PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 88
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 88
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat memang tidak mempunyai pilihan lain. Keadaan keempat orang yang bertubuh raksasa itu memang tidak memungkinkan lagi untuk tetap mempertahankan kewibawaan mereka. Karena itu, maka mereka memang harus melepaskan kesediaan mereka untuk menangkap kedua orang itu.
Sementara itu kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu mulai mengumpat-umpat. Ternyata anak-anak muda itu benar-benar mampu mengimbangi kemampuan ilmu pedang mereka. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang itu telah berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka.
Tetapi betapa pun ilmu mereka menjadi semakin tinggi, namun kedua anak muda itu mampu mengimbanginya. Sehingga karena itu, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi pertempuran yang sulit untuk diamati oleh orang-orang kebanyakan. Keempat orang yang sempat mengobati luka-lukanya itu pun kemudian telah beranjak mendekati arena pertempuran lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha mencegah mereka berempat.
“Beristirahatlah lebih dahulu,” berkata Mahisa Murti.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun menurut penilaian mereka, pertempuran itu memang menjadi semakin rumit. Tetapi bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kedua orang itu belum memaksanya untuk untuk mempergunakan ilmunya. Mereka masih mempergunakan kemampuan olah kanuragan yang sewajarnya.
Meskipun demikian, kedua orang yang sedang menjadi buruan itu sudah mengalami banyak kesulitan. Bahkan seorang di antara mereka telah mulai tersentuh senjata Mahisa Pukat. Meskipun hanya segores kecil di lengannya.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “kau tidak akan diadili di sini. Tetapi kau akan dibawa menghadap Ki Buyut agar kau mendapat perlakuan sewajarnya.”
Lawan Mahisa Pukat itu pun mengumpat. Katanya, “Kau agaknya memang telah memilih mati. Umurmu masih muda. Tetapi kau telah menjadi jemu untuk tetap hidup.”
Tetapi begitu mulutnya terkatup, pedang Mahisa Pukat telah menyentuh kulitnya lagi. Sekali lagi orang itu mengumpat. Tetapi luka-luka memang telah tergores di kulitnya dan ia tidak dapat mengingkarinya lagi.
Sementara itu Mahisa Murti telah berusaha untuk menyentuh tubuh lawannya. Dengan hati-hati ia berusaha untuk menggores tubuh lawannya dengan pedangnya. Mahisa Murti tidak ingin melukai lawannya terlalu parah. Karena itu, maka ia memang harus berhati-hati.
Ketika lawan Mahisa Murti itu telah terluka pula, maka kedua orang itu pun merasa bahwa mereka benar-benar berada dalam bahaya. Mereka mulai melihat satu kenyataan, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ternyata di sekitar arena pertempuran itu, meskipun agak jauh masih juga terdapat beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu pula. Beberapa orang pemilik kedai yang berjajar di pinggir jalan di sebelah pasar itu. Beberapa orang pedagang yang berjualan di dalam pasar dan beberapa orang lainnya. Namun pada umumnya mereka tidak berani menyaksikan pertempuran itu di tempat terbuka. Bagaimanapun juga kedua orang yang akan ditangkap itu adalah orang yang ditakuti.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping justru melangkah semakin dekat. Mereka sudah dapat memperhitungkan akhir dari pertempuran itu. Bahkan menurut Mahisa Semu dan Wantilan, kedua orang itu masih belum dapat disebut orang-orang berilmu tinggi.
Keempat orang bertubuh raksasa yang ternyata tidak mampu mengalahkan kedua orang itu, berdiri termangu-mangu. Mereka pun harus mengakui kenyataan itu. Betapapun mereka mencoba untuk mempertahankan harga diri, namun mereka tidak dapat ingkar bahwa kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan. Mereka berdua nampaknya memang akan dapat menguasai kedua orang yang akan mereka tangkap tetapi gagal itu.
Namun, sementara itu pertempuran masih berlangsung, Mahisa Murti sudah menggoreskan pedangnya di tubuh lawannya. Langsung menyilang dadanya meskipun tidak terlalu dalam. Tetapi darah sudah mulai menitik dari sepanjang luka yang menyilang itu.
Pertempuran pun telah menjadi berat sebelah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera berhasil menguasai lawan masing-masing, sehingga kedua orang yang berpakaian dan mengenakan perhiasan yang mahal itu tidak akan mampu mengadakan perlawanan lebih lama lagi.
Kedua orang itu pun menyadari akan hal itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berdesis sambil meloncat mengambil jarak, “Ki Sanak. Apakah kita tidak dapat berbicara dengan baik?”
“Apakah kalian menyerah?” bertanya Mahisa Murti.
“Dengarlah baik-baik,” berkata lawan Mahisa Murti yang sudah mengambil jarak itu. Lalu katanya pula, “Aku mempunyai pendapat yang barangkali baik bagi kita masing-masing.”
Mahisa Murti memang menghentikan serangannya. Dan ia-pun kemudian bertanya, “Apa pendapatmu?”
“Lepaskan kami,” jawab orang itu.
“Maaf Ki Sanak. Sudah tentu aku tidak dapat. Kau harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Tunggu,” berkata orang itu, “tentu tidak begitu saja. Tetapi kau akan mendapat imbalan yang menarik?”
“Apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau berdua akan mendapat timang emas kami. Timang kami bukan saja terbuat dari emas, tetapi juga bermata berlian,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti justru tersenyum sambil berkata, “Serahkan timang emasmu kepada Ki Buyut karena benda itu juga kau dapat dari pasar ini.”
“Pikirkanlah. Jangan dungu. Timang ini harganya tentu mahal sekali,” desis orang itu.
“Tetapi mana yang lebih mahal. Timang emas bermata berlian itu atau harga diriku? Pribadiku?” justru Mahisa Murti lah yang bertanya.
“Apa artinya harga diri dibandingkan dengan uang? Dengan emas dan permata? Kau dapat pergi jauh dan membangunkan harga dirimu di tempat yang jauh itu. Sementara kau sudah menjadi seorang yang kaya.” orang itu masih mencoba membujuk.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Lihat kawanmu. Pedang saudaraku telah melukainya lagi.”
“Jadi kau menolak?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab Mahisa Murti dengan tegas.
Orang itu tidak bertanya apa pun lagi. Dengan serta merta ia telah meloncat sambil mengayunkan senjatanya dengan deras sekali mengarah keleher Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti memang sudah memperhitungkan bahwa orang itu tentu akan segera menyerangnya. Karena itu, ayunan senjata itu dengan tangkasnya telah ditangkisnya dengan pedangnya pula.
Satu benturan keras telah terjadi. Namun ternyata bahwa orang itu telah hampir saja kehilangan senjatanya. Tangannya terasa bagaikan menyentuh bara api. Tetapi orang itu masih berhasil mempertahankannya meskipun sekali lagi ia harus meloncat mengambil jarak. Mahisa Murti memang tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki keadaannya. Namun selangkah demi selangkah Mahisa Murti maju mendekatinya. Orang yang hampir kehilangan senjata itu pun telah bersiap. Sekali-sekali ia masih bergeser mundur sambil mengacukan senjatanya.
Mahisa Murti melangkah maju semakin dekat. Tetapi ia masih berkata, “Menyerahlah. Kau akan dibawa kepada Ki Buyut. Jangan mencoba lagi menyuap aku, karena menyuap itu merupakan satu kesalahan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka usahamu akan dapat memperberat hukumanmu.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu, “jangan berpura-pura seakan-akan kau tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun. Jika kau ingin aku memberikan lebih dari yang aku tawarkan, katakan saja. Aku akan mengusahakannya.”
“Sudah aku katakan. Hukumanmu akan dapat berlipat,” sahut Mahisa Murti.
Orang itu mengumpat. Sekali lagi ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya sekuat sisa tenaganya. Namun sekali lagi Mahisa Murti menangkisnya sehingga senjata orang itu kemudian telah benar-benar terlepas dan terlempar beberapa langkah dari orang itu. Orang itu tidak sempat mengambilnya. Mahisa Murti ternyata lebih cepat menggapai senjata itu dengan kakinya, dan mendorongnya semakin jauh.
“Sebaiknya kau melihat kenyataan ini,” berkata Mahisa Murti.
“Persetan kau,” geram orang itu.
Namun Mahisa Murti berkata, “Kesabaran seseorang ada batasnya. Aku akan dapat kehilangan kesabaran, sehingga aku akan menyelesaikan pertempuran ini hingga tuntas.”
Wajah orang itu memang menegang. Apalagi ketika kemudian dilihatnya kawannya telah terlempar jatuh terbanting di tanah. Orang itu sempat memperhatikan kawannya yang mencoba bangkit. Namun tubuhnya tertahan ujung pedang Mahisa Pukat yang melekat di dadanya.
“Kau lihat,” desis Mahisa Murti.
Orang itu terdiam. Sementara itu terdengar Mahisa Pukat bertanya kepada lawannya, “Apakah kau masih akan melawan?”
Orang yang terbaring itu tidak menjawab.
“Kau sadar, bahwa jika aku menekan pedangku, maka ujungnya tentu akan menghunjam sampai ke jantungmu,” berkata Mahisa Pukat.
Lawannya masih berdiam diri. Namun akhirnya Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Katanya, “Jika kau masih tidak menjawab, maka aku benar-benar akan membunuhmu. Kau tahu bahwa tidak akan ada orang yang menyesali kematianmu. Semua orang justru berharap bahwa kau dibunuhnya saja langsung di sini. Tidak ada gunanya kau diserahkan kepada Ki Buyut.”
Yang terdengar adalah gigi orang itu gemeretak menahan gejoiak jantungnya. Namun Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Atau kau ingin aku meninggalkanmu di sini? Keempat orang yang bertempur melawanmu itu masih ada di sini, mereka sudah siap untuk melanjutkan pertempuran.”
Orang yang terbaring dengan ujung pedang di dadanya itu masih belum dapat menjawab, sementara Mahisa Murti telah bertanya pula kepada lawannya, “Nah, kau dengar pertanyaan saudaraku itu. Kalian berdua akan kami serahkan kepada keempat orang itu. Mereka bersama-sama dengan orang-orang yang sekarang menyaksikan pertempuran ini akan mengadilimu dan langsung menjatuhkan hukuman atasmu. Barangkali itu memang lebib baik daripada kau harus dibawa kepada Ki Buyut. Karena Ki Buyut itu pun akan dapat menjatuhkan hukuman yang cukup berat bagi kalian. Hukuman picis misalnya.”
Kedua orang itu menjadi pucat. Namun akhirnya orang yang telah kehilangan senjatanya itu berdesis, “Aku menyerah.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat masih ingin lawannya itu juga mengucapkan pengakuannya. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian berdesis, “Aku menyerah.”
“Lepaskan senjatamu,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun segera melepaskan senjatanya pula. Sesaat kemudian maka Mahisa Pukat pun telah memberikan kesempatan lawannya itu untuk berdiri. Namun kemudian Mahisa Murti telah memberi isyarat kepada keempat orang bertubuh raksasa itu mendekat.
“Ikat mereka,” berkata Mahisa Murti, “Kalian berempat dapat membawanya kepada Ki Buyut langsung atau kepada Ki Bekel lebih dahulu atau kebiasaan yang mana yang berlaku di sini.”
Salah seorang dari keempat orang itu menjawab, “Karena kami mendapat perintah dari Ki Bekel, maka kami akan membawanya kepada Ki Bekel lebih dahulu. Baru kemudian, Ki Bekel akan membawanya kepada Ki Buyut.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “ikat tangan mereka. Hati-hati, jangan sampai terlepas. Jika ikatan itu dapat dilepaskan oleh mereka, maka mereka akan dapat terlepas pula dari tangan kalian. Dengan demikian, maka mereka tentu akan menjadi lebih garang lagi.”
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di-antara mereka berkata, “Kami akan mengikat mereka. Tetapi biarlah salah seorang dari kami melaporkan hal ini kepada Ki Bekel. Biarlah Ki Bekel mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah mampu mengalahkan kedua orang itu.”
“Itu tidak perlu,” berkata Mahisa Murti, “yang penting, kedua orang itu sudah tertangkap. Bawa saja kepada Ki Bekel. Ki Bekel akan menentukan langkah-langkah berikutnya.”
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka telah mencari tali untuk mengikat tangan kedua orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “silahkan. Keduanya tidak berbahaya lagi bagi kalian berempat dalam keadaan seperti itu. Meskipun demikian, kalian harus tetap berhati-hati karena kaki mereka masih tetap bebas.”
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih. Kami akan membawanya kepada Ki Bekel.”
Tetapi di luar dugaan orang itu kemudian berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Mari, ikut kami ke rumah Ki Bekel untuk menyerahkan orang ini.”
Beberapa orang nampak ragu-ragu. Tetapi kebencian mereka sudah begitu meluap kepada kedua orang itu. Karena itu, maka beberapa orang laki-laki yang sedikit mempunyai keberanian telah melangkah maju. Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalnan halaman kedai itu, melintasi jalan yang ramai, menuju ke rumah Ki Bekel.
Orang-orang yang ada di pasar itu pun telah beramai-ramai menonton orang yang dibencinya itu terikat kedua belah tangannya dan digiring seperti seorang pencopet yang tertangkap. Kedua orang itu memang merasa tidak berdaya lagi. Selain tubuh mereka yang telah menjadi sangat letih, kulit mereka pun telah tergores senjata. Darah telah meleleh dari luka-luka mereka.
Beberapa saat kemudian, mereka, telah menelusuri jalan bulak menuju ke padukuhan induk. Sementara iring-iringan itu ternyata semakin lama menjadi semakin panjang. Justru orang yang tidak mengenal kedua orang itu telah ikut pula mengiringkannya ke rumah Ki Bekel.
Kedua orang yang tangannya terikat itu mengumpat tidak ada habis-habisnya. Tetapi keempat orang yang mengetahui kemampuan kedua orang itu, telah mengikatnya erat-erat, sehingga tidak ada kemungkinan bagi kedua orang itu untuk meloloskan diri dengan cara apa pun juga. Meskipun kaki mereka masih bebas, tetapi tidak akan dapat banyak memberikan arti bagi usaha mereka untuk membebaskan diri tanpa tangan-tangan mereka. Karena itu, maka mereka berdua harus membiarkan diri mereka dibawa memasuki halaman rumah Ki Bekel tanpa perlawanan apa pun juga.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, telah berada kembali di dalam kedai. Pemilik kedai itu pun telah bersikap sangat baik kepada mereka. Dihidangkannya berbagai macam makanan dan minuman yang tidak dimintanya sekalipun. Namun Mahisa Murti telah mencegahnya,
“Terima kasih Ki Sanak. Jangan berlebihan. Kami tidak akan dapat makan semuanya ini sampai habis.”
“Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berarti bagi kami, orang-orang yang berjualan di pasar ini anak-anak muda.”
“Kami tidak melakukan apa-apa,” jawab Mahisa Murti.
“Kedua orang itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi kami. Mereka telah memeras dan tanpa mempunyai belas kasihan sama sekali. Jika kalian tidak menolong, maka keempat orang yang dimintai bantuan oleh Ki Bekel itu, tentu benar-benar akan mereka bunuh. Kami pun akan mengalami nasib yang paling buruk dari keadaan yang sudah lama terasa sangat menekan ini,” berkata pemilik kedai itu.
“Ah, bukankah tidak ada yang berarti yang aku lakukan bagi kalian?” berkata Mahisa Murti, “kami telah berbuat sebagaimana seharusnya dalam hubungan antara sesama. Tidak ada yang lebih.”
“Semua orang mengucapkan terima kasih kepada kalian,” berkata pemilik kedai itu.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kami sudah sangat kenyang. Kami akan membayar harga makanan yang telah kami habiskan.”
“Tidak. Itu tidak perlu. Makanan dan minuman itu tidak berarti apa-apa,” sahut pemilik kedai itu.
“Jangan begitu. Aku adalah pembeli. Kewajibanku membayar harga barang-barang yang telah aku beli,” jawab Mahisa Murti.
“Adalah kewajibanku dan orang-orang di pasar ini untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara kami.” berkata pemilik kedai itu, “sebagaimana orang-orang lain yang ada di luar.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ketika ia menyadari, maka dilihatnya di luar kedai itu berkerumun banyak orang. Mereka ingin menyaksikan anak-anak muda yang telah mampu mengalahkan dua orang yang untuk waktu yang lama telah memeras mereka. Mahisa Pukat dan yang lain pun telah melihat pula orang-orang yang berkerumun itu, mencoba melihat mereka dari luar pintu kedai. Namun dengan demikian, maka mereka justru merasa tidak betah lagi duduk di kedai itu. Berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka.
“Marilah kita pergi,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya kemudian, “Marilah.”
Tetapi pemilik kedai itu tetap menolak uang yang diserahkan oleh Mahisa Murti. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang telah berdiri telah melangkah keluar dari kedai itu. Ternyata Mahisa Murti telah meninggalkan uang di salah sebuah mangkuk makanan yang telah dipergunakannya.
Demikian mereka keluar, maka orang-orang yang ada di luar kedai itu telah menyibak. Mereka memandang anak-anak muda itu dengan penuh kekaguman. Apalagi sikap mereka yang wajar tanpa menunjukkan kesombongan sama sekali.
Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya justru menjadi gelisah. Langkah mereka rasa-rasanya menjadi sangat berat. Semua mata memandangi mereka dan mengikuti langkah mereka sampai jauh.
“Kakiku seperti digantungi timah,” desis Mahisa Pukat yang sempat berpaling. Ia masih melihat beberapa orang memandangi mereka.
Pemilik kedai yang semula mengangap ia telah serba sedikit menghormati kemenangan anak-anak muda itu dengan suguhannya yang tidak perlu dibayar, ternyata terkejut ketika dilihatnya beberapa keping uang ada di dalam mangkuk yang akan dicuci. Bahkan lebih banyak dari harga makanan yang seharusnya.
“Orang-orang aneh,” berkata pemilik kedai itu yang kemudian telah menceriterakan kepada orang-orang yang berada di luar kedainya.
“Hanya orang-orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang mampu mengalahkan kedua orang itu,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang berada di luar kedai itu tanpa mengetahui tataran olah kanuragan.
“Ternyata keempat orang yang bertubuh meyakinkan itu pun tidak dapat mengalahkan mereka berdua,” sahut yang lain.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun sudah menjadi semakin jauh. Sebenarnyalah kelima orang itu sudah berada di dalam bulak yang panjang. Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya kepada Mahisa Amping, “Kesan apa yang kau tangkap tentang orang-orang itu sehingga seakan-akan kau mengetahui bahwa akan terjadi perkelahian itu?”
Mahisa Amping termangu-mangu. Ia mencoba mengingat apa yang terasa di dalam hatinya ketika ia melihat kedua orang itu. Tetapi anak itu menggeleng sambil berkata, “Aku tidak mendapat kesan apa-apa. Aku hanya merasa ingin melihat apa yang bakal terjadi. Mungkin karena aku melihat pakaian dan perhiasan yang sangat baik, sehingga kemungkinan buruk dapat terjadi atas kedua orang itu.”
“Tidak Amping,” sahut Mahisa Murti, “mula-mula kami pun mengira demikian. Tetapi ternyata ketika aku bertanya kepadamu, siapakah di antara mereka yang akan menang, kau tidak berpihak kepada kedua orang itu. Tetapi kau berharap keempat orang yang hampir saja kalah itulah yang sebaiknya menang.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun sambil menggeleng ia berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak lagi ingat, kesan apakah yang saat itu ada di dalam kepalaku.”
“Amping,” berkata Mahisa Murti, “ada sesuatu yang tidak kau sadari. Tetapi baiklah. Kau masih terlalu kecil untuk mengenalinya. Besok, jika kau tumbuh menjadi remaja, maka kau harus mulai mempelajari gejala-gejala di dalam dirimu.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis, “Aku tidak tahu.”
Mahisa Pukat lah yang kemudian menepuk pundaknya sambil berkata, “Jangan kau coba untuk mengerti sekarang.”
Mahisa Semu pun berkata pula, “Sudahlah. Kali ini kau masih belum tanggap. Tetapi ada baiknya di kesempatan lain kau mengingatnya.”
Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh anak-anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan bulak panjang. Di sebelah menyebelah jalan tumbuh pepohonan yang daunnya membuat bayang-bayang di atas dataran yang memanjang di antara kotak-kotak sawah yang hijau.
Namun Mahisa Amping ternyata mulai memperhatikan dirinya sendiri. Sedikit-sedikit memang terkilas di kepalanya, kesan yang tertangkap saat kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu lewat. Tetapi kepala anak itu menjadi pening ketika ia memaksa untuk mengingat apa yang dilihatnya. Justru karena angan-angannya semakin lama menjadi semakin kabur.
Wantilan yang berjalan di sebelahnya melihat gejolak perasaan anak itu. Karena itu, maka ia pun telah berdesis, “Kau masih mencoba mengingat-ingat?”
“Ya,” jawab Mahisa Amping.
“Jangan,” berkata Wantilan, “jika kau memaksa dirimu melihat kembali bayangan yang telah menjadi kabur, maka kau akan mengalami gangguan perasaan. Jika hal itu terjadi beberapa kali, maka itu akan menjadi beban bagimu. Semakin lama semakin berat, semakin berat, sehingga pada suatu saat, kau tidak akan dapat memikulnya lagi.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam.
“Lihat, jalan yang terbentang di hadapan kita,” desis Wantilan.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku akan berjalan di paling depan.”
Wantilan tersenyum pula sambil mengangguk. Sesaat kemudian anak itu pun telah berlari mendahului keempat orang yang lain. Beberapa puluh langkah di depan baru ia berhenti. Dilihatnya sebuah sungai yang menyilang jalan. Mereka harus menuruni tebing yang landai untuk menyeberang.
Di sebelah bawah tempat penyeberangan itu, Mahisa Amping melihat beberapa orang yang sedang mencari ikan. Nampaknya mereka beramai-ramai membuka sebuah rumpon yang cukup besar. Anak-anak pun menjadi ikut bergembira sambil berendam di dalam air, membongkar batu-batu yang bertimbun. Beberapa orang anak muda yang lebih besar tengah sibuk mengatur icir dan aliran air yang di sisihkan.
Ternyata Mahisa Amping pun tertarik untuk melihatnya. Karena itu, maka ia pun segera turun dan mendekati anak-anak yang sedang mencari ikan itu. Beberapa orang anak telah berpaling. Mereka melihat Mahisa Amping yang belum pernah mereka kenal.
Seorang di antara mereka pun bertanya, “Untuk apa kau kemari? Kau anak padukuhan mana?”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku kebetulan saja lewat. Aku hanya ingin melihat apa yang kalian lakukan.”
“Kaukah yang sering merusak rumpon ini?” tiba-tiba seorang yang lain bertanya.
“Aku belum pernah datang ke tempat ini. Baru sekali ini. Itu pun hanya sekedar lewat,” jawab Mahisa Amping.
Anak-anak yang lain nampaknya tidak begitu menghiraukan. Mahisa Amping memang bersikap wajar saja. Ia pun tidak berdiri terlalu dekat. Ketika keempat orang yang lain telah sampai ke tanggul, maka Mahisa Amping pun telah meninggalkan anak-anak yang sedang mencari ikan itu.
“Sikap mereka tidak bersahabat,” berkata Mahisa Amping.
“Kenapa?” bertanya Wantilan.
“Tiba-tiba saja mereka menuduh aku sering merusak rumpon mereka,” jawab Mahisa Amping.
“Apa jawabmu?” bertanya Mahisa Semu.
“Aku katakan, bahwa aku baru sekali ini lewat,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu menepuk bahu anak itu. Katanya, “Ternyata kau cerdik juga.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menangkap satu kesan, bahwa anak-anak muda dan kanak-kanak yang ada di sungai itu selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap orang yang tidak dikenalnya. Ternyata yang mendengar ceritera Mahisa Amping tentang anak-anak yang berada di sungai itu telah menimbulkan kesan yang sama bagi mereka.
Bahkan Mahisa Murti kemudian berdesis, “Agaknya orang tua mereka pun bersikap seperti itu pula.”
“Mungkin orang-orang padukuhan di depan,” berkata Mahisa Pukat.
“Berhati-hatilah,” pesan Mahisa Murti, “kita tidak usah menanggapi sikap mereka.”
Karena itulah, ketika mereka memasuki padukuhan di hadapan mereka, Mahisa Amping tidak lagi berjalan beberapa langkah di depan. Tetapi anak itu berjalan di sebelah Mahisa Semu. Ternyata kelima orang itu sama sekali tidak mendapatkan kesan sebagaimana yang mereka duga. Orang-orang padukuhan itu adalah orang-orang yang bersikap wajar. Tidak tanda-tanda lain pada mereka.
Karena itu, maka kelima orang itu meneruskan perjalanan mereka tanpa hambatan. Perjalanan yang masih panjang. Lewat sedikit tengah hari mereka singgah di sebuah kedai. Setelah beristirahat sejenak, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Seperti malam sebelumnya, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka pun telah berhenti di dekat sebuah hutan yang agaknya tidak terlalu lebat. Setelah beristirahat sejenak serta mengeringkan keringat, maka Mahisa Amping pun telah bersiap-siap untuk berlatih.
“Masih ada waktu sebelum gelap,” berkata anak itu.
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap-siap pula. Mereka tidak ingin melewatkan waktu sama sekali. Kesempatan yang kecil sekalipun telah mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk menempa diri.
Mahisa Murti sempat menunggui Mahisa Amping yang berlatih, sementara Mahisa Pukat berada bersama Mahisa Semu dan Wantilan yang memperdalam ilmu pedang mereka. Seperti kebiasaan mereka, pada kesempatan seperti itu, mereka akan menggunakannya sampai matahari menghilang di balik cakrawala. Baru kemudian, mereka turun ke sungai dan membersihkan diri sebelum tidur.
Tetapi Mahisa Murti telah membagi tugas kepada keempat orang di antara mereka itu untuk berjaga-jaga. Kepada Mahisa Amping Mahisa Murti berkata, “Kau dapat memilih, bersama siapa kau akan berjaga-jaga.”
“Aku akan berjaga-jaga bersama orang yang pertama,” jawab anak itu.
Yang mendengar jawaban itu tersenyum. Ternyata anak itu cukup cerdik, sehingga kemudian ia akan dapat tidur sepanjang malam. Sementara itu, keempat orang yang lain telah menentukan pembagian waktu dengan undian. Ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Mahisa Pukat, kemudian Wantilan. Ketiga adalah Mahisa Semu dan keempat adalah Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Amping telah menepati janjinya. Ia telah ikut berjaga-jaga bersama Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat kemudian membangunkan Wantilan dan tugas berikutnya diserahkan kepada Wantilan, maka Mahisa Amping pun kemudian telah ikut tidur pula bersama Mahisa Pukat.
Agaknya malam itu, mereka sama sekali tidak mendapat gangguan apapun. Nyamuk memang cukup banyak. Tetapi mereka dapat juga tidur nyenyak di saat-saat mereka tidak bertugas. Namun ketika Mahisa Murti yang mendapat giliran terakhir berjaga-jaga, maka ia telah menyadari, bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka ia pun telah menggamit Mahisa Pukat yang telah cukup lama tidur sejak tugasnya di giliran pertama.
Tetapi demikian bangun, maka Mahisa Murti pun telah berdesis, “Hati-hati.”
Mahisa Pukat segera tanggap, bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka ia tidak bangkit. Sambil berbaring ia bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Tempat ini telah dikepung,” berkata Mahisa Murti.
“Sejak kapan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka baru mulai,” jawab Mahisa Murti, “Tetapi mereka memang berdatangan dari beberapa penjuru.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, “Apa sebenarnya yang mereka kehendaki.”
“Aku belum tahu,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Sementara itu, orang memang telah berdatangan semakin banyak.
“Mereka akan mulai bertindak setelah terang,” berkata Mahisaa Murti pula.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Ya. Mereka baru akan berbuat sesuatu setelah matahari terbit.”
“Masih ada waktu untuk berbaring,” berkata Mahisa Murti sambil tersenyum.
Tetapi Mahisa Pukat pun berkata, “yang lain perlu dibangunkan agar mereka tidak terkejut.”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia bergeser dan membangunkan Mahisa Semu dan Wantilan. Tetapi seperti kepada Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun telah memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.
“Mereka masih belum akan bergerak,” berkata Mahisa Murti perlahan-lahan.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti sendiri masih saja duduk di tempatnya. Namun ketajaman penggraitanya telah memberitahukan kepadanya, bahwa tempat itu telah benar-benar terkepung, meskipun tidak pada jarak yang dekat. Beberapa saat orang-orang yang berada di padang itu menunggu. Rasa-rasanya mereka sudah semalam suntuk berada di tempat itu dalam ketegangan.
Namun ketika fajar menjadi semakin terang, terdengar seseorang berteriak, “He, siapa yang berada di situ?”
“Mereka mulai menyapa,” berkata Mahisa Murti.
“He, apakah kalian tidak mendengar?” teriakan itu terdengar lagi.
Mahisa Murti lah yang kemudian berdiri. Melangkah dua langkah ke arah suara itu sambil bertanya, “Apakah yang kalian maksud?”
“Aku bertanya, siapa yang berada disitu? Bukan apa?” Orang yang berteriak itu membentak keras-keras.
“Oo kami,” jawab Mahisa Murti, “Empat orang pengembara dan seorang anak-anak.”
“Pengembara dari mana dan untuk apa?” desak orang itu.
“Kenapa kita harus berteriak-teriak?” bertanya Mahisa Murti, “kemarilah. Kita dapat berbicara dengan baik.”
“Kalian ingin menjebak kami?” bertanya suara itu.
“Sama sekali tidak. Kami bukan orang-orang licik yang tengah memasang perangkap,” berkata Mahisa Murti.
“Majulah. Salah seorang dari kalian. Kami akan datang,” terdengar suara itu pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah melangkah maju beberapa langkah, sementara dari arah yang berlawanan dua orang telah melangkah mendekati Mahisa Murti. Ketiga orang itu sudah mengacukan senjata mereka ketika mereka berhadapan dengan Mahisa Murti.
“Nah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sekarang katakan keperluan kalian.”
“Jangan berpura-pura dungu seperti itu,” berkata orang yang batang bersama dengan dua orang kawannya itu, “Kau tentu sudah tahu sebelum aku.”
“Aku tidak tahu maksud Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
“Aku sudah mengira bahwa jawabanmu tentu demikian. Karena itu, maka kami sudah berunding, bahwa kami ingin memaksa kalian agar berbicara,” jawab orang itu.
“Barangkali Ki Sanak bersedia memberitahukan, kenapa kami harus ditangkap. Padahal sepanjang perasaan dan pengetahuan kami, kami tidak pernah berbuat salah terhadap kalian, kalian kami baru sekali ini bertemu.”
Tetapi orang-orang yang datang itu nampaknya tidak mau mendengarkannya. Dengan suara lantang seorang di antara mereka bertanya, “Di mana kawan-kawanmu yang lain?”
“Kami berlima. Tidak ada kawan yang lain,” berkata Mahisa Murti dengan nada tinggi.
“Jangan bohongi kami. Kami sudah bertekad memaksa kalian untuk berbicara,” geram orang itu.
“Berbicara tentang apa? Sejak tadi kau berkata seperti itu. Tetapi kau tidak mau menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi,” berkata Mahisa Murti yang mulai menjadi jengkel.
“Kaulah yang harus berbicara kepada kami,” teriak orang yang datang itu dengan marah, “di mana kalian sembunyikan ternak kami. Di mana kau sembunyikan hasil rampokan kalian di padukuhan kami. Kalian lakukan semuanya dengan tiba-tiba sehingga kami tidak sempat mengadakan perlawanan. Tetapi laki-laki di padukuhan kami bukan pengecut. Kami lacak perjalanan kalian. Ternyata ada keterangan tentang lima orang yang tidur di padang terbuka seperti ini. Hanya perampok-perampoklah yang melakukannya. Karena itu, kami berkesimpulan, bahwa kalian adalah sebagian dari perampok yang dua malam yang lalu telah merampok beberapa orang di padukuhan kami, serta membawa ternak-tenak kami. Beberapa ekor lembu dan kerbau serta kambing.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu karena salah paham. Kami tidak pernah merampok. Jika kami merampok lembu, kerbau dan kambing, maka binatang-binatang itu tentu masih ada di sini sekarang.”
“Tentu tidak. Kawan-kawanmu tentu sudah menjualnya,” berkata orang yang marah itu, “sekarang, katakan. Di mana kawan-kawanmu serta hasil rampokanmu sebelum kami bertindak.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku beritahukan bahwa kami tidak merampok apapun. Jangan terlalu mudah untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah. Kalian dapat saja bertindak atas kami. Tetapi jika kemudian kalian sadari bahwa itu karena satu kesalahan, maka apakah kalian tidak akan menyesal?”
“Kami tidak salah paham,” berkata orang itu, “sekarang katakan di mana kawan-kawanmu. Kalian harus mengembalikan semua yang telah kalian ambil. Kemudian kalian harus menerima hukuman yang akan kami berikan kepada kalian.”
“Hukuman apa yang kalian jatuhkan kepada orang-orang yang merampok di padukuhan kalian?” bertanya Mahisa Murti.
“Terserah kepada orang banyak,” jawab orang itu.
“Apakah tidak kalian serahkan kepada Ki Bekel atau Ki Buyut atau orang lain yang berwenang?” bertanya Mahisa Murti.
“Kamilah yang paling berwenang,” jawab orang itu.
“Itu adalah kesalahan kalian yang terbesar,” berkata Mahisa Murti dengan nada tinggi, “kalian merasa berhak menentukan hukuman kepada orang lain yang belum tentu bersalah.”
“Cukup,” bentak orang itu, “sekarang bicaralah. Kau termasuk gerombolan siapa dan dimana mereka sekarang. Di mana ternak kami dan di mana harta orang-orang padukuhan kami. Jika kau mau berbicara, maka hukuman kepada kalian tentu akan sedikit ringan. Kalian akan dibunuh dengan cepat. Bukannya dengan perlahan-lahan.”
“Jangan bertindak sewenang-wenang Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti.
“Kau pernah mendengar bahwa seseorang diikat pada tonggak dibawah sebuah gerojogan?” bertanya orang itu, “air yang jatuh dari gerojogan yang kecil itu akan melubangi kepalanya. Memang mungkin diperlukan waktu yang lama. Orang yang diikat itu tentu sudah menjadi gila sebelum mati karena kepalanya berlubang.”
“Kau pernah melakukan hal seperti itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kenapa kau bertanya?” orang itu justru bertanya.
“Jika kau pernah melakukannya, aku bunuh kau,” bentak Mahisa Murti, “kawan-kawanmu yang pernah melakukannya atau menjatuhkan hukuman picis atau sebangsanya, akan aku bunuh sekarang juga.”
Orang itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka yang mendekati Mahisa Murti itu bergeser mundur. Suara Mahisa Murti serta sikapnya yang keras ternyata telah mengejutkan mereka. Tetapi orang itu kemudian berkata, “Jangan menggertak kami. Jangan menakut-nakuti kami.”
“Aku tidak menakut-nakuti kalian. Tetapi aku berkata sebenarnya,” Mahisa Murti pun berteriak juga.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang juga sudah bangkit berdiri, menjadi berdebar-debar. Nampaknya orang-orang yang mengepung itu tidak lagi dapat diajak untuk berbicara.
Sementara itu Mahisa Semu menggamit Mahisa Amping sambil bertanya, “Apakah kau tidak merasakan getaran isyarat bahwa hal ini akan terjadi sebagaimana kau tahu bahwa dua orang yang berpakaian dan membawa perhiasan yang baik dan mahal itu akan kalah dan mereka memang penjahat?”
“Isyarat bagaimana?” bertanya Mahisa Amping.
“Getaran di jantungmu. Isyarat apa pun yang dapat kau tarik kesimpulan bahwa sesuatu akan terjadi atas kita,” jawab Mahisa Semu.
“Aku tidak mengerti,” jawab Mahisa Amping yang nampak agak kebingungan karena pertanyaan Mahisa Semu.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wantilan pun berkata, “Ia akan menjadi bingung. Belum saatnya ia menerima pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Atau, ia memang tidak mendapatkannya. Juga apa yang pernah terjadi hanya satu kebetulan.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, Mahisa Murti memandang orang-orang yang mendekatinya itu dengan sorot mata yang tajam. Tetapi orang-orang itu berusaha untuk tidak menunjukkan goncangan di dalam jantung mereka. Seorang di antara mereka justru membentak-bentak,
“Sekarang bicaralah. Di mana kawan-kawanmu? Di mana ternak itu kalian sembunyikan. Atau kami akan segera mengambil tindakan yang sesuai dengan kesalahan yang telah kalian perbuat.”
“Apa yang akan kalian lakukan, akan kami lakukan pula atas kalian. Katakan, apa yang akan kalian lakukan? Membunuh, menghukum dengan hukuman yang paling berat, hukuman picis misalnya. Atau apa?” bertanya Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “Atau kalian akan melepaskan kami pergi tanpa mempersoalkan tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal itu atau apa? Ingat, kami akan melakukan apa yang kalian ingin lakukan atas kami.”
Orang-orang itu memang menjadi bingung. Namun orang yang diiringi oleh kawan-kawannya itu membentak, “Kalian memang cerdik. Tetapi kami bukan orang-orang dungu yang dapat kalian bohongi dengan cara seperti itu. Satu cara untuk melepaskan diri. Cepat katakan atau aku panggil orang-orangku.”
“Apa yang akan kalian lakukan? Katakan, agar aku dapat menentukan langkah-langkah berikutnya. Apa yang akan kami lakukan atas kalian,” Mahisa Murti membentak pula.
Orang-orang itu tidak telaten lagi. Mereka memang mengira bahwa anak muda itu sekedar berusaha untuk menakut-nakuti mereka. Karena itu, maka orang yang nampaknya pemimpin dari orang-orang yang mengepung anak-anak muda itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk mulai bergerak.
Mahisa Murti menarik nafas, dalam-dalam. Ia memang menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sudah tentu anak muda itu tidak ingin membunuh siapa pun juga di antara orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka lakukan itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Murti termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku sudah memperingatkan kalian.”
Orang-orang itu tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu bergerak semakin maju, sehingga kepungan itu pun semakin lama menjadi semakin sempit.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti lah yang melangkah mundur dan bergabung dengan saudara-saudaranya sambil berdesis, “Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia justru bertanya, “Apa?”
“Kita lawan mereka,” berkata Mahisa Amping, “kita akan mengalahkan mereka.”
Mahisa Murti memandang orang-orang yang mengepungnya. Ternyata memang cukup banyak. Selangkah demi selangkah mereka maju semakin dekat. Namun tiba-tiba Mahisa Amping berkata, “Kenapa kita tidak bertempur?”
“Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan terhadap kita. Mereka tidak tahu siapakah kita sebenarnya dan karena mereka orang-orang yang agaknya sudah terlalu sering mendapat gangguan oleh orang-orang jahat, maka sikap mereka menjadi kasar. Tetapi belum tentu bahwa mereka memang orang-orang kasar,” berkata Mahisa Murti.
“Jika demikian, kita harus melarikan diri,” berkata Mahisa Amping.
“Itu lebih baik. Kita tidak akan membuat kesalahan dengan membunuh satu atau dua orang di antara mereka,” sahut Mahisa Murti.
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Amping berkata, “Apakah kita tidak dapat menerobos kepungan yang tipis itu?”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Tentu saja dapat.”
“Jika demikian, kenapa kita melarikan diri saja menembus kepungan itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak. Lalu ia-pun berdesis, “Ya. Kita akan menembus kepungan itu. Kemudian kita akan melarikan diri. Biarlah Mahisa Semu dan paman Wantilan mendahului kita sambil membawa Amping. Kita akan menahan orang-orang yang mengejar kita sampai kalian bertiga menjadi jauh. Kemudian kami berdua pun akan melarikan diri.”
“Kenapa kita tidak bersama-sama saja?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita berlari bersama-sama, maka mereka akan mengejar kita dan pertempuran akan berlangsung lama dan keras sehingga mungkin kita tidak dapat menghindari jatuhnya korban. Mungkin kita akan dapat menang. Tetapi tentu dengan korban yang semakin banyak di antara mereka jika sikap mereka masih tetap keras,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jumlah orang yang mengepung itu memang cukup banyak, sehingga jika mereka harus bertempur, maka korban pun akan berjatuhan. Jika mereka tidak mengurangi jumlah lawan, maka pertempuran itu tentu tidak akan selesai.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah memilih menghindari pertempuran. Meskipun orang-orang itu akan dapat menuduh mereka sebagai pengecut, maka mereka tidak akan terlalu bersakit hati, karena orang-orang itu tidak tahu siapa mereka sebenarnya. Dengan bulat hati, maka mereka pun telah berusaha untuk memilih lapisan yang dianggapnya paling lemah. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun berkata,
“Kita tembus lapisan di bawah pohon kering itu. Nampaknya dinding kepungan di tempat itu lemah. Kemudian Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan meninggalkan arena, disusul oleh paman Wantilan. Kami akan menahan orang-orang yang mengejar kita sambil mundur. Baru kemudian kami akan melarikan diri menyusul kalian.”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Amping bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang melihat, kakang berdua melarikan diri?”
Mahisa Pukat sempat tertawa pendek. Katanya, “Kami akan memakai kedok untuk selapan hari.”
Mahisa Amping tidak menjawab lagi. Namun ia pun telah memperhatikan tempat yang ditunjuk oleh Mahisa Murti itu. Nampaknya tempat itu memang paling lemah dibanding dengan dinding kepungan di tempat yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berbisik, “bersiaplah. Aku akan memberikan aba-aba. Jangan menarik perhatian.”
Sementara itu kepungan memang menjadi semakin rapat. Orang yang nampaknya menjadi pemimpin dari sekelompok orang itu masih beteriak, “Menyerahlah. Kalian akan mendapat perlakuan lebih baik daripada kalian melawan. Kalian hanya perlu berbicara sedikit.”
Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian telah memberikan isyarat kepada saudara-saudaranya untuk dengan cepat menembus kepungan. Langkah yang tidak diduga itu memang mengejutkan. Mahisa Amping ternyata berlari di paling depan. Mahisa Semu pun kemudian telah menyusulnya. Dengan cemas ia berkata hampir berteriak, “Amping, tunggu.”
Mahisa Amping memang tidak menghiraukan. Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan pun segera menyusul dan berlari sebelah menyebelah. Baru di belakang mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Serangan Mahisa Semu dan Wantilan serta Mahisa Amping benar-benar mengejutkan. Orang-orang yang tidak terbiasa bertempur itu hampir tidak melakukan perlawanan. Mereka justru menyibak meskipun sekali-sekali pedang mereka berputar juga. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan dengan mudah dapat melintasi dinding kepungan itu. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu terdengar seseorang berteriak, “jangan biarkan mereka lolos. Mereka adalah sumber keterangan tentang perampok-perampok itu. Mereka akan dapat menunjukkan di mana harta benda rampokan itu serta ternak kita disembunyikan.”
Beberapa orang yang mendengar teriakan itu dengan cepat berusaha mengepung mereka kembali. Tetapi Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah menjadi agak jauh. Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang masih cukup dekat. Karena itu, maka sasaran mereka pun terutama tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dengan sengaja membuat jarak dari Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan. Keduanya memang akan berusaha menahan orang-orang yang mengejar mereka. Jika jarak Mahisa Amping telah menjadi cukup jauh, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dengan mudah melarikan diri. Dengan dukungan kekuatan cadangan di dalam tubuh mereka, maka mereka akan dapat berlari lebih cepat dari orang kebanyakan.
Sementara itu, orang-orang yang mengejar mereka telah menjadi semakin dekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah mengacu-acukan senjata mereka. Bahkan ada di antara mereka yang telah melemparkan tombak mereka. Namun gagal mengenai sasaran. Tetapi, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sengaja tidak berlari terlalu kencang, akhirnya orang-orang yang mengejarnya di paling depan telah menyusulnya.
Akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah berhenti. Mereka telah mencabut pedang mereka. Tidak untuk membunuh. Tetapi sekedar untuk menghambat gerak maju orang-orang yang mengejar mereka itu. Namun ternyata pedang keduanya telah mengejutkan orang-orang yang mengejarnya. Pedang yang lain dari kebanyakan pedang. Bahkan mirip dengan sebilah keris raksasa. Bentuknya memang tidak begitu mengejutkan. Tetapi bahwa daun senjata itu seakan-akan bercahaya kehijau-hijauan, maka orang-orang itu pun menjadi tertegun karenanya.
Namun sekali lagi terdengar pemimpin mereka berteriak, “Tangkap. Jika melawan, kalian dapat membunuhnya. Jangan beri kesempatan untuk melarikan diri.”
Orang-orang yang mengejarnya itu pun telah mendesak maju dengan serentak. Namun justru ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhenti, mereka pun berhenti pula. Bahkan jika anak-anak muda itu maju, mereka justru surut.
Ternyata pemimpin mereka telah mendekat pula. Orang yang menemui Mahisa Murti dengan para pengiringnya. Wajahnya merah membara. Kemarahannya seakan-akan tidak tertahankan lagi. Ketika orang itu dan para pengiringnya mendekat, maka orang-orang yang lain pun telah menyibak.
“Kau keras kepala,” geram orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sikap kalian memang mengherankan. Bagaimana mungkin kalian dengan kekuatan sebesar ini dapat dirampok dan ternak kalian dapat dibawa oleh sekelompok penjahat? Sekarang kalian berusaha memburu para perampok. Kenapa tidak kalian lawan saat mereka merampok padukuhan kalian.”
“Aku datang terlambat,” jawab pemimpin orang-orang padukuhan itu.
“Maksud Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku telah beberapa lama mengembara. Ketika aku pulang bersama beberapa orang kawanku, baru aku tahu apa yang terjadi,” jawab orang itu.
“Jadi kalian pernah mengembara?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya,” jawab orang itu.
“Jika demikian kenapa kau berlaku sewenang-wenang terhadap pengembara seperti kami?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau kira aku tidak diperlakukan sewenang-wenang?” justru orang itu yang bertanya.
“Jadi kau sekedar akan membalas dendam?” desak Mahisa Murti.
“Tidak,” orang itu membentak, “aku dan saudara-saudaraku menuntut hak kami yang kalian bawa.”
“Apakah kalian juga pernah dituduh merampok ketika mengembara?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun telah menjawab dengan suara lantang, “Persetan.”
“Jadi kau belum pernah mengalami sebagaimana kami alami sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.
“Cukup. Tangkap mereka. Jika mereka melawan, kalian dapat membunuhnya,” teriak pemimpin kelompok orang-orang padukuhan itu.
Namun menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah menjadi cukup jauh, sehingga mereka tidak perlu mencemaskannya lagi. Dengan demikian, maka ketika orang-orang padukuhan itu mulai bergerak, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur meskipun keduanya masih mengacukan pedang-pedang mereka. Tetapi beberapa saat kemudian, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah saling memberi isyarat. Serentak keduanya meloncat dan melarikan diri.
Pemimpin orang-orang padukuhan itu pun telah berteriak, “jangan biarkan mereka lari. Mereka adalah perampok-perampok yang kita cari. Berhari-hari kita mengamati sawah, ladang dan bahkan padang-padang ilalang. Jika mereka lepas, belum tentu kita akan dapat menangkapnya lagi.”
Orang-orang padukuhan itu pun telah menghambur. Mereka telah berusaha mengejar kedua orang itu. Sementara itu, di kejauhan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan berlari-lari. Nampaknya Mahisa Amping menolak untuk didukung oleh Mahisa Semu atau Wantilan. Tetapi anak itu lari cukup cepat.
“Jarak itu sudah cukup jauh,” berkata Mahisa Murti sambil berlari.
“Ya. Mereka tidak akan dapat menangkapnya,” sahut Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu masih juga mengejar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata berlari terlalu cepat, sehingga jarak di antara mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Tetapi pemimpin kelompok itu berteriak terus, “Kita tentu akan menangkapnya, di padukuhan sebelah kita akan membunyikan kentongan. Orang-orang padukuhan itu tentu tidak akan berkeberatan. Jika setiap padukuhan mendengarnya dan berjaga-jaga maka kita akan mendapat bantuan mereka.”
Teriakan itu masih juga dapat didengar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil berlari Mahisa Pukat berkata, “Jika mereka sempat membunyikan kentongan, maka kemungkinan buruk dapat terjadi. Mungkin akan terjadi benturan kekerasan. Dan kita terpaksa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri.”
Mahisa Murti memang menjadi cemas. Sambil berlari terus Mahisa Murti berkata, “Kita membuat permainan untuk menghentikan mereka.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Pohon di depan itu akan membantu kita,” desis Mahisa Murti.
“Maksudmu, kita merobohkan pohon itu?” desak Mahisa Pukat.
“Tidak perlu pohonnya. Kita patahkan beberapa dahannya yang menyilang di atas jalan. Demikian kita lewat beberapa langkah, maka kita berhenti dan mematahkan dahan-dahan yang cukup besar itu,” jawab Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Pukat tanggap. Karena itu, maka ia telah berlari lebih kencang lagi, sehingga jarak antara kedua anak muda itu dengan orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin jauh. Namun orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak berputus asa. Dua atau tiga orang di antara mereka akan berbelok menuju padukuhan terdekat.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berlari melintasi pohon besar di pinggir jalan itu. Beberapa langkah dari pohon itu mereka berhenti. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah bersiap. Demikian orang-orang yang memburunya itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Aku akan menghitung sampai tiga bilangan.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap. Orang-orang padukuhan yang mengejar mereka menjadi heran. Kenapa kedua orang itu justru berhenti. Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu pemimpin orang-orang padukuhan itu pun berteriak, “Cepat. Nampaknya mereka telah kehabisan tenaga sehingga tidak dapat lari lebih jauh lagi.”
Tetapi ketika orang-orang padukuhan itu berlari semakin cepat sambil mengacukan senjatanya, maka terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak diduganya. Hitungan Mahisa Murti sudah sampai pada hitungan ke tiga. Dengan demikian, maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dan melontarkan kekuatan ilmu mereka menghantam dua batang pohon yang menyilang di atas jalan yang akan dilalui oleh orang-orang yang mengejarnya.
Terdengar derak dahan itu patah. Kemudian dua batang dahan yang berdaun lebat telah patah dan runtuh jatuh menyilang jalan. Orang-orang yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Dengan serta merta mereka telah berhenti berlari dan bahkan berdesakan mundur beberapa langkah.
Ketika dua batang dahan itu sudah jatuh dan menyilang jalan, maka orang-orang padukuhan itu berdiri termangu-mangu. Pemimpin dari orang-orang yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu justru mematung. Ia tahu bahwa hanya ilmu yang sangat tinggi sajalah yang dapat dipergunakan untuk mematahkan dahan-dahan pohon sebesar itu. Di luar sadarnya ia berkata di dalam hatinya, “Jika kekuatan ilmu itu ditujukan kepada kami, maka apakah jadinya?”
Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang padukuhan itu masih berdiri tegak bagaikan membeku. Bahkan ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka. Semakin lama semakin jauh.
Sementara itu, orang-orang padukuhan itu pun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Meskipun sebenarnya mereka dapat menyusup di sela-sela daun atau sedikit melangkahi tanggul parit dan pematang mereka akan dapat melintasi dahan yang patah itu, namun mereka tidak berani melakukannya. Apalagi pemimpin mereka masih belum, memberikan perintah apa-apa.
Baru beberapa saat kemudian pemimpin orang-orang padukuhan itu berkata, “Kita tidak akan dapat mengejar mereka.”
“Kita loncati tanggul dan pematang,” teriak seseorang.
“Jangan berpura-pura menjadi seorang pemberani. Kau lihat apa yang telah mereka lakukan? Mereka mampu mematahkan dahan pohon sebesar itu. Ilmunya yang dahsyat mampu pula menyapu kita semuanya jika mereka mau. Tetapi mereka tidak melakukannya.”
“Jadi?” bertanya orang-orang padukuhan itu.
“Kita memang salah sangka. Jika mereka benar-benar perampok yang keji, mereka tidak akan memberikan peringatan sebagaimana mereka lakukan itu. Tetapi mereka akan langsung menghancurkan kita semua.”
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun pemimpin itu berkata, “Berhentilah di sini. Aku akan menemui kedua orang anak muda itu.”
Orang itu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera menyusup dan meloncati dahan yang patah menyilang jalan. Berlari-lari kecil ia menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan menjauhi batang pohon yang melintang jalan itu. Namun keduanya akhirnya tahu bahwa seseorang tengah menyusulnya.
“Apakah kita akan berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan berhenti,” jawab Mahisa Murti, “ada dua kemungkinan. Orang itu akan mengakui kesalahannya atau akan menantang kita bertempur karena orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
Mahisa Pukat mengangguk. Karena itu, maka mereka pun telah berhenti menunggu orang itu mendekati mereka. Beberapa langkah di hadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang itu berhenti. Dengan nada dalam ia berkata, “Anak-anak muda, maafkan kami. Kami tidak tahu, betapa tinggi ilmu Ki Sanak. Dan betapa besar jiwa Ki Sanak berdua.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “lain kali berhati-hatilah menuduh orang. Sebenarnyalah kami sedang dalam perjalanan kembali ke padepokan. Kami segan untuk bertempur dengan siapapun, karena sebenarnya kami telah menjalani laku tapa ngrame meskipun kami berniat untuk mengakhirinya.”
“Kami mengucapkan terima kasih atas sikap kalian,” berkata orang itu, “kami berjanji untuk bertindak lebih berhati-hati pada kesempatan lain. Sebenarnyalah kami sudah merasa sangat tersiksa dengan tingkah laku orang-orang jahat itu. Demikian aku kembali, maka aku telah menyusun kekuatan untuk melawan mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Tetapi kau telah salah mengetrapkan kekuatan yang telah susun.”
“Aku merasakan kesalahan itu,” jawab pemimpin sekelompok orang-orang padukuhan itu.
“Kau dapat membayangkan, seandainya orang yang kau tuduh itu tidak mempunyai kemampuan membela diri, maka ia akan dapat benar-benar mati tersia-sia. Padahal ia tidak bersalah sama sekali,” berkata Mahisa Pukat selanjutnya.
“Ya,” jawab orang itu sambil menunduk.
“Seharusnya kau memang dihukum,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “tetapi tidak untuk kali ini.”
“Terima kasih anak muda,” berkata orang itu, “aku mohon maaf atas nama semua orang sepadukuhan.”
“Kembalilah kepada orang-orangmu. Aku senang melihat kau berhasil menyusun sekelompok kekuatan untuk melawan perampok dan kejahatan-kejahatan lain. Tetapi tidak boleh salah sasaran. Lain kali jika kau menangkap seseorang, maka kau harus membawa orang itu kepada Ki Bekel untuk memeriksanya. Jika kau bunuh orang itu dan ternyata tidak bersalah, maka kau bukan saja akan memikul beban penyesalan sepanjang umurmu, tetapi juga beban di hidup abadimu kemudian,” berkata Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk dalam-dalam. Dengan nada dalam penuh penyesalan ia berkata, “Aku berjanji untuk menjadi lebih berhati-hati.”
“Kembalilah,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu pun kemudian telah minta diri untuk kembali kepada kawan-kawannya yang termangu-mangu di kejauhan. Sekali lagi orang itu membungkuk dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah kembali dengan penyesalan yang mendalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang orang itu sejenak. Dilihatnya orang itu mengajak kawan-kawannya menyingkirkan dua batang dahan yang melintang di jalan. Namun ternyata dahan itu terlalu berat untuk diangkat. Mereka harus memotong dengan pedang ranting-rantingnya beberapa batang dan menyeretnya ke pinggir.
“Biarlah mereka mengingatnya apa yang telah terjadi itu,” berkata Mahisa Murti, “marilah. Kita akan meneruskan perjalanan. Mahisa Semu, paman Wantilan dan Mahisa Amping telah berada di kejauhan.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Mereka pun kemudian melangkah menyusul saudara-saudara mereka yang telah mendahului mereka. Di kejauhan, Mahisa Aming sempat memanjat sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi. Ia sempat melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berjalan menyusul mereka.
“Tidak terjadi sesuatu atas kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Semu dan Wantilan yang berjalan agak mendaki telah melihat pula apa yang terjadi. Dengan nada rendah Wantilan berkata, “Untunglah bahwa orang-orang itu jatuh ke tempat yang lunak. Jika mereka terbanting jatuh di batu padas, maka tulang-tulang mereka akan berpatahan.”
“Siapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Orang-orang padukuhan itu,” jawab Wantilan.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Wantilan. Karena itu, ia berkata, “Mudah-mudahan mereka benar-benar menyesali kesalahannya. Meskipun kita di sini tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi menilik sikapnya, maka orang padukuhan itu telah menyesal.”
“Ya,” jawab Wantilan sambil mengangguk-angguk.
Mahisa Amping yang telah turun dari pohon yang dipanjatnya telah duduk di atas sebuah batu sambil bersandar sebatang pohon, “Kita akan menunggu di sini. Jarak ini cukup jauh, sedangkan kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan perlahan-lahan saja.”
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah duduk pula menunggu kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara mereka menunggu, maka Mahisa Amping sempat melihat kelompok-kelompok burung bangau yang terbang di udara. Mereka melintas dengan cepat dalam iring-iringan yang seakan-akan diatur dengan rapi. Namun kemudian, seperti pasir yang dibaurkan, burung pipit menghambur turun ke atas batang padi yang sedang berbuah.
“Kenapa tidak ada orang yang menunggu padi itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kenapa?”
Sejauh-jauh mereka memandang, mereka sama sekali tidak melihat seorang pun yang berada di sawah sementara padi mulai menguning.
“Agaknya pengaruh keadaan,” berkata Wantilan, “tentu ada hubungannya dengan sikap orang-orang padukuhan yang telah mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.”
“Nampaknya kejahatan itu telah terjadi dipadukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini,” berkata Mahisa Semu. Lalu katanya pula, “Karena itu agaknya maka orang-orang tidak berani turun ke sawah, meskipun di siang hari.”
Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melangkah semakin dekat.
“Marilah,” berkata Mahisa Murti ketika ia telah berdiri di hadapan Mahisa Amping, “kita melanjutkan perjalanan.”
Mereka berlima pun telah melanjutkan perjalanan. Ternyata perjalanan mereka memang cukup panjang. Mereka telah jauh meninggalkan padepokan mereka untuk waktu yang sangat panjang. Karena itu, ketika mereka berniat kembali, mereka pun harus menempuh jalan panjang pula. Ketika mereka kemudian melintasi sebuah padukuhan yang besar sementara matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka telah singgah disebuah kedai.
Mahisa Amping yang memang sudah menjadi lapar, telah memasuki kedai itu dengan wajah yang cerah. Namun, demikian ia berada di dalam kedai itu, maka ia telah memandang berkeliling. Beberapa kali mereka mengalami persoalan ketika mereka berada di dalam kedai.
Namun kedai itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Meskipun ada juga satu dua orang yang ada di dalam, namun mereka ternyata hanya minum sambil memungut sepotong makanan, kemudian meninggalkan kedai itu. Agaknya mereka hanyalah orang-orang yang tinggal dekat dengan kedai itu saja.
“Nampaknya jalan ini tidak terlalu ramai,” berkata Mahisa Murti.
“Ya,” sahut pemilik kedai, “sejak sebulan yang lalu.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa sejak sebulan yang lalu?”
“Sebelumnya jalan ini termasuk jalan yang ramai. Tetapi sejak sebulan yang lalu segala-galanya telah berubah,” berkata pemilik kedai itu.
“Apa yang berubah?” bertanya Mahisa Murti.
“Lingkungan di sekitar padukuhan ini menjadi gelisah. Banyak terjadi kerusuhan, sehingga jarang orang berani berpergian keluar dari padukuhan mereka masing-masing. Dengan demikian maka jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain ini menjadi sepi,” jawab pemilik kedai itu.
“Bukankah dengan demikian penghasilan Ki Sanak menjadi jauh berkurang?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Tentu Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat mengeluh karena tidak banyak lagi orang yang sempat singgah di kedai ku ini,” berkata pemilik kedai itu kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keadaan pemilik kedai itu. Sudah tentu ia tidak akan mampu merubah keadaan itu. Namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, “Apakah keadaan seperti ini menebar di daerah yang luas?”
“Lebih dari empat atau lima Kabuyutan mengalaminya,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya lagi, “Apakah Ki Sanak tahu, apakah yang menyebabkan perubahan itu?”
“Tidak. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja keamanan jalan-jalan di bulak-bulak panjang menjadi terganggu. Beruntunglah Ki Sanak, bahwa Ki Sanak tidak mengalami gangguan apa pun di perjalanan,” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti, “Agaknya kerusuhan di tempat ini dilakukan oleh kelompok yang sama, yang telah melakukan kejahatan di padukuhan yang telah bangkit itu.”
“Apa yang Ki Sanak maksud?” bertanya pemilik kedai itu.
“Di sebuah padukuhan yang juga termasuk besar seperti padukuhan ini, orang-orangnya telah bangkit. Mereka telah menyusun satu kelompok yang bukan saja terdiri dari anak-anak muda. Nampaknya mereka telah menyatakan diri menjadi pengawal padukuhan. Dengan kelompok pengawal itu, maka diharapkan keadaan padukuhan itu menjadi lebih baik. Para penjahat harus berpikir ulang jika mereka akan memasuki padukuhan itu atau melakukan kejahatan di bulak-bulak persawahan milik padukuhan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Padukuhan yang mana?” bertanya pemilik kedai itu pula.
“Sayang, kami tidak bertanya namanya. Tetapi kami telah melalui padukuhan itu dan melihat kesiagaannya yang tinggi,” jawab Mahisa Pukat pula.
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kami tidak mempunyai orang kuat yang mau menggerakkan anak-anak muda di padukuhan ini. Ki Bekel sudah terlalu tua. Beberapa orang bebahu justru menjadi ketakutan karena pada umumnya mereka sudah menjadi kaya. Mereka takut akan mengalami sesuatu sehingga harus meninggalkan kekayaan mereka itu.”
“Memang seharusnya ada orang kuat itu,” berkata Mahisa Pukat.
Tetapi pembicaraan mereka terhenti. Pemilik kedai itu melihat tiga orang yang mendekati kedainya. Berbisik pemilik kedai itu berkata, “Hati-hatilah. Mereka bukan orang-orang padukuhan ini seperti Ki Sanak. Tetapi sejak lima hari yang lalu ia selalu datang ke kedai ini.”
“Terima kasih atas peringatan ini,” jawab Mahisa Murti, “kami tidak akan berbuat sesuatu yang dapat membuat mereka menjadi marah.”
Sebenarnyalah ketiga orang itu pun telah singgah di kedai itu pula. Tetapi mereka lebih senang duduk di sebuah lincak bambu di luar kedai itu. “Di dalam udaranya terlalu panas,” berkata salah seorang dari antara mereka.
Pemilik kedai itu tidak menjawab. Ia masih saja melayani permintaan Mahisa Amping. Sementara itu, seorang lagi telah masuk ke dalam kedai itu serta memesan minuman semangkuk. Tetapi setiap kali orang itu selalu memperhatikan orang-orang yang ada di luar kedai itu. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti pun menjadi semakin memperhatikan ketiga orang itu pula.
Tetapi ternyata ketiga orang itu tidak berbuat sesuatu. Sampai saatnya kelima orang itu selesai makan dan minum, ketiga orang itu masih berada di luar. Mereka memang memesan minuman juga. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam kedai. Mahisa Murti lah yang kemudian membayar harga minuman dan makanan. Ketika ia mengambil uang dikampilnya, maka pemilik kedai itu sempat memperhatikan isinya. Cukup banyak.
Karena itu, tiba-tiba saja pemilik kedai itu berkata, “Hati-hati dengan uangmu yang banyak itu. Kau akan melewati bulak yang panjang. Sementara itu daerah ini sudah tidak aman lagi.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “jadi bagaimana menurut pendapat Ki Sanak?”
“Berbahaya bagimu membawa uang sebanyak itu lewat bulak panjang. Apalagi jika yang membawa uang itu bukan hanya Ki Sanak seorang diri.”
Mahisa Murti menjawab dengan suara keras, “Ya Ki Sanak. Kami masing-masing memang membawa uang cukup. Jika kami kehabisan uang maka senjata kami ini harganya mahal sekali. Kami dapat menjualnya dan kami akan merasa sangat berat membawa uang hasil penjualannya.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat hulu pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terbuat dari emas. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak saudara-saudaranya untuk meninggalkan kedai itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, Mahisa Murti telah terhenti ketika tangan Mahisa Amping menggamitnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku menjadi berdebar-debar.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Siapa tiga orang yang duduk-duduk di luar kedai itu kakang?” bertanya Mahisa Amping.
“Tentu saja aku tidak tahu,” jawab Mahisa Murti, “kenapa?”
“Wajah mereka bercahaya kehitam-hitaman,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Nampaknya anak itu telah disentuh oleh isyarat yang kadang-kadang muncul di hatinya, namun kadang-kadang tidak sama sekali. Isyarat itu ternyata dekat sekali dengan perhitungan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berhati-hati.
Sementara itu Mahisa Amping telah bertanya kepada Mahisa Murti, “Kenapa kakang tadi berbicara dengan keras, bahwa kakang mempunyai banyak uang. Kakang mengatakan bahwa kami semua membawa uang.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Amping. Aku hanya ingin sedikit menyombongkan diri.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Demikianlah maka beberapa orang itu telah berjalan menyusuri bulak-bulak panjang. Beberapa kali Mahisa Murti memandang berkeliling. Tetapi ia tidak melihat seorang pun. Namun ketika mereka sampai ke sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka telah melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang. Enam orang.
“Kakang,” berkata Mahisa Amping, “lihat mereka. Bukankah tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang berada di kedai itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti.
“Mereka mendengar kata-kata kakang,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi pada suatu saat, Mahisa Amping akan tahu kenapa ia berbuat seperti itu. Beberapa saat kemudian, maka kelima orang itu telah melangkah semakin dekat dengan keenam orang yang telah menunggu itu. Mahisa Murti yang berjalan di paling depan sama sekali tidak menjadi ragu-ragu melangkah. Bahkan dengan tetap ia berjalan semakin dekat dengan keenam orang itu.
Baru beberapa langkah di depan orang-orang itu Mahisa Murti berhenti sambil berkata, “Ki Sanak. Aku akan lewat.”
Yang terdengar adalah suara tertawa. Seorang di antara ke enam orang itu berkata, “Kau adalah orang-orang yang sombong. Kau dengan sengaja memamerkan uangmu. Kami memang tertarik Ki Sanak. Karena itu, kami menunggu kalian di sini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kau sadar, bahwa yang kau lakukan itu bertentangan dengan paugeran?”
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah artinya paugeran bagi kami?”
“Paugeran mengikat semua orang,” jawab Mahisa Murti.
“Kami adalah orang-orang yang berdiri di luar segala paugeran. Kami adalah orang-orang bebas yang berbuat sesuai dengan keinginan kami sendiri,” berkata orang itu.
“Tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari paugeran. Setiap pelanggaran pasti akan mendapat hukumannya,” desis Mahisa Murti.
Tetapi orang-orang itu justru tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah paugeran dapat menjerat kami sekarang.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “Tentu. Paugeran akan menjerat kalian sekarang, jika kalian tetap berniat melanggar paugeran.”
“Kita akan melihat, apakah paugeran dapat mencegah niat kami mengambil uang kalian, emas dihulu senjata kalian dan apa pun yang ada pada kalian.”
“Kami pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Orang yang mengetahui bahwa kami membawa banyak uang ketika kami membayar makanan dan minuman pada sebuah kedai. Tetapi orang yang akan berbuat jahat itu melihat sendiri uangku yang tanpa sengaja nampak olehnya. Kali ini kalian juga akan merampas uangku karena kalian tahu bahwa aku membawa uang banyak. Kalian mengetahuinya ketika kami akan membayar makanan dan minuman disebuah kedai. Bedanya, kalian agaknya telah bekerja bersama dengan pemilik kedai itu. Pemilik kedai itu telah memberikan isyarat kepada kalian, bahwa seseorang ternyata membawa uang banyak sehingga pantas untuk dirampok diperjalanan,” berkata Mahisa Murti.
“Setan kau,” geram orang yang agaknya pemimpin dari sekelompok penyamun itu, “tetapi apa pun juga yang kau katakan, kami akan merampas uang dan barang-barang kalian.”
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “Kami akan menangkap kalian dan sekaligus pemilik kedai itu. Kalian akan kami serahkan kepada Ki Bekel di padukuhan yang baru saja kami tinggalkan.”
Pemimpin sekelompok penyamun itu tertawa. Katanya, “Bagaimana kalian akan menangkap kami. Jumlah kami lebih banyak dari kalian. Kami adalah orang-orang yang sangat ditakuti di sini.”
“Mungkin kalian sangat ditakuti di sini. Tetapi kami pun sangat ditakuti orang di sana. Karena itu, sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian. Biarlah kami lewat. Di antara kita tidak ada persoalan apa pun lagi,” berkata Mahisa Murti.
“Ternyata mulutmu lebih tajam dari ujung senjata. Kau kira dengan caramu kau akan berhasil melalui daerah kami tanpa gangguan?” desis pemimpin kelompok itu.
“Dalam waktu sehari, kami sudah mengalami dua persoalan yang sangat menjengkelkan. Salah paham dengan orang-orang padukuhan yang sedang bangkit untuk melawan para penjahat. Dan sekarang menghadapi kalian di sini,” berkata Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian lekas kami selesaikan. Kami akan segera meneruskan perjalanan.”
“Kamilah yang akan menyelesaikan kalian. Tetapi tidak perlu tergesa-gesa. Kesombongan kalian membuat kami ingin melihat kalian ketakutan sebelum kalian semuanya terbunuh di sini. Agaknya sangat menyenangkan.”
“Apa yang menyenangkan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Melihat orang ketakutan sebelum matinya. Apalagi orang-orang sombong seperti kalian,” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Menyenangkan sekali melihat kau ketakutan sebelum mati.”
Orang itu mengumpat. Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak ketakutan. Bahkan nampaknya mereka juga ingin melakukan sebagaimana yang akan mereka lakukan. Karena itu, maka pemimpin kelompok penyamun itu pun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Dalam waktu sekejap, keenam orang itu telah melingkari Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Namun kelima orang yang dikepung itu pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Amping pun telah bersiap pula.
Dalam keadaan seperti itu Mahisa Semu masih sempat bertanya kepada Mahisa Amping, “Kau mau apa?”
“Bukankah mereka akan menyerang kita?” jawab Mahisa Amping.
“Dan kau?” bertanya Mahisa Semu pula.
“Bertempur. Siapa tahu ada yang menyerang aku. Atau akan menangkap aku sebagai barang taruhan,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu tersenyum. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Orang-orang yang mengepung itu mulai bergerak. Dua orang telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Semu dan Wantilan telah menyongsongnya. Mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Sementara itu empat orang yang lain mulai bergerak pula. Pemimpin sekelompok penyamun itu berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu banyak tingkah. Serahkan saja semua yang kami minta.”
“Bukankah kami berniat menangkap kalian?” sahut Mahisa Murti.
Jawaban itu telah membuat telinga pemimpin sekelompok penyamun itu semakin marah. Karena itu maka katanya, “Bunuh saja orang-orang ini.”
“Bukan main,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Hari itu ia sudah mendapat ancaman untuk dibunuh sampai dua kali.”
Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah bertempur melawan dua orang sekaligus. Demikian pula Mahisa Pukat. Orang-orang itu agak mengabaikan kehadiran Mahisa Amping. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Mereka semakin menebar di sepanjang jalan yang sepi di tengah-tengah bulak itu.
Namun perhitungan orang-orang yang mendapat isyarat dari pemilik kedai itu tidak tepat. Mereka tidak segera dapat menguasai anak-anak muda itu. Bahkan orang yang merampok itu semakin lama justru menjadi semakin heran, bahwa anak-anak muda itu masih saja mampu bertahan. Mereka sama sekali tidak nampak gugup atau cemas melihat keadaan yang mereka hadapi. Dengan tangkas anak-anak muda itu masih saja berloncatan dengan cepat.
Karena itu maka pemimpin sekelompok penyamun itulah yang menjadi cemas. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan bersama dengan orang-orangnya ia berusaha untuk dengan segera menundukkan lawan-lawannya. Tetapi anak-anak muda itu masih saja melawan dengan segar. Tenaganya masih sesegar ketika mereka mulai bertempur.
Semakin lama para penyamun itu pun mulai menjadi letih. Tenaga mereka mulai susut dan kegelisahan di hati mereka menjadikan jantung mereka semakin bergejolak. Para penyamun itu sama sekali tidak menyangka, bahwa anak-anak muda itulah yang semakin lama justru semakin menguasai arena pertempuran. Pada saat-saat terakhir, para penyamun itu masih berusaha. Dua orang lawan Mahisa Murti telah menghentakkan kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak nampak gugup. Ia masih saja berloncatan dengan tenaga yang masih utuh. Bahkan serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin cepat. Senjata para penyamun itu rasa-rasanya tidak lagi sanggup membendung ujung pedang di tangan Mahisa Murti. Pedang yang memiliki ciri kekhususannya. Namun Mahisa Murti sempat bertanya, “Apakah kau masih menginginkan hulu pedangku yang terbuat dari emas ini?”
Lawan-lawan Mahisa Murti itu tidak sempat menjawab. Ketika pedang Mahisa Murti terjulur, maka mereka telah berloncatan menjauh. Demikian pula dua orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat. Bahkan seorang di antara mereka sempat menggeram, “Apakah aku berhadapan dengan ilmu iblis.”
Tetapi para penyamun itu sudah masuk ke dalam pertempuran. Mereka tidak dapat lagi menghindarkan diri dari kenyataan, bahwa mereka memang telah menyamun.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kami tidak akan mengambil tindakan sendiri. Yang akan kami lakukan adalah menyerahkan kalain kepada Ki Bekel atau Ki Buyut bersama-sama dengan pemilik kedai itu. Ternyata ia adalah orang yang licik.”
“Aku tidak akan menyerah,” jawab seorang di antara kedua orang lawan-lawannya, “kami justru akan memotong lidahmu yang selalu mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati itu.”
“Aku hanya menawarkan satu penyelesaian yang paling baik kalian,” berkata Mahisa Pukat, “karena jika kita bertempur terus, maka ada kemungkinan lain dapat terjadi. Kami tidak sempat membawamu kepada Ki Bekel atau Ki Buyut karena tubuh kalian akan terkapar mati di sini.”
“Persetan, tutup mulutmu,” salah seorang lawan Mahisa Pukat berteriak demikian gejolak di dalam hatinya menjadi semakin mengguncang keseimbangan jiwanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Justru berkepanjangan. Katanya, “Dalam keadaan seperti ini kau masih saja sempat membual.”
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu terkejut ketika ujung pedang anak muda itu hampir saja menggapai keningnya. Namun mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Meskipun berdua melawan seorang, tetapi lawan-lawan Mahisa Pukat mengalami banyak kesulitan.
Demikian pula orang yang bertempur melawan Mahisa Semu. Mahisa Semu ternyata sudah menjadi semakin maju dengan latihan-latihan yang dilakukan sepanjang perjalanan. Ilmu pedangnya menjadi semakin mapan. Bahkan nampak betapa Mahisa Semu mulai menguasai bagian-bagian yang paling rumit dari ilmu pedangnya. Lambat laun tetapi pasti, Mahisa Semu semakin lama semakin mendesak lawannya yang masih bergerak dengan kasar dan buas.
Wantilan justru bertempur agak jauh dari arena pertempuran yang lain. Ia berloncatan kian kemari dengan tangkasnya. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Memang agak berbeda dengan cara Mahisa Semu menghadapi lawannya. Tetapi Wantilan memang menimbulkan kesan agak keras dan kasar.
Dengan demikian, maka keenam orang perampok itu semakin kehilangan pegangan. Mereka terdesak oleh kemampuan ilmu lawannya. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sekedar mempergunakan ilmu kewadagannya yang biasa, namun ternyata itu pun telah membuat lawan-lawan mereka bingung.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti masih memperingatkan mereka. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Hentikan perlawanan atau kalian menunggu permainan ini benar-benar sampai tuntas?”
“Cukup,” teriak pemimpinnya, “jika kau memang jantan, lawan aku sampai salah satu pihak tidak mampu lagi mengangkat senjatanya atau mati.”
“Kita masih bertempur Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “seharusnya kau merasa, apa yang sedang kau alami itu.”
Pemimpin sekelompok penyamun itu menggeram marah. Tetapi betapa pun ia ingkar dari kenyataan, tetapi kenyataan itu memang harus berlaku. Anak muda itu benar-benar tangguh dan tidak mengenal letih. Sudah sekian lama pertempuran itu berlangsung, mereka masih tetap segar.
Dengan demikian maka pemimpin perampok itu menjadi semakin gelisah. Meskipun ia masih nampak garang dan kata-katanya masih menggelegar bagaikan guruh di langit, tetapi sebenarnyalah hatinya menjadi semakin kecut. Ia menjadi semakin menyadari akan kelemahannya di hadapan anak muda itu. Berdua ia tidak mampu berbuat apa-apa. Demikian juga dua orang kawannya yang lain, sedangkan kedua orang yang lain lagi masing-masing telah mendapat lawan yang tidak dapat dikalahkannya
Sementara itu Mahisa Pukat masih juga berkata, “Sudahlah. Jangan memaksa pertempuran ini sampai membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Sekali lagi aku katakan, jika kalian menyerah, persoalannya akan kami serahkan kepada Ki Buyut. Demikian juga pemilik kedai yang ternyata telah membantu kalian mengisyaratkan orang-orang yang pantas kalian rampok di perjalanan.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi kedua orang lawan Mahisa Pukat itu telah berusaha menghentakkan ilmu mereka. Tetapi keduanya sama sekali tidak berhasil mendesak Mahisa Pukat barang sejengkalpun. Dengan demikian, maka baik lawan Mahisa Murti, lawan Mahisa Pukat maupun lawan Mahisa Semu dan Wantilan, benar-benar tidak akan mampu mengimbangi ketangkasan anak-anak muda itu.
Namun dalam keadaan yang sulit itu, pada saat hampir saja para perampok itu menyerah, tiba-tiba saja telah terdengar suara tertawa yang telah mengusik perasaan mereka. Hampir berbareng semua orang telah berpaling. Bukan saja Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan, tetapi juga lawan-lawan mereka. Bagaimanapun juga, yang mereka lihat adalah seorang yang mendebarkan jantung. Orang itu adalah pemilik kedai yang baru saja mereka singgahi.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia bertanya sesuatu, orang itu telah melangkah mendekat sambil berkata, “Kalian memang luar biasa anak-anak muda.”
Tidak terdengar jawaban. Sementara Mahisa Murti dan saudara-saudara menjadi semakin bersiaga.
“Aku tidak mengira bahwa kalian mampu mengatasi kegarangan kawan-kawanku itu,” berkata orang itu.
“Jadi kaukah otak dari permainan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Bukan,” jawab orang itu, “kita semuanya sudah sepakat untuk bermain-main. Tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat dituduh sebagai otaknya atau sekedar pelaksana.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “tawaran kami masih kami berikan. Menyerahlah agar kita semuanya tidak menyesali diri sebagai pembunuh. Apakah kalian yang mati atau kami yang mati, namun akan terjadi salah satu pihak di antara kita adalah pembunuh. Tetapi menilik keseimbangan kekuatan kami, maka kamilah yang akan menyesal bahwa kami membunuh kalian.”
“Cukup,” berkata pemilik kedai itu, “jangan membual. Aku sudah merasa kelebihan kalian di saat kalian meninggalkan kedai. Jika kalian bukan orang-orang yang memiliki ilmu, maka kalian tidak akan dengan sengaja menawarkan uang, hulu pedang dan milik kalian yang lain, karena kalian nampaknya sudah mencurigai aku dan kawan-kawanku itu.”
“Jadi kau sudah menduga bahwa kami akan melawan?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya, sebagaimana kalian mencurigai kami, aku pun merasa curiga atas kalian. Karena itu, maka aku telah hadir di tempat ini pula. Tetapi seperti yang aku katakan, aku kira kalian akan menyesali kesombongan kalian karena kalian akan digilas oleh para perampok itu. Namun ternyata tidak. Kalian mampu mengatasi para perampok yang sampai saat sebelum kau datang, adalah perampok yang sangat ditakuti dan tidak pernah gagal menelan korbannya,” berkata pemilik kedai itu. Lalu katanya pula, “Nah, karena kalian ternyata tidak dapat dikalahkan oleh para perampok itu, maka akulah yang akan mengalahkan kalian. Enam orang itu akan melawan tiga orang di antara kalian, sedangkan aku akan membunuh kalian seorang demi seorang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa pemilik kedai itu tentu orang berilmu tinggi. Dengan demikian maka mereka pun menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang itu.
Sebenarnyalah, orang itu ternyata telah memilih Mahisa Murti untuk menjadi lawannya yang pertama. Sementara kedua orang lawan Mahisa Murti pun telah bergeser menjauhinya. “Nah,” berkata orang itu, “sekarang kau tentu tidak akan menawarkan kepada kami untuk menyerah.”
“Tawaran tetap sebelum kalian terbunuh di sini,” jawab Mahisa Murti.
Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tertawa lagi. Katanya, “Kau masih saja menyombongkan diri di saat-saat terakhir dari hidupmu. Bagus. Sebaiknya kau memang mati dengan wajah tengadah daripada mati dengan wajah menuduk.”
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apa pun yang akan terjadi, maka ia tidak akan mengingkarinya.
Sementara itu Mahisa Pukat memang mencemaskan Mahisa Semu dan Wantilan. Mahisa Pukat menyadari, bahwa jika Mahisa semu dan Wantilan masing-masing harus bertempur melawan dua orang, maka mereka akan segera mengalami kesulitan, meskipun dalam pertempuran seorang lawan seorang, keduanya masih menunjukkan kelebihannya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu pun tiba-tiba saja bereriak, “Marilah Ki Sanak. Siapakah yang ingin mati lebih dahulu, datangklah kepadaku.”
Para perampok yang meninggalkan Mahisa Murti itu pun merasa tersinggung pula. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata, “Kalian kira bahwa kedatangan seorang kawan itu akan dapat menyelamatkan kalian? Kalian yang telah bertempur untuk beberapa lama aku mengetahui, bahwa apa pun yang kalian lakukan, maka kalian akan mati. Dengan demikin maka di antara kalian yang sudah siap untuk menyerah, sebaiknya kalian lanjutkan rencana kalian untuk menyerah itu. Dengan demikian maka jiwa kalian akan di selamatkan.”
“Persetan,” geram salah seorang yang telah bertempur melawan Mahisa Murti itu, “kau terlalu sombong.”
“Bukankah kau termasuk orang yang telah menjadi pucat dan hampir menangis ketakutan, sehingga kalian hampir saja menyerah?” bertanya Mahisa Pukat.
Kedua orang yang baru saja meninggalkan Mahisa Murti itu ternyata telah mendekatinya pula sambil berkata, “Kami ingin membunuhmu lebih dahulu sebelum membunuh kawan-kawanmu.”
Mahisa Pukat melangkah surut. Ia sadar, bahwa ia pun akan mengalami kesulitan untuk melawan empat orang sekaligus. Tetapi ia masih berharap akan dapat dengan bermacam-macam cara bertahan lebih lama daripada Mahisa Semu dan Wantilan bila mereka masing-masing harus bertahan menghadapi dua orang. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah bertempur melawan empat orang sekaligus yang mendendamnya karena mereka telah merasa tersinggung oleh kata-kata anak muda itu.
Dalam beberapa saat kemudian, maka pertempuran telah menjadi semakin sengit. Keempat orang lawan Mahisa Pukat itu benar-benar telah berusaha untuk membunuhnya. Mereka menyerang susul menyusul sementara keempat orang itu berdiri mengelilingi Mahisa Pukat yang berloncatan kian kemari. Tetapi Mahisa Pukat memang tangkas. Karena itu, maka serangan-serangan keempat lawannya tidak segera dapat mengenainya.
Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat merasa, bahwa memang terlalu berat untuk melawan empat orang dengan kekuatan dan kemampuan kewadagannya saja, betapa pun ia tangkas bergerak dan memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur pula melawan pemilik kedai itu. Sambil tertawa pemilik kedai itu berkata, “Nasibmu memang buruk karena telah membawamu ke kedaiku. Tetapi seandainya kau tidak terlalu sombong, maka kau tidak akan mengundang aku kemari.”
“Jadi maksudmu, sebaiknya kami membiarkan diri kami dibunuh oleh perampok-perampok itu sehingga kau tidak perlu datang?” bertanya Mahisa Murti.
“Jika sejak awalnya kau menyerahkan semua yang dimintanya, mungkin kau akan mendapat kesempatan untuk hidup,” jawab pemilik kedai itu.
“Tidak. Kami memang memancing agar kau datang. Semua orang yang terlibat. Seandainya masih ada orang lain lagi, sebaiknya ia hadir di pertempuran ini,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu menggeram. Ia meloncat semakin garang. Senjatanya berputaran dengan ganasnya menyambar-nyambar. Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas menghadapinya. Pedangnya pun dengan cepat berputar pula. Bahkan seakan-akan telah membentuk dinding baja mengelilinginya. Demikian rapatnya sehingga sulit untuk ditembus oleh ujung senjata lawannya.
Pemilik kedai itu ternyata juga memiliki senjata yang menggetarkan. Sebuah kapak yang tidak terlalu besar. Tangkainya memang agak terlalu panjang jika diukur dengan kapak kebanyakan. Namun kapak itu tidak hanya bermata sebelah, tetapi kapak bermata rangkap.
Ternyata pemilik kedai itu memang seorang yang berilmu tinggi. Beberapa saat kemudian, setelah keringatnya mulai membasahi kulitnya, maka pemilik kedai itu telah menghentakkan ilmunya yang menandainya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Ayunan kapaknya bukan saja sangat berbahaya karena tajamnya yang akan dapat mengoyak kulit dagingnya, tetapi desir anginnya telah mulai menghembuskan udara panas. Namun ilmu itu sama sekali tidak mengerutkan perlawanan Mahisa Murti. Ia justru merasa semakin tegar menghadapi lawan yang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang telah menjadi semakin terdesak. Tetapi hal itu sama sekali tidak mengecilkan hati Mahisa Murti. Ia yakin bahwa Mahisa Pukat masih akan mampu bangkit dan melindungi dirinya sendiri. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tidak mengalami kesulitan apa-apa menghadapi lawan mereka. Bahkan keduanya semakin nampak akan dapat menguasai lawan masing-masing.
Sementara itu pemilik kedai itu telah meningkatkan ilmunya pula. Kapaknya menjadi semakin cepat menyambar-nyambar, sementara udara panas semakin menyengat kulitnya.
Mahisa Murti masih bertahan beberapa saat. Tetapi ketika udara panas itu semakin menggigit, maka ia pun mulai mengerahkan ilmunya pula. Pedangnya yang memang berwarna kehijauan itu mulai menyala. Daun pedang itu seakan-akan bukan saja berwarna kehijauan, tetapi juga memancarkan sinar yang berwarna kehijauan pula.
Ternyata daun pedang Mahisa Murti telah menarik perhatian pemilik kedai itu. Ia segera mengerti, bahwa anak muda yang dihadapinya benar-benar anak muda yang berilmu tinggi. Karena itu maka pemilik kedai itu merasa harus berhati-hati. Tetapi ia tidak dapat menarik diri. Ia justru semakin meningkatkan ilmunya.
Ketika ilmu itu sampai ke puncak, maka sebenarnyalah tubuh Mahisa Murti bagaikan berada di dalam lingkungan bara api. Keringat telah membasahi tubuh Mahisa Murti. Namun ia tidak ingin menjadi hangus. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menghentikan serangan panas itu atas tubuhnya yang seakan-akan terpanggang di atas bara.
Mahisa Murti yang menganggap bahwa pemilik kedai itu sebagai orang yang sangat berbahaya telah memutuskan untuk membuat perhitungan sampai tuntas. Menurut perhitungan Mahisa Murti orang itu tidak akan dapat diperbaiki lagi tingkah lakunya. Nampaknya ia telah begitu yakin akan kebenaran jalan yang ditempuhnya meskipun ia sadar, bahwa jalan itu adalah jalan kegelapan. Kebenaran bagi pemilik kedai itu adalah kebenaran bagi dirinya sendiri yang justru bertentangan dengan kebenaran yang berlaku dalam hubungannya dengan sesama.
Karena itu, maka Mahisa Murti yang marah itu pun telah menghentakkan ilmunya pula. Pedangnya tidak lagi sekedar memancar, tetapi seakan-akan telah terbakar. Bunga api yang berwarna kehijauan menjilat dari seluruh tubuh pedang itu. Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar melihat pedang Mahisa Murti. Namun ia merasa bahwa panas udara yang memancar oleh hentakkan ilmunya akan dapat menghanguskan tubuh lawannya yang masih sangat muda itu.
Tetapi Mahisa Murti yang menjadi semakin marah telah mengacukan pedangnya ke arah orang itu. Dengan satu hentakkan kekuatan ilmunya, maka dari ujung pedang yang teracu kepada pemilik kedai itu telah meluncur cahaya yang kehijauan pula.
Tetapi pemilik kedai itu memang tangkas. Ia sempat meloncat dan berguling menghindar. Geraknya memang sangat cepat, sehingga ia berhasil membebaskan diri dari semburan cahaya yang berwarna kehijauan itu. Tetapi Mahisa Murti yang kulitnya bagaikan telah menjadi hangus itu tidak melepaskannya. Ia pun kemudian telah menyerang lawannya sekali lagi. Namun sekali lagi ia dapat menghindar.
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar melihat kemampuannya bergerak cepat. Ketika Mahisa Murti telah bersiap untuk menyerang lagi, tiba-tiba orang itu sudah melenting. Kapaknya menyambar dengan ayunan yang menggetarkan jantung. Namun Mahisa Murti sempat menangkis serangan itu dan bahkan sekaligus memutar pedangnya mendatar menyambar ke arah dada. Tetapi dengan gerakan sederhana orang itu telah melepaskan diri dari jangkauan ujung pedang anak muda itu. Bahkan panas udara karena kekuatan ilmunya telah membakar Mahisa Murti sehingga keringatnya benar-benar terperas dari tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti pun tidak mau membiarkan dirinya menjadi abu. Sekali lagi ia telah melepaskan serangan dengan melontarkan ilmu lewat ujung pedangnya. Tetapi sekali lagi Mahisa Murti telah gagal. Bahkan orang itu telah menjatuhkan dirinya berguling dan sekaligus kapaknya menyambar ke arah lutut. Mahisa Murti sempat mengelak. Tetapi begitu cepatnya kapak itu bagaikan menggeliat. Satu sentuhan telah mengoyakkan kulit paha Mahisa Murti.
Mahisa Murti berdesis menahan sakit. Tetapi untuk memperbaiki keadaannya, ia langsung menjulurkan pedangnya ke arah orang itu. Satu leret sinar kehijauan telah menyambarnya. Tetapi orang itu berguling sekali lagi. Kemudian melenting berdiri beberapa langkah di depan Mahisa Murti. Dengan satu loncatan panjang orang itu menggapai leher Mahisa Murti dengan kapaknya.
Mahisa Murti memang harus menangkis serangan itu. Tetapi ternyata pula bahwa tenaga orang itu terlalu kuat. Hampir saja pedangnya terlempar. Untunglah bahwa daya tahan Mahisa Murti cukup besar untuk mengatasinya. Namun sentuhan itu justru mulai diharapkan oleh Mahisa Murti. Setelah bertempur beberapa saat, ia mulai dapat membaca kebiasaan lawannya, sehingga ia dapat memancing serangan-serangan yang akan dapat ditangkisnya.
Tetapi Mahisa Murti hampir tidak mampu bertahan atas panasnya udara yang serasa semakin meningkat. Namun karena setiap kali orang itu harus menghindari serangan Mahisa Murti, maka Mahisa Murti masih mampu menahan hingga panasnya tidak menyamai panasnya api neraka. Yang terjadi kemudian adalah serangan yang dibalas dengan serangan. Beberapa kali telah terjadi sentuhan senjata dan kegelisahan pun menyala dalam dada Mahisa Murti.
Serangan-serangan Mahisa Murti memang berhasil mengurangi hembusan panas di sekitar tubuh lawannya. Saat-saat lawannya melenting dan berguling menghindar, maka panas udara itu pun seakan-akan telah menurun. Tetapi jika orang itu telah tegak kembali, maka tubuh Mahisa Murti pun kembali bagaikan terbakar. Namun dengan mengerahkan daya tahanannya, maka Mahisa Murti selalu berusaha menggapai tubuh lawannya dengan pedangnya, agar lawannya itu kemudian menangkis serangannya. Atau sebaliknya, Mahisa Murti memancing lawannya untuk menyerangnya dengan kapaknya untuk ditangkisnya.
Pemilik kedai itu ternyata menjadi heran melihat Mahisa Murti masih juga mampu bertahan. Sambil berloncatan menyerang dengan kapaknya selain dengan panasnya udara, orang itu berkata, “Ternyata kau memang seorang yang luar biasa anak muda. Seharusnya kau sudah mati. Tetapi kau mampu bertahan untuk beberapa saat. Yang aku tidak tahu, darimana kau mewarisi ilmu yang mampu kau lontarkan itu. Bahkan seakan-akan dapat meluncur dari ujung pedangmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia menyerang lebih sering. Pemilik kedai itu pun menjadi semakin sering menghindar dan untuk menghentikan serangan Mahisa Murti, maka pemilik kedai itu berusaha bertempur pada jarak yang dekat. Kecuali untuk membakar kulit anak muda itu, ia pun mampu menggapainya dengan kapaknya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat menyerangnya.
Keringat benar-benar telah terperas dari tubuh Mahisa Murti. Hampir saja ia meninggalkan arena karena ia tidak tahan lagi panasnya udara di sekitar tubuh lawannya. Namun jika ia menghindar, bukan berarti lawannya tidak akan mengejarnya. Karena itu, maka usaha Mahisa Murti justru semakin sering menyerang dan membiarkan dirinya diserang.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang bertempur melawan empat orang itu pun tidak membiarkan dirinya terdesak terus. Ia pun telah melepaskan ilmunya untuk menghisap kekuatan lawan-lawannya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat dengan sengaja telah bergeser mundur setiap kali lawannya mendesaknya. Namun ia selalu berusaha menangkis serangan-serangan yang datang beruntun dari keempat orang lawannya. Hanya pada saat-saat tertentu Mahisa Pukat memang menghentak mereka dan dan mendesaknya dengan putaran pedangnya. Namun yang penting bagi Mahisa Pukat adalah, bahwa lawannya itu telah menangkis serangan-serangannya.
Mahisa Semu dan Wantilan tidak menemui kesulitan sama sekali. Mereka mendesak lawannya terus. Sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah. Yang nampak olehnya adalah keadaan Mahisa Pukat yang disangkanya menjadi semakin terdesak. Ia ingin Mahisa Semu dan Wantilan untuk segera mengakhiri pertempurannya, kemudian mereka membantu Mahisa Pukat melawan empat orang perampok itu.
Tetapi Mahisa Amping tidak begitu menyadari apa yang terjadi atas Mahisa Murti. Ia tidak mengerti bahwa lawan Mahisa Murti itu mampu melepaskan panas dan bagaikan membakar kulit lawannya.
“Kau masih mampu bertahan juga?” geram orang itu, “seharusnya kau sudah terkapar karena panasnya udara tidak akan tertanggungkan lagi oleh siapa pun juga saat aku menghentakkan ilmuku sampai ke puncak.”
Namun Mahisa Murti justru masih mampu tersenyum betapa pun ia harus mengerahkan daya tahannya. Katanya, “Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang akan lebih dahulu kehilangan kesempatan.”
“Anak iblis,” geram orang itu sambil meningkatkan ilmunya benar-benar sampai tuntas.
Tetapi bagi Mahisa Murti, udara panas itu pun justru telah mulai menyusut. Meskipun orang itu merasa telah menghentakkan ilmunya sampai ke batas, namun panasnya tidak mampu membakar dan menghanguskan kulit Mahisa Murti. Semakin sering ia menyerang Mahisa Murti dan berhasil ditangkis dengan pedangnya atau sebaliknya, maka kemampuannya itu telah semakin menyusut.
Meskipun demikian pertempuran di antara keduanya masih berlangsung dengan keras dan cepat. Serangan demi serangan telah diluncurkan oleh kedua belah pihak. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Mahisa Murti yang berusaha untuk sebanyak-banyaknya beradu senjata itu, pada satu saat telah kehilangan kesempatan untuk menangkis serangan lawannya karena kecepatannya yang sangat tinggi. Yang dapat dilakukan hanya menggeliat dan sedikit bergeser. Namun ternyata bahwa tajamnya kapak lawannya sempat tergores di lengannya. Sebuah luka telah menganga. Meskipun tidak terlalu parah namun dari luka itu darah telah mengalir dengan derasnya.
“Kau sudah mendekati saat-saat terakhirmu,” berkata pemilik kedai itu sambil tertawa.
Namun Mahisa Murti menjawab, “Orang-orang seperti kau ini memang tidak sepantasnya untuk mendapat kesempatan pengampunan. Kau akan segera melihat bahwa permainanmu akan berakhir hari ini.”
“Persetan,” geram orang itu. Namun ketika ia meloncat menerkam Mahisa Murti, maka ia merasa sesuatu yang lain pada dirinya. Gerakannya mulai menjadi lambat. Sedangkan lawannya justru nampak semakin segar, seakan-akan panas udara tidak lagi terasa.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah menangkis terkaman kapak lawannya menyamping. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, sehingga orang itu hampir saja kehilangan keseimbangan. Tetapi dengan cepat ia berusaha untuk memperbaiki kedudukannya. Namun dengan cepat pula Mahisa Murti telah menyerang kembali. Demikian orang itu berdiri tegak, maka pedang Mahisa Murti telah terjulur.
Orang itu masih sempat menangkisnya. Bahkan kemudian ia pun dengan cepat pula berusaha menyerang. Dengan demikian ia memperhitungkan, Mahisa Murti tidak sempat menyerangnya dengan melepaskan loncatan-loncatan cahaya yang mampu menyambar dan meledakkannya. Tetapi orang itu tidak memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat membuat ilmunya menjadi rapuh.
Demikian pula keempat lawan Mahisa Pukat. Dengan garang keempat orang itu telah mendesak terus. Sambil berloncatan surut Mahisa Pukat telah menangkis serangan-serangan lawan mereka. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat membuat loncatan-loncatan panjang. Namun tiba-tiba ia pun telah meloncat menyerang dengan garangnya pula.
Benturan-benturan senjata menjadi semakin sering terjadi. Namun Mahisa Pukat justru merasa bahwa ia mulai berhasil. Mahisa Pukat tidak merasa lagi tekanan yang terlalu berat dari keempat lawannya. Mereka menjadi semakin lamban dan bahkan kekuatan mereka pun telah mulai menyusut.
Keempat lawannya kurang menyadari, apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka memang mulai merasa tenaga mereka telah menjadi susut. Begitu cepat dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya jika mereka menghadapi lawan-lawan mereka. Mereki dapat bertempur sehari penuh tanpa mengalami keletihan seperti saat itu.
“Mungkin karena anak ini bertempur sambil berloncatan,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya untuk membesarkan hati mereka sendiri.
Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan nampaknya sudah hampir menyelesaikan lawan-lawan mereka. Perampok itu terdesak semakin jauh. Sementara Mahisa Semu justru telah menggores pundak lawannya.
Sementara itu Mahisa Murti masih bertempur dengan pemilik kedai, yang ternyata lawannya itu pun memiliki daya tahan yang sangat tinggi sehingga ia musti saja mampu bertempur dengan cepat dan panas yang memancar dari ilmunya masih saja menggelisahkan Mahisa Murti, meskipun sudah menjadi semakin susut. Namun darah masih menitik dari luka Mahisa Murti. Semakin keras ia bertempur, maka darah itu menetes semakin banyak.
Tetapi ternyata bahwa betapa pun tinggi daya tahan tubuh lawannya, namun akhirnya Mahisa Murti dapat mendesaknya. Bahkan kemudian ujung pedangnya justru hampir saja menggapai kulit lawannya itu.
Lawannya telah mengumpat kasar. Ternyata pemilik kedai itu benar-benar orang berilmu tinggi. Meskipun kekuatannya sudah mulai susut, namun ternyata ia masih mampu menghentakkan kemampuannya sehingga kapaknya berhasil menyentuh lagi kulit Mahisa Murti. Ternyata kapak itu telah menyentuh dadanya. Hanya segores kecil. Tetapi karena kapak itu sangat tajam, maka goresan kecil itu telah merobek kulit Mahisa Murti.
Kemarahan Mahisa Murti semakin memuncak. Ia pun menyadari, bahwa panas yang bagaikan membakar tubuhnya telah memeras keringatnya dan bahkan memeras tenaganya. Dengan demikian maka tenaga Mahisa Murti itu pun telah menjadi susut. Namun tidak secepat lawannya. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka pemilik kedai itu telah mulai kehilangan banyak kesempatan. Ia merasa geraknya menjadi semakin lamban. Bahkan kakinya seakan-akan menjadi semakin berat. Kapaknya pun bagaikan berubah menjadi semakin besar.
Mahisa Murti yang sangat marah itu tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan. Ia sudah berniat untuk menyelesaikan lawannya yang menurut perhitungannya tidak mungkin lagi untuk merubah sikap dan pandangan hidupnya. Karena itu, maka disaat-saat Mahisa Murti mendapat kesempatan, maka ia tidak melepaskannya. Ketika ia sempat menembus pertahanan kapak lawannya, maka pedangnya telah berhasil menggores menyilang lambung pemilik kedai itu.
Pemilik kedai itu meloncat surut. Wajahnya menjadi tegang. Namun perasaan sakit telah menggigit pada lukanya. Meskipun luka itu tidak begitu dalam, tetapi luka itu membuatnya kehilangan keyakinan atas dirinya sendiri. Apalagi ketika ia menyadari bahwa kekuatan dan kemampuannya memang susut jauh lebih cepat dari yang seharusnya.
“Ternyata kau licik,” geram pemilik kedai itu, “kau telah mempergunakan ilmu siluman itu untuk mencuri kekuatan dan kemampuanku.”
“Apakah kau tidak mempergunakan ilmu iblis?” bertanya Mahisa Murti, “kau memang berilmu tinggi. Tetapi ternyata kau telah memilih hidup dari malapetaka yang kau timbulkan atas orang lain.”
“Persetan,” pemilik kedai itu hampir berteriak. Dengan sisa tenaganya ia telah menyerang Mahisa Murti. Namun ternyata panas yang dilepaskan dari ilmunya sudah tidak berarti lagi.
Namun Mahisa Murti sudah terlanjur menjadi sangat marah. Karena itu ketika lawannya itu menyerangnya dengan ayunan kapaknya, maka Mahisa Murti tidak sempat berpikir panjang lagi. Dengan sigapnya ia mengelak. Demikian kapak itu terayun di depan dadanya, maka ia pun telah meloncat menyerang. Ia tidak menyerang dengan lontaran ilmunya, tetapi ujung pedangnya yang bagaikan menyala itu langsung menghunjam ke dalam jantung lawannya itu. Seorang yang sehari-hari menjadi penunggu kedai yang tidak lagi banyak dikunjungi orang. Namun yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Tetapi ternyata pada suatu saat pemilik kedai itu telah bertemu dengan seorang lawan yang tidak dapat dikalahkannya. Pemilik kedai itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun ia harus mengakui, bahwa betapa lemahnya seseorang menghadapi rahasia yang tersembunyi di seputarnya.
Pemilik kedai yang kemudian terbaring sambil mengerang itu masih sempat berdesis, “Kau memang orang yang luar biasa. Kau dapat mengalahkan aku, sehingga aku harus mati hanya untuk persoalan yang tidak berarti ini.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia menyaksikan pemilik kedai itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sementara itu maka Mahisa Pukat ternyata tanggap akan keadaan. Ia tidak boleh melumpuhkan lawannya sampai tidak berdaya. Mereka harus diserahkan kepada Ki Bekel yang nampaknya mengalami kesulitan dengan gangguan yang terjadi di lingkungannya. Dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat menjadi semakin garang di mata keempat lawannya, Mahisa Semu dan Wantilan benar-benar telah menundukkan lawan mereka. Lawan Wantilan bahkan telah menyerah dan melemparkan senjatanya.
Sementara itu Mahisa Semu pun telah mendesak lawannya sehingga tidak berdaya. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu mendekati akhirnya, maka ternyata beberapa orang telah menyaksikannya dari kejauhan. Semula satu dua orang petani yang berada di sawah telah menyaksikan pertempuran itu. Namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka menyadari bahwa perampok yang berkeliaran di sekitar tempat itu sangat berbahaya. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha melaporkannya kepada Ki Bekel.
Tetapi Ki Bekel pun ternyata ragu-ragu untuk bertindak, sehingga karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap dengan sangat berhati-hati. Ia mengajak beberapa bebahu untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka dapat menemukan sikap setelah mereka menyaksikan apa yang terjadi di bulak panjang itu.
Mahisa Murti yang telah menyelesaikan lawannya, ternyata sempat melihat orang-orang yang bersembunyi di antara gerumbul-gerumbul itu. Tetapi Mahisa Murti sama sekali belum menyapa mereka karena Mahisa Murti tahu bahwa mereka tentu bukan kawan dari para perampok itu.
Mahisa Pukat masih harus menundukkan keempat lawannya. Ia tidak dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya, karena ia tidak mau menjadi lalai dan justru akan membunuh salah seorang dari keempat lawannya yang akan dipaksanya menyerah itu.
Ternyata keempat lawannya itu benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Ketika mereka sudah menjadi semakin lemah, maka Mahisa Pukat tidak lagi mempergunakan ilmunya itu. Ia benar-benar bertempur dengan mempergunakan pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan, namun daun pedang itu sudah tidak menyala lagi. Dari daun pedang itu tidak lagi menjilat lidah api yang juga berwarna kehijauan.
Namun keempat lawannya itu sudah hampir tidak berdaya meskipun mereka masih juga mampu menggerakkan senjata mereka. Tetapi setiap kali ia merasa ujung pedang Mahisa Pukat telah menyentuh kulitnya.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “atau kalian akan terbunuh seperti pemilik kedai yang ternyata adalah pemimpin kalian?”
Keempat orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka tidak ingin mati terbaring di tengah-tengah bulak. Karena itu, maka orang tertua di antara mereka telah meloncat mundur dengan sisa tenaganya sambil melemparkan senjatanya.
“Aku menyerah,” berkata orang itu.
Karena itu, yang lain pun telah melakukannya. Mereka pun telah melemparkan senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka pertempuran di bulak itu telah berakhir. Lawan Wantilan dan Mahisa Semu pun telah meletakkan senjata mereka pula.
Demikian orang-orang itu menyerah, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata lantang, “Marilah Ki Sanak. Aku tahu, kalian tentu bukan kawan-kawan dari para perampok itu. Keluarlah. Kalian tidak perlu bersembunyi.”
Ki Bekel yang membawa beberapa orang bebahu itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada para bebahu untuk keluar dari persembunyian mereka. Mereka pun percaya bahwa anak-anak muda itu tentu bukan penjahat. Justru ia telah berhasil mengalahkan para penjahat.
Mahisa Pukat yang telah menguasai keempat orang perampok itu pun kemudian berkata, “Bergeraklah. Kalian harus menemui orang-orang padukuhan itu, siapa pun mereka.”
Keempat orang itu memang menjadi pucat. Jika mereka jatuh ke tangan orang-orang padukuhan yang selama ini merasa ketakutan, mungkin nasibnya akan menjadi sangat buruk.
Ki Bekellah yang kemudian berdiri di paling depan untuk menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Meskipun agak ragu-ragu, namun Ki Bekel kemudian memperkenalkan dirinya, “Aku adalah Bekel dari padukuhan ini.”
“Oo,” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “adalah kebetulan sekali bahwa Ki Bekel telah datang ke tempat ini.”
“Seseorang melihat pertempuran di sini. Tetapi karena selama ini daerah ini terhitung sangat berbahaya, maka aku telah bertindak dengan sangat berhati-hati,” berkata Ki Bekel.
“Kami dapat mengerti,” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan sejak sekarang terjadi perubahan di lingkungan yang selama ini merupakan daerah yang berbahaya itu.”
“Apa yang telah terjadi di sini?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti pun telah menceriterakan tentang pemilik kedai yang sebenarnya adalah justru pimpinan dari tindak kejahatan itu. Bagaimana ia memberikan isyarat-isyarat kepada orang-orang yang menjadi kaki tangannya. Orang-orang yang diduganya memiliki bekal perjalanan yang cukup banyak, atau memiliki barang-barang berharga yang dibawanya, maka ia akan segera menjadi sasaran perampokan.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Mahisa Murti pun kemudian berkata pula, “Inilah orang-orang yang telah menjadi kaki tangan pemilik kedai itu.”
“Aku tidak mengira,” berkata Ki Bekel, “orang itu menurut pengenalan kami sehari-hari adalah orang yang baik. Ia adalah orang yang sering membantu kesulitan orang lain. Semula kami menganggapnya orang yang terlalu baik. Hidupnya sendiri termasuk sangat sederhana. Tetapi ia tidak merasa sayang untuk memberi bantuan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Ternyata kebaikan hatinya itu sekedar untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang sering dilakukannya.”
“Begitulah Ki Bekel,” sahut Mahisa Pukat, “keenam orang ini adalah orang-orang yang juga cukup berbahaya. Tanpa pemilik kedai itu, maka keenam orang itu dapat saja menjadi semakin liar jika mereka benar-benar tidak dikendalikan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami serahkan keenam orang ini kepada Ki Bekel.”
Ki Bekel masih mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Kami yakin, bahwa mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan sampai ke tempat yang jauh. Beberapa padukuhan telah menjadi garang dan bahkan orang-orangnya hampir menjadi buas karena lingkungannya yang terlalu sering diganggu oleh kejahatan. Ketika seorang yang merasa dirinya memiliki ilmu kembali ke padukuhannya setelah beberapa lama meninggalkan padukuhannya itu, maka ia menjadi sangat marah karena kejahatan-kejahatan yang sering terjadi di padukuhannya itu. Karena itu maka ia telah memimpin tetangga-tetangganya untuk menemukan pelaku kejahatan itu. Tetapi karena untuk beberapa lama mereka tidak menahan diri, maka akibatnya mereka pun menjadi buas. Mereka tidak lagi mampu mengendalikan diri. Orang yang disangkanya telah melakukan kejahatan telah diperlakukan di luar batas kemanusiaan.”
“Sangat menyedihkan,” desis Ki Bekel.
“Ya. Mungkin satu dua orang pengembara yang lewat di padukuhan itu di malam hari, tidak lagi mendapat ampun meskipun mereka benar-benar tidak bersalah,” berkata Mahisa Pukat.
“Sedangkan bertindak sendiri kepada orang-orang yang benar-benar melakukan kejahatan pun tidak dibenarkan,” berkata Ki Bekel, “apalagi kepada setiap orang yang mungkin sama sekali tidak bersalah.”
“Ya. Mungkin seseorang yang tergesa-gesa memanggil dukun bayi di tengah malam karena isterinya akan melahirkan. Jika ia jatuh ke tangan orang-orang yang menjadi buas itu, maka ia akan menjadi korban. Isterinya yang melahirkan pun akan menjadi korban yang sama sekali tidak berdosa,” berkata Mahisa Pukat.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih atas tindakan yang telah kalian lakukan terhadap para perampok sehingga setidak-tidaknya akan akan mengurangi kemungkinan buruk yang terjadi di padukuhan ini dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya.”
“Mungkin mereka masih mempunyai kawan-kawan yang lain,” berkata Mahisa Murti kemudian, “karena itu, terserah kepada Ki Bekel untuk mendapat keterangan selengkap-lengkapnya dari keenam orang itu.”
“Kami akan membawa mereka ke banjar. Kami akan memaksa mereka untuk berbicara. Jika mereka berkeberatan, kami mempunyai cara untuk memaksa mereka,” berkata Ki Bekel.
Kulit keenam penjahat itu meremang. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Sebaiknya kalian berkata terus-terang tentang diri kalian dan tentang apa yang pernah kalian lakukan. Dengan demikian, maka kalian yang sudah berada di tangan Ki Bekel itu tidak akan mengalami perlakuan yang kasar. Bukankah kalian lebih senang untuk mengalami perlakuan yang lunak dan baik? Semuanya tergantung kepada kalian.”
Keenam orang itu menjadi semakin gelisah. Tetapi Ki Bekel berkata, “Jika kalian tidak menyulitkan kami, maka kami pun tidak akan menyulitkan kalian.”
Keenam orang itu hanya menunduk saja. Sementara itu Mahisa Murti telah melaporkan juga, bahwa pemilik kedai itu justru telah terbunuh. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kematian telah mengakhiri tingkah lakunya yang sama sekali tidak kami duga.”
“Nampaknya orang itu memang sangat berbahaya,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sehingga tingkah lakunya itu sudah membakar perasaanku. Aku tidak sempat lagi mengekang diriku sendiri ketika pedangku menghunjam di dadanya.”
“Apa boleh buat,” berkata Ki Bekel, “jika ia memang bersalah, maka ia harus memetik buah dari perbuatan-perbuatannya sendiri.”
“Aku terpaksa melakukannya Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti.
“Aku kira itu adalah akhir yang paling baik buat orang itu,” berkata Ki Bekel, “karena dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat kejahatan lagi. Bukan hanya dipandang dari satu sisi. Tetapi dengan demikian tidak akan ada orang lain lagi yang akan mengalami kesulitan dalam perjalanan jika mereka melewati padukuhan ini...”
Sementara itu kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu mulai mengumpat-umpat. Ternyata anak-anak muda itu benar-benar mampu mengimbangi kemampuan ilmu pedang mereka. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang itu telah berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka.
Tetapi betapa pun ilmu mereka menjadi semakin tinggi, namun kedua anak muda itu mampu mengimbanginya. Sehingga karena itu, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi pertempuran yang sulit untuk diamati oleh orang-orang kebanyakan. Keempat orang yang sempat mengobati luka-lukanya itu pun kemudian telah beranjak mendekati arena pertempuran lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha mencegah mereka berempat.
“Beristirahatlah lebih dahulu,” berkata Mahisa Murti.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun menurut penilaian mereka, pertempuran itu memang menjadi semakin rumit. Tetapi bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kedua orang itu belum memaksanya untuk untuk mempergunakan ilmunya. Mereka masih mempergunakan kemampuan olah kanuragan yang sewajarnya.
Meskipun demikian, kedua orang yang sedang menjadi buruan itu sudah mengalami banyak kesulitan. Bahkan seorang di antara mereka telah mulai tersentuh senjata Mahisa Pukat. Meskipun hanya segores kecil di lengannya.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “kau tidak akan diadili di sini. Tetapi kau akan dibawa menghadap Ki Buyut agar kau mendapat perlakuan sewajarnya.”
Lawan Mahisa Pukat itu pun mengumpat. Katanya, “Kau agaknya memang telah memilih mati. Umurmu masih muda. Tetapi kau telah menjadi jemu untuk tetap hidup.”
Tetapi begitu mulutnya terkatup, pedang Mahisa Pukat telah menyentuh kulitnya lagi. Sekali lagi orang itu mengumpat. Tetapi luka-luka memang telah tergores di kulitnya dan ia tidak dapat mengingkarinya lagi.
Sementara itu Mahisa Murti telah berusaha untuk menyentuh tubuh lawannya. Dengan hati-hati ia berusaha untuk menggores tubuh lawannya dengan pedangnya. Mahisa Murti tidak ingin melukai lawannya terlalu parah. Karena itu, maka ia memang harus berhati-hati.
Ketika lawan Mahisa Murti itu telah terluka pula, maka kedua orang itu pun merasa bahwa mereka benar-benar berada dalam bahaya. Mereka mulai melihat satu kenyataan, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ternyata di sekitar arena pertempuran itu, meskipun agak jauh masih juga terdapat beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu pula. Beberapa orang pemilik kedai yang berjajar di pinggir jalan di sebelah pasar itu. Beberapa orang pedagang yang berjualan di dalam pasar dan beberapa orang lainnya. Namun pada umumnya mereka tidak berani menyaksikan pertempuran itu di tempat terbuka. Bagaimanapun juga kedua orang yang akan ditangkap itu adalah orang yang ditakuti.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping justru melangkah semakin dekat. Mereka sudah dapat memperhitungkan akhir dari pertempuran itu. Bahkan menurut Mahisa Semu dan Wantilan, kedua orang itu masih belum dapat disebut orang-orang berilmu tinggi.
Keempat orang bertubuh raksasa yang ternyata tidak mampu mengalahkan kedua orang itu, berdiri termangu-mangu. Mereka pun harus mengakui kenyataan itu. Betapapun mereka mencoba untuk mempertahankan harga diri, namun mereka tidak dapat ingkar bahwa kedua anak muda itu memang memiliki kelebihan. Mereka berdua nampaknya memang akan dapat menguasai kedua orang yang akan mereka tangkap tetapi gagal itu.
Namun, sementara itu pertempuran masih berlangsung, Mahisa Murti sudah menggoreskan pedangnya di tubuh lawannya. Langsung menyilang dadanya meskipun tidak terlalu dalam. Tetapi darah sudah mulai menitik dari sepanjang luka yang menyilang itu.
Pertempuran pun telah menjadi berat sebelah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera berhasil menguasai lawan masing-masing, sehingga kedua orang yang berpakaian dan mengenakan perhiasan yang mahal itu tidak akan mampu mengadakan perlawanan lebih lama lagi.
Kedua orang itu pun menyadari akan hal itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berdesis sambil meloncat mengambil jarak, “Ki Sanak. Apakah kita tidak dapat berbicara dengan baik?”
“Apakah kalian menyerah?” bertanya Mahisa Murti.
“Dengarlah baik-baik,” berkata lawan Mahisa Murti yang sudah mengambil jarak itu. Lalu katanya pula, “Aku mempunyai pendapat yang barangkali baik bagi kita masing-masing.”
Mahisa Murti memang menghentikan serangannya. Dan ia-pun kemudian bertanya, “Apa pendapatmu?”
“Lepaskan kami,” jawab orang itu.
“Maaf Ki Sanak. Sudah tentu aku tidak dapat. Kau harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Tunggu,” berkata orang itu, “tentu tidak begitu saja. Tetapi kau akan mendapat imbalan yang menarik?”
“Apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau berdua akan mendapat timang emas kami. Timang kami bukan saja terbuat dari emas, tetapi juga bermata berlian,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti justru tersenyum sambil berkata, “Serahkan timang emasmu kepada Ki Buyut karena benda itu juga kau dapat dari pasar ini.”
“Pikirkanlah. Jangan dungu. Timang ini harganya tentu mahal sekali,” desis orang itu.
“Tetapi mana yang lebih mahal. Timang emas bermata berlian itu atau harga diriku? Pribadiku?” justru Mahisa Murti lah yang bertanya.
“Apa artinya harga diri dibandingkan dengan uang? Dengan emas dan permata? Kau dapat pergi jauh dan membangunkan harga dirimu di tempat yang jauh itu. Sementara kau sudah menjadi seorang yang kaya.” orang itu masih mencoba membujuk.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Lihat kawanmu. Pedang saudaraku telah melukainya lagi.”
“Jadi kau menolak?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab Mahisa Murti dengan tegas.
Orang itu tidak bertanya apa pun lagi. Dengan serta merta ia telah meloncat sambil mengayunkan senjatanya dengan deras sekali mengarah keleher Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti memang sudah memperhitungkan bahwa orang itu tentu akan segera menyerangnya. Karena itu, ayunan senjata itu dengan tangkasnya telah ditangkisnya dengan pedangnya pula.
Satu benturan keras telah terjadi. Namun ternyata bahwa orang itu telah hampir saja kehilangan senjatanya. Tangannya terasa bagaikan menyentuh bara api. Tetapi orang itu masih berhasil mempertahankannya meskipun sekali lagi ia harus meloncat mengambil jarak. Mahisa Murti memang tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki keadaannya. Namun selangkah demi selangkah Mahisa Murti maju mendekatinya. Orang yang hampir kehilangan senjata itu pun telah bersiap. Sekali-sekali ia masih bergeser mundur sambil mengacukan senjatanya.
Mahisa Murti melangkah maju semakin dekat. Tetapi ia masih berkata, “Menyerahlah. Kau akan dibawa kepada Ki Buyut. Jangan mencoba lagi menyuap aku, karena menyuap itu merupakan satu kesalahan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka usahamu akan dapat memperberat hukumanmu.”
“Tutup mulutmu,” geram orang itu, “jangan berpura-pura seakan-akan kau tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun. Jika kau ingin aku memberikan lebih dari yang aku tawarkan, katakan saja. Aku akan mengusahakannya.”
“Sudah aku katakan. Hukumanmu akan dapat berlipat,” sahut Mahisa Murti.
Orang itu mengumpat. Sekali lagi ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya sekuat sisa tenaganya. Namun sekali lagi Mahisa Murti menangkisnya sehingga senjata orang itu kemudian telah benar-benar terlepas dan terlempar beberapa langkah dari orang itu. Orang itu tidak sempat mengambilnya. Mahisa Murti ternyata lebih cepat menggapai senjata itu dengan kakinya, dan mendorongnya semakin jauh.
“Sebaiknya kau melihat kenyataan ini,” berkata Mahisa Murti.
“Persetan kau,” geram orang itu.
Namun Mahisa Murti berkata, “Kesabaran seseorang ada batasnya. Aku akan dapat kehilangan kesabaran, sehingga aku akan menyelesaikan pertempuran ini hingga tuntas.”
Wajah orang itu memang menegang. Apalagi ketika kemudian dilihatnya kawannya telah terlempar jatuh terbanting di tanah. Orang itu sempat memperhatikan kawannya yang mencoba bangkit. Namun tubuhnya tertahan ujung pedang Mahisa Pukat yang melekat di dadanya.
“Kau lihat,” desis Mahisa Murti.
Orang itu terdiam. Sementara itu terdengar Mahisa Pukat bertanya kepada lawannya, “Apakah kau masih akan melawan?”
Orang yang terbaring itu tidak menjawab.
“Kau sadar, bahwa jika aku menekan pedangku, maka ujungnya tentu akan menghunjam sampai ke jantungmu,” berkata Mahisa Pukat.
Lawannya masih berdiam diri. Namun akhirnya Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Katanya, “Jika kau masih tidak menjawab, maka aku benar-benar akan membunuhmu. Kau tahu bahwa tidak akan ada orang yang menyesali kematianmu. Semua orang justru berharap bahwa kau dibunuhnya saja langsung di sini. Tidak ada gunanya kau diserahkan kepada Ki Buyut.”
Yang terdengar adalah gigi orang itu gemeretak menahan gejoiak jantungnya. Namun Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Atau kau ingin aku meninggalkanmu di sini? Keempat orang yang bertempur melawanmu itu masih ada di sini, mereka sudah siap untuk melanjutkan pertempuran.”
Orang yang terbaring dengan ujung pedang di dadanya itu masih belum dapat menjawab, sementara Mahisa Murti telah bertanya pula kepada lawannya, “Nah, kau dengar pertanyaan saudaraku itu. Kalian berdua akan kami serahkan kepada keempat orang itu. Mereka bersama-sama dengan orang-orang yang sekarang menyaksikan pertempuran ini akan mengadilimu dan langsung menjatuhkan hukuman atasmu. Barangkali itu memang lebib baik daripada kau harus dibawa kepada Ki Buyut. Karena Ki Buyut itu pun akan dapat menjatuhkan hukuman yang cukup berat bagi kalian. Hukuman picis misalnya.”
Kedua orang itu menjadi pucat. Namun akhirnya orang yang telah kehilangan senjatanya itu berdesis, “Aku menyerah.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat masih ingin lawannya itu juga mengucapkan pengakuannya. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian berdesis, “Aku menyerah.”
“Lepaskan senjatamu,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun segera melepaskan senjatanya pula. Sesaat kemudian maka Mahisa Pukat pun telah memberikan kesempatan lawannya itu untuk berdiri. Namun kemudian Mahisa Murti telah memberi isyarat kepada keempat orang bertubuh raksasa itu mendekat.
“Ikat mereka,” berkata Mahisa Murti, “Kalian berempat dapat membawanya kepada Ki Buyut langsung atau kepada Ki Bekel lebih dahulu atau kebiasaan yang mana yang berlaku di sini.”
Salah seorang dari keempat orang itu menjawab, “Karena kami mendapat perintah dari Ki Bekel, maka kami akan membawanya kepada Ki Bekel lebih dahulu. Baru kemudian, Ki Bekel akan membawanya kepada Ki Buyut.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “ikat tangan mereka. Hati-hati, jangan sampai terlepas. Jika ikatan itu dapat dilepaskan oleh mereka, maka mereka akan dapat terlepas pula dari tangan kalian. Dengan demikian, maka mereka tentu akan menjadi lebih garang lagi.”
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di-antara mereka berkata, “Kami akan mengikat mereka. Tetapi biarlah salah seorang dari kami melaporkan hal ini kepada Ki Bekel. Biarlah Ki Bekel mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah mampu mengalahkan kedua orang itu.”
“Itu tidak perlu,” berkata Mahisa Murti, “yang penting, kedua orang itu sudah tertangkap. Bawa saja kepada Ki Bekel. Ki Bekel akan menentukan langkah-langkah berikutnya.”
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka telah mencari tali untuk mengikat tangan kedua orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “silahkan. Keduanya tidak berbahaya lagi bagi kalian berempat dalam keadaan seperti itu. Meskipun demikian, kalian harus tetap berhati-hati karena kaki mereka masih tetap bebas.”
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih. Kami akan membawanya kepada Ki Bekel.”
Tetapi di luar dugaan orang itu kemudian berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Mari, ikut kami ke rumah Ki Bekel untuk menyerahkan orang ini.”
Beberapa orang nampak ragu-ragu. Tetapi kebencian mereka sudah begitu meluap kepada kedua orang itu. Karena itu, maka beberapa orang laki-laki yang sedikit mempunyai keberanian telah melangkah maju. Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalnan halaman kedai itu, melintasi jalan yang ramai, menuju ke rumah Ki Bekel.
Orang-orang yang ada di pasar itu pun telah beramai-ramai menonton orang yang dibencinya itu terikat kedua belah tangannya dan digiring seperti seorang pencopet yang tertangkap. Kedua orang itu memang merasa tidak berdaya lagi. Selain tubuh mereka yang telah menjadi sangat letih, kulit mereka pun telah tergores senjata. Darah telah meleleh dari luka-luka mereka.
Beberapa saat kemudian, mereka, telah menelusuri jalan bulak menuju ke padukuhan induk. Sementara iring-iringan itu ternyata semakin lama menjadi semakin panjang. Justru orang yang tidak mengenal kedua orang itu telah ikut pula mengiringkannya ke rumah Ki Bekel.
Kedua orang yang tangannya terikat itu mengumpat tidak ada habis-habisnya. Tetapi keempat orang yang mengetahui kemampuan kedua orang itu, telah mengikatnya erat-erat, sehingga tidak ada kemungkinan bagi kedua orang itu untuk meloloskan diri dengan cara apa pun juga. Meskipun kaki mereka masih bebas, tetapi tidak akan dapat banyak memberikan arti bagi usaha mereka untuk membebaskan diri tanpa tangan-tangan mereka. Karena itu, maka mereka berdua harus membiarkan diri mereka dibawa memasuki halaman rumah Ki Bekel tanpa perlawanan apa pun juga.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, telah berada kembali di dalam kedai. Pemilik kedai itu pun telah bersikap sangat baik kepada mereka. Dihidangkannya berbagai macam makanan dan minuman yang tidak dimintanya sekalipun. Namun Mahisa Murti telah mencegahnya,
“Terima kasih Ki Sanak. Jangan berlebihan. Kami tidak akan dapat makan semuanya ini sampai habis.”
“Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berarti bagi kami, orang-orang yang berjualan di pasar ini anak-anak muda.”
“Kami tidak melakukan apa-apa,” jawab Mahisa Murti.
“Kedua orang itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi kami. Mereka telah memeras dan tanpa mempunyai belas kasihan sama sekali. Jika kalian tidak menolong, maka keempat orang yang dimintai bantuan oleh Ki Bekel itu, tentu benar-benar akan mereka bunuh. Kami pun akan mengalami nasib yang paling buruk dari keadaan yang sudah lama terasa sangat menekan ini,” berkata pemilik kedai itu.
“Ah, bukankah tidak ada yang berarti yang aku lakukan bagi kalian?” berkata Mahisa Murti, “kami telah berbuat sebagaimana seharusnya dalam hubungan antara sesama. Tidak ada yang lebih.”
“Semua orang mengucapkan terima kasih kepada kalian,” berkata pemilik kedai itu.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kami sudah sangat kenyang. Kami akan membayar harga makanan yang telah kami habiskan.”
“Tidak. Itu tidak perlu. Makanan dan minuman itu tidak berarti apa-apa,” sahut pemilik kedai itu.
“Jangan begitu. Aku adalah pembeli. Kewajibanku membayar harga barang-barang yang telah aku beli,” jawab Mahisa Murti.
“Adalah kewajibanku dan orang-orang di pasar ini untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara kami.” berkata pemilik kedai itu, “sebagaimana orang-orang lain yang ada di luar.”
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ketika ia menyadari, maka dilihatnya di luar kedai itu berkerumun banyak orang. Mereka ingin menyaksikan anak-anak muda yang telah mampu mengalahkan dua orang yang untuk waktu yang lama telah memeras mereka. Mahisa Pukat dan yang lain pun telah melihat pula orang-orang yang berkerumun itu, mencoba melihat mereka dari luar pintu kedai. Namun dengan demikian, maka mereka justru merasa tidak betah lagi duduk di kedai itu. Berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka.
“Marilah kita pergi,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya kemudian, “Marilah.”
Tetapi pemilik kedai itu tetap menolak uang yang diserahkan oleh Mahisa Murti. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang telah berdiri telah melangkah keluar dari kedai itu. Ternyata Mahisa Murti telah meninggalkan uang di salah sebuah mangkuk makanan yang telah dipergunakannya.
Demikian mereka keluar, maka orang-orang yang ada di luar kedai itu telah menyibak. Mereka memandang anak-anak muda itu dengan penuh kekaguman. Apalagi sikap mereka yang wajar tanpa menunjukkan kesombongan sama sekali.
Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya justru menjadi gelisah. Langkah mereka rasa-rasanya menjadi sangat berat. Semua mata memandangi mereka dan mengikuti langkah mereka sampai jauh.
“Kakiku seperti digantungi timah,” desis Mahisa Pukat yang sempat berpaling. Ia masih melihat beberapa orang memandangi mereka.
Pemilik kedai yang semula mengangap ia telah serba sedikit menghormati kemenangan anak-anak muda itu dengan suguhannya yang tidak perlu dibayar, ternyata terkejut ketika dilihatnya beberapa keping uang ada di dalam mangkuk yang akan dicuci. Bahkan lebih banyak dari harga makanan yang seharusnya.
“Orang-orang aneh,” berkata pemilik kedai itu yang kemudian telah menceriterakan kepada orang-orang yang berada di luar kedainya.
“Hanya orang-orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang mampu mengalahkan kedua orang itu,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang berada di luar kedai itu tanpa mengetahui tataran olah kanuragan.
“Ternyata keempat orang yang bertubuh meyakinkan itu pun tidak dapat mengalahkan mereka berdua,” sahut yang lain.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun sudah menjadi semakin jauh. Sebenarnyalah kelima orang itu sudah berada di dalam bulak yang panjang. Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya kepada Mahisa Amping, “Kesan apa yang kau tangkap tentang orang-orang itu sehingga seakan-akan kau mengetahui bahwa akan terjadi perkelahian itu?”
Mahisa Amping termangu-mangu. Ia mencoba mengingat apa yang terasa di dalam hatinya ketika ia melihat kedua orang itu. Tetapi anak itu menggeleng sambil berkata, “Aku tidak mendapat kesan apa-apa. Aku hanya merasa ingin melihat apa yang bakal terjadi. Mungkin karena aku melihat pakaian dan perhiasan yang sangat baik, sehingga kemungkinan buruk dapat terjadi atas kedua orang itu.”
“Tidak Amping,” sahut Mahisa Murti, “mula-mula kami pun mengira demikian. Tetapi ternyata ketika aku bertanya kepadamu, siapakah di antara mereka yang akan menang, kau tidak berpihak kepada kedua orang itu. Tetapi kau berharap keempat orang yang hampir saja kalah itulah yang sebaiknya menang.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun sambil menggeleng ia berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak lagi ingat, kesan apakah yang saat itu ada di dalam kepalaku.”
“Amping,” berkata Mahisa Murti, “ada sesuatu yang tidak kau sadari. Tetapi baiklah. Kau masih terlalu kecil untuk mengenalinya. Besok, jika kau tumbuh menjadi remaja, maka kau harus mulai mempelajari gejala-gejala di dalam dirimu.”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis, “Aku tidak tahu.”
Mahisa Pukat lah yang kemudian menepuk pundaknya sambil berkata, “Jangan kau coba untuk mengerti sekarang.”
Mahisa Semu pun berkata pula, “Sudahlah. Kali ini kau masih belum tanggap. Tetapi ada baiknya di kesempatan lain kau mengingatnya.”
Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh anak-anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan bulak panjang. Di sebelah menyebelah jalan tumbuh pepohonan yang daunnya membuat bayang-bayang di atas dataran yang memanjang di antara kotak-kotak sawah yang hijau.
Namun Mahisa Amping ternyata mulai memperhatikan dirinya sendiri. Sedikit-sedikit memang terkilas di kepalanya, kesan yang tertangkap saat kedua orang yang berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu lewat. Tetapi kepala anak itu menjadi pening ketika ia memaksa untuk mengingat apa yang dilihatnya. Justru karena angan-angannya semakin lama menjadi semakin kabur.
Wantilan yang berjalan di sebelahnya melihat gejolak perasaan anak itu. Karena itu, maka ia pun telah berdesis, “Kau masih mencoba mengingat-ingat?”
“Ya,” jawab Mahisa Amping.
“Jangan,” berkata Wantilan, “jika kau memaksa dirimu melihat kembali bayangan yang telah menjadi kabur, maka kau akan mengalami gangguan perasaan. Jika hal itu terjadi beberapa kali, maka itu akan menjadi beban bagimu. Semakin lama semakin berat, semakin berat, sehingga pada suatu saat, kau tidak akan dapat memikulnya lagi.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam.
“Lihat, jalan yang terbentang di hadapan kita,” desis Wantilan.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku akan berjalan di paling depan.”
Wantilan tersenyum pula sambil mengangguk. Sesaat kemudian anak itu pun telah berlari mendahului keempat orang yang lain. Beberapa puluh langkah di depan baru ia berhenti. Dilihatnya sebuah sungai yang menyilang jalan. Mereka harus menuruni tebing yang landai untuk menyeberang.
Di sebelah bawah tempat penyeberangan itu, Mahisa Amping melihat beberapa orang yang sedang mencari ikan. Nampaknya mereka beramai-ramai membuka sebuah rumpon yang cukup besar. Anak-anak pun menjadi ikut bergembira sambil berendam di dalam air, membongkar batu-batu yang bertimbun. Beberapa orang anak muda yang lebih besar tengah sibuk mengatur icir dan aliran air yang di sisihkan.
Ternyata Mahisa Amping pun tertarik untuk melihatnya. Karena itu, maka ia pun segera turun dan mendekati anak-anak yang sedang mencari ikan itu. Beberapa orang anak telah berpaling. Mereka melihat Mahisa Amping yang belum pernah mereka kenal.
Seorang di antara mereka pun bertanya, “Untuk apa kau kemari? Kau anak padukuhan mana?”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku kebetulan saja lewat. Aku hanya ingin melihat apa yang kalian lakukan.”
“Kaukah yang sering merusak rumpon ini?” tiba-tiba seorang yang lain bertanya.
“Aku belum pernah datang ke tempat ini. Baru sekali ini. Itu pun hanya sekedar lewat,” jawab Mahisa Amping.
Anak-anak yang lain nampaknya tidak begitu menghiraukan. Mahisa Amping memang bersikap wajar saja. Ia pun tidak berdiri terlalu dekat. Ketika keempat orang yang lain telah sampai ke tanggul, maka Mahisa Amping pun telah meninggalkan anak-anak yang sedang mencari ikan itu.
“Sikap mereka tidak bersahabat,” berkata Mahisa Amping.
“Kenapa?” bertanya Wantilan.
“Tiba-tiba saja mereka menuduh aku sering merusak rumpon mereka,” jawab Mahisa Amping.
“Apa jawabmu?” bertanya Mahisa Semu.
“Aku katakan, bahwa aku baru sekali ini lewat,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu menepuk bahu anak itu. Katanya, “Ternyata kau cerdik juga.”
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menangkap satu kesan, bahwa anak-anak muda dan kanak-kanak yang ada di sungai itu selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap orang yang tidak dikenalnya. Ternyata yang mendengar ceritera Mahisa Amping tentang anak-anak yang berada di sungai itu telah menimbulkan kesan yang sama bagi mereka.
Bahkan Mahisa Murti kemudian berdesis, “Agaknya orang tua mereka pun bersikap seperti itu pula.”
“Mungkin orang-orang padukuhan di depan,” berkata Mahisa Pukat.
“Berhati-hatilah,” pesan Mahisa Murti, “kita tidak usah menanggapi sikap mereka.”
Karena itulah, ketika mereka memasuki padukuhan di hadapan mereka, Mahisa Amping tidak lagi berjalan beberapa langkah di depan. Tetapi anak itu berjalan di sebelah Mahisa Semu. Ternyata kelima orang itu sama sekali tidak mendapatkan kesan sebagaimana yang mereka duga. Orang-orang padukuhan itu adalah orang-orang yang bersikap wajar. Tidak tanda-tanda lain pada mereka.
Karena itu, maka kelima orang itu meneruskan perjalanan mereka tanpa hambatan. Perjalanan yang masih panjang. Lewat sedikit tengah hari mereka singgah di sebuah kedai. Setelah beristirahat sejenak, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Seperti malam sebelumnya, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka pun telah berhenti di dekat sebuah hutan yang agaknya tidak terlalu lebat. Setelah beristirahat sejenak serta mengeringkan keringat, maka Mahisa Amping pun telah bersiap-siap untuk berlatih.
“Masih ada waktu sebelum gelap,” berkata anak itu.
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap-siap pula. Mereka tidak ingin melewatkan waktu sama sekali. Kesempatan yang kecil sekalipun telah mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk menempa diri.
Mahisa Murti sempat menunggui Mahisa Amping yang berlatih, sementara Mahisa Pukat berada bersama Mahisa Semu dan Wantilan yang memperdalam ilmu pedang mereka. Seperti kebiasaan mereka, pada kesempatan seperti itu, mereka akan menggunakannya sampai matahari menghilang di balik cakrawala. Baru kemudian, mereka turun ke sungai dan membersihkan diri sebelum tidur.
Tetapi Mahisa Murti telah membagi tugas kepada keempat orang di antara mereka itu untuk berjaga-jaga. Kepada Mahisa Amping Mahisa Murti berkata, “Kau dapat memilih, bersama siapa kau akan berjaga-jaga.”
“Aku akan berjaga-jaga bersama orang yang pertama,” jawab anak itu.
Yang mendengar jawaban itu tersenyum. Ternyata anak itu cukup cerdik, sehingga kemudian ia akan dapat tidur sepanjang malam. Sementara itu, keempat orang yang lain telah menentukan pembagian waktu dengan undian. Ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Mahisa Pukat, kemudian Wantilan. Ketiga adalah Mahisa Semu dan keempat adalah Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Amping telah menepati janjinya. Ia telah ikut berjaga-jaga bersama Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat kemudian membangunkan Wantilan dan tugas berikutnya diserahkan kepada Wantilan, maka Mahisa Amping pun kemudian telah ikut tidur pula bersama Mahisa Pukat.
Agaknya malam itu, mereka sama sekali tidak mendapat gangguan apapun. Nyamuk memang cukup banyak. Tetapi mereka dapat juga tidur nyenyak di saat-saat mereka tidak bertugas. Namun ketika Mahisa Murti yang mendapat giliran terakhir berjaga-jaga, maka ia telah menyadari, bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka ia pun telah menggamit Mahisa Pukat yang telah cukup lama tidur sejak tugasnya di giliran pertama.
Tetapi demikian bangun, maka Mahisa Murti pun telah berdesis, “Hati-hati.”
Mahisa Pukat segera tanggap, bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka ia tidak bangkit. Sambil berbaring ia bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Tempat ini telah dikepung,” berkata Mahisa Murti.
“Sejak kapan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka baru mulai,” jawab Mahisa Murti, “Tetapi mereka memang berdatangan dari beberapa penjuru.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, “Apa sebenarnya yang mereka kehendaki.”
“Aku belum tahu,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Sementara itu, orang memang telah berdatangan semakin banyak.
“Mereka akan mulai bertindak setelah terang,” berkata Mahisaa Murti pula.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Ya. Mereka baru akan berbuat sesuatu setelah matahari terbit.”
“Masih ada waktu untuk berbaring,” berkata Mahisa Murti sambil tersenyum.
Tetapi Mahisa Pukat pun berkata, “yang lain perlu dibangunkan agar mereka tidak terkejut.”
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia bergeser dan membangunkan Mahisa Semu dan Wantilan. Tetapi seperti kepada Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun telah memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.
“Mereka masih belum akan bergerak,” berkata Mahisa Murti perlahan-lahan.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti sendiri masih saja duduk di tempatnya. Namun ketajaman penggraitanya telah memberitahukan kepadanya, bahwa tempat itu telah benar-benar terkepung, meskipun tidak pada jarak yang dekat. Beberapa saat orang-orang yang berada di padang itu menunggu. Rasa-rasanya mereka sudah semalam suntuk berada di tempat itu dalam ketegangan.
Namun ketika fajar menjadi semakin terang, terdengar seseorang berteriak, “He, siapa yang berada di situ?”
“Mereka mulai menyapa,” berkata Mahisa Murti.
“He, apakah kalian tidak mendengar?” teriakan itu terdengar lagi.
Mahisa Murti lah yang kemudian berdiri. Melangkah dua langkah ke arah suara itu sambil bertanya, “Apakah yang kalian maksud?”
“Aku bertanya, siapa yang berada disitu? Bukan apa?” Orang yang berteriak itu membentak keras-keras.
“Oo kami,” jawab Mahisa Murti, “Empat orang pengembara dan seorang anak-anak.”
“Pengembara dari mana dan untuk apa?” desak orang itu.
“Kenapa kita harus berteriak-teriak?” bertanya Mahisa Murti, “kemarilah. Kita dapat berbicara dengan baik.”
“Kalian ingin menjebak kami?” bertanya suara itu.
“Sama sekali tidak. Kami bukan orang-orang licik yang tengah memasang perangkap,” berkata Mahisa Murti.
“Majulah. Salah seorang dari kalian. Kami akan datang,” terdengar suara itu pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah melangkah maju beberapa langkah, sementara dari arah yang berlawanan dua orang telah melangkah mendekati Mahisa Murti. Ketiga orang itu sudah mengacukan senjata mereka ketika mereka berhadapan dengan Mahisa Murti.
“Nah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sekarang katakan keperluan kalian.”
“Jangan berpura-pura dungu seperti itu,” berkata orang yang batang bersama dengan dua orang kawannya itu, “Kau tentu sudah tahu sebelum aku.”
“Aku tidak tahu maksud Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
“Aku sudah mengira bahwa jawabanmu tentu demikian. Karena itu, maka kami sudah berunding, bahwa kami ingin memaksa kalian agar berbicara,” jawab orang itu.
“Barangkali Ki Sanak bersedia memberitahukan, kenapa kami harus ditangkap. Padahal sepanjang perasaan dan pengetahuan kami, kami tidak pernah berbuat salah terhadap kalian, kalian kami baru sekali ini bertemu.”
Tetapi orang-orang yang datang itu nampaknya tidak mau mendengarkannya. Dengan suara lantang seorang di antara mereka bertanya, “Di mana kawan-kawanmu yang lain?”
“Kami berlima. Tidak ada kawan yang lain,” berkata Mahisa Murti dengan nada tinggi.
“Jangan bohongi kami. Kami sudah bertekad memaksa kalian untuk berbicara,” geram orang itu.
“Berbicara tentang apa? Sejak tadi kau berkata seperti itu. Tetapi kau tidak mau menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi,” berkata Mahisa Murti yang mulai menjadi jengkel.
“Kaulah yang harus berbicara kepada kami,” teriak orang yang datang itu dengan marah, “di mana kalian sembunyikan ternak kami. Di mana kau sembunyikan hasil rampokan kalian di padukuhan kami. Kalian lakukan semuanya dengan tiba-tiba sehingga kami tidak sempat mengadakan perlawanan. Tetapi laki-laki di padukuhan kami bukan pengecut. Kami lacak perjalanan kalian. Ternyata ada keterangan tentang lima orang yang tidur di padang terbuka seperti ini. Hanya perampok-perampoklah yang melakukannya. Karena itu, kami berkesimpulan, bahwa kalian adalah sebagian dari perampok yang dua malam yang lalu telah merampok beberapa orang di padukuhan kami, serta membawa ternak-tenak kami. Beberapa ekor lembu dan kerbau serta kambing.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu karena salah paham. Kami tidak pernah merampok. Jika kami merampok lembu, kerbau dan kambing, maka binatang-binatang itu tentu masih ada di sini sekarang.”
“Tentu tidak. Kawan-kawanmu tentu sudah menjualnya,” berkata orang yang marah itu, “sekarang, katakan. Di mana kawan-kawanmu serta hasil rampokanmu sebelum kami bertindak.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku beritahukan bahwa kami tidak merampok apapun. Jangan terlalu mudah untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah. Kalian dapat saja bertindak atas kami. Tetapi jika kemudian kalian sadari bahwa itu karena satu kesalahan, maka apakah kalian tidak akan menyesal?”
“Kami tidak salah paham,” berkata orang itu, “sekarang katakan di mana kawan-kawanmu. Kalian harus mengembalikan semua yang telah kalian ambil. Kemudian kalian harus menerima hukuman yang akan kami berikan kepada kalian.”
“Hukuman apa yang kalian jatuhkan kepada orang-orang yang merampok di padukuhan kalian?” bertanya Mahisa Murti.
“Terserah kepada orang banyak,” jawab orang itu.
“Apakah tidak kalian serahkan kepada Ki Bekel atau Ki Buyut atau orang lain yang berwenang?” bertanya Mahisa Murti.
“Kamilah yang paling berwenang,” jawab orang itu.
“Itu adalah kesalahan kalian yang terbesar,” berkata Mahisa Murti dengan nada tinggi, “kalian merasa berhak menentukan hukuman kepada orang lain yang belum tentu bersalah.”
“Cukup,” bentak orang itu, “sekarang bicaralah. Kau termasuk gerombolan siapa dan dimana mereka sekarang. Di mana ternak kami dan di mana harta orang-orang padukuhan kami. Jika kau mau berbicara, maka hukuman kepada kalian tentu akan sedikit ringan. Kalian akan dibunuh dengan cepat. Bukannya dengan perlahan-lahan.”
“Jangan bertindak sewenang-wenang Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti.
“Kau pernah mendengar bahwa seseorang diikat pada tonggak dibawah sebuah gerojogan?” bertanya orang itu, “air yang jatuh dari gerojogan yang kecil itu akan melubangi kepalanya. Memang mungkin diperlukan waktu yang lama. Orang yang diikat itu tentu sudah menjadi gila sebelum mati karena kepalanya berlubang.”
“Kau pernah melakukan hal seperti itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kenapa kau bertanya?” orang itu justru bertanya.
“Jika kau pernah melakukannya, aku bunuh kau,” bentak Mahisa Murti, “kawan-kawanmu yang pernah melakukannya atau menjatuhkan hukuman picis atau sebangsanya, akan aku bunuh sekarang juga.”
Orang itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka yang mendekati Mahisa Murti itu bergeser mundur. Suara Mahisa Murti serta sikapnya yang keras ternyata telah mengejutkan mereka. Tetapi orang itu kemudian berkata, “Jangan menggertak kami. Jangan menakut-nakuti kami.”
“Aku tidak menakut-nakuti kalian. Tetapi aku berkata sebenarnya,” Mahisa Murti pun berteriak juga.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang juga sudah bangkit berdiri, menjadi berdebar-debar. Nampaknya orang-orang yang mengepung itu tidak lagi dapat diajak untuk berbicara.
Sementara itu Mahisa Semu menggamit Mahisa Amping sambil bertanya, “Apakah kau tidak merasakan getaran isyarat bahwa hal ini akan terjadi sebagaimana kau tahu bahwa dua orang yang berpakaian dan membawa perhiasan yang baik dan mahal itu akan kalah dan mereka memang penjahat?”
“Isyarat bagaimana?” bertanya Mahisa Amping.
“Getaran di jantungmu. Isyarat apa pun yang dapat kau tarik kesimpulan bahwa sesuatu akan terjadi atas kita,” jawab Mahisa Semu.
“Aku tidak mengerti,” jawab Mahisa Amping yang nampak agak kebingungan karena pertanyaan Mahisa Semu.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wantilan pun berkata, “Ia akan menjadi bingung. Belum saatnya ia menerima pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Atau, ia memang tidak mendapatkannya. Juga apa yang pernah terjadi hanya satu kebetulan.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, Mahisa Murti memandang orang-orang yang mendekatinya itu dengan sorot mata yang tajam. Tetapi orang-orang itu berusaha untuk tidak menunjukkan goncangan di dalam jantung mereka. Seorang di antara mereka justru membentak-bentak,
“Sekarang bicaralah. Di mana kawan-kawanmu? Di mana ternak itu kalian sembunyikan. Atau kami akan segera mengambil tindakan yang sesuai dengan kesalahan yang telah kalian perbuat.”
“Apa yang akan kalian lakukan, akan kami lakukan pula atas kalian. Katakan, apa yang akan kalian lakukan? Membunuh, menghukum dengan hukuman yang paling berat, hukuman picis misalnya. Atau apa?” bertanya Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “Atau kalian akan melepaskan kami pergi tanpa mempersoalkan tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal itu atau apa? Ingat, kami akan melakukan apa yang kalian ingin lakukan atas kami.”
Orang-orang itu memang menjadi bingung. Namun orang yang diiringi oleh kawan-kawannya itu membentak, “Kalian memang cerdik. Tetapi kami bukan orang-orang dungu yang dapat kalian bohongi dengan cara seperti itu. Satu cara untuk melepaskan diri. Cepat katakan atau aku panggil orang-orangku.”
“Apa yang akan kalian lakukan? Katakan, agar aku dapat menentukan langkah-langkah berikutnya. Apa yang akan kami lakukan atas kalian,” Mahisa Murti membentak pula.
Orang-orang itu tidak telaten lagi. Mereka memang mengira bahwa anak muda itu sekedar berusaha untuk menakut-nakuti mereka. Karena itu, maka orang yang nampaknya pemimpin dari orang-orang yang mengepung anak-anak muda itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk mulai bergerak.
Mahisa Murti menarik nafas, dalam-dalam. Ia memang menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sudah tentu anak muda itu tidak ingin membunuh siapa pun juga di antara orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka lakukan itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Murti termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku sudah memperingatkan kalian.”
Orang-orang itu tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu bergerak semakin maju, sehingga kepungan itu pun semakin lama menjadi semakin sempit.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti lah yang melangkah mundur dan bergabung dengan saudara-saudaranya sambil berdesis, “Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia justru bertanya, “Apa?”
“Kita lawan mereka,” berkata Mahisa Amping, “kita akan mengalahkan mereka.”
Mahisa Murti memandang orang-orang yang mengepungnya. Ternyata memang cukup banyak. Selangkah demi selangkah mereka maju semakin dekat. Namun tiba-tiba Mahisa Amping berkata, “Kenapa kita tidak bertempur?”
“Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan terhadap kita. Mereka tidak tahu siapakah kita sebenarnya dan karena mereka orang-orang yang agaknya sudah terlalu sering mendapat gangguan oleh orang-orang jahat, maka sikap mereka menjadi kasar. Tetapi belum tentu bahwa mereka memang orang-orang kasar,” berkata Mahisa Murti.
“Jika demikian, kita harus melarikan diri,” berkata Mahisa Amping.
“Itu lebih baik. Kita tidak akan membuat kesalahan dengan membunuh satu atau dua orang di antara mereka,” sahut Mahisa Murti.
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Amping berkata, “Apakah kita tidak dapat menerobos kepungan yang tipis itu?”
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Tentu saja dapat.”
“Jika demikian, kenapa kita melarikan diri saja menembus kepungan itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak. Lalu ia-pun berdesis, “Ya. Kita akan menembus kepungan itu. Kemudian kita akan melarikan diri. Biarlah Mahisa Semu dan paman Wantilan mendahului kita sambil membawa Amping. Kita akan menahan orang-orang yang mengejar kita sampai kalian bertiga menjadi jauh. Kemudian kami berdua pun akan melarikan diri.”
“Kenapa kita tidak bersama-sama saja?” bertanya Mahisa Semu.
“Jika kita berlari bersama-sama, maka mereka akan mengejar kita dan pertempuran akan berlangsung lama dan keras sehingga mungkin kita tidak dapat menghindari jatuhnya korban. Mungkin kita akan dapat menang. Tetapi tentu dengan korban yang semakin banyak di antara mereka jika sikap mereka masih tetap keras,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jumlah orang yang mengepung itu memang cukup banyak, sehingga jika mereka harus bertempur, maka korban pun akan berjatuhan. Jika mereka tidak mengurangi jumlah lawan, maka pertempuran itu tentu tidak akan selesai.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah memilih menghindari pertempuran. Meskipun orang-orang itu akan dapat menuduh mereka sebagai pengecut, maka mereka tidak akan terlalu bersakit hati, karena orang-orang itu tidak tahu siapa mereka sebenarnya. Dengan bulat hati, maka mereka pun telah berusaha untuk memilih lapisan yang dianggapnya paling lemah. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun berkata,
“Kita tembus lapisan di bawah pohon kering itu. Nampaknya dinding kepungan di tempat itu lemah. Kemudian Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan meninggalkan arena, disusul oleh paman Wantilan. Kami akan menahan orang-orang yang mengejar kita sambil mundur. Baru kemudian kami akan melarikan diri menyusul kalian.”
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Amping bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang melihat, kakang berdua melarikan diri?”
Mahisa Pukat sempat tertawa pendek. Katanya, “Kami akan memakai kedok untuk selapan hari.”
Mahisa Amping tidak menjawab lagi. Namun ia pun telah memperhatikan tempat yang ditunjuk oleh Mahisa Murti itu. Nampaknya tempat itu memang paling lemah dibanding dengan dinding kepungan di tempat yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berbisik, “bersiaplah. Aku akan memberikan aba-aba. Jangan menarik perhatian.”
Sementara itu kepungan memang menjadi semakin rapat. Orang yang nampaknya menjadi pemimpin dari sekelompok orang itu masih beteriak, “Menyerahlah. Kalian akan mendapat perlakuan lebih baik daripada kalian melawan. Kalian hanya perlu berbicara sedikit.”
Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian telah memberikan isyarat kepada saudara-saudaranya untuk dengan cepat menembus kepungan. Langkah yang tidak diduga itu memang mengejutkan. Mahisa Amping ternyata berlari di paling depan. Mahisa Semu pun kemudian telah menyusulnya. Dengan cemas ia berkata hampir berteriak, “Amping, tunggu.”
Mahisa Amping memang tidak menghiraukan. Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan pun segera menyusul dan berlari sebelah menyebelah. Baru di belakang mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Serangan Mahisa Semu dan Wantilan serta Mahisa Amping benar-benar mengejutkan. Orang-orang yang tidak terbiasa bertempur itu hampir tidak melakukan perlawanan. Mereka justru menyibak meskipun sekali-sekali pedang mereka berputar juga. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan dengan mudah dapat melintasi dinding kepungan itu. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu terdengar seseorang berteriak, “jangan biarkan mereka lolos. Mereka adalah sumber keterangan tentang perampok-perampok itu. Mereka akan dapat menunjukkan di mana harta benda rampokan itu serta ternak kita disembunyikan.”
Beberapa orang yang mendengar teriakan itu dengan cepat berusaha mengepung mereka kembali. Tetapi Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah menjadi agak jauh. Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang masih cukup dekat. Karena itu, maka sasaran mereka pun terutama tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dengan sengaja membuat jarak dari Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan. Keduanya memang akan berusaha menahan orang-orang yang mengejar mereka. Jika jarak Mahisa Amping telah menjadi cukup jauh, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dengan mudah melarikan diri. Dengan dukungan kekuatan cadangan di dalam tubuh mereka, maka mereka akan dapat berlari lebih cepat dari orang kebanyakan.
Sementara itu, orang-orang yang mengejar mereka telah menjadi semakin dekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah mengacu-acukan senjata mereka. Bahkan ada di antara mereka yang telah melemparkan tombak mereka. Namun gagal mengenai sasaran. Tetapi, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sengaja tidak berlari terlalu kencang, akhirnya orang-orang yang mengejarnya di paling depan telah menyusulnya.
Akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah berhenti. Mereka telah mencabut pedang mereka. Tidak untuk membunuh. Tetapi sekedar untuk menghambat gerak maju orang-orang yang mengejar mereka itu. Namun ternyata pedang keduanya telah mengejutkan orang-orang yang mengejarnya. Pedang yang lain dari kebanyakan pedang. Bahkan mirip dengan sebilah keris raksasa. Bentuknya memang tidak begitu mengejutkan. Tetapi bahwa daun senjata itu seakan-akan bercahaya kehijau-hijauan, maka orang-orang itu pun menjadi tertegun karenanya.
Namun sekali lagi terdengar pemimpin mereka berteriak, “Tangkap. Jika melawan, kalian dapat membunuhnya. Jangan beri kesempatan untuk melarikan diri.”
Orang-orang yang mengejarnya itu pun telah mendesak maju dengan serentak. Namun justru ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhenti, mereka pun berhenti pula. Bahkan jika anak-anak muda itu maju, mereka justru surut.
Ternyata pemimpin mereka telah mendekat pula. Orang yang menemui Mahisa Murti dengan para pengiringnya. Wajahnya merah membara. Kemarahannya seakan-akan tidak tertahankan lagi. Ketika orang itu dan para pengiringnya mendekat, maka orang-orang yang lain pun telah menyibak.
“Kau keras kepala,” geram orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sikap kalian memang mengherankan. Bagaimana mungkin kalian dengan kekuatan sebesar ini dapat dirampok dan ternak kalian dapat dibawa oleh sekelompok penjahat? Sekarang kalian berusaha memburu para perampok. Kenapa tidak kalian lawan saat mereka merampok padukuhan kalian.”
“Aku datang terlambat,” jawab pemimpin orang-orang padukuhan itu.
“Maksud Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku telah beberapa lama mengembara. Ketika aku pulang bersama beberapa orang kawanku, baru aku tahu apa yang terjadi,” jawab orang itu.
“Jadi kalian pernah mengembara?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya,” jawab orang itu.
“Jika demikian kenapa kau berlaku sewenang-wenang terhadap pengembara seperti kami?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau kira aku tidak diperlakukan sewenang-wenang?” justru orang itu yang bertanya.
“Jadi kau sekedar akan membalas dendam?” desak Mahisa Murti.
“Tidak,” orang itu membentak, “aku dan saudara-saudaraku menuntut hak kami yang kalian bawa.”
“Apakah kalian juga pernah dituduh merampok ketika mengembara?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun telah menjawab dengan suara lantang, “Persetan.”
“Jadi kau belum pernah mengalami sebagaimana kami alami sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.
“Cukup. Tangkap mereka. Jika mereka melawan, kalian dapat membunuhnya,” teriak pemimpin kelompok orang-orang padukuhan itu.
Namun menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah menjadi cukup jauh, sehingga mereka tidak perlu mencemaskannya lagi. Dengan demikian, maka ketika orang-orang padukuhan itu mulai bergerak, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur meskipun keduanya masih mengacukan pedang-pedang mereka. Tetapi beberapa saat kemudian, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah saling memberi isyarat. Serentak keduanya meloncat dan melarikan diri.
Pemimpin orang-orang padukuhan itu pun telah berteriak, “jangan biarkan mereka lari. Mereka adalah perampok-perampok yang kita cari. Berhari-hari kita mengamati sawah, ladang dan bahkan padang-padang ilalang. Jika mereka lepas, belum tentu kita akan dapat menangkapnya lagi.”
Orang-orang padukuhan itu pun telah menghambur. Mereka telah berusaha mengejar kedua orang itu. Sementara itu, di kejauhan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan berlari-lari. Nampaknya Mahisa Amping menolak untuk didukung oleh Mahisa Semu atau Wantilan. Tetapi anak itu lari cukup cepat.
“Jarak itu sudah cukup jauh,” berkata Mahisa Murti sambil berlari.
“Ya. Mereka tidak akan dapat menangkapnya,” sahut Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu masih juga mengejar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata berlari terlalu cepat, sehingga jarak di antara mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Tetapi pemimpin kelompok itu berteriak terus, “Kita tentu akan menangkapnya, di padukuhan sebelah kita akan membunyikan kentongan. Orang-orang padukuhan itu tentu tidak akan berkeberatan. Jika setiap padukuhan mendengarnya dan berjaga-jaga maka kita akan mendapat bantuan mereka.”
Teriakan itu masih juga dapat didengar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil berlari Mahisa Pukat berkata, “Jika mereka sempat membunyikan kentongan, maka kemungkinan buruk dapat terjadi. Mungkin akan terjadi benturan kekerasan. Dan kita terpaksa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri.”
Mahisa Murti memang menjadi cemas. Sambil berlari terus Mahisa Murti berkata, “Kita membuat permainan untuk menghentikan mereka.”
“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Pohon di depan itu akan membantu kita,” desis Mahisa Murti.
“Maksudmu, kita merobohkan pohon itu?” desak Mahisa Pukat.
“Tidak perlu pohonnya. Kita patahkan beberapa dahannya yang menyilang di atas jalan. Demikian kita lewat beberapa langkah, maka kita berhenti dan mematahkan dahan-dahan yang cukup besar itu,” jawab Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Pukat tanggap. Karena itu, maka ia telah berlari lebih kencang lagi, sehingga jarak antara kedua anak muda itu dengan orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin jauh. Namun orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak berputus asa. Dua atau tiga orang di antara mereka akan berbelok menuju padukuhan terdekat.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berlari melintasi pohon besar di pinggir jalan itu. Beberapa langkah dari pohon itu mereka berhenti. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah bersiap. Demikian orang-orang yang memburunya itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Aku akan menghitung sampai tiga bilangan.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap. Orang-orang padukuhan yang mengejar mereka menjadi heran. Kenapa kedua orang itu justru berhenti. Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu pemimpin orang-orang padukuhan itu pun berteriak, “Cepat. Nampaknya mereka telah kehabisan tenaga sehingga tidak dapat lari lebih jauh lagi.”
Tetapi ketika orang-orang padukuhan itu berlari semakin cepat sambil mengacukan senjatanya, maka terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak diduganya. Hitungan Mahisa Murti sudah sampai pada hitungan ke tiga. Dengan demikian, maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dan melontarkan kekuatan ilmu mereka menghantam dua batang pohon yang menyilang di atas jalan yang akan dilalui oleh orang-orang yang mengejarnya.
Terdengar derak dahan itu patah. Kemudian dua batang dahan yang berdaun lebat telah patah dan runtuh jatuh menyilang jalan. Orang-orang yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Dengan serta merta mereka telah berhenti berlari dan bahkan berdesakan mundur beberapa langkah.
Ketika dua batang dahan itu sudah jatuh dan menyilang jalan, maka orang-orang padukuhan itu berdiri termangu-mangu. Pemimpin dari orang-orang yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu justru mematung. Ia tahu bahwa hanya ilmu yang sangat tinggi sajalah yang dapat dipergunakan untuk mematahkan dahan-dahan pohon sebesar itu. Di luar sadarnya ia berkata di dalam hatinya, “Jika kekuatan ilmu itu ditujukan kepada kami, maka apakah jadinya?”
Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang padukuhan itu masih berdiri tegak bagaikan membeku. Bahkan ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka. Semakin lama semakin jauh.
Sementara itu, orang-orang padukuhan itu pun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Meskipun sebenarnya mereka dapat menyusup di sela-sela daun atau sedikit melangkahi tanggul parit dan pematang mereka akan dapat melintasi dahan yang patah itu, namun mereka tidak berani melakukannya. Apalagi pemimpin mereka masih belum, memberikan perintah apa-apa.
Baru beberapa saat kemudian pemimpin orang-orang padukuhan itu berkata, “Kita tidak akan dapat mengejar mereka.”
“Kita loncati tanggul dan pematang,” teriak seseorang.
“Jangan berpura-pura menjadi seorang pemberani. Kau lihat apa yang telah mereka lakukan? Mereka mampu mematahkan dahan pohon sebesar itu. Ilmunya yang dahsyat mampu pula menyapu kita semuanya jika mereka mau. Tetapi mereka tidak melakukannya.”
“Jadi?” bertanya orang-orang padukuhan itu.
“Kita memang salah sangka. Jika mereka benar-benar perampok yang keji, mereka tidak akan memberikan peringatan sebagaimana mereka lakukan itu. Tetapi mereka akan langsung menghancurkan kita semua.”
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun pemimpin itu berkata, “Berhentilah di sini. Aku akan menemui kedua orang anak muda itu.”
Orang itu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera menyusup dan meloncati dahan yang patah menyilang jalan. Berlari-lari kecil ia menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan menjauhi batang pohon yang melintang jalan itu. Namun keduanya akhirnya tahu bahwa seseorang tengah menyusulnya.
“Apakah kita akan berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan berhenti,” jawab Mahisa Murti, “ada dua kemungkinan. Orang itu akan mengakui kesalahannya atau akan menantang kita bertempur karena orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.”
Mahisa Pukat mengangguk. Karena itu, maka mereka pun telah berhenti menunggu orang itu mendekati mereka. Beberapa langkah di hadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang itu berhenti. Dengan nada dalam ia berkata, “Anak-anak muda, maafkan kami. Kami tidak tahu, betapa tinggi ilmu Ki Sanak. Dan betapa besar jiwa Ki Sanak berdua.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “lain kali berhati-hatilah menuduh orang. Sebenarnyalah kami sedang dalam perjalanan kembali ke padepokan. Kami segan untuk bertempur dengan siapapun, karena sebenarnya kami telah menjalani laku tapa ngrame meskipun kami berniat untuk mengakhirinya.”
“Kami mengucapkan terima kasih atas sikap kalian,” berkata orang itu, “kami berjanji untuk bertindak lebih berhati-hati pada kesempatan lain. Sebenarnyalah kami sudah merasa sangat tersiksa dengan tingkah laku orang-orang jahat itu. Demikian aku kembali, maka aku telah menyusun kekuatan untuk melawan mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Tetapi kau telah salah mengetrapkan kekuatan yang telah susun.”
“Aku merasakan kesalahan itu,” jawab pemimpin sekelompok orang-orang padukuhan itu.
“Kau dapat membayangkan, seandainya orang yang kau tuduh itu tidak mempunyai kemampuan membela diri, maka ia akan dapat benar-benar mati tersia-sia. Padahal ia tidak bersalah sama sekali,” berkata Mahisa Pukat selanjutnya.
“Ya,” jawab orang itu sambil menunduk.
“Seharusnya kau memang dihukum,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “tetapi tidak untuk kali ini.”
“Terima kasih anak muda,” berkata orang itu, “aku mohon maaf atas nama semua orang sepadukuhan.”
“Kembalilah kepada orang-orangmu. Aku senang melihat kau berhasil menyusun sekelompok kekuatan untuk melawan perampok dan kejahatan-kejahatan lain. Tetapi tidak boleh salah sasaran. Lain kali jika kau menangkap seseorang, maka kau harus membawa orang itu kepada Ki Bekel untuk memeriksanya. Jika kau bunuh orang itu dan ternyata tidak bersalah, maka kau bukan saja akan memikul beban penyesalan sepanjang umurmu, tetapi juga beban di hidup abadimu kemudian,” berkata Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk dalam-dalam. Dengan nada dalam penuh penyesalan ia berkata, “Aku berjanji untuk menjadi lebih berhati-hati.”
“Kembalilah,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu pun kemudian telah minta diri untuk kembali kepada kawan-kawannya yang termangu-mangu di kejauhan. Sekali lagi orang itu membungkuk dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah kembali dengan penyesalan yang mendalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang orang itu sejenak. Dilihatnya orang itu mengajak kawan-kawannya menyingkirkan dua batang dahan yang melintang di jalan. Namun ternyata dahan itu terlalu berat untuk diangkat. Mereka harus memotong dengan pedang ranting-rantingnya beberapa batang dan menyeretnya ke pinggir.
“Biarlah mereka mengingatnya apa yang telah terjadi itu,” berkata Mahisa Murti, “marilah. Kita akan meneruskan perjalanan. Mahisa Semu, paman Wantilan dan Mahisa Amping telah berada di kejauhan.”
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Mereka pun kemudian melangkah menyusul saudara-saudara mereka yang telah mendahului mereka. Di kejauhan, Mahisa Aming sempat memanjat sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi. Ia sempat melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berjalan menyusul mereka.
“Tidak terjadi sesuatu atas kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Semu dan Wantilan yang berjalan agak mendaki telah melihat pula apa yang terjadi. Dengan nada rendah Wantilan berkata, “Untunglah bahwa orang-orang itu jatuh ke tempat yang lunak. Jika mereka terbanting jatuh di batu padas, maka tulang-tulang mereka akan berpatahan.”
“Siapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Orang-orang padukuhan itu,” jawab Wantilan.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Wantilan. Karena itu, ia berkata, “Mudah-mudahan mereka benar-benar menyesali kesalahannya. Meskipun kita di sini tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi menilik sikapnya, maka orang padukuhan itu telah menyesal.”
“Ya,” jawab Wantilan sambil mengangguk-angguk.
Mahisa Amping yang telah turun dari pohon yang dipanjatnya telah duduk di atas sebuah batu sambil bersandar sebatang pohon, “Kita akan menunggu di sini. Jarak ini cukup jauh, sedangkan kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan perlahan-lahan saja.”
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah duduk pula menunggu kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara mereka menunggu, maka Mahisa Amping sempat melihat kelompok-kelompok burung bangau yang terbang di udara. Mereka melintas dengan cepat dalam iring-iringan yang seakan-akan diatur dengan rapi. Namun kemudian, seperti pasir yang dibaurkan, burung pipit menghambur turun ke atas batang padi yang sedang berbuah.
“Kenapa tidak ada orang yang menunggu padi itu?” bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kenapa?”
Sejauh-jauh mereka memandang, mereka sama sekali tidak melihat seorang pun yang berada di sawah sementara padi mulai menguning.
“Agaknya pengaruh keadaan,” berkata Wantilan, “tentu ada hubungannya dengan sikap orang-orang padukuhan yang telah mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.”
“Nampaknya kejahatan itu telah terjadi dipadukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini,” berkata Mahisa Semu. Lalu katanya pula, “Karena itu agaknya maka orang-orang tidak berani turun ke sawah, meskipun di siang hari.”
Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melangkah semakin dekat.
“Marilah,” berkata Mahisa Murti ketika ia telah berdiri di hadapan Mahisa Amping, “kita melanjutkan perjalanan.”
Mereka berlima pun telah melanjutkan perjalanan. Ternyata perjalanan mereka memang cukup panjang. Mereka telah jauh meninggalkan padepokan mereka untuk waktu yang sangat panjang. Karena itu, ketika mereka berniat kembali, mereka pun harus menempuh jalan panjang pula. Ketika mereka kemudian melintasi sebuah padukuhan yang besar sementara matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka telah singgah disebuah kedai.
Mahisa Amping yang memang sudah menjadi lapar, telah memasuki kedai itu dengan wajah yang cerah. Namun, demikian ia berada di dalam kedai itu, maka ia telah memandang berkeliling. Beberapa kali mereka mengalami persoalan ketika mereka berada di dalam kedai.
Namun kedai itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Meskipun ada juga satu dua orang yang ada di dalam, namun mereka ternyata hanya minum sambil memungut sepotong makanan, kemudian meninggalkan kedai itu. Agaknya mereka hanyalah orang-orang yang tinggal dekat dengan kedai itu saja.
“Nampaknya jalan ini tidak terlalu ramai,” berkata Mahisa Murti.
“Ya,” sahut pemilik kedai, “sejak sebulan yang lalu.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa sejak sebulan yang lalu?”
“Sebelumnya jalan ini termasuk jalan yang ramai. Tetapi sejak sebulan yang lalu segala-galanya telah berubah,” berkata pemilik kedai itu.
“Apa yang berubah?” bertanya Mahisa Murti.
“Lingkungan di sekitar padukuhan ini menjadi gelisah. Banyak terjadi kerusuhan, sehingga jarang orang berani berpergian keluar dari padukuhan mereka masing-masing. Dengan demikian maka jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain ini menjadi sepi,” jawab pemilik kedai itu.
“Bukankah dengan demikian penghasilan Ki Sanak menjadi jauh berkurang?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Tentu Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat mengeluh karena tidak banyak lagi orang yang sempat singgah di kedai ku ini,” berkata pemilik kedai itu kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keadaan pemilik kedai itu. Sudah tentu ia tidak akan mampu merubah keadaan itu. Namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, “Apakah keadaan seperti ini menebar di daerah yang luas?”
“Lebih dari empat atau lima Kabuyutan mengalaminya,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya lagi, “Apakah Ki Sanak tahu, apakah yang menyebabkan perubahan itu?”
“Tidak. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja keamanan jalan-jalan di bulak-bulak panjang menjadi terganggu. Beruntunglah Ki Sanak, bahwa Ki Sanak tidak mengalami gangguan apa pun di perjalanan,” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti, “Agaknya kerusuhan di tempat ini dilakukan oleh kelompok yang sama, yang telah melakukan kejahatan di padukuhan yang telah bangkit itu.”
“Apa yang Ki Sanak maksud?” bertanya pemilik kedai itu.
“Di sebuah padukuhan yang juga termasuk besar seperti padukuhan ini, orang-orangnya telah bangkit. Mereka telah menyusun satu kelompok yang bukan saja terdiri dari anak-anak muda. Nampaknya mereka telah menyatakan diri menjadi pengawal padukuhan. Dengan kelompok pengawal itu, maka diharapkan keadaan padukuhan itu menjadi lebih baik. Para penjahat harus berpikir ulang jika mereka akan memasuki padukuhan itu atau melakukan kejahatan di bulak-bulak persawahan milik padukuhan itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Padukuhan yang mana?” bertanya pemilik kedai itu pula.
“Sayang, kami tidak bertanya namanya. Tetapi kami telah melalui padukuhan itu dan melihat kesiagaannya yang tinggi,” jawab Mahisa Pukat pula.
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kami tidak mempunyai orang kuat yang mau menggerakkan anak-anak muda di padukuhan ini. Ki Bekel sudah terlalu tua. Beberapa orang bebahu justru menjadi ketakutan karena pada umumnya mereka sudah menjadi kaya. Mereka takut akan mengalami sesuatu sehingga harus meninggalkan kekayaan mereka itu.”
“Memang seharusnya ada orang kuat itu,” berkata Mahisa Pukat.
Tetapi pembicaraan mereka terhenti. Pemilik kedai itu melihat tiga orang yang mendekati kedainya. Berbisik pemilik kedai itu berkata, “Hati-hatilah. Mereka bukan orang-orang padukuhan ini seperti Ki Sanak. Tetapi sejak lima hari yang lalu ia selalu datang ke kedai ini.”
“Terima kasih atas peringatan ini,” jawab Mahisa Murti, “kami tidak akan berbuat sesuatu yang dapat membuat mereka menjadi marah.”
Sebenarnyalah ketiga orang itu pun telah singgah di kedai itu pula. Tetapi mereka lebih senang duduk di sebuah lincak bambu di luar kedai itu. “Di dalam udaranya terlalu panas,” berkata salah seorang dari antara mereka.
Pemilik kedai itu tidak menjawab. Ia masih saja melayani permintaan Mahisa Amping. Sementara itu, seorang lagi telah masuk ke dalam kedai itu serta memesan minuman semangkuk. Tetapi setiap kali orang itu selalu memperhatikan orang-orang yang ada di luar kedai itu. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti pun menjadi semakin memperhatikan ketiga orang itu pula.
Tetapi ternyata ketiga orang itu tidak berbuat sesuatu. Sampai saatnya kelima orang itu selesai makan dan minum, ketiga orang itu masih berada di luar. Mereka memang memesan minuman juga. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam kedai. Mahisa Murti lah yang kemudian membayar harga minuman dan makanan. Ketika ia mengambil uang dikampilnya, maka pemilik kedai itu sempat memperhatikan isinya. Cukup banyak.
Karena itu, tiba-tiba saja pemilik kedai itu berkata, “Hati-hati dengan uangmu yang banyak itu. Kau akan melewati bulak yang panjang. Sementara itu daerah ini sudah tidak aman lagi.”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “jadi bagaimana menurut pendapat Ki Sanak?”
“Berbahaya bagimu membawa uang sebanyak itu lewat bulak panjang. Apalagi jika yang membawa uang itu bukan hanya Ki Sanak seorang diri.”
Mahisa Murti menjawab dengan suara keras, “Ya Ki Sanak. Kami masing-masing memang membawa uang cukup. Jika kami kehabisan uang maka senjata kami ini harganya mahal sekali. Kami dapat menjualnya dan kami akan merasa sangat berat membawa uang hasil penjualannya.”
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat hulu pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terbuat dari emas. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak saudara-saudaranya untuk meninggalkan kedai itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, Mahisa Murti telah terhenti ketika tangan Mahisa Amping menggamitnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku menjadi berdebar-debar.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Siapa tiga orang yang duduk-duduk di luar kedai itu kakang?” bertanya Mahisa Amping.
“Tentu saja aku tidak tahu,” jawab Mahisa Murti, “kenapa?”
“Wajah mereka bercahaya kehitam-hitaman,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Nampaknya anak itu telah disentuh oleh isyarat yang kadang-kadang muncul di hatinya, namun kadang-kadang tidak sama sekali. Isyarat itu ternyata dekat sekali dengan perhitungan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berhati-hati.
Sementara itu Mahisa Amping telah bertanya kepada Mahisa Murti, “Kenapa kakang tadi berbicara dengan keras, bahwa kakang mempunyai banyak uang. Kakang mengatakan bahwa kami semua membawa uang.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Amping. Aku hanya ingin sedikit menyombongkan diri.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Demikianlah maka beberapa orang itu telah berjalan menyusuri bulak-bulak panjang. Beberapa kali Mahisa Murti memandang berkeliling. Tetapi ia tidak melihat seorang pun. Namun ketika mereka sampai ke sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka telah melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang. Enam orang.
“Kakang,” berkata Mahisa Amping, “lihat mereka. Bukankah tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang berada di kedai itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti.
“Mereka mendengar kata-kata kakang,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi pada suatu saat, Mahisa Amping akan tahu kenapa ia berbuat seperti itu. Beberapa saat kemudian, maka kelima orang itu telah melangkah semakin dekat dengan keenam orang yang telah menunggu itu. Mahisa Murti yang berjalan di paling depan sama sekali tidak menjadi ragu-ragu melangkah. Bahkan dengan tetap ia berjalan semakin dekat dengan keenam orang itu.
Baru beberapa langkah di depan orang-orang itu Mahisa Murti berhenti sambil berkata, “Ki Sanak. Aku akan lewat.”
Yang terdengar adalah suara tertawa. Seorang di antara ke enam orang itu berkata, “Kau adalah orang-orang yang sombong. Kau dengan sengaja memamerkan uangmu. Kami memang tertarik Ki Sanak. Karena itu, kami menunggu kalian di sini.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kau sadar, bahwa yang kau lakukan itu bertentangan dengan paugeran?”
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah artinya paugeran bagi kami?”
“Paugeran mengikat semua orang,” jawab Mahisa Murti.
“Kami adalah orang-orang yang berdiri di luar segala paugeran. Kami adalah orang-orang bebas yang berbuat sesuai dengan keinginan kami sendiri,” berkata orang itu.
“Tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari paugeran. Setiap pelanggaran pasti akan mendapat hukumannya,” desis Mahisa Murti.
Tetapi orang-orang itu justru tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah paugeran dapat menjerat kami sekarang.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “Tentu. Paugeran akan menjerat kalian sekarang, jika kalian tetap berniat melanggar paugeran.”
“Kita akan melihat, apakah paugeran dapat mencegah niat kami mengambil uang kalian, emas dihulu senjata kalian dan apa pun yang ada pada kalian.”
“Kami pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Orang yang mengetahui bahwa kami membawa banyak uang ketika kami membayar makanan dan minuman pada sebuah kedai. Tetapi orang yang akan berbuat jahat itu melihat sendiri uangku yang tanpa sengaja nampak olehnya. Kali ini kalian juga akan merampas uangku karena kalian tahu bahwa aku membawa uang banyak. Kalian mengetahuinya ketika kami akan membayar makanan dan minuman disebuah kedai. Bedanya, kalian agaknya telah bekerja bersama dengan pemilik kedai itu. Pemilik kedai itu telah memberikan isyarat kepada kalian, bahwa seseorang ternyata membawa uang banyak sehingga pantas untuk dirampok diperjalanan,” berkata Mahisa Murti.
“Setan kau,” geram orang yang agaknya pemimpin dari sekelompok penyamun itu, “tetapi apa pun juga yang kau katakan, kami akan merampas uang dan barang-barang kalian.”
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “Kami akan menangkap kalian dan sekaligus pemilik kedai itu. Kalian akan kami serahkan kepada Ki Bekel di padukuhan yang baru saja kami tinggalkan.”
Pemimpin sekelompok penyamun itu tertawa. Katanya, “Bagaimana kalian akan menangkap kami. Jumlah kami lebih banyak dari kalian. Kami adalah orang-orang yang sangat ditakuti di sini.”
“Mungkin kalian sangat ditakuti di sini. Tetapi kami pun sangat ditakuti orang di sana. Karena itu, sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian. Biarlah kami lewat. Di antara kita tidak ada persoalan apa pun lagi,” berkata Mahisa Murti.
“Ternyata mulutmu lebih tajam dari ujung senjata. Kau kira dengan caramu kau akan berhasil melalui daerah kami tanpa gangguan?” desis pemimpin kelompok itu.
“Dalam waktu sehari, kami sudah mengalami dua persoalan yang sangat menjengkelkan. Salah paham dengan orang-orang padukuhan yang sedang bangkit untuk melawan para penjahat. Dan sekarang menghadapi kalian di sini,” berkata Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian lekas kami selesaikan. Kami akan segera meneruskan perjalanan.”
“Kamilah yang akan menyelesaikan kalian. Tetapi tidak perlu tergesa-gesa. Kesombongan kalian membuat kami ingin melihat kalian ketakutan sebelum kalian semuanya terbunuh di sini. Agaknya sangat menyenangkan.”
“Apa yang menyenangkan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Melihat orang ketakutan sebelum matinya. Apalagi orang-orang sombong seperti kalian,” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Menyenangkan sekali melihat kau ketakutan sebelum mati.”
Orang itu mengumpat. Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak ketakutan. Bahkan nampaknya mereka juga ingin melakukan sebagaimana yang akan mereka lakukan. Karena itu, maka pemimpin kelompok penyamun itu pun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Dalam waktu sekejap, keenam orang itu telah melingkari Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Namun kelima orang yang dikepung itu pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Amping pun telah bersiap pula.
Dalam keadaan seperti itu Mahisa Semu masih sempat bertanya kepada Mahisa Amping, “Kau mau apa?”
“Bukankah mereka akan menyerang kita?” jawab Mahisa Amping.
“Dan kau?” bertanya Mahisa Semu pula.
“Bertempur. Siapa tahu ada yang menyerang aku. Atau akan menangkap aku sebagai barang taruhan,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu tersenyum. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Orang-orang yang mengepung itu mulai bergerak. Dua orang telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Semu dan Wantilan telah menyongsongnya. Mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Sementara itu empat orang yang lain mulai bergerak pula. Pemimpin sekelompok penyamun itu berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu banyak tingkah. Serahkan saja semua yang kami minta.”
“Bukankah kami berniat menangkap kalian?” sahut Mahisa Murti.
Jawaban itu telah membuat telinga pemimpin sekelompok penyamun itu semakin marah. Karena itu maka katanya, “Bunuh saja orang-orang ini.”
“Bukan main,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “Hari itu ia sudah mendapat ancaman untuk dibunuh sampai dua kali.”
Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah bertempur melawan dua orang sekaligus. Demikian pula Mahisa Pukat. Orang-orang itu agak mengabaikan kehadiran Mahisa Amping. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Mereka semakin menebar di sepanjang jalan yang sepi di tengah-tengah bulak itu.
Namun perhitungan orang-orang yang mendapat isyarat dari pemilik kedai itu tidak tepat. Mereka tidak segera dapat menguasai anak-anak muda itu. Bahkan orang yang merampok itu semakin lama justru menjadi semakin heran, bahwa anak-anak muda itu masih saja mampu bertahan. Mereka sama sekali tidak nampak gugup atau cemas melihat keadaan yang mereka hadapi. Dengan tangkas anak-anak muda itu masih saja berloncatan dengan cepat.
Karena itu maka pemimpin sekelompok penyamun itulah yang menjadi cemas. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan bersama dengan orang-orangnya ia berusaha untuk dengan segera menundukkan lawan-lawannya. Tetapi anak-anak muda itu masih saja melawan dengan segar. Tenaganya masih sesegar ketika mereka mulai bertempur.
Semakin lama para penyamun itu pun mulai menjadi letih. Tenaga mereka mulai susut dan kegelisahan di hati mereka menjadikan jantung mereka semakin bergejolak. Para penyamun itu sama sekali tidak menyangka, bahwa anak-anak muda itulah yang semakin lama justru semakin menguasai arena pertempuran. Pada saat-saat terakhir, para penyamun itu masih berusaha. Dua orang lawan Mahisa Murti telah menghentakkan kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak nampak gugup. Ia masih saja berloncatan dengan tenaga yang masih utuh. Bahkan serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin cepat. Senjata para penyamun itu rasa-rasanya tidak lagi sanggup membendung ujung pedang di tangan Mahisa Murti. Pedang yang memiliki ciri kekhususannya. Namun Mahisa Murti sempat bertanya, “Apakah kau masih menginginkan hulu pedangku yang terbuat dari emas ini?”
Lawan-lawan Mahisa Murti itu tidak sempat menjawab. Ketika pedang Mahisa Murti terjulur, maka mereka telah berloncatan menjauh. Demikian pula dua orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat. Bahkan seorang di antara mereka sempat menggeram, “Apakah aku berhadapan dengan ilmu iblis.”
Tetapi para penyamun itu sudah masuk ke dalam pertempuran. Mereka tidak dapat lagi menghindarkan diri dari kenyataan, bahwa mereka memang telah menyamun.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kami tidak akan mengambil tindakan sendiri. Yang akan kami lakukan adalah menyerahkan kalain kepada Ki Bekel atau Ki Buyut bersama-sama dengan pemilik kedai itu. Ternyata ia adalah orang yang licik.”
“Aku tidak akan menyerah,” jawab seorang di antara kedua orang lawan-lawannya, “kami justru akan memotong lidahmu yang selalu mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati itu.”
“Aku hanya menawarkan satu penyelesaian yang paling baik kalian,” berkata Mahisa Pukat, “karena jika kita bertempur terus, maka ada kemungkinan lain dapat terjadi. Kami tidak sempat membawamu kepada Ki Bekel atau Ki Buyut karena tubuh kalian akan terkapar mati di sini.”
“Persetan, tutup mulutmu,” salah seorang lawan Mahisa Pukat berteriak demikian gejolak di dalam hatinya menjadi semakin mengguncang keseimbangan jiwanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Justru berkepanjangan. Katanya, “Dalam keadaan seperti ini kau masih saja sempat membual.”
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu terkejut ketika ujung pedang anak muda itu hampir saja menggapai keningnya. Namun mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Meskipun berdua melawan seorang, tetapi lawan-lawan Mahisa Pukat mengalami banyak kesulitan.
Demikian pula orang yang bertempur melawan Mahisa Semu. Mahisa Semu ternyata sudah menjadi semakin maju dengan latihan-latihan yang dilakukan sepanjang perjalanan. Ilmu pedangnya menjadi semakin mapan. Bahkan nampak betapa Mahisa Semu mulai menguasai bagian-bagian yang paling rumit dari ilmu pedangnya. Lambat laun tetapi pasti, Mahisa Semu semakin lama semakin mendesak lawannya yang masih bergerak dengan kasar dan buas.
Wantilan justru bertempur agak jauh dari arena pertempuran yang lain. Ia berloncatan kian kemari dengan tangkasnya. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Memang agak berbeda dengan cara Mahisa Semu menghadapi lawannya. Tetapi Wantilan memang menimbulkan kesan agak keras dan kasar.
Dengan demikian, maka keenam orang perampok itu semakin kehilangan pegangan. Mereka terdesak oleh kemampuan ilmu lawannya. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sekedar mempergunakan ilmu kewadagannya yang biasa, namun ternyata itu pun telah membuat lawan-lawan mereka bingung.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti masih memperingatkan mereka. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Hentikan perlawanan atau kalian menunggu permainan ini benar-benar sampai tuntas?”
“Cukup,” teriak pemimpinnya, “jika kau memang jantan, lawan aku sampai salah satu pihak tidak mampu lagi mengangkat senjatanya atau mati.”
“Kita masih bertempur Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “seharusnya kau merasa, apa yang sedang kau alami itu.”
Pemimpin sekelompok penyamun itu menggeram marah. Tetapi betapa pun ia ingkar dari kenyataan, tetapi kenyataan itu memang harus berlaku. Anak muda itu benar-benar tangguh dan tidak mengenal letih. Sudah sekian lama pertempuran itu berlangsung, mereka masih tetap segar.
Dengan demikian maka pemimpin perampok itu menjadi semakin gelisah. Meskipun ia masih nampak garang dan kata-katanya masih menggelegar bagaikan guruh di langit, tetapi sebenarnyalah hatinya menjadi semakin kecut. Ia menjadi semakin menyadari akan kelemahannya di hadapan anak muda itu. Berdua ia tidak mampu berbuat apa-apa. Demikian juga dua orang kawannya yang lain, sedangkan kedua orang yang lain lagi masing-masing telah mendapat lawan yang tidak dapat dikalahkannya
Sementara itu Mahisa Pukat masih juga berkata, “Sudahlah. Jangan memaksa pertempuran ini sampai membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Sekali lagi aku katakan, jika kalian menyerah, persoalannya akan kami serahkan kepada Ki Buyut. Demikian juga pemilik kedai yang ternyata telah membantu kalian mengisyaratkan orang-orang yang pantas kalian rampok di perjalanan.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi kedua orang lawan Mahisa Pukat itu telah berusaha menghentakkan ilmu mereka. Tetapi keduanya sama sekali tidak berhasil mendesak Mahisa Pukat barang sejengkalpun. Dengan demikian, maka baik lawan Mahisa Murti, lawan Mahisa Pukat maupun lawan Mahisa Semu dan Wantilan, benar-benar tidak akan mampu mengimbangi ketangkasan anak-anak muda itu.
Namun dalam keadaan yang sulit itu, pada saat hampir saja para perampok itu menyerah, tiba-tiba saja telah terdengar suara tertawa yang telah mengusik perasaan mereka. Hampir berbareng semua orang telah berpaling. Bukan saja Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan, tetapi juga lawan-lawan mereka. Bagaimanapun juga, yang mereka lihat adalah seorang yang mendebarkan jantung. Orang itu adalah pemilik kedai yang baru saja mereka singgahi.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia bertanya sesuatu, orang itu telah melangkah mendekat sambil berkata, “Kalian memang luar biasa anak-anak muda.”
Tidak terdengar jawaban. Sementara Mahisa Murti dan saudara-saudara menjadi semakin bersiaga.
“Aku tidak mengira bahwa kalian mampu mengatasi kegarangan kawan-kawanku itu,” berkata orang itu.
“Jadi kaukah otak dari permainan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Bukan,” jawab orang itu, “kita semuanya sudah sepakat untuk bermain-main. Tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat dituduh sebagai otaknya atau sekedar pelaksana.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “tawaran kami masih kami berikan. Menyerahlah agar kita semuanya tidak menyesali diri sebagai pembunuh. Apakah kalian yang mati atau kami yang mati, namun akan terjadi salah satu pihak di antara kita adalah pembunuh. Tetapi menilik keseimbangan kekuatan kami, maka kamilah yang akan menyesal bahwa kami membunuh kalian.”
“Cukup,” berkata pemilik kedai itu, “jangan membual. Aku sudah merasa kelebihan kalian di saat kalian meninggalkan kedai. Jika kalian bukan orang-orang yang memiliki ilmu, maka kalian tidak akan dengan sengaja menawarkan uang, hulu pedang dan milik kalian yang lain, karena kalian nampaknya sudah mencurigai aku dan kawan-kawanku itu.”
“Jadi kau sudah menduga bahwa kami akan melawan?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya, sebagaimana kalian mencurigai kami, aku pun merasa curiga atas kalian. Karena itu, maka aku telah hadir di tempat ini pula. Tetapi seperti yang aku katakan, aku kira kalian akan menyesali kesombongan kalian karena kalian akan digilas oleh para perampok itu. Namun ternyata tidak. Kalian mampu mengatasi para perampok yang sampai saat sebelum kau datang, adalah perampok yang sangat ditakuti dan tidak pernah gagal menelan korbannya,” berkata pemilik kedai itu. Lalu katanya pula, “Nah, karena kalian ternyata tidak dapat dikalahkan oleh para perampok itu, maka akulah yang akan mengalahkan kalian. Enam orang itu akan melawan tiga orang di antara kalian, sedangkan aku akan membunuh kalian seorang demi seorang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa pemilik kedai itu tentu orang berilmu tinggi. Dengan demikian maka mereka pun menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang itu.
Sebenarnyalah, orang itu ternyata telah memilih Mahisa Murti untuk menjadi lawannya yang pertama. Sementara kedua orang lawan Mahisa Murti pun telah bergeser menjauhinya. “Nah,” berkata orang itu, “sekarang kau tentu tidak akan menawarkan kepada kami untuk menyerah.”
“Tawaran tetap sebelum kalian terbunuh di sini,” jawab Mahisa Murti.
Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tertawa lagi. Katanya, “Kau masih saja menyombongkan diri di saat-saat terakhir dari hidupmu. Bagus. Sebaiknya kau memang mati dengan wajah tengadah daripada mati dengan wajah menuduk.”
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apa pun yang akan terjadi, maka ia tidak akan mengingkarinya.
Sementara itu Mahisa Pukat memang mencemaskan Mahisa Semu dan Wantilan. Mahisa Pukat menyadari, bahwa jika Mahisa semu dan Wantilan masing-masing harus bertempur melawan dua orang, maka mereka akan segera mengalami kesulitan, meskipun dalam pertempuran seorang lawan seorang, keduanya masih menunjukkan kelebihannya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu pun tiba-tiba saja bereriak, “Marilah Ki Sanak. Siapakah yang ingin mati lebih dahulu, datangklah kepadaku.”
Para perampok yang meninggalkan Mahisa Murti itu pun merasa tersinggung pula. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata, “Kalian kira bahwa kedatangan seorang kawan itu akan dapat menyelamatkan kalian? Kalian yang telah bertempur untuk beberapa lama aku mengetahui, bahwa apa pun yang kalian lakukan, maka kalian akan mati. Dengan demikin maka di antara kalian yang sudah siap untuk menyerah, sebaiknya kalian lanjutkan rencana kalian untuk menyerah itu. Dengan demikian maka jiwa kalian akan di selamatkan.”
“Persetan,” geram salah seorang yang telah bertempur melawan Mahisa Murti itu, “kau terlalu sombong.”
“Bukankah kau termasuk orang yang telah menjadi pucat dan hampir menangis ketakutan, sehingga kalian hampir saja menyerah?” bertanya Mahisa Pukat.
Kedua orang yang baru saja meninggalkan Mahisa Murti itu ternyata telah mendekatinya pula sambil berkata, “Kami ingin membunuhmu lebih dahulu sebelum membunuh kawan-kawanmu.”
Mahisa Pukat melangkah surut. Ia sadar, bahwa ia pun akan mengalami kesulitan untuk melawan empat orang sekaligus. Tetapi ia masih berharap akan dapat dengan bermacam-macam cara bertahan lebih lama daripada Mahisa Semu dan Wantilan bila mereka masing-masing harus bertahan menghadapi dua orang. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah bertempur melawan empat orang sekaligus yang mendendamnya karena mereka telah merasa tersinggung oleh kata-kata anak muda itu.
Dalam beberapa saat kemudian, maka pertempuran telah menjadi semakin sengit. Keempat orang lawan Mahisa Pukat itu benar-benar telah berusaha untuk membunuhnya. Mereka menyerang susul menyusul sementara keempat orang itu berdiri mengelilingi Mahisa Pukat yang berloncatan kian kemari. Tetapi Mahisa Pukat memang tangkas. Karena itu, maka serangan-serangan keempat lawannya tidak segera dapat mengenainya.
Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat merasa, bahwa memang terlalu berat untuk melawan empat orang dengan kekuatan dan kemampuan kewadagannya saja, betapa pun ia tangkas bergerak dan memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur pula melawan pemilik kedai itu. Sambil tertawa pemilik kedai itu berkata, “Nasibmu memang buruk karena telah membawamu ke kedaiku. Tetapi seandainya kau tidak terlalu sombong, maka kau tidak akan mengundang aku kemari.”
“Jadi maksudmu, sebaiknya kami membiarkan diri kami dibunuh oleh perampok-perampok itu sehingga kau tidak perlu datang?” bertanya Mahisa Murti.
“Jika sejak awalnya kau menyerahkan semua yang dimintanya, mungkin kau akan mendapat kesempatan untuk hidup,” jawab pemilik kedai itu.
“Tidak. Kami memang memancing agar kau datang. Semua orang yang terlibat. Seandainya masih ada orang lain lagi, sebaiknya ia hadir di pertempuran ini,” jawab Mahisa Murti.
Orang itu menggeram. Ia meloncat semakin garang. Senjatanya berputaran dengan ganasnya menyambar-nyambar. Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas menghadapinya. Pedangnya pun dengan cepat berputar pula. Bahkan seakan-akan telah membentuk dinding baja mengelilinginya. Demikian rapatnya sehingga sulit untuk ditembus oleh ujung senjata lawannya.
Pemilik kedai itu ternyata juga memiliki senjata yang menggetarkan. Sebuah kapak yang tidak terlalu besar. Tangkainya memang agak terlalu panjang jika diukur dengan kapak kebanyakan. Namun kapak itu tidak hanya bermata sebelah, tetapi kapak bermata rangkap.
Ternyata pemilik kedai itu memang seorang yang berilmu tinggi. Beberapa saat kemudian, setelah keringatnya mulai membasahi kulitnya, maka pemilik kedai itu telah menghentakkan ilmunya yang menandainya sebagai seorang yang berilmu tinggi. Ayunan kapaknya bukan saja sangat berbahaya karena tajamnya yang akan dapat mengoyak kulit dagingnya, tetapi desir anginnya telah mulai menghembuskan udara panas. Namun ilmu itu sama sekali tidak mengerutkan perlawanan Mahisa Murti. Ia justru merasa semakin tegar menghadapi lawan yang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang telah menjadi semakin terdesak. Tetapi hal itu sama sekali tidak mengecilkan hati Mahisa Murti. Ia yakin bahwa Mahisa Pukat masih akan mampu bangkit dan melindungi dirinya sendiri. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tidak mengalami kesulitan apa-apa menghadapi lawan mereka. Bahkan keduanya semakin nampak akan dapat menguasai lawan masing-masing.
Sementara itu pemilik kedai itu telah meningkatkan ilmunya pula. Kapaknya menjadi semakin cepat menyambar-nyambar, sementara udara panas semakin menyengat kulitnya.
Mahisa Murti masih bertahan beberapa saat. Tetapi ketika udara panas itu semakin menggigit, maka ia pun mulai mengerahkan ilmunya pula. Pedangnya yang memang berwarna kehijauan itu mulai menyala. Daun pedang itu seakan-akan bukan saja berwarna kehijauan, tetapi juga memancarkan sinar yang berwarna kehijauan pula.
Ternyata daun pedang Mahisa Murti telah menarik perhatian pemilik kedai itu. Ia segera mengerti, bahwa anak muda yang dihadapinya benar-benar anak muda yang berilmu tinggi. Karena itu maka pemilik kedai itu merasa harus berhati-hati. Tetapi ia tidak dapat menarik diri. Ia justru semakin meningkatkan ilmunya.
Ketika ilmu itu sampai ke puncak, maka sebenarnyalah tubuh Mahisa Murti bagaikan berada di dalam lingkungan bara api. Keringat telah membasahi tubuh Mahisa Murti. Namun ia tidak ingin menjadi hangus. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menghentikan serangan panas itu atas tubuhnya yang seakan-akan terpanggang di atas bara.
Mahisa Murti yang menganggap bahwa pemilik kedai itu sebagai orang yang sangat berbahaya telah memutuskan untuk membuat perhitungan sampai tuntas. Menurut perhitungan Mahisa Murti orang itu tidak akan dapat diperbaiki lagi tingkah lakunya. Nampaknya ia telah begitu yakin akan kebenaran jalan yang ditempuhnya meskipun ia sadar, bahwa jalan itu adalah jalan kegelapan. Kebenaran bagi pemilik kedai itu adalah kebenaran bagi dirinya sendiri yang justru bertentangan dengan kebenaran yang berlaku dalam hubungannya dengan sesama.
Karena itu, maka Mahisa Murti yang marah itu pun telah menghentakkan ilmunya pula. Pedangnya tidak lagi sekedar memancar, tetapi seakan-akan telah terbakar. Bunga api yang berwarna kehijauan menjilat dari seluruh tubuh pedang itu. Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar melihat pedang Mahisa Murti. Namun ia merasa bahwa panas udara yang memancar oleh hentakkan ilmunya akan dapat menghanguskan tubuh lawannya yang masih sangat muda itu.
Tetapi Mahisa Murti yang menjadi semakin marah telah mengacukan pedangnya ke arah orang itu. Dengan satu hentakkan kekuatan ilmunya, maka dari ujung pedang yang teracu kepada pemilik kedai itu telah meluncur cahaya yang kehijauan pula.
Tetapi pemilik kedai itu memang tangkas. Ia sempat meloncat dan berguling menghindar. Geraknya memang sangat cepat, sehingga ia berhasil membebaskan diri dari semburan cahaya yang berwarna kehijauan itu. Tetapi Mahisa Murti yang kulitnya bagaikan telah menjadi hangus itu tidak melepaskannya. Ia pun kemudian telah menyerang lawannya sekali lagi. Namun sekali lagi ia dapat menghindar.
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar melihat kemampuannya bergerak cepat. Ketika Mahisa Murti telah bersiap untuk menyerang lagi, tiba-tiba orang itu sudah melenting. Kapaknya menyambar dengan ayunan yang menggetarkan jantung. Namun Mahisa Murti sempat menangkis serangan itu dan bahkan sekaligus memutar pedangnya mendatar menyambar ke arah dada. Tetapi dengan gerakan sederhana orang itu telah melepaskan diri dari jangkauan ujung pedang anak muda itu. Bahkan panas udara karena kekuatan ilmunya telah membakar Mahisa Murti sehingga keringatnya benar-benar terperas dari tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti pun tidak mau membiarkan dirinya menjadi abu. Sekali lagi ia telah melepaskan serangan dengan melontarkan ilmu lewat ujung pedangnya. Tetapi sekali lagi Mahisa Murti telah gagal. Bahkan orang itu telah menjatuhkan dirinya berguling dan sekaligus kapaknya menyambar ke arah lutut. Mahisa Murti sempat mengelak. Tetapi begitu cepatnya kapak itu bagaikan menggeliat. Satu sentuhan telah mengoyakkan kulit paha Mahisa Murti.
Mahisa Murti berdesis menahan sakit. Tetapi untuk memperbaiki keadaannya, ia langsung menjulurkan pedangnya ke arah orang itu. Satu leret sinar kehijauan telah menyambarnya. Tetapi orang itu berguling sekali lagi. Kemudian melenting berdiri beberapa langkah di depan Mahisa Murti. Dengan satu loncatan panjang orang itu menggapai leher Mahisa Murti dengan kapaknya.
Mahisa Murti memang harus menangkis serangan itu. Tetapi ternyata pula bahwa tenaga orang itu terlalu kuat. Hampir saja pedangnya terlempar. Untunglah bahwa daya tahan Mahisa Murti cukup besar untuk mengatasinya. Namun sentuhan itu justru mulai diharapkan oleh Mahisa Murti. Setelah bertempur beberapa saat, ia mulai dapat membaca kebiasaan lawannya, sehingga ia dapat memancing serangan-serangan yang akan dapat ditangkisnya.
Tetapi Mahisa Murti hampir tidak mampu bertahan atas panasnya udara yang serasa semakin meningkat. Namun karena setiap kali orang itu harus menghindari serangan Mahisa Murti, maka Mahisa Murti masih mampu menahan hingga panasnya tidak menyamai panasnya api neraka. Yang terjadi kemudian adalah serangan yang dibalas dengan serangan. Beberapa kali telah terjadi sentuhan senjata dan kegelisahan pun menyala dalam dada Mahisa Murti.
Serangan-serangan Mahisa Murti memang berhasil mengurangi hembusan panas di sekitar tubuh lawannya. Saat-saat lawannya melenting dan berguling menghindar, maka panas udara itu pun seakan-akan telah menurun. Tetapi jika orang itu telah tegak kembali, maka tubuh Mahisa Murti pun kembali bagaikan terbakar. Namun dengan mengerahkan daya tahanannya, maka Mahisa Murti selalu berusaha menggapai tubuh lawannya dengan pedangnya, agar lawannya itu kemudian menangkis serangannya. Atau sebaliknya, Mahisa Murti memancing lawannya untuk menyerangnya dengan kapaknya untuk ditangkisnya.
Pemilik kedai itu ternyata menjadi heran melihat Mahisa Murti masih juga mampu bertahan. Sambil berloncatan menyerang dengan kapaknya selain dengan panasnya udara, orang itu berkata, “Ternyata kau memang seorang yang luar biasa anak muda. Seharusnya kau sudah mati. Tetapi kau mampu bertahan untuk beberapa saat. Yang aku tidak tahu, darimana kau mewarisi ilmu yang mampu kau lontarkan itu. Bahkan seakan-akan dapat meluncur dari ujung pedangmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia menyerang lebih sering. Pemilik kedai itu pun menjadi semakin sering menghindar dan untuk menghentikan serangan Mahisa Murti, maka pemilik kedai itu berusaha bertempur pada jarak yang dekat. Kecuali untuk membakar kulit anak muda itu, ia pun mampu menggapainya dengan kapaknya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat menyerangnya.
Keringat benar-benar telah terperas dari tubuh Mahisa Murti. Hampir saja ia meninggalkan arena karena ia tidak tahan lagi panasnya udara di sekitar tubuh lawannya. Namun jika ia menghindar, bukan berarti lawannya tidak akan mengejarnya. Karena itu, maka usaha Mahisa Murti justru semakin sering menyerang dan membiarkan dirinya diserang.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang bertempur melawan empat orang itu pun tidak membiarkan dirinya terdesak terus. Ia pun telah melepaskan ilmunya untuk menghisap kekuatan lawan-lawannya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat dengan sengaja telah bergeser mundur setiap kali lawannya mendesaknya. Namun ia selalu berusaha menangkis serangan-serangan yang datang beruntun dari keempat orang lawannya. Hanya pada saat-saat tertentu Mahisa Pukat memang menghentak mereka dan dan mendesaknya dengan putaran pedangnya. Namun yang penting bagi Mahisa Pukat adalah, bahwa lawannya itu telah menangkis serangan-serangannya.
Mahisa Semu dan Wantilan tidak menemui kesulitan sama sekali. Mereka mendesak lawannya terus. Sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah. Yang nampak olehnya adalah keadaan Mahisa Pukat yang disangkanya menjadi semakin terdesak. Ia ingin Mahisa Semu dan Wantilan untuk segera mengakhiri pertempurannya, kemudian mereka membantu Mahisa Pukat melawan empat orang perampok itu.
Tetapi Mahisa Amping tidak begitu menyadari apa yang terjadi atas Mahisa Murti. Ia tidak mengerti bahwa lawan Mahisa Murti itu mampu melepaskan panas dan bagaikan membakar kulit lawannya.
“Kau masih mampu bertahan juga?” geram orang itu, “seharusnya kau sudah terkapar karena panasnya udara tidak akan tertanggungkan lagi oleh siapa pun juga saat aku menghentakkan ilmuku sampai ke puncak.”
Namun Mahisa Murti justru masih mampu tersenyum betapa pun ia harus mengerahkan daya tahannya. Katanya, “Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang akan lebih dahulu kehilangan kesempatan.”
“Anak iblis,” geram orang itu sambil meningkatkan ilmunya benar-benar sampai tuntas.
Tetapi bagi Mahisa Murti, udara panas itu pun justru telah mulai menyusut. Meskipun orang itu merasa telah menghentakkan ilmunya sampai ke batas, namun panasnya tidak mampu membakar dan menghanguskan kulit Mahisa Murti. Semakin sering ia menyerang Mahisa Murti dan berhasil ditangkis dengan pedangnya atau sebaliknya, maka kemampuannya itu telah semakin menyusut.
Meskipun demikian pertempuran di antara keduanya masih berlangsung dengan keras dan cepat. Serangan demi serangan telah diluncurkan oleh kedua belah pihak. Keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Mahisa Murti yang berusaha untuk sebanyak-banyaknya beradu senjata itu, pada satu saat telah kehilangan kesempatan untuk menangkis serangan lawannya karena kecepatannya yang sangat tinggi. Yang dapat dilakukan hanya menggeliat dan sedikit bergeser. Namun ternyata bahwa tajamnya kapak lawannya sempat tergores di lengannya. Sebuah luka telah menganga. Meskipun tidak terlalu parah namun dari luka itu darah telah mengalir dengan derasnya.
“Kau sudah mendekati saat-saat terakhirmu,” berkata pemilik kedai itu sambil tertawa.
Namun Mahisa Murti menjawab, “Orang-orang seperti kau ini memang tidak sepantasnya untuk mendapat kesempatan pengampunan. Kau akan segera melihat bahwa permainanmu akan berakhir hari ini.”
“Persetan,” geram orang itu. Namun ketika ia meloncat menerkam Mahisa Murti, maka ia merasa sesuatu yang lain pada dirinya. Gerakannya mulai menjadi lambat. Sedangkan lawannya justru nampak semakin segar, seakan-akan panas udara tidak lagi terasa.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah menangkis terkaman kapak lawannya menyamping. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, sehingga orang itu hampir saja kehilangan keseimbangan. Tetapi dengan cepat ia berusaha untuk memperbaiki kedudukannya. Namun dengan cepat pula Mahisa Murti telah menyerang kembali. Demikian orang itu berdiri tegak, maka pedang Mahisa Murti telah terjulur.
Orang itu masih sempat menangkisnya. Bahkan kemudian ia pun dengan cepat pula berusaha menyerang. Dengan demikian ia memperhitungkan, Mahisa Murti tidak sempat menyerangnya dengan melepaskan loncatan-loncatan cahaya yang mampu menyambar dan meledakkannya. Tetapi orang itu tidak memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat membuat ilmunya menjadi rapuh.
Demikian pula keempat lawan Mahisa Pukat. Dengan garang keempat orang itu telah mendesak terus. Sambil berloncatan surut Mahisa Pukat telah menangkis serangan-serangan lawan mereka. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat membuat loncatan-loncatan panjang. Namun tiba-tiba ia pun telah meloncat menyerang dengan garangnya pula.
Benturan-benturan senjata menjadi semakin sering terjadi. Namun Mahisa Pukat justru merasa bahwa ia mulai berhasil. Mahisa Pukat tidak merasa lagi tekanan yang terlalu berat dari keempat lawannya. Mereka menjadi semakin lamban dan bahkan kekuatan mereka pun telah mulai menyusut.
Keempat lawannya kurang menyadari, apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka memang mulai merasa tenaga mereka telah menjadi susut. Begitu cepat dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya jika mereka menghadapi lawan-lawan mereka. Mereki dapat bertempur sehari penuh tanpa mengalami keletihan seperti saat itu.
“Mungkin karena anak ini bertempur sambil berloncatan,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya untuk membesarkan hati mereka sendiri.
Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan nampaknya sudah hampir menyelesaikan lawan-lawan mereka. Perampok itu terdesak semakin jauh. Sementara Mahisa Semu justru telah menggores pundak lawannya.
Sementara itu Mahisa Murti masih bertempur dengan pemilik kedai, yang ternyata lawannya itu pun memiliki daya tahan yang sangat tinggi sehingga ia musti saja mampu bertempur dengan cepat dan panas yang memancar dari ilmunya masih saja menggelisahkan Mahisa Murti, meskipun sudah menjadi semakin susut. Namun darah masih menitik dari luka Mahisa Murti. Semakin keras ia bertempur, maka darah itu menetes semakin banyak.
Tetapi ternyata bahwa betapa pun tinggi daya tahan tubuh lawannya, namun akhirnya Mahisa Murti dapat mendesaknya. Bahkan kemudian ujung pedangnya justru hampir saja menggapai kulit lawannya itu.
Lawannya telah mengumpat kasar. Ternyata pemilik kedai itu benar-benar orang berilmu tinggi. Meskipun kekuatannya sudah mulai susut, namun ternyata ia masih mampu menghentakkan kemampuannya sehingga kapaknya berhasil menyentuh lagi kulit Mahisa Murti. Ternyata kapak itu telah menyentuh dadanya. Hanya segores kecil. Tetapi karena kapak itu sangat tajam, maka goresan kecil itu telah merobek kulit Mahisa Murti.
Kemarahan Mahisa Murti semakin memuncak. Ia pun menyadari, bahwa panas yang bagaikan membakar tubuhnya telah memeras keringatnya dan bahkan memeras tenaganya. Dengan demikian maka tenaga Mahisa Murti itu pun telah menjadi susut. Namun tidak secepat lawannya. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka pemilik kedai itu telah mulai kehilangan banyak kesempatan. Ia merasa geraknya menjadi semakin lamban. Bahkan kakinya seakan-akan menjadi semakin berat. Kapaknya pun bagaikan berubah menjadi semakin besar.
Mahisa Murti yang sangat marah itu tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan. Ia sudah berniat untuk menyelesaikan lawannya yang menurut perhitungannya tidak mungkin lagi untuk merubah sikap dan pandangan hidupnya. Karena itu, maka disaat-saat Mahisa Murti mendapat kesempatan, maka ia tidak melepaskannya. Ketika ia sempat menembus pertahanan kapak lawannya, maka pedangnya telah berhasil menggores menyilang lambung pemilik kedai itu.
Pemilik kedai itu meloncat surut. Wajahnya menjadi tegang. Namun perasaan sakit telah menggigit pada lukanya. Meskipun luka itu tidak begitu dalam, tetapi luka itu membuatnya kehilangan keyakinan atas dirinya sendiri. Apalagi ketika ia menyadari bahwa kekuatan dan kemampuannya memang susut jauh lebih cepat dari yang seharusnya.
“Ternyata kau licik,” geram pemilik kedai itu, “kau telah mempergunakan ilmu siluman itu untuk mencuri kekuatan dan kemampuanku.”
“Apakah kau tidak mempergunakan ilmu iblis?” bertanya Mahisa Murti, “kau memang berilmu tinggi. Tetapi ternyata kau telah memilih hidup dari malapetaka yang kau timbulkan atas orang lain.”
“Persetan,” pemilik kedai itu hampir berteriak. Dengan sisa tenaganya ia telah menyerang Mahisa Murti. Namun ternyata panas yang dilepaskan dari ilmunya sudah tidak berarti lagi.
Namun Mahisa Murti sudah terlanjur menjadi sangat marah. Karena itu ketika lawannya itu menyerangnya dengan ayunan kapaknya, maka Mahisa Murti tidak sempat berpikir panjang lagi. Dengan sigapnya ia mengelak. Demikian kapak itu terayun di depan dadanya, maka ia pun telah meloncat menyerang. Ia tidak menyerang dengan lontaran ilmunya, tetapi ujung pedangnya yang bagaikan menyala itu langsung menghunjam ke dalam jantung lawannya itu. Seorang yang sehari-hari menjadi penunggu kedai yang tidak lagi banyak dikunjungi orang. Namun yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Tetapi ternyata pada suatu saat pemilik kedai itu telah bertemu dengan seorang lawan yang tidak dapat dikalahkannya. Pemilik kedai itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun ia harus mengakui, bahwa betapa lemahnya seseorang menghadapi rahasia yang tersembunyi di seputarnya.
Pemilik kedai yang kemudian terbaring sambil mengerang itu masih sempat berdesis, “Kau memang orang yang luar biasa. Kau dapat mengalahkan aku, sehingga aku harus mati hanya untuk persoalan yang tidak berarti ini.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia menyaksikan pemilik kedai itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sementara itu maka Mahisa Pukat ternyata tanggap akan keadaan. Ia tidak boleh melumpuhkan lawannya sampai tidak berdaya. Mereka harus diserahkan kepada Ki Bekel yang nampaknya mengalami kesulitan dengan gangguan yang terjadi di lingkungannya. Dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat menjadi semakin garang di mata keempat lawannya, Mahisa Semu dan Wantilan benar-benar telah menundukkan lawan mereka. Lawan Wantilan bahkan telah menyerah dan melemparkan senjatanya.
Sementara itu Mahisa Semu pun telah mendesak lawannya sehingga tidak berdaya. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu mendekati akhirnya, maka ternyata beberapa orang telah menyaksikannya dari kejauhan. Semula satu dua orang petani yang berada di sawah telah menyaksikan pertempuran itu. Namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka menyadari bahwa perampok yang berkeliaran di sekitar tempat itu sangat berbahaya. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha melaporkannya kepada Ki Bekel.
Tetapi Ki Bekel pun ternyata ragu-ragu untuk bertindak, sehingga karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap dengan sangat berhati-hati. Ia mengajak beberapa bebahu untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka dapat menemukan sikap setelah mereka menyaksikan apa yang terjadi di bulak panjang itu.
Mahisa Murti yang telah menyelesaikan lawannya, ternyata sempat melihat orang-orang yang bersembunyi di antara gerumbul-gerumbul itu. Tetapi Mahisa Murti sama sekali belum menyapa mereka karena Mahisa Murti tahu bahwa mereka tentu bukan kawan dari para perampok itu.
Mahisa Pukat masih harus menundukkan keempat lawannya. Ia tidak dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya, karena ia tidak mau menjadi lalai dan justru akan membunuh salah seorang dari keempat lawannya yang akan dipaksanya menyerah itu.
Ternyata keempat lawannya itu benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Ketika mereka sudah menjadi semakin lemah, maka Mahisa Pukat tidak lagi mempergunakan ilmunya itu. Ia benar-benar bertempur dengan mempergunakan pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan, namun daun pedang itu sudah tidak menyala lagi. Dari daun pedang itu tidak lagi menjilat lidah api yang juga berwarna kehijauan.
Namun keempat lawannya itu sudah hampir tidak berdaya meskipun mereka masih juga mampu menggerakkan senjata mereka. Tetapi setiap kali ia merasa ujung pedang Mahisa Pukat telah menyentuh kulitnya.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “atau kalian akan terbunuh seperti pemilik kedai yang ternyata adalah pemimpin kalian?”
Keempat orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka tidak ingin mati terbaring di tengah-tengah bulak. Karena itu, maka orang tertua di antara mereka telah meloncat mundur dengan sisa tenaganya sambil melemparkan senjatanya.
“Aku menyerah,” berkata orang itu.
Karena itu, yang lain pun telah melakukannya. Mereka pun telah melemparkan senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka pertempuran di bulak itu telah berakhir. Lawan Wantilan dan Mahisa Semu pun telah meletakkan senjata mereka pula.
Demikian orang-orang itu menyerah, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata lantang, “Marilah Ki Sanak. Aku tahu, kalian tentu bukan kawan-kawan dari para perampok itu. Keluarlah. Kalian tidak perlu bersembunyi.”
Ki Bekel yang membawa beberapa orang bebahu itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada para bebahu untuk keluar dari persembunyian mereka. Mereka pun percaya bahwa anak-anak muda itu tentu bukan penjahat. Justru ia telah berhasil mengalahkan para penjahat.
Mahisa Pukat yang telah menguasai keempat orang perampok itu pun kemudian berkata, “Bergeraklah. Kalian harus menemui orang-orang padukuhan itu, siapa pun mereka.”
Keempat orang itu memang menjadi pucat. Jika mereka jatuh ke tangan orang-orang padukuhan yang selama ini merasa ketakutan, mungkin nasibnya akan menjadi sangat buruk.
Ki Bekellah yang kemudian berdiri di paling depan untuk menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Meskipun agak ragu-ragu, namun Ki Bekel kemudian memperkenalkan dirinya, “Aku adalah Bekel dari padukuhan ini.”
“Oo,” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “adalah kebetulan sekali bahwa Ki Bekel telah datang ke tempat ini.”
“Seseorang melihat pertempuran di sini. Tetapi karena selama ini daerah ini terhitung sangat berbahaya, maka aku telah bertindak dengan sangat berhati-hati,” berkata Ki Bekel.
“Kami dapat mengerti,” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan sejak sekarang terjadi perubahan di lingkungan yang selama ini merupakan daerah yang berbahaya itu.”
“Apa yang telah terjadi di sini?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti pun telah menceriterakan tentang pemilik kedai yang sebenarnya adalah justru pimpinan dari tindak kejahatan itu. Bagaimana ia memberikan isyarat-isyarat kepada orang-orang yang menjadi kaki tangannya. Orang-orang yang diduganya memiliki bekal perjalanan yang cukup banyak, atau memiliki barang-barang berharga yang dibawanya, maka ia akan segera menjadi sasaran perampokan.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Mahisa Murti pun kemudian berkata pula, “Inilah orang-orang yang telah menjadi kaki tangan pemilik kedai itu.”
“Aku tidak mengira,” berkata Ki Bekel, “orang itu menurut pengenalan kami sehari-hari adalah orang yang baik. Ia adalah orang yang sering membantu kesulitan orang lain. Semula kami menganggapnya orang yang terlalu baik. Hidupnya sendiri termasuk sangat sederhana. Tetapi ia tidak merasa sayang untuk memberi bantuan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Ternyata kebaikan hatinya itu sekedar untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang sering dilakukannya.”
“Begitulah Ki Bekel,” sahut Mahisa Pukat, “keenam orang ini adalah orang-orang yang juga cukup berbahaya. Tanpa pemilik kedai itu, maka keenam orang itu dapat saja menjadi semakin liar jika mereka benar-benar tidak dikendalikan.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami serahkan keenam orang ini kepada Ki Bekel.”
Ki Bekel masih mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Kami yakin, bahwa mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan sampai ke tempat yang jauh. Beberapa padukuhan telah menjadi garang dan bahkan orang-orangnya hampir menjadi buas karena lingkungannya yang terlalu sering diganggu oleh kejahatan. Ketika seorang yang merasa dirinya memiliki ilmu kembali ke padukuhannya setelah beberapa lama meninggalkan padukuhannya itu, maka ia menjadi sangat marah karena kejahatan-kejahatan yang sering terjadi di padukuhannya itu. Karena itu maka ia telah memimpin tetangga-tetangganya untuk menemukan pelaku kejahatan itu. Tetapi karena untuk beberapa lama mereka tidak menahan diri, maka akibatnya mereka pun menjadi buas. Mereka tidak lagi mampu mengendalikan diri. Orang yang disangkanya telah melakukan kejahatan telah diperlakukan di luar batas kemanusiaan.”
“Sangat menyedihkan,” desis Ki Bekel.
“Ya. Mungkin satu dua orang pengembara yang lewat di padukuhan itu di malam hari, tidak lagi mendapat ampun meskipun mereka benar-benar tidak bersalah,” berkata Mahisa Pukat.
“Sedangkan bertindak sendiri kepada orang-orang yang benar-benar melakukan kejahatan pun tidak dibenarkan,” berkata Ki Bekel, “apalagi kepada setiap orang yang mungkin sama sekali tidak bersalah.”
“Ya. Mungkin seseorang yang tergesa-gesa memanggil dukun bayi di tengah malam karena isterinya akan melahirkan. Jika ia jatuh ke tangan orang-orang yang menjadi buas itu, maka ia akan menjadi korban. Isterinya yang melahirkan pun akan menjadi korban yang sama sekali tidak berdosa,” berkata Mahisa Pukat.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih atas tindakan yang telah kalian lakukan terhadap para perampok sehingga setidak-tidaknya akan akan mengurangi kemungkinan buruk yang terjadi di padukuhan ini dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya.”
“Mungkin mereka masih mempunyai kawan-kawan yang lain,” berkata Mahisa Murti kemudian, “karena itu, terserah kepada Ki Bekel untuk mendapat keterangan selengkap-lengkapnya dari keenam orang itu.”
“Kami akan membawa mereka ke banjar. Kami akan memaksa mereka untuk berbicara. Jika mereka berkeberatan, kami mempunyai cara untuk memaksa mereka,” berkata Ki Bekel.
Kulit keenam penjahat itu meremang. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Sebaiknya kalian berkata terus-terang tentang diri kalian dan tentang apa yang pernah kalian lakukan. Dengan demikian, maka kalian yang sudah berada di tangan Ki Bekel itu tidak akan mengalami perlakuan yang kasar. Bukankah kalian lebih senang untuk mengalami perlakuan yang lunak dan baik? Semuanya tergantung kepada kalian.”
Keenam orang itu menjadi semakin gelisah. Tetapi Ki Bekel berkata, “Jika kalian tidak menyulitkan kami, maka kami pun tidak akan menyulitkan kalian.”
Keenam orang itu hanya menunduk saja. Sementara itu Mahisa Murti telah melaporkan juga, bahwa pemilik kedai itu justru telah terbunuh. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kematian telah mengakhiri tingkah lakunya yang sama sekali tidak kami duga.”
“Nampaknya orang itu memang sangat berbahaya,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sehingga tingkah lakunya itu sudah membakar perasaanku. Aku tidak sempat lagi mengekang diriku sendiri ketika pedangku menghunjam di dadanya.”
“Apa boleh buat,” berkata Ki Bekel, “jika ia memang bersalah, maka ia harus memetik buah dari perbuatan-perbuatannya sendiri.”
“Aku terpaksa melakukannya Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti.
“Aku kira itu adalah akhir yang paling baik buat orang itu,” berkata Ki Bekel, “karena dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat kejahatan lagi. Bukan hanya dipandang dari satu sisi. Tetapi dengan demikian tidak akan ada orang lain lagi yang akan mengalami kesulitan dalam perjalanan jika mereka melewati padukuhan ini...”