PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 108
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 108
Karya Singgih Hadi Mintardja
ANGIN senja bertiup perlahan-lahan menyegarkan tubuh para peserta pendadaran. Sambil menghirup minuman hangat, satu dua mereka duduk sambil berbincang.
Meskipun mereka baru saja berhadapan dalam pertandingan, namun mereka tidak benar-benar menjadi bermusuhan. Kecuali anak-anak muda yang pernah bertanding melawan anak muda yang berjambang lebat itu. Kekasaran anak muda berjambang lebat itu membuat lawannya benar-benar menganggapnya sebagai seorang musuh.
Mahisa Pukat pun duduk pula bersama dua orang peserta yang lain diserambi. Seorang di antara mereka adalah anak muda yang bertanding melawannya pada kesempatan pertama.
Diluar dugaan anak muda itu berkata, “Aku memang mencari kesempatan untuk dapat mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Kenapa?” Mahisa Pukat menjadi heran.
“Kau memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan perlawanan. Dengan demikian maka aku tidak nampak terlalu lemah di mata para prajurit yang mengawasi pertandingan kita.”
“Apa yang sudah aku lakukan? Bukankah aku berbuat sebagaimana kau lakukan? Juga sebagaimana kawan-kawan kita yang lain melakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi anak muda itu tergawa pendek. Katanya, “Tidak. Kau telah membiarkan aku memberikan perlawanan untuk waktu yang cukup lama. Sebenarnya jika kau mau, maka aku akan dapat kau jatuhkan pada gerakanmu yang pertama.”
“Ah, itu sangat berlebihan” jawab Mahisa Pukat, “aku telah berbuat sejauh dapat aku lakukan.”
Tetapi anak muda itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kau berbaik hati membiarkan aku tidak kehilangan kesempatan pada saat itu juga”
“Jangan mengada-ada” desis Mahisa Pukat.
“Aku tidak mengada-ada. Yang mengatakan kepadaku adalah seorang prajurit yang mengawasi kita bertanding. Prajurit itu adalah pamanku. Ia berkata jujur kepadaku.” berkata anak muda itu.
“Tidak” jawab mahisa Pukat, “sama sekali tidak. Dongeng itu akan dapat merugikan kedudukanmu sendiri.”
“Menurut pamanku, kedudukanku tidak akan terpengaruh. Yang mereka lihat adalah kemampuanku. Meksipun lawanku jauh lebih baik dari aku, tetapi kemampuanku berada setidak-tidaknya pada tataran yang diperlukan.” berkata anak muda itu.
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “kita berbicara tentang yang lain.”
Anak muda itu mengangguk angguk, sementara kawannya yang seorang lagi berkata, “Aku juga mendengar seorang prajurit memuji kelebihanmu”
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “Kenapa kita tidak berbicara tentang pertandingan esok pagi? Aku besok pagi akan berhadapan dengan anak muda yang bertubuh pendek tetapi nampaknya sekokoh batu karang itu. Aku tidak tahu, apakah aku dapat bertahan.”
Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau tidak dapat menyembunyikan kelebihanmu. Tetapi seperti kata kawanku ini, kau terlalu baik, sehingga kau sama sekali tidak berniat menjatuhkan orang lain dari kemungkinan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kau memang beranggapan demikian, sudahlah. Tetapi tidak usah disebut-sebut lagi. Biarlah kalian, berdua saja yang menganggap bahwa aku memiliki kelebihan dari kawan-kawan kita. Karena jika itu didengar oleh orang lain yang mengetahui kemampuanku yang sebenarnya, mereka akan mentertawakan aku.”
“Baiklah” berkata anak muda yang menjadi lawan bertanding Mahisa Pukat pada pertandingan pertama, “Tetapi aku percaya kepada ceritera itu.”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Namun Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda bertubuh raksasa itu mendekat mereka. Jika saja anak muda itu masih berbicara tentang sepotong besi itu, maka pembicaraan tentu akan semakin berkepanjangan.
Tetapi justru ada orang lain, ternyata anak muda bertubuh raksasa itu tidak menyinggung lagi tentang sepotong besi baja itu. Karena itu, maka mereka pun kemudian sekedar berbicara tentang pertandingan pertandingan yang telah mereka lakukan.
Malam itu, maka para peserta itu pun telah beristirahat sebaik baiknya. Menjelang fajar, maka mereka pun telah bangun dan bergantian pergi ke pakiwan. Seperti hari pertama, mereka-pun segera berbenah diri, makan pagi dan beristirahat beberapa saat sebelum mereka memasuki lingkaran pertandingan.
Pada pertandingan ketiga, maka mulai nampak anak-anak muda yang daya tahannya tidak terlalu kuat. Ada di antara mereka yang sudah nampak menjadi lelah. Tetapi masih juga ada anak-anak muda yang nampak segar dan seakan-akan kekuatannya masih tetap utuh. Dengan demikian, maka para prajurit yang mengamati pertandingan-pertandingan itu pun mulai membuat catatan-catatan penting atas para peserta pendadaran.
Menjelang tengah hari, maka pertandingan pun telah selesai. Anak-anak muda itu pada umumnya memang nampak letih. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha beristirahat sebaik-baiknya. Di sore hari mereka akan memasuki arena sekali lagi. Kecuali masih ada yang tersisa dan yang akan dipertandingkan esok pagi, maka pertandingan di sore hari itu adalah pertandingan yang terakhir.
Demikian pula bagi Mahisa Pukat. Pertandingan di sore hari itu baginya juga merupakan yang terakhir. Sementara itu lawan-lawannya adalah anak muda yang berjambang lebat, yang sudah beberapa kali mendapat peringatan. Beberapa orang anak muda yang telah mendengar serba sedikit tentang Mahisa Pukat justru berpengharapan, bahwa anak muda itu akan menemukan lawan yang akan dapat memberikan sedikit peringatan kepada anak muda yang berjambang lebat itu.
Sementara itu, para prajurit yang menunggui pertandingan yang masih belum selesai telah memerintahkan untuk meneruskan pertandingan. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh keadaan diluar lingkaran pertandingan mereka masing-masing.
...Ada bagian cerita yang hilang...
Anak muda berjambang itu pun kemudian bangkit tertatih-tatih sambil menyeringai kesakitan. Sambil menunjuk ke arah Mahisa Pukat ia berkata, “Anak iblis itu telah berbuat curang. Seharusnya aku dapat mengalahkannya.”
...Ah, sepertinya ada bagian cerita yang hilang lagi...
Namun tiba-tiba seorang prajurit yang berdiri di antara mereka yang berkerumun itu berdesis, “Tidak masuk akal jika anak muda berjambang itu dapat mengalahkannya. Aku yakin bahwa anak muda itu tidak dapat dikalahkan oleh siapapun, peserta pendadaran ini.”
Prajurit yang mengawasi pertandingan antara Mahisa Pukat dan anak muda berjambang itu berpaling kepadanya sambil membelalakkan matanya, “Kau tidak melihat pertandingan ini. Tetapi apakah kau sudah memihak?”
“Aku tidak memihak siapapun. Tetapi kita dapat berbicara dengan kawan-kawan kita yang telah menunggui anak muda ini bertanding.” jawab prajurit itu.
Mahisa Pukat masih berdiri tegang. Giginya gemeretak menahan kemarahan yang menyala di dadanya. Tetapi, di hadapan beberapa orang prajurit yang bertugas ia masih menahan diri. Ia sadar, bahwa pernyataan kedua orang prajurit yang bertugas itu belum merupakan keputusan terakhir.
Seorang perwira yang berdiri di dekat seorang petugas sandi bertanya, “Apakah kalian yakin bahwa anak muda ini sudah melanggar paugeran.”
“Ya.” prajurit itu memang tegas sehingga seakan-akan ia benar-benar yakin akan penglihatannya, bahwa Mahisa Pukat telah melanggar paugeran.
“Apa yang dilakukannya?” bertanya seorang perwira petugas sandi yang mengamati pendadaran itu.
“Ia menyerang dengan kakinya sasaran yang terlarang. Tumitnya mengenai bagian bawah perut anak muda berjambang itu.”
“Tidak” sahut Mahisa Pukat.
Tetapi prajurit yang seorang lagi berteriak, “Diam. Kau hanya boleh berbicara jika kau ditanya.”
Mahisa Pukat memandang prajurit itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
Namun tiba-tiba mereka mendengar seseorang membentak, “Cukup. Bukankah kita mempunyai paugeran? Kenapa kita harus berbantah di sini?”
Mereka yang sedang berkerumun itu pun berpaling. Ternyata yang berdiri dua langkah dari mereka adalah Manggala Pelayan Dalam Gajah Saraya. Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara Gajah Saraya berkata selanjutnya, “Keputusan memang berada di tangan para prajurit yang mengawasi pendadaran. Tetapi jika salah seorang peserta menyatakan keberatan atas keputusan yang diambil, maka akan diadakan pembicaraan khusus tentang pertandingan itu. Bukankah jelas? Kenapa kita harus berbantah di sini seolah-olah kita bukan sekelompok prajurit yang berpegang pada ketentuan dan paugeran yang pasti?”
Semuanya memang terdiam. Sementara itu, Gajah Saraya berkata, “Kita ikuti ketentuan itu. Kita akan berbicara khusus mengenai pertandingan ini. Sekarang juga.”
Semuanya masih berdiam diri. Sementara itu, Gajah Saraya pun segera memerintahkan mereka yang berkepentingan untuk berkumpul diruang yang telah disediakan. Kedua orang prajurit yang mengawasi langsung, seorang perwira petugas sandi dan kedua orang anak muda yang bertanding. Dengan jelas dan terperinci kedua orang prajurit yang mengawasi pertandingan itu memberikan laporan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Mahisa Pukat.
“Beberapa kali. Tetapi yang terakhir adalah pelanggaran yang terberat,” jawab salah seorang prajurit yang mengawasi pertandingan itu.
“Berapa kali kalian memberikan peringatan.” bertanya Gajah Saraya pula.
“Sesuai dengan ketentuan. Jika pelanggaran itu terjadi dengan sengaja dan menimbulkan akibat yang paling buruk, sehingga lawannya bertanding tidak dapat melanjutkan pertandingan, maka yang melanggar paugeran itu dapat dikeluarkan dari arena. Dan tidak akan dapat mengikuti tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat memang menjadi tegang. Ia sudah berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya. Tetapi ternyata Gajah Saraya tidak segera mengambil keputusan membenarkan tindakan kedua orang prajurit yang mengawasi pendadaran itu.
Bahkan Gajah Saraya masih bertanya kepada Mahisa Pukat, “Kenapa kau berkeberatan terhadap keputusan kedua prajurit yang mengawasi pendadaran itu?”
“Aku tidak merasa melakukan pelanggaran.” jawab Mahisa Pukat, “Aku bertanding dengan wajar.”
“Tetapi kedua orang prajurit itu melihat kau melakukan pelanggaran” berkata Gajah Saraya kemudian.
“Aku tidak merasa melakukannya” jawab Mahisa Pukat pasti. Lalu katanya, “Aku yakin bahwa aku akan dapat mengalahkannya tanpa melakukan pelanggaran.”
Sepertinya ada bagian yang terlompat
Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka bertanya, “Siapakah yang kau maksud di antara kita? Kau atau aku atau siapa?”
Perwira yang mempunyai tugas mengatur itu berkata, “Maksudku, orang-orang yang sejalan dengan kita. Aku dapat menunjuk dua orang yang bersama kalian bertugas di gardu di belakang hutan perburuan itu.”
“Baik” jawab prajurit itu, “tetapi bagaimana jika ada orang lain yang ikut mengawasi?” bertanya prajurit yang lain.
“Itu diluar kekuasaanku. Tetapi aku akan mencari jalan agar kita dapat mengatasinya meskipun sulit,” jawab perwira itu.
“Ingat. Jika kami berdua diketahui berlaku curang, maka kau pun akan terlibat.” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Kenapa kau menjadi gila sehingga mengancamku? Aku tahu itu. Tetapi bukankah kekuasaanku terbatas? Apakah aku harus mengatur agar pertandingan ulangan itu dilakukan, di tempat tertutup dan hanya kalian berdua saja yang boleh masuk?” jawab perwira itu dengan wajah geram.
Kedua prajurit itu terdiam. Kekuasaan perwira itu memang terbatas sehingga ia tidak dapat menentukan lebih dari wewenang yang diberikan kepadanya. Namun, dengan demikian maka kedua orang prajurit itu pun semalaman tidak dapat tidur. Mereka sudah membayangkan bahwa kecurangan mereka akan terungkap. Mereka tahu bahwa sulit bagi anak muda berjambang lebat itu dapat mengalahkan Mahisa Pukat.
Selain kedua orang prajurit itu, anak muda berjambang lebat itu pun sulit pula untuk memejamkan matanya. Ia menyesal, bahwa sebelum bertanding melawan Mahisa Pukat ia sudah sering melakukan pelanggaran, sehingga para prajurit yang mengawasinya telah memberikan kesaksian yang merugikannya. Seandainya sebelumnya ia tidak pernah melakukan pelanggaran maka keputusan Gajah Saraya akan dapat lain.
Anak muda itu terlambat menyadari kesombongannya. Ia begitu bernafsu untuk menunjukkan kelebihannya dengan mengalahkan lawan-lawannya dalam waktu yang pendek, sehingga justru karena itu, ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ternyata telah menjeratnya pada bagian terakhir dari pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan itu.
“Tetapi semuanya sudah terjadi” anak muda itu menggeram, “aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali dalam waktu yang singkat menghentikan perlawanannya. Tanpa melakukan pelanggaran sama sekali.”
Tiba-tiba saja anak muda itu bangkit dari pembaringannya. Diambilnya sebuah bumbung kecil yang berisi serbuk dari kantong ikat pinggang kulitnya yang lebar. Sambil mengamati bumbung kecilnya anak muda itu tersenyum. Bumbung itu berisi serbuk racun yang tidak terlalu keras. Serbuk itu tidak membunuh. Tetapi serbuk itu akan dapat membuat seseorang kehilangan tenaganya. Jika racun itu mengenai tubuh seseorang maka serbuk itu akan menyusup lewat lubang-lubang kulit.
Racun itu akan dapat bekerja lebih cepat jika tubuh seseorang terluka meskipun hanya segores kecil. Luka yang segores kecil itu akan mempercepat penyusupan racun kedalam darah dan mengalir keseluruh tubuh. Semakin banyak orang itu bergerak, maka semakin cepat pula racun itu menghisap tenaganya meskipun hanya untuk sementara. Tetapi sebelum tenaga itu tumbuh dan pulih kembali, maka ia tentu sudah dapat mengalahkan lawannya, siapapun lawannya itu.
“Terima kasih guru” desis anak muda berjambang lebat itu. Racun dari gurunya itu ternyata akan dapat dipergunakan untuk mengatasi kesulitannya menghadapi anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu. Ia harus mengalahkan anak muda itu dan menggagalkan agar ia tidak dapat memasuki tugas Pelayan Dalam di Istana Singasari.
“Besok, serbuk racun itu tidak boleh ketinggalan.” desis anak muda itu. Tetapi katanya kemudian, “Tetapi aku juga tidak boleh lupa minum penawarnya. Jika tidak, tenaganya pun akan dihisapnya sehingga aku akan menjadi tidak berdaya.”
Dengan demikian maka anak muda itu tidak lagi menjadi gelisah. Bahkan ia menjadi tenang dan dapat tidur dengan nyenyak. Mahisa Pukat sendiri tidak terlalu banyak memikirkan pertandingan ulangan. Selain pertandingan ulangan itu masih ada satu pertandingan yang lain, karena jumlah pesertanya adalah tujuh belas orang.
Menurut perhitungan Mahisa Pukat, maka ia tentu akan dapat mengalahkan anak muda itu meskipun ia tidak ingin merendahkannya, Bahkan ia masih juga berdoa, agar ia mendapat tuntunan sehingga usahanya untuk menjadi keluarga Pelayan Dalam di istana Singasari dapat terlaksana.
Menjelang fajar dinihari berikutnya, maka Mahisa Pukat-pun telah mempersiapkan diri. Demikian anak-anak muda yang lain, meskipun sebagian besar mereka sudah tidak akan bertanding lagi, namun mereka pun telah bersiap-siap untuk melihat apa yang akan terjadi di arena, terutama dalam pertandingan ulangan antara anak muda yang berjambang lebat itu dengan mahisa Pukat.
Anak muda yang berjambang lebat itu pun mandi dan berbenah diri adalah minum-minuman hangat yang telah tersedia didapur. Kemudian tanpa diketahui seorang pun ia telah menelan sebutir ramuan obat untuk menolak dan menawarkan serbuk racunnya.
Anak muda itu tersenyum sendiri. Ia yakin akan dapat memenangkan pertandingan itu. Para prajurit yang akan mengawasi pertandingan itu tentu akan berterima kasih kepadanya apabila mereka berdiri dipihaknya. Apalagi jika yang akan mengawasinya nanti kedua orang prajurit yang kemarin mengawasinya.
“Mereka tentu sudah menjadi gelisah” berkata anak muda berjambang lebat itu di dalam hatinya, Ketika saat makan pagi tiba, maka anak muda berjambang lebat itu justru berjalan hilir mudik dengan wajah tengadah, tersenyum-senyum dan tertawa-tawa sambil berbincang dengan beberapa orang peserta yang lain meskipun tanggapan kawan-kawannya agak kurang akrab.
Mahisa Pukat memang agak heran melihat sikap anak muda itu. Ternyata ia masih juga terlalu yakin akan dirinya. Anak muda berjambang itu sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia akan dapat dikalahkannya dalam pendadaran ulangan. Namun Mahisa Pukat pun tidak menghiraukannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak terjebak kedalam pelanggaran paugeran sehingga ia akan dapat dianggap kalah dalam pertandingan ulangan itu.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka beristirahat sejenak, maka para peserta itu pun telah dikumpulkan di halaman depan. Gawar kedelapan arena masih terpasang meskipun yang akan dipergunakan hanya dua. Satu di antaranya adalah pertandingan ulangan antara Mahisa Pukat dan anak muda berjambang lebat itu.
Dalam pada itu keempat orang anak muda yang akan memasuki arena pun telah diminta untuk bersiap-siap. Mereka telah berada di sekitar arena yang ditentukan bagi keempat orang anak muda yang akan bertanding didua arena.
Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap pula. Ketika ia berdiri dekat dengan gawar lawe arena pertandingannya, maka anak muda berjambang itu mendekatinya sambil berdesis, “Kau akan menyesal dengan ulahmu kemarin. Pagi ini kau akan mengalami keadaan yang lebih buruk. Dan kau akan segera tersisih dari deretan para calon Pelayan Dalam. Kaupun tidak akan mungkin ikut dalam pendadaran tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apapun akhir dari pertandingan ulangan ini akan aku terima jika itu hasil yang kita capai dengan jujur.”
“Kau memang tidak akan dapat dengan semena-mena melanggar paugeran lagi” berkata anak muda itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap mengendalikan diri. Sebentar lagi ia akan memasuki arena untuk benar-benar mengukur kemampuan mereka berdua. Demikianlah sejenak kemudian maka para prajurit yang bertugaspun telah mempersiapkan diri. Sementara itu anak muda yang berjambang lebat itu minta ijin untuk pergi ke pakiwan sebelum pertandingan ulangan itu dilaksanakan.
“Cepatlah” berkata prajurit yang bertugas untuk mengawasi pertandingan itu, yang ternyata adalah dua orang prajurit yang meskipun bukan yang mengawasinya kemarin, tetapi mereka adalah orang-orang yang berdiri di pihak anak muda berjambang lebat itu.
“Kemana anak itu?” bertanya seorang prajurit yang lain.
“Ke pakiwan sebentar” jawab prajurit yang mengawasinya.
Prajurit yang bertanya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang bertugas untuk mengawasinya itu pun memang menjadi gelisah. Tetapi mereka sudah pasrah apapun yang terjadi. Mereka hanya menunggu keajaiban saja bahwa anak muda berjambang itu akan memenangkan pertandingan ulang itu.
Apalagi ketika di sekitar arena pertandingan itu terdapat beberapa orang perwira prajurit dan bahkan prajurit sandi. Arya Kuda Cemani sendiri hadir didekat arena bersama-sama dengan Gajah Saraya.
“Bagaimana mungkin mendapatkan cara untuk menyelamatkan anak muda berjambang itu” desis salah seorang dari kedua orang prajurit yang mengamatinya.
Namun kawannya menjawab, “Tetapi anak itu sendiri nampaknya begitu yakin akan memenangkan pertandingan.”
“Mudah-mudahan. Mungkin ia berbuat sesuatu di pakiwan.”
Sebenarnyalah anak muda yang pergi ke pakiwan itu telah menaburkan serbuk racunnya pada kedua telapak tangannya. Serbuk itu memang tidak begitu nampak. Meskipun serbuk itu bekerja cepat, tetapi tidak membahayakan jiwa orang yang terkena. Sementara itu, anak muda berjambang itu sendiri sudah menelan obat penawarnya sehingga racun itu tidak akan mempengaruhinya meskipun melekat pada kulitnya.
Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu telah kembali dan siap memasuki arena. Kedua prajurit yang mengawasi pertandingan ulang itu pun mendekatinya dan seorang di antaranya bertanya, “Kau sudah siap sepenuhnya?”
Anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku akan menyelesaikannya dalam waktu singkat.”
“Apakah kau tidak membual?” bertanya prajurit itu hampir berbisik.
“Lihat saja apa yang akan terjadi.” jawab anak muda itu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu terdengar suara bende untuk pertama kali. Dengan demikian maka para pesertapun segera bersiap di dalam arena pertandingan. Dua orang peserta yang akan menyelesaikan pertandingan telah memasuki arena. Demikian pula anak muda berjambang lebat itu bersama Mahisa Pukat. Ketika pertanda berikutnya dibunyikan, maka pertandingan itu pun telah siap untuk dimulai.
Anak muda berjambang lebat itu masih saja tersenyum ketika Mahisa Pukat mulai bergeser. Selangkah ia maju mendekat sambil berdesis, “Kau akan aku habisi dalam waktu sekejap.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia memang heran melihat sikap anak muda berjambang lebat itu. Sementara itu, selain kedua orang prajurit yang bertugas mengamati pertandingan itu, maka beberapa orang perwira ada di sekitar arena itu. Bahkan Arya Kuda Cemani dan Gajah Saraya juga menyempatkan diri untuk melihat hasil pertandingan ulangan itu. Mereka ingin melihat kebenaran dari laporan kedua orang prajurit yang mengawasi pertandingan sebelumnya.
Namun kesan yang mereka dapatkan pada saat pertandingan itu akan dimulai, memang meyakinkan. Anak muda berjambang lebat itu benar-benar percaya diri bahwa ia akan dapat menyelesaikan pertandingan dengan cepat. Sementara itu, Mahisa Pukat tidak menunjukkan sikap yang dapat memberikan kesan sesuatu. Meskipun ia tetap tenang, tetapi tidak mengesankan satu keyakinan bahwa ia akan menang.
Dalam pada itu, anak muda yang berjambang lebat yang telah menaburi telapak tangannya dengan serbuk racun itu hanya tinggal berusaha menyentuh kulit Mahisa Pukat dibagian manapun. Dan itu sama sekali bukan soal yang sulit. Jika ia menyerang dengan cepat, maka sentuhan-sentuhan yang diperlukan akan segera terjadi. Apalagi anak muda itu serba sedikit sudah dapat mengenali bagaimana Mahisa Pukat itu mempertahankan dirinya.
Demikianlah, ketika anak muda berjambang lebat itu melihat satu kesempatan, maka ia pun segera meloncat menyerang. Tangannya terayun dengan cepat mengarah kening. Tetapi Mahisa Pukat yang sudah siap itu pun sempat menghindari serangan itu. Dengan cepat pula Mahisa Pukat bergeser sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.
Tetapi anak muda itu terus saja memburunya. Bahkan tidak lagi mempergunakan unsur-unsur gerak yang mapan, seakan-akan asal saja anak itu membenturnya. Mahisa Pukat yang mengalami serangan dengan serta merta itu memang berusaha menangkis. Tangan anak muda berjambang yang menyambar dengan cepat ke arah dada itu ditepisnya ke samping. Namun diluar dugaan Mahisa Pukat, tangan anak muda itu yang lain justru berusaha menangkap pergelangan tangannya.
Serangan yang demikian memang merupakan serangan yang tidak terbiasa dilakukan. Karena itu, maka Mahisa Pukat memang terlambat menghindar. Pergelangan tangannya memang benar-benar telah ditangkap oleh anak muda berjambang itu. Ternyata tangan Mahisa Pukat telah ditariknya dengan sekuat tenaga. Begitu menghentak dan tiba-tiba.
Mahisa Pukat memang terseret oleh tarikan itu. Dengan satu putaran tangan Mahisa Pukat hampir saja terpilin. Namun Mahisa Pukat dengan cepat berguling dan memutar tubuhnya. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera melenting menyerang dengan kakinya. Ternyata anak muda berjambang itu dengan cepat melepaskan tangannya dan meloncat surut, sehingga serangan Mahisa Pukat tidak mengenainya. Sejenak kemudian, maka keduanya telah berdiri lagi berhadapan. Masing-masing telah siap melanjutkan pertandingan.
Beberapa orang prajurit, perwira dan bahkan Arya Kuda Cemani dan Gajah Saraya memang menjadi berdebar-debar. Pertandingan itu berlangsung dengan cepat. Namun mereka pun segera melihat, betapa tangkasnya Mahisa Pukat mengatasi kesulitan yang dengan tiba-tiba dialaminya dalam pertandingan itu.
Ketika Mahisa Pukat sudah siap melanjutkan pertandingan, maka anak muda berjambang itu tersenyum sambil berdesis, “Kau tidak menyesali kecuranganmu kemarin? Semuanya sudah terjadi. Kau tinggal menerima akibat dari kecuranganmu itu, karena kau akan segera tersisih.”
Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia justru mulai memperhatikan pergelangan tangannya yang hampir saja terpilin. Ia tidak merasa bahwa pergelangannya itu menjadi sakit atau bahkan nyeri. Tetapi ia memang merasakan sesuatu. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ketika lawannya bergeser, ia pun bergeser pula. Namun ia sempat mengusap pergelangan tangannya dengan tangannya yang lain.
Rasa-rasanya ada berpuluh-puluh semut yang merayap di pergelangan tangannya dan bahkan kemudian di telapak tangannya yang lain. Bahkan kemudian terasa seakan-akan pergelangan tangannya dan telapak tangannya yang lain itu tertusuk-tusuk oleh ujung duri yang lembut, memang tidak sakit. Tetapi seolah-olah duri-duri yang lembut itu justru menyusup ke. dalam urat-urat darahnya dan kemudian mengalir keseluruh tubuhnya.
Anak muda berjambang itu melihat betapa Mahisa Pukat merasa terganggu pada pergelangan tangannya dan telapak tangannya yang lain. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekitar arena, maka ia pun tertawa berkepanjangan.
Orang-orang yang ada di sekitar arena itu menjadi heran. Mereka belum melihat tanda-tanda bahwa anak muda itu akan memenangkan pertandingan. Karena itu, maka sikapnya itu telah mengundang pertanyaan.
Bahkan anak muda itu kemudian bertanya, “Kenapa kau nampak menjadi bingung?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia menghubungkan perasaan aneh pada pergelangan tangan dan telapak tangannya. Diluar sadarnya ia mengawasi pergelangan dan telapak tangannya itu. Ternyata Mahisa Pukat dapat melihat bahwa tangannya memang telah terkena serbuk yang tentu telah menimbulkan perasaan asing itu.
“Racun” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Apalagi ketika ia melihat sikap dan pertanyaan anak muda berjambang yang aneh itu.
Karena Mahisa Pukat tidak segera menjawab, maka anak muda itu bertanya pula, “Apakah kau akan menyerah saja?”
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, “Bukankah kita baru mulai? Apakah kau melihat tanda-tanda bahwa aku akan menyerah?”
“Tentu. Kau menjadi bingung dan bahkan seakan-akan ketakutan menghadapi pertandingan ulangan ini” jawab anak muda itu.
“Agaknya kau sedang bermimpi” sahut Mahisa Pukat, “bangunlah. Kita berada di arena pertandingan dalam rangka pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam.”
Orang-orang yang ada di sekitar arena itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban Mahisa Pukat itu. Seakan-akan Mahisa Pukat telah mewakili mereka mengatakan sebagaimana pernyataan di dalam hati mereka.
Anak muda itu memandang Mahisa Pukat dengan tajam. Ia melihat Mahisa Pukat masih berdiri tegak dan bahkan bersiap untuk meneruskan pertandingan. Anak muda itu pun kemudian telah bergeser selangkah maju. Bahkan kemudian tanpa berkata apapun lagi, dengan garangnya ia telah menyerang Mahisa Pukat. Ia berharap bahwa jika Mahisa Pukat bergerak lebih banyak, maka racun itu akan beredar lebih cepat di dalam tubuhnya. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu akan segera menjadi lemah dan kehilangan kekuatannya.
Mahisa Pukat pun meloncat menghindari serangan itu. Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah mengambil satu sikap. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertandingan itu. Anak muda berjambang itu telah cukup banyak melontarkan pernyataan yang menyinggung perasaannya bahkan penghinaan dengan menawarkan agar Mahisa Pukat itu menyerah saja
Karena itu, demikian Mahisa Pukat menghindari serangan anak muda itu, maka ia pun segera menghentakkan segenap kemampuannya. Meskipun ia belum merambah keilmu andalannya, namun tenaga dan kemampuannya sudah cukup untuk dengan cepat menghentikan perlawanan anak muda berjambang lebat itu.
Apalagi Mahisa Pukat menyadari, bahwa anak muda itu telah mempergunakan racun untuk mengalahkannya meskipun Mahisa Pukat pun tahu bahwa racun yang dipergunakan itu adalah racun yang dapat bekerja dengan cepat tetapi lunak sehingga tidak akan membunuh orang yang dikenainya meskipun orang itu bukan Mahisa Pukat.
Dengan cepat Mahisa Pukat lah yang kemudian justru menyerang. Dengan loncatan panjang Mahisa Pukat menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada. Ketika lawannya itu menghindar ke samping, maka Mahisa Pukat justru berputar. Kakinya bergerak mendatar dengan cepatnya.
Anak muda berjambang itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Meskipun ia berusaha menangkis, namun hentakkan kekuatan kaki Mahisa Pukat itu telah mendorongnya beberapa langkah surut.
Mahisa Pukat ternyata tidak melepaskannya. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat menyusulnya. Hampir saja Mahisa Pukat memukul kepala anak muda yang sedang terbungkuk itu. Namun niat itu diurungkan, karena Mahisa Pukat tidak mau membuat kepala anak muda itu terguncang sampai ke otaknya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mengayunkan tangannya mendatar. Dengan punggung telapak tangannya yang terbuka, Mahisa Pukat mengenai kening anak muda itu.
Anak muda itu terhuyung-huyung dan di saat ia hampir kehilangan keseimbangannya, maka serangan Mahisa Pukat telah menyusul sekali lagi. Sisi telapak tangannya yang sudah terangkat dan hampir saja terayun ke tengkuknya telah diurungkannya. Sisi telapak tangan itu kemudian hanya mengenai pundak kanan anak muda yang berjambang itu.
Ternyata serangan beruntun Mahisa Pukat itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengelak dan apalagi membalas. Serangan Mahisa Pukat pada pundak anak muda itu telah membuatnya tidak mampu bertahan. Perasaan sakit yang tajam telah menggigit pundaknya itu. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Tekanan pukulan Mahisa Pukat telah mendorong anak muda itu sehingga jatuh tertelungkup.
Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan. Anak muda itu memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ia pun telah terjatuh kembali menelentang sambil mengaduh menahan sakit. Ternyata dalam waktu yang sangat singkat pertandingan itu telah diselesaikan oleh Mahisa Pukat.
Pertandingan ulangan itu ternyata menjadi sangat menarik perhatian. Dua orang prajurit yang seharusnya mengamati pertandingan yang tersisa, beberapa kali telah berpaling melihat apa yang terjadi di arena yang lain, arena pertandingan ulangan antara anak muda yang berjambang lebat, yang sombong dan beberapa kali melanggar paugeran dengan anak muda yang memiliki ilmu yang dianggap lebih baik dari kebanyakan para peserta pendadaran.
Bahkan dua orang yang menyelesaikan pertandingan yang tersisa itu pun kadang-kadang justru terhenti dan berusaha pula melihat apa yang terjadi di arena yang lain. Apalagi para peserta yang sudah menyelesaikan pertandingan mereka. Semuanya telah berkumpul dan menyaksikan pertandingan ulangan itu.
Ternyata semua orang telah tercenung melihat akhir pertandingan itu. Dalam waktu yang sangat singkat pertandingan ulangan itu telah berakhir. Anak muda berjambang lebat itu sama sekali tidak mampu berbuat apapun juga. Bahkan serbuknya sama sekali tidak berpengaruh atas Mahisa Pukat.
Dengan demikian kepercayaan anak muda itu kepada gurunya berguncang. Ia menganggap bahwa racun itu tidak mempunyai arti apa-apa. Tidak sebagaimana dikatakan oleh gurunya. Namun, sebenarnyalah bahwa anak muda itu tidak tahu sama sekali bahwa Mahisa Pukat bukan anak muda kebanyakan. Anak muda itu memiliki kemampuan untuk menangkal racun. Apalagi racun yang lunak, bahkan racun yang paling tajam sekalipun tidak akan dapat membunuhnya.
Dengan demikian, maka diputuskan bahwa Mahisa Pukat telah memenangkan pertandingan itu. Sebenarnya keputusan menang atau kalah itu tidak mutlak diperlukan. Bahkan ada di antara mereka yang dianggap memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Namun justru karena ada persoalan di antara kedua anak muda yang bertanding itu, maka kemenangan salah seorang di antaranya memang diperlukan.
Kedua orang prajurit yang menunggui pertandingan itu tidak dapat berbuat banyak. Apalagi mereka tahu bahwa Gajah Saraya dan Arya Kuda Cemani khusus datang untuk melihat hasil dari pertandingan itu, sehingga keduanya harus menyatakan hasil yang sebenarnya yang memang tidak dapat disembunyikannya.
Namun dengan demikian, setiap orang yang mengikuti pendadaran itu telah menjadi curiga terhadap kedua orang prajurit yang menunggui pertandingan sebelumnya yang menganggap bahwa Mahisa Pukat seharusnya disisihkan dari pendadaran pada tataran berikutnya karena dianggap curang.
Tetapi siang itu juga, sebelum keduanya dapat diusut lebih lanjut, maka datang perintah dari kesatuan kedua orang prajurit itu, bahwa keduanya harus segera kembali ke kesatuannya karena ada tugas lain yang lebih penting. Perintah itu datang dari pemimpin kelompoknya yang juga mengirimkan dua orang prajurit yang lain sebagai gantinya jika diperlukan.
Gajah Saraya memang menjadi heran atas sikap pemimpin kelompok kedua orang prajurit yang dicurigai melakukan tindakan yang tidak benar itu. Tetapi Gajah Saraya tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil tindakan, karena hal Itu akan menyangkut wibawa antara kesatuan. Karena itu, maka diperlukan waktu untuk menghubungi pemimpin yang lebih tinggi lagi dari pemimpin kelompok itu untuk mengambil langkah-langkah berikutnya.
Dalam pada itu, pendadaran pada tataran kedua itu pun telah berakhir. Para prajurit yang bertugas akan segera menentukan, siapakah di antara ketujuh belas orang itu yang pantas untuk mengikuti pendadaran selanjutnya.
Anak muda yang berjambang itu sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat memasuki pendadaran tataran berikutnya. Namun ia pun tidak dapat melupakan anak muda yang telah mempermalukannya. Mahisa Pukat. Sehingga ia pun telah mendendamnya dan bahkan timbul keinginannya untuk membalas dendam apapun caranya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang sejak semula telah berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya menjadi ragu-ragu. Sampai pendadaran pada tataran kedua tidak nampak bahwa Gajah Saraya dengan sengaja ingin menyisihkannya. Bahkan pada tataran kedua Gajah Saraya justru telah memberinya kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat meneruskan pendadaran pada tingkat selanjutnya.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, Mahisa Pukat tidak dapat menduganya. Bahwa kedua orang prajurit yang mengamatinya dalam pertandingan terakhir sebelum pertandingan ulangan dilakukan, begitu saja dibiarkannya meninggalkan tempat pendadaran, telah menimbulkan pertanyaan pula dihati Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka malam setelah pertandingan yang terakhir serta pertandingan ulang selesai, para peserta masih diperintahkan untuk tetap tinggal di tempat pendadaran. Demikian semua prajurit dan Pelayan Dalam yang ikut serta menyelenggarakan pendadaran itu, kecuali dua orang prajurit yang sudah ditarik oleh kesatuannya karena ada tugas lain yang lebih penting.
Malam itu, para penyelenggara pendadaran telah mengadakan pembicaraan. Esok pagi akan diumumkan langsung, siapakah yang harus melakukan persiapan untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Malam itu anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menemui Mahisa Pukat. Katanya, “Nah, aku telah memenangkan taruhan. Kau tidak sekalipun terkalahkan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hanya satu kebetulan.”
“Tidak” jawab anak muda bertubuh raksasa itu, “bukan satu kebetulan. Kau memang memiliki kelebihan dari semua yang ikut pendadaran ini. Kita tunggu saja hasilnya Aku tidak akan menyesal seandainya aku termasuk di antara mereka yang harus menyingkir dari pendadaran berikutnya. Tetapi aku akan sangat menyesal jika kau yang tidak dapat memasuki tataran ketiga dari pendadaran ini.”
“Bukankah keputusan terakhir terletak pada mereka yang bertugas menilai pertandingan ini?” jawab Mahisa Pukat, “aku akan menerima semua keputusan. Juga yang menyangkut diriku.”
“Kau tidak dapat berbuat seperti itu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu, “nampaknya memang ada sesuatu yang tidak wajar terjadi dalam pendadaran ini. Dan kau harus membela diri jika kau mendapat perlakuan yang tidak adil.”
“Mudah-mudahan tidak ada perlakuan yang tidak adil itu.” jawab Mahisa Pukat.
“Ya. Mudah-mudahan tidak ada” desis anak muda bertubuh raksasa itu.
Dalam pada itu, di sebuah ruangan tertutup Gajah Saraya memimpin sebuah pertemuan untuk memilih siapakah yang diperkenankan mengikuti pendadaran berikutnya dan siapa yang tidak. Menurut para prajurit yang mengawasi jalannya pendadaran, maka pada umumnya mereka yang ikut dalam pertandingan itu memiliki kemampuan yang hampir setingkat. Namun yang jelas tidak dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya adalah anak muda berjambang lebat itu.
Beberapa orang prajurit memang memberikan kesaksian bahwa ia sudah terlalu sering diperingatkan karena melanggar paugeran. Juga dalam pertandingan ulangan anak muda berjambang itu sama sekali tidak berdaya. Namun Mahisa Pukat masih melindungi anak muda berjambang itu karena ia tidak mengatakan bahwa anak muda itu telah menebarkan racun meskipun racun yang lemah, tetapi akan dapat mempengaruhi pertandingan yang sedang berlangsung seandainya Mahisa Pukat tidak memiliki penawar racun.
Dalam pembicaraan selanjutnya, maka ternyata ada dua orang lagi yang terpaksa tersisih karena tenaga dan kemampuan mereka dianggap paling rendah di antara kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian mereka yang akan ikut dalam pendadaran berikutnya hanyalah ampat belas orang saja. Di antara mereka memang termasuk Mahisa Pukat.
Keputusan itulah yang akan diumumkan dikeesokan harinya kepada para peserta. Kemudian para peserta akan diijinkan pulang dan menunggu pendadaran berikutnya yang hanya akan bertenggang waktu sepekan dengan pendadaran yang baru saja dilakukan itu.
Demikianlah, sejak fajar, para peserta pendadaran itu sudah bersiap-siap untuk mendengarkan pengumuman yang akan diberikan oleh Manggala Pelayan Dalam. Rasa-rasanya waktupun berjalan sangat lambat, sehingga para peserta itu sudah tidak sabar lagi menunggu.
Namun pada umumnya mereka yang merasa dirinya berada di bawah tataran kawan-kawannya sudah merasa, bahwa mereka akan tertinggal dan tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya. Ternyata pengumuman itu baru diberikan setelah para peserta itu selesai makan pagi dan beristirahat sejenak.
Dengan jantung yang berdebar-debar para peserta itu berkumpul di sebuah ruangan yang telah disediakan. Manggala Pelayan Dalam sendirilah yang akan mengumumkan siapakah di antara mereka yang akan dapat mengikuti pendadaran berikutnya. Sebelum menyatakan nama-nama mereka yang dapat meneruskan pendadaran, maka Gajah Saraya sudah memberikan sedikit keterangan bagi mereka yang gagal.
“Bidang pengabdian tidak hanya terbatas pada bidang keprajuritan dan Pelayan Dalam. Dimanapun kalian berada, asal kalian benar-benar melakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh bagi kepentingan Singasari dan seisinya, maka kalian telah melakukan pengabdian tidak kalah nilainya dengan para prajurit dan Pelayan Dalam. Jika kalian bekerja bersungguh-sungguh sebagai seorang petani, atau seorang pedagang atau seorang nelayan, atau apapun yang bermanfaat bagi banyak orang, maka itu sudah merupakan pengabdian bagi Singasari.”
Anak-anak muda itu mendengarkan dengan gelisah. Namun apa yang dikatakan oleh Gajah Saraya itu sedikit meredakan gejolak jantung anak-anak muda yang merasa memiliki kekurangan dari kawan-kawan mereka. Baru sejenak kemudian, Gajah Saraya pun mengumumkan nama-nama mereka yang ikut mendapat kesempatan bagi tataran berikutnya.
Dua orang anak muda yang tidak dapat melanjutkan pendadaran itu memang kecewa. Tetapi mereka merasa bahwa kemampuan mereka memang berada di bawah kemampuan kawan-kawannya. Sementara itu Gajah Saraya masih berkata pula, “Kalian masih muda. Pada kesempatan lain, kalian dapat mengikutinya lagi. Mungkin kalian sudah menjadi lebih siap menghadapi pendadaran mendatang.”
Yang menjadi sangat kecewa dan bahkan mendendam adalah anak muda berjambang lebat itu. Ia termasuk di antara mereka yang namanya tidak disebutkan untuk mengikuti pendadaran berikutnya. Namun dendamnya terutama tertuju kepada Mahisa Pukat.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...
Anak muda yang bertanya itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda yang bertubuh raksasa itu berkata selanjutnya, “Padahal aku tidak mentertawakannya.”
“Nampaknya ia memang aneh,” desis anak muda yang bertanya itu, “sejak pada pendadaran yang pertama, ia sudah menunjukkan sikapnya yang kurang wajar.”
Mahisa Pukat sama sekali tidak menyahut justru karena ia pernah mempunyai persoalan dengan anak muda itu. Demikianlah, maka akhirnya anak muda itu pun saling berpisah. Mereka berpencar menuju ke rumah mereka masing-masing.
Di rumah Mahisa Pukat telah berceritera tentang pendadaran pada tataran kedua itu. Ia pun berceritera tentang anak muda berjambang lebat itu dan sikap Gajah Saraya, Manggala Pelayan Dalam Singasari.
“Aku mula-mula memang berprasangka buruk. Tetapi ternyata ia justru memberi kesempatan kepadaku” berkata Mahisa Pukat.
“Mudah-mudahan ia bersikap baik. Setidak-tidaknya bersikap wajar. Juga pada pendadaran pada tataran terakhir.”
“Agaknya akan ada pendadaran ketrampilan olah senjata dan naik kuda” berkata Mahisa Pukat, “para perwira Pelayan Dalam sudah mengisyaratkan, agar kami para peserta bersiap-siap untuk menempuh pendadaran ketrampilan olah senjata dan naik kuda.”
“Mudah-mudahan kau dapat berhasil” berkata Mahendra.
“Jika para pengawas dan mereka yang menentukan penerimaan para calon Pelayan Dalam itu wajar, maka menurut perhitungan aku akan dapat diterima.” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah masalahnya. Wajar atau tidak wajar. Tetapi menurut ceritamu pada dua tahap pendadaran sudah terjadi ketidakwajaran. Bahkan pada tataran pertama ketidak wajaran itu sudah mengancam jiwamu. Bahkan mungkin cara itu jika ditrapkan pada orang lain akan benar-benar dapat menimbulkan korban jiwa.” sahut Mahendra.
Dengan demikian maka Mahendra telah berpesan agar Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Mungkin masih ada usaha untuk menggagalkannya dengan cara yang tidak terduga sama sekali.
“Ya ayah” Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa hal seperti itu masih mungkin dapat terjadi.
Di hari berikutnya, meskipun Mahisa Pukat memiliki ketrampilan olah senjata dan naik kuda cukup baik dan yang menurut perhitungan berada di atas kemampuan anak-anak muda yang lain, tetapi Mahisa Pukat pun memenuhi anjuran para perwira Pelayanan Dalam. Mahisa Pukat pun telah membiasakan diri lagi berkuda berkeliling pada rumput di pinggir Kotaraja bersama dengan ayahnya.
Mahisa Pukat pun berlatih mempergunakan senjata sambil di punggung kuda. Dengan melarikan kudanya, Mahisa Pukat melemparkan lembing ke sasaran yang telah disiapkan. Seonggok batang padi kering yang diikat pada batang bambu yang dipancangkan di pinggir padang rumput itu. Sambil melarikan kudanya, maka Mahisa Pukat berusaha mengenai sasarannya setinggi orang itu tepat pada bagian yang dianggapnya sebagai dadanya.
“Sasaran itu adalah sasaran yang diam” berkata Mahendra, “jika sasarannya orang yang sebenarnya, maka sasaran itu dapat bergerak.”
Tetapi Mahisa Pukat yang sudah sampai pada tataran puncak dalam ilmu kanuragan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Jika latihan-latihan itu dilakukan, baginya sekedar menyegarkan kembali ilmu yang telah dikuasainya dengan baik itu. Demikian pula kemampuan membidik dengan anak panah. Kemampuan ilmu pedang dan bahkan cambuk, parang, tongkat dan senjata apa saja. Bahkan akar-akar dan sulur pepohonan atau cabang kayu yang patah atau ikat kepala yang dipakainya.
“Tetapi ingat Mahisa Pukat” berkata Mahendra, “kau akan memasuki lingkungan pelayanan Dalam. Kau tidak perlu menyombongkan kemampuanmu. Kau sebaiknya hanya menunjukkan kemampuanmu secukupnya, asal kau dapat diterima menjadi pelayan dalam.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia juga melakukannya pada pendadaran tataran pertama dan kedua. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dalam pertandingan-pertandingan. Di pertandingan ulangan ia memang agak lebih banyak mengurai ilmunya karena sikap anak muda berjambang lebat yang menyakitkan hati itu.
Hari demi hari pun telah dilalui. Pada hari ketiga Mahisa Pukat telah mendapat pemberitahuan dan petunjuk bagi pendadaran yang akan diselenggarakan segera. Sebenarnyalah bahwa para peserta dituntut untuk membawa bekal kemampuan dan ketrampilan olah senjata dan berkuda. Juga kemampuan membidik dengan anak panah dan lontaran lembing.
Pendadaran bagi Pelayan Dalam memang lebih berat dari pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. Selain jumlah Pelayan Dalam memang hanya sedikit, sehingga kesempatan yang dapat diberikan pun menjadi sempit, Pelayan Dalam juga dituntut untuk mempunyai kemampuan dan ilmu yang cukup karena Pelayan dalam juga bertugas untuk menjaga keselamatan istana seisinya. Termasuk Sri Maharaja dan keluarganya.
Pada saatnya Mahisa Pukat benar-benar sudah siap. Dihari kelima sebagaimana disebut dalam pemberitahukan yang telah diterimanya, Mahisa Pukat telah berkumpul di tempat pendadaran. Masih di tempat pendadaran pada tataran kedua. Namun pendadaran akan dilakukan di halaman belakang. Di tempat yang lapang. Beberapa jenis perlengkapan pendadaran sudah disiapkan, termasuk beberapa ekor kuda.
Malam itu para peserta masih belum tahu, apa yang harus mereka lakukan esok. Mereka belum mendapat pemberitahuan tentang urutan mereka masing-masing. Karena itu, mereka harus siap untuk melakukan apa saja yang akan diperintahkan esok pagi.
Ada empat belas orang yang sudah siap mengikuti pendadaran pada tahap ketiga. Agaknya pendadaran itu cukup berat. Selain menunggang kuda, juga ketrampilan mempergunakan berbagai senjata sebagaimana yang sudah disiapkan di arena yang sudah tersedia dihalaman belakang.
Seperti pendadaran yang terdahulu maka pada hari yang pertama itu, Manggala Pelayan Dalam memberikan beberapa penjelasan tentang pendadaran yang bakal dilangsungkan. Dari menunggang kuda, mempergunakan senjata dan ternyata yang terakhir adalah penjajagan langsung oleh para prajurit dan Pelayan Dalam yang sudah ditunjuk atas kemampuan para peserta.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi pada dirinya. Bukan karena ia cemas menghadapi pendadaran yang bagaimanapun bentuknya, tetapi ia menjadi cemas akan kemungkinan bahwa pendadaran itu akan berlangsung tidak sewajarnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat sudah menyatakan kepada Sasi, bahwa ia memang berniat untuk menjadi Pelayan Dalam. Jika ia gagal, maka penilaian Sasi terhadap dirinya akan dapat menjadi lain.
Ternyata pada hari pertama itu belum ada pendadaran. Setelah beberapa keterangan langsung dari Gajah Saraya serta beberapa orang perwira selesai diberikan, maka beberapa orang Pelayan Dalam telah siap memberikan beberapa contoh peragaan pendadaran yang akan dilakukan esok.
Ternyata seperti yang sudah diduga oleh Mahisa Pukat, maka para peserta akan dinilai kemampuannya menunggang kuda sambil bermain dengan senjata. Beberapa batang pisang telah ditancapkan di arena. Setiap peserta sambil menunggang kuda akan menebas batang-batang pisang yang sudah ditentukan bagi mereka masing-masing. Kemudian mereka juga diwajibkan melontarkan lembing sambil memacu kudanya lewat jalur yang sudah ditentukan pula dengan sasaran disisi kiri dan sisi kanan jalur.
Para peserta pendadaran itu menjadi berdebar-debar melihat beberapa orang Pelayan Dalam menunjukkan kemampuan mereka. Agaknya setiap Pelayan Dalam akan dituntut untuk dapat melakukannya. Meskipun tidak setangkas mereka, namun para peserta pendadaran itu harus menunjukkan bekal serta meyakinkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang mengamati mereka, bahwa mereka pada satu saat akan mampu pula melakukannya.
Peragaan itu dilakukan sampai sedikit lewat tengah hari. Beberapa macam peragaan dari jenis pendadaran yang akan mulai dilakukan esok pagi. Empat belas orang calon Pelayan Dalam itu akan menjalani pendadaran tidak dengan urutan yang sama. Tetapi mereka akan terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang akan melakukan pendadaran pada urutan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya mereka akan menjalani semua jenis pendadaran sebagaimana sudah ditentukan.
Sore hari para peserta itu sempat beristirahat sambil berbincang-bincang. Anak muda bertubuh raksasa itu berkata kepada Mahisa Pukat, “Aku sudah mencoba lagi naik kuda. Aku tidak takut terjatuh. Dan aku memang terjatuh tidak kurang dari tiga kali. Tetapi aku tidak apa-apa. Aku tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak. Juga tulang-tulangku tidak berpatahan.”
“Nah. Bukankah kau tetap utuh dan dengan demikian maka kau tetap mempunyai harapan untuk berhasil menembus pendadaran ini?” sahut Mahisa Pukat.
“Ya. Untunglah bahwa aku mengikuti petunjukmu. Jika tidak, maka aku tidak akan mempunyai harapan lagi. Aku tidak akan mampu mengikuti pendadaran khususnya jenis menunggang kuda. Apalagi sambil mempermainkan senjata.”
“Kau juga sudah berlatih menebas batang pisang?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kebetulan pamanku seorang prajurit. Ia menganjurkan agar aku melakukannya. Dan aku memang sudah melakukannya” jawab anak muda itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia ikut bergembira melihat wajah anak muda bertubuh raksasa itu cerah penuh harapan.
Ketika malam tiba, sesudah makan malam, para peserta memang mendapat kesempatan untuk bertemu dan kembali berbincang di antara mereka. Namun suasananya sudah jauh berbeda dengan malam sebelum pendadaran pada tataran kedua berlangsung. Anak-anak muaa itu tidak saling menunjukkan kelebihan mereka. Di pendadaran berikutnya, mereka tidak akan saling berhadapan. Tetapi mereka harus menunjukkan ketrampilan mereka dan akhirnya penilaian langsung oleh para prajurit dan Pelayan Dalam.
Dalam perbincangan itu mereka justru membicarakan apa yang kira-kira akan mereka lakukan besok. Kemungkinan-kemungkinan baik dan sebaliknya. Namun pada umumnya para peserta pendadaran itu nampak menjadi cemas. Apalagi setelah mereka melihat peragaan dari para prajurit dan Pelayan Dalam. Tetapi mereka yang sudah mantap untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam, memang bertekad untuk berbuat sebaik-baiknya dalam pendadaran yang akan dimulai esok.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka anak-anak muda yang akan mengikuti pendadaran itu pun telah berada di atas pembaringan masing-masing. Tetapi beberapa di antara mereka tidak segera dapat tidur. Mereka masih saja membayangkan apa yang akan terjadi esok. Apakah mereka akan dapat lolos dari pendadaran yang nampaknya cukup berat itu. Tetapi akhirnya menjelang tengah malam, anak-anak muda itu sudah terlelap.
Pagi-pagi benar mereka sudah bangun. Sedikit memanasi tubuh mereka sebelum mereka mandi dan berbenah diri. Seperti kemarin dan saat mereka mengikuti pendadaran sebelumnya, maka mereka pun segera dipersilahkan pergi ke dapur untuk makan pagi. Selanjutnya mereka mendapat kesempatan beristirahat sejenak.
Anak-anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar bunyi bende. Mereka tidak segera tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi beberapa orang prajurit datang kepada mereka dan mempersilahkan mereka berkumpul di halaman belakang yang cukup luas. Ternyata di halaman itu telah siap beberapa orang prajurit dan Pelayan Dalam yang akan mengatur pendadaran yang segera akan dilakukan.
Seorang perwira telah memanggil nama-nama anak-anak muda yang akan mengikuti pendadaran itu sesuai dengan urutan jenisnya. Ada di antara mereka yang akan melakukan pendadaran ketrampilan berkuda dan bahkan menggunakan senjata diatas punggung kuda. Tetapi ada yang akan menempuh pendadaran kemampuan bidik dengan busur dan anak panah, paser dan lembing. Bahkan bandil. Senjata yang jarang dipergunakan. Sedangkan yang lain akan dinilai langsung oleh para perwira Pelayan Dalam tentang olah kanuragan.
Pada urutan pertama, Mahisa Pukat dan dua orang yang lain mendapat giliran mengikuti pendadaran tentang kemampuan bidik dengan busur dan anak panah serta yang lain. Bersama beberapa orang prajurit yang akan menilai kemampuan mereka, maka sekelompok kecil itu telah dibawa ke tempat yang telah dipersiapkan. Demikianlah, ketika terdengar lagi isyarat suara bende, maka pendadaran itu pun segera dimulai menurut jenisnya.
Mahisa Pukat memang tidak banyak mengalami kesulitan. Ia memiliki kemampuan bidik yang cukup tinggi. Sebenarnya ia dapat jauh melampaui kemampuan kedua orang kawannya. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin terlalu menarik perhatian sehingga ia cukup melampaui keduanya dengan lapisan yang tidak terlalu tebal.
Hari itu, Mahisa Pukat dan kedua temannya menyelesaikan pendadarannya paling cepat dari kawan-kawannya yang lain. Karena itu maka Mahisa Pukat dan kedua orang kawannya sempat melihat pendadaran tentang ketrampilan berkuda. Mereka masih sempat melihat seorang di antara para peserta yang naik diatas punggung kuda sambil membawa pedang di tangan dan tombak dengan tali pada landeannya bergantung di punggung.
Anak muda itu harus menebas dua batang pisang yang tertancap pada jarak yang tidak begitu jauh. Kemudian anak muda itu harus melarikan kudanya pada jalur yang telah ditentukan sambil mengambil tombak dari punggungnya dan melontarkan pada sebatang pohon pisang yang lain.
Anak-anak muda serta para prajurit dan Pelayan Dalam yang menyaksikan menjadi berdebar-debar, dari seorang prajurit Mahisa Pukat mendengar bahwa anak muda yang terdahulu mampu menebas dua batang pisang. Tetapi ia terlambat mengambil tombaknya dan melontarkan sasaran.
Sejenak kemudian, maka isyarat pun dibunyikan. Kuda itu pun segera melompat, berlari. Dengan tangkasnya anak muda yang berada di punggung kuda itu menebas dengan pedangnya. Batang pisang yang pertama memang terpenggal. Tetapi batang yang kedua ternyata tidak sempat putus meskipun patah. Kudanya agaknya berlari terlalu jauh dari sasaran.
Namun sementara itu, anak muda itu telah menggapai tombaknya di punggung. Ia berhasil menggenggam tangkai tombaknya meskipun tergesa-gesa. Sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk mengenai sasarannya. Tetapi sekali lagi ia kurang menguasai kudanya sehingga jaraknya agak terlalu jauh. Ketika tombak itu dilepaskan, ternyata tidak mengenai sasaran.
Meskipun demikian yang menonton pendadaran itu bertepuk tangan. Sementara anak muda itu menjadi berdebar-debar dan bahkan cemas. Apakah dengan demikian ia dapat dianggap berhasil dalam pendadaran itu.
Hari yang pertama, lewat sedikit tengah hari pendadaran itu pun telah selesai untuk dilanjutkan keesokan harinya dengan urutan yang berbeda. Di hari berikutnya Mahisa Pukat mendapat giliran untuk dinilai langsung oleh para prajurit atau Pelayan Dalam yang bertugas. Sementara itu anak muda yang bertubuh raksasa itu mendapat giliran untuk menjalani pendadaran kemampuan bidiknya. Dengan busur dan anak panah, lembing dan bahkan bandil seperti yang dilakukan Mahisa Pukat dihari pertama itu.
Seperti hari pertama, maka dihari kedua itu pun anak-anak muda peserta pendadaran bangun pagi-pagi. Sedikit pemanasan kemudian mandi dan makan pagi. Ketika matahari mulai naik, maka pendadaran dihari kedua itu pun segera dimulai.
Yang mengejutkan dan tidak dilakukan pada hari yang pertama adalah, Manggala Pelayan Dalam, Gajah Saraya sendiri akan melakukan penilaian langsung terhadap anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu dalam sebuah pertandingan.
...Ada bagian cerita yang hilang...
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih berdiri termangu-mangu di arena. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara itu, di arena yang lain, pertandingan masih berlangsung antara para prajurit dan Pelayan Dalam yang bertugas dengan anak-anak muda yang sedang mengalami pendadaran.
Seorang prajurit kemudian telah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Pertandingan sudah selesai. Kau dapat meninggalkan arena.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Dipandanginya prajurit itu sejenak. Kemudian beberapa orang yang masih berada di sekitar arena. Namun Gajah Saraya dan Arya Kuda Cemani telah melangkah meninggalkan arena pertandingan. Mereka seolah-olah tidak mempedulikan lagi Mahisa Pukat yang termangu-mangu.
Akhirnya Mahisa Pukat pun meninggalkan arena itu pula. Seorang prajurit yang pernah bertugas menjaga jalur jalan bagi para calon pada pendadaran tataran pertama yang melihat Mahisa Pukat menangkap benda yang dibungkus dengan kain putih yang dipergunakan untuk mengganggu anak-anak muda yang sedang menelusuri jalur pendadaran dimalam hari, mendekatinya sambil berdesis, “Sejak kau menelusuri jalan pada pendadaranmu tataran pertama aku sudah melihat kelebihanmu.”
“Aku tidak mempunyai kelebihan apa-apa.” jawab Mahisa Pukat.
“Tentu ada. Manggala Pelayan Dalam itu memerlukan untuk melakukan pendadaran langsung atasmu, tentu ada sebabnya. Justru karena ia melihat kelebihanmu maka ia merasa perlu untuk meyakinkannya. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan cara yang dipilihnya itu. Nampaknya ia menjadi puas karenanya.”
“Ah, aku kira bukan karena itu. Bahkan mungkin Manggala Gajah Saraya merasa kecewa setelah melakukan pendadaran langsung atasku tadi.” desis Mahisa Pukat.
Tetapi prajurit itu tertawa. Katanya, “Tidak ada seorangpun di antara para calon. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang memiliki landasan kemampuan ilmu sebagaimana kau. Kau tidak usah merasa segan. Bukankah kami terbiasa menilai kemampuan para calon prajurit atau Pelayan Dalam. Aku bertugas seperti ini bukan untuk yang pertama kali. Tetapi baru pertama kali aku melihat seorang anak muda memiliki kemampuan setinggi kemampuanmu. Karena itu, maka Manggala Pelayan Dalam itu tertarik untuk turun sendiri ke arena.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sementara itu, pertandingan yang lain masih berlangsung. Demikian pula pendadaran pada jenis yang lain. Kemampuan bidik dan kemampuan naik kuda serta kemampuan mempergunakan berbagai jenis senjata.
Mahisa Pukat yang masih belum meyakini apa yang dikatakan oleh Manggala Pelayan Dalam itu pun kemudian telah melangkah mendekati arena-arena pertandingan. Dilihatnya beberapa orang anak muda masih bertanding. Para prajurit dan Pelayan Dalam yang melakukan pendadaran langsung itu ternyata cukup berhati-hati. Mereka berusaha untuk memancing kemampuan tertinggi dari para calon Pelayan Dalam itu, agar mereka dapat menilai, apakah anak-anak muda itu memiliki landasan dasar yang cukup bagi seorang Pelayan Dalam.
Beberapa orang prajurit yang semula melihat pertandingan antara Mahisa Pukat dengan Manggala Pelayan dalam yang kemudian melihat pertandingan yang lain, dengan serta merta menilai bahwa ilmu yang dimiliki Mahisa Pukat jauh berada di atas kemampuan mereka. Namun para prajurit itu masih menunggu. Besok Mahisa Pukat akan melakukan pendadaran jenis kemampuan berkuda dan dihari berikutnya kemampuan mempergunakan segala jenis senjata dan bahkan senjata dengan benda-benda seadanya.
Mahisa Pukat sendiri juga tidak begitu tertarik melihat pertandingan yang masih berlangsung. Hampir di luar kehendaknya maka Mahisa Pukat pun berjalan menyusuri tempat pendadaran yang luas itu. Di sudut yang lain, beberapa orang anak muda nampaknya sudah mendekati penyelesaian. Mereka sedang menempuh pendadaran kemampuan mempergunakan senjata bidik. Termasuk lembing dan bandil.
Dibagian lain, beberapa orang menjalani pendadaran kemampuan mereka berkuda dan mempergunakan senjata selagi memacu kuda. Mahisa Pukat terhenti di pinggir arena. Dua orang prajurit mendekatinya. Seorang di antara mereka berdesis, “Jenis pendadaran yang paling sulit. Mudah-mudahan kau mampu melakukannya, karena pada jenis yang lain, kau memiliki kelebihan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada kelebihan apa-apa.”
Kedua orang prajurit itu tertawa. Namun perhatian mereka pun kemudian sepenuhnya tertuju ke arena. Seorang anak muda dengan tangkasnya memacu kudanya. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang tajam. Sebatang pohon pisang ditebasnya sehingga putus di batas setinggi leher seseorang yang tubuhnya sedang. Kemudian batang pisang yang kedua pun ditebasnya putus.
Namun kemudian, ternyata ia agak terlambat menggapai tombaknya yang tersangkut di punggungnya. Ketika ia siap untuk melemparkan tombaknya, sasarannya sudah lewat meskipun baru satu dua langkah. Tetapi anak muda itu melemparkan tombaknya pula dan tertancap di tanah selangkah dari sasaran.
Mahisa Pukat mengamati pendadaran ketangkasan berkuda dan olah senjata itu sambil mengangguk-angguk kecil. Hasil pengamatannya sejak hari pertama memberi isyarat kepadanya, bahwa kebanyakan anak-anak muda yang sedang menjalani pendadaran dalam jenis ketangkasan berkuda dan olah senjata itu terlambat meluncurkan tombaknya
“Harus ada cara yang dapat mengatasi kelambatan itu” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. “Penempatan tombak itu atau sedikit memperlambat lari kudanya.”
Sambil merenungi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan apabila esok ia mendapat giliran melakukannya, Mahisa Pukat masih juga merenungi kata-kata Manggala Gajah Saraya, bahwa ia akan dapat diangkat menjadi pemimpin kelompok dari para Pelayan Dalam yang baru yang nanti akan diangkat dari antara mereka yang mengikuti pendadaran itu.
“Apakah aku tidak salah dengar?” desis Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah meninggalkan arena pendadaran ketrampilan berkuda itu. Ia pun kemudian berdiri di sebelah arena tempat anak-anak muda yang mengikuti pendadaran kemampuan mempergunakan senjata apa saja. Ia melihat beberapa orang anak muda itu dengan tangkasnya mempermainkan berbagai macam senjata. Namun yang sebenarnya bagi Mahisa Pukat sama sekali tidak mengherankannya. Ia mampu berbuat jauh lebih baik dari mereka.
Namun seperti pesan ayahnya, bahwa ia tidak perlu menunjukkan kemampuannya berlebih-lebihan. Baginya cukup menunjukkan kemampuannya yang pantas bagi seorang Pelayan Dalam. Jika ia terlanjur menunjukkan tingkat kemampuannya yang tinggi, justru karena ia terpancing oleh Manggala Pelayan Dalam itu sendiri dalam pendadaran langsung yang khusus dilakukan sendiri oleh Gajah Saraya.
Namun Mahisa Pukat itu bertanya pula di dalam hatinya, “Seandainya aku besok gagal dalam pendadaran ketrampilan berkuda, apakah pernyataan Manggala Pelayan Dalam itu tetap berlaku?”
Tetapi Mahisa Pukat itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis perlahan, “Apapun yang akan dibebankan ke pundakku, asal aku dapat diterima menjadi Pelayan Dalam. Sasi sudah mengharapkannya justru bagi masa depannya pula.”
Dengan langkah satu-satu Mahisa Pukat menyusuri arena demi arena. Namun penglihatannya seakan-akan hanya mengambang, meskipun ada juga satu dua hal yang menarik perhatiannya. Sedikit lewat tengah hari, maka pendadaran hari itu sudah selesai. Kelompok-kelompok kecil yang tersebar itu pun telah membenahi alat-alat yang dipergunakan untuk dipergunakan lagi dikeesokan harinya.
Ketika anak-anak muda itu beristirahat, maka mereka sempat pula saling berbincang. Mereka telah berbicara tentang pendadaran yang baru saja mereka lakukan. Sebagian merasa telah berhasil melakukan dengan baik. Namun yang lain menyesali dirinya sendiri karena yang dilakukannya dianggapnya kurang memadai.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat lebih banyak diam. Ia hanya mendengarkan saja pembicaraan kawan-kawannya. Bahkan kadang-kadang ia justru duduk merenung memandang kekejauhan. Kawan-kawannya memang tidak sempat melihat apa yang dilakukannya di arena. Anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau hanya merenung saja? Apakah kau kurang berhasil hari ini?”
“Ya” jawab Mahisa Pukat singkat.
“Seseorang melihat kau memasuki arena dalam pendadaran langsung, bahkan dilakukan sendiri oleh Manggala Gajah Saraya.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat.
“Bagaimana hasilnya? Sayang yang melihat kau memasuki arena pertandingan dengan Manggala Gajah Saraya sedang dalam pendadaran juga sehingga tidak dapat melihat apa yang kau lakukan menghadapi Manggala Gajah Saraya. Sedangkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang menungguimu tidak mau mengatakan selengkapnya tentang pendadaran yang kau lakukan.”
“Kemampuanmu yang tinggi agaknya telah menarik perhatiannya” berkata anak muda bertubuh raksasa itu.
“Atau sebaliknya” jawab Mahisa Pukat.
“Kau selalu merendahkan dirimu” berkata anak muda itu.
“Aku tidak perlu merendahkan diriku karena tataranku memang masih terlalu rendah, “jawab Mahisa Pukat. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian, aku memang ingin diterima dalam lingkungan Pelayan Dalam. Aku memerlukan pekerjaan itu. Bukan saja sebagai satu pengabdian, tetapi juga penting bagi masa depanku sendiri.”
“Ya. Aku juga berharap demikian” jawab anak muda bertubuh raksasa itu, “karena itu, aku ikut pendadaran ini dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”
Sementara itu, maka seorang petugas telah mempersilahkan anak-anak muda itu untuk makan didapur dan kemudian beristirahat. Besok mereka masih akan turun ke,arena yang lain sesuai dengan urutan tugas mereka masing-masing dalam pendadaran itu.
Setelah makan, maka anak-anak muda itu kembali mendapat kesempatan untuk beristirahat. Di sore hari mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti pendadaran sebagaimana pada tataran sebelumnya. Meskipun demikian, maka pendadaran pada tataran terakhir itu bagi mereka yang mengikutinya merasa cukup berat.
Seperti hari-hari sebelumnya, maka pada hari berikutnya, anak-anak muda itu bangun pagi-pagi. Sedikit memanasi tubuh mereka dengan melakukan gerakan-gerakan ringan, kemudian mandi dan makan pagi.
Hari itu Mahisa Pukat mendapat giliran menempuh pendadaran dalam hal ketrampilan naik kuda. Seperti kawan-kawannya yang telah melakukan sebelumnya, maka ia pun harus menunjukkan ketrampilan berkuda, menguasai kuda dan kemudian mempergunakan senjata sambil naik kuda.
Ketika Mahisa Pukat mendapat giliran untuk menempuh pendadaran maka para prajurit dan Pelayan Dalam yang kebetulan tidak mempunyai tugas tertentu telah memerlukan untuk menyaksikannya. Mereka memang menganggap bahwa Mahisa Pukat memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Tetapi Mahisa Pukat telah berniat untuk tidak menunjukkan kelebihannya. Ia akan melakukan sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda yang lain.
Karena itu, demikian ia meloncat naik kepunggung kuda, maka ditempuhnya pendadaran itu tanpa memberikan kesan yang berlebihan. Ia berbuat sebagaimana anak-anak muda yang lain berbuat. Memutar kudanya di arena, melarikannya pada jarak tertentu, berbelok kemudian menghentikannya dengan tiba-tiba sehingga kudanya meringkik sambil berdiri tegak bertumpu pada kaki belakangnya. Semua yang dilakukan telah dilakukan oleh kawan-kawannya yang lain.
Terakhir Mahisa Pukat mendapat giliran untuk berpacu di atas punggung kuda sambil bermain senjata. Dua batang pisang telah disiapkan seperti anak-anak muda yang mendahuluinya menempuh pendadaran ketrampilan berkuda. Selain itu juga sebatang bambu yang dibalut dengan onggokan jerami kering sebagai sasaran lontaran tombak.
Mahisa Pukat yang telah melihat dan mempelajari berbagai kemungkinan dari kawan-kawannya yang terdahulu, berusaha untuk tidak membuat kesalahan yang sama tanpa menimbulkan kekaguman yang berlebihan. Kesannya masih saja dalam batas kewajaran.
Demikian isyarat diberikan, maka Mahisa Pukat pun menyentuh perut kudanya dengan tumitnya, sehingga kudanya berlari cepat melalui jalur yang sudah ditentukan. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat menebas kedua batang pohon pisang. Namun kemudian ia sedikit memperlambat kudanya tanpa menarik perhatian, justru saat kudanya berputar ke arah batang bambu yang dibalut dengan onggokan jerami agar tombak yang dilontarkan dapat menancap.
Pada saat yang bersamaan, Mahisa Pukat meraih tombak yang tergantung pada seutas tali di punggungnya. Ternyata Mahisa Pukat tidak terlambat. Kudanya yang berlari agak jauh dari batang bambu itu telah diarahkan lebih mendekat. Kecuali sasarannya menjadi lebih mudah digapai, juga ia mendapat kelebihan waktu meskipun hanya sekejap.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat tidak melontarkan tombaknya kesasaran, tetapi seakan-akan ia telah menusukkan tombaknya langsung ke songgakan jerami yang membungkus patok bambu itu. Ternyata Mahisa Pukat berhasil. Tombaknya telah tertancap pada sasaran.
Dengan serta merta para prajurit dan Pelayan Dalam yang menyaksikan telah bertepuk tangan, sehingga beberapa orang anak muda yang sedang menjalani pendadaran di arena yang lain telah berpaling. Ketika mereka melihat Mahisa Pukat masih di punggung kuda, maka mereka pun mengangguk-angguk kecil. Bagi mereka dan para prajurit dan Pelayan Dalam memang tidak ada orang yang lain yang pantas untuk mendapat pujian lebih dari yang lain kecuali Mahisa Pukat.
Demikianlah maka pendadaran itu pun telah dilanjutkan dengan anak muda berikutnya. Sementara yang lain telah mengikuti pendadaran yang lain lagi. Mahisa Pukat pun telah beralih di arena yang lain untuk melakukan pendadaran kemampuan mempergunakan senjata apa saja. Bahkan dengan alat apapun yang diketemukan. Ternyata sekali lagi Mahisa Pukat telah dikagumi oleh para prajurit dan Pelayan Dalam yang menungguinya meskipun mereka tidak memujinya dengan serta merta.
Lewat tengah hari, maka pendadaran itu pun telah dapat diselesaikan. Semua anak muda yang mengikuti pendadaran pada tataran terakhir itu telah menyelesaikan kewajiban mereka. Semua jenis yang harus ditempuh dalam pendadaran itu telah ditempuh, sehingga mereka tinggal menunggu hasil dari pendadaran itu. Sepuluh orang di antara mereka akan diterima menjadi calon Pelayan Dalam di istana Singasari.
Tetapi, ternyata pendadaran itu masih belum selesai. Di luar rencana maka Manggala Pelayan Dalam telah mengumumkan, bahwa esok pagi masih ada satu lagi pendadaran. Ketrampilan mempergunakan senjata di atas punggung kuda. Mahisa Pukat menjadi sangat terkejut ketika ia mendengar pengumuman bahwa pendadaran itu, khusus ditujukan bagi Mahisa Pukat saja dan akan dilakukan langsung oleh Manggala Pelayan Dalam, Gajah Saraya. Semua anak muda yang ikut dalam pendadaran itu saling bertanya di antara mereka, kenapa akan dilakukan pendadaran khusus bagi Mahisa Pukat.
“Apakah Mahisa Pukat itu meragukan sehingga harus mengalami pendadaran ulang sebagaimana pada pendadaran tataran kedua? Sehingga justru Manggala Pelayan Dalam sendiri akan melakukan pendadaran khusus itu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam pun tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Manggala Pelayan Dalam akan melakukan pendadaran khusus itu.
Mahisa Pukat sendiri menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu kenapa hal seperti itu dapat terjadi. Namun yang pertama-tama dipikirkannya adalah bahwa Manggala Pelayan Dalam itu mempunyai rencana khusus baginya. Mahisa Pukat memang meragukan pernyataannya bahwa Mahisa Pukat akan diangkat menjadi pemimpin kelompok Pelayan Dalam. Tetapi yang terpikir kemudian adalah itu hanya sekedar alasan semata-mata. Prasangka buruknya tiba-tiba saja telah timbul kembali. Dalam pendadaran khusus itu Gajah Saraya akan menjatuhkannya sehingga akan nampak bahwa ia tidak pantas untuk menjadi seorang Pelayan Dalam.
“Jika ia berniat demikian, maka aku justru tidak akan surut selangkah pun. Perang tanding pun akan aku hadapi. Meskipun aku kemudian tidak akan diangkat menjadi Pelayan Dalam, namun namaku tidak akan tercemar karenanya” tekad yang pernah timbul di dalam dadanya itu pun tiba-tiba pula telah muncul kembali.
Hari itu, ketika saatnya anak-anak muda itu beristirahat, maka Mahisa Pukat menjadi semakin diam. Beberapa orang memang menemuinya dan bertanya kenapa ia harus menjalani pendadaran khusus. Namun Mahisa Pukat selalu menjawab sambil menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Apakah hasil yang kau dapat hari ini meragukan?” bertanya anak muda yang lain.
“Entahlah. Tetapi aku juga merasa heran bahwa aku harus melakukan pendadaran ulang. Ketika aku mendalaminya pada tataran kedua, aku tahu persis alasannya. Tetapi sekarang tidak sama sekali,” jawab Mahisa Pukat.
Kawan-kawannya hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi, karena mereka pun mengetahui bahwa Mahisa Pukat sendiri menjadi bingung karenanya. Manggala Gajah Saraya memang tidak memberitahukan kenapa hal itu harus dilakukan. Karena itu maka para prajurit yang lain sama sekali tidak dapat memberikan keterangan apapun dengan rencana itu.
Tetapi hal itu justru sangat menarik perhatian. Bukan saja anak-anak muda yang mengikuti pendadaran, tetapi juga para prajurit dan Pelayan Dalam yang telah ditunjuk untuk ikut serta menyelenggarakan pendadaran itu.
Mahisa Pukat sendiri memang menjadi gelisah. Ia merasa seakan-akan setiap mata memandang ke arahnya. Baik anak-anak muda yang menyertai pendadaran itu, maupun para prajurit dan Pelayan Dalam. Sehingga rasa-rasanya ia menjadi pusat perhatian dari semua orang yang ada di sekitarnya.
Namun ketika malam turun dan Mahisa Pukat telah berada di pembaringannya, maka sulit pula baginya untuk segera memejamkan matanya. Ia masih saja dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan tentang pendadaran khusus yang akan dilakukannya esok.
Demikianlah, maka pagi-pagi semua anak-anak muda peserta pendadaran itu pun telah siap seperti hari-hari sebelumnya. Ketika matahari memanjat langit, semuanya sudah berkumpul di halaman belakang yang luas itu.
Yang tersedia hanyalah dua ekor kuda yang tegar dan berbagai jenis senjata. Manggala Gajah Saraya telah memerintahkan untuk menempatkan beberapa jenis senjata itu pada batang-batang pisang yang ditancapkan dibeberapa tempat di arena yang luas itu. Tombak pendek, pedang, parang, trisula, canggah, perisai dan bahkan cambuk dan rantai.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu maksud Manggala Pelayan Dalam itu. Apakah dengan demikian Manggala itu ingin menyingkirkannya dengan caranya atau bahkan membunuhnya sama sekali. Untuk menghilangkan kesan dan beban tanggung jawab, maka hal itu dilakukannya justru di tempat terbuka. Seakan-akan ia tidak sengaja melakukannya.
Ketika kemudian Gajah Saraya memasuki arena, maka suasana memang menjadi tegang. Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Tanpa isyarat bende atau tanda-tanda lainnya, maka Gajah Saraya itu langsung memanggil Mahisa Pukat.
“Kita akan segera mulai” berkata Gajah Saraya, “kau dapat memilih kuda yang mana yang akan kau pergunakan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil mengangguk hormat ia menyahut, “Aku dapat mempergunakan yang manapun yang diperuntukkan bagiku.”
“Bagus” berkata Gajah Saraya, “jika demikian maka kita akan segera dapat mulai.”
Namun Mahisa Pukat masih bertanya, “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mengerti peraturan yang dipergunakan dalam pendadaran kali ini.”
Gajah Saraya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Tanpa ketentuan apapun yang diberitahukan kepadamu, melihat apa yang ada di arena ini kau tentu sudah tahu, apa yang harus kau kerjakan.”
Mahisa Pukat memandang berkeliling. Ia hanya melihat kuda dan senjata-senajta yang tertancap di batang-batang pisang yang dipancang di pinggir-pinggir arena.
“Marilah” berkata Gajah Saraya yang nampaknya menjadi tidak sabar.
Mahisa Pukat memang tidak dapat menunggu lebih lama. Ketika kemudian Gajah Saraya meloncat naik ke punggung kuda, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat pula ke punggung kuda yang lain.
Demikian Mahisa Pukat duduk, maka Gajah Saraya itu mendekatinya sambil berkata perlahan, “Aku memerlukan bantuanmu. Kau harus melawan sebaik-baiknya. Kau harus membuktikan bahwa kau adalah calon yang terbaik, yang pantas untuk menjadi pemimpin kelompok dari anak-anak muda yang akan diangkat menjadi Pelayan Dalam. Bahkan, kau harus menunjukkan bahwa kau lebih baik dari Pelayan Dalam yang ada, agar mereka tidak dapat menjadi iri hati, bahwa yang diangkat menjadi pemimpin kelompok adalah orang baru. Bukan salah seorang dari mereka yang telah lebih lama menjadi Pelayan Dalam.”
Mahisa Pukat tanpa disadarinya telah menangguk mengiakan. Namun sebenarnyalah ia memang ragu-ragu. Ia masih saja berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya. Jika ia benar-benar melawannya, maka jika terjadi sesuatu atas dirinya, maka itu adalah kecelakaan.
Tetapi, Mahisa Pukat memang tidak dapat berpikir panjang. Gajah Saraya itu pun kemudian berkata, “Ambil senjatamu. Aku akan mengambil senjataku.”
Mahisa Pukat tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya. Ia melihat Gajah Saraya telah memacu kudanya untuk memungut senjata yang akan dipergunakannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula. Karena ia terbiasa bersenjata pedang, maka ia pun telah memacu kudanya untuk mengambil sebatang pedang yang tertancap di sebatang pohon pisang, sementara Gajah Saraya telah mengambil sebatang tombak pendek.
Ternyata Mahisa Pukat pun tidak kalah tangkasnya dari Manggala Pelayan Dalam. Demikian Gajah Saraya mengambil sebatang tombak pendek, maka Mahisa Pukat sudah menggenggam sebatang pedang. Memang timbul niatnya untuk mengambil senjata yang lain. Tetapi Gajah Saraya telah memutar kudanya untuk sekali lagi menyerang.
Tetapi Mahisa Pukat terkejut. Ternyata pedang itu terlalu ringan, sehingga Mahisa Pukat pun menduga bahwa bahan yang dibuat pedang itu pun bukan bahan yang baik. Tidak seperti pedang yang ada di padepokan. Meskipun pedang itu ujudnya besar dan panjang tetapi bobotnya terhitung ringan, namun terasa bahwa pedang itu kokoh dan kuat.
Tetapi sekali lagi Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan. Gajah Saraya telah menyerangnya. Kudanya berpacu dengan tombak yang teracu mengarah ke dadanya. Mahisa Pukat memang tidak dapat berbuat lain. Jika ia membiarkan ujung tombak itu mengoyak dadanya, maka ia benar-benar akan mati di arena pendadaran itu. Karena itu, maka kudanyapun telah bergerak pula, justru menyongsong kuda Gajah Saraya.
Demikianlah ketika kedua ekor kuda itu bertemu, maka gajah Saraya benar-benar telah menyerang Mahisa Pukat. Tetapi dengan tangkasnya, Mahisa Pukat menangkis serangan itu. Nalurinya telah menggerakkan pedangnya untuk melindungi jiwanya. Tetapi ketika terjadi benturan, maka Mahisa Pukat segera merasa, bahwa pedangnya memang pedang yang tidak terlalu kuat. Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat benar-benar harus bertahan dengan duduk di punggung kuda. Gajah Saraya menyerangnya dengan tangkas dan kuat.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat bertahan, tetapi terasa pedangnya mulai goyah. Ia sadar, bahwa sejenak kemudian pedangnya tentu akan terlepas dari tangkainya. Untuk sementara Mahisa Pukat memang masih dapat bertahan. Tetapi ketika terjadi benturan yang keras, maka pedangnya benar-benar terlepas dari tangkainya dan jatuh beberapa langkah dari kudanya.
Mahisa Pukat tidak akan mungkin memungut pedangnya yang sama saja dengan patah itu. Yang ada di tangannya tinggal hulunya saja. Justru pada saat yang demikian Gajah Saraya telah menyerangnya. Ujung tombaknya benar-benar mengarah ke jantungnya. Mahisa Pukat tidak sempat berbuat banyak. Ujung tombak digenggaman Gajah Saraya itu seolah-olah telah meluncur dengan cepatnya mematuk ke arah jantung.
Anak-anak muda yang menyaksikan pendadaran itu menjadi berdebar-debar. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam pun seakan-akan telah menahan nafasnya. Pendadaran itu terlalu berbahaya bagi seorang calon Pelayan Dalam yang masih muda itu. Betapapun ia memiliki kelebihan, namun kemudaannya tentu masih belum memberinya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang cukup.
Sementara itu, Gajah Saraya telah melarikan kudanya mendekati Mahisa Pukat yang kehilangan senjatanya. Namun ia masih menggenggam hulu pedang yang sudah kehilangan daunnya. Namun demikian Gajah Saraya mendekat, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah melemparkan hulu pedang itu. Tidak mengarah kepada Gajah Saraya yang berada di punggung kudanya, tetapi justru ke arah kuda itu sendiri.
Gajah Saraya tidak sempat menangkis lontaran hulu pedang itu. Karena itu ketika hulu pedang itu mengenai leher kuda Manggala Pelayan Dalam itu dengan kekuatan yang sangat besar, maka kuda itu pun terkejut sehingga melonjak tinggi berdiri dikedua kaki belakangnya. Gajah Saraya memang terkejut. Ia tidak sempat mempermainkan tombak pendeknya. Tetapi ia harus dengan cepat menguasai kudanya yang meringkik dengan gelisah.
Mahisa Pukat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan cepat Mahisa Pukat melarikan kudanya menepi. Menyambar sebuah senjata yang terdekat. Parang. Meskipun parang itu bukan senjata yang terbaik baginya, tetapi ia tidak sempat memungut senjata yang lain yang tertancap pada batang-batang pisang yang berjajar di tepi arena, sementara Gajah Saraya sudah menguasai kudanya dan mulai menyerang lagi.
Ternyata parang itu justru lebih kuat dari pedang yang telah terlepas dari tangkainya itu. Karena itu, maka dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah bertanding melawan Gajah Saraya. Tombak pendek di tangan Manggala Pelayan Dalam itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Kemudian berputar dengan cepat seperti baling-baling.
Tetapi Mahisa Pukat pun tangkas pula mempermainkan parangnya. Ia menutup setiap kemungkinan ujung tombak Gajah Saraya menyentuh tubuhnya, sementara itu tangannya yang lain dengan tangkas pula mempermainkan kendali kudanya. Dengan demikian maka pertandingan itu menjadi semakin lama semakin menegangkan. Keduanya mampu bergerak cepat dan tangkas. Parang Mahisa Pukat memang lebih baik dari pedang yang dipergunakan sebelumnya meskipun parang itu terlalu pendek baginya.
Tetapi semakin lama, parang itu pun mulai menjadi goyah seperti senjatanya yang terdahulu. Dengan demikian Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Jika parangnya juga patah seperti pedangnya, maka ia harus mendapatkan senjata yang lain yang harus dipungutnya pula dari batang-batang pisang itu. Tetapi Mahisa Pukat yang sudah berpengalaman itu berusaha untuk memancing lawannya bertempur semakin menepi. Selagi parangnya masih sempat dipergunakannya.
Namun betapapun Mahisa Pukat menahan diri, tetapi kesabarannya memang terbatas. Dua kali senjatanya tidak mampu bertahan terhadap tombak pendek Gajah Saraya. Bukan karena kemampuannya yang tidak memadai. Tetapi karena senjatanyalah yang tidak dapat mendukung kemampuannya. Menurut dugaan Mahisa Pukat, maka senjata-senjata yang lainpun tentu tidak akan dapat dipergunakannya dengan baik. Kapak, trisula, canggah dan tombak yang tertancap di batang pisang itu tentu akan dengan mudah patah atau retak atau tajamnya yang terlepas.
Karena itu, maka yang menarik perhatian Mahisa Pukat adalah justru sebatang tongkat kayu yang tidak terlalu panjang. Kayu yang nampaknya potongan sebuah cabang pohon jambu keluthuk. Tongkat kayu yang masih belum kering benar itu agaknya akan dapat dipergunakan dengan lebih baik daripada senjata-senjata lain yang tersedia, karena agaknya batang kayu jambu keluthuk itu langsung dipotong dari dahannya. Seandainya kayu itu sudah dikerat dan patah, maka ia masih akan dapat mempergunakan potongan-potongannya untuk melawan tombak Gajah Saraya.
Karena itu, ketika Mahisa Pukat merasa bahwa parang di tangannya itu mulai goyang, ia pun segera berusaha untuk mendekati sebatang kayu jambu keluthuk yang disandarkan pada sebatang pohon pisang. Namun parang itu sudah menjadi semakin goyah. Karena itu, maka dengan mengerahkan kemampuannya Mahisa Pukat berusaha menusuk menyusup pertahanan tombak Gajah Saraya. Serangan itu memang bukan serangan yang berbahaya. Tetapi Gajah Saraya harus menangkis serangan itu sambil menguasai kudanya.
Dengan tangkasnya, maka Mahisa Pukat pun berputar. Cepat sekali. Keduanya pun kemudian berlari menuju ke batang pisang di pinggir arena. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat menyambar tongkat itu dan kemudian melarikan kudanya berputar mengambil jarak.
Gajah Saraya memang memburunya. Namun sambil melarikan kudanya Mahisa Pukat sempat melihat tongkatnya yang agaknya memang utuh. Tetapi tidak lebih dari sebatang kayu biasa. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat justru menjadi semakin mantap. Ia sekali lagi memutar kudanya langsung menghadapi kuda Gajah Saraya. Sementara itu Gajah Saraya sudah menjadi semakin dekat dengan ujung tombaknya mengarah kedada Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sudah menjadi mantap. Ia menggerakkan kudanya berkisar dari garis semula. Sedikit saja. Tetapi arah kuda Gajah Saraya memang berubah. Dengan demikian maka ujung tombak Gajah Saraya pun telah berubah bergeser pula dari sasaran. Dengan cepat Gajah Saraya harus menguasai kudanya untuk mendapatkan arah sesuai dengan berkisarnya kuda Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah siap menghadapi segala kemungkinan dengan tongkat kayu jambu keluthuknya.
Ketika ujung tombak Gajah Saraya menyambarnya, dengan tangkasnya ia menangkis, kemudian memutar tongkatnya sehingga pangkalnya justru menusuk ke arah lambung Gajah Saraya. Mahisa Pukat memang berniat untuk benar-benar memberikan perlawanan sebagai mana diharapkan oleh Gajah Saraya sendiri, sementara itu kesabarannya pun semakin larut pula justru karena dua kali ia telah mendapatkan senjata yang nampaknya dengan sengaja telah dibuat cacat. Sementara itu serangan-serangan Gajah Saraya rasa-rasanya benar-benar berbahaya baginya.
Tetapi ketika Mahisa Pukat benar-benar mendapat kesempatan, ternyata ia tidak dapat benar-benar menyakiti Manggala Pelayan Dalam itu. Tongkatnya memang mampu menembus pertahanan Gajah Saraya. Tetapi Mahisa Pukat justru menahannya, sehingga sentuhan tongkatnya pada lambung Gajah Saraya tidak menggoyahkan daya tahannya. Namun Gajah Saraya sendiri tidak ingkar. Ia merasa lambungnya tersentuh pangkal tongkat Mahisa Pukat.
Demikianlah sejenak kemudian maka pertandingan itu menjadi semakin sengit. Kedua ekor kuda dengan penunggangnya masing-masing itu berlari-larian saling menyambar. Bahkan kadang-kadang saling menyilang dan hampir berbenturan. Ternyata keduanya adalah penunggang kuda yang tangkas. Sementara kedua ekor kuda itu adalah kuda-kuda yang tegar dan kuat, sehingga pertandingan itu telah membuat mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar.
Para prajurit dan Pelayan Dalam yang ada di sekitar arena itu menyaksikan pertandingan itu dengan tegang. Mereka tidak melihat pendadaran di arena itu. Tetapi yang terjadi menurut penglihatan mereka adalah benar-benar sebuah pertempuran antara hidup dan mati. Namun, sebenarnyalah mereka benar-benar mengagumi anak muda yang sedang mengikuti pendadaran itu. Apa yang mereka lihat, bukan sekedar seorang calon Pelayan Dalam yang sedang mengikuti pendadaran. Tetapi seorang yang berilmu tinggi sedang melakukan semacam perang tanding.
Untuk beberapa saat mereka yang berada di pinggir arena itu menyaksikan pertandingan itu dengan hampir tidak berkedip. Jantung mereka rasa-rasanya berdetak semakin cepat di dalam dada mereka.
Apalagi anak-anak muda yang mengikuti pendadaran. Mereka rasa-rasanya tidak mengerti apa yang sedang mereka saksikan. Mereka hanya dapat mengikuti dua ekor kuda yang berlari-larian. Senjata yang saling menyambar dan menangkis. Mereka harus menahan nafas ketika mereka melihat ujung tombak Gajah Saraya yang tajam itu menyambar Mahisa Pukat. Jika ujung tombak itu menyentuhnya maka Mahisa Pukat tentu benar-benar akan terluka. Sehingga pendadaran itu merupakan pendadaran yang sangat berbahaya.
Tetapi Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak menjadi cemas. Sejak semula ia sudah merasa, bahwa ia akan mampu mengimbangi ketangkasan Manggala Gajah Saraya. Meskipun ia hanya bersenjata tongkat kayu jambu keluthuk sebesar dan sepanjang landean tombak Gajah Saraya, namun bagi Mahisa Pukat justru lebih baik dari pedang atau parang yang goyah. Dengan tongkatnya, Mahisa Pukat telah beberapa kali mampu menyentuh tubuh Gajah Saraya. Tetapi setiap kali Mahisa Pukat menahan tenaganya, sehingga sentuhan itu sama sekali tidak membahayakan Manggala Pelayan Dalam itu.
Gajah Saraya sendiri bukannya tidak merasakan sentuhan-sentuhan itu. Bahkan ia mulai memperhitungkan, kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Gajah Saraya merasakan bahwa sentuhan-sentuhan ujung tongkat Mahisa Pukat semakin lama menjadi semakin keras, sehingga pada suatu saat, sentuhan itu akan benar-benar mampu melemparkannya dari punggung kudanya.
Gajah Saraya yang bertanding dengan Mahisa Pukat itu benar-benar merasa heran. Ternyata anak yang masih muda itu benar-benar seorang yang sangat tangkas. Jika ia dapat mengimbangi kemampuan Senapati Sawung Tuwuh, ternyata bukan hanya sekedar pujian yang pernah didengarnya. Juga perang tanding yang pernah dilakukannya dengan Empu Damar.
Gajah Saraya yang benar-benar ingin menguji kemampuan Mahisa Pukat itu memang tidak dapat berbuat lain kecuali mengakui bahwa Mahisa Pukat adalah anak muda yang luar biasa. Yang terjadi selama pendadaran telah membuat Gajah Saraya semakin mengaguminya pula. Anak muda yang berilmu sangat tinggi itu sama sekali tidak berniat untuk menyombongkan dirinya. Ia justru selalu menahan diri untuk berada pada tataran yang sejajar dengan kawan-kawannya. Hanya sedikit kelebihan yang ditunjukkan agar ia dapat diterima di antara sepuluh orang terbaik di antara anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu.
Sementara itu pendadaran itu masih berlangsung. Gajah Saraya memang ingin melihat sejauh dapat dilakukan. Ia telah memancing agar Mahisa Pukat menunjukkan kelebihannya bukan saja kepada kawan-kawannya peserta pendadaran. Tetapi juga para prajurit dan Pelayan Dalam. Gajah Saraya memang berhasil memancing agar Mahisa Pukat meningkatkan kemampuannya sampai pada suatu tataran yang melampaui kemampuan para peserta pendadaran dan bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang ikut serta dalam tugas-tugas pendadaran itu. Juga mereka yang melakukan pendadaran langsung bagi para peserta itu.
Para prajurit dan Pelayan Dalam itu sempat berkata kepada diri sendiri, “Untunglah bahwa bukan aku yang harus melakukan pendadaran langsung atas anak muda itu.”
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat memang menyadari, bahwa yang dilakukan itu sudah terlalu jauh di atas tataran seorang Pelayan Dalam. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ia tidak mau namanya menjadi cemar karena kegagalannya mengikuti pendadaran meskipun terasa bahwa pendadaran itu sudah tidak wajar lagi. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak tahu, alasan apakah yang menjadikan pendadaran itu tidak wajar.
Sementara itu, pendadaran itu pun masih berlangsung. Yang menyaksikannya semakin menjadi berdebar-debar. Ujung tombak Gajah Saraya menyambar-nyambar dengan garangnya. Namun tongkat Mahisa Pukat pun berputar dengan cepatnya. Menangkis setiap serangan dan bahkan sempat pula membalas menyerang.
Namun dalam pada itu, yang mulai menjadi cemas adalah Gajah Saraya itu sendiri. Ia merasakan bahwa Mahisa Pukat masih meningkatkan kemampuannya. Sementara itu, Gajah Saraya sendiri kemudian meyakini, bahwa Mahisa Pukat memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan jika pertandingan itu diteruskan sehingga Mahisa Pukat kehilangan kesabarannya, maka Mahisa Pukat akan mungkin benar-benar mengalahkannya. Jika Mahisa Pukat kemudian salah paham atas maksudnya karena tekanan-tekanan yang diberikannya, maka anak muda itu akan benar-benar marah.
Karena itu, maka selagi keadaan masih nampak seimbang, maka Gajah Saraya harus menghentikan pendadaran itu. Meskipun semula Gajah Saraya masih berharap untuk dapat menundukkan Mahisa Pukat karena senjata yang dipergunakannya bukan senjata yang baik setelah ia berhasil memancing anak muda itu sampai ke tingkat yang lebih tinggi, namun ternyata Mahisa Pukat dapat memecahkan hambatan dari senjata-senjata yang disediakan.
Karena itu, maka ketika ketegangan menjadi semakin memuncak, maka Gajah Saraya pun kemudian berusaha untuk menghindar dan mengambil jarak sambil berkata, “Tahanlah Mahisa Pukat. Tahan dirimu.”
Mahesa Pukat mendengar seruan itu. Untunglah bahwa ia masih sempat mengendalikan dirinya, sehingga karena itu, maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari benturan-benturan yang dapat terjadi.
Kedua ekor kuda itu nampak memang saling menjauh. Keduanya berusaha mengambil jarak, sementara Gajah Saraya telah melemparkan tombaknya dari jarak yang cukup jauh ke arah sebatang pohon pisang yang ada di pinggir arena. Dengan tepat tombak itu menancap pada batang pisang itu setinggi dada.
Mahisa Pukat memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bergeser menepi dan menyandarkan tongkatnya pada sebatang pohon pisang pula.
Manggala Gajah Saraya yang melihat Mahisa Pukat menepi dan meletakkan tongkatnya, telah bergeser ketengah-tengah arena. Kepada para peserta pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam, kepala para prajurit dan Pelayan Dalam, Gajah Saraya itu kemudian berkata,
“Aku sudah melakukan pendadaran langsung atas peserta yang bernama Mahisa Pukat ini. Seorang anak muda yang telah mampu mengalahkan seorang pemimpin padepokan yang namanya dikenal oleh orang-orang Singasari, Empu Damar, dan yang saat ini sedang melakukan pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari. Mendahului semua keputusan, maka aku berani mengatakan bahwa anak muda yang bernama Mahisa Pukat ini akan dapat diterima menjadi Pelayan Dalam. Di hadapan para peserta yang kelak akan dapat diterima bersama Mahisa Pukat, kepada para prajurit dan Pelayan Dalam aku beritahukan, bahwa Mahisa Pukat akan langsung mendapat kedudukan sebagai seorang pemimpin kelompok dari kesatuan Pelayan Dalam di Istana Singasari, khususnya bagi calon Pelayan Dalam yang akan diterima bersamanya.”
Tidak ada yang tahu, siapa yang mula-mula bertepuk tangan. Namun kemudian terdengar tepuk tangan yang riuh di sekitar arena pertandingan sebagai pendadaran khusus yang diselenggarakan atas Mahisa Pukat langsung oleh Manggala Gajah Saraya.
Gajah Saraya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dengan demikian maka ia berharap bahwa tidak ada lagi perasaan iri terhadap kedudukan yang diberikan langsung kepada orang baru yang bernama Mahisa Pukat itu. Para prajurit dan Pelayan Dalam telah melihat langsung kemampuannya yang tinggi, yang diyakini oleh Gajah Saraya bahwa kemampuan itu masih belum mencapai puncaknya dan bahkan mungkin Mahisa Pukat masih mempunyai ilmu simpanan yang ternyata mampu mengatasi kemampuan Empu Damar.
Dalam pada itu Mahisa Pukat sendiri menjadi berdebar-debar. Tetapi agaknya teka-teki yang untuk beberapa lama mencengkam jantungnya telah terjawab. Manggala Gajah Saraya tidak berniat untuk menyingkirkannya. Ia sudah menyatakan di hadapan banyak orang, bahkan di antara mereka terdapat Arya Kuda Cemani, bahwa ia akan diangkat langsung menjadi pemimpin kelompok di dalam lingkungan kesatuan Pelayan Dalam di Istana Singasari.
Ternyata yang menjadi berbesar hati bukan saja Mahisa Pukat sendiri. Tetapi juga Arya Kuda Cemani. Meskipun Mahisa Pukat belum pernah lewat orang tuanya berbicara tentang Sasi, tetapi seolah-olah mereka sudah saling mengetahui hubungan di antara anak-anak mereka. Bagi Arya Kuda Cemani, kedudukan seorang Pelayan Dalam akan lebih baik bagi Sasi daripada seorang pemimpin Padepokan yang berada di tempat yang jauh dari Kota Raja. Kebiasaan serta tata hidup Sasi sejak kanak-kanak tentu tidak akan dengan mudah ditinggalkannya.
Demikianlah, maka pendadaran bagi mereka yang ingin memasuki lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari itu sudah selesai. Para peserta dapat beristirahat sambil menunggu pengumuman, siapakah di antara mereka yang dapat diterima menjadi Pelayan Dalam dan siapa yang terpaksa tersisih. Tetapi sebagaimana pesan Manggala Gajah Saraya, bahwa mereka yang belum beruntung dapat diterima menjadi Pelayan Dalam, maka pada kesempatan lain mungkin mereka akan mendapat kesempatan pula.
Ketika para peserta itu beristirahat, maka beberapa orang di antara mereka telah menyatakan selamat atas keberhasilan Mahisa Pukat. Bukan saja diterima sebagai Pelayan Dalam, tetapi sekaligus akan menjadi pemimpin kelompok, dari para Pelayan Dalam yang diterima dalam pendadaran itu.
Anak muda yang bertubuh raksasa itu pun dengan lantang berkata, “Tetapi aku masih mempunyai kemenangan atasmu.“
Mahisa Pukat yang tidak tahu maksudnya tidak segera menjawab pernyataan itu. Tetapi justru kawannya yang lain yang bertanya, “Kemenangan apa?”
“Bukankah kita pernah bertaruh. Dan akulah yang menang dalam pertaruhan itu.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Ya. Aku mengaku kalah.”
Tetapi kawannya mendesak, “Taruhan apa?”
Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa sambil menjawab, “Aku bertaruh bahwa dalam pendadaran Mahisa Pukat tidak akan pernah kalah dalam setiap pertandingan. Bahkan pertandingan yang terakhir langsung melawan Manggala Pelayan Dalam pun, Mahisa Pukat tidak dapat dikatakan kalah. Meskipun juga tidak dapat dikatakan menang.”
“Ah, sudahlah” potong Mahisa Pukat, “lihat, petugas itu tentu akan mempersilahkan kita makan.”
“Ya” jawab salah seorang anak muda yang juga menjadi peserta, “seandainya aku tidak diterima, aku sudah mendapat kesempatan untuk makan enak selama beberapa hari sejak pendadaran pada tataran pertama. Di rumah aku tidak pernah mendapat makan sebaik makanan yang aku terima di sini.”
Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka sempat menyahut, “Ya. Aku juga tidak pernah makan seenak makanan di sini. Apakah jika kita diterima menjadi Pelayan Dalam makan kita akan seperti ini setiap hari?”
Anak-anak muda itu tertawa semakin riuh. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Jadi tujuan kita untuk menjadi Pelayan Dalam sekedar untuk mendapatkan makanan yang enak seperti saat pendadaran?”
“Sudahlah” berkata anak muda yang bertubuh raksasa, “kita harus makan. Aku memang sudah lapar.”
Sebenarnyalah seorang petugas telah mempersilahkan anak-anak muda para peserta pendadaran itu untuk makan diruangan di sebelah dapur. Sementara mereka makan, mereka masih sempat juga bergurau. Seorang mendekati anak muda bertubuh raksasa itu sambil berkata, “He, sebanyak itu kau makan?”
“Kenapa?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu.
“Tiga kali lipat dari Mahisa Pukat.” jawab kawannya.
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata lantang, “Tetapi anak itu lebih kuat dari Mahisa Pukat. Ia dapat membengkokkan lempengan besi yang tebal itu.”
“Tidak” tiba-tiba anak muda bertubuh raksasa itu menjawab, “Ternyata Mahisa Pukat tanpa harus mengerahkan kekuatannya dapat meluruskan besi itu kembali di luar pengetahuan kalian. Nah, bukankah kalian tidak melihat? Tetapi demikian besi itu aku bengkokkan, maka diam-diam ia telah meluruskannya kembali. Dengan demikian, meskipun tubuhku jauh lebih besar dari tubuhnya, serta aku dapat menelan makanan jauh lebih banyak dari padanya, namun ternyata Mahisa Pukat mempunyai kekuatan lebih besar dari aku.”
“Ah. Jangan membual” potong Mahisa Pukat.
“Kenapa aku harus membual? Aku akan mencari sepotong besi itu dan aku akan menunjukkan kepada anak-anak muda di sini.”
“Bukankah itu tidak perlu” jawab Mahisa Pukat.
“Kenapa tidak?” bertanya anak muda itu.
“Sudahlah. Nanti kita terbatuk. Selagi kita makan, maka sebaiknya kita tidak berbicara.” berkata Mahisa Pukat kemudian sambil menyuapi mulutnya.
Anak-anak muda itu memang terdiam sejenak. Namun anak muda bertubuh raksasa itu bertanya perlahan-lahan dan bersungguh-sungguh, “Kenapa pedang yang kau pergunakan itu patah?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebelum menjawab anak muda bertubuh raksasa itu bertanya pula, “Apakah parang yang kemudian kau pergunakan itu juga akan patah?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menggeleng, “Mungkin tidak. Parang itu tidak akan patah seperti pedang yang sebelumnya aku pergunakan.”
“Tetapi kenapa kau mengganti senjatamu?” bertanya anak muda itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku lebih senang mempergunakan senjata panjang daripada senjata pendek khususnya untuk melawan tombak. Apalagi Manggala Gajah Saraya memiliki kemampuan yang sangat tinggi mempermainkan tombaknya. Agaknya ia terbiasa mempergunakan senjata tombak pendek seperti yang dipergunakan waktu itu.”
Anak muda bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika kita menilai dengan jujur, maka nilaimu tentu lebih tinggi dari nilai Manggala Gajah Saraya. Kau hanya mempergunakan sebatang tongkat kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkan dari batangnya, sementara Manggala Gajah Saraya mempergunakan tombak yang sebenarnya.”
“Tentu tidak. Tentu Manggala Gajah Saraya tidak bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Seandainya aku tidak melawan sekalipun aku tidak akan terbunuh di pertandingan itu. Jika seorang prajurit yang bertugas melakukan pendadaran langsung dan membunuh orang yang sedang mengalami pendadaran itu sama saja dengan sebuah pembunuhan.” jawab Mahisa Pukat.
“Tetapi kenapa kau lebih senang mempergunakan tongkat kayu itu. Sedangkan di tempat lain tersedia batang tombak?”
Mahisa Pukat memandang anak muda itu sejenak. Sambil tersenyum ia berdesis, “Apa kau kau sedang menyelidiki satu perkara?”
“Tidak. Tetapi aku menjadi heran melihat hal itu kau lakukan” jawab anak muda itu.
“Jarak yang terdekat yang dapat aku capai adalah tongkat itu. Jika aku harus memungut tombak pendek itu aku tentu terlambat” jawab Mahisa Pukat masih tersenyum.
“Tetapi bukankah Manggala Gajah Saraya tidak bersungguh-sungguh? Seandainya kau terlambat sekalipun, kau tidak akan dikenainya. Apalagi benar-benar membunuhmu.” berkata anak muda itu pula.
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Kau tidak memberi kesempatan aku untuk makan. Tetapi baiklah. Pertanyaanmu mirip pertanyaan seorang petugas rahasia yang sedang mengusut perkara yang rumit. Barangkali aku dapat mengusulkan kepada Manggala Gajah Saraya, bahwa kau dapat di tempatkan dalam tugas rahasia kelak.”
“Ah, jangan. Aku senang menjadi anak buahmu sebagai Pelayan Dalam. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Seandainya aku terlambat menangkis serangannya. Meskipun serangan itu tidak akan benar-benar mengenaiku, namun nilai kemampuanku tentu dinilai kurang dari jika aku benar-benar mampu melakukannya. Sebenarnya aku memang tidak perlu menyombongkan diriku sebagaimana terlanjur aku lakukan. Tetapi aku benar-benar terpancing sehingga diluar kendali aku telah melakukannya.” jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun masih ada satu pertanyaan yang tersangkut. Dengan ragu-ragu anak muda itu bertanya, “Kenapa pedang itu patah?”
Sebenarnya pertanyaan itu juga membersit di kepala Mahisa Pukat. Seakan-akan ada kesengajaan bahwa senjata yang disediakan baginya telah dibuat cacat. Namun kepada anak muda bertubuh raksasa itu ia menjawab, “Mungkin aku tergesa-gesa mempergunakannya, sehingga aku kurang berhati-hati.”
“Tetapi pedang itu tidak akan patah.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Mahisa Pukat yang tidak ingin mendapat pertanyaan lebih panjang lagi, tiba-tiba berbatuk-batuk. Sambil menutup mulutnya ia terbungkuk-bungkuk menahan batuknya yang menyesakkan nafasnya. Kemudian ia pun menggapai semangkuk minuman. Baru setelah ia minum beberapa teguk ia menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak boleh makan sambil berbicara“
“Baik. Baik” sahut anak muda bertubuh raksasa itu. Tetapi katanya kemudian, “Kau hanya berpura-pura.”
Mahisa Pukat justru tertawa. Tetapi ia pun kemudian benar-benar terbatuk-batuk karena butir nasi yang masuk ke jalur yang salah.
“Sudahlah” berkata kawannya yang lain kepada anak muda bertubuh raksasa itu, “kau jangan mengajaknya berbicara saja. Barangkali kau terbiasa makan sambil berbicara. Tetapi orang lain tidak.”
“Baik. Baik.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Untuk beberapa lamanya anak-anak muda itu makan sambil berdiam diri. Tetapi anak muda bertubuh raksasa itii mulai beringsut. Tetapi sebelum ia bertanya lagi, kawannya sudah mendahuluinya, “Nah, kau sudah akan berbicara lagi.”
“Baik. Baik. Aku akan diam” jawab anak muda itu. Demikianlah, setelah makan, maka anak muda bertubuh raksasa itu tidak lagi memburu Mahisa Pukat dengan pertanyaan-pertanyaannya. Beberapa hal sudah dapat dipahami, meskipun sebenarnya masih ada yang ingin diketahuinya. Tetapi anak muda itu menduga bahwa Mahisa Pukat tidak ingin menjawabnya. Namun sebenarnyalah pertanyaan yang sama tengah bergejolak pula dihati Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itu tinggal menunggu saja pemberitahuan, siapakah di antara mereka yang gagal dalam pendadaran itu. Hanya sepuluh orang di antara mereka yang diterima. Bahkan mungkin kurang dari itu jika yang memenuhi syarat memang kurang dari sepuluh orang.
Tetapi hari itu ternyata masih belum diumumkan siapakah yang akan diterima dan siapakah yang tidak. Anak-anak muda itu masih akan bermalam semalam lagi. Bahkan malam itu Manggala Gajah Saraya berkenan menjamu anak-anak muda yang ikut sampai pendadaran terakhir. Mereka yang tidak diterima pun telah ikut pula dalam jamuan itu. Tetapi karena belum diumumkan siapakah di antara mereka yang tidak diterima, maka kedudukan mereka rasa-rasanya masih sama saja.
Dalam jamuan itu sekali lagi Gajah Saraya mengumumkan bahwa Mahisa Pukat akan langsung diangkat menjadi pemimpin kelompok dari anak-anak muda yang akan diterima sebagai Pelayan Dalam itu. Malam itu, setelah jamuan selesai, maka Mahisa Pukat telah ditemui oleh salah seorang petugas sandi atas nama Arya Kuda Cemani. Sepengetahuan Manggala Gajah Saraya, petugas sandi itu memberitahukan bahwa memang ada orang yang dengan sengaja ingin menyingkirkan Mahisa Pukat dari pencalonannya.
“Siapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sebenarnya masih harus diusut sampai tuntas. Tetapi kami sudah menemukan arah penyelidikan kami. Orang itu adalah seorang prajurit muda. Ia mempunyai pengaruh meskipun kedudukannya masih belum meningkat sejak semula. Ayahnya adalah seorang Senapati. Apa yang dilakukan adalah diluar pengetahuan ayahnya. Bahkan ketika ayahnya dihubungi, maka ia menjadi sangat terkejut. Ia pernah menghukum anaknya dalam persoalan yang sama. Dalam kedudukannya sebagai seorang anak muda yang merasa disaingi kemudaannya. Tetapi kesalahan itu telah diulangi lagi.” berkata petugas sandi itu.
“Tetapi bagaimana ia mampu menyusun jaringan yang demikian luasnya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Anak muda itu mempunyai uang cukup. Meskipun ayahnya tidak mengetahui rencana itu, tetapi ternyata anak muda itu dan beberapa orang kawannya dapat melakukannya” jawab petugas sandi itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Aku kira persoalan di antara kami sudah selesai. Ternyata masih ada kelanjutannya.”
“Ayahnya akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat.” berkata petugas sandi itu.
“Jika kau dapat berhubungan dengan ayahnya, katakan kepadanya bahwa hukuman badan itu tidak perlu. Tetapi anak itu perlu mendapat tuntunan lebih jauh. Aku ingin menemuinya jika mungkin serta diijinkan oleh ayahnya. Menurut dugaan serta perhitunganku ia sudah menjadi jera. Mungkin ada sesuatu yang mempengaruhinya sehingga ia mengulangi kesalahannya.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan melaporkan kepada Arya Kuda Cemani. Ia juga menyesalkan peristiwa itu. Tetapi Arya Kuda Cemani memang menghendaki agar persoalannya diselesaikan kedalam tanpa banyak keributan. Apalagi ayah anak muda itu juga tidak berniat membela anaknya meskipun ia mempunyai kedudukan penting. Bahkan jika dikehendakinya, ia akan dapat mempergunakan kekerasan atau setidak-tidaknya mendesak dengan ancaman-ancaman kekerasan. Tetapi Senapati itu ternyata bersikap jujur dan bahkan siap menghukum anaknya sendiri.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku justru kasihan kepadanya. Hatinya tentu tersiksa sehingga mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama dengan cara yang justru lebih berbahaya.”
Namun, petugas sandi itu tidak memperpanjang pembicaraan itu. Beberapa saat kemudian maka anak-anak muda itu pun telah memasuki bilik mereka untuk tidur, sementara malam menjadi semakin larut.
Seperti biasanya, pagi-pagi benar anak-anak muda itu sudah bangun. Ketika matahari terbit, maka mereka pun sudah berbenah diri dan sebentar kemudian mereka pun telah makan. pagi. Setelah beristirahat sebentar, maka datanglah saat yang mendebarkan itu. Manggala Pelayan Dalam sendiri akan mengumumkan, siapakah di antara mereka yang diterima menjadi Pelayan Dalam.
Setelah memberikan sedikit pengantar, agar yang terpaksa tidak diterima tidak menjadi terlalu kecewa, maka Manggala Pelayan Dalam itu pun berkata,
Mahisa Pukat pun duduk pula bersama dua orang peserta yang lain diserambi. Seorang di antara mereka adalah anak muda yang bertanding melawannya pada kesempatan pertama.
Diluar dugaan anak muda itu berkata, “Aku memang mencari kesempatan untuk dapat mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Kenapa?” Mahisa Pukat menjadi heran.
“Kau memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan perlawanan. Dengan demikian maka aku tidak nampak terlalu lemah di mata para prajurit yang mengawasi pertandingan kita.”
“Apa yang sudah aku lakukan? Bukankah aku berbuat sebagaimana kau lakukan? Juga sebagaimana kawan-kawan kita yang lain melakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi anak muda itu tergawa pendek. Katanya, “Tidak. Kau telah membiarkan aku memberikan perlawanan untuk waktu yang cukup lama. Sebenarnya jika kau mau, maka aku akan dapat kau jatuhkan pada gerakanmu yang pertama.”
“Ah, itu sangat berlebihan” jawab Mahisa Pukat, “aku telah berbuat sejauh dapat aku lakukan.”
Tetapi anak muda itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kau berbaik hati membiarkan aku tidak kehilangan kesempatan pada saat itu juga”
“Jangan mengada-ada” desis Mahisa Pukat.
“Aku tidak mengada-ada. Yang mengatakan kepadaku adalah seorang prajurit yang mengawasi kita bertanding. Prajurit itu adalah pamanku. Ia berkata jujur kepadaku.” berkata anak muda itu.
“Tidak” jawab mahisa Pukat, “sama sekali tidak. Dongeng itu akan dapat merugikan kedudukanmu sendiri.”
“Menurut pamanku, kedudukanku tidak akan terpengaruh. Yang mereka lihat adalah kemampuanku. Meksipun lawanku jauh lebih baik dari aku, tetapi kemampuanku berada setidak-tidaknya pada tataran yang diperlukan.” berkata anak muda itu.
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “kita berbicara tentang yang lain.”
Anak muda itu mengangguk angguk, sementara kawannya yang seorang lagi berkata, “Aku juga mendengar seorang prajurit memuji kelebihanmu”
“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “Kenapa kita tidak berbicara tentang pertandingan esok pagi? Aku besok pagi akan berhadapan dengan anak muda yang bertubuh pendek tetapi nampaknya sekokoh batu karang itu. Aku tidak tahu, apakah aku dapat bertahan.”
Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau tidak dapat menyembunyikan kelebihanmu. Tetapi seperti kata kawanku ini, kau terlalu baik, sehingga kau sama sekali tidak berniat menjatuhkan orang lain dari kemungkinan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kau memang beranggapan demikian, sudahlah. Tetapi tidak usah disebut-sebut lagi. Biarlah kalian, berdua saja yang menganggap bahwa aku memiliki kelebihan dari kawan-kawan kita. Karena jika itu didengar oleh orang lain yang mengetahui kemampuanku yang sebenarnya, mereka akan mentertawakan aku.”
“Baiklah” berkata anak muda yang menjadi lawan bertanding Mahisa Pukat pada pertandingan pertama, “Tetapi aku percaya kepada ceritera itu.”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Namun Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda bertubuh raksasa itu mendekat mereka. Jika saja anak muda itu masih berbicara tentang sepotong besi itu, maka pembicaraan tentu akan semakin berkepanjangan.
Tetapi justru ada orang lain, ternyata anak muda bertubuh raksasa itu tidak menyinggung lagi tentang sepotong besi baja itu. Karena itu, maka mereka pun kemudian sekedar berbicara tentang pertandingan pertandingan yang telah mereka lakukan.
Malam itu, maka para peserta itu pun telah beristirahat sebaik baiknya. Menjelang fajar, maka mereka pun telah bangun dan bergantian pergi ke pakiwan. Seperti hari pertama, mereka-pun segera berbenah diri, makan pagi dan beristirahat beberapa saat sebelum mereka memasuki lingkaran pertandingan.
Pada pertandingan ketiga, maka mulai nampak anak-anak muda yang daya tahannya tidak terlalu kuat. Ada di antara mereka yang sudah nampak menjadi lelah. Tetapi masih juga ada anak-anak muda yang nampak segar dan seakan-akan kekuatannya masih tetap utuh. Dengan demikian, maka para prajurit yang mengamati pertandingan-pertandingan itu pun mulai membuat catatan-catatan penting atas para peserta pendadaran.
Menjelang tengah hari, maka pertandingan pun telah selesai. Anak-anak muda itu pada umumnya memang nampak letih. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha beristirahat sebaik-baiknya. Di sore hari mereka akan memasuki arena sekali lagi. Kecuali masih ada yang tersisa dan yang akan dipertandingkan esok pagi, maka pertandingan di sore hari itu adalah pertandingan yang terakhir.
Demikian pula bagi Mahisa Pukat. Pertandingan di sore hari itu baginya juga merupakan yang terakhir. Sementara itu lawan-lawannya adalah anak muda yang berjambang lebat, yang sudah beberapa kali mendapat peringatan. Beberapa orang anak muda yang telah mendengar serba sedikit tentang Mahisa Pukat justru berpengharapan, bahwa anak muda itu akan menemukan lawan yang akan dapat memberikan sedikit peringatan kepada anak muda yang berjambang lebat itu.
Sementara itu, para prajurit yang menunggui pertandingan yang masih belum selesai telah memerintahkan untuk meneruskan pertandingan. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh keadaan diluar lingkaran pertandingan mereka masing-masing.
...Ada bagian cerita yang hilang...
Anak muda berjambang itu pun kemudian bangkit tertatih-tatih sambil menyeringai kesakitan. Sambil menunjuk ke arah Mahisa Pukat ia berkata, “Anak iblis itu telah berbuat curang. Seharusnya aku dapat mengalahkannya.”
...Ah, sepertinya ada bagian cerita yang hilang lagi...
Namun tiba-tiba seorang prajurit yang berdiri di antara mereka yang berkerumun itu berdesis, “Tidak masuk akal jika anak muda berjambang itu dapat mengalahkannya. Aku yakin bahwa anak muda itu tidak dapat dikalahkan oleh siapapun, peserta pendadaran ini.”
Prajurit yang mengawasi pertandingan antara Mahisa Pukat dan anak muda berjambang itu berpaling kepadanya sambil membelalakkan matanya, “Kau tidak melihat pertandingan ini. Tetapi apakah kau sudah memihak?”
“Aku tidak memihak siapapun. Tetapi kita dapat berbicara dengan kawan-kawan kita yang telah menunggui anak muda ini bertanding.” jawab prajurit itu.
Mahisa Pukat masih berdiri tegang. Giginya gemeretak menahan kemarahan yang menyala di dadanya. Tetapi, di hadapan beberapa orang prajurit yang bertugas ia masih menahan diri. Ia sadar, bahwa pernyataan kedua orang prajurit yang bertugas itu belum merupakan keputusan terakhir.
Seorang perwira yang berdiri di dekat seorang petugas sandi bertanya, “Apakah kalian yakin bahwa anak muda ini sudah melanggar paugeran.”
“Ya.” prajurit itu memang tegas sehingga seakan-akan ia benar-benar yakin akan penglihatannya, bahwa Mahisa Pukat telah melanggar paugeran.
“Apa yang dilakukannya?” bertanya seorang perwira petugas sandi yang mengamati pendadaran itu.
“Ia menyerang dengan kakinya sasaran yang terlarang. Tumitnya mengenai bagian bawah perut anak muda berjambang itu.”
“Tidak” sahut Mahisa Pukat.
Tetapi prajurit yang seorang lagi berteriak, “Diam. Kau hanya boleh berbicara jika kau ditanya.”
Mahisa Pukat memandang prajurit itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
Namun tiba-tiba mereka mendengar seseorang membentak, “Cukup. Bukankah kita mempunyai paugeran? Kenapa kita harus berbantah di sini?”
Mereka yang sedang berkerumun itu pun berpaling. Ternyata yang berdiri dua langkah dari mereka adalah Manggala Pelayan Dalam Gajah Saraya. Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara Gajah Saraya berkata selanjutnya, “Keputusan memang berada di tangan para prajurit yang mengawasi pendadaran. Tetapi jika salah seorang peserta menyatakan keberatan atas keputusan yang diambil, maka akan diadakan pembicaraan khusus tentang pertandingan itu. Bukankah jelas? Kenapa kita harus berbantah di sini seolah-olah kita bukan sekelompok prajurit yang berpegang pada ketentuan dan paugeran yang pasti?”
Semuanya memang terdiam. Sementara itu, Gajah Saraya berkata, “Kita ikuti ketentuan itu. Kita akan berbicara khusus mengenai pertandingan ini. Sekarang juga.”
Semuanya masih berdiam diri. Sementara itu, Gajah Saraya pun segera memerintahkan mereka yang berkepentingan untuk berkumpul diruang yang telah disediakan. Kedua orang prajurit yang mengawasi langsung, seorang perwira petugas sandi dan kedua orang anak muda yang bertanding. Dengan jelas dan terperinci kedua orang prajurit yang mengawasi pertandingan itu memberikan laporan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Mahisa Pukat.
“Beberapa kali. Tetapi yang terakhir adalah pelanggaran yang terberat,” jawab salah seorang prajurit yang mengawasi pertandingan itu.
“Berapa kali kalian memberikan peringatan.” bertanya Gajah Saraya pula.
“Sesuai dengan ketentuan. Jika pelanggaran itu terjadi dengan sengaja dan menimbulkan akibat yang paling buruk, sehingga lawannya bertanding tidak dapat melanjutkan pertandingan, maka yang melanggar paugeran itu dapat dikeluarkan dari arena. Dan tidak akan dapat mengikuti tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat memang menjadi tegang. Ia sudah berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya. Tetapi ternyata Gajah Saraya tidak segera mengambil keputusan membenarkan tindakan kedua orang prajurit yang mengawasi pendadaran itu.
Bahkan Gajah Saraya masih bertanya kepada Mahisa Pukat, “Kenapa kau berkeberatan terhadap keputusan kedua prajurit yang mengawasi pendadaran itu?”
“Aku tidak merasa melakukan pelanggaran.” jawab Mahisa Pukat, “Aku bertanding dengan wajar.”
“Tetapi kedua orang prajurit itu melihat kau melakukan pelanggaran” berkata Gajah Saraya kemudian.
“Aku tidak merasa melakukannya” jawab Mahisa Pukat pasti. Lalu katanya, “Aku yakin bahwa aku akan dapat mengalahkannya tanpa melakukan pelanggaran.”
Sepertinya ada bagian yang terlompat
Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka bertanya, “Siapakah yang kau maksud di antara kita? Kau atau aku atau siapa?”
Perwira yang mempunyai tugas mengatur itu berkata, “Maksudku, orang-orang yang sejalan dengan kita. Aku dapat menunjuk dua orang yang bersama kalian bertugas di gardu di belakang hutan perburuan itu.”
“Baik” jawab prajurit itu, “tetapi bagaimana jika ada orang lain yang ikut mengawasi?” bertanya prajurit yang lain.
“Itu diluar kekuasaanku. Tetapi aku akan mencari jalan agar kita dapat mengatasinya meskipun sulit,” jawab perwira itu.
“Ingat. Jika kami berdua diketahui berlaku curang, maka kau pun akan terlibat.” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Kenapa kau menjadi gila sehingga mengancamku? Aku tahu itu. Tetapi bukankah kekuasaanku terbatas? Apakah aku harus mengatur agar pertandingan ulangan itu dilakukan, di tempat tertutup dan hanya kalian berdua saja yang boleh masuk?” jawab perwira itu dengan wajah geram.
Kedua prajurit itu terdiam. Kekuasaan perwira itu memang terbatas sehingga ia tidak dapat menentukan lebih dari wewenang yang diberikan kepadanya. Namun, dengan demikian maka kedua orang prajurit itu pun semalaman tidak dapat tidur. Mereka sudah membayangkan bahwa kecurangan mereka akan terungkap. Mereka tahu bahwa sulit bagi anak muda berjambang lebat itu dapat mengalahkan Mahisa Pukat.
Selain kedua orang prajurit itu, anak muda berjambang lebat itu pun sulit pula untuk memejamkan matanya. Ia menyesal, bahwa sebelum bertanding melawan Mahisa Pukat ia sudah sering melakukan pelanggaran, sehingga para prajurit yang mengawasinya telah memberikan kesaksian yang merugikannya. Seandainya sebelumnya ia tidak pernah melakukan pelanggaran maka keputusan Gajah Saraya akan dapat lain.
Anak muda itu terlambat menyadari kesombongannya. Ia begitu bernafsu untuk menunjukkan kelebihannya dengan mengalahkan lawan-lawannya dalam waktu yang pendek, sehingga justru karena itu, ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ternyata telah menjeratnya pada bagian terakhir dari pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan itu.
“Tetapi semuanya sudah terjadi” anak muda itu menggeram, “aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali dalam waktu yang singkat menghentikan perlawanannya. Tanpa melakukan pelanggaran sama sekali.”
Tiba-tiba saja anak muda itu bangkit dari pembaringannya. Diambilnya sebuah bumbung kecil yang berisi serbuk dari kantong ikat pinggang kulitnya yang lebar. Sambil mengamati bumbung kecilnya anak muda itu tersenyum. Bumbung itu berisi serbuk racun yang tidak terlalu keras. Serbuk itu tidak membunuh. Tetapi serbuk itu akan dapat membuat seseorang kehilangan tenaganya. Jika racun itu mengenai tubuh seseorang maka serbuk itu akan menyusup lewat lubang-lubang kulit.
Racun itu akan dapat bekerja lebih cepat jika tubuh seseorang terluka meskipun hanya segores kecil. Luka yang segores kecil itu akan mempercepat penyusupan racun kedalam darah dan mengalir keseluruh tubuh. Semakin banyak orang itu bergerak, maka semakin cepat pula racun itu menghisap tenaganya meskipun hanya untuk sementara. Tetapi sebelum tenaga itu tumbuh dan pulih kembali, maka ia tentu sudah dapat mengalahkan lawannya, siapapun lawannya itu.
“Terima kasih guru” desis anak muda berjambang lebat itu. Racun dari gurunya itu ternyata akan dapat dipergunakan untuk mengatasi kesulitannya menghadapi anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu. Ia harus mengalahkan anak muda itu dan menggagalkan agar ia tidak dapat memasuki tugas Pelayan Dalam di Istana Singasari.
“Besok, serbuk racun itu tidak boleh ketinggalan.” desis anak muda itu. Tetapi katanya kemudian, “Tetapi aku juga tidak boleh lupa minum penawarnya. Jika tidak, tenaganya pun akan dihisapnya sehingga aku akan menjadi tidak berdaya.”
Dengan demikian maka anak muda itu tidak lagi menjadi gelisah. Bahkan ia menjadi tenang dan dapat tidur dengan nyenyak. Mahisa Pukat sendiri tidak terlalu banyak memikirkan pertandingan ulangan. Selain pertandingan ulangan itu masih ada satu pertandingan yang lain, karena jumlah pesertanya adalah tujuh belas orang.
Menurut perhitungan Mahisa Pukat, maka ia tentu akan dapat mengalahkan anak muda itu meskipun ia tidak ingin merendahkannya, Bahkan ia masih juga berdoa, agar ia mendapat tuntunan sehingga usahanya untuk menjadi keluarga Pelayan Dalam di istana Singasari dapat terlaksana.
Menjelang fajar dinihari berikutnya, maka Mahisa Pukat-pun telah mempersiapkan diri. Demikian anak-anak muda yang lain, meskipun sebagian besar mereka sudah tidak akan bertanding lagi, namun mereka pun telah bersiap-siap untuk melihat apa yang akan terjadi di arena, terutama dalam pertandingan ulangan antara anak muda yang berjambang lebat itu dengan mahisa Pukat.
Anak muda yang berjambang lebat itu pun mandi dan berbenah diri adalah minum-minuman hangat yang telah tersedia didapur. Kemudian tanpa diketahui seorang pun ia telah menelan sebutir ramuan obat untuk menolak dan menawarkan serbuk racunnya.
Anak muda itu tersenyum sendiri. Ia yakin akan dapat memenangkan pertandingan itu. Para prajurit yang akan mengawasi pertandingan itu tentu akan berterima kasih kepadanya apabila mereka berdiri dipihaknya. Apalagi jika yang akan mengawasinya nanti kedua orang prajurit yang kemarin mengawasinya.
“Mereka tentu sudah menjadi gelisah” berkata anak muda berjambang lebat itu di dalam hatinya, Ketika saat makan pagi tiba, maka anak muda berjambang lebat itu justru berjalan hilir mudik dengan wajah tengadah, tersenyum-senyum dan tertawa-tawa sambil berbincang dengan beberapa orang peserta yang lain meskipun tanggapan kawan-kawannya agak kurang akrab.
Mahisa Pukat memang agak heran melihat sikap anak muda itu. Ternyata ia masih juga terlalu yakin akan dirinya. Anak muda berjambang itu sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia akan dapat dikalahkannya dalam pendadaran ulangan. Namun Mahisa Pukat pun tidak menghiraukannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak terjebak kedalam pelanggaran paugeran sehingga ia akan dapat dianggap kalah dalam pertandingan ulangan itu.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka beristirahat sejenak, maka para peserta itu pun telah dikumpulkan di halaman depan. Gawar kedelapan arena masih terpasang meskipun yang akan dipergunakan hanya dua. Satu di antaranya adalah pertandingan ulangan antara Mahisa Pukat dan anak muda berjambang lebat itu.
Dalam pada itu keempat orang anak muda yang akan memasuki arena pun telah diminta untuk bersiap-siap. Mereka telah berada di sekitar arena yang ditentukan bagi keempat orang anak muda yang akan bertanding didua arena.
Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap pula. Ketika ia berdiri dekat dengan gawar lawe arena pertandingannya, maka anak muda berjambang itu mendekatinya sambil berdesis, “Kau akan menyesal dengan ulahmu kemarin. Pagi ini kau akan mengalami keadaan yang lebih buruk. Dan kau akan segera tersisih dari deretan para calon Pelayan Dalam. Kaupun tidak akan mungkin ikut dalam pendadaran tataran berikutnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apapun akhir dari pertandingan ulangan ini akan aku terima jika itu hasil yang kita capai dengan jujur.”
“Kau memang tidak akan dapat dengan semena-mena melanggar paugeran lagi” berkata anak muda itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap mengendalikan diri. Sebentar lagi ia akan memasuki arena untuk benar-benar mengukur kemampuan mereka berdua. Demikianlah sejenak kemudian maka para prajurit yang bertugaspun telah mempersiapkan diri. Sementara itu anak muda yang berjambang lebat itu minta ijin untuk pergi ke pakiwan sebelum pertandingan ulangan itu dilaksanakan.
“Cepatlah” berkata prajurit yang bertugas untuk mengawasi pertandingan itu, yang ternyata adalah dua orang prajurit yang meskipun bukan yang mengawasinya kemarin, tetapi mereka adalah orang-orang yang berdiri di pihak anak muda berjambang lebat itu.
“Kemana anak itu?” bertanya seorang prajurit yang lain.
“Ke pakiwan sebentar” jawab prajurit yang mengawasinya.
Prajurit yang bertanya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang bertugas untuk mengawasinya itu pun memang menjadi gelisah. Tetapi mereka sudah pasrah apapun yang terjadi. Mereka hanya menunggu keajaiban saja bahwa anak muda berjambang itu akan memenangkan pertandingan ulang itu.
Apalagi ketika di sekitar arena pertandingan itu terdapat beberapa orang perwira prajurit dan bahkan prajurit sandi. Arya Kuda Cemani sendiri hadir didekat arena bersama-sama dengan Gajah Saraya.
“Bagaimana mungkin mendapatkan cara untuk menyelamatkan anak muda berjambang itu” desis salah seorang dari kedua orang prajurit yang mengamatinya.
Namun kawannya menjawab, “Tetapi anak itu sendiri nampaknya begitu yakin akan memenangkan pertandingan.”
“Mudah-mudahan. Mungkin ia berbuat sesuatu di pakiwan.”
Sebenarnyalah anak muda yang pergi ke pakiwan itu telah menaburkan serbuk racunnya pada kedua telapak tangannya. Serbuk itu memang tidak begitu nampak. Meskipun serbuk itu bekerja cepat, tetapi tidak membahayakan jiwa orang yang terkena. Sementara itu, anak muda berjambang itu sendiri sudah menelan obat penawarnya sehingga racun itu tidak akan mempengaruhinya meskipun melekat pada kulitnya.
Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu telah kembali dan siap memasuki arena. Kedua prajurit yang mengawasi pertandingan ulang itu pun mendekatinya dan seorang di antaranya bertanya, “Kau sudah siap sepenuhnya?”
Anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku akan menyelesaikannya dalam waktu singkat.”
“Apakah kau tidak membual?” bertanya prajurit itu hampir berbisik.
“Lihat saja apa yang akan terjadi.” jawab anak muda itu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu terdengar suara bende untuk pertama kali. Dengan demikian maka para pesertapun segera bersiap di dalam arena pertandingan. Dua orang peserta yang akan menyelesaikan pertandingan telah memasuki arena. Demikian pula anak muda berjambang lebat itu bersama Mahisa Pukat. Ketika pertanda berikutnya dibunyikan, maka pertandingan itu pun telah siap untuk dimulai.
Anak muda berjambang lebat itu masih saja tersenyum ketika Mahisa Pukat mulai bergeser. Selangkah ia maju mendekat sambil berdesis, “Kau akan aku habisi dalam waktu sekejap.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia memang heran melihat sikap anak muda berjambang lebat itu. Sementara itu, selain kedua orang prajurit yang bertugas mengamati pertandingan itu, maka beberapa orang perwira ada di sekitar arena itu. Bahkan Arya Kuda Cemani dan Gajah Saraya juga menyempatkan diri untuk melihat hasil pertandingan ulangan itu. Mereka ingin melihat kebenaran dari laporan kedua orang prajurit yang mengawasi pertandingan sebelumnya.
Namun kesan yang mereka dapatkan pada saat pertandingan itu akan dimulai, memang meyakinkan. Anak muda berjambang lebat itu benar-benar percaya diri bahwa ia akan dapat menyelesaikan pertandingan dengan cepat. Sementara itu, Mahisa Pukat tidak menunjukkan sikap yang dapat memberikan kesan sesuatu. Meskipun ia tetap tenang, tetapi tidak mengesankan satu keyakinan bahwa ia akan menang.
Dalam pada itu, anak muda yang berjambang lebat yang telah menaburi telapak tangannya dengan serbuk racun itu hanya tinggal berusaha menyentuh kulit Mahisa Pukat dibagian manapun. Dan itu sama sekali bukan soal yang sulit. Jika ia menyerang dengan cepat, maka sentuhan-sentuhan yang diperlukan akan segera terjadi. Apalagi anak muda itu serba sedikit sudah dapat mengenali bagaimana Mahisa Pukat itu mempertahankan dirinya.
Demikianlah, ketika anak muda berjambang lebat itu melihat satu kesempatan, maka ia pun segera meloncat menyerang. Tangannya terayun dengan cepat mengarah kening. Tetapi Mahisa Pukat yang sudah siap itu pun sempat menghindari serangan itu. Dengan cepat pula Mahisa Pukat bergeser sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.
Tetapi anak muda itu terus saja memburunya. Bahkan tidak lagi mempergunakan unsur-unsur gerak yang mapan, seakan-akan asal saja anak itu membenturnya. Mahisa Pukat yang mengalami serangan dengan serta merta itu memang berusaha menangkis. Tangan anak muda berjambang yang menyambar dengan cepat ke arah dada itu ditepisnya ke samping. Namun diluar dugaan Mahisa Pukat, tangan anak muda itu yang lain justru berusaha menangkap pergelangan tangannya.
Serangan yang demikian memang merupakan serangan yang tidak terbiasa dilakukan. Karena itu, maka Mahisa Pukat memang terlambat menghindar. Pergelangan tangannya memang benar-benar telah ditangkap oleh anak muda berjambang itu. Ternyata tangan Mahisa Pukat telah ditariknya dengan sekuat tenaga. Begitu menghentak dan tiba-tiba.
Mahisa Pukat memang terseret oleh tarikan itu. Dengan satu putaran tangan Mahisa Pukat hampir saja terpilin. Namun Mahisa Pukat dengan cepat berguling dan memutar tubuhnya. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera melenting menyerang dengan kakinya. Ternyata anak muda berjambang itu dengan cepat melepaskan tangannya dan meloncat surut, sehingga serangan Mahisa Pukat tidak mengenainya. Sejenak kemudian, maka keduanya telah berdiri lagi berhadapan. Masing-masing telah siap melanjutkan pertandingan.
Beberapa orang prajurit, perwira dan bahkan Arya Kuda Cemani dan Gajah Saraya memang menjadi berdebar-debar. Pertandingan itu berlangsung dengan cepat. Namun mereka pun segera melihat, betapa tangkasnya Mahisa Pukat mengatasi kesulitan yang dengan tiba-tiba dialaminya dalam pertandingan itu.
Ketika Mahisa Pukat sudah siap melanjutkan pertandingan, maka anak muda berjambang itu tersenyum sambil berdesis, “Kau tidak menyesali kecuranganmu kemarin? Semuanya sudah terjadi. Kau tinggal menerima akibat dari kecuranganmu itu, karena kau akan segera tersisih.”
Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia justru mulai memperhatikan pergelangan tangannya yang hampir saja terpilin. Ia tidak merasa bahwa pergelangannya itu menjadi sakit atau bahkan nyeri. Tetapi ia memang merasakan sesuatu. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ketika lawannya bergeser, ia pun bergeser pula. Namun ia sempat mengusap pergelangan tangannya dengan tangannya yang lain.
Rasa-rasanya ada berpuluh-puluh semut yang merayap di pergelangan tangannya dan bahkan kemudian di telapak tangannya yang lain. Bahkan kemudian terasa seakan-akan pergelangan tangannya dan telapak tangannya yang lain itu tertusuk-tusuk oleh ujung duri yang lembut, memang tidak sakit. Tetapi seolah-olah duri-duri yang lembut itu justru menyusup ke. dalam urat-urat darahnya dan kemudian mengalir keseluruh tubuhnya.
Anak muda berjambang itu melihat betapa Mahisa Pukat merasa terganggu pada pergelangan tangannya dan telapak tangannya yang lain. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekitar arena, maka ia pun tertawa berkepanjangan.
Orang-orang yang ada di sekitar arena itu menjadi heran. Mereka belum melihat tanda-tanda bahwa anak muda itu akan memenangkan pertandingan. Karena itu, maka sikapnya itu telah mengundang pertanyaan.
Bahkan anak muda itu kemudian bertanya, “Kenapa kau nampak menjadi bingung?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia menghubungkan perasaan aneh pada pergelangan tangan dan telapak tangannya. Diluar sadarnya ia mengawasi pergelangan dan telapak tangannya itu. Ternyata Mahisa Pukat dapat melihat bahwa tangannya memang telah terkena serbuk yang tentu telah menimbulkan perasaan asing itu.
“Racun” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Apalagi ketika ia melihat sikap dan pertanyaan anak muda berjambang yang aneh itu.
Karena Mahisa Pukat tidak segera menjawab, maka anak muda itu bertanya pula, “Apakah kau akan menyerah saja?”
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, “Bukankah kita baru mulai? Apakah kau melihat tanda-tanda bahwa aku akan menyerah?”
“Tentu. Kau menjadi bingung dan bahkan seakan-akan ketakutan menghadapi pertandingan ulangan ini” jawab anak muda itu.
“Agaknya kau sedang bermimpi” sahut Mahisa Pukat, “bangunlah. Kita berada di arena pertandingan dalam rangka pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam.”
Orang-orang yang ada di sekitar arena itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban Mahisa Pukat itu. Seakan-akan Mahisa Pukat telah mewakili mereka mengatakan sebagaimana pernyataan di dalam hati mereka.
Anak muda itu memandang Mahisa Pukat dengan tajam. Ia melihat Mahisa Pukat masih berdiri tegak dan bahkan bersiap untuk meneruskan pertandingan. Anak muda itu pun kemudian telah bergeser selangkah maju. Bahkan kemudian tanpa berkata apapun lagi, dengan garangnya ia telah menyerang Mahisa Pukat. Ia berharap bahwa jika Mahisa Pukat bergerak lebih banyak, maka racun itu akan beredar lebih cepat di dalam tubuhnya. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu akan segera menjadi lemah dan kehilangan kekuatannya.
Mahisa Pukat pun meloncat menghindari serangan itu. Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah mengambil satu sikap. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertandingan itu. Anak muda berjambang itu telah cukup banyak melontarkan pernyataan yang menyinggung perasaannya bahkan penghinaan dengan menawarkan agar Mahisa Pukat itu menyerah saja
Karena itu, demikian Mahisa Pukat menghindari serangan anak muda itu, maka ia pun segera menghentakkan segenap kemampuannya. Meskipun ia belum merambah keilmu andalannya, namun tenaga dan kemampuannya sudah cukup untuk dengan cepat menghentikan perlawanan anak muda berjambang lebat itu.
Apalagi Mahisa Pukat menyadari, bahwa anak muda itu telah mempergunakan racun untuk mengalahkannya meskipun Mahisa Pukat pun tahu bahwa racun yang dipergunakan itu adalah racun yang dapat bekerja dengan cepat tetapi lunak sehingga tidak akan membunuh orang yang dikenainya meskipun orang itu bukan Mahisa Pukat.
Dengan cepat Mahisa Pukat lah yang kemudian justru menyerang. Dengan loncatan panjang Mahisa Pukat menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada. Ketika lawannya itu menghindar ke samping, maka Mahisa Pukat justru berputar. Kakinya bergerak mendatar dengan cepatnya.
Anak muda berjambang itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Meskipun ia berusaha menangkis, namun hentakkan kekuatan kaki Mahisa Pukat itu telah mendorongnya beberapa langkah surut.
Mahisa Pukat ternyata tidak melepaskannya. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat menyusulnya. Hampir saja Mahisa Pukat memukul kepala anak muda yang sedang terbungkuk itu. Namun niat itu diurungkan, karena Mahisa Pukat tidak mau membuat kepala anak muda itu terguncang sampai ke otaknya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mengayunkan tangannya mendatar. Dengan punggung telapak tangannya yang terbuka, Mahisa Pukat mengenai kening anak muda itu.
Anak muda itu terhuyung-huyung dan di saat ia hampir kehilangan keseimbangannya, maka serangan Mahisa Pukat telah menyusul sekali lagi. Sisi telapak tangannya yang sudah terangkat dan hampir saja terayun ke tengkuknya telah diurungkannya. Sisi telapak tangan itu kemudian hanya mengenai pundak kanan anak muda yang berjambang itu.
Ternyata serangan beruntun Mahisa Pukat itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengelak dan apalagi membalas. Serangan Mahisa Pukat pada pundak anak muda itu telah membuatnya tidak mampu bertahan. Perasaan sakit yang tajam telah menggigit pundaknya itu. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Tekanan pukulan Mahisa Pukat telah mendorong anak muda itu sehingga jatuh tertelungkup.
Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan. Anak muda itu memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ia pun telah terjatuh kembali menelentang sambil mengaduh menahan sakit. Ternyata dalam waktu yang sangat singkat pertandingan itu telah diselesaikan oleh Mahisa Pukat.
Pertandingan ulangan itu ternyata menjadi sangat menarik perhatian. Dua orang prajurit yang seharusnya mengamati pertandingan yang tersisa, beberapa kali telah berpaling melihat apa yang terjadi di arena yang lain, arena pertandingan ulangan antara anak muda yang berjambang lebat, yang sombong dan beberapa kali melanggar paugeran dengan anak muda yang memiliki ilmu yang dianggap lebih baik dari kebanyakan para peserta pendadaran.
Bahkan dua orang yang menyelesaikan pertandingan yang tersisa itu pun kadang-kadang justru terhenti dan berusaha pula melihat apa yang terjadi di arena yang lain. Apalagi para peserta yang sudah menyelesaikan pertandingan mereka. Semuanya telah berkumpul dan menyaksikan pertandingan ulangan itu.
Ternyata semua orang telah tercenung melihat akhir pertandingan itu. Dalam waktu yang sangat singkat pertandingan ulangan itu telah berakhir. Anak muda berjambang lebat itu sama sekali tidak mampu berbuat apapun juga. Bahkan serbuknya sama sekali tidak berpengaruh atas Mahisa Pukat.
Dengan demikian kepercayaan anak muda itu kepada gurunya berguncang. Ia menganggap bahwa racun itu tidak mempunyai arti apa-apa. Tidak sebagaimana dikatakan oleh gurunya. Namun, sebenarnyalah bahwa anak muda itu tidak tahu sama sekali bahwa Mahisa Pukat bukan anak muda kebanyakan. Anak muda itu memiliki kemampuan untuk menangkal racun. Apalagi racun yang lunak, bahkan racun yang paling tajam sekalipun tidak akan dapat membunuhnya.
Dengan demikian, maka diputuskan bahwa Mahisa Pukat telah memenangkan pertandingan itu. Sebenarnya keputusan menang atau kalah itu tidak mutlak diperlukan. Bahkan ada di antara mereka yang dianggap memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Namun justru karena ada persoalan di antara kedua anak muda yang bertanding itu, maka kemenangan salah seorang di antaranya memang diperlukan.
Kedua orang prajurit yang menunggui pertandingan itu tidak dapat berbuat banyak. Apalagi mereka tahu bahwa Gajah Saraya dan Arya Kuda Cemani khusus datang untuk melihat hasil dari pertandingan itu, sehingga keduanya harus menyatakan hasil yang sebenarnya yang memang tidak dapat disembunyikannya.
Namun dengan demikian, setiap orang yang mengikuti pendadaran itu telah menjadi curiga terhadap kedua orang prajurit yang menunggui pertandingan sebelumnya yang menganggap bahwa Mahisa Pukat seharusnya disisihkan dari pendadaran pada tataran berikutnya karena dianggap curang.
Tetapi siang itu juga, sebelum keduanya dapat diusut lebih lanjut, maka datang perintah dari kesatuan kedua orang prajurit itu, bahwa keduanya harus segera kembali ke kesatuannya karena ada tugas lain yang lebih penting. Perintah itu datang dari pemimpin kelompoknya yang juga mengirimkan dua orang prajurit yang lain sebagai gantinya jika diperlukan.
Gajah Saraya memang menjadi heran atas sikap pemimpin kelompok kedua orang prajurit yang dicurigai melakukan tindakan yang tidak benar itu. Tetapi Gajah Saraya tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil tindakan, karena hal Itu akan menyangkut wibawa antara kesatuan. Karena itu, maka diperlukan waktu untuk menghubungi pemimpin yang lebih tinggi lagi dari pemimpin kelompok itu untuk mengambil langkah-langkah berikutnya.
Dalam pada itu, pendadaran pada tataran kedua itu pun telah berakhir. Para prajurit yang bertugas akan segera menentukan, siapakah di antara ketujuh belas orang itu yang pantas untuk mengikuti pendadaran selanjutnya.
Anak muda yang berjambang itu sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat memasuki pendadaran tataran berikutnya. Namun ia pun tidak dapat melupakan anak muda yang telah mempermalukannya. Mahisa Pukat. Sehingga ia pun telah mendendamnya dan bahkan timbul keinginannya untuk membalas dendam apapun caranya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang sejak semula telah berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya menjadi ragu-ragu. Sampai pendadaran pada tataran kedua tidak nampak bahwa Gajah Saraya dengan sengaja ingin menyisihkannya. Bahkan pada tataran kedua Gajah Saraya justru telah memberinya kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat meneruskan pendadaran pada tingkat selanjutnya.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, Mahisa Pukat tidak dapat menduganya. Bahwa kedua orang prajurit yang mengamatinya dalam pertandingan terakhir sebelum pertandingan ulangan dilakukan, begitu saja dibiarkannya meninggalkan tempat pendadaran, telah menimbulkan pertanyaan pula dihati Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka malam setelah pertandingan yang terakhir serta pertandingan ulang selesai, para peserta masih diperintahkan untuk tetap tinggal di tempat pendadaran. Demikian semua prajurit dan Pelayan Dalam yang ikut serta menyelenggarakan pendadaran itu, kecuali dua orang prajurit yang sudah ditarik oleh kesatuannya karena ada tugas lain yang lebih penting.
Malam itu, para penyelenggara pendadaran telah mengadakan pembicaraan. Esok pagi akan diumumkan langsung, siapakah yang harus melakukan persiapan untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Malam itu anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menemui Mahisa Pukat. Katanya, “Nah, aku telah memenangkan taruhan. Kau tidak sekalipun terkalahkan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hanya satu kebetulan.”
“Tidak” jawab anak muda bertubuh raksasa itu, “bukan satu kebetulan. Kau memang memiliki kelebihan dari semua yang ikut pendadaran ini. Kita tunggu saja hasilnya Aku tidak akan menyesal seandainya aku termasuk di antara mereka yang harus menyingkir dari pendadaran berikutnya. Tetapi aku akan sangat menyesal jika kau yang tidak dapat memasuki tataran ketiga dari pendadaran ini.”
“Bukankah keputusan terakhir terletak pada mereka yang bertugas menilai pertandingan ini?” jawab Mahisa Pukat, “aku akan menerima semua keputusan. Juga yang menyangkut diriku.”
“Kau tidak dapat berbuat seperti itu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu, “nampaknya memang ada sesuatu yang tidak wajar terjadi dalam pendadaran ini. Dan kau harus membela diri jika kau mendapat perlakuan yang tidak adil.”
“Mudah-mudahan tidak ada perlakuan yang tidak adil itu.” jawab Mahisa Pukat.
“Ya. Mudah-mudahan tidak ada” desis anak muda bertubuh raksasa itu.
Dalam pada itu, di sebuah ruangan tertutup Gajah Saraya memimpin sebuah pertemuan untuk memilih siapakah yang diperkenankan mengikuti pendadaran berikutnya dan siapa yang tidak. Menurut para prajurit yang mengawasi jalannya pendadaran, maka pada umumnya mereka yang ikut dalam pertandingan itu memiliki kemampuan yang hampir setingkat. Namun yang jelas tidak dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya adalah anak muda berjambang lebat itu.
Beberapa orang prajurit memang memberikan kesaksian bahwa ia sudah terlalu sering diperingatkan karena melanggar paugeran. Juga dalam pertandingan ulangan anak muda berjambang itu sama sekali tidak berdaya. Namun Mahisa Pukat masih melindungi anak muda berjambang itu karena ia tidak mengatakan bahwa anak muda itu telah menebarkan racun meskipun racun yang lemah, tetapi akan dapat mempengaruhi pertandingan yang sedang berlangsung seandainya Mahisa Pukat tidak memiliki penawar racun.
Dalam pembicaraan selanjutnya, maka ternyata ada dua orang lagi yang terpaksa tersisih karena tenaga dan kemampuan mereka dianggap paling rendah di antara kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian mereka yang akan ikut dalam pendadaran berikutnya hanyalah ampat belas orang saja. Di antara mereka memang termasuk Mahisa Pukat.
Keputusan itulah yang akan diumumkan dikeesokan harinya kepada para peserta. Kemudian para peserta akan diijinkan pulang dan menunggu pendadaran berikutnya yang hanya akan bertenggang waktu sepekan dengan pendadaran yang baru saja dilakukan itu.
Demikianlah, sejak fajar, para peserta pendadaran itu sudah bersiap-siap untuk mendengarkan pengumuman yang akan diberikan oleh Manggala Pelayan Dalam. Rasa-rasanya waktupun berjalan sangat lambat, sehingga para peserta itu sudah tidak sabar lagi menunggu.
Namun pada umumnya mereka yang merasa dirinya berada di bawah tataran kawan-kawannya sudah merasa, bahwa mereka akan tertinggal dan tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya. Ternyata pengumuman itu baru diberikan setelah para peserta itu selesai makan pagi dan beristirahat sejenak.
Dengan jantung yang berdebar-debar para peserta itu berkumpul di sebuah ruangan yang telah disediakan. Manggala Pelayan Dalam sendirilah yang akan mengumumkan siapakah di antara mereka yang akan dapat mengikuti pendadaran berikutnya. Sebelum menyatakan nama-nama mereka yang dapat meneruskan pendadaran, maka Gajah Saraya sudah memberikan sedikit keterangan bagi mereka yang gagal.
“Bidang pengabdian tidak hanya terbatas pada bidang keprajuritan dan Pelayan Dalam. Dimanapun kalian berada, asal kalian benar-benar melakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh bagi kepentingan Singasari dan seisinya, maka kalian telah melakukan pengabdian tidak kalah nilainya dengan para prajurit dan Pelayan Dalam. Jika kalian bekerja bersungguh-sungguh sebagai seorang petani, atau seorang pedagang atau seorang nelayan, atau apapun yang bermanfaat bagi banyak orang, maka itu sudah merupakan pengabdian bagi Singasari.”
Anak-anak muda itu mendengarkan dengan gelisah. Namun apa yang dikatakan oleh Gajah Saraya itu sedikit meredakan gejolak jantung anak-anak muda yang merasa memiliki kekurangan dari kawan-kawan mereka. Baru sejenak kemudian, Gajah Saraya pun mengumumkan nama-nama mereka yang ikut mendapat kesempatan bagi tataran berikutnya.
Dua orang anak muda yang tidak dapat melanjutkan pendadaran itu memang kecewa. Tetapi mereka merasa bahwa kemampuan mereka memang berada di bawah kemampuan kawan-kawannya. Sementara itu Gajah Saraya masih berkata pula, “Kalian masih muda. Pada kesempatan lain, kalian dapat mengikutinya lagi. Mungkin kalian sudah menjadi lebih siap menghadapi pendadaran mendatang.”
Yang menjadi sangat kecewa dan bahkan mendendam adalah anak muda berjambang lebat itu. Ia termasuk di antara mereka yang namanya tidak disebutkan untuk mengikuti pendadaran berikutnya. Namun dendamnya terutama tertuju kepada Mahisa Pukat.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...
Anak muda yang bertanya itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda yang bertubuh raksasa itu berkata selanjutnya, “Padahal aku tidak mentertawakannya.”
“Nampaknya ia memang aneh,” desis anak muda yang bertanya itu, “sejak pada pendadaran yang pertama, ia sudah menunjukkan sikapnya yang kurang wajar.”
Mahisa Pukat sama sekali tidak menyahut justru karena ia pernah mempunyai persoalan dengan anak muda itu. Demikianlah, maka akhirnya anak muda itu pun saling berpisah. Mereka berpencar menuju ke rumah mereka masing-masing.
Di rumah Mahisa Pukat telah berceritera tentang pendadaran pada tataran kedua itu. Ia pun berceritera tentang anak muda berjambang lebat itu dan sikap Gajah Saraya, Manggala Pelayan Dalam Singasari.
“Aku mula-mula memang berprasangka buruk. Tetapi ternyata ia justru memberi kesempatan kepadaku” berkata Mahisa Pukat.
“Mudah-mudahan ia bersikap baik. Setidak-tidaknya bersikap wajar. Juga pada pendadaran pada tataran terakhir.”
“Agaknya akan ada pendadaran ketrampilan olah senjata dan naik kuda” berkata Mahisa Pukat, “para perwira Pelayan Dalam sudah mengisyaratkan, agar kami para peserta bersiap-siap untuk menempuh pendadaran ketrampilan olah senjata dan naik kuda.”
“Mudah-mudahan kau dapat berhasil” berkata Mahendra.
“Jika para pengawas dan mereka yang menentukan penerimaan para calon Pelayan Dalam itu wajar, maka menurut perhitungan aku akan dapat diterima.” berkata Mahisa Pukat.
“Itulah masalahnya. Wajar atau tidak wajar. Tetapi menurut ceritamu pada dua tahap pendadaran sudah terjadi ketidakwajaran. Bahkan pada tataran pertama ketidak wajaran itu sudah mengancam jiwamu. Bahkan mungkin cara itu jika ditrapkan pada orang lain akan benar-benar dapat menimbulkan korban jiwa.” sahut Mahendra.
Dengan demikian maka Mahendra telah berpesan agar Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Mungkin masih ada usaha untuk menggagalkannya dengan cara yang tidak terduga sama sekali.
“Ya ayah” Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa hal seperti itu masih mungkin dapat terjadi.
Di hari berikutnya, meskipun Mahisa Pukat memiliki ketrampilan olah senjata dan naik kuda cukup baik dan yang menurut perhitungan berada di atas kemampuan anak-anak muda yang lain, tetapi Mahisa Pukat pun memenuhi anjuran para perwira Pelayanan Dalam. Mahisa Pukat pun telah membiasakan diri lagi berkuda berkeliling pada rumput di pinggir Kotaraja bersama dengan ayahnya.
Mahisa Pukat pun berlatih mempergunakan senjata sambil di punggung kuda. Dengan melarikan kudanya, Mahisa Pukat melemparkan lembing ke sasaran yang telah disiapkan. Seonggok batang padi kering yang diikat pada batang bambu yang dipancangkan di pinggir padang rumput itu. Sambil melarikan kudanya, maka Mahisa Pukat berusaha mengenai sasarannya setinggi orang itu tepat pada bagian yang dianggapnya sebagai dadanya.
“Sasaran itu adalah sasaran yang diam” berkata Mahendra, “jika sasarannya orang yang sebenarnya, maka sasaran itu dapat bergerak.”
Tetapi Mahisa Pukat yang sudah sampai pada tataran puncak dalam ilmu kanuragan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Jika latihan-latihan itu dilakukan, baginya sekedar menyegarkan kembali ilmu yang telah dikuasainya dengan baik itu. Demikian pula kemampuan membidik dengan anak panah. Kemampuan ilmu pedang dan bahkan cambuk, parang, tongkat dan senjata apa saja. Bahkan akar-akar dan sulur pepohonan atau cabang kayu yang patah atau ikat kepala yang dipakainya.
“Tetapi ingat Mahisa Pukat” berkata Mahendra, “kau akan memasuki lingkungan pelayanan Dalam. Kau tidak perlu menyombongkan kemampuanmu. Kau sebaiknya hanya menunjukkan kemampuanmu secukupnya, asal kau dapat diterima menjadi pelayan dalam.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia juga melakukannya pada pendadaran tataran pertama dan kedua. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dalam pertandingan-pertandingan. Di pertandingan ulangan ia memang agak lebih banyak mengurai ilmunya karena sikap anak muda berjambang lebat yang menyakitkan hati itu.
Hari demi hari pun telah dilalui. Pada hari ketiga Mahisa Pukat telah mendapat pemberitahuan dan petunjuk bagi pendadaran yang akan diselenggarakan segera. Sebenarnyalah bahwa para peserta dituntut untuk membawa bekal kemampuan dan ketrampilan olah senjata dan berkuda. Juga kemampuan membidik dengan anak panah dan lontaran lembing.
Pendadaran bagi Pelayan Dalam memang lebih berat dari pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. Selain jumlah Pelayan Dalam memang hanya sedikit, sehingga kesempatan yang dapat diberikan pun menjadi sempit, Pelayan Dalam juga dituntut untuk mempunyai kemampuan dan ilmu yang cukup karena Pelayan dalam juga bertugas untuk menjaga keselamatan istana seisinya. Termasuk Sri Maharaja dan keluarganya.
Pada saatnya Mahisa Pukat benar-benar sudah siap. Dihari kelima sebagaimana disebut dalam pemberitahukan yang telah diterimanya, Mahisa Pukat telah berkumpul di tempat pendadaran. Masih di tempat pendadaran pada tataran kedua. Namun pendadaran akan dilakukan di halaman belakang. Di tempat yang lapang. Beberapa jenis perlengkapan pendadaran sudah disiapkan, termasuk beberapa ekor kuda.
Malam itu para peserta masih belum tahu, apa yang harus mereka lakukan esok. Mereka belum mendapat pemberitahuan tentang urutan mereka masing-masing. Karena itu, mereka harus siap untuk melakukan apa saja yang akan diperintahkan esok pagi.
Ada empat belas orang yang sudah siap mengikuti pendadaran pada tahap ketiga. Agaknya pendadaran itu cukup berat. Selain menunggang kuda, juga ketrampilan mempergunakan berbagai senjata sebagaimana yang sudah disiapkan di arena yang sudah tersedia dihalaman belakang.
Seperti pendadaran yang terdahulu maka pada hari yang pertama itu, Manggala Pelayan Dalam memberikan beberapa penjelasan tentang pendadaran yang bakal dilangsungkan. Dari menunggang kuda, mempergunakan senjata dan ternyata yang terakhir adalah penjajagan langsung oleh para prajurit dan Pelayan Dalam yang sudah ditunjuk atas kemampuan para peserta.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi pada dirinya. Bukan karena ia cemas menghadapi pendadaran yang bagaimanapun bentuknya, tetapi ia menjadi cemas akan kemungkinan bahwa pendadaran itu akan berlangsung tidak sewajarnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat sudah menyatakan kepada Sasi, bahwa ia memang berniat untuk menjadi Pelayan Dalam. Jika ia gagal, maka penilaian Sasi terhadap dirinya akan dapat menjadi lain.
Ternyata pada hari pertama itu belum ada pendadaran. Setelah beberapa keterangan langsung dari Gajah Saraya serta beberapa orang perwira selesai diberikan, maka beberapa orang Pelayan Dalam telah siap memberikan beberapa contoh peragaan pendadaran yang akan dilakukan esok.
Ternyata seperti yang sudah diduga oleh Mahisa Pukat, maka para peserta akan dinilai kemampuannya menunggang kuda sambil bermain dengan senjata. Beberapa batang pisang telah ditancapkan di arena. Setiap peserta sambil menunggang kuda akan menebas batang-batang pisang yang sudah ditentukan bagi mereka masing-masing. Kemudian mereka juga diwajibkan melontarkan lembing sambil memacu kudanya lewat jalur yang sudah ditentukan pula dengan sasaran disisi kiri dan sisi kanan jalur.
Para peserta pendadaran itu menjadi berdebar-debar melihat beberapa orang Pelayan Dalam menunjukkan kemampuan mereka. Agaknya setiap Pelayan Dalam akan dituntut untuk dapat melakukannya. Meskipun tidak setangkas mereka, namun para peserta pendadaran itu harus menunjukkan bekal serta meyakinkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang mengamati mereka, bahwa mereka pada satu saat akan mampu pula melakukannya.
Peragaan itu dilakukan sampai sedikit lewat tengah hari. Beberapa macam peragaan dari jenis pendadaran yang akan mulai dilakukan esok pagi. Empat belas orang calon Pelayan Dalam itu akan menjalani pendadaran tidak dengan urutan yang sama. Tetapi mereka akan terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang akan melakukan pendadaran pada urutan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya mereka akan menjalani semua jenis pendadaran sebagaimana sudah ditentukan.
Sore hari para peserta itu sempat beristirahat sambil berbincang-bincang. Anak muda bertubuh raksasa itu berkata kepada Mahisa Pukat, “Aku sudah mencoba lagi naik kuda. Aku tidak takut terjatuh. Dan aku memang terjatuh tidak kurang dari tiga kali. Tetapi aku tidak apa-apa. Aku tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak. Juga tulang-tulangku tidak berpatahan.”
“Nah. Bukankah kau tetap utuh dan dengan demikian maka kau tetap mempunyai harapan untuk berhasil menembus pendadaran ini?” sahut Mahisa Pukat.
“Ya. Untunglah bahwa aku mengikuti petunjukmu. Jika tidak, maka aku tidak akan mempunyai harapan lagi. Aku tidak akan mampu mengikuti pendadaran khususnya jenis menunggang kuda. Apalagi sambil mempermainkan senjata.”
“Kau juga sudah berlatih menebas batang pisang?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kebetulan pamanku seorang prajurit. Ia menganjurkan agar aku melakukannya. Dan aku memang sudah melakukannya” jawab anak muda itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia ikut bergembira melihat wajah anak muda bertubuh raksasa itu cerah penuh harapan.
Ketika malam tiba, sesudah makan malam, para peserta memang mendapat kesempatan untuk bertemu dan kembali berbincang di antara mereka. Namun suasananya sudah jauh berbeda dengan malam sebelum pendadaran pada tataran kedua berlangsung. Anak-anak muaa itu tidak saling menunjukkan kelebihan mereka. Di pendadaran berikutnya, mereka tidak akan saling berhadapan. Tetapi mereka harus menunjukkan ketrampilan mereka dan akhirnya penilaian langsung oleh para prajurit dan Pelayan Dalam.
Dalam perbincangan itu mereka justru membicarakan apa yang kira-kira akan mereka lakukan besok. Kemungkinan-kemungkinan baik dan sebaliknya. Namun pada umumnya para peserta pendadaran itu nampak menjadi cemas. Apalagi setelah mereka melihat peragaan dari para prajurit dan Pelayan Dalam. Tetapi mereka yang sudah mantap untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam, memang bertekad untuk berbuat sebaik-baiknya dalam pendadaran yang akan dimulai esok.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka anak-anak muda yang akan mengikuti pendadaran itu pun telah berada di atas pembaringan masing-masing. Tetapi beberapa di antara mereka tidak segera dapat tidur. Mereka masih saja membayangkan apa yang akan terjadi esok. Apakah mereka akan dapat lolos dari pendadaran yang nampaknya cukup berat itu. Tetapi akhirnya menjelang tengah malam, anak-anak muda itu sudah terlelap.
Pagi-pagi benar mereka sudah bangun. Sedikit memanasi tubuh mereka sebelum mereka mandi dan berbenah diri. Seperti kemarin dan saat mereka mengikuti pendadaran sebelumnya, maka mereka pun segera dipersilahkan pergi ke dapur untuk makan pagi. Selanjutnya mereka mendapat kesempatan beristirahat sejenak.
Anak-anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar bunyi bende. Mereka tidak segera tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi beberapa orang prajurit datang kepada mereka dan mempersilahkan mereka berkumpul di halaman belakang yang cukup luas. Ternyata di halaman itu telah siap beberapa orang prajurit dan Pelayan Dalam yang akan mengatur pendadaran yang segera akan dilakukan.
Seorang perwira telah memanggil nama-nama anak-anak muda yang akan mengikuti pendadaran itu sesuai dengan urutan jenisnya. Ada di antara mereka yang akan melakukan pendadaran ketrampilan berkuda dan bahkan menggunakan senjata diatas punggung kuda. Tetapi ada yang akan menempuh pendadaran kemampuan bidik dengan busur dan anak panah, paser dan lembing. Bahkan bandil. Senjata yang jarang dipergunakan. Sedangkan yang lain akan dinilai langsung oleh para perwira Pelayan Dalam tentang olah kanuragan.
Pada urutan pertama, Mahisa Pukat dan dua orang yang lain mendapat giliran mengikuti pendadaran tentang kemampuan bidik dengan busur dan anak panah serta yang lain. Bersama beberapa orang prajurit yang akan menilai kemampuan mereka, maka sekelompok kecil itu telah dibawa ke tempat yang telah dipersiapkan. Demikianlah, ketika terdengar lagi isyarat suara bende, maka pendadaran itu pun segera dimulai menurut jenisnya.
Mahisa Pukat memang tidak banyak mengalami kesulitan. Ia memiliki kemampuan bidik yang cukup tinggi. Sebenarnya ia dapat jauh melampaui kemampuan kedua orang kawannya. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin terlalu menarik perhatian sehingga ia cukup melampaui keduanya dengan lapisan yang tidak terlalu tebal.
Hari itu, Mahisa Pukat dan kedua temannya menyelesaikan pendadarannya paling cepat dari kawan-kawannya yang lain. Karena itu maka Mahisa Pukat dan kedua orang kawannya sempat melihat pendadaran tentang ketrampilan berkuda. Mereka masih sempat melihat seorang di antara para peserta yang naik diatas punggung kuda sambil membawa pedang di tangan dan tombak dengan tali pada landeannya bergantung di punggung.
Anak muda itu harus menebas dua batang pisang yang tertancap pada jarak yang tidak begitu jauh. Kemudian anak muda itu harus melarikan kudanya pada jalur yang telah ditentukan sambil mengambil tombak dari punggungnya dan melontarkan pada sebatang pohon pisang yang lain.
Anak-anak muda serta para prajurit dan Pelayan Dalam yang menyaksikan menjadi berdebar-debar, dari seorang prajurit Mahisa Pukat mendengar bahwa anak muda yang terdahulu mampu menebas dua batang pisang. Tetapi ia terlambat mengambil tombaknya dan melontarkan sasaran.
Sejenak kemudian, maka isyarat pun dibunyikan. Kuda itu pun segera melompat, berlari. Dengan tangkasnya anak muda yang berada di punggung kuda itu menebas dengan pedangnya. Batang pisang yang pertama memang terpenggal. Tetapi batang yang kedua ternyata tidak sempat putus meskipun patah. Kudanya agaknya berlari terlalu jauh dari sasaran.
Namun sementara itu, anak muda itu telah menggapai tombaknya di punggung. Ia berhasil menggenggam tangkai tombaknya meskipun tergesa-gesa. Sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk mengenai sasarannya. Tetapi sekali lagi ia kurang menguasai kudanya sehingga jaraknya agak terlalu jauh. Ketika tombak itu dilepaskan, ternyata tidak mengenai sasaran.
Meskipun demikian yang menonton pendadaran itu bertepuk tangan. Sementara anak muda itu menjadi berdebar-debar dan bahkan cemas. Apakah dengan demikian ia dapat dianggap berhasil dalam pendadaran itu.
Hari yang pertama, lewat sedikit tengah hari pendadaran itu pun telah selesai untuk dilanjutkan keesokan harinya dengan urutan yang berbeda. Di hari berikutnya Mahisa Pukat mendapat giliran untuk dinilai langsung oleh para prajurit atau Pelayan Dalam yang bertugas. Sementara itu anak muda yang bertubuh raksasa itu mendapat giliran untuk menjalani pendadaran kemampuan bidiknya. Dengan busur dan anak panah, lembing dan bahkan bandil seperti yang dilakukan Mahisa Pukat dihari pertama itu.
Seperti hari pertama, maka dihari kedua itu pun anak-anak muda peserta pendadaran bangun pagi-pagi. Sedikit pemanasan kemudian mandi dan makan pagi. Ketika matahari mulai naik, maka pendadaran dihari kedua itu pun segera dimulai.
Yang mengejutkan dan tidak dilakukan pada hari yang pertama adalah, Manggala Pelayan Dalam, Gajah Saraya sendiri akan melakukan penilaian langsung terhadap anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu dalam sebuah pertandingan.
...Ada bagian cerita yang hilang...
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih berdiri termangu-mangu di arena. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara itu, di arena yang lain, pertandingan masih berlangsung antara para prajurit dan Pelayan Dalam yang bertugas dengan anak-anak muda yang sedang mengalami pendadaran.
Seorang prajurit kemudian telah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Pertandingan sudah selesai. Kau dapat meninggalkan arena.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Dipandanginya prajurit itu sejenak. Kemudian beberapa orang yang masih berada di sekitar arena. Namun Gajah Saraya dan Arya Kuda Cemani telah melangkah meninggalkan arena pertandingan. Mereka seolah-olah tidak mempedulikan lagi Mahisa Pukat yang termangu-mangu.
Akhirnya Mahisa Pukat pun meninggalkan arena itu pula. Seorang prajurit yang pernah bertugas menjaga jalur jalan bagi para calon pada pendadaran tataran pertama yang melihat Mahisa Pukat menangkap benda yang dibungkus dengan kain putih yang dipergunakan untuk mengganggu anak-anak muda yang sedang menelusuri jalur pendadaran dimalam hari, mendekatinya sambil berdesis, “Sejak kau menelusuri jalan pada pendadaranmu tataran pertama aku sudah melihat kelebihanmu.”
“Aku tidak mempunyai kelebihan apa-apa.” jawab Mahisa Pukat.
“Tentu ada. Manggala Pelayan Dalam itu memerlukan untuk melakukan pendadaran langsung atasmu, tentu ada sebabnya. Justru karena ia melihat kelebihanmu maka ia merasa perlu untuk meyakinkannya. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan cara yang dipilihnya itu. Nampaknya ia menjadi puas karenanya.”
“Ah, aku kira bukan karena itu. Bahkan mungkin Manggala Gajah Saraya merasa kecewa setelah melakukan pendadaran langsung atasku tadi.” desis Mahisa Pukat.
Tetapi prajurit itu tertawa. Katanya, “Tidak ada seorangpun di antara para calon. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang memiliki landasan kemampuan ilmu sebagaimana kau. Kau tidak usah merasa segan. Bukankah kami terbiasa menilai kemampuan para calon prajurit atau Pelayan Dalam. Aku bertugas seperti ini bukan untuk yang pertama kali. Tetapi baru pertama kali aku melihat seorang anak muda memiliki kemampuan setinggi kemampuanmu. Karena itu, maka Manggala Pelayan Dalam itu tertarik untuk turun sendiri ke arena.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sementara itu, pertandingan yang lain masih berlangsung. Demikian pula pendadaran pada jenis yang lain. Kemampuan bidik dan kemampuan naik kuda serta kemampuan mempergunakan berbagai jenis senjata.
Mahisa Pukat yang masih belum meyakini apa yang dikatakan oleh Manggala Pelayan Dalam itu pun kemudian telah melangkah mendekati arena-arena pertandingan. Dilihatnya beberapa orang anak muda masih bertanding. Para prajurit dan Pelayan Dalam yang melakukan pendadaran langsung itu ternyata cukup berhati-hati. Mereka berusaha untuk memancing kemampuan tertinggi dari para calon Pelayan Dalam itu, agar mereka dapat menilai, apakah anak-anak muda itu memiliki landasan dasar yang cukup bagi seorang Pelayan Dalam.
Beberapa orang prajurit yang semula melihat pertandingan antara Mahisa Pukat dengan Manggala Pelayan dalam yang kemudian melihat pertandingan yang lain, dengan serta merta menilai bahwa ilmu yang dimiliki Mahisa Pukat jauh berada di atas kemampuan mereka. Namun para prajurit itu masih menunggu. Besok Mahisa Pukat akan melakukan pendadaran jenis kemampuan berkuda dan dihari berikutnya kemampuan mempergunakan segala jenis senjata dan bahkan senjata dengan benda-benda seadanya.
Mahisa Pukat sendiri juga tidak begitu tertarik melihat pertandingan yang masih berlangsung. Hampir di luar kehendaknya maka Mahisa Pukat pun berjalan menyusuri tempat pendadaran yang luas itu. Di sudut yang lain, beberapa orang anak muda nampaknya sudah mendekati penyelesaian. Mereka sedang menempuh pendadaran kemampuan mempergunakan senjata bidik. Termasuk lembing dan bandil.
Dibagian lain, beberapa orang menjalani pendadaran kemampuan mereka berkuda dan mempergunakan senjata selagi memacu kuda. Mahisa Pukat terhenti di pinggir arena. Dua orang prajurit mendekatinya. Seorang di antara mereka berdesis, “Jenis pendadaran yang paling sulit. Mudah-mudahan kau mampu melakukannya, karena pada jenis yang lain, kau memiliki kelebihan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada kelebihan apa-apa.”
Kedua orang prajurit itu tertawa. Namun perhatian mereka pun kemudian sepenuhnya tertuju ke arena. Seorang anak muda dengan tangkasnya memacu kudanya. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang tajam. Sebatang pohon pisang ditebasnya sehingga putus di batas setinggi leher seseorang yang tubuhnya sedang. Kemudian batang pisang yang kedua pun ditebasnya putus.
Namun kemudian, ternyata ia agak terlambat menggapai tombaknya yang tersangkut di punggungnya. Ketika ia siap untuk melemparkan tombaknya, sasarannya sudah lewat meskipun baru satu dua langkah. Tetapi anak muda itu melemparkan tombaknya pula dan tertancap di tanah selangkah dari sasaran.
Mahisa Pukat mengamati pendadaran ketangkasan berkuda dan olah senjata itu sambil mengangguk-angguk kecil. Hasil pengamatannya sejak hari pertama memberi isyarat kepadanya, bahwa kebanyakan anak-anak muda yang sedang menjalani pendadaran dalam jenis ketangkasan berkuda dan olah senjata itu terlambat meluncurkan tombaknya
“Harus ada cara yang dapat mengatasi kelambatan itu” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. “Penempatan tombak itu atau sedikit memperlambat lari kudanya.”
Sambil merenungi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan apabila esok ia mendapat giliran melakukannya, Mahisa Pukat masih juga merenungi kata-kata Manggala Gajah Saraya, bahwa ia akan dapat diangkat menjadi pemimpin kelompok dari para Pelayan Dalam yang baru yang nanti akan diangkat dari antara mereka yang mengikuti pendadaran itu.
“Apakah aku tidak salah dengar?” desis Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah meninggalkan arena pendadaran ketrampilan berkuda itu. Ia pun kemudian berdiri di sebelah arena tempat anak-anak muda yang mengikuti pendadaran kemampuan mempergunakan senjata apa saja. Ia melihat beberapa orang anak muda itu dengan tangkasnya mempermainkan berbagai macam senjata. Namun yang sebenarnya bagi Mahisa Pukat sama sekali tidak mengherankannya. Ia mampu berbuat jauh lebih baik dari mereka.
Namun seperti pesan ayahnya, bahwa ia tidak perlu menunjukkan kemampuannya berlebih-lebihan. Baginya cukup menunjukkan kemampuannya yang pantas bagi seorang Pelayan Dalam. Jika ia terlanjur menunjukkan tingkat kemampuannya yang tinggi, justru karena ia terpancing oleh Manggala Pelayan Dalam itu sendiri dalam pendadaran langsung yang khusus dilakukan sendiri oleh Gajah Saraya.
Namun Mahisa Pukat itu bertanya pula di dalam hatinya, “Seandainya aku besok gagal dalam pendadaran ketrampilan berkuda, apakah pernyataan Manggala Pelayan Dalam itu tetap berlaku?”
Tetapi Mahisa Pukat itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis perlahan, “Apapun yang akan dibebankan ke pundakku, asal aku dapat diterima menjadi Pelayan Dalam. Sasi sudah mengharapkannya justru bagi masa depannya pula.”
Dengan langkah satu-satu Mahisa Pukat menyusuri arena demi arena. Namun penglihatannya seakan-akan hanya mengambang, meskipun ada juga satu dua hal yang menarik perhatiannya. Sedikit lewat tengah hari, maka pendadaran hari itu sudah selesai. Kelompok-kelompok kecil yang tersebar itu pun telah membenahi alat-alat yang dipergunakan untuk dipergunakan lagi dikeesokan harinya.
Ketika anak-anak muda itu beristirahat, maka mereka sempat pula saling berbincang. Mereka telah berbicara tentang pendadaran yang baru saja mereka lakukan. Sebagian merasa telah berhasil melakukan dengan baik. Namun yang lain menyesali dirinya sendiri karena yang dilakukannya dianggapnya kurang memadai.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat lebih banyak diam. Ia hanya mendengarkan saja pembicaraan kawan-kawannya. Bahkan kadang-kadang ia justru duduk merenung memandang kekejauhan. Kawan-kawannya memang tidak sempat melihat apa yang dilakukannya di arena. Anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau hanya merenung saja? Apakah kau kurang berhasil hari ini?”
“Ya” jawab Mahisa Pukat singkat.
“Seseorang melihat kau memasuki arena dalam pendadaran langsung, bahkan dilakukan sendiri oleh Manggala Gajah Saraya.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat.
“Bagaimana hasilnya? Sayang yang melihat kau memasuki arena pertandingan dengan Manggala Gajah Saraya sedang dalam pendadaran juga sehingga tidak dapat melihat apa yang kau lakukan menghadapi Manggala Gajah Saraya. Sedangkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang menungguimu tidak mau mengatakan selengkapnya tentang pendadaran yang kau lakukan.”
“Kemampuanmu yang tinggi agaknya telah menarik perhatiannya” berkata anak muda bertubuh raksasa itu.
“Atau sebaliknya” jawab Mahisa Pukat.
“Kau selalu merendahkan dirimu” berkata anak muda itu.
“Aku tidak perlu merendahkan diriku karena tataranku memang masih terlalu rendah, “jawab Mahisa Pukat. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian, aku memang ingin diterima dalam lingkungan Pelayan Dalam. Aku memerlukan pekerjaan itu. Bukan saja sebagai satu pengabdian, tetapi juga penting bagi masa depanku sendiri.”
“Ya. Aku juga berharap demikian” jawab anak muda bertubuh raksasa itu, “karena itu, aku ikut pendadaran ini dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”
Sementara itu, maka seorang petugas telah mempersilahkan anak-anak muda itu untuk makan didapur dan kemudian beristirahat. Besok mereka masih akan turun ke,arena yang lain sesuai dengan urutan tugas mereka masing-masing dalam pendadaran itu.
Setelah makan, maka anak-anak muda itu kembali mendapat kesempatan untuk beristirahat. Di sore hari mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti pendadaran sebagaimana pada tataran sebelumnya. Meskipun demikian, maka pendadaran pada tataran terakhir itu bagi mereka yang mengikutinya merasa cukup berat.
Seperti hari-hari sebelumnya, maka pada hari berikutnya, anak-anak muda itu bangun pagi-pagi. Sedikit memanasi tubuh mereka dengan melakukan gerakan-gerakan ringan, kemudian mandi dan makan pagi.
Hari itu Mahisa Pukat mendapat giliran menempuh pendadaran dalam hal ketrampilan naik kuda. Seperti kawan-kawannya yang telah melakukan sebelumnya, maka ia pun harus menunjukkan ketrampilan berkuda, menguasai kuda dan kemudian mempergunakan senjata sambil naik kuda.
Ketika Mahisa Pukat mendapat giliran untuk menempuh pendadaran maka para prajurit dan Pelayan Dalam yang kebetulan tidak mempunyai tugas tertentu telah memerlukan untuk menyaksikannya. Mereka memang menganggap bahwa Mahisa Pukat memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Tetapi Mahisa Pukat telah berniat untuk tidak menunjukkan kelebihannya. Ia akan melakukan sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda yang lain.
Karena itu, demikian ia meloncat naik kepunggung kuda, maka ditempuhnya pendadaran itu tanpa memberikan kesan yang berlebihan. Ia berbuat sebagaimana anak-anak muda yang lain berbuat. Memutar kudanya di arena, melarikannya pada jarak tertentu, berbelok kemudian menghentikannya dengan tiba-tiba sehingga kudanya meringkik sambil berdiri tegak bertumpu pada kaki belakangnya. Semua yang dilakukan telah dilakukan oleh kawan-kawannya yang lain.
Terakhir Mahisa Pukat mendapat giliran untuk berpacu di atas punggung kuda sambil bermain senjata. Dua batang pisang telah disiapkan seperti anak-anak muda yang mendahuluinya menempuh pendadaran ketrampilan berkuda. Selain itu juga sebatang bambu yang dibalut dengan onggokan jerami kering sebagai sasaran lontaran tombak.
Mahisa Pukat yang telah melihat dan mempelajari berbagai kemungkinan dari kawan-kawannya yang terdahulu, berusaha untuk tidak membuat kesalahan yang sama tanpa menimbulkan kekaguman yang berlebihan. Kesannya masih saja dalam batas kewajaran.
Demikian isyarat diberikan, maka Mahisa Pukat pun menyentuh perut kudanya dengan tumitnya, sehingga kudanya berlari cepat melalui jalur yang sudah ditentukan. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat menebas kedua batang pohon pisang. Namun kemudian ia sedikit memperlambat kudanya tanpa menarik perhatian, justru saat kudanya berputar ke arah batang bambu yang dibalut dengan onggokan jerami agar tombak yang dilontarkan dapat menancap.
Pada saat yang bersamaan, Mahisa Pukat meraih tombak yang tergantung pada seutas tali di punggungnya. Ternyata Mahisa Pukat tidak terlambat. Kudanya yang berlari agak jauh dari batang bambu itu telah diarahkan lebih mendekat. Kecuali sasarannya menjadi lebih mudah digapai, juga ia mendapat kelebihan waktu meskipun hanya sekejap.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat tidak melontarkan tombaknya kesasaran, tetapi seakan-akan ia telah menusukkan tombaknya langsung ke songgakan jerami yang membungkus patok bambu itu. Ternyata Mahisa Pukat berhasil. Tombaknya telah tertancap pada sasaran.
Dengan serta merta para prajurit dan Pelayan Dalam yang menyaksikan telah bertepuk tangan, sehingga beberapa orang anak muda yang sedang menjalani pendadaran di arena yang lain telah berpaling. Ketika mereka melihat Mahisa Pukat masih di punggung kuda, maka mereka pun mengangguk-angguk kecil. Bagi mereka dan para prajurit dan Pelayan Dalam memang tidak ada orang yang lain yang pantas untuk mendapat pujian lebih dari yang lain kecuali Mahisa Pukat.
Demikianlah maka pendadaran itu pun telah dilanjutkan dengan anak muda berikutnya. Sementara yang lain telah mengikuti pendadaran yang lain lagi. Mahisa Pukat pun telah beralih di arena yang lain untuk melakukan pendadaran kemampuan mempergunakan senjata apa saja. Bahkan dengan alat apapun yang diketemukan. Ternyata sekali lagi Mahisa Pukat telah dikagumi oleh para prajurit dan Pelayan Dalam yang menungguinya meskipun mereka tidak memujinya dengan serta merta.
Lewat tengah hari, maka pendadaran itu pun telah dapat diselesaikan. Semua anak muda yang mengikuti pendadaran pada tataran terakhir itu telah menyelesaikan kewajiban mereka. Semua jenis yang harus ditempuh dalam pendadaran itu telah ditempuh, sehingga mereka tinggal menunggu hasil dari pendadaran itu. Sepuluh orang di antara mereka akan diterima menjadi calon Pelayan Dalam di istana Singasari.
Tetapi, ternyata pendadaran itu masih belum selesai. Di luar rencana maka Manggala Pelayan Dalam telah mengumumkan, bahwa esok pagi masih ada satu lagi pendadaran. Ketrampilan mempergunakan senjata di atas punggung kuda. Mahisa Pukat menjadi sangat terkejut ketika ia mendengar pengumuman bahwa pendadaran itu, khusus ditujukan bagi Mahisa Pukat saja dan akan dilakukan langsung oleh Manggala Pelayan Dalam, Gajah Saraya. Semua anak muda yang ikut dalam pendadaran itu saling bertanya di antara mereka, kenapa akan dilakukan pendadaran khusus bagi Mahisa Pukat.
“Apakah Mahisa Pukat itu meragukan sehingga harus mengalami pendadaran ulang sebagaimana pada pendadaran tataran kedua? Sehingga justru Manggala Pelayan Dalam sendiri akan melakukan pendadaran khusus itu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam pun tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Manggala Pelayan Dalam akan melakukan pendadaran khusus itu.
Mahisa Pukat sendiri menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu kenapa hal seperti itu dapat terjadi. Namun yang pertama-tama dipikirkannya adalah bahwa Manggala Pelayan Dalam itu mempunyai rencana khusus baginya. Mahisa Pukat memang meragukan pernyataannya bahwa Mahisa Pukat akan diangkat menjadi pemimpin kelompok Pelayan Dalam. Tetapi yang terpikir kemudian adalah itu hanya sekedar alasan semata-mata. Prasangka buruknya tiba-tiba saja telah timbul kembali. Dalam pendadaran khusus itu Gajah Saraya akan menjatuhkannya sehingga akan nampak bahwa ia tidak pantas untuk menjadi seorang Pelayan Dalam.
“Jika ia berniat demikian, maka aku justru tidak akan surut selangkah pun. Perang tanding pun akan aku hadapi. Meskipun aku kemudian tidak akan diangkat menjadi Pelayan Dalam, namun namaku tidak akan tercemar karenanya” tekad yang pernah timbul di dalam dadanya itu pun tiba-tiba pula telah muncul kembali.
Hari itu, ketika saatnya anak-anak muda itu beristirahat, maka Mahisa Pukat menjadi semakin diam. Beberapa orang memang menemuinya dan bertanya kenapa ia harus menjalani pendadaran khusus. Namun Mahisa Pukat selalu menjawab sambil menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Apakah hasil yang kau dapat hari ini meragukan?” bertanya anak muda yang lain.
“Entahlah. Tetapi aku juga merasa heran bahwa aku harus melakukan pendadaran ulang. Ketika aku mendalaminya pada tataran kedua, aku tahu persis alasannya. Tetapi sekarang tidak sama sekali,” jawab Mahisa Pukat.
Kawan-kawannya hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi, karena mereka pun mengetahui bahwa Mahisa Pukat sendiri menjadi bingung karenanya. Manggala Gajah Saraya memang tidak memberitahukan kenapa hal itu harus dilakukan. Karena itu maka para prajurit yang lain sama sekali tidak dapat memberikan keterangan apapun dengan rencana itu.
Tetapi hal itu justru sangat menarik perhatian. Bukan saja anak-anak muda yang mengikuti pendadaran, tetapi juga para prajurit dan Pelayan Dalam yang telah ditunjuk untuk ikut serta menyelenggarakan pendadaran itu.
Mahisa Pukat sendiri memang menjadi gelisah. Ia merasa seakan-akan setiap mata memandang ke arahnya. Baik anak-anak muda yang menyertai pendadaran itu, maupun para prajurit dan Pelayan Dalam. Sehingga rasa-rasanya ia menjadi pusat perhatian dari semua orang yang ada di sekitarnya.
Namun ketika malam turun dan Mahisa Pukat telah berada di pembaringannya, maka sulit pula baginya untuk segera memejamkan matanya. Ia masih saja dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan tentang pendadaran khusus yang akan dilakukannya esok.
Demikianlah, maka pagi-pagi semua anak-anak muda peserta pendadaran itu pun telah siap seperti hari-hari sebelumnya. Ketika matahari memanjat langit, semuanya sudah berkumpul di halaman belakang yang luas itu.
Yang tersedia hanyalah dua ekor kuda yang tegar dan berbagai jenis senjata. Manggala Gajah Saraya telah memerintahkan untuk menempatkan beberapa jenis senjata itu pada batang-batang pisang yang ditancapkan dibeberapa tempat di arena yang luas itu. Tombak pendek, pedang, parang, trisula, canggah, perisai dan bahkan cambuk dan rantai.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu maksud Manggala Pelayan Dalam itu. Apakah dengan demikian Manggala itu ingin menyingkirkannya dengan caranya atau bahkan membunuhnya sama sekali. Untuk menghilangkan kesan dan beban tanggung jawab, maka hal itu dilakukannya justru di tempat terbuka. Seakan-akan ia tidak sengaja melakukannya.
Ketika kemudian Gajah Saraya memasuki arena, maka suasana memang menjadi tegang. Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Tanpa isyarat bende atau tanda-tanda lainnya, maka Gajah Saraya itu langsung memanggil Mahisa Pukat.
“Kita akan segera mulai” berkata Gajah Saraya, “kau dapat memilih kuda yang mana yang akan kau pergunakan.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil mengangguk hormat ia menyahut, “Aku dapat mempergunakan yang manapun yang diperuntukkan bagiku.”
“Bagus” berkata Gajah Saraya, “jika demikian maka kita akan segera dapat mulai.”
Namun Mahisa Pukat masih bertanya, “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mengerti peraturan yang dipergunakan dalam pendadaran kali ini.”
Gajah Saraya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Tanpa ketentuan apapun yang diberitahukan kepadamu, melihat apa yang ada di arena ini kau tentu sudah tahu, apa yang harus kau kerjakan.”
Mahisa Pukat memandang berkeliling. Ia hanya melihat kuda dan senjata-senajta yang tertancap di batang-batang pisang yang dipancang di pinggir-pinggir arena.
“Marilah” berkata Gajah Saraya yang nampaknya menjadi tidak sabar.
Mahisa Pukat memang tidak dapat menunggu lebih lama. Ketika kemudian Gajah Saraya meloncat naik ke punggung kuda, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat pula ke punggung kuda yang lain.
Demikian Mahisa Pukat duduk, maka Gajah Saraya itu mendekatinya sambil berkata perlahan, “Aku memerlukan bantuanmu. Kau harus melawan sebaik-baiknya. Kau harus membuktikan bahwa kau adalah calon yang terbaik, yang pantas untuk menjadi pemimpin kelompok dari anak-anak muda yang akan diangkat menjadi Pelayan Dalam. Bahkan, kau harus menunjukkan bahwa kau lebih baik dari Pelayan Dalam yang ada, agar mereka tidak dapat menjadi iri hati, bahwa yang diangkat menjadi pemimpin kelompok adalah orang baru. Bukan salah seorang dari mereka yang telah lebih lama menjadi Pelayan Dalam.”
Mahisa Pukat tanpa disadarinya telah menangguk mengiakan. Namun sebenarnyalah ia memang ragu-ragu. Ia masih saja berprasangka buruk terhadap Gajah Saraya. Jika ia benar-benar melawannya, maka jika terjadi sesuatu atas dirinya, maka itu adalah kecelakaan.
Tetapi, Mahisa Pukat memang tidak dapat berpikir panjang. Gajah Saraya itu pun kemudian berkata, “Ambil senjatamu. Aku akan mengambil senjataku.”
Mahisa Pukat tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya. Ia melihat Gajah Saraya telah memacu kudanya untuk memungut senjata yang akan dipergunakannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula. Karena ia terbiasa bersenjata pedang, maka ia pun telah memacu kudanya untuk mengambil sebatang pedang yang tertancap di sebatang pohon pisang, sementara Gajah Saraya telah mengambil sebatang tombak pendek.
Ternyata Mahisa Pukat pun tidak kalah tangkasnya dari Manggala Pelayan Dalam. Demikian Gajah Saraya mengambil sebatang tombak pendek, maka Mahisa Pukat sudah menggenggam sebatang pedang. Memang timbul niatnya untuk mengambil senjata yang lain. Tetapi Gajah Saraya telah memutar kudanya untuk sekali lagi menyerang.
Tetapi Mahisa Pukat terkejut. Ternyata pedang itu terlalu ringan, sehingga Mahisa Pukat pun menduga bahwa bahan yang dibuat pedang itu pun bukan bahan yang baik. Tidak seperti pedang yang ada di padepokan. Meskipun pedang itu ujudnya besar dan panjang tetapi bobotnya terhitung ringan, namun terasa bahwa pedang itu kokoh dan kuat.
Tetapi sekali lagi Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan. Gajah Saraya telah menyerangnya. Kudanya berpacu dengan tombak yang teracu mengarah ke dadanya. Mahisa Pukat memang tidak dapat berbuat lain. Jika ia membiarkan ujung tombak itu mengoyak dadanya, maka ia benar-benar akan mati di arena pendadaran itu. Karena itu, maka kudanyapun telah bergerak pula, justru menyongsong kuda Gajah Saraya.
Demikianlah ketika kedua ekor kuda itu bertemu, maka gajah Saraya benar-benar telah menyerang Mahisa Pukat. Tetapi dengan tangkasnya, Mahisa Pukat menangkis serangan itu. Nalurinya telah menggerakkan pedangnya untuk melindungi jiwanya. Tetapi ketika terjadi benturan, maka Mahisa Pukat segera merasa, bahwa pedangnya memang pedang yang tidak terlalu kuat. Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat benar-benar harus bertahan dengan duduk di punggung kuda. Gajah Saraya menyerangnya dengan tangkas dan kuat.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat bertahan, tetapi terasa pedangnya mulai goyah. Ia sadar, bahwa sejenak kemudian pedangnya tentu akan terlepas dari tangkainya. Untuk sementara Mahisa Pukat memang masih dapat bertahan. Tetapi ketika terjadi benturan yang keras, maka pedangnya benar-benar terlepas dari tangkainya dan jatuh beberapa langkah dari kudanya.
Mahisa Pukat tidak akan mungkin memungut pedangnya yang sama saja dengan patah itu. Yang ada di tangannya tinggal hulunya saja. Justru pada saat yang demikian Gajah Saraya telah menyerangnya. Ujung tombaknya benar-benar mengarah ke jantungnya. Mahisa Pukat tidak sempat berbuat banyak. Ujung tombak digenggaman Gajah Saraya itu seolah-olah telah meluncur dengan cepatnya mematuk ke arah jantung.
Anak-anak muda yang menyaksikan pendadaran itu menjadi berdebar-debar. Bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam pun seakan-akan telah menahan nafasnya. Pendadaran itu terlalu berbahaya bagi seorang calon Pelayan Dalam yang masih muda itu. Betapapun ia memiliki kelebihan, namun kemudaannya tentu masih belum memberinya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang cukup.
Sementara itu, Gajah Saraya telah melarikan kudanya mendekati Mahisa Pukat yang kehilangan senjatanya. Namun ia masih menggenggam hulu pedang yang sudah kehilangan daunnya. Namun demikian Gajah Saraya mendekat, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah melemparkan hulu pedang itu. Tidak mengarah kepada Gajah Saraya yang berada di punggung kudanya, tetapi justru ke arah kuda itu sendiri.
Gajah Saraya tidak sempat menangkis lontaran hulu pedang itu. Karena itu ketika hulu pedang itu mengenai leher kuda Manggala Pelayan Dalam itu dengan kekuatan yang sangat besar, maka kuda itu pun terkejut sehingga melonjak tinggi berdiri dikedua kaki belakangnya. Gajah Saraya memang terkejut. Ia tidak sempat mempermainkan tombak pendeknya. Tetapi ia harus dengan cepat menguasai kudanya yang meringkik dengan gelisah.
Mahisa Pukat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan cepat Mahisa Pukat melarikan kudanya menepi. Menyambar sebuah senjata yang terdekat. Parang. Meskipun parang itu bukan senjata yang terbaik baginya, tetapi ia tidak sempat memungut senjata yang lain yang tertancap pada batang-batang pisang yang berjajar di tepi arena, sementara Gajah Saraya sudah menguasai kudanya dan mulai menyerang lagi.
Ternyata parang itu justru lebih kuat dari pedang yang telah terlepas dari tangkainya itu. Karena itu, maka dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah bertanding melawan Gajah Saraya. Tombak pendek di tangan Manggala Pelayan Dalam itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Kemudian berputar dengan cepat seperti baling-baling.
Tetapi Mahisa Pukat pun tangkas pula mempermainkan parangnya. Ia menutup setiap kemungkinan ujung tombak Gajah Saraya menyentuh tubuhnya, sementara itu tangannya yang lain dengan tangkas pula mempermainkan kendali kudanya. Dengan demikian maka pertandingan itu menjadi semakin lama semakin menegangkan. Keduanya mampu bergerak cepat dan tangkas. Parang Mahisa Pukat memang lebih baik dari pedang yang dipergunakan sebelumnya meskipun parang itu terlalu pendek baginya.
Tetapi semakin lama, parang itu pun mulai menjadi goyah seperti senjatanya yang terdahulu. Dengan demikian Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Jika parangnya juga patah seperti pedangnya, maka ia harus mendapatkan senjata yang lain yang harus dipungutnya pula dari batang-batang pisang itu. Tetapi Mahisa Pukat yang sudah berpengalaman itu berusaha untuk memancing lawannya bertempur semakin menepi. Selagi parangnya masih sempat dipergunakannya.
Namun betapapun Mahisa Pukat menahan diri, tetapi kesabarannya memang terbatas. Dua kali senjatanya tidak mampu bertahan terhadap tombak pendek Gajah Saraya. Bukan karena kemampuannya yang tidak memadai. Tetapi karena senjatanyalah yang tidak dapat mendukung kemampuannya. Menurut dugaan Mahisa Pukat, maka senjata-senjata yang lainpun tentu tidak akan dapat dipergunakannya dengan baik. Kapak, trisula, canggah dan tombak yang tertancap di batang pisang itu tentu akan dengan mudah patah atau retak atau tajamnya yang terlepas.
Karena itu, maka yang menarik perhatian Mahisa Pukat adalah justru sebatang tongkat kayu yang tidak terlalu panjang. Kayu yang nampaknya potongan sebuah cabang pohon jambu keluthuk. Tongkat kayu yang masih belum kering benar itu agaknya akan dapat dipergunakan dengan lebih baik daripada senjata-senjata lain yang tersedia, karena agaknya batang kayu jambu keluthuk itu langsung dipotong dari dahannya. Seandainya kayu itu sudah dikerat dan patah, maka ia masih akan dapat mempergunakan potongan-potongannya untuk melawan tombak Gajah Saraya.
Karena itu, ketika Mahisa Pukat merasa bahwa parang di tangannya itu mulai goyang, ia pun segera berusaha untuk mendekati sebatang kayu jambu keluthuk yang disandarkan pada sebatang pohon pisang. Namun parang itu sudah menjadi semakin goyah. Karena itu, maka dengan mengerahkan kemampuannya Mahisa Pukat berusaha menusuk menyusup pertahanan tombak Gajah Saraya. Serangan itu memang bukan serangan yang berbahaya. Tetapi Gajah Saraya harus menangkis serangan itu sambil menguasai kudanya.
Dengan tangkasnya, maka Mahisa Pukat pun berputar. Cepat sekali. Keduanya pun kemudian berlari menuju ke batang pisang di pinggir arena. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat menyambar tongkat itu dan kemudian melarikan kudanya berputar mengambil jarak.
Gajah Saraya memang memburunya. Namun sambil melarikan kudanya Mahisa Pukat sempat melihat tongkatnya yang agaknya memang utuh. Tetapi tidak lebih dari sebatang kayu biasa. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat justru menjadi semakin mantap. Ia sekali lagi memutar kudanya langsung menghadapi kuda Gajah Saraya. Sementara itu Gajah Saraya sudah menjadi semakin dekat dengan ujung tombaknya mengarah kedada Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sudah menjadi mantap. Ia menggerakkan kudanya berkisar dari garis semula. Sedikit saja. Tetapi arah kuda Gajah Saraya memang berubah. Dengan demikian maka ujung tombak Gajah Saraya pun telah berubah bergeser pula dari sasaran. Dengan cepat Gajah Saraya harus menguasai kudanya untuk mendapatkan arah sesuai dengan berkisarnya kuda Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sudah siap menghadapi segala kemungkinan dengan tongkat kayu jambu keluthuknya.
Ketika ujung tombak Gajah Saraya menyambarnya, dengan tangkasnya ia menangkis, kemudian memutar tongkatnya sehingga pangkalnya justru menusuk ke arah lambung Gajah Saraya. Mahisa Pukat memang berniat untuk benar-benar memberikan perlawanan sebagai mana diharapkan oleh Gajah Saraya sendiri, sementara itu kesabarannya pun semakin larut pula justru karena dua kali ia telah mendapatkan senjata yang nampaknya dengan sengaja telah dibuat cacat. Sementara itu serangan-serangan Gajah Saraya rasa-rasanya benar-benar berbahaya baginya.
Tetapi ketika Mahisa Pukat benar-benar mendapat kesempatan, ternyata ia tidak dapat benar-benar menyakiti Manggala Pelayan Dalam itu. Tongkatnya memang mampu menembus pertahanan Gajah Saraya. Tetapi Mahisa Pukat justru menahannya, sehingga sentuhan tongkatnya pada lambung Gajah Saraya tidak menggoyahkan daya tahannya. Namun Gajah Saraya sendiri tidak ingkar. Ia merasa lambungnya tersentuh pangkal tongkat Mahisa Pukat.
Demikianlah sejenak kemudian maka pertandingan itu menjadi semakin sengit. Kedua ekor kuda dengan penunggangnya masing-masing itu berlari-larian saling menyambar. Bahkan kadang-kadang saling menyilang dan hampir berbenturan. Ternyata keduanya adalah penunggang kuda yang tangkas. Sementara kedua ekor kuda itu adalah kuda-kuda yang tegar dan kuat, sehingga pertandingan itu telah membuat mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar.
Para prajurit dan Pelayan Dalam yang ada di sekitar arena itu menyaksikan pertandingan itu dengan tegang. Mereka tidak melihat pendadaran di arena itu. Tetapi yang terjadi menurut penglihatan mereka adalah benar-benar sebuah pertempuran antara hidup dan mati. Namun, sebenarnyalah mereka benar-benar mengagumi anak muda yang sedang mengikuti pendadaran itu. Apa yang mereka lihat, bukan sekedar seorang calon Pelayan Dalam yang sedang mengikuti pendadaran. Tetapi seorang yang berilmu tinggi sedang melakukan semacam perang tanding.
Untuk beberapa saat mereka yang berada di pinggir arena itu menyaksikan pertandingan itu dengan hampir tidak berkedip. Jantung mereka rasa-rasanya berdetak semakin cepat di dalam dada mereka.
Apalagi anak-anak muda yang mengikuti pendadaran. Mereka rasa-rasanya tidak mengerti apa yang sedang mereka saksikan. Mereka hanya dapat mengikuti dua ekor kuda yang berlari-larian. Senjata yang saling menyambar dan menangkis. Mereka harus menahan nafas ketika mereka melihat ujung tombak Gajah Saraya yang tajam itu menyambar Mahisa Pukat. Jika ujung tombak itu menyentuhnya maka Mahisa Pukat tentu benar-benar akan terluka. Sehingga pendadaran itu merupakan pendadaran yang sangat berbahaya.
Tetapi Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak menjadi cemas. Sejak semula ia sudah merasa, bahwa ia akan mampu mengimbangi ketangkasan Manggala Gajah Saraya. Meskipun ia hanya bersenjata tongkat kayu jambu keluthuk sebesar dan sepanjang landean tombak Gajah Saraya, namun bagi Mahisa Pukat justru lebih baik dari pedang atau parang yang goyah. Dengan tongkatnya, Mahisa Pukat telah beberapa kali mampu menyentuh tubuh Gajah Saraya. Tetapi setiap kali Mahisa Pukat menahan tenaganya, sehingga sentuhan itu sama sekali tidak membahayakan Manggala Pelayan Dalam itu.
Gajah Saraya sendiri bukannya tidak merasakan sentuhan-sentuhan itu. Bahkan ia mulai memperhitungkan, kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Gajah Saraya merasakan bahwa sentuhan-sentuhan ujung tongkat Mahisa Pukat semakin lama menjadi semakin keras, sehingga pada suatu saat, sentuhan itu akan benar-benar mampu melemparkannya dari punggung kudanya.
Gajah Saraya yang bertanding dengan Mahisa Pukat itu benar-benar merasa heran. Ternyata anak yang masih muda itu benar-benar seorang yang sangat tangkas. Jika ia dapat mengimbangi kemampuan Senapati Sawung Tuwuh, ternyata bukan hanya sekedar pujian yang pernah didengarnya. Juga perang tanding yang pernah dilakukannya dengan Empu Damar.
Gajah Saraya yang benar-benar ingin menguji kemampuan Mahisa Pukat itu memang tidak dapat berbuat lain kecuali mengakui bahwa Mahisa Pukat adalah anak muda yang luar biasa. Yang terjadi selama pendadaran telah membuat Gajah Saraya semakin mengaguminya pula. Anak muda yang berilmu sangat tinggi itu sama sekali tidak berniat untuk menyombongkan dirinya. Ia justru selalu menahan diri untuk berada pada tataran yang sejajar dengan kawan-kawannya. Hanya sedikit kelebihan yang ditunjukkan agar ia dapat diterima di antara sepuluh orang terbaik di antara anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu.
Sementara itu pendadaran itu masih berlangsung. Gajah Saraya memang ingin melihat sejauh dapat dilakukan. Ia telah memancing agar Mahisa Pukat menunjukkan kelebihannya bukan saja kepada kawan-kawannya peserta pendadaran. Tetapi juga para prajurit dan Pelayan Dalam. Gajah Saraya memang berhasil memancing agar Mahisa Pukat meningkatkan kemampuannya sampai pada suatu tataran yang melampaui kemampuan para peserta pendadaran dan bahkan para prajurit dan Pelayan Dalam yang ikut serta dalam tugas-tugas pendadaran itu. Juga mereka yang melakukan pendadaran langsung bagi para peserta itu.
Para prajurit dan Pelayan Dalam itu sempat berkata kepada diri sendiri, “Untunglah bahwa bukan aku yang harus melakukan pendadaran langsung atas anak muda itu.”
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat memang menyadari, bahwa yang dilakukan itu sudah terlalu jauh di atas tataran seorang Pelayan Dalam. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ia tidak mau namanya menjadi cemar karena kegagalannya mengikuti pendadaran meskipun terasa bahwa pendadaran itu sudah tidak wajar lagi. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak tahu, alasan apakah yang menjadikan pendadaran itu tidak wajar.
Sementara itu, pendadaran itu pun masih berlangsung. Yang menyaksikannya semakin menjadi berdebar-debar. Ujung tombak Gajah Saraya menyambar-nyambar dengan garangnya. Namun tongkat Mahisa Pukat pun berputar dengan cepatnya. Menangkis setiap serangan dan bahkan sempat pula membalas menyerang.
Namun dalam pada itu, yang mulai menjadi cemas adalah Gajah Saraya itu sendiri. Ia merasakan bahwa Mahisa Pukat masih meningkatkan kemampuannya. Sementara itu, Gajah Saraya sendiri kemudian meyakini, bahwa Mahisa Pukat memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan jika pertandingan itu diteruskan sehingga Mahisa Pukat kehilangan kesabarannya, maka Mahisa Pukat akan mungkin benar-benar mengalahkannya. Jika Mahisa Pukat kemudian salah paham atas maksudnya karena tekanan-tekanan yang diberikannya, maka anak muda itu akan benar-benar marah.
Karena itu, maka selagi keadaan masih nampak seimbang, maka Gajah Saraya harus menghentikan pendadaran itu. Meskipun semula Gajah Saraya masih berharap untuk dapat menundukkan Mahisa Pukat karena senjata yang dipergunakannya bukan senjata yang baik setelah ia berhasil memancing anak muda itu sampai ke tingkat yang lebih tinggi, namun ternyata Mahisa Pukat dapat memecahkan hambatan dari senjata-senjata yang disediakan.
Karena itu, maka ketika ketegangan menjadi semakin memuncak, maka Gajah Saraya pun kemudian berusaha untuk menghindar dan mengambil jarak sambil berkata, “Tahanlah Mahisa Pukat. Tahan dirimu.”
Mahesa Pukat mendengar seruan itu. Untunglah bahwa ia masih sempat mengendalikan dirinya, sehingga karena itu, maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari benturan-benturan yang dapat terjadi.
Kedua ekor kuda itu nampak memang saling menjauh. Keduanya berusaha mengambil jarak, sementara Gajah Saraya telah melemparkan tombaknya dari jarak yang cukup jauh ke arah sebatang pohon pisang yang ada di pinggir arena. Dengan tepat tombak itu menancap pada batang pisang itu setinggi dada.
Mahisa Pukat memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bergeser menepi dan menyandarkan tongkatnya pada sebatang pohon pisang pula.
Manggala Gajah Saraya yang melihat Mahisa Pukat menepi dan meletakkan tongkatnya, telah bergeser ketengah-tengah arena. Kepada para peserta pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam, kepala para prajurit dan Pelayan Dalam, Gajah Saraya itu kemudian berkata,
“Aku sudah melakukan pendadaran langsung atas peserta yang bernama Mahisa Pukat ini. Seorang anak muda yang telah mampu mengalahkan seorang pemimpin padepokan yang namanya dikenal oleh orang-orang Singasari, Empu Damar, dan yang saat ini sedang melakukan pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari. Mendahului semua keputusan, maka aku berani mengatakan bahwa anak muda yang bernama Mahisa Pukat ini akan dapat diterima menjadi Pelayan Dalam. Di hadapan para peserta yang kelak akan dapat diterima bersama Mahisa Pukat, kepada para prajurit dan Pelayan Dalam aku beritahukan, bahwa Mahisa Pukat akan langsung mendapat kedudukan sebagai seorang pemimpin kelompok dari kesatuan Pelayan Dalam di Istana Singasari, khususnya bagi calon Pelayan Dalam yang akan diterima bersamanya.”
Tidak ada yang tahu, siapa yang mula-mula bertepuk tangan. Namun kemudian terdengar tepuk tangan yang riuh di sekitar arena pertandingan sebagai pendadaran khusus yang diselenggarakan atas Mahisa Pukat langsung oleh Manggala Gajah Saraya.
Gajah Saraya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dengan demikian maka ia berharap bahwa tidak ada lagi perasaan iri terhadap kedudukan yang diberikan langsung kepada orang baru yang bernama Mahisa Pukat itu. Para prajurit dan Pelayan Dalam telah melihat langsung kemampuannya yang tinggi, yang diyakini oleh Gajah Saraya bahwa kemampuan itu masih belum mencapai puncaknya dan bahkan mungkin Mahisa Pukat masih mempunyai ilmu simpanan yang ternyata mampu mengatasi kemampuan Empu Damar.
Dalam pada itu Mahisa Pukat sendiri menjadi berdebar-debar. Tetapi agaknya teka-teki yang untuk beberapa lama mencengkam jantungnya telah terjawab. Manggala Gajah Saraya tidak berniat untuk menyingkirkannya. Ia sudah menyatakan di hadapan banyak orang, bahkan di antara mereka terdapat Arya Kuda Cemani, bahwa ia akan diangkat langsung menjadi pemimpin kelompok di dalam lingkungan kesatuan Pelayan Dalam di Istana Singasari.
Ternyata yang menjadi berbesar hati bukan saja Mahisa Pukat sendiri. Tetapi juga Arya Kuda Cemani. Meskipun Mahisa Pukat belum pernah lewat orang tuanya berbicara tentang Sasi, tetapi seolah-olah mereka sudah saling mengetahui hubungan di antara anak-anak mereka. Bagi Arya Kuda Cemani, kedudukan seorang Pelayan Dalam akan lebih baik bagi Sasi daripada seorang pemimpin Padepokan yang berada di tempat yang jauh dari Kota Raja. Kebiasaan serta tata hidup Sasi sejak kanak-kanak tentu tidak akan dengan mudah ditinggalkannya.
Demikianlah, maka pendadaran bagi mereka yang ingin memasuki lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari itu sudah selesai. Para peserta dapat beristirahat sambil menunggu pengumuman, siapakah di antara mereka yang dapat diterima menjadi Pelayan Dalam dan siapa yang terpaksa tersisih. Tetapi sebagaimana pesan Manggala Gajah Saraya, bahwa mereka yang belum beruntung dapat diterima menjadi Pelayan Dalam, maka pada kesempatan lain mungkin mereka akan mendapat kesempatan pula.
Ketika para peserta itu beristirahat, maka beberapa orang di antara mereka telah menyatakan selamat atas keberhasilan Mahisa Pukat. Bukan saja diterima sebagai Pelayan Dalam, tetapi sekaligus akan menjadi pemimpin kelompok, dari para Pelayan Dalam yang diterima dalam pendadaran itu.
Anak muda yang bertubuh raksasa itu pun dengan lantang berkata, “Tetapi aku masih mempunyai kemenangan atasmu.“
Mahisa Pukat yang tidak tahu maksudnya tidak segera menjawab pernyataan itu. Tetapi justru kawannya yang lain yang bertanya, “Kemenangan apa?”
“Bukankah kita pernah bertaruh. Dan akulah yang menang dalam pertaruhan itu.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Ya. Aku mengaku kalah.”
Tetapi kawannya mendesak, “Taruhan apa?”
Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa sambil menjawab, “Aku bertaruh bahwa dalam pendadaran Mahisa Pukat tidak akan pernah kalah dalam setiap pertandingan. Bahkan pertandingan yang terakhir langsung melawan Manggala Pelayan Dalam pun, Mahisa Pukat tidak dapat dikatakan kalah. Meskipun juga tidak dapat dikatakan menang.”
“Ah, sudahlah” potong Mahisa Pukat, “lihat, petugas itu tentu akan mempersilahkan kita makan.”
“Ya” jawab salah seorang anak muda yang juga menjadi peserta, “seandainya aku tidak diterima, aku sudah mendapat kesempatan untuk makan enak selama beberapa hari sejak pendadaran pada tataran pertama. Di rumah aku tidak pernah mendapat makan sebaik makanan yang aku terima di sini.”
Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka sempat menyahut, “Ya. Aku juga tidak pernah makan seenak makanan di sini. Apakah jika kita diterima menjadi Pelayan Dalam makan kita akan seperti ini setiap hari?”
Anak-anak muda itu tertawa semakin riuh. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Jadi tujuan kita untuk menjadi Pelayan Dalam sekedar untuk mendapatkan makanan yang enak seperti saat pendadaran?”
“Sudahlah” berkata anak muda yang bertubuh raksasa, “kita harus makan. Aku memang sudah lapar.”
Sebenarnyalah seorang petugas telah mempersilahkan anak-anak muda para peserta pendadaran itu untuk makan diruangan di sebelah dapur. Sementara mereka makan, mereka masih sempat juga bergurau. Seorang mendekati anak muda bertubuh raksasa itu sambil berkata, “He, sebanyak itu kau makan?”
“Kenapa?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu.
“Tiga kali lipat dari Mahisa Pukat.” jawab kawannya.
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata lantang, “Tetapi anak itu lebih kuat dari Mahisa Pukat. Ia dapat membengkokkan lempengan besi yang tebal itu.”
“Tidak” tiba-tiba anak muda bertubuh raksasa itu menjawab, “Ternyata Mahisa Pukat tanpa harus mengerahkan kekuatannya dapat meluruskan besi itu kembali di luar pengetahuan kalian. Nah, bukankah kalian tidak melihat? Tetapi demikian besi itu aku bengkokkan, maka diam-diam ia telah meluruskannya kembali. Dengan demikian, meskipun tubuhku jauh lebih besar dari tubuhnya, serta aku dapat menelan makanan jauh lebih banyak dari padanya, namun ternyata Mahisa Pukat mempunyai kekuatan lebih besar dari aku.”
“Ah. Jangan membual” potong Mahisa Pukat.
“Kenapa aku harus membual? Aku akan mencari sepotong besi itu dan aku akan menunjukkan kepada anak-anak muda di sini.”
“Bukankah itu tidak perlu” jawab Mahisa Pukat.
“Kenapa tidak?” bertanya anak muda itu.
“Sudahlah. Nanti kita terbatuk. Selagi kita makan, maka sebaiknya kita tidak berbicara.” berkata Mahisa Pukat kemudian sambil menyuapi mulutnya.
Anak-anak muda itu memang terdiam sejenak. Namun anak muda bertubuh raksasa itu bertanya perlahan-lahan dan bersungguh-sungguh, “Kenapa pedang yang kau pergunakan itu patah?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebelum menjawab anak muda bertubuh raksasa itu bertanya pula, “Apakah parang yang kemudian kau pergunakan itu juga akan patah?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menggeleng, “Mungkin tidak. Parang itu tidak akan patah seperti pedang yang sebelumnya aku pergunakan.”
“Tetapi kenapa kau mengganti senjatamu?” bertanya anak muda itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku lebih senang mempergunakan senjata panjang daripada senjata pendek khususnya untuk melawan tombak. Apalagi Manggala Gajah Saraya memiliki kemampuan yang sangat tinggi mempermainkan tombaknya. Agaknya ia terbiasa mempergunakan senjata tombak pendek seperti yang dipergunakan waktu itu.”
Anak muda bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika kita menilai dengan jujur, maka nilaimu tentu lebih tinggi dari nilai Manggala Gajah Saraya. Kau hanya mempergunakan sebatang tongkat kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkan dari batangnya, sementara Manggala Gajah Saraya mempergunakan tombak yang sebenarnya.”
“Tentu tidak. Tentu Manggala Gajah Saraya tidak bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Seandainya aku tidak melawan sekalipun aku tidak akan terbunuh di pertandingan itu. Jika seorang prajurit yang bertugas melakukan pendadaran langsung dan membunuh orang yang sedang mengalami pendadaran itu sama saja dengan sebuah pembunuhan.” jawab Mahisa Pukat.
“Tetapi kenapa kau lebih senang mempergunakan tongkat kayu itu. Sedangkan di tempat lain tersedia batang tombak?”
Mahisa Pukat memandang anak muda itu sejenak. Sambil tersenyum ia berdesis, “Apa kau kau sedang menyelidiki satu perkara?”
“Tidak. Tetapi aku menjadi heran melihat hal itu kau lakukan” jawab anak muda itu.
“Jarak yang terdekat yang dapat aku capai adalah tongkat itu. Jika aku harus memungut tombak pendek itu aku tentu terlambat” jawab Mahisa Pukat masih tersenyum.
“Tetapi bukankah Manggala Gajah Saraya tidak bersungguh-sungguh? Seandainya kau terlambat sekalipun, kau tidak akan dikenainya. Apalagi benar-benar membunuhmu.” berkata anak muda itu pula.
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Kau tidak memberi kesempatan aku untuk makan. Tetapi baiklah. Pertanyaanmu mirip pertanyaan seorang petugas rahasia yang sedang mengusut perkara yang rumit. Barangkali aku dapat mengusulkan kepada Manggala Gajah Saraya, bahwa kau dapat di tempatkan dalam tugas rahasia kelak.”
“Ah, jangan. Aku senang menjadi anak buahmu sebagai Pelayan Dalam. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Seandainya aku terlambat menangkis serangannya. Meskipun serangan itu tidak akan benar-benar mengenaiku, namun nilai kemampuanku tentu dinilai kurang dari jika aku benar-benar mampu melakukannya. Sebenarnya aku memang tidak perlu menyombongkan diriku sebagaimana terlanjur aku lakukan. Tetapi aku benar-benar terpancing sehingga diluar kendali aku telah melakukannya.” jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun masih ada satu pertanyaan yang tersangkut. Dengan ragu-ragu anak muda itu bertanya, “Kenapa pedang itu patah?”
Sebenarnya pertanyaan itu juga membersit di kepala Mahisa Pukat. Seakan-akan ada kesengajaan bahwa senjata yang disediakan baginya telah dibuat cacat. Namun kepada anak muda bertubuh raksasa itu ia menjawab, “Mungkin aku tergesa-gesa mempergunakannya, sehingga aku kurang berhati-hati.”
“Tetapi pedang itu tidak akan patah.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Mahisa Pukat yang tidak ingin mendapat pertanyaan lebih panjang lagi, tiba-tiba berbatuk-batuk. Sambil menutup mulutnya ia terbungkuk-bungkuk menahan batuknya yang menyesakkan nafasnya. Kemudian ia pun menggapai semangkuk minuman. Baru setelah ia minum beberapa teguk ia menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak boleh makan sambil berbicara“
“Baik. Baik” sahut anak muda bertubuh raksasa itu. Tetapi katanya kemudian, “Kau hanya berpura-pura.”
Mahisa Pukat justru tertawa. Tetapi ia pun kemudian benar-benar terbatuk-batuk karena butir nasi yang masuk ke jalur yang salah.
“Sudahlah” berkata kawannya yang lain kepada anak muda bertubuh raksasa itu, “kau jangan mengajaknya berbicara saja. Barangkali kau terbiasa makan sambil berbicara. Tetapi orang lain tidak.”
“Baik. Baik.” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Untuk beberapa lamanya anak-anak muda itu makan sambil berdiam diri. Tetapi anak muda bertubuh raksasa itii mulai beringsut. Tetapi sebelum ia bertanya lagi, kawannya sudah mendahuluinya, “Nah, kau sudah akan berbicara lagi.”
“Baik. Baik. Aku akan diam” jawab anak muda itu. Demikianlah, setelah makan, maka anak muda bertubuh raksasa itu tidak lagi memburu Mahisa Pukat dengan pertanyaan-pertanyaannya. Beberapa hal sudah dapat dipahami, meskipun sebenarnya masih ada yang ingin diketahuinya. Tetapi anak muda itu menduga bahwa Mahisa Pukat tidak ingin menjawabnya. Namun sebenarnyalah pertanyaan yang sama tengah bergejolak pula dihati Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itu tinggal menunggu saja pemberitahuan, siapakah di antara mereka yang gagal dalam pendadaran itu. Hanya sepuluh orang di antara mereka yang diterima. Bahkan mungkin kurang dari itu jika yang memenuhi syarat memang kurang dari sepuluh orang.
Tetapi hari itu ternyata masih belum diumumkan siapakah yang akan diterima dan siapakah yang tidak. Anak-anak muda itu masih akan bermalam semalam lagi. Bahkan malam itu Manggala Gajah Saraya berkenan menjamu anak-anak muda yang ikut sampai pendadaran terakhir. Mereka yang tidak diterima pun telah ikut pula dalam jamuan itu. Tetapi karena belum diumumkan siapakah di antara mereka yang tidak diterima, maka kedudukan mereka rasa-rasanya masih sama saja.
Dalam jamuan itu sekali lagi Gajah Saraya mengumumkan bahwa Mahisa Pukat akan langsung diangkat menjadi pemimpin kelompok dari anak-anak muda yang akan diterima sebagai Pelayan Dalam itu. Malam itu, setelah jamuan selesai, maka Mahisa Pukat telah ditemui oleh salah seorang petugas sandi atas nama Arya Kuda Cemani. Sepengetahuan Manggala Gajah Saraya, petugas sandi itu memberitahukan bahwa memang ada orang yang dengan sengaja ingin menyingkirkan Mahisa Pukat dari pencalonannya.
“Siapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sebenarnya masih harus diusut sampai tuntas. Tetapi kami sudah menemukan arah penyelidikan kami. Orang itu adalah seorang prajurit muda. Ia mempunyai pengaruh meskipun kedudukannya masih belum meningkat sejak semula. Ayahnya adalah seorang Senapati. Apa yang dilakukan adalah diluar pengetahuan ayahnya. Bahkan ketika ayahnya dihubungi, maka ia menjadi sangat terkejut. Ia pernah menghukum anaknya dalam persoalan yang sama. Dalam kedudukannya sebagai seorang anak muda yang merasa disaingi kemudaannya. Tetapi kesalahan itu telah diulangi lagi.” berkata petugas sandi itu.
“Tetapi bagaimana ia mampu menyusun jaringan yang demikian luasnya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Anak muda itu mempunyai uang cukup. Meskipun ayahnya tidak mengetahui rencana itu, tetapi ternyata anak muda itu dan beberapa orang kawannya dapat melakukannya” jawab petugas sandi itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Aku kira persoalan di antara kami sudah selesai. Ternyata masih ada kelanjutannya.”
“Ayahnya akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat.” berkata petugas sandi itu.
“Jika kau dapat berhubungan dengan ayahnya, katakan kepadanya bahwa hukuman badan itu tidak perlu. Tetapi anak itu perlu mendapat tuntunan lebih jauh. Aku ingin menemuinya jika mungkin serta diijinkan oleh ayahnya. Menurut dugaan serta perhitunganku ia sudah menjadi jera. Mungkin ada sesuatu yang mempengaruhinya sehingga ia mengulangi kesalahannya.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan melaporkan kepada Arya Kuda Cemani. Ia juga menyesalkan peristiwa itu. Tetapi Arya Kuda Cemani memang menghendaki agar persoalannya diselesaikan kedalam tanpa banyak keributan. Apalagi ayah anak muda itu juga tidak berniat membela anaknya meskipun ia mempunyai kedudukan penting. Bahkan jika dikehendakinya, ia akan dapat mempergunakan kekerasan atau setidak-tidaknya mendesak dengan ancaman-ancaman kekerasan. Tetapi Senapati itu ternyata bersikap jujur dan bahkan siap menghukum anaknya sendiri.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku justru kasihan kepadanya. Hatinya tentu tersiksa sehingga mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama dengan cara yang justru lebih berbahaya.”
Namun, petugas sandi itu tidak memperpanjang pembicaraan itu. Beberapa saat kemudian maka anak-anak muda itu pun telah memasuki bilik mereka untuk tidur, sementara malam menjadi semakin larut.
Seperti biasanya, pagi-pagi benar anak-anak muda itu sudah bangun. Ketika matahari terbit, maka mereka pun sudah berbenah diri dan sebentar kemudian mereka pun telah makan. pagi. Setelah beristirahat sebentar, maka datanglah saat yang mendebarkan itu. Manggala Pelayan Dalam sendiri akan mengumumkan, siapakah di antara mereka yang diterima menjadi Pelayan Dalam.
Setelah memberikan sedikit pengantar, agar yang terpaksa tidak diterima tidak menjadi terlalu kecewa, maka Manggala Pelayan Dalam itu pun berkata,
“Ternyata kami berhasil mendapatkan sepuluh orang di antara kalian yang memenuhi syarat sebagaimana yang kami harapkan. Sebenarnya semuanya memiliki kemampuan yang memenuhi syarat. Tetapi sayang, bahwa kami hanya dapat menerima sepuluh orang saja. Meskipun demikian, karena Mahisa Pukat akan langsung diangkat menjadi pemimpin kelompok, maka jumlah penerimaan kali ini akan menjadi sebelas orang...”