PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 91
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 91
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Mereka telah mendekati padepokan mereka. Apakah mereka akan terhambat lagi oleh persoalan yang tidak menyangkut diri mereka?
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat meninggalkan orang-orang yang ada ditepian itu begitu saja. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menahan mereka untuk melihat selanjutnya, apa yang akan terjadi. Bahkan keduanya justru telah bergerak lebih maju dan agak mendekati tempat orang-orang itu berbincang. Namun mereka tetap berada dibalik gerumbul-gerumbul liar di atas tanggul. Meskipun demikian, serba sedikit mereka mendengar orang-orang dibalik tanggul itu berkata-kata.
“Bagaimana sudah cukup,” terdengar seseorang berbicara di antara mereka.
Yang lain terdengar menjawab, “Tidak. Soalnya aku tidak hanya berdua. Aku harus membagi bagianku menjadi empat dan sedikit hadiah buat penjaga bangsal yang pura-pura kau ikat itu.”
“Ki Jagabaya,” terdengar orang yang berbicara sebelumnya, “Bagian yang kami serahkan itu sudah imbang. Ki Jagabaya dan kawan-kawan Ki Jagabaya mendapat sepertiga karena Ki Jagabaya tidak berbuat apa-apa, Ki Jagabaya hanya mengadakan sedikit pertemuan makan-makan dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Tetapi selanjutnya kamilah yang bekerja sehingga berhasil.”
“Tetapi aku memerlukan uang untuk menyediakan makan anak-anak muda itu sehingga kalian dapat melakukan pekerjaan kalian dengan aman, di samping orang-orang seperti yang aku katakan tadi,” jawab Ki Jagabaya, “karena itu, sebaiknya kalian memberikan kepada kami separuh dari hasil yang kalian peroleh.”
Beberapa saat suasana menjadi hening. Orang-orang yang berada dibalik tanggul itu terdiam. Mereka nampaknya sedang berpikir. Namun kemudian seseorang di antara mereka berkata, “Tidak Ki Jagabaya. Aku tetap pada pendirianku. Ki Jagabaya akan menerima sepertiga.”
“Aku menuntut separuh,” jawab orang yang disebut Ki Jagabaya itu.
Tetapi agaknya kelompok yang lain tidak mau merubah sikapnya. Seorang di antara mereka berkata, “Ki Jagabaya jangan memaksa.”
“Aku dapat menangkapmu,” berkata Ki Jagabaya.
“Kau kira kau berani menangkap kami? Kau kira kami tidak mempunyai mulut untuk mengatakan bahwa Ki Jagabaya terlibat dalam kejahatan ini?” sahut orang itu.
“Tetapi Ki Buyut terlalu percaya kepadaku. Jika kalian menyebut-nyebut namaku, maka aku dapat menuduh kalian telah merampok dan memfitnah.”
Tetapi orang itu sama sekali tidak menjadi kecut. Bahkan orang itu pun tertawa pula. Katanya, “Jika demikian, kami akan menyelesaikan persoalan ini di sini. Agar rahasia kami tidak terdengar oleh orang lain hanya karena Ki Jagabaya menghendaki upah terlalu besar.”
“Apa maksudmu?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami akan membunuh Ki Jagabaya,” jawab orang itu.
Tetapi ternyata Ki Jagabaya pun tidak menjadi gentar. Dengan lantang ia berkata, “Baik. Kita akan bertempur. Kita selesaikan persoalan ini dengan kekerasan. Kau perampok yang ditakuti orang. Tetapi aku adalah Jagabaya yang sudah terbiasa menangkap perampok.”
Orang-orang yang ada ditepian itu tiba-tiba telah bergeser menjadi dua kelompok. Satu kelompok adalah kelompok para perampok sedangkan kelompok yang lain adalah kelompok yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Nampaknya keduanya tidak menemukan kata sepakat, sehingga keduanya telah siap untuk bertempur.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kedua belah pihak sama jahatnya. Kedua belah pihak harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut meskipun dengan demikian perjalanan mereka akan terhambat lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera bertindak. Jika kedua kelompok itu bertempur, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat melihat kemampuan mereka, sehingga keduanya akan dapat memperhitungkan kemungkinan yang akan mereka lakukan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, kedua belah pihak telah bersiap. Para perampok itu ternyata terdiri dari empat orang, sedangkan Ki Jagabaya hanya disertai oleh dua orang. Tetapi kedua orang kawan Ki Jagabaya itu nampaknya tidak kalah garangnya dengan para perampok, sedang Ki Jagabaya sendiri adalah seorang yang bertubuh raksasa.
“Kau akan menyesal Ki Jagabaya,” geram pemimpin perampok itu, “jika kau tidak terlalu tamak, maka kau akan mendapat harta benda yang dapat kau pergunakan untuk bersenang-senang sekeluarga sepanjang hidupmu. Tetapi karena kau terlalu tamak, maka aku harus membunuhmu sekarang.”
Ki Jagabaya tertawa nyaring. Katanya, “Aku adalah bekas benggol kecu yang belum pernah tertangkap oleh siapa pun juga. Aku menguasai beberapa Kabuyutan dan bahkan hampir satu Pakuwon. Nah, sekarang perampok-perampok kecil macam kalian akan mengancam kami?”
“Satu kenangan yang indah di masa mudamu Ki Jagabaya. Sekarang kau sudah terlalu tua untuk bertempur,” jawab perampok itu.
“Semakin tua ilmuku menjadi semakin mantap,” jawab Ki Jagabaya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pihak telah bersiap. Kedua orang pembantu Ki Jagabaya itu pun telah berpencar pula. Mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan Ki Jagabaya sendiri masih saja tertawa menghadapi keempat orang perampok itu.
“Marilah, siapa yang harus aku pilin lehernya lebih dahulu,” berkata Ki Jagabaya.
Tetapi para perampok itu sama sekali tidak merubah niat mereka. Mereka pun telah bersiap sepenuhnya. Bahkan mereka tidak lagi ingin bertempur dengan tangan mereka, tetapi mereka telah menggenggam senjata ditangan.
Namun Ki Jagabaya pun telah melakukannya pula. Ki Jagabaya telah menarik goloknya yang besar, yang nampaknya memang dibuat khusus baginya. Tetapi ketika ia mulai memutar goloknya itu, rasa-rasanya golok itu tidak lebih berat dari sebatang lidi. Sedangkan kedua kawan Ki Jagabaya itu pun bersenjata golok pula meskipun tidak sebesar golok Ki Jagabaya.
Para perampok itu pada umumnya bersenjata pedang. Hanya seorang yang mempunyai jenis senjata yang lain. Senjatanya adalah tongkat baja yang ujungnya runcing seperti ujung tombak, sehingga mirip dengan sebuah tombak pendek bertangkai baja.
Sejenak kemudian, maka kedua kelompok kecil itu pun sudah mulai bertempur. Ki Jagabaya sendirilah yang harus bertempur melawan dua orang. Tetapi Ki Jagabaya nampaknya sama sekali tidak menjadi gelisah. Goloknya yang besar mulai berputaran dengan garangnya. Ketika ia mengayunkan goloknya itu menebas mendatar, maka kedua lawannya harus berloncatan mundur. Mereka tidak berani dengan serta merta menangkis serangan itu, sebelum mereka menjajagi kekuatan Ki Jagabaya itu.
Namun dengan cepat keduanya mulai menyerang justru dari arah yang berbeda. Seorang telah menjulurkan senjatanya mengarah ke lambung. Sedangkan yang lain mengayunkan senjata menebas leher.
Tetapi Ki Jagabaya ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan ke arah lambungnya, sekaligus menangkis serangan lawannya yang lain. Tetapi kedua lawannya yang sudah terbiasa bertempur dengan keras itu pun telah berusaha untuk mendesaknya. Saat Ki Jagabaya berusaha mengambil jarak dari kedua lawannya, maka keduanya pun segera memburu. Namun langkah mereka terhenti ketika Ki Jagabaya memutar goloknya yang besar itu melingkari tubuhnya. Bahkan ketika golok itu terayun deras, maka kedua orang lawannya itu justru bergeser mundur.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya telah bertempur melawan kedua orang perampok yang berkeberatan membagi hasil rampokannya menjadi dua bagian yang sama besar itu.
Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin sengit. Kedua pihak bertempur semakin keras dan kasar. Ki Jagabaya yang mengaku bekas seorang perampok itu pun benar-benar menunjukkan kekuatan dan kemampuannya, sehingga kedua lawannya pun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawannya. Tetapi kedua lawannya itu pun perampok-perampok yang garang pula, sehingga keduanya mampu mengimbangi kekerasan dan kekasaran Ki Jagabaya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dari belakang pohon-pohon perdu di atas tanggul sungai. Keduanya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih sibuk mengamati apa yang terjadi. Keduanya sempat menilai kemampuan orang-orang yang sedang bertempur itu.
Ki Jagabaya ternyata benar-benar orang yang sangat kuat. Orang yang juga memiliki bekal kemampuan olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka kedua lawannya benar-benar mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya dan kedua orang perampok yang kasar itu pun masih juga bertempur dengan kerasnya. Semakin lama semakin kasar. Senjata mereka berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Yang terdengar adalah teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kotor dari mulut orang-orang yang bertempur itu.
Sementara itu Ki Jagabaya pun semakin lama nampak menjadi semakin garang. Ternyata bahwa Ki Jagabaya bukan saja memiliki kekuatan kewadagan yang sangat besar. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa ayunan pedangnya telah didorong pula oleh kekuatan ilmunya. Semakin lama putaran golok Ki Jagabaya itu seakan-akan bukan saja menjadi semakin cepat. Tetapi setiap kali lawan-lawannya seakan-akan telah terdorong kekuatan angin yang kuat.
Namun salah seorang lawan Ki Jagabaya itu pun memiliki kemampuan yang tinggi pula. Pedangnya yang berkilat itu telah bergerak seperti baling-baling. Bahkan kemudian menjadi seperti bayangan gumpalan awan kelabu yang mengitari tubuhnya.
Ketika kemudian benturan-benturan senjata tidak lagi dapat dielakkan, ternyata bahwa pemimpin perampok itu juga memiliki kekuatan yang besar. Meskipun setiap kali nampak kekuatan Ki Jagabaya lebih besar, namun ketangkasan pemimpin perampok itu nampaknya mampu mengisi kekurangannya, ditambah pula dengan seorang lawannya yang mampu menyesuaikan diri dengan irama pertempuran yang semakin cepat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sempat memperhitungkan, bahwa mereka bersama dengan Mahisa Semu dan Wantilan akan dapat mengatasi para perampok itu. Tetapi yang ternyata sulit bagi mereka adalah usaha untuk menangkap mereka hidup-hidup. Kemudian menyerahkannya kepada Ki Buyut. Ki Jagabaya dan pemimpin perampok itu memiliki bekal olah kanuragan yang tinggi, sehingga dalam keadaan terpaksa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat terjerumus ke dalam satu langkah yang terlalu jauh.
Jika mereka membunuh Ki Jagabaya sebelum sempat diperiksa, mungkin akibatnya akan sangat berbeda. Bahkan Ki Buyut akan dapat menuduhnya dengan sengaja untuk menghilangkan jejak kejahatan. Tetapi mereka berdua juga tidak sampai hati membiarkan peristiwa itu berkepanjangan dan kedua belah pihak yang tidak menemukan kata sepakat itu akan saling membunuh tanpa dapat diungkapkan oleh Ki Buyut dan para bebahu yang lain karena yang menang akan sempat melarikan diri tanpa meninggalkan jejak.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Kita sudah melihat kemampuan mereka. Panggil paman Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bergeser dengan hati-hati. Nampaknya ia masih belum ingin mengganggu pertempuran itu. Tanpa menimbulkan suara apa pun Mahisa Pukat telah bergeser untuk memanggil orang-orang yang ditinggalkannya. Dengan demikian maka sejenak kemudian, kelima orang itu sudah berada di belakang gerumbul-gerumbul liar sambil memperhatikan pertempuran itu.
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ternyata yang dilihatnya berwajah aneh itu adalah orang-orang di antara mereka yang bertempur.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Lihatlah dengan jelas bagaimana mereka bertempur. Semuanya tujuh orang. Kita akan turun dan kita yakin bahwa jika kita melibatkan diri, maka semua orang, tentu akan melawan kita berempat.”
“Apakah aku tidak dihitung?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau masih terlalu kecil untuk ikut berkelahi,” jawab Mahisa Murti.
“Bagaimana jika salah seorang di antara mereka menyerang aku?” bertanya Mahisa Amping pula.
“Kau memang harus mempertahankan diri,” jawab Mahisa Murti pula.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih memperhatikan pertempuran itu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti itu pun berkata, “Marilah. Tetapi kita harus berusaha untuk tidak membunuh mereka. Kecuali jika hal itu kita lakukan untuk melindungi hidup kita. Tetapi jika mungkin kita akan menangkap semuanya dan membawanya kepada Ki Buyut.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu menurut pengamatan mereka, maka para perampok maupun kawan-kawan Ki Jagabaya itu bukannya orang-orang yang menakutkan.
“Agaknya Ki Jagabaya dan pemimpin perampok itu akan diselesaikan sendiri oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Semu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah mereka melihat pola tata gerak orang-orang yang bertempur itu, mereka pun telah beringsut dari tempat persembunyian mereka. Mereka tidak lagi berusaha untuk bersembunyi. Karena itu, maka mereka berlima pun kemudian telah duduk di atas batu di tanggul sungai itu.
Bahkan Mahisa Amping yang dibayangi oleh kecemasan sebelumnya karena melihat wajah-wajah yang menurut penglihatannya aneh, telah bertepuk tangan dengan kerasnya sambil berteriak-teriak, “Bagus. Penggal saja kepalanya. Tusuk jantungnya. Tetapi perlahan-lahan sedikit. Jangan sampai lawan kalian mati.”
“Ssst,” desis Mahisa Murti, “jangan keras-keras.”
Tetapi Mahisa Murti memang tidak bersungguh-sungguh mencegah anak itu. Ia tidak berkeberatan jika suara Mahisa Amping itu menarik perhatian orang-orang yang sedang bertempur itu.
Sebenarnyalah ke tujuh orang yang bertempur itu telah berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan melihat siapakah yang berada di atas tanggul.
“Kenapa kalian berhenti berkelahi,” teriak Mahisa Amping keras-keras, “jangan mengecewakan aku.”
Semua orang yang berada di tepian itu termangu-mangu. Namun Ki Jagabaya lah yang pertama-tama berteriak, “He, siapa kalian?”
“Kami orang-orang lewat yang tidak mau membiarkan tontonan ini berlangsung,” teriak Mahisa Amping.
“Kau membuat mereka marah,” desis Mahisa Pukat.
“Apakah kita tidak ingin dengan sengaja membuat mereka marah kemudian menantang kita?” bertanya Mahisa Amping.
Sebenarnyalah Ki Jagabaya menjadi marah. Dengan nada berat ia berkata, “Kami akan membunuh kalian lebih dahulu. Baru kami akan meneruskan pertempuran di antara kami.”
Tetapi Mahisa Murti lah yang menyahut, “Ki Sanak. Jangan marah. Kami memang hanya sekedar ingin melihat, bagaimana orang-orang berilmu tinggi itu bertempur.”
“Turunlah,” teriak Ki Jagabaya, “aku tahu bahwa kalian bukan sekedar orang-orang yang ingin melihat perkelahian ini. Kalian tentu mempunyai maksud yang lain.”
“Silahkan. Kami tidak akan mengganggu,” berkata Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian bertempur sampai orang yang terakhir.”
“Tutup mulutmu. Jika kalian tidak mau turun, kamilah yang akan naik,” teriak Ki Jagabaya.
Sementara itu, pemimpin perampok itu pun berteriak pula, “Kalian dengan sengaja telah meletakkan kepala kalian di dalam mulut harimau.”
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Sudahlah. Berkelahi sajalah untuk memperebutkan uang yang telah kalian rampok atas ijin Ki Jagabaya yang seharusnya justru harus menjaga ketenteraman Padukuhan.”
Namun seorang yang lain yang ada di tepian itu berteriak, “Turunlah, cepat. Mungkin kalian masih sempat mohon ampun kepada kami.”
Mahisa Murti pun telah menggamit Mahisa Pukat sambil berkata, “Marilah. Kita akan turun.” Lalu katanya kepada yang lain, “berhati-hatilah. Kalian sudah melihat cara mereka bertempur. Kasar, keras dan sedikit liar.”
“Ya,” jawab Wantilan. “Kami akan berhati-hati.”
Demikianlah, maka mereka berlima pun segera berloncatan turun dari tanggul. Dengan langkah pendek di atas pasir tepian, mereka berlima melangkah mendekati ke tujuh orang itu.
“Kenapa kalian berhenti bertempur?” bertanya Mahisa Murti.
“Kami harus membunuh kalian lebih dahulu,” jawab Ki Jagabaya.
Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Kami tidak mencampuri persoalan kalian. Kenapa kalian ingin membunuh kami?”
“Apa maksud kalian sebenarnya?” bertanya Ki Jagabaya.
“Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab Mahisa Murti, “sekedar menonton.”
“Jangan main-main. Jika aku membunuh, itu pun bukan main-main,” geram pemimpin perampok itu.
“Kami tidak main-main,” jawab Mahisa Murti, “kami benar-benar ingin melihat kalian bertempur. Jika kalian sudah kehabisan tenaga, maka giliran kami untuk terjun ke medan. Tetapi kami tidak ingin membunuh siapapun. Kami ingin menangkap kalian dan menyerahkannya kepada Ki Buyut. Karena perampok-perampok adalah orang-orang yang memang harus ditangkap. Mereka sangat membahayakan banyak orang dan biasanya mereka sama sekali tidak berperikemanusiaan. Sedangkan Ki Jagabaya adalah orang yang tidak kalah berbahayanya. Kehadirannya di padukuhannya dengan membawa kelompok-kelompok perampok merupakan bahaya yang sulit untuk dibiarkan begitu saja. Seperti benalu yang menghisap makanan dengan akar-akarnya yang langsung menghunjam ke tubuh sebatang pohon.”
“Diam,” bentak Ki Jagabaya, “apa sebenarnya yang kau kehendaki?”
“Menangkap kalian. Nah, kau dengar,” jawab Mahisa Murti.
Ki Jagabaya menjadi sangat marah. Ia merasa sangat terganggu oleh kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka katanya dengan garang, “Apapun yang akan kalian lakukan, siapa pun kalian atau untuk siapa hal ini kau lakukan, aku tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh. Itu saja.”
“Persetan,” geram pemimpin perampok, “kalian sudah terlalu menghina kami. Karena itu, maka kalian berlima akan mati di sini.”
“Tidak mudah melakukannya,” jawab Mahisa Murti, “tetapi jika kalian akan mencoba memaksa, silahkan.”
“Kami tidak hanya akan sekedar mencoba,” berkata Ki Jagabaya, “tetapi kami benar-benar akan melakukannya.” Kemarahan Ki Jagabaya sudah tidak terkendali, ia pun dengan garangnya maju selangkah ketengah tepian berpasir itu.
“Kita akan melihat, apakah perkembangan ilmu di saat-saat terakhir itu sudah menunjukkan bahwa kalian benar-benar pantas untuk berbuat seperti itu di hadapan kami,” berkata Ki Jagabaya sambil memutar goloknya.
Tiba-tiba yang lain pun telah melangkah maju. Para perampok dan pembantu Ki Jagabaya. Nampaknya mereka sudah tidak mau menunda-nunda waktu lagi. Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Jagabaya itu pun telah terlibat ke dalam pertempuran dengan Mahisa Murti. Pemimpin perampok itu pun telah memilih lawan. Mahisa Pukat. Sedangkan yang lain telah bertempur pula bersama-sama. Mahisa Semu dan Wantilan justru tidak memencar. Mereka berdua bertekad untuk bertempur sambil melindungi Mahisa Amping.
Pertempuran pun mulai berkobar. Semakin lama menjadi semakin keras. Mahisa Semu dari Wantilan masing-masing menghadapi dua orang lawan, sementara Mahisa Amping telah menyesuaikan dirinya, karena anak itu memang menyadari, bahwa ia masih belum umur untuk secara langsung turun dalam pertempuran.
Meskipun demikian, kelima orang itu telah menunjukkan sikap mereka. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu memancing lawan-lawannya untuk bertempur pada jarak yang agak jauh. Sebenarnyalah maka pertempuran menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat membekali Mahisa Semu dan Wantilan tentang beberapa pesan sebelum pertempuran itu benar-benar terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti sempat menjadi berdebar-debar melihat Mahisa Amping yang ternyata tidak sekedar menurut, dan tidak sampai keluar halaman. Tetapi Mahisa Amping justru pernah dikejar-kejar oleh beberapa orang perampok yang mula-mula bertempur berpasangan. Namun karena kawannya yang bertempur berpasangan memerlukan kawannya itu, maka Mahisa Amping telah menjadi bebas kembali.
Demikianlah maka pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segala kemampuan mereka. Tetapi lawan mereka mulai terdesak adalah Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka harus melawan masing-masing dua orang yang memiliki ilmu seimbang.
Mahisa Murti lah yang mula-mula melepaskan ilmunya. Ia ingin lawannya segera menghentikan perlawanannya, karena ia tidak sampai hati membiarkan salah seorang di antara mereka justru terbunuh.
Karena itu, maka orang-orang yang berada di tepian itu pun masih saja bertempur dengan tidak mengenal lelah. Namun ternyata Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin terdesak oleh lawan-lawan mereka yang bertempur dengan kasar.
Sementara itu Mahisa Amping yang menyesuaikan dirinya dengan pertempuran yang membakar tepian itu, kadang-kadang memang mampu memancing lawan yang marah. Tetapi anak itu-pun segera mampu memasuki lingkungan pertempuran bersama Mahisa Semu dan Wantilan.
Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan memang mengalami kesulitan. Mereka kadang-kadang harus bertempur masing-masing melawan dua orang, seorang di antara mereka berusaha untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi pada saat lain, kedua orang itu harus bertempur melawan lima orang.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murti, telah mengalami kesulitan. Rasa-rasanya kemampuannya tidak lagi sewajarnya. Kekuatannya menjadi susut, dan tulang-tulangnya menjadi berat. Demikian pula pemimpin perampok yang bertempur melawan Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat pun kemudian mengetrapkan ilmunya, maka keadaan pun menjadi segera berubah.
Kedua orang anak muda itu memang tidak ingin membunuh lawan-lawan mereka. Keduanya ingin menangkap ke tujuh orang yang telah bersama-sama melakukan kejahatan, namun yang kemudian telah berselisih saat mereka membagi hasil kejahatan mereka.
Ki Jagabaya yang merasa terdesak itu pun telah memanggil seorang pembantunya untuk ikut bertempur bersamanya. Ki Jagabaya memperhitungkan, bahwa jika ia dapat menyelesaikan anak muda itu, maka yang lain pun akan dengan cepat dapat diselesaikan pula.
Namun bukan saja Ki Jagabaya yang memanggil kawannya. Pemimpin perampok yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu pun telah memberi isyarat kepada seorang kawannya untuk bertempur bersamanya melawan anak muda yang garang itu.
Dengan demikian, maka keadaan pertempuran itu telah berubah. Yang bertempur melawan masing-masing dua orang lawan adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Usaha mereka untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan agaknya telah berhasil. Sehingga Mahisa Semu dan Wantilan tidak lagi mengalami kesulitan. Mereka masing-masing tinggal melawan seorang.
Sementara seorang perampok nampaknya masih saja memperhatikan Mahisa Amping yang ternyata benar-benar di luar dugaan, ia tidak saja mampu berlari-lari, menyusup di antara pertempuran dan bersembunyi di balik putaran senjata Mahisa Semu dan Wantilan. Namun anak itu sekali-sekali juga dapat menyerang dengan tiba-tiba.
Namun pertempuran itu ternyata tidak berlangsung terlalu lama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat dapat menguasai lawan-lawan mereka yang menjadi semakin lemah. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memaksa lawan-lawan mereka menjadi benar-benar tidak berdaya. Ketika keduanya terdesak semakin berat dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melawan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memaksa lawan-lawan mereka menyerah.
Mahisa Semu dan Wantilan yang kemudian dapat bernafas setelah kedua orang lawan mereka terhisap oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka pun segera mampu menguasai lawan mereka pula. Bahkan Mahisa Amping pun telah ikut pula mendesak ketiga orang lawannya yang terdiri dari dua orang perampok dan seorang pembantu Ki Jagabaya itu untuk menyerah.
“Kawan-kawan kalian sudah tidak berdaya,” justru Mahisa Amping lah yang berteriak.
Lawan-lawan Mahisa Semu dan Wantilan itu memang melihat, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah tidak memberikan perlawanan apa-apa lagi. Mereka seakan-akan telah menjadi sangat letih.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian memerintahkan mereka melepaskan senjata-senjata mereka, maka mereka tidak dapat menolak lagi. Dengan demikian maka ke tujuh orang itu benar-benar sudah dikuasai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Bahkan Mahisa Amping telah menunjuk seorang di antara mereka sambil berkata, “Orang inilah yang membawa uang banyak sekali. Wajahnya nampak berubah-ubah menakutkan.”
“Apakah kau sekarang tidak takut lagi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Wajahnya sekarang nampak lain,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Di dalam hati mereka mengakui, bahwa ada sesuatu yang lebih pada anak itu, meskipun tidak segera diketahui. Bahkan kelebihan itu kadang-kadang seakan-akan lenyap dan timbul kembali pada kesempatan lain.
Namun keduanya berpendapat bahwa kelebihan itu akan dapat benar-benar dikuasai oleh Mahisa Amping jika ia mendapat jalan untuk melakukannya. Jika ia menemukan orang yang menuntunnya, maka satu lubang pintu untuk melihat dunia yang semakin dalam akan terbuka. Tetapi siapakah orang yang mampu menuntunnya itulah yang masih harus dicari.
“Mungkin ayah dapat memberikan petunjuk,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Tertangkapnya para perampok serta pengkhianatan Ki Jagabaya atas tugasnya itu pun segera ditangani oleh Ki Buyut. Ternyata Ki Buyut yang memimpin Kabuyutan itu sudah cukup lama memegang jabatannya. Umurnya pun sudah lewat setengah abad, sehingga rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban. Namun Ki Buyut masih nampak segar dan kuat.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata Ki Buyut ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya datang ke rumah Ki Buyut sambil membawa orang-orang yang tela mereka tangkap.
“Menurut pendengaranku pada pembicaraan mereka, justru seorang di antaranya adalah Ki Jagabaya,” desis Mahisa Murti.
“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku memang tidak mengira bahwa pada suatu saat Ki Jagabaya akan terjerumus lagi ke dunia yang hitam itu.”
“Jadi benar kata Ki Jagabaya bahwa dahulu Ki Jagabava seorang perampok?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk sambil menjawab, “Ya, anak muda. Ki Jagabaya dahulu memang seorang perampok yang ditakuti. Bukan saja oleh orang-orang padukuhan. Tetapi Ki Jagabaya adalah perampok yang sangat ditakuti oleh para perampok yang lain. Namun perjalanan hidup Ki Jagabaya telah bergeser ketika ia kawin dengan isterinya yang telah meninggal. Sejak ia kawin, maka tingkah lakunya berubah. Pandangan hidupnya pun berubah pula. Ia tidak lagi menjadi perampok yang garang. Tetapi ia justru menjadi petani yang rajin dan tekun. Dengan kerja keras ia menggarap sawah dan sawah isterinya, peninggalan orang tuanya, sehingga perlahan-lahan hidupnya mulai dapat dicukupinya dengan hasil keringatnya yang jernih. Bukan karena perampok, penyamun dan tindak kekerasan yang lain. Bahkan akhirnya ia mampu menunjukkan jasa-jasanya kepada Kabuyutan ini. Selain kemampuannya menggarap sawah yang lebih baik dari tetangga-tetangganya sehingga ia dapat menularkan kepandaiannya bertani itu. Ia pun masih mempunyai wibawa yang besar di antara para penjahat, sehingga Kabuyutan ini menjadi aman. Karena itulah maka ia telah dipilih menjadi Jagabaya di Kabuyutan ini. Tetapi dua tahun yang lalu isterinya telah meninggal. Kesedihan dan kepedihan hatinya telah merubah jalan hidupnya. Ia bergeser lagi mendekati garis hidupnya yang lama. Tidak ada orang yang dapat memperingatkannya lagi sepeninggal isterinya. Apalagi setelah setahun yang lalu ia kawin lagi. Maka segala sesuatunya telah berubah. Isterinya yang baru bukan seorang isteri yang baik. Karena itu, maka Ki Jagabaya telah tergelincir lagi. Aku sudah berusaha memperingatkannya. Tetapi ia sama sekali tidak mau mendengarnya. Sekarang, biarlah orang lain memperingatkannya, sehingga ia menyadari, bahwa Ki Jagabaya bukan orang yang terbesar di dunia.”
Ki Jagabaya yang mendengar kata-kata Ki Buyut itu hanya menundukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat membantah. Apa yang dikatakan oleh Ki Buyut itu memang sebenarnya terjadi atas dirinya. Ia sudah mengalami perubahan setelah sebelumnya ia berubah. Ki Jagabaya memang telah kembali ke jalan yang salah.
“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “sebenarnya sudah lama aku ingin berbuat sesuatu. Tetapi kami masih belum mempunyai bukti cukup. Apalagi menangkap saat Ki Jagabaya melakukan kejahatan. Ternyata bahwa sekarang anak-anak muda-lah yang sempat melakukannya.”
“Satu kebetulan Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
Ketika Ki Buyut kemudian bertanya tentang anak-anak muda itu, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Kami adalah anak-anak dari padepokan Bajra Seta.”
“Bajra Seta,” Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ternyata Ki Buyut masih belum pernah mendengar nama padepokan itu. Namun Ki Buyut itu kemudian bertanya, “Tetapi anak-anak muda ini dari mana? Dari padepokan Bajra Seta atau baru akan kembali ke padepokan?”
“Kami sedang menuju kembali ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Kami baru saja melakukan pengembaraan. Terakhir kami singgah di padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng.”
“Kiai Nagateleng?” ulang Ki Buyut.
“Tetapi Kiai Nagateleng sudah tidak ada lagi Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
“Itulah,” sahut Ki Buyut, “aku heran bahwa kau menyebut nama Kiai Nagateleng.”
“Yang sekarang memimpin padepokan itu adalah Kiai Semangin,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Padepokan itu adalah padepokan yang baik. Seandainya Ki Jagabaya tidak dapat kalian tangkap, mungkin aku akan minta bantuan kepada para penghuni padepokan itu untuk membantu menangkap Ki Jagabaya bersama bukti kejahatannya. Namun ternyata bahwa kalian telah melakukannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kami telah menyerahkan orang-orang yang bersalah ini kepada Ki Buyut. Terserah Ki Buyut untuk menanganinya.”
“Lalu, apakah kalian akan meninggalkan Kabuyutan ini?” bertanya Ki Buyut.
“Ya Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti, “kami akan mohon diri. Kami telah ditunggu di padepokan kami.”
“Terima kasih anak-anak muda. Kalian telah berjasa bagi Kabuyutan ini,” desis Ki Buyut.
Meskipun Ki Buyut mencoba untuk menahan anak-anak muda itu barang sehari, tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak mempunyai kesempatan lagi. Rasa-rasanya mereka telah dikejar oleh waktu. Meskipun sehari tidak berarti dibanding saat-saat pengembaraan mereka, namun justru semakin dekat mereka dengan padepokan yang mereka bangun dan mereka namai padepokan Bajra Seta, maka rasa-rasanya mereka semakin ingin lebih cepat sampai. Karena itu, maka mereka benar-benar tidak ingin menunda lagi perjalanan mereka barang satu hari.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dengan saudara-saudaranya itu telah menempuh perjalanan kembali ke padepokan mereka. Mereka sudah tidak lagi berada di jalan yang menuju ke Singasari. Tetapi mereka telah menyimpang untuk mengambil jalan pintas. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, peristiwa yang baru saja terjadi telah membuka pengertian mereka tentang anak yang mereka namai Mahisa Amping itu.
Peristiwa itu sendiri tidak banyak memberikan kesan bagi keduanya. Peristiwa itu merupakan satu peristiwa kecil dibandingkan dengan banyak peristiwa yang telah mereka alami. Tetapi peristiwa itu merupakan peristiwa penting bagi keduanya untuk mengenali anak itu lebih banyak. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memerlukan banyak keterangan lagi tentang anak itu. Kemudian mereka memerlukan seorang yang dapat mengembangkannya sehingga kelebihan anak-anak itu akan memberikan arti bagi hidupnya kelak.
Demikianlah, maka mereka tinggal menyelesaikan perjalanan yang tersisa. Sementara itu, Mahisa Amping masih saja berjalan di paling depan. Namun peristiwa di Kabuyutan itu telah menyita waktu hampir sehari itu. Karena itu, maka ketika senja turun, mereka masih berada di perjalanan.
“Kita masih harus bermalam,” berkata Mahisa Murti.
“Kenapa kita tidak berjalan terus jika jaraknya tinggal beberapa ribu patok?” bertanya Mahisa Amping.
“Perjalanan masih cukup panjang,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu tidak ada salahnya kita berhenti di sini atau di tempat yang kita anggap paling baik.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti berdesis, “Kita akan melihat padukuhan di depan, apakah kita dapat bermalam di banjar atau tidak.”
Yang lain tidak berkeberatan. Jika banjar padukuhan itu memungkinkan, maka mereka memang lebih baik bermalam di banjar daripada di tempat terbuka.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka kelima orang itu memasuki sebuah padukuhan yang cukup besar. Namun padukuhan itu merupakan padukuhan yang nampaknya tenang dan tidak banyak persoalan. Di gardu di dekat regol padukuhan, beberapa orang anak muda duduk sambil berkelakar meskipun malam baru saja turun. Agaknya mereka bukan orang-orang yang bertugas meronda. Tetapi, anak-anak muda yang mengisi waktu luang mereka dengan duduk sambil bergurau di gardu itu.
Meskipun demikian, ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya lewat, mereka telah memperhatikannya dengan saksama. Tetapi tidak seorang pun yang menegur mereka. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak pula bertanya sesuatu. Mereka hanya mengangguk saja sambil berjalan terus. Mereka memperhitungkan bahwa banjar padukuhan tentu berada di pinggir jalan induk itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke jantung padukuhan itu, mereka melihat sebuah bangunan yang lebih besar dari bangunan yang lain. Mahisa Amping yang berjalan di paling depan pun berdesis, “Agaknya itulah banjar padukuhan ini.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Karena itu, ketika mereka berada di regol bangunan itu, mereka telah berhenti. “Aku akan bertanya seseorang yang ada di lingkungan banjar itu,” desis Mahisa Murti.
Yang lain menunggu di luar. Mahisa Murti kemudian telah mendorong regol bangunan yang ternyata tidak di selarak. Dari sela-sela, pintu regol Mahisa Murti semakin yakin, bahwa ia berdiri di pintu banjar padukuhan.
Seperti yang diduganya, maka penunggu banjar itu telah menerima permohonan Mahisa Murti bermalam dengan senang hati. Meskipun ketika Mahisa Murti mengatakan, bahwa ia tidak sendiri. Tetapi ia datang berlima dengan saudara-saudaranya.
Namun akhirnya penunggu banjar itu berkata, “Baiklah. Silahkan. Banjar ini tidak banyak dikunjungi orang di malam hari. Tetapi di siang hari banjar ini menjadi ramai.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia melihat seperangkat gamelan di pendapa banjar itu. Agaknya tempat itu dipergunakan untuk berlatih tari-tarian di siang hari. Namun agaknya halaman banjar itu juga dipergunakan untuk sabung ayam, atau kepentingan-kepentingan yang lain.
Setelah menempatkan kelima orang itu di serambi belakang banjar, maka penunggu banjar itu telah menghubungi anak-anak muda yang berada di gardu. Penunggu banjar itu memberitahukan bahwa ada lima orang yang bermalam di banjar.
“Mereka bersenjata meskipun nampaknya mereka bukan orang yang berbahaya.”
Anak-anak muda yang berada di gardu itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu seorang yang nampaknya berpikir lebih tenang di antara kawan-kawan mereka yang nampak gelisah itu pun berkata, “Kita berbicara Ki Bekel. Sementara itu sebagian dari kita akan pergi ke banjar. Tidak apa-apa, sekedar duduk-duduk di pendapa.”
Dua di antara mereka telah pergi melaporkan kepada Ki Bekel. Sedang beberapa orang anak muda yang lain telah langsung pergi ke banjar.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berada di serambi belakang mendengar juga kehadiran beberapa orang anak muda. Namun karena anak-anak muda itu hanya duduk-duduk saja di pendapa banjar, maka mereka pun tidak berbuat apa-apa. Bahkan setelah mencuci kaki dan tangan serta wajah mereka, di antara orang-orang yang di tempatkan di serambi itu telah berbaring.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba memperhatikan Mahisa Amping. Nampaknya tidak ada kesan kegelisahan pada anak itu, sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkesimpulan bahwa tidak akan terjadi sesuatu.
“Tetapi anak itu sering salah menangkap isyarat,” berkata Mahisa Murti.
“Ia masih terlalu kecil. Ia memerlukan seseorang untuk membuka hatinya, sehingga isyarat yang diterimanya itu dapat diterjemahkannya dengan benar,” sahut Mahisa Pukat.
Namun sementara itu, ternyata Ki Bekel telah tertarik kepada laporan anak-anak muda yang datang kepadanya. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun telah pergi pula ke banjar. Ia ingin langsung berbicara dengan anak-anak muda itu untuk mendapatkan kepastian, apakah anak-anak muda itu akan berbuat jahat atau tidak. Demikian Ki Bekel datang ke banjar itu, maka ia pun telah diantar oleh penunggu banjar itu dengan dua orang anak muda menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Karena itu, maka mereka yang telah berbaringan dengan tergesa-gesa telah bangkit. Dengan mata yang sudah terkantuk-kantuk mereka telah keluar dari dalam bilik mereka dan duduk diserambi bersama dengan Ki Bekel dan orang-orangnya. Ternyata Ki Bekel telah bersikap ramah pula terhadap Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Tidak ada kata-kata yang keras apalagi kasar yang diucapkan oleh Ki Bekel. Juga tidak ada kecurigaan yang berlebihan meskipun Ki Bekel telah mengajukan beberapa pertanyaan.
Namun ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu menyatakan bahwa mereka akan kembali ke padepokan Bajra Seta, maka Ki Bekel itu pun nampak termangu-mangu.
“Apakah Ki Bekel pernah mendengar nama Padepokan Bajra Seta?” bertanya Mahisa Murti.
“Coba katakan kepadaku, dimanakah letak padukuhan itu,” berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti pun kemudian menjelaskannya. Menurut arah, mereka akan dapat mengambil jalan pintas. Mereka memang tidak perlu mengikuti jalan ke Singasari, karena mereka memang tidak ingin singgah. Karena itu, maka mereka telah mengambil jalan yang menurut perhitungan mereka lebih dekat daripada mereka mengikuti jalan ke Singasari. Ki Bekel mengangguk-angguk.
“Kami telah lama mengembara,” berkata Mahisa Murti, “kami telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Berputar-putar melalui beberapa Pakuwon. Bahkan berada di telatah Kediri, Singasari dan melintasi lembah dan lereng-lereng pegunungan. Sekarang, kami ingin kembali ke sarang kami.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi beberapa kali ia memandang Mahisa Amping. Dari sorot matanya ia menyimpan pertanyaan apakah anak itu juga ikut menempuh perjalanan sepanjang itu. Namun jawaban Mahisa Murti cukup meyakinkan bahwa mereka memang berasal dari padepokan Bajra Seta.
“Apa kalian tidak mengetahui berita terakhir tentang padepokan Bajra Seta?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menggeleng sambil mengerutkan dahinya. Dengan suara yang ragu ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang terjadi di padepokan Bajra Seta?”
“Terus terang anak-anak muda,” jawab Ki Bekel, “aku belum pernah melihat padepokan itu. Aku pun belum mengenali penghuni-penghuninya kecuali sekarang setelah kalian mengaku dari padepokan Bajra Seta. Tetapi ramainya kabar yang dibawa para pedagang dan perantau mengabarkan bahwa telah terjadi serangan atas padepokan Bajra Seta itu.”
“Serangan?” ulang Mahisa Pukat yang menjadi tegang.
“Ya,” jawab Ki Bekel.
“Darimana?” bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
“Aku tidak tahu. Orang-orang yang membawa berita itu tidak pernah menceritakan peristiwanya dengan tuntas. Mereka mendengar dari kawannya. Dan kawannya itu mendengar dari pedagang yang sering berhubungan kerja dengannya. Sementara itu pedagang itu mendengar dari orang yang menyerahkan dagangan kepadanya sepekan sekali dan demikian seterusnya,” berkata Ki Bekel.
Wajah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi tegang. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang belum pernah melihat padepokan Bajra Seta itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka ingin tinggal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di padepokan itu. Namun tiba-tiba mereka mendengar bahwa padepokan itu mendapat serangan.
Sementara itu Ki Bekel itu pun berkata, “Tetapi itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Karena itu, kalian tidak usah terlalu dalam memikirkan hal itu. Apapun yang kalian lakukan, tetapi itu sudah terjadi. Karena itu, maka beristirahat sajalah dengan baik di banjar ini. Besok kalian akan dapat meneruskan perjalanan kalian.”
Demikianlah, setelah Ki Bekel yakin bahwa anak-anak muda itu nampaknya bukan orang-orang yang berniat jahat, maka ia pun kemudian telah minta diri.
“Silahkan beristirahat anak-anak muda,” berkata Ki Bekel. Lalu katanya pula, “Aku akan minta diri. Biarlah anak-anak muda padukuhan ini berada di pendapa. Jika kalian ingin berbicara dengan mereka aku persilahkan. Tetapi jika kalian sudah merasa terlalu letih dan ingin beristirahat, maka aku persilahkan kalian untuk beristirahat.”
“Kami akan beristirahat saja Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti.
“Silahkan. Silahkan,” berkata Ki Bekel yang kemudian meninggalkan anak-anak muda di serambi.
Namun sebelum anak-anak muda itu beristirahat, mereka telah mendapat suguhan makan dan minum secukupnya. Tetapi ketika mereka kembali ke pembaringan, maka mereka telah menentukan urutan tugas untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak segera dapat tidur meskipun bukan yang mendapat giliran untuk bertugas. Mereka masih membayangkan apa yang telah terjadi dengan padepokan Bajra Seta. Padepokan yang masih terhitung muda dan masih belum terlalu kokoh berdiri meskipun dalam umurnya yang singkat telah mendapatkan pengalaman yang cukup banyak.
Namun dalam pada itu, karena letih, maka akhirnya mereka pun telah tertidur pula menjelang dini. Sehingga Mahisa Murti yang mendapat tugas terakhir, harus tetap bertahan sampai pagi sehingga hampir semalam suntuk ia tidak tidur sama sekali. Namun Mahisa Pukat pun hanya dapat memejamkan matanya sesaat.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak mengalami gangguan apa pun juga. Ternyata mereka benar-benar mendapat tempat yang baik untuk bermalam. Bahkan di pagi hari ketika mereka telah mandi dan berbenah diri, penunggu banjar itu telah menyediakan makan untuk mereka.
“Anak-anak muda di pendapa pulang sebelum fajar,” berkata penjaga banjar itu, “mereka tidak ingin mengganggu kalian, sehingga mereka tidak minta diri.”
“Tidak apa-apa,” sahut Mahisa Murti, “kami sudah menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kebaikan kalian di padukuhan ini, termasuk Ki Bekel.”
Tetapi sebelum mereka meninggalkan banjar, justru Ki Bekel telah datang lagi ke banjar. Setelah mengucapkan selamat jalan kepada anak-anak muda itu, Ki Bekel berkata, “Hati-hatilah anak muda. Aku tidak tahu padepokan manakah yang telah menyerang padepokan Bajra Seta. Tetapi rasa-rasanya tentu sebuah padepokan yang merasa dirinya cukup kuat. Karena itu, di sepanjang jalan, kalian jangan terlalu mudah mengaku orang-orang dari padepokan Bajra Seta karena dengan demikian kalian akan dapat terjebak ke dalam bahaya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “terima kasih Ki Bekel. Meskipun jarak sampai ke padepokan kami tidak terlalu jauh lagi dibandingkan perjalanan kami yang panjang, namun kami memang harus berhati-hati sebagaimana Ki Bekel katakan.”
“Selamat jalan anak-anak muda,” berkata Ki Bekel sekali lagi sambil mengantarkan anak-anak muda itu sampai ke pintu regol.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada seorang anak muda yang berdiri disampingnya, “Mereka nampak meyakinkan. Jika mereka sempat kembali ke tengah-tengah penghuni padepokan mereka, maka padepokan mereka tentu akan mampu menyelamatkan diri. Tetapi tanpa mereka, masih harus dipertanyakan, apa yang telah terjadi dengan padepokan mereka.”
“Menurut kabar, padepokan Bajra Seta mampu bertahan,” berkata anak muda itu.
“Daripama kau mendapat keterangan itu?” bertanya Ki Bekel.
“Orang-orang lewat. Pedagang-pedagang keliling dan pengembara yang kebetulan singah,” jawab anak muda itu, “namun memang masih harus diyakinkan kebenarannya.”
“Mudah-mudahan mereka tidak terjebak. Jika padepokan itu telah dihuni orang lain, maka mereka akan mengalami kesulitan,” desis Ki Bekel.
Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berjalan terus menyusuri jalan induk padukuhan. Namun mereka pun kemudahan telah menyusup keluar regol padukuhan itu. Demikian mereka berada di luar padukuhan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berbicara tentang berita yang mereka dengar dari Ki Buyut bahwa padepokan Bajra Seta telah mendapat serangan dari kekuatan yang belum diketahui.
Sementara itu mereka pun belum mengetahui nasib dari padepokan itu. Apakah padepokan itu dapat di selamatkan atau tidak. Kemudian bagaimana pula nasib ayah mereka yang sudah menjadi semakin tua.
“Tetapi aku yakin, ayah masih mampu melindungi dirinya sendiri,” berkata Mahisa Pukat.
“Namun, apakah ayah masih mampu melindungi padepokan itu,” sahut Mahisa Murti.
“Kita terlalu lama pergi. Kita memang mendapatkan banyak pengalaman. Tetapi yang terjadi di padepokan kita sendiri justru kesulitan,” desis Mahisa Pukat.
“Sudahlah,” potong Mahisa Murti, “kita tidak dapat menyesali diri. Semuanya sudah terlanjur. Kita juga terlanjur menganggap bahwa padepokan kita tidak bermusuhan dengan padepokan yang mana pun juga di saat-saat terakhir. Tetapi kita lupa bahwa permusuhan yang pernah terjadi sebelumnya masih mungkin menyala kembali.”
“Semakin cepat kita kembali ke padepokan itu rasa-rasanya semakin baik. Aku menjadi tidak sabar berjalan seperti siput yang malas ini,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Kita tidak dapat berjalan lebih cepat,” sahut Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Tetapi agaknya kita dapat berjalan sambil mencari berita tentang padepokan kita.”
“Apakah kita akan bertanya-tanya di sepanjang jalan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Jika banyak orang tahu bahwa kita dari padepokan Bajra Seta, maka akan dapat terjadi ada pihak yang menghubungi kita. Mungkin dengan maksud baik, tetapi mungkin sebaliknya orang-orang yang pernah menyerang padepokan kita. Namun dengan demikian di perjalanan kembali ke padepokan, kita akan dapat mengetahui serba sedikit keadaan padepokan. Kita berharap bahwa hari ini, meskipun malam hari, kita akan mendekati padepokan itu. Padepokan Bajra Seta. Kita masih harus melihat, apa yang ada di dalam padepokan itu sebelum memasukinya. Tetapi lebih baik jika kita mengetahui sebelum kita sampai ke padepokan itu,” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi pesan Ki Bekel justru sebaliknya,” desis Mahisa Pukat.
“Ki Bekel ingin agar kita tidak terganggu di perjalanan serta tidak ingin kita mendapatkan kesulitan. Namun kita mempunyai kepentingan yang lain,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti.”
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah berbicara pula dengan Mahisa Semu, Wantilan dan juga Mahisa Amping. Mereka akan dengan sengaja menyatakan diri bahwa mereka adalah orang-orang dari padepokan Bajra Seta.
“Kita akan melihat apa akibatnya,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya, “Mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, kita dapat menangkap semacam keterangan tentang padepokan kita.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memperhatikan anak itu tidak melihat sesuatu kesan di wajahnya. Keduanya berharap bahwa ada sesuatu yang terbersit dihati anak itu, sehingga dapat memberikan isyarat kepada mereka.
Tetapi keduanya kemudian menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berharap terlalu banyak kepada anak-anak yang masih belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi di dalam dirinya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertekad untuk menyatakan diri mereka secara terbuka justru untuk memancing persoalan. Mereka berharap dari persoalan yang timbul, mereka akan mendapat keterangna tentang padepokan mereka sebelum mereka mendekati padepokan itu sendiri.
Demikianlah, maka ketika mereka singgah di sebuah kedai, maka dengan sengaja Mahisa Murti berkata lantang kepada pemilik kedai itu setelah memesan makanan dan minuman. “Cepat sedikit Ki Sanak, kami tidak banyak mempunyai waktu. Kami harus segera kembali ke padepokan kami.”
“Padepokan yang mana Ki Sanak?” bertanya pemilik kedai itu tanpa maksud apa-apa.
“Kami adalah keluarga dari padepokan Bajra Seta,” jawab Mahisa Murti.
Pemilik kedai itu memang tidak memperhatikan lagi. Ia tidak menghiraukan apakah pembelinya itu dari padepokan Bajra Seta atau bukan. Tetapi yang justru memperhatikan adalah orang lain. Orang yang kebetulan juga berada di kedai itu. Kepada kawannya orang itu berbisik sambil memperhatikan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang duduk di sudut kedai itu, “Mereka orang-orang Bajra Seta.”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Nampaknya anak-anak muda yang sombong, tetapi mereka akan menyesali kesombongannya itu.”
“Sikapnya memang aneh,” sahut orang yang pertama, “kenapa mereka dengan sengaja menyatakan diri orang-orang dari Bajra Seta justru sekarang ini.”
Namun dalam pada itu, pernyataan Mahisa Murti itu telah menjalar dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar pernyataan itu, telah mengatakan kepada orang lain, sehingga akhirnya, seorang di antara mereka berkata, “Kita akan menunggu apa yang akan terjadi atas mereka.”
Tetapi Mahisa Murti yang dengan sengaja menyatakan dirinya sebagai orang dari padepokan Bajra Seta justru telah singgah pula di sebuah kedai di padukuhan berikutnya meskipun hanya sekedar singgah untuk minum semangkuk minuman panas serta menyebut dirinya dan saudara-saudaranya sebagai orang-orang padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka berita tentang kehadiran orang-orang Bajra Seta itu cepat tersebar. Bahkan sebelum mereka merasa letih di perjalanan, kelima orang itu telah beristirahat di pintu-pintu gerbang padukuhan atau di gardu-gardu yang kosong di siang hari.
Ternyata usaha Mahisa Murti itu pun berhasil. Demikian mereka berhenti di sebuah gubug di bulak panjang, maka seorang petani telah menemuinya dan berkata, “Hati-hati anak-anak muda. Kalian berada di antara orang-orang yang memusuhi padepokan Bajra Seta.”
“Menurut pengertian mereka, orang-orang Bajra Seta adalah penghuni sebuah padepokan yang dikendalikan oleh orang-orang jahat,” jawab petani itu.
“Siapakah yang menyebarkan berita itu? Dan apakah Ki Sanak juga percaya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ki Sanak. Aku adalah seorang petani. Tetapi aku mempunyai kegemaran lain. Bertualang. Karena itu, aku tahu bahwa berita tentang orang-orang Bajra Seta yang banyak aku dengar di sini adalah bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana pernah aku lihat sendiri,” jawab Petani itu. “Apalagi ketika permusuhan antara padepokan Bajra Seta dengan sekelompok orang-orang yang tamak itu semakin menjadi-jadi. Maka fitnah pun semakin menjadi-jadi pula. Sehingga akhirnya orang-orang padepokan Bajra Seta seakan-akan telah terpencil di antara sesamanya yang tinggal di sekelilingnya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya termangu-mangu sejenak. Namun hampir di luar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Apakah sebelumnya orang-orang Bajra Seta sering berkeliaran sampai ke daerah ini?”
Petani itu menjadi heran. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bukankah kalian mengaku sebagai orang-orang Bajra Seta?”
“Ya. Kami bukan sekedar mengaku orang-orang Bajra Seta. Kami memang orang-orang dari padepokan Bajra Seta,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa kalian bertanya seperti itu?” bertanya petani itu.
“Terus terang Ki Sanak. Kami adalah orang-orang Bajra Seta yang telah lama merantau. Saat kami kembali, kami dengar padepokan kami telah pernah diserang oleh orang-orang yang belum jelas,” jawab Mahisa Murti.
“Siapa yang mengatakannya,” bertanya petani itu.
“Seorang Bekel dari sebuah padukuhan. Tetapi Ki Bekel itu tidak tahu akhir dari peristiwa itu. Tidak tahu pula orang-orang manakah yang telah memusuhi padepokan Bajra Seta yang menurut pengenalan kami atas padepokan kami itu, bukan sebuah padepokan yang senang mengobarkan permusuhan.”
“Sebagian dari berita yang kau dengar itu benar,” jawab petani itu.
“Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini? Jika orang-orang di daerah ini memusuhi orang-orang padepokan Bajra Seta, kenapa Ki Sanak tidak melakukannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Karena aku mengenal pemimpin padepokan itu. Meskipun aku belum lama mengenalnya, tetapi aku tahu, bahwa tuduhan yang diberikan kepada orang-orang Bajra Seta itu tentu tidak benar,” jawab petani itu.
“Siapakah yang kau maksud dengan pemimpin padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Petani itu termangu-mangu. Katanya, “Jika kalian orang-orang Bajra Seta, kenapa kalian bertanya siapa pemimpin dari padepokan itu.”
“Sudah kami katakan bahwa kami telah pergi cukup lama. Mungkin sesuatu perubahan telah terjadi. Karena itu, aku mohon Ki Sanak mau menyebut nama orang yang Ki Sanak sebut sebagai pemimpin padepokan Bajra Seta yang tidak pantas melakukan sebagaimana dituduhkan orang kepada dirinya itu?”
“Namanya Mahendra,” jawab petani itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka mereka telah mendapat keterangan bahwa ayah mereka masih selamat. Tetapi Mahisa Pukat masih juga ingin meyakinkan. Karena itu maka ia pun telah bertanya pula, “Di mana Ki Sanak mengenal orang yang bernama Mahendra itu?”
“Anak-anak muda. Apakah kalian mengenal Mahendra itu pula,” justru petani itulah yang bertanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab, “Ya, aku kenal Mahendra itu. Ia memang pemimpin padepokan itu sejak semula. Dengan demikian maka kami tahu bahwa padepokan itu masih tetap tidak berubah.”
“Nah, padepokan itu memang masih tetap dikuasai oleh orang-orang Bajra Seta. Tetapi padepokan itu semakin lama menjadi semakin jauh dari orang-orang di sekitarnya. Maksudku orang-orang yang tidak mengenal dengan baik padepokan itu,” jawab petani itu.
“Bagaimana dengan orang-orang di padukuhan sekitar padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Nampaknya tidak ada masalah dengan padukuhan yang justru di sekitar padepokan itu, karena orang-orang padukuhan itu mengenal dengan baik orang-orang Bajra Seta. Yang memusuhi orang-orang Bajra Seta justru orang-orang yang tidak mengenal isi padepokan itu, tetapi mengetahui bahwa padepokan itu ada,” jawab petani itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu petani itu pun berkata selanjutnya, “Karena itu, aku minta kalian segera meneruskan perjalanan. Bukankah padepokan itu sudah tidak lagi terlalu jauh? Ambillah jalan pintas. Jika kalian menempuh jalan setapak di sela-sela bukit yang nampak itu, maka kalian akan lebih cepat sampai. Meskipun jalan agak sulit, namun kalian tidak akan banyak mengalami hambatan karena orang-orang yang membenci padepokan Bajra Seta. Di sela-sela bukit itu tidak ada padukuhan yang cukup besar yang dihuni orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan orang lain sehingga memperhatikan padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang tinggal di padukuhan di celah-celah bukit itu adalah orang-orang yang lebih banyak memperhatikan diri mereka sendiri serta orang-orang yang hidup bersama mereka di padukuhan-padukuhan kecil itu. Mereka memang merupakan keluarga yang mencakup seluruh isi setiap padukuhan. Namun hubungan mereka dengan lingkungan di sekitar mereka sangat sedikit.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencoba mencari jalan yang paling pendek dan yang paling aman setelah kami tahu, bahwa padepokan itu adalah padepokan Bajra Seta sebagaimana saat aku tinggalkan.”
Petani itu mengangguk sambil berkata, “Pergilah. Jangan terlalu lama berada di sini. Kalian telah melakukan kesalahan besar dengan setiap kali menyatakan diri kalian kepada siapa pun sebagai orang-orang Bajra Seta. Menurut pengenalanku atas pemimpin padepokan itu, ia sama sekali tidak mempunyai kebiasaan menyombongkan diri sebagaimana kalian lakukan.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Kami sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi kami memang memancing persoalan agar kami dapat mendengar berita tentang padepokan itu lebih banyak. Yang penting bagi kami adalah kepastian, bahwa padepokan itu masih tetap dihuni oleh perguruan Bajra Seta, dengan pemimpin yang sama. Seandainya kami tidak menyombongkan diri dengan sikap yang agak berlebihan, mungkin Ki Sanak tidak tertarik kepada kehadiran kami di sini.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku semakin yakin bahwa kalian memang orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu. Sekarang, pergilah secepatnya.”
“Baik Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
Tetapi tiba-tiba saja orang itu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Terlambat. Aku melihat beberapa orang mulai bergerak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut akan keterangan itu. Mereka justru baru mulai merasa curiga, bahwa mereka melihat sesuatu yang tidak wajar masih di kejauhan. Tetapi karena petani itu sudah memberikan peringatan kepada mereka, maka mereka tidak lagi dapat mencurigai petani itu. Yang mereka renungkan kemudian adalah justru petani itu. Orang itu tentu orang yang berilmu dan berkemampuan tinggi, sehingga orang itu pun sempat melihat sesuatu yang belum jelas.
Tetapi beberapa saat kemudian, mereka telah melihat beberapa orang yang bermunculan di jalan bulak itu dan dari tikungan-tikungan. Dari sela-sela batang jagung di sebelah jalan simpang. Atau dari balik gerumbul-gerumbul di sebelah menyebelah jalan panjang itu. Meskipun jaraknya masih agak jauh, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat mereka datang.
Dalam pada itu, petani itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalan padepokan Bajra Seta.”
“Silahkan Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Biarlah kami mencari jalan keluar dari kesulitan ini tanpa harus melibatkan Ki Sanak. Dengan demikian maka Ki Sanak tidak akan ikut dimusuhi oleh orang-orang itu,” sahut Mahisa Murti.
“Mereka adalah orang-orang padukuhan di sekitar tempat ini yang tentu tersinggung karena sikap kalian, justru karena kalian mengaku dari padepokan yang mereka benci tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Sanak. Apa yang Ki Sanak beritahukan kepada kami sudah cukup banyak. Sekarang pergilah, selagi mereka masih belum terlalu dekat.”
Petani itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menjauhi kelima orang yang mengaku dari padepokan Bajra Seta itu. Tetapi ketika petani itu berpapasan dengan orang-orang yang melangkah mendekat, maka ternyata ia telah dihentikan oleh beberapa orang. Meskipun petani itu tidak disentuh, tetapi ia sudah dibentak-bentak oleh orang-orang yang datang dan kemudian mengepung kelima orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat orang itu kemudian dibiarkan melangkah pergi. Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah terkepung. Beberapa orang di antara mereka berdiri di antara tanaman di sawah. Yang lain di atas tanggul dan beberapa orang di jalan bulak.
Tiga orang yang paling berpengaruh di antara orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di paling depan.
“Apakah kalian benar-benar orang-orang Bajra Seta?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
“Ya,” jawab Mahisa Murti tanpa ragu-ragu. “Kami adalah orang-orang Bajra Seta.”
“Kenapa kalian berkeliaran di sini?” bertanya orang itu pula.
“Kami baru pulang dari sebuah perjalanan jauh. Karena itu, kami lewat jalan ini,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah kalian tidak tahu, bahwa kami sama sekali tidak ingin melihat orang-orang Bajra Seta berkeliaran di lingkungan kami,” berkata orang itu kemudian.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Pertanyaanmu aneh. Atau kau sengaja menantang kami?” bertanya orang itu dengan wajah tegang.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” sahut Mahisa Murti.
“Kau telah membuat orang-orang padukuhan ini menderita. Setidak-tidaknya menjadi resah dan ketakutan. Di malam hari mereka menjadi kurang tidur. Di siang hari mereka kurang makan karena tingkah laku kalian. Kenapa kalian masih bertanya lagi,” bentak orang itu.
“Omong kosong,” Mahisa Murti pun membentak, “kau katakan, apakah yang pernah dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta di sini.”
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Murti pun bertanya lagi dengan suara lantang, “Apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta sehingga kalian membencinya? Sehingga kalian menganggap bahwa orang-orang Bajra Seta itu pantas dicurigai, diawasi dan kemudian diusir dari tempat ini? Katakan, apa yang pernah kami lakukan di sini.”
Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka mulai mengingat apa yang pernah terjadi. Tetapi mereka memang belum pernah melihat sesuatu terjadi. Karena itu, maka orang-orang itu tidak segera dapat menjawab pertanyaan Mahisa Murti.
Namun yang kemudian terdengar adalah suara dari antara orang-orang yang berdiri di tanggul parit, “Bohong. Kalian selalu datang untuk merampas hak milik kami. Terutama ternak kami. Hasil bumi kami bahkan anak gadis kami.”
Wajah Mahisa Murti menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, “Bohong. Katakan, ternak siapakah yang pernah diambil oleh orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Katakan hasil bumi siapakah yang pernah kami ambil dan apalagi siapakah yang pernah kehilangan anak gadisnya karena diambil oleh saudara-saudara kami itu? Katakan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka memang belum pernah kehilangan ternak mereka. Belum pernah kehilangan hasil bumi mereka. Dan tidak seorang pun yang merasa kehilangan anak gadisnya.”
Tetapi suara di antara orang-orang yang ada di tanggul itu terdengar lagi, “jangan dengarkan orang itu. Banyak bukti dapat disebut di sini. Tetapi kami tidak memerlukannya. Kami sekarang sudah berhadapan dengan orang yang telah berbuat resah di padukuhan kami. Kami tidak akan sekedar mengusirnya. Kami harus menangkap mereka dan memperlakukan mereka sesuai dengan sifat dan watak mereka. Mereka bukan lagi seorang yang pantas disebut manusia. Tetapi kelakuan mereka tidak ubahnya dengan kelakuan seekor binatang. Karena itu, kita tidak perlu memperlakukannya seperti seorang manusia."
“Kalian dengar kata-katanya? Kalian tahu apa sebabnya ia menjadi gelisah dan suaranya menjadi gemetar? Orang itu menjadi ketakutan. Ia tidak ingin melihat kalian sadar dari mimpi buruk itu,” sahut Mahisa Murti.
“Omong kosong,” suara itu membentak, “jangan biarkan orang itu berbicara terlalu banyak lagi. Ujung lidahnya ternyata menyemburkan racun ke telinga kalian, sehingga kalian kehilangan kesadaran terhadap apa yang kalian hadapi sebenarnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mampu mengetahui, yang manakah di antara orang-orang yang ada di tanggul itu yang berbicara. Tidak hanya seorang, tetapi dua orang. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui bahwa orang-orang itu tentu termasuk orang yang ikut membakar kebencian orang-orang padukuhan itu terhadap padepokan Bajra Seta.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa bertindak. Mungkin masih ada yang lain sehingga mungkin ia akan dapat mengetahui lebih banyak. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah berteriak nyaring,
“Nah kalian dengar? Orang itu menganggap bahwa ujung lidah menyemburkan racun, karena orang itu tahu bahwa aku mulai mengungkapkan kenyataan tentang orang-orang Bajra Seta dan orang-orang yang telah sedikit demi sedikit menyalakan api di hati kalian. Tetapi jangan berpikir terlalu sempit. Jika orang-orang Bajra Seta pantas dibenci, orang-orang padukuhan yang dekat dengan padepokan itu, justru tidak membencinya.”
“Cukup,” teriak suara yang lain, suara yang terdengar di antara orang-orang yang berada di tengah-tengah kotak sawah di pinggir parit, “jangan biarkan orang itu mengigau. Sekarang, cepat lakukan. Singkirkan saja orang-orang itu tanpa ampun, agar dengan demikian kita sudah mengurangi kekuatan perguruan iblis itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera memberi isyarat kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping. Sementara itu masih terdengar orang lain lagi berkata, “Kita bunuh saja semuanya, termasuk anak itu. Anak itu memang masih kecil. Tetapi ia sudah cukup besar untuk berceritera tentang penglihatannya.”
“Nah, kalian dengar?” sahut Mahisa Pukat, “orang itu akan berusaha membungkam kami.”
Namun Mahisa Pukat tidak sempat berbicara lebih banyak. Beberapa orang bergerak maju dari segala arah. Tetapi yang lain nampak ragu-ragu. Meskipun demikian yang mulai bergerak itu- pun jumlahnya telah menjadi delapan orang. Sedangkan lebih dari sepuluh orang masih berdiri termangu-mangu.
Beberapa saat lamanya, yang ragu-ragu itu masih belum bergerak sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara membentak, “Cepat. Sebelum kami melakukan tindakan yang tidak pernah kalian duga sebelumnya. Selesaikan orang-orang ini.”
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti. Di sela-sela tertawanya terdengar ia berkata lantang, “Nah, bukankah sudah terbukti bahwa kalian tidak lebih telah dijadikan satu alat untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta yang tidak bersalah? Orang-orang inilah yang agaknya telah gagal menyerang padepokan Bajra Seta dan mencoba untuk menghancurkan perguruan itu dengan cara yang licik.”
“Setan kau,” geram seseorang di antara orang-orang yang mengepung itu, “kau kira kalian dapat keluar hidup-hidup dari kepungan ini.”
“Apapun yang akan terjadi atas diri kami, tetapi kami telah berhasil menimbulkan persoalan di dalam diri orang-orang yang telah tersesat karena mempercayai orang-orang yang berhati iblis seperti kalian,” berkata Mahisa Murti.
“Persoalan di dalam diri mereka itu pada suatu saat tentu akan mengendapkan perasaan mereka terhadap kebenaran persoalan yang tengah mereka hadapi.”
Keadaan menjadi hening sejenak. Tetapi dengan isyarat tepuk tangan, maka delapan orang telah mendekati kelima orang yang mereka kepung itu.
“Menyerahlah,” berkata salah seorang dari kedelapan orang itu. Nampaknya orang itu adalah pemimpin dari ke delapan orang yang telah mengepung lebih dekat lagi kelima orang anak muda yang sedang mengadakan perjalanan itu.
Tetapi yang menjawab adalah Mahisa Pukat, “Kalianlah yang harus menyerah.”
Orang itu menggeretakkan giginya. Sambil mengangkat tangannya ia berteriak, “Cepat lakukan perintahku. Jika kalian benar-benar tidak beranjak dari tempat kalian, maka kalian akan menyesal.”
Nampaknya bagi Mahisa Murti telah tidak mungkin melihat jalan lain untuk mengatasi orang-orang yang telah mengepung mereka berlima itu, mereka pun telah bersiap untuk bertempur. Kedelapan orang itu ternyata masih belum mulai menyerang. Agaknya mereka masih mempunyai harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan itu.
Yang kemudian kebingungan adalah lebih dari sepuluh orang yang telah siap pula melakukan perintah bagi mereka untuk membunuh kelima itu. Tetapi sebenarnyalah mereka tidak dapat melakukan atau menerima hal itu dengan serta merta. Harus ada orang yang bertanggung jawab dan memelihara atau menerima hubungan antara padukuhan mereka dengan orang-orang itu. Dengan demikian maka akan dapat dihindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang jumlahnya tidak hanya lima orang, tetapi cukup banyak.
Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan itu ternyata telah memilih kekuatan yang disangkanya lebih besar di-antara orang-orang Bajra Seta dan orang-orang yang ada di antara mereka. Karena itu, maka lebih dari sepuluh orang yang semula ragu-ragu itu mulai bergerak. Meskipun masih ada juga kebimbangan di hati mereka, tetapi mereka merasa bahwa mereka pun tidak dapat berbuat lain.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian justru berusaha untuk mengurangi keterlibatan orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka sebelum orang-orang padukuhan itu bergerak lebih lanjut, maka Mahisa Murti pun berkata, “Kita mulai sekarang, agar orang-orang padukuhan itu melihat apa yang terjadi sebelum mereka terlibat lebih jauh.”
Demikian Mahisa Murti memberikan isyarat, maka kelima orang itulah yang kemudian bergerak. Empat orang menghadap ke empat penjuru, sementara Mahisa Amping menyesuaikan dirinya di tengah-tengah.
Ternyata mereka tidak menunggu delapan orang itu menyerang. Justru keempat orang itulah yang meloncat lebih dahulu dengan senjata teracu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan pedang mereka yang seakan-akan bercahaya kehijauan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan yang telah meningkatkan ilmu pedang mereka, telah memutar senjata mereka dengan cepatnya.
Delapan orang yang melangkah mendekat untuk mengepung kelima orang itu terkejut. Demikian Mahisa Semu meloncat dengan pedang terjulur, orang-orang yang berada di hadapannya telah terkejut. Seorang di antara mereka telah menjadi sasaran ujung pedang Mahisa Semu, sehingga orang tersebut telah meloncat menjauh untuk mengambil jarak. Tetapi ujung pedang Mahisa Semu yang mengejutkannya itu telah menyambar pundaknya, sehingga luka pun telah menganga. Darah telah mengalir dari luka itu.
Ketika Mahisa Semu berusaha memburunya, maka seorang kawannya telah memotong gerak maju Mahisa Semu. Dengan garangnya orang itu telah mengayunkan senjatanya menyambar ke arah kepala Mahisa Semu. Namun Mahisa Semu sempat menundukkan kepalanya itu. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil merendahkan tubuhnya. Pedangnyalah yang terjulur lurus menggapai lambung lawannya.
Satu gerakan yang juga tidak terduga-duga. Namun lawannya sempat meloncat mundur, sehingga ujung pedang Mahisa Semu tidak melubangi lambung lawannya itu. Meskipun demikian maka lawannya itu harus menjadi semakin berhati-hati. Ia menyadari, bahwa anak muda itu bukannya sekedar kebetulan mampu melukai kawannya di pundaknya.
Sementara itu Wantilan pun telah bertempur pula melawan dua orang. Senjatanya ternyata telah membuat lawan-lawannya harus bekerja keras. Ternyata bahwa kekuatan tenaga Wantilan pun telah mengejutkan lawannya pula. Ketika senjata mereka berbenturan maka seorang lawannya hampir saja kehilangan senjatanya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat langsung dapat menguasai lawan-lawan mereka masing-masing. Pedangnya yang berkilauan telah membuat lawan-lawannya menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang semula berteriak-teriak menantang bagaikan meruntuhkan bukit, tiba-tiba telah menjadi gelisah.
Langkah yang diambil oleh Mahisa Murti itu ternyata memang berarti. Lebih dari sepuluh orang yang telah siap turun ke medan menjadi semakin ragu-ragu. Mereka melihat delapan orang yang mereka anggap berilmu tinggi, ternyata tidak berdaya.
Seorang lawan Mahisa Pukat telah kehilangan senjatanya, ketika dengan keras sekali Mahisa Pukat dengan sengaja memutar dan kemudian mengungkit senjata itu. Senjata lawannya itu telah terlempar tinggi ke udara. Kemudian jatuh beberapa langkah dari lawannya yang menjadi termangu-mangu itu.
Tetapi ia tidak sempat mengambil senjatanya itu. Ketika ia berusaha meloncat menggapai senjatanya itu, maka pedang Mahisa Pukat yang terayun mendatar, telah menyambar punggungnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Dengan keras ia terdorong jatuh terjerembab. Kemudian berguling beberapa kali untuk menjauhi lawannya. Namun ketika ia meloncat bangkit, terasa punggungnya disengat oleh perasaan sakit dan pedih. Apalagi ketika keringatnya mulai membasahi lukanya itu.
Meskipun demikian, ketika lawannya menyerang Mahisa Pukat dari arah samping dan berhasil mendesaknya mundur, orang yang terluka di punggungnya itu sempat mengambil senjata yang terjatuh dan turun kembali ke medan pertempuran. Tetapi tenaganya telah menjadi jauh susut. Darah yang mengalir dari lukanya telah membuatnya menjadi semakin lama semakin lemah.
Mahisa Murti yang tidak mempergunakan ilmunya untuk menghisap tenaga lawannya sebagaimana Mahisa Pukat, ingin menunjukkan kepada lebih dari sepuluh orang yang mulai bergerak, bahwa delapan orang yang mereka takuti itu tidak berarti apa-apa bagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Karena itu, maka dengan tangkasnya Mahisa Murti berloncatan dengan mempermainkan pedangnya yang berkilauan memancarkan cahaya kehijauan.
Lebih dari sepuluh orang menyaksikan pertempuran itu berlangsung. Mereka tidak melihat lontaran ilmu yang tidak dapat mereka mengerti. Mereka melihat kedua belah pihak bertempur sebagaimana mereka lihat pertempuran-pertempuran yang lain. Namun mereka melihat bahwa kelima orang itu mampu mengatasi delapan orang yang mereka anggap orang-orang yang tidak terkalahkan. Delapan orang yang sangat mereka takuti. Tetapi ternyata melawan lima orang, seorang di antaranya anak-anak yang lebih banyak menyesuaikan diri di antara keempat orang yang lain, delapan orang itu tidak berdaya sama sekali.
Dengan demikian maka lebih dari sepuluh orang padukuhan yang diajak oleh delapan orang itu untuk menangkap orang-orang dari padepokan Bajra Seta tidak berani bergerak lebih jauh. Mereka telah berdiri tidak begitu jauh. Namun ketika delapan orang itu terdesak dan tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi kelima orang itu, maka mereka pun menyadari, bahwa mereka yang tidak mempunyai kemampuan sebagaimana delapan orang itu, tentu tidak akan berarti sama sekali. Mereka akan dengan serta merta dikalahkan dan bahkan mungkin mereka akan begitu cepat mati jika mereka memaksa diri untuk melawan orang-orang Bajra Seta itu.
Delapan orang yang dikalahkan oleh orang-orang Bajra Seta itu mengumpat tidak habis-habisnya sambil berusaha untuk bertahan. Seorang di antara mereka sempat berteriak, “He, pengecut. Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu.”
Namun kata-katanya terputus ketika ujung senjata Wantilan justru menyentuh lengannya. Sebenarnyalah hampir semua dari delapan orang itu telah terluka. Meskipun luka mereka pada umumnya tidak parah, namun karena darah mengalir terus, maka mereka telah terpengaruh. Tenaga mereka telah susut, karena terhisap oleh ilmu Mahisa Murti atau Mahisa Pukat, tetapi karena darah mereka yang semakin lama semakin banyak mengalir. Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, maka darah itu menjadi seakan-akan terperas dari tubuh mereka.
Akhirnya, delapan orang itu tidak lagi mampu bertahan. Empat dari orang Bajra Seta itu benar-benar tidak terlawan. Sehingga akhirnya, ketika luka-luka mereka semakin banyak tergores di kulit mereka, maka delapan orang itu pun benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk melindungi diri mereka. Seandainya orang-orang Bajra Seta itu benar-benar ingin membunuh mereka, maka mereka akan segera mati.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Murti membentak, “Menyerahlah, atau kepala kalian akan terlepas dari leher kalian.”
Delapan orang yang sudah terluka itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Tenaga mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertempur. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun. Darah mengalir dri luka-luka yang tergores di punggung, di pundak, di lengan dan di lambung.
Karena itu, maka pemimpin dari kedelapan orang itu pun akhirnya berkata keras-keras, “Baiklah. Kami menyerah.”
“Lepaskan senjata kalian.” perintah Mahisa Murti.
Pemimpin dari antara mereka telah melemparkan senjatanya. Demikian pula ketujuh orang yang lain. Sementara itu lebih dari sepuluh orang padukuhan berdiri termangu-mangu. Mereka memang merasa beruntung, bahwa mereka belum melibatkan diri. Namun sementara itu, mereka mulai menjadi cemas, bahwa kedelapan orang itu akan mendendam kepada mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka sangka-sangka sebelumnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata, “Kalian, delapan orang, ikut kami ke padepokan Bajra Seta yang sudah tidak terlalu jauh lagi.”
“Jangan,” minta pemimpinnya, “jangan bawa kami ke padepokan kalian.”
“Ada dua pilihan,” berkata Mahisa Murti, “Mati atau ikut kami ke padepokan Bajra Seta.”
Delapan orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Aku tahu bahwa yang lain dari delapan orang ini adalah orang-orang padukuhan yang berhasil kalian hasut untuk membenci padepokan Bajra Seta yang belum mereka kenal. Karena itu, maka kami akan membiarkan mereka kembali ke padukuhan mereka, sementara kalian ikut bersama kami.”
“Tubuhku menjadi sangat lemah. Itu tidak mungkin bahwa kami harus berjalan ke padepokan Bajra Seta,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Kami akan memberi obat sementara bagi kalian agar darah kalian menjadi pampat. Tetapi sesudah itu, siapa yang tidak mampu berjalan sampai ke padepokan Bajra Seta, ia akan kami bunuh di perjalanan. Kami tidak sedang bermain-main,” geram Mahisa Murti.
Sikap Mahisa Murti yang garang memang mampu menggetarkan jantung orang-orang itu. Karena itu, maka mereka tidak dapat menolaknya. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka delapan orang itu telah memperoleh obat sementara, sehingga darah tidak lagi mengalir dari luka-luka mereka. Namun kemudian, delapan orang itu harus mengikuti perintah para pengembara itu untuk ikut bersama mereka.
Sementara itu kepada orang-orang padukuhan Mahisa Murti berkata, “Jika kalian ingin mendapat keterangan yang sebenarnya dari padepokan Bajra Seta, berhubunganlah dengan orang-orang dari padukuhan terdekat. Kalian ternyata telah mendengar keterangan tentang padepokan Bajra Seta dari orang-orang yang kecewa, yang telah gagal menyerang dan ingin menguasai padepokan itu.”
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Mereka memandangi kedelapan orang itu dengan cemas. Jika pada suatu saat mereka kembali, maka mereka mungkin sekali akan membalas dendam terhadap orang-orang padukuhan. Bahkan mungkin kawan-kawan mereka. Tetapi jika mereka membantu delapan orang itu, maka lima orang pengembara yang mengaku berasal dari padepokan Bajra Seta itulah yang akan menghancurkan mereka.
Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu berdiri termangu-mangu. Mereka merasa bahwa apa pun yang mereka lakukan akan menimbulkan akibat buruk bagi mereka. Namun ketika orang-orang Bajra Seta yang membawa delapan orang itu menjauh, maka seorang di antara orang-orang padukuhan itu berkata, “Kita mencari keterangan tentang orang-orang Bajra Seta.”
“Untuk apa?” bertanya kawannya.
“Mungkin kita memerlukan perlindungan mereka,” jawab orang itu.
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun agaknya itu adalah satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Kita mencari keterangan di padukuhan-padukuhan sekitar padepokan itu. Nampaknya mereka akan membantu kita dalam upaya untuk melihat kebenaran tentang padepokan Bajra Seta itu.”
Orang-orang padukuhan itu akhirnya sependapat. Mereka memang harus membuat hubungan dengan padepokan Bajra Seta karena mereka akan dapat menjadi sasaran dendam orang-orang yang untuk beberapa lama berpengaruh di padukuhan mereka dan menyebarkan keterangan tentang padepokan Bajra Seta sebagai satu padepokan yang menganut ilmu sesat.
“Tetapi tentu tidak sekarang,” berkata seorang di antara mereka, “kelima orang dengan membawa delapan orang tawanan itu hari ini tentu baru akan sampai ke padepokan mereka. Bahkan mungkin menjelang malam.”
“Ya. Dua atau tiga hari lagi. Mudah-mudahan delapan orang itu tidak segera dilepaskan dan kemudian kembali ke padepokan ini untuk membalas sakit hatinya,” desis yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka telah melihat mendung yang tebal tergantung di langit di atas padukuhan mereka. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu sebelum kita berhubungan dengan padepokan Bajra Seta? Bukankah jumlah kita lebih banyak dari mereka yang hanya delapan orang itu. Jika kita berniat, kita dapat membangkitkan gairah orang-orang padukuhan ini untuk berbuat sesuatu. Untuk berani menyatakan diri dengan sikapnya.”
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya di dalam darah mereka telah mengalir api yang hangat merambat dan membakar jantung mereka. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja berkata lantang,
“Ya. Kita dapat berbuat banyak. Kita akan mengerahkan semua anak-anak muda dan semua orang laki-laki di padukuhan kita. Jika orang-orang itu benar-benar kembali dan mengancam ketenteraman hidup kita, maka kita akan melawannya sebelum kita sempat mencari hubungan dengan orang-orang Bajra Seta. Apalagi seandainya padepokan Bajra Seta itu benar-benar satu perguruan ilmu sesat, maka kita sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sehingga kita tidak akan digilas oleh dua kekuatan yang saling bertentangan, sementara kita tidak tahu menahu ujung pangkalnya.”
Yang lain-lain pun tiba-tiba saja bagaikan orang yang bangun dari tidur yang nyenyak. Mereka bangkit sambil berkata hampir berbareng, “Bagus. Aku sependapat.”
“Kita akan berbicara dengan Ki Bekel,” berkata orang yang pertama.
Orang-orang itu pun kemudian telah memutuskan untuk berbicara dengan Ki Bekel. Selama mereka berada di bawah pengaruh orang-orang yang bermusuhan dengan orang-orang Bajra Seta itu, Ki Bekel hampir tidak pernah mereka ajak berbicara karena sikap Ki Bekel yang memang agak berbeda dengan sikap mereka.
“Ternyata pendapat Ki Bekel mengandung kebenaran,” berkata orang yang pertama, “selama ini kita langsung dihentak oleh satu kekuatan yang kita anggap tidak ada batasnya, sehingga kita menjadi ketakutan. Namun kita melihat, bahwa delapan orang itu tidak mampu mengalahkan lima orang, sementara seorang di antara mereka adalah anak-anak yang tidak banyak terlibat dalam pertempuran.”
“Ya. Kita akan menghadap Ki Bekel untuk minta maaf dan minta persetujuannya,” berkata kawannya yang lain.
Dengan demikian, maka orang-orang itu pun segera kembali ke padukuhan serta menunjuk tiga orang di antara mereka untuk menghadap Ki Bekel. Ternyata Ki Bekel merasa gembira atas perubahan sikap mereka. Ki Bekel yang hampir berputus asa mengatasi kegelisahan orang-orang padukuhannya itu tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh perubahan sikap itu. Orang-orang yang datang kepadanya telah menceriterakan apa yang mereka saksikan tentang orang-orang Bajra Seta itu.
“Biarlah aku sendiri mencari hubungan dengan padepokan Bajra Seta. Tetapi aku minta satu dua orang di antara kalian menjadi saksi,” berkata Ki Bekel.
Tetapi mereka memang tidak akan pergi hari itu. Mereka akan pergi di hari lain untuk mencari keterangan dan kemudian mencari hubungan dengan orang-orang Bajra Seta.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah membawa delapan orang menuju ke padepokan Bajra Seta. Delapan orang yang telah mereka kalahkan. Di perjalanan kadang-kadang timbul pula niat delapan orang itu untuk melarikan diri. Namun tubuh mereka telah menjadi terlalu lemah. Meskipun darah mereka sudah pampat setelah mendapat pengobatan sementara, tetapi darah sudah terlanjur terlalu banyak mengalir.
Karena itu, maka perjalanan iring-iringan itu merupakan perjalanan yang lambat. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menyadari, bahwa orang-orang itu sudah menjadi sangat lemah. Meskipun setiap kali Mahisa Murti mengancam akan membunuh mereka yang tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, namun kekuatan sisa tenaga mereka memang sangat terbatas. Sehingga dengan demikian mau tidak mau maka iring-iringan itu memang harus beristirahat di perjalanan.
Ketika mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang maka rasa-rasanya kedelapan orang itu sudah tidak ingin lagi bangkit berdiri dan meneruskan perjalanan. Namun setiap kali Mahisa Murti berkata, “Siapa yang tidak dapat lagi meneruskan perjalanan akan aku bunuh dan mayatnya akan aku tinggalkan di pinggir jalan.”
Mahisa Murti memang nampak bersungguh-sungguh. Setiap kali tangannya sudah hinggap di hulu pedangnya. Delapan orang yang tidak mengenal Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu memang menjadi cemas bahwa jantung mereka benar-benar akan dilubangi oleh pedang anak muda yang mengerikan itu, sehingga mereka pun memaksa diri untuk dapat meneruskan perjalanan betapa pun mereka merasa letih.
Di sepanjang jalan mereka hanya dapat minum air di belik-belik di pinggir sungai. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak membawa kedelapan orang itu singgah untuk makan dan minum di kedai karena hal itu akan dapat mengundang persoalan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat menempuh perjalanan yang tersisa itu hingga sampai ke padepokan Bajra Seta pada hari itu. Ternyata mereka masih harus berhenti di jalan dan bermalam di tempat terbuka.
Ternyata dingin malam telah menggigit kulit daging mereka, sementara itu perut mereka pun menjadi lapar. Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkan perut yang lapar itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang nampak begitu garang sehingga ke delapan orang itu benar-benar menjadi ketakutan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali memang telah membentak dan mengancam mereka. Dengan kata-kata keras dan kasar mereka memaksa delapan orang itu berbaring berjajar di-atas rumput kering. Menjelang tengah malam, maka satu dua di antara mereka mulai mengantuk. Bahkan mata mereka mulai terpejam. Mereka memang ingin segera tidur untuk melupakan perut mereka yang lapar.
Namun tepat di tengah malam, maka ke delapan orang yang sudah hampir tertidur itu terkejut. Seorang di antara mereka telah menyentuh orang yang terbaring di dekatnya sambil berdesis, “Bangun. Bangun.”
Orang yang berbaring di sisinya pun terbangun. Namun ia pun segera mendengar suara burung kedasih yang agak lain dari suara burung kedasih yang lain. Delapan orang itu pun akhirnya telah membuka mata mereka seluruhnya. Mereka semuanya telah mendengar suara burung kedasih itu.
Meskipun mulut mereka tidak mengucapkannya, namun mereka berkata di dalam hati, “Guru telah datang untuk menolong kami.”
Sikap mereka ternyata tidak luput dari tangkapan mata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih belum tertidur. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tidur di sebelah menyebelah Mehisa Amping. Dengan tidak menarik perhatian mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membangunkan mereka pula.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mendengar pula suara burung kedasih itu. Lamat-lamat. Namun semakin lama semakin jelas bahwa suara itu bukan suara burung kedasih yang sebenarnya. Dengan demikian maka keempat orang itu pun telah bersiaga pula sepenuhnya. Mereka sadar, bahwa sesuatu akan dapat terjadi malam itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat berbincang, “Kita kurangi kekuatan delapan orang itu,” desis Mahisa Murti.
“Apakah mungkin mereka masih dapat berbuat sesuatu?” bertanya Mahisa Pukat hampir berbisik.
“Jika gurunya hadir, mereka akan mendapat semacam kekuatan baru. Mereka, delapan orang akan dapat mengganggu pemusatan perlawanan kita terhadap guru mereka. Apalagi kita belum tahu, tataran kemampuan guru mereka itu,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jangan menjadikan mereka kehilangan kemampuan untuk meneruskan perjalanan besok bagi meskipun jaraknya tidak jauh lagi.”
Mahisa Murti masih sempat tersenyum. Katanya, “Aku juga malas mendukung mereka sampai ke padepokan. Tetapi jika kita selesaikan persoalan kita dengan gurunya, mungkin kita tidak perlu membawa mereka ke padepokan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga berbisik, “Jika perguruan mereka pernah menyerang padepokan kita, jumlah mereka tentu cukup banyak. Apakah orang yang datang itu bersama dengan banyak orang?”
“Kita belum tahu,” jawab Mahisa Murti perlahan-lahan. “Tetapi mereka tentu tidak akan sempat mempersiapkan banyak orang dalam waktu singkat. Kecuali jika mereka membuat perkemahan di sekitar tempat ini.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Suara burung kedasih itu masih terdengar. Namun Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk mendekati delapan orang yang terbaring diam, meskipun sebenarnya mereka tidak tertidur. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti meraba seorang di antara mereka sambil berdesis, “He, kau belum tidur?”
Orang itu tidak menjawab. Mahisa Murti memang tidak memerlukan jawaban. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak sedang tidur. Tetapi ia hanya ingin menyentuh tubuh-tubuh itu sejenak. Demikianlah pula yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ia pun telah menyentuh beberapa orang di antara para tawanannya.
Ternyata sentuhan-sentuhan itu telah menyusut kekuatan dan kemampuan delapan orang itu. Karena itu, seandainya mereka kemudian bangkit dan melupakan luka-luka mereka, namun mereka tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melawan. Tetapi delapan orang yang berbaring itu tidak segera menyadari, karena mereka masih saja berpura-pura tidur.
Sementara itu bunyi burung kedasih itu pun menjadi semakin lama semakin jarang. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin berhati-hati. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap yang menarik perhatian. Kedua orang anak muda itu menyadari, bahwa mereka masih belum dapat berbuat apa-apa selagi suara burung kedasih itu masih jauh. Bahkan keduanya pun kemudian telah duduk pula bersandar pohon.
Beberapa saat kemudian, maka suara burung kedasih itu pun justru telah berhenti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhatikan delapan orang tawanan mereka yang masih berpura-pura tidur. Ternyata mereka mulai bergerak meskipun masih sangat terbatas. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah terbatuk-batuk. Namun kemudian diam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser pula dengan sangat berhati-hati. Keduanya telah berkisar memandangi arah yang berlawanan. Mereka memang menduga, bahwa justru suara kedasih itu terdiam, maka seseorang atau bahkan sekelompok orang justru mulai bergerak.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun ikut mengamati pula kelingkaran diseputarnya. Mereka pun mengerti, bahwa demikian suara burung kedasih itu hilang, maka orang yang melontarkan suara burung kedasih itu tentu akan melakukan sesuatu yang lain. Ternyata bahwa orang yang dianggap guru oleh delapan orang itu benar-benar telah berjalan di dalam kegelapan mendekati murid-muridnya.
Namun betapa pun orang itu berhati-hati, maka ketika orang itu menjadi semakin dekat maka ketajaman mata anak-anak muda itu pun mampu menangkapnya. Terutama Mahisa Murti yang kebetulan menghadap ke arah orang itu berjalan perlahan-lahan mendekati murid-muridnya yang terbaring diam.
Beberapa langkah dari murid-muridnya yang terbaring itu, suara burung kedasih itu pun terdengar lagi. Justru lamat-lamat saja antara terdengar dan tidak terdengar. Tetapi ada irama yang khusus yang terdengar di antara suara burung kedasih yang ngelangut itu.
Ternyata suara yang perlahan-lahan itu adalah satu isyarat. Hampir serentak delapan orang itu pun telah meloncat bangkit. Mereka telah siap untuk berbuat apa saja di hadapan gurunya. Mereka tidak lagi takut mengalami mati. Tetapi demikian mereka berdiri, hampir saja mereka terjatuh kembali. Beberapa orang sempat terhuyung-huyung sejenak. Namun mereka pun segera berdiri tegak di atas kaki mereka.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah terbangun pula. Wantilan masih juga sempat membangunkan Mahisa Amping dengan kakinya. Mahisa Amping masih sempat menguap. Namun ia pun kemudian terkejut melihat kesiagaan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan delapan orang yang mereka tawan itu pun sudah berdiri pula.
“Apakah mereka akan melarikan diri?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Tetapi anak itu tidak mengucapkannya. Ia menunggu saja sampai pada suatu saat ia akan tahu apa yang akan terjadi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan anak yang tertatih-tatih berdiri itu. Bahkan keduanya sempat bertanya di dalam hati, “Kenapa anak itu tidak menangkap satu isyarat apapun?”
Sementara itu suara burung kedasih itu pun telah lenyap. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengetahui dengan pasti, di mana orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu berada.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah dapat mengabaikan kedelapan orang itu. Meskipun mereka kemudian tidak takut lagi untuk mati, tetapi kekuatan mereka sama sekali tidak memadai lagi. Mereka harus mengerahkan sisa tenaga mereka untuk berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah. Tubuh mereka menjadi sangat lemah dan tulang-tulang mereka bagaikan dilepas dari tubuh mereka.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya orang-orang itu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu pun terkejut. Ternyata delapan orang yang dibawa oleh orang-orang Bajra Seta itu sudah tidak berdaya sama sekali. “Luka mereka tentu sangat parah,” desis orang yang bersembunyi itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka orang itu ingin menjajagi lebih jauh. Sekali lagi orang itu melontarkan perintah dengan isyarat. Delapan orang itu harus berbuat sesuatu tanpa menghiraukan kematian yang akan dapat menerkam mereka dengan cepat.
Tetapi tidak seorang pun dari kedelapan orang itu yang berani melakukan sesuatu. Ketika beberapa orang di antara mereka siap untuk meloncat, maka justru mereka hampir jatuh tertelungkup. Karena itu, meskipun mereka mengetahui maksud isyarat suara burung kedasih itu, namun ternyata mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
“Anak-anak iblis,” geram orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu. Orang itu mengira bahwa delapan orang itu tidak berdaya lagi karena luka-luka mereka yang parah. Karena itu, maka orang itu tidak menghiraukan kedelapan orang itu lagi. Ia pun justru telah meloncat mendekati Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Mahisa Murti tidak terkejut. Demikian pula saudara-saudaranya. Justru karena itu, maka orang itulah yang terkejut. “Sudah agak lama kami menunggumu Ki Sanak,” sapa Mahisa Murti.
“Ilmu dari iblis manakah yang kalian sadap ini?” bertanya orang itu.
“Kenapa kau tiba-tiba saja marah? Bukankah kita belum pernah bertemu sehingga kita tidak mempunyai persoalan?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak peduli,” jawab orang itu dengan suara parau, “kalian telah memperlakukan murid-muridku di luar batas.”
“Apa yang telah kami lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Mereka terluka parah sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa,” jawab orang itu.
“Mereka tidak terluka parah. Aku tidak berkeberatan Ki Sanak melihat sendiri pada mereka. Tetapi daya tahan tubuh mereka memang sangat lemah. Dengan luka-luka yang kecil tergores di punggung, atau luka sejengkal yang tidak terlalu dalam di dada atau luka di pundak bahkan segores kecil di lengan telah membuat mereka tidak berdaya sama sekali,” berkata Mahisa Murti.
“Kau gila anak muda,” geram orang itu.
“Yakinkan dirimu. Lihat anak-anakmu itu. Aku sama sekali tidak berkeberatan,” berkata Mahisa Murti.
Ternyata orang itu benar-benar ingin melihat apa yang telah terjadi. Ia pun telah mendekati delapan orang yang berdiri dengan lemahnya itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti. Luka mereka memang tidak terhitung terlalu parah. Meskipun tidak hanya segores kecil. Seorang di antara mereka terluka sampai di tiga tempat. Tetapi luka-luka itu bukan luka-luka yang seharusnya membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Apalagi orang itu melihat bahwa luka mereka telah pampat.
Jantung orang itu bagaikan bergetar semakin cepat. Tetapi ia tidak segera dapat memecahkan teka-teki tentang murid-muridnya itu. “Mungkin karena mereka dalam keadaan luka telah dipaksa untuk berjalan cukup panjang,” berkata orang itu di dalam hatinya.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “kau yakin sekarang, bahwa anak-anakmu memang mempunyai daya tahan yang sangat lemah?”
Orang itu menggeretakkan giginya. Kemarahan mulai membakar jantungnya. Ketika ia mengetahui bahwa delapan orang murid-muridnya digiring seperti itik yang digembalakan, hatinya telah menjadi panas. Apalagi ketika ia melihat satu kenyataan, bahwa delapan orang itu memang hanya terluka sedikit bagi seorang laki-laki yang memang sudah terjun ke dunia oleh kanuragan.
“Apa pun yang telah terjadi,” berkata orang itu, “kalian semua akan mati. Kalian adalah orang Bajra Seta yang malang. Ketika kami menyerang padepokanmu, maka orang-orang padepokanmu mampu bertahan. Tetapi kalian yang dengan sombong berani keluar dari padepokan dan lewat daerah pengamatan kami, maka kalian akan mati lebih dahulu sebelum kami kembali untuk menghancurkan padepokanmu.”
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah orang yang dipanggil Empu Rangkut dari perguruan Lawang Tunggal. Aku tidak senang terhadap perguruan Bajra Seta yang dapat menghalangi perluasan perguruanku ke daerah ini,” geram orang itu.
“Apa sebabnya padepokan Bajra Seta kau anggap menghalangi perkembangan perguruanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Pertanyaan yang bodoh,” orang itu menjadi semakin marah. Lalu katanya, “Sekarang bersiaplah untuk mati. Kalian berlima akan menjadi banten dari ketamakan perguruan kalian itu.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan perguruan Lawang Tunggal. Kaulah yang bersikap memusuhi kami justru kami baru pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang. Namun aku sama sekali tidak akan menghindar jika kalian memang menempatkan diri sebagai lawan-lawan kami.”
“Katakan apa yang ingin kau katakan, karena kesempatanmu memang tinggal sesaat yang pendek. Mungkin ada pesanmu bagi padepokan Bajra Seta atau pesanmu kepada gurumu atau isterimu atau siapa pun juga. Kami akan berusaha menyampaikannya agar kau tidak mendendam sampai waktu yang tidak ada batasnya,” berkata orang yang mengaku bernama Empu Rangkut itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Aku sebenarnya ingin tahu, ke mana mayatmu harus kami bawa. Delapan orang murid-muridmu mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya kau kehendaki setelah kematianmu.”
“Kalian memang sombong,” geram orang itu, “baiklah. Sekarang akan kita lihat. Siapakah di antara kita yang akan mati di sini. Aku atau kalian berlima.”
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar melihat sikap orang itu. Nampaknya ia terlalu yakin akan kemampuannya. Namun Mahisa Murti itu pun telah berkata kepada saudara-saudaranya, “Awasi delapan orang itu. Jangan biarkan mereka pergi. Aku akan melayaninya sendiri.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia juga melihat kepercayaan yang sangat besar kepada dirinya sendiri dari orang yang bernama Empu Rangkut itu. Tetapi ia tidak mau membuat Mahisa Murti kecewa. Meskipun demikian, Mahisa Pukat berniat untuk berada selalu dekat dengan medan.
“Kau memang gila anak muda,” orang itu menggeram, “kesombonganmu akan membuat kau menyesal. Kau akan mati dalam waktu sekejap. Tetapi aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin kau menyaksikan bagaimana saudara-saudaramu yang lain mati. Kau akan mati yang terakhir kali.”
“Aku memang menjadi ragu-ragu,” berkata Mahisa Murti, “apakah sebaiknya aku juga berbuat sebagaimana ingin kau lakukan? Membunuh murid-muridmu seorang demi seorang. Baru setelah yang ke delapan mati, aku akan membunuhmu.”
“Tutup mulutmu,” bentak orang itu, “kau mencoba untuk menyelubungi kelemahanmu dengan menyombongkan dirimu. Tetapi itu tidak berarti apa-apa. Sekarang bersiaplah untuk dalam sekejap terbujur di tanah. Kau hanya akan dapat membuka matamu untuk melihat kematian saudara-saudaramu. Kau memerlukan waktu yang agak panjang untuk menikmati saat-saat kematianmu.”
Mahisa Murti tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Ia percaya bahwa orang itu akan melakukan sebagaimana dikatakan jika ia mampu. Karena itu, maka Mahisa Murti harus menjadi sangat berhati-hati. Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bergeser menjauhi orang-orang yang lain, yang tidak akan terlibat ke dalam pertempuran.
Sementara itu Mahia Pukat pun berdesis, “Jaga delapan orang yang sudah tidak berdaya itu. Aku akan melihat pertempuran itu.”
“Baik,” jawab Mahisa Semu dan Wantilan hampir bersamaan.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat pun bergeser pula. Memang tidak terlalu dekat. Tetapi ia akan mampu menjangkau medan jika terjadi sesuatu. Meskipun mungkin tidak menjadi kehendak Mahisa Murti, jika perlu ia memang harus melibatkan diri. Rasa-rasanya ia tidak akan dapat membiarkan bencana terjadi atas saudaranya itu, justru setelah pengembaraan mereka yang lama akan segera mereka selesaikan. Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan orang yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit.
Ternyata orang yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Memang agak mengejutkan Mahisa Murti bahwa pada tingkat pertama kekuatan dan kecepatan gerak Empu Rangkut itu telah mendorongnya beberapa langkah surut. Menilik kemampuan murid-muridnya yang terhitung lemah itu, Mahisa Murti mengira bahwa gurunya pun seorang yang berilmu sangat tinggi.
Agaknya memang satu peringatan bagi Mahisa Murti. Hampir saja ia merendahkan lawannya, sehingga menjadi lengah. Untunglah bahwa sebelum terlambat, Mahisa Murti menyadari, bahwa ia pun harus mengerahkan kemampuannya jika ia tidak ingin menjadi korban dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Murti melawan Empu Rangkut itu semakin lama menjadi semakin sengit. Bukan saja Mahisa Murti yang terkejut menghadapi lawannya, tetapi ternyata Empu Rangkut terkejut melihat kemampuan seorang anak yang masih dianggapnya terlalu muda.
Empu Rangkut yang menduga bahwa ia akan segera melumpuhkan lawannya dalam satu dua loncatan, ternyata tidak demikian. Anak muda itu mampu memberikan perlawanan yang tidak dibayangkannya sebelumnya. Karena itulah, maka kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Empu Rangkut berniat untuk dengan cepat menyelesaikan lawannya dan membawa murid-muridnya pergi. Jika perlu, maka ia benar-benar akan membunuh. Anak-anak muda yang lain jika menghalanginya.
Tetapi Empu Rangkut itu semakin menyadari kemampuan lawannya yang masih muda itu pun menjadi semakin marah. Bahkan ketika ia meningkatkan ilmunya hampir sampai ke puncak, maka anak muda itu sama sekali belum dapat dikalahkannya.
“Ilmu iblis mana yang telah disadap oleh anak ini,” geram Empu Rangkut di dalam hatinya.
Namun kakinya yang berputar mendatar mengarah ke pelipis Mahisa Murti, ternyata sama sekali tidak mengenainya. Mahisa Murti sempat merendahkan dirinya sambil berkisar setapak. Namun justru saat lawannya itu berputar dan bertumpu pada kakinya yang lain, Mahisa Murti menjatuhkan diri dan dengan sekuat tenaganya menyapu kaki lawannya itu.
Demikian cepatnya sapuan itu dilakukan sehingga lawannya tidak sempat mengelak, kakinya yang lain baru saja menapak tanah. Karena itu, maka sapuan kaki Mahisa Murti itu telah melontarkan tubuh Empu Rangkut. Kakinya yang bagaikan terlempar telah membuatnya kehilangan keseimbangan.
Namun Empu Rangkut ternyata cukup tangkas. Ia tidak membiarkan tubuhnya jatuh terbanting seperti sepotong balok kayu. Tetapi demikian ia jatuh, maka ia pun segera berguling memutar pada pundaknya. Dalam sekejap maka Empu Rangkut itu sudah tegak berdiri.
Namun kaki Mahisa Murti pun dengan cepat pula terjulur ke arah dada. Hampir saja untuk kedua kalinya Empu Rangkut terlempar. Namun dengan sedikit bergeser ke samping, maka sentuhan kaki Mahisa Murti tidak menggoyahkannya, meskipun tubuhnya agak bergetar.
Untuk mengurangi tekanan serangan anak muda itu, maka Empu Rangkut pun telah menyerang pula. Dengan satu loncatan panjang, tangannya telah terjulur lurus mengarah ke dada. Tetapi serangan itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Demikianlah, semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin garang. Tetapi kedua belah pihak masih belum mampu mendesak lawan. Karena itu, maka keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Bahkan lawan Mahisa Murti yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu telah menarik senjatanya. Sebuah nenggala yang tidak terlalu panjang, namun runcing ujung dan pangkalnya. Bahkan satu di antara kedua tajamnya itu telah mencuat tajam yang seperti kait pada duri daun pandan.
Mahisa Murti meloncat surut ketika ia mendengar desing senjata lawannya itu. Ayunan yang cepat yang hampir saja menyentuh dadanya, telah melontarkan bunyi yang tajam serta menggetarkan udara di sekitarnya. “Bukan main,” geram Mahisa Murti, “kau berhasil mengguncang angin.”
“Persetan,” sahut Empu Rangkut, “jika kau menjadi ketakutan, menunduklah, aku akan menusuk di tengkukmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ketika senjata itu terayun, berputar dan menyambar, maka ia telah mengambil jarak yang panjang untuk memantapkan sikapnya. Ketika lawannya itu mengejarnya dan menyerang pula dengan senjatanya, maka Mahisa Murti sekali lagi merasakan getaran udara dari ayunan nenggala yang keras itu disertai lontaran desing yang tajam. Ternyata getaran udaranya saja telah mampu membuat kulit Mahisa Murti menjadi pedih.
“Bukan main,” desis Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya dikejar oleh serangan demi serangan. Ketika ia harus meloncat sekali lagi mengambil jarak, maka ia pun telah menarik pedangnya pula. Empu Rangkut lah yang terkejut. Ia melihat senjata Mahisa Murti yang bercahaya kehijau-hijauan.
Empu Rangkut kemudian menyadari, bahwa orang Bajra Seta itu ternyata adalah orang yang memang memiliki kelebihan. Bukan saja ketangkasannya dan kekuatannya, tetapi juga sipat kandelnya yang berupa pedang yang berkilau kehijauan itu.
Dengan senjata maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak memiliki ketangkasan dan kecepatan gerak yang mengagumkan. Namun ternyata Mahisa Murti masih memiliki kelebihan kekuatan. Setiap terjadi benturan, maka terasa lawannya tidak dapat menahan guncangan benturan yang terjadi itu. Karena itu, maka Mahisa Murti telah memanfaatkan kelemahan lawannya itu dengan berusaha membenturkan senjatanya dengan sekuat tangannya.
Dengan demikian, maka lawannya itu pun semakin lama menjadi semakin merasa terdesak. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Empu Rangkut selain mempergunakan ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Empu Rangkut itu telah meloncat menjauhi lawannya untuk mengambil jarak. Dalam kesempatan yang pendek itu, Empu Rangkut telah memusatkan nalar budinya. Pengalamannya yang luas, ilmunya yang tinggi serta kekuatannya yang besar kemudian telah terpadu dalam ilmu puncaknya yang mengerikan.
Ketika pertempuran kemudian terjadi lagi semakin seru, maka di arena pertempuran itu seakan-akan telah timbul putaran angin yang semakin lama menjadi semakin keras. Jika mula-mula sampah-sampah kecil dedaunan dan rumput-rumput kering saja yang terangkat, maka angin pusaran itu pun kemudian menjadi semakin besar. Debu yang terangkat membuat mata menjadi pedih dan nafas serasa sesak.
Terdengar Empu Rangkut itu tertawa. Katanya di sela-sela gemuruhnya angin pusaran itu, “Kau memang seharusnya mengenali ilmu Cleret Tahun. Ilmu yang sudah hampir tidak ada duanya sekarang ini. Nah, kau tidak akan dapat mengurai diri dari libatan angin ini ke mana pun kau bergeser. Mungkin kau mampu meloncat-loncat. Tetapi angin ini akan mengikutimu. Bahkan seandainya aku meninggalkan arena dan tidur di bawah sebatang pohon yang rindang itu.”
Mahisa Murti tidak dapat menjawab. Rasa-rasanya wajahnya telah penuh dengan debu yang menghambur. Jika ia berkata sepatah kata saja, maka debu rasa-rasanya akan menusuk kerongkongannya. Di dalam putaran angin pusaran itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Mahisa Pukat yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia memang masih melihat Mahisa Murti bertempur dengan tangkasnya. Namun ia menyadari, bahwa pada suatu saat Mahisa Murti tidak akan dapat bernafas lagi.
“Apakah iblis itu bernafas dengan insang?” bertanya Mahisa Pukat di dalam hatinya ketika ia melihat Empu Rangkut sama sekali tidak mengalami kesulitan bertempur di dalam pusaran ilmunya sendiri.
Namun Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya kehilangan kesempatan untuk melawan. Dengan mengerahkan daya tahannya, maka Mahisa Murti telah mengetrapkan ilmunya pula. Ia berusaha untuk menghisap kekuatan dan ilmu lawannya di setiap sentuhan senjata.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa lawannya. Sambil menghindari setiap sentuhan, maka ia pun berkata, “Aku sudah dapat memecahkan teka-teki tentang kedelapan muridku. Kau tentu memiliki ilmu yang curang dan licik itu. Kau tentu sudah menghisap sebagian tenaganya sehingga mereka seakan-akan telah mengalami keletihan yang luar biasa. Apalagi mereka sudah terluka meskipun tidak terlalu berbahaya. Semula aku memang ragu-ragu. Tetapi ketika kau mulai mengetrapkannya dan terasa getaran itu menyentuh senjataku dan mengalir ke tubuhku, maka aku segera mengetahuinya. Untunglah aku belum terlambat, sehingga aku masih sempat menyaksikan, bagaimana tubuhmu itu akan diangkat dan dilemparkan oleh ilmu Cleret Tahun ini dari ketinggian. Tubuhmu akan terhempas ke tanah dan hancur berserakan.”
Mahisa Murti mengeram, sementara orang itu berkata pula, “Mula-mula aku memang menjadi bingung. Tetapi bagaimana pun juga orang-orang Bajra Seta tidak akan banyak berarti bagi kami.”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berusaha bertahan. Namun kemudian, nafasnya menjadi semakin sesak. Rasa-rasanya paru-parunya telah penuh dengan debu serta kerongkongannya pun telah tersumbat rerumputan kering pula.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ia mendengar kata-kata orang yang bertempur melawan Mahisa Murti di dalam lingkaran angin pusaran. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menjadi semakin tegang.
Sementara itu delapan orang yang sudah menyerang itu, telah bersorak-sorak pula meskipun suaranya tidak cukup lantang. Seorang di antara mereka berkata, “Nah, baru kau tahu anak sombong.”
Hampir saja Mahisa Semu kehilangan pengendalian diri. Namun Wantilan sempat menggamitnya sambil berdesis, “Kita lihat apa yang akan terjadi atas Mahisa Murti.”
Mahisa Pukat bagaikan terbakar seluruh isi dadanya. Keadaan Mahisa Murti membuatnya cemas dan sekaligus marah. Tetapi Mahisa Pukat masih berusaha untuk menahan diri. Jika ia mencampurinya, maka Mahisa Murti mungkin sekali tidak akan membenarkannya.
“Tetapi jika keadaan memaksa, maka tidak ada jalan lain, meskipun Mahisa Murti akan marah kepadaku,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu Mahisa Semu yang gelisah tiba-tiba saja berteriak, “Aku bunuh delapan orang muridmu.”
Suara Mahisa Semu memang menghentak jantung Empu Rangkut. Tetapi ternyata orang itu berteriak pula, “Jika delapan orang muridku mati, maka kalian akan mati semuanya. Tetapi jika tidak, maka aku hanya akan membunuh orang-orang yang melawanku.”
“Aku tidak peduli,” teriak Mahisa Semu.
Empu Rangkut menggeram. Katanya, “Lakukan jika kau ingin mengalami kematian yang paling tidak menyenangkan.”
Mahisa Semu benar-benar akan melakukan apa yang sudah diteriakkannya. Tetapi Wantilan masih mencegahnya. Katanya, “Kita tunggu sebentar. Mahisa Murti tentu tidak menghendaki mereka terbunuh.”
“Tetapi kau lihat, Mahisa Murti lah yang justru akan terbunuh,” sahut Mahisa Semu.
Wantilan termangu-mangu. Ia memang melihat angin pusaran itu berputar semakin keras. Mahisa Murti memang mulai nampak goyah. Di saat ia meloncat menghindari serangan Empu Rangkut, tubuhnya seakan-akan melayang dan tidak dapat dikuasainya dengan cepat. Untunglah bahwa Mahisa Murti memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sementara lawannya agak segan untuk membenturkan senjatanya.
Namun di saat-saat terakhir, Mahisa Murti pun merasa bahwa ia menjadi semakin banyak mengalami kesulitan. Angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin keras dan semakin cepat. Debu berhamburan masuk ke dalam matanya dan ke dalam mulut serta hidungnya, sehingga pernafasannya serasa menjadi terganggu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain daripada mengetrapkan ilmu puncaknya.
Namun demikian Mahisa Murti tidak segera mendapat kesempatan. Ke mana saja ia meloncat, maka angin pusaran itu dengan cepat memburunya. Bahkan kadang-kadang jika ia meloncat terlalu panjang, dorongan angin pusaran itu bagaikan melemparkannya sehingga rasa-rasanya sulit baginya untuk mengendalikan diri. Sementara itu, lawannya masih saja menyerangnya dengan senjatanya yang runcing di kedua ujungnya. Namun dengan cerdik Empu Rangkut selalu menghindari benturan senjata dengan Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kesempatan. Meskipun ke mana ia meloncat dan melenting, namun angin pusaran itu selalu memburunya dan dengan cepat melibatnya kembali. Ketika Mahisa Murti benar-benar merasa kehilangan kesempatan untuk melawan, maka ia berusaha untuk menghentakkan senjatanya di saat-saat terakhir. Senjata yang bukan saja berwarna kehijauan, tetapi daun pedangnya itu seakan-akan telah menyala sehingga lidah apinya menjilat-njilat. Tetapi pedangnya tidak pernah dapat menyentuh lawannya. Bahkan membentur senjata lawannya pun tidak.
Pada saat yang paling gawat, maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Namun angin pusaran yang menjadi semakin keras itu justru telah melemparkannya sehingga Mahisa Murti jatuh terguling.
Empu Rangkut sempat tertawa sambil berkata, “Sebentar lagi kau akan segera dibawanya terbang. Sayang, bahwa kemampuan terbangmu akan berakhir saat kau masih berada tinggi di udara. Jika kau kemudian terjatuh dan kepalamu membentur batu padas, maka kau tidak akan dapat dikenali lagi.”
Mahisa Murti sama sekali tidak mendengarkannya lagi. Demikian ia jatuh berguling, maka tanpa berusaha untuk bangkit, Mahisa Murti telah mempergunakan kesempatan yang sesaat itu. Justru sambil menelungkup Mahisa Murti telah mengacukan ujung pedangnya ke dada Empu Rangkut.
Empu Rangkut yang merasa bahwa ia sudah menang, memang menjadi lengah. Ia memang terkejut melihat ujung pedang lawannya yang masih muda itu mengarah ke dadanya. Namun Empu Rangkut tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Seleret sinar menembus pusaran angin langsung menghantam dada Empu Rangkut yang sedang menilai apa yang sebenarnya dihadapi. Namun sinar itu telah menyambar dadanya sehingga seakan-akan telah meledak.
Serangan ilmu Mahisa Murti yang dahsyat telah mengenai sasarannya. Lontaran kekuatan ilmu Bjra Geni yang didorong oleh kemampuan ilmu yang disadapnya dari Akuwu Lemah Warah, telah menghantam dada Empu Rangkut. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Empu Rangkut terlempar beberapa langkah surut. Dengan derasnya tubuhnya telah terbanting di tanah.
Sementara itu, angin pusaran yang melilit Mahisa Murti pun tiba-tiba saja telah mereda. Mahisa Murti yang kemudian bangkit sempat melihat Empu Rangkut itu menggeliat. Namun ternyata tubuh Mahisa Murti pun rasa-rasanya telah remuk. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Tetapi ternyata daya tahan Mahisa Murti cukup tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi perasaan sakitnya itu.
Selangkah demi selangkah Mahisa Murti mendekati tubuh Empu Rangkut yang terbaring diam. Namun Mahisa Murti masih melihat Empu Rangkut itu menggeliat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejenak kemudian telah berada di sebelahnya. Dengan hati-hati keduanya berjongkok sambil memegang dada Empu Rangkut. Ternyata dadanya itu masih bergerak.
“Ia masih hidup,” desis Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Empu Rangkut itu telah membuka matanya. Tetapi tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka Empu Rangkut itu tidak mampu lagi untuk bangkit selain menggerakkan kepalanya. Tetapi ternyata Empu Rangkut masih sempat berkata perlahan, “Luar biasa anak muda.”
“Apa yang luar biasa, Empu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak mengira bahwa ada anak semuda kau memiliki ilmu yang demikian tinggi. Tidak ada tiga empat orang yang mampu mengatasi ilmu Cleret Tahunku. Tetapi kau yang semuda itu terlepas dari cengkaman ilmuku. Bahkan kau mampu membunuhku.”
“Kau akan sembuh Empu. Daya tahanmu tentu akan mengatasi segalanya,” berkata Mahisa Murti.
Empu Rangkut mencoba tersenyum. Dengan suara yang semakin lemah ia berkata, “Aku minta maaf anak muda. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
“Lupakan Empu,” jawab Mahisa Murti.
Empu Rangkut menarik nafas dalam-dalam. Dari antara desah nafasnya terdengar ia berkata, “Aku minta diri anak muda.”
Mahisa Murti memandang wajah Empu Rangkut yang menjadi semakin pucat. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan Empu Rangkut menjadi semakin gawat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Panggil murid-muridnya...”
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat meninggalkan orang-orang yang ada ditepian itu begitu saja. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menahan mereka untuk melihat selanjutnya, apa yang akan terjadi. Bahkan keduanya justru telah bergerak lebih maju dan agak mendekati tempat orang-orang itu berbincang. Namun mereka tetap berada dibalik gerumbul-gerumbul liar di atas tanggul. Meskipun demikian, serba sedikit mereka mendengar orang-orang dibalik tanggul itu berkata-kata.
“Bagaimana sudah cukup,” terdengar seseorang berbicara di antara mereka.
Yang lain terdengar menjawab, “Tidak. Soalnya aku tidak hanya berdua. Aku harus membagi bagianku menjadi empat dan sedikit hadiah buat penjaga bangsal yang pura-pura kau ikat itu.”
“Ki Jagabaya,” terdengar orang yang berbicara sebelumnya, “Bagian yang kami serahkan itu sudah imbang. Ki Jagabaya dan kawan-kawan Ki Jagabaya mendapat sepertiga karena Ki Jagabaya tidak berbuat apa-apa, Ki Jagabaya hanya mengadakan sedikit pertemuan makan-makan dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Tetapi selanjutnya kamilah yang bekerja sehingga berhasil.”
“Tetapi aku memerlukan uang untuk menyediakan makan anak-anak muda itu sehingga kalian dapat melakukan pekerjaan kalian dengan aman, di samping orang-orang seperti yang aku katakan tadi,” jawab Ki Jagabaya, “karena itu, sebaiknya kalian memberikan kepada kami separuh dari hasil yang kalian peroleh.”
Beberapa saat suasana menjadi hening. Orang-orang yang berada dibalik tanggul itu terdiam. Mereka nampaknya sedang berpikir. Namun kemudian seseorang di antara mereka berkata, “Tidak Ki Jagabaya. Aku tetap pada pendirianku. Ki Jagabaya akan menerima sepertiga.”
“Aku menuntut separuh,” jawab orang yang disebut Ki Jagabaya itu.
Tetapi agaknya kelompok yang lain tidak mau merubah sikapnya. Seorang di antara mereka berkata, “Ki Jagabaya jangan memaksa.”
“Aku dapat menangkapmu,” berkata Ki Jagabaya.
“Kau kira kau berani menangkap kami? Kau kira kami tidak mempunyai mulut untuk mengatakan bahwa Ki Jagabaya terlibat dalam kejahatan ini?” sahut orang itu.
“Tetapi Ki Buyut terlalu percaya kepadaku. Jika kalian menyebut-nyebut namaku, maka aku dapat menuduh kalian telah merampok dan memfitnah.”
Tetapi orang itu sama sekali tidak menjadi kecut. Bahkan orang itu pun tertawa pula. Katanya, “Jika demikian, kami akan menyelesaikan persoalan ini di sini. Agar rahasia kami tidak terdengar oleh orang lain hanya karena Ki Jagabaya menghendaki upah terlalu besar.”
“Apa maksudmu?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami akan membunuh Ki Jagabaya,” jawab orang itu.
Tetapi ternyata Ki Jagabaya pun tidak menjadi gentar. Dengan lantang ia berkata, “Baik. Kita akan bertempur. Kita selesaikan persoalan ini dengan kekerasan. Kau perampok yang ditakuti orang. Tetapi aku adalah Jagabaya yang sudah terbiasa menangkap perampok.”
Orang-orang yang ada ditepian itu tiba-tiba telah bergeser menjadi dua kelompok. Satu kelompok adalah kelompok para perampok sedangkan kelompok yang lain adalah kelompok yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Nampaknya keduanya tidak menemukan kata sepakat, sehingga keduanya telah siap untuk bertempur.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kedua belah pihak sama jahatnya. Kedua belah pihak harus ditangkap dan diserahkan kepada Ki Buyut meskipun dengan demikian perjalanan mereka akan terhambat lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera bertindak. Jika kedua kelompok itu bertempur, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat melihat kemampuan mereka, sehingga keduanya akan dapat memperhitungkan kemungkinan yang akan mereka lakukan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, kedua belah pihak telah bersiap. Para perampok itu ternyata terdiri dari empat orang, sedangkan Ki Jagabaya hanya disertai oleh dua orang. Tetapi kedua orang kawan Ki Jagabaya itu nampaknya tidak kalah garangnya dengan para perampok, sedang Ki Jagabaya sendiri adalah seorang yang bertubuh raksasa.
“Kau akan menyesal Ki Jagabaya,” geram pemimpin perampok itu, “jika kau tidak terlalu tamak, maka kau akan mendapat harta benda yang dapat kau pergunakan untuk bersenang-senang sekeluarga sepanjang hidupmu. Tetapi karena kau terlalu tamak, maka aku harus membunuhmu sekarang.”
Ki Jagabaya tertawa nyaring. Katanya, “Aku adalah bekas benggol kecu yang belum pernah tertangkap oleh siapa pun juga. Aku menguasai beberapa Kabuyutan dan bahkan hampir satu Pakuwon. Nah, sekarang perampok-perampok kecil macam kalian akan mengancam kami?”
“Satu kenangan yang indah di masa mudamu Ki Jagabaya. Sekarang kau sudah terlalu tua untuk bertempur,” jawab perampok itu.
“Semakin tua ilmuku menjadi semakin mantap,” jawab Ki Jagabaya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pihak telah bersiap. Kedua orang pembantu Ki Jagabaya itu pun telah berpencar pula. Mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan Ki Jagabaya sendiri masih saja tertawa menghadapi keempat orang perampok itu.
“Marilah, siapa yang harus aku pilin lehernya lebih dahulu,” berkata Ki Jagabaya.
Tetapi para perampok itu sama sekali tidak merubah niat mereka. Mereka pun telah bersiap sepenuhnya. Bahkan mereka tidak lagi ingin bertempur dengan tangan mereka, tetapi mereka telah menggenggam senjata ditangan.
Namun Ki Jagabaya pun telah melakukannya pula. Ki Jagabaya telah menarik goloknya yang besar, yang nampaknya memang dibuat khusus baginya. Tetapi ketika ia mulai memutar goloknya itu, rasa-rasanya golok itu tidak lebih berat dari sebatang lidi. Sedangkan kedua kawan Ki Jagabaya itu pun bersenjata golok pula meskipun tidak sebesar golok Ki Jagabaya.
Para perampok itu pada umumnya bersenjata pedang. Hanya seorang yang mempunyai jenis senjata yang lain. Senjatanya adalah tongkat baja yang ujungnya runcing seperti ujung tombak, sehingga mirip dengan sebuah tombak pendek bertangkai baja.
Sejenak kemudian, maka kedua kelompok kecil itu pun sudah mulai bertempur. Ki Jagabaya sendirilah yang harus bertempur melawan dua orang. Tetapi Ki Jagabaya nampaknya sama sekali tidak menjadi gelisah. Goloknya yang besar mulai berputaran dengan garangnya. Ketika ia mengayunkan goloknya itu menebas mendatar, maka kedua lawannya harus berloncatan mundur. Mereka tidak berani dengan serta merta menangkis serangan itu, sebelum mereka menjajagi kekuatan Ki Jagabaya itu.
Namun dengan cepat keduanya mulai menyerang justru dari arah yang berbeda. Seorang telah menjulurkan senjatanya mengarah ke lambung. Sedangkan yang lain mengayunkan senjata menebas leher.
Tetapi Ki Jagabaya ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan ke arah lambungnya, sekaligus menangkis serangan lawannya yang lain. Tetapi kedua lawannya yang sudah terbiasa bertempur dengan keras itu pun telah berusaha untuk mendesaknya. Saat Ki Jagabaya berusaha mengambil jarak dari kedua lawannya, maka keduanya pun segera memburu. Namun langkah mereka terhenti ketika Ki Jagabaya memutar goloknya yang besar itu melingkari tubuhnya. Bahkan ketika golok itu terayun deras, maka kedua orang lawannya itu justru bergeser mundur.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya telah bertempur melawan kedua orang perampok yang berkeberatan membagi hasil rampokannya menjadi dua bagian yang sama besar itu.
Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin sengit. Kedua pihak bertempur semakin keras dan kasar. Ki Jagabaya yang mengaku bekas seorang perampok itu pun benar-benar menunjukkan kekuatan dan kemampuannya, sehingga kedua lawannya pun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawannya. Tetapi kedua lawannya itu pun perampok-perampok yang garang pula, sehingga keduanya mampu mengimbangi kekerasan dan kekasaran Ki Jagabaya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dari belakang pohon-pohon perdu di atas tanggul sungai. Keduanya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih sibuk mengamati apa yang terjadi. Keduanya sempat menilai kemampuan orang-orang yang sedang bertempur itu.
Ki Jagabaya ternyata benar-benar orang yang sangat kuat. Orang yang juga memiliki bekal kemampuan olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka kedua lawannya benar-benar mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya dan kedua orang perampok yang kasar itu pun masih juga bertempur dengan kerasnya. Semakin lama semakin kasar. Senjata mereka berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Yang terdengar adalah teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kotor dari mulut orang-orang yang bertempur itu.
Sementara itu Ki Jagabaya pun semakin lama nampak menjadi semakin garang. Ternyata bahwa Ki Jagabaya bukan saja memiliki kekuatan kewadagan yang sangat besar. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa ayunan pedangnya telah didorong pula oleh kekuatan ilmunya. Semakin lama putaran golok Ki Jagabaya itu seakan-akan bukan saja menjadi semakin cepat. Tetapi setiap kali lawan-lawannya seakan-akan telah terdorong kekuatan angin yang kuat.
Namun salah seorang lawan Ki Jagabaya itu pun memiliki kemampuan yang tinggi pula. Pedangnya yang berkilat itu telah bergerak seperti baling-baling. Bahkan kemudian menjadi seperti bayangan gumpalan awan kelabu yang mengitari tubuhnya.
Ketika kemudian benturan-benturan senjata tidak lagi dapat dielakkan, ternyata bahwa pemimpin perampok itu juga memiliki kekuatan yang besar. Meskipun setiap kali nampak kekuatan Ki Jagabaya lebih besar, namun ketangkasan pemimpin perampok itu nampaknya mampu mengisi kekurangannya, ditambah pula dengan seorang lawannya yang mampu menyesuaikan diri dengan irama pertempuran yang semakin cepat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sempat memperhitungkan, bahwa mereka bersama dengan Mahisa Semu dan Wantilan akan dapat mengatasi para perampok itu. Tetapi yang ternyata sulit bagi mereka adalah usaha untuk menangkap mereka hidup-hidup. Kemudian menyerahkannya kepada Ki Buyut. Ki Jagabaya dan pemimpin perampok itu memiliki bekal olah kanuragan yang tinggi, sehingga dalam keadaan terpaksa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat terjerumus ke dalam satu langkah yang terlalu jauh.
Jika mereka membunuh Ki Jagabaya sebelum sempat diperiksa, mungkin akibatnya akan sangat berbeda. Bahkan Ki Buyut akan dapat menuduhnya dengan sengaja untuk menghilangkan jejak kejahatan. Tetapi mereka berdua juga tidak sampai hati membiarkan peristiwa itu berkepanjangan dan kedua belah pihak yang tidak menemukan kata sepakat itu akan saling membunuh tanpa dapat diungkapkan oleh Ki Buyut dan para bebahu yang lain karena yang menang akan sempat melarikan diri tanpa meninggalkan jejak.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Kita sudah melihat kemampuan mereka. Panggil paman Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bergeser dengan hati-hati. Nampaknya ia masih belum ingin mengganggu pertempuran itu. Tanpa menimbulkan suara apa pun Mahisa Pukat telah bergeser untuk memanggil orang-orang yang ditinggalkannya. Dengan demikian maka sejenak kemudian, kelima orang itu sudah berada di belakang gerumbul-gerumbul liar sambil memperhatikan pertempuran itu.
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ternyata yang dilihatnya berwajah aneh itu adalah orang-orang di antara mereka yang bertempur.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Lihatlah dengan jelas bagaimana mereka bertempur. Semuanya tujuh orang. Kita akan turun dan kita yakin bahwa jika kita melibatkan diri, maka semua orang, tentu akan melawan kita berempat.”
“Apakah aku tidak dihitung?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau masih terlalu kecil untuk ikut berkelahi,” jawab Mahisa Murti.
“Bagaimana jika salah seorang di antara mereka menyerang aku?” bertanya Mahisa Amping pula.
“Kau memang harus mempertahankan diri,” jawab Mahisa Murti pula.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih memperhatikan pertempuran itu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti itu pun berkata, “Marilah. Tetapi kita harus berusaha untuk tidak membunuh mereka. Kecuali jika hal itu kita lakukan untuk melindungi hidup kita. Tetapi jika mungkin kita akan menangkap semuanya dan membawanya kepada Ki Buyut.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu menurut pengamatan mereka, maka para perampok maupun kawan-kawan Ki Jagabaya itu bukannya orang-orang yang menakutkan.
“Agaknya Ki Jagabaya dan pemimpin perampok itu akan diselesaikan sendiri oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Mahisa Semu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah mereka melihat pola tata gerak orang-orang yang bertempur itu, mereka pun telah beringsut dari tempat persembunyian mereka. Mereka tidak lagi berusaha untuk bersembunyi. Karena itu, maka mereka berlima pun kemudian telah duduk di atas batu di tanggul sungai itu.
Bahkan Mahisa Amping yang dibayangi oleh kecemasan sebelumnya karena melihat wajah-wajah yang menurut penglihatannya aneh, telah bertepuk tangan dengan kerasnya sambil berteriak-teriak, “Bagus. Penggal saja kepalanya. Tusuk jantungnya. Tetapi perlahan-lahan sedikit. Jangan sampai lawan kalian mati.”
“Ssst,” desis Mahisa Murti, “jangan keras-keras.”
Tetapi Mahisa Murti memang tidak bersungguh-sungguh mencegah anak itu. Ia tidak berkeberatan jika suara Mahisa Amping itu menarik perhatian orang-orang yang sedang bertempur itu.
Sebenarnyalah ke tujuh orang yang bertempur itu telah berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan melihat siapakah yang berada di atas tanggul.
“Kenapa kalian berhenti berkelahi,” teriak Mahisa Amping keras-keras, “jangan mengecewakan aku.”
Semua orang yang berada di tepian itu termangu-mangu. Namun Ki Jagabaya lah yang pertama-tama berteriak, “He, siapa kalian?”
“Kami orang-orang lewat yang tidak mau membiarkan tontonan ini berlangsung,” teriak Mahisa Amping.
“Kau membuat mereka marah,” desis Mahisa Pukat.
“Apakah kita tidak ingin dengan sengaja membuat mereka marah kemudian menantang kita?” bertanya Mahisa Amping.
Sebenarnyalah Ki Jagabaya menjadi marah. Dengan nada berat ia berkata, “Kami akan membunuh kalian lebih dahulu. Baru kami akan meneruskan pertempuran di antara kami.”
Tetapi Mahisa Murti lah yang menyahut, “Ki Sanak. Jangan marah. Kami memang hanya sekedar ingin melihat, bagaimana orang-orang berilmu tinggi itu bertempur.”
“Turunlah,” teriak Ki Jagabaya, “aku tahu bahwa kalian bukan sekedar orang-orang yang ingin melihat perkelahian ini. Kalian tentu mempunyai maksud yang lain.”
“Silahkan. Kami tidak akan mengganggu,” berkata Mahisa Pukat, “sebaiknya kalian bertempur sampai orang yang terakhir.”
“Tutup mulutmu. Jika kalian tidak mau turun, kamilah yang akan naik,” teriak Ki Jagabaya.
Sementara itu, pemimpin perampok itu pun berteriak pula, “Kalian dengan sengaja telah meletakkan kepala kalian di dalam mulut harimau.”
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Sudahlah. Berkelahi sajalah untuk memperebutkan uang yang telah kalian rampok atas ijin Ki Jagabaya yang seharusnya justru harus menjaga ketenteraman Padukuhan.”
Namun seorang yang lain yang ada di tepian itu berteriak, “Turunlah, cepat. Mungkin kalian masih sempat mohon ampun kepada kami.”
Mahisa Murti pun telah menggamit Mahisa Pukat sambil berkata, “Marilah. Kita akan turun.” Lalu katanya kepada yang lain, “berhati-hatilah. Kalian sudah melihat cara mereka bertempur. Kasar, keras dan sedikit liar.”
“Ya,” jawab Wantilan. “Kami akan berhati-hati.”
Demikianlah, maka mereka berlima pun segera berloncatan turun dari tanggul. Dengan langkah pendek di atas pasir tepian, mereka berlima melangkah mendekati ke tujuh orang itu.
“Kenapa kalian berhenti bertempur?” bertanya Mahisa Murti.
“Kami harus membunuh kalian lebih dahulu,” jawab Ki Jagabaya.
Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Kami tidak mencampuri persoalan kalian. Kenapa kalian ingin membunuh kami?”
“Apa maksud kalian sebenarnya?” bertanya Ki Jagabaya.
“Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab Mahisa Murti, “sekedar menonton.”
“Jangan main-main. Jika aku membunuh, itu pun bukan main-main,” geram pemimpin perampok itu.
“Kami tidak main-main,” jawab Mahisa Murti, “kami benar-benar ingin melihat kalian bertempur. Jika kalian sudah kehabisan tenaga, maka giliran kami untuk terjun ke medan. Tetapi kami tidak ingin membunuh siapapun. Kami ingin menangkap kalian dan menyerahkannya kepada Ki Buyut. Karena perampok-perampok adalah orang-orang yang memang harus ditangkap. Mereka sangat membahayakan banyak orang dan biasanya mereka sama sekali tidak berperikemanusiaan. Sedangkan Ki Jagabaya adalah orang yang tidak kalah berbahayanya. Kehadirannya di padukuhannya dengan membawa kelompok-kelompok perampok merupakan bahaya yang sulit untuk dibiarkan begitu saja. Seperti benalu yang menghisap makanan dengan akar-akarnya yang langsung menghunjam ke tubuh sebatang pohon.”
“Diam,” bentak Ki Jagabaya, “apa sebenarnya yang kau kehendaki?”
“Menangkap kalian. Nah, kau dengar,” jawab Mahisa Murti.
Ki Jagabaya menjadi sangat marah. Ia merasa sangat terganggu oleh kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka katanya dengan garang, “Apapun yang akan kalian lakukan, siapa pun kalian atau untuk siapa hal ini kau lakukan, aku tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh. Itu saja.”
“Persetan,” geram pemimpin perampok, “kalian sudah terlalu menghina kami. Karena itu, maka kalian berlima akan mati di sini.”
“Tidak mudah melakukannya,” jawab Mahisa Murti, “tetapi jika kalian akan mencoba memaksa, silahkan.”
“Kami tidak hanya akan sekedar mencoba,” berkata Ki Jagabaya, “tetapi kami benar-benar akan melakukannya.” Kemarahan Ki Jagabaya sudah tidak terkendali, ia pun dengan garangnya maju selangkah ketengah tepian berpasir itu.
“Kita akan melihat, apakah perkembangan ilmu di saat-saat terakhir itu sudah menunjukkan bahwa kalian benar-benar pantas untuk berbuat seperti itu di hadapan kami,” berkata Ki Jagabaya sambil memutar goloknya.
Tiba-tiba yang lain pun telah melangkah maju. Para perampok dan pembantu Ki Jagabaya. Nampaknya mereka sudah tidak mau menunda-nunda waktu lagi. Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Jagabaya itu pun telah terlibat ke dalam pertempuran dengan Mahisa Murti. Pemimpin perampok itu pun telah memilih lawan. Mahisa Pukat. Sedangkan yang lain telah bertempur pula bersama-sama. Mahisa Semu dan Wantilan justru tidak memencar. Mereka berdua bertekad untuk bertempur sambil melindungi Mahisa Amping.
Pertempuran pun mulai berkobar. Semakin lama menjadi semakin keras. Mahisa Semu dari Wantilan masing-masing menghadapi dua orang lawan, sementara Mahisa Amping telah menyesuaikan dirinya, karena anak itu memang menyadari, bahwa ia masih belum umur untuk secara langsung turun dalam pertempuran.
Meskipun demikian, kelima orang itu telah menunjukkan sikap mereka. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu memancing lawan-lawannya untuk bertempur pada jarak yang agak jauh. Sebenarnyalah maka pertempuran menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat membekali Mahisa Semu dan Wantilan tentang beberapa pesan sebelum pertempuran itu benar-benar terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti sempat menjadi berdebar-debar melihat Mahisa Amping yang ternyata tidak sekedar menurut, dan tidak sampai keluar halaman. Tetapi Mahisa Amping justru pernah dikejar-kejar oleh beberapa orang perampok yang mula-mula bertempur berpasangan. Namun karena kawannya yang bertempur berpasangan memerlukan kawannya itu, maka Mahisa Amping telah menjadi bebas kembali.
Demikianlah maka pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segala kemampuan mereka. Tetapi lawan mereka mulai terdesak adalah Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka harus melawan masing-masing dua orang yang memiliki ilmu seimbang.
Mahisa Murti lah yang mula-mula melepaskan ilmunya. Ia ingin lawannya segera menghentikan perlawanannya, karena ia tidak sampai hati membiarkan salah seorang di antara mereka justru terbunuh.
Karena itu, maka orang-orang yang berada di tepian itu pun masih saja bertempur dengan tidak mengenal lelah. Namun ternyata Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin terdesak oleh lawan-lawan mereka yang bertempur dengan kasar.
Sementara itu Mahisa Amping yang menyesuaikan dirinya dengan pertempuran yang membakar tepian itu, kadang-kadang memang mampu memancing lawan yang marah. Tetapi anak itu-pun segera mampu memasuki lingkungan pertempuran bersama Mahisa Semu dan Wantilan.
Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan memang mengalami kesulitan. Mereka kadang-kadang harus bertempur masing-masing melawan dua orang, seorang di antara mereka berusaha untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi pada saat lain, kedua orang itu harus bertempur melawan lima orang.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murti, telah mengalami kesulitan. Rasa-rasanya kemampuannya tidak lagi sewajarnya. Kekuatannya menjadi susut, dan tulang-tulangnya menjadi berat. Demikian pula pemimpin perampok yang bertempur melawan Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat pun kemudian mengetrapkan ilmunya, maka keadaan pun menjadi segera berubah.
Kedua orang anak muda itu memang tidak ingin membunuh lawan-lawan mereka. Keduanya ingin menangkap ke tujuh orang yang telah bersama-sama melakukan kejahatan, namun yang kemudian telah berselisih saat mereka membagi hasil kejahatan mereka.
Ki Jagabaya yang merasa terdesak itu pun telah memanggil seorang pembantunya untuk ikut bertempur bersamanya. Ki Jagabaya memperhitungkan, bahwa jika ia dapat menyelesaikan anak muda itu, maka yang lain pun akan dengan cepat dapat diselesaikan pula.
Namun bukan saja Ki Jagabaya yang memanggil kawannya. Pemimpin perampok yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu pun telah memberi isyarat kepada seorang kawannya untuk bertempur bersamanya melawan anak muda yang garang itu.
Dengan demikian, maka keadaan pertempuran itu telah berubah. Yang bertempur melawan masing-masing dua orang lawan adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Usaha mereka untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan agaknya telah berhasil. Sehingga Mahisa Semu dan Wantilan tidak lagi mengalami kesulitan. Mereka masing-masing tinggal melawan seorang.
Sementara seorang perampok nampaknya masih saja memperhatikan Mahisa Amping yang ternyata benar-benar di luar dugaan, ia tidak saja mampu berlari-lari, menyusup di antara pertempuran dan bersembunyi di balik putaran senjata Mahisa Semu dan Wantilan. Namun anak itu sekali-sekali juga dapat menyerang dengan tiba-tiba.
Namun pertempuran itu ternyata tidak berlangsung terlalu lama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat dapat menguasai lawan-lawan mereka yang menjadi semakin lemah. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memaksa lawan-lawan mereka menjadi benar-benar tidak berdaya. Ketika keduanya terdesak semakin berat dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melawan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memaksa lawan-lawan mereka menyerah.
Mahisa Semu dan Wantilan yang kemudian dapat bernafas setelah kedua orang lawan mereka terhisap oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka pun segera mampu menguasai lawan mereka pula. Bahkan Mahisa Amping pun telah ikut pula mendesak ketiga orang lawannya yang terdiri dari dua orang perampok dan seorang pembantu Ki Jagabaya itu untuk menyerah.
“Kawan-kawan kalian sudah tidak berdaya,” justru Mahisa Amping lah yang berteriak.
Lawan-lawan Mahisa Semu dan Wantilan itu memang melihat, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah tidak memberikan perlawanan apa-apa lagi. Mereka seakan-akan telah menjadi sangat letih.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian memerintahkan mereka melepaskan senjata-senjata mereka, maka mereka tidak dapat menolak lagi. Dengan demikian maka ke tujuh orang itu benar-benar sudah dikuasai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Bahkan Mahisa Amping telah menunjuk seorang di antara mereka sambil berkata, “Orang inilah yang membawa uang banyak sekali. Wajahnya nampak berubah-ubah menakutkan.”
“Apakah kau sekarang tidak takut lagi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Wajahnya sekarang nampak lain,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Di dalam hati mereka mengakui, bahwa ada sesuatu yang lebih pada anak itu, meskipun tidak segera diketahui. Bahkan kelebihan itu kadang-kadang seakan-akan lenyap dan timbul kembali pada kesempatan lain.
Namun keduanya berpendapat bahwa kelebihan itu akan dapat benar-benar dikuasai oleh Mahisa Amping jika ia mendapat jalan untuk melakukannya. Jika ia menemukan orang yang menuntunnya, maka satu lubang pintu untuk melihat dunia yang semakin dalam akan terbuka. Tetapi siapakah orang yang mampu menuntunnya itulah yang masih harus dicari.
“Mungkin ayah dapat memberikan petunjuk,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Tertangkapnya para perampok serta pengkhianatan Ki Jagabaya atas tugasnya itu pun segera ditangani oleh Ki Buyut. Ternyata Ki Buyut yang memimpin Kabuyutan itu sudah cukup lama memegang jabatannya. Umurnya pun sudah lewat setengah abad, sehingga rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban. Namun Ki Buyut masih nampak segar dan kuat.
“Terima kasih anak-anak muda,” berkata Ki Buyut ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya datang ke rumah Ki Buyut sambil membawa orang-orang yang tela mereka tangkap.
“Menurut pendengaranku pada pembicaraan mereka, justru seorang di antaranya adalah Ki Jagabaya,” desis Mahisa Murti.
“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku memang tidak mengira bahwa pada suatu saat Ki Jagabaya akan terjerumus lagi ke dunia yang hitam itu.”
“Jadi benar kata Ki Jagabaya bahwa dahulu Ki Jagabava seorang perampok?” bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk sambil menjawab, “Ya, anak muda. Ki Jagabaya dahulu memang seorang perampok yang ditakuti. Bukan saja oleh orang-orang padukuhan. Tetapi Ki Jagabaya adalah perampok yang sangat ditakuti oleh para perampok yang lain. Namun perjalanan hidup Ki Jagabaya telah bergeser ketika ia kawin dengan isterinya yang telah meninggal. Sejak ia kawin, maka tingkah lakunya berubah. Pandangan hidupnya pun berubah pula. Ia tidak lagi menjadi perampok yang garang. Tetapi ia justru menjadi petani yang rajin dan tekun. Dengan kerja keras ia menggarap sawah dan sawah isterinya, peninggalan orang tuanya, sehingga perlahan-lahan hidupnya mulai dapat dicukupinya dengan hasil keringatnya yang jernih. Bukan karena perampok, penyamun dan tindak kekerasan yang lain. Bahkan akhirnya ia mampu menunjukkan jasa-jasanya kepada Kabuyutan ini. Selain kemampuannya menggarap sawah yang lebih baik dari tetangga-tetangganya sehingga ia dapat menularkan kepandaiannya bertani itu. Ia pun masih mempunyai wibawa yang besar di antara para penjahat, sehingga Kabuyutan ini menjadi aman. Karena itulah maka ia telah dipilih menjadi Jagabaya di Kabuyutan ini. Tetapi dua tahun yang lalu isterinya telah meninggal. Kesedihan dan kepedihan hatinya telah merubah jalan hidupnya. Ia bergeser lagi mendekati garis hidupnya yang lama. Tidak ada orang yang dapat memperingatkannya lagi sepeninggal isterinya. Apalagi setelah setahun yang lalu ia kawin lagi. Maka segala sesuatunya telah berubah. Isterinya yang baru bukan seorang isteri yang baik. Karena itu, maka Ki Jagabaya telah tergelincir lagi. Aku sudah berusaha memperingatkannya. Tetapi ia sama sekali tidak mau mendengarnya. Sekarang, biarlah orang lain memperingatkannya, sehingga ia menyadari, bahwa Ki Jagabaya bukan orang yang terbesar di dunia.”
Ki Jagabaya yang mendengar kata-kata Ki Buyut itu hanya menundukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat membantah. Apa yang dikatakan oleh Ki Buyut itu memang sebenarnya terjadi atas dirinya. Ia sudah mengalami perubahan setelah sebelumnya ia berubah. Ki Jagabaya memang telah kembali ke jalan yang salah.
“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “sebenarnya sudah lama aku ingin berbuat sesuatu. Tetapi kami masih belum mempunyai bukti cukup. Apalagi menangkap saat Ki Jagabaya melakukan kejahatan. Ternyata bahwa sekarang anak-anak muda-lah yang sempat melakukannya.”
“Satu kebetulan Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
Ketika Ki Buyut kemudian bertanya tentang anak-anak muda itu, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Kami adalah anak-anak dari padepokan Bajra Seta.”
“Bajra Seta,” Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ternyata Ki Buyut masih belum pernah mendengar nama padepokan itu. Namun Ki Buyut itu kemudian bertanya, “Tetapi anak-anak muda ini dari mana? Dari padepokan Bajra Seta atau baru akan kembali ke padepokan?”
“Kami sedang menuju kembali ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Kami baru saja melakukan pengembaraan. Terakhir kami singgah di padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng.”
“Kiai Nagateleng?” ulang Ki Buyut.
“Tetapi Kiai Nagateleng sudah tidak ada lagi Ki Buyut,” desis Mahisa Murti.
“Itulah,” sahut Ki Buyut, “aku heran bahwa kau menyebut nama Kiai Nagateleng.”
“Yang sekarang memimpin padepokan itu adalah Kiai Semangin,” berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Padepokan itu adalah padepokan yang baik. Seandainya Ki Jagabaya tidak dapat kalian tangkap, mungkin aku akan minta bantuan kepada para penghuni padepokan itu untuk membantu menangkap Ki Jagabaya bersama bukti kejahatannya. Namun ternyata bahwa kalian telah melakukannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kami telah menyerahkan orang-orang yang bersalah ini kepada Ki Buyut. Terserah Ki Buyut untuk menanganinya.”
“Lalu, apakah kalian akan meninggalkan Kabuyutan ini?” bertanya Ki Buyut.
“Ya Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti, “kami akan mohon diri. Kami telah ditunggu di padepokan kami.”
“Terima kasih anak-anak muda. Kalian telah berjasa bagi Kabuyutan ini,” desis Ki Buyut.
Meskipun Ki Buyut mencoba untuk menahan anak-anak muda itu barang sehari, tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak mempunyai kesempatan lagi. Rasa-rasanya mereka telah dikejar oleh waktu. Meskipun sehari tidak berarti dibanding saat-saat pengembaraan mereka, namun justru semakin dekat mereka dengan padepokan yang mereka bangun dan mereka namai padepokan Bajra Seta, maka rasa-rasanya mereka semakin ingin lebih cepat sampai. Karena itu, maka mereka benar-benar tidak ingin menunda lagi perjalanan mereka barang satu hari.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dengan saudara-saudaranya itu telah menempuh perjalanan kembali ke padepokan mereka. Mereka sudah tidak lagi berada di jalan yang menuju ke Singasari. Tetapi mereka telah menyimpang untuk mengambil jalan pintas. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, peristiwa yang baru saja terjadi telah membuka pengertian mereka tentang anak yang mereka namai Mahisa Amping itu.
Peristiwa itu sendiri tidak banyak memberikan kesan bagi keduanya. Peristiwa itu merupakan satu peristiwa kecil dibandingkan dengan banyak peristiwa yang telah mereka alami. Tetapi peristiwa itu merupakan peristiwa penting bagi keduanya untuk mengenali anak itu lebih banyak. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memerlukan banyak keterangan lagi tentang anak itu. Kemudian mereka memerlukan seorang yang dapat mengembangkannya sehingga kelebihan anak-anak itu akan memberikan arti bagi hidupnya kelak.
Demikianlah, maka mereka tinggal menyelesaikan perjalanan yang tersisa. Sementara itu, Mahisa Amping masih saja berjalan di paling depan. Namun peristiwa di Kabuyutan itu telah menyita waktu hampir sehari itu. Karena itu, maka ketika senja turun, mereka masih berada di perjalanan.
“Kita masih harus bermalam,” berkata Mahisa Murti.
“Kenapa kita tidak berjalan terus jika jaraknya tinggal beberapa ribu patok?” bertanya Mahisa Amping.
“Perjalanan masih cukup panjang,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu tidak ada salahnya kita berhenti di sini atau di tempat yang kita anggap paling baik.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti berdesis, “Kita akan melihat padukuhan di depan, apakah kita dapat bermalam di banjar atau tidak.”
Yang lain tidak berkeberatan. Jika banjar padukuhan itu memungkinkan, maka mereka memang lebih baik bermalam di banjar daripada di tempat terbuka.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka kelima orang itu memasuki sebuah padukuhan yang cukup besar. Namun padukuhan itu merupakan padukuhan yang nampaknya tenang dan tidak banyak persoalan. Di gardu di dekat regol padukuhan, beberapa orang anak muda duduk sambil berkelakar meskipun malam baru saja turun. Agaknya mereka bukan orang-orang yang bertugas meronda. Tetapi, anak-anak muda yang mengisi waktu luang mereka dengan duduk sambil bergurau di gardu itu.
Meskipun demikian, ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya lewat, mereka telah memperhatikannya dengan saksama. Tetapi tidak seorang pun yang menegur mereka. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak pula bertanya sesuatu. Mereka hanya mengangguk saja sambil berjalan terus. Mereka memperhitungkan bahwa banjar padukuhan tentu berada di pinggir jalan induk itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai ke jantung padukuhan itu, mereka melihat sebuah bangunan yang lebih besar dari bangunan yang lain. Mahisa Amping yang berjalan di paling depan pun berdesis, “Agaknya itulah banjar padukuhan ini.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Karena itu, ketika mereka berada di regol bangunan itu, mereka telah berhenti. “Aku akan bertanya seseorang yang ada di lingkungan banjar itu,” desis Mahisa Murti.
Yang lain menunggu di luar. Mahisa Murti kemudian telah mendorong regol bangunan yang ternyata tidak di selarak. Dari sela-sela, pintu regol Mahisa Murti semakin yakin, bahwa ia berdiri di pintu banjar padukuhan.
Seperti yang diduganya, maka penunggu banjar itu telah menerima permohonan Mahisa Murti bermalam dengan senang hati. Meskipun ketika Mahisa Murti mengatakan, bahwa ia tidak sendiri. Tetapi ia datang berlima dengan saudara-saudaranya.
Namun akhirnya penunggu banjar itu berkata, “Baiklah. Silahkan. Banjar ini tidak banyak dikunjungi orang di malam hari. Tetapi di siang hari banjar ini menjadi ramai.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia melihat seperangkat gamelan di pendapa banjar itu. Agaknya tempat itu dipergunakan untuk berlatih tari-tarian di siang hari. Namun agaknya halaman banjar itu juga dipergunakan untuk sabung ayam, atau kepentingan-kepentingan yang lain.
Setelah menempatkan kelima orang itu di serambi belakang banjar, maka penunggu banjar itu telah menghubungi anak-anak muda yang berada di gardu. Penunggu banjar itu memberitahukan bahwa ada lima orang yang bermalam di banjar.
“Mereka bersenjata meskipun nampaknya mereka bukan orang yang berbahaya.”
Anak-anak muda yang berada di gardu itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu seorang yang nampaknya berpikir lebih tenang di antara kawan-kawan mereka yang nampak gelisah itu pun berkata, “Kita berbicara Ki Bekel. Sementara itu sebagian dari kita akan pergi ke banjar. Tidak apa-apa, sekedar duduk-duduk di pendapa.”
Dua di antara mereka telah pergi melaporkan kepada Ki Bekel. Sedang beberapa orang anak muda yang lain telah langsung pergi ke banjar.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berada di serambi belakang mendengar juga kehadiran beberapa orang anak muda. Namun karena anak-anak muda itu hanya duduk-duduk saja di pendapa banjar, maka mereka pun tidak berbuat apa-apa. Bahkan setelah mencuci kaki dan tangan serta wajah mereka, di antara orang-orang yang di tempatkan di serambi itu telah berbaring.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba memperhatikan Mahisa Amping. Nampaknya tidak ada kesan kegelisahan pada anak itu, sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkesimpulan bahwa tidak akan terjadi sesuatu.
“Tetapi anak itu sering salah menangkap isyarat,” berkata Mahisa Murti.
“Ia masih terlalu kecil. Ia memerlukan seseorang untuk membuka hatinya, sehingga isyarat yang diterimanya itu dapat diterjemahkannya dengan benar,” sahut Mahisa Pukat.
Namun sementara itu, ternyata Ki Bekel telah tertarik kepada laporan anak-anak muda yang datang kepadanya. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun telah pergi pula ke banjar. Ia ingin langsung berbicara dengan anak-anak muda itu untuk mendapatkan kepastian, apakah anak-anak muda itu akan berbuat jahat atau tidak. Demikian Ki Bekel datang ke banjar itu, maka ia pun telah diantar oleh penunggu banjar itu dengan dua orang anak muda menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Karena itu, maka mereka yang telah berbaringan dengan tergesa-gesa telah bangkit. Dengan mata yang sudah terkantuk-kantuk mereka telah keluar dari dalam bilik mereka dan duduk diserambi bersama dengan Ki Bekel dan orang-orangnya. Ternyata Ki Bekel telah bersikap ramah pula terhadap Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Tidak ada kata-kata yang keras apalagi kasar yang diucapkan oleh Ki Bekel. Juga tidak ada kecurigaan yang berlebihan meskipun Ki Bekel telah mengajukan beberapa pertanyaan.
Namun ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu menyatakan bahwa mereka akan kembali ke padepokan Bajra Seta, maka Ki Bekel itu pun nampak termangu-mangu.
“Apakah Ki Bekel pernah mendengar nama Padepokan Bajra Seta?” bertanya Mahisa Murti.
“Coba katakan kepadaku, dimanakah letak padukuhan itu,” berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti pun kemudian menjelaskannya. Menurut arah, mereka akan dapat mengambil jalan pintas. Mereka memang tidak perlu mengikuti jalan ke Singasari, karena mereka memang tidak ingin singgah. Karena itu, maka mereka telah mengambil jalan yang menurut perhitungan mereka lebih dekat daripada mereka mengikuti jalan ke Singasari. Ki Bekel mengangguk-angguk.
“Kami telah lama mengembara,” berkata Mahisa Murti, “kami telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Berputar-putar melalui beberapa Pakuwon. Bahkan berada di telatah Kediri, Singasari dan melintasi lembah dan lereng-lereng pegunungan. Sekarang, kami ingin kembali ke sarang kami.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi beberapa kali ia memandang Mahisa Amping. Dari sorot matanya ia menyimpan pertanyaan apakah anak itu juga ikut menempuh perjalanan sepanjang itu. Namun jawaban Mahisa Murti cukup meyakinkan bahwa mereka memang berasal dari padepokan Bajra Seta.
“Apa kalian tidak mengetahui berita terakhir tentang padepokan Bajra Seta?” bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menggeleng sambil mengerutkan dahinya. Dengan suara yang ragu ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang terjadi di padepokan Bajra Seta?”
“Terus terang anak-anak muda,” jawab Ki Bekel, “aku belum pernah melihat padepokan itu. Aku pun belum mengenali penghuni-penghuninya kecuali sekarang setelah kalian mengaku dari padepokan Bajra Seta. Tetapi ramainya kabar yang dibawa para pedagang dan perantau mengabarkan bahwa telah terjadi serangan atas padepokan Bajra Seta itu.”
“Serangan?” ulang Mahisa Pukat yang menjadi tegang.
“Ya,” jawab Ki Bekel.
“Darimana?” bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
“Aku tidak tahu. Orang-orang yang membawa berita itu tidak pernah menceritakan peristiwanya dengan tuntas. Mereka mendengar dari kawannya. Dan kawannya itu mendengar dari pedagang yang sering berhubungan kerja dengannya. Sementara itu pedagang itu mendengar dari orang yang menyerahkan dagangan kepadanya sepekan sekali dan demikian seterusnya,” berkata Ki Bekel.
Wajah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi tegang. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang belum pernah melihat padepokan Bajra Seta itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka ingin tinggal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di padepokan itu. Namun tiba-tiba mereka mendengar bahwa padepokan itu mendapat serangan.
Sementara itu Ki Bekel itu pun berkata, “Tetapi itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Karena itu, kalian tidak usah terlalu dalam memikirkan hal itu. Apapun yang kalian lakukan, tetapi itu sudah terjadi. Karena itu, maka beristirahat sajalah dengan baik di banjar ini. Besok kalian akan dapat meneruskan perjalanan kalian.”
Demikianlah, setelah Ki Bekel yakin bahwa anak-anak muda itu nampaknya bukan orang-orang yang berniat jahat, maka ia pun kemudian telah minta diri.
“Silahkan beristirahat anak-anak muda,” berkata Ki Bekel. Lalu katanya pula, “Aku akan minta diri. Biarlah anak-anak muda padukuhan ini berada di pendapa. Jika kalian ingin berbicara dengan mereka aku persilahkan. Tetapi jika kalian sudah merasa terlalu letih dan ingin beristirahat, maka aku persilahkan kalian untuk beristirahat.”
“Kami akan beristirahat saja Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti.
“Silahkan. Silahkan,” berkata Ki Bekel yang kemudian meninggalkan anak-anak muda di serambi.
Namun sebelum anak-anak muda itu beristirahat, mereka telah mendapat suguhan makan dan minum secukupnya. Tetapi ketika mereka kembali ke pembaringan, maka mereka telah menentukan urutan tugas untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak segera dapat tidur meskipun bukan yang mendapat giliran untuk bertugas. Mereka masih membayangkan apa yang telah terjadi dengan padepokan Bajra Seta. Padepokan yang masih terhitung muda dan masih belum terlalu kokoh berdiri meskipun dalam umurnya yang singkat telah mendapatkan pengalaman yang cukup banyak.
Namun dalam pada itu, karena letih, maka akhirnya mereka pun telah tertidur pula menjelang dini. Sehingga Mahisa Murti yang mendapat tugas terakhir, harus tetap bertahan sampai pagi sehingga hampir semalam suntuk ia tidak tidur sama sekali. Namun Mahisa Pukat pun hanya dapat memejamkan matanya sesaat.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak mengalami gangguan apa pun juga. Ternyata mereka benar-benar mendapat tempat yang baik untuk bermalam. Bahkan di pagi hari ketika mereka telah mandi dan berbenah diri, penunggu banjar itu telah menyediakan makan untuk mereka.
“Anak-anak muda di pendapa pulang sebelum fajar,” berkata penjaga banjar itu, “mereka tidak ingin mengganggu kalian, sehingga mereka tidak minta diri.”
“Tidak apa-apa,” sahut Mahisa Murti, “kami sudah menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kebaikan kalian di padukuhan ini, termasuk Ki Bekel.”
Tetapi sebelum mereka meninggalkan banjar, justru Ki Bekel telah datang lagi ke banjar. Setelah mengucapkan selamat jalan kepada anak-anak muda itu, Ki Bekel berkata, “Hati-hatilah anak muda. Aku tidak tahu padepokan manakah yang telah menyerang padepokan Bajra Seta. Tetapi rasa-rasanya tentu sebuah padepokan yang merasa dirinya cukup kuat. Karena itu, di sepanjang jalan, kalian jangan terlalu mudah mengaku orang-orang dari padepokan Bajra Seta karena dengan demikian kalian akan dapat terjebak ke dalam bahaya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “terima kasih Ki Bekel. Meskipun jarak sampai ke padepokan kami tidak terlalu jauh lagi dibandingkan perjalanan kami yang panjang, namun kami memang harus berhati-hati sebagaimana Ki Bekel katakan.”
“Selamat jalan anak-anak muda,” berkata Ki Bekel sekali lagi sambil mengantarkan anak-anak muda itu sampai ke pintu regol.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada seorang anak muda yang berdiri disampingnya, “Mereka nampak meyakinkan. Jika mereka sempat kembali ke tengah-tengah penghuni padepokan mereka, maka padepokan mereka tentu akan mampu menyelamatkan diri. Tetapi tanpa mereka, masih harus dipertanyakan, apa yang telah terjadi dengan padepokan mereka.”
“Menurut kabar, padepokan Bajra Seta mampu bertahan,” berkata anak muda itu.
“Daripama kau mendapat keterangan itu?” bertanya Ki Bekel.
“Orang-orang lewat. Pedagang-pedagang keliling dan pengembara yang kebetulan singah,” jawab anak muda itu, “namun memang masih harus diyakinkan kebenarannya.”
“Mudah-mudahan mereka tidak terjebak. Jika padepokan itu telah dihuni orang lain, maka mereka akan mengalami kesulitan,” desis Ki Bekel.
Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berjalan terus menyusuri jalan induk padukuhan. Namun mereka pun kemudahan telah menyusup keluar regol padukuhan itu. Demikian mereka berada di luar padukuhan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berbicara tentang berita yang mereka dengar dari Ki Buyut bahwa padepokan Bajra Seta telah mendapat serangan dari kekuatan yang belum diketahui.
Sementara itu mereka pun belum mengetahui nasib dari padepokan itu. Apakah padepokan itu dapat di selamatkan atau tidak. Kemudian bagaimana pula nasib ayah mereka yang sudah menjadi semakin tua.
“Tetapi aku yakin, ayah masih mampu melindungi dirinya sendiri,” berkata Mahisa Pukat.
“Namun, apakah ayah masih mampu melindungi padepokan itu,” sahut Mahisa Murti.
“Kita terlalu lama pergi. Kita memang mendapatkan banyak pengalaman. Tetapi yang terjadi di padepokan kita sendiri justru kesulitan,” desis Mahisa Pukat.
“Sudahlah,” potong Mahisa Murti, “kita tidak dapat menyesali diri. Semuanya sudah terlanjur. Kita juga terlanjur menganggap bahwa padepokan kita tidak bermusuhan dengan padepokan yang mana pun juga di saat-saat terakhir. Tetapi kita lupa bahwa permusuhan yang pernah terjadi sebelumnya masih mungkin menyala kembali.”
“Semakin cepat kita kembali ke padepokan itu rasa-rasanya semakin baik. Aku menjadi tidak sabar berjalan seperti siput yang malas ini,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Kita tidak dapat berjalan lebih cepat,” sahut Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Tetapi agaknya kita dapat berjalan sambil mencari berita tentang padepokan kita.”
“Apakah kita akan bertanya-tanya di sepanjang jalan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Jika banyak orang tahu bahwa kita dari padepokan Bajra Seta, maka akan dapat terjadi ada pihak yang menghubungi kita. Mungkin dengan maksud baik, tetapi mungkin sebaliknya orang-orang yang pernah menyerang padepokan kita. Namun dengan demikian di perjalanan kembali ke padepokan, kita akan dapat mengetahui serba sedikit keadaan padepokan. Kita berharap bahwa hari ini, meskipun malam hari, kita akan mendekati padepokan itu. Padepokan Bajra Seta. Kita masih harus melihat, apa yang ada di dalam padepokan itu sebelum memasukinya. Tetapi lebih baik jika kita mengetahui sebelum kita sampai ke padepokan itu,” berkata Mahisa Murti.
“Tetapi pesan Ki Bekel justru sebaliknya,” desis Mahisa Pukat.
“Ki Bekel ingin agar kita tidak terganggu di perjalanan serta tidak ingin kita mendapatkan kesulitan. Namun kita mempunyai kepentingan yang lain,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti.”
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah berbicara pula dengan Mahisa Semu, Wantilan dan juga Mahisa Amping. Mereka akan dengan sengaja menyatakan diri bahwa mereka adalah orang-orang dari padepokan Bajra Seta.
“Kita akan melihat apa akibatnya,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya, “Mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, kita dapat menangkap semacam keterangan tentang padepokan kita.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memperhatikan anak itu tidak melihat sesuatu kesan di wajahnya. Keduanya berharap bahwa ada sesuatu yang terbersit dihati anak itu, sehingga dapat memberikan isyarat kepada mereka.
Tetapi keduanya kemudian menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berharap terlalu banyak kepada anak-anak yang masih belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi di dalam dirinya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertekad untuk menyatakan diri mereka secara terbuka justru untuk memancing persoalan. Mereka berharap dari persoalan yang timbul, mereka akan mendapat keterangna tentang padepokan mereka sebelum mereka mendekati padepokan itu sendiri.
Demikianlah, maka ketika mereka singgah di sebuah kedai, maka dengan sengaja Mahisa Murti berkata lantang kepada pemilik kedai itu setelah memesan makanan dan minuman. “Cepat sedikit Ki Sanak, kami tidak banyak mempunyai waktu. Kami harus segera kembali ke padepokan kami.”
“Padepokan yang mana Ki Sanak?” bertanya pemilik kedai itu tanpa maksud apa-apa.
“Kami adalah keluarga dari padepokan Bajra Seta,” jawab Mahisa Murti.
Pemilik kedai itu memang tidak memperhatikan lagi. Ia tidak menghiraukan apakah pembelinya itu dari padepokan Bajra Seta atau bukan. Tetapi yang justru memperhatikan adalah orang lain. Orang yang kebetulan juga berada di kedai itu. Kepada kawannya orang itu berbisik sambil memperhatikan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang duduk di sudut kedai itu, “Mereka orang-orang Bajra Seta.”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Nampaknya anak-anak muda yang sombong, tetapi mereka akan menyesali kesombongannya itu.”
“Sikapnya memang aneh,” sahut orang yang pertama, “kenapa mereka dengan sengaja menyatakan diri orang-orang dari Bajra Seta justru sekarang ini.”
Namun dalam pada itu, pernyataan Mahisa Murti itu telah menjalar dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar pernyataan itu, telah mengatakan kepada orang lain, sehingga akhirnya, seorang di antara mereka berkata, “Kita akan menunggu apa yang akan terjadi atas mereka.”
Tetapi Mahisa Murti yang dengan sengaja menyatakan dirinya sebagai orang dari padepokan Bajra Seta justru telah singgah pula di sebuah kedai di padukuhan berikutnya meskipun hanya sekedar singgah untuk minum semangkuk minuman panas serta menyebut dirinya dan saudara-saudaranya sebagai orang-orang padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka berita tentang kehadiran orang-orang Bajra Seta itu cepat tersebar. Bahkan sebelum mereka merasa letih di perjalanan, kelima orang itu telah beristirahat di pintu-pintu gerbang padukuhan atau di gardu-gardu yang kosong di siang hari.
Ternyata usaha Mahisa Murti itu pun berhasil. Demikian mereka berhenti di sebuah gubug di bulak panjang, maka seorang petani telah menemuinya dan berkata, “Hati-hati anak-anak muda. Kalian berada di antara orang-orang yang memusuhi padepokan Bajra Seta.”
“Menurut pengertian mereka, orang-orang Bajra Seta adalah penghuni sebuah padepokan yang dikendalikan oleh orang-orang jahat,” jawab petani itu.
“Siapakah yang menyebarkan berita itu? Dan apakah Ki Sanak juga percaya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ki Sanak. Aku adalah seorang petani. Tetapi aku mempunyai kegemaran lain. Bertualang. Karena itu, aku tahu bahwa berita tentang orang-orang Bajra Seta yang banyak aku dengar di sini adalah bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana pernah aku lihat sendiri,” jawab Petani itu. “Apalagi ketika permusuhan antara padepokan Bajra Seta dengan sekelompok orang-orang yang tamak itu semakin menjadi-jadi. Maka fitnah pun semakin menjadi-jadi pula. Sehingga akhirnya orang-orang padepokan Bajra Seta seakan-akan telah terpencil di antara sesamanya yang tinggal di sekelilingnya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya termangu-mangu sejenak. Namun hampir di luar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Apakah sebelumnya orang-orang Bajra Seta sering berkeliaran sampai ke daerah ini?”
Petani itu menjadi heran. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bukankah kalian mengaku sebagai orang-orang Bajra Seta?”
“Ya. Kami bukan sekedar mengaku orang-orang Bajra Seta. Kami memang orang-orang dari padepokan Bajra Seta,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa kalian bertanya seperti itu?” bertanya petani itu.
“Terus terang Ki Sanak. Kami adalah orang-orang Bajra Seta yang telah lama merantau. Saat kami kembali, kami dengar padepokan kami telah pernah diserang oleh orang-orang yang belum jelas,” jawab Mahisa Murti.
“Siapa yang mengatakannya,” bertanya petani itu.
“Seorang Bekel dari sebuah padukuhan. Tetapi Ki Bekel itu tidak tahu akhir dari peristiwa itu. Tidak tahu pula orang-orang manakah yang telah memusuhi padepokan Bajra Seta yang menurut pengenalan kami atas padepokan kami itu, bukan sebuah padepokan yang senang mengobarkan permusuhan.”
“Sebagian dari berita yang kau dengar itu benar,” jawab petani itu.
“Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini? Jika orang-orang di daerah ini memusuhi orang-orang padepokan Bajra Seta, kenapa Ki Sanak tidak melakukannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Karena aku mengenal pemimpin padepokan itu. Meskipun aku belum lama mengenalnya, tetapi aku tahu, bahwa tuduhan yang diberikan kepada orang-orang Bajra Seta itu tentu tidak benar,” jawab petani itu.
“Siapakah yang kau maksud dengan pemimpin padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Petani itu termangu-mangu. Katanya, “Jika kalian orang-orang Bajra Seta, kenapa kalian bertanya siapa pemimpin dari padepokan itu.”
“Sudah kami katakan bahwa kami telah pergi cukup lama. Mungkin sesuatu perubahan telah terjadi. Karena itu, aku mohon Ki Sanak mau menyebut nama orang yang Ki Sanak sebut sebagai pemimpin padepokan Bajra Seta yang tidak pantas melakukan sebagaimana dituduhkan orang kepada dirinya itu?”
“Namanya Mahendra,” jawab petani itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka mereka telah mendapat keterangan bahwa ayah mereka masih selamat. Tetapi Mahisa Pukat masih juga ingin meyakinkan. Karena itu maka ia pun telah bertanya pula, “Di mana Ki Sanak mengenal orang yang bernama Mahendra itu?”
“Anak-anak muda. Apakah kalian mengenal Mahendra itu pula,” justru petani itulah yang bertanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab, “Ya, aku kenal Mahendra itu. Ia memang pemimpin padepokan itu sejak semula. Dengan demikian maka kami tahu bahwa padepokan itu masih tetap tidak berubah.”
“Nah, padepokan itu memang masih tetap dikuasai oleh orang-orang Bajra Seta. Tetapi padepokan itu semakin lama menjadi semakin jauh dari orang-orang di sekitarnya. Maksudku orang-orang yang tidak mengenal dengan baik padepokan itu,” jawab petani itu.
“Bagaimana dengan orang-orang di padukuhan sekitar padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Nampaknya tidak ada masalah dengan padukuhan yang justru di sekitar padepokan itu, karena orang-orang padukuhan itu mengenal dengan baik orang-orang Bajra Seta. Yang memusuhi orang-orang Bajra Seta justru orang-orang yang tidak mengenal isi padepokan itu, tetapi mengetahui bahwa padepokan itu ada,” jawab petani itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu petani itu pun berkata selanjutnya, “Karena itu, aku minta kalian segera meneruskan perjalanan. Bukankah padepokan itu sudah tidak lagi terlalu jauh? Ambillah jalan pintas. Jika kalian menempuh jalan setapak di sela-sela bukit yang nampak itu, maka kalian akan lebih cepat sampai. Meskipun jalan agak sulit, namun kalian tidak akan banyak mengalami hambatan karena orang-orang yang membenci padepokan Bajra Seta. Di sela-sela bukit itu tidak ada padukuhan yang cukup besar yang dihuni orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan orang lain sehingga memperhatikan padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang tinggal di padukuhan di celah-celah bukit itu adalah orang-orang yang lebih banyak memperhatikan diri mereka sendiri serta orang-orang yang hidup bersama mereka di padukuhan-padukuhan kecil itu. Mereka memang merupakan keluarga yang mencakup seluruh isi setiap padukuhan. Namun hubungan mereka dengan lingkungan di sekitar mereka sangat sedikit.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencoba mencari jalan yang paling pendek dan yang paling aman setelah kami tahu, bahwa padepokan itu adalah padepokan Bajra Seta sebagaimana saat aku tinggalkan.”
Petani itu mengangguk sambil berkata, “Pergilah. Jangan terlalu lama berada di sini. Kalian telah melakukan kesalahan besar dengan setiap kali menyatakan diri kalian kepada siapa pun sebagai orang-orang Bajra Seta. Menurut pengenalanku atas pemimpin padepokan itu, ia sama sekali tidak mempunyai kebiasaan menyombongkan diri sebagaimana kalian lakukan.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Kami sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi kami memang memancing persoalan agar kami dapat mendengar berita tentang padepokan itu lebih banyak. Yang penting bagi kami adalah kepastian, bahwa padepokan itu masih tetap dihuni oleh perguruan Bajra Seta, dengan pemimpin yang sama. Seandainya kami tidak menyombongkan diri dengan sikap yang agak berlebihan, mungkin Ki Sanak tidak tertarik kepada kehadiran kami di sini.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku semakin yakin bahwa kalian memang orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu. Sekarang, pergilah secepatnya.”
“Baik Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
Tetapi tiba-tiba saja orang itu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Terlambat. Aku melihat beberapa orang mulai bergerak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut akan keterangan itu. Mereka justru baru mulai merasa curiga, bahwa mereka melihat sesuatu yang tidak wajar masih di kejauhan. Tetapi karena petani itu sudah memberikan peringatan kepada mereka, maka mereka tidak lagi dapat mencurigai petani itu. Yang mereka renungkan kemudian adalah justru petani itu. Orang itu tentu orang yang berilmu dan berkemampuan tinggi, sehingga orang itu pun sempat melihat sesuatu yang belum jelas.
Tetapi beberapa saat kemudian, mereka telah melihat beberapa orang yang bermunculan di jalan bulak itu dan dari tikungan-tikungan. Dari sela-sela batang jagung di sebelah jalan simpang. Atau dari balik gerumbul-gerumbul di sebelah menyebelah jalan panjang itu. Meskipun jaraknya masih agak jauh, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat mereka datang.
Dalam pada itu, petani itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalan padepokan Bajra Seta.”
“Silahkan Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Sanak. Biarlah kami mencari jalan keluar dari kesulitan ini tanpa harus melibatkan Ki Sanak. Dengan demikian maka Ki Sanak tidak akan ikut dimusuhi oleh orang-orang itu,” sahut Mahisa Murti.
“Mereka adalah orang-orang padukuhan di sekitar tempat ini yang tentu tersinggung karena sikap kalian, justru karena kalian mengaku dari padepokan yang mereka benci tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Sanak. Apa yang Ki Sanak beritahukan kepada kami sudah cukup banyak. Sekarang pergilah, selagi mereka masih belum terlalu dekat.”
Petani itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menjauhi kelima orang yang mengaku dari padepokan Bajra Seta itu. Tetapi ketika petani itu berpapasan dengan orang-orang yang melangkah mendekat, maka ternyata ia telah dihentikan oleh beberapa orang. Meskipun petani itu tidak disentuh, tetapi ia sudah dibentak-bentak oleh orang-orang yang datang dan kemudian mengepung kelima orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat orang itu kemudian dibiarkan melangkah pergi. Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah terkepung. Beberapa orang di antara mereka berdiri di antara tanaman di sawah. Yang lain di atas tanggul dan beberapa orang di jalan bulak.
Tiga orang yang paling berpengaruh di antara orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di paling depan.
“Apakah kalian benar-benar orang-orang Bajra Seta?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
“Ya,” jawab Mahisa Murti tanpa ragu-ragu. “Kami adalah orang-orang Bajra Seta.”
“Kenapa kalian berkeliaran di sini?” bertanya orang itu pula.
“Kami baru pulang dari sebuah perjalanan jauh. Karena itu, kami lewat jalan ini,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah kalian tidak tahu, bahwa kami sama sekali tidak ingin melihat orang-orang Bajra Seta berkeliaran di lingkungan kami,” berkata orang itu kemudian.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Pertanyaanmu aneh. Atau kau sengaja menantang kami?” bertanya orang itu dengan wajah tegang.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” sahut Mahisa Murti.
“Kau telah membuat orang-orang padukuhan ini menderita. Setidak-tidaknya menjadi resah dan ketakutan. Di malam hari mereka menjadi kurang tidur. Di siang hari mereka kurang makan karena tingkah laku kalian. Kenapa kalian masih bertanya lagi,” bentak orang itu.
“Omong kosong,” Mahisa Murti pun membentak, “kau katakan, apakah yang pernah dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta di sini.”
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Murti pun bertanya lagi dengan suara lantang, “Apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta sehingga kalian membencinya? Sehingga kalian menganggap bahwa orang-orang Bajra Seta itu pantas dicurigai, diawasi dan kemudian diusir dari tempat ini? Katakan, apa yang pernah kami lakukan di sini.”
Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka mulai mengingat apa yang pernah terjadi. Tetapi mereka memang belum pernah melihat sesuatu terjadi. Karena itu, maka orang-orang itu tidak segera dapat menjawab pertanyaan Mahisa Murti.
Namun yang kemudian terdengar adalah suara dari antara orang-orang yang berdiri di tanggul parit, “Bohong. Kalian selalu datang untuk merampas hak milik kami. Terutama ternak kami. Hasil bumi kami bahkan anak gadis kami.”
Wajah Mahisa Murti menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, “Bohong. Katakan, ternak siapakah yang pernah diambil oleh orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Katakan hasil bumi siapakah yang pernah kami ambil dan apalagi siapakah yang pernah kehilangan anak gadisnya karena diambil oleh saudara-saudara kami itu? Katakan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka memang belum pernah kehilangan ternak mereka. Belum pernah kehilangan hasil bumi mereka. Dan tidak seorang pun yang merasa kehilangan anak gadisnya.”
Tetapi suara di antara orang-orang yang ada di tanggul itu terdengar lagi, “jangan dengarkan orang itu. Banyak bukti dapat disebut di sini. Tetapi kami tidak memerlukannya. Kami sekarang sudah berhadapan dengan orang yang telah berbuat resah di padukuhan kami. Kami tidak akan sekedar mengusirnya. Kami harus menangkap mereka dan memperlakukan mereka sesuai dengan sifat dan watak mereka. Mereka bukan lagi seorang yang pantas disebut manusia. Tetapi kelakuan mereka tidak ubahnya dengan kelakuan seekor binatang. Karena itu, kita tidak perlu memperlakukannya seperti seorang manusia."
“Kalian dengar kata-katanya? Kalian tahu apa sebabnya ia menjadi gelisah dan suaranya menjadi gemetar? Orang itu menjadi ketakutan. Ia tidak ingin melihat kalian sadar dari mimpi buruk itu,” sahut Mahisa Murti.
“Omong kosong,” suara itu membentak, “jangan biarkan orang itu berbicara terlalu banyak lagi. Ujung lidahnya ternyata menyemburkan racun ke telinga kalian, sehingga kalian kehilangan kesadaran terhadap apa yang kalian hadapi sebenarnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mampu mengetahui, yang manakah di antara orang-orang yang ada di tanggul itu yang berbicara. Tidak hanya seorang, tetapi dua orang. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui bahwa orang-orang itu tentu termasuk orang yang ikut membakar kebencian orang-orang padukuhan itu terhadap padepokan Bajra Seta.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa bertindak. Mungkin masih ada yang lain sehingga mungkin ia akan dapat mengetahui lebih banyak. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah berteriak nyaring,
“Nah kalian dengar? Orang itu menganggap bahwa ujung lidah menyemburkan racun, karena orang itu tahu bahwa aku mulai mengungkapkan kenyataan tentang orang-orang Bajra Seta dan orang-orang yang telah sedikit demi sedikit menyalakan api di hati kalian. Tetapi jangan berpikir terlalu sempit. Jika orang-orang Bajra Seta pantas dibenci, orang-orang padukuhan yang dekat dengan padepokan itu, justru tidak membencinya.”
“Cukup,” teriak suara yang lain, suara yang terdengar di antara orang-orang yang berada di tengah-tengah kotak sawah di pinggir parit, “jangan biarkan orang itu mengigau. Sekarang, cepat lakukan. Singkirkan saja orang-orang itu tanpa ampun, agar dengan demikian kita sudah mengurangi kekuatan perguruan iblis itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera memberi isyarat kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping. Sementara itu masih terdengar orang lain lagi berkata, “Kita bunuh saja semuanya, termasuk anak itu. Anak itu memang masih kecil. Tetapi ia sudah cukup besar untuk berceritera tentang penglihatannya.”
“Nah, kalian dengar?” sahut Mahisa Pukat, “orang itu akan berusaha membungkam kami.”
Namun Mahisa Pukat tidak sempat berbicara lebih banyak. Beberapa orang bergerak maju dari segala arah. Tetapi yang lain nampak ragu-ragu. Meskipun demikian yang mulai bergerak itu- pun jumlahnya telah menjadi delapan orang. Sedangkan lebih dari sepuluh orang masih berdiri termangu-mangu.
Beberapa saat lamanya, yang ragu-ragu itu masih belum bergerak sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara membentak, “Cepat. Sebelum kami melakukan tindakan yang tidak pernah kalian duga sebelumnya. Selesaikan orang-orang ini.”
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti. Di sela-sela tertawanya terdengar ia berkata lantang, “Nah, bukankah sudah terbukti bahwa kalian tidak lebih telah dijadikan satu alat untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta yang tidak bersalah? Orang-orang inilah yang agaknya telah gagal menyerang padepokan Bajra Seta dan mencoba untuk menghancurkan perguruan itu dengan cara yang licik.”
“Setan kau,” geram seseorang di antara orang-orang yang mengepung itu, “kau kira kalian dapat keluar hidup-hidup dari kepungan ini.”
“Apapun yang akan terjadi atas diri kami, tetapi kami telah berhasil menimbulkan persoalan di dalam diri orang-orang yang telah tersesat karena mempercayai orang-orang yang berhati iblis seperti kalian,” berkata Mahisa Murti.
“Persoalan di dalam diri mereka itu pada suatu saat tentu akan mengendapkan perasaan mereka terhadap kebenaran persoalan yang tengah mereka hadapi.”
Keadaan menjadi hening sejenak. Tetapi dengan isyarat tepuk tangan, maka delapan orang telah mendekati kelima orang yang mereka kepung itu.
“Menyerahlah,” berkata salah seorang dari kedelapan orang itu. Nampaknya orang itu adalah pemimpin dari ke delapan orang yang telah mengepung lebih dekat lagi kelima orang anak muda yang sedang mengadakan perjalanan itu.
Tetapi yang menjawab adalah Mahisa Pukat, “Kalianlah yang harus menyerah.”
Orang itu menggeretakkan giginya. Sambil mengangkat tangannya ia berteriak, “Cepat lakukan perintahku. Jika kalian benar-benar tidak beranjak dari tempat kalian, maka kalian akan menyesal.”
Nampaknya bagi Mahisa Murti telah tidak mungkin melihat jalan lain untuk mengatasi orang-orang yang telah mengepung mereka berlima itu, mereka pun telah bersiap untuk bertempur. Kedelapan orang itu ternyata masih belum mulai menyerang. Agaknya mereka masih mempunyai harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan itu.
Yang kemudian kebingungan adalah lebih dari sepuluh orang yang telah siap pula melakukan perintah bagi mereka untuk membunuh kelima itu. Tetapi sebenarnyalah mereka tidak dapat melakukan atau menerima hal itu dengan serta merta. Harus ada orang yang bertanggung jawab dan memelihara atau menerima hubungan antara padukuhan mereka dengan orang-orang itu. Dengan demikian maka akan dapat dihindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang jumlahnya tidak hanya lima orang, tetapi cukup banyak.
Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan itu ternyata telah memilih kekuatan yang disangkanya lebih besar di-antara orang-orang Bajra Seta dan orang-orang yang ada di antara mereka. Karena itu, maka lebih dari sepuluh orang yang semula ragu-ragu itu mulai bergerak. Meskipun masih ada juga kebimbangan di hati mereka, tetapi mereka merasa bahwa mereka pun tidak dapat berbuat lain.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian justru berusaha untuk mengurangi keterlibatan orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka sebelum orang-orang padukuhan itu bergerak lebih lanjut, maka Mahisa Murti pun berkata, “Kita mulai sekarang, agar orang-orang padukuhan itu melihat apa yang terjadi sebelum mereka terlibat lebih jauh.”
Demikian Mahisa Murti memberikan isyarat, maka kelima orang itulah yang kemudian bergerak. Empat orang menghadap ke empat penjuru, sementara Mahisa Amping menyesuaikan dirinya di tengah-tengah.
Ternyata mereka tidak menunggu delapan orang itu menyerang. Justru keempat orang itulah yang meloncat lebih dahulu dengan senjata teracu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan pedang mereka yang seakan-akan bercahaya kehijauan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan yang telah meningkatkan ilmu pedang mereka, telah memutar senjata mereka dengan cepatnya.
Delapan orang yang melangkah mendekat untuk mengepung kelima orang itu terkejut. Demikian Mahisa Semu meloncat dengan pedang terjulur, orang-orang yang berada di hadapannya telah terkejut. Seorang di antara mereka telah menjadi sasaran ujung pedang Mahisa Semu, sehingga orang tersebut telah meloncat menjauh untuk mengambil jarak. Tetapi ujung pedang Mahisa Semu yang mengejutkannya itu telah menyambar pundaknya, sehingga luka pun telah menganga. Darah telah mengalir dari luka itu.
Ketika Mahisa Semu berusaha memburunya, maka seorang kawannya telah memotong gerak maju Mahisa Semu. Dengan garangnya orang itu telah mengayunkan senjatanya menyambar ke arah kepala Mahisa Semu. Namun Mahisa Semu sempat menundukkan kepalanya itu. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil merendahkan tubuhnya. Pedangnyalah yang terjulur lurus menggapai lambung lawannya.
Satu gerakan yang juga tidak terduga-duga. Namun lawannya sempat meloncat mundur, sehingga ujung pedang Mahisa Semu tidak melubangi lambung lawannya itu. Meskipun demikian maka lawannya itu harus menjadi semakin berhati-hati. Ia menyadari, bahwa anak muda itu bukannya sekedar kebetulan mampu melukai kawannya di pundaknya.
Sementara itu Wantilan pun telah bertempur pula melawan dua orang. Senjatanya ternyata telah membuat lawan-lawannya harus bekerja keras. Ternyata bahwa kekuatan tenaga Wantilan pun telah mengejutkan lawannya pula. Ketika senjata mereka berbenturan maka seorang lawannya hampir saja kehilangan senjatanya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat langsung dapat menguasai lawan-lawan mereka masing-masing. Pedangnya yang berkilauan telah membuat lawan-lawannya menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang semula berteriak-teriak menantang bagaikan meruntuhkan bukit, tiba-tiba telah menjadi gelisah.
Langkah yang diambil oleh Mahisa Murti itu ternyata memang berarti. Lebih dari sepuluh orang yang telah siap turun ke medan menjadi semakin ragu-ragu. Mereka melihat delapan orang yang mereka anggap berilmu tinggi, ternyata tidak berdaya.
Seorang lawan Mahisa Pukat telah kehilangan senjatanya, ketika dengan keras sekali Mahisa Pukat dengan sengaja memutar dan kemudian mengungkit senjata itu. Senjata lawannya itu telah terlempar tinggi ke udara. Kemudian jatuh beberapa langkah dari lawannya yang menjadi termangu-mangu itu.
Tetapi ia tidak sempat mengambil senjatanya itu. Ketika ia berusaha meloncat menggapai senjatanya itu, maka pedang Mahisa Pukat yang terayun mendatar, telah menyambar punggungnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Dengan keras ia terdorong jatuh terjerembab. Kemudian berguling beberapa kali untuk menjauhi lawannya. Namun ketika ia meloncat bangkit, terasa punggungnya disengat oleh perasaan sakit dan pedih. Apalagi ketika keringatnya mulai membasahi lukanya itu.
Meskipun demikian, ketika lawannya menyerang Mahisa Pukat dari arah samping dan berhasil mendesaknya mundur, orang yang terluka di punggungnya itu sempat mengambil senjata yang terjatuh dan turun kembali ke medan pertempuran. Tetapi tenaganya telah menjadi jauh susut. Darah yang mengalir dari lukanya telah membuatnya menjadi semakin lama semakin lemah.
Mahisa Murti yang tidak mempergunakan ilmunya untuk menghisap tenaga lawannya sebagaimana Mahisa Pukat, ingin menunjukkan kepada lebih dari sepuluh orang yang mulai bergerak, bahwa delapan orang yang mereka takuti itu tidak berarti apa-apa bagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Karena itu, maka dengan tangkasnya Mahisa Murti berloncatan dengan mempermainkan pedangnya yang berkilauan memancarkan cahaya kehijauan.
Lebih dari sepuluh orang menyaksikan pertempuran itu berlangsung. Mereka tidak melihat lontaran ilmu yang tidak dapat mereka mengerti. Mereka melihat kedua belah pihak bertempur sebagaimana mereka lihat pertempuran-pertempuran yang lain. Namun mereka melihat bahwa kelima orang itu mampu mengatasi delapan orang yang mereka anggap orang-orang yang tidak terkalahkan. Delapan orang yang sangat mereka takuti. Tetapi ternyata melawan lima orang, seorang di antaranya anak-anak yang lebih banyak menyesuaikan diri di antara keempat orang yang lain, delapan orang itu tidak berdaya sama sekali.
Dengan demikian maka lebih dari sepuluh orang padukuhan yang diajak oleh delapan orang itu untuk menangkap orang-orang dari padepokan Bajra Seta tidak berani bergerak lebih jauh. Mereka telah berdiri tidak begitu jauh. Namun ketika delapan orang itu terdesak dan tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi kelima orang itu, maka mereka pun menyadari, bahwa mereka yang tidak mempunyai kemampuan sebagaimana delapan orang itu, tentu tidak akan berarti sama sekali. Mereka akan dengan serta merta dikalahkan dan bahkan mungkin mereka akan begitu cepat mati jika mereka memaksa diri untuk melawan orang-orang Bajra Seta itu.
Delapan orang yang dikalahkan oleh orang-orang Bajra Seta itu mengumpat tidak habis-habisnya sambil berusaha untuk bertahan. Seorang di antara mereka sempat berteriak, “He, pengecut. Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu.”
Namun kata-katanya terputus ketika ujung senjata Wantilan justru menyentuh lengannya. Sebenarnyalah hampir semua dari delapan orang itu telah terluka. Meskipun luka mereka pada umumnya tidak parah, namun karena darah mengalir terus, maka mereka telah terpengaruh. Tenaga mereka telah susut, karena terhisap oleh ilmu Mahisa Murti atau Mahisa Pukat, tetapi karena darah mereka yang semakin lama semakin banyak mengalir. Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, maka darah itu menjadi seakan-akan terperas dari tubuh mereka.
Akhirnya, delapan orang itu tidak lagi mampu bertahan. Empat dari orang Bajra Seta itu benar-benar tidak terlawan. Sehingga akhirnya, ketika luka-luka mereka semakin banyak tergores di kulit mereka, maka delapan orang itu pun benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk melindungi diri mereka. Seandainya orang-orang Bajra Seta itu benar-benar ingin membunuh mereka, maka mereka akan segera mati.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Murti membentak, “Menyerahlah, atau kepala kalian akan terlepas dari leher kalian.”
Delapan orang yang sudah terluka itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Tenaga mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertempur. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun. Darah mengalir dri luka-luka yang tergores di punggung, di pundak, di lengan dan di lambung.
Karena itu, maka pemimpin dari kedelapan orang itu pun akhirnya berkata keras-keras, “Baiklah. Kami menyerah.”
“Lepaskan senjata kalian.” perintah Mahisa Murti.
Pemimpin dari antara mereka telah melemparkan senjatanya. Demikian pula ketujuh orang yang lain. Sementara itu lebih dari sepuluh orang padukuhan berdiri termangu-mangu. Mereka memang merasa beruntung, bahwa mereka belum melibatkan diri. Namun sementara itu, mereka mulai menjadi cemas, bahwa kedelapan orang itu akan mendendam kepada mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka sangka-sangka sebelumnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata, “Kalian, delapan orang, ikut kami ke padepokan Bajra Seta yang sudah tidak terlalu jauh lagi.”
“Jangan,” minta pemimpinnya, “jangan bawa kami ke padepokan kalian.”
“Ada dua pilihan,” berkata Mahisa Murti, “Mati atau ikut kami ke padepokan Bajra Seta.”
Delapan orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Aku tahu bahwa yang lain dari delapan orang ini adalah orang-orang padukuhan yang berhasil kalian hasut untuk membenci padepokan Bajra Seta yang belum mereka kenal. Karena itu, maka kami akan membiarkan mereka kembali ke padukuhan mereka, sementara kalian ikut bersama kami.”
“Tubuhku menjadi sangat lemah. Itu tidak mungkin bahwa kami harus berjalan ke padepokan Bajra Seta,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Kami akan memberi obat sementara bagi kalian agar darah kalian menjadi pampat. Tetapi sesudah itu, siapa yang tidak mampu berjalan sampai ke padepokan Bajra Seta, ia akan kami bunuh di perjalanan. Kami tidak sedang bermain-main,” geram Mahisa Murti.
Sikap Mahisa Murti yang garang memang mampu menggetarkan jantung orang-orang itu. Karena itu, maka mereka tidak dapat menolaknya. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka delapan orang itu telah memperoleh obat sementara, sehingga darah tidak lagi mengalir dari luka-luka mereka. Namun kemudian, delapan orang itu harus mengikuti perintah para pengembara itu untuk ikut bersama mereka.
Sementara itu kepada orang-orang padukuhan Mahisa Murti berkata, “Jika kalian ingin mendapat keterangan yang sebenarnya dari padepokan Bajra Seta, berhubunganlah dengan orang-orang dari padukuhan terdekat. Kalian ternyata telah mendengar keterangan tentang padepokan Bajra Seta dari orang-orang yang kecewa, yang telah gagal menyerang dan ingin menguasai padepokan itu.”
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Mereka memandangi kedelapan orang itu dengan cemas. Jika pada suatu saat mereka kembali, maka mereka mungkin sekali akan membalas dendam terhadap orang-orang padukuhan. Bahkan mungkin kawan-kawan mereka. Tetapi jika mereka membantu delapan orang itu, maka lima orang pengembara yang mengaku berasal dari padepokan Bajra Seta itulah yang akan menghancurkan mereka.
Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu berdiri termangu-mangu. Mereka merasa bahwa apa pun yang mereka lakukan akan menimbulkan akibat buruk bagi mereka. Namun ketika orang-orang Bajra Seta yang membawa delapan orang itu menjauh, maka seorang di antara orang-orang padukuhan itu berkata, “Kita mencari keterangan tentang orang-orang Bajra Seta.”
“Untuk apa?” bertanya kawannya.
“Mungkin kita memerlukan perlindungan mereka,” jawab orang itu.
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun agaknya itu adalah satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Kita mencari keterangan di padukuhan-padukuhan sekitar padepokan itu. Nampaknya mereka akan membantu kita dalam upaya untuk melihat kebenaran tentang padepokan Bajra Seta itu.”
Orang-orang padukuhan itu akhirnya sependapat. Mereka memang harus membuat hubungan dengan padepokan Bajra Seta karena mereka akan dapat menjadi sasaran dendam orang-orang yang untuk beberapa lama berpengaruh di padukuhan mereka dan menyebarkan keterangan tentang padepokan Bajra Seta sebagai satu padepokan yang menganut ilmu sesat.
“Tetapi tentu tidak sekarang,” berkata seorang di antara mereka, “kelima orang dengan membawa delapan orang tawanan itu hari ini tentu baru akan sampai ke padepokan mereka. Bahkan mungkin menjelang malam.”
“Ya. Dua atau tiga hari lagi. Mudah-mudahan delapan orang itu tidak segera dilepaskan dan kemudian kembali ke padepokan ini untuk membalas sakit hatinya,” desis yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka telah melihat mendung yang tebal tergantung di langit di atas padukuhan mereka. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu sebelum kita berhubungan dengan padepokan Bajra Seta? Bukankah jumlah kita lebih banyak dari mereka yang hanya delapan orang itu. Jika kita berniat, kita dapat membangkitkan gairah orang-orang padukuhan ini untuk berbuat sesuatu. Untuk berani menyatakan diri dengan sikapnya.”
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya di dalam darah mereka telah mengalir api yang hangat merambat dan membakar jantung mereka. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja berkata lantang,
“Ya. Kita dapat berbuat banyak. Kita akan mengerahkan semua anak-anak muda dan semua orang laki-laki di padukuhan kita. Jika orang-orang itu benar-benar kembali dan mengancam ketenteraman hidup kita, maka kita akan melawannya sebelum kita sempat mencari hubungan dengan orang-orang Bajra Seta. Apalagi seandainya padepokan Bajra Seta itu benar-benar satu perguruan ilmu sesat, maka kita sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sehingga kita tidak akan digilas oleh dua kekuatan yang saling bertentangan, sementara kita tidak tahu menahu ujung pangkalnya.”
Yang lain-lain pun tiba-tiba saja bagaikan orang yang bangun dari tidur yang nyenyak. Mereka bangkit sambil berkata hampir berbareng, “Bagus. Aku sependapat.”
“Kita akan berbicara dengan Ki Bekel,” berkata orang yang pertama.
Orang-orang itu pun kemudian telah memutuskan untuk berbicara dengan Ki Bekel. Selama mereka berada di bawah pengaruh orang-orang yang bermusuhan dengan orang-orang Bajra Seta itu, Ki Bekel hampir tidak pernah mereka ajak berbicara karena sikap Ki Bekel yang memang agak berbeda dengan sikap mereka.
“Ternyata pendapat Ki Bekel mengandung kebenaran,” berkata orang yang pertama, “selama ini kita langsung dihentak oleh satu kekuatan yang kita anggap tidak ada batasnya, sehingga kita menjadi ketakutan. Namun kita melihat, bahwa delapan orang itu tidak mampu mengalahkan lima orang, sementara seorang di antara mereka adalah anak-anak yang tidak banyak terlibat dalam pertempuran.”
“Ya. Kita akan menghadap Ki Bekel untuk minta maaf dan minta persetujuannya,” berkata kawannya yang lain.
Dengan demikian, maka orang-orang itu pun segera kembali ke padukuhan serta menunjuk tiga orang di antara mereka untuk menghadap Ki Bekel. Ternyata Ki Bekel merasa gembira atas perubahan sikap mereka. Ki Bekel yang hampir berputus asa mengatasi kegelisahan orang-orang padukuhannya itu tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh perubahan sikap itu. Orang-orang yang datang kepadanya telah menceriterakan apa yang mereka saksikan tentang orang-orang Bajra Seta itu.
“Biarlah aku sendiri mencari hubungan dengan padepokan Bajra Seta. Tetapi aku minta satu dua orang di antara kalian menjadi saksi,” berkata Ki Bekel.
Tetapi mereka memang tidak akan pergi hari itu. Mereka akan pergi di hari lain untuk mencari keterangan dan kemudian mencari hubungan dengan orang-orang Bajra Seta.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah membawa delapan orang menuju ke padepokan Bajra Seta. Delapan orang yang telah mereka kalahkan. Di perjalanan kadang-kadang timbul pula niat delapan orang itu untuk melarikan diri. Namun tubuh mereka telah menjadi terlalu lemah. Meskipun darah mereka sudah pampat setelah mendapat pengobatan sementara, tetapi darah sudah terlanjur terlalu banyak mengalir.
Karena itu, maka perjalanan iring-iringan itu merupakan perjalanan yang lambat. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menyadari, bahwa orang-orang itu sudah menjadi sangat lemah. Meskipun setiap kali Mahisa Murti mengancam akan membunuh mereka yang tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, namun kekuatan sisa tenaga mereka memang sangat terbatas. Sehingga dengan demikian mau tidak mau maka iring-iringan itu memang harus beristirahat di perjalanan.
Ketika mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang maka rasa-rasanya kedelapan orang itu sudah tidak ingin lagi bangkit berdiri dan meneruskan perjalanan. Namun setiap kali Mahisa Murti berkata, “Siapa yang tidak dapat lagi meneruskan perjalanan akan aku bunuh dan mayatnya akan aku tinggalkan di pinggir jalan.”
Mahisa Murti memang nampak bersungguh-sungguh. Setiap kali tangannya sudah hinggap di hulu pedangnya. Delapan orang yang tidak mengenal Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu memang menjadi cemas bahwa jantung mereka benar-benar akan dilubangi oleh pedang anak muda yang mengerikan itu, sehingga mereka pun memaksa diri untuk dapat meneruskan perjalanan betapa pun mereka merasa letih.
Di sepanjang jalan mereka hanya dapat minum air di belik-belik di pinggir sungai. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak membawa kedelapan orang itu singgah untuk makan dan minum di kedai karena hal itu akan dapat mengundang persoalan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat menempuh perjalanan yang tersisa itu hingga sampai ke padepokan Bajra Seta pada hari itu. Ternyata mereka masih harus berhenti di jalan dan bermalam di tempat terbuka.
Ternyata dingin malam telah menggigit kulit daging mereka, sementara itu perut mereka pun menjadi lapar. Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkan perut yang lapar itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang nampak begitu garang sehingga ke delapan orang itu benar-benar menjadi ketakutan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali memang telah membentak dan mengancam mereka. Dengan kata-kata keras dan kasar mereka memaksa delapan orang itu berbaring berjajar di-atas rumput kering. Menjelang tengah malam, maka satu dua di antara mereka mulai mengantuk. Bahkan mata mereka mulai terpejam. Mereka memang ingin segera tidur untuk melupakan perut mereka yang lapar.
Namun tepat di tengah malam, maka ke delapan orang yang sudah hampir tertidur itu terkejut. Seorang di antara mereka telah menyentuh orang yang terbaring di dekatnya sambil berdesis, “Bangun. Bangun.”
Orang yang berbaring di sisinya pun terbangun. Namun ia pun segera mendengar suara burung kedasih yang agak lain dari suara burung kedasih yang lain. Delapan orang itu pun akhirnya telah membuka mata mereka seluruhnya. Mereka semuanya telah mendengar suara burung kedasih itu.
Meskipun mulut mereka tidak mengucapkannya, namun mereka berkata di dalam hati, “Guru telah datang untuk menolong kami.”
Sikap mereka ternyata tidak luput dari tangkapan mata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih belum tertidur. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tidur di sebelah menyebelah Mehisa Amping. Dengan tidak menarik perhatian mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membangunkan mereka pula.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mendengar pula suara burung kedasih itu. Lamat-lamat. Namun semakin lama semakin jelas bahwa suara itu bukan suara burung kedasih yang sebenarnya. Dengan demikian maka keempat orang itu pun telah bersiaga pula sepenuhnya. Mereka sadar, bahwa sesuatu akan dapat terjadi malam itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat berbincang, “Kita kurangi kekuatan delapan orang itu,” desis Mahisa Murti.
“Apakah mungkin mereka masih dapat berbuat sesuatu?” bertanya Mahisa Pukat hampir berbisik.
“Jika gurunya hadir, mereka akan mendapat semacam kekuatan baru. Mereka, delapan orang akan dapat mengganggu pemusatan perlawanan kita terhadap guru mereka. Apalagi kita belum tahu, tataran kemampuan guru mereka itu,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jangan menjadikan mereka kehilangan kemampuan untuk meneruskan perjalanan besok bagi meskipun jaraknya tidak jauh lagi.”
Mahisa Murti masih sempat tersenyum. Katanya, “Aku juga malas mendukung mereka sampai ke padepokan. Tetapi jika kita selesaikan persoalan kita dengan gurunya, mungkin kita tidak perlu membawa mereka ke padepokan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga berbisik, “Jika perguruan mereka pernah menyerang padepokan kita, jumlah mereka tentu cukup banyak. Apakah orang yang datang itu bersama dengan banyak orang?”
“Kita belum tahu,” jawab Mahisa Murti perlahan-lahan. “Tetapi mereka tentu tidak akan sempat mempersiapkan banyak orang dalam waktu singkat. Kecuali jika mereka membuat perkemahan di sekitar tempat ini.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Suara burung kedasih itu masih terdengar. Namun Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk mendekati delapan orang yang terbaring diam, meskipun sebenarnya mereka tidak tertidur. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti meraba seorang di antara mereka sambil berdesis, “He, kau belum tidur?”
Orang itu tidak menjawab. Mahisa Murti memang tidak memerlukan jawaban. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak sedang tidur. Tetapi ia hanya ingin menyentuh tubuh-tubuh itu sejenak. Demikianlah pula yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ia pun telah menyentuh beberapa orang di antara para tawanannya.
Ternyata sentuhan-sentuhan itu telah menyusut kekuatan dan kemampuan delapan orang itu. Karena itu, seandainya mereka kemudian bangkit dan melupakan luka-luka mereka, namun mereka tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melawan. Tetapi delapan orang yang berbaring itu tidak segera menyadari, karena mereka masih saja berpura-pura tidur.
Sementara itu bunyi burung kedasih itu pun menjadi semakin lama semakin jarang. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin berhati-hati. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap yang menarik perhatian. Kedua orang anak muda itu menyadari, bahwa mereka masih belum dapat berbuat apa-apa selagi suara burung kedasih itu masih jauh. Bahkan keduanya pun kemudian telah duduk pula bersandar pohon.
Beberapa saat kemudian, maka suara burung kedasih itu pun justru telah berhenti. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhatikan delapan orang tawanan mereka yang masih berpura-pura tidur. Ternyata mereka mulai bergerak meskipun masih sangat terbatas. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah terbatuk-batuk. Namun kemudian diam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser pula dengan sangat berhati-hati. Keduanya telah berkisar memandangi arah yang berlawanan. Mereka memang menduga, bahwa justru suara kedasih itu terdiam, maka seseorang atau bahkan sekelompok orang justru mulai bergerak.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun ikut mengamati pula kelingkaran diseputarnya. Mereka pun mengerti, bahwa demikian suara burung kedasih itu hilang, maka orang yang melontarkan suara burung kedasih itu tentu akan melakukan sesuatu yang lain. Ternyata bahwa orang yang dianggap guru oleh delapan orang itu benar-benar telah berjalan di dalam kegelapan mendekati murid-muridnya.
Namun betapa pun orang itu berhati-hati, maka ketika orang itu menjadi semakin dekat maka ketajaman mata anak-anak muda itu pun mampu menangkapnya. Terutama Mahisa Murti yang kebetulan menghadap ke arah orang itu berjalan perlahan-lahan mendekati murid-muridnya yang terbaring diam.
Beberapa langkah dari murid-muridnya yang terbaring itu, suara burung kedasih itu pun terdengar lagi. Justru lamat-lamat saja antara terdengar dan tidak terdengar. Tetapi ada irama yang khusus yang terdengar di antara suara burung kedasih yang ngelangut itu.
Ternyata suara yang perlahan-lahan itu adalah satu isyarat. Hampir serentak delapan orang itu pun telah meloncat bangkit. Mereka telah siap untuk berbuat apa saja di hadapan gurunya. Mereka tidak lagi takut mengalami mati. Tetapi demikian mereka berdiri, hampir saja mereka terjatuh kembali. Beberapa orang sempat terhuyung-huyung sejenak. Namun mereka pun segera berdiri tegak di atas kaki mereka.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah terbangun pula. Wantilan masih juga sempat membangunkan Mahisa Amping dengan kakinya. Mahisa Amping masih sempat menguap. Namun ia pun kemudian terkejut melihat kesiagaan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan delapan orang yang mereka tawan itu pun sudah berdiri pula.
“Apakah mereka akan melarikan diri?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Tetapi anak itu tidak mengucapkannya. Ia menunggu saja sampai pada suatu saat ia akan tahu apa yang akan terjadi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat memperhatikan anak yang tertatih-tatih berdiri itu. Bahkan keduanya sempat bertanya di dalam hati, “Kenapa anak itu tidak menangkap satu isyarat apapun?”
Sementara itu suara burung kedasih itu pun telah lenyap. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengetahui dengan pasti, di mana orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu berada.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah dapat mengabaikan kedelapan orang itu. Meskipun mereka kemudian tidak takut lagi untuk mati, tetapi kekuatan mereka sama sekali tidak memadai lagi. Mereka harus mengerahkan sisa tenaga mereka untuk berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah. Tubuh mereka menjadi sangat lemah dan tulang-tulang mereka bagaikan dilepas dari tubuh mereka.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya orang-orang itu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu pun terkejut. Ternyata delapan orang yang dibawa oleh orang-orang Bajra Seta itu sudah tidak berdaya sama sekali. “Luka mereka tentu sangat parah,” desis orang yang bersembunyi itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka orang itu ingin menjajagi lebih jauh. Sekali lagi orang itu melontarkan perintah dengan isyarat. Delapan orang itu harus berbuat sesuatu tanpa menghiraukan kematian yang akan dapat menerkam mereka dengan cepat.
Tetapi tidak seorang pun dari kedelapan orang itu yang berani melakukan sesuatu. Ketika beberapa orang di antara mereka siap untuk meloncat, maka justru mereka hampir jatuh tertelungkup. Karena itu, meskipun mereka mengetahui maksud isyarat suara burung kedasih itu, namun ternyata mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
“Anak-anak iblis,” geram orang yang menyuarakan suara burung kedasih itu. Orang itu mengira bahwa delapan orang itu tidak berdaya lagi karena luka-luka mereka yang parah. Karena itu, maka orang itu tidak menghiraukan kedelapan orang itu lagi. Ia pun justru telah meloncat mendekati Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Mahisa Murti tidak terkejut. Demikian pula saudara-saudaranya. Justru karena itu, maka orang itulah yang terkejut. “Sudah agak lama kami menunggumu Ki Sanak,” sapa Mahisa Murti.
“Ilmu dari iblis manakah yang kalian sadap ini?” bertanya orang itu.
“Kenapa kau tiba-tiba saja marah? Bukankah kita belum pernah bertemu sehingga kita tidak mempunyai persoalan?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak peduli,” jawab orang itu dengan suara parau, “kalian telah memperlakukan murid-muridku di luar batas.”
“Apa yang telah kami lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Mereka terluka parah sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa,” jawab orang itu.
“Mereka tidak terluka parah. Aku tidak berkeberatan Ki Sanak melihat sendiri pada mereka. Tetapi daya tahan tubuh mereka memang sangat lemah. Dengan luka-luka yang kecil tergores di punggung, atau luka sejengkal yang tidak terlalu dalam di dada atau luka di pundak bahkan segores kecil di lengan telah membuat mereka tidak berdaya sama sekali,” berkata Mahisa Murti.
“Kau gila anak muda,” geram orang itu.
“Yakinkan dirimu. Lihat anak-anakmu itu. Aku sama sekali tidak berkeberatan,” berkata Mahisa Murti.
Ternyata orang itu benar-benar ingin melihat apa yang telah terjadi. Ia pun telah mendekati delapan orang yang berdiri dengan lemahnya itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti. Luka mereka memang tidak terhitung terlalu parah. Meskipun tidak hanya segores kecil. Seorang di antara mereka terluka sampai di tiga tempat. Tetapi luka-luka itu bukan luka-luka yang seharusnya membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Apalagi orang itu melihat bahwa luka mereka telah pampat.
Jantung orang itu bagaikan bergetar semakin cepat. Tetapi ia tidak segera dapat memecahkan teka-teki tentang murid-muridnya itu. “Mungkin karena mereka dalam keadaan luka telah dipaksa untuk berjalan cukup panjang,” berkata orang itu di dalam hatinya.
“Nah,” berkata Mahisa Murti, “kau yakin sekarang, bahwa anak-anakmu memang mempunyai daya tahan yang sangat lemah?”
Orang itu menggeretakkan giginya. Kemarahan mulai membakar jantungnya. Ketika ia mengetahui bahwa delapan orang murid-muridnya digiring seperti itik yang digembalakan, hatinya telah menjadi panas. Apalagi ketika ia melihat satu kenyataan, bahwa delapan orang itu memang hanya terluka sedikit bagi seorang laki-laki yang memang sudah terjun ke dunia oleh kanuragan.
“Apa pun yang telah terjadi,” berkata orang itu, “kalian semua akan mati. Kalian adalah orang Bajra Seta yang malang. Ketika kami menyerang padepokanmu, maka orang-orang padepokanmu mampu bertahan. Tetapi kalian yang dengan sombong berani keluar dari padepokan dan lewat daerah pengamatan kami, maka kalian akan mati lebih dahulu sebelum kami kembali untuk menghancurkan padepokanmu.”
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku adalah orang yang dipanggil Empu Rangkut dari perguruan Lawang Tunggal. Aku tidak senang terhadap perguruan Bajra Seta yang dapat menghalangi perluasan perguruanku ke daerah ini,” geram orang itu.
“Apa sebabnya padepokan Bajra Seta kau anggap menghalangi perkembangan perguruanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Pertanyaan yang bodoh,” orang itu menjadi semakin marah. Lalu katanya, “Sekarang bersiaplah untuk mati. Kalian berlima akan menjadi banten dari ketamakan perguruan kalian itu.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan perguruan Lawang Tunggal. Kaulah yang bersikap memusuhi kami justru kami baru pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang. Namun aku sama sekali tidak akan menghindar jika kalian memang menempatkan diri sebagai lawan-lawan kami.”
“Katakan apa yang ingin kau katakan, karena kesempatanmu memang tinggal sesaat yang pendek. Mungkin ada pesanmu bagi padepokan Bajra Seta atau pesanmu kepada gurumu atau isterimu atau siapa pun juga. Kami akan berusaha menyampaikannya agar kau tidak mendendam sampai waktu yang tidak ada batasnya,” berkata orang yang mengaku bernama Empu Rangkut itu.
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Aku sebenarnya ingin tahu, ke mana mayatmu harus kami bawa. Delapan orang murid-muridmu mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya kau kehendaki setelah kematianmu.”
“Kalian memang sombong,” geram orang itu, “baiklah. Sekarang akan kita lihat. Siapakah di antara kita yang akan mati di sini. Aku atau kalian berlima.”
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar melihat sikap orang itu. Nampaknya ia terlalu yakin akan kemampuannya. Namun Mahisa Murti itu pun telah berkata kepada saudara-saudaranya, “Awasi delapan orang itu. Jangan biarkan mereka pergi. Aku akan melayaninya sendiri.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia juga melihat kepercayaan yang sangat besar kepada dirinya sendiri dari orang yang bernama Empu Rangkut itu. Tetapi ia tidak mau membuat Mahisa Murti kecewa. Meskipun demikian, Mahisa Pukat berniat untuk berada selalu dekat dengan medan.
“Kau memang gila anak muda,” orang itu menggeram, “kesombonganmu akan membuat kau menyesal. Kau akan mati dalam waktu sekejap. Tetapi aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin kau menyaksikan bagaimana saudara-saudaramu yang lain mati. Kau akan mati yang terakhir kali.”
“Aku memang menjadi ragu-ragu,” berkata Mahisa Murti, “apakah sebaiknya aku juga berbuat sebagaimana ingin kau lakukan? Membunuh murid-muridmu seorang demi seorang. Baru setelah yang ke delapan mati, aku akan membunuhmu.”
“Tutup mulutmu,” bentak orang itu, “kau mencoba untuk menyelubungi kelemahanmu dengan menyombongkan dirimu. Tetapi itu tidak berarti apa-apa. Sekarang bersiaplah untuk dalam sekejap terbujur di tanah. Kau hanya akan dapat membuka matamu untuk melihat kematian saudara-saudaramu. Kau memerlukan waktu yang agak panjang untuk menikmati saat-saat kematianmu.”
Mahisa Murti tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Ia percaya bahwa orang itu akan melakukan sebagaimana dikatakan jika ia mampu. Karena itu, maka Mahisa Murti harus menjadi sangat berhati-hati. Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bergeser menjauhi orang-orang yang lain, yang tidak akan terlibat ke dalam pertempuran.
Sementara itu Mahia Pukat pun berdesis, “Jaga delapan orang yang sudah tidak berdaya itu. Aku akan melihat pertempuran itu.”
“Baik,” jawab Mahisa Semu dan Wantilan hampir bersamaan.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat pun bergeser pula. Memang tidak terlalu dekat. Tetapi ia akan mampu menjangkau medan jika terjadi sesuatu. Meskipun mungkin tidak menjadi kehendak Mahisa Murti, jika perlu ia memang harus melibatkan diri. Rasa-rasanya ia tidak akan dapat membiarkan bencana terjadi atas saudaranya itu, justru setelah pengembaraan mereka yang lama akan segera mereka selesaikan. Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan orang yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit.
Ternyata orang yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Memang agak mengejutkan Mahisa Murti bahwa pada tingkat pertama kekuatan dan kecepatan gerak Empu Rangkut itu telah mendorongnya beberapa langkah surut. Menilik kemampuan murid-muridnya yang terhitung lemah itu, Mahisa Murti mengira bahwa gurunya pun seorang yang berilmu sangat tinggi.
Agaknya memang satu peringatan bagi Mahisa Murti. Hampir saja ia merendahkan lawannya, sehingga menjadi lengah. Untunglah bahwa sebelum terlambat, Mahisa Murti menyadari, bahwa ia pun harus mengerahkan kemampuannya jika ia tidak ingin menjadi korban dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Murti melawan Empu Rangkut itu semakin lama menjadi semakin sengit. Bukan saja Mahisa Murti yang terkejut menghadapi lawannya, tetapi ternyata Empu Rangkut terkejut melihat kemampuan seorang anak yang masih dianggapnya terlalu muda.
Empu Rangkut yang menduga bahwa ia akan segera melumpuhkan lawannya dalam satu dua loncatan, ternyata tidak demikian. Anak muda itu mampu memberikan perlawanan yang tidak dibayangkannya sebelumnya. Karena itulah, maka kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Empu Rangkut berniat untuk dengan cepat menyelesaikan lawannya dan membawa murid-muridnya pergi. Jika perlu, maka ia benar-benar akan membunuh. Anak-anak muda yang lain jika menghalanginya.
Tetapi Empu Rangkut itu semakin menyadari kemampuan lawannya yang masih muda itu pun menjadi semakin marah. Bahkan ketika ia meningkatkan ilmunya hampir sampai ke puncak, maka anak muda itu sama sekali belum dapat dikalahkannya.
“Ilmu iblis mana yang telah disadap oleh anak ini,” geram Empu Rangkut di dalam hatinya.
Namun kakinya yang berputar mendatar mengarah ke pelipis Mahisa Murti, ternyata sama sekali tidak mengenainya. Mahisa Murti sempat merendahkan dirinya sambil berkisar setapak. Namun justru saat lawannya itu berputar dan bertumpu pada kakinya yang lain, Mahisa Murti menjatuhkan diri dan dengan sekuat tenaganya menyapu kaki lawannya itu.
Demikian cepatnya sapuan itu dilakukan sehingga lawannya tidak sempat mengelak, kakinya yang lain baru saja menapak tanah. Karena itu, maka sapuan kaki Mahisa Murti itu telah melontarkan tubuh Empu Rangkut. Kakinya yang bagaikan terlempar telah membuatnya kehilangan keseimbangan.
Namun Empu Rangkut ternyata cukup tangkas. Ia tidak membiarkan tubuhnya jatuh terbanting seperti sepotong balok kayu. Tetapi demikian ia jatuh, maka ia pun segera berguling memutar pada pundaknya. Dalam sekejap maka Empu Rangkut itu sudah tegak berdiri.
Namun kaki Mahisa Murti pun dengan cepat pula terjulur ke arah dada. Hampir saja untuk kedua kalinya Empu Rangkut terlempar. Namun dengan sedikit bergeser ke samping, maka sentuhan kaki Mahisa Murti tidak menggoyahkannya, meskipun tubuhnya agak bergetar.
Untuk mengurangi tekanan serangan anak muda itu, maka Empu Rangkut pun telah menyerang pula. Dengan satu loncatan panjang, tangannya telah terjulur lurus mengarah ke dada. Tetapi serangan itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Demikianlah, semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin garang. Tetapi kedua belah pihak masih belum mampu mendesak lawan. Karena itu, maka keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Bahkan lawan Mahisa Murti yang menyebut dirinya Empu Rangkut itu telah menarik senjatanya. Sebuah nenggala yang tidak terlalu panjang, namun runcing ujung dan pangkalnya. Bahkan satu di antara kedua tajamnya itu telah mencuat tajam yang seperti kait pada duri daun pandan.
Mahisa Murti meloncat surut ketika ia mendengar desing senjata lawannya itu. Ayunan yang cepat yang hampir saja menyentuh dadanya, telah melontarkan bunyi yang tajam serta menggetarkan udara di sekitarnya. “Bukan main,” geram Mahisa Murti, “kau berhasil mengguncang angin.”
“Persetan,” sahut Empu Rangkut, “jika kau menjadi ketakutan, menunduklah, aku akan menusuk di tengkukmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ketika senjata itu terayun, berputar dan menyambar, maka ia telah mengambil jarak yang panjang untuk memantapkan sikapnya. Ketika lawannya itu mengejarnya dan menyerang pula dengan senjatanya, maka Mahisa Murti sekali lagi merasakan getaran udara dari ayunan nenggala yang keras itu disertai lontaran desing yang tajam. Ternyata getaran udaranya saja telah mampu membuat kulit Mahisa Murti menjadi pedih.
“Bukan main,” desis Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya dikejar oleh serangan demi serangan. Ketika ia harus meloncat sekali lagi mengambil jarak, maka ia pun telah menarik pedangnya pula. Empu Rangkut lah yang terkejut. Ia melihat senjata Mahisa Murti yang bercahaya kehijau-hijauan.
Empu Rangkut kemudian menyadari, bahwa orang Bajra Seta itu ternyata adalah orang yang memang memiliki kelebihan. Bukan saja ketangkasannya dan kekuatannya, tetapi juga sipat kandelnya yang berupa pedang yang berkilau kehijauan itu.
Dengan senjata maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak memiliki ketangkasan dan kecepatan gerak yang mengagumkan. Namun ternyata Mahisa Murti masih memiliki kelebihan kekuatan. Setiap terjadi benturan, maka terasa lawannya tidak dapat menahan guncangan benturan yang terjadi itu. Karena itu, maka Mahisa Murti telah memanfaatkan kelemahan lawannya itu dengan berusaha membenturkan senjatanya dengan sekuat tangannya.
Dengan demikian, maka lawannya itu pun semakin lama menjadi semakin merasa terdesak. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Empu Rangkut selain mempergunakan ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Empu Rangkut itu telah meloncat menjauhi lawannya untuk mengambil jarak. Dalam kesempatan yang pendek itu, Empu Rangkut telah memusatkan nalar budinya. Pengalamannya yang luas, ilmunya yang tinggi serta kekuatannya yang besar kemudian telah terpadu dalam ilmu puncaknya yang mengerikan.
Ketika pertempuran kemudian terjadi lagi semakin seru, maka di arena pertempuran itu seakan-akan telah timbul putaran angin yang semakin lama menjadi semakin keras. Jika mula-mula sampah-sampah kecil dedaunan dan rumput-rumput kering saja yang terangkat, maka angin pusaran itu pun kemudian menjadi semakin besar. Debu yang terangkat membuat mata menjadi pedih dan nafas serasa sesak.
Terdengar Empu Rangkut itu tertawa. Katanya di sela-sela gemuruhnya angin pusaran itu, “Kau memang seharusnya mengenali ilmu Cleret Tahun. Ilmu yang sudah hampir tidak ada duanya sekarang ini. Nah, kau tidak akan dapat mengurai diri dari libatan angin ini ke mana pun kau bergeser. Mungkin kau mampu meloncat-loncat. Tetapi angin ini akan mengikutimu. Bahkan seandainya aku meninggalkan arena dan tidur di bawah sebatang pohon yang rindang itu.”
Mahisa Murti tidak dapat menjawab. Rasa-rasanya wajahnya telah penuh dengan debu yang menghambur. Jika ia berkata sepatah kata saja, maka debu rasa-rasanya akan menusuk kerongkongannya. Di dalam putaran angin pusaran itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Mahisa Pukat yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia memang masih melihat Mahisa Murti bertempur dengan tangkasnya. Namun ia menyadari, bahwa pada suatu saat Mahisa Murti tidak akan dapat bernafas lagi.
“Apakah iblis itu bernafas dengan insang?” bertanya Mahisa Pukat di dalam hatinya ketika ia melihat Empu Rangkut sama sekali tidak mengalami kesulitan bertempur di dalam pusaran ilmunya sendiri.
Namun Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya kehilangan kesempatan untuk melawan. Dengan mengerahkan daya tahannya, maka Mahisa Murti telah mengetrapkan ilmunya pula. Ia berusaha untuk menghisap kekuatan dan ilmu lawannya di setiap sentuhan senjata.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa lawannya. Sambil menghindari setiap sentuhan, maka ia pun berkata, “Aku sudah dapat memecahkan teka-teki tentang kedelapan muridku. Kau tentu memiliki ilmu yang curang dan licik itu. Kau tentu sudah menghisap sebagian tenaganya sehingga mereka seakan-akan telah mengalami keletihan yang luar biasa. Apalagi mereka sudah terluka meskipun tidak terlalu berbahaya. Semula aku memang ragu-ragu. Tetapi ketika kau mulai mengetrapkannya dan terasa getaran itu menyentuh senjataku dan mengalir ke tubuhku, maka aku segera mengetahuinya. Untunglah aku belum terlambat, sehingga aku masih sempat menyaksikan, bagaimana tubuhmu itu akan diangkat dan dilemparkan oleh ilmu Cleret Tahun ini dari ketinggian. Tubuhmu akan terhempas ke tanah dan hancur berserakan.”
Mahisa Murti mengeram, sementara orang itu berkata pula, “Mula-mula aku memang menjadi bingung. Tetapi bagaimana pun juga orang-orang Bajra Seta tidak akan banyak berarti bagi kami.”
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berusaha bertahan. Namun kemudian, nafasnya menjadi semakin sesak. Rasa-rasanya paru-parunya telah penuh dengan debu serta kerongkongannya pun telah tersumbat rerumputan kering pula.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Ia mendengar kata-kata orang yang bertempur melawan Mahisa Murti di dalam lingkaran angin pusaran. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menjadi semakin tegang.
Sementara itu delapan orang yang sudah menyerang itu, telah bersorak-sorak pula meskipun suaranya tidak cukup lantang. Seorang di antara mereka berkata, “Nah, baru kau tahu anak sombong.”
Hampir saja Mahisa Semu kehilangan pengendalian diri. Namun Wantilan sempat menggamitnya sambil berdesis, “Kita lihat apa yang akan terjadi atas Mahisa Murti.”
Mahisa Pukat bagaikan terbakar seluruh isi dadanya. Keadaan Mahisa Murti membuatnya cemas dan sekaligus marah. Tetapi Mahisa Pukat masih berusaha untuk menahan diri. Jika ia mencampurinya, maka Mahisa Murti mungkin sekali tidak akan membenarkannya.
“Tetapi jika keadaan memaksa, maka tidak ada jalan lain, meskipun Mahisa Murti akan marah kepadaku,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu Mahisa Semu yang gelisah tiba-tiba saja berteriak, “Aku bunuh delapan orang muridmu.”
Suara Mahisa Semu memang menghentak jantung Empu Rangkut. Tetapi ternyata orang itu berteriak pula, “Jika delapan orang muridku mati, maka kalian akan mati semuanya. Tetapi jika tidak, maka aku hanya akan membunuh orang-orang yang melawanku.”
“Aku tidak peduli,” teriak Mahisa Semu.
Empu Rangkut menggeram. Katanya, “Lakukan jika kau ingin mengalami kematian yang paling tidak menyenangkan.”
Mahisa Semu benar-benar akan melakukan apa yang sudah diteriakkannya. Tetapi Wantilan masih mencegahnya. Katanya, “Kita tunggu sebentar. Mahisa Murti tentu tidak menghendaki mereka terbunuh.”
“Tetapi kau lihat, Mahisa Murti lah yang justru akan terbunuh,” sahut Mahisa Semu.
Wantilan termangu-mangu. Ia memang melihat angin pusaran itu berputar semakin keras. Mahisa Murti memang mulai nampak goyah. Di saat ia meloncat menghindari serangan Empu Rangkut, tubuhnya seakan-akan melayang dan tidak dapat dikuasainya dengan cepat. Untunglah bahwa Mahisa Murti memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sementara lawannya agak segan untuk membenturkan senjatanya.
Namun di saat-saat terakhir, Mahisa Murti pun merasa bahwa ia menjadi semakin banyak mengalami kesulitan. Angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin keras dan semakin cepat. Debu berhamburan masuk ke dalam matanya dan ke dalam mulut serta hidungnya, sehingga pernafasannya serasa menjadi terganggu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain daripada mengetrapkan ilmu puncaknya.
Namun demikian Mahisa Murti tidak segera mendapat kesempatan. Ke mana saja ia meloncat, maka angin pusaran itu dengan cepat memburunya. Bahkan kadang-kadang jika ia meloncat terlalu panjang, dorongan angin pusaran itu bagaikan melemparkannya sehingga rasa-rasanya sulit baginya untuk mengendalikan diri. Sementara itu, lawannya masih saja menyerangnya dengan senjatanya yang runcing di kedua ujungnya. Namun dengan cerdik Empu Rangkut selalu menghindari benturan senjata dengan Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kesempatan. Meskipun ke mana ia meloncat dan melenting, namun angin pusaran itu selalu memburunya dan dengan cepat melibatnya kembali. Ketika Mahisa Murti benar-benar merasa kehilangan kesempatan untuk melawan, maka ia berusaha untuk menghentakkan senjatanya di saat-saat terakhir. Senjata yang bukan saja berwarna kehijauan, tetapi daun pedangnya itu seakan-akan telah menyala sehingga lidah apinya menjilat-njilat. Tetapi pedangnya tidak pernah dapat menyentuh lawannya. Bahkan membentur senjata lawannya pun tidak.
Pada saat yang paling gawat, maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak. Namun angin pusaran yang menjadi semakin keras itu justru telah melemparkannya sehingga Mahisa Murti jatuh terguling.
Empu Rangkut sempat tertawa sambil berkata, “Sebentar lagi kau akan segera dibawanya terbang. Sayang, bahwa kemampuan terbangmu akan berakhir saat kau masih berada tinggi di udara. Jika kau kemudian terjatuh dan kepalamu membentur batu padas, maka kau tidak akan dapat dikenali lagi.”
Mahisa Murti sama sekali tidak mendengarkannya lagi. Demikian ia jatuh berguling, maka tanpa berusaha untuk bangkit, Mahisa Murti telah mempergunakan kesempatan yang sesaat itu. Justru sambil menelungkup Mahisa Murti telah mengacukan ujung pedangnya ke dada Empu Rangkut.
Empu Rangkut yang merasa bahwa ia sudah menang, memang menjadi lengah. Ia memang terkejut melihat ujung pedang lawannya yang masih muda itu mengarah ke dadanya. Namun Empu Rangkut tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Seleret sinar menembus pusaran angin langsung menghantam dada Empu Rangkut yang sedang menilai apa yang sebenarnya dihadapi. Namun sinar itu telah menyambar dadanya sehingga seakan-akan telah meledak.
Serangan ilmu Mahisa Murti yang dahsyat telah mengenai sasarannya. Lontaran kekuatan ilmu Bjra Geni yang didorong oleh kemampuan ilmu yang disadapnya dari Akuwu Lemah Warah, telah menghantam dada Empu Rangkut. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Empu Rangkut terlempar beberapa langkah surut. Dengan derasnya tubuhnya telah terbanting di tanah.
Sementara itu, angin pusaran yang melilit Mahisa Murti pun tiba-tiba saja telah mereda. Mahisa Murti yang kemudian bangkit sempat melihat Empu Rangkut itu menggeliat. Namun ternyata tubuh Mahisa Murti pun rasa-rasanya telah remuk. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Tetapi ternyata daya tahan Mahisa Murti cukup tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi perasaan sakitnya itu.
Selangkah demi selangkah Mahisa Murti mendekati tubuh Empu Rangkut yang terbaring diam. Namun Mahisa Murti masih melihat Empu Rangkut itu menggeliat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sejenak kemudian telah berada di sebelahnya. Dengan hati-hati keduanya berjongkok sambil memegang dada Empu Rangkut. Ternyata dadanya itu masih bergerak.
“Ia masih hidup,” desis Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Empu Rangkut itu telah membuka matanya. Tetapi tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka Empu Rangkut itu tidak mampu lagi untuk bangkit selain menggerakkan kepalanya. Tetapi ternyata Empu Rangkut masih sempat berkata perlahan, “Luar biasa anak muda.”
“Apa yang luar biasa, Empu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak mengira bahwa ada anak semuda kau memiliki ilmu yang demikian tinggi. Tidak ada tiga empat orang yang mampu mengatasi ilmu Cleret Tahunku. Tetapi kau yang semuda itu terlepas dari cengkaman ilmuku. Bahkan kau mampu membunuhku.”
“Kau akan sembuh Empu. Daya tahanmu tentu akan mengatasi segalanya,” berkata Mahisa Murti.
Empu Rangkut mencoba tersenyum. Dengan suara yang semakin lemah ia berkata, “Aku minta maaf anak muda. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
“Lupakan Empu,” jawab Mahisa Murti.
Empu Rangkut menarik nafas dalam-dalam. Dari antara desah nafasnya terdengar ia berkata, “Aku minta diri anak muda.”
Mahisa Murti memandang wajah Empu Rangkut yang menjadi semakin pucat. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan Empu Rangkut menjadi semakin gawat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Panggil murid-muridnya...”