PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 94
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 94
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA SEMU masih menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia memang mulai berpikir tentang sikapnya terhadap lawannya yang telah dikalahkannya. “Tetapi apakah memang lebih baik membunuhnya sehingga persoalannya menjadi selesai dan tuntas?” pertanyaan itu memang tumbuh di dalam hatinya.
Namun Mahisa Semu pun selalu teringat akan pesan Mahisa murti dan Mahisa Pukat, bahkan Mahendra yang lebih banyak membentuknya bahwa tidak sebaiknya membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.
Sementara itu maka para cantrik pun telah membawa tawanan yang masih saja berteriak-teriak minta dibunuh itu kembali ke bilik tahanannya. Namun para cantrik itu tidak mau membuat kesalahan. Meskipun orang itu nampaknya sudah sangat lemah, tetapi para cantrik masih juga mengikatnya pada pembaringannya. Apalagi orang itu bagaikan menjadi gila dan berteriak-teriak tanpa dapat dijinakkan lagi.
Namun Mahendra yang kemudian mendapat laporan tentang orang itu berkata, “Biarkan saja ia berteriak-teriak. Pada satu saat penalarannya akan bekerja kembali, sehingga ia akan terdiam dengan sendirinya. Bahkan ia akan sempat membuat pertimbangan-pertimbangan tentang peristiwa yang baru saja dialaminya.”
Nampaknya akibat dari peristiwa itu justru membuat para tawanan yang lain semakin menyadari kekecilan diri mereka. Orang yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain itu, ternyata telah dikalahkan oleh seorang yang masih sangat muda.
Dalam pada itu, ketika malam turun, serta para tawanan telah di tempatkan di tempat mereka masing-masing, Mahendra sempat memanggil Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Di antara mereka hadir pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan nada dalam Mahendra berkata terutama kepada Mahisa Semu, “Ternyata bahwa kemampuanmu telah meningkat sampai ke tataran yang semakin baik. Kau telah mampu menghadapi seorang yang telah mendapat pengalaman yang sangat luas di dunia kejahatan. Orang itu tentu telah pernah bertempur dengan berpuluh orang. Bahkan mungkin telah membunuh banyak orang pula. Dan kau ternyata mampu mengatasinya.”
Mahisa Semu hanya menundukkan kepalanya saja.
“Tetapi dengan demikian, maka meskipun aku tidak menyaksikannya, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat pula kekurangan-kekuranganmu,” berkata Mahendra lebih lanjut. Karena itu, maka aku pun mengetahui pula, di sisi mana kau harus lebih meningkatkan ilmumu, selama ini selain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, aku telah ikut pula meningkatkan kemampuanmu.”
Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia justru sangat berterima kasih, bahwa Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat kekurangan-kekurangannya, karena dengan demikian maka kekurangan-kekurangan itu akan dapat diisi.
Tetapi Mahendra itu pun berkata, “Selain kekurangan-kekurangan dalam olah kanuragan, kau masih mempunyai kekurangan dalam olah kajiwan.”
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Setelah ia sempat merenung, maka ia pun telah melihat betapa jiwanya terguncang menghadapi sikap orang itu. Meskipun ia masih juga sempat mengingat pesan agar ia tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya, namun Mahisa Semu itu seakan-akan tidak dapat lagi menguasai dirinya menghadapi sikap lawannya yang keras kepala itu.
“Nah,” berkata Mahendra kemudian, “untuk selanjutnya kau perlu melakukan latihan-latihan yang lebih banyak. Kau tingkatkan ilmu kanuragan, namun sekaligus kau harus menempa jiwamu agar tidak cepat terguncang.”
Mahisa Semu mengangguk. Ia tidak dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk sambil berdesis, “Aku akan melakukan apa pun yang baik bagi diriku dan bagi padepokan ini.”
“Bagus,” berkata Mahendra, “aku yakin bahwa dalam waktu singkat semuanya akan segera teratasi.”
Ternyata peristiwa itu telah memberikan satu pengalaman tersendiri bagi Mahisa Semu. Ia telah melihat satu sikap dari seorang yang menjadi putus asa namun dibebani oleh harga dirinya yang sangat tinggi. Tetapi Mahisa Semu pun telah mendapatkan pengalaman dalam olah kanuragan. Beberapa kali ia telah dikenai serangan-serangan lawannya yang keras dan kasar itu, sehingga Mahisa Semu mampu melihat langsung kelemahan-kelemahannya.
Untunglah bahwa Mahendra telah memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia mampu berlatih sebaik-baiknya. Dengan demikian maka daya tahan tubuhnya pun telah menjadi semakin meningkat dan meningkat. Ketika ia kemudian dihadapkan kepada seorang penjahat yang telah berpengalaman, maka ia sama sekali tidak mengecewakan.
Demikianlah, maka para cantrik itu pun dihari-hari berikutnya bersama orang-orang yang untuk sementara masih disebut tahanan itu telah bekerja dengan keras untuk membuka tanah pertanian dan menaikkan air dari Kali Rangkut. Dengan air itu, maka tanah yang dibuka itu akan menjadi tanah persawahan yang cukup baik, yang akan dapat dipergunakan sebagai landasan satu kehidupan baru di tempat yang tidak terlalu jauh dari padepokan Bajra Seta itu. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka parit-parit induk pun telah siap. Sementara itu, brunjung-brunjung bambu telah diisi dengan batu.
Satu-satu brunjung-brunjung bambu itu telah diletakkan menyilang Kali Rangkut yang tidak begitu besar itu. Para cantrik dan orang-orang yang ingin membuka daerah hunian yang baru itu telah menutup lubang-lubang di antara batu-batu dengan tanah dan sangkrah dedaunan dan ranting-ranting kecil. Dengan demikian, maka air pun perlahan-lahan mulai naik sejalan dengan semakin tinggi bendungan yang sedang dibangun itu. Sehingga akhirnya, maka bendungan itu pun telah mencapai bibir tanggul yang tidak begitu tinggi.
Dalam kerja yang terakhir itu, maka hampir semua cantrik di padepokan Bajra Seta telah menyaksikannya kecuali beberapa orang yang bertugas berjaga-jaga atas segala macam kemungkinan yang dapat terjadi.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan Mahendra pun ikut pula menyaksikannya pula. Air yang semakin tinggi itu masih dipisahkan oleh tanggul setebal lima enam langkah dari parit induk yang siap menampung air yang akan tumpah. Demikian air mencapai ketinggian yang diharapkan, maka beberapa orang telah menggali sebuah parit kecil pada tanah yang memisahkan permukaan air itu dengan parit induk.
Parit itu tidak terlalu lebar dan tidak dalam. Tetapi air mulai bergerak seperti kepala seekor ular yang menjalar mengikuti arah parit kecil itu. Sehingga pada suatu saat, maka kepala ular yang menjalar menyusuri parit itu, tumpah ke dalam parit induk yang telah disiapkan.
Para cantrik dan orang-orang yang tertawan di padepokan Bajra Seta itu bersorak bagaikan meruntuhkan langit. Mereka berteriak-teriak kegirangan sambil bertepuk tangan. Air di Kali Rangkut mulai naik dan masuk ke dalam parit induk.
Tanpa digali lagi, maka parit kecil yang menghubungkan permukaan Kali Rangkut dengan parit induk itu semakin lama menjadi semakin besar, meskipun pada suatu saat, sebelum lebar dan dalamnya sama seperti parit induk, parit penghubung itu tidak lagi bertambah lebar dan dalam. Namun arus air cukup besar mengalir lewat parit induk itu.
Beberapa orang justru berlari-lari mengikuti ujung air yang mengalir di susukan itu sampai beberapa puluh langkah sambil bertepuk tangan. Dua orang cantrik yang berlari dengan kencang, telah membuka mulut parit yang lebih kecil yang terletak di pangkal tanah persawahan itu. Ketika air kemudian mengalir di parit itu, maka keduanya pun telah membuka pematang kotak sawah yang pertama disudut belahan parit itu.
Keduanya bersorak-sorak kegirangan, sehingga yang lain, yang masih berada di bendungan sempat berpaling. Beberapa orang berlari-lari mendekat dan ikut bersorak pula ketika air menjalar memasuki kotak sawah itu dan mulai menebar di sela-sela butir tanah yang kering.
Ternyata usaha para cantrik dan orang-orang yang ditawan di padepokan Bajra Seta itu berhasil. Dengan demikian, maka orang-orang yang semula hidup dalam dunia yang kelam itu mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat hidup sebagaimana orang kebanyakan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjanji pula atas persetujuan Ki Buyut untuk membagi tanah itu sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga mereka akan dapat hidup dalam lingkungan Kabuyutan itu sebagai warga yang lain tanpa harus selalu dicurigai lagi.
Meskipun ada di antara mereka yang masih harus selalu mendapat pengawasan. Namun kawan-kawan mereka yang benar-benar telah menyadari tatanan hidup baru akan dapat mengawasi mereka. Jika mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas, maka kawan-kawan mereka itu akan dapat bertindak. Apabila mereka tidak sanggup, maka orang-orang padepokanlah yang akan melakukannya.
Dengan demikian, maka sebuah padukuhan telah tumbuh. Orang-orang yang semula hidup dalam dunia yang gelap itu telah mulai dengan satu kehidupan baru. Meskipun semula padukuhan itu hanya berisi sekelompok orang laki-laki, namun perlahan-lahan padukuhan itu tentu akan tumbuh menjadi padukuhan sebagaimana padukuhan kebanyakan, karena Ki Buyut sendiri dengan penuh pengertian telah menerima kehadiran padukuhan yang baru itu dengan sadar sepenuhnya apa saja yang berada di dalam padukuhan itu.
Sementara itu, orang-orang padukuhan yang baru itu sendiri dengan penuh kesadaran atas keadaan mereka, maka mereka telah menyusun satu kekuatan di antara mereka untuk menjaga padukuhan mereka yang baru dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Bekas kawan-kawan mereka pada suatu saat tentu akan mengetahui apa yang telah mereka lakukan.
Tetapi mereka tidak cemas. Mereka telah menemukan kawan-kawan yang semula tidak berasal dari satu kelompok namun yang merasa bahwa mereka telah memasuki satu dunia baru yang sama, sehingga mereka telah membangunkan satu ujud kesetia-kawanan yang tinggi. Apalagi orang-orang padepokan Bajra Seta yang bersikap sangat baik kepada mereka. Dalam keadaan terpaksa, maka bukan saja para cantrik, tetapi tentu juga para pemimpin padepokan itu akan bersedia membantu mereka.
Sementara itu, selain meningkatkan perkembangan padukuhan baru itu, maka para penghuninya, yang pada umumnya telah meningkatkan pula kemampuannya. Mahisa Murti dan Mahisa Semu sendiri telah menangani mereka dibantu oleh beberapa orang cantrik terbaik. Namun dalam perkembangan kemampuan olah kanuragan mereka, maka orang-orang yang ada di padukuhan yang baru itu harus tetap menjadi orang-orang baru dalam tatanan hidup dan pergaulan yang wajar.
Di padepokan itu sendiri, Mahendra dengan sungguh-sungguh telah menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Keduanya tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun karena tingkat umur mereka yang berbeda, maka langkah-langkah yang diambil oleh Mahendra untuk meningkatkan ilmu mereka pun telah berbeda. Dalam waktu-waktu tertentu, maka Mahisa Amping telah diberi kesempatan untuk, melakukan latihan dengan para cantrik. Bahkan para cantrik yang telah memiliki tataran kemampuan yang cukup.
Ternyata bahwa Mahisa Amping yang kecil itu telah menunjukkan kelebihan yang menggembirakan bagi Mahendra. Bagaimana pun juga, maka anak itu agaknya akan menjadi seorang murid yang baik. Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kesibukannya untuk membentuk padepokannya menjadi sebuah padepokan yang besar, masih belum memberikan kesempatan sepenuhnya untuk menangani anak itu.
Tetapi, baik Mahisa Amping maupun Mahisa Semu tidak lagi merasa dirinya sia-sia berada di tempat itu. Justru karena di padepokan itu ada Mahendra. Meskipun Mahendra sudah menjadi semakin tua, tetapi ia masih mampu menangani kedua orang yang berbeda tingkat umurnya itu.
Sedangkan Wantilan yang berbaur dengan para cantrik, telah merasa mendapat satu tempat yang baik. Perlahan-lahan ia telah berhasil menyesuaikan diri dengan perguruan Bajra Seta. Meskipun ia mempunyai landasan ilmu yang berbeda, namun ia mampu mengembangkannya dengan baik di dalam satu lingkungan perguruan yang sumber ilmunya memang berbeda.
Namun dengan petunjuk dan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun hanya dalam waktu-waktu tertentu, maka rasa-rasanya ilmunya telah lebur dalam kesatuan ilmu dengan para cantrik dari perguruan Bajra Seta itu.
Dari hari ke hari, nampak bahwa padepokan dan perguruan Bajra Seta berkembang dengan baik. Sebagai satu wadah untuk menimba ilmu kanuragan maupun berbagai macam ilmu yang lain. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu. Anak-anak muda bergantian masih saja datang ke padepokan Bajra Seta untuk menyadap berbagai macam ilmu. Meskipun dengan demikian kemampuan yang mereka dapatkan tidak mendalam sebagaimana para cantrik, tetapi bagi anak-anak muda itu sudah cukup besar manfaatnya untuk mengembangkan padukuhan masing-masing.
Tetapi, di antara anak-anak muda yang dengan bekerja keras berusaha meningkatkan padukuhan mereka masing-masing, masih juga ada anak-anak muda yang sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu, maka dari padukuhan-padukuhan yang terdekat sekalipun masih ada pula anak-anak muda yang tidak tahu, apakah isi sebenarnya dari padepokan Bajra Seta itu. Sehingga mereka memang merasa heran, bahwa ada juga kawan-kawan mereka sepadukuhan yang setiap hari datang ke padepokan itu.
Sebenarnyalah usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sia-sia. Perguruan dan sekaligus padepokan Bajra Seta, namanya menjadi semakin banyak dikenal. Anak-anak muda dari daerah yang jauh pun datang untuk berguru di perguruan Bajra Seta yang sedang mekar itu.
Sementara itu padukuhan yang baru tumbuh itu nampaknya akan segera berkembang menjadi seperti padukuhan-padukuhan yang lain. Beberapa orang penghuninya telah berani mengambil keluarga mereka dari tempat yang jauh meskipun pada umumnya masih dilakukan dengan diam-diam.
Beberapa orang telah membawa isteri mereka dan anak-anak mereka. Namun memang ada di antara mereka yang belum beristeri. Sedangkan beberapa orang yang dianggap berbahaya, ternyata masih juga berada di padepokan. Orang yang telah berkelahi dengan Mahisa Semu telah menjadi pulih kembali. Tubuhnya telah menjadi kuat dan tidak nampak bekas-bekas kekalahannya. Baik pada wadagnya maupun pada jiwanya, karena ia masih saja menunjukkan sifat-sifat yang buruk. Kata-katanya bahkan selalu menyakiti hati para cantrik yang bertugas, sehingga para cantrik itu semakin lama menjadi semakin membencinya.
Namun dari pada itu, para cantrik itu pun menjadi terbiasa melihat sikapnya dan mendengar kata-katanya, sehingga akhirnya para cantrik itu menganggapnya sebagai orang gila saja. Meskipun demikian, setiap kali orang itu masih saja membuat keributan dan menimbulkan kegaduhan. Beberapa orang cantrik kadang-kadang tidak dapat menahan diri sehingga mereka menyakiti orang itu. Tetapi orang itu sama sekali tidak menjadi jera.
Jika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kedua orang anak muda itu selalu berkata, “Biarkan saja orang itu mengigau. Pada suatu saat, ia akan berhenti dengan sendirinya.”
“Tetapi kadang-kadang telinga ini tidak lagi dapat menampungnya,” berkata salah seorang cantrik.
“Kita wajib bersyukur, bahwa di antara sekian banyak tawanan hanya seorang saja yang seakan-akan telah kehilangan dirinya dan menjadi sangat berbahaya,” jawab Mahisa Murti.
Para cantrik hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, seperti yang memang sudah diperhitungkan sebelumnya, akhirnya kawan-kawan dari orang-orang yang membuka padukuhan itu mengetahui apa yang mereka lakukan. Beberapa orang di antara mereka menganggap, bahwa orang-orang itu adalah pengkhianat. Justru saat mereka memerlukan kekuatan yang besar, kawan-kawan mereka itu telah berbuat bagi kepentingan mereka pribadi. Hal itu telah menyalahi paugeran dari setiap kelompok kejahatan. Mereka yang sudah mencebur masuk ke dalamnya, tidak akan dapat lagi keluar dalam keadaan hidup.
Karena itu, maka orang-orang yang ada di padepokan itu harus mati. Namun seperti yang sudah dilakukan sejak semula, maka orang-orang yang telah membuka padukuhan itu selalu bersiaga sepenuhnya. Mereka telah membangun gardu-gardu di setiap mulut lorong serta membuat regol-regol dengan pintu yang kuat. Orang-orang yang belum berkeluarga dengan suka rela menyatakan diri untuk setiap malam berada di gardu-gardu.
“Lebih senang tidur di gardu,” berkata seorang anak muda di antara mereka, “ada teman berbincang. Ada teman bergurau dan di malam-malam yang dingin sempat merebus jagung. Di rumah seorang diri terasa malamnya bertambah dingin.”
Selain kesiagaan yang tinggi, sejak semula, orang-orang di padukuhan yang baru itu setiap hari telah meningkatkan kemampuan mereka dengan cara yang lebih teratur dari cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya. Sebagai orang-orang yang hidup dalam dunia yang gelap, mereka meningkatkan ilmu mereka dengan cara yang kasar dan hanya mereka lakukan di sela-sela kesibukan mereka melakukan kejahatan.
Tetapi, di padukuhan itu setiap hari mereka bergantian masuk ke padepokan. Sebagian di antara mereka pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan ada di antara mereka yang memilih melakukannya di malam hari. Namun mereka menyadari, bahwa ilmu itu akan dapat melindungi mereka sendiri serta keluarga mereka, sehingga mereka telah melakukannya dengan tekun.
Hal itulah yang kurang diperhitungkan oleh bekas kawan-kawan mereka yang menjadi sakit hati. Yang ada pada jantung mereka adalah dendam yang membara. Karena itu, maka pada satu saat, beberapa kelompok di antara mereka berkumpul.
Namun tidak semua pemimpin kelompok menghiraukan kawan-kawan mereka yang mereka anggap berkhianat. Ada beberapa orang pemimpin kelompok yang menjadi tidak peduli lagi. Bahkan ada yang berterus terang, tidak lagi mempunyai orang yang cukup untuk melakukan balas dendam seperti itu.
“Jika kita bergabung, maka jumlah kita akan menjadi banyak. Sehingga kita tidak akan mungkin gagal,” jawab seorang pemimpin kelompok yang mendendam sampai ke tulang sung-sum.
“Meskipun kita berhasil, tetapi apa yang kita dapatkan? Kepuasan? Sementara itu di antara kawan-kawanku yang sedikit itu ada pula yang mati, terluka parah dan tertangkap,” jawab seorang pemimpin kelompok yang lain.
“Siapa yang akan menangkap kawan-kawan kita itu? Kita akan memusnahkan mereka. Semua orang akan mati. Dan rasa-rasanya dada ini akan menjadi lapang,” jawab pemimpin kelompok yang sangat mendendam.
Tetapi orang yang merasa kelompoknya semakin kecil itu masih saja berkeberatan. Katanya, “Kami tidak ikut. Bagaimana pun juga kami tidak akan mengorbankan orang-orang kami untuk hal-hal yang tidak memberikan arti langsung pada kehidupan kami.”
“Baiklah,” berkata orang yang mendendam, “kami hanya minta agar kalian mengetahui, bahwa kami akan membinasakan semua orang dalam padukuhan yang baru itu. Jika orang-orang kalian ikut binasa, jangan salahkan kami.”
“Tidak. Kami tidak merasa berkeberatan. Kami hanya tidak ingin anggauta kami semakin menyusut lagi,” jawab seorang di antara para pemimpin dari kelompok-kelompok yang kecil.
Akhirnya orang-orang yang berkumpul itu memutuskan, bahwa segala sesuatunya diserahkan kepada para pemimpin kelompok masing-masing. Apakah mereka akan ikut dalam satu hentakkan balas dendam atau tidak. Meskipun demikian, ternyata kelompok-kelompok yang mendendam cukup banyak. Mereka akan dapat mengumpulkan banyak orang untuk menghancurkan sebuah padukuhan yang baru tumbuh.
“Mereka harus merasa menyesal,” geram seorang pemimpin yang mendendam itu.
Dengan demikian maka mereka pun telah membuat janji di antara mereka. Hari-hari yang ditentukan untuk melakukan kegiatan itu.
Dalam pada itu, para pemimpin dari orang-orang yang mendendam itu pun telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari padepokan yang tidak terlalu jauh dari padukuhan tersebut.
“Kita harus bergerak cepat,” berkata salah seorang dari antara pemimpin itu, “sebelum bantuan datang, maka padukuhan itu harus sudah hancur. Bahkan seandainya bantuan itu datang dengan cepat, jumlah mereka tentu tidak akan memadai, sehingga kita akan dapat menghancurkan bantuan itu pula.”
Dengan demikian maka bantuan dari padepokan itu tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Orang-orang yang mendendam itu akan berpacu dengan waktu.
Demikianlah, ketika saatnya telah tiba, maka beberapa kelompok orang telah berkumpul. Jumlah mereka ternyata menjadi besar sebagaimana saat mereka menyerang padepokan Bajra Seta. Agaknya kelompok-kelompok yang besar dari para penjahat itu justru menjadi semakin besar, sehingga nampaknya ketenangan hidup pun akan menjadi semakin sempit.
“Kita akan bergerak di malam hari. Menjelang fajar kita akan memasuki padukuhan itu. Menghancurkan segala isinya dan membunuh semua orang. Kemudian, kita akan menghilang dengan cepat,” berkata seorang di antara para pemimpin yang mendendam itu.
Sementara itu, para pemimpin kelompok yang mendendam itu telah mengancam agar niat itu tidak bocor. Dengan garang para pemimpin itu mengancam, “Jika ada pengkhianat di antara kita, maka nasibnya akan menjadi semakin buruk. Orang itu akan mati dengan cara yang paling tidak disukainya.”
Karena itu, maka tidak seorang pun yang berniat untuk berkhianat. Mereka yang tidak ingin ikut serta, merasa lebih baik tidak melibatkan diri sama sekali. Apalagi untuk berkhianat.
Pada hari yang sudah ditentukan, maka orang-orang yang telah berhimpun itu pun mulai bergerak mendekati padukuhan yang baru tumbuh itu. Mereka dengan sangat berhati-hati telah melintasi jalan-jalan bulak yang panjang. Mereka sejauh dapat mereka lakukan berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan.
Namun demikian, ada juga beberapa orang petani yang sedang mengairi sawahnya di malam hari sempat melihat iring-iringan panjang itu. Ketiga orang itu kemudian kembali ke padukuhannya dan menceriterakannya kepada anak-anak muda yang ada di gardu, maka mereka pun sependapat, bahwa orang-orang itu tentu menuju ke padukuhan yang baru itu.
“Aku mengenal orang-orang yang tinggal di padukuhan itu,” berkata salah seorang anak muda, “meskipun mereka bekas penjahat yang pernah tertangkap saat mereka menyerang padepokan Bajra Seta, namun mereka telah menjadi baik.”
“Nampaknya iring-iringan yang bergerak di malam hari itu memang menuju ke padukuhan itu,” berkata seorang petani yang melihatnya saat ia sedang memanfaatkan air yang mengalir di malam hari.
“Aku akan pergi ke padukuhan itu,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu, “kasihan mereka jika tidak mengetahui bahwa bahaya sedang merangkap untuk menerkam mereka.”
Akhirnya, sembilan orang anak muda telah ke padukuhan yang akan menjadi sasaran serangan dari para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain itu. Ternyata di padukuhan-padukuhan yang dilewati, anak-anak muda itu mendapat banyak kawan. Lebih dari dua puluh orang yang dengan diam-diam telah pergi ke padukuhan yang baru tumbuh itu.
Dengan bekal pengenalan medan yang lebih baik, serta latihan-latihan kanuragan yang mereka dapatkan dari para cantrik di padepokan Bajra Seta, maka mereka telah mencapai padukuhan yang mereka maksud lewat jalan pintas tanpa diketahui oleh para penjahat yang juga merayap semakin dekat itu.
Kehadiran anak-anak muda itu memang sangat mengejutkan. Para penghuni padukuhan itu yang berada di gardu menyangka bahwa anak-anak muda justru akan menyerang mereka. Namun dengan cepat seorang di antara mereka mengangkat kedua tangannya sambil berkata, “Tunggu. Kami datang dengan maksud baik.”
Orang-orang yang ada di gardu itu termangu-mangu. Mereka masih belum yakin bahwa anak-anak muda itu berniat baik. Tetapi beberapa orang di antara anak-anak muda itu telah bergerak maju. Ternyata mereka dapat mengenali anak-anak muda itu ketika mereka menjadi semakin dekat dengan obor yang dipasang di sebelah gardu itu.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya salah seorang di antara mereka yang mengenali anak-anak muda itu.
Anak muda-yang paling berpengaruh di antara kawan-kawannya telah maju semakin dekat. Dengan singkat diceriterakannya apa yang telah dilihatnya, bahwa sebuah iring-iringan yang panjang telah mendatangi padukuhan itu.
“Siapakah mereka?” bertanya orang yang ada di gardu itu.
“Kami tidak tahu. Tetapi kami mencemaskannya jika mereka berniat buruk,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Orang-orang yang ada di gardu itu berpikir cepat. Seorang di antara mereka berkata, “Kita harus segera memberikan isyarat, agar kawan-kawan kita bersiap.”
Tetapi kawannya mencegahnya sambil berkata, “Tidak. Jika kita bunyikan kentongan, maka orang-orang yang berniat buruk itu tahu bahwa kami di sini telah bersiap untuk melawan mereka, sehingga mereka menjadi sangat berhati-hati. Tetapi sebaiknya kita bersiap dengan diam-diam. Kita sergap mereka jika mereka memang berniat buruk. Dengan demikian maka mereka akan kehilangan beberapa saat terpenting sebelum pertempuran terjadi. Kita harus benar-benar memanfaatkan saat yang pendek itu.”
Ternyata yang lain pun setuju. Sementara anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu berkata, “Kami datang untuk membantu kalian.”
“Terima kasih,” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang-orang yang berada di gardu itu telah berlari-larian untuk mengetuk pintu setiap rumah, sehingga dalam waktu yang singkat, setiap laki-laki telah bersiap. Dalam waktu yang singkat itu pula orang yang memimpin padukuhan itu telah mengatur, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk mengatasi bahaya yang sebentar lagi akan datang.
“Kita sebaiknya tidak menunggu di dalam padukuhan,” berkata pemimpin dari mereka yang menghuni padukuhan itu, seorang yang pernah menjadi hantu yang sangat ditakuti di bulak-bulak panjang. Seorang penyamun yang namanya dapat membuat seseorang menjadi pingsan. Namun yang ternyata ia telah mendapatkan terang dihatinya sehingga kelakuannya itu pun telah berubah, justru setelah ia tertangkap oleh para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya pun sependapat. Mereka akan menyongsong orang-orang yang menyerang padukuhan itu dan bertempur di luar padukuhan.
“Tetapi kita harus meninggalkan sekelompok kecil kawan-kawan kita sebagai kekuatan cadangan. Juga untuk mengatasi kesulitan jika ada di antara mereka yang sempat menerobos masuk ke dalam padukuhan,” berkata pemimin padukuhan itu.
Dengan cepat, ia mengatur kawan-kawannya dan menempatkan mereka di tempat yang paling sesuai untuk menahan arus serangan. Sedangkan delapan orang telah di tempatkan di sudut-sudut padukuhan untuk mengamati lingkaran di seputar padepokan itu di segala arah.
Sementara itu malam pun bergerak terus. Ternyata orang-orang yang akan menyerang padukuhan itu tidak langsung menusuk ke dalam padukuhan. Mereka memang merencanakan untuk menyerang padukuhan itu menjelang fajar. Karena itu, maka ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka justru telah berhenti untuk beristirahat.
“Kita menunggu di sini sampai cahaya fajar mulai nampak,” berkata pemimpin dari orang-orang yang mendendam itu. Lalu katanya, “Ada beberapa saat untuk beristirahat. Menjelang fajar orang-orang padukuhan itu akan terkejut. Tetapi mereka tidak akan sempat berbuat apa-apa kecuali menyesali pengkhianatan mereka.”
Orang-orang yang sudah berada di depan hidung padukuhan itu pun telah menebar di jalan bulak. Mereka berbaring di mana saja tanpa menghiraukan tubuh mereka akan menjadi kotor karenanya. Di atas rerumputan kering. Di atas tanah berdebu atau di mana saja.
Namun mereka sama sekali tidak menduga, bahwa pada saat itu, orang-orang padukuhan yang mereka anggap tidak tahu menahu tentang rencana kedatangan mereka itu pun telah bersiap pula sepenuhnya. Mereka telah merangkak maju justru mendekati tempat orang-orang yang akan menyerang itu beristirahat. Para pemimpin kelompok-kelompok kecil telah tahu benar, apa yang harus mereka lakukan menghadapi lawan mereka itu.
Demikianlah, dini hari di padukuhan itu seakan-akan tidak terusik. Anak-anak masih tidur nyenyak. Namun ibu-ibu merekalah yang menjadi sangat gelisah. Jika suami-suami mereka dan anak-anak muda yang jumlahnya tidak terlalu banyak di padukuhan itu tidak mampu bertahan, maka mereka pun akan menjadi korban.
Sementara itu, para penghuni padepokan itu pun telah menunggu di balik pohon perdu yang tumbuh di tanggul parit kecil yang menyilang jalan bulak yang menuju ke padukuhan. Mereka memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan menyerang padukuhan mereka akan datang melalui jalan itu.
Meskipun demikian, orang yang dianggap pemimpin di padepokan itu telah menempatkan beberapa orang di arah yang lain, sehingga apabila perhitungan mereka salah, maka orang-orang yang mengamati keadaan itu harus memberikan isyarat.
Tetapi ketika dua orang di antara mereka merangkak maju menyusuri pepohonan di pinggir jalan, maka mereka pun sempat melihat dalam keremangan dini hari, beberapa orang yang berjalan hilir mudik. Nampaknya orang-orang yang sedang bertugas sementara kawan-kawannya sedang beristirahat.
“Apakah orang-orang yang dikabarkan akan menyerang padukuhan itu telah berada disitu?” desis seorang di antara para pengawas itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak berani mendekat. Mungkin mereka akan dapat terjebak dan tidak sempat memberi isyarat, sehingga akhirnya orang-orang itu dapat memeras keterangan dari mulut mereka, bahwa kedatangan mereka telah diketahui. Karena itu, maka kedua orang itu justru merangkak surut dan memberikan laporan kepada orang yang dianggap pemimpin dari padepokan itu, bahwa di hadapan mereka terdapat beberapa orang yang tidak mereka kenal.
“Berapa jumlahnya?” bertanya pemimpin padukuhan itu.
“Kami tidak dapat melihat dengan jelas. Kami hanya melihat beberapa orang berjalan hilir mudik. Agaknya mereka adalah orang-orang yang sedang berjaga-jaga di antara sepasukan yang sedang beristirahat,” jawab pengawas itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu menunggu fajar, saat yang mereka perhitungkan untuk menyerang.”
Tetapi pemimpin dari padukuhan itu tidak membuang satu kesempatan. Beranting diperintahkannya orang-orangnya mendekat.
“Setiap saat terdengar isyarat, maka kita harus menyerang. Kapan pun juga,” berkata pemimpin dari padukuhan itu.
Semua orang memang telah bersiap. Bagaimanapun juga mereka memang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka adalah orang-orang yang telah berpengalaman, namun mereka menyadari, bahwa yang mereka hadapi adalah juga orang-orang yang berpengalaman.
Tetapi orang-orang padukuhan itu serta sekelompok anak muda yang telah membantu mereka, mempunyai beberapa kelebihan. Mereka bukan saja berpengalaman bertempur, tetapi mereka pun memiliki landasan kemampuan olah kanuragan yang mereka sadap dari padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin cerah, orang-orang yang menunggu fajar itu pun mulai bersiap-siap. Dua orang pengawas dari padukuhan melihat orang-orang yang semula terbaring di mana pun juga itu mulai bangkit. Sebagian dari mereka masih sempat menggeliat. Sedang yang lain bangkit berdiri untuk mencuci muka di parit yang mengalir di pinggir jalan itu.
Para pengawas menganggap bahwa waktunya telah datang. Karena itu, seorang di antara mereka pun telah merayap mundur untuk menyampaikan laporan kepada pemimpin padukuhan itu.
“Bagus,” berkata pemimpin padukuhan itu, “kita tidak akan menunggu mereka benar-benar bersiap.”
Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat dengan melemparkan batu-batu kerikil kepada kawan-kawannya di sebelah menyebelahnya. Isyarat itu pun segera dilanjutkan beranting. Untuk meyakinkan bahwa kawan-kawannya telah menerima isyarat itu, maka kawan-kawannya pun telah melemparkan kerikil pula kepada pemimpin padepokan itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang padukuhan itu mulai bergeser mendekat. Meskipun langit mulai terang, tetapi hari masih cukup gelap. Tanaman di sawah, serta batang-batang perdu di tanggul parit sedikit menghalangi pandangan orang-orang yang menunggu fajar itu.
Tetapi, hampir saja orang-orang padukuhan itu terlambat. Ketika mereka mendekati jalan tempat orang-orang itu beristirahat, maka telah terdengar para pemimpin kelompok-kelompok yang mendendam itu mulai meneriakkan aba-aba untuk bersiap-siap.
“Sebelum fajar kita bergerak. Padukuhan yang akan menjadi sasaran kita adalah padukuhan di depan hidung kita itu.”
Orang-orang itu pun mulai bersiap-siap. Sebagian dari mereka masih sibuk mencuci muka di parit kecil itu. Pada saat yang demikian, maka tiba-tiba saja terdengar teriakan aba-aba mengoyak sepinya pagi. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, beberapa orang telah berloncatan ke atas tanggul parit, kemudian meloncat menerkam mereka dengan senjata di tangan.
Orang-orang yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan itu memang sangat mengejutkan. Dari jarak yang terhitung pendek, orang-orang yang bagaikan bangkit dari dalam bumi itu telah menggapai mereka dengan ujung senjata. Beberapa orang sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja ketika mereka sadar, maka tubuhnya telah dikoyak oleh senjata lawannya.
Pada hentakkan pertama, beberapa orang telah menjadi korban. Mereka adalah orang-orang yang sangat malang. Tanpa dapat berbuat sesuatu, maka senjata telah menusuk tubuh mereka. Beberapa orang langsung terkapar di tanggul dan di pinggir jalan. Ada yang terbunuh, tetapi ada yang hanya terluka. Bahkan ada di antara mereka yang terluka, berpura-pura mati, sehingga ujung pedang lawannya tidak menukik sekali lagi ke jantung mereka.
Tetapi sejenak kemudian, maka orang-orang yang semula berniat menyerang padukuhan itu telah terlibat sepenuhnya ke dalam pertempuran. Ternyata tusukan orang-orang padukuhan itu telah mampu melukai pasukan yang telah siap untuk menyerang padukuhan itu. Ketika orang-orang yang menyerang padukuhan itu menyadari apa yang terjadi, maka keadaan telah menjadi semakin buruk. Tetapi beberapa orang pemimpinnya menyadari keadaan telah berteriak nyaring untuk membangunkan orang-orang yang masih terkantuk-kantuk.
“Jangan serahkan lehermu. Marilah, kita harus bangkit,” teriak seorang pemimpin. “Orang-orang itu dengan licik telah menyerang kita begitu tiba-tiba. Mereka sama sekali tidak bertempur sebagaimana seorang laki-laki.”
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata pula, “jangan biarkan orang-orang itu mengotori padukuhan kita. Apalagi dengan darahnya. Karena itu, kita harus bertahan dan bertempur di sini.”
Dengan demikian maka pertempuran itu pun dengan cepat telah menjadi semakin panas. Orang-orang yang datang itu telah membawa dendam yang membara. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak ingin hidup mereka dibayang-bayangi terus oleh kelompok-kelompok orang yang mersa pernah menjadi sumber kemampuan mereka.
Ternyata bahwa sergapan yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu menjadi sangat berarti. Dalam keadaan yang tiba-tiba itu orang-orang padukuhan seakan-akan telah berhasil membuat kemampuan pasukan yang menyerang dengan mereka yang harus bertahan menjadi seimbang. Karena itulah, maka pertempuran yang terjadi kemudian pun ternyata menjadi sangat sengit. Kedua belah pihak saling mendesak dan saling bertahan. Orang-orang yang mendendam itu benar-benar seperti orang yang kerasukan iblis. Sebaliknya mereka yang bertahan menjadi seperti harimau yang terluka.
Beberapa orang penyamun yang ada di dalam pasukan yang datang menyerang telah berteriak-teriak mengancam. Tetapi mereka yang bertahan ternyata sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan pemimpin padukuhan itu berteriak, “Aku adalah penyamun terbesar pada masanya. Dan kini aku masih tetap yang terbesar. Terbesar penyesalanku atas tingkah laku dan cara hidupnya masa lalu.”
“Persetan dengan kau,” geram salah seorang pemimpin dari pasukan yang datang menyerang itu.
Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya, maka para pemimpin dari kelompok-kelompok yang menyerang itu pun seakan-akan tengah mencari orang-orang yang mereka kenal dan pernah berada di dalam gerombolannya. Mereka mencari sasaran dendam yang mereka anggap tepat, sesuai dengan keinginan mereka datang ke tempat itu.
Tetapi orang yang bertahan pun sulit untuk dapat disibakkan. Dalam pada itu, ternyata jumlah orang-orang yang menyerang padukuhan itu masih lebih banyak, meskipun pada singgungan pertama, beberapa orang di antara mereka langsung terkapar jatuh.
Dengan demikian, maka jumlah yang lebih besar itu memang mempengaruhi imbangan kekuatan antara kedua belah pihak. Namun ternyata orang-orang padukuhan itu memiliki kelebihan. Selain mereka mempunyai dasar yang sama selama mereka bertualang di dunia kejahatan, maka orang-orang padukuhan itu telah mendapat tuntunan cukup dalam pertempuran bersama-sama. Perang gelar dan bermain dengan berbagai jenis senjata.
Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu nampaknya menjadi lebih mapan dari lawan-lawan mereka. Apalagi orang-orang padukuhan itu telah menjadi lebih banyak mengenali medan pertempuran. Ternyata baik para penyerang maupun orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak memasang gelar di dalam pertempuran itu. Gelar yang paling sederhana pun tidak. Mereka telah membiarkan orang-orang dari pihak masing-masing bertempur sesuai dengan bekal dan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun seakan-akan telah terpecah menjadi beberapa putaran arena pertempuran. Namun dengan demikian maka kelebihan dari para penghuni padukuhan itu pun menjadi semakin memberikan arti bagi dalam pertemuran yang menjadi kasar itu.
Sementara itu, lebih dari dua puluh orang anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan tetangga yang dengan suka rela telah membantu orang-orang padukuhan itu, karena mereka tahu, bahwa orang-orang yang tinggal di padukuhan itu sedang dalam satu masa yang sulit. Mereka sedang meniti satu masa peralihan untuk menemukan satu dunia yang lebih baik dari yang pernah mereka tempuh semula.
Anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki bekal kemampuan yang juga mereka sadap dari padepokan Bajra Seta. Sehingga dengan bekal kemampuan mereka, maka anak-anak muda itu telah bertempur dengan garangnya pula. Namun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin kasar. Ketika orang-orang yang menyerang padukuhan itu tidak lagi mengekang diri, maka mereka mulai bertempur dengan cara yang terbiasa mereka lakukan.
Ternyata cara-cara itu telah memancing orang-orang padukuhan yang pernah hidup dalam dunia yang sama, untuk bertempur semakin kasar pula. Namun ternyata bahwa kelebihan mereka dalam olah kanuragan telah membuat orang-orang yang menyerang padukuhan itu mengalami banyak kesulitan.
Dalam tatanan gerak yang keras dan kasar, maka bekal yang mereka peroleh dari Padepokan Bajra Seta menjadi semakin terasa menekan bagi orang-orang yang menyerang padukuhan itu. Unsur-unsur gerak yang lebih rumit yang mengandung berbagai kemungkinan dengan sasaran yang terpilih atas tubuh lawannya, yang dilakukan dengan keras benar-benar telah mengguncangkan pertahanan lawan-lawan mereka.
Dalam kekalutan itu, maka seorang dari antara penghuni padukuhan itu memberikan pertimbangan kemungkinan membunyikan isyarat bagi Padepokan Bajra Seta. Mereka tentu akan segera mengirimkan bantuan untuk mengusir orang-orang yang datang menyerang itu.
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata, “Kita harus berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh untuk mampu berdiri sendiri. Kita tidak akan selamanya menjadi tanggungan orang lain. Karena itu, maka kita harus mencoba mengatasi kesulitan ini sendiri.”
Orang itu ternyata dapat mengerti. Karena itu, maka ia tidak lagi mendesak. Tetapi ia pun segera meloncat turun ke medan pertempuran sambil memutar senjatanya. Sebuah teriakan yang keras dari mulutnya terlontar meninggi seakan-akan menggapai langit.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu bukanlah kelinci yang dengan mudah dapat ditundukkan serta menyerahkan lehernya untuk dibantai sebagai pengkhianat terhadap kawan-kawan mereka yang pernah bersama-sama menjelajahi padukuh-an-padukuhan untuk merampok atau bulak-bulak panjang untuk menyamun serta melakukan kejahatan-kejahatan yang lain.
Dalam pada itu, para penjahat yang mendendam dan kemudian menyerang padukuhan itu memang terkejut melihat perlawanan para penghuni padukuhan itu. Sejak mereka disergap dengan tiba-tiba dan kemudian harus bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, orang-orang yang menyerang itu merasa bahwa mereka telah salah hitung.
Mereka mengira bahwa orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Mereka yang telah meninggalkan kebiasaan mereka menjelajahi sasaran kejahatan mereka dan hidup menjadi petani, disangkanya tidak lagi mempunyai keberanian untuk menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata mereka justru telah menyergap lebih dahulu dan kemudian menekan mereka dengan kekuatan yang benar-benar di luar dugaan.
Apalagi orang-orang padukuhan yang merasa hidupnya selalu terancam itu, tidak selunak para cantrik di padepokan. Ujung-ujung senjata mereka benar-benar menghunjam sampai ke jantung. Tidak ada usaha untuk menghindari kematian, justru karena orang-orang padukuhan itu merasa dirinya lebih lemah.
Korban pun semakin lama menjadi semakin banyak. Yang terbanyak justru dari mereka yang datang menyerang padukuhan itu. Sementara orang-orang padukuhan yang telah melakukan latihan dengan baik, serta anak-anak muda yang memiliki dasar ilmu kanuragan itu, masih sempat berpikir dan berusaha untuk melindungi diri mereka berbareng dengan usaha mereka untuk menundukkan lawannya.
Yang terjadi adalah satu kenyataan. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu untuk melepaskan dendamnya, ternyata sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Mereka terpaksa menyerahkan korban dari antara para penjahat yang dianggap memiliki keberanian yang tinggi.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka kenyataan itu benar-benar telah dibentangkan di hadapan mereka yang sedang bertempur itu. Darah telah membasahi jalan bulak dan tanah persawahan, mengalir di pematang dan menitik di daun padi. Orang-orang yang mendendam itu mengumpat tidak ada habis-habisnya. Mereka ternyata tidak berhasil membantai orang-orang yang mereka anggap pengkhianat itu. Bahkan justru kawan-kawan merekalah yang sudah terbantai di arena.
Tanpa para cantrik, maka orang-orang padukuhan itu ternyata masih juga dijangkiti oleh kebiasaan mereka jika keringat apalagi darah telah mengalir. Senjata mereka tentu menggapai sampai ke pusat lawannya. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah menjadi semakin garang. Korban pun berjatuhan. Namun karena orang-orang padukuhan itu mempunyai bekal yang lebih lengkap, maka mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk tetap hidup daripada orang-orang yang datang menyerang. Karena itu, maka semakin lama semakin nampak bahwa pasukan yang menyerang padukuhan itu pun susut lebih cepat.
Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang padukuhan itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Betapa pun mereka berusaha menghentakkan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam pasukan mereka, tetapi mereka benar-benar tidak mampu mengimbangi orang-orang padukuhan yang ingin mereka hancurkan karena dendam yang selalu menyengat perasaan mereka. Apalagi jika mereka mendengar bahwa usaha untuk membangun sebuah padukuhan telah berhasil. Perasaan dendam, benci dan iri telah membakar jantung mereka.
Namun mereka membentur kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa. Bahkan semakin lama korban di antara mereka akan menjadi semakin banyak jatuh. Karena itu, maka pemimpin yang mendapat kepercayaan untuk memimpin pasukan itu dalam keseluruhan tidak mempunyai pilihan lain. Dengan hati yang sangat sakit, maka ia pun telah memberikan isyarat agar seluruh pasukan itu menarik diri.
Perintah itu memang menimbulkan tanggapan yang berbeda. Ada di antara mereka yang tidak mau melihat kenyataan. Mereka menganggap bahwa pada akhirnya mereka akan dapat menghancurkan pasukan yang disusun oleh orang-orang padukuhan itu. Tetapi sebagian besar dari mereka menyadari, perintah itu adalah satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka tempuh jika mereka tidak ingin membunuh diri.
Karena itulah maka ketika isyarat itu diperdengarkan sekali lagi, maka orang-orang yang menyerang padukuhan itu menjadi yakin, bahwa mereka memang harus menarik diri. Sejenak kemudian, maka medan pertempuran itu bagaikan bergetar. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu sedang menghentakkan kekuatan mereka. Dengan demikian, maka mereka akan mendapat ancang-ancang untuk melarikan diri.
Ternyata bahwa demikian kesempatan terbuka, orang-orang yang menyerang padukuhan itu pun segera ditarik mundur. Mereka pun segera menghambur meninggalkan medan. Mereka dengan sengaja telah berlari bercerai berai, sehingga dengan demikian maka orang-orang padepokan itu memang menjadi bingung. Kemana mereka harus mengejar.
Beberapa puluh langkah orang-orang padukuhan itu berusaha mengejar. Tetapi akhirnya pengejaran itu mereka hentikan setelah orang-orang yang menyerang padukuhan itu bertebaran ke segala penjuru, menjelajahi kotak-kotak sawah, meniti pematang dan menginjak-injak tanaman.
Beberapa saat kemudian, orang-orang padukuhan itu serta anak-anak muda yang membantu mereka telah berkumpul. Beberapa orang korban memang telah jatuh. Bahkan ada pula diantara anak-anak muda yang telah membantu padukuhan itu, bahkan telah memberikan isyarat bahwa padukuhan itu akan mendapat serangan.
Berkali-kali pemimpin padukuhan itu mengucapkan terima kasih. Tanpa bantuan mereka, serta tanpa isyarat sebelumnya bahwa padukuhan itu akan diserang, maka padukuhan itu tentu sudah hancur. Mereka tentu sudah dibantai oleh orang-orang yang mendendam dan menganggap mereka berkhianat. Meskipun sebelum pertempuran itu terjadi tidak ada peringatan dan tidak ada pembicaraan sama sekali, tetapi orang-orang padukuhan itu tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang datang itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang padukuhan itu pun telah berusaha untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Hampir pasti, bahwa yang terluka telah tidak bernafas lagi. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu memang tidak pernah merasa ragu-ragu untuk membunuh.
Namun ketika hal itu disadari oleh orang-orang padukuhan itu, maka mereka pun telah melakukan hal yang sama sebagaimana dahulu selalu mereka lakukan. Mereka hampir tidak pernah meninggalkan dan membiarkan korban-korban mereka untuk tetap hidup betapa mereka menangis dan meminta. Hanya karena keajaiban sajalah bahwa orang dapat tetap hidup setelah bertemu dengan mereka. Apakah itu dibulak-bulak panjang, di jalan-jalan atau dirumah mereka yang dirampok.
“Ada beberapa orang yang masih hidup,” berkata salah seorang penghuni padukuhan itu.
“Kenapa kau masih harus bertanya,” jawab seorang yang bertubuh gemuk, “kawan-kawan kita telah mereka bantai dengan keji. Kenapa orang-orang yang terluka itu tidak diakhiri saja sama sekali.”
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar jawaban bukan dari kawan-kawan mereka yang ada di sekitarnya. Katanya, “Kenapa kalian masih tetap hidup meskipun ada di antara kalian yang terluka saat kalian ditangkap di padepokan?”
Orang-orang itu berpaling. Ternyata mereka melihat Mahisa Pukat berdiri tegak sambil memandangi wajah-wajah yang tegang itu. Orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Ternyata Mahisa Pukat melangkah terus. Ia hanya berhenti sejenak memandangi orang-orang yang terbaring diam. Ada di antara mereka yang memang masih hidup. Tetapi lukanya sudah menjadi sangat parah.
Sementara itu di tempat lain Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Hampir semua orang yang terbaring sudah tidak bernyawa lagi. Baik orang-orang yang menyerang padukuhan itu, maupun orang-orang dari padukuhan itu sendiri, ternyata tidak lagi mampu mengekang diri.
“Pertempuran yang mengerikan,” desis Mahisa Murti. Sejenak kemudian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah menemui pimpinan padukuhan itu. Kedua orang pemimpin dari padepokan yang sedang mekar, Bajra Seta, merasa berkeberatan dengan cara mereka bertempur.
“Kami tidak mempunyai pilihan lain,” jawab pemimpin padukuhan itu.
“Bahwa kalian harus mempertahankan padukuhan kalian itu, tentu. Tetapi cara kalian bertempur itulah yang kurang aku setujui,” berkata Mahisa Murti, “kenapa kau terpancing oleh lawanmu untuk bertempur dengan kasar. Apakah kau merasa perlu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya dalam pertempuran itu? Seharusnya kalian minta bantuan para cantrik. Kalian akan dapat mengusir lawan dari padukuhan ini tanpa harus bertempur dengan saling membantai.”
Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Meskipun ia mengangguk-angguk, tetapi ia merasa sulit untuk membayangkan bagaimana pertempuran cara itu terjadi. Namun akhirnya ia pun mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak bertanya lebih lanjut. Mereka hanya mengelilingi arena pertempuran itu. Kemudian meninggalkan orang-orang padukuhan itu sibuk dengan orang-orang yang terbunuh dan satu dua yang terluka parah.
Namun pada malam harinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang ke padukuhan yang baru saja mendapat serangan itu. Dengan panjang lebar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjelaskan, bahwa perang bukanlah sekedar membunuh dan hilangnya rasa perikemanusiaan. Meskipun hal seperti itu sulit untuk dihindari.
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka memang harus mengakui, bahwa mereka masih belum dapat mengekang diri mereka sehingga dalam pertempuran yang baru saja terjadi, mereka masih juga diwarnai dengan sifat-sifat mereka sebelumnya.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “apa yang terjadi adalah satu peringatan bagi kalian. Adalah kebetulan bahwa lawan kalian adalah orang-orang yang kasar dan bahkan buas, sehingga kalian telah terpancing untuk melakukannya. Tetapi untuk selanjutnya kalian harus menempatkan diri kalian sebagaimana sikap seseorang yang berakal budi.”
Pemimpin padukuhan itu memang sempat minta maaf kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami ternyata masih juga dibayangi oleh sifat-sifat kami dari hidup kami yang terdahulu.”
“Ingatlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “kalian yang dahulu, maksudku hidup kalian yang lama, telah mati. Telah dikuburkan. Kalian harus berada dalam satu dunia yang baru, karena kalian adalah orang baru yang dilahirkan kembali dengan sifat-sifat yang harus baru sama sekali.”
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyempatkan diri secara khusus berterima kasih kepada anak-anak muda yang telah membantu padukuhan itu mempertahankan dirinya. Bahkan mereka telah dengan suka rela melibatkan diri sejak pertempuran belum dimulai.
Di hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti oleh pemimpin padukuhan itu serta beberapa orang yang lain telah memerlukan mendatangi orang tua dari tiga orang korban yang terbunuh di medan pertempuran itu. Sambil menyerahkan tubuh dari korban yang telah gugur itu, mereka mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga besarnya.
“Mereka telah gugur untuk satu perjuangan yang luhur,” berkata Mahisa Murti, “ada satu pesan tersendiri dari perjuangan mereka, karena sebenarnyalah mereka telah berusaha menyelamatkan sebuah padukuhan dari kehancuran mutlak. Tanpa bantuan mereka maka padukuhan itu tentu sudah menjadi debu.”
Orang tua ketiga orang korban itu, terutama ibu-ibu mereka memang menangis. Tetapi mereka dapat mengerti arti dari pengorbanan anak-anak muda itu. Mereka dapat membayangkan tanpa pengorbanan mereka, maka yang terjadi adalah pembantaian yang mengerikan. Padukuhan itu tentu masih tertidur lelap ketika bahaya itu menerkam menjelang fajar. Tetapi karena jasa anak-anak mereka serta beberapa orang kawannya maka hal itu akhirnya dapat dihindari.
Mengorbankan diri untuk keselamatan orang lain memang sangat mahal harganya. Hanya kasih yang tulus terhadap sesama maka seseorang bersedia mengorbankan jiwanya bagi keselamatan orang lain, tanpa pamrih selain keselamatan itu sendiri. Karena itu, maka ketiga orang anak muda itu memang pantas untuk mendapat penghormatan yang tinggi. Mereka memang tidak mendapatkan penghormatan dari sepasukan prajurit yang datang dari Singasari atau Sangling atau Lemah Warah. Tidak pula dari Kediri.
Yang menghormatinya hanyalah tetangga-tetangganya saja yang mengetahui apa yang telah terjadi. Namun penghormatan itu tidak kalah nilainya dengan penghormatan yang mana pun juga, karena diberikan oleh orang-orang itu dengan hati yang bersih, yang menjadi saksi atas pengorbanan yang telah diberikan oleh anak-anak muda yang telah gugur itu.
Dengan demikian maka di padukuhan-padukuhan yang lain pun telah timbul pula suasana berkabung sebagaimana padukuhan yang menjadi sasaran utama dari penyerangan yang didorong oleh perasaan dendam. Yang sebenarnya dilandasi pula oleh perasaan dengki, bahwa orang-orang yang semula hidup bersama mereka dalam kegelapan, telah mampu mengangkat dirinya dan hidup dalam satu suasana yang jauh lebih baik.
Namun peristiwa itu telah menjadi cambuk bagi orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu. Mereka harus lebih bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk seperti itu di saat yang lain. Dengan demikian, maka para penghuni padukuhan itu menjadi semakin meningkatkan kesiagaan mereka. Anak-anak mudanya menjadi lebih giat melakukan latihan-latihan yang diberikan oleh para cantrik yang terpilih.
Beberapa orang remaja yang mendekati usia dewasanya telah pula ditempa untuk menjadi anak muda yang perkasa. Bahkan anak-anak pun telah mulai dengan pengenalan pada unsur-unsur dasar olah kanuragan. Jika mereka kelak tumbuh menjadi remaja dan apalagi dewasa, maka mereka akan dapat menjadi benteng yang kokoh dari padukuhan mereka.
Tetapi yang terpenting adalah meningkatkan ketahanan padukuhan itu dalam waktu yang singkat. Setiap saat orang-orang yang mendendam dan mendengki itu datang lagi, maka mereka tidak akan mengecewakan. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkata,
“Perang berbeda dengan pembantaian. Meskipun tujuan akhir dari perang memang kemenangan, tetapi nilai kemenangan itu jangan dikotori oleh tindakan-tindakan yang dapat menyinggung kesadaran kemanusiaan yang paling dalam.”
Sementara itu, ternyata kelompok-kelompok yang berusaha untuk menghancurkan padukuhan yang baru itu, telah saling menuduh bahwa kelompok yang lain tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Meskipun hal itu tidak dilontarkan dengan terbuka, namun masing-masing kelompok merasa bahwa telah timbul perasaan saling mencurigai yang tajam di antara mereka.
Nampaknya persoalan yang timbul di antara mereka itu merupakan pertanda baik bagi padukuhan yang semakin berkembang itu. Sebab dengan demikian, maka kemungkinan mereka untuk datang dalam kelompok yang besar menjadi semakin kecil.
Sementara padepokan Bajra Seta berkembang semakin pesat, maka telah terjadi satu peristiwa yang mengejutkan bagi padepokan itu. Ternyata telah datang utusan dari istana Singasari, Sri Maharaja telah memanggil Mahendra untuk menghadap.
Seorang perwira prajurit Singasari yang datang bersama sekelompok pengawalnya telah menyampaikan perintah itu dengan membawa pertanda kuasa Sri Maharaja. Sebuah tunggul yang berwarna keemasan berbentuk kelopak bunga, dengan kelebet segi tiga dengan lukisan sepasang naga ular yang saling membelit.
“Kenapa aku harus menghadap?” bertanya Mahendra, “aku sudah semakin tua. Apa yang dapat aku lakukan dalam keadaan pikun seperti ini?”
“Kami hanyalah utusan yang memanggul perintah Sri Maharaja,” jawab perwira yang memimpin sekelompok utusan itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dengan rendah hati Mahendra berkata, “Baiklah. Aku akan menghadap Sri Maharaja di Singasari. Tetapi mohon disampaikan sebelumnya, bahwa Mahendra sudah menjadi pikun.”
“Kita pergi bersama-sama Ki Mahendra,” minta perwira itu.
Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Aku akan menyusul kemudian. Silahkan angger mendahului. Aku masih akan ikut membenahi padepokan ini meskipun kedua orang anakku masih akan tinggal di sini dan memimpin padepokan ini.”
“Ki Mahendra memerlukan waktu berapa hari? Kami bersedia untuk menunggu sampai Ki Mahendra selesai membenahi padepokan ini,” berkata perwira yang memimpin utusan yang menjemput Mahendra itu.
“Kenapa aku harus pergi bersama kalian?” bertanya Mahendra.
“Perintah Sri Maharaja. Aku kembali bersama ki Mahendra,” jawab perwira itu, “jadi sampai kapan pun sebelum Ki Mahendra dapat berangkat ke Singasari, kami masih akan menunggu. Jika kami kembali lebih dahulu, maka akan terjadi dua kemungkinan. Kami dihukum karena tidak menjalankan perintah, atau Ki Mahendra yang dianggap menolak perintah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengingkari perintah itu. Ia harus pergi ke Singasari bersama para prajurit. Mungkin tidak ada yang penting. Mungkin Sri Maharaja sekedar merasa kehilangan Mahisa Agni dan Witantra. Kemudian memanggilnya untuk sekedar berbincang karena Sri Maharaja tahu, bahwa ia adalah saudara muda seperguruan Witantra dan seorang yang dekat dengan Mahisa Agni.
“Tetapi aku tidak lebih dari seorang pedagang wesi aji dan batu akik, sekali-sekali permata yang memang mahal harganya,” berkata Mahendra di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Jika itu perintah Sri Maharaja, maka aku tidak akan menentangnya. Aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.”
“Terima kasih Ki Mahendra,” jawab perwira itu, “tetapi dengan demikian maka kami mohon mendapat tempat untuk tinggal selama beberapa hari menunggu Ki Mahendra.”
“Tentu Ki Sanak,” jawab Mahendra, “tetapi mohon diketahui, bahwa tempatnya terlalu sederhana.”
“Kami, para prajurit, dapat tinggal di manapun. Bahkan seandainya kami harus berada di longkangan-longkangan sekali pun,” jawab perwira yang membawa pertanda kekuaasaan dari Sri Maharaja di Singasari itu.
Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah minta untuk menyediakan barak khusus bagi penginapan para prajurit dari Singasari itu. Dalam pada itu, dalam pertemuan yang sangat khusus, Mahendra telah minta diri kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Aku harus memenuhi perintah Sri Maharaja. Aku tidak tahu berapa hari aku harus berada di Singasari. Mungkin satu dua hari. Tetapi mungkin agak lama. Aku pun tidak tahu untuk apa aku harus pergi ke Singasari. Mungkin untuk sesuatu yang penting. Tetapi mungkin sekedar mengisi kekosongan sepeninggal kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra,” berkata Mahendra kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja, sementara Mahendra telah memberikan pesan kepada mereka tentang padepokan Bajra Seta yang telah mereka dirikan.
“Jangan sia-siakan Padepokan yang telah berkembang dengan baik ini,” berkata Mahendra, “selain daripada itu, maka kalian berdua jangan tenggelam dalam kesibukan yang berlarut-larut, sehingga kalian tidak sempat meningkatkan ilmu kalian sendiri. Kau sudah tidak lagi mempunyai seorang yang secara khusus menuntun kalian untuk meningkatkan ilmu kalian. Karena itu, kalian harus mampu menguasai diri sendiri serta dengan sungguh-sungguh berusaha meningkatkan dan mengembangkan ilmu kalian. Beruntunglah kalian karena kalian telah mendapat tuntunan dari beberapa orang yang berilmu sangat tinggi, serta kalian telah mendapatkan pusaka yang jarang ada duanya. Bekal itu harus kalian kembangkan sebaik-baiknya sehingga kalian tidak akan hanya sekedar berpijak pada apa yang kau miliki sekarang. Mungkin kakangmu Mahisa Bungalan tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Ia terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga karena itu, ia tidak dapat setiap kali berada di sanggarnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk serta mengiakannya. Namun Mahendra juga berpesan tentang anak-anak yang telah terlanjur dibawa ke padepokan itu.
“Kau tidak boleh menelantarkan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Keduanya telah kau bawa kemari. Karena itu, maka kau mempunyai kewajiban untuk membesarkan mereka. Bukan hanya tubuhnya, tetapi juga ilmunya. Bukankah pada suatu saat kau memerlukan orang-orang baru yang pantas untuk ikut memimpin padepokan ini? Aku tahu bahwa keduanya tidak akan dapat menjadi wadah segala macam isi yang ada di dalam dirimu, karena kau tentu masih berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Mungkin anak-anak kalian atau anak Mahisa Bungalan yang pantas mewarisi semua kemampuan dan ilmu kalian. Tetapi dengan tuntunan yang baik, lahir dan batin, kedua anak itu akan dapat ikut serta menciptakan satu suasana yang memungkinkan orang-orang yang masih bakal lahir untuk menggantikan puncak dari kepemimpinan padepokan ini. Namun tidak mustahil bahwa kau memerlukan sosok perantara. Nah, Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat melakukannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan oleh ayahnya itu, sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan dengan sebaik-baiknya tugas itu. Merekalah yang telah membawa anak-anak itu ke padepokan itu dengan niat agar pada suatu saat mereka tidak akan kehilangan jalur peningkatan dan pengembangan atas padepokan Bajra Seta itu.
“Tetapi aku masih belum akan berangkat besok,” berkata Mahendra, “aku akan berangkat dua hari lagi. Aku ingin pergi dengan hati yang tenang, karena sebenarnyalah aku ragu-ragu apakah aku akan dapat kembali lagi ke padepokan ini atau tidak.”
Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya, “Kenapa ayah ragu-ragu untuk dapat kembali? Apakah ada sesuatu yang dapat menahan ayah pulang ke padepokan ini?”
“Tidak karena kekuatan lain yang dapat menahanku. Tetapi bukankah aku sudah tua?” Mahendra justru bertanya.
“Tetapi, pada saatnya ayah akan pulang. Jika ayah bersedia kembali ke padepokan ini kami mengucapkan terima kasih. Atau barangkali ayah berniat pulang ke rumah. Tetapi ke mana pun ayah akan pergi, maka ayah akan dapat melakukannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku mengerti,” jawab Mahendra, “mudah-mudahan aku akan dapat melihat padepokan ini lagi.”
Di hari berikutnya Mahendra memang mulai berkemas. Dipanggilnya Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Dengan singkat Mahendra memberitahukan kepada mereka, bahwa ia akan pergi ke Singasari.
“Kenapa Ki Mahendra harus pergi?” bertanya Mahisa Amping.
“Aku tidak tahu Sri Maharaja telah memanggilku,” jawab Mahendra.
“Bukankah Ki Mahendra tidak berbuat kesalahan?” bertanya Mahisa Semu.
“Tidak,” jawab Mahendra, “jika aku dipanggil ke Singasari itu bukan berarti satu hukuman. Saudara tua seperguruanku dahulu juga mengabdi di istana. Tetapi ia telah tidak ada bersama seorang sahabatnya. Mungkin aku dipanggil untuk mengisi kekosongan di istana. Mungkin diperlukan orang-orang tua untuk dapat diajak berbincang-bincang.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, bukankah Ki Mahendra dapat saja setiap saat meninggalkan istana. Kemudian kembali lagi.”
“Ya,” jawab Mahendra, “tetapi tenagaku yang telah menjadi rapuh tidak akan mungkin melakukannya. Aku sekarang cepat menjadi letih.”
Mahisa Semu tidak bertanya lebih banyak lagi, sementara Mahisa Amping merasa sangat kehilangan dengan kepergian Mahendra. Justru karena Mahisa Amping sadar sepenuhnya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menjadi terlalu sibuk. Dengan demikian maka perkembangan ilmunya pun akan menjadi tersendat kembali.
Tetapi Mahisa Amping memang tidak dapat menyalahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Semakin bertambah umurnya, anak itu semakin menyadari, bahwa ia bukan orang yang terpenting di padepokan itu. Ia hanya merupakan bagian kecil dari seluruh isi padepokan yang semakin besar itu.
Mahendra memang selalu memberitahukan kepada Mahisa Amping dan Mahisa Semu, bahwa mereka adalah bagian dari keseluruhan sehingga mereka harus mampu luluh di dalamnya. Keduanya tidak boleh menyalah artikan, seolah-olah bumi beredar di sekitar diri mereka. Sehingga segala sesuatunya mereka pandang dari sudut pandangan mereka saja dan merasa seakan-akan mereka adalah segala-galanya, sehingga apa yang ada di sekitarnya harus tunduk kepada mereka.
Demikianlah pada hari-hari terakhir Mahendra berada di dalam barak itu, ia masih sempat memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berarti bagi keduanya. Dengan demikian maka bagi keduanya, seakan-akan pintu telah terbuka. Mereka akan dengan mudah dapat mengembangkan dan meningkatkan apa yang telah mereka miliki.
Selain kedua orang anak muda itu, Mahendra juga memberikan banyak pesan kepada para cantrik dan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri. Terakhir Mahendra telah mengumpulkan semua orang di padepokan itu. Bahkan orang-orang yang selalu berhubungan dengan padepokan itu. Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan sebelum dan isi padukuhan baru yang telah dihuni oleh orang-orang yang kembali dari jalan yang sesat.
Ternyata bahwa apa yang dilakukan oleh Mahendra itu mempunyai pengaruh yang luas. Bukan sekedar pernyataan perpisahan. Tetapi pernyataan perwira yang memimpin sekelompok prajurit yang datang menjemput Mahendra ke padepokan itu, merupakan satu pengakuan dari Sri Maharaja di Singasari terhadap padepokan itu. Sehingga dengan demikian maka kedudukan padepokan itu menjadi sangat kuat dan orang-orang di sekitarnya menjadi semakin menghormatinya.
Mahendra memang berharap bahwa dengan caranya, pengakuan itu menjadi semakin tersebar. Orang-orang yang berniat buruk terhadap padepokan itu pun akan membuat perhitungan kembali, karena memusuhi padepokan Bajra Seta, sama artinya dengan memusuhi Singasari yang besar.
Demikianlah akhirnya, Mahendra telah minta diri kepada seisi padepokan itu. Ia masih memperingatkan kemungkinan-kemungkinan buruk dapat terjadi. Namun kepada prajurit ia minta untuk membawa seorang di antara para tawanan yang masih saja berhati batu. Namun orang yang masih saja mengumpat-umpat itu akhirnya menyesal bahwa ia harus ikut ke Singasari. Bukan sekedar dibawa ke Sangling.
“Kau akan mendapat tempat yang baik di Singasari,” berkata seorang prajurit kepadanya.
Semula tawanan itu masih bersikap kasar. Kepada prajurit itu ia mengumpat-umpat. Namun ternyata prajurit itu tidak bersikap seperti para cantrik yang membiarkannya. Demikian ia mengumpatinya, maka tangan prajurit Singasari itu telah menyambar pipinya. Demikian kerasnya sehingga tawanan itu mengaduh kesakitan.
Prajurit itu memang tidak melakukannya dengan semata-mata. Bahkan berdesis ia berkata, “Jika kau lakukan sekali lagi, aku cekik kau. Tidak sampai mati. Tetapi setengah mati saja, karena aku tidak wenang membunuhmu.”
Tawanan itu menyeringai kesakitan. Ketika prajurit yang lain lewat ia pun berteriak, “Tolong.”
Prajurit itu mendekat. Sambil memandangi kawannya ia bertanya, “Kenapa?”
“Prajurit itu memukul pipiku. Sakit sekali,” jawab tawanan itu.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian bertanya, “Lalu apa yang kau ingini?”
“Perlakuan yang baik,” jawab tawanan itu.
Di luar dugaan. Prajurit itu menangkap tengkuknya dan membenturkan dahinya ke lantai. Katanya, “Apa lagi?”
Tawanan itu terdiam. Dipandanginya kedua orang prajurit itu dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya. Namun ia masih saja berdiam diri.
Prajurit yang kedua itu kemudian berkata, “Nah, aku sudah tahu apa yang kau lakukan di sini. Manja dan terlalu diperlakukan dengan lunak saat-saat kau menarik perhatian para cantrik. Tetapi kau tidak dapat menjadi manja kepada para prajurit. Apa lagi mengingat bahwa kau telah diperlakukan terlalu baik, namun masih juga belum sembuh sementara orang lain telah hidup dalam sebuah padepokan yang tenang.”
Tawanan itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengulangi tingkah lakunya. Ketika kedua orang prajurit itu pergi, dan ia sekali lagi mencoba bermanja-manja dengan prajurit yang lain, maka giginya justru berdarah. Prajurit itu dengan tinjunya telah memukul mulutnya.
Demikian para prajurit meninggalkannya, maka tawanan itu tiba-tiba telah menangis. Ia benar-benar telah menyesal. Ia mengira bahwa dengan sikapnya itu, ia akan dapat menakut-nakuti para cantrik sehingga ia mendapat perlakuan baik. Namun ternyata akhirnya ia jatuh ke tangan prajurit Singasari yang keras seperti batu.
Ketika Mahendra kemudian telah siap untuk berangkat, maka orang itu pun telah dipersiapkan pula. Baginya juga disediakan seekor kuda. Namun tangannya akan diikat meskipun masih memungkinkan memegang kendali. Pinggangnya juga akan diikat dan dengan tali yang panjang, pinggangnya itu akan dihubungkan dengan seekor kuda yang lain, yang ditunggangi oleh seorang prajurit.
Kepada prajurit yang mengikat tanggannya orang itu berkata, “Kenapa harus diikat. Aku tidak akan lari. Dengan diikat aku sulit untuk memegang kendali.”
Prajurit yang mengikatnya berdesis perlahan, “jangan ribut. Nanti lehermu aku ikat.”
“Aku minta lepaskan tali pengikatnya,” minta orang itu dengan sengaja agar Mahendra mendengarnya.
Mahendra memang mendengarnya. Ia pun berpaling dan bertanya kepada tawanan itu, “Apakah kau ingin tanganmu tidak diikat?”
“Ya,” jawab tawanan itu.
Prajurit yang mengikatnya memang menjadi berdebar-debar. Tanpa diikat tangannya, maka orang itu akan dapat melarikan diri. Keduanya akan dapat dihentakkan dan berlari keluar dari iring-iringan.
Namun jawab Mahendra, “Nanti setelah kita sampai di Singasari, maka ikatan tanganmu itu akan dilepaskan.”
“Aku berkeberatan,” geram orang itu.
“Kau keberatan tanganmu diikat?” bertanya Mahendra pula.
Tawanan itu ragu-ragu. Dipandanginya sorot mata Mahendra. Namun Mahendra itu berkata, “Kau sudah terlalu lama memuakkan kami, orang-orang padepokan. Sekarang, kau akan dibawa ke Singasari untuk mendapatkan angin baru. Mungkin kau lebih senang diperlakukan seperti itu, karena kebaikan para cantrik kau sia-siakan. Kau agaknya mendapat kepuasan yang tinggi dengan berlaku kasar dan tidak wajar.”
Tawanan itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku minta, lepaskan ikatan tanganku.”
Mahendra tiba-tiba saja meninggalkannya, sementara prajurit yang mengikat tangannya itu berkata, “Aku akan mengikat lehermu. Jika kau meronta, dan jatuh dari punggung kudamu, maka kau akan langsung terseret oleh kuda yang lain dengan tali yang terikat pada pinggang dan lehermu.”
“Jangan, jangan,” orang itu hampir berteriak.
Prajurit itu berkata perlahan-lahan sekali ditelinganya, “Apakah kau masih mempunyai hak berkata jangan?”
Tawanan itu pun benar-benar menyadari, bahwa ia akan memasuki satu dunia yang penuh kegelapan. Di Singasari, maka ia akan segera menjadi ikan kering yang dijemur diteriknya panas matahari. Tetapi ia tidak dapat menarik semua yang pernah dilakukannya sehingga ia tidak jadi dibawa ke Singasari. Semua yang telah terjadi tidak dapat diingkarinya.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, Mahendra diiringi oleh para prajurit dari Singasari telah meninggalkan padepokan itu. Rasa-rasanya jantung Mahendra juga berdebaran. Namun Mahendra tidak menunjukkan perasaannya itu di wajahnya. Ia meninggalkan regol padepokan sambil tersenyum dan dengan wajah tengadah, betapa pun sebenarnya terasa berat berpisah dengan anak-anaknya pada hari-hari terakhir dari hidupnya. Tetapi ia memang tidak dapat menolak perintah Sri Maharaja meskipun seandainya di Singasari ia sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit itu pun telah menjadi semakin jauh. Mahendra yang sudah menjadi semakin tua masih nampak tegar di atas punggung kuda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengantar ayahnya sampai keluar regol padepokan. Demikian pula Mahisa Amping dan Mahisa Semu serta beberapa orang yang lain. Baru setelah iring-iringan itu menjadi jauh, mereka telah kembali memasuki regol padepokan. Pintu pun kemudian telah ditutup pula.
Beberapa saat kemudian, padepokan menjadi sepi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memikirkan kepergian ayahnya yang sudah tua. Mereka tidak curiga bahwa prajurit yang menjemput ayahnya itu bukan sebenarnya prajurit Singasari. Keduanya yakin benar bahwa prajurit-prajurit dengan segala macam pertanda serta tunggul beserta kelebetnya telah meyakinkannya. Namun yang mereka pikirkan adalah, untuk apa ayahnya diperintahkan masuk ke istana.
“Apakah sekedar untuk mengisi kekosongan sepeninggal paman Mahisa Agni dan Witantra,” desis Mahisa Murti.
“Mudah-mudahan ayah mempunyai arti di Singasari,” gumam Mahisa Pukat pula.
Namun akhirnya keduanya menyadari, bahwa mereka tidak sebaiknya memikirkan kepergian ayah mereka. Tetapi mereka harus segera kembali kepada kenyataan yang mereka hadapi di padepokan itu. Tugas dan tanggung jawab mereka menjadi semakin berat, justru setelah Mahendra meninggalkan padepokan itu. Selain beberapa persoalan yang ditangani Mahendra akan menjadi tugas mereka pula, maka mereka tidak lagi mempunyai seorang yang selalu diminta pendapatnya. Terutama apabila mereka menghadapi persoalan-persoalan yang meragukan. Namun sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus dapat mengambil keputusan sendiri.
Di hari pertama sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengambil alih tugasnya dalam hubungannya dengan peningkatan ilmu Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Seperti yang telah diduga sebelumnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat melakukannya setekun Mahendra sendiri karena kedua orang anak muda itu mempunyai tugas yang cukup banyak. Namun memenuhi pesan Mahendra, maka meskipun hanya sebentar tetapi keduanya selalu mendapat waktu khusus dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi seperti dipesan oleh Mahendra, kedua orang anak itu tidak semata-mata menggantungkan diri mereka kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi dengan petunjuk-petunjuk terakhir yang diberikan oleh Mahendra, maka kedua orang anak muda itu mampu meningkatkan ilmu mereka masing-maing. Mahisa Amping yang kecil itu pun mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, kepergian Mahendra dijemput oleh sekelompok prajurit Singasari memang memberikan kesan yang baik bagi padepokan Bajra Seta. Seperti yang diharapkan, maka orang-orang yang mengenal padepokan itu menganggap bahwa hal itu merupakan pengakuan dari Singasari, atas kelebihan padepokan dan perguruan Bajra Seta.
Namun kepergian Mahendra telah mempunyai akibat yang lain pula. Beberapa orang menganggap kepergian Mahendra telah memperlemah kedudukan padepokan dan perguruan Bajra Seta. Tanpa Mahendra, perguruan itu akan menjadi kerdil karena tidak ada orang yang memiliki kelebihan, yang akan dapat membuat para murid di padepokan itu menjadi orang-orang yang berarti.
“Kedua anak Mahendra itu tentu tidak akan sama seperti ayahnya,” berkata seseorang yang mulai menilai padepokan dan perguruan Bajra Seta.
“Tetapi kedua anak muda itu juga berilmu tinggi,” jawab yang lain.
“Tetapi seberapa tinggi? Itulah yang penting. Semua orang tahu siapa Mahendra. Pedagang wesi aji yang dikenal oleh banyak orang dari banyak negeri yang selalu dikunjunginya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi perampok dan penyamun di perjalanan, karena ilmunya adalah ilmu yang benar-benar tuntas,” berkata orang yang pertama.
Namun kawannya menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani menilai kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya kita tidak mempunyai bahan dan perbandingan.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Memang tidak ada bahan dan perbandingan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun seorang di antara orang-orang itu berkata, “Kecuali salah seorang atau keduanya ditantang untuk berkelahi.”
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ah. Kita bukan orang yang mempertaruhkan hidup kita sekedar untuk menjajagi kemampuan orang lain. Aku hanya sekedar memperbincangkan kemampuan kedua anak Mahendra. Tetapi sudah tentu sama sekali tidak bermaksud menjajagi.”
Ketika pembicaraan seperti itu terjadi di sebuah kedai yang sebenarnya sudah agak jauh dari padepokan Bajra Seta, seorang yang berbutuh tinggi kekar berkata, “Aku ingin menjajagi kemampuan orang-orang Bajra Seta.”
Yang lain memang terdiam. Mereka tahu, orang itu adalah seorang prajurit sandi dari Kediri. Prajurit sandi yang memang kurang berusaha merahasiakan diri. Tetapi kadang-kadang ia bangga dengan kedudukannya sebagai prajurit sandi. Tetapi ada juga orang yang tidak dikenal justru menyahut, “Bukan orang-orang Bajra Seta. Tetapi anak Mahendra.”
“Ya,” jawab prajurit sandi dari Kediri yang bertugas untuk mengamati kekuatan yang terpendam dari Singasari, “aku justru ingin tahu kemampuan anak Mahendra.”
Orang-orang yang ada di kedai itu memang lebih baik berdiam diri. Kediri bagi mereka memang memberikan tekanan yang berbeda. Meskipun Kediri juga berada di bawah naungan kuasa Singasari, tetapi orang-orang Kediri kadang-kadang terlalu dengan sengaja menunjukkan sikap kurang senang terhadap kepemimpinan Singasari serta orang-orang yang berhubungan dengan istana Singasari.
Demikian juga sikap prajurit sandi Kediri itu terhadap padepokan Bajra Seta yang diperbincangkan orang itu. Karena tidak ada orang yang menyahut, maka tiba-tiba saja ia bertanya tanpa ditujukan kepada seseorang, “Di mana letak padepokan Bajra Seta?”
Orang-orang yang membicarakan kekuatan padepokan Bajra Seta tanpa Mahendra itu sebenarnya tidak berniat buruk. Bahkan ada yang membicarakannya dengan nada kecemasan, bahwa padepokan itu akan mengalami kesulitan sepeninggal Mahendra. Meskipun sebagian terbesar dari orang-orang yang mendengar kepergian Mahendra itu menganggap bahwa padepokan Bajra Seta benar-benar sudah mendapat pengakuan sebagai sebuah padepokan yang pantas diteladani. Karena itu, tidak seorang pun yang dengan serta merta menunjukkan di mana letak Bajra Seta itu.
Tetapi bagi petugas sandi Kediri itu, usaha menjajagi kekuatan-kekuatan di Singasari akan sangat penting artinya. Meskipun hal seperti itu sebenarnya satu langkah rahasia yang dilakukan oleh Kediri sebagai satu penjajagan, namun orang yang terlalu sombong dan terlalu yakin akan dirinya sendiri itu justru melakukannya dengan kebanggaan yang dijajakannya.
Namun akhirnya ia menemukan juga orang yang mau menunjukkan letak padepokan Bajra Seta. Orang yang tidak dikenal itu telah berbicara lagi, “Aku tahu letak padepokan Bajra Seta.”
“Bagus,” berkata orang bertubuh raksasa itu, “kau dapat membantu aku menunjukkan letak padepokan itu?”
“Tentu,” jawab orang yang tidak dikenal itu.
Orang-orang yang lain yang ada di kedai itu saling berpandangan. Namun seorang yang sudah agak tua, yang tidak senang melihat sikap orang yang tidak dikenal itu justru bertanya, “Apakah keuntunganmu jika terjadi semacam benturan kekerasan hanya sekedar ingin tahu apakah di padepokan itu ada orang berilmu tinggi atau tidak? Bukankah kita juga sudah mendengar bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sekarang memimpin padepokan itu adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi?”
“Katanya memang demikian,” jawab orang yang tidak dikenal itu, “karena itu, jika ada orang yang ingin menjajaginya, apakah salahnya? Jika kita ingin menjajaginya, maka kita dapat datang menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta langsung menantang mereka berperang tanding. Tetapi karena keduanya nampaknya tidak pernah berpisah, maka yang disebut perang tanding adalah bertempur melawan mereka berdua.”
“Aku tidak berkeberatan,” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kedua anak itu telah mendapatkan sepasang pusaka yang tidak ada duanya,” berkata orang yang tidak dikenal itu.
Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Apa artinya pusaka? Pusaka adalah benda yang dibuat oleh manusia. Bukankah dengan demikian manusia itu sendiri mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dari pusaka buatannya itu?”
Orang yang tidak dikenal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menunjukkan letak Bajra Seta,” ia berhenti sejenak, lalu katanya berterus terang, “Aku mendendam kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sadar atau tidak sadar, mereka telah membunuh saudara seperguruanku.”
“Siapakah saudara seperguruanmu?” bertanya seseorang.
“Sudah terlalu banyak orang yang dibunuh oleh anak-anak muda itu, sehingga andaikata aku menyebutnya, ia hanya satu di antara yang terlalu banyak itu.”
Tidak ada yang bertanya lagi. Orang-orang di kedai itu memang tidak ingin melibatkan diri jika benar-benar terjadi sesuatu. Karena itu, maka mereka lebik baik diam dan tidak mencampuri persoalan kedua orang itu. Orang yang bertubuh raksasa itu dan orang yang tidak dikenal oleh mereka.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu benar-benar ingin menghubungi padepokan Bajra Seta. Orang yang dikenal sebagai prajurit sandi dari Kediri itu memang berniat untuk menjajagi kemampuan pimpinan padepokan Bajra Seta yang tertinggal, setelah Mahendra pergi ke Singasari. Orang-orang yang ada di kedai itu justru telah berharap agar keduanya cepat meninggalkan kedai itu. Padepokan Bajra Seta masih cukup jauh dari tempat itu.
Mereka merasa lega, bahwa beberapa saat kemudian keduanya telah meninggalkan kedai itu menuju ke padepokan Bajra Seta. Padepokan yang semakin mekar dan dikagumi banyak orang. Bahkan diakui sebagai satu padepokan yang langsung dikenal oleh Sri Maharaja di Singasari.
Hari itu, orang yang bertubuh raksasa itu masih belum menghubungi orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Ia memang bermaksud memasuki padepokan itu di hari berikutnya.
“Kau akan menjadi saksi,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Baik,” jawab orang yang tidak dikenalnya itu, “jika kau berhasil mengalahkan kedua orang anak muda yang memimpin padepokan itu, maka aku akan merasa bahwa dendamku telah terbalas. Aku harap kau akan bertanding sampai tuntas.”
“Aku tidak pernah bertanding seperti anak-anak main binten. Jika aku sudah memasuki arena perang tanding, maka lawan-lawanku akan keluar dari arena tinggal namanya saja,” berkata orang itu.
Orang yang tidak dikenalnya itu mengangguk-angguk. Ia memang yakin bahwa orang itu memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat besar. Tetapi ia masih memperingatkan, “Tetapi hati-hati dengan anak Mahendra itu.”
“Ia tidak akan lebih baik dari orang-orang lain yang telah aku bunuh di arena. Aku tidak berkeberatan jika keduanya akan maju bersama-sama,” jawab orang bertubuh raksasa dari Kediri itu.
Seperti yang mereka rencanakan, di hari berikutnya, setelah keduanya bermalam di sebuah gubug kecil di tengah-tengah sawah, maka mereka telah memasuki pintu gerbang padepokan. Di pintu gerbang keduanya telah menyatakan kepada cantrik yang bertugas, bahwa keduanya ingin bertemu dan berbicara dengan pimpinan padepokan itu.
Padepokan Bajra Seta memang bukan padepokan yang tertutup. Karena itu, kedua orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk bertemu dengan pemimpin padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menerima kedua orang itu dengan baik. Kedua anak muda itu sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan berhadapan dengan seseorang yang menantangnya perang tanding.
“Kenapa?” jawab Mahisa Murti, “bukankah kami dari padepokan ini tidak pernah mengganggu Ki Sanak?”
“Memang tidak,” jawab orang bertubuh raksasa itu, “tetapi penampilan padepokan ini sangat menyakitkan hati. Sombong dan seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang mampu mengimbangi kemampuan para pemimpinnya.”
“Kami tidak mengerti maksud Ki Sanak. Jika kami disebut sombong, apa yang pernah kami lakukan sehingga ada prasangka semacam itu,” jawab Mahisa Murti.
“Apa pun jawaban kalian, tetapi aku tahu bahwa kalian merasa tidak terkalahkan. Aku datang bersama seorang kawanku yang telah kau lukai hatinya. Seorang saudara seperguruannya telah kau bunuh,” berkata petugas sandi itu.
“Jika aku membunuh, tentu ada alasannya. Tetapi siapakah saudara seperguruannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau tidak akan ingat siapa saudara seperguruanku itu,” jawab orang yang tidak dikenal itu, “satu di antara korban kalian yang tidak terhitung selama pengembaraan kalian.”
“Aku tidak mengerti maksud kalian,” jawab Mahisa Murti.
“Sudahlah,” berkata orang bertubuh raksasa itu, “aku adalah petugas sandi dari Kediri. Aku memang berniat menjajagi kemampuan kalian di sini. Karena itu, aku tantang kalian berdua sekaligus untuk berperang tanding. Perang tanding itu baru diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah jika salah satu pihak sudah mati. Karena itu, maka apakah aku yang mati atau kalian berdua yang mati.”
“Satu persoalan yang aneh,” desis Mahisa Pukat, “satu hal yang tidak dapat dimengerti. Kita tidak pernah mempunyai persoalan apa pun juga. Tiba-tiba kau menantang perang dengan cara yang paling keras. Apa sebenarnya yang kau kehendaki?”
“Menghancurkan kesombongan padepokan ini hanya karena Mahendra dipanggil oleh Sri Maharaja Singasari,” jawab orang itu.
“Kami juga pernah menjadi petugas sandi dari Kediri,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi kami tidak pernah melakukan tindakan sekasar itu. Bukankah apa yang kau lakukan itu tidak masuk akal?”
“Aku tidak peduli,” jawab orang bertubuh raksasa itu, “kawanku juga ingin membalas dendam.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Tetapi orang bertubuh raksasa itu berkata, “Kita tidak perlu mempertimbangkan apakah yang kita lakukan itu masuk akal atau tidak. Aku hanya ingin tahu, seberapa jauh kebenaran berita tentang padepokan dan perguruan Bajra Seta yang dengan sombong telah menyatakan diri sebagai sebuah padepokan dan perguruan terbaik hanya karena Mahendra dipanggil ke Singasari.”
“Jika kami berkeberatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Terserah kepada kalian. Namun aku punya mulut. Kawanku ini menjadi saksi, bahwa perguruan Bajra Seta dipimpin oleh seorang pengecut sepeninggal Mahendra,” jawab orang itu, “bahkan kawanku yang menjadi saksi sekarang setelah ia kehilangan saudara seperguruannya akan berkata bahwa pemimpin perguruan Bajra Seta sama sekali tidak berani mengakui bahwa mereka telah membunuh banyak orang karena ketakutan.”
“Satu cara yang baik untuk memancing pertempuran,” berkata Mahisa Pukat yang menjadi kehabisan kesabaran, “baiklah. Pancinganmu mengena. Aku terima tantanganmu.”
“Kalian berdua boleh bertempur berpasangan jika kalian kehendaki. Dua orang anak Mahendra mungkin akan dapat menyamai Mahendra,” berkata orang itu.
“Aku akan bertempur sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku sudah menduga. Tetapi baiklah. Kau akan menyesal akan kesombonganmu. Tetapi aku tidak berkeberatan saudaramu berdiri di batas arena. Begitu kau hampir mati, saudaramu datang membantu,” desis orang itu.
Darah Mahisa Pukat memang sudah mendidih. Tetapi ia sadar, bahwa menghadapi siapa pun juga, ia tidak boleh kehilangan akal, sehingga pikirannya akan menjadi kabur. Dengan menahan gejolak perasaannya Mahisa Pukat pun berkata, “Biarlah para cantrik menyiapkan arena.”
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah memerintahkan para cantrik untuk memasang gawar lawe. Kemudian ia pun mempersilahkan petugas sandi dari Kediri sebagaimana pengakuannya itu turun ke halaman.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah berada di arena. Orang bertubuh raksasa itu telah meletakkan senjatanya, sebuah pedang yang besar dan berat di pinggir arena. Sementara itu Mahisa Pukat memasuki arena tanpa membawa senjata apapun. Namun Mahisa Murti yang ada di luar arena telah membawa sepasang pedangnya yang bukan pedang kebanyakan itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap. Dengan nada rendah Mahisa Pukat mempersilahkan orang yang ingin membalas dendam itu untuk berada di dalam gawar arena. “Marilah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau berniat menjadi saksi.”
“Aku di sini,” berkata orang itu. Ia masih berada di luar gawar, tetapi ia berada tepat ditepi arena, melekat pada gawar lawe yang terpasang.
Mahisa Murti berdiri tidak terlalu jauh dari orang itu. Namun ia tidak menjadi lengah. Mungkin orang itu dapat berbuat curang justru pada saat yang gawat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri itu berkata, “Bersiaplah. Kau akan mati lumat hari ini. Apakah kau tidak ingin mengajak saudaramu untuk bersama-sama mati?”
“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “jika aku mati, biarlah ada orang yang sempat menangisi aku.”
“Iblis kau,” geram orang itu.
“Sayang, tidak ada orang Kediri yang ada di sini. Jika ada seorang pun yang melihat apa yang kau lakukan, maka kau tentu akan dihukum mati,” desis Mahisa Pukat.
Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau mulai ketakutan?”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Tidak. Aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi kami, orang-orang padepokan ini tahu pasti sikap orang-orang Kediri.”
“Marilah kita mulai, apakah kau sudah siap?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku sudah siap. Tetapi aku masih ingin berkata, bahwa bukan kebiasaan orang-orang Kediri itu menyombongkan dirinya seperti yang kau lakukan. Apakah benar kau orang Kediri?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu ternyata tidak ingin menjawab, ia pun sudah bersiap sambil berkata, “Aku akan mulai. Dalam waktu sepenginang, kau sudah akan menjadi mayat. Terserah kepada saudaramu apa ia ingin mati juga atau tidak. Jika ia ingin turun ke gelanggang aku akan menunggunya.”
“Bicaralah tentang apa saja selagi kau sempat,” berkata Mahisa Pukat, “sebentar lagi mulutmu akan terkatub rapat,” jawab Mahisa Pukat.
Raksasa itu menggeram. Ia mulai melangkah maju mendekati Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat bergeser menyamping. Orang itu tidak menjadi ragu-ragu sama sekali. Ia melangkah ke mana saja Mahisa Pukat bergeser tanpa melindungi dirinya dengan sikap apapun, ia berjalan saja selangkah demi selangkah.
Mahisa Pukat memang merasa harus sangat berhati-hati. Orang itu tentu merasa terlalu kuat, atau bahkan memiliki ilmu kebal. Akhirnya Mahisa Pukat memang terdesak ke sudut arena. Ia tidak dapat bergeser lagi tanpa menyentuh gawar lawe yang terentang di sekeliling arena itu.
Para cantrik memang menjadi berdebar-debar. Mahisa Murti mengerutkan keningnya sehingga dahinya nampak menjadi tegang. Wantilan termangu-mangu di sebelah Mahisa Semu dan bahkan Mahisa Amping yang juga berada di pinggir arena nampak menjadi gelisah.
Ketika orang itu masih juga mendesak maju, maka Mahisa Pukat tidak berniat untuk bergeser lagi. Dengan sigapnya ia pun telah meloncat menyerang orang itu dengan kakinya tepat mengenai dadanya. Orang itu memang tidak menghindar sama sekali. Juga tidak menangkis. Ia ingin menunjukkan betapa kuatnya tubuhnya yang seperti raksasa itu, serta betapa tingginya daya tahannya.
Tetapi ternyata Mahisa Pukat yang telah mengerahkan kekuatan cadangan di dalam dirinya itu, benar-benar di luar dugaannya. Kekuatan serangan kakinya benar-benar telah mengguncang pertahanan orang itu, sehingga orang bertubuh raksasa itu telah terlempar dan terbanting jatuh.
Orang bertubuh raksasa itu sendiri terkejut. Tidak seorang pun pernah menggoyahkan pertahanannya. Namun pada tendangan pertama, anak muda itu telah dapat menjatuhkannya. Raksasa itu sengaja berguling dua kali. Namun kemudian ia telah melenting berdiri.
Tetapi yang dilakukannya sudah terlanjur membuat Mahisa Pukat menjadi muak. Karena itu, demikian orang itu berdiri tegak Mahisa Pukat justru telah meluncur sambil menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya mengembang dan dengan sigapnya menjepit kedua kaki raksasa yang baru saja tegak itu. Dengan sekuat tenaga Mahisa Pukat memutar tubuhnya, sehingga kedua kakinya yang menjepit kedua kaki lawannya telah berputar pula.
Sekali lagi orang bertubuh raksasa itu terputar dan terbanting jatuh. Hampir saja kepalanya justru membentur tanah yang keras di halaman padepokan itu. Mahisa Pukat memang melepaskannya. Dengan cepat ia bangkit, sementara lawannya berusaha untuk membuat jarak dengan berguling beberapa kali. Baru kemudian ia meloncat bangkit. Mahisa Pukat ingin melihat akibat serangan-serangannya. Karena itu, ia tidak memburu orang bertubuh raksasa itu.
Orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri itu menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun juga daya tahan memang luar biasa. Beberapa saat kemudian, maka ia telah dapat mengesampingkan perasaan sakitnya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, serangan-serangan Mahisa Pukat yang datang beruntun itu telah menyakiti orang bertubuh raksasa itu. Meskipun orang itu mampu mengkesampingkannya, namun jika tubuhnya yang kesakitan itu tersentuh serangan lagi, maka perasaan sakitnya tentu akan terasa kembali.
Sejenak kemudian, orang yang mengaku petugas sandi dari kediri itu pun menggeram, “ternyata kau mempunyai kemampuan yang cukup, anak muda. Tetapi bagaimanapun juga, kau akan mati di arena ini. Justru karena kau sudah menyakiti aku, maka kematianmu akan menjadi lebih cepat.”
Mahisa Pukat justru tidak menghiraukannya. Ia memanfaatkan kesempatan itu. Ketika raksasa itu seakan-akan baru mengigau, maka Mahisa Pukat telah meloncat dengan cepatnya. Tangannya pun telah terjulur lurus mengarah ke dada.
Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser ke samping. Namun Mahisa Pukat telah memperhitungkannya. Ia justru berputar satu lingkaran penuh. Kakinyalah yang terayun mendatar saat tubuhnya sedikit terangkat. Satu tendangan yang keras telah mengenai kening lawannya. Orang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung surut. Tetapi ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak kehilangan keseimbangan dan jatuh terbanting lagi.
Orang itu memang tetap tegak berdiri. Tetapi Mahisa Pukat yang berhati-hati tidak memburu dan menyerangnya dengan serta merta. Orang itu menggeram marah. Wajahnya menjadi tegang. Dengan nada berat ia berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu. Kau akan mati dengan caraku.”
Mahisa Pukat telah siap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia telah melihat, betapa raksasa itu memiliki daya tahan tubuh yang sangat tinggi. Orang itu ternyata tidak untuk seterusnya membiarkan dirinya mendapat serangan terus menerus. Namun di pertempuran selanjutnya, raksasa itu pun telah menyerang pula.
Betapa pun tinggi daya tahan orang itu, tetapi dadanya sekali-sekali terasa sesak, sementara kepalanya menjadi pening. Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah semakin meningkatkan ilmu mereka sehingga serangan telah disambut dengan serangan.
Orang bertubuh raksasa itu benar-benar menjadi sangat garang ketika beberapa kali lagi ia masih juga dikenai serangan Mahisa Pukat. Namun ketika sekali ia mengenai Mahisa Pukat di pundaknya dengan tangannya, maka rasa-rasanya tulang-tulang anak muda itu telah berpatahan.
Mahisa Pukat lah yang harus meloncat mengambil jarak. Untunglah bahwa Mahisa Pukat pun memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan perasaan sakit itu dapat dikuasainya dan bahkan diabaikannya. Tetapi dengan demikian maka Mahisa Pukat harus menjadi lebih berhati-hati.
Sementara itu, orang bertubuh raksasa itu melangkah satu-satu mendekati Mahisa Pukat. Sikapnya sebagaimana dilakukannya saat mereka mulai bertempur. Orang itu menduga, bahwa Mahisa Pukat tidak lagi berbahaya setelah pundaknya tersentuh tangannya. Tetapi tulang-tulang Mahisa Pukat tidak benar-benar berpatahan. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah siap menghadapi lawannya yang garang itu.
Karena itu, ketika lawannya menjadi semakin dekat, maka Mahisa Pukat telah membuka serangan. Dikerahkannya segenap kekuatan yang dibangun pada landasan tenaga cadangan di dalam dirinya. Dengan hentakkan yang sangat kuat, kaki Mahisa Pukat telah terjulur lurus mengarah ke lambung.
Orang yang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menghindar dan tidak pula menangkis serangan itu. Tetapi sekilas Mahisa Pukat melihat satu ungkapan kemampuan yang tersimpan di dalam diri lawannya itu. Sebenarnyalah ketika kaki Mahisa Pukat mengenai lambung lawannya, ia memang melihat lawannya itu menahan sakit. Namun hanya sekejap. Kemudian perasaan sakit itu bagaikan lenyap begitu saja dari wajahnya.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Orang bertubuh raksasa itu masih saja melangkah mendekat, sementara Mahisa Pukat justru bergeser surut.
“Kesombonganmu telah membunuhmu anak muda,” geram orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu melihat sikap Mahisa Pukat. Sementara itu Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi gelisah. Demikian pula para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu. Ketika Mahisa Murti berpaling ke arah orang yang mengaku kawan petugas sandi dari Kediri itu, serta yang merasa mendendam karena saudara seperguruannya terbunuh, nampak betapa wajah orang itu menjadi sangat tegang.
Sejenak kemudian, pertempuran pun berlangsung kembali dengan cepat. Beberapa kali Mahisa Pukat sempat mengenai lawannya, tetapi lawannya seakan akan memang menjadi kebal. Bahkan ketika Mahisa Pukat lengah sesaat, tangan orang bertubuh raksasa itu tepat mengenai dadanya.
Mahisa Pukat seakan-akan telah terlempar beberapa langkah surut dan jatuh menimpa gawar lawe yang mengelilingi arena di antara para cantrik yang melingkari arena itu. Tetapi Mahisa Pukat masih dapat bangkit dengan cepat. Dadanya memang terasa sesak. Seakan-akan nafasnya tersumbat di kerongkongan.
Beberapa saat ia berdiri tegak. Dengan beberapa tarikan nafas serta pengetrapan tingkat tertinggi daya tahannya, maka nafasnya seakan-akan telah menjadi pulih kembali. Namun pertempuran itu memang telah mencemaskan para cantrik padepokan Bajra Seta itu.
Ketika orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri dan bertubuh raksasa itu melangkah mendekatinya lagi, Mahisa Pukat telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur kembali. Tetapi kekuatan orang itu memang tidak dapat diimbangi oleh Mahisa Pukat meskipun ia telah membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Bahkan sekali lagi Mahisa Pukat telah terlempar jatuh. Ia tidak lagi dapat menyembunyikan perasaan sakit di punggungnya.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat tidak ingin membiarkan dirinya dihancurkan oleh orang bertubuh raksasa itu. Beberapa saat Mahisa Pukat membuat pertimbangan. Apakah ia akan menghisap tenaga lawannya itu, atau sekaligus menghancurkannya dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya, Bajra Geni.
Tetapi Mahisa Pukat masih menghormati jabatan orang itu, sehingga ia memang tidak ingin membunuhnya. Ia ingin orang itu tetap hidup, tetapi mau tidak mau harus mengakui kelebihannya. Jika hal itu dibawanya dan disampaikannya kepada orang-orang Kediri, maka Kediri harus menilai kembali rencana-rencananya meskipun Mahisa Pukat tahu, bahwa sikap bermusuhan dari Kediri itu hanya dikendalikan oleh beberapa orang saja.
Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya yang tidak dengan serta merta menghentikan perlawanan lawannya, meskipun ia tidak segera yakin akan dapat menghentikan perlawanannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah berlangsung selanjutnya. Semakin sengit. Mahisa Pukat berusaha untuk bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia mampu mengenai tubuh lawannya meskipun hanya sekedar menyentuhnya. Tetapi ketika ia membentur serangan lawannya, maka Mahisa Pukat telah terlempar sekali lagi sampai keluar gawar.
Namun Mahisa Pukat masih juga bangkit dan memasuki kembali arena pertempuran itu. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun berlangsung lagi dengan sengitnya. Namun orang bertubuh raksasa itu sempat menjadi heran melihat ketahanan tubuh anak muda itu. Beberapa kali ia telah terlempar sampai keluar gawar tali lawe. Namun ia masih juga bangkit dan bertempur lagi.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu tidak mau menyia-nyiakan waktu. Ia pun ingin dengan cepat mengalahkan lawannya sehingga kemenangannya akan menjadi lebih berarti. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan ilmunya pula. Ilmu yang sudah jarang ada duanya.
Demikian ilmu itu mulai ditrapkan, maka Mahisa Pukat mulai merasakan kelainan pada tubuh lawannya. Kulit dan dagingnya menjadi semakin lama semakin keras. Bahkan menjadi seperti batu padas. Setiap kali ia berhasil mengenai tubuh lawannya, maka tulang-tulangnya sendirilah yang serasa akan berpatahan.
Orang bertubuh raksasa itu semakin lama semakin mendesak Mahisa Pukat yang menjadi gelisah. Ia mulai ragu-ragu apakah ilmunya mampu menembus pertahanan lawannya dan menghisap kekuatan dan kemampuan ilmunya. Bahkan untuk beberapa lama lawannya justru menjadi semakin lama semakin keras. Bukan saja seperti batu padas, tetapi kemudian menjadi seperti batu hitam.
Orang itu semakin membiarkan dirinya terbuka. Ia tidak pernah berusaha menghindar atau menangkis serangan Mahisa Pukat. Ilmunya memang berbeda dengan ilmu kebal. Tetapi kekerasan tubuhnya telah melindunginya sebagaimana ilmu kebal.
“Ilmu yang jarang ada bandingnya,” desis Mahisa Pukat di dalam hatinya. Tetapi Mahisa Pukat merasa bahwa ia pernah bertempur dengan ilmu semacam itu.
Pada saat-saat ia semakin terdesak, maka Mahisa Pukat telah merencanakan untuk mempergunakan ilmunya yang diharapkannya akan dapat menyelesaikan lawannya. Namun bagaimana pun juga Mahisa Pukat justru menjadi ragu. Apakah ilmu Bajra Geninya akan mampu mengoyak kekerasan tubuh orang itu yang seakan-akan telah berubah menjadi batu hitam itu.
Namun dalam keragu-raguan itu, Mahisa Pukat masih tetap mempergunakan ilmunya untuk menghisap tenaga lawannya yang tubuhnya telah mengeras. Tetapi orang itu masih saja tidak menghiraukan serangan-serangan Mahisa Pukat. Beberapa kali Mahisa Pukat dapat mengenai tubuh orang itu. Tetapi seperti yang terdahulu, tulang-tulangnya sendirilah yang menjadi sakit.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat mencoba untuk semakin sering menyentuh lawannya. Sekali ia mencoba menggenggam pergelaran tangan lawannya, menariknya dan membantingnya. Tetapi ia tidak berhasil. Bahkan tangan yang lain dari raksasa itu telah menangkap pundak Mahisa Pukat. Dengan kekuatan raksasa Mahisa Pukat telah diputarnya dan sebelum Mahisa Pukat sempat menghindar, kedua tangan raksasa itu telah mengimpitnya melekat ke dadanya.
Mahisa Pukat meronta. Tetapi orang itu memang terlalu kuat. Himpitan batu hitam itu terasa semakin keras menjepit tubuhnya, sehingga nafasnya terasa semakin lama semakin sesak. Tulang-tulangnya gemeretak seakan-akan telah diremukkan oleh himpitan batu hitam itu.
Mahisa Murti yang melihat hal itu hampir saja tidak dapat menguasai diri. Hampir saja ia telah meloncat memasuki arena. Demikian pula Wantilan, Mahisa Semu dan bahkan Mahisa Amping dan para cantrik. Sementara itu, orang yang mengaku mendendam kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi sangat tegang.
Mahisa Pukat sendiri memang tidak akan mampu melepaskan diri dari himpitan kekuatan itu. Ia pun tidak sempat melepaskan kekuatan ilmu Bajra Geni karena tubuhnya yang justru telah terhimpit itu. Satu-satunya ilmu yang masih ditrapkannya adalah ilmunya untuk menghisap kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Pukat merasa seakan-akan sesaat lagi tubuhnya telah akan diremukkan oleh orang bertubuh raksasa itu.
Sekilas Mahisa Pukat memang agak menyesal, kenapa ia tidak menghancurkan orang itu dengan ilmu Bajra Geni. Baik yang langsung dibenturkan ke tubuhnya atau dengan kekuatan ilmu yang dapat melontarkan kekuatan ilmunya itu dari jarak yang cukup sehingga orang itu tidak dapat menggapainya. Pada saat ia masih berusaha untuk tidak membunuh, ternyata tubuhnya sendiri telah hampir diremukkannya.
Namun pada saat-saat terakhir, di mana Mahisa Pukat masih sempat memandang saudaranya sekilas, serta melihat wajah yang cemas itu, himpitan batu hitam itu justru mulai mengendor. Dalam keadaan yang gawat itu ternyata Mahisa Pukat masih mampu berpikir menghentakkan satu-satunya ilmu yang masih dapat dipergunakannya itu. Justru sentuhan tubuhnya yang rapat dengan tubuh lawannya, membuat ilmunya lebih cepat bekerja.
Terasa oleh Mahisa Pukat bahwa lawannya yang bertubuh raksasa itu berusaha menghentak-hentakkan kekuatannya. Ia berusaha untuk menghimpit dan meremukkan tulang-tulang Mahisa Pukat serta mematahkan tulang belakangnya. Namun usaha itu sia-sia. Ketika kemudian Mahisa Pukat dengan sisa kekuatannya mengembangkan tangannya yang terhimpit bersama tubuhnya, maka orang itu tidak mampu lagi mempertahankan himpitannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, tangannya pun terlepas dan Mahisa Pukat terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ia masih mampu bertahan dan kemudian bahkan berdiri tegak. Dengan serta merta terdengar sorak para cantrik. Bahkan Mahisa Amping sempat menjerit-jerit kegirangan melihat Mahisa Pukat mampu melepaskan dirinya.
Orang bertubuh raksasa itu menggeram. Ia merasa tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Ia sendiri menjadi bingung, kenapa tenaganya tidak lagi mampu mempertahankan himpitan tangannya atas tubuh anak muda yang sudah hampir mati lemas itu. Sementara itu Mahisa Pukat telah pulih kembali. Dengan tegar Mahisa Pukat telah menunggunya untuk melanjutkan pertempuran.
“Anak iblis kau,” geram orang bertubuh raksasa itu, “seharusnya kau sudah mati.”
“Tetapi seperti yang kau lihat. Aku tidak mati,” jawab Mahisa Pukat.
Orang yang mengaku prajurit sandi dari Kediri itu menggeram. Namun ia pun telah melangkah maju mendekati Mahisa Pukat, dengan geram ia telah bersiap untuk mencengkam Mahisa Pukat dan meremasnya menjadi debu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa kekuatan orang itu sudah tidak memadai lagi. Karena itu, maka ia pun telah membuat perhitungan yang mapan. Ia sama sekali tidak menghindar ketika raksasa itu menerkamnya. Ia memperhitungkan bahwa sentuhan tangan raksasa itu dengan tubuhnya akan sangat menguntungkan ilmunya.
Karena Mahisa Pukat tidak menghindar, maka kedua telapak tangan orang itu dengan serta merta telah menggapai lehernya. Mahisa Pukat sudah memperhitungkan, bahwa serangan orang itu tentu ke arah bagian tubuhnya yang dianggapnya lemah. Namun ia sudah siap untuk melawannya. Tenaganya tidak akan mampu untuk mencekiknya dalam arti yang sesungguhnya.
Ketika kedua tangan orang itu mencengkam leher Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat telah menangkap pergelangan tangannya. Dengan perhitungan yang matang dihentakkannya ilmunya sekali lagi menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
Tubuh yang semula menjadi sekeras batu itu benar-benar telah kehilangan kekuatannya. Sebenarnya Mahisa Pukat dengan mudah dapat mengibaskan kedua tangan orang itu dari lehernya, tetapi ia masih membiarkannya sehingga tubuh itu menjadi benar-benar lemah dan tidak bertenaga. Karena itu, maka demikian Mahisa Pukat melangkah surut, maka orang itu tidak lagi mampu menahan berat badannya sendiri, sehingga ia terjerembab jatuh.
Sekali lagi terdengar orang-orang yang berdiri di pinggir arena bersorak. Demikian kerasnya sehingga langit bagaikan akan runtuh. Dengan susah payah orang itu memang bangkit berdiri. Namun tubuhnya seakan-akan sudah tidak bertenaga lagi.
“Kau memang anak iblis,” geram orang itu.
“Menyerahlah,” desis Mahisa Pukat.
“Setan, aku bunuh kau,” orang itu mencoba berteriak.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi seperti yang selalu ia katakan kepada para cantrik bahwa tidak sepantasnya membunuh orang yang sudah tidak berdaya sama sekali itu. Betapapun kemarahan mendidih di dadanya, namun Mahisa Pukat memang tidak ingin membunuhnya. Apalagi sejak semula ia tidak ingin membunuh seorang prajurit sandi dari Kediri.
Karena itu, ketika orang itu masih mempunyai tenaga tersisa di dalam tubuhnya, maka Mahisa Pukat berkata kepada kawan orang bertubuh raksasa itu, “Bawa kawanmu pergi sebelum aku berubah pikiran. Dengan mudah aku dapat membunuhnya. Tetapi aku tidak ingin melakukannya.”
“Kenapa tidak kau lakukan itu?” bertanya kawannya.
“Aku bukan pembunuh orang-orang yang tidak berdaya,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau akan menyesal,” sahut kawan dari prajurit sandi itu, “jika kau tidak membunuhnya sekarang, pada kesempatan lain kaulah yang akan dibunuhnya.”
“Aku akan menghadapinya kapan saja,” jawab Mahisa Pukat dengan lantang. Namun kemudian ia pun membentak, “bawa orang itu pergi.”
Kawannya termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Pukat sangat menjengkelkannya. Bahkan Mahisa Pukat itu bertanya, “Atau kau ingin memasuki arena dan membuktikan kekalahan kawanmu?”
Orang itu tidak menjawab. Ia pun kemudian mencoba memapah kawannya yang menjadi sangat lemah itu sambil berkata, “Kau benar-benar akan menyesal, bahwa kau tidak membunuhnya.”
“Diamlah,” geram Mahisa Pukat, “atau kau yang harus aku bunuh sekarang selagi kau masih mampu melakukan perlawanan?”
Orang itu melihat wajah Mahisa Pukat membara. Namun ia masih menjawab, “Baiklah. Aku pergi sekarang. Aku akan membawanya. Tetapi ingat kata-kataku. Kami akan kembali dan membunuh kalian berdua.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berusaha untuk tidak kehilangan akal. Karena itu, Mahisa Pukat itu hanya menggeram saja ketika ia melihat orang yang mendendam padepokan itu karena saudara seperguruannya terbunuh melangkah pergi sambil memapah orang bertubuh raksasa itu. Nampaknya tubuh raksasa itu memang terlalu berat baginya. Namun ia terpaksa memapahnya pergi.
Meskipun lambat, namun beberapa saat kemudian, keduanya telah menjadi semakin jauh dari padepokan Bajra Seta. Ketika orang bertubuh raksasa itu sempat memperhatikan keadaan disekelilingnya, maka ia pun bertanya, “Kita akan pergi ke mana?”
“Kita akan mencari tempat untuk beristirahat. Kita akan memasuki hutan itu,” berkata orang yang memapahnya.
Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Ia ikut saja dengan sisa tenaga yang tinggal. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki hutan yang tidak terlalu luas. Namun hutan itu cukup buas. Masih banyak binatang buas berkeliaran di hutan itu. Sedangkan binatang-binatang yang lain pun berkeliaran di sepanjang rawa-rawa dan sebuah sungai yang mengalir di hutan itu. Bahkan di sungai dan rawa-rawa itu pun masih juga tinggal binatang pemakan daging yang garang. Buaya.
Untuk beberapa saat keduanya beristirahat disejuknya angin yang menyusup di sela-sela pepohonan hutan. Namun kemudian orang yang mengaku mendendam kepada anak-anak Mahendra itu berkata dengan suara gemetar, “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”
Orang bertubuh raksasa itu terkejut. Ia melihat orang yang mendendam anak-anak Mahendra itu mencabut kerisnya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang bertubuh raksasa itu
“Aku mendapat tugas untuk membunuhmu,” jawab orang itu.
“Kenapa? Dan siapa kau sebenarnya?” bertanya orang yang sudah tidak berdaya itu.
“Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi karena ini perintah, maka aku harus melakukannya,” berkata orang itu pula.
“Tetapi tunggu,” minta orang bertubuh raksasaa itu, “apa sebabnya hal itu harus kau lakukan?”
“Bukankah aku berhadapan dengan prajurit sandi dengan tanda sandinya Lintang Kemukus?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Kau telah terlalu banyak melakukan kesalahan. Kau tidak dapat lagi dipercaya. Sementara itu terlalu banyak pula yang sudah kau ketahui tentang tugas-tugas prajurit sandi Kediri di daerah Singasari,” berkata orang itu.
“Aku tidak tahu yang kau maksud,” desis orang bertubuh raksasa itu.
“Kau telah melanggar sumpahmu sebagai prajurit sandi. Kau telah dengan sengaja menyatakan dirimu sebagai prajurit sandi Kediri. Kau telah dengan terbuka berusaha menjajagi tataran kemampuan orang-orang Singasari. Kau pernah membunuh tiga orang prajurit Singasari yang sedang meronda sekedar untuk menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan, meskipun sesudah itu kau harus mencari daerah baru untuk melakukan tugas-tugasmu yang telah kau nodai sendiri. Di daerah yang baru kau telah melakukan kesalahan yang sama. Bahkan kau belum mendapat persetujuan dari pimpinanmu untuk bergerak di daerah yang baru itu. Karena itu, maka kau dianggap justru membahayakan kedudukan beberapa orang Pangeran di Kediri yang memberikan tugas kepadamu. Karena mereka adalah orang-orang yang mempersiapkan diri untuk pada suatu saat bangkit melawan Singasari,” berkata orang itu pula.
“Siapa kau?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku adalah seorang prajurit sandi dengan pertanda tugasku yang tentu kau kenal?” berkata orang itu sambil mengambil sebuah lencana dari kantong ikat pinggangnya.
“Kecubung ungu,” desis orang bertubuh raksasa itu, “jadi kaukah itu?”
“Ya. Aku menerima tugas langsung dari Pangeran yang menjadi Panglima dari gerakan ini dengan gelar sandinya Pangeran Anom. Tidak seorang pun pernah mengenalnya kecuali aku. Dan aku pulalah yang membawa perintah mencarimu,” berkata orang yang disebut kecubung Ungu.
“Kenapa kau dorong aku untuk bertempur melawan anak-anak Mahendra?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Agar kau tenang di saat-saat terakhirmu, baiklah aku berterus terang. Aku mendapat perintah untuk membunuhmu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak akan mampu melakukannya. Karena itu aku hanya dapat membayangimu dan menjebakmu dengan sifat-sifat sombongmu sendiri agar kau dapat dibunuhnya. Anak-anak Mahendra adalah anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ternyata ia tidak mau membunuhmu dan membiarkan kau hidup. Tetapi kau sudah tidak berdaya, sehingga aku akan dapat membunuhmu,” jawab Kecubung Ungu.
“Setan kau,” geram orang bertubuh raksasa itu.
“Maaf Lintang Johar. Bukankah kau sudah beberapa lama menunggu dan mencari kesempatan untuk bertemu dan membunuh Kecubung Ungu? Tetapi kau ternyata terlalu dungu,” desis orang itu.
“Kau yang terlalu licik. Tetapi kau adalah pengecut yang paling besar,” geram raksasa itu.
Orang yang disebut Kecubung Ungu itu tersenyum. Katanya, “Aku memang harus licik. Aku menyadari, bahwa ilmuku belum tentu akan dapat membunuhmu. Aku tahu kau memiliki kekebalan tubuh meskipun bentuknya agak lain dengan ilmu kebal. Karena itu, aku mencoba meminjam tangan Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk membunuhmu. Selain aku tidak perlu memeras tenaga, maka tangannya pun tidak akan ternoda oleh darahmu. Tetapi anak-anak muda itu ternyata anak-anak keparat yang malas. Nah, bukankah kelicikanku ada juga gunanya.”
“Kau harus berlaku jantan. Beri aku kesempatan beberapa saat sehingga kekuatanku tumbuh kembali,” geram orang bertubuh raksasa itu.
“Alangkah bodohnya aku,” jawab Kecubung Ungu, “kau yang sudah terlalu lama menunggu kesempatan untuk membunuhku, tentu akan sangat berterima kasih jika aku memberimu waktu. Tidak Ki Sanak. Aku harus membunuhmu. Licik atau tidak licik. Aku dapat menyelesaikan tugasku. Kelicikan yang kau sebut-sebut sebenarnya adalah akal yang cerdik yang harus dimiliki setiap petugas sandi.”
Orang bertubuh raksasa yang bergelar sandi Lintang Johar itu menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai kesempatan untuk melawan kawannya yang mendapat perintah untuk membunuhnya, karena ia dianggap tidak berguna lagi.
Selangkah demi selangkah orang itu mendekati Lintang Johar yang hanya dapat mengumpat-umpat. Namun tangannya seakan-akan tidak lagi mampu bergerak apalagi menangkis serangan orang yang akan membunuhnya itu.
Namun dalam pada itu, ketika orang itu menjadi semakin dekat, terdengar suara dari balik pepohonan hutan, “jadi, inikah sasaran akhir dendammu karena saudara seperguruanmu terbunuh?”
Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Murti berdiri termangu-mangu. Beberapa langkah di sebelahnya, Mahisa Pukat bergeser mendekat. “Kalian memang keparat,” geram orang itu.
“Aku sependapat dengan orang yang kau sebut Lintang Johar itu,” berkata Mahisa Murti, “beri kesempatan kepadanya untuk memulihkan kekuatannya.”
Tetapi orang yang disebut dengan gelar sandi Kecubung Ungu itu menggeram, “Aku akan membunuhnya, justru sebelum kekuatannya mulai tumbuh. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian yang telah membantu aku melakukan tugasku.”
“Aku akan melindunginya sampai kekuatannya pulih kembali,” berkata Mahisa Murti, “kemudian terserah kepadamu, Apakah kau masih berniat membunuhnya, atau membiarkan dirimu dibunuhnya.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Kau tidak akan dapat menghalangi aku.”
“Jika kau merasa tidak dapat membunuhnya, sedangkan aku dapat mengalahkannya, apakah kau tidak dapat mengambil kesimpulan akibat dari perbenturan kekerasan di antara kita?” berkata Mahisa Pukat.
“Mungkin. Tetapi aku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang itu. Aku tidak berkepentingan dengan kalian. Aku tidak mendapat perintah untuk membunuhmu,” jawab orang itu. Lalu katanya pula, “Karena itu, aku tidak perlu menyombongkan diri untuk melawan kalian.”
“Tetapi kami sudah bertekad untuk melindungi orang yang lemah itu,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku akan membunuhnya,” jawab orang itu.
“Nah, meskipun kita tidak mempunyai kepentingan apa pun sebelumnya, ternyata akhirnya kita mempunyai kepentingan yang berlawanan. Kau akan membunuhnya dan aku akan melindunginya,” berkata Mahisa Murti.
“Jika demikian apa boleh buat,” jawab orang itu, “namun ingat. Mungkin ilmuku kalah dari ilmumu. Tetapi di tanganku tergenggam pusaka yang tidak ada duanya di dunia ini.”
“Apa pun yang kau genggam,” jawab Mahisa Murti, “aku juga mempunyai senjata...”
Namun Mahisa Semu pun selalu teringat akan pesan Mahisa murti dan Mahisa Pukat, bahkan Mahendra yang lebih banyak membentuknya bahwa tidak sebaiknya membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.
Sementara itu maka para cantrik pun telah membawa tawanan yang masih saja berteriak-teriak minta dibunuh itu kembali ke bilik tahanannya. Namun para cantrik itu tidak mau membuat kesalahan. Meskipun orang itu nampaknya sudah sangat lemah, tetapi para cantrik masih juga mengikatnya pada pembaringannya. Apalagi orang itu bagaikan menjadi gila dan berteriak-teriak tanpa dapat dijinakkan lagi.
Namun Mahendra yang kemudian mendapat laporan tentang orang itu berkata, “Biarkan saja ia berteriak-teriak. Pada satu saat penalarannya akan bekerja kembali, sehingga ia akan terdiam dengan sendirinya. Bahkan ia akan sempat membuat pertimbangan-pertimbangan tentang peristiwa yang baru saja dialaminya.”
Nampaknya akibat dari peristiwa itu justru membuat para tawanan yang lain semakin menyadari kekecilan diri mereka. Orang yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain itu, ternyata telah dikalahkan oleh seorang yang masih sangat muda.
Dalam pada itu, ketika malam turun, serta para tawanan telah di tempatkan di tempat mereka masing-masing, Mahendra sempat memanggil Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Di antara mereka hadir pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan nada dalam Mahendra berkata terutama kepada Mahisa Semu, “Ternyata bahwa kemampuanmu telah meningkat sampai ke tataran yang semakin baik. Kau telah mampu menghadapi seorang yang telah mendapat pengalaman yang sangat luas di dunia kejahatan. Orang itu tentu telah pernah bertempur dengan berpuluh orang. Bahkan mungkin telah membunuh banyak orang pula. Dan kau ternyata mampu mengatasinya.”
Mahisa Semu hanya menundukkan kepalanya saja.
“Tetapi dengan demikian, maka meskipun aku tidak menyaksikannya, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat pula kekurangan-kekuranganmu,” berkata Mahendra lebih lanjut. Karena itu, maka aku pun mengetahui pula, di sisi mana kau harus lebih meningkatkan ilmumu, selama ini selain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, aku telah ikut pula meningkatkan kemampuanmu.”
Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia justru sangat berterima kasih, bahwa Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat kekurangan-kekurangannya, karena dengan demikian maka kekurangan-kekurangan itu akan dapat diisi.
Tetapi Mahendra itu pun berkata, “Selain kekurangan-kekurangan dalam olah kanuragan, kau masih mempunyai kekurangan dalam olah kajiwan.”
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Setelah ia sempat merenung, maka ia pun telah melihat betapa jiwanya terguncang menghadapi sikap orang itu. Meskipun ia masih juga sempat mengingat pesan agar ia tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya, namun Mahisa Semu itu seakan-akan tidak dapat lagi menguasai dirinya menghadapi sikap lawannya yang keras kepala itu.
“Nah,” berkata Mahendra kemudian, “untuk selanjutnya kau perlu melakukan latihan-latihan yang lebih banyak. Kau tingkatkan ilmu kanuragan, namun sekaligus kau harus menempa jiwamu agar tidak cepat terguncang.”
Mahisa Semu mengangguk. Ia tidak dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk sambil berdesis, “Aku akan melakukan apa pun yang baik bagi diriku dan bagi padepokan ini.”
“Bagus,” berkata Mahendra, “aku yakin bahwa dalam waktu singkat semuanya akan segera teratasi.”
Ternyata peristiwa itu telah memberikan satu pengalaman tersendiri bagi Mahisa Semu. Ia telah melihat satu sikap dari seorang yang menjadi putus asa namun dibebani oleh harga dirinya yang sangat tinggi. Tetapi Mahisa Semu pun telah mendapatkan pengalaman dalam olah kanuragan. Beberapa kali ia telah dikenai serangan-serangan lawannya yang keras dan kasar itu, sehingga Mahisa Semu mampu melihat langsung kelemahan-kelemahannya.
Untunglah bahwa Mahendra telah memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia mampu berlatih sebaik-baiknya. Dengan demikian maka daya tahan tubuhnya pun telah menjadi semakin meningkat dan meningkat. Ketika ia kemudian dihadapkan kepada seorang penjahat yang telah berpengalaman, maka ia sama sekali tidak mengecewakan.
Demikianlah, maka para cantrik itu pun dihari-hari berikutnya bersama orang-orang yang untuk sementara masih disebut tahanan itu telah bekerja dengan keras untuk membuka tanah pertanian dan menaikkan air dari Kali Rangkut. Dengan air itu, maka tanah yang dibuka itu akan menjadi tanah persawahan yang cukup baik, yang akan dapat dipergunakan sebagai landasan satu kehidupan baru di tempat yang tidak terlalu jauh dari padepokan Bajra Seta itu. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka parit-parit induk pun telah siap. Sementara itu, brunjung-brunjung bambu telah diisi dengan batu.
Satu-satu brunjung-brunjung bambu itu telah diletakkan menyilang Kali Rangkut yang tidak begitu besar itu. Para cantrik dan orang-orang yang ingin membuka daerah hunian yang baru itu telah menutup lubang-lubang di antara batu-batu dengan tanah dan sangkrah dedaunan dan ranting-ranting kecil. Dengan demikian, maka air pun perlahan-lahan mulai naik sejalan dengan semakin tinggi bendungan yang sedang dibangun itu. Sehingga akhirnya, maka bendungan itu pun telah mencapai bibir tanggul yang tidak begitu tinggi.
Dalam kerja yang terakhir itu, maka hampir semua cantrik di padepokan Bajra Seta telah menyaksikannya kecuali beberapa orang yang bertugas berjaga-jaga atas segala macam kemungkinan yang dapat terjadi.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan Mahendra pun ikut pula menyaksikannya pula. Air yang semakin tinggi itu masih dipisahkan oleh tanggul setebal lima enam langkah dari parit induk yang siap menampung air yang akan tumpah. Demikian air mencapai ketinggian yang diharapkan, maka beberapa orang telah menggali sebuah parit kecil pada tanah yang memisahkan permukaan air itu dengan parit induk.
Parit itu tidak terlalu lebar dan tidak dalam. Tetapi air mulai bergerak seperti kepala seekor ular yang menjalar mengikuti arah parit kecil itu. Sehingga pada suatu saat, maka kepala ular yang menjalar menyusuri parit itu, tumpah ke dalam parit induk yang telah disiapkan.
Para cantrik dan orang-orang yang tertawan di padepokan Bajra Seta itu bersorak bagaikan meruntuhkan langit. Mereka berteriak-teriak kegirangan sambil bertepuk tangan. Air di Kali Rangkut mulai naik dan masuk ke dalam parit induk.
Tanpa digali lagi, maka parit kecil yang menghubungkan permukaan Kali Rangkut dengan parit induk itu semakin lama menjadi semakin besar, meskipun pada suatu saat, sebelum lebar dan dalamnya sama seperti parit induk, parit penghubung itu tidak lagi bertambah lebar dan dalam. Namun arus air cukup besar mengalir lewat parit induk itu.
Beberapa orang justru berlari-lari mengikuti ujung air yang mengalir di susukan itu sampai beberapa puluh langkah sambil bertepuk tangan. Dua orang cantrik yang berlari dengan kencang, telah membuka mulut parit yang lebih kecil yang terletak di pangkal tanah persawahan itu. Ketika air kemudian mengalir di parit itu, maka keduanya pun telah membuka pematang kotak sawah yang pertama disudut belahan parit itu.
Keduanya bersorak-sorak kegirangan, sehingga yang lain, yang masih berada di bendungan sempat berpaling. Beberapa orang berlari-lari mendekat dan ikut bersorak pula ketika air menjalar memasuki kotak sawah itu dan mulai menebar di sela-sela butir tanah yang kering.
Ternyata usaha para cantrik dan orang-orang yang ditawan di padepokan Bajra Seta itu berhasil. Dengan demikian, maka orang-orang yang semula hidup dalam dunia yang kelam itu mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat hidup sebagaimana orang kebanyakan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjanji pula atas persetujuan Ki Buyut untuk membagi tanah itu sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga mereka akan dapat hidup dalam lingkungan Kabuyutan itu sebagai warga yang lain tanpa harus selalu dicurigai lagi.
Meskipun ada di antara mereka yang masih harus selalu mendapat pengawasan. Namun kawan-kawan mereka yang benar-benar telah menyadari tatanan hidup baru akan dapat mengawasi mereka. Jika mereka melakukan sesuatu yang tidak pantas, maka kawan-kawan mereka itu akan dapat bertindak. Apabila mereka tidak sanggup, maka orang-orang padepokanlah yang akan melakukannya.
Dengan demikian, maka sebuah padukuhan telah tumbuh. Orang-orang yang semula hidup dalam dunia yang gelap itu telah mulai dengan satu kehidupan baru. Meskipun semula padukuhan itu hanya berisi sekelompok orang laki-laki, namun perlahan-lahan padukuhan itu tentu akan tumbuh menjadi padukuhan sebagaimana padukuhan kebanyakan, karena Ki Buyut sendiri dengan penuh pengertian telah menerima kehadiran padukuhan yang baru itu dengan sadar sepenuhnya apa saja yang berada di dalam padukuhan itu.
Sementara itu, orang-orang padukuhan yang baru itu sendiri dengan penuh kesadaran atas keadaan mereka, maka mereka telah menyusun satu kekuatan di antara mereka untuk menjaga padukuhan mereka yang baru dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Bekas kawan-kawan mereka pada suatu saat tentu akan mengetahui apa yang telah mereka lakukan.
Tetapi mereka tidak cemas. Mereka telah menemukan kawan-kawan yang semula tidak berasal dari satu kelompok namun yang merasa bahwa mereka telah memasuki satu dunia baru yang sama, sehingga mereka telah membangunkan satu ujud kesetia-kawanan yang tinggi. Apalagi orang-orang padepokan Bajra Seta yang bersikap sangat baik kepada mereka. Dalam keadaan terpaksa, maka bukan saja para cantrik, tetapi tentu juga para pemimpin padepokan itu akan bersedia membantu mereka.
Sementara itu, selain meningkatkan perkembangan padukuhan baru itu, maka para penghuninya, yang pada umumnya telah meningkatkan pula kemampuannya. Mahisa Murti dan Mahisa Semu sendiri telah menangani mereka dibantu oleh beberapa orang cantrik terbaik. Namun dalam perkembangan kemampuan olah kanuragan mereka, maka orang-orang yang ada di padukuhan yang baru itu harus tetap menjadi orang-orang baru dalam tatanan hidup dan pergaulan yang wajar.
Di padepokan itu sendiri, Mahendra dengan sungguh-sungguh telah menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Keduanya tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun karena tingkat umur mereka yang berbeda, maka langkah-langkah yang diambil oleh Mahendra untuk meningkatkan ilmu mereka pun telah berbeda. Dalam waktu-waktu tertentu, maka Mahisa Amping telah diberi kesempatan untuk, melakukan latihan dengan para cantrik. Bahkan para cantrik yang telah memiliki tataran kemampuan yang cukup.
Ternyata bahwa Mahisa Amping yang kecil itu telah menunjukkan kelebihan yang menggembirakan bagi Mahendra. Bagaimana pun juga, maka anak itu agaknya akan menjadi seorang murid yang baik. Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kesibukannya untuk membentuk padepokannya menjadi sebuah padepokan yang besar, masih belum memberikan kesempatan sepenuhnya untuk menangani anak itu.
Tetapi, baik Mahisa Amping maupun Mahisa Semu tidak lagi merasa dirinya sia-sia berada di tempat itu. Justru karena di padepokan itu ada Mahendra. Meskipun Mahendra sudah menjadi semakin tua, tetapi ia masih mampu menangani kedua orang yang berbeda tingkat umurnya itu.
Sedangkan Wantilan yang berbaur dengan para cantrik, telah merasa mendapat satu tempat yang baik. Perlahan-lahan ia telah berhasil menyesuaikan diri dengan perguruan Bajra Seta. Meskipun ia mempunyai landasan ilmu yang berbeda, namun ia mampu mengembangkannya dengan baik di dalam satu lingkungan perguruan yang sumber ilmunya memang berbeda.
Namun dengan petunjuk dan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun hanya dalam waktu-waktu tertentu, maka rasa-rasanya ilmunya telah lebur dalam kesatuan ilmu dengan para cantrik dari perguruan Bajra Seta itu.
Dari hari ke hari, nampak bahwa padepokan dan perguruan Bajra Seta berkembang dengan baik. Sebagai satu wadah untuk menimba ilmu kanuragan maupun berbagai macam ilmu yang lain. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu. Anak-anak muda bergantian masih saja datang ke padepokan Bajra Seta untuk menyadap berbagai macam ilmu. Meskipun dengan demikian kemampuan yang mereka dapatkan tidak mendalam sebagaimana para cantrik, tetapi bagi anak-anak muda itu sudah cukup besar manfaatnya untuk mengembangkan padukuhan masing-masing.
Tetapi, di antara anak-anak muda yang dengan bekerja keras berusaha meningkatkan padukuhan mereka masing-masing, masih juga ada anak-anak muda yang sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu, maka dari padukuhan-padukuhan yang terdekat sekalipun masih ada pula anak-anak muda yang tidak tahu, apakah isi sebenarnya dari padepokan Bajra Seta itu. Sehingga mereka memang merasa heran, bahwa ada juga kawan-kawan mereka sepadukuhan yang setiap hari datang ke padepokan itu.
Sebenarnyalah usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sia-sia. Perguruan dan sekaligus padepokan Bajra Seta, namanya menjadi semakin banyak dikenal. Anak-anak muda dari daerah yang jauh pun datang untuk berguru di perguruan Bajra Seta yang sedang mekar itu.
Sementara itu padukuhan yang baru tumbuh itu nampaknya akan segera berkembang menjadi seperti padukuhan-padukuhan yang lain. Beberapa orang penghuninya telah berani mengambil keluarga mereka dari tempat yang jauh meskipun pada umumnya masih dilakukan dengan diam-diam.
Beberapa orang telah membawa isteri mereka dan anak-anak mereka. Namun memang ada di antara mereka yang belum beristeri. Sedangkan beberapa orang yang dianggap berbahaya, ternyata masih juga berada di padepokan. Orang yang telah berkelahi dengan Mahisa Semu telah menjadi pulih kembali. Tubuhnya telah menjadi kuat dan tidak nampak bekas-bekas kekalahannya. Baik pada wadagnya maupun pada jiwanya, karena ia masih saja menunjukkan sifat-sifat yang buruk. Kata-katanya bahkan selalu menyakiti hati para cantrik yang bertugas, sehingga para cantrik itu semakin lama menjadi semakin membencinya.
Namun dari pada itu, para cantrik itu pun menjadi terbiasa melihat sikapnya dan mendengar kata-katanya, sehingga akhirnya para cantrik itu menganggapnya sebagai orang gila saja. Meskipun demikian, setiap kali orang itu masih saja membuat keributan dan menimbulkan kegaduhan. Beberapa orang cantrik kadang-kadang tidak dapat menahan diri sehingga mereka menyakiti orang itu. Tetapi orang itu sama sekali tidak menjadi jera.
Jika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kedua orang anak muda itu selalu berkata, “Biarkan saja orang itu mengigau. Pada suatu saat, ia akan berhenti dengan sendirinya.”
“Tetapi kadang-kadang telinga ini tidak lagi dapat menampungnya,” berkata salah seorang cantrik.
“Kita wajib bersyukur, bahwa di antara sekian banyak tawanan hanya seorang saja yang seakan-akan telah kehilangan dirinya dan menjadi sangat berbahaya,” jawab Mahisa Murti.
Para cantrik hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, seperti yang memang sudah diperhitungkan sebelumnya, akhirnya kawan-kawan dari orang-orang yang membuka padukuhan itu mengetahui apa yang mereka lakukan. Beberapa orang di antara mereka menganggap, bahwa orang-orang itu adalah pengkhianat. Justru saat mereka memerlukan kekuatan yang besar, kawan-kawan mereka itu telah berbuat bagi kepentingan mereka pribadi. Hal itu telah menyalahi paugeran dari setiap kelompok kejahatan. Mereka yang sudah mencebur masuk ke dalamnya, tidak akan dapat lagi keluar dalam keadaan hidup.
Karena itu, maka orang-orang yang ada di padepokan itu harus mati. Namun seperti yang sudah dilakukan sejak semula, maka orang-orang yang telah membuka padukuhan itu selalu bersiaga sepenuhnya. Mereka telah membangun gardu-gardu di setiap mulut lorong serta membuat regol-regol dengan pintu yang kuat. Orang-orang yang belum berkeluarga dengan suka rela menyatakan diri untuk setiap malam berada di gardu-gardu.
“Lebih senang tidur di gardu,” berkata seorang anak muda di antara mereka, “ada teman berbincang. Ada teman bergurau dan di malam-malam yang dingin sempat merebus jagung. Di rumah seorang diri terasa malamnya bertambah dingin.”
Selain kesiagaan yang tinggi, sejak semula, orang-orang di padukuhan yang baru itu setiap hari telah meningkatkan kemampuan mereka dengan cara yang lebih teratur dari cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya. Sebagai orang-orang yang hidup dalam dunia yang gelap, mereka meningkatkan ilmu mereka dengan cara yang kasar dan hanya mereka lakukan di sela-sela kesibukan mereka melakukan kejahatan.
Tetapi, di padukuhan itu setiap hari mereka bergantian masuk ke padepokan. Sebagian di antara mereka pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan ada di antara mereka yang memilih melakukannya di malam hari. Namun mereka menyadari, bahwa ilmu itu akan dapat melindungi mereka sendiri serta keluarga mereka, sehingga mereka telah melakukannya dengan tekun.
Hal itulah yang kurang diperhitungkan oleh bekas kawan-kawan mereka yang menjadi sakit hati. Yang ada pada jantung mereka adalah dendam yang membara. Karena itu, maka pada satu saat, beberapa kelompok di antara mereka berkumpul.
Namun tidak semua pemimpin kelompok menghiraukan kawan-kawan mereka yang mereka anggap berkhianat. Ada beberapa orang pemimpin kelompok yang menjadi tidak peduli lagi. Bahkan ada yang berterus terang, tidak lagi mempunyai orang yang cukup untuk melakukan balas dendam seperti itu.
“Jika kita bergabung, maka jumlah kita akan menjadi banyak. Sehingga kita tidak akan mungkin gagal,” jawab seorang pemimpin kelompok yang mendendam sampai ke tulang sung-sum.
“Meskipun kita berhasil, tetapi apa yang kita dapatkan? Kepuasan? Sementara itu di antara kawan-kawanku yang sedikit itu ada pula yang mati, terluka parah dan tertangkap,” jawab seorang pemimpin kelompok yang lain.
“Siapa yang akan menangkap kawan-kawan kita itu? Kita akan memusnahkan mereka. Semua orang akan mati. Dan rasa-rasanya dada ini akan menjadi lapang,” jawab pemimpin kelompok yang sangat mendendam.
Tetapi orang yang merasa kelompoknya semakin kecil itu masih saja berkeberatan. Katanya, “Kami tidak ikut. Bagaimana pun juga kami tidak akan mengorbankan orang-orang kami untuk hal-hal yang tidak memberikan arti langsung pada kehidupan kami.”
“Baiklah,” berkata orang yang mendendam, “kami hanya minta agar kalian mengetahui, bahwa kami akan membinasakan semua orang dalam padukuhan yang baru itu. Jika orang-orang kalian ikut binasa, jangan salahkan kami.”
“Tidak. Kami tidak merasa berkeberatan. Kami hanya tidak ingin anggauta kami semakin menyusut lagi,” jawab seorang di antara para pemimpin dari kelompok-kelompok yang kecil.
Akhirnya orang-orang yang berkumpul itu memutuskan, bahwa segala sesuatunya diserahkan kepada para pemimpin kelompok masing-masing. Apakah mereka akan ikut dalam satu hentakkan balas dendam atau tidak. Meskipun demikian, ternyata kelompok-kelompok yang mendendam cukup banyak. Mereka akan dapat mengumpulkan banyak orang untuk menghancurkan sebuah padukuhan yang baru tumbuh.
“Mereka harus merasa menyesal,” geram seorang pemimpin yang mendendam itu.
Dengan demikian maka mereka pun telah membuat janji di antara mereka. Hari-hari yang ditentukan untuk melakukan kegiatan itu.
Dalam pada itu, para pemimpin dari orang-orang yang mendendam itu pun telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari padepokan yang tidak terlalu jauh dari padukuhan tersebut.
“Kita harus bergerak cepat,” berkata salah seorang dari antara pemimpin itu, “sebelum bantuan datang, maka padukuhan itu harus sudah hancur. Bahkan seandainya bantuan itu datang dengan cepat, jumlah mereka tentu tidak akan memadai, sehingga kita akan dapat menghancurkan bantuan itu pula.”
Dengan demikian maka bantuan dari padepokan itu tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Orang-orang yang mendendam itu akan berpacu dengan waktu.
Demikianlah, ketika saatnya telah tiba, maka beberapa kelompok orang telah berkumpul. Jumlah mereka ternyata menjadi besar sebagaimana saat mereka menyerang padepokan Bajra Seta. Agaknya kelompok-kelompok yang besar dari para penjahat itu justru menjadi semakin besar, sehingga nampaknya ketenangan hidup pun akan menjadi semakin sempit.
“Kita akan bergerak di malam hari. Menjelang fajar kita akan memasuki padukuhan itu. Menghancurkan segala isinya dan membunuh semua orang. Kemudian, kita akan menghilang dengan cepat,” berkata seorang di antara para pemimpin yang mendendam itu.
Sementara itu, para pemimpin kelompok yang mendendam itu telah mengancam agar niat itu tidak bocor. Dengan garang para pemimpin itu mengancam, “Jika ada pengkhianat di antara kita, maka nasibnya akan menjadi semakin buruk. Orang itu akan mati dengan cara yang paling tidak disukainya.”
Karena itu, maka tidak seorang pun yang berniat untuk berkhianat. Mereka yang tidak ingin ikut serta, merasa lebih baik tidak melibatkan diri sama sekali. Apalagi untuk berkhianat.
Pada hari yang sudah ditentukan, maka orang-orang yang telah berhimpun itu pun mulai bergerak mendekati padukuhan yang baru tumbuh itu. Mereka dengan sangat berhati-hati telah melintasi jalan-jalan bulak yang panjang. Mereka sejauh dapat mereka lakukan berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan.
Namun demikian, ada juga beberapa orang petani yang sedang mengairi sawahnya di malam hari sempat melihat iring-iringan panjang itu. Ketiga orang itu kemudian kembali ke padukuhannya dan menceriterakannya kepada anak-anak muda yang ada di gardu, maka mereka pun sependapat, bahwa orang-orang itu tentu menuju ke padukuhan yang baru itu.
“Aku mengenal orang-orang yang tinggal di padukuhan itu,” berkata salah seorang anak muda, “meskipun mereka bekas penjahat yang pernah tertangkap saat mereka menyerang padepokan Bajra Seta, namun mereka telah menjadi baik.”
“Nampaknya iring-iringan yang bergerak di malam hari itu memang menuju ke padukuhan itu,” berkata seorang petani yang melihatnya saat ia sedang memanfaatkan air yang mengalir di malam hari.
“Aku akan pergi ke padukuhan itu,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu, “kasihan mereka jika tidak mengetahui bahwa bahaya sedang merangkap untuk menerkam mereka.”
Akhirnya, sembilan orang anak muda telah ke padukuhan yang akan menjadi sasaran serangan dari para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain itu. Ternyata di padukuhan-padukuhan yang dilewati, anak-anak muda itu mendapat banyak kawan. Lebih dari dua puluh orang yang dengan diam-diam telah pergi ke padukuhan yang baru tumbuh itu.
Dengan bekal pengenalan medan yang lebih baik, serta latihan-latihan kanuragan yang mereka dapatkan dari para cantrik di padepokan Bajra Seta, maka mereka telah mencapai padukuhan yang mereka maksud lewat jalan pintas tanpa diketahui oleh para penjahat yang juga merayap semakin dekat itu.
Kehadiran anak-anak muda itu memang sangat mengejutkan. Para penghuni padukuhan itu yang berada di gardu menyangka bahwa anak-anak muda justru akan menyerang mereka. Namun dengan cepat seorang di antara mereka mengangkat kedua tangannya sambil berkata, “Tunggu. Kami datang dengan maksud baik.”
Orang-orang yang ada di gardu itu termangu-mangu. Mereka masih belum yakin bahwa anak-anak muda itu berniat baik. Tetapi beberapa orang di antara anak-anak muda itu telah bergerak maju. Ternyata mereka dapat mengenali anak-anak muda itu ketika mereka menjadi semakin dekat dengan obor yang dipasang di sebelah gardu itu.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya salah seorang di antara mereka yang mengenali anak-anak muda itu.
Anak muda-yang paling berpengaruh di antara kawan-kawannya telah maju semakin dekat. Dengan singkat diceriterakannya apa yang telah dilihatnya, bahwa sebuah iring-iringan yang panjang telah mendatangi padukuhan itu.
“Siapakah mereka?” bertanya orang yang ada di gardu itu.
“Kami tidak tahu. Tetapi kami mencemaskannya jika mereka berniat buruk,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Orang-orang yang ada di gardu itu berpikir cepat. Seorang di antara mereka berkata, “Kita harus segera memberikan isyarat, agar kawan-kawan kita bersiap.”
Tetapi kawannya mencegahnya sambil berkata, “Tidak. Jika kita bunyikan kentongan, maka orang-orang yang berniat buruk itu tahu bahwa kami di sini telah bersiap untuk melawan mereka, sehingga mereka menjadi sangat berhati-hati. Tetapi sebaiknya kita bersiap dengan diam-diam. Kita sergap mereka jika mereka memang berniat buruk. Dengan demikian maka mereka akan kehilangan beberapa saat terpenting sebelum pertempuran terjadi. Kita harus benar-benar memanfaatkan saat yang pendek itu.”
Ternyata yang lain pun setuju. Sementara anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu berkata, “Kami datang untuk membantu kalian.”
“Terima kasih,” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang-orang yang berada di gardu itu telah berlari-larian untuk mengetuk pintu setiap rumah, sehingga dalam waktu yang singkat, setiap laki-laki telah bersiap. Dalam waktu yang singkat itu pula orang yang memimpin padukuhan itu telah mengatur, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk mengatasi bahaya yang sebentar lagi akan datang.
“Kita sebaiknya tidak menunggu di dalam padukuhan,” berkata pemimpin dari mereka yang menghuni padukuhan itu, seorang yang pernah menjadi hantu yang sangat ditakuti di bulak-bulak panjang. Seorang penyamun yang namanya dapat membuat seseorang menjadi pingsan. Namun yang ternyata ia telah mendapatkan terang dihatinya sehingga kelakuannya itu pun telah berubah, justru setelah ia tertangkap oleh para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya pun sependapat. Mereka akan menyongsong orang-orang yang menyerang padukuhan itu dan bertempur di luar padukuhan.
“Tetapi kita harus meninggalkan sekelompok kecil kawan-kawan kita sebagai kekuatan cadangan. Juga untuk mengatasi kesulitan jika ada di antara mereka yang sempat menerobos masuk ke dalam padukuhan,” berkata pemimin padukuhan itu.
Dengan cepat, ia mengatur kawan-kawannya dan menempatkan mereka di tempat yang paling sesuai untuk menahan arus serangan. Sedangkan delapan orang telah di tempatkan di sudut-sudut padukuhan untuk mengamati lingkaran di seputar padepokan itu di segala arah.
Sementara itu malam pun bergerak terus. Ternyata orang-orang yang akan menyerang padukuhan itu tidak langsung menusuk ke dalam padukuhan. Mereka memang merencanakan untuk menyerang padukuhan itu menjelang fajar. Karena itu, maka ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka justru telah berhenti untuk beristirahat.
“Kita menunggu di sini sampai cahaya fajar mulai nampak,” berkata pemimpin dari orang-orang yang mendendam itu. Lalu katanya, “Ada beberapa saat untuk beristirahat. Menjelang fajar orang-orang padukuhan itu akan terkejut. Tetapi mereka tidak akan sempat berbuat apa-apa kecuali menyesali pengkhianatan mereka.”
Orang-orang yang sudah berada di depan hidung padukuhan itu pun telah menebar di jalan bulak. Mereka berbaring di mana saja tanpa menghiraukan tubuh mereka akan menjadi kotor karenanya. Di atas rerumputan kering. Di atas tanah berdebu atau di mana saja.
Namun mereka sama sekali tidak menduga, bahwa pada saat itu, orang-orang padukuhan yang mereka anggap tidak tahu menahu tentang rencana kedatangan mereka itu pun telah bersiap pula sepenuhnya. Mereka telah merangkak maju justru mendekati tempat orang-orang yang akan menyerang itu beristirahat. Para pemimpin kelompok-kelompok kecil telah tahu benar, apa yang harus mereka lakukan menghadapi lawan mereka itu.
Demikianlah, dini hari di padukuhan itu seakan-akan tidak terusik. Anak-anak masih tidur nyenyak. Namun ibu-ibu merekalah yang menjadi sangat gelisah. Jika suami-suami mereka dan anak-anak muda yang jumlahnya tidak terlalu banyak di padukuhan itu tidak mampu bertahan, maka mereka pun akan menjadi korban.
Sementara itu, para penghuni padepokan itu pun telah menunggu di balik pohon perdu yang tumbuh di tanggul parit kecil yang menyilang jalan bulak yang menuju ke padukuhan. Mereka memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan menyerang padukuhan mereka akan datang melalui jalan itu.
Meskipun demikian, orang yang dianggap pemimpin di padepokan itu telah menempatkan beberapa orang di arah yang lain, sehingga apabila perhitungan mereka salah, maka orang-orang yang mengamati keadaan itu harus memberikan isyarat.
Tetapi ketika dua orang di antara mereka merangkak maju menyusuri pepohonan di pinggir jalan, maka mereka pun sempat melihat dalam keremangan dini hari, beberapa orang yang berjalan hilir mudik. Nampaknya orang-orang yang sedang bertugas sementara kawan-kawannya sedang beristirahat.
“Apakah orang-orang yang dikabarkan akan menyerang padukuhan itu telah berada disitu?” desis seorang di antara para pengawas itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak berani mendekat. Mungkin mereka akan dapat terjebak dan tidak sempat memberi isyarat, sehingga akhirnya orang-orang itu dapat memeras keterangan dari mulut mereka, bahwa kedatangan mereka telah diketahui. Karena itu, maka kedua orang itu justru merangkak surut dan memberikan laporan kepada orang yang dianggap pemimpin dari padepokan itu, bahwa di hadapan mereka terdapat beberapa orang yang tidak mereka kenal.
“Berapa jumlahnya?” bertanya pemimpin padukuhan itu.
“Kami tidak dapat melihat dengan jelas. Kami hanya melihat beberapa orang berjalan hilir mudik. Agaknya mereka adalah orang-orang yang sedang berjaga-jaga di antara sepasukan yang sedang beristirahat,” jawab pengawas itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu menunggu fajar, saat yang mereka perhitungkan untuk menyerang.”
Tetapi pemimpin dari padukuhan itu tidak membuang satu kesempatan. Beranting diperintahkannya orang-orangnya mendekat.
“Setiap saat terdengar isyarat, maka kita harus menyerang. Kapan pun juga,” berkata pemimpin dari padukuhan itu.
Semua orang memang telah bersiap. Bagaimanapun juga mereka memang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka adalah orang-orang yang telah berpengalaman, namun mereka menyadari, bahwa yang mereka hadapi adalah juga orang-orang yang berpengalaman.
Tetapi orang-orang padukuhan itu serta sekelompok anak muda yang telah membantu mereka, mempunyai beberapa kelebihan. Mereka bukan saja berpengalaman bertempur, tetapi mereka pun memiliki landasan kemampuan olah kanuragan yang mereka sadap dari padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin cerah, orang-orang yang menunggu fajar itu pun mulai bersiap-siap. Dua orang pengawas dari padukuhan melihat orang-orang yang semula terbaring di mana pun juga itu mulai bangkit. Sebagian dari mereka masih sempat menggeliat. Sedang yang lain bangkit berdiri untuk mencuci muka di parit yang mengalir di pinggir jalan itu.
Para pengawas menganggap bahwa waktunya telah datang. Karena itu, seorang di antara mereka pun telah merayap mundur untuk menyampaikan laporan kepada pemimpin padukuhan itu.
“Bagus,” berkata pemimpin padukuhan itu, “kita tidak akan menunggu mereka benar-benar bersiap.”
Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat dengan melemparkan batu-batu kerikil kepada kawan-kawannya di sebelah menyebelahnya. Isyarat itu pun segera dilanjutkan beranting. Untuk meyakinkan bahwa kawan-kawannya telah menerima isyarat itu, maka kawan-kawannya pun telah melemparkan kerikil pula kepada pemimpin padepokan itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang padukuhan itu mulai bergeser mendekat. Meskipun langit mulai terang, tetapi hari masih cukup gelap. Tanaman di sawah, serta batang-batang perdu di tanggul parit sedikit menghalangi pandangan orang-orang yang menunggu fajar itu.
Tetapi, hampir saja orang-orang padukuhan itu terlambat. Ketika mereka mendekati jalan tempat orang-orang itu beristirahat, maka telah terdengar para pemimpin kelompok-kelompok yang mendendam itu mulai meneriakkan aba-aba untuk bersiap-siap.
“Sebelum fajar kita bergerak. Padukuhan yang akan menjadi sasaran kita adalah padukuhan di depan hidung kita itu.”
Orang-orang itu pun mulai bersiap-siap. Sebagian dari mereka masih sibuk mencuci muka di parit kecil itu. Pada saat yang demikian, maka tiba-tiba saja terdengar teriakan aba-aba mengoyak sepinya pagi. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, beberapa orang telah berloncatan ke atas tanggul parit, kemudian meloncat menerkam mereka dengan senjata di tangan.
Orang-orang yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan itu memang sangat mengejutkan. Dari jarak yang terhitung pendek, orang-orang yang bagaikan bangkit dari dalam bumi itu telah menggapai mereka dengan ujung senjata. Beberapa orang sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja ketika mereka sadar, maka tubuhnya telah dikoyak oleh senjata lawannya.
Pada hentakkan pertama, beberapa orang telah menjadi korban. Mereka adalah orang-orang yang sangat malang. Tanpa dapat berbuat sesuatu, maka senjata telah menusuk tubuh mereka. Beberapa orang langsung terkapar di tanggul dan di pinggir jalan. Ada yang terbunuh, tetapi ada yang hanya terluka. Bahkan ada di antara mereka yang terluka, berpura-pura mati, sehingga ujung pedang lawannya tidak menukik sekali lagi ke jantung mereka.
Tetapi sejenak kemudian, maka orang-orang yang semula berniat menyerang padukuhan itu telah terlibat sepenuhnya ke dalam pertempuran. Ternyata tusukan orang-orang padukuhan itu telah mampu melukai pasukan yang telah siap untuk menyerang padukuhan itu. Ketika orang-orang yang menyerang padukuhan itu menyadari apa yang terjadi, maka keadaan telah menjadi semakin buruk. Tetapi beberapa orang pemimpinnya menyadari keadaan telah berteriak nyaring untuk membangunkan orang-orang yang masih terkantuk-kantuk.
“Jangan serahkan lehermu. Marilah, kita harus bangkit,” teriak seorang pemimpin. “Orang-orang itu dengan licik telah menyerang kita begitu tiba-tiba. Mereka sama sekali tidak bertempur sebagaimana seorang laki-laki.”
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata pula, “jangan biarkan orang-orang itu mengotori padukuhan kita. Apalagi dengan darahnya. Karena itu, kita harus bertahan dan bertempur di sini.”
Dengan demikian maka pertempuran itu pun dengan cepat telah menjadi semakin panas. Orang-orang yang datang itu telah membawa dendam yang membara. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak ingin hidup mereka dibayang-bayangi terus oleh kelompok-kelompok orang yang mersa pernah menjadi sumber kemampuan mereka.
Ternyata bahwa sergapan yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu menjadi sangat berarti. Dalam keadaan yang tiba-tiba itu orang-orang padukuhan seakan-akan telah berhasil membuat kemampuan pasukan yang menyerang dengan mereka yang harus bertahan menjadi seimbang. Karena itulah, maka pertempuran yang terjadi kemudian pun ternyata menjadi sangat sengit. Kedua belah pihak saling mendesak dan saling bertahan. Orang-orang yang mendendam itu benar-benar seperti orang yang kerasukan iblis. Sebaliknya mereka yang bertahan menjadi seperti harimau yang terluka.
Beberapa orang penyamun yang ada di dalam pasukan yang datang menyerang telah berteriak-teriak mengancam. Tetapi mereka yang bertahan ternyata sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan pemimpin padukuhan itu berteriak, “Aku adalah penyamun terbesar pada masanya. Dan kini aku masih tetap yang terbesar. Terbesar penyesalanku atas tingkah laku dan cara hidupnya masa lalu.”
“Persetan dengan kau,” geram salah seorang pemimpin dari pasukan yang datang menyerang itu.
Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya, maka para pemimpin dari kelompok-kelompok yang menyerang itu pun seakan-akan tengah mencari orang-orang yang mereka kenal dan pernah berada di dalam gerombolannya. Mereka mencari sasaran dendam yang mereka anggap tepat, sesuai dengan keinginan mereka datang ke tempat itu.
Tetapi orang yang bertahan pun sulit untuk dapat disibakkan. Dalam pada itu, ternyata jumlah orang-orang yang menyerang padukuhan itu masih lebih banyak, meskipun pada singgungan pertama, beberapa orang di antara mereka langsung terkapar jatuh.
Dengan demikian, maka jumlah yang lebih besar itu memang mempengaruhi imbangan kekuatan antara kedua belah pihak. Namun ternyata orang-orang padukuhan itu memiliki kelebihan. Selain mereka mempunyai dasar yang sama selama mereka bertualang di dunia kejahatan, maka orang-orang padukuhan itu telah mendapat tuntunan cukup dalam pertempuran bersama-sama. Perang gelar dan bermain dengan berbagai jenis senjata.
Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu nampaknya menjadi lebih mapan dari lawan-lawan mereka. Apalagi orang-orang padukuhan itu telah menjadi lebih banyak mengenali medan pertempuran. Ternyata baik para penyerang maupun orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak memasang gelar di dalam pertempuran itu. Gelar yang paling sederhana pun tidak. Mereka telah membiarkan orang-orang dari pihak masing-masing bertempur sesuai dengan bekal dan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun seakan-akan telah terpecah menjadi beberapa putaran arena pertempuran. Namun dengan demikian maka kelebihan dari para penghuni padukuhan itu pun menjadi semakin memberikan arti bagi dalam pertemuran yang menjadi kasar itu.
Sementara itu, lebih dari dua puluh orang anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan tetangga yang dengan suka rela telah membantu orang-orang padukuhan itu, karena mereka tahu, bahwa orang-orang yang tinggal di padukuhan itu sedang dalam satu masa yang sulit. Mereka sedang meniti satu masa peralihan untuk menemukan satu dunia yang lebih baik dari yang pernah mereka tempuh semula.
Anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki bekal kemampuan yang juga mereka sadap dari padepokan Bajra Seta. Sehingga dengan bekal kemampuan mereka, maka anak-anak muda itu telah bertempur dengan garangnya pula. Namun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin kasar. Ketika orang-orang yang menyerang padukuhan itu tidak lagi mengekang diri, maka mereka mulai bertempur dengan cara yang terbiasa mereka lakukan.
Ternyata cara-cara itu telah memancing orang-orang padukuhan yang pernah hidup dalam dunia yang sama, untuk bertempur semakin kasar pula. Namun ternyata bahwa kelebihan mereka dalam olah kanuragan telah membuat orang-orang yang menyerang padukuhan itu mengalami banyak kesulitan.
Dalam tatanan gerak yang keras dan kasar, maka bekal yang mereka peroleh dari Padepokan Bajra Seta menjadi semakin terasa menekan bagi orang-orang yang menyerang padukuhan itu. Unsur-unsur gerak yang lebih rumit yang mengandung berbagai kemungkinan dengan sasaran yang terpilih atas tubuh lawannya, yang dilakukan dengan keras benar-benar telah mengguncangkan pertahanan lawan-lawan mereka.
Dalam kekalutan itu, maka seorang dari antara penghuni padukuhan itu memberikan pertimbangan kemungkinan membunyikan isyarat bagi Padepokan Bajra Seta. Mereka tentu akan segera mengirimkan bantuan untuk mengusir orang-orang yang datang menyerang itu.
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata, “Kita harus berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh untuk mampu berdiri sendiri. Kita tidak akan selamanya menjadi tanggungan orang lain. Karena itu, maka kita harus mencoba mengatasi kesulitan ini sendiri.”
Orang itu ternyata dapat mengerti. Karena itu, maka ia tidak lagi mendesak. Tetapi ia pun segera meloncat turun ke medan pertempuran sambil memutar senjatanya. Sebuah teriakan yang keras dari mulutnya terlontar meninggi seakan-akan menggapai langit.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu bukanlah kelinci yang dengan mudah dapat ditundukkan serta menyerahkan lehernya untuk dibantai sebagai pengkhianat terhadap kawan-kawan mereka yang pernah bersama-sama menjelajahi padukuh-an-padukuhan untuk merampok atau bulak-bulak panjang untuk menyamun serta melakukan kejahatan-kejahatan yang lain.
Dalam pada itu, para penjahat yang mendendam dan kemudian menyerang padukuhan itu memang terkejut melihat perlawanan para penghuni padukuhan itu. Sejak mereka disergap dengan tiba-tiba dan kemudian harus bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, orang-orang yang menyerang itu merasa bahwa mereka telah salah hitung.
Mereka mengira bahwa orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Mereka yang telah meninggalkan kebiasaan mereka menjelajahi sasaran kejahatan mereka dan hidup menjadi petani, disangkanya tidak lagi mempunyai keberanian untuk menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata mereka justru telah menyergap lebih dahulu dan kemudian menekan mereka dengan kekuatan yang benar-benar di luar dugaan.
Apalagi orang-orang padukuhan yang merasa hidupnya selalu terancam itu, tidak selunak para cantrik di padepokan. Ujung-ujung senjata mereka benar-benar menghunjam sampai ke jantung. Tidak ada usaha untuk menghindari kematian, justru karena orang-orang padukuhan itu merasa dirinya lebih lemah.
Korban pun semakin lama menjadi semakin banyak. Yang terbanyak justru dari mereka yang datang menyerang padukuhan itu. Sementara orang-orang padukuhan yang telah melakukan latihan dengan baik, serta anak-anak muda yang memiliki dasar ilmu kanuragan itu, masih sempat berpikir dan berusaha untuk melindungi diri mereka berbareng dengan usaha mereka untuk menundukkan lawannya.
Yang terjadi adalah satu kenyataan. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu untuk melepaskan dendamnya, ternyata sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Mereka terpaksa menyerahkan korban dari antara para penjahat yang dianggap memiliki keberanian yang tinggi.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka kenyataan itu benar-benar telah dibentangkan di hadapan mereka yang sedang bertempur itu. Darah telah membasahi jalan bulak dan tanah persawahan, mengalir di pematang dan menitik di daun padi. Orang-orang yang mendendam itu mengumpat tidak ada habis-habisnya. Mereka ternyata tidak berhasil membantai orang-orang yang mereka anggap pengkhianat itu. Bahkan justru kawan-kawan merekalah yang sudah terbantai di arena.
Tanpa para cantrik, maka orang-orang padukuhan itu ternyata masih juga dijangkiti oleh kebiasaan mereka jika keringat apalagi darah telah mengalir. Senjata mereka tentu menggapai sampai ke pusat lawannya. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah menjadi semakin garang. Korban pun berjatuhan. Namun karena orang-orang padukuhan itu mempunyai bekal yang lebih lengkap, maka mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk tetap hidup daripada orang-orang yang datang menyerang. Karena itu, maka semakin lama semakin nampak bahwa pasukan yang menyerang padukuhan itu pun susut lebih cepat.
Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang padukuhan itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Betapa pun mereka berusaha menghentakkan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam pasukan mereka, tetapi mereka benar-benar tidak mampu mengimbangi orang-orang padukuhan yang ingin mereka hancurkan karena dendam yang selalu menyengat perasaan mereka. Apalagi jika mereka mendengar bahwa usaha untuk membangun sebuah padukuhan telah berhasil. Perasaan dendam, benci dan iri telah membakar jantung mereka.
Namun mereka membentur kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa. Bahkan semakin lama korban di antara mereka akan menjadi semakin banyak jatuh. Karena itu, maka pemimpin yang mendapat kepercayaan untuk memimpin pasukan itu dalam keseluruhan tidak mempunyai pilihan lain. Dengan hati yang sangat sakit, maka ia pun telah memberikan isyarat agar seluruh pasukan itu menarik diri.
Perintah itu memang menimbulkan tanggapan yang berbeda. Ada di antara mereka yang tidak mau melihat kenyataan. Mereka menganggap bahwa pada akhirnya mereka akan dapat menghancurkan pasukan yang disusun oleh orang-orang padukuhan itu. Tetapi sebagian besar dari mereka menyadari, perintah itu adalah satu-satunya kemungkinan yang dapat mereka tempuh jika mereka tidak ingin membunuh diri.
Karena itulah maka ketika isyarat itu diperdengarkan sekali lagi, maka orang-orang yang menyerang padukuhan itu menjadi yakin, bahwa mereka memang harus menarik diri. Sejenak kemudian, maka medan pertempuran itu bagaikan bergetar. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu sedang menghentakkan kekuatan mereka. Dengan demikian, maka mereka akan mendapat ancang-ancang untuk melarikan diri.
Ternyata bahwa demikian kesempatan terbuka, orang-orang yang menyerang padukuhan itu pun segera ditarik mundur. Mereka pun segera menghambur meninggalkan medan. Mereka dengan sengaja telah berlari bercerai berai, sehingga dengan demikian maka orang-orang padepokan itu memang menjadi bingung. Kemana mereka harus mengejar.
Beberapa puluh langkah orang-orang padukuhan itu berusaha mengejar. Tetapi akhirnya pengejaran itu mereka hentikan setelah orang-orang yang menyerang padukuhan itu bertebaran ke segala penjuru, menjelajahi kotak-kotak sawah, meniti pematang dan menginjak-injak tanaman.
Beberapa saat kemudian, orang-orang padukuhan itu serta anak-anak muda yang membantu mereka telah berkumpul. Beberapa orang korban memang telah jatuh. Bahkan ada pula diantara anak-anak muda yang telah membantu padukuhan itu, bahkan telah memberikan isyarat bahwa padukuhan itu akan mendapat serangan.
Berkali-kali pemimpin padukuhan itu mengucapkan terima kasih. Tanpa bantuan mereka, serta tanpa isyarat sebelumnya bahwa padukuhan itu akan diserang, maka padukuhan itu tentu sudah hancur. Mereka tentu sudah dibantai oleh orang-orang yang mendendam dan menganggap mereka berkhianat. Meskipun sebelum pertempuran itu terjadi tidak ada peringatan dan tidak ada pembicaraan sama sekali, tetapi orang-orang padukuhan itu tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang datang itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang padukuhan itu pun telah berusaha untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Hampir pasti, bahwa yang terluka telah tidak bernafas lagi. Orang-orang yang menyerang padukuhan itu memang tidak pernah merasa ragu-ragu untuk membunuh.
Namun ketika hal itu disadari oleh orang-orang padukuhan itu, maka mereka pun telah melakukan hal yang sama sebagaimana dahulu selalu mereka lakukan. Mereka hampir tidak pernah meninggalkan dan membiarkan korban-korban mereka untuk tetap hidup betapa mereka menangis dan meminta. Hanya karena keajaiban sajalah bahwa orang dapat tetap hidup setelah bertemu dengan mereka. Apakah itu dibulak-bulak panjang, di jalan-jalan atau dirumah mereka yang dirampok.
“Ada beberapa orang yang masih hidup,” berkata salah seorang penghuni padukuhan itu.
“Kenapa kau masih harus bertanya,” jawab seorang yang bertubuh gemuk, “kawan-kawan kita telah mereka bantai dengan keji. Kenapa orang-orang yang terluka itu tidak diakhiri saja sama sekali.”
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar jawaban bukan dari kawan-kawan mereka yang ada di sekitarnya. Katanya, “Kenapa kalian masih tetap hidup meskipun ada di antara kalian yang terluka saat kalian ditangkap di padepokan?”
Orang-orang itu berpaling. Ternyata mereka melihat Mahisa Pukat berdiri tegak sambil memandangi wajah-wajah yang tegang itu. Orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Ternyata Mahisa Pukat melangkah terus. Ia hanya berhenti sejenak memandangi orang-orang yang terbaring diam. Ada di antara mereka yang memang masih hidup. Tetapi lukanya sudah menjadi sangat parah.
Sementara itu di tempat lain Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Hampir semua orang yang terbaring sudah tidak bernyawa lagi. Baik orang-orang yang menyerang padukuhan itu, maupun orang-orang dari padukuhan itu sendiri, ternyata tidak lagi mampu mengekang diri.
“Pertempuran yang mengerikan,” desis Mahisa Murti. Sejenak kemudian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah menemui pimpinan padukuhan itu. Kedua orang pemimpin dari padepokan yang sedang mekar, Bajra Seta, merasa berkeberatan dengan cara mereka bertempur.
“Kami tidak mempunyai pilihan lain,” jawab pemimpin padukuhan itu.
“Bahwa kalian harus mempertahankan padukuhan kalian itu, tentu. Tetapi cara kalian bertempur itulah yang kurang aku setujui,” berkata Mahisa Murti, “kenapa kau terpancing oleh lawanmu untuk bertempur dengan kasar. Apakah kau merasa perlu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya dalam pertempuran itu? Seharusnya kalian minta bantuan para cantrik. Kalian akan dapat mengusir lawan dari padukuhan ini tanpa harus bertempur dengan saling membantai.”
Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Meskipun ia mengangguk-angguk, tetapi ia merasa sulit untuk membayangkan bagaimana pertempuran cara itu terjadi. Namun akhirnya ia pun mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak bertanya lebih lanjut. Mereka hanya mengelilingi arena pertempuran itu. Kemudian meninggalkan orang-orang padukuhan itu sibuk dengan orang-orang yang terbunuh dan satu dua yang terluka parah.
Namun pada malam harinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang ke padukuhan yang baru saja mendapat serangan itu. Dengan panjang lebar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjelaskan, bahwa perang bukanlah sekedar membunuh dan hilangnya rasa perikemanusiaan. Meskipun hal seperti itu sulit untuk dihindari.
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka memang harus mengakui, bahwa mereka masih belum dapat mengekang diri mereka sehingga dalam pertempuran yang baru saja terjadi, mereka masih juga diwarnai dengan sifat-sifat mereka sebelumnya.
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “apa yang terjadi adalah satu peringatan bagi kalian. Adalah kebetulan bahwa lawan kalian adalah orang-orang yang kasar dan bahkan buas, sehingga kalian telah terpancing untuk melakukannya. Tetapi untuk selanjutnya kalian harus menempatkan diri kalian sebagaimana sikap seseorang yang berakal budi.”
Pemimpin padukuhan itu memang sempat minta maaf kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami ternyata masih juga dibayangi oleh sifat-sifat kami dari hidup kami yang terdahulu.”
“Ingatlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “kalian yang dahulu, maksudku hidup kalian yang lama, telah mati. Telah dikuburkan. Kalian harus berada dalam satu dunia yang baru, karena kalian adalah orang baru yang dilahirkan kembali dengan sifat-sifat yang harus baru sama sekali.”
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyempatkan diri secara khusus berterima kasih kepada anak-anak muda yang telah membantu padukuhan itu mempertahankan dirinya. Bahkan mereka telah dengan suka rela melibatkan diri sejak pertempuran belum dimulai.
Di hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti oleh pemimpin padukuhan itu serta beberapa orang yang lain telah memerlukan mendatangi orang tua dari tiga orang korban yang terbunuh di medan pertempuran itu. Sambil menyerahkan tubuh dari korban yang telah gugur itu, mereka mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga besarnya.
“Mereka telah gugur untuk satu perjuangan yang luhur,” berkata Mahisa Murti, “ada satu pesan tersendiri dari perjuangan mereka, karena sebenarnyalah mereka telah berusaha menyelamatkan sebuah padukuhan dari kehancuran mutlak. Tanpa bantuan mereka maka padukuhan itu tentu sudah menjadi debu.”
Orang tua ketiga orang korban itu, terutama ibu-ibu mereka memang menangis. Tetapi mereka dapat mengerti arti dari pengorbanan anak-anak muda itu. Mereka dapat membayangkan tanpa pengorbanan mereka, maka yang terjadi adalah pembantaian yang mengerikan. Padukuhan itu tentu masih tertidur lelap ketika bahaya itu menerkam menjelang fajar. Tetapi karena jasa anak-anak mereka serta beberapa orang kawannya maka hal itu akhirnya dapat dihindari.
Mengorbankan diri untuk keselamatan orang lain memang sangat mahal harganya. Hanya kasih yang tulus terhadap sesama maka seseorang bersedia mengorbankan jiwanya bagi keselamatan orang lain, tanpa pamrih selain keselamatan itu sendiri. Karena itu, maka ketiga orang anak muda itu memang pantas untuk mendapat penghormatan yang tinggi. Mereka memang tidak mendapatkan penghormatan dari sepasukan prajurit yang datang dari Singasari atau Sangling atau Lemah Warah. Tidak pula dari Kediri.
Yang menghormatinya hanyalah tetangga-tetangganya saja yang mengetahui apa yang telah terjadi. Namun penghormatan itu tidak kalah nilainya dengan penghormatan yang mana pun juga, karena diberikan oleh orang-orang itu dengan hati yang bersih, yang menjadi saksi atas pengorbanan yang telah diberikan oleh anak-anak muda yang telah gugur itu.
Dengan demikian maka di padukuhan-padukuhan yang lain pun telah timbul pula suasana berkabung sebagaimana padukuhan yang menjadi sasaran utama dari penyerangan yang didorong oleh perasaan dendam. Yang sebenarnya dilandasi pula oleh perasaan dengki, bahwa orang-orang yang semula hidup bersama mereka dalam kegelapan, telah mampu mengangkat dirinya dan hidup dalam satu suasana yang jauh lebih baik.
Namun peristiwa itu telah menjadi cambuk bagi orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu. Mereka harus lebih bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk seperti itu di saat yang lain. Dengan demikian, maka para penghuni padukuhan itu menjadi semakin meningkatkan kesiagaan mereka. Anak-anak mudanya menjadi lebih giat melakukan latihan-latihan yang diberikan oleh para cantrik yang terpilih.
Beberapa orang remaja yang mendekati usia dewasanya telah pula ditempa untuk menjadi anak muda yang perkasa. Bahkan anak-anak pun telah mulai dengan pengenalan pada unsur-unsur dasar olah kanuragan. Jika mereka kelak tumbuh menjadi remaja dan apalagi dewasa, maka mereka akan dapat menjadi benteng yang kokoh dari padukuhan mereka.
Tetapi yang terpenting adalah meningkatkan ketahanan padukuhan itu dalam waktu yang singkat. Setiap saat orang-orang yang mendendam dan mendengki itu datang lagi, maka mereka tidak akan mengecewakan. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkata,
“Perang berbeda dengan pembantaian. Meskipun tujuan akhir dari perang memang kemenangan, tetapi nilai kemenangan itu jangan dikotori oleh tindakan-tindakan yang dapat menyinggung kesadaran kemanusiaan yang paling dalam.”
Sementara itu, ternyata kelompok-kelompok yang berusaha untuk menghancurkan padukuhan yang baru itu, telah saling menuduh bahwa kelompok yang lain tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Meskipun hal itu tidak dilontarkan dengan terbuka, namun masing-masing kelompok merasa bahwa telah timbul perasaan saling mencurigai yang tajam di antara mereka.
Nampaknya persoalan yang timbul di antara mereka itu merupakan pertanda baik bagi padukuhan yang semakin berkembang itu. Sebab dengan demikian, maka kemungkinan mereka untuk datang dalam kelompok yang besar menjadi semakin kecil.
Sementara padepokan Bajra Seta berkembang semakin pesat, maka telah terjadi satu peristiwa yang mengejutkan bagi padepokan itu. Ternyata telah datang utusan dari istana Singasari, Sri Maharaja telah memanggil Mahendra untuk menghadap.
Seorang perwira prajurit Singasari yang datang bersama sekelompok pengawalnya telah menyampaikan perintah itu dengan membawa pertanda kuasa Sri Maharaja. Sebuah tunggul yang berwarna keemasan berbentuk kelopak bunga, dengan kelebet segi tiga dengan lukisan sepasang naga ular yang saling membelit.
“Kenapa aku harus menghadap?” bertanya Mahendra, “aku sudah semakin tua. Apa yang dapat aku lakukan dalam keadaan pikun seperti ini?”
“Kami hanyalah utusan yang memanggul perintah Sri Maharaja,” jawab perwira yang memimpin sekelompok utusan itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dengan rendah hati Mahendra berkata, “Baiklah. Aku akan menghadap Sri Maharaja di Singasari. Tetapi mohon disampaikan sebelumnya, bahwa Mahendra sudah menjadi pikun.”
“Kita pergi bersama-sama Ki Mahendra,” minta perwira itu.
Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Aku akan menyusul kemudian. Silahkan angger mendahului. Aku masih akan ikut membenahi padepokan ini meskipun kedua orang anakku masih akan tinggal di sini dan memimpin padepokan ini.”
“Ki Mahendra memerlukan waktu berapa hari? Kami bersedia untuk menunggu sampai Ki Mahendra selesai membenahi padepokan ini,” berkata perwira yang memimpin utusan yang menjemput Mahendra itu.
“Kenapa aku harus pergi bersama kalian?” bertanya Mahendra.
“Perintah Sri Maharaja. Aku kembali bersama ki Mahendra,” jawab perwira itu, “jadi sampai kapan pun sebelum Ki Mahendra dapat berangkat ke Singasari, kami masih akan menunggu. Jika kami kembali lebih dahulu, maka akan terjadi dua kemungkinan. Kami dihukum karena tidak menjalankan perintah, atau Ki Mahendra yang dianggap menolak perintah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengingkari perintah itu. Ia harus pergi ke Singasari bersama para prajurit. Mungkin tidak ada yang penting. Mungkin Sri Maharaja sekedar merasa kehilangan Mahisa Agni dan Witantra. Kemudian memanggilnya untuk sekedar berbincang karena Sri Maharaja tahu, bahwa ia adalah saudara muda seperguruan Witantra dan seorang yang dekat dengan Mahisa Agni.
“Tetapi aku tidak lebih dari seorang pedagang wesi aji dan batu akik, sekali-sekali permata yang memang mahal harganya,” berkata Mahendra di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Jika itu perintah Sri Maharaja, maka aku tidak akan menentangnya. Aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.”
“Terima kasih Ki Mahendra,” jawab perwira itu, “tetapi dengan demikian maka kami mohon mendapat tempat untuk tinggal selama beberapa hari menunggu Ki Mahendra.”
“Tentu Ki Sanak,” jawab Mahendra, “tetapi mohon diketahui, bahwa tempatnya terlalu sederhana.”
“Kami, para prajurit, dapat tinggal di manapun. Bahkan seandainya kami harus berada di longkangan-longkangan sekali pun,” jawab perwira yang membawa pertanda kekuaasaan dari Sri Maharaja di Singasari itu.
Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah minta untuk menyediakan barak khusus bagi penginapan para prajurit dari Singasari itu. Dalam pada itu, dalam pertemuan yang sangat khusus, Mahendra telah minta diri kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Aku harus memenuhi perintah Sri Maharaja. Aku tidak tahu berapa hari aku harus berada di Singasari. Mungkin satu dua hari. Tetapi mungkin agak lama. Aku pun tidak tahu untuk apa aku harus pergi ke Singasari. Mungkin untuk sesuatu yang penting. Tetapi mungkin sekedar mengisi kekosongan sepeninggal kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra,” berkata Mahendra kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja, sementara Mahendra telah memberikan pesan kepada mereka tentang padepokan Bajra Seta yang telah mereka dirikan.
“Jangan sia-siakan Padepokan yang telah berkembang dengan baik ini,” berkata Mahendra, “selain daripada itu, maka kalian berdua jangan tenggelam dalam kesibukan yang berlarut-larut, sehingga kalian tidak sempat meningkatkan ilmu kalian sendiri. Kau sudah tidak lagi mempunyai seorang yang secara khusus menuntun kalian untuk meningkatkan ilmu kalian. Karena itu, kalian harus mampu menguasai diri sendiri serta dengan sungguh-sungguh berusaha meningkatkan dan mengembangkan ilmu kalian. Beruntunglah kalian karena kalian telah mendapat tuntunan dari beberapa orang yang berilmu sangat tinggi, serta kalian telah mendapatkan pusaka yang jarang ada duanya. Bekal itu harus kalian kembangkan sebaik-baiknya sehingga kalian tidak akan hanya sekedar berpijak pada apa yang kau miliki sekarang. Mungkin kakangmu Mahisa Bungalan tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Ia terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga karena itu, ia tidak dapat setiap kali berada di sanggarnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk serta mengiakannya. Namun Mahendra juga berpesan tentang anak-anak yang telah terlanjur dibawa ke padepokan itu.
“Kau tidak boleh menelantarkan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Keduanya telah kau bawa kemari. Karena itu, maka kau mempunyai kewajiban untuk membesarkan mereka. Bukan hanya tubuhnya, tetapi juga ilmunya. Bukankah pada suatu saat kau memerlukan orang-orang baru yang pantas untuk ikut memimpin padepokan ini? Aku tahu bahwa keduanya tidak akan dapat menjadi wadah segala macam isi yang ada di dalam dirimu, karena kau tentu masih berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Mungkin anak-anak kalian atau anak Mahisa Bungalan yang pantas mewarisi semua kemampuan dan ilmu kalian. Tetapi dengan tuntunan yang baik, lahir dan batin, kedua anak itu akan dapat ikut serta menciptakan satu suasana yang memungkinkan orang-orang yang masih bakal lahir untuk menggantikan puncak dari kepemimpinan padepokan ini. Namun tidak mustahil bahwa kau memerlukan sosok perantara. Nah, Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat melakukannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan oleh ayahnya itu, sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan dengan sebaik-baiknya tugas itu. Merekalah yang telah membawa anak-anak itu ke padepokan itu dengan niat agar pada suatu saat mereka tidak akan kehilangan jalur peningkatan dan pengembangan atas padepokan Bajra Seta itu.
“Tetapi aku masih belum akan berangkat besok,” berkata Mahendra, “aku akan berangkat dua hari lagi. Aku ingin pergi dengan hati yang tenang, karena sebenarnyalah aku ragu-ragu apakah aku akan dapat kembali lagi ke padepokan ini atau tidak.”
Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya, “Kenapa ayah ragu-ragu untuk dapat kembali? Apakah ada sesuatu yang dapat menahan ayah pulang ke padepokan ini?”
“Tidak karena kekuatan lain yang dapat menahanku. Tetapi bukankah aku sudah tua?” Mahendra justru bertanya.
“Tetapi, pada saatnya ayah akan pulang. Jika ayah bersedia kembali ke padepokan ini kami mengucapkan terima kasih. Atau barangkali ayah berniat pulang ke rumah. Tetapi ke mana pun ayah akan pergi, maka ayah akan dapat melakukannya,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku mengerti,” jawab Mahendra, “mudah-mudahan aku akan dapat melihat padepokan ini lagi.”
Di hari berikutnya Mahendra memang mulai berkemas. Dipanggilnya Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Dengan singkat Mahendra memberitahukan kepada mereka, bahwa ia akan pergi ke Singasari.
“Kenapa Ki Mahendra harus pergi?” bertanya Mahisa Amping.
“Aku tidak tahu Sri Maharaja telah memanggilku,” jawab Mahendra.
“Bukankah Ki Mahendra tidak berbuat kesalahan?” bertanya Mahisa Semu.
“Tidak,” jawab Mahendra, “jika aku dipanggil ke Singasari itu bukan berarti satu hukuman. Saudara tua seperguruanku dahulu juga mengabdi di istana. Tetapi ia telah tidak ada bersama seorang sahabatnya. Mungkin aku dipanggil untuk mengisi kekosongan di istana. Mungkin diperlukan orang-orang tua untuk dapat diajak berbincang-bincang.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, bukankah Ki Mahendra dapat saja setiap saat meninggalkan istana. Kemudian kembali lagi.”
“Ya,” jawab Mahendra, “tetapi tenagaku yang telah menjadi rapuh tidak akan mungkin melakukannya. Aku sekarang cepat menjadi letih.”
Mahisa Semu tidak bertanya lebih banyak lagi, sementara Mahisa Amping merasa sangat kehilangan dengan kepergian Mahendra. Justru karena Mahisa Amping sadar sepenuhnya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menjadi terlalu sibuk. Dengan demikian maka perkembangan ilmunya pun akan menjadi tersendat kembali.
Tetapi Mahisa Amping memang tidak dapat menyalahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Semakin bertambah umurnya, anak itu semakin menyadari, bahwa ia bukan orang yang terpenting di padepokan itu. Ia hanya merupakan bagian kecil dari seluruh isi padepokan yang semakin besar itu.
Mahendra memang selalu memberitahukan kepada Mahisa Amping dan Mahisa Semu, bahwa mereka adalah bagian dari keseluruhan sehingga mereka harus mampu luluh di dalamnya. Keduanya tidak boleh menyalah artikan, seolah-olah bumi beredar di sekitar diri mereka. Sehingga segala sesuatunya mereka pandang dari sudut pandangan mereka saja dan merasa seakan-akan mereka adalah segala-galanya, sehingga apa yang ada di sekitarnya harus tunduk kepada mereka.
Demikianlah pada hari-hari terakhir Mahendra berada di dalam barak itu, ia masih sempat memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berarti bagi keduanya. Dengan demikian maka bagi keduanya, seakan-akan pintu telah terbuka. Mereka akan dengan mudah dapat mengembangkan dan meningkatkan apa yang telah mereka miliki.
Selain kedua orang anak muda itu, Mahendra juga memberikan banyak pesan kepada para cantrik dan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri. Terakhir Mahendra telah mengumpulkan semua orang di padepokan itu. Bahkan orang-orang yang selalu berhubungan dengan padepokan itu. Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan sebelum dan isi padukuhan baru yang telah dihuni oleh orang-orang yang kembali dari jalan yang sesat.
Ternyata bahwa apa yang dilakukan oleh Mahendra itu mempunyai pengaruh yang luas. Bukan sekedar pernyataan perpisahan. Tetapi pernyataan perwira yang memimpin sekelompok prajurit yang datang menjemput Mahendra ke padepokan itu, merupakan satu pengakuan dari Sri Maharaja di Singasari terhadap padepokan itu. Sehingga dengan demikian maka kedudukan padepokan itu menjadi sangat kuat dan orang-orang di sekitarnya menjadi semakin menghormatinya.
Mahendra memang berharap bahwa dengan caranya, pengakuan itu menjadi semakin tersebar. Orang-orang yang berniat buruk terhadap padepokan itu pun akan membuat perhitungan kembali, karena memusuhi padepokan Bajra Seta, sama artinya dengan memusuhi Singasari yang besar.
Demikianlah akhirnya, Mahendra telah minta diri kepada seisi padepokan itu. Ia masih memperingatkan kemungkinan-kemungkinan buruk dapat terjadi. Namun kepada prajurit ia minta untuk membawa seorang di antara para tawanan yang masih saja berhati batu. Namun orang yang masih saja mengumpat-umpat itu akhirnya menyesal bahwa ia harus ikut ke Singasari. Bukan sekedar dibawa ke Sangling.
“Kau akan mendapat tempat yang baik di Singasari,” berkata seorang prajurit kepadanya.
Semula tawanan itu masih bersikap kasar. Kepada prajurit itu ia mengumpat-umpat. Namun ternyata prajurit itu tidak bersikap seperti para cantrik yang membiarkannya. Demikian ia mengumpatinya, maka tangan prajurit Singasari itu telah menyambar pipinya. Demikian kerasnya sehingga tawanan itu mengaduh kesakitan.
Prajurit itu memang tidak melakukannya dengan semata-mata. Bahkan berdesis ia berkata, “Jika kau lakukan sekali lagi, aku cekik kau. Tidak sampai mati. Tetapi setengah mati saja, karena aku tidak wenang membunuhmu.”
Tawanan itu menyeringai kesakitan. Ketika prajurit yang lain lewat ia pun berteriak, “Tolong.”
Prajurit itu mendekat. Sambil memandangi kawannya ia bertanya, “Kenapa?”
“Prajurit itu memukul pipiku. Sakit sekali,” jawab tawanan itu.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian bertanya, “Lalu apa yang kau ingini?”
“Perlakuan yang baik,” jawab tawanan itu.
Di luar dugaan. Prajurit itu menangkap tengkuknya dan membenturkan dahinya ke lantai. Katanya, “Apa lagi?”
Tawanan itu terdiam. Dipandanginya kedua orang prajurit itu dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya. Namun ia masih saja berdiam diri.
Prajurit yang kedua itu kemudian berkata, “Nah, aku sudah tahu apa yang kau lakukan di sini. Manja dan terlalu diperlakukan dengan lunak saat-saat kau menarik perhatian para cantrik. Tetapi kau tidak dapat menjadi manja kepada para prajurit. Apa lagi mengingat bahwa kau telah diperlakukan terlalu baik, namun masih juga belum sembuh sementara orang lain telah hidup dalam sebuah padepokan yang tenang.”
Tawanan itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengulangi tingkah lakunya. Ketika kedua orang prajurit itu pergi, dan ia sekali lagi mencoba bermanja-manja dengan prajurit yang lain, maka giginya justru berdarah. Prajurit itu dengan tinjunya telah memukul mulutnya.
Demikian para prajurit meninggalkannya, maka tawanan itu tiba-tiba telah menangis. Ia benar-benar telah menyesal. Ia mengira bahwa dengan sikapnya itu, ia akan dapat menakut-nakuti para cantrik sehingga ia mendapat perlakuan baik. Namun ternyata akhirnya ia jatuh ke tangan prajurit Singasari yang keras seperti batu.
Ketika Mahendra kemudian telah siap untuk berangkat, maka orang itu pun telah dipersiapkan pula. Baginya juga disediakan seekor kuda. Namun tangannya akan diikat meskipun masih memungkinkan memegang kendali. Pinggangnya juga akan diikat dan dengan tali yang panjang, pinggangnya itu akan dihubungkan dengan seekor kuda yang lain, yang ditunggangi oleh seorang prajurit.
Kepada prajurit yang mengikat tanggannya orang itu berkata, “Kenapa harus diikat. Aku tidak akan lari. Dengan diikat aku sulit untuk memegang kendali.”
Prajurit yang mengikatnya berdesis perlahan, “jangan ribut. Nanti lehermu aku ikat.”
“Aku minta lepaskan tali pengikatnya,” minta orang itu dengan sengaja agar Mahendra mendengarnya.
Mahendra memang mendengarnya. Ia pun berpaling dan bertanya kepada tawanan itu, “Apakah kau ingin tanganmu tidak diikat?”
“Ya,” jawab tawanan itu.
Prajurit yang mengikatnya memang menjadi berdebar-debar. Tanpa diikat tangannya, maka orang itu akan dapat melarikan diri. Keduanya akan dapat dihentakkan dan berlari keluar dari iring-iringan.
Namun jawab Mahendra, “Nanti setelah kita sampai di Singasari, maka ikatan tanganmu itu akan dilepaskan.”
“Aku berkeberatan,” geram orang itu.
“Kau keberatan tanganmu diikat?” bertanya Mahendra pula.
Tawanan itu ragu-ragu. Dipandanginya sorot mata Mahendra. Namun Mahendra itu berkata, “Kau sudah terlalu lama memuakkan kami, orang-orang padepokan. Sekarang, kau akan dibawa ke Singasari untuk mendapatkan angin baru. Mungkin kau lebih senang diperlakukan seperti itu, karena kebaikan para cantrik kau sia-siakan. Kau agaknya mendapat kepuasan yang tinggi dengan berlaku kasar dan tidak wajar.”
Tawanan itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku minta, lepaskan ikatan tanganku.”
Mahendra tiba-tiba saja meninggalkannya, sementara prajurit yang mengikat tangannya itu berkata, “Aku akan mengikat lehermu. Jika kau meronta, dan jatuh dari punggung kudamu, maka kau akan langsung terseret oleh kuda yang lain dengan tali yang terikat pada pinggang dan lehermu.”
“Jangan, jangan,” orang itu hampir berteriak.
Prajurit itu berkata perlahan-lahan sekali ditelinganya, “Apakah kau masih mempunyai hak berkata jangan?”
Tawanan itu pun benar-benar menyadari, bahwa ia akan memasuki satu dunia yang penuh kegelapan. Di Singasari, maka ia akan segera menjadi ikan kering yang dijemur diteriknya panas matahari. Tetapi ia tidak dapat menarik semua yang pernah dilakukannya sehingga ia tidak jadi dibawa ke Singasari. Semua yang telah terjadi tidak dapat diingkarinya.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, Mahendra diiringi oleh para prajurit dari Singasari telah meninggalkan padepokan itu. Rasa-rasanya jantung Mahendra juga berdebaran. Namun Mahendra tidak menunjukkan perasaannya itu di wajahnya. Ia meninggalkan regol padepokan sambil tersenyum dan dengan wajah tengadah, betapa pun sebenarnya terasa berat berpisah dengan anak-anaknya pada hari-hari terakhir dari hidupnya. Tetapi ia memang tidak dapat menolak perintah Sri Maharaja meskipun seandainya di Singasari ia sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit itu pun telah menjadi semakin jauh. Mahendra yang sudah menjadi semakin tua masih nampak tegar di atas punggung kuda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengantar ayahnya sampai keluar regol padepokan. Demikian pula Mahisa Amping dan Mahisa Semu serta beberapa orang yang lain. Baru setelah iring-iringan itu menjadi jauh, mereka telah kembali memasuki regol padepokan. Pintu pun kemudian telah ditutup pula.
Beberapa saat kemudian, padepokan menjadi sepi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memikirkan kepergian ayahnya yang sudah tua. Mereka tidak curiga bahwa prajurit yang menjemput ayahnya itu bukan sebenarnya prajurit Singasari. Keduanya yakin benar bahwa prajurit-prajurit dengan segala macam pertanda serta tunggul beserta kelebetnya telah meyakinkannya. Namun yang mereka pikirkan adalah, untuk apa ayahnya diperintahkan masuk ke istana.
“Apakah sekedar untuk mengisi kekosongan sepeninggal paman Mahisa Agni dan Witantra,” desis Mahisa Murti.
“Mudah-mudahan ayah mempunyai arti di Singasari,” gumam Mahisa Pukat pula.
Namun akhirnya keduanya menyadari, bahwa mereka tidak sebaiknya memikirkan kepergian ayah mereka. Tetapi mereka harus segera kembali kepada kenyataan yang mereka hadapi di padepokan itu. Tugas dan tanggung jawab mereka menjadi semakin berat, justru setelah Mahendra meninggalkan padepokan itu. Selain beberapa persoalan yang ditangani Mahendra akan menjadi tugas mereka pula, maka mereka tidak lagi mempunyai seorang yang selalu diminta pendapatnya. Terutama apabila mereka menghadapi persoalan-persoalan yang meragukan. Namun sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus dapat mengambil keputusan sendiri.
Di hari pertama sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengambil alih tugasnya dalam hubungannya dengan peningkatan ilmu Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Seperti yang telah diduga sebelumnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat melakukannya setekun Mahendra sendiri karena kedua orang anak muda itu mempunyai tugas yang cukup banyak. Namun memenuhi pesan Mahendra, maka meskipun hanya sebentar tetapi keduanya selalu mendapat waktu khusus dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi seperti dipesan oleh Mahendra, kedua orang anak itu tidak semata-mata menggantungkan diri mereka kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi dengan petunjuk-petunjuk terakhir yang diberikan oleh Mahendra, maka kedua orang anak muda itu mampu meningkatkan ilmu mereka masing-maing. Mahisa Amping yang kecil itu pun mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, kepergian Mahendra dijemput oleh sekelompok prajurit Singasari memang memberikan kesan yang baik bagi padepokan Bajra Seta. Seperti yang diharapkan, maka orang-orang yang mengenal padepokan itu menganggap bahwa hal itu merupakan pengakuan dari Singasari, atas kelebihan padepokan dan perguruan Bajra Seta.
Namun kepergian Mahendra telah mempunyai akibat yang lain pula. Beberapa orang menganggap kepergian Mahendra telah memperlemah kedudukan padepokan dan perguruan Bajra Seta. Tanpa Mahendra, perguruan itu akan menjadi kerdil karena tidak ada orang yang memiliki kelebihan, yang akan dapat membuat para murid di padepokan itu menjadi orang-orang yang berarti.
“Kedua anak Mahendra itu tentu tidak akan sama seperti ayahnya,” berkata seseorang yang mulai menilai padepokan dan perguruan Bajra Seta.
“Tetapi kedua anak muda itu juga berilmu tinggi,” jawab yang lain.
“Tetapi seberapa tinggi? Itulah yang penting. Semua orang tahu siapa Mahendra. Pedagang wesi aji yang dikenal oleh banyak orang dari banyak negeri yang selalu dikunjunginya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi perampok dan penyamun di perjalanan, karena ilmunya adalah ilmu yang benar-benar tuntas,” berkata orang yang pertama.
Namun kawannya menggeleng. Katanya, “Aku tidak berani menilai kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya kita tidak mempunyai bahan dan perbandingan.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Memang tidak ada bahan dan perbandingan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun seorang di antara orang-orang itu berkata, “Kecuali salah seorang atau keduanya ditantang untuk berkelahi.”
Yang lain tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Ah. Kita bukan orang yang mempertaruhkan hidup kita sekedar untuk menjajagi kemampuan orang lain. Aku hanya sekedar memperbincangkan kemampuan kedua anak Mahendra. Tetapi sudah tentu sama sekali tidak bermaksud menjajagi.”
Ketika pembicaraan seperti itu terjadi di sebuah kedai yang sebenarnya sudah agak jauh dari padepokan Bajra Seta, seorang yang berbutuh tinggi kekar berkata, “Aku ingin menjajagi kemampuan orang-orang Bajra Seta.”
Yang lain memang terdiam. Mereka tahu, orang itu adalah seorang prajurit sandi dari Kediri. Prajurit sandi yang memang kurang berusaha merahasiakan diri. Tetapi kadang-kadang ia bangga dengan kedudukannya sebagai prajurit sandi. Tetapi ada juga orang yang tidak dikenal justru menyahut, “Bukan orang-orang Bajra Seta. Tetapi anak Mahendra.”
“Ya,” jawab prajurit sandi dari Kediri yang bertugas untuk mengamati kekuatan yang terpendam dari Singasari, “aku justru ingin tahu kemampuan anak Mahendra.”
Orang-orang yang ada di kedai itu memang lebih baik berdiam diri. Kediri bagi mereka memang memberikan tekanan yang berbeda. Meskipun Kediri juga berada di bawah naungan kuasa Singasari, tetapi orang-orang Kediri kadang-kadang terlalu dengan sengaja menunjukkan sikap kurang senang terhadap kepemimpinan Singasari serta orang-orang yang berhubungan dengan istana Singasari.
Demikian juga sikap prajurit sandi Kediri itu terhadap padepokan Bajra Seta yang diperbincangkan orang itu. Karena tidak ada orang yang menyahut, maka tiba-tiba saja ia bertanya tanpa ditujukan kepada seseorang, “Di mana letak padepokan Bajra Seta?”
Orang-orang yang membicarakan kekuatan padepokan Bajra Seta tanpa Mahendra itu sebenarnya tidak berniat buruk. Bahkan ada yang membicarakannya dengan nada kecemasan, bahwa padepokan itu akan mengalami kesulitan sepeninggal Mahendra. Meskipun sebagian terbesar dari orang-orang yang mendengar kepergian Mahendra itu menganggap bahwa padepokan Bajra Seta benar-benar sudah mendapat pengakuan sebagai sebuah padepokan yang pantas diteladani. Karena itu, tidak seorang pun yang dengan serta merta menunjukkan di mana letak Bajra Seta itu.
Tetapi bagi petugas sandi Kediri itu, usaha menjajagi kekuatan-kekuatan di Singasari akan sangat penting artinya. Meskipun hal seperti itu sebenarnya satu langkah rahasia yang dilakukan oleh Kediri sebagai satu penjajagan, namun orang yang terlalu sombong dan terlalu yakin akan dirinya sendiri itu justru melakukannya dengan kebanggaan yang dijajakannya.
Namun akhirnya ia menemukan juga orang yang mau menunjukkan letak padepokan Bajra Seta. Orang yang tidak dikenal itu telah berbicara lagi, “Aku tahu letak padepokan Bajra Seta.”
“Bagus,” berkata orang bertubuh raksasa itu, “kau dapat membantu aku menunjukkan letak padepokan itu?”
“Tentu,” jawab orang yang tidak dikenal itu.
Orang-orang yang lain yang ada di kedai itu saling berpandangan. Namun seorang yang sudah agak tua, yang tidak senang melihat sikap orang yang tidak dikenal itu justru bertanya, “Apakah keuntunganmu jika terjadi semacam benturan kekerasan hanya sekedar ingin tahu apakah di padepokan itu ada orang berilmu tinggi atau tidak? Bukankah kita juga sudah mendengar bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sekarang memimpin padepokan itu adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi?”
“Katanya memang demikian,” jawab orang yang tidak dikenal itu, “karena itu, jika ada orang yang ingin menjajaginya, apakah salahnya? Jika kita ingin menjajaginya, maka kita dapat datang menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta langsung menantang mereka berperang tanding. Tetapi karena keduanya nampaknya tidak pernah berpisah, maka yang disebut perang tanding adalah bertempur melawan mereka berdua.”
“Aku tidak berkeberatan,” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kedua anak itu telah mendapatkan sepasang pusaka yang tidak ada duanya,” berkata orang yang tidak dikenal itu.
Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Apa artinya pusaka? Pusaka adalah benda yang dibuat oleh manusia. Bukankah dengan demikian manusia itu sendiri mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dari pusaka buatannya itu?”
Orang yang tidak dikenal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menunjukkan letak Bajra Seta,” ia berhenti sejenak, lalu katanya berterus terang, “Aku mendendam kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sadar atau tidak sadar, mereka telah membunuh saudara seperguruanku.”
“Siapakah saudara seperguruanmu?” bertanya seseorang.
“Sudah terlalu banyak orang yang dibunuh oleh anak-anak muda itu, sehingga andaikata aku menyebutnya, ia hanya satu di antara yang terlalu banyak itu.”
Tidak ada yang bertanya lagi. Orang-orang di kedai itu memang tidak ingin melibatkan diri jika benar-benar terjadi sesuatu. Karena itu, maka mereka lebik baik diam dan tidak mencampuri persoalan kedua orang itu. Orang yang bertubuh raksasa itu dan orang yang tidak dikenal oleh mereka.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu benar-benar ingin menghubungi padepokan Bajra Seta. Orang yang dikenal sebagai prajurit sandi dari Kediri itu memang berniat untuk menjajagi kemampuan pimpinan padepokan Bajra Seta yang tertinggal, setelah Mahendra pergi ke Singasari. Orang-orang yang ada di kedai itu justru telah berharap agar keduanya cepat meninggalkan kedai itu. Padepokan Bajra Seta masih cukup jauh dari tempat itu.
Mereka merasa lega, bahwa beberapa saat kemudian keduanya telah meninggalkan kedai itu menuju ke padepokan Bajra Seta. Padepokan yang semakin mekar dan dikagumi banyak orang. Bahkan diakui sebagai satu padepokan yang langsung dikenal oleh Sri Maharaja di Singasari.
Hari itu, orang yang bertubuh raksasa itu masih belum menghubungi orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Ia memang bermaksud memasuki padepokan itu di hari berikutnya.
“Kau akan menjadi saksi,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Baik,” jawab orang yang tidak dikenalnya itu, “jika kau berhasil mengalahkan kedua orang anak muda yang memimpin padepokan itu, maka aku akan merasa bahwa dendamku telah terbalas. Aku harap kau akan bertanding sampai tuntas.”
“Aku tidak pernah bertanding seperti anak-anak main binten. Jika aku sudah memasuki arena perang tanding, maka lawan-lawanku akan keluar dari arena tinggal namanya saja,” berkata orang itu.
Orang yang tidak dikenalnya itu mengangguk-angguk. Ia memang yakin bahwa orang itu memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat besar. Tetapi ia masih memperingatkan, “Tetapi hati-hati dengan anak Mahendra itu.”
“Ia tidak akan lebih baik dari orang-orang lain yang telah aku bunuh di arena. Aku tidak berkeberatan jika keduanya akan maju bersama-sama,” jawab orang bertubuh raksasa dari Kediri itu.
Seperti yang mereka rencanakan, di hari berikutnya, setelah keduanya bermalam di sebuah gubug kecil di tengah-tengah sawah, maka mereka telah memasuki pintu gerbang padepokan. Di pintu gerbang keduanya telah menyatakan kepada cantrik yang bertugas, bahwa keduanya ingin bertemu dan berbicara dengan pimpinan padepokan itu.
Padepokan Bajra Seta memang bukan padepokan yang tertutup. Karena itu, kedua orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk bertemu dengan pemimpin padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menerima kedua orang itu dengan baik. Kedua anak muda itu sama sekali tidak menyangka bahwa mereka akan berhadapan dengan seseorang yang menantangnya perang tanding.
“Kenapa?” jawab Mahisa Murti, “bukankah kami dari padepokan ini tidak pernah mengganggu Ki Sanak?”
“Memang tidak,” jawab orang bertubuh raksasa itu, “tetapi penampilan padepokan ini sangat menyakitkan hati. Sombong dan seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang mampu mengimbangi kemampuan para pemimpinnya.”
“Kami tidak mengerti maksud Ki Sanak. Jika kami disebut sombong, apa yang pernah kami lakukan sehingga ada prasangka semacam itu,” jawab Mahisa Murti.
“Apa pun jawaban kalian, tetapi aku tahu bahwa kalian merasa tidak terkalahkan. Aku datang bersama seorang kawanku yang telah kau lukai hatinya. Seorang saudara seperguruannya telah kau bunuh,” berkata petugas sandi itu.
“Jika aku membunuh, tentu ada alasannya. Tetapi siapakah saudara seperguruannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau tidak akan ingat siapa saudara seperguruanku itu,” jawab orang yang tidak dikenal itu, “satu di antara korban kalian yang tidak terhitung selama pengembaraan kalian.”
“Aku tidak mengerti maksud kalian,” jawab Mahisa Murti.
“Sudahlah,” berkata orang bertubuh raksasa itu, “aku adalah petugas sandi dari Kediri. Aku memang berniat menjajagi kemampuan kalian di sini. Karena itu, aku tantang kalian berdua sekaligus untuk berperang tanding. Perang tanding itu baru diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah jika salah satu pihak sudah mati. Karena itu, maka apakah aku yang mati atau kalian berdua yang mati.”
“Satu persoalan yang aneh,” desis Mahisa Pukat, “satu hal yang tidak dapat dimengerti. Kita tidak pernah mempunyai persoalan apa pun juga. Tiba-tiba kau menantang perang dengan cara yang paling keras. Apa sebenarnya yang kau kehendaki?”
“Menghancurkan kesombongan padepokan ini hanya karena Mahendra dipanggil oleh Sri Maharaja Singasari,” jawab orang itu.
“Kami juga pernah menjadi petugas sandi dari Kediri,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi kami tidak pernah melakukan tindakan sekasar itu. Bukankah apa yang kau lakukan itu tidak masuk akal?”
“Aku tidak peduli,” jawab orang bertubuh raksasa itu, “kawanku juga ingin membalas dendam.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Tetapi orang bertubuh raksasa itu berkata, “Kita tidak perlu mempertimbangkan apakah yang kita lakukan itu masuk akal atau tidak. Aku hanya ingin tahu, seberapa jauh kebenaran berita tentang padepokan dan perguruan Bajra Seta yang dengan sombong telah menyatakan diri sebagai sebuah padepokan dan perguruan terbaik hanya karena Mahendra dipanggil ke Singasari.”
“Jika kami berkeberatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Terserah kepada kalian. Namun aku punya mulut. Kawanku ini menjadi saksi, bahwa perguruan Bajra Seta dipimpin oleh seorang pengecut sepeninggal Mahendra,” jawab orang itu, “bahkan kawanku yang menjadi saksi sekarang setelah ia kehilangan saudara seperguruannya akan berkata bahwa pemimpin perguruan Bajra Seta sama sekali tidak berani mengakui bahwa mereka telah membunuh banyak orang karena ketakutan.”
“Satu cara yang baik untuk memancing pertempuran,” berkata Mahisa Pukat yang menjadi kehabisan kesabaran, “baiklah. Pancinganmu mengena. Aku terima tantanganmu.”
“Kalian berdua boleh bertempur berpasangan jika kalian kehendaki. Dua orang anak Mahendra mungkin akan dapat menyamai Mahendra,” berkata orang itu.
“Aku akan bertempur sendiri,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku sudah menduga. Tetapi baiklah. Kau akan menyesal akan kesombonganmu. Tetapi aku tidak berkeberatan saudaramu berdiri di batas arena. Begitu kau hampir mati, saudaramu datang membantu,” desis orang itu.
Darah Mahisa Pukat memang sudah mendidih. Tetapi ia sadar, bahwa menghadapi siapa pun juga, ia tidak boleh kehilangan akal, sehingga pikirannya akan menjadi kabur. Dengan menahan gejolak perasaannya Mahisa Pukat pun berkata, “Biarlah para cantrik menyiapkan arena.”
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah memerintahkan para cantrik untuk memasang gawar lawe. Kemudian ia pun mempersilahkan petugas sandi dari Kediri sebagaimana pengakuannya itu turun ke halaman.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah berada di arena. Orang bertubuh raksasa itu telah meletakkan senjatanya, sebuah pedang yang besar dan berat di pinggir arena. Sementara itu Mahisa Pukat memasuki arena tanpa membawa senjata apapun. Namun Mahisa Murti yang ada di luar arena telah membawa sepasang pedangnya yang bukan pedang kebanyakan itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap. Dengan nada rendah Mahisa Pukat mempersilahkan orang yang ingin membalas dendam itu untuk berada di dalam gawar arena. “Marilah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau berniat menjadi saksi.”
“Aku di sini,” berkata orang itu. Ia masih berada di luar gawar, tetapi ia berada tepat ditepi arena, melekat pada gawar lawe yang terpasang.
Mahisa Murti berdiri tidak terlalu jauh dari orang itu. Namun ia tidak menjadi lengah. Mungkin orang itu dapat berbuat curang justru pada saat yang gawat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri itu berkata, “Bersiaplah. Kau akan mati lumat hari ini. Apakah kau tidak ingin mengajak saudaramu untuk bersama-sama mati?”
“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “jika aku mati, biarlah ada orang yang sempat menangisi aku.”
“Iblis kau,” geram orang itu.
“Sayang, tidak ada orang Kediri yang ada di sini. Jika ada seorang pun yang melihat apa yang kau lakukan, maka kau tentu akan dihukum mati,” desis Mahisa Pukat.
Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau mulai ketakutan?”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Tidak. Aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi kami, orang-orang padepokan ini tahu pasti sikap orang-orang Kediri.”
“Marilah kita mulai, apakah kau sudah siap?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku sudah siap. Tetapi aku masih ingin berkata, bahwa bukan kebiasaan orang-orang Kediri itu menyombongkan dirinya seperti yang kau lakukan. Apakah benar kau orang Kediri?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu ternyata tidak ingin menjawab, ia pun sudah bersiap sambil berkata, “Aku akan mulai. Dalam waktu sepenginang, kau sudah akan menjadi mayat. Terserah kepada saudaramu apa ia ingin mati juga atau tidak. Jika ia ingin turun ke gelanggang aku akan menunggunya.”
“Bicaralah tentang apa saja selagi kau sempat,” berkata Mahisa Pukat, “sebentar lagi mulutmu akan terkatub rapat,” jawab Mahisa Pukat.
Raksasa itu menggeram. Ia mulai melangkah maju mendekati Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat bergeser menyamping. Orang itu tidak menjadi ragu-ragu sama sekali. Ia melangkah ke mana saja Mahisa Pukat bergeser tanpa melindungi dirinya dengan sikap apapun, ia berjalan saja selangkah demi selangkah.
Mahisa Pukat memang merasa harus sangat berhati-hati. Orang itu tentu merasa terlalu kuat, atau bahkan memiliki ilmu kebal. Akhirnya Mahisa Pukat memang terdesak ke sudut arena. Ia tidak dapat bergeser lagi tanpa menyentuh gawar lawe yang terentang di sekeliling arena itu.
Para cantrik memang menjadi berdebar-debar. Mahisa Murti mengerutkan keningnya sehingga dahinya nampak menjadi tegang. Wantilan termangu-mangu di sebelah Mahisa Semu dan bahkan Mahisa Amping yang juga berada di pinggir arena nampak menjadi gelisah.
Ketika orang itu masih juga mendesak maju, maka Mahisa Pukat tidak berniat untuk bergeser lagi. Dengan sigapnya ia pun telah meloncat menyerang orang itu dengan kakinya tepat mengenai dadanya. Orang itu memang tidak menghindar sama sekali. Juga tidak menangkis. Ia ingin menunjukkan betapa kuatnya tubuhnya yang seperti raksasa itu, serta betapa tingginya daya tahannya.
Tetapi ternyata Mahisa Pukat yang telah mengerahkan kekuatan cadangan di dalam dirinya itu, benar-benar di luar dugaannya. Kekuatan serangan kakinya benar-benar telah mengguncang pertahanan orang itu, sehingga orang bertubuh raksasa itu telah terlempar dan terbanting jatuh.
Orang bertubuh raksasa itu sendiri terkejut. Tidak seorang pun pernah menggoyahkan pertahanannya. Namun pada tendangan pertama, anak muda itu telah dapat menjatuhkannya. Raksasa itu sengaja berguling dua kali. Namun kemudian ia telah melenting berdiri.
Tetapi yang dilakukannya sudah terlanjur membuat Mahisa Pukat menjadi muak. Karena itu, demikian orang itu berdiri tegak Mahisa Pukat justru telah meluncur sambil menjatuhkan dirinya. Kedua kakinya mengembang dan dengan sigapnya menjepit kedua kaki raksasa yang baru saja tegak itu. Dengan sekuat tenaga Mahisa Pukat memutar tubuhnya, sehingga kedua kakinya yang menjepit kedua kaki lawannya telah berputar pula.
Sekali lagi orang bertubuh raksasa itu terputar dan terbanting jatuh. Hampir saja kepalanya justru membentur tanah yang keras di halaman padepokan itu. Mahisa Pukat memang melepaskannya. Dengan cepat ia bangkit, sementara lawannya berusaha untuk membuat jarak dengan berguling beberapa kali. Baru kemudian ia meloncat bangkit. Mahisa Pukat ingin melihat akibat serangan-serangannya. Karena itu, ia tidak memburu orang bertubuh raksasa itu.
Orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri itu menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun juga daya tahan memang luar biasa. Beberapa saat kemudian, maka ia telah dapat mengesampingkan perasaan sakitnya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, serangan-serangan Mahisa Pukat yang datang beruntun itu telah menyakiti orang bertubuh raksasa itu. Meskipun orang itu mampu mengkesampingkannya, namun jika tubuhnya yang kesakitan itu tersentuh serangan lagi, maka perasaan sakitnya tentu akan terasa kembali.
Sejenak kemudian, orang yang mengaku petugas sandi dari kediri itu pun menggeram, “ternyata kau mempunyai kemampuan yang cukup, anak muda. Tetapi bagaimanapun juga, kau akan mati di arena ini. Justru karena kau sudah menyakiti aku, maka kematianmu akan menjadi lebih cepat.”
Mahisa Pukat justru tidak menghiraukannya. Ia memanfaatkan kesempatan itu. Ketika raksasa itu seakan-akan baru mengigau, maka Mahisa Pukat telah meloncat dengan cepatnya. Tangannya pun telah terjulur lurus mengarah ke dada.
Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser ke samping. Namun Mahisa Pukat telah memperhitungkannya. Ia justru berputar satu lingkaran penuh. Kakinyalah yang terayun mendatar saat tubuhnya sedikit terangkat. Satu tendangan yang keras telah mengenai kening lawannya. Orang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung surut. Tetapi ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak kehilangan keseimbangan dan jatuh terbanting lagi.
Orang itu memang tetap tegak berdiri. Tetapi Mahisa Pukat yang berhati-hati tidak memburu dan menyerangnya dengan serta merta. Orang itu menggeram marah. Wajahnya menjadi tegang. Dengan nada berat ia berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu. Kau akan mati dengan caraku.”
Mahisa Pukat telah siap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia telah melihat, betapa raksasa itu memiliki daya tahan tubuh yang sangat tinggi. Orang itu ternyata tidak untuk seterusnya membiarkan dirinya mendapat serangan terus menerus. Namun di pertempuran selanjutnya, raksasa itu pun telah menyerang pula.
Betapa pun tinggi daya tahan orang itu, tetapi dadanya sekali-sekali terasa sesak, sementara kepalanya menjadi pening. Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah semakin meningkatkan ilmu mereka sehingga serangan telah disambut dengan serangan.
Orang bertubuh raksasa itu benar-benar menjadi sangat garang ketika beberapa kali lagi ia masih juga dikenai serangan Mahisa Pukat. Namun ketika sekali ia mengenai Mahisa Pukat di pundaknya dengan tangannya, maka rasa-rasanya tulang-tulang anak muda itu telah berpatahan.
Mahisa Pukat lah yang harus meloncat mengambil jarak. Untunglah bahwa Mahisa Pukat pun memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan perasaan sakit itu dapat dikuasainya dan bahkan diabaikannya. Tetapi dengan demikian maka Mahisa Pukat harus menjadi lebih berhati-hati.
Sementara itu, orang bertubuh raksasa itu melangkah satu-satu mendekati Mahisa Pukat. Sikapnya sebagaimana dilakukannya saat mereka mulai bertempur. Orang itu menduga, bahwa Mahisa Pukat tidak lagi berbahaya setelah pundaknya tersentuh tangannya. Tetapi tulang-tulang Mahisa Pukat tidak benar-benar berpatahan. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah siap menghadapi lawannya yang garang itu.
Karena itu, ketika lawannya menjadi semakin dekat, maka Mahisa Pukat telah membuka serangan. Dikerahkannya segenap kekuatan yang dibangun pada landasan tenaga cadangan di dalam dirinya. Dengan hentakkan yang sangat kuat, kaki Mahisa Pukat telah terjulur lurus mengarah ke lambung.
Orang yang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menghindar dan tidak pula menangkis serangan itu. Tetapi sekilas Mahisa Pukat melihat satu ungkapan kemampuan yang tersimpan di dalam diri lawannya itu. Sebenarnyalah ketika kaki Mahisa Pukat mengenai lambung lawannya, ia memang melihat lawannya itu menahan sakit. Namun hanya sekejap. Kemudian perasaan sakit itu bagaikan lenyap begitu saja dari wajahnya.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Orang bertubuh raksasa itu masih saja melangkah mendekat, sementara Mahisa Pukat justru bergeser surut.
“Kesombonganmu telah membunuhmu anak muda,” geram orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu melihat sikap Mahisa Pukat. Sementara itu Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi gelisah. Demikian pula para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu. Ketika Mahisa Murti berpaling ke arah orang yang mengaku kawan petugas sandi dari Kediri itu, serta yang merasa mendendam karena saudara seperguruannya terbunuh, nampak betapa wajah orang itu menjadi sangat tegang.
Sejenak kemudian, pertempuran pun berlangsung kembali dengan cepat. Beberapa kali Mahisa Pukat sempat mengenai lawannya, tetapi lawannya seakan akan memang menjadi kebal. Bahkan ketika Mahisa Pukat lengah sesaat, tangan orang bertubuh raksasa itu tepat mengenai dadanya.
Mahisa Pukat seakan-akan telah terlempar beberapa langkah surut dan jatuh menimpa gawar lawe yang mengelilingi arena di antara para cantrik yang melingkari arena itu. Tetapi Mahisa Pukat masih dapat bangkit dengan cepat. Dadanya memang terasa sesak. Seakan-akan nafasnya tersumbat di kerongkongan.
Beberapa saat ia berdiri tegak. Dengan beberapa tarikan nafas serta pengetrapan tingkat tertinggi daya tahannya, maka nafasnya seakan-akan telah menjadi pulih kembali. Namun pertempuran itu memang telah mencemaskan para cantrik padepokan Bajra Seta itu.
Ketika orang yang mengaku petugas sandi dari Kediri dan bertubuh raksasa itu melangkah mendekatinya lagi, Mahisa Pukat telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur kembali. Tetapi kekuatan orang itu memang tidak dapat diimbangi oleh Mahisa Pukat meskipun ia telah membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Bahkan sekali lagi Mahisa Pukat telah terlempar jatuh. Ia tidak lagi dapat menyembunyikan perasaan sakit di punggungnya.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat tidak ingin membiarkan dirinya dihancurkan oleh orang bertubuh raksasa itu. Beberapa saat Mahisa Pukat membuat pertimbangan. Apakah ia akan menghisap tenaga lawannya itu, atau sekaligus menghancurkannya dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya, Bajra Geni.
Tetapi Mahisa Pukat masih menghormati jabatan orang itu, sehingga ia memang tidak ingin membunuhnya. Ia ingin orang itu tetap hidup, tetapi mau tidak mau harus mengakui kelebihannya. Jika hal itu dibawanya dan disampaikannya kepada orang-orang Kediri, maka Kediri harus menilai kembali rencana-rencananya meskipun Mahisa Pukat tahu, bahwa sikap bermusuhan dari Kediri itu hanya dikendalikan oleh beberapa orang saja.
Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya yang tidak dengan serta merta menghentikan perlawanan lawannya, meskipun ia tidak segera yakin akan dapat menghentikan perlawanannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah berlangsung selanjutnya. Semakin sengit. Mahisa Pukat berusaha untuk bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia mampu mengenai tubuh lawannya meskipun hanya sekedar menyentuhnya. Tetapi ketika ia membentur serangan lawannya, maka Mahisa Pukat telah terlempar sekali lagi sampai keluar gawar.
Namun Mahisa Pukat masih juga bangkit dan memasuki kembali arena pertempuran itu. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun berlangsung lagi dengan sengitnya. Namun orang bertubuh raksasa itu sempat menjadi heran melihat ketahanan tubuh anak muda itu. Beberapa kali ia telah terlempar sampai keluar gawar tali lawe. Namun ia masih juga bangkit dan bertempur lagi.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu tidak mau menyia-nyiakan waktu. Ia pun ingin dengan cepat mengalahkan lawannya sehingga kemenangannya akan menjadi lebih berarti. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan ilmunya pula. Ilmu yang sudah jarang ada duanya.
Demikian ilmu itu mulai ditrapkan, maka Mahisa Pukat mulai merasakan kelainan pada tubuh lawannya. Kulit dan dagingnya menjadi semakin lama semakin keras. Bahkan menjadi seperti batu padas. Setiap kali ia berhasil mengenai tubuh lawannya, maka tulang-tulangnya sendirilah yang serasa akan berpatahan.
Orang bertubuh raksasa itu semakin lama semakin mendesak Mahisa Pukat yang menjadi gelisah. Ia mulai ragu-ragu apakah ilmunya mampu menembus pertahanan lawannya dan menghisap kekuatan dan kemampuan ilmunya. Bahkan untuk beberapa lama lawannya justru menjadi semakin lama semakin keras. Bukan saja seperti batu padas, tetapi kemudian menjadi seperti batu hitam.
Orang itu semakin membiarkan dirinya terbuka. Ia tidak pernah berusaha menghindar atau menangkis serangan Mahisa Pukat. Ilmunya memang berbeda dengan ilmu kebal. Tetapi kekerasan tubuhnya telah melindunginya sebagaimana ilmu kebal.
“Ilmu yang jarang ada bandingnya,” desis Mahisa Pukat di dalam hatinya. Tetapi Mahisa Pukat merasa bahwa ia pernah bertempur dengan ilmu semacam itu.
Pada saat-saat ia semakin terdesak, maka Mahisa Pukat telah merencanakan untuk mempergunakan ilmunya yang diharapkannya akan dapat menyelesaikan lawannya. Namun bagaimana pun juga Mahisa Pukat justru menjadi ragu. Apakah ilmu Bajra Geninya akan mampu mengoyak kekerasan tubuh orang itu yang seakan-akan telah berubah menjadi batu hitam itu.
Namun dalam keragu-raguan itu, Mahisa Pukat masih tetap mempergunakan ilmunya untuk menghisap tenaga lawannya yang tubuhnya telah mengeras. Tetapi orang itu masih saja tidak menghiraukan serangan-serangan Mahisa Pukat. Beberapa kali Mahisa Pukat dapat mengenai tubuh orang itu. Tetapi seperti yang terdahulu, tulang-tulangnya sendirilah yang menjadi sakit.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat mencoba untuk semakin sering menyentuh lawannya. Sekali ia mencoba menggenggam pergelaran tangan lawannya, menariknya dan membantingnya. Tetapi ia tidak berhasil. Bahkan tangan yang lain dari raksasa itu telah menangkap pundak Mahisa Pukat. Dengan kekuatan raksasa Mahisa Pukat telah diputarnya dan sebelum Mahisa Pukat sempat menghindar, kedua tangan raksasa itu telah mengimpitnya melekat ke dadanya.
Mahisa Pukat meronta. Tetapi orang itu memang terlalu kuat. Himpitan batu hitam itu terasa semakin keras menjepit tubuhnya, sehingga nafasnya terasa semakin lama semakin sesak. Tulang-tulangnya gemeretak seakan-akan telah diremukkan oleh himpitan batu hitam itu.
Mahisa Murti yang melihat hal itu hampir saja tidak dapat menguasai diri. Hampir saja ia telah meloncat memasuki arena. Demikian pula Wantilan, Mahisa Semu dan bahkan Mahisa Amping dan para cantrik. Sementara itu, orang yang mengaku mendendam kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi sangat tegang.
Mahisa Pukat sendiri memang tidak akan mampu melepaskan diri dari himpitan kekuatan itu. Ia pun tidak sempat melepaskan kekuatan ilmu Bajra Geni karena tubuhnya yang justru telah terhimpit itu. Satu-satunya ilmu yang masih ditrapkannya adalah ilmunya untuk menghisap kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Pukat merasa seakan-akan sesaat lagi tubuhnya telah akan diremukkan oleh orang bertubuh raksasa itu.
Sekilas Mahisa Pukat memang agak menyesal, kenapa ia tidak menghancurkan orang itu dengan ilmu Bajra Geni. Baik yang langsung dibenturkan ke tubuhnya atau dengan kekuatan ilmu yang dapat melontarkan kekuatan ilmunya itu dari jarak yang cukup sehingga orang itu tidak dapat menggapainya. Pada saat ia masih berusaha untuk tidak membunuh, ternyata tubuhnya sendiri telah hampir diremukkannya.
Namun pada saat-saat terakhir, di mana Mahisa Pukat masih sempat memandang saudaranya sekilas, serta melihat wajah yang cemas itu, himpitan batu hitam itu justru mulai mengendor. Dalam keadaan yang gawat itu ternyata Mahisa Pukat masih mampu berpikir menghentakkan satu-satunya ilmu yang masih dapat dipergunakannya itu. Justru sentuhan tubuhnya yang rapat dengan tubuh lawannya, membuat ilmunya lebih cepat bekerja.
Terasa oleh Mahisa Pukat bahwa lawannya yang bertubuh raksasa itu berusaha menghentak-hentakkan kekuatannya. Ia berusaha untuk menghimpit dan meremukkan tulang-tulang Mahisa Pukat serta mematahkan tulang belakangnya. Namun usaha itu sia-sia. Ketika kemudian Mahisa Pukat dengan sisa kekuatannya mengembangkan tangannya yang terhimpit bersama tubuhnya, maka orang itu tidak mampu lagi mempertahankan himpitannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, tangannya pun terlepas dan Mahisa Pukat terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ia masih mampu bertahan dan kemudian bahkan berdiri tegak. Dengan serta merta terdengar sorak para cantrik. Bahkan Mahisa Amping sempat menjerit-jerit kegirangan melihat Mahisa Pukat mampu melepaskan dirinya.
Orang bertubuh raksasa itu menggeram. Ia merasa tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Ia sendiri menjadi bingung, kenapa tenaganya tidak lagi mampu mempertahankan himpitan tangannya atas tubuh anak muda yang sudah hampir mati lemas itu. Sementara itu Mahisa Pukat telah pulih kembali. Dengan tegar Mahisa Pukat telah menunggunya untuk melanjutkan pertempuran.
“Anak iblis kau,” geram orang bertubuh raksasa itu, “seharusnya kau sudah mati.”
“Tetapi seperti yang kau lihat. Aku tidak mati,” jawab Mahisa Pukat.
Orang yang mengaku prajurit sandi dari Kediri itu menggeram. Namun ia pun telah melangkah maju mendekati Mahisa Pukat, dengan geram ia telah bersiap untuk mencengkam Mahisa Pukat dan meremasnya menjadi debu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa kekuatan orang itu sudah tidak memadai lagi. Karena itu, maka ia pun telah membuat perhitungan yang mapan. Ia sama sekali tidak menghindar ketika raksasa itu menerkamnya. Ia memperhitungkan bahwa sentuhan tangan raksasa itu dengan tubuhnya akan sangat menguntungkan ilmunya.
Karena Mahisa Pukat tidak menghindar, maka kedua telapak tangan orang itu dengan serta merta telah menggapai lehernya. Mahisa Pukat sudah memperhitungkan, bahwa serangan orang itu tentu ke arah bagian tubuhnya yang dianggapnya lemah. Namun ia sudah siap untuk melawannya. Tenaganya tidak akan mampu untuk mencekiknya dalam arti yang sesungguhnya.
Ketika kedua tangan orang itu mencengkam leher Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat telah menangkap pergelangan tangannya. Dengan perhitungan yang matang dihentakkannya ilmunya sekali lagi menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
Tubuh yang semula menjadi sekeras batu itu benar-benar telah kehilangan kekuatannya. Sebenarnya Mahisa Pukat dengan mudah dapat mengibaskan kedua tangan orang itu dari lehernya, tetapi ia masih membiarkannya sehingga tubuh itu menjadi benar-benar lemah dan tidak bertenaga. Karena itu, maka demikian Mahisa Pukat melangkah surut, maka orang itu tidak lagi mampu menahan berat badannya sendiri, sehingga ia terjerembab jatuh.
Sekali lagi terdengar orang-orang yang berdiri di pinggir arena bersorak. Demikian kerasnya sehingga langit bagaikan akan runtuh. Dengan susah payah orang itu memang bangkit berdiri. Namun tubuhnya seakan-akan sudah tidak bertenaga lagi.
“Kau memang anak iblis,” geram orang itu.
“Menyerahlah,” desis Mahisa Pukat.
“Setan, aku bunuh kau,” orang itu mencoba berteriak.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi seperti yang selalu ia katakan kepada para cantrik bahwa tidak sepantasnya membunuh orang yang sudah tidak berdaya sama sekali itu. Betapapun kemarahan mendidih di dadanya, namun Mahisa Pukat memang tidak ingin membunuhnya. Apalagi sejak semula ia tidak ingin membunuh seorang prajurit sandi dari Kediri.
Karena itu, ketika orang itu masih mempunyai tenaga tersisa di dalam tubuhnya, maka Mahisa Pukat berkata kepada kawan orang bertubuh raksasa itu, “Bawa kawanmu pergi sebelum aku berubah pikiran. Dengan mudah aku dapat membunuhnya. Tetapi aku tidak ingin melakukannya.”
“Kenapa tidak kau lakukan itu?” bertanya kawannya.
“Aku bukan pembunuh orang-orang yang tidak berdaya,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau akan menyesal,” sahut kawan dari prajurit sandi itu, “jika kau tidak membunuhnya sekarang, pada kesempatan lain kaulah yang akan dibunuhnya.”
“Aku akan menghadapinya kapan saja,” jawab Mahisa Pukat dengan lantang. Namun kemudian ia pun membentak, “bawa orang itu pergi.”
Kawannya termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Pukat sangat menjengkelkannya. Bahkan Mahisa Pukat itu bertanya, “Atau kau ingin memasuki arena dan membuktikan kekalahan kawanmu?”
Orang itu tidak menjawab. Ia pun kemudian mencoba memapah kawannya yang menjadi sangat lemah itu sambil berkata, “Kau benar-benar akan menyesal, bahwa kau tidak membunuhnya.”
“Diamlah,” geram Mahisa Pukat, “atau kau yang harus aku bunuh sekarang selagi kau masih mampu melakukan perlawanan?”
Orang itu melihat wajah Mahisa Pukat membara. Namun ia masih menjawab, “Baiklah. Aku pergi sekarang. Aku akan membawanya. Tetapi ingat kata-kataku. Kami akan kembali dan membunuh kalian berdua.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berusaha untuk tidak kehilangan akal. Karena itu, Mahisa Pukat itu hanya menggeram saja ketika ia melihat orang yang mendendam padepokan itu karena saudara seperguruannya terbunuh melangkah pergi sambil memapah orang bertubuh raksasa itu. Nampaknya tubuh raksasa itu memang terlalu berat baginya. Namun ia terpaksa memapahnya pergi.
Meskipun lambat, namun beberapa saat kemudian, keduanya telah menjadi semakin jauh dari padepokan Bajra Seta. Ketika orang bertubuh raksasa itu sempat memperhatikan keadaan disekelilingnya, maka ia pun bertanya, “Kita akan pergi ke mana?”
“Kita akan mencari tempat untuk beristirahat. Kita akan memasuki hutan itu,” berkata orang yang memapahnya.
Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Ia ikut saja dengan sisa tenaga yang tinggal. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki hutan yang tidak terlalu luas. Namun hutan itu cukup buas. Masih banyak binatang buas berkeliaran di hutan itu. Sedangkan binatang-binatang yang lain pun berkeliaran di sepanjang rawa-rawa dan sebuah sungai yang mengalir di hutan itu. Bahkan di sungai dan rawa-rawa itu pun masih juga tinggal binatang pemakan daging yang garang. Buaya.
Untuk beberapa saat keduanya beristirahat disejuknya angin yang menyusup di sela-sela pepohonan hutan. Namun kemudian orang yang mengaku mendendam kepada anak-anak Mahendra itu berkata dengan suara gemetar, “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”
Orang bertubuh raksasa itu terkejut. Ia melihat orang yang mendendam anak-anak Mahendra itu mencabut kerisnya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang bertubuh raksasa itu
“Aku mendapat tugas untuk membunuhmu,” jawab orang itu.
“Kenapa? Dan siapa kau sebenarnya?” bertanya orang yang sudah tidak berdaya itu.
“Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi karena ini perintah, maka aku harus melakukannya,” berkata orang itu pula.
“Tetapi tunggu,” minta orang bertubuh raksasaa itu, “apa sebabnya hal itu harus kau lakukan?”
“Bukankah aku berhadapan dengan prajurit sandi dengan tanda sandinya Lintang Kemukus?” bertanya orang itu.
“Ya,” jawab orang bertubuh raksasa itu.
“Kau telah terlalu banyak melakukan kesalahan. Kau tidak dapat lagi dipercaya. Sementara itu terlalu banyak pula yang sudah kau ketahui tentang tugas-tugas prajurit sandi Kediri di daerah Singasari,” berkata orang itu.
“Aku tidak tahu yang kau maksud,” desis orang bertubuh raksasa itu.
“Kau telah melanggar sumpahmu sebagai prajurit sandi. Kau telah dengan sengaja menyatakan dirimu sebagai prajurit sandi Kediri. Kau telah dengan terbuka berusaha menjajagi tataran kemampuan orang-orang Singasari. Kau pernah membunuh tiga orang prajurit Singasari yang sedang meronda sekedar untuk menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan, meskipun sesudah itu kau harus mencari daerah baru untuk melakukan tugas-tugasmu yang telah kau nodai sendiri. Di daerah yang baru kau telah melakukan kesalahan yang sama. Bahkan kau belum mendapat persetujuan dari pimpinanmu untuk bergerak di daerah yang baru itu. Karena itu, maka kau dianggap justru membahayakan kedudukan beberapa orang Pangeran di Kediri yang memberikan tugas kepadamu. Karena mereka adalah orang-orang yang mempersiapkan diri untuk pada suatu saat bangkit melawan Singasari,” berkata orang itu pula.
“Siapa kau?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Aku adalah seorang prajurit sandi dengan pertanda tugasku yang tentu kau kenal?” berkata orang itu sambil mengambil sebuah lencana dari kantong ikat pinggangnya.
“Kecubung ungu,” desis orang bertubuh raksasa itu, “jadi kaukah itu?”
“Ya. Aku menerima tugas langsung dari Pangeran yang menjadi Panglima dari gerakan ini dengan gelar sandinya Pangeran Anom. Tidak seorang pun pernah mengenalnya kecuali aku. Dan aku pulalah yang membawa perintah mencarimu,” berkata orang yang disebut kecubung Ungu.
“Kenapa kau dorong aku untuk bertempur melawan anak-anak Mahendra?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.
“Agar kau tenang di saat-saat terakhirmu, baiklah aku berterus terang. Aku mendapat perintah untuk membunuhmu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak akan mampu melakukannya. Karena itu aku hanya dapat membayangimu dan menjebakmu dengan sifat-sifat sombongmu sendiri agar kau dapat dibunuhnya. Anak-anak Mahendra adalah anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ternyata ia tidak mau membunuhmu dan membiarkan kau hidup. Tetapi kau sudah tidak berdaya, sehingga aku akan dapat membunuhmu,” jawab Kecubung Ungu.
“Setan kau,” geram orang bertubuh raksasa itu.
“Maaf Lintang Johar. Bukankah kau sudah beberapa lama menunggu dan mencari kesempatan untuk bertemu dan membunuh Kecubung Ungu? Tetapi kau ternyata terlalu dungu,” desis orang itu.
“Kau yang terlalu licik. Tetapi kau adalah pengecut yang paling besar,” geram raksasa itu.
Orang yang disebut Kecubung Ungu itu tersenyum. Katanya, “Aku memang harus licik. Aku menyadari, bahwa ilmuku belum tentu akan dapat membunuhmu. Aku tahu kau memiliki kekebalan tubuh meskipun bentuknya agak lain dengan ilmu kebal. Karena itu, aku mencoba meminjam tangan Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk membunuhmu. Selain aku tidak perlu memeras tenaga, maka tangannya pun tidak akan ternoda oleh darahmu. Tetapi anak-anak muda itu ternyata anak-anak keparat yang malas. Nah, bukankah kelicikanku ada juga gunanya.”
“Kau harus berlaku jantan. Beri aku kesempatan beberapa saat sehingga kekuatanku tumbuh kembali,” geram orang bertubuh raksasa itu.
“Alangkah bodohnya aku,” jawab Kecubung Ungu, “kau yang sudah terlalu lama menunggu kesempatan untuk membunuhku, tentu akan sangat berterima kasih jika aku memberimu waktu. Tidak Ki Sanak. Aku harus membunuhmu. Licik atau tidak licik. Aku dapat menyelesaikan tugasku. Kelicikan yang kau sebut-sebut sebenarnya adalah akal yang cerdik yang harus dimiliki setiap petugas sandi.”
Orang bertubuh raksasa yang bergelar sandi Lintang Johar itu menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai kesempatan untuk melawan kawannya yang mendapat perintah untuk membunuhnya, karena ia dianggap tidak berguna lagi.
Selangkah demi selangkah orang itu mendekati Lintang Johar yang hanya dapat mengumpat-umpat. Namun tangannya seakan-akan tidak lagi mampu bergerak apalagi menangkis serangan orang yang akan membunuhnya itu.
Namun dalam pada itu, ketika orang itu menjadi semakin dekat, terdengar suara dari balik pepohonan hutan, “jadi, inikah sasaran akhir dendammu karena saudara seperguruanmu terbunuh?”
Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Murti berdiri termangu-mangu. Beberapa langkah di sebelahnya, Mahisa Pukat bergeser mendekat. “Kalian memang keparat,” geram orang itu.
“Aku sependapat dengan orang yang kau sebut Lintang Johar itu,” berkata Mahisa Murti, “beri kesempatan kepadanya untuk memulihkan kekuatannya.”
Tetapi orang yang disebut dengan gelar sandi Kecubung Ungu itu menggeram, “Aku akan membunuhnya, justru sebelum kekuatannya mulai tumbuh. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian yang telah membantu aku melakukan tugasku.”
“Aku akan melindunginya sampai kekuatannya pulih kembali,” berkata Mahisa Murti, “kemudian terserah kepadamu, Apakah kau masih berniat membunuhnya, atau membiarkan dirimu dibunuhnya.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Kau tidak akan dapat menghalangi aku.”
“Jika kau merasa tidak dapat membunuhnya, sedangkan aku dapat mengalahkannya, apakah kau tidak dapat mengambil kesimpulan akibat dari perbenturan kekerasan di antara kita?” berkata Mahisa Pukat.
“Mungkin. Tetapi aku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang itu. Aku tidak berkepentingan dengan kalian. Aku tidak mendapat perintah untuk membunuhmu,” jawab orang itu. Lalu katanya pula, “Karena itu, aku tidak perlu menyombongkan diri untuk melawan kalian.”
“Tetapi kami sudah bertekad untuk melindungi orang yang lemah itu,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku akan membunuhnya,” jawab orang itu.
“Nah, meskipun kita tidak mempunyai kepentingan apa pun sebelumnya, ternyata akhirnya kita mempunyai kepentingan yang berlawanan. Kau akan membunuhnya dan aku akan melindunginya,” berkata Mahisa Murti.
“Jika demikian apa boleh buat,” jawab orang itu, “namun ingat. Mungkin ilmuku kalah dari ilmumu. Tetapi di tanganku tergenggam pusaka yang tidak ada duanya di dunia ini.”
“Apa pun yang kau genggam,” jawab Mahisa Murti, “aku juga mempunyai senjata...”