PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 104
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 104
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mendengar gemericik air yang mengalir di parit di tepi jalan yang dilaluinya. Selisih waktu yang diperlukan oleh Mahisa Murti dengan ayahnya memang tidak terlalu banyak. Ketika ia kemudian naik tangga tempat tinggal Mahendra di bagian belakang istana, maka hatinya tidak lagi terguncang-guncang.
Karena itu ketika kemudian ia berbicara dengan Mahisa Pukat, maka dengan hati yang tatag ia berkata, “Sasi telah memberikan isyarat itu.”
“Apa katanya?” bertanya Mahisa Pukat tidak sabar.
“Ia tidak berkata apa-apa. Tetapi ia menganggukkan kepalanya yang menurut tangkapanku, ia telah mengiakannya,” jawab Mahisa Murti dengan nada datar.
“Benar begitu?” desak Mahisa Pukat.
“Tentu kau harus mengulanginya, harus meyakinkan dirimu bahwa Sasi tidak keberatan. Tetapi kau pun harus meyakinkan Sasi, bahwa kau benar-benar menghendakinya.”
…Ah…ceritanya meloncat jauh, tapi di buku aslinya memang begitu!…
Sejenak kemudian Mahisa Murti itu pun telah berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan. Orang-orang yang ingin menyaksikan perkelahian itu pun telah melingkar seakan-akan telah membentuk lingkaran arena perang tanding.
Ternyata Sardula Mapan benar-benar merasa tersinggung melihat sikap Mahisa Murti. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas atau gelisah. Ia tetap saja tenang meskipun ia sudah mendapat keterangan dari pemilik kedai itu tentang seorang yang bernama Sardula Mapan.
Para prajurit yang berdiri di lingkaran arena itulah yang justru menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka pernah mendengar tentang kelebihan anak muda itu, namun mereka masih belum dapat meyakinkannya.
Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu pun berkata, “Nah, aku memberikan kesempatan terakhir, sebelum aku memilin lehermu.”
“Kesempatan apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau memang terlalu sombong anak muda. Tetapi, aku masih tetap dalam pendirianku. Aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membiarkan kau hidup dan berceritera tentang orang yang bernama Sardula Mapan” geram orang itu.
“Aku tidak akan berjanji apapun” jawab Mahisa Murti, “tetapi jika kau terbunuh juga, itu bukan salahku.”
Sardula Mapan memandang Mahisa Murti dengan sorot mata yang menyala. Kemarahannya rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia pun mulai bergerak menyerang Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang telah bersiap sepenuhnya itu pun dengan cepat telah menghindar, sehingga serangan lawannya tidak menyentuhnya. Namun serangan-serangan berikutnya pun telah meluncur pula mendesak Mahisa Murti beberapa langkah surut. Ternyata Mahisa Murti memang masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia lebih banyak melayani serangan-serangan Sardula Mapan. Bahkan sekali-sekali ia berusaha untuk membentur serangan lawannya itu meskipun tidak sepenuhnya. Namun, bahwa Mahisa Murti beberapa kali meloncat mundur itu, bagi lawannya seakan-akan merupakan satu isyarat bahwa Mahisa Murti berada dalam kesulitan.
Meskipun demikian, Sardula Mapan yang merasa dirinya orang yang paling ditakuti itu pun merasa heran. Meskipun beberapa kali lawannya yang masih muda itu terdesak, namun beberapa lama pertempuran itu terjadi, ia masih belum dapat mengalahkannya. Karena itu, maka kemarahan Sardula Mapan pun semakin membakar jantungnya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun telah meningkatkan serangan-serangannya.
Lawannya yang masih muda itu memang selalu terdesak. Sekali-sekali anak muda itu meloncat mengambil jarak. Tetapi serangan-serangannya masih belum berhasil mengenai sasarannya. Anak muda yang terdesak itu masih saja dengan tangkas mampu menghindari serangan-serangannya betapapun cepatnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mulai dapat menduga kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Murti yakin, bahwa ilmu orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu masih akan dapat meningkat lagi.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Mahisa Murti masih saja nampak terdesak. Tetapi serangan lawannya belum pernah menyentuhnya.
Karena itu, ketika sambil meloncat mengambil jarak, Mahisa Murti sempat menyentuh pundak Sardula Mapan, maka lawannya itu terkejut bukan buatan. Sentuhan itu sendiri tidak menyakitinya. Tetapi bahwa anak muda itu berhasil menyentuhnya, justru saat ia terdesak telah membuatnya gelisah.
“Apa sajayang dapat dilakukan oleh anak ini?” pertanyaan itu telah semakin mengganggunya.
Ketika Sardula Mapan itu semakin meningkatkan ilmunya bahkan sampai ke puncaknya, maka Mahisa Murti mulai berusaha untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi karena orang itu memang tidak berniat membunuhnya, meskipun dengan maksud untuk membesarkan namanya, maka Mahisa Murti pun sama sekali tidak berniat untuk melakukannya pula.
Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah berusaha untuk mengalahkannya. Tetapi tidak untuk membunuh atau menyakitinya atau membuatnya cacat. Karena itu, maka Mahisa Murti akan memancingnya untuk bertempur semakin cepat dan keras. Tanpa mempergunakan ilmunya untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan, maka Mahisa Murti akan membiarkan lawannya. itu kelelahan dan kehabisan tenaga dengan sendirinya, sehingga perlawanannya pun akan terhenti.
Sebenarnyalah, Sardula Mapan yang marah itu tidak menyadari, bahwa lawannya telah memaksanya untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan loncatan-loncatan panjang Mahisa Murti berusaha menghindari serangan-serangan Sardula Mapan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murtilah yang meloncat menyerang. Bahkan hampir setiap serangan Mahisa Murti tidak dapat dihindari atau ditangkis oleh Sardula Mapan.
Ketika pundaknya tersentuh tangan anak muda itu, Sardula Mapan telah merasa tersinggung. Namun kemudian berturut-turut serangan Mahisa Murti itu mengenainya. Tidak terlalu keras. Namun membuatnya menjadi semakin marah. Lengannya, dadanya dan bahkan anak muda itu telah memukul keningnya. Kemarahan sardula Mapan telah membuatnya menghentak-hentakkan kemampuannya. Namun serangannya masih saja tidak dapat menyentuh sasaran.
Puncak dari kemarahan Sardula Mapan adalah serangan Mahisa Murti kemudian. Serangan yang datangnya begitu cepat. Justru saat anak muda itu seakan-akan terdesak dan berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ketika Sardula Mapan memburunya, Mahisa Pukat tidak menghindar. Tetapi dengan cepat ia menepis serangan Sardula Mapan itu kesamping. Tangannya yang terayun cepat itu bagaikan dilemparkan dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga badannya ikut pula berputar.
Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Murti. Ia tidak ingin memukul tengkuk lawannya sehingga patah. Tetapi dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, maka tangannya telah menyambar ikat kepala Sardula Mapan. Beberapa orang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan. Beberapa orang justru tidak dapat menahan desah yang tiba-tiba saja meluncur dari mulut mereka.
Mengalami perlakuan itu, maka Sardula Mapan telah meloncat beberapa langkah surut. Wajahnya menjadi merah padam. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi oleh kemarahan yang serasa menyumbat dadanya, maka kata-kata yang meluncur dari mulutnya adalah suara yang gagap, “Kau, kau, anak iblis.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sekarang yang aku pungut baru ikat kepalamu. Tetapi jika kau masih saja memaksaku untuk berkelahi maka pada kesempatan lain, mungkin aku ingin memungut kepalamu.”
“Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kau yang tidak tahu diri itu telah membuat aku merubah keputusanku. Kebaikan hatiku kau salah gunakan. Kau justru telah menghinaku. Kau bukan saja mengenai tubuhku dengan serangan-seranganmu, tetapi kau telah berani menyentuh bagian dari kepalaku.” geram orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu.
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Kenapa kau masih saja merajuk? Jika kau marah, marahlah. Apa saja yang ingin kau lakukan, lakukanlah. Tetapi ingat, aku akan melawanmu habis-habisan.”
“Semula aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kemudian aku telah merubah keputusanku. Aku akan membunuhmu dengan senjataku yang jarang sekali aku pergunakan.” berkata orang itu dengan lantang.
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, “Kau akan menyakiti dirimu sendiri. Aku ingin menasehatkan agar kau urungkan niatmu untuk mempergunakan senjatamu. Karena jika kau tarik senjatamu, maka itu bagiku merupakan satu isyarat agar aku juga menarik senjataku.”
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia sudah merasa benar-benar terhina oleh sikap anak muda yang telah mengambil iakt kepalanya itu langsung dari kepalanya. Karena itu, sejenak kemudian, orang itu pun telah menggenggam sebilah keris yang besar, yang hampir sebesar dan sepanjang sebilah pedang. Namun dengan demikian Mahisa Murti pun teringat pula akan pedangnya yang disebut oleh pemiliknya sebelumnya dengan sebilah keris.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Senjatanya itu mempunyai pasangan yang dibawa oleh Mahisa Pukat. Tetapi sepasang senjata itu kemudian terpaksa terpisah karena Mahisa Pukat tidak bersertanya kembali ke padepokan.
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun telah berhadapan kembali. Sardula Mapan itu sudah tidak terkekang lagi. Apalagi ketika Mahisa Murti melemparkan ikat kepalanya sambil berkata, “Jika kau sayang akan ikat kepalamu, marilah, aku kembalikan kepadamu.”
Orang itu tidak menghiraukannya. Sama sekali tidak ada usahanya untuk menangkap ikat kepalanya yang dilemparkan oleh Mahisa Murti. Namun yang dilakukannya adalah justru meloncat menyerang dengan garangnya. Kerisnya terjulur lurus langsung mengarah ke dadanya.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dengan tangkasnya bergeser sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya. Ketika terdengar suara berdentang, maka bungampi pun telah berhamburan.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin cemas. Tetapi mereka merasa heran, bahwa anak muda yang nampaknya selalu terdesak itu, justru telah mampu mengenai lawannya dan bahkan merampas ikat kepalanya. Sudah tentu hal itu merupakan penghinaan yang sulit dimaafkan oleh Sardula Mapan.
Ternyata bahwa Sardula Mapan pun memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi meskipun yang digenggam sebilah keris. Tetapi ujud keris itu memang hampir sebesar dan sepanjang pedang. Dalam pertempuran bersenjata itu, Mahisa Murti masih saja nampak terdesak. Namun sekali-sekali sambaran ujung pedangnya telah mengejutkan Sardula Mapan.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap memancingnya agar lawannya itu bertempur dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya. Sardula Mapan yang tersinggung karena Mahisa Murti telah menyambar ikat kepalanya memang telah terpancing. Dengan loncatan panjang ia berusaha menggapai dan mengenai tubuh anak muda itu. Bahkan semakin lama semakin garang.
Beberapa kali Mahisa Murti meloncat mundur. Namun demikian Sardula Mapan mendesaknya semakin jauh maka Mahisa Murti pun tiba-tiba menghentakkan ilmu pedangnya dan menyerang lawannya dengan kecepatan yang mengejutkan. Dengan demikian maka Sardula Mapan itu telah diguncang oleh cara Mahisa Murti melawannya. Sekali-sekali Sardula Mapan berhasil mendesak lawannya. Namun tiba-tiba ia sendirilah yang justru terdesak.
Dengan demikian maka Sardula Mapan telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ketika ia merasa mampu mendesak lawannya, maka ia ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Namun lawannya yang muda itu seakan-akan justru menjadi semakin liat. Bahkan kemudian lawannya itulah yang mendesaknya, sehingga Sardula Mapan itu juga mengerahkan kemampuannya untuk bertahan.
Sebenarnyalah, semakin lama Sardula Mapan memang harus memeras tenaga dan kemampuannya. Disatu saat ia semakin bernafsu untuk segera menang, namun disaat lain ia mengumpat-umpat karena lawannya telah mendesaknya. Kemarahan Sardula Mapan menjadi semakin memuncak ketika ujung pedang Mahisa Murti justru telah menyentuh kulitnya. Segores luka telah tergores dipundaknya. Tidak terlalu dalam. Namun dari luka itu, darah telah mengalir.
Kepala Sardula Mapan rasa-rasanya hampir meledak oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Darahnya serasa mendidih memanasi seluruh kulit dagingnya. Sambil menggeram Sardula Mapan menyerang semakin garang. Sementara Mahisa Murti melayaninya dengan tangkasnya.
Karena itulah, maka sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti, maka tenaga Sardula Mapan memang mulai menjadi susut. Mahisa Murti sama sekali tidak mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawan. Yang dilakukannya sekedar memaksa Sardula Mapan untuk mengerahkan tenaganya sampai kepuncak kemampuannya.
Demikian kekuatan dan kemampuan Sardula Mapan mulai susut, maka Mahisa Murti justru semakin cepat bergerak. Ujung pedangnya bergerak semakin cepat. Bahkan kemudian seperti seekor lalat yang berterbangan mengelilingi tubuh Sardula Mapan dan sesekali hinggap dikulitnya.
Sardula Mapan sendiri masih belum menyadari, bahwa tenaga dan dengan sendirinya kemampuannya mulai susut. Kemarahannyalah yang menghentak-hentaknya untuk memaksakan diri bertempur semakin garang.
Namun akhirnya Sardula Mapan tidak dapat menghindari kenyataan itu. Tenaganya yang semakin terkuras membuatnya semakin kehilangan keseimbangannya. Beberapa kali Sardula Mapan justru terseret oleh serangan-serangannya sendiri yang tidak menyentuh sasaran.
Namun Mahisa Murti tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Disaat-saat Sardula Mapan itu terengah-engah, maka Mahisa Murtilah yang telah menggelitiknya dengan serangan-serangannya. Sesekali ujung pedangnya menyentuh kulit lawannya. Hanya sekedar menggores seleret kecil. Namun ketika keringat menyentuh luka kecil itu, maka perasaan pedih pun telah menyengat pula.
Sambil mengumpat-umpat Sardula Mapan masih berusaha melawan. Namun akhirnya ia tidak dapat mengingkari bahwa kekuatannya sudah hampir habis sama sekali. Beberapa kali ia terhuyung-huyung hampir kehilangan keseimbangan. Namun Mahisa Murti masih membiarkannya bertahan untuk tetap berdiri.
Pada saat yang demikian itulah, maka Sardula Mapan mulai menyadari sepenuhnya keadaannya. Ia mulai mengerti, bagaimana anak muda itu memancingnya sehingga tenaganya terkuras habis. Ketika Sardula Mapan menyerang dengan pedang terjulur serta Mahisa Murti begitu saja bergeser kesamping, maka rasa-rasanya Sardula Mapan itu hampir jatuh terjerembab. Jika saja saat itu Mahisa Murti menyerangnya, maka habislah sudah segala-galanya.
Tetapi kemarahan Sardula Mapan memang tidak dapat diredamnya. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti benar-benar penghinaan yang tiada taranya. Karena itu maka ia pun kemudian berteriak, “Cepat, selesaikan anak ini”
Beberapa orang kawannya mulai bergerak. Tetapi demikian mereka melangkah maju, maka seorang dari ketiga orang prajurit yang menyertai Mahisa Murti berkata lantang, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak usah turut campur. Biarlah mereka menyelesaikan permainan dengan adil tanpa dicampuri orang lain.”
“Persetan kau. Sebaiknya kaulah yang tidak usah turut campur. Kami adalah kawan-kawan Sardula Mapan yang wajib membantunya jika ia dalam keadaan gawat.”
“Bukankah kau dan kawan-kawanmu melihat bahwa kami datang bersama anak muda itu. Jika kau merasa wajib membantu kawanmu, maka kami juga merasa berkewajiban untuk melakukannya.”
Kawan-kawan Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu. Jika saja mereka memiliki kemampuan seperti anak muda itu, maka mereka memang akan kehilangan kesempatan untuk mengalahkannya. Karena itu, untuk sesaat mereka memang menjadi ragu. Namun agaknya pengaruh Sardula Mapan terhadap mereka cukup besar. Karena itu, maka ketika Sardula Mapan itu sekali lagi berteriak, maka mereka tidak dapat menolak lagi.
Apalagi mereka merasa bahwa jumlah mereka lebih banyak dari jumlah kawan-kawan anak muda itu. Dalam waktu singkat, lima orang telah bersiap. Berenam dengan Sardula Mapan mereka menghadapi Mahisa Murti dan tiga orang kawannya.
Namun sambil tertawa Mahisa Murti berkata, “Kenapa kalian masih berniat untuk berkelahi terus? Bukankah kita dapat menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai sampai di sini?”
“Persetan” geram Sardula Mapan, “kau tidak usah berusaha menyelamatkan diri sesudah dengan sombong kau menghina aku.”
“Tetapi apa yang akan kau lakukan itu justru hanya akan menambah parah perasaanmu. Kau akan merasa lebih terhina lagi, karena kawan-kawanmu tidak akan dapat mengalahkan kawan-kawanku meskipun jumlah kalian lebih banyak.”
“Jangan dengarkan” teriak Sardula Mapan, “cepat, lakukan. Apa lagi yang kalian tunggu?”
Kelima orang itu pun segera bergerak semakin dekat. Tetapi bersamaan dengan itu, tiga orang prajurit yang menyertai perjalanan Mahisa Murti telah melangkah maju pula. Mereka memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Tetapi mereka tidak melupakan senjata mereka.
Sejenak kedua kelompok itu pun berhadapan. Namun Sardula Mapan sendiri seakan-akan telah kehabisan tenaga. Bahkan ditubuhnya terdapat beberapa gores luka yang meskipun tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menodai pakaiannya dengan darah. Sejenak kawan-kawan Sardula Mapan itu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Apalagi ketika mereka melihat ketiga orang kawan Mahisa Murti yang nampak meyakinkan.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku minta, urungkan niat kalian untuk memperluas persoalan yang sebenarnya tidak terlalu penting ini. Tetapi jika kalian memaksakannya, maka kami akan dapat kehilangan kesabaran, sehingga kami pun akan dapat bertindak semakin keras menghadapi kalian. Aku tahu bahwa kalian bukan orang-orang jahat yang sebenarnya. Tetapi kalian adalah orang-orang yang terlalu yakin akan kelebihan kalian, sehingga kalian sering berbuat sewenang-wenang terhadap orane lain. Karena itu, aku minta hentikan tingkah laku kalian itu sebelum kalian mengalami kesulitan yang semakin parah.”
Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu. Luka-luka ditubuhnya terasa semakin pedih meskipun luka-luka itu tidak terlalu parah. Sementara itu empat orang yang telah bersiap, berdiri tegak dihadapannya. Sikap dan tatapan mata mereka yang meyakinkan memang membuat Sardula Mapan dan kawan-kawannya harus berpikir kembali apakah mereka akan meneruskan niat mereka.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Nah, kalian mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sekali lagi niat kalian. Selanjutnya jika kita sudah mulai lagi dengan perkelahian, maka aku tidak akan bertanya lagi, apakah kalian akan menghancurkan diri sendiri atau akan mengambil sikap bijaksana.”
Wajah Sardula Mapan menjadi merah padam, sementara luka-lukanya terasa semakin pedih, Namun ia memang ragu-ragu untuk memaksa kawan-kawannya bertempur melawan keempat orang yang nampaknya memang memiliki kelebihan. Meskipun jumlah kawan-kawannya lebih banyak, namun mereka tidak memiliki kemampuan sebagaimana Sardula Mapan. Sementara itu, ia sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang sejak semula dikiranya selalu terdesak itu.
“Ia dengan sengaja mempermainkan aku” berkata Sardula Mapan itu di dalam hatinya.
Dengan demikian Sardula Mapan itu tidak mau menambah kekalahannya lagi. Ia sudah cukup dipermalukan, sehingga nalarnya masih sempat memperhitungkan, bahwa perkelahian berikutnya hanya akan meyakinkan orang-orang yang menyaksikannya bahwa ia memang tidak berdaya. Menghadapi anak muda dan kawan-kawannya sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sementara, sebelumnya Sardula Mapan adalah orang yang meskipun di antara mereka sama sekali belum pernah mengenalnya secara pribadi. Karena itu, maka akhirnya Sardula Mapan itu tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia masih tetap berusaha untuk mempertahankan harga dirinya.
Dengan lantang ia pun kemudian berkata, “Ternyata aku tidak sampai hati berbuat lebih jauh. Melihat wajahmu yang masih kekanak-kanakan itu aku memang merasa kasihan. Karena itu maka kali ini kalian aku ampuni. Kalian boleh pergi sekehendak hatimu. Tetapi ingat, jangan kembali lagi.”
Hampir berbareng Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit yang menyertainya tertawa. Namun, Mahisa Murti kemudian menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi maaf, aku belum ingin pergi. Aku masih meninggalkan mangkuk minuman di dalam. Demikian pula kawan-kawanku. Karena itu, kami akan menghabiskan-nya lebih dahulu.”
“Setan kau. Kau memang tidak tahu diri.” geram Sardula Mapan. Lalu katanya, “Tetapi ingat, untuk selanjutnya jangan kembali lagi kemari.”
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Kenapa tidak kita hentikan permusuhan ini. Kau tahu bahwa ancaman-ancaman semacam itu tidak ada gunanya sama sekali. Aku harap kau mengetahui bahwa untuk selanjutnya aku akan sering lewat jalan ini. Aku tinggal di Padepokan Bajra Seta, sementara ayahku berada di Kotaraja. Nah, bukankah aku akan sering melewati jalan ini? Aku akan sering pula singgah di kedai ini dan aku akan selalu bertanya tentang seseorang yang bernama Sardula Mapan. Apakah ia masih sering datang kemari atau tidak.”
Wajah Sardula Mapan menjadi merah. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, “Kita tinggalkan iblis-iblis itu. Tidak ada artinya apa-apa jika kita melayaninya. Aku tidak mempunyai waktu.”
Demikianlah, maka Sardula Mapan itu pun segera melangkah ke kudanya diikuti oleh kawan-kawannya. Luka-lukanya memang tidak terlalu berbahaya. Namun pakaiannya telah ternoda darahnya yg menitik dari luka-lukanya.
Tetapi, ketika Sardula Mapan itu akan meloncat ke punggung kudanya, Mahisa Murti masih berkata, “Baiklah. Aku yang akan membayar harga makanan dan minuman yang telah kalian makan dan kalian minum di kedai ini.”
Telinga Sardula Mapan rasa-rasanya seperti tersengat api. Dengan marah Sardula mapan telah memungut beberapa keping uang dari kantong ikat-pinggangnya. Sambil melemparkan uang itu kepada pemilik kedai itu berkata, “Ambil uang itu. Kelebihannya adalah pertanda kemurahanku.”
Pemilik kedai itu hanya termangu-mangu saja. Sebelum ia mengambil uang itu, maka Sardula Mapan itu telah meloncat ke punggung kudanya dan dengan menghentakkan kendalinya, maka kuda yang tegar itu pun segera berlari meninggalkan kedai itu diikuti oleh kawan-kawannya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang berkeliling ia berkata kepada orang-orang yang berdiri termangu-mangu mengelilingi arena itu, “Ki Sanak. Pertunjukkan sudah selesai. Nah, lupakan apa yang telah terjadi.”
Orang-orang yang termangu-mangu itu bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka pun satu-satu meninggalkan lingkaran itu. Namun di hati mereka masih mengembang kekagumannya kepada anak muda yang telah berhasil mengalahkan Sardula Mapan yang dikenal sebagai seorang yang tidak terkalahkan di lingkungannya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mendekati pemilik kedai yang termangu-mangu sambil berkata, “ambil uang itu. Hitunglah, apakah sudah cukup atau belum. Jika ternyata masih kurang, biarlah aku menggenapinya.”
Namun seorang prajurit yang menyertainya berkata sambil tersenyum, “bukankah kelebihannya pertanda kemurahan hatinya?”
Mahisa Murti pun tertawa, sementara pemilik kedai itu tengah memungut dan kemudian menghitung uang yang dilemparkan oleh orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu. “Baru separuhnya” desis pemilik kedai itu.
“Baiklah” sahut Mahisa Murti, “nanti yang separuhnya lagi biarlah aku yang menambahinya.”
“Tidak usah anak muda” berkata pemilik kedai itu. Lalu katanya pula, “Apa yang kalian lakukan telah cukup. Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat Sardula Mapan itu dapat dikalahkan oleh seseorang.”
“Apakah ia sering melakukan pemerasan seperti kali ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku baru mengalami kali ini” jawab pemilik kedai itu, “tetapi aku memang sering mendengar namanya. Ia termasuk seorang yang berada. Tetapi menurut keterangan yang pernah aku dengar, ia memang sering melakukan hal yang aneh-aneh, justru karena ia merasa-sebagai seorang yang tidak terkalahkan di daerah ini.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian pemilik kedai itu pun mempersilahkannya, “Marilah anak muda. Bukankah kalian belum selesai minum?"
Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit itu pun masuk kembali ke dalam kedai. Mereka masih ingin menyelesaikan makan dan minum yang sudah mereka pesan. Sementara itu beberapa orang yang semula berkerumun di halaman itu pun telah meninggalkan kedai itu. Tetapi, ada juga di antara mereka yang masih kembali masuk ke dalam kedai sebagaimana Mahisa Murti dan kawan-kawannya.
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan ketiga orang kawannya duduk di kedai itu. Namun akhirnya mereka pun selesai pula. Namun ketika mereka membayar minuman dan makanan mereka, pemilik kedai itu menolak uang yang diberikan oleh Mahisa Murti atas kekurangan Sardula Mapan dan kawan-kawannya.
Seperti yang sudah dikatakannya, maka pemilik kedai itu berkata pula, “Tidak usah anak muda. Aku berterima kasih atas kebaikan hati kalian. Apa yang kajian lakukan telah lebih dari cukup. Bukan hanya sekedar untuk aku sendiri, tetapi dengan demikian maka tingkah laku Sardula Mapan itu mudah-mudahan dapat berubah, sehingga ia tidak lagi sering menyulitkan orang lain. Justru karena ia memiliki kelebihan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian. “Baiklah. Aku akan minta diri. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa aku tentu akan sering lewat jalan ini.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi Ki Sanak benar-benar akan sering lewat jalan ini? Atau sekedar untuk menakut-nakuti Sardula Mapan?”
“Aku benar-benar akan sering lewat jalan ini” jawab Mahisa Murti “bukan sekedar menakut-nakuti Sardula Mapan. Jalan ini menghubungkan tempat tinggalku dan tempat tinggal orang tuaku.”
“Baiklah Ki Sanak” berkata pemilik kedai itu, “aku mempersilahkan Ki Sanak selalu singgah di kedaiku.”
“Terima kasih” jawab Mahisa Murti, “agaknya aku tentu akan singgah.”
Demikianlah Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit dan ketiga prajurit yang menyertainya segera meninggalkan kedai itu. Beberapa orang yang berada di kedai itu pun saling bergumam membicarakannya.
“Aku mula-mula merasa cemas akan nasibnya” berkata seseorang, “aku kira anak muda itu sekedar terdorong oleh kesombongannya serta darah mudanya saja sehingga ia berani menentang Sardula Mapan. Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang yang berkemampuan sangat tinggi. Ternyata ia justru telah mempermainkan Sardula Mapan. Bahkan melukainya. Nampaknya jika anak itu mau membunuhnya, ia tentu akan dapat melakukannya.”
“Aku pun semula merasa cemas” sahut kawannya, “mula-mula anak muda itu nampaknya selalu terdesak. Namun ternyata ia hanya sekedar main-main.”
Sementara itu, Mahisa Murti tengah berlari diatas punggung kudanya menuju ke Padepokan Bajra Seta bersama dengan ketiga orang prajurit yang menyertainya. Di sepanjang perjalanan mereka tidak lagi banyak berbicara. Mahisa Murti yang untuk beberapa lamanya dapat melupakan persoalan pribadinya, ternyata telah disentuh kembali oleh kepahitan perasaannya sebagaimana ia harus meninggalkan Singasari seorang diri tanpa Mahisa Pukat. Sejak kanak-kanak ia memang jarang sekali terpisah dari saudaranya itu. Namun kini ia terpaksa meninggalkannya justru karena ia tidak ingin mengalami keretakan.
Di perjalanan selanjutnya, Mahisa Murti tidak mengalami hambatan lagi. Namun waktu telah banyak tersita oleh permainannya dengan Sardula Mapan. Kehadirannya seorang diri di Padepokannya telah membuat seisi Padepokan Bajra Seta merasa heran. Meskipun mereka tidak segera bertanya, tetapi terasa bahwa kehadiran Mahisa Murti seorang diri telah menimbulkan kegelisahan.
Bahkan beberapa orang telah saling berbisik tentang ketiga orang yang menyertai Mahisa Murti di perjalanan itu. Seorang di antara para cantrik berdesis, “Siapakah mereka bertiga?”
Kawannya menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu.” Namun berbeda dengan para cantrik yang masih segan menanyakan kesendirian Mahisa Murti, maka Mahisa Amping ternyata telah memberanikan diri untuk bertanya, “Dimanakah kakang Mahisa Pukat. Bukankah tidak terjadi sesuatu atas dirinya?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang muram membuat Mahisa Amping gelisah. Mahisa Semu dan Wantilan yang juga mendengar pertanyaan Mahisa Amping itu pun ikut menjadi berdebar-debar. Namun ketika mereka melihat wajah ketiga orang kawan seperjalanan Mahisa Murti, maka rasa-rasanya memang tidak terjadi sesuatu atas Mahisa Pukat.
Namun Wantilan yang sudah lebih tua itu bertanya di dalam dirinya, “Apakah keduanya telah berselisih?”
Tetapi, Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan penjelasan kepada seisi Padepokan, kenapa Mahisa Pukat tidak kembali bersamanya meskipun yang dikatakannya tidak sebagaimana yang telah terjadi.
“Mahisa Pukat masih mempunyai kepentingan di Singasari. Selain menemani ayah yang sudah tua, maka masih ada kewajiban yang diembannya. Sementara itu, padepokan ini tidak boleh terlalu lama kami tinggalkan, sehingga karena itu, maka aku telah mendahului kembali ke Padepokan. Namun dengan demikian, aku akan sering mondar-mandir untuk menjenguk ayah dan Mahisa Pukat di Singasari.”
Barulah seisi Padepokan itu merasa lega atas penjelasan itu. Meskipun nampaknya penjelasan itu masih belum tuntas, namun seisi Padepokan telah dapat diyakinkan, bahwa tidak ada perselisihan antara kedua anak muda yang sebelumnya belum pernah mereka lihat saling berpisah itu.
Dalam pada itu, ketiga orang prajurit Singasari yang menyertai Mahisa Murti itu tinggal untuk dua hari di Padepokan. Sebenarnya Mahisa Murti masih menahannya, namun ketiganya merasa bahwa mereka telah cukup lama meninggalkan tugas mereka.
“Sebenarnya aku kerasan tinggal di sini” berkata salah seorang dari ketiga orang prajurit itu, “di sini kehidupan terasa begitu akrab dengan alam. Padepokan ini rasa-rasanya berada di bayangan hijaunya lembah dan hijaunya lereng pegunungan. Tenang dan damai.”
Namun Mahisa Murti menyahut, “Tetapi sekali waktu, Padepokan ini terbakar juga oleh perselisihan dengan kekerasan. Betapapun kami mencoba untuk menghindarkan diri dari permusuhan, tetapi kadang-kadang kami masih dipaksa untuk melakukan kekasaran dan kekerasan. Bahkan yang dapat menimbulkan korban.”
Ketiga orang prajurit itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Tetapi bukankah kita berhak melindungi diri sendiri?”
Sementara Mahisa Murti membenamkan diri dalam kesibukannya, Mahisa Pukat masih saja terseret oleh arus perasaannya. Hubungannya dengan Sasi menjadi semakin dekat. Apalagi, ayah dan ibu Sasi nampaknya tidak berkeberatan melihat hubungan itu. Meskipun Arya Kuda Cemani juga ikut memikirkan kepergian Mahisa Murti kembali ke Padepokannya seorang diri, namun Mahendra telah memberikan penjelasan bahwa tidak terjadi apa-apa di antara kedua anaknya.
“Mahisa Murti telah melepaskannya dengan ikhlas” berkata Mahendra pada suatu saat kepada Arya Kuda Cemani.
“Jiwanya cukup tegar” desis Arya Kuda Cemani.
“Ya. Sementara itu Mahisa Pukat nampaknya tidak memperhatikan gejolak perasaan saudaranya. Tetapi itu lebih baik baginya, sehingga ia tidak usah merasa bersalah” sahut Mahendra.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya sendat, “Aku mohon maaf, bahwa anakku telah menyakiti hati Mahisa Murti.”
“Tetapi bukankah Sasi tidak sengaja melakukannya? Bahkan ia sama sekali tidak menyadari, apa yang telah terjadi atas Mahisa Murti. Sebaiknya Sasi pun tidak usah tahu agar seperti Mahisa Pukat, ia tidak usah ikut merasa bersalah” jawab Mahendra.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Namun kekagumannya pun semakin bertambah. Mahisa Murti bukan saja seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi hatinya ternyata seluas lautan tidak bertepi.
Namun demikian, harapannya yang tertumpu kepada Mahisa Pukat juga tidak berubah. Ia berharap agar hubungan antara anaknya dengan Mahisa Pukat dapat menjadi semakin akrab sehingga keduanya akan sampai pada suatu titik temu untuk membangun hidup kekeluargaan. Meskipun Arya Kuda Cemani tahu, bahwa Mahisa Pukat tidak lebih dari seorang pemimpin Padepokan yang hidup jauh dari Kota Raja, namun hidup di padepokan itu akan dapat memberikan ketenangan jiwa bagi anaknya.
Tetapi ibu Sasi lah yang ternyata telah diganggu oleh gambaran kehidupan yang akan datang bagi Sasi. Ibunya belum pernah mengalami satu kehidupan lain dari kehidupan yang sedang dijalaninya. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Sasi jika ia hidup di dunia yang terpencil, jauh dari keramaian kota. Satu lingkungan yang sepi, terletak di tengah-tengah bulak yang sangat luas. Di kejauhan nampak hutan yang masih lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas.
Ketika hal itu disampaikan kepada ayah Sasi, maka Arya Kuda Cemani itu justru bertanya, “Bukankah setiap kali kau menyatakan bahwa kau tidak berkeberatan atas hubungan antara Mahisa Pukat dan anak kita?”
“Pada dasarnya aku memang tidak berkeberatan. Aku tahu bahwa angger Mahisa Pukat adalah seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Seorang yang cerdas dan baik hati. Tetapi karena itu, apakah angger Mahisa Pukat tidak dapat menempuh satu kehidupan yang lain dari yang ditempuhnya sekarang?”
“Maksudmu?” bertanya Arya Kuda Cemani.
“Anak-anak kita, yang menurut keterangan ilmunya jauh berada dibawah angger Mahisa Pukat pun dapat menjadi seorang prajurit. Bukankah dengan demikian, maka angger Mahisa Pukat akan mendapat kesempatan yang lebih baik untuk menjadi seorang prajurit pula? Bahkan dengan kedudukan yang lebih tinggi pula.”
Raden Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Aku tidak tahu, apakah angger Mahisa Pukat tertarik atau tidak untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi jika Sasi menerima angger Mahisa Pukat, maka ia harus menerima keadaannya seutuhnya. Mahisa Pukat adalah satu di antara dua orang pemimpin Padepokan Bajra Seta. Yang seorang lagi adalah angger Mahisa Murti.”
“Aku mengerti” jawab isterinya, “namun jika kemudian Sasi merasa hidupnya tersisih dari kehidupan yang dijalani sebelumnya, maka ketenangan hidupnya akan goyah. Sasi memang mempunyai beberapa kemungkinan. Ia dapat memaksa diri untuk bertahan namun dengan jantung yang semakin rapuh, atau memberontak sehingga hidup kekeluargaannya akan terganggu.”
“Tetapi bukankah itu baru gambaran orang tua yang cemas oleh bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri?” jawab Arya Kuda Cemani.
“Tetapi kita tidak dapat mengabaikan perasaan Sasi kemudian. Justru kita harus menilainya sebelum terlambat” berkata ibu Sasi dengan sungguh-sungguh.
“Jadi maksudmu agar aku menyampaikan kepada Mahisa Pukat, apakah ia bersedia untuk menjadi seorang prajurit?” bertanya Arya Kuda Cemani.
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ragu-ragu untuk menjawab. Karena isterinya tidak segera menjawab, maka Arya Kuda Cemani itu pun berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Ada dua cara yang dapat kita tempuh. Kita minta angger Mahisa Pukat memikirkan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit atau kita minta agar Sasi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari. Namun sudah tentu hal ini baru dapat kitaa lakukan jika kita sudah mendapat satu kepastian bahwa Mahisa Pukat memang berniat untuk hidup bersama Sasi dan demikian pula sebaliknya. Mudah-mudahan hal ini tidak menimbulkan salah paham pada keduanya.”
Ibu Sasi itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia masih berkata, “Sebagaimana Sasi, kita sekarang baru melihat Angger Mahisa Pukat sepintas. Katakan, kita baru melihat kulitnya yang nampaknya memang halus dan lembut.”
“Aku” jawab Arya Kuda Cemani, “aku sudah melihat isinya. Aku tidak baru mengenalnya sekarang. Tetapi aku sudah mengenalnya sebelum keduanya datang ke Singasari. Aku tahu apa yang mereka lakukan di Kabuyutan Bumiagara. Bagaimana mereka mampu mengekang diri meskipun mereka dapat berbuat apa saja atas lawan-lawan mereka. Maksudku keduanya itu adalah angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Tetapi kita belum tahu sikapnya terhadap seorang perempuan” jawab isterinya.
“Baiklah” berkata Arya Kuda Cemani, “aku akan memenuhi keinginanmu. Aku akan berbicara dengan Sasi dan angger Mahisa Pukat. Tetapi sekali lagi. Kita akan menunggu sampai semuanya menjadi jelas. Jika kita tergesa-gesa, maka Sasi akan dapat mengelakkan setiap pembicaraan. Apalagi jika anak itu masih meragukan sikap angger Mahisa Pukat.”
Dengan demikian, maka Arya Kuda Cemani merasa dibebani tanggung jawab atas hari depan anak gadisnya. Tetapi Arya Kuda Cemani tidak akan ingkar. Meskipun sebenarnya tanggung jawab itu terletak pada ayah dan ibunya, namun rasa-rasanya persoalan Sasi dalam hubungannya dengan Mahisa Pukat itu seluruhnya dibebankan kepadanya.
Dalam pada itu, hubungan antara Sasi dan Mahisa Pukat berlangsung wajar dan bahkan semakin akrab, meskipun masih tetap dibatasi oleh paugeran yang berlaku. Namun nampaknya pada keduanya sudah terpahat ikatan yang meskipun belum terucapkan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Lembu Atak sama sekali tidak mau menerima kenyataan yang telah terjadi atas dirinya. Ia bukan saja menjadi sakit hati karena kekalahananya, bahkan bersama sekelompok kawan-kawannya. Tetapi ia masih mendapat hukuman dari ayahnya di barak. Meskipun ia mendapat hukuman bersama-sama dengan kawan-kawannya pula, tetapi hukuman yang diterimanya ternyata adalah hukuman yang terberat. Karena itu, maka dendamnya telah ditujukan kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Sasi.
“Bagaimanapun juga aku harus dapat membalas dendam. Meskipun Sasi sama sekali tidak menghiraukan aku, tetapi dendamku akan aku tumpahkan lewat orang lain.” berkata Lembu Atak kepada kawan-kawannya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya salah seorang kawannya yang juga mendendam.
“Apapun” jawab Lembu Atak, “kita mempunyai banyak kawan di Kotaraja ini. Sementara itu, Mahisa Murti menurut pendengaranku telah meninggalkan Kotaraja kembali ke Padepokannya. Bukankah yang tinggal hanya Mahisa Pukat saja.”
“Tetapi anak itu berilmu tinggi. Sebagaimana kau lihat, ia mampu mengimbangi ayahmu yang kita anggap orang yang tidak terkalahkan itu.” jawab kawannya.
“Omong kosong, kau percaya itu?” bertanya Lembu Atak.
“Bukankah kau sendiri yang mengatakannya?” kawannya justru bertanya pula kepadanya.
“Kau kira ayah bersungguh-sungguh? Aku tahu, ayah tentu hanya ingin sekedar membuktikan sampai sejauhmana kedua anak itu memiliki kemampuan. Dengan demikian ayah tahu, bahwa aku berbohong. Tetapi jika ayah bersungguh-sungguh kedua orang anak itu tentu-akan menjadi abu.”
Kawan-kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun apa yang dikatakan Lembu Atak itu agak berbeda dengan ceriteranya yang terdahulu, yang menyatakan bahwa kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mampu mengimbangi kemampuan ayahnya, namun kawan-kawannya tidak membantahnya.
Apalagi ketika Lembu Atak berkata, “Waktu itu aku sangat kecewa terhadap ayah, sehingga aku menganggap bahwa ayah tidak mampu mengalahkan kedua anak muda itu. Tetapi kemudian baru aku sadar, bahwa sebenarnya ayah memang tidak ingin menghancurkan keduanya. Ayah hanya ingin mengetahui apakah aku berbohong atau tidak.”
Kawan-kawannya masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Lembu Atak berkata, “Kita harus menemukan seseorang yang berilmu tinggi yang dapat kita benturkan dengan Mahisa Pukat. Lebih baik jika seseorang yang memiliki latar belakang sebuah perguruan, sehingga saudara-saudara seperguruannya bahkan lebih baik jika gurunya turut campur.”
“Bagaimana hal itu kita lakukan?” bertanya kawannya.
“Kita perkenalkan orang itu dengan Kuda Semedi dan Kuda Semeni. Biarlah kedua anak itu memperkenalkan orang yang akan kita benturkan dengan Mahisa Pukat dengan adiknya, Sasi.”
“Apakah Kuda Semedi dan Kuda Semeni dapat diikut sertakan?” bertanya kawannya.
“Kita seret anak itu ke dalam kubu kita atau mereka akan kita pencilkan di barak ini.” berkata Lembu Atak.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana jika ayahmu mengetahui rencana ini dari siapa pun juga?”
Wajah Lembu Atak menegang. Namun kemudian ia pun berkata, “Tidak ada yang berkhianat di antara kita. Tetapi jika ternyata ada, maka hukumannya adalah hukuman bagi seorang pengkhianat.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ada di antara mereka yang tidak sependapat, tetapi pikiran itu tidak dapat diungkapkannya. Namun sebagian besar dari mereka sependapat dengan Lembu Atak itu. Kecuali mereka ingin menjadi sahabat terdekat dari Lembu Atak yang kebetulan adalah anak Senapati dari pasukan itu, juga karena mereka mendendam pula kepada Mahisa Pukat.
Mereka akan ikut merasa senang jika Mahisa Pukat hatinya menjadi terluka atau anak itu dihancurkan sama sekali oleh satu kekuatan yang mampu mengatasi kemampuannya. Dengan demikian, maka Lembu Atak dan kawan-kawan-nya pun telah berusaha untuk menemukan orang yang mereka cari. Namun sebelumnya Lembu Atak dan kawan-kawannya telah memanggil Kuda Semedi dan Kuda Semeni.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang menjadi berdebar-debar. Mereka menjadi cemas jika Lembu Atak dan kawan-kawannya akhirnya mengetahui, bahwa ia telah memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan rencananya di saat di rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni ada keramaian kecil. Tetapi dugaan mereka ternyata keliru meskipun persoalan yang disampaikan kepada mereka tetap merupakan persoalan yang sangat menggelisahkan baginya.
“Kau tidak boleh berpihak kepada Mahisa Pukat” berkata Lembu Atak, “jika kau tetap berpihak kepadanya, maka kau akan dipencilkan di barak ini. Kau tahu, bahwa kau akan mengalami perlakuan yang tidak baik.”
Kuda Semedi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apa yang kalian kehendaki?”
“Aku ingin membalas dendam kepada Mahisa Pukat.”
“Apakah kau masih mendendam? Bukankah persoalannya telah dianggap selesai?” bertanya Kuda Semedi.
“Siapa yang menganggap persoalan itu selesai?” bertanya Lembu Atak.
“Bukankah ayahmu telah menyelesaikan persoalan ini?” jawab Kuda Semedi.
“Tidak. Ayahku belum menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Ayah hanya ingin mengetahui apakah yang telah dilakukan oleh Mahisa Pukat” jawab Lembu Atak, “tetapi semuanya itu tidak penting. Yang penting, aku ingin membalas dendam kepada Mahisa Pukat. Jangan salah mengerti. Aku tidak ingin membalas dendam kepada Sasi. Selebihnya akau kasihan melihat Sasi berhubungan dengan anak Padepokan itu. Jika hubungan itu terlanjur menjadi semakin jauh, maka Sasi tentu akan menyesal dikemudian hari. Apakah artinya anak Padepokan seperti Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu? Betapapun tinggi ilmunya, tetapi mereka terkurung dalam lingkungan sempit, sepi dan jauh dari keramaian Kotaraja. Kehidupan yang demikian tentu merupakan kehidupan yang menjemukkan. Apalagi Mahisa Pukat dari hari ke hari akan selalu berada di lingkungan para cantriknya.”
Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka memang merenungi kata-kata Lembu Atak. Namun mereka pun menyadari bahwa anggapan Lembu Atak itu diwarnai oleh kekecewaan dan dendamnya kepada Mahisa Pukat. Namun demikian, Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang tidak dapat mengabaikan ancaman Lembu Atak, bahwa mereka berdua akan dipencilkan dari antara kawan-kawannya di barak. Menurut penilaian Kuda Semedi dan Kuda Semeni, hal itu memang mungkin terjadi justru karena Lembu Atak adalah anak Senapati prajurit Singasari di barak itu.
Namun dalam pada itu, Lembu Atak itu pun berkata, “Pikirkan kalian berdua. Aku tidak akan memaksa kalian. Tetapi aku ingin kalian mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Sasi.”
Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka masih saja berdiam diri ketika Lembu Atak mengajak kawan-kawannya meninggalkan mereka berdua. “Satu pilihan yang rumit” berkata Kuda Semedi kemudian.
“Tetapi ibu juga pernah menyinggung masa depan Sasi. Secara pribadi aku tidak berkeberatan terhadap hubungan Sasi dengan Mahisa Pukat. Tetapi ibu pernah meragukan masa depan mereka.” berkata Kuda Semeni.
“Tetapi bukankah ibu tidak berkeberatan terhadap hubungan mereka?” bertanya Kuda Semeni.
“Pada dasarnya memang tidak. Tetapi bagaimana masa depan Sasi jika hubungan mereka itu sampai pada satu ikatan perkawinan? Sementara Mahisa Pukat tidak mempunyai pegangan yang mantap bagi masa depannya. Apakah artinya hidup dalam sebuah Padepokan yang apalagi terpencil?” desis Kuda Semeni.
“Bukankah itu persoalan mereka berdua?” sahut Kuda Semedi.
“Ya. Itu memang persoalan mereka. Tetapi setidak-tidaknya Sasi sempat memikirkannya. Ia tidak boleh sekedar silau melihat ujud Mahisa Pukat. Kekaguman ayah atas kemampuannya yang tinggi dalam olah kanuragan. Tetapi apakah itu sudah cukup bagi kehidupan mereka kelak. Terutama Sasi?” sahut Kuda Semeni.
“Jika Sasi menerima masa depan yang demikian?” bertanya Kuda Semeni.
Kuda Semeni menarik nafas panjang sambil berdesis, “Jika demikian apa boleh buat.”
...Sepertinya ada bagian verita yang hilang di bagian ini...
Ternyata Gemak Langkas adalah memang orang yang sesuai sebagaimana dikehendaki oleh Lembu Atak, meskipun Lembu Atak sendiri setiap kali merasa diremehkan oleh Gemak Langkas. Namun setelah Gemak Langkas mengetahui bahwa Lembu Atak adalah anak Senapati prajurit yang berpengaruh di Singasari, maka ia pun mulai sedikit menjaga dirinya.
Seperti yang direncanakan, maka pada saat yang dianggap tepat, dua orang kawan Lembu Atak telah mengajak Gemak Langkas pergi ke rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni, justru tanpa Lembu Atak. Karena kehadiran Lembu Atak tentu akan menimbulkan persoalan bagi Sasi.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni yang mendapat kesempatan untuk tinggal di rumah sehari, menerima kedatangan kawannya dengan senang hati. Meskipun Kuda Semedi sempat berbisik di telinga Kuda Semeni, “Keduanya adalah kawan-kawan rapat Lembu Atak.”
Tetapi selama keduanya berada di rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni, keduanya sama sekali tidak menyinggung nama Lembu Atak atau persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingannya. Keduanya semakin lama menjadi semakin kehilangan kecurigaan mereka, bahwa kedatangan keduanya itu ada hubungannya dengan Lembut Atak. Kuda Semedi dan Kuda Semeni semula juga tidak menghiraukan ketika kedua orang kawannya itu bertanya tentang adiknya, Sasi.
“Sasi ada di belakang” jawab Kuda Semedi.
Namun akhirnya Sasi keluar juga untuk menghidangkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak merasa segan karena di antara tamu-tamu kakaknya itu tidak ada seorang prajurit yang bernama Lembu Atak.
“Duduklah Sasi” minta salah seorang kawan Kuda Semedi, “kau tentu belum mengenal kawanku ini. Namanya Gemak Langkas. Ia adalah anak seorang saudagar kaya yang rumahnya terletak di sebelah Barat Istana.”
“Silahkan minum Ki Sanak” Sasi menyahut singkat. Namun kawan Kuda Semedi itu berkata pula, “Marilah. Duduklah. Kenapa kau nampaknya berkeberatan? Bukankah aku tidak akan menggigitmu.”
Sasi memang tersenyum. Senyumnya ternyata telah menggetarkan jantung Gemak Langkas.
“Maaf Sasi” desis Gemak Langkas, “mungkin aku telah menakut-nakutimu. Bukan maksudku, karena aku tidak tahu bahwa di sini ada seorang gadis yang tidak aku bayangkan sebelumnya.”
“Ah, tidak” jawab Sasi.
“Jika demikian, duduklah sebentar saja” berkata kawan Kuda Semedi yang satu lagi.
Sasi memang menjadi bimbang. Ia merasa segan juga untuk tidak memenuhi permintaan tamu-tamu kakaknya. Karena itu, maka Sasi pun memandang kakak-kakaknya untuk minta pertimbangan.
Ternyata Kuda Semedi dan Kuda Semeni pun merasa tidak enak pula jika mereka tidak menanggapi permintaan itu. Karena itu, maka Kuda Semedi pun kemudian berkata, “Duduklah sebentar Sasi.”
Sasi pun kemudian duduk di sebelah kedua orang kakaknya dengan kepala tunduk. Ia justru merasa bingung, karena ia tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Kawan Kuda Semedi yang seorang itulah yang kemudian bertanya kepadanya, “Kau sendirikah yang membuat makanan itu?”
Sasi mengangkat wajahnya sedikit. Namun kemudian ia pun menjawab, “Bukan. Ibulah yang membuatnya.”
“O” tamunya mengangguk kecil, “tetapi bukankah kau membantunya membuat makanan itu?”
Sasi mengangguk kecil. Katanya, “Hanya membantu sedikit.”
“Nah, jika minuman ini tentu kau yang membuatnya” berkata kawan kakaknya yang seorang lagi.
“Ya.” Sasi mengangguk. “Minumlah” gadis itu mempersilahkan tamu-tamunya.
Tamu-tamu itu pun kemudian telah meneguk minuman hangat yang dihidangkan oleh Sasi. Dengan mengangguk-angguk kecil Gemak Langkas berdesis, “Segar sekali. Aku sering minum wedang sere. Tetapi tidak sesegar kali ini.”
Susi hanya menunduk saja. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata Gemak Langkas pandai juga berbicara tentang makanan dan minuman, sehingga ia mulai lebih banyak berbicara. Sekali-sekali ia menyebut nama Sasi dan memujinya berkali-kali minuman yang dihidangkannya.
Namun hal itu justru membuat Sasi menjadi gelisah, sehingga ia pun kemudian beringsut sambil berkata, “Maaf. Aku masih harus membantu ibu di dapur.”
“Masih apa lagi yang dipersiapkan di dapur?” bertanya salah seorang kawan kakaknya.
“O, tidak ada. Hanya mencuci mangkuk” jawab Sasi. Dengan demikian maka Sasi pun telah meninggalkan tamu-tamu kakaknya kembali ke dapur. Namun demikian ia bangkit, Gemak Langkas berkata, “Kapan-kapan aku akan datang lagi Sasi. Wedang seremu tentu akan membuat aku selalu ingin meneguknya lagi.”
Sasi tidak menjawab, meskipun ia tersenyum. Senyum basa-basi saja. Demikianlah, ketiga orang tamu itu masih berbincang beberapa lama. Namun kemudian mereka pun telah minta ciri. Sementara itu Sasi masih saja bersungut-sungut di dapur.
Ibunya yang melihat Sasi marah segera bertanya, “Kau kenapa Sasi? Kenapa dengan kakak-kakakmu?”
“Tamunya itu ibu” jawab Sasi.
“Kenapa dengan tamunya?” bertanya ibunya.
“Seorang di antaranya nampaknya agak kasar” jawab Sasi.
“Kawan kakak-kakakmu di lingkungan keprajuritan?”
“Bukan ibu. Tetapi anak muda itu datang bersama dengan kedua kawan kakang Kuda Semedi dan kakang Kuda Semeni.” jawab Sasi.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “sudahlah. Kau jangan terlalu cepat marah. Mungkin ia tidak bermaksud buruk. Tetapi karena sifat dan tabiatnya, maka nampaknya ia bertabiat kasar. Tetapi kau belum mengenalnya lebih jauh.”
“Aku tidak ingin mengenalnya lebih jauh” jawab Sasi. Ibunya tidak menjawab lagi. Sasi pun kemudian telah sibuk mencuci mangkuk di dapur. Ia memang sering melakukannya meskipun ada juga pembantu di rumahnya.
Namun beberapa saat kemudian, Kuda Semeni mencarinya di dapur untuk memanggilnya. “Mereka akan berpamitan Sasi” berkata Kuda Semeni.
“Kenapa kepadaku? Bukankah mereka itu tamumu?” bertanya Sasi sambil bersungut-sungut.
“Mereka ingin pamit kepadamu. Apa salahnya?” bertanya Kuda Semeni.
“Pergilah Sasi” desis ibunya, “kau akan dapat dianggapnya sebagai seorang gadis yang sombong.”
Tetapi Sasi justru berkata, “Katakan kepada tamu-tamumu bahwa Sasi sedang dipingit. Ia tidak boleh keluar apalagi menemui tamu laki-laki.”
“Ah, jangan begitu” potong ibunya, “jika mereka orang yang tidak kami kenal, maka aku akan melarangmu. Tetapi bukankah mereka kawan-kawan kakak-kakakmu?”
“Yang seorang bukan” jawab Sasi.
“Ayolah Sasi, sebentar saja” minta Kuda Semeni.
Akhirnya Sasi memang tidak dapat menolak. Ia pun kemudian mengikuti kakaknya keluar dari pintu pringgitan. Ketiga orang tamu itu memang hanya minta diri kepada Sasi. Namun anak muda yang bernama Gemak Langkas itu bersikap berlebihan sehingga Sasi menjadi semakin kurang senang kepadanya.
Tetapi seperti yang pernah dikatakan, maka ia pun berkata lagi, “Sasi, aku akan datang lagi untuk sekedar minum wedang seremu yang segar. Bukankah kau tidak akan menolak?”
Sasi justru tidak menjawab. Kepalanya justru menunduk. Demikianlah, sejenak kemudian, maka ketiga orang tamu Kuda Semedi dan Kuda Semeni itu pun meninggalkan halaman rumah itu. Sementara Sasi telah kembali ke dapur pula. Namun Sasi menyadari, bahwa anak muda yang bernama Gemak Langkas itu tentu benar-benar akan kembali mengunjunginya.
Karena itu, ketika kedua kakaknya setelah melepaskan tamunya juga pergi ke dapur, Sasi langsung berkata, “Kenapa kau perkenalkan aku dengan Gemak Langkas.”
“Aku tidak berniat demikian Sasi” jawab Kuda Semedi, “yang aku lakukan sebenarnya hanyalah sekedar basa-basi.”
“Tetapi ia tentu akan kembali lagi kemari.” berkata Sasi kemudian.
“Tetapi bukankah kau sudah cukup dewasa, sehingga kau akan dapat menanggapinya dengan cara seorang gadis dewasa. Kau dapat menghindarkan dirimu dengan cara yang baik dari anak muda itu. Sudah tentu tidak perlu menyakiti hatinya.”
Sasi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Meskipun demikian, kedatangan Gemak Langkas telah membuat hatinya gelisah. Itulah sebabnya, maka ketika Mahisa Pukat datang menemuinya, Sasi telah menceriterakan perkenalannya dengan Gemak Langkas.
“Menilik sikapnya, Gemak Langkas tentu seorang anak muda yang kasar. Menurut kakang Kuda Semedi dan kakang Kuda Semeni, Gemak Langkas termasuk seorang anak yang manja. Namun dengan demikian, maka ia bukan seorang yang berpribadi. Meskipun ayahnya seorang saudagar yang kaya raya, namun itu tidak menjamin bahwa ia mampu mandiri.”
Namun Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Kenapa kau menilai Gemak Langkas sampai sejauh itu?”
Pertanyaan itu mengejutkan Sasi. Namun kemudian ia pun bersungut-sungut pula, “Kau justru mentertawakan aku.”
“Tidak. Aku tidak mentertawakanmu. Tetapi seharusnya kau tidak menjadi demikian gelisahnya menanggapi perkenalan itu.” sahut Mahisa Pukat.
Sasi termangu-mangu sejenak.
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sebaiknya kau bicarakan hal ini dengan kedua orang kakakmu. Mereka tentu akan membantumu mengatasi kesulitanmu, jika benar orang itu akan membawa kesulitan atasmu. Bukan berarti aku tidak bersedia membantumu. Tetapi bukankah aku sekarang masih berdiri di luar batas keluargamu. Meskipun demikian, jika diperlukan, aku akan melakaukan apa saja yang pantas aku lakukan.”
Sasi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa mendapat perlindungan dari Mahisa Pukat sehingga hatinya pun menjadi semakin tatag. Karena itu, maka sebagaimana pesan Mahisa Pukat, agar Sasi tidak bersikap keras sehingga akan dapat menimbulkan kesan bahwa Sasi adalah gadis yang sombong.
“Seorang laki-laki yang mempunyai harga diri berlebihan, mengalami perlakuan yang demikian dari seorang gadis akan dapat menimbulkan dendam di hatinya” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Tetapi bagaimana jika anak muda itu tidak tahu diri?” bertanya Sasi.
“Cobalah dengan sikap yang lunak” desis Mahisa Pukat, “kecuali jika anak muda itu seorang anak muda yang tidak tahu diri. Jika demikian, kau memang harus bersikap tegas.”
Sasi mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa pesan Mahisa Pukat itu akan dapat dipergunakannya sebagai pegangan. Apalagi kemudian, ketika Sasi berbicara dengan ayah dan ibunya tentang Gemak Langkas, maka nasehat ayah dan ibunya ternyata tidak jauh berbeda dengan nasehat Mahisa Pukat sehingga Sasi pun menjadi semakin tenang.
“Aku sudah mengenal ayah anak yang kau sebut bernama Gemak Langkas itu meskipun tidak begitu akrab. Ia memang seorang yang kaya raya. Namun sifatnya memang kurang disenangi oleh kawan-kawannya. Justru karena ia seorang yang kaya raya, maka ia memang agak sombong. Tetapi kau tidak perlu cemas tentang ayah anak muda itu” berkata Arya Kuda Cemani.
Dengan demikian, maka Sasi memang tidak menolak kehadiran Gemak Langkas, ketika ia benar-benar telah datang berkunjung ke rumahnya. Justru ketika kakak-kakaknya tidak ada di rumah. Demikian pula ayahnya.
Namun ketika ia minta pertimbangan ibunya, maka ibunya pun berkata, “Temuilah. Tetapi tidak terlalu lama. Jika ia masih belum juga pergi, biarlah aku memanggilmu.”
Demikianlah Sasi dengan berat hati telah menemui Gemak Langkas yang datang seorang diri. Ternyata Gemak Langkas adalah seorang anak muda yang memang terbuka. Meskipun ia masih belum terlalu sering berhubungan dengan Sasi, namun seakan-akan ia telah mengenalnya bertahun-tahun. Ia pun segera berceritera tentang dirinya sendiri, keluarganya dan kekayaannya.
“Sasi” berkata Gemak Langkas itu kemudian, “aku membawa oleh-oleh buatmu. Aku harap kau tidak menolak. Aku memberikan oleh-oleh ini dengan ikhlas tanpa maksud apa-apa.”
Wajah Sasi menjadi tegang. Sementara itu, Gemak Langkas telah mengambil sebuah bungkusan kecil dari kantong ikat pinggang kulitnya yang lebar.
Sasi masih saja termangu-mangu. Gemak Langkas pun sekali lagi mendesaknya, “Terimalah Sasi. Memang tidak seberapa, tetapi aku akan merasa berbahagia sekali jika kau mau menerimanya.”
Sasi justru menjadi semakin tegang. Tetapi ketika Gemak Langkas beringsut maju untuk menyerahkan bungkusan kecil itu, Sasi justru bergeser mundur.
“Ini bukan apa-apa Sasi” berkata Gemak Langkas pula. Kemudian sambil membuka bungkusan kecil itu ia berkata, “Lihatlah. Hanya sebuah kalung kecil dengan bandul kecil pula. Bandul itu memang terbuat dari berlian. Sasi, tetap harganya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai persahabatan kita.”
Namun akhirnya Sasi memberanikan diri untuk menjawab, meski pun ia selalu ingat akan pesan Mahisa Pukat dan pesan ayahnya. Ia tidak boleh bertindak kasar. “Gemak Langkas” berkata Sasi kemudian, “bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu. Tetapi aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menerima pemberianmu. Aku tahu, bahwa kau memang tidak mempunyai maksud apa-apa. Namun agaknya berat bagiku, sebagai seorang gadis untuk menerima pemberian seorang anak muda yang baru saja dikenalnya.”
Wajah Gemak Langkas menegang. Bandul kalung yang diberikannya itu adalah bandul bermata berlian yang harganya sangat mahal. Demikian pula kalung emas yang cukup besar itu pun nilainya cukup tinggi. Tetapi Sasi telah menolaknya.
Dengan sungguh-sungguh Gemak Langkas telah mendesaknya sekali lagi. Sambil bersingsut mendekat ia berkata, “Sasi. Kenapa kau menolak? Sudah aku katakan bahwa benda ini nilainya memang tidak seberapa dibanding dengan nilai persahabatan kita. Tetapi kali ini memang hanya ini yang dapat aku berikan kepadamu. Mudah-mudahan lain kali aku dapat membawa oleh-oleh yang lebih baik bagimu, bagi kakak-kakakmu dan bagi ayah dan ibumu. Bahkan ayahku tentu tidak berkeberatan jika ayah sendiri datang dengan membawa oleh-oleh itu.”
“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, Gemak Langkas. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat menerima pemberianmu itu. Meskipun aku tahu bahwa kau memberikan benda itu dengan ikhlas dan tidak dengan maksud apa-apa.”
Wajah Gemak Langkas menjadi semakin tegang. Rasa-rasanya sia-sia saja ia memaksa Sasi yang nampaknya berhati keras itu. Namun Gemak Langkas ternyata juga seorang yang cerdik. Ia sama sekali tidak kelihatan marah. Katanya, “Baiklah Sasi. Jika kau tidak menyukai benda ini. Aku akan membawanya pulang. Benda ini akan aku kembalikan kepada ayah dan ibu agar ayah dan ibu membelikan oleh-oleh yang lebih berarti bagimu. Nah, aku minta diri Sasi. Lain kali aku akan datang lagi.”
Mulut Sasi justru bagaikan terbungkam. Karena itu, ia sama sekali tidak menjawab. Namun ketika Gemak Langkas bangkit dan melangkah turun kehalaman, maka Sasi itu pun telah mengantarnya sampai ke tangga pendapa rumahnya.
Demikianlah Gemak Langkas pun pulang sambil membawa benda yang disebutnya sebagai oleh-oleh itu. Demikian ia keluar dari regol halaman rumah Arya Kuda Cemani, maka ia pun menggeram sambil memukul telapak tangan kirinya sendiri dengan tangan kanannya. Dengan geram ia bergumam, “Perempuan yang angkuh. Ayahnya sama sekali bukan seorang yang kaya. Tetapi ia menolak pemberianku yang sangat berharga itu. Buat apa ia begitu tinggi menjunjung harga dirinya? Apakah karena ayahnya seorang Senapati?”
Namun ia pun bergumam pula, “Lain kali aku akan datang. Aku harus menaklukkan gadis itu. Betapa tinggi hatinya, tetapi dengan emas dan berlian, hatinya itu tentu akan luluh.”
Sebenarnya bahwa Gemak Langkas telah bertekad untuk pada suatu saat menundukkan Sasi yang dianggapnya seorang gadis yang angkuh itu.
Sementara itu Sasi telah berlari mendapatkan ibunya di dapur. Ibunya terkejut melihat Sasi mengusap matanya yang merah. Dengan geram ia berkata, “Ibu, anak muda itu telah menghina aku.”
“Apa yang telah terjadi?” bertanya ibunya.
“Ia telah membawa oleh-oleh buatku. Sebuah kalung bermata berlian. Dikiranya aku ini apa?” sahut Sasi.
“Anak muda itu akan memberikan kalung bermata berlian?” bertanya ibunya.
“Ya ibu. Kalung emas dengan bandul emas bermata berlian. Bukankah berarti ia menganggap aku dapat dibelinya seharga kalung dan bandul bermata berlian itu?”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Sasi yang duduk di amben panjang sambil berkali-kali mengusap matanya yang basah. Ternyata Sasi benar-benar tersinggung oleh tingkah laku Gemak Langkas itu.
Sambil duduk di sebelahnya ibu Sasi itu berkata, “Sudahlah Sasi. Jangan dipikirkan terlalu dalam. Bukankah kau tidak mau menerima pemberian itu, sehingga kau sama sekali tidak berhutang apapun kepadanya?” Sasi mengangguk kecil.
“Nah, sampaikan hal itu nanti kepada ayahmu dan jika kebetulan kedua kakakmu pulang, katakan pula kepada mereka.” berkata ibunya.
Sasi mengangguk. Desisnya, “Ya ibu.”
“Nah, sekarang kau tidak usah mengingatnya lagi. Bukankah ia sudah pergi?” bertanya ibunya.
Sasi mengangguk pula.
“Nah, kerjakan apa yang tadi baru kau kerjakan.” berkata ibunya pula.
Sasi tidak menjawab. Namun ia pun kemudian telah menyibukkan diri membantu ibunya kerja di dapur. Yang ditunggu Sasi selain ayahnya sebenarnyalah bukan kedua kakaknya. Tetapi justru Mahisa Pukat. Ia harus mengatakan kepada anak muda itu, apa yang telah dilakukan oleh Gemak Langkas.
Ketika lewat tengah hari ayahnya pulang, maka Sasi pun langsung melaporkan perlakuan Gemak Langkas itu kepadanya, sehingga ibunya pun berkata, “Sasi. Biarlah ayahmu beristirahat dahulu.”
Tetapi Sasi tidak sabar lagi. Katanya, “Dadaku serasa menjadi sesak, ibu. Ayah harus segera mengetahuinya.”
“Ada apa Sasi? Nampaknya kau menjadi sangat gelisah.” bertanya ayahnya.
Sasi memang tidak menunggu lagi. Ia pun segera memberitahukan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi dengan Gemak Langkas.
Ayahnya mendengarkan laporan Sasi dengan sungguh-sungguh. Sambil menarik nafas panjang ia kemudian berkata, “Apa yang kau lakukan sudah benar Sasi. Kau memang tidak boleh menerima pemberian dari siapa pun yang bukan keluarga kita sendiri. Kau sudah cukup dewasa sehingga kau tentu sudah tahu maksud anak muda itu. Tentu bukannya tidak bermaksud apa-apa seperti yang dikatakannya itu.”
Sasi mengangguk-angguk. Ayah dan ibunya sudah menyatakan sikapnya. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan itu sudah benar. Namun masih ada seorang lagi yang akan diberitahu tentang persoalan itu. Mahisa Pukat.
Seperti yang diharapkannya, maka sore itu Mahisa Pukat memang datang ke rumah Sasi. Seperti biasanya, kadang-kadang Arya Kuda Cemani menemuinya beberapa saat. Baru kemudian Mahisa Pukat itu ditinggalkannya bersama Sasi. Meskipun belum dinyatakan secara resmi, namun hubungan anak muda itu dengan anaknya sudah diketahui oleh orang tua kedua belah pihak.
Pada kesempatan itu, Arya Kuda Cemani sebagai seorang tua telah memberitahukan dengan terus terang sikap Gemak Langkas terhadap anak gadisnya. Dengan nada berat Arya Kuda Cemani itu berkata, “Seperti ayahnya, anak itu terlalu yakin akan kekayaan yang melimpah yang dimilikinya. Karena itu, ia menganggap bahwa apa pun akan dapat diselesaikan dengan uangnya. Namun lebih dari itu, Gemak Langkas adalah seorang anak muda yang berilmu. Ia berguru kepada seorang pemimpin padepokan yang berpengaruh. Dengan uangnya, maka gurunyalah yang setiap waktu yang ditentukan datang kepadanya untuk menuntunnya dalam olah kanuragan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pemberitahuan dari ayah Sasi itu kepadanya, oleh Mahisa Pukat dianggap sebagai satu isyarat bahwa Mahisa Pukat harus berhati-hati. Anak muda yang bernama Gemak Langkas itu akan dapat bertindak kasar jika niatnya dihalangi oleh siapa pun juga. Sebagai anak seorang saudara yang kaya, maka semua kemauan Gemak Langkas biasanya pasti terpenuhi.
Mahisa Pukat yang tanggap akan isyarat itu mengangguk kecil sambil menyahut, “Aku akan berhati-hati Raden.”
“Aku percaya akan kemampuanmu. Tetapi kau kadang-kadang tidak memperhitungkan langkah-langkah licik seseorang. Karena itu, maka kau harus mulai berhati-hati menghadapi orang yang tidak kau kenal benar tabiatnya.”
Mahisa Pukat mengangguk dalam-dalam. Meskipun ia tidak menjawab, namun Raden Kuda Wereng itu tahu pasti, bahwa anak muda itu memperhatikan setiap kata-katanya. Ketika kemudian Arya Kuda Cemani yang juga disebut Raden Kuda Wereng itu meninggalkan Mahisa Pukat dan Sasi berdua, maka Sasi telah minta kepada Mahisa Pukat agar besok ia bersedia datang sebelum tengah hari.
“Mungkin ia akan datang lagi. Menurut perhitunganku atas sifat anak muda itu, maka besok ia akan datang dan membawa benda yang lebih berharga dari yang dibawanya pagi tadi.” berkata Sasi kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok sebelum tengah hari aku akan datang.”
Demikianlah, setelah beberapa saat Mahisa Pukat berada di rumah Sasi, maka ia pun telah minta diri. Bukan saja kepada Sasi, tetapi juga kepada kedua orang tuanya.
“Kau memang harus berhati-hati ngger” berkata Arya Kuda Cemani.
“Baiklah Raden” jawab Mahisa Pukat, “aku akan selalu ingat pesan ini.”
“Agar ayahmu tidak terkejut jika terjadi sesuatu, sebaiknya kau pun berceritera pula kepada ayahmu, Ki Mahendra” pesan Arya Kuda Cemani.
Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan berbicara dengan ayah.”
Demikianlah, maka seperti pesan Arya Kuda Cemani, ketika Mahisa Pukat sampai di rumah, ia pun telah menyampaikan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi di rumah Sasi serta pesan Arya Kuda Cemani kepadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kau harus menghadapi Gemak Langkas dengan kekerasan. Sejauh dapat diatasi dengan cara yang baik, maka kau harus mencobanya. Hanya dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakan ilmumu untuk melindungi dirimu. Bukan sekedar untuk menunjukkan kelebihanmu dari Gemak Langkas kepada Sasi. Itu jika kau mempunyai kelebihan.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab, “Ya ayah.”
“Hati-hatilah dengan sikapmu. Kau berada ditempat yang bagimu asing di sini. Tatanan kehidupan tentu agak berbeda dengan tatanan kehidupan di Padepokan Bajra Seta dan sekitarnya.”
“Aku mengerti ayah” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah. Jika kau besok akan datang, datanglah. Tetapi sekali lagi aku pesan, jagalah namamu baik-baik di rumah orang. Kecuali itu, kau memang harus berhati-hati sebagaimana pesan Raden Kuda Wereng.” pesan ayahnya.
“Ya ayah” jawab Mahisa Pukat, “aku mengerti.
Demikianlah, maka persoalan Sasi itu telah membuat Mahisa Pukat ikut gelisah. Bagaimanapun juga ia membayangkan bahwa Gemak Langkas akan mempergunakan kekerasan, sehingga Mahisa Pukat harus melayaninya. Tetapi ia memang berpegangan kepada pesan ayahnya, bahwa ia hanya akan membela diri. Te|api menurut pengertian Mahisa Pukat bahwa membela diri itu termasuk membela harga diri Sasi.
Dihari berikutnya, Mahisa Pukat telah berbenah diri saat matahari terbit. Kegelisahannya nampak pada sikapnya yang seakan-akan berdiri diatas bara. Sejak selesai makan pagi, maka Mahisa Pukat telah mondar-mandir saja di serambi depan. Rasa-rasanya hari berjalan lamban sekali. Matahari dengan malas merayap ke langit. Sehingga Mahisa Pukat hampir tidak sabar menunggu matahari mendekati puncaknya, karena Sasi berpesan agar ia datang menjelang tengah hari.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, Maka Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera minta diri kepada ayahnya untuk segera pergi ke rumah Arya Kuda Cemani. Sekali lagi ayahnya berpesan, agar Mahisa Pukat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil sikap sebelum dipikirkan masak-masak.
Dengan jantung yang berdebaran Mahisa Pukat pergi ke rumah Sasi sebagaimana diminta oleh gadis itu. Namun ia pun berharap bahwa ia akan benar-benar dapat bertemu dengan Gemak Langkas. Bahkan kadang-kadang ia berniat untuk melupakan saja pesan ayahnya. Ia ingin langsung menantang Gemak Langkas untuk beradu kemampuan.
Namun peringatan ayahnya itu ternyata setiap kali seakan-akan terngiang di telinganya. Bahwa bukan menjadi kebiasaannya untuk dengan sengaja mencari lawan. Jika kesadaran itu mulai merayap di hatinya, maka Mahisa Pukat pun menjadi tenang. Ia tidak lagi berjalan tergesa-gesa menuju ke rumah Sasi. Tetapi ia melangkah dengan sedikit menahan diri sehingga tidak menarik perhatian orang.
Ketika Mahisa Pukat memasuki regol halaman rumah Sasi, maka jantungnya terasa semakin cepat bergetar. Namun ternyata tidak seorang pun berada di pendapa rumah itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus masuk lewat seketeng kiri sebagaimana setiap kali dilakukan jika ia berkunjung ke rumah itu dan tidak ada seorang pun yang melihatnya datang.
Seorang pembantu rumah itu yang melihat Mahisa Pukat segera memberitahukannya kepada Sasi, sehingga sejenak kemudian maka Sasi pun telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk duduk dipendapa.
“Apakah aku sudah terlambat?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kenapa terlambat?” bertanya Sasi.
“Bukankah kau minta aku datang menjelang tengah hari?” Mahisa Pukat pun ganti bertanya.
“O” Sasi mengangguk-angguk, “ternyata anak muda itu belum datang. Mudah-mudahan ia tidak datang”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ya. Mudah-mudahan ia tidak akan datang untuk seterusnya.”
Namun baru saja mulut Mahisa Pukat terkatub, seekor kuda yang tegar telah memasuki halaman. Penunggangnya ternyata masih belum turun dari kuda itu. Baru setelah kuda itu berhenti tepat di depan tangga pendapa, penunggannya meloncat turun, Sambil menambatkan kudanya, ia berkata nyaring, “Sasi. Aku memenuhi janjiku. Aku datang lagi dengan membawa oleh-oleh yang lebih berarti dari yang kau tolak itu. Aku harap kau senang menerimanya.”
Sasi masih duduk dipendapa bersama Mahisa Pukat. Namun keduanya pun kemudian berdiri dan gelangkah ke tangga. “Marilah, silahkan naik” Sasi mempersilahkan.
Anak muda itu memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya. Sementara itu Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil berkata, “Marilah, silahkan Ki Sanak.”
Wajah Gemak Langkas berkerut. Namun ia pun kemudian melangkah naik tanpa menghiraukan Mahisa Pukat. Anak muda itu langsung melangkah ke tikar pandan yang terbentang di pringgitan.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa pesan ayahnya telah terngiang lagi di telinganya, sehingga ia tidak dengan tergesa-gesa melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan. Ketika Gemak Langkas duduk di tikar yang terbentang itu, maka Sasi dan Mahisa Pukat pun telah ikut duduk pula.
Namun tiba-tiba saja Gemak Langkas berkata, “Sasi, aku hanya ingin berbicara denganmu. Aku tidak mempunyai kepentingan dengan orang lain. Karena itu, maka sebaiknya kita hanya berdua saja tanpa orang lain.”
“Aku tidak tahu maksudmu Gemak Langkas.” jawab Sasi.
“Bukankah sudah jelas? Aku hanya ingin bertemu dengan kau saja. Tidak dengan orang lain. Karena itu, jika di sini ada orang lain, aku minta orang lain itu menyingkir saja” berkata Gemak Langkas tegas.
“Jadi maksudmu, aku kau minta untuk mengusir tamuku?” bertanya Sasi
“Aku hanya mengatakan, aku hanya ingin bertemu dengan kau seorang diri. Terserah caramu, aku tidak akan menentukannya” berkata Gemak Langkas kemudian.
Namun Sasi menjawab, “Tidak Gemak Langkas. Aku tidak dapat mengusir tamuku, siapa pun orang itu. Jika seseorang datang kepadaku dengan maksud baik, maka aku akan menerimanya dan menemuinya sebagai seorang tamu. Ayah dan ibuku mengajar aku, agar aku menghormati tamu-tamuku sepanjang ia tidak berniat berbuat kurang baik”.
Wajah Gemak Langkas menjadi merah. Sementara itu Mahisa Pukat masih berdiam diri. Ia justru tertarik mendengarkan pembicaraan antara Gemak Langkas dengan Sasi.
“Sasi” berkata Gemak Langkas kemudian, “kau yang mempunyai rumah ini. Karena itu, kau yang mempunyai wewenang untuk mengusir sseorang dari rumah ini. Tentu bukan aku. Karena itu sekali lagi aku minta, biarlah kita berbicara berdua saja. Aku tidak senang ada orang lain yang tentu hanya akan mengganggu saja”
Tetapi sekali lagi jawaban Sasi mengejutkan, “Gemak Langkas. Memang bukan kewajiban kami untuk membuat kau senang. Terserah kepadamu, apakah kau senang atau tidak. Tetapi aku tidak pantas mengusir seorang tamu yang datang dengan niat baik kepadaku. Karena itu maka aku juga tidak mengusirmu seandainya tamuku yang datang lebih dahulu berkata sebagaimana yang kau katakan.”
Telinga Gemak Langkas memangmenjadi panas. Bahkan ia seakan-akan telah kehilangan kekang atas dirinya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika kau tidak mau mengusirnya, aku yang akan mengusir orang itu.”
“Kau tidak berhak melakukannya, Gemak Langkas. Rumah ini bukan rumahku. Bukankah kau sendiri telah mengatakannya” desis Sasi.
Sejenak Gemak Langkas justru terbungkam. Namun kemudian katanya, “Aku tidak mau menerima perlakuan ini. Aku akan pergi saja. Oleh-oleh yang aku bawa akan aku bawa pulang. Pada kesempatan lain aku akan memberikan kepadamu. Tetapi pada kesempatan lain pula, aku akan membuat perhitungan dengan orang ini.”
Namun yang dicemaskan Mahisa Pukat itu pun memang terjadi. Ketika di sore hari Mahisa Pukat sedang berjalan menuju ke rumah Sasi, maka tiba-tiba saja seekor kuda yang tegar berlari kencang menyambarnya. Sebenarnya Mahisa Pukat telah berusaha menepi. Namun kuda itu sengaja berlari menepi pula. Bahkan kemudian tangan penunggangnya seakan-akan dengan sengaja menyambar kepalanya demikian kerasnya.
Untunglah bahwa Mahisa Pukat selalu berhati-hati menghadapi kesulitan yang tiba-tiba datang. Ketika ia melihat Gemak Langkas berada di punggung kuda yang berlari kencang, maka ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan buruk itu. Karena itu, ketika kuda itu menyambarnya dengan kecepatan tinggi, maka Mahisa Pukat pun dengan tangkas pula meloncat menghindar. Dengan kecepatan melampaui kecepat-an lari kuda itu, Mahisa Pukat berhasil meloncat parit di pinggir jalan itu dan tegak berdiri di atas tanggul di seberang parit yang cukup lebar itu.
Beberapa orang perempuan yang melihatnya terpekik kecil. Namun mereka pun menarik nafas panjang serta mengusap dadanya sambil berkata, “Untunglah, anak itu sempat menghindar. Jika tidak, maka ia akan dapat terlempar jatuh dan terluka. Apalagi jika kaki kuda itu menginjaknya.”
Sementara itu, Gemak Langkas yang sempat berpaling dan melihat Mahisa Pukat berdiri di tanggul seberang parit, telah mengumpat kasar.
“Kenapa anak iblis itu tidak terlempar” geramnya. Namun Gemak Langkas tidak kembali. Ia melarikan kudanya semakin cepat dan hilang di kelok jalan.
Mahisa Pukat pun menarik nafas panjang pula. Bagaimanapun juga terasa debar jantungnya semakin cepat. Namun ia pun kemudian telah melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Sasi.
Ketika ia menceriterakan peristiwa itu kepada Sasi, maka Sasi pun berkata, “Kau memang harus berhati-hati. Apalagi ia tidak sendiri.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat. Namun katanya pula, “jika ia mempunyai latar belakang kehidupan di sebuah padepokan, maka aku pun seorang penghuni padepokan pula.”
“Tetapi di sini kau sendiri” berkata Sasi.
“Tentu tidak” jawab Mahisa Pukat, “jika aku berada di pihak yang benar maka paugeran dan tatanan yang berlaku akan melindungi aku.”
Sasi mengangguk kecil. Katanya, “Tetapi menghadapi seseorang seperti Gemak Langkas, tatanan dan paugeran sering terlambat melindungi seseorang.”
“Ya.” sahut Mahisa Pukat. Namun katanya, “Tetapi aku juga membawa pedang.”
Sasi menarik nafas dalam-dalam. Jika ia terlalu mencemaskan Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat justru akan dapat tersinggung karenanya. Karena itu, maka Sasi pun tidak lagi mempertanyakan apa yang telah terjadi.
Tetapi bagi Mahisa Pukat sendiri, peristiwa itu merupakan peringatan baginya, agar ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi anak muda itu. Ketika Mahisa Pukat kemudian minta diri untuk kembali ke tempat tinggal ayahnya di bagian belakang istana, maka ia minta Sasi menceriterakan hal itu kepada ayahnya.
“Jika terjadi sesuatu, maka ayahmu telah mengetahui persoalan yang sebenarnya.” berkata Mahisa Pukat.
“Aku akan mengatakannya” sahut Sasi.
Ketika kemudian Mahisa Pukat berjalan pulang, maka ia menjadi semakin berhati-hati. Jika ia berpapasan dengan seorang yang duduk diatas punggung kuda, maka ia pun memperhatikan orang itu dengan baik. Apakah orang itu Gemak Langkas atau orang lain sekalipun yang memperhatikannya berlebihan.
Jantung Mahisa Pukat memang berdesir ketika ia melihat Gemak Langkas duduk di atas punggung kudanya. Tetapi kuda itu berhenti seakan-akan memang menunggunya dipinggir jalan. Mahisa Pukat tidak dapat berhenti dan melangkah kembali. Apalagi darah mudanya yang memang cepat menjadi panas jika persoalannya menyangkut Sasi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun melangkah terus dengan langkah yang pasti.
Ketika Mahisa Pukat melangkah lewat di depan Gemak Langkas yang duduk di atas punggung kudanya, maka Mahisa Pukat sama sekali tidak menunjukkan perubahan langkahnya. Ia berjalan saja seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali kehadiran Gemak Langkas itu.
Melihat sikap itu hati Gemak Langkas menjadi semakin panas. Namun ia pun masih tetap menahan diri. Bahkan Gemak Langkas itu pun tersenyum sambil berkata, “He, bukankah kau yang bernama Mahisa Pukat.”
Mahisa Pukat memang berhenti. Sambil berputar kearah Gemak Langkas Mahisa Pukat pun menjawab. “Ya. Aku Mahisa Pukat.”
“Kau yang bertemu dengan aku di rumah Sasi?” bertanya Gemak Langkas itu pula.
“Ya. Kau masih ingat? Aku juga yang dengan sengaja kau sambar dengan kudamu tadi? Kau masih ingat?” bertanya Mahisa Pukat.
Telinga Gemak Langkas menjadi merah. Tetapi ia masih menahan diri. Sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Aku masih ingat.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, katanya, “Nah, sekarang kau agaknya sengaja menunggu aku. Apa maumu?”
“Aku hanya ingin bertanya, apakah kau memang laki-laki sejati atau sekedar seorang yang menyandarkan diri para perlindungan orang lain.”
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Aku tahu maksudmu. Kau akan menantang aku? Jadi kau masih menganggap bahwa untuk mendapatkan seorang gadis, laki-laki harus berani berkelahi. Tetapi apakah perkelahian itu akan dapat merubah perasaan seorang gadis? Jika dua orang anak muda berkelahi, maka dengan sendirinya gadis itu akan memilih yang menang dari keduanya?”
“Satu jawaban dengan permainan kata yang manis” sahut Gemak Langkas. Namun katanya kemudian, “Aku tidak peduli apakah Sasi akan memilih kau atau aku atau orang lain. Kalau kau sudah mati, maka ia tidak akan memilihmu lagi.”
“Jadi kau akan membunuhku?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tetapi aku menantang kau perang tanding. Jika salah seorang dari kita mati, kau atau aku, itu sudah wajar. Bukan berarti satu pembunuhan,” jawab Gemak Langkas.
“Itukah yang kau kehendaki?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Gemak Langkas, “kau dapat membawa dua orang saksi. Aku juga akan membawa saksi.”
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun ia pun kemudian menjawab, “Baik. Aku terima tantanganmu.”
“Bagus” desis Gemak Langkas sambil tersenyum, “Ternyata kau memang seorang laki-laki. Nanti malam aku tunggu kau di tanggul Sendang Perbatang. Nanti malam langit akan diterangi oleh cahaya bulan meskipun sudah lewat purnama. Tetapi sinarnya masih cukup terang. Di saat bulan terbit, aku sudah berada di tanggul Sendang Perbatang bersama-sama para saksi.”
“Baik” jawab Mahisa Pukat, “aku belum pernah melihat Sendang Perbatang. Tetapi aku akan membawa seorang saksi yang akan dapat mengantarku ke sana.”
“Bagus” berkata Gemak Langkas kemudian, “jangan ingkar janji. Aku sudah terlanjur menganggapmu laki-laki sejati.”
Gemak Langkas tidak menunggu jawaban Mahisa Pukat. Ia pun segera memaeuk kudanya meninggalkan Mahisa Pukat yang berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa Pukat telah kembali lagi ke rumah Sasi. Ia telah mengabarkan rencana perang tanding itu kepada ayah Sasi. Dengan demikian, maka Arya Kuda Cemani itu mengetahui apa yang terjadi.
“Baiklah” berkata Arya Kuda Cemani, “aku akan menjadi saksi pula dalam perang tanding itu. Bawa ayahmu. Ia juga akan dapat menjadi saksi.”
“Tetapi bukankah dapat menimbulkan prasangka buruk jika aku membawa ayahku sebagai saksi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berani bertaruh, bahwa Gemak Langkas akan membawa gurunya pula sebagai saksi.” berkata Arya Kuda Cemani.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah. Nanti aku akan mengajak ayah bersamaku.”
“Baiklah. Tetapi aku tidak usah pergi bersamamu dan ayahmu. Aku akan pergi sendiri. Kita akan bertemu di tanggul Sendang Perbatang.” berkata ayah Sasi.
“Tetapi aku belum tahu di mana letak Sendang Perbatang.” desis Mahisa Pukat.
“Ayahmu sudah lebih lama berada di sini. Ia tentu sudah tahu dimana letak Sendang Perbatang.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Namun ia pun kemudian segera minta diri. Langit sudah menjadi muram karena senja sudah mulai turun.
Ketika hal itu kemudian dikatakan kepada ayahnya, maka Mahendra berkata, “Kau terlalu cepat mengambil keputusan Mahisa Pukat. Apakah kau tidak dapat menghindari penyelesaian dengan cara itu?”
“Rasa-rasanya tidak mungkin lagi ayah, kecuali jika aku membiarkan diriku dihinakan. Harga diriku direndahkan di bawah telapak kakinya,” jawab Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk sekedar mengerti perasaan anaknya. Kemudaannya memang dapat membuatnya mudah tersinggung. Namun perang tanding bukanlah sekedar permainan. Perang tanding adalah pertarungan dengan mempertaruhkan nyawanya. Tetapi anaknya sudah menerima tantangan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak akan pernah mencabutnya.
Mahendra memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus pergi melihat apa yang terjadi dengan anaknya. Memang tidak ada niat Mahendra untuk berbuat licik. Tetapi ia pun tidak mau jika lawannyalah yang berbuat licik. Dengan demikian, maka ketika malam turun, Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Bersama ayahnya mereka pun segera berangkat ke tanggul Sendang Perbatang. Di lambung Mahisa Pukat tergantung pedang.
Seperti yang dikatakan oleh Arya Kuda Cemani, ternyata Mahendra telah mengetahui letak Sendang Perbatang, sehingga dengan demikian, mereka berdua tidak perlu mencarinya. Ketika kemudian bulan terbit, Mahisa Pukat mengajak ayahnya berjalan semakin cepat.
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi Gemak Langkas. Justru karena Mahisa Pukat belum mengetahui tataran kemampuan Gemak Langkas yang dianggap sebagai seorang anak muda yang berkemampuan tinggi serta yang masih tetap berada di bawah bimbingan seorang guru, maka Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati.
Beberapa orang saksi yang datang bersama Gemak Langkas pun segera telah turun pula mengelilingi kedua orang anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menyusun lingkaran yang membentuk sebuah arena perang tanding.
Mahendra dan Arya Kuda Cemani pun berdiri pula di lingkaran itu. Namun berjarak beberapa langkah dari para saksi yang dibawa oleh Gemak Langkas termasuk gurunya dan ayahnya yang kaya raya serta orang yg disebut pamannya, yang kebetulan adalah saudara seperguruan Gemak Langkas. Sedangkan yang lain adalah prajurit-prajurit muda yang mendendam kepada Mahisa Pukat.
Beberapa saat kemudian maka Gemak Langkas pun berkata, “Mahisa Pukat. Apakah kau sudah siap? Kita perguankan waktu sebaik-baiknya. Kita akan segera mulai.”
“Aku sudah bersiap sejak aku berangkat dari rumah” jawab Mahisa Pukat.
“Setan kau” Gemak Langkas menggeam, “kau memang terlalu sombong.”
Mahisa Pukat kemudian justru berdesis, “Sombong atau tidak, marilah kita mulai. Bulan sudah semakin tinggi.”
Gemak Langkas pun kemudian bergeser mendekat, sementara Mahisa Pukat berdiri tegak dengan sebelah kakinya setengah langkah ke depan serta sedikit merendah pada lututnya. Kedua tangannya terangkat bersusun didepan dadanya. Gemak Langkas tidak bertanya lagi. Ia pun mulai bergerak. Kakinya terangkat memancing gerak lawan, sementara Mahisa Pukat bergeser kesamping.
Dengan cepat Gemak Langkas pun menyerang pula. Namun Mahisa Pukat masih dapat menghindarinya dengan gerak-gerak sederhana. Namun Mahisa Pukat pun sadar, bahwa Gemak Langkas pun masih belum bersungguh-sungguh. Namun sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas telah berloncatan dengan cepat. Ia mulai berusaha menjajagi kemampuan Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukat pun berusaha menjajagi kemampuan lawannya. Namun pertempuran itu telah menjadi semakin lama semakin cepat meskipun keduanya masih berusaha saling menjajagi.
Dalam benturan-benturan yang kemudian terjadi, maka keduanya mulai menyadari, bahwa lawan mereka memang memiliki bekal yang cukup tinggi, sehingga keduanya pun menjadi semakin berhati-hati. Namun keduanya mulai meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Gemak Langkas yang ditunggui oleh ayah dan saudara seperguruannya dan bahkan gurunya, hatinya justru berkembang ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat. Bagi Gemak Langkas, seakan-akan ia mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kepada gurunya bahwa ia merupakan seorang murid yang baik.
Namun setiap kali Gemak Langkas meningkatkan ilmunya, Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga semakin lama maka pertempuran itu pun menjadi semakin cepat dan semakin keras. Namun, Gemak Langkas tidak ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran. Ia ingin menunjukkan kepada gurunya, bagaimana ia mampu mempermainkan lawannya. Ia berniat untuk menghancurkan Mahisa Pukat sedikit demi sedikit.
“Jika ia akhirnya terbunuh di perang tanding ini, maka aku tidak dapat dipersalahkan. Ada beberapa saksi yang hadir di sini yang meyakini bahwa yang terjadi adalah perang tanding. Bukan satu pembunuhan.” berkata Gemak Langkas di dalam hatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun cukup berhati-hati pula. Ia pun sadar, bahwa lawannya ingin mempermainkannya. Justru karena itu, maka Mahisa Pukat pun berniat melayani niat lawannya. Ia pun tidak tergesa-gesa ingin menyelesaikan perang tanding itu. Namun, karena Gemak Langkas masih belum merasa mengatasi ilmu lawannya, maka ia pun masih saja semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah meningkatkannya pula. Selapis demi selapis sebagaimana dilakukan oleh Gemak Langkas.
Yang menjadi gelisah lebih dahulu adalah justru Gemak Langkas. Ketika ilmunya sudah memanjat semakin tinggi, tetapi rasa-rasanya lawannya masih saja mampu mengimbanginya tanpap kesulitan. Jika kecepatan gerak Gemak Langkas meningkat, mahisa Pukat pun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Demikian pula kekuatan dan kemampuan ilmunya. Sehingga seakan-akan apa pun yang dilakukan oleh Gemak Langkas, Mahisa Pukat mampu melakukannya pula.
Dalam pada itu, saudara seperguruan Gemak Langkas dan bahkan gurunya menyaksikan pertempuran itu dengan hati yg berdebar-debar. Demikian pula ayahnya yang semula selalu membanggakan anaknya yang dianggapnya telah menyerap ilmu yang tinggi dari perguruannya, karena ayahnya telah mengeluarkan beaya yang cukup banyak.
Sementara itu, Mahisa Pukat justru mulai dapat menduga kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Pukat menyadari, bahwa lawannya belum sampai ke puncak, namun Mahisa Pukat menjadi tidak terlalu silau melihat kemampuannya meskipun Mahisa Pukat masih tetap berhati-hati.
Dalam pada itu, ternyata Gemak Langkas justru menjadi semakin gelisah. Mahisa Pukat itu masih saja mampu mengimbanginya. Namun dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Gemak Langkas semakin berusaha untuk dapat menekan Mahisa Pukat. Sehingga tanpa disadarinya, maka Gemak Langkas itu telah mengerahkan segala kemampuannya.
Ketika Gemak Langkas menghentakkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, maka Mahisa Pukat memang terdesak sesaat sebelum ia menyesuaikan ilmunya. Sekejap Gemak Langkas merasa akan segera dapat mengatasi lawannya. Namun sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas kembali digelisahkan oleh kemampuan lawannya.
Serangan-serangan Gemak Langkas memang menjadi semakin lama semakin cepat. Tangannya yang kuat terayun-ayun dengan cepatnya sehingga seakan-akan serangan Gemak Langkas itu datang dari segala arah. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkas selalu dapat menghindari serangan-serangan itu. Dengan loncatan-loncatan pendek Mahisa Pukat rasa-rasanya hanya sekedar bergeser saja. Namun kemudian berputar, menggeliat dan melenting tinggi, sehingga sulit bagi Gemak Langkas untuk dapat menyentuhnya.
Namun, yang tidak terduga sebelumnya itu terjadi. Sebelum Gemak Langkas mampu mengenai tubuh Mahisa Pukat, maka justru serangan Mahisa Pukat lah yang telah menyusup di sela-sela pertahanan Gemak Langkas. Gemak Langkas terdorong beberapa langkah surut ketika serangan tumit Mahisa Pukat mengenai lambungnya. Gemak Langkas mengumpat dengan kasarnya. Perutnya terasa menjadi mual. Namun kemarahannya pun serasa telah membakar jantungnya sehingga darahnya pun serasa telah mendidih karenanya.
Mahisa Pukat ternyata tidak memburunya. Seakan-akan ia sengaja memberi kesempatan kepada Gemak Langkas untuk memperbaiki kedudukannya sebelum pertempuran itu dilanjutkan.
Dengan demikian, maka ayah Gemak Langkas, saudara seperguruannya dan lebih-lebih adanya gurunya, terkejut pula karenanya. Mereka tidak mengira bahwa Mahisa Pukat itu mampu bergerak secepat dan sekuat itu. Ketika mereka melihat Mahisa Pukat terdesak, mereka sudah memastikan bahwa Gemak Langkas akan segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Namun ternyata bahwa yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Justru Mahisa Pukat lah yang telah mengenai lambung Gemak Langkas.
“Tetapi itu belum merupakan akhir dari segala-segalanya” berkata guru Gemak Langkas di dalam hatinya.
Ternyata bahwa lambungnya yang mual dan sakit itu telah memberinya peringatan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Setidak-tidaknya tidak berada di bawah ilmu Gemak Langkas itu sendiri. Dalam pada itu, Gemak Langkas memang menjadi semakin marah, tetapi juga semakin gelisah. Namun karena itu, maka Gemak Langkas itu pun telah mengerahkan segala-galanya. Puncak dari ilmu dan kemampuannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin cepat dan semakin keras. Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya untuk mengimbangi lawannya. Keduanya saling menyerang dan bertahan.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Gemak Langkas dalam puncak ilmunya ternyata masih belum mampu menguasai Mahisa Pukat. Bahkan serangan-serangannya masih juga belum dapat menembus pertahanan Mahisa Pukat. Jika sekali-kali serangannya mengena, sama sekali tidak menimbulkan akibat apa pun bagi lawannya. Mahisa Pukat seakan-akan hanya sekedar tersentuh tangan atau kaki Gemak Langkas tanpa hentakkan dan kekuatan sama sekali. Apalagi yang dapat mendorong dan melumpuhkannya.
Sebaliknya, beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenai lawannya. Bukan saja tumitnya, tetapi sisi telapak tangannya yang terayun deras, sempat mengenai pundak Gemak Langkas, sehingga Gemak Langkas mengaduh tertahan. Namun hampir saja tangannya kehilangan kekuatan untuk bergerak.
Beberapa saat kemudian, Gemak Langkas benar-benar telah terdesak. Serangan-serangan Mahisa Pukat semakin sering mengenainya. Sehingga seluruh tubuh Gemak Langkas itu serasa menjadi-memar dan nyeri. Dalam keadaan yang demikian, maka dengan cara itu Gemak Langkas tidak akan mungkin memenangkan perang tanding itu. Apalagi menghancurkan kesombongan lawannya.
Karena itu, sebagaimana memang telah terpikir sejak ia menantang Mahisa Pukat untuk berperang tanding, bahwa kemungkinan terburuk dalam perang tanding adalah salah seorang dari mereka akan terbunuh. Karena itu, maka Gemak Langkas pun telah memutuskan untuk bertempur dengan mempergunakan senjata. Ia memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi, sehingga meskipun dalam pertempuran tanpa senjata ia tidak dapat memenangkan perang tanding itu, namun dalam perang tanding telah dibenarkan pula untuk mempergunakan senjata, sehingga jika salah seorang dari mereka jantungnya terkoyak, maka lawannya tidak dapat dianggap sebagai seorang pembunuh. Karena itu, maka Gemak Langkas pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang panjang.
Mahisa Pukat meloncat selangkah surut. Dipandanginya pedang Gemak Langkas. Pedang yang bagus. Kilatan cahaya bulan seakan-akan telah terpantul menyilaukan melampaui terangnya cahaya itu sendiri.
“Apa boleh buat” berkata Gemak Langkas, “jika kau tidak terlalu sombong, maka aku tidak akan menarik pedangku. Pedang yang terbuat dari baja putih pilihan yang tajamnya melampaui tujuh kali tajamnya welat pring wulung.”
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Ia memang melihat pedang Gemak Langkas adalah pedang yang baik. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi heran melihat daun pedang yang terbuat dari baja putih itu.
Sementara itu Gemak Langkas pun berkata, “Seandainya kau mengakui kekalahanmu, maka aku tidak akan sampai hati menarik pedangku. Tetapi karena kau terlalu sombong dan merasa dirimu mampu mengimbangi ilmuku, maka aku terpaksa menunjukkan kepadamu kemampuan ilmu pedangku. Jika dengan demikian dadamu terkoyak dan jantungmu pecah, sama sekali bukan salahku.”
Mahisa Pukat masih belum menjawab. Ia masih saja berdiri tegak di tempatnya. Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menjadi tegang. Ayah, saudara seperguruan dan guru Gemak Langkas pun menjadi tegang pula. Mereka yakin, bahwa pedang Gemak Langkas merupakan pedang yang jarang ada duanya. Gurunya telah memberikan pedang itu kepada Gemak Langkas. Namun dengan ditukar dengan emas dan permata, tentu saja yang sangat mahal.
Ketika Gemak Langkas kemudian menggerakkan pedangnya, maka cahaya bulan yang memantul pada daun pedang itu nampak berkilat membuat mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar.
“Bukankah kau tidak tergesa-gesa Gemak Langkas?” terdengar suara saudara seperguruan Gemak Langkas yang disebut pamannya itu. “Kau sempat menunjukkan ilmu pedangmu kepada lawanmu.”
“Ya” jawab Gemak Langkas, “aku tidak tergesa-gesa. Jika luka anak itu menjadi arang kranjang, maka itu sama sekali bukan salahku.”
Mahisa Pukat bergeser maju sambil berkata, “Sejak semula kau masih saja bicara bahwa jika terjadi sesuatu itu bukan salahmu. Baiklah, apapun yang terjadi kau tidak bersalah karena terjadi dalam perang tanding. Jika kau mati pun kau juga tidak bersalah, karena hal itu terjadi karena kebodohanmu.”
“Setan kau” geram Gemak Langkas, “tarik pedangmu.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lawannya, kemudian orang-orang yang datang bersamanya. Namun sejenak kemudian maka ia pun telah menarik pedangnya pula.
Orang-orang yang berdiri di seputar arena itu terkejut. Mereka menganggap bahwa pedang Gemak Langkas adalah pedang yang paling baik yang pernah mereka lihat. Bahkan mereka mengira bahwa lawan Gemak Langkas itu akan kehilangan keberanian melihat ujud pedang yang terbuat dari baja putih itu, apalagi jika pedang itu digerakkan di bawah sinar cahaya bulan.
Namun, ketika mereka melihat daun pedang Mahisa Pukat, maka jantung mereka pun berdegup keras. Pedang Mahisa Pukat yang ditimpa cahaya bulan itu nampak bukan saja memantulkan sinar bulan yang kekuning-kuningan. Tetapi bahkan pedang itu bagaikan menyala dengan cahaya yang kehijau-hijauan.
“Dari iblis mana ia mendapat senjata itu” geram guru Gemak Langkas.
Pernyataan itu membuat ayah Gemak Langkas dan saudara seperguruannya menjadi semakin berdebar-debar. Dengan demikian maka mereka seakan-akan mendengar desah kecemasan guru Gemak Langkas yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Gemak Langkas sendiri tercenung untuk beberapa saat. Pedang Mahisa Pukat itu membuatnya berdebar-debar. Namun Gemak Langkas itu pun kemudian telah membesarkan hatinya sendiri. Katanya di dalam hati, “Betapapun tinggi nilai sepucuk senjata, namun orang yang memegangnya jugalah yang menentukan.”
Karena itulah, maka Gemak Langkas itu mulai menggerakkan pedangnya. Baja putih itu memang berkilat-kilat. Tetapi sekedar memantulkan sinar bulan. Daun pedang itu sendiri tidak bercahaya sama sekali. Namun sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu telah mulai memutar perang mereka masing-masing. Gemak Langkas yang merasa memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, segera mulai menggapai lawannya dengan ujung pedangnya. Tetapi Mahisa Pukat bergeser menyamping sambil merundukkan pedangnya pula. Namun sejenak kemudian, maka kedua ujung senjata itu mulai bersentuhan. Semakin lama. putaran pedang itu pun menjadi semakin cepat.
Gemak Langkas yang merasa memiliki ilmu pedang itu pun berusaha untuk segera menembus pertahanan lawannya. Ia tidak ingin menunda-nunda setiap kesempatan, karena ia mulai merasa bahwa ia tidak akan dapat mempermainkan lawannya itu. Namun pertahanan Mahisa Pukat memang terlalu rapat. Setiap kali Gemak Langkas melihat kesempatan dan mencoba mempergunakannya, ternyata pedangnya selalu membentur pedang Mahisa Pukat yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Keringat pun mulai membasahi telapak tangan Gemak Langkas. Namun dengan demikian, maka darahnya pun menjadi semakin panas.
Dengan demikian maka pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat pula. Gemak Langkas semakin meningkatkan kemampuannya. Berbeda dengan sebelumnya, bahwa ia ingin menunjukkan kelebihannya atas lawannya dan mengalahkannya perlahan-lahan, maka ia justeru berusaha untuk secepatnya menundukkan Mahisa Pukat. Bahkan semakin sulit ia berusaha mengenainya, maka Gemak Langkas pun tidak lagi berpikir panjang. Dihentakkannya segenap ilmunya dan satu-satunya keinginannya kemudian adalah membunuh Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat bukan seorang yang lebih lemah kemampuannya daripada Gemak Langkas. Karena itu, maka meskipun Gemak Langkas sudah sampai ke puncak kemampuannya, namun ternyata bahwa ia tidak dapat memaksa Mahisa Pukat untuk menyerah. Bahkan semakin lama justru Mahisa Pukatlah yang lebih banyak menguasai arena.
Ketika dengan garangnya Gemak Langkas meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya menusuk lewat celah-celah pertahanan Mahisa Pukat, ternyata Gemak Langkas itu salah hitung. Mahisa Pukat sama sekali tidak sedang lengah sehingga pertahanannya menjadi lemah. Demikian serangan itu datang, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat menggeliat. Dengan tangkas pula Mahisa Pukat menangkis serangan itu dengan sentuhan menyamping.
Gemak Langkas justru terkejut karenanya. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat itu masih mempunyai kesempatan untuk menghindar dan justru menyentuh senjatanya. Hampir saja senjatanya justru terlepas. Untunglah, Gemak Langkas sempat meloncat mengambil jarak. Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian justru memburunya. Pedangnya yang terjulur bagaikan mampu melihat kemana Gemak Langkas itu mengelak.
Gemak Langkas mengumpat kasar ketika sebuah goresan telah menyentuh menggores lengannya. Memang tidak terlalu dalam. Tetapi dari goresan senjata Mahisa Pukat itu, darah telah mulai mengalir. Para saksi yang dibawa oleh Gemak Langkas memang menjadi semakin tegang. Saudara seperguruannya dan apalagi guru dan ayahnya, menjadi cemas melihat pertempuran itu.
Sebagai seorang yang berilmu, ternyata gurunya melihat kelebihan Mahisa Pukat atas muridnya itu. Ketika muridnya telah sampai ke puncak kemampuannya, ternyata bahwa lawannya masih mampu meningkatkan lebih tinggi lagi. Dengan demikian maka guru Gemak Langkas itu pun menjadi gelisah. Jika Gemak Langkas tidak memenangkan perang tanding itu, maka ayahnya akan menjadi sangat kecewa. Ia sudah banyak sekali mengeluarkan uang untuk kepentingan anaknya berguru.
Tetapi yang akan terjadi memang demikian. Gemak Langkas semakin lama memang menjadi semakin terdesak. Bukan saja lengannya yang tergores luka. Tetapi kemudian pundaknya juga masih disentuh oleh ujung pedang Mahisa Pukat yang berwarna kehijauan itu. Pedang yang telah menggetarkan jantung lawannya. Semakin lama Gemak Langkas menjadi semakin menyadari, betapa ia menjadi semakin sulit untuk mengimbangi lawannya.
Kegelisahan para saksi yang dibawa Gemak Langkas pun menjadi semakin memuncak. Para prajurit muda termasuk Lembu Atak pun menjadi gelisah pula. Mereka ingin melihat Mahisa Pukat dikalahkan dan kemudian mereka pun akan dapat ikut melepaskan dendam mereka terhadap Mahisa Pukat. Tetapi mereka melihat bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Gemak Langkas yang nampaknya meyakinkan itu ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan Mahisa Pukat. Semakin lama ia justru menjadi semakin terdesak sehingga segores luka telah menyilang di dadanya.
Mahisa Pukat yang telah dapat menilai kemampuan lawannya justru menjadi semakin tenang. Ia tidak lagi berniat untuk berbuat lebih daripada menghentikan perlawanan Gemak Langkas dan meyakinkan kepada para saksi bahwa ia telah memenangkan perang tanding itu. Meskipun Gemak Langkas telah mengancam akan membunuhnya, namun tidak terlintas niat Mahisa Pukat untuk melakukannya.
Mahendra dan Arya Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun sudah mendapatkan satu keyakinan bahwa Mahisa Pukat akan berhasil memenangkan perang tanding itu. Namun guru Gemak Langkas lah yang jantungnya menjadi bagaikan membara. Ia merasa dipermalukan oleh Mahisa Pukat di hadapan ayah Gemak Langkas yang telah banyak memberinya uang dan benda-benda berharga.
Apalagi setiap kali ayah Gemak Langkas itu selalu berpaling kepadanya, seakan-akan menuntut atas kegagalan anaknya dalam perang tanding itu. Karena itu, bayangan kekalahan Gemak Langkas yang menjadi semakin jelas itu telah menggelitik gurunya untuk berbuat sesuatu, meskipun ia tahu bahwa hal itu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya kepada ayah Gemak Langkas.
Sekilas ia memandang Mahendra dan Arya Kuda Cemani. Guru Gemak Langkas itu belum tahu tataran kemampuan mereka. Namun keduanya bukan orang yang namanya melejit di antara orang-orang yang disegani di Singasari. Apalagi di antara para saksi itu hadir pula prajurit-prajurit muda dan seorang muridnya yang lain yang akan dapat mencegah mereka mencampuri persoalannya dengan Mahisa Pukat.
Karena itu sebelum Gemak Langkas mengalami nasib yang lebih buruk, maka ia pun berkata lantang, “Gemak Langkas. Anak itu mempunyai ilmu iblis. Minggirlah. Aku akan menghancurkan ilmu iblisnya. Baru kemudian, kau lawan anak itu bertempur dengan jujur” Lalu katanya kepada para saksi yang lain, “tahanlah jika ada di antara kedua orang saksi yang dibawa anak itu akan berbuat curang.”
Tetapi ayah Gemak Langkas itu menggamitnya dan berkata, “Seorang di antara kedua orang saksi itu adalah Arya Kuda Cemani yang memiliki Aji Panglimunan.”
Guru Gemak Langkas itu mengerutkan keningnya. Namun ternyata ketajaman telinga Mahendra sempat mendengarnya meskipun tidak terlalu keras. Karena itu, maka katanya, “Apakah orang-orang tua akan ikut dalam permainan ini?”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata lantang, “Aku tantang kau, untuk menggantikan Gemak Langkas. Siapakah kau? Benar kau gurunya?”
Guru Gemak Langkas itu menggeram. Sementara Mahendra berkata, “Jika ia menginginkan orang-orang tua ikut bermain, maka biarlah yang tua yang melayaninya.”
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil berkata, “Tidak ayah. Biarlah aku menantangnya untuk berperang tanding. Biarlah mereka melihat bahwa bukan hanya muridnya, tetapi gurunya.”
“Aku akan memasuki arena” berkata guru Gemak Langkas, “siapa pun lawanku.”
Arya Kuda Cemani tertawa. Katanya, “Baiklah, jika Mahisa Pukat ingin mencoba kemampuan guru Gemak Langkas itu. Tetapi ingat, bahwa kami masih tetap berdiri di sini.”
Guru Gemak Langkas itu menggeram. Ia mengerti maksud Arya Kuda Cemani, bahwa ia pun akan dapat berbuat sesuatu jika diperlukan. Namun guru Gemak Langkas itu sudah tidak dapat merubah niatnya lagi, karena Mahisa Pukat sudah menantangnya langsung.
Karena itu, ia tidak lagi berpikir panjang. Jika ia sudah dapat menyelesaikan Mahisa Pukat, maka bersama-sama dengan mereka yang hadir di tempat itu, mereka akan dapat menguasai kedua orang tua yang datang bersama Mahisa Pukat itu. Namun Mahendra pun menjadi berdebar-debar juga. Ia memang meyakini kemampuan anaknya. Tetapi ia belum tahu tataran kemampuan guru Gemak Langkas itu.
Tetapi Mehendra pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Gemak Langkas yang telah terluka di beberapa bagian dari tubuhnya itu telah bergeser menepi ketika gurunya kemudian hadir di arena perang tanding itu...
Karena itu ketika kemudian ia berbicara dengan Mahisa Pukat, maka dengan hati yang tatag ia berkata, “Sasi telah memberikan isyarat itu.”
“Apa katanya?” bertanya Mahisa Pukat tidak sabar.
“Ia tidak berkata apa-apa. Tetapi ia menganggukkan kepalanya yang menurut tangkapanku, ia telah mengiakannya,” jawab Mahisa Murti dengan nada datar.
“Benar begitu?” desak Mahisa Pukat.
“Tentu kau harus mengulanginya, harus meyakinkan dirimu bahwa Sasi tidak keberatan. Tetapi kau pun harus meyakinkan Sasi, bahwa kau benar-benar menghendakinya.”
…Ah…ceritanya meloncat jauh, tapi di buku aslinya memang begitu!…
Sejenak kemudian Mahisa Murti itu pun telah berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan. Orang-orang yang ingin menyaksikan perkelahian itu pun telah melingkar seakan-akan telah membentuk lingkaran arena perang tanding.
Ternyata Sardula Mapan benar-benar merasa tersinggung melihat sikap Mahisa Murti. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas atau gelisah. Ia tetap saja tenang meskipun ia sudah mendapat keterangan dari pemilik kedai itu tentang seorang yang bernama Sardula Mapan.
Para prajurit yang berdiri di lingkaran arena itulah yang justru menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka pernah mendengar tentang kelebihan anak muda itu, namun mereka masih belum dapat meyakinkannya.
Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu pun berkata, “Nah, aku memberikan kesempatan terakhir, sebelum aku memilin lehermu.”
“Kesempatan apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau memang terlalu sombong anak muda. Tetapi, aku masih tetap dalam pendirianku. Aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membiarkan kau hidup dan berceritera tentang orang yang bernama Sardula Mapan” geram orang itu.
“Aku tidak akan berjanji apapun” jawab Mahisa Murti, “tetapi jika kau terbunuh juga, itu bukan salahku.”
Sardula Mapan memandang Mahisa Murti dengan sorot mata yang menyala. Kemarahannya rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia pun mulai bergerak menyerang Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang telah bersiap sepenuhnya itu pun dengan cepat telah menghindar, sehingga serangan lawannya tidak menyentuhnya. Namun serangan-serangan berikutnya pun telah meluncur pula mendesak Mahisa Murti beberapa langkah surut. Ternyata Mahisa Murti memang masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia lebih banyak melayani serangan-serangan Sardula Mapan. Bahkan sekali-sekali ia berusaha untuk membentur serangan lawannya itu meskipun tidak sepenuhnya. Namun, bahwa Mahisa Murti beberapa kali meloncat mundur itu, bagi lawannya seakan-akan merupakan satu isyarat bahwa Mahisa Murti berada dalam kesulitan.
Meskipun demikian, Sardula Mapan yang merasa dirinya orang yang paling ditakuti itu pun merasa heran. Meskipun beberapa kali lawannya yang masih muda itu terdesak, namun beberapa lama pertempuran itu terjadi, ia masih belum dapat mengalahkannya. Karena itu, maka kemarahan Sardula Mapan pun semakin membakar jantungnya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun telah meningkatkan serangan-serangannya.
Lawannya yang masih muda itu memang selalu terdesak. Sekali-sekali anak muda itu meloncat mengambil jarak. Tetapi serangan-serangannya masih belum berhasil mengenai sasarannya. Anak muda yang terdesak itu masih saja dengan tangkas mampu menghindari serangan-serangannya betapapun cepatnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mulai dapat menduga kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Murti yakin, bahwa ilmu orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu masih akan dapat meningkat lagi.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Mahisa Murti masih saja nampak terdesak. Tetapi serangan lawannya belum pernah menyentuhnya.
Karena itu, ketika sambil meloncat mengambil jarak, Mahisa Murti sempat menyentuh pundak Sardula Mapan, maka lawannya itu terkejut bukan buatan. Sentuhan itu sendiri tidak menyakitinya. Tetapi bahwa anak muda itu berhasil menyentuhnya, justru saat ia terdesak telah membuatnya gelisah.
“Apa sajayang dapat dilakukan oleh anak ini?” pertanyaan itu telah semakin mengganggunya.
Ketika Sardula Mapan itu semakin meningkatkan ilmunya bahkan sampai ke puncaknya, maka Mahisa Murti mulai berusaha untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi karena orang itu memang tidak berniat membunuhnya, meskipun dengan maksud untuk membesarkan namanya, maka Mahisa Murti pun sama sekali tidak berniat untuk melakukannya pula.
Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah berusaha untuk mengalahkannya. Tetapi tidak untuk membunuh atau menyakitinya atau membuatnya cacat. Karena itu, maka Mahisa Murti akan memancingnya untuk bertempur semakin cepat dan keras. Tanpa mempergunakan ilmunya untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan, maka Mahisa Murti akan membiarkan lawannya. itu kelelahan dan kehabisan tenaga dengan sendirinya, sehingga perlawanannya pun akan terhenti.
Sebenarnyalah, Sardula Mapan yang marah itu tidak menyadari, bahwa lawannya telah memaksanya untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan loncatan-loncatan panjang Mahisa Murti berusaha menghindari serangan-serangan Sardula Mapan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murtilah yang meloncat menyerang. Bahkan hampir setiap serangan Mahisa Murti tidak dapat dihindari atau ditangkis oleh Sardula Mapan.
Ketika pundaknya tersentuh tangan anak muda itu, Sardula Mapan telah merasa tersinggung. Namun kemudian berturut-turut serangan Mahisa Murti itu mengenainya. Tidak terlalu keras. Namun membuatnya menjadi semakin marah. Lengannya, dadanya dan bahkan anak muda itu telah memukul keningnya. Kemarahan sardula Mapan telah membuatnya menghentak-hentakkan kemampuannya. Namun serangannya masih saja tidak dapat menyentuh sasaran.
Puncak dari kemarahan Sardula Mapan adalah serangan Mahisa Murti kemudian. Serangan yang datangnya begitu cepat. Justru saat anak muda itu seakan-akan terdesak dan berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ketika Sardula Mapan memburunya, Mahisa Pukat tidak menghindar. Tetapi dengan cepat ia menepis serangan Sardula Mapan itu kesamping. Tangannya yang terayun cepat itu bagaikan dilemparkan dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga badannya ikut pula berputar.
Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Murti. Ia tidak ingin memukul tengkuk lawannya sehingga patah. Tetapi dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, maka tangannya telah menyambar ikat kepala Sardula Mapan. Beberapa orang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan. Beberapa orang justru tidak dapat menahan desah yang tiba-tiba saja meluncur dari mulut mereka.
Mengalami perlakuan itu, maka Sardula Mapan telah meloncat beberapa langkah surut. Wajahnya menjadi merah padam. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi oleh kemarahan yang serasa menyumbat dadanya, maka kata-kata yang meluncur dari mulutnya adalah suara yang gagap, “Kau, kau, anak iblis.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sekarang yang aku pungut baru ikat kepalamu. Tetapi jika kau masih saja memaksaku untuk berkelahi maka pada kesempatan lain, mungkin aku ingin memungut kepalamu.”
“Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kau yang tidak tahu diri itu telah membuat aku merubah keputusanku. Kebaikan hatiku kau salah gunakan. Kau justru telah menghinaku. Kau bukan saja mengenai tubuhku dengan serangan-seranganmu, tetapi kau telah berani menyentuh bagian dari kepalaku.” geram orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu.
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Kenapa kau masih saja merajuk? Jika kau marah, marahlah. Apa saja yang ingin kau lakukan, lakukanlah. Tetapi ingat, aku akan melawanmu habis-habisan.”
“Semula aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kemudian aku telah merubah keputusanku. Aku akan membunuhmu dengan senjataku yang jarang sekali aku pergunakan.” berkata orang itu dengan lantang.
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, “Kau akan menyakiti dirimu sendiri. Aku ingin menasehatkan agar kau urungkan niatmu untuk mempergunakan senjatamu. Karena jika kau tarik senjatamu, maka itu bagiku merupakan satu isyarat agar aku juga menarik senjataku.”
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia sudah merasa benar-benar terhina oleh sikap anak muda yang telah mengambil iakt kepalanya itu langsung dari kepalanya. Karena itu, sejenak kemudian, orang itu pun telah menggenggam sebilah keris yang besar, yang hampir sebesar dan sepanjang sebilah pedang. Namun dengan demikian Mahisa Murti pun teringat pula akan pedangnya yang disebut oleh pemiliknya sebelumnya dengan sebilah keris.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Senjatanya itu mempunyai pasangan yang dibawa oleh Mahisa Pukat. Tetapi sepasang senjata itu kemudian terpaksa terpisah karena Mahisa Pukat tidak bersertanya kembali ke padepokan.
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun telah berhadapan kembali. Sardula Mapan itu sudah tidak terkekang lagi. Apalagi ketika Mahisa Murti melemparkan ikat kepalanya sambil berkata, “Jika kau sayang akan ikat kepalamu, marilah, aku kembalikan kepadamu.”
Orang itu tidak menghiraukannya. Sama sekali tidak ada usahanya untuk menangkap ikat kepalanya yang dilemparkan oleh Mahisa Murti. Namun yang dilakukannya adalah justru meloncat menyerang dengan garangnya. Kerisnya terjulur lurus langsung mengarah ke dadanya.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dengan tangkasnya bergeser sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya. Ketika terdengar suara berdentang, maka bungampi pun telah berhamburan.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin cemas. Tetapi mereka merasa heran, bahwa anak muda yang nampaknya selalu terdesak itu, justru telah mampu mengenai lawannya dan bahkan merampas ikat kepalanya. Sudah tentu hal itu merupakan penghinaan yang sulit dimaafkan oleh Sardula Mapan.
Ternyata bahwa Sardula Mapan pun memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi meskipun yang digenggam sebilah keris. Tetapi ujud keris itu memang hampir sebesar dan sepanjang pedang. Dalam pertempuran bersenjata itu, Mahisa Murti masih saja nampak terdesak. Namun sekali-sekali sambaran ujung pedangnya telah mengejutkan Sardula Mapan.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap memancingnya agar lawannya itu bertempur dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya. Sardula Mapan yang tersinggung karena Mahisa Murti telah menyambar ikat kepalanya memang telah terpancing. Dengan loncatan panjang ia berusaha menggapai dan mengenai tubuh anak muda itu. Bahkan semakin lama semakin garang.
Beberapa kali Mahisa Murti meloncat mundur. Namun demikian Sardula Mapan mendesaknya semakin jauh maka Mahisa Murti pun tiba-tiba menghentakkan ilmu pedangnya dan menyerang lawannya dengan kecepatan yang mengejutkan. Dengan demikian maka Sardula Mapan itu telah diguncang oleh cara Mahisa Murti melawannya. Sekali-sekali Sardula Mapan berhasil mendesak lawannya. Namun tiba-tiba ia sendirilah yang justru terdesak.
Dengan demikian maka Sardula Mapan telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ketika ia merasa mampu mendesak lawannya, maka ia ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Namun lawannya yang muda itu seakan-akan justru menjadi semakin liat. Bahkan kemudian lawannya itulah yang mendesaknya, sehingga Sardula Mapan itu juga mengerahkan kemampuannya untuk bertahan.
Sebenarnyalah, semakin lama Sardula Mapan memang harus memeras tenaga dan kemampuannya. Disatu saat ia semakin bernafsu untuk segera menang, namun disaat lain ia mengumpat-umpat karena lawannya telah mendesaknya. Kemarahan Sardula Mapan menjadi semakin memuncak ketika ujung pedang Mahisa Murti justru telah menyentuh kulitnya. Segores luka telah tergores dipundaknya. Tidak terlalu dalam. Namun dari luka itu, darah telah mengalir.
Kepala Sardula Mapan rasa-rasanya hampir meledak oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Darahnya serasa mendidih memanasi seluruh kulit dagingnya. Sambil menggeram Sardula Mapan menyerang semakin garang. Sementara Mahisa Murti melayaninya dengan tangkasnya.
Karena itulah, maka sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti, maka tenaga Sardula Mapan memang mulai menjadi susut. Mahisa Murti sama sekali tidak mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawan. Yang dilakukannya sekedar memaksa Sardula Mapan untuk mengerahkan tenaganya sampai kepuncak kemampuannya.
Demikian kekuatan dan kemampuan Sardula Mapan mulai susut, maka Mahisa Murti justru semakin cepat bergerak. Ujung pedangnya bergerak semakin cepat. Bahkan kemudian seperti seekor lalat yang berterbangan mengelilingi tubuh Sardula Mapan dan sesekali hinggap dikulitnya.
Sardula Mapan sendiri masih belum menyadari, bahwa tenaga dan dengan sendirinya kemampuannya mulai susut. Kemarahannyalah yang menghentak-hentaknya untuk memaksakan diri bertempur semakin garang.
Namun akhirnya Sardula Mapan tidak dapat menghindari kenyataan itu. Tenaganya yang semakin terkuras membuatnya semakin kehilangan keseimbangannya. Beberapa kali Sardula Mapan justru terseret oleh serangan-serangannya sendiri yang tidak menyentuh sasaran.
Namun Mahisa Murti tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Disaat-saat Sardula Mapan itu terengah-engah, maka Mahisa Murtilah yang telah menggelitiknya dengan serangan-serangannya. Sesekali ujung pedangnya menyentuh kulit lawannya. Hanya sekedar menggores seleret kecil. Namun ketika keringat menyentuh luka kecil itu, maka perasaan pedih pun telah menyengat pula.
Sambil mengumpat-umpat Sardula Mapan masih berusaha melawan. Namun akhirnya ia tidak dapat mengingkari bahwa kekuatannya sudah hampir habis sama sekali. Beberapa kali ia terhuyung-huyung hampir kehilangan keseimbangan. Namun Mahisa Murti masih membiarkannya bertahan untuk tetap berdiri.
Pada saat yang demikian itulah, maka Sardula Mapan mulai menyadari sepenuhnya keadaannya. Ia mulai mengerti, bagaimana anak muda itu memancingnya sehingga tenaganya terkuras habis. Ketika Sardula Mapan menyerang dengan pedang terjulur serta Mahisa Murti begitu saja bergeser kesamping, maka rasa-rasanya Sardula Mapan itu hampir jatuh terjerembab. Jika saja saat itu Mahisa Murti menyerangnya, maka habislah sudah segala-galanya.
Tetapi kemarahan Sardula Mapan memang tidak dapat diredamnya. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti benar-benar penghinaan yang tiada taranya. Karena itu maka ia pun kemudian berteriak, “Cepat, selesaikan anak ini”
Beberapa orang kawannya mulai bergerak. Tetapi demikian mereka melangkah maju, maka seorang dari ketiga orang prajurit yang menyertai Mahisa Murti berkata lantang, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak usah turut campur. Biarlah mereka menyelesaikan permainan dengan adil tanpa dicampuri orang lain.”
“Persetan kau. Sebaiknya kaulah yang tidak usah turut campur. Kami adalah kawan-kawan Sardula Mapan yang wajib membantunya jika ia dalam keadaan gawat.”
“Bukankah kau dan kawan-kawanmu melihat bahwa kami datang bersama anak muda itu. Jika kau merasa wajib membantu kawanmu, maka kami juga merasa berkewajiban untuk melakukannya.”
Kawan-kawan Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu. Jika saja mereka memiliki kemampuan seperti anak muda itu, maka mereka memang akan kehilangan kesempatan untuk mengalahkannya. Karena itu, untuk sesaat mereka memang menjadi ragu. Namun agaknya pengaruh Sardula Mapan terhadap mereka cukup besar. Karena itu, maka ketika Sardula Mapan itu sekali lagi berteriak, maka mereka tidak dapat menolak lagi.
Apalagi mereka merasa bahwa jumlah mereka lebih banyak dari jumlah kawan-kawan anak muda itu. Dalam waktu singkat, lima orang telah bersiap. Berenam dengan Sardula Mapan mereka menghadapi Mahisa Murti dan tiga orang kawannya.
Namun sambil tertawa Mahisa Murti berkata, “Kenapa kalian masih berniat untuk berkelahi terus? Bukankah kita dapat menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai sampai di sini?”
“Persetan” geram Sardula Mapan, “kau tidak usah berusaha menyelamatkan diri sesudah dengan sombong kau menghina aku.”
“Tetapi apa yang akan kau lakukan itu justru hanya akan menambah parah perasaanmu. Kau akan merasa lebih terhina lagi, karena kawan-kawanmu tidak akan dapat mengalahkan kawan-kawanku meskipun jumlah kalian lebih banyak.”
“Jangan dengarkan” teriak Sardula Mapan, “cepat, lakukan. Apa lagi yang kalian tunggu?”
Kelima orang itu pun segera bergerak semakin dekat. Tetapi bersamaan dengan itu, tiga orang prajurit yang menyertai perjalanan Mahisa Murti telah melangkah maju pula. Mereka memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Tetapi mereka tidak melupakan senjata mereka.
Sejenak kedua kelompok itu pun berhadapan. Namun Sardula Mapan sendiri seakan-akan telah kehabisan tenaga. Bahkan ditubuhnya terdapat beberapa gores luka yang meskipun tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menodai pakaiannya dengan darah. Sejenak kawan-kawan Sardula Mapan itu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Apalagi ketika mereka melihat ketiga orang kawan Mahisa Murti yang nampak meyakinkan.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku minta, urungkan niat kalian untuk memperluas persoalan yang sebenarnya tidak terlalu penting ini. Tetapi jika kalian memaksakannya, maka kami akan dapat kehilangan kesabaran, sehingga kami pun akan dapat bertindak semakin keras menghadapi kalian. Aku tahu bahwa kalian bukan orang-orang jahat yang sebenarnya. Tetapi kalian adalah orang-orang yang terlalu yakin akan kelebihan kalian, sehingga kalian sering berbuat sewenang-wenang terhadap orane lain. Karena itu, aku minta hentikan tingkah laku kalian itu sebelum kalian mengalami kesulitan yang semakin parah.”
Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu. Luka-luka ditubuhnya terasa semakin pedih meskipun luka-luka itu tidak terlalu parah. Sementara itu empat orang yang telah bersiap, berdiri tegak dihadapannya. Sikap dan tatapan mata mereka yang meyakinkan memang membuat Sardula Mapan dan kawan-kawannya harus berpikir kembali apakah mereka akan meneruskan niat mereka.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Nah, kalian mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sekali lagi niat kalian. Selanjutnya jika kita sudah mulai lagi dengan perkelahian, maka aku tidak akan bertanya lagi, apakah kalian akan menghancurkan diri sendiri atau akan mengambil sikap bijaksana.”
Wajah Sardula Mapan menjadi merah padam, sementara luka-lukanya terasa semakin pedih, Namun ia memang ragu-ragu untuk memaksa kawan-kawannya bertempur melawan keempat orang yang nampaknya memang memiliki kelebihan. Meskipun jumlah kawan-kawannya lebih banyak, namun mereka tidak memiliki kemampuan sebagaimana Sardula Mapan. Sementara itu, ia sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang sejak semula dikiranya selalu terdesak itu.
“Ia dengan sengaja mempermainkan aku” berkata Sardula Mapan itu di dalam hatinya.
Dengan demikian Sardula Mapan itu tidak mau menambah kekalahannya lagi. Ia sudah cukup dipermalukan, sehingga nalarnya masih sempat memperhitungkan, bahwa perkelahian berikutnya hanya akan meyakinkan orang-orang yang menyaksikannya bahwa ia memang tidak berdaya. Menghadapi anak muda dan kawan-kawannya sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sementara, sebelumnya Sardula Mapan adalah orang yang meskipun di antara mereka sama sekali belum pernah mengenalnya secara pribadi. Karena itu, maka akhirnya Sardula Mapan itu tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia masih tetap berusaha untuk mempertahankan harga dirinya.
Dengan lantang ia pun kemudian berkata, “Ternyata aku tidak sampai hati berbuat lebih jauh. Melihat wajahmu yang masih kekanak-kanakan itu aku memang merasa kasihan. Karena itu maka kali ini kalian aku ampuni. Kalian boleh pergi sekehendak hatimu. Tetapi ingat, jangan kembali lagi.”
Hampir berbareng Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit yang menyertainya tertawa. Namun, Mahisa Murti kemudian menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi maaf, aku belum ingin pergi. Aku masih meninggalkan mangkuk minuman di dalam. Demikian pula kawan-kawanku. Karena itu, kami akan menghabiskan-nya lebih dahulu.”
“Setan kau. Kau memang tidak tahu diri.” geram Sardula Mapan. Lalu katanya, “Tetapi ingat, untuk selanjutnya jangan kembali lagi kemari.”
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Kenapa tidak kita hentikan permusuhan ini. Kau tahu bahwa ancaman-ancaman semacam itu tidak ada gunanya sama sekali. Aku harap kau mengetahui bahwa untuk selanjutnya aku akan sering lewat jalan ini. Aku tinggal di Padepokan Bajra Seta, sementara ayahku berada di Kotaraja. Nah, bukankah aku akan sering melewati jalan ini? Aku akan sering pula singgah di kedai ini dan aku akan selalu bertanya tentang seseorang yang bernama Sardula Mapan. Apakah ia masih sering datang kemari atau tidak.”
Wajah Sardula Mapan menjadi merah. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, “Kita tinggalkan iblis-iblis itu. Tidak ada artinya apa-apa jika kita melayaninya. Aku tidak mempunyai waktu.”
Demikianlah, maka Sardula Mapan itu pun segera melangkah ke kudanya diikuti oleh kawan-kawannya. Luka-lukanya memang tidak terlalu berbahaya. Namun pakaiannya telah ternoda darahnya yg menitik dari luka-lukanya.
Tetapi, ketika Sardula Mapan itu akan meloncat ke punggung kudanya, Mahisa Murti masih berkata, “Baiklah. Aku yang akan membayar harga makanan dan minuman yang telah kalian makan dan kalian minum di kedai ini.”
Telinga Sardula Mapan rasa-rasanya seperti tersengat api. Dengan marah Sardula mapan telah memungut beberapa keping uang dari kantong ikat-pinggangnya. Sambil melemparkan uang itu kepada pemilik kedai itu berkata, “Ambil uang itu. Kelebihannya adalah pertanda kemurahanku.”
Pemilik kedai itu hanya termangu-mangu saja. Sebelum ia mengambil uang itu, maka Sardula Mapan itu telah meloncat ke punggung kudanya dan dengan menghentakkan kendalinya, maka kuda yang tegar itu pun segera berlari meninggalkan kedai itu diikuti oleh kawan-kawannya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang berkeliling ia berkata kepada orang-orang yang berdiri termangu-mangu mengelilingi arena itu, “Ki Sanak. Pertunjukkan sudah selesai. Nah, lupakan apa yang telah terjadi.”
Orang-orang yang termangu-mangu itu bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka pun satu-satu meninggalkan lingkaran itu. Namun di hati mereka masih mengembang kekagumannya kepada anak muda yang telah berhasil mengalahkan Sardula Mapan yang dikenal sebagai seorang yang tidak terkalahkan di lingkungannya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mendekati pemilik kedai yang termangu-mangu sambil berkata, “ambil uang itu. Hitunglah, apakah sudah cukup atau belum. Jika ternyata masih kurang, biarlah aku menggenapinya.”
Namun seorang prajurit yang menyertainya berkata sambil tersenyum, “bukankah kelebihannya pertanda kemurahan hatinya?”
Mahisa Murti pun tertawa, sementara pemilik kedai itu tengah memungut dan kemudian menghitung uang yang dilemparkan oleh orang yang menyebut dirinya Sardula Mapan itu. “Baru separuhnya” desis pemilik kedai itu.
“Baiklah” sahut Mahisa Murti, “nanti yang separuhnya lagi biarlah aku yang menambahinya.”
“Tidak usah anak muda” berkata pemilik kedai itu. Lalu katanya pula, “Apa yang kalian lakukan telah cukup. Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat Sardula Mapan itu dapat dikalahkan oleh seseorang.”
“Apakah ia sering melakukan pemerasan seperti kali ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku baru mengalami kali ini” jawab pemilik kedai itu, “tetapi aku memang sering mendengar namanya. Ia termasuk seorang yang berada. Tetapi menurut keterangan yang pernah aku dengar, ia memang sering melakukan hal yang aneh-aneh, justru karena ia merasa-sebagai seorang yang tidak terkalahkan di daerah ini.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian pemilik kedai itu pun mempersilahkannya, “Marilah anak muda. Bukankah kalian belum selesai minum?"
Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit itu pun masuk kembali ke dalam kedai. Mereka masih ingin menyelesaikan makan dan minum yang sudah mereka pesan. Sementara itu beberapa orang yang semula berkerumun di halaman itu pun telah meninggalkan kedai itu. Tetapi, ada juga di antara mereka yang masih kembali masuk ke dalam kedai sebagaimana Mahisa Murti dan kawan-kawannya.
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan ketiga orang kawannya duduk di kedai itu. Namun akhirnya mereka pun selesai pula. Namun ketika mereka membayar minuman dan makanan mereka, pemilik kedai itu menolak uang yang diberikan oleh Mahisa Murti atas kekurangan Sardula Mapan dan kawan-kawannya.
Seperti yang sudah dikatakannya, maka pemilik kedai itu berkata pula, “Tidak usah anak muda. Aku berterima kasih atas kebaikan hati kalian. Apa yang kajian lakukan telah lebih dari cukup. Bukan hanya sekedar untuk aku sendiri, tetapi dengan demikian maka tingkah laku Sardula Mapan itu mudah-mudahan dapat berubah, sehingga ia tidak lagi sering menyulitkan orang lain. Justru karena ia memiliki kelebihan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian. “Baiklah. Aku akan minta diri. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa aku tentu akan sering lewat jalan ini.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi Ki Sanak benar-benar akan sering lewat jalan ini? Atau sekedar untuk menakut-nakuti Sardula Mapan?”
“Aku benar-benar akan sering lewat jalan ini” jawab Mahisa Murti “bukan sekedar menakut-nakuti Sardula Mapan. Jalan ini menghubungkan tempat tinggalku dan tempat tinggal orang tuaku.”
“Baiklah Ki Sanak” berkata pemilik kedai itu, “aku mempersilahkan Ki Sanak selalu singgah di kedaiku.”
“Terima kasih” jawab Mahisa Murti, “agaknya aku tentu akan singgah.”
Demikianlah Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit dan ketiga prajurit yang menyertainya segera meninggalkan kedai itu. Beberapa orang yang berada di kedai itu pun saling bergumam membicarakannya.
“Aku mula-mula merasa cemas akan nasibnya” berkata seseorang, “aku kira anak muda itu sekedar terdorong oleh kesombongannya serta darah mudanya saja sehingga ia berani menentang Sardula Mapan. Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang yang berkemampuan sangat tinggi. Ternyata ia justru telah mempermainkan Sardula Mapan. Bahkan melukainya. Nampaknya jika anak itu mau membunuhnya, ia tentu akan dapat melakukannya.”
“Aku pun semula merasa cemas” sahut kawannya, “mula-mula anak muda itu nampaknya selalu terdesak. Namun ternyata ia hanya sekedar main-main.”
Sementara itu, Mahisa Murti tengah berlari diatas punggung kudanya menuju ke Padepokan Bajra Seta bersama dengan ketiga orang prajurit yang menyertainya. Di sepanjang perjalanan mereka tidak lagi banyak berbicara. Mahisa Murti yang untuk beberapa lamanya dapat melupakan persoalan pribadinya, ternyata telah disentuh kembali oleh kepahitan perasaannya sebagaimana ia harus meninggalkan Singasari seorang diri tanpa Mahisa Pukat. Sejak kanak-kanak ia memang jarang sekali terpisah dari saudaranya itu. Namun kini ia terpaksa meninggalkannya justru karena ia tidak ingin mengalami keretakan.
Di perjalanan selanjutnya, Mahisa Murti tidak mengalami hambatan lagi. Namun waktu telah banyak tersita oleh permainannya dengan Sardula Mapan. Kehadirannya seorang diri di Padepokannya telah membuat seisi Padepokan Bajra Seta merasa heran. Meskipun mereka tidak segera bertanya, tetapi terasa bahwa kehadiran Mahisa Murti seorang diri telah menimbulkan kegelisahan.
Bahkan beberapa orang telah saling berbisik tentang ketiga orang yang menyertai Mahisa Murti di perjalanan itu. Seorang di antara para cantrik berdesis, “Siapakah mereka bertiga?”
Kawannya menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu.” Namun berbeda dengan para cantrik yang masih segan menanyakan kesendirian Mahisa Murti, maka Mahisa Amping ternyata telah memberanikan diri untuk bertanya, “Dimanakah kakang Mahisa Pukat. Bukankah tidak terjadi sesuatu atas dirinya?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang muram membuat Mahisa Amping gelisah. Mahisa Semu dan Wantilan yang juga mendengar pertanyaan Mahisa Amping itu pun ikut menjadi berdebar-debar. Namun ketika mereka melihat wajah ketiga orang kawan seperjalanan Mahisa Murti, maka rasa-rasanya memang tidak terjadi sesuatu atas Mahisa Pukat.
Namun Wantilan yang sudah lebih tua itu bertanya di dalam dirinya, “Apakah keduanya telah berselisih?”
Tetapi, Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan penjelasan kepada seisi Padepokan, kenapa Mahisa Pukat tidak kembali bersamanya meskipun yang dikatakannya tidak sebagaimana yang telah terjadi.
“Mahisa Pukat masih mempunyai kepentingan di Singasari. Selain menemani ayah yang sudah tua, maka masih ada kewajiban yang diembannya. Sementara itu, padepokan ini tidak boleh terlalu lama kami tinggalkan, sehingga karena itu, maka aku telah mendahului kembali ke Padepokan. Namun dengan demikian, aku akan sering mondar-mandir untuk menjenguk ayah dan Mahisa Pukat di Singasari.”
Barulah seisi Padepokan itu merasa lega atas penjelasan itu. Meskipun nampaknya penjelasan itu masih belum tuntas, namun seisi Padepokan telah dapat diyakinkan, bahwa tidak ada perselisihan antara kedua anak muda yang sebelumnya belum pernah mereka lihat saling berpisah itu.
Dalam pada itu, ketiga orang prajurit Singasari yang menyertai Mahisa Murti itu tinggal untuk dua hari di Padepokan. Sebenarnya Mahisa Murti masih menahannya, namun ketiganya merasa bahwa mereka telah cukup lama meninggalkan tugas mereka.
“Sebenarnya aku kerasan tinggal di sini” berkata salah seorang dari ketiga orang prajurit itu, “di sini kehidupan terasa begitu akrab dengan alam. Padepokan ini rasa-rasanya berada di bayangan hijaunya lembah dan hijaunya lereng pegunungan. Tenang dan damai.”
Namun Mahisa Murti menyahut, “Tetapi sekali waktu, Padepokan ini terbakar juga oleh perselisihan dengan kekerasan. Betapapun kami mencoba untuk menghindarkan diri dari permusuhan, tetapi kadang-kadang kami masih dipaksa untuk melakukan kekasaran dan kekerasan. Bahkan yang dapat menimbulkan korban.”
Ketiga orang prajurit itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Tetapi bukankah kita berhak melindungi diri sendiri?”
Sementara Mahisa Murti membenamkan diri dalam kesibukannya, Mahisa Pukat masih saja terseret oleh arus perasaannya. Hubungannya dengan Sasi menjadi semakin dekat. Apalagi, ayah dan ibu Sasi nampaknya tidak berkeberatan melihat hubungan itu. Meskipun Arya Kuda Cemani juga ikut memikirkan kepergian Mahisa Murti kembali ke Padepokannya seorang diri, namun Mahendra telah memberikan penjelasan bahwa tidak terjadi apa-apa di antara kedua anaknya.
“Mahisa Murti telah melepaskannya dengan ikhlas” berkata Mahendra pada suatu saat kepada Arya Kuda Cemani.
“Jiwanya cukup tegar” desis Arya Kuda Cemani.
“Ya. Sementara itu Mahisa Pukat nampaknya tidak memperhatikan gejolak perasaan saudaranya. Tetapi itu lebih baik baginya, sehingga ia tidak usah merasa bersalah” sahut Mahendra.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya sendat, “Aku mohon maaf, bahwa anakku telah menyakiti hati Mahisa Murti.”
“Tetapi bukankah Sasi tidak sengaja melakukannya? Bahkan ia sama sekali tidak menyadari, apa yang telah terjadi atas Mahisa Murti. Sebaiknya Sasi pun tidak usah tahu agar seperti Mahisa Pukat, ia tidak usah ikut merasa bersalah” jawab Mahendra.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Namun kekagumannya pun semakin bertambah. Mahisa Murti bukan saja seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi hatinya ternyata seluas lautan tidak bertepi.
Namun demikian, harapannya yang tertumpu kepada Mahisa Pukat juga tidak berubah. Ia berharap agar hubungan antara anaknya dengan Mahisa Pukat dapat menjadi semakin akrab sehingga keduanya akan sampai pada suatu titik temu untuk membangun hidup kekeluargaan. Meskipun Arya Kuda Cemani tahu, bahwa Mahisa Pukat tidak lebih dari seorang pemimpin Padepokan yang hidup jauh dari Kota Raja, namun hidup di padepokan itu akan dapat memberikan ketenangan jiwa bagi anaknya.
Tetapi ibu Sasi lah yang ternyata telah diganggu oleh gambaran kehidupan yang akan datang bagi Sasi. Ibunya belum pernah mengalami satu kehidupan lain dari kehidupan yang sedang dijalaninya. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Sasi jika ia hidup di dunia yang terpencil, jauh dari keramaian kota. Satu lingkungan yang sepi, terletak di tengah-tengah bulak yang sangat luas. Di kejauhan nampak hutan yang masih lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas.
Ketika hal itu disampaikan kepada ayah Sasi, maka Arya Kuda Cemani itu justru bertanya, “Bukankah setiap kali kau menyatakan bahwa kau tidak berkeberatan atas hubungan antara Mahisa Pukat dan anak kita?”
“Pada dasarnya aku memang tidak berkeberatan. Aku tahu bahwa angger Mahisa Pukat adalah seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Seorang yang cerdas dan baik hati. Tetapi karena itu, apakah angger Mahisa Pukat tidak dapat menempuh satu kehidupan yang lain dari yang ditempuhnya sekarang?”
“Maksudmu?” bertanya Arya Kuda Cemani.
“Anak-anak kita, yang menurut keterangan ilmunya jauh berada dibawah angger Mahisa Pukat pun dapat menjadi seorang prajurit. Bukankah dengan demikian, maka angger Mahisa Pukat akan mendapat kesempatan yang lebih baik untuk menjadi seorang prajurit pula? Bahkan dengan kedudukan yang lebih tinggi pula.”
Raden Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Aku tidak tahu, apakah angger Mahisa Pukat tertarik atau tidak untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi jika Sasi menerima angger Mahisa Pukat, maka ia harus menerima keadaannya seutuhnya. Mahisa Pukat adalah satu di antara dua orang pemimpin Padepokan Bajra Seta. Yang seorang lagi adalah angger Mahisa Murti.”
“Aku mengerti” jawab isterinya, “namun jika kemudian Sasi merasa hidupnya tersisih dari kehidupan yang dijalani sebelumnya, maka ketenangan hidupnya akan goyah. Sasi memang mempunyai beberapa kemungkinan. Ia dapat memaksa diri untuk bertahan namun dengan jantung yang semakin rapuh, atau memberontak sehingga hidup kekeluargaannya akan terganggu.”
“Tetapi bukankah itu baru gambaran orang tua yang cemas oleh bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri?” jawab Arya Kuda Cemani.
“Tetapi kita tidak dapat mengabaikan perasaan Sasi kemudian. Justru kita harus menilainya sebelum terlambat” berkata ibu Sasi dengan sungguh-sungguh.
“Jadi maksudmu agar aku menyampaikan kepada Mahisa Pukat, apakah ia bersedia untuk menjadi seorang prajurit?” bertanya Arya Kuda Cemani.
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ragu-ragu untuk menjawab. Karena isterinya tidak segera menjawab, maka Arya Kuda Cemani itu pun berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Ada dua cara yang dapat kita tempuh. Kita minta angger Mahisa Pukat memikirkan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit atau kita minta agar Sasi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari. Namun sudah tentu hal ini baru dapat kitaa lakukan jika kita sudah mendapat satu kepastian bahwa Mahisa Pukat memang berniat untuk hidup bersama Sasi dan demikian pula sebaliknya. Mudah-mudahan hal ini tidak menimbulkan salah paham pada keduanya.”
Ibu Sasi itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia masih berkata, “Sebagaimana Sasi, kita sekarang baru melihat Angger Mahisa Pukat sepintas. Katakan, kita baru melihat kulitnya yang nampaknya memang halus dan lembut.”
“Aku” jawab Arya Kuda Cemani, “aku sudah melihat isinya. Aku tidak baru mengenalnya sekarang. Tetapi aku sudah mengenalnya sebelum keduanya datang ke Singasari. Aku tahu apa yang mereka lakukan di Kabuyutan Bumiagara. Bagaimana mereka mampu mengekang diri meskipun mereka dapat berbuat apa saja atas lawan-lawan mereka. Maksudku keduanya itu adalah angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Tetapi kita belum tahu sikapnya terhadap seorang perempuan” jawab isterinya.
“Baiklah” berkata Arya Kuda Cemani, “aku akan memenuhi keinginanmu. Aku akan berbicara dengan Sasi dan angger Mahisa Pukat. Tetapi sekali lagi. Kita akan menunggu sampai semuanya menjadi jelas. Jika kita tergesa-gesa, maka Sasi akan dapat mengelakkan setiap pembicaraan. Apalagi jika anak itu masih meragukan sikap angger Mahisa Pukat.”
Dengan demikian, maka Arya Kuda Cemani merasa dibebani tanggung jawab atas hari depan anak gadisnya. Tetapi Arya Kuda Cemani tidak akan ingkar. Meskipun sebenarnya tanggung jawab itu terletak pada ayah dan ibunya, namun rasa-rasanya persoalan Sasi dalam hubungannya dengan Mahisa Pukat itu seluruhnya dibebankan kepadanya.
Dalam pada itu, hubungan antara Sasi dan Mahisa Pukat berlangsung wajar dan bahkan semakin akrab, meskipun masih tetap dibatasi oleh paugeran yang berlaku. Namun nampaknya pada keduanya sudah terpahat ikatan yang meskipun belum terucapkan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Lembu Atak sama sekali tidak mau menerima kenyataan yang telah terjadi atas dirinya. Ia bukan saja menjadi sakit hati karena kekalahananya, bahkan bersama sekelompok kawan-kawannya. Tetapi ia masih mendapat hukuman dari ayahnya di barak. Meskipun ia mendapat hukuman bersama-sama dengan kawan-kawannya pula, tetapi hukuman yang diterimanya ternyata adalah hukuman yang terberat. Karena itu, maka dendamnya telah ditujukan kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Sasi.
“Bagaimanapun juga aku harus dapat membalas dendam. Meskipun Sasi sama sekali tidak menghiraukan aku, tetapi dendamku akan aku tumpahkan lewat orang lain.” berkata Lembu Atak kepada kawan-kawannya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya salah seorang kawannya yang juga mendendam.
“Apapun” jawab Lembu Atak, “kita mempunyai banyak kawan di Kotaraja ini. Sementara itu, Mahisa Murti menurut pendengaranku telah meninggalkan Kotaraja kembali ke Padepokannya. Bukankah yang tinggal hanya Mahisa Pukat saja.”
“Tetapi anak itu berilmu tinggi. Sebagaimana kau lihat, ia mampu mengimbangi ayahmu yang kita anggap orang yang tidak terkalahkan itu.” jawab kawannya.
“Omong kosong, kau percaya itu?” bertanya Lembu Atak.
“Bukankah kau sendiri yang mengatakannya?” kawannya justru bertanya pula kepadanya.
“Kau kira ayah bersungguh-sungguh? Aku tahu, ayah tentu hanya ingin sekedar membuktikan sampai sejauhmana kedua anak itu memiliki kemampuan. Dengan demikian ayah tahu, bahwa aku berbohong. Tetapi jika ayah bersungguh-sungguh kedua orang anak itu tentu-akan menjadi abu.”
Kawan-kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun apa yang dikatakan Lembu Atak itu agak berbeda dengan ceriteranya yang terdahulu, yang menyatakan bahwa kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mampu mengimbangi kemampuan ayahnya, namun kawan-kawannya tidak membantahnya.
Apalagi ketika Lembu Atak berkata, “Waktu itu aku sangat kecewa terhadap ayah, sehingga aku menganggap bahwa ayah tidak mampu mengalahkan kedua anak muda itu. Tetapi kemudian baru aku sadar, bahwa sebenarnya ayah memang tidak ingin menghancurkan keduanya. Ayah hanya ingin mengetahui apakah aku berbohong atau tidak.”
Kawan-kawannya masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Lembu Atak berkata, “Kita harus menemukan seseorang yang berilmu tinggi yang dapat kita benturkan dengan Mahisa Pukat. Lebih baik jika seseorang yang memiliki latar belakang sebuah perguruan, sehingga saudara-saudara seperguruannya bahkan lebih baik jika gurunya turut campur.”
“Bagaimana hal itu kita lakukan?” bertanya kawannya.
“Kita perkenalkan orang itu dengan Kuda Semedi dan Kuda Semeni. Biarlah kedua anak itu memperkenalkan orang yang akan kita benturkan dengan Mahisa Pukat dengan adiknya, Sasi.”
“Apakah Kuda Semedi dan Kuda Semeni dapat diikut sertakan?” bertanya kawannya.
“Kita seret anak itu ke dalam kubu kita atau mereka akan kita pencilkan di barak ini.” berkata Lembu Atak.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana jika ayahmu mengetahui rencana ini dari siapa pun juga?”
Wajah Lembu Atak menegang. Namun kemudian ia pun berkata, “Tidak ada yang berkhianat di antara kita. Tetapi jika ternyata ada, maka hukumannya adalah hukuman bagi seorang pengkhianat.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ada di antara mereka yang tidak sependapat, tetapi pikiran itu tidak dapat diungkapkannya. Namun sebagian besar dari mereka sependapat dengan Lembu Atak itu. Kecuali mereka ingin menjadi sahabat terdekat dari Lembu Atak yang kebetulan adalah anak Senapati dari pasukan itu, juga karena mereka mendendam pula kepada Mahisa Pukat.
Mereka akan ikut merasa senang jika Mahisa Pukat hatinya menjadi terluka atau anak itu dihancurkan sama sekali oleh satu kekuatan yang mampu mengatasi kemampuannya. Dengan demikian, maka Lembu Atak dan kawan-kawan-nya pun telah berusaha untuk menemukan orang yang mereka cari. Namun sebelumnya Lembu Atak dan kawan-kawannya telah memanggil Kuda Semedi dan Kuda Semeni.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang menjadi berdebar-debar. Mereka menjadi cemas jika Lembu Atak dan kawan-kawannya akhirnya mengetahui, bahwa ia telah memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan rencananya di saat di rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni ada keramaian kecil. Tetapi dugaan mereka ternyata keliru meskipun persoalan yang disampaikan kepada mereka tetap merupakan persoalan yang sangat menggelisahkan baginya.
“Kau tidak boleh berpihak kepada Mahisa Pukat” berkata Lembu Atak, “jika kau tetap berpihak kepadanya, maka kau akan dipencilkan di barak ini. Kau tahu, bahwa kau akan mengalami perlakuan yang tidak baik.”
Kuda Semedi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apa yang kalian kehendaki?”
“Aku ingin membalas dendam kepada Mahisa Pukat.”
“Apakah kau masih mendendam? Bukankah persoalannya telah dianggap selesai?” bertanya Kuda Semedi.
“Siapa yang menganggap persoalan itu selesai?” bertanya Lembu Atak.
“Bukankah ayahmu telah menyelesaikan persoalan ini?” jawab Kuda Semedi.
“Tidak. Ayahku belum menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Ayah hanya ingin mengetahui apakah yang telah dilakukan oleh Mahisa Pukat” jawab Lembu Atak, “tetapi semuanya itu tidak penting. Yang penting, aku ingin membalas dendam kepada Mahisa Pukat. Jangan salah mengerti. Aku tidak ingin membalas dendam kepada Sasi. Selebihnya akau kasihan melihat Sasi berhubungan dengan anak Padepokan itu. Jika hubungan itu terlanjur menjadi semakin jauh, maka Sasi tentu akan menyesal dikemudian hari. Apakah artinya anak Padepokan seperti Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu? Betapapun tinggi ilmunya, tetapi mereka terkurung dalam lingkungan sempit, sepi dan jauh dari keramaian Kotaraja. Kehidupan yang demikian tentu merupakan kehidupan yang menjemukkan. Apalagi Mahisa Pukat dari hari ke hari akan selalu berada di lingkungan para cantriknya.”
Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka memang merenungi kata-kata Lembu Atak. Namun mereka pun menyadari bahwa anggapan Lembu Atak itu diwarnai oleh kekecewaan dan dendamnya kepada Mahisa Pukat. Namun demikian, Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang tidak dapat mengabaikan ancaman Lembu Atak, bahwa mereka berdua akan dipencilkan dari antara kawan-kawannya di barak. Menurut penilaian Kuda Semedi dan Kuda Semeni, hal itu memang mungkin terjadi justru karena Lembu Atak adalah anak Senapati prajurit Singasari di barak itu.
Namun dalam pada itu, Lembu Atak itu pun berkata, “Pikirkan kalian berdua. Aku tidak akan memaksa kalian. Tetapi aku ingin kalian mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Sasi.”
Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka masih saja berdiam diri ketika Lembu Atak mengajak kawan-kawannya meninggalkan mereka berdua. “Satu pilihan yang rumit” berkata Kuda Semedi kemudian.
“Tetapi ibu juga pernah menyinggung masa depan Sasi. Secara pribadi aku tidak berkeberatan terhadap hubungan Sasi dengan Mahisa Pukat. Tetapi ibu pernah meragukan masa depan mereka.” berkata Kuda Semeni.
“Tetapi bukankah ibu tidak berkeberatan terhadap hubungan mereka?” bertanya Kuda Semeni.
“Pada dasarnya memang tidak. Tetapi bagaimana masa depan Sasi jika hubungan mereka itu sampai pada satu ikatan perkawinan? Sementara Mahisa Pukat tidak mempunyai pegangan yang mantap bagi masa depannya. Apakah artinya hidup dalam sebuah Padepokan yang apalagi terpencil?” desis Kuda Semeni.
“Bukankah itu persoalan mereka berdua?” sahut Kuda Semedi.
“Ya. Itu memang persoalan mereka. Tetapi setidak-tidaknya Sasi sempat memikirkannya. Ia tidak boleh sekedar silau melihat ujud Mahisa Pukat. Kekaguman ayah atas kemampuannya yang tinggi dalam olah kanuragan. Tetapi apakah itu sudah cukup bagi kehidupan mereka kelak. Terutama Sasi?” sahut Kuda Semeni.
“Jika Sasi menerima masa depan yang demikian?” bertanya Kuda Semeni.
Kuda Semeni menarik nafas panjang sambil berdesis, “Jika demikian apa boleh buat.”
...Sepertinya ada bagian verita yang hilang di bagian ini...
Ternyata Gemak Langkas adalah memang orang yang sesuai sebagaimana dikehendaki oleh Lembu Atak, meskipun Lembu Atak sendiri setiap kali merasa diremehkan oleh Gemak Langkas. Namun setelah Gemak Langkas mengetahui bahwa Lembu Atak adalah anak Senapati prajurit yang berpengaruh di Singasari, maka ia pun mulai sedikit menjaga dirinya.
Seperti yang direncanakan, maka pada saat yang dianggap tepat, dua orang kawan Lembu Atak telah mengajak Gemak Langkas pergi ke rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni, justru tanpa Lembu Atak. Karena kehadiran Lembu Atak tentu akan menimbulkan persoalan bagi Sasi.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni yang mendapat kesempatan untuk tinggal di rumah sehari, menerima kedatangan kawannya dengan senang hati. Meskipun Kuda Semedi sempat berbisik di telinga Kuda Semeni, “Keduanya adalah kawan-kawan rapat Lembu Atak.”
Tetapi selama keduanya berada di rumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni, keduanya sama sekali tidak menyinggung nama Lembu Atak atau persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingannya. Keduanya semakin lama menjadi semakin kehilangan kecurigaan mereka, bahwa kedatangan keduanya itu ada hubungannya dengan Lembut Atak. Kuda Semedi dan Kuda Semeni semula juga tidak menghiraukan ketika kedua orang kawannya itu bertanya tentang adiknya, Sasi.
“Sasi ada di belakang” jawab Kuda Semedi.
Namun akhirnya Sasi keluar juga untuk menghidangkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak merasa segan karena di antara tamu-tamu kakaknya itu tidak ada seorang prajurit yang bernama Lembu Atak.
“Duduklah Sasi” minta salah seorang kawan Kuda Semedi, “kau tentu belum mengenal kawanku ini. Namanya Gemak Langkas. Ia adalah anak seorang saudagar kaya yang rumahnya terletak di sebelah Barat Istana.”
“Silahkan minum Ki Sanak” Sasi menyahut singkat. Namun kawan Kuda Semedi itu berkata pula, “Marilah. Duduklah. Kenapa kau nampaknya berkeberatan? Bukankah aku tidak akan menggigitmu.”
Sasi memang tersenyum. Senyumnya ternyata telah menggetarkan jantung Gemak Langkas.
“Maaf Sasi” desis Gemak Langkas, “mungkin aku telah menakut-nakutimu. Bukan maksudku, karena aku tidak tahu bahwa di sini ada seorang gadis yang tidak aku bayangkan sebelumnya.”
“Ah, tidak” jawab Sasi.
“Jika demikian, duduklah sebentar saja” berkata kawan Kuda Semedi yang satu lagi.
Sasi memang menjadi bimbang. Ia merasa segan juga untuk tidak memenuhi permintaan tamu-tamu kakaknya. Karena itu, maka Sasi pun memandang kakak-kakaknya untuk minta pertimbangan.
Ternyata Kuda Semedi dan Kuda Semeni pun merasa tidak enak pula jika mereka tidak menanggapi permintaan itu. Karena itu, maka Kuda Semedi pun kemudian berkata, “Duduklah sebentar Sasi.”
Sasi pun kemudian duduk di sebelah kedua orang kakaknya dengan kepala tunduk. Ia justru merasa bingung, karena ia tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Kawan Kuda Semedi yang seorang itulah yang kemudian bertanya kepadanya, “Kau sendirikah yang membuat makanan itu?”
Sasi mengangkat wajahnya sedikit. Namun kemudian ia pun menjawab, “Bukan. Ibulah yang membuatnya.”
“O” tamunya mengangguk kecil, “tetapi bukankah kau membantunya membuat makanan itu?”
Sasi mengangguk kecil. Katanya, “Hanya membantu sedikit.”
“Nah, jika minuman ini tentu kau yang membuatnya” berkata kawan kakaknya yang seorang lagi.
“Ya.” Sasi mengangguk. “Minumlah” gadis itu mempersilahkan tamu-tamunya.
Tamu-tamu itu pun kemudian telah meneguk minuman hangat yang dihidangkan oleh Sasi. Dengan mengangguk-angguk kecil Gemak Langkas berdesis, “Segar sekali. Aku sering minum wedang sere. Tetapi tidak sesegar kali ini.”
Susi hanya menunduk saja. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata Gemak Langkas pandai juga berbicara tentang makanan dan minuman, sehingga ia mulai lebih banyak berbicara. Sekali-sekali ia menyebut nama Sasi dan memujinya berkali-kali minuman yang dihidangkannya.
Namun hal itu justru membuat Sasi menjadi gelisah, sehingga ia pun kemudian beringsut sambil berkata, “Maaf. Aku masih harus membantu ibu di dapur.”
“Masih apa lagi yang dipersiapkan di dapur?” bertanya salah seorang kawan kakaknya.
“O, tidak ada. Hanya mencuci mangkuk” jawab Sasi. Dengan demikian maka Sasi pun telah meninggalkan tamu-tamu kakaknya kembali ke dapur. Namun demikian ia bangkit, Gemak Langkas berkata, “Kapan-kapan aku akan datang lagi Sasi. Wedang seremu tentu akan membuat aku selalu ingin meneguknya lagi.”
Sasi tidak menjawab, meskipun ia tersenyum. Senyum basa-basi saja. Demikianlah, ketiga orang tamu itu masih berbincang beberapa lama. Namun kemudian mereka pun telah minta ciri. Sementara itu Sasi masih saja bersungut-sungut di dapur.
Ibunya yang melihat Sasi marah segera bertanya, “Kau kenapa Sasi? Kenapa dengan kakak-kakakmu?”
“Tamunya itu ibu” jawab Sasi.
“Kenapa dengan tamunya?” bertanya ibunya.
“Seorang di antaranya nampaknya agak kasar” jawab Sasi.
“Kawan kakak-kakakmu di lingkungan keprajuritan?”
“Bukan ibu. Tetapi anak muda itu datang bersama dengan kedua kawan kakang Kuda Semedi dan kakang Kuda Semeni.” jawab Sasi.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “sudahlah. Kau jangan terlalu cepat marah. Mungkin ia tidak bermaksud buruk. Tetapi karena sifat dan tabiatnya, maka nampaknya ia bertabiat kasar. Tetapi kau belum mengenalnya lebih jauh.”
“Aku tidak ingin mengenalnya lebih jauh” jawab Sasi. Ibunya tidak menjawab lagi. Sasi pun kemudian telah sibuk mencuci mangkuk di dapur. Ia memang sering melakukannya meskipun ada juga pembantu di rumahnya.
Namun beberapa saat kemudian, Kuda Semeni mencarinya di dapur untuk memanggilnya. “Mereka akan berpamitan Sasi” berkata Kuda Semeni.
“Kenapa kepadaku? Bukankah mereka itu tamumu?” bertanya Sasi sambil bersungut-sungut.
“Mereka ingin pamit kepadamu. Apa salahnya?” bertanya Kuda Semeni.
“Pergilah Sasi” desis ibunya, “kau akan dapat dianggapnya sebagai seorang gadis yang sombong.”
Tetapi Sasi justru berkata, “Katakan kepada tamu-tamumu bahwa Sasi sedang dipingit. Ia tidak boleh keluar apalagi menemui tamu laki-laki.”
“Ah, jangan begitu” potong ibunya, “jika mereka orang yang tidak kami kenal, maka aku akan melarangmu. Tetapi bukankah mereka kawan-kawan kakak-kakakmu?”
“Yang seorang bukan” jawab Sasi.
“Ayolah Sasi, sebentar saja” minta Kuda Semeni.
Akhirnya Sasi memang tidak dapat menolak. Ia pun kemudian mengikuti kakaknya keluar dari pintu pringgitan. Ketiga orang tamu itu memang hanya minta diri kepada Sasi. Namun anak muda yang bernama Gemak Langkas itu bersikap berlebihan sehingga Sasi menjadi semakin kurang senang kepadanya.
Tetapi seperti yang pernah dikatakan, maka ia pun berkata lagi, “Sasi, aku akan datang lagi untuk sekedar minum wedang seremu yang segar. Bukankah kau tidak akan menolak?”
Sasi justru tidak menjawab. Kepalanya justru menunduk. Demikianlah, sejenak kemudian, maka ketiga orang tamu Kuda Semedi dan Kuda Semeni itu pun meninggalkan halaman rumah itu. Sementara Sasi telah kembali ke dapur pula. Namun Sasi menyadari, bahwa anak muda yang bernama Gemak Langkas itu tentu benar-benar akan kembali mengunjunginya.
Karena itu, ketika kedua kakaknya setelah melepaskan tamunya juga pergi ke dapur, Sasi langsung berkata, “Kenapa kau perkenalkan aku dengan Gemak Langkas.”
“Aku tidak berniat demikian Sasi” jawab Kuda Semedi, “yang aku lakukan sebenarnya hanyalah sekedar basa-basi.”
“Tetapi ia tentu akan kembali lagi kemari.” berkata Sasi kemudian.
“Tetapi bukankah kau sudah cukup dewasa, sehingga kau akan dapat menanggapinya dengan cara seorang gadis dewasa. Kau dapat menghindarkan dirimu dengan cara yang baik dari anak muda itu. Sudah tentu tidak perlu menyakiti hatinya.”
Sasi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Meskipun demikian, kedatangan Gemak Langkas telah membuat hatinya gelisah. Itulah sebabnya, maka ketika Mahisa Pukat datang menemuinya, Sasi telah menceriterakan perkenalannya dengan Gemak Langkas.
“Menilik sikapnya, Gemak Langkas tentu seorang anak muda yang kasar. Menurut kakang Kuda Semedi dan kakang Kuda Semeni, Gemak Langkas termasuk seorang anak yang manja. Namun dengan demikian, maka ia bukan seorang yang berpribadi. Meskipun ayahnya seorang saudagar yang kaya raya, namun itu tidak menjamin bahwa ia mampu mandiri.”
Namun Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Kenapa kau menilai Gemak Langkas sampai sejauh itu?”
Pertanyaan itu mengejutkan Sasi. Namun kemudian ia pun bersungut-sungut pula, “Kau justru mentertawakan aku.”
“Tidak. Aku tidak mentertawakanmu. Tetapi seharusnya kau tidak menjadi demikian gelisahnya menanggapi perkenalan itu.” sahut Mahisa Pukat.
Sasi termangu-mangu sejenak.
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sebaiknya kau bicarakan hal ini dengan kedua orang kakakmu. Mereka tentu akan membantumu mengatasi kesulitanmu, jika benar orang itu akan membawa kesulitan atasmu. Bukan berarti aku tidak bersedia membantumu. Tetapi bukankah aku sekarang masih berdiri di luar batas keluargamu. Meskipun demikian, jika diperlukan, aku akan melakaukan apa saja yang pantas aku lakukan.”
Sasi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa mendapat perlindungan dari Mahisa Pukat sehingga hatinya pun menjadi semakin tatag. Karena itu, maka sebagaimana pesan Mahisa Pukat, agar Sasi tidak bersikap keras sehingga akan dapat menimbulkan kesan bahwa Sasi adalah gadis yang sombong.
“Seorang laki-laki yang mempunyai harga diri berlebihan, mengalami perlakuan yang demikian dari seorang gadis akan dapat menimbulkan dendam di hatinya” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Tetapi bagaimana jika anak muda itu tidak tahu diri?” bertanya Sasi.
“Cobalah dengan sikap yang lunak” desis Mahisa Pukat, “kecuali jika anak muda itu seorang anak muda yang tidak tahu diri. Jika demikian, kau memang harus bersikap tegas.”
Sasi mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa pesan Mahisa Pukat itu akan dapat dipergunakannya sebagai pegangan. Apalagi kemudian, ketika Sasi berbicara dengan ayah dan ibunya tentang Gemak Langkas, maka nasehat ayah dan ibunya ternyata tidak jauh berbeda dengan nasehat Mahisa Pukat sehingga Sasi pun menjadi semakin tenang.
“Aku sudah mengenal ayah anak yang kau sebut bernama Gemak Langkas itu meskipun tidak begitu akrab. Ia memang seorang yang kaya raya. Namun sifatnya memang kurang disenangi oleh kawan-kawannya. Justru karena ia seorang yang kaya raya, maka ia memang agak sombong. Tetapi kau tidak perlu cemas tentang ayah anak muda itu” berkata Arya Kuda Cemani.
Dengan demikian, maka Sasi memang tidak menolak kehadiran Gemak Langkas, ketika ia benar-benar telah datang berkunjung ke rumahnya. Justru ketika kakak-kakaknya tidak ada di rumah. Demikian pula ayahnya.
Namun ketika ia minta pertimbangan ibunya, maka ibunya pun berkata, “Temuilah. Tetapi tidak terlalu lama. Jika ia masih belum juga pergi, biarlah aku memanggilmu.”
Demikianlah Sasi dengan berat hati telah menemui Gemak Langkas yang datang seorang diri. Ternyata Gemak Langkas adalah seorang anak muda yang memang terbuka. Meskipun ia masih belum terlalu sering berhubungan dengan Sasi, namun seakan-akan ia telah mengenalnya bertahun-tahun. Ia pun segera berceritera tentang dirinya sendiri, keluarganya dan kekayaannya.
“Sasi” berkata Gemak Langkas itu kemudian, “aku membawa oleh-oleh buatmu. Aku harap kau tidak menolak. Aku memberikan oleh-oleh ini dengan ikhlas tanpa maksud apa-apa.”
Wajah Sasi menjadi tegang. Sementara itu, Gemak Langkas telah mengambil sebuah bungkusan kecil dari kantong ikat pinggang kulitnya yang lebar.
Sasi masih saja termangu-mangu. Gemak Langkas pun sekali lagi mendesaknya, “Terimalah Sasi. Memang tidak seberapa, tetapi aku akan merasa berbahagia sekali jika kau mau menerimanya.”
Sasi justru menjadi semakin tegang. Tetapi ketika Gemak Langkas beringsut maju untuk menyerahkan bungkusan kecil itu, Sasi justru bergeser mundur.
“Ini bukan apa-apa Sasi” berkata Gemak Langkas pula. Kemudian sambil membuka bungkusan kecil itu ia berkata, “Lihatlah. Hanya sebuah kalung kecil dengan bandul kecil pula. Bandul itu memang terbuat dari berlian. Sasi, tetap harganya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai persahabatan kita.”
Namun akhirnya Sasi memberanikan diri untuk menjawab, meski pun ia selalu ingat akan pesan Mahisa Pukat dan pesan ayahnya. Ia tidak boleh bertindak kasar. “Gemak Langkas” berkata Sasi kemudian, “bukan maksudku untuk menolak kebaikan hatimu. Tetapi aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menerima pemberianmu. Aku tahu, bahwa kau memang tidak mempunyai maksud apa-apa. Namun agaknya berat bagiku, sebagai seorang gadis untuk menerima pemberian seorang anak muda yang baru saja dikenalnya.”
Wajah Gemak Langkas menegang. Bandul kalung yang diberikannya itu adalah bandul bermata berlian yang harganya sangat mahal. Demikian pula kalung emas yang cukup besar itu pun nilainya cukup tinggi. Tetapi Sasi telah menolaknya.
Dengan sungguh-sungguh Gemak Langkas telah mendesaknya sekali lagi. Sambil bersingsut mendekat ia berkata, “Sasi. Kenapa kau menolak? Sudah aku katakan bahwa benda ini nilainya memang tidak seberapa dibanding dengan nilai persahabatan kita. Tetapi kali ini memang hanya ini yang dapat aku berikan kepadamu. Mudah-mudahan lain kali aku dapat membawa oleh-oleh yang lebih baik bagimu, bagi kakak-kakakmu dan bagi ayah dan ibumu. Bahkan ayahku tentu tidak berkeberatan jika ayah sendiri datang dengan membawa oleh-oleh itu.”
“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, Gemak Langkas. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat menerima pemberianmu itu. Meskipun aku tahu bahwa kau memberikan benda itu dengan ikhlas dan tidak dengan maksud apa-apa.”
Wajah Gemak Langkas menjadi semakin tegang. Rasa-rasanya sia-sia saja ia memaksa Sasi yang nampaknya berhati keras itu. Namun Gemak Langkas ternyata juga seorang yang cerdik. Ia sama sekali tidak kelihatan marah. Katanya, “Baiklah Sasi. Jika kau tidak menyukai benda ini. Aku akan membawanya pulang. Benda ini akan aku kembalikan kepada ayah dan ibu agar ayah dan ibu membelikan oleh-oleh yang lebih berarti bagimu. Nah, aku minta diri Sasi. Lain kali aku akan datang lagi.”
Mulut Sasi justru bagaikan terbungkam. Karena itu, ia sama sekali tidak menjawab. Namun ketika Gemak Langkas bangkit dan melangkah turun kehalaman, maka Sasi itu pun telah mengantarnya sampai ke tangga pendapa rumahnya.
Demikianlah Gemak Langkas pun pulang sambil membawa benda yang disebutnya sebagai oleh-oleh itu. Demikian ia keluar dari regol halaman rumah Arya Kuda Cemani, maka ia pun menggeram sambil memukul telapak tangan kirinya sendiri dengan tangan kanannya. Dengan geram ia bergumam, “Perempuan yang angkuh. Ayahnya sama sekali bukan seorang yang kaya. Tetapi ia menolak pemberianku yang sangat berharga itu. Buat apa ia begitu tinggi menjunjung harga dirinya? Apakah karena ayahnya seorang Senapati?”
Namun ia pun bergumam pula, “Lain kali aku akan datang. Aku harus menaklukkan gadis itu. Betapa tinggi hatinya, tetapi dengan emas dan berlian, hatinya itu tentu akan luluh.”
Sebenarnya bahwa Gemak Langkas telah bertekad untuk pada suatu saat menundukkan Sasi yang dianggapnya seorang gadis yang angkuh itu.
Sementara itu Sasi telah berlari mendapatkan ibunya di dapur. Ibunya terkejut melihat Sasi mengusap matanya yang merah. Dengan geram ia berkata, “Ibu, anak muda itu telah menghina aku.”
“Apa yang telah terjadi?” bertanya ibunya.
“Ia telah membawa oleh-oleh buatku. Sebuah kalung bermata berlian. Dikiranya aku ini apa?” sahut Sasi.
“Anak muda itu akan memberikan kalung bermata berlian?” bertanya ibunya.
“Ya ibu. Kalung emas dengan bandul emas bermata berlian. Bukankah berarti ia menganggap aku dapat dibelinya seharga kalung dan bandul bermata berlian itu?”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Sasi yang duduk di amben panjang sambil berkali-kali mengusap matanya yang basah. Ternyata Sasi benar-benar tersinggung oleh tingkah laku Gemak Langkas itu.
Sambil duduk di sebelahnya ibu Sasi itu berkata, “Sudahlah Sasi. Jangan dipikirkan terlalu dalam. Bukankah kau tidak mau menerima pemberian itu, sehingga kau sama sekali tidak berhutang apapun kepadanya?” Sasi mengangguk kecil.
“Nah, sampaikan hal itu nanti kepada ayahmu dan jika kebetulan kedua kakakmu pulang, katakan pula kepada mereka.” berkata ibunya.
Sasi mengangguk. Desisnya, “Ya ibu.”
“Nah, sekarang kau tidak usah mengingatnya lagi. Bukankah ia sudah pergi?” bertanya ibunya.
Sasi mengangguk pula.
“Nah, kerjakan apa yang tadi baru kau kerjakan.” berkata ibunya pula.
Sasi tidak menjawab. Namun ia pun kemudian telah menyibukkan diri membantu ibunya kerja di dapur. Yang ditunggu Sasi selain ayahnya sebenarnyalah bukan kedua kakaknya. Tetapi justru Mahisa Pukat. Ia harus mengatakan kepada anak muda itu, apa yang telah dilakukan oleh Gemak Langkas.
Ketika lewat tengah hari ayahnya pulang, maka Sasi pun langsung melaporkan perlakuan Gemak Langkas itu kepadanya, sehingga ibunya pun berkata, “Sasi. Biarlah ayahmu beristirahat dahulu.”
Tetapi Sasi tidak sabar lagi. Katanya, “Dadaku serasa menjadi sesak, ibu. Ayah harus segera mengetahuinya.”
“Ada apa Sasi? Nampaknya kau menjadi sangat gelisah.” bertanya ayahnya.
Sasi memang tidak menunggu lagi. Ia pun segera memberitahukan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi dengan Gemak Langkas.
Ayahnya mendengarkan laporan Sasi dengan sungguh-sungguh. Sambil menarik nafas panjang ia kemudian berkata, “Apa yang kau lakukan sudah benar Sasi. Kau memang tidak boleh menerima pemberian dari siapa pun yang bukan keluarga kita sendiri. Kau sudah cukup dewasa sehingga kau tentu sudah tahu maksud anak muda itu. Tentu bukannya tidak bermaksud apa-apa seperti yang dikatakannya itu.”
Sasi mengangguk-angguk. Ayah dan ibunya sudah menyatakan sikapnya. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan itu sudah benar. Namun masih ada seorang lagi yang akan diberitahu tentang persoalan itu. Mahisa Pukat.
Seperti yang diharapkannya, maka sore itu Mahisa Pukat memang datang ke rumah Sasi. Seperti biasanya, kadang-kadang Arya Kuda Cemani menemuinya beberapa saat. Baru kemudian Mahisa Pukat itu ditinggalkannya bersama Sasi. Meskipun belum dinyatakan secara resmi, namun hubungan anak muda itu dengan anaknya sudah diketahui oleh orang tua kedua belah pihak.
Pada kesempatan itu, Arya Kuda Cemani sebagai seorang tua telah memberitahukan dengan terus terang sikap Gemak Langkas terhadap anak gadisnya. Dengan nada berat Arya Kuda Cemani itu berkata, “Seperti ayahnya, anak itu terlalu yakin akan kekayaan yang melimpah yang dimilikinya. Karena itu, ia menganggap bahwa apa pun akan dapat diselesaikan dengan uangnya. Namun lebih dari itu, Gemak Langkas adalah seorang anak muda yang berilmu. Ia berguru kepada seorang pemimpin padepokan yang berpengaruh. Dengan uangnya, maka gurunyalah yang setiap waktu yang ditentukan datang kepadanya untuk menuntunnya dalam olah kanuragan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pemberitahuan dari ayah Sasi itu kepadanya, oleh Mahisa Pukat dianggap sebagai satu isyarat bahwa Mahisa Pukat harus berhati-hati. Anak muda yang bernama Gemak Langkas itu akan dapat bertindak kasar jika niatnya dihalangi oleh siapa pun juga. Sebagai anak seorang saudara yang kaya, maka semua kemauan Gemak Langkas biasanya pasti terpenuhi.
Mahisa Pukat yang tanggap akan isyarat itu mengangguk kecil sambil menyahut, “Aku akan berhati-hati Raden.”
“Aku percaya akan kemampuanmu. Tetapi kau kadang-kadang tidak memperhitungkan langkah-langkah licik seseorang. Karena itu, maka kau harus mulai berhati-hati menghadapi orang yang tidak kau kenal benar tabiatnya.”
Mahisa Pukat mengangguk dalam-dalam. Meskipun ia tidak menjawab, namun Raden Kuda Wereng itu tahu pasti, bahwa anak muda itu memperhatikan setiap kata-katanya. Ketika kemudian Arya Kuda Cemani yang juga disebut Raden Kuda Wereng itu meninggalkan Mahisa Pukat dan Sasi berdua, maka Sasi telah minta kepada Mahisa Pukat agar besok ia bersedia datang sebelum tengah hari.
“Mungkin ia akan datang lagi. Menurut perhitunganku atas sifat anak muda itu, maka besok ia akan datang dan membawa benda yang lebih berharga dari yang dibawanya pagi tadi.” berkata Sasi kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok sebelum tengah hari aku akan datang.”
Demikianlah, setelah beberapa saat Mahisa Pukat berada di rumah Sasi, maka ia pun telah minta diri. Bukan saja kepada Sasi, tetapi juga kepada kedua orang tuanya.
“Kau memang harus berhati-hati ngger” berkata Arya Kuda Cemani.
“Baiklah Raden” jawab Mahisa Pukat, “aku akan selalu ingat pesan ini.”
“Agar ayahmu tidak terkejut jika terjadi sesuatu, sebaiknya kau pun berceritera pula kepada ayahmu, Ki Mahendra” pesan Arya Kuda Cemani.
Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan berbicara dengan ayah.”
Demikianlah, maka seperti pesan Arya Kuda Cemani, ketika Mahisa Pukat sampai di rumah, ia pun telah menyampaikan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi di rumah Sasi serta pesan Arya Kuda Cemani kepadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kau harus menghadapi Gemak Langkas dengan kekerasan. Sejauh dapat diatasi dengan cara yang baik, maka kau harus mencobanya. Hanya dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakan ilmumu untuk melindungi dirimu. Bukan sekedar untuk menunjukkan kelebihanmu dari Gemak Langkas kepada Sasi. Itu jika kau mempunyai kelebihan.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab, “Ya ayah.”
“Hati-hatilah dengan sikapmu. Kau berada ditempat yang bagimu asing di sini. Tatanan kehidupan tentu agak berbeda dengan tatanan kehidupan di Padepokan Bajra Seta dan sekitarnya.”
“Aku mengerti ayah” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah. Jika kau besok akan datang, datanglah. Tetapi sekali lagi aku pesan, jagalah namamu baik-baik di rumah orang. Kecuali itu, kau memang harus berhati-hati sebagaimana pesan Raden Kuda Wereng.” pesan ayahnya.
“Ya ayah” jawab Mahisa Pukat, “aku mengerti.
Demikianlah, maka persoalan Sasi itu telah membuat Mahisa Pukat ikut gelisah. Bagaimanapun juga ia membayangkan bahwa Gemak Langkas akan mempergunakan kekerasan, sehingga Mahisa Pukat harus melayaninya. Tetapi ia memang berpegangan kepada pesan ayahnya, bahwa ia hanya akan membela diri. Te|api menurut pengertian Mahisa Pukat bahwa membela diri itu termasuk membela harga diri Sasi.
Dihari berikutnya, Mahisa Pukat telah berbenah diri saat matahari terbit. Kegelisahannya nampak pada sikapnya yang seakan-akan berdiri diatas bara. Sejak selesai makan pagi, maka Mahisa Pukat telah mondar-mandir saja di serambi depan. Rasa-rasanya hari berjalan lamban sekali. Matahari dengan malas merayap ke langit. Sehingga Mahisa Pukat hampir tidak sabar menunggu matahari mendekati puncaknya, karena Sasi berpesan agar ia datang menjelang tengah hari.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, Maka Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera minta diri kepada ayahnya untuk segera pergi ke rumah Arya Kuda Cemani. Sekali lagi ayahnya berpesan, agar Mahisa Pukat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil sikap sebelum dipikirkan masak-masak.
Dengan jantung yang berdebaran Mahisa Pukat pergi ke rumah Sasi sebagaimana diminta oleh gadis itu. Namun ia pun berharap bahwa ia akan benar-benar dapat bertemu dengan Gemak Langkas. Bahkan kadang-kadang ia berniat untuk melupakan saja pesan ayahnya. Ia ingin langsung menantang Gemak Langkas untuk beradu kemampuan.
Namun peringatan ayahnya itu ternyata setiap kali seakan-akan terngiang di telinganya. Bahwa bukan menjadi kebiasaannya untuk dengan sengaja mencari lawan. Jika kesadaran itu mulai merayap di hatinya, maka Mahisa Pukat pun menjadi tenang. Ia tidak lagi berjalan tergesa-gesa menuju ke rumah Sasi. Tetapi ia melangkah dengan sedikit menahan diri sehingga tidak menarik perhatian orang.
Ketika Mahisa Pukat memasuki regol halaman rumah Sasi, maka jantungnya terasa semakin cepat bergetar. Namun ternyata tidak seorang pun berada di pendapa rumah itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus masuk lewat seketeng kiri sebagaimana setiap kali dilakukan jika ia berkunjung ke rumah itu dan tidak ada seorang pun yang melihatnya datang.
Seorang pembantu rumah itu yang melihat Mahisa Pukat segera memberitahukannya kepada Sasi, sehingga sejenak kemudian maka Sasi pun telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk duduk dipendapa.
“Apakah aku sudah terlambat?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kenapa terlambat?” bertanya Sasi.
“Bukankah kau minta aku datang menjelang tengah hari?” Mahisa Pukat pun ganti bertanya.
“O” Sasi mengangguk-angguk, “ternyata anak muda itu belum datang. Mudah-mudahan ia tidak datang”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ya. Mudah-mudahan ia tidak akan datang untuk seterusnya.”
Namun baru saja mulut Mahisa Pukat terkatub, seekor kuda yang tegar telah memasuki halaman. Penunggangnya ternyata masih belum turun dari kuda itu. Baru setelah kuda itu berhenti tepat di depan tangga pendapa, penunggannya meloncat turun, Sambil menambatkan kudanya, ia berkata nyaring, “Sasi. Aku memenuhi janjiku. Aku datang lagi dengan membawa oleh-oleh yang lebih berarti dari yang kau tolak itu. Aku harap kau senang menerimanya.”
Sasi masih duduk dipendapa bersama Mahisa Pukat. Namun keduanya pun kemudian berdiri dan gelangkah ke tangga. “Marilah, silahkan naik” Sasi mempersilahkan.
Anak muda itu memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya. Sementara itu Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil berkata, “Marilah, silahkan Ki Sanak.”
Wajah Gemak Langkas berkerut. Namun ia pun kemudian melangkah naik tanpa menghiraukan Mahisa Pukat. Anak muda itu langsung melangkah ke tikar pandan yang terbentang di pringgitan.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa pesan ayahnya telah terngiang lagi di telinganya, sehingga ia tidak dengan tergesa-gesa melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan. Ketika Gemak Langkas duduk di tikar yang terbentang itu, maka Sasi dan Mahisa Pukat pun telah ikut duduk pula.
Namun tiba-tiba saja Gemak Langkas berkata, “Sasi, aku hanya ingin berbicara denganmu. Aku tidak mempunyai kepentingan dengan orang lain. Karena itu, maka sebaiknya kita hanya berdua saja tanpa orang lain.”
“Aku tidak tahu maksudmu Gemak Langkas.” jawab Sasi.
“Bukankah sudah jelas? Aku hanya ingin bertemu dengan kau saja. Tidak dengan orang lain. Karena itu, jika di sini ada orang lain, aku minta orang lain itu menyingkir saja” berkata Gemak Langkas tegas.
“Jadi maksudmu, aku kau minta untuk mengusir tamuku?” bertanya Sasi
“Aku hanya mengatakan, aku hanya ingin bertemu dengan kau seorang diri. Terserah caramu, aku tidak akan menentukannya” berkata Gemak Langkas kemudian.
Namun Sasi menjawab, “Tidak Gemak Langkas. Aku tidak dapat mengusir tamuku, siapa pun orang itu. Jika seseorang datang kepadaku dengan maksud baik, maka aku akan menerimanya dan menemuinya sebagai seorang tamu. Ayah dan ibuku mengajar aku, agar aku menghormati tamu-tamuku sepanjang ia tidak berniat berbuat kurang baik”.
Wajah Gemak Langkas menjadi merah. Sementara itu Mahisa Pukat masih berdiam diri. Ia justru tertarik mendengarkan pembicaraan antara Gemak Langkas dengan Sasi.
“Sasi” berkata Gemak Langkas kemudian, “kau yang mempunyai rumah ini. Karena itu, kau yang mempunyai wewenang untuk mengusir sseorang dari rumah ini. Tentu bukan aku. Karena itu sekali lagi aku minta, biarlah kita berbicara berdua saja. Aku tidak senang ada orang lain yang tentu hanya akan mengganggu saja”
Tetapi sekali lagi jawaban Sasi mengejutkan, “Gemak Langkas. Memang bukan kewajiban kami untuk membuat kau senang. Terserah kepadamu, apakah kau senang atau tidak. Tetapi aku tidak pantas mengusir seorang tamu yang datang dengan niat baik kepadaku. Karena itu maka aku juga tidak mengusirmu seandainya tamuku yang datang lebih dahulu berkata sebagaimana yang kau katakan.”
Telinga Gemak Langkas memangmenjadi panas. Bahkan ia seakan-akan telah kehilangan kekang atas dirinya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika kau tidak mau mengusirnya, aku yang akan mengusir orang itu.”
“Kau tidak berhak melakukannya, Gemak Langkas. Rumah ini bukan rumahku. Bukankah kau sendiri telah mengatakannya” desis Sasi.
Sejenak Gemak Langkas justru terbungkam. Namun kemudian katanya, “Aku tidak mau menerima perlakuan ini. Aku akan pergi saja. Oleh-oleh yang aku bawa akan aku bawa pulang. Pada kesempatan lain aku akan memberikan kepadamu. Tetapi pada kesempatan lain pula, aku akan membuat perhitungan dengan orang ini.”
Namun yang dicemaskan Mahisa Pukat itu pun memang terjadi. Ketika di sore hari Mahisa Pukat sedang berjalan menuju ke rumah Sasi, maka tiba-tiba saja seekor kuda yang tegar berlari kencang menyambarnya. Sebenarnya Mahisa Pukat telah berusaha menepi. Namun kuda itu sengaja berlari menepi pula. Bahkan kemudian tangan penunggangnya seakan-akan dengan sengaja menyambar kepalanya demikian kerasnya.
Untunglah bahwa Mahisa Pukat selalu berhati-hati menghadapi kesulitan yang tiba-tiba datang. Ketika ia melihat Gemak Langkas berada di punggung kuda yang berlari kencang, maka ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan buruk itu. Karena itu, ketika kuda itu menyambarnya dengan kecepatan tinggi, maka Mahisa Pukat pun dengan tangkas pula meloncat menghindar. Dengan kecepatan melampaui kecepat-an lari kuda itu, Mahisa Pukat berhasil meloncat parit di pinggir jalan itu dan tegak berdiri di atas tanggul di seberang parit yang cukup lebar itu.
Beberapa orang perempuan yang melihatnya terpekik kecil. Namun mereka pun menarik nafas panjang serta mengusap dadanya sambil berkata, “Untunglah, anak itu sempat menghindar. Jika tidak, maka ia akan dapat terlempar jatuh dan terluka. Apalagi jika kaki kuda itu menginjaknya.”
Sementara itu, Gemak Langkas yang sempat berpaling dan melihat Mahisa Pukat berdiri di tanggul seberang parit, telah mengumpat kasar.
“Kenapa anak iblis itu tidak terlempar” geramnya. Namun Gemak Langkas tidak kembali. Ia melarikan kudanya semakin cepat dan hilang di kelok jalan.
Mahisa Pukat pun menarik nafas panjang pula. Bagaimanapun juga terasa debar jantungnya semakin cepat. Namun ia pun kemudian telah melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Sasi.
Ketika ia menceriterakan peristiwa itu kepada Sasi, maka Sasi pun berkata, “Kau memang harus berhati-hati. Apalagi ia tidak sendiri.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat. Namun katanya pula, “jika ia mempunyai latar belakang kehidupan di sebuah padepokan, maka aku pun seorang penghuni padepokan pula.”
“Tetapi di sini kau sendiri” berkata Sasi.
“Tentu tidak” jawab Mahisa Pukat, “jika aku berada di pihak yang benar maka paugeran dan tatanan yang berlaku akan melindungi aku.”
Sasi mengangguk kecil. Katanya, “Tetapi menghadapi seseorang seperti Gemak Langkas, tatanan dan paugeran sering terlambat melindungi seseorang.”
“Ya.” sahut Mahisa Pukat. Namun katanya, “Tetapi aku juga membawa pedang.”
Sasi menarik nafas dalam-dalam. Jika ia terlalu mencemaskan Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat justru akan dapat tersinggung karenanya. Karena itu, maka Sasi pun tidak lagi mempertanyakan apa yang telah terjadi.
Tetapi bagi Mahisa Pukat sendiri, peristiwa itu merupakan peringatan baginya, agar ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi anak muda itu. Ketika Mahisa Pukat kemudian minta diri untuk kembali ke tempat tinggal ayahnya di bagian belakang istana, maka ia minta Sasi menceriterakan hal itu kepada ayahnya.
“Jika terjadi sesuatu, maka ayahmu telah mengetahui persoalan yang sebenarnya.” berkata Mahisa Pukat.
“Aku akan mengatakannya” sahut Sasi.
Ketika kemudian Mahisa Pukat berjalan pulang, maka ia menjadi semakin berhati-hati. Jika ia berpapasan dengan seorang yang duduk diatas punggung kuda, maka ia pun memperhatikan orang itu dengan baik. Apakah orang itu Gemak Langkas atau orang lain sekalipun yang memperhatikannya berlebihan.
Jantung Mahisa Pukat memang berdesir ketika ia melihat Gemak Langkas duduk di atas punggung kudanya. Tetapi kuda itu berhenti seakan-akan memang menunggunya dipinggir jalan. Mahisa Pukat tidak dapat berhenti dan melangkah kembali. Apalagi darah mudanya yang memang cepat menjadi panas jika persoalannya menyangkut Sasi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun melangkah terus dengan langkah yang pasti.
Ketika Mahisa Pukat melangkah lewat di depan Gemak Langkas yang duduk di atas punggung kudanya, maka Mahisa Pukat sama sekali tidak menunjukkan perubahan langkahnya. Ia berjalan saja seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali kehadiran Gemak Langkas itu.
Melihat sikap itu hati Gemak Langkas menjadi semakin panas. Namun ia pun masih tetap menahan diri. Bahkan Gemak Langkas itu pun tersenyum sambil berkata, “He, bukankah kau yang bernama Mahisa Pukat.”
Mahisa Pukat memang berhenti. Sambil berputar kearah Gemak Langkas Mahisa Pukat pun menjawab. “Ya. Aku Mahisa Pukat.”
“Kau yang bertemu dengan aku di rumah Sasi?” bertanya Gemak Langkas itu pula.
“Ya. Kau masih ingat? Aku juga yang dengan sengaja kau sambar dengan kudamu tadi? Kau masih ingat?” bertanya Mahisa Pukat.
Telinga Gemak Langkas menjadi merah. Tetapi ia masih menahan diri. Sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Aku masih ingat.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, katanya, “Nah, sekarang kau agaknya sengaja menunggu aku. Apa maumu?”
“Aku hanya ingin bertanya, apakah kau memang laki-laki sejati atau sekedar seorang yang menyandarkan diri para perlindungan orang lain.”
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Aku tahu maksudmu. Kau akan menantang aku? Jadi kau masih menganggap bahwa untuk mendapatkan seorang gadis, laki-laki harus berani berkelahi. Tetapi apakah perkelahian itu akan dapat merubah perasaan seorang gadis? Jika dua orang anak muda berkelahi, maka dengan sendirinya gadis itu akan memilih yang menang dari keduanya?”
“Satu jawaban dengan permainan kata yang manis” sahut Gemak Langkas. Namun katanya kemudian, “Aku tidak peduli apakah Sasi akan memilih kau atau aku atau orang lain. Kalau kau sudah mati, maka ia tidak akan memilihmu lagi.”
“Jadi kau akan membunuhku?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tetapi aku menantang kau perang tanding. Jika salah seorang dari kita mati, kau atau aku, itu sudah wajar. Bukan berarti satu pembunuhan,” jawab Gemak Langkas.
“Itukah yang kau kehendaki?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Gemak Langkas, “kau dapat membawa dua orang saksi. Aku juga akan membawa saksi.”
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun ia pun kemudian menjawab, “Baik. Aku terima tantanganmu.”
“Bagus” desis Gemak Langkas sambil tersenyum, “Ternyata kau memang seorang laki-laki. Nanti malam aku tunggu kau di tanggul Sendang Perbatang. Nanti malam langit akan diterangi oleh cahaya bulan meskipun sudah lewat purnama. Tetapi sinarnya masih cukup terang. Di saat bulan terbit, aku sudah berada di tanggul Sendang Perbatang bersama-sama para saksi.”
“Baik” jawab Mahisa Pukat, “aku belum pernah melihat Sendang Perbatang. Tetapi aku akan membawa seorang saksi yang akan dapat mengantarku ke sana.”
“Bagus” berkata Gemak Langkas kemudian, “jangan ingkar janji. Aku sudah terlanjur menganggapmu laki-laki sejati.”
Gemak Langkas tidak menunggu jawaban Mahisa Pukat. Ia pun segera memaeuk kudanya meninggalkan Mahisa Pukat yang berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa Pukat telah kembali lagi ke rumah Sasi. Ia telah mengabarkan rencana perang tanding itu kepada ayah Sasi. Dengan demikian, maka Arya Kuda Cemani itu mengetahui apa yang terjadi.
“Baiklah” berkata Arya Kuda Cemani, “aku akan menjadi saksi pula dalam perang tanding itu. Bawa ayahmu. Ia juga akan dapat menjadi saksi.”
“Tetapi bukankah dapat menimbulkan prasangka buruk jika aku membawa ayahku sebagai saksi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku berani bertaruh, bahwa Gemak Langkas akan membawa gurunya pula sebagai saksi.” berkata Arya Kuda Cemani.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah. Nanti aku akan mengajak ayah bersamaku.”
“Baiklah. Tetapi aku tidak usah pergi bersamamu dan ayahmu. Aku akan pergi sendiri. Kita akan bertemu di tanggul Sendang Perbatang.” berkata ayah Sasi.
“Tetapi aku belum tahu di mana letak Sendang Perbatang.” desis Mahisa Pukat.
“Ayahmu sudah lebih lama berada di sini. Ia tentu sudah tahu dimana letak Sendang Perbatang.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Namun ia pun kemudian segera minta diri. Langit sudah menjadi muram karena senja sudah mulai turun.
Ketika hal itu kemudian dikatakan kepada ayahnya, maka Mahendra berkata, “Kau terlalu cepat mengambil keputusan Mahisa Pukat. Apakah kau tidak dapat menghindari penyelesaian dengan cara itu?”
“Rasa-rasanya tidak mungkin lagi ayah, kecuali jika aku membiarkan diriku dihinakan. Harga diriku direndahkan di bawah telapak kakinya,” jawab Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk sekedar mengerti perasaan anaknya. Kemudaannya memang dapat membuatnya mudah tersinggung. Namun perang tanding bukanlah sekedar permainan. Perang tanding adalah pertarungan dengan mempertaruhkan nyawanya. Tetapi anaknya sudah menerima tantangan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak akan pernah mencabutnya.
Mahendra memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus pergi melihat apa yang terjadi dengan anaknya. Memang tidak ada niat Mahendra untuk berbuat licik. Tetapi ia pun tidak mau jika lawannyalah yang berbuat licik. Dengan demikian, maka ketika malam turun, Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Bersama ayahnya mereka pun segera berangkat ke tanggul Sendang Perbatang. Di lambung Mahisa Pukat tergantung pedang.
Seperti yang dikatakan oleh Arya Kuda Cemani, ternyata Mahendra telah mengetahui letak Sendang Perbatang, sehingga dengan demikian, mereka berdua tidak perlu mencarinya. Ketika kemudian bulan terbit, Mahisa Pukat mengajak ayahnya berjalan semakin cepat.
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi Gemak Langkas. Justru karena Mahisa Pukat belum mengetahui tataran kemampuan Gemak Langkas yang dianggap sebagai seorang anak muda yang berkemampuan tinggi serta yang masih tetap berada di bawah bimbingan seorang guru, maka Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati.
Beberapa orang saksi yang datang bersama Gemak Langkas pun segera telah turun pula mengelilingi kedua orang anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menyusun lingkaran yang membentuk sebuah arena perang tanding.
Mahendra dan Arya Kuda Cemani pun berdiri pula di lingkaran itu. Namun berjarak beberapa langkah dari para saksi yang dibawa oleh Gemak Langkas termasuk gurunya dan ayahnya yang kaya raya serta orang yg disebut pamannya, yang kebetulan adalah saudara seperguruan Gemak Langkas. Sedangkan yang lain adalah prajurit-prajurit muda yang mendendam kepada Mahisa Pukat.
Beberapa saat kemudian maka Gemak Langkas pun berkata, “Mahisa Pukat. Apakah kau sudah siap? Kita perguankan waktu sebaik-baiknya. Kita akan segera mulai.”
“Aku sudah bersiap sejak aku berangkat dari rumah” jawab Mahisa Pukat.
“Setan kau” Gemak Langkas menggeam, “kau memang terlalu sombong.”
Mahisa Pukat kemudian justru berdesis, “Sombong atau tidak, marilah kita mulai. Bulan sudah semakin tinggi.”
Gemak Langkas pun kemudian bergeser mendekat, sementara Mahisa Pukat berdiri tegak dengan sebelah kakinya setengah langkah ke depan serta sedikit merendah pada lututnya. Kedua tangannya terangkat bersusun didepan dadanya. Gemak Langkas tidak bertanya lagi. Ia pun mulai bergerak. Kakinya terangkat memancing gerak lawan, sementara Mahisa Pukat bergeser kesamping.
Dengan cepat Gemak Langkas pun menyerang pula. Namun Mahisa Pukat masih dapat menghindarinya dengan gerak-gerak sederhana. Namun Mahisa Pukat pun sadar, bahwa Gemak Langkas pun masih belum bersungguh-sungguh. Namun sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas telah berloncatan dengan cepat. Ia mulai berusaha menjajagi kemampuan Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukat pun berusaha menjajagi kemampuan lawannya. Namun pertempuran itu telah menjadi semakin lama semakin cepat meskipun keduanya masih berusaha saling menjajagi.
Dalam benturan-benturan yang kemudian terjadi, maka keduanya mulai menyadari, bahwa lawan mereka memang memiliki bekal yang cukup tinggi, sehingga keduanya pun menjadi semakin berhati-hati. Namun keduanya mulai meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Gemak Langkas yang ditunggui oleh ayah dan saudara seperguruannya dan bahkan gurunya, hatinya justru berkembang ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat. Bagi Gemak Langkas, seakan-akan ia mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kepada gurunya bahwa ia merupakan seorang murid yang baik.
Namun setiap kali Gemak Langkas meningkatkan ilmunya, Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga semakin lama maka pertempuran itu pun menjadi semakin cepat dan semakin keras. Namun, Gemak Langkas tidak ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran. Ia ingin menunjukkan kepada gurunya, bagaimana ia mampu mempermainkan lawannya. Ia berniat untuk menghancurkan Mahisa Pukat sedikit demi sedikit.
“Jika ia akhirnya terbunuh di perang tanding ini, maka aku tidak dapat dipersalahkan. Ada beberapa saksi yang hadir di sini yang meyakini bahwa yang terjadi adalah perang tanding. Bukan satu pembunuhan.” berkata Gemak Langkas di dalam hatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun cukup berhati-hati pula. Ia pun sadar, bahwa lawannya ingin mempermainkannya. Justru karena itu, maka Mahisa Pukat pun berniat melayani niat lawannya. Ia pun tidak tergesa-gesa ingin menyelesaikan perang tanding itu. Namun, karena Gemak Langkas masih belum merasa mengatasi ilmu lawannya, maka ia pun masih saja semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah meningkatkannya pula. Selapis demi selapis sebagaimana dilakukan oleh Gemak Langkas.
Yang menjadi gelisah lebih dahulu adalah justru Gemak Langkas. Ketika ilmunya sudah memanjat semakin tinggi, tetapi rasa-rasanya lawannya masih saja mampu mengimbanginya tanpap kesulitan. Jika kecepatan gerak Gemak Langkas meningkat, mahisa Pukat pun telah meningkatkan kecepatan geraknya. Demikian pula kekuatan dan kemampuan ilmunya. Sehingga seakan-akan apa pun yang dilakukan oleh Gemak Langkas, Mahisa Pukat mampu melakukannya pula.
Dalam pada itu, saudara seperguruan Gemak Langkas dan bahkan gurunya menyaksikan pertempuran itu dengan hati yg berdebar-debar. Demikian pula ayahnya yang semula selalu membanggakan anaknya yang dianggapnya telah menyerap ilmu yang tinggi dari perguruannya, karena ayahnya telah mengeluarkan beaya yang cukup banyak.
Sementara itu, Mahisa Pukat justru mulai dapat menduga kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Pukat menyadari, bahwa lawannya belum sampai ke puncak, namun Mahisa Pukat menjadi tidak terlalu silau melihat kemampuannya meskipun Mahisa Pukat masih tetap berhati-hati.
Dalam pada itu, ternyata Gemak Langkas justru menjadi semakin gelisah. Mahisa Pukat itu masih saja mampu mengimbanginya. Namun dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Gemak Langkas semakin berusaha untuk dapat menekan Mahisa Pukat. Sehingga tanpa disadarinya, maka Gemak Langkas itu telah mengerahkan segala kemampuannya.
Ketika Gemak Langkas menghentakkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, maka Mahisa Pukat memang terdesak sesaat sebelum ia menyesuaikan ilmunya. Sekejap Gemak Langkas merasa akan segera dapat mengatasi lawannya. Namun sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas kembali digelisahkan oleh kemampuan lawannya.
Serangan-serangan Gemak Langkas memang menjadi semakin lama semakin cepat. Tangannya yang kuat terayun-ayun dengan cepatnya sehingga seakan-akan serangan Gemak Langkas itu datang dari segala arah. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkas selalu dapat menghindari serangan-serangan itu. Dengan loncatan-loncatan pendek Mahisa Pukat rasa-rasanya hanya sekedar bergeser saja. Namun kemudian berputar, menggeliat dan melenting tinggi, sehingga sulit bagi Gemak Langkas untuk dapat menyentuhnya.
Namun, yang tidak terduga sebelumnya itu terjadi. Sebelum Gemak Langkas mampu mengenai tubuh Mahisa Pukat, maka justru serangan Mahisa Pukat lah yang telah menyusup di sela-sela pertahanan Gemak Langkas. Gemak Langkas terdorong beberapa langkah surut ketika serangan tumit Mahisa Pukat mengenai lambungnya. Gemak Langkas mengumpat dengan kasarnya. Perutnya terasa menjadi mual. Namun kemarahannya pun serasa telah membakar jantungnya sehingga darahnya pun serasa telah mendidih karenanya.
Mahisa Pukat ternyata tidak memburunya. Seakan-akan ia sengaja memberi kesempatan kepada Gemak Langkas untuk memperbaiki kedudukannya sebelum pertempuran itu dilanjutkan.
Dengan demikian, maka ayah Gemak Langkas, saudara seperguruannya dan lebih-lebih adanya gurunya, terkejut pula karenanya. Mereka tidak mengira bahwa Mahisa Pukat itu mampu bergerak secepat dan sekuat itu. Ketika mereka melihat Mahisa Pukat terdesak, mereka sudah memastikan bahwa Gemak Langkas akan segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Namun ternyata bahwa yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Justru Mahisa Pukat lah yang telah mengenai lambung Gemak Langkas.
“Tetapi itu belum merupakan akhir dari segala-segalanya” berkata guru Gemak Langkas di dalam hatinya.
Ternyata bahwa lambungnya yang mual dan sakit itu telah memberinya peringatan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Setidak-tidaknya tidak berada di bawah ilmu Gemak Langkas itu sendiri. Dalam pada itu, Gemak Langkas memang menjadi semakin marah, tetapi juga semakin gelisah. Namun karena itu, maka Gemak Langkas itu pun telah mengerahkan segala-galanya. Puncak dari ilmu dan kemampuannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin cepat dan semakin keras. Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya untuk mengimbangi lawannya. Keduanya saling menyerang dan bertahan.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Gemak Langkas dalam puncak ilmunya ternyata masih belum mampu menguasai Mahisa Pukat. Bahkan serangan-serangannya masih juga belum dapat menembus pertahanan Mahisa Pukat. Jika sekali-kali serangannya mengena, sama sekali tidak menimbulkan akibat apa pun bagi lawannya. Mahisa Pukat seakan-akan hanya sekedar tersentuh tangan atau kaki Gemak Langkas tanpa hentakkan dan kekuatan sama sekali. Apalagi yang dapat mendorong dan melumpuhkannya.
Sebaliknya, beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenai lawannya. Bukan saja tumitnya, tetapi sisi telapak tangannya yang terayun deras, sempat mengenai pundak Gemak Langkas, sehingga Gemak Langkas mengaduh tertahan. Namun hampir saja tangannya kehilangan kekuatan untuk bergerak.
Beberapa saat kemudian, Gemak Langkas benar-benar telah terdesak. Serangan-serangan Mahisa Pukat semakin sering mengenainya. Sehingga seluruh tubuh Gemak Langkas itu serasa menjadi-memar dan nyeri. Dalam keadaan yang demikian, maka dengan cara itu Gemak Langkas tidak akan mungkin memenangkan perang tanding itu. Apalagi menghancurkan kesombongan lawannya.
Karena itu, sebagaimana memang telah terpikir sejak ia menantang Mahisa Pukat untuk berperang tanding, bahwa kemungkinan terburuk dalam perang tanding adalah salah seorang dari mereka akan terbunuh. Karena itu, maka Gemak Langkas pun telah memutuskan untuk bertempur dengan mempergunakan senjata. Ia memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi, sehingga meskipun dalam pertempuran tanpa senjata ia tidak dapat memenangkan perang tanding itu, namun dalam perang tanding telah dibenarkan pula untuk mempergunakan senjata, sehingga jika salah seorang dari mereka jantungnya terkoyak, maka lawannya tidak dapat dianggap sebagai seorang pembunuh. Karena itu, maka Gemak Langkas pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang panjang.
Mahisa Pukat meloncat selangkah surut. Dipandanginya pedang Gemak Langkas. Pedang yang bagus. Kilatan cahaya bulan seakan-akan telah terpantul menyilaukan melampaui terangnya cahaya itu sendiri.
“Apa boleh buat” berkata Gemak Langkas, “jika kau tidak terlalu sombong, maka aku tidak akan menarik pedangku. Pedang yang terbuat dari baja putih pilihan yang tajamnya melampaui tujuh kali tajamnya welat pring wulung.”
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Ia memang melihat pedang Gemak Langkas adalah pedang yang baik. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi heran melihat daun pedang yang terbuat dari baja putih itu.
Sementara itu Gemak Langkas pun berkata, “Seandainya kau mengakui kekalahanmu, maka aku tidak akan sampai hati menarik pedangku. Tetapi karena kau terlalu sombong dan merasa dirimu mampu mengimbangi ilmuku, maka aku terpaksa menunjukkan kepadamu kemampuan ilmu pedangku. Jika dengan demikian dadamu terkoyak dan jantungmu pecah, sama sekali bukan salahku.”
Mahisa Pukat masih belum menjawab. Ia masih saja berdiri tegak di tempatnya. Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menjadi tegang. Ayah, saudara seperguruan dan guru Gemak Langkas pun menjadi tegang pula. Mereka yakin, bahwa pedang Gemak Langkas merupakan pedang yang jarang ada duanya. Gurunya telah memberikan pedang itu kepada Gemak Langkas. Namun dengan ditukar dengan emas dan permata, tentu saja yang sangat mahal.
Ketika Gemak Langkas kemudian menggerakkan pedangnya, maka cahaya bulan yang memantul pada daun pedang itu nampak berkilat membuat mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar.
“Bukankah kau tidak tergesa-gesa Gemak Langkas?” terdengar suara saudara seperguruan Gemak Langkas yang disebut pamannya itu. “Kau sempat menunjukkan ilmu pedangmu kepada lawanmu.”
“Ya” jawab Gemak Langkas, “aku tidak tergesa-gesa. Jika luka anak itu menjadi arang kranjang, maka itu sama sekali bukan salahku.”
Mahisa Pukat bergeser maju sambil berkata, “Sejak semula kau masih saja bicara bahwa jika terjadi sesuatu itu bukan salahmu. Baiklah, apapun yang terjadi kau tidak bersalah karena terjadi dalam perang tanding. Jika kau mati pun kau juga tidak bersalah, karena hal itu terjadi karena kebodohanmu.”
“Setan kau” geram Gemak Langkas, “tarik pedangmu.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lawannya, kemudian orang-orang yang datang bersamanya. Namun sejenak kemudian maka ia pun telah menarik pedangnya pula.
Orang-orang yang berdiri di seputar arena itu terkejut. Mereka menganggap bahwa pedang Gemak Langkas adalah pedang yang paling baik yang pernah mereka lihat. Bahkan mereka mengira bahwa lawan Gemak Langkas itu akan kehilangan keberanian melihat ujud pedang yang terbuat dari baja putih itu, apalagi jika pedang itu digerakkan di bawah sinar cahaya bulan.
Namun, ketika mereka melihat daun pedang Mahisa Pukat, maka jantung mereka pun berdegup keras. Pedang Mahisa Pukat yang ditimpa cahaya bulan itu nampak bukan saja memantulkan sinar bulan yang kekuning-kuningan. Tetapi bahkan pedang itu bagaikan menyala dengan cahaya yang kehijau-hijauan.
“Dari iblis mana ia mendapat senjata itu” geram guru Gemak Langkas.
Pernyataan itu membuat ayah Gemak Langkas dan saudara seperguruannya menjadi semakin berdebar-debar. Dengan demikian maka mereka seakan-akan mendengar desah kecemasan guru Gemak Langkas yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Gemak Langkas sendiri tercenung untuk beberapa saat. Pedang Mahisa Pukat itu membuatnya berdebar-debar. Namun Gemak Langkas itu pun kemudian telah membesarkan hatinya sendiri. Katanya di dalam hati, “Betapapun tinggi nilai sepucuk senjata, namun orang yang memegangnya jugalah yang menentukan.”
Karena itulah, maka Gemak Langkas itu mulai menggerakkan pedangnya. Baja putih itu memang berkilat-kilat. Tetapi sekedar memantulkan sinar bulan. Daun pedang itu sendiri tidak bercahaya sama sekali. Namun sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu telah mulai memutar perang mereka masing-masing. Gemak Langkas yang merasa memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, segera mulai menggapai lawannya dengan ujung pedangnya. Tetapi Mahisa Pukat bergeser menyamping sambil merundukkan pedangnya pula. Namun sejenak kemudian, maka kedua ujung senjata itu mulai bersentuhan. Semakin lama. putaran pedang itu pun menjadi semakin cepat.
Gemak Langkas yang merasa memiliki ilmu pedang itu pun berusaha untuk segera menembus pertahanan lawannya. Ia tidak ingin menunda-nunda setiap kesempatan, karena ia mulai merasa bahwa ia tidak akan dapat mempermainkan lawannya itu. Namun pertahanan Mahisa Pukat memang terlalu rapat. Setiap kali Gemak Langkas melihat kesempatan dan mencoba mempergunakannya, ternyata pedangnya selalu membentur pedang Mahisa Pukat yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Keringat pun mulai membasahi telapak tangan Gemak Langkas. Namun dengan demikian, maka darahnya pun menjadi semakin panas.
Dengan demikian maka pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat pula. Gemak Langkas semakin meningkatkan kemampuannya. Berbeda dengan sebelumnya, bahwa ia ingin menunjukkan kelebihannya atas lawannya dan mengalahkannya perlahan-lahan, maka ia justeru berusaha untuk secepatnya menundukkan Mahisa Pukat. Bahkan semakin sulit ia berusaha mengenainya, maka Gemak Langkas pun tidak lagi berpikir panjang. Dihentakkannya segenap ilmunya dan satu-satunya keinginannya kemudian adalah membunuh Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat bukan seorang yang lebih lemah kemampuannya daripada Gemak Langkas. Karena itu, maka meskipun Gemak Langkas sudah sampai ke puncak kemampuannya, namun ternyata bahwa ia tidak dapat memaksa Mahisa Pukat untuk menyerah. Bahkan semakin lama justru Mahisa Pukatlah yang lebih banyak menguasai arena.
Ketika dengan garangnya Gemak Langkas meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya menusuk lewat celah-celah pertahanan Mahisa Pukat, ternyata Gemak Langkas itu salah hitung. Mahisa Pukat sama sekali tidak sedang lengah sehingga pertahanannya menjadi lemah. Demikian serangan itu datang, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat menggeliat. Dengan tangkas pula Mahisa Pukat menangkis serangan itu dengan sentuhan menyamping.
Gemak Langkas justru terkejut karenanya. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat itu masih mempunyai kesempatan untuk menghindar dan justru menyentuh senjatanya. Hampir saja senjatanya justru terlepas. Untunglah, Gemak Langkas sempat meloncat mengambil jarak. Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian justru memburunya. Pedangnya yang terjulur bagaikan mampu melihat kemana Gemak Langkas itu mengelak.
Gemak Langkas mengumpat kasar ketika sebuah goresan telah menyentuh menggores lengannya. Memang tidak terlalu dalam. Tetapi dari goresan senjata Mahisa Pukat itu, darah telah mulai mengalir. Para saksi yang dibawa oleh Gemak Langkas memang menjadi semakin tegang. Saudara seperguruannya dan apalagi guru dan ayahnya, menjadi cemas melihat pertempuran itu.
Sebagai seorang yang berilmu, ternyata gurunya melihat kelebihan Mahisa Pukat atas muridnya itu. Ketika muridnya telah sampai ke puncak kemampuannya, ternyata bahwa lawannya masih mampu meningkatkan lebih tinggi lagi. Dengan demikian maka guru Gemak Langkas itu pun menjadi gelisah. Jika Gemak Langkas tidak memenangkan perang tanding itu, maka ayahnya akan menjadi sangat kecewa. Ia sudah banyak sekali mengeluarkan uang untuk kepentingan anaknya berguru.
Tetapi yang akan terjadi memang demikian. Gemak Langkas semakin lama memang menjadi semakin terdesak. Bukan saja lengannya yang tergores luka. Tetapi kemudian pundaknya juga masih disentuh oleh ujung pedang Mahisa Pukat yang berwarna kehijauan itu. Pedang yang telah menggetarkan jantung lawannya. Semakin lama Gemak Langkas menjadi semakin menyadari, betapa ia menjadi semakin sulit untuk mengimbangi lawannya.
Kegelisahan para saksi yang dibawa Gemak Langkas pun menjadi semakin memuncak. Para prajurit muda termasuk Lembu Atak pun menjadi gelisah pula. Mereka ingin melihat Mahisa Pukat dikalahkan dan kemudian mereka pun akan dapat ikut melepaskan dendam mereka terhadap Mahisa Pukat. Tetapi mereka melihat bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Gemak Langkas yang nampaknya meyakinkan itu ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan Mahisa Pukat. Semakin lama ia justru menjadi semakin terdesak sehingga segores luka telah menyilang di dadanya.
Mahisa Pukat yang telah dapat menilai kemampuan lawannya justru menjadi semakin tenang. Ia tidak lagi berniat untuk berbuat lebih daripada menghentikan perlawanan Gemak Langkas dan meyakinkan kepada para saksi bahwa ia telah memenangkan perang tanding itu. Meskipun Gemak Langkas telah mengancam akan membunuhnya, namun tidak terlintas niat Mahisa Pukat untuk melakukannya.
Mahendra dan Arya Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun sudah mendapatkan satu keyakinan bahwa Mahisa Pukat akan berhasil memenangkan perang tanding itu. Namun guru Gemak Langkas lah yang jantungnya menjadi bagaikan membara. Ia merasa dipermalukan oleh Mahisa Pukat di hadapan ayah Gemak Langkas yang telah banyak memberinya uang dan benda-benda berharga.
Apalagi setiap kali ayah Gemak Langkas itu selalu berpaling kepadanya, seakan-akan menuntut atas kegagalan anaknya dalam perang tanding itu. Karena itu, bayangan kekalahan Gemak Langkas yang menjadi semakin jelas itu telah menggelitik gurunya untuk berbuat sesuatu, meskipun ia tahu bahwa hal itu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya kepada ayah Gemak Langkas.
Sekilas ia memandang Mahendra dan Arya Kuda Cemani. Guru Gemak Langkas itu belum tahu tataran kemampuan mereka. Namun keduanya bukan orang yang namanya melejit di antara orang-orang yang disegani di Singasari. Apalagi di antara para saksi itu hadir pula prajurit-prajurit muda dan seorang muridnya yang lain yang akan dapat mencegah mereka mencampuri persoalannya dengan Mahisa Pukat.
Karena itu sebelum Gemak Langkas mengalami nasib yang lebih buruk, maka ia pun berkata lantang, “Gemak Langkas. Anak itu mempunyai ilmu iblis. Minggirlah. Aku akan menghancurkan ilmu iblisnya. Baru kemudian, kau lawan anak itu bertempur dengan jujur” Lalu katanya kepada para saksi yang lain, “tahanlah jika ada di antara kedua orang saksi yang dibawa anak itu akan berbuat curang.”
Tetapi ayah Gemak Langkas itu menggamitnya dan berkata, “Seorang di antara kedua orang saksi itu adalah Arya Kuda Cemani yang memiliki Aji Panglimunan.”
Guru Gemak Langkas itu mengerutkan keningnya. Namun ternyata ketajaman telinga Mahendra sempat mendengarnya meskipun tidak terlalu keras. Karena itu, maka katanya, “Apakah orang-orang tua akan ikut dalam permainan ini?”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata lantang, “Aku tantang kau, untuk menggantikan Gemak Langkas. Siapakah kau? Benar kau gurunya?”
Guru Gemak Langkas itu menggeram. Sementara Mahendra berkata, “Jika ia menginginkan orang-orang tua ikut bermain, maka biarlah yang tua yang melayaninya.”
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil berkata, “Tidak ayah. Biarlah aku menantangnya untuk berperang tanding. Biarlah mereka melihat bahwa bukan hanya muridnya, tetapi gurunya.”
“Aku akan memasuki arena” berkata guru Gemak Langkas, “siapa pun lawanku.”
Arya Kuda Cemani tertawa. Katanya, “Baiklah, jika Mahisa Pukat ingin mencoba kemampuan guru Gemak Langkas itu. Tetapi ingat, bahwa kami masih tetap berdiri di sini.”
Guru Gemak Langkas itu menggeram. Ia mengerti maksud Arya Kuda Cemani, bahwa ia pun akan dapat berbuat sesuatu jika diperlukan. Namun guru Gemak Langkas itu sudah tidak dapat merubah niatnya lagi, karena Mahisa Pukat sudah menantangnya langsung.
Karena itu, ia tidak lagi berpikir panjang. Jika ia sudah dapat menyelesaikan Mahisa Pukat, maka bersama-sama dengan mereka yang hadir di tempat itu, mereka akan dapat menguasai kedua orang tua yang datang bersama Mahisa Pukat itu. Namun Mahendra pun menjadi berdebar-debar juga. Ia memang meyakini kemampuan anaknya. Tetapi ia belum tahu tataran kemampuan guru Gemak Langkas itu.
Tetapi Mehendra pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Gemak Langkas yang telah terluka di beberapa bagian dari tubuhnya itu telah bergeser menepi ketika gurunya kemudian hadir di arena perang tanding itu...