PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 87
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 87
Karya Singgih Hadi Mintardja
NAGA ANGKASA menarik dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Di sini kita akan menempuh jalan yang bersimpangan.”
Tetapi orang bertubuh raksasa itu menjawab, “Tidak. Kita akan selalu berjalan bersama-sama.”
“Jika kau bersedia mengikuti jalanku, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”
Orang itu menggeram. Katanya, “Kakang Naga Angkasa. Pada saat terakhir aku memutuskan, jika kakang Naga Angkasa tidak mau memenuhi kewajiban sebagai seorang murid, maka apa boleh buat. Naga Angkasa akan tersingkir dari perguruan. Bukan saja wadagnya. Tetapi juga nyawanya.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku adalah saudara tua seperguruan bagi kalian. Jika tidak ada guru, maka perintahku sama nilainya dengan perintah guru.”
“Kami tidak mengakui lagi kehadiran kakang Naga Angkasa di perguruan kita,” jawab raksasa itu.
“Jika demikian maka bagiku sudah jelas,” berkata Naga Angkasa.
“Jelas bagaimana?” bertanya raksasa itu.
“Kita tidak lagi dapat berjalan bersama. Aku akan melawan kalian. Kita bukan bersaudara lagi,” berkata Naga Angkasa tegas.
Ketiga orang saudara seperguruannya itu pun bergeser mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Justru menjauh. Namun demikian, orang bertubuh raksasa itu berkata, “Jika kalian akan turun ke arena, kami tidak berkeberatan. Kalian tidak memiliki kekuatan dan kemampuan utuh lagi karena luka-luka kalian.”
Tetapi Naga Angkasa berkata, “Persoalan ini adalah persoalanku. Jika mereka berdua melibatkan diri, kalian akan mati terlalu cepat. Karena itu, biarlah aku menyelesaikannya sendiri.”
Ketiga orang saudara seperguruannya itu menggeram. Seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan berkata, “Kakang Naga Angkasa. Jangan terkejut bahwa kami akan dapat menyelesaikanmu dengan cepat, melampaui dugaanmu.”
Naga Angkasa tidak menjawab lagi. Ia pun telah bersiap menghadapi ketiga orang saudara seperguruannya. Karena ketiga orang saudara seperguruannya itu tidak bersenjata, maka Naga Angkasa pun tidak bersenjata pula.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mulai bertempur. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan telah bergeser menjauhi arena. Mereka memang harus memberikan kesempatan kepada Naga Angkasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Apalagi menyangkut perguruannya dan saudara-saudaranya seperguruannya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menjadi semakin cepat. Ternyata ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu memang tidak mempergunakan senjata apapun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui, bahwa ketiga orang itu tentu akan mempercayakan kemampuan ilmu mereka, Naga Pasa, yang tentu memiliki kekuatan lebih dari jenis senjata apapun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun yakin, bahwa tingkat kemampuan ilmu mereka masih belum setingkat dengan Naga Angkasa.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu agaknya memang sudah memiliki ilmu perguruannya dengan lengkap. Namun demikian, maka sikap dan tatanan gerak Naga Angkasa nampak jauh lebih matang dari saudara-saudara seperguruannya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun masih saja nampak seimbang.
Naga Angkasa yang bertempur melawan tiga orang sekaligus itu, kadang-kadang masih juga membuat lawan-lawannya harus mengambil jarak. Pengalaman Naga Angkasa nampak jauh lebih luas, sehingga unsur-unsur gerak yang diwarisi dari sumber yang sama menjadi berselisih jauh nilainya.
Meskipun demikian, bertiga saudara-saudara seperguruan Naga Angkasa itu dapat saling mengisi. Serangan demi serangan meluncur berurutan. Disaat seorang di antara mereka gagal mengenai sasaran, maka yang lain pun telah meloncat menyerang pula. Bahkan mereka bertiga bersama-sama menyerang dari arah yang berbeda, sehingga Naga Angkasa harus melenting tinggi-tinggi untuk menghindari serangan itu.
Namun kemudian Naga Angkasa itu pun bagaikan terbang dengan tangannya yang terkembang. Jari-jarinya yang merapat di ujungnya merupakan bahaya yang mendengarkan bagi saudara-saudara seperguruannya. Meskipun pada unsur-unsur geraknya, ketiganya kadang-kadang juga mempergunakannya, namun yang dapat mereka lakukan tidak akan dapat setajam Naga Angkasa.
Semakin lama maka pertempuran antara orang-orang seperguruan itu menjadi semakin sengit. Meskipun secara pribadi Naga Angkasa memiliki banyak kelebihan, tetapi melawan tiga orang saudara seperguruannya sekaligus, maka ia benar-benar harus memeras tenaganya dan kemampuannya.
Namun pengalamannya yang luas kemudian telah menempatkannya pada keadaan yang lebih baik. Semakin lama ketiga orang saudara seperguruannya menjadi semakin sulit untuk menyentuhnya. Bahkan sekali-sekali tangan Naga Angkasa telah berhasil menggapai mereka.
Meskipun demikian, namun pertempuran itu masih tetap berbahaya bagi kedua belah pihak. Ketiga orang saudara seperguruan Naga angkasa pun telah memeras tenaga dan ilmu mereka sehingga dengan kemampuan mereka saling mengisi dalam pertempuran itu, ketiganya tetap merupakan lawan yang berbahaya bagi Naga Angkasa.
Tetapi sentuhan-sentuhan tangan Naga Angkasa ternyata telah membuat ketiga orang adik seperguruannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali tangan Naga Angkasa mengenai tubuh salah seorang dari mereka, maka perasaan sakit telah menyengat, sehingga terdengar keluhan yang tertahan. Karena itulah, maka ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa perlawanan Naga Angkasa harus diakhiri.
Ketiga orang adik seperguruan Naga Angkasa itu menyadari bahwa Naga Angkasa tentu memiliki kemampuan ilmu yang lebih tinggi dari mereka. Tetapi dengan bekal yang meskipun lebih rendah dari ilmu Naga Angkasa, namun mereka bertempur bersama-sama. Karena itu, maka yang tertua di antara mereka, orang yang bertubuh raksasa itu kemudian telah memberikan isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk melepaskan ilmu puncak mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat betapa ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu menghentakkan kemampuan dari ilmu mereka. Sementara itu, Naga Angkasa pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia pun tahu, bahwa ketiga orang adik seperguruannya itu sudah menerima warisan ilmu terpenting dari perguruannya, Naga Pasa. Tetapi Naga Angkasa pun tahu, bahwa tataran ilmu mereka tentu masih belum terlalu tinggi.
Ilmu mereka seharusnya masih harus dilengkapi dengan beberapa macam laku sehingga unsur-unsurnya serta landasan lontarannya menjadi lengkap. Tetapi agaknya gurunya belum sempat melakukannya. Ketiga orang saudara seperguruannya itu- pun tentu belum sempat menjalani laku justru karena mereka tergesa-gesa memenuhi perintah gurunya sebelum gurunya meninggal.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka yang terjadi adalah pelepasan ilmu Naga Pasa masih dalam ujud wantahnya. Tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu bergerak semakin cepat. Berputaran dan seakan-akan bergetar ke arah pusat gerakan mereka. Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Naga Pasa dalam dukungan bersama dari ketiga orang adik seperguruannya terasa agak lain dari ilmu yang pernah diwariskan kepadanya.
Nampaknya gurunya telah memberikan beberapa unsur yang memang berbeda. Bukan karena jenis Ilmu Naga Pasa yang diwarisi adiknya itu berbeda sebagaimana diketahuinya ada beberapa jenis ilmu yang disebut Naga Pasa dengan beberapa persamaan tetapi juga beberapa kelainan. Tetapi ungkapan ilmu itulah yang agak lain.
Pada saat-saat terakhir gurunya agaknya melihat, bahwa Naga Angkasa dan Naga Pratala tidak lagi dapat diyakini kesetiaannya kepada perguruannya. Karena itu, gurunya telah menyusun satu kekuatan baru selain kekuatan dan kemampuan gurunya sendiri. Tiga orang adik seperguruannya telah mendapatkan warisan ilmunya dengan sedikit perubahan-perubahan pada unsur-unsurnya.
Tetapi ternyata bahwa ilmu dengan perubahan-perubahan itu masih belum menemukan bentuknya yang mapan di dalam diri ketiga orang adik seperguruan Naga Angkasa. Semuanya masih pada permukaannya saja. Meskipun demikian, justru karena kelainan-kelainan itulah, maka Naga Angkasa memang harus berhati-hati menghadapinya.
Dalam puncak kemampuan mereka yang terbatas itu, maka telapak tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu seakan-akan telah menjadi bara. Telapak tangan itu menjadi merah dan berasap tipis. Dalam hentakkan ilmu Naga Pasa yang masih belum mapan itu, maka yang terlontar bukan bara yang kemerah-merahan terjulur ke sasaran. Tetapi semacam hempasan kabut yang kemerah-merahan.
Kabut itu memang dapat membakar kulit. Bahkan uapnya-pun ternyata beracun. Namun racun bagi Naga Angkasa bukannya sesuatu yang dapat membahayakan jiwanya. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin menjadi sengit. Naga Angkasa mulai merasa terdesak. Kabut yang kemerah-merahan itu menghembus dari tiga arah yang berbeda, sehingga Naga Angkasa harus berloncatan untuk menghindarinya.
“Menyerahlah,” geram orang bertubuh raksasa itu, “serahkan nyawamu dengan cara yang lebih baik dan dengan sikap persaudaraan.”
Pernyataan itu teryata telah membuat Naga Angkasa menjadi sangat marah. Ia merasa bahwa adik seperguruannya itu telah menghinanya. Seharusnya mereka mengerti, bahwa Naga Angkasa masih belum melepaskan ilmu Naga Pasa.
Karena itu, maka demikian raksasa itu selesai berbicara, maka Naga Angkasa telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa serangan berikutnya akan mengejarnya. Tetapi ia harus mendapat kesempatan untuk membalas serangan itu dengan ilmu Naga Pasa.
Sikap adik seperguruannya itu telah mempercepat detak jantung Naga Angkasa, sehingga ia pun telah memutuskan untuk menghancurkan lawan-lawannya meskipun mereka adalah adik seperguruannya. Apalagi setelah adik seperguruannya yang bertubuh raksasa itu menghinanya. Karena itu, ketika kemudian serangan-serangan dari adik seperguruannya itu datang, Naga Angkasa pun telah mempersiapkan ilmunya pula. Ilmu puncaknya.
Kabut yang berhembus ke arahnya itu memang dapat membakar kulitnya. Betapa pun Naga Angkasa berloncatan menghindari, tetapi karena serangan itu datang dari tiga arah, maka akhirnya kulitnya telah tersentuh pula. Namun dalam pada itu, ketika Naga Angkasa sempat meloncat menjauh, maka ia memutuskan untuk menyerang adik seperguruannya yang tertua. Naga Angkasa yang yakin akan kelebihan ilmunya itu, telah menyiapkan ilmunya ketika ia melihat raksasa itu bersiap menyerangnya.
Demikian serangan raksasa itu meluncur, maka Naga Angkasa pun telah melepaskan serangannya pula. Ia tahu benar apa yang telah terjadi atas Naga Pratala serta apa yang terjadi atas gurunya dalam benturan ilmu yang tidak seimbang.
Sebenarnyalah benturan itu telah terjadi. Ilmu puncak yang meluncur dari tangan Naga Angkasa, yang bagaikan bara yang terjulur memanjang kesasaran, telah membentur hembusan asap yang ternyata adalah memang masih belum mampu mengimbangi ilmu saudara tua seperguruannya.
Satu ledakan telah terjadi. Namun getarannya telah terdorong ke arah raksasa itu. Lontaran ilmunya justru telah memantul dan kembali menghantam dadanya. Raksasa itu terpekik keras. Rasa-rasanya dadanya memang telah pecah. Satu hentakan yang keras telah melemparkannya sehingga tubuh yang besar itu telah terbanting jatuh terlentang.
Raksasa itu menggeliat. Tetapi ilmu Naga Angkasa memang terlalu kuat baginya, sehingga dalam benturan itu, beberapa bagian dalam tubuhnya telah terluka parah. Namun pada saat itu, saudara seperguruannya yang lain telah menyerangnya pula. Demikian cepatnya sehingga Naga Angkasa harus berloncatan menghindarinya.
Namun Naga Angkasa telah memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka ketika serangan itu datang lagi, maka Naga Angkasa telah membenturnya pula dengan ilmunya yang jauh lebih tinggi.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan. Dua orang adik seperguruan Naga Angkasa telah terbaring diam. Namun pada saat yang hampir bersamaan, lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula. Karena itu, demikian Naga Angkasa melepaskan ilmunya untuk membentur ilmu adik seperguruannya yang seorang, maka ia pun harus, berusaha menghindari serangan yang datang dari arah lain. Meskipun Naga Angkasa sudah berusaha, namun ternyata ia tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun ia sempat bergeser, tetapi serangan itu masih mengenai pundaknya.
Terdengar Naga Angkasa mengeluh tertahan. Tetapi dengan menjatuhkan dirinya, maka sentuhan serangan itu tidak menimbulkan luka yang sangat parah, meskipun perasaan panas telah menggigit. Dalam pada itu, kesempatan terakhir untuk menghentikan pertempuran itu terjadi. Ia sempat melihat serangan adik seperguruan itu meluncur ke arahnya. Tanpa berusaha untuk bangkit, maka Naga Angkasa telah menyerang adik seperguruannya yang terakhir itu sambil berbaring ditanah.
Seperti kedua orang adiknya yang terdahulu, maka telah terjadi benturan ilmu lagi. Seperti kedua orang saudara seperguruannya yang lalu, maka getaran ilmu yang memantul bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Naga Pasa yang jauh lebih kuat dari ilmunya, maka adik seperguruan Naga Angkasa yang seorang itu pun telah terlempar dan kemudian terbaring diam. Naga Angkasa berdiri termangu-mangu. Perasaan sakit dan pedih terasa bagaikan membakar seluruh tubuhnya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menyaksikan akhir dari pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ternyata Naga Angkasa benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sejenak Naga Angkasa berdiri termangu-mangu. Bukan saja karena ketiga orang adik seperguruannya telah terbunuh. Tetapi juga karena ia sendiri telah terluka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekatinya. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kau selesaikan ketiga orang adik seperguruanmu.”
Naga Angkasa menunduk dalam-dalam. Kemudian dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Hampir tidak terdengar ia pun telah berdesis, “Semuanya telah terbunuh. Naga Pratala, guru dan tiga orang adik seperguruanku.”
“Apakah hanya itu isi padepokanmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak,” jawab Naga Angkasa, “tetapi yang lain tidak berarti apa-apa lagi.”
“Apakah mereka masih belum mencapai tataran mula dari ilmu Naga Pasa?” bertanya Mahisa Murti.
Naga Angkasa menggeleng sambil berkata, “Belum.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Naga Angkasa tentu menjadi pedih bukan saja pada luka-luka dikulitnya, tetapi juga dihatinya. Ia terpaksa membunuh tiga orang saudara seperguruannya setelah adik seperguruannya yang memiliki kemampuan hampir setingkat dengan dirinya telah terbunuh pula.
“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” desis Naga Angkasa itu dengan nada dalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiri di tempatnya. Dengan suara yang dalam Mahisa Murti berkata, “Kami akan membantu menguburkan adik-adik seperguruanmu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih.” Tetapi beberapa saat Naga Angkasa masih menunggu. Rasa-rasanya hatinya masih tertahan untuk menguburkan adik-adik seperguruannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengerti perasaan Naga Angkasa tidak mendesaknya untuk segera melakukannya. Namun akhirnya, mereka pun telah menggali lubang kubur bagi ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa.
Demikian mereka selesai menguburkan ketiga orang itu, maka tubuh Naga Angkasa terasa seperti kehilangan tulang-tulangnya. Hampir saja ia menjadi kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia sempat bergeser dan duduk di atas sebongkah batu padas.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
Wajah Naga Angkasa menjadi pucat. Nampaknya bukan saja luka-lukanya yang nampak yang telah membuatnya hampir pingsan. Tetapi sebenarnyalah bahwa luka-lukanya memang perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membantunya membersihkan dan kemudian mengobati luka-lukanya dengan obat yang dibawa oleh Naga Angkasa sendiri. Mahisa Semu sempat mencari air yang dapat mengurangi perasaan haus yang sangat yang dialami oleh Naga Angkasa.
Untuk beberapa saat maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan Naga Angkasa beristirahat sepenuhnya. Sambil duduk dan bersandar dibawah sebatang pohon yang sejuk, Naga Angkasa mencoba untuk membangunkan tenaga dasarnya dan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan sakit yang mencengkam. Beberapa bagian kulitnya memang terluka seakan-akan terbakar.
Angin yang berhembus tidak terlalu keras, menyapu kulit Naga Angkasa yang terluka. Namun dengan demikian perasaan sakit dan pedihnya seakan-akan menjadi berkurang. Ketika Mahisa Murti masih saja membantunya merawat luka-lukanya. Naga Angkasa sempat bertanya, “Bagaimana dengan luka-lukamu sendiri.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lukaku sudah berangsur baik.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk kecil. Sementara Mahisa Pukat berdesis, “Beristirahatlah sebaik-baiknya. Kami akan menemanimu sampai keadaanmu menjadi cukup baik untuk melanjutkan perjalanan.”
“Terima kasih,” desis Naga Angkasa yang mencoba untuk benar-benar dapat beristirahat. Ia sudah menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehingga keduanya tidak akan ingkar akan janjinya. Karena itu, maka Naga Angkasa pun telah duduk bersila. Kedua tangannya bersilang didadanya. Sambil sedikit menunduk, maka ia telah memejamkan matanya. Dipusatkannya nalar budinya untuk mengatur pernafasannya yang memburu.
Sejenak Naga Angkasa itu menyeringai menahan sakit. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang. Nafasnya pun kemudian mengalir semakin lama semakin teratur. Dengan kemampuan yang tinggi serta daya tahannya yang besar, maka perlahan-lahan keadaan Naga Angkasa menjadi berangsur baik, meskipun dengan terbatas berpijak pada sisa-sisa tenaga dan kemampuannya.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk dibawah pohon yang lain tidak terlalu jauh dari tempat Naga Angkasa mencoba membenahi dirinya. Baru beberapa saat kemudian, maka nampak Naga Angkasa telah menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti, bahwa Naga Angkasa telah mulai membaik.
Ternyata Naga Angkasa memerlukan waktu cukup lama untuk mengatasi keadaannya. Namun akhirnya, tangannya .yang bersilang didadanya itu pun telah diurainya. Kedua telapak tangannya yang kemudian merapat dan diangkat perlahan-lahan. Ketika kemudian tangan itu pun turun lagi sampai kedadanya, maka Naga Angkasa pun telah selesai dengan pemusatan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya selalu dengan pengobatan pada tubuhnya.
Naga Angkasa pun kemudian telah mengurai kakinya pula. Ketika ia beringsut untuk bangkit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekatinya sambil mengamati keadaannya.
“Jangan tergesa-gesa bangkit jika kekuatanmu masih belum mapan,” berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya, “Aku sudah menjadi lebih baik.” Sebenarnyalah ketika Naga Angkasa kemudian bangkit berdiri, maka keadaannya memang sudah menjadi semakin baik. Darahnya sudah mengalir wajar sebagaimana pernafasannya.
Sambil merentangkan tangannya ia berkata, “Aku sudah menjadi baik kembali. Jika kita akan meneruskan perjalanan, maka aku sudah mampu berjalan sebagaimana kalian. Kita dapat berjalan perlahan-lahan, tetapi selangkah demi selangkah kita akan maju.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia berkata, “Kita tidak akan tergesa-gesa bergerak. Sebaiknya kita beristirahat lebih lama.”
“Untuk apa?” bertanya Naga Angkasa, “untuk menunggu aku agar menjadi semakin kuat?”
“Untuk menunggu kita semuanya,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya, “Kita semua sudah cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan. Aku yakin itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu ia berkata, “Baiklah. Jika kau sudah merasa keadaanmu cukup baik. Kita dapat saja berjalan perlahan-lahan dan berhenti setiap saat kita merasa letih.”
Naga Angkasa tersenyum. Tetapi pada senyumnya itu terpancar betapa pahit hatinya. Orang lain itu ternyata jauh lebih dari saudara-saudara seperguruannya sendiri.
Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada saudara-saudaranya untuk bersiap-siap. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan meskipun hanya beberapa langkah. Namun, demikian mereka bersiap untuk mulai dengan perjalanan mereka, Naga Angkasa dan orang-orang yang bersamanya telah terkejut. Di hadapan mereka meskipun agak jauh, berdiri berjajar beberapa orang laki-laki yang menghadang perjalanan yang baru mereka mulai.
Mahisa Murti yang berdiri di dekat Naga Angkasa berdesis, “Siapakah mereka? Apakah kau mengenal?”
Suara Naga Angkasa menjadi sangat dalam, “Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku.”
Mahisa Murti memang sudah mengira bahwa orang-orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Naga Angkasa. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan?”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat sebongkah batu padas, maka ia pun telah duduk di atasnya. Sambil menunduk ia berkata, “Anak-anak muda. Tinggalkan aku sendiri di sini.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku sudah membunuh tiga adik seperguruanku. Aku telah menyaksikan kematian saudaraku yang terdekat, Naga Pratala. Aku juga sudah menyaksikan kematian guruku. Sekarang, aku tidak mau lagi melihat kematian-kematian dari keluarga perguruanku,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat kemudian bertanya, “jadi apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tidak akan membunuh lagi,” jawab Naga Angkasa.
“Bagaimana jika mereka akan membunuhmu?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu akan lebih baik daripada aku membunuh mereka. Dipandang dari segi ilmu dan kekuatanku yang telah tumbuh kembali, maka aku yakin bahwa aku akan dapat membunuh mereka semuanya. Tetapi agaknya akan lebih baik jika aku sajalah yang harus mati. Persoalannya akan segera selesai. Tidak ada lagi orang yang harus dikejar-kejar karena dianggap bersalah.”
“Tetapi apakah kau memang merasa bersalah?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang merasa bersalah. Seharusnya aku mati lebih dahulu daripada guru,” jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berusaha untuk mencegah keputus-asaan Naga Angkasa menghadapi saudara-saudara seperguruannya.
“Jika kau tidak mau membunuh, kau dapat menghindari mereka. Dengan ilmumu kau akan dapat melepaskan diri dari adik-adik seperguruanmu. Kau tidak usah membunuhnya. Tetapi kau tidak pula membunuh dirimu sendiri.”
Tetapi Naga Angkasa menggeleng. Katanya, “Itu pun bukan satu penyelesaian. Mereka tentu akan mencariku sampai ke ujung bumi. Mereka tidak akan dapat berhenti memburuku jika mereka belum mati atau aku belum mati. Karena itu, maka biarlah persoalan ini selesai. Biarlah aku dibunuhnya dan untuk seterusnya perguruanku akan menjadi tenang kembali.”
“Itu sama sekali bukan sikap seorang laki-laki yang mempunyai harga diri,” berkata Mahisa Murti.
“Aku terikat kepada janji setiaku terhadap perguruanku,” jawab Naga Angkasa.
“Sudah terlambat,” jawab Mahisa Pukat, “kau sudah melakukan pelanggaran atas janji setiamu. Kau sudah membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Kenapa kemudian kau menjadi berputus asa dan membiarkan dirimu dicincang dan dikoyak-koyak oleh orang-orang yang sekedar haus melihat kematianmu tanpa mengerti alasannya?”
“Itu sudah keputusanku,” jawab Naga Angkasa.
“Aku berkeberatan,” desis Mahisa Pukat.
Tetapi jawab Naga Angkasa tegas, “Kau tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruanku.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah. Ia memang tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruan Naga Angkasa sepanjang tidak menyentuh dirinya. Meskipun demikian Mahisa Pukat masih juga berkata,
“Tentu Naga Angkasa. Kami sama sekali tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruanmu. Tetapi sudah tentu sebagai seorang yang mengenalmu dengan baik, aku dapat memberikan pendapatku kepadamu. Aku sadar, bahwa pendapatku itu dapat saja kau tolak atau bahkan bertentangan dengan sikapmu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku menganggap bahwa pendapatku ini lebih baik aku sampaikan kepadamu daripada tidak sama sekali.”
Naga Angkasa mengangguk sambil berkata, “Aku mengerti. Tetapi sebaiknya aku menentukan sikapku sendiri.”
Mahisa Murti yang sebenarnya juga ingin mengatakan sesuatu terpaksa membatalkannya, karena ia pun sadar, bahwa niat Naga Angkasa telah tetap. Ketika kemudian Naga Angkasa berdiri tegak memandang ke arah saudara-saudara seperguruannya, maka ia pun telah menarik pedangnya. Tetapi kemudian pedang itu telah dilemparkannya beberapa langkah daripadanya sambil berkata, “Aku tidak memerlukannya. Setelah mati, pedang itu tidak ada gunanya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menyibak ketika Naga Angkasa kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati beberapa orang yang berdiri berjajar memenuhi jalan dari satu sisi sampai ke sisi yang lain. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat Naga Angkasa melangkah dengan pasti mendekati adik-adik seperguruannya.
Meskipun tanpa senjatanya Naga Angkasa akan dapat membunuh mereka semua dengan ilmunya Naga Pasa, tetapi bahwa senjatanya telah dilemparkan itu adalah pertanda bahwa ia memang tidak ingin melawan. Naga Angkasa telah membulatkan tekadnya untuk mati, jika mati itu akan mengakhiri persoalan yang berkepanjangan di perguruannya, sehingga perguruannya itu pada akhirnya tentu akan hancur sama sekali.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak dapat membiarkan Naga Angkasa berjalan untuk menyerahkan lehernya begitu saja. Hampir di luar sadarnya, maka keduanya telah berjalan mendekati Naga Angkasa yang rasa-rasanya justru menjadi semakin jauh. Di hadapannya telah menganga mulut seekor ular naga yang besar, yang siap untuk menelannya. Sekali Naga Angkasa memasuki mulut ular yang menganga itu tanpa berniat sama sekali untuk mengadakan perlawanan, maka ia akan hilang untuk selama-lamanya. Naga Angkasa akan lenyap ditelan bumi sebagaimana Naga Pratala dan gurunya serta ketiga orang saudara seperguruannya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya berhenti. Mereka melihat Naga Angkasa menjadi semakin dekat dengan beberapa orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan di hadapan mereka. Tetapi yang terjadi, sama sekali tidak terduga-duga. Ketika Naga Angkasa kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan adik-adik seperguruannya, maka tiba-tiba saja orang-orang yang berdiri tegak di hadapannya itu telah berjongkok bersama-sama.
Naga Angkasa pun terkejut. Ia tidak mengira bahwa itulah yang terjadi. Ia mengira bahwa orang-orang itu akan menarik pedang mereka dan mencincangnya sampai lumat kerena ia telah dianggap berkhianat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Kita terlalu berprasangka buruk.”
Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu, yang tertua di antara adik seperguruan Naga Angkasa itu pun berkata dengan suara sendat, “Kami mohon ampun.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang menunduk di hadapannya. Untuk beberapa saat Naga Angkasa memang tidak yakin akan pendengarannya. Namun ia mendengar adik seperguruannya yang tertua di antara mereka yang berjongkok di hadapannya itu berkata selanjutnya, “Kami tidak akan berani menentang kakang Naga Angkasa.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia bertanya, “jadi itukah alasan kalian untuk tidak membalas dendam?”
“Maksud kakang?” bertanya adiknya yang tertua.
“Jadi kalian tidak berusaha membunuh aku karena kalian takut mati?” bertanya Naga Angkasa.
Wajah adik seperguruannya itu menjadi tegang. Namun ia- pun menjawab, “Tidak. Sama sekali tidak. Jika kakang menghendaki, maka kami akan menyerahkan leher kami. Jika kakang ingin membunuh kami, maka kami dengan rela menyerahkan nyawa kami.”
“Jadi apa maksud kalian dengan tidak akan berani menentang aku?” bertanya Naga Angkasa.
“Kakang adalah saudara seperguruan kami yang tertua. Sepeninggal guru, maka kakang adalah penggantinya,” jawab saudara seperguruannya itu.
“Tetapi apakah kau tidak tahu, bahwa guru telah berniat menghukumku,” berkata Naga Angkasa, “aku telah dianggap bersalah oleh guru.”
Saudara-saudara seperguruan itu pun termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua di antara mereka menjawab, “Tetapi aku ingin mendengar dari kakang Naga Angkasa, apakah kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah? Jika kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah, tentu tidak akan membunuh ketiga orang saudara seperguruan kita.”
Naga Angkasa lah yang kemudian terdiam sejenak. Ternyata bahwa adik-adik seperguruannya yang lebih muda justru mampu berpikir dengan lebih bening. Penalaran mereka mampu bekerja lebih baik daripada ketiga orang kakak-kakak seperguruan mereka yang dianggap lebih berilmu. Karena itu, maka Naga Angkasa pun kemudian menjawab, “Aku bertindak dengan landasan keyakinanku. Karena itu, maka aku telah mempertahankan keyakinan itu dan terpaksa membunuh ketiga orang saudara seperguruanku.”
“Keputusan kakang untuk tidak melawan kami telah membuat kami semakin yakin bahwa kakang memang tidak bersalah. Kakang tidak sekedar ingin mempertahankan hidup. Tetapi tentu mempertahankan satu keyakinan. Terbukti kemudian kakang siap menyerahkan hidup dan mati kakang kepada kami,” berkata adik seperguruannya itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Jika kalian mau mengakui aku sebagai saudara tuamu yang pantas kau anggap sebagai ganti gurumu, maka aku pun tidak akan berkeberatan. Semula aku sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan padepokan kita ke mana saja mengikuti langkah kaki. Tetapi kedatangan kalian telah memberikan kesadaran baru kepadaku untuk kembali ke padepokan.”
“Terima kasih kakang,” jawab adik seperguruannya, “padepokan kami memang memerlukan seorang pemimpin yang dapat membangunkan kembali dan bahkan jika mungkin mengembangkannya.”
“Aku akan kembali,” berkata Naga Angkasa kemudian. Namun katanya kemudian, “tetapi aku menuntut kesediaan kalian untuk bekerja keras. Tanpa bantuan kalian dan kesediaan bekerja keras dalam segala bidang, maka aku tidak akan berarti apa-apa. Kita tentu akan sia-sia saja berusaha membangun padepokan itu.”
“Kami akan melakukan apa saja yang baik bagi padepokan kita,” jawab adik seperguruannya, “kami menunggu perintah kakang. Tenaga dan bahkan apa yang ada pada kami, akan kami serahkan kepada kebesaran nama perguruan dan padepokan kita.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Baiklah. Kita akan bersama-sama kembali ke padepokan,” Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu “Tetapi aku ingin memperkenalkan kalian kepada dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang mengembara bersama dengan beberapa orang yang telah diangkat menjadi saudara-saudaranya. Mereka telah menjalani laku dengan tapa ngrame. Suatu laku yang dapat membuat jiwa mereka menjadi tenang. Mereka menolong orang-orang yang memerlukan, melindungi orang-orang yang lemah dan membantu orang yang kekurangan.”
Saudara-saudara seperguruannya termangu-mangu. Namun Naga Angkasa minta mereka bangkit dan berkenalan dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
“Apa yang mereka lakukan ternyata mempengaruhi penalaranku atas sikapku selama ini. Apalagi setelah Naga Pratala terbunuh. Sehingga akhirnya, aku mendengarkan suara nuraniku yang menjadi semakin keras, melampaui kerasnya suara dan sikap guru,” berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian maka saudara-saudara seperguruannya pun telah berkenalan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta ketiga orang saudara-saudara angkatnya. Dengan keterangan yang diberikan Naga Angkasa kepada saudara-saudaranya seperguruannya, maka mereka pun telah ikut mengagumi kedua orang anak muda itu.
“Dalam usianya yang masih sangat muda, mereka telah mampu melampaui tataran ilmu guru yang kami kira, tidak ada duanya di dunia ini,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “ilmu gurumu memang tidak ada duanya di dunia ini. Jika kami berhasil mengalahkannya adalah karena kami telah melawan berpasangan. Dengan demikian maka kalian dapat menduga, seberapa tinggi ilmu guru kalian itu. Berpasangan pun kami ternyata telah mengalami luka-luka yang berbahaya.”
“Jika kelak kalian seumur dengan guru, maka ilmu kalian akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan,” berkata yang lain.
“Jangan berlebih-lebihan,” berkata Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, maka Naga Angkasa pun telah menyatakan niatnya untuk kembali ke padepokannya sebagaimana dikatakannya kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Hal itu tentu akan lebih baik,” sahut Mahisa Murti, “dengan demikian maka padepokan kalian, lebih-lebih lagi perguruan kalian tidak akan hilang sia-sia. Apa pun yang pernah terjadi, maka kalian akan dapat mempergunakannya bagi perjalanan perguruanmu di masa depan. Pengalaman itu akan dapat membuat kalian lebih berhati-hati.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Perkenankan kami minta diri. Kami berharap agar kalian bersedia singgah di padepokanku.”
“Lain kali kami akan berusaha,” jawab Mahisa Murti yang kemudian mendapat ancar-ancar letak perguruan Naga Angkasa.
Dalam pada itu, maka Naga Angkasa yang telah memiliki kembali pedangnya yang telah dilemparkannya, telah minta diri. Ia telah mengurungkan niatnya untuk menjadi kawan seperjalanan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
“Kau akan menemukan arah yang jauh lebih baik daripada menjadi kawan seperjalanan kami. Karena jika kau kembali ke padepokanmu, maka kau akan dapat memberikan arti bagi hidupmu. Jauh lebih baik daripada yang dapat kau berikan jika kau sekedar mengembara seperti yang kami lakukan. Sebenarnyalah kami pun telah merindukan padepokan kami,” desis Mahisa Murti.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku ingin mengucapkan terima kasihku sekali lagi. Kalian telah menumbuhkan kesadaranku akan diriku sendiri.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Untuk selanjutnya, jangan sampai kau kehilangan dirimu lagi. Jangan sampai kau tidak mengenali lagi kepribadianmu.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan saling berdoa.”
Demikianlah, maka Naga Angkasa pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Dengan langkah tetap ia berjalan diiringi oleh saudara-saudara seperguruannya yang bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Kehadiran Naga Angkasa di padepokan mereka, telah menumbuhkan kembali harapan mereka untuk membangunkan padepokan yang telah lama mereka huni itu.
Namun mereka pun sadar, bahwa kehadiran Naga Angkasa itu tentu akan merupakan hembusan angin yang baru. Berbeda dengan nafas yang pernah mengaliri rongga kehidupan padepokan mereka, justru karena Naga Angkasa telah menemukan dirinya sendiri.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memperhatikan orang-orang yang berjalan menjauh itu dengan jantung yang berdebaran. Semakin lama iring-iringan itu menjadi semakin jauh. Namun mereka menuju ke satu tempat yang pasti bagi masa depan mereka.
Demikian mereka menghilang, maka Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Mereka telah menemukan tempat mereka yang sewajarnya untuk menempa diri menghadapi masa depan. Kita pun akan segera kembali ke padepokan. Pengalaman yang telah kita petik cukup banyak, sehingga jika kita memiliki kemampuan untuk mengetrapkannya disepanjang perjalanan hidup kita, maka tentu akan memberikan arti tersendiri.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus segera kembali ke padepokan kita. Kita akan dapat berbuat lebih banyak lagi.”
Mahisa Amping ikut menjadi gembira. Sebenarnya ia sudah merasa letih dengan pengembaraan itu. Meskipun ia tidak ingin menentukan rencana yang lain, seandainya ia mendapat kesempatan untuk menyatakannya, tetapi menuju ke sebuah padepokan tentu akan lebih baik daripada berjalan sepanjang waktu. Di sebuah padepokan ia tentu akan mendapat lebih banyak kesempatan meningkatkan ilmunya, meskipun ia tidak ingin mengulangi cara-cara yang pernah ditempuhnya justru karena ia telah tersesat memasuki satu lingkungan yang gelap.
Mahisa Murti sempat menangkap kilasan wajah Mahisa Amping yang cerah itu, meskipun kemudian kesan itu segera hilang dari wajah anak itu. Tetapi Mahisa Murti tidak bertanya sesuatu, la sudah dapat meraba apa yang terbersit di hati anak itu.
Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan pun berharap sebagaimana Mahisa Amping. Mereka juga ingin mendapat kesempatan lebih banyak menekuni ilmunya, meskipun di sepanjang jalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menuntun mereka dengan cara yang khusus.
Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru masih belum mengajak mereka beranjak dari tempat itu. Keduanya masih berbincang tentang berbagai macam persoalan. Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak saudara-saudaranya untuk meneruskan perjalanan.
“Kita sudah cukup beristirahat. Bukan saja secara wadag, tetapi kadang-kadang perasaan kita menjadi lebih menghadapi peristiwa-peristiwa yang tiba-tiba saja datang beruntun,” berkata Mahisa Murti, “karena itu, maka meskipun kita sudah cukup beristirahat bagi wadag kita, kadang-kadang kita memerlukan beristirahat secara jiwani.”
Mahisa Semu menganguk kecil. Sementara Wantilan yang lebih tua dari mereka berkata, “Aku mengerti. Kita memang memerlukannya, karena dengan demikian jiwa kita akan menjadi segar. Bukan hanya wadag kita.”
“Ya. Selama ini peristiwa demi peristiwa menyusul. Namun kita memang dengan sengaja menangkap peristiwa-peristiwa itu dalam laku yang kita jalani. Tapa ngrame. Sekaligus kita telah mendapat banyak sekali pengalaman-pengalaman yang berarti bagi hidup kita. Namun dengan demikian, maka jiwa kita rasa-rasanya menjadi sangat letih,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Saatnya untuk benar-benar beristirahat telah datang,” sambung Mahisa Pukat, “dan kita benar-benar akan beristirahat.”
“Kami akan merasa senang sekali,” berkata Wantilan kemudian, “meskipun kami tidak mengalami keletihan seperti kalian berdua, namun ketahanan jiwani kami tentu jauh lebih lemah.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “belum tentu. Ketahanan jiwani memiliki banyak sangkutan. Menghadapi kekerasan mungkin jiwa paman Wantilan mudah tergetar. Tetapi menghadapi persoalan yang lain, mungkin paman Wantilan mempunyai ketahanan jiwani yang lebih besar.”
Wantilan tersenyum. Katanya, “Aku masih harus mendapat tempaan yang cukup baik bagi wadagku maupun bagi jiwaku.”
Mahisa Murti pun tersenyum. Namun kemudian ia berkata, “Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kita beristirahat sambil berjalan. Kita tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Kita hanya memikirkan perjalanan kembali ke padepokan. Kita akan menempuh satu perjalanan tamasya yang mengasyikkan.”
Wantilan justru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Marilah. Kita akan pergi bertamasya.”
Demikianlah mereka berlima telah melanjutkan perjalanan. Mereka memang berusaha untuk tidak memikirkan persoalan-persoalan yang dapat membebani pikiran dan perasaan mereka. Tetapi mereka mencoba untuk melepaskan segala macam beban, kecuali menempuh perjalanan kembali ke padepokan.
Seperti biasanya, Mahisa Amping sering berjalan mendahului yang lain. Kesukaannya memanjat pohon masih saja mengganggunya ketika ia melihat sebatang pohon randu. Bahkan hampir di luar sadarnya telah melangkah mendekati pohon itu.
“Hati-hati,” tiba-tiba saja Mahisa Semu memperingatkannya, “cabang dan ranting batang randu tidak terlalu kokoh.”
Peringatan itu justru memberikan kemungkinan kepada Mahisa Amping untuk memanjat. Tetapi ia harus berhati-hati. Mahisa Amping memang memanjat. Semakin lama semakin tinggi. Ketika saudara-saudaranya lewat di bawah pohon itu, Mahisa Amping masih berada di atas.
“Turunlah,” berkata Mahisa Semu, “jika kami menjadi semakin jauh, kau akan ketinggalan.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah bersiap-siap untuk turun. Tetapi perhatiannya telah tertarik kepada sekerumunan orang di tempat yang agak jauh, di balik tikungan di hadapan mereka. “Kita akan melalui tikungan itu?” bertanya Mahisa Amping dari atas pohon.
“Ya, kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Apakah kita masih beristirahat?” bertanya anak itu pula.
“Ya. Kita berjalan seenaknya. Kita akan berhenti kapan kita ingin berhenti,” jawab Mahisa Semu, “tetapi turunlah.”
Mahisa Amping memang tergesa-gesa turun. Untunglah bahwa cabang yang diinjaknya tidak patah. “Sebaiknya kita mengambil jalan lain,” berkata anak itu dengan gelisah.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita ingin beristirahat, kita jangan berjalan terus melalui tikungan itu,” berkata Mahisa Amping.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita melalui tikungan itu, maka kita tentu tidak akan dapat beristirahat, karena tentu ada masalah baru yang akan kita jumpai,” berkata anak itu mantap.
“Apa yang telah kau lihat?” bertanya Mahisa Semu.
“Sekerumunan orang di sebelah tikungan,” jawab Mahisa Amping.
“Kenapa mereka berkerumun?” bertanya Mahisa Semu pula.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Tidak selalu di tempat orang banyak berkerumun kita akan menghadapi persoalan baru. Mungkin orang itu berkerumun untuk satu keperluan. Mungkin pula karena mereka sedang membicarakan sesuatu.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi kerumunan orang itu nampak gelisah.”
Mahisa Pukatnun tertawa. Katanya, “Kita akan melihatnya. Mudah-mudahan bukan persoalan yang akan menghambat perjalanan kita dan mengganggu istirahat dan tamasya kita sekarang ini.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja di belakang Mahisa Semu. Namun dalam pada itu, ia sudah meraba hulu senjatanya. Wantilan yang melihatnya, tersenyum. Katanya, “Kenapa dengan senjatamu?”
“Aku akan menariknya jika perlu,” jawab Mahisa Amping.
Wantilan pun tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Demikianlah, mereka memang melanjutkan perjalanan lewat tikungan di hadapan mereka. Ketika mereka melewati tikungan itu, mereka memang melihat beberapa orang sedang berkerumun di depan sebuah rumah. Nampaknya Mahisa Amping dapat melihatnya dari atas pohon randu itu tanpa mengetahui alasannya, kenapa mereka berkerumun serta tidak melihat kegiatan apa yang sedang mereka lakukan.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang harus berjalan berhati-hati. Beberapa orang berada di luar regol. Sementara yang lain ada di dalam regol. Ketika mereka berjalan di muka regol, ternyata orang-orang yang berkerumun itu tidak banyak yang memperhatikan mereka. Mereka membiarkan saja kelima orang itu lewat. Jika satu dua orang di antara mereka berpaling, tidak seorang pun yang menyapa mereka.
Namun justru Mahisa Amping lah yang ingin mengetahui, orang-orang yang sibuk itu sedang berbuat apa. Karena itu, maka diam-diam ia telah bergeser mendekati salah seorang di antara mereka yang berdiri agak terpisah dan bertanya, “Apa yang sedang terjadi di sini?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Di sini sedang dipersiapkan satu pertunjukkan, ngger. Nanti malam akan ada pertunjukkan tari topeng di pendapa.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Sementara itu, orang itu pun berkata selanjutnya, “Ki Bekel sedang menikahkan anaknya. Anak perempuan.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih paman.”
Berlari-lari kecil Mahisa Aming menghampiri saudara-saudaranya yang menunggunya di seberang jalan. Dengan gagah Mahisa Amping mengatakan bahwa nanti malam ada pertunjukkan tari topeng di rumah itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia dapat mengerti, bahwa di masa kanak-kanak tentu ada keinginan untuk melihat satu pertunjukkan meskipun ia tidak mengetahui apa yang terjadi di atas pendapa. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita akan mencari tempat bermalam yang tidak terlalu jauh dari tempat ini. Malam nanti kita akan dapat ikut melihat pertunjukkan itu.”
“Benar begitu?” bertanya Mahisa Amping dengan wajah yang cerah.
“Ya,” jawab Mahisa Murti tersenyum.
Semuanya tidak berkeberatan. Mereka sudah terlalu lama mengalami ketegangan. Karena itu, maka sekali-sekali mereka memang memerlukan sesuatu yang lain. Apalagi mereka sudah bertekad untuk beristirahat sepenuhnya.
Sejenak kemudian mereka meneruskan perjalanan. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Mereka justru ingin mencari tempat bermalam di sekitar tempat itu. Tetapi tidak di banjar. Jika mereka berusaha di banjar, maka mereka tidak akan bebas keluar dan masuk regol di malam hari jika mereka ingin melihat pertunjukkan di pendapa.
Sementara itu matahari memang sudah menjadi terlalu rendah. Ketika mereka sampai ke sebuah padang perdu, maka mereka sepakat untuk bermalam di tempat itu. Apalagi di dekat tempat itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya cukup jernih.
Ketika kemudian gelap turun, maka Mahisa Amping telah mengajak untuk pergi ke tempat pertunjukkan. Namun Mahisa Semu berkata, “Pertunjukkan tentu masih belum dimulai sekarang ini. Nanti, wayah sirep bocah, pertunjukkan itu baru akan mulai dengan gending-gending pembukaan dan gending-gending untuk menerima para tamu yang datang.”
“Jadi kapan tari topeng itu dimulai?” bertanya Mahisa Amping.
“Nanti, saat sirep uwong,” jawab Mahisa Semu.
Mahisa Amping jadi gelisah. Ia takut pertunjukkan itu justru sudah selesai jika mereka pergi terlalu malam. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita berangkat sekarang. Tetapi tidak langsung menonton pertunjukkan itu.”
“Kita akan makan lebih dahulu.”
“Apakah masih ada kedai yang buka?” bertanya Mahisa Amping.
“Di tempat pertunjukkan kita akan dapat membeli berbagai macam makanan,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping memang menjadi gembira. Setelah berbenah diri, mereka pun telah berangkat menuju ke tempat pertunjukkan. “Apakah tadi kita lewat tempat ini?” bertanya Mahisa Amping ketika melihat jalan yang menjadi ramai oleh orang-orang yang berjualan.
“Ya. Sebagai seorang pengembara kau harus dapat dengan tajam mengingat apa yang pernah kau lihat,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku memang tahu bahwa seharusnya kita memang lewat jalan ini. Aku mengenali beberapa tanda-tanda ini. Tetapi aku menjadi heran, bahwa jalan ini menjadi sangat ramai.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Amping itu tersenyum. Ia memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk melihat keramaian. Sekali dua kali agaknya ia memang pernah melihatnya, tetapi tentu sangat jarang sekali.
Kelima orang itu sempat duduk di bawah sebatang pohon menghadapi seorang penjual makanan. Sambil menunggu pertunjukkan mulai, maka mereka telah sempat makan ketela pohon rebus dan jagung bakar.
“Nah, ternyata tidak setiap kesibukan yang nampak itu berarti keributan,” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Amping.
“Ketika kau memanjat pohon dan melihat kesibukan di sini, maka kau langsung menganggapnya sebagai satu keributan yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Nah, ternyata yang kau lihat kali ini justru satu kegembiraan. Dalam hal seperti ini maka kita tidak akan terhambat.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia terbiasa melihat keributan. Jika beberapa orang berkumpul, itu berarti menghambat perjalanan mereka, karena di antara mereka harus ada yang turun tangan menanggapi satu persoalan yang gawat. Ternyata tidak setiap terlihat beberapa orang berkumpul tentu merupakan keributan. Sambil makan ketela rebus dan jagung bakar, maka setiap kali Mahisa Amping memang bertanya apakah tontonan di pendapa sudah mulai.
“Belum,” jawab Mahisa Murti.
“Suara gamelan itu?” desis Mahisa Amping.
“Suaranya akan berbeda jika pertunjukan sudah mulai. Iramanya berbeda dan suara penonton pun akan dapat kita kenali jika pertunjukan sudah dimulai,” jawab Mahisa Murti yang masih makan ketela rebus dan jagung bakar.
Sementara itu Mahisa Pukat sibuk menguliti kacang rebus. Sedangkan Mahisa Semu lebih senang makan pisang rebus. Mahisa Amping yang gelisah itu akhirnya minta ijin kepada Mahisa Murti untuk melihat ke dalam regol apakah pertunjukkan sudah dimulai.
Mahisa Murti tersenyum sambil berkata, “Lihatlah. Tetapi berhati-hatilah. Kami menunggu di sini.”
Mahisa Amping pun kemudian melangkah perlahan-lahan di sela-sela orang banyak menyelinap masuk ke dalam regol. Di pendapa memang masih belum ada pertunjukkan. Tetapi suara gamelan sudah terdengar riuh. Di halaman rumah itu sudah banyak terdapat penonton yang menunggu. Sementara agak jauh dari pendapa, sekelompok anak-anak sedang bermain-main.
Mahisa Amping sempat mendekati mereka. Anak-anak itu dengan gembira bermain sambil menyanyikan lagu dolanan. Semakin lama terdengar semakin riuh tanpa menghiraukan tontonan yang masih belum mulai serta orang-orang yang semakin banyak memasuki halaman.
Mahisa Amping menarik nafas panjang. Ia ikut merasakan kegembiraan anak-anak itu. Bahkan ia tertarik ketika sekelompok anak-anak yang sedikit lebih besar dari dirinya bermain binten. Satu permainan anak laki-laki yang sangat menarik baginya.
Seorang dari anak-anak remaja itu berdiri dengan kakinya sebelah melangkah kedepan. Kemudian seorang yang lain akan mengambil ancang-ancang. Mereka masing-masing akan membenturkan kaki mereka dengan sekuat tenaga. Siapa yang terjatuh dianggap kalah. Sehingga akhirnya akan bertemu orang-orang yang terkuat saja.
Sorak anak-anak yang menonton permainan itu gemuruh. Satu-satu remaja yang bermain itu jatuh. Namun tidak seorang- pun yang menjadi marah. Mereka dengan jujur mengakui kekalahan mereka jika seseorang memang kalah. Mahisa Amping ingin ikut bermain. Tetapi ia menahan diri. Ia sadar, bahwa orang lain bagi anak-anak itu akan dapat menimbulkan masalah.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka dilihatnya sekelompok anak-anak perempuan telah bermain dengan caranya. Mereka menutup mata seorang di antara mereka. Kemudian meraba-raba kawannya yang duduk dengan menyembunyikan wajah mereka di antara lutut mereka. Jika ia dapat menebak namanya dengan tepat, maka yang namanya ditebak itu akan menggantikannya. Jika ia luput menebak, maka ia akan mengulangi lagi dengan ditutup matanya pula.
Mahisa Amping menarik riafas dalam-dalam. Hampir saja ia bertubrukan dengan seorang anak laki-laki yang berlari kencang kemudian berpegang pada sudut gandok rumah yang besar itu. Kawannya mengejarnya sekencang-kencangnya. Namun ia gagal. Ternyata sekelompok anak laki-laki yang lain telah bermain sembunyi-sembunyian.
Mahisa Amping kemudian berdiri termangu-mangu. Selama ini ia seakan-akan tidak pernah mendapat kesempatan untuk bermain seperti anak-anak sebayanya itu. Dari hari ke hari ia berjalan saja dari satu tempat ke tempat lain. Sepanjang jalan ia harus berlatih olah kanuragan. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan melakukan berbagai macam latihan dan gerakan yang berat. Namun yang dilakukan itu sama sekali bukan permainan. Meskipun ia melakukan dengan penuh minat. Namun yang dilakukan itu tidak menimbulkan kegembiraan dan kesenangan jiwa kanak-kanaknya.
Mahisa Amping kemudian telah melangkah ke regol. Tontonan di pendapa memang belum mulai. Tetapi anak-anak telah mendapat kegembiraan tersendiri. Jika tontonan yang sebenarnya mulai, anak-anak itu sudah letih bermain. Sebagian dari mereka justru akan segera tertidur di serambi gandok rumah itu. Ketika kemudian Mahisa Amping kembali ketempat saudara saudaranya menunggu, ia masih melihat Wantilan meneguk air sere yang hangat.
“He, kau minum atau tidak?” bertanya Wantilan.
“Ya paman,” jawab Mahisa Amping.
Wantilan pun kemudian memesan wedang sere hangat untuk Mahisa Amping. Ternyata beberapa saat kemudian, maka tontonan di pendapa benar-benar sudah dimulai. Setelah membayar harga makanan dan minuman, maka Mahisa Amping telah menarik saja tangan Wantilan masuk ke halaman.
Penonton memang sudah penuh disekitar pendapa itu. Mahisa Amping memang sempat menengok ke sudut halaman. Ternyata sudut halaman itu sudah sepi. Anak-anak yang bermain itu memang telah ada disekitar pendapa. Namun sebelum wayang topeng itu mulai, seorang anak sudah tidur mendengkur di serambi gandok.
Mahisa Amping ternyata senang sekali melihat wayang topeng di pendapa. Karena ia sulit untuk melihat karena orang-orang dewasa berdiri berjejal-jejal, maka Mahisa Semu telah berkata, “Mari, duduk dipundakku. Bukankah kau jarang mendapat kesempatan untuk nonton.”
Satu kesempatan yang menyenangkan. Mahisa Amping segara naik ke pundak Mahisa Semu dan melihat dengan jelas, tari topeng di pendapa. Beberapa kali Mahisa Amping ikut bertepuk tangan jika terjadi perang. Tetapi sebenarnyalah ia tidak begitu mengerti apa yang dilihatnya. Jika ia bertepuk tangan dengan mantap karena orang lain juga bertepuk tangan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping terkejut. Seseorang telah memukul punggungnya meskipun tidak begitu keras.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka orang itu berkata, “Kau kira ini rumahmu he? Kau menutupi aku.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi ia menjawab, “Jika aku turun, akulah yang tidak melihat.”
Orang itu menjawab, “Itu salahmu. Kau tidak berdiri di depan.”
Mahisa Semu pun kemudian menurunkan Mahisa Amping. Sementara Mahisa Amping berkata, “Di sini aku tidak melihat apa-apa.”
Tetapi Mahisa Murti yang menjawab, “Kau dapat menyusup dan menonton di baris paling depan. Di sana banyak anak-anak. Tetapi hati-hati. Jangan membuat persoalan.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang berusaha untuk menyusup di antara para penonton dan berdiri di paling depan di antara beberapa orang anak-anak yang dilihatnya tadi bermain-main di sudut halaman. Tetapi agaknya anak-anak itu sudah mengantuk. Tetapi Mahisa Amping tidak tahu bahwa orang yang memukulnya meskipun tidak terlalu keras itu masih saja bergeremang.
“Anak tidak tahu diri. Disangkanya hanya ia sendiri yang menonton. Atau disangkanya rumah ini milik neneknya.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk tidak menghiraukan kata-kata orang itu. Tetapi Mahisa Semu lah yang tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka akhirnya ia menjawab, “Bukankah anak itu sudah aku turunkan.”
“Itu karena aku memaksa anak itu turun,” jawab orang itu, “jika tidak, maka anak itu tentu masih menutupi aku sekarang.”
Mahisa Semu mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia tidak menjawab. Ia berusaha untuk seakan-akan tidak mendengar suara orang yang bergeramang itu. Beberapa saat kemudian geramangnya memang mereda. Tetapi orang itu justru mendesak maju menyusup di antara beberapa orang penonton yang lain sehingga orang-orang yang didesaknya telah berpaling. Tetapi demikian orang-orang itu melihatnya, maka mereka-pun telah menyibak dan memberikan jalan kepadanya.
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Semu sambil berkata, “Ternyata orang itu bukan orang kebanyakan. Setidak-tidaknya ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang di sekitar tempat ini.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bahwa ia sudah berusaha berbuat baik. Ia sudah melakukan apa yang dikehendaki oleh orang itu. Beberapa lama memang tidak terjadi sesuatu. Pertunjukkan itu berlangsung terus. Sementara penonton pun sekali-sekali bertepuk tangan. Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut ketika tiba-tiba saja Mahisa Amping terlempar ke kaki mereka.
“Amping,” desis Mahisa Murti, “ada apa.”
Mahisa Amping pun kemudian telah meloncat bangkit sambil berdesis, “Aku tidak tahu, aku tidak berbuat apa-apa.”
“Omong kosong,” geram orang yang ternyata orang yang merasa penglihatannya terganggu oleh Mahisa Amping ketika ia duduk di pundak Mahisa Semu, “ia telah mengganggu anak-anak yang sedang tidur.”
“Aku tidak menganggu,” jawab Mahisa Amping, “aku membangunkan mereka ketika di pentas para penari sedang menarikan tari perang.”
“Aku tampar mulutmu jika kau berbohong,” geram orang itu.
Beberapa orang memang telah berpaling. Tetapi ketika mereka melihat orang yang marah itu, maka justru telah bergeser. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membaca pertanda itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Marilah kita mencari tempat lain. Kita melihat dari kejauhan saja.”
“Kalian harus keluar dari halaman ini,” geram orang itu, “kalian hanya mengganggu saja di sini.”
“Aku ingin melihat tari itu,” jawab Mahisa Amping.
Tetapi orang itu memang marah. Karena itu, dengan kecepatan yang tinggi sekali, ia menampar wajah Mahisa Amping. Namun orang itu terkejut. Tangannya ternyata tidak mengenai wajah Mahisa Amping. Tetapi tangannya telah membentur tangan Mahisa Murti.
Orang itu memang menjadi sangat marah. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Mahisa Murti telah mendahuluinya, “Ki Sanak. Aku tahu kau marah. Tetapi tidak baik bertengkar di sini. Karena itu, jika kau masih ingin menyelesaikan persoalan ini, kita akan keluar dari halaman ini. Biarlah adikku itu meneruskan menonton pertunjukkan ini. Kau dan aku sajalah yang keluar dan jika kau kehendaki membuat perhitungan.”
“Setan kau,” geram orang itu.
“Jangan membuat orang sebanyak ini gelisah,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, marilah kita keluar. Kita mencari tempat yang sepi dan kita dapat berbuat sesuatu untuk memecahkan persoalan yang kita hadapi. Persoalan yang sebenarnya tidak ada artinya. Tetapi nampaknya kau ingin membesarkannya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Kau siapa he? Agaknya kau belum mengenal aku?”
“Tentu Ki Sanak. Aku memang belum mengenal Ki Sanak. Baru sekarang kita bertemu. Nampaknya pada pertemuan kita ini, telah terjadi salah paham. Sebenarnya tidak perlu terjadi salah paham seperti ini. Tetapi marilah, mungkin kita dapat menjernihkan suasana,” berkata Mahisa Murti.
“Kau memang telalu sombong. Tetapi ada baiknya juga kau mulai mengenal aku,” berkata orang itu. Ternyata orang itu tidak menunggu Mahisa Murti. Ia justru melangkah lebih dahulu menuju ke regol.
Mahisa Murti masih sempat berbisik kepada Mahisa Pukat, “Kau di sini. Awasi yang lain.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Hati-hati.”
Mahisa Murti mengangguk. Ia pun kemudian segera mengikuti orang yang ternyata sudah berada di regol. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di jalan. Mahisa Murti mengikuti saja ke mana orang itu pergi. Agaknya ia sudah mengenal tempat itu dengan baik. Beberapa saat kemudian, orang itu berbelok lewat sebuah lorong sempit. Kemudian memasuki sebuah padang rumput yang tidak terlalu luas di sebelah tanggul sungai. Di atas tanggul orang itu berhenti. Sambil bertolak pinggang ia menunggu Mahisa Murti yang melangkah mendekat.
“Kau terlalu sombong Ki Sanak,” geram orang itu, “seharusnya kau tidak membuat aku marah.”
“Aku justru ingin menjernihkan suasana Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak ada yang harus dijernihkan. Kau sudah menantang aku. Sekarang kita sudah siap untuk berkelahi,” berkata orang itu.
“Tunggu Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnya apakah alasan kita bahwa kita harus berkelahi?”
“Kau sudah menantang aku,” geram orang itu, “kau tantang aku di luar halaman rumah orang yang sedang menyelenggarakan tari di rumahnya itu.”
“Aku hanya tidak ingin mengganggu orang lain yang sedang menikmati tontonan itu. Karena itu, aku ajak kau berbicara di luar,” jawab Mahisa Murti.
“Bagiku itu sudah merupakan tantangan. Kita harus selesaikan dengan cara yang paling pantas bagi laki-laki,” jawab orang itu.
“Bukankah tidak ada sebab dan alasannya bagi kita untuk berkelahi di sini?” bertanya Mahisa Murti.
“Persetan,” geram orang itu, “jangan banyak bicara. Kau sengaja mempermainkan aku he?”
“Tidak Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah sebenarnya yang membuat Ki Sanak begitu cepat marah dan mengambil kesimpulan seperti ini? Apakah Ki Sanak menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang terbaik untuk menyelesaikan satu masalah?”
“Cukup,” bentak orang itu, “anak itu sudah kau pakai alat untuk membuat perkara. Tetapi sayang, kali ini kau bertemu dengan orang yang barangkali belum pernah kau pikirkan.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah orang yang paling disegani di tempat ini. Kau tahu bagaimana orang-orang menyibak saat aku lewat. Nah, kau jangan menyesal, bahwa kau telah berada di sini seorang diri berhadapan dengan aku,” berkata orang itu.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti sekali lagi.
“Aku akan membuat kau jera. Untuk selanjutnya kau harus ingat, siapa aku. Jika kau datang lagi ke padukuhan ini, maka kau tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti malam ini,” berkata orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi agaknya memang tidak ada jalan untuk menghindari benturan kekerasan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kau begitu cepat kehilangan kendali atas perasaanmu sendiri. Tetapi apa boleh buat. Jika itu satu-satunya jalan yang kau pilih.”
“Jadi kau berani melawan aku?” bertanya orang itu.
“Sebenarnya aku tidak memilih jalan ini. Tetapi jika ini satu-satunya jalan yang ingin kau tempuh,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu menggeram. Dengan marah ia bergeser maju sambil berkata, “Jika kau ingin mempergunakan pedangmu, pergunakan. Aku tidak memerlukan senjata.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu sama sekali tidak tahu menahu tentang pedangnya. Namun Mahisa Murti itu menjawab, “Aku juga tidak akan mempergunakan senjata. Aku kira itu adil.”
“Cukup,” geram orang itu, “jangan menghina lagi.”
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga ia memang harus mempersiapkan diri. Seperti yang sudah diperhitungkan, maka orang itu pun dengan garangnya telah menyerang. Tetapi tangannya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu. Beberapa kali ia melakukannya, tetapi sekian kali pula ia gagal. Anak muda itu seakan-akan merupakan bayangan yang tidak dapat disentuh oleh tenaga wadag. Semakin cepat orang itu menyerang, maka bayangan itu semakin cepat pula berterbangan kian kemari.
“Anak iblis, siapa kau sebenarnya he? Hantu?” bertanya orang itu.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri beberapa langkah dari orang itu tertawa. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan hanya mempergunakan kemampuan kanuragan kewadagan. Ternyata orang yang merasa dirinya disegani itu sama sekali tidak mempunyai bekal cukup. Bahkan masih jauh dari kemampuan yan telah dimiliki oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau sudah puas dengan caramu untuk membuat penyelesaian?”
“Persetan,” geram orang itu, “kau harus menyadari kesalahanmu.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “apa pun yang kau lakukan, aku tidak bersalah. Seandainya kau berhasil memaksa mulutku mengakui kesalahan, tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak bersalah.”
“Cukup,” bentak orang itu, “kau harus merasa bahwa kau memang bersalah. Aku dapat berbuat kasar terhadapmu.”
“Tidak Ki Sanak. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bukankah kau telah mencoba?” bertanya Mahisa Murti.
Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukan. Ia justru sudah siap untuk menyerangnya lagi.
“Apakah kau belum yakin bahwa kau tidak dapat menyentuhku?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi dengan garangnya orang itu menyerang Mahisa Murti. Pertempuran yang sama sekali tidak seimbang telah terjadi lagi. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak membalasnya. Ia berloncatan menghindari serangan lawannya seperti bayangan hantu di gelapnya malam. Sementara itu suara gamelan masih juga terdengar bertalu-talu. Kadang-kadang keras menyentak, kadang-kadang lembut ngerangin. Beberapa saat kemudian, maka sekali lagi orang itu berhenti menyerang. Nafasnya terengah-engah. Bahkan keringatnya bagaikan telah terperas habis.
“Kau anak iblis,” geram orang itu.
“Apakah kau masih ingin meneruskan rencanamu memaksa aku mengakui kesalahan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau memang bersalah,” teriak orang itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang keras kepala. Tetapi kau tidak memiliki pertimbangan yang baik untuk menilai kenyataan yang kau hadapi.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu, “berlututlah dan minta am pun kepadaku.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Sebaiknya kau mulai terbangun dari mimpimu. Mungkin kau orang yang paling disegani di daerah ini. Tetapi ternyata bahwa kau tidak akan berhasil memaksa aku. Jika aku kehilangan kesabaranku, maka aku akan dapat berbuat sesuatu.”
“Kau kira aku dapat kau takut-takuti?” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Orang itu memang keras kepala. Tetapi beberapa kali Mahisa Murti pernah menghadapi orang seperti itu. Ia sudah mempunyai cara sendiri untuk menundukkannya. Karena itu, seperti yang pernah dilakukannya, ketika orang itu menyerang lagi, maka Mahisa Murti telah berloncatan menghindari. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya menyentuhnya. Ia tidak ingin mempergunakan ilmu yang dapat membuat lawannya itu kehilangan tenaga. Tetapi ia membiarkan lawannya itu kehabisan tenaga dengan wajar.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, maka orang itu telah kehabisan tenaga tanpa sekalipun mampu menyentuh lawannya. Ketika ia mulai menurunkan Serangan-serangannya, maka Mahisa Murti telah memancingnya dengan menyentuh dahinya dengan ujung jarinya tanpa mendapat kesulitan apapun. Kemudian menarik telinganya atau sekali-sekali mencengkam rambutnya. Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin marah dan berusaha menghentak-hentakkan kemampuannya yang tersisa.
Namun akhirnya orang itu menjadi tidak berdaya. Ketika ia mengayunkan tangannya untuk menyerang tanpa mengenai sasaran, maka ia pun telah terhuyung-huyung. Bahkan beberapa kali hal itu terjadi. Sehingga pada satu saat, Mahisa Murti pun telah berdiri di atas tanggul sungai. Seperti yang diinginkan, maka orang itu telah menyerang Mahisa Murti yang berdiri bertolak pinggang. Namun demikian sisa tenaga orang itu terayun, Mahisa Murti dengan gerak sederhana telah menghindar.
Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Tetapi ternyata ia tidak berhasil mengekang diri sehingga ia pun telah terjebur ke dalam sungai. Untunglah sungai itu adalah sungai yang dangkal. Tetapi berlumpur. Dengan susah payah orang itu berusaha untuk bangkit. Kemudian merangkak ke tebing yang rendah. Tubuhnya dan pakaiannya telah menjadi basah kuyub. Bukan saja karena air sungai yang dingin, tetapi juga karena lumpur yang kotor.
Hampir saja orang itu menjadi putus-asa, ketika beberapa kali ia mencoba merangkak mencapai punggung tanggul namun gagal. Baru kemudian Mahisa Murti menjulurkan tangannya dan menariknya keatas.
“Kenapa kau masih juga sempat mandi?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu mengumpat. Katanya, “Aku memang harus membunuhmu.”
Tetapi Mahisa Murti bertanya lagi, “Apa yang sebenarnya terjadi atasmu? Apakah kau masih juga belum melihat kenyataan ini?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang itu.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau dapat mengerti apa yang telah terjadi.”
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Kami adalah pengembara. Sebenarnya kami tidak ingin memperlihatkan kelebihan kami. Kami berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi kau telah memaksaku,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu terduduk di atas tanggul. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak dapat berbuat lain. Ayahku adalah seorang yang ditakuti di padukuhan ini. Ayah telah memaksaku agar aku mengikuti jejaknya. Aku harus menjadi orang yang ditakuti pula di sini.”
“Apakah kau merasa berhasil?” bertanya Mahisa Murti.
“Sebagaimana kau lihat. Aku memang ditakuti. Sebagian karena sikap dan kelebihanku. Tetapi sebagian karena nama besar ayahku sehingga orang segan melawanku,” jawab orang itu.
“Dan kau bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “pulanglah. Tetapi sekali-sekali kau dapat berkata kepada ayahmu, bahwa kau tidak perlu berbuat seperti itu. Wibawa seseorang tidak selalu diangkat karena kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Tetapi mungkin dengan sikap dan tingkah laku yang baik.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani.”
“Kau harus berani,” berkata Mahisa Murti, “ilmumu sama sekali tidak mendukung sikapmu. Jika benar-benar ada orang berilmu yang memiliki sikap yang kasar, maka kau akan mengalami kesulitan. Mungkin ayahmu memiliki ilmu yang memadai. Tetapi kau tidak.”
Orang itu menunduk. Sementara itu Mahisa Murti bertanya, “Kenapa kau tidak mewarisi ilmu ayahmu?”
“Aku juga mencoba untuk melakukannya. Tetapi mungkin aku memang lamban sehingga aku memerlukan waktu yang lama untuk meningkatkan ilmu,” jawab orang itu.
l “Sementara itu ayahmu tergesa-gesa ingin melihat kau menjadi seorang yang ditakuti oleh orang-orang disekitarmu?”
Orang itu mengangguk.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kau tidak boleh larut dalam keadaan yang tidak menentu. Kau harus segera memilih landasan hidup yang sesuai dengan kemampuanmu.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat.”
“Kau belum mencoba. Berkatalah berterus terang kepada ayahmu,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun bertanya, “Apakah ayahmu ada di tempat keramaian?”
“Tidak,” jawab orang itu.
“Dimana?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Di rumah,” jawab orang itu.
“Aku akan menemui ayahmu,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu ragu-ragu. Dengan nada rendah ia berkata, “Ayahku sulit untuk diajak berbicara. Ia kasar dan barangkali kau harus berkelahi lagi. Tetapi ayahku memiliki kemampuan yang tinggi. Tidak seperti aku.”
“Mungkin ia bersikap lain kepadaku,” jawab Mahisa Murti. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau jangan tersinggung jika aku akan menunjukkan bahwa kau telah mandi di lumpur.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus membawa orang yang telah membuatnya basah kuyup itu pulang. Ketika mereka melewati tempat keramaian itu, Mahisa Murti sempat menemui Mahisa Pukat dan berkata, “Tunggu aku di sini. Jika pertunjukkan ini selesai dan aku belum datang, kembalilah ke tempat kita bermalam.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kau tidak memerlukan seorang kawan?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku akan pergi sendiri.”
“Tetapi berhati-hatilah,” berkata Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah mengikuti orang yang baru saja dikalahkannya itu. Ia sadar, bahwa orang tuanya tentu seorang yang berilmu tinggi, yang ingin melihat anaknya seperti dirinya sendiri. Namun ternyata bahwa anaknya berbeda dengan dirinya. Tingkat kemampuannya dan kecerdasannya tidak sama. Tetapi justru karena itu, maka anaknya selalu mengalami ketakutan.
Beberapa saat kemudian, maka mereka memang telah memasuki sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Mereka- pun kemudian telah naik ke pendapa. Dengan kasar Mahisa Murti mengetuk pintu rumah orang itu. Pemilik rumah itu terkejut. Tidak ada orang yang berani berlaku demikian. Anaknya pun tidak. Dengan hati-hati orang itu pergi ke pintu, kemudian membukanya. Tetapi demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti telah melemparkan anaknya laki-laki yang basah dan kotor karena lumpur itu ke kakinya.
“Ini anakmu,” geram Mahisa Murti.
Orang yang dilemparkan itu sama sekali tidak berniat untuk melawan. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena ayahnya seorang yang kasar, maka Mahisa Murti pun telah bertindak kasar pula. Orang itu terkejut. Ia melihat anaknya kemudian terbaring di lantai. Sekali ia menggeliat dan berusaha untuk bangkit. Tetapi ia telah terjatuh lagi.
“Setan kau. Kau apakan anakku?” geram orang itu.
“Ia telah berlaku kasar. Kami sama-sama menonton wayang topeng. Tetapi ia telah menantangku,” jawab Mahisa Murti.
“Tentu ada sebabnya,” jawab ayahnya.
“Tidak. Hanya karena ia berdiri dibelakangku. Aku tidak tahu kapan ia datang dan sejak kapan ia berdiri di belakangku. Yang aku tahu, ia merasa aku menghalangi penglihatannya dan kemudian menantangku berkelahi,” jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram.
“Tetapi anakmu ternyata tidak lebih dari tikus kecil. Aku kira ayahnya juga sebangsa tikus tanah,” geram Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram. Dengan garangnya ia berkata, “Aku akan membunuhmu.”
“Berlututlah dan minta maaf kepadaku atau kau juga akan mengalami nasib seperti anakmu,” bentak Mahisa Murti.
Orang itu tidak dapat menahan hati lagi. Ia sama sekali tidak pernah mendapat perlakuan seburuk itu. Karena itu, maka ia pun telah melangkahi tubuh anaknya dan berkata, “Jangan menyesal bahwa aku akan mengoyak mulutmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia berkata, “Kita akan bertempur di halaman.”
Mahisa Murti pun kemudian telah turun ke halaman. Orang tua itu tidak berbicara lagi. Ia pun langsung meloncat menyerang Mahisa Murti. Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia mengerti, bahwa orang tua itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari anaknya. Bahkan menurut pengakuan anaknya, ia sama sekali tidak mampu menyerap ilmu ayahnya yang dianggapnya terlalu tinggi.
Namun Mahisa Murti berhasil menghindari serangannya itu. Sambil meloncat ke samping, maka Mahisa Murti telah menjulurkan kakinya. Ternyata orang itu memiliki kemampuan gerak yang sangat tinggi, sehingga dengan cepat pula ia menangkis serangan kaki Mahisa Murti itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah saling menyerang. Namun Mahisa Murti tidak lagi bertempur dengan tenaga wadagnya sebagaimana ia mengalahkan anaknya, membiarkannya kehabisan tenaga dengan cara yang wajar. Menghadapi ayahnya yang memiliki kemampuan bergerak yang cepat sekali, Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya menghisap tenaga lawannya.
Mahisa Murti memang ingin menyelesaikannya dengan cepat, karena dengan demikian, orang tua itu akan semakin merasa dirinya kecil. Kecuali itu, ia tidak ingin Mahisa Pukat dan saudara-saudaranya yang lain menjadi cemas jika ia terlalu lama pergi.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Bahkan Mahisa Murti mulai mengagumi kemampuan orang itu. Agaknya ia telah menyerap ilmu yang khusus dapat membuatnya bergerak demikian cepatnya. Tubuhnya menjadi ringan sekali, seolah-olah tidak memiliki bobot sama sekali. Ia mampu meloncat tinggi-tinggi dan kemudian melayang menukik seperti seekor burung alap-alap menyambar buruannya.
Beberapa kali Mahisa Murti sempat menangkis serangan-serangan itu. Namun beberapa kali ia benar-benar dapat dikenai serangan orang tua itu. Ketika serangan orang tua itu mengenai punggungnya, Mahisa Murti hampir saja jatuh terjerembab. Kadang-kadang Mahisa Murti bahkan kehilangan lawannya dan tiba-tiba saja serangannya datang dari arah yang tidak diduganya.
Anak lawan Mahisa Murti itu menjadi berdebar-debar. Ia sudah memperingatkan bahwa ayahnya berilmu tinggi. Namun anak muda itu berniat untuk berbuat sesuatu bagi ayahnya. Ketika beberapa kali Mahisa Murti dapat dikenai oleh serangan-serangan ayahnya, maka ia menjadi cemas. Bahwa justru anak muda itulah yang dikalahkannya.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak ingin membinasakan lawannya, sehingga ia tidak melontarkan ilmunya yang dahsyat. Bahkan ia tidak memukul lawannya dengan kemampuan tertinggi ilmu Bajra Geni. Yang ditrapkan hanyalah ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya dalam setiap sentuhan.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, orang tua itu merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Begitu cepat ia merasa tenaganya menjadi susut. Ia tidak lagi mampu berloncatan, melenting dan bahkan bagaikan terbang. Tenaganya seakan-akan sama sekali tidak mampu mendukungnya lagi. Karena itu, maka orang itu pun telah meloncat mengambil jarak untuk menilai keadaan dirinya.
“Apakah kau sudah puas?” bertanya Mahisa Murti.
“Apa yang telah terjadi dengan diriku?” desis orang itu.
“Apa maksudmu?” justru Mahisa Murti bertanya lagi.
Orang itu termangu-mangu. Bahkan untuk sesaat ia menjadi bimbang. Tetapi ia sadar, bahwa ada yang tidak wajar terjadi pada dirinya. Dalam pada itu, anaknya telah berdiri beberapa langkah dari padanya. Ia melihat ayahnya menjadi gelisah. Bahkan nampak demikian letihnya setelah mengerahkan kemampuannya melawan anak muda itu.
“Ternyata anak muda itu memang berilmu sangat tinggi,” berkata anaknya di dalam hatinya.
Namun dalam kegelisahan itu ayahnya sempat berkata, “Apakah kau mengerti, apa yang telah terjadi padaku? Aku tidak pernah merasa begitu cepat kehilangan tenaga dan kemampuan. Tetapi kali ini aku tidak mampu bertempur melampaui beberapa langkah saja.”
Mahisa Murti tiba-tiba sikapnya telah berubah. Ia tidak lagi menjadi kasar dan garang. Dengan nada rendah ia berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Aku hanya ingin berbicara sedikit kepadamu.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Siapakah kau sebenarya.”
“Aku adalah seorang pengembara. Aku mengembara bersama beberapa orang saudaraku. Adikku tiba-tiba ingin menonton tontonan yang jarang sekali sempat dilihatnya. Tetapi di luar kehendakku aku telah terlibat dalam kesalah pahaman dengan anakmu. Kami memang berkelahi. Tetapi kemampuan anakmu sama sekali tidak memadai sikapnya yang kasar, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan,” berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ia seorang laki-laki. Ia harus bersikap seperti seorang laki-laki.”
“Apa yang harus dilakukan seorang laki-laki menurut pendapatmu? Berkelahi atau berbuat aneh-aneh. Kasar dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain,” bertaka Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Seorang laki-laki tidak boleh menunjukkan kelemahan sedikit pun dalam keadaan apa pun dan menghadapi persoalan apapun,” jawab orang itu.
“Apakah yang kau maksudkan dengan kelemahan?” bertanya Mahisa Murti, “apakah berbaik hati kepada orang lain, menolong dan melindungi, bersahabat dan cinta kasih termasuk kelemahan yang tidak boleh disandang oleh seorang laki-laki?”
Orang itu menjadi bingung. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Kau dapat merenungkannya. Di saat-saat mendatang kau dapat menentukan kembali sikapmu terhadap anakmu dan kepada orang lain. Kau harus menilai kembali pengertianmu tentang kelemahan bagi seorang laki-laki.”
Orang itu tiba-tiba saja mengangguk.
“Anakmu bukan seorang yang tepat untuk kau pahat menjadi seorang yang dapat kau sebut sebagai laki-laki menurut citramu. Tetapi pada sisi lain, ia akan dapat menjadi seorang yang baik bagi orang lain.”
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Marilah anak muda. Silahkan duduk.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu lama disitu. Tetapi ia ingin berbicara dengan orang itu tentang anaknya serba sedikit. Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian telah duduk di pendapa rumah itu.
Mahisa Pukat yang masih ada di halaman rumah yang sedang menyelenggarakan keramaian itu memang menjadi gelisah. Setiap kali ia berpaling memandangi regol halaman. Namun Mahisa Murti masih belum nampak datang. Mahisa Amping sendiri sudah melupakan apa yang telah terjadi atas dirinya. Meskipun sekali-sekali ia teringat juga kepada Mahisa Murti, namun ia lebih tertarik kepada tontonan yang disaksikannya.
Mahisa Semu lah yang kemudian mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya, “Apakah Mahisa Murti belum datang?”
“Aku juga menjadi gelisah,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku akan mencarinya,” berkata Mahisa Semu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng, “Kita tidak tahu ke mana ia pergi. Sebaiknya kita menunggu sejenak. Jika pertunjukkan ini mendekati akhirnya dan Mahisa Murti belum kembali, aku akan mencarinya.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Wantilan tengah mengawasi Mahisa Amping yang sudah berada di paling depan lagi. Di antara anak-anak yang sebagian sudah tertidur di bibir pendapa. Namun sekali-sekali Mahisa Amping juga masih saja bertanya apakah Mahisa Murti sudah kembali.
“Ia akan segera kembali,” jawab Wantilan.
Mahisa Amping segera berada di antara anak-anak muda itu kembali. Namun setelah menunggu beberapa saat, sebelum pertunjukkan itu berakhir, maka Mahisa Murti benar-benar telah kembali. Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Murti melangkah memasuki regol halaman itu pun menarik nafas dalam-dalam.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Sedikit pembicaraan,” jawab Mahisa Murti yang sempat berceritera sedikit tentang orang yang kemudian telah menyadari kesalahannya dengan memaksakan kehendaknya kepada anaknya.
“Syukurlah,” desis Mahisa Pukat, “kami di sini sudah menjadi gelisah.”
“Bukankah pertunjukkan belum berakhir?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pertunjukkan memang belum selesai. Tetapi ia memang benar-benar menjadi gelisah. Karena itu, maka jawab Mahisa Pukat, “Rasa-rasanya aku sudah sangat lama menunggu.”
Mahisa Murti tertawa pendek. Tetapi ia pun kemudian telah bertanya, “Dimana Mahisa Amping?”
“Ia sudah kembali berada didepan. Dibibir pendapa bersama dengan anak-anak yang lain,” jawab Mahisa Pukat.
“Biarlah ia menonton pertunjukkan yang jarang dilihatnya sampai selesai,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya tidak tahan berdiri terlalu lama, sementara mereka tidak dapat melihat dengan leluasa karena orang-orang yang berganti-ganti, datang dan pergi, bahkan sekali-sekali mendesak mereka ke samping dan bahkan kebelakang. Karena itu, maka keduanya pun telah bergeser dan bahkan duduk didekat regol halaman setelah mereka memberitahukan kepada Mahisa Semu.
“Kau tidak senang menonton tari topeng?” bertanya Mahisa Semu.
“Bukannya tidak senang, tetapi aku memang ingin beristirahat,” berkata Mahisa Murti.
Sambil duduk di sebelah regol keduanya sempat memesan wedang jahe yang dapat membuat tubuh mereka menjadi segar. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah menunggu Mahisa Amping yang menonton di paling depan. Apalagi karena Mahisa Semu dan Wantilan sendiri adalah orang-orang yang senang akan tontonan seperti itu.
Menjelang pagi, tontonan itu baru selesai. Ketika orang-orang meninggalkan tempat pertunjukkan, maka beberapa orang anak masih saja tertidur di bibir pendapa. Namun Mahisa Amping tidak tertidur. Bahkan ia sama sekali tidak merasa mengantuk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setelah membayar minuman mereka, telah melangkah perlahan-lahan keluar regol bersama arus orang yang menyesak di pintu gerbang. Namun, akhirnya kelima orang itu pun telah berada di jalan. Mereka berjalan bersama-sama dengan orang-orang yang keluar dari halaman itu kembali pulang ke rumah masing-masing. Namun kelima orang itu tidak pulang kerumah mereka. Mereka telah berbelok melalui lorong-lorong sempit menuju ke sebuah padang yang telah mereka persiapkan sebagai tempat penginapan mereka.
Tetapi Mahisa Amping tidak mengeluh. Ia sempat berceritera tentang pertunjukkan yang dilihatnya. Ternyata Mahisa Amping tidak begitu jelas jalan ceriteranya. Tetapi ia senang melihatnya.
Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, “Sebentar lagi langit akan menjadi merah. Pergunakan sisa malam ini sebaik-baiknya Amping.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata pula, “Tidurlah meskipun hanya sebentar bersama Mahisa Semu dan Wantilan.”
“Apakah kalian tidak mengantuk?” bertanya Wantilan.
“Kami sempat tidur bersandar dinding di sebelah regol sambil menikmati wedang jahe,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan tidur barang sejenak.”
Ketiga orang itu pun kemudian telah mencari tempat masing-masing untuk berbaring. Ternyata Mahisa Amping adalah justru yang terakhir dapat memejamkan matanya. Ia masih saja membayangkan beberapa orang penari yang membuatnya menjadi kagum. Bagaimana penari itu menari perang dengan pedang dan perisai ditangan.
Tetapi Mahisa Amping ternyata telah terlambat bangun. Ketika semuanya sudah berbenah diri, maka Mahisa Amping pun sedang membuka matanya. Ia memang terkejut bahwa sinar matahari ternyata telah menyentuh tubuhnya. Ketika kemudian ia bangkit, ia melihat keempat saudaranya yang lain sudah duduk bercakap-cakap.
“Tidurmu nyenyak sekali,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau bermimpi menjadi seorang penari topeng?”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berdiri sambil menggeliat. Tanpa mengucapkan kata-kata ia pun telah pergi ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, mereka sudah siap. Namun Mahisa Amping masih sering nampak merenung. Ternyata yang ditontonnya itu memberikan kesan yang dalam di hatinya.
“Apakah kita sudah siap untuk berangkat?” bertanya Mahisa Murti.
Semuanya mengangguk kecil. Mahisa Amping pun mengangguk pula. Namun sebenarnyalah perutnya merasa lapar, justru karena hampir semalam suntuk ia terjaga. Namun agaknya Mahisa Pukat mengerti keadaan anak itu. Apalagi setiap kali Mahisa Amping mengusap perutnya yang bagaikan gemericik.
“Pertama kali, kita akan mencari sebuah kedai,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu dan Wantilan tertawa. Namun Mahisa Amping hanya menundukkan kepalanya saja. Sejenak kemudian, kelima orang itu telah meninggalkan tempatnya. Mereka menyusuri jalan ditengah-tengah bulak panjang menuju kesebuah padukuhan yang cukup besar.
Namun tiba-tiba Mahisa Amping yang berjalan di paling depan telah terhenti dan hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apa yang terjadi?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Banyak orang berkerumun di pinggir jalan,” desis Mahisa Amping.
“Kenapa dengan orang yang berkerumun?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kita harus berhenti lagi sehari atau dua?” desis anak itu.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Bukankah baru saja kau salah tebak. Kemarin ketika kau memanjat, kau melihat orang berkerumun. Ternyata bukan apa-apa, justru semalam ada tontonan di tempat itu. Dan kita tidak perlu berhenti satu atau dua hari. Kita sempat minum wedang jahe dan membeli makanan seberapa kita inginkan.”
“Tetapi terjadi juga sesuatu dengan kakang Mahisa Murti,” berkata Mahisa Amping.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu sesuatu. Jika kakang Mahisa Murti tidak dapat mengatasi persoalan yang dihadapinya, maka kita memang akan tertahan,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti pun tertawa. Katanya, “Ternyata kau benar. Sampai sekarang kita menjumpai sekerumunan orang, maka tentu akan terjadi masalah yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Tetapi bukankah kita memang sudah bertekad untuk melakukannya?”
“Ya,” jawab Mahisa Amping, “masalahnya bukan kita lakukan atau tidak kita lakukan. Tetapi kebenaran dugaanku.”
Yang mendengar jawaban itu justru tertawa. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Namun dengan heran Mahisa Amping memandang mereka berganti-ganti. Kenapa mereka justru mentertawakannya. Tetapi Mahisa Amping kemudian tidak menghiraukan mereka lagi. Ia berjalan terus di paling depan.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di belakangnya tersenyum. Ternyata orang-orang yang berkerumun itu adalah orang-orang yang sedang memperbaiki parit yang longsor. Beberapa saat setelah mereka melewati sekelompok orang yang sedang bersiap-siap untuk mulai bekerja itu, Mahisa Murti bertanya sambil tertawa, “Apakah kita dihambat oleh mereka.”
“Hanya satu kebetulan,” jawab Mahisa Amping tanpa berpaling.
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka. Padukuhan yang agak besar, yang tentu cukup ramai. Apalagi melihat jalan yang cukup besar yang mereka lalui, juga banyak dilalui orang.
Sebenarnyalah ketika mereka mengikuti jalan itu, ternyata mereka menuju ke sebuah pasar yang terdapat di tengah-tengah padukuhan itu. Pasar yang cukup ramai yang dikunjungi oleh orang-orang dari padukuhan lain.
“Amping,” berkata Mahisa Murti, “di sana juga banyak orang yang berkerumun.”
“Itu pasar,” jawab Mahisa Amping, “meskipun demikian, pasar juga sering menghambat perjalanan kita.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kadang-kadang memang demikian.”
Yang kemudian mereka cari adalah sebuah kedai. Di sebelah pasar itu memang terdapat beberapa buah kedai yang berjajar di pinggir jalan.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau memerlukannya, semalam suntuk kau menonton pertunjukkan itu, sehingga kau telah hampir tidak tidur sama sekali. Karena itu, maka kau menjadi lapar dan sekarang, kita memasuki salah satu dari kedai-kedai itu.”
“Yang mana?” justru Mahisa Amping lah yang bertanya.
“Yang mana saja yang kau sukai,” jawab Mahisa Pukat.
“Yang ditengah,” jawab Mahisa Amping.
“Yang mana. Ada beberapa kedai yang ditengah,” jawab Mahisa Semu.
“Yang mana aja,” jawab anak itu.
Ternyata Mahisa Amping tidak menunggu pertanyaan-pertanyaan lagi. Ia pun kemudian telah mendahului masuk ke dalam sebuah kedai yang terhitung besar di antara beberapa buah kedai yang berjajar di pinggir jalan itu. Sejenak kemudian kelima orang itu telah memesan minuman dan makanan mereka masing-masing. Sesuai dengan kesukaan mereka sendiri-sendiri.
Sementara itu, sambil menunggu pesanan mereka, Mahisa Amping telah melangkah ke pintu. Di depan pintu ia melihat-lihat orang yang lalu lalang, dan keramaian di pasar di hadapannya. Ketika dua orang berkuda lewat di depan kedai itu, Mahisa Amping sempat mengangguk-angguk, ia kagum melihat pakaian dan perhiasan di dada kedua orang itu. Bahkan timangnya pun diperlihatkan di sela-sela bajunya justru karena terbuat dari emas bertretes berlian.
“Bagus sekali,” desis Mahisa Amping. Namun anak itu tidak bergeser dari tempatnya. Ia sadar, bahwa saudara-saudaranya tentu tidak mengijinkannya meninggalkan kedai itu dan berkeliaran sendiri di jalan yang ramai itu atau bahkan di pasar.
Tetapi ia sempat melihat kedua orang yang berpakaian sebagaimana orang-orang kaya itu singgah di kedai tepat di sebelah kedai tempat mereka berhenti memesan makanan dan minuman. Namun demikian orang itu hilang di dalam kedai sebelah, maka Mahisa Amping telah bergeser mundur. Tiba-tiba saja keningnya telah berkerut.
Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Anak itu sendiri tidak tahu apa sebabnya. Namun demikian kedua orang yang nampaknya kaya raya itu memasuki kedai sebelah, ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya. Karena itu, maka ia pun telah menemui saudara-saudaranya. Dengan suara bergetar ia telah menceriterikan apa yang telah dilihatnya.
Mahisa Murti menepuk bahu anak itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita.”
“Tetapi orang itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Duduklah. Minumanmu hampir siap. Sebentar lagi kita akan dapat meneguk minuman yang baru disiapkan itu.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ada dorongan padanya untuk kembali ke pintu.
“Kasihan anak itu,” desis Mahisa Murti, “ia selalu dibayangi oleh kecurigaan, kecemasan dan gambaran-gambaran yang menegangkan. Karena setiap kali ia menjadi curiga. Demikian juga ketika ia melihat dua orang yang mengenakan pakaian yang agak menyolok dan bernilai tinggi, maka jantungnya pun telah tergetar. Ia mulai membayangkan orang-orang yang akan merampoknya atau melakukan tindak kekerasan yang lain.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Wantilan berkata, “Disepanjang perjalanan dan pengembaraan ini, anak itu terlalu sering melihat kekerasan sehingga tidak ada kemungkinan lain yang terjadi selain kekerasan.”
Mahisa Pukat pun kemudian menyahut, “Kita memang harus segera sampai ke padepokan. Dengan demikian kita akan dapat beristirahat. Mudah-mudahan kita belum terlambat sehingga gambaran-gambaran yang buram dalam kehidupan ini tidak terlanjur terpahat di dinding jantungnya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Pukat dan Wantilan. Namun sementara itu, Mahisa Semu telah bangkit pula sambil bergeremang, “begitu lama minuman itu?”
Ia tidak menunggu jawaban siapapun. Namun ia pun telah melangkah ke pintu pula dan berdiri di sebelah Mahisa Amping. “Di mana orang yang kau katakan itu?” bertanya Mahisa Semu.
“Di kedai sebelah. Rasa-rasanya sesuatu akan terjadi,” berkata Mahisa Amping.
“Tidak Amping. Tidak akan terjadi apa-apa. Marilah, minuman kita sudah siap,” ajak Mahisa Semu.
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah telah dihidangkan minuman dan makanan yang dipesannya. Karena itu, Mahisa Semu pun telah membimbing Mahisa Amping untuk masuk dan duduk di tempatnya. Sementara pesanannya telah tersedia.
“Makanlah,” desis Mahisa Murti, “jangan hiraukan apa-apa. Kita haus dan lapar.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang haus dan lapar. Namun sambil minum dan makan, Mahisa Amping seakan-akan tengah menunggu sesuatu yang akan terjadi. Setiap kali ia berpaling ke pintu.
“Kenapa kau nampak ragu-ragu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ada sesuatu yang mengganggu perasaanku,” jawab anak itu.
“Apa?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Amping. Namun selagi anak itu kemudian meneguk minumannya, maka terdengar keributan yang bagaikan meledak di kedai sebelah.
Orang-orang yang berada di kedai itu pun menjadi gugup. Mereka segera bangkit berdiri dan berlari-larian keluar. Demikian pula Mahisa Amping. Ia adalah orang pertama yang sampai di luar pintu. Beberapa orang bahkan menjadi ketakutan dan meninggalkan tempat itu tanpa membayar lebih dahulu. Namun ada pula yang ingin tahu apa yang telah terjadi.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa Amping memang merasa heran. Ternyata panggraita anak itu demikian tajamnya. Seakan-akan ia mengetahui apa yang akan terjadi. Sementara itu, mereka menyaksikan kedua orang yang mengenakan timang emas tretes berlian itu sedang bertempur melawan empat orang yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar. Nampaknya keempat orang itu adalah orang-orang yang berniat jahat dengan merampas barang-barang berharga yang dikenakan oleh kedua orang itu.
Beberapa orang telah berkerumun pada jarak yang cukup. Kedua orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun mereka harus bertempur melawan empat orang, namun kedua orang itu nampaknya akan mampu bertahan. Beberapa orang yang tidak tahan lagi melihat perkelahian itu memang sudah meninggalkan tempatnya atau berdiri di belakang orang lain. Bersembunyi sambil mengintip.
Mahisa Amping berdiri tegak seperti patung. Ia telah melihat apa yang dicemaskannya. Dua orang itu harus berkelahi melawan empat orang yang tubuhnya bagaikan tubuh raksasa. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun kedua orang itu masih tetap mampu bertahan.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menyaksikan pertempuran itu dengan saksama. Kedua orang yang memakai perhiasan yang serba mahal dan pakaian yang bagus itu tentu dua orang seperguruan. Mereka dapat mengenali unsur-unsur gerak keduanya yang bersumber dari dasar yang sama meskipun masing-masing memiliki jalur perkembangan yang agak berbeda.
Sementara itu, keempat orang yang bertubuh raksasa itu masing-masing masih belum memiliki ilmu setingkat dengan kedua orang itu. Tetapi karena mereka berjumlah dua kali lipat, maka keempat orang itu mampu bertempur untuk beberapa lama. Namun akhirnya, keempat orang itu semakin lama semakin nampak mengalami kesulitan. Kedua orang itu semakin lama justru menjadi semakin garang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan demikian agaknya mereka tidak usah ikut campur. Kedua orang itu mampu mempertahankan dirinya dari gangguan orang-orang yang menginginkan harta bendanya yang sangat berharga itu.
“Seharusnya mereka tidak mengenakan pakaian yang dapat menarik perhatian orang lain seperti itu,” berkata Mahisa Murti, “apalagi dalam sebuah perjalanan panjang.”
“Kadang-kadang orang menganggap bahwa barang-barang itu sudah dibelinya dengan mahal. Dengan demikian maka barang-barang itu sebaiknya dipakainya sehingga pemilikannya-atas barang-barang itu ada artinya,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi ternyata barang-barang itu telah mengundang kesulitan. Untuk ia memiliki kemampuan untuk mempertahankannya,” berkata Mahisa Murti pula.
“Justru karena itu,” sahut Mahisa Pukat, “kedua orang itu tidak merasa takut seandainya ada orang yang ingin merampas miliknya karena mereka akan mampu melindunginya.”
Mahisa Murti tidak berbicara lagi. Diperhatikannya kedua orang yang semakin lama semakin mendesak lawannya. “Syukurlah,” berkata Mahisa Murti, “marilah, kita dapat meneruskan menikmati makanan dan minuman kita. Kita berharap bahwa perkelahian itu akan segera selesai.”
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil bertanya, “Kakang berdua menebak siapakah yang akan menang?”
“Kedua orang itu,” jawab Mahisa Pukat, “keempat orang itu akan gagal dan bahkan akan tertangkap.”
“Menilik kemampuan mereka agaknya memang demikian. Tetapi sebenarnya aku berharap keempat orang itulah yang menang,” berkata Mahisa Amping.
“Belum tentu yang jumlahnya banyak itu akan menang,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau sudah sering melihat dan kau tentu juga dapat menilai perkelahian itu karena semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa keempat orang itu telah terdesak.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Namun pemilik kedai yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa Murti berdesis di luar sadarnya, “Setan itu akan terlepas lagi.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ada tanggapan yang agak aneh dihatinya ketika ia mendengar desah pemilik kedai itu. Karena itu ketika kemudian pemilik kedai itu melangkah masuk kembali ke dalam kedainya, maka Mahisa Murti telah mengikutinya.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku tidak mengenal mereka. Tetapi menurut dugaanku, kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu sedang mempertahankan harta miliknya dari orang yang berusaha merampoknya.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti telah mendesaknya, “Tetapi agaknya ada tanggapan lain ketika aku mendengar desah Ki Sanak, seolah-olah bahwa seseorang yang menjadi buruan akan terlepas lagi dari tangan pemburunya.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Aku tidak berkata apa-apa.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku katakan, aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan semula aku mengira akan terjadi perampokan di sini. Untunglah bahwa kedua orang yang dirampok itu berhasil mempertahankan diri.”
Tetapi pemilik kedai itu kemudian menggeleng sambil berkata, “Tidak Ki Sanak. Keduanya tidak mengalami perampokan.”
“Jadi apa yang telah terjadi?” desak Mahisa Murti.
Orang itu merenung sejenak. Namun ia pun menjawab, “Aku tidak tahu apa-apa.”
“Jadi kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku memang tidak tahu apa-apa,” jawab orang itu.
“Baiklah. Jika demikian aku akan bertanya kepada kedua orang itu setelah mereka memenangkan perkelahian. Apakah kira-kira maksud Ki Sanak dengan mengatakan bahwa setan itu akan terlepas lagi,” berkata Mahisa Murti.
“Jangan, jangan Ki Sanak,” cegah orang itu.
“Apa salahnya,” jawab Mahisa Murti.
“Aku akan mengalami kesulitan,” jawab orang itu.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi agaknya ia tidak dapat berbuat lain. Apalagi karena ancaman Mahisa Murti untuk menyampaikannya kepada kedua orang itu. Untuk beberapa saat orang itu menjadi tegang.
Sementara itu, perkelahian di luar kedai itu masih berlangsung. Empat orang yang bertubuh raksasa itu memang sulit untuk dapat mengatasi kemampuan yang tinggi dari kedua orang lawan mereka, sehingga semakin lama mereka menjadi semakin terdesak.
“Apa kau benar-benar tidak mau mengatakannya?” bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
Pemilik kedai itu memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia terpaksa menjawab, “Justru keduanyalah yang ingin kami tangkap.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu masih saja ragu-ragu.
“Jadi keduanya tidak sedang dirampok oleh keempat orang itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak,” jawab pemilik kedai itu.
“Jadi?” desak Mahisa Murti.
“Setiap hari pasaran seperti ini, saat pasar itu menjadi paling ramai selama sepekan, kedua orang itu tentu datang. Semua orang harus menyediakan apa yang dimintanya. Biasanya berupa uang dan besarnya berapa saja sesuka hati mereka. Tidak seorang pun dapat mencegahnya sehingga kami benar-benar selalu dibayangi oleh ketegangan di setiap hari-hari pasaran,” jawab pemilik kedai itu.
“Kenapa orang-orang yang berjualan di pasar itu tidak berpindah ke pasar yang lain saja?” bertanya Mahisa Murti.
“Pasar ini adalah pasar yang telah sekian lama memberikan kehidupan bagi kami. Bagi kami, yang berjualan di pasar ini, akhirnya tidak mempunyai pilihan lain daripada memenuhi permintaan keduanya daripada kami tidak mendapatkan apa-apa sama sekali,” jawab pemilik kedai itu.
“Apakah yang kau katakan itu benar?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku berkata sebenarnya,” jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menanyakan kepada kedua orang itu, apakah ia benar-benar berbuat seperti itu.”
“Ki Sanak,” berkata pemilik kedai itu, “apakah keuntunganmu dengan berbuat demikian? Jika hal itu sekedar sebagai satu cara agar kau tidak usah membayar harga makanan dan minuman yang telah kau beli, maka kau dapat melakukannya tanpa berbuat seperti itu. Kecuali jika kau memang ingin melihat aku dibantai oleh kedua orang itu di sini.”
Mahisa Murti justru menjadi termangu-mangu. “Baiklah. Jika aku harus mati hari ini karena kau, biarlah aku mengalaminya. Ternyata bahwa yang akhirnya menyebabkan kematianku bukan kedua orang itu sendiri.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia telah membuat pemilik kedai itu menjadi sangat ketakutan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Seandainya keempat orang itu berhasil menangkapnya, apa yang akan mereka lakukan?”
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia bertanya, “Untuk apa kau bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin mengetahuinya,” jawab Mahisa Murti.
“Mereka adalah orang-orang yang telah diminta bantuannya oleh Ki Bekel yang mendapat pengaduan kami. Jika kedua orang itu tertangkap, maka mereka akan dihadapkan kepada Ki Demang untuk diadili. Hukuman bagi keduanya tentu hukuman yang sangat berat, karena keduanya pernah melakukan pembunuhan di sini dan juga di tempat lain,” jawab pemilik kedai itu.
“Kenapa orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu tidak ada yang membantu? Jika mereka bersama-sama membantu menangkap orang itu, maka keduanya tentu akan tertangkap. Sementara mereka tidak akan dapat mengenali wajah-wajah kalian seorang demi seorang,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi pemilik kedai itu menjawab, “Keduanya sudah mengenali kami semuanya.”
Mahisa Murti pun kemudian telah meninggalkan pemilik kedai itu. Pertempuran masih berlangsung di luar. Keempat orang itu dengan menghentakkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Namun ternyata mereka justru semakin terdesak. Serangan-serangan kedua orang itu memang sangat berbahaya. Tangan dan kaki mereka berganti-ganti mengenai tubuh lawan-lawan mereka yang bertubuh raksasa.
Bahkan tubuh-tubuh raksasa itu setiap kali telah terdorong dan bahkan beberapa kali mereka hampir saja kehilangan keseimbangan. Pada saat-saat yang paling gawat, maka keempat orang itu telah menarik senjata mereka. Golok yang besar. Pedang, parang dan yang seorang bersenjata kapak.
Tetapi pemilik kedai yang kemudian berdiri dibelakang Mahisa Murti itu berdesis, “Senjata-senjata orang-orang yang akan menangkap mereka itu hanya akan mempercepat kematian mereka.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekati seorang yang lain, yang melihat dari sudut kedai sebelah. Ternyata orang itu adalah pemilik kedai sebelah. Dengan sedikit mengancam Mahisa Murti akhirnya juga mendapat keterangan yang sama tentang kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu.
Dengan demikian, maka barulah Mahisa Murti yakin, bahwa kedua orang itu memang orang-orang yang dibenci di tempat itu. Tetapi juga ditakuti. Apalagi keduanya benar-benar pernah melakukan pembunuhan di tempat itu dan dibeberapa tempat yang lain. Karena itu, maka sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun telah mendekati Mahisa Pukat dan membisikkan sedikit keterangan tentang kedua orang laki-laki yang berpakaian dan memakai perhiasan mahal itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berdesis, “Aku memang melihat keduanya mempergunakan unsur-unsur gerak yang kasar. Aku mulai curiga dengan sikap mereka itu.”
“Ternyata dugaanku atas mereka salah,” berkata Mahisa Murti.
“Aku pun semula menganggap bahwa keduanya sedang dirampok,” jawab Mahisa Pukat.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka memperhatikan perkelahian yang menjadi semakin berat sebelah. Keempat orang itu hampir menjadi tidak berdaya. Sekali-sekali ada di antara mereka yang terlempar jatuh terbanting. Meskipun dengan susah payah orang itu segera bangkit kembali, namun mereka tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh tenaga. Tulang-tulang mereka menjadi semakin sakit. Bahkan seakan-akan menjadi retak di beberapa tempat.
Apalagi ketika keempat orang itu sudah bersenjata. Maka di tubuh mereka mulai terdapat goresan-goresan. Kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu pun kemudian telah bersenjata pula. Senjata mereka ternyata dapat bergerak lebih cepat dari keempat pucuk senjata orang-orang yang bertubuh raksasa itu.
Namun keempat orang yang semakin terdesak itu ternyata benar-benar bertanggung jawab atas kesanggupannya. Nampaknya mereka akan bertempur sampai kemungkinan terakhir yang dapat mereka lakukan. Agaknya mereka sama sekali tidak berniat menyingkir dari kesanggupan yang telah diberikan.
Tetapi menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, keempat orang itu tentu benar-benar akan terbunuh. Setidak-tidaknya mereka akan terluka parah atau bahkan mengalami cacat sumur hidup mereka. Kedua orang yang nampaknya seperti orang-orang terhormat itu, mampu berbuat kasar dan bahkan keji. Senjata mereka yang memiliki kemampuan gerak melampaui senjata keempat lawannya, benar-benar telah mengoyak tubuh-tubuh raksasa itu silang menyilang.
Keempat orang itu hampir tidak berdaya sama sekali. Kematian memang sudah berada di ambang pintu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu sejenak. Mereka menjadi bingung. Apakah mereka benar-benar tidak ingin lagi mencampuri persoalan orang lain setelah mereka menyatakan laku yang mereka jalani telah selesai.
Tetapi, akhirnya keduanya memang tidak dapat berdiam diri. Menjalani laku atau tidak, tetapi keduanya tidak dapat melihat ketidak adilan itu terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa Pukat sambil berkata, “Kita akan melibatkan diri.”
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Ia pun segera meloncat mendekati arena. Sementara Mahisa Murti sempat berpesan kepada Wantilan, “jaga Amping.” Tanpa menunggu jawaban, maka Mahisa Murti pun telah berlari pula ke arena.
Kedua orang yang hampir menyelesaikan pertempuran itu terkejut. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekati mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak membantu kami. Tetapi kami berdua nampaknya akan mampu menyelesaikan persoalan kami sendiri. Keempat orang ini tidak akan berhasil merampok kami.”
“Apakah kau kira kami akan membantu kalian?” justru Mahisa Pukat lah yang bertanya.
“Jadi apa yang akan kalian lakukan? Di pihak manakah kalian berdiri?” orang itu pun ganti bertanya.
“Jangan ingkar Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “apa saja yang pernah kau lakukan selama ini di sini? Bukankah timang yang kau pakai itu hasil pemerasan yang telah kau lakukan bertahun-tahun? Semua usaha untuk mencegah tingkah laku kalian ternyata gagal. Bahkan kali ini usaha untuk menangkap kalian pun nampaknya akan gagal.”
Kedua orang itu menggeram. Seorang di antaranya berkata lantang, “jangan mencampuri persoalan orang lain.”
Sementara itu, salah seorang di antara keempat orang itu berkata, “Jika kami gagal melaksanakan kesanggupan kami, biarlah kami mati di arena ini.”
“Kami berdua ada di pihak kalian,” berkata Mahisa Pukat.
“Jangan korbankan dirimu. Biar kami saja yang menjadi korban kali ini. Tetapi itu adalah karena kesanggupan kami. Bagaimanapun juga kami mempunyai harga diri,” jawab seorang yang lain dari orang-orang yang bertubuh raksasa itu.
“Maaf Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “soalnya bukan sekedar harga diri. Tetapi kedua orang itu harus dihentikan segala tingkah lakunya. Kalau perlu biarlah kematian menghentikannya.”
“Persetan kau,” teriak seorang di antara kedua orang itu, “jadi Kau juga ingin mati.”
“Mungkin kau dapat mengalahkan mereka berempat. Tetapi tidak kami berenam,” jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi senjata mereka- pun semakin cepat berputar. Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera memasuki arena pertempuran. Dengan demikian, maka kedua orang itu memang harus membagi diri. Masing-masing menghadapi tiga orang. Dua orang di antaranya yang bertubuh raksasa itu sudah hampir tidak berdaya sama sekali.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat memperkecil peranan mereka. Biarlah keempat orang itu harga dirinya tetap tidak hancur di mata orang-orang yang semula mempercayainya. Karena itu, maka baik Mahisa Murti, maupun Mahisa Pukat justru lebih banyak berusaha mengganggu dan merampas perhatian lawan-lawannya, sehingga dengan demikian memberi kesempatan kepada orang-orang yang bertubuh raksasa itu untuk menyerang mereka.
Dengan kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keempat orang itu merasa bahwa beban mereka menjadi jauh lebih ringan. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang diburunya itu tidak lagi menyentuh kulit mereka dan melukai mereka. Perhatian kedua orang itu justru lebih banyak tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik senjata mereka, maka kedua orang itu pun sudah mulai merasa gentar. Pedang itu bukan pedang kebanyakan. Warnanya yang agak kehijau-hijauan telah menunjukkan nilai dari sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu memang menjadi semakin terdesak. Tetapi keempat orang yang bertubuh raksasa itu rasa-rasanya memang sudah tidak bertenaga lagi. Tangan mereka sudah menjadi terlalu lemah untuk mengangkat dan mengayunkan senjata-senjata mereka yang besar. Sementara darah semakin banyak mengalir dari tubuh mereka.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat semakin banyak. Bahkan kemudian Mahisa Murti telah berkata, “Jika kalian membawa obat bagi luka-luka kalian, maka beristirahatlah. Obati luka-luka itu. Nanti kalian akan dapat bertempur kembali.”
“Tetapi mereka akan melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak. Mereka tidak akan melarikan diri, karena mereka bukan orang-orang yang licik,” jawab Mahisaa Murti.
“Persetan,” geram kedua orang itu hampir bersamaan.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun ternyata mereka pun telah mencoba bergeser menjauhi arena. Sejenak mereka masih berdiri dengan senjata yang siap terayun. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang anak muda itu tidak mengalami terlalu banyak kesulitan, maka mereka pun telah melangkah menepi dan tanpa dapat mengingkari kenyataan mereka menyaksikan, bahwa anak-anak muda itu justru mampu mengimbangi kedua orang yang berilmu tinggi itu...
Tetapi orang bertubuh raksasa itu menjawab, “Tidak. Kita akan selalu berjalan bersama-sama.”
“Jika kau bersedia mengikuti jalanku, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”
Orang itu menggeram. Katanya, “Kakang Naga Angkasa. Pada saat terakhir aku memutuskan, jika kakang Naga Angkasa tidak mau memenuhi kewajiban sebagai seorang murid, maka apa boleh buat. Naga Angkasa akan tersingkir dari perguruan. Bukan saja wadagnya. Tetapi juga nyawanya.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku adalah saudara tua seperguruan bagi kalian. Jika tidak ada guru, maka perintahku sama nilainya dengan perintah guru.”
“Kami tidak mengakui lagi kehadiran kakang Naga Angkasa di perguruan kita,” jawab raksasa itu.
“Jika demikian maka bagiku sudah jelas,” berkata Naga Angkasa.
“Jelas bagaimana?” bertanya raksasa itu.
“Kita tidak lagi dapat berjalan bersama. Aku akan melawan kalian. Kita bukan bersaudara lagi,” berkata Naga Angkasa tegas.
Ketiga orang saudara seperguruannya itu pun bergeser mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Justru menjauh. Namun demikian, orang bertubuh raksasa itu berkata, “Jika kalian akan turun ke arena, kami tidak berkeberatan. Kalian tidak memiliki kekuatan dan kemampuan utuh lagi karena luka-luka kalian.”
Tetapi Naga Angkasa berkata, “Persoalan ini adalah persoalanku. Jika mereka berdua melibatkan diri, kalian akan mati terlalu cepat. Karena itu, biarlah aku menyelesaikannya sendiri.”
Ketiga orang saudara seperguruannya itu menggeram. Seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan berkata, “Kakang Naga Angkasa. Jangan terkejut bahwa kami akan dapat menyelesaikanmu dengan cepat, melampaui dugaanmu.”
Naga Angkasa tidak menjawab lagi. Ia pun telah bersiap menghadapi ketiga orang saudara seperguruannya. Karena ketiga orang saudara seperguruannya itu tidak bersenjata, maka Naga Angkasa pun tidak bersenjata pula.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mulai bertempur. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan telah bergeser menjauhi arena. Mereka memang harus memberikan kesempatan kepada Naga Angkasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Apalagi menyangkut perguruannya dan saudara-saudaranya seperguruannya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menjadi semakin cepat. Ternyata ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu memang tidak mempergunakan senjata apapun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui, bahwa ketiga orang itu tentu akan mempercayakan kemampuan ilmu mereka, Naga Pasa, yang tentu memiliki kekuatan lebih dari jenis senjata apapun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun yakin, bahwa tingkat kemampuan ilmu mereka masih belum setingkat dengan Naga Angkasa.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu agaknya memang sudah memiliki ilmu perguruannya dengan lengkap. Namun demikian, maka sikap dan tatanan gerak Naga Angkasa nampak jauh lebih matang dari saudara-saudara seperguruannya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun masih saja nampak seimbang.
Naga Angkasa yang bertempur melawan tiga orang sekaligus itu, kadang-kadang masih juga membuat lawan-lawannya harus mengambil jarak. Pengalaman Naga Angkasa nampak jauh lebih luas, sehingga unsur-unsur gerak yang diwarisi dari sumber yang sama menjadi berselisih jauh nilainya.
Meskipun demikian, bertiga saudara-saudara seperguruan Naga Angkasa itu dapat saling mengisi. Serangan demi serangan meluncur berurutan. Disaat seorang di antara mereka gagal mengenai sasaran, maka yang lain pun telah meloncat menyerang pula. Bahkan mereka bertiga bersama-sama menyerang dari arah yang berbeda, sehingga Naga Angkasa harus melenting tinggi-tinggi untuk menghindari serangan itu.
Namun kemudian Naga Angkasa itu pun bagaikan terbang dengan tangannya yang terkembang. Jari-jarinya yang merapat di ujungnya merupakan bahaya yang mendengarkan bagi saudara-saudara seperguruannya. Meskipun pada unsur-unsur geraknya, ketiganya kadang-kadang juga mempergunakannya, namun yang dapat mereka lakukan tidak akan dapat setajam Naga Angkasa.
Semakin lama maka pertempuran antara orang-orang seperguruan itu menjadi semakin sengit. Meskipun secara pribadi Naga Angkasa memiliki banyak kelebihan, tetapi melawan tiga orang saudara seperguruannya sekaligus, maka ia benar-benar harus memeras tenaganya dan kemampuannya.
Namun pengalamannya yang luas kemudian telah menempatkannya pada keadaan yang lebih baik. Semakin lama ketiga orang saudara seperguruannya menjadi semakin sulit untuk menyentuhnya. Bahkan sekali-sekali tangan Naga Angkasa telah berhasil menggapai mereka.
Meskipun demikian, namun pertempuran itu masih tetap berbahaya bagi kedua belah pihak. Ketiga orang saudara seperguruan Naga angkasa pun telah memeras tenaga dan ilmu mereka sehingga dengan kemampuan mereka saling mengisi dalam pertempuran itu, ketiganya tetap merupakan lawan yang berbahaya bagi Naga Angkasa.
Tetapi sentuhan-sentuhan tangan Naga Angkasa ternyata telah membuat ketiga orang adik seperguruannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali tangan Naga Angkasa mengenai tubuh salah seorang dari mereka, maka perasaan sakit telah menyengat, sehingga terdengar keluhan yang tertahan. Karena itulah, maka ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa perlawanan Naga Angkasa harus diakhiri.
Ketiga orang adik seperguruan Naga Angkasa itu menyadari bahwa Naga Angkasa tentu memiliki kemampuan ilmu yang lebih tinggi dari mereka. Tetapi dengan bekal yang meskipun lebih rendah dari ilmu Naga Angkasa, namun mereka bertempur bersama-sama. Karena itu, maka yang tertua di antara mereka, orang yang bertubuh raksasa itu kemudian telah memberikan isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk melepaskan ilmu puncak mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat betapa ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu menghentakkan kemampuan dari ilmu mereka. Sementara itu, Naga Angkasa pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia pun tahu, bahwa ketiga orang adik seperguruannya itu sudah menerima warisan ilmu terpenting dari perguruannya, Naga Pasa. Tetapi Naga Angkasa pun tahu, bahwa tataran ilmu mereka tentu masih belum terlalu tinggi.
Ilmu mereka seharusnya masih harus dilengkapi dengan beberapa macam laku sehingga unsur-unsurnya serta landasan lontarannya menjadi lengkap. Tetapi agaknya gurunya belum sempat melakukannya. Ketiga orang saudara seperguruannya itu- pun tentu belum sempat menjalani laku justru karena mereka tergesa-gesa memenuhi perintah gurunya sebelum gurunya meninggal.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka yang terjadi adalah pelepasan ilmu Naga Pasa masih dalam ujud wantahnya. Tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu bergerak semakin cepat. Berputaran dan seakan-akan bergetar ke arah pusat gerakan mereka. Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Naga Pasa dalam dukungan bersama dari ketiga orang adik seperguruannya terasa agak lain dari ilmu yang pernah diwariskan kepadanya.
Nampaknya gurunya telah memberikan beberapa unsur yang memang berbeda. Bukan karena jenis Ilmu Naga Pasa yang diwarisi adiknya itu berbeda sebagaimana diketahuinya ada beberapa jenis ilmu yang disebut Naga Pasa dengan beberapa persamaan tetapi juga beberapa kelainan. Tetapi ungkapan ilmu itulah yang agak lain.
Pada saat-saat terakhir gurunya agaknya melihat, bahwa Naga Angkasa dan Naga Pratala tidak lagi dapat diyakini kesetiaannya kepada perguruannya. Karena itu, gurunya telah menyusun satu kekuatan baru selain kekuatan dan kemampuan gurunya sendiri. Tiga orang adik seperguruannya telah mendapatkan warisan ilmunya dengan sedikit perubahan-perubahan pada unsur-unsurnya.
Tetapi ternyata bahwa ilmu dengan perubahan-perubahan itu masih belum menemukan bentuknya yang mapan di dalam diri ketiga orang adik seperguruan Naga Angkasa. Semuanya masih pada permukaannya saja. Meskipun demikian, justru karena kelainan-kelainan itulah, maka Naga Angkasa memang harus berhati-hati menghadapinya.
Dalam puncak kemampuan mereka yang terbatas itu, maka telapak tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu seakan-akan telah menjadi bara. Telapak tangan itu menjadi merah dan berasap tipis. Dalam hentakkan ilmu Naga Pasa yang masih belum mapan itu, maka yang terlontar bukan bara yang kemerah-merahan terjulur ke sasaran. Tetapi semacam hempasan kabut yang kemerah-merahan.
Kabut itu memang dapat membakar kulit. Bahkan uapnya-pun ternyata beracun. Namun racun bagi Naga Angkasa bukannya sesuatu yang dapat membahayakan jiwanya. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin menjadi sengit. Naga Angkasa mulai merasa terdesak. Kabut yang kemerah-merahan itu menghembus dari tiga arah yang berbeda, sehingga Naga Angkasa harus berloncatan untuk menghindarinya.
“Menyerahlah,” geram orang bertubuh raksasa itu, “serahkan nyawamu dengan cara yang lebih baik dan dengan sikap persaudaraan.”
Pernyataan itu teryata telah membuat Naga Angkasa menjadi sangat marah. Ia merasa bahwa adik seperguruannya itu telah menghinanya. Seharusnya mereka mengerti, bahwa Naga Angkasa masih belum melepaskan ilmu Naga Pasa.
Karena itu, maka demikian raksasa itu selesai berbicara, maka Naga Angkasa telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa serangan berikutnya akan mengejarnya. Tetapi ia harus mendapat kesempatan untuk membalas serangan itu dengan ilmu Naga Pasa.
Sikap adik seperguruannya itu telah mempercepat detak jantung Naga Angkasa, sehingga ia pun telah memutuskan untuk menghancurkan lawan-lawannya meskipun mereka adalah adik seperguruannya. Apalagi setelah adik seperguruannya yang bertubuh raksasa itu menghinanya. Karena itu, ketika kemudian serangan-serangan dari adik seperguruannya itu datang, Naga Angkasa pun telah mempersiapkan ilmunya pula. Ilmu puncaknya.
Kabut yang berhembus ke arahnya itu memang dapat membakar kulitnya. Betapa pun Naga Angkasa berloncatan menghindari, tetapi karena serangan itu datang dari tiga arah, maka akhirnya kulitnya telah tersentuh pula. Namun dalam pada itu, ketika Naga Angkasa sempat meloncat menjauh, maka ia memutuskan untuk menyerang adik seperguruannya yang tertua. Naga Angkasa yang yakin akan kelebihan ilmunya itu, telah menyiapkan ilmunya ketika ia melihat raksasa itu bersiap menyerangnya.
Demikian serangan raksasa itu meluncur, maka Naga Angkasa pun telah melepaskan serangannya pula. Ia tahu benar apa yang telah terjadi atas Naga Pratala serta apa yang terjadi atas gurunya dalam benturan ilmu yang tidak seimbang.
Sebenarnyalah benturan itu telah terjadi. Ilmu puncak yang meluncur dari tangan Naga Angkasa, yang bagaikan bara yang terjulur memanjang kesasaran, telah membentur hembusan asap yang ternyata adalah memang masih belum mampu mengimbangi ilmu saudara tua seperguruannya.
Satu ledakan telah terjadi. Namun getarannya telah terdorong ke arah raksasa itu. Lontaran ilmunya justru telah memantul dan kembali menghantam dadanya. Raksasa itu terpekik keras. Rasa-rasanya dadanya memang telah pecah. Satu hentakan yang keras telah melemparkannya sehingga tubuh yang besar itu telah terbanting jatuh terlentang.
Raksasa itu menggeliat. Tetapi ilmu Naga Angkasa memang terlalu kuat baginya, sehingga dalam benturan itu, beberapa bagian dalam tubuhnya telah terluka parah. Namun pada saat itu, saudara seperguruannya yang lain telah menyerangnya pula. Demikian cepatnya sehingga Naga Angkasa harus berloncatan menghindarinya.
Namun Naga Angkasa telah memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka ketika serangan itu datang lagi, maka Naga Angkasa telah membenturnya pula dengan ilmunya yang jauh lebih tinggi.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan. Dua orang adik seperguruan Naga Angkasa telah terbaring diam. Namun pada saat yang hampir bersamaan, lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula. Karena itu, demikian Naga Angkasa melepaskan ilmunya untuk membentur ilmu adik seperguruannya yang seorang, maka ia pun harus, berusaha menghindari serangan yang datang dari arah lain. Meskipun Naga Angkasa sudah berusaha, namun ternyata ia tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun ia sempat bergeser, tetapi serangan itu masih mengenai pundaknya.
Terdengar Naga Angkasa mengeluh tertahan. Tetapi dengan menjatuhkan dirinya, maka sentuhan serangan itu tidak menimbulkan luka yang sangat parah, meskipun perasaan panas telah menggigit. Dalam pada itu, kesempatan terakhir untuk menghentikan pertempuran itu terjadi. Ia sempat melihat serangan adik seperguruan itu meluncur ke arahnya. Tanpa berusaha untuk bangkit, maka Naga Angkasa telah menyerang adik seperguruannya yang terakhir itu sambil berbaring ditanah.
Seperti kedua orang adiknya yang terdahulu, maka telah terjadi benturan ilmu lagi. Seperti kedua orang saudara seperguruannya yang lalu, maka getaran ilmu yang memantul bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Naga Pasa yang jauh lebih kuat dari ilmunya, maka adik seperguruan Naga Angkasa yang seorang itu pun telah terlempar dan kemudian terbaring diam. Naga Angkasa berdiri termangu-mangu. Perasaan sakit dan pedih terasa bagaikan membakar seluruh tubuhnya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menyaksikan akhir dari pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ternyata Naga Angkasa benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sejenak Naga Angkasa berdiri termangu-mangu. Bukan saja karena ketiga orang adik seperguruannya telah terbunuh. Tetapi juga karena ia sendiri telah terluka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekatinya. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kau selesaikan ketiga orang adik seperguruanmu.”
Naga Angkasa menunduk dalam-dalam. Kemudian dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Hampir tidak terdengar ia pun telah berdesis, “Semuanya telah terbunuh. Naga Pratala, guru dan tiga orang adik seperguruanku.”
“Apakah hanya itu isi padepokanmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak,” jawab Naga Angkasa, “tetapi yang lain tidak berarti apa-apa lagi.”
“Apakah mereka masih belum mencapai tataran mula dari ilmu Naga Pasa?” bertanya Mahisa Murti.
Naga Angkasa menggeleng sambil berkata, “Belum.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Naga Angkasa tentu menjadi pedih bukan saja pada luka-luka dikulitnya, tetapi juga dihatinya. Ia terpaksa membunuh tiga orang saudara seperguruannya setelah adik seperguruannya yang memiliki kemampuan hampir setingkat dengan dirinya telah terbunuh pula.
“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” desis Naga Angkasa itu dengan nada dalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiri di tempatnya. Dengan suara yang dalam Mahisa Murti berkata, “Kami akan membantu menguburkan adik-adik seperguruanmu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih.” Tetapi beberapa saat Naga Angkasa masih menunggu. Rasa-rasanya hatinya masih tertahan untuk menguburkan adik-adik seperguruannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengerti perasaan Naga Angkasa tidak mendesaknya untuk segera melakukannya. Namun akhirnya, mereka pun telah menggali lubang kubur bagi ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa.
Demikian mereka selesai menguburkan ketiga orang itu, maka tubuh Naga Angkasa terasa seperti kehilangan tulang-tulangnya. Hampir saja ia menjadi kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia sempat bergeser dan duduk di atas sebongkah batu padas.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
Wajah Naga Angkasa menjadi pucat. Nampaknya bukan saja luka-lukanya yang nampak yang telah membuatnya hampir pingsan. Tetapi sebenarnyalah bahwa luka-lukanya memang perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membantunya membersihkan dan kemudian mengobati luka-lukanya dengan obat yang dibawa oleh Naga Angkasa sendiri. Mahisa Semu sempat mencari air yang dapat mengurangi perasaan haus yang sangat yang dialami oleh Naga Angkasa.
Untuk beberapa saat maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan Naga Angkasa beristirahat sepenuhnya. Sambil duduk dan bersandar dibawah sebatang pohon yang sejuk, Naga Angkasa mencoba untuk membangunkan tenaga dasarnya dan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan sakit yang mencengkam. Beberapa bagian kulitnya memang terluka seakan-akan terbakar.
Angin yang berhembus tidak terlalu keras, menyapu kulit Naga Angkasa yang terluka. Namun dengan demikian perasaan sakit dan pedihnya seakan-akan menjadi berkurang. Ketika Mahisa Murti masih saja membantunya merawat luka-lukanya. Naga Angkasa sempat bertanya, “Bagaimana dengan luka-lukamu sendiri.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lukaku sudah berangsur baik.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk kecil. Sementara Mahisa Pukat berdesis, “Beristirahatlah sebaik-baiknya. Kami akan menemanimu sampai keadaanmu menjadi cukup baik untuk melanjutkan perjalanan.”
“Terima kasih,” desis Naga Angkasa yang mencoba untuk benar-benar dapat beristirahat. Ia sudah menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehingga keduanya tidak akan ingkar akan janjinya. Karena itu, maka Naga Angkasa pun telah duduk bersila. Kedua tangannya bersilang didadanya. Sambil sedikit menunduk, maka ia telah memejamkan matanya. Dipusatkannya nalar budinya untuk mengatur pernafasannya yang memburu.
Sejenak Naga Angkasa itu menyeringai menahan sakit. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang. Nafasnya pun kemudian mengalir semakin lama semakin teratur. Dengan kemampuan yang tinggi serta daya tahannya yang besar, maka perlahan-lahan keadaan Naga Angkasa menjadi berangsur baik, meskipun dengan terbatas berpijak pada sisa-sisa tenaga dan kemampuannya.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk dibawah pohon yang lain tidak terlalu jauh dari tempat Naga Angkasa mencoba membenahi dirinya. Baru beberapa saat kemudian, maka nampak Naga Angkasa telah menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti, bahwa Naga Angkasa telah mulai membaik.
Ternyata Naga Angkasa memerlukan waktu cukup lama untuk mengatasi keadaannya. Namun akhirnya, tangannya .yang bersilang didadanya itu pun telah diurainya. Kedua telapak tangannya yang kemudian merapat dan diangkat perlahan-lahan. Ketika kemudian tangan itu pun turun lagi sampai kedadanya, maka Naga Angkasa pun telah selesai dengan pemusatan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya selalu dengan pengobatan pada tubuhnya.
Naga Angkasa pun kemudian telah mengurai kakinya pula. Ketika ia beringsut untuk bangkit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekatinya sambil mengamati keadaannya.
“Jangan tergesa-gesa bangkit jika kekuatanmu masih belum mapan,” berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya, “Aku sudah menjadi lebih baik.” Sebenarnyalah ketika Naga Angkasa kemudian bangkit berdiri, maka keadaannya memang sudah menjadi semakin baik. Darahnya sudah mengalir wajar sebagaimana pernafasannya.
Sambil merentangkan tangannya ia berkata, “Aku sudah menjadi baik kembali. Jika kita akan meneruskan perjalanan, maka aku sudah mampu berjalan sebagaimana kalian. Kita dapat berjalan perlahan-lahan, tetapi selangkah demi selangkah kita akan maju.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia berkata, “Kita tidak akan tergesa-gesa bergerak. Sebaiknya kita beristirahat lebih lama.”
“Untuk apa?” bertanya Naga Angkasa, “untuk menunggu aku agar menjadi semakin kuat?”
“Untuk menunggu kita semuanya,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya, “Kita semua sudah cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan. Aku yakin itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu ia berkata, “Baiklah. Jika kau sudah merasa keadaanmu cukup baik. Kita dapat saja berjalan perlahan-lahan dan berhenti setiap saat kita merasa letih.”
Naga Angkasa tersenyum. Tetapi pada senyumnya itu terpancar betapa pahit hatinya. Orang lain itu ternyata jauh lebih dari saudara-saudara seperguruannya sendiri.
Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada saudara-saudaranya untuk bersiap-siap. Mereka akan segera melanjutkan perjalanan meskipun hanya beberapa langkah. Namun, demikian mereka bersiap untuk mulai dengan perjalanan mereka, Naga Angkasa dan orang-orang yang bersamanya telah terkejut. Di hadapan mereka meskipun agak jauh, berdiri berjajar beberapa orang laki-laki yang menghadang perjalanan yang baru mereka mulai.
Mahisa Murti yang berdiri di dekat Naga Angkasa berdesis, “Siapakah mereka? Apakah kau mengenal?”
Suara Naga Angkasa menjadi sangat dalam, “Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku.”
Mahisa Murti memang sudah mengira bahwa orang-orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Naga Angkasa. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan?”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat sebongkah batu padas, maka ia pun telah duduk di atasnya. Sambil menunduk ia berkata, “Anak-anak muda. Tinggalkan aku sendiri di sini.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku sudah membunuh tiga adik seperguruanku. Aku telah menyaksikan kematian saudaraku yang terdekat, Naga Pratala. Aku juga sudah menyaksikan kematian guruku. Sekarang, aku tidak mau lagi melihat kematian-kematian dari keluarga perguruanku,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat kemudian bertanya, “jadi apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tidak akan membunuh lagi,” jawab Naga Angkasa.
“Bagaimana jika mereka akan membunuhmu?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu akan lebih baik daripada aku membunuh mereka. Dipandang dari segi ilmu dan kekuatanku yang telah tumbuh kembali, maka aku yakin bahwa aku akan dapat membunuh mereka semuanya. Tetapi agaknya akan lebih baik jika aku sajalah yang harus mati. Persoalannya akan segera selesai. Tidak ada lagi orang yang harus dikejar-kejar karena dianggap bersalah.”
“Tetapi apakah kau memang merasa bersalah?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang merasa bersalah. Seharusnya aku mati lebih dahulu daripada guru,” jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berusaha untuk mencegah keputus-asaan Naga Angkasa menghadapi saudara-saudara seperguruannya.
“Jika kau tidak mau membunuh, kau dapat menghindari mereka. Dengan ilmumu kau akan dapat melepaskan diri dari adik-adik seperguruanmu. Kau tidak usah membunuhnya. Tetapi kau tidak pula membunuh dirimu sendiri.”
Tetapi Naga Angkasa menggeleng. Katanya, “Itu pun bukan satu penyelesaian. Mereka tentu akan mencariku sampai ke ujung bumi. Mereka tidak akan dapat berhenti memburuku jika mereka belum mati atau aku belum mati. Karena itu, maka biarlah persoalan ini selesai. Biarlah aku dibunuhnya dan untuk seterusnya perguruanku akan menjadi tenang kembali.”
“Itu sama sekali bukan sikap seorang laki-laki yang mempunyai harga diri,” berkata Mahisa Murti.
“Aku terikat kepada janji setiaku terhadap perguruanku,” jawab Naga Angkasa.
“Sudah terlambat,” jawab Mahisa Pukat, “kau sudah melakukan pelanggaran atas janji setiamu. Kau sudah membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Kenapa kemudian kau menjadi berputus asa dan membiarkan dirimu dicincang dan dikoyak-koyak oleh orang-orang yang sekedar haus melihat kematianmu tanpa mengerti alasannya?”
“Itu sudah keputusanku,” jawab Naga Angkasa.
“Aku berkeberatan,” desis Mahisa Pukat.
Tetapi jawab Naga Angkasa tegas, “Kau tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruanku.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah. Ia memang tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruan Naga Angkasa sepanjang tidak menyentuh dirinya. Meskipun demikian Mahisa Pukat masih juga berkata,
“Tentu Naga Angkasa. Kami sama sekali tidak berhak mencampuri persoalan di dalam perguruanmu. Tetapi sudah tentu sebagai seorang yang mengenalmu dengan baik, aku dapat memberikan pendapatku kepadamu. Aku sadar, bahwa pendapatku itu dapat saja kau tolak atau bahkan bertentangan dengan sikapmu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku menganggap bahwa pendapatku ini lebih baik aku sampaikan kepadamu daripada tidak sama sekali.”
Naga Angkasa mengangguk sambil berkata, “Aku mengerti. Tetapi sebaiknya aku menentukan sikapku sendiri.”
Mahisa Murti yang sebenarnya juga ingin mengatakan sesuatu terpaksa membatalkannya, karena ia pun sadar, bahwa niat Naga Angkasa telah tetap. Ketika kemudian Naga Angkasa berdiri tegak memandang ke arah saudara-saudara seperguruannya, maka ia pun telah menarik pedangnya. Tetapi kemudian pedang itu telah dilemparkannya beberapa langkah daripadanya sambil berkata, “Aku tidak memerlukannya. Setelah mati, pedang itu tidak ada gunanya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menyibak ketika Naga Angkasa kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati beberapa orang yang berdiri berjajar memenuhi jalan dari satu sisi sampai ke sisi yang lain. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat Naga Angkasa melangkah dengan pasti mendekati adik-adik seperguruannya.
Meskipun tanpa senjatanya Naga Angkasa akan dapat membunuh mereka semua dengan ilmunya Naga Pasa, tetapi bahwa senjatanya telah dilemparkan itu adalah pertanda bahwa ia memang tidak ingin melawan. Naga Angkasa telah membulatkan tekadnya untuk mati, jika mati itu akan mengakhiri persoalan yang berkepanjangan di perguruannya, sehingga perguruannya itu pada akhirnya tentu akan hancur sama sekali.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak dapat membiarkan Naga Angkasa berjalan untuk menyerahkan lehernya begitu saja. Hampir di luar sadarnya, maka keduanya telah berjalan mendekati Naga Angkasa yang rasa-rasanya justru menjadi semakin jauh. Di hadapannya telah menganga mulut seekor ular naga yang besar, yang siap untuk menelannya. Sekali Naga Angkasa memasuki mulut ular yang menganga itu tanpa berniat sama sekali untuk mengadakan perlawanan, maka ia akan hilang untuk selama-lamanya. Naga Angkasa akan lenyap ditelan bumi sebagaimana Naga Pratala dan gurunya serta ketiga orang saudara seperguruannya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya berhenti. Mereka melihat Naga Angkasa menjadi semakin dekat dengan beberapa orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan di hadapan mereka. Tetapi yang terjadi, sama sekali tidak terduga-duga. Ketika Naga Angkasa kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan adik-adik seperguruannya, maka tiba-tiba saja orang-orang yang berdiri tegak di hadapannya itu telah berjongkok bersama-sama.
Naga Angkasa pun terkejut. Ia tidak mengira bahwa itulah yang terjadi. Ia mengira bahwa orang-orang itu akan menarik pedang mereka dan mencincangnya sampai lumat kerena ia telah dianggap berkhianat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Kita terlalu berprasangka buruk.”
Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu, yang tertua di antara adik seperguruan Naga Angkasa itu pun berkata dengan suara sendat, “Kami mohon ampun.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang menunduk di hadapannya. Untuk beberapa saat Naga Angkasa memang tidak yakin akan pendengarannya. Namun ia mendengar adik seperguruannya yang tertua di antara mereka yang berjongkok di hadapannya itu berkata selanjutnya, “Kami tidak akan berani menentang kakang Naga Angkasa.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia bertanya, “jadi itukah alasan kalian untuk tidak membalas dendam?”
“Maksud kakang?” bertanya adiknya yang tertua.
“Jadi kalian tidak berusaha membunuh aku karena kalian takut mati?” bertanya Naga Angkasa.
Wajah adik seperguruannya itu menjadi tegang. Namun ia- pun menjawab, “Tidak. Sama sekali tidak. Jika kakang menghendaki, maka kami akan menyerahkan leher kami. Jika kakang ingin membunuh kami, maka kami dengan rela menyerahkan nyawa kami.”
“Jadi apa maksud kalian dengan tidak akan berani menentang aku?” bertanya Naga Angkasa.
“Kakang adalah saudara seperguruan kami yang tertua. Sepeninggal guru, maka kakang adalah penggantinya,” jawab saudara seperguruannya itu.
“Tetapi apakah kau tidak tahu, bahwa guru telah berniat menghukumku,” berkata Naga Angkasa, “aku telah dianggap bersalah oleh guru.”
Saudara-saudara seperguruan itu pun termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua di antara mereka menjawab, “Tetapi aku ingin mendengar dari kakang Naga Angkasa, apakah kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah? Jika kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah, tentu tidak akan membunuh ketiga orang saudara seperguruan kita.”
Naga Angkasa lah yang kemudian terdiam sejenak. Ternyata bahwa adik-adik seperguruannya yang lebih muda justru mampu berpikir dengan lebih bening. Penalaran mereka mampu bekerja lebih baik daripada ketiga orang kakak-kakak seperguruan mereka yang dianggap lebih berilmu. Karena itu, maka Naga Angkasa pun kemudian menjawab, “Aku bertindak dengan landasan keyakinanku. Karena itu, maka aku telah mempertahankan keyakinan itu dan terpaksa membunuh ketiga orang saudara seperguruanku.”
“Keputusan kakang untuk tidak melawan kami telah membuat kami semakin yakin bahwa kakang memang tidak bersalah. Kakang tidak sekedar ingin mempertahankan hidup. Tetapi tentu mempertahankan satu keyakinan. Terbukti kemudian kakang siap menyerahkan hidup dan mati kakang kepada kami,” berkata adik seperguruannya itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Jika kalian mau mengakui aku sebagai saudara tuamu yang pantas kau anggap sebagai ganti gurumu, maka aku pun tidak akan berkeberatan. Semula aku sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan padepokan kita ke mana saja mengikuti langkah kaki. Tetapi kedatangan kalian telah memberikan kesadaran baru kepadaku untuk kembali ke padepokan.”
“Terima kasih kakang,” jawab adik seperguruannya, “padepokan kami memang memerlukan seorang pemimpin yang dapat membangunkan kembali dan bahkan jika mungkin mengembangkannya.”
“Aku akan kembali,” berkata Naga Angkasa kemudian. Namun katanya kemudian, “tetapi aku menuntut kesediaan kalian untuk bekerja keras. Tanpa bantuan kalian dan kesediaan bekerja keras dalam segala bidang, maka aku tidak akan berarti apa-apa. Kita tentu akan sia-sia saja berusaha membangun padepokan itu.”
“Kami akan melakukan apa saja yang baik bagi padepokan kita,” jawab adik seperguruannya, “kami menunggu perintah kakang. Tenaga dan bahkan apa yang ada pada kami, akan kami serahkan kepada kebesaran nama perguruan dan padepokan kita.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Baiklah. Kita akan bersama-sama kembali ke padepokan,” Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu “Tetapi aku ingin memperkenalkan kalian kepada dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang mengembara bersama dengan beberapa orang yang telah diangkat menjadi saudara-saudaranya. Mereka telah menjalani laku dengan tapa ngrame. Suatu laku yang dapat membuat jiwa mereka menjadi tenang. Mereka menolong orang-orang yang memerlukan, melindungi orang-orang yang lemah dan membantu orang yang kekurangan.”
Saudara-saudara seperguruannya termangu-mangu. Namun Naga Angkasa minta mereka bangkit dan berkenalan dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
“Apa yang mereka lakukan ternyata mempengaruhi penalaranku atas sikapku selama ini. Apalagi setelah Naga Pratala terbunuh. Sehingga akhirnya, aku mendengarkan suara nuraniku yang menjadi semakin keras, melampaui kerasnya suara dan sikap guru,” berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian maka saudara-saudara seperguruannya pun telah berkenalan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta ketiga orang saudara-saudara angkatnya. Dengan keterangan yang diberikan Naga Angkasa kepada saudara-saudaranya seperguruannya, maka mereka pun telah ikut mengagumi kedua orang anak muda itu.
“Dalam usianya yang masih sangat muda, mereka telah mampu melampaui tataran ilmu guru yang kami kira, tidak ada duanya di dunia ini,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “ilmu gurumu memang tidak ada duanya di dunia ini. Jika kami berhasil mengalahkannya adalah karena kami telah melawan berpasangan. Dengan demikian maka kalian dapat menduga, seberapa tinggi ilmu guru kalian itu. Berpasangan pun kami ternyata telah mengalami luka-luka yang berbahaya.”
“Jika kelak kalian seumur dengan guru, maka ilmu kalian akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan,” berkata yang lain.
“Jangan berlebih-lebihan,” berkata Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, maka Naga Angkasa pun telah menyatakan niatnya untuk kembali ke padepokannya sebagaimana dikatakannya kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Hal itu tentu akan lebih baik,” sahut Mahisa Murti, “dengan demikian maka padepokan kalian, lebih-lebih lagi perguruan kalian tidak akan hilang sia-sia. Apa pun yang pernah terjadi, maka kalian akan dapat mempergunakannya bagi perjalanan perguruanmu di masa depan. Pengalaman itu akan dapat membuat kalian lebih berhati-hati.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Perkenankan kami minta diri. Kami berharap agar kalian bersedia singgah di padepokanku.”
“Lain kali kami akan berusaha,” jawab Mahisa Murti yang kemudian mendapat ancar-ancar letak perguruan Naga Angkasa.
Dalam pada itu, maka Naga Angkasa yang telah memiliki kembali pedangnya yang telah dilemparkannya, telah minta diri. Ia telah mengurungkan niatnya untuk menjadi kawan seperjalanan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
“Kau akan menemukan arah yang jauh lebih baik daripada menjadi kawan seperjalanan kami. Karena jika kau kembali ke padepokanmu, maka kau akan dapat memberikan arti bagi hidupmu. Jauh lebih baik daripada yang dapat kau berikan jika kau sekedar mengembara seperti yang kami lakukan. Sebenarnyalah kami pun telah merindukan padepokan kami,” desis Mahisa Murti.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku ingin mengucapkan terima kasihku sekali lagi. Kalian telah menumbuhkan kesadaranku akan diriku sendiri.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Untuk selanjutnya, jangan sampai kau kehilangan dirimu lagi. Jangan sampai kau tidak mengenali lagi kepribadianmu.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan saling berdoa.”
Demikianlah, maka Naga Angkasa pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Dengan langkah tetap ia berjalan diiringi oleh saudara-saudara seperguruannya yang bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Kehadiran Naga Angkasa di padepokan mereka, telah menumbuhkan kembali harapan mereka untuk membangunkan padepokan yang telah lama mereka huni itu.
Namun mereka pun sadar, bahwa kehadiran Naga Angkasa itu tentu akan merupakan hembusan angin yang baru. Berbeda dengan nafas yang pernah mengaliri rongga kehidupan padepokan mereka, justru karena Naga Angkasa telah menemukan dirinya sendiri.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memperhatikan orang-orang yang berjalan menjauh itu dengan jantung yang berdebaran. Semakin lama iring-iringan itu menjadi semakin jauh. Namun mereka menuju ke satu tempat yang pasti bagi masa depan mereka.
Demikian mereka menghilang, maka Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Mereka telah menemukan tempat mereka yang sewajarnya untuk menempa diri menghadapi masa depan. Kita pun akan segera kembali ke padepokan. Pengalaman yang telah kita petik cukup banyak, sehingga jika kita memiliki kemampuan untuk mengetrapkannya disepanjang perjalanan hidup kita, maka tentu akan memberikan arti tersendiri.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus segera kembali ke padepokan kita. Kita akan dapat berbuat lebih banyak lagi.”
Mahisa Amping ikut menjadi gembira. Sebenarnya ia sudah merasa letih dengan pengembaraan itu. Meskipun ia tidak ingin menentukan rencana yang lain, seandainya ia mendapat kesempatan untuk menyatakannya, tetapi menuju ke sebuah padepokan tentu akan lebih baik daripada berjalan sepanjang waktu. Di sebuah padepokan ia tentu akan mendapat lebih banyak kesempatan meningkatkan ilmunya, meskipun ia tidak ingin mengulangi cara-cara yang pernah ditempuhnya justru karena ia telah tersesat memasuki satu lingkungan yang gelap.
Mahisa Murti sempat menangkap kilasan wajah Mahisa Amping yang cerah itu, meskipun kemudian kesan itu segera hilang dari wajah anak itu. Tetapi Mahisa Murti tidak bertanya sesuatu, la sudah dapat meraba apa yang terbersit di hati anak itu.
Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan pun berharap sebagaimana Mahisa Amping. Mereka juga ingin mendapat kesempatan lebih banyak menekuni ilmunya, meskipun di sepanjang jalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menuntun mereka dengan cara yang khusus.
Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru masih belum mengajak mereka beranjak dari tempat itu. Keduanya masih berbincang tentang berbagai macam persoalan. Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak saudara-saudaranya untuk meneruskan perjalanan.
“Kita sudah cukup beristirahat. Bukan saja secara wadag, tetapi kadang-kadang perasaan kita menjadi lebih menghadapi peristiwa-peristiwa yang tiba-tiba saja datang beruntun,” berkata Mahisa Murti, “karena itu, maka meskipun kita sudah cukup beristirahat bagi wadag kita, kadang-kadang kita memerlukan beristirahat secara jiwani.”
Mahisa Semu menganguk kecil. Sementara Wantilan yang lebih tua dari mereka berkata, “Aku mengerti. Kita memang memerlukannya, karena dengan demikian jiwa kita akan menjadi segar. Bukan hanya wadag kita.”
“Ya. Selama ini peristiwa demi peristiwa menyusul. Namun kita memang dengan sengaja menangkap peristiwa-peristiwa itu dalam laku yang kita jalani. Tapa ngrame. Sekaligus kita telah mendapat banyak sekali pengalaman-pengalaman yang berarti bagi hidup kita. Namun dengan demikian, maka jiwa kita rasa-rasanya menjadi sangat letih,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Saatnya untuk benar-benar beristirahat telah datang,” sambung Mahisa Pukat, “dan kita benar-benar akan beristirahat.”
“Kami akan merasa senang sekali,” berkata Wantilan kemudian, “meskipun kami tidak mengalami keletihan seperti kalian berdua, namun ketahanan jiwani kami tentu jauh lebih lemah.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “belum tentu. Ketahanan jiwani memiliki banyak sangkutan. Menghadapi kekerasan mungkin jiwa paman Wantilan mudah tergetar. Tetapi menghadapi persoalan yang lain, mungkin paman Wantilan mempunyai ketahanan jiwani yang lebih besar.”
Wantilan tersenyum. Katanya, “Aku masih harus mendapat tempaan yang cukup baik bagi wadagku maupun bagi jiwaku.”
Mahisa Murti pun tersenyum. Namun kemudian ia berkata, “Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kita beristirahat sambil berjalan. Kita tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Kita hanya memikirkan perjalanan kembali ke padepokan. Kita akan menempuh satu perjalanan tamasya yang mengasyikkan.”
Wantilan justru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Marilah. Kita akan pergi bertamasya.”
Demikianlah mereka berlima telah melanjutkan perjalanan. Mereka memang berusaha untuk tidak memikirkan persoalan-persoalan yang dapat membebani pikiran dan perasaan mereka. Tetapi mereka mencoba untuk melepaskan segala macam beban, kecuali menempuh perjalanan kembali ke padepokan.
Seperti biasanya, Mahisa Amping sering berjalan mendahului yang lain. Kesukaannya memanjat pohon masih saja mengganggunya ketika ia melihat sebatang pohon randu. Bahkan hampir di luar sadarnya telah melangkah mendekati pohon itu.
“Hati-hati,” tiba-tiba saja Mahisa Semu memperingatkannya, “cabang dan ranting batang randu tidak terlalu kokoh.”
Peringatan itu justru memberikan kemungkinan kepada Mahisa Amping untuk memanjat. Tetapi ia harus berhati-hati. Mahisa Amping memang memanjat. Semakin lama semakin tinggi. Ketika saudara-saudaranya lewat di bawah pohon itu, Mahisa Amping masih berada di atas.
“Turunlah,” berkata Mahisa Semu, “jika kami menjadi semakin jauh, kau akan ketinggalan.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun telah bersiap-siap untuk turun. Tetapi perhatiannya telah tertarik kepada sekerumunan orang di tempat yang agak jauh, di balik tikungan di hadapan mereka. “Kita akan melalui tikungan itu?” bertanya Mahisa Amping dari atas pohon.
“Ya, kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Apakah kita masih beristirahat?” bertanya anak itu pula.
“Ya. Kita berjalan seenaknya. Kita akan berhenti kapan kita ingin berhenti,” jawab Mahisa Semu, “tetapi turunlah.”
Mahisa Amping memang tergesa-gesa turun. Untunglah bahwa cabang yang diinjaknya tidak patah. “Sebaiknya kita mengambil jalan lain,” berkata anak itu dengan gelisah.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita ingin beristirahat, kita jangan berjalan terus melalui tikungan itu,” berkata Mahisa Amping.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita melalui tikungan itu, maka kita tentu tidak akan dapat beristirahat, karena tentu ada masalah baru yang akan kita jumpai,” berkata anak itu mantap.
“Apa yang telah kau lihat?” bertanya Mahisa Semu.
“Sekerumunan orang di sebelah tikungan,” jawab Mahisa Amping.
“Kenapa mereka berkerumun?” bertanya Mahisa Semu pula.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Tidak selalu di tempat orang banyak berkerumun kita akan menghadapi persoalan baru. Mungkin orang itu berkerumun untuk satu keperluan. Mungkin pula karena mereka sedang membicarakan sesuatu.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi kerumunan orang itu nampak gelisah.”
Mahisa Pukatnun tertawa. Katanya, “Kita akan melihatnya. Mudah-mudahan bukan persoalan yang akan menghambat perjalanan kita dan mengganggu istirahat dan tamasya kita sekarang ini.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja di belakang Mahisa Semu. Namun dalam pada itu, ia sudah meraba hulu senjatanya. Wantilan yang melihatnya, tersenyum. Katanya, “Kenapa dengan senjatamu?”
“Aku akan menariknya jika perlu,” jawab Mahisa Amping.
Wantilan pun tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Demikianlah, mereka memang melanjutkan perjalanan lewat tikungan di hadapan mereka. Ketika mereka melewati tikungan itu, mereka memang melihat beberapa orang sedang berkerumun di depan sebuah rumah. Nampaknya Mahisa Amping dapat melihatnya dari atas pohon randu itu tanpa mengetahui alasannya, kenapa mereka berkerumun serta tidak melihat kegiatan apa yang sedang mereka lakukan.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang harus berjalan berhati-hati. Beberapa orang berada di luar regol. Sementara yang lain ada di dalam regol. Ketika mereka berjalan di muka regol, ternyata orang-orang yang berkerumun itu tidak banyak yang memperhatikan mereka. Mereka membiarkan saja kelima orang itu lewat. Jika satu dua orang di antara mereka berpaling, tidak seorang pun yang menyapa mereka.
Namun justru Mahisa Amping lah yang ingin mengetahui, orang-orang yang sibuk itu sedang berbuat apa. Karena itu, maka diam-diam ia telah bergeser mendekati salah seorang di antara mereka yang berdiri agak terpisah dan bertanya, “Apa yang sedang terjadi di sini?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Di sini sedang dipersiapkan satu pertunjukkan, ngger. Nanti malam akan ada pertunjukkan tari topeng di pendapa.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Sementara itu, orang itu pun berkata selanjutnya, “Ki Bekel sedang menikahkan anaknya. Anak perempuan.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih paman.”
Berlari-lari kecil Mahisa Aming menghampiri saudara-saudaranya yang menunggunya di seberang jalan. Dengan gagah Mahisa Amping mengatakan bahwa nanti malam ada pertunjukkan tari topeng di rumah itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia dapat mengerti, bahwa di masa kanak-kanak tentu ada keinginan untuk melihat satu pertunjukkan meskipun ia tidak mengetahui apa yang terjadi di atas pendapa. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita akan mencari tempat bermalam yang tidak terlalu jauh dari tempat ini. Malam nanti kita akan dapat ikut melihat pertunjukkan itu.”
“Benar begitu?” bertanya Mahisa Amping dengan wajah yang cerah.
“Ya,” jawab Mahisa Murti tersenyum.
Semuanya tidak berkeberatan. Mereka sudah terlalu lama mengalami ketegangan. Karena itu, maka sekali-sekali mereka memang memerlukan sesuatu yang lain. Apalagi mereka sudah bertekad untuk beristirahat sepenuhnya.
Sejenak kemudian mereka meneruskan perjalanan. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Mereka justru ingin mencari tempat bermalam di sekitar tempat itu. Tetapi tidak di banjar. Jika mereka berusaha di banjar, maka mereka tidak akan bebas keluar dan masuk regol di malam hari jika mereka ingin melihat pertunjukkan di pendapa.
Sementara itu matahari memang sudah menjadi terlalu rendah. Ketika mereka sampai ke sebuah padang perdu, maka mereka sepakat untuk bermalam di tempat itu. Apalagi di dekat tempat itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya cukup jernih.
Ketika kemudian gelap turun, maka Mahisa Amping telah mengajak untuk pergi ke tempat pertunjukkan. Namun Mahisa Semu berkata, “Pertunjukkan tentu masih belum dimulai sekarang ini. Nanti, wayah sirep bocah, pertunjukkan itu baru akan mulai dengan gending-gending pembukaan dan gending-gending untuk menerima para tamu yang datang.”
“Jadi kapan tari topeng itu dimulai?” bertanya Mahisa Amping.
“Nanti, saat sirep uwong,” jawab Mahisa Semu.
Mahisa Amping jadi gelisah. Ia takut pertunjukkan itu justru sudah selesai jika mereka pergi terlalu malam. Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita berangkat sekarang. Tetapi tidak langsung menonton pertunjukkan itu.”
“Kita akan makan lebih dahulu.”
“Apakah masih ada kedai yang buka?” bertanya Mahisa Amping.
“Di tempat pertunjukkan kita akan dapat membeli berbagai macam makanan,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping memang menjadi gembira. Setelah berbenah diri, mereka pun telah berangkat menuju ke tempat pertunjukkan. “Apakah tadi kita lewat tempat ini?” bertanya Mahisa Amping ketika melihat jalan yang menjadi ramai oleh orang-orang yang berjualan.
“Ya. Sebagai seorang pengembara kau harus dapat dengan tajam mengingat apa yang pernah kau lihat,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku memang tahu bahwa seharusnya kita memang lewat jalan ini. Aku mengenali beberapa tanda-tanda ini. Tetapi aku menjadi heran, bahwa jalan ini menjadi sangat ramai.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Amping itu tersenyum. Ia memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk melihat keramaian. Sekali dua kali agaknya ia memang pernah melihatnya, tetapi tentu sangat jarang sekali.
Kelima orang itu sempat duduk di bawah sebatang pohon menghadapi seorang penjual makanan. Sambil menunggu pertunjukkan mulai, maka mereka telah sempat makan ketela pohon rebus dan jagung bakar.
“Nah, ternyata tidak setiap kesibukan yang nampak itu berarti keributan,” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Amping.
“Ketika kau memanjat pohon dan melihat kesibukan di sini, maka kau langsung menganggapnya sebagai satu keributan yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Nah, ternyata yang kau lihat kali ini justru satu kegembiraan. Dalam hal seperti ini maka kita tidak akan terhambat.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia terbiasa melihat keributan. Jika beberapa orang berkumpul, itu berarti menghambat perjalanan mereka, karena di antara mereka harus ada yang turun tangan menanggapi satu persoalan yang gawat. Ternyata tidak setiap terlihat beberapa orang berkumpul tentu merupakan keributan. Sambil makan ketela rebus dan jagung bakar, maka setiap kali Mahisa Amping memang bertanya apakah tontonan di pendapa sudah mulai.
“Belum,” jawab Mahisa Murti.
“Suara gamelan itu?” desis Mahisa Amping.
“Suaranya akan berbeda jika pertunjukan sudah mulai. Iramanya berbeda dan suara penonton pun akan dapat kita kenali jika pertunjukan sudah dimulai,” jawab Mahisa Murti yang masih makan ketela rebus dan jagung bakar.
Sementara itu Mahisa Pukat sibuk menguliti kacang rebus. Sedangkan Mahisa Semu lebih senang makan pisang rebus. Mahisa Amping yang gelisah itu akhirnya minta ijin kepada Mahisa Murti untuk melihat ke dalam regol apakah pertunjukkan sudah dimulai.
Mahisa Murti tersenyum sambil berkata, “Lihatlah. Tetapi berhati-hatilah. Kami menunggu di sini.”
Mahisa Amping pun kemudian melangkah perlahan-lahan di sela-sela orang banyak menyelinap masuk ke dalam regol. Di pendapa memang masih belum ada pertunjukkan. Tetapi suara gamelan sudah terdengar riuh. Di halaman rumah itu sudah banyak terdapat penonton yang menunggu. Sementara agak jauh dari pendapa, sekelompok anak-anak sedang bermain-main.
Mahisa Amping sempat mendekati mereka. Anak-anak itu dengan gembira bermain sambil menyanyikan lagu dolanan. Semakin lama terdengar semakin riuh tanpa menghiraukan tontonan yang masih belum mulai serta orang-orang yang semakin banyak memasuki halaman.
Mahisa Amping menarik nafas panjang. Ia ikut merasakan kegembiraan anak-anak itu. Bahkan ia tertarik ketika sekelompok anak-anak yang sedikit lebih besar dari dirinya bermain binten. Satu permainan anak laki-laki yang sangat menarik baginya.
Seorang dari anak-anak remaja itu berdiri dengan kakinya sebelah melangkah kedepan. Kemudian seorang yang lain akan mengambil ancang-ancang. Mereka masing-masing akan membenturkan kaki mereka dengan sekuat tenaga. Siapa yang terjatuh dianggap kalah. Sehingga akhirnya akan bertemu orang-orang yang terkuat saja.
Sorak anak-anak yang menonton permainan itu gemuruh. Satu-satu remaja yang bermain itu jatuh. Namun tidak seorang- pun yang menjadi marah. Mereka dengan jujur mengakui kekalahan mereka jika seseorang memang kalah. Mahisa Amping ingin ikut bermain. Tetapi ia menahan diri. Ia sadar, bahwa orang lain bagi anak-anak itu akan dapat menimbulkan masalah.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka dilihatnya sekelompok anak-anak perempuan telah bermain dengan caranya. Mereka menutup mata seorang di antara mereka. Kemudian meraba-raba kawannya yang duduk dengan menyembunyikan wajah mereka di antara lutut mereka. Jika ia dapat menebak namanya dengan tepat, maka yang namanya ditebak itu akan menggantikannya. Jika ia luput menebak, maka ia akan mengulangi lagi dengan ditutup matanya pula.
Mahisa Amping menarik riafas dalam-dalam. Hampir saja ia bertubrukan dengan seorang anak laki-laki yang berlari kencang kemudian berpegang pada sudut gandok rumah yang besar itu. Kawannya mengejarnya sekencang-kencangnya. Namun ia gagal. Ternyata sekelompok anak laki-laki yang lain telah bermain sembunyi-sembunyian.
Mahisa Amping kemudian berdiri termangu-mangu. Selama ini ia seakan-akan tidak pernah mendapat kesempatan untuk bermain seperti anak-anak sebayanya itu. Dari hari ke hari ia berjalan saja dari satu tempat ke tempat lain. Sepanjang jalan ia harus berlatih olah kanuragan. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan melakukan berbagai macam latihan dan gerakan yang berat. Namun yang dilakukan itu sama sekali bukan permainan. Meskipun ia melakukan dengan penuh minat. Namun yang dilakukan itu tidak menimbulkan kegembiraan dan kesenangan jiwa kanak-kanaknya.
Mahisa Amping kemudian telah melangkah ke regol. Tontonan di pendapa memang belum mulai. Tetapi anak-anak telah mendapat kegembiraan tersendiri. Jika tontonan yang sebenarnya mulai, anak-anak itu sudah letih bermain. Sebagian dari mereka justru akan segera tertidur di serambi gandok rumah itu. Ketika kemudian Mahisa Amping kembali ketempat saudara saudaranya menunggu, ia masih melihat Wantilan meneguk air sere yang hangat.
“He, kau minum atau tidak?” bertanya Wantilan.
“Ya paman,” jawab Mahisa Amping.
Wantilan pun kemudian memesan wedang sere hangat untuk Mahisa Amping. Ternyata beberapa saat kemudian, maka tontonan di pendapa benar-benar sudah dimulai. Setelah membayar harga makanan dan minuman, maka Mahisa Amping telah menarik saja tangan Wantilan masuk ke halaman.
Penonton memang sudah penuh disekitar pendapa itu. Mahisa Amping memang sempat menengok ke sudut halaman. Ternyata sudut halaman itu sudah sepi. Anak-anak yang bermain itu memang telah ada disekitar pendapa. Namun sebelum wayang topeng itu mulai, seorang anak sudah tidur mendengkur di serambi gandok.
Mahisa Amping ternyata senang sekali melihat wayang topeng di pendapa. Karena ia sulit untuk melihat karena orang-orang dewasa berdiri berjejal-jejal, maka Mahisa Semu telah berkata, “Mari, duduk dipundakku. Bukankah kau jarang mendapat kesempatan untuk nonton.”
Satu kesempatan yang menyenangkan. Mahisa Amping segara naik ke pundak Mahisa Semu dan melihat dengan jelas, tari topeng di pendapa. Beberapa kali Mahisa Amping ikut bertepuk tangan jika terjadi perang. Tetapi sebenarnyalah ia tidak begitu mengerti apa yang dilihatnya. Jika ia bertepuk tangan dengan mantap karena orang lain juga bertepuk tangan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping terkejut. Seseorang telah memukul punggungnya meskipun tidak begitu keras.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka orang itu berkata, “Kau kira ini rumahmu he? Kau menutupi aku.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi ia menjawab, “Jika aku turun, akulah yang tidak melihat.”
Orang itu menjawab, “Itu salahmu. Kau tidak berdiri di depan.”
Mahisa Semu pun kemudian menurunkan Mahisa Amping. Sementara Mahisa Amping berkata, “Di sini aku tidak melihat apa-apa.”
Tetapi Mahisa Murti yang menjawab, “Kau dapat menyusup dan menonton di baris paling depan. Di sana banyak anak-anak. Tetapi hati-hati. Jangan membuat persoalan.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang berusaha untuk menyusup di antara para penonton dan berdiri di paling depan di antara beberapa orang anak-anak yang dilihatnya tadi bermain-main di sudut halaman. Tetapi agaknya anak-anak itu sudah mengantuk. Tetapi Mahisa Amping tidak tahu bahwa orang yang memukulnya meskipun tidak terlalu keras itu masih saja bergeremang.
“Anak tidak tahu diri. Disangkanya hanya ia sendiri yang menonton. Atau disangkanya rumah ini milik neneknya.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk tidak menghiraukan kata-kata orang itu. Tetapi Mahisa Semu lah yang tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka akhirnya ia menjawab, “Bukankah anak itu sudah aku turunkan.”
“Itu karena aku memaksa anak itu turun,” jawab orang itu, “jika tidak, maka anak itu tentu masih menutupi aku sekarang.”
Mahisa Semu mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia tidak menjawab. Ia berusaha untuk seakan-akan tidak mendengar suara orang yang bergeramang itu. Beberapa saat kemudian geramangnya memang mereda. Tetapi orang itu justru mendesak maju menyusup di antara beberapa orang penonton yang lain sehingga orang-orang yang didesaknya telah berpaling. Tetapi demikian orang-orang itu melihatnya, maka mereka-pun telah menyibak dan memberikan jalan kepadanya.
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Semu sambil berkata, “Ternyata orang itu bukan orang kebanyakan. Setidak-tidaknya ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang di sekitar tempat ini.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bahwa ia sudah berusaha berbuat baik. Ia sudah melakukan apa yang dikehendaki oleh orang itu. Beberapa lama memang tidak terjadi sesuatu. Pertunjukkan itu berlangsung terus. Sementara penonton pun sekali-sekali bertepuk tangan. Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut ketika tiba-tiba saja Mahisa Amping terlempar ke kaki mereka.
“Amping,” desis Mahisa Murti, “ada apa.”
Mahisa Amping pun kemudian telah meloncat bangkit sambil berdesis, “Aku tidak tahu, aku tidak berbuat apa-apa.”
“Omong kosong,” geram orang yang ternyata orang yang merasa penglihatannya terganggu oleh Mahisa Amping ketika ia duduk di pundak Mahisa Semu, “ia telah mengganggu anak-anak yang sedang tidur.”
“Aku tidak menganggu,” jawab Mahisa Amping, “aku membangunkan mereka ketika di pentas para penari sedang menarikan tari perang.”
“Aku tampar mulutmu jika kau berbohong,” geram orang itu.
Beberapa orang memang telah berpaling. Tetapi ketika mereka melihat orang yang marah itu, maka justru telah bergeser. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membaca pertanda itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Marilah kita mencari tempat lain. Kita melihat dari kejauhan saja.”
“Kalian harus keluar dari halaman ini,” geram orang itu, “kalian hanya mengganggu saja di sini.”
“Aku ingin melihat tari itu,” jawab Mahisa Amping.
Tetapi orang itu memang marah. Karena itu, dengan kecepatan yang tinggi sekali, ia menampar wajah Mahisa Amping. Namun orang itu terkejut. Tangannya ternyata tidak mengenai wajah Mahisa Amping. Tetapi tangannya telah membentur tangan Mahisa Murti.
Orang itu memang menjadi sangat marah. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Mahisa Murti telah mendahuluinya, “Ki Sanak. Aku tahu kau marah. Tetapi tidak baik bertengkar di sini. Karena itu, jika kau masih ingin menyelesaikan persoalan ini, kita akan keluar dari halaman ini. Biarlah adikku itu meneruskan menonton pertunjukkan ini. Kau dan aku sajalah yang keluar dan jika kau kehendaki membuat perhitungan.”
“Setan kau,” geram orang itu.
“Jangan membuat orang sebanyak ini gelisah,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, marilah kita keluar. Kita mencari tempat yang sepi dan kita dapat berbuat sesuatu untuk memecahkan persoalan yang kita hadapi. Persoalan yang sebenarnya tidak ada artinya. Tetapi nampaknya kau ingin membesarkannya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Kau siapa he? Agaknya kau belum mengenal aku?”
“Tentu Ki Sanak. Aku memang belum mengenal Ki Sanak. Baru sekarang kita bertemu. Nampaknya pada pertemuan kita ini, telah terjadi salah paham. Sebenarnya tidak perlu terjadi salah paham seperti ini. Tetapi marilah, mungkin kita dapat menjernihkan suasana,” berkata Mahisa Murti.
“Kau memang telalu sombong. Tetapi ada baiknya juga kau mulai mengenal aku,” berkata orang itu. Ternyata orang itu tidak menunggu Mahisa Murti. Ia justru melangkah lebih dahulu menuju ke regol.
Mahisa Murti masih sempat berbisik kepada Mahisa Pukat, “Kau di sini. Awasi yang lain.”
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Hati-hati.”
Mahisa Murti mengangguk. Ia pun kemudian segera mengikuti orang yang ternyata sudah berada di regol. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di jalan. Mahisa Murti mengikuti saja ke mana orang itu pergi. Agaknya ia sudah mengenal tempat itu dengan baik. Beberapa saat kemudian, orang itu berbelok lewat sebuah lorong sempit. Kemudian memasuki sebuah padang rumput yang tidak terlalu luas di sebelah tanggul sungai. Di atas tanggul orang itu berhenti. Sambil bertolak pinggang ia menunggu Mahisa Murti yang melangkah mendekat.
“Kau terlalu sombong Ki Sanak,” geram orang itu, “seharusnya kau tidak membuat aku marah.”
“Aku justru ingin menjernihkan suasana Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak ada yang harus dijernihkan. Kau sudah menantang aku. Sekarang kita sudah siap untuk berkelahi,” berkata orang itu.
“Tunggu Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnya apakah alasan kita bahwa kita harus berkelahi?”
“Kau sudah menantang aku,” geram orang itu, “kau tantang aku di luar halaman rumah orang yang sedang menyelenggarakan tari di rumahnya itu.”
“Aku hanya tidak ingin mengganggu orang lain yang sedang menikmati tontonan itu. Karena itu, aku ajak kau berbicara di luar,” jawab Mahisa Murti.
“Bagiku itu sudah merupakan tantangan. Kita harus selesaikan dengan cara yang paling pantas bagi laki-laki,” jawab orang itu.
“Bukankah tidak ada sebab dan alasannya bagi kita untuk berkelahi di sini?” bertanya Mahisa Murti.
“Persetan,” geram orang itu, “jangan banyak bicara. Kau sengaja mempermainkan aku he?”
“Tidak Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah sebenarnya yang membuat Ki Sanak begitu cepat marah dan mengambil kesimpulan seperti ini? Apakah Ki Sanak menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang terbaik untuk menyelesaikan satu masalah?”
“Cukup,” bentak orang itu, “anak itu sudah kau pakai alat untuk membuat perkara. Tetapi sayang, kali ini kau bertemu dengan orang yang barangkali belum pernah kau pikirkan.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah orang yang paling disegani di tempat ini. Kau tahu bagaimana orang-orang menyibak saat aku lewat. Nah, kau jangan menyesal, bahwa kau telah berada di sini seorang diri berhadapan dengan aku,” berkata orang itu.
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti sekali lagi.
“Aku akan membuat kau jera. Untuk selanjutnya kau harus ingat, siapa aku. Jika kau datang lagi ke padukuhan ini, maka kau tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti malam ini,” berkata orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi agaknya memang tidak ada jalan untuk menghindari benturan kekerasan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kau begitu cepat kehilangan kendali atas perasaanmu sendiri. Tetapi apa boleh buat. Jika itu satu-satunya jalan yang kau pilih.”
“Jadi kau berani melawan aku?” bertanya orang itu.
“Sebenarnya aku tidak memilih jalan ini. Tetapi jika ini satu-satunya jalan yang ingin kau tempuh,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu menggeram. Dengan marah ia bergeser maju sambil berkata, “Jika kau ingin mempergunakan pedangmu, pergunakan. Aku tidak memerlukan senjata.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu sama sekali tidak tahu menahu tentang pedangnya. Namun Mahisa Murti itu menjawab, “Aku juga tidak akan mempergunakan senjata. Aku kira itu adil.”
“Cukup,” geram orang itu, “jangan menghina lagi.”
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga ia memang harus mempersiapkan diri. Seperti yang sudah diperhitungkan, maka orang itu pun dengan garangnya telah menyerang. Tetapi tangannya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu. Beberapa kali ia melakukannya, tetapi sekian kali pula ia gagal. Anak muda itu seakan-akan merupakan bayangan yang tidak dapat disentuh oleh tenaga wadag. Semakin cepat orang itu menyerang, maka bayangan itu semakin cepat pula berterbangan kian kemari.
“Anak iblis, siapa kau sebenarnya he? Hantu?” bertanya orang itu.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri beberapa langkah dari orang itu tertawa. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan hanya mempergunakan kemampuan kanuragan kewadagan. Ternyata orang yang merasa dirinya disegani itu sama sekali tidak mempunyai bekal cukup. Bahkan masih jauh dari kemampuan yan telah dimiliki oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau sudah puas dengan caramu untuk membuat penyelesaian?”
“Persetan,” geram orang itu, “kau harus menyadari kesalahanmu.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “apa pun yang kau lakukan, aku tidak bersalah. Seandainya kau berhasil memaksa mulutku mengakui kesalahan, tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak bersalah.”
“Cukup,” bentak orang itu, “kau harus merasa bahwa kau memang bersalah. Aku dapat berbuat kasar terhadapmu.”
“Tidak Ki Sanak. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bukankah kau telah mencoba?” bertanya Mahisa Murti.
Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukan. Ia justru sudah siap untuk menyerangnya lagi.
“Apakah kau belum yakin bahwa kau tidak dapat menyentuhku?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi dengan garangnya orang itu menyerang Mahisa Murti. Pertempuran yang sama sekali tidak seimbang telah terjadi lagi. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak membalasnya. Ia berloncatan menghindari serangan lawannya seperti bayangan hantu di gelapnya malam. Sementara itu suara gamelan masih juga terdengar bertalu-talu. Kadang-kadang keras menyentak, kadang-kadang lembut ngerangin. Beberapa saat kemudian, maka sekali lagi orang itu berhenti menyerang. Nafasnya terengah-engah. Bahkan keringatnya bagaikan telah terperas habis.
“Kau anak iblis,” geram orang itu.
“Apakah kau masih ingin meneruskan rencanamu memaksa aku mengakui kesalahan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau memang bersalah,” teriak orang itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau memang keras kepala. Tetapi kau tidak memiliki pertimbangan yang baik untuk menilai kenyataan yang kau hadapi.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu, “berlututlah dan minta am pun kepadaku.”
Tetapi Mahisa Murti berkata, “Sebaiknya kau mulai terbangun dari mimpimu. Mungkin kau orang yang paling disegani di daerah ini. Tetapi ternyata bahwa kau tidak akan berhasil memaksa aku. Jika aku kehilangan kesabaranku, maka aku akan dapat berbuat sesuatu.”
“Kau kira aku dapat kau takut-takuti?” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Orang itu memang keras kepala. Tetapi beberapa kali Mahisa Murti pernah menghadapi orang seperti itu. Ia sudah mempunyai cara sendiri untuk menundukkannya. Karena itu, seperti yang pernah dilakukannya, ketika orang itu menyerang lagi, maka Mahisa Murti telah berloncatan menghindari. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya menyentuhnya. Ia tidak ingin mempergunakan ilmu yang dapat membuat lawannya itu kehilangan tenaga. Tetapi ia membiarkan lawannya itu kehabisan tenaga dengan wajar.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, maka orang itu telah kehabisan tenaga tanpa sekalipun mampu menyentuh lawannya. Ketika ia mulai menurunkan Serangan-serangannya, maka Mahisa Murti telah memancingnya dengan menyentuh dahinya dengan ujung jarinya tanpa mendapat kesulitan apapun. Kemudian menarik telinganya atau sekali-sekali mencengkam rambutnya. Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin marah dan berusaha menghentak-hentakkan kemampuannya yang tersisa.
Namun akhirnya orang itu menjadi tidak berdaya. Ketika ia mengayunkan tangannya untuk menyerang tanpa mengenai sasaran, maka ia pun telah terhuyung-huyung. Bahkan beberapa kali hal itu terjadi. Sehingga pada satu saat, Mahisa Murti pun telah berdiri di atas tanggul sungai. Seperti yang diinginkan, maka orang itu telah menyerang Mahisa Murti yang berdiri bertolak pinggang. Namun demikian sisa tenaga orang itu terayun, Mahisa Murti dengan gerak sederhana telah menghindar.
Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Tetapi ternyata ia tidak berhasil mengekang diri sehingga ia pun telah terjebur ke dalam sungai. Untunglah sungai itu adalah sungai yang dangkal. Tetapi berlumpur. Dengan susah payah orang itu berusaha untuk bangkit. Kemudian merangkak ke tebing yang rendah. Tubuhnya dan pakaiannya telah menjadi basah kuyub. Bukan saja karena air sungai yang dingin, tetapi juga karena lumpur yang kotor.
Hampir saja orang itu menjadi putus-asa, ketika beberapa kali ia mencoba merangkak mencapai punggung tanggul namun gagal. Baru kemudian Mahisa Murti menjulurkan tangannya dan menariknya keatas.
“Kenapa kau masih juga sempat mandi?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu mengumpat. Katanya, “Aku memang harus membunuhmu.”
Tetapi Mahisa Murti bertanya lagi, “Apa yang sebenarnya terjadi atasmu? Apakah kau masih juga belum melihat kenyataan ini?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang itu.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau dapat mengerti apa yang telah terjadi.”
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya orang itu.
“Kami adalah pengembara. Sebenarnya kami tidak ingin memperlihatkan kelebihan kami. Kami berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi kau telah memaksaku,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu terduduk di atas tanggul. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak dapat berbuat lain. Ayahku adalah seorang yang ditakuti di padukuhan ini. Ayah telah memaksaku agar aku mengikuti jejaknya. Aku harus menjadi orang yang ditakuti pula di sini.”
“Apakah kau merasa berhasil?” bertanya Mahisa Murti.
“Sebagaimana kau lihat. Aku memang ditakuti. Sebagian karena sikap dan kelebihanku. Tetapi sebagian karena nama besar ayahku sehingga orang segan melawanku,” jawab orang itu.
“Dan kau bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “pulanglah. Tetapi sekali-sekali kau dapat berkata kepada ayahmu, bahwa kau tidak perlu berbuat seperti itu. Wibawa seseorang tidak selalu diangkat karena kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Tetapi mungkin dengan sikap dan tingkah laku yang baik.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani.”
“Kau harus berani,” berkata Mahisa Murti, “ilmumu sama sekali tidak mendukung sikapmu. Jika benar-benar ada orang berilmu yang memiliki sikap yang kasar, maka kau akan mengalami kesulitan. Mungkin ayahmu memiliki ilmu yang memadai. Tetapi kau tidak.”
Orang itu menunduk. Sementara itu Mahisa Murti bertanya, “Kenapa kau tidak mewarisi ilmu ayahmu?”
“Aku juga mencoba untuk melakukannya. Tetapi mungkin aku memang lamban sehingga aku memerlukan waktu yang lama untuk meningkatkan ilmu,” jawab orang itu.
l “Sementara itu ayahmu tergesa-gesa ingin melihat kau menjadi seorang yang ditakuti oleh orang-orang disekitarmu?”
Orang itu mengangguk.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kau tidak boleh larut dalam keadaan yang tidak menentu. Kau harus segera memilih landasan hidup yang sesuai dengan kemampuanmu.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat.”
“Kau belum mencoba. Berkatalah berterus terang kepada ayahmu,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun bertanya, “Apakah ayahmu ada di tempat keramaian?”
“Tidak,” jawab orang itu.
“Dimana?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Di rumah,” jawab orang itu.
“Aku akan menemui ayahmu,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu ragu-ragu. Dengan nada rendah ia berkata, “Ayahku sulit untuk diajak berbicara. Ia kasar dan barangkali kau harus berkelahi lagi. Tetapi ayahku memiliki kemampuan yang tinggi. Tidak seperti aku.”
“Mungkin ia bersikap lain kepadaku,” jawab Mahisa Murti. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau jangan tersinggung jika aku akan menunjukkan bahwa kau telah mandi di lumpur.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus membawa orang yang telah membuatnya basah kuyup itu pulang. Ketika mereka melewati tempat keramaian itu, Mahisa Murti sempat menemui Mahisa Pukat dan berkata, “Tunggu aku di sini. Jika pertunjukkan ini selesai dan aku belum datang, kembalilah ke tempat kita bermalam.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kau tidak memerlukan seorang kawan?” bertanya Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku akan pergi sendiri.”
“Tetapi berhati-hatilah,” berkata Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah mengikuti orang yang baru saja dikalahkannya itu. Ia sadar, bahwa orang tuanya tentu seorang yang berilmu tinggi, yang ingin melihat anaknya seperti dirinya sendiri. Namun ternyata bahwa anaknya berbeda dengan dirinya. Tingkat kemampuannya dan kecerdasannya tidak sama. Tetapi justru karena itu, maka anaknya selalu mengalami ketakutan.
Beberapa saat kemudian, maka mereka memang telah memasuki sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Mereka- pun kemudian telah naik ke pendapa. Dengan kasar Mahisa Murti mengetuk pintu rumah orang itu. Pemilik rumah itu terkejut. Tidak ada orang yang berani berlaku demikian. Anaknya pun tidak. Dengan hati-hati orang itu pergi ke pintu, kemudian membukanya. Tetapi demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti telah melemparkan anaknya laki-laki yang basah dan kotor karena lumpur itu ke kakinya.
“Ini anakmu,” geram Mahisa Murti.
Orang yang dilemparkan itu sama sekali tidak berniat untuk melawan. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena ayahnya seorang yang kasar, maka Mahisa Murti pun telah bertindak kasar pula. Orang itu terkejut. Ia melihat anaknya kemudian terbaring di lantai. Sekali ia menggeliat dan berusaha untuk bangkit. Tetapi ia telah terjatuh lagi.
“Setan kau. Kau apakan anakku?” geram orang itu.
“Ia telah berlaku kasar. Kami sama-sama menonton wayang topeng. Tetapi ia telah menantangku,” jawab Mahisa Murti.
“Tentu ada sebabnya,” jawab ayahnya.
“Tidak. Hanya karena ia berdiri dibelakangku. Aku tidak tahu kapan ia datang dan sejak kapan ia berdiri di belakangku. Yang aku tahu, ia merasa aku menghalangi penglihatannya dan kemudian menantangku berkelahi,” jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram.
“Tetapi anakmu ternyata tidak lebih dari tikus kecil. Aku kira ayahnya juga sebangsa tikus tanah,” geram Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram. Dengan garangnya ia berkata, “Aku akan membunuhmu.”
“Berlututlah dan minta maaf kepadaku atau kau juga akan mengalami nasib seperti anakmu,” bentak Mahisa Murti.
Orang itu tidak dapat menahan hati lagi. Ia sama sekali tidak pernah mendapat perlakuan seburuk itu. Karena itu, maka ia pun telah melangkahi tubuh anaknya dan berkata, “Jangan menyesal bahwa aku akan mengoyak mulutmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia berkata, “Kita akan bertempur di halaman.”
Mahisa Murti pun kemudian telah turun ke halaman. Orang tua itu tidak berbicara lagi. Ia pun langsung meloncat menyerang Mahisa Murti. Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia mengerti, bahwa orang tua itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari anaknya. Bahkan menurut pengakuan anaknya, ia sama sekali tidak mampu menyerap ilmu ayahnya yang dianggapnya terlalu tinggi.
Namun Mahisa Murti berhasil menghindari serangannya itu. Sambil meloncat ke samping, maka Mahisa Murti telah menjulurkan kakinya. Ternyata orang itu memiliki kemampuan gerak yang sangat tinggi, sehingga dengan cepat pula ia menangkis serangan kaki Mahisa Murti itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah saling menyerang. Namun Mahisa Murti tidak lagi bertempur dengan tenaga wadagnya sebagaimana ia mengalahkan anaknya, membiarkannya kehabisan tenaga dengan cara yang wajar. Menghadapi ayahnya yang memiliki kemampuan bergerak yang cepat sekali, Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya menghisap tenaga lawannya.
Mahisa Murti memang ingin menyelesaikannya dengan cepat, karena dengan demikian, orang tua itu akan semakin merasa dirinya kecil. Kecuali itu, ia tidak ingin Mahisa Pukat dan saudara-saudaranya yang lain menjadi cemas jika ia terlalu lama pergi.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Bahkan Mahisa Murti mulai mengagumi kemampuan orang itu. Agaknya ia telah menyerap ilmu yang khusus dapat membuatnya bergerak demikian cepatnya. Tubuhnya menjadi ringan sekali, seolah-olah tidak memiliki bobot sama sekali. Ia mampu meloncat tinggi-tinggi dan kemudian melayang menukik seperti seekor burung alap-alap menyambar buruannya.
Beberapa kali Mahisa Murti sempat menangkis serangan-serangan itu. Namun beberapa kali ia benar-benar dapat dikenai serangan orang tua itu. Ketika serangan orang tua itu mengenai punggungnya, Mahisa Murti hampir saja jatuh terjerembab. Kadang-kadang Mahisa Murti bahkan kehilangan lawannya dan tiba-tiba saja serangannya datang dari arah yang tidak diduganya.
Anak lawan Mahisa Murti itu menjadi berdebar-debar. Ia sudah memperingatkan bahwa ayahnya berilmu tinggi. Namun anak muda itu berniat untuk berbuat sesuatu bagi ayahnya. Ketika beberapa kali Mahisa Murti dapat dikenai oleh serangan-serangan ayahnya, maka ia menjadi cemas. Bahwa justru anak muda itulah yang dikalahkannya.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak ingin membinasakan lawannya, sehingga ia tidak melontarkan ilmunya yang dahsyat. Bahkan ia tidak memukul lawannya dengan kemampuan tertinggi ilmu Bajra Geni. Yang ditrapkan hanyalah ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya dalam setiap sentuhan.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, orang tua itu merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Begitu cepat ia merasa tenaganya menjadi susut. Ia tidak lagi mampu berloncatan, melenting dan bahkan bagaikan terbang. Tenaganya seakan-akan sama sekali tidak mampu mendukungnya lagi. Karena itu, maka orang itu pun telah meloncat mengambil jarak untuk menilai keadaan dirinya.
“Apakah kau sudah puas?” bertanya Mahisa Murti.
“Apa yang telah terjadi dengan diriku?” desis orang itu.
“Apa maksudmu?” justru Mahisa Murti bertanya lagi.
Orang itu termangu-mangu. Bahkan untuk sesaat ia menjadi bimbang. Tetapi ia sadar, bahwa ada yang tidak wajar terjadi pada dirinya. Dalam pada itu, anaknya telah berdiri beberapa langkah dari padanya. Ia melihat ayahnya menjadi gelisah. Bahkan nampak demikian letihnya setelah mengerahkan kemampuannya melawan anak muda itu.
“Ternyata anak muda itu memang berilmu sangat tinggi,” berkata anaknya di dalam hatinya.
Namun dalam kegelisahan itu ayahnya sempat berkata, “Apakah kau mengerti, apa yang telah terjadi padaku? Aku tidak pernah merasa begitu cepat kehilangan tenaga dan kemampuan. Tetapi kali ini aku tidak mampu bertempur melampaui beberapa langkah saja.”
Mahisa Murti tiba-tiba sikapnya telah berubah. Ia tidak lagi menjadi kasar dan garang. Dengan nada rendah ia berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Aku hanya ingin berbicara sedikit kepadamu.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Siapakah kau sebenarya.”
“Aku adalah seorang pengembara. Aku mengembara bersama beberapa orang saudaraku. Adikku tiba-tiba ingin menonton tontonan yang jarang sekali sempat dilihatnya. Tetapi di luar kehendakku aku telah terlibat dalam kesalah pahaman dengan anakmu. Kami memang berkelahi. Tetapi kemampuan anakmu sama sekali tidak memadai sikapnya yang kasar, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan,” berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ia seorang laki-laki. Ia harus bersikap seperti seorang laki-laki.”
“Apa yang harus dilakukan seorang laki-laki menurut pendapatmu? Berkelahi atau berbuat aneh-aneh. Kasar dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain,” bertaka Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Seorang laki-laki tidak boleh menunjukkan kelemahan sedikit pun dalam keadaan apa pun dan menghadapi persoalan apapun,” jawab orang itu.
“Apakah yang kau maksudkan dengan kelemahan?” bertanya Mahisa Murti, “apakah berbaik hati kepada orang lain, menolong dan melindungi, bersahabat dan cinta kasih termasuk kelemahan yang tidak boleh disandang oleh seorang laki-laki?”
Orang itu menjadi bingung. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Kau dapat merenungkannya. Di saat-saat mendatang kau dapat menentukan kembali sikapmu terhadap anakmu dan kepada orang lain. Kau harus menilai kembali pengertianmu tentang kelemahan bagi seorang laki-laki.”
Orang itu tiba-tiba saja mengangguk.
“Anakmu bukan seorang yang tepat untuk kau pahat menjadi seorang yang dapat kau sebut sebagai laki-laki menurut citramu. Tetapi pada sisi lain, ia akan dapat menjadi seorang yang baik bagi orang lain.”
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Marilah anak muda. Silahkan duduk.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu lama disitu. Tetapi ia ingin berbicara dengan orang itu tentang anaknya serba sedikit. Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian telah duduk di pendapa rumah itu.
Mahisa Pukat yang masih ada di halaman rumah yang sedang menyelenggarakan keramaian itu memang menjadi gelisah. Setiap kali ia berpaling memandangi regol halaman. Namun Mahisa Murti masih belum nampak datang. Mahisa Amping sendiri sudah melupakan apa yang telah terjadi atas dirinya. Meskipun sekali-sekali ia teringat juga kepada Mahisa Murti, namun ia lebih tertarik kepada tontonan yang disaksikannya.
Mahisa Semu lah yang kemudian mendekati Mahisa Pukat sambil bertanya, “Apakah Mahisa Murti belum datang?”
“Aku juga menjadi gelisah,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku akan mencarinya,” berkata Mahisa Semu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng, “Kita tidak tahu ke mana ia pergi. Sebaiknya kita menunggu sejenak. Jika pertunjukkan ini mendekati akhirnya dan Mahisa Murti belum kembali, aku akan mencarinya.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Wantilan tengah mengawasi Mahisa Amping yang sudah berada di paling depan lagi. Di antara anak-anak yang sebagian sudah tertidur di bibir pendapa. Namun sekali-sekali Mahisa Amping juga masih saja bertanya apakah Mahisa Murti sudah kembali.
“Ia akan segera kembali,” jawab Wantilan.
Mahisa Amping segera berada di antara anak-anak muda itu kembali. Namun setelah menunggu beberapa saat, sebelum pertunjukkan itu berakhir, maka Mahisa Murti benar-benar telah kembali. Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Murti melangkah memasuki regol halaman itu pun menarik nafas dalam-dalam.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Sedikit pembicaraan,” jawab Mahisa Murti yang sempat berceritera sedikit tentang orang yang kemudian telah menyadari kesalahannya dengan memaksakan kehendaknya kepada anaknya.
“Syukurlah,” desis Mahisa Pukat, “kami di sini sudah menjadi gelisah.”
“Bukankah pertunjukkan belum berakhir?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pertunjukkan memang belum selesai. Tetapi ia memang benar-benar menjadi gelisah. Karena itu, maka jawab Mahisa Pukat, “Rasa-rasanya aku sudah sangat lama menunggu.”
Mahisa Murti tertawa pendek. Tetapi ia pun kemudian telah bertanya, “Dimana Mahisa Amping?”
“Ia sudah kembali berada didepan. Dibibir pendapa bersama dengan anak-anak yang lain,” jawab Mahisa Pukat.
“Biarlah ia menonton pertunjukkan yang jarang dilihatnya sampai selesai,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya tidak tahan berdiri terlalu lama, sementara mereka tidak dapat melihat dengan leluasa karena orang-orang yang berganti-ganti, datang dan pergi, bahkan sekali-sekali mendesak mereka ke samping dan bahkan kebelakang. Karena itu, maka keduanya pun telah bergeser dan bahkan duduk didekat regol halaman setelah mereka memberitahukan kepada Mahisa Semu.
“Kau tidak senang menonton tari topeng?” bertanya Mahisa Semu.
“Bukannya tidak senang, tetapi aku memang ingin beristirahat,” berkata Mahisa Murti.
Sambil duduk di sebelah regol keduanya sempat memesan wedang jahe yang dapat membuat tubuh mereka menjadi segar. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah menunggu Mahisa Amping yang menonton di paling depan. Apalagi karena Mahisa Semu dan Wantilan sendiri adalah orang-orang yang senang akan tontonan seperti itu.
Menjelang pagi, tontonan itu baru selesai. Ketika orang-orang meninggalkan tempat pertunjukkan, maka beberapa orang anak masih saja tertidur di bibir pendapa. Namun Mahisa Amping tidak tertidur. Bahkan ia sama sekali tidak merasa mengantuk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setelah membayar minuman mereka, telah melangkah perlahan-lahan keluar regol bersama arus orang yang menyesak di pintu gerbang. Namun, akhirnya kelima orang itu pun telah berada di jalan. Mereka berjalan bersama-sama dengan orang-orang yang keluar dari halaman itu kembali pulang ke rumah masing-masing. Namun kelima orang itu tidak pulang kerumah mereka. Mereka telah berbelok melalui lorong-lorong sempit menuju ke sebuah padang yang telah mereka persiapkan sebagai tempat penginapan mereka.
Tetapi Mahisa Amping tidak mengeluh. Ia sempat berceritera tentang pertunjukkan yang dilihatnya. Ternyata Mahisa Amping tidak begitu jelas jalan ceriteranya. Tetapi ia senang melihatnya.
Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, “Sebentar lagi langit akan menjadi merah. Pergunakan sisa malam ini sebaik-baiknya Amping.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata pula, “Tidurlah meskipun hanya sebentar bersama Mahisa Semu dan Wantilan.”
“Apakah kalian tidak mengantuk?” bertanya Wantilan.
“Kami sempat tidur bersandar dinding di sebelah regol sambil menikmati wedang jahe,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan tidur barang sejenak.”
Ketiga orang itu pun kemudian telah mencari tempat masing-masing untuk berbaring. Ternyata Mahisa Amping adalah justru yang terakhir dapat memejamkan matanya. Ia masih saja membayangkan beberapa orang penari yang membuatnya menjadi kagum. Bagaimana penari itu menari perang dengan pedang dan perisai ditangan.
Tetapi Mahisa Amping ternyata telah terlambat bangun. Ketika semuanya sudah berbenah diri, maka Mahisa Amping pun sedang membuka matanya. Ia memang terkejut bahwa sinar matahari ternyata telah menyentuh tubuhnya. Ketika kemudian ia bangkit, ia melihat keempat saudaranya yang lain sudah duduk bercakap-cakap.
“Tidurmu nyenyak sekali,” berkata Mahisa Murti, “apakah kau bermimpi menjadi seorang penari topeng?”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berdiri sambil menggeliat. Tanpa mengucapkan kata-kata ia pun telah pergi ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, mereka sudah siap. Namun Mahisa Amping masih sering nampak merenung. Ternyata yang ditontonnya itu memberikan kesan yang dalam di hatinya.
“Apakah kita sudah siap untuk berangkat?” bertanya Mahisa Murti.
Semuanya mengangguk kecil. Mahisa Amping pun mengangguk pula. Namun sebenarnyalah perutnya merasa lapar, justru karena hampir semalam suntuk ia terjaga. Namun agaknya Mahisa Pukat mengerti keadaan anak itu. Apalagi setiap kali Mahisa Amping mengusap perutnya yang bagaikan gemericik.
“Pertama kali, kita akan mencari sebuah kedai,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu dan Wantilan tertawa. Namun Mahisa Amping hanya menundukkan kepalanya saja. Sejenak kemudian, kelima orang itu telah meninggalkan tempatnya. Mereka menyusuri jalan ditengah-tengah bulak panjang menuju kesebuah padukuhan yang cukup besar.
Namun tiba-tiba Mahisa Amping yang berjalan di paling depan telah terhenti dan hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apa yang terjadi?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Banyak orang berkerumun di pinggir jalan,” desis Mahisa Amping.
“Kenapa dengan orang yang berkerumun?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apakah kita harus berhenti lagi sehari atau dua?” desis anak itu.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Bukankah baru saja kau salah tebak. Kemarin ketika kau memanjat, kau melihat orang berkerumun. Ternyata bukan apa-apa, justru semalam ada tontonan di tempat itu. Dan kita tidak perlu berhenti satu atau dua hari. Kita sempat minum wedang jahe dan membeli makanan seberapa kita inginkan.”
“Tetapi terjadi juga sesuatu dengan kakang Mahisa Murti,” berkata Mahisa Amping.
“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu sesuatu. Jika kakang Mahisa Murti tidak dapat mengatasi persoalan yang dihadapinya, maka kita memang akan tertahan,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti pun tertawa. Katanya, “Ternyata kau benar. Sampai sekarang kita menjumpai sekerumunan orang, maka tentu akan terjadi masalah yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Tetapi bukankah kita memang sudah bertekad untuk melakukannya?”
“Ya,” jawab Mahisa Amping, “masalahnya bukan kita lakukan atau tidak kita lakukan. Tetapi kebenaran dugaanku.”
Yang mendengar jawaban itu justru tertawa. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan. Namun dengan heran Mahisa Amping memandang mereka berganti-ganti. Kenapa mereka justru mentertawakannya. Tetapi Mahisa Amping kemudian tidak menghiraukan mereka lagi. Ia berjalan terus di paling depan.
Ketika Mahisa Amping berpaling, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di belakangnya tersenyum. Ternyata orang-orang yang berkerumun itu adalah orang-orang yang sedang memperbaiki parit yang longsor. Beberapa saat setelah mereka melewati sekelompok orang yang sedang bersiap-siap untuk mulai bekerja itu, Mahisa Murti bertanya sambil tertawa, “Apakah kita dihambat oleh mereka.”
“Hanya satu kebetulan,” jawab Mahisa Amping tanpa berpaling.
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka. Padukuhan yang agak besar, yang tentu cukup ramai. Apalagi melihat jalan yang cukup besar yang mereka lalui, juga banyak dilalui orang.
Sebenarnyalah ketika mereka mengikuti jalan itu, ternyata mereka menuju ke sebuah pasar yang terdapat di tengah-tengah padukuhan itu. Pasar yang cukup ramai yang dikunjungi oleh orang-orang dari padukuhan lain.
“Amping,” berkata Mahisa Murti, “di sana juga banyak orang yang berkerumun.”
“Itu pasar,” jawab Mahisa Amping, “meskipun demikian, pasar juga sering menghambat perjalanan kita.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kadang-kadang memang demikian.”
Yang kemudian mereka cari adalah sebuah kedai. Di sebelah pasar itu memang terdapat beberapa buah kedai yang berjajar di pinggir jalan.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau memerlukannya, semalam suntuk kau menonton pertunjukkan itu, sehingga kau telah hampir tidak tidur sama sekali. Karena itu, maka kau menjadi lapar dan sekarang, kita memasuki salah satu dari kedai-kedai itu.”
“Yang mana?” justru Mahisa Amping lah yang bertanya.
“Yang mana saja yang kau sukai,” jawab Mahisa Pukat.
“Yang ditengah,” jawab Mahisa Amping.
“Yang mana. Ada beberapa kedai yang ditengah,” jawab Mahisa Semu.
“Yang mana aja,” jawab anak itu.
Ternyata Mahisa Amping tidak menunggu pertanyaan-pertanyaan lagi. Ia pun kemudian telah mendahului masuk ke dalam sebuah kedai yang terhitung besar di antara beberapa buah kedai yang berjajar di pinggir jalan itu. Sejenak kemudian kelima orang itu telah memesan minuman dan makanan mereka masing-masing. Sesuai dengan kesukaan mereka sendiri-sendiri.
Sementara itu, sambil menunggu pesanan mereka, Mahisa Amping telah melangkah ke pintu. Di depan pintu ia melihat-lihat orang yang lalu lalang, dan keramaian di pasar di hadapannya. Ketika dua orang berkuda lewat di depan kedai itu, Mahisa Amping sempat mengangguk-angguk, ia kagum melihat pakaian dan perhiasan di dada kedua orang itu. Bahkan timangnya pun diperlihatkan di sela-sela bajunya justru karena terbuat dari emas bertretes berlian.
“Bagus sekali,” desis Mahisa Amping. Namun anak itu tidak bergeser dari tempatnya. Ia sadar, bahwa saudara-saudaranya tentu tidak mengijinkannya meninggalkan kedai itu dan berkeliaran sendiri di jalan yang ramai itu atau bahkan di pasar.
Tetapi ia sempat melihat kedua orang yang berpakaian sebagaimana orang-orang kaya itu singgah di kedai tepat di sebelah kedai tempat mereka berhenti memesan makanan dan minuman. Namun demikian orang itu hilang di dalam kedai sebelah, maka Mahisa Amping telah bergeser mundur. Tiba-tiba saja keningnya telah berkerut.
Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Anak itu sendiri tidak tahu apa sebabnya. Namun demikian kedua orang yang nampaknya kaya raya itu memasuki kedai sebelah, ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya. Karena itu, maka ia pun telah menemui saudara-saudaranya. Dengan suara bergetar ia telah menceriterikan apa yang telah dilihatnya.
Mahisa Murti menepuk bahu anak itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita.”
“Tetapi orang itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Duduklah. Minumanmu hampir siap. Sebentar lagi kita akan dapat meneguk minuman yang baru disiapkan itu.”
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ada dorongan padanya untuk kembali ke pintu.
“Kasihan anak itu,” desis Mahisa Murti, “ia selalu dibayangi oleh kecurigaan, kecemasan dan gambaran-gambaran yang menegangkan. Karena setiap kali ia menjadi curiga. Demikian juga ketika ia melihat dua orang yang mengenakan pakaian yang agak menyolok dan bernilai tinggi, maka jantungnya pun telah tergetar. Ia mulai membayangkan orang-orang yang akan merampoknya atau melakukan tindak kekerasan yang lain.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Wantilan berkata, “Disepanjang perjalanan dan pengembaraan ini, anak itu terlalu sering melihat kekerasan sehingga tidak ada kemungkinan lain yang terjadi selain kekerasan.”
Mahisa Pukat pun kemudian menyahut, “Kita memang harus segera sampai ke padepokan. Dengan demikian kita akan dapat beristirahat. Mudah-mudahan kita belum terlambat sehingga gambaran-gambaran yang buram dalam kehidupan ini tidak terlanjur terpahat di dinding jantungnya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Pukat dan Wantilan. Namun sementara itu, Mahisa Semu telah bangkit pula sambil bergeremang, “begitu lama minuman itu?”
Ia tidak menunggu jawaban siapapun. Namun ia pun telah melangkah ke pintu pula dan berdiri di sebelah Mahisa Amping. “Di mana orang yang kau katakan itu?” bertanya Mahisa Semu.
“Di kedai sebelah. Rasa-rasanya sesuatu akan terjadi,” berkata Mahisa Amping.
“Tidak Amping. Tidak akan terjadi apa-apa. Marilah, minuman kita sudah siap,” ajak Mahisa Semu.
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah telah dihidangkan minuman dan makanan yang dipesannya. Karena itu, Mahisa Semu pun telah membimbing Mahisa Amping untuk masuk dan duduk di tempatnya. Sementara pesanannya telah tersedia.
“Makanlah,” desis Mahisa Murti, “jangan hiraukan apa-apa. Kita haus dan lapar.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang haus dan lapar. Namun sambil minum dan makan, Mahisa Amping seakan-akan tengah menunggu sesuatu yang akan terjadi. Setiap kali ia berpaling ke pintu.
“Kenapa kau nampak ragu-ragu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ada sesuatu yang mengganggu perasaanku,” jawab anak itu.
“Apa?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Amping. Namun selagi anak itu kemudian meneguk minumannya, maka terdengar keributan yang bagaikan meledak di kedai sebelah.
Orang-orang yang berada di kedai itu pun menjadi gugup. Mereka segera bangkit berdiri dan berlari-larian keluar. Demikian pula Mahisa Amping. Ia adalah orang pertama yang sampai di luar pintu. Beberapa orang bahkan menjadi ketakutan dan meninggalkan tempat itu tanpa membayar lebih dahulu. Namun ada pula yang ingin tahu apa yang telah terjadi.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa Amping memang merasa heran. Ternyata panggraita anak itu demikian tajamnya. Seakan-akan ia mengetahui apa yang akan terjadi. Sementara itu, mereka menyaksikan kedua orang yang mengenakan timang emas tretes berlian itu sedang bertempur melawan empat orang yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar. Nampaknya keempat orang itu adalah orang-orang yang berniat jahat dengan merampas barang-barang berharga yang dikenakan oleh kedua orang itu.
Beberapa orang telah berkerumun pada jarak yang cukup. Kedua orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun mereka harus bertempur melawan empat orang, namun kedua orang itu nampaknya akan mampu bertahan. Beberapa orang yang tidak tahan lagi melihat perkelahian itu memang sudah meninggalkan tempatnya atau berdiri di belakang orang lain. Bersembunyi sambil mengintip.
Mahisa Amping berdiri tegak seperti patung. Ia telah melihat apa yang dicemaskannya. Dua orang itu harus berkelahi melawan empat orang yang tubuhnya bagaikan tubuh raksasa. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun kedua orang itu masih tetap mampu bertahan.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menyaksikan pertempuran itu dengan saksama. Kedua orang yang memakai perhiasan yang serba mahal dan pakaian yang bagus itu tentu dua orang seperguruan. Mereka dapat mengenali unsur-unsur gerak keduanya yang bersumber dari dasar yang sama meskipun masing-masing memiliki jalur perkembangan yang agak berbeda.
Sementara itu, keempat orang yang bertubuh raksasa itu masing-masing masih belum memiliki ilmu setingkat dengan kedua orang itu. Tetapi karena mereka berjumlah dua kali lipat, maka keempat orang itu mampu bertempur untuk beberapa lama. Namun akhirnya, keempat orang itu semakin lama semakin nampak mengalami kesulitan. Kedua orang itu semakin lama justru menjadi semakin garang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan demikian agaknya mereka tidak usah ikut campur. Kedua orang itu mampu mempertahankan dirinya dari gangguan orang-orang yang menginginkan harta bendanya yang sangat berharga itu.
“Seharusnya mereka tidak mengenakan pakaian yang dapat menarik perhatian orang lain seperti itu,” berkata Mahisa Murti, “apalagi dalam sebuah perjalanan panjang.”
“Kadang-kadang orang menganggap bahwa barang-barang itu sudah dibelinya dengan mahal. Dengan demikian maka barang-barang itu sebaiknya dipakainya sehingga pemilikannya-atas barang-barang itu ada artinya,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi ternyata barang-barang itu telah mengundang kesulitan. Untuk ia memiliki kemampuan untuk mempertahankannya,” berkata Mahisa Murti pula.
“Justru karena itu,” sahut Mahisa Pukat, “kedua orang itu tidak merasa takut seandainya ada orang yang ingin merampas miliknya karena mereka akan mampu melindunginya.”
Mahisa Murti tidak berbicara lagi. Diperhatikannya kedua orang yang semakin lama semakin mendesak lawannya. “Syukurlah,” berkata Mahisa Murti, “marilah, kita dapat meneruskan menikmati makanan dan minuman kita. Kita berharap bahwa perkelahian itu akan segera selesai.”
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil bertanya, “Kakang berdua menebak siapakah yang akan menang?”
“Kedua orang itu,” jawab Mahisa Pukat, “keempat orang itu akan gagal dan bahkan akan tertangkap.”
“Menilik kemampuan mereka agaknya memang demikian. Tetapi sebenarnya aku berharap keempat orang itulah yang menang,” berkata Mahisa Amping.
“Belum tentu yang jumlahnya banyak itu akan menang,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau sudah sering melihat dan kau tentu juga dapat menilai perkelahian itu karena semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa keempat orang itu telah terdesak.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Namun pemilik kedai yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa Murti berdesis di luar sadarnya, “Setan itu akan terlepas lagi.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ada tanggapan yang agak aneh dihatinya ketika ia mendengar desah pemilik kedai itu. Karena itu ketika kemudian pemilik kedai itu melangkah masuk kembali ke dalam kedainya, maka Mahisa Murti telah mengikutinya.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku tidak mengenal mereka. Tetapi menurut dugaanku, kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu sedang mempertahankan harta miliknya dari orang yang berusaha merampoknya.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun Mahisa Murti telah mendesaknya, “Tetapi agaknya ada tanggapan lain ketika aku mendengar desah Ki Sanak, seolah-olah bahwa seseorang yang menjadi buruan akan terlepas lagi dari tangan pemburunya.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Aku tidak berkata apa-apa.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku katakan, aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan semula aku mengira akan terjadi perampokan di sini. Untunglah bahwa kedua orang yang dirampok itu berhasil mempertahankan diri.”
Tetapi pemilik kedai itu kemudian menggeleng sambil berkata, “Tidak Ki Sanak. Keduanya tidak mengalami perampokan.”
“Jadi apa yang telah terjadi?” desak Mahisa Murti.
Orang itu merenung sejenak. Namun ia pun menjawab, “Aku tidak tahu apa-apa.”
“Jadi kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku memang tidak tahu apa-apa,” jawab orang itu.
“Baiklah. Jika demikian aku akan bertanya kepada kedua orang itu setelah mereka memenangkan perkelahian. Apakah kira-kira maksud Ki Sanak dengan mengatakan bahwa setan itu akan terlepas lagi,” berkata Mahisa Murti.
“Jangan, jangan Ki Sanak,” cegah orang itu.
“Apa salahnya,” jawab Mahisa Murti.
“Aku akan mengalami kesulitan,” jawab orang itu.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi agaknya ia tidak dapat berbuat lain. Apalagi karena ancaman Mahisa Murti untuk menyampaikannya kepada kedua orang itu. Untuk beberapa saat orang itu menjadi tegang.
Sementara itu, perkelahian di luar kedai itu masih berlangsung. Empat orang yang bertubuh raksasa itu memang sulit untuk dapat mengatasi kemampuan yang tinggi dari kedua orang lawan mereka, sehingga semakin lama mereka menjadi semakin terdesak.
“Apa kau benar-benar tidak mau mengatakannya?” bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
Pemilik kedai itu memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia terpaksa menjawab, “Justru keduanyalah yang ingin kami tangkap.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu masih saja ragu-ragu.
“Jadi keduanya tidak sedang dirampok oleh keempat orang itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak,” jawab pemilik kedai itu.
“Jadi?” desak Mahisa Murti.
“Setiap hari pasaran seperti ini, saat pasar itu menjadi paling ramai selama sepekan, kedua orang itu tentu datang. Semua orang harus menyediakan apa yang dimintanya. Biasanya berupa uang dan besarnya berapa saja sesuka hati mereka. Tidak seorang pun dapat mencegahnya sehingga kami benar-benar selalu dibayangi oleh ketegangan di setiap hari-hari pasaran,” jawab pemilik kedai itu.
“Kenapa orang-orang yang berjualan di pasar itu tidak berpindah ke pasar yang lain saja?” bertanya Mahisa Murti.
“Pasar ini adalah pasar yang telah sekian lama memberikan kehidupan bagi kami. Bagi kami, yang berjualan di pasar ini, akhirnya tidak mempunyai pilihan lain daripada memenuhi permintaan keduanya daripada kami tidak mendapatkan apa-apa sama sekali,” jawab pemilik kedai itu.
“Apakah yang kau katakan itu benar?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Aku berkata sebenarnya,” jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menanyakan kepada kedua orang itu, apakah ia benar-benar berbuat seperti itu.”
“Ki Sanak,” berkata pemilik kedai itu, “apakah keuntunganmu dengan berbuat demikian? Jika hal itu sekedar sebagai satu cara agar kau tidak usah membayar harga makanan dan minuman yang telah kau beli, maka kau dapat melakukannya tanpa berbuat seperti itu. Kecuali jika kau memang ingin melihat aku dibantai oleh kedua orang itu di sini.”
Mahisa Murti justru menjadi termangu-mangu. “Baiklah. Jika aku harus mati hari ini karena kau, biarlah aku mengalaminya. Ternyata bahwa yang akhirnya menyebabkan kematianku bukan kedua orang itu sendiri.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia telah membuat pemilik kedai itu menjadi sangat ketakutan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Seandainya keempat orang itu berhasil menangkapnya, apa yang akan mereka lakukan?”
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia bertanya, “Untuk apa kau bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin mengetahuinya,” jawab Mahisa Murti.
“Mereka adalah orang-orang yang telah diminta bantuannya oleh Ki Bekel yang mendapat pengaduan kami. Jika kedua orang itu tertangkap, maka mereka akan dihadapkan kepada Ki Demang untuk diadili. Hukuman bagi keduanya tentu hukuman yang sangat berat, karena keduanya pernah melakukan pembunuhan di sini dan juga di tempat lain,” jawab pemilik kedai itu.
“Kenapa orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu tidak ada yang membantu? Jika mereka bersama-sama membantu menangkap orang itu, maka keduanya tentu akan tertangkap. Sementara mereka tidak akan dapat mengenali wajah-wajah kalian seorang demi seorang,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi pemilik kedai itu menjawab, “Keduanya sudah mengenali kami semuanya.”
Mahisa Murti pun kemudian telah meninggalkan pemilik kedai itu. Pertempuran masih berlangsung di luar. Keempat orang itu dengan menghentakkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Namun ternyata mereka justru semakin terdesak. Serangan-serangan kedua orang itu memang sangat berbahaya. Tangan dan kaki mereka berganti-ganti mengenai tubuh lawan-lawan mereka yang bertubuh raksasa.
Bahkan tubuh-tubuh raksasa itu setiap kali telah terdorong dan bahkan beberapa kali mereka hampir saja kehilangan keseimbangan. Pada saat-saat yang paling gawat, maka keempat orang itu telah menarik senjata mereka. Golok yang besar. Pedang, parang dan yang seorang bersenjata kapak.
Tetapi pemilik kedai yang kemudian berdiri dibelakang Mahisa Murti itu berdesis, “Senjata-senjata orang-orang yang akan menangkap mereka itu hanya akan mempercepat kematian mereka.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekati seorang yang lain, yang melihat dari sudut kedai sebelah. Ternyata orang itu adalah pemilik kedai sebelah. Dengan sedikit mengancam Mahisa Murti akhirnya juga mendapat keterangan yang sama tentang kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu.
Dengan demikian, maka barulah Mahisa Murti yakin, bahwa kedua orang itu memang orang-orang yang dibenci di tempat itu. Tetapi juga ditakuti. Apalagi keduanya benar-benar pernah melakukan pembunuhan di tempat itu dan dibeberapa tempat yang lain. Karena itu, maka sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun telah mendekati Mahisa Pukat dan membisikkan sedikit keterangan tentang kedua orang laki-laki yang berpakaian dan memakai perhiasan mahal itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berdesis, “Aku memang melihat keduanya mempergunakan unsur-unsur gerak yang kasar. Aku mulai curiga dengan sikap mereka itu.”
“Ternyata dugaanku atas mereka salah,” berkata Mahisa Murti.
“Aku pun semula menganggap bahwa keduanya sedang dirampok,” jawab Mahisa Pukat.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka memperhatikan perkelahian yang menjadi semakin berat sebelah. Keempat orang itu hampir menjadi tidak berdaya. Sekali-sekali ada di antara mereka yang terlempar jatuh terbanting. Meskipun dengan susah payah orang itu segera bangkit kembali, namun mereka tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh tenaga. Tulang-tulang mereka menjadi semakin sakit. Bahkan seakan-akan menjadi retak di beberapa tempat.
Apalagi ketika keempat orang itu sudah bersenjata. Maka di tubuh mereka mulai terdapat goresan-goresan. Kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu pun kemudian telah bersenjata pula. Senjata mereka ternyata dapat bergerak lebih cepat dari keempat pucuk senjata orang-orang yang bertubuh raksasa itu.
Namun keempat orang yang semakin terdesak itu ternyata benar-benar bertanggung jawab atas kesanggupannya. Nampaknya mereka akan bertempur sampai kemungkinan terakhir yang dapat mereka lakukan. Agaknya mereka sama sekali tidak berniat menyingkir dari kesanggupan yang telah diberikan.
Tetapi menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, keempat orang itu tentu benar-benar akan terbunuh. Setidak-tidaknya mereka akan terluka parah atau bahkan mengalami cacat sumur hidup mereka. Kedua orang yang nampaknya seperti orang-orang terhormat itu, mampu berbuat kasar dan bahkan keji. Senjata mereka yang memiliki kemampuan gerak melampaui senjata keempat lawannya, benar-benar telah mengoyak tubuh-tubuh raksasa itu silang menyilang.
Keempat orang itu hampir tidak berdaya sama sekali. Kematian memang sudah berada di ambang pintu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu sejenak. Mereka menjadi bingung. Apakah mereka benar-benar tidak ingin lagi mencampuri persoalan orang lain setelah mereka menyatakan laku yang mereka jalani telah selesai.
Tetapi, akhirnya keduanya memang tidak dapat berdiam diri. Menjalani laku atau tidak, tetapi keduanya tidak dapat melihat ketidak adilan itu terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa Pukat sambil berkata, “Kita akan melibatkan diri.”
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Ia pun segera meloncat mendekati arena. Sementara Mahisa Murti sempat berpesan kepada Wantilan, “jaga Amping.” Tanpa menunggu jawaban, maka Mahisa Murti pun telah berlari pula ke arena.
Kedua orang yang hampir menyelesaikan pertempuran itu terkejut. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekati mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak membantu kami. Tetapi kami berdua nampaknya akan mampu menyelesaikan persoalan kami sendiri. Keempat orang ini tidak akan berhasil merampok kami.”
“Apakah kau kira kami akan membantu kalian?” justru Mahisa Pukat lah yang bertanya.
“Jadi apa yang akan kalian lakukan? Di pihak manakah kalian berdiri?” orang itu pun ganti bertanya.
“Jangan ingkar Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “apa saja yang pernah kau lakukan selama ini di sini? Bukankah timang yang kau pakai itu hasil pemerasan yang telah kau lakukan bertahun-tahun? Semua usaha untuk mencegah tingkah laku kalian ternyata gagal. Bahkan kali ini usaha untuk menangkap kalian pun nampaknya akan gagal.”
Kedua orang itu menggeram. Seorang di antaranya berkata lantang, “jangan mencampuri persoalan orang lain.”
Sementara itu, salah seorang di antara keempat orang itu berkata, “Jika kami gagal melaksanakan kesanggupan kami, biarlah kami mati di arena ini.”
“Kami berdua ada di pihak kalian,” berkata Mahisa Pukat.
“Jangan korbankan dirimu. Biar kami saja yang menjadi korban kali ini. Tetapi itu adalah karena kesanggupan kami. Bagaimanapun juga kami mempunyai harga diri,” jawab seorang yang lain dari orang-orang yang bertubuh raksasa itu.
“Maaf Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “soalnya bukan sekedar harga diri. Tetapi kedua orang itu harus dihentikan segala tingkah lakunya. Kalau perlu biarlah kematian menghentikannya.”
“Persetan kau,” teriak seorang di antara kedua orang itu, “jadi Kau juga ingin mati.”
“Mungkin kau dapat mengalahkan mereka berempat. Tetapi tidak kami berenam,” jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi senjata mereka- pun semakin cepat berputar. Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera memasuki arena pertempuran. Dengan demikian, maka kedua orang itu memang harus membagi diri. Masing-masing menghadapi tiga orang. Dua orang di antaranya yang bertubuh raksasa itu sudah hampir tidak berdaya sama sekali.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat memperkecil peranan mereka. Biarlah keempat orang itu harga dirinya tetap tidak hancur di mata orang-orang yang semula mempercayainya. Karena itu, maka baik Mahisa Murti, maupun Mahisa Pukat justru lebih banyak berusaha mengganggu dan merampas perhatian lawan-lawannya, sehingga dengan demikian memberi kesempatan kepada orang-orang yang bertubuh raksasa itu untuk menyerang mereka.
Dengan kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keempat orang itu merasa bahwa beban mereka menjadi jauh lebih ringan. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang diburunya itu tidak lagi menyentuh kulit mereka dan melukai mereka. Perhatian kedua orang itu justru lebih banyak tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik senjata mereka, maka kedua orang itu pun sudah mulai merasa gentar. Pedang itu bukan pedang kebanyakan. Warnanya yang agak kehijau-hijauan telah menunjukkan nilai dari sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu memang menjadi semakin terdesak. Tetapi keempat orang yang bertubuh raksasa itu rasa-rasanya memang sudah tidak bertenaga lagi. Tangan mereka sudah menjadi terlalu lemah untuk mengangkat dan mengayunkan senjata-senjata mereka yang besar. Sementara darah semakin banyak mengalir dari tubuh mereka.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat semakin banyak. Bahkan kemudian Mahisa Murti telah berkata, “Jika kalian membawa obat bagi luka-luka kalian, maka beristirahatlah. Obati luka-luka itu. Nanti kalian akan dapat bertempur kembali.”
“Tetapi mereka akan melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak. Mereka tidak akan melarikan diri, karena mereka bukan orang-orang yang licik,” jawab Mahisaa Murti.
“Persetan,” geram kedua orang itu hampir bersamaan.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun ternyata mereka pun telah mencoba bergeser menjauhi arena. Sejenak mereka masih berdiri dengan senjata yang siap terayun. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang anak muda itu tidak mengalami terlalu banyak kesulitan, maka mereka pun telah melangkah menepi dan tanpa dapat mengingkari kenyataan mereka menyaksikan, bahwa anak-anak muda itu justru mampu mengimbangi kedua orang yang berilmu tinggi itu...