PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 96
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 96
Karya Singgih Hadi Mintardja
ANAK Ki Saudagar itu sempat mengumpat-umpat. Namun tiba-tiba saja suaranya terputus. Ternyata bibirnya telah tersentuh tangan anak Ki Buyut yang menyerangnya dengan tiba-tiba. Untunglah bahwa sentuhan itu tidak mengakibatkan giginya berpatahan, meskipun terasa sedikit sakit.
Para pengawal anak Ki Saudagar dan pengawal anak Ki Buyut yang masing-masing berjumlah tiga orang memang menjadi tegang. Tetapi setiap kali ketiga orang pengawal anak Ki Buyut itu bersorak kegirangan jika tangan anak Ki Buyut itu mengenai tubuh lawannya.
Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar pun berbuat pula demikian. Tetapi sorak yang menghentak semakin lama semakin sering dilakukan oleh anak Ki Buyut. Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar itu menjadi cemas. Mereka tidak dapat membiarkan momongan mereka kalah. Karena jika demikian, akibatnya akan buruk sekali bagi mereka. Ki Saudagar tentu akan menjadi sangat marah.
“Kenapa aku tidak berbuat sesuatu,” berkata pengawal anak Ki Saudagar.
Karena itu, maka orang bertubuh tinggi tegap itu pun berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku harus mengakhiri kesombongan anak-anak itu.”
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Ia akan bertindak untuk membantu momongannya. Ia tidak peduli apa yang akan dikatakah oleh anak Ki Buyut itu serta para pengawalnya.
“Jika para pengawal anak Ki Buyut itu akan ikut campur, kalian dapat menyelesaikan mereka dengan caramu,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap itu. Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah meloncat memasuki arena. Ia langsung melangkah ke arah kedua orang anak muda yang sedang berkelahi itu.
Tetapi ternyata seorang dari para pengawal anak Ki Buyut itu telah melihatnya. Ia pun segera berlari mencegah orang yang bertubuh tinggi besar itu. “Kita tidak akan ikut campur,” berkata pengawal anak Ki Buyut.
“Persetan,” geram orang yang bertubuh tinggi tegap itu, “Minggir. Atau kau yang akan aku lumpuhkan lebih dahulu.”
“Kau kira aku membiarkan kakiku kau patahkan?” bertanya pengawal anak Ki Buyut itu.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu tidak menjawab. Ia langsung mengayunkan tangannya menyerang pengawal anak Ki Buyut itu. Namun pengawal anak Ki Buyut yang lebih kecil itu ternyata cukup tangkas. Dengan sigapnya ia telah mengelakkan serangan itu. Bahkan dengan cepat sekali ia telah membalas serangan itu dengan ayunan tangannya, memukul ke arah dada.
Orang yang bertubuh tinggi itu masih sempat bergeser surut. Namun lawannya yang lebih kecil itu tidak melepaskannya, dengan cepat ia memburunya. Dengan satu loncatan melingkar, kakinya telah terayun menghantam dada orang itu.
Serangan kaki itu cukup keras, sementara orang yang bertubuh tinggi itu tidak sempat menghindar. Karena itu, ketika kaki pengawal anak Ki Buyut itu mengenai dadanya, maka orang yang bertubuh tinggi itu telah terdorong beberapa langkah surut. Orang itu memang tidak terjatuh. Bahkan ia masih mampu menguasai keseimbangannya. Namun bahwa tubuhnya telah dikenai oleh serangan lawannya itu, membuatnya menjadi sangat marah.
Dengan demikian maka perkelahian antara kedua pengawal dari kedua orang anak muda yang telah berkelahi itu pun semakin lama menjadi semakin sengit pula. Bahkan kemudian kedua orang pengawal yang lain pun telah berkelahi pula, sehingga delapan orang telah berkelahi di halaman samping kedai itu.
Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar. Jika perkelahian itu meluas, maka kedainya akan dapat menjadi ajang perkelahian pula. Tetapi pemilik kedai itu berharap bahwa perkelahian itu akan terbatas dengan delapan orang itu saja.
Meskipun demikian, ia masih saja merasa cemas. Jika terjadi di antara mereka menjadi korban, maka ia pun tentu akan menjadi sasaran pertanyaan orang-orang dari kedua Kabuyutan yang bermusuhan itu.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata bahwa anak Ki Buyut itu semakin mendesak lawannya, anak seorang saudagar kaya di Kabuyutan sebelah. Seorang saudagar kaya yang mempunyai pengaruh yang besar di Kabuyutannya.
Sedang para pengawalnya pun nampaknya lebih baik dari para pengawal anak saudagar kaya itu, sehingga dua orang dari ketiga orang pengawal itu berhasil mendesak lawan-lawan mereka pula. Hanya pengawal yang kebetulan berkelahi melawan orang yang bertubuh tinggi tegap itu harus memeras keringat untuk dapat bertahan. Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki daya tahan yang sangat besar.
Tetapi sementara itu, kedua orang pengawal anak saudagar kaya itu semakin tidak mempunyai kesempatan lagi melindungi dirinya. Sebagaimana momongan mereka, maka keduanya pun semakin sering dikenai oleh serangan lawannya. Bahkan salah seorang pengawal anak saudagar kaya itu telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Namun demikian ia berhasil berdiri, lawannya telah meloncat dengan cepatnya menghantam dadanya dengan tumit kakinya.
Sekali lagi orang itu jatuh berguling. Meskipun ia masih juga mencoba berdiri, tetapi ia sudah tidak berdaya lagi. Hanya karena orang itu takut dianggap tidak membantu momongannya, maka ia masih mencoba untuk bertahan. Tetapi lawannya sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia justru berlari membantu kawannya yang terdesak oleh orang yang bertubuh tinggi tegap itu.
Melawan dua orang, maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu merasa sangat berat. Beberapa kali tubuhnya telah dikenai serangan kedua lawannya itu. Ketika kawannya yang sudah tidak berdaya itu mencoba mendekatinya untuk membantu, maka sekali lagi orang itu mendapat serangan di keningnya.
Sekali lagi orang itu terdorong dan tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya lagi. Ia pun kemudian jatuh untuk ketiga kalinya. Kepalanya yang membentur tanah yang keras, membuatnya sangat pening dan bahkan kemudian segala-galanya menjadi kekuning-kuningan.
Dalam waktu dekat, maka anak saudagar kaya dan para pengawalnya menjadi semakin tidak mampu lagi mengatasi kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan kesempatan. Beberapa kali anak saudagar kaya itu harus berloncatan mengambil jarak, sehingga arena pertempuran itu telah bergeser dari tempat semula.
Namun anak Ki Buyut itu mendesak terus. Beberapa kali ia sempat mengenai tubuh lawannya. Dan bahkan ia pun kemudian bertanya, “Kapan kita menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang?”
“Persetan kau,” geram lawannya yang menyerangnya dengan mengerahkan kemampuannya.
Namun lawannya tidak berhasil mendesaknya. Apalagi para pengawalnya yang tinggal dua orang. Yang bertubuh tinggi tegap itu pun harus berloncatan surut, karena dua orang lawannya membuatnya semakin bingung. Sementara pengawalnya yang seorang lagi juga tidak dapat bertahan lebih lama. Dalam keadaan yang demikian, maka mereka semakin terdesak ke jalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang semula melihat perkelahian itu dari pintu samping, telah berpindah. Mereka duduk di dekat pintu depan yang lebih lebar, sehingga mereka dapat menyaksikan pertempuran yang telah bergeser itu dengan jelas. Sementara itu bukan saja pelayan kedai itu, tetapi juga pemiliknya telah memperingatkan mereka, agar jangan berada di tempat yang dapat dilihat oleh anak saudagar kaya serta orang-orangnya.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka adalah pendendam,” jawab pemilik kedai itu, “hari ini anak saudagar kaya yang mengandalkan kekayaannya itu mendapat lawan seimbang. Bahkan nampaknya lebih kuat daripadanya. Mudah-mudahan ia menjadi jera dan tidak sewenang-wenang lagi.”
“Bagaimana dengan anak Ki Buyut?” bertanya Mahisa Semu.
“Ia memang pendiam. Tidak peduli. Tetapi ia bukan orang yang suka mencampuri persoalan orang lain dan tidak terbiasa membuat orang lain mengalami kesulitan. Tetapi agaknya karena ia ditantang, maka ia pun melayaninya.”
“Kedai ini terletak di mana?”
“Di daerah Ki Buyut itu atau daerah Kabuyutan lain sebagaimana saudagar kaya itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku masih berada di daerah Ki Buyut yang anaknya berkelahi itu. Tetapi jalan itu adalah batasnya. Jika perkelahian itu bergeser terus, maka mereka akan memasuki Kabuyutan sebelah,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sebenarnyalah perkelahian itu bergeser menyeberangi jalan dan akhirnya terjadi di seberang.
Pemilik kedai dan pelayannya yang tidak berani menyaksikan perkelahian itu dengan terbuka, sempat melihat lewat beberapa lubang dinding di sudut dapurnya. Mereka tidak lagi memperingatkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang nampaknya tidak menghiraukan peringatan mereka.
Dalam pada itu, ketika keadaan anak saudagar kaya dari Kabuyutan diseberang jalan itu semakin sulit, tiba-tiba saja telah terdengar suitan nyaring. Satu isyarat yang mula-mula memang tidak begitu diketahui maksudnya. Namun tiba-tiba saja dari balik beberapa gerumbul perdu di seberang jalan, telah muncul beberapa orang anak muda yang dengan serta telah berlari-larian mendekati arena.
“Curang,” geram Mahisa Semu.
“Ya. Itu sudah diduga,” sahut pemilik kedai yang melihat perkelahian itu dari celah-celah dinding di dapurnya.
Anak Ki Buyut itu memang agak terkejut. Demikian pula ketiga orang pengawalnya. Dengan latang anak Ki Buyut itu berkata, “Aku memang sudah curiga. Tetapi aku menyanggahnya sendiri. Apalagi persoalan kita adalah persoalan harga diri. Apakah untuk kepentingan mempertahankan harga diri itu kau ingin mengorbankan harga diri?”
“Persetan dengan harga diri,” geram anak saudagar kaya itu.
“Aku adalah anak seorang Buyut,” berkata anak Ki Buyut itu, “apakah kau kira ayahku dan seluruh Kabuyutanku akan membiarkan hal ini terjadi?”
“Kabuyutanku juga sudah siap. Kita akan bertempur jika kau berusaha untuk menggerakkan orang-orangmu. Ayahku dapat mengupah orang-orang dari luar Kabuyutan. Tiga orang gegedug yang sekarang juga hadir merupakan contoh dari orang-orang yang diupah ayahku itu. Jika ayahmu benar-benar ingin berperang, maka Kabuyutanmu akan menjadi karang abang,” ancam anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak Ki Buyut itu pun berkata, “Kau kira kami menjadi ketakutan? Jika kau curang kali ini, maka aku akan benar-benar mengerahkan anak-anak muda dan para pengawal Kabuyutan.”
“Kau kira kau mampu melakukan? Tiga bulan kau akan berbaring di pembaringanmu. Orang-orangku akan membuatmu jera sampai ke anak cucumu,” teriak anak saudagar kaya itu.
Anak Ki Buyut itu tidak mempunyai pilihan. Sebenarnyalah di antara beberapa orang yang muncul dari balik gerombolan itu, terdapat tiga orang yang bertampang garang. Meskipun tubuhnya tidak sebesar pengawal anak saudagar kaya yang bertubuh raksasa itu, namun nampak disorot matanya, bahwa mereka lebih keras dan kasar. Juga mereka nampaknya memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Anak Ki Buyut itu memang harus berpikir keras. Ada dua pilihan yang dapat diambilnya. Melawan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan harga diri, atau melarikan diri. Sebenarnya anak Ki Buyut itu pun menyadari, seandainya ia melarikan diri dari arena, ia tidak akan direndahkan oleh siapa pun karena lawannyalah yang curang. Namun rasa-rasanya seorang laki-laki yang menghindar dari kesulitan namanya akan tetap menjadi cacat. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, anak Ki Buyut itu tidak beringsut dari tempatnya.
Sementara itu pemilik kedai itu berteriak tertahan di belakang lubang dinding, “Lari. Kenapa tidak lari saja?”
“Ya,” desis Mahisa Pukat, “seharusnya ia menyingkir dari arena. Itu bukan lari. Tetapi menghindari sikap yang sangat licik.”
“Ya. Bukan melarikan diri. Tetapi menghindari kecurangan,” ulang pemilik kedai itu.
Namun tidak seorang pun di antara orang-orang yang dimaksud itu mendengar. Tetapi ternyata ketiga orang pengawal anak Ki Buyut itu pun termasuk orang-orang yang berani. Ketika mereka yakin bahwa anak Ki Buyut itu tidak akan meninggalkan arena, maka dengan serta merta mereka pun menyerang lawan-lawan mereka yang masih saja termangu-mangu. Dengan hentakkan yang tiba-tiba saja, maka orang yang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak mampu menghindar.
Dua orang pengawal Ki Buyut itu bersama-sama menghantam dadanya dan lambungnya, sehingga orang yang bertubuh tinggi besar itu terbungkuk. Namun kemudian pukulan yang terakhir dari kedua orang itu bersamaan membuat raksasa itu jatuh dan pingsan karenanya. Demikian pula seorang pengawal yang lain. Ia pun dengan serta merta telah mendapat serangan yang tidak dapat dihindarinya. Bahkan dua orang yang telah membuat orang bertubuh tinggi besar itu pingsan, telah ikut menyerangnya sehingga ia pun menjadi pingsan pula.
Dengan demikian empat orang itu telah bebas dari lawan-lawannya yang terdahulu. Namun mereka akan berhadapan dengan lawan yang jauh lebih berat.
“Licik. Kau serang mereka tanpa memberinya peringatan,” geram anak saudagar kaya itu.
“Persetan,” sahut anak Ki Buyut, “kau bawa sekian banyak orang termasuk ketiga orang gegedug itu. Apakah itu bukan sikap yang licik? Curang? Pengecut?”
Tetapi anak saudagar kaya itu tertawa. Katanya, “Kau menjadi ketakutan karenanya. Tetapi sudah terlambat. Kau akan dilumpuhkan. Kau akan terbaring dan memerlukan pelayanan orang lain. Kau akan dimandikan di pembaringan seperti bayi. Kau akan disuapi dan jika kau sembuh kelak, kau akan menjadi cacat. Jika ayahmu marah, maka perang akan terjadi. Kabuyutanmu anak hancur lumat.”
“Cukup. Kau tidak perlu membual seperti itu. Aku akan menanggung segala akibat dari sikapku,” bentak anak Ki Buyut.
“Ada satu cara yang dapat kau tempuh,” berkata anak saudagar kaya itu, “tinggalkan tempat ini dan untuk seterusnya jangan ganggu gadis itu lagi.”
“Kau bukan laki-laki,” geram anak Ki Buyut, “kenapa kau tidak menantang aku berperang tanding sampai tuntas? Kenapa kau melibatkan sekian banyak orang untuk persoalan yang sangat pribadi ini?”
“Itulah kekuasaan uang yang dimiliki oleh keluargaku. Jangan iri. Ayahku kaya raya dan dapat mengupah orang untuk melakukan hal seperti ini,” jawab anak saudagar kaya itu. Lalu katanya, “Kenapa kau tidak melakukannya? Bukankah ayahmu seorang Buyut yang juga terhitung kaya?”
Mahisa Pukat ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Ketika anak-anak muda yang bermunculan dari balik gerumbul dengan tiga orang gegedug itu menjadi semakin dekat dan mulai mengepung anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya, maka ia pun telah menggamit Mahisa Semu. Bahkan Mahisa Pukat langsung meloncat ke halaman kedai itu sambil berteriak, “Tidak selamanya uang dapat menguasai keadaan.”
Semua orang berpaling kepadanya. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah melangkah mendekati mereka yang sudah siap untuk bertempur lagi itu. Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Ternyata kedua orang tamunya itu langsung melibatkan dirinya dalam pertengkaran itu.
“Kami berdua, tanpa kekuasaan uang, menyatakan memihak kepada anak Ki Buyut,” berkata Mahisa Pukat sambil melangkah mendekati anak Ki Buyut dengan tiga orang pengawalnya yang sudah terkepung. Bahkan dengan tidak menghiraukan anak-anak muda yang mengepung itu, keduanya justru menyibak mereka dan masuk ke dalam lingkaran kepungan itu.
“Siapa kau?” geram anak saudagar kaya itu.
“Siapa pun aku, kau tidak peduli. Apakah kau akan membeli namaku dengan uangmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Iblis kau,” geram anak saudagar kaya itu, “apakah kau menyadari, apa yang kau lakukan?”
“Tentu. Aku akan merasa berbahagia dapat membantu orang yang telah diperlakukan dengan curang. Aku tidak peduli apakah kami akan menang atau kalah,” jawab Mahisa Pukat.
Wajah anak saudagar kaya itu menjadi merah. Selangkah ia maju sambil berkata, “Kau akan menyesal. Jika aku mengancam akan membuat anak Ki Buyut yang tidak tahu diri itu menjadi cacat, maka aku benar-benar berniat membunuhmu. Tidak ada orang yang akan menuntut aku di sini. Sekali lagi aku katakan bahwa uang ayahku akan dapat menyelesaikan segala-galanya.”
“Aku tidak takut mati untuk melakukan apa yang aku yakini kebenarannya,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi sadari, bahwa jika aku mati, maka tentu ada di antara kalian yang mati. Aku tidak tahu siapa yang akan mati di antara kalian. Kau, mungkin kau, kau atau gegedug itu. Nyawaku nilainya sama dengan lima orang di antara kalian. Demikian pula adikku ini. Karena itu, jika kami berdua mati, maka sepuluh orang dianara kalian akan mati.”
Ternyata ancaman Mahisa Pukat itu telah menggetarkan jantung anak-anak muda yang mengepung anak Ki Buyut itu. Namun anak saudagar kaya itu berkata kepada ketiga orang gegedug itu, “Selesaikan kedua anak itu. Jangan ragu-ragu. Aku yang bertanggung jawab.”
Ketiga orang gegedug itu pun kemudian telah bergeser mendekati Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Ternyata mereka benar-benar berniat untuk membunuh keduanya, karena ketiga orang gegedug itu langsung menggenggam senjata mereka di tangan. Seorang di antara mereka menggenggam sebuah golok yang besar. Seorang memegang kapak yang bermata rangkap dan seorang lagi membawa pedang yang panjang.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun berkata kepada Mahisa Semu, “jangan ragu-ragu membunuh mereka bertiga. Kita akan segera menghilang dari tempat ini, sehingga mereka tidak akan dapat menuntut kita.”
“Setan alas,” salah seorang dari ketiga orang gegedug itu mengumpat. Seorang yang bersenjata kapak yang tajam di kedua sisi itu pun segera meloncat menyerang Mahisa Pukat. Namun anak muda itu sudah benar-benar bersiap. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar. Namun gegedug yang membawa golok itu tidak membiarkannya. Ia pun telah memutar goloknya pula dan langsung menyerang.
Tetapi Mahisa Pukat benar-benar telah bersiap. Dengan sigapnya ia berloncatan menghindari serangan-serangan yang kemudian datang beruntun. Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengenggam pedangnya pula. Yang kemudian berdiri berhadapan dengan anak muda itu adalah gegedug yang bersenjata pedang yang panjang itu.
Sejenak kemudian pertempuran antara kedua anak muda dari perguruan Bajra Seta melawan tiga orang gegedug itu pun telah berlangsung dengan sengitnya. Ketiga orang gegedug yang merasa memiliki kemampuan yang tinggi itu berusaha untuk dengan secepatnya menyelesaikan kedua orang anak muda itu. Apalagi dua orang di antaranya bertempur melawan seorang saja.
Tetapi ternyata bahwa kedua orang itu tidak segera dapat menguasai Mahisa Pukat yang telah menggenggam pedangnya pula. Pedang yang terbuat dari besi baja yang seakan-akan bercahaya kehijau-hijauan. Kedua gegedug itu memang tergetar hatinya melihat daun pedang di tangan Mahisa Pukat itu. Namun karena mereka merasa memiliki kemampuan yang sangat mereka bangga-banggakan selama ini, maka mereka pun berusaha dengan cepat membunuhnya.
Mahisa Pukat pun merasakan kesungguhan kedua orang gegedug itu untuk membunuhnya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi semakin marah. Ternyata pengaruh uang anak muda yang tamak itu telah membuat para gegedug itu kehilangan kendali sama sekali. Mereka tidak lagi sempat memikirkan apa yang sedang mereka lakukan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan para gegedug itu. Mereka harus menebus kedunguan mereka dengan harga yang sangat mahal.
Adalah di luar dugaan bahwa justru Mahisa Pukat lah yang dengan cepat menguasai kedua orang lawannya. Pedangnya berputaran dengan cepat, menggapai-gapai. Dalam waktu yang singkat, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah melukai seorang di antara kedua gegedug itu. Orang yang bersenjata kapak itu- pun telah mengaduh kesakitan ketika luka menganga di pundaknya.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam ilmu pedang. Ia pun dengan cepat telah menguasai lawannya. Pedang lawannya yang panjang itu sama sekali tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak pedang Mahisa Semu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka segores luka telah menyilang di dada lawannya.
Ketiga orang yang telah disebut sebagai gegedug itu menjadi sangat marah pula. Mereka adalah orang-orang yang sangat ditakuti. Namun menghadapi anak-anak muda itu ternyata mereka tidak mampu mengatasinya.
Sementara itu, lawan Mahisa Pukat yang seorang lagi, yang bersenjata golok itu pun tidak mampu menghindar atau menangkis ujung pedang Mahisa Pukat yang mematuk dengan cepatnya. Karena itu, maka lambungnya tiba-tiba saja telah terkoyak, sehingga darahnya memancar dari lukanya yang menganga.
Anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya justru bagaikan membeku. Demikian pula anak saudagar kaya serta anak-anak muda yang mengepung dan kemudian seakan-akan telah membuat lingkaran pertempuran itu.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka anak saudagar kaya itu pun telah tersentak dari keheranannya. Ia pun segera melihat keadaan yang tidak menguntungkan, sehingga karena itu, maka ia pun segera berteriak kepada anak-anak muda yang mengepung arena itu, “Jangan seperti orang-orang yang kehilangan akal. Cepat. Lakukan tugas kalian. Aku yang bertanggung jawab atas segala-galanya.”
Anak-anak muda yang jumlahnya cukup banyak itu masih saja ragu-ragu. Tiga orang gegedug itu ternyata tidak berdaya menghadapi dua orang anak muda yang tidak mereka kenal yang tiba-tiba saja telah ikut serta dalam pertempuran itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu sekali lagi berteriak, “Cepat. Lakukan. Siapa yang tidak mendengar perintahku, akan menyesal kelak.”
Ancaman itu memang dapat menggerakkan anak-anak muda itu. Selagi ketiga gegedug itu masih sempat melawan meskipun dalam kesulitan. Apalagi yang terluka di lambungnya. Darah semakin lama semakin banyak mengalir, sehingga akhirnya, orang itu pun telah jatuh terkapar dengan lemahnya. Tiga orang anak muda telah membawanya menepi, sementara dua orang yang lain berlari-lari kembali ke arena, seorang di antara mereka telah merawatnya sedapat-dapatnya.
Tinggal dua orang gegedug yang masih ikut dalam pertempuran itu. Namun keduanya sudah terluka. Tetapi ternyata bahwa keduanya masih berbahaya. Apalagi kemudian datang anak-anak muda membantu mereka.
Anak Ki Buyut dan tiga orang pengawalnya pun telah berkelahi lagi. Tetapi lawan-lawan mereka adalah anak-anak muda yang tidak mempunyai bekal terlalu banyak dalam olah kanuragan. Meskipun demikian jumlah mereka yang banyak itu pun telah berpengaruh pula.
Beberapa orang telah membantu kedua orang gegedug yang terluka itu pula. Namun demikian, anak-anak muda itu tidak dengan cepat mampu menempatkan diri dalam satu kerjasama yang mapan. Bahkan kadang-kadang kedua gegedug itu justru merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Tetapi kedua gegedug itu tidak berani mengusir mereka, karena dalam saat-saat tertentu kedua gegedug itu dapat berlindung di balik senjata anak-anak muda itu untuk beberapa saat.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi ragu-ragu. Mereka tidak dapat memperlakukan anak-anak muda itu sebagai mana kedua orang gegedug yang masih mereka hadapi! Karena itu, maka tata gerak kedua anak muda itu pun menjadi agak ragu-ragu pula. Namun ketika anak-anak muda itu mulai terasa semakin menekan mereka, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai menjadi semakin keras pula. Terutama Mahisa Semu.
Dengan demikian, maka pedangnya pun berputaran semakin cepat pula. Tetapi yang menjadi sasaran utama bagi Mahisa Semu masih juga gegedug yang sudah dilukainya itu. Namun gegedug itu pun ternyata memanfaatkan anak-anak muda itu untuk melindunginya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mula-mula Mahisa Semu memang menjadi sedikit mengalami kesulitan. Namun akhirnya kemudaannyalah yang mulai berbicara dengan bahasa pedangnya.
“Bukan salahku,” berkata Mahisa Semu tiba-tiba.
Lawan-lawannya memang menjadi heran mendengar Mahisa Semu itu tiba-tiba saja telah berkata lantang. Seorang di antara lawan-lawannya itu sempat bertanya, “Apa yang bukan salahmu?”
“Saudaraku telah memperingatkan bahwa aku akan membunuh sedikitnya lima orang jika kalian tidak menyingkir,” jawab Mahisa Semu.
Ancaman itu membuat anak-anak muda itu ragu-ragu. Tetapi gegedug itu pun berkata, “Jangan hiraukan kata-katanya. Ternyata anak itu sudah mulai menjadi ketakutan.”
Namun belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, maka seorang anak muda telah berteriak kesakitan. Ujung pedang Mahisa Semu telah singgah di lengannya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun terasa pedihnya menyengat sampai ke tulang.
“Sebentar lagi lehermu,” desis Mahisa Semu.
Lawan-lawannya menjadi semakin gentar melihat darah di lengan kawannya itu. Bahkan kemudian Mahisa Semu telah mendesak gegedug itu dan memaksanya berloncatan untuk mengambil jarak. Namun anak-anak muda itu tidak lagi mendesak dan mengurungnya. Mereka mulai merasa cemas bahwa ujung pedang anak muda itu akan melukai mereka di leher seperti yang dikatakannya.
Mahisa Semu memang mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat maka pedangnya terayun mendatar. Tetapi Mahisa Semu sendiri terkejut ketika ia melihat sebuah pedang lawannya terlempar jatuh. Sambil berteriak kesakitan anak muda yang kehilangan senjatanya itu menggenggam pergelaran tangannya. Ternyata darah mengalir cukup deras.
“Cepat, rawat lukamu,” teriak Mahisa Semu, “Jika terlambat kau benar-benar akan mati kehabisan darah.”
“Aku tidak mau mati,” teriak anak muda itu.
“Ikat tanganmu agar darahnya tidak mengalir terlalu deras,” Mahisa Semu pun berteriak.
Anak muda yang pergelangan tangannya tersayat pedang itu pun telah berjongkok di luar arena. Dilepasnya ikat kepalanya untuk mengikat tangannya yang berdarah. Namun ternyata darah masih saja tetap mengalir.
Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur terus. Karena anak-anak muda yang lain telah menjadi ragu-ragu, maka Mahisa Semu menjadi semakin berbahaya bagi gegedug itu. Sehingga akhirnya gegedug yang dibanggakan oleh anak saudagar yang kaya raya dan yang sudah terluka itu melarikan diri dari arena tanpa menghiraukan apa pun lagi.
Anak saudagar kaya itu sempat melihatnya berlari. Ia pun berteriak dengan lantang, “jangan lari. Tunggu.”
Tetapi gegedug itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan sejenak kemudian, gegedug yang bertempur melawan Mahisa Pukat pun telah berlari pula.
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat memang tidak memburu gegedug yang melarikan diri itu. Bagi mereka, sikap itu telah cukup memberikan bukti bahwa gegedug itu bukan hantu yang harus ditakuti.
Ketika kedua orang gegedug itu melarikan diri, anak-anak muda itu pun menjadi semakin ragu-ragu. Namun anak saudagar kaya itu masih berteriak, “jangan beri mereka kesempatan. Jumlah kita cukup banyak untuk menghancurkan mereka.” Namun teriakan itu tidak lagi mampu membangkitkan keberanian yang cukup. Karena itu, maka anak-anak muda itu masih saja tetap ragu-ragu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun berkata kepada lawan-lawan yang mengelilinginya, “Tunggu. Aku akan mengobati kawanmu yang terluka di pergelangan. Berbahaya sekali jika darahnya tidak mau pampat.”
Anak-anak muda yang mendengarnya seakan-akan di luar sadar telah beringsut menyibak. Sementara itu Mahisa Semu berjalan dengan tenangnya mendekati anak muda yang pergelangannya terluka.
“Jangan bunuh aku,” anak muda itu ketakutan.
“Lihat pergelanganmu yang terluka. Ikat dibagian atas lukanya. Bukan pada lukanya itu sendiri,” berkata Mahisa Semu.
Tetapi darahnya memang banyak sekali mengalir. Karena itu, maka Mahisa Semu pun menjadi cemas. Dari kantung ikat pinggangnya Mahisa Semu mengambil sebuah bumbung bambu kecil berisi obat luka yang dibawanya dari padepokan Bajra Seta. Dengan obat itu yang ditaburkan sedikit pada lukanya, maka Mahisa Semu berharap bahwa luka itu akan pampat.
Ketika obat itu tertabur di atas lukanya, anak itu memang berteriak. Terasa luka itu bagaikan disentuh api. Tetapi kemudian darahnya menjadi semakin pampat, sehingga akhirnya tidak lagi mengalir dari luka itu.
“Jangan banyak bergerak,” berkata Mahisa Semu, “jika kau gerak-gerakkan tanganmu ini, maka darah pun akan keluar lagi dan sulit untuk dipampatkan.”
Anak muda itu mengangguk-angguk.
“Nah, jangan kau gantungkan tanganmu. Tekuklah pada sikumu dan pegangi pergelangan tanganmu. Tetapi jangan sampai terpijit,” pesan Mahisa Semu. Demikian darah di luka anak muda itu pampat, maka Mahisa Semu telah bersiap pula.
Sementara itu, anak saudagar kaya itu masih saja berteriak-teriak. Katanya, “Kenapa kalian diam seperti patung?”
“Ia sedang mengobati luka kawan kami,” jawab salah seorang.
“Jangan hiraukan. Bunuh selagi ia lengah,” teriak anak saudagar yang bertempur melawan anak Ki Buyut itu.
“Kawan kami akan mati pula karena darahnya mengalir terus,” teriak anak muda itu.
“Kalau perlu bunuh sekalian anak itu agar tidak mengganggu kalian,” jawab anak saudagar kaya raya itu.
Tidak ada lagi yang berteriak. Tetapi jawaban itu benar-benar membuat anak-anak muda itu sakit hati. Sehingga karena itu, maka mereka pun tidak lagi bertempur dengan sungguh-sungguh. Apalagi Mahisa Semu pun tidak lagi bersungguh-sungguh pula.
Demikian pula Mahisa Pukat. Ia bertempur tidak jauh dari anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya. Sekali-sekali Mahisa Pukat telah berloncatan mengurangi tekanan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang jumlahnya memang jauh lebih banyak itu atas anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya.
Ketika Mahisa Pukat merasa bahwa nampaknya anak Ki Buyut dan para pengawalnya mulai letih, maka ia pun mulai mendesak lawan-lawannya. Dua orang hampir berbareng telah dilukainya, meskipun tidak terlalu dalam. Namun perasaan pedih yang menggigit itu membuat mereka telah mundur dari arena. Demikian pula seorang yang lain. Kemudian seorang lagi dan seorang lagi.
Dengan demikian maka anak-anak muda itu menjadi semakin tidak berdaya. Mereka juga merasa ketakutan bahwa pada suatu saat merekalah yang terluka. Bahkan mungkin lebih parah dari kawan-kawannya yang lain. Karena itu, maka anak saudagar kaya itu semakin lama menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ada dua orang anak muda yang dengan tiba-tiba saja telah ikut campur sehingga rencananya menjadi gagal sama sekali. Ia tidak sempat menyakiti dan bahkan membuat anak Ki Buyut itu menjadi jera. Bahkan anak itu tentu akan menjadi semakin sombong menurut penilaian anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu memang tidak dapat berbuat banyak. Anak-anak muda yang dibawanya benar-benar tidak lagi mampu menguasai ketakutan mereka. Ketika sekali lagi ujung pedang Mahisa Pukat melukai seorang di antara anak muda itu, maka yang lain pun telah berloncatan surut.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara anak saudagar kaya yang bertempur melawan anak Ki Buyut itu berteriak, “Kenapa kalian menjadi ketakutan he? Hancurkan mereka.”
Tetapi anak-anak muda itu melihat darah di tubuh beberapa orang kawan mereka sehingga tubuh mereka pun menjadi gemetar. Seorang di antara kawan mereka duduk sambil menangis kesakitan. Seorang lagi merintih tidak putus-putusnya. Ada juga di antara yang telah mengalirkan darah dari tubuhnya itu masih tetap tegar dan siap untuk bertempur. Tetapi kawan-kawannyalah yang tidak lagi sanggup berbuat sesuatu. Meskipun anak saudagar kaya itu beberapa kali mengancam mereka, namun mereka tetap saja berdiri termangu-mangu meskipun di tangan mereka masih tergenggam senjata.
Yang kemudian terdengar adalah suara Mahisa Pukat, “Nah, siapa lagi di antara kalian yang ingin menjadi korban. Mungkin orang berikutnya tidak hanya terluka, tetapi terbunuh. Aku sebenarnya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk membunuh berapa pun aku mau di antara kalian. Tetapi karena aku tidak ingin melakukannya, maka kalian masih akan tetap hidup. Hanya mereka yang keras kepala sajalah yang akan aku habisi umurnya.”
Anak-anak muda itu pun menjadi semakin ketakutan, sehingga tidak lagi ada yang berani memasuki arena pertempuran. Kawan-kawan anak saudagar yang semula bertempur melawan Ki Buyut bersama pengawalnya pun telah menarik diri pula dari arena. Demikian pula orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat itu pun berkata lantang, “Nah, bukankah sebaiknya yang berkelahi itu hanya orang-orang yang berkepentingan? Dalam hal ini, anak Ki Buyut itu dengan anak Ki Saudagar kaya itu? Biarlah mereka menyelesaikan persoalan pribadi mereka berdua. Yang lain, yang tidak tahu menahu persoalannya, tidak boleh turut campur. Karena itu, siapa yang merasa tidak berkepentingan, minggir. Atau akan berhadapan dengan aku dan saudaraku.”
Suasana menjadi tegang. Anak-anak muda yang ada di tempat itu memang dicengkam oleh kebimbangan. Namun jika mereka ikut campur, maka mereka memang akan mengalami kesulitan. Anak muda yang tidak dikenal itu benar-benar mampu melakukan sebagaimana dikatakannya.
Anak saudagar kaya itu termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia memang tidak akan dapat memaksa kawan-kawannya. Namun untuk bertempur sendiri melawan anak Ki Buyut itu, ia pun menjadi ragu-ragu. Tetapi anak saudagar kaya itu sadar pula, jika ia menolak berkelahi lagi melawan anak Ki Buyut, maka ia akan menjadi bahan ejekan kawan-kawannya. Namun anak saudagar kaya itu tidak ingkar, bahwa sebelumnya ia benar-benar tidak mampu mengalahkan anak Ki Buyut itu.
Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mengulangi perkelahiannya melawan anak Ki Buyut itu seorang diri. Meskipun ia sudah dikalahkannya, namun ia berharap bahwa anak Ki Buyut itu telah menjadi letih. Namun sebenarnyalah bahwa ia sendirilah yang menjadi letih. Karena itu, ketika ia benar-benar harus berhadapan dengan anak Ki Buyut itu, maka anak saudagar kaya itu hampir-hampir tidak bertenaga lagi.
Karena itu, anak itu pun kemudian memperhitungkan, bahwa ia harus mempergunakan sisa tenaganya itu sebaik-baiknya. Ternyata ia telah mengambil satu sikap yang tidak terduga. Anak saudagar kaya itu telah mempergunakan sisa tenaganya itu untuk melarikan diri. Tanpa menghiraukan kawan-kawannya, maka anak saudagar kaya itu pun segera meloncat melarikan diri.
Mahisa Semu sudah siap untuk menyusulnya. Namun Mahisa Pukat berkata, “Sudahlah. Jangan kau kejar anak itu. Ia berlari dengan sangat ketakutan. Jika kau masih juga mengejarnya, maka anak itu akan mati ketakutan.”
Mahisa Semu memang urung meloncat mengejar anak saudagar kaya raya itu. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berdiri berhadapan dengan anak-anak muda yang menjadi ragu-ragu dan cemas akan nasib diri mereka sendiri. Jika anak muda itu ternyata anak muda yang garang, maka mereka akan mengalami nasib buruk.
Tetapi Mahisa Pukat tidak berbuat apa-apa. Demikian pula kepada para pengawal anak saudagar kaya itu. Orang yang bertubuh tinggi tegap yang telah duduk di tanah dengan jantung yang berdebaran juga tidak mengalami perlakuan yang kasar.
Kepada anak-anak itu ia berkata, “Rawat gegedug yang agak parah itu. Demikian pula kawan-kawanmu yang terluka. Namun pada kali lain, kalian jangan menyurukkan diri ke dalam kesulitan seperti ini. Untunglah aku dan saudaraku lagi sabar, jika kami sedang dalam genggaman kesulitan hidup, maka sikap kami akan berbeda.”
Anak-anak muda yang masih tinggal itu menjadi sangat gelisah. Tetapi ternyata bahwa kedua orang anak muda yang tiba-tiba saja telah hadir dan melibatkan diri itu memang tidak mengambil tindakan apa-apa sebagaimana mereka katakan. Mereka nampaknya memang bukan orang-orang yang garang dan kasar sebagaimana gegedug yang telah mereka kalahkan itu.
Dalam pada itu maka sekali lagi Mahisa Pukat berkata, “Tinggalkan tempat ini. Rawat kawan-kawanmu yang terluka. Bawa gegedug serta kawan-kawanmu yang luka itu ke rumah anak saudagar kaya yang tamak tetapi ternyata sangat licik itu. Aku harap anak muda itu bertanggung jawab.”
Namun tiba-tiba salah seorang anak muda itu berkata, “Bagaimana jika anak Ki Saudagar itu justru marah dan menghukum kami.”
“Bagaimana mungkin hal itu dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ia sangat keras dan kasar,” jawab anak muda yang lain.
“Bukankah ia seorang diri? Apakah seorang diri ia dapat menghukum kalian semuanya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ia mempunyai uang. Ia dapat mengupah orang untuk menghukum kami,” sahut anak muda itu.
“Dan kalian diam saja? Membiarkan diri kalian dihukum? Dicambuk atau diikat di halaman dibawah terik matahari atau lukuman apa?” bertanya Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian yang lain menjawab, “Pernah terjadi kawan kami yang dianggapnya bersalah diikat di belakang seekor kuda yang kemudian berlari-lari di padang rumput. Hanya beberapa saat. Tetapi tubuhnya telah penuh dengan luka-luka. Ketika kemudian tali ikatannya dibuka anak itu sudah tidak dapat berdiri.”
“Saat itu apa yang kalian lakukan? Menonton? Atau kalian justru ikut menghukumnya? Apa? Apa yang kalian lakukan? Kalian semuanya tentu tidak mencegah hal itu terjadi. Kalian merasa ikut senang melihat hukuman itu terjadi karena jiwa kalian tidak lebih dari jiwa budak yang rendah, yang nilainya tidak lebih dari upah yang pernah kalian terima. Nah, jika sejak hari ini kalian bersatu dan memantapkan diri menjadi anak muda yang mempunyai harga diri, maka anak itu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia membentak, kalian semuanya harus membentak. Jika anak itu memukul seorang di antara kalian, maka kalian semuanya memukul. Tetapi jika ada satu saja di antara kalian yang berkhianat terhadap kawan-kawan kalian dan kembali ke jiwa budak yang rendah, maka kalian memang akan kembali mengalami masa yang buram. Hidup kalian akan selalu dibawah bayang-bayang anak muda itu dengan uang dan kekayaannya yang melimpah.”
Anak-anak itu mulai berpikir tentang sikap mereka selama itu. Mereka seakan-akan memang selalu berada di bawah bayangan uang anak saudagar kaya itu. Kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Bagaimana dengan sikap Ki Buyut?”
“Ki Buyut tidak pernah menunjukkan sikap yang tegas. Yang berkuasa di Kabuyutan kami agaknya memang bukan Ki Buyut. Tetapi saudagar yang kaya raya itu,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Jika demikian, maka kalian semuanya sebaiknya datang ke rumah Ki Buyut dan menyampaikan permohonan agar Ki Buyut bersedia menjadi pemimpin sejati bagi Kabuyutan kalian,” berkata Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Dari wajah mereka Mahisa Pukat dapat membaca, bahwa agaknya Ki Buyut sukar untuk merubah sikapnya. Agaknya sudah terlalu lama Ki Buyut dibayangi oleh kekuasaan uang yang ditaburkan oleh saudagar kaya itu.
“Anak-anak muda,” berkata Mahisa Pukat, “jika demikian, maka adalah saatnya kalian berbuat sesuatu. Anak-anak muda adalah citra masa depan Kabuyutan kalian. Jika kalian mulai sekarang sudah dibayangi dengan uang, maka kelak, siapa- pun yang akan memegang jabatan di Kabuyutan ini, akan selalu dibayangi oleh kekuasaan uang itu pula. Karena itu, kalianlah yang harus merubah keadaan. Kalian wajib menentukan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kehendak kalian. Jika kalian bersikap tegas dalam persatuan yang kokoh, maka kalian tentu akan berhasil.”
“Kami yang ada di sini belum seluruh kekuatan anak-anak muda Kabuyutan. Mungkin kawan-kawan kami masih ada yang dapat diperintah dengan uang oleh anak Ki Saudagar itu,” berkata salah seorang anak muda.
“Kalian harus bertindak cepat. Demikian kalian nanti kembali ke padukuhan, hubungi kawan-kawan kalian. Hubungi Ki Buyut dan tentukan langkah-langkah berikutnya. Jika ternyata masih ada anak-anak muda yang menjual harga dirinya, maka kalian dapat memaksa mereka dengan kekerasan. Jika kalian mengalami kesulitan, maka anak Ki Buyut ini tentu akan bersedia membantu kalian,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku tidak berkeberatan,” sahut anak Ki Buyut, “aku sebenarnya juga ingin menawarkan bantuan itu, tetapi aku tidak mendapat kesempatan untuk berbicara.”
“Terima kasih,” beberapa orang anak muda yang semula membantu anak Ki Saudagar itu berbareng menjawab. Nampaknya mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang nampaknya letih tua dari kawan-kawannya berkata, “Tetapi ingat. Ki Saudagar itu sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi. Sebagai seorang yang pekerjaannya menempuh perjalanan dari tempat ke tempat dari Kabuyutan ke Kabuyutan, maka ia adalah seorang yang berilmu tinggi.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia pun teringat kepada ayahnya, yang juga seorang yang berjual beli wesi aji, batu-batu akik dan permata yang datang dari satu tempat ke tempat lain. Ayahnya pun memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dirinya serta barang-barang yang diperjual belikan itu.
“Mungkin Ki Saudagar juga memiliki kemampuan seperti ayah,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu, anak Ki Buyut itu pun berkata, “Jika Ki Saudagar ikut campur, maka biarlah ayahku juga ikut campur.”
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun bagi mereka, baik Ki Saudagar maupun Ki Buyut akan dapat menjadi berbahaya. Untuk waktu yang lama, Ki Buyut seakan-akan memang bekerja untuk saudagar itu serta mengabaikan kepentingan orang banyak. Seolah-olah Ki Buyut itu memang hanya mengabdi kepada Ki Saudagar itu saja.
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda itu masih diombang-ambingkan oleh keragu-raguan mereka terhadap Ki Buyut serta kekuasaan yang sangat besar dari saudagar yang kaya raya itu, maka jantung mereka bagaikan berhenti berdetak ketika mereka melihat tiga orang yang berjalan dengan tergesa-gesa ke arah mereka.
Ketiganya adalah Ki Buyut, saudagar yang kaya raya itu dan di belakang mereka adalah anak Ki Saudagar yang telah melarikan diri dari arena. Seorang dari antara anak-anak muda itu berdesis, “Itu adalah Ki Saudagar serta Ki Buyut sendiri.”
“Satu kesempatan,” berkata Mahisa Pukat, “tentukan sikap dan katakan kepada mereka.”
Tetapi anak-anak muda yang semula nampak lebih berani bersikap, justru ketika Ki Buyut dan saudagar kaya itu datang, jantung mereka menjadi berkerut kembali.
Sebelum ketiga orang itu sampai ke bekas arena pertempuran itu, Ki Saudagar telah berteriak, “Di mana anak yang sombong, yang telah dengan licik menghina anak-anak muda sekabuyutan kami.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun semua orang tahu, bahwa yang dimaksud adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Karena itu, maka semua orang telah berpaling ke arah mereka berdua. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun menyadari, bahwa mereka berdua akan menjadi pusar kemarahan Ki Saudagar. Tetapi apa boleh buat.
Sebenarnyalah, ketika saudagar kaya itu sudah berdiri di antara beberapa orang anak muda yang kebingungan itu, maka anaknya pun berkata, “Kedua orang itulah yang telah menghina kami ayah.”
“Bagus,” berkata Ki Saudagar, “aku harus membuat mereka menjadi jera. Aku harus menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang tidak terkalahkan di dunia ini.”
“Sama sekali tidak Ki Saudagar,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “apa yang aku lakukan di sini adalah sekedar membantu anak-anak muda yang mengalami perlakuan licik dari anakmu dan kawan-kawannya.”
“Bohong,” teriak anak saudagar kaya itu, “ia telah menghina aku dan kawan-kawanku.”
“Bertanyalah kepada setiap orang,” desis Mahisa Pukat.
Ki Saudagar itu pun memandang berkeliling. Tiba-tiba saja ia mendekati seorang anak muda. Mencengkam pundaknya sambil bertanya, “Siapakah yang licik dan sombong? Katakan. Anakku atau anak-anak muda itu?”
Anak muda yang dicengkam pundaknya itu menjadi sangat ketakutan. Seandainya saat itu ia dicekik sampai mati, tidak akan ada orang yang berani menuntut. Karena itu, ketika cengkaman di pundaknya itu menjadi semakin keras, ia pun menjawab dengan suara bergetar, “Yang licik adalah kedua orang anak muda itu.”
Mahisa Pukat tiba-tiba tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku tidak menyalahkan kau. Kau sudah lama berada di bawah bayangan kuasanya. Kau tentu tidak dapat dengan serta merta melepaskannya begitu saja.”
“Setan kau,” geram Ki Buyut, “kenapa kau membuat daerahku menjadi kisruh. Tanpa kau berdua, Kabuyutan ini adalah Kabuyutan yang tenang. Tetapi setelah kau berdua datang, maka Kabuyutan ini telah menjadi kacau sehingga nampaknya telah terjadi perkelahian.”
“Paman,” berkata anak Ki Buyut seberang jalan, “paman jangan berpura-pura. Paman tentu mengenal aku. Kenapa paman tidak bertanya kepadaku, apa yang telah terjadi di sini.”
“Kembalilah ke seberang jalan ngger. Jangan ikut campur. Aku tidak akan menganggapmu ikut bersalah. Justru karena aku mengenal orang tuamu. Buyut dari Kabuyutan di seberang jalan.”
“Aku akan mendudukkan persoalannya pada keadaan yang sewajarnya, paman,” berkata anak Ki Buyut itu, “nanti paman akan dapat menilai apa yang sesungguhnya telah terjadi di sini.” “Kau akan memfitnah anakku, he,” geram Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu menjawab, “fitnah dan kenyataan itu lain.”
Namun dalam pada itu, saudagar kaya itu pun berkata kepada Ki Buyut, “Usir anak itu Ki Buyut. Ia memang anak seorang Buyut, tetapi bukan Kabuyutan ini. Ia adalah anak seorang Buyut di Kabuyutan seberang.”
“Sekali lagi aku persilahkan kau pergi ngger,” berkata Ki Buyut.
“Paman,” jawab anak itu, “yang mempunyai persoalan di sini adalah aku dan anak Ki Saudagar itu. Bukan kedua orang anak muda yang paman tuduh telah mengacaukan keadaan. Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan anak Ki Saudagar itu.”
“Cukup,” bentak Ki Saudagar, “jika kau masih tetap memfitnah anakku, maka aku akan dapat mencekikmu. Aku tidak takut meskipun ayahmu seorang Buyut sekalipun.”
“Soalnya bukan takut atau tidak takut,” jawab anak Ki Buyut itu, “tetapi kita harus mencari kebenaran. Apakah yang sudah terjadi di sini.”
“Tutup mulut. Atau aku akan menyumbat mulutmu dengan batu?” teriak saudagar kaya itu.
Namun keadaan menjadi semakin tegang, ketika mereka melihat dari seberang jalan beberapa orang telah berdatangan. Di antara mereka adalah Ki Buyut dari Kabuyutan seberang jalan.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut, “aku mendapat laporan, bahwa anakku telah berkelahi di sini.”
“Ya. Anakmu telah menyerang anak-anak muda dari Kabuyutan kami,” jawab Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu berkata, “Bukankah ayah sudah mengenal Ki Saudagar ini? Apakah ayah percaya akan kata-katanya?”
“Aku bertanya kepadamu, apakah yang telah terjadi?” bertanya Ki Buyut kepada anaknya.
“Aku telah berkelahi dengan anak Ki Saudagar itu apa pun sebabnya. Tetapi dengan licik ia meninggalkan arena dan memanggil ayahnya,” jawab anak Ki Buyut.
“Kenapa kau tidak memanggil aku?” bertanya Ki Buyut.
“Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang-orang tua. Biarlah persoalan kami kami selesaikan sendiri,” jawab anak Ki Buyut.
“Tetapi ia sudah memanggil ayahnya dan Ki Buyut seberang itu pula. Untung ada yang memberitahukan kepadaku apa yang terjadi di sini,” geram Ki Buyut itu.
“Jadi Ki Buyut berniat untuk melindungi anak Ki Buyut yang telah memfitnah anakku he?” bertanya Ki Saudagar.
“Setiap orang tua anak selalu melindungi anak-anaknya. Dan aku pun akan berbuat demikian,” jawab Ki Buyut.
“Meskipun anakmu bersalah dan bahkan melakukan kejahatan?” bertanya Ki Saudagar.
“Kalau itu terbukti, tentu saja tidak. Setiap orang tua akan memberikan sedikit hukuman kepada anaknya yang bersalah dan bahkan melakukan kejahatan. Aku pun akan berbuat demikian dan Ki Saudagar pun sebaiknya berbuat seperti itu pula,” sahut Ki Buyut.
Ki Saudagar itu pun termangu-mangu. Ia tahu bahwa anaknya memang sering melakukan kesalahan-kesalahan. Tetapi ia tidak pernah menghukumnya atau sedikit memberikan pelajaran kepadanya. Bahkan setiap kali Ki Saudagar itu selalu melindungi anaknya apa pun yang diperbuatnya. Apalagi Ki Saudagar itu merasa bahwa ia memiliki uang untuk menyebarkan pengaruhnya, selebihnya ia pun termasuk seorang yang berilmu tinggi.
Namun ternyata sejenak kemudian ia pun berkata, “Anakku adalah seorang anak penurut. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat mengganggu orang lain. Karena itu, tentu anakmulah yang mendahului menimbulkan persoalan di sini, yang sudah bukan daerahmu.”
“Marilah, kita akan melihat kebenaran,” jawab Ki Buyut.
“Aku akan menjadi saksi,” berkata Mahisa Pukat tiba-tiba, “anak Ki Saudagar itulah yang lebih dahulu menantang. Anak Ki Buyut sedang makan di kedai itu bersama kami berdua. Kami memang belum mengenalnya waktu itu. Namun kami melihat orang yang bertubuh raksasa itu datang memanggilnya. Maka perkelahian pun terjadi.”
“Kau jangan membual,” bentak anak Ki Saudagar.
Namun Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Katanya, “Tetapi jika kita biarkan anak Ki Saudagar itu berkelahi melawan anak Ki Buyut, maka anak Ki Saudagar itu akan kalah. Dan itu terbukti. Anak Ki Saudagar kalah dan melarikan diri dari arena, tetapi yang kemudian datang bersama ayahnya dan Ki Buyut.”
“Cukup,” bentak Ki Saudagar, “aku dapat menyumbat mulutmu.”
“Kau kira aku tidak dapat menyumbat mulutmu dengan hulu pedangku ini he?” Mahisa Pukat pun membentak. Bahkan kemudian katanya dengan suara lantang, “kau kira uangmu dan kemampuan ilmumu akan dapat menyembunyikan kenyataan? Aku menjadi muak melihat tampangmu dan caramu mengelabui orang lain untuk melindungi anakmu. Untuk melindungi kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukannya. Tanpa kau sadari kau ajari anakmu menjadi pengecut yang licik yang tidak akan dapat berdiri di atas keyakinan dirinya sendiri.”
“Diam,” saudagar itu berteriak. Kemarahannya sudah memanjat sampai ubun-ubunnya, “Kau siapa he? Kenapa kau berani mengumpatiku? Agaknya kau belum tahu siapa aku?”
Tetapi Mahisa Pukat pun telah benar-benar menjadi muak melihat kelicikan saudagar kaya itu. Karena itu, maka ia pun menjawab tidak kalah lantangnya, “Siapa pun aku, tetapi aku tidak senang melihat kau dan anakmu yang sangat licik itu memfitnah orang lain. Aku tahu dan melihat sendiri apa yang terjadi di sini. Karena itu, maka sebelum kau menyesal, ambil anakmu, bahwa ia pulang dan kau harus menghukumnya, agar pada kesempatan lain ia tidak bertindak begitu licik, pengecut dan tidak tahu diri.”
Wajah saudagar kaya itu menjadi merah. Dengan suara yang bergetar menahan kemarahannya ia berkata, “Kau kira aku hanya dapat mengupah orang untuk membungkam mulutmu? Tidak. Aku sendiri akan dapat melakukannya. Jangan menyesal. Orang-orang yang ada di tempat ini sekarang akan menjadi saksi, bahwa bukan akulah yang telah memulainya. Tetapi kau. Anak ingusan yang tidak tahu diri. Betapa pun tinggi ilmumu, tetapi kau yang baru pandai berjalan kemarin sore telah berani menghina orang tua.”
“Kau lebih dahulu menghina aku,” geram Mahisa Pukat.
“Persetan semuanya. Bersiaplah. Aku akan menghajarmu agar kau dapat berbuat lebih sopan terhadap orang-orang tua,” geram saudagar kaya itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, ia justru telah menyarungkan pedangnya karena Saudagar kaya itu tidak bersenjata.
Tetapi saudagar itu tidak begitu memperhatikan pedang Mahisa Pukat. Kemarahannya tidak lagi memberinya kesempatan untuk memperhatikan apa pun juga, selain wajah anak muda yang ingin diremasnya itu.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa saudagar itu tentu benar-benar memiliki bekal ilmu yang tinggi. Karena itu ia tidak akan dapat menganggapnya sebagai lawan yang akan sangat mudah di atasinya. Bahkan mungkin, ia akan menghadapi kesulitan karena ilmu lawannya yang lebih tinggi daripadanya.
Tetapi Mahisa Pukat memang tidak ingin membiarkan sikap yang semena-mena itu. Setidak-tidaknya yang dilakukan itu merupakan satu peringatan, bahwa tidak semua orang begitu saja tunduk dan pasrah atas segala langkah yang diambilnya.
Saudagar yang marah itu ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan garangnya ia mulai menyerang. Meskipun saudagar itu juga memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya yang muda itu mempunyai bekal ilmu, namun menilik umurnya maka saudagar itu menganggap bahwa ilmunya tentu belum terlalu matang.
Tetapi serangan pertama itu, sama sekali tidak dapat menyentuh sasarannya. Ketika saudagar itu melihat lawannya yang muda itu bergeser menghindar, saudagar itu menggeliat menggapai sasaran. Tetapi anak muda itu dengan cepat pula mampu menghindar lagi.
“Anak iblis,” saudagar itu mengumpat. Tiba-tiba saja ia sudah melompat. Kakinya terangkat tinggi, mengarah ke dada Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat telah memiringkan tubuhnya. Dengan tangan kiri ia menekan kaki yang terjulur itu ke samping. Cukup keras sehingga saudagar itu terputar setengah lingkaran. Namun dengan itu maka dengan satu putaran, tangannya telah terayun mendatar menyambar kening.
Memang hampir saja keningnya dapat disentuh oleh serangan saudagar kaya itu. Tetapi ternyata Mahisa Pukat memang cukup tangkas. Sambil menarik satu kakinya surut, Mahisa Pukat memiringkan kepalanya sehingga keningnya luput dari sambaran tangan saudagar itu.
Sementara itu, sebelum saudagar itu siap mengatur serangan berikutnya, Mahisa Pukat lah yang justru menyerangnya. Kaki anak muda itu berputar menebas lambung. Tetapi saudagar itu- pun masih mampu menghindarinya pula. Namun Mahisa Pukat justru memburunya. Satu loncatan panjang dengan kaki menyamping. Begitu cepat menggapai dada, sehingga saudagar itu justru meloncat selangkah surut.
Pertempuran yang baru sejenak itu, membuat saudagar kaya itu semakin marah. Ternyata anak muda itu memang memiliki bekal ilmu yang cukup tinggi.
Sementara Ki Saudagar bertempur melawan Mahisa Pukat, Ki Buyut yang menguasai lingkungan arena perkelahian itu mulai bergeser mendekati arena. Namun Ki Buyut dari seberang jalan justru berkata, “Sudahlah Ki Buyut. Sebaiknya kita menjadi penonton yang baik. Jika kita melibatkan diri, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk. Kabuyutan kita akan saling bermusuhan. Di mana pun orang dari lingkungan Ki Buyut bertemu dengan orang dari lingkunganku, tentu akan berkelahi. Karena itu, sebaiknya kita tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Kewajiban kita adalah justru memisahkan mereka yang berkelahi, jika mereka bersedia.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Buyut seberang jalan, sehingga karena itu, maka ia pun masih saja berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing yang menjajagi kemampuan lawannya, telah mulai meningkatkan ilmunya ke tataran yang semakin lama menjadi semakin tinggi.
Namun saudagar kaya itu pun menjadi semakin heran pula terhadap lawannya yang masih muda itu. Sebagai seorang saudagar yang terbiasa berkeliling dari satu ke tempat yang lain, ia memiliki pengalaman yang luas. Namun di rumahnya sendiri, tiba-tiba saja telah bertemu dengan seorang anak muda yang mampu bertahan terhadap ilmunya untuk beberapa lama. Bahkan meskipun ia mulai meningkatkan ilmunya, anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya.
Ki Saudagar mengumpat kasar. Sementara Mahisa Pukat telah meningkatkan ilmunya pula sehingga saudagar kaya itu tidak segera mampu mengalahkannya.
Dalam pada itu, kedua orang Buyut yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari, bahwa kedua orang yang bertempur itu telah mulai melepaskan kemampuan ilmu masing-masing. Ki Saudagar tidak sekedar bertempur dengan kekuatan wadagnya. Tetapi ia mulai melepaskan tenaga cadangan di dalam dirinya pula.
Namun demikian, anak muda yang melawannya itu tidak segera terlempar dari arena dan jatuh terbanting di tanah. Tetapi anak muda itu masih juga selalu mengimbanginya. Seakan-akan seberapa kekuatan dan kemampuan Ki Saudagar meningkat, anak muda itu pun mampu mengimbanginya pula.
Anak saudagar kaya serta anak Ki Buyut di seberang jalan itu pun termangu-mangu pula. Anak saudagar kaya yang terlalu yakin akan kelebihan ayahnya sehingga membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang didukung oleh kekayaan yang melimpah, menjadi cemas melihat pertempuran itu.
Ia tidak melihat ayahnya mendesak anak muda itu. Memburunya, memukulnya habis-habisan sehingga anak itu menjadi pingsan. Tetapi beberapa kali justru ayahnya harus berloncatan menghindari serangan lawannya yang cepat dan berbahaya. Sehingga dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu pun nampaknya saling mendesak dan saling menghindar.
Namun bagi Mahisa Semu, pertempuran itu masih baru berada pada tataran yang paling bawah. Mahisa Pukat masih akan dapat meningkatkan kemampuannya berlapis-lapis jika ia menghendaki.
Tetapi saudagar itu pun masih belum memanjat pada tataran tertinggi dari ilmunya. Ia masih meningkatkan tataran kemampuan selapis demi selapis, sehingga demikian, saudagar itu ingin mengetahuinya, sampai lapisan yang manakah kemampuan anak muda yang telah berani menghinanya itu.
Namun lapis demi lapis sudah dilaluinya, anak muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan anak muda itu semakin lama justru menjadi semakin garang. Saudagar itu mulai menjadi gelisah. Ia tidak lagi dapat menganggap anak muda itu sebagai anak ingusan. Bahkan ia mulai cemas bahwa ia akan mengalami kesulitan menghadapi-nya.
“Anak ini memang aneh,” berkata saudagar itu di dalam hatinya.
Dengan demikian, saudagar itu menjadi tidak sabar lagi. Ia tidak lagi meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Dalam kegelisahannya, ia langsung ingin mengetahui, apakah ia akan dapat mengalahkan anak muda itu atau tidak.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja serangan saudagar itu menghentak mendesak Mahisa Pukat. Beberapa langkah Mahisa Pukat meloncat surut. Ia tidak siap menghadapi serangan yang tiba-tiba saja dilontarkan dengan segenap tenaga dan kemampuan. Bahkan telah mengangkat segenap tenaga di dalam dirinya.
Namun ternyata bahwa saudagar kaya itu masih harus mengumpat. Mahisa Pukat yang meloncat beberapa langkah surut itu dengan cepat menyesuaikan dirinya. Ia pun telah meningkatkan ilmunya mengimbangi kemampuan saudagar itu. Bahkan Mahisa Pukat yang menyadari, bahwa saudagar itu ingin segera menghabisinya, maka ia pun telah berusaha mendesaknya pula. Mahisa Pukat pun ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat pun harus menghadapi satu kekuatan ilmu yang tinggi. Saudagar yang menyadari, bahwa kekuatan dan kemampuannya tidak akan mampu mengatasi lawannya yang muda itu, maka ia pun telah membangunkan ilmu pamungkasnya. Dengan tangkasnya saudagar itu telah mengambil jarak. Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya terjulur ke depan, namun kemudian kedua telapak tangannya pun dikatubkannya.
Saudagar itu pun kemudian maju selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Pukat yang termangu-mangu. Kedua telapak tangan yang dikatubkannya itu pun kemudian digerakkannya. Kedua telapak tangan itu saling menggosok perlahan-lahan. Mahisa Pukat melihat asap tipis mengepul dari antara kedua tangan saudagar kaya itu. Bahkan kemudian tangan saudagar itu semakin lama menjadi semakin merah membara.
Semua orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar. Anak Ki Buyut itu pun menjadi gelisah. Anak muda itu turun ke gelanggang sekedar membantunya. Namun ia lah yang kemudian akan mengalami bencana yang paling berat. Jika tangan yang membawa itu menyentuh tubuhnya, maka bagian tubuh itu pun akan menjadi hangus karenanya, sebagaimana kulit yang tersentuh bara api yang panasnya melampaui bara api tempurung kelapa.
Tetapi anak Ki Buyut itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa bahwa ia pun tidak akan dapat menahan ilmu yang mengerikan itu. Bahkan ayahnya pun tidak. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah melawan saudagar kaya itu bersama-sama. Namun, di tempat itu ada pula ki Buyut dari sebelah justru yang menguasai lingkungan tempat pertempuran itu terjadi. Jika ia ikut campur dengan beberapa orang yang ada, maka orang-orang Kabuyutanya pun akan ikut campur pula.
Dengan demikian maka anak Ki Buyut itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Tetapi ternyata pertempuran itu segera berakhir. Mahisa Semu memang menjadi berdebar-debar pula melihat tangan yang merah membara. Tetapi ia tidak begitu yakin, bahwa tangan yang membara itu akan mampu menyentuh tubuh Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat sendiri memang tidak menjadi gelisah melihat ilmu yang menggetarkan itu. Baginya, ilmu itu masih belum berada di luar kemungkinan untuk melawannya. Namun Mahisa Pukat masih tidak ingin menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh. Ia pun tidak mempergunakan ilmu yang dapat menghisap kekuatan ilmu lawannya yang bertangan bara itu. Karena setiap sentuhan akan berarti kulitnya yang tersentuh akan menjadi hangus.
Karena itu, maka untuk melawan ilmu lawannya yang kemudian bertangan bara itu adalah pedangnya. Sesaat kemudian, Mahisa Pukat itu pun telah menggenggam pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.
“Pedangmu akan luluh menjadi gelali,” geram saudagar kaya itu.
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun ia pun kemudian yakin akan kemampuan pedangnya. Pedangnya bukan sekedar pedang yang dibuat oleh pande besi di pinggir-pinggir pasar yang barangkali memang akan dapat luluh terkena bara yang panasnya melampaui bara tempurung kelapa itu. Tetapi Mahisa Pukat bukan saja pernah menghadapi ilmu seperti itu. Tetapi bahkan dari orang yang tangannya membara itu terpancar panasnya api bagaikan perapian.
Namun saudagar kaya itu tidak memiliki kelengkapan ilmu yang demikian. Ia hanya dapat menjadikan tangannya merah membara. Dalam pertempuran selanjutnya, dengan sengaja saudagar kaya itu telah menyentuh ranting-ranting pepohonan perdu yang tumbuh di sekitar arena pertempuran. Asap pun mengepul dan ranting-ranting itu menjadi hangus berpatahan.
Tetapi Mahisa Pukat bukan sebangsa ranting perdu. Karena itu maka tangan saudagar kaya itu tidak dengan serta merta mampu menggapainya sebagaimana ia menggapai ranting-ranting perdu itu. Bahkan sejenak kemudian, maka pedang Mahisa Pukat pun telah berputaran. Semakin cepat semakin cepat, sehingga menjadi segulung warna kehijauan yang bergerak di sekitar Ki saudagar itu.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ki Saudagar dengan ilmunya berusaha untuk benar-benar membunuh Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat ternyata memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga saudagar kaya yang tangannya membara itu tidak sempat menyentuhnya. Tetapi saudagar kaya itu yakin, jika ia berhasil menyentuh pedang Mahisa Pukat, maka pedang itu tentu akan luluh oleh panasnya bara api pada tangannya itu.
Mahisa Pukat yang yakin pula akan kelebihan pedangnya, justru telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyentuh pedangnya. Ketika Mahisa Pukat berusaha untuk menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedangnya, maka ia tidak segera menarik pedangnya yang terjulur itu. Dengan serta merta saudagar kaya itu telah menjepit daun pedang itu dengan kedua telapak tangannya yang membara. Demikian kuatnya, sehingga Mahisa Pukat tidak segera mampu menariknya.
Tetapi Mahisa Pukat memang tidak tergesa-gesa. Ia sama sekali tidak mencemaskan daun pedangnya. Betapa pun panasnya tangan saudagar yang membara itu, namun pedangnya sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Bahkan sebenarnya Mahisa Pukat mendapat kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk menghisap kekuatan Ki Saudagar saat ia berusaha menjepit daun pedangnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak melakukannya.
Jika saudagar itu kehilangan kekuatan dan ilmunya, maka pertempuran pun akan berakhir. Mahisa Pukat tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apa pun juga terhadap saudagar itu jika ia kemudian jatuh di tanah dengan lemahnya. Karena itu, maka untuk beberapa saat Mahisa Pukat membiarkan lawannya menjepit daun pedangnya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah yakin bahwa tanganmu tidak mampu meluluhkan baja pedangku.”
“Persetan kau,” geram saudagar itu.
Demikian ia yakin bahwa pedang anak muda itu tidak luluh oleh ilmunya, maka dengan serta merta ia pun telah melepaskannya dan meloncat menyerang tubuh Mahisa Pukat dengan telapak tangannya. Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap. Karena itu, maka demikian pedangnya terlepas, maka ia pun telah menggerakkan ujung pedangnya itu.
Terdengar keluhan tertahan. Saudara kaya itu pun telah melenting surut beberapa langkah. Ternyata bahwa segores luka telah menganga di lengannya sebelah kiri. Saudagar kaya itu kemudian telah mengumpat kasar. Darah telah mengalir dari lukanya.
“Kau akan menyesal atas kesombonganmu,” katanya kemudian.
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata, “Nah. Kau telah terluka. Pikirkan baik-baik apakah kau akan menyerah atau tidak.”
Saudagar kaya itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia telah menyerang Mahisa Pukat pula. Namun seperti serangan-serangan sebelumnya, tangannya yang membara itu sama sekali tidak dapat menyentuh kulit anak muda itu. Sementara itu pedang Mahisa Pukat pun telah berputaran pula semakin cepat.
Betapa pun saudagar kaya itu mempercepat irama serangan-serangannya, namun ia tidak mampu bergerak lebih cepat melampaui ujung pedang Mahisa Pukat. Setiap kali, seakan-akan ujung pedang itu telah menahan tata geraknya. Disaat-saat ia meloncat menyerang, maka ujung pedang itu selalu menghadang. Bahkan kemudian mematuk ke arah dada saudagar kaya itu, atau menebas ke arah lehernya.
Beberapa kali saudagar itulah yang hampir saja tersentuh oleh ujung senjata lawannya. Tetapi tangannya yang bagaikan membara itu sama sekali tidak mampu menggapai kulit anak muda itu. Apalagi setelah ia yakin, bahwa panas ilmunya tidak mampu meluluhkan duan pedang Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah saudagar kaya itu semakin lama semakin terdesak. Mahisa Pukat yang memang menjadi marah atas tingkah laku saudagar kaya itu sengaja mendesaknya terus. Meskipun beberapa kali saudagar kaya itu meloncat menghindar, namun ujung pedang Mahisa Pukat seakan-akan selalu memburunya. Seperti seekor lalat yang berterbangan. Sekali-sekali hingga ke kulit saudagar kaya itu. Ki Saudagar berteriak semakin marah, ketika sekali lagi kulitnya tergores ujung pedang. Tepat pada pundak kirinya. Sehingga luka itu terasa betapa pedihnya.
Sambil memburu terus Mahisa Pukat masih juga menawarkan agar Saudagar itu menyerah. Tetapi tawaran itu sama sekali tidak dihiraukannya. Ia tentu akan merasa sangat terhina, jika saudagar kaya itu, meskipun telah menghentakkan ilmunya yang dapat membuat tangannya membara, namun sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang anak muda dengan senjata pedangnya, tetapi satu kenyataan bahwa ia memang tidak mampu menembus pertahanan Mahisa Pukat dengan putaran pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Ki Buyut dari seberang jalan yang mengikuti pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak muda itu ternyata adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”
Anaknya yang mendengar kata-kata itu berdesis, “Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat aku dapat melihat orang-orang berilmu tinggi bertempur dengan mengerahkan ilmu mereka.”
“Ki Saudagar itu juga berilmu tinggi. Tetapi anak muda itu jauh melampauinya. Nampaknya ia sama sekali tidak mengalami kesulitan, sementara Ki Saudagar telah mengerahkan ilmunya yang dibanggakannya. Selain bagi anak muda itu, maka ilmu saudagar itu benar-benar ilmu yang sangat berbahaya. Jika saudagar kaya itu benar-benar marah, maka biasanya telapak tangan dengan ilmu yang demikian itu akan membekas di dada. Seakan-akan di dada lawannya itu telah dibuat lukisan telapak tangan yang membara itu, karena kulitnya yang terbakar. Tetapi yang kini terjadi, adalah kulit saudagar itulah yang dilukisi dengan goresan-goresan saling menyilang dengan ujung pedang.”
Sebenarnyalah Ki Saudagar itu berteriak marah sekali ketika pedang Mahisa Pukat menggores dadanya dan meninggalkan goresan menyilang. Tidak cukup dalam untuk menghentikan perlawanan Ki Saudagar. Tetapi goresan itu membuat jantung Ki Saudagar menjadi bagaikan pecah oleh kemarahan yang menghentak.
Tetapi saudagar kaya itu tidak dapat lari dari kenyataan. Ia tidak dapat menyalurkan kemarahannya itu lewat ilmunya. Ia benar-benar tidak mampu menyentuh kulit lawannya yang masih muda itu. Setiap kali ujung pedang lawannya itu telah menghadang. Bahkan ketika ia terlanjur meloncat menerkam ke arah wajah lawannya, pedang itu hampir saja terhunjam di dadanya. Namun ia masih sempat menggeliat menghindari ujung pedang yang tiba-tiba menunggu loncatannya itu.
Namun beberapa saat kemudian, maka sekali lagi ujung pedang lawannya yapg muda itu melukainya. Daging pahanya telah menganga oleh ujung pedang Mahisa Pukat yang tajamnya melampaui ujung duri landak yang buas. Ki Saudagar itu meloncat surut. Darah telah melumuri seluruh tubuhnya bercampur dengan keringat yang bagaikan terperas dari tubuhnya.
Tetapi ia tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan ia benar-benar tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa tubuhnya telah terluka dibeberapa tempat. Darahnya telah banyak mengalir dan sama sekali tidak ada harapan untuk dapat memenangkan pertempuran itu.
Sementara itu, anak Ki Saudagar itu beberapa kali telah mengumpat kasar. Tetapi ia pun harus melihat kenyataan itu pula. Ayahnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi seorang anak muda yang begitu saja hadir dalam perkelahian itu. Anak muda yang kebetulan berada di kedai tempat anak Ki Buyut itu juga singgah untuk menunggunya.
Tetapi anak saudagar itu pun tidak dapat berbuat apa-apa pula. Ia hanya dapat menyaksikan, bagaimana ayahnya mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Bahkan kemudian dengan jantung yang berdebaran ia harus menyaksikan betapa keringat ayahnya telah bercampur dengan darah.
Namun akhirnya, tenaga Ki Saudagar itu pun menjadi semakin susut. Bukan karena kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang mampu menghisap kekuatan dan ilmu lawannya, tetapi karena darah yang semakin banyak mengalir dari luka-lukanya. Telapak tangan saudagar kaya itu masih merah membara. Tetapi semakin lama maka bara itu pun menjadi semakin pudar.
Namun Mahisa Pukat bukan seorang pembunuh yang tidak berjantung. Ketika ia melihat lawannya menjadi lemah, ia pun tidak lagi memutar pedangnya. Bahkan kemudian pedangnya itu pun telah menunduk pula.
Saudagar kaya itu masih berdiri tegak. Tetapi kemudian diamatinya telapak tangannya yang memudar, karena tidak ada lagi tenaganya dan tenaga dalamnya yang mampu mendukung kekuatan ilmunya itu.
“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat.
Wajah saudagar kaya itu menjadi pucat. Apalagi ketika ia sempat memandang telapak tangannya yang tidak lagi semerah bara. Meskipun masih nampak sisa-sisa kekuatan ilmunya, tetapi tangannya itu tidak lagi mampu membakar kulit lawannya. Seandainya telapak tangan itu menyentuh kulit Mahisa Pukat, maka yang terasa tidak lebih panas dari panasnya sinar matahari saat itu.
“Kau tidak dapat mempergunakan uang dan kekayaanmu untuk menolongmu Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Jawaban Ki Saudagar itu tidak terduga oleh Mahisa Pukat dan bahkan oleh orang-orang yang ada di sekitar arena. Katanya, “Ya. Ki Sanak. Kau benar. Uang dan kekayaanku dalam keadaan seperti ini tidak dapat menolongku. Tidak dapat menyelamatkan aku seandainya kau akan membunuhku. Karena itu, maka aku akan merelakan umurku kepadamu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Buyut kedua-duanya. Kalian dengar apa yang dikatakan oleh Ki Saudagar. Ia sudah menyerah.”
Di luar sadar kedua orang Buyut itu pun mengangguk.
“Ia pun mengakui bahwa uang dan kekayaannya tidak akan dapat menolongnya,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Kedua, orang Buyut itu mengangguk lagi.
“Nah, jika demikian, maka orang yang dapat menyelamatkannya sekarang dari maut tentu lebih berharga dari uang yang dimilikinya,” berkata Mahisa Pukat.
Kedua orang Buyut itu terrnangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat bertanya kepada Ki Saudagar, “Bukankah begitu Ki Saudagar?”
Saudagar kaya itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk mengiakan.
“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan membunuhmu. Tetapi ingat kata-katamu, bahwa kau masih menghargai nyawamu lebih tinggi dari uang dan harta bendamu. Karena itu, jika kemudian nyawamu masih tinggal di dalam tubuhmu, kau tidak boleh lagi menyandarkan hidupmu pada harta benda dan kekayaanmu, seakan-akan dengan kekayaanmu kau dapat berbuat apa saja. Gegedug yang kau upah itu pun tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kau sendiri yang berilmu tinggi, juga tidak dapat berbuat apa-apa, padahal harta dan kekayaanmu tidak dapat dihitung lagi.”
Saudagar itu mengangguk lagi sambil berkata, “Aku mengerti.”
“Karena itu pergunakanlah harta dan kekayaanmu sebaik-baiknya. Ingat, jika kau sekarang mati, kau tidak akan dapat membawanya,” berkata Mahisa Pukat pula.
“Ya.” desis saudagar kaya itu.
“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat. “Ki Buyut dari kedua daerah yang bertetangga ini menjadi saksi bahwa Ki Saudagar telah merubah sikapnya. Ia tidak lagi bertumpu kepada kekuatan yang disangkanya tidak dapat dilawan dari harta dan kekayaannya.”
Kedua orang Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya kepada Ki Saudagar, “Karena itu, kau harus mempergunakan harta kekayaanmu untuk tujuan yang baik, yang bermanfaat bagi orang-orang yang di dalam hidupnya seakan-akan tidak pernah menikmati kesenangan sama sekali. Bukan sebaliknya kau pergunakan harta dan kekayaanmu untuk menyakiti hati sesamamu yang tidak mempunyai harta dan kekayaan seperti yang kau miliki.”
Ki Saudagar yang masih dilumuri keringat bercampur darah itu mengangguk.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kepada anak Ki Saudagar itu, “rawat ayahmu baik-baik. Ia masih diperlukan oleh keluargamu. Ia masih harus bekerja untuk menghidupimu.”
Anak saudagar kaya itu termangu-mangu. Rasa-rasanya harga dirinya benar-benar telah jatuh dan terinjak sama sekali.
Namun ayahnya itu berkata, “Kau dengar kata-katanya?”
Anaknya itu mengangguk.
“Bawa aku pulang. Undang anak muda itu datang ke rumah kami. Aku ingin menghormati orang yang telah mengalahkan aku dalam usianya yang masih sangat muda itu,” berkata saudagar kaya yang menjadi sangat lemah itu. Lukanya yang paling dalam justru luka di pahanya. Karena luka di dada, di pundak, lengan dan goresan-goresan lain seakan-akan hanya melukai kulitnya saja meskipun darah masih juga menitik dari luka itu.
Anaknya masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Ki Sanak. Ayah minta kau bersedia singgah di rumah kami.”
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil menjawab, “Maaf Ki Sanak. Aku dalam perjalanan yang tergesa-gesa. Karena itu, aku tidak dapat singgah meskipun hanya sebentar. Aku mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Ki Sanak berikan kepadaku.”
“Jangan menolak anak muda,” suara Ki Saudagar itu hampir tidak dapat didengarnya.
Namun Mahisa Pukat menjawab, “Kau memerlukan perawatan segera. Pada kesempatan lain aku akan singgah ke rumahmu.”
Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi wajahnya yang pucat dan lesu itu membayangkan kekecewaan hatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Bawa ayahmu pulang segera. Jangan menunggu sampai terlambat.”
Anaknya pun kemudian memapah saudagar kaya itu. Dua orang dengan serta merta telah membantunya. Ki Buyut yang merasa berhutang budi kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu pun telah minta kedua anak muda itu singgah. Tetapi ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu pun dengan terpaksa menolak permintaan itu.
“Kami mohon maaf,” berkata Mahisa Pukat berulang kali, “yang kami harapkan, bahwa untuk selanjutnya tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan ini. Kedua-duanya. Karena ketenangan dan kedamaian akan dapat menjadi pangkal peningkatan tataran hidup para penghuni kedua Kabuyutan ini.”
Kedua orang Buyut itu hanya termangu-mangu saja. Mereka tidak lagi dapat menahan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu minat diri untuk melanjutkan perjalanan. Keduanya kemudian masih singgah untuk mengambil kuda-kuda mereka. Namun keduanya terkejut ketika pemilik kedai itu menyongsong mereka dengan membawa sebungkus makanan.
“Jangan menolak,” berkata pemilik kedai itu, “sama sekali tidak ada niat untuk mengecilkan arti kalian. Tetapi yang aku lakukan benar-benar timbul karena niat baik. Aku kagum akan kemampuan kalian berdua. Tetapi lebih kagum lagi, bagaimana kalian mengakhiri pertentangan yang timbul antara kedua Kabuyutan itu.”
“Sebenarnya Ki Sanak tidak perlu berbuat demikian,” desis Mahisa Pukat.
“Aku mohon maaf. Dan aku mohon, jangan menolak,” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat melihat kejujuran yang terpancar dimata pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku berterima kasih atas bekal yang Ki Sanak berikan kepada kami.”
Demikianlah, sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah melanjutkan perjalanannya. Orang-orang yang masih berkumpul itu pun melambaikan tangan mereka. Demikian pula kedua orang anak muda itu.
Sikap Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menimbulkan kekaguman kepada orang-orang yang menyaksikannya, apa yang telah dilakukannya. Bahkan saudagar kaya itu pun merasa bahwa sulit baginya untuk menemukan orang-orang seperti itu lagi. Berilmu tinggi tetapi juga berbudi luhur.
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berderap semakin lama semakin jauh. Sehingga akhirnya hilang dari pandangan mata orang-orang yang telah menyimpan kesan tersendiri kepada mereka. Mahisa Semu masih juga berpaling. Tetapi ia pun sudah tidak melihat lagi tangan-tangan yang melambai tinggi-tinggi.
“Apakah mereka tidak akan berselisih lagi?” bertanya Mahisa Semu.
“Setidak-tidaknya untuk beberapa saat,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku berharap bahwa untuk selanjutnya berselisihan itu tidak akan terjadi lagi.”
“Aku memang melihat kesungguhan pada kata-kata saudagar kaya itu,” berkata Mahisa Semu.
“Jika tidak ada iblis melekat lagi di tubuhnya, ia tentu akan selalu ingat, bahwa nyawanya telah diperpanjang. Ia sendiri merasa bahwa ia akan mati dalam pertempuran itu. Tetapi ternyata ia masih tetap hidup. Keadaan itu tentu sempat mempengaruhi jiwanya sehingga terjadi perubahan sikap yang mendasar,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Bagaimana dengan anaknya?”
“Ayahnya akan memberikan petunjuk kepadanya,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi agaknya sikap anaknya memang lebih keras dari sikap ayahnya meskipun kesalahan utama tetap ada pada ayahnya yang memanjakannya.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Mahisa Pukat. Ia pun berharap bahwa anak saudagar kaya itu dapat menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun dalam pada itu, Mahisa Semu tiba-tiba berkata, “Kita mempunyai bekal cukup banyak.”
“Pemilik kedai itu ternyata orang baik,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara kuda-kuda itu pun berlari mengikuti jalan yang cukup besar meskipun tidak terlalu ramai.
Ketika mereka sudah menempuh jarak yang agak panjang, maka mereka pun segera berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Sementara itu langit menjadi suram. Agaknya mereka tertahan cukup lama untuk mengatasi perkelahian yang hampir saja membakar dua Kabuyutan yang bertetangga.
“Kita tidak dapat segera sampai ke Kotaraja,” berkata Mahisa Pukat.
“Kita bermalam di perjalanan?” bertanya Mahisa Semu.
“Ya. Meskipun jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi, biarlah kita berhenti,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Keduanya pun kemudian telah berhenti di sebuah banjar padukuhan di padukuhan berikutnya. Kepada penunggu banjar Mahisa Pukat menyatakan permintaannya apakah keduanya dapat berhenti dan bermalam di banjar itu.
Penunggu banjar itu ragu-ragu. Namun kemudian orang itu- pun berkata, “Baiklah. Tetapi tempatnya tidak begitu baik.”
“Ah,” desis Mahisa Pukat, “tempat itu sudah jauh dari pantas bagi kami berdua.”
Keduanya kemudian telah mengikat kuda mereka di sebelah banjar padukuhan itu. Oleh penunggu banjar itu, keduanya mendapat tempat di serambi sebelah kanan. Tempatnya memang terbuka sehingga angin malam yang dingin akan berhembus mengipasi tubuh mereka.
Namun keduanya memiliki pengalaman mengembara. Mereka terbiasa tidur di mana pun juga. Bahkan di tempat-tempat terbuka. Dengan demikian maka serambi itu memang cukup pantas bagi keduanya.
Apalagi ketika kemudian, setelah malam menyelimuti padukuhan itu, hujan pun mulai turun. Semakin lama semakin lebat, sehingga keduanya merasa sangat berterima kasih dapat berlindung di bawah atap serambi banjar itu. Bahkan atas ijin penunggu banjar itu, mereka telah menempatkan kuda mereka di bawah teritis sehingga sedikit terlindung dari air hujan yang deras.
Di dinginnya malam yang basah, penunggu banjar itu telah membawa ketela rebus kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan ia pun sempat untuk ikut duduk di serambi itu beberapa lama. Penunggu banjar itu heran ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu membuka bekal yang mereka dapat dari pemilik kedai di tempat yang hampir saja terbakar oleh permusuhan itu.
“Pemilik kedai yang baik,” desis penunggu banjar ketika ia diberi tahu dari mana asal bekal mereka itu.
“Silahkan Ki Sanak,” Mahisa Pukat mempersilahkan.
Disamping ketela rebus yang dibawa oleh penunggu banjar itu, mereka juga menghadapi sebungkus makanan yang bermacam-macam jenisnya.
Menjelang tengah malam, maka penunggu banjar itu berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Kalian harus beristirahat. Beristirahatlah. Aku juga sudah mulai mengantuk.”
Namun sebelum penunggu banjar itu beranjak dari tempatnya, mereka mendengar jerit tertahan seorang perempuan. “Apa itu?” justru penunggu banjar itu bertanya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu. Ternyata suara itu terdengar lagi di sela-sela deru air hujan yang lebat di atas banjar itu. Ternyata beberapa saat kemudian, beberapa orang laki-laki telah memasuki halaman banjar itu dan langsung naik ke pendapa. Mereka telah membawa seorang perempuan yang nampaknya berusaha untuk melawan.
Ketika beberapa orang laki-laki itu melihat tiga orang di serambi, maka tiba-tiba saja seorang di antara mereka membentak, “jangan mencampuri persoalan kami.”
Ketiga orang itu memang hanya berdiam diri saja. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak tahu, apakah yang harus mereka lakukan. Sementara penunggu banjar itu menjadi bingung.
Dalam pada itu, seorang laki-laki yang lain berkata kepada perempuan itu, “Aku tidak mau kau tipu lagi. Tunjukkan sekarang, di mana kau simpan barang-barang itu.”
“Kau jangan membuat aku semakin marah. Kita sekarang berada di banjar yang agak jauh dari rumah orang-orang padukuhan. Orang-orang di serambi itu pun tidak akan berbuat apa-apa untuk mencegah aku jika aku sudah kehilangan kesabaran,” bentak laki-laki itu.
“Aku tidak bersalah,” perempuan itu berteriak. Tetapi suaranya hilang ditelan oleh deru hujan yang lebat.
“Kau jangan ingkar. Selama ini aku berikan apa saja yang kau minta. Ternyata semua yang aku berikan kepadamu itu kau berikan pula kepada seorang laki-laki. Nah, di mana rumah orang itu? Semua barang-barangku tentu tersimpan di sana. Aku tahu, laki-laki itu tinggal di padukuhan ini. Tetapi yang mana?”
“Bohong, semua itu bohong,” teriak perempuan itu pula.
“Jika demikian, di mana perhiasan itu?”
Perempuan itu masih saja berteriak, “Perhiasan itu adalah perhiasanku sendiri. Barang-barang itu barang-barangku sendiri.”
“Aku membeli semuanya itu,” jawab laki-laki itu.
“Tetapi barang itu sudah kau berikan kepadaku. Barang-barang itu telah menjadi milikku. Terserah kepadaku, apakah barang-barang itu aku jual, atau aku buang ke sungai atau untuk apapun,” suara perempuan itu meninggi.
“Kau tidak menghargai pemberianku,” geram laki-laki itu.
“Itu terserah kepadaku,” jawab perempuan itu.
“Kau memang iblis betina. Baik, baik. Jika demikian, kau tidak boleh pulang ke rumah itu lagi. Rumah itu adalah rumahku. Sebenarnya aku ingin memberikan rumah itu kepadamu. Tetapi aku urungkan niatku,” berkata laki-laki yang marah itu.
“Rumah itu sudah rumahku,” teriak perempuan itu.
“Ingat. Jika kau berani menginjakkan kakimu di halaman rumah itu, apalagi bersama-sama dengan laki-laki itu, maka kau akan aku bunuh bersama-sama dengan laki-laki itu. Sekarang tunjukkan di mana rumahnya. Aku akan menyerahkan kau kepadanya,” teriak laki-laki itu.
“Tidak. Kau akan menipuku. Kau akan berbuat jahat kepadanya,” sahut perempuan itu tidak kalah kerasnya. Lalu katanya, “Jika kau ingin membunuh, bunuh aku.”
“Aku tidak mau mengotori tanganku dengan darah iblis betina seperti kau ini,” jawab laki-laki itu. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Kita tinggalkan perempuan itu di sini. Ia sudah berada di banjar padukuhan laki-laki yang diberinya apa yang aku berikan kepadanya. Aku tidak peduli lagi apa yang akan dilakukannya.”
Demikianlah, maka beberapa orang laki-laki itu telah meninggalkan banjar itu menyusup dalam hujan yang lebat. Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan penunggu banjar itu benar-benar tidak mencampuri persoalan mereka. Namun ketika beberapa orang laki-laki itu telah pergi, sedangkan perempuan itu menangis di pendapa banjar, maka penunggu banjar itu pun telah melangkah naik ke pendapa mendekatinya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya penunggu banjar itu.
“Aku diusirnya dari rumah,” jawab perempuan itu, “ia menuduh yang bukan-bukan.”
“Tetapi apakah benar, bahwa barang-barang yang dibelinya untukmu kau berikan kepada orang lain?” bertanya penunggu banjar itu.
“Barang-barang itu sudah hakku. Terserah kepadaku,” jawab perempuan itu di sela-sela isaknya.
“Jangan begitu. Kau menyakiti hatinya. Jika ia memberimu apa saja, itu tentu ada pamrihnya,” berkata penunggu banjar itu.
“Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dariku. Aku telah memberikan apa yang ia kehendaki,” jawab perempuan itu.
“Tetapi tentu tidak sedangkal itu. Ia tentu memerlukan kesetiaanmu. Apakah ia beristri yang lain?” bertanya penunggu banjar itu.
“Tidak,” jawab perempuan itu.
“Jika demikian, maka kau adalah satu-satunya isterinya yang diharapkan setia kepadanya,” berkata penunggu banjar itu.
“Aku belum isterinya,” jawab perempuan itu.
“Meskipun belum, tetapi ia tentu akan memperlakukan kau sebagai isterinya karena ia memang belum beristri,” berkata penunggu banjar itu.
“Ia tahu bahwa aku tidak ingin menjadi isterinya. Aku menolak ketika ia mengajak aku meresmikan perkawinan,” berkata perempuan itu.
“Jika demikian, maka kau memang seorang perempuan yang tidak tahu diri,” geram penunggu banjar itu, “Nah, jika demikian, pergilah kepada laki-laki yang kau beri apa yang kau terima dari seorang yang telah kau peras itu.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Aku tidak berani. Malam terlalu gelap dan hujan sangat lebat.”
“Sebaiknya kau tidak bermalam di banjar ini,” berkata penunggu banjar yang menjadi tidak senang kepada perempuan itu.
“Aku takut pergi,” berkata perempuan itu.
“Jika demikian, biarlah aku panggil saja laki-laki itu. Aku tentu mengenalnya jika ia penghuni padukuhan ini,” berkata penunggu banjar itu pula.
“Kau tidak perlu memanggilnya. Antar saja aku ke rumahnya,” berkata perempuan itu, “bukankah dengan demikian, kau tidak perlu membawa orang itu kemari.”
“Aku tidak mau mengantarmu. Aku tidak mau berjalan di malam hari begini dalam keadaan hujan bersamamu,” jawab penunggu banjar itu. Lalu katanya pula, “Sebut nama laki-laki itu.”
Perempuan itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menyebut nama, “Panangkil. Namanya Panangkil.”
“Panangkil?” penunggu banjar itu terkejut. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
“Ya, kenapa?” bertanya perempuan itu.
Penunggu banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa. Tetapi rumahnya agak jauh.”
“Karena itu, bawa aku ke sana,” minta perempuan itu.
“Tidak. Aku tidak mau,” jawab penunggu banjar itu sekali lagi.
Perempuan itu memang menjadi heran, kenapa penunggu banjar itu lebih senang memanggilnya daripada membawanya kepada laki-laki itu. Tetapi bagaimanapun juga ia memaksa, tetapi penunggu banjar itu tetap tidak mau membawanya.
Ketika penunggu banjar itu pergi memanggil laki-laki yang bernama Panangkil itu, maka ia berpesan kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “jangan tidur dahulu. Tolong awasi perempuan itu. Aku akan memanggil orang yang disebutnya.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk. “Aku akan menunggumu kembali,” desis Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka penunggu banjar itu pun telah mengenakan caping belarak yang lebar dan turun ke halaman. Malam memang gelap sekali, sehingga sejenak kemudian, penunggu banjar itu sudah tidak nampak lagi sebelum orang itu keluar dari regol halaman.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak beranjak dari tempatnya. Lampu banjar yang berkeredipan memang mampu menggapai sampai ke serambi. Tetapi perempuan itu tidak dapat melihat dengan jelas, kedua orang yang berada di serambi itu.
Di pendapa perempuan itu duduk kedinginan. Pakaiannya memang basah oleh hujan. Tetapi ia tidak beringsut dari tempat duduknya. Dengan demikian maka mereka saling berdiam diri. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menyapanya dan perempuan itu pun tidak berbicara apapun. Namun justru dengan demikian maka suasana terasa menjadi tegang.
Ternyata mereka memerlukan waktu yang agak lama untuk menunggu. Baru beberapa saat kemudian, penunggu banjar itu kembali bersama seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap dan kekar.
“Kakang,” perempuan itu bangkit dan dengan tergesa-gesa menyongsong laki-laki itu.
Namun nampaknya sikap laki-laki itu dingin sekali, seperti dinginnya malam itu yang dibasahi oleh hujan yang lebat.
“Aku telah diusir dari rumahku kakang,” berkata perempuan itu.
“Kenapa?” bertanya laki-laki itu singkat.
“Hubungan di antara kita sudah diketahuinya. Bahkan ia tahu bahwa barang-barang dan perhiasan yang diberikan kepadaku telah aku berikan kepadamu,” jawab perempuan itu.
“Lalu, sekarang apa yang kau kehendaki?” bertanya laki-laki itu.
Perempuan itu memang menjadi heran mendengar pertanyaan laki-laki yang bertubuh tinggi, tegap dan kekar itu. Karena itu, maka ia pun justru bertanya, “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Jadi, aku harus bertanya bagaimana?” laki-laki itu masih bertanya lagi.
Perempuan itu menjadi semakin heran. Maka katanya, “Aku tidak dapat pulang ke rumahku lagi. Karena itu, maka aku akan ikut ke rumahmu.”
“Ke rumahku?” laki-laki itu membelalakkan matanya, “itu tidak mungkin. Isteriku akan marah.”
“Kau beristri?” perempuan itu hampir memekik.
“Ya. Kenapa? Kau heran?” laki-laki itu justru bertanya.
“Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya,” berkata perempuan itu.
“Aku tidak menganggap perlu untuk mengatakan hal itu kepadamu. Aku memang sudah beristri dan beranak tiga orang. Nah, kau sekarang sudah tahu. Karena itu, pulanglah. Jangan ganggu keluargaku,” berkata laki-laki itu.
Perempuan itu terkejut mendengar jawaban laki-laki itu. Dengan nada keheranan ia bertanya, “Maksudmu kau tidak mau menerima aku?”
“Sudah tentu. Aku sudah beristri dan beranak. Aku mencintai isteri dan anak-anakku. Kau harus mengerti itu,” jawab laki-laki itu.
“Tetapi selama ini kau telah menerima pemberianku. Barang-barang berharga dan perhiasan. Semua yang aku terima telah aku berikan kepadamu,” perempuan itu hampir berteriak.
“Terima kasih atas pemberianmu. Isteri dan anak-anakku pun berterima kasih kepadamu,” berkata laki-laki itu.
“Gila. Hanya begitukah tanggapanmu atas kedatanganku setelah aku diusir dari rumah itu?” perempuan itu berteriak semakin keras.
“Jadi apa lagi? Kau sudah tidak akan dapat memberi apa-apa lagi kepadaku. Kepada keluarganku,” berkata laki-laki itu.
“Tetapi, jika aku memberikan barang-barang itu kepadamu, tentu kau tahu maksudku,” perempuan itu menjadi semakin keras berteriak.
Tetapi hujan masih saja tercurah dari langit, sehingga suara perempuan itu bagaikan hilang ditelan gemuruhnya bunyi hujan.
“Ya aku tahu. Dan aku telah memenuhinya. Bukankah itu namanya adil? Aku memberimu apa yang kau perlukan dan kau memberiku apa yang aku sekeluarga memerlukannya. Uang dan perhiasan itu. Isteriku berterima kasih kepadamu,” jawab laki-laki itu.
Penunggu banjar itu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, terkejut mendengar jawaban itu. Seakan-akan sudah diatur sehingga perempuan itu seakan-akan dihadapkan pada jawabannya sendiri. Ternyata laki-laki itu bersikap sebagaimana ia bersikap kepada laki-laki yang telah meninggalkannya di banjar itu.
Untuk beberapa saat perempuan itu terbungkam. Namun kemudian ia pun menangis sambil berteriak, “Kau laki-laki iblis. Laki-laki tidak tahu diri.”
“Terserahlah,” berkata laki-laki itu masih dalam sikap yang dingin, “mungkin aku iblis atau tidak tahu diri atau sebutan buruk yang lain, tetapi persoalan di antara kita sudah selesai. Seperti orang yang berjual beli. Setelah barang-barangnya diserahkan dan setelah dibayar oleh pihak lain, maka jual beli itu sah dan selesai.”
“Tidak. Kita tidak sedang berjual beli,” tangis perempuan itu.
“Sudahlah. Aku akan pulang. Anak dan istriku kedinginan di rumah. Hujan justru menjadi semakin lebat,” berkata laki-laki itu.
“Aku tidak mau kau tinggalkan sendiri,” tangis perempuan itu pula.
“Aku tidak mengundangmu kemari,” jawab laki-laki itu.
Namun penunggu banjar itu ternyata tidak dapat berdiam diri saja. Akhirnya ia pun menengahi, “Jika kau tidak dapat membawa perempuan itu pulang, bawalah ke mana saja.”
“Ke mana?” laki-laki itu mengerutkan keningnya.
“Jangan tinggalkan perempuan itu di banjar ini,” berkata penunggu banjar itu kemudian.
“Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan perempuan itu,” geram laki-laki yang disebut Penangkil itu.
“Apa pun persoalan kalian, tetapi bawa perempuan itu ke mana saja. Bagaimanapun juga kau lebih berkepentingan dengan perempuan itu daripada aku,” berkata penunggu banjar itu.
Penangkil itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan membawanya kepada bibi di pinggir padukuhan ini.”
“Bibi siapa?” bertanya penunggu banjar itu.
“Bibi Rumi. Ia adalah adik ayahku yang telah tidak ada,” jawab Penangkil.
“Terserah kepadamu,” berkata penunggu banjar itu.
“Aku minta diri,” desis Penangkil kemudian. Lalu katanya kepada perempuan itu, “marilah, kita akan pergi ke rumah bibi. Kau akan berada di sana sampai besok. Kemudian kita akan menentukan sikap.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian laki-laki itu telah menarik tangannya turun ke halaman betapa pun lebatnya hujan. Keduanya ternyata telah menuju ke arah yang lain dari arah rumah laki-laki itu, karena keduanya memang tiak akan pergi ke rumah laki-laki yang telah menyatakan dirinya beranak dan beristri.
Dalam hujan yang lebat, laki-laki itu telah menarik tangan perempuan itu sambil berkata, “Cepat. Hujan sangat lebat. Kita dapat menjadi sakit karenanya.”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan lebih cepat. Demikianlah, berlari-lari kecil perempuan itu mengikuti laki-laki yang masih saja menarik tangannya. Tangannya begitu kuat sehingga ia tidak dapat terlepas dari genggamannya.
“Kita pergi ke mana?” bertanya perempuan itu.
“Bukankah sudah aku katakan, kita pergi ke rumah bibi,” jawab laki-laki itu.
Perempuan itu pun terdiam. Langkahnya menjadi semakin cepat. Dalam hujan perempuan itu terengah-engah.
“Kita berhenti dahulu,” minta perempuan itu.
“Sudah tidak begitu jauh. Nanti kita beristirahat. Kau dapat meminjam pakaian bibi dan menghangatkan badanmu di depan perapian sambil merebus air,” berkata laki-laki itu.
Perempuan itu berusaha untuk tetap berlari-lari kecil meskipun kakinya terasa mulai letih. Beberapa saat kemudian, perempuan itu terkejut. Ia justru berusaha berhenti sejenak. Meskipun suara hujan masih berbaur dengan suara angin, namun perempuan itu mendengar deru suara air yang mengalir deras.
“Suara apa itu?” bertanya perempuan itu.
“Sungai. Disitu ada sungai. Rumah bibi memang dekat dengan sebuah sungai. Mungkin sungai itu menjadi banjir karena hujan yang lebat. Nampaknya di bukit hujan sudah turun lebih lama sehingga sungai itu menjadi banjir.”
Perempuan itu mulai menjadi ragu-ragu. Namun laki-laki itu menariknya terus. Semakin lama deru sungai yang memang banjir itu terdengar semakin jelas. Gelap malam memang menjadi semakin pekat. Perempuan yang tidak begitu mengenal daerah itu tidak tahu, bahwa di depan mereka ternyata terdapat sebuah sungai. Tepian sungai itu tidak landai seperti tempat penyeberangan yang sering dilihatnya. Tetapi tebing sungai itu cukup curam.
Ketika sekali kilat menyambar, maka perempuan itu terkejut. Ia melihat tebing yang curam menganga. Di bawah nampak sungai yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi airnya sedang banjir. Tentu tidak seorang pun yang akan dapat berenang menentang arus banjir itu.
Perempuan itu tiba-tiba telah berusaha untuk meronta. Demikian tiba-tiba, sehingga tangannya memang terlepas. Dengan serta merta ia mencoba untuk berlari menembus gelap dan hujan. Tetapi laki-laki itu berlari lebih cepat. Dengan segera perempuan itu pun telah dikuasainya kembali.
“Kau akan lari ke mana?” geram laki-laki itu.
“Aku takut,” suara perempuan itu gemetar.
“Kau tidak usah takut. Banjir itu akan menjadi kawanmu yang akrab,” berkata laki-laki itu.
“Maksudmu?” perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
“Jangan menyesali perbuatanmu. Kau akan aku lemparkan ke dalam sungai itu,” jawab laki-laki itu.
“Tidak. Tidak. Jangan,” perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya. Tetapi suaranya hilang ditelan deru hujan dan banjir.
Laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya seperti suara tertawa iblis dari neraka. Katanya, “Kau sudah tidak mempunyai tempat lagi. Laki-laki itu sudah meninggalkanmu. Dan aku tidak memerlukanmu lagi. Riak banjir itulah yang kemudian akan memelukmu.”
“Jangan. Jangan. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggumu,” tangis perempuan itu.
Tetapi laki-laki itu membentaknya kasar, “Diam. Kau kira aku akan menjadi belas kasihan melihat wajahmu itu, he? Wajah iblis betina yang tidak tahu diri. Siapa yang mau menjadi suamimu? Perempuan laknat yang hanya pantas menjadi isi neraka. Kau akan merusak keluargaku he? Kau telah memeras laki-laki itu dan sekarang kau akan menyakiti hati isteriku.”
Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Rasa-rasanya tangan-tangan iblis memang sudah mencekiknya ketika tangan-tangan laki-laki itu memegang lehernya.
“Kau boleh memilih. Mati aku cekik kemudian aku lemparkan ke sungai, atau aku lemparkan kau hidup-hidup, kemudian mati terbenam ke dalam banjir setelah kepalamu membentur-bentur tebing. He, pilih yang mana,” suara laki-laki itu benar-benar seperti suara iblis.
“Kasihani aku. Aku mohon ampun. Aku tidak akan mengganggumu. Biar aku pergi ke mana saja.” tangis perempuan itu memelas.
“Tidak. Selama kau masih hidup, maka kau tentu masih akan membayangi keluargaku. Sekarang adalah kesempatan yang paling baik untuk melemparkanmu ke sungai. Kemudian aku akan pergi ke rumah bibi untuk minta agar ia membantuku.”
Perempuan itu memang hampir pingsan karenanya. Sementara Panangkil itu berkata selanjutnya, “besok bibi akan menjawab setiap pertanyaan, bahwa aku memang telah menitipkan kau kepadanya. Tetapi kau minta ijin ke pakiwan dan tidak pernah kembali lagi. Bibi akan mencarimu dan bertanya kepada semua orang yang dijumpainya. Dengan demikian setiap orang akan mengatakan bahwa kau telah membunuh diri. Jika kemudian mayatmu diketemukan, maka semua orang akan memandang tubuhmu sambil berdesis bahwa perempuan laknat itu telah membunuh diri. Kau telah menuai benih yang kau tanam sendiri.”
“Ampun, ampunkan aku. Aku belum ingin mati,” tangis perempuan itu.
“Cukup. Sekarang pilih. Aku cekik kau sampai mati, atau aku lemparkan kau ke sungai itu,” geram laki-laki itu.
“Jangan, jangan,” perempuan itu meronta.
Tetapi jari-jari laki-laki itu memang telah mencengkam lehernya. Namun laki-laki itu berkata, “Aku tidak mau meninggalkan bekas dilehermu. Aku ingin melemparkan kau saja ke arus banjir.”
Perempuan itu kemudian telah diseretnya ke tebing yang curam. Namun langkah laki-laki itu terhenti. Ketika sekali lagi kilat menyambar, maka dilihatnya seorang laki-laki yang lain berdiri tegak dengan mengenakan caping belarak yang lebar.
“Setan, siapa kau?” geram Panangkil.
“Ingat-ingat. Namaku Mahisa Pukat. Aku adalah orang yang tadi berada di serambi banjar. Aku memang sedang berteduh. Karena itu aku mengetahui apa yang kau lakukan. Aku memang sudah curiga melihat sikapmu. Karena itu, aku telah mengikutimu sampai ke tebing yang curam itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Panangkil.
“Mencegah pembunuhan ini. Jika kau tidak dapat menerima perempuan itu, maka biarlah ia pergi ke mana saja ia maui. Tetapi jangan kau bunuh dengan cara seperti itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Buat apa perempuan iblis itu dihidupi? Ia tidak pantas hidup di antara perempuan di padukuhan ini. Ia telah menghina martabatnya sendiri,” jawab laki-laki itu.
“Dan kau? Kau telah melakukan hal yang sama. Kau telah menghina martabat laki-laki. Jika perempuan itu harus mati menurut pendapatmu, maka kau pun harus mati, karena kau telah membuat kesalahan yang sama. Kau pun laknat seperti perempuan itu,” Mahisa Pukat pun menggeram.
“Kau tidak usah ikut campur persoalanku,” teriak laki-laki itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab dengan nada rendah, “Aku mendengar pembicaraan kalian. Karena itu, aku merasa terpanggil untuk ikut campur, karena kau berlaku tidak adil.”
“Cukup,” teriak laki-laki itu, “jika kau tidak mau pergi, maka kau pun akan aku lemparkan ke sungai yang banjir itu.”
“Kau tidak akan dapat membunuh perempuan itu di hadapan sedikitnya seorang saksi. Jika aku pergi dan kau tetap melemparkan perempuan itu, maka aku akan dapat mengatakan kepada orang-orang padukuhan ini, bahkan kepada Ki Bekel, bahwa kau telah membunuh perempuan itu,” berkata Mahisa Pukat.
Panangkil berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, maka kau pun harus dibunuh.”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Sebaiknya lepaskan saja perempuan itu. Biarkan saja ia pergi kemana ia ingin pergi. Ia sudah berjanji tidak akan mengganggumu lagi,” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak. Aku akan membunuhnya dan membunuhmu pula,” geram laki-laki itu.
Mahisa Pukat justru melangkah maju sambil berkata, “Tidak. Kau tidak akan membunuh siapapun.”
Adalah di luar dugaan ketika laki-laki itu tiba-tiba saja telah menyerang Mahisa Pukat. Agar perempuan itu tidak melarikan diri, maka perempuan itu telah dipukulnya dengan keras sekali sehingga perempuan itu menjadi pingsan.
Mahisa Pukat memang sudah bersiaga. Karena itu, maka serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya. Penglihatannya yang tajam melihat bagaimana laki-laki itu berusaha untuk mendorongnya dengan serangan kaki ketebing sungai. Tetapi serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah menghindar.
Sementara itu, agar perempuan yang pingsan dalam hujan yang lewat tidak membahayakan jiwanya, maka Mahisa Semu telah dengan diam-diam mengambil perempuan itu dan membawanya ke bawah pepohonan. Dipangkasnya sebatang pohon pisang untuk melindungi wajah perempuan itu dari guyuran air yang deras.
Namun kemudian Mahisa Pukat telah melemparkan caping belaraknya yang lebar kepada Mahisa Semu sambil berkata, “Pakailah.”
“Siapa orang itu?” bertanya Panangkil.
“Aku tidak sendiri diserambi. Kau lihat itu. Biarlah ia menolong perempuan yang kau pukul sampai pingsan itu.” Jawab Mahisa Pukat.
Panangkil benar-benar menjadi marah. Dengan segenap kemampuannya ia telah menyerang Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat memang bukan lawannya. Dalam waktu yang terhitung singkat, laki-laki itu telah dikenai beberapa kali oleh serangan Mahisa Pukat sehingga beberapa kali terdengar ia mengaduh.
Tetapi laki-laki itu memang keras kepala. Ia masih saja berusaha melawan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia berusaha menyerang meskipun justru tubuhnya sendirilah yang dikenai oleh serangan Mahisa Pukat.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “kau akan kami bawa ke banjar bersama perempuan itu. Persoalanmu akan menjadi persoalan yang akan diselesaikan oleh Ki Bekel.”
“Tidak. Aku tidak mau,” teriak laki-laki itu, “kau dan perempuan itu harus mati.”
Mahisa Pukat menjai tidak telaten. Maka ia pun telah mendesak laki-laki itu dan dengan cepat berhasil menangkap tangannya, memutarnya dan memilinnya dengan kuat. Laki-laki itu berusaha meronta. Tetapi Mahisa Pukat mendorongnya ke tepi tebing itu sambil berkata,
“Lihat, arus banjir itu tidak saja mampu menghanyutkan perempuan itu. Tetapi kau pun akan hanyut pula. Kepalamu akan membentur-bentur tebing sebagaimana akan dapat terjadi pada perempuan itu sebelum kau diseret ke laut.”
Wajah Panangkil menjadi tegang. Ketika kilat memancar dengan terangnya, maka Panangkil melihat jelas, banjir yang bergulung-gulung mengalir deras. Tebing yang curam menganga seperti mulut raksasa yang siap menelannya. Sedangkan suaranya yang menderu-deru seperti deru nafas iblis dari dasar neraka. Panangkil tiba-tiba menjadi ketakutan. Ketika Mahisa Pukat mendorongnya lebih dekat, maka laki-laki itu berteriak, “jangan-jangan.”
“Kau kira aku menjadi belas kasihan kepadamu,” geram Mahisa Pukat.
Laki-laki itu seakan-akan telah mendengar suaranya sendiri ketika ia hampir saja melemparkan perempuan itu ke sungai yang sedang banjir itu.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Tidak ada yang akan menangisimu jika mayatmu besok diketemukan, laki-laki laknat. Kau telah merendahkan martabat seorang laki-laki dengan memeras perempuan itu. Aku yang juga seorang laki-laki, merasa telah kau khianati karena martabatku pun tentu akan ikut goncang.”
Mahisa Pukat mendorong laki-laki itu semakin dekat. Sekali lagi kilat memancar. Dan laki-laki itu menjadi lemah tidak berdaya. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis oleh perasaan takut yang mencengkam.
Namun Mahisa Pukat membentaknya, “Bangkit. Aku mendorongmu, atau kau berbuat sebagai seorang laki-laki. Meloncat sendiri ke dalam sungai itu.”
Tetapi laki-laki itu justru memohon sambil menangis, “Ampun. Aku mohon ampun.”
“Mohon ampun kepada siapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kepadamu,” jawab orang itu.
“Jika aku mengampunimu, kau mau apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku akan melakukan apapun,” jawab laki-laki itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Semu, maka ia melihat perempuan itu sudah sadar dari pingsannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Marilah. Kita pergi ke banjar. Bukan aku yang akan menyelesaikan persoalan kalian, tetapi Ki Bekel.”
“Kau akan melaporkannya kepada Ki Bekel?” laki-laki itu menjadi cemas.
“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “karena Ki Bekel adalah pemimpin dari padukuhan ini.”
“Jangan,” minta laki-laki itu.
“Kau dapat memilih. Persoalan ini akan aku serahkan kepada Ki Bekel, atau kau terjun ke sungai yang banjir itu,” geram Mahisa Pukat.
Panangkil menjadi kebingungan. Kedua-duanya tidak menarik baginya. Namun Mahisa Pukat berkata, “Kau harus memilih salah satu dari kedua pilihan itu.”
Panangkil hanya dapat menundukkan kepalanya. Dengan nada berat ia berkata, “Aku tidak mau terjun ke sungai itu.”
Demikianlah, maka Panangkil dan perempuan itu pun telah dibawa ke banjar. Penunggu banjar itulah yang kemudian pergi rumah Ki Bekel untuk mengadu.
Ternyata Ki Bekel adalah seorang yang benar-benar bertanggung jawab atas tugasnya. Meskipun huj.an lebat dan malam dinginnya menusuk tulang, namun Ki Bekel telah pergi ke banjar bersama dua orang peronda yang ada di gardu di depan rumahnya dari antara lima orang peronda. Bahkan sempat mengajak Ki Jagabaya bersamanya.
Ketika di banjar ia menerima penjelasan tentang hubungan antara Panangkil dan perempuan itu serta keputusan Panangkil untuk membunuh perempuan itu, maka Ki Bekel pun berkata,
“Jadi kau masih saja akan mengacaukan padukuhan kita sendiri, Panangkil. Sudah beberapa kali kau mendapat peringatan dari Ki Jagabaya. Bahkan pernah orang-orang padukuhan ini hampir saja beramai-ramai membunuhmu karena tingkah lakumu. Sekarang kau telah melakukan satu kesalahan lagi yang bahkan hampir saja menelan korban jiwa. Apakah sebaiknya kau aku serahkan saja kepada orang-orang padukuhan. Mumpung sungai itu sedang banjir? Mungkin kau akan diikat dan dimasukkan ke dalam sungai itu. Orang-orang sepadukuhan akan melihat kau mencoba untuk berenang. Jika kau hanyut, maka tali itu akan ditarik. Tetapi kemudian akan diulur lagi jika sekali lagi mencoba berenang.”
“Jangan Ki Bekel. Aku mohon maaf,” minta Panangkil.
“Sudah berapa kali kau minta maaf kepadaku, kepada Ki Jagabaya dan kepada seisi padukuhan?” bertanya Ki Bekel.
Panangkil tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku akan bertanya saja kepada rakyat padukuhan ini. Apakah mereka masih bersedia memberikan ampun kepadamu atau tidak. Jika tidak, terserah kepada mereka,” berkata Ki Bekel.
“Jangan Ki Bekel. Jangan dengan cara itu,” minta Panangkil.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, kepada kedua orang peronda yangg menyertainya, “Panggil isterinya. Biar ia tahu apa yang dilakukan oleh suaminya.”
“Jangan panggil isteriku, jangan,” minta Panangkil.
Tetapi Ki Bekel tetap pada pendiriannya. Dan kedua orang itu pun segera meninggalkan banjar. Ketika perempuan itu dengan pakaian yang basah meskipun ia memakai caping belarak yang besar, sampai ke banjar, maka ia menjadi heran. Dilihatnya beberapa orang ada di banjar, termasuk suaminya.
Ki Bekellah yang kemudian mengatakan kepada perempuan itu apa yang telah dilakukan suaminya terhadap perempuan yang telah berada di banjar itu. Wajah perempuan itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia telah merebut parang peronda yang memanggilnya. Hampir saja kepala suaminya telah dipecahkannya dengan parang itu. Untunglah beberapa orang sempat melerainya.
“Biar aku bunuh laki-laki keparat itu,” perempuan itu berteriak sambil menangis.
Namun ketika ia melihat perempuan yang telah berada di banjar itu, ia pun telah meronta sambil berteriak pula, “Kaulah sumber dari laknat ini. Kau pun harus dibunuh.”
Perempuan yang hampir saja dilemparkan ke sungai yang banjir itu menjadi ketakutan. Tetapi ia pasrahkan dirinya kepada orang-orang yang ada di banjar itu termasuk Ki Bekel.
Sebenarnyalah Ki Bekel telah merampas parang di tangan perempuan itu. Dengan nada seorang pemimpin ia berkata, “Kalau ingin menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Kita bukan keluarga orang-orang liar yang tidak tahu caranya memecahkan persoalan dengan nalar.”
“Ia telah berkhianat terhadap keluarganya Ki Bekel,” tangis isteri Panangkil.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bukankah kau dapat berbicara dengan suamimu?”
“Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya?” bertanya isterinya.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri juga bertanya seperti itu. Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya? Tetapi sebadai seorang Bekel ia masih juga mencoba untuk mencari jalan yang terbaik yang dapat ditempuh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, “Sekarang, ajak suamimu berbicara di hadapanku. Ia tahu bahwa aku adalah Bekel dari padukuhan ini. Kata-kata yang diucapkan di hadapanku, tentu akan mengikat. Bukan hanya aku saja saksinya. Tetapi beberapa orang, termasuk Ki Jagabaya.”
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada suaminya, “Sekarang apa niatmu? Mencerai aku atau apa?” “Tidak,” jawab Panangkil, “aku tidak ingin menceraimu.”
“Kau tidak usah berpura-pura. Jika kau memang sudah jemu beristerikan aku, ceraikan saja aku. Aku akan membawa semua anak-anakku. Aku masih akan dapat memberi mereka makan serta mendidik mereka untuk menjadi orang baik-baik kelak.”
“Tidak. Jangan pergi. Apalagi membawa anak-anak. Aku tidak dapat berpisah dengan anak-anak,” jawab Panangkil.
“Tetapi apakah kau mengeri, apa yang telah kau lakukan itu?” bertanya isterinya.
“Aku minta maaf. Aku tidak mempunyai cara lain. Aku sudah tidak berani mencuri karena ancaman Ki Bekel,” jawab Panangkil.
“Kau kira aku senang jika kau mencuri?” geram isterinya.
“Satu-satunya jalan adalah memeras orang lain. Aku sama sekali tidak berniat apa pun juga terhadap perempuan itu selain memeras. Aku ingin mencukupi kebutuhan keluargaku sehingga dapat hidup pantas,” jawab Panangkil.
“Tidak. Itu sangat memalukan. Besok, apa yang masih ada harus kau kembalikan kepada perempuan itu. Aku berjanji untuk mengganti semua barang-barang dan perhiasan yang telah kau terima dan kau jual untuk menghidupi kami sekeluarga. Aku kira selama ini kau benar-benar berhasil berdagang wesi aji dan batu-batu bertuah, sehingga hidup keluarga kita dapat menjadi semakin baik. Ternyata apa yang kau lakukan adalah perbuatan laknat itu,” teriak perempuan itu tanpa dapat mengendalikan perasaannya lagi.
“Aku minta maaf kepadamu,” jawab Panangkil.
“Sudah berapa kali kau minta maaf kepadaku tetapi masih saja kau melakukan kesalahan. Meskipun kesalahan itu tidak sama, tetapi jiwanya sama-sama satu pengkhianatan,” geram isterinya.
“Kali ini aku berbicara di hadapan saksi-saksi. Ki Bekel, Ki Jagabaya, anak-anak muda itu dan yang lain,” sahut Panangkil. “Jika aku tidak menepatinya, maka aku tentu akan menerima hukuman yang paling berat.”
Isterinya termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Bekel berkata, “Baiklah, maaf dan mengaku bersalah. Ia tidak akan melakukannya lagi dikemudian hari.”
Namun isteri Panangkil itu berkata, “Aku ingin mendengar janjinya sekali lagi.”
“Berjanjilah sekali lagi,” minta Ki Bekel.
“Ya. Aku memang berjanji,” jawab laki-laki itu.
“Berjanji apa?” isterinya menjerit tinggi.
“Aku berjanji untuk tidak mengulangi semua perbuatanku yang buruk. Tidak mencuri lagi dan tidak memeras,” berkata Panangkil.
“Hanya itu?” bertanya isterinya.
“Apalagi yang harus dikatakan?” bertanya Ki Bekel.
“Ia berjanji untuk tidak memeras, tetapi ia justru mengawini perempuan itu,” suaranya agak menurun.
Ki Bekel menarik nafas. Katanya, “Ucapkan janjimu selengkap-lengkapnya...”
Para pengawal anak Ki Saudagar dan pengawal anak Ki Buyut yang masing-masing berjumlah tiga orang memang menjadi tegang. Tetapi setiap kali ketiga orang pengawal anak Ki Buyut itu bersorak kegirangan jika tangan anak Ki Buyut itu mengenai tubuh lawannya.
Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar pun berbuat pula demikian. Tetapi sorak yang menghentak semakin lama semakin sering dilakukan oleh anak Ki Buyut. Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar itu menjadi cemas. Mereka tidak dapat membiarkan momongan mereka kalah. Karena jika demikian, akibatnya akan buruk sekali bagi mereka. Ki Saudagar tentu akan menjadi sangat marah.
“Kenapa aku tidak berbuat sesuatu,” berkata pengawal anak Ki Saudagar.
Karena itu, maka orang bertubuh tinggi tegap itu pun berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku harus mengakhiri kesombongan anak-anak itu.”
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Ia akan bertindak untuk membantu momongannya. Ia tidak peduli apa yang akan dikatakah oleh anak Ki Buyut itu serta para pengawalnya.
“Jika para pengawal anak Ki Buyut itu akan ikut campur, kalian dapat menyelesaikan mereka dengan caramu,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap itu. Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah meloncat memasuki arena. Ia langsung melangkah ke arah kedua orang anak muda yang sedang berkelahi itu.
Tetapi ternyata seorang dari para pengawal anak Ki Buyut itu telah melihatnya. Ia pun segera berlari mencegah orang yang bertubuh tinggi besar itu. “Kita tidak akan ikut campur,” berkata pengawal anak Ki Buyut.
“Persetan,” geram orang yang bertubuh tinggi tegap itu, “Minggir. Atau kau yang akan aku lumpuhkan lebih dahulu.”
“Kau kira aku membiarkan kakiku kau patahkan?” bertanya pengawal anak Ki Buyut itu.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu tidak menjawab. Ia langsung mengayunkan tangannya menyerang pengawal anak Ki Buyut itu. Namun pengawal anak Ki Buyut yang lebih kecil itu ternyata cukup tangkas. Dengan sigapnya ia telah mengelakkan serangan itu. Bahkan dengan cepat sekali ia telah membalas serangan itu dengan ayunan tangannya, memukul ke arah dada.
Orang yang bertubuh tinggi itu masih sempat bergeser surut. Namun lawannya yang lebih kecil itu tidak melepaskannya, dengan cepat ia memburunya. Dengan satu loncatan melingkar, kakinya telah terayun menghantam dada orang itu.
Serangan kaki itu cukup keras, sementara orang yang bertubuh tinggi itu tidak sempat menghindar. Karena itu, ketika kaki pengawal anak Ki Buyut itu mengenai dadanya, maka orang yang bertubuh tinggi itu telah terdorong beberapa langkah surut. Orang itu memang tidak terjatuh. Bahkan ia masih mampu menguasai keseimbangannya. Namun bahwa tubuhnya telah dikenai oleh serangan lawannya itu, membuatnya menjadi sangat marah.
Dengan demikian maka perkelahian antara kedua pengawal dari kedua orang anak muda yang telah berkelahi itu pun semakin lama menjadi semakin sengit pula. Bahkan kemudian kedua orang pengawal yang lain pun telah berkelahi pula, sehingga delapan orang telah berkelahi di halaman samping kedai itu.
Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar. Jika perkelahian itu meluas, maka kedainya akan dapat menjadi ajang perkelahian pula. Tetapi pemilik kedai itu berharap bahwa perkelahian itu akan terbatas dengan delapan orang itu saja.
Meskipun demikian, ia masih saja merasa cemas. Jika terjadi di antara mereka menjadi korban, maka ia pun tentu akan menjadi sasaran pertanyaan orang-orang dari kedua Kabuyutan yang bermusuhan itu.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata bahwa anak Ki Buyut itu semakin mendesak lawannya, anak seorang saudagar kaya di Kabuyutan sebelah. Seorang saudagar kaya yang mempunyai pengaruh yang besar di Kabuyutannya.
Sedang para pengawalnya pun nampaknya lebih baik dari para pengawal anak saudagar kaya itu, sehingga dua orang dari ketiga orang pengawal itu berhasil mendesak lawan-lawan mereka pula. Hanya pengawal yang kebetulan berkelahi melawan orang yang bertubuh tinggi tegap itu harus memeras keringat untuk dapat bertahan. Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki daya tahan yang sangat besar.
Tetapi sementara itu, kedua orang pengawal anak saudagar kaya itu semakin tidak mempunyai kesempatan lagi melindungi dirinya. Sebagaimana momongan mereka, maka keduanya pun semakin sering dikenai oleh serangan lawannya. Bahkan salah seorang pengawal anak saudagar kaya itu telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Namun demikian ia berhasil berdiri, lawannya telah meloncat dengan cepatnya menghantam dadanya dengan tumit kakinya.
Sekali lagi orang itu jatuh berguling. Meskipun ia masih juga mencoba berdiri, tetapi ia sudah tidak berdaya lagi. Hanya karena orang itu takut dianggap tidak membantu momongannya, maka ia masih mencoba untuk bertahan. Tetapi lawannya sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia justru berlari membantu kawannya yang terdesak oleh orang yang bertubuh tinggi tegap itu.
Melawan dua orang, maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu merasa sangat berat. Beberapa kali tubuhnya telah dikenai serangan kedua lawannya itu. Ketika kawannya yang sudah tidak berdaya itu mencoba mendekatinya untuk membantu, maka sekali lagi orang itu mendapat serangan di keningnya.
Sekali lagi orang itu terdorong dan tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya lagi. Ia pun kemudian jatuh untuk ketiga kalinya. Kepalanya yang membentur tanah yang keras, membuatnya sangat pening dan bahkan kemudian segala-galanya menjadi kekuning-kuningan.
Dalam waktu dekat, maka anak saudagar kaya dan para pengawalnya menjadi semakin tidak mampu lagi mengatasi kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan kesempatan. Beberapa kali anak saudagar kaya itu harus berloncatan mengambil jarak, sehingga arena pertempuran itu telah bergeser dari tempat semula.
Namun anak Ki Buyut itu mendesak terus. Beberapa kali ia sempat mengenai tubuh lawannya. Dan bahkan ia pun kemudian bertanya, “Kapan kita menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang?”
“Persetan kau,” geram lawannya yang menyerangnya dengan mengerahkan kemampuannya.
Namun lawannya tidak berhasil mendesaknya. Apalagi para pengawalnya yang tinggal dua orang. Yang bertubuh tinggi tegap itu pun harus berloncatan surut, karena dua orang lawannya membuatnya semakin bingung. Sementara pengawalnya yang seorang lagi juga tidak dapat bertahan lebih lama. Dalam keadaan yang demikian, maka mereka semakin terdesak ke jalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang semula melihat perkelahian itu dari pintu samping, telah berpindah. Mereka duduk di dekat pintu depan yang lebih lebar, sehingga mereka dapat menyaksikan pertempuran yang telah bergeser itu dengan jelas. Sementara itu bukan saja pelayan kedai itu, tetapi juga pemiliknya telah memperingatkan mereka, agar jangan berada di tempat yang dapat dilihat oleh anak saudagar kaya serta orang-orangnya.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka adalah pendendam,” jawab pemilik kedai itu, “hari ini anak saudagar kaya yang mengandalkan kekayaannya itu mendapat lawan seimbang. Bahkan nampaknya lebih kuat daripadanya. Mudah-mudahan ia menjadi jera dan tidak sewenang-wenang lagi.”
“Bagaimana dengan anak Ki Buyut?” bertanya Mahisa Semu.
“Ia memang pendiam. Tidak peduli. Tetapi ia bukan orang yang suka mencampuri persoalan orang lain dan tidak terbiasa membuat orang lain mengalami kesulitan. Tetapi agaknya karena ia ditantang, maka ia pun melayaninya.”
“Kedai ini terletak di mana?”
“Di daerah Ki Buyut itu atau daerah Kabuyutan lain sebagaimana saudagar kaya itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku masih berada di daerah Ki Buyut yang anaknya berkelahi itu. Tetapi jalan itu adalah batasnya. Jika perkelahian itu bergeser terus, maka mereka akan memasuki Kabuyutan sebelah,” jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sebenarnyalah perkelahian itu bergeser menyeberangi jalan dan akhirnya terjadi di seberang.
Pemilik kedai dan pelayannya yang tidak berani menyaksikan perkelahian itu dengan terbuka, sempat melihat lewat beberapa lubang dinding di sudut dapurnya. Mereka tidak lagi memperingatkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang nampaknya tidak menghiraukan peringatan mereka.
Dalam pada itu, ketika keadaan anak saudagar kaya dari Kabuyutan diseberang jalan itu semakin sulit, tiba-tiba saja telah terdengar suitan nyaring. Satu isyarat yang mula-mula memang tidak begitu diketahui maksudnya. Namun tiba-tiba saja dari balik beberapa gerumbul perdu di seberang jalan, telah muncul beberapa orang anak muda yang dengan serta telah berlari-larian mendekati arena.
“Curang,” geram Mahisa Semu.
“Ya. Itu sudah diduga,” sahut pemilik kedai yang melihat perkelahian itu dari celah-celah dinding di dapurnya.
Anak Ki Buyut itu memang agak terkejut. Demikian pula ketiga orang pengawalnya. Dengan latang anak Ki Buyut itu berkata, “Aku memang sudah curiga. Tetapi aku menyanggahnya sendiri. Apalagi persoalan kita adalah persoalan harga diri. Apakah untuk kepentingan mempertahankan harga diri itu kau ingin mengorbankan harga diri?”
“Persetan dengan harga diri,” geram anak saudagar kaya itu.
“Aku adalah anak seorang Buyut,” berkata anak Ki Buyut itu, “apakah kau kira ayahku dan seluruh Kabuyutanku akan membiarkan hal ini terjadi?”
“Kabuyutanku juga sudah siap. Kita akan bertempur jika kau berusaha untuk menggerakkan orang-orangmu. Ayahku dapat mengupah orang-orang dari luar Kabuyutan. Tiga orang gegedug yang sekarang juga hadir merupakan contoh dari orang-orang yang diupah ayahku itu. Jika ayahmu benar-benar ingin berperang, maka Kabuyutanmu akan menjadi karang abang,” ancam anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak Ki Buyut itu pun berkata, “Kau kira kami menjadi ketakutan? Jika kau curang kali ini, maka aku akan benar-benar mengerahkan anak-anak muda dan para pengawal Kabuyutan.”
“Kau kira kau mampu melakukan? Tiga bulan kau akan berbaring di pembaringanmu. Orang-orangku akan membuatmu jera sampai ke anak cucumu,” teriak anak saudagar kaya itu.
Anak Ki Buyut itu tidak mempunyai pilihan. Sebenarnyalah di antara beberapa orang yang muncul dari balik gerombolan itu, terdapat tiga orang yang bertampang garang. Meskipun tubuhnya tidak sebesar pengawal anak saudagar kaya yang bertubuh raksasa itu, namun nampak disorot matanya, bahwa mereka lebih keras dan kasar. Juga mereka nampaknya memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Anak Ki Buyut itu memang harus berpikir keras. Ada dua pilihan yang dapat diambilnya. Melawan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan harga diri, atau melarikan diri. Sebenarnya anak Ki Buyut itu pun menyadari, seandainya ia melarikan diri dari arena, ia tidak akan direndahkan oleh siapa pun karena lawannyalah yang curang. Namun rasa-rasanya seorang laki-laki yang menghindar dari kesulitan namanya akan tetap menjadi cacat. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, anak Ki Buyut itu tidak beringsut dari tempatnya.
Sementara itu pemilik kedai itu berteriak tertahan di belakang lubang dinding, “Lari. Kenapa tidak lari saja?”
“Ya,” desis Mahisa Pukat, “seharusnya ia menyingkir dari arena. Itu bukan lari. Tetapi menghindari sikap yang sangat licik.”
“Ya. Bukan melarikan diri. Tetapi menghindari kecurangan,” ulang pemilik kedai itu.
Namun tidak seorang pun di antara orang-orang yang dimaksud itu mendengar. Tetapi ternyata ketiga orang pengawal anak Ki Buyut itu pun termasuk orang-orang yang berani. Ketika mereka yakin bahwa anak Ki Buyut itu tidak akan meninggalkan arena, maka dengan serta merta mereka pun menyerang lawan-lawan mereka yang masih saja termangu-mangu. Dengan hentakkan yang tiba-tiba saja, maka orang yang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak mampu menghindar.
Dua orang pengawal Ki Buyut itu bersama-sama menghantam dadanya dan lambungnya, sehingga orang yang bertubuh tinggi besar itu terbungkuk. Namun kemudian pukulan yang terakhir dari kedua orang itu bersamaan membuat raksasa itu jatuh dan pingsan karenanya. Demikian pula seorang pengawal yang lain. Ia pun dengan serta merta telah mendapat serangan yang tidak dapat dihindarinya. Bahkan dua orang yang telah membuat orang bertubuh tinggi besar itu pingsan, telah ikut menyerangnya sehingga ia pun menjadi pingsan pula.
Dengan demikian empat orang itu telah bebas dari lawan-lawannya yang terdahulu. Namun mereka akan berhadapan dengan lawan yang jauh lebih berat.
“Licik. Kau serang mereka tanpa memberinya peringatan,” geram anak saudagar kaya itu.
“Persetan,” sahut anak Ki Buyut, “kau bawa sekian banyak orang termasuk ketiga orang gegedug itu. Apakah itu bukan sikap yang licik? Curang? Pengecut?”
Tetapi anak saudagar kaya itu tertawa. Katanya, “Kau menjadi ketakutan karenanya. Tetapi sudah terlambat. Kau akan dilumpuhkan. Kau akan terbaring dan memerlukan pelayanan orang lain. Kau akan dimandikan di pembaringan seperti bayi. Kau akan disuapi dan jika kau sembuh kelak, kau akan menjadi cacat. Jika ayahmu marah, maka perang akan terjadi. Kabuyutanmu anak hancur lumat.”
“Cukup. Kau tidak perlu membual seperti itu. Aku akan menanggung segala akibat dari sikapku,” bentak anak Ki Buyut.
“Ada satu cara yang dapat kau tempuh,” berkata anak saudagar kaya itu, “tinggalkan tempat ini dan untuk seterusnya jangan ganggu gadis itu lagi.”
“Kau bukan laki-laki,” geram anak Ki Buyut, “kenapa kau tidak menantang aku berperang tanding sampai tuntas? Kenapa kau melibatkan sekian banyak orang untuk persoalan yang sangat pribadi ini?”
“Itulah kekuasaan uang yang dimiliki oleh keluargaku. Jangan iri. Ayahku kaya raya dan dapat mengupah orang untuk melakukan hal seperti ini,” jawab anak saudagar kaya itu. Lalu katanya, “Kenapa kau tidak melakukannya? Bukankah ayahmu seorang Buyut yang juga terhitung kaya?”
Mahisa Pukat ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Ketika anak-anak muda yang bermunculan dari balik gerumbul dengan tiga orang gegedug itu menjadi semakin dekat dan mulai mengepung anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya, maka ia pun telah menggamit Mahisa Semu. Bahkan Mahisa Pukat langsung meloncat ke halaman kedai itu sambil berteriak, “Tidak selamanya uang dapat menguasai keadaan.”
Semua orang berpaling kepadanya. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah melangkah mendekati mereka yang sudah siap untuk bertempur lagi itu. Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Ternyata kedua orang tamunya itu langsung melibatkan dirinya dalam pertengkaran itu.
“Kami berdua, tanpa kekuasaan uang, menyatakan memihak kepada anak Ki Buyut,” berkata Mahisa Pukat sambil melangkah mendekati anak Ki Buyut dengan tiga orang pengawalnya yang sudah terkepung. Bahkan dengan tidak menghiraukan anak-anak muda yang mengepung itu, keduanya justru menyibak mereka dan masuk ke dalam lingkaran kepungan itu.
“Siapa kau?” geram anak saudagar kaya itu.
“Siapa pun aku, kau tidak peduli. Apakah kau akan membeli namaku dengan uangmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Iblis kau,” geram anak saudagar kaya itu, “apakah kau menyadari, apa yang kau lakukan?”
“Tentu. Aku akan merasa berbahagia dapat membantu orang yang telah diperlakukan dengan curang. Aku tidak peduli apakah kami akan menang atau kalah,” jawab Mahisa Pukat.
Wajah anak saudagar kaya itu menjadi merah. Selangkah ia maju sambil berkata, “Kau akan menyesal. Jika aku mengancam akan membuat anak Ki Buyut yang tidak tahu diri itu menjadi cacat, maka aku benar-benar berniat membunuhmu. Tidak ada orang yang akan menuntut aku di sini. Sekali lagi aku katakan bahwa uang ayahku akan dapat menyelesaikan segala-galanya.”
“Aku tidak takut mati untuk melakukan apa yang aku yakini kebenarannya,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi sadari, bahwa jika aku mati, maka tentu ada di antara kalian yang mati. Aku tidak tahu siapa yang akan mati di antara kalian. Kau, mungkin kau, kau atau gegedug itu. Nyawaku nilainya sama dengan lima orang di antara kalian. Demikian pula adikku ini. Karena itu, jika kami berdua mati, maka sepuluh orang dianara kalian akan mati.”
Ternyata ancaman Mahisa Pukat itu telah menggetarkan jantung anak-anak muda yang mengepung anak Ki Buyut itu. Namun anak saudagar kaya itu berkata kepada ketiga orang gegedug itu, “Selesaikan kedua anak itu. Jangan ragu-ragu. Aku yang bertanggung jawab.”
Ketiga orang gegedug itu pun kemudian telah bergeser mendekati Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Ternyata mereka benar-benar berniat untuk membunuh keduanya, karena ketiga orang gegedug itu langsung menggenggam senjata mereka di tangan. Seorang di antara mereka menggenggam sebuah golok yang besar. Seorang memegang kapak yang bermata rangkap dan seorang lagi membawa pedang yang panjang.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun berkata kepada Mahisa Semu, “jangan ragu-ragu membunuh mereka bertiga. Kita akan segera menghilang dari tempat ini, sehingga mereka tidak akan dapat menuntut kita.”
“Setan alas,” salah seorang dari ketiga orang gegedug itu mengumpat. Seorang yang bersenjata kapak yang tajam di kedua sisi itu pun segera meloncat menyerang Mahisa Pukat. Namun anak muda itu sudah benar-benar bersiap. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar. Namun gegedug yang membawa golok itu tidak membiarkannya. Ia pun telah memutar goloknya pula dan langsung menyerang.
Tetapi Mahisa Pukat benar-benar telah bersiap. Dengan sigapnya ia berloncatan menghindari serangan-serangan yang kemudian datang beruntun. Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengenggam pedangnya pula. Yang kemudian berdiri berhadapan dengan anak muda itu adalah gegedug yang bersenjata pedang yang panjang itu.
Sejenak kemudian pertempuran antara kedua anak muda dari perguruan Bajra Seta melawan tiga orang gegedug itu pun telah berlangsung dengan sengitnya. Ketiga orang gegedug yang merasa memiliki kemampuan yang tinggi itu berusaha untuk dengan secepatnya menyelesaikan kedua orang anak muda itu. Apalagi dua orang di antaranya bertempur melawan seorang saja.
Tetapi ternyata bahwa kedua orang itu tidak segera dapat menguasai Mahisa Pukat yang telah menggenggam pedangnya pula. Pedang yang terbuat dari besi baja yang seakan-akan bercahaya kehijau-hijauan. Kedua gegedug itu memang tergetar hatinya melihat daun pedang di tangan Mahisa Pukat itu. Namun karena mereka merasa memiliki kemampuan yang sangat mereka bangga-banggakan selama ini, maka mereka pun berusaha dengan cepat membunuhnya.
Mahisa Pukat pun merasakan kesungguhan kedua orang gegedug itu untuk membunuhnya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi semakin marah. Ternyata pengaruh uang anak muda yang tamak itu telah membuat para gegedug itu kehilangan kendali sama sekali. Mereka tidak lagi sempat memikirkan apa yang sedang mereka lakukan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan para gegedug itu. Mereka harus menebus kedunguan mereka dengan harga yang sangat mahal.
Adalah di luar dugaan bahwa justru Mahisa Pukat lah yang dengan cepat menguasai kedua orang lawannya. Pedangnya berputaran dengan cepat, menggapai-gapai. Dalam waktu yang singkat, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah melukai seorang di antara kedua gegedug itu. Orang yang bersenjata kapak itu- pun telah mengaduh kesakitan ketika luka menganga di pundaknya.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam ilmu pedang. Ia pun dengan cepat telah menguasai lawannya. Pedang lawannya yang panjang itu sama sekali tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak pedang Mahisa Semu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka segores luka telah menyilang di dada lawannya.
Ketiga orang yang telah disebut sebagai gegedug itu menjadi sangat marah pula. Mereka adalah orang-orang yang sangat ditakuti. Namun menghadapi anak-anak muda itu ternyata mereka tidak mampu mengatasinya.
Sementara itu, lawan Mahisa Pukat yang seorang lagi, yang bersenjata golok itu pun tidak mampu menghindar atau menangkis ujung pedang Mahisa Pukat yang mematuk dengan cepatnya. Karena itu, maka lambungnya tiba-tiba saja telah terkoyak, sehingga darahnya memancar dari lukanya yang menganga.
Anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya justru bagaikan membeku. Demikian pula anak saudagar kaya serta anak-anak muda yang mengepung dan kemudian seakan-akan telah membuat lingkaran pertempuran itu.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka anak saudagar kaya itu pun telah tersentak dari keheranannya. Ia pun segera melihat keadaan yang tidak menguntungkan, sehingga karena itu, maka ia pun segera berteriak kepada anak-anak muda yang mengepung arena itu, “Jangan seperti orang-orang yang kehilangan akal. Cepat. Lakukan tugas kalian. Aku yang bertanggung jawab atas segala-galanya.”
Anak-anak muda yang jumlahnya cukup banyak itu masih saja ragu-ragu. Tiga orang gegedug itu ternyata tidak berdaya menghadapi dua orang anak muda yang tidak mereka kenal yang tiba-tiba saja telah ikut serta dalam pertempuran itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu sekali lagi berteriak, “Cepat. Lakukan. Siapa yang tidak mendengar perintahku, akan menyesal kelak.”
Ancaman itu memang dapat menggerakkan anak-anak muda itu. Selagi ketiga gegedug itu masih sempat melawan meskipun dalam kesulitan. Apalagi yang terluka di lambungnya. Darah semakin lama semakin banyak mengalir, sehingga akhirnya, orang itu pun telah jatuh terkapar dengan lemahnya. Tiga orang anak muda telah membawanya menepi, sementara dua orang yang lain berlari-lari kembali ke arena, seorang di antara mereka telah merawatnya sedapat-dapatnya.
Tinggal dua orang gegedug yang masih ikut dalam pertempuran itu. Namun keduanya sudah terluka. Tetapi ternyata bahwa keduanya masih berbahaya. Apalagi kemudian datang anak-anak muda membantu mereka.
Anak Ki Buyut dan tiga orang pengawalnya pun telah berkelahi lagi. Tetapi lawan-lawan mereka adalah anak-anak muda yang tidak mempunyai bekal terlalu banyak dalam olah kanuragan. Meskipun demikian jumlah mereka yang banyak itu pun telah berpengaruh pula.
Beberapa orang telah membantu kedua orang gegedug yang terluka itu pula. Namun demikian, anak-anak muda itu tidak dengan cepat mampu menempatkan diri dalam satu kerjasama yang mapan. Bahkan kadang-kadang kedua gegedug itu justru merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Tetapi kedua gegedug itu tidak berani mengusir mereka, karena dalam saat-saat tertentu kedua gegedug itu dapat berlindung di balik senjata anak-anak muda itu untuk beberapa saat.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi ragu-ragu. Mereka tidak dapat memperlakukan anak-anak muda itu sebagai mana kedua orang gegedug yang masih mereka hadapi! Karena itu, maka tata gerak kedua anak muda itu pun menjadi agak ragu-ragu pula. Namun ketika anak-anak muda itu mulai terasa semakin menekan mereka, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai menjadi semakin keras pula. Terutama Mahisa Semu.
Dengan demikian, maka pedangnya pun berputaran semakin cepat pula. Tetapi yang menjadi sasaran utama bagi Mahisa Semu masih juga gegedug yang sudah dilukainya itu. Namun gegedug itu pun ternyata memanfaatkan anak-anak muda itu untuk melindunginya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mula-mula Mahisa Semu memang menjadi sedikit mengalami kesulitan. Namun akhirnya kemudaannyalah yang mulai berbicara dengan bahasa pedangnya.
“Bukan salahku,” berkata Mahisa Semu tiba-tiba.
Lawan-lawannya memang menjadi heran mendengar Mahisa Semu itu tiba-tiba saja telah berkata lantang. Seorang di antara lawan-lawannya itu sempat bertanya, “Apa yang bukan salahmu?”
“Saudaraku telah memperingatkan bahwa aku akan membunuh sedikitnya lima orang jika kalian tidak menyingkir,” jawab Mahisa Semu.
Ancaman itu membuat anak-anak muda itu ragu-ragu. Tetapi gegedug itu pun berkata, “Jangan hiraukan kata-katanya. Ternyata anak itu sudah mulai menjadi ketakutan.”
Namun belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, maka seorang anak muda telah berteriak kesakitan. Ujung pedang Mahisa Semu telah singgah di lengannya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun terasa pedihnya menyengat sampai ke tulang.
“Sebentar lagi lehermu,” desis Mahisa Semu.
Lawan-lawannya menjadi semakin gentar melihat darah di lengan kawannya itu. Bahkan kemudian Mahisa Semu telah mendesak gegedug itu dan memaksanya berloncatan untuk mengambil jarak. Namun anak-anak muda itu tidak lagi mendesak dan mengurungnya. Mereka mulai merasa cemas bahwa ujung pedang anak muda itu akan melukai mereka di leher seperti yang dikatakannya.
Mahisa Semu memang mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat maka pedangnya terayun mendatar. Tetapi Mahisa Semu sendiri terkejut ketika ia melihat sebuah pedang lawannya terlempar jatuh. Sambil berteriak kesakitan anak muda yang kehilangan senjatanya itu menggenggam pergelaran tangannya. Ternyata darah mengalir cukup deras.
“Cepat, rawat lukamu,” teriak Mahisa Semu, “Jika terlambat kau benar-benar akan mati kehabisan darah.”
“Aku tidak mau mati,” teriak anak muda itu.
“Ikat tanganmu agar darahnya tidak mengalir terlalu deras,” Mahisa Semu pun berteriak.
Anak muda yang pergelangan tangannya tersayat pedang itu pun telah berjongkok di luar arena. Dilepasnya ikat kepalanya untuk mengikat tangannya yang berdarah. Namun ternyata darah masih saja tetap mengalir.
Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur terus. Karena anak-anak muda yang lain telah menjadi ragu-ragu, maka Mahisa Semu menjadi semakin berbahaya bagi gegedug itu. Sehingga akhirnya gegedug yang dibanggakan oleh anak saudagar yang kaya raya dan yang sudah terluka itu melarikan diri dari arena tanpa menghiraukan apa pun lagi.
Anak saudagar kaya itu sempat melihatnya berlari. Ia pun berteriak dengan lantang, “jangan lari. Tunggu.”
Tetapi gegedug itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan sejenak kemudian, gegedug yang bertempur melawan Mahisa Pukat pun telah berlari pula.
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat memang tidak memburu gegedug yang melarikan diri itu. Bagi mereka, sikap itu telah cukup memberikan bukti bahwa gegedug itu bukan hantu yang harus ditakuti.
Ketika kedua orang gegedug itu melarikan diri, anak-anak muda itu pun menjadi semakin ragu-ragu. Namun anak saudagar kaya itu masih berteriak, “jangan beri mereka kesempatan. Jumlah kita cukup banyak untuk menghancurkan mereka.” Namun teriakan itu tidak lagi mampu membangkitkan keberanian yang cukup. Karena itu, maka anak-anak muda itu masih saja tetap ragu-ragu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun berkata kepada lawan-lawan yang mengelilinginya, “Tunggu. Aku akan mengobati kawanmu yang terluka di pergelangan. Berbahaya sekali jika darahnya tidak mau pampat.”
Anak-anak muda yang mendengarnya seakan-akan di luar sadar telah beringsut menyibak. Sementara itu Mahisa Semu berjalan dengan tenangnya mendekati anak muda yang pergelangannya terluka.
“Jangan bunuh aku,” anak muda itu ketakutan.
“Lihat pergelanganmu yang terluka. Ikat dibagian atas lukanya. Bukan pada lukanya itu sendiri,” berkata Mahisa Semu.
Tetapi darahnya memang banyak sekali mengalir. Karena itu, maka Mahisa Semu pun menjadi cemas. Dari kantung ikat pinggangnya Mahisa Semu mengambil sebuah bumbung bambu kecil berisi obat luka yang dibawanya dari padepokan Bajra Seta. Dengan obat itu yang ditaburkan sedikit pada lukanya, maka Mahisa Semu berharap bahwa luka itu akan pampat.
Ketika obat itu tertabur di atas lukanya, anak itu memang berteriak. Terasa luka itu bagaikan disentuh api. Tetapi kemudian darahnya menjadi semakin pampat, sehingga akhirnya tidak lagi mengalir dari luka itu.
“Jangan banyak bergerak,” berkata Mahisa Semu, “jika kau gerak-gerakkan tanganmu ini, maka darah pun akan keluar lagi dan sulit untuk dipampatkan.”
Anak muda itu mengangguk-angguk.
“Nah, jangan kau gantungkan tanganmu. Tekuklah pada sikumu dan pegangi pergelangan tanganmu. Tetapi jangan sampai terpijit,” pesan Mahisa Semu. Demikian darah di luka anak muda itu pampat, maka Mahisa Semu telah bersiap pula.
Sementara itu, anak saudagar kaya itu masih saja berteriak-teriak. Katanya, “Kenapa kalian diam seperti patung?”
“Ia sedang mengobati luka kawan kami,” jawab salah seorang.
“Jangan hiraukan. Bunuh selagi ia lengah,” teriak anak saudagar yang bertempur melawan anak Ki Buyut itu.
“Kawan kami akan mati pula karena darahnya mengalir terus,” teriak anak muda itu.
“Kalau perlu bunuh sekalian anak itu agar tidak mengganggu kalian,” jawab anak saudagar kaya raya itu.
Tidak ada lagi yang berteriak. Tetapi jawaban itu benar-benar membuat anak-anak muda itu sakit hati. Sehingga karena itu, maka mereka pun tidak lagi bertempur dengan sungguh-sungguh. Apalagi Mahisa Semu pun tidak lagi bersungguh-sungguh pula.
Demikian pula Mahisa Pukat. Ia bertempur tidak jauh dari anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya. Sekali-sekali Mahisa Pukat telah berloncatan mengurangi tekanan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang jumlahnya memang jauh lebih banyak itu atas anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya.
Ketika Mahisa Pukat merasa bahwa nampaknya anak Ki Buyut dan para pengawalnya mulai letih, maka ia pun mulai mendesak lawan-lawannya. Dua orang hampir berbareng telah dilukainya, meskipun tidak terlalu dalam. Namun perasaan pedih yang menggigit itu membuat mereka telah mundur dari arena. Demikian pula seorang yang lain. Kemudian seorang lagi dan seorang lagi.
Dengan demikian maka anak-anak muda itu menjadi semakin tidak berdaya. Mereka juga merasa ketakutan bahwa pada suatu saat merekalah yang terluka. Bahkan mungkin lebih parah dari kawan-kawannya yang lain. Karena itu, maka anak saudagar kaya itu semakin lama menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ada dua orang anak muda yang dengan tiba-tiba saja telah ikut campur sehingga rencananya menjadi gagal sama sekali. Ia tidak sempat menyakiti dan bahkan membuat anak Ki Buyut itu menjadi jera. Bahkan anak itu tentu akan menjadi semakin sombong menurut penilaian anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu memang tidak dapat berbuat banyak. Anak-anak muda yang dibawanya benar-benar tidak lagi mampu menguasai ketakutan mereka. Ketika sekali lagi ujung pedang Mahisa Pukat melukai seorang di antara anak muda itu, maka yang lain pun telah berloncatan surut.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara anak saudagar kaya yang bertempur melawan anak Ki Buyut itu berteriak, “Kenapa kalian menjadi ketakutan he? Hancurkan mereka.”
Tetapi anak-anak muda itu melihat darah di tubuh beberapa orang kawan mereka sehingga tubuh mereka pun menjadi gemetar. Seorang di antara kawan mereka duduk sambil menangis kesakitan. Seorang lagi merintih tidak putus-putusnya. Ada juga di antara yang telah mengalirkan darah dari tubuhnya itu masih tetap tegar dan siap untuk bertempur. Tetapi kawan-kawannyalah yang tidak lagi sanggup berbuat sesuatu. Meskipun anak saudagar kaya itu beberapa kali mengancam mereka, namun mereka tetap saja berdiri termangu-mangu meskipun di tangan mereka masih tergenggam senjata.
Yang kemudian terdengar adalah suara Mahisa Pukat, “Nah, siapa lagi di antara kalian yang ingin menjadi korban. Mungkin orang berikutnya tidak hanya terluka, tetapi terbunuh. Aku sebenarnya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk membunuh berapa pun aku mau di antara kalian. Tetapi karena aku tidak ingin melakukannya, maka kalian masih akan tetap hidup. Hanya mereka yang keras kepala sajalah yang akan aku habisi umurnya.”
Anak-anak muda itu pun menjadi semakin ketakutan, sehingga tidak lagi ada yang berani memasuki arena pertempuran. Kawan-kawan anak saudagar yang semula bertempur melawan Ki Buyut bersama pengawalnya pun telah menarik diri pula dari arena. Demikian pula orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat itu pun berkata lantang, “Nah, bukankah sebaiknya yang berkelahi itu hanya orang-orang yang berkepentingan? Dalam hal ini, anak Ki Buyut itu dengan anak Ki Saudagar kaya itu? Biarlah mereka menyelesaikan persoalan pribadi mereka berdua. Yang lain, yang tidak tahu menahu persoalannya, tidak boleh turut campur. Karena itu, siapa yang merasa tidak berkepentingan, minggir. Atau akan berhadapan dengan aku dan saudaraku.”
Suasana menjadi tegang. Anak-anak muda yang ada di tempat itu memang dicengkam oleh kebimbangan. Namun jika mereka ikut campur, maka mereka memang akan mengalami kesulitan. Anak muda yang tidak dikenal itu benar-benar mampu melakukan sebagaimana dikatakannya.
Anak saudagar kaya itu termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia memang tidak akan dapat memaksa kawan-kawannya. Namun untuk bertempur sendiri melawan anak Ki Buyut itu, ia pun menjadi ragu-ragu. Tetapi anak saudagar kaya itu sadar pula, jika ia menolak berkelahi lagi melawan anak Ki Buyut, maka ia akan menjadi bahan ejekan kawan-kawannya. Namun anak saudagar kaya itu tidak ingkar, bahwa sebelumnya ia benar-benar tidak mampu mengalahkan anak Ki Buyut itu.
Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mengulangi perkelahiannya melawan anak Ki Buyut itu seorang diri. Meskipun ia sudah dikalahkannya, namun ia berharap bahwa anak Ki Buyut itu telah menjadi letih. Namun sebenarnyalah bahwa ia sendirilah yang menjadi letih. Karena itu, ketika ia benar-benar harus berhadapan dengan anak Ki Buyut itu, maka anak saudagar kaya itu hampir-hampir tidak bertenaga lagi.
Karena itu, anak itu pun kemudian memperhitungkan, bahwa ia harus mempergunakan sisa tenaganya itu sebaik-baiknya. Ternyata ia telah mengambil satu sikap yang tidak terduga. Anak saudagar kaya itu telah mempergunakan sisa tenaganya itu untuk melarikan diri. Tanpa menghiraukan kawan-kawannya, maka anak saudagar kaya itu pun segera meloncat melarikan diri.
Mahisa Semu sudah siap untuk menyusulnya. Namun Mahisa Pukat berkata, “Sudahlah. Jangan kau kejar anak itu. Ia berlari dengan sangat ketakutan. Jika kau masih juga mengejarnya, maka anak itu akan mati ketakutan.”
Mahisa Semu memang urung meloncat mengejar anak saudagar kaya raya itu. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berdiri berhadapan dengan anak-anak muda yang menjadi ragu-ragu dan cemas akan nasib diri mereka sendiri. Jika anak muda itu ternyata anak muda yang garang, maka mereka akan mengalami nasib buruk.
Tetapi Mahisa Pukat tidak berbuat apa-apa. Demikian pula kepada para pengawal anak saudagar kaya itu. Orang yang bertubuh tinggi tegap yang telah duduk di tanah dengan jantung yang berdebaran juga tidak mengalami perlakuan yang kasar.
Kepada anak-anak itu ia berkata, “Rawat gegedug yang agak parah itu. Demikian pula kawan-kawanmu yang terluka. Namun pada kali lain, kalian jangan menyurukkan diri ke dalam kesulitan seperti ini. Untunglah aku dan saudaraku lagi sabar, jika kami sedang dalam genggaman kesulitan hidup, maka sikap kami akan berbeda.”
Anak-anak muda yang masih tinggal itu menjadi sangat gelisah. Tetapi ternyata bahwa kedua orang anak muda yang tiba-tiba saja telah hadir dan melibatkan diri itu memang tidak mengambil tindakan apa-apa sebagaimana mereka katakan. Mereka nampaknya memang bukan orang-orang yang garang dan kasar sebagaimana gegedug yang telah mereka kalahkan itu.
Dalam pada itu maka sekali lagi Mahisa Pukat berkata, “Tinggalkan tempat ini. Rawat kawan-kawanmu yang terluka. Bawa gegedug serta kawan-kawanmu yang luka itu ke rumah anak saudagar kaya yang tamak tetapi ternyata sangat licik itu. Aku harap anak muda itu bertanggung jawab.”
Namun tiba-tiba salah seorang anak muda itu berkata, “Bagaimana jika anak Ki Saudagar itu justru marah dan menghukum kami.”
“Bagaimana mungkin hal itu dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ia sangat keras dan kasar,” jawab anak muda yang lain.
“Bukankah ia seorang diri? Apakah seorang diri ia dapat menghukum kalian semuanya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ia mempunyai uang. Ia dapat mengupah orang untuk menghukum kami,” sahut anak muda itu.
“Dan kalian diam saja? Membiarkan diri kalian dihukum? Dicambuk atau diikat di halaman dibawah terik matahari atau lukuman apa?” bertanya Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian yang lain menjawab, “Pernah terjadi kawan kami yang dianggapnya bersalah diikat di belakang seekor kuda yang kemudian berlari-lari di padang rumput. Hanya beberapa saat. Tetapi tubuhnya telah penuh dengan luka-luka. Ketika kemudian tali ikatannya dibuka anak itu sudah tidak dapat berdiri.”
“Saat itu apa yang kalian lakukan? Menonton? Atau kalian justru ikut menghukumnya? Apa? Apa yang kalian lakukan? Kalian semuanya tentu tidak mencegah hal itu terjadi. Kalian merasa ikut senang melihat hukuman itu terjadi karena jiwa kalian tidak lebih dari jiwa budak yang rendah, yang nilainya tidak lebih dari upah yang pernah kalian terima. Nah, jika sejak hari ini kalian bersatu dan memantapkan diri menjadi anak muda yang mempunyai harga diri, maka anak itu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia membentak, kalian semuanya harus membentak. Jika anak itu memukul seorang di antara kalian, maka kalian semuanya memukul. Tetapi jika ada satu saja di antara kalian yang berkhianat terhadap kawan-kawan kalian dan kembali ke jiwa budak yang rendah, maka kalian memang akan kembali mengalami masa yang buram. Hidup kalian akan selalu dibawah bayang-bayang anak muda itu dengan uang dan kekayaannya yang melimpah.”
Anak-anak itu mulai berpikir tentang sikap mereka selama itu. Mereka seakan-akan memang selalu berada di bawah bayangan uang anak saudagar kaya itu. Kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Bagaimana dengan sikap Ki Buyut?”
“Ki Buyut tidak pernah menunjukkan sikap yang tegas. Yang berkuasa di Kabuyutan kami agaknya memang bukan Ki Buyut. Tetapi saudagar yang kaya raya itu,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Jika demikian, maka kalian semuanya sebaiknya datang ke rumah Ki Buyut dan menyampaikan permohonan agar Ki Buyut bersedia menjadi pemimpin sejati bagi Kabuyutan kalian,” berkata Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Dari wajah mereka Mahisa Pukat dapat membaca, bahwa agaknya Ki Buyut sukar untuk merubah sikapnya. Agaknya sudah terlalu lama Ki Buyut dibayangi oleh kekuasaan uang yang ditaburkan oleh saudagar kaya itu.
“Anak-anak muda,” berkata Mahisa Pukat, “jika demikian, maka adalah saatnya kalian berbuat sesuatu. Anak-anak muda adalah citra masa depan Kabuyutan kalian. Jika kalian mulai sekarang sudah dibayangi dengan uang, maka kelak, siapa- pun yang akan memegang jabatan di Kabuyutan ini, akan selalu dibayangi oleh kekuasaan uang itu pula. Karena itu, kalianlah yang harus merubah keadaan. Kalian wajib menentukan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kehendak kalian. Jika kalian bersikap tegas dalam persatuan yang kokoh, maka kalian tentu akan berhasil.”
“Kami yang ada di sini belum seluruh kekuatan anak-anak muda Kabuyutan. Mungkin kawan-kawan kami masih ada yang dapat diperintah dengan uang oleh anak Ki Saudagar itu,” berkata salah seorang anak muda.
“Kalian harus bertindak cepat. Demikian kalian nanti kembali ke padukuhan, hubungi kawan-kawan kalian. Hubungi Ki Buyut dan tentukan langkah-langkah berikutnya. Jika ternyata masih ada anak-anak muda yang menjual harga dirinya, maka kalian dapat memaksa mereka dengan kekerasan. Jika kalian mengalami kesulitan, maka anak Ki Buyut ini tentu akan bersedia membantu kalian,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku tidak berkeberatan,” sahut anak Ki Buyut, “aku sebenarnya juga ingin menawarkan bantuan itu, tetapi aku tidak mendapat kesempatan untuk berbicara.”
“Terima kasih,” beberapa orang anak muda yang semula membantu anak Ki Saudagar itu berbareng menjawab. Nampaknya mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang nampaknya letih tua dari kawan-kawannya berkata, “Tetapi ingat. Ki Saudagar itu sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi. Sebagai seorang yang pekerjaannya menempuh perjalanan dari tempat ke tempat dari Kabuyutan ke Kabuyutan, maka ia adalah seorang yang berilmu tinggi.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia pun teringat kepada ayahnya, yang juga seorang yang berjual beli wesi aji, batu-batu akik dan permata yang datang dari satu tempat ke tempat lain. Ayahnya pun memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dirinya serta barang-barang yang diperjual belikan itu.
“Mungkin Ki Saudagar juga memiliki kemampuan seperti ayah,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu, anak Ki Buyut itu pun berkata, “Jika Ki Saudagar ikut campur, maka biarlah ayahku juga ikut campur.”
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun bagi mereka, baik Ki Saudagar maupun Ki Buyut akan dapat menjadi berbahaya. Untuk waktu yang lama, Ki Buyut seakan-akan memang bekerja untuk saudagar itu serta mengabaikan kepentingan orang banyak. Seolah-olah Ki Buyut itu memang hanya mengabdi kepada Ki Saudagar itu saja.
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda itu masih diombang-ambingkan oleh keragu-raguan mereka terhadap Ki Buyut serta kekuasaan yang sangat besar dari saudagar yang kaya raya itu, maka jantung mereka bagaikan berhenti berdetak ketika mereka melihat tiga orang yang berjalan dengan tergesa-gesa ke arah mereka.
Ketiganya adalah Ki Buyut, saudagar yang kaya raya itu dan di belakang mereka adalah anak Ki Saudagar yang telah melarikan diri dari arena. Seorang dari antara anak-anak muda itu berdesis, “Itu adalah Ki Saudagar serta Ki Buyut sendiri.”
“Satu kesempatan,” berkata Mahisa Pukat, “tentukan sikap dan katakan kepada mereka.”
Tetapi anak-anak muda yang semula nampak lebih berani bersikap, justru ketika Ki Buyut dan saudagar kaya itu datang, jantung mereka menjadi berkerut kembali.
Sebelum ketiga orang itu sampai ke bekas arena pertempuran itu, Ki Saudagar telah berteriak, “Di mana anak yang sombong, yang telah dengan licik menghina anak-anak muda sekabuyutan kami.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun semua orang tahu, bahwa yang dimaksud adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Karena itu, maka semua orang telah berpaling ke arah mereka berdua. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun menyadari, bahwa mereka berdua akan menjadi pusar kemarahan Ki Saudagar. Tetapi apa boleh buat.
Sebenarnyalah, ketika saudagar kaya itu sudah berdiri di antara beberapa orang anak muda yang kebingungan itu, maka anaknya pun berkata, “Kedua orang itulah yang telah menghina kami ayah.”
“Bagus,” berkata Ki Saudagar, “aku harus membuat mereka menjadi jera. Aku harus menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang tidak terkalahkan di dunia ini.”
“Sama sekali tidak Ki Saudagar,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “apa yang aku lakukan di sini adalah sekedar membantu anak-anak muda yang mengalami perlakuan licik dari anakmu dan kawan-kawannya.”
“Bohong,” teriak anak saudagar kaya itu, “ia telah menghina aku dan kawan-kawanku.”
“Bertanyalah kepada setiap orang,” desis Mahisa Pukat.
Ki Saudagar itu pun memandang berkeliling. Tiba-tiba saja ia mendekati seorang anak muda. Mencengkam pundaknya sambil bertanya, “Siapakah yang licik dan sombong? Katakan. Anakku atau anak-anak muda itu?”
Anak muda yang dicengkam pundaknya itu menjadi sangat ketakutan. Seandainya saat itu ia dicekik sampai mati, tidak akan ada orang yang berani menuntut. Karena itu, ketika cengkaman di pundaknya itu menjadi semakin keras, ia pun menjawab dengan suara bergetar, “Yang licik adalah kedua orang anak muda itu.”
Mahisa Pukat tiba-tiba tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku tidak menyalahkan kau. Kau sudah lama berada di bawah bayangan kuasanya. Kau tentu tidak dapat dengan serta merta melepaskannya begitu saja.”
“Setan kau,” geram Ki Buyut, “kenapa kau membuat daerahku menjadi kisruh. Tanpa kau berdua, Kabuyutan ini adalah Kabuyutan yang tenang. Tetapi setelah kau berdua datang, maka Kabuyutan ini telah menjadi kacau sehingga nampaknya telah terjadi perkelahian.”
“Paman,” berkata anak Ki Buyut seberang jalan, “paman jangan berpura-pura. Paman tentu mengenal aku. Kenapa paman tidak bertanya kepadaku, apa yang telah terjadi di sini.”
“Kembalilah ke seberang jalan ngger. Jangan ikut campur. Aku tidak akan menganggapmu ikut bersalah. Justru karena aku mengenal orang tuamu. Buyut dari Kabuyutan di seberang jalan.”
“Aku akan mendudukkan persoalannya pada keadaan yang sewajarnya, paman,” berkata anak Ki Buyut itu, “nanti paman akan dapat menilai apa yang sesungguhnya telah terjadi di sini.” “Kau akan memfitnah anakku, he,” geram Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu menjawab, “fitnah dan kenyataan itu lain.”
Namun dalam pada itu, saudagar kaya itu pun berkata kepada Ki Buyut, “Usir anak itu Ki Buyut. Ia memang anak seorang Buyut, tetapi bukan Kabuyutan ini. Ia adalah anak seorang Buyut di Kabuyutan seberang.”
“Sekali lagi aku persilahkan kau pergi ngger,” berkata Ki Buyut.
“Paman,” jawab anak itu, “yang mempunyai persoalan di sini adalah aku dan anak Ki Saudagar itu. Bukan kedua orang anak muda yang paman tuduh telah mengacaukan keadaan. Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan anak Ki Saudagar itu.”
“Cukup,” bentak Ki Saudagar, “jika kau masih tetap memfitnah anakku, maka aku akan dapat mencekikmu. Aku tidak takut meskipun ayahmu seorang Buyut sekalipun.”
“Soalnya bukan takut atau tidak takut,” jawab anak Ki Buyut itu, “tetapi kita harus mencari kebenaran. Apakah yang sudah terjadi di sini.”
“Tutup mulut. Atau aku akan menyumbat mulutmu dengan batu?” teriak saudagar kaya itu.
Namun keadaan menjadi semakin tegang, ketika mereka melihat dari seberang jalan beberapa orang telah berdatangan. Di antara mereka adalah Ki Buyut dari Kabuyutan seberang jalan.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut, “aku mendapat laporan, bahwa anakku telah berkelahi di sini.”
“Ya. Anakmu telah menyerang anak-anak muda dari Kabuyutan kami,” jawab Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu berkata, “Bukankah ayah sudah mengenal Ki Saudagar ini? Apakah ayah percaya akan kata-katanya?”
“Aku bertanya kepadamu, apakah yang telah terjadi?” bertanya Ki Buyut kepada anaknya.
“Aku telah berkelahi dengan anak Ki Saudagar itu apa pun sebabnya. Tetapi dengan licik ia meninggalkan arena dan memanggil ayahnya,” jawab anak Ki Buyut.
“Kenapa kau tidak memanggil aku?” bertanya Ki Buyut.
“Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang-orang tua. Biarlah persoalan kami kami selesaikan sendiri,” jawab anak Ki Buyut.
“Tetapi ia sudah memanggil ayahnya dan Ki Buyut seberang itu pula. Untung ada yang memberitahukan kepadaku apa yang terjadi di sini,” geram Ki Buyut itu.
“Jadi Ki Buyut berniat untuk melindungi anak Ki Buyut yang telah memfitnah anakku he?” bertanya Ki Saudagar.
“Setiap orang tua anak selalu melindungi anak-anaknya. Dan aku pun akan berbuat demikian,” jawab Ki Buyut.
“Meskipun anakmu bersalah dan bahkan melakukan kejahatan?” bertanya Ki Saudagar.
“Kalau itu terbukti, tentu saja tidak. Setiap orang tua akan memberikan sedikit hukuman kepada anaknya yang bersalah dan bahkan melakukan kejahatan. Aku pun akan berbuat demikian dan Ki Saudagar pun sebaiknya berbuat seperti itu pula,” sahut Ki Buyut.
Ki Saudagar itu pun termangu-mangu. Ia tahu bahwa anaknya memang sering melakukan kesalahan-kesalahan. Tetapi ia tidak pernah menghukumnya atau sedikit memberikan pelajaran kepadanya. Bahkan setiap kali Ki Saudagar itu selalu melindungi anaknya apa pun yang diperbuatnya. Apalagi Ki Saudagar itu merasa bahwa ia memiliki uang untuk menyebarkan pengaruhnya, selebihnya ia pun termasuk seorang yang berilmu tinggi.
Namun ternyata sejenak kemudian ia pun berkata, “Anakku adalah seorang anak penurut. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat mengganggu orang lain. Karena itu, tentu anakmulah yang mendahului menimbulkan persoalan di sini, yang sudah bukan daerahmu.”
“Marilah, kita akan melihat kebenaran,” jawab Ki Buyut.
“Aku akan menjadi saksi,” berkata Mahisa Pukat tiba-tiba, “anak Ki Saudagar itulah yang lebih dahulu menantang. Anak Ki Buyut sedang makan di kedai itu bersama kami berdua. Kami memang belum mengenalnya waktu itu. Namun kami melihat orang yang bertubuh raksasa itu datang memanggilnya. Maka perkelahian pun terjadi.”
“Kau jangan membual,” bentak anak Ki Saudagar.
Namun Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Katanya, “Tetapi jika kita biarkan anak Ki Saudagar itu berkelahi melawan anak Ki Buyut, maka anak Ki Saudagar itu akan kalah. Dan itu terbukti. Anak Ki Saudagar kalah dan melarikan diri dari arena, tetapi yang kemudian datang bersama ayahnya dan Ki Buyut.”
“Cukup,” bentak Ki Saudagar, “aku dapat menyumbat mulutmu.”
“Kau kira aku tidak dapat menyumbat mulutmu dengan hulu pedangku ini he?” Mahisa Pukat pun membentak. Bahkan kemudian katanya dengan suara lantang, “kau kira uangmu dan kemampuan ilmumu akan dapat menyembunyikan kenyataan? Aku menjadi muak melihat tampangmu dan caramu mengelabui orang lain untuk melindungi anakmu. Untuk melindungi kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukannya. Tanpa kau sadari kau ajari anakmu menjadi pengecut yang licik yang tidak akan dapat berdiri di atas keyakinan dirinya sendiri.”
“Diam,” saudagar itu berteriak. Kemarahannya sudah memanjat sampai ubun-ubunnya, “Kau siapa he? Kenapa kau berani mengumpatiku? Agaknya kau belum tahu siapa aku?”
Tetapi Mahisa Pukat pun telah benar-benar menjadi muak melihat kelicikan saudagar kaya itu. Karena itu, maka ia pun menjawab tidak kalah lantangnya, “Siapa pun aku, tetapi aku tidak senang melihat kau dan anakmu yang sangat licik itu memfitnah orang lain. Aku tahu dan melihat sendiri apa yang terjadi di sini. Karena itu, maka sebelum kau menyesal, ambil anakmu, bahwa ia pulang dan kau harus menghukumnya, agar pada kesempatan lain ia tidak bertindak begitu licik, pengecut dan tidak tahu diri.”
Wajah saudagar kaya itu menjadi merah. Dengan suara yang bergetar menahan kemarahannya ia berkata, “Kau kira aku hanya dapat mengupah orang untuk membungkam mulutmu? Tidak. Aku sendiri akan dapat melakukannya. Jangan menyesal. Orang-orang yang ada di tempat ini sekarang akan menjadi saksi, bahwa bukan akulah yang telah memulainya. Tetapi kau. Anak ingusan yang tidak tahu diri. Betapa pun tinggi ilmumu, tetapi kau yang baru pandai berjalan kemarin sore telah berani menghina orang tua.”
“Kau lebih dahulu menghina aku,” geram Mahisa Pukat.
“Persetan semuanya. Bersiaplah. Aku akan menghajarmu agar kau dapat berbuat lebih sopan terhadap orang-orang tua,” geram saudagar kaya itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, ia justru telah menyarungkan pedangnya karena Saudagar kaya itu tidak bersenjata.
Tetapi saudagar itu tidak begitu memperhatikan pedang Mahisa Pukat. Kemarahannya tidak lagi memberinya kesempatan untuk memperhatikan apa pun juga, selain wajah anak muda yang ingin diremasnya itu.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa saudagar itu tentu benar-benar memiliki bekal ilmu yang tinggi. Karena itu ia tidak akan dapat menganggapnya sebagai lawan yang akan sangat mudah di atasinya. Bahkan mungkin, ia akan menghadapi kesulitan karena ilmu lawannya yang lebih tinggi daripadanya.
Tetapi Mahisa Pukat memang tidak ingin membiarkan sikap yang semena-mena itu. Setidak-tidaknya yang dilakukan itu merupakan satu peringatan, bahwa tidak semua orang begitu saja tunduk dan pasrah atas segala langkah yang diambilnya.
Saudagar yang marah itu ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan garangnya ia mulai menyerang. Meskipun saudagar itu juga memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya yang muda itu mempunyai bekal ilmu, namun menilik umurnya maka saudagar itu menganggap bahwa ilmunya tentu belum terlalu matang.
Tetapi serangan pertama itu, sama sekali tidak dapat menyentuh sasarannya. Ketika saudagar itu melihat lawannya yang muda itu bergeser menghindar, saudagar itu menggeliat menggapai sasaran. Tetapi anak muda itu dengan cepat pula mampu menghindar lagi.
“Anak iblis,” saudagar itu mengumpat. Tiba-tiba saja ia sudah melompat. Kakinya terangkat tinggi, mengarah ke dada Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat telah memiringkan tubuhnya. Dengan tangan kiri ia menekan kaki yang terjulur itu ke samping. Cukup keras sehingga saudagar itu terputar setengah lingkaran. Namun dengan itu maka dengan satu putaran, tangannya telah terayun mendatar menyambar kening.
Memang hampir saja keningnya dapat disentuh oleh serangan saudagar kaya itu. Tetapi ternyata Mahisa Pukat memang cukup tangkas. Sambil menarik satu kakinya surut, Mahisa Pukat memiringkan kepalanya sehingga keningnya luput dari sambaran tangan saudagar itu.
Sementara itu, sebelum saudagar itu siap mengatur serangan berikutnya, Mahisa Pukat lah yang justru menyerangnya. Kaki anak muda itu berputar menebas lambung. Tetapi saudagar itu- pun masih mampu menghindarinya pula. Namun Mahisa Pukat justru memburunya. Satu loncatan panjang dengan kaki menyamping. Begitu cepat menggapai dada, sehingga saudagar itu justru meloncat selangkah surut.
Pertempuran yang baru sejenak itu, membuat saudagar kaya itu semakin marah. Ternyata anak muda itu memang memiliki bekal ilmu yang cukup tinggi.
Sementara Ki Saudagar bertempur melawan Mahisa Pukat, Ki Buyut yang menguasai lingkungan arena perkelahian itu mulai bergeser mendekati arena. Namun Ki Buyut dari seberang jalan justru berkata, “Sudahlah Ki Buyut. Sebaiknya kita menjadi penonton yang baik. Jika kita melibatkan diri, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk. Kabuyutan kita akan saling bermusuhan. Di mana pun orang dari lingkungan Ki Buyut bertemu dengan orang dari lingkunganku, tentu akan berkelahi. Karena itu, sebaiknya kita tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Kewajiban kita adalah justru memisahkan mereka yang berkelahi, jika mereka bersedia.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Buyut seberang jalan, sehingga karena itu, maka ia pun masih saja berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing yang menjajagi kemampuan lawannya, telah mulai meningkatkan ilmunya ke tataran yang semakin lama menjadi semakin tinggi.
Namun saudagar kaya itu pun menjadi semakin heran pula terhadap lawannya yang masih muda itu. Sebagai seorang saudagar yang terbiasa berkeliling dari satu ke tempat yang lain, ia memiliki pengalaman yang luas. Namun di rumahnya sendiri, tiba-tiba saja telah bertemu dengan seorang anak muda yang mampu bertahan terhadap ilmunya untuk beberapa lama. Bahkan meskipun ia mulai meningkatkan ilmunya, anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya.
Ki Saudagar mengumpat kasar. Sementara Mahisa Pukat telah meningkatkan ilmunya pula sehingga saudagar kaya itu tidak segera mampu mengalahkannya.
Dalam pada itu, kedua orang Buyut yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari, bahwa kedua orang yang bertempur itu telah mulai melepaskan kemampuan ilmu masing-masing. Ki Saudagar tidak sekedar bertempur dengan kekuatan wadagnya. Tetapi ia mulai melepaskan tenaga cadangan di dalam dirinya pula.
Namun demikian, anak muda yang melawannya itu tidak segera terlempar dari arena dan jatuh terbanting di tanah. Tetapi anak muda itu masih juga selalu mengimbanginya. Seakan-akan seberapa kekuatan dan kemampuan Ki Saudagar meningkat, anak muda itu pun mampu mengimbanginya pula.
Anak saudagar kaya serta anak Ki Buyut di seberang jalan itu pun termangu-mangu pula. Anak saudagar kaya yang terlalu yakin akan kelebihan ayahnya sehingga membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang didukung oleh kekayaan yang melimpah, menjadi cemas melihat pertempuran itu.
Ia tidak melihat ayahnya mendesak anak muda itu. Memburunya, memukulnya habis-habisan sehingga anak itu menjadi pingsan. Tetapi beberapa kali justru ayahnya harus berloncatan menghindari serangan lawannya yang cepat dan berbahaya. Sehingga dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu pun nampaknya saling mendesak dan saling menghindar.
Namun bagi Mahisa Semu, pertempuran itu masih baru berada pada tataran yang paling bawah. Mahisa Pukat masih akan dapat meningkatkan kemampuannya berlapis-lapis jika ia menghendaki.
Tetapi saudagar itu pun masih belum memanjat pada tataran tertinggi dari ilmunya. Ia masih meningkatkan tataran kemampuan selapis demi selapis, sehingga demikian, saudagar itu ingin mengetahuinya, sampai lapisan yang manakah kemampuan anak muda yang telah berani menghinanya itu.
Namun lapis demi lapis sudah dilaluinya, anak muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan anak muda itu semakin lama justru menjadi semakin garang. Saudagar itu mulai menjadi gelisah. Ia tidak lagi dapat menganggap anak muda itu sebagai anak ingusan. Bahkan ia mulai cemas bahwa ia akan mengalami kesulitan menghadapi-nya.
“Anak ini memang aneh,” berkata saudagar itu di dalam hatinya.
Dengan demikian, saudagar itu menjadi tidak sabar lagi. Ia tidak lagi meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Dalam kegelisahannya, ia langsung ingin mengetahui, apakah ia akan dapat mengalahkan anak muda itu atau tidak.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja serangan saudagar itu menghentak mendesak Mahisa Pukat. Beberapa langkah Mahisa Pukat meloncat surut. Ia tidak siap menghadapi serangan yang tiba-tiba saja dilontarkan dengan segenap tenaga dan kemampuan. Bahkan telah mengangkat segenap tenaga di dalam dirinya.
Namun ternyata bahwa saudagar kaya itu masih harus mengumpat. Mahisa Pukat yang meloncat beberapa langkah surut itu dengan cepat menyesuaikan dirinya. Ia pun telah meningkatkan ilmunya mengimbangi kemampuan saudagar itu. Bahkan Mahisa Pukat yang menyadari, bahwa saudagar itu ingin segera menghabisinya, maka ia pun telah berusaha mendesaknya pula. Mahisa Pukat pun ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat pun harus menghadapi satu kekuatan ilmu yang tinggi. Saudagar yang menyadari, bahwa kekuatan dan kemampuannya tidak akan mampu mengatasi lawannya yang muda itu, maka ia pun telah membangunkan ilmu pamungkasnya. Dengan tangkasnya saudagar itu telah mengambil jarak. Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya terjulur ke depan, namun kemudian kedua telapak tangannya pun dikatubkannya.
Saudagar itu pun kemudian maju selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Pukat yang termangu-mangu. Kedua telapak tangan yang dikatubkannya itu pun kemudian digerakkannya. Kedua telapak tangan itu saling menggosok perlahan-lahan. Mahisa Pukat melihat asap tipis mengepul dari antara kedua tangan saudagar kaya itu. Bahkan kemudian tangan saudagar itu semakin lama menjadi semakin merah membara.
Semua orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar. Anak Ki Buyut itu pun menjadi gelisah. Anak muda itu turun ke gelanggang sekedar membantunya. Namun ia lah yang kemudian akan mengalami bencana yang paling berat. Jika tangan yang membawa itu menyentuh tubuhnya, maka bagian tubuh itu pun akan menjadi hangus karenanya, sebagaimana kulit yang tersentuh bara api yang panasnya melampaui bara api tempurung kelapa.
Tetapi anak Ki Buyut itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa bahwa ia pun tidak akan dapat menahan ilmu yang mengerikan itu. Bahkan ayahnya pun tidak. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah melawan saudagar kaya itu bersama-sama. Namun, di tempat itu ada pula ki Buyut dari sebelah justru yang menguasai lingkungan tempat pertempuran itu terjadi. Jika ia ikut campur dengan beberapa orang yang ada, maka orang-orang Kabuyutanya pun akan ikut campur pula.
Dengan demikian maka anak Ki Buyut itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Tetapi ternyata pertempuran itu segera berakhir. Mahisa Semu memang menjadi berdebar-debar pula melihat tangan yang merah membara. Tetapi ia tidak begitu yakin, bahwa tangan yang membara itu akan mampu menyentuh tubuh Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat sendiri memang tidak menjadi gelisah melihat ilmu yang menggetarkan itu. Baginya, ilmu itu masih belum berada di luar kemungkinan untuk melawannya. Namun Mahisa Pukat masih tidak ingin menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh. Ia pun tidak mempergunakan ilmu yang dapat menghisap kekuatan ilmu lawannya yang bertangan bara itu. Karena setiap sentuhan akan berarti kulitnya yang tersentuh akan menjadi hangus.
Karena itu, maka untuk melawan ilmu lawannya yang kemudian bertangan bara itu adalah pedangnya. Sesaat kemudian, Mahisa Pukat itu pun telah menggenggam pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.
“Pedangmu akan luluh menjadi gelali,” geram saudagar kaya itu.
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun ia pun kemudian yakin akan kemampuan pedangnya. Pedangnya bukan sekedar pedang yang dibuat oleh pande besi di pinggir-pinggir pasar yang barangkali memang akan dapat luluh terkena bara yang panasnya melampaui bara tempurung kelapa itu. Tetapi Mahisa Pukat bukan saja pernah menghadapi ilmu seperti itu. Tetapi bahkan dari orang yang tangannya membara itu terpancar panasnya api bagaikan perapian.
Namun saudagar kaya itu tidak memiliki kelengkapan ilmu yang demikian. Ia hanya dapat menjadikan tangannya merah membara. Dalam pertempuran selanjutnya, dengan sengaja saudagar kaya itu telah menyentuh ranting-ranting pepohonan perdu yang tumbuh di sekitar arena pertempuran. Asap pun mengepul dan ranting-ranting itu menjadi hangus berpatahan.
Tetapi Mahisa Pukat bukan sebangsa ranting perdu. Karena itu maka tangan saudagar kaya itu tidak dengan serta merta mampu menggapainya sebagaimana ia menggapai ranting-ranting perdu itu. Bahkan sejenak kemudian, maka pedang Mahisa Pukat pun telah berputaran. Semakin cepat semakin cepat, sehingga menjadi segulung warna kehijauan yang bergerak di sekitar Ki saudagar itu.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ki Saudagar dengan ilmunya berusaha untuk benar-benar membunuh Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat ternyata memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga saudagar kaya yang tangannya membara itu tidak sempat menyentuhnya. Tetapi saudagar kaya itu yakin, jika ia berhasil menyentuh pedang Mahisa Pukat, maka pedang itu tentu akan luluh oleh panasnya bara api pada tangannya itu.
Mahisa Pukat yang yakin pula akan kelebihan pedangnya, justru telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyentuh pedangnya. Ketika Mahisa Pukat berusaha untuk menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedangnya, maka ia tidak segera menarik pedangnya yang terjulur itu. Dengan serta merta saudagar kaya itu telah menjepit daun pedang itu dengan kedua telapak tangannya yang membara. Demikian kuatnya, sehingga Mahisa Pukat tidak segera mampu menariknya.
Tetapi Mahisa Pukat memang tidak tergesa-gesa. Ia sama sekali tidak mencemaskan daun pedangnya. Betapa pun panasnya tangan saudagar yang membara itu, namun pedangnya sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Bahkan sebenarnya Mahisa Pukat mendapat kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk menghisap kekuatan Ki Saudagar saat ia berusaha menjepit daun pedangnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak melakukannya.
Jika saudagar itu kehilangan kekuatan dan ilmunya, maka pertempuran pun akan berakhir. Mahisa Pukat tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apa pun juga terhadap saudagar itu jika ia kemudian jatuh di tanah dengan lemahnya. Karena itu, maka untuk beberapa saat Mahisa Pukat membiarkan lawannya menjepit daun pedangnya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah yakin bahwa tanganmu tidak mampu meluluhkan baja pedangku.”
“Persetan kau,” geram saudagar itu.
Demikian ia yakin bahwa pedang anak muda itu tidak luluh oleh ilmunya, maka dengan serta merta ia pun telah melepaskannya dan meloncat menyerang tubuh Mahisa Pukat dengan telapak tangannya. Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap. Karena itu, maka demikian pedangnya terlepas, maka ia pun telah menggerakkan ujung pedangnya itu.
Terdengar keluhan tertahan. Saudara kaya itu pun telah melenting surut beberapa langkah. Ternyata bahwa segores luka telah menganga di lengannya sebelah kiri. Saudagar kaya itu kemudian telah mengumpat kasar. Darah telah mengalir dari lukanya.
“Kau akan menyesal atas kesombonganmu,” katanya kemudian.
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata, “Nah. Kau telah terluka. Pikirkan baik-baik apakah kau akan menyerah atau tidak.”
Saudagar kaya itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia telah menyerang Mahisa Pukat pula. Namun seperti serangan-serangan sebelumnya, tangannya yang membara itu sama sekali tidak dapat menyentuh kulit anak muda itu. Sementara itu pedang Mahisa Pukat pun telah berputaran pula semakin cepat.
Betapa pun saudagar kaya itu mempercepat irama serangan-serangannya, namun ia tidak mampu bergerak lebih cepat melampaui ujung pedang Mahisa Pukat. Setiap kali, seakan-akan ujung pedang itu telah menahan tata geraknya. Disaat-saat ia meloncat menyerang, maka ujung pedang itu selalu menghadang. Bahkan kemudian mematuk ke arah dada saudagar kaya itu, atau menebas ke arah lehernya.
Beberapa kali saudagar itulah yang hampir saja tersentuh oleh ujung senjata lawannya. Tetapi tangannya yang bagaikan membara itu sama sekali tidak mampu menggapai kulit anak muda itu. Apalagi setelah ia yakin, bahwa panas ilmunya tidak mampu meluluhkan duan pedang Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah saudagar kaya itu semakin lama semakin terdesak. Mahisa Pukat yang memang menjadi marah atas tingkah laku saudagar kaya itu sengaja mendesaknya terus. Meskipun beberapa kali saudagar kaya itu meloncat menghindar, namun ujung pedang Mahisa Pukat seakan-akan selalu memburunya. Seperti seekor lalat yang berterbangan. Sekali-sekali hingga ke kulit saudagar kaya itu. Ki Saudagar berteriak semakin marah, ketika sekali lagi kulitnya tergores ujung pedang. Tepat pada pundak kirinya. Sehingga luka itu terasa betapa pedihnya.
Sambil memburu terus Mahisa Pukat masih juga menawarkan agar Saudagar itu menyerah. Tetapi tawaran itu sama sekali tidak dihiraukannya. Ia tentu akan merasa sangat terhina, jika saudagar kaya itu, meskipun telah menghentakkan ilmunya yang dapat membuat tangannya membara, namun sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang anak muda dengan senjata pedangnya, tetapi satu kenyataan bahwa ia memang tidak mampu menembus pertahanan Mahisa Pukat dengan putaran pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Ki Buyut dari seberang jalan yang mengikuti pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak muda itu ternyata adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”
Anaknya yang mendengar kata-kata itu berdesis, “Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat aku dapat melihat orang-orang berilmu tinggi bertempur dengan mengerahkan ilmu mereka.”
“Ki Saudagar itu juga berilmu tinggi. Tetapi anak muda itu jauh melampauinya. Nampaknya ia sama sekali tidak mengalami kesulitan, sementara Ki Saudagar telah mengerahkan ilmunya yang dibanggakannya. Selain bagi anak muda itu, maka ilmu saudagar itu benar-benar ilmu yang sangat berbahaya. Jika saudagar kaya itu benar-benar marah, maka biasanya telapak tangan dengan ilmu yang demikian itu akan membekas di dada. Seakan-akan di dada lawannya itu telah dibuat lukisan telapak tangan yang membara itu, karena kulitnya yang terbakar. Tetapi yang kini terjadi, adalah kulit saudagar itulah yang dilukisi dengan goresan-goresan saling menyilang dengan ujung pedang.”
Sebenarnyalah Ki Saudagar itu berteriak marah sekali ketika pedang Mahisa Pukat menggores dadanya dan meninggalkan goresan menyilang. Tidak cukup dalam untuk menghentikan perlawanan Ki Saudagar. Tetapi goresan itu membuat jantung Ki Saudagar menjadi bagaikan pecah oleh kemarahan yang menghentak.
Tetapi saudagar kaya itu tidak dapat lari dari kenyataan. Ia tidak dapat menyalurkan kemarahannya itu lewat ilmunya. Ia benar-benar tidak mampu menyentuh kulit lawannya yang masih muda itu. Setiap kali ujung pedang lawannya itu telah menghadang. Bahkan ketika ia terlanjur meloncat menerkam ke arah wajah lawannya, pedang itu hampir saja terhunjam di dadanya. Namun ia masih sempat menggeliat menghindari ujung pedang yang tiba-tiba menunggu loncatannya itu.
Namun beberapa saat kemudian, maka sekali lagi ujung pedang lawannya yapg muda itu melukainya. Daging pahanya telah menganga oleh ujung pedang Mahisa Pukat yang tajamnya melampaui ujung duri landak yang buas. Ki Saudagar itu meloncat surut. Darah telah melumuri seluruh tubuhnya bercampur dengan keringat yang bagaikan terperas dari tubuhnya.
Tetapi ia tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan ia benar-benar tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa tubuhnya telah terluka dibeberapa tempat. Darahnya telah banyak mengalir dan sama sekali tidak ada harapan untuk dapat memenangkan pertempuran itu.
Sementara itu, anak Ki Saudagar itu beberapa kali telah mengumpat kasar. Tetapi ia pun harus melihat kenyataan itu pula. Ayahnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi seorang anak muda yang begitu saja hadir dalam perkelahian itu. Anak muda yang kebetulan berada di kedai tempat anak Ki Buyut itu juga singgah untuk menunggunya.
Tetapi anak saudagar itu pun tidak dapat berbuat apa-apa pula. Ia hanya dapat menyaksikan, bagaimana ayahnya mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Bahkan kemudian dengan jantung yang berdebaran ia harus menyaksikan betapa keringat ayahnya telah bercampur dengan darah.
Namun akhirnya, tenaga Ki Saudagar itu pun menjadi semakin susut. Bukan karena kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang mampu menghisap kekuatan dan ilmu lawannya, tetapi karena darah yang semakin banyak mengalir dari luka-lukanya. Telapak tangan saudagar kaya itu masih merah membara. Tetapi semakin lama maka bara itu pun menjadi semakin pudar.
Namun Mahisa Pukat bukan seorang pembunuh yang tidak berjantung. Ketika ia melihat lawannya menjadi lemah, ia pun tidak lagi memutar pedangnya. Bahkan kemudian pedangnya itu pun telah menunduk pula.
Saudagar kaya itu masih berdiri tegak. Tetapi kemudian diamatinya telapak tangannya yang memudar, karena tidak ada lagi tenaganya dan tenaga dalamnya yang mampu mendukung kekuatan ilmunya itu.
“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat.
Wajah saudagar kaya itu menjadi pucat. Apalagi ketika ia sempat memandang telapak tangannya yang tidak lagi semerah bara. Meskipun masih nampak sisa-sisa kekuatan ilmunya, tetapi tangannya itu tidak lagi mampu membakar kulit lawannya. Seandainya telapak tangan itu menyentuh kulit Mahisa Pukat, maka yang terasa tidak lebih panas dari panasnya sinar matahari saat itu.
“Kau tidak dapat mempergunakan uang dan kekayaanmu untuk menolongmu Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Jawaban Ki Saudagar itu tidak terduga oleh Mahisa Pukat dan bahkan oleh orang-orang yang ada di sekitar arena. Katanya, “Ya. Ki Sanak. Kau benar. Uang dan kekayaanku dalam keadaan seperti ini tidak dapat menolongku. Tidak dapat menyelamatkan aku seandainya kau akan membunuhku. Karena itu, maka aku akan merelakan umurku kepadamu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Buyut kedua-duanya. Kalian dengar apa yang dikatakan oleh Ki Saudagar. Ia sudah menyerah.”
Di luar sadar kedua orang Buyut itu pun mengangguk.
“Ia pun mengakui bahwa uang dan kekayaannya tidak akan dapat menolongnya,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Kedua, orang Buyut itu mengangguk lagi.
“Nah, jika demikian, maka orang yang dapat menyelamatkannya sekarang dari maut tentu lebih berharga dari uang yang dimilikinya,” berkata Mahisa Pukat.
Kedua orang Buyut itu terrnangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat bertanya kepada Ki Saudagar, “Bukankah begitu Ki Saudagar?”
Saudagar kaya itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk mengiakan.
“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan membunuhmu. Tetapi ingat kata-katamu, bahwa kau masih menghargai nyawamu lebih tinggi dari uang dan harta bendamu. Karena itu, jika kemudian nyawamu masih tinggal di dalam tubuhmu, kau tidak boleh lagi menyandarkan hidupmu pada harta benda dan kekayaanmu, seakan-akan dengan kekayaanmu kau dapat berbuat apa saja. Gegedug yang kau upah itu pun tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kau sendiri yang berilmu tinggi, juga tidak dapat berbuat apa-apa, padahal harta dan kekayaanmu tidak dapat dihitung lagi.”
Saudagar itu mengangguk lagi sambil berkata, “Aku mengerti.”
“Karena itu pergunakanlah harta dan kekayaanmu sebaik-baiknya. Ingat, jika kau sekarang mati, kau tidak akan dapat membawanya,” berkata Mahisa Pukat pula.
“Ya.” desis saudagar kaya itu.
“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat. “Ki Buyut dari kedua daerah yang bertetangga ini menjadi saksi bahwa Ki Saudagar telah merubah sikapnya. Ia tidak lagi bertumpu kepada kekuatan yang disangkanya tidak dapat dilawan dari harta dan kekayaannya.”
Kedua orang Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya kepada Ki Saudagar, “Karena itu, kau harus mempergunakan harta kekayaanmu untuk tujuan yang baik, yang bermanfaat bagi orang-orang yang di dalam hidupnya seakan-akan tidak pernah menikmati kesenangan sama sekali. Bukan sebaliknya kau pergunakan harta dan kekayaanmu untuk menyakiti hati sesamamu yang tidak mempunyai harta dan kekayaan seperti yang kau miliki.”
Ki Saudagar yang masih dilumuri keringat bercampur darah itu mengangguk.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat kepada anak Ki Saudagar itu, “rawat ayahmu baik-baik. Ia masih diperlukan oleh keluargamu. Ia masih harus bekerja untuk menghidupimu.”
Anak saudagar kaya itu termangu-mangu. Rasa-rasanya harga dirinya benar-benar telah jatuh dan terinjak sama sekali.
Namun ayahnya itu berkata, “Kau dengar kata-katanya?”
Anaknya itu mengangguk.
“Bawa aku pulang. Undang anak muda itu datang ke rumah kami. Aku ingin menghormati orang yang telah mengalahkan aku dalam usianya yang masih sangat muda itu,” berkata saudagar kaya yang menjadi sangat lemah itu. Lukanya yang paling dalam justru luka di pahanya. Karena luka di dada, di pundak, lengan dan goresan-goresan lain seakan-akan hanya melukai kulitnya saja meskipun darah masih juga menitik dari luka itu.
Anaknya masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Ki Sanak. Ayah minta kau bersedia singgah di rumah kami.”
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil menjawab, “Maaf Ki Sanak. Aku dalam perjalanan yang tergesa-gesa. Karena itu, aku tidak dapat singgah meskipun hanya sebentar. Aku mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Ki Sanak berikan kepadaku.”
“Jangan menolak anak muda,” suara Ki Saudagar itu hampir tidak dapat didengarnya.
Namun Mahisa Pukat menjawab, “Kau memerlukan perawatan segera. Pada kesempatan lain aku akan singgah ke rumahmu.”
Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi wajahnya yang pucat dan lesu itu membayangkan kekecewaan hatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Bawa ayahmu pulang segera. Jangan menunggu sampai terlambat.”
Anaknya pun kemudian memapah saudagar kaya itu. Dua orang dengan serta merta telah membantunya. Ki Buyut yang merasa berhutang budi kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu pun telah minta kedua anak muda itu singgah. Tetapi ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu pun dengan terpaksa menolak permintaan itu.
“Kami mohon maaf,” berkata Mahisa Pukat berulang kali, “yang kami harapkan, bahwa untuk selanjutnya tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan ini. Kedua-duanya. Karena ketenangan dan kedamaian akan dapat menjadi pangkal peningkatan tataran hidup para penghuni kedua Kabuyutan ini.”
Kedua orang Buyut itu hanya termangu-mangu saja. Mereka tidak lagi dapat menahan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu minat diri untuk melanjutkan perjalanan. Keduanya kemudian masih singgah untuk mengambil kuda-kuda mereka. Namun keduanya terkejut ketika pemilik kedai itu menyongsong mereka dengan membawa sebungkus makanan.
“Jangan menolak,” berkata pemilik kedai itu, “sama sekali tidak ada niat untuk mengecilkan arti kalian. Tetapi yang aku lakukan benar-benar timbul karena niat baik. Aku kagum akan kemampuan kalian berdua. Tetapi lebih kagum lagi, bagaimana kalian mengakhiri pertentangan yang timbul antara kedua Kabuyutan itu.”
“Sebenarnya Ki Sanak tidak perlu berbuat demikian,” desis Mahisa Pukat.
“Aku mohon maaf. Dan aku mohon, jangan menolak,” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat melihat kejujuran yang terpancar dimata pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku berterima kasih atas bekal yang Ki Sanak berikan kepada kami.”
Demikianlah, sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah melanjutkan perjalanannya. Orang-orang yang masih berkumpul itu pun melambaikan tangan mereka. Demikian pula kedua orang anak muda itu.
Sikap Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menimbulkan kekaguman kepada orang-orang yang menyaksikannya, apa yang telah dilakukannya. Bahkan saudagar kaya itu pun merasa bahwa sulit baginya untuk menemukan orang-orang seperti itu lagi. Berilmu tinggi tetapi juga berbudi luhur.
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berderap semakin lama semakin jauh. Sehingga akhirnya hilang dari pandangan mata orang-orang yang telah menyimpan kesan tersendiri kepada mereka. Mahisa Semu masih juga berpaling. Tetapi ia pun sudah tidak melihat lagi tangan-tangan yang melambai tinggi-tinggi.
“Apakah mereka tidak akan berselisih lagi?” bertanya Mahisa Semu.
“Setidak-tidaknya untuk beberapa saat,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku berharap bahwa untuk selanjutnya berselisihan itu tidak akan terjadi lagi.”
“Aku memang melihat kesungguhan pada kata-kata saudagar kaya itu,” berkata Mahisa Semu.
“Jika tidak ada iblis melekat lagi di tubuhnya, ia tentu akan selalu ingat, bahwa nyawanya telah diperpanjang. Ia sendiri merasa bahwa ia akan mati dalam pertempuran itu. Tetapi ternyata ia masih tetap hidup. Keadaan itu tentu sempat mempengaruhi jiwanya sehingga terjadi perubahan sikap yang mendasar,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Bagaimana dengan anaknya?”
“Ayahnya akan memberikan petunjuk kepadanya,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi agaknya sikap anaknya memang lebih keras dari sikap ayahnya meskipun kesalahan utama tetap ada pada ayahnya yang memanjakannya.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Mahisa Pukat. Ia pun berharap bahwa anak saudagar kaya itu dapat menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun dalam pada itu, Mahisa Semu tiba-tiba berkata, “Kita mempunyai bekal cukup banyak.”
“Pemilik kedai itu ternyata orang baik,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara kuda-kuda itu pun berlari mengikuti jalan yang cukup besar meskipun tidak terlalu ramai.
Ketika mereka sudah menempuh jarak yang agak panjang, maka mereka pun segera berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Sementara itu langit menjadi suram. Agaknya mereka tertahan cukup lama untuk mengatasi perkelahian yang hampir saja membakar dua Kabuyutan yang bertetangga.
“Kita tidak dapat segera sampai ke Kotaraja,” berkata Mahisa Pukat.
“Kita bermalam di perjalanan?” bertanya Mahisa Semu.
“Ya. Meskipun jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi, biarlah kita berhenti,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Keduanya pun kemudian telah berhenti di sebuah banjar padukuhan di padukuhan berikutnya. Kepada penunggu banjar Mahisa Pukat menyatakan permintaannya apakah keduanya dapat berhenti dan bermalam di banjar itu.
Penunggu banjar itu ragu-ragu. Namun kemudian orang itu- pun berkata, “Baiklah. Tetapi tempatnya tidak begitu baik.”
“Ah,” desis Mahisa Pukat, “tempat itu sudah jauh dari pantas bagi kami berdua.”
Keduanya kemudian telah mengikat kuda mereka di sebelah banjar padukuhan itu. Oleh penunggu banjar itu, keduanya mendapat tempat di serambi sebelah kanan. Tempatnya memang terbuka sehingga angin malam yang dingin akan berhembus mengipasi tubuh mereka.
Namun keduanya memiliki pengalaman mengembara. Mereka terbiasa tidur di mana pun juga. Bahkan di tempat-tempat terbuka. Dengan demikian maka serambi itu memang cukup pantas bagi keduanya.
Apalagi ketika kemudian, setelah malam menyelimuti padukuhan itu, hujan pun mulai turun. Semakin lama semakin lebat, sehingga keduanya merasa sangat berterima kasih dapat berlindung di bawah atap serambi banjar itu. Bahkan atas ijin penunggu banjar itu, mereka telah menempatkan kuda mereka di bawah teritis sehingga sedikit terlindung dari air hujan yang deras.
Di dinginnya malam yang basah, penunggu banjar itu telah membawa ketela rebus kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan ia pun sempat untuk ikut duduk di serambi itu beberapa lama. Penunggu banjar itu heran ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu membuka bekal yang mereka dapat dari pemilik kedai di tempat yang hampir saja terbakar oleh permusuhan itu.
“Pemilik kedai yang baik,” desis penunggu banjar ketika ia diberi tahu dari mana asal bekal mereka itu.
“Silahkan Ki Sanak,” Mahisa Pukat mempersilahkan.
Disamping ketela rebus yang dibawa oleh penunggu banjar itu, mereka juga menghadapi sebungkus makanan yang bermacam-macam jenisnya.
Menjelang tengah malam, maka penunggu banjar itu berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Kalian harus beristirahat. Beristirahatlah. Aku juga sudah mulai mengantuk.”
Namun sebelum penunggu banjar itu beranjak dari tempatnya, mereka mendengar jerit tertahan seorang perempuan. “Apa itu?” justru penunggu banjar itu bertanya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu. Ternyata suara itu terdengar lagi di sela-sela deru air hujan yang lebat di atas banjar itu. Ternyata beberapa saat kemudian, beberapa orang laki-laki telah memasuki halaman banjar itu dan langsung naik ke pendapa. Mereka telah membawa seorang perempuan yang nampaknya berusaha untuk melawan.
Ketika beberapa orang laki-laki itu melihat tiga orang di serambi, maka tiba-tiba saja seorang di antara mereka membentak, “jangan mencampuri persoalan kami.”
Ketiga orang itu memang hanya berdiam diri saja. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak tahu, apakah yang harus mereka lakukan. Sementara penunggu banjar itu menjadi bingung.
Dalam pada itu, seorang laki-laki yang lain berkata kepada perempuan itu, “Aku tidak mau kau tipu lagi. Tunjukkan sekarang, di mana kau simpan barang-barang itu.”
“Kau jangan membuat aku semakin marah. Kita sekarang berada di banjar yang agak jauh dari rumah orang-orang padukuhan. Orang-orang di serambi itu pun tidak akan berbuat apa-apa untuk mencegah aku jika aku sudah kehilangan kesabaran,” bentak laki-laki itu.
“Aku tidak bersalah,” perempuan itu berteriak. Tetapi suaranya hilang ditelan oleh deru hujan yang lebat.
“Kau jangan ingkar. Selama ini aku berikan apa saja yang kau minta. Ternyata semua yang aku berikan kepadamu itu kau berikan pula kepada seorang laki-laki. Nah, di mana rumah orang itu? Semua barang-barangku tentu tersimpan di sana. Aku tahu, laki-laki itu tinggal di padukuhan ini. Tetapi yang mana?”
“Bohong, semua itu bohong,” teriak perempuan itu pula.
“Jika demikian, di mana perhiasan itu?”
Perempuan itu masih saja berteriak, “Perhiasan itu adalah perhiasanku sendiri. Barang-barang itu barang-barangku sendiri.”
“Aku membeli semuanya itu,” jawab laki-laki itu.
“Tetapi barang itu sudah kau berikan kepadaku. Barang-barang itu telah menjadi milikku. Terserah kepadaku, apakah barang-barang itu aku jual, atau aku buang ke sungai atau untuk apapun,” suara perempuan itu meninggi.
“Kau tidak menghargai pemberianku,” geram laki-laki itu.
“Itu terserah kepadaku,” jawab perempuan itu.
“Kau memang iblis betina. Baik, baik. Jika demikian, kau tidak boleh pulang ke rumah itu lagi. Rumah itu adalah rumahku. Sebenarnya aku ingin memberikan rumah itu kepadamu. Tetapi aku urungkan niatku,” berkata laki-laki yang marah itu.
“Rumah itu sudah rumahku,” teriak perempuan itu.
“Ingat. Jika kau berani menginjakkan kakimu di halaman rumah itu, apalagi bersama-sama dengan laki-laki itu, maka kau akan aku bunuh bersama-sama dengan laki-laki itu. Sekarang tunjukkan di mana rumahnya. Aku akan menyerahkan kau kepadanya,” teriak laki-laki itu.
“Tidak. Kau akan menipuku. Kau akan berbuat jahat kepadanya,” sahut perempuan itu tidak kalah kerasnya. Lalu katanya, “Jika kau ingin membunuh, bunuh aku.”
“Aku tidak mau mengotori tanganku dengan darah iblis betina seperti kau ini,” jawab laki-laki itu. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Kita tinggalkan perempuan itu di sini. Ia sudah berada di banjar padukuhan laki-laki yang diberinya apa yang aku berikan kepadanya. Aku tidak peduli lagi apa yang akan dilakukannya.”
Demikianlah, maka beberapa orang laki-laki itu telah meninggalkan banjar itu menyusup dalam hujan yang lebat. Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan penunggu banjar itu benar-benar tidak mencampuri persoalan mereka. Namun ketika beberapa orang laki-laki itu telah pergi, sedangkan perempuan itu menangis di pendapa banjar, maka penunggu banjar itu pun telah melangkah naik ke pendapa mendekatinya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya penunggu banjar itu.
“Aku diusirnya dari rumah,” jawab perempuan itu, “ia menuduh yang bukan-bukan.”
“Tetapi apakah benar, bahwa barang-barang yang dibelinya untukmu kau berikan kepada orang lain?” bertanya penunggu banjar itu.
“Barang-barang itu sudah hakku. Terserah kepadaku,” jawab perempuan itu di sela-sela isaknya.
“Jangan begitu. Kau menyakiti hatinya. Jika ia memberimu apa saja, itu tentu ada pamrihnya,” berkata penunggu banjar itu.
“Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dariku. Aku telah memberikan apa yang ia kehendaki,” jawab perempuan itu.
“Tetapi tentu tidak sedangkal itu. Ia tentu memerlukan kesetiaanmu. Apakah ia beristri yang lain?” bertanya penunggu banjar itu.
“Tidak,” jawab perempuan itu.
“Jika demikian, maka kau adalah satu-satunya isterinya yang diharapkan setia kepadanya,” berkata penunggu banjar itu.
“Aku belum isterinya,” jawab perempuan itu.
“Meskipun belum, tetapi ia tentu akan memperlakukan kau sebagai isterinya karena ia memang belum beristri,” berkata penunggu banjar itu.
“Ia tahu bahwa aku tidak ingin menjadi isterinya. Aku menolak ketika ia mengajak aku meresmikan perkawinan,” berkata perempuan itu.
“Jika demikian, maka kau memang seorang perempuan yang tidak tahu diri,” geram penunggu banjar itu, “Nah, jika demikian, pergilah kepada laki-laki yang kau beri apa yang kau terima dari seorang yang telah kau peras itu.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Aku tidak berani. Malam terlalu gelap dan hujan sangat lebat.”
“Sebaiknya kau tidak bermalam di banjar ini,” berkata penunggu banjar yang menjadi tidak senang kepada perempuan itu.
“Aku takut pergi,” berkata perempuan itu.
“Jika demikian, biarlah aku panggil saja laki-laki itu. Aku tentu mengenalnya jika ia penghuni padukuhan ini,” berkata penunggu banjar itu pula.
“Kau tidak perlu memanggilnya. Antar saja aku ke rumahnya,” berkata perempuan itu, “bukankah dengan demikian, kau tidak perlu membawa orang itu kemari.”
“Aku tidak mau mengantarmu. Aku tidak mau berjalan di malam hari begini dalam keadaan hujan bersamamu,” jawab penunggu banjar itu. Lalu katanya pula, “Sebut nama laki-laki itu.”
Perempuan itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menyebut nama, “Panangkil. Namanya Panangkil.”
“Panangkil?” penunggu banjar itu terkejut. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
“Ya, kenapa?” bertanya perempuan itu.
Penunggu banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa. Tetapi rumahnya agak jauh.”
“Karena itu, bawa aku ke sana,” minta perempuan itu.
“Tidak. Aku tidak mau,” jawab penunggu banjar itu sekali lagi.
Perempuan itu memang menjadi heran, kenapa penunggu banjar itu lebih senang memanggilnya daripada membawanya kepada laki-laki itu. Tetapi bagaimanapun juga ia memaksa, tetapi penunggu banjar itu tetap tidak mau membawanya.
Ketika penunggu banjar itu pergi memanggil laki-laki yang bernama Panangkil itu, maka ia berpesan kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “jangan tidur dahulu. Tolong awasi perempuan itu. Aku akan memanggil orang yang disebutnya.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk. “Aku akan menunggumu kembali,” desis Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka penunggu banjar itu pun telah mengenakan caping belarak yang lebar dan turun ke halaman. Malam memang gelap sekali, sehingga sejenak kemudian, penunggu banjar itu sudah tidak nampak lagi sebelum orang itu keluar dari regol halaman.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak beranjak dari tempatnya. Lampu banjar yang berkeredipan memang mampu menggapai sampai ke serambi. Tetapi perempuan itu tidak dapat melihat dengan jelas, kedua orang yang berada di serambi itu.
Di pendapa perempuan itu duduk kedinginan. Pakaiannya memang basah oleh hujan. Tetapi ia tidak beringsut dari tempat duduknya. Dengan demikian maka mereka saling berdiam diri. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menyapanya dan perempuan itu pun tidak berbicara apapun. Namun justru dengan demikian maka suasana terasa menjadi tegang.
Ternyata mereka memerlukan waktu yang agak lama untuk menunggu. Baru beberapa saat kemudian, penunggu banjar itu kembali bersama seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap dan kekar.
“Kakang,” perempuan itu bangkit dan dengan tergesa-gesa menyongsong laki-laki itu.
Namun nampaknya sikap laki-laki itu dingin sekali, seperti dinginnya malam itu yang dibasahi oleh hujan yang lebat.
“Aku telah diusir dari rumahku kakang,” berkata perempuan itu.
“Kenapa?” bertanya laki-laki itu singkat.
“Hubungan di antara kita sudah diketahuinya. Bahkan ia tahu bahwa barang-barang dan perhiasan yang diberikan kepadaku telah aku berikan kepadamu,” jawab perempuan itu.
“Lalu, sekarang apa yang kau kehendaki?” bertanya laki-laki itu.
Perempuan itu memang menjadi heran mendengar pertanyaan laki-laki yang bertubuh tinggi, tegap dan kekar itu. Karena itu, maka ia pun justru bertanya, “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Jadi, aku harus bertanya bagaimana?” laki-laki itu masih bertanya lagi.
Perempuan itu menjadi semakin heran. Maka katanya, “Aku tidak dapat pulang ke rumahku lagi. Karena itu, maka aku akan ikut ke rumahmu.”
“Ke rumahku?” laki-laki itu membelalakkan matanya, “itu tidak mungkin. Isteriku akan marah.”
“Kau beristri?” perempuan itu hampir memekik.
“Ya. Kenapa? Kau heran?” laki-laki itu justru bertanya.
“Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya,” berkata perempuan itu.
“Aku tidak menganggap perlu untuk mengatakan hal itu kepadamu. Aku memang sudah beristri dan beranak tiga orang. Nah, kau sekarang sudah tahu. Karena itu, pulanglah. Jangan ganggu keluargaku,” berkata laki-laki itu.
Perempuan itu terkejut mendengar jawaban laki-laki itu. Dengan nada keheranan ia bertanya, “Maksudmu kau tidak mau menerima aku?”
“Sudah tentu. Aku sudah beristri dan beranak. Aku mencintai isteri dan anak-anakku. Kau harus mengerti itu,” jawab laki-laki itu.
“Tetapi selama ini kau telah menerima pemberianku. Barang-barang berharga dan perhiasan. Semua yang aku terima telah aku berikan kepadamu,” perempuan itu hampir berteriak.
“Terima kasih atas pemberianmu. Isteri dan anak-anakku pun berterima kasih kepadamu,” berkata laki-laki itu.
“Gila. Hanya begitukah tanggapanmu atas kedatanganku setelah aku diusir dari rumah itu?” perempuan itu berteriak semakin keras.
“Jadi apa lagi? Kau sudah tidak akan dapat memberi apa-apa lagi kepadaku. Kepada keluarganku,” berkata laki-laki itu.
“Tetapi, jika aku memberikan barang-barang itu kepadamu, tentu kau tahu maksudku,” perempuan itu menjadi semakin keras berteriak.
Tetapi hujan masih saja tercurah dari langit, sehingga suara perempuan itu bagaikan hilang ditelan gemuruhnya bunyi hujan.
“Ya aku tahu. Dan aku telah memenuhinya. Bukankah itu namanya adil? Aku memberimu apa yang kau perlukan dan kau memberiku apa yang aku sekeluarga memerlukannya. Uang dan perhiasan itu. Isteriku berterima kasih kepadamu,” jawab laki-laki itu.
Penunggu banjar itu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, terkejut mendengar jawaban itu. Seakan-akan sudah diatur sehingga perempuan itu seakan-akan dihadapkan pada jawabannya sendiri. Ternyata laki-laki itu bersikap sebagaimana ia bersikap kepada laki-laki yang telah meninggalkannya di banjar itu.
Untuk beberapa saat perempuan itu terbungkam. Namun kemudian ia pun menangis sambil berteriak, “Kau laki-laki iblis. Laki-laki tidak tahu diri.”
“Terserahlah,” berkata laki-laki itu masih dalam sikap yang dingin, “mungkin aku iblis atau tidak tahu diri atau sebutan buruk yang lain, tetapi persoalan di antara kita sudah selesai. Seperti orang yang berjual beli. Setelah barang-barangnya diserahkan dan setelah dibayar oleh pihak lain, maka jual beli itu sah dan selesai.”
“Tidak. Kita tidak sedang berjual beli,” tangis perempuan itu.
“Sudahlah. Aku akan pulang. Anak dan istriku kedinginan di rumah. Hujan justru menjadi semakin lebat,” berkata laki-laki itu.
“Aku tidak mau kau tinggalkan sendiri,” tangis perempuan itu pula.
“Aku tidak mengundangmu kemari,” jawab laki-laki itu.
Namun penunggu banjar itu ternyata tidak dapat berdiam diri saja. Akhirnya ia pun menengahi, “Jika kau tidak dapat membawa perempuan itu pulang, bawalah ke mana saja.”
“Ke mana?” laki-laki itu mengerutkan keningnya.
“Jangan tinggalkan perempuan itu di banjar ini,” berkata penunggu banjar itu kemudian.
“Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan perempuan itu,” geram laki-laki yang disebut Penangkil itu.
“Apa pun persoalan kalian, tetapi bawa perempuan itu ke mana saja. Bagaimanapun juga kau lebih berkepentingan dengan perempuan itu daripada aku,” berkata penunggu banjar itu.
Penangkil itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan membawanya kepada bibi di pinggir padukuhan ini.”
“Bibi siapa?” bertanya penunggu banjar itu.
“Bibi Rumi. Ia adalah adik ayahku yang telah tidak ada,” jawab Penangkil.
“Terserah kepadamu,” berkata penunggu banjar itu.
“Aku minta diri,” desis Penangkil kemudian. Lalu katanya kepada perempuan itu, “marilah, kita akan pergi ke rumah bibi. Kau akan berada di sana sampai besok. Kemudian kita akan menentukan sikap.”
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian laki-laki itu telah menarik tangannya turun ke halaman betapa pun lebatnya hujan. Keduanya ternyata telah menuju ke arah yang lain dari arah rumah laki-laki itu, karena keduanya memang tiak akan pergi ke rumah laki-laki yang telah menyatakan dirinya beranak dan beristri.
Dalam hujan yang lebat, laki-laki itu telah menarik tangan perempuan itu sambil berkata, “Cepat. Hujan sangat lebat. Kita dapat menjadi sakit karenanya.”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan lebih cepat. Demikianlah, berlari-lari kecil perempuan itu mengikuti laki-laki yang masih saja menarik tangannya. Tangannya begitu kuat sehingga ia tidak dapat terlepas dari genggamannya.
“Kita pergi ke mana?” bertanya perempuan itu.
“Bukankah sudah aku katakan, kita pergi ke rumah bibi,” jawab laki-laki itu.
Perempuan itu pun terdiam. Langkahnya menjadi semakin cepat. Dalam hujan perempuan itu terengah-engah.
“Kita berhenti dahulu,” minta perempuan itu.
“Sudah tidak begitu jauh. Nanti kita beristirahat. Kau dapat meminjam pakaian bibi dan menghangatkan badanmu di depan perapian sambil merebus air,” berkata laki-laki itu.
Perempuan itu berusaha untuk tetap berlari-lari kecil meskipun kakinya terasa mulai letih. Beberapa saat kemudian, perempuan itu terkejut. Ia justru berusaha berhenti sejenak. Meskipun suara hujan masih berbaur dengan suara angin, namun perempuan itu mendengar deru suara air yang mengalir deras.
“Suara apa itu?” bertanya perempuan itu.
“Sungai. Disitu ada sungai. Rumah bibi memang dekat dengan sebuah sungai. Mungkin sungai itu menjadi banjir karena hujan yang lebat. Nampaknya di bukit hujan sudah turun lebih lama sehingga sungai itu menjadi banjir.”
Perempuan itu mulai menjadi ragu-ragu. Namun laki-laki itu menariknya terus. Semakin lama deru sungai yang memang banjir itu terdengar semakin jelas. Gelap malam memang menjadi semakin pekat. Perempuan yang tidak begitu mengenal daerah itu tidak tahu, bahwa di depan mereka ternyata terdapat sebuah sungai. Tepian sungai itu tidak landai seperti tempat penyeberangan yang sering dilihatnya. Tetapi tebing sungai itu cukup curam.
Ketika sekali kilat menyambar, maka perempuan itu terkejut. Ia melihat tebing yang curam menganga. Di bawah nampak sungai yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi airnya sedang banjir. Tentu tidak seorang pun yang akan dapat berenang menentang arus banjir itu.
Perempuan itu tiba-tiba telah berusaha untuk meronta. Demikian tiba-tiba, sehingga tangannya memang terlepas. Dengan serta merta ia mencoba untuk berlari menembus gelap dan hujan. Tetapi laki-laki itu berlari lebih cepat. Dengan segera perempuan itu pun telah dikuasainya kembali.
“Kau akan lari ke mana?” geram laki-laki itu.
“Aku takut,” suara perempuan itu gemetar.
“Kau tidak usah takut. Banjir itu akan menjadi kawanmu yang akrab,” berkata laki-laki itu.
“Maksudmu?” perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
“Jangan menyesali perbuatanmu. Kau akan aku lemparkan ke dalam sungai itu,” jawab laki-laki itu.
“Tidak. Tidak. Jangan,” perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya. Tetapi suaranya hilang ditelan deru hujan dan banjir.
Laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya seperti suara tertawa iblis dari neraka. Katanya, “Kau sudah tidak mempunyai tempat lagi. Laki-laki itu sudah meninggalkanmu. Dan aku tidak memerlukanmu lagi. Riak banjir itulah yang kemudian akan memelukmu.”
“Jangan. Jangan. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggumu,” tangis perempuan itu.
Tetapi laki-laki itu membentaknya kasar, “Diam. Kau kira aku akan menjadi belas kasihan melihat wajahmu itu, he? Wajah iblis betina yang tidak tahu diri. Siapa yang mau menjadi suamimu? Perempuan laknat yang hanya pantas menjadi isi neraka. Kau akan merusak keluargaku he? Kau telah memeras laki-laki itu dan sekarang kau akan menyakiti hati isteriku.”
Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Rasa-rasanya tangan-tangan iblis memang sudah mencekiknya ketika tangan-tangan laki-laki itu memegang lehernya.
“Kau boleh memilih. Mati aku cekik kemudian aku lemparkan ke sungai, atau aku lemparkan kau hidup-hidup, kemudian mati terbenam ke dalam banjir setelah kepalamu membentur-bentur tebing. He, pilih yang mana,” suara laki-laki itu benar-benar seperti suara iblis.
“Kasihani aku. Aku mohon ampun. Aku tidak akan mengganggumu. Biar aku pergi ke mana saja.” tangis perempuan itu memelas.
“Tidak. Selama kau masih hidup, maka kau tentu masih akan membayangi keluargaku. Sekarang adalah kesempatan yang paling baik untuk melemparkanmu ke sungai. Kemudian aku akan pergi ke rumah bibi untuk minta agar ia membantuku.”
Perempuan itu memang hampir pingsan karenanya. Sementara Panangkil itu berkata selanjutnya, “besok bibi akan menjawab setiap pertanyaan, bahwa aku memang telah menitipkan kau kepadanya. Tetapi kau minta ijin ke pakiwan dan tidak pernah kembali lagi. Bibi akan mencarimu dan bertanya kepada semua orang yang dijumpainya. Dengan demikian setiap orang akan mengatakan bahwa kau telah membunuh diri. Jika kemudian mayatmu diketemukan, maka semua orang akan memandang tubuhmu sambil berdesis bahwa perempuan laknat itu telah membunuh diri. Kau telah menuai benih yang kau tanam sendiri.”
“Ampun, ampunkan aku. Aku belum ingin mati,” tangis perempuan itu.
“Cukup. Sekarang pilih. Aku cekik kau sampai mati, atau aku lemparkan kau ke sungai itu,” geram laki-laki itu.
“Jangan, jangan,” perempuan itu meronta.
Tetapi jari-jari laki-laki itu memang telah mencengkam lehernya. Namun laki-laki itu berkata, “Aku tidak mau meninggalkan bekas dilehermu. Aku ingin melemparkan kau saja ke arus banjir.”
Perempuan itu kemudian telah diseretnya ke tebing yang curam. Namun langkah laki-laki itu terhenti. Ketika sekali lagi kilat menyambar, maka dilihatnya seorang laki-laki yang lain berdiri tegak dengan mengenakan caping belarak yang lebar.
“Setan, siapa kau?” geram Panangkil.
“Ingat-ingat. Namaku Mahisa Pukat. Aku adalah orang yang tadi berada di serambi banjar. Aku memang sedang berteduh. Karena itu aku mengetahui apa yang kau lakukan. Aku memang sudah curiga melihat sikapmu. Karena itu, aku telah mengikutimu sampai ke tebing yang curam itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Panangkil.
“Mencegah pembunuhan ini. Jika kau tidak dapat menerima perempuan itu, maka biarlah ia pergi ke mana saja ia maui. Tetapi jangan kau bunuh dengan cara seperti itu,” jawab Mahisa Pukat.
“Buat apa perempuan iblis itu dihidupi? Ia tidak pantas hidup di antara perempuan di padukuhan ini. Ia telah menghina martabatnya sendiri,” jawab laki-laki itu.
“Dan kau? Kau telah melakukan hal yang sama. Kau telah menghina martabat laki-laki. Jika perempuan itu harus mati menurut pendapatmu, maka kau pun harus mati, karena kau telah membuat kesalahan yang sama. Kau pun laknat seperti perempuan itu,” Mahisa Pukat pun menggeram.
“Kau tidak usah ikut campur persoalanku,” teriak laki-laki itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab dengan nada rendah, “Aku mendengar pembicaraan kalian. Karena itu, aku merasa terpanggil untuk ikut campur, karena kau berlaku tidak adil.”
“Cukup,” teriak laki-laki itu, “jika kau tidak mau pergi, maka kau pun akan aku lemparkan ke sungai yang banjir itu.”
“Kau tidak akan dapat membunuh perempuan itu di hadapan sedikitnya seorang saksi. Jika aku pergi dan kau tetap melemparkan perempuan itu, maka aku akan dapat mengatakan kepada orang-orang padukuhan ini, bahkan kepada Ki Bekel, bahwa kau telah membunuh perempuan itu,” berkata Mahisa Pukat.
Panangkil berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, maka kau pun harus dibunuh.”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Sebaiknya lepaskan saja perempuan itu. Biarkan saja ia pergi kemana ia ingin pergi. Ia sudah berjanji tidak akan mengganggumu lagi,” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak. Aku akan membunuhnya dan membunuhmu pula,” geram laki-laki itu.
Mahisa Pukat justru melangkah maju sambil berkata, “Tidak. Kau tidak akan membunuh siapapun.”
Adalah di luar dugaan ketika laki-laki itu tiba-tiba saja telah menyerang Mahisa Pukat. Agar perempuan itu tidak melarikan diri, maka perempuan itu telah dipukulnya dengan keras sekali sehingga perempuan itu menjadi pingsan.
Mahisa Pukat memang sudah bersiaga. Karena itu, maka serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya. Penglihatannya yang tajam melihat bagaimana laki-laki itu berusaha untuk mendorongnya dengan serangan kaki ketebing sungai. Tetapi serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah menghindar.
Sementara itu, agar perempuan yang pingsan dalam hujan yang lewat tidak membahayakan jiwanya, maka Mahisa Semu telah dengan diam-diam mengambil perempuan itu dan membawanya ke bawah pepohonan. Dipangkasnya sebatang pohon pisang untuk melindungi wajah perempuan itu dari guyuran air yang deras.
Namun kemudian Mahisa Pukat telah melemparkan caping belaraknya yang lebar kepada Mahisa Semu sambil berkata, “Pakailah.”
“Siapa orang itu?” bertanya Panangkil.
“Aku tidak sendiri diserambi. Kau lihat itu. Biarlah ia menolong perempuan yang kau pukul sampai pingsan itu.” Jawab Mahisa Pukat.
Panangkil benar-benar menjadi marah. Dengan segenap kemampuannya ia telah menyerang Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat memang bukan lawannya. Dalam waktu yang terhitung singkat, laki-laki itu telah dikenai beberapa kali oleh serangan Mahisa Pukat sehingga beberapa kali terdengar ia mengaduh.
Tetapi laki-laki itu memang keras kepala. Ia masih saja berusaha melawan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia berusaha menyerang meskipun justru tubuhnya sendirilah yang dikenai oleh serangan Mahisa Pukat.
“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “kau akan kami bawa ke banjar bersama perempuan itu. Persoalanmu akan menjadi persoalan yang akan diselesaikan oleh Ki Bekel.”
“Tidak. Aku tidak mau,” teriak laki-laki itu, “kau dan perempuan itu harus mati.”
Mahisa Pukat menjai tidak telaten. Maka ia pun telah mendesak laki-laki itu dan dengan cepat berhasil menangkap tangannya, memutarnya dan memilinnya dengan kuat. Laki-laki itu berusaha meronta. Tetapi Mahisa Pukat mendorongnya ke tepi tebing itu sambil berkata,
“Lihat, arus banjir itu tidak saja mampu menghanyutkan perempuan itu. Tetapi kau pun akan hanyut pula. Kepalamu akan membentur-bentur tebing sebagaimana akan dapat terjadi pada perempuan itu sebelum kau diseret ke laut.”
Wajah Panangkil menjadi tegang. Ketika kilat memancar dengan terangnya, maka Panangkil melihat jelas, banjir yang bergulung-gulung mengalir deras. Tebing yang curam menganga seperti mulut raksasa yang siap menelannya. Sedangkan suaranya yang menderu-deru seperti deru nafas iblis dari dasar neraka. Panangkil tiba-tiba menjadi ketakutan. Ketika Mahisa Pukat mendorongnya lebih dekat, maka laki-laki itu berteriak, “jangan-jangan.”
“Kau kira aku menjadi belas kasihan kepadamu,” geram Mahisa Pukat.
Laki-laki itu seakan-akan telah mendengar suaranya sendiri ketika ia hampir saja melemparkan perempuan itu ke sungai yang sedang banjir itu.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Tidak ada yang akan menangisimu jika mayatmu besok diketemukan, laki-laki laknat. Kau telah merendahkan martabat seorang laki-laki dengan memeras perempuan itu. Aku yang juga seorang laki-laki, merasa telah kau khianati karena martabatku pun tentu akan ikut goncang.”
Mahisa Pukat mendorong laki-laki itu semakin dekat. Sekali lagi kilat memancar. Dan laki-laki itu menjadi lemah tidak berdaya. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis oleh perasaan takut yang mencengkam.
Namun Mahisa Pukat membentaknya, “Bangkit. Aku mendorongmu, atau kau berbuat sebagai seorang laki-laki. Meloncat sendiri ke dalam sungai itu.”
Tetapi laki-laki itu justru memohon sambil menangis, “Ampun. Aku mohon ampun.”
“Mohon ampun kepada siapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kepadamu,” jawab orang itu.
“Jika aku mengampunimu, kau mau apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku akan melakukan apapun,” jawab laki-laki itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Semu, maka ia melihat perempuan itu sudah sadar dari pingsannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Marilah. Kita pergi ke banjar. Bukan aku yang akan menyelesaikan persoalan kalian, tetapi Ki Bekel.”
“Kau akan melaporkannya kepada Ki Bekel?” laki-laki itu menjadi cemas.
“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “karena Ki Bekel adalah pemimpin dari padukuhan ini.”
“Jangan,” minta laki-laki itu.
“Kau dapat memilih. Persoalan ini akan aku serahkan kepada Ki Bekel, atau kau terjun ke sungai yang banjir itu,” geram Mahisa Pukat.
Panangkil menjadi kebingungan. Kedua-duanya tidak menarik baginya. Namun Mahisa Pukat berkata, “Kau harus memilih salah satu dari kedua pilihan itu.”
Panangkil hanya dapat menundukkan kepalanya. Dengan nada berat ia berkata, “Aku tidak mau terjun ke sungai itu.”
Demikianlah, maka Panangkil dan perempuan itu pun telah dibawa ke banjar. Penunggu banjar itulah yang kemudian pergi rumah Ki Bekel untuk mengadu.
Ternyata Ki Bekel adalah seorang yang benar-benar bertanggung jawab atas tugasnya. Meskipun huj.an lebat dan malam dinginnya menusuk tulang, namun Ki Bekel telah pergi ke banjar bersama dua orang peronda yang ada di gardu di depan rumahnya dari antara lima orang peronda. Bahkan sempat mengajak Ki Jagabaya bersamanya.
Ketika di banjar ia menerima penjelasan tentang hubungan antara Panangkil dan perempuan itu serta keputusan Panangkil untuk membunuh perempuan itu, maka Ki Bekel pun berkata,
“Jadi kau masih saja akan mengacaukan padukuhan kita sendiri, Panangkil. Sudah beberapa kali kau mendapat peringatan dari Ki Jagabaya. Bahkan pernah orang-orang padukuhan ini hampir saja beramai-ramai membunuhmu karena tingkah lakumu. Sekarang kau telah melakukan satu kesalahan lagi yang bahkan hampir saja menelan korban jiwa. Apakah sebaiknya kau aku serahkan saja kepada orang-orang padukuhan. Mumpung sungai itu sedang banjir? Mungkin kau akan diikat dan dimasukkan ke dalam sungai itu. Orang-orang sepadukuhan akan melihat kau mencoba untuk berenang. Jika kau hanyut, maka tali itu akan ditarik. Tetapi kemudian akan diulur lagi jika sekali lagi mencoba berenang.”
“Jangan Ki Bekel. Aku mohon maaf,” minta Panangkil.
“Sudah berapa kali kau minta maaf kepadaku, kepada Ki Jagabaya dan kepada seisi padukuhan?” bertanya Ki Bekel.
Panangkil tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku akan bertanya saja kepada rakyat padukuhan ini. Apakah mereka masih bersedia memberikan ampun kepadamu atau tidak. Jika tidak, terserah kepada mereka,” berkata Ki Bekel.
“Jangan Ki Bekel. Jangan dengan cara itu,” minta Panangkil.
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, kepada kedua orang peronda yangg menyertainya, “Panggil isterinya. Biar ia tahu apa yang dilakukan oleh suaminya.”
“Jangan panggil isteriku, jangan,” minta Panangkil.
Tetapi Ki Bekel tetap pada pendiriannya. Dan kedua orang itu pun segera meninggalkan banjar. Ketika perempuan itu dengan pakaian yang basah meskipun ia memakai caping belarak yang besar, sampai ke banjar, maka ia menjadi heran. Dilihatnya beberapa orang ada di banjar, termasuk suaminya.
Ki Bekellah yang kemudian mengatakan kepada perempuan itu apa yang telah dilakukan suaminya terhadap perempuan yang telah berada di banjar itu. Wajah perempuan itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia telah merebut parang peronda yang memanggilnya. Hampir saja kepala suaminya telah dipecahkannya dengan parang itu. Untunglah beberapa orang sempat melerainya.
“Biar aku bunuh laki-laki keparat itu,” perempuan itu berteriak sambil menangis.
Namun ketika ia melihat perempuan yang telah berada di banjar itu, ia pun telah meronta sambil berteriak pula, “Kaulah sumber dari laknat ini. Kau pun harus dibunuh.”
Perempuan yang hampir saja dilemparkan ke sungai yang banjir itu menjadi ketakutan. Tetapi ia pasrahkan dirinya kepada orang-orang yang ada di banjar itu termasuk Ki Bekel.
Sebenarnyalah Ki Bekel telah merampas parang di tangan perempuan itu. Dengan nada seorang pemimpin ia berkata, “Kalau ingin menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Kita bukan keluarga orang-orang liar yang tidak tahu caranya memecahkan persoalan dengan nalar.”
“Ia telah berkhianat terhadap keluarganya Ki Bekel,” tangis isteri Panangkil.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bukankah kau dapat berbicara dengan suamimu?”
“Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya?” bertanya isterinya.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri juga bertanya seperti itu. Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya? Tetapi sebadai seorang Bekel ia masih juga mencoba untuk mencari jalan yang terbaik yang dapat ditempuh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, “Sekarang, ajak suamimu berbicara di hadapanku. Ia tahu bahwa aku adalah Bekel dari padukuhan ini. Kata-kata yang diucapkan di hadapanku, tentu akan mengikat. Bukan hanya aku saja saksinya. Tetapi beberapa orang, termasuk Ki Jagabaya.”
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada suaminya, “Sekarang apa niatmu? Mencerai aku atau apa?” “Tidak,” jawab Panangkil, “aku tidak ingin menceraimu.”
“Kau tidak usah berpura-pura. Jika kau memang sudah jemu beristerikan aku, ceraikan saja aku. Aku akan membawa semua anak-anakku. Aku masih akan dapat memberi mereka makan serta mendidik mereka untuk menjadi orang baik-baik kelak.”
“Tidak. Jangan pergi. Apalagi membawa anak-anak. Aku tidak dapat berpisah dengan anak-anak,” jawab Panangkil.
“Tetapi apakah kau mengeri, apa yang telah kau lakukan itu?” bertanya isterinya.
“Aku minta maaf. Aku tidak mempunyai cara lain. Aku sudah tidak berani mencuri karena ancaman Ki Bekel,” jawab Panangkil.
“Kau kira aku senang jika kau mencuri?” geram isterinya.
“Satu-satunya jalan adalah memeras orang lain. Aku sama sekali tidak berniat apa pun juga terhadap perempuan itu selain memeras. Aku ingin mencukupi kebutuhan keluargaku sehingga dapat hidup pantas,” jawab Panangkil.
“Tidak. Itu sangat memalukan. Besok, apa yang masih ada harus kau kembalikan kepada perempuan itu. Aku berjanji untuk mengganti semua barang-barang dan perhiasan yang telah kau terima dan kau jual untuk menghidupi kami sekeluarga. Aku kira selama ini kau benar-benar berhasil berdagang wesi aji dan batu-batu bertuah, sehingga hidup keluarga kita dapat menjadi semakin baik. Ternyata apa yang kau lakukan adalah perbuatan laknat itu,” teriak perempuan itu tanpa dapat mengendalikan perasaannya lagi.
“Aku minta maaf kepadamu,” jawab Panangkil.
“Sudah berapa kali kau minta maaf kepadaku tetapi masih saja kau melakukan kesalahan. Meskipun kesalahan itu tidak sama, tetapi jiwanya sama-sama satu pengkhianatan,” geram isterinya.
“Kali ini aku berbicara di hadapan saksi-saksi. Ki Bekel, Ki Jagabaya, anak-anak muda itu dan yang lain,” sahut Panangkil. “Jika aku tidak menepatinya, maka aku tentu akan menerima hukuman yang paling berat.”
Isterinya termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Bekel berkata, “Baiklah, maaf dan mengaku bersalah. Ia tidak akan melakukannya lagi dikemudian hari.”
Namun isteri Panangkil itu berkata, “Aku ingin mendengar janjinya sekali lagi.”
“Berjanjilah sekali lagi,” minta Ki Bekel.
“Ya. Aku memang berjanji,” jawab laki-laki itu.
“Berjanji apa?” isterinya menjerit tinggi.
“Aku berjanji untuk tidak mengulangi semua perbuatanku yang buruk. Tidak mencuri lagi dan tidak memeras,” berkata Panangkil.
“Hanya itu?” bertanya isterinya.
“Apalagi yang harus dikatakan?” bertanya Ki Bekel.
“Ia berjanji untuk tidak memeras, tetapi ia justru mengawini perempuan itu,” suaranya agak menurun.
Ki Bekel menarik nafas. Katanya, “Ucapkan janjimu selengkap-lengkapnya...”