PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 100
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 100
Karya Singgih Hadi Mintardja
SENAPATI prajurit Kediri itu menjadi kebingungan sesaat. Tetapi sebagai seorang pemimpin pasukan, maka ia harus segera menemukan satu keputusan, apa yang harus mereka lakukan.
Oleh karena itu, maka Senapati itu-pun kemudian sudah membuat perhitungan. Baginya lebih baik memecahkan sumbatan regol padepokan itu daripada harus bertahan terhadap pasukan Singasari.
Karena itu, maka ia-pun segera memerintahkan prajuritnya untuk menembus penjagaan para cantrik di regol padepokan itu dengan sepenuh kekuatan, meskipun para prajurit itu juga harus menjaga agar mereka tidak dibantai oleh para prajurit Singasari. Dengan demikian maka hentakan kekuatan prajurit Kediri itu ditujukan kepada para cantrik yang ada di regol padepokan.
Para prajurit Kediri yang setengah putus asa itu justru seperti orang yang sedang mabuk. Mereka tidak lagi mampu berpikir. Yang mereka lakukan seakan-akan sekedar mengikuti perintah yang diteriakkan oleh pemimpin mereka tanpa memperhitungkan kemungkinan apa-pun juga. Bahkan para Senapati Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri itu telah memberikan pesan kepada para prajuritnya, bahwa kematian sebenarnya lebih baik daripada mereka harus ditawan oleh lawan, siapa-pun lawan mereka. Pengertian itulah yang melandasi sikap mereka, apalagi dalam keadaan hampir putus asa.
Namun karena itulah, maka hentakkan kekuatan mereka benar-benar mengejutkan. Para cantrik yang ada di regol yang membendung gerak mundur para prajurit Kediri itu terkejut. Para prajurit itu sama sekali tidak menghiraukan lagi senjata yang terjulur. Meskipun mereka juga berusaha menepis ujung-ujung senjata, namun mereka lebih mendesak dengan perisai-perisai atau bahkan dengan dada mereka ujung senjata yang teracu itu. Dengan demikian, maka sesaat para cantrik itu terdesak. Mereka memang tidak mengira bahwa mereka akan mendapatkan serangan membabi buta seperti itu.
Tetapi dengan demikian regol yang ditutup dengan kekuatan senjata para cantrik itu seakan-akan menjadi terbuka. Sehingga dengan demikian, maka seperti bendungan yang koyak, maka air-pun segera mengalir dengan derasnya. Para prajurit yang berhasil keluar dari regol utama padepokan itu-pun segera menghambur berlari bercerai berai.
Ketika para cantrik akan mengejar mereka, Mahisa Murti telah memberikan perintah, “Jangan hiraukan mereka yang melarikan diri. Tetapi tahan mereka yang masih ada di dalam regol.”
Sebenarnyalah para cantrik itu mengurungkan niatnya untuk mengejar prajurit Kediri yang melarikan diri. Namun mereka kembali berusaha untuk menutup regol agar yang masih ada di dalam tidak dapat melarikan diri. Dengan demikian, maka para prajurit itu memang mengalami kesulitan untuk keluar dari regol. Para cantrik, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau didorong lagi sehingga para prajurit itu dapat menembus pertahanan mereka.
Meskipun demikian, ternyata satu dua orang prajurit memang mampu melepaskan diri. Tetapi kemudian regol itu bagaikan telah tertutup mati, sementara prajurit Singasari-pun telah mendesak mereka dan berusaha untuk menghancurkan mereka.
Sementara itu, Senapati prajurit Singasari itu masih sempat meneriakkan aba-aba, “Menyerahlah. Kami masih mempertimbangkan untuk tidak membunuh para tawanan.”
Para prajurit Kediri memang sudah tidak mempunyai pilihan lagi. Senapati prajurit Kediri itu-pun benar-benar tidak mempunyai jalan lain untuk mengakhiri pertempuran itu kecuali menyerah. Jika pasukan Kediri itu tidak menyerah, maka mereka akan dapat ditumpas habis oleh para prajurit Singasari.
Karena itu, dengan perhitungan bahwa beberapa orang di antara mereka telah meloloskan diri sehingga akan dapat memberikan laporan kepada pimpinan mereka yang lebih tinggi dari antara para pemimpin Kediri yang tidak mau tunduk kepada Sri Baginda, maka Senapati dari Kediri itu-pun telah memerintahkan para prajuritnya untuk menyerah. Dengan demikian maka pertempuran-pun telah terhenti. Kedua belah pihak telah menahan diri untuk tidak menggerakkan senjata mereka.
Namun Senapati dari Singasari itu-pun memerintahkan mereka yang menyerah untuk meletakkan senjata. Tidak ada pilihan lain. Para prajurit Kediri itu-pun telah meletakkan senjata mereka. Dengan demikian, maka para prajurit Kediri itu-pun telah menjadi tawanan Singasari. Mereka harus tunduk kepada segala perintah yang diberikan oleh Senapati dari Singasari. Sementara senjata-senjata mereka telah dikumpulkan di salah satu ruangan di dalam padepokan itu.
Dengan penyerahan itu, maka pertempuran di padepokan itu-pun telah selesai. Para tawanan telah digiring dibawa ke pendapa bangunan induk padepokan Bajra Seta diawasi oleh para prajurit Singasari.
Sementara itu beberapa orang cantrik telah menjadi sibuk mengumpulkan mereka yang terluka dan mereka yang gugur di peperangan. Demikian pula para prajurit Singasari. Sedang para tawanan-pun telah diperintahkan untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang luka sehingga tidak mampu untuk bangkit dan berjalan sendiri.
Namun dalam pada itu, tanpa diduga oleh mereka yang ada di padepokan Bajra Seta, ternyata beberapa saat kemudian, telah datang beberapa orang anak muda sambil membawa beberapa orang prajurit yang dapat mereka tangkap selagi para prajurit itu melarikan diri. Demikian pula beberapa orang cantrik yang semula dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Mereka datang tidak pada waktu yang bersamaan, tetapi mereka datang berurutan.
Senapati dari Singasari dan para prajuritnya merasa heran bahwa hal seperti itu telah terjadi. Demikian pula Senapati Kediri yang tertawan. Seperti juga para prajurit Kediri yang lain mereka menjadi berdebar-debar. Jika saja tidak ada seorang-pun di antara mereka yang lepas, maka tidak ada orang yang dapat memberikan laporan tentang keadaan mereka.
Ketika anak-anak muda itu diterima oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para perwira dari Singasari, maka mereka mengatakan, bahwa mereka terlambat menyadari, bahwa padepokan Bajra Seta telah diserang.
“Meskipun demikian,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu, “Kami tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan hati-hati kami berusaha mendekati padepokan ini. Kami tidak tahu keseimbangan kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan para penyerangnya. Namun kami tidak mendengar isyarat apa-pun dari padepokan seandainya padepokan ini memerlukan bantuan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja kami melihat beberapa orang melarikan diri dari padepokan.”
“Apakah kalian dapat menangkap semua orang?” bertanya Senapati dari Singasari.
“Tidak. Tetapi sebagian besar dari mereka dapat kami tangkap,” jawab anak muda itu.
Senapati dari Singasari itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka yang lolos itu tentu akan dapat menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Kediri. Tetapi apa boleh buat. Memang sulit untuk dapat menangkap semua orang tanpa seorang-pun yang meloloskan diri.
Mahisa Murti-pun kemudian telah mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda itu. Dengan nada dalam ia berkata, “Telah datang sepasukan prajurit dari Singasari, sehingga kami kali ini tidak minta bantuan kalian.”
7777Seorang di antara para pemimpin dari anak-anak muda itu kemudian berkata, “Sebenarnya kami telah bersiap untuk menyerbu masuk ke dalam padepokan. Kami menjadi cemas bahwa lawan datang terlalu banyak, sehingga padepokan Bajra Seta tidak sempat membunyikan isyarat.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kami mempunyai beberapa kentongan. Jika kami memerlukan, maka kami tentu akan dapat membunyikannya. Setidak-tidaknya satu di antara beberapa kentongan yang tersebar dibeberapa tempat.”
“Syukurlah,” sahut anak muda itu, “Apalagi sepasukan prajurit dari Singasari telah ada di sini. Tetapi darimana Singasari mengetahui mengetahui bahwa akan datang serangan hari ini?”
“Sebenarnya kami tidak tahu saat yang tepat. Kami mendapat keterangan dari seseorang, sementara petugas sandi kami juga mendapatkan keterangan, sehingga keterangan-keterangan itu dapat kami padukan. Kami berkesimpulan bahwa kami harus datang secepatkan ke padepokan ini. Ternyata kami datang tepat pada waktunya, sehingga kami hampir saja terlambat.” jawab Senapati prajurit Singasari itu.
“Jika para prajurit Singasari terlambat, maka penghuni padepokan ini dapat membunyikan isyarat. Kami, anak-anak muda dari padukuhan di sekitar padepokan ini tentu akan segera membantu.” desis anak muda itu.
“Terima kasih,” sahut Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Senapati dari Singasari itu bertanya, “Apakah kalian juga memiliki pengalaman bertempur?”
“Ya. Kami beberapa kali telah ikut bertempur. Padepokan ini seakan-akan merupakan bagian dari Kabuyutan kami. Apalagi kami telah banyak menyadap ilmu dari padepokan ini. Bukan saja latihan-latihan oleh kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Kami dapat meningkatkan hasil sawah kami, pategalan kami serta petunjuk tentang perternakan dan membuat kolam-kolam ikan,” jawab anak muda itu, “Karena itu, maka kami dan padepokan Bajra Seta memang tidak dapat dipisahkan lagi. Apalagi padepokan ini-pun telah. beberapa kali menolong menyelamatkan padukuhan-padukuhan di Kabuyutan kami.” jawab anak muda itu.
“Lalu apalagi,” desis Mahisa Pukat sambil tersenyum.
Tetapi anak muda itu berkata, “Aku berkata sebenarnya. Singkatnya, kami berhutang budi terhadap padepokan ini. Dan hutang itu semakin lama menjadi semakin besar sehingga tidak akan mungkin terbayar lagi.”
Senapati dari Singasari itu mengangguk-angguk. Ia percaya kepada anak muda itu. Terbukti mereka telah datang dalam kelompok yang cukup besar. Jika anak-anak muda itu tidak merasa berhutang budi, maka mereka tidak akan bersedia untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam jiwa mereka sebagaimana peperangan yang baru saja terjadi.
Namun dengan demikian para prajurit Singsari melihat, bahwa sebenarnyalah padepokan Bajra Seta telah mampu menggalang kekuatan yang cukup besar. Jika mereka sempat mengumpulkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekeliling padepokan mereka dalam waktu yang cukup, maka akan dapat disusun satu kekuatan yang sangat besar.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan itu minta diri untuk menarik sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan-padukuhan mereka masing-masing. “Hanya beberapa padukuhan saja yang sempat ikut serta bersama kami,” berkata salah seorang di antara para pemimpin mereka.
“Terima kasih atas kesediaan kalian membantu kami,” desis Mahisa Murti.
Sepeninggal anak-anak muda itu, maka para prajurit Singasari telah mengumpulkan para tawanan yang baru saja diserahkan oleh anak-anak muda itu. Hari itu juga, maka para cantrik dari padepokan Barja Seta dan para prajurit yang telah gugur, serta para penyerang yang telah terbunuh, telah diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Meskipun korban terhitung kecil, tetapi padepokan Bajra Seta benar-benar telah berkabung untuk yang kesekian kalinya.
Memang setiap kali pertanyaan telah mencuat dari dasar hati para penghuni padepokan itu, kenapa setiap kali mereka harus mempertahankan diri. Namun ternyata bahwa persoalan yang kadang-kadang tidak diduga sebelumnya telah mencengkam padepokan itu, sehingga akibatnya akan dapat berkepanjangan.
Para prajurit Singasari itu tidak tergesa-gesa meninggalkan padepokan Bajra Seta. Mereka masih harus mengatur, apa yang akan mereka lakukan dengan tawanan-tawanan itu. Pada dasarnya para tawanan, terutama para prajurit Kediri, memang harus dibawa ke Singasari. Tetapi bagaimana dengan mereka yang terluka, yang tidak mampu melakukan perjalanan yang memang agak panjang.
“Biarlah untuk sementara mereka ada di sini,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “Kapan-kapan mereka dapat dijemput. Dalam waktu dua tiga pekan, mereka tentu sudah menjadi lebih baik, sehingga akan dapat melakukan perjalan ke Singasari. Namun jika mereka dibiarkan lebih lama lagi, kami juga tidak berkeberatan.”
“Apakah mereka tidak berbahaya?” bertanya Senapati prajurit Singasari.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Para tawanan itu terdiri dari para prajurit. Namun mereka sama sekali sudah tidak bersenjata. Apalagi mereka telah terluka. Karena itu, maka Mahisa Murti-pun berkata, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya untuk menjaga mereka agar mereka tidak menjadi berbahaya. Kami dapat menempatkan mereka setelah mereka menjadi agak baik, di tempat yang terpisah.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kami akan membawa para tawanan yang mampu menempuh perjalanan ke Singasari. Selebihnya, aku titipkan di sini. Aku dapat meninggalkan sekelompok prajurit untuk membantu mengawasi para tawanan, meskipun makan dan minumnya akan menjadi beban padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Seberapa banyaknya makan dan minum bagi sekelompok kecil prajurit.”
Senapati itu-pun tertawa pula. Dengan demikian maka mereka sepakat, para tawanan yang terluka akan ditinggalkan di padepokan itu. Sekelompok prajurit juga akan ditinggalkan untuk membantu menjaga para tawanan itu. Meskipun mereka terluka, maka para prajurit Kediri itu memerlukan pengawasan dari para prajurit pula yang sedikit banyak akan dapat mengenali tingkah laku mereka.
Prajurit Singasari itu setelah bermalam tiga malam di padepokan setelah pertempuran itu berlangsung, telah meninggalkan padepokan itu dengan membawa para tawanan, sebagaimana pernah mereka lakukan. Sebuah iring-iringan yang berjalan lamban, karena para tawanan itu harus berjalan kaki meskipun para prajurit itu berkuda.
Dalam pada itu, para prajurit yang tinggal, telah mengatur diri bersama-sama dengan para cantrik menjaga para tawanan yang ditinggalkan oleh para prajurit Singasari. Para prajurit itu dalam waktu sebulan akan kembali mengambil para tawanan yang diperkirakan sudah menjadi semakin baik dan. bahkan sudah sembuh dari luka-luka mereka.
Namun, selain membantu menjaga para tawanan, maka pemimpin sekelompok prajurit yang ditinggalkan itu telah menganjurkan, agar padepokan Bajra Seta dapat membentuk satu kesatuan yang terdiri dari anak-anak muda di sekitar padepokan itu.
“Susunan kesatuan itu dapat meniru susunan di lingkungan keprajuritan,” berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya pula, “Tetapi hanya susunannya saja. Ada-pun ikatan kewajibannya tentu saja tidak seperti di lingkungan keprajuritan. Segalanya dapat dibuat jauh lebih longgar, sehingga tidak mengganggu kerja dan kehidupan mereka sehari-hari. Namun dengan ikatan yang longgar itu, segala sesuatunya akan dapat dilakukan dengan lancar. Khususnya jika terjadi sesuatu, baik atas padepokan Bajra Seta, mau-pun atas padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini, maka kesiagaan itu tentu akan sangat membantu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak disusun tataran kesatuan di padukuhan-padukuhan?”
“Ya. Disetiap padukuhan terdapat seorang pimpinan yang bertanggung jawab. Kemudian seluruh kekuatan yang ada dipadukuhan itu dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dengan tataran tugas dan kewajiban yang berbeda. Anak-anak muda di kumpulkan dalam satu kesatuan. Orang-orang yang sudah berkeluarga tetapi masih muda dan mampu untuk turun ke arena jika diperlukan, dikelompokkan tersendiri. Kemudian orang-orang yang lebih tua, yang hanya dipersilahkan untuk tampil dalam keadaan yang sangat terpaksa. Masing-masing dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang dapat digerakkan di saat-saat yang mendesak,” berkata pemimpin sekelompok prajurit Singasari itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Mereka memang sependapat dengan pemimpin sekelompok prajurit itu. Tetapi segala sesuatunya juga tergantung pada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan. Bahkan segala sesuatunya itu harus mendapat persetujuan dari Ki Buyut sendiri.”
“Tetapi kami dapat mencobanya,” berkata Mahisa Pukat.
“Ki Buyut seharusnya tidak akan menolak. Sebab, tatanan itu akan menguntungkan Kabuyutan pula. Jika terjadi sesuatu di satu padukuhan, maka dengan isyarat tertentu, padukuhan-padukuhan yang lain akan dengan cepat dapat membantu. Anak-anak muda dikirimkan kepadukuhan yang memerlukan, sementara orang-orang muda dan yang lebih tua dapat berjaga-jaga di padukuhan masing-masing. Dengan demikian, agaknya pengamanan Kabuyutan akan dapat menjadi semakin rancak.” berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya, “Sebenarnyalah, bahwa kali ini kebetulan prajurit Singasari mendapat petunjuk datangnya serangan atas padepokan ini. Jika tidak, maka dengan ikatan yang disusun di setiap padukuhan, maka mereka akan segera dapat membantu.”
“Ya,” Mahisa Murti-pun mengangguk-angguk pula, “Jumlahnya-pun tentu akan memadai.” ia berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi hanya beberapa padukuhan terdekat sajalah yang telah banyak mengirimkan anak-anak mudanya belajar di padepokan ini. Antara lain dalam olah kanuragan.”
“Bukankah padepokan ini dapat menawarkan kepada Ki Buyut untuk mengirimkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang lain? Meskipun tidak bersama-sama, tetapi sekelompok-sekelompok kecil bergantian tentu sudah cukup baik,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud pimpinan prajurit Singasari itu. Jika usaha untuk menyusun tataran kesatuan seperti itu berhasil, maka padepokan itu serta seluruh Kabuyutan akan menjadi satu keutuhan kekuatan yang cukup memadai. Bukan saja untuk bertempur melawan kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan padepokan itu, tetapi juga tangan-tangan yang jahat yang ingin merambah seisi Kabuyutan. Mungkin gerombolan-gerombolan penjahat yang membidik sasaran di dalam lingkungan Kabuyutan itu. Bahkan sampai ke padukuhan yang paling ujung sekali-pun.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin mencoba sebagaimana dianjurkan oleh pemimpin prajurit Singasari yang ditinggalkan di padepokan itu. Di hari-hari berikutnya maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghubungi Ki Buyut untuk menyatakan rencananya. Seperti yang diduga oleh pemimpin sekelompok prajurit yang tinggal di padepokan itu, Ki Buyut menyambut rencana itu dengan senang hati.
“Aku menyesali tingkah laku Buyut Bumiagara itu,” berkata Ki Buyut ketika ia bertemu dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Seharusnya ia berbuat lebih baik. Tetapi ia memilih jalan yang kasar itu.”
“Kami-pun sangat menyesal Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi apa boleh buat.”
“Ya. Kami dapat mengerti, kenapa angger berdua mengambil jalan itu, karena memang tidak ada jalan lain yang dapat kalian tempuh,” sahut Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Namun sementara itu, Ki Buyut telah menyerahkan rencana yang diajukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu untuk dilaksanakan.
“Kami akan membentuk sejauh dapat kami lakukan, karena hal itu akan langsung menyangkut kedudukan Kabuyutan ini.” berkata Ki Buyut kemudian.
Untuk melaksanakan rencana itu, maka atas perintah Ki Buyut, para Bekel-pun telah berusaha untuk membantu sejauh dapat mereka lakukan di padukuhan mereka masing masing.
Sementara itu Ki Buyut Bumiagara menjadi semakin bersakit hati atas kegagalan yang dialami oleh para prajurit Kediri dan para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Bahkan Ki Buyut Bumiagara itu telah mendendam gurunya pula yang tidak bersedia membantunya, meskipun gurunyalah yang telah menghubungi Singasari.
Namun untuk sementara Ki Buyut justru harus menerima keadaan itu. Ia sudah merasa beruntung, bahwa ia termasuk salah satu dari antara mereka yang jumlahnya hanya sedikit, yang berhasil melarikan diri dan tidak tertangkap oleh anak-anak muda yang berusaha untuk membantu padepokan Bajra Seta.
Namun dengan demikian, ia percaya, bahwa kekuatan padepokan Bajra Seta memang cukup besar. Tanpa para prajurit Singasari-pun Bajra Seta akan mampu mengerahkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya sebagaimana dikatakan oleh gurunya.bBahkan Ki Buyut dari Bumiagara itu kemudian selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Jika Bajra Seta ingin membalas dendam, maka mereka akan dapat menyerang dan menghancurkan Kabuyutannya.
Bukan saja dari padepokan Bajra Seta, tetapi juga prajurit-prajurit Kediri yang dapat saja merasa disurukkan ke dalam perapian. Bahkan juga padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Sementara itu saudara-saudara seperguruannya seakan-akan telah menghilang dan tidak lagi dapat ditemuinya.
Apalagi ketika Ki Buyut Bumiagara mendengar laporan, bahwa padepokan Bajra Seta tengah membenahi bukan saja kekuatan yang ada di padepokannya, tetapi kekuatan di seluruh Kabuyutan. Para pengawal telah disusun dalam kesatuan-kesatuan yang tertib dengan tataran yang mirip dengan susunan tataran kesatuan dilingkungan keprajuritan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah melupakan tingkah laku Ki Buyut dari Bumiagara. Yang dilakukan sebagaimana disarankan oleh pemimpin sekelompok prajurit Singasari yang tinggal di padepokannya, sekedar untuk berjaga-jaga.
Namun dengan demikian, setiap hari kelompok-kelompok kecil dari beberapa padukuhan yang agak jauh dari padepokan itu telah datang pula untuk mendapat tuntutan dalam olah kanuragan. Namun dalam kenyataannya, mereka tidak sekedar memperoleh tuntunan dibidang olah kanuragan, tetapi juga di bidang-bidang yang lain dari segi-segi kehidupan, sebagaimana anak-anak muda dari padepokan-padepokan yang terdekat.
Tetapi tidak semuanya dapat di tangani oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi para cantrik yang tertua-pun telah membantuinya. Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan telah diturunkan pula untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda itu.
Sementara itu Mahisa Amping-pun telah semakin rajin menempa diri. Anak itu menjadi semakin merasa bahwa ia tidak dapat lagi semata-mata menggantungkan diri kepada orang lain untuk mengatur waktu dan kesempatan bagi dirinya sendiri. Apalagi pada saat-saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai banyak kesibukan. Dalam setiap kesempatan dipergunakannya untuk berlatih di dalam sanggar. Bahkan kadang-kadang Mahisa Amping tidak mengenal waktu tenggelam dalam latihan-latihan yang berat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menjadi cemas melihat anak itu. Keduanya justru harus menghambat, agar Mahisa Amping memperhitungkan kemampuan wadagnya. Setiap kali keduanya memberikan petunjuk-petunjuk Mahisa Amping selalu mengiyakannya. Ia-pun nampak bersungguh-sungguh memperhatikan petunjuk itu.
Tetapi jika ia sudah berada di dalam sanggar, maka ia sudah lupa segala-galanya. Apalagi jika ia berusaha untuk meningkatkan kemampuan ilmu pedangnya. Ia-pun telah berlatih khusus dengan luwuknya. Bukan saja dengan pisau belati di tangan. Namun Mahisa Amping memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerang dengan pisau belati dari jarak tertentu.
Anak itu bahkan telah berusaha mengembangkan kemampuannya dengan pisau-pisau yang lebih kecil. Bahkan pisau apa saja. Tangannya menjadi sangat terampil untuk melontarkannya. Demikian ia meraba sebilah pisau, maka ia-pun langsung dapat mengenali keseimbangannya. Jika ia melontarkannya kesasaran, maka pisau itu tentu akan hinggap. Apalagi pisau belatinya sendiri. Pisau belati yang dikenalnya dengan baik.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap agar anak itu benar-benar akan menjadi anak yang bukan saja memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Namun juga bertanggung jawab atas kelebihannya itu. Anak itu selalu menyadari akan dirinya danm kehadirannya sebagai titah Yang Maha Agung.
Sementara Mahisa Amping meningkatkan kemampuannya, maka setiap hari telah datang ke padokan itu kelompok-kelompok kecil dari padukuhan-padukuhan yang agak jauh. dari padepokan itu. Para Bekel telah mengirimkan mereka sesuai dengan perintah Ki Buyut yang ingin membuat rakyatnya lebih baik dari sebelumnya. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga dibidang-bidang lainnya yang menyangkut segi-segi kehidupan. Termasuk pengetahuan dan ketrampilan yang langsung dapat mereka trapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam pada itu, kegiatan itu benar-benar telah mencemaskan Ki Buyut Bumiagara. Beberapa orang bebahu telah memberikan laporan kepadanya, bahwa padepokan Bajra Seta dan seisi Kabuyutan telah mempersiapkan diri mereka. Bajra Seta tentu akan segera datang untuk membalas dendam dengan membawa kekuatan yang sangat besar.
“Apakah kalian melihat tanda-tanda itu?” bertanya Ki Buyut.
“Tentu,” jawab bebahu itu. “Aku sendiri telah memasuki lingkungan Kabuyutan itu. Kegiatan anak-anak mudanya semakin hari menjadi semakin meningkat.”
Ki Buyut Bumiagara memang menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia mendapat laporan tentang padepokan Bajra Seta, maka jantungnya serasa akan terlepas. Apalagi ketika pada suatu hari datang dua orang prajurit Kediri. Rasa-rasanya darahnya sudah tidak mengalir lagi di tubuhnya.
“Ki Buyut tidak usaha menjadi ketakutan,” berkata salah seorang di antara kedua prajurit itu, “Aku hanya memberitahukan bahwa hampir semua prajurit yang kita kirimkan ke padepokan Bajra Seta telah tertawan. Adalah satu keuntungan bahwa Ki Buyut mampu meloloskan diri dari tangan para prajurit Singasari dan para cantrik dari padepokan Bajra Seta.”
Mulut Ki Buyut Bumiagara bagaikan telah membeku. Sementara prajurit itu berkata, “Kami tidak akan mendendammu. Kami hanya memberitahukan bahwa kekuatan kami telah dihancurkan mutlak di padepokan Bajra Seta. Kekuatan yang sebenarnya sangat kami butuhkan.”
“Sama sekali bukan niatku untuk menyurukkan kekuatan Kediri itu kedalam kesulitan. Aku benar-benar tidak tahu perbandingan kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan kekuatan yang telah kami himpun,” berkata Ki Buyut Bumiagara dengan suara gemetar.
“Kami juga tidak menuduhmu melakukannya. Kami-pun merasa bahwa kami kurang berhati-hati sehingga kami datang memasuki sarang ular berbisa,” berkata prajurit itu, “Tetapi kami-pun menyadari, bahwa jika kalian tidak menghendaki kami melakukannya, maka kami tidak akan datang ke padepokan Bajra Seta.”
“Tetapi, kami hanya sekedar minta tolong. Bukankah kita mempunyai kepentingan bersama?” suara Ki Buyut itu menjadi semakin gegap.
“Kepentingan bersama?” prajurit itu tersenyum.
Namun senyumnya itu rasa-rasanya telah menusuk ke dalam jantung Ki Buyut Bumiagara. Tetapi kedua orang prajurit itu tidak lama berada di Bumiagara. Keduanya-pun kemudian minta diri. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan dipikirkan lagi apa yang sudah terjadi. Tetapi pikirkanlah apa yang akan terjadi. Hati-hatilah mengambil sikap.”
Wajah Ki Buyut menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat menjawab apa-pun juga selain berdiri termangu-mangu sambil memandang kedua orang prajurit yang melangkah pergi itu. Namun sebenarnyalah, jantung Ki Buyut Bumiagara seakan-akan telah terhenti berdenyut ketika seorang di antara keduanya berpaling sambil tersenyum kepadanya.
Ki Buyut Bumiagara tidak tahu pasti, apakah maksud para prajurit itu datang kepadanya. Apakah benar mereka sekedar ingin memberitahukan kekalahan mereka atau justru salah satu langkah yg akan dapat mempunyai akibat buruk baginya dikemudian hari. Namun, kehadiran prajurit-prajurit Kediri itu dapat membuat Ki Buyut semakin gelisah, sehingga untuk beberapa malam Ki Buyut itu selalu dihantui oleh mimpi buruk.
Apalagi ketika beberapa hari kemudian, telah datang pula dua orang prajurit Kediri. Tetapi bukan dua orang yang pernah datang sebelumnya. Dengan jantung yang berdegupan Ki Buyut telah menemui kedua orang prajurit itu. Seperti kedua orang prajurit yang datang sebelumnya keduanya nampak ramah dan berwajah cerah. Beberapa saat setelah mereka berbincang-pun tidak ada tanda-tanda bahwa kedua orang prajurit itu akan mengambil satu sikap yang dapat mengguncang ketenangan hidup di Kabuyutan Bumiagara.
Namun beberapa saat kemudian, maka salah seorang dari antara kedua orang prajurit itu berkata, “Ki Buyut. Kedatanganku kemari, benar-benar tidak ingin mengingatkan apa yang pernah terjadi. Kegagalan Ki Buyut menangkap seorang cantrik dari Bajra Seta di tengah-tengah Kabuyutan ini sendiri, serta kegagalan pasukan kami yang pergi ke padepokan Bajra Seta. Namun yang ingin kami sampaikan adalah justru rencana kami selanjutnya. Tentu Ki Buyut Bumiagara tahu, bahwa kami, sebagian prajurit Kediri tidak sependapat dengan sikap Sri Maharaja di Kediri dalam hubungannya dengan Singasari. Karena itu, maka kami berpendapat, bahwa pada suatu saat, yang akan terjadi adalah perang antara Kediri dan Singasari. Namun sebelum perang itu terjadi, maka di Kediri sendiri akan terjadi pergolakan yang berat. Mungkin masih akan terjadi para pemimpin Kediri justru berpihak kepada Singasari.”
Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja, betapa-pun jantungnya masih saja berdegup keras.
“Nah Ki Buyut,” berkata salah seorang prajurit itu, “Pada saat itulah kami memerlukan bantuan Ki Buyut Bumiagara.”
“Bantuan apa yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Ki Buyut dengan suara sendat.
“Tentu bukan bantuan prajurit, karena anak-anak padukuhan ini tentu belum memiliki ketrampilan yang cukup. Meskipun demikian pada saat yang paling gawat, kami memang membutuhkan banyak tenaga. Bukan saja untuk berperang, tetapi untuk membantu peperangan. Misalnya membawa bahan makanan, membawa senjata cadangan, obat-obatan dan kepentingan-kepentingan perang yang lain. Kawan-kawan kami yang dapat membantu melakukan hal itu sudah banyak yang terbunuh di padepokan Bajra Seta. Karena itu, apabila diperlukan, kami terpaksa minta bantuan Ki Buyut. Jika kelak terjadi perang antara Kediri dan Singasari, maka kami akan datang untuk minta beberapa puluh anak-anak muda Bumiagara untuk bersama-sama dengan kami berjuang demi tegaknya wibawa Kediri.”
“Tetapi Bumiagara bukan tlatah Kediri,” jawab Ki Buyut dengan ragu-ragu.
Kedua prajurit itu tertawa. Yang seorang lagi berkata, “Apa peduliku, apakah Bumiagara termasuk Kediri atau bukan? Bagi kami, apakah anak-anak muda Bumiagara itu anak-anak muda Kediri atau Singasari, bukan menjadi soal. Yang menjadi soal bagi kami adalah, bahwa kami kekurangan tenaga. Bahkan seandainya Bumiagara ini bukan termasuk wilayah Kediri, namun kami akan menganggap daerah ini tetap daerah Kediri.” prajurit itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Maksudku, jika daerah ini daerah Kediri, maka kita akan bersama-sama berjuang. Selain tenaga, Bumiagara tentu dapat membantu bahan makanan yang banyaknya akan kami tentukan kemudian. Kabuyutan ini harus menyerahkan berapa pedati beras dan jagung kepada kami. Namun jika kami menganggap bahwa Bumiagara adalah daerah Singasari, maka sudah tentu kami akan bersikap bermusuhan. Bumiagara akan kami jadikan karang abang. Kami dapat membunuh semua isinya, karena kami bermusuhan. Karena dapat merampas emas dan harta benda yang berharga yang ada di padukuhan ini. Dan apa saja yang ingin kami lakukan akan dapat kami lakukan di daerah musuh kami. Nah, terserah kepada Ki Buyut, Bumiagara akan berdiri di mana.”
Ki Buyut benar-benar menjadi bingung. Kedua-duanya bukan pilihan yang menarik. Ia memang menjadi kecewa mengingat akibat yang sangat buruk itu dari satu rencana yang justru gagal sepenuhnya. Tetapi Ki Buyut tidak berani menentang. Jika Bumiagara menentang, maka akibatnya tentu sebagaimana dikatakan oleh prajurit itu. Bumiagara akan menjadi karang abang. Api akan menari-nari di seluruh Kabuyutan, sementara darah akan berceceran di jalan- jalan dan di halaman rumah. Maut akan mencengkam seisi Kabuyutan ini.
Salah seorang prajurit yang melihat Ki Buyut menjadi bingung berkata, “Kami bukannya datang untuk minta persetujuan. Tetapi kami datang untuk memberitahukan keputusan kami yang harus dan pasti kami laksanakan. Kami berharap bahwa Kabuyutan Bumiagara akan segera menyesuaikan diri, sehingga pada saatnya seisi Kabuyutan ini tidak akan terkejut lagi.”
Ki Buyut benar-benar kehilangan nalar. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Tetapi kedua prajurit itu tidak lama tinggal di Kabuyutan Bumiagara. Dengan sikap yang tetap ramah dan manis keduanya-pun kemudian minta diri. Sambil membungkuk hormat seorang di antaranya berkata, “Maaf Ki Buyut. Jangan salah mengartikan kata-kata kami. Pada saatnya kami akan datang menjemput anak-anak muda itu. Selebihnya, kami akan mengambil beras dan jagung sesuai dengan kebutuhan kami.”
Sebelum Ki Buyut menjawab, prajurit yang lain-pun berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja sama yang selama ini telah kami lakukan. Mudah-mudahan pada masa-masa mendatang, kerja sama itu akan menjadi semakin akrab.”
Ki Buyut mulutnya bagaikan membeku. Tetapi kedua prajurit itu nampaknya memang tidak menunggu jawaban. Mereka-pun segera meninggalkan Ki Buyut yang berdiri mematung. Sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki Buyut membanting dirinya, duduk di amben bambu di serambi rumahnya. Kepalanya serasa terbakar oleh persoalan yang sangat menyakitkan itu.
Apalagi tiba-tiba saja Ki Buyut itu teringat, padepokan Bajra Seta-pun telah menyiapkan pasukan yang besar untuk menghancurkan Kabuyutan Bumiagara. Mereka datang untuk membalas serangan pasukan Bumiagara yang terdiri dari para prajurit Kediri dan padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu yang justru terbunuh di padepokan Bajra Seta. Ternyata Ki Buyut tidak mampu mengatasinya sendiri. Ia-pun kemudian memanggil para bebahu dan menyampaikan gejolak perasaannya itu kepada mereka.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Membunuh diri? Atau apa?” suara Ki Buyut gemetar oleh getar di dalam dadanya.
Para bebahu itu-pun akhirnya merasa kasihan melihat keadaan Ki Buyut yang sangat menyesal atas tindakan-tindakannya. Karena itu, salah seorang di antara para bebahu itu berkata, “Sebaiknya kita mengurangi lawan. Kita tidak akan dapat berdiri di antara dua kekuatan yang besar. Prajurit-prajurit Kediri yang memberontak itu dan yang lain Padepokan Bajra Seta.”
“Maksudmu?” bertanya Ki Buyut.
“Nampaknya lebih baik kita meredam permusuhan dengan Padepokan Bajra Seta,” jawab bebahu itu.
“Caranya?” desak Ki Buyut.
“Kita datang menemui pimpinan Padepokan Bajra Seta. Kita mengaku bersalah dan minta maaf. Permusuhan itu kita anggap saja sudah berlalu,” berkata bebahu itu.
Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi aku harus pergi ke Padepokan Bajra Seta?”
“Ya. Sebaiknya Ki Buyut menemui pemimpin Padepokan Bajra Seta yang masih muda itu. Ki Buyut dengan ikhlas harus minta maaf dan menghapuskan permusuhan. Dengan demikian, kita tidak harus bersiap-siap menghadapi dua lawan yang sama-sama sulit untuk dihadapi. Namun setidak-tidaknya kita dapat memusatkan perhatian kita ke satu arah saja,” berkata bebahu itu.
Sementara itu bebahu yang lain berkata, “Aku sependapat. Bahkan aku berharap Ki Buyut dengan terus terang mengatakan ancaman yang bakal datang dari prajurit-prajurit Kediri yang memberontak itu, sehingga jika kita melakukan persiapan-persiapan, Padepokan Bajra Seta tidak menjadi salah paham.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sementara bebahu yang lain lagi berkata, “Tidak ada cara lain untuk menebus kesalahan itu. Ki Buyut tidak dapat sekedar menyesal atau kecewa atau berbagai macam perasaan yang lain, namun tidak berbuat apa-apa. Karena itu, permintaan maaf kepada Padepokan Bajra Seta itu merupakan salah satu ungkapan dari penyesalan itu.”
Ki Buyut memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka ia-pun berkata, “Baiklah. Jika memang tidak ada pilihan lain. Aku akan datang menemui para pemimpin padepokan itu. Aku akan minta maaf dan berusaha untuk menghapuskan permusuhan. Mudah-mudahan para pemimpin Padepokan Bajra Seta bersedia. Jika tidak, maka harga diriku akan semakin terinjak-injak.”
“Apa artinya harga diri Ki Buyut dibandingkan dengan kepentingan seluruh Kabuyutan,” berkata bebahu yang mula-mula minta agar Ki Buyut datang ke Padepokan Bajra Seta, “Jika pada saatnya Kabuyutan ini harus musna oleh prajurit-prajurit Kediri yang memberontak, apa boleh buat. Kita semua akan mati mempertahankan kampung halaman kita. Tetapi berbeda dengan keadaan jika kita harus musna karena kemarahan Padepokan Bajra Seta. Jika para cantrik padepokan itu serta anak-anak muda seluruh Kabuyutan itu datang kemari dengan dendam di hati mereka. Meskipun kita mempertahankan kampung halaman, tetapi kampung halaman yang telah ternoda oleh ketamakan kita sendiri.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan pergi. Bahkan besok aku akan pergi ke Padepokan itu. Pagi-pagi benar aku akan berangkat, agar malam hari aku sudah berada di Kabuyutan ini. Itu jika aku tidak ditangkap dan dihukum mati di padepokan itu.”
“Aku yakin hal itu tidak akan terjadi,” berkata salah seorang bebahu. Lalu katanya, “Para pemimpin padepokan Bajra Seta dan bahkan para cantriknya bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung.”
Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Namun ia benar-benar berniat untuk pergi ke Padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa dua orang bebanu telah menyatakan diri untuk pergi bersama-sama dengan Ki Buyut. Bagaimana-pun juga, mereka tidak sampai hati melepaskan Ki Buyut pergi ke Padepokan Bajra Seta tanpa seorang kawan-pun. Seakan-akan Ki Buyut dianggap benar-benar mutlak sebagai seorang yang harus dijauhi.
Demikianlah, pagi-pagi benar Ki Buyut dan dua orang bebahu telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta. Berkuda mereka bertiga melaju dengan cepat menempuh jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak persawahan. Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu telah jauh dari Kabuyutan Bumiagara.
Namun perjalanan mereka tidak menarik perhatian. Ada beberapa orang lain yang berkuda menyusuri jalan-jalan yang dilalui oleh Ki Buyut Bumiagara. Para pedagang dan saudagar yang terbiasa pergi ke pasar-pasar yang agak jauh sekali-pun. Sementara Ki Buyut dan kedua orang bebahunya itu-pun hanya mengenakan pakaian sebagaimana dipakai orang kebanyakan.
Ki Buyut Bumiagara hanya menunduk saja ketika ia berpapasan dengan seorang saudagar yang nampaknya cukup kaya. Dikenakannya ikat pinggang, dengan timang emas dan dihiasi dengan mata berlian. Keris dengan pendok emas dan beberapa butir mata berlian pada ukirannya. Di belakangnya berkuda dua orang yang agaknya adalah pengawalnya. Kedua-duanya bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Saudagar itu sendiri juga sama sekali-tidak menghiraukan Ki Buyut Bumiagara, karena ia tidak menyangka bahwa yang berpapasan di perjalanan itu adalah seorang Buyut.
Demikianlah, ketika matahari semakin tinggi di langit, panasnya-pun semakin terasa gatal di kulit. Bahkan ketika keringat mulai mengalir, terasa panas itu semakin menggigit. Kuda Ki Buyut berlari semakin cepat. Dan jarak-pun menjadi semakin dekat. Namun Ki Buyut tidak segera pergi ke Padepokan Bajra Seta. Bersama kedua orang bebahunya, ia telah singgah di sebuah kedai di dekat pasar. Tetapi tidak di kedai yang pernah dipergunakannya untuk menemui cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang telah dibujuknya untuk pergi ke Bumiagara.
Di dalam kedai itu, Ki Buyut memang mendengar kesiagaan padukuhan-padukuhan se Kabuyutan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Seorang yang berambut putih mengatakan, bahwa anaknya setiap hari bersama-sama dengan sekelompok anak muda yang lain selalu pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk berlatih olah kanuragan.
Jantung Ki Buyut memang menjadi berdebar-debar. Kepada salah seorang bebahunya ia berbisik, “Apakah kedatanganku tidak akan merupakan langkah membunuh diri?”
“Tidak,” jawab salah seorang bebahunya, “Tanpa keyakinan itu, aku tidak akan bersedia mengantar Ki Buyut, karena apa-pun aku masih belum ingin mati.”
Ki Buyut hanya dapat mengangguk-angguk saja. Baru sejenak kemudian, ketika Ki Buyut sudah dapat menenangkan hatinya, ketiganya telah meninggalkan kedai itu menuju ke Padepokan Bajra Seta. Kedatangan mereka di Padepokan itu memang sangat mengejutkan. Apalagi Ki Buyut tidak menutupi kenyataan tentang dirinya, bahwa ia adalah Buyut dari Kabuyutan Bumiagara.
“Apa maksud Ki Buyut datang kemari?” bertanya cantrik yang bertugas di regol. Karena cantrik itu tahu, apa yang pernah terjadi antara Padepokan Bajra Seta dengan Kabuyutan Bumiagara meskipun waktu itu ia tidak ikut ke Bumiagara.
“Aku ingin berbicara dengan pimpinan kalian di Padepokan ini,” jawab Ki Buyut.
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Kami persilahkan Ki Buyut menunggu. Seorang di antara kami akan melaporkannya kepada pimpinan kami.” Ketika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, keduanya memang terkejut.
“Apa yang dikehendaknya setelah ia gagal menguasai Padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat-pun hanya dapat mengerutkan keningnya, karena ia-pun tidak tahu apa yang mendorong Ki Buyut itu datang ke padepokan mereka. Namun kedua anak muda itu-pun berkata kepada cantriknya, “Bawa Ki Buyut naik ke pendapa.”
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut-pun telah diantar naik kependapa bangunan induk padepokan Bajra Seta bersama kedua orang bebahunya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah siap menerima mereka meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Setelah menanyakan keselamatan perjalanan Ki Buyut serta keadaan Kabuyutan Bumiagara, maka Mahisa Murti-pun bertanya, “Sebenarnyalah kedatangan Ki Buyut di Padepokan Bajra Seta sangat mengejutkanku. Apakah ada hal yang sangat penting sehingga Ki Buyut sendiri memerlukan datang berkunjung ke padepokan ini?”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku datang untuk menyerahkan diri. Bukan saja aku dan kedua orang bebahu yang datang bersamaku. Tetapi seluruh Kabuyutan Bumiagara.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya, “Apakah yang Ki Buyut maksudkan dengan menyerah? Apakah Ki Buyut merasakan ada ancaman dari padepokan ini?”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu, setelah serangan yang gagal atas padepokan ini, maka Padepokan Bajra Seta telah bersiap-siap untuk membalas seranganmu. Aku tahu, padukuhan-padukuhan di seluruh Kabuyutan ini telah mengadakan latihan-latihan khusus bagi setiap orang anak muda. Pada suatu saat, maka Padepokan Bajra Seta dan Kabuyutan ini akan menyusun kekuatan yang sangat besar. Apalagi jika prajurit Singasari datang membantu, maka Kabuyutan Bumiagara akan menjadi lumat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Ki Buyut telah salah mengerti. Sama sekali bukan maksud kami untuk membalas dendam. Bahkan aku dan seisi padepokan ini telah melupakan permusuhan kami dengan Bumiagara. Karena itu, padepokan ini sama sekali tidak bermaksud menyerang Bumiagara. Apalagi sekedar membalas dendam.”
Ki Buyut termangu-mangu. Namun seakan-akan ia tidak percaya akan pendengarannya. Mahisa Pukat yang menangkap kesan di hati Ki Buyut itu berkata, “Ki Buyut. Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan Bumiagara. Bahwa kami sudah dapat mempertahankan diri, itu sudah cukup bagi kami. Apalagi kekuatan utama dari penyerangan itu adalah prajurit-prajurit Kediri yang tidak mau tunduk kepada perintah Sri Baginda di Kediri. Prajurit-prajurit yang sudah memberontak terhadap rajanya.”
“Jadi apa yang kalian lakukan selama ini?” bertanya Ki Buyut Bumiagara.
“Kami memang meningkatkan kemampuan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang ada di Kabuyutan ini. Hal itu kami lakukan sekedar untuk menjaga diri. Kami masih tetap curiga kepada sikap prajurit-prajurit Kediri yang telah memberontak itu. Pada suatu saat, jika mereka terdorong menepi oleh prajurit-prajurit yang setia kepada Sri Baginda di Kediri, maka mereka akan dapat mengintai padepokan dan Kabuyutan ini. Bahkan mungkin Kabuyutan-kabuyutan yang lain. Karena itu, maka kami telah mempersiapkan diri dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Apalagi jika prajurit Singasari tidak sempat membantu kami. Maka kami harus bersandar kepada kekuatan kami sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada kedua orang bebahu yang menyertainya, maka keduanya-pun mengangguk-angguk pula.
Sementara itu Mahisa Murti-pun berkata, “Ki Buyut. Yakinlah bahwa aku benar-benar tidak berniat untuk bermusuhan terus dengan Bumiagara. Jika Ki Buyut tidak menyerang kami, maka kami sama sekali tidak berniat untuk bertempur melawan Bumiagara.”
“Apa yang akan dapat aku pergunakan untuk menyerang,” desis Ki Buyut, “Kekuatan kami tidak ada sehitamnya kuku dibandingkan dengan kekuatan Padepokan Bajra Seta dan apalagi bersama-sama dengan kekuatan seluruh Kabuyutan.”
“Jika demikian Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Aku mengatakan yang sesungguhnya, bahwa kami sudah melupakan apa yang terjadi. Serangan itu memang melukai hati kami. Apalagi korban telah jatuh pula di antara kami. Tetapi kami sudah berhasil menangkap sebagian besar dari prajurit Kediri dan sebagian besar para cantrik yang mengaku di bawah pimpinan Empu Carang Wregu itu. Juga karena bantuan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini. Dan itu sudah cukup bagi kami. Mereka yang menyerang itu akan mendapat hukuman mereka di Singasari. Jika masih ada tawanan yang akan dibawa kemudian setelah mereka sembuh, maka sisa tugas itulah yang sedang kami lakukan.”
Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Namun ia-pun kemudian berterus terang kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa sebenarnyalah Bumiagara ada dalam ancaman para prajurit Kediri. Karena itu, maka ia ingin menghapuskan permusuhannya dengan Bajra Seta agar mereka dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit Kediri itu.
“Kami akan diperas habis-habisan. Tenaga dan bahan makanan,” berkata Ki Buyut Bumiagara, “Karena itu, kami akan memilih melawan mereka meskipun kami akan dihancurkan sama sekali.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Mungkin orang-orang Kediri yang memberontak itu ingin menjadikan Bumiagara landasan untuk menyerang Padepokan Bajra Seta.”
Ki Buyut Bumiagara termangu-mangu. Katanya, “Mereka tidak mengatakan demikian meskipun mungkin hal itu dapat saja terjadi.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “Jika Bumiagara menghendaki, kami akan berusaha membantu. Kami mempunyai beberapa jenis senjata yang baik, yang barangkali akan mampu meningkatkan kemampuan perlawanan orang-orang Bumiagara.”
“Maksud kalian?” bertanya Ki Buyut.
“Kami akan memberikan sejumlah senjata kami yang baru kepada Ki Buyut. Bukankah Ki Buyut menghendaki sejenis senjata yang baru itu?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut Bumiagara dan bahkan juga kedua orang bebahu yang menyertainya terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada pendengarannya.
Namun Mahisa Pukat menjelaskan keterangan Mahisa Murti itu, “Kami mempunyai beberapa kelebihan senjata yang baru justru karena kami sekarang dapat membuatnya sendiri. Meskipun sedikit, barangkali kami akan dapat membantu Kabuyutan Bumiagara agar jika benar-benar terjadi benturan kekerasan dengan para prajurit Kediri itu, Bumiagara mampu sedikitnya melindungi dirinya sendiri. Apalagi jika Kabuyutan Bumiagara dapat berbicara dengan Kabuyutan-kabuyutan di sekitarnya. Sehingga bersama-sama Bumiagara tentu tidak akan terlalu mudah untuk ditundukkan. Dengan senjata-senjata yang baik, maka anak-anak muda Kabuyutan Bumiagara tentu bersedia untuk melatih diri. Karena kemampuan dalam olah kanuragan itu akan sangat berarti bagi kepentingan Kabuyutan mereka.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Salah seorang bebahu yang menyertainya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan perasaannya, “Kami benar-benar terkejut mendengar tawaran itu. Ketika kami berangkat, kami sudah minta diri kepada seisi Kabuyutan seandainya kami tidak dapat kembali. Namun ternyata di sini kami justru mendapat tawaran untuk membawa senjata. Ternyata bahwa nalar dan budi kami terlalu kotor dibandingkan dengan nalar dan budi seisi padepokan Bajra Seta. Kami selalu berprasangka buruk, sementara Padepokan Bajra Seta justru sebaliknya.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “Besok kami akan menyediakan senjata-senjata yang kami janjikan. Sebaiknya Ki Buyut atau mungkin utusannya dapat datang membawa sebuah pedati. Namun aku minta salah seorang dari antara kalian bertiga ikut bersama pedati itu, karena kalianlah yang telah kami kenal dengan baik, agar senjata itu tidak jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.”
“Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga,” berkata Ki Buyut, “Besok aku sendiri akan datang bersama dengan kedua orang bebahu yang hari ini datang bersamaku.”
“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “Hari ini kami dapat memilih senjata yang paling sesuai bagi anak-anak muda Bumiagara, namun juga senjata yang telah mencukupi bagi kebutuhan kami sendiri. Yang aku maksud dengan kami bukannya sekedar para cantrik di Padepokan Bajra Seta. Tetapi juga anak-anak muda di Kabuyutan ini.”
Demikianlah setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Ki Buyut-pun minta diri. Dengan mantap ia berkata, “Aku akan pulang. Aku akan berbicara dengan seluruh penghuni Kabuyutan Bumiagara, bahwa aku masih dapat pulang dengan utuh. Bahkan aku pulang dengan membawa senjata yang sangat kami butuhkan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja. Demikianlah Ki Buyut Bumiagara itu-pun segera meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Ia menjadi tergesa-gesa, karena ia ingin segera memberitahukan kepada semua bebahu, semua Bekel dan bahkan semua penghuni Kabuyutan Bumiagara, tanggapan yang sama sekali tidak terduga dari pimpinan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan para cantrik untuk menyisihkan beberapa jenis senjata yang dimiliki oleh Padepokan Bajra Seta. Senjata yang telah mereka buat sendiri atas dasar petunjuk dari Singasari. Senjata yang termasuk ringan, tetapi memiliki kekuatan dan ketajaman yang sama dengan senjata-senjata mereka sebelumnya yang lebih berat.
Dengan ditunggui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, para cantrik telah menyisihkan dua ikat pedang dengan sarungnya, meskipun bukan sarung yang baik, tetapi memenuhi kebutuhan. Yang penting bagi mereka adalah pedangnya, bukan sarungnya. Seikat tombak bertangkai pendek. Seikat kapak yang tajam dikedua sisinya. Sejumlah perisai dan sepuluh buah keris berukuran besar.
Sebenarnya belum semua anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang mendapat bagian jenis senjata-senjata itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai perhitungan lain. Kabuyutan Bumiagara dan Kabuyutan di sekitarnya agar bangkit dan menempatkan diri dalam jajaran kekuatan Singasari untuk melawan Kediri, karena tidak dapat dipungkiri bahwa di Kediri memang terdapat kekuatan yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri. Kekuatan itulah yang dapat mengancam Singasari dan daerah kuasanya yang luas.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sependapat, bahwa Padepokan Bajra Seta akan mengirimkan lima orang cantrik terpilih untuk memberikan latihan menggunakan senjata-senjata yang baru itu.
Pemimpin prajurit Singasari yang ada di padepokan itu sependapat dengan cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membuat pagar menghadapi prajurit Kediri yang menentang kebijaksanaan Rajanya itu. Apalagi jika Kabuyutan Bumiagara dapat membujuk Kabuyutan di sekitarnya untuk saling membantu jika terjadi pemerasan yang tentu akan dilakukan oleh prajurit Kediri jika waktunya dianggap sudah tiba.
Malam itu juga, semua senjata itu-pun telah disiapkan. Dihari berikutnya Ki Buyut sendiri akan datang untuk mengambil senjata-senjata itu. Sementara para cantrik yang secara khusus mempelajarinya masih terus saja membuat yang baru.
Sementara itu Ki Buyut Bumiagara yang kembali ke Kabuyutan Bumiagara, tidak sabar menunggu terlalu lama. Karena itu, demikian ia sampai ke Kabuyutan, maka ia segera memerintahkan untuk menyiapkan pedati.
“Aku akan segera kembali ke Padepokan Bajra Seta,” berkata Ki Buyut.
“Tetapi Ki Buyut harus beristirahat. Besok kita siapkan pedati dan kelengkapannya. Besok malam kita berangkat sehingga pagi-pagi benar kita akan sampai ke Padepokan Bajra Seta” berkata bebahu yang mengiringi.
“Baru lusa kita sampai. Bukankah kau dengar, bahwa besok aku akan kembali?” sahut Ki Buyut.
“Tetapi para Pemimpin dari Padepokan Bajra Seta akan mengetahui bahwa perjalanan dari Bumiagara memerlukan waktu.” jawab bebahunya.
“Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh? Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” jawab Ki Buyut.
Ternyata benar perintah Ki Buyut itu benar-benar tidak boleh tertunda. Malam itu juga telah disiapkan sebuah pedati.
“Pedati itu akan merangkak seperti siput. Agak berbeda dengan kecepatan lari seekor kuda,” berkata bebahu itu.
“Justru itu kita harus cepat-cepat berangkat,” jawab Ki Buyut, “Jika kita berangkat sekarang, maka besok siang kita baru sampai. Perjalanan ini akan memerlukan waktu lipat sepuluh dengan perjalanan berkuda. Bahkan lebih. Seandainya kita harus bermalam, maka sebaiknya kita bermalam di Padepokan Bajra Seta besok.”
Niat Ki Buyut itu tidak dapat dicegah. Karena itu, maka malam itu juga sebuah pedati telah meninggalkan Kabuyutan Bumiagara dikawal oleh empat orang bebahu dan dua orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk melindungi senjata-senjata yang bakal mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta. Sementara itu Ki Buyut sendiri memilih untuk berada di dalam pedati, karena ternyata ia sempat berbaring untuk beristirahat selama perjalanan.
Sebenarnyalah pedati itu berjalan lamban sekali. Bebahu yang berada di punggung kuda merasa sangat mengantuk sehingga bergantian mereka tidur di dalam pedati bersama Ki Buyut. Sementara kuda yang tanpa penunggang telah diikat dan berjalan lamban di belakang pedati.
Meskipun Ki Buyut tergesa-gesa sampai, namun bebahunya terpaksa minta mereka beristirahat barang sebentar untuk memberi kesempatan kepada lembu yang menarik pedati dan kuda-kuda mereka beristirahat pula.
Ternyata lewat tengah hari di hari berikutnya mereka baru sampai ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus berhenti sementara itu senjata-senjata yang telah disiapkan segera dimuat ke dalam pedati. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempersilahkan Ki Buyut untuk bermalam di padepokan itu.
“Ki Buyut dan para bebahu tentu letih,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut memang tidak menolak. Tetapi Ki Buyut sudah mengatakan bahwa menjelang fajar, ia akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta, agar perjalanan mereka tidak terlalu lama.
“Orang-orang Bumiagara sudah menunggu-nunggu,” berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah malam itu Ki Buyut, para bebahu dan pengawal yang menyertainya bermalam di Padepokan Bajra Seta. Tetapi sebelum dini mereka sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat kembali ke Bumiagara.
Dengan demikian, maka lima orang cantrik yang telah ditunjuk oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap-siap pula. Mereka akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta dan akan tinggal di Bumiagara untuk beberapa lama. Namun mereka tidak berkewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Mereka hanya mendapat tugas untuk memberi petunjuk penggunaan senjata-senjata itu, meskipun hal itu tidak akan terlepas dari kemampuan olah kanuragan.
Sebenarnyalah, sebelum fajar, setelah makan beberapa potong makanan dan menghirup minuman hangat, maka Ki Buyut Bumiagara telah mohon diri untuk kembali ke Bumiagara. Lima orang cantrik dari Bumiagara diperintahkan untuk mengikuti iring-iringan itu dan bahkan tinggal di Bumiagara untuk beberapa waktu.
Sebenarnyalah Ki Buyut merasa gembira sekali mendapat perlakuan yang sangat baik, mendapat senjata dan tuntunan cara penggunaannya, sehingga dengan demikian maka Bumiagara akan dapat membangun dirinya untuk melindungi diri sendiri.
Demikianlah, dalam kegelapan menjelang fajar iring-iringan itu berjalan sangat lambat. Para bebahu, pengawal dan para cantrik justru merasa letih, berkuda mengikuti perjalanan pedati yang merayap perlahan-lahan. Sementara itu, Ki Buyut masih juga sempat berbaring di dalam pedati, di antara senjata-senjata yang dibawanya disisa malam itu.
Ketika matahari terbit, iring-iringan itu memang sudah agak jauh dari Padepokan Bajra Seta. Namun karena beberapa orang berkuda mengiringnya, maka pedati itu memang menarik perhatian.
Perjalanan kembali ke Bumiagara itu ternyata lebih lama dari perjalanan mereka ke Padepokan Bajra Seta. Kecuali pedatinya memang menjadi lebih berat karena muatan yang cukup banyak, terik matahari juga terasa menghambat. Beberapa kali mereka harus, berhenti. Kuda-kuda mereka menjadi haus dan lembu yang menarik pedati itu-pun menjadi lapar pula. Juga orang-orang yang mengiringi. Keringat yang mengucur dari tubuh mereka, membuat mereka cepat merasa haus.
Karena itu, ketika matahari turun di sisi Barat langit, mereka berada di bulak panjang yang masih agak jauh dari Kabuyutan Bumiagara. Namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa ada beberapa orang yang memperhatikan pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda itu.
“Sekitar sepuluh orang,” desis seorang di antara mereka.
“Mereka bukan prajurit,” berkata yang lain, “Tetapi agaknya pedati itu memang berisi barang berharga sehingga sekitar sepuluh orang harus mengawalnya.”
“Pedati itu akan melewati bulak Larah,” berkata orang yang pertama.
“Aku mengerti maksudmu. Kita menghubungi kawan-kawan kita yang tinggal di padukuhan Larah” jawab yang lain.
Orang yang lain lagi berdesis, “Mereka adalah orang-orang yang dungu. Apakah mereka belum pernah mendengar tentang padukuhan Larah? Padukuhan tempat tinggal para gegedug, perampok dan penyamun?”
“Marilah. Kita mendahului pedati yang maju sangat perlahan seperti siput itu. Kita bersiap di bulak Larah, dengan kawan-kawan kita dari Larah” berkata orang yang pertama.
Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berjalan dengan cepat, mendahului pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda yang menjadi letih justru karena berjalan sangat lambat. Tetapi setiap kali seorang di antara mereka yang merasa sangat letih ikut naik pedati beberapa saat. Bahkan kadang-kadang Ki Buyut lah yang naik di punggung kuda.
Sais pedati itu justru sering turun dari pedatinya untuk menggeliat. Bahkan kadang-kadang berjalan kaki beberapa ratus patok untuk mengurangi penat-penat tubuhnya. Ketika orang-orang itu sempat melampaui pedati yang berjalan lamban itu, mereka tidak dapat melihat apa saja yang ada di dalamnya. Tetapi mereka melihat selembar tikar yang besar menutupi muatannya yang cukup banyak.
Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itu-pun telah menuju ke padukuhan Larah yang terletak tidak jauh dari jalan yang melewati bulak panjang, yang juga disebut bulak Larah. Ketika orang-orang itu memberitahukan kepada kawan-kawannya yang ada di Larah tentang sebuah pedati yang lewat, maka orang-orang Larah itu-pun segera tanggap.
“Berapa orang dibutuhkan?” bertanya seorang gegedug yang namanya cukup membuat orang-orang padukuhan Larah mengerutkan lehernya.
“Mereka dikawal sekitar sepuluh orang berkuda,” jawab orang yang datang mengajaknya.
“Mereka bukan prajurit?” bertanya gegedug itu lagi.
“Bukan. Menilik pakaiannya mereka bukan prajurit,” jawab orang yang mengajaknya.
“Kemana kira-kira pedati itu akan pergi?” bertanya gegedug itu selanjutnya.
Orang yang datang, mengajaknya itu menggelang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi bukankah jalan ini menuju ke Kabuyutan Bumiagara?”
“Kabuyutan sarang pengecut itu? Melawan lima belas orang pendatang saja mereka sama sekali tidak mampu mengatasinya,” berkata gegedug itu.
“Mungkin mereka justru menuju ke Bumiagara. Menilik pengawalnya yang banyak, maka barang-barang yang dibawa itu tentu cukup penting,” sahut orang yang datang ke padukuhan Larah itu.
“Baik. Kita sediakan lima belas orang. Bukankah itu sudah cukup? Orang-orang kita adalah orang-orang yang sudah terbiasa memeras darah. Kita mencoba untuk merampas dengan baik. Tetapi jika mereka bertahan, maka potong saja leher mereka semuanya. Kita akan mendapatkan kuda, pedati dan barang-barang yang ada di pedati itu,” berkata gegedug itu kemudian.
Ternyata dalam waktu singkat orang-orang itu sudah siap. Lima belas orang termasuk orang-orang itu sudah siap. Lima belas orang termasuk orang-orang yang datang untuk memberitahukan tentang perjalanan pedati itu.
Tetapi mereka tidak akan menyamun pedati itu di dekat padukuhan mereka sendiri. Tetapi mereka bergerak agak jauh. Mereka menempatkan diri di sebuah tikungan yang agak menanjak karena perbukitan yang rendah. Namun tikungan itu merupakan tempat yang sangat baik untuk merampok orang lewat. Bahkan kadang-kadang di siang hari-pun perampokan itu dapat terjadi.
Sementara itu, Ki Buyut yang melihat orang-orang yang melewati pedatinya tidak berkata apa-pun. Namun kemudian ketika ia sadar, bahwa mereka akan lewat di bulak Larah, maka ia-pun berkata kepada para bebahu, “Kita sampai ke bulak Larah.”
“Tetapi bukankah kita beberapa kali lewat bulak itu tidak pernah terjadi sesuatu,” berkata bebahu itu.
“Tetapi sekarang kita membawa barang-barang yang berharga. Aku agak curiga melihat orang-orang yang baru saja mendahului kita,” berkata Ki Buyut Bumiagara kemudian.
Bebahu yang menyertainya bersama kedua orang pengawal itu-pun segera menyadari bahwa mereka akan sampai ke tempat yang cukup rawan. Mereka-pun tahu benar, bahwa ujung bulak Larah adalah sebuah tikungan yang menanjak lewat sebuah lekuk di perbukitan yang rendah.
Karena itu, maka mereka-pun segera bersiap. Salah seorang di antara para bebahu itu berkata kepada cantrik yang tertua yang menyertai mereka, “Kita memasuki bulak yang sepi. Apalagi di malam hari.”
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara bebahu itu berkata, “Biarlah kedua orang pengawal kami berada di belakang kalian. Dua orang bebahu Bumiagara akan berada di depan pedati. Sementara kami dan seorang lagi akan berada tepat di belakang pedati di depan kalian berlima.”
Para cantrik itu tidak membantah. Mereka menurut saja, karena pimpinan perjalanan itu berada di tangan Ki Buyut sendiri. Demikian mereka memasuki bulak Larah, maka Ki Buyut tidak lagi lengah. Ia duduk di sebelah sais pedatinya yang menjadi tegang. Kegelapan dan kesenyapan membuat suana memang menjadi gelisah, justru karena mereka berada di bulak Larah.
Dua orang bebahu berkuda di depan mereka. Jika mereka berkuda terlalu jauh, maka Ki Buyut segera memperingatkan mereka, agar mereka sedikit menahan diri. Semakin dalam mereka menembus gelapnya bulak Larah, maka jantung mereka serasa berdenyut semakin cepat. Namun hampir sampai ke ujung bulak mereka tidak mengalami sesuatu.
“Padukuhan Larah telah lewat,” berkata salah seorang bebahu yang berkuda di paling depan.
“Padukuhannya memang sudah. Bukankah padukuhan di sebelah itu padukuhan Larah? Kita dapat melihat terangnya oncor di regol padukuhan itu,” sahut Ki Buyut, “Tetapi kita belum lepas dari bulak Larah yang panjang itu.”
Bebahu yang berkuda di depan itu mengangguk-angguk. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai ke tikungan. Karena itu maka Ki Buyut-pun berkata, “Tikungan itu sering disebut tikungan hitam. Hati-hatilah. Jangan terlalu jauh mendahului kami. Siapkan senjatamu.”
“Untuk apa?” bertanya bebahu yang di depan.
“Kita harus berhati-hati,” jawab Ki Buyut.
“Tetapi sebelum kita melihat sesuatu di hadapan kita. Apakah kita harus sudah menarik pedang,” bertanya bebahu itu.
“Ini perintah. Kau dengar?” geram Ki Buyut yang firasatnya telah meraba sesuatu yang tidak wajar di hadapannya.
Kedua bebahu yang berkuda di paling depan itu tidak menyahut. Ternyata bahwa wibawa Ki Buyut masih tetap tinggi, sehingga keduanya-pun telah mencabut pedangnya. Sikap Ki Buyut yang keras itu telah mempengaruhi para bebahu dan para pengawal yang berkuda di paling belakang. Demikian pula para cantrik-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ki Buyut sendiri kemudian telah berdiri di bagian depan pedati itu, sementara sais pedati yang memegang tali kendali kedua ekor lembu yang menariknya telah menjadi berdebar-debar pula. Namun sais itu bukan seorang penakut. Sebagai seorang sais pedati, maka ia dianggap seorang yang memiliki kekerasan tulang sekeras tulang lembunya.
Sais itu-pun telah menyiapkan sepotong besi di belakangnya. Setiap saat sepotong besi itu akan dapat dipergunakan. Bahkan untuk melawan pedang sekali-pun.
Sejenak kemudian, maka pedati itu-pun telah memasuki sebuah tikungan yang menanjak, di sela-sela perbukitan rendah. Di sebelah menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perdu yang rimbun. Dalam gelapnya malam, maka pohon perdu itu nampak kehitam-hitaman di antara bayangan bongkah-bongkah batu padas.
Dua orang bebahu yang berkuda di paling depan itu-pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka memegang pedang mereka yang telah telanjang. Demikian pula Ki Buyut Bumiagara. Sementara sais pedati itu masih belum menggenggam potongan besinya. Tetapi di tangan kanannya ia memegang sebuah cambuk yang besar berjuntai anyaman ijuk yang kuat.
Demikianlah, suasana benar-benar menjadi tegang. Kedua orang bebahu yang terdepan memperhatikan setiap gerumbul yang ada di sebelah menyebelah jalan. Namun salah seorang di antara keduanya memang menjadi curiga. Ia melihat salah sebuah di antara gerumbul-gerumbul itu bergerak. Karena itu ia berdesis, “Hati-hati. Aku memang melihat sesuatu.”
Kawannya-pun dengan cepat anggap. Ia-pun segera bergeser menjauhi kawannya. Ia-pun siap menghentakkan kendali kudanya untuk mengejutkan orang-orang yang jika benar isyarat kawannya, akan mengganggu perjalanan mereka. Ternyata Ki Buyut Bumiagara-pun melihat pula sebuah gerumbul yang bergerak. Karena itu, maka ia-pun telah menyiapkan pedangnya dengan baik. Dengan tangannya Ki Buyut memberi isyarat kepada sais yang duduk di sebelah Ki Buyut yang berdiri itu, agar ia-pun bersiap pula.
Di belakang pedati, hampir setiap cantrik telah melihatnya pula. Karena itu maka mereka-pun justru telah menjauhi yang satu dengan yang lain. Cantrik yang berada di paling belakang telah berdesis kepada kedua orang pengawal Ki Buyut, “Mereka berada di belakang setiap gerumbul itu.”
Para pengawal itu tidak segera tanggap. Karena itu seorang di antara mereka justru bertanya, “Mereka siapa?”
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Yang dicemaskan oleh Ki Buyut. Maksudku, di belakang perdu itu bersembunyi beberapa orang yang mungkin akan merampok kita. Mereka menyangka bahwa di dalam pedati itu terdapat harta benda yang sangat berharga.”
“Tetapi bukankah barang-barang yang ada di pedati itu benar-benar berharga?” bertanya pengawal yang lain.
“Ya. Karena itu kita harus mempertahankannya,” jawab cantrik itu.
Kedua orang pengawal itu mencoba memperhatikan gerumbul-gerumbul perdu di sebelah menyebelah jalan dalam kegelapan malam. Namun akhirnya mereka-pun seakan-akan melihat bayangan yang telah bergerak. Namun sekilas saja. Lalu hilang.
Ki Buyut dan para bebahu yang ada di depan mengerti, bahwa di sebelah menyebelah jalan itu bersembunyi beberapa orang. Namun agaknya mereka menunggu iring-iringan itu masuk ke dalam kepungan mereka.
Karena itu, maka setiap orang dalam iring-iringan itu-pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, beberapa orang akan berloncatan keluar dari belakang gerumbul-gerumbul liar itu dengan senjata di tangan.
Sebenarnyalah seperti yang telah mereka perhitungkan. Ketika iring-iringan itu sudah mulai berbelok dan menanjak disela-sela perbukitan kecil, maka tiba-tiba saja terdengar seseorang berteriak. Meneriakkan aba-aba. Teriakan itu disambut dengan teriakan-teriakan yang sahut menyahut dari sebelah menyebelah jalan. Lima belas orang berloncatan dari balik gerumbul menyerang orang-orang berkuda yang mengawal pedati itu.
Para cantriklah yang paling sigap meloncat dari punggung-punggung kuda mereka. Seorang di antara mereka masih harus menambatkan kendali kuda mereka pada pedati yang juga telah berhenti. Pada tiang dan jari-jari rodanya. Sementara empat orang yang lain telah berloncatan menyongsong orang-orang yang menyerang dari lereng-lereng bukit kecil itu.
Para bebahu-pun telah berloncatan turun pula sambil berkata kepada sais pedati itu, “Tambatkan kuda-kuda itu.”
Sais pedati itu-pun telah berlari-lari menangkap kuda kedua bebahu yang ada di depan pedati dan mengikat kendali kuda itu pada ujung pasang lembu yang menarik pedati itu.
Sementara Ki Buyut berkata sambil meloncat turun, “Jaga lembu dan kuda-kuda itu. Ganjal roda pedati agar tidak bergerak.”
Kedua orang pengawal di paling belakang ternyata tidak sempat mengikat kuda mereka. Demikian mereka meloncat turun, mereka harus sudah menangkis serangan-serangan yang datang melanda dengan derasnya. Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara orang-orang Bumiagara dan para cantrik padepokan Bajra Seta, melawan para perampok yang ingin merampas barang-barang yang dibawa dalam pedati itu.
Ketika pertempuran itu berkobar dengan sengitnya, maka terdengar suara di antara para perampok itu, “Jika kalian serahkan barang-barang yang kalian bawa itu dengan baik, maka kami tidak akan menyakiti kalian.”
Ki Buyut yang marah menjawab dengan keras pula, “Persetan kalian para perampok. Kalian harus mendapat hukuman atas perbuatan kalian. Agaknya kalian telah melakukan hal seperti ini beberapa kali.”
“Jangan sombong Ki Sanak,” teriak pemimpin perampok itu, “Kalian tidak mempunyai kesempatan. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mati, tumpas sampai dengan orang yang terakhir.”
“Kami atau kalianlah yang akan tumpas,” geram Ki Buyut.
“Pekerjaan kami melakukan hal seperti ini. Berkelahi, membunuh dan merampok. Karena itu, jangan mencoba menakut-nakuti kami, karena hal itu hanya akan membuat kami tertawa sebelum kami memeras darah kalian sampai tetes terakhir. Besok di tempat ini, orang-orang yang lewat akan segera berteriak-teriak karena mereka melihat sosok kalian yang berceceran di tikungan hitam ini,” teriak pemimpin perampok itu.
“Tetapi kali ini agak berbeda,” jawab Ki Buyut, “Yang akan berserakan di sini adalah mayat kalian. Biarlah orang-orang Larah besok mengambil mayat kalian dan menguburkannya.”
“Setan kau,” geram pemimpin perampok itu. Kemarahannya telah mendorongnya untuk meneriakkan perintah, “Bunuh semua orang. Tidak ada ampun bagi seorang-pun di antara mereka.”
Tetapi Ki Buyut yang marah-pun berteriak pula, “Bunuh mereka semuanya biarlah kawan-kawan mereka menjadi jera untuk melakukan perampokan.”
Pertempuran-pun segera meningkat semakin sengit. Kedua belah pihak menjadi marah dan ingin menyelesaikan lawan-lawan mereka dengan cepat. Namun para perampok itu kurang menyadari, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat lima orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang memiliki kemampuan prajurit. Karena itu, maka kelima orang cantrik itu-pun segera berloncatan sambil memutar pedang mereka di antara beberapa orang lawan.
Sementara itu, Ki Buyut sendiri telah turun ke dalam pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia mengayunkan senjatanya menghadapi para perampok yang menyerangya. Tetapi para perampok itu memang lebih banyak jumlahnya. Karena itu, maka para bebahu dari Bumiagara serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta memang harus bekerja keras mengatasi mereka. Apalagi para perampok itu telah bertempur dengan keras dan kasar. Mereka berteriak-teriak dan mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor.
Tetapi para cantrik sama sekali tidak terpengaruh oleh kekerasan dan kekasaran para perampok itu. Mereka mempunyai pengalaman yang lebih baik dari para bebahu Bumiagara. Bahkan dengan kedua orang pengawal pilihan yang menyertai perjalanan Ki Buyut itu. Menyadari akan hal itu, maka para cantrik itu telah memencar. Seorang di antaranya telah berada di depan pedati yang berhenti itu. Seorang di sisi sebelah kiri. Seorang di kanan dan dua orang Di belakang.
Demikianlah, pertempuran-pun semakin lama menjadi semakin keras dan kasar. Para perampok telah kehilangan kesabaran karena mereka tidak segera menguasai lawan-lawan mereka. Biasanya mereka dengan cepat membantai orang-orang yang mencoba mempertahankan barang-barang mereka. Namun ternyata mereka tidak dapat melakukannya saat itu.
Pemimpin para perampok yang terdiri dari seorang gegedug yang ditakuti itu berteriak semakin keras menggetarkan udara malam yang gelap, “Cepat bunuh mereka. Jangan ragu-ragu.”
Namun demikian mulutnya terkatub rapat, maka terdengar salah seorang di antara para perampok itu berteriak kesakitan sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor. Sementara itu, segores luka telah menyilang di dadanya, sehingga orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Tetapi kemudian, luka itu tidak menghentikannya. Bahkan justru membuat orang itu seperti gila.
Ki Buyut Bumiagara sendiri ternyata bertempur seperti banteng yang terluka. Senjata berputaran dengan cepatnya. Sekali terayun mendatar, kemudian menyilang dan berputar di samping tubuhnya. Namun kemudian mematuk dengan cepatnya mengarah ke dada.
Cantrik yang bertempur di depan pedati itu telah mengikat dua orang lawan. Tetapi Cantrik itu benar-benar tangkas. Senjata yang dipergunakan adalah sebilah pedang yang ringan. Tetapi dilihat dari ujudnya, pedang itu cukup besar dan panjang. Jika benturan terjadi, maka getar kekuatannya benar-benar telah membuat telapak tangan lawannya terasa panas.
Beberapa saat kemudian, maka para cantrik justru mulai mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan yang bertempur melawan dua orang pula. Dengan ketangkasan seorang prajurit, maka mereka telah menunjukkan, bahwa para perampok itu tidak akan mampu memaksakan kehendak mereka meskipun dengan kekerasan senjata. Bahkan sekali lagi terdengar seorang di antara para perampok itu mengumpat-umpat ketika ia terdorong dan jatuh terlentang dilereng bukit yang rendah itu.
Demikian ia meloncat bangkit, maka tangannya-pun meraba pundaknya yang terasa hangat oleh darahnya yang mengalir dari luka-lukanya. Tetapi orang itu tidak menghentikan perlawanannya. Ia-pun justru telah berteriak keras-keras sambil berlari menyerang seorang yang masih bertempur melawan seorang kawannya.
Perampok yang terluka itu sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Dengan sepenuh tenaga ia menghambur dan mengayunkan kapaknya yang besar mengarah ke kepala lawan seorang kawannya yang nampak agak terdesak. Ternyata yang diserangnya itu adalah seorang cantrik yang bergerak dengan cepat menghindari serangannya. Sambil berjongkok cantrik itu telah menjulurkan pedangnya, seakan-akan langsung menerima tubuh orang yang menyerangnya itu.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan yang terlontar oleh kemarahan dan kebencian yang sangat. Namun sejenak kemudian suara itu lenyap ditelan oleh suara dentang senjata yang beradu. Sementara itu, ketika cantrik yang berjongkok itu bangkit sambil menarik pedangnya, maka tubuh perampok itu-pun telah terguling jatuh. Tetapi orang itu sudah tidak dapat berteriak lagi untuk selama-lamanya.
Dengan demikian maka seorang demi seorang jumlah perampok itu telah susut. Namun seorang di antara mereka telah mampu menyusul lingkaran pertempuran itu dan berlari mendekati pedati yang berhenti itu. Namun ternyata, dengan tidak diduganya, sais pedati itu telah meloncat menyerangnya. Tidak dengan sepong besi yang masih tergolek di dalam pedati, namun dengan sebuah cambuk yang besar dan panjang.
Perampok itu dengan cepat bergeser menghindar. Tetapi cambuk itu seakan-akan telah menggeliat. Sais yang setiap hari bermain dengan cambuk itu mampu menggerakkan juntainya yang panjang seperti menggerakkan tangannya sendiri. Karena itu, maka ujung cambuk yang menggeliat itu ternyata telah mematuk lengan perampok yang berhasil mendekati pedati itu.
Perampok itu mengaduh tertahan. Namun ketika ujung juntai cambuk itu dihentakkan sendai pancing, maka sekali lagi orang itu mengaduh menahan sakit. Bahkan ketika ia meraba lengannya, maka lengannya itu seakan-akan telah terkoyak.
“Iblis kau,” geram perampok itu, “Kau sais pedati yang dungu. Kau kira kau mampu melawan aku?”
Sais itu sama sekali tidak menjawab. Ia justru memanfaatkan saat yang baginya sangat baik itu. Selagi perampok itu mengumpatinya, maka tanpa mengucapkan sepatah kata-pun, sekali lagi cambuknya menggeletar.
Perampok itu memang berusaha untuk menghindar. Cambuk itu memang tidak membelit lehernya, tetapi ujungnya telah menggapai dada perampok itu sehingga orang itu-pun telah berteriak marah. Namun sais itu tidak memberinya waktu. Dengan cepat ia memburu. Sekali lagi cambuknya telah meledak. Tetapi lawannya sempat menggeliat menghindari sambaran ujung cambuk itu.
Dengan demikian maka perampok itu-pun telah mendapatkan waktu untuk menyiapkan pertempuran berikutnya. Kemarahan yang memuncak telah membakar jantungnya. Ia telah dilukai oleh seorang sais yang hanya bersenjata cambuk. Karena itu, maka ia tidak mempunyai keinginan lain pada saat itu kecuali membunuh sais itu.
Sais itu-pun telah bersiap sepenuhnya. Setapak demi setapak ia bergeser mendekati pedatinya. Kemudian dengan secepat kilat ia telah mengambil senjatanya yang lain sepotong besi yang agak panjang.
Sementara itu, di lingkaran pertempuran yang mengelilingi pedati itu, terdengar lagi teriakan panjang. Umpatan kasar dan bahkan yang tidak pantas dikatakan. Namun kemudian tubuh itu terguling jatuh. Yang kemudian terdengar adalah erang kesakitan.
Perampok yang mendekati pedati itu-pun segera melompat menyerang. Ia sadar, bahwa kawannya telah berkurang seorang lagi. Karena itu, maka ia harus dengan cepat menguasai pedati itu dan membawanya meninggalkan arena. Namun sais itu tidak membiarkannya menyentuh pedatinya. Dengan segenap kemampuannya, maka sais itu telah mempertahankannya dengan sepotong besi.
Tetapi memang ternyata bahwa perampok yang sudah terbiasa berkelahi dengan senjata, telah membingungkan sais itu. Beberapa saat kemudian, maka ia-pun telah terdesak mundur. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan telah melekat pada pedati yang dipertahankannya itu.
Sais itu memang menyesal telah mengganti cambuknya dengan sepotong besi. Sebenarnya baginya, cambuk itu akan lebih berarti. Namun yang kemudian ada di tangannya adalah sepotong besi, sehingga apa-pun yang terjadi, ia harus mempergunakannya sejauh dapat dilakukannya.
Tetapi akhirnya, sais itu telah terdesak. Ia tidak mempunyai ruang gerak lagi. Karena itu, maka sais itu-pun hanya dapat pasrah, apa yang akan terjadi atas dirinya, meskipun ia masih mencoba untuk bertarung. Ketika senjata perampok itu terangkat saat sais itu tidak lagi mampu berbuat apa-apa, maka sais itu telah memejamkan matanya. Ia tidak ingin melihat ujung senjata itu terayun dan menghunjam kematanya.
Tetapi tiba-tiba justru lawannya itulah yang menjerit ngeri. Ternyata Ki Buyut sempat melihat apa yang akan terjadi atas diri sais itu. Karena itu, maka Ki Buyut-pun segera meninggal lawannya dan berusaha menolong sais itu.
“Terima kasih Ki Buyut,” desis Sais itu.
Namun Ki Buyut telah berlari lagi ke arena. Bahkan kemudian Ki Buyut itu telah bertempur melawan pemimpin perampok dan seorang pengawalnya. Ki Buyut memang harus berhati-hati. Kawan pemimpin perampok itu adalah seorang yang berwajah garang. Bertubuh tinggi dan besar dengan kumis yang melintang.
Tetapi ternyata di bagian dari pertempuran itu terdengar lagi pekik kesakitan. Seorang lagi dari antara para perampok itu terlempar jatuh. Meskipun ia masih dapat berguling menjauhi arena, namun ia tidak mungkin lagi untuk melanjutkan perlawanan. Jari-jari tangannya sebelah kanan yang mengenggam senjatanya telah terbabat oleh pedang seorang cantrik.
Pemimpin perampok itu menggeram. Kemarahannya telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia mengira bahwa para perampok itu tidak akan mengalami banyak kesulitan. Namun yang terjadi adalah lain. Para pengawal pedati itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Yang ternyata tidak dapat dihancurkan oleh jumlah orang yang lebih banyak. Bahkan satu demi satu orang yang mencegat pedati itu runtuh jatuh ke bumi.
Pemimpin perampok itu kemudian tidak mendapat kesempatan lagi untuk bertempur berdua melawan Ki Buyut. Seorang kawannya harus menarik diri dan bertempur melawan seorang cantrik yang kehilangan lawannya. Karena itu, maka pemimpin perampok itu tidak akan dapat berbuat banyak. Kawan-kawannya telah menjadi jauh susut.
Meskipun dua orang bebahu terluka, bahkan Ki Buyut sendiri. Serta seorang dari antara kedua pengawal itu-pun terluka cukup parah, justru merekalah yang nampaknya akan menguasai pertempuran. Tetapi, pemimpin perampok itu cepat tanggap pada keadaan di sekitarnya. Karena itu, maka ia-pun telah memberikan isyarat bahwa mereka lebih baik meninggalkan tempat itu daripada membunuh diri sendiri.
Dalam waktu yang sangat singkat, maka para perampok itu telah mundur dan kemudian berlari bercerai berai memanjat bukit yang rendah itu. Ketika para bebahu dua pengawal akan mengejar mereka, maka Ki Buyut-pun berteriak, “Cukup. Kita tidak akan memburu mereka sampai kebukit. Kita tidak akan meninggalkan pedati ini, sementara kita tidak tahu apa yang ada di belakang bukit.”
Para bebahu dan pengawal itu-pun berhenti pula. Para cantrik ternyata sependapat dengan Ki Buyut, bahwa mereka tidak perlu memburu orang-orang yang melarikan diri, karena mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi kemudian. Mungkin orang-orang itu akan memanggil seisi padukuhan Larah yang sebagian besar masih saling berhubungan darah dan terlibat pula dalam pekerjaan yang hitam itu.
Yang diperintahkan Ki Buyut kemudian adalah, “Kita bersiap dan meneruskan perjalanan. Kawan-kawan kita yang terluka akan ikut naik pedati.”
“Tetapi bagaimana dengan tubuh-tubuh mereka yang terbunuh itu Ki Buyut?” bertanya salah seorang bebahu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Bukannya kami tidak berjantung. Tetapi kawan-kawan mereka tentu akan segera datang kembali untuk mengambil tubuh-tubuh yang terbaring itu.”
Para bebahu itu saling berpandangan. Sementara itu seorang di antara para cantrik berkata, “Tetapi sebaiknya, kita kumpulkan tubuh-tubuh itu dan kita letakkan di tempat yang tidak terlalu dekat dengan jalan itu. Namun yang kita yakini akan diketemukan oleh kawan-kawan mereka.”
Ki Buyut-pun mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Tetapi cepatlah sedikit. Sebelum seluruh padukuhan Larah datang mengepung kita.”
“Kita akan bertempur meskipun aku sudah terluka,” berkata bebahu yang terluka itu.
“Aku-pun tidak akan gentar,” berkata Ki Buyut, “Tetapi bukankah lebih baik jika kita tidak membunuh lagi?” berkata Ki Buyut. Lalu katanya kemudian, “Aku telah menyebabkan pembunuhan-pembunuhan terjadi sebelumnya. Aku tidak mau menambah beban lagi di pundakku. Semakin banyak darah mengalir, rasa-rasanya aku akan semakin dalam terbenam di dalamnya.”
Bebahu itu tidak menyahut lagi. Namun bersama dengan kawan-kawannya dan kedua orang pengawal mereka telah mengumpulkan orang-orang yang terbunuh dan terluka. Para cantrik-pun tidak membiarkan mereka bekerja terlalu berat, sehingga kelima orang itu telah membantunya.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa sosok telah terbaring di antara bebatuan. Di antara masih ada yang merintih karena luka-lukanya. Para cantrik mencoba untuk menaburkan obat diatas luka yang parah itu untuk mengurangi aliran darah dari luka-luka mereka.
“Jangan tinggalkan kami,” rintih seseorang yang terluka parah sehingga tidak mampu ikut menarik diri dari arena pertempuran.
“Kami akan meneruskan perjalanan,” jawab cantrik itu, “Kawan-kawanmu akan segera datang.”
“Tetapi kami yang terluka parah akan dapat mati di sini,” berkata orang itu.
“Tidak. Lukamu sudah pampat. Setidak-tidaknya darahnya tidak lagi mengalir terlalu banyak. Kawan-kawanmu dari padukuhan Larah akan segera kembali mengambilmu dan kawan-kawanmu,” jawab salah seorang cantrik.
“Tolong, panggil mereka,” minta orang yang terluka itu, “Sebelum aku mati.”
“Maaf, tidak mungkin Ki Sanak. Jika aku pergi ke padukuhan Larah, maka akibatnya akan buruk sekali bagiku. Bagaimana-pun juga aku tidak dapat mengesampingkan pengertian kami tentang padukuhan Larah. Apalagi peristiwa ini terjadi tidak terlalu jauh dari Larah. Bukankah bulak ini yang disebut bulak Larah dan tikungan ini juga sering disebut tingkungan hitam?”
“Tetapi jika kau tinggal kami, maka kami akan mati sia-sia. Tolong panggil keluargaku di padukuhan itu.” minta orang itu semakin mendesak.
“Di padukuhan Larah maksudmu?” bertanya cantrik itu.
“Ya” jawab orang itu.
“Sekali lagi aku minta maaf. Kami tidak berani memasuki padukuhan itu. Justru kami harus segera pergi dari tempat ini. Jika tidak, maka roang-orang Larah akan mengepung tempat ini, dan kami harus membunuh lebih banyak lagi. Tahankan sedikit. Kawan-kawanmu akan segera datang” berkata cantrik itu. Tetapi orang itu masih saja mengerang.
“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya kepada orang yang terluka itu, “Ingat apa yang telah terjadi malam ini. Jika lain kali masih ada orang yang dirampok di sini atau dimana-pun dan dilakukan oleh orang Larah, maka kami akan datang dengan pasukan yang cukup untuk menghancurkan Larah dan membuat Larah menjadi karang abang. Ingat itu. Kali ini kami masih menghidupimu, agar kau sempat mengatakan pesanku itu.”
Ki Buyut tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meninggalkan orang-orang yang terbunuh dan terluka dari antara mereka yang mencegat perjalanannya. Sementara itu, seorang bebahu yang lukanya agak parah telah ditempatkan di dalam pedati. Demikian pula salah seorang di antara kedua pengawal. Ki Buyut sendiri sebenarnya juga terluka, tetapi luka itu tidak berbahaya, sementara Ki Buyut sendiri memang tidak menghiraukannya.
Karena itu, maka Ki Buyut lah yang kemudian duduk di punggung kuda. Dua orang yang terluka cukup parah sudah berada di dalam pedati setelah luka-lukanya menjadi pampat oleh obat para cantrik. Demikian pula goresan-goresan pada tubuh orang-orang yang lain, sehingga sama sekali tidak berdarah lagi.
Namun seorang cantrik telah berpesan, “Jangan terlalu banyak bergerak, agar luka-luka itu tidak berdarah lagi.”
Dua orang yang berada di pedati, duduk sambil bersandar tiang pedati. Tubuh mereka terasa sangat lemah oleh luka-lukanya. Namun ketika mereka tersentuh oleh ikatan-ikatan senjata yang berguncang-guncang di dalam pedati yang kemudian merangkak lagi dengan lambatnya, maka rasa-rasanya jantung mereka justru berdegup semakin cepat. Mereka sadar, bahwa mereka telah terluka saat mempertahankan barang-barang yang sangat berharga itu. Sehingga di sela-sela perasaan sakit yang masih menggigit, terbersit perasaan bangga pula.
Demikianlah, maka pedati itu-pun merayap lewat jalan yang agak menanjak. Setelah melewati tikungan hitam, maka rasa-rasanya perjalanan pedati itu menjadi semakin lambat. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Pedati itu memang sedang melintasi jalan yang agak naik. Ki Buyut justru berkuda di paling depan disertai dua orang bebahu. di belakang pedati itu, berkuda kelima orang cantrik dari padepokan Bajra Seta. Kemudian baru seorang bebahu dan seorang pengawal.
Malam terasa semakin lama semakin dingin. Namun demikian, orang- orang berkuda itu justru berkeringat. Bukan saja karena harus mengendalikan kuda-kuda mereka, namun mereka-pun masih saja merasa sedikit tegang.
Ketika seorang pengawal yang berada di dalam pedati berniat untuk naik di punggung kudanya yang tertambat di belakang pedati yang berjalan perlahan-lahan itu, maka seorang cantrik telah mencegahnya. Katanya, “Tetaplah berada di dalam pedati. Lukamu agak sedikit parah. Biarlah darahnya benar-benar pampat lebih dahulu, agar tidak mengalir lagi dari luka-lukamu itu.”
Pengawal itu tidak dapat memaksa. Ia-pun kemudian tetap duduk di dalam pedati bersama seorang bebahu yang luka-lukanya memang agak lebih parah dari pengawal itu. Dengan demikian maka perjalanan selanjutnya berlangsung lambat sebagaimana sebelumnya. Ketika jalan tidak lagi menanjak, maka pedati itu berjalan sedikit lebih cepat. Namun perbedaannya tidak banyak.
Sementara itu, orang-orang Larah yang melarikan diri, memang langsung pergi ke padukuhannya. Beberapa orang sempat mereka siapkan. Bahkan lebih dari lima belas orang. Namun ketika mereka sampai ke tikungan hitam, maka pedati dan para pengawalnya sudah tidak ada.
“Kita kejar mereka.” teriak seseorang.
Gegedug yang semula memimpin kawan-kawannya itu berkata, “Tidak usah.”
“Kenapa?” bertanya orang yang berteriak itu.
“Lihat di belakang batu besar itu,” berkata pemimpin itu.
Orang yang berteriak-teriak untuk mengejar itu-pun melihat apa yang ditunjukkan oleh pemimpinnya itu. Ternyata darahnya-pun tersirap. Ia melihat beberapa sosok tubuh yang membeku. Namun di antara mereka masih ada yang tetap hidup dan mendapat perawatan dari kawan-kawannya itu.
“Nah, bagaimana?” bertanya gegedug itu.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, jika mereka memburu, meskipun mereka tentu akan dapat menyusulnya karena pedati itu berjalan sangat lamban, namun di antara mereka harus ada yang bersedia terbujur mati lagi. Bahkan mungkin jauh lebih banyak, sementara barang-barang berharga itu tidak dapat mereka miliki.
“Jumlah mereka memang hanya berkisar sepuluh orang,” berkata pemimpinnya itu, “Tetapi kemampuan mereka sama dengan kemampuan prajurit. Bahkan ada di antara mereka yang lebih baik lagi.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka-pun kemudian mengerti bahwa tidak ada gunanya menyusul mereka.
“Sebaiknya kita rawat kawan-kawan kita yang terbunuh dan yang terluka parah itu,” berkata pemimpin mereka.
Karena itu, maka mereka tidak lagi berniat untuk mengejar pedati yang membawa barang-barang yang tidak diketahuinya, tetapi tentu barang-barang yang sangat berharga.
Ki Buyut yang melanjutkan perjalanan telah menjadi semakin jauh dari tikungan hitam. Betapapun lambatnya, maka akhirnya pedati itu telah mendekati Kabuyutan Bumiagara. Ki Buyut yang berkuda di paling depan itu telah dapat menarik nafas panjang-panjang. Mereka akhirnya mampu kembali dengan selamat di Kabuyutan Bumiagara. Karena itu, ketika iring-iringan itu melintasi sebuah tugu batu sebagai batas Kabuyutan Bumiagara, maka rasa-rasanya titik-titik embun menyiram jantung mereka yang panas.
“Kita telah berada di Bumiagara,” berkata Ki Buyut lantang sehingga para cantrik-pun ikut mengangguk-angguk gembira.
“Kita akan langsung menuju ke padukuhan induk,” berkata Ki Buyut.
Namun dalam pada itu, selagi pedati itu berjalan tertatih-tatih menuju ke padukuhan induk, ternyata orang-orang padukuhan Larah telah menentukan tekadnya untuk mencari jejak dan membalas dendam. Malam itu juga, dua orang telah ditugaskan untuk menentukan arah pedati dan para pengiringnya. Mereka harus mengikuti bekas ronda pedati itu sampai kesatu tempat yang meyakinkan, kemana tujuannya.
Dua orang yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi serta memiliki ketajaman pengenalan, jejak telah mendapat tugas untuk melakukannya.
“Berhati-hatilah. Kau tidak boleh tertangkap oleh orang-orang itu. Kita memang tidak dapat menutup kenyataan, bahwa pengawal pedati itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga kita, dengan jumlah yang lebih banyak, tidak mampu mengalahkan mereka,” berkata pemimpin mereka.
Dengan demikian, maka kedua orang itu-pun telah berangkat menelusuri jejak. Meskipun di dalam gelap, namun mata mereka cukup tajam mengenali jejak pedati yang masih baru. Belum ada jejak lain yang dapat menghapus jejak roda pedati itu. Apalagi ketika keduanya menjadi semakin dekat dengan Kabuyutan Bumiagara.
“Pedati itu pasti menuju ke Bumiagara,” berkata salah seorang dari keduanya.
“Marilah. Kita akan mengikuti jejak pedati itu sampai ketempatnya berhenti,” desis yang satu.
“Sangat berbahaya,” berkata orang yang pertama.
“Kita harus yakin, dimana pedati itu berhenti dan akan lebih baik jika melihat pedati itu dibongkar muatannya. Meskipun barangkali kita tidak dapat mendekat dan apalagi melihat isinya.”
“Tetapi dengan demikian laporan kita menjadi lengkap.” berkata yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Jika ia menolak, maka ia akan dapat dituduh menghambat pekerjaan kawannya, atau bahkan dapat dianggap sebagai seorang pengecut. Dengan demikian maka kedua orang itu telah memasuki lingkungan Kabuyutan Bumiagara pula.
“Bukankah kita mempunyai kebiasaan berkeliaran di malam hari?” desis orang yang pertama.
“Ya,” sahut yang lain.
“Kita mampu memasuki rumah orang tanpa diketahui, sehingga kita-pun akan mampu mengikuti jejak pedati itu sampai dikandangnya,” katanya pula.
Kawannya tidak menjawab. Sementara mereka menjadi semakin dalam memasuki Kabuyutan Bumiagara. Jika pedati itu lewat melalui jalan padukuhan, maka keduanya terpaksa melingkari padukuhan itu. Jika mereka menemukan jejak pedati itu, maka mereka telah melanjutkan perjalanan mereka.
“Jika kita tidak menemukan jejaknya di mulut lorong yang kedua, berarti pedati itu berhenti di padukuhan ini,” berkata yang seorang lagi.
“Apakah hanya ada dua mulut lorong? Bagaimana jika jalan itu bercabang di dalam padukuhan? Atau ada simpang empatnya?” bertanya kawannya.
“Jika kita memasuki padukuhan itu, maka kita akan mendapatkan jawabnya, sehingga kita akan dapat mengikuti jejak itu lagi. Tetapi kita akan lebih aman jika kita lebih banyak berjalan diluar padukuhan. Apalagi jika ada peronda yang duduk digardu dipinggir jalan itu,” jawab orang yang pertama.
“Bukankah sudah terbiasa bagi kita untuk berjalan menyusup kebun dan halaman?” desis kawannya.
“Bukankah justru akan lebih lama dari perjalanan kita yang melingkar ini?” sahut yang pertama itu.
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya berjalan terus mengikuti jejak pedati yang ternyata memasuki padukuhan induk.
“Sekarang kita tidak perlu melingkar. Aku yakin, pedati itu berhenti di padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara ini.” berkata orang yang pertama itu.
Keduanya-pun kemudian dengan sangat berhati-hati memasuki pintu gerbang. Namun mereka-pun dengan segera harus meloncati dinding dan masuk ke halaman sebelah. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka terdapat sebuah gardu. Dibawah cahaya oncornya yang menyala cukup terang, mereka melihat beberapa orang duduk berjaga-jaga digardu itu.
Tetapi dengan melewati halaman dan kebun yang gelap, keduanya memasuki padukuhan induk itu semakin dalam. Keduanya sama sekali sudah tidak canggung lagi, karena hal seperti itu telah mereka lakukan beberapa puluh kali. Sekali-sekali keduanya memang mendekati jalan induk padukuhan dan bahkan kemudian turun ke jalan itu untuk melihat, apakah mereka masih tetap dapat mengikuti jejak pedati itu.
Sebenarnyalah, akhirnya keduanya melihat sebuah pedati berhenti di sebuah halaman yang luas. Namun pedati itu sudah terlepas dari sepasang lembunya. Bahkan tidak ada lagi orang yang sibuk menurunkan barang-barang dari pedati itu. Yang nampak kemudian, beberapa orang telah duduk di pendapa sambil minum-minuman panas. Sementara di serambi gandok, nampaknya ampat orang peronda berjaga-jaga sambil minum minuman panas pula.
“Kita datang terlambat, meskipun kita pasti bahwa kita berhasil menemukan pedati itu. Beberapa ekor kuda masih tertambat di patok-patok bambu itu,” berkata orang yang pertama.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang, kita tidak dapat melihat apa yang termuat dalam pedati itu.”
Namun bagi kedua orang itu, hasil yang dicapainya ternyata cukup memuaskan. Mereka tidak saja menemukan arah pedati itu, tetapi juga di mana pedati itu berhenti.
“Kita kembali untuk memberikan kabar kepada kawan-kawan kita,” berkata kedua orang itu.
Dengan sangat berhati-hati keduanya meninggalkan halaman rumah Ki Buyut Bumiagara.
Sedangkan senjata-senjata yang dimuat dalam pedati itu dengan cepat telah diturunkan dan disimpan di ruang dalam rumah Ki Buyut itu. Sementara itu, Ki Buyut telah memerintahkan rumah itu harus dijaga dengan baik sebelum senjata-senjata itu habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dianggap paling berhak menerimanya.
Orang-orang Larah yang sebagian mempunyai kebiasaan buruk, telah mendendam orang-orang Bumiagara yang telah berhasil menggagalkan rencana mereka untuk merampok barang-barang yang mereka bawa. Bahkan pemimpip perampok dari Larah itu berkata, “Aku sendiri akan datang ke Bumiagara. Aku akan merampok semua isi rumah Buyut Bumiagara itu. Bukankah pekerjaan itu sudah terlalu sering kita lakukan?”
“Tetapi kita harus memperhatikan kemampuan orang-orang Bumiagara. Seputar sepuluh orang di antara mereka, ternyata tidak dapat kita tundukkan. Padahal kita membawa lima belas orang kawan,” berkata kedua orang yang mengikuti jejak pedati itu sampai ke rumah Ki Buyut Bumiagara.
“Orang-orang Bumiagara tidak berarti apa-apa bagi orang-orang Larah. Tentu telah terjadi kesalahan, kenapa kita lima belas orang tidak dapat mengalahkan sepuluh orang Bumiagara. Tetapi mungkin juga sepuluh orang itu sendiri dari orang-orang yang paling baik di Kabuyutan itu, sehingga mereka tidak mempunyai kekuatan lebih dari itu,” geram pemimpin perampok yang terdiri dari orang-orang Larah itu.
“Memang mungkin,” jawab yang lain, “Tetapi Kabuyutan Bumiagara cukup besar. Jika kemudian Bumiagara mengumumkan permusuhan dengan Larah, mungkin kita akan mengalami kesulitan pula.”
“Mana mungkin,” jawab gegeduk yang memimpin para perampok dari Larah itu, “Setiap laki-laki di Larah mampu mempergunakan senjata. Tentu tidak demikian dengan orang-orang Bumiagara.”
“Ya, aku sependapat,” berkata seorang perampok yang hampir sepanjang umurnya hidup dalam suasana kekerasan, “Orang-orang Bumiagara tentu terdiri dari para pengecut. Dalam perselisihannya dengan Padepokan Bajra Seta, mereka telah bertumpu pada kekuatan orang lain. Prajurit Kediri yang memberontak dan dari padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu.”
Beberapa orang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan menunggu kesempatan itu. Untuk beberapa saat kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi pada suatu hari, tiba-tiba saja kita akan muncul di halaman rumah Ki Buyut sebagai sekelompok perampok yang akan mengakhiri kesombongan orang-orang Bumiagara yang telah menyinggung perasaan orang-orang Larah.”
“Tetapi kita harus tahu pasti, apakah prajurit Kediri itu sudah tidak berada di Kabuyutan Bumiagara?” berkata salah seorang di antara mereka.
“Tidak. Mereka telah pergi. Bumiagara telah ditinggalkan begitu saja dalam ketakutan menghadapi ancaman dari beberapa pihak,” berkata gegedug yang memimpin kawan-kawannya itu.
“Tetapi apakah yang dibawa orang-orang Bumiagara dengan pedati itu? Dan darimana pula?” desis seseorang.
“Aku tidak peduli. Tetapi barang-barang itu tentu barang berharga. Kita akan mengambilnya di rumah Buyut Bumiagara. Kita tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan mengumpulkan tiga puluh orang dari Larah ditambah dengan kawan-kawan kita yang terbaik. Kita akan merampok seluruh padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Jika jumlah kita sekitar empat puluh orang dengan orang-orang terbaik, maka Bumiagara tidak akan dapat melawan kita, meskipun isyarat sempat diberikan ke segenap penjuru Kabuyutan,” berkata gegedug itu, “Seandainya jumlah mereka tidak terhitung, maka kita tidak akan mendapat kesulitan untuk melarikan diri. Kita akan memencar, masing-masing dengan lima sampai tujuh orang. Jika mereka berani memburu, maka kita akan membantai orang-orang Bumiagara.”
Kawannya mengangguk-angguk. Namun nampaknya gegedug itu memang tidak tergesa-gesa. Ia harus mengumpulkan sejumlah orang untuk meyakinkan agar Bumiagara dapat ditundukkan, dikalahkan dan direndahkan harga dirinya sebagaimana mereka merendahkan harga diri orang-orang Larah dengan menggagalkan rencana mereka merampok pedati.
Namun dalam pada itu, Bumiagara telah mempunyai rencana tersendiri. Ki Buyut telah memerintahkan setiap padukuhan untuk menyiapkan anak-anak mudanya. Pada tahap pertama, masing-masing tidak lebih dari lima orang. Tetapi Ki Buyut Bumiagara sama sekali tidak berpikir tentang orang-orang Larah yang mendendamnya. Jika ia mempersiapkan diri, maka yang dibayangkan datang menyerang, adalah justru para prajurit Kediri yang sedang memberontak itu.
Karena itu, maka Ki Buyut-pun berkata, “Kita harus meningkatkan kemampuan anak-anak muda Bumiagara dengan diam-diam. Jika para prajurit Kediri mengetahuinya, maka mereka tentu akan semakin cepat datang untuk menghancurkan Kabuyutan ini.”
Dengan demikian, maka peningkatan kemampuan anak-anak Bumiagara dibagi menjadi beberapa kelompok yang berlatih di sanggar yang berbeda-beda. Tiga atau empat padukuhan menjadi satu, sehingga jumlahnya tidak begitu banyak.
Setelah segala persiapan dimatangkan, maka latihan-latihan-pun segera dimulai. Lima belas atau dua puluh orang anak muda berkumpul di sebuah padukuhan yang ditunjuk. Pada dasarnya mereka harus tetap dapat melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Pagi hari mereka pergi ke sawah. Kemudian lewat tengah hari mereka sempat beristirahat di rumah beberapa saat. Baru menjelang sore mereka pergi ke tempat yang telah ditentukan tanap menarik perhatian orang banyak.
Bahkan kadang-kadang mereka pergi ke padukuhan yang ditunjuk tidak bersama-sama. Demikian pula kegiatan mereka di tempat-tempat mereka berlatih selalu dilakukan di tempat yang tertutup. Mereka terbiasa melakukan di rumah Ki Bekel atau banjar padukuhan bagian belakang yang terlindung oleh dinding halaman.
Yang mula-mula sekali mereka pelajari adalah mempergunakan berjenis-jenis senjata yang dibawa dari Padepokan Bajra Seta. Lima orang cantrik yang ikut pergi ke Bumiagara telah di tempatkan di tempat-tempat latihan. Setiap kali mereka bertukar tempat, karena setiap cantrik memberikan latihan khusus serta latihan mempergunakan satu jenis senjata.
Kemauan yang besar serta kesediaan untuk mematuhi segala macam petunjuk, membuat anak-anak muda Bumiagara dengan cepat meningkat. Mereka dengan sungguh-sungguh belajar mempergunakan senjata yang berbeda dengan senjata yang mereka kenal ditempat mereka.
Tetapi latihan-latihan dengan senjata yang dibawa dari Padepokan Bajra Seta itu tidak mematikan kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata dari jenis yang lain. Senjata-senjata mereka sendiri. Bahkan para cantrik itu telah memberikan tuntunan untuk mempergunakan senjata apa saja yang dapat mereka ketemukan. Dari senjata yang paling baik sebagaimana mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta sampai dengan mempergunakan sepotong kayu yang mereka ketemukan di pinggir-pinggir jalan atau carang bambu yang mereka patahkan atau cambuk lembu pedati.
Namun ketika mereka sudah meningkat semakin tinggi, maka cantrik-cantrik itu mulai mengarahkan kepada setiap orang yang ikut dalam peningkatan itu untuk memilih dan bahkan mengarahkan anak-anak muda itu untuk memperdalam jenis-jenis senjata tertentu.
Ketika mereka menjadi mapan, maka senjata-senjata yang mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta itu-pun segera mereka bagi-bagikan. Ada yang lebih mantap mempergunakan pedang, ada yang lebih mapan bersenjata tombak. Namun ada yang merasa tenang jika mereka membawa kapak.
Tetapi di samping itu, ternyata ada yang memilih senjata cambuk. Orang-orang yang memilih bersenjata cambuk sudah tentu harus membuat cambuk sendiri. Meskipun demikian para cantrik itu-pun mampu memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana membuat cambuk yang baik dari janget yang dirangkap tiga. Namun para cantrik memberikan petunjuk pula, bahwa mereka yang memilih senjata dari jenis cambuk dan senjata lentur lainnya, juga bersiap dengan senjata tajam meskipun pendek. Pisau belati atau keris yang juga harus dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka di setiap padukuhan, sedikitnya ada lima orang anak muda yang memiliki kemampuan yang semakin tinggi. Bukan saja karena latihan-latihan yang tekun dan bersungguh-sungguh, tetapi mereka-pun membiasakan diri untuk meningkatkan kemampuan wadag mereka. Pagi-pagi benar, jika mereka pergi kesawah mendahului orang lain, mereka justru memilih jalan yang agak jauh dan sulit.
Mereka berlari-lari menyusuri tanggul sungai sambil memanggul cangkul, menuruni tebing dan naik ke bukit-bukit rendah. Baru ketika matahari terbit mereka sampai disawah. Mereka mempergunakan waktu sedikit untuk menenangkan pernafasan mereka dan beristirahat digardu. Baru kemudian, jika orang-orang lain telah datang, anak-anak muda itu mulai bekerja di sawah sebagaimana kebiasaan mereka sebelumnya.
Ketika anak-anak muda yang lima dari setiap padukuhan itu sudah menjadi semakin baik, maka setiap orang telah mendapat tugas untuk memberikan tuntutan secara khusus kepada dua orang kawannya. Dua orang yang bersedia berlatih dengan sungguh-sungguh.
Tetapi ternyata bahwa senjata yang sempat dibawa ke Bumiagara sangat terbatas, sehingga yang mendapat bagian hanya anak-anak muda yang ikut berlatih pada putaran pertama. Namun mereka akan menjadi tulang punggung kekuatan anak-anak muda di Bumiagara.
Pada tataran yang semakin meningkat, maka Bumiagara memang banyak mengalami perubahan. Anak-anak mudanya menjadi semakin yakin akan diri mereka sendiri. Apalagi setelah kemampuan dari anak-anak muda yang ikut putaran pertama itu mulai menjalar, sementara anak-anak muda yang ikut pada putaran pertama itu masih terus berlatih bersama para cantrik untuk semakin meningkatkan kemampuan mereka.
Ketika segala sesuatunya telah menjadi semakin rancak, maka seorang di antara para cantrik itu telah memilih sepuluh anak muda yang lain khususnya dari padukuhan induk untuk mengadakan latihan tersendiri. Bersama dengan lima orang yang lebih dahulu, maka sepuluh orang di padukuhan induk itu akan menjadi pelindung padukuhan induk.
Demikianlah, dengan diam-diam Kabuyutan Bumiagara telah berbenah diri. Setelah sebulan menyelenggarakan latihan-latihan dengan bersungguh-sungguh, maka beberapa orang anak muda telah benar-benar memiliki kemampuan mempergunakan senjata dengan baik. Sementara itu, kemampuan mereka-pun seakan-akan telah menjalar semakin lama semakin luas.
Di setiap padukuhan sedikitnya sudah ada lima orang yang dapat diandalkan. Mereka dengan mempergunakan senjata khusus yang dibawa dari Padepokan Bajar Seta, merupakan tulang punggung kekuatan yang ada di setiap padukuhan. Sedangkan di hari-hari berikutnya, di padukuhan induk, limabelas orang telah ditempa dengan sungguh-sungguh oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Dalam pada itu, Ki Buyut telah menjadi sedikit tenang menghadapi ancaman para prajurit Kediri yang memberontak itu. Jika mereka kemudian datang untuk memeras tenaga dan bahan makanan yang ada di Kabuyutan itu, maka Kabuyutan Bumiagara akan dapat berbicara pula.
Apalagi atas permintaan beberapa orang bebahu, para cantrik telah memberikan waktunya pula untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tujuh orang bebahu Kabuyutan yang masih berusia muda, dan dua orang bebahu di setiap padukuhan. Bahkan ada beberapa orang bekal yang masih belum terlalu tua, ikut pula meningkatkan kemampuan mereka. Sementara itu, anak-anak muda yang telah mendapat latihan khusus telah menjalarkan pengetahuan mereka dalam olah senjata kepada masing-masing dua orang kawannya.
“Seandainya kami akan ditumpas habis oleh para prajurit yang memberontak terhadap kepemimpinan Sri Baginda di Kediri itu benar-benar dilakukan, maka kami tidak akan mati tanpa arti" berkata Ki Buyut yang telah memiliki sebilah pedang yang besar dan panjang, namun tidak terlalu berat meskipun kekuatan dan kemampuan penggunaannya tidak kalah dengan pedang-pedang sebesar itu, namun beratnya berbaut banyak. Apalagi di setiap hari, kekuatan dan kemampuan anak-anak muda di Kabuyutan Bumiagara itu semakin meningkat.
Tetapi yang tidak diduga-duga itu justru terjadi. Orang-orang Larah yang menyabarkan diri menunggu, barangkali ada lagi sebuah pedati yang bakal lewat milik orang-orang Bumiagara, akhirnya telah sampai ke puncaknya. Beberapa orang tidak lagi ingin menunggu lebih lama lagi. Apalagi persiapan mereka telah mantap. Sekitar tigapuluh orang Larah dan sekitarnya dan lima orang gegedug yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi ditambah dengan lima orang kawan gegedug yang berilmu tinggi itu.
“Kita bukan sekedar membalas dendam. Tetapi kita akan merampok padukuhan Induk Bumiagara habis-habisan. Ketika seorang di antara kita lewat padukuhan induk itu, maka orang itu sempat melihat beberapa rumah yang besar dan terawat baik. Rumah-rumah itu tentu rumah-rumah orang kaya dan menyimpan berbagai macam harta kekayaan yang nilainya tinggi. Selama ini kita belum pernah melakukan hal seperti ini. Beramai-ramai memasuki sebuah padukuhan untuk merampok bukan saja rumah seorang yang kaya raya, tetapi kami akan merampok seisi padukuhan. Kita akan menghancurkan rumah Ki Buyut Bumiagara setelah semua isinya kita kuras habis,” berkata gegedug yang memimpin orang-orang Larah.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Mungkin kita tidak akan menemukan harta benda yang pantas untuk kita bagikan kepada orang sebanyak ini. Tetapi aku tidak berkeberatan untuk melakukannya. Nampaknya memang menarik untuk melakukan satu pekerjaan yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya sekelompok berandal dan perampok tidak membawa lebih dari sepuluh orang kawan. Namun kita tahu, bahwa selain merampok, kalian nampaknya ingin membalas sakit hati karena usaha kalian untuk merampok pedati lebih dari sebulan yang lalu itu gagal. Bahkan ada di antara kalian yang terbunuh. Sementara orang-orang Bumiagara sama sekali tidak meninggalkan korban.”
“Ya. Kau benar,” sahut pemimpin dari orang-orang Larah, “Sekali ini kita melakukan kerja rangkap. Kita sudah cukup bersabar sehingga waktunya telah sebulan lewat. Ternyata tidak ada lagi pedati yang lewat dengan membawa barang-barang berharga.”
“Kalianlah yang dungu,” sahut salah seorang gegedug, “Mereka tidak akan mau mengambil jalan itu lagi.”
“Kami sudah memperhitungkan,” jawab pemimpin orang-orang Larah, “Kami sudah mengamati tiga jalur jalan yang mungkin dilalui. Tetapi kami telah gagal.”
Gegedug itu tertawa. Katanya, “Sekarang kau akan mengambil sendiri di Bumiagara. Baiklah. Kita akan melakukannya di permulaan pekan mendatang, setelah bulan lenyap dari langit. Dalam kegelapan maka kita akan dapat menjadi semakin buas.”
“Aku sependapat,” berkata pemimpin orang Larah, “Aku masih akan mengirim orang untuk mengamati keadaan di Bumiagara.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka telah sepakat lima hari lagi, mereka akan pergi ke Bumiagara untuk melepaskan dendam mereka. Bagi mereka, waktu yang hampir dua bulan itu tentu sudah cukup lama. Bahkan terlalu lama untuk menunggu kesempatan membalas dendam kematian kawan-kawan mereka serta kegagalan mutlak saat mereka berniat merampas benda-benda berharga.
Namun seorang di antara para gegedug yang siap membantu itu berkata, “Masih belum terlalu lama. Untuk sebuah dendam karena kematian seorang kawan, sepuluh tahun-pun bukan hitungan yang lama. Daripada kita tergesa-gesa melakukannya, namun hasilnya justru sebaliknya, maka kita lebih baik menunggu untuk beberapa lama, namun dengan satu keyakinan.”
Orang yang memimpin kawan-kawannya dari Larah dan sekitarnya itu-pun mengangguk-angguk. Katanya, “Selama dua bulan kita mempersiapkan diri sambil mengamati perkembangan Kabuyutan Bumiagara. Namun agaknya Bumiagara terlalu lelap dalam mimpi yang mengasikkan.”
“Besok mereka akan segera terbangun,” jawab kawannya yang lain.
Sebenarnyalah Bumiagara memang tidak mengira sama sekali, bahwa Larah akan mencoba untuk membalas dendam dan menyerang bahkan merampok padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Namun demikian diluar kehendak mereka mempersiapkan diri menyambut serangan itu, mereka telah menempa anak-anak mudanya yang disiapkan untuk menghadapi para prajurit Kediri.
Meskipun dalam waktu dua bulan olah kanuragan, namun anak-anak muda Bumiagara yang berlatih dengan sungguh-sungguh disetiap hari itu, merupakan peningkatan kemampuan yang sangat berarti. Mereka telah menguasai senjata mereka masing-masing. Mengenal berbagai macam cara untuk mempertahankan diri dan menyerang.
Selain anak-anak muda itu, maka beberapa orang bebahu yang pada dasarnya telah memiliki landasan kemampuan olah kanuragan, menjadi semakin mapan. Dengan senjata yang mereka terima dari Padepokan Bajra Seta, maka mereka merupakan orang yang memiliki ketangkasan yang tinggi dalam olah senjata dari jenis senjata mereka masing-masing.
Kecuali peningkatan kemampuan olah kanuragan, maka daya tahan anak-anak muda di Kabuyutan Bumiagara itu-pun telah meningkat pula. Di dalam sanggar atau dihalaman belakang rumah para Bekel padukuhan, mereka tidak saja belajar ilmu olah senjata. Tetapi mereka-pun berusaha untuk meningkatkan daya tahan mereka dengan latihan-latihan yang berat, namun teratur dengan tuntutan para cantrik. Diluar latihan-latihan itu, mereka-pun mempergunakan sesaat pagi hari menjelang bekerja di sawah untuk meningkatkan daya tahan mereka pula.
Sementara itu, beberapa orang anak muda di hari-hari terakhir melihat orang-orang yang tidak dikenal berjalan hilir mudik di Kabuyutan Bumiagara, terutama di padukuhan induk. Meskipun mereka menjadi curiga, tetapi anak-anak muda itu tidak mengambil tindakan sebelum mereka melaporkannya kepada Ki Buyut atau salah seorang bebahu Kabuyutan. Ketika seorang anak muda menyampaikan hal itu kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut-pun menjadi berdebar-debar.
“Apakah nampaknya orang itu seorang prajurit Kediri?” bertanya Ki Buyut.
Anak muda itu menggeleng. Katanya, “Agaknya orang itu bukan seorang prajurit. Meskipun orang itu bertubuh tinggi tegap dan kekar, tetapi sikapnya bukan sikap seorang prajurit.”
“Awasi jika ada orang yang mencurigakan. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa mengambil tindakan,” berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah di hari berikutnya, seorang anak muda yang kebetulan berjalan dengan seorang cantrik Padepokan Bajra Seta yang ada di Bumiagara itu bertemu lagi dengan orang yang menarik perhatian. Meskipun jalan induk Kabuyutan Bumiagara itu memang ramai dilewati orang dari tempat yang lain, namun sikap orang yang agaknya memperhatikan keadaan sekelilingnya itu agak mencurigakan.
“Kita temui orang itu” berkata anak muda yang berjalan bersama seorang cantrik itu.
“Jangan,” jawab cantrik itu, “Seandainya orang itu berniat buruk, kita tidak dapat membuktikannya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut menjadi semakin bersungguh-sungguh menanggapinya.
“Mungkin orang-orang Larah,” berkata cantrik itu, “Menilik sikap dan pandangan matanya yang kasar.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Agaknya orang-orang Larah telah mendendam kepada kita.”
Karena itulah, maka Ki Buyut memerintahkan untuk meningkatkan kesiagaan. “Tidak usah berlebihan. Tetapi gardu-gardu parondan harus terisi. Alat uatuk memberikan isyarat harus tersedia.”
“Namun ada kalanya kita justru tidak mempergunakan isyarat itu,” berkata Ki Buyut, “Mungkin kita ingin menjebak seseorang atau sekelompok orang.”
Anak-anak muda itu-pun mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka pengawasan di malam hari menjadi semakin meningkat. Tetapi yang nampak digardu-gardu tidak lebih dari beberapa orang anak muda yang terkantuk-kantuk.
Di hari yang telah direncanakan, maka orang-orang Larah bersama para gegedug telah berkumpul menjelang senja. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya yang akan mereka bawa ke Bumiagara, terutama senjata mereka. Senjata bagi mereka akan dapat berarti nyawa.
Dengan dibakar oleh dendam, maka orang-orang Larah telah berangkat menuju ke Bumiagara ketika malam mulai turun. Mereka memecah diri menjadi beberapa kdompok kecil agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian, apabila ada orang yang kebetulan melihat.
Namun beberapa orang di antara mereka sama sekali tidak berkepentingan dengan dendam orang-orang Larah. Bagi mereka, Bumiagara memang satu sumber yang akan dapat memberikan banyak kemungkinan. Mungkin uang. Tetapi mungkin juga barang-barang berharga. Orang-orang Bumiagara memang banyak yang menjadi saudagar yang berhasil.
Mendekati tengah malam, maka orang-orang Larah serta beberapa orang gegedug itu telah memasuki Kabuyutan Bumiagara. Mereka memang memilih mengikuti jalan-jalan bulak dan bahkan menyusuri pematang dan tanggul-tanggul parit untuk menghindari padukuhan-padukuhan, langsung menuju ke padukuhan induk Bumiagara.
Namun orang-orang Bumiagara yang berada di gubug-gubug disawah yang memang dipasang oleh para bebahu, sempat melihat mereka. Seperti yang sudah direncanakan, maka mereka-pun segera pergi ke padukuhan terdekat untuk memberitahukan kedatangan kelompok-kelompok yang tidak mereka kenal sebelumnya.
“Tentu bukan prajurit Kediri,” berkata salah seorang Bekel yang mendengar laporan itu, “Prajurit Kediri yang memberontak itu tidak akan datang dengan diam-diam. Mereka tentu akan datang dalam ujud pasukan yang utuh.”
Kesimpulan Ki Bekel adalah, bahwa yang datang itu tentu orang-orang Larah yang mendendam, sebagaimana diduga sebelumnya. Dengan begitu maka Ki Bekel bersama lima orang anak muda yang telah meningkatkan kemampuan mereka, serta mempunyai senjata khusus dari Padepokan Bajra Seta sudah berangkat meninggalkan padukuhan mereka.
Dengan hati-hati mereka telah menyusuri jalan langsung menuju ke padukuhan induk. Justru memilih jalan yang akan melintasi beberapa padukuhan. Jalan yang tentu tidak dipilih oleh orang-orang Larah dan beberapa orang gegedug itu. Di setiap padukuhan, Ki Bekel telah memberitahukan, bahwa beberapa kelompok kecil orang yang tidak dikenal telah menuju ke padukuhan induk...
Oleh karena itu, maka Senapati itu-pun kemudian sudah membuat perhitungan. Baginya lebih baik memecahkan sumbatan regol padepokan itu daripada harus bertahan terhadap pasukan Singasari.
Karena itu, maka ia-pun segera memerintahkan prajuritnya untuk menembus penjagaan para cantrik di regol padepokan itu dengan sepenuh kekuatan, meskipun para prajurit itu juga harus menjaga agar mereka tidak dibantai oleh para prajurit Singasari. Dengan demikian maka hentakan kekuatan prajurit Kediri itu ditujukan kepada para cantrik yang ada di regol padepokan.
Para prajurit Kediri yang setengah putus asa itu justru seperti orang yang sedang mabuk. Mereka tidak lagi mampu berpikir. Yang mereka lakukan seakan-akan sekedar mengikuti perintah yang diteriakkan oleh pemimpin mereka tanpa memperhitungkan kemungkinan apa-pun juga. Bahkan para Senapati Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri itu telah memberikan pesan kepada para prajuritnya, bahwa kematian sebenarnya lebih baik daripada mereka harus ditawan oleh lawan, siapa-pun lawan mereka. Pengertian itulah yang melandasi sikap mereka, apalagi dalam keadaan hampir putus asa.
Namun karena itulah, maka hentakkan kekuatan mereka benar-benar mengejutkan. Para cantrik yang ada di regol yang membendung gerak mundur para prajurit Kediri itu terkejut. Para prajurit itu sama sekali tidak menghiraukan lagi senjata yang terjulur. Meskipun mereka juga berusaha menepis ujung-ujung senjata, namun mereka lebih mendesak dengan perisai-perisai atau bahkan dengan dada mereka ujung senjata yang teracu itu. Dengan demikian, maka sesaat para cantrik itu terdesak. Mereka memang tidak mengira bahwa mereka akan mendapatkan serangan membabi buta seperti itu.
Tetapi dengan demikian regol yang ditutup dengan kekuatan senjata para cantrik itu seakan-akan menjadi terbuka. Sehingga dengan demikian, maka seperti bendungan yang koyak, maka air-pun segera mengalir dengan derasnya. Para prajurit yang berhasil keluar dari regol utama padepokan itu-pun segera menghambur berlari bercerai berai.
Ketika para cantrik akan mengejar mereka, Mahisa Murti telah memberikan perintah, “Jangan hiraukan mereka yang melarikan diri. Tetapi tahan mereka yang masih ada di dalam regol.”
Sebenarnyalah para cantrik itu mengurungkan niatnya untuk mengejar prajurit Kediri yang melarikan diri. Namun mereka kembali berusaha untuk menutup regol agar yang masih ada di dalam tidak dapat melarikan diri. Dengan demikian, maka para prajurit itu memang mengalami kesulitan untuk keluar dari regol. Para cantrik, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau didorong lagi sehingga para prajurit itu dapat menembus pertahanan mereka.
Meskipun demikian, ternyata satu dua orang prajurit memang mampu melepaskan diri. Tetapi kemudian regol itu bagaikan telah tertutup mati, sementara prajurit Singasari-pun telah mendesak mereka dan berusaha untuk menghancurkan mereka.
Sementara itu, Senapati prajurit Singasari itu masih sempat meneriakkan aba-aba, “Menyerahlah. Kami masih mempertimbangkan untuk tidak membunuh para tawanan.”
Para prajurit Kediri memang sudah tidak mempunyai pilihan lagi. Senapati prajurit Kediri itu-pun benar-benar tidak mempunyai jalan lain untuk mengakhiri pertempuran itu kecuali menyerah. Jika pasukan Kediri itu tidak menyerah, maka mereka akan dapat ditumpas habis oleh para prajurit Singasari.
Karena itu, dengan perhitungan bahwa beberapa orang di antara mereka telah meloloskan diri sehingga akan dapat memberikan laporan kepada pimpinan mereka yang lebih tinggi dari antara para pemimpin Kediri yang tidak mau tunduk kepada Sri Baginda, maka Senapati dari Kediri itu-pun telah memerintahkan para prajuritnya untuk menyerah. Dengan demikian maka pertempuran-pun telah terhenti. Kedua belah pihak telah menahan diri untuk tidak menggerakkan senjata mereka.
Namun Senapati dari Singasari itu-pun memerintahkan mereka yang menyerah untuk meletakkan senjata. Tidak ada pilihan lain. Para prajurit Kediri itu-pun telah meletakkan senjata mereka. Dengan demikian, maka para prajurit Kediri itu-pun telah menjadi tawanan Singasari. Mereka harus tunduk kepada segala perintah yang diberikan oleh Senapati dari Singasari. Sementara senjata-senjata mereka telah dikumpulkan di salah satu ruangan di dalam padepokan itu.
Dengan penyerahan itu, maka pertempuran di padepokan itu-pun telah selesai. Para tawanan telah digiring dibawa ke pendapa bangunan induk padepokan Bajra Seta diawasi oleh para prajurit Singasari.
Sementara itu beberapa orang cantrik telah menjadi sibuk mengumpulkan mereka yang terluka dan mereka yang gugur di peperangan. Demikian pula para prajurit Singasari. Sedang para tawanan-pun telah diperintahkan untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang luka sehingga tidak mampu untuk bangkit dan berjalan sendiri.
Namun dalam pada itu, tanpa diduga oleh mereka yang ada di padepokan Bajra Seta, ternyata beberapa saat kemudian, telah datang beberapa orang anak muda sambil membawa beberapa orang prajurit yang dapat mereka tangkap selagi para prajurit itu melarikan diri. Demikian pula beberapa orang cantrik yang semula dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Mereka datang tidak pada waktu yang bersamaan, tetapi mereka datang berurutan.
Senapati dari Singasari dan para prajuritnya merasa heran bahwa hal seperti itu telah terjadi. Demikian pula Senapati Kediri yang tertawan. Seperti juga para prajurit Kediri yang lain mereka menjadi berdebar-debar. Jika saja tidak ada seorang-pun di antara mereka yang lepas, maka tidak ada orang yang dapat memberikan laporan tentang keadaan mereka.
Ketika anak-anak muda itu diterima oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para perwira dari Singasari, maka mereka mengatakan, bahwa mereka terlambat menyadari, bahwa padepokan Bajra Seta telah diserang.
“Meskipun demikian,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu, “Kami tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan hati-hati kami berusaha mendekati padepokan ini. Kami tidak tahu keseimbangan kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan para penyerangnya. Namun kami tidak mendengar isyarat apa-pun dari padepokan seandainya padepokan ini memerlukan bantuan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja kami melihat beberapa orang melarikan diri dari padepokan.”
“Apakah kalian dapat menangkap semua orang?” bertanya Senapati dari Singasari.
“Tidak. Tetapi sebagian besar dari mereka dapat kami tangkap,” jawab anak muda itu.
Senapati dari Singasari itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka yang lolos itu tentu akan dapat menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Kediri. Tetapi apa boleh buat. Memang sulit untuk dapat menangkap semua orang tanpa seorang-pun yang meloloskan diri.
Mahisa Murti-pun kemudian telah mengucapkan terima kasih kepada anak-anak muda itu. Dengan nada dalam ia berkata, “Telah datang sepasukan prajurit dari Singasari, sehingga kami kali ini tidak minta bantuan kalian.”
7777Seorang di antara para pemimpin dari anak-anak muda itu kemudian berkata, “Sebenarnya kami telah bersiap untuk menyerbu masuk ke dalam padepokan. Kami menjadi cemas bahwa lawan datang terlalu banyak, sehingga padepokan Bajra Seta tidak sempat membunyikan isyarat.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kami mempunyai beberapa kentongan. Jika kami memerlukan, maka kami tentu akan dapat membunyikannya. Setidak-tidaknya satu di antara beberapa kentongan yang tersebar dibeberapa tempat.”
“Syukurlah,” sahut anak muda itu, “Apalagi sepasukan prajurit dari Singasari telah ada di sini. Tetapi darimana Singasari mengetahui mengetahui bahwa akan datang serangan hari ini?”
“Sebenarnya kami tidak tahu saat yang tepat. Kami mendapat keterangan dari seseorang, sementara petugas sandi kami juga mendapatkan keterangan, sehingga keterangan-keterangan itu dapat kami padukan. Kami berkesimpulan bahwa kami harus datang secepatkan ke padepokan ini. Ternyata kami datang tepat pada waktunya, sehingga kami hampir saja terlambat.” jawab Senapati prajurit Singasari itu.
“Jika para prajurit Singasari terlambat, maka penghuni padepokan ini dapat membunyikan isyarat. Kami, anak-anak muda dari padukuhan di sekitar padepokan ini tentu akan segera membantu.” desis anak muda itu.
“Terima kasih,” sahut Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Senapati dari Singasari itu bertanya, “Apakah kalian juga memiliki pengalaman bertempur?”
“Ya. Kami beberapa kali telah ikut bertempur. Padepokan ini seakan-akan merupakan bagian dari Kabuyutan kami. Apalagi kami telah banyak menyadap ilmu dari padepokan ini. Bukan saja latihan-latihan oleh kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Kami dapat meningkatkan hasil sawah kami, pategalan kami serta petunjuk tentang perternakan dan membuat kolam-kolam ikan,” jawab anak muda itu, “Karena itu, maka kami dan padepokan Bajra Seta memang tidak dapat dipisahkan lagi. Apalagi padepokan ini-pun telah. beberapa kali menolong menyelamatkan padukuhan-padukuhan di Kabuyutan kami.” jawab anak muda itu.
“Lalu apalagi,” desis Mahisa Pukat sambil tersenyum.
Tetapi anak muda itu berkata, “Aku berkata sebenarnya. Singkatnya, kami berhutang budi terhadap padepokan ini. Dan hutang itu semakin lama menjadi semakin besar sehingga tidak akan mungkin terbayar lagi.”
Senapati dari Singasari itu mengangguk-angguk. Ia percaya kepada anak muda itu. Terbukti mereka telah datang dalam kelompok yang cukup besar. Jika anak-anak muda itu tidak merasa berhutang budi, maka mereka tidak akan bersedia untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam jiwa mereka sebagaimana peperangan yang baru saja terjadi.
Namun dengan demikian para prajurit Singsari melihat, bahwa sebenarnyalah padepokan Bajra Seta telah mampu menggalang kekuatan yang cukup besar. Jika mereka sempat mengumpulkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekeliling padepokan mereka dalam waktu yang cukup, maka akan dapat disusun satu kekuatan yang sangat besar.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan itu minta diri untuk menarik sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan-padukuhan mereka masing-masing. “Hanya beberapa padukuhan saja yang sempat ikut serta bersama kami,” berkata salah seorang di antara para pemimpin mereka.
“Terima kasih atas kesediaan kalian membantu kami,” desis Mahisa Murti.
Sepeninggal anak-anak muda itu, maka para prajurit Singasari telah mengumpulkan para tawanan yang baru saja diserahkan oleh anak-anak muda itu. Hari itu juga, maka para cantrik dari padepokan Barja Seta dan para prajurit yang telah gugur, serta para penyerang yang telah terbunuh, telah diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Meskipun korban terhitung kecil, tetapi padepokan Bajra Seta benar-benar telah berkabung untuk yang kesekian kalinya.
Memang setiap kali pertanyaan telah mencuat dari dasar hati para penghuni padepokan itu, kenapa setiap kali mereka harus mempertahankan diri. Namun ternyata bahwa persoalan yang kadang-kadang tidak diduga sebelumnya telah mencengkam padepokan itu, sehingga akibatnya akan dapat berkepanjangan.
Para prajurit Singasari itu tidak tergesa-gesa meninggalkan padepokan Bajra Seta. Mereka masih harus mengatur, apa yang akan mereka lakukan dengan tawanan-tawanan itu. Pada dasarnya para tawanan, terutama para prajurit Kediri, memang harus dibawa ke Singasari. Tetapi bagaimana dengan mereka yang terluka, yang tidak mampu melakukan perjalanan yang memang agak panjang.
“Biarlah untuk sementara mereka ada di sini,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “Kapan-kapan mereka dapat dijemput. Dalam waktu dua tiga pekan, mereka tentu sudah menjadi lebih baik, sehingga akan dapat melakukan perjalan ke Singasari. Namun jika mereka dibiarkan lebih lama lagi, kami juga tidak berkeberatan.”
“Apakah mereka tidak berbahaya?” bertanya Senapati prajurit Singasari.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Para tawanan itu terdiri dari para prajurit. Namun mereka sama sekali sudah tidak bersenjata. Apalagi mereka telah terluka. Karena itu, maka Mahisa Murti-pun berkata, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya untuk menjaga mereka agar mereka tidak menjadi berbahaya. Kami dapat menempatkan mereka setelah mereka menjadi agak baik, di tempat yang terpisah.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kami akan membawa para tawanan yang mampu menempuh perjalanan ke Singasari. Selebihnya, aku titipkan di sini. Aku dapat meninggalkan sekelompok prajurit untuk membantu mengawasi para tawanan, meskipun makan dan minumnya akan menjadi beban padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Seberapa banyaknya makan dan minum bagi sekelompok kecil prajurit.”
Senapati itu-pun tertawa pula. Dengan demikian maka mereka sepakat, para tawanan yang terluka akan ditinggalkan di padepokan itu. Sekelompok prajurit juga akan ditinggalkan untuk membantu menjaga para tawanan itu. Meskipun mereka terluka, maka para prajurit Kediri itu memerlukan pengawasan dari para prajurit pula yang sedikit banyak akan dapat mengenali tingkah laku mereka.
Prajurit Singasari itu setelah bermalam tiga malam di padepokan setelah pertempuran itu berlangsung, telah meninggalkan padepokan itu dengan membawa para tawanan, sebagaimana pernah mereka lakukan. Sebuah iring-iringan yang berjalan lamban, karena para tawanan itu harus berjalan kaki meskipun para prajurit itu berkuda.
Dalam pada itu, para prajurit yang tinggal, telah mengatur diri bersama-sama dengan para cantrik menjaga para tawanan yang ditinggalkan oleh para prajurit Singasari. Para prajurit itu dalam waktu sebulan akan kembali mengambil para tawanan yang diperkirakan sudah menjadi semakin baik dan. bahkan sudah sembuh dari luka-luka mereka.
Namun, selain membantu menjaga para tawanan, maka pemimpin sekelompok prajurit yang ditinggalkan itu telah menganjurkan, agar padepokan Bajra Seta dapat membentuk satu kesatuan yang terdiri dari anak-anak muda di sekitar padepokan itu.
“Susunan kesatuan itu dapat meniru susunan di lingkungan keprajuritan,” berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya pula, “Tetapi hanya susunannya saja. Ada-pun ikatan kewajibannya tentu saja tidak seperti di lingkungan keprajuritan. Segalanya dapat dibuat jauh lebih longgar, sehingga tidak mengganggu kerja dan kehidupan mereka sehari-hari. Namun dengan ikatan yang longgar itu, segala sesuatunya akan dapat dilakukan dengan lancar. Khususnya jika terjadi sesuatu, baik atas padepokan Bajra Seta, mau-pun atas padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini, maka kesiagaan itu tentu akan sangat membantu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat bertanya, “Apakah maksud Ki Sanak disusun tataran kesatuan di padukuhan-padukuhan?”
“Ya. Disetiap padukuhan terdapat seorang pimpinan yang bertanggung jawab. Kemudian seluruh kekuatan yang ada dipadukuhan itu dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dengan tataran tugas dan kewajiban yang berbeda. Anak-anak muda di kumpulkan dalam satu kesatuan. Orang-orang yang sudah berkeluarga tetapi masih muda dan mampu untuk turun ke arena jika diperlukan, dikelompokkan tersendiri. Kemudian orang-orang yang lebih tua, yang hanya dipersilahkan untuk tampil dalam keadaan yang sangat terpaksa. Masing-masing dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang dapat digerakkan di saat-saat yang mendesak,” berkata pemimpin sekelompok prajurit Singasari itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Mereka memang sependapat dengan pemimpin sekelompok prajurit itu. Tetapi segala sesuatunya juga tergantung pada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan. Bahkan segala sesuatunya itu harus mendapat persetujuan dari Ki Buyut sendiri.”
“Tetapi kami dapat mencobanya,” berkata Mahisa Pukat.
“Ki Buyut seharusnya tidak akan menolak. Sebab, tatanan itu akan menguntungkan Kabuyutan pula. Jika terjadi sesuatu di satu padukuhan, maka dengan isyarat tertentu, padukuhan-padukuhan yang lain akan dengan cepat dapat membantu. Anak-anak muda dikirimkan kepadukuhan yang memerlukan, sementara orang-orang muda dan yang lebih tua dapat berjaga-jaga di padukuhan masing-masing. Dengan demikian, agaknya pengamanan Kabuyutan akan dapat menjadi semakin rancak.” berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya, “Sebenarnyalah, bahwa kali ini kebetulan prajurit Singasari mendapat petunjuk datangnya serangan atas padepokan ini. Jika tidak, maka dengan ikatan yang disusun di setiap padukuhan, maka mereka akan segera dapat membantu.”
“Ya,” Mahisa Murti-pun mengangguk-angguk pula, “Jumlahnya-pun tentu akan memadai.” ia berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi hanya beberapa padukuhan terdekat sajalah yang telah banyak mengirimkan anak-anak mudanya belajar di padepokan ini. Antara lain dalam olah kanuragan.”
“Bukankah padepokan ini dapat menawarkan kepada Ki Buyut untuk mengirimkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang lain? Meskipun tidak bersama-sama, tetapi sekelompok-sekelompok kecil bergantian tentu sudah cukup baik,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud pimpinan prajurit Singasari itu. Jika usaha untuk menyusun tataran kesatuan seperti itu berhasil, maka padepokan itu serta seluruh Kabuyutan akan menjadi satu keutuhan kekuatan yang cukup memadai. Bukan saja untuk bertempur melawan kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan padepokan itu, tetapi juga tangan-tangan yang jahat yang ingin merambah seisi Kabuyutan. Mungkin gerombolan-gerombolan penjahat yang membidik sasaran di dalam lingkungan Kabuyutan itu. Bahkan sampai ke padukuhan yang paling ujung sekali-pun.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin mencoba sebagaimana dianjurkan oleh pemimpin prajurit Singasari yang ditinggalkan di padepokan itu. Di hari-hari berikutnya maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghubungi Ki Buyut untuk menyatakan rencananya. Seperti yang diduga oleh pemimpin sekelompok prajurit yang tinggal di padepokan itu, Ki Buyut menyambut rencana itu dengan senang hati.
“Aku menyesali tingkah laku Buyut Bumiagara itu,” berkata Ki Buyut ketika ia bertemu dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Seharusnya ia berbuat lebih baik. Tetapi ia memilih jalan yang kasar itu.”
“Kami-pun sangat menyesal Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi apa boleh buat.”
“Ya. Kami dapat mengerti, kenapa angger berdua mengambil jalan itu, karena memang tidak ada jalan lain yang dapat kalian tempuh,” sahut Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Namun sementara itu, Ki Buyut telah menyerahkan rencana yang diajukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu untuk dilaksanakan.
“Kami akan membentuk sejauh dapat kami lakukan, karena hal itu akan langsung menyangkut kedudukan Kabuyutan ini.” berkata Ki Buyut kemudian.
Untuk melaksanakan rencana itu, maka atas perintah Ki Buyut, para Bekel-pun telah berusaha untuk membantu sejauh dapat mereka lakukan di padukuhan mereka masing masing.
Sementara itu Ki Buyut Bumiagara menjadi semakin bersakit hati atas kegagalan yang dialami oleh para prajurit Kediri dan para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Bahkan Ki Buyut Bumiagara itu telah mendendam gurunya pula yang tidak bersedia membantunya, meskipun gurunyalah yang telah menghubungi Singasari.
Namun untuk sementara Ki Buyut justru harus menerima keadaan itu. Ia sudah merasa beruntung, bahwa ia termasuk salah satu dari antara mereka yang jumlahnya hanya sedikit, yang berhasil melarikan diri dan tidak tertangkap oleh anak-anak muda yang berusaha untuk membantu padepokan Bajra Seta.
Namun dengan demikian, ia percaya, bahwa kekuatan padepokan Bajra Seta memang cukup besar. Tanpa para prajurit Singasari-pun Bajra Seta akan mampu mengerahkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya sebagaimana dikatakan oleh gurunya.bBahkan Ki Buyut dari Bumiagara itu kemudian selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Jika Bajra Seta ingin membalas dendam, maka mereka akan dapat menyerang dan menghancurkan Kabuyutannya.
Bukan saja dari padepokan Bajra Seta, tetapi juga prajurit-prajurit Kediri yang dapat saja merasa disurukkan ke dalam perapian. Bahkan juga padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu. Sementara itu saudara-saudara seperguruannya seakan-akan telah menghilang dan tidak lagi dapat ditemuinya.
Apalagi ketika Ki Buyut Bumiagara mendengar laporan, bahwa padepokan Bajra Seta tengah membenahi bukan saja kekuatan yang ada di padepokannya, tetapi kekuatan di seluruh Kabuyutan. Para pengawal telah disusun dalam kesatuan-kesatuan yang tertib dengan tataran yang mirip dengan susunan tataran kesatuan dilingkungan keprajuritan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah melupakan tingkah laku Ki Buyut dari Bumiagara. Yang dilakukan sebagaimana disarankan oleh pemimpin sekelompok prajurit Singasari yang tinggal di padepokannya, sekedar untuk berjaga-jaga.
Namun dengan demikian, setiap hari kelompok-kelompok kecil dari beberapa padukuhan yang agak jauh dari padepokan itu telah datang pula untuk mendapat tuntutan dalam olah kanuragan. Namun dalam kenyataannya, mereka tidak sekedar memperoleh tuntunan dibidang olah kanuragan, tetapi juga di bidang-bidang yang lain dari segi-segi kehidupan, sebagaimana anak-anak muda dari padepokan-padepokan yang terdekat.
Tetapi tidak semuanya dapat di tangani oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi para cantrik yang tertua-pun telah membantuinya. Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan telah diturunkan pula untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda itu.
Sementara itu Mahisa Amping-pun telah semakin rajin menempa diri. Anak itu menjadi semakin merasa bahwa ia tidak dapat lagi semata-mata menggantungkan diri kepada orang lain untuk mengatur waktu dan kesempatan bagi dirinya sendiri. Apalagi pada saat-saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai banyak kesibukan. Dalam setiap kesempatan dipergunakannya untuk berlatih di dalam sanggar. Bahkan kadang-kadang Mahisa Amping tidak mengenal waktu tenggelam dalam latihan-latihan yang berat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menjadi cemas melihat anak itu. Keduanya justru harus menghambat, agar Mahisa Amping memperhitungkan kemampuan wadagnya. Setiap kali keduanya memberikan petunjuk-petunjuk Mahisa Amping selalu mengiyakannya. Ia-pun nampak bersungguh-sungguh memperhatikan petunjuk itu.
Tetapi jika ia sudah berada di dalam sanggar, maka ia sudah lupa segala-galanya. Apalagi jika ia berusaha untuk meningkatkan kemampuan ilmu pedangnya. Ia-pun telah berlatih khusus dengan luwuknya. Bukan saja dengan pisau belati di tangan. Namun Mahisa Amping memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerang dengan pisau belati dari jarak tertentu.
Anak itu bahkan telah berusaha mengembangkan kemampuannya dengan pisau-pisau yang lebih kecil. Bahkan pisau apa saja. Tangannya menjadi sangat terampil untuk melontarkannya. Demikian ia meraba sebilah pisau, maka ia-pun langsung dapat mengenali keseimbangannya. Jika ia melontarkannya kesasaran, maka pisau itu tentu akan hinggap. Apalagi pisau belatinya sendiri. Pisau belati yang dikenalnya dengan baik.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap agar anak itu benar-benar akan menjadi anak yang bukan saja memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Namun juga bertanggung jawab atas kelebihannya itu. Anak itu selalu menyadari akan dirinya danm kehadirannya sebagai titah Yang Maha Agung.
Sementara Mahisa Amping meningkatkan kemampuannya, maka setiap hari telah datang ke padokan itu kelompok-kelompok kecil dari padukuhan-padukuhan yang agak jauh. dari padepokan itu. Para Bekel telah mengirimkan mereka sesuai dengan perintah Ki Buyut yang ingin membuat rakyatnya lebih baik dari sebelumnya. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga dibidang-bidang lainnya yang menyangkut segi-segi kehidupan. Termasuk pengetahuan dan ketrampilan yang langsung dapat mereka trapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam pada itu, kegiatan itu benar-benar telah mencemaskan Ki Buyut Bumiagara. Beberapa orang bebahu telah memberikan laporan kepadanya, bahwa padepokan Bajra Seta dan seisi Kabuyutan telah mempersiapkan diri mereka. Bajra Seta tentu akan segera datang untuk membalas dendam dengan membawa kekuatan yang sangat besar.
“Apakah kalian melihat tanda-tanda itu?” bertanya Ki Buyut.
“Tentu,” jawab bebahu itu. “Aku sendiri telah memasuki lingkungan Kabuyutan itu. Kegiatan anak-anak mudanya semakin hari menjadi semakin meningkat.”
Ki Buyut Bumiagara memang menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia mendapat laporan tentang padepokan Bajra Seta, maka jantungnya serasa akan terlepas. Apalagi ketika pada suatu hari datang dua orang prajurit Kediri. Rasa-rasanya darahnya sudah tidak mengalir lagi di tubuhnya.
“Ki Buyut tidak usaha menjadi ketakutan,” berkata salah seorang di antara kedua prajurit itu, “Aku hanya memberitahukan bahwa hampir semua prajurit yang kita kirimkan ke padepokan Bajra Seta telah tertawan. Adalah satu keuntungan bahwa Ki Buyut mampu meloloskan diri dari tangan para prajurit Singasari dan para cantrik dari padepokan Bajra Seta.”
Mulut Ki Buyut Bumiagara bagaikan telah membeku. Sementara prajurit itu berkata, “Kami tidak akan mendendammu. Kami hanya memberitahukan bahwa kekuatan kami telah dihancurkan mutlak di padepokan Bajra Seta. Kekuatan yang sebenarnya sangat kami butuhkan.”
“Sama sekali bukan niatku untuk menyurukkan kekuatan Kediri itu kedalam kesulitan. Aku benar-benar tidak tahu perbandingan kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan kekuatan yang telah kami himpun,” berkata Ki Buyut Bumiagara dengan suara gemetar.
“Kami juga tidak menuduhmu melakukannya. Kami-pun merasa bahwa kami kurang berhati-hati sehingga kami datang memasuki sarang ular berbisa,” berkata prajurit itu, “Tetapi kami-pun menyadari, bahwa jika kalian tidak menghendaki kami melakukannya, maka kami tidak akan datang ke padepokan Bajra Seta.”
“Tetapi, kami hanya sekedar minta tolong. Bukankah kita mempunyai kepentingan bersama?” suara Ki Buyut itu menjadi semakin gegap.
“Kepentingan bersama?” prajurit itu tersenyum.
Namun senyumnya itu rasa-rasanya telah menusuk ke dalam jantung Ki Buyut Bumiagara. Tetapi kedua orang prajurit itu tidak lama berada di Bumiagara. Keduanya-pun kemudian minta diri. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan dipikirkan lagi apa yang sudah terjadi. Tetapi pikirkanlah apa yang akan terjadi. Hati-hatilah mengambil sikap.”
Wajah Ki Buyut menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat menjawab apa-pun juga selain berdiri termangu-mangu sambil memandang kedua orang prajurit yang melangkah pergi itu. Namun sebenarnyalah, jantung Ki Buyut Bumiagara seakan-akan telah terhenti berdenyut ketika seorang di antara keduanya berpaling sambil tersenyum kepadanya.
Ki Buyut Bumiagara tidak tahu pasti, apakah maksud para prajurit itu datang kepadanya. Apakah benar mereka sekedar ingin memberitahukan kekalahan mereka atau justru salah satu langkah yg akan dapat mempunyai akibat buruk baginya dikemudian hari. Namun, kehadiran prajurit-prajurit Kediri itu dapat membuat Ki Buyut semakin gelisah, sehingga untuk beberapa malam Ki Buyut itu selalu dihantui oleh mimpi buruk.
Apalagi ketika beberapa hari kemudian, telah datang pula dua orang prajurit Kediri. Tetapi bukan dua orang yang pernah datang sebelumnya. Dengan jantung yang berdegupan Ki Buyut telah menemui kedua orang prajurit itu. Seperti kedua orang prajurit yang datang sebelumnya keduanya nampak ramah dan berwajah cerah. Beberapa saat setelah mereka berbincang-pun tidak ada tanda-tanda bahwa kedua orang prajurit itu akan mengambil satu sikap yang dapat mengguncang ketenangan hidup di Kabuyutan Bumiagara.
Namun beberapa saat kemudian, maka salah seorang dari antara kedua orang prajurit itu berkata, “Ki Buyut. Kedatanganku kemari, benar-benar tidak ingin mengingatkan apa yang pernah terjadi. Kegagalan Ki Buyut menangkap seorang cantrik dari Bajra Seta di tengah-tengah Kabuyutan ini sendiri, serta kegagalan pasukan kami yang pergi ke padepokan Bajra Seta. Namun yang ingin kami sampaikan adalah justru rencana kami selanjutnya. Tentu Ki Buyut Bumiagara tahu, bahwa kami, sebagian prajurit Kediri tidak sependapat dengan sikap Sri Maharaja di Kediri dalam hubungannya dengan Singasari. Karena itu, maka kami berpendapat, bahwa pada suatu saat, yang akan terjadi adalah perang antara Kediri dan Singasari. Namun sebelum perang itu terjadi, maka di Kediri sendiri akan terjadi pergolakan yang berat. Mungkin masih akan terjadi para pemimpin Kediri justru berpihak kepada Singasari.”
Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja, betapa-pun jantungnya masih saja berdegup keras.
“Nah Ki Buyut,” berkata salah seorang prajurit itu, “Pada saat itulah kami memerlukan bantuan Ki Buyut Bumiagara.”
“Bantuan apa yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Ki Buyut dengan suara sendat.
“Tentu bukan bantuan prajurit, karena anak-anak padukuhan ini tentu belum memiliki ketrampilan yang cukup. Meskipun demikian pada saat yang paling gawat, kami memang membutuhkan banyak tenaga. Bukan saja untuk berperang, tetapi untuk membantu peperangan. Misalnya membawa bahan makanan, membawa senjata cadangan, obat-obatan dan kepentingan-kepentingan perang yang lain. Kawan-kawan kami yang dapat membantu melakukan hal itu sudah banyak yang terbunuh di padepokan Bajra Seta. Karena itu, apabila diperlukan, kami terpaksa minta bantuan Ki Buyut. Jika kelak terjadi perang antara Kediri dan Singasari, maka kami akan datang untuk minta beberapa puluh anak-anak muda Bumiagara untuk bersama-sama dengan kami berjuang demi tegaknya wibawa Kediri.”
“Tetapi Bumiagara bukan tlatah Kediri,” jawab Ki Buyut dengan ragu-ragu.
Kedua prajurit itu tertawa. Yang seorang lagi berkata, “Apa peduliku, apakah Bumiagara termasuk Kediri atau bukan? Bagi kami, apakah anak-anak muda Bumiagara itu anak-anak muda Kediri atau Singasari, bukan menjadi soal. Yang menjadi soal bagi kami adalah, bahwa kami kekurangan tenaga. Bahkan seandainya Bumiagara ini bukan termasuk wilayah Kediri, namun kami akan menganggap daerah ini tetap daerah Kediri.” prajurit itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Maksudku, jika daerah ini daerah Kediri, maka kita akan bersama-sama berjuang. Selain tenaga, Bumiagara tentu dapat membantu bahan makanan yang banyaknya akan kami tentukan kemudian. Kabuyutan ini harus menyerahkan berapa pedati beras dan jagung kepada kami. Namun jika kami menganggap bahwa Bumiagara adalah daerah Singasari, maka sudah tentu kami akan bersikap bermusuhan. Bumiagara akan kami jadikan karang abang. Kami dapat membunuh semua isinya, karena kami bermusuhan. Karena dapat merampas emas dan harta benda yang berharga yang ada di padukuhan ini. Dan apa saja yang ingin kami lakukan akan dapat kami lakukan di daerah musuh kami. Nah, terserah kepada Ki Buyut, Bumiagara akan berdiri di mana.”
Ki Buyut benar-benar menjadi bingung. Kedua-duanya bukan pilihan yang menarik. Ia memang menjadi kecewa mengingat akibat yang sangat buruk itu dari satu rencana yang justru gagal sepenuhnya. Tetapi Ki Buyut tidak berani menentang. Jika Bumiagara menentang, maka akibatnya tentu sebagaimana dikatakan oleh prajurit itu. Bumiagara akan menjadi karang abang. Api akan menari-nari di seluruh Kabuyutan, sementara darah akan berceceran di jalan- jalan dan di halaman rumah. Maut akan mencengkam seisi Kabuyutan ini.
Salah seorang prajurit yang melihat Ki Buyut menjadi bingung berkata, “Kami bukannya datang untuk minta persetujuan. Tetapi kami datang untuk memberitahukan keputusan kami yang harus dan pasti kami laksanakan. Kami berharap bahwa Kabuyutan Bumiagara akan segera menyesuaikan diri, sehingga pada saatnya seisi Kabuyutan ini tidak akan terkejut lagi.”
Ki Buyut benar-benar kehilangan nalar. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Tetapi kedua prajurit itu tidak lama tinggal di Kabuyutan Bumiagara. Dengan sikap yang tetap ramah dan manis keduanya-pun kemudian minta diri. Sambil membungkuk hormat seorang di antaranya berkata, “Maaf Ki Buyut. Jangan salah mengartikan kata-kata kami. Pada saatnya kami akan datang menjemput anak-anak muda itu. Selebihnya, kami akan mengambil beras dan jagung sesuai dengan kebutuhan kami.”
Sebelum Ki Buyut menjawab, prajurit yang lain-pun berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja sama yang selama ini telah kami lakukan. Mudah-mudahan pada masa-masa mendatang, kerja sama itu akan menjadi semakin akrab.”
Ki Buyut mulutnya bagaikan membeku. Tetapi kedua prajurit itu nampaknya memang tidak menunggu jawaban. Mereka-pun segera meninggalkan Ki Buyut yang berdiri mematung. Sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki Buyut membanting dirinya, duduk di amben bambu di serambi rumahnya. Kepalanya serasa terbakar oleh persoalan yang sangat menyakitkan itu.
Apalagi tiba-tiba saja Ki Buyut itu teringat, padepokan Bajra Seta-pun telah menyiapkan pasukan yang besar untuk menghancurkan Kabuyutan Bumiagara. Mereka datang untuk membalas serangan pasukan Bumiagara yang terdiri dari para prajurit Kediri dan padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu yang justru terbunuh di padepokan Bajra Seta. Ternyata Ki Buyut tidak mampu mengatasinya sendiri. Ia-pun kemudian memanggil para bebahu dan menyampaikan gejolak perasaannya itu kepada mereka.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Membunuh diri? Atau apa?” suara Ki Buyut gemetar oleh getar di dalam dadanya.
Para bebahu itu-pun akhirnya merasa kasihan melihat keadaan Ki Buyut yang sangat menyesal atas tindakan-tindakannya. Karena itu, salah seorang di antara para bebahu itu berkata, “Sebaiknya kita mengurangi lawan. Kita tidak akan dapat berdiri di antara dua kekuatan yang besar. Prajurit-prajurit Kediri yang memberontak itu dan yang lain Padepokan Bajra Seta.”
“Maksudmu?” bertanya Ki Buyut.
“Nampaknya lebih baik kita meredam permusuhan dengan Padepokan Bajra Seta,” jawab bebahu itu.
“Caranya?” desak Ki Buyut.
“Kita datang menemui pimpinan Padepokan Bajra Seta. Kita mengaku bersalah dan minta maaf. Permusuhan itu kita anggap saja sudah berlalu,” berkata bebahu itu.
Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi aku harus pergi ke Padepokan Bajra Seta?”
“Ya. Sebaiknya Ki Buyut menemui pemimpin Padepokan Bajra Seta yang masih muda itu. Ki Buyut dengan ikhlas harus minta maaf dan menghapuskan permusuhan. Dengan demikian, kita tidak harus bersiap-siap menghadapi dua lawan yang sama-sama sulit untuk dihadapi. Namun setidak-tidaknya kita dapat memusatkan perhatian kita ke satu arah saja,” berkata bebahu itu.
Sementara itu bebahu yang lain berkata, “Aku sependapat. Bahkan aku berharap Ki Buyut dengan terus terang mengatakan ancaman yang bakal datang dari prajurit-prajurit Kediri yang memberontak itu, sehingga jika kita melakukan persiapan-persiapan, Padepokan Bajra Seta tidak menjadi salah paham.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sementara bebahu yang lain lagi berkata, “Tidak ada cara lain untuk menebus kesalahan itu. Ki Buyut tidak dapat sekedar menyesal atau kecewa atau berbagai macam perasaan yang lain, namun tidak berbuat apa-apa. Karena itu, permintaan maaf kepada Padepokan Bajra Seta itu merupakan salah satu ungkapan dari penyesalan itu.”
Ki Buyut memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka ia-pun berkata, “Baiklah. Jika memang tidak ada pilihan lain. Aku akan datang menemui para pemimpin padepokan itu. Aku akan minta maaf dan berusaha untuk menghapuskan permusuhan. Mudah-mudahan para pemimpin Padepokan Bajra Seta bersedia. Jika tidak, maka harga diriku akan semakin terinjak-injak.”
“Apa artinya harga diri Ki Buyut dibandingkan dengan kepentingan seluruh Kabuyutan,” berkata bebahu yang mula-mula minta agar Ki Buyut datang ke Padepokan Bajra Seta, “Jika pada saatnya Kabuyutan ini harus musna oleh prajurit-prajurit Kediri yang memberontak, apa boleh buat. Kita semua akan mati mempertahankan kampung halaman kita. Tetapi berbeda dengan keadaan jika kita harus musna karena kemarahan Padepokan Bajra Seta. Jika para cantrik padepokan itu serta anak-anak muda seluruh Kabuyutan itu datang kemari dengan dendam di hati mereka. Meskipun kita mempertahankan kampung halaman, tetapi kampung halaman yang telah ternoda oleh ketamakan kita sendiri.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan pergi. Bahkan besok aku akan pergi ke Padepokan itu. Pagi-pagi benar aku akan berangkat, agar malam hari aku sudah berada di Kabuyutan ini. Itu jika aku tidak ditangkap dan dihukum mati di padepokan itu.”
“Aku yakin hal itu tidak akan terjadi,” berkata salah seorang bebahu. Lalu katanya, “Para pemimpin padepokan Bajra Seta dan bahkan para cantriknya bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung.”
Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Namun ia benar-benar berniat untuk pergi ke Padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa dua orang bebanu telah menyatakan diri untuk pergi bersama-sama dengan Ki Buyut. Bagaimana-pun juga, mereka tidak sampai hati melepaskan Ki Buyut pergi ke Padepokan Bajra Seta tanpa seorang kawan-pun. Seakan-akan Ki Buyut dianggap benar-benar mutlak sebagai seorang yang harus dijauhi.
Demikianlah, pagi-pagi benar Ki Buyut dan dua orang bebahu telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta. Berkuda mereka bertiga melaju dengan cepat menempuh jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak persawahan. Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu telah jauh dari Kabuyutan Bumiagara.
Namun perjalanan mereka tidak menarik perhatian. Ada beberapa orang lain yang berkuda menyusuri jalan-jalan yang dilalui oleh Ki Buyut Bumiagara. Para pedagang dan saudagar yang terbiasa pergi ke pasar-pasar yang agak jauh sekali-pun. Sementara Ki Buyut dan kedua orang bebahunya itu-pun hanya mengenakan pakaian sebagaimana dipakai orang kebanyakan.
Ki Buyut Bumiagara hanya menunduk saja ketika ia berpapasan dengan seorang saudagar yang nampaknya cukup kaya. Dikenakannya ikat pinggang, dengan timang emas dan dihiasi dengan mata berlian. Keris dengan pendok emas dan beberapa butir mata berlian pada ukirannya. Di belakangnya berkuda dua orang yang agaknya adalah pengawalnya. Kedua-duanya bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Saudagar itu sendiri juga sama sekali-tidak menghiraukan Ki Buyut Bumiagara, karena ia tidak menyangka bahwa yang berpapasan di perjalanan itu adalah seorang Buyut.
Demikianlah, ketika matahari semakin tinggi di langit, panasnya-pun semakin terasa gatal di kulit. Bahkan ketika keringat mulai mengalir, terasa panas itu semakin menggigit. Kuda Ki Buyut berlari semakin cepat. Dan jarak-pun menjadi semakin dekat. Namun Ki Buyut tidak segera pergi ke Padepokan Bajra Seta. Bersama kedua orang bebahunya, ia telah singgah di sebuah kedai di dekat pasar. Tetapi tidak di kedai yang pernah dipergunakannya untuk menemui cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang telah dibujuknya untuk pergi ke Bumiagara.
Di dalam kedai itu, Ki Buyut memang mendengar kesiagaan padukuhan-padukuhan se Kabuyutan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Seorang yang berambut putih mengatakan, bahwa anaknya setiap hari bersama-sama dengan sekelompok anak muda yang lain selalu pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk berlatih olah kanuragan.
Jantung Ki Buyut memang menjadi berdebar-debar. Kepada salah seorang bebahunya ia berbisik, “Apakah kedatanganku tidak akan merupakan langkah membunuh diri?”
“Tidak,” jawab salah seorang bebahunya, “Tanpa keyakinan itu, aku tidak akan bersedia mengantar Ki Buyut, karena apa-pun aku masih belum ingin mati.”
Ki Buyut hanya dapat mengangguk-angguk saja. Baru sejenak kemudian, ketika Ki Buyut sudah dapat menenangkan hatinya, ketiganya telah meninggalkan kedai itu menuju ke Padepokan Bajra Seta. Kedatangan mereka di Padepokan itu memang sangat mengejutkan. Apalagi Ki Buyut tidak menutupi kenyataan tentang dirinya, bahwa ia adalah Buyut dari Kabuyutan Bumiagara.
“Apa maksud Ki Buyut datang kemari?” bertanya cantrik yang bertugas di regol. Karena cantrik itu tahu, apa yang pernah terjadi antara Padepokan Bajra Seta dengan Kabuyutan Bumiagara meskipun waktu itu ia tidak ikut ke Bumiagara.
“Aku ingin berbicara dengan pimpinan kalian di Padepokan ini,” jawab Ki Buyut.
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Kami persilahkan Ki Buyut menunggu. Seorang di antara kami akan melaporkannya kepada pimpinan kami.” Ketika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, keduanya memang terkejut.
“Apa yang dikehendaknya setelah ia gagal menguasai Padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat-pun hanya dapat mengerutkan keningnya, karena ia-pun tidak tahu apa yang mendorong Ki Buyut itu datang ke padepokan mereka. Namun kedua anak muda itu-pun berkata kepada cantriknya, “Bawa Ki Buyut naik ke pendapa.”
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut-pun telah diantar naik kependapa bangunan induk padepokan Bajra Seta bersama kedua orang bebahunya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah siap menerima mereka meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Setelah menanyakan keselamatan perjalanan Ki Buyut serta keadaan Kabuyutan Bumiagara, maka Mahisa Murti-pun bertanya, “Sebenarnyalah kedatangan Ki Buyut di Padepokan Bajra Seta sangat mengejutkanku. Apakah ada hal yang sangat penting sehingga Ki Buyut sendiri memerlukan datang berkunjung ke padepokan ini?”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku datang untuk menyerahkan diri. Bukan saja aku dan kedua orang bebahu yang datang bersamaku. Tetapi seluruh Kabuyutan Bumiagara.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya, “Apakah yang Ki Buyut maksudkan dengan menyerah? Apakah Ki Buyut merasakan ada ancaman dari padepokan ini?”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu, setelah serangan yang gagal atas padepokan ini, maka Padepokan Bajra Seta telah bersiap-siap untuk membalas seranganmu. Aku tahu, padukuhan-padukuhan di seluruh Kabuyutan ini telah mengadakan latihan-latihan khusus bagi setiap orang anak muda. Pada suatu saat, maka Padepokan Bajra Seta dan Kabuyutan ini akan menyusun kekuatan yang sangat besar. Apalagi jika prajurit Singasari datang membantu, maka Kabuyutan Bumiagara akan menjadi lumat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Ki Buyut telah salah mengerti. Sama sekali bukan maksud kami untuk membalas dendam. Bahkan aku dan seisi padepokan ini telah melupakan permusuhan kami dengan Bumiagara. Karena itu, padepokan ini sama sekali tidak bermaksud menyerang Bumiagara. Apalagi sekedar membalas dendam.”
Ki Buyut termangu-mangu. Namun seakan-akan ia tidak percaya akan pendengarannya. Mahisa Pukat yang menangkap kesan di hati Ki Buyut itu berkata, “Ki Buyut. Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan Bumiagara. Bahwa kami sudah dapat mempertahankan diri, itu sudah cukup bagi kami. Apalagi kekuatan utama dari penyerangan itu adalah prajurit-prajurit Kediri yang tidak mau tunduk kepada perintah Sri Baginda di Kediri. Prajurit-prajurit yang sudah memberontak terhadap rajanya.”
“Jadi apa yang kalian lakukan selama ini?” bertanya Ki Buyut Bumiagara.
“Kami memang meningkatkan kemampuan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang ada di Kabuyutan ini. Hal itu kami lakukan sekedar untuk menjaga diri. Kami masih tetap curiga kepada sikap prajurit-prajurit Kediri yang telah memberontak itu. Pada suatu saat, jika mereka terdorong menepi oleh prajurit-prajurit yang setia kepada Sri Baginda di Kediri, maka mereka akan dapat mengintai padepokan dan Kabuyutan ini. Bahkan mungkin Kabuyutan-kabuyutan yang lain. Karena itu, maka kami telah mempersiapkan diri dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Apalagi jika prajurit Singasari tidak sempat membantu kami. Maka kami harus bersandar kepada kekuatan kami sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada kedua orang bebahu yang menyertainya, maka keduanya-pun mengangguk-angguk pula.
Sementara itu Mahisa Murti-pun berkata, “Ki Buyut. Yakinlah bahwa aku benar-benar tidak berniat untuk bermusuhan terus dengan Bumiagara. Jika Ki Buyut tidak menyerang kami, maka kami sama sekali tidak berniat untuk bertempur melawan Bumiagara.”
“Apa yang akan dapat aku pergunakan untuk menyerang,” desis Ki Buyut, “Kekuatan kami tidak ada sehitamnya kuku dibandingkan dengan kekuatan Padepokan Bajra Seta dan apalagi bersama-sama dengan kekuatan seluruh Kabuyutan.”
“Jika demikian Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Aku mengatakan yang sesungguhnya, bahwa kami sudah melupakan apa yang terjadi. Serangan itu memang melukai hati kami. Apalagi korban telah jatuh pula di antara kami. Tetapi kami sudah berhasil menangkap sebagian besar dari prajurit Kediri dan sebagian besar para cantrik yang mengaku di bawah pimpinan Empu Carang Wregu itu. Juga karena bantuan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini. Dan itu sudah cukup bagi kami. Mereka yang menyerang itu akan mendapat hukuman mereka di Singasari. Jika masih ada tawanan yang akan dibawa kemudian setelah mereka sembuh, maka sisa tugas itulah yang sedang kami lakukan.”
Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Namun ia-pun kemudian berterus terang kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa sebenarnyalah Bumiagara ada dalam ancaman para prajurit Kediri. Karena itu, maka ia ingin menghapuskan permusuhannya dengan Bajra Seta agar mereka dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit Kediri itu.
“Kami akan diperas habis-habisan. Tenaga dan bahan makanan,” berkata Ki Buyut Bumiagara, “Karena itu, kami akan memilih melawan mereka meskipun kami akan dihancurkan sama sekali.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Mungkin orang-orang Kediri yang memberontak itu ingin menjadikan Bumiagara landasan untuk menyerang Padepokan Bajra Seta.”
Ki Buyut Bumiagara termangu-mangu. Katanya, “Mereka tidak mengatakan demikian meskipun mungkin hal itu dapat saja terjadi.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “Jika Bumiagara menghendaki, kami akan berusaha membantu. Kami mempunyai beberapa jenis senjata yang baik, yang barangkali akan mampu meningkatkan kemampuan perlawanan orang-orang Bumiagara.”
“Maksud kalian?” bertanya Ki Buyut.
“Kami akan memberikan sejumlah senjata kami yang baru kepada Ki Buyut. Bukankah Ki Buyut menghendaki sejenis senjata yang baru itu?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut Bumiagara dan bahkan juga kedua orang bebahu yang menyertainya terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada pendengarannya.
Namun Mahisa Pukat menjelaskan keterangan Mahisa Murti itu, “Kami mempunyai beberapa kelebihan senjata yang baru justru karena kami sekarang dapat membuatnya sendiri. Meskipun sedikit, barangkali kami akan dapat membantu Kabuyutan Bumiagara agar jika benar-benar terjadi benturan kekerasan dengan para prajurit Kediri itu, Bumiagara mampu sedikitnya melindungi dirinya sendiri. Apalagi jika Kabuyutan Bumiagara dapat berbicara dengan Kabuyutan-kabuyutan di sekitarnya. Sehingga bersama-sama Bumiagara tentu tidak akan terlalu mudah untuk ditundukkan. Dengan senjata-senjata yang baik, maka anak-anak muda Kabuyutan Bumiagara tentu bersedia untuk melatih diri. Karena kemampuan dalam olah kanuragan itu akan sangat berarti bagi kepentingan Kabuyutan mereka.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Salah seorang bebahu yang menyertainya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan perasaannya, “Kami benar-benar terkejut mendengar tawaran itu. Ketika kami berangkat, kami sudah minta diri kepada seisi Kabuyutan seandainya kami tidak dapat kembali. Namun ternyata di sini kami justru mendapat tawaran untuk membawa senjata. Ternyata bahwa nalar dan budi kami terlalu kotor dibandingkan dengan nalar dan budi seisi padepokan Bajra Seta. Kami selalu berprasangka buruk, sementara Padepokan Bajra Seta justru sebaliknya.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “Besok kami akan menyediakan senjata-senjata yang kami janjikan. Sebaiknya Ki Buyut atau mungkin utusannya dapat datang membawa sebuah pedati. Namun aku minta salah seorang dari antara kalian bertiga ikut bersama pedati itu, karena kalianlah yang telah kami kenal dengan baik, agar senjata itu tidak jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.”
“Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga,” berkata Ki Buyut, “Besok aku sendiri akan datang bersama dengan kedua orang bebahu yang hari ini datang bersamaku.”
“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “Hari ini kami dapat memilih senjata yang paling sesuai bagi anak-anak muda Bumiagara, namun juga senjata yang telah mencukupi bagi kebutuhan kami sendiri. Yang aku maksud dengan kami bukannya sekedar para cantrik di Padepokan Bajra Seta. Tetapi juga anak-anak muda di Kabuyutan ini.”
Demikianlah setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Ki Buyut-pun minta diri. Dengan mantap ia berkata, “Aku akan pulang. Aku akan berbicara dengan seluruh penghuni Kabuyutan Bumiagara, bahwa aku masih dapat pulang dengan utuh. Bahkan aku pulang dengan membawa senjata yang sangat kami butuhkan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja. Demikianlah Ki Buyut Bumiagara itu-pun segera meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Ia menjadi tergesa-gesa, karena ia ingin segera memberitahukan kepada semua bebahu, semua Bekel dan bahkan semua penghuni Kabuyutan Bumiagara, tanggapan yang sama sekali tidak terduga dari pimpinan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan para cantrik untuk menyisihkan beberapa jenis senjata yang dimiliki oleh Padepokan Bajra Seta. Senjata yang telah mereka buat sendiri atas dasar petunjuk dari Singasari. Senjata yang termasuk ringan, tetapi memiliki kekuatan dan ketajaman yang sama dengan senjata-senjata mereka sebelumnya yang lebih berat.
Dengan ditunggui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, para cantrik telah menyisihkan dua ikat pedang dengan sarungnya, meskipun bukan sarung yang baik, tetapi memenuhi kebutuhan. Yang penting bagi mereka adalah pedangnya, bukan sarungnya. Seikat tombak bertangkai pendek. Seikat kapak yang tajam dikedua sisinya. Sejumlah perisai dan sepuluh buah keris berukuran besar.
Sebenarnya belum semua anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang mendapat bagian jenis senjata-senjata itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai perhitungan lain. Kabuyutan Bumiagara dan Kabuyutan di sekitarnya agar bangkit dan menempatkan diri dalam jajaran kekuatan Singasari untuk melawan Kediri, karena tidak dapat dipungkiri bahwa di Kediri memang terdapat kekuatan yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri. Kekuatan itulah yang dapat mengancam Singasari dan daerah kuasanya yang luas.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sependapat, bahwa Padepokan Bajra Seta akan mengirimkan lima orang cantrik terpilih untuk memberikan latihan menggunakan senjata-senjata yang baru itu.
Pemimpin prajurit Singasari yang ada di padepokan itu sependapat dengan cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membuat pagar menghadapi prajurit Kediri yang menentang kebijaksanaan Rajanya itu. Apalagi jika Kabuyutan Bumiagara dapat membujuk Kabuyutan di sekitarnya untuk saling membantu jika terjadi pemerasan yang tentu akan dilakukan oleh prajurit Kediri jika waktunya dianggap sudah tiba.
Malam itu juga, semua senjata itu-pun telah disiapkan. Dihari berikutnya Ki Buyut sendiri akan datang untuk mengambil senjata-senjata itu. Sementara para cantrik yang secara khusus mempelajarinya masih terus saja membuat yang baru.
Sementara itu Ki Buyut Bumiagara yang kembali ke Kabuyutan Bumiagara, tidak sabar menunggu terlalu lama. Karena itu, demikian ia sampai ke Kabuyutan, maka ia segera memerintahkan untuk menyiapkan pedati.
“Aku akan segera kembali ke Padepokan Bajra Seta,” berkata Ki Buyut.
“Tetapi Ki Buyut harus beristirahat. Besok kita siapkan pedati dan kelengkapannya. Besok malam kita berangkat sehingga pagi-pagi benar kita akan sampai ke Padepokan Bajra Seta” berkata bebahu yang mengiringi.
“Baru lusa kita sampai. Bukankah kau dengar, bahwa besok aku akan kembali?” sahut Ki Buyut.
“Tetapi para Pemimpin dari Padepokan Bajra Seta akan mengetahui bahwa perjalanan dari Bumiagara memerlukan waktu.” jawab bebahunya.
“Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh? Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” jawab Ki Buyut.
Ternyata benar perintah Ki Buyut itu benar-benar tidak boleh tertunda. Malam itu juga telah disiapkan sebuah pedati.
“Pedati itu akan merangkak seperti siput. Agak berbeda dengan kecepatan lari seekor kuda,” berkata bebahu itu.
“Justru itu kita harus cepat-cepat berangkat,” jawab Ki Buyut, “Jika kita berangkat sekarang, maka besok siang kita baru sampai. Perjalanan ini akan memerlukan waktu lipat sepuluh dengan perjalanan berkuda. Bahkan lebih. Seandainya kita harus bermalam, maka sebaiknya kita bermalam di Padepokan Bajra Seta besok.”
Niat Ki Buyut itu tidak dapat dicegah. Karena itu, maka malam itu juga sebuah pedati telah meninggalkan Kabuyutan Bumiagara dikawal oleh empat orang bebahu dan dua orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk melindungi senjata-senjata yang bakal mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta. Sementara itu Ki Buyut sendiri memilih untuk berada di dalam pedati, karena ternyata ia sempat berbaring untuk beristirahat selama perjalanan.
Sebenarnyalah pedati itu berjalan lamban sekali. Bebahu yang berada di punggung kuda merasa sangat mengantuk sehingga bergantian mereka tidur di dalam pedati bersama Ki Buyut. Sementara kuda yang tanpa penunggang telah diikat dan berjalan lamban di belakang pedati.
Meskipun Ki Buyut tergesa-gesa sampai, namun bebahunya terpaksa minta mereka beristirahat barang sebentar untuk memberi kesempatan kepada lembu yang menarik pedati dan kuda-kuda mereka beristirahat pula.
Ternyata lewat tengah hari di hari berikutnya mereka baru sampai ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus berhenti sementara itu senjata-senjata yang telah disiapkan segera dimuat ke dalam pedati. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempersilahkan Ki Buyut untuk bermalam di padepokan itu.
“Ki Buyut dan para bebahu tentu letih,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut memang tidak menolak. Tetapi Ki Buyut sudah mengatakan bahwa menjelang fajar, ia akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta, agar perjalanan mereka tidak terlalu lama.
“Orang-orang Bumiagara sudah menunggu-nunggu,” berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah malam itu Ki Buyut, para bebahu dan pengawal yang menyertainya bermalam di Padepokan Bajra Seta. Tetapi sebelum dini mereka sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat kembali ke Bumiagara.
Dengan demikian, maka lima orang cantrik yang telah ditunjuk oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap-siap pula. Mereka akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta dan akan tinggal di Bumiagara untuk beberapa lama. Namun mereka tidak berkewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Mereka hanya mendapat tugas untuk memberi petunjuk penggunaan senjata-senjata itu, meskipun hal itu tidak akan terlepas dari kemampuan olah kanuragan.
Sebenarnyalah, sebelum fajar, setelah makan beberapa potong makanan dan menghirup minuman hangat, maka Ki Buyut Bumiagara telah mohon diri untuk kembali ke Bumiagara. Lima orang cantrik dari Bumiagara diperintahkan untuk mengikuti iring-iringan itu dan bahkan tinggal di Bumiagara untuk beberapa waktu.
Sebenarnyalah Ki Buyut merasa gembira sekali mendapat perlakuan yang sangat baik, mendapat senjata dan tuntunan cara penggunaannya, sehingga dengan demikian maka Bumiagara akan dapat membangun dirinya untuk melindungi diri sendiri.
Demikianlah, dalam kegelapan menjelang fajar iring-iringan itu berjalan sangat lambat. Para bebahu, pengawal dan para cantrik justru merasa letih, berkuda mengikuti perjalanan pedati yang merayap perlahan-lahan. Sementara itu, Ki Buyut masih juga sempat berbaring di dalam pedati, di antara senjata-senjata yang dibawanya disisa malam itu.
Ketika matahari terbit, iring-iringan itu memang sudah agak jauh dari Padepokan Bajra Seta. Namun karena beberapa orang berkuda mengiringnya, maka pedati itu memang menarik perhatian.
Perjalanan kembali ke Bumiagara itu ternyata lebih lama dari perjalanan mereka ke Padepokan Bajra Seta. Kecuali pedatinya memang menjadi lebih berat karena muatan yang cukup banyak, terik matahari juga terasa menghambat. Beberapa kali mereka harus, berhenti. Kuda-kuda mereka menjadi haus dan lembu yang menarik pedati itu-pun menjadi lapar pula. Juga orang-orang yang mengiringi. Keringat yang mengucur dari tubuh mereka, membuat mereka cepat merasa haus.
Karena itu, ketika matahari turun di sisi Barat langit, mereka berada di bulak panjang yang masih agak jauh dari Kabuyutan Bumiagara. Namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa ada beberapa orang yang memperhatikan pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda itu.
“Sekitar sepuluh orang,” desis seorang di antara mereka.
“Mereka bukan prajurit,” berkata yang lain, “Tetapi agaknya pedati itu memang berisi barang berharga sehingga sekitar sepuluh orang harus mengawalnya.”
“Pedati itu akan melewati bulak Larah,” berkata orang yang pertama.
“Aku mengerti maksudmu. Kita menghubungi kawan-kawan kita yang tinggal di padukuhan Larah” jawab yang lain.
Orang yang lain lagi berdesis, “Mereka adalah orang-orang yang dungu. Apakah mereka belum pernah mendengar tentang padukuhan Larah? Padukuhan tempat tinggal para gegedug, perampok dan penyamun?”
“Marilah. Kita mendahului pedati yang maju sangat perlahan seperti siput itu. Kita bersiap di bulak Larah, dengan kawan-kawan kita dari Larah” berkata orang yang pertama.
Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berjalan dengan cepat, mendahului pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda yang menjadi letih justru karena berjalan sangat lambat. Tetapi setiap kali seorang di antara mereka yang merasa sangat letih ikut naik pedati beberapa saat. Bahkan kadang-kadang Ki Buyut lah yang naik di punggung kuda.
Sais pedati itu justru sering turun dari pedatinya untuk menggeliat. Bahkan kadang-kadang berjalan kaki beberapa ratus patok untuk mengurangi penat-penat tubuhnya. Ketika orang-orang itu sempat melampaui pedati yang berjalan lamban itu, mereka tidak dapat melihat apa saja yang ada di dalamnya. Tetapi mereka melihat selembar tikar yang besar menutupi muatannya yang cukup banyak.
Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itu-pun telah menuju ke padukuhan Larah yang terletak tidak jauh dari jalan yang melewati bulak panjang, yang juga disebut bulak Larah. Ketika orang-orang itu memberitahukan kepada kawan-kawannya yang ada di Larah tentang sebuah pedati yang lewat, maka orang-orang Larah itu-pun segera tanggap.
“Berapa orang dibutuhkan?” bertanya seorang gegedug yang namanya cukup membuat orang-orang padukuhan Larah mengerutkan lehernya.
“Mereka dikawal sekitar sepuluh orang berkuda,” jawab orang yang datang mengajaknya.
“Mereka bukan prajurit?” bertanya gegedug itu lagi.
“Bukan. Menilik pakaiannya mereka bukan prajurit,” jawab orang yang mengajaknya.
“Kemana kira-kira pedati itu akan pergi?” bertanya gegedug itu selanjutnya.
Orang yang datang, mengajaknya itu menggelang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi bukankah jalan ini menuju ke Kabuyutan Bumiagara?”
“Kabuyutan sarang pengecut itu? Melawan lima belas orang pendatang saja mereka sama sekali tidak mampu mengatasinya,” berkata gegedug itu.
“Mungkin mereka justru menuju ke Bumiagara. Menilik pengawalnya yang banyak, maka barang-barang yang dibawa itu tentu cukup penting,” sahut orang yang datang ke padukuhan Larah itu.
“Baik. Kita sediakan lima belas orang. Bukankah itu sudah cukup? Orang-orang kita adalah orang-orang yang sudah terbiasa memeras darah. Kita mencoba untuk merampas dengan baik. Tetapi jika mereka bertahan, maka potong saja leher mereka semuanya. Kita akan mendapatkan kuda, pedati dan barang-barang yang ada di pedati itu,” berkata gegedug itu kemudian.
Ternyata dalam waktu singkat orang-orang itu sudah siap. Lima belas orang termasuk orang-orang itu sudah siap. Lima belas orang termasuk orang-orang yang datang untuk memberitahukan tentang perjalanan pedati itu.
Tetapi mereka tidak akan menyamun pedati itu di dekat padukuhan mereka sendiri. Tetapi mereka bergerak agak jauh. Mereka menempatkan diri di sebuah tikungan yang agak menanjak karena perbukitan yang rendah. Namun tikungan itu merupakan tempat yang sangat baik untuk merampok orang lewat. Bahkan kadang-kadang di siang hari-pun perampokan itu dapat terjadi.
Sementara itu, Ki Buyut yang melihat orang-orang yang melewati pedatinya tidak berkata apa-pun. Namun kemudian ketika ia sadar, bahwa mereka akan lewat di bulak Larah, maka ia-pun berkata kepada para bebahu, “Kita sampai ke bulak Larah.”
“Tetapi bukankah kita beberapa kali lewat bulak itu tidak pernah terjadi sesuatu,” berkata bebahu itu.
“Tetapi sekarang kita membawa barang-barang yang berharga. Aku agak curiga melihat orang-orang yang baru saja mendahului kita,” berkata Ki Buyut Bumiagara kemudian.
Bebahu yang menyertainya bersama kedua orang pengawal itu-pun segera menyadari bahwa mereka akan sampai ke tempat yang cukup rawan. Mereka-pun tahu benar, bahwa ujung bulak Larah adalah sebuah tikungan yang menanjak lewat sebuah lekuk di perbukitan yang rendah.
Karena itu, maka mereka-pun segera bersiap. Salah seorang di antara para bebahu itu berkata kepada cantrik yang tertua yang menyertai mereka, “Kita memasuki bulak yang sepi. Apalagi di malam hari.”
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara bebahu itu berkata, “Biarlah kedua orang pengawal kami berada di belakang kalian. Dua orang bebahu Bumiagara akan berada di depan pedati. Sementara kami dan seorang lagi akan berada tepat di belakang pedati di depan kalian berlima.”
Para cantrik itu tidak membantah. Mereka menurut saja, karena pimpinan perjalanan itu berada di tangan Ki Buyut sendiri. Demikian mereka memasuki bulak Larah, maka Ki Buyut tidak lagi lengah. Ia duduk di sebelah sais pedatinya yang menjadi tegang. Kegelapan dan kesenyapan membuat suana memang menjadi gelisah, justru karena mereka berada di bulak Larah.
Dua orang bebahu berkuda di depan mereka. Jika mereka berkuda terlalu jauh, maka Ki Buyut segera memperingatkan mereka, agar mereka sedikit menahan diri. Semakin dalam mereka menembus gelapnya bulak Larah, maka jantung mereka serasa berdenyut semakin cepat. Namun hampir sampai ke ujung bulak mereka tidak mengalami sesuatu.
“Padukuhan Larah telah lewat,” berkata salah seorang bebahu yang berkuda di paling depan.
“Padukuhannya memang sudah. Bukankah padukuhan di sebelah itu padukuhan Larah? Kita dapat melihat terangnya oncor di regol padukuhan itu,” sahut Ki Buyut, “Tetapi kita belum lepas dari bulak Larah yang panjang itu.”
Bebahu yang berkuda di depan itu mengangguk-angguk. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai ke tikungan. Karena itu maka Ki Buyut-pun berkata, “Tikungan itu sering disebut tikungan hitam. Hati-hatilah. Jangan terlalu jauh mendahului kami. Siapkan senjatamu.”
“Untuk apa?” bertanya bebahu yang di depan.
“Kita harus berhati-hati,” jawab Ki Buyut.
“Tetapi sebelum kita melihat sesuatu di hadapan kita. Apakah kita harus sudah menarik pedang,” bertanya bebahu itu.
“Ini perintah. Kau dengar?” geram Ki Buyut yang firasatnya telah meraba sesuatu yang tidak wajar di hadapannya.
Kedua bebahu yang berkuda di paling depan itu tidak menyahut. Ternyata bahwa wibawa Ki Buyut masih tetap tinggi, sehingga keduanya-pun telah mencabut pedangnya. Sikap Ki Buyut yang keras itu telah mempengaruhi para bebahu dan para pengawal yang berkuda di paling belakang. Demikian pula para cantrik-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ki Buyut sendiri kemudian telah berdiri di bagian depan pedati itu, sementara sais pedati yang memegang tali kendali kedua ekor lembu yang menariknya telah menjadi berdebar-debar pula. Namun sais itu bukan seorang penakut. Sebagai seorang sais pedati, maka ia dianggap seorang yang memiliki kekerasan tulang sekeras tulang lembunya.
Sais itu-pun telah menyiapkan sepotong besi di belakangnya. Setiap saat sepotong besi itu akan dapat dipergunakan. Bahkan untuk melawan pedang sekali-pun.
Sejenak kemudian, maka pedati itu-pun telah memasuki sebuah tikungan yang menanjak, di sela-sela perbukitan rendah. Di sebelah menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perdu yang rimbun. Dalam gelapnya malam, maka pohon perdu itu nampak kehitam-hitaman di antara bayangan bongkah-bongkah batu padas.
Dua orang bebahu yang berkuda di paling depan itu-pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka memegang pedang mereka yang telah telanjang. Demikian pula Ki Buyut Bumiagara. Sementara sais pedati itu masih belum menggenggam potongan besinya. Tetapi di tangan kanannya ia memegang sebuah cambuk yang besar berjuntai anyaman ijuk yang kuat.
Demikianlah, suasana benar-benar menjadi tegang. Kedua orang bebahu yang terdepan memperhatikan setiap gerumbul yang ada di sebelah menyebelah jalan. Namun salah seorang di antara keduanya memang menjadi curiga. Ia melihat salah sebuah di antara gerumbul-gerumbul itu bergerak. Karena itu ia berdesis, “Hati-hati. Aku memang melihat sesuatu.”
Kawannya-pun dengan cepat anggap. Ia-pun segera bergeser menjauhi kawannya. Ia-pun siap menghentakkan kendali kudanya untuk mengejutkan orang-orang yang jika benar isyarat kawannya, akan mengganggu perjalanan mereka. Ternyata Ki Buyut Bumiagara-pun melihat pula sebuah gerumbul yang bergerak. Karena itu, maka ia-pun telah menyiapkan pedangnya dengan baik. Dengan tangannya Ki Buyut memberi isyarat kepada sais yang duduk di sebelah Ki Buyut yang berdiri itu, agar ia-pun bersiap pula.
Di belakang pedati, hampir setiap cantrik telah melihatnya pula. Karena itu maka mereka-pun justru telah menjauhi yang satu dengan yang lain. Cantrik yang berada di paling belakang telah berdesis kepada kedua orang pengawal Ki Buyut, “Mereka berada di belakang setiap gerumbul itu.”
Para pengawal itu tidak segera tanggap. Karena itu seorang di antara mereka justru bertanya, “Mereka siapa?”
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Yang dicemaskan oleh Ki Buyut. Maksudku, di belakang perdu itu bersembunyi beberapa orang yang mungkin akan merampok kita. Mereka menyangka bahwa di dalam pedati itu terdapat harta benda yang sangat berharga.”
“Tetapi bukankah barang-barang yang ada di pedati itu benar-benar berharga?” bertanya pengawal yang lain.
“Ya. Karena itu kita harus mempertahankannya,” jawab cantrik itu.
Kedua orang pengawal itu mencoba memperhatikan gerumbul-gerumbul perdu di sebelah menyebelah jalan dalam kegelapan malam. Namun akhirnya mereka-pun seakan-akan melihat bayangan yang telah bergerak. Namun sekilas saja. Lalu hilang.
Ki Buyut dan para bebahu yang ada di depan mengerti, bahwa di sebelah menyebelah jalan itu bersembunyi beberapa orang. Namun agaknya mereka menunggu iring-iringan itu masuk ke dalam kepungan mereka.
Karena itu, maka setiap orang dalam iring-iringan itu-pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, beberapa orang akan berloncatan keluar dari belakang gerumbul-gerumbul liar itu dengan senjata di tangan.
Sebenarnyalah seperti yang telah mereka perhitungkan. Ketika iring-iringan itu sudah mulai berbelok dan menanjak disela-sela perbukitan kecil, maka tiba-tiba saja terdengar seseorang berteriak. Meneriakkan aba-aba. Teriakan itu disambut dengan teriakan-teriakan yang sahut menyahut dari sebelah menyebelah jalan. Lima belas orang berloncatan dari balik gerumbul menyerang orang-orang berkuda yang mengawal pedati itu.
Para cantriklah yang paling sigap meloncat dari punggung-punggung kuda mereka. Seorang di antara mereka masih harus menambatkan kendali kuda mereka pada pedati yang juga telah berhenti. Pada tiang dan jari-jari rodanya. Sementara empat orang yang lain telah berloncatan menyongsong orang-orang yang menyerang dari lereng-lereng bukit kecil itu.
Para bebahu-pun telah berloncatan turun pula sambil berkata kepada sais pedati itu, “Tambatkan kuda-kuda itu.”
Sais pedati itu-pun telah berlari-lari menangkap kuda kedua bebahu yang ada di depan pedati dan mengikat kendali kuda itu pada ujung pasang lembu yang menarik pedati itu.
Sementara Ki Buyut berkata sambil meloncat turun, “Jaga lembu dan kuda-kuda itu. Ganjal roda pedati agar tidak bergerak.”
Kedua orang pengawal di paling belakang ternyata tidak sempat mengikat kuda mereka. Demikian mereka meloncat turun, mereka harus sudah menangkis serangan-serangan yang datang melanda dengan derasnya. Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara orang-orang Bumiagara dan para cantrik padepokan Bajra Seta, melawan para perampok yang ingin merampas barang-barang yang dibawa dalam pedati itu.
Ketika pertempuran itu berkobar dengan sengitnya, maka terdengar suara di antara para perampok itu, “Jika kalian serahkan barang-barang yang kalian bawa itu dengan baik, maka kami tidak akan menyakiti kalian.”
Ki Buyut yang marah menjawab dengan keras pula, “Persetan kalian para perampok. Kalian harus mendapat hukuman atas perbuatan kalian. Agaknya kalian telah melakukan hal seperti ini beberapa kali.”
“Jangan sombong Ki Sanak,” teriak pemimpin perampok itu, “Kalian tidak mempunyai kesempatan. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mati, tumpas sampai dengan orang yang terakhir.”
“Kami atau kalianlah yang akan tumpas,” geram Ki Buyut.
“Pekerjaan kami melakukan hal seperti ini. Berkelahi, membunuh dan merampok. Karena itu, jangan mencoba menakut-nakuti kami, karena hal itu hanya akan membuat kami tertawa sebelum kami memeras darah kalian sampai tetes terakhir. Besok di tempat ini, orang-orang yang lewat akan segera berteriak-teriak karena mereka melihat sosok kalian yang berceceran di tikungan hitam ini,” teriak pemimpin perampok itu.
“Tetapi kali ini agak berbeda,” jawab Ki Buyut, “Yang akan berserakan di sini adalah mayat kalian. Biarlah orang-orang Larah besok mengambil mayat kalian dan menguburkannya.”
“Setan kau,” geram pemimpin perampok itu. Kemarahannya telah mendorongnya untuk meneriakkan perintah, “Bunuh semua orang. Tidak ada ampun bagi seorang-pun di antara mereka.”
Tetapi Ki Buyut yang marah-pun berteriak pula, “Bunuh mereka semuanya biarlah kawan-kawan mereka menjadi jera untuk melakukan perampokan.”
Pertempuran-pun segera meningkat semakin sengit. Kedua belah pihak menjadi marah dan ingin menyelesaikan lawan-lawan mereka dengan cepat. Namun para perampok itu kurang menyadari, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat lima orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang memiliki kemampuan prajurit. Karena itu, maka kelima orang cantrik itu-pun segera berloncatan sambil memutar pedang mereka di antara beberapa orang lawan.
Sementara itu, Ki Buyut sendiri telah turun ke dalam pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia mengayunkan senjatanya menghadapi para perampok yang menyerangya. Tetapi para perampok itu memang lebih banyak jumlahnya. Karena itu, maka para bebahu dari Bumiagara serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta memang harus bekerja keras mengatasi mereka. Apalagi para perampok itu telah bertempur dengan keras dan kasar. Mereka berteriak-teriak dan mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor.
Tetapi para cantrik sama sekali tidak terpengaruh oleh kekerasan dan kekasaran para perampok itu. Mereka mempunyai pengalaman yang lebih baik dari para bebahu Bumiagara. Bahkan dengan kedua orang pengawal pilihan yang menyertai perjalanan Ki Buyut itu. Menyadari akan hal itu, maka para cantrik itu telah memencar. Seorang di antaranya telah berada di depan pedati yang berhenti itu. Seorang di sisi sebelah kiri. Seorang di kanan dan dua orang Di belakang.
Demikianlah, pertempuran-pun semakin lama menjadi semakin keras dan kasar. Para perampok telah kehilangan kesabaran karena mereka tidak segera menguasai lawan-lawan mereka. Biasanya mereka dengan cepat membantai orang-orang yang mencoba mempertahankan barang-barang mereka. Namun ternyata mereka tidak dapat melakukannya saat itu.
Pemimpin para perampok yang terdiri dari seorang gegedug yang ditakuti itu berteriak semakin keras menggetarkan udara malam yang gelap, “Cepat bunuh mereka. Jangan ragu-ragu.”
Namun demikian mulutnya terkatub rapat, maka terdengar salah seorang di antara para perampok itu berteriak kesakitan sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor. Sementara itu, segores luka telah menyilang di dadanya, sehingga orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Tetapi kemudian, luka itu tidak menghentikannya. Bahkan justru membuat orang itu seperti gila.
Ki Buyut Bumiagara sendiri ternyata bertempur seperti banteng yang terluka. Senjata berputaran dengan cepatnya. Sekali terayun mendatar, kemudian menyilang dan berputar di samping tubuhnya. Namun kemudian mematuk dengan cepatnya mengarah ke dada.
Cantrik yang bertempur di depan pedati itu telah mengikat dua orang lawan. Tetapi Cantrik itu benar-benar tangkas. Senjata yang dipergunakan adalah sebilah pedang yang ringan. Tetapi dilihat dari ujudnya, pedang itu cukup besar dan panjang. Jika benturan terjadi, maka getar kekuatannya benar-benar telah membuat telapak tangan lawannya terasa panas.
Beberapa saat kemudian, maka para cantrik justru mulai mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan yang bertempur melawan dua orang pula. Dengan ketangkasan seorang prajurit, maka mereka telah menunjukkan, bahwa para perampok itu tidak akan mampu memaksakan kehendak mereka meskipun dengan kekerasan senjata. Bahkan sekali lagi terdengar seorang di antara para perampok itu mengumpat-umpat ketika ia terdorong dan jatuh terlentang dilereng bukit yang rendah itu.
Demikian ia meloncat bangkit, maka tangannya-pun meraba pundaknya yang terasa hangat oleh darahnya yang mengalir dari luka-lukanya. Tetapi orang itu tidak menghentikan perlawanannya. Ia-pun justru telah berteriak keras-keras sambil berlari menyerang seorang yang masih bertempur melawan seorang kawannya.
Perampok yang terluka itu sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Dengan sepenuh tenaga ia menghambur dan mengayunkan kapaknya yang besar mengarah ke kepala lawan seorang kawannya yang nampak agak terdesak. Ternyata yang diserangnya itu adalah seorang cantrik yang bergerak dengan cepat menghindari serangannya. Sambil berjongkok cantrik itu telah menjulurkan pedangnya, seakan-akan langsung menerima tubuh orang yang menyerangnya itu.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan yang terlontar oleh kemarahan dan kebencian yang sangat. Namun sejenak kemudian suara itu lenyap ditelan oleh suara dentang senjata yang beradu. Sementara itu, ketika cantrik yang berjongkok itu bangkit sambil menarik pedangnya, maka tubuh perampok itu-pun telah terguling jatuh. Tetapi orang itu sudah tidak dapat berteriak lagi untuk selama-lamanya.
Dengan demikian maka seorang demi seorang jumlah perampok itu telah susut. Namun seorang di antara mereka telah mampu menyusul lingkaran pertempuran itu dan berlari mendekati pedati yang berhenti itu. Namun ternyata, dengan tidak diduganya, sais pedati itu telah meloncat menyerangnya. Tidak dengan sepong besi yang masih tergolek di dalam pedati, namun dengan sebuah cambuk yang besar dan panjang.
Perampok itu dengan cepat bergeser menghindar. Tetapi cambuk itu seakan-akan telah menggeliat. Sais yang setiap hari bermain dengan cambuk itu mampu menggerakkan juntainya yang panjang seperti menggerakkan tangannya sendiri. Karena itu, maka ujung cambuk yang menggeliat itu ternyata telah mematuk lengan perampok yang berhasil mendekati pedati itu.
Perampok itu mengaduh tertahan. Namun ketika ujung juntai cambuk itu dihentakkan sendai pancing, maka sekali lagi orang itu mengaduh menahan sakit. Bahkan ketika ia meraba lengannya, maka lengannya itu seakan-akan telah terkoyak.
“Iblis kau,” geram perampok itu, “Kau sais pedati yang dungu. Kau kira kau mampu melawan aku?”
Sais itu sama sekali tidak menjawab. Ia justru memanfaatkan saat yang baginya sangat baik itu. Selagi perampok itu mengumpatinya, maka tanpa mengucapkan sepatah kata-pun, sekali lagi cambuknya menggeletar.
Perampok itu memang berusaha untuk menghindar. Cambuk itu memang tidak membelit lehernya, tetapi ujungnya telah menggapai dada perampok itu sehingga orang itu-pun telah berteriak marah. Namun sais itu tidak memberinya waktu. Dengan cepat ia memburu. Sekali lagi cambuknya telah meledak. Tetapi lawannya sempat menggeliat menghindari sambaran ujung cambuk itu.
Dengan demikian maka perampok itu-pun telah mendapatkan waktu untuk menyiapkan pertempuran berikutnya. Kemarahan yang memuncak telah membakar jantungnya. Ia telah dilukai oleh seorang sais yang hanya bersenjata cambuk. Karena itu, maka ia tidak mempunyai keinginan lain pada saat itu kecuali membunuh sais itu.
Sais itu-pun telah bersiap sepenuhnya. Setapak demi setapak ia bergeser mendekati pedatinya. Kemudian dengan secepat kilat ia telah mengambil senjatanya yang lain sepotong besi yang agak panjang.
Sementara itu, di lingkaran pertempuran yang mengelilingi pedati itu, terdengar lagi teriakan panjang. Umpatan kasar dan bahkan yang tidak pantas dikatakan. Namun kemudian tubuh itu terguling jatuh. Yang kemudian terdengar adalah erang kesakitan.
Perampok yang mendekati pedati itu-pun segera melompat menyerang. Ia sadar, bahwa kawannya telah berkurang seorang lagi. Karena itu, maka ia harus dengan cepat menguasai pedati itu dan membawanya meninggalkan arena. Namun sais itu tidak membiarkannya menyentuh pedatinya. Dengan segenap kemampuannya, maka sais itu telah mempertahankannya dengan sepotong besi.
Tetapi memang ternyata bahwa perampok yang sudah terbiasa berkelahi dengan senjata, telah membingungkan sais itu. Beberapa saat kemudian, maka ia-pun telah terdesak mundur. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan telah melekat pada pedati yang dipertahankannya itu.
Sais itu memang menyesal telah mengganti cambuknya dengan sepotong besi. Sebenarnya baginya, cambuk itu akan lebih berarti. Namun yang kemudian ada di tangannya adalah sepotong besi, sehingga apa-pun yang terjadi, ia harus mempergunakannya sejauh dapat dilakukannya.
Tetapi akhirnya, sais itu telah terdesak. Ia tidak mempunyai ruang gerak lagi. Karena itu, maka sais itu-pun hanya dapat pasrah, apa yang akan terjadi atas dirinya, meskipun ia masih mencoba untuk bertarung. Ketika senjata perampok itu terangkat saat sais itu tidak lagi mampu berbuat apa-apa, maka sais itu telah memejamkan matanya. Ia tidak ingin melihat ujung senjata itu terayun dan menghunjam kematanya.
Tetapi tiba-tiba justru lawannya itulah yang menjerit ngeri. Ternyata Ki Buyut sempat melihat apa yang akan terjadi atas diri sais itu. Karena itu, maka Ki Buyut-pun segera meninggal lawannya dan berusaha menolong sais itu.
“Terima kasih Ki Buyut,” desis Sais itu.
Namun Ki Buyut telah berlari lagi ke arena. Bahkan kemudian Ki Buyut itu telah bertempur melawan pemimpin perampok dan seorang pengawalnya. Ki Buyut memang harus berhati-hati. Kawan pemimpin perampok itu adalah seorang yang berwajah garang. Bertubuh tinggi dan besar dengan kumis yang melintang.
Tetapi ternyata di bagian dari pertempuran itu terdengar lagi pekik kesakitan. Seorang lagi dari antara para perampok itu terlempar jatuh. Meskipun ia masih dapat berguling menjauhi arena, namun ia tidak mungkin lagi untuk melanjutkan perlawanan. Jari-jari tangannya sebelah kanan yang mengenggam senjatanya telah terbabat oleh pedang seorang cantrik.
Pemimpin perampok itu menggeram. Kemarahannya telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia mengira bahwa para perampok itu tidak akan mengalami banyak kesulitan. Namun yang terjadi adalah lain. Para pengawal pedati itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Yang ternyata tidak dapat dihancurkan oleh jumlah orang yang lebih banyak. Bahkan satu demi satu orang yang mencegat pedati itu runtuh jatuh ke bumi.
Pemimpin perampok itu kemudian tidak mendapat kesempatan lagi untuk bertempur berdua melawan Ki Buyut. Seorang kawannya harus menarik diri dan bertempur melawan seorang cantrik yang kehilangan lawannya. Karena itu, maka pemimpin perampok itu tidak akan dapat berbuat banyak. Kawan-kawannya telah menjadi jauh susut.
Meskipun dua orang bebahu terluka, bahkan Ki Buyut sendiri. Serta seorang dari antara kedua pengawal itu-pun terluka cukup parah, justru merekalah yang nampaknya akan menguasai pertempuran. Tetapi, pemimpin perampok itu cepat tanggap pada keadaan di sekitarnya. Karena itu, maka ia-pun telah memberikan isyarat bahwa mereka lebih baik meninggalkan tempat itu daripada membunuh diri sendiri.
Dalam waktu yang sangat singkat, maka para perampok itu telah mundur dan kemudian berlari bercerai berai memanjat bukit yang rendah itu. Ketika para bebahu dua pengawal akan mengejar mereka, maka Ki Buyut-pun berteriak, “Cukup. Kita tidak akan memburu mereka sampai kebukit. Kita tidak akan meninggalkan pedati ini, sementara kita tidak tahu apa yang ada di belakang bukit.”
Para bebahu dan pengawal itu-pun berhenti pula. Para cantrik ternyata sependapat dengan Ki Buyut, bahwa mereka tidak perlu memburu orang-orang yang melarikan diri, karena mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi kemudian. Mungkin orang-orang itu akan memanggil seisi padukuhan Larah yang sebagian besar masih saling berhubungan darah dan terlibat pula dalam pekerjaan yang hitam itu.
Yang diperintahkan Ki Buyut kemudian adalah, “Kita bersiap dan meneruskan perjalanan. Kawan-kawan kita yang terluka akan ikut naik pedati.”
“Tetapi bagaimana dengan tubuh-tubuh mereka yang terbunuh itu Ki Buyut?” bertanya salah seorang bebahu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Bukannya kami tidak berjantung. Tetapi kawan-kawan mereka tentu akan segera datang kembali untuk mengambil tubuh-tubuh yang terbaring itu.”
Para bebahu itu saling berpandangan. Sementara itu seorang di antara para cantrik berkata, “Tetapi sebaiknya, kita kumpulkan tubuh-tubuh itu dan kita letakkan di tempat yang tidak terlalu dekat dengan jalan itu. Namun yang kita yakini akan diketemukan oleh kawan-kawan mereka.”
Ki Buyut-pun mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Tetapi cepatlah sedikit. Sebelum seluruh padukuhan Larah datang mengepung kita.”
“Kita akan bertempur meskipun aku sudah terluka,” berkata bebahu yang terluka itu.
“Aku-pun tidak akan gentar,” berkata Ki Buyut, “Tetapi bukankah lebih baik jika kita tidak membunuh lagi?” berkata Ki Buyut. Lalu katanya kemudian, “Aku telah menyebabkan pembunuhan-pembunuhan terjadi sebelumnya. Aku tidak mau menambah beban lagi di pundakku. Semakin banyak darah mengalir, rasa-rasanya aku akan semakin dalam terbenam di dalamnya.”
Bebahu itu tidak menyahut lagi. Namun bersama dengan kawan-kawannya dan kedua orang pengawal mereka telah mengumpulkan orang-orang yang terbunuh dan terluka. Para cantrik-pun tidak membiarkan mereka bekerja terlalu berat, sehingga kelima orang itu telah membantunya.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa sosok telah terbaring di antara bebatuan. Di antara masih ada yang merintih karena luka-lukanya. Para cantrik mencoba untuk menaburkan obat diatas luka yang parah itu untuk mengurangi aliran darah dari luka-luka mereka.
“Jangan tinggalkan kami,” rintih seseorang yang terluka parah sehingga tidak mampu ikut menarik diri dari arena pertempuran.
“Kami akan meneruskan perjalanan,” jawab cantrik itu, “Kawan-kawanmu akan segera datang.”
“Tetapi kami yang terluka parah akan dapat mati di sini,” berkata orang itu.
“Tidak. Lukamu sudah pampat. Setidak-tidaknya darahnya tidak lagi mengalir terlalu banyak. Kawan-kawanmu dari padukuhan Larah akan segera kembali mengambilmu dan kawan-kawanmu,” jawab salah seorang cantrik.
“Tolong, panggil mereka,” minta orang yang terluka itu, “Sebelum aku mati.”
“Maaf, tidak mungkin Ki Sanak. Jika aku pergi ke padukuhan Larah, maka akibatnya akan buruk sekali bagiku. Bagaimana-pun juga aku tidak dapat mengesampingkan pengertian kami tentang padukuhan Larah. Apalagi peristiwa ini terjadi tidak terlalu jauh dari Larah. Bukankah bulak ini yang disebut bulak Larah dan tikungan ini juga sering disebut tingkungan hitam?”
“Tetapi jika kau tinggal kami, maka kami akan mati sia-sia. Tolong panggil keluargaku di padukuhan itu.” minta orang itu semakin mendesak.
“Di padukuhan Larah maksudmu?” bertanya cantrik itu.
“Ya” jawab orang itu.
“Sekali lagi aku minta maaf. Kami tidak berani memasuki padukuhan itu. Justru kami harus segera pergi dari tempat ini. Jika tidak, maka roang-orang Larah akan mengepung tempat ini, dan kami harus membunuh lebih banyak lagi. Tahankan sedikit. Kawan-kawanmu akan segera datang” berkata cantrik itu. Tetapi orang itu masih saja mengerang.
“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya kepada orang yang terluka itu, “Ingat apa yang telah terjadi malam ini. Jika lain kali masih ada orang yang dirampok di sini atau dimana-pun dan dilakukan oleh orang Larah, maka kami akan datang dengan pasukan yang cukup untuk menghancurkan Larah dan membuat Larah menjadi karang abang. Ingat itu. Kali ini kami masih menghidupimu, agar kau sempat mengatakan pesanku itu.”
Ki Buyut tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meninggalkan orang-orang yang terbunuh dan terluka dari antara mereka yang mencegat perjalanannya. Sementara itu, seorang bebahu yang lukanya agak parah telah ditempatkan di dalam pedati. Demikian pula salah seorang di antara kedua pengawal. Ki Buyut sendiri sebenarnya juga terluka, tetapi luka itu tidak berbahaya, sementara Ki Buyut sendiri memang tidak menghiraukannya.
Karena itu, maka Ki Buyut lah yang kemudian duduk di punggung kuda. Dua orang yang terluka cukup parah sudah berada di dalam pedati setelah luka-lukanya menjadi pampat oleh obat para cantrik. Demikian pula goresan-goresan pada tubuh orang-orang yang lain, sehingga sama sekali tidak berdarah lagi.
Namun seorang cantrik telah berpesan, “Jangan terlalu banyak bergerak, agar luka-luka itu tidak berdarah lagi.”
Dua orang yang berada di pedati, duduk sambil bersandar tiang pedati. Tubuh mereka terasa sangat lemah oleh luka-lukanya. Namun ketika mereka tersentuh oleh ikatan-ikatan senjata yang berguncang-guncang di dalam pedati yang kemudian merangkak lagi dengan lambatnya, maka rasa-rasanya jantung mereka justru berdegup semakin cepat. Mereka sadar, bahwa mereka telah terluka saat mempertahankan barang-barang yang sangat berharga itu. Sehingga di sela-sela perasaan sakit yang masih menggigit, terbersit perasaan bangga pula.
Demikianlah, maka pedati itu-pun merayap lewat jalan yang agak menanjak. Setelah melewati tikungan hitam, maka rasa-rasanya perjalanan pedati itu menjadi semakin lambat. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Pedati itu memang sedang melintasi jalan yang agak naik. Ki Buyut justru berkuda di paling depan disertai dua orang bebahu. di belakang pedati itu, berkuda kelima orang cantrik dari padepokan Bajra Seta. Kemudian baru seorang bebahu dan seorang pengawal.
Malam terasa semakin lama semakin dingin. Namun demikian, orang- orang berkuda itu justru berkeringat. Bukan saja karena harus mengendalikan kuda-kuda mereka, namun mereka-pun masih saja merasa sedikit tegang.
Ketika seorang pengawal yang berada di dalam pedati berniat untuk naik di punggung kudanya yang tertambat di belakang pedati yang berjalan perlahan-lahan itu, maka seorang cantrik telah mencegahnya. Katanya, “Tetaplah berada di dalam pedati. Lukamu agak sedikit parah. Biarlah darahnya benar-benar pampat lebih dahulu, agar tidak mengalir lagi dari luka-lukamu itu.”
Pengawal itu tidak dapat memaksa. Ia-pun kemudian tetap duduk di dalam pedati bersama seorang bebahu yang luka-lukanya memang agak lebih parah dari pengawal itu. Dengan demikian maka perjalanan selanjutnya berlangsung lambat sebagaimana sebelumnya. Ketika jalan tidak lagi menanjak, maka pedati itu berjalan sedikit lebih cepat. Namun perbedaannya tidak banyak.
Sementara itu, orang-orang Larah yang melarikan diri, memang langsung pergi ke padukuhannya. Beberapa orang sempat mereka siapkan. Bahkan lebih dari lima belas orang. Namun ketika mereka sampai ke tikungan hitam, maka pedati dan para pengawalnya sudah tidak ada.
“Kita kejar mereka.” teriak seseorang.
Gegedug yang semula memimpin kawan-kawannya itu berkata, “Tidak usah.”
“Kenapa?” bertanya orang yang berteriak itu.
“Lihat di belakang batu besar itu,” berkata pemimpin itu.
Orang yang berteriak-teriak untuk mengejar itu-pun melihat apa yang ditunjukkan oleh pemimpinnya itu. Ternyata darahnya-pun tersirap. Ia melihat beberapa sosok tubuh yang membeku. Namun di antara mereka masih ada yang tetap hidup dan mendapat perawatan dari kawan-kawannya itu.
“Nah, bagaimana?” bertanya gegedug itu.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, jika mereka memburu, meskipun mereka tentu akan dapat menyusulnya karena pedati itu berjalan sangat lamban, namun di antara mereka harus ada yang bersedia terbujur mati lagi. Bahkan mungkin jauh lebih banyak, sementara barang-barang berharga itu tidak dapat mereka miliki.
“Jumlah mereka memang hanya berkisar sepuluh orang,” berkata pemimpinnya itu, “Tetapi kemampuan mereka sama dengan kemampuan prajurit. Bahkan ada di antara mereka yang lebih baik lagi.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka-pun kemudian mengerti bahwa tidak ada gunanya menyusul mereka.
“Sebaiknya kita rawat kawan-kawan kita yang terbunuh dan yang terluka parah itu,” berkata pemimpin mereka.
Karena itu, maka mereka tidak lagi berniat untuk mengejar pedati yang membawa barang-barang yang tidak diketahuinya, tetapi tentu barang-barang yang sangat berharga.
Ki Buyut yang melanjutkan perjalanan telah menjadi semakin jauh dari tikungan hitam. Betapapun lambatnya, maka akhirnya pedati itu telah mendekati Kabuyutan Bumiagara. Ki Buyut yang berkuda di paling depan itu telah dapat menarik nafas panjang-panjang. Mereka akhirnya mampu kembali dengan selamat di Kabuyutan Bumiagara. Karena itu, ketika iring-iringan itu melintasi sebuah tugu batu sebagai batas Kabuyutan Bumiagara, maka rasa-rasanya titik-titik embun menyiram jantung mereka yang panas.
“Kita telah berada di Bumiagara,” berkata Ki Buyut lantang sehingga para cantrik-pun ikut mengangguk-angguk gembira.
“Kita akan langsung menuju ke padukuhan induk,” berkata Ki Buyut.
Namun dalam pada itu, selagi pedati itu berjalan tertatih-tatih menuju ke padukuhan induk, ternyata orang-orang padukuhan Larah telah menentukan tekadnya untuk mencari jejak dan membalas dendam. Malam itu juga, dua orang telah ditugaskan untuk menentukan arah pedati dan para pengiringnya. Mereka harus mengikuti bekas ronda pedati itu sampai kesatu tempat yang meyakinkan, kemana tujuannya.
Dua orang yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi serta memiliki ketajaman pengenalan, jejak telah mendapat tugas untuk melakukannya.
“Berhati-hatilah. Kau tidak boleh tertangkap oleh orang-orang itu. Kita memang tidak dapat menutup kenyataan, bahwa pengawal pedati itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga kita, dengan jumlah yang lebih banyak, tidak mampu mengalahkan mereka,” berkata pemimpin mereka.
Dengan demikian, maka kedua orang itu-pun telah berangkat menelusuri jejak. Meskipun di dalam gelap, namun mata mereka cukup tajam mengenali jejak pedati yang masih baru. Belum ada jejak lain yang dapat menghapus jejak roda pedati itu. Apalagi ketika keduanya menjadi semakin dekat dengan Kabuyutan Bumiagara.
“Pedati itu pasti menuju ke Bumiagara,” berkata salah seorang dari keduanya.
“Marilah. Kita akan mengikuti jejak pedati itu sampai ketempatnya berhenti,” desis yang satu.
“Sangat berbahaya,” berkata orang yang pertama.
“Kita harus yakin, dimana pedati itu berhenti dan akan lebih baik jika melihat pedati itu dibongkar muatannya. Meskipun barangkali kita tidak dapat mendekat dan apalagi melihat isinya.”
“Tetapi dengan demikian laporan kita menjadi lengkap.” berkata yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Jika ia menolak, maka ia akan dapat dituduh menghambat pekerjaan kawannya, atau bahkan dapat dianggap sebagai seorang pengecut. Dengan demikian maka kedua orang itu telah memasuki lingkungan Kabuyutan Bumiagara pula.
“Bukankah kita mempunyai kebiasaan berkeliaran di malam hari?” desis orang yang pertama.
“Ya,” sahut yang lain.
“Kita mampu memasuki rumah orang tanpa diketahui, sehingga kita-pun akan mampu mengikuti jejak pedati itu sampai dikandangnya,” katanya pula.
Kawannya tidak menjawab. Sementara mereka menjadi semakin dalam memasuki Kabuyutan Bumiagara. Jika pedati itu lewat melalui jalan padukuhan, maka keduanya terpaksa melingkari padukuhan itu. Jika mereka menemukan jejak pedati itu, maka mereka telah melanjutkan perjalanan mereka.
“Jika kita tidak menemukan jejaknya di mulut lorong yang kedua, berarti pedati itu berhenti di padukuhan ini,” berkata yang seorang lagi.
“Apakah hanya ada dua mulut lorong? Bagaimana jika jalan itu bercabang di dalam padukuhan? Atau ada simpang empatnya?” bertanya kawannya.
“Jika kita memasuki padukuhan itu, maka kita akan mendapatkan jawabnya, sehingga kita akan dapat mengikuti jejak itu lagi. Tetapi kita akan lebih aman jika kita lebih banyak berjalan diluar padukuhan. Apalagi jika ada peronda yang duduk digardu dipinggir jalan itu,” jawab orang yang pertama.
“Bukankah sudah terbiasa bagi kita untuk berjalan menyusup kebun dan halaman?” desis kawannya.
“Bukankah justru akan lebih lama dari perjalanan kita yang melingkar ini?” sahut yang pertama itu.
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya berjalan terus mengikuti jejak pedati yang ternyata memasuki padukuhan induk.
“Sekarang kita tidak perlu melingkar. Aku yakin, pedati itu berhenti di padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara ini.” berkata orang yang pertama itu.
Keduanya-pun kemudian dengan sangat berhati-hati memasuki pintu gerbang. Namun mereka-pun dengan segera harus meloncati dinding dan masuk ke halaman sebelah. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka terdapat sebuah gardu. Dibawah cahaya oncornya yang menyala cukup terang, mereka melihat beberapa orang duduk berjaga-jaga digardu itu.
Tetapi dengan melewati halaman dan kebun yang gelap, keduanya memasuki padukuhan induk itu semakin dalam. Keduanya sama sekali sudah tidak canggung lagi, karena hal seperti itu telah mereka lakukan beberapa puluh kali. Sekali-sekali keduanya memang mendekati jalan induk padukuhan dan bahkan kemudian turun ke jalan itu untuk melihat, apakah mereka masih tetap dapat mengikuti jejak pedati itu.
Sebenarnyalah, akhirnya keduanya melihat sebuah pedati berhenti di sebuah halaman yang luas. Namun pedati itu sudah terlepas dari sepasang lembunya. Bahkan tidak ada lagi orang yang sibuk menurunkan barang-barang dari pedati itu. Yang nampak kemudian, beberapa orang telah duduk di pendapa sambil minum-minuman panas. Sementara di serambi gandok, nampaknya ampat orang peronda berjaga-jaga sambil minum minuman panas pula.
“Kita datang terlambat, meskipun kita pasti bahwa kita berhasil menemukan pedati itu. Beberapa ekor kuda masih tertambat di patok-patok bambu itu,” berkata orang yang pertama.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang, kita tidak dapat melihat apa yang termuat dalam pedati itu.”
Namun bagi kedua orang itu, hasil yang dicapainya ternyata cukup memuaskan. Mereka tidak saja menemukan arah pedati itu, tetapi juga di mana pedati itu berhenti.
“Kita kembali untuk memberikan kabar kepada kawan-kawan kita,” berkata kedua orang itu.
Dengan sangat berhati-hati keduanya meninggalkan halaman rumah Ki Buyut Bumiagara.
Sedangkan senjata-senjata yang dimuat dalam pedati itu dengan cepat telah diturunkan dan disimpan di ruang dalam rumah Ki Buyut itu. Sementara itu, Ki Buyut telah memerintahkan rumah itu harus dijaga dengan baik sebelum senjata-senjata itu habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dianggap paling berhak menerimanya.
Orang-orang Larah yang sebagian mempunyai kebiasaan buruk, telah mendendam orang-orang Bumiagara yang telah berhasil menggagalkan rencana mereka untuk merampok barang-barang yang mereka bawa. Bahkan pemimpip perampok dari Larah itu berkata, “Aku sendiri akan datang ke Bumiagara. Aku akan merampok semua isi rumah Buyut Bumiagara itu. Bukankah pekerjaan itu sudah terlalu sering kita lakukan?”
“Tetapi kita harus memperhatikan kemampuan orang-orang Bumiagara. Seputar sepuluh orang di antara mereka, ternyata tidak dapat kita tundukkan. Padahal kita membawa lima belas orang kawan,” berkata kedua orang yang mengikuti jejak pedati itu sampai ke rumah Ki Buyut Bumiagara.
“Orang-orang Bumiagara tidak berarti apa-apa bagi orang-orang Larah. Tentu telah terjadi kesalahan, kenapa kita lima belas orang tidak dapat mengalahkan sepuluh orang Bumiagara. Tetapi mungkin juga sepuluh orang itu sendiri dari orang-orang yang paling baik di Kabuyutan itu, sehingga mereka tidak mempunyai kekuatan lebih dari itu,” geram pemimpin perampok yang terdiri dari orang-orang Larah itu.
“Memang mungkin,” jawab yang lain, “Tetapi Kabuyutan Bumiagara cukup besar. Jika kemudian Bumiagara mengumumkan permusuhan dengan Larah, mungkin kita akan mengalami kesulitan pula.”
“Mana mungkin,” jawab gegeduk yang memimpin para perampok dari Larah itu, “Setiap laki-laki di Larah mampu mempergunakan senjata. Tentu tidak demikian dengan orang-orang Bumiagara.”
“Ya, aku sependapat,” berkata seorang perampok yang hampir sepanjang umurnya hidup dalam suasana kekerasan, “Orang-orang Bumiagara tentu terdiri dari para pengecut. Dalam perselisihannya dengan Padepokan Bajra Seta, mereka telah bertumpu pada kekuatan orang lain. Prajurit Kediri yang memberontak dan dari padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu.”
Beberapa orang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan menunggu kesempatan itu. Untuk beberapa saat kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi pada suatu hari, tiba-tiba saja kita akan muncul di halaman rumah Ki Buyut sebagai sekelompok perampok yang akan mengakhiri kesombongan orang-orang Bumiagara yang telah menyinggung perasaan orang-orang Larah.”
“Tetapi kita harus tahu pasti, apakah prajurit Kediri itu sudah tidak berada di Kabuyutan Bumiagara?” berkata salah seorang di antara mereka.
“Tidak. Mereka telah pergi. Bumiagara telah ditinggalkan begitu saja dalam ketakutan menghadapi ancaman dari beberapa pihak,” berkata gegedug yang memimpin kawan-kawannya itu.
“Tetapi apakah yang dibawa orang-orang Bumiagara dengan pedati itu? Dan darimana pula?” desis seseorang.
“Aku tidak peduli. Tetapi barang-barang itu tentu barang berharga. Kita akan mengambilnya di rumah Buyut Bumiagara. Kita tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan mengumpulkan tiga puluh orang dari Larah ditambah dengan kawan-kawan kita yang terbaik. Kita akan merampok seluruh padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Jika jumlah kita sekitar empat puluh orang dengan orang-orang terbaik, maka Bumiagara tidak akan dapat melawan kita, meskipun isyarat sempat diberikan ke segenap penjuru Kabuyutan,” berkata gegedug itu, “Seandainya jumlah mereka tidak terhitung, maka kita tidak akan mendapat kesulitan untuk melarikan diri. Kita akan memencar, masing-masing dengan lima sampai tujuh orang. Jika mereka berani memburu, maka kita akan membantai orang-orang Bumiagara.”
Kawannya mengangguk-angguk. Namun nampaknya gegedug itu memang tidak tergesa-gesa. Ia harus mengumpulkan sejumlah orang untuk meyakinkan agar Bumiagara dapat ditundukkan, dikalahkan dan direndahkan harga dirinya sebagaimana mereka merendahkan harga diri orang-orang Larah dengan menggagalkan rencana mereka merampok pedati.
Namun dalam pada itu, Bumiagara telah mempunyai rencana tersendiri. Ki Buyut telah memerintahkan setiap padukuhan untuk menyiapkan anak-anak mudanya. Pada tahap pertama, masing-masing tidak lebih dari lima orang. Tetapi Ki Buyut Bumiagara sama sekali tidak berpikir tentang orang-orang Larah yang mendendamnya. Jika ia mempersiapkan diri, maka yang dibayangkan datang menyerang, adalah justru para prajurit Kediri yang sedang memberontak itu.
Karena itu, maka Ki Buyut-pun berkata, “Kita harus meningkatkan kemampuan anak-anak muda Bumiagara dengan diam-diam. Jika para prajurit Kediri mengetahuinya, maka mereka tentu akan semakin cepat datang untuk menghancurkan Kabuyutan ini.”
Dengan demikian, maka peningkatan kemampuan anak-anak Bumiagara dibagi menjadi beberapa kelompok yang berlatih di sanggar yang berbeda-beda. Tiga atau empat padukuhan menjadi satu, sehingga jumlahnya tidak begitu banyak.
Setelah segala persiapan dimatangkan, maka latihan-latihan-pun segera dimulai. Lima belas atau dua puluh orang anak muda berkumpul di sebuah padukuhan yang ditunjuk. Pada dasarnya mereka harus tetap dapat melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Pagi hari mereka pergi ke sawah. Kemudian lewat tengah hari mereka sempat beristirahat di rumah beberapa saat. Baru menjelang sore mereka pergi ke tempat yang telah ditentukan tanap menarik perhatian orang banyak.
Bahkan kadang-kadang mereka pergi ke padukuhan yang ditunjuk tidak bersama-sama. Demikian pula kegiatan mereka di tempat-tempat mereka berlatih selalu dilakukan di tempat yang tertutup. Mereka terbiasa melakukan di rumah Ki Bekel atau banjar padukuhan bagian belakang yang terlindung oleh dinding halaman.
Yang mula-mula sekali mereka pelajari adalah mempergunakan berjenis-jenis senjata yang dibawa dari Padepokan Bajra Seta. Lima orang cantrik yang ikut pergi ke Bumiagara telah di tempatkan di tempat-tempat latihan. Setiap kali mereka bertukar tempat, karena setiap cantrik memberikan latihan khusus serta latihan mempergunakan satu jenis senjata.
Kemauan yang besar serta kesediaan untuk mematuhi segala macam petunjuk, membuat anak-anak muda Bumiagara dengan cepat meningkat. Mereka dengan sungguh-sungguh belajar mempergunakan senjata yang berbeda dengan senjata yang mereka kenal ditempat mereka.
Tetapi latihan-latihan dengan senjata yang dibawa dari Padepokan Bajra Seta itu tidak mematikan kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata dari jenis yang lain. Senjata-senjata mereka sendiri. Bahkan para cantrik itu telah memberikan tuntunan untuk mempergunakan senjata apa saja yang dapat mereka ketemukan. Dari senjata yang paling baik sebagaimana mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta sampai dengan mempergunakan sepotong kayu yang mereka ketemukan di pinggir-pinggir jalan atau carang bambu yang mereka patahkan atau cambuk lembu pedati.
Namun ketika mereka sudah meningkat semakin tinggi, maka cantrik-cantrik itu mulai mengarahkan kepada setiap orang yang ikut dalam peningkatan itu untuk memilih dan bahkan mengarahkan anak-anak muda itu untuk memperdalam jenis-jenis senjata tertentu.
Ketika mereka menjadi mapan, maka senjata-senjata yang mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta itu-pun segera mereka bagi-bagikan. Ada yang lebih mantap mempergunakan pedang, ada yang lebih mapan bersenjata tombak. Namun ada yang merasa tenang jika mereka membawa kapak.
Tetapi di samping itu, ternyata ada yang memilih senjata cambuk. Orang-orang yang memilih bersenjata cambuk sudah tentu harus membuat cambuk sendiri. Meskipun demikian para cantrik itu-pun mampu memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana membuat cambuk yang baik dari janget yang dirangkap tiga. Namun para cantrik memberikan petunjuk pula, bahwa mereka yang memilih senjata dari jenis cambuk dan senjata lentur lainnya, juga bersiap dengan senjata tajam meskipun pendek. Pisau belati atau keris yang juga harus dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka di setiap padukuhan, sedikitnya ada lima orang anak muda yang memiliki kemampuan yang semakin tinggi. Bukan saja karena latihan-latihan yang tekun dan bersungguh-sungguh, tetapi mereka-pun membiasakan diri untuk meningkatkan kemampuan wadag mereka. Pagi-pagi benar, jika mereka pergi kesawah mendahului orang lain, mereka justru memilih jalan yang agak jauh dan sulit.
Mereka berlari-lari menyusuri tanggul sungai sambil memanggul cangkul, menuruni tebing dan naik ke bukit-bukit rendah. Baru ketika matahari terbit mereka sampai disawah. Mereka mempergunakan waktu sedikit untuk menenangkan pernafasan mereka dan beristirahat digardu. Baru kemudian, jika orang-orang lain telah datang, anak-anak muda itu mulai bekerja di sawah sebagaimana kebiasaan mereka sebelumnya.
Ketika anak-anak muda yang lima dari setiap padukuhan itu sudah menjadi semakin baik, maka setiap orang telah mendapat tugas untuk memberikan tuntutan secara khusus kepada dua orang kawannya. Dua orang yang bersedia berlatih dengan sungguh-sungguh.
Tetapi ternyata bahwa senjata yang sempat dibawa ke Bumiagara sangat terbatas, sehingga yang mendapat bagian hanya anak-anak muda yang ikut berlatih pada putaran pertama. Namun mereka akan menjadi tulang punggung kekuatan anak-anak muda di Bumiagara.
Pada tataran yang semakin meningkat, maka Bumiagara memang banyak mengalami perubahan. Anak-anak mudanya menjadi semakin yakin akan diri mereka sendiri. Apalagi setelah kemampuan dari anak-anak muda yang ikut putaran pertama itu mulai menjalar, sementara anak-anak muda yang ikut pada putaran pertama itu masih terus berlatih bersama para cantrik untuk semakin meningkatkan kemampuan mereka.
Ketika segala sesuatunya telah menjadi semakin rancak, maka seorang di antara para cantrik itu telah memilih sepuluh anak muda yang lain khususnya dari padukuhan induk untuk mengadakan latihan tersendiri. Bersama dengan lima orang yang lebih dahulu, maka sepuluh orang di padukuhan induk itu akan menjadi pelindung padukuhan induk.
Demikianlah, dengan diam-diam Kabuyutan Bumiagara telah berbenah diri. Setelah sebulan menyelenggarakan latihan-latihan dengan bersungguh-sungguh, maka beberapa orang anak muda telah benar-benar memiliki kemampuan mempergunakan senjata dengan baik. Sementara itu, kemampuan mereka-pun seakan-akan telah menjalar semakin lama semakin luas.
Di setiap padukuhan sedikitnya sudah ada lima orang yang dapat diandalkan. Mereka dengan mempergunakan senjata khusus yang dibawa dari Padepokan Bajar Seta, merupakan tulang punggung kekuatan yang ada di setiap padukuhan. Sedangkan di hari-hari berikutnya, di padukuhan induk, limabelas orang telah ditempa dengan sungguh-sungguh oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Dalam pada itu, Ki Buyut telah menjadi sedikit tenang menghadapi ancaman para prajurit Kediri yang memberontak itu. Jika mereka kemudian datang untuk memeras tenaga dan bahan makanan yang ada di Kabuyutan itu, maka Kabuyutan Bumiagara akan dapat berbicara pula.
Apalagi atas permintaan beberapa orang bebahu, para cantrik telah memberikan waktunya pula untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tujuh orang bebahu Kabuyutan yang masih berusia muda, dan dua orang bebahu di setiap padukuhan. Bahkan ada beberapa orang bekal yang masih belum terlalu tua, ikut pula meningkatkan kemampuan mereka. Sementara itu, anak-anak muda yang telah mendapat latihan khusus telah menjalarkan pengetahuan mereka dalam olah senjata kepada masing-masing dua orang kawannya.
“Seandainya kami akan ditumpas habis oleh para prajurit yang memberontak terhadap kepemimpinan Sri Baginda di Kediri itu benar-benar dilakukan, maka kami tidak akan mati tanpa arti" berkata Ki Buyut yang telah memiliki sebilah pedang yang besar dan panjang, namun tidak terlalu berat meskipun kekuatan dan kemampuan penggunaannya tidak kalah dengan pedang-pedang sebesar itu, namun beratnya berbaut banyak. Apalagi di setiap hari, kekuatan dan kemampuan anak-anak muda di Kabuyutan Bumiagara itu semakin meningkat.
Tetapi yang tidak diduga-duga itu justru terjadi. Orang-orang Larah yang menyabarkan diri menunggu, barangkali ada lagi sebuah pedati yang bakal lewat milik orang-orang Bumiagara, akhirnya telah sampai ke puncaknya. Beberapa orang tidak lagi ingin menunggu lebih lama lagi. Apalagi persiapan mereka telah mantap. Sekitar tigapuluh orang Larah dan sekitarnya dan lima orang gegedug yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi ditambah dengan lima orang kawan gegedug yang berilmu tinggi itu.
“Kita bukan sekedar membalas dendam. Tetapi kita akan merampok padukuhan Induk Bumiagara habis-habisan. Ketika seorang di antara kita lewat padukuhan induk itu, maka orang itu sempat melihat beberapa rumah yang besar dan terawat baik. Rumah-rumah itu tentu rumah-rumah orang kaya dan menyimpan berbagai macam harta kekayaan yang nilainya tinggi. Selama ini kita belum pernah melakukan hal seperti ini. Beramai-ramai memasuki sebuah padukuhan untuk merampok bukan saja rumah seorang yang kaya raya, tetapi kami akan merampok seisi padukuhan. Kita akan menghancurkan rumah Ki Buyut Bumiagara setelah semua isinya kita kuras habis,” berkata gegedug yang memimpin orang-orang Larah.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Mungkin kita tidak akan menemukan harta benda yang pantas untuk kita bagikan kepada orang sebanyak ini. Tetapi aku tidak berkeberatan untuk melakukannya. Nampaknya memang menarik untuk melakukan satu pekerjaan yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya sekelompok berandal dan perampok tidak membawa lebih dari sepuluh orang kawan. Namun kita tahu, bahwa selain merampok, kalian nampaknya ingin membalas sakit hati karena usaha kalian untuk merampok pedati lebih dari sebulan yang lalu itu gagal. Bahkan ada di antara kalian yang terbunuh. Sementara orang-orang Bumiagara sama sekali tidak meninggalkan korban.”
“Ya. Kau benar,” sahut pemimpin dari orang-orang Larah, “Sekali ini kita melakukan kerja rangkap. Kita sudah cukup bersabar sehingga waktunya telah sebulan lewat. Ternyata tidak ada lagi pedati yang lewat dengan membawa barang-barang berharga.”
“Kalianlah yang dungu,” sahut salah seorang gegedug, “Mereka tidak akan mau mengambil jalan itu lagi.”
“Kami sudah memperhitungkan,” jawab pemimpin orang-orang Larah, “Kami sudah mengamati tiga jalur jalan yang mungkin dilalui. Tetapi kami telah gagal.”
Gegedug itu tertawa. Katanya, “Sekarang kau akan mengambil sendiri di Bumiagara. Baiklah. Kita akan melakukannya di permulaan pekan mendatang, setelah bulan lenyap dari langit. Dalam kegelapan maka kita akan dapat menjadi semakin buas.”
“Aku sependapat,” berkata pemimpin orang Larah, “Aku masih akan mengirim orang untuk mengamati keadaan di Bumiagara.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka telah sepakat lima hari lagi, mereka akan pergi ke Bumiagara untuk melepaskan dendam mereka. Bagi mereka, waktu yang hampir dua bulan itu tentu sudah cukup lama. Bahkan terlalu lama untuk menunggu kesempatan membalas dendam kematian kawan-kawan mereka serta kegagalan mutlak saat mereka berniat merampas benda-benda berharga.
Namun seorang di antara para gegedug yang siap membantu itu berkata, “Masih belum terlalu lama. Untuk sebuah dendam karena kematian seorang kawan, sepuluh tahun-pun bukan hitungan yang lama. Daripada kita tergesa-gesa melakukannya, namun hasilnya justru sebaliknya, maka kita lebih baik menunggu untuk beberapa lama, namun dengan satu keyakinan.”
Orang yang memimpin kawan-kawannya dari Larah dan sekitarnya itu-pun mengangguk-angguk. Katanya, “Selama dua bulan kita mempersiapkan diri sambil mengamati perkembangan Kabuyutan Bumiagara. Namun agaknya Bumiagara terlalu lelap dalam mimpi yang mengasikkan.”
“Besok mereka akan segera terbangun,” jawab kawannya yang lain.
Sebenarnyalah Bumiagara memang tidak mengira sama sekali, bahwa Larah akan mencoba untuk membalas dendam dan menyerang bahkan merampok padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Namun demikian diluar kehendak mereka mempersiapkan diri menyambut serangan itu, mereka telah menempa anak-anak mudanya yang disiapkan untuk menghadapi para prajurit Kediri.
Meskipun dalam waktu dua bulan olah kanuragan, namun anak-anak muda Bumiagara yang berlatih dengan sungguh-sungguh disetiap hari itu, merupakan peningkatan kemampuan yang sangat berarti. Mereka telah menguasai senjata mereka masing-masing. Mengenal berbagai macam cara untuk mempertahankan diri dan menyerang.
Selain anak-anak muda itu, maka beberapa orang bebahu yang pada dasarnya telah memiliki landasan kemampuan olah kanuragan, menjadi semakin mapan. Dengan senjata yang mereka terima dari Padepokan Bajra Seta, maka mereka merupakan orang yang memiliki ketangkasan yang tinggi dalam olah senjata dari jenis senjata mereka masing-masing.
Kecuali peningkatan kemampuan olah kanuragan, maka daya tahan anak-anak muda di Kabuyutan Bumiagara itu-pun telah meningkat pula. Di dalam sanggar atau dihalaman belakang rumah para Bekel padukuhan, mereka tidak saja belajar ilmu olah senjata. Tetapi mereka-pun berusaha untuk meningkatkan daya tahan mereka dengan latihan-latihan yang berat, namun teratur dengan tuntutan para cantrik. Diluar latihan-latihan itu, mereka-pun mempergunakan sesaat pagi hari menjelang bekerja di sawah untuk meningkatkan daya tahan mereka pula.
Sementara itu, beberapa orang anak muda di hari-hari terakhir melihat orang-orang yang tidak dikenal berjalan hilir mudik di Kabuyutan Bumiagara, terutama di padukuhan induk. Meskipun mereka menjadi curiga, tetapi anak-anak muda itu tidak mengambil tindakan sebelum mereka melaporkannya kepada Ki Buyut atau salah seorang bebahu Kabuyutan. Ketika seorang anak muda menyampaikan hal itu kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut-pun menjadi berdebar-debar.
“Apakah nampaknya orang itu seorang prajurit Kediri?” bertanya Ki Buyut.
Anak muda itu menggeleng. Katanya, “Agaknya orang itu bukan seorang prajurit. Meskipun orang itu bertubuh tinggi tegap dan kekar, tetapi sikapnya bukan sikap seorang prajurit.”
“Awasi jika ada orang yang mencurigakan. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa mengambil tindakan,” berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah di hari berikutnya, seorang anak muda yang kebetulan berjalan dengan seorang cantrik Padepokan Bajra Seta yang ada di Bumiagara itu bertemu lagi dengan orang yang menarik perhatian. Meskipun jalan induk Kabuyutan Bumiagara itu memang ramai dilewati orang dari tempat yang lain, namun sikap orang yang agaknya memperhatikan keadaan sekelilingnya itu agak mencurigakan.
“Kita temui orang itu” berkata anak muda yang berjalan bersama seorang cantrik itu.
“Jangan,” jawab cantrik itu, “Seandainya orang itu berniat buruk, kita tidak dapat membuktikannya.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut menjadi semakin bersungguh-sungguh menanggapinya.
“Mungkin orang-orang Larah,” berkata cantrik itu, “Menilik sikap dan pandangan matanya yang kasar.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Agaknya orang-orang Larah telah mendendam kepada kita.”
Karena itulah, maka Ki Buyut memerintahkan untuk meningkatkan kesiagaan. “Tidak usah berlebihan. Tetapi gardu-gardu parondan harus terisi. Alat uatuk memberikan isyarat harus tersedia.”
“Namun ada kalanya kita justru tidak mempergunakan isyarat itu,” berkata Ki Buyut, “Mungkin kita ingin menjebak seseorang atau sekelompok orang.”
Anak-anak muda itu-pun mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka pengawasan di malam hari menjadi semakin meningkat. Tetapi yang nampak digardu-gardu tidak lebih dari beberapa orang anak muda yang terkantuk-kantuk.
Di hari yang telah direncanakan, maka orang-orang Larah bersama para gegedug telah berkumpul menjelang senja. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya yang akan mereka bawa ke Bumiagara, terutama senjata mereka. Senjata bagi mereka akan dapat berarti nyawa.
Dengan dibakar oleh dendam, maka orang-orang Larah telah berangkat menuju ke Bumiagara ketika malam mulai turun. Mereka memecah diri menjadi beberapa kdompok kecil agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian, apabila ada orang yang kebetulan melihat.
Namun beberapa orang di antara mereka sama sekali tidak berkepentingan dengan dendam orang-orang Larah. Bagi mereka, Bumiagara memang satu sumber yang akan dapat memberikan banyak kemungkinan. Mungkin uang. Tetapi mungkin juga barang-barang berharga. Orang-orang Bumiagara memang banyak yang menjadi saudagar yang berhasil.
Mendekati tengah malam, maka orang-orang Larah serta beberapa orang gegedug itu telah memasuki Kabuyutan Bumiagara. Mereka memang memilih mengikuti jalan-jalan bulak dan bahkan menyusuri pematang dan tanggul-tanggul parit untuk menghindari padukuhan-padukuhan, langsung menuju ke padukuhan induk Bumiagara.
Namun orang-orang Bumiagara yang berada di gubug-gubug disawah yang memang dipasang oleh para bebahu, sempat melihat mereka. Seperti yang sudah direncanakan, maka mereka-pun segera pergi ke padukuhan terdekat untuk memberitahukan kedatangan kelompok-kelompok yang tidak mereka kenal sebelumnya.
“Tentu bukan prajurit Kediri,” berkata salah seorang Bekel yang mendengar laporan itu, “Prajurit Kediri yang memberontak itu tidak akan datang dengan diam-diam. Mereka tentu akan datang dalam ujud pasukan yang utuh.”
Kesimpulan Ki Bekel adalah, bahwa yang datang itu tentu orang-orang Larah yang mendendam, sebagaimana diduga sebelumnya. Dengan begitu maka Ki Bekel bersama lima orang anak muda yang telah meningkatkan kemampuan mereka, serta mempunyai senjata khusus dari Padepokan Bajra Seta sudah berangkat meninggalkan padukuhan mereka.
Dengan hati-hati mereka telah menyusuri jalan langsung menuju ke padukuhan induk. Justru memilih jalan yang akan melintasi beberapa padukuhan. Jalan yang tentu tidak dipilih oleh orang-orang Larah dan beberapa orang gegedug itu. Di setiap padukuhan, Ki Bekel telah memberitahukan, bahwa beberapa kelompok kecil orang yang tidak dikenal telah menuju ke padukuhan induk...