PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 85
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 85
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat juga sudah menyatakan bahwa mereka besok akan segera berangkat meninggalkan padukuhan itu..“Bukankah sudah tidak ada masalah lagi Ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti.
“Nampaknya semuanya sudah teratasi,” berkata Ki Bekel, “tapi kita masih harus berhati-hati.”
“Namun, maaf bahwa kami tidak akan dapat tinggal di padukuhan ini lebih lama lagi,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel manarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, ”Apa boleh buat. Sebenarnya kami ingin menahan kalian untuk tinggal di sini lebih lama lagi. Tetapi apa bila kalian harus melanjutkan perjalanan kalian, maka aku tidak akan dapat menahan kalian lebih lama lagi.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyerahkan segala-galanya kepada Ki Bekel. Sehingga karena itu, maka bukan saja rumah itu yang akan selalu mendapat pengawasan anak-anak muda dan perlindungan oleh pengawal yang akan dikirim oleh Ki Buyut, tetapi juga rumah Ki Bekel selalu diawasi oleh para peronda. Bahkan Ki Bekel minta di setiap malam ada dua atau tiga orang anak muda yang tidur di rumahnya.
“Setidak-tidaknya kita mendapat kesempatan untuk membunyikan kentongan,” berkata Ki Bekel kepada anak-anak muda yang diminta untuk bergantian tidur di rumahnya.
Hari itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, telah berbenah diri. Besok mereka akan berangkat pagi-pagi.
Ketika kemudian senja turun, empat orang pengawal dari Kabuyutan telah datang pula ke rumah itu. Lebih dahulu dari anak-anak muda padukuhan itu sendiri. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menemui mereka, maka agaknya mereka telah mendengar apa yang telah terjadi di rumah itu malam sebelumnya. Empat orang pengawal telah menjadi saksi bahwa anak-anak muda yang tinggal di rumah nenek tua itu adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka keempat pengawal itu bersikap lain dengan para pengawal sebelumnya di saat mereka datang. Para pengawal yang datang kemudian itu telah menunjukkan sikap yang jauh lebih baik. Bahkan salah seorang di antara para pengawal itu berkata kepada Mahisa Murti, “sebenarnya kami ingin berlatih di sini.”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Sayang sekali. Besok kami akan pergi untuk beberapa lama.”
“Besok jika kalian telah kembali,” jawab anak muda itu.
Mahisa Murti tersenyum. Jawabnya, “Baiklah. Besok jika kami kembali.”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang anak muda telah datang dari rumah Ki Bekel dengan membawa pesan agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera datang.
“Ada apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Ada tamu di rumah Ki Bekel,” jawab anak muda itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Dua orang bebahu Kabuyutan,” jawab anak muda itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kami akan datang.”
Maka setelah minta diri kepada Mahisa Semu dan Wantilan yang dimintanya mengawasi nenek tua itu serta para pengawal yang bertugas, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi ke rumah Ki Bekel. Sebenarnyalah di rumah Ki Bekel terdapat dua orang tamu bebahu Kabuyutan.
“Nah, kita akan membicarakannya dengan kedua orang anak muda ini,” berkata Ki Bekel.
“Terserah kepada Ki Bekel,” jawab bebahu itu, “aku hanya akan berbicara dengan Ki Bekel saja. Jika Ki Bekel akan membicarakan dengan siapapun, itu adalah masalah Ki Bekel sendiri.”
“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “aku akan membicarakannya dengan anak-anak muda ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Mereka merasakan bahwa sesuatu telah terjadi dalam pembicaraan antara Ki Bekel dan para bebahu itu.
Dalam pada itu, maka Ki Bekelpun berkata, “Anak-anak muda. Kedua orang bebahu dari Kabuyutan ini berniat untuk meneruskan maksudnya mempergunakan rumah itu untuk kepentingan seluruh Kabuyutan serta uang hasil penjualan benda-benda berharga itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Bukankah Ki Buyut sendiri telah menetapkan, bahwa rumah dan benda-benda berharga itu dibiarkan untuk dimiliki dan dipergunakan bagi Kabuyutan ini?”
“Soalnya Ki Buyut masih belum jelas duduk persoalannya. Ketika kami menjelaskannya setelah kami sampai di Kabuyutan, ternyata Ki Buyut baru menyadari, bahwa keputusan yang diambil ternyata keliru. Karena itu, besok Ki Buyut akan membuat satu pernyataan bahwa ia merubah keputusannya,” berkata kedua orang bebahu itu.
“Keputusan yang sudah diucapkan itu sudah didengar oleh sekelompok orang yang bertanggung jawab baik atas padukuhan ini maupun bagi seluruh Kabuyutan. Karena itu, maka keputusan itu dianggap akan berlaku dengan kepastian kuasa Ki Buyut itu sendiri,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi kuasa Ki Buyut pun mampu merubah keputusannya,” berkata bebahu itu.
“Itu tidak wajar,” berkata Mahisa Murti, “ada dua kemungkinan yang terjadi. Ki Buyut kehilangan kewibawaannya atau karena ancaman. Mungkin bukan nenek tua itu yang mendapat tekanan dan ancaman. Tetapi justru Ki Buyut.”
“Kau jangan menjadi gila anak muda,” berkata bebahu itu, “semuanya itu hanyalah sekedar mimpi burukmu. Besok Ki Buyut akan menyatakan keputusannya yang baru itu.”
“Tidak. Bagaimanapun juga Ki Bekel akan mempertahankannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Nah,” berkata Ki Bekel, “bukankah kalian telah berbicara langsung dengan anak-anak muda itu? Itu adalah sikap kami. Sikap padukuhan ini dengan segala isinya. Jelas?”
“Ajari mereka menghormati kuasa Ki Buyut,” bentak bebahu itu.
“Jangan membentak-bentak di sini,” berkata Ki Bekel, ”ini adalah rumahku.”
“Kau dapat memaksa anak-anak muda itu menerima keputusan Ki Buyut,” bebahu itu masih saja bersikap kasar.
“Pulanglah,” Ki Bekel pun kemudian juga menjadi kasar, “aku tidak mau diperlakukan seperti itu.”
Kedua bebahu itu memandang Ki Bekel dengan tajamnya. Dengan keras salah seorang di antara mereka berkata, “Ingat Ki Bekel. Kuasamu hanya di padukuhan ini. Sedangkan Kabuyutan tidak hanya terdiri dari satu atau dua Padukuhan. Karena itu, lakukan perintah Ki Buyut. Serahkan uang hasil penjualan benda-benda berharga itu kepada kami. Kau telah lancang melakukannya sebelum Ki Buyut mengambil keputusan.”
“Kalian ini ingin berbicara sebagai bebahu Kabuyutan atau ingin merampok?” bertanya Ki Bekel.
Tiba-tiba saja salah seorang di antara kedua orang itu berkata sambil menunjukkan cincin yang dipakainya, “Ini adalah cincin pertanda kuasa Ki Buyut. Bukankah tanda kuasa Ki Buyut ini sudah diakui? Karena itu, atas nama kuasa Ki Buyut, maka lakukan perintahku. Perintah yang aku ucapkan dengan bertumpu pada pertanda kuasa Ki Buyut adalah sama dengan perintah Ki Buyut.”
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat dibawah cahaya lampu minyak, pertanda kuasa Ki Buyut itu ada pada salah seorang di antara kedua orang bebahu itu.
Namun yang menjawab adalah Mahisa Pukat, “Kami tidak peduli atas nama kuasa siapapun juga. Kami menolak kuasa Ki Buyut yang berujud benda mati itu. Kami lebih menghargai sikap dan keputusan dari Ki Buyut yang hidup yang telah diucapkan sendiri siang tadi.”
“Itu berarti bahwa kalian telah memberontak terhadap kekuasaan yang sah di Kabuyutan ini,” berkata bebahu itu.
“Apa pedulimu,” jawab Mahisa Pukat yang tidak sabar lagi, “kami tidak akan membiarkan dua orang perampok menguasai harta kekayaan padukuhan ini. Bukan mustahil bahwa cincin pertanda kuasa Ki Buyut itu pun telah kalian rampok pula.”
“Jadi kalian menolak?” bertanya bebahu itu.
“Kami menolak,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku bertanya kepada Ki Bekel,” geram bebahu itu.
“Aku menolak,” jawab Ki Bekel tegas, “kau kira kau dapat menakut-nakuti kami dengan benda mati itu.”
“Setan. Kalian akan menyesal. Kalian tentu tahu hukuman bagi orang-orang yang memberontak,” berkata salah seorang dari kedua bebahu itu.
Tetapi jawab Ki Bekel, “Kau pun tentu tahu hukuman bagi para perampok.”
Wajah kedua orang bebahu itu menjadi merah. Dengan marah keduanya hampir berbareng berkata, “Tutup mulutmu.”
Tetapi Ki Bekel berkata lantang, “Tinggalkan rumah ini. Atau kalian akan kami perlakukan sebagai perampok.”
“Baik. Tetapi kau akan menyesal,” geram bebahu itu.
Ki Bekel hampir tidak sabar lagi. Tetapi kedua orang bebahu itu kemudian telah bangkit berdiri dan meninggalkan rumah Ki Bekel. Namun dendam benar-benar telah membara di jantungnya. Rencana pada kedua akan dilakukan karena rencana tahap pertama ternyata tidak berhasil sama sekali.
Dengan tergesa-gesa para bebahu itu kembali ke padukuhan induk. Mereka pun segera menemui orang-orang yang mempunyai sikap yang sama untuk mematangkan rencana mereka berikutnya esok hari.
“Mereka telah memberontak melawan Ki Buyut. Aku telah menunjukkan pertanda kuasa Ki Buyut. Tetapi mereka justru menganggapku sebagai perampok,” berkata bebahu itu.
“Ki Bekel menjadi sangat sombong karena ada anak-anak muda yang disebutnya sebagai penasehatnya itu,” berkata seseorang yang bertubuh tinggi tegap.
“Satu-satunya cara yang paling baik adalah menuduhnya telah memberontak,” berkata bebahu itu, “dengan demikian, atas nama Ki Buyut dengan limpahan kuasanya yang dapat dibuktikan dengan cincinnya, maka kita akan dapat bertindak.”
“Kita akan menunggu sampai besok,” berkata bebahu itu, “sementara itu, kita dapat berbicara dengan pemimin pengawal Kabuyutan. Para pengawal harus dipersiapkan untuk mengamankan kuasa Ki Buyut.”
“Aku akan memanggilnya,” berkata bebahu yang lain.
Sementara itu, beberapa orang telah bersiap-siap untuk menentukan satu langkah yang harus dilakukan oleh para pengawal untuk menghukum pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Bekel.
Namun, sikap pemimpin pengawal tidak begitu meyakinkan para bebahu itu. Ketika pemimpin pengawal itu datang memenuhi panggilan para bebahu, maka ia telah disertai oleh tiga orang pengawal. Seorang di antara mereka adalah pengawal yang malam sebelumnya telah bertugas melindungi padukuhan yang justru menjadi persoalan itu.
“Kita tidak dapat ingkar dari tugas yang dibebankan oleh Ki Buyut,” berkata bebahu itu.
“Dimana Ki Buyut sekarang?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Ki Buyut sedang terganggu kesehatannya. Kepalanya pening sehingga ia tidak dapat keluar dari biliknya. Ki Buyut memang agak terpengaruh oleh keadaan yang sedang dihadapinya. Namun setelah segala sesuatunya jelas, maka Ki Buyut telah bertekad untuk mengambil sikap yang tegas,” berkata bebahu itu.
“Kami telah mengetahui sikap Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
“Tetapi Ki Buyut sudah bertekad mencabut keputusannya itu dan memberikan keputusan yang lain. Ki Buyut telah memberikan cincin ini kepadaku. Dengan demikian maka kuasa Ki Buyut telah dilimpahkan kepadaku,” berkata bebahu itu.
“Baik. Aku akan mempersiapkan para pengawal. Tetapi besok aku menunggu perintah langsung dari Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
“Besok Ki Buyut akan mengucapkannya langsung kepadamu jika keadaannya menjadi baik. Sekarang, siapkan pasukan pengawal Kabuyutan ini,” perintah bebahu itu.
Pengawal itu pun kemudian telah minta diri. Katanya, “Aku akan berada di banjar. Aku akan mengendalikan pasukan pengawal dari banjar sebelum aku bertemu dengan Ki Buyut.”
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara itu, pemimpin pengawal itu telah meninggalkan para bebahu itu untuk pergi ke banjar. Dalam pada itu, maka beberapa orang yang secara khusus telah diatur oleh bebahu itu, berjaga-jaga di rumah Ki Buyut. Mereka tidak ingin sesuatu terjadi sehingga akan dapat merubah keadaan.
Sementara itu, malam pun telah menjadi semakin malam. Para bebahu yang letih itu telah mengatur waktu, kapan mereka harus berjaga-jaga, kapan mereka dapat beristirahat. Beberapa orang kepercayaan mereka pun telah ikut pula duduk-duduk di pendapa.
Namun dalam pada itu, dua bayangan hitam telah bergerak dengan sangat berhati-hati di halaman rumah Ki Buyut itu. Mereka bergerak dari balik gerumbul-gerumbul perdu ke balik pepohonan. Semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Buyut dari arah samping. Ternyata kedua bayangan hitam itu bergerak tanpa menimbulkan suara apapun juga. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di longkangan belakang.
Ternyata bagian belakang rumah Ki Buyut itu tidak mendapat pengawasan khusus. Dua orang di antara mereka yang ada di pendapa hanya kadang-kadang saja mengamati bagian belakang rumah Ki Buyut itu. Tetapi mereka hanya sekedar berjalan dalam gelap. Berhenti sejenak, memperhatikan keadaan. Namun kemudian mereka telah berjalan lagi.
Dengan demikian, maka kedua orang yang ada di longkangan itu sama sekali tidak mereka ketahui. Bahkan mereka juga tidak tahu bahwa kedua orang itu beberapa saat kemudian telah berada di atas atap rumah Ki Buyut. Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu telah membuka atap rumah Ki Buyut. Ternyata di dalam rumah itu, tidak ada pula seorang pun yang berjaga-jaga.
Dengan hati-hati kedua orang yang membuka atap rumah Ki Buyut itu pun kemudian telah merambat turun. Mereka telah meluncur lewat ander dan hinggap di pengeret. Tanpa menimbulkan suara apapun mereka telah berada di lantai di dalam rumah Ki Buyut yang sepi. Sejenak keduanya memperhatikan keadaan. Kemudian mereka telah bergeser menepi dan mendengarkan dengan saksama, apakah di dalam rumah itu ada seseorang.
Ternyata mereka mendengar desah nafas di dalam sebuah bilik. Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka berjingkat mendekati pintu bilik itu. Perlahan-lahan seorang di antaranya berdesis, “Ki Buyut?”
Tidak terdengar jawaban. Sehingga orang yang memasuki rumah itu mengetuk perlahan-lahan sambil berdesis, “Ki Buyut.”
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan dari dalam bilikitu.
“Aku. Tolong buka pintu bilik Ki Buyut,” berkata orang yang memasuki rumah itu.
Yang ada di dalam bilik itu memang Ki Buyut. Dengan nada rendah ia berkata, “Bukalah. Pintu itu tidak diselarak.”
Dengan hati-hati kedua orang yang memasuki rumah itu pun telah mendorong pintu lereg dan membukanya. Di dalam bilik itu Ki Buyut duduk di atas pembaringannya. Dengan wajah kusut dipandanginya kedua orang yang memasuki biliknya itu. Namun ketika Ki Buyut melihat siapa yang datang itu, maka tiba-tiba ia telah terloncat bangkit.
“Kalian dapat memasuki rumahku ini?” bertanya Ki Buyut.
“Ya,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Bukankah kau kedua orang anak muda yang mendampingi Ki Bekel itu?” bertanya Ki Buyut pula.
“Ya Ki Buyut,” jawab keduanya hampir berbareng.
Ki Buyut pun kemudian mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk di pembaringannya setelah menutup pintu itu. “Aku tidak diperbolehkan menyelarak pintu itu,” berkata Ki Buyut.
“Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi. Bukankah Ki Buyut dipaksa untuk menyerahkan cincin tanda kuasa Ki Buyut itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Darimana kau tahu?” Ki Buyut justru bertanya pula.
“Yang terjadi tentu tidak wajar. Aku yakin bahwa beberapa orang bebahu itu telah mengambil sikap sendiri. Ki Buyut tentu tidak akan mengambil keputusan yang begitu cepat berubah apapun yang terjadi,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Bukankah rumah ini telah dijaga kuat?”
“Tetapi sebagaimana Ki Buyut lihat, kami berdua berhasil masuk,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat nampaknya ingin lebih cepat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Buyut. Sekarang kami mohon perintah Ki Buyut.”
Tetapi Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kenapa? Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang pemimpin,” berkata Mahisa Pukat.
“Nyi Buyut ada di tangan mereka. Kami tidak mempunyai anak. Karena itu, tanpa Nyi Buyut aku tidak berarti apa apa,” jawab Ki Buyut.
Wajah kedua anak muda itu menjadi tegang. Dengan nada geram Mahisa Murti bertanya, “Dimana Nyi Buyut sekarang?”
“Tentu masih di rumah ini. Tetapi aku tidak tahu di ruang yang mana. Rumah ini seakan-akan memang telah dikosongkan. Beberapa orang pembantu di rumah ini telah dikumpulkan pula di gandok dan dijaga dengan kuat.”
“Gandok yang mana?” bertanya Mahisa Murti.
“Sepengetahuanku di gandok sebelah kanan jika mereka belum dipindahkan,” jawab Ki Buyut.
“Jika demikian, Nyi Buyut ada di gandok sebelah kiri,” desis Mahisa Murti.
“Dari mana kau tahu?” bertanya Ki Buyut pula.
“Menurut perhitunganku,” jawab Mahisa Murti.
“Di manapun Nyi Buyut disimpan, aku tidak akan berani berbuat apa-apa. Mereka termasuk orang-orang yang dapat berbuat apa saja untuk mencapai niatnya,” berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kepada Mahisa Pukat, “Awasi Ki Buyut. Aku akan melihat kemungkinan untuk melepaskan Nyi Buyut.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun Ki Buyut berkata, “Lebih baik urungkan niatmu. Kau akan dapat menyakiti Nyi Buyut meskipun tidak secara langsung. Jika mereka tahu ada orang yang berusaha membebaskan mereka, maka mereka tentu akan bertindak.”
“Kami akan berhati-hati Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah meninggalkan bilik itu sambil berpesan, “Aku akan memberikan isyarat dari luar. Jika kau mendengar isyarat lemparan batu, maka bawa Ki Buyut keluar. Berarti aku sudah membawa Nyi Buyut bersamaku.”
Mahisa Pukat mengangguk. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa mereka akan benar-benar melakukan tugas yang rumit, justru karena Ki Buyut dan bahkan Nyi Buyut telah dikuasai oleh beberapa orang bebahu.
Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat tidak lagi banyak berbicara. Ia sadar, bahwa bilik itu sedang dalam pengawasan, meskipun orang-orang yang mengawasinya agaknya merasa bahwa Ki Buyut tidak akan meninggalkan rumah itu, karena Nyi Buyut ada di tangan mereka. Dengan demikian maka orang-orang yang telah menahan Ki Buyut itu menjadi kurang bersungguh-sungguh.
Sementara itu, Mahisa Murti dengan sangat berhati-hati telah melintasi longkangan samping. Dengan sangat berhati-hati pula Mahisa Murti berhasil keluar dari pintu butulan, melingkari bagian belakang rumah itu dan mendekati gandok sebelah kiri.
Sebenarnyalah, ia mendengar tangis seseorang di gandok sebelah kiri itu. Namun kemudian terdengar suara seorang laki-laki, “Nyi Buyut tidak usah menangis. Ki Buyut nampaknya tidak akan menentang niat kami. Karena itu, jika semuanya sudah selesai, maka Nyi Buyut akan segera kami bebaskan.”
“Kenapa tidak sekarang?” bertanya Nyi Buyut disela-sela isaknya.
“Kami masih menunggu sampai esok. Taruhannya besar sekali. Uang yang sangat banyak, serta sebuah rumah yang besar dan sangat bagus. Rumah itu jika dijual akan laku sangat mahal. Uangnya dapat dipergunakan untuk membangun sebuah banjar yang sangat bagus di padukuhan induk ini. Sisanya akan menjadi kekayaan kita bersama-sama,” berkata suara itu.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Karena itu, lepaskan aku dan kembalikan aku kepada Ki Buyut,” minta Nyi Buyut.
“Sudahlah. Sebaiknya Nyi Buyut tidur saja. Segalanya akan dapat kita selesaikan besok. Besok para pengawal akan mendapat perintah dari Ki Buyut untuk memaksakan keputusan Ki Buyut atas padukuhan yang memberontak itu. Baru kemudianNyi Buyut akan kami kembalikan kepada Ki Buyut,” jawab laki-laki itu.
Nyi Buyut tidak berbicara apapun lagi. Yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Sementara itu terdengar pintu berderit terbuka. Beberapa saat kemudian, maka pintu pun telah tertutup lagi.
Mahisa Murti masih ada di belakang gandok. Agaknya orang-orang yang mengawal rumah itu memang kurang berhati-hati. Karena itu, maka Mahisa Murti nampaknya mempunyai kesempatan betapapun tipisnya untuk membebaskan Nyi Buyut dari gandok.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah meraba-raba dinding gandok itu. Tali-tali ijuk yang kuat mengikat dinding bambu dengan tiang-tiang penguatnya. Namun bukan mustahil bahwa tali-tali itu diputuskan. Mahisa Murti memiliki pedang yang luar biasa. Ia berharap bahwa pedangnya akan dapat membantunya.
Sebenarnyalah, bahwa pedang Mahisa Murti memang pedang yang luar biasa. Tajamnya melampaui tajamnya welat bambu wulung. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, maka tali-tali ijuk yang kuat itu pun telah terputus, sehingga dibagian sudut gandok, dinding bagian luar bilik gandok itu sudah terbuka.
Namun dinding gandok itu ternyata rangkap. Dibagian dalam terdapat dinding bambu yang dianyam lembut. Tetapi yang kemudian dicemaskan oleh Mahisa Murti justru jika Nyi Buyut terkejut dan berteriak. Karena itu, maka di arah suara tangis Nyi Buyut, Mahisa Murti berdesis, “Nyi, Nyi Buyut.”
Nyi Buyut mendengar suara itu. Isaknya pun telah berhenti. Dengan hati-hati Mahisa Murti berdesis, “Apakah Nyi Buyut sendiri?”
Nyi Buyut menempelkan mulutnya ke dinding. Ia sadar, bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaannya. Karena itu, maka Nyi Buyut telah berdesis, “Ya. Aku sendiri.”
“Tenanglah Nyi. Aku akan membelah dinding. Hentikan jika ada orang yang masuk.”
“Siapa kau?” bertanya Nyi Buyut.
“Nanti aku jelaskan. Tetapi aku mengemban perintah Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
Dengan pedangnya yang sangat tajam, Mahisa Murti telah membelah dinding bambu dibagian dalam dengan tanpa bersuara. Sementara itu dinding dibagian luarnya sudah terbuka.
“Nyi, keluarlah. Kawanku telah membebaskan Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
Nyi Buyut yang hampir berputus asa itu tidak berpikir lebih lama lagi. Ia pun segera berjalan dengan hati-hati, keluar lewat dinding yang sudah terbuka itu.
Demikianlah, maka Mahisa Murti telah membawa Nyi Buyut untuk mendekati bilik Ki Bekel. Dengan isyarat yang sudah dijanjikan maka Mahisa Murti memanggil Mahisa Pukat untuk membawa Ki Buyut keluar.
Ternyata Mahisa Pukat tidak mengalami kesulitan. Karena tidak ada seorang pun yang mengawasi Ki Buyut itu terus-menerus, maka mereka dapat keluar lewat pintu belakang, yang hanya diselarak dari dalam. Orang-orang yang menahan Ki Buyut memperhitungkan, bahwa Ki Buyut tidak akan berani melarikan diri, karena jika itu dilakukan, maka nasib Nyi Buyut akan menjadi sangat buruk. Namun ternyata baik Ki Buyut maupun Nyi Buyut telah sempat diselamatkan.
Tidak ada seorang pun di antara para bebahu yang melawan Ki Buyut itu serta para pengikutnya yang menyadari, bahwa bagian belakang dinding gandok sebelah kiri sudah koyak, sehingga Nyi Buyut dapat dibawa keluar.
Dalam pada itu, Ki Buyut dan Nyi Buyut telah berhasil meninggalkan halaman rumah itu lewat pintu samping pada dinding halaman. Untuk beberapa saat mereka harus berjalan di dalam kegelapan. Ki Buyut telah menuntun Nyi Buyut yang tidak terbiasa menyuruk dalam kelam di antara lorong sempit yang berbatu-batu.
Mereka berempat telah memilih lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Ki Buyut memang mengenal padukuhan induk itu seperti mengenali ruang-ruang di dalam rumahnya! Sehingga akhirnya mereka dapat menembus dinding padukuhan induk tanpa harus melalui pintu gerbang.
“Ki Buyut akan pergi ke mana?” berkata Nyi Buyut.
“Bagaimana sebaiknya menurut Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Mungkin menemui Ki Bekel,” berkata Mahisa Pukat.
“Baiklah. Tetapi bagaimanakah tanggapan Ki Bekel nanti?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Bekel sudah menduga bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, sehingga Ki Bekel menyetujui kami berdua pergi ke rumah Ki Buyut,” sahut Mahisa Pukat.
Ki Buyut pun tidak berkeberatan. Dalam gelapnya malam mereka berempat telah menyusuri pematang pergi ke padukuhan yang memang agak jauh. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta agar Ki Buyut memilih jalan yang tidak melewati padukuhan.
“Mungkin ada yang melihat kita,” berkata Mahisa Murti, “lebih buruk lagi jika yang melihat itu para pengikut bebahu yang menentang kebijaksanaan Ki Buyut.”
Demikianlah, maka mereka pun telah menempuh jalan pintas yang memang agak sulit. Terutama bagi Nyi Buyut. Namun akhirnya mereka dengan selamat, telah sampai ke rumah Ki Bekel.
Ki Bekel memang sudah memperhitungkan, bahwa kedua orang anak muda itu akan berhasil. Karena itu, maka Ki Bekel sudah bersiap untuk menyambut Ki Buyut dan Nyi Buyut. Nyi Bekel telah membawa Nyi Buyut yang kelihatan sangat letih ke ruang dalam. Sementara Ki Buyut dan Ki Bekel berada di ruang tengah.
“Apakah kalian besok akan berangkat?” bertanya Ki Bekel kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Sebentar lagi kita memasuki pagi hari.”
“Jadi?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku terpaksa menundanya lagi.”
“Jika demikian, kalian dapat beristirahat sekarang,” berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian keduanya pun berkata, “Baiklah. Kami akan kembali ke rumah nenek tua itu. Biarlah anak-anak muda mengawal rumah ini. Kedua orang adik bebahu itu nampaknya akan cukup mampu memimpin anak-anak muda di padukuhan ini. Besok pagi-pagi aku sudah akan berada di rumah ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kami memerlukan kalian lebih cepat, maka kami akan membunyikan isyarat dengan kentongan.”
Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di rumah nenek itu kembali. Kepada para pengawal dan anak-anak muda yang berada di rumah itu, keduanya tidak mengatakan sesuatu. Namun kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang terbangun, Mahisa Murti berkata, “Kita harus menunda keberangkatan kita lagi.”
Mahisa Amping sama sekali tidak berkeberatan. Ia dapat membantu nenek penghuni rumah itu untuk kerjanya sehari-hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat beristirahat meskipun hanya sejenak. Demikian pula Ki Buyut dan Nyi Buyut di rumah Ki Bekel juga dipersilahkan untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu, Ki Bekel telah memerintahkan dua orang anak muda untuk mengamati keadaan. Mereka harus mengawasi jalan dari padukuhan induk. “Jika kalian melihat sesuatu yang tidak masuk akal, berikan laporan secepatnya,” perintah Ki Bekel, “Sebelum fajar kalian sudah akan diganti, sehingga kalian dapat beristirahat lagi.”
Ternyata Ki Buyut dan Nyi Buyut merasa aman di rumah Ki Bekel, sehingga keduanya dapat tidur beberapa saat sebelum fajar mulai menyingsing.
Sementara itu, sebelum fajar, orang-orang yang telah menahan Ki Buyut dan Nyi Buyut telah melakukan perondaan keliling halaman belakang. Namun mereka tidak melihat sesuatu. Bahkan mereka tidak melihat pintu dinding halaman samping yang sudah tidak diselarak lagi. Dalam pada itu, seseorang mulai memperhatikan bilik di gandok sebelah kiri. Ia tidak lagi mendengar Nyi Buyut menangis.
“Akhirnya ia menjadi letih dan diam dengan sendirinya,” berkata orang itu yang sudah menjadi jemu minta agar Nyi Buyut jangan menangis saja.
Tetapi orang itu memang tergelitik untuk melihat, apakah yang sudah dilakukan oleh Nyi Buyut. Apakah perempuan itu sudah tertidur atau masih duduk sambil mengusap air mutunya meskipun ia sudah tidak terisak lagi?
Perlahan-lahan orang itu telah membuka selarak pintu dari luar. Perlahan-lahan pula ia telah membuka pintu itu. Tetapi orang itu terkejut ketika ia tidak melihat Nyi Buyut di pembaringan. Dengan cepat ia meloncat masuk. Ternyata bilik itu telah kosong.
Orang itu menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia sempat melihat-lihat keadaan bilik itu. Lampu minyak yang memang tidak terlalu terang, tidak segera membantunya menemukan goresan pedang yang mengoyak dinding bambu rangkap itu. Namun akhirnya orang itu pun melihatnya. Dengan jantung yang berdebaran ia meloncat ke sudut bilik itu. Kemudian dengan serta-merta telah membuka dinding yang terkoyak itu.
“Gila,” orang itu hampir berteriak, “setan manakah yang telah melakukan ini.”
Dengan tergesa-gesa ia berlari keluar. Ditemuinya dua orang bebahu yang telah membuat semua rencana perlawanan terhadap Ki Buyut serta usahanya untuk mengurung Nyi Buyut, sehingga dengan demikian Ki Buyut tidak akan dapat menolak perintahnya.
“Apa?” dua orang bebahu itu pun hampir berteriak pula.
“Bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya seorang di antara mereka dengan nada tinggi.
“Lihatlah, lihatlah sendiri. Dinding itu telah koyak,” jawab orang yang berjaga-jaga di depan bilik Nyi Buyut itu.
Kedua orang itu hampir saja meloncat ke gandok untuk melihat sendiri bilik yang dindingnya sudah koyak itu. Tetapi tiba-tiba seorang di antaranya berkata lantang, “Kita lihat Ki Buyut.”
Orang-orang itu pun kemudian justru telah berlari masuk ke ruang dalam. Seperti yang mereka duga, bilik Ki Buyut pun telah menjadi kosong.
“Gila,” geram bebahu itu, “apa kerja kita semuanya di sini he? Bagaimana mungkin Nyi Buyut dapat keluar tanpa diketahui oleh seorang pun. Jika dinding itu dikoyak dengan senjata, maka suaranya tentu akan dapat didengar.”
Yang lain justru terdiam. Mereka pun tidak mengerti bagaimana hal itu telah terjadi.
“Kita terlalu yakin bahwa Ki Buyut benar-benar telah menyerah. Tetapi agaknya Ki Buyut telah keluar lewat pintu belakang dan berusaha mengoyak dinding gandok itu. Tentu saja kita semuanya tidak melihatnya, karena kita terlalu merendahkan ketegaran jiwa Ki Buyut, yang ternyata tidak mudah mengalah itu."
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya bebahu yang lain.
“Kita sudah terlanjur basah. Semisal orang menyeberang, kita sudah berada di tengah. Kembali basah, terus juga basah. Karena itu, kita akan terus,” berkata bebahu itu.
“Di mana Ki Buyut sekarang kira-kira?” bertanya seorang yang lain.
“Semuanya menyebar. Kita harus mencarinya. Jika mungkin menangkapnya dan membawanya kembali ke rumah ini. Geledah setiap rumah di padukuhan induk ini,” berkata bebahu yang memimpin perlawanan terhadap Ki Buyut itu.
“Bagaimana dengan para pengawal?” bertanya yang lain lagi.
“Panggil pemimpin pengawal itu,” jawab bebahu yang memimpin perlawanan itu, “tetapi yang pasti, ada beberapa kelompok yang telah kita kuasai sepenuhnya, karena pimpinan kelompok sependapat dengan kita.”
“Jadi?” bertanya-bebahu yang seorang lagi.
“Semuanya harus disiapkan sejak sekarang. Kita akan menentukan sikap sebelum matahari terbit,” jawab pemimpin dari gerakan itu.
Demikianlah, beberapa orang telah menyebar, sementara yang lain memanggil pemimpin pengawal serta memerintahkan para pemimpin kelompok yang telah menyatakan diri membantu bebahu itu untuk bersiap.
Pemimpin pengawal Kabuyutan itu memang datang ke rumah Ki Buyut. Tetapi seperti yang pernah dikatakannya, mereka akan melakukan tugas apapun jika Ki Buyut memerintahkannya.
“Aku telah membawa pertanda kuasa Ki Buyut,” bentak bebahu yang membawa cincin Ki Buyut itu.
“Tetapi apa sulitnya sekarang memberi aku kesempatan menemui Ki Buyut sejenak?” jawab pemimpin pengawal itu.
“Ki Buyut sedang tidur nyenyak. Kesehatannya tidak baik. Karena itu, ia berpesan, tidak seorang pun dapat membangunkannya jika itu bukan atas kehendaknya sendiri,” berkata bebahu itu.
“Jika demikian aku menunggu,” jawab pemimpin pengawal itu.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal itu terkejut, ia melihat beberapa orang pengawal telah berkumpul di halaman. Bahkan tidak hanya beberapa orang, tetapi akhirnya telah berkumpul tiga kelompok pengawal yang sudah menyatakan kesediaan mereka yang telah menentang Ki Buyut.
“Siapakah yang telah memerintahkan mereka berkumpul?” desis pemimpin kelompok itu.
Bebahu itu tertawa pendek. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan. Mereka telah lebih dahulu menyatakan kesediaan mereka.”
“Tetapi aku belum mengeluarkan perintah apa-apa,” geram pemimpin pengawal itu.
“Kau telah melakukan kesalahan anak muda,” berkata bebahu itu, “seharusnya kau tidak menjadi keras kepala. Kau tidak perlu menunggu Ki Buyut. Aku sudah membawa pertanda kuasanya. Sementara itu, para pengawal telah lebih dahulu melakukan perintahku daripada kau.”
“Mereka baru sebagian kecil,” berkata pemimpin pengawal itu, “yang lain akan tetap mendengarkan perintahku.”
“Kau tidak akan pernah sempat memberikan perintah apa-apa. Bukankah kau akan menunggu Ki Buyut bangun,” bertanya bebahu itu.
“Licik ternyata sangat licik. Dimana Ki Buyut sekarang?” desak pemimpin, pengawal itu.
“Karena kau sudah ada dalam tangan kami, maka kau akan tahu apa yang telah terjadi. Ki Buyut telah melarikan diri tanpa memberikan pertanggungan jawab apa-apa,” jawab bebahu itu.
“Kemana?” bertanya pengawal itu.
“Kami belum tahu. Tetapi setiap rumah sedang diperiksa. Padukuhan induk ini telah dikepung oleh para pengawal dan orang-orang yang sependapat dengan kami. Ternyata jumlah kami cukup banyak. Yang lain menggeledah setiap rumah untuk menemukan Ki Buyut yang pengecut itu,” geram bebahu itu.
Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Ia melihat beberapa orang pengawal di halaman. Namun ternyata yang lain sedang memasuki setiap halaman untuk mencari Ki Buyut. Namun selain beberapa kelompok pengawal bebahu itu memang telah mendapatkan banyak pengikut. Sebagian lagi justru orang-orang upahan.
Pemimpin pengawal itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Dua orang yang belum dikenalnya selalu mengamatinya. Pemimpin pengawal itu menyadari, bahwa kedua orang itu tentu orang-orang upahan. Karena bebahu itu mengharapkan dapat mengambil uang yang cukup banyak dari rumah Ki Bekel, maka ia sudah berani menjanjikan upah kepada orang-orang upahan itu.
Padukuhan induk itu memang menjadi sibuk. Orang-orang yang tidur nyenyak telah terbangun. Rumah-rumah telah digeledah, barangkali ada yang telah menyembunyikan Ki Buyut. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak menemukan Ki Buyut dan Nyi Buyut yang telah melarikan diri, sehingga orang-orang yang mencarinya telah mengambil kesimpulan bahwa keduanya tentu telah keluar dari Kabuyutan itu dan berada di rumah Ki Bekel.
“Aku tidak peduli,” berkata bebahu yang menentang Ki Buyut itu, “kita akan menentukan satu sikap yang tegas.”
“Kita harus segera bergerak,” desis bebahu yang seorang lagi.
“Panggil semua orang yang ikut menentukan langkah ini,” berkata bebahu yang memimpin perlawanan itu.
Ternyata orang-orang yang sudah merasa terlanjur melakukan perlawanan itu tidak mau melangkah mundur. Pemimpin pengawal yang tetap pada pendiriannya untuk tidak melakukan setiap perintah yang tidak diberikan oleh Ki Bekel, telah dijerumuskannya kedalam sebuah bilik yang sempit dibawah pengawasan yang kuat agar orang itu tidak sempat lagi melarikan diri seperti Ki Buyut.
“Kita harus bergerak tanpa menunggu matahari terbit,” berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang upahan itu, “jika anak-anak muda sempat menyadari apa yang terjadi, selain yang sudah menjadi hambatan.”
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempunyai alasan. Kita mencari Ki Buyut untuk diajak kembali ke Kabuyutan. Siapa yang merintangi niat itu akan berhadapan dengan kekuatan kami. Kami bahkan dapat menuduh Ki Bekel menculik Ki Buyut jika Ki Buyut ada di sana.”
Demikianlah, beberapa kelompok orang pun segera bersiap. Sebelum fajar mereka memang sudah bergerak menuju ke rumah Ki Bekel. Mereka sudah siap untuk menuduh Ki Bekel telah menculik Ki Buyut. Jika Ki Buyut membantah, maka mereka dapat menganggap bahwa Ki Buyut memberikan keterangan dibawah ancaman.
“Pokoknya kita harus membawa uang itu seluruhnya,” berkata bebahu yang melakukan perlawanan itu, “juga benda-benda berharga yang ada ditangan anak-anak muda yang ternyata mampu meruntuhkan belas kasihan nenek tua itu. Mereka membawa masing-masing senjata yang sangat berharga. Bahkan kedua anak muda yang disebut sebagai penasehat Ki Bekel itu masing-masing memiliki pedang yang berhulu emas bertatahkan permata.”
“Apa kedua pedang itu juga pemberian nenek tua itu?” bertanya pemimpin dari orang-orang upahan itu, “sebab aku sudah pernah mendengar tentang sepasang pedang yang sangat ditakuti oleh siapapun juga, yang berhulu emas dan bertatahkan permata.”
“Dari manapun atau dari siapapun, benda-benda berharga itu akan kita rampas. Akhirnya rumah itu pun akan menjadi milik kita. Kita dapat menjualnya dengan harga yang mahal kepada orang-orang kaya dari manapun juga yang berminat.”
Pemimpin dari orang-orang upahan itu mengangguk-angguk. Orang-orang upahan itu sama sekali tidak peduli apapun juga selain upah yang akan mereka terima. Atau bahkan mereka-pun sempat mengangan-angankan, bahwa mereka akan sempat pula singgah di rumah orang-orang kaya jika kekacauan telah terjadi. Mengambil apa saja yang dapat mereka ambil. Jika tidak semua di antara mereka sempat melakukannya, maka mereka telah menunjuk empat orang yang secara khusus akan melakukannya. Dengan demikian mereka akan memperoleh tambahan atas upah yang dijanjikan atas mereka.
Seperti yang mereka rencanakan, maka menjelang matahari terbit sekelompok orang-orang upahan, orang-orang yang sependapat dengan bebahu yang menentang Ki Buyut itu serta beberapa kelompok pengawal telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka sudah tidak mempunyai pertimbangan lain, kecuali merampas uang dan apa saja yang dapat mereka ambil dari Ki Bekel dan apa saja yang masih tersisa di rumah itu.
Sementara itu, di padukuhan yang masih termasuk lingkungan Kabuyutan yang menjadi sasaran dari sepasukan kecil orang-orang dari padukuhan induk itu pun sudah berjaga-jaga. Sejak Ki Buyut datang ke rumah Ki Bekel, maka semua persiapan sudah dimatangkan. Meskipun Ki Buyut dan Nyi Buyut kemudian dipersilahkan untuk beristirahat, namun pengawasan telah dilakukan jika orang-orang dari padukuhan induk mengambil jalan kekerasan.
Sebenarnyalah, maka kedua orang yang bertugas mengawasi keadaan telah melihat dalam keremangan pagi, iring-iringan menuju ke gerbang padukuhan mereka. Dengan cepat mereka mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang dari padukuhan induk yang datang untuk melakukan langkah terakhir yang sudah diperhitungkan lebih dahulu. Kekerasan.
Kedua orang pengawas itu pun segera berlari memasuki pintu gerbang. Seorang di antara mereka telah berhenti di gardu yang masih ditunggui oleh beberapa orang anak muda. Sedangkan yang lain berlari langsung ke rumah Ki Bekel.
Ki Bekel memang sempat membangunkan Ki Buyut. Dengan suara yang bergetar menahan gejolak perasaannya, Ki Bekel minta ijin untuk membunyikan kentongan. “Kita akan menganggap mereka sebagai perampok-perampok yang harus diperlakukan sebagai perampok pula Ki Buyut,” berkata Ki Bekel.
Tetapi Ki Buyut masih berkeberatan. Katanya, “Kita pergi ke pintu gerbang. Mudah-mudahan kita mendapatkan penyelesaian yang lebih baik dari berkelahi.”
“Mereka sudah siap melakukannya,” jawab Ki Bekel.
“Kita pun bersiap-siap. Tetapi tidak usah dengan isyarat kentongan lebih dahulu. Jika kita sudah memukul kentongan, maka kita tidak akan dapat menemukan kemungkinan lain kecuali berkelahi,” berkata Ki Buyut.
Ki Bekel tidak dapat membantah. Ia pun kemudian mengantar Ki Buyut ke regol padukuhan. Namun sementara itu, anak-anak muda yang berada di rumah Ki Bekel telah menebar memberitahukan bahwa orang-orang dari padukuhan induk telah datang. Dua orang di antara mereka telah berlari-lari ke rumah nenek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera dihubungi. Keduanya telah minta Mahisa Semu dan Wantilan untuk menjaga nenek tua itu bersama Mahisa Amping. Anak-anak muda yang berjaga-jaga di rumah nenek tua itu-pun telah berlari-lari pula bersama-sama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke regol padukuhan. Dua di antara anak-anak muda itu diminta tinggal bersama Mahisa Semu dan Wantilan, sementara ampat orang pengawal yang ada di rumah itu telah ikut pula pergi ke regol untuk melihat apa yang terjadi.
Kedua adik bebahu padukuhan itu, yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin anak-anak muda sebayanya telah berada di regol pula. Bahkan ternyata bukan hanya anak-anak yang telah bersiap. Tetapi juga orang-orang yang telah berkeluarga dan beranak. Mereka yang merasa masih mampu melawan, telah pergi ke regol halaman.
Ki Buyut, Ki Bekel para bebahu dan para pengawal yang telah berada di padukuhan itu telah keluar dari regol padukuhan. Mereka berniat menerima orang-orang padukuhan induk dan jika berhasil mencegah mereka melakukan kekerasan.
Sementara itu, Mahisa Murti tian Mahisa Pukat telah memisahkan diri. Mereka berdiri di sisi sebelah menyebelah dari Ki Bekel yang mendampingi Ki Buyut.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah menjadi semakin dekat. Ternyata langit pun telah menjadi terang, sehingga kedua belah pihak dapat saling melihat dengan jelas. Bebahu yang menentang Ki Buyut itu berdiri di paling depan dari para pengikutnya. Sambil bertolak pinggang, ia pun kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Bekel dengan memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk berhenti.
“Ki Bekel,” berkata bebahu itu dengan serta merta, “kau ternyata sangat licik. Kenapa kau culik Ki Buyut?”
“Ki Buyut ada di sini. Bertanyalah sendiri kepadanya,” jawab Ki Bekel.
“Kau tentu memakai cara sebagaimana kau lakukan atas nenek tua itu. Jawaban Ki Buyut telah kau persiapkan dengan ancaman. Apalagi justru Nyi Buyut tidak ada di rumahnya, maka kami berpendapat bahwa Nyi Buyut telah kau sembunyikan sebagai taruhan jika Ki Buyut ingkar,” berkata bebahu itu.
Tetapi agaknya Ki Bekel sudah menduga, bahwa bebahu itu tentu akan menuduhnya berbuat demikian. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “He, Ki Sanak. Kenapa kau tidak dapat membuat tuduhan yang lain yang barangkali lebih meyakinkan? Kau selalu mengatakan bahwa seseorang telah terpaksa mengatakan karena tekanan dan ancaman. Sekarang, kau juga mengatakan demikian terhadap Ki Buyut, sementara Ki Buyut itu ada di hadapan kita.”
Wajah orang itu menjadi merah. Ki Buyut pun ternyata telah mentertawakannya. Bahkan Ki Buyut itu pun berkata, “Kau menganggap kami semua kanak-kanak yang belum memiliki penalaran yang mapan. Sekarang, katakan saja dengan berterus-terang. Apa yang sebenarnya kau kehendaki. Jika kau ingin membunuhku, maka persoalannya akan cepat selesai, karena aku tidak akan melawan. Jika dengan demikian, maka persoalannya selesai, maka aku kira aku harus bersedia mengalami kematian itu.”
Tetapi Ki Bekel pun kemudian berkata, ”begitu mudahnya? Jika ia ingin membunuh Ki Buyut, maka sudah tentu itu hanya sasaran antara. Sasaran yang sebenarnya tentu bukan sekedar kematian Ki Buyut. Karena itu, kematian itu adalah kematian sia-sia. Sebaiknya kita bersikap tegas. Orang itu sudah melawan Ki Buyut. Ki Buyut harus berbuat selayaknya sebagai seorang pemimpin.”
“Nah,” berkata bebahu itu, ”bukankah benar yang aku katakan, bahwa kaulah yang telah menyusun jawaban yang harus diucapkan oleh Ki Buyut.”
“Persetan kau,” geram Ki Bekel yang telah kehilangan kesabaran, “sekarang kau mau apa? Seandainya yang kau tuduhkan itu benar,” Ki Bekel hampir berteriak.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ia melihat kedua belah pihak telah bersiap untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan kekerasan. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun berkata, “Apakah tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh daripada kekerasan.”
“Bertanyalah kepada bebahu Kabuyutan itu,” jawab Ki Bekel.
Ki Buyut pun menyadari, bahwa persoalannya memang bersumber pada tingkah laku bebahu itu. Karena itu, maka sifat kepemimpinan Ki Buyut pun telah tumbuh kembali meskipun sifat itu kadang-kadang memang goyah. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata,
“Sudahlah. Sebaiknya kau tidak usah berputar-putar. Kita semuanya sudah mengetahui persoalan yang kita hadapi. Kau ingin merampas rumah dan hasil penjualan benda-benda berharga itu, meskipun alasanmu untuk kau serahkan kepada Kabuyutan. Untuk itu kau telah menempuh segala cara, termasuk cara yang kau lakukan sekarang ini. Tetapi seandainya kau berhasil, apakah kau sudah memperhitungkan, berapa orang korban yang akan jatuh. Apakah jiwa yang kau korbankan itu akan senilai dengan harta benda yang kau inginkan itu?”
Bebahu itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut berkata selanjutnya, “Jika aku mengatakan bahwa jiwaku akan aku serahkan apabila itu dapat menyelesaikan persoalan sebenarnya tidak lebih dari satu ungkapan, bahwa aku mau berbuat dan mengorbankan apa saja asal kalian tidak saling bertempur untuk memperebutkan harta yang kau anggap memiliki nilai yang lebih tinggi dari jiwa yang akan menjadi korban.”
“Katakan hal itu kepada Ki Bekel,“ geram bebahu itu, “jika ia menyerahkan semuanya, maka segalanya akan selesai. Ki Bekel harus menghargai jiwa yang akan menjadi korban karena sifatnya yang keras kepala itu, jauh lebih tinggi dari harta yang dipertahankannya.”
“Yang kami lakukan bukan sekedar nilai harta benda itu sendiri,” berkata Ki Bekel, “tetapi kami mempertahankan hak kami. Kami mempertahankan menurut keyakinan kami, karena kalian telah berusaha melanggar hak kami serta keyakinan kami itu. Bahkan kalian telah melawan keputusan tertinggi dari Kabuyutan ini dan kalian pun telah melakukan perlawanan jasmaniah pula dengan menangkap Ki Buyut dan Nyi Buyut.”
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian pemimpin dari orang-orang upahan yang mencari kesempatan untuk merampok rumah orang-orang kaya di padukuhan itu berkata dengan lantang, “Tidak ada cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan selain mengambil kembali Ki Buyut.”
“Aku bukan benda mati,” berkata Ki Buyut, “persoalan yang sudah jelas ini tidak dapat lagi diputar balikkan.”
“Jika demikian, maka memang tidak ada jalan lain untuk membuat penyelesaian selain dengan kekerasan. Jika semuanya memang sudah tahu akan maksud kedatangan kami, terserah kepada kalian, apakah kalian ingin mencegah pertumpahan darah dengan memenuhi keinginan kami atau tidak,” berkata bebahu itu.
Ki Bekel pun kemudian berkata kepada Ki Buyut, “Nampaknya memang tidak ada jalan lain Ki Buyut.”
“Ya. Mereka memang sudah kehilangan penalarannya, sehingga mereka memilih jalan kekerasan. Jalan yang seharusnya dijauhi sejauh-jauhnya,” berkata Ki Buyut, “namun sudah tentu bahwa Ki Bekel tidak dapat berbuat lain daripada membela diri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia pun berkata kepada dua orang di antara pengawal Kabuyutan yang ada di sebelahnya, “Tolong, singkirkan Ki Buyut. Nampaknya ada beberapa orang pengawal yang terpengaruh oleh bebahu itu.”
“Tetapi aku tidak melihat pemimpin pengawal Kabuyutan,” jawab salah seorang di antara para pengawal itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan pemimpin pengawal itu tidak terpengaruh oleh mereka yang sesat itu.”
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bergumam, “Kita tidak tahu suasana yang sekarang menyelimuti padukuhan induk. Tetapi menurut pendapatku, pemimpin kami bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh sikap yang sesat sebagaimana dilakukan oleh kedua orang bebahu itu serta beberapa orang kawan-kawannya. Meskipun mereka berhasil menghasut sebagian dari pengawal, tetapi aku kira pimpinan kami tidak akan terseret oleh arus yang kotor itu.”
Ki Bekel tidak bertanya lagi. Pengawal itu pun kemudian telah membawa Ki Buyut masuk regol padukuhan bersama seorang kawannya, sementara itu, dua orang yang lain telah bergabung dengan anak-anak muda padukuhan itu.
Namun selagi Ki Buyut masih berada di belakang regol, terdengar beberapa orang berteriak, “Bukankah itu pemimpin pengawal?”
Semua orang memandang ke arah lima orang yang berlari-lari lewat pematang langsung menuju ke regol padukuhan menghindari orang-orang yang siap untuk menyerang padukuhan itu.
“Anak itu,” desis Ki Buyut yang kemudian telah melangkah kembali ke regol, “bagaimana sikapmu?”
“Aku tetap pada sikapku. Aku akan melakukan perintah hanya dari Ki Buyut,” jawab pemimpin pengawal itu.
Bebahu yang melawan Ki Buyut itu menjadi berdebar-debar. Sementara pemimpin pengawal itu berkata sambil menunjuk bebahu itu, “Aku telah ditangkapnya. Tetapi aku sempat melarikan diri dan sebagaimana kalian lihat, aku berada di sini sekarang siap melakukan perintah Ki Buyut. Sayang, aku tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan para pengawal.”
Tetapi bebahu itu berteriak, “Kau tidak usah membual. Sekarang kita akan menyelesaikan semuanya sampai tuntas.”
“Baik,” berkata pengawal itu, ”bersama-sama kekuatan dari padukuhan ini, maka kami akan menghadapi kekuatanmu serta orang-orang upahan itu, karena aku tahu, kau telah bertumpu pada kekuatan orang-orang upahan itu.”
“Persetan,” geram bebahu itu, “sebagaimana kau lihat, para pengawal sudah tidak lagi patuh kepadamu. Tetapi mereka telah membenarkan sikapku.”
“Cukup,” teriak Ki Bekel, “sekarang kau mau apa? Kau hanya akan menakut-nakuti anak-anak yang sudah saatnya menggembalakan kambingnya.”
Pemimpin orang upahan itu pun berteriak pula, “sekarang. Sekarang.”
Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka Mahisa Murti menjadi semakin berdebar-debar, ia tidak sampai hati melihat pertempuran yang bakal terjadi antara para penghuni Kabuyutan itu. Ia merasa bahwa persoalannya timbul karena rumah dan benda-benda berharga milik nenek tuaitu. Dengan demikian, maka jika jatuh korban, maka nenek tua itu tentu akan merasa bersalah. Seakan-akan korban yang dituntut oleh kekuatan hitam itu tidak saja terbatas keluarga nenek itu sendiri. Tetapi kekuatan hitam itu masih juga mencengkam dan merenggut nyawa orang-orang padukuhan dan bahkan orang-orang Kabuyutan itu.
Karena itu, maka ia pun telah mendekati Mahisa Pukat dan berbisik ditelinganya. Ternyata Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti itu. Karena itu, selagi orang-orang upahan itu bergerak mendahului bebahu yang menentang Ki Buyut serta para pengikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meloncat ke depan.
Dengan nada tinggi Mahisa Murti berkata, “Tunggu. Jadi kalian benar-benar akan bertempur?”
“Ya,” jawab pemimpin orang-orang upahan itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Aku tidak bertanya kepadamu. Aku bertanya kepada bebahu Kabuyutan yang menentang kebijaksanaan Ki Buyut itu.”
“Persetan,” geram bebahu itu, “semua orang yang menentang sikapku akan aku hancurkan. Termasuk Ki Bekel dan Ki Buyut.”
“Sekali lagi aku minta, urungkan pertempuran ini. Jiwa yang jatuh tidak akan seimbang dengan harta yang kalian perebutkan. Apalagi harta itu didapat karena pengaruh ilmu hitam yang kemudian telah merenggut jiwa seluruh keluarga nenek tua itu. Nah, apakah korban jiwa itu masih belum cukup, sehingga kalian masih akan menambahkannya lagi persembahan bagi kekuatan hitam itu? Sebenarnyalah, langsung atau tidak langsung kematian yang akan terjadi adalah satu persembahan bagi kekuatan hitam itu. Meskipun kekuatan hitam yang tidak sama,tetapi sama-sama bersumber pada kekelaman,” berkata Mahisa Murti.
“Tutup mulutmu,” teriak pemimpin orang-orang upahan yang sudah siap merampok rumah orang-orang kaya jika benar-benar terjadi kekalutan di padukuhan itu. Dengan lantang pemimpin itu telah memberikan sekali lagi, “Sekarang, cepat lakukan sekarang.”
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap. Demikian mereka mulai bergerak dan menebar meloncati parit dan turun ke sawah, Mahisa Murti berbisik, “Kau robohkan pohon gayam itu. Aku akan memecahkan batu padas di seberang jalan yang berhadapan dengan pohon gayam itu.”
Sebenarnyalah, ketika orang-orang upahan itu mulai melangkah maju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap menghentikan mereka. Keduanya memang sengaja ingin menunjukkan kelebihan mereka dari kebanyakan orang, justru untuk mencegah agar tidak terjadi pertempuran. Khususnya orang-orang padukuhan itu. Para pengawal yang terpengaruh oleh bebahu itu serta orang-orang lain yang telah terbujuk oleh janji-janji yang memberikan harapan telah membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Kabuyutan itu. Mereka akan bertemur satu dengan yang lain.
Karena itu, apapun yang akan dilakukan, maka pertempuran itu memang harus dicegah. Karena itu, ketika orang-orang upahan yang berniat untuk membuat kekacauan agar mereka mendapat kesempatan untuk merampok itu mulai bergerak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menentukan sasaran mereka masing-masing.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka, maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka menghadap ke sasaran. Kemudian menghentakkan tangannya untuk melepaskan ilmunya yang jarang ada duanya. Demikianlah, maka dua kekuatan ilmu yang dahsyat telah meluncur ke sasaran masing-masing. Sebatang pohon gayam dan sebongkah batu padas.
Sejenak kemudian, sasaran kedua orang anak muda itu bagaikan telah meledak. Pohon gayam itu pun telah berderak patah dan roboh menyilang jalan. Sementara itu batu padas yang sebongkah itu pecah berserakan menghambur di sekitarnya.
Semua orang terkejut melihat kenyataan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya itu. Kedua anak muda itu tanpa menyentuh dengan tangannya, telah mampu merobohkan sebatang pohon gayam dan menghancurkan sebongkah batu padas.
Orang-orang upahan yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tidak terlawan itu melangkah mundur. Mereka yang sudah berharap untuk menguasai seluruh kekayaan yang ada di padukuhan itu, harus berpikir ulang seribu kali lagi. Kemampuan anak-anak muda itu benar-benar kemampuan yang bermimpi pun tidak diduganya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri pada jarak beberapa langkah sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Nah, marilah. Siapakah di antara kalian yang ingin aku lumatkan menjadi debu. Aku sudah kehabisan kesabaran. Bibirku rasa-rasanya telah menjadi setebal tumit di kaki karena aku terlalu banyak berbicara. Tetapi kalian tidak mau mendengarkan. Kalian telah diburu oleh pamrih yang gila sehingga kalian sampai hati mengorbankan persaudaraan di antara orang-orang se Kabuyutan. Apalagi kalian telah memanggil kekuatan lain yang mempunyai pamrih tersendiri. Yang dengan sengaja telah berniat membuat kekacauan di padukuhan kalian, karena hanya dengan kekacauan itu mereka akan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Bebahu yang menentang Ki Buyut itu pun menjadi bingung. Namun mereka pun sadar, bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu melawan kekuatan yang ada di padukuhan itu. Ilmu kedua orang anak muda yang nggegirisi itu sudah akan mampu memusnahkan sebagian dari mereka, sementara itu orang-orang padukuhan itu terutama anak-anak mudanya telah bersiap pula untuk melawan.
Dengan demikian maka bagi mereka tentu tidak akan ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan untuk memasuki padukuhan itu pun tentu terasa sangat sulit. Di balik dinding padukuhan itu, kekuatan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tentu sudah siap menerima mereka seandainya mereka memanjat dinding. Bahkan jika kekuatan ilmu kedua anak muda itu menyambar mereka, maka tubuh mereka akan berserakan seperti sebongkah batu padas itu.
Dalam kebingungan itu, maka terdengar Mahisa Murti berkata kepada Ki Buyut, “Marilah Ki Buyut. Silahkan bertanya kepada mereka, apakah mereka masih akan meneruskan niatnya atau tidak. Jika mereka ingin meneruskan niatnya, berarti mereka sampai hati menghancurkan saudara-saudaranya sendiri. Jika demikian maka kita di sinipun akan melakukan hal yang sama atas mereka tanpa belas kasihan.”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diantar oleh Ki Bekel keduanya melangkah maju.
“Berbicaralah dengan mereka Ki Buyut,” minta Mahisa Murti.
Ki Buyut masih merasa ragu. Namun Ki Bekel mendesaknya, “Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang pemimpin.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Yang pertama-tama diucapkan adalah, “Kembalikan cincin itu.”
Bebahu yang telah merampas cincin tanda kuasa Ki Buyut termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah mengulanginya. “Kembalikan cincin itu, atau kau akan menjadi debu?”
Bebahu itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian melangkah maju, melangkahi batang pohon gayam yang roboh langsung mendekati Ki Buyut.
“Serahkan cincin itu,” geram Mahisa Pukat.
Ketika bebahu itu menyerahkan cincin di tangannya, maka yang menerimanya adalah Mahisa Pukat. Kemudian baru menyerahkannya kepada Ki Buyut. Ki Buyut menyadari sikap hati-hati anak muda itu. Bebahu itu tentu orang yang sangat licik, yang akan dapat memanfaatkan kesempatan apapun untuk mencapai maksudnya.
Tetapi ia pun kemudian telah berdesis, “Kami tidak akan berani berbuat apa-apa lagi.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil memakai cincinnya maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Kini aku telah menjadi lengkap kembali.”
“Cincin itu tidak berarti apa-apa,” berkata Mahisa Pukat, “Tetapi jika itu mempengaruhi kemantapan perasaan Ki Buyut, maka kini Ki Buyut tentu menjadi utuh kembali sebagai seorang Buyut.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara lantang Ki Buyut pun kemudian berkata, “Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Tetapi orang-orang upahan itu harus mendapat peringatan keras. Jika mereka benar-benar berani mengganggu ketenangan Kabuyutan ini, maka mereka akan berhadapan dengan seluruh Kabuyutan yang ada.” Ki Buyut pun berhenti sejenak, lalu, ”tentang para pengawal, mereka akan aku serahkan kepada para pemimpin pengawal.”
Pemimpin pengawal itu pun kemudian telah berdiri di sebelah Ki Buyut. Dipandanginya para pengawal yang berdiri termangu-mangu. Kemudian pempimpin pengawal itu pun berkata dengan nada berat, “Kalian telah membuat aku berprihatin. Meskipun kita bukan sepasukan prajurit, tetapi kita memerlukan ikatan yang kuat untuk menunaikan tugas-tugas kita. Tetapi kalian sudah melanggar paugeran seorang pengawal. Karena itu, maka ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh. Kalian meninggalkan kedudukan kalian sebagai pengawal atau aku yang harus pergi.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Suasana di depan regol padukuhan itu menjadi hening. Namun dalam keadaan yang demikian, maka setiap orang dapat melihat ke dalam diri mereka masing-masing, apa yang telah mereka lakukan.
Bahkan orang-orang upahan itu pun telah tersentuh pula perasaan mereka. Anak-anak muda yang mampu merobohkan sebatang pohon gayam dan memecahkan sebongkah batu padas itu tentu berilmu sangat tinggi. Mereka akan dapat membunuh semua orang yang melakukan perlawanan terhadap Ki Buyut itu. Tetapi keduanya tidak melakukannya. Keduanya menunjukkan kemampuan mereka sekedar untuk mencegah benturan kekerasan antara orang-orang sekabuyutan.
“Agaknya mereka tidak akan menyombongkan dirinya jika mereka tidak merasa bertanggung jawab atas perselisihan yang sedang terjadi itu,” berkata pemimpin orang-orang upahan itu dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal yang juga masih muda itu mengatakan, “Jika masih ada sisa-sisa kesetiaan kalian kepada kampung halaman, maka aku minta para pengawal pulang. Nanti sore kita ketemu, dan kita akan menentukan siapa yang akan menyingkir. Dengan sikap kalian itu, maka di antara kita sudah tidak ada lagi ikatan apapun juga.”
Para pengawal termangu-mangu sejenak. Beberapa orang menjadi kebingungan. Tetapi ketika seorang di antara mereka mulai bergerak meninggalkan tempat itu, maka yang lain pun telah mengikutinya. Sebuah iring-iringan kecil kemudian meninggalkan padukuhan itu kembali ke padukuhan induk, karena hampir semua pengawal tinggal di padukuhan induk. Hanya ada satu dua orang saja yang tinggal di padukuhan-padukuhan terdekat dan padukuhan induk. Justru pengawal yang menyertai pemimpin pengawal itu tidak datang dari padukuhan induk.
Ki Buyut melihat anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok pengawal Kabuyutan telah meninggalkan tempat itu, ia pun kemudian berkata, “Nah, aku sekarang ingin mendengar sikap dari kedua orang bebahu yang selama ini aku percaya untuk ikut membina kesejahteraan Kabuyutan ini.”
Bebahu yang menentang Ki Buyut itu termangu-mangu. Namun ia memang sudah tidak berani berbuat apa-apa. Tetapi ia masih belum melakukan sesuatu, ia masih berdiri termangu-mangu. Tetapi kawannya, bebahu yang seorang lagi, tiba-tiba saja telah berlari dan berjongkok di hadapan Ki Buyut sambil berkata dengan suara serak,
“Ki Buyut. Aku mohon ampun. Aku telah terbujuk oleh kesesatan dan menentang Ki Buyut. Tetapi sudah tentu itu satu kekhilafan. Dan kau akan menunjukkan kemudian, bahwa aku tidak akan melakukannya lagi.”
Ki Buyut termangu-mangu. Dipandanginya bebahu yang seorang lagi. Yang masih berdiri tegak di tempatnya. “Bagaimana dengan sikapmu?” bertanya Ki Buyut.
Suasana memang menjadi tegang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Agaknya bebahu yang seorang itu, meskipun sudah menyatakan tidak akan berani berbuat sesuatu, namun ia tidak mau menyatakan penyesalannya. Bahkan kemudian, ia pun berkata, “Ki Buyut. Aku sudah bersalah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi untuk itu aku sudah siap menjalani hukuman.”
“Persetan kau,” geram Ki Bekel, “kau menentang kekuasaan Ki Buyut?”
“Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi,” geram bebahu itu.
“Atau kau ingin menunjukkan bahwa kau memiliki kelebihan? Baik. Kau tidak usah mencoba melawan anak-anak muda itu. Tetapi kau dapat melawan aku dalam perang tanding,” berkata Ki Bekel.
“Kau bukan apa-apa bagiku,” jawab bebahu itu.
“Jadi maksudmu aku?” bertanya Ki Bekel.
Bebahu itu menjadi tegang. Dipandanginya Ki Buyut sejenak dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat bebahu itu menjawab, “Ya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan pemimpin pengawal dan orang-orang yang ada di sekitarnya terkejut. Dengan sigapnya pemimpin pengawal itu melangkah maju sambil berkata, “Selama aku masih ada. Kau tidak akan dapat mengganggu Ki Buyut dengan cara apapun juga.”
“Aku sudah mengira,” jawab bebahu itu, “namun aku-pun sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dibunuhpun aku akan menyerah.”
“Jadi apa maksudmu?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Masalahnya adalah masalah pribadi,” jawab bebahu itu.
“Bagus,” potong Ki Buyut, “juga kau menganggap bahwa perbedaan sikap kita tentang warisan nenek itu sebagai sikap pribadi, maka aku pun akan menanggapinya secara pribadi. Aku terima tantangannya.”
“Ki Buyut,” potong pemimpin pengawal itu.
“Terima kasih,” berkata Ki Buyut kepada pemimpin pengawal itu, “kau terlalu baik selama ini. Tetapi biarlah sekali-sekali aku melakukannya atas namaku sendiri.”
“Tetapi orang itu sangat licik,” berkata pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut justru tersenyum. Katanya, “Aku tahu. Ia ingin menunjukkan harga dirinya dalam kesempatan terakhir. Jika ia berhasil membunuhku, sebelum orang itu kalian hukum, maka ia akan mempunyai kebanggaan terakhir.”
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Katanya, “Tetapi kita semuanya akan terlambat.”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tidak. Segala-galanya tidak tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada aku, segalanya akan berjalan seperti biasa.”
Pemimpin pengawal itu memang menjadi cemas. Tetapi jika dua orang laki-laki telah memutuskan untuk melakukan perang tanding, maka tidak seorang pun yang akan dapat mencampurinya.
Demikianlah, maka Ki Buyut pun telah melangkah maju. Ia telah bersiap-siap menghadapi bebahu itu sambil berkata, “Marilah. Kita selesaikan persoalan kita secara pribadi.”
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang upahan yang masih termangu-mangu itu mulai bergerak, Mahisa Murti sempat berteriak, ”jangan bergerak. Aku dapat membunuh kalian semuanya dari tempat aku berdiri ini.”
Orang-orang itu pun tersadar, bahwa Mahisa Murti bukannya sekedar membual. Tetapi ia benar-benar akan dapat melumatkan mereka jika mereka melanggar ketentuannya itu. Karena itu, maka tidak seorang pun yang kemudian berani beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, Ki Buyut dan bebahu itu pun sudah berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk melakukan perang tanding. Keduanya, bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya itu pun mengerti bahwa perang tanding itu tidak ada batasnya sama sekali, kapan mereka akan menyelesaikannya. Bahkan perang tanding itu akan dapat berakhir dengan kematian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berdiri berseberangan. Pemimpin pengawal itu pun telah melangkah mendekat. Demikian pula beberapa pengawal yang lain, serta Ki Bekel dan beberapa orang bebahu padukuhan.
Beberapa saat kemudian, bebahu yang menentang Ki Buyut itu mulai menggerakkan tangannya sambil berdesis, “Ternyata kau seorang yang bodoh sekali Ki Buyut. Kau mendapat kesempatan untuk membunuhku. Tetapi kau telah terpancing karena kau tidak mau tersinggung harga dirimu. Kau telah bertekad untuk mengorbankan nyawamu untuk mempertahankan wibawamu.”
“Kau salah,” jawab Ki Buyut, “aku sama sekali tidak berniat untuk mempertahankan apapun juga. Bukan harga diri, bukan kewibawaan dan bukan apa-apa. Tetapi sudah lama aku tidak berkelahi. Sejak aku pulang dari pengembaraanku karena aku dipanggil oleh ayahku dan kemudian menggantikan kedudukannya, rasa-rasanya aku kurang sekali berlatih dan mengetrapkan ilmuku. Tetapi kau tentu tahu, bahwa akulah yang telah menangkap gegedug Kali Luk Papat. Aku pula yang telah mengamankan Kabuyutan dari gangguan perampok yang bersarang di Goa Cunduk. Namun itu sudah cukup lama terjadi. Setelah itu, aku memang hampir tidak pernah melakukan apa-apa lagi. Kabuyutan ini terlalu tenang dan damai. Baru kemudian ketika warisan nenek itu sangat menarik, terjadi hal seperti ini.”
Wajah bebahu itu berkerut. Ia memang teringat, bahwa Ki Buyut itu memang memiliki kemampuan. Tetapi sikapnya yang seakan-akan terlalu lemah dan goyah itu, telah mengaburkan ingatan bebahu itu itu tentang kemampuannya. Meskipun demikian bebahu itu pun merasa dirinya memiliki kemampuan. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menggeram, “Itukah caramu memperlemah ketahanan lawanmu.”
“Tidak. Sekali-sekali tidak,” jawab Ki Buyut.
Namun bebahu itu tidak berbicara lagi. Ia pun telah meloncat menyerang Ki Buyut dengan juluran tangannya mengaraha ke dada. Namun ternyata Ki Buyut pun cukup tangkas. Dengan cepat pula ia bergeser menyamping. Namun tiba-tiba saja kakinya telah terjulur membalas serangan itu dengan serangan pula. Bebahu yang melawannya itu terkejut. Namun ia sempat meloncat menghindarinya pula.
Adalah diluar dugaan semua orang. Bahkan bebahu itu sendiri juga tidak menduga, bahwa Ki Buyut yang tidak sempat mengenainya itu tertawa sambil berkata, “Kau tangkas juga. Kau mampu menghindari seranganku yang pertama.”
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Dengan geram ia menyahut, “Kau menghina aku Ki Buyut.”
“Tidak. Aku justru mengagumimu. Tetapi jangan berharap untuk dapat menghindari serangan-serangan selanjutnya,” berkata Ki Buyut pula.
“Kau mencoba menakut-nakutiku,” geram bebahu itu pula, ”dengan cara yang licik itu kau berusaha memenangkan perang tanding ini.”
Tetapi dengan sikap yang meyakinkan Ki Buyut berkata, “Sudahlah. Kita akan membuktikannya.”
Bebahu itu memang tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun segera bersiap untuk menyerang. Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran di-antara keduanya pun menjadi semakin garang. Ternyata bahwa Ki Buyut memang memiliki kemampuan untuk mengimbangi bebahu itu. Beberapa kali mereka saling menyerang dan beberapa kali keduanya berhasil saling mengenai sasaran.
Tetapi pemimpin pengawal yang menyaksikan pertempuran itu memang merasa heran. Ternyata Ki Buyut juga memiliki kemampuan, yang bahkan tidak kalah dari bebahu yang menentangnya itu.
“Aku belum pernah melihat bahwa Ki Buyut pernah mengalahkan gegedug dan perampok,” berkata pemimpin pengawal itu di dalam hatinya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Mungkin waktu itu aku masih terlalu kecil.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi sedikit tenang melihat pertempuran itu. Meskipun Ki Buyut tidak memiliki terlalu banyak kelebihan dari bebahu itu, tetapi bebahu itu pun sulit untuk dapat mengalahkannya. Sehingga karena itu, maka pertempuran itu justru berlangsung semakin lama semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Tetapi masih belum dapat dibaca, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Bebahu itu memang masih lebih muda dari Ki Buyut. Ia masih memiliki tenaga yang lebih segar. Tetapi Ki Buyut nampaknya memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka Ki Buyut memiliki beberapa kelebihan penalaran dalam olah kanuragan daripada bebahu itu.
Pemimpin pengawal itu memang tidak menduga bahwa Ki Buyut akhirnya meskipun perlahan-lahan, namun mulai menguasai arena. Betapapun garangnya bebahu itu, namun dengan bertumpu pada kekuatannya dan dasar-dasar ilmu yang dimilikinya, ia tidak mampu sambil mempergunakan otaknya.
Akhirnya saat-saat yang ditanggu itu pun datang. Pertempuran itu pun berlangsung semakin lambat. Keduanya mulai kehilangan sebagian dari kekuatan dan tenaga mereka. Namun bebahu yang masih muda itu agaknya lebih cepat mengalami kesulitan. Ketika ia memaksa diri untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyerang, maka bebahu itu justru hampir saja terseret oleh lontaran kekuatannya sendiri sehingga terhuyung-huyung beberapa saat.
Ki Buyut yang ternyata masih tetap bersikap tenang dan meyakinkan sampai saat-saat yang menentukan itu sempat menyentuhnya sehingga bebahu yang sedang berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya itu pun justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Dengan cepat bebahu itu berusaha untuk bangkit.
Sementara Ki Buyut yang terengah-engah itu pun menunggu beberapa saat justru sambil mengusap keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya. Tetapi bibirnya masih saja nampak tersenyum. Bahkan ia pun berdesis, “Terima kasih atas kesempatan untuk beristirahat ini.”
“Gila,” geram bebahu itu, “ternyata kau mampu melindungi dirimu sendiri.”
“Seandainya kau seorang diri memaksaku menyerahkan cincin ini, maka kau akan mengalami nasib seperti sekarang ini. Tetapi karena kau datang dengan sekelompok orang, termasuk orang-orang upahan itu, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu kecuali memenuhinya,” berkata Ki Buyut.
“Tetapi aku belum kalah. Aku masih mampu menyelesaikan pertempuran ini dengan baik. Karena kau sudah berkhianat maka kau harus mati,” geram bebahu itu.
“Kenapa aku berkhianat?” bertanya Ki Buyut.
Bebahu itu berusaha mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyegarkan tubuhnya serta mengatur pernafasannya. Dengan demikian maka ia masih berusaha memperpanjang waktu. Karna itu ia masih berkata, “Kau sudah menyerahkan cincin pertanda kuasamu. Kemudian dengan serta merta telah kau cabut kembali.”
Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Marilah. Bukankah kita sudah cukup lama beristirahat?”
Bebahu itu menggeram. Tetapi Ki Buyut itu sudah mulai bergerak lagi. Sehingga dengan demikian maka bebahu itu tidak mempunyai waktu lagi. Ia harus melawan ketika Ki Buyut itu menyerangnya. Ternyata keadaan Ki Buyut yang lebih tua itu masih lebih segar daripada bebahu yang seakan-akan telah kehabisan tenaga itu.
Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah kepastian dari akhir pertempuran itu. Beberapa kali serangan Ki Buyut langsung dapat mengenai sasarannya. Meskipun tenaga Ki Buyut tidak lagi sekuat saat pertempuran itu dimulai, namun serangan-serangan yang datang beruntun itu lebih membuat bebahu itu menjadi pening. Serangan Ki Buyut telah mengenai pelipis, kening, perut dan dada bebahu itu. Beberapa kali ia terdorong surut dan bahkan terhuyung-huyung. Sehingga akhirnya, bebahu itu benar-benar telah jatuh tersungkur.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan lengannya ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya. “Apa katamu?” bertanya Ki Buyut, “apakah akhir dari perkelahian ini menjadi takaran, apakah kau akan tetap menghormati wibawaku atau tidak?”
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara Ki Buyut berkata selanjutnya, “Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Kau bukan lagi bebahu Kabuyutan yang selama ini kita bina dan kita kembangkan.”
Bebahu itu memang telah berusaha untuk duduk. Dengan sisa tenaganya ia masih menantang, “Kenapa kau tidak membunuhku Ki Buyut.”
“Kau tahu bahwa aku akan mampu melakukannya,” berkata Ki Buyut, ”tetapi apakah itu penting?”
“Kau akan menyesal jika kau tidak membunuhku sekarang,”geram bebahu itu.
“Kenapa?” bertanya Ki Buyut.
“Akulah yang kelak akan membunuhmu?” berkata bebahu itu sambil menggerakkan giginya.
“Ada dua alasan,” jawab Ki Buyut, “yang pertama, aku tidak takut kepadamu. Jika kau menghendaki, kapan saja kita akan dapat berkelahi. Kecuali jika kau akan berlaku curang. Tetapi aku tetap tidak akan menjadi ketakutan. Kedua, tantanganmu itu adalah justru kau berusaha untuk menyelamatkan hidupmu. Dengan menyinggung harga diriku, kau berharap bahwa aku tidak akan membunuhmu, agar tidak ada orang yang mengira bahwa aku menjadi takut kepada ancamanmu.”
“Cukup,” teriak bebahu itu. Namun nafasnya tiba-tiba saja telah menjadi hampir terputus.
“Jangan berteriak,” berkata Ki Buyut itu, yang kemudian telah berbicara dengan orang-orang upahan, “bawa bebahu itu pulang kerumahnya. Serahkan kepada keluarganya. Kemudian tinggalkan Kabuyutan ini sebelum kemarahan orang-orang Kabuyutan ini menimpa kalian.”
Orang-orang upahan itu menjadi ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat telah mengulangi perintah Ki Buyut itu, “Bawa bebahu itu pulang ke rumahnya, kalian dengar. Serahkan kepada keluarganya.”
Orang-orang itu tidak dapat membantah. Mereka pun kemudian telah melangkah mendekati bebahu yang hampir tidak dapat bangkit berdiri meskipun ia telah mampu duduk. Dengan ragu-ragu orang-orang upahan itu mengangkat bebahu yang lemah itu.
Namun sekali lagi Mahisa Pukat membentak, “Cepat. Bawa orang itu pergi. Aku benar-benar muak melihatnya.”
Orang-orang upahan itu telah membantu bebahu yang lemah itu berjalan meninggalkan Ki Buyut yang masih berdiri di tempatnya.
Kepada Ki Bekel, Ki Buyut itu pun berkata, “Ki Bekel. Agaknya persoalannya sudah selesai. Kami tidak akan mengganggu Ki Bekel yang telah mempunyai rencana yang baik dengan warisan nenek tua itu. Tetapi dalam pada itu, Ki Bekel pun harus merawat nenek itu dengan baik pula.”
“Ya Ki Buyut,” jawab Ki Bekel, “aku akan mempersilahkan nenek itu tinggal bersamaku, sementara rumahnya dipersiapkan untuk menjadi sebuah banjar.”
“Jika ia ingin tinggal di rumahnya, biar saja ia tinggal sampai batas umurnya,” berkata Ki Buyut.
“Maksudku, dengan demikian, aku akan dapat merawatnya dengan baik. Tetapi jika nenek itu masih ingin berada di rumahnya, sudah tentu tidak akan ada keberatannya,” jawab Ki Bekel, “sementara itu, anak-anak muda juga selalu berada di rumah itu khususnya di malam hari,” berkata Ki Bekel.
“Setiap hari aku akan tetap mengirimkan empat orang pengawal untuk ikut menjaga ketenangan bukan saja rumah itu. Tetapi padukuhan ini sampai suasana benar-benar menjadi baik.”
“Terima masih Ki Buyut,” jawab Ki Bekel yang kemudian mempersilahkan Ki Buyut untuk singgah lagi di rumah Ki Bekel.
“Nyi Buyut tentu sudah menunggu,” berkata Ki Bekel.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Kalian sangat mengagumkan anak-anak muda. Setelah aku menyaksikan kemampuan kalian, maka aku benar-benar tidak dapat mengerti, bagaimana kalian mampu memiliki kemampuan itu dalam usia kalian.”
“Sudahlah Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “sekarang Ki Buyut dipersilahkan untuk singgah di rumah Ki Bekel.”
“Dengan keyakinan atas kemampuan kalian, maka kalian telah bukan saja menolong aku dan isteriku, tetapi kalian telah berhasil menyelamatkan Kabuyutan ini dari perselisihan di antara kadang sendiri. Jika dalam persilihan itu jatuh korban di pihak manapun, maka itu adalah saudara kita. Sementara itu orang-orang upahan itu akan dapat memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya untuk kepentingan mereka sendiri,” berkata Ki Buyut kemudian, ”dengan demikian, maka kita wajib bersyukur.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kita memang harus bersyukur. Marilah. Kita ke rumah Ki Bekel.” Ki Buyut sempat mengucapkan terima kasih kepada orang-orang padukuhan itu yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka memang menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat orang-orang yang datang untuk menyerang. Selain jumlahnya yang cukup banyak, di antara mereka terdapat orang-orang upahan yang kasar dan bahkan tidak mengenal perikemanusiaan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Buyut pun telah berada di rumah Ki Bekel. Nyi Bekel yang mendengar bahwa persoalannya telah dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah, telah mengusap dadanya sambil berkata, “Syukurlah. Nampaknya Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah hari ini kita kembali pulang. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu. Pimpinan pengawal masih ada di pihak kita dalam perselisihan ini, sehingga ia akan dapat mengatasi para pengawal yang telah berniat buruk itu. Jika ternyata mereka belum jera. Maka pimpinan pengawal itu akan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan.”
Nyi Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “segala sesuatunya terserah kepada kakang.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Bekel ia berkata, “Ki Bekel, Aku masih minta kemurahanmu untuk berada di rumahmu sampai sore hari. Menjelang senja, kami akan kembali sehingga kami akan sampai ke rumah malam hari. Biarlah pemimpin pengawal itu pulang lebih dahulu bersama para pengawal yang ada di sini untuk menyelesaikan segala sesuatunya sebelum kami kembali.”
“Silahkan. Silahkan Ki Buyut. Sebenarnya kami akan minta Ki Buyut tinggal di sini barang satu dua hari, sehingga segala sesuatunya menjadi tenang. Baru Ki Buyut kembali ke Kabuyutan,” berkata Ki Bekel.
Tetapi sambil tersenyum Ki Buyut berkata, “Terima kasih. Besok atau pada kesempatan lain, kami tentu akan datang lagi.”
“Tetapi, Ki Buyut masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat sampai saatnya Ki Buyut kembali menjelang senja,” berkata Ki Bekel.
“Terima kasih. Aku justru ingin berada di pendapa bersama anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang telah bersiap-siap menghadapi orang-orang upahan dan orang-orang yang telah sesat itu,” berkata Ki Buyut.
Namun sebelum Ki Buyut keluar, telah datang dengan tergesa-gesa memasuki regol halaman, seorang petani yang terengah-engah.
“Ada apa?” bertanya seseorang yang berada di halaman rumah Ki Bekel.
“Ki Bekel ada?” bertanya petani itu.
“Ada apa kek?” bertanya orang lain.
“Ki Bekel. Aku ingin bertemu dengan Ki Bekel,” jawab petani itu.
Ki Bekel memang mendengar suara yang kemudian menjadi ribut. Seorang memang masuk ke ruang dalam dan memberitahukan bahwa seseorang telah mencarinya. Petani yang kemudian telah diminta untuk masuk ke ruang dalam itu dengan terengah-engah menceriterakan bahwa ia telah menemukan sesosok tubuh di tanggul parit.
“Di mana?” bertanya Ki Bekel.
“Di bulak sebelah Ki Bekel,” jawab petani itu.
“Jadi kakek pergi juga ke sawah dalam suasana seperti ini?” bertanya Ki Bekel.
“Aku justru mengungsi ke tengah-tengah sawah. Menurut perhitunganku, seandainya terjadi kerusuhan tidak akan sampai ke tengah sawah. Anakku juga menasehatkan agar aku berada di sawah saja, sementara anak itu agaknya juga berada di sini atau masih di sekitar regol padukuhan.”
“Siapa yang kau ketemukan di bulak itu?” bertanya Ki Bekel, “kau tentu mengenalnya. Seandainya orang itu orang padukuhan bahkan orang Kabuyutan ini.”
“Aku tidak berani mendekatinya,” jawab kakek itu, “mungkin masih akan terjadi sesuatu.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Ki Bekel, “Biarlah salah seorang dari para pengawal itu melihatnya.”
Sejenak kemudian, dua orang pengawal memang telah berangkat ke bulak. Keduanya terkejut ketika keduanya membalikkah tubuh yang terbaring menelungkup itu. Bahkan ternyata tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Bebahu yang memberontak itu,” desis salah seorang di antara mereka.
“Tetapi kenapa ia terbunuh di sini?” sahut yang lain.
“Kita bawa tubuh ini ke rumah Ki Bekel,” berkata pengawal yang pertama.
Demikianlah, ketika tubuh itu sampai di halaman Ki Bekel, orang-orang yang ada di halaman rumah itu, termasuk Ki Buyut dan Ki Bekel terkejut. Bebahu yang memberontak itulah yang telah terbunuh.
“Siapa yang melakukannya?” desis Ki Buvut, “aku yakin, seharusnya dalam perjalanan keadaannya menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya.”
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Mereka sependapat dengan Ki Buyut. Ki Buyut melepaskan orang itu ketika ia tidak berdaya. Tetapi Ki Buyut dan orang-orang yang menyaksikannya yakin, bahwa yang dilakukan Ki Buyut itu tentu tidak akan membunuhnya. Bahkan ia tentu akan segera menjadi baik secara perlahan-lahan. Bukan meninggal seperti yang terjadi.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya kepada petani yang melaporkannya, ”Apa yang kau lihat selain tubuh itu?”
“Aku tidak melihat apa-apa,” jawab petani itu.
“Sekelompok orang atau satu dua orang atau apa?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
Petani itu mengingat-ingat. Tiba-tiba saja ia berkata, “Sebelumnya aku memang melihat beberapa orang lewat. Tetapi terlalu jauh. Aku hanya melihat orang-orang melintasi pematang. Aku kira mereka termasuk orang-orang yang sedang berselisih di sini.”
“Dan kau tidak menghubungkan orang-orang itu dengan kematian bebahu itu?” bertanya Ki Bekel.
“Arahnya berbeda,” berkata petani itu, “aku ketemukan orang yang meninggal itu di pinggir jalan. Sedangkan aku melihat sekelompok orang yang berjalan menelusuri pematang di arah yang lain.”
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut berkata, “Tentu orang-orang upahan itu. Mereka menganggap bebahu itu tidak berguna lagi bagi mereka, sehingga bebahu itu justru telah dibunuhnya.”
“Mereka memang orang-orang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Mereka sama sekali tidak menghiraukan perikemanusiaan sama sekali,” sahut Ki Bekel.
“Tetapi, apakah mereka puas dengan akhir dari peristiwa ini, sehingga mereka pergi begitu saja dari Kabuyutan ini setelah membunuh bebahu yang gagal memberi kesempatan mereka melakukan kejahatan di padukuhan ini dan sudah tentu upah dari bebahu itu?” bertanya Mahisa Pukat yang mempunyai firasaat buruk tentang orang-orang itu.
“Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada petani yang datang melaporkan kematian bebahu itu, “Tunjukkan kepada kami, ke arah mana orang-orang itu pergi.”
Petani itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, kita pergi.”
Ketika Ki Buyut dan Ki Bekel siap pula untuk berangkat, maka Mahisa Murti telah mencegahnya, “Ki Buyut dan Ki Bekel kami persilahkan menunggu saja di sini.”
“Kami akan ikut bersamamu,” berkata pemimpin pengawal yang telah mengajak beberapa orang pengawal yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok orang telah meninggalkan rumah Ki Bekel, menuju ke bulak. Petani tua yang berlari-lari kecil itu pun telah menunjukkan ke mana sekelompok orang yang diduga orang-orang upahan setelah membunuh bebahu itu telah berusaha mencari sasaran di padukuhan lain.
“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,” berkata Ki Buyut ketika sekelompok anak-anak muda itu meninggalkan halaman rumah Ki Bekel.
Tetapi kecurigaan anak-anak muda itu semakin meningkat ketika petani itu menunjukkan arah kepergian orang-orang itu. Mereka tidak menuju ke padukuhan induk, tetapi mereka telah menuju ke sebuah padukuhan yang termasuk besar di sebelah padukuhan induk.
“Tidak ada suara pertanda apapun,” berkata petani yang terengah-engah.
“Mungkin penghuni padukuhan itu tidak sempat membunyikan kentongan. Mereka tidak menduga bahwa di siang hari akan terjadi perampokan,” jawab pemimpin pengawal yang kemudian berkata, “kek, jika kakek letih, sudahlah. Biar kami menelusuri sendiri. Nampaknya kami akan menemukannya, kecuali jika mereka meninggalkan Kabuyutan. Tetapi celakanya jika mereka justru melakukannya di Kabuyutan lain.”
Tetapi kakek tua itu menjawab, “Aku tidak berani ditinggal sendiri. Lebih baik aku ikut kalian.”
Pemimpin pengawal itu tidak memaksanya. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati sebuah padukuhan yang terhitung besar di Kabuyutan itu. Ketika mereka bertemu dengan beberapa orang anak yang berlari-lari, maka pemimpin pengawal itu telah mencegatnya. Ternyata anak-anak itu menjadi semakin ketakutan. Namun pemimpin pengawal itu justru telah menangkap seorang di antaranya yang terbesar di antara mereka.
“Kenapa kalian berlari-lari?” suara pemimpin pengawal itu menjadi lembut.
Tetapi wajah anak itu masih menunjukkan ketakutan. Sehingga pemimpin pengawal itu berkata lembut, ”jangan takut. Kau kenal aku bukan? Aku tinggal di padukuhan induk.”
Anak itu mengamati pemimpin pengawal itu dengan saksama. Agaknya ia memang pernah melihatnya. Apalagi sikapnya sama sekali tidak menakutkannya.
“Apa yang terjadi?” desak pemimpin pengawal itu.
“Kami sedang bermain-main,” jawab anak itu, “sekelompok orang telah berbuat kasar. Mereka memukuli orang-orang tua kami.”
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Dengan singkat ia bertanya, “Di mana mereka sekarang?”
“Di padukuhan. Mereka tidak membiarkan orang-orang tua pergi,” jawab anak itu.
“Baiklah. Kalian tidak usah lari. Beritahukan kawan-kawanmu itu. Kami akan menolong orang-orang tua di padukuhanmu,” berkata pemimpin pengawal itu.
Tetapi kawan-kawannya telah berlari jauh. Meskipun demikian pemimpin pengawal itu berkata, “Mereka akan letih. Mereka tentu akan berhenti berlari. Nah, katakan kepada mereka bahwa mereka tidak usah lari ke mana-mana lagi.”
Anak itu tidak menjawab. Sementara pemimpin pengawal itu pun kemudian telah memasuki padukuhan itu bersama dengan para pengawal dan Mahisa Murti serta Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka para pengawalpun telah menemukan jejak orang-orang upahan itu. Mereka memang benar-benar merampok rumah-rumah orang kaya. Mereka berpencar dalam kelompok-kelompok kecil dan bersama-sama melakukan perampok.
Pemimpin pengawal itu pun telah mendapat beberapa keterangan dari seorang laki-laki yang ketakutan yang berhasil menyelinap di belakang gerumbul-gerumbul perdu. “Kenapa tidak kau bunyikan kentongan?” bertanya pemimpin pengawal.
“Aku tidak sempat,” jawab orang itu.
“Sekarang,” berkata pemimpin pengawal itu, “pergi ke gardu dan bunyikan kentongan. Jika aku bertemu dengan kentongan di manapun juga, aku juga akan membunyikannya.”
Orang itu termangu-mangu. Namun pemimpin pengawal itu berkata selanjutnya, ”jangan takut. Aku akan mencari mereka.”
Ternyata keberanian orang itu pun mulai tumbuh. Ia puntelah berlari menuju ke gardu di mulut lorong. Dengan sekuat tenaga, ia telah memukul kentongan dengan nada titir. Ternyata suaranya menjangkau bagian yang masih belum dijamah oleh para perampok, sehingga dari tempat itu, maka kentongan pun telah bersahutan dalam nada yang sama.
Namun suara kentongan itu telah membuat para perampok semakin liar. Dengan garangnya mereka telah bertindak semakin kasar. Bahkan senjata mereka telah menyambar beberapa orang korban sehingga terluka parah.
Namun para pengawal telah berpencar pula. Mahisa Murti dam Mahisa Pukat telah menempuh arah yang terpisah. Sehingga dengan demikian mereka telah menemukan kelompok-kelompok perampok yang garang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak menyembunyikan kemampuan mereka. Sementara itu, kemarahannya memang telah membakar jantung.
Ketika pemimpin pengawal dan para pengawal mulai bertempur dengan kelompok-kelompok yang mereka jumpai, maka Mahisa Murti yang bergerak seorang diri telah bertemu dengan empat orang perampok yang sedang mendekati sebuah regol. Namun agaknya mereka telah berhasil merampok rumah yang lain, karena mereka telah membawa beberapa bungkusan.
Demikian orang-orang itu siap memecah pintu regol halaman yang ditutup, maka terdengar suara Mahisa Murti berat, “Cukup. Kalian telah cukup merepotkan Ki Buyut. Kalian bunuh bebahu yang sudah diampuni oleh Ki Buyut itu. Jika orang itu harus mati, maka Ki Buyut tentu sudah membunuhnya. Kalian sama sekali tidak menghiraukannya. Kalian yang diperintahkan membawa orang itu kepada keluarganya, ternyata telah kalian bunuh.”
Ampat orang itu terkejut. Tiba-tiba saja anak muda itu telah berada di padukuhan itu pula. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain. Seorang, di antara mereka telah berteriak, “Aku bunuh kau. Kau kira kau dapat menakut-nakuti dengan ilmu sihirmu itu.”
Keempat orang itu pun telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Dengan garangnya keempat orang itu telah mulai bergerak untuk menyerang. Namun Mahisa Murti pun tidak menunggu lagi. Dengan ilmunya yang dahsyat ia telah menyerang. Diangkatnya kedua tangannya, jari-jarinya yang terbuka dan merapat telah menghadap ke arah keempat orang yang berlari menyerangnya.
Namun ternyata masih ada kekangan yang membuat Mahisa Murti tidak langsung menyerang orang-orang itu. Tetapi ia telah melontarkan serangannya dua langkah di depan orang-orang yang sedang berlari itu. Serangan Mahisa Murti merupakan serangan yang belum pernah dialami oleh orang-orang itu. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan.
Ketika serangan itu menghantam tanah di hadapan mereka, maka tanah itu pun seakan-akan telah meledak. Ilmu yang dahsyat itu telah melontarkan tanah yang bagaikan letusan dibawah permukaan bumi sehingga butiran-butiran batu-batu kerikil dan tanah yang terlempar justru mengarah kepada keempat orang itu.
Ternyata akibatnya memang di luar dugaan. Bahkan diluar perhitungan Mahisa Murti sendiri. Tanah yang terhambur dengan derasnya itu justru telah mengoyak kulit dan terbenam ke dalam daging. Dua orang yang terdekat dengan ledakkan itu, ternyata sama sekali tidak mampu bertahan. Keduanya langsung terlempar dan jatuh terbanting tanpa dapat bangkit kembali. Mereka ternyata telah langsung terbunuh.
Sementara kedua orang yang lain, yang agak terlindung oleh kedua orang kawannya, tidak terlalu banyak mengalami luka-luka. Namun demikian keduanya pun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terguling. Ketika mereka mencoba untuk bangkit, maka hampir seluruh tubuhnya terasa sakit dan pedih. Demikian sakitnya sehingga keduanya ternyata telah terjatuh kembali sambil merintih menahan pedih.
Mahisa Murti yang dengan bergegas mendekatinya, ternyata menjadi gelisah melihat akibat serangannya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk mengurangi rasa sakit dengan menaburkan obat pada luka-luka yang bertebaran di tubuh mereka.
Beberapa orang yang semula mengintip dari balik pintu regol telah memberanikan diri untuk merayap keluar. Mereka pun dengan hati-hati telah mendekati Mahisa Murti yang kemudian bangkit berdiri dan memberi isyarat kepada beberapa orang itu untuk mendekati.
“Mereka sudah tidak berdaya,” berkata Mahisa Murti, “dua orang telah terbunuh diluar kemauanku. Tetapi yang dua ini masih mungkin hidup. Keduanya berada dalam keadaan yang tidak baik. Keduanya dalam kesakitan yang sangat. Apakah di sini ada tabib yang mampu mengobatinya, setidak-tidaknya merawatnya sehingga dapat mengurangi rasa sakitnya?”
Beberapa orang saling berpandangan. Namun seorang diantara mereka telah berkata, “Ada seorang tabib. Tetapi aku tidak tahu, apakah kemampuannya cukup tinggi untuk mengobati luka-luka itu.”
“Panggil orang itu,” berkata Mahisa Murti.
Orang yang menyebut seorang tabib itu ragu-ragu. Namun Mahisa Murti telah mendesaknya. “Katakan, aku memerlukannya.”
Orang itu tidak dapat membantah. Ia pun kemudian telah pergi ke rumah tabib itu. Sementara itu, para pengawal pun telah dapat menangkap beberapa orang upahan yang telah merampok itu. Bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Namun ada juga di antara para pengawal yang telah terluka dalam pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang juga bergerak seorang diri telah bertemu dengan empat orang pula. Empat orang yang menjadi sangat terkejut melihat kehadiran anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Berbeda dengan para perampok yang bertemu dengan Mahisa Murti, maka keempat orang itu telah berusaha untuk melarikan diri dengan meloncati dinding halaman.
Dengan serta merta keempat orang itu bersama-sama meloncat keatas dinding yang cukup tinggi. Dengan bekal kemampuan yang mereka miliki maka keempatnya tiba-tiba saja telah bertengger di atas dinding dan siap melompat turun ke halaman.
Mahisa Pukat yang marah itu tiba-tiba saja telah mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau melepaskan keempat orang itu. Apalagi sebelumnya Mahisa Pukat telah mengancam bahwa ia benar-benar akan mempergunakan ilmunya jika orang-orang itu melawan.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak ragu-ragu lagi. Dengan mempergunakan ilmunya, ia telah menghantam dinding tempat keempat orang itu bertengger. Mahisa Pukat ingin mencegah keempat orang itu meloncati dinding batu yang cukup tinggi itu. Dengan kekuatan ilmunya yang dilontarkan menghantam dinding itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah meledakkan dinding batu itu. Demikian besar kekuatannya sehingga dinding itu telah pecah dan runtuh bagian atasnya.
Ternyata Mahisa Pukat telah terlambat. Disaat dinding itu pecah, orang-orang yang meloncat itu telah berada dibawah. Namun nasib mereka memang terlalu buruk. Keempat orang itu telah tertimpa reruntuhan batu dinding halaman itu.
Seorang di antara mereka telah terbunuh seketika. Tiga lainnya telah terluka. Namun luka mereka termasuk luka yang cukup berat. Seorang dari antara mereka telah patah kakinya yang tertindih batu. Seorang lagi tulang punggungnya dan yang lain kedua lengannya telah cacat. Meskipun ketiganya masih akan dapat ditolong jiwanya jika mereka berada di tangan tabib yang baik, namun cacat mereka sudah tidak akan dapat dipulihkan lagi.
Beberapa orang memang telah datang pula. Mereka telah mengangkat batu-batu yang menimpa orang-orang itu, serta membawa orang-orang yang terluka dan terbunuh itu ke pendapa rumah yang dindingnya pecah itu. Demikianlah, maka pertempuran di padukuhan itu pun telah selesai. Beberapa orang terbunuh, beberapa orang terluka, sedangkan beberapa orang yang lain menyerah.
“Satu tugas yang merisaukan,” berkata pemimpin pengawal yang telah memerintahkan dua orang pengawal untuk memanggil kawan-kawan mereka dari padukuhan induk, kecuali mereka telah ikut serta memusuhi Ki Buyut.
Bersama para pengawal dan orang-orang padukuhan itu, dengan beberapa buah pedati, maka tubuh-tubuh yang membeku, orang-orang yang terluka, serta para pengawal yang juga terluka telah dibawa ke padukuhan induk, dibawah pengawalan yang kuat. Demikian pula para tawanan.
“Kita akan memberitahu Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah ikut ke padukuhan induk. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Kami berdua akan ikut ke padukuhan untuk menemui Ki Buyut. Tetapi aku tidak akan ikut bersama Ki Buyut kembali ke padukuhan induk.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa kau tidak akan datang lagi kemari? Apakah ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu?”
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “namun segala sesuatunya aku anggap sudah selesai. Persoalan orang-orang yang tertawan itu adalah persoalan Ki Buyut dan para bebahu.”
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jika demikian, kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Demikianlah, maka sekelompok pengawal telah meninggalkan padukuhan itu untuk menjemput Ki Buyut. Mereka sadar, bahwa keadaan masih belum terlalu baik. Sehingga karena itu, maka pemimpin pengawal itu telah menugaskan para pengawal terbaik untuk menjemput Ki Buyut, sedangkan ia sendiri tetap berada di padukuhan itu untuk mengamati perkembangan keadaan.
Kedatangan para pengawal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mendebarkan. Namun melihat wajah-wajah anak-anak muda itu, maka Ki Bekel berkata, “Keadaannya tentu menjadi semakin baik.”
Sebenarnyalah, Mahisa Murti pun telah melaporkan peristiwa yang telah terjadi di padukuhan induk, serta keinginan pimpinan pengawal agar Ki Buyut segera berada di padukuhan induk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi kemudian.
“Mereka telah mengirimkan sekelompok pengawal,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera kembali ke padukuhan induk.” Lalu katanya kepada Ki Bekel, “ternyata aku kembali sedikit lebih cepat dari rencanaku semula. Tetapi itu tidak mengapa. Aku akan kembali bersama-sama dengan para pengawal, sehingga tidak akan terjadi sesuatu atasku di perjalanan. Nyi Buyut pun akan kembali bersamaku sekarang. Nampaknya itu adalah pilihan yang paling baik baginya.”
Ki Bekel mencoba untuk menunda keberangkatan Ki Buyut. Namun agaknya Ki Buyut pun ingin segera menyaksikan, apa yang telah terjadi di padukuhan induk. “Tetapi para pengawal itu?” bertanya Ki Bekel perlahan-lahan.
“Bukankah mereka datang bersama-sama dengan kedua orang anak muda itu,” desis Ki Buyut.
Ki Bekel pun mengangguk-angguk. Mereka memang percaya sepenuhnya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga para pengawal yang datang bersamanya itu tentu para pengawal yang setia kepada Ki Buyut.
Dengan demikian maka Ki Buyut dan Ki Bekel tidak ragu-ragu lagi. Sejenak kemudian, Ki Buyut pun telah meninggalkan padukuhan itu bersama dengan Nyi Buyut diikuti oleh para pengawal. Berkali-kali Ki Buyut dan Nyi Buyut telah mengucapkan terima kasih kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta kepada Ki Bekel dengan seluruh penghuni padukuhan itu.
“Bagiku bukan lagi soal warisan nenek tua itu,” berkata Ki Buyut, “tetapi sudah merambat kepada persoalan yang lebih mendalam. Warisan dari nenek itu adalah semata-mata bernilai lahiriah. Rumah dan harta benda nenek itu dapat dinilai dengan uang. Tetapi tidak dengan kesetiaan. Sedangkan yang harus aku nilai kemudian adalah justru kesetiaan itu. Jika aku berbicara tentang kesetiaan, bukan kesetiaan kepadaku. Tetapi aku sebagai lambang dari seluruh Kabuyutan ini. Ketidak-setiaan bebahu yang terbunuh itu, serta ketidak setiaan beberapa orang pengawal dan para penghuni padukuhan induk, harus dilihat dari kepentingan yang lebih besar lagi Kabuyutan ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan suara berat, “Aku mengerti Ki Buyut. Dan menurut penilaian kami, Ki Buyut ternyata adalah seorang pemimpin yang bijaksana.”
“Ah, jangan memuji,” desis Ki Buyut yang kemudian telah minta diri pula, “Kami, dan orang-orang yang bersama kami termasuk Nyi Buyut minta diri. Tentu saja bukan untuk seterusnya, tetapi aku akan selalu datang ke padukuhan ini. Bukankah padukuhan ini juga termasuk Kabuyutan kita pula?”
Ki Bekel masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Ki Buyut, tentu.”
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut dan Nyi Buyut pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa tidak dapat ikut mengantarkan mereka. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segalanya tentu sudah akan selesai. Ketika Ki Buyut meninggalkan padukuhan itu, maka Ki Bekel pun telah menyiapkan sebuah pedati. Mayat bebahu yang terbunuh itu harus dibawa ke padukuhan induk pula.
Mula-mula Ki Bekel merasa ragu untuk menunjuk dua tiga orang yang akan mengawal mayat itu, karena Ki Bekel menduga bahwa orang-orang padukuhan itu tentu akan merasa berkeberatan. Namun ternyata lebih dari sepuluh orang telah menyatakan dengan sukarela untuk membawa mayat itu ke padukuhan induk.
“Terima kasih,” berkata Ki Bekel, “kita hanya memerlukan lima orang saja.”
Demikianlah, maka lima orang padukuhan itu telah bersiap mengantarkan mayat bebahu itu, sementara seorang yang mempunyai sebuah pedati di rumahnya telah pulang untuk mengambil pedati.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menganggap persoalan yang sebenarnya telah selesai, maka me-rekapun telah minta diri untuk kembali ke rumah nenek tua itu. “Jika ada persoalan yang memerlukan kedatanganku, maka aku berada di rumah nenek tua itu,” berkata Mahisa Murti.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata Ki Bekel, “menurut pendapatku, persoalan selanjutnya tinggal menyelesaikan persoalan-persoalan kecil yang tidak banyak berarti. Karena itu jika kalian berdua ingin beristirahat, kami persilahkan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri. Para bebahu padukuhan itu dan Ki Bekel sendiri telah melepas kedua anak muda itu sampai ke regol. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu masih banyak yang berkerumun di sekitar rumah Ki Bekel. Mereka masih lengkap dengan berbagai macam senjata di tangan. Bagaimanapun juga mereka masih mencemaskan keadaan yang mungkin akan dapat berkembang menjadi buruk lagi.
Orang-orang padukuhan itu, para bebahu dan Ki Bekel sendiri ternyata menjadi semakin hormat kepada kedua orang anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun mereka tahu, bahwa kedua orang anak muda yang mengaku perantau itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa ilmu kedua orang anak muda itu akan mampu memecahkan sebongkah batu padas dan merobohkan sebatang pohon yang tumbuh dipinggir jalan.
Mereka pun tidak dapat membayangkan, apa yang telah terjadi atas para perampok yang bagaikan ditaburi batu-batu kerikil diseluruh tubuhnya sehingga menyusup sampai ke tulang. Mereka pun sulit membayangkan bahwa dari jarak yang agak jauh, anak muda itu mampu meruntuhkan dinding halaman yang dibuat dari batu.
Dalam pada itu, bebahu padukuhan yang pernah berniat untuk berkhianat itu pun merasa betapa kecil dirinya dan betapa kotor perbuatannya. Apa yang dilakukan itu, telah dilakukan pula oleh salah seorang bebahu Kabuyutan. Namun yang ternyata justru telah terbunuh oleh orang-orang upahannya sendiri.
Bebahu itu menjadi gemetar. Namun dengan susah payah ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Ia telah mencoba untuk melihat-lihat keadaan di sekitar halaman Ki Bekel untuk menenangkan hatinya. Ketika hatinya menjadi sedikit tenang, maka bebahu itu pun telah kembali naik kependapa. Namun tiba-tiba saja ia telah duduk berdua saja dengan bebahu yang hampir saja dihabisi nyawanya.
Bagaimanapun juga terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Apalagi ketika bebahu yang dimusuhinya itu kemudian tersenyum. Namun sebelum ia berbicara sesuatu, maka seseorang telah naik kependapa dan berkata kepada bebahu yang pernah akan dibunuhnya itu bahwa Ki Bekel telah memanggilnya.
Demikian bebahu itu bangkit dan melangkah turun dari pendapa, maka hatinya serasa telah menjadi sejuk kembali. Dengan tergesa-gesa maka ia pun telah turun dari pendapa pula dan sekali lagi ia berjalan-jalan di sekeliling halaman untuk menenangkan hatinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sampai ke rumah nenek tua yang menjadi persoalan yang berkepanjangan itu. Ternyata rumah itu sama sekali tidak disentuh oleh keributan yang baru saja terjadi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk diruang tengah sedangkan nenek tua itu berada di dalam biliknya. Sementara itu lampu minyak pun telah terpasang.
“Nenek merasa badannya kurang sehat,” berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian duduk diruang tengah itu pula. Mahisa Semu dan Wantilan sempat bertanya tentang persoalan yang terjadi di rumah Ki Bekel. Namun Mahisa Murti pun kemudian sempat berkata setelah ia berceritera serba sedikit tentang kerusuhan yang telah terjadi, tetapi semuanya sudah teratasi.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Semu, “kami selama ini selalu gelisah menunggu berita tentang kerusuhan itu. Satu dua orang yang lewat dengan tergesa-gesa tidak sempat mengatakan apapun juga.”
“Aku kira, tugas kita di padukuhan inipun telah selesai pula,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sudah merasa terlalu lama berada di padukuhan itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ada diruang dalam itu telah mendengar suara beberapa orang anak muda yang datang meronda di rumah nenek itu. Agaknya mereka telah mendapat tugas untuk datang kerumah ini, karena hampir semua anak-anak muda berada di sekitar rumah Ki Bekel.
Ketika nenek tua yang ada di dalam biliknya itu mendengar suara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun telah bangkit dari pembaringannya, keluar dari biliknya dan melangkah perlahan-lahan ke ruang tengah.
“Nek,” berkata Mahisa Pukat sambil bangkit dan mendekati orang tua itu, ”berbaring sajalah nek, jika badan nenek memang merasa kurang sehat.”
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa gelisah saja.”
“Sekarang nenek tidak perlu merasa gelisah lagi. Segala sesuatunya telah dapat diselesaikan. Memang ada korban yang jatuh. Tetapi bukankah itu wajar sekali? Orang-orang yang berniat buruk itu sama sekali tidak mau menerima satu kenyataan, sehingga mereka justru menjadi seperti gila. Mereka merampok orang-orang yang tidak bersangkut paut sama sekali dengan persoalan yang semula terjadi.”
Nenek tua itu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Pukat minta agar nenek itu beristirahat saja, nenek itu masih saja menolak. Bahkan kemudian nenek itu telah ikut duduk pula di ruang dalam. “Aku harus menyiapkan minuman dan makanan bagi mereka yang meronda,” berkata nenek itu.
“Biarlah nanti aku yang membuatnya,” berkata Mahisa Amping.
Nenek itu tersenyum. Sambil mengusap rambut Mahisa Amping nenek itu berkata, “Kita kerjakan bersama-sama seperti hari-hari yang lalu.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ia sadar, bahwa mereka sudah terlalu lambat mulai masuk ke dapur. Biasanya nenek itu mulai merebus air sebelum senja. Tetapi sebelum Mahisa Amping mengatakannya, nenek itu sudah mendahuluinya,
“Kita sudah terlambat ngger. Tetapi itu akan lebih baik daripada kita tidak melakukannya sama sekali.” Nenek itu pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti, “Tolong ngger. Sampaikan kepada anak-anak muda itu serta para pengawal jika mereka datang, bahwa minuman mereka akan terlambat kita hidangkan.”
“Ya, ya nek,” jawab Mahisa Murti, “mereka tidak akan merasa kecewa.”
“Ya. Tetapi perubahan dari kebiasaan ini perlu mereka ketahui,” berkata nenek tua itu.
“Baik nek. Aku akan segera menemui mereka,” jawab Mahisa Murti kemudian.
Ketika kemudian Mahisa Murti menemui anak-anak muda di pendapa, maka Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan. Namun agaknya para pengawal tidak sempat datang ke rumah itu. Dipadukuhan induk tentu sedang terjadi kesibukan yang tidak dapat mereka tinggalkan. Sementara itu, orang-orang di padukuhan induk tahu benar, bahwa di padukuhan ini sudah ada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang akan dapat mengatasi segala macam persoalan yang timbul kemudian.
Sejenak kemudian, maka nenek tua itu telah berada di dapur bersama Mahisa Amping. Namun ketika nenek itu membesarkan nyala lampu di dapur, ia pun telah terkejut. Ternyata ada seseorang yang telah berada di dapur itu. Nenek itu hampir menjerit.
Tetapi diurungkannya ketika ia melihat Mahisa Amping yang kecil itu mencabut luwuknya sambil bertanya, “Siapa kau?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “jangan takut. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan kedua anak muda yang sehari-hari ada di sini. Anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.”
“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Mahisa Amping.
Orang itu bahkan tertawa. Katanya, “Kau ternyata anak yang sangat berani. Tetapi pembicaraan kami bukannya pembicaraan yang perlu didengar oleh anak-anak. Besok, jika kau tumbuh menjadi dewasa, maka kau akan mengerti. Sekarang, lebih baik kau panggil kedua orang anak muda itu.”
Nenek tua itu memang menjadi ketakutan. Namun Mahisa Amping ternyata menjawab, “Bukan aku yang akan memanggil kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi biarlah nenek pergi memanggil mereka. Aku akan menungguimu di sini. Jika aku yang pergi, maka mungkin kau berniat buruk terhadap nenek.”
Orang itu masih saja tertawa. Katanya, “Kau sungguh anak yang berani. Kelak kau akan menjadi orang pilihan. Baiklah. Biar nenek pergi memanggil kedua orang anak muda itu.”
“Panggil mereka nek. Aku akan menjaganya di sini,” berkata Mahisa Amping.
Nenek tua itu pun kemudian telah bergeser keluar. Jantungnya memang terasa berdebaran. Namun ia masih sempat mencapai ruang dalam. Mahisa Semu terkejut melihat nenek tua itu terengah-engah. Bahkan ketika Mahisa Semu dan Wantilan menggapainya, karena nenek tua itu nampak tertatih-tatih, terasa tubuh nenek tua itu basah oleh keringat.
“Nek, nenek sakit?” bertanya Mahisa Semu.
“Tidak,” jawab nenek itu dengan suara gemetar. Dengan terbata-bata ia pun kemudian menceriterakan apa yang terjadi di dapur.
“Aku akan melihatnya,” berkata Mahisa Semu.
“Jangan,” cegah nenek itu, “panggil saja kedua saudaramu yang disebut adalah kedua orang anak muda yang sehari-hari berada di sini. Mungkin memang kalian berdua, tetapi lebih baik biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang yang menemui mereka, karena nampaknya keduanyalah yang dicari.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah nek. Aku akan memanggil keduanya.”
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di ruang dalam. Ketika mereka mendengar bahwa Mahisa Amping berada di dapur seorang diri, maka keduanya dengan tergesa-gesa telah pergi ke dapur pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian dengan sangat berhati-hati masuk ke dapur. Mereka menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat bahwa Mahisa Amping masih berdiri tegak dengan luwuk di tangannya di hadapan seseorang yang disebut oleh nenek tua itu.
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kau datang untuk mengejutkan nenek tua itu.”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku sempat mengikuti permainan di padukuhan ini. Nampaknya kau masih juga sempat bermain-main dengan Ki Buyut dan Ki Bekel.”
“Aku tidak tahu maksudmu,” kata Mahisa Murti.
“Aku memang akan berterus terang. Selama ini kau dikenal sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kau mampu mengalahkan orang-orang yang namanya telah menyentuh langit. Namun akhir-akhir ini, kau lebih senang bermain-main dengan orang-orang padukuhan ini,” berkata orang itu.
“Katakan maksudmu,” geram Mahisa Pukat.
Orang itu justru tertawa. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang jarang ada imbangannya di dunia ini. Apalagi sepasang pedang yang kalian sandang itu. Pedang yang tentu nilainya jauh lebih tinggi dari rumah ini serta segala isinya sekalipun.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengetahui arah pembicaraan orang yang ada di dapur itu. Yang diperhatikan bukan lagi rumah nenek tua itu, benda-benda berharga yang telah dijual yang uangnya akan diperuntukkan bagi kesejahteraan padukuhan itu. Tetapi yang diperhatikan oleh orang itu adalah sepasang pedang yang oleh pembuatnya disebut keris yang dibawanya dan dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Sementara itu, orang itu pun berkata, “Tetapi aku tidak tergesa-gesa anak muda,” orang itu berhenti sejenak, “mungkin kalian masih ingin ikut mengemasi padukuhan ini. Tetapi aku tahu bahwa pada suatu ketika kalian berdua tentu akan meninggalkan padukuhan ini. Nah, baru saat itu aku berkepentingan dengan kalian.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa tidak sekarang?”
“Jangan,” jawab orang itu, “aku tidak ingin membuat orang-orang padukuhan ini menjadi gelisah. Jika mereka menyadari, bahwa kalian berdua terbunuh, maka orang-orang padukuhan ini akan kehilangan kepercayaan diri pula. Karena itu, seperti sudah aku katakan, jika urusanmu dengan padukuhan ini, untuk menggenapi niatmu tapa ngrame selesai barulah aku akan menemuimu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Kau tentu ingin mendapatkan sepasang pedang kami. Tetapi seperti yang sudah terjadi, maka kami akan mempertahankan pedang ini.”
“Tentu, tentu,” berkata orang itu, “kalian harus mempertahankan pedang kalian. Jika tidak, maka kalian tentu bukan orang yang pantas kami tunggu di perjalanan kelak.”
“Baiklah Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku akan berada di padukuhan ini sampai besok. Aku berharap bahwa lusa kami telah meninggalkan padukuhan ini.”
“Bagus. Jika kalian harus mati, maka biarlah kalian tetap meninggalkan nama besar di padukuhan ini sehingga kalian akan tetap diharap untuk datang kembali di saat lain. Tetapi kalian tidak akan pernah datang lagi ke rumah. Kalian tidak akan pernah melihat rumah ini menjadi banjar padukuhan. Namun percayalah, sepeninggal kalian, maka kami akan mengambil alih tugas kalian di sini. Jika ada orang yang mengganggu padukuhan ini, banjar padukuhannya serta kesejahteraan yang akan menjadi lebih baik, maka aku akan melindunginya. Siapapun yang akan datang.”
“Terima kasih. Tetapi kami masih belum ingin mati. Kami masih ingin kembali ke padepokan kami dan bertemu dengan orang-orang yang kami tinggalkan,” berkata Mahisa Murti. “karena itu, maka agaknya kami akan memilih kemungkinan lain. Seperti orang-orang yang pernah datang kepada kami sebelumnya. Mereka telah mati. Dan kemungkinan yang lain itu adalah, kaulah yang akan mati.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Ternyata kalian adalah anak-anak muda yang menarik. Baiklah. Aku kira pesan kami sudah cukup. Bersiaplah di perjalanan saat kalian meninggalkan pa-‘ dukuhan ini. Aku akan menunggu kalian di suatu tempat yang memungkinkan kami mengambil sepasang keris itu dari tangan kalian.”
“Terima kasih atas pesan kalian,” jawab Mahisa Murti. Bahkan kemudian katanya, “Sebaiknya kau duduk dahulu di ruang dalam. Nenek akan merebus air. Barangkali kau haus.”
Orang itu tertawa menyentak. Katanya, “Terima kasih, terima kasih. Kalian benar-benar orang yang baik hati. Tetapi sayang, bahwa aku segera akan meninggalkan rumah ini. Aku akan mempersiapkan diri sampai besok lusa. Barangkali kau tidak berkeberatan memberitahukan arah perjalanan kalian?”
“Kami akan berjalan ke Barat,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus, aku akan menunggumu di Barat.”
Demikianlah, maka orang itu pun kemudian minta diri sambil melangkah ke pintu dapur. Di depan pintu ia masih tersenyum sambil berkata, “Selamat malam.” Lalu menunjuk Mahisa Amping, “Anak itu anak luar biasa.”
Demikianlah, sejenak kemudian maka Mahisa Amping telah bermain macanan dengan anak muda yang sedang meronda itu. Sementara yang lain pun telah membuat permainan sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah ikut pula bersama mereka sedangkan Mahisa Semu dan Wantilan berada di ruang dalam, menunggui nenek tua yang nampak gelisah. Tetapi malam itu, pendapa rumah nenek itu terasa sepi...
“Nampaknya semuanya sudah teratasi,” berkata Ki Bekel, “tapi kita masih harus berhati-hati.”
“Namun, maaf bahwa kami tidak akan dapat tinggal di padukuhan ini lebih lama lagi,” berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel manarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, ”Apa boleh buat. Sebenarnya kami ingin menahan kalian untuk tinggal di sini lebih lama lagi. Tetapi apa bila kalian harus melanjutkan perjalanan kalian, maka aku tidak akan dapat menahan kalian lebih lama lagi.”
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyerahkan segala-galanya kepada Ki Bekel. Sehingga karena itu, maka bukan saja rumah itu yang akan selalu mendapat pengawasan anak-anak muda dan perlindungan oleh pengawal yang akan dikirim oleh Ki Buyut, tetapi juga rumah Ki Bekel selalu diawasi oleh para peronda. Bahkan Ki Bekel minta di setiap malam ada dua atau tiga orang anak muda yang tidur di rumahnya.
“Setidak-tidaknya kita mendapat kesempatan untuk membunyikan kentongan,” berkata Ki Bekel kepada anak-anak muda yang diminta untuk bergantian tidur di rumahnya.
Hari itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, telah berbenah diri. Besok mereka akan berangkat pagi-pagi.
Ketika kemudian senja turun, empat orang pengawal dari Kabuyutan telah datang pula ke rumah itu. Lebih dahulu dari anak-anak muda padukuhan itu sendiri. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menemui mereka, maka agaknya mereka telah mendengar apa yang telah terjadi di rumah itu malam sebelumnya. Empat orang pengawal telah menjadi saksi bahwa anak-anak muda yang tinggal di rumah nenek tua itu adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka keempat pengawal itu bersikap lain dengan para pengawal sebelumnya di saat mereka datang. Para pengawal yang datang kemudian itu telah menunjukkan sikap yang jauh lebih baik. Bahkan salah seorang di antara para pengawal itu berkata kepada Mahisa Murti, “sebenarnya kami ingin berlatih di sini.”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Sayang sekali. Besok kami akan pergi untuk beberapa lama.”
“Besok jika kalian telah kembali,” jawab anak muda itu.
Mahisa Murti tersenyum. Jawabnya, “Baiklah. Besok jika kami kembali.”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang anak muda telah datang dari rumah Ki Bekel dengan membawa pesan agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera datang.
“Ada apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Ada tamu di rumah Ki Bekel,” jawab anak muda itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Dua orang bebahu Kabuyutan,” jawab anak muda itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kami akan datang.”
Maka setelah minta diri kepada Mahisa Semu dan Wantilan yang dimintanya mengawasi nenek tua itu serta para pengawal yang bertugas, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi ke rumah Ki Bekel. Sebenarnyalah di rumah Ki Bekel terdapat dua orang tamu bebahu Kabuyutan.
“Nah, kita akan membicarakannya dengan kedua orang anak muda ini,” berkata Ki Bekel.
“Terserah kepada Ki Bekel,” jawab bebahu itu, “aku hanya akan berbicara dengan Ki Bekel saja. Jika Ki Bekel akan membicarakan dengan siapapun, itu adalah masalah Ki Bekel sendiri.”
“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “aku akan membicarakannya dengan anak-anak muda ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Mereka merasakan bahwa sesuatu telah terjadi dalam pembicaraan antara Ki Bekel dan para bebahu itu.
Dalam pada itu, maka Ki Bekelpun berkata, “Anak-anak muda. Kedua orang bebahu dari Kabuyutan ini berniat untuk meneruskan maksudnya mempergunakan rumah itu untuk kepentingan seluruh Kabuyutan serta uang hasil penjualan benda-benda berharga itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Bukankah Ki Buyut sendiri telah menetapkan, bahwa rumah dan benda-benda berharga itu dibiarkan untuk dimiliki dan dipergunakan bagi Kabuyutan ini?”
“Soalnya Ki Buyut masih belum jelas duduk persoalannya. Ketika kami menjelaskannya setelah kami sampai di Kabuyutan, ternyata Ki Buyut baru menyadari, bahwa keputusan yang diambil ternyata keliru. Karena itu, besok Ki Buyut akan membuat satu pernyataan bahwa ia merubah keputusannya,” berkata kedua orang bebahu itu.
“Keputusan yang sudah diucapkan itu sudah didengar oleh sekelompok orang yang bertanggung jawab baik atas padukuhan ini maupun bagi seluruh Kabuyutan. Karena itu, maka keputusan itu dianggap akan berlaku dengan kepastian kuasa Ki Buyut itu sendiri,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi kuasa Ki Buyut pun mampu merubah keputusannya,” berkata bebahu itu.
“Itu tidak wajar,” berkata Mahisa Murti, “ada dua kemungkinan yang terjadi. Ki Buyut kehilangan kewibawaannya atau karena ancaman. Mungkin bukan nenek tua itu yang mendapat tekanan dan ancaman. Tetapi justru Ki Buyut.”
“Kau jangan menjadi gila anak muda,” berkata bebahu itu, “semuanya itu hanyalah sekedar mimpi burukmu. Besok Ki Buyut akan menyatakan keputusannya yang baru itu.”
“Tidak. Bagaimanapun juga Ki Bekel akan mempertahankannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Nah,” berkata Ki Bekel, “bukankah kalian telah berbicara langsung dengan anak-anak muda itu? Itu adalah sikap kami. Sikap padukuhan ini dengan segala isinya. Jelas?”
“Ajari mereka menghormati kuasa Ki Buyut,” bentak bebahu itu.
“Jangan membentak-bentak di sini,” berkata Ki Bekel, ”ini adalah rumahku.”
“Kau dapat memaksa anak-anak muda itu menerima keputusan Ki Buyut,” bebahu itu masih saja bersikap kasar.
“Pulanglah,” Ki Bekel pun kemudian juga menjadi kasar, “aku tidak mau diperlakukan seperti itu.”
Kedua bebahu itu memandang Ki Bekel dengan tajamnya. Dengan keras salah seorang di antara mereka berkata, “Ingat Ki Bekel. Kuasamu hanya di padukuhan ini. Sedangkan Kabuyutan tidak hanya terdiri dari satu atau dua Padukuhan. Karena itu, lakukan perintah Ki Buyut. Serahkan uang hasil penjualan benda-benda berharga itu kepada kami. Kau telah lancang melakukannya sebelum Ki Buyut mengambil keputusan.”
“Kalian ini ingin berbicara sebagai bebahu Kabuyutan atau ingin merampok?” bertanya Ki Bekel.
Tiba-tiba saja salah seorang di antara kedua orang itu berkata sambil menunjukkan cincin yang dipakainya, “Ini adalah cincin pertanda kuasa Ki Buyut. Bukankah tanda kuasa Ki Buyut ini sudah diakui? Karena itu, atas nama kuasa Ki Buyut, maka lakukan perintahku. Perintah yang aku ucapkan dengan bertumpu pada pertanda kuasa Ki Buyut adalah sama dengan perintah Ki Buyut.”
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat dibawah cahaya lampu minyak, pertanda kuasa Ki Buyut itu ada pada salah seorang di antara kedua orang bebahu itu.
Namun yang menjawab adalah Mahisa Pukat, “Kami tidak peduli atas nama kuasa siapapun juga. Kami menolak kuasa Ki Buyut yang berujud benda mati itu. Kami lebih menghargai sikap dan keputusan dari Ki Buyut yang hidup yang telah diucapkan sendiri siang tadi.”
“Itu berarti bahwa kalian telah memberontak terhadap kekuasaan yang sah di Kabuyutan ini,” berkata bebahu itu.
“Apa pedulimu,” jawab Mahisa Pukat yang tidak sabar lagi, “kami tidak akan membiarkan dua orang perampok menguasai harta kekayaan padukuhan ini. Bukan mustahil bahwa cincin pertanda kuasa Ki Buyut itu pun telah kalian rampok pula.”
“Jadi kalian menolak?” bertanya bebahu itu.
“Kami menolak,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku bertanya kepada Ki Bekel,” geram bebahu itu.
“Aku menolak,” jawab Ki Bekel tegas, “kau kira kau dapat menakut-nakuti kami dengan benda mati itu.”
“Setan. Kalian akan menyesal. Kalian tentu tahu hukuman bagi orang-orang yang memberontak,” berkata salah seorang dari kedua bebahu itu.
Tetapi jawab Ki Bekel, “Kau pun tentu tahu hukuman bagi para perampok.”
Wajah kedua orang bebahu itu menjadi merah. Dengan marah keduanya hampir berbareng berkata, “Tutup mulutmu.”
Tetapi Ki Bekel berkata lantang, “Tinggalkan rumah ini. Atau kalian akan kami perlakukan sebagai perampok.”
“Baik. Tetapi kau akan menyesal,” geram bebahu itu.
Ki Bekel hampir tidak sabar lagi. Tetapi kedua orang bebahu itu kemudian telah bangkit berdiri dan meninggalkan rumah Ki Bekel. Namun dendam benar-benar telah membara di jantungnya. Rencana pada kedua akan dilakukan karena rencana tahap pertama ternyata tidak berhasil sama sekali.
Dengan tergesa-gesa para bebahu itu kembali ke padukuhan induk. Mereka pun segera menemui orang-orang yang mempunyai sikap yang sama untuk mematangkan rencana mereka berikutnya esok hari.
“Mereka telah memberontak melawan Ki Buyut. Aku telah menunjukkan pertanda kuasa Ki Buyut. Tetapi mereka justru menganggapku sebagai perampok,” berkata bebahu itu.
“Ki Bekel menjadi sangat sombong karena ada anak-anak muda yang disebutnya sebagai penasehatnya itu,” berkata seseorang yang bertubuh tinggi tegap.
“Satu-satunya cara yang paling baik adalah menuduhnya telah memberontak,” berkata bebahu itu, “dengan demikian, atas nama Ki Buyut dengan limpahan kuasanya yang dapat dibuktikan dengan cincinnya, maka kita akan dapat bertindak.”
“Kita akan menunggu sampai besok,” berkata bebahu itu, “sementara itu, kita dapat berbicara dengan pemimin pengawal Kabuyutan. Para pengawal harus dipersiapkan untuk mengamankan kuasa Ki Buyut.”
“Aku akan memanggilnya,” berkata bebahu yang lain.
Sementara itu, beberapa orang telah bersiap-siap untuk menentukan satu langkah yang harus dilakukan oleh para pengawal untuk menghukum pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Bekel.
Namun, sikap pemimpin pengawal tidak begitu meyakinkan para bebahu itu. Ketika pemimpin pengawal itu datang memenuhi panggilan para bebahu, maka ia telah disertai oleh tiga orang pengawal. Seorang di antara mereka adalah pengawal yang malam sebelumnya telah bertugas melindungi padukuhan yang justru menjadi persoalan itu.
“Kita tidak dapat ingkar dari tugas yang dibebankan oleh Ki Buyut,” berkata bebahu itu.
“Dimana Ki Buyut sekarang?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Ki Buyut sedang terganggu kesehatannya. Kepalanya pening sehingga ia tidak dapat keluar dari biliknya. Ki Buyut memang agak terpengaruh oleh keadaan yang sedang dihadapinya. Namun setelah segala sesuatunya jelas, maka Ki Buyut telah bertekad untuk mengambil sikap yang tegas,” berkata bebahu itu.
“Kami telah mengetahui sikap Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
“Tetapi Ki Buyut sudah bertekad mencabut keputusannya itu dan memberikan keputusan yang lain. Ki Buyut telah memberikan cincin ini kepadaku. Dengan demikian maka kuasa Ki Buyut telah dilimpahkan kepadaku,” berkata bebahu itu.
“Baik. Aku akan mempersiapkan para pengawal. Tetapi besok aku menunggu perintah langsung dari Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
“Besok Ki Buyut akan mengucapkannya langsung kepadamu jika keadaannya menjadi baik. Sekarang, siapkan pasukan pengawal Kabuyutan ini,” perintah bebahu itu.
Pengawal itu pun kemudian telah minta diri. Katanya, “Aku akan berada di banjar. Aku akan mengendalikan pasukan pengawal dari banjar sebelum aku bertemu dengan Ki Buyut.”
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara itu, pemimpin pengawal itu telah meninggalkan para bebahu itu untuk pergi ke banjar. Dalam pada itu, maka beberapa orang yang secara khusus telah diatur oleh bebahu itu, berjaga-jaga di rumah Ki Buyut. Mereka tidak ingin sesuatu terjadi sehingga akan dapat merubah keadaan.
Sementara itu, malam pun telah menjadi semakin malam. Para bebahu yang letih itu telah mengatur waktu, kapan mereka harus berjaga-jaga, kapan mereka dapat beristirahat. Beberapa orang kepercayaan mereka pun telah ikut pula duduk-duduk di pendapa.
Namun dalam pada itu, dua bayangan hitam telah bergerak dengan sangat berhati-hati di halaman rumah Ki Buyut itu. Mereka bergerak dari balik gerumbul-gerumbul perdu ke balik pepohonan. Semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Buyut dari arah samping. Ternyata kedua bayangan hitam itu bergerak tanpa menimbulkan suara apapun juga. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di longkangan belakang.
Ternyata bagian belakang rumah Ki Buyut itu tidak mendapat pengawasan khusus. Dua orang di antara mereka yang ada di pendapa hanya kadang-kadang saja mengamati bagian belakang rumah Ki Buyut itu. Tetapi mereka hanya sekedar berjalan dalam gelap. Berhenti sejenak, memperhatikan keadaan. Namun kemudian mereka telah berjalan lagi.
Dengan demikian, maka kedua orang yang ada di longkangan itu sama sekali tidak mereka ketahui. Bahkan mereka juga tidak tahu bahwa kedua orang itu beberapa saat kemudian telah berada di atas atap rumah Ki Buyut. Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu telah membuka atap rumah Ki Buyut. Ternyata di dalam rumah itu, tidak ada pula seorang pun yang berjaga-jaga.
Dengan hati-hati kedua orang yang membuka atap rumah Ki Buyut itu pun kemudian telah merambat turun. Mereka telah meluncur lewat ander dan hinggap di pengeret. Tanpa menimbulkan suara apapun mereka telah berada di lantai di dalam rumah Ki Buyut yang sepi. Sejenak keduanya memperhatikan keadaan. Kemudian mereka telah bergeser menepi dan mendengarkan dengan saksama, apakah di dalam rumah itu ada seseorang.
Ternyata mereka mendengar desah nafas di dalam sebuah bilik. Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka berjingkat mendekati pintu bilik itu. Perlahan-lahan seorang di antaranya berdesis, “Ki Buyut?”
Tidak terdengar jawaban. Sehingga orang yang memasuki rumah itu mengetuk perlahan-lahan sambil berdesis, “Ki Buyut.”
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan dari dalam bilikitu.
“Aku. Tolong buka pintu bilik Ki Buyut,” berkata orang yang memasuki rumah itu.
Yang ada di dalam bilik itu memang Ki Buyut. Dengan nada rendah ia berkata, “Bukalah. Pintu itu tidak diselarak.”
Dengan hati-hati kedua orang yang memasuki rumah itu pun telah mendorong pintu lereg dan membukanya. Di dalam bilik itu Ki Buyut duduk di atas pembaringannya. Dengan wajah kusut dipandanginya kedua orang yang memasuki biliknya itu. Namun ketika Ki Buyut melihat siapa yang datang itu, maka tiba-tiba ia telah terloncat bangkit.
“Kalian dapat memasuki rumahku ini?” bertanya Ki Buyut.
“Ya,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Bukankah kau kedua orang anak muda yang mendampingi Ki Bekel itu?” bertanya Ki Buyut pula.
“Ya Ki Buyut,” jawab keduanya hampir berbareng.
Ki Buyut pun kemudian mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk di pembaringannya setelah menutup pintu itu. “Aku tidak diperbolehkan menyelarak pintu itu,” berkata Ki Buyut.
“Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi. Bukankah Ki Buyut dipaksa untuk menyerahkan cincin tanda kuasa Ki Buyut itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Darimana kau tahu?” Ki Buyut justru bertanya pula.
“Yang terjadi tentu tidak wajar. Aku yakin bahwa beberapa orang bebahu itu telah mengambil sikap sendiri. Ki Buyut tentu tidak akan mengambil keputusan yang begitu cepat berubah apapun yang terjadi,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Bukankah rumah ini telah dijaga kuat?”
“Tetapi sebagaimana Ki Buyut lihat, kami berdua berhasil masuk,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat nampaknya ingin lebih cepat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Buyut. Sekarang kami mohon perintah Ki Buyut.”
Tetapi Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kenapa? Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang pemimpin,” berkata Mahisa Pukat.
“Nyi Buyut ada di tangan mereka. Kami tidak mempunyai anak. Karena itu, tanpa Nyi Buyut aku tidak berarti apa apa,” jawab Ki Buyut.
Wajah kedua anak muda itu menjadi tegang. Dengan nada geram Mahisa Murti bertanya, “Dimana Nyi Buyut sekarang?”
“Tentu masih di rumah ini. Tetapi aku tidak tahu di ruang yang mana. Rumah ini seakan-akan memang telah dikosongkan. Beberapa orang pembantu di rumah ini telah dikumpulkan pula di gandok dan dijaga dengan kuat.”
“Gandok yang mana?” bertanya Mahisa Murti.
“Sepengetahuanku di gandok sebelah kanan jika mereka belum dipindahkan,” jawab Ki Buyut.
“Jika demikian, Nyi Buyut ada di gandok sebelah kiri,” desis Mahisa Murti.
“Dari mana kau tahu?” bertanya Ki Buyut pula.
“Menurut perhitunganku,” jawab Mahisa Murti.
“Di manapun Nyi Buyut disimpan, aku tidak akan berani berbuat apa-apa. Mereka termasuk orang-orang yang dapat berbuat apa saja untuk mencapai niatnya,” berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kepada Mahisa Pukat, “Awasi Ki Buyut. Aku akan melihat kemungkinan untuk melepaskan Nyi Buyut.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun Ki Buyut berkata, “Lebih baik urungkan niatmu. Kau akan dapat menyakiti Nyi Buyut meskipun tidak secara langsung. Jika mereka tahu ada orang yang berusaha membebaskan mereka, maka mereka tentu akan bertindak.”
“Kami akan berhati-hati Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah meninggalkan bilik itu sambil berpesan, “Aku akan memberikan isyarat dari luar. Jika kau mendengar isyarat lemparan batu, maka bawa Ki Buyut keluar. Berarti aku sudah membawa Nyi Buyut bersamaku.”
Mahisa Pukat mengangguk. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa mereka akan benar-benar melakukan tugas yang rumit, justru karena Ki Buyut dan bahkan Nyi Buyut telah dikuasai oleh beberapa orang bebahu.
Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat tidak lagi banyak berbicara. Ia sadar, bahwa bilik itu sedang dalam pengawasan, meskipun orang-orang yang mengawasinya agaknya merasa bahwa Ki Buyut tidak akan meninggalkan rumah itu, karena Nyi Buyut ada di tangan mereka. Dengan demikian maka orang-orang yang telah menahan Ki Buyut itu menjadi kurang bersungguh-sungguh.
Sementara itu, Mahisa Murti dengan sangat berhati-hati telah melintasi longkangan samping. Dengan sangat berhati-hati pula Mahisa Murti berhasil keluar dari pintu butulan, melingkari bagian belakang rumah itu dan mendekati gandok sebelah kiri.
Sebenarnyalah, ia mendengar tangis seseorang di gandok sebelah kiri itu. Namun kemudian terdengar suara seorang laki-laki, “Nyi Buyut tidak usah menangis. Ki Buyut nampaknya tidak akan menentang niat kami. Karena itu, jika semuanya sudah selesai, maka Nyi Buyut akan segera kami bebaskan.”
“Kenapa tidak sekarang?” bertanya Nyi Buyut disela-sela isaknya.
“Kami masih menunggu sampai esok. Taruhannya besar sekali. Uang yang sangat banyak, serta sebuah rumah yang besar dan sangat bagus. Rumah itu jika dijual akan laku sangat mahal. Uangnya dapat dipergunakan untuk membangun sebuah banjar yang sangat bagus di padukuhan induk ini. Sisanya akan menjadi kekayaan kita bersama-sama,” berkata suara itu.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Karena itu, lepaskan aku dan kembalikan aku kepada Ki Buyut,” minta Nyi Buyut.
“Sudahlah. Sebaiknya Nyi Buyut tidur saja. Segalanya akan dapat kita selesaikan besok. Besok para pengawal akan mendapat perintah dari Ki Buyut untuk memaksakan keputusan Ki Buyut atas padukuhan yang memberontak itu. Baru kemudianNyi Buyut akan kami kembalikan kepada Ki Buyut,” jawab laki-laki itu.
Nyi Buyut tidak berbicara apapun lagi. Yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Sementara itu terdengar pintu berderit terbuka. Beberapa saat kemudian, maka pintu pun telah tertutup lagi.
Mahisa Murti masih ada di belakang gandok. Agaknya orang-orang yang mengawal rumah itu memang kurang berhati-hati. Karena itu, maka Mahisa Murti nampaknya mempunyai kesempatan betapapun tipisnya untuk membebaskan Nyi Buyut dari gandok.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah meraba-raba dinding gandok itu. Tali-tali ijuk yang kuat mengikat dinding bambu dengan tiang-tiang penguatnya. Namun bukan mustahil bahwa tali-tali itu diputuskan. Mahisa Murti memiliki pedang yang luar biasa. Ia berharap bahwa pedangnya akan dapat membantunya.
Sebenarnyalah, bahwa pedang Mahisa Murti memang pedang yang luar biasa. Tajamnya melampaui tajamnya welat bambu wulung. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, maka tali-tali ijuk yang kuat itu pun telah terputus, sehingga dibagian sudut gandok, dinding bagian luar bilik gandok itu sudah terbuka.
Namun dinding gandok itu ternyata rangkap. Dibagian dalam terdapat dinding bambu yang dianyam lembut. Tetapi yang kemudian dicemaskan oleh Mahisa Murti justru jika Nyi Buyut terkejut dan berteriak. Karena itu, maka di arah suara tangis Nyi Buyut, Mahisa Murti berdesis, “Nyi, Nyi Buyut.”
Nyi Buyut mendengar suara itu. Isaknya pun telah berhenti. Dengan hati-hati Mahisa Murti berdesis, “Apakah Nyi Buyut sendiri?”
Nyi Buyut menempelkan mulutnya ke dinding. Ia sadar, bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaannya. Karena itu, maka Nyi Buyut telah berdesis, “Ya. Aku sendiri.”
“Tenanglah Nyi. Aku akan membelah dinding. Hentikan jika ada orang yang masuk.”
“Siapa kau?” bertanya Nyi Buyut.
“Nanti aku jelaskan. Tetapi aku mengemban perintah Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
Dengan pedangnya yang sangat tajam, Mahisa Murti telah membelah dinding bambu dibagian dalam dengan tanpa bersuara. Sementara itu dinding dibagian luarnya sudah terbuka.
“Nyi, keluarlah. Kawanku telah membebaskan Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
Nyi Buyut yang hampir berputus asa itu tidak berpikir lebih lama lagi. Ia pun segera berjalan dengan hati-hati, keluar lewat dinding yang sudah terbuka itu.
Demikianlah, maka Mahisa Murti telah membawa Nyi Buyut untuk mendekati bilik Ki Bekel. Dengan isyarat yang sudah dijanjikan maka Mahisa Murti memanggil Mahisa Pukat untuk membawa Ki Buyut keluar.
Ternyata Mahisa Pukat tidak mengalami kesulitan. Karena tidak ada seorang pun yang mengawasi Ki Buyut itu terus-menerus, maka mereka dapat keluar lewat pintu belakang, yang hanya diselarak dari dalam. Orang-orang yang menahan Ki Buyut memperhitungkan, bahwa Ki Buyut tidak akan berani melarikan diri, karena jika itu dilakukan, maka nasib Nyi Buyut akan menjadi sangat buruk. Namun ternyata baik Ki Buyut maupun Nyi Buyut telah sempat diselamatkan.
Tidak ada seorang pun di antara para bebahu yang melawan Ki Buyut itu serta para pengikutnya yang menyadari, bahwa bagian belakang dinding gandok sebelah kiri sudah koyak, sehingga Nyi Buyut dapat dibawa keluar.
Dalam pada itu, Ki Buyut dan Nyi Buyut telah berhasil meninggalkan halaman rumah itu lewat pintu samping pada dinding halaman. Untuk beberapa saat mereka harus berjalan di dalam kegelapan. Ki Buyut telah menuntun Nyi Buyut yang tidak terbiasa menyuruk dalam kelam di antara lorong sempit yang berbatu-batu.
Mereka berempat telah memilih lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Ki Buyut memang mengenal padukuhan induk itu seperti mengenali ruang-ruang di dalam rumahnya! Sehingga akhirnya mereka dapat menembus dinding padukuhan induk tanpa harus melalui pintu gerbang.
“Ki Buyut akan pergi ke mana?” berkata Nyi Buyut.
“Bagaimana sebaiknya menurut Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Mungkin menemui Ki Bekel,” berkata Mahisa Pukat.
“Baiklah. Tetapi bagaimanakah tanggapan Ki Bekel nanti?” bertanya Ki Buyut.
“Ki Bekel sudah menduga bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, sehingga Ki Bekel menyetujui kami berdua pergi ke rumah Ki Buyut,” sahut Mahisa Pukat.
Ki Buyut pun tidak berkeberatan. Dalam gelapnya malam mereka berempat telah menyusuri pematang pergi ke padukuhan yang memang agak jauh. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta agar Ki Buyut memilih jalan yang tidak melewati padukuhan.
“Mungkin ada yang melihat kita,” berkata Mahisa Murti, “lebih buruk lagi jika yang melihat itu para pengikut bebahu yang menentang kebijaksanaan Ki Buyut.”
Demikianlah, maka mereka pun telah menempuh jalan pintas yang memang agak sulit. Terutama bagi Nyi Buyut. Namun akhirnya mereka dengan selamat, telah sampai ke rumah Ki Bekel.
Ki Bekel memang sudah memperhitungkan, bahwa kedua orang anak muda itu akan berhasil. Karena itu, maka Ki Bekel sudah bersiap untuk menyambut Ki Buyut dan Nyi Buyut. Nyi Bekel telah membawa Nyi Buyut yang kelihatan sangat letih ke ruang dalam. Sementara Ki Buyut dan Ki Bekel berada di ruang tengah.
“Apakah kalian besok akan berangkat?” bertanya Ki Bekel kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Sebentar lagi kita memasuki pagi hari.”
“Jadi?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku terpaksa menundanya lagi.”
“Jika demikian, kalian dapat beristirahat sekarang,” berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian keduanya pun berkata, “Baiklah. Kami akan kembali ke rumah nenek tua itu. Biarlah anak-anak muda mengawal rumah ini. Kedua orang adik bebahu itu nampaknya akan cukup mampu memimpin anak-anak muda di padukuhan ini. Besok pagi-pagi aku sudah akan berada di rumah ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kami memerlukan kalian lebih cepat, maka kami akan membunyikan isyarat dengan kentongan.”
Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di rumah nenek itu kembali. Kepada para pengawal dan anak-anak muda yang berada di rumah itu, keduanya tidak mengatakan sesuatu. Namun kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang terbangun, Mahisa Murti berkata, “Kita harus menunda keberangkatan kita lagi.”
Mahisa Amping sama sekali tidak berkeberatan. Ia dapat membantu nenek penghuni rumah itu untuk kerjanya sehari-hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat beristirahat meskipun hanya sejenak. Demikian pula Ki Buyut dan Nyi Buyut di rumah Ki Bekel juga dipersilahkan untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu, Ki Bekel telah memerintahkan dua orang anak muda untuk mengamati keadaan. Mereka harus mengawasi jalan dari padukuhan induk. “Jika kalian melihat sesuatu yang tidak masuk akal, berikan laporan secepatnya,” perintah Ki Bekel, “Sebelum fajar kalian sudah akan diganti, sehingga kalian dapat beristirahat lagi.”
Ternyata Ki Buyut dan Nyi Buyut merasa aman di rumah Ki Bekel, sehingga keduanya dapat tidur beberapa saat sebelum fajar mulai menyingsing.
Sementara itu, sebelum fajar, orang-orang yang telah menahan Ki Buyut dan Nyi Buyut telah melakukan perondaan keliling halaman belakang. Namun mereka tidak melihat sesuatu. Bahkan mereka tidak melihat pintu dinding halaman samping yang sudah tidak diselarak lagi. Dalam pada itu, seseorang mulai memperhatikan bilik di gandok sebelah kiri. Ia tidak lagi mendengar Nyi Buyut menangis.
“Akhirnya ia menjadi letih dan diam dengan sendirinya,” berkata orang itu yang sudah menjadi jemu minta agar Nyi Buyut jangan menangis saja.
Tetapi orang itu memang tergelitik untuk melihat, apakah yang sudah dilakukan oleh Nyi Buyut. Apakah perempuan itu sudah tertidur atau masih duduk sambil mengusap air mutunya meskipun ia sudah tidak terisak lagi?
Perlahan-lahan orang itu telah membuka selarak pintu dari luar. Perlahan-lahan pula ia telah membuka pintu itu. Tetapi orang itu terkejut ketika ia tidak melihat Nyi Buyut di pembaringan. Dengan cepat ia meloncat masuk. Ternyata bilik itu telah kosong.
Orang itu menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia sempat melihat-lihat keadaan bilik itu. Lampu minyak yang memang tidak terlalu terang, tidak segera membantunya menemukan goresan pedang yang mengoyak dinding bambu rangkap itu. Namun akhirnya orang itu pun melihatnya. Dengan jantung yang berdebaran ia meloncat ke sudut bilik itu. Kemudian dengan serta-merta telah membuka dinding yang terkoyak itu.
“Gila,” orang itu hampir berteriak, “setan manakah yang telah melakukan ini.”
Dengan tergesa-gesa ia berlari keluar. Ditemuinya dua orang bebahu yang telah membuat semua rencana perlawanan terhadap Ki Buyut serta usahanya untuk mengurung Nyi Buyut, sehingga dengan demikian Ki Buyut tidak akan dapat menolak perintahnya.
“Apa?” dua orang bebahu itu pun hampir berteriak pula.
“Bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya seorang di antara mereka dengan nada tinggi.
“Lihatlah, lihatlah sendiri. Dinding itu telah koyak,” jawab orang yang berjaga-jaga di depan bilik Nyi Buyut itu.
Kedua orang itu hampir saja meloncat ke gandok untuk melihat sendiri bilik yang dindingnya sudah koyak itu. Tetapi tiba-tiba seorang di antaranya berkata lantang, “Kita lihat Ki Buyut.”
Orang-orang itu pun kemudian justru telah berlari masuk ke ruang dalam. Seperti yang mereka duga, bilik Ki Buyut pun telah menjadi kosong.
“Gila,” geram bebahu itu, “apa kerja kita semuanya di sini he? Bagaimana mungkin Nyi Buyut dapat keluar tanpa diketahui oleh seorang pun. Jika dinding itu dikoyak dengan senjata, maka suaranya tentu akan dapat didengar.”
Yang lain justru terdiam. Mereka pun tidak mengerti bagaimana hal itu telah terjadi.
“Kita terlalu yakin bahwa Ki Buyut benar-benar telah menyerah. Tetapi agaknya Ki Buyut telah keluar lewat pintu belakang dan berusaha mengoyak dinding gandok itu. Tentu saja kita semuanya tidak melihatnya, karena kita terlalu merendahkan ketegaran jiwa Ki Buyut, yang ternyata tidak mudah mengalah itu."
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya bebahu yang lain.
“Kita sudah terlanjur basah. Semisal orang menyeberang, kita sudah berada di tengah. Kembali basah, terus juga basah. Karena itu, kita akan terus,” berkata bebahu itu.
“Di mana Ki Buyut sekarang kira-kira?” bertanya seorang yang lain.
“Semuanya menyebar. Kita harus mencarinya. Jika mungkin menangkapnya dan membawanya kembali ke rumah ini. Geledah setiap rumah di padukuhan induk ini,” berkata bebahu yang memimpin perlawanan terhadap Ki Buyut itu.
“Bagaimana dengan para pengawal?” bertanya yang lain lagi.
“Panggil pemimpin pengawal itu,” jawab bebahu yang memimpin perlawanan itu, “tetapi yang pasti, ada beberapa kelompok yang telah kita kuasai sepenuhnya, karena pimpinan kelompok sependapat dengan kita.”
“Jadi?” bertanya-bebahu yang seorang lagi.
“Semuanya harus disiapkan sejak sekarang. Kita akan menentukan sikap sebelum matahari terbit,” jawab pemimpin dari gerakan itu.
Demikianlah, beberapa orang telah menyebar, sementara yang lain memanggil pemimpin pengawal serta memerintahkan para pemimpin kelompok yang telah menyatakan diri membantu bebahu itu untuk bersiap.
Pemimpin pengawal Kabuyutan itu memang datang ke rumah Ki Buyut. Tetapi seperti yang pernah dikatakannya, mereka akan melakukan tugas apapun jika Ki Buyut memerintahkannya.
“Aku telah membawa pertanda kuasa Ki Buyut,” bentak bebahu yang membawa cincin Ki Buyut itu.
“Tetapi apa sulitnya sekarang memberi aku kesempatan menemui Ki Buyut sejenak?” jawab pemimpin pengawal itu.
“Ki Buyut sedang tidur nyenyak. Kesehatannya tidak baik. Karena itu, ia berpesan, tidak seorang pun dapat membangunkannya jika itu bukan atas kehendaknya sendiri,” berkata bebahu itu.
“Jika demikian aku menunggu,” jawab pemimpin pengawal itu.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal itu terkejut, ia melihat beberapa orang pengawal telah berkumpul di halaman. Bahkan tidak hanya beberapa orang, tetapi akhirnya telah berkumpul tiga kelompok pengawal yang sudah menyatakan kesediaan mereka yang telah menentang Ki Buyut.
“Siapakah yang telah memerintahkan mereka berkumpul?” desis pemimpin kelompok itu.
Bebahu itu tertawa pendek. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan. Mereka telah lebih dahulu menyatakan kesediaan mereka.”
“Tetapi aku belum mengeluarkan perintah apa-apa,” geram pemimpin pengawal itu.
“Kau telah melakukan kesalahan anak muda,” berkata bebahu itu, “seharusnya kau tidak menjadi keras kepala. Kau tidak perlu menunggu Ki Buyut. Aku sudah membawa pertanda kuasanya. Sementara itu, para pengawal telah lebih dahulu melakukan perintahku daripada kau.”
“Mereka baru sebagian kecil,” berkata pemimpin pengawal itu, “yang lain akan tetap mendengarkan perintahku.”
“Kau tidak akan pernah sempat memberikan perintah apa-apa. Bukankah kau akan menunggu Ki Buyut bangun,” bertanya bebahu itu.
“Licik ternyata sangat licik. Dimana Ki Buyut sekarang?” desak pemimpin, pengawal itu.
“Karena kau sudah ada dalam tangan kami, maka kau akan tahu apa yang telah terjadi. Ki Buyut telah melarikan diri tanpa memberikan pertanggungan jawab apa-apa,” jawab bebahu itu.
“Kemana?” bertanya pengawal itu.
“Kami belum tahu. Tetapi setiap rumah sedang diperiksa. Padukuhan induk ini telah dikepung oleh para pengawal dan orang-orang yang sependapat dengan kami. Ternyata jumlah kami cukup banyak. Yang lain menggeledah setiap rumah untuk menemukan Ki Buyut yang pengecut itu,” geram bebahu itu.
Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Ia melihat beberapa orang pengawal di halaman. Namun ternyata yang lain sedang memasuki setiap halaman untuk mencari Ki Buyut. Namun selain beberapa kelompok pengawal bebahu itu memang telah mendapatkan banyak pengikut. Sebagian lagi justru orang-orang upahan.
Pemimpin pengawal itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Dua orang yang belum dikenalnya selalu mengamatinya. Pemimpin pengawal itu menyadari, bahwa kedua orang itu tentu orang-orang upahan. Karena bebahu itu mengharapkan dapat mengambil uang yang cukup banyak dari rumah Ki Bekel, maka ia sudah berani menjanjikan upah kepada orang-orang upahan itu.
Padukuhan induk itu memang menjadi sibuk. Orang-orang yang tidur nyenyak telah terbangun. Rumah-rumah telah digeledah, barangkali ada yang telah menyembunyikan Ki Buyut. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak menemukan Ki Buyut dan Nyi Buyut yang telah melarikan diri, sehingga orang-orang yang mencarinya telah mengambil kesimpulan bahwa keduanya tentu telah keluar dari Kabuyutan itu dan berada di rumah Ki Bekel.
“Aku tidak peduli,” berkata bebahu yang menentang Ki Buyut itu, “kita akan menentukan satu sikap yang tegas.”
“Kita harus segera bergerak,” desis bebahu yang seorang lagi.
“Panggil semua orang yang ikut menentukan langkah ini,” berkata bebahu yang memimpin perlawanan itu.
Ternyata orang-orang yang sudah merasa terlanjur melakukan perlawanan itu tidak mau melangkah mundur. Pemimpin pengawal yang tetap pada pendiriannya untuk tidak melakukan setiap perintah yang tidak diberikan oleh Ki Bekel, telah dijerumuskannya kedalam sebuah bilik yang sempit dibawah pengawasan yang kuat agar orang itu tidak sempat lagi melarikan diri seperti Ki Buyut.
“Kita harus bergerak tanpa menunggu matahari terbit,” berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang upahan itu, “jika anak-anak muda sempat menyadari apa yang terjadi, selain yang sudah menjadi hambatan.”
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempunyai alasan. Kita mencari Ki Buyut untuk diajak kembali ke Kabuyutan. Siapa yang merintangi niat itu akan berhadapan dengan kekuatan kami. Kami bahkan dapat menuduh Ki Bekel menculik Ki Buyut jika Ki Buyut ada di sana.”
Demikianlah, beberapa kelompok orang pun segera bersiap. Sebelum fajar mereka memang sudah bergerak menuju ke rumah Ki Bekel. Mereka sudah siap untuk menuduh Ki Bekel telah menculik Ki Buyut. Jika Ki Buyut membantah, maka mereka dapat menganggap bahwa Ki Buyut memberikan keterangan dibawah ancaman.
“Pokoknya kita harus membawa uang itu seluruhnya,” berkata bebahu yang melakukan perlawanan itu, “juga benda-benda berharga yang ada ditangan anak-anak muda yang ternyata mampu meruntuhkan belas kasihan nenek tua itu. Mereka membawa masing-masing senjata yang sangat berharga. Bahkan kedua anak muda yang disebut sebagai penasehat Ki Bekel itu masing-masing memiliki pedang yang berhulu emas bertatahkan permata.”
“Apa kedua pedang itu juga pemberian nenek tua itu?” bertanya pemimpin dari orang-orang upahan itu, “sebab aku sudah pernah mendengar tentang sepasang pedang yang sangat ditakuti oleh siapapun juga, yang berhulu emas dan bertatahkan permata.”
“Dari manapun atau dari siapapun, benda-benda berharga itu akan kita rampas. Akhirnya rumah itu pun akan menjadi milik kita. Kita dapat menjualnya dengan harga yang mahal kepada orang-orang kaya dari manapun juga yang berminat.”
Pemimpin dari orang-orang upahan itu mengangguk-angguk. Orang-orang upahan itu sama sekali tidak peduli apapun juga selain upah yang akan mereka terima. Atau bahkan mereka-pun sempat mengangan-angankan, bahwa mereka akan sempat pula singgah di rumah orang-orang kaya jika kekacauan telah terjadi. Mengambil apa saja yang dapat mereka ambil. Jika tidak semua di antara mereka sempat melakukannya, maka mereka telah menunjuk empat orang yang secara khusus akan melakukannya. Dengan demikian mereka akan memperoleh tambahan atas upah yang dijanjikan atas mereka.
Seperti yang mereka rencanakan, maka menjelang matahari terbit sekelompok orang-orang upahan, orang-orang yang sependapat dengan bebahu yang menentang Ki Buyut itu serta beberapa kelompok pengawal telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka sudah tidak mempunyai pertimbangan lain, kecuali merampas uang dan apa saja yang dapat mereka ambil dari Ki Bekel dan apa saja yang masih tersisa di rumah itu.
Sementara itu, di padukuhan yang masih termasuk lingkungan Kabuyutan yang menjadi sasaran dari sepasukan kecil orang-orang dari padukuhan induk itu pun sudah berjaga-jaga. Sejak Ki Buyut datang ke rumah Ki Bekel, maka semua persiapan sudah dimatangkan. Meskipun Ki Buyut dan Nyi Buyut kemudian dipersilahkan untuk beristirahat, namun pengawasan telah dilakukan jika orang-orang dari padukuhan induk mengambil jalan kekerasan.
Sebenarnyalah, maka kedua orang yang bertugas mengawasi keadaan telah melihat dalam keremangan pagi, iring-iringan menuju ke gerbang padukuhan mereka. Dengan cepat mereka mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang dari padukuhan induk yang datang untuk melakukan langkah terakhir yang sudah diperhitungkan lebih dahulu. Kekerasan.
Kedua orang pengawas itu pun segera berlari memasuki pintu gerbang. Seorang di antara mereka telah berhenti di gardu yang masih ditunggui oleh beberapa orang anak muda. Sedangkan yang lain berlari langsung ke rumah Ki Bekel.
Ki Bekel memang sempat membangunkan Ki Buyut. Dengan suara yang bergetar menahan gejolak perasaannya, Ki Bekel minta ijin untuk membunyikan kentongan. “Kita akan menganggap mereka sebagai perampok-perampok yang harus diperlakukan sebagai perampok pula Ki Buyut,” berkata Ki Bekel.
Tetapi Ki Buyut masih berkeberatan. Katanya, “Kita pergi ke pintu gerbang. Mudah-mudahan kita mendapatkan penyelesaian yang lebih baik dari berkelahi.”
“Mereka sudah siap melakukannya,” jawab Ki Bekel.
“Kita pun bersiap-siap. Tetapi tidak usah dengan isyarat kentongan lebih dahulu. Jika kita sudah memukul kentongan, maka kita tidak akan dapat menemukan kemungkinan lain kecuali berkelahi,” berkata Ki Buyut.
Ki Bekel tidak dapat membantah. Ia pun kemudian mengantar Ki Buyut ke regol padukuhan. Namun sementara itu, anak-anak muda yang berada di rumah Ki Bekel telah menebar memberitahukan bahwa orang-orang dari padukuhan induk telah datang. Dua orang di antara mereka telah berlari-lari ke rumah nenek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera dihubungi. Keduanya telah minta Mahisa Semu dan Wantilan untuk menjaga nenek tua itu bersama Mahisa Amping. Anak-anak muda yang berjaga-jaga di rumah nenek tua itu-pun telah berlari-lari pula bersama-sama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke regol padukuhan. Dua di antara anak-anak muda itu diminta tinggal bersama Mahisa Semu dan Wantilan, sementara ampat orang pengawal yang ada di rumah itu telah ikut pula pergi ke regol untuk melihat apa yang terjadi.
Kedua adik bebahu padukuhan itu, yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin anak-anak muda sebayanya telah berada di regol pula. Bahkan ternyata bukan hanya anak-anak yang telah bersiap. Tetapi juga orang-orang yang telah berkeluarga dan beranak. Mereka yang merasa masih mampu melawan, telah pergi ke regol halaman.
Ki Buyut, Ki Bekel para bebahu dan para pengawal yang telah berada di padukuhan itu telah keluar dari regol padukuhan. Mereka berniat menerima orang-orang padukuhan induk dan jika berhasil mencegah mereka melakukan kekerasan.
Sementara itu, Mahisa Murti tian Mahisa Pukat telah memisahkan diri. Mereka berdiri di sisi sebelah menyebelah dari Ki Bekel yang mendampingi Ki Buyut.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah menjadi semakin dekat. Ternyata langit pun telah menjadi terang, sehingga kedua belah pihak dapat saling melihat dengan jelas. Bebahu yang menentang Ki Buyut itu berdiri di paling depan dari para pengikutnya. Sambil bertolak pinggang, ia pun kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Bekel dengan memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk berhenti.
“Ki Bekel,” berkata bebahu itu dengan serta merta, “kau ternyata sangat licik. Kenapa kau culik Ki Buyut?”
“Ki Buyut ada di sini. Bertanyalah sendiri kepadanya,” jawab Ki Bekel.
“Kau tentu memakai cara sebagaimana kau lakukan atas nenek tua itu. Jawaban Ki Buyut telah kau persiapkan dengan ancaman. Apalagi justru Nyi Buyut tidak ada di rumahnya, maka kami berpendapat bahwa Nyi Buyut telah kau sembunyikan sebagai taruhan jika Ki Buyut ingkar,” berkata bebahu itu.
Tetapi agaknya Ki Bekel sudah menduga, bahwa bebahu itu tentu akan menuduhnya berbuat demikian. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “He, Ki Sanak. Kenapa kau tidak dapat membuat tuduhan yang lain yang barangkali lebih meyakinkan? Kau selalu mengatakan bahwa seseorang telah terpaksa mengatakan karena tekanan dan ancaman. Sekarang, kau juga mengatakan demikian terhadap Ki Buyut, sementara Ki Buyut itu ada di hadapan kita.”
Wajah orang itu menjadi merah. Ki Buyut pun ternyata telah mentertawakannya. Bahkan Ki Buyut itu pun berkata, “Kau menganggap kami semua kanak-kanak yang belum memiliki penalaran yang mapan. Sekarang, katakan saja dengan berterus-terang. Apa yang sebenarnya kau kehendaki. Jika kau ingin membunuhku, maka persoalannya akan cepat selesai, karena aku tidak akan melawan. Jika dengan demikian, maka persoalannya selesai, maka aku kira aku harus bersedia mengalami kematian itu.”
Tetapi Ki Bekel pun kemudian berkata, ”begitu mudahnya? Jika ia ingin membunuh Ki Buyut, maka sudah tentu itu hanya sasaran antara. Sasaran yang sebenarnya tentu bukan sekedar kematian Ki Buyut. Karena itu, kematian itu adalah kematian sia-sia. Sebaiknya kita bersikap tegas. Orang itu sudah melawan Ki Buyut. Ki Buyut harus berbuat selayaknya sebagai seorang pemimpin.”
“Nah,” berkata bebahu itu, ”bukankah benar yang aku katakan, bahwa kaulah yang telah menyusun jawaban yang harus diucapkan oleh Ki Buyut.”
“Persetan kau,” geram Ki Bekel yang telah kehilangan kesabaran, “sekarang kau mau apa? Seandainya yang kau tuduhkan itu benar,” Ki Bekel hampir berteriak.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ia melihat kedua belah pihak telah bersiap untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan kekerasan. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun berkata, “Apakah tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh daripada kekerasan.”
“Bertanyalah kepada bebahu Kabuyutan itu,” jawab Ki Bekel.
Ki Buyut pun menyadari, bahwa persoalannya memang bersumber pada tingkah laku bebahu itu. Karena itu, maka sifat kepemimpinan Ki Buyut pun telah tumbuh kembali meskipun sifat itu kadang-kadang memang goyah. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata,
“Sudahlah. Sebaiknya kau tidak usah berputar-putar. Kita semuanya sudah mengetahui persoalan yang kita hadapi. Kau ingin merampas rumah dan hasil penjualan benda-benda berharga itu, meskipun alasanmu untuk kau serahkan kepada Kabuyutan. Untuk itu kau telah menempuh segala cara, termasuk cara yang kau lakukan sekarang ini. Tetapi seandainya kau berhasil, apakah kau sudah memperhitungkan, berapa orang korban yang akan jatuh. Apakah jiwa yang kau korbankan itu akan senilai dengan harta benda yang kau inginkan itu?”
Bebahu itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut berkata selanjutnya, “Jika aku mengatakan bahwa jiwaku akan aku serahkan apabila itu dapat menyelesaikan persoalan sebenarnya tidak lebih dari satu ungkapan, bahwa aku mau berbuat dan mengorbankan apa saja asal kalian tidak saling bertempur untuk memperebutkan harta yang kau anggap memiliki nilai yang lebih tinggi dari jiwa yang akan menjadi korban.”
“Katakan hal itu kepada Ki Bekel,“ geram bebahu itu, “jika ia menyerahkan semuanya, maka segalanya akan selesai. Ki Bekel harus menghargai jiwa yang akan menjadi korban karena sifatnya yang keras kepala itu, jauh lebih tinggi dari harta yang dipertahankannya.”
“Yang kami lakukan bukan sekedar nilai harta benda itu sendiri,” berkata Ki Bekel, “tetapi kami mempertahankan hak kami. Kami mempertahankan menurut keyakinan kami, karena kalian telah berusaha melanggar hak kami serta keyakinan kami itu. Bahkan kalian telah melawan keputusan tertinggi dari Kabuyutan ini dan kalian pun telah melakukan perlawanan jasmaniah pula dengan menangkap Ki Buyut dan Nyi Buyut.”
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian pemimpin dari orang-orang upahan yang mencari kesempatan untuk merampok rumah orang-orang kaya di padukuhan itu berkata dengan lantang, “Tidak ada cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan selain mengambil kembali Ki Buyut.”
“Aku bukan benda mati,” berkata Ki Buyut, “persoalan yang sudah jelas ini tidak dapat lagi diputar balikkan.”
“Jika demikian, maka memang tidak ada jalan lain untuk membuat penyelesaian selain dengan kekerasan. Jika semuanya memang sudah tahu akan maksud kedatangan kami, terserah kepada kalian, apakah kalian ingin mencegah pertumpahan darah dengan memenuhi keinginan kami atau tidak,” berkata bebahu itu.
Ki Bekel pun kemudian berkata kepada Ki Buyut, “Nampaknya memang tidak ada jalan lain Ki Buyut.”
“Ya. Mereka memang sudah kehilangan penalarannya, sehingga mereka memilih jalan kekerasan. Jalan yang seharusnya dijauhi sejauh-jauhnya,” berkata Ki Buyut, “namun sudah tentu bahwa Ki Bekel tidak dapat berbuat lain daripada membela diri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia pun berkata kepada dua orang di antara pengawal Kabuyutan yang ada di sebelahnya, “Tolong, singkirkan Ki Buyut. Nampaknya ada beberapa orang pengawal yang terpengaruh oleh bebahu itu.”
“Tetapi aku tidak melihat pemimpin pengawal Kabuyutan,” jawab salah seorang di antara para pengawal itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan pemimpin pengawal itu tidak terpengaruh oleh mereka yang sesat itu.”
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bergumam, “Kita tidak tahu suasana yang sekarang menyelimuti padukuhan induk. Tetapi menurut pendapatku, pemimpin kami bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh sikap yang sesat sebagaimana dilakukan oleh kedua orang bebahu itu serta beberapa orang kawan-kawannya. Meskipun mereka berhasil menghasut sebagian dari pengawal, tetapi aku kira pimpinan kami tidak akan terseret oleh arus yang kotor itu.”
Ki Bekel tidak bertanya lagi. Pengawal itu pun kemudian telah membawa Ki Buyut masuk regol padukuhan bersama seorang kawannya, sementara itu, dua orang yang lain telah bergabung dengan anak-anak muda padukuhan itu.
Namun selagi Ki Buyut masih berada di belakang regol, terdengar beberapa orang berteriak, “Bukankah itu pemimpin pengawal?”
Semua orang memandang ke arah lima orang yang berlari-lari lewat pematang langsung menuju ke regol padukuhan menghindari orang-orang yang siap untuk menyerang padukuhan itu.
“Anak itu,” desis Ki Buyut yang kemudian telah melangkah kembali ke regol, “bagaimana sikapmu?”
“Aku tetap pada sikapku. Aku akan melakukan perintah hanya dari Ki Buyut,” jawab pemimpin pengawal itu.
Bebahu yang melawan Ki Buyut itu menjadi berdebar-debar. Sementara pemimpin pengawal itu berkata sambil menunjuk bebahu itu, “Aku telah ditangkapnya. Tetapi aku sempat melarikan diri dan sebagaimana kalian lihat, aku berada di sini sekarang siap melakukan perintah Ki Buyut. Sayang, aku tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan para pengawal.”
Tetapi bebahu itu berteriak, “Kau tidak usah membual. Sekarang kita akan menyelesaikan semuanya sampai tuntas.”
“Baik,” berkata pengawal itu, ”bersama-sama kekuatan dari padukuhan ini, maka kami akan menghadapi kekuatanmu serta orang-orang upahan itu, karena aku tahu, kau telah bertumpu pada kekuatan orang-orang upahan itu.”
“Persetan,” geram bebahu itu, “sebagaimana kau lihat, para pengawal sudah tidak lagi patuh kepadamu. Tetapi mereka telah membenarkan sikapku.”
“Cukup,” teriak Ki Bekel, “sekarang kau mau apa? Kau hanya akan menakut-nakuti anak-anak yang sudah saatnya menggembalakan kambingnya.”
Pemimpin orang upahan itu pun berteriak pula, “sekarang. Sekarang.”
Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka Mahisa Murti menjadi semakin berdebar-debar, ia tidak sampai hati melihat pertempuran yang bakal terjadi antara para penghuni Kabuyutan itu. Ia merasa bahwa persoalannya timbul karena rumah dan benda-benda berharga milik nenek tuaitu. Dengan demikian, maka jika jatuh korban, maka nenek tua itu tentu akan merasa bersalah. Seakan-akan korban yang dituntut oleh kekuatan hitam itu tidak saja terbatas keluarga nenek itu sendiri. Tetapi kekuatan hitam itu masih juga mencengkam dan merenggut nyawa orang-orang padukuhan dan bahkan orang-orang Kabuyutan itu.
Karena itu, maka ia pun telah mendekati Mahisa Pukat dan berbisik ditelinganya. Ternyata Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti itu. Karena itu, selagi orang-orang upahan itu bergerak mendahului bebahu yang menentang Ki Buyut serta para pengikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meloncat ke depan.
Dengan nada tinggi Mahisa Murti berkata, “Tunggu. Jadi kalian benar-benar akan bertempur?”
“Ya,” jawab pemimpin orang-orang upahan itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Aku tidak bertanya kepadamu. Aku bertanya kepada bebahu Kabuyutan yang menentang kebijaksanaan Ki Buyut itu.”
“Persetan,” geram bebahu itu, “semua orang yang menentang sikapku akan aku hancurkan. Termasuk Ki Bekel dan Ki Buyut.”
“Sekali lagi aku minta, urungkan pertempuran ini. Jiwa yang jatuh tidak akan seimbang dengan harta yang kalian perebutkan. Apalagi harta itu didapat karena pengaruh ilmu hitam yang kemudian telah merenggut jiwa seluruh keluarga nenek tua itu. Nah, apakah korban jiwa itu masih belum cukup, sehingga kalian masih akan menambahkannya lagi persembahan bagi kekuatan hitam itu? Sebenarnyalah, langsung atau tidak langsung kematian yang akan terjadi adalah satu persembahan bagi kekuatan hitam itu. Meskipun kekuatan hitam yang tidak sama,tetapi sama-sama bersumber pada kekelaman,” berkata Mahisa Murti.
“Tutup mulutmu,” teriak pemimpin orang-orang upahan yang sudah siap merampok rumah orang-orang kaya jika benar-benar terjadi kekalutan di padukuhan itu. Dengan lantang pemimpin itu telah memberikan sekali lagi, “Sekarang, cepat lakukan sekarang.”
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap. Demikian mereka mulai bergerak dan menebar meloncati parit dan turun ke sawah, Mahisa Murti berbisik, “Kau robohkan pohon gayam itu. Aku akan memecahkan batu padas di seberang jalan yang berhadapan dengan pohon gayam itu.”
Sebenarnyalah, ketika orang-orang upahan itu mulai melangkah maju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap menghentikan mereka. Keduanya memang sengaja ingin menunjukkan kelebihan mereka dari kebanyakan orang, justru untuk mencegah agar tidak terjadi pertempuran. Khususnya orang-orang padukuhan itu. Para pengawal yang terpengaruh oleh bebahu itu serta orang-orang lain yang telah terbujuk oleh janji-janji yang memberikan harapan telah membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Kabuyutan itu. Mereka akan bertemur satu dengan yang lain.
Karena itu, apapun yang akan dilakukan, maka pertempuran itu memang harus dicegah. Karena itu, ketika orang-orang upahan yang berniat untuk membuat kekacauan agar mereka mendapat kesempatan untuk merampok itu mulai bergerak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menentukan sasaran mereka masing-masing.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka, maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka menghadap ke sasaran. Kemudian menghentakkan tangannya untuk melepaskan ilmunya yang jarang ada duanya. Demikianlah, maka dua kekuatan ilmu yang dahsyat telah meluncur ke sasaran masing-masing. Sebatang pohon gayam dan sebongkah batu padas.
Sejenak kemudian, sasaran kedua orang anak muda itu bagaikan telah meledak. Pohon gayam itu pun telah berderak patah dan roboh menyilang jalan. Sementara itu batu padas yang sebongkah itu pecah berserakan menghambur di sekitarnya.
Semua orang terkejut melihat kenyataan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya itu. Kedua anak muda itu tanpa menyentuh dengan tangannya, telah mampu merobohkan sebatang pohon gayam dan menghancurkan sebongkah batu padas.
Orang-orang upahan yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tidak terlawan itu melangkah mundur. Mereka yang sudah berharap untuk menguasai seluruh kekayaan yang ada di padukuhan itu, harus berpikir ulang seribu kali lagi. Kemampuan anak-anak muda itu benar-benar kemampuan yang bermimpi pun tidak diduganya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri pada jarak beberapa langkah sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Nah, marilah. Siapakah di antara kalian yang ingin aku lumatkan menjadi debu. Aku sudah kehabisan kesabaran. Bibirku rasa-rasanya telah menjadi setebal tumit di kaki karena aku terlalu banyak berbicara. Tetapi kalian tidak mau mendengarkan. Kalian telah diburu oleh pamrih yang gila sehingga kalian sampai hati mengorbankan persaudaraan di antara orang-orang se Kabuyutan. Apalagi kalian telah memanggil kekuatan lain yang mempunyai pamrih tersendiri. Yang dengan sengaja telah berniat membuat kekacauan di padukuhan kalian, karena hanya dengan kekacauan itu mereka akan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Bebahu yang menentang Ki Buyut itu pun menjadi bingung. Namun mereka pun sadar, bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu melawan kekuatan yang ada di padukuhan itu. Ilmu kedua orang anak muda yang nggegirisi itu sudah akan mampu memusnahkan sebagian dari mereka, sementara itu orang-orang padukuhan itu terutama anak-anak mudanya telah bersiap pula untuk melawan.
Dengan demikian maka bagi mereka tentu tidak akan ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan untuk memasuki padukuhan itu pun tentu terasa sangat sulit. Di balik dinding padukuhan itu, kekuatan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tentu sudah siap menerima mereka seandainya mereka memanjat dinding. Bahkan jika kekuatan ilmu kedua anak muda itu menyambar mereka, maka tubuh mereka akan berserakan seperti sebongkah batu padas itu.
Dalam kebingungan itu, maka terdengar Mahisa Murti berkata kepada Ki Buyut, “Marilah Ki Buyut. Silahkan bertanya kepada mereka, apakah mereka masih akan meneruskan niatnya atau tidak. Jika mereka ingin meneruskan niatnya, berarti mereka sampai hati menghancurkan saudara-saudaranya sendiri. Jika demikian maka kita di sinipun akan melakukan hal yang sama atas mereka tanpa belas kasihan.”
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diantar oleh Ki Bekel keduanya melangkah maju.
“Berbicaralah dengan mereka Ki Buyut,” minta Mahisa Murti.
Ki Buyut masih merasa ragu. Namun Ki Bekel mendesaknya, “Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang pemimpin.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Yang pertama-tama diucapkan adalah, “Kembalikan cincin itu.”
Bebahu yang telah merampas cincin tanda kuasa Ki Buyut termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah mengulanginya. “Kembalikan cincin itu, atau kau akan menjadi debu?”
Bebahu itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian melangkah maju, melangkahi batang pohon gayam yang roboh langsung mendekati Ki Buyut.
“Serahkan cincin itu,” geram Mahisa Pukat.
Ketika bebahu itu menyerahkan cincin di tangannya, maka yang menerimanya adalah Mahisa Pukat. Kemudian baru menyerahkannya kepada Ki Buyut. Ki Buyut menyadari sikap hati-hati anak muda itu. Bebahu itu tentu orang yang sangat licik, yang akan dapat memanfaatkan kesempatan apapun untuk mencapai maksudnya.
Tetapi ia pun kemudian telah berdesis, “Kami tidak akan berani berbuat apa-apa lagi.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil memakai cincinnya maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Kini aku telah menjadi lengkap kembali.”
“Cincin itu tidak berarti apa-apa,” berkata Mahisa Pukat, “Tetapi jika itu mempengaruhi kemantapan perasaan Ki Buyut, maka kini Ki Buyut tentu menjadi utuh kembali sebagai seorang Buyut.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara lantang Ki Buyut pun kemudian berkata, “Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Tetapi orang-orang upahan itu harus mendapat peringatan keras. Jika mereka benar-benar berani mengganggu ketenangan Kabuyutan ini, maka mereka akan berhadapan dengan seluruh Kabuyutan yang ada.” Ki Buyut pun berhenti sejenak, lalu, ”tentang para pengawal, mereka akan aku serahkan kepada para pemimpin pengawal.”
Pemimpin pengawal itu pun kemudian telah berdiri di sebelah Ki Buyut. Dipandanginya para pengawal yang berdiri termangu-mangu. Kemudian pempimpin pengawal itu pun berkata dengan nada berat, “Kalian telah membuat aku berprihatin. Meskipun kita bukan sepasukan prajurit, tetapi kita memerlukan ikatan yang kuat untuk menunaikan tugas-tugas kita. Tetapi kalian sudah melanggar paugeran seorang pengawal. Karena itu, maka ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh. Kalian meninggalkan kedudukan kalian sebagai pengawal atau aku yang harus pergi.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Suasana di depan regol padukuhan itu menjadi hening. Namun dalam keadaan yang demikian, maka setiap orang dapat melihat ke dalam diri mereka masing-masing, apa yang telah mereka lakukan.
Bahkan orang-orang upahan itu pun telah tersentuh pula perasaan mereka. Anak-anak muda yang mampu merobohkan sebatang pohon gayam dan memecahkan sebongkah batu padas itu tentu berilmu sangat tinggi. Mereka akan dapat membunuh semua orang yang melakukan perlawanan terhadap Ki Buyut itu. Tetapi keduanya tidak melakukannya. Keduanya menunjukkan kemampuan mereka sekedar untuk mencegah benturan kekerasan antara orang-orang sekabuyutan.
“Agaknya mereka tidak akan menyombongkan dirinya jika mereka tidak merasa bertanggung jawab atas perselisihan yang sedang terjadi itu,” berkata pemimpin orang-orang upahan itu dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal yang juga masih muda itu mengatakan, “Jika masih ada sisa-sisa kesetiaan kalian kepada kampung halaman, maka aku minta para pengawal pulang. Nanti sore kita ketemu, dan kita akan menentukan siapa yang akan menyingkir. Dengan sikap kalian itu, maka di antara kita sudah tidak ada lagi ikatan apapun juga.”
Para pengawal termangu-mangu sejenak. Beberapa orang menjadi kebingungan. Tetapi ketika seorang di antara mereka mulai bergerak meninggalkan tempat itu, maka yang lain pun telah mengikutinya. Sebuah iring-iringan kecil kemudian meninggalkan padukuhan itu kembali ke padukuhan induk, karena hampir semua pengawal tinggal di padukuhan induk. Hanya ada satu dua orang saja yang tinggal di padukuhan-padukuhan terdekat dan padukuhan induk. Justru pengawal yang menyertai pemimpin pengawal itu tidak datang dari padukuhan induk.
Ki Buyut melihat anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok pengawal Kabuyutan telah meninggalkan tempat itu, ia pun kemudian berkata, “Nah, aku sekarang ingin mendengar sikap dari kedua orang bebahu yang selama ini aku percaya untuk ikut membina kesejahteraan Kabuyutan ini.”
Bebahu yang menentang Ki Buyut itu termangu-mangu. Namun ia memang sudah tidak berani berbuat apa-apa. Tetapi ia masih belum melakukan sesuatu, ia masih berdiri termangu-mangu. Tetapi kawannya, bebahu yang seorang lagi, tiba-tiba saja telah berlari dan berjongkok di hadapan Ki Buyut sambil berkata dengan suara serak,
“Ki Buyut. Aku mohon ampun. Aku telah terbujuk oleh kesesatan dan menentang Ki Buyut. Tetapi sudah tentu itu satu kekhilafan. Dan kau akan menunjukkan kemudian, bahwa aku tidak akan melakukannya lagi.”
Ki Buyut termangu-mangu. Dipandanginya bebahu yang seorang lagi. Yang masih berdiri tegak di tempatnya. “Bagaimana dengan sikapmu?” bertanya Ki Buyut.
Suasana memang menjadi tegang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Agaknya bebahu yang seorang itu, meskipun sudah menyatakan tidak akan berani berbuat sesuatu, namun ia tidak mau menyatakan penyesalannya. Bahkan kemudian, ia pun berkata, “Ki Buyut. Aku sudah bersalah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi untuk itu aku sudah siap menjalani hukuman.”
“Persetan kau,” geram Ki Bekel, “kau menentang kekuasaan Ki Buyut?”
“Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi,” geram bebahu itu.
“Atau kau ingin menunjukkan bahwa kau memiliki kelebihan? Baik. Kau tidak usah mencoba melawan anak-anak muda itu. Tetapi kau dapat melawan aku dalam perang tanding,” berkata Ki Bekel.
“Kau bukan apa-apa bagiku,” jawab bebahu itu.
“Jadi maksudmu aku?” bertanya Ki Bekel.
Bebahu itu menjadi tegang. Dipandanginya Ki Buyut sejenak dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat bebahu itu menjawab, “Ya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan pemimpin pengawal dan orang-orang yang ada di sekitarnya terkejut. Dengan sigapnya pemimpin pengawal itu melangkah maju sambil berkata, “Selama aku masih ada. Kau tidak akan dapat mengganggu Ki Buyut dengan cara apapun juga.”
“Aku sudah mengira,” jawab bebahu itu, “namun aku-pun sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dibunuhpun aku akan menyerah.”
“Jadi apa maksudmu?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Masalahnya adalah masalah pribadi,” jawab bebahu itu.
“Bagus,” potong Ki Buyut, “juga kau menganggap bahwa perbedaan sikap kita tentang warisan nenek itu sebagai sikap pribadi, maka aku pun akan menanggapinya secara pribadi. Aku terima tantangannya.”
“Ki Buyut,” potong pemimpin pengawal itu.
“Terima kasih,” berkata Ki Buyut kepada pemimpin pengawal itu, “kau terlalu baik selama ini. Tetapi biarlah sekali-sekali aku melakukannya atas namaku sendiri.”
“Tetapi orang itu sangat licik,” berkata pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut justru tersenyum. Katanya, “Aku tahu. Ia ingin menunjukkan harga dirinya dalam kesempatan terakhir. Jika ia berhasil membunuhku, sebelum orang itu kalian hukum, maka ia akan mempunyai kebanggaan terakhir.”
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Katanya, “Tetapi kita semuanya akan terlambat.”
Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tidak. Segala-galanya tidak tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada aku, segalanya akan berjalan seperti biasa.”
Pemimpin pengawal itu memang menjadi cemas. Tetapi jika dua orang laki-laki telah memutuskan untuk melakukan perang tanding, maka tidak seorang pun yang akan dapat mencampurinya.
Demikianlah, maka Ki Buyut pun telah melangkah maju. Ia telah bersiap-siap menghadapi bebahu itu sambil berkata, “Marilah. Kita selesaikan persoalan kita secara pribadi.”
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang upahan yang masih termangu-mangu itu mulai bergerak, Mahisa Murti sempat berteriak, ”jangan bergerak. Aku dapat membunuh kalian semuanya dari tempat aku berdiri ini.”
Orang-orang itu pun tersadar, bahwa Mahisa Murti bukannya sekedar membual. Tetapi ia benar-benar akan dapat melumatkan mereka jika mereka melanggar ketentuannya itu. Karena itu, maka tidak seorang pun yang kemudian berani beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, Ki Buyut dan bebahu itu pun sudah berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk melakukan perang tanding. Keduanya, bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya itu pun mengerti bahwa perang tanding itu tidak ada batasnya sama sekali, kapan mereka akan menyelesaikannya. Bahkan perang tanding itu akan dapat berakhir dengan kematian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berdiri berseberangan. Pemimpin pengawal itu pun telah melangkah mendekat. Demikian pula beberapa pengawal yang lain, serta Ki Bekel dan beberapa orang bebahu padukuhan.
Beberapa saat kemudian, bebahu yang menentang Ki Buyut itu mulai menggerakkan tangannya sambil berdesis, “Ternyata kau seorang yang bodoh sekali Ki Buyut. Kau mendapat kesempatan untuk membunuhku. Tetapi kau telah terpancing karena kau tidak mau tersinggung harga dirimu. Kau telah bertekad untuk mengorbankan nyawamu untuk mempertahankan wibawamu.”
“Kau salah,” jawab Ki Buyut, “aku sama sekali tidak berniat untuk mempertahankan apapun juga. Bukan harga diri, bukan kewibawaan dan bukan apa-apa. Tetapi sudah lama aku tidak berkelahi. Sejak aku pulang dari pengembaraanku karena aku dipanggil oleh ayahku dan kemudian menggantikan kedudukannya, rasa-rasanya aku kurang sekali berlatih dan mengetrapkan ilmuku. Tetapi kau tentu tahu, bahwa akulah yang telah menangkap gegedug Kali Luk Papat. Aku pula yang telah mengamankan Kabuyutan dari gangguan perampok yang bersarang di Goa Cunduk. Namun itu sudah cukup lama terjadi. Setelah itu, aku memang hampir tidak pernah melakukan apa-apa lagi. Kabuyutan ini terlalu tenang dan damai. Baru kemudian ketika warisan nenek itu sangat menarik, terjadi hal seperti ini.”
Wajah bebahu itu berkerut. Ia memang teringat, bahwa Ki Buyut itu memang memiliki kemampuan. Tetapi sikapnya yang seakan-akan terlalu lemah dan goyah itu, telah mengaburkan ingatan bebahu itu itu tentang kemampuannya. Meskipun demikian bebahu itu pun merasa dirinya memiliki kemampuan. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menggeram, “Itukah caramu memperlemah ketahanan lawanmu.”
“Tidak. Sekali-sekali tidak,” jawab Ki Buyut.
Namun bebahu itu tidak berbicara lagi. Ia pun telah meloncat menyerang Ki Buyut dengan juluran tangannya mengaraha ke dada. Namun ternyata Ki Buyut pun cukup tangkas. Dengan cepat pula ia bergeser menyamping. Namun tiba-tiba saja kakinya telah terjulur membalas serangan itu dengan serangan pula. Bebahu yang melawannya itu terkejut. Namun ia sempat meloncat menghindarinya pula.
Adalah diluar dugaan semua orang. Bahkan bebahu itu sendiri juga tidak menduga, bahwa Ki Buyut yang tidak sempat mengenainya itu tertawa sambil berkata, “Kau tangkas juga. Kau mampu menghindari seranganku yang pertama.”
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Dengan geram ia menyahut, “Kau menghina aku Ki Buyut.”
“Tidak. Aku justru mengagumimu. Tetapi jangan berharap untuk dapat menghindari serangan-serangan selanjutnya,” berkata Ki Buyut pula.
“Kau mencoba menakut-nakutiku,” geram bebahu itu pula, ”dengan cara yang licik itu kau berusaha memenangkan perang tanding ini.”
Tetapi dengan sikap yang meyakinkan Ki Buyut berkata, “Sudahlah. Kita akan membuktikannya.”
Bebahu itu memang tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun segera bersiap untuk menyerang. Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran di-antara keduanya pun menjadi semakin garang. Ternyata bahwa Ki Buyut memang memiliki kemampuan untuk mengimbangi bebahu itu. Beberapa kali mereka saling menyerang dan beberapa kali keduanya berhasil saling mengenai sasaran.
Tetapi pemimpin pengawal yang menyaksikan pertempuran itu memang merasa heran. Ternyata Ki Buyut juga memiliki kemampuan, yang bahkan tidak kalah dari bebahu yang menentangnya itu.
“Aku belum pernah melihat bahwa Ki Buyut pernah mengalahkan gegedug dan perampok,” berkata pemimpin pengawal itu di dalam hatinya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Mungkin waktu itu aku masih terlalu kecil.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi sedikit tenang melihat pertempuran itu. Meskipun Ki Buyut tidak memiliki terlalu banyak kelebihan dari bebahu itu, tetapi bebahu itu pun sulit untuk dapat mengalahkannya. Sehingga karena itu, maka pertempuran itu justru berlangsung semakin lama semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Tetapi masih belum dapat dibaca, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Bebahu itu memang masih lebih muda dari Ki Buyut. Ia masih memiliki tenaga yang lebih segar. Tetapi Ki Buyut nampaknya memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka Ki Buyut memiliki beberapa kelebihan penalaran dalam olah kanuragan daripada bebahu itu.
Pemimpin pengawal itu memang tidak menduga bahwa Ki Buyut akhirnya meskipun perlahan-lahan, namun mulai menguasai arena. Betapapun garangnya bebahu itu, namun dengan bertumpu pada kekuatannya dan dasar-dasar ilmu yang dimilikinya, ia tidak mampu sambil mempergunakan otaknya.
Akhirnya saat-saat yang ditanggu itu pun datang. Pertempuran itu pun berlangsung semakin lambat. Keduanya mulai kehilangan sebagian dari kekuatan dan tenaga mereka. Namun bebahu yang masih muda itu agaknya lebih cepat mengalami kesulitan. Ketika ia memaksa diri untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyerang, maka bebahu itu justru hampir saja terseret oleh lontaran kekuatannya sendiri sehingga terhuyung-huyung beberapa saat.
Ki Buyut yang ternyata masih tetap bersikap tenang dan meyakinkan sampai saat-saat yang menentukan itu sempat menyentuhnya sehingga bebahu yang sedang berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya itu pun justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Dengan cepat bebahu itu berusaha untuk bangkit.
Sementara Ki Buyut yang terengah-engah itu pun menunggu beberapa saat justru sambil mengusap keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya. Tetapi bibirnya masih saja nampak tersenyum. Bahkan ia pun berdesis, “Terima kasih atas kesempatan untuk beristirahat ini.”
“Gila,” geram bebahu itu, “ternyata kau mampu melindungi dirimu sendiri.”
“Seandainya kau seorang diri memaksaku menyerahkan cincin ini, maka kau akan mengalami nasib seperti sekarang ini. Tetapi karena kau datang dengan sekelompok orang, termasuk orang-orang upahan itu, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu kecuali memenuhinya,” berkata Ki Buyut.
“Tetapi aku belum kalah. Aku masih mampu menyelesaikan pertempuran ini dengan baik. Karena kau sudah berkhianat maka kau harus mati,” geram bebahu itu.
“Kenapa aku berkhianat?” bertanya Ki Buyut.
Bebahu itu berusaha mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyegarkan tubuhnya serta mengatur pernafasannya. Dengan demikian maka ia masih berusaha memperpanjang waktu. Karna itu ia masih berkata, “Kau sudah menyerahkan cincin pertanda kuasamu. Kemudian dengan serta merta telah kau cabut kembali.”
Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Marilah. Bukankah kita sudah cukup lama beristirahat?”
Bebahu itu menggeram. Tetapi Ki Buyut itu sudah mulai bergerak lagi. Sehingga dengan demikian maka bebahu itu tidak mempunyai waktu lagi. Ia harus melawan ketika Ki Buyut itu menyerangnya. Ternyata keadaan Ki Buyut yang lebih tua itu masih lebih segar daripada bebahu yang seakan-akan telah kehabisan tenaga itu.
Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah kepastian dari akhir pertempuran itu. Beberapa kali serangan Ki Buyut langsung dapat mengenai sasarannya. Meskipun tenaga Ki Buyut tidak lagi sekuat saat pertempuran itu dimulai, namun serangan-serangan yang datang beruntun itu lebih membuat bebahu itu menjadi pening. Serangan Ki Buyut telah mengenai pelipis, kening, perut dan dada bebahu itu. Beberapa kali ia terdorong surut dan bahkan terhuyung-huyung. Sehingga akhirnya, bebahu itu benar-benar telah jatuh tersungkur.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan lengannya ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya. “Apa katamu?” bertanya Ki Buyut, “apakah akhir dari perkelahian ini menjadi takaran, apakah kau akan tetap menghormati wibawaku atau tidak?”
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara Ki Buyut berkata selanjutnya, “Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Kau bukan lagi bebahu Kabuyutan yang selama ini kita bina dan kita kembangkan.”
Bebahu itu memang telah berusaha untuk duduk. Dengan sisa tenaganya ia masih menantang, “Kenapa kau tidak membunuhku Ki Buyut.”
“Kau tahu bahwa aku akan mampu melakukannya,” berkata Ki Buyut, ”tetapi apakah itu penting?”
“Kau akan menyesal jika kau tidak membunuhku sekarang,”geram bebahu itu.
“Kenapa?” bertanya Ki Buyut.
“Akulah yang kelak akan membunuhmu?” berkata bebahu itu sambil menggerakkan giginya.
“Ada dua alasan,” jawab Ki Buyut, “yang pertama, aku tidak takut kepadamu. Jika kau menghendaki, kapan saja kita akan dapat berkelahi. Kecuali jika kau akan berlaku curang. Tetapi aku tetap tidak akan menjadi ketakutan. Kedua, tantanganmu itu adalah justru kau berusaha untuk menyelamatkan hidupmu. Dengan menyinggung harga diriku, kau berharap bahwa aku tidak akan membunuhmu, agar tidak ada orang yang mengira bahwa aku menjadi takut kepada ancamanmu.”
“Cukup,” teriak bebahu itu. Namun nafasnya tiba-tiba saja telah menjadi hampir terputus.
“Jangan berteriak,” berkata Ki Buyut itu, yang kemudian telah berbicara dengan orang-orang upahan, “bawa bebahu itu pulang kerumahnya. Serahkan kepada keluarganya. Kemudian tinggalkan Kabuyutan ini sebelum kemarahan orang-orang Kabuyutan ini menimpa kalian.”
Orang-orang upahan itu menjadi ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat telah mengulangi perintah Ki Buyut itu, “Bawa bebahu itu pulang ke rumahnya, kalian dengar. Serahkan kepada keluarganya.”
Orang-orang itu tidak dapat membantah. Mereka pun kemudian telah melangkah mendekati bebahu yang hampir tidak dapat bangkit berdiri meskipun ia telah mampu duduk. Dengan ragu-ragu orang-orang upahan itu mengangkat bebahu yang lemah itu.
Namun sekali lagi Mahisa Pukat membentak, “Cepat. Bawa orang itu pergi. Aku benar-benar muak melihatnya.”
Orang-orang upahan itu telah membantu bebahu yang lemah itu berjalan meninggalkan Ki Buyut yang masih berdiri di tempatnya.
Kepada Ki Bekel, Ki Buyut itu pun berkata, “Ki Bekel. Agaknya persoalannya sudah selesai. Kami tidak akan mengganggu Ki Bekel yang telah mempunyai rencana yang baik dengan warisan nenek tua itu. Tetapi dalam pada itu, Ki Bekel pun harus merawat nenek itu dengan baik pula.”
“Ya Ki Buyut,” jawab Ki Bekel, “aku akan mempersilahkan nenek itu tinggal bersamaku, sementara rumahnya dipersiapkan untuk menjadi sebuah banjar.”
“Jika ia ingin tinggal di rumahnya, biar saja ia tinggal sampai batas umurnya,” berkata Ki Buyut.
“Maksudku, dengan demikian, aku akan dapat merawatnya dengan baik. Tetapi jika nenek itu masih ingin berada di rumahnya, sudah tentu tidak akan ada keberatannya,” jawab Ki Bekel, “sementara itu, anak-anak muda juga selalu berada di rumah itu khususnya di malam hari,” berkata Ki Bekel.
“Setiap hari aku akan tetap mengirimkan empat orang pengawal untuk ikut menjaga ketenangan bukan saja rumah itu. Tetapi padukuhan ini sampai suasana benar-benar menjadi baik.”
“Terima masih Ki Buyut,” jawab Ki Bekel yang kemudian mempersilahkan Ki Buyut untuk singgah lagi di rumah Ki Bekel.
“Nyi Buyut tentu sudah menunggu,” berkata Ki Bekel.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Kalian sangat mengagumkan anak-anak muda. Setelah aku menyaksikan kemampuan kalian, maka aku benar-benar tidak dapat mengerti, bagaimana kalian mampu memiliki kemampuan itu dalam usia kalian.”
“Sudahlah Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “sekarang Ki Buyut dipersilahkan untuk singgah di rumah Ki Bekel.”
“Dengan keyakinan atas kemampuan kalian, maka kalian telah bukan saja menolong aku dan isteriku, tetapi kalian telah berhasil menyelamatkan Kabuyutan ini dari perselisihan di antara kadang sendiri. Jika dalam persilihan itu jatuh korban di pihak manapun, maka itu adalah saudara kita. Sementara itu orang-orang upahan itu akan dapat memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya untuk kepentingan mereka sendiri,” berkata Ki Buyut kemudian, ”dengan demikian, maka kita wajib bersyukur.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kita memang harus bersyukur. Marilah. Kita ke rumah Ki Bekel.” Ki Buyut sempat mengucapkan terima kasih kepada orang-orang padukuhan itu yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka memang menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat orang-orang yang datang untuk menyerang. Selain jumlahnya yang cukup banyak, di antara mereka terdapat orang-orang upahan yang kasar dan bahkan tidak mengenal perikemanusiaan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Buyut pun telah berada di rumah Ki Bekel. Nyi Bekel yang mendengar bahwa persoalannya telah dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah, telah mengusap dadanya sambil berkata, “Syukurlah. Nampaknya Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah hari ini kita kembali pulang. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu. Pimpinan pengawal masih ada di pihak kita dalam perselisihan ini, sehingga ia akan dapat mengatasi para pengawal yang telah berniat buruk itu. Jika ternyata mereka belum jera. Maka pimpinan pengawal itu akan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan.”
Nyi Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “segala sesuatunya terserah kepada kakang.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Bekel ia berkata, “Ki Bekel, Aku masih minta kemurahanmu untuk berada di rumahmu sampai sore hari. Menjelang senja, kami akan kembali sehingga kami akan sampai ke rumah malam hari. Biarlah pemimpin pengawal itu pulang lebih dahulu bersama para pengawal yang ada di sini untuk menyelesaikan segala sesuatunya sebelum kami kembali.”
“Silahkan. Silahkan Ki Buyut. Sebenarnya kami akan minta Ki Buyut tinggal di sini barang satu dua hari, sehingga segala sesuatunya menjadi tenang. Baru Ki Buyut kembali ke Kabuyutan,” berkata Ki Bekel.
Tetapi sambil tersenyum Ki Buyut berkata, “Terima kasih. Besok atau pada kesempatan lain, kami tentu akan datang lagi.”
“Tetapi, Ki Buyut masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat sampai saatnya Ki Buyut kembali menjelang senja,” berkata Ki Bekel.
“Terima kasih. Aku justru ingin berada di pendapa bersama anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang telah bersiap-siap menghadapi orang-orang upahan dan orang-orang yang telah sesat itu,” berkata Ki Buyut.
Namun sebelum Ki Buyut keluar, telah datang dengan tergesa-gesa memasuki regol halaman, seorang petani yang terengah-engah.
“Ada apa?” bertanya seseorang yang berada di halaman rumah Ki Bekel.
“Ki Bekel ada?” bertanya petani itu.
“Ada apa kek?” bertanya orang lain.
“Ki Bekel. Aku ingin bertemu dengan Ki Bekel,” jawab petani itu.
Ki Bekel memang mendengar suara yang kemudian menjadi ribut. Seorang memang masuk ke ruang dalam dan memberitahukan bahwa seseorang telah mencarinya. Petani yang kemudian telah diminta untuk masuk ke ruang dalam itu dengan terengah-engah menceriterakan bahwa ia telah menemukan sesosok tubuh di tanggul parit.
“Di mana?” bertanya Ki Bekel.
“Di bulak sebelah Ki Bekel,” jawab petani itu.
“Jadi kakek pergi juga ke sawah dalam suasana seperti ini?” bertanya Ki Bekel.
“Aku justru mengungsi ke tengah-tengah sawah. Menurut perhitunganku, seandainya terjadi kerusuhan tidak akan sampai ke tengah sawah. Anakku juga menasehatkan agar aku berada di sawah saja, sementara anak itu agaknya juga berada di sini atau masih di sekitar regol padukuhan.”
“Siapa yang kau ketemukan di bulak itu?” bertanya Ki Bekel, “kau tentu mengenalnya. Seandainya orang itu orang padukuhan bahkan orang Kabuyutan ini.”
“Aku tidak berani mendekatinya,” jawab kakek itu, “mungkin masih akan terjadi sesuatu.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Ki Bekel, “Biarlah salah seorang dari para pengawal itu melihatnya.”
Sejenak kemudian, dua orang pengawal memang telah berangkat ke bulak. Keduanya terkejut ketika keduanya membalikkah tubuh yang terbaring menelungkup itu. Bahkan ternyata tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Bebahu yang memberontak itu,” desis salah seorang di antara mereka.
“Tetapi kenapa ia terbunuh di sini?” sahut yang lain.
“Kita bawa tubuh ini ke rumah Ki Bekel,” berkata pengawal yang pertama.
Demikianlah, ketika tubuh itu sampai di halaman Ki Bekel, orang-orang yang ada di halaman rumah itu, termasuk Ki Buyut dan Ki Bekel terkejut. Bebahu yang memberontak itulah yang telah terbunuh.
“Siapa yang melakukannya?” desis Ki Buvut, “aku yakin, seharusnya dalam perjalanan keadaannya menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya.”
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Mereka sependapat dengan Ki Buyut. Ki Buyut melepaskan orang itu ketika ia tidak berdaya. Tetapi Ki Buyut dan orang-orang yang menyaksikannya yakin, bahwa yang dilakukan Ki Buyut itu tentu tidak akan membunuhnya. Bahkan ia tentu akan segera menjadi baik secara perlahan-lahan. Bukan meninggal seperti yang terjadi.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya kepada petani yang melaporkannya, ”Apa yang kau lihat selain tubuh itu?”
“Aku tidak melihat apa-apa,” jawab petani itu.
“Sekelompok orang atau satu dua orang atau apa?” bertanya Mahisa Murti kemudian.
Petani itu mengingat-ingat. Tiba-tiba saja ia berkata, “Sebelumnya aku memang melihat beberapa orang lewat. Tetapi terlalu jauh. Aku hanya melihat orang-orang melintasi pematang. Aku kira mereka termasuk orang-orang yang sedang berselisih di sini.”
“Dan kau tidak menghubungkan orang-orang itu dengan kematian bebahu itu?” bertanya Ki Bekel.
“Arahnya berbeda,” berkata petani itu, “aku ketemukan orang yang meninggal itu di pinggir jalan. Sedangkan aku melihat sekelompok orang yang berjalan menelusuri pematang di arah yang lain.”
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut berkata, “Tentu orang-orang upahan itu. Mereka menganggap bebahu itu tidak berguna lagi bagi mereka, sehingga bebahu itu justru telah dibunuhnya.”
“Mereka memang orang-orang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Mereka sama sekali tidak menghiraukan perikemanusiaan sama sekali,” sahut Ki Bekel.
“Tetapi, apakah mereka puas dengan akhir dari peristiwa ini, sehingga mereka pergi begitu saja dari Kabuyutan ini setelah membunuh bebahu yang gagal memberi kesempatan mereka melakukan kejahatan di padukuhan ini dan sudah tentu upah dari bebahu itu?” bertanya Mahisa Pukat yang mempunyai firasaat buruk tentang orang-orang itu.
“Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada petani yang datang melaporkan kematian bebahu itu, “Tunjukkan kepada kami, ke arah mana orang-orang itu pergi.”
Petani itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti pun berkata, “Marilah, kita pergi.”
Ketika Ki Buyut dan Ki Bekel siap pula untuk berangkat, maka Mahisa Murti telah mencegahnya, “Ki Buyut dan Ki Bekel kami persilahkan menunggu saja di sini.”
“Kami akan ikut bersamamu,” berkata pemimpin pengawal yang telah mengajak beberapa orang pengawal yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok orang telah meninggalkan rumah Ki Bekel, menuju ke bulak. Petani tua yang berlari-lari kecil itu pun telah menunjukkan ke mana sekelompok orang yang diduga orang-orang upahan setelah membunuh bebahu itu telah berusaha mencari sasaran di padukuhan lain.
“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,” berkata Ki Buyut ketika sekelompok anak-anak muda itu meninggalkan halaman rumah Ki Bekel.
Tetapi kecurigaan anak-anak muda itu semakin meningkat ketika petani itu menunjukkan arah kepergian orang-orang itu. Mereka tidak menuju ke padukuhan induk, tetapi mereka telah menuju ke sebuah padukuhan yang termasuk besar di sebelah padukuhan induk.
“Tidak ada suara pertanda apapun,” berkata petani yang terengah-engah.
“Mungkin penghuni padukuhan itu tidak sempat membunyikan kentongan. Mereka tidak menduga bahwa di siang hari akan terjadi perampokan,” jawab pemimpin pengawal yang kemudian berkata, “kek, jika kakek letih, sudahlah. Biar kami menelusuri sendiri. Nampaknya kami akan menemukannya, kecuali jika mereka meninggalkan Kabuyutan. Tetapi celakanya jika mereka justru melakukannya di Kabuyutan lain.”
Tetapi kakek tua itu menjawab, “Aku tidak berani ditinggal sendiri. Lebih baik aku ikut kalian.”
Pemimpin pengawal itu tidak memaksanya. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati sebuah padukuhan yang terhitung besar di Kabuyutan itu. Ketika mereka bertemu dengan beberapa orang anak yang berlari-lari, maka pemimpin pengawal itu telah mencegatnya. Ternyata anak-anak itu menjadi semakin ketakutan. Namun pemimpin pengawal itu justru telah menangkap seorang di antaranya yang terbesar di antara mereka.
“Kenapa kalian berlari-lari?” suara pemimpin pengawal itu menjadi lembut.
Tetapi wajah anak itu masih menunjukkan ketakutan. Sehingga pemimpin pengawal itu berkata lembut, ”jangan takut. Kau kenal aku bukan? Aku tinggal di padukuhan induk.”
Anak itu mengamati pemimpin pengawal itu dengan saksama. Agaknya ia memang pernah melihatnya. Apalagi sikapnya sama sekali tidak menakutkannya.
“Apa yang terjadi?” desak pemimpin pengawal itu.
“Kami sedang bermain-main,” jawab anak itu, “sekelompok orang telah berbuat kasar. Mereka memukuli orang-orang tua kami.”
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Dengan singkat ia bertanya, “Di mana mereka sekarang?”
“Di padukuhan. Mereka tidak membiarkan orang-orang tua pergi,” jawab anak itu.
“Baiklah. Kalian tidak usah lari. Beritahukan kawan-kawanmu itu. Kami akan menolong orang-orang tua di padukuhanmu,” berkata pemimpin pengawal itu.
Tetapi kawan-kawannya telah berlari jauh. Meskipun demikian pemimpin pengawal itu berkata, “Mereka akan letih. Mereka tentu akan berhenti berlari. Nah, katakan kepada mereka bahwa mereka tidak usah lari ke mana-mana lagi.”
Anak itu tidak menjawab. Sementara pemimpin pengawal itu pun kemudian telah memasuki padukuhan itu bersama dengan para pengawal dan Mahisa Murti serta Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka para pengawalpun telah menemukan jejak orang-orang upahan itu. Mereka memang benar-benar merampok rumah-rumah orang kaya. Mereka berpencar dalam kelompok-kelompok kecil dan bersama-sama melakukan perampok.
Pemimpin pengawal itu pun telah mendapat beberapa keterangan dari seorang laki-laki yang ketakutan yang berhasil menyelinap di belakang gerumbul-gerumbul perdu. “Kenapa tidak kau bunyikan kentongan?” bertanya pemimpin pengawal.
“Aku tidak sempat,” jawab orang itu.
“Sekarang,” berkata pemimpin pengawal itu, “pergi ke gardu dan bunyikan kentongan. Jika aku bertemu dengan kentongan di manapun juga, aku juga akan membunyikannya.”
Orang itu termangu-mangu. Namun pemimpin pengawal itu berkata selanjutnya, ”jangan takut. Aku akan mencari mereka.”
Ternyata keberanian orang itu pun mulai tumbuh. Ia puntelah berlari menuju ke gardu di mulut lorong. Dengan sekuat tenaga, ia telah memukul kentongan dengan nada titir. Ternyata suaranya menjangkau bagian yang masih belum dijamah oleh para perampok, sehingga dari tempat itu, maka kentongan pun telah bersahutan dalam nada yang sama.
Namun suara kentongan itu telah membuat para perampok semakin liar. Dengan garangnya mereka telah bertindak semakin kasar. Bahkan senjata mereka telah menyambar beberapa orang korban sehingga terluka parah.
Namun para pengawal telah berpencar pula. Mahisa Murti dam Mahisa Pukat telah menempuh arah yang terpisah. Sehingga dengan demikian mereka telah menemukan kelompok-kelompok perampok yang garang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak menyembunyikan kemampuan mereka. Sementara itu, kemarahannya memang telah membakar jantung.
Ketika pemimpin pengawal dan para pengawal mulai bertempur dengan kelompok-kelompok yang mereka jumpai, maka Mahisa Murti yang bergerak seorang diri telah bertemu dengan empat orang perampok yang sedang mendekati sebuah regol. Namun agaknya mereka telah berhasil merampok rumah yang lain, karena mereka telah membawa beberapa bungkusan.
Demikian orang-orang itu siap memecah pintu regol halaman yang ditutup, maka terdengar suara Mahisa Murti berat, “Cukup. Kalian telah cukup merepotkan Ki Buyut. Kalian bunuh bebahu yang sudah diampuni oleh Ki Buyut itu. Jika orang itu harus mati, maka Ki Buyut tentu sudah membunuhnya. Kalian sama sekali tidak menghiraukannya. Kalian yang diperintahkan membawa orang itu kepada keluarganya, ternyata telah kalian bunuh.”
Ampat orang itu terkejut. Tiba-tiba saja anak muda itu telah berada di padukuhan itu pula. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain. Seorang, di antara mereka telah berteriak, “Aku bunuh kau. Kau kira kau dapat menakut-nakuti dengan ilmu sihirmu itu.”
Keempat orang itu pun telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Dengan garangnya keempat orang itu telah mulai bergerak untuk menyerang. Namun Mahisa Murti pun tidak menunggu lagi. Dengan ilmunya yang dahsyat ia telah menyerang. Diangkatnya kedua tangannya, jari-jarinya yang terbuka dan merapat telah menghadap ke arah keempat orang yang berlari menyerangnya.
Namun ternyata masih ada kekangan yang membuat Mahisa Murti tidak langsung menyerang orang-orang itu. Tetapi ia telah melontarkan serangannya dua langkah di depan orang-orang yang sedang berlari itu. Serangan Mahisa Murti merupakan serangan yang belum pernah dialami oleh orang-orang itu. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan.
Ketika serangan itu menghantam tanah di hadapan mereka, maka tanah itu pun seakan-akan telah meledak. Ilmu yang dahsyat itu telah melontarkan tanah yang bagaikan letusan dibawah permukaan bumi sehingga butiran-butiran batu-batu kerikil dan tanah yang terlempar justru mengarah kepada keempat orang itu.
Ternyata akibatnya memang di luar dugaan. Bahkan diluar perhitungan Mahisa Murti sendiri. Tanah yang terhambur dengan derasnya itu justru telah mengoyak kulit dan terbenam ke dalam daging. Dua orang yang terdekat dengan ledakkan itu, ternyata sama sekali tidak mampu bertahan. Keduanya langsung terlempar dan jatuh terbanting tanpa dapat bangkit kembali. Mereka ternyata telah langsung terbunuh.
Sementara kedua orang yang lain, yang agak terlindung oleh kedua orang kawannya, tidak terlalu banyak mengalami luka-luka. Namun demikian keduanya pun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terguling. Ketika mereka mencoba untuk bangkit, maka hampir seluruh tubuhnya terasa sakit dan pedih. Demikian sakitnya sehingga keduanya ternyata telah terjatuh kembali sambil merintih menahan pedih.
Mahisa Murti yang dengan bergegas mendekatinya, ternyata menjadi gelisah melihat akibat serangannya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk mengurangi rasa sakit dengan menaburkan obat pada luka-luka yang bertebaran di tubuh mereka.
Beberapa orang yang semula mengintip dari balik pintu regol telah memberanikan diri untuk merayap keluar. Mereka pun dengan hati-hati telah mendekati Mahisa Murti yang kemudian bangkit berdiri dan memberi isyarat kepada beberapa orang itu untuk mendekati.
“Mereka sudah tidak berdaya,” berkata Mahisa Murti, “dua orang telah terbunuh diluar kemauanku. Tetapi yang dua ini masih mungkin hidup. Keduanya berada dalam keadaan yang tidak baik. Keduanya dalam kesakitan yang sangat. Apakah di sini ada tabib yang mampu mengobatinya, setidak-tidaknya merawatnya sehingga dapat mengurangi rasa sakitnya?”
Beberapa orang saling berpandangan. Namun seorang diantara mereka telah berkata, “Ada seorang tabib. Tetapi aku tidak tahu, apakah kemampuannya cukup tinggi untuk mengobati luka-luka itu.”
“Panggil orang itu,” berkata Mahisa Murti.
Orang yang menyebut seorang tabib itu ragu-ragu. Namun Mahisa Murti telah mendesaknya. “Katakan, aku memerlukannya.”
Orang itu tidak dapat membantah. Ia pun kemudian telah pergi ke rumah tabib itu. Sementara itu, para pengawal pun telah dapat menangkap beberapa orang upahan yang telah merampok itu. Bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Namun ada juga di antara para pengawal yang telah terluka dalam pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang juga bergerak seorang diri telah bertemu dengan empat orang pula. Empat orang yang menjadi sangat terkejut melihat kehadiran anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Berbeda dengan para perampok yang bertemu dengan Mahisa Murti, maka keempat orang itu telah berusaha untuk melarikan diri dengan meloncati dinding halaman.
Dengan serta merta keempat orang itu bersama-sama meloncat keatas dinding yang cukup tinggi. Dengan bekal kemampuan yang mereka miliki maka keempatnya tiba-tiba saja telah bertengger di atas dinding dan siap melompat turun ke halaman.
Mahisa Pukat yang marah itu tiba-tiba saja telah mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau melepaskan keempat orang itu. Apalagi sebelumnya Mahisa Pukat telah mengancam bahwa ia benar-benar akan mempergunakan ilmunya jika orang-orang itu melawan.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak ragu-ragu lagi. Dengan mempergunakan ilmunya, ia telah menghantam dinding tempat keempat orang itu bertengger. Mahisa Pukat ingin mencegah keempat orang itu meloncati dinding batu yang cukup tinggi itu. Dengan kekuatan ilmunya yang dilontarkan menghantam dinding itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah meledakkan dinding batu itu. Demikian besar kekuatannya sehingga dinding itu telah pecah dan runtuh bagian atasnya.
Ternyata Mahisa Pukat telah terlambat. Disaat dinding itu pecah, orang-orang yang meloncat itu telah berada dibawah. Namun nasib mereka memang terlalu buruk. Keempat orang itu telah tertimpa reruntuhan batu dinding halaman itu.
Seorang di antara mereka telah terbunuh seketika. Tiga lainnya telah terluka. Namun luka mereka termasuk luka yang cukup berat. Seorang dari antara mereka telah patah kakinya yang tertindih batu. Seorang lagi tulang punggungnya dan yang lain kedua lengannya telah cacat. Meskipun ketiganya masih akan dapat ditolong jiwanya jika mereka berada di tangan tabib yang baik, namun cacat mereka sudah tidak akan dapat dipulihkan lagi.
Beberapa orang memang telah datang pula. Mereka telah mengangkat batu-batu yang menimpa orang-orang itu, serta membawa orang-orang yang terluka dan terbunuh itu ke pendapa rumah yang dindingnya pecah itu. Demikianlah, maka pertempuran di padukuhan itu pun telah selesai. Beberapa orang terbunuh, beberapa orang terluka, sedangkan beberapa orang yang lain menyerah.
“Satu tugas yang merisaukan,” berkata pemimpin pengawal yang telah memerintahkan dua orang pengawal untuk memanggil kawan-kawan mereka dari padukuhan induk, kecuali mereka telah ikut serta memusuhi Ki Buyut.
Bersama para pengawal dan orang-orang padukuhan itu, dengan beberapa buah pedati, maka tubuh-tubuh yang membeku, orang-orang yang terluka, serta para pengawal yang juga terluka telah dibawa ke padukuhan induk, dibawah pengawalan yang kuat. Demikian pula para tawanan.
“Kita akan memberitahu Ki Buyut,” berkata pemimpin pengawal itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah ikut ke padukuhan induk. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Kami berdua akan ikut ke padukuhan untuk menemui Ki Buyut. Tetapi aku tidak akan ikut bersama Ki Buyut kembali ke padukuhan induk.”
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa kau tidak akan datang lagi kemari? Apakah ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu?”
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “namun segala sesuatunya aku anggap sudah selesai. Persoalan orang-orang yang tertawan itu adalah persoalan Ki Buyut dan para bebahu.”
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jika demikian, kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Demikianlah, maka sekelompok pengawal telah meninggalkan padukuhan itu untuk menjemput Ki Buyut. Mereka sadar, bahwa keadaan masih belum terlalu baik. Sehingga karena itu, maka pemimpin pengawal itu telah menugaskan para pengawal terbaik untuk menjemput Ki Buyut, sedangkan ia sendiri tetap berada di padukuhan itu untuk mengamati perkembangan keadaan.
Kedatangan para pengawal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mendebarkan. Namun melihat wajah-wajah anak-anak muda itu, maka Ki Bekel berkata, “Keadaannya tentu menjadi semakin baik.”
Sebenarnyalah, Mahisa Murti pun telah melaporkan peristiwa yang telah terjadi di padukuhan induk, serta keinginan pimpinan pengawal agar Ki Buyut segera berada di padukuhan induk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi kemudian.
“Mereka telah mengirimkan sekelompok pengawal,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera kembali ke padukuhan induk.” Lalu katanya kepada Ki Bekel, “ternyata aku kembali sedikit lebih cepat dari rencanaku semula. Tetapi itu tidak mengapa. Aku akan kembali bersama-sama dengan para pengawal, sehingga tidak akan terjadi sesuatu atasku di perjalanan. Nyi Buyut pun akan kembali bersamaku sekarang. Nampaknya itu adalah pilihan yang paling baik baginya.”
Ki Bekel mencoba untuk menunda keberangkatan Ki Buyut. Namun agaknya Ki Buyut pun ingin segera menyaksikan, apa yang telah terjadi di padukuhan induk. “Tetapi para pengawal itu?” bertanya Ki Bekel perlahan-lahan.
“Bukankah mereka datang bersama-sama dengan kedua orang anak muda itu,” desis Ki Buyut.
Ki Bekel pun mengangguk-angguk. Mereka memang percaya sepenuhnya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga para pengawal yang datang bersamanya itu tentu para pengawal yang setia kepada Ki Buyut.
Dengan demikian maka Ki Buyut dan Ki Bekel tidak ragu-ragu lagi. Sejenak kemudian, Ki Buyut pun telah meninggalkan padukuhan itu bersama dengan Nyi Buyut diikuti oleh para pengawal. Berkali-kali Ki Buyut dan Nyi Buyut telah mengucapkan terima kasih kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta kepada Ki Bekel dengan seluruh penghuni padukuhan itu.
“Bagiku bukan lagi soal warisan nenek tua itu,” berkata Ki Buyut, “tetapi sudah merambat kepada persoalan yang lebih mendalam. Warisan dari nenek itu adalah semata-mata bernilai lahiriah. Rumah dan harta benda nenek itu dapat dinilai dengan uang. Tetapi tidak dengan kesetiaan. Sedangkan yang harus aku nilai kemudian adalah justru kesetiaan itu. Jika aku berbicara tentang kesetiaan, bukan kesetiaan kepadaku. Tetapi aku sebagai lambang dari seluruh Kabuyutan ini. Ketidak-setiaan bebahu yang terbunuh itu, serta ketidak setiaan beberapa orang pengawal dan para penghuni padukuhan induk, harus dilihat dari kepentingan yang lebih besar lagi Kabuyutan ini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan suara berat, “Aku mengerti Ki Buyut. Dan menurut penilaian kami, Ki Buyut ternyata adalah seorang pemimpin yang bijaksana.”
“Ah, jangan memuji,” desis Ki Buyut yang kemudian telah minta diri pula, “Kami, dan orang-orang yang bersama kami termasuk Nyi Buyut minta diri. Tentu saja bukan untuk seterusnya, tetapi aku akan selalu datang ke padukuhan ini. Bukankah padukuhan ini juga termasuk Kabuyutan kita pula?”
Ki Bekel masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Ki Buyut, tentu.”
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut dan Nyi Buyut pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa tidak dapat ikut mengantarkan mereka. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segalanya tentu sudah akan selesai. Ketika Ki Buyut meninggalkan padukuhan itu, maka Ki Bekel pun telah menyiapkan sebuah pedati. Mayat bebahu yang terbunuh itu harus dibawa ke padukuhan induk pula.
Mula-mula Ki Bekel merasa ragu untuk menunjuk dua tiga orang yang akan mengawal mayat itu, karena Ki Bekel menduga bahwa orang-orang padukuhan itu tentu akan merasa berkeberatan. Namun ternyata lebih dari sepuluh orang telah menyatakan dengan sukarela untuk membawa mayat itu ke padukuhan induk.
“Terima kasih,” berkata Ki Bekel, “kita hanya memerlukan lima orang saja.”
Demikianlah, maka lima orang padukuhan itu telah bersiap mengantarkan mayat bebahu itu, sementara seorang yang mempunyai sebuah pedati di rumahnya telah pulang untuk mengambil pedati.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menganggap persoalan yang sebenarnya telah selesai, maka me-rekapun telah minta diri untuk kembali ke rumah nenek tua itu. “Jika ada persoalan yang memerlukan kedatanganku, maka aku berada di rumah nenek tua itu,” berkata Mahisa Murti.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata Ki Bekel, “menurut pendapatku, persoalan selanjutnya tinggal menyelesaikan persoalan-persoalan kecil yang tidak banyak berarti. Karena itu jika kalian berdua ingin beristirahat, kami persilahkan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri. Para bebahu padukuhan itu dan Ki Bekel sendiri telah melepas kedua anak muda itu sampai ke regol. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu masih banyak yang berkerumun di sekitar rumah Ki Bekel. Mereka masih lengkap dengan berbagai macam senjata di tangan. Bagaimanapun juga mereka masih mencemaskan keadaan yang mungkin akan dapat berkembang menjadi buruk lagi.
Orang-orang padukuhan itu, para bebahu dan Ki Bekel sendiri ternyata menjadi semakin hormat kepada kedua orang anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun mereka tahu, bahwa kedua orang anak muda yang mengaku perantau itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa ilmu kedua orang anak muda itu akan mampu memecahkan sebongkah batu padas dan merobohkan sebatang pohon yang tumbuh dipinggir jalan.
Mereka pun tidak dapat membayangkan, apa yang telah terjadi atas para perampok yang bagaikan ditaburi batu-batu kerikil diseluruh tubuhnya sehingga menyusup sampai ke tulang. Mereka pun sulit membayangkan bahwa dari jarak yang agak jauh, anak muda itu mampu meruntuhkan dinding halaman yang dibuat dari batu.
Dalam pada itu, bebahu padukuhan yang pernah berniat untuk berkhianat itu pun merasa betapa kecil dirinya dan betapa kotor perbuatannya. Apa yang dilakukan itu, telah dilakukan pula oleh salah seorang bebahu Kabuyutan. Namun yang ternyata justru telah terbunuh oleh orang-orang upahannya sendiri.
Bebahu itu menjadi gemetar. Namun dengan susah payah ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Ia telah mencoba untuk melihat-lihat keadaan di sekitar halaman Ki Bekel untuk menenangkan hatinya. Ketika hatinya menjadi sedikit tenang, maka bebahu itu pun telah kembali naik kependapa. Namun tiba-tiba saja ia telah duduk berdua saja dengan bebahu yang hampir saja dihabisi nyawanya.
Bagaimanapun juga terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Apalagi ketika bebahu yang dimusuhinya itu kemudian tersenyum. Namun sebelum ia berbicara sesuatu, maka seseorang telah naik kependapa dan berkata kepada bebahu yang pernah akan dibunuhnya itu bahwa Ki Bekel telah memanggilnya.
Demikian bebahu itu bangkit dan melangkah turun dari pendapa, maka hatinya serasa telah menjadi sejuk kembali. Dengan tergesa-gesa maka ia pun telah turun dari pendapa pula dan sekali lagi ia berjalan-jalan di sekeliling halaman untuk menenangkan hatinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sampai ke rumah nenek tua yang menjadi persoalan yang berkepanjangan itu. Ternyata rumah itu sama sekali tidak disentuh oleh keributan yang baru saja terjadi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk diruang tengah sedangkan nenek tua itu berada di dalam biliknya. Sementara itu lampu minyak pun telah terpasang.
“Nenek merasa badannya kurang sehat,” berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian duduk diruang tengah itu pula. Mahisa Semu dan Wantilan sempat bertanya tentang persoalan yang terjadi di rumah Ki Bekel. Namun Mahisa Murti pun kemudian sempat berkata setelah ia berceritera serba sedikit tentang kerusuhan yang telah terjadi, tetapi semuanya sudah teratasi.
“Syukurlah,” berkata Mahisa Semu, “kami selama ini selalu gelisah menunggu berita tentang kerusuhan itu. Satu dua orang yang lewat dengan tergesa-gesa tidak sempat mengatakan apapun juga.”
“Aku kira, tugas kita di padukuhan inipun telah selesai pula,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sudah merasa terlalu lama berada di padukuhan itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ada diruang dalam itu telah mendengar suara beberapa orang anak muda yang datang meronda di rumah nenek itu. Agaknya mereka telah mendapat tugas untuk datang kerumah ini, karena hampir semua anak-anak muda berada di sekitar rumah Ki Bekel.
Ketika nenek tua yang ada di dalam biliknya itu mendengar suara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun telah bangkit dari pembaringannya, keluar dari biliknya dan melangkah perlahan-lahan ke ruang tengah.
“Nek,” berkata Mahisa Pukat sambil bangkit dan mendekati orang tua itu, ”berbaring sajalah nek, jika badan nenek memang merasa kurang sehat.”
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa gelisah saja.”
“Sekarang nenek tidak perlu merasa gelisah lagi. Segala sesuatunya telah dapat diselesaikan. Memang ada korban yang jatuh. Tetapi bukankah itu wajar sekali? Orang-orang yang berniat buruk itu sama sekali tidak mau menerima satu kenyataan, sehingga mereka justru menjadi seperti gila. Mereka merampok orang-orang yang tidak bersangkut paut sama sekali dengan persoalan yang semula terjadi.”
Nenek tua itu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Pukat minta agar nenek itu beristirahat saja, nenek itu masih saja menolak. Bahkan kemudian nenek itu telah ikut duduk pula di ruang dalam. “Aku harus menyiapkan minuman dan makanan bagi mereka yang meronda,” berkata nenek itu.
“Biarlah nanti aku yang membuatnya,” berkata Mahisa Amping.
Nenek itu tersenyum. Sambil mengusap rambut Mahisa Amping nenek itu berkata, “Kita kerjakan bersama-sama seperti hari-hari yang lalu.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ia sadar, bahwa mereka sudah terlalu lambat mulai masuk ke dapur. Biasanya nenek itu mulai merebus air sebelum senja. Tetapi sebelum Mahisa Amping mengatakannya, nenek itu sudah mendahuluinya,
“Kita sudah terlambat ngger. Tetapi itu akan lebih baik daripada kita tidak melakukannya sama sekali.” Nenek itu pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti, “Tolong ngger. Sampaikan kepada anak-anak muda itu serta para pengawal jika mereka datang, bahwa minuman mereka akan terlambat kita hidangkan.”
“Ya, ya nek,” jawab Mahisa Murti, “mereka tidak akan merasa kecewa.”
“Ya. Tetapi perubahan dari kebiasaan ini perlu mereka ketahui,” berkata nenek tua itu.
“Baik nek. Aku akan segera menemui mereka,” jawab Mahisa Murti kemudian.
Ketika kemudian Mahisa Murti menemui anak-anak muda di pendapa, maka Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan. Namun agaknya para pengawal tidak sempat datang ke rumah itu. Dipadukuhan induk tentu sedang terjadi kesibukan yang tidak dapat mereka tinggalkan. Sementara itu, orang-orang di padukuhan induk tahu benar, bahwa di padukuhan ini sudah ada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang akan dapat mengatasi segala macam persoalan yang timbul kemudian.
Sejenak kemudian, maka nenek tua itu telah berada di dapur bersama Mahisa Amping. Namun ketika nenek itu membesarkan nyala lampu di dapur, ia pun telah terkejut. Ternyata ada seseorang yang telah berada di dapur itu. Nenek itu hampir menjerit.
Tetapi diurungkannya ketika ia melihat Mahisa Amping yang kecil itu mencabut luwuknya sambil bertanya, “Siapa kau?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “jangan takut. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan kedua anak muda yang sehari-hari ada di sini. Anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.”
“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Mahisa Amping.
Orang itu bahkan tertawa. Katanya, “Kau ternyata anak yang sangat berani. Tetapi pembicaraan kami bukannya pembicaraan yang perlu didengar oleh anak-anak. Besok, jika kau tumbuh menjadi dewasa, maka kau akan mengerti. Sekarang, lebih baik kau panggil kedua orang anak muda itu.”
Nenek tua itu memang menjadi ketakutan. Namun Mahisa Amping ternyata menjawab, “Bukan aku yang akan memanggil kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi biarlah nenek pergi memanggil mereka. Aku akan menungguimu di sini. Jika aku yang pergi, maka mungkin kau berniat buruk terhadap nenek.”
Orang itu masih saja tertawa. Katanya, “Kau sungguh anak yang berani. Kelak kau akan menjadi orang pilihan. Baiklah. Biar nenek pergi memanggil kedua orang anak muda itu.”
“Panggil mereka nek. Aku akan menjaganya di sini,” berkata Mahisa Amping.
Nenek tua itu pun kemudian telah bergeser keluar. Jantungnya memang terasa berdebaran. Namun ia masih sempat mencapai ruang dalam. Mahisa Semu terkejut melihat nenek tua itu terengah-engah. Bahkan ketika Mahisa Semu dan Wantilan menggapainya, karena nenek tua itu nampak tertatih-tatih, terasa tubuh nenek tua itu basah oleh keringat.
“Nek, nenek sakit?” bertanya Mahisa Semu.
“Tidak,” jawab nenek itu dengan suara gemetar. Dengan terbata-bata ia pun kemudian menceriterakan apa yang terjadi di dapur.
“Aku akan melihatnya,” berkata Mahisa Semu.
“Jangan,” cegah nenek itu, “panggil saja kedua saudaramu yang disebut adalah kedua orang anak muda yang sehari-hari berada di sini. Mungkin memang kalian berdua, tetapi lebih baik biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang yang menemui mereka, karena nampaknya keduanyalah yang dicari.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah nek. Aku akan memanggil keduanya.”
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di ruang dalam. Ketika mereka mendengar bahwa Mahisa Amping berada di dapur seorang diri, maka keduanya dengan tergesa-gesa telah pergi ke dapur pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian dengan sangat berhati-hati masuk ke dapur. Mereka menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat bahwa Mahisa Amping masih berdiri tegak dengan luwuk di tangannya di hadapan seseorang yang disebut oleh nenek tua itu.
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kau datang untuk mengejutkan nenek tua itu.”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku sempat mengikuti permainan di padukuhan ini. Nampaknya kau masih juga sempat bermain-main dengan Ki Buyut dan Ki Bekel.”
“Aku tidak tahu maksudmu,” kata Mahisa Murti.
“Aku memang akan berterus terang. Selama ini kau dikenal sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kau mampu mengalahkan orang-orang yang namanya telah menyentuh langit. Namun akhir-akhir ini, kau lebih senang bermain-main dengan orang-orang padukuhan ini,” berkata orang itu.
“Katakan maksudmu,” geram Mahisa Pukat.
Orang itu justru tertawa. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang jarang ada imbangannya di dunia ini. Apalagi sepasang pedang yang kalian sandang itu. Pedang yang tentu nilainya jauh lebih tinggi dari rumah ini serta segala isinya sekalipun.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengetahui arah pembicaraan orang yang ada di dapur itu. Yang diperhatikan bukan lagi rumah nenek tua itu, benda-benda berharga yang telah dijual yang uangnya akan diperuntukkan bagi kesejahteraan padukuhan itu. Tetapi yang diperhatikan oleh orang itu adalah sepasang pedang yang oleh pembuatnya disebut keris yang dibawanya dan dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Sementara itu, orang itu pun berkata, “Tetapi aku tidak tergesa-gesa anak muda,” orang itu berhenti sejenak, “mungkin kalian masih ingin ikut mengemasi padukuhan ini. Tetapi aku tahu bahwa pada suatu ketika kalian berdua tentu akan meninggalkan padukuhan ini. Nah, baru saat itu aku berkepentingan dengan kalian.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa tidak sekarang?”
“Jangan,” jawab orang itu, “aku tidak ingin membuat orang-orang padukuhan ini menjadi gelisah. Jika mereka menyadari, bahwa kalian berdua terbunuh, maka orang-orang padukuhan ini akan kehilangan kepercayaan diri pula. Karena itu, seperti sudah aku katakan, jika urusanmu dengan padukuhan ini, untuk menggenapi niatmu tapa ngrame selesai barulah aku akan menemuimu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Kau tentu ingin mendapatkan sepasang pedang kami. Tetapi seperti yang sudah terjadi, maka kami akan mempertahankan pedang ini.”
“Tentu, tentu,” berkata orang itu, “kalian harus mempertahankan pedang kalian. Jika tidak, maka kalian tentu bukan orang yang pantas kami tunggu di perjalanan kelak.”
“Baiklah Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku akan berada di padukuhan ini sampai besok. Aku berharap bahwa lusa kami telah meninggalkan padukuhan ini.”
“Bagus. Jika kalian harus mati, maka biarlah kalian tetap meninggalkan nama besar di padukuhan ini sehingga kalian akan tetap diharap untuk datang kembali di saat lain. Tetapi kalian tidak akan pernah datang lagi ke rumah. Kalian tidak akan pernah melihat rumah ini menjadi banjar padukuhan. Namun percayalah, sepeninggal kalian, maka kami akan mengambil alih tugas kalian di sini. Jika ada orang yang mengganggu padukuhan ini, banjar padukuhannya serta kesejahteraan yang akan menjadi lebih baik, maka aku akan melindunginya. Siapapun yang akan datang.”
“Terima kasih. Tetapi kami masih belum ingin mati. Kami masih ingin kembali ke padepokan kami dan bertemu dengan orang-orang yang kami tinggalkan,” berkata Mahisa Murti. “karena itu, maka agaknya kami akan memilih kemungkinan lain. Seperti orang-orang yang pernah datang kepada kami sebelumnya. Mereka telah mati. Dan kemungkinan yang lain itu adalah, kaulah yang akan mati.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Ternyata kalian adalah anak-anak muda yang menarik. Baiklah. Aku kira pesan kami sudah cukup. Bersiaplah di perjalanan saat kalian meninggalkan pa-‘ dukuhan ini. Aku akan menunggu kalian di suatu tempat yang memungkinkan kami mengambil sepasang keris itu dari tangan kalian.”
“Terima kasih atas pesan kalian,” jawab Mahisa Murti. Bahkan kemudian katanya, “Sebaiknya kau duduk dahulu di ruang dalam. Nenek akan merebus air. Barangkali kau haus.”
Orang itu tertawa menyentak. Katanya, “Terima kasih, terima kasih. Kalian benar-benar orang yang baik hati. Tetapi sayang, bahwa aku segera akan meninggalkan rumah ini. Aku akan mempersiapkan diri sampai besok lusa. Barangkali kau tidak berkeberatan memberitahukan arah perjalanan kalian?”
“Kami akan berjalan ke Barat,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus, aku akan menunggumu di Barat.”
Demikianlah, maka orang itu pun kemudian minta diri sambil melangkah ke pintu dapur. Di depan pintu ia masih tersenyum sambil berkata, “Selamat malam.” Lalu menunjuk Mahisa Amping, “Anak itu anak luar biasa.”
Demikianlah, sejenak kemudian maka Mahisa Amping telah bermain macanan dengan anak muda yang sedang meronda itu. Sementara yang lain pun telah membuat permainan sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah ikut pula bersama mereka sedangkan Mahisa Semu dan Wantilan berada di ruang dalam, menunggui nenek tua yang nampak gelisah. Tetapi malam itu, pendapa rumah nenek itu terasa sepi...