berada di rumah hantu tua itu?” berkata yang lain.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba menahan diri agar kata-katanya tidak justru menjadi membingungkan. “Ya,” berkata Ki Bekel kemudian, “mereka memang berada di rumah perempuan tua itu. Mereka datang kemari justru karena mereka membawa pesan dari perempuan tua itu.”
“Apa yang dikehendaki oleh iblis betina itu?” bertanya seorang yang lain.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Duduklah. Kita akan berbicara. Aku justru ingin para bebahu datang sekarang. Jika tidak berkeberatan, salah satu atau dua orang di antara kalian, panggillah para bebahu yang lain. Aku akan berbicara dengan mereka. Kalian dapat mengikuti pembicaraan kami, karena pembicaraan itu bukan pembicaraan rahasia.”
Orang-orang itu termangu-mangu pula di halaman. Namun kemudian dua orang di antara mereka menyatakan kesediaan mereka untuk memanggil para bebahu. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun segera meninggalkan, halaman rumah Ki Bekel dan dengan tergesa-gesa menuju ke rumah para bebahu.
Ternyata para bebahu padukuhan itu pun tanggap, bahwa tentu ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan oleh Ki Bekel. Karena itu, maka mereka pun telah bersedia untuk segera datang ke rumah Ki Bekel.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, di rumah Ki Bekel itu telah diadakan pertemuan yang tiba-tiba saja. Ki Bekel tidak berkeberatan beberapa orang telah ikut mendengarkannya. Dengan jelas Ki Bekel menerangkan niat nenek tua itu untuk mewariskan rumah dan sawahnya kepada padukuhan jika ia meninggal nanti.
Beberapa orang memang menjadi termangu-mangu. Para bebahu ternyata telah berbeda pendapat. Bahkan seorang di antara mereka bertanya, “Ki Bekel. Apakah rumah itu bukan rumah hantu yang akan dapat membunuh orang-orang yang tinggal atau sering berada di rumah itu?”
“Tentu tidak,” berkata Ki Bekel, “rumah itu adalah rumah biasa. Bukankah yang mula-mula sekali menyebabkan perempuan itu terpisah dari kalian karena perempuan itu sangat kikir? Baru kemudian, setelah kalian semuanya tidak menyukainya, maka timbul dongeng yang aneh-aneh tentang perempuan tua itu.”
“Tetapi anak-anaknya telah mati,” sahut salah seorang bebahu, “perempuan itu dengan suaminya telah mencari kekayaan dengan menghubungi orang berilmu hitam.”
“Ya. Aku juga mendengarnya,” berkata Ki Bekel, “tetapi semuanya itu telah ditebus dengan anak-anaknya. Bahkan suaminya pun telah meninggal agaknya karena sebab lain. Bukan karena ilmu hitam itu. Suaminya menyesali perbuatannya dengan sangat mendalam, sehingga syaraf-syarafnya menjadi terganggu.”
“Dan iblis betina itu sama sekali tidak merasa menyesal,” sahut salah seorang bebahu.
“Ia merasa sangat menyesal. Tetapi ia tidak mempunyai cara untuk menyatakannya,” jawab Ki Bekel.
“Tetapi kenapa ia tidak mati seperti suaminya?” bertanya bebahu yang lain.
“Perempuan ini mempunyai ketabahan hati yang sangat tinggi,” jawab Ki Bekel, “namun akhirnya ia memang tidak dapat mengelak ketika hari-hari tuanya membuatnya semakin rapuh.”
“Apakah Ki Bekel bertanggung jawab jika terjadi sesuatu atas para penghuni padukuhan ini setelah rumah itu kelak kita warisi?” bertanya seorang bebahu.
“Aku yakin, rumah itu tidak akan mengganggu kita. Apalagi kita akan dapat berbicara dengan perempuan tua itu, agar ia menyerahkannya dengan ikhlas atau tidak sama sekali,” jawab Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu memang sedang memikirkan kemungkinan bahwa rumah itu akan dijadikan banjar yang paling baik. Namun pembicaraan itu masih memerlukan waktu. Ki Bekel beberapa kali menyatakan, bahwa ia bersedia bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena rumah itu dianggap sebagai rumah hantu.
“Bagiku, rumah itu tidak ada bedanya dengan rumah yang lain. Jika suami isteri itu pernah mencari kekayaan dengan ilmu hitam, maka yang dihasilkan adalah kekayaan itu. Rumah itu hanya akibat saja bahwa ia telah menjadi sangat kaya. Adapun tebusannya adalah anak-anaknya dan barangkali suami nenek tua itu. Karena itu, maka semuanya telah lunas. Rumah itu adalah rumah biasa. Sawahnya juga sawah biasa. Jika hutang keluarga itu kepada pemilik ilmu hitam itu belum lunas, maka perempuan tua itu mati juga, maka belum tentu kalau hal itu disebabkan karena hutang keluarga itu kepada pemilik ilmu hitam itu. Sementara itu, betapa kuatnya orang memiliki ilmu hitam, namun ilmu itu tidak akan dapat mengalahkan maksud baik orang sepadukuhan. Juga niat baik nenek tua itu,” berkata Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu yang semula ragu-ragu menjadi semakin mantap. Mereka sudah membayangkan bahwa padukuhan mereka akan mempunyai banjar yang terbaik di seluruh negeri.
Dalam pada itu, maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Nah, jika demikian, maka biarlah besok kita berbicara dengan anak-anak muda itu lagi. Sebaiknya kita bertemu langsung dengan nenek tua itu. Kita akan dapat menjajagi isi hatinya yang sesungguhnya. Tidak dibuat-buat, ditambah atau dikurangi oleh anak-anak muda itu.”
“Aku setuju Ki Bekel. Kita harus bertemu langsung dengan perempuan itu. Biarlah orang banyak menjadi saksi pembicaraan kita,” berkata salah seorang bebahu.
“Jika demikian, biarlah besok pagi bukan anak-anak muda itu saja yang datang kemari. Biarlah perempuan itu pula dibawa agar kita dapat berbicara langsung,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi siapakah yang akan berbicara dengan mereka?” bertanya salah seorang dari bebahu itu.
Para bebahu itu saling berpandangan. Ternyata tidak seorang pun yang bersedia datang ke rumah itu untuk bertemu dengan anak-anak muda itu. Sehingga akhirnya Ki Bekel memutuskan, bahwa besok jika anak-anak muda itu datang, biarlah mereka kembali lagi menjemput perempuan tua itu.
“Tetapi aku minta para bebahu dan saudara-saudara yang mendengarkan pembicaraan ini memberitahukan kepada semua orang, agar mereka tidak berbuat sesuatu terhadap perempuan itu. Baik dengan kata-kata apalagi dengan perbuatan. Biarlah ia datang ke rumahku dengan tenang dan mulai meyakini bahwa ia adalah sesama kita,” berkata Ki Bekel.
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang yang mendengarkan pembicaraan itu. Sejenak kemudian maka Ki Bekel telah mengakhiri pertemuan itu. Tetapi Ki Bekel minta di keesokan harinya, mereka agar datang lagi untuk dapat berbicara langsung dengan perempuan tua itu.
Ternyata bahwa rencana itu dapat berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh Ki Bekel. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang pagi itu, maka Ki Bekel minta agar nenek tua itu dibawa serta. Karena para bebahu ingin berbicara langsung dengannya. Semula perempuan tua itu menolak. Ia mengira bahwa kehadirannya di rumah Ki Bekel itu akan merupakan satu peristiwa yang paling pahit dalam hidupnya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan, bahwa mereka berdua akan menyertainya dan akan melakukan apa saja bagi keselamatannya. Bukan saja keselamatan wadagnya, tetapi juga perasaannya.
Akhirnya nenek tua itu benar-benar hadir di rumah Ki Bekel. Demikian pula para bebahu. Sementara itu diluar pendapa, di halaman rumah Ki Bekel, orang-orang padukuhan itu telah berkerumun untuk ikut menyaksikan, apa yang akan dibicarakan oleh Ki Bekel dengan perempuan tua itu. Pembicaraanpun kemudian berlangsung sebagaimana sudah disiapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Perempuan itu akan bersedia menyerahkan rumahnya dan sawahnya kepada padukuhan itu sepeninggalnya.
“Aku tidak akan dapat membawa rumah, halaman dan sawahku,” berkata perempuan tua itu, “bahkan seandainya aku benar-benar membakar diriku diruang tengah, maka rumah itu seluruhnya tentu akan terbakar juga. Karena itu, maka aku akan merelakannya sesudah aku dipanggil kembali oleh Yang Maha Agung.”
“Kau benar-benar ikhlas?” bertanya Ki Bekel.
“Sudah aku katakan Ki Bekel, bahwa aku tidak akan dapat membawanya. Karena itu, aku berkata dengan sesungguhnya,” jawab nenek tua itu.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Agaknya segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Karena itu, maka ia-pun telah menyampaikan keputusan itu kepada para bebahu dan orang-orang yang berada di halaman.
“Kita akan menerima niat baik itu dengan tangan terbuka,” berkata Ki Bekel, “namun kita pun akan menerima kehadirannya di antara kita semuanya.”
Perempuan itu pun telah menyatakan untuk minta maaf kepada Ki Bekel, para bebahu dan para tetangganya, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyakiti hati mereka. “Pada saat terakhir aku baru menyadari. Karena itu aku mohon kalian dapat memaafkannya,” berkata perempuan tua itu.
Ki Bekel dan para bebahu mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang yang mendengarnya. Agaknya mereka pun dapat menerima permintaan maaf itu. Apalagi ketika mereka sempat melihat dengan jelas perempuan tua yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi itu. Berjalan dengan terbongkok-bongkok serta wajah yang pucat. Kerut-merut yang semakin dalam diwajahnya menandakan bahwa umurnya yang menjadi semakin tua sehingga wadagnya tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.
“Baiklah nek,” berkata Ki Bekel kemudian, “kami akan menerima nenek kembali dalam lingkungan keluarga padukuhan ini. Kami mengucapkan terima kasih atas kerelaan nenek untuk memberikan rumah dan sawah nenek bagi padukuhan ini kelak. Tentu saja kami tidak akan pernah merasa tergesa-gesa. Panjang pendek umur nenek tergantung sekali kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar keputusan itu ikut merasa gembira. Perempuan tua itu tidak akan terasing lagi, sehingga di saat terakhir, tetangga-tetangganya akan dapat membantunya.
Setelah semua pembicaraan dianggap selesai, maka nenek tua itu pun telah mohon diri untuk kembali ke rumahnya, sementara Ki Bekel menyatakan kesediaannya untuk setiap kali melihat keadaan nenek tua itu.
“Setidak-tidaknya keluargaku akan memperhatikanmu, nek,” berkata Ki Bekel, “aku atau salah seorang dari keluargaku setiap kali akan datang datang ke rumah nenek. Sementara itu aku akan mencari orang yang akan dapat menggarap sawah nenek, sehingga nenek tidak perlu mengupah orang lain dengan upah yang tinggi.”
“Terima kasih Ki Bekel,” jawab nenek tua itu, “rasa-rasanya kapan saja aku dipanggil menghadap, aku sudah menjadi lebih ikhlas lagi.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian nenek tua itu telah minta diri kembali ke rumahnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengantarnya kembali sampai ke rumahnya. Tetapi sekali lagi perempuan tua itu menahannya. Dengan sungguh-sungguh ia minta Mahisa Murti dan saudara-saudaranya bermalam semalam lagi di rumahnya.
“Aku mohon dengan sungguh-sungguh. Aku tidak pernah membayangkan bahwa anak-anak muda seperti kalian ini. Karena itu jangan menolak,” berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak dapat menolak. Karena itu, maka mereka masih akan bermalam satu malam lagi di rumah nenek tua itu.
“Jangan tidur di gandok,” berkata nenek tua itu, “tidur sajalah di ruang dalam.”
Kelima orang itu pun benar-benar telah tidur di ruang dalam, sementara itu nenek tua itu tidur di bilik kanan. Menjelang tidur, maka nenek tua itu telah sempat menghidangkan makan nasi putih dengan sayur daun lembayung dan kacang panjang.
Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, maka sikap hati-hati kelima orang itu tidak pernah pudar. Meskipun mereka berada di dalam rumah yang rapat, berdinding kayu tebal, namun mereka telah mengatur diri, siapa yang akan berjaga-jaga. Empat orang akan mendapat gilirannya masing-masing. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Sedangkan Mahisa Amping seperti biasanya, dibiarkan saja tidur nyenyak semalaman.
Sampai terdengar suara kentongan di tengah malam, tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Meskipun sebelumnya ada juga sedikit terbersit kegelisahan dalam hubungannya dengan ilmu hitam. Namun ternyata mereka tiak mendapat gangguan apapun juga. Tetapi sedikit lewat tengah malam, mereka telah mendengar pintu samping diketuk orang. Benar-benar suara ketukan yang keras, sehingga perempuan tua yang tidur di bilik kanan itu pun mendengarnya.
Terbongkok-bongkok perempuan itu keluar dari biliknya. Memang ada kesan ketakutan. Dengan suara gagap ia bertanya, “siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini.”
“Entahlah nek,” jawab Mahisa Murti.
Namun suara ketukan itu terdengar lagi, semakin keras. Ketika perempuan tua itu pergi ke pintu, maka Mahisa Murti telah mencegahnya, “Jangan nek. Berbahaya. Tetapi apakah nenek tidak dapat menduga sama sekali, siapakah yang akan datang menghubungi nenek untuk keperluan apapun?”
“Aku sama sekali tidak dapat membayangkan, siapa yang akan datang kemari,” jawab nenek tua itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah aku yang membuka nek.”
Perempuan itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia setuju. Tetapi ia berpesan, “Hati-hati Ngger.”
Mahisa Murti lah yang kemudian membuka selarak. Memang ia sangat berhati-hati. Sementara Mahisa Pukat telah mendekatinya pula, sedangkan yang lain berdiri di sebelah menyebelah nenek tua itu. Demikian selarak pintu itu diangkat, maka pintu itu pun telah didorong keras sehingga terbuka. Beberapa orang telah melangkah memasuki ruang dalam. Mahisa Murti melangkah surut. Ia melihat dari sorot mata orang-orang yang memasuki ruangan itu, agaknya mereka mempunyai persoalan yang penting.
“Kau?” desis perempuan tua itu.
“Ya bibi,” jawab seorang di antara mereka, seorang yang bertubuh tinggi tegap.
“Kenapa kau datang malam-malam begini sehingga mengejutkan kami? Marilah. Duduklah,” berkata nenek tua itu.
Seorang di antara orang-orang yang datang itu telah mengatupkan daun pintu rumah itu. Sedangkan orang bertubuh tinggi tegap itu menjawab, “Terima kasih bibi. Aku tidak akan terlalu lama di sini.”
“Jadi apa keperluanmu?” bertanya perempuan itu.
“Bibi. Selama ini aku tidak pernah mengganggu bibi. Aku telah tinggal di tempat yang cukup jauh. Dengan demikian maka pada bibi seharusnya tidak akan timbul kesan, bahwa aku tidak sabar menunggu saat-saat terakhir dari hidup bibi,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap itu, “namun tiba-tiba saja hari ini aku mendengar bahwa bibi telah menyerahkan rumah dan sawah bibi kepada padukuhan ini.”
“Ya,” jawab perempuan tua itu, “aku memang sudah menyerahkan rumah ini dan sawahku kepada padukuhan ini sepeninggalku nanti.”
“Tetapi apakah bibi sudah memikirkan masak-masak?” bertanya orang itu.
“Sudah. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Menurut pendapatku, pada akhirnya aku memang harus melepaskan rumah dan sawahku. Jika aku meninggal, maka aku tidak akan sempat membawa rumah sawahku,” jawab nenek tua itu.
“Tentu itu bukan berarti bahwa bibi harus menyerahkan rumah ini seisinya serta sawah peninggalan paman itu kepada padukuhan,” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Lalu kepada siapa? Seandainya aku menjualnya, aku juga tidak akan dapat mempergunakan uangnya. Aku tidak memerlukannya lagi,” jawab nenek tua itu.
“Bibi lupa, bahwa paman masih mempunyai kemanakan?” berkata orang itu.
“Oo,” perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau datang untuk menyatakan dirimu bahwa kau adalah kemanakan pamanmu? Sudah tentu dalam hubungannya dengan warisan, begitu?”
“Ya,” jawab orang itu tegas, “aku tidak ingin berbelit-belit. Aku memang datang untuk mengambil warisanku dari pamanku.”
Nenek tua itu melangkah maju. Namun ia pun kemudian terhenti karena Mahisa Pukat justru mendekatinya. “Ngger. Siapakah kau sebenarnya, tentu kau mengetahui. Bahwa kau bukan kemanakanku, pamanmu di sini, itu pun kau ketahui. Kenapa kau masih juga ingin mempersoalkan warisan? Sedangkan rumah ini akan menjadi tempat yang menjadi kebutuhan orang banyak. Tempat ini akan dijadikan banjar padukuhan untuk menggantikan banjar yang lama, yang terlalu kecil dan sudah tidak menampung lagi kegiatan anak-anak muda di padukuhan ini,” berkata nenek tua itu.
“Aku hampir tidak percaya bahwa bibi telah melakukan hal itu. Bibi adalah orang yang sangat kikir. Menurut perhitunganku bibi akan membiarkan semua harta benda ini tetap di tempatnya tanpa dapat disentuh orang lain sampai bibi meninggal. Karena itu aku tidak berusaha untuk dengan cepat-cepat datang mengurusnya, sampai akhirnya ternyata aku salah duga. Ternyata bibi telah berusaha memberikan rumah itu kepada padukuhan untuk dijadikan banjar,” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Karena itu, jangan kau singgung-singgung lagi tentang warisan itu, karena kau memang tidak berhak. Kau adalah anak muda yang memang dekat dengan pamanmu. Tetapi kau bukan kemanakannya. Kau tidak mempunyai saluran darah sama sekali dengan pamanmu,” berkata nenek tua itu.
“Aku adalah anak dari saudara sepupu paman,” berkata anak muda itu.
“Kau anak tirinya. Kau perlakukan ibu tirimu dengan cara yang buruk sekali sehingga sepupu pamanmu itu meninggal karena ia tidak tahan menderita,” berkata nenek tua itu.
“Ia adalah ibu tiri yang buruk pula,” geram anak muda itu.
“Jika kau anggap ibu tirimu itu buruk sekali, kenapa kau masih datang untuk berbicara tentang warisan? Pamanmu, saudara sepupu ibu tirimu yang buruk itu, tentu juga orang yang menurut penilaianmu buruk pula. Karena itu, lupakan saja tentang warisan itu, karena apa-apa yang aku punya sudah aku serahkan kepada Ki Bekel,” berkata nenek tua itu.
“Tidak semudah itu bibi mengusir aku,” berkata anak muda itu, “jika aku tidak dapat mewarisi rumah, halaman dan sawah, maka berikan benda-benda berharga peninggalan paman itu.”
Nenek itu menggeleng. Katanya, “Semua sudah habis. Semua telah dihisap kembali oleh ilmu hitam itu. Tetapi setelah kelima anakku meninggal demikian pula pamanmu, maka agaknya kerja ilmu hitam untuk menghisap kembali kekayaan yang pernah diberikannya telah berhenti. Rumah dan sawah itu masih tetap aku miliki sampai sekarang.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu berkata, “Aku tidak percaya. Bibi mencoba membohongi aku.”
Nenek tua itu menyahut, “Jika kau tidak percaya, silahkan melihat isi rumahku ini. Jika ada sesuatu yang pantas untuk kau bawa, bawalah.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia telah memerintahkan orang-orangnya untuk melihat seluruh bagian dari rumah itu. Ruang-ruangnya dan bilik biliknya, termasuk bilik gandok dan dapur.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan berdiri di sekitar nenek tua yang berada di ruangdalam. Mahisa Amping yang gelisah berdiri di belakang nenek tua itu.
“Tidak ada yang akan mereka ketemukan,” berkata nenek tua itu, “aku benar-benar sudah tidak mempunyai apapun juga.”
Tetapi orang yang mengaku kemanakannya itu menggeram, “Masih harus dibuktikan. Jika mereka tidak mendapat apa-apa, maka kami akan membawa bibi beserta kami sampai bibi mau mengatakan, di mana barang-barang berharga itu bibi simpan.”
“Aku tidak berkeberatan,” jawab nenek tua itu, “bagiku sisa hidup sudah tidak berarti apa-apa lagi. Bawalah aku ke mana kau suka. Aku tahu bahwa akhir dari semua itu adalah kematian. Dan aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian.”
“Kematian memang tidak menakutkan bibi,” jawab orang itu, “tetapi saat-saat menjelang kematian itulah yang harus diperhitungkan.”
Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan dapat menderita sakit apapun juga. Jika rasa sakit sedikit saja aku alami, maka aku akan menjadi pingsan. Tentu tidak akan menyenangkan bagi kalian.”
Orang bertubuh tinggi tegap itu menggeram. Namun ia pun berkata, “Aku tahu. Bibi telah mengupah orang-orang ini untuk melindungi bibi. Tetapi jangan berharap bibi akan dapat diselamatkan.”
“Jangan kalian libatkan anak-anak muda ini,” berkata nenek tua itu, “mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan persoalan kita. Mereka datang untuk berteduh malam ini. Itu saja.”
“Bibi mencoba menipu aku lagi. Apakah bibi menganggap bahwa aku tidak dapat menilai sikapnya itu?” sahut orang itu.
Tetapi nenek tua itu berkata, “Itu adalah satu sikap yang serta merta dari orang-orang yang berpikir wajar. Mereka melihat sikap kalian yang garang. Maka adalah wajar sekali jika mereka berusaha untuk melindungi seorang nenek yang lemah. Tetapi aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu aku akan minta agar mereka menghindarkan dirinya dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi.”
“Bibi kira bibi dapat menjebak aku?” bertanya orang itu.
“Tidak. Tetapi aku berkata sesungguhnya. Jangan libatkan mereka,” minta nenek tua itu, “kalian dapat berbuat apa saja atasku. Tetapi jangan terhadap anak-anak muda yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini. Mereka telah berbuat baik terhadapku. Karena itu, maka aku tidak boleh menyeret mereka ke dalam kesulitan.”
“Persetan dengan ceritera itu,” jawab orang itu, “siapa-pun mereka, jika menghalangi niatku, aku akan menyingkirkannya. Bahkan untuk selama-lamanya.”
Nenek tua itu menjadi tegang. Katanya, “Kau tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Sudah aku katakan, anak-anak muda itu sama sekali tidak akan menghalangimu.”
Mahisa Murti yang berusaha untuk menahan diri, hampir saja ikut berbicara, memotong kata-kata nenek tua itu. Tetapi sebelum Mahisa Murti berkata sesuatu, orang-orang yang mencari benda-benda berharga di semua ruang yang ada di rumah itu telah berdatangan.
“Apa yang kalian temukan?” bertanya orang bertubuh tinggi tegap itu.
“Tidak ada,” jawab, salah seorang dari mereka.
Orang bertubuh tinggi tegap itu memandang nenek tua itu dengan sorot mata bagaikan membara. Dengan geram ia berkata, “Jadi bibi benar-benar ingin mempermainkan aku?”
“Sudah aku katakan. Aku sudah tidak mempunyai apapun juga,” berkata nenek tua itu, “selanjutnya terserah kepada kalian. Aku sudah siap untuk mati atau mengalami apa saja.”
“Aku terpaksa membawa bibi. Aku tidak akan segera membunuh bibi. Tetapi sudah aku katakan, bibi akan tinggal bersamaku sampai bibi bersedia menunjukkan simpanan bibi itu,” berkata orang itu. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Jangan ikut campur. Persoalan ini adalah persoalan keluarga. Jika kau sudah terlanjur mendapat upah dari bibi, maka biarlah aku yang mengembalikannya, karena aku akan segera menerima warisan yang tidak terhitung jumlahnya.”
Mahisa Murti tidak dapat menahan getar jantungnya, sehingga karena itu, maka ia pun telah menjawab, “Ki Sanak. Aku belum mengenalmu. Nenek tua ini pun baru aku kenal kemarin. Karena itu, memang bukan sepantasnya aku mencampuri persoalan kalian. Jika benar persoalan ini adalah persoalan keluarga. Tetapi karena persoalannya adalah persoalan perampokan dan penculikan, maka adalah hak setiap orang untuk mencampurinya.”
Wajah orang bertubuh tinggi tegap itu menjadi marah. Kemarahan yang membakar jantungnya hampir saja tidak terkekang sehingga orang itu hampir saja meloncat menerkam Mahisa Murti. Tetapi agaknya ia masih mempunyai pertimbangan lain, sehingga ia hanya beringsut selangkah.
Namun ia menggeram, “Setan. Jadi kau benar-benar orang upahan? Jika demikian, kami tidak akan dapat berbuat lain. Apalagi kalian telah menjadi keras kepala. Meskipun demikian, sekali lagi kami memberimu kesempatan. Tinggalkan tempat ini dan jangan turut campur persoalan keluarga kami.”
Nenek tua itu pun menjadi tegang. Karena itu, maka katanya kepada Mahisa Murti, “Ngger. Sebaiknya kalian memang tidak turut campur. Kalian tidak usah melindungi aku apapun yang terjadi atasku. Aku hanya berpesan, jika aku benar-benar dibawa oleh anak itu. Sampaikan kepada Ki Bekel, bahwa rumah ini harus segera dipergunakan sebagai banjar padukuhan. Ambil semua yang ada. Rumah dan sawah.”
“Tutup mulutmu nenek tua,” bentak orang bertubuh tinggi tegap itu, “jika demikian, maka tidak akan ada pertimbangan lain bagi kalian semuanya. Sebelum kalian sempat bertemu dengan Ki Bekel, maka kalian akan mati.”
“Tidak. Kau tidak boleh menyentuhnya. Mereka tidak tahu menahu persoalan yang sedang kita bicarakan,” berkata nenek tua itu.
“Aku tidak peduli. Tetapi pesan bibi adalah tantangan bagiku. Bibi dengan sengaja ingin berkata kepadaku, bahwa aku tidak akan mempunyai kesempatan apapun juga. Karena itu, maka tantangan itu harus aku jawab. Aku akan membunuh semua orang yang menjadi orang upahan bibi itu,” orang bertubuh tinggi itu hampir berteriak.
“Mereka bukan orang upahan. Bukan,” nenek tua itu pun berteriak.
“Baik. Berteriaklah. Halaman rumah ini terlalu luas, sehingga tidak akan ada orang yang mendengar teriakan bibi di dalam rumah yang besar dan rapat ini,” geram orang itu, “sementara itu, aku akan segera menyelesaikan orang-orang upahan yang tidak tahu diri itu, apapun yang bibi katakan tentang mereka.”
“Tidak. Jangan singgung mereka,” perempuan tua masih berusaha.
Tetapi Mahisa Pukat ternyata sudah tidak sabar lagi. Karena itu maka ia pun menyahut, “Nek. Biarlah mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan atas kami. Tetapi nenek jangan mengira bahwa kami akan membiarkan diri kami diperlakukan seperti itu.”
“Ngger,” potong perempuan tua itu.
Namun Mahisa Pukat cepat menyahut pula, ”beri kami kesempatan untuk bersikap sebagaimana seorang laki-laki, nek. Kami bukan sekedar ingin mencari lawan. Semua usaha untuk mencari penyelesaian dengan baik telah nenek lakukan. Tetapi orang-orang itu tidak mau mendengar semua keterangan nenek tentang keadaan nenek sendiri, juga tentang keadaan kami. Karena itu, jika mereka berkeras untuk membuat penyelesaian dengan caranya, maka kami tidak berkeberatan nek.”
“Tetapi, tetapi...“ nenek itu menjadi gagap.
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap yang mengaku kemanakan suami nenek itu berkata, “Katakan kepada mereka bibi, siapakah aku sebenarnya. Meskipun sudah tidak ada kesempatan lagi bagi mereka, tetapi biarlah mereka mengenal aku sebelum saat mereka mati.”
Nenek tua itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Tidak perlu, nek. Nenek tidak perlu mengatakan kepadanya tentang orang itu. Aku tidak perlu mengetahui siapakah orang yang harus aku selesaikan, jika memang terbukti ia melakukan kesalahan.”
“Persetan,” orang bertubuh tinggi tegap itu hampir saja meloncat menyerang.
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Jangan di sini. Sebaiknya kita berkelahi di luar.”
“Kau ingin bertempur di halaman agar jika ada peronda yang berkeliling padukuhan sempat melihat kalian dan membantu kalian?”
“Kami tidak ingin berkelahi di halaman depan. Tetapi kami dapat saja di halaman belakang untuk menghindari agar tidak ada orang yang turut campur,” jawab Mahisa Murti.
Orang bertubuh tinggi tegap itu memang menjadi semakin marah melihat sikap Mahisa Murti. Namun ia pun harus berpikir melihat sikap lawannya yang nampak meyakinkan itu. “Tetapi demikian itu adalah sikap-sikap orang upahan.” berkata orang bertubuh tinggi tegap itu dalam hatinya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah berkata, “Marilah. Kita akan pergi ke halaman belakang.”
Namun nenek tua itu segera berkata, “Jangan. Kalian tidak perlu bertempur.”
“Sudahlah nek,” berkata Mahisa Murti, “apapun yang nenek lakukan, kami akan bertempur. Jika kami bertempur melawan orang-orang itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan nenek. Kami muak melihat sikapnya, sehingga kami ingin berkelahi. Itu saja.”
Nenek itu menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Murti telah mempersilahkan, “Marilah.”
...Ada bagian cerita yang hilang di sini...
Bahkan keduanya menjadi semakin lama semakin gelisah. Anak muda yang mengaku pengembara itu ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka keduanya menjadi semakin berhati-hati. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk segera mengakhiri perlawanan anak muda itu. Tetapi semakin tinggi mereka meningkatkan ilmu dan kemampuan mereka, maka anak muda itu pun menjadi semakin garang. Geraknya semakin cepat dan semakin tidak dapat diimbangi oleh kedua orang lawannya.
Tetapi, kedua lawannya itu tidak cepat menyerah. Keduanya kemudian telah berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak anak muda itu dengan senjata mereka. Seorang dari mereka telah mencabut pedangnya yang besar dan panjang, sementara yang seorang lagi telah mengurai seutas rantai baja yang diujungnya diberi bandul baja pula sebesar kepalan tangan dengan duri-duri kecil namun tajam.
Sebentar kemudian, maka kedua orang itu telah bertempur dengan putaran senjata masing-masing. Meskipun senjata keduanya berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya mampu bekerjasama dengan baik dan sangat berbahaya bagi Mahisa Murti.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus berloncatan menghindari serangan-serangan yang semakin berbahaya itu. Ayunan baja berduri sebesar kepalan tangan itu seakan-akan selalu mengejarnya. Sementara setiap kali ia berusaha keluar dari putaran rantai itu, ujung pedang yang panjang telah mematuk menggapainya.
Mahisa Murti memang merasa terdesak oleh senjata-senjata lawannya yang sangat berbahaya itu. Bahkan sekali-sekali sentuhan angin telah menerpa kulitnya, sehingga Mahisa Murti semakin menyadari, bahwa senjata lawan-lawan mereka itu sangat berbahaya. Beberapa kali Mahisa Murti memang harus berloncatan mengambil jarak. Tetapi sepasang senjata yang berbeda itu rasa-rasanya selalu memburunya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus meningkatkan kecepatan geraknya agar senjata-senjata lawannya itu tidak berhasil mengoyakkan kulitnya. Tetapi lawan-lawannya yang merasa telah berhasil mendesaknya itu telah menghentakkan kemampuan mereka pula. Mereka memang berniat untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda itu, agar mereka segera dapat membantu kawan-kawan mereka yang lain, yang harus bertempur seorang melawan seorang.
Namun sementara itu, orang yang bertubuh tinggi tegap yang berhadapan dengan Mahisa Pukat itu pun telah bersenjata pula. Dengan tangkasnya kedua belah tangannya telah mempermainkan sepasang potongan besi baja yang tidak terlalu panjang, yang dihubungkan dengan seutas rantai baja pula. Kedua potongan besi baja itu diputarnya seperti baling-baling. Namun kemudian sebuah di antaranya dipeganginya dengan tangan kirinya, sementara yang lain diputarnya dengan tangan kanan.
Mahisa Pukat menyadari, bahwa jenis senjata itu adalah jenis senjata yang sangat berbahaya. Ketika ia sempat melihat sekilas, maka seorang di antara lawan Mahisa Murti itu pun bersenjata rantai, tetapi dengan bandul yang berbeda. Bukan sebatang tongkat pendek, tetapi besi baja sebesar kepalan tangan.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun mulai berloncatan mundur. Tongkat baja yang sepasang itu berputaran dan sekali-sekali menyambar Mahisa Pukat dengan cepatnya. Namun kemudian rantai itu terjulur lurus, melontarkan sepotong baja itu bagaikan anak panah. Ternyata lawan Mahisa Pukat itu memang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana dikatakan oleh perempuan tua itu.
Tongkat bajanya memang semakin lama menjadi semakin berbahaya bagi Mahisa Pukat. Putaran tongkat itu semakin lama menjadi semakin cepat. Sementara itu sepasang tongkat itu mampu bergerak dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Sekali melayang menyambar kening. Kemudian menebas mendatar mengarah ke leher. Namun kemudian terjulur mematuk dengan cepatnya. Bahkan sekali-sekali kedua ujung rantai itu berputaran menyambar berganti-ganti.
Mahisa Pukat yang mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki lawannya itu pun kemudian merasa perlu pula mempersenjatai diri. Karena itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tanpa berjanji lebih dahulu telah menarik senjata mereka hampir bersama-sama. Lawan Mahisa Pukat dan kedua lawan Mahisa Murti terkejut melihat senjata anak-anak muda itu. Dengan serta merta mereka telah bergeser surut.
Ternyata mereka tidak mengenali senjata itu sebelumnya. Tetapi demikian mereka melihatnya, maka mereka menjadi berdebar-debar. Baja yang seakan-akan berwarna kehijau-hijauan itu sudah merupakan pertanda, bahwa senjata itu adalah senjata pilihan. Apalagi mereka menyadari, anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka mereka memang harus membuat perhitungan yang matang untuk dapat mengakhiri pertempuran dengan baik.
Ketika senjata Mahisa Pukat mulai menyentuh senjata lawannya, maka lawannya telah terkejut karenanya. Orang bertubuh tinggi tegap itu sama sekali tidak menduga, bahwa sentuhan senjata anak muda itu akan berakibat buruk baginya. Tangannya menjadi pedih karena ia harus mempertahankan senjatanya yang hampir terpental menyentuh pedang anak muda itu. Tongkat bajanya yang diayunkannya dengan sekuat tenaganya sama sekali tidak dihindari oleh Mahisa Pukat, tetapi langsung ditangkisnya dengan pedangnya.
Orang bertubuh tinggi tegap itu mengeram. Kemarahan yang bertimbun diubun-ubunnya itu menjadi semakin menekannya. Karena itu, maka orang itu benar-benar hampir kehilangan penalarannya karena perasaannya yang terguncang-guncang. Dengan segenap kemampuannya, serta usahanya untuk mengatasi rasa sakit ditangannya, maka orang itu telah mengayunkan senjatanya berputaran. Dua batang tongkat itu pun saling menyambar di udara, kemudian seolah-olah telah melibat Mahisa Pukat kedalamnya.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan tangkasnya ternyata ia masih mampu memukul, bukan saja menangkis serangan itu. Dengan cepat pedang Mahisa Pukat menyambar kedua batang tongkat baja yang dihubungkan dengan seutas rantai. Ketika kedua potong tongkat besi itu terlempar, maka rasa-rasanya kulit telapak tangan orang bertubuh tinggi tegap itu terkelupas karenanya.
Karena itu, maka dengan serta merta orang itu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Bahkan hampir diluar sadarnya orang itu telah menghembus telapak tangannya untuk mengurangi perasaan pedih yang menyengat.
Sementara itu Mahisa Pukat telah bersiap pula menghadapinya. Dengan langkah satu-satu Mahisa Pukat telah bergerak maju mendekatinya. Pedangnya yang bergetar ditangannya, nampak berkilat-kilat memantulkan samar-samar sinar dari kejauhan yang redup. Justru kehijau-hijauan. Lampu minyak di sudut-sudut rumah memancarkan cahaya yang lemah menjangkau arena pertempuran di kebun belakang itu. Namun tangkapan pandangan mata yang terlatih, mampu menembus kegelapan malam yang menjadi remang-remang itu.
Kedua orang lawan Mahisa Murti pun dengan cepat mengalami kesulitan pula. Mahisa Murti justru bergerak lebih banyak dari Mahisa Pukat, justru karena Mahisa Murti harus menghadapi dua orang lawan. Pedangnya terayun-ayun menggetarkan jantung. Sekali-sekali mematuk ke arah dada. Namun kemudian menebas mendatar. Bahkan memburu lawannya yang berloncatan surut.
Ternyata kedua orang lawan Mahisa Murti itu pun telah terdesak pula. Keduanya sama sekali tidak mendapat kesempatan. Ayunan pedang yang besar, serta putaran bandul baja yang bulat, sebesar kepalan tangan itu, sama sekali tidak mampu menghentikan sambaran pedang Mahisa Murti. jika pedangnya itu sempat berbenturan dengan pedang yang besar dan panjang dari salah seorang lawannya, maka terasa bahwa pedang lawannya bukan saja bergetar, tetapi pegangannya menjadi goyah.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Namun keseimbangannya menjadi semakin jelas pula. Bahkan Mahisa Semu pun telah mendesak lawannya pula, sebagaimana Wantilan. Dengan demikian, maka orang-orang yang datang ke rumah nenek tua itu menjadi bimbang. Apakah mereka akan meneruskan niat mereka untuk mendapatkan apapun juga dari rumah itu, atau meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka masih mempunyai satu kemungkinan. Kemungkinan terakhir.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun telah memberikan isyarat tertentu. Orang yang mengawasi keadaan diluar arena dengan serta merta telah meloncat menempatkan diri bersama orang bertubuh tinggi tegap itu melawan Mahisa Pukat. Sebuah tombak pendek tergenggam di tangannya. Tombak yang pada pangkal mata tombaknya terdapat kait yang tajam. Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Ia masih belum mempergunakan getar kekuatan ilmunya yang dapat membuat pedangnya bagaikan menyala.
Namun dalam pada itu, yang sangat mengejutkan adalah orang yang lain, yang tidak terlibat ke dalam pertempuran. Tiba-tiba saja ia telah meloncat mendekati nenek tua yang berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia telah menarik lengan nenek tua itu sambil berteriak, “Hentikan pertempuran, atau nenek tua ini akan mati terkapar di sini.”
Suara itu cukup lantang, sehingga Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berloncatan mengambil jarak dari lawannya.
“Lemparkan senjata-senjata kalian,” berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar menjadi bingung. Bukan saja ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran selanjutnya. Tetapi pedang yang berharga itu akan dapat jatuh ke tangan lawannya. Karena itu, untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu. Keduanya menemui kesulitan untuk menentukan langkah. Jika mereka menolak untuk meletakkan senjata, maka nenek tua itu mungkin sekali akan benar-benar dibunuh oleh orang yang mengaku kemanakannya, karena perempuan tua itu berkeras untuk tidak mau berbicara tentang kekayaannya.
Karena Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak segera meletakkan senjatanya, maka orang itu sekali lagi berteriak sambil mengacukan senjatanya ke lambung perempuan tua itu, “Cepat. Letakkan senjata kalian, atau aku bunuh perempuan ini.”
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap itu pun tertawa sambil berkata, “Kalian dihadapkan pada satu kenyataan. Bukan sekedar untuk menakut-nakuti saja. Kawanku itu benar-benar akan membunuhnya, karena aku memang tidak memerlukan lagi jika ia tidak mau berbicara tentang benda-benda berharga yang disimpannya. Demikian kikirnya orang tua itu, sehingga ia lebih menyayangi harta bendanya daripada nyawanya.” Lalu katanya kepada perempuan tua itu, “Bibi, apakah bibi mengira bahwa jika bibi terkapar mati, bibi akan dapat memanfaatkan benda-benda berharga yang bibi sembunyikan.”
“Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai apa-apa lagi. Dan justeru karena aku menyadari bahwa jika saat mati itu tiba, aku tidak akan dapat membawa rumah dan sawahku, maka aku sudah menyerahkannya kepada Ki Bekel,” jawab perempuan tua itu tanpa mengenal takut. Bahkan kemudian ia berkata kepada anak-anak muda itu, “jangan menghentikan perlawanan. Bebaskan diri kalian dari tangan mereka. Jangan hiraukan aku.”
Tetapi laki-laki yang mengancamnya telah menariknya dengan kasar, “Aku bunuh perempuan ini perlahan-lahan, atau kalian meletakkan senjata. Cepat, jangan menjawab lagi.” Orang yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa. Ia sudah melihat pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang nampaknya pedang yang sangat baik, yang oleh pembuatnya disebutnya sepasang keris itu. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan mendapatkan sepasang senjata yang tentu sangat berharga.
Tetapi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu, sehingga dengan demikian maka ia masih saja menggenggam senjatanya. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menggenggam senjatanya, maka Mahisa Semu dan Wantilan pun masih belum meletakkan senjatanya pula.
Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka senjata di lambung perempuan tua itu semakin menekan. Sedang orang itu sekali lagi berteriak, “kesabaranku ada batasnya.”
Mahisa Murti yang ragu-ragu itu menarik nafas dalam-dalam. Ujung pedangnya telah mulai menunduk. Sementara itu perempuan tua itu berteriak pula, ”jangan hiraukan aku.”
Tetapi pedang Mahisa Murti menjadi semakin menunduk. Demikian pula pedang Mahisa Pukat.
“Aku akan menghitung sampai tiga,” teriak orang yang mengancam perempuan tua itu, “jika kalian belum meletakkan senjata kalian dan melangkah surut, maka perempuan ini akan mati.”
Dalam keragu-raguan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu orang yang mengancam itu mulai menghitung,”satu, dua…”
Tetapi, sebelum ia sempat ke bilangan berikutnya, sesuatu yang tidak pernah diduga telah terjadi. Semua orang terkejut. Bahkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun terkejut pula. Ketika orang yang mengancam itu mulai menghitung, dan kemudian sampai ke bilangan kedua, maka Mahisa Amping telah meloncat ke punggung orang itu. Keduanya telah jatuh terguling.
Sementara itu, orang yang siap membunuh nenek tua itu berusaha untuk melepaskan pegangan Mahisa Amping. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak. Pisau belati Mahisa Amping tiba-tiba saja telah terhunjam di dadanya...